Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan (IPLBI) 2, B048-054, Maret 2018 https://doi.org/10.32315/sem.2.b048

Arsitektur [Atap] Tadah Hujan Awal Arsitektur [di] Nusantara + Konteksnya

Totok Roesmanto

Departemen Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Korespondensi : [email protected]

Abstrak

Arsitektur [di] Nusantara adalah arsitektur pernaungan yang terprinsipkan sejak gua alam pra- sejarah, sudah ada sebelum masa masa Hindia Belanda, tergambarkan paling awal di relief Karmawibhangga Candi Borobudur khususnya yang terdapat pada teras Kamadhatu. Dari data relief Karmawibhangga tersebut, yang telah tertutup dan sebagian dibuka, dapat ditemukan tipe-tipe atap yang digunakan pada jenis bangunan ber-Arsitektur [di] Nusantara awal. Penyandingannya dengan atap pada bangunan pasca Hindia Belanda, ditemukan kekhasan bangunan berprinsip atap sebagai tadah hujan pada bangunan ber-Arsitektur [di] Nusantara awal, yang menampung dulu atau langsung menyalurkan air hujan ke permukaan tanah.

Kata-kunci: Arsitektur Nusantara, atap tadah hujan, relief Karmawibhangga.

Tadah Hujan

Kata Tadah Hujan atau Tadhah Udan sangat dikenal dalam kehidupan keluarga Jawa. Diimbuhkan untuk menamai secengkeh pisang atau selirang gedhang yang terdapat di bagian teratas pada tandan-nya, yang menghadap ke langit dan paling awal menerima curahan air hujan. Pisang Tadhah Udan selalu istimewa, lebih besar-panjang-enak dari pisang lain yang setandan, dan digunakan sebagai sesajian utama.

Hujan adalah berkah.

Kata gedhang mempunyai kedudukan penting dalam penamaan tipe bangunan di Jawa. Kampung Gedhang Selirang berwujud deretan bangunan jenis kampung yang memanjang ke arah belakang, di daerah Negarigung yang kemudian dipersamakan dengan Jawa Tengah bagian Selatan kecuali Bagelen dan Banyumas. Limasan yang berderet ke belakang disebut Limasan Gotong Mayit dan ditabukan untuk bangunan hunian, dari pertimbangan bentuk atapnya lebih tepat disebut Limasan Gedahang Selirang. Di daerah Pesisir Wetan Pantura Jawa, bentukan Limasan Gotong Mayit disebut Limasan Endhas, justru menandakan pemiliknya adalah keluarga kaya. Kediaman pejabat VOC dan keluarga Belanda kaya pada masa Hindia Belanda umumnya ditandai dengan bangunannya yang berukuran besar beratap serupa Limasan Gedhang Slirang tetapi berbeda konstruksi. Limasan Endhas dan Kampung Gedhang Selirang telah mampu menampung curahan air hujan di pertemuan bidang atapnya dengan konstruksi lokal dan menggunakan bahan alami.

Arsitektur Pernaungan

Josef Prijotomo menyampaikan bahwa arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan, 1]. “…arsitektur Nusantara yang adalah… pernaungan, maka teknologi pengikliman itu sebaik-baiknya adalah tetap mempertahankan pernaungan itu,” [Prijotomo, 14-03-2012 dalam “Arsitektur Dua

Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya Prosiding Semarnusa IPLBI | B 048 ISBN 978-602-51605-1-6 E-ISBN 978-602-51605-2-3 Arsitektur [Atap] Tadah Hujan Awal Arsitektur [di] Nusantara + Konteksnya Musim – Arsitektur Empat Musim: Menggoyang Ketimpangan”]; 2].”…arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan, dan arsitektur Eropa adalah arsitektur perlindungan” [Prijotomo, 25-01-2013 dalam “Arsitektur Nusantara: Bukan Arsitektur Tradisional”]; 3]. ”…Ruangan di dalam bangunan di Nusantara lebih ditujukan sebagai penyimpanan… Arsitektur Nusantara hadir sebagai kebutuhan akan pernaungan atau perteduhan, tinggal di luar [emperan atau kolong] adalah yang nyaman dan nikmat [Prijotomo 15-07-2011 dalam “Arsitektur Nusantara: Harga Mati”]. Pendapat bahwa arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan telah disampaikan Prijotomo sejak sekitar tahun 2005 [informasi w.a.Jo Adiyanto, 23-10-2017]. Prijotomo juga berpendapat bahwa “Arsitektur Nusantara memiliki keterkaitan dengan kebaharian karena bumi Nusantara adalah bumi bahari, dan karena itu potensial bersifat “mobile”[Prijotomo 15-07-2011 dalam “Arsitektur Nusantara: Harga Mati”].

Manusia yang hidup menetap di tempatnya di Nusantara tidak bisa mengelak dari kenyataan kondisi alam sehari-hari yang dialami, 1].merasakan panasnya terkena sinar matahari langsung; 2].silaunya sinar matahari menerpa mata; 3].ketidak nyamanan terkena curahan air hujan; 4].ketidak- nyamanan terkena angin kencang; 5].merasakan suhu-ekstrim lingkungan sekitar; 6].terimbas limpasan air dari curah hujan deras, air laut pasang; selain 7].kondisi alam yang berimpak kenyamanan bagi tubuh; 8].dampak gempa bumi, gunung meletus, banjir adalah kondisi alam yang berlangsung tidak rutin, bahkan tidak bisa diperkirakan. Menurut Prijotomo ”… dari pengertian dan perumusan yang digunakan di Nusantara yakni arsitektur sebagai pernaungan atau perteduhan …halnya dengan di Nusantara… hanya memutlakkan hadirnya atap serta menganjurkan adanya geladak.” [Prijotomo 21-06-2010 dalam “Arsitektur Nusantara – arsitektur naungan, bukan lindungan]. Terimbas hembusan angin kencang dan suhu-ekstrim belum teratasi dengan kehadiran atap dan geladak.

Pra-arsitektur di Nusantara

Kelompok kecil masyarakat pra-sejarah yang menetap di gua Liang Kobori di Pulau Muna yang keberadaannya mudah dijangkau tanpa harus memanjat tebing, tidak menggambari dinding guanya dengan lukisan yang menggambarkan tempat nya menghuni. Tidak ada lukisan pra-sejarah di gua di Nusantara termasuk di Liang Kobori dan Metanduno yang letaknya berdekatan, yang menggambarkan tentang gua, tapi selalu tergambari hewan buruan kebutuhan hidup manusia pra- sejarah. Gambar orang mungkin digambarkan untuk menunjukkan tentang keberadaan komunitasnya di gua-alam, tetapi tidak menginformasikan jumlah penghuni yang terkait [Roesmanto, survai lapangan, Oktober 2014].

Matahari sebagai benda alam yang dilihat setiap hari digambarkan, tetapi bulan dan bintang tidak digambarkan. Gambar bulatan dengan garis-garis yang memusat di sekitarnya, dimaksudkan untuk menggambarkan matahari yang menakjubkan dan muncul setiap hari, sekaligus bulan purnama yang juga menakjubkan dan muncul secara berkala. Bintang tidak digambarkan karena sulit membayangkan bentuknya. Awan tidak digambarkan karena mungkin berubah-ubah tampilannya. Curah hujan, air laut, dan tanaman tidak pernah digambarkan. Bisa saja matahari, bulan purnama dan hewan lebih dahulu digambarkan sebelum menggambarkan perahu. Kenyataan tersebut memungkinkan adanya beberapa generasi kelompok kecil masyarakat yang pernah menghuni Liang Kobori.

Perahu digambarkan, menandainya sebagai kendaraan utama yang digunakan sampai ke gua Liang Kobori. Gambar perahu bercadik menginformasikan bahwa kelompok kecil masyarakat Liang Kobori telah mampu membuat perahu bercadik. Mampu membuat perahu bercadik berarti memiliki kemampuan merakit bahan alami dengan teknik ikat ataupun teknik pasak. Kedua teknik rekayasa tersebut digunakan pada pembuatan bangunan berkonstruksi kayu ataupun bambu.

A 049 | Prosiding Semarnusa IPLBI Totok Roesmanto Gua Liang Kobori bukan karya mereka, meskipun mereka temukan dan tempati. Tempat hunian yang lebih dahulu, sebelum berperahu-cadik sampai ke gua Liang Kobori juga tidak digambarkan di dinding gua Liang Kobori. Bisa jadi tempat hunian sebelumnya juga berujud gua alam yang terletak dekat dengan daerah perairan. Gua alam bukanlah karya rekayasa ataupun karya arsitektur masyarakat kecil Liang Kobori dan Metanduno, maka tidak digambarkan.

Sebagian langit-langit gua Liang Kobori dan Metanduno berjelaga menandai pada bagian di bawahnya pernah dijadikan untuk tempat perapian, terletak di bibir gua, menginformasikan tempatnya di bagian yang paling terang dengan memanfaatkan penerangan alami, dan curahan air hujan sudah bisa diatasi dengan penaung. Api telah mampu dibuat dengan menggunakan batu- api/rijang sebagai alat bantu.

Arsitektur paling awal di kepulauan yang ada di Nusantara barulah ada setelah masa bermukim di gua alam ditinggalkan. Perkakas dari batu yang dibelah telah dikenal sebelumnya untuk alat bantu pembuat peralatan berburu, pemotong dahan dan ranting pohon, daun dan ilalang kemudian dimanfaatkan untuk bahan pembuat tempat bernaung.

Layang-layang telah digambarkan di dinding gua Sugi Patani yang sulit dicapai dari muka tanah di sekitar, menandakan sudah dikenal penggunaan bahan alami setempat untuk tali, kerangka layang- layang yang diraut, dan kulit bidang layang-layang. Pada masanya, teknik membuat tali tentu sudah dikembangkan, panen tanaman sudah dikenal, menghuni masih di gua-gua alam yang banyak terdapat di sekitar Liang Kobori dan Metanduno. Kelompok kecil masyarakat Liang Kobori dan Metanduno yang ada di dekatnya telah membentuk komunitas-komunitas.

Menggambarkan tempat hunian pada dinding gua alam juga tidak dilakukan kelompok manusia yang bermukim di gua-gua yang letaknya tidak jauh dari Liang Kobori dan Metanduno, meskipun masyarakatnya sudah mampu membuat layang-layang berkulitkan daun umbi hutan. Gua alami yang dihuni bukanlah karyanya.

Bangunan berkonstruksi sederhana yang dibentuk dari potongan dahan dan dilapis daun ataupun ilalang telah dapat dibuat, karena bidang kulit layang-layang yang lebih sulit saja telah bisa dibuat, juga tidak digambarkan di dinding gua Sugi Patani. Penaung sementara kurang fungsional terhadap curah hujan dibandingkan gua alam tempat huniannya. Bangunan penaung sementara dianggap bukanlah karya yang harus digambarkan pada dinding dan langit-langit gua.

Gua Sugi Patani terletak di puncak bukit-meruncing dikitari dataran sekitar yang cukup luas, area ideal bermain layang-layang. Layang-layang merupakan karya pada masanya, maka digambarkan di dinding gua Sugi Patani.

Kelompok kecil masyarakat Liang Kobori, Metanduno hingga Sugi Patani dengan kemampuan menggambar telah bersikap gua alam tempatnya bermukim dan tempat penaung sementara di dataran sekitar tidak digambarkan di dinding hunian-alami.

Ber-arsitektur di Nusantara : ber-karya dan menggambarkannya.

Terdapat jeda sangat panjang, antara masa bermukim di gua alam yang terdapat di Nusa-antara dan bermukim di bangunan rekayasa manusia penghuninya yang telah memakai bahan alami yang kaku seperti batu, karang, padas; bahan alami yang lentur seperti kayu, bambu; dan bahan alami lembaran seperti daun, ilalang sebagaimana digambarkan di relief-relief dinding bangunan candi di Nusa-antara.

Candi Borobudur adalah candi tertua yang dindingnya tertempeli relief-relief yang sebagian menggambarkan tentang bangunan yang pernah terbangun. Candi candi ber-relief yang

Prosiding Semarnusa IPLBI | A 050 Arsitektur [Atap] Tadah Hujan Awal Arsitektur [di] Nusantara + Konteksnya menggambarkan bangunan pada masanya sebelum Candi Borobudur belum ditemukan, juga di Minangwa Tamwan maupun pusat kadatuan Sriwijaya. Alih-alih ditemukan, pusat kadatuan Sriwijaya yang berpindah-pindah masih diperdebatkan. Karya arsitektur di Nusantara yang berwujud bangunan yang paling awal, telah tergambarkan pada relief Candi Borobudur.

Dari sepuluh teras Candi Borobudur yang menggambarkan kehidupan duniawi adalah teras Kamadhatu. Seluruh dinding teras Kamadhatu dihias dengan relief Karmawibhangga [Setyawan, 2012]. Relief Karmawibhangga terletak pada dinding teras terbawah Candi Borobudur, dan merupakan bagian dari 1460 relief di candi tersebut [Roesmanto, ed, 2010:15].

Dari 160 panil relief Karmawibhangga yang dapat dilihat dari rekaman Theodore van Erp [sebagian besar relief telah ditutup dengan konstruksi pelapis karena pertimbangan untuk perkuatan konstruksi bagian kaki candi] terdapat 46 panil relief yang bergambar 55 bangunan berkonstruksi kayu, 10 bangunan berdiri di atas batur dan 45 bangunan lainnya ber-kolong. Dari 55 bangunan yang digambarkan tersebut, 15 bangunan memiliki atap yang menjorok jauh ke luar dari pilar penopang tepi, 7 atap agak menjorok dan 33 bangunan berpilar penopang atap di bagian tepi. Terdapat 7 bangunan yang bagian atapnya tanpa listplank, dan 48 atap ber-listplank. Dari 48 bangunan yang atapnya ber-listplank, terdapat 16 bangunan yang posisi listplank-nya menjorok ke dalam dari bibir penutup atap, dan 32 bangunan ber-listplank menjorok ke luar dari bibir atap.

Bangunan dengan posisi pilar pada bibir atap tergambarkan lebih banyak dari bangunan berposisi pilar menjorok ke dalam, menginformasikan pada masa Candi Borobudur dibangun telah terjadi perkembangan konstruksi bangunan yang terkait keberadaan pilar-pilar utama; berkembang upaya lebih mengoptimalkan fungsi atap sebagai penaung.

Bangunan tadah hujan ber-listplank

Penggambaran bangunan ber-batur mengindikasikan adanya perkembangan dari bangunan ber- kolong. Beberapa bangunan ber-kolong bertumpu pada batur yang ada di bawahnya. Penggambaran bangunan ber-listplank yang menjorok ke dalam dari bibir penutup atap, memunculkan alternatif-1 sedang berkembang penempatan listplank yang ditarik ke arah dalam dari bibir penutup atap; alternatif-2 masih disukai keberadaan listplank lebih menjorok ke arah dalam dari bibir penutup atap. Listplank tidak terkait dengan penyelesaian bagian atap sebagai penaung terhadap sinar matahari langsung.

Keberadaan listplank pada atap bangunan terkait dengan peran penutup atap sebagai penaung terhadap curah hujan. Atap merupakan penaung tadah hujan. Atap sebagai penampung air hujan, atap sebagai pengalir air hujan ke tanah. Menurut konsep Nirupa-Rupa-Arupa Arsitektur Nusantara [Roesmanto, 1999] bangunan yang bagian atapnya mengalirkan air hujan ke bawah, ataupun yang menampung air hujan untuk selanjutnya dialirkan ke bawah adalah bangunan berkonsep Rupa.

Penutup atap yang lebih menjorok dari keberadaan listplank-nya menyalurkan air hujan langsung ke permukaan tanah. Atap yang kemiringan bidang permukaan nya curam akan mengalirkan air hujan ke permukaan tanah lebih cepat dari atap yang bidang permukaannya lebih landai.

Bangunan yang digambarkan di relief Karmawibhangga umumnya tidak memiliki atap dengan sudut kemiringan bidang permukaan yang curam. Penutup atap yang listplank-nya menjorok ke dalam memerlukan keberadaan talang penampung air hujan setelah melewati penutup atap. Keberadaan talang tersembunyi di balik posisi listplank. Permukaan bidang listplank dapat didekorasi, sebagaimana 7 bangunan yang digambarkan pada relief Karmawibhangga. Talang yang tersembunyi di balik posisi listplank tidak tergambarkan detail pada relief Candi Borobudur.

A 051 | Prosiding Semarnusa IPLBI Totok Roesmanto Dari 55 bangunan yang direliefkan, 22 atap bangunan bersudut kemiringan landai, 12 atap bangunan bersudut kemiringan sekitar 45o, dan 16 bangunan memiliki atap pelana menyerupai atap bangunan Toraja, 2 bangunan beratap curam.

Upaya untuk menjulurkan atap lebih menjorok ke luar dari posisi pilar penopang atap adalah bagian dari penghadiran arsitektur Nusantara sebagai arsitektur tadah hujan yang bidang atapnya juga berfungsi sebagai penaung terhadap sinar matahari.

Penundaan air hujan segera jatuh ke permukaan tanah pada bangunan ber-listplank ber-talang tidak hanya karena eksotikasi arsitektur dengan listplank dekoratif tetapi juga karena kemungkinan-1 belum dikenal pembuatan saluran alami di permukaan tanah dari susunan batu alam pada posisi proyeksi bibir atap; kemungkinan-2 telah dikenal corong talang yang tersembunyi di sepanjang sisi dalam atau hanya pada bagian sudut dari listplank dekoratif; kemungkinan-3 adanya tanaman tadah hujan yang menerima cucuran air hujan dari talang atap.

Keberagaman arsitektur di Nusantara tercapai saat wilayah Nusantara dipersatukan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan mahapatih Gajah Mada, tetapi arsitektur yang paling awal di Nusantara telah digambarkan pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur pada masa Mataram Syailendra Samaratungga yang menggambarkan arsitektur yang terdapat di Jawa [Syailendra] dan Sumatera [Sriwijaya]. Banyaknya bangunan yang digambar-reliefkan serupa dengan bangunan tongkonan Toraja, menggambarkan tentang bangunan yang terdapat di Sumatera [di luar Jawa].

Panil-panil relief Candi Borobudur tidak menggambarkan Candi Borobudur, karena proses pembuatannya bersamaan dengan pembangunan Candi Borobudur [berbasis punden berundak Nusa-antara]. Relief Karmawibhangga menggambarkan beberapa bangunan candi berukuran kecil. Awal arsitektur Nusantara sebagaimana perwujudan bangunannya yang tergambarkan pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur adalah arsitektur pernaungan tadah hujan.

Konteks arsitektur tadah hujan

Pendidikan arsitektur dasawarsa 1970-1980an mengajarkan tentang konstruksi talang versi Sugihardjo, BAE, yang berbeda dengan konstruksi talang Pasar Gede dilengkapi pipa talang dengan penempatan ditempelkan pada [kontur] console dan permukaan bidang luar pilar- pilar tepi rancangan Thomas Karsten. Talang bangunan di kampus arsitektur UGM Bulaksumur, 1971, direkayasa dengan menempatkan lubang talang di setiap sudut talang atap dan dilengkapi rantai yang dijuntaikan untuk panduan bagi air hujan yang dialirkan ke bawah. Talang beberapa bangunan di Bali rancangan Robi Sularto, di sekitar 1973, direkayasa dengan menyediakan beberapa pancuran pada listplank untuk pembuangan air hujan yang tertampung. Umumnya, pipa talang dipasang menempel pada permukaan bidang luar pilar struktural paling tepi, menembus langit-langit datar pada bagian emperan atap. Penyelesaian pembuangan air hujan yang jatuh ke atap dengan cara dibiarkan terjun bebas dari bibir atap baru diterapkan di sekitar tahun 1975. Dampaknya, tepat di bawah dari bibir atap harus dilengkapi dengan saluran terbuka. Pemecahan demikian sudah dilakukan masyarakat desa Bawomataluo, Nias Selatan sebagai keunggulan lokal. Berjalan di bawah bagian bangunan rumah yang menjorok ke luar tidak akan tercurahi cucuran air hujan dari atap, dan tidak tersemprot air limbah kegiatan menginang yang tersembur melalui kisi-kisi dindingnya. Sebaliknya, keberadaan saluran terbuka sejarak lebar atap emperan memunculkan pengadaan rabat yang secara salah kaprah dibuat dari beton, sejarak antara dinding bangunan ke saluran terbuka. Pipa talang diposisikan menempel pada permukaan bidang luar pilar struktural paling tepi senyampang dengan penerapan langit-langit datar pada emperan atap. Pipa talang menjadi disembunyikan di atas langit-langit datar emperan atap. Karena pertimbangan keberadaan pipa

Prosiding Semarnusa IPLBI | A 052 Arsitektur [Atap] Tadah Hujan Awal Arsitektur [di] Nusantara + Konteksnya talang akan lebih baik bila tersembunyi, berdampak langit-langit emperan yang dibuat sejajar kemiringan bidang atap kurang disukai.

Arsitektur listplank pernah berkembang antara tahun 1975-1980an senyampang pengenalan material fabrikasi coraltex dan teknik semen saput/kamprot untuk pelapis bidang eksterior, dan semakin melandainya bidang penutup atap dari produk fabrikasi [asbes gelombang, seng gelombang].

Kesalahan persepsi dan informasi pernah berdampak adanya anggapan karya arsitektur tropis ditandai dengan penerapan emperan atap yang cukup lebar minimal 1,50 meter. Arsitektur lokal di Pesisir Wetan telah mengajarkan perlunya emper ngarep sebagai pelengkap arsitektur tadah hujan. Air hujan akan di-tadah-i permukaan bidang atap yang melandai dan mengucur ke permukaan tanah yang telah dilengkapi saluran terbuka alami untuk diresapkan ke dalam tanah.

Bangunan hunian di Kota Wuna, tempat awal perkembangan Pulau Muna, memiliki atap dilengkapi bidang talang yang difungsikan sebagai media tadah hujan untuk mengalirkan air hujan ke bejana yang telah disiapkan di samping rumah sebagai penampungan [Roesmanto, survai lapangan, Oktober 2014]. Atap tadah hujan untuk daerah-daerah yang sulit mendapatkan air bersih [karena minimnya sumber air dan jarang turun hujan] perlu dipikirkan penyelesaian konstruksinya, agar air hujan dapat tertampung secara maksimal.

Kesimpulan dan Saran

Arsitektur [di] Nusantara awal adalah Arsitektur [Atap] Tadah Hujan diterapkan untuk menaungi ruang yang difungsikan di bawahnya, memiliki atap yang meneruskan air hujan secara langsung, ataupun melalui celah yang mengucurkan air hujan ke tanaman yang ada di bawahnya atau selokan alami, sebelum dikenal penerapan pipa talang, rabat beton dan saluran terbuka versi Hindia Belanda.

Disarankan penelitian tentang prinsip atap tadah hujan lebih banyak dilakukan terutama untuk daerah-daerah bercurah hujan minim; penelitian tentang sistem pengaliran air hujan yang menjatuhi atap Arsitektur Nusantara; dan penelitian tentang perlu tidaknya rabat beton ditambahkan di sekeliling bangunan.

Daftar Pustaka

Prjotomo, Josef, 2013, “Arsitektur Nusantara: Bukan Arsitektur Tradisional”, kuliah tamu, Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako, Palu, 25 Januari 2013, dalam Prijotomo Benahi Arsitektur Nusantara. Prijotomo, Josef, 2012, “Arsitektur Dua Musim – Arsitektur Empat Musim: Menggoyang Ketimpangan”, kuliah tamu, Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Soegiyapranata, , 14 Maret 2012, dalam Prijotomo Benahi Arsitektur Nusantara. Prijotomo, Josef, 2011, “Arsitektur Nusantara: Harga Mati !”, kuliah tamu, UINM/Universitas Islam Negeri Makasar, 15 Juli 2011, dalam Prijotomo Benahi Arsitektur Nusantara. Prijotomo, Josef, 2010, “Arsitektur Nusantara – arsitektur naungan, bukan lindungan”, Seminar Nasional Arsitektur Nusantara Jurusan Arsitektur Universitas Khaerun, Ternate, 21 Juni 2010, dalam Prijotomo Benahi Arsitektur Nusantara. Roesmanto, Totok, 2014, “Survai Lapangan Liang Kobori, Metanduno, Kota Wuna”, untuk Studi Rencana Tata Bangunan & Lingkungan Kawasan Bersejarah Liang Kobori & Metanduno; dan Studi Identitas Arsitektur Kota Wuna, Pulau Muna. Roesmanto, Totok, ed, 2010, Kearsitekturan Candi Borobudur, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, . Roesmanto, Totok, 1999, Nirupa Rupa Arupa Arsitektur Nusantara, Semarang. Setyawan, Hari, 2012, Bangunan Berkonstruksi Kayu Pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur, thesis, Magister Teknik Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Saran dan komentar dari Reviewer :

Telah melalui prose review dan diterima dengan perbaikan

A 053 | Prosiding Semarnusa IPLBI Totok Roesmanto 1. Abstrak belum ada, harap diberi abstrak sebagai rangkuman isi paper keseluruhan sudah dilengkapi. 2. a. Akan lebih pas jika pada judul diberi kata “atap”, sehingga judul bisa memberi gambaran yang lebih jelas tentang isi paper yang mengulas tentang atap dan hujan di Nusantara; sudah dilengkapi.

Judul lama : Arsitektur Tadah Hujan; Awal Arsitektur Nusantara + Konteksnya Judul baru : Arsitektur [Atap] Tadah Hujan; Awal Arsitektur [di] Nusantara + Konteksnya

b.Isu yang diangkat cukup orisinil.  Te rim a kasih komentarnya.

3. a. Logika berpikir untuk menjelaskan paper sudah sangat baik dan valid, untuk dibawa ke dalam sebuah wacana yang “baru” ini. Terima kasih komentarnya.

b. Perlu kesimpulan akhir yang lebih menggigit agar didapat sebuah intisari yang baik, serta saran dan usulan untuk penelitian/kajian berikutnya.  Sudah dilengkapi

Prosiding Semarnusa IPLBI | A 054