Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara Adat Mitoni Di Puro Mangkunagaran Surakarta Desy Nurcahyanti1 Abstracts Mitoni or ceremony of seventh month is a stage full meaning about existention new thing in Javanesse belief. Number of seven contain any symbol, sign though icon. Manifestation of they is seem in clothes change ritual up to seven stage. The ritual use seven cloth, seven stage and seven sesaji (traditional ritual giving). Puro Mangkunegaran has certain way and system to do the ritual. So Mitoni is constructed by different style with keraton style and common society. Difference of the ritual are in stage and tools of celebration. All of meaning in ritual of clothes ceremony Mitoni culture in Puro Mangkunegaran, Surakarta has good meaning which it’s suitable with man character. Man always hope safety, succesfull, fine, perfection from God in every thing in life. Key words: clothes, tools of ritual ceremony, sign, meaning Pendahuluan Setiap bangsa memiliki kebudayaan khas. Kebudayaan tersebut mengandung rangkaian perjalanan suatu bangsa, mulai zaman manusia menggunakan batu, hingga menghasilkan kebudayaan baru (Winarto, 1990: 495). Unsur kebudayan lama berupa sistem religi, berkaitan dengan kepercayaan hal-hal gaib, dianggap lebih tinggi dari manusia. Kepercayaan terhadap kekuatan gaib diwujudkan melalui aktifitas-aktifitas upacara religi. Upacara religi mengandung ilmu gaib. Hal tersebut dilakukan manusia, untuk maksud tertentu, misalnya mencelakakan orang lain, menolak bahaya, menjadi kaya, mengusir roh jahat, menyembuhkan penyakit dan lain-lain (Irwan M. H., 1990: 78). 1 Jurusan Seni Murni Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 1 Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … Unsur kebudayaan Jawa yang termasuk sistem religi adalah upacara adat mencakup tindakan-tindakan keagamaan dalam hal ini dikategorikan sebagai sistem sosial Agami Jawi. Upacara terpenting dalam Agami Jawi adalah wilujengan (krami) atau slametan (ngoko) dengan orientasi mencapai suatu tujuan yang lebih luas sifatnya, yaitu untuk menghilangkan kesusahan, mendapatkan keteguhan iman, keselamatan, dan menyerahkan diri kepada Tuhan atau kepada kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Slametan atau wilujengan adalah upacara pokok atau unsur terpenting dari semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dihadiri anggota keluarga, tetangga-tetangga, dan kerabat (Koentjaraningrat, 1994: 343-344). Upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup orang Jawa seperti mitoni, melahirkan, upacara memberi nama, upacara kekah dan pemotongan rambut, tedhak siten, khitanan, pernikahan, pemakaman dan ritus kematian, nyekar atau adat untuk mengunjungi makam, serta perayaan-perayaan upacara tahunan merupakan ritus yang memuat slametan. Rangkaian acara mitoni memiliki makna dan simbol. Urutan acara tersebut menurut Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, antara lain sungkeman, siraman, januran, brojolan, busanan, deganan, dan wilujengan. Mitoni mempunyai ciri yang berkaitan dengan bilangan 7 (Bratasiswara, 2000: 84-87). Sejarah dan budaya Puro Mangkunagaran erat kaitannya dengan Keraton Kasunanan Surakarta. Masyarakat beranggapan bahwa tata urutan upacara adat, terutama busana yang dikenakan, kedua tempat tersebut sama. Perbedaan kedudukan Puro Mangkunagaran dan Keraton Kasunanan, merupakan dasar Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 2 Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … perbedaan pelaksanaan upacara adat mitoni dari segi penggunaan busana di Puro Mangkunagaran. Landasan Teori 1. Tanda Pada Kebudayaan Jawa Tanda pada kebudayaan Jawa dapat dikategorikan dalam ikon, indeks dan simbol. Kategori paling banyak adalah simbol, karena beberapa hal termasuk klasifikasi simbol. Hal-hal tersebut yakni: 1. Benda yang berujud, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan (bunga, buah, pohon), bagian rumah, susunan keraton, motif-motif pada kain dan busana, perlengkapan upacara; 2. Warna; 3. Gerak (dengan isyarat mimik muka, bahasa tubuh, sikap); 4. Kata-kata; 5. Perbuatan yang mengandung simbol; 6. Bilangan, angka, huruf (Suwondo, 1981: 236). Bentuk kebudayaan sering diwujudkan berupa simbol-simbol. Masyarakat Jawa, kaya akan sistem simbol tersebut. Sepanjang sejarah manusia Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi. Sistem simbol digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan. Simbol memiliki pengetahuan linuwih yang mampu memahami segala bentuk dan tujuan dari simbol-simbol itu sendiri (Hariwijaya, 2004: 3). Bentuk simbol dalam budaya Jawa dominan dalam segala bidang. Simbol pada kebudayaan orang Jawa, menurut sejarah, dimulai dari zaman prasejarah Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 3 Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … atau zaman belum mengenal tulisan sehingga komunikasi lewat gambar di dinding-dinding gua atau tanah liat sampai sekarang ini, dimaksudkan sebagai tanda memperingati suatu kejadian tertentu, agar segala peristiwa dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenarasi ataupun generasi berikutnya. Simbol dalam berbagai upacara adat mempunyai makna yang dirangkai oleh para pendahulu dan memunculkan tradisi yang terpakai secara turun temurun baik di masyarakat maupun keraton (Sukmawati, 2004: 18-19). Masyarakat Jawa mempunyai anutan yang selalu diterapkan hampir diseluruh kehidupannya yaitu berupa dua falsafah bentuk dasar piramida dan kerucut. Bentuk dasar ini dibagi atas dua sudut pandang yakni: 1. Vertikal, meliputi konsep makrokosmos, tegak lurus, mengatas, alam atas. Perspektif vertikal digambarkan dalam bentuk segitiga. Bentuk dasar segitiga memiliki makna yang khas dan tercipta melalui simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari. 2. Horisontal, meliputi konsep mikrokosmos, mendatar, mendunia, alam tengah atau bawah. Sudut pandang horisontal digambarkan dengan segiempat. Bentuk segiempat garis diagonalnya lebih bersifat hubungan horisontal, hubungan sosial, kekerabatan, perbuatan manusia, kehidupan alam tengah dan kehidupan materi. 2. Upacara Adat Jawa di Surakarta Prosesi upacara adat yang dilaksanakan masyarakat di luar tembok keraton mempunyai perbedaan dengan di dalam lingkup keraton, terdapat Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 4 Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … batasan-batasan dan peraturan yang dibuat oleh keraton selaku pusat pemerintahan dan budaya, meskipun untuk kasunanan sudah mulai surut pengaruh kekuasaannya setelah pasca kemerdekaan Republik Indonesia (Kuntowijoyo, 2004:1-4). Upacara adat yang paling umum diselenggarakan oleh masyarakat Jawa di Surakarta terdapat dua macam yakni upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa (berkaitan dengan perayaan hari besar agama Islam) dan berkaitan dengan siklus hidup. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa di Surakarta diselenggarakan pihak Keraton Kasunanan dan Puro Mangkunagaran. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa memungut pola waktu Islam dalam menghitung bulan menurut rembulan dan hari-hari suci yang berkaitan dengan itu, orang Jawa merasa berkewajiban merayakan menurut satu-satunya cara yang mereka ketahui yakni dengan mengadakan slametan. Upacara ini dipengaruhi budaya Jawa Klasik dan Hindu dengan adanya penggunaan tari-tarian, langgam Jawa yang diiringi gamelan serta benda-benda seperti gamelan dan wayang. Upacara menurut perhitungan tanggal Jawa yakni Syuro, Sekaten, dan Syawalan. Upacara adat Jawa di Surakarta yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dilaksanakan sejak dari kandungan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Pelaksanaan upacara adat itu menurut penyelenggaraannya tidak sama dalam hal detail prosesi dan jumlah perlengkapan yang digunakan. Upacara yang paling banyak jumlah tata urutan acaranya dalam siklus hidup ini adalah upacara perkawinan. Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No 2 Juli 2010 5 Desy Nurcahyanti : Tafsir Tanda Penggunaan Busana dalam Upacara … Upacara siklus hidup adalah upacara peralihan tahap (rites of passage) yang digambarkan seperti busur panah, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran sampai pada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi seperti khitanan, perkawinan dan terakhir pada upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan (Geertz, 1989: 48, 104). Upacara siklus hidup juga disebut crisis rites atau upacara waktu krisis dalam ilmu Antropologi, karena peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dari lahir sampai mati, memunjukkan adanya perubahan status sosial dari kedudukan sosial yang satu beralih ke tingkat sosial lain yang lebih tinggi. Waktu peralihan ini merupakan dianggap sebagai saat-saat penuh bahaya, sehingga diadakan upacara atau pesta untuk menolak bahaya gaib (Suwondo, 1981:157). 3. Busana Pada Upacara Adat Jawa di Surakarta Pada dasarnya busana terdiri dari pakaian, tata rias, dan perhiasan. Busanan sangat erat hubungannya dengan individu, latar belakang budaya, dan tingkat peradaban seseorang dalam tata cara berbusana adat Jawa, maka dari itu ada pepatah mengatakan aji neng raga ana ing busana, dari pepatah tersebut dapat diartikan bahwa manusia dalam berpakaian harus dapat menyesuaikan dengan waktu, tempat dan latar belakang kebudayaannya (Trifena, 2004:18). Busana adalah segala sesuatu yang dipakai dari ujung rambut sampai ujung kaki, termasuk tata rias wajah dan rambut (Prapti Karomah dalam Kusumowati, 2002: 9). Busana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama dengan pakaian
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages20 Page
-
File Size-