BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hari Raya Kupatan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hari Raya Kupatan adalah salah satu tradisi di dalam masyarakat Islam Jawa, terkhusus di desa Durenan kabupaten Trenggalek. Tradisi tersebut sudah mengakar dan menjadi salah satu bagian dari Hari Raya Eidul Fitri. Maka tidak mungkin Hari Raya Kupatan itu dilaksanakan kecuali dilakukan Hari Raya Eidul Fitri terlebih dahulu. Melihat hal tersebut, maka peneliti mengambil metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan ednografi yaitu peneliti terjun langsung atau melebur Bersama kebudayaan tersebut. Budaya merupakan hasil teologis yang kemudian menjadi kebiasaan individu dan secara alami menjadi kebiasaan masyarakat, atau budaya merupakan kebiasaan-kebiasaan positif dan negatif di dalam suatu masyarakat yang kemudian menjadi budaya.1 Budaya juga didefinisikan sebagai hasil manusia dalam menjawab dinamika tantangan kehidupan, sehingga selalu melahirkan kebudayaan. Dinamika manusia tersebut terus berkembang dari tahap yang satu ke tahap selanjutnya. Secara umum realiatas manusia berhadapan langsung dengan dinamika-dinamika di depannya. Karena kebudayaan akan 1Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB. HMI, 2016), hal. 2 1 bermakana jika manusia dapat mengenal kebudayaannya dan mengerti kembali zamannya, kemudian manusia menemukan kembali jati dirinya.2 Dengan demikian dapat dipahami bahwa budaya adalah proses interaksi manusia dalam menjawab dinamika atau tantangan kehidupan. Dari hal tersebut akan menghasilkan suatu kebiasaan di dalam masyarakat. Biasanya kebiasaan-kebiasaan ini akan menjadi suatu tradisi turun- temurun. Kebudayaan di suatu daerah adalah proses dari hasil-hasil kebiasaan masyarakat. Misalnya budaya kupatan atau Riyoyo Kupat (bahasa Jawa). Budaya ini sudah lama ada di Jawa, bahkan sejak masa kejayaan Hindu dan Budha. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi Kupatan berakulturasi dengan tradisi Islam. Dan hampir setiap daerah memiliki ke khas-an Hari Raya Ketupat. Hal ini juga dirasakan oleh masyarakat Durenan, yaitu dalam tradisi Hari Raya Kupatan. Tradisi ini merupakan tradisi yang di selenggarakan setiap tahun. Biasanya dilaksanakan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, yang sebelumnya dilaksanakan puasa bulan Syawal selama 6 hari. Menurut masyarakat setempat, tradisi Hari Raya Kupatan tidak hanya sekedar Hari Raya Budaya biasa, namun juga memiliki filosofisnya.3 Budaya Hari Raya Kupatan merupakan tradisi turun temurun 2Jannes Alexander Uhi, Filsafat Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal. 2 3Agus Wahyudi, Pesona Kearifan Jawa, (Yogyakarta: DIPTA, 2014), hal, 43 2 yang dilaksanakan oleh generasi ke generasi selanjutnya dengan menggunakan media ketupat. Tradisi Hari Raya Kupatan dilestarikan oleh Kyai Abdul Masyir atau biasa dipanggil dengan Mbah Mesir. Beliau merupakan pengasuh pondok pesantren Babul Ulum. Kronologi Hari Raya Kupatan diciptakan karena Mbah Mesir pada waktu itu melihat masyarakat Durenan yang setelah melaksanakan Hari Raya Eidul Fitri tidak melakukan puasa Sunnah bulan Syawal. Padahal puasa bulan Syawal pahalanya sangat banyak dan bisa menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang. Melihat permasalahan sosial seperti itu akhirnya Mbah Mesir membuat gagasan baru dengan memadukan budaya dan syari’at yaitu puasa bulan Syawal selama 6 hari dan dilanjutkan dengan slametan kupat (tasyakuran ketupat) di pondok pesantrenya yang kemudian menyebar ke Masjid-masjid dan Surau-surau. Hingga tradisi tersebut menyebar ke Desa-desa sekitar Durenan. Bahkan tradisi tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan Nahdlatul Ulama’ namun juga dilakukan oleh kalangan Muhammadiyah meskipun media perayaannya berbeda. Awal pelestarian tradisi Hari Raya Kupatan sempat mengalami pro dan kontra. Ada yang beranggapan perayaan Hari Raya Kupatan itu tidak boleh. Karena urusan Agama itu tidak boleh dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat dari ulama’ yang lain mengatakan tidak apa-apa 3 untuk melakukannya. Karena di dalam tradisi Kupatan mengandung nilai- nilai kearifan dan ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa. Perayaan Hari Raya Kupatan di Durenan sangatlah ramai. Karena hampir setiap rumah warga Durenan selalu menyediakan ketupat dengan berbagai macam lauk dan sayur yang digunakan untuk menghidangkan para tamu, entah tamu dari keluarga jauh atau bahkan tamu dari orang- orang yang tidak dikenal dan mereka biasanya telah selesai berziarah dan kemudian bersilaturakhim ke rumah-rumah penduduk. Keunikan inilah yang penulis rasa sangat unik sekali. Saat ini perayaan Hari Raya Kupatan, Pada malam harinya ada tradisi ziarah kubur ke makam Mbah Mesir yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dan santri-santri yang ada di daerah Durenan. Tradisi ziarah kubur merupakan salah satu tradisi Islam Jawa. Mereka berkeyakinan dengan berziaran ke makam seseorang yang dianggab wali akan mendapatkan berkah.4 Tradisi ziarah kubur ke makam Mbah Mesir dilaksanakan di desa Semarum, yaitu bertempat di pemakaman umum dekat Masjid Joglo. Banyak sekali orang-orang yang berbondong-bondong untuk berziarah yang kemudian dilanjutkan dengan slametan kupat sebagi wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan juga sebagai puncak Hari Raya karena telah selelesai melakukan puasa Sunnah bulan Syawal. 4Mark R. Woodward, Islam Jawa (kesalehan normative versus kebatinan), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hal. 118 4 Jadi, tradisi Hari Raya Kupatan merupakan media beribadah yang sangat mudah untuk diterima oleh masyarakat Jawa, terutama masyarakat Durenan. Karena budaya ini sudah ada sejak dulu dan tinggal dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Bahkan media ketupat bisa dijadikan media solusi atas permasalahan masyarakat. Begitu juga, budaya Hari Raya Kupatan dijadikan sarana untuk bertemu atau silaturakhim antar orang-orang muslim di daerah sekitar Trenggalek Sarana silaturakhim antar orang-orang muslim di Durenan dan sekitar Trenggalek itu, salah satunya di lakukan dalam agenda ritual ziarah kubur di makam Mbah Mesir. Karena disana orang-orang yang dulunya pengikut dan santri-santrinya Mbah mesir berkumpul dan saling tanya satu dengan yang lainya, entah itu terkait pekerjaan, biografi, dll. Selain dengan ziarah kubur, media lepatan (silaturakhim) pada perayaan tradisi Hari Raya Kupatan adalah ketika seseorang yang dikenal maupun belum dikenal mampir kerumah warga Durenan kemudian makan atau sekedar mencicipi masakan yang di kombinasikan dengan ketupat. Maka disana akan terbangun nuansa ta’aruf dan saling kenal mengenal. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perayaan tradisi Hari Raya Kupatan adalah wadah atau cerminan kecil dalam persatuan bangsa ini. Bagaimana tidak, dari berbagi macam latar belakang individu berkumpul dan saling kenal mengenal (ta’aruf) hingga terjalin tali 5 silaturakhim. Jadi ibarat kebhinekaan yang teraktualisasikan dalam wadah kebudayaan yaitu Hari Raya Kupatan. Maksud kebhinekaan nya yaitu teraplikasi dalam bentuk masyarakat. Misalnya, dari kalangan ormas Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama’. Kedua ormas tersebut kompak dalam menyambut dan merayakan Hari Raya Kupatan meskipun dalam segi penerapan spiritual yang berbeda. Tetapi esensinya sama, yaitu bersilaturakhim. Maka sangat wajar jika rumah-rumah di desa Durenan dan di Desa-desa Sekitar Durenan selalu menyuguhkan ketupat dan sayur- sayuran pedas untuk di hidangkan kepada para tamu. Hal tersebut memang nampak natural saja, tetapi hal tersebut tidak mungkin terjadi jikalau tanpa ada sebab terlebih dahulu. Melihat gagasan tentang budaya Hari Raya Kupatan yang positif itu, maka sangat wajar jika masyarakat sekitar desa Durenan, bahkan daerah-daerah di sekitar kabuaten Trenggalek menirukan tradisi tersebut dan diterapkan di daerahnya masing-masing. Meskipun tidak sedikit yang menirukan tradisi Kupatan, namun untuk nilai-nilai dan esensi dari kupatan tersebut sangat sedikit yang di pelajari. Jadi hanya mengambil eksistensi kupatan sebagai sarana pesta saja dan tidak mempelajari esensi dibalik tradisi Hari Raya Kupatan. Memang sangat di sayangkan jika suatu saat nanti budaya Kupatan hanya akan di kenal oleh masyarakat sebagai tradisi rutinitas saja tanpa 6 mengenal nilai-nilai yang ada di dalam tradisi tersebut. Dan dianggap tradisi Kupatan sebagai tradisi tahunan yang harus di pertahankan secara materi. Maka tidak heran jika ada di suatu daerah yang menggunakan sarana ketupat untuk di jadikan Hari Raya Ketupat namun di padukan dengan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya. Mislanya memadukan Kupatan dengan orkes, jaranan dll. Memang hal-hal tersebut itu tidak salah, namun itu seperti kurang tepat. Jika di tinjau dalam perspektif historis, tradisi Hari Raya Kupatan sangatlah kaya dalam segi makna dan filosofisnya. Bahkan sejak zaman Hindu dan Budha, ketupat memiiki posisi khusus dalam setiap ritual ibadah. Apa lagi setelah di adopsi oleh Islam dengan memadukan tradisi dan syri’at. Sangat disayangkan jika kita melihat perayaan tradisi Hari Raya Kupatan saat ini. Terutama di daerah-daerah yang menirukan tradisi Hari Raya Kupatan di Durenan, di daerah tersebut hanya menirukan bentuk fisik Hari Raya Kupatan tanpa mendalami dan mengerti arti di balik perayaan Hari Raya Kupatan. Jadi tradisi hari Raya Kupatan di daerah tersebut seperti pesta biasa tanpa ada nilai-nilai religious. Maka sangat diharapkan dalam penulisan ini dapat membantu dan mengupas terkait hilangnya nilai-nilai dan kebiasaan spiritualitas di balik suatu tradisi agar setiap filososfi di balik tradisi Kupatan itu masih eksis dan menjadi salah satu pedoman dalam menata diri dan masyarakat. 7 Apalagi budaya Hari Raya