Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara Adat Mitoni Di Puro Mangkunagaran

Desy Nurcahyanti1

Abstracts Mitoni or ceremony of seventh month is a stage full meaning about existention new thing in Javanesse belief. Number of seven contain any symbol, sign though icon. Manifestation of they is seem in clothes change ritual up to seven stage. The ritual use seven cloth, seven stage and seven sesaji (traditional ritual giving). Puro Mangkunegaran has certain way and system to do the ritual. So Mitoni is constructed by different style with keraton style and common society. Difference of the ritual are in stage and tools of celebration. All of meaning in ritual of clothes ceremony Mitoni culture in Puro Mangkunegaran, Surakarta has good meaning which it’s suitable with man character. Man always hope safety, succesfull, fine, perfection from God in every thing in life. Key words: clothes, tools of ritual ceremony, sign, meaning

Pendahuluan

Setiap bangsa memiliki kebudayaan khas. Kebudayaan tersebut mengandung rangkaian perjalanan suatu bangsa, mulai zaman manusia menggunakan batu, hingga menghasilkan kebudayaan baru (Winarto, 1990: 495).

Unsur kebudayan lama berupa sistem religi, berkaitan dengan kepercayaan hal-hal gaib, dianggap lebih tinggi dari manusia. Kepercayaan terhadap kekuatan gaib diwujudkan melalui aktifitas-aktifitas upacara religi. Upacara religi mengandung ilmu gaib. Hal tersebut dilakukan manusia, untuk maksud tertentu, misalnya mencelakakan orang lain, menolak bahaya, menjadi kaya, mengusir roh jahat, menyembuhkan penyakit dan lain-lain (Irwan M. H., 1990: 78).

1 Jurusan Seni Murni Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 1

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Unsur kebudayaan Jawa yang termasuk sistem religi adalah upacara adat mencakup tindakan-tindakan keagamaan dalam hal ini dikategorikan sebagai sistem sosial Agami Jawi. Upacara terpenting dalam Agami Jawi adalah wilujengan (krami) atau slametan (ngoko) dengan orientasi mencapai suatu tujuan yang lebih luas sifatnya, yaitu untuk menghilangkan kesusahan, mendapatkan keteguhan iman, keselamatan, dan menyerahkan diri kepada Tuhan atau kepada kekuatan-kekuatan gaib lainnya.

Slametan atau wilujengan adalah upacara pokok atau unsur terpenting dari semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dihadiri anggota keluarga, tetangga-tetangga, dan kerabat (Koentjaraningrat,

1994: 343-344). Upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup orang Jawa seperti mitoni, melahirkan, upacara memberi nama, upacara kekah dan pemotongan rambut, tedhak siten, khitanan, pernikahan, pemakaman dan ritus kematian, nyekar atau adat untuk mengunjungi makam, serta perayaan-perayaan upacara tahunan merupakan ritus yang memuat slametan.

Rangkaian acara mitoni memiliki makna dan simbol. Urutan acara tersebut menurut Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, antara lain sungkeman, siraman, januran, brojolan, busanan, deganan, dan wilujengan. Mitoni mempunyai ciri yang berkaitan dengan bilangan 7 (Bratasiswara, 2000: 84-87).

Sejarah dan budaya Puro Mangkunagaran erat kaitannya dengan Keraton

Kasunanan Surakarta. Masyarakat beranggapan bahwa tata urutan upacara adat, terutama busana yang dikenakan, kedua tempat tersebut sama. Perbedaan kedudukan Puro Mangkunagaran dan Keraton Kasunanan, merupakan dasar

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 2

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

perbedaan pelaksanaan upacara adat mitoni dari segi penggunaan busana di Puro

Mangkunagaran.

Landasan Teori

1. Tanda Pada Kebudayaan Jawa

Tanda pada kebudayaan Jawa dapat dikategorikan dalam ikon, indeks dan simbol. Kategori paling banyak adalah simbol, karena beberapa hal termasuk klasifikasi simbol. Hal-hal tersebut yakni:

1. Benda yang berujud, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan (bunga, buah, pohon),

bagian rumah, susunan keraton, motif-motif pada kain dan busana,

perlengkapan upacara;

2. Warna;

3. Gerak (dengan isyarat mimik muka, bahasa tubuh, sikap);

4. Kata-kata;

5. Perbuatan yang mengandung simbol;

6. Bilangan, angka, huruf (Suwondo, 1981: 236).

Bentuk kebudayaan sering diwujudkan berupa simbol-simbol.

Masyarakat Jawa, kaya akan sistem simbol tersebut. Sepanjang sejarah manusia

Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi.

Sistem simbol digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan. Simbol memiliki pengetahuan linuwih yang mampu memahami segala bentuk dan tujuan dari simbol-simbol itu sendiri (Hariwijaya, 2004: 3).

Bentuk simbol dalam budaya Jawa dominan dalam segala bidang. Simbol pada kebudayaan orang Jawa, menurut sejarah, dimulai dari zaman prasejarah

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 3

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

atau zaman belum mengenal tulisan sehingga komunikasi lewat gambar di dinding-dinding gua atau tanah liat sampai sekarang ini, dimaksudkan sebagai tanda memperingati suatu kejadian tertentu, agar segala peristiwa dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenarasi ataupun generasi berikutnya.

Simbol dalam berbagai upacara adat mempunyai makna yang dirangkai oleh para pendahulu dan memunculkan tradisi yang terpakai secara turun temurun baik di masyarakat maupun keraton (Sukmawati, 2004: 18-19).

Masyarakat Jawa mempunyai anutan yang selalu diterapkan hampir diseluruh kehidupannya yaitu berupa dua falsafah bentuk dasar piramida dan kerucut. Bentuk dasar ini dibagi atas dua sudut pandang yakni:

1. Vertikal, meliputi konsep makrokosmos, tegak lurus, mengatas, alam atas.

Perspektif vertikal digambarkan dalam bentuk segitiga. Bentuk dasar segitiga

memiliki makna yang khas dan tercipta melalui simbol-simbol dalam

kehidupan sehari-hari.

2. Horisontal, meliputi konsep mikrokosmos, mendatar, mendunia, alam tengah

atau bawah. Sudut pandang horisontal digambarkan dengan segiempat. Bentuk

segiempat garis diagonalnya lebih bersifat hubungan horisontal, hubungan

sosial, kekerabatan, perbuatan manusia, kehidupan alam tengah dan kehidupan

materi.

2. Upacara Adat Jawa di Surakarta

Prosesi upacara adat yang dilaksanakan masyarakat di luar tembok

keraton mempunyai perbedaan dengan di dalam lingkup keraton, terdapat

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 4

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

batasan-batasan dan peraturan yang dibuat oleh keraton selaku pusat

pemerintahan dan budaya, meskipun untuk kasunanan sudah mulai surut

pengaruh kekuasaannya setelah pasca kemerdekaan Republik

(Kuntowijoyo, 2004:1-4).

Upacara adat yang paling umum diselenggarakan oleh masyarakat

Jawa di Surakarta terdapat dua macam yakni upacara adat berdasarkan

penanggalan Jawa (berkaitan dengan perayaan hari besar agama Islam) dan

berkaitan dengan siklus hidup. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa di

Surakarta diselenggarakan pihak Keraton Kasunanan dan Puro

Mangkunagaran. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa memungut pola

waktu Islam dalam menghitung bulan menurut rembulan dan hari-hari suci

yang berkaitan dengan itu, orang Jawa merasa berkewajiban merayakan

menurut satu-satunya cara yang mereka ketahui yakni dengan mengadakan

slametan.

Upacara ini dipengaruhi budaya Jawa Klasik dan Hindu dengan

adanya penggunaan tari-tarian, langgam Jawa yang diiringi serta

benda-benda seperti gamelan dan wayang. Upacara menurut perhitungan

tanggal Jawa yakni Syuro, Sekaten, dan Syawalan. Upacara adat Jawa di

Surakarta yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dilaksanakan sejak dari

kandungan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Pelaksanaan upacara adat itu

menurut penyelenggaraannya tidak sama dalam hal detail prosesi dan jumlah

perlengkapan yang digunakan. Upacara yang paling banyak jumlah tata urutan

acaranya dalam siklus hidup ini adalah upacara perkawinan.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 5

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Upacara siklus hidup adalah upacara peralihan tahap (rites of passage)

yang digambarkan seperti busur panah, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak

teratur yang melingkungi kelahiran sampai pada pesta dan hiburan besar yang

diatur rapi seperti khitanan, perkawinan dan terakhir pada upacara kematian yang

hening dan mencekam perasaan (Geertz, 1989: 48, 104).

Upacara siklus hidup juga disebut crisis rites atau upacara waktu krisis

dalam ilmu Antropologi, karena peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dari

lahir sampai mati, memunjukkan adanya perubahan status sosial dari kedudukan

sosial yang satu beralih ke tingkat sosial lain yang lebih tinggi. Waktu peralihan

ini merupakan dianggap sebagai saat-saat penuh bahaya, sehingga diadakan

upacara atau pesta untuk menolak bahaya gaib (Suwondo, 1981:157).

3. Busana Pada Upacara Adat Jawa di Surakarta

Pada dasarnya busana terdiri dari pakaian, tata rias, dan perhiasan.

Busanan sangat erat hubungannya dengan individu, latar belakang budaya, dan

tingkat peradaban seseorang dalam tata cara berbusana adat Jawa, maka dari itu

ada pepatah mengatakan aji neng raga ana ing busana, dari pepatah tersebut

dapat diartikan bahwa manusia dalam berpakaian harus dapat menyesuaikan

dengan waktu, tempat dan latar belakang kebudayaannya (Trifena, 2004:18).

Busana adalah segala sesuatu yang dipakai dari ujung rambut sampai ujung kaki,

termasuk tata rias wajah dan rambut (Prapti Karomah dalam Kusumowati, 2002:

9).

Busana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna

yang sama dengan pakaian (1990: 160, 716) yaitu barang apa yang dipakai

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 6

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

(celana, baju dan sebagainya). Busana dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh, namun bukan bagian dari tubuh, tidak saja menghubungkan tubuh dengan dunia sosial tetapi juga memisahkan keduanya. Kaidah-kaidah berbusana menjadi sarana dalam membentuk dan mereproduksi berbagai kelompok masyarakat.

Busana serta cara berbusana cenderung berkonsentrasi pada kejadian-kejadian yang otentik yang terpisah seperti ritual-ritual. Busana membantu tubuh-tubuh individual untuk menyatakan jati diri dan keberadaan sosial (Nordholt, 2005: 1-4).

Mooryati Soedibyo menguraikan tentang keberadaan busana dalam tatanan hidup bermasyarakat, sebagai penanda untuk berkomunikasi. Dari busana yang dikenakan, akan dapat diketahui derajat, pangkat, dan kedudukan seseorang dalam hierarki (2003: 24). Busana dapat diibaratkan seperti drama, bersumber dari masa lalu yang magis, mistis, religius, penuh ritual dan pemujaan. Pada saat itu masyarakat menggunakan hiasan dan pakaian sebagai medium antara orang yang masih hidup dengan roh-roh atau simbol di dalam penyelenggaraan ritual-ritual kesuburan, perang, perayaan, atau pesta-pesta (Budiman, 2004: 96, 101-102).

Among busana menurut Bratasiswara merupakan cara mengenakan busana Jawa untuk dan dalam keperluan khusus, seperti menghadiri upacara resmi atau upacara adat. Tataran pergaulan masyarakat Jawa, berpakaian memiliki arti yang bersifat umum yakni mengenakan pakaian yang dikenakan sehari-hari, baik dirumah maupun dalam pergaulan luar rumah. Berbusana memiliki pengertian khusus yakni mengenakan pakaian khusus pada waktu upacara resmi (pasewakan, pahargyan), dan upacara adat yang berlaku pada masyarakat Jawa (2000: 20).

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 7

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Definisi tentang pakaian adat, pakaian resmi dan pakaian kebesaran sesuai dengan konteks kegiatannya; sebagai catatan pakaian didefinisikan sama dengan busana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni: a. Pakaian adat adalah pakaian resmi khas daerah. b. Pakaian resmi: pakaian khusus dikenakan pada upacara resmi. c. Pakaian kebesaran: pakaian yang khusus dikenakan pada upacara resmi (1990:

716).

4. Mitoni di Puro Mangkunagaran

Upacara adat mitoni diadakan oleh masyarakat Jawa khususnya

Surakarta, sebagai ucapan rasa syukur atas karunia dari Tuhan Yang Maha Esa

yakni janin berusia tujuh bulan dan memohon keselamatan, kelancaran bagi

bayi dan ibu saat kelahiran kelak. Menurut kepercayaan agama Islam pada saat

kehamilan berusia lima bulan roh ditiupkan dalam kandungan, sehingga masa-

masa sebelum lima bulan seringkali kandungan masih rentan atau masa kritis.

Hal paling mungkin terjadi pada usia satu sampai empat bulan

kehamilan adalah keguguran, gegar yang menyebabkan bayi cacat, maka

keselamatan sampai usia tujuh bulan pantas disyukuri pasangan yang

dikaruniai anak beserta keluarga besarnya karena mendapat tambahan

keturunan dan anggota keluarga.

Mitoni yang diselenggarakan di luar Mangkunagaran adalah

pengembangan dari adat Mangkunagaran dan Kasunanan, sehingga dalam

beberapa hal berbeda dan lebih kompleks rangkaian acaranya. Mitoni di Puro

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 8

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Mangkunagaran memiliki perbedaan dan persamaan tata cara dengan yang

diselenggarakan di luar Mangkunagaran. Tata cara busanan atau penggunaan

busana merupakan salah satu bagian penting rangkaian acara dari upacara adat

mitoni, karena terkandung simbol-simbol berhubungan dengan tanda-tanda

yang terdapat di alam sebagai manifestasi kehidupan dunia dan isinya.

PEMBAHASAN

Salah satu upacara daur hidup di Puro Mangkunagaran adalah mitoni.

Kain yang digunakan pada upacara adat mitoni di Puro Mangkunagaran terdiri dari dua macam, yakni kain Sembagi dan Sidomukti.

Kain Sembagi untuk mitoni di Puro Mangkunagaran Surakarta adalah dari bahan katun bergambar, terdapat cetakan motif bunga, dan mengandung tujuh warna yakni merah, putih, biru, kuning, hijau, hitam dan ungu; seperti tujuh unsur warna pelangi yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu---kecuali warna nila dan jingga yang diisi hitam dan putih. Kain tersebut dibuat dari bahan katun karena nyaman dipakai ibu hamil tujuh bulan. Kain ini harus bergambar bunga, tidak ditentukan jenis bunga tertentu, dan mencakup tujuh warna. Kain Sembagi digunakan sejak Mangkunagoro I bertahta.

Kain Sembagi dipakai secara pasatan (dililitkan badan), setelah siraman dipakai untuk menghormati para tamu undangan dan kerabat yang hadir untuk menjamu mereka dalam acara jamuan makan serta menandakan usainya acara siraman.

Kain yang digunakan selain Sembagi adalah batik Sidomukti. Mukti artinya kehidupan mulia dan luhur, bila mengenakannya diharapkan dapat tercapai

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 9

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

kedudukan tinggi (luhur) dan diberi rejeki lebih (mulia). Batik ini pengembangan dari Sidomulyo latar putih. Batik motif Sidomulyo berasal dari zaman Mataram

Kartasura yang dasarnya (latar) digantikan dengan isen-isen ukel oleh Paku

Buwono IV (Honggopuro, 2002: 145-146; Soedibyo, 2002: 66).

Atasan sebagai padanan kain adalah kebaya Sengkeran, digunakan saat sungkeman dan setelah siraman. Saat sungkeman bertujuan menghormati orang tua, karena memperlihatkan pundak dan lengan yang terbuka kurang sopan, kecuali pada Dodot basahan pengantin. Dinamakan kebaya Sengkeran, karena sama dengan yang digunakan pengantin putri pada malam midodareni. Kebaya ini untuk menutupi bagian dada.

Tatanan rambut yang dipakai adalah ukel bangun tulak, tidak diperkenankan memakai hiasan bunga, hanya penetep semyok dan tusuk konde kecil di kanan-kiri irisan pandan. Bangun tulak berarti menjauhkan yang kasar dan mendekatkan yang halus.

Fungsi dan tujuan busana pada mitoni di Puro Mangkunagaran berkaitan dengan pengharapan, dan keselamatan lahirnya bayi. Penggunaan perhiasan dan tata rias diminimalisir. Minimalnya hiasan badan adalah simbol pengendalian diri, supaya bayi lahir normal dan selamat---beserta ibu yang melahirkan. Ada tiga macam tata cara berbusana, pada mitoni di Puro Mangkunagaran, yakni dikenakan saat sungkeman, siraman, serta siraman dan untuk menjamu tamu. Analisis dilakukan terhadap bagian-bagian busana mitoni Puro Mangkunagaran, dengan konsep dan pendapat Charles Sanders Pierce seputar tanda. Yang ia bagi menjadi

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 10

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

ikon, indeks, dan simbol. Busana-busana tersebut digolongkan sesuai makna dan pengertian masing-masing.

Ikon

Yang termasuk ikon dalam busana mitoni Mangkunagaran yakni sepasang tusuk konde, penetep semyok, dan bros. Penjelasannya sebagai berikut: a. Tusuk Konde

Tusuk konde menandakan penyokong kekuatan dengan ujung yang tajam

mempermudah untuk membuka jalan menuju tempat yang tidak akan tercapai

tanpa keinginan yang tajam dan kuat. Tusuk konde merupakan perwakilan

bentuk sebenarnya dari tombak. Selain mempunyai fungsi menusuk juga untuk

menguatkan, karena setelah ditancapkan pada ukel akan memperkuat posisi

ukel tersebut supaya tidak mudah goyah. b. Penetep Semyok

Letaknya ditengah menandakan pusat dari perhatian dan keindahan,

karena umumnya mengambil bentuk bunga dan penetep semyok sebagai

perwakilan dari bentuk bunga. c. Bros

Bros merupakan perwakilan dari bentuk bunga, dari fungsi bros tersebut

yakni mempercantik dan menjadi pusat perhatian seperti halnya bunga yang ada

di taman dan peniti atau penyemat yang terletak dibelakang bros sebagai

pengikat atau mempersatukan dua atau beberapa hal.

Indeks

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 11

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Yang termasuk indeks dalam busana mitoni Mangkunagaran adalah kain

Sembagi dan Kebaya Sengkeran. Tempat lain tidak menggunakan busana tersebut. Cara penggunaan kedua busana di atas disebut pasatan. Caranya dilingkarkan pada tubuh wanita hamil, mulai dari pangkal ketiak sampai mata kaki. Ukuran kain sembagi 2,25 - 2,5 meter.

Kain Sembagi tidak dipergunakan pada upacara adat lain di Puro

Mangkunagaran, sehingga disebut sebagai indeks atau paling identik dengan mitoni di Puro Mangkunagaran.

Kain Sembagi dan Kebaya Sengkeran terbuat dari satu kain, hanya bentuk yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuh warna. Warna-warna tersebut memiliki kandungan makna sebagai harapan dan doa bagi si pemakai, antara lain: a. Merah atau dadu simbol hawa nafsu manusia yang bulat. Hawa manusia yang

bulat yakni luapan amarah, emosi dan semangat yang berapi-api. b. Putih atau sita simbol kesucian, kosong tidak terpengaruh hal-hal apapun

(baik maupun buruk). Pada mitoni, warna merah-putih menandakan kehidupan

baru yang akan dilahirkan yakni bayi. c. Biru simbol harapan. Dalam ajaran Hindu mewakili Dewa Siwa disimbolkan

dengan teratai biru, sedangkan konsep eka dasa rudra atau sebelas arah mata

angin berarti sambhustawa atau timur laut, yakni antara arah utara

(wisnustawa, warna hitam) dan timur (iswarastawa, warna putih). Pada

mitoni, harapan yang dimaksud adalah bayi lahir dengan selamat sampai usia

kandungan sembilan bulan, dan kelak tumbuh menjadi manusia yang baik.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 12

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

d. Ungu simbol kesempurnaan. Ungu dalam ajaran Ekamaya yakni cahaya

gemerlap yang terdiri dari delapan warna, yang menjadi satu kesaktian dan

melambangkan jiwa yang hidup. Ajaran ini berasal dari Dewa Ruci setelah

menerima Pancamaya yaitu wejangan untuk mendapatkan air prawitasari atau

air hidup abadi, yang diterima oleh Bima atau Werkudara dalam cerita

wayang. Pada mitoni sebagai tanda telah lengkap dan sempurnya kehidupan

sepasang suami istri dengan anugrah seorang anak yang masih dalam

kandungan. e. Hitam simbol kemantapan dan tekad yang bulat. Pengertian warna hitam yang

sesuai dengan makna dalam kain Sembagi adalah warna hitam mewakili Sri

Kresna dalam cerita wayang, yakni simbol kemampuan menghadapi angkara

murka. Kemantapan yang dimaksud adalah kemantapan hati calon orang tua

untuk menerima dan sanggup mengasuh, mendidik, membesarkan bayi yang

lahir dengan sebaik-baiknya. f. Kuning atau jenar simbol supiyah. Supiyah dalam konsep kiblat papat lima

pancer, mewakili arah barat dan hari pasaran pon dengan sifat baik serta tidak

serakah. g. Hijau atau wilis simbol cinta kasih. Dalam ajaran Pancamaya berarti

kemampuan menahan kejahatan atau tabah. Pada cerita wayang diwakili tokoh

Gajah Setubandha.

Warna hijau-kuning seperti halnya merah-putih, bila disatukan

memilki arti berbeda. Hijau-kuning adalah warna kebesaran Puro

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 13

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

Mangkunagaran yang terdapat pada beberapa unsur dalam upacara adat

termasuk warna janur atau daun kelapa yang masih muda.

Puro Mangkunagaran mengambil dari warna pare anom atau padi

muda sebagai lambang kemakmuran, karena padi sebagai makanan pokok

masyarakat Puro Mangkunagaran dan Indonesia pada umumnya, mempunyai

makna penuh semangat, sigap, dan mengedepankan kebijaksanaan.

Kuning-hijau dalam mitoni menandakan kemakmuran. Kesuburan

dan pengharapan supaya si anak kelak penuh semangat, sigap,

mengedepankan kebijaksanaan (Susanto, 1980: 170-177).

Simbol

Yang termasuk simbol dalam busana mitoni Mangkunagaran adalah benda-benda yang dipakai dari rambut sampai kaki jadi semua bagian-bagian busana mitoni adalah simbol karena busana tersebut mewakili dari keseluruhan maksud dan makna yang disampaikan dalam suatu sistem.

Sistem yang dimaksud adalah mitoni, dan perwujudan makna yang diterapkan pada busana. Hal-hal yang disimbolkan pada busana mitoni, mengandung muatan doa bagi keselamatan dan kesejahteraan. Pada dasarnya manusia tidak berharap atas malapetaka. Sekuat tenaga manusia berdoa dan berusaha untuk menjauhkan diri dari hal buruk. Salah satu usahanya adalah mengenakan perhiasan dan pakaian sebagai penangkal peristiwa buruk yang kemungkinan terjadi.

Busana termasuk simbol dalam mitoni di Puro Mangkunagaran, antara

lain:

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 14

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

1. Tanpa Tata Rias

Tanpa riasan adalah simbol dari sesuatu yang bersih, suci, sebuah awal dari

sesuatu karena belum ternoda dan belum ada guratan akan suatu hal. Seorang

ibu hamil mempunyai tugas untuk melahirkan sebuah kehidupan baru yang

harus diawali dengan segala sesuatu yang bersih supaya kelak si anak dapat

tumbuh menjadi manusia yang bersih dan baik pula.

2. Ukel Bangun Tulak

Ukel sebagai simbol sisi kewanitaan karena ukel atau bentuk setengah

melingkar menyimbolkan keluwesan dan kehalusan. Bangun berasal dari

bahasa Jawa berarti mendirikan atau membangun. Tulak berarti menolak bala

atau keburukan. Jadi tulak bala sebagai simbol bangunan, berfungsi

menjauhkan dari segala keburukan.

3. Irisan Pandan

Pandan adalah semacam tumbuhan perdu berdaun banyak yang berbentuk

memanjang dan berbau harum, bila diiris aroma harum akan semakin keluar.

Irisan pandan sebagai simbol keharuman wujud pengharapan supaya kelak hal

yang diimpikan dapat berakhir baik dan membawa nama harum bagi si

penyelenggara dan masyarakat disekitarnya, hubungannya dengan mitoni agar

bayi yang dilahirkan dapat membawa nama baik dan mengharumkan keluarga,

bangsa dan agama.

4. Penetep Semyok

Penetep berarti menetapkan, menguatkan, meneguhkan. Semyok berasal dari

istilak pating semyok karena pada assesoris ini terdapat hiasan permata yang

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 15

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

digantungkan atau tidak menempel sehingga bila si pemakai bergerak

permata-permata tersebut ikut bergerak pating semyok atau terkesan ramai,

meriah.

5. Tusuk Konde

Tusuk sebagai simbol kekuatan untuk menembus atau menggapai cita-cita

dengan semangat yang disimbolkan dengan bentuk tusuk yang berujung

runcing, juga simbol kehati-hatian dalam mencapai cita-cita karena bila salah

langkah akan melukai atau terluka bahkan gagal disimbolkan dengan

pemakaian tusuk konde yang dilakukan perlahan-lahan supaya menancap tepat

dan tidak bergeser.

6. Kebaya Sengkeran

Sengkeran bermakna mengendalikan atau nyengker atau menjauhkan dari hal-

hal buruk. Selama mengandung ibu hamil mudah terpengaruh hal-hal yang

kurang baik dan melakukan hal-hal yang dapat mempengaruhi janin. Usia

kandungan tujuh bulan masih rawan karena dapat terjadi bayi lahir premature

atau belum waktunya sehingga perlu menjaga sikap, pikiran dan tutur kata

supaya selamat, baik si ibu dan bayinya.

7. Bros

Bros simbol kemampuan menutupi yang tidak pantas diketahui, mengalihkan

perhatian karena bentuknya indah dapat mengundang perhatian. Hal tersebut

wujud doa supaya bayi tumbuh menjadi insan yang menarik dan disegani.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 16

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

8. Kain Sembagi

Kain Sembagi digunakan secara pasatan. Pasatan adalah simbol mengikat,

menutup keburukan karena dipergunakan saat siraman untuk menutup aurat

ibu hamil. Bahan yang dipergunakan untuk membuat kain Sembagi sederhana,

mudah ditemui, dan cenderung tidak mewah. Hal tersebut sebagai simbol

kesederhanan, supaya bayi lahir dan tumbuh menjadi manusia bersahaja.

Motif Sembagi sebagai simbol keindahan dan warna-warni bunga di taman

dan tujuh warna yang terkandung di dalamnya sebagai simbol warna pelangi.

Hal tersebut sebagai pengharapan dan doa supaya si anak tumbuh menawan,

selayaknya keindahan bunga di taman serta mempesona seperti warna pelangi.

9. Batik Sidomukti

Sidomukti sebagai simbol pengharapan dan doa, dituangkan dalam ornamen

pengisi dan isen-isen. Sido berarti benar-benar terjadi, terkabul keinginannya.

Mukti berarti kebahagiaan, berkuasa, disegani, tidak kekurangan sesuatu.

Ornamen utama bergambar kupu-kupu sebagai simbol harapan indah dan

tinggi. Kupu-kupu berwarna indah dan terbang tinggi, simbol harapan tinggi.

10. Setagen

Setagen berwujud selendang panjang untuk memperkuat ikatan kain jarit.

Diartikan sebagai simbol kekuatan tanpa henti, diwujudkan dengan panjang

dari setagen tersebut.

11. Tanpa Alas Kaki

Tanpa alas kaki, dalam bahasa Jawa disebut cekeran, merupakan simbol

andap asor, membumi, dan pengabdian istri kepada suami, serta anak kepada

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 17

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

orang tua. Alas kaki merupakan pembatas kaki dan tanah. Ia simbol

kedudukan tinggi dan terhormat. Juga mengandung harapan, supaya bayi yang

lahir, menjadi anak berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai sikap andap

asor atau budi pekerti baik.

Kesimpulan

Puro Mangkunagaran merupakan salah satu pusat budaya di Surakarta.

Tempat tersebut masih konsisten dan teguh, dalam melaksanakan upacara dan

tata cara adat, salah satunya mitoni. Mitoni di Puro Mangkunagaran memiliki

keistimewaan dalam hal tata cara, upacara, dan perlengkapan, terutama jenis

busana. Latar belakang pedoman busana mitoni Puro Mangkunagaran adalah

tata aturan yang dibuat sejak Paku Buwono II. Mangkunagaran mengikuti

aturan tersebut di atas, karena kedudukannya berada di bawah Keraton

Surakarta berdasarkan Serat Waduaji. Struktur kedudukan pemerintahan

Mangkunagaran berupa wilayah Kadipaten, sehingga tunduk dengan aturan

keraton.

Busana mitoni Puro Mangkunagaran terdiri dari beberapa bagian yakni tanpa tata rias, ukel bangun tulak, irisan pandan, tusuk konde, kain pasatan motif

Sembagi, kebaya motif Sembagi, kebaya Kartini atau kebaya Sengkeran, bros, kain batik motif Sidomukti, setagen, dan tanpa alas kaki. Busana merupakan perwakilan lingkup maksud dan tujuan mitoni. Tujuh warna dalam kain motif

Sembagi mewakili makna tujuh bulan kehamilan. Tujuh warna tersebut antara lain: merah atau dadu bermakna hawa nafsu manusia yang bulat, yakni luapan amarah, emosi dan semangat yang berapi-api; putih atau sita bermakna kesucian,

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 18

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

kosong tidak terpengaruh hal maupun buruk; biru bermakna harapan; ungu bermakna kesempurnaan; hitam bermakna kemantapan, meneb, tekad yang bulat; kuning atau jenar bermakna supiyah, mempunyai sifat baik budi dan tidak serakah; dan hijau atau wilis bermakna cinta kasih.

Bagian-bagian busana mitoni Puro Mangkunagaran secara keseluruhan memiliki arti sesuai sifat manusia, yang selalu mengharapkan keselamatan, kelancaran, kebaikan, kesempurnaan dari Sang Maha Penguasa Jagat di kehidupan.

Ikon, indeks, dan simbol pada bab pembahasan dan analisis, mudah dipahami bila tersaji dalam bentuk tabel, sebagai berikut:

Trikotomi Ikon, Indeks dan Simbol Pierce dalam Busana Mitoni Puro Mangkunagaran

Bagian-Bagian No Ikon Indeks Simbol Busana Mitoni 1 Tusuk konde   2 Penetep semyok   3 Bros   4 Tanpa tata rias  5 Irisan pandan  6 Kebaya Sengkeran atau Kartini   7 Kain Sembagi   8 Batik Sidomukti  9 Tanpa alas kaki  10 Setagen  11 Ukel bangun tulak  Sumber: Analisis data penelitian

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 19

Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara …

DAFTAR PUSTAKA Budiman, Kris. (2004). Jejaring Tanda-tanda: Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan. Magelang: Indonesiatera. Bratasiswara, Harmanto. (2000). Bauwarna Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryasumirat. Geertz, Clifford. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (edisi terjemahan oleh Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. Hariwijaya. (2004). Seks Jawa Klasik. Yogyakarta: Niagara. Honggopuro, Kalinggo. (2002). Bathik sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Irwan M. H. (1990). Universal dan Unsur Kebudayaan dalam Ensiklopedia Nasional Jilid 17 U-ZW. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kuntowijoyo. (2004). Raja, Priyayi dan Kawula. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Kusumowati, Juliani. (2002). Busana Seni dalam Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Nordholt, Henk Schult. (2005). Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (edisi terjemahan oleh M. Imam Azis). Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Soedibyo, Mooryati. (2002). Busana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sukmawati, Ni Made. (2004). Makna Filosofis dan Simbolik Batik Klasik sebagai Sarana Upacara Adat Ruwatan di Karaton Kasunanan Surakarta dalam Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Suwondo, Bambang, et. al. (1981). Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Susanto, Sewan. (1980). Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Trifena, Aprila. (2004). Busana Pengantin Adat Karaton Surakarta Kajian tentang Makna Filosofi dan Simbolis Busana Pengantin Dodot dalam Skripsi. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Winarto, Yunita T. (1990). Budaya dalam Ensiklopedia Nasional Jilid 17 B, Bytes. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Tim Perumus. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 20