PENELITIAN DASAR

Laporan Hasil Penelitian

ANALISIS KESENJANGAN PENDAPATAN KABUPATEN/KOTA DI WILAYAH UTARA

Peneliti: NURUS SOIMAH, M.Ec.Dev.

(Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Kaltara)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS KALTARA

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupten/ kota di Wilayah Kalimantan Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Utara tahun 2013-2019. Penelitian ini dilakukan di 4 kabupaten dan 1 kota di Kalimantan Utara. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan peralatan analisis Ekonomi Regional. Analisis data yang digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah Analisis Tingkat Ketimpangan Antar Daerah, untuk menghitung tingkat ketimpangan/disparitas pendapatan perkapita antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson. Hasil analisis dapat disimpulkan adanya ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara meskipun tergolong dalam ketimpangan rendah, namun hal ini perlu terus di kontrol mengingat Kota memiliki kecenderungan ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Ketimpangan terendah terjadi di Kabupaten Tana Tidung dan paling tinggi di Kota Tarakan. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Kalimantan Utara adalah agar terus mampu membuat kebijakan yang tepat sehingga mampu mempertahankan kesenjangan yang cukup rendah tersebut.

Kata Kunci : Kesenjangan Pendapatan, Indeks Williamson

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the level of income disparity between districts / city in the . The type of data in this research is secondary data obtained from the published author of districts / cities in north Kalimantan in year 2013-2019. This study conducted in 4 districts and 1 city in north Kalmantan. The data analysis techniques in this research is descriptive analysis by using Regional Economic Analysis. Data analysis used in accordance with the purpose of this study is the Analysis of Interregional Inequality Levels, to calculate the level of per capita income inequality / disparity between districts / cities in the North Kalimantan province using Williamson Index analysis. The results of the analysis can be concluded that there is income inequality in districts / cities in North Kalimantan Province although classified as low inequality, but this needs to be kept in control considering Tarakan City has a tendency to increase income inequality. The lowest inequality occurred in Tana Tidung district and the highest in Tarakan City. The suggestion that can be given from the result of this research for local government of / City in North Kalimantan is to continue to make the right policy so as to maintain the low gap.

Keywords: Inequality Income, Williamson Index

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas segala nikmat yang telah diberikan tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Dalam penyusunannya, saya mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Namun secara khusus peneliti ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Jajaran Pimpinan di Rektorat Universitas Kaltara yang telah

banyak memfasilitasi sehingga penelitian ini bisa diajukan.

2. Jajaran pimpinan dan staf di lingkungan Dekanat Fakultas Ekonomi, Program

Studi Ekonomi Pembangunan, dan LPPM Universitas Kaltara Tanjung Selor

yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan sehingga penelitian ini

bisa diselesaikan.

3. Seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Kabupaten Bulungan. Tak lupa atas segala kritik dan saran untuk perbaikan disampaikan banyak terima kasih.

Tanjung Selor, 15 April 2020

Peneliti,

Nurus Soimah, M.Ec.Dev.

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...... ii KATA PENGANTAR ...... iv DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR GAMBAR ...... ix BAB I PENDAHULUAN ...... 7 1.1. Latar Belakang ...... 7 1.2. Rumusan Masalah ...... 9 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 10 2.1. Teori Ekonomi Regional ...... 10 2.2. Pengertian Ketimpangan Pendapatan ...... 15 2.3. Metode Hitung Ketimpangan Pendapatan ...... 16 2.4. Penyebab Ketimpangan Pendapatan ...... 24 2.5. Penelitian Terdahulu ...... 27 2.6. Definisi Konseptual ...... 31 2.7. Hipotesis ...... 32 BAB III METODE PENELITIAN...... 32 3.1. Definisi Operasional Variabel ...... 32 3.2. Sumber Data...... 33 3.3. Teknik Pengumpulan Data ...... 33 3.4. Teknik Analisis Data...... 34 BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 35 4.1. Gambaran Umum Provinsi Kalimanta Utara ...... 35 4.2. Keadaan Geografis Provinsi Kalimantan Utara ...... 36 4.3. Keadaan Sosial Provinsi Kalimantan Utara ...... 37 4.4. Penduduk dan Angkatan Kerja Provinsi Kalimantan Utara ...... 39 4.5. Pendapatan Perkapita Provinsi Kalimantan Utara ...... 40 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ...... 43 5.1. Analisis ...... 43 5.2. Pembahasan...... 48 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...... 52 6.1. Kesimpulan ...... 52 6.2. Saran ...... 52 DAFTAR PUSTAKA ...... 39

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kurva Lorenz ………………………………………………………………… 14 2.2 Kerangka Konseptual ………………………………………………………… 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut laporan kinerja perekonomian yang dipubliksaikan oleh BPS, struktur perekonomian secara spasial tahun 2019 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk

Domestik Bruto sebesar 58,48 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,58 persen, Pulau Kalimantan 8,20 persen, Pulau 6,22 persen, dan sisanya 5,52 persen di pulau-pulau lainnya.

Provinsi Kalimantan Utara berperan penting sebagai pintu gerbang Kawasan

Utara Indonesia. Kinerja perekonomian Kalimantan Utara periode tahun 2017-2019 dengan laju pertumbuhan rata-rata 6.58. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.18 persen pada periode yang sama.

Menurut Dewanto (2014) Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat didaerah.

Ketimpangan pembangunan antar daerah satu dan lainnya berdampak pada keseimbangan perputaran kegiatan ekonomi yang berpengaruh pada ketimpangan kemakmuran antar daerah yang bersangkutan. Tanbunan (2001) menyatakan terkonsentrasinya kegiatan ekonomi pada suatu daerah tertentu secara langsung berdampak pada ketimpangan pandapatan antar daerah sehingga tercipta kondisi dimana daerah yang menjadi pusat konsentrasi kegiatan ekonomi akan lebih mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada masyarakatnya sehingga masyarakatnya relatif lebih makmur, sementara disisi lain daerah yang bukan merupakan pusat kegiatan ekonomi hanya mampu memberikan pendapatan yang rendah sehingga berakibat relatif rendah pula kemakmuran masyarakatnya.

Salah satu daerah yang sedang giat dalam melakukan pembangunan ekonomi adalah Provinsi Kalimantan Utara. Berdasarkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2012 yang disahkan pada tanggal 16 November 2012 wilayah Kalimantan Timur resmi dibagi menjadi dua provinsi yaitu Kalimantan

Timur dan Kalimantan Utara (Kaltara). Pemekaran wilayah ini dimaksudkan agar dapat mendorong perkembangan dan kemajuan di Provinsi Kalimantan Utara serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Data dalam dalam kurun waktu 2017 -2019 menunjukkan bahwa koefisien gini

Provinsi Kalimantan Utara terjadi fluktuasi di mana ketimpangan pendapatan terendah terjadi pada tahun 2017 yaitu sebesar 0.313, pada tahun 2018 sebesar

0.304 dan pada tahun 2019 sebesar 0.295. Walaupun koefisien gini di Provinsi

Kalimantan Utara termasuk dalam kategori sedang namun ketimpangan pendapatan harus segera diatasi. Hal ini dikarenakan ketimpangan pendapatan dapat meningkatkan kemiskinan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan “Analisis

Kesenjangan Pendapatan Kabupaten/Kota di Kalimantan Utara tahun 2013-2019”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada kesenjangan pendapatan kabupten/ kota di Kalimantan Utara?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesenjangan pendapatan kabupten/ kota di Kalimantan Utara.

1.3.2. Manfaat Penelitian Untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di

Wilayah Kalimantan Utara. Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikaan manfaat sebagai berikut: a. Sebagai salah satu masukan atau informasi bagi pemerintah daerah

kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara, b. Sebagai rekomendasi untuk bahan perbandingan penelitian dengan judul

ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Teori Ekonomi Regional

Menurut Tarigan (2008) Ilmu ekonomi regional merupakan salah suatu cabang dari ilmu ekonomi yang pembahasannya tentang perbedaan potensi atau keunggulan suatu wilayah dengan wilayah lain. Ilmu ekononomi regional tidak membahas kegiatan individual melainkan menganalisis suatu wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah.

Samuelson (1955) mengemukakan bahwa persoalan pokok ilmu ekonomi mencakup 3 hal utama, yaitu:

1) What commodities shall be produced and in what quantities yaitu barang apa

yang diproduksi. Hal ini bersangkut paut dengan kekuatan permintaan dan

penawaran yang ada dalam masyarakat.

2) How shall goods be produced yaitu bagaimana atau oleh siapa barang itu

diproduksi. Hal ini bersangkut paut dengan pilihan tehnologi untuk

menghasilkan barang tersebut dan apakah ada pengaturan dalam pembagian

peran itu.

3) For Whom are goods to be produced yaitu untuk siapa atau bagaimana

pembagian hasil dari kegiatan memproduksi barang tersebut. Hal ini

bersangkut paut dengan pengaturan balas jasa, sistem perpajakan, subsidi,

bantuan ke fakir miskin, dll. Ketiga hal ini melandasi analisis ekonomi kalssik. 4) When do all those activities be carried out yaitu kapan berbagai kegiatan

tersebut dilaksanakan. Pertanyaan ini dijawab dengan menciptakan teori

ekonomi dinamis (dynamic economic analysis) dengan memasukkan unsur

waktu ke dalam analisis.

5) Where do all those activities should be carried out yaitu dimana lokasi dari

berbagai kegiatan tersebut. Didalam ilmu ekonomi regional untuk

memecahkan masalah khusus yang terpaut dengan pertanyaan dimana

diabaikan dalam analisis ekonomi tradisional. Dan ilmu ekonomi regional

untuk menjawab pertanyaan di wilayah mana suatu kegiatan sebaik dapat

dilaksanakan.

Menurut Irawan dan Suparmoko (1997:5) Pembangunan ekonomi merupakan salah satu sasaran pembangunan. Pembangunan dalam arti luas mencakup aspek kehidupan baik ideologi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan dan lain sebagainya. Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering kali dengan pendapatan riil perkapita.

Selanjutnya menurut Arsyad (2002:128) pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan perkapita, karena kenaikan merupakan penerimaan dan timbulnya dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Laju pembangunan ekonomi suatu negara diukur dengan menggunakan tingkat pertumbuhan GDP/GNP.

Todaro (2004:259) menjelaskan lima pendekatan teori klasik pembangunan ekonomi, yaitu: Teori tahapan linier dan pembangunan sebagai pertumbuhan; model perubahan struktural; revolusi ketergantungan internasional; kontrarevolusi neoklasik dan teori pertumbuhan baru. Model Pertumbuhan Harold-Domar atau sering disebut model pertumbuhan AK termasuk dalam teori tahapan linear.

Model Pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar yaitu:

Y = AeμtKá L1- á

Dimana Y adalah GNP, K adalah stok kapital dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil. A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangakan konstanta kemajuan teknologi.

Adapun symbol á melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau prosentase kenaikan GNP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 faktor berikut: kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja (melalui pertambahan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), perubahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi.

Dari berbagai teori pertumbuhan yang ada yakni teori Harold Domar,

Neoklasikal dari Solow, dan teori pertumbuhan baru atau teori Endogen oleh Romer maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yakni: 1) akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru, 2) pertumbuhan penduduk dan 3) kemajuan teknologi.

Salah satu teori perubahan struktural yang paling terkenal adalah Model- Dua-

Sektor Lewis yang dikemukakan oleh W. Arthur Lewis. Ia membagi perekonomian menjadi dua sektor, yaitu: (1) Sektor Tradisional, yang menitikberatkan pada sektor pertanian yang subsisten di pedesaan yang ditandai dengan produktivitas marginal sama dengan nol sehingga menjadikan suatu kondisi yang surplus tenaga kerja (surplus labor). (2) Sektor Industri perkotaan Modern, yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penyerapan tenaga kerja dari sektor tradisional.

Menurut Sukirno (1991:10) pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.

Dengan demikian untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai perlu dihitung pendapatan nasional riil menurut harga tetap yaitu pada harga yang berlaku ditahun dasar yang dipilih. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian.

Menurut Sukirno (1994:58) penilaian mengenai cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi haruslah dibandingkan dengan pertumbuhan di masa lalu dan pertumbuhan yang dicapai oleh daerah lain. Dengan kata lain, suatu daerah dapat dikatakan mengalami pertumbuhan yang cepat apabila dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup berarti. Sedangkan dikatakan mengalami pertumbuhan yang lambat apabila dari tahun ke tahun mengalami penurunan atau fluktuatif.

Sukirno (1994: 425) menjelaskan faktor-faktor yang dianggap sebagai sumber penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara lain:

1) Tanah dan Kekayaan lainnya.

2) Jumlah, Mutu Penduduk dan Tenaga Kerja

3) Barang Modal dan Tingkat Teknologi

4) Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat.

5) Luas Pasar dan Sumber Pertumbuhan Kuznets (dalam Jinghan, 1993: 73) memberikan enam ciri pertumbuhan yang muncul dalam analisis yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, dimana ciri-ciri tersebut seringkali terkait satu sama lain dalam hubungan sebab akibat. Keenam ciri tersebut adalah:

1) Laju pertumbuhan penduduk yang cepat dan produk per kapita yang tinggi.

2) Peningkatan produktifitas yang ditandai dengan meningkatnya laju produk

perkapita.

3) Laju perubahan struktural yang tinggi yang mencakup peralihan dari kegiatan

pertanian ke non pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unitunit

produktif dan peralihan dari usaha-usaha perseorangan menjadi perusahaan yang

berbadan hukum serta perubahan status kerja buruh.

4) Semakin tingginya tingkat urbanisasi

5) Ekspansi dari negara lain.

6) Peningkatan arus barang, modal dan orang antar bangsa.

Peroux dalam Arsyad (2002), mengemukakan sebuah teori Pusat Pertumbuhan

(Pole Growth) merupakan teori yang menjadi dasar dari strategi kebijakan pembangunan industri daerah yang banyak dipakai oleh berbagai negara dewasa ini. Pertumbuhan tidak muncul diberbagai daerah pada waktu bersamaan, pertumbuhan hanya terjadi dibeberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Pada intinya dalam teori ini industri unggulan yang merupakan penggerak dalam pembangunan ekonomi daerah. Selanjutnya muncul daerah yang relatif maju akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif dalam industri. 2.2. Pengertian Ketimpangan Pendapatan

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antarwilayah menurut Sjafrizal, (2008: 104-105) memunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Hipotesis ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesis Neo-klasik.

Penganut Model Neo-Klasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi baik modal maupun tenaga kerja pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar (divergence). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju maka ketimpangan pembangunan regional akan berkurang. Simon Kuznets (1971) dalam Kuncoro

(2006: 126) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (Inverted U Curve) bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai distribusi pendapatan akan semakin tidak merata. Setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan semakin merata.

Todaro dan Smith (2006: 234) menjelaskan bahwa para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif. Dua ukuran yang pada umumnya digunakan dalam menganalisa distribusi pendapatan tersebut adalah size distribution of income (distribusi ukuran pendapatan) dan functional or factor share distribution of income (distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi).

Size distribution of income menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Berdasarkan ukuran ini, cara mendapatkan penghasilan diabaikan, yang lebih diperhatikan dari ukuran ini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang. Selain itu, lokasi sumber penghasilan

(desa atau Kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan. Functional or factor share distribution of income berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing- masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).

2.3. Metode Hitung Ketimpangan Pendapatan

Guna mengukur ketimpangan pendapatan diantara penduduk, ukuran yang digunakan berdasarkan pada ukuran size distribution of income. Namun, karena data pendapatan sulit diperoleh, maka pengukuran ketimpangan atau distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan. Terkait dengan hal tersebut, terdapat empat ukuran yang merefleksikan ketimpangan distribusi pendapatan yaitu

Koefisien Gini (Gini Ratio), Ukuran Bank Dunia, Indeks Theil, dan Indeks-L

2.3.1. Teori Koefisien Gini (Gini Ratio)

Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Todaro dan Smith

(2006: 238) menyatakan bahwa koefisien gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu

(ketimpangan sempurna). Adapun rumus koefisien gini adalah:

푛 퐺푅 = 1 − ∑ [(퐹푐푖 + 퐹푐푖−1)] 푖=1

GR : koefisien gini (gini ratio); fpi : Frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i; fci : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i; fci-1 : Frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1). Ide dasar perhitungan koefisien gini sebenarnya berasal dari upaya pengukuran luas suatu kurva yang menggambarkan distribusi pendapatan untuk seluruh kelompok pendapatan. Kurva tersebut dinamakan kurva Lorenz yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu

(misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Guna membentuk koefisien gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal.

D

퐵푖푑푎푛푔 퐴 퐾표푒푓푖푠푖푒푛 퐺푖푛푖 = 퐵푖푑푎푛푔 퐵퐶퐷

Garis Pemerataan

A

Kurva Lorenz

B C Persentase populasi

Gambar 2.1 Kurva Lorenz

Besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir. Koefisien gini adalah rasio (perbandingan) antara luas bidang A yang diarsir tersebut dengan luas segitiga BCD. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa bila pendapatan didistribusikan secara merata dengan sempurna, maka semua titik akan terletak pada garis diagonal. Artinya, daerah yang diarsir akan bernilai nol karena daerah tersebut sama dengan garis diagonalnya. Dengan demikian angka koefisiennya sama dengan nol. Sebaliknya, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, maka luas daerah yang diarsir akan sama dengan luas segitiga, sehingga Koefisien Gini bernilai satu.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa suatu distribusi pendapatan dikatakan makin merata bila nilai Koefisien Gini mendekati nol (0), sedangkan makin tidak merata suatu distribusi pendapatan maka nilai Koefisien Gini-nya makin mendekati satu. Kriteria ketimpangan pendapatan berdasarkan Koefisien

Gini (Susanti et al 2007) adalah sebagai berikut:

- Lebih kecil dari 0. 4: tingkat ketimpangan rendah

- Antara 0.4-0.5: tingkat ketimpangan moderat

- Lebih tinggi dari 0.5: tingkat ketimpangan tinggi

Todaro dan Smith (2006:145) menjelaskan bahwa Koefisien Gini merupakan salah satu ukuran ketimpangan pendapatan yang memenuhi empat kriteria yaitu:

1. Prinsip anonimitas (anonymity principle): ukuran ketimpangan seharusnya tidak

bergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan

kata lain, ukuran tersebut tidak bergantung pada apa yang kita yakini sebagai

manusia yang lebih baik, apakah itu orang kaya atau orang miskin

2. Prinsip independensi skala (scale independence principle): ukuran ketimpangan

kita seharusnya tidak tergantung pada ukuran suatu perekonomian atau negara,

atau cara kita mengukur pendapatannya. Dengan kata lain, ukuran ketimpangan

tersebut tidak bergantung pada apakah kita mengukur pendapatan dalam dolar

atau dalam sen, dalam rupee atau dalam rupiah, atau apakah perekonomian

negara itu secara rata-rata kaya atau miskin.

3. Prinsip independensi populasi (population independence principle): prinsip ini

menyatakan bahwa pengukuran ketimpangan seharusnya tidak didasarkan pada

jumlah penerima pendapatan (jumlah penduduk). Misalnya, perekonomian Cina

tidak boleh dikatakan lebih merata atau lebih timpang daripada perekonomian

Vietnam hanya karena penduduk Cina lebih banyak.

4. Prinsip transfer (transfer principle): prinsip ini juga sering disebut sebagai

prinsip Pigou-Dalton. Prinsip ini menyatakan bahwa dengan mengasumsikan

semua pendapatan yang lain konstan, jika kita mentransfer sejumlah pendapatan

dari orang kaya ke orang miskin (namun tidak sangat banyak hingga mengakibatkan orang miskin itu sekarang justru lebih kaya daripada orang yang

awalnya kaya tadi), maka akan dihasilkan distribusi pendapatan baru yang lebih

merata.

2.3.2. Indeks Wiliamson

Menurut Arsyad (2016:294) salah satu indikator yang biasa dan dianggap cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah

(regional) adalah indeks ketimpangan daerah yang dikemukakan oleh Jeffrey G.

Williamson. Williamson mengemukakan model Vw (Indeks tertimbang atau weighted indeks terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (Indeks tidak tertimbang atau

Un-weighted indeks) untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu. Kerena jumlah penduduk masing-masing daerah biasanya sangat variatif, maka model ketimpangan tertimbnag menjadi lebih relevan. Dengan demikian penjelasan tentang kecenderungan meningkat atau menurunnya ketimpangan tersebut dapat dijelaskan dengan memperhatikan pada besarnya penyebut atau pembagi dari penduduk daerah tersebut.

Jeffrey G dalam Arsyad (2016:78) menjelaskan formulasi dari indeks ketimpangan daerah sebagai berikut:

푓 √( )2 푖 푌푖 − 푌 (푛) 퐼푊 = yaitu 0 < Vw < 1 푌

di mana: Iw : Indeks williamson Yi : PDRB perkapita daerah i; Y : PDRB perkapita rata – rata seluruh daerah; fi : Jumlah penduduk daerah i; n : Jumlah penduduk seluruh daerah.

Hal ini berarti bahwa pada dasarnya Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis.

Ada tiga kriteria dalam perhitungan Indeks Williamson ini, yaitu jika Indeks

Williamson menunjukkan:

- Angka 0,0 sampai 0,2 maka ketimpangan pendapatan rendah

- Angka 0,21 sampai 0,35 maka ketimpangan pendapatan sedang

- Angka > 0,35 maka ketimpangan pendapatan tinggi.

2.3.3. Indeks Theil

Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik (di atas). Di antaranya yang paling banyak digunakan adalah Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut masuk dalam famili ukuran ketimpangan “generalized enthropy”.

Rumus “generalized enthropy” secara umum dapat ditulis sebagai berikut.

푛 1 1 푦 푎 퐺퐸 = [ ∑ ( 푖) − 1] 푎(푎 − 1) 푛 Ŷ 푖=1

di mana Ῡ adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran)

Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi.

Parameter α dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan.

Untuk nilai α yang lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi

(penduduk kaya). Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.

2.3.4. Indeks Ketimpangan Bank Dunia

Cara lain yang juga seringkali diterapkan dalam mengidentifikasi ketimpangan pendapatan adalah kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia yang mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan, yaitu:

a. 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah;

b. 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah; dan

c. 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi.

Kemudian berdasarkan kriteria ini, ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk.

Selain dari sisi pendapatan, pengukuran ketimpangan berdasarkan kriteria

Bank Dunia tersebut juga dapat dilakukan dengan menggunakan data pengeluaran.

Karena data pengeluaran lebih mudah diperoleh, maka pengukuran ketimpangan menurut kriteria Bank Dunia ini lebih sering menggunakan data pengeluaran.

Namun, pengukuran ketimpangan pendapatan dengan pendekatan pengeluaran memiliki kelemahan antara lain data yang disajikan akan under estimate dibandingkan bila data yang dipergunakan adalah data yang berdasarkan pendapatan. Hal ini disebabkan adanya sebagian pendapatan yang tidak dibelanjakan dan disimpan sebagai tabungan (saving). Penyebab lainnya adalah adanya transfer pendapatan. Dalam masyarakat adalah hal yang lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatannya sebagai sokongan kepada orang tua atau saudara yang tidak mampu. Dengan demikian, tingkat pengeluaran tidak mencerminkan pendapatan yang diperoleh. Masalah lainnya adalah sering tidak tercatatnya pengeluaran-pengeluaran terutama bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi. Kategori ketimpangan yang ditentukan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia adalah sebagai berikut.

a. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen

terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen

dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi.

b. Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen

terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12 persen -17

persen dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang atau menengah.

Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.

2.4. Penyebab Ketimpangan Pendapatan

Syafrijal (2008) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang

mementukan ketimpangan antar wilayah, antar lain yaitu: a. Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam

Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan.

Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relative murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat.

Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. b. Perbedaan Kondisi Demografis

Faktor lainnya yang juga mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan stuktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relative rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah. c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan atar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual kedaerah lain yang membutuhkan.

Demikian pula halnya migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkannya, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

d. Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya kosentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar.

Kosentrasi kegiatan ekonomi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena adanya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu. Kedua, meratanya fastilitas transportasi, baik darat, laut dan udara, juga ikut mempengaruhi kosentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografis

(kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkosentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik. e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderungtinggi.

Akan tetapi jika sebaliknya dimana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan kedaerah sehingga ketimpangan pendapatan akan cenderung rendah. Alokasi dana pemerintah yang antara lain akan memberikan dampak pada ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah alokasi dana untuk sektor pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi dan dan listrik. Semua sektor ini akan memberikan dampak pada peningkatan pada peningkatan produktivitas tenaga kerja, pendapatan perkapita, dan pada akhirnya dapat meningkatkan pergerakan ekonomi didaerah tersebut.

2.5. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu mengenai kesenjangan telah banyak dilakukan, antara lain:

Denny Iswanto. 2015. Ketimpangan Pendaapatan Antar Kabupaten/Kota dan

Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya disparitas antar daerah dan pertumbuhan ekonomi, sektor- sektor yang berpotensi dikembangkan guna mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, mengklasifikasi daerah di Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Timur berdasarkan laju pertumbuhan dan pendapatan perkapitanya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis pertumbuhan ekonomi, Location Quotient

(LQ), Shift-share, Tipologi Sektoral, Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Indeks

Theil, Korelasi Pearson dan menguji berlakunya Hipotesis Kusnetz. Masih banyak daerah di Propinsi Jawa Timur yang tergolong dalam daerah relatif tertinggal, tercatat sebanyak 23 Kabupaten/Kota termasuk daerah relatif tertinggal. Disparitas pendapatan antar daerah di Propinsi Jawa Timur tegolong tinggi (>0,5) dengan nilai

0,4295 dan mengalami kenaikan. Sementara hipotesis “U” terbalik Kuznets yang menggambarkan hubungan antara pertumbuhan dengan ketimpangan tidak berlaku di Propinsi Jawa Timur (sig-2 tailed correlation 0,160 terhadap indeks Williamson dan 0,257 indeks Entropi Theil). Berdasarkan temuan tersebut saran yang dapat disampaikan adalah menerapkan kebijakan pembangunan yang memprioritaskan pada daerah-daerah yang masih relatif tertinggal. Pembangunan sektor-sektor potensial yang telah menjadi sektor basis di masing-masing daerah, yang dikembangkan dengan inovasi dan teknologi.

Suhartono. 2015. Ketimpangan dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota didaerah Hasil Pemekaran: Studi Kasus di Provinsi Banten dan Gorontalo.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan antardaerah di daerah hasil pemekaran. Penelitian dilakukan di Provinsi Banten dan Gorontalo dengan menggunakan data sekunder tahun 2007-2011 dan data primer hasil wawancara dan FGD. Perkembangan ekonomi dianalisis dengan menggunakan tipologi Klassen, ketimpangan dengan indeks entropi Theil. Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 8 kabupaten/kota,

Banten terdapat empat daerah cepat-maju dan cepat tumbuh, satu daerah maju tapi tertekan, satu daerah berkembang cepat, dan dua daerah relatif tertinggal.

Sedangkan Gorontalo dari 6 kabupaten/kota terdapat dua daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, dua daerah berkembang cepat, dan dua daerah relative tertinggal.

Indeks entropi Theil Banten 3,96 dan Gorontalo 1,16. Sebagai daerah hasil pemekaran Banten memiliki ketimpangan paling tinggi, sedangkan Gorontalo sama dengan ketimpangan yang ada di daerah yang tidak dimekarkan terutama di luar

Pulau Jawa. Salah satu penyumbang terbesar ketimpangan di Banten adanya pemusatan industri di Kota Cilegon. Sedangkan ketimpangan yang rendah di

Gorontalo karena fokus pada pertanian yang merupakan sektor mayoritas masyarakat bekerja. Penelitian ini menyarankan pemerintah memperhatikan faktor pemusatan ekonomi, karena faktor ini dapat menjadikan kebijakan pemekaran gagal mewujudkan pemerataan sebagai salah satu tuntutan lahirnya pemekaran. Baiq Hipziwaty, dkk. 2019. Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan

Kesejahteraan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi, disparitas pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait berupa data PDRB, jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, IPM dan pendapatan perkapita antar Kabupaten/Kota di

Provinsi NTB dan pengumpulan data memakai metode kasus. Dengan prosedur analisis menggunakan indeks Williamson dan analisis regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010-2016 rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 6,0%.

Disparitas pendapatan yang terlihat dari indeks Williamson dalam periode 2010-

2016 tergolong dalam kriteria ketimpangan sedang. Hasil estimasi hubungan variabel pertumbuhan ekonomi, disparitas pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat yang diukur menggunakan IPM tahun

2010-2016 menggunakan analisis regresi data panel dengan model Fixed Effect

(FEM), ditemukan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi berhubungan positif, namun tidak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Variabel disparitas pendapatan berhubungan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi

NTB.

Andi Samsir dan Abdul Rahman. 2018. Menelusur Ketimpangan Distribusi

Pendapatan Kabupaten Kota di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal, aglomerasi, tingkat pengganguran terbuka, Indeks Pembangunan Manusia dan jumlah penduduk terhadap disparitas distribusi pendapatan di kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis data menggunakan regresi panel dengan data time series selama 6 tahun dan data cross section 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan selama periode penelitian 2010- 2015, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan menurut Indeks entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan yang mengatakan adanya kurva U terbalik. Variabel desentralisasi fiskal, aglomerasi, tingkat pengangguran terbuka, Indeks Pembangunan Manusia, dan jumlah penduduk, secara simultan berpengaruh terhadap disparitas distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Desentralisasi fiskal dan aglomerasi tidak berpengaruh signifikan, sedangkan tingkat pengangguran terbuka, Indeks

Pembangunan Manusia dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap disparitas distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan.

Tutik Yuliani. 2015. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten di Kalimantan Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketimpangan pembangunan dan pendapatan antar Kabupaten di Kalimantan Timur serta membuktikan apakah Hipotesis U terbalik berlaku di Propinsi Kalimantan

Timur. Untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan pendapatan digunakan

Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil. Berdasarkan indeks Wiliamson menunjukkan bahwa selama tahun 2010 sampai dengan 2012 terdapat ketimpangan pembanguan antar kabupaten di Kalimantan Timur sebesar 0.69 di tahun 2010 menjadi 0.72 di tahun 2012. Sedangkan dari hitungan Entropi Theil menunjukkan bahwa rata-rata selama tahun 2010 sampai dengan 2012 terdapat ketimpangan pendapatan sebesar 17.45. Setelah dilakukan analisis Kuznets menunjukkan bahwa di Kalimantan Timur selama tahun 2010 sampai dengan 2012 berlaku hukum

Kuznets.

2.6. Definisi Konseptual

Definisi konseptual adalah definisi yang menggambarkan hubungan objek dan subjek yang diteliti. Adapun objek dan subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Vw adalah tingkat ketimpangan pendapatan dalam suatu daerah

2. Yi adalah PDRB perkapita barang dan jasa yang dihasilkan kabupaten/kota

3. Y adalah PDRB perkapita barang dan jasa yang dihasilkan ditingkat provinsi

4. Fi adalah jumlah penduduk yang berdomisili di masing-masing kabupaten/kota

5. N adalah jumlah penduduk yang tinggal didalam suatu wilayah provinsi.

Adapun struktur konseptualnya adalah

Yi -Y

Vw

Fi / n

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

2.7. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Kalimantan Utara tahun 2013-2019. BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional Variabel

Menurut Sugiyono (2004) Definisi operasional dalam penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.

Definisi operasional penelitian ini adalah:

1. Ketimpangan Pendapatan yang selanjutnya dalam penelitian ini diberikan

simbol Vw adalah ketimpangan pendapatan kabupaten/kota di Wilayah

Kalimantan Utara yang dihitung menggunakan Indeks Williamson.

2. PDRB perkapita kabupaten/kota, selanjutnya dalam penelitian ini diberikan

simbol Yi adalah pendapatan perkapita yang dihasilkan dalam kabupaten/kota di

wilayah Provinsi Kalimantan Utara dan dihitung dalam satuan rupiah.

3. PDRB perkapita provinsi, selanjutnya dalam penelitian ini diberikan simbol Y

adalah pendapatan perkapita yang dihasilkan ditingkat Provinsi Kalimantan

Utara.

4. Jumlah penduduk ditingkat kabupaten/kota yang selanjutnya diberikan simbol

Fi merupakan jumlah penduduk yang berdomisili di masing-masing

kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan Utara.

5. N adalah jumlah penduduk yang tinggal di wilayah Provinsi Kalimantan Utara.

3.2. Sumber Data

Menurut Fathoni (2006) Data merupakan informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis menjadi fakta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Menurut Hasan (2002) Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber yang telah ada. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi:

1) Data PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara atas dasar

harga konstan 2010 tahun 2013-2019;

2) Data PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara tahun

2013-2019;

3) Data jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Utara tahun 2013-2019;

4) Data jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara tahun

2013-2019.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan metode sebagai berikut:

1. Library research (penelitian perpustakaan)

Untuk mendukung penulisan ini dan terutama memperoleh dasar pemikiran

teoritis, maka akan dilakukan studi kepustakaan dengan mengkaji serta

membaca buku literature ekonomi dan laporan atau brosur lainnya.

2. Fields research (penelitian lapangan)

Teknik ini dilakukan dengan mendatangi langsung objek penelitian atau instansi

terkait. Didalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data secara sekunder,

artinya pengumpulan data diperoleh langsung dari dinas terkait penelitian, dan

data tersebut sudah diolah oleh dinas terkait. Data-data tersebut diperoleh dari

BPS Kabupaten Kalimantan Utara dan BPS Kabupaten/Kota di Kalimantan

Utara.

3.4. Teknik Analisis Data

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan menggunakan peralatan analisis Ekonomi Regional. Analisis data yang digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah Analisis Tingkat

Ketimpangan Antar Daerah, untuk menghitung tingkat ketimpangan/disparitas pendapatan perkapita antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson. Sjafrizal (2008) menjelaskan bahwa

Indeks ini semula digunakan oleh Jeffry G. Williamson untuk menghitung tingkat ketimpangan antar daerah:

푓 √( )2 푖 푌푖 − 푌 (푛) 퐼푊 = 푌 di mana: Yi : PDRB perkapita daerah i; Y : PDRB perkapita rata – rata seluruh daerah; Fi : Jumlah penduduk daerah i; N : Jumlah penduduk seluruh daerah.

Indeks Williamson berkisar antara 0 < IW < 1, di mana semakin mendekati nol artinya wilayah tersebut semakin tidak timpang. Bila mendekati satu maka semakin timpang wilayah yang diteliti. BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Provinsi Kalimanta Utara

Terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara yang disingkat menjadi Kaltara, melalui proses panjang yang diwacanakan sejak tahun 2000. Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November 2012 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara ini sebelumnya telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk disahkan menjadi undang- undang (UU). Sejak terbit UU No. 20 Tahun 2012 maka resmi terbentuk Provinsi

Kalimantan Utara sebagai provinsi ke 34 di Indonesia. Pada tanggal 22 April 2013

Penjabat Gubernur Kalimantan Utara yaitu Irianto Lambrie dilantik oleh Menteri

Dalam Negeri Gamawan Fauzi di .

Tujuan pembentukan provinsi ini adalah untuk mendorong peningkatan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, memperpendek rentang kendali (span of control) pemerintahan, terutama di kawasan perbatasan. Pemerintah Pusat berharap dengan adanya pemerintahan provinsi, permasalahan di perbatasan utara Kalimantan dapat langsung dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Diharapkan juga dengan adanya Provinsi Kaltara dapat meningkatkan perekonomian warga Kalimantan

Utara yang berada di dekat perbatasan dengan negara-negara tetangga. Pada saat dibentuknya, wilayah Kaltara terbagi 5 wilayah administrasi yang terdiri atas 1 kota dan 4 kabupaten yakni Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan,

Malinau, Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Seluruh wilayah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kalimantan Timur. Berdasarkan bunyi

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, Kaltara beribukota Tanjung Selor yang berada di Kabupaten Bulungan.

4.2. Keadaan Geografis Provinsi Kalimantan Utara

Daerah Kalimantan Utara yang terdiri dari luas wilayah 75 467,70 km2, terletak antara 114o35'22'' dan 118o03'00'' Bujur Timur, dan antara 1o21'36'' dan

4o24'55'' Lintang Utara. Kalimantan Utara yang merupakan provinsi termuda di

Indonesia saat ini, dibagi menjadi 5 (lima) kabupaten/kota, 4 (empat) kabupaten, 1

(satu) kota, 50 kecamatan dan 479 desa/kelurahan. Lima kabupaten/kota tersebut adalah Malinau dengan ibukota Malinau, Bulungan dengan ibukota Tanjung Selor,

Tana Tidung dengan ibukota Tideng Pale, Nunukan dengan ibukota Nunukan, sedangkan satu Kota adalah Tarakan.

Provinsi Kalimantan Utara terletak di paling utara Pulau Kalimantan dan sekaligus merupakan wilayah perbatasan dengan Negara , khususnya

Negara dan Sarawak. Tepatnya provinsi ini berbatasan langsung dengan

Negara Malaysia di sebelah Utara, Laut Sulawesi di sebelah Timur, Kalimantan

Timur di sebelah Selatan, dan Malaysia di sebelah Barat.

4.3. Keadaan Sosial Provinsi Kalimantan Utara

4.4.1. Agama

Kehidupan beragama di Negara Indonesia diatur sesuai pasal 29

UUD 1945 dan Pancasila sila pertama, yang berke-Tuhan-an serta

menjamin kebebasan penduduk memeluk suatu agama dan menjalankan

ibadah keagamaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Kehidupan beragama senantiasa dibina dengan tujuan untuk

menciptakan kehidupan masyarakat yang serasi, seimbang, dan selaras

yang diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah sosial budaya sebagai

dampak dari globalisasi dunia dewasa ini, yang mungkin dapat merusak

mental bangsa dan menghambat kemajuan, di samping untuk membina

kerukunan hidup antar umat beragama.

Berdasarkan data dari Kementerian Agama Kantor Wilayah

Provinsi Kalimantan Utara, mayoritas penduduk di Provinsi Kalimantan

Utara pada tahun 2019 beragama Islam, yaitu mencapai 72,44 persen.

Sebaran penduduk di Provinsi Kalimantan Utara menurut agama lainnya

adalah 20,93 persen Kristen Protestan, 5,91 persen Kristen Katolik, 0,06

persen Hindu, dan 0,65 persen Buddha, dan 0,02 lainnya. Jumlah tempat

peribatan di Provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2019 adalah 602

masjid, 363 mushola/ langgar, 538 gereja protestan, 130 gereja katolik, 7

pura, 8 vihara, dan 3 klenteng.

4.4.2. Pendidikan

Salah satu faktor Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan

di suatu negara adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2), maka melalui jalur Pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk.

Program wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun, Gerakan Nasional Orang Tua

Asuh (GNOTA), dan berbagai program pendukung lainnya adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat peningkatan kualitas SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan SDM yang tangguh yang siap bersaing di era globalisasi. Peningkatan SDM sekarang ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam Pendidikan, terutama penduduk usia sekolah (7-24 tahun).

Angka partisiasi murni (APM) di provinsi Kalimantan Utara tahun

2019 menurut jenjang pendidikan adalah 93,15 (SD/MI); 78,42 (SMP/

MTs); dan 64,39 (SMA/SMK/MA). Angka Partisipasi Kasar (APK) di

Provinsi Kalimantan Utara tahun 2019 menurut jenjang pendidikan adalah

101,17 (SD/MI); 98,25 (SMP/MTs); dan 97,91 (SMA/ SMK/ MA). APK

SD/MI menunjukkan angka lebih dari 100. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat jumlah murid SD/MI yang bersekolah sebelum usia 7 tahun atau lebih dari usia 12tahun.

Pada tahun 2019 di Provinsi Kalimantan Utara terdapat 185 sekolah yang berada dibawah Kementerian Pendiidkan dan Kebudayaan, yang terdiri dari 162 sekolah swasta dan 23 sekolah negeri. Dengan jumlah total guru sebanyak 801 orang. Dan jumlah total murid sebanyak 8.476 orang. 4.4. Penduduk dan Angkatan Kerja Provinsi Kalimantan Utara

Tenaga kerja adalah modal dalam pembangunan ekonomi. Jumlah dan

komposisi tenaga kerja akan mengalami perubahan seiring dengan pertumbuhan

penduduk. Tenaga Kerja yang aktif secara ekonomi disebut angkatan kerja. Tingkat

Partisipasi Angkatan (TPAK) adalah ukuran yang menggambarkan jumlah

penduduk digolongkan sebagai angkatan kerja untuk setiap 100 pekerja.

Tabel 4.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas menurut Jenis Kegiatan, Jenis Kelamin dan Klasifikasi Daerah di Kalimantan Utara, Agustus 2019 Jenis Kelamin Daerah Jenis Kegiatan Total Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan Penduduk Usia 283.197 243.626 323.460 203.363 526.823 Kerja Angkatan Kerja 237.830 111.327 209.203 139.954 349.157 Bukan Angkatan 45.367 132.299 114.257 63.409 177.666 Kerja Sumber: Kaltara dalam angka (diolah) Jumlah angkatan kerja di Kalimantan Utara pada tahun 2018 sebesar 341.197

jiwa, dan pada tahun 2019 menjadi sekitar 349.157 jiwa. Jadi selama kurun waktu

2018–2019 terjadi penambahan jumlah penduduk yang masuk dalam angkatan

kerja sebesar 7.960 jiwa. Terdapat perbedaan yang cukup menyolok pada jumlah

angkatan kerja menurut jenis kelamin, dimana jumlah angkatan kerja laki-laki 2

kali lebih banyak dibandingkan angkatan kerja perempuan. Dari Tabel 2.2 dapat

dilihat, angkatan kerja laki-laki sejumlah 238 ribu jiwa (68,12 persen) sedangkan

angkatan kerja perempuan berjumlah 111 ribu jiwa atau sekitar 31,88 persen dari

total angkatan kerja. Selama kurun waktu 2018–2019 jumlah angkatan kerja laki-laki mengalami peningkatan sebesar 13.046 jiwa, sedangkan jumlah angkatan kerja pada perempuan mengalami penurunan sebesar 5.086 jiwa.

4.5. Pendapatan Perkapita Provinsi Kalimantan Utara

Pada tahun 2019, PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Kalimantan Utara secara spasial menunjukan seluruh Kabupaten/Kota mengalami peningkatan.

PDRB perkapita Kabupaten Tana Tidung pada tahun 2019 mencapai 200,02 juta rupiah mengalami peningkatan sebesar 3,70 persen dari tahun sebelumnya.

Sedangkan PDRB perkapita Kota Tarakan sebesar 133,96 juta rupiah naik 10,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya, begitu pula Kabupaten Bulungan dengan

PDRB perkapita sebesar 128,51 juta rupiah naik 6,50 persen.

Tabel 4.5 Perkembangan PDRB/Kapita Menurut kabupaten/Kota di Kalimantan Utara tahun 2015-2019 (Juta Rupiah) Kab/Kota Tahun Malinau Bulungan KTT Nunukan Tarakan 2015 89,28 100,29 180,91 87,37 92,65 2016 90,41 102,88 179,16 88,96 99,87 2017 101,42 112,43 189,51 103,63 110,68 2018 107,55 120,67 192,88 112,09 120,85 2019 117,79 128,51 200,02 121,09 133,96

Kabupaten/Kota yang mengalami peningkatan PDRB perkapita tertinggi pada tahun 2019 adalah Kota Tarakan dengan peningkatan sebesar 10,85 persen.

Semakin meningkatnya PDRB perkapita wilayah perkotaan seperti Kota Tarakan lebih didorong oleh perkembangan perkotaan sebagai pusat perdagangan dan jasa.

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis

Untuk mengetahui berapa besar perbedaan pendapatan per kapita daerah yang terjadi di antar kabupaten/kota di Wilayah Utara Provinsi Kalimantan Utara digunakan alat analisis indeks Williamson dengan rumus sebagai berikut:

푓 √( )2 푖 푌푖 − 푌 (푛) 퐼푊 = 푌 di mana: Yi : PDRB perkapita Kabupaten / Kota i; Y : PDRB perkapita rata – rata Provinsi Kalimantan Utara; Fi : Jumlah penduduk Kabupaten / Kota i; N : Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Utara.

5.1.1. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2015

Tabel 5.1 PDRB Perkapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Utara tahun 2015 No Kabupaten yi ni y n 1 Malinau 12.404.152 65.900 2 Bulungan 11.955.328 116.600

3 Tana Tidung 10.831.641 16.600 12.620.940 550.500 4 Nunukan 13.183.291 148.800 5 Tarakan 14.730.229 202.600

2 65.900 √∑(12.404.152−12.620.940) ( ⁄550.500)  퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 12.620.940

퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 0.0059

2 116.600 √∑(11.955.328−12.620.940) ( ⁄550.500)  퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 12.620.940 퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 0.0242

2 16.600 √∑(10.831.641−12.620.940) ( ⁄550.500)  퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 12.620.940 퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 0.0246

2 148.800 √∑(13.183.291−12.620.940) ( ⁄550.500)  퐼푊푁푢푛푢푘푎푛 = 12.620.940 퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 0.231

2 202.600 √∑(14.730.299−12.620.940) ( ⁄550.500)  퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 12.620.940 퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 0.1013

5.1.2. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2016

Tabel 5.2 PDRB Perkapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Utara tahun 2016 No Kabupaten yi ni y n 1 Malinau 13.381.899 68.600 2 Bulungan 12.510.124 119.800 3 Tana Tidung 11.172.064 17.700 13.098.955 572.500 4 Nunukan 13.281.603 155.700 5 Tarakan 15.149.087 210.700

2 68.600 √∑(13.381.899−13.098.955) ( ⁄572.500)  퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 13.098.955 퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 0.0074

2 119.800 √∑(12.510.124−13.098.955) ( ⁄572.500)  퐼푊퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 13.098.955 퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 0.0205

2 17.700 √∑(11.172.064−13.098.955) ( ⁄572.500)  퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 13.098.955 퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 0.025

2 155.700 √∑(13.281.603−13.098.955) ( ⁄572.500)  퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 13.098.955 퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 0.0072

2 210.700 √∑(15.149.087−13.098.955) ( ⁄572.500)  퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 13.098.955 퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 0.0949

5.1.3. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2017

Tabel 5.3 PDRB Perkapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Utara tahun 2017 No Kabupaten yi ni y n 1 Malinau 13.095.080 71.500 2 Bulungan 10.899.362 123.000 3 Tana Tidung 12.225.828 19.000 12.676.070 595.000 4 Nunukan 10.513.921 162.700 5 Tarakan 16.616.159 218.800

2 71.500 √∑(13.095.080−12.676.070) ( ⁄595.000)  퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 12.676.070 퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 0.0114

2 123.000 √∑(10.899.362−12.676.070) ( ⁄595.000)  퐼푊퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 12.676.070 퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 0.0637

2 19.000 √∑(12.255.828−12.676.070) ( ⁄595.000)  퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 12.676.070 퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 0.0063

2 162.700 √∑(10.513.921−12.676.070) ( ⁄595.500)  퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 12.676.070 퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 0.0891

2 218.800 √∑(16.616.159−12.676.070) ( ⁄595.500)  퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 12.676.070 퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 0.1884

5.1.4. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2018

Tabel 5.4 PDRB Perkapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Utara tahun 2018 No Kabupaten yi ni y n 1 Malinau 13.634.439 74.469 2 Bulungan 11.119.480 126.096 3 Tana Tidung 12.836.814 20.372 12.784.643 618.208 4 Nunukan 11.305.751 170.042 5 Tarakan 17.468.700 227.229 2 74.469 √∑(13.634.439−12.784.643) ( ⁄618.208)  퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 12.784.643 퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 0.023

2 126.096 √∑(11.119.480−12.784.643) ( ⁄618.208)  퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 12.784.643 퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 0.058

2 20.372 √∑(12.836.814−12.784.643) ( ⁄618.208)  퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 12.784.643 퐼푊 푡푎푛푎 푡푖푑푢푛푔 = 0.00074

2 170.042 √∑(11.305.751−12.784.643) ( ⁄618.208)  퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 12.784.643 퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 0.06

2 227.229 √∑(17.468.700−12.784.643) ( ⁄618.208)  퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 12.784.643 퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 0.222

5.1.5. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2019

Tabel 5.5 PDRB Perkapita dan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Utara tahun 2019 No Kabupaten yi ni y n 1 Malinau 14.196.014 77.492 2 Bulungan 11.231.815 129.381 3 Tana Tidung 13.445.342 21.891 12.894.145 641.936 4 Nunukan 11.731.123 177.607 5 Tarakan 18.364.984 235.565

2 77.492 √∑(14.196.014−12.894.145) ( ⁄641.936)  퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 12.894.145 퐼푊 푀푎푙푖푛푎푢 = 0.0350

2 129.381 √∑(11.231.815−12.894.145) ( ⁄641.936)  퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 12.894.145 퐼푊 퐵푢푙푢푛푔푎푛 = 0.0578

2 21.891 √∑(13.445.342−12.894.145) ( ⁄641.936)  퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 12.894.145 퐼푊 푇푎푛푎 푇푖푑푢푛푔 = 0.00789

2 117.607 √∑(11.731.123−12.894.145) ( ⁄641.936)  퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 12.894.145 퐼푊 푁푢푛푢푘푎푛 = 0.047

2 235.565 √∑(18.364.984−12.894.145) ( ⁄641.936)  퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 12.894.145 퐼푊 푇푎푟푎푘푎푛 = 0.257

5.2. Pembahasan

Dari hasil analisis di atas maka hasil/nilai indeks Williamson masing-

masing kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara sebagaimana tabel berikut:

Tabel 5.6 Indeks Williamson kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara tahun 2015-2019

Kabupaten/Kota No Tahun Malinau Bulungan Tana Tidung Nunukan Tarakan 1 2015 0.00594 0.02422 0.02461 0.02316 0.10139 2 2016 0.00747 0.02056 0.02586 0.00727 0.09494 3 2017 0.01145 0.06372 0.00634 0.08919 0.18848 4 2018 0.02306 0.05882 0.00074 0.06066 0.22212 5 2019 0.03507 0.05787 0.00789 0.04744 0.25702 Rata-rata 0.01659 0.04503 0.01308 0.04554 0.17279 Kabupaten Malinau berdasarkan Indeks Williamson selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, tahun 2015 sebesar 0.00594 meningkat menjadi

0.00747 ditahun 2016 dan meningkat menjadi 0.01145 ditahun 2017. Pada tahun

2018 sebesar 0.02306 meningkat menjadi 0.03507 ditahun 2019. Meningkatnya nilai indeks Williamson ini dikarenakan peningkatan PDRB perkapita di Kabupaten

Malinau tidak seimbang dengan peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten

Malinau. Angka Indeks Williamson di Kabupaten Malinau mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Kabupaten Malinau dalam kategori ketimpangan rendah dengan rata-rata nilai Indeks Williamson sebesar 0.01659.

Kabupaten Bulungan berdasarkan Indeks Williamson pada tabel diatas memiliki nilai Indeks Williamsin sebesar 0.02422 pada tahun 2015 dan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2016 menjadi 0.02056. Pada tahun 2017 terjadi peningkatan yang begitu tajam menjadi 0.06372 dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2018 menjadi 0.05882 dan mengalami penurunan lagi ditahun 2019 menjadi 0,05787. Nilai Indeks Williamson di Kabupaten Bulungan pada tahun 2017 sangat meningkat tajam dikarenakan adanya penurunan PDRB perkapita

Kabupaten Bulungan namun jumlah penduduk meningkat. Meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2017, secara keseluruhan nilai Indeks Williamson di

Kabupaten Bulungan mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di

Kabupaten Bulungan dalam kategori ketimpangan rendah.

Kabupaten Tana Tidung berdasarkan Tabel Indeks Williamson diatas memiliki nilai Indeks Williamson sebesar 0.02461 di tahun 2015 dan mengalami peningkatan di tahun 2016 menjadi 0.02586. Pada tahun 2017 mengalami penurunan yang cukup drastis menjadi 0.00634 dan kembali mengalami penurunan di tahun 2018 menjadi 0.00074. Namun pada tahun 2019 sedikit kembali meningkat menjadi 0.00789. Meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Tana Tidung justru menurunkan nilai Indeks Williamson Kabupaten Tana Tidung dikarenakan dibarengi dengan peningkatan PDRB Perkapita yang cukup signifikan di

Kabupaten Tana Tidung. Namun secara keseluruhan Indeks Williamson Kabupaten

Tana Tidung mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Tana

Tidung tergolong dalam kategori ketimpangan rendah.

Kabupeten Nunukan berdasarkan tabel Indeks Williamson diatas memiliki nilai sebesar 0.02316 di tahun 2015 dan mengalami penurunan yang cukup drastis di tahun 2016 menjadi 0.00727. Namun pada tahun 2017 mengalami peningkatan tajam menjadi 0.08919 dan 0.06066 pada tahun 2018 dan kembali mengalami penurunan di tahun 2019 menjadi 0.04744. Secara keseluruhan nilai Indeks

Williamson Kabupaten Nunukan tergolong dalam kategori rendah meskipun sempat terjadi peningkatan tajam pada tahun 2017. Hal ini dikarenakan kecenderungan laju pertumbuhan PDRB perkapita Kabupaten Nunukan juga mengalami penurunan namun jumlah penduduk semakin bertambah. Namun, berdasarkan rata-rata Indeks Williamson Kabupaten Nunukan tahun 2015-2019 mengindikasikan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten Nunukan tergolong rendah.

Kota Tarakan berdasarkan Indeks Williamson memiliki nilai 0.10139 pada tahun 2015 dan mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 0.09494, namun pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 0.18848 dan 0.22212 pada tahun

2018 dan semakin meningkat pada tahun 2019 menjadi 0.25702. Nilai Indeks

Williamson Kota Tarakan meskipun sempat mengalami penurunan di tahun 2016 namun memiliki kecenderungan meningkat di tahun – tahun berikutnya. Pada tahun

2015 – 2017 nilai Indeks Williamson Tarakan mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Kota Tarakan tergolong ketimpangan rendah, namun pada tahun 2018-2019 berubah menjadi ketimpangan sedang. Hal ini disebabkan rasio peningkatan PDRB perkapita lebih kecil jika dibandingkan rasio peningkatan jumlah penduduk di Kota Tarakan. Meskipun jika dilihat dari nilai rata-rata Indeks

Williamson Kota Tarakan menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Kota Tarakan masih tergolong ketimpangan rendah, namun kecenderungan meningkatnya harus kita waspadai. BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah adanya ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan

Utara meskipun tergolong dalam ketimpangan rendah, namun hal ini perlu terus di control mengingat Kota Tarakan memiliki kecenderungan ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Ketimpangan terendah terjadi di Kabupaten Tana Tidung dan paling tinggi di Kota Tarakan.

6.2. Saran

Dari kesimpulan diatas menunjukkan ketimpangan pendapatan per kapita masih cukup rendah dan dapat disarankan bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Utara agar terus mampu membuat kebijakan yang tepat sehingga mampu mempertahankan kesenjangan yang cukup rendah tersebut, misalnya dengan cara menyediakan akses yang setara dalam hal layanan seperti pendidikan dan kesehatan akan memberikan peluang lebih baik bagi generasi masa depan untuk keluar dari kemiskinan. Meningkatkan produktivitas pekerja berpenghasilan rendah dengan menciptakan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik akan menambah pemasukan sehingga membantu masyarakat miskin membantu diri mereka sendiri. Kebijakan ini diharapkan dapat menyeimbangkan rasio peningkatan PDRB perkapita dengan rasio peningkatan jumlah penduduk di

Kalimantan Utara. 39

DAFTAR PUSTAKA

Aidar, Nur. 2015. Analisis Disparitas Pendapatan Regional di Provinsi Aceh. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik Volume 2 Nomor 1, Mei 2015.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Arsyad, Lincolin. 2016. Ekonomi pembangunan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

BPS Kabupaten Bulungan. Kabupaten Bulungan dalam Angka 2011-2016. BPS Kabupaten Bulungan dan Bappeda Kabupaten Bulungan

BPS Kabupaten Malinau. Kabupaten Malinau dalam Angka 2011-2015. BPS Kabupaten Malinau.

BPS Kabupaten Nunukan. Kabupaten Nunukan dalam Angka 2011-2015. BPS Kabupaten Nunukan

BPS Kabupaten Tana Tidung. Tana Tidung dalam Angka 2011-2015. BPS Kabupaten Tana Tidung.

BPS Kalimantan Timur. Kalimantan Utara dalam Angka 2014-2016. BPS Kalimantan Timur.

BPS Kota Tarakan. Kota Tarakan dalam Angka 2011-2015. BPS Kota Tarakan

Jhingan, Ml. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Press.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, Mudrajad 2006. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKTN.

Kuznet, S. 1995. Quantitative Aspect of the Economic Growth of Nation: I. Economic Development and Cultural Change, Vol. V.

39

40

Priyambodo, Kukuh Danuargo, dkk. 2015. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur. e-Journal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi, 2015 Volume 2 (1):28-36

Ratriadi, Benni. 2009. Analisis Disparitas Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2003-2004. Semarang: UNS

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sukirno, S. 1994. Pengantar Teori Makroekonomi. Edisi kedua. PT. Rajawali Grasindo Persada. Jakarta.

Suseno, Hyginus Triyanto Widodo. 1990. Indikator Ekonomi Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Swaramarinda, Darma Rika dan Susi Indriani. 2011. Pengaruh Pengeluaran Konsumsi dan Investasi Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Jurnal Econo Sains. Volume IX, Nomor 2, Agustus 2011.

Todaro, Michael. 1995. Ekonomi untuk Negara Berkembang: Suatu Pengantar tentang Prinsip-prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan. Edisi ketiga. Jakarta. Bumi Aksara.

Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Todaro M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara