Identitas Dan Nasionalitas Dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Identitas Dan Nasionalitas Dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No HUMANIORA Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No. 1 Februari 2003 Halaman 15 - 22 IDENTITAS DAN NASIONALITAS DALAM SASTRA INDONESIA* Aprinus Salam** Pengantar Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada dentitas dan nasionalitas merupakan beberapa kajian yang telah menguraikan faktor penting bagi kehidupan ber- masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) bangsa dan bernegara. Faktor yang pernah menganalisis masalah nasionalisme menyebabkannya penting karena identitas dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). dan nasionalitas secara teoretis merupakan Foulcher memfokuskan kajiannya pada unsur utama dalam menyangga keberlang- usaha perjuangan mencari bentuk nasionalis- sungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu me yang ideal pada masa-masa tersebut berangkat dari satu pengandaian teoretis yang direpresentasikan dalam karya-karya bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membi- seseorang kepada masyarakat dan bangsa- carakan nasionalisme sebagai satu sikap per- nya, bergantung pada bagaimana seseorang lawanan terhadap narasi nasionalisme yang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokus- suatu konsep identitas yang sepenuhnya kan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca. imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan masalah nasionalisme dalam sastra Indone- dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi sia. Akan tetapi, fokus kajian Farid lebih pada implikasi langsung bagaimana seseorang proses-proses peranan penciptaan bahasa mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sebagai salah satu pengikat nasionalisme sosial, politik, atau dalam kehidupan ber- Indonesia. Di samping itu, pendekatan Farid masyarakat, berbangsa, dan bernegara. dalam tulisan tersebut lebih berat pada Itulah sebabnya, suatu kajian tentang pendekatan sejarah. Faruk (1994) menulis identifikasi terhadap identitas seseorang/ masalah nasionalisme sebagai respons ter- masyarakat dirasakan sangat penting. Kajian hadap tulisan Foulcher. Tidak berbeda itu, diharapkan pula meliputi proses-proses dengan Foulcher, Faruk mengkaji data-data konsolidasi apa saja yang menyebabkan sastra pada masa Pujangga Baru. Beberapa seseorang merasa memiliki atau tidak tulisan tersebut, tidak secara khusus meng- memiliki identitas, wacana-wacana apa saja eksplorasi masalah identitas tokoh-tokoh yang dimanfaatkan sebagai sarana pemben- dalam karya sastra dan kaitannya dengan tuk identitas, dan di atas semua itu, bagai- masalah nasionalitas. Di samping itu, data- mana keterkaitannya dengan nasionalitas. data yang dikaji dalam penelitian di atas Pembicaraan ini secara khusus mengkaji belum meliputi data-data kesastraan setelah persoalan identitas dan nasionalitas dalam tahun 1990-an. Dengan demikian, diharapkan beberapa karya sastra (novel) Indonesia dan tulisan ini akan memberikan perspektif dan hanya diambil beberapa saja yang dianggap analisis yang berbeda dengan tulisan-tulisan mewakili satu "konteks" zaman. sebelumnya. * Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002. ** Doktorandus, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Humaniora Volume XV, No. 1/2003 15 Aprinus Salam Dalam permasalahan di atas, Bhabha diproduksi menjadi rumah, dalam pengertian mengatakan bahwa acuan tentang identitas luas, dan dengan itu kita menjadi bagian personal pada dasarnya tidak jelas, untuk dalam dari rumah itu. mengatakan tidak ada. Sejauh yang terjadi, Sejumlah tokoh utama dalam novel-novel seseorang dalam mempersepsi identitas Balai Pustaka memperlihatkan bahwa, dalam dirinya merupakan konstruksi sosial, misal- prosesnya, ia menjadi orang asing (foreign- nya institusi-institusi sosial-politik tertentu, ers) di rumahnya sendiri. Tokoh utama dalam seperti agama, etnisitas, bahasa, ras, kelas- Siti Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), kelas kepentingan, bahkan nation, yang oleh Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak Timothy Brennan tidak lebih semacam kelas betah dan kurang cocok di lingkungan dan kepentingan yang lebih canggih (1994), adat istiadat setempat (asalnya). Memang, ataupun kelompok kepentingan lainnya. yang perlu diperhatikan adalah perasaan Konstruksi sosial tersebut sangat mungkin tidak kerasan itu setelah sebagian dari tokoh- saling bertentangan sehingga tidak jarang tokoh dalam cerita itu mengenal/ke luar dari seseorang mengalami ambiguitas disebab- desanya, dan di kemudian hari, melihat dan kan mengalami proses institusionalisasi yang mencoba memposisikan kembali dirinya di berjalan secara paralel dan/atau bersamaan. rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan Itulah sebabnya, tidak jarang seseorang tiga hal perihal Hanafi dalam SA. berada dalam posisi serba perbatasan, peniruan yang serba tanggung atau mimikri ....Pada Hanafi sudah nyata tak ada dalam konsep Bhaba (1994), atau dalam keteguhan hati di dalam agamanya, kejadian lain seseorang memiliki multi- sedang bangsanya sendiri pun su- identitas. Dalam masyarakat posmodern, dah dibelakanginya (h. 52) wacana multiidentitas tersebut menye- .... Hanafi menyumpahi dirinya, babkan seseorang membangun sekat-sekat karena ia dilahirkan sebagai imajiner, untuk mempertahankan identitas Bumiputra! (h. 53.) dirinya, secara individual. Sekat-sekat ima- .... Bukanlah ia seketika sudah jiner individual tersebut memberikan memuliakan bangsanya dan hubungan yang problematik dengan nasio- meninggikan derajat Bumiputra, nalisme. tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa Dari "Rumah" ke Identitas itu, buat menghinakannya dengan tidak memberi alasan (h. 57) Nasionalitas, etnisitas, ideologi, mung- .... "Anak itu lama di rantau orang, kin ada referensinya, tetapi identitas personal disangkanya mudah saja ia meng- tidak. Bagaimana identitas personal diper- ubah adat kita." (h. 71). oleh? Ada semacam dugaan bahwa mungkin rumahlah yang memberi seseorang perasaan Pertanyaannya, di mana Hanafi? beridentitas secara pribadi, sesuatu yang lebih kongkrit. Rumah yang membuat sese- Proses apa yang menyebabkan sese- orang kerasan, yang membuat seseorang orang tergusur dari rumahnya, dari dalam kangen. Peristiwa-peristiwa tertentu dalam dirinya sendiri atau dari luar, atau dari luar rumah, bergurau dengan keluarga, selalu kemudian menjadi dalam dirinya sendiri. menjadi bagian penting dalam hidup sese- Seseorang menjadi orang luar ketika ia tidak orang. Kalau seseorang pergi ke mana saja, diterima oleh wacana dominan tentang rumahlah yang menyebabkannya pulang. konsep rumah dalam suatu tempat tertentu. Tidak jarang, rumahlah yang sering membuat Proses-proses yang menyebabkan seorang seseorang bermimpi. Kata sebuah pepatah menjadi orang dalam dan orang luar, adalah there is no place like home. Rumah yang proses-proses konsolidasi yang dilakukan memberi perlindungan dan rasa aman. Akan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau tetapi, apakah rumah itu? Dalam pengertian kelompok-kelompok kepentingan), berdasar- luas, rumah adalah sebuah tempat yang kan norma-norma dan nilai-nilai tertentu, 16 Humaniora Volume XV, No. 1/2003 Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan Akan tetapi, jika berangkat dari ke- seperti partai-partai atau lembaga-lembaga mungkinan ideologi pengarang, tampaknya tertentu, sehingga seseorang menjadi Moeis berpihak pada inside adat-istiadat dan tersubjeksi oleh proses konsolidasi tersebut kampung halamannya. Mungkin pembaca (Untuk keterangan ini lihat konsep Althusser juga "digiring" untuk tidak menyukai orang dalam Fairclough, 1992: 30-33, 86-95; seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan Storey, 1993: 110-113; Belsey, 1980: 56-62). dan gaya hidupnya sudah kebelanda- Dengan demikian, definisi tentang menjadi belandaan, bangsa penjajah. Di sini Moeis orang luar atau orang dalam itu selalu bermaksud membangun sikap nasionalisme berubah, serba bergantung kepada sudut dan antikolonial. Hanya, proses konsolidasi pandang posisi tempat orang luar dan atau yang memenangkan pertarungan itu bukan orang dalam. atas nama bangsa, tetapi konsolidasi atas Dalam hal di atas, terjadi proses tawar- nama agama (Islam). menawar, apakah ia harus kembali menjadi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-mena- mencoba melihat situasi di atas berpihak war itu demikian keras dan mungkin sulit pada orang luarnya SN, dengan representasi dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, Tuti dan Yusuf, sebagai pilihan rumah tentu seharusnya ia orang dalam sesuatu psikologis dan rasionalnya (bahkan di masa yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga depan), seperti diceritakannya secara tidak/belum diterima menjadi orang dalam- panjang lebar dalam Layar Terkembang (LT). nya orang luar itu. Di sinilah problematika- STA tampaknya tidak berangkat atas nama nya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme ia menjadi sesuatu yang ambivalen. Ia tidak/ (tentu karena ia berkenalan dan berkat belum masuk ke satu inside tertentu. konstruksi "pendidikan modernnya"). Diceri- Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut takan dalam novel itu, Tuti yang progresif, dalam SN. rasional, emansipatif, efektif, sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Melihat ... Seorang dari anak muda ini, ialah LT yang rasional kebarat-baratan (dari sudut seorang anak laki-laki, yang umur- nya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya pandang yang menolaknya), Belenggu men- baju
Recommended publications
  • Literary Works and Character Education
    International Journal of Language and Literature June 2016, Vol. 4, No. 1, pp. 176-180 ISSN: 2334-234X (Print), 2334-2358 (Online) Copyright © The Author(s). 2015. All Rights Reserved. Published by American Research Institute for Policy Development DOI: 10.15640/ijll.v4n1a20 URL: https://doi.org/10.15640/ijll.v4n1a20 Literary Works and Character Education Dr. Ch. Evy Tri Widyahening, S.S., M.Hum1 & Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum2 Abstract The purpose of this research is (1) to explain and to describe the about position of character education in literary appreciation; (2) to explain and to describe about literary works which contains the education element of character. The method which is used in this research is qualitative descriptive method with the technique is content analysis. Data source is documents about literary works. The technique of data collecting is analysis of document. The technique of data validity uses data triangulation. The technique of data analysis uses interactive data analysis technique by Miles and Hubermann. The result of this research indicates that character education need to be given to the students since in the beginning of their education experiences through the activity of character literary appreciation. It is happened because of literary works represents human life that has also relates to character in life. It is hoped that through the activity of literary appreciation since the students are in elementary level, it will obviate the future generation from hedonism, egoist, individualism, and ethnocentrism. The implementation of character values will become strong foundation in building a nation. Keywords: Literary works, character education, literary appreciation A.
    [Show full text]
  • Sejarah Sastra Indonesia
    0 | Sejarah Sastra Indonesia 1 | Sejarah Sastra Indonesia KATA PENGANTAR Sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis. Hal itu tidak hanya mendapat perhatian dari pemerhati sastra, sastrawan maupun pengajar sastra melainkan juga masyarakat umum yang juga merupakan penikmat sastra. Membicarakan perkembangan sastra suatu bangsa tentunya harus membicarakan sejarah sastra itu. Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari sejarah yang melahirkan dan membesarkannya. Beberapa ahli sastra memberikan argumen yang dijadikan landasan pijakan kapan kelahiran sastra Indonesia. Beberapa pendapat tersebut menyiratkan bahwa perjalanan sastra Indonesia belumlah panjang.Usia kesusastraan Indonesia tidaklah sepanjang kesusastraan Inggris, Amerika, Arab, Jepang, Cina atau kesusastraan negara lainnya. Namun demikian, dengan usia yang belum terlalu panjang tersebut bukan berarti sastra Indonesia sepi dari karya-karya yang monumental. Kehidupan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai sekarang sangatlah marak. Banyak sastrawan yang lahir pada setiap masa dan membawa bentuk-bentuk yang berbeda dengan masa sebelumnya. Berbagai peristiwa kesusastraan datang silih berganti mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Hasil sastra yang dilahirkan terus bertambah setiap saat. Fakta itulah yang harus diketahui oleh siapapun yang berminat terhadap kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang bersifat komprehensif. Buku tersebut tidak hanya mengenai sastrawan dan karyanya tetapi juga mencakup berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sastra Indonesia dari sejak kelahiran sampai sekarang. Banyak penulis yang telah melahirkan buku sejarah sastra Indonesia, seperti Sejarah Sastra Indonesia (Bakri Siregar, 1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1968), Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Pamusuk Eneste, 1988), Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (Jacob Sumardjo, 1992) dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S., 2007).
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Part I. a Short History of Indonesian Cultural Policy
    47 Part I. A Short History of Indonesian Cultural Policy 48 Chapter 1 The Genesis of Modern Cultural Policy in Indonesia: Culture and Government in the Late Colonial and Japanese Occupation Periods, 1900-1945 Benedict Anderson, in his introduction to Southeast Asian Tribal Groups and Ethnic Minorities, writes: It is easy to forget that minorities came into existence in tandem with majorities ... They were born of the political and cultural revolution brought about by the maturing of the colonial state and by the rise against it of popular nationalism. The former fundamentally changed the structures and aims of governance, the latter its legitimacy. (1987a, p. 1) This chapter explores how Indonesian cultural policy was born within the complex relationship between Indonesian populations and the policies of foreign administrations. Anderson’s observation highlights that when the Indonesian nationalists declared independence, they declared popular dominion over a territory that was already profoundly shaped by modern methods of government. Indeed, the resistance of anticolonial nationalists, as noted by David Scott, was articulated into a ‘political game’ that was itself linked to the ‘political rationality’ of the colonial state (1995, p. 198) and also, in the case of much of Southeast Asia, then impacted by Japanese occupation. Dutch colonial cultural policy, which bloomed at the beginning of the twentieth century, and Japanese occupying cultural policy should not be understood as fundamentally different to post-independence cultural policy, but as its precursors. 1. Culture and Government in Indonesia from 1900 to 1945 Scott writes that ‘in order to understand the project of colonial power at any given historical moment one has to understand the character of the political rationality that constituted it’ (1995, p.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    M. Bodden Utopia and the shadow of nationalism; The plays of Sanusi Pane 1928-1940 In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (1997), no: 3, Leiden, 332-355 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 12:36:07AM via free access MICHAEL H. BODDEN Utopia and the Shadow of Nationalism The Plays of Sanusi Pane 1928-1940 i Benedict Anderson's seminal work, lmagined Communities, among other things, uses several early works of modern Southeast Asian literature to demonstrate the emergence of a new kind of narrative perspective which could be associated with the general growth of nationalism in the nine- teenth and twentieth centuries (Anderson 1983:32-7). Subsequently, much work has been done on the links between literature and the construction of a 'national identity'. Fredric Jameson has gone so far in his thinking about the relationship between nationalism and literature as to claim that all 'third world' texts 'necessarily project a political dimension in the form of a national allegory' (Jameson 1986:69). Aijaz Ahmad, responding to Jameson's assertion and the article in which it appeared, countered that Jameson had turned all Asian and African critics and writers into mystifïed 'civilizational others'. He had done this, Ahmad claimed, by reducing all the issues dealt with by these writers and critics to the singular problem of a nationalist struggle against colonial oppressors and their post-colonial successors. Ahmad argued that it is necessary to avoid such reductionism, no matter how well- intentioned, by overlooking neither 'class formation and class struggle' as motivating forces in history, nor 'the multiplicities of intersecting conflicts based upon class, gender, nation, race, region and so on ...' (Ahmad 1987: 8-9).
    [Show full text]
  • A Study of Women Characters in Indonesian Novels Ied Veda Sitepu
    Women’s Struggle for Existence: A Study Of Women Characters In Indonesian Novels Ied Veda Sitepu Introduction Women and their surroundings are abundant sources of imagination and inspiration. In many literary writings, women are portrayed to play different roles at different times, ini backgrounds/cultures, and with different problems. They are created partly or completely by different authors, men and women. No matter who creates them, the authors try to present the pictures or qualities of women of their imagination. The purpose of the creation can be a more portrayal of women (in reality), an expectation of what women should be or many others. In Indonesian literary writings, women, too, are portrayed in different roles compared to those of other writings. They are portrayed as housewives, teachers, artists, etc., with certain qualities attached to them. They are close to our life because they reflect the reality, where women are part or members of the society. This chapter discusses how Indonesian authors, men and women alike, portray women in their writings. Is it true that women are portrayed to be submissive and abedient as it is required in the patriarchal sosiety? How do they struggle to exist in the midst of male domination? Two novels, Gadis Pantai (A Girl from the Seashore) by Pramoedya Ananta Toer and Tarian Bumi (the Dance of the Earth) by Oka Rusmini have been used for purposes of discussion and illustration. One novel is written by a man and the other by a woman. In addition, several novels will also be mentioned to provide a broader picture of women in their struggle for existence.
    [Show full text]
  • Analisis Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana Abdul Kohar Abstract
    www.ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/tribakti E-ISSN 2502-3047 P-ISSN 1411-9919 Permanent link for this document : https://doi.org/10.33367/tribakti.v31i1.959 Islamic Theology And Rasionalism: Analisis Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana Abdul Kohar Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga [email protected] Abstract This paper explores the thoughts of Sutan Takdir Alisyahbana (STA). STA is referred to as a cultural practitioner, because it discusses more the cultures that enter Indonesia, such as Indian, Hindu, Buddhist, Islamic and native Indonesian culture, even it also discusses western culture. He also wrote a lot such as poetry, novels, philosophy books and he was among the first to make Indonesian terms, so he was called a writer. This research is a type of library research (library research) by presenting qualitative-interpretative data. The purpose of this study is to reveal the fact that the religion of Islam in Indonesia is a religion that does not dichotomize between the reality supported by invoices and spiritual reality because Islam today is deeply engrossed in the history of the development of Islam in the time of the Prophet Muhammad, also today Islam is shackled with religious myths, so as to be able to resolve Islam in Indonesia, it cannot develop and is anti-Western rationality. STA thinking is rooted in the humanist understanding that developed in Europe from the Renaissance to the rise of new-positivism. Its humanism is built on human liberation from the shackles of mythology and religion. Keywords: Teologi Islam, Rasionalis, S. Takdir Alisyahbana Abstrak Tulisan ini mengupas tentang pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana (STA).
    [Show full text]
  • 162 B. Pemahaman Karya Sastra Alat Pengumpul Data Untuk Sub-Variabel
    162 b. Pemahaman karya sastra Alat pengumpul data untuk sub-variabel ini terdiri atas 15 soal dalam bentuk esey mengenai tiga buah ncvel yang bertudul Layar Terkembang 5 soal. Atheis 5 soal, dan Keberangkatan, yang masing masing soal tersebut diidahului oleh kutipan dari ketiga novel tersebut. Skor ideal pemahaman ketiga novel tersebut adalah 99. c. Pemaknaan karya sastra Alat pengumpul data untuk sub-variabel ini terdiri atas 10 soal dalam bentuk esey, tentang pemberian makna utuh dan makna bagian, serta membuat parifrase dari dua buah puisi yang dikutip dari Priangan Sijelita karya Ramadhan K.H. dan Sepisaupi karya Sutarji. Skor ideal bagian ini adalah 100. 2. Kemampuan Apresiasi Karya Sastra Alat pengumpul data variabel ini terdiri atas 25 soal bentuk objektif yang disertai kutipan-kutipan pendek dari beberapa wacana sastra, dan 25 soal bentuk esey yang bentuk pertanyaannya sama dengan sub-variabel pemahaman dan pemaknaan pada ketiga novel tersebut di atas serta pemaknaan terhadap dua buah puisi di atas. Skor ideal ini adalah 100. 163 3. Variabel Minat Baca Sastra dan Pengalaman Belajar Sastra Variabel minat baca sastra {MBS) dan pengalaman belajar sastra (PBM) diasumsikan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan apresiasi sastra. Penjaringan MBS dan PBM ini hanya dilakukan sebelum MMPRS dilaksanakan. Penskoran kedua variabel ini penulis uraikan satu per satu, yaitu sebagai berikut: a. Variabel Minat Baca Sastra (MBS) Variabel MBS ini terdiri atas 40 pernyataan, satu pernyataan tidak signifikan, yang dua lagi menghasilkan t hitung 0. Oleh karena itu yang terpakai dalam penelitian ini hanya 37 pernyataan saj a. Penskoran variabel MBS terentang dari 3 sampai dengan 1 untuk tiap pernyataan yang positif/ dan 1 sampai 3 untuk pernyataan yang negatif.
    [Show full text]
  • A:\2. Partisi Andez\0. Jurnal-Jurnal\1. Jurnal
    Jurnal Membaca e-ISSN 2580-4766 http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurnalmembaca p-ISSN 2443-3918 MAKNA SIMBOLIS DALAM NOVEL LAYAR TERKEMBANG Hanafi1) dan Akhmad Baihaqi2) Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten1) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa2) [email protected]), [email protected]) Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk menyelidiki (1) makna simbolis tokoh protagonis dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana; (2) makna simbolis judul novel Layar Terkembang; dan (3) perbedaan makna simbolis Layar Terkembang dulu dengan makna simbolis Layar Terkembang sekarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian membuktikan bahwa tokoh Maria merupakan makna simbolis dari kebudayaan Indonesia tradisional yang telah mati, dan masa silam sudah tidak ada lagi, sedangkan tokoh Tuti merupakan makna simbolis dari kebudaya- an Indonesia modern, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih Barat, industrialisasi yang penuh dinamika, dan emansipasi yang tinggi. Kemudian, judul novel Layar Terkembang merupakan makna simbolis dari adanya usaha untuk mengembangkan intelektualisme, industrialisasi, individualitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sistem informasi dan komunikasi yang mutakhir. Terakhir, penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan di mana Layar Terkembang dahulu didasari semangat cita-cita mencapai Indonesia merdeka, tetapi sekarang didasari semangat upaya untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang. Kata kunci: Makna Simbolis, Novel, Semiotika. PENDAHULUAN Balai Pustaka pada 1936. Novel ini ditulis oleh Sebagai sebuah tanda, setiap karya sastra tentu Sutan Takdir Alisyahbana. Novel Layar dapat dikaji melalui semiotika. Hal ini me- Terkembang merupakan karya sastra yang pe- ngacu pada asumsi bahwa setiap karya sastra nuh dengan makna simbolis karena menam- yang ditulis akan memiliki sifat keruangan.
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 148 Sixth International Conference on Languages and Arts (ICLA 2017) Emblems of Gender Case Study to Indonesian Novel Asmawati STKIP-YDB Lubuk Alung [email protected] Abstract—This study aims to describe gender emblems that reflected in Indonesian novel in the time before and after The Indonesian Independence day. There are four gender emblems that reflect in Indonesian novel through socio-literature study and using literature-feminism approach. First, gender banner of novel in 1920s that consist of the desire to reorganize man and woman relationship to create romantic relationship and determine the choice. Second, emblems of gender that contain protest of gender injustice in public appear in 1930s’ novels. Third, emblems of gender in 1970s-1990s’ novels which contains of gender injustice in local culture (in this case is Java) that placed women as the second social stratum. Fourth, emblems of gender in novel of reformation era voiced global equality for women. The cause of these emblems is the women’s education. Having education makes women able togo beyond the tradition, life pressures and self-equality with men in all aspects. These four genders are the basis of women characters in Indonesian novels to do some changes in behavior and place themselves in society and not being tied up in domestic scope anymore. The change of behavior is related with four stigma as the effect of (1) victims of politic, (2) tradition and culture in society,(3) sexual problems, (4) domestic problems. Domestic problem here is not the problem related with family life but as the source that will produce other problems that lead women in wrong position, marginal, hurt, inferior and weak Keywords—Reflection, Gender Emblems, Indonesian Novel I.
    [Show full text]
  • Semangat Feminis Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Dan
    SEMANGAT FEMINIS DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL NAYLA KARYA DJNAR MAESA AYU: KAJIAN INTERTEKSTUAL SKRIPSI Oleh : Nama : Annisa Rahayuni Nim : 2111409006 Program Studi : Sastra Indonesia Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SARI Rahayuni, Annisa. 2013. Semangat Feminis dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu: Kajian Intertekstual, Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Sumartini, S.S., M.A, Pembimbing II: Uum Qomariyah, S. Pd., M. Hum. Kata Kunci: bentuk semangat feminis, faktor semangat feminis, hubungan intertekstual Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu adalah para perempuan sastra wangi yang menjadi sorotan publik karena karyanya dianggap mendobrak tabu seksualitas. Melalui maha karyanya yang diberi judul Saman dan Nayla, Ayu dan Djenar mengangkat tema sosial yang dibedah dalam bingkai feminisme untuk melawan dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan. Novel Saman dan Nayla membahas tentang diskriminasi perempuan secara terperinci. Dalam novelnya, Ayu dan Djenar merepresentasikan relasi gender yang mengarah pada perempuan yang superior, perempuan yang mencoba untuk melawan kekuatan budaya patriarki. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana bentuk semangat feminis dalam novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (2) faktor apa yang melatarbelakangi semangat feminis dalam novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (3) bagaimana hubungan intertekstual antara novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Berkaitan dengan masalah tersebut, bentuk dan faktor yang melatarbelakangi semangat feminis yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami dibandingkan dengan bentuk dan faktor yang melatarbelakangi semangat feminis pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
    [Show full text]
  • M. Bodden Utopia and the Shadow of Nationalism; the Plays of Sanusi Pane 1928-1940
    M. Bodden Utopia and the shadow of nationalism; The plays of Sanusi Pane 1928-1940 In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (1997), no: 3, Leiden, 332-355 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/10/2021 02:25:40PM via free access MICHAEL H. BODDEN Utopia and the Shadow of Nationalism The Plays of Sanusi Pane 1928-1940 i Benedict Anderson's seminal work, lmagined Communities, among other things, uses several early works of modern Southeast Asian literature to demonstrate the emergence of a new kind of narrative perspective which could be associated with the general growth of nationalism in the nine- teenth and twentieth centuries (Anderson 1983:32-7). Subsequently, much work has been done on the links between literature and the construction of a 'national identity'. Fredric Jameson has gone so far in his thinking about the relationship between nationalism and literature as to claim that all 'third world' texts 'necessarily project a political dimension in the form of a national allegory' (Jameson 1986:69). Aijaz Ahmad, responding to Jameson's assertion and the article in which it appeared, countered that Jameson had turned all Asian and African critics and writers into mystifïed 'civilizational others'. He had done this, Ahmad claimed, by reducing all the issues dealt with by these writers and critics to the singular problem of a nationalist struggle against colonial oppressors and their post-colonial successors. Ahmad argued that it is necessary to avoid such reductionism, no matter how well- intentioned, by overlooking neither 'class formation and class struggle' as motivating forces in history, nor 'the multiplicities of intersecting conflicts based upon class, gender, nation, race, region and so on ...' (Ahmad 1987: 8-9).
    [Show full text]