Identitas Dan Nasionalitas Dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
HUMANIORA Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No. 1 Februari 2003 Halaman 15 - 22 IDENTITAS DAN NASIONALITAS DALAM SASTRA INDONESIA* Aprinus Salam** Pengantar Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada dentitas dan nasionalitas merupakan beberapa kajian yang telah menguraikan faktor penting bagi kehidupan ber- masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) bangsa dan bernegara. Faktor yang pernah menganalisis masalah nasionalisme menyebabkannya penting karena identitas dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). dan nasionalitas secara teoretis merupakan Foulcher memfokuskan kajiannya pada unsur utama dalam menyangga keberlang- usaha perjuangan mencari bentuk nasionalis- sungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu me yang ideal pada masa-masa tersebut berangkat dari satu pengandaian teoretis yang direpresentasikan dalam karya-karya bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membi- seseorang kepada masyarakat dan bangsa- carakan nasionalisme sebagai satu sikap per- nya, bergantung pada bagaimana seseorang lawanan terhadap narasi nasionalisme yang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokus- suatu konsep identitas yang sepenuhnya kan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca. imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan masalah nasionalisme dalam sastra Indone- dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi sia. Akan tetapi, fokus kajian Farid lebih pada implikasi langsung bagaimana seseorang proses-proses peranan penciptaan bahasa mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sebagai salah satu pengikat nasionalisme sosial, politik, atau dalam kehidupan ber- Indonesia. Di samping itu, pendekatan Farid masyarakat, berbangsa, dan bernegara. dalam tulisan tersebut lebih berat pada Itulah sebabnya, suatu kajian tentang pendekatan sejarah. Faruk (1994) menulis identifikasi terhadap identitas seseorang/ masalah nasionalisme sebagai respons ter- masyarakat dirasakan sangat penting. Kajian hadap tulisan Foulcher. Tidak berbeda itu, diharapkan pula meliputi proses-proses dengan Foulcher, Faruk mengkaji data-data konsolidasi apa saja yang menyebabkan sastra pada masa Pujangga Baru. Beberapa seseorang merasa memiliki atau tidak tulisan tersebut, tidak secara khusus meng- memiliki identitas, wacana-wacana apa saja eksplorasi masalah identitas tokoh-tokoh yang dimanfaatkan sebagai sarana pemben- dalam karya sastra dan kaitannya dengan tuk identitas, dan di atas semua itu, bagai- masalah nasionalitas. Di samping itu, data- mana keterkaitannya dengan nasionalitas. data yang dikaji dalam penelitian di atas Pembicaraan ini secara khusus mengkaji belum meliputi data-data kesastraan setelah persoalan identitas dan nasionalitas dalam tahun 1990-an. Dengan demikian, diharapkan beberapa karya sastra (novel) Indonesia dan tulisan ini akan memberikan perspektif dan hanya diambil beberapa saja yang dianggap analisis yang berbeda dengan tulisan-tulisan mewakili satu "konteks" zaman. sebelumnya. * Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002. ** Doktorandus, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Humaniora Volume XV, No. 1/2003 15 Aprinus Salam Dalam permasalahan di atas, Bhabha diproduksi menjadi rumah, dalam pengertian mengatakan bahwa acuan tentang identitas luas, dan dengan itu kita menjadi bagian personal pada dasarnya tidak jelas, untuk dalam dari rumah itu. mengatakan tidak ada. Sejauh yang terjadi, Sejumlah tokoh utama dalam novel-novel seseorang dalam mempersepsi identitas Balai Pustaka memperlihatkan bahwa, dalam dirinya merupakan konstruksi sosial, misal- prosesnya, ia menjadi orang asing (foreign- nya institusi-institusi sosial-politik tertentu, ers) di rumahnya sendiri. Tokoh utama dalam seperti agama, etnisitas, bahasa, ras, kelas- Siti Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), kelas kepentingan, bahkan nation, yang oleh Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak Timothy Brennan tidak lebih semacam kelas betah dan kurang cocok di lingkungan dan kepentingan yang lebih canggih (1994), adat istiadat setempat (asalnya). Memang, ataupun kelompok kepentingan lainnya. yang perlu diperhatikan adalah perasaan Konstruksi sosial tersebut sangat mungkin tidak kerasan itu setelah sebagian dari tokoh- saling bertentangan sehingga tidak jarang tokoh dalam cerita itu mengenal/ke luar dari seseorang mengalami ambiguitas disebab- desanya, dan di kemudian hari, melihat dan kan mengalami proses institusionalisasi yang mencoba memposisikan kembali dirinya di berjalan secara paralel dan/atau bersamaan. rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan Itulah sebabnya, tidak jarang seseorang tiga hal perihal Hanafi dalam SA. berada dalam posisi serba perbatasan, peniruan yang serba tanggung atau mimikri ....Pada Hanafi sudah nyata tak ada dalam konsep Bhaba (1994), atau dalam keteguhan hati di dalam agamanya, kejadian lain seseorang memiliki multi- sedang bangsanya sendiri pun su- identitas. Dalam masyarakat posmodern, dah dibelakanginya (h. 52) wacana multiidentitas tersebut menye- .... Hanafi menyumpahi dirinya, babkan seseorang membangun sekat-sekat karena ia dilahirkan sebagai imajiner, untuk mempertahankan identitas Bumiputra! (h. 53.) dirinya, secara individual. Sekat-sekat ima- .... Bukanlah ia seketika sudah jiner individual tersebut memberikan memuliakan bangsanya dan hubungan yang problematik dengan nasio- meninggikan derajat Bumiputra, nalisme. tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa Dari "Rumah" ke Identitas itu, buat menghinakannya dengan tidak memberi alasan (h. 57) Nasionalitas, etnisitas, ideologi, mung- .... "Anak itu lama di rantau orang, kin ada referensinya, tetapi identitas personal disangkanya mudah saja ia meng- tidak. Bagaimana identitas personal diper- ubah adat kita." (h. 71). oleh? Ada semacam dugaan bahwa mungkin rumahlah yang memberi seseorang perasaan Pertanyaannya, di mana Hanafi? beridentitas secara pribadi, sesuatu yang lebih kongkrit. Rumah yang membuat sese- Proses apa yang menyebabkan sese- orang kerasan, yang membuat seseorang orang tergusur dari rumahnya, dari dalam kangen. Peristiwa-peristiwa tertentu dalam dirinya sendiri atau dari luar, atau dari luar rumah, bergurau dengan keluarga, selalu kemudian menjadi dalam dirinya sendiri. menjadi bagian penting dalam hidup sese- Seseorang menjadi orang luar ketika ia tidak orang. Kalau seseorang pergi ke mana saja, diterima oleh wacana dominan tentang rumahlah yang menyebabkannya pulang. konsep rumah dalam suatu tempat tertentu. Tidak jarang, rumahlah yang sering membuat Proses-proses yang menyebabkan seorang seseorang bermimpi. Kata sebuah pepatah menjadi orang dalam dan orang luar, adalah there is no place like home. Rumah yang proses-proses konsolidasi yang dilakukan memberi perlindungan dan rasa aman. Akan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau tetapi, apakah rumah itu? Dalam pengertian kelompok-kelompok kepentingan), berdasar- luas, rumah adalah sebuah tempat yang kan norma-norma dan nilai-nilai tertentu, 16 Humaniora Volume XV, No. 1/2003 Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan Akan tetapi, jika berangkat dari ke- seperti partai-partai atau lembaga-lembaga mungkinan ideologi pengarang, tampaknya tertentu, sehingga seseorang menjadi Moeis berpihak pada inside adat-istiadat dan tersubjeksi oleh proses konsolidasi tersebut kampung halamannya. Mungkin pembaca (Untuk keterangan ini lihat konsep Althusser juga "digiring" untuk tidak menyukai orang dalam Fairclough, 1992: 30-33, 86-95; seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan Storey, 1993: 110-113; Belsey, 1980: 56-62). dan gaya hidupnya sudah kebelanda- Dengan demikian, definisi tentang menjadi belandaan, bangsa penjajah. Di sini Moeis orang luar atau orang dalam itu selalu bermaksud membangun sikap nasionalisme berubah, serba bergantung kepada sudut dan antikolonial. Hanya, proses konsolidasi pandang posisi tempat orang luar dan atau yang memenangkan pertarungan itu bukan orang dalam. atas nama bangsa, tetapi konsolidasi atas Dalam hal di atas, terjadi proses tawar- nama agama (Islam). menawar, apakah ia harus kembali menjadi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-mena- mencoba melihat situasi di atas berpihak war itu demikian keras dan mungkin sulit pada orang luarnya SN, dengan representasi dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, Tuti dan Yusuf, sebagai pilihan rumah tentu seharusnya ia orang dalam sesuatu psikologis dan rasionalnya (bahkan di masa yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga depan), seperti diceritakannya secara tidak/belum diterima menjadi orang dalam- panjang lebar dalam Layar Terkembang (LT). nya orang luar itu. Di sinilah problematika- STA tampaknya tidak berangkat atas nama nya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme ia menjadi sesuatu yang ambivalen. Ia tidak/ (tentu karena ia berkenalan dan berkat belum masuk ke satu inside tertentu. konstruksi "pendidikan modernnya"). Diceri- Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut takan dalam novel itu, Tuti yang progresif, dalam SN. rasional, emansipatif, efektif, sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Melihat ... Seorang dari anak muda ini, ialah LT yang rasional kebarat-baratan (dari sudut seorang anak laki-laki, yang umur- nya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya pandang yang menolaknya), Belenggu men- baju