PARTAI POLITIK DAN KOALISI PEMERINTAHAN Studi atas Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas dalam Pemerintah -Jusuf Kalla 2014-2019

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Reno Meidi Fikri NIM:11141120000054

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai fenomena yang terjadi di dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla periode 2014-2019. Partai Amanat Nasional, yang semula menjadi lawan politik Jokowi-JK pada pemilu 2014 dengan mencalonkan menjadi pendamping Prabowo Subianto, tiba-tiba berpindah ke lain hati pada tahun 2015 pasca terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum PAN yang baru. PAN menyatakan mendukung pemerintah Jokowi- JK. Langkah tersebut membuat jumlah kursi koalisi pendukung pemerintah menjadi besar, setelah sebelumnya didahului PPP dan Partai Golkar bergabung ke dalam barisan Jokowi-JK. Namun, seiring waktu PAN memiliki perbedaan sikap dari mitra koalisi yang lain, pada puncak penolakkan PAN terhadap terbitnya Perppu Ormas. Tentu saja harapan bergabung ke dalam koalisi seharusnya dibarengi dengan memiliki sikap yang sama. Maka dalam penelitian ini di bahas lebih dalam mengenai pandangan PAN terhadap Perppu Ormas sesungguhnya, serta mengapa terjadi perbedaan pandangan antara PAN dan mitra koalisi yang lain terkait masalah Perppu Ormas. Peneliti menggunakan teori partai politik dan koalisi partai politik dalam menganalisa masalah penelitian ini. Serta menggunakan pendekatan metode penelitian kualiatif. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa, penolakan PAN terhadap Perppu Ormas tidak memiliki alasan kuat. Hilangnya fungsi yudikatif dan dominannya eksekutif dalam pembubaran ormas menjadi alasan kuat PAN. Selain itu, asas contrarius actus yang tidak tepat digunakan menjadi alasan lain PAN. Serta PAN merasa tidak ada kegentingan yang memaksa untuk pemerintah mengeluarkan perppu. Banyaknya partai politik yang tergabung ke dalam koalisi Jokowi-JK, maka semakin sulit dalam menyamakan pandangan antar mitra koalisi. Kesamaan ideologi atau platform partai yang menjadi nomor dua dalam menentukan mitra koalisi menambah kesulitan dalam menyamakan pandangan antra mitra koalisi yang dibarengi kurang optimalnya komunikasi politik yang dilakukan Jokowi maupun PDI-P selaku poros utama koalisi. Kata kunci: Koalisi, partai politik, PAN, pemerintahan, Jokowi, JK

iv

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb. Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir.

Shalawat serta salam tercurahkan selalu kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman.

Skripsi yang penulis beri judul Partai Politik dan Koalisi Pemerintahan (Studi atas Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas dalam Pemerintahan Joko Widodo-

Jusuf Kalla 2014-2019 disusun untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar

Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini belum sempurna dan masih terdapat kekurangan di dalamnya, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terkait skripsi ini. Penyusunan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dorongan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, beserta seluruh staff dan jajarannya.

2. Prof. Dr. Ali Munhanif, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah, beserta seluruh staff dan jajarannya.

3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

v

4. Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini.

Terima kasih telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran di

tengah kesibukannya.

6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu yang

bermanfaat bagi penulis.

7. Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si, selaku anggota Fraksi PAN dan anggota Komisi

II DPR-RI yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menemui dan

diwawancarai oleh penulis.

8. Achmad Baidowi S.Sos, selaku anggota Fraksi PPP dan anggota Komisi II

DPR-RI yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menemui dan

diwawancara oleh penulis.

9. Orang tua dan adik tercinta yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

10. Bude Nana dan keluarga yang telah memberikan membantu dan memberi

semangat kepada penulis semasa kuliah.

11. Bunda Dita dan Papi Henry, beserta Sasya, Zafran, Abiyyu, dan baby Zee, atas

semangat dan dorongan kepada penulis semasa kuliah.

12. Teman-teman Ilmu Politik B 2014, Barri, Guntur, Aufarmario, Hisyam, Mardy,

Milla, Anita, Randy, Alvin, Hammar, dan lainnya, Terimakasih atas kenangan

semasa kuliah.

vi

13. Sahabat Irzal, Kikoy, Padlan, Ical Marbun, dan sahabat-sahabati PMII

KOMFISIP angkatan 2013 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.

14. Sahabat Ruli, Rere, Tio, dan sahabat-sahabati PMII KOMFISIP angkatan 2012

lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas ilmu

dan pengalaman yang diberikan.

15. Sahabat-sahabati PMII KOMFISIP yang telah memberikan pelajaran berharga

untuk penulis.

16. Terima kasih khusus diberikan kepada Fitra dan Bang Chendy yang telah

memberikan nasihat dan bimbingan penulis dalm menyelesaikan skripsi ini.

Sulit tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan karunia-Nya dan membalas kebaikan mereka atas bantuan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat kekurangan didalamnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk para pembaca.

Ciputat, 12 November 2019

Reno Meidi Fikri

vii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... i PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI ...... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR TABEL ...... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ...... 1 B. Pertanyaan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6 D. Tinjauan Pustaka ...... 7 E. Metode Penelitian ...... 10 F. Sistematika Penulisan ...... 12

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL A. Partai Politik ...... 14 A.1 Definisi Partai Politik ...... 14 A.2 Jenis-Jenis Partai Politik ...... 17 B. Koalisi ...... 19 B.1 Definisi Koalisi Partai Politik ...... 19 B.2 Jenis Koalisi Partai Politik ...... 20

BAB III PARTAI AMANAT NASIONAL DAN KOALISI PEMILU 2014 A. Perjalanan Partai Amanat Nasional (PAN) Periode 1999-2009 ...... 24 B. Partai Amanat Nasional (PAN) pada Pemilu 2014 ...... 27

viii

C. PAN dan Koalisi Pemerinthan Joko Widodo-Jusuf Kalla ..32 C.1 Bergabungnya PAN ke dalam Koalisi ...... 32 C.2 Sekilas Tentang Hak Angket dan RUU Pemilu ...... 36

BAB IV PENOLAKAN PERPPU ORMAS OLEH PARTAI AMANAT NASIONAL DALAM KOALISI JOKO WIDODO- JUSUF KALLA

A. Alasan Pemerintah Menerbitkan Perppu ...... 42

B. Pandangan PAN Terhadap Perppu Ormas ...... 47 C. Faktor Perbedaan Sikap PAN dengan Koalisi Pendukung Pemerintahan Jokowi-JK ...... 54 C.1 Faktor Kebijakan Internal PAN ...... 54 C.2 Faktor Bentuk Koalisi ...... 56 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...... 60 B. Saran ...... 62

DAFTAR PUSTAKA ...... 63

ix

DAFTAR TABEL

Tabel III.A.1 Peta Koalisi Partai Politik pada Pemilu Presiden 2014 ...... 30

Tabel III.C.1 Tabel Reshuffle Kabinet Kerja Jilid ke-II ...... 44

Tabel III.C.2.1 Paket RUU Pemilu pada Lima Isu Krusial ...... 48

Tabel III.C.2.2 Tabel Sikap Partai Politik pada Sidang Paripurna RUU

Pemilu ...... 50

Tabel IV.B.1 Tabel Suara Fraksi Sidang Paripurna Pengesahan Perppu

Ormas ...... 59

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dalam sistem presidensil yang berpijak pada multipartai, sering berhadapan dengan problema pengambilan kebijakan yang memerlukan persetujuan legislatif.

Pemerintah sulit dalam mengamankan kebijakan apabila tidak memiliki suara mayoritas di legislatif, karenanya koalisi menjadi perlu untuk mengamankan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Sebetulnya koalisi banyak dijumpai ketika hasil pemilu tidak dapat memberikan hasil partai mana yang memenangkan suara mayoritas sekaligus mengontrol suara di parlemen.1

Menjadi menarik ketika asumsi tersebut kita gunakan dalam perjalanan pemerintahan di saat ini. Pemerintahan Jokowi-JK sendiri diisi dari PDI

Perjuangan sebagai partai pengusung, lalu ada Partai NasDem, Partai Hanura, Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai

Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar sendiri masuk ke dalam koalisi partai pendukung pemerintah pada saat setelah Joko Widodo-JK menjabat. Tepatnya ketika

Golkar selesai melakukan Rapimnas pada Januari 2016.2 Dan PAN yang sebelumnya menjadi lawan politik Jokowi-JK beralih mendukung pemerintah setelah pergantian

1 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik (Bandung: Nusa Media.2014) hlm.287 2“Partai Golkar Gabung Jokowi”. 26 Januari 2016 [berita on-line]; tersedia di www.republika.co.id diakses pada 24 Oktober 2017

1 ketua umum dari Hatta Rajasa kepada Zulkifli Hasan, dan dideklarasikan setelah

Zulkifli Hasan bertemu dengan Jokowi.3

“Situasi minoritas”4 terjadi di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, karena pemilu legislatif 2014 tidak memberikan hasil maksimal (dominan) pada satu partai pun di parlemen. PDI Perjuangan sebagai partai asal Jokowi harus melancarkan koalisi dengan partai lain, untuk mengamankan suara dalam mengusung Jokow-JK dan tentunya mengamankan suara dalam parlemen (DPR).

Menarik bagi penulis ketika Partai Amanat Nasional sendiri yang telah dikatakan sebelumnya menjadi lawan politik Jokowi dalam pemilu 2014 dengan mengusung Prabowo-Hatta ketika itu. Beralih mendukung pemerintah pasca kongres ke-VI tahun 2015 Partai Amanat Nasional dengan terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum terpilih. Satu tahun berselang dari terpilinya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.

PAN akhirnya mendapatkan satu kursi di kabinet Jokowi-JK, yaitu menempatkan Asman Abnur sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) menggantikan Yuddy Chrisnandi sebelumnya di kursi menteri tersebut.

3 “PAN Dukung Pemerintahan Jokowi-JK”. 2 September 2015 [berita on-line]; tersedia di www.bbc.com diakses pada 24 Oktober 2017 4 Istilah yang digunakan oleh Katz dan Crotty ketika partai pemenang pemilu tidak mendapatkan suara mayoritas. Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 287

2

Pada perkembangan pemerintahan selanjutnya. PAN yang telah berkomitmen dan mendeklarasikan mendukung pemerintah, tampaknya lupa dengan posisinya.

Sejatinya mitra koalisi dapat dipastikan pandangannya akan sama dengan partai-partai koalisi lain. Berbeda dengan PAN, yang beberapa kali berbeda pendapat.

Di antara perbedaan pendapat PAN dengan partai koalisi pemerintah, pertama, adalah ketika pembahasan mengenai RUU Pemilu. Ketika itu terdapat lima paket yang ditawarkan dari Panitia Khusus (PanSus) DPR-RI terkait RUU Pemilu. Seperti dikutip langsung dari tempo.co,5 paket tersebut di antaranya adalah, paket A, presidential threshold (20-25 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (saint lague murni). Paket B, presidential threshold (0 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu

(terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (kuota hare).

Paket C presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara

(kuota hare). Paket D presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold

(5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-8 kursi), metode konversi suara

(saint lague murni). Paket E, presidential threshold (20-25 persen), parliamentary threshold (3,5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (kuota hare).

5 “Pansus RUU Pemilu Sepakati 5 Opsi Paket untuk Diputuskan Besok”. 12 Juli 2017 [berita on-line]; tersedia di nasional.tempo.co diakses pada 28 Desember 2017.

3

Pada perkembangannya, pilihan tersebut mengerucut pada pilihan paket A dan

B. PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, PKB, PPP dan Nasdem sebagai partai pemerintah dengan tegas mendukung paket A. Sedangkan PAN, PKS, Gerindra, dan Demokrat memilih paket B. PAN kemudian menjadi sorotan dalam pengambilan keputusan tersebut, karena berbeda pandangan dengan pemerintah dan partai pendukung yang lain dengan memilih paket A.

Langkah tersebut, menurut Zulkifli Hasan, ketua umum PAN, sudah dikomunikasikan kepada Presiden Joko Widodo. Ia beralasan, perbedaan pandangan tersebut “menyangkut mati hidup parpol…” kata Zulkifli Hasan yang dikutip dari kompas.com.6 Walaupun berbeda pendapat, PAN, menurutnya tetap solid mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Perbedaan pendapat yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengenai Perppu

Ormas. Perppu Ormas sendiri sudah disahkan dalam rapat paripurna yang digelar di

DPR pada Selasa 24 Oktober 2017. Terdapat tiga arus dalam menyikapi Perppu Ormas.

PDIP, Hanura, NasDem, dan Golkar setuju terhadap pengesahan Perppu Ormas Nomor

2 Tahun 2017. Selanjutnya ada PKB, Demokrat, dan PPP yang setuju dengan perubahan Perppu Ormas namun dengan catatan dilakukan revisi bila jadi disahkan menjadi undang-undang. Yang ketiga adalah partai yang menolak terhadap Perppu

6 “Menurut Zulkifli, Jokowi Memahami Alasan PAN Pilih Sikap Berbeda dengan Koalisi”. 24 Juli 2017 [berita on-line]; tersedia di www.kompas.com diakses pada 28 Desember 2017.

4

Ormas yaitu Gerindra, PKS dan PAN.7 PAN menjadi partai pendukung pemerintah satu-satunya yang menolak Perppu Ormas.

PAN yang berpandangan bahwa tidak adanya kegentingan yang memaksa pemerintah perlu mengeluarkan sebuat perppu. Ditambah, pasca diterbitkannya perppu, ormas yang dibubarkan hanya HTI saja. Sehingga langkah tersebut dianggap tidak tepat. Selain itu, hilangnya fungsi peradilan di perppu yang baru ini turut menjadi alasan PAN menolak. Tahap pembuktian di Pengadilan Negeri sampai putusan di

Mahkamah Agung yang dihapus dalam perppu ini, dianggap PAN langkah yang tidak demokratis.

Perppu ini turut menambahkan asas contrarius actus, yang menurut pemerintah perlu digunakan. Pemerintah yang mengeluarkan izin atau status badan hukum suatu ormas, dianggap turut mencabut izin atau status badah hukum tersebut apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran. Hal inilah yang menjadi keberatan PAN dalam perppu. Karena fungsi dan tugas ini seharusnya diberikan kepada yudikatif, seperi yang tertera di undang-undang yang lama, UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan.

Hal diatas merupakan salah satu alasan PAN menolak hadirnya Perppu Ormas.

Seperti yang diketahui, sikap yang demikian juga terlihat dari penolakan disahkannya

Perppu Ormas ini menjadi undang-undang pada rapat paripurna yang sudah disinggung

7 “Sah! Perppu Ormas resmi jadi UU”. 24 Oktober 2017 [berita on-line]; tersedia di www.news.detik.com diakses pada 27 Desember 2017.

5 diawal. Masih ada beberapa keberatan PAN yang akan penulis jelaskan pada bab-bab selanjutnya.

Berdasarkan pemaparan penulis, menunjukkan inkonsistensi PAN sebagai partai yang berkoalisi dengan pemerintah dan menyatakan mendukung terhadap kebijakan pemerintah, namun faktanya, khususnya dalam kasus Perppu Ormas PAN menolak. Karena itu, penulis merasa tertarik untuk menelaah lebih mendalam terkait sikap PAN yang menolak Perppu Ormas di dalam koalisi pendukung pemerintah.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, penulis merasa perlu melakukan pembatasan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan PAN terhadap Perppu Ormas?

2. Mengapa terjadi perbedaan pandangan antara PAN dengan pemerintah

sebagai koalisi dalam masalah Perppu Ormas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pandangan PAN terhadap Perppu

Ormas. Karena beberapa kali PAN sempat berbeda dengan pemerintah dalam memberikan suara ataupun pandangannya terhadap suatu isu, dan puncaknya pada sikap menolak PAN terhadap Perppu Ormas. Penelitian ini juga ingin menggali latar belakang penolakan PAN dengan pemerintah sebagai koalisi dalam masalah Perppu

Ormas.

6

Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan atau pembanding untuk studi ilmu politik, khususnya dalam studi Partai Politik dan Koalisi Pemerintahan terkait dengan sikap PAN yang bersebrangan dengan partai-partai lain dalam koalisi pendukung pemerintah mengenai Perppu Ormas.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini selain diharapkan mampu mengasah penulis dalam menganalisa mengenai masalah yang diteliti. Diharapkan juga bagi pembaca dapat dijadikan referensi tambahan atau pembanding terkait masalah posisi PAN dalam koalisi pemerintahan Jokowi-JK.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa referensi yang membantu penulis dalam penelitian ini.

Beberapa pustaka yang dijadikan penulis sebagai referensi atau pembanding dalam penelitian studi atas penolakan PAN terhadap Perppu Ormas dalam pemerintah Joko

Widodo-Jusuf Kalla 2014-2019 di antaranya:

7

Pertama, karya R. Widya Setiabudi Sumadinata.8 Jurnal yang menyoroti tentang dinamika koalisi-koalisi partai politik di Indonesia pada Pemilu 2014 dengan pendekatan logika Fuzzy. Temuan dari jurnal ini menampilkan ideologi partai politik tidak dapat dijadikan “preferensi koalisi partai politik secara absolut”. Karena dalam hal pendanaan partai politik tetap mengandalkan wakilnya di eksekutif ataupun legislatif.

Kedua, karya Ratnia Solihah.9 Dalam jurnal ini menemukan tidak adanya konfllik internal yang berkepanjangan setelah diselenggarakannya pemilihan ketua umum baru Partai Amanat Nasional (PAN) dengan terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum baru. Namun setelah terpilihnya Zulkifli Hasan menimbulkan dinamika politik internal baru yang menghasilkan kebijakan dan strategi partai yang berubah.

Mulai dari komunikasi politiknya, pengkaderannya, dan pemilihan kepengurusan.

Salah satunya yang menarik adalah perubahan komunikasi politik PAN, yang menyatakan mendukung pemerintah.

Ketiga, karya M. Faishal Amuniddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan.10

Jurnal ini menginvestigasi mengenai hubungan antara pragmatisme politik dengan perubahan partai politik yang adaptif dalam pemilu maupun dalam parlemen pasca

8 R. Widya Setiabudi Sumadinata, “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia Menjelang dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”. Jurnal Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober 2016): 183 - 188 9 Ratnia Solihah, “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik Partai Amanat Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”, Jurnal Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober 2016): 116 - 123 10 M. Faishal Aminuddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik Vol. 1 No. 1 (Agustus 2015):39-74

8 pemilu, yang kemudian menghadirkan jenis partai baru yaitu, Match-All Party. Jurnal ini menganalisa lebih lanjut mengenai bagaimana sebuah partai politik mampu mempertahankan citra partai terhadap konstituen dan pola interaksi partai politik di pemerintahan dan parlemen. Kemunculan spesies baru partai politik ini juga untuk upaya menciptakan tipologi partai politik di Indonesia yang sesuai.

Keempat, karya Asrinaldi A.11 Dalam jurnal ini menjelaskan mengenai akibat yang terjadi dari model koalisi sistem parlementer yang digunakan dalam sistem presidensial. Perdebatan mengenai program pemerintah bukan lagi mengenai aspirasi masyarakat, namun hanya menunjukan sikap bersebrangan dengan pemerintah dalam hal ini oposisi. Partai oposisi juga dilibatkan oleh partai pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk menghindari perdebatan di level legislatif.

Koalisi yang dibentuk hanya mementingkan kepentingan politik.

Kelima, karya Erika Sita Prasasti.12 Skripsi yang meneliti fenomena koalisi pemerintahan SBY periode 2009-2014 ini, penulis melihat Partai Golkar dan PKS yang seharusnya satu suara dan satu pandangan dengan partai lain dalam koalisi SBY, namun yang terjadi sebaliknya. Golkar dan PKS kerap kali berbeda pandangan dengan

11 Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol 10 No.2 (Desember 2013):63-77 12 Erika Sita Prasasti, “Partai Politik dan Koalisi: Studi atas Perbedaan Sikap Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Koalisi Pendukung Pemerintah SBY Periode 2009-2014”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta. 2017)

9 pemerintah ketika itu. Penelitian ini dilakukan dengan cara studi literatur dan wawancara.

Berdasarkan hasil dari literature review di atas, penulis mencoba memposisikan penelitian ini untuk mengelaborasi lebih jauh dari beberapa jurnal di atas terkait masalah PAN dalam koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terkait skripsi yang ditulis oleh

Erika Sita Prasasti, penulis mencoba menganalisis berdasarkan perspektif yang serupa tetapi dengan kasus yang berbeda.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sehingga penulis dapat mengeksplorasi lebih jauh dari suatu peristiwa, kasus, atau keyakinan dan sikap dari objek penelitian.13 Dalam hal penelitian ini, penulis dapat mengetahui lebih lanjut mengenai pandangan PAN mengenai Perppu Ormas sampai latar belakang terjadinya perbedaan pendapat antara PAN dan pemerintah dalam masalah Perppu Ormas.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan studi pustaka, dimana penulis menggunakan buku- buku yang berkaitan dengan penelitian, disamping menggunakan jurnal ilmiah, artikel- artikel terkait objek penelitian untuk mendapatkan data sekunder dan menggunakan

13 Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S (Jakarta: Kencana.2007) hlm.92

10 teknik wawancara kepada narasumber yang dapat menjelaskan mengenai masalah objek penelitian sebagai data primer. Adapun yang penulis wawancara yaitu, Abdul

Hakam Naja selaku anggota DPR-RI Fraksi PAN agar mendapatkan informasi lebih akurat mengenai pandangan PAN mengenai Perppu Ormas. Selain itu, penulis mewawancarai Achmad Baidowi selaku anggota DPR-RI Fraksi PPP untuk mendapatkan pandangan dari partai pendukung pemerintah.

3. Teknik Analisis Data

Dalam menjelaskan data hasil penelitian, penulis menggunakan teknik analisis interaktif oleh Miles dan Huberman,14 yaitu analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data penelitian. Dalam teknik ini terdapat tiga komponen: reduksi data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian data. Pada komponen pertama, penulis mencoba mereduksi atau menyimpan data-data yang didapat selama penelitian yang tidak termasuk yang akan dianalisis.

Komponen selanjutnya adalah penyajian data, penulis mencoba mengorganisasikan atau mengelompokan data yang satu dengan yang lain, sehingga data yang diperoleh dapat dilibatkan dalam penelitian. Data-data di sini akan berbentuk kelompok-kelompok yang saling berkaitan.

Komponen terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan. Kesimpulan kadang sudah tergambar sejak awal, tapi kesimpulan akhir harus dirumuskan dengan

14 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKis.2008) hlm. 104-106

11 menyelesaikan seluruh data yang dianalisis. Sehingga penulis harus meruncingkan bahkan merevisi kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada untuk sampai pada kesimpulan akhir.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hasil penelitian ini, penulis membaginya dalam lima bab dan dibagi lagi ke dalam beberapa sub bab, yaitu:

Pada Bab I, penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian dan dasar-dasar pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan. Koalisi besar yang dibangun oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentu ingin mengamankan suara di parlemen untuk memuluskan kebijakan pemerintah, salah satunya pengesahan

Perppu tentang Ormas menjadi undang-undang yang memicu pro dan kontra di parlemen. Penolakan bukan hanya keluar dari partai oposisi, namun PAN yang baru bergabung ke dalam koalisi tahun 2015 menjadi satu-satunya partai pemerintah yang menolak. Hal tersebut tentu bertolakbelakang dari tujuan berkoalisi.

Pada Bab II, penulis menjelaskan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Penulis menggunakan teori partai politik dan koalisi untuk menjelaskan sejauh mana

PAN mampu menerapkan visi, misi, serta kebijakan partai di dalam parlemen maupun di dalam koalisi pendukung pemerintah, serta penulis menjelaskan bentuk koalisi yang ingin dibangun Joko Widodo-Jusuf Kalla.

12

Pada Bab III, penulis mengawali dengan membahas mengenai sejarah singkat

Partai Amanat Nasional, serta kontribusi wakil-wakil PAN dalam kabinet pemerintahan sejak Abdurrahman Wahid sampai . Bab ini juga menjelaskan dinamika PAN pada pemilu 2014 dalam memilih mitra koalisi pemilu serta keputusan untuk masuk ke dalam barisan pendukung pemerintah Joko

Widodo-Jusuf Kalla, hingga perbedaan pandangan dalam Hak Angket KPK dan RUU

Pemilu, sebelum penulis menjelaskan penolakan PAN terhadap Perppu Ormas pada bab selanjutnya.

Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian dari dinamika koalisi pendukung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan adanya penolakan PAN terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas hingga menolaknya pada proses pengesahan di DPR. Turut juga penulis menjelaskan mengenai faktor apa yang membuat PAN menolak adanya Perppu Ormas. Penulis turut menjelaskan mengenai keterkaitan antara partai politik dan bentuk koalisi yang dibangun berdasarkan teori yang sudah dipilih.

Pada Bab V, penulis memiliki kesimpulan atas pembahasan yang sudah dilakukan mulai dari Bab I sampai Bab IV, bahwa dengan banyaknya partai politik yang berada di dalam koalisi sangat membuka kemungkinan adanya penolakan PAN terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Penolakan yang PAN lakukan memiliki dasar mulai dari aspek rasionalitas sampai aspek hukum atau konstitusi.

13

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL

A. Partai Politik

A.1 Definisi Partai Politik

Dalam pemerintahan yang modern, partai politik sebagai mesin politik yang terorganisasi untuk memenangkan pemilu dan berhak untuk mengatur dalam pemerintahan, partai politik modern lahir sekitar awal abad ke-19. Andrew Heywood menyebut partai politik sebagai “alat terhebat” dalam demokrasi, sekalipun dalam pemerintah yang tirani dan represif, partai politik menjadi alat yang vital sebagai penyambung antara negara dan civil society, antara pemerintah dan interest group di masyarakat.1

Heywood juga menyebutkan, partai politik banyak ditemukan di negara-negara dengan berbagai sistem kepartaian, baik dalam otoritarian atau demokratis. Mereka mencari kekuasaan bisa dalam bentuk pemilu sampai revolusi. Partai politik hadir membawa atau menawarkan suatu ideologi, baik ideologi kiri, kanan atau tengah, atau menolak segala bentuk ideologi yang ada. Dalam proses pembangunan partai politik yang demikian di suatu negara, yang dibarengi dengan mengimplementasikan sistem kepartaian adalah tanda sebagai modernisasi politik.2

1 Andrew Heywood, Politics, Ed. 3rd (New York: Palgrave Macmillan. 2007) hlm. 271 2 Ibid, hlm. 272

14

Sulit untuk mendefinisikan kata partai politik itu sendiri secara tepat, namun seiring waktu banyak ilmuwan politik yang mendefiniskan partai politik walaupun lebih bersifat normatif. Beberapa ilmuwan politik yang biasa dipakai untuk rujukan mengenai definisi partai politik, misalnya Edmund Burk yang dikutip langsung oleh

Richard S. Katz dan Willian Crotty, yang menilai partai politik adalah “kumpulan orang yang bersatu untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui usaha bersama mereka, berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang mereka semua sepakati”. Burk menekankan pada kepentingan yang berdasarkan kebijakan partai. 3

Masih dalam buku yang sama, Anthony Downs misalnya mendefinisikan partai politik dalam arti luas yaitu:

“Koalisi orang-orang yang berusaha menguasai aparat pemeritahan dengan cara yang sah. Yang kita maksud dengan koalisi adalah sekelompok individu yang memiliki tujuan tertentu yang sama dan saling bekerja sama untuk mencapainya. Yang kita maksud dengan aparat pemerintahan adalah perangkat fisik, hukum, dan kelembagaan yang digunakan pemerintah untuk melaksanakan peran khusus dalam pembagian kerja. Yang kita maksud dengan cara sah adalah pengaruh yang melembaga atau sah”.4

Dalam pengertian Downs, ia melihat partai politik sebagai alat politik yang sah untuk berkuasa di pemerintahan dengan cara berkoalisi dan menguasai aparat pemerintahan.

Lain lagi dengan Sigmund Neumann yang dikutip langsung oleh Miriam

Budiardjo, mengatakan

3 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 4 4 Ibid, hlm. 4

15

“Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan, atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda”.

Neumann memandang partai politik memiliki tujuan utama yaitu kekuasaan dengan cara berkompetisi dengan lawan politik lain yang berbeda pandangan.5

Dalam undang-undang kita sendiri juga telah disebutkan dalam UU No.2 Tahun

2008 Tentang Partai Politik, yang mendefinisikan partai politik sebagai

“Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Teori yang sudah penulis jabarkan penting digunakan sebagai dasar penelitian dalam melihat partai sebagai mesin politik yang sah untuk mendapatkan kekuasaan, sebagaimana Downs dan Neumann yang menitikberatkan pada penguasaan pemerintahan. Dalam konteks penelitian ini, penulis juga dapat melihat sejauh mana

PAN mampu mengejawantahkan prinsip-prinsip di dalam partainya ke dalam bentuk kebijakan ataupun sikapnya dalam berkuasa. Sebagaimana Burk dan Downs yang menyebut partai politik sebagai kumpulan/kelompok individu yang memiliki tujuan tertentu.

5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.2013) hlm. 404

16

A.2 Jenis-Jenis Partai Politik

Partai politik dalam teorinya memiliki beberapa jenis atau model untuk memudahkan para penulis dalam mengklasifikasikan partai politik yang ada. Jika melihat hubungan partai politik dengan pemilihnya, partai politik dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik sosiologis atau basis pemilih dan klasifikasi dengan melihat seberapa kuat daya tarik elektoral partai di masyarakat. Sedangkan jika dilihat dari internal partai politik itu sendiri, partai politik dapat diklasifikasi berdasarkan kelas keanggotaan atau kepemimpinan yang ada di dalam partai politik dan juga klasifikasi berdasarkan ideologi yang dijadikan dasar oleh partai politik.6

Partai politik dalam mengklasifikasikannya tidak dapat dilihat dari satu karakter saja. Karena partai politik juga memiliki karakter atau atribut lain. Penulis dalam melihat klasifikasi partai politik kali ini, mengambil klasifikasi jenis atau model partai politik yang di ulas oleh Richard S. Katz dan William Crotty. Karena mereka dalam memilah partai politik, memerhatikan dan merangkum unsur-unsur yang terdapat di dalam partai politik, seperti asal-usul partai, dimensi elektoral, ideologi, dan organisasional.

Terdapat lima jenis atau model partai politik yang di rangkum oleh Katz dan

Crotty. Pertama, partai elit, yang lahir ketika masa demokrasi yang hak pilihnya terbatas kepada segelintir individu dan terbentuk di dalam parlemen. Kedua, partai massa, yang pembentukannya sudah secara eksternal dan segmen pemilih yang lebih

6 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 414

17 luas dengan integrasi kelompok sosial yang sudah ada dan menginginkan adanya distribusi kekuasaan untuk masyarakat lebih luas. Ideologi juga sangat penting dalam partai jenis ini. Ketiga, partai catch-all, partai modern yang lahir di eropa ini tidak memiliki nilai ideologi yang sangat kuat. Sehingga partai ini memiliki konstituen atau basis pemilih lintas kelas sosial-ekonomi untuk menarik pemilih yang lebih luas dengan hubungan yang longgar dengan konstituen, memikirkan untung-rugi elit partai dan anggota, dan partai yang padat modal.7

Keempat, partai kartel, yaitu evolusi dari partai politik catch-all yang ingin mempertahankan posisinya di jabatan-jabatan penting. Mereka melakukan konsensus atau kesepakatan terhadap isu-isu kebijakan penting di pemerintahan. Lahirlah karetelisasi atau kolusi di pemerintahan, partai politik, dan kelompok kepentingan.

Tujuannya untuk mendapatkan modal dengan timbal balik berupa pemilih. Kelima,

Partai Perusahaan-Bisnis. Terdapat dua jenis dalam Partai Perusahaan ini, pertama, partai yang secara langsung terafiliasi oleh suatu usaha bisnis yang sudah ada sebelumnya, yang kedua adalah partai baru yang dibentuk khusus untuk usaha di politik.8

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis melihat Partai Amanat Nasional yang menjadi subjek penelitian ini awalnya termasuk ke dalam partai massa. Pada awalnya

PAN sangat kental dengan basis Muhammadiyah. Amien Rais yang menjadi Ketua umum pertama sekaligus pendiri partai ini, saat itu merupakan Ketua umum Pimpinan

7 Katz dan Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 416-423 8 Ibid, hlm. 424-427

18

Pusat Muhammadiyah. Mendirikan partai untuk sarana warga Muhammadiyah juga turut didorong oleh internal PP Muhammadiyah itu sendiri. Namun, pada perkambangannya PAN berubah menjadi Partai catch-all, partai modern yang ditandai dengan mulainya membuka diri atau inklusif bagi lintas kelas sosial-ekonomi, padat modal, dan pentingnya manajemen partai.

B. Koalisi

B.1 Definisi Koalisi Partai Politik

Dalam negara demokrasi yang menganut sistem multipartai, yaitu terdapat tiga atau lebih partai politik yang berada di parlemen dalam bersaing untuk mendapatkan kekuasaan yang sah, tidak asing lagi dengan kata koalisi. Suatu keadaan dimana partai politik menggabungkan kekuatannya untuk melawan partai pengusung pemerintah maupun sebaliknya, melawan partai-partai oposisi.

Terdapat ilmuwan politik yang memiliki definisi mengenai apa itu koalisi. salah satunya adalah W. Phillips Shively. Menurutnya koalisi partai politik adalah:

A tactical combination of varied groups, constructed so that the groups will in combination be large enough to command power that they can then share among themselves. (menyebut koalisi partai politik adalah kombinasi dari berbagai kelompok kepentingan yang dibentuk sehingga menjadi kombinasi kelompok yang besar untuk menguasai kekuasaan yang dimanfaatkan untuk kelompoknya sendiri.)9

Dalam perspetif Shively, koalisi dibentuk semata-mata hanya untuk mengumpulkan kekuatan dalam parlemen sehingga memperoleh kekuatan yang lebih.

Sedangkan menurut Andrew Heywood koalisi adalah:

9 Shively, Power & Choice, hlm. 1

19

A coalitions is a grouping of rival political actors brought together either through the perception of a common threat or through the recognition that their goals cannot be achieved by working separately (koalisi adalah sekelompok rival politik yang bersatu dan menyamakan persepsi/pandangan dan tujuan yang tidak dapat dicapai dalam bekerja secara terpisah)10

Indonesia dengan sistem multipartai ekstrem, dengan 10 partai politik berada di parlemen saat ini (periode 2014-2019). Mengakibatkan tidak ada satu partai politik pun yang berhasil meraup suara parlemen dominan. Sehingga partai politik perlu melancarkan strategi koalisi dalam mengamankan kepentingannya di parlemen maupun di kabinet.

Koalisi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla Periode 2014-2019 memiliki jumlah yang besar. Tentu menarik bagi penulis ketika teori Heywood untuk melihat sejauh mana koalisi yang dibangun Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu bersatu dan menyamakan persepsi atau pandangan partai. Karena, terlihat dalam beberapa kebijakan PAN mengambil sikap yang berbeda. Salah satunya adalah penolakan PAN terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas yang juga menolak untuk disahkan menjadi undang-undang.

B.2 Jenis Koalisi Partai Politik

Koalisi partai politik dapat dilihat bentuk atau jenisnya mulai dari basis pembentukan, tujuan, atau jumlah partai yang ada di dalam koalisi tersebut. Lijphart

10 Heywood, Politics, hlm. 288

20 misalnya, dalam bukunya menyebutkan setidaknya ada enam jenis koalisi partai politik yang biasanya terbentuk berdasarkan dua pijakan.11

Pertama, koalisi yang sangat mempertimbangkan jumlah suara dan jumlah partai politik yang ada di dalamnya. Minimal winning coalitions, minimum size coalitions, dan coalitions with the smallest number of parties merupakan jenis koalisi dari pijakan pertama ini.12 Partai politik sangat mempertimbangkan jumlah suara dari masing-masing partai untuk kemudian menjadi bagian dari mitra koalisi agar dapat memaksimalkan kekuatan politik yang dimilikinya.

Perbedaan antara minimal winning dan minimum size coalitions, kalau dalam minimal winning partai politik besar berkumpul untuk berkoalisi dengan suara minimal, sehingga pendistribusian kekuatan dalam kabinet nantinya akan secara maksimal dimanfaatkan oleh para mitra koalisi.13 Sedangkan dalam minimum size, partai dengan suara besar menimbang pembentukan koalisi partai politik yang

11 Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81 12 Minimal winning coalitions memiliki premis dasar sebagai jenis pembentukan koalisi yang ramping. Ketika partai-partai dengan suara besar berkoalisi namun belum meraih suara mayoritas, mereka akan memilih partai dengan suara kecil untuk mendapatkan status mayoritas di parlemen. Konsep ini Lijphart kutip dari William H. Riker. Selanjutnya, hampir sama dengan minimal winning coalitions, namun pada jenis koalisi minimum size coalitions, partai politik yang memiliki suara besar ingin membentuk koalisi namun tetap memaksimalkan kekuatannya di kabinet nanti. Partai tersebut harus menimbang pembentukan koalisi partai politik yang beranggotakan sejumlah partai politik kecil untuk mencapai ambang batas suara mayoritas. Jenis coalitions with the smallest number of parties dikemukakan oleh Michael Leiserson. Ia berpendapat terdapat kriteria atau faktor tambahan yang mendasari adanya persetujuan untuk membentuk koalisi minimal winning. Teori yang Ia kemukakan ialah “bargaining proposition” atau adanya usulan tawar-menawar. Karena negosiasi dan tawar- menawar mengenai formasi koalisi, akan lebih mudah tercapai, dan koalisi akan lebih mudah di pegang kendali, dan semua dapat merasakan sama rata, ketika anggota koalisinya hanya beberapa. Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81-83 13 Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, hlm.181

21 beranggotakan sejumlah partai politik kecil untuk mencapai ambang batas suara mayoritas.14

Kedua, partai tidak semata-mata memandang jumlah suara yang didapat partai lain, namun variabel seperti berdasarkan kesamaan atau kedekatan ideologi sampai pada preferensi kebijakan dari masing-masing partai politik yang ada turut menjadi dasar pengambilan keputusan untuk memilih mitra koalisi. Minimal range coalitions, minimal connected winning coalitions, dan policy-viable coalitions adalah jenis koalisi yang Lijphart masukkan ke dalam pijakan kedua ini.15

Syamsuddin Haris membagi jenis koalisi lebih sederhana lagi, pertama,

“koalisi pemenangan minimal”, yaitu pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kedua, jenis “koalisi minoritas”, koalisi pemerintahan dari partai-partai kecil yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas sedaerhana di parlemen. Ketiga, jenis “koalisi besar”, yaitu koalisi pemerintahan yang mendapatkan dukungan suara mayoritas mutlak di parlemen.16

14A. Bakir Ihsan “Rekonstruksi dan Revitalisasi Koalisi Dalam Sistem Quasi Presidensial”, E- Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011): 32 15 Minimal range coalitions memiliki definisi sebagai jenis koalisi yang mempertimbangkan cakupan atau jarak ideologi tertentu dan preferensi kebijakan partai calon mitra koalisi ketika partai politik ingin membentuk koalisi. Minimal connected winning coalitions hampir sama dengan Minimal range, namun dalam jenis ini selain mempertimbangkan ideologi yang dekat dengan partai, mereka juga turut mempertimbangkan jumlah suara yang hampir setara dengan partainya. Sedangkan dalam jenis Policy-viable coalitions, partai politik akan mencari mitra koalisi dengan karakter ideologi yang serupa dengan partainya dan jenis ini sangat memaksimalkan kekuatan politik di parlemen ketimbang kabinet. Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 83-84 16 Syamsuddin Haris, “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia: Faktor-Faktor Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono” E-Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011):3

22

Berdasarkan penjelasan teori di atas, keadaan koalisi pada saat awal pencalonan

Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014 belum sama sekali mencapai kondisi minimal winning coalition. Karena kalau dilihat dari jumlah suara di parlemen ketika terpilihnya Joko Widodo-Jusuf Kalla, Koalisi Indonesia Hebat belum mendapatkan

50% lebih suara, tepatnya hanya mencapai 37% suara di DPR. Namun ketika partai koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla bertambah 3 partai politik, Joko Widodo-Jusuf Kalla langsung mendapatkan 69,75% suara di parlemen. Termasuk di dalamnya Partai

Amanat Nasional yang menjadi subjek utama penelitian skripsi ini dengan suara sebesar 7,59%. Menjadikan suara pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi oversized.

Keadaan berbanding terbalik di PAN, yang saat itu mengusung Prabowo-Hatta

Rajasa. Minimal winning coalition sudah jauh terlampaui, yaitu dengan 63% suara di

DPR. Kalau koalisi PAN ketika itu mampu bertahan sampai pemilu berikutnya. PAN,

Gerindra, dan mitra koalisi yang lain akan menjadi partai oposisi pemerintah dengan membentuk koalisi besar yang mendapat suara mutlak di DPR.

23

BAB III

PARTAI AMANAT NASIONAL DAN KOALISI JOKOWI-JK PADA PEMILU

2014

A. Perjalanan Politik Partai Amanat Nasional (PAN) Periode 1999-2009

Partai Amanat Nasional setelah berdiri pada 23 Agustus 1998, setahun setelahnya langsung ambil bagian dalam kontestasi pemilihan umum pada 1999. PAN berhasil mendapatkan suara sebanyak 7.528.936 suara atau sebanyak 7,11% dan mendapatkan kursi parlemen sebanyak 34 kursi atau 7,36%.1 Dalam konstestasi pemilu pertamanya ini, PAN berada di urutan kelima dalam perolehan suara Pemilu 1999.

Setelah menjadi salah satu partai yang berhasil dalam pemilu 1999 dan menempatkan Ketua Umum PAN Amein Rais sebagai Ketua MPR ketika itu, perjalanan partai ini tidaklah mulus. Pada tahun 2001 misalnya, dengan keluarnya beberapa fungsionaris partai yang berbeda pandangan politik dengan keputusan yang diambil partai memberikan warna sendiri dalam perjalanan PAN dalam menghadapi

Pemilu 2004.

Pada pemilu 2004, partai berlambang matahari ini mendapatkan suara sebanyak

7.313.305 suara atau 6,45%, dan berhak mendapatkan 53 kursi atau setara 9,64% di

1 Bestian Nainggolan dkk, Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa (Jakarta: Kompas.2016) hlm. 398

24

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).2 Perolehan ini turun sekitar 215,631 suara dari pemilu 1999. Namun mendapat peningkatan kursi karena terdapat penuruan jumlah peserta partai politik yang ikut dalam pemilu. Pada pemilu 2004 ini Partai Amanat

Nasional berada di urutan ketujuh.

Pemilu 2009 merupakan pemilu yang ketiga yang telah diikuti oleh Partai

Amanat Nasional. Pada perjalanannya menuju pemilu tahun 2009, PAN mulai membuka diri bagi figur-figur dari luar internal partai untuk menjadi anggotanya, termasuk menjadi calon legislatif dari partai ini. Salah satunya adalah dengan menerima anggota dari kalangan selebritas yang ingin masuk ke dunia politik. Langkah yang demikian dirasa cukup efektif dalam menjaga eksistensi PAN dalam perpolitikan di Indonesia. PAN pada keikutsertaannya kali ini mendapatkan 6.254.580 suara atau setara 6%. PAN berhak mendapatkan 46 kursi di DPR atau 8,2% suara dari total kursi di DPR.3 Sehingga pada pemilu 2009, menempatkan PAN berada di urutan kelima.

Dalam hal perjalanan politik di pemerintahan atau kabinet Indonesia, PAN sudah masuk ke dalam barisan pembantu presiden atau menteri sejak masa Kabinet

Persatuan Nasional periode Oktober 1999-20 Agustus 2001, tepatnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu PAN menempatkan Yahya

Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo sebagai Menteri

Keuangan, Hasballah M. Saad sebagai Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia,

2 Ibid, Bestian Nainggolan dkk, Partai Politik Indonesia 1999-2019, hlm.368 3 Ibid, hlm.281

25 dan Al-Hilal Hamdi sebagai Menteri Negara Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.4 Pada masa periode 21 Agustus 2000-23 Juni 2001 dalam pemerintahan yang sama, menteri berlatar-belakang PAN berkurang satu, lalu Mahfud MD masuk menjadi Menteri

Pertahanan. Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur, PAN hanya mendapatkan satu posisi menteri, yaitu Hatta Rajasa sebagai Menteri Riset dan

Teknologi.

Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I saat Presiden SBY memimpin,5 partai berlambang matahari tersebut mendapat 2 kursi menteri ketika awal pemerintahan berjalan. Yaitu menempatkan Hatta Radjasa sebagai Menteri

Perhubungan, dan Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Saat SBY melakukan perombakan kedua Kabinet Indonesia Bersatu, Hatta Radjasa menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara.

Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, PAN menempatkan tiga wakilnya di kabinet SBY. Hatta Radjasa kembali masuk ke dalam kabinet sebagai Menteri

Perekonomian, lalu Zulkifli Hasan terpilih sebagai Menteri Kehutanan, dan Patrialis

Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya pada masa perombakan kedua di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II,6 Azwar Abubakar masuk menjadi Menteri Negara

4 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu.2013) hlm. 114 5 Ibid, hlm. 119 6 Ibid, hlm. 128

26

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Patrialis Akbar tidak lagi menjadi menteri di Kabinet SBY.

B. Partai Amanat Nasional (PAN) pada Pemilu 2014

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan setidaknya ada dua belas partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 2014, yaitu Partai Amanat Nasional

(PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai

Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati

Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan

(PPP). Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

(PKPI) awalnya tidak lolos dalam verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU-RI, namun setelah menang gugatan di PTUN, berhasil menjadi peserta Pemilu 2014.

Dalam komunikasi politiknya menuju pemilu 2014, PAN tidak menutup kemungkinan untuk berkoalisi dengan partai politik mana saja, tidak terkecuali PDI-P.

Namun, Hatta Rajasa selaku ketua umum sendiri enggan mengomentari rencana koalisi tersebut lebih jauh. Karena, menurutnya, PAN masih ingin berkonsentrasi untuk menghadapi pileg (pemilu legislatif) terlebih dahulu. Termasuk kemungkinan dirinya diusung menjadi calon wakil presiden mendampingi Gubernur DKI Jakarta Joko

27

Widodo yang sudah diumumkan oleh PDI Perjuangan menjadi calon presiden yang diusung partai tersebut.7

Satu bulan sebelum penyelenggaraan pemilu legislatif (pileg) dimulai, tepatnya pada Sabtu 19 April 2014, Wakil Ketua umum PAN Drajad Wibowo saat bertemu wartawan mengungkapkan sudah melakukan komunikasi politik untuk mencari mitra koalisi dalam menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden 19 Juli nanti. “Kami saat ini sudah berkomunikasi internal dengan empat partai lainnya yang memiliki ideologi campuran seperti nasionalis namun ada juga yang islami.” Dilansir dari merdeka.com. Ia menambahkan, PAN ingin menambah 2 partai politik ke dalam koalisi tersebut sehingga berjumlah 6 partai politik, yang kemudian diberi nama Koalisi

Indonesia Raya.

Partai Amanat Nasional sendiri dalam gelaran pemilihan umum legislatif pada

9 Mei 2014, memperoleh suara sebesar 9.481.621 atau 7,59% suara nasional dan menempati peringkat 6 dalam jumlah suara atau mendapatkan 49 kursi di DPR-RI.

Lima besar dapil (daerah pemilihan) penyumbang suara terbanyak ke partai berasal dari daerah DI Yogyakarta dengan suara sebanyak 355.787 suara, kedua adalah dapil

Lampung I sebanyak 276.424 suara, yang ketiga adalah dapil Sulawesi Tenggara sebanyak 271.231 suara, keempat adalah dapil Jawa Timur VI dengan suara sebanyak

246.975 suara, dan yang terakhir dapil Jawa Barat XI.8

7 “PAN Siap Koalisi dengan Semua Partai”. Beritasatu.com, 20 Maret 2014. 8 Data KPU-RI dapat diakses di kpu.go.id

28

Pasca pemilihan umum untuk anggota legislatif atau DPR selesai diselenggarakan pada 9 Mei, partai politik yang sebelumnya berfokus untuk memenangkan partainya di pileg, segera melakukan komunikasi terhadap partai lainnya guna membentuk mitra koalisi untuk menghadapi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Gerindra, melakukan penggalangan dukungan untuk membentuk

“Koalisi Tenda Besar” seperti yang diutarakan Refrizal anggota Majelis Syuro PKS.9

Koalisi tersebut rencananya beranggotakan PKS, Gerindra, Golkar, dan Harura.

Kemungkinan koalisi tersebut akan bertambah dua partai lainnya, yaitu PPP dan PAN.

Koalisi tersebut kedepannya mensinyalkan akan dibentuk secara permanen, entah saat memenangkan pilpres dan membentuk pemerintahan, atau menjadi oposisi bersama ketika kalah dalam pemilihan umum nantinya.

Sinyal yang diberikan sebelum pileg 9 mei tersebut nampaknya mulai mendapat titik terang. PAN yang semula sudah disebut akan bergabung dengan Gerindra untuk berkoalisi dalam pesta demokrasi ini, akhirnya resmi mengumumkan dalam Rapat

Kerja Nasional (Rakernas) PAN di Jakarta bergabung dengan partai Gerindra sebagai koalisi, dan resmi mengusung ketua umum PAN Hatta Rajasa sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo sebagai bakal calon presiden dari Partai

Gerindra.

9 “Koalisi Tenda Besar Gerindra: Golkar, PKS, Hanura, PPP dan PAN”. 7 mei 2013 [berita online] tersedia di www.liputan6.com diakses pada 23 September 2019

29

Setelah dinamika politik yang ada di kubu koalisi Prabowo, akhirnya Partai

Gerindra dan mitra koalisi yang lain resmi mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta yang peresmian dan penandatanganannya dilakukan di Rumah Polonia, Jakarta Timur pada Selasa, 20 Mei 2014, yang saat itu pula adalah hari terakhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden oleh KPU-RI.

Rombongan Prabowo-Hatta kemudian berjalan kaki dari Masjid Sunda Kelapa menuju

KPU-RI untuk mendaftarkan secara resmi sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Prabowo-Hatta datang bersama rombongan koalisi pengusung mulai dari Partai

Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai

Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tidak ketinggalan hadir politisi senior PAN Amien Rais, serta para ketua umum dari masing- masing partai politik pengusung.10

Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Partai Gerindra, Partai Amanat

Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera

(PKS), dan Partai Golkar memiliki jumlah kursi di parlemen yang cukup banyak, yaitu

292 kursi, hanya Partai Bulan Bintang yang tidak memiliki kursi pada pileg 2014.

Belakangan Partai Demokrat bergabung ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang membuat suara di parlemen untuk KMP bertambah 61 kursi menjadi 353 kursi atau

63% suara di parlemen. Sudah jauh berada di atas Koalisi Indonesia Hebat yang

10 “Prabowo-Hatta Resmi Daftar ke KPU”. 20 Mei 2014, [berita online] tersedia di www.nasional.kompas.com diakses pada 23 September 2019

30

mengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan total 207 kursi atau 37% dari

keseluruhan kursi di DPR. Berikut tabel perbandingan antara Prabowo-Hatta dan Joko

Widodo-Jusuf Kalla:

Tabel III.B.1

Peta Koalisi Partai Politik pada Pemilu 201411

Nomor Nama Pasangan Calon Presiden Partai Politik Perolehan Kursi di DPR-RI Urut dan Wakil Presiden Pendukung

1. Joko Widodo-Jusuf Kalla PDI Perjuangan,  PDI Perjuangan 109 kursi PKB,  PKB 47 kursi Nasdem,Hanura  Nasdem 35 kursi  Hanura 16 kursi  Total 207 kursi (37%)

2. Prabowo-Hatta Partai Gerindra,  Golkar 91 kursi PAN,PKS,PPP,  Gerindra 73 kursi Golkar,PBB,  Demokrat 61 kursi Partai Demokrat  PAN 49 kursi  PKS 40 kursi  PPP 39 Kursi  PBB 0 kursi  Total 353 kursi (63%)

Berdasarkan tabel di atas, sudah jelas apabila Prabowo-Hatta terpilih pada

pemilu 2014 akan terbentuknya pemerintah yang mayorias. Pemerintahan yang partai

politik pengusungnya mendapatkan suara mayoritas di parlemen. PAN yang menjadi

bahan penelitian ini, mendapatkan posisi yang amat penting di dalam koalisi. Ketua

11 “Koalisi Merah Putih Hingga Lima Tahun”. 15 Juli 2014, [berita online] tersedia di www.republika.co.id diakses pada 23 September 2019

31

Umum PAN Hatta Rajasa didaulat menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo

Subianto sebagai calon presiden.

C. PAN dan Koalisi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla

C.1 Bergabungnya PAN ke dalam Koalisi

Pemenang Pemilu 2014 jatuh kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019. Pemerintahan Joko

Widodo-Jusuf Kalla yang telah terbentuk mengalami “situasi minoritas”,12 yaitu saat pemilu legislatif 2014 kemarin tidak memberikan hasil maksimal (dominan) pada satu partai pun di parlemen, termasuk kepada PDIP sebagai partai asal Jokowi yang harus melancarkan koalisi dengan partai lain karena hanya mendapatkan 18,95%. Penjajakan koalisi pasca pemilu kepada partai lain harus dilakukan oleh pemerintah dan PDI-P.

Langkah tersebut harus diambil demi mengamankan suara dalam parlemen (DPR) jika ingin kebijakan yang diambil oleh pemerintah kedepan tidak mendapat hambatan yang besar di parlemen.

Demi tujuan tersebut, PDI Perjuangan setidaknya membentuk minimal winning coalition13 atau setidaknya mendapatkan suara 50%+1 untuk mendapatkan suara mayoritas sederhana di parlemen sehingga dapat memaksimalkan keuntungan yang

12 Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, hlm. 287 13 Arend Lijphart, Pattern of Democracy, hlm. 81

32 sudah diperoleh. Sebagaimana Shively menyebutkan bahwa koalisi tidak lain adalah untuk menguasai kekuasaan yang dapat dimanfaatkan untuk kelompoknya sendiri.14

Joko Widodo pada 26 Oktober 2014 mengumumkan susunan kabinetnya kepada publik di Istana Negara, dengan susunan 41% atau 14 menteri dalam kabinetnya berasal dari partai politik, sedangkan sisanya 59% atau 20 menteri berasal dari kalangan profesional. PDIP menempatkan 4 wakilnya duduk sebagai menteri, sedangkan PKB sebanyak 4 nama, 3 nama dari Nasdem, 2 nama dari Hanura, dan 1 nama dari PPP. Hadirnya Lukman Hakim Saifuddin yang berasal dari PPP di dalam kabinet, sangat berbanding terbalik dengan sikap partainya ketika pemilu 2014, yang lebih memilih menjadi lawan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Dilain pihak, pasca pemilu 2014 beberapa partai politik mulai memasuki masa akhir kepengurusan partai, yaitu PPP, Golkar dan PAN. Momen ini adalah saat yang tepat untuk pemerintah dalam melakukan penjajakan koalisi kepada partai-partai tersebut. Partai Amanat Nasional sendiri menggelar Kongres Nasional PAN ke IV pada

28 Februari 2015 sampai 2 Maret 2015, di Nusa Dua, Bali.

Kongres ke-IV PAN menghasilkan Zulkifli Hasan terpilih sebagai ketua umum baru PAN periode 2015-2020. Banyak perubahan yang dilakukan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN yang baru terpilih kemarin. Salah satunya adalah manufer dan komunikasi politik kepada partai lain, tidak terkecuali kepada PDI Perjuangan

14 W. Phillips Shively, Power & Choice, hlm. 1

33 selaku partai pengusung pemerintah kala itu. Karena, kabar mengejutkan datang dari istana, ketika Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan usai bertemu dengan Presiden Joko

Widodo di Istana Merdeka, mengumumkan bahwa PAN pada hari itu, Rabu 2

September 2015, resmi bergabung dengan pemerintah. Zulkifli menuturkan “kita sepakat menyatakan pada Bapak Presiden, PAN bergabung dengan pemerintah untuk mensukseskan seluruh program pemerintah”.15 Zulkifli hadir tidak sendirian, Ia datang bersama Ketua MPP PAN Soetrisno Bachir dan Sekjen PAN Eddy Soeparno.

Satu tahun berselang, tepatnya pada 27 Juli 2016, PAN akhirnya mendapatkan jatah menteri. Jokowi melakukan reshuffle jilid ke-II, presiden melakukan perombakan terhadap 13 posisi menteri dan satu badan. Wakil dari PAN, Asman Abnur masuk menggantikan Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Partai Golkar yang ikut masuk ke dalam barisan pendukung

Jokowi-JK mendapatkan jatah menteri, Airlangga Hartarto masuk menggantikan Saleh

Husein sebagai Menteri Perindustrian. Menariknya, dua menteri Hanura yang semula berada di kabinet digantikan oleh partai pendukung baru, walaupun Wiranto pendiri partai Hanura dan ketua umum pertama masuk menjadi Menkopolhukam. Berikut tabel lengkap mengenai reshuffle jilid ke-II Kabinet Kerja Jokowi-JK:

15 “PAN Resmi Jadi Partai Pendukung Pemerintah Jokowi”. 2 September 2015, [berita online] tersedia di nasional.sindonews.com diakses pada 23 September 2019.

34

Tabel.III.C.I Tabel Reshuffle Kabinet Kerja Jilid Ke-II16 Nama Kementerian/Badan Posisi Sebelumnya Posisi Selanjutnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan Budi Karya Sumadi Menteri Perencanaan Sofyan Djalil Bambang Brodjonegoro Pembangunan Nasional (Kepala BPN) Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro Menteri Agraria dan Tata Ferry Mursidan Baldan Sofyan Djalil Ruang (Nasdem) Menteri Energi dan Sumber Sudirman Said Archandra Tahar Daya Mineral Menteri Perindustrian Saleh Husen (Hanura) Herlangga Hartarto (Golkar) Menteri Pendidikan dan Anies Baswedan Muhajir Effendy Kebudayaan Menteri Desa dan Pembangunan Marwan Jafar (PKB) Eko Putro Sanjojo Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Yuddy Chrisnandi (Hanura) Asman Abnur (PAN) Negara, Reformasi, dan Birokrasi Menteri Koordinator Politik, Luhut Binsar Pandjaitan Wiranto (Hanura) Hukum, dan HAM (PDIP) Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Sumber Daya (PDIP) Menteri Perdagangan Thomas Lembong Enggartiasto Lukita Kepala Badan Koordinasi Franky Sibarani Thomas Lembong Penanaman Modal (BKPM) Wakil Menteri Perindustrian - Franky Sibarani

Peta politik di parlemen akhirnya berubah drastis seiring bertambahnya partai pendukung pemerintah Jokowi-JK. Pemerintahan yang semula berjalan dalam keadaan minoritas di parlemen, berubah menjadi oversized atau gemuk.

Setiap partai politik yang bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah mendapatkan jatah menteri minimal satu posisi, termasuk PAN yang mendapatkan

16 “Melihat 4 “Reshuffle” Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK”. 15 Agustus 2018, [berita online] tersedia di www.nasional.kompas.com diakses pada 12 Juni 2019

35 posisi Menteri PAN/RB. Namun, setelah berjalannya pemerintahan, PAN memiliki sikap yang berbeda dengan mitra koalisi yang lain. Hak Angket KPK menjadi pintu pertama perbedaan sikap tersebut. PAN menolak adanya penggunaan hak angket terhadap KPK. Tidak sampai disitu, PAN kembali memiliki pandangan yang berbeda dengan mitra koalisi yang lain pada isu kebijakan strategis terkait pilihan paket dalam

Rancangan Undang-undang Pemilu. Terakhir, PAN dengan tegas melakukan penolakan terhadap terbitnya Perppu tentang Ormas hingga menolaknya dalam rapat pengesahan menjadi undang-undang di DPR. Masalah Perppu Ormas ini akan dijelaskan oleh penulis pada bab berikutnya.

C.2 Sekilas Tentang Hak Angket dan RUU Pemilu

DPR pada 28 April 2017 resmi menggunakan hak angket kepada KPK lewat sidang paripurna DPR. Usulan yang berasal dari Komisi III DPR itu memiliki beberapa alasan mengapa DPR perlu menggulirkan hak angket kepada KPK. Penolakan dibukanya rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani oleh KPK dan adanya Laporan

Hasil Pemeriksaan (LHP) KPK tahun 2015 tentang ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam tata kelola anggaran menjadi alasan perlunya menggunakan hak angket terhadap KPK.

Sidang paripurna tersebut sebetulnya diwarnai walkout oleh enam fraksi, yaitu

Fraksi PKS, Demokrat, PPP, PKB, PAN, dan Gerindra, dan hanya disetujui oleh 4 fraksi di DPR, Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, dan Nasdem. PAN tidak

36 sendiran dalam menolak adanya hak angket KPK, ditemani oleh PPP dan PKB sebagai partai pendukung pemerintah yang memiliki perbedaan pandangan dengan partai pendukung pemerintah lainnya terkait bergulirnya hak angket.

Sikap PAN lambat laun berubah. Pemicunya diduga karena nama Amien Rais, pendiri partai belambang matahari itu, disebut dalam sidang dugaan korupsi alat kesehatan dengan terdakwa eks Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Setelah kasus eks menteri kesehatan ini bergulir, PAN mulai berubah pikiran untuk mengirimkan anggota fraksi ke Pansus Hak Angket KPK. Setelah Zulkifli Hasan dikatakan akan menimbang untuk mengirimkan nama anggota untuk masuk ke dalam Pansus.

Akhirnya di konfirmasi oleh Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Susanto, mengonfirmasi tiga nama tersebut, yaitu Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap, Anggota Komisi

III Daeng Muhammad, dan Muslim Ayub.17 Alasannya, Zulkifli Hasan ingin PAN mengawasi Pansus dari dalam agar tidak terjadi pelemahan di tubuh KPK, sehingga

Pansus Hak Angket KPK memang betul-betul ingin memperbaiki KPK dan bukan merevisi UU KPK dan melemakan wewenang KPK.

Dalam kasus ini, PAN sudah mengawali perbedaan pandangannya dengan pemerintah. Walaupun, bukan hanya PAN sendiri yang berbeda dengan partai pendukung pemerintah, masih ada PPP dan PKB yang sempat menolak hadirnya

Pansus Hak Angket, yang merasa disetujui dengan sepihak oleh Wakil Ketua DPR

17 “Ini Tiga Nama Anggota Fraksi PAN yang Duduk Dalam Pansus Angket KPK”. 7 Juni 2017, [berita online] tersedia di www.tribunnews.com diakses pada 28 Mei 2019

37

Fahri Hamzah sewaktu rapat paripurna. “Kenakalan” PAN tidak sampai pada penolakan awal Pansus dibentuk, saat sidang paripurna dengan agenda memperpanjang masa kerja Pansus Hak Angket, PAN bersama Fraksi Gerindra, dan PKS, memilih untuk walkout dari ruang sidang karena Fahri Hamzah, selaku ketua sidang, mengambil keputusan yang lagi-lagi sepihak untuk memperpanjang masa kerja Pansus. Selain itu pada saat rapat, Fahri Hamzah juga tidak menggubris usulan Fraksi PAN untuk per fraksi menyikapi laporan sementara dari Pansus Hak Angket.18

Setelah masalah Hak Angket KPK yang sangat menyita perhatian publik, DPR kembali dihadapkan masalah Racangan Undang-undang Pemilu. RUU yang sudah di bahas sejak tahun 2016 itu, merupakan penggabungan dari 3 UU yang sudah ada sebelumnya. Yaitu UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggaraan Pemilu.19

Penggabungan itu dikarenakan Pemilu 2019 nantinya akan dilaksanakan secara serentak di Indonesia, yaitu Pileg untuk memilih calon anggota DPR-RI, DPD-RI, dan

DPRD, lalu ada pilpres untuk memilih presiden dan wakil presiden Indonesia periode

2019-2024. Kebijakan adanya pemilu serentak ini merupakan hasil dari putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013, setelah sebelumnya adanya permohonan oleh Koalisi

Masyarakat Sipil yang dikomandoi oleh Effendi Gazali terhadap UU No.42 Tahun

2008.

18 “PKS, Gerindra, dan PAN “Walk Out” dari Paripurna Perpanjangan Pansus Angket”. 26 September 2017, kompas.com [berita online] tersedia di www.nasional.kompas.com diakses pada 28 Oktober 2019 19 “DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?” 20 Juli 2017, kumparan.com [berita online] tersedia di www.kumparan.com diakses pada 28 Mei 2019

38

Rancangan Undang-undang Pemilu sendiri memiliki isu yang krusial, khususnya bagi partai politik peserta pemilu 2019 nanti, yaitu mengenai sistem pemilu legislatif, alokasi besaran kursi per daerah pemilihan, metode konvensi suara menjadi kursi, parlementary threshold, dan presidential threshold. Dari kelima isu tersebut, ada isu krusial yang membuat parpol saling silang pendapat. Isu tersebut adalah presidential threshold, atau ambang batas untuk partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan atau mencalonkan capres-cawapresnya.20

Tabel III.C.2.121 Paket RUU Pemilu pada Lima Isu Krusial

Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E Presidentaial 20 atau 25 % 0% 10 atau 10 atau 15% 20 atau Threshold 15% 25% Parliamentary 4% 4% 4% 5% 3,5% Threshold Sistem Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Pemilu Dapil 3-10 3-10 3-10 3-8 3-10 Magnitude Metode Sainte Lague Kuota Hare Kuota Hare Sainte Lague Kuota Hare Konver Suara Murni Murni

DPR mengesahkan RUU Pemilu dalam rapat paripurna yang berakhir pada

Jumat, 21 Juli 2017, dini hari. Pengesahan RUU Pemilu akhirnya diambil melalui jalur voting karena lobi yang sebelumnya dilakukan, tidak menemukan jalan terang. Yandri

20 “DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?” 20 Juli 2017, kumparan.com [berita online] tersedia di www.kumparan.com diakses pada 28 Mei 2019 21 “Revisi UU Pemilu Alot, DPR Terbelah Tiga Kubu”. 20 Juli 2017, sindonews.com [berita online] tersedia di www.nasional.sindonews.com diakses pada 28 Mei 2019

39

Susanto mewakili Fraksi PAN membacakan sikap terakhir fraksi terkait RUU Pemilu.

Ia menjelaskan Fraksi PAN melihat karena tidak adanya kata mufakat dalam forum lobi, maka fraksinya menolak untuk mengikuti voting dan tidak bertanggung jawab terhadap keputusan yang akan diambil terkait paket RUU Pemilu dan memutuskan walkout dari ruangan rapat paripurna.22

Langkah PAN tersebut diikuti oleh Gerindra, Demokrat dan PKS yang memiliki sikap fraksi yang sama. Melihat kecenderungan forum akan mengambil voting sebagai langkah terakhir, kedua partai tersebut memutuskan untuk menolak mengikuti voting dan memilih untuk walk out dari sidang paripurna.23

Tabel.III.C.2.2 Tabel Partai Politik pada Sidang Paripuna RUU Pemilu Sikap Kursi di DPR Fraksi PDI Perjuangan Paket A 109 Fraksi Partai Golkar Paket A 91 Fraksi Partai Nasdem Paket A 35 Fraksi Partai Hanura Paket A 16 Fraksi PKB Paket A 47 Fraksi PPP Paket A 39 Fraksi Partai Gerindra Walk out 91 Fraksi Partai Demokrat Walk out 61 Fraksi PKS Walk out 40 Fraksi PAN Walk out 49 Total 337 241

22 “PAN dan Tiga Fraksi Oposisi Kompak Walkout Voting Revisi UU Pemilu”. 21 Juli 2017, [berita online] tersedia di www.merdeka.com diakses pada 28 Mei 2019. 23 Ibid.

40

Rapat paripurna hanya menyisakan enam fraksi, setelah empat partai politik walk out atau tidak bersedia mengikuti voting. Ketua DPR Setya Novanto akhirnya mengesahkan RUU Pemilu Jumat, dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu beserta paket A dengan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25%. Berdasarkan empat fraksi yang walk out, Fraksi PAN satu-satunya partai pendukung pemerintah yang memilih jalan berbeda dengan koalisi pemerintah yang lain.

41

BAB IV

PENOLAKAN PERPPU ORMAS OLEH PARTAI AMANAT NASIONAL

DALAM KOALISI JOKO WIDODO-JUSUF KALLA

A. Alasan Pemerintah Menerbitkan Perppu

Belum usai pengesahan RUU Pemilu oleh DPR, masih di bulan yang sama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2

Tahun 2017 untuk menggantikan UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. Penerbitan Perppu tersebut diumumkan secara resmi oleh

Menkopolhukam Wiranto dalam jumpa pers di kantornya pada 12 Juli 2017.1 Ia menjelaskan perppu tersebut ditekan presiden pada 10 Juli 2017 atau dua hari sebelumnya. Wiranto membeberkan alasan pemerintah mengeluarkan Perppu karena banyaknya ormas di Indonesia yang perlu dibina, khususnya ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945

Pemerintah melihat UU 17/2013 tentang Ormas sudah tidak lagi mampu menjadi sarana pencegahan ideologi yang bertentangan dengan dasar negara tersebut.

Sehingga pemerintah menilai adanya kekosongan hukum yang tidak dapat teratasi dengan membuat undang-undang yang baru karena akan memakan waktu yang lama.

Wiranto mengatakan “UU Tahun 2013 tentang Ormas telah tidak lagi memadai sebagai

1 “Pemerintah Resmi Terbitkan Perppu 2/2017 soal Ormas”. 12 Juli 2017, [berita online] tersedia di www.news.detik.com diakses pada 9 Oktober 2019

42 sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan

UUD 1945, baik dari aspek substansif terkait dengan norma, larangan dan saksi, serta prosedur hukum.”2 Alasan lain adalah tidak adanya asas hukum administratif contrarius actus, atau asas hukum mengenai lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas yang sekaligus berwenang mencabut izin atau peraturan tersebut.3

Pembelaan terhadap perlunya pemerintah mengeluarkan perppu turut diutarakan oleh Mahduf MD selaku anggota dewan pengarah Unit Kerja Presiden

Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Menurutnya, kelompok atau organisasi radikal sekarang ini sudah masif dan lebih terstruktur dengan baik. Kelompok tersebut memiliki tujuan ingin mengganti dasar negara dan konstitusi dengan cara yang tidak sesuai prosedur yang legal. Kelompok-kelompok tersebutlah yang ingin dilawan pemerintah. Dengan Perppu Ormas ini, pemerintah ingin memangkas mekanisme yang sudah diatur di UU Ormas yang lama.4

Penulis menemui Achmad Baidowi, selaku anggota Komisi II dari Fraksi PPP untuk meminta penjelasan lebih jauh mengenai Perppu Ormas. Baidowi mengungkapkan ketidaksetujuannya yang menyebut Perppu Ormas akan mengebiri

2 “Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas”. 12 Juli 2017, [berita online] tersedia di www.news.detik.com diakses pada 9 Oktober 2019. 3 Sri Hajati, Ellyne Dwi Poespasassri, dan Oemar Moechtar, Pengantar Hukum Indonesia (Surabaya: Airlangga University Press, 2007) hlm. 133 4 “Mahfud MD Jelaskan Soal Perppu Ormas”. 22 Agustus 2017, [berita online] tersedua di www.tribunnews.com diakses ada 9 Oktober 2019

43 kebebasan berorganisasi. Ia mengatakan itu hanya ketakutan sesaat saja. Ormas harus senantiasa merujuk pada aturan hukum. Ormas yang nyatanya melanggar dasar negara sudah sepatutnya dibubarkan. Ia mengambil contoh HTI yang dibubarkan dengan

Perppu Ormas, karena menurutnya HTI memiliki pemahaman ingin mendirikan negara khilafah.5

Wakil Sekjen PPP itu menjelaskan, lahirnya perppu ini karena ada organisasi yang tidak sesuai Pancasila. Tetapi sulit dibubarkan oleh pemerintah kalau menggunakan undang-undang yang lama. Walaupun ia mengatakan, kesepatakan awal

PPP menerima perppu disahkan menjadi undang-undang, namun harus segera dilakukan revisi khususnya dalam ranah pengadilan. Ia ingin tetap muaranya di pengadilan. Dalam undang-undang yang lama memang, ketika pemerintah ingin membubarkan suatu ormas harus melewati pengadilan baru kemudian pemerintah mengeksekusi putusan. Namun, Baidowi merasa ini terlalu lama dan tidak sesuai aturan yang benar.

Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 memang, untuk penjatuhan sanksi administratif terhadap suatu ormas saja perlu beberapa mekanisme sebelum sanksi pembubaran dijatuhkan. Pemerintah dalam Pasal 61 UU No.17 Tahun 2013 setidaknya harus melalui empat mekanisme sanksi administratif, yaitu peringatan

5 Wawancara dengan Achmad Baidowi, F-PPP Komisi II DPR-RI, 19 Maret 2019

44 tertulis, pengentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementera kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.6

Pemerintah dapat mengeluarkan surat peringatan tertulis sampai tiga kali, dan dalam setiap surat peringatan masing-masing berlaku dalam waktu paling lama 30 hari baru kemudian surat peringatan kedua boleh diberikan, begitu juga dengan surat peringatan ketiga yang dapat dilayangkan setelah 30 hari. Setelah proses peringatan tidak diindahkan oleh ormas dan penghentian bantuan dan/atau hibah sudah dilakukan pemerintah, selanjutnya pemerintah harus meminta pertimbangan Mahkamah Agung maksimal 14 hari sebelum kemudian dapat memberhentikan kegiatan sementara ormas yang melanggar. Proses ini baru sampai pada penghentian sementara kegiatan ormas selama enam bulan.

Dalam proses penghentian dan pencabutan badan hukum yang berkekuatan hukum tetap kepada suatu ormas mulai dari pengadilan negeri sampai tahap kasasi diterima oleh MA atau tidak, memakan waktu sampai 200 hari jika melihat ketentuan durasi maksimum dari masing-masing proses.7 Masalah waktu inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang.

6 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. 7 Jika melihat Pasal 66 sampai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Maka, pemerintah merasa perlu penyederhanaan proses penghentian dan pencabutan badah hukum ormas.

45

Pasal 61 dalam Perppu Ormas lebih disederhanakan lagi tahapan-tahapan untuk pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum suatu ormas. Dalam perppu tertulis hanya ada tiga tahapan sanksi yaitu, peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Pemerintah juga memotong durasi surat peringatan tertulis yang sebelumnya tiga kali dan dilakukan bertahap selama 30 hari, dalam perppu ini di Pasal 62 peringatan tertulis hanya dilakukan satu kali dalam waktu 7 hari dan apabila ormas tersebut tidak mengindahkan peringatan yang diberikan, maka akan langsung dijatuhkan sanksi penghentian kegiatan. Maka dari segi waktu dibutuhkan kurang dari satu bulan untuk pemerintah dapat membubarkan suatu ormas.8

Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini menghapus fungsi peradilan dalam tahapan pembubaran suatu ormas. Pasal 70 sampai Pasal 80 mengenai tahapan dari Pengadilan

Negeri dan Mahkamah Agung dihapus dalam Perppu ini. Ormas yang telah dibubarkan berhak untuk menuntut surat keputusan pembubaran ormasnya di pengadilan sesudah dibubarkan.

Penulis berkesimpulan, pemerintah mengeluarkan Perppu tentang Ormas ini dengan sejumlah alasan, yaitu:

8 Sri Yunanto, Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia: Studi Tentang Ideologi dan Gerakan Politik HTI Dalam Perspektif Empat Konsensus Bangsa Indonesia (Jakarta: Intitute for Peace and Security.2017) hlm. 151

46

1. Ormas radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah

mengkhawatirkan.

2. UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah tidak

mampu menjadi sarana pencegahan.

3. Tidak adanya azas hukum administratif contrarius actus di dalam undang-

undang yang lama.

4. Sebagaimana isi Pasal 22 UUD 1945 dan terjemahan Pasal 22 UUD 1945

oleh MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, pemerintah merasa

sudah ada kegentingan yang memaksa untuk segera dikeluarkannya perppu

ketimbang merevisi atau membuat undang-undang yang baru.

B. Pandangan PAN Terhadap Perppu Ormas

Langkah pemerintah untuk menerbitkan Perppu Ormas dikritik banyak kalangan, tidak terkecuali dari partai politik di parlemen. PAN yang sudah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah, menyayangkan keluarnya perppu ini karena perppu ini dianggap belum menjadi solusi terhadap permasalahan ormas yang bermasalah.

Yandri Susanto, Ketua DPP PAN, menilai pemerintah seharusnya menjadi pembina bukan menjadi pembubar. Karena sudah menjadi tugas pemerintah untuk membina ormas yang dianggap bermasalah.9

9 “6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”. 13 Juli 2017, [berita online] tersedia di www.news.detik.com diakses pada 28 Mei 2019

47

Sikap PAN yang demikian juga diikui oleh oposisi, Didik Mukrianto Sekretaris

Fraksi Demokrat menyebutkan, fraksinya akan melakukan kajian terlebih dahulu,

Demokrat tidak ingin perppu ini berpotensi memunculkan abuse of power serta tindakan yang akan membrangus kebebasan dan demokrasi yang sudah di bangun di

Indonesia.10 Wakil Ketua Dewan Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid pun mendukung apabila ada pihak yang ingin mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena menilai perppu ini tidak sesuai dengan UUD 1945.

Keluarnya Perppu Ormas ini juga tidak lepas kaitannya dengan ormas yang sudah ada di Indonesia cukup lama, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang sudah menjadi rahasia umum menolak demokrasi dan menginginkan berdirinya khilafah di

Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan PAN untuk menolak hadirnya perppu. Hakam Naja menganalogikan seperti ‘membunuh nyamuk dengan meriam’.11 Mengeluarkan perppu hanya untuk ‘membunuh’ satu ormas.

PAN, menurutnya, mengedepankan rasionalitas atau akal sehat untuk melihat apa penyebab keluarnya suatu perppu. Tidak ada alasan yang masuk akal yang diterima

PAN ketika pemerintah ingin mengeluarkan Perppu Ormas. Masalah HTI atau FPI, menurutnya bukanlah suatu masalah yang harus ditangani dengan mengeluarkan

10 “6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”. 13 Juli 2017, www.detik.com diakses pada 28 Mei 2019 11 Wawancara Abdul Hakam Naja, F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019

48 perppu. Masalah yang ada di depan mata seperti OPM dan gerakan separatis lainnya yang seharusnya mendapat atensi lebih dari pemerintah.

Masalah mekanisme yang sempat disinggung Mahfud MD, menurut Hakam

Naja juga merupakan suatu kesalahan. Undang-undang yang lama menurutnya sudah baik. Ormas dibubarkan oleh putusan pengadilan bukan oleh eksekutif. Eksekutif memberikan saran jika ingin membubarkan ormas. Cara yang demikianlah yang menurut Hakam negara demokrasi lakukan. UUD 1945 pun sudah mengatur mengenai kebebasan berserikat atau berorganisasi dan berpendapat dimuka umum. Sehingga, menurutnya, pemerintah seharusnya mengusulkan revisi besar-besaran terhadap undang-undang yang lama, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 dibanding mengeluarkan perppu.

Masalah azas contrarius actus juga disinggung Hakam Naja saat wawancara dilakukan. Menurutnya penarapan azas tersebut baik jika diimplementasikan kepada aspek administrasi. Namun dalam ormas, bukan hanya mencakup administrasi, tetapi eksistensi sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk berorganisasi. Hak tersebut melekat dalam setiap individu. Ia menyamakan seperti hak politik, hak memilih dan juga dipilih. Ia beralasan, pemerintah juga merupakan produk hasil dari pemilihan, oleh sebab itu dikhawatirkan akan ada konflik kepentingan. “Jika menjadi lawan politik akan dicabut, kalau dia mendukung tidak akan dicabut” ujar

Hakam Naja. Ia juga menyayangkan seakan-akan ada langkah eksekutif mengambil alih tugas yang harusnya dilakukan oleh yudikatif. Karena menurutnya, “kita boleh

49 tidak suka dengan HTI, namun kita tidak boleh sewenang-wenang. Pemerintah harus setara di depan hukum. Kalau sekarang terlihat, jadi lebih tinggi”.12

Alasan-alasan yang demikian, sehingga menurutnya masalah kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan perppu ini sudah tidak tepat.

Kegentingan yang memaksa contohnya seperti perang dimana pemerintah harus cepat dalam mengalokasikan APBN, atau seperti bencana besar seperti Tsunami Aceh yang perlu tindakan cepat dari pemerintah sehingga dapat digolongkan ke dalam kegentingan yang memaksa.

Dalam analisa penulis, pasal-pasal atau dasar dari Perppu Ormas yang menjadi keberatan PAN di antaranya:

1. Pasal yang Bermasalah

Perppu Nomor 2 Tahun 2013 menghapus Pasal 70 sampai Pasal 80 yang berisi tugas dan fungsi peradilan dari tahap Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung dalam proses pembubaran suatu ormas. Keputusan yang demikian bukan salah satu ciri negara demokratis yang menjaga kebebasan berserikat/berorganisasi yang bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Ambiguitas atau multi tafsir pada Pasal 82A BAB XVIIA Ketentuan Pidana.

Yang didalamnya terdapat kalimat “setiap orang yang menjadi anggota/atau pengurus

Ormas yang dengan sengaja secara langsung atau tidak langsung….” dapat dipidana

12 Wawancara Abdul Hakam Naja F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019

50 karena melakukan pelanggaran. Masa hukumnya bervariasi, Pasal 82A ayat 1 apabila melanggar ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana antara 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan dalam Pasal 82A ayat 2 apabila melanggar ketentuan dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana mulai dari 5 tahun sampai 20 tahun bahkan dapat dikenakan pidana seumur hidup.

Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya multi tafsir, apakah seluruh anggota suatu ormas akan terkena pidana dari kegiatan ormas yang dianggap melanggar, atau hanya aktor intelektual yang menjadi bagian dari suatu ormas yang akan terkena pidana. Serta, dikhawatirkannya tafsir tunggal terhadap Pancasila juga turut ditakutkan oleh PAN.

2. Asas Contrarius Actus

Dimasukkannya asas contrarius actus yang dijadikan dasar perppu tidak tepat jika diterapkan kepada ormas, lebih tepat diterapkan dalam urusan administrasi seperti

SIM atau KTP. Karena didalam ormas, bukan hanya menyangkut hal administrasi dari ormas tersebut, tetapi ada hak konstitusional warga negara didalamnya, dimana hanya pengadilanlah yang berwenang mencabut hak tersebut.

Asas ini dahulu digunakan oleh Mahkamah Agung untuk menguji peraturan dibawah undang-undang hanya berwenang untuk menyatakan tidak sah, namun untuk

51 pencabutan dan pembatalan aturan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pembentuk aturan tersebut.13

3. Tidak ada Kegentingan yang Memaksa

Dasar suatu perppu dikeluarkan adalah Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan apabila ada kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal tersebut kemudian diterjemahan oleh MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam Permohonan Pengujian Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

MK menimbang terbitnya suatu perppu apabila adanya keadaan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, namun undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai, sehingga kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu memastikan untuk diselesaikan.14 Pasca dikeluarkannya Perppu Ormas, hanya ada satu ormas yang dibubarkan oleh pemerintah, yaitu HTI. Sehingga

13 Miftahul Huda, “Kamus Hukum,” Majalah Konstitusi No. 34, November 2009, 78. 14 Termuat dalam Pertimbangan Hukum MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

52 kegentingan yang memaksa sudah tidak rasional menurut PAN. Adanya revisi terhadap undang-undang lama lebih tepat dilakukan pemerintah dibandingkan mengeluarkan sebuah perppu.

Pemerintah telah menyerahkan perppu ormas kepada DPR untuk dibahas dalam satu kali masa sidang. DPR akan membahas apakah disetujui atau tidak disetujui, apabila tidak menerima, UU No.7 Tahun 2013 akan kembali berlaku. Komisi II yang berwenang membahas ini, akan mengundang berbagai pihak untuk dimintai pendapat mengenai perppu ormas.

Rapat paripurna DPR dengan agenda pembahasan Perppu No.2 Tahun 2017 dilakukan pada 24 Oktober 2017. Rapat yang dipimpin oleh Fadli Zon ini mendapatkan banyak interupsi dan perdebatan antar anggota dewan. PDI Perjuangan, Nasdem,

Golkar, dan Hanura masih tetap tegas mendukung pengesahan perppu menjadi undang- undang jika dilihat dari pandangan fraksi. PKB, PPP, dan Demokrat akhinya menerima pengesahan perppu menjadi undang-undang walaupun dengan catatan pemerintah harus tetap merevisi beberapa pasal didalamnya. Gerindra, PKS, dan PAN pun tetap pada pendiriannya yaitu menolak kehadiran perppu ormas untuk disahkan menjadi undang-undang.

Voting pun menjadi jalan terakhir DPR untuk menentukan apakah perppu tersebut disetujui atau tidak disetujui menjadi undang-undang. Melalui mekanisme pemunguntan suara per fraksi, tidak dilakukan secara perorangan. Seperti yang sudah dapat ditebak. Tujuh fraksi menerima Perppu No.2 Tahun 2017 disahkan menjadi

53 undang-undang, sedangkan tiga fraksi lainnya menolak untuk disahkan. PAN tetap pada posisinya, yaitu menolak Perppu Nomor 3 Tahun 2017 tentang Organisasi

Kemasyarakatan untuk disahkan menjadi undang-undang. Berikut tabel suara pengesahan perppu ormas berdasarkan kehadiran anggota15:

Tabel IV.B.1 Tabel Suara Fraksi Sidang Paripurna Pengesahan Perppu Ormas Setuju Tidak Total Setuju PDI Perjuangan 106 Partai Gerindra 62 Partai Golkar 70 PKS 24 Partai Nasdem 23 PAN 35 Partai Hanura 15 PKB* 32 PPP* 23 Partai Demokrat* 42 Total 311 121 432 *Menerima dengan catatan revisi.

C. Faktor Perbedaan Sikap PAN dengan Koalisi Pemerintahan Joko

Widodo-Jusuf Kalla

C.1 Faktor Kebijakan Internal PAN

Faktor internal PAN, tepatnya pilihan rasional dari PAN menjadi faktor utama dalam penolakkannya terhadap Perppu Ormas. Aspek hukum yang menjadi masalah

PAN dalam Perppu Ormas adalah kewenangan pemerintah memberikan penilaian subjektif terhadap aktivitas ormas yang dianggap melanggar Pancasila. Pembubaran

15 “Tolak Perppu Ormas Menjadi UU, Ini Alasan Gerindra”. 24 Oktober 2017, okezone.com [berita online] tersedia di www.news.okezone.com diakses pada 28 Mei 2019

54 tanpa melalui pengadilan juga memberikan jalan pintas pemerintah untuk membubarkan suatu ormas tanpa melewati pembuktian kesalahan ataupun lewat surat peringatan. Andi Yulianis Paris, politikus PAN, beralasan partainya menolak Perppu

Ormas karena mencegah Presiden Joko Widodo dari pelanggaran terhadap UUD 1945.

Andi tidak ingin presiden melanggar Pasal 28 UUD 1945 yang isinya menjamin hak untuk hidup dan kemerdekaan pikiran serta kebebasan dari sikap diskriminatif.16

Menurutnya ini juga berpotensi untuk melanggar HAM karena memberikan kewenangan yang absolut terhadap pemerintah untuk memberikan penilaian subjektif dan memerikan sanki terhadap ormas yang dianggap melanggar.

Muhammadiyah dan ormas-ormas lain yang menentang adanya perppu ormas juga menjadi alasan PAN berbeda pandangan mitra koalisi yang lain. PP

Muhammadiyah yang menolak perppu ormas karena menilai UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sebelumya sudah ada masih relevan dan mengkhawatirkan adanya abuse of power karena kewenangan pembubaran ormas mutlak berada di tangan pemerintah.17 Massa Muhammadiyah dan massa umat Islam masih menjadi pensuplai kader dan suara di tubuh PAN. PAN tentunya tidak ingin kehilangan popularitas di pendukungnya seperti kata Bingham Powell. Partai politik

16 “PAN Beralasan Menolak Perppu Ormas Justru karena Mendukung Jokowi”. 24 Oktober 2017, tempo.co [berita online] tersedia di www.nasional.tempo.co diakses pada 22 Oktober 2019 17 “Perppu Ormas: NU Mendukung, Muhammadiyah Menolak”. 18 Oktober 2017, tempo.co [berita online] tersedia di www.nasional.tempo.co diakses pada 24 Oktober 2019

55 sulit untuk memilih, apakah mempetimbangkan kepetingan koalisi atau popularitas partai untuk pemilihan mendatang.18

C.2 Faktor Bentuk Koalisi

Pemerintahan Jokowi pada mulanya memang menghasilkan pemerintahan yang minoritas, atau tidak mendapat cukup dukungan partai politik di parlemen. Jokowi-JK hanya diusung oleh empat partai politik, yakni PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu partai politik pendukung Prabowo-Hatta memilih untuk merapat ke koalisi Jokowi-JK. PPP, Partai

Golkar, dan PAN berhasil menjadi kekuatan tambahan di parlemen dan menjadikan koalisi Jokowi-JK menjadi koalisi besar atau oversized coalition.

Koalisi besar yang sudah tergabung menurut penulis merupakan koalisi yang bersifat pragmatis dengan mengesampingkan kesamaan ideologi masing-masing partai, dan bertujuan untuk saling memanfaatkan sumber daya kekuasaan di eksekutif.

PAN secara terus terang ingin mengoptimalkan perannya untuk bangsa dengan menjadi bagian eksekutif. Hal tersebut dikonformasi oleh Hakam Naja yang menyebutkan keputusan tersebut merupakan salah satu amanat Kongres PAN yang lalu. Hal tersebut seperti yang dikatakan Moury, bahwa koalisi yang dibangun oleh elit partai, dalam hal

18 Bingham Powell Jr. Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, (Massachusetts: Harvard University Press, 1982), hlm. 74 lihat juga Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68

56 ini PAN, adalah terkait pilihan rasional elit dalam memaksimalkan sumber daya politik yang mereka miliki.19

Koalisi pendukung Jokowi-JK tidak memiliki sesuatu untuk mengikat para mitra koalisi yang sudah bergabung. Selain itu, komunikasi antar mitra koalisi juga menurut penulis kurang dibangun oleh Jokowi maupun PDI Perjuangan. Masalah Hak

Angket KPK yang berasal dari inisiatif partai-partai pendukung pemerintah, pada awalnya ditolak oleh sesama mitra koalisi. PPP, PKB, dan PAN menolak usulan adanya hak angket untuk KPK pada waktu itu. Walaupun pada akhirnya partai-partai tersebut bergabung ke dalam Pansus, ini sudah menjadi bentuk nyata kurangnya komunikasi terhadap mitra koalisi.

Masalah komunikasi lagi-lagi terjadi di dalam koalisi pendukung Jokowi-JK.

Masalah Perppu Ormas yang ditolak Fraksi PAN di DPR menjadi satu-satunya fraksi pendukung pemerintah yang berbeda pandangannya. PAN menilai tidak adanya kegentingan yang memaksa sehingga presiden harus mengeluarkan sebuah Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang maupun alasan rasional lainnya. Hakam Naja menilai, kegentingan yang memaksa dalam hal ini misalnya, bencana besar seperti tsunami Aceh dahulu, atau saat perang pemerintah membutuhkan APBN sehingga

19 Catherine Moury, Coalition Government and Party Mandate: How Coalition Agreement Constrain Minesterial Action, (London: Routledge, 2013) dalam Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68

57 presiden bisa mengeluarkan perppu.20 Dan terkait waktu, ia menginginkan pemerintah bersabar untuk mengusulkan perubahan total atau revisi UU Ormas.

Bentuk koalisi yang besar atau oversized coalition juga menyangkut visi bersama yang harus dibangun setelah pemilu dalam membentuk pemerintahan, yang membuat mitra koalisi berusaha menyesuaikan visinya dengan partai yang menjadi poros utama partai. Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB dan termasuk PAN harus menyesuaikan program yang telah dirancang kepada PDI Perjuangan selaku poros utama koalisi. Visi bersama yang seharusnya dibangun dan dirumuskan sebelum pemerintahan terbentuk, justru dilakukan setelah kemanangan dalam membentuk pemerintahan.

Koalisi yang hanya mementingkan jangka pendek dan temporer seperti ini, memiliki konsekuensi yaitu lemahnya ikatan dan solidaritas mitra koalisi sehingga dukungan partai politik terhadap pemerintah hanya ditentukan oleh “mood politik” partai politik mitra koalisi.21 Apakah harus dihadapkan dengan kebijakan yang membuat kecewa partai atau sedang berhubungan baik dengan pemerintah.

Koalisi yang temporer atau sementara juga diamini oleh Hakam Naja ketika diwawancara oleh penulis. Ia beralasan ketika berbeda pilihan pada RUU Pemilu, itu

20 Wawancara Abdul Hakam Naja, F-PAN Komisi II DPR-RI, 5 September 2019 21 Istilah ini digunakan oleh Syamsuddin Haris untuk menggambarkan Partai Golkar dan PKS ketika SBY menjadi presiden. Golkar dan PKS sempat mendorong adanya hak angket dalam skandal Bank Century. Penulis meminjam istilah ini untuk menggambarkan hubungan koalisi PAN dan Jokowi- JK. Syamsudin Haris, Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.2014) hlm. 108

58 semata-mata tidak mau mengorbankan partai untuk koalisi yang bersifat temporer ini.

Ia juga tidak ingin mengorbankan partai hanya untuk jabatan menteri dan PAN berbeda pandangan mengenai sistem politik di Indonesia.

Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik di Indonesia menggambarkan kecenderungan pembentukkan koalisi yang bersifat instan yang berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek. Lemahnya koalisi yang dibangun turut diakibatkan tidak sepenuh hatinya dukungan dari partai politik anggota koalisi, dan memandang koalisi yang dibangun hanya untuk sementara.22

Koalisi yang berdasarkan platform atau ideologi anggota koalisi harus didorong untuk terciptanya koalisi yang permanen. Koalisi yang bertujuan policy seeking

(mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai) lalu diikat oleh kesamaan tujuan dan kebijakan.23 Sehingga koalisi yang bersifat solid diperlukan agar koalisi yang dibentuk tidak semata-mata untuk transaksi politik antar elit di pemerintahan dan partai politik untuk menjaga dukungan partai politik terhadap pemerintah dengan kompensasi menteri di kabinet dapat terhindarkan.24

22 Asrinladi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penulis an Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 69 23 Lili Romli, “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi”, Jurnal Politica Vol. 8 No.2 November 2017: 103 24 Beverly Evangelista, “Eksistensi Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia Menurut UUD 1945”, Jurnal Ius Vol II No.5 (Agustus 2014): 340

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penolakan PAN terhadap Perppu Ormas tentu mempunyai alasan tersendiri.

Faktor internal PAN, khususnya pilihan rasional yang PAN ambil dalam memandang perppu ormas menjadi faktor utama dalam masalah ini. Aspek hukum dan tidak adanya kegentingan yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkan suatu perppu menjadi pertimbangan PAN untuk menolak adanya Perppu Ormas.

Dihapusnya fungsi peradilan dalam proses pembubaran suatu ormas menjadi titik krusial penolakan PAN terhadap perppu ini. Peran eksekutif yang sangat dominan dalam pembubaran ormas, dikhawatirkan dapat memicu kesewenang-wenangan pemerintah dan dapat digunakan untuk menjegal lawan politiknya dikemudian hari.

Ditambah, pasca dikeluarkannya perppu ini hanya satu ormas saja yang dibubarkan, yaitu HTI. Sehingga kegetingan yang memaksa tersebut, tidaklah rasional dan tidak terbukti. Asas contrarius actus yang ditambahkan kedalam perppu ini juga dinilai tidak tepat implementasinya terhadap masalah keormasan.

Sehingga, pada kesimpulannya PAN sebetulnya berharap pemerintah melakukan revisi total terhadap undang-undang yang lama, Undang-undang No.17

Tahun 2013, agar masalah seperti waktu yang terlalu lama dalam membubarkan ormas

60 dan menghindari wewenang eksekutif yang terlalu besar dapat dihindari dengan dibahas bersama DPR.

Pada kasus ini membuktikan kesamaan ideologi yang dikesampingkan dalam membentuk suatu koalisi turut andil dalam ketidakstabilan jalannya pemerintahan.

Kepentingan jangka pendek untuk mendapatkan suara dan mengoptimalkan sumber daya kekuasaan yang ada masih menjadi dasar partai politik bergabung dalam koalisi.

Tidak adanya suatu pengikat di dalam koalisi Jokow-JK juga turut menjadi faktor ketidakharmonisan antara PAN dan mitra koalisi yang lain. Visi bersama yang seharusnya dibangun antar mitra koalisi parpol nampaknya belum maksimal dalam menjaga koalisi agar tetap solid. Serta, komunikasi yang baik seharusnya dibangun

Jokowi maupun PDIP sebagai poros utama untuk mencegah perbedaan pandangan di dalam koalisi.

Faktor internal PAN seperti pilihan menyangkut keengganan mengambil resiko dengan pilihan menolak adanya Perppu Ormas untuk menjaga popularitas partai dalam pemilihan mendatang membuat PAN terpaksa membuat keputusan berbeda dengan koalisi yang lain daripada harus mengorbankan kepentingan partai pada pemilu mendatang.

61

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka peneliti memiliki saran sebagai berikut:

1. Akademis

Penelitian selanjutnya diharapkan mampu membahas dan mendalami masalah seputar sistem multipartai ekstrem yang diterapkan di Indonesia. Ketika sistem presidensial dikombinasikan dengan multipartai ekstrem, koalisi besar yang harus dibangun untuk mengamankan suara saat pemilu presiden ataupun suara di parlemen, membuat koalisi yang dibangun akan rapuh. Melakukan perbandingan secara mendalam mengenai masalah tersebut dirasa peneliti juga penting untuk dibuat agar mengetahui fenomena yang terjadi di Indonesia apakah dialami oleh negara yang menganut serupa dengan Indonesia.

2. Praktis

Peneliti berharap agar kedepannya partai politik yang berada di Indonesia lebih sederhana dari segi jumlah. Karena dengan begitu tidak adanya kepentingan yang terlalu banyak dari partai politik di pemerintah yang berjalan dan akan lebih stabil dengan jumlah partai yang lebih sedikit. Partai politik juga memiliki kemungkinan mendapatkan kursi mayoritas di parlemen sehingga dapat terwujud kestabilan di pemerintahan. Partai politik juga diharapkan membentuk koalisi yang lebih stabil dengan memikirkan aspek kesamaan ideologi.

62

DAFTAR PUSTAKA Buku Al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Ambardhi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Cole, Alexandra. Perbandingan Partai Politik: Sistem dan Organisasi dalam Ilmu Politik dalam Paradigma Abad ke-21. Jakarta: Kencana, 2013.

Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, diterjemahkan oleh Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana, 2007.

Heywood, Andrew. Politics, Ed. 3rd. New York: Palgrave Macmillan, 2007.

Katz, Richard S., William Croty. Handbook Partai Politik. Bandung: Nusa Media, 2014.

Lijphart, Arend. Pattern of Democracy: Governmant Forms and Performance in Thirty-Six Countries. Michigan: Yale University, 2012.

Nainggolan, Bestian. dkk. Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa. Jakarta: Kompas, 2016.

Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Lkis, 2008.

Shively, W. Phillips. Power & Choice: An Introduction to Political Science. New York: McGraw-Hill, 2007.

Sudjarwo dan Basrowi. Manajemen Penelitian Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju, 2009.

Hajati, Sri, Poespasassri, Ellyne Dwi, dan Moechtar, Oemar. Pengantar Hukum Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.

Yunanto, Sri. Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia: Studi Tentang Ideologi dan Gerakan Politik HTI Dalam Perspektif Empat Konsensus Bangsa Indonesia. Jakarta: Intitute for Peace and Security, 2017

Haris, Syamsudin. Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

63

Jurnal Ilmiah

Aminuddin, M. Faishal dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik Vol. 1, No. 1, (Agustus 2015):39-74.

Asrinaldi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 10, No.2 (Desember 2013):63-77.

Asrinladi, A. “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68.

Haris, Syamsuddin. “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia: Faktor-Faktor Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono” Jurnal Penelitian Politik LIPI Vol.8 No.1 (2011):3.

Ihsan, A. Bakir. “Rekonstruksi dan Revitalisasi Koalisi dalam Sistem Quasi Presidensial.” Jurnal Penelitian Politik LIPI: Menggugat Politik Parlemen, Vol. 8, No.1 (2011): 31-43.

Jr, Bingham Powell. Contemporary Democracies: Participation, Stabilty and Violence. Massachusetts: Harvard University Press, 1982. dalam Asrinladi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68

Moury, Catherine. Coalition Government and Party Mandate: How Coalition Agreement Constrain Minesterial Action. London: Routledge. 2013. dalam Asrinladi A, “Koalisi Model Parlementer dan Dampaknya Pada Penguatan Kelembagaan Sistem Presidensial Di Indonesia”. Jurnal Penelitian Politik Vol. 10 No.2 (Desember 2013): 68.

Ratna Solihah, “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik Partai Amanat Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”. Jurnal Wacana Politik, Vol 1 No.2 (Oktober 2016):116-123.

Solihah, Ratnia. “Pengaruh Dinamika Internal Partai Terhadap Strategi Politik Partai Amanat Nasional Pasca Kongres IV Tahun 2015”. Jurnal Wacana Politik Vol. 1, No. 2, (Oktober 2016):166-123.

Sumadinata, R. Widya Setiabudi. “Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di Indonesia Menjelang dan Setelah Pemilihan Presiden Tahun 2014”. Jurnal Wacana Politik Vol. 1 No. 2 (Oktober 2016):183-188.

Romli, Lili. “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi”, Jurnal Politica Vol. 8 No.2 (November 2017): 103

64

Evangelista, Beverly. “Eksistensi Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensil di Indonesia Menurut UUD 1945”, Jurnal Ius Vol II No.5 (Agustus 2014): 340

Skripsi

Prasasti, Erika Sita. “Partai Politik dan Koalisi: Studi atas Perbedaan Sikap Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Koalisi Pendukung Pemerintah SBY Periode 2009-2014”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta. 2017

Dokumen

Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009

Majalah

Huda, Miftahul “Kamus Hukum,” Majalah Konstitusi No. 34, November 2009, 78.

Internet

“6 Fraksi di DPR Dukung Perppu Ormas, PKS-Gerindra-PD-PAN Mengkritik”. https://news.detik.com. 13 Juli 2017

“DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?”. https://kumparan.com. 20 Juli 2017.

“Ini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas”. https://news.detik.com. 12 Juli 2017.

“Ini Tiga Nama Anggota Fraksi PAN yang Duduk Dalam Pansus Angket KPK”. http://www.tribunnews.com. 7 Juni 2017.

“Koalisi Merah Putih Hingga Lima Tahun”. https://www.republika.co.id. 15 Juli 2014.

“Koalisi Tenda Besar Gerindra: Golkar, PKS, Hanura, PPP dan PAN”. https://www.liputan6.com. 7 Mei 2013.

65

“KWI, PGI, dan PP Dukung Perppu Ormas Disahkan Jadi UU”. https://news.detik.com. 18 Oktober 2017.

“Mahfud MD Jelaskan Soal Perppu Ormas”. https://www.tribunnews.com. 22 Agustus 2017.

“Menurut Zulkifli, Jokowi Memahami Alasan PAN Pilih Sikap Berbeda dengan Koalisi”. https://nasional.kompas.com. 24 Juli 2017.

“PAN Beralasan Menolak Perppu Ormas Justru karena Mendukung Jokowi”. https://nasional.tempo.co. 24 Oktober 2017.

“PAN Gabung Koalisi Jokowi”. http://www.bbc.com. 2 September 2015.

“PAN Resmi Jadi Partai Pendukung Pemerintah Jokowi”. https://nasional.sindonews.com. 2 September 2015.

“Pansus RUU Pemilu Sepakati 5 Opsi Paket untuk Diputuskan Besok”. https://nasional.tempo.co. 12 Juli 2017.

“Partai Golkar Gabung Jokowi”. http://www.republika.co.id. 26 Januari 2016.

“Pemerintah Resmi Terbitkan Perppu 2/2017 soal Ormas”. https://news.detik.com. 12 Juli 2017.

“Prabowo-Hatta Resmi Daftar ke KPU”. https://nasional.kompas.com. 20 Mei 2014

“Sah! Perppu Ormas resmi jadi UU”. https://news.detik.com/. 27 Desember 2017

“Tolak Perppu Ormas Menjadi UU, Ini Alasan Gerindra”. https://news.okezone.com. 24 Oktober 2017.

“PAN Siap Koalisi dengan Semua Partai”. https://beritasatu.com. 20 Maret 2014.

“DPR Tentukan Nasib RUU Pemilu Hari ini, Sah atau Deadlock?”. https://kumparan.com. 20 Juli 2017.

“Revisi UU Pemilu Alot, DPR Terbelah Tiga Kubu”. https://nasional.sindonews.com. 20 Juli 2017.

“PAN dan Tiga Fraksi Oposisi Kompak Walkout Voting Revisi UU Pemilu. https://www.merdeka.com. 21 Juli 2017

Wawancara

Wawancara dengan Abdul Hakam Naja. Fraksi PAN Komisi II DPR-RI. 5 September 2019.

66

Wawancara dengan Achmad Baidowi. Fraksi PPP Komisi II DPR-RI. 19 Maret 2019.

67