GUNUNG SEBAGAI LOKASI SITUS-SITUS KEAGAMAAN DAN SKRIPTORIA MASA SUNDA KUNO Mountain As Religious Site and Scriptoria During Ancient Sunda Period

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

GUNUNG SEBAGAI LOKASI SITUS-SITUS KEAGAMAAN DAN SKRIPTORIA MASA SUNDA KUNO Mountain As Religious Site and Scriptoria During Ancient Sunda Period PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Terakreditasi Kementerian Ristekdikti No. 21E/KPT/2018 Vol. 8 (2), November 2019, pp 97 – 111 DOI: https://doi.org/10.24164/pw.v8i2.305 GUNUNG SEBAGAI LOKASI SITUS-SITUS KEAGAMAAN DAN SKRIPTORIA MASA SUNDA KUNO Mountain as Religious Site and Scriptoria during Ancient Sunda Period Dani Sunjana Divisi Penelitian dan Kajian Gumati Foundation Jalan Raya Garut–Tasik Km 70, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya E-mail: [email protected] Naskah diterima:13 Juni 2019 - Revisi terakhir: 31 Oktober 2019 Disetujui terbit: 28 November 2019 - Tersedia secara online: 30 November 2019 Abstract This research aimed to reconstruct the concept, value, and implication of mount as sa- cred landscape in Ancient Sunda period. The research used bibliographical method which combine the information interpretation from secondary philology and epigraph- ical sources with previously done archaeological researches. The result showed that mount and mountain in general used as a sacred and holy landscape in Ancient Sunda period. This conception then represented by the existence of religious sites and scripto- ria at the mount as a symbol to decrease the spiritual and intelectual distance with the deities and Supreme Being. Several mounts has been mentioned on written sources and need further archaeological research as a crosscheck confirmation in the future. Keywords: Ancient Sunda, mount, religious sites, scriptoria Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi kedudukan gunung dan pegunungan sebagai lanskap suci dan implikasinya pada masa Sunda Kuno. Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian pustaka yang memadukan interpretasi naskah-naskah dan prasasti kuno dari sumber sekunder dengan hasil-hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa gunung telah digunakan sebagai simbol yang sakral dan suci pada masa Sunda Kuno. Pandangan ini kemudian diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan serta skriptoria sebagai upaya untuk memperdekat jarak rohani dan kesempurnaan pengetahuan dengan dewata dan kebenaran tertinggi. Gunung-gunung suci dan sakral masa Sunda Kuno beberapa di antaranya telah disebutkan dalam sumber-sumber tertulis dan perlu dikonfirmasi melalui penelitian arkeologis pada masa mendatang. Kata kunci: Sunda Kuno, gunung, bangunan suci keagamaan, skriptoria PENDAHULUAN dalam berbagai peradaban dan religi dunia Gunung merupakan lanskap alam (Laneri, 2015). Sejumlah gunung, seperti yang telah dikenal memiliki nilai sakral Himalaya (Nepal), Sinai (Mesir), dan 97 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111 Fuji (Jepang), merupakan contoh populer hanya gunung yang dijadikan tempat suci, mengenai hal ini. Menurut Bernbaum tetapi pula bukit-bukit atau lanskap buatan (2006), kesakralan gunung dalam yang ditinggikan dan dipandang memiliki berbagai budaya dapat termanifestasi kesejajaran makna sebagai tempat yang dalam tiga cara. Pertama, puncak tinggi, tempat persemayaman arwah gunung lazim dimaknai sebagai tempat leluhur (Laksmi & Wahyudi, 2018). paling suci dan berkaitan dengan mitos, kepercayaan, dan sejarah agama tertentu Penggunaan gunung sebagai simbol sehingga kemudian dijadikan sebagai sakral pada masa prasejarah semakin lokasi ziarah (pilgrimage), meditasi, atau berkembang pada masa Hindu Buddha di ritus kurban tertentu. Kedua, gunung Indonesia. Pada masa ini, gunung sebagai sering diasosiasikan dengan tokoh suci/ lanskap suci dikaitkan dengan mitologi mistis yang termanifestasi dalam bentuk Hindu India, Mahameru. Mahameru bangunan atau objek sakral, seperti kuil merupakan gunung kosmis, pusat dari atau objek alami lain, misalnya batu dan air alam semesta, digambarkan terletak pada terjun. Ketiga, gunung dianggap sebagai pulau yang berada di tengah samudera, dan lanskap yang mampu membuka kesadaran dikelilingi enam benua konsentris. Pada dan kebijaksanaan tertinggi manusia. Oleh puncak gunung Mahameru inilah para dewa karena itulah, gunung kerap dijadikan tinggal dalam arah dan tempat tertentu tempat untuk bermeditasi dan merenung yang disebut sebagai loka. Brahma tinggal (Bernbaum, 2006). Hal tersebut berlaku di bagian yang disebut Brahmâloka, Indra universal, tidak terkecuali di Indonesia. di Indraloka (swarga), Wisnu di Vaikuntha, Siwa di Kailasa, Kuwera di Mahodaya, Gunung telah dianggap sebagai dan lain-lain (Williams, 2003). Mitologi lanskap yang sakral dan disucikan sejak mengenai Mahameru kemudian diadaptasi masa prasejarah di Indonesia. Fenomena ini ke dalam kebudayaan Jawa. Pada naskah terutama tampak pada masyarakat dengan Tantu Panggelaran (XVI M), Gunung pola budaya megalitik yang menganggap Mahameru dikisahkan dipindahkan gunung sebagai tempat tinggal arwah oleh para dewa dari tempat asalnya di leluhur (Soejono, 2008). Akibatnya, Jambudwipa (India) ke Pulau Jawa agar gunung kemudian menjadi orientasi suci Jawa tidak terombang-ambing dan tenang yang dijadikan kiblat dalam ritual-ritual dari ancaman gelombang samudera. keagamaan serta lanskap yang lazim Selama pemindahan Mahameru, terdapat digunakan untuk mendirikan bangunan- bagian-bagian yang jatuh dan menjelma bangunan suci. Beberapa kawasan gunung menjadi gunung-gunung di sepanjang di Indonesia yang dikenal sebagai gunung Pulau Jawa. Adapun puncaknya diletakkan suci pada masa prasejarah misalnya adalah di wilayah Jawa Timur dan menjadi Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang Gunung Pawitra atau Penanggungan, menjadi orientasi dari situs-situs megalitik gunung yang diidentifikasi sebagai pusat di Pasemah (Guillaud, 2006), Gunung dan orientasi religius, yaitu pada masa Sago di Sumatra Barat (Prasetyo & Mataram Kuno, Kadiri, Singasari, hingga Yuniawati, 2004), dan Gunung Slamet di Majapahit (Munandar, 2016). Purwokerto, Jawa Tengah (Sulistyarto, Gunung kosmik Mahameru ini 2003). Pada perkembangannya tidak kemudian dijadikan landasan dalam 98 Gunung sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan .... (Dani Sunjana) kosmologi kerajaan-kerajaan di Jawa berada di kawasan pegunungan Merapi- selama periode Hindu-Buddha. Gunung Merbabu. Satu prasasti bercorak khusus dijadikan orientasi utama dalam dan empat ratus naskah lontar ditemukan konfigurasi situs-situs keagamaan. Gunung dari kawasan ini (Susanti, 2018). Damalung Merapi di Yogyakarta pada Mataram Kuno sebagai kompleks mandala juga disebut agaknya dianggap sebagai Mahameru dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik mengingat padatnya temuan bangunan pada waktu ia memperdalam ilmu agama suci berupa candi di kawasan kaki gunung di tanah Jawa (Noorduyn, 1982). Selain ini meskipun belum didukung dengan Perjalanan Bujangga Manik, beberapa data tertulis yang memadai (Degroot, naskah Jawa Kuno juga menyebutkan 2009). Setelah perpindahan pusat kerajaan adanya mandala yang dibangun pada Mataram Kuno ke wilayah Jawa Timur, kawasan gunung, seperti naskah Tantu yaitu Pawitra, yang diidentifikasi sebagai Panggelaran yang menyebut dua mandala Gunung Penanggungan dijadikan sebagai istimewa dari sistem chaturbhasma, yaitu pusat orientasi suci kerajaan hingga masa Mandala Sukayajna di utara/timur gunung Majapahit. Pada masa ini posisi Pawitra Kailasa dan Mandala Kukub di arah sebagai gunung kosmik dan sakral semakin selatan Mahameru (Santiko, 2005). jelas dengan keberadaan ratusan bangunan keagamaan yang didirikan sepanjang kaki, Fenomena gunung sebagai orientasi badan, hingga puncaknya (Munandar, dan pusat aktivitas religius sesungguhnya 2016). Selain Penanggungan, gunung- juga terjadi di Jawa bagian Barat yang gunung lain di Jawa Timur, seperti Semeru merupakan wilayah kerajaan Galuh dan Arjuna, juga pernah menjadi situs dan Sunda Kuno pada masa Hindu- keagamaan yang penting pada masa ini. Buddha, tetapi hal ini masih sangat sedikit diperbincangkan. Pada masa ini— Pada masa Majapahit gunung sejajar dengan kasus di Jawa Tengah juga berkembang menjadi pusat dan Timur—gunung menjadi orientasi intelektual sebagai kompleks mandala/ dan pusat keagamaan yang penting. kedewaguruan. Mandala/kedewaguruan Artikel ini membahas gunung sebagai merupakan kompleks asrama, tempat lokasi dari situs-situs keagamaan dan pendidikan agama, yang dipimpin oleh skriptoria di Jawa Barat berdasarkan seorang dewaguru dari kaum rsi (pertapa). keterangan sumber-sumber tertulis serta Bersama dewaguru, pada kompleks data arkeologis yang memiliki kesejajaran mandala tinggal pula para pendeta dengan fenomena serupa pada gunung- dan pembantu serta murid-murid yang gunung di wilayah bagian Jawa Tengah menuntut ilmu keagamaan (Santiko, 2005). dan Timur. Jenis data dalam tulisan ini Pusat-pusat intelektual dan pendidikan merupakan data sekunder sesuai dengan agama ini banyak menghasilkan berbagai jenis penelitiannya sebagai penelitian naskah-naskah sastra dan keagamaan serta kepustakaan . Data sekunder adalah jenis prasasti-prasasti dengan corak khusus data yang berasal dari hasil penelitian sehingga sering disebut sebagai situs para ahli berbagai disiplin ilmu, seperti skriptorium (jamak: skriptoria). Salah arkeologi, geografi, dan filologi yang satu skriptorium yang telah teridentifikasi diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, misalnya adalah skriptorium Damalung, ataupun laman internet (Moleong, 2007). 99 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 2, November 2019: 97 – 111 Data-data yang terkumpul selanjutnya Gunung Sri Mahapawitra dianalisis dan disajikan secara deskriptif Gunung Sri Mahapawitra guna memberikan gambaran secara tanggerana Panahitan umum mengenai peranan religius gunung poros di Panahitan sebagai lokasi-lokasi
Recommended publications
  • Penataan Wilayah Pada Masa Kerajaan Sunda
    Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda Agus Aris Munandar Keywords: history, archaeology, Hindu-Buddhist, Kingdom of Sunda, West Java How to Cite: Munandar, A.A. Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda. Berkala Arkeologi, 14(2), 95–105. https://doi.org/10.30883/jba.v14i2.706 Berkala Arkeologi https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/ Volume 14 No. 2, 1994, 95-105 DOI: 10.30883/jba.v14i2.706 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. PENATAAN WILAYAH PADA MASA KERAJAAN SUNDA Agus Aris Munandar (Jurusan Arkeolog, FSUI) terlihat dalam periode Singhasan dan Ma1apah1t 1. KeraJ aan Sunda adalah salah satu kera­ yang jelas disebutkan dalam prasast, dan k1tab Jaan dalam masa Hindu-Buddha yang terletak di Nagarakrtagama bahwa kedua keraJaan terse­ Jawa Barat. Tidak seperti sejarah kerajaan-kera­ but mempunyai berbagai negara daerah Namun Jaan lamnya yang pernah tumbuh dan berkem­ bagaimana halnya dengan Kerajaan Sunda bang dt Pulau Jawa (Mataram, Kadiri, Singhasa­ apakah juga memiliki negara-negara daerah n, MaJapahit), seJarah Kerajaan Sunda masth be­ masih belum diketahui secara past1. Hal lam lum banyak diungk.apkan oleh para ahl1. Hal ini yang patut diperhat,kan penataan wilayah yang disebabkan karena sumber sejarah yang berken­ pastinya telah dikenal dalam masa 1tu, penataan aan dengan perkembangan kerajaan tersebut wilayah Kerajaan Sunda hingga saat ini masih sangat terbatas, peninggalan-peninggala ��ya belum juga diperhattkan oleh para ahli; untuk ,tu pun tidak terlalu banyak, kalaupun ada JeJak kajian ini berusaha mengungkapkan penataan se1arah itu sudah sangat rusak. Walaupun w1layah kerajaan tersebut se1auh data yang dem1kian para ahli sejarah dan arkeologi tentu­ tersedia hingga kini nya masih berharap bahwa di kemudian hari akan ditemukan lag, sumber sejarah baru yang dapat membantu mengungkapkan seJarah Kera­ 2.
    [Show full text]
  • Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java
    Southeast Asian Studies, Vol. 34, No.1, June 1996 Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java* Mikihira MaRlYAMA** I The 'Language' Discovering the 'Language' An ethnicity (een volk) is defined by a language.i) This idea had come to be generally accepted in the Dutch East Indies at the beginning of the twentieth century. The prominent Sundanese scholar, Raden Memed Sastrahadiprawira, expressed it, probably in the 1920s, as follows: Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana soewoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit. [Sastrahadiprawira in Deenik n. y.: 2] [The language forms a norm: the most evident and the most comprehensive symbols (notions) to distinguish one ethnic group from another. If the characteristics of a language disappear, the distinguishing features of an ethnicity will fade away as well. If an ethnicity no longer exists, the language of the ethnic group will also disappear in due course of time.] There is a third element involved: culture. Here too, Dutch assumptions exerted a great influence upon the thinking of the growing group of Sundanese intellectuals: a It occurred to me that I wanted to be a scholar when I first met the late Prof. Kenji Tsuchiya in 1980. It is he who stimulated me to write about the formation of Sundano­ logy in a letter from Jakarta in 1985.
    [Show full text]
  • ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era Kerajaan Sukapura
    ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Islamisasi di Tatar Sunda ___ i ISLAMISASI DI TATAR SUNDA Era kerajaan Sukapura Penulis: Prof. Dr. Sulasman Dr. Ruhiyat Agus Wirabudiman, MA Abud Syehabudin, M.Pd Dr. Acep Aripudin Editor: Ahmad Yunani, S.Ag., M.Hum. Cetakan I, 2017 14,8 x 21 cm vi + 287 hal. Desain dan Layout: Buya Samuray Diterbitkan oleh: Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Tahun 2017 Copyraight @2017 All Rights Reserved ii ___ Islamisasi di Tatar Sunda Pengantar enyelesaian penulisan hasil penelitian sejarah Islamisasi masa Kerajaan Sukapura merupakan langkah tepat, tepat P sasaran (targetting) dan momentum mengenai pelurusan sejarah yang selama ini masih terkesan mengambang. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Balit- bang dan Diklat Kementerian Agama RI sebagai institusi yang memfasilitasi program penulisan sejarah Nusantara telah berperan dalam melaksanakan misinya dalam memelihara dan mengembangakan khazanah budaya Nusantara. Ada beberapa urgensi penulisan sejarah Sukapura dilihat dari sudut pandang, berikut: pertama, kekayaan warisan budaya di Nusantara, ter- masuk wilayah Sukapura belum diungkap secara baik dan benar, sehingga belum dipublikasikan dan belum diketahui luas oleh masyarakat Nusantara, masyarakat Sunda sekitar Priangan Timur pada khususnya. Kedua, belum adanya tulisan memadai tentang Islamisasi masa Kerajaan Sukapura yang akan menjadi pijakan dan pelurusan sejarah pembangunan di Tatar Sukapura. Perdebatan tentang Islamisasi di Sukapura, lahirnya Sukapura, dan atau Islamisasi di Tatar Sunda ___ iii Tasikmalaya, menjadi contoh bagaimana sejarah sangat menen- tukan terhadap jalannya roda pembangunan karena menjadi landasan fundamental filosofi perjalanan manusia. Ketiga, ada- nya tugas moral untuk ikut serta dalam upaya pencerdasan masyarakat dan bangsa melalui penyadaran terhadap jati diri bangsa.
    [Show full text]
  • Textiles in Old-Sundanese Texts Aditia Gunawan
    Textiles in Old-Sundanese Texts Aditia Gunawan To cite this version: Aditia Gunawan. Textiles in Old-Sundanese Texts. Archipel, Association Archipel/Éditions de la FMSH, 2019, 98, pp.71-107. 10.4000/archipel.1332. hal-02514162 HAL Id: hal-02514162 https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-02514162 Submitted on 24 Mar 2020 HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. ÉTUDES ADITIA GUNAWAN 1 Textiles in Old-Sundanese Texts Introduction1 Once upon a time Dayang Sumbi was having a wonderful time weaving. Her taropong, that is, a bamboo tool for rolling yarn, fell from her hands. So frail was she that she joked: if a woman would pick up that taropong for her, she would make her her sister, and if a man would do so, she would surely make him her husband. Si Tumang, her loyal dog, heard that promise. With enthusiasm he picked up the taropong, presenting it to Dayang Sumbi while sitting in front of her and staring at her intently. Dayang Sumbi regretted her words. But the oath could not be unsaid. Dayang Sumbi finally married Tumang and they had a son, Sang Kuriang.
    [Show full text]
  • The History of Education in West Java, Indonesia: from Traditional Era Toward Modern Era
    EDUCARE: International Journal for Educational Studies, 1(2) 2009 The History of Education in West Java, Indonesia: From Traditional Era toward Modern Era Andi Suwirta ABSTRACT: The history of education in West Java, Indonesia has been so long. If it is begun with informal education in family life, then its history can be started since people have been familiar with family life, a period of time that has never ended its beginning (time of immemorial) and its ending. Meanwhile, non-formal education is acquired from social interaction between an individual and another, between an individual and his community, and between a community and its surrounding community. The true formal education was gained since Sundanese people in West Java interacted with the great tradition, from the religion and civilization of Hinduism- Buddhist, Islam and Western. These three waves of civilization had influenced our national life, from old times up to recent times, included education sector. This paper, however, tried to discuss the history of education in West Java, its growth and development which had been existed since its earliest time – as long as the existing sources were possible – until the latest education development. Therefore, this paper tried to study the history of education in West Java, starting from Hinduism-Buddhist, Islam, Dutch and Japanese colonial, national independence and up to this recent development period. KEY WORDS: history of education, West Java, Sundanese people and three waves of civilization in Indonesia. Introduction Neleng neng kung, neleng neng kung. Geura gede geura jangkung, geura sakola ka Bandung, geura makayakeun indung (Kunto, 1986:153).
    [Show full text]
  • SPAFA Digest 1987, Vol 8, No 1
    3 DERMAYU BATIKS A SURVIVING ART IN AN ANCIENT TRADING TOWN by Paramita Rahayu ABDURACHMAN INTRODUCTION were traders like "Parsees, Arabs, Gujaratees, Malays and In the eastern corner of West Java, where the Cimanuk other nationalities, there being many Moors among them" .River pushes its way into the Java Sea, leaving its In another part of the book, Pires says that: sediment to form an estuary in the course of time, a "The port of Chi Manuk is the sixth port. This is not river-harbour village called Dermayu came into existence. a port in which junks can anchor, but only at the It was to play a small but recognizable role in the trade harbour bar, so they say; others say "yes". Many of textiles and other merchandise. Its location near the sea Moors live here. The captain is a heathen. It belongs and on the river made it important for both the coastal and to the king of Sunda. inland trade. It thus served as an entrepot for the goods that The end of the kingdom is here. Chi Manuk has were carried by vessels upstream or by bullock-carts and good trade. Java also trades with it. It has a good other means of conveyance into the interior. The road led large town". southwards via other small villages, clustered near the It is obvious that a number of political and social changes harbour, on the West side of the river. They had come had taken place between the end of the 14th century and into existence in the same period as the harbour-village, 1512.
    [Show full text]
  • Sundanese Manuscripts : Their Existence, Functions, and Contents
    史資料ハブ/アジアにおける在地固有文書解題 Sundanese Manuscripts : Their Existence, Functions, and Contents Edi S. EKADJATI (Visiting Professor at ILCAA, Tokyo University of Foreign Studies) (Professor at Padjadjaran University, INDONESIA) In Indonesia two forms of writing tradition exist, namely inscriptions and manu- scripts. The former were written on stone and metal, while the latter on palm leaf, bam- boo, and paper. The texts of inscriptions are generally brief containing only of a small number of lines stating a royal decree or announcement, or commemorating of a royal or religious event, while the texts of the manuscripts are usually lengthy, even numbering to thousands of pages containing a variety of expressions, thoughts, experiences, and ac- counts. Some regions in Indonesia have produced manuscripts, but others have only oral traditions. Tanah Sunda or West Java (see: maps) has produced both of the traditions. Inscriptions began to be made in mid-5th century (Vogel, 1925; Poerbatjaraka, 1952), while the time of the beginning of written manuscripts is still unknown. The main reason for this is the different materials used. Inscriptions are made on such materials as stone or metal which are more resistant to decay and weather, while manuscripts are made on leaves which are vulnerable. According to written sources of the 16th century (Atja, 1968; Atja & Saleh Danasasmita, 1981, Noorduyn, 1971), the tradition of writing manuscripts in Tanah Sunda had existed long before the 16th century, dating as far back as the times of the Kingdoms of Sunda and Galuh (8th century). Nevertheless, on the basis of the date stated in the texts, the oldest extant Sundanese manuscript dates back to the 14th century (Krom, 1915), and the writing of Sundanese manuscripts continued to be done until the end of the 20th century.
    [Show full text]
  • Narrating Knowledge Reflections on the Encyclopedie Impulse in Literary Texts from Indonesian and Malay Worlds
    TONY DAY and WILL DERKS Narrating Knowledge Reflections on the Encyclopedie Impulse in Literary Texts from Indonesian and Malay Worlds These days if you want to consult the first volume of Diderot and d'Alembert's Encyclopedie, just click on http://tuna.uchicago.edu/ homes/mark/ ENC DEMO/. Soon a facsimile of the entire first edition of one of the world's most famous encyclopedias will be available for casual reading or detailed searching at this URL. Created by the Project for American and French research on the Treasury of the French Language, the web page presents the internet user with a contemporary oxymoron: one of the most famous com- pendia of Enlightenment 'knowledge' presented as but a speek, a single glis- tening star, in the cosmos of 'information' which is the World Wide Web. If 'knowledge' is information which has been acquired, organized, and under- stood according to certain principles of selection and organization, including those of the 'encyclopedia', 'information' is the raw data, the 'statement' of facts' (SOED 1965:1003), out of which knowledge is constructed. The Internet is the medium par excellence of the information age, an ever expanding, chaotic, non-hierarchical, infinite universe of data. In this essay we want to reflect on the encyclopedie impulse in a number of literary texts from alam Indonesia dan Melayu, from Indonesian and Malay worlds. We begin with a discussion of the definition of the 'encyclo- pedia' in the West. Then we test this definition against examples of written and oral texts from regions in the Indonesian and Malay worlds which seem to be 'encyclopedie' in their approach to knowledge.
    [Show full text]
  • Lord in Sunda Wiwitan Perception
    SSRG International Journal of Medical Science ( SSRG – IJMS ) – Volume 5 Issue 7 – July 2018 Lord in Sunda Wiwitan Perception Etty Saringendyanti,1 Dade Mahzuni2 Department of Philology and History, Faculty of Cultural Sciences, University of Padjadjaran Office: Bandung-Sumedang Hihgway Km 21, Jatinangor, Sumedang, West Java (Indonesia) Abstract How Sunda Wiwitan seeking Lord is a great influences in the development of that culture, theme in this article. Based on Clifford Geertz’s especially religion or belief that Ralph Linton says theory of religion as a cultural system and historical belongs to the core of culture (covert culture).2 method, it is known that historically Lord exists. In The development of religion3 in Sunda Land, 4 searching of Lord, the Sunda Wiwitan teachings of cannot be separated from the influence of the peoples have reference to the result of a combination of Lord's concepts, experiences, dynamics and creativity in managing the universe in which they live at every turn cultural system, so that the process of internal of the period from prehistoric times, Hinduism, adaptation or the "original" elements becomes the Buddhism and Islamic. The concept of Lord in the driving force and more instrumental in cultural Sunda Wiwitan teachings constituted by the belief of change. The process of diffusion is seen as a process ancestral spirits and teachings on the contents of of change, because of the imitation or adoption of the ancient Sundanese script-century 14-17 AD which cultural element from the outside (Abdullah, ed. continues on the indigenous people Baduy and 20121: 331-332). Cultural development in the Kasepuhan Banten Kidul.
    [Show full text]
  • Variety of Distinct Style Scripts in Inscriptions Found in Mandalas of the Late Majapahit Era: an Overview of the Paleography to Mark Religious Dynamics
    Cultural Dynamics in a Globalized World – Budianta et al. (Eds) © 2018 Taylor & Francis Group, London, ISBN 978-1-138-62664-5 Variety of distinct style scripts in inscriptions found in Mandalas of the late Majapahit era: An overview of the paleography to mark religious dynamics N. Susanti Department of Archaeology, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia ABSTRACT: The late Majapahit era is found to mark the decline of Saivaism and Bud- dhism. In the late 15th century, Buddhism started to decline, whereas Saivaism was still developing, despite experiencing a decline. Trailokyapuri II and Trailokyapuri III inscrip- tions, which were issued by the King, mentioned names of figures and gods other than Siva, namely Sang Rsiswara Bharadhwaja, Bhatara Wisnu, Bhatara Yama, and Bhatari Durga. Literature works have also suggested life perspectives and “indigenous” religiousness as well as the establishment of religious buildings with mountain top features (punden berundak) and pyramidal architecture, such as the constructions in the slopes of Mount Penanggungan and Mount Lawu. Distinct script styles found in brief inscriptions in several sites that served as centers of religious activities (mandala) may confirm the assumptions regarding the religious life lead in the late Majapahit era. The content of the inscriptions provides hints of holy places/mandala, names of figures and gods, and moral teachings of the time. Paleographic analyses carried out using a dynamic method for the distinct script styles found in brief inscriptions from the late Majapahit era may provide information regarding the types of the currently existing mandala. Previous studies show that every mandala normally possesses a unique script style together with its diacritical symbols.
    [Show full text]
  • To the Roman Serial Numbers Used in the Comprehensive List of Sources and the General Index of Names to Indicate Dr De Graaf's E
    KEY to the Roman serial numbers used in the Comprehensive List of Sources and the General Index of Names to indicate Dr de Graaf's eight books and articles on Javanese history, and the Summary. I Graaf, H. J. de, en Pigeaud, Th. G. Th. De eerste Moslimse Vor­ stendommen op Java. Studien over de staatkundige Geschiedenis van de 15e en 16e eeuw. 's-Gravenhage, 1974. Verhandelingen v.h. Kon. Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 69. II Graaf, H. J. de. De Regering van panembahan Senapati Inga­ laga. 's-Gravenhage, 1954. Verhandelingen v.h. Kon. Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 13. III Graaf, H. J. de. De Regering van sultan Agung, vorst van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613. 's-Gravenhage, 1958. Verhandelingen v.h. Kon. Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 23. IV-l,IV-2 Graaf, H. J. de. De Regering van sunan Mangku Rat I Tegal Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677. 2 vols. 's-Graven­ hage, 1961-1962. I. De Ontbinding van het Rijk. II. Opstand en Ondergang. Verhandelingen v.h. Kon. Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vols. 33 and 39. V Graaf, H. J. de (ed.). De Expeditie van Anthonio Hurdt, Raad van Indie, als Admiraal en Superintendent naar de Binnenlanden van Java, sept.-dec. 1678, volgens het Journaal van Johan Jurgen Briel, secretaris. Met een inleiding en aantekeningen van -. 's-Gravenhage, 1971. Werken uitgegeven door de Linschoten-Vereeniging, vol. LXXII. VI Graaf, H. J. de. Gevangenneming en Dood van Raden Truna­ Djaja, from "Tijdschrift voor Ind.
    [Show full text]
  • Edisi 2017/IV/4 Bagian 1
    Edisi 2017 Kuartal IV/Oktober - Desember Vol. IV No. 4 Menteri Hukum dan HAM RI: Membangun Hukum dalam Masyarakat yang Majemuk Mahasiswa Unpar di Puncak Denali Direktur Utama MIZAN Group: Akar-Akar Intoleransi ISSN: 9772356133008 Prodi Matematika menjadi Mitra Pemerintah Kanada Pembaca yang budiman, Manusia dan alam merupakan dua entas yang berkelindan, saling membutuhkan dan harus bersinergi. Namun acap kali banyak perilaku manusia yang justru semakin membuat alam dan lingkungan perlahan meninggalkan kondisi asalnya. Kerusakan alam, polusi udara, hingga daya dukung lingkungan yang menurun menjadi beberapa indikator bahwa alam ini menuju k nadirnya. Kehadiran konsep Green Building diharapkan menjadi salah satu solusi untuk tetap menjaga kualitas daya dukung dan daya guna lingkungan bagi masyarakat. Lembaga pendidikan nggi pun memiliki tanggung jawab untuk menjamurkan pemahaman, pemaknaan, dan implementasi dari konsep green building ini. Majalah Parahyangan mencoba menghadirkan beberapa tulisan terkait green building tersebut. Selain itu, keberhasilan mahasiswa Unpar mencapai puncak ternggi di Amerika Utara juga kami hadirkan, di samping beragam kegiatan sivitas akademika Unpar lainnya. Orasi dari 3 fakultas (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Polik, Fakultas Filsafat, dan Fakultas Hukum) juga turut kami hadirkan. Indraswari (dosen FISIP yang juga Komisioner Komnas Perempuan Republik Indonesia), Haidar Bagir (Direktur Utama MIZAN Group), dan Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia), menuangkan buah pemikirannya pada orasi
    [Show full text]