PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Terakreditasi Kementerian Ristekdikti No. 21E/KPT/2018 Vol. 8 (2), November 2019, pp 97 – 111 DOI: https://doi.org/10.24164/pw.v8i2.305

GUNUNG SEBAGAI LOKASI SITUS-SITUS KEAGAMAAN DAN SKRIPTORIA MASA SUNDA KUNO Mountain as Religious Site and Scriptoria during Ancient Sunda Period

Dani Sunjana Divisi Penelitian dan Kajian Gumati Foundation Jalan Raya Garut–Tasik Km 70, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya E-mail: [email protected]

Naskah diterima:13 Juni 2019 - Revisi terakhir: 31 Oktober 2019 Disetujui terbit: 28 November 2019 - Tersedia secara online: 30 November 2019

Abstract This research aimed to reconstruct the concept, value, and implication of mount as sa- cred landscape in Ancient Sunda period. The research used bibliographical method which combine the information interpretation from secondary philology and epigraph- ical sources with previously done archaeological researches. The result showed that mount and mountain in general used as a sacred and holy landscape in Ancient Sunda period. This conception then represented by the existence of religious sites and scripto- ria at the mount as a symbol to decrease the spiritual and intelectual distance with the deities and Supreme Being. Several mounts has been mentioned on written sources and need further archaeological research as a crosscheck confirmation in the future. Keywords: Ancient Sunda, mount, religious sites, scriptoria

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi kedudukan gunung dan pegunungan sebagai lanskap suci dan implikasinya pada masa Sunda Kuno. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian pustaka yang memadukan interpretasi naskah-naskah dan prasasti kuno dari sumber sekunder dengan hasil-hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa gunung telah digunakan sebagai simbol yang sakral dan suci pada masa Sunda Kuno. Pandangan ini kemudian diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan serta skriptoria sebagai upaya untuk memperdekat jarak rohani dan kesempurnaan pengetahuan dengan dewata dan kebenaran tertinggi. Gunung-gunung suci dan sakral masa Sunda Kuno beberapa di antaranya telah disebutkan dalam sumber-sumber tertulis dan perlu dikonfirmasi melalui penelitian arkeologis pada masa mendatang. Kata kunci: Sunda Kuno, gunung, bangunan suci keagamaan, skriptoria

PENDAHULUAN dalam berbagai peradaban dan religi dunia Gunung merupakan lanskap alam (Laneri, 2015). Sejumlah gunung, seperti yang telah dikenal memiliki nilai sakral Himalaya (Nepal), Sinai (Mesir), dan

97 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111

Fuji (Jepang), merupakan contoh populer hanya gunung yang dijadikan tempat suci, mengenai hal ini. Menurut Bernbaum tetapi pula bukit-bukit atau lanskap buatan (2006), kesakralan gunung dalam yang ditinggikan dan dipandang memiliki berbagai budaya dapat termanifestasi kesejajaran makna sebagai tempat yang dalam tiga cara. Pertama, puncak tinggi, tempat persemayaman arwah gunung lazim dimaknai sebagai tempat leluhur (Laksmi & Wahyudi, 2018). paling suci dan berkaitan dengan mitos, kepercayaan, dan sejarah agama tertentu Penggunaan gunung sebagai simbol sehingga kemudian dijadikan sebagai sakral pada masa prasejarah semakin lokasi ziarah (pilgrimage), meditasi, atau berkembang pada masa Hindu Buddha di ritus kurban tertentu. Kedua, gunung Indonesia. Pada masa ini, gunung sebagai sering diasosiasikan dengan tokoh suci/ lanskap suci dikaitkan dengan mitologi mistis yang termanifestasi dalam bentuk Hindu India, Mahameru. Mahameru bangunan atau objek sakral, seperti kuil merupakan gunung kosmis, pusat dari atau objek alami lain, misalnya batu dan air alam semesta, digambarkan terletak pada terjun. Ketiga, gunung dianggap sebagai pulau yang berada di tengah samudera, dan lanskap yang mampu membuka kesadaran dikelilingi enam benua konsentris. Pada dan kebijaksanaan tertinggi manusia. Oleh puncak gunung Mahameru inilah para dewa karena itulah, gunung kerap dijadikan tinggal dalam arah dan tempat tertentu tempat untuk bermeditasi dan merenung yang disebut sebagai loka. Brahma tinggal (Bernbaum, 2006). Hal tersebut berlaku di bagian yang disebut Brahmâloka, Indra universal, tidak terkecuali di Indonesia. di Indraloka (swarga), Wisnu di Vaikuntha, Siwa di Kailasa, Kuwera di Mahodaya, Gunung telah dianggap sebagai dan lain-lain (Williams, 2003). Mitologi lanskap yang sakral dan disucikan sejak mengenai Mahameru kemudian diadaptasi masa prasejarah di Indonesia. Fenomena ini ke dalam kebudayaan Jawa. Pada naskah terutama tampak pada masyarakat dengan Tantu Panggelaran (XVI M), Gunung pola budaya megalitik yang menganggap Mahameru dikisahkan dipindahkan gunung sebagai tempat tinggal arwah oleh para dewa dari tempat asalnya di leluhur (Soejono, 2008). Akibatnya, Jambudwipa (India) ke Pulau Jawa agar gunung kemudian menjadi orientasi suci Jawa tidak terombang-ambing dan tenang yang dijadikan kiblat dalam ritual-ritual dari ancaman gelombang samudera. keagamaan serta lanskap yang lazim Selama pemindahan Mahameru, terdapat digunakan untuk mendirikan bangunan- bagian-bagian yang jatuh dan menjelma bangunan suci. Beberapa kawasan gunung menjadi gunung-gunung di sepanjang di Indonesia yang dikenal sebagai gunung Pulau Jawa. Adapun puncaknya diletakkan suci pada masa prasejarah misalnya adalah di wilayah Jawa Timur dan menjadi Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang Gunung Pawitra atau Penanggungan, menjadi orientasi dari situs-situs megalitik gunung yang diidentifikasi sebagai pusat di Pasemah (Guillaud, 2006), Gunung dan orientasi religius, yaitu pada masa Sago di Sumatra Barat (Prasetyo & Mataram Kuno, Kadiri, Singasari, hingga Yuniawati, 2004), dan Gunung Slamet di (Munandar, 2016). Purwokerto, Jawa Tengah (Sulistyarto, Gunung kosmik Mahameru ini 2003). Pada perkembangannya tidak kemudian dijadikan landasan dalam

98 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana) kosmologi kerajaan-kerajaan di Jawa berada di kawasan pegunungan Merapi- selama periode Hindu-Buddha. Gunung Merbabu. Satu prasasti bercorak khusus dijadikan orientasi utama dalam dan empat ratus naskah lontar ditemukan konfigurasi situs-situs keagamaan. Gunung dari kawasan ini (Susanti, 2018). Damalung Merapi di Yogyakarta pada Mataram Kuno sebagai kompleks mandala juga disebut agaknya dianggap sebagai Mahameru dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik mengingat padatnya temuan bangunan pada waktu ia memperdalam ilmu agama suci berupa candi di kawasan kaki gunung di tanah Jawa (Noorduyn, 1982). Selain ini meskipun belum didukung dengan Perjalanan Bujangga Manik, beberapa data tertulis yang memadai (Degroot, naskah Jawa Kuno juga menyebutkan 2009). Setelah perpindahan pusat kerajaan adanya mandala yang dibangun pada Mataram Kuno ke wilayah Jawa Timur, kawasan gunung, seperti naskah Tantu yaitu Pawitra, yang diidentifikasi sebagai Panggelaran yang menyebut dua mandala Gunung Penanggungan dijadikan sebagai istimewa dari sistem chaturbhasma, yaitu pusat orientasi suci kerajaan hingga masa Mandala Sukayajna di utara/timur gunung Majapahit. Pada masa ini posisi Pawitra Kailasa dan Mandala Kukub di arah sebagai gunung kosmik dan sakral semakin selatan Mahameru (Santiko, 2005). jelas dengan keberadaan ratusan bangunan keagamaan yang didirikan sepanjang kaki, Fenomena gunung sebagai orientasi badan, hingga puncaknya (Munandar, dan pusat aktivitas religius sesungguhnya 2016). Selain Penanggungan, gunung- juga terjadi di Jawa bagian Barat yang gunung lain di Jawa Timur, seperti Semeru merupakan wilayah kerajaan Galuh dan Arjuna, juga pernah menjadi situs dan Sunda Kuno pada masa Hindu- keagamaan yang penting pada masa ini. Buddha, tetapi hal ini masih sangat sedikit diperbincangkan. Pada masa ini— Pada masa Majapahit gunung sejajar dengan kasus di Jawa Tengah juga berkembang menjadi pusat dan Timur—gunung menjadi orientasi intelektual sebagai kompleks mandala/ dan pusat keagamaan yang penting. kedewaguruan. Mandala/kedewaguruan Artikel ini membahas gunung sebagai merupakan kompleks asrama, tempat lokasi dari situs-situs keagamaan dan pendidikan agama, yang dipimpin oleh skriptoria di Jawa Barat berdasarkan seorang dewaguru dari kaum rsi (pertapa). keterangan sumber-sumber tertulis serta Bersama dewaguru, pada kompleks data arkeologis yang memiliki kesejajaran mandala tinggal pula para pendeta dengan fenomena serupa pada gunung- dan pembantu serta murid-murid yang gunung di wilayah bagian Jawa Tengah menuntut ilmu keagamaan (Santiko, 2005). dan Timur. Jenis data dalam tulisan ini Pusat-pusat intelektual dan pendidikan merupakan data sekunder sesuai dengan agama ini banyak menghasilkan berbagai jenis penelitiannya sebagai penelitian naskah-naskah sastra dan keagamaan serta kepustakaan . Data sekunder adalah jenis prasasti-prasasti dengan corak khusus data yang berasal dari hasil penelitian sehingga sering disebut sebagai situs para ahli berbagai disiplin ilmu, seperti skriptorium (jamak: skriptoria). Salah arkeologi, geografi, dan filologi yang satu skriptorium yang telah teridentifikasi diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, misalnya adalah skriptorium Damalung, ataupun laman internet (Moleong, 2007).

99 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111

Data-data yang terkumpul selanjutnya Gunung Sri Mahapawitra dianalisis dan disajikan secara deskriptif Gunung Sri Mahapawitra guna memberikan gambaran secara tanggerana Panahitan umum mengenai peranan religius gunung poros di Panahitan sebagai lokasi-lokasi situs keagamaan dan skriptoria pada masa Sunda Kuno yang perlu dibarengi dengan kajian lapangan Dalam naskah tersebut, Gunung (field research) pada masa mendatang. Raksa disebut sebagai Mahapawitra. Menarik perhatian bahwa Mahapawitra HASIL DAN PEMBAHASAN juga disebut dalam naskah-naskah Sunda Kuno lain, yaitu Sanghyang Hayu (Kropak Gunung-Gunung Suci di Jawa Barat 634 dan 637), Siksaguru, dan Sanghyang dan Banten dalam Sumber-Sumber Sasana Mahaguru (Kropak 621) pada Tertulis bagian kolofon yang menyebutkan gunung ini sebagai lokasi penyusunan karya- Sejumlah gunung di Jawa Barat karya tersebut (Gunawan, 2011). Dengan dan Banten dapat diidentifikasi sebagai demikian, Gunung Raksa adalah situs lokasi tempat suci dan skriptorium pada skriptorium di Jawa bagian Barat pada masa lalu berdasarkan data toponim masa tersebut. Fakta ini didukung pula oleh dalam sumber-sumber tertulis kuno. dua naskah Sunda kuno lain, yaitu Carita Penyebutan gunung-gunung sebagai Raden Jayakeling (Kropak 407) dan Tutur toponim tempat suci pada beberapa Bwana (Kropak 620) yang mengonfirmasi naskah ada yang dapat diidentifikasi Panaitan sebagai tempat yang disucikan. dan dikonfirmasi dengan temuan data Dalam naskah Carita Raden Jayakeling arkeologis, ada pula yang masih perlu disebutkan bahwa di Panaitan terdapat dilacak. Beberapa gunung yang dapat kabuyutan, yaitu Susuhunan Hujungkulan. diidentifikasi sebagai gunung suci di Kabuyutan sendiri merupakan bangunan Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten) suci yang lazim dikenal pada masa Sunda berdasarkan sumber-sumber tertulis Kuno (Munandar, 2017). Adapun dalam adalah Gunung Raksa, Gunung Gede, Tutur Bwana, Panaitan disebutkan sebagai Gunung Galunggung, Gunung Cikuray, salah satu dari tiga tempat penting di Tatar Kompleks Gunung Malabar, Gunung Sunda dalam kosmologi dunia selain Salak, serta Gunung Ciremai. Hujungkulan dan Gunung Langlayang (Gunawan, 2011). Hal yang patut • Gunung Raksa diperhatikan pula adalah keterangan dari Gunung Raksa merupakan gunung nakah Jawa Kuno, Tantu Panggelaran, yang terletak di Pulau Panaitan, Ujung yang menyebutkan bahwa pada mulanya Kulon, Banten. Toponim gunung ini Mahameru ditempatkan oleh para dewa di sebagai gunung suci disebut dalam naskah Jawa bagian Barat dan dinamai Gunung Perjalanan Bujangga Manik, seperti Kelasa, sebelum kemudian dipindahkan ke dikutip Aditia Gunawan (2011: 1) sebagai Jawa Timur karena rupa-rupanya kondisi berikut. tanah Jawa disebutkan menjadi berat Itu ta na Gunung Raksa sebelah. Apakah Gunung Raksa kiranya itulah Gunung Raksa dapat diidentifikasi sebagai Mahameru

100 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)

Kelasa tersebut karena pada masa lalu • Gunung Gede agaknya Gunung Raksa sejajar sebagai Gunung Gede terletak di Kabupaten pawitra, seperti Gunung Penanggungan . Berdasarkan naskah Perjalanan 1 yang merupakan mahameru Jawa Kuno . Bujangga Manik, Gunung Gede dan Pangrango ini disebut sebagai Bukit Ageung. Noorduyn mengidentifikasi Bukit Ageung sebagai Gunung Gede, barangkali karena kesejajaran kata ageung dengan gede yang berarti ‘besar’. Hal ini dapat kita simak dalam petikan berikut. Sadatang ka Bukit Ageung, Setibanya di Bukit Ageung eta hulu Cihaliwung, (yang merupakan) hulu Sungai Ciliwung

Gambar 1 Arca Ganesha di Gunung Raksa, Kabuyutan ti Pakuan, Panaitan,Gambar Banten 1 Arca (Sumber: Ganesha wikimedia.org,di Gunung Raksa, 20 18) Kabuyutan dari Pakuan Panaitan, Banten (Sumber: wikimedia.org, 2018) Sanghiang Talaga Warna. Sanghiang Talaga Warna. Eksistensi Gunung Raksa sebagai (Noorduyn, 1982: 419) tempat suci juga terkonfirmasi melalui data arkeologis yang ditemukan tepat di kawasan Informasi naskah Perjalanan gunung tersebut, yaitu berupa arca Siwa dan Bujangga Manik di atas menyebutkan Ganesha. Arca Ganesha tersebut masih in bahwa Gunung Gede merupakan gunung situ pada Situs Gunung Raksa, sedangkan sakral karena merupakan kabuyutan arca Siwa sebelumnya pernah dicuri, tetapi dari Kerajaan Pakwan Pajajaran (abad telah berhasil ditemukan kembali dan ke-15—16 M) yang berlokasi di Bogor sekarang berada di Museum Sri Baduga sekarang. Apabila identifikasi tersebut (Tim Penulis Sejarah Nasional Indonesia, benar, di Gunung Gede pada masa 2009). Keberadaan kedua arca ini menjadi Sunda Kuno pasti terdapat bangunan menarik, terutama keberadaan arca Ganesha. suci yang cukup besar karena berstatus Bhatara Gana atau Ganesha disebut sebagai sebagai kabuyutan kerajaan. Menarik istadewata pengarang teks Sanghyang untuk diperhatikan pula adalah Sasana Mahaguru. Dalam naskah tersebut, frasa Sanghiang Talaga Warna yang Ganesha disebut sebagai pelindung dan sesungguhnya dapat merujuk kepada pencipta lontar dan gebang yang dipakai bangunan suci yang terletak di Telaga oleh penulisnya (Gunawan, 2011). Warna. Seperti diketahui bahwa kata sanghyang berasal dari kata sang + hyang dan lazim digunakan sebagai kata sandang dari hal-hal yang bersifat sakral 1 Munandar (2016) mengidentifikasi Gunung atau suci. Apakah yang dimaksud Telaga Kelasa sebagai Gunung Salak, Bogor. Lihat pula penjelasan mengenai Gunung Salak dalam Warna menurut Bujangga Manik dapat tulisan ini. dihubungkan dengan Telaga Biru, telaga

101 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111 di tengah hutan yang dapat diakses lebih lanjut, mengingat naskah tersebut ketika melakukan pendakian lewat jalur ditemukan di Situs Ciburuy, Garut. Cibodas. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang. • Gunung Cikuray Gunung Cikuray terletak di Kabupaten • Gunung Galunggung Garut. Gunung ini memiliki nama Gunung Galunggung merupakan kuno Srimanganti atau Srimanganten gunung yang berlokasi di Kabupaten berdasarkan nama salah satu tempat di Tasikmalaya. Berdasarkan naskah Amanat lereng barat gunung tersebut, tetapi dalam Galunggung (Danasasmita, 1981), gunung naskah Bujangga Manik sudah disebut ini merupakan situs kabuyutan kerajaan sebagai Cikuray. Peran penting Gunung yang sangat penting dan berharga pada Cikuray sebagai tempat suci antara lain masa Sunda Kuno. Mengingat pentingnya dibuktikan dengan keberadaan Situs kabuyutan ini, pada bagian awal naskah Ciburuy yang merupakan kabuyutan disebutkan bahwa anak dan keturunan serta skriptorium pada masa lampau. Rakeyan Darmasiksa serta masyarakat Situs Ciburuy secara administratif berada umum wajib menjaga kabuyutan di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan, Galunggung agar tidak dikuasai oleh Kecamatan Bayongbong, Kabupaten musuh atau orang asing. Garut. Jika dilihat dari sisi arkeologis, pada Situs Ciburuy hingga saat ini masih tahun 1887 K.F. Holle, seorang peminat menerapkan tradisi lama, dalam kompleks kajian Sunda, menemukan prasasti situs terdapat bangunan-bangunan di Kampung Geger Hanjuang, Desa tradisional dari bahan kayu dan bambu. Linggamulya, Kecamatan Leuwisari, yang Bangunan-bangunan tersebut antara merupakan salah satu desa di lereng Gunung lain adalah patemon (balai pertemuan Galunggung. Prasasti tersebut selanjutnya dan musyawarah), leuit (lumbung padi), disebut prasasti Geger Hanjuang dan berisi saunglisung (bangunan tempat menumbuk informasi mengenai pembangunan parit padi), padaleman (bangunan beruang oleh Bhatari Hyang. Agus Aris Munandar tiga, tempat belajar dan mengajar yang (2017) berpendapat bahwa Bhatari Hyang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan), kemungkinan besar adalah seorang serta panyarangan (tempat penyimpanan mahabhiksuni/rsi perempuan yang naskah dan wadah naskah sementara). melakukan praktik pertapa (wanaprastha) Beberapa data arkeologi berupa artefak hingga meninggal. Dengan demikian, lepas disimpan di dalam bangunan patemon Bhatari Hyang merupakan seorang rsi dalam peti yang berisi beberapa lembaran (pertapa) yang tinggal dan memiliki peran naskah berbahan saeh dan beraksara pegon besar di kabuyutan Galunggung pada masa serta benda-benda pusaka berupa sebatang tersebut, selain sebagai tempat suci, gunung rotan berukuran empat puluh sentimeter ini kemungkinan besar juga merupakan yang dibungkus kain warna merah-putih, skriptorium apabila merujuk pada dua bilah golok panjang, beberapa bilah keberadaan naskah Amanat Galunggung, keris, cambuk, rantai logam keemasan, yang harusnya disusun di Galunggung. alat kecantikan, bokor tembaga, dan Akan tetapi, tentu hal ini harus diteliti gamelan. Data yang sangat penting

102 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana) berupa tiga peti kayu yang masing-masing belulang. Arca bermahkota dengan bentuk berisi kropak dan bundelan naskah yang mirip meriam dan guci juga ditemukan berbahan lontar dan nipah beserta benda di dekat mata air Citarum di Situ Cisanti. pusaka yang berupa kujang, trisula, genta, Sumber lain yang juga menyebutkan dan artefak logam lainnya yang disimpan adanya data arkeologis di Gunung Wayang dalam bangunan padaleman (Darsa, adalah catatan Marie Gray, seorang dokter 2010). Selain itu, dalam kompleks Situs asal Selandia Baru pada tahun 1960-an Ciburuy juga terdapat beberapa susunan yang dibukukan dengan judul Tāmu: batu megalit yang masih dikeramatkan. a New Zealand family in (1988). Marie Gray, pada salah satu bagian buku • Kompleks Gunung Malabar tersebut, menceritakan pengalamannya mendaki Gunung Wayang dan menemukan Gunung Malabar merupakan gunung enam arca tipe Polinesia. Pada pendakian api purba yang terletak di Pangalengan, tersebut, Gray ditemani juru kunci yang Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gunung memberitahukannya nama arca-arca ini memiliki empat puncak tertinggi, yaitu tersebut sehingga ia dapat menggambar Gunung Wayang, Gunung Haruman, sketsa situs lengkap bersama nama-nama Gunung Batu, serta Gunung Puntang. arcanya (Widjajadi, 2018). Gunung Malabar, Gunung Wayang, dan Gunung Puntang disebutkan dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik. Menarik untuk diperhatikan bahwa setelah melakukan pendakian Gunung Wayang, Bujangga Manik tiba di mandala yang disebut sebagai Mandala Beutung. Begitu pula setelah ia mendaki Gunung Patuha, ia tiba di Mandala Ranca Gonda dan tinggal sebagai pertapa selama satu tahun, sebelum kemudian ia pergi ke Gunung Ratu, di kaki Gunung Patuha, dan mendirikan bangunan suci dan tempat tinggal (Setiawan, 2019). Keterangan dari naskah ini memberikan informasi bahwa pada masa lalu, kompleks Gunung Malabar adalah gunung yang keramat dan disucikan. Indikasi adanya bangunan suci di Gunung Wayang terdapat dalam laporan Gambar 2 Rekonstruksi Arca-Arca Tipe Polinesia di Gunung Wayang dalam Buku Tāmu: a New kepurbakalaan N.J. Krom, Rapporten Zealand Family in Java (1988) oleh Marie Gray Oudeheidkundige Dienst, pada tahun 1914. (Sumber: Widjajadi, 2018) Dalam laporannya, N.J. Krom menjelaskan bahwa di puncak Gunung Wayang Adapun Mandala Ranca Gonda di ditemukan empat puluh arca dan kuburan Patuha barangkali dapat dilacak di sekitar kuno yang di dalamnya ditemukan pula Patenggang atau kawah-kawah mati yang pecahan tembikar, kapak batu, dan tulang- membentuk ranca di sekitar Kawah Putih.

103 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111

Sanghyang Carengcang, yang merupakan banyak tersebar di kaki gunung ini, pertapaan yang dibangun, diperindah, dan seperti Situs Cimara, Cibunar, Sigenteng, digunakan oleh Bujangga Manik selama Sangkanerang, Timbang, Linggabuana, sepuluh tahun juga dikatakan berada di kaki Buyut Sukadana, Balongkagungan, Nusa, (landeuh) Gunung Patuha, di hulu sungai Cangkuang, Winduherang, Bagawat, Cisokan. Informasi-informasi tersebut Darmaloka, Hululinga, Panyusupan, dan memerlukan penelusuran arkeologi lebih Saliya (Yondri, 2018). lanjut di masa yang akan datang. Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs • Gunung Salak Bangunan Suci dan Skriptoria di Tatar Sunda pada Masa Sunda Kuno Gunung Salak berada di Kabupaten Bogor. Gunung ini tidak disebutkan secara Keterangan yang diberikan dalam jelas pada naskah-naskah Sunda Kuno, sumber-sumber tertulis mengenai gunung tetapi dalam kisah-kisah pantun Bogor dan situs-situs keagamaan di Tatar Sunda dinamakan Giri Dwi Munda Mandala sangatlah terbatas dan fragmentaris. ‘gunung dengan dua puncak’ (Munandar, Naskah Bujangga Manik dan Sanghyang 2016). Pendapat ini menarik jika Sasana Maha Guru, misalnya, hanya dibandingkan dengan keterangan Bujangga menyebut beberapa nama gunung di Tatar Manik yang menyebutnya dengan Bukit Sunda sebagai lokasi bangunan suci secara Ageung, Gunung Gede menurut tafsir sepintas-sepintas. Pada kenyataannya, Noorduyn, sebagai kabuyutan Pakwan. situs-situs bangunan suci sangat banyak tersebar pada gunung-gunung lain yang Kedua pendapat ini menarik dan bahkan tidak pernah disebut dalam membutuhkan diskusi yang lebih panjang prasasti ataupun naskah-naskah kuno lain. karena akan berimplikasi pada adanya dua Beberapa di antaranya masih dikeramatkan Mahameru di Pakwan Pajajaran. Terlepas dan dijadikan tempat pemujaan. Situs- dari hal tersebut, Gunung Salak sudah situs baru juga kemungkinan akan terus lama dikenal dengan kekayaan tinggalan ditemukan pada masa yang akan datang. arkeologi berupa situs-situs megalit. Di kaki Gunung Salak terdapat sejumlah situs, Adanya bangunan-bangunan suci seperti kompleks situs megalitik Cibalay yang didirikan pada kawasan gunung/ (Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor) pegunungan menunjukkan pentingnya dan Calobak (Kecamatan Tamansari, lanskap ini dalam ideologi religius Kabupaten Bogor). masyarakat Sunda pada masa silam. Dalam tradisi prasejarah, gunung dianggap • Gunung Ciremai sesuatu yang suci dan keramat serta Ciremai merupakan gunung tertinggi diyakini sebagai tempat bersemayamnya di Jawa Barat yang berlokasi di Kabupaten roh-roh nenek moyang (Soejono, 2008). Kuningan. Kata Ceremay disebutkan dalam Adapun dalam kosmologi Hindu dikenal naskah Bujangga Manik ketika ia pergi ke adanya pelapisan jagat menjadi tiga Conam dan Darma Kuningan. Bujangga bagian (triloka) dan disimbolkan sebagai Manik tidak menyebutkan adanya bangunan Gunung Mahameru beserta penghuninya. suci di Ciremai, tetapi situs-situs megalit Bagian paling bawah disebut bhurloka, yang sangat mungkin merupakan kabuyutan disimbolkan sebagai kaki Gunung

104 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)

Mahameru. Pada bagian ini hidup manusia alam nyata di dunia tempat kehidupan pada umumnya serta berbagai jenis makhluk yang memiliki jasmani (raga) hewan. Dengan demikian, pada bagian dan rohani (jiwa). Makhluk demikian ini mahluk yang hidup masih terikat oleh adalah yang disebut manusia, hewan, hasrat dan kebutuhan duniawi. Bagian tumbuhan, dan benda lain yang dapat selanjutnya disebut sebagai bhuwarloka, dilihat, baik yang bergerak maupun yang disimbolkan sebagai bagian lereng tengah tidak bergerak. Buana niskala adalah alam gunung dan merupakan tempat hidup gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib kaum pertapa, para rsi, dan orang-orang yang wujudnya hanya tergambar dalam suci yang telah menindas hasrat duniawi. imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, Bagian paling atas disebut swarloka dan bidadara-bidadari, dan apsara-apsari. disimbolkan sebagai puncak gunung Jumlah dan ragam makhluk tersebut yang merupakan tempat persemayaman banyak dan dapat bergabung satu dengan para dewa (Munandar, 2017). Agama lainnya serta berkedudukan lebih tinggi Buddha memiliki konsep kosmologi daripada manusia. Buana niskala yang yang membagi dunia dalam tiga bagian disebut juga kahyangan terdiri atas surga juga, yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan neraka. Naskah Jatiraga (Kropak 422) dan arupadhatu. Ketiga dhatu ini juga menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah disimbolkan sebagai Mahameru, tetapi Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan agak berbeda dengan konsep triloka Hindu. Dayang Trusnawati sebagai penghuni Kamadhatu merupakan dunia tempat buana niskala. Di samping itu, penghuni hidup bermacam hewan dan manusia buana niskala lainnya di antaranya adalah yang masih dipenuhi oleh segala hasrat sembilan dewi, seperti Dewi Tunyjung dan hawa nafsu dan disimbolkan sebagai Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, bagian kaki Mahameru. Rupadhatu Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang yang disimbolkan sebagai bagian tengah disebutkan namanya, antara lain Bidadari lereng Mahameru merupakan tempat Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, tinggal mahluk suci yang telah berhasil Bidadari Endah Patala, dan Bidadari melepaskan hasrat dan nafsu, tetapi Sedajati. Buana jatiniskala adalah alam masih terperangkap dalam rupa (hidup). kemahagaiban sejati sebagai tempat Arupadhatu adalah bagian paling atas dan tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah disimbolkan dengan puncak Mahameru zat Maha Tunggal yang disebut Sang dan merupakan nirwana yang kosong Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang (sunyata), terbebas dari wujud ataupun disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah rasa. Pada tataran arupadhatu, seorang yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya mahluk sudah bebas dari reinkarnasi dan paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi bersatu dengan kesunyataan (Munandar, tak terkena batas. Dengan demikian, 2016). tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, Masyarakat Sunda Kuno pada masa dan tugas/kewenangannya berbeda lalu juga mengenal pembagian dunia (Ekadjati, 2005). dalam tiga tingkatan alam yang disebut sebagai bumi sakala, buana niskala, dan Kosmologi Sunda ini sesungguhnya buana jatiniskala. Bumi sakala adalah dapat disejajarkan dengan konsep

105 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111 kosmologi Hindu dan Buddha dengan permata yang berkilauan. Keterangan menjadikan gunung sebagai analogi setiap ini mengingatkan kita dengan bangunan tingkat dunia. Naskah Kosmologi Sunda punden berundak yang banyak ditemukan (Kropak 420) menyebut bahwa Pwah di Tatar Sunda. Lebih lanjut, menurut Wiru Mananggay didampingi Danghyang Munandar (2017: 156), kabuyutan ini Trusnawati tinggal di gunung bernama biasa dihuni oleh rama dan rsi, serta Gunung Jati untuk menjaga bangunan suci merupakan kompleks permukiman kecil Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra yang besarnya berada di bawah mandala si Jatri Palasari. Dewi-dewi tersebut, jika dan setingkat dengan kewikuan. Di merujuk pada konsep tribuana, berada pada dalam kompleks kabuyutan juga terdapat posisi tengah/lereng gunung, sedangkan bangunan pemujaan dewa yang disebut manusia biasa dan mahluk-mahluk lain dewasasana. Mengenai dewasasana, patut berada di bawahnya. Sang Hyang Manon dicermati keterangan Prasasti Kebantenan berada pada tingkatan tertinggi di puncak II dan III (Prasasti Sunda Sembawa) gunung karena dari posisi inilah secara dan IV (Prasasti Gunung Samaya) yang analogis, pandangan dapat ditujukan ke dikeluarkan oleh Sri Baduga Sang Ratu segala arah (Sang Hyang Manon: Wujud Dewata (1482–1521 M) (Septiani, 2010). Yang Maha Melihat). Dengan demikian, Dalam prasasti Kebantenan II dan III, gunung sesungguhnya merupakan simbol Sri Baduga menetapkan wilayah Sunda perjalanan spiritual menuju Kebenaran Sembawa sebagai daerah perdikan yang Tertinggi dari masyarakat Sunda Kuno. harus dilindungi dan dipelihara bersama Pembangunan situs-situs keagamaan di karena di sana terletak kabuyutan yang wilayah pegunungan dengan demikian dihuni oleh para wiku serta terdapat bertujuan untuk memperdekat jarak dewasasana yang merupakan sanggar secara simbolis kepada wujud-wujud gaib, pemujaan raja (dewasasana sanggar kami seperti pwah dan hyang yang merupakan ratu). Dalam Prasasti Kebantenan IV, dewa dan dewi yang menjaga unsur-unsur raja juga dikatakan mengukuhkan tanah alam, bhatara-bhatari yang merupakan dewasasana di Gunung Samaya yang arwah leluhur yang telah mangkat dan tidak boleh diganggu secara fisik atau diperdewa, serta Si Ijunajati Nistemen dikenakan pajak (Septiani, 2010). Bentuk sebagai wujud Kebenaran Tertinggi. dewasasana belum diketahui secara pasti, tetapi dapat diperkirakan berupa fitur atau Mengenai bentuk suatu kabuyutan, artefak megalit yang dilengkapi batu tegak naskah Bujangga Manik memberikan berupa menhir atau arca-arca sederhana keterangan yang sangat berharga, tipe Pajajaran yang merupakan simbol dari terutama pada baris 1411–1417. Dalam dewa-dewa tertentu secara khusus. petikan naskah tersebut dikatakan bahwa kabuyutan didirikan sebagai bangunan Sangat menarik bahwa pada masa yang berundak-undak dengan cara yang sama di Majapahit juga berkembang menyusun batu-batu di sekelilingnya. Pada institusi pendidikan agama yang disebut bagian bawah bangunan disusun batu-batu mandala/kedewaguruan. Menurut Hari­ datar, sedangkan pada bagian atas terdapat ani Santiko (2005: 116), mandala/ batu tegak yang dilengkapi dengan kedewaguruan adalah wanasrama yang batu putih dan taburan manik-manik berbentuk kompleks perumahan pertapa

106 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana) yang disusun sedemikian rupa sehingga tapowana atau pajaran (tempat tinggal dewaguru, pemimpin mandala) berada di tengah-tengah. Karena tempat tinggal pemimpin mandala berada di tengah dan para pertapa dengan strata sosial/ pengetahuan religius yang lebih rendah membentuk lapisan-lapisan di luarnya, permukiman pertapa tersebut membentuk lingkaran yang konsentris (mandala). Mandala/kedewaguruan ini lazim diba­ a a ngun di tempat-tempat yang sepi dan jauh dari keramaian, seperti di gunung dan tengah hutan, tempat kaum rsi dan pertapa dapat bermeditasi dan melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan secara tenang dan damai.

Pada mandala/kedewaguruan inilah ajaran-ajaran serta pemikiran keagamaan diproduksi dan ditulis oleh para kaum agamawan pujangga/kawi dalam naskah-naskah lontar, seperti tutur. Karena ketinggian ilmu keagamaan b di kalangan pemuka-pemuka mandala, tidak jarang raja beserta keluarga serta Gambar 3 (a) Foto situs bangunan keagamaan orang-orang yang ingin memperdalam sunda kuno yang berupa punden berundak dengan ilmu agama datang ke tempat tersebut menhir dan arca yang dipotret akhir 1863/1864 oleh Isidore van Kinsbergen di Megamendung, atau bahkan para raja dan tokoh penting Bogor, (b) Situs Jamipacing, Cibalay, Kabupaten pun lazim melakukan pengunduran diri Bogor; berdasarkan keterangan naskah-naskah dan menetap pada kompleks tersebut kuno, seperti Perjalanan Bujangga Manik, (Santiko, 2005). Naskah Sumanasantaka, bangunan-bangunan keagamaan seperti inilah yang sebagai contoh, menyebutkan kisah dipergunakan pada masa Sunda Kuno (Sumber: geheugenvannederland.nl dan Dachlan [2018], Pangeran Aja yang singgah pada suatu dimodifikasi oleh Dani Sunjana) pertapaan—yang sangat mungkin sekelas mandala—kemudian bertemu dengan Kepandaian dan ketinggian ilmu dari kepala pertapaan yang merupakan para pemuka suatu mandala atau pertapaan mantan wiku haji di keraton serta sangat sebagai bhujangga pada masa Jawa Kuno pandai dalam menggubah kakawin. Raja terwujud dalam naskah-naskah keagamaan, Raghu, ayah Pangeran Aja pun, dikatakan seperti teks tutur dan mantra (Setyawati, mengundurkan diri ke hutan untuk 2006). Tidak menutup kemungkinan, pada memperdalam dan melakukan praktik- situs-situs mandala/pertapaan diproduksi praktik keagamaan dalam suatu kompleks pula teks-teks sastra, seperti kakawin pertapaan (Zoetmulder, 1983). dan kidung, misalnya yang dituturkan

107 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111 dalam petikan Sumanasantaka di atas jelas-jelas mengatakan dirinya sebagai atau misalnya yang dikemukakan pada seorang pertapa, rsi, atau mahapandita. bagian pengantar kakawin Hariwangsa. Gejala-gejala adanya situs pertapaan atau Dalam bagian pengantar dikatakan bahwa mandala sebagai skriptoria ini dikuatkan sang pengarang melakukan ritual di dengan masih adanya bekas-bekas situs puncak gunung untuk memuja Wisnu agar kabuyutan sekaligus skriptorium, seperti menjadikannya seorang kawi (sastrawan) kabuyutan Ciburuy di Kabupaten Garut. yang andal dengan menyusun kakawin Hariwangsa (Zoetmulder, 1983). Teks- Selain kabuyutan dan mandala, teks lain yang disusun dalam mandala juga jenis bangunan suci selanjutnya meliputi parwa, obat-obatan (Bali: usada), adalah kawikuan, pertapaan, dan serta primbon seperti pada kasus naskah- sakakala. Kawikuan sesungguhnya naskah Merapi-Merbabu (Setyawati, adalah kompleks bangunan suci 2006). Mandala/kedewaguruan dalam yang sama dengan kabuyutan, tetapi beberapa kasus juga memproduksi penghuninya disebut wiku. Munandar prasasti-prasasti dalam corak khusus berpendapat bahwa kata wiku sangat (Susanti, 2018). Dengan sifatnya yang mungkin berasal dari kata bhiksu dalam demikianlah, mandala/kedewaguruan Buddhisme sehingga kawikuan mungkin atau bahkan pertapaan dikatakan sebagai memiliki nafas Buddha (Munandar, skriptoria. 2017). Pendapat ini agaknya harus dipertimbangkan kembali apabila Gejala mengenai situs-situs pertapaan merujuk pada keterangan dari Prasasti atau mandala sebagai skriptoria dari Kebantenan II dan III yang mengatakan naskah-naskah keagamaan ini rupa- bahwa wiku ini tinggal dalam kompleks rupanya juga terjadi pada masa Sunda kabuyutan sehingga wiku sesunggunya Kuno. Pada naskah Sanghyang Hayu setara dengan rama, rsi. Lebih lanjut, (Kropak 634 dan 637), Siksaguru, Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna- dan Sanghyang Sasana Mahaguru Indonesia memberikan pengertian (Kropak 621) disebutkan bahwa naskah wiku secara umum sebagai orang yang tersebut ditulis di Mahapawitra yang memiliki status religius, orang yang dapat dipastikan merupakan kabuyutan mengabdikan diri pada kehidupan di sekitar Gunung Raksa, Panaitan keagamaan, orang suci, dan pertapa atau (Gunawan, 2011). Naskah lain, seperti biarawan (Zoetmulder & Robson, 2006). Sewakadarma, juga disusun oleh seorang pertapa perempuan yang bernama Pertapaan adalah bangunan Buyut Ni Dawit di pertapaan Ni Teja suci yang digunakan untuk bertapa. Puru Bancana Gunung Kumbang. Mengenai bentuknya tidak terdapat Naskah Amanat Galunggung, meskipun keterangan yang jelas dalam sumber- ditemukan dalam koleksi naskah-naskah sumber tertulis Sunda Kuno. Di Jawa Ciburuy, harusnya juga berasal dari dan Bali, bentuk pertapaan ini ada kabuyutan Galunggung, di Tasikmalaya. yang memanfaatkan gua alami, ada Naskah Bujangga Manik pun harusnya pula yang memanfaatkan tebing dan ditulis di pertapaan karena sang pengarang dibuat ceruk-ceruk buatan pada tempat-

108 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana) tempat yang sepi, seperti gunung, perkembangannya, tidak semua bangun­ hutan, dan tepi sungai. Pertapaan sangat an suci keagamaan atau skriptoria Sunda mungkin digunakan dalam jangka waktu Kuno selalu berada di gunung karena ada sementara (seasonal), berbeda dengan yang berada di wilayah daratan rendah. kabuyutan dan mandala yang memang Bangunan-bangunan suci tersebut tetap dilengkapi hunian untuk para rama, didirikan dengan cara meninggikan tanah rsi, atau wiku. Bangunan suci terakhir atau menggunakan suatu bukit yang adalah sakakala. Sakakala merupakan diorientasikan pada gunung/tempat tinggi suatu tanda atau tempat peringatan sebagai simbol yang sakral. untuk mengenang seseorang atau tanda yang dikeramatkan sebagai simbol SIMPULAN konsepsi yang sangat penting dalam bidang keagamaan (Munandar, 2017). Gunung telah digunakan sebagai Naskah Perjalanan Bujangga Manik simbol yang sakral tempat pwah, menyebutkan dua buah sakakala di Tatar hyang, bhatara, dan bhatari dianggap Sunda, yaitu Sakakala Tuhan Cupak di bersemayam pada bagian lereng dan tubuh Bukit (Gunung) Caru dan Sakakala Silih serta Sang Hyang Manon sebagai wujud Wangi di Jalatunda. Dalam naskah yang jatiniskala berada pada bagian puncaknya. sama istilah sakakala juga disebutkan Simbol ini kemudian diwujudkan dengan berada di Tanah Jawa, yaitu sasakala cara membangun situs-situs keagamaan, untuk mengenang arwah leluhur (bhatara berupa kabuyutan, mandala, kawikuan, dan bhatari) di Gunung Karungrungan dewasasana, serta sakakala sebagai serta Gunung Merapi yang dikatakan upaya untuk mendekatkan diri kepada Sakakala Darmadewa. Mengenai bentuk dewata dan wujud adikodrati sebagai sakakala, penjelasan Bujangga Manik kebenaran tertinggi. pada baris 1285–1290 dapat dijadikan Begitu pula pengetahuan- rujukan. Pada bagian tersebut Bujangga pengetahuan agama, hal tersebut banyak Manik menginformasikan bahwa diproduksi dari skriptoria di gunung. sesampainya di Gunung Sembung dan Gunung-gunung suci dan sakral ini bertapa, ia melakukan ritual puja nyapu, beberapa di antaranya telah disebutkan kemudian mendirikan lingga dan arca dalam sumber-sumber tertulis, ada sebagai sakakala agar dapat disaksikan pula yang tidak disebutkan, tetapi oleh generasi-generasi selanjutnya. kesakralannya dapat dikonfirmasi melalui Dengan demikian, sakakala adalah data arkeologis. Penelitian di masa yang semacam bangunan peringatan yang akan, untuk mengonfirmasi keterangan- ditandai dengan adanya lingga atau arca. keterangan sumber tertulis mengenai Demikianlah, berdasarkan penelu- bangunan suci di Tatar Sunda, akan suran dari sumber-sumber tertulis dan sangat berguna untuk merekonstruksi arkeologis tampak bahwa gunung memang serta memperdalam pengetahuan kita telah dijadikan lanskap yang suci untuk mengenai kebudayaan masyarakat Sunda membangun situs-situs keagamaan serta Kuno pada masa silam, Pun, Leuwih skriptoria pada masa Sunda Kuno. Pada luangan, dan kurang wuwuhan.

109 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111

DAFTAR PUSTAKA

Bernbaum, E. (2006). Sacred Mountains: Themes and Teachings. Mountain Research and Development, 26(4), 304–309. Danasasmita, A.S. (1981). Sanghyang Siksa Kandang Karesian; Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. Darsa, U. (2010, February 9). Sakola Sunda Kuno. Pikiran Rakyat, p. 14. Degroot, V. (2009). Candi Space and Landscape: A Study on the Distribution, Orientation and Spatial Organization of Central Javanese Temple Remains. Leiden University. Ekadjati, E. (2005, June 2). Menguak Konsep Kosmologi Sunda Kuna. Pikiran Rakyat. Guillaud, D. (2006). Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatra Selatan. : Puslitbang Arkenas, IRD, dan EFEO. Gunawan, A. (2011). Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru. Retrieved from www.academia.edu/aditiagunawan Laneri, N. (2015). Defining The Sacred. London: Oxbow Press. Moleong, L. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munandar, A. A. (2016). Arkeologi Pawitra (1st ed.). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Munandar, A.A. (2017). Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna (1st ed.). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, & Wahyudi, W. R. (2018). Tracing religious life in the ancient Bali period: An Epigraphical Study. In M. Budianta, M. Budiman, A. Kusno, & M. Moriyama (Eds.), Cultural Dynamics In a Globalized World (I, pp. 553–558). Retrieved from https://scholar.google.co.id/ citations?user=GEnSivwAAAAJ&hl=en#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_ op%3Dview_citation%26hl%3Den%26user%3DGEnSivwAAAAJ%26citation_for_ view%3DGEnSivwAAAAJ%3AzYLM7Y9cAGgC%26tzom%3D420 Noorduyn, J. (1982). Bujangga Manik ’ S Journeys Through Java : Topographical Data. 138(1982), 413–442. Prasetyo, B., & Yuniawati, D. Y. (2004). Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia (1st ed.). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Santiko, H. (2005). Hari-Hara: Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia abad IV–XVI M (1st ed.). Depok: Universitas Indonesia. Saringedyanti, E. (1996). Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Universitas Indonesia. Septiani, S. (2010). Aktivitas Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda Abad ke-14 hingga Awal Abad ke-16 Masehi berdasarkan Data Tertulis dan Tinggalan Arkeologis: Suatu Penelitian Awal. Universitas Indonesia. Setiawan, H. (2019). Bujangga Manik dan Studi Sunda. Tidak diterbitkan. Setyawati, K. (2006). Mantra pada Koleksi Naskah Merapi-Merbabu. Humaniora, 18(1), 63– 71.

110 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana)

Soejono, R. (2008). Sistem-Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Sulistyarto, P. H. (2003). Pola Sebaran Situs Megalitik di Gunung Slamet. Yogyakarta. Susanti, N. (2018). ’Variety of Distinct Style Scripts in Inscriptions Found in Mandalas of the Late Majapahit Era: An Overview of the Paleography to Mark Religious Dynamics. In M. Budianta, M. Budiman, A. Kusno, & M. Moriyama (Eds.), Cultural Dynamics in a Globalized World (1st ed., pp. 585–592). Retrieved from https://scholar.google.co.id/ citations?user=GEnSivwAAAAJ&hl=en#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_ op%3Dview_citation%26hl%3Den%26user%3DGEnSivwAAAAJ%26citation_for_ view%3DGEnSivwAAAAJ%3AzYLM7Y9cAGgC%26tzom%3D420 Tim Penulis Sejarah Nasional Indonesia. (2009). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (6th ed.; M. D. Poesponegoro & N. Notosusanto, Eds.). Jakarta: Balai Pustaka. Widjajadi, A. W. (2018). Arca-arca yang Hilang di Gunung Wayang. Retrieved March 21, 2019, from Komunitas Aleut website: https://komunitasaleut.com/2018/02/13/arca-arca-yang- hilang-di-gunung-wayang/ Williams, G. M. (2003). Handbook of Hindu Mythology (1st ed.). California: ABC-CLIO. Yondri, L. (2018). Jejak Aktivitas Penguburan Masyarakat Megalitik di Kaki Gunung Ciremai, Jawa Barat. Retrieved from www.academia.edu/lutfiyondri Zoetmulder, P. J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (2nd ed.). Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P. J., & Robson, S. (2006). Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

111 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019

112