HUMANIORA Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra VOLUME 15 No. 1 Februari 2003 Halaman 15 - 22

IDENTITAS DAN NASIONALITAS DALAM SASTRA INDONESIA* Aprinus Salam**

Pengantar Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada dentitas dan nasionalitas merupakan beberapa kajian yang telah menguraikan faktor penting bagi kehidupan ber- masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) bangsa dan bernegara. Faktor yang pernah menganalisis masalah nasionalisme menyebabkannya penting karena identitas dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). dan nasionalitas secara teoretis merupakan Foulcher memfokuskan kajiannya pada unsur utama dalam menyangga keberlang- usaha perjuangan mencari bentuk nasionalis- sungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu me yang ideal pada masa-masa tersebut berangkat dari satu pengandaian teoretis yang direpresentasikan dalam karya-karya bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membi- seseorang kepada masyarakat dan bangsa- carakan nasionalisme sebagai satu sikap per- nya, bergantung pada bagaimana seseorang lawanan terhadap narasi nasionalisme yang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokus- suatu konsep identitas yang sepenuhnya kan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca. imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan masalah nasionalisme dalam sastra Indone- dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi sia. Akan tetapi, fokus kajian Farid lebih pada implikasi langsung bagaimana seseorang proses-proses peranan penciptaan bahasa mempraktikkan dirinya dalam kehidupan sebagai salah satu pengikat nasionalisme sosial, politik, atau dalam kehidupan ber- Indonesia. Di samping itu, pendekatan Farid masyarakat, berbangsa, dan bernegara. dalam tulisan tersebut lebih berat pada Itulah sebabnya, suatu kajian tentang pendekatan sejarah. Faruk (1994) menulis identifikasi terhadap identitas seseorang/ masalah nasionalisme sebagai respons ter- masyarakat dirasakan sangat penting. Kajian hadap tulisan Foulcher. Tidak berbeda itu, diharapkan pula meliputi proses-proses dengan Foulcher, Faruk mengkaji data-data konsolidasi apa saja yang menyebabkan sastra pada masa Pujangga Baru. Beberapa seseorang merasa memiliki atau tidak tulisan tersebut, tidak secara khusus meng- memiliki identitas, wacana-wacana apa saja eksplorasi masalah identitas tokoh-tokoh yang dimanfaatkan sebagai sarana pemben- dalam karya sastra dan kaitannya dengan tuk identitas, dan di atas semua itu, bagai- masalah nasionalitas. Di samping itu, data- mana keterkaitannya dengan nasionalitas. data yang dikaji dalam penelitian di atas Pembicaraan ini secara khusus mengkaji belum meliputi data-data kesastraan setelah persoalan identitas dan nasionalitas dalam tahun 1990-an. Dengan demikian, diharapkan beberapa karya sastra (novel) Indonesia dan tulisan ini akan memberikan perspektif dan hanya diambil beberapa saja yang dianggap analisis yang berbeda dengan tulisan-tulisan mewakili satu "konteks" zaman. sebelumnya.

* Hasil penelitian dengan Dana Masyarakat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2002. ** Doktorandus, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Humaniora Volume XV, No. 1/2003 15 Aprinus Salam

Dalam permasalahan di atas, Bhabha diproduksi menjadi rumah, dalam pengertian mengatakan bahwa acuan tentang identitas luas, dan dengan itu kita menjadi bagian personal pada dasarnya tidak jelas, untuk dalam dari rumah itu. mengatakan tidak ada. Sejauh yang terjadi, Sejumlah tokoh utama dalam novel-novel seseorang dalam mempersepsi identitas memperlihatkan bahwa, dalam dirinya merupakan konstruksi sosial, misal- prosesnya, ia menjadi orang asing (foreign- nya institusi-institusi sosial-politik tertentu, ers) di rumahnya sendiri. Tokoh utama dalam seperti agama, etnisitas, bahasa, ras, kelas- Siti Nurbaya (SN), (SA), kelas kepentingan, bahkan nation, yang oleh Samsul Bahri atau Hanafi, menjadi tidak Timothy Brennan tidak lebih semacam kelas betah dan kurang cocok di lingkungan dan kepentingan yang lebih canggih (1994), adat istiadat setempat (asalnya). Memang, ataupun kelompok kepentingan lainnya. yang perlu diperhatikan adalah perasaan Konstruksi sosial tersebut sangat mungkin tidak kerasan itu setelah sebagian dari tokoh- saling bertentangan sehingga tidak jarang tokoh dalam cerita itu mengenal/ke luar dari seseorang mengalami ambiguitas disebab- desanya, dan di kemudian hari, melihat dan kan mengalami proses institusionalisasi yang mencoba memposisikan kembali dirinya di berjalan secara paralel dan/atau bersamaan. rumah dan kampungnya. Berikut dikutipkan Itulah sebabnya, tidak jarang seseorang tiga hal perihal Hanafi dalam SA. berada dalam posisi serba perbatasan, peniruan yang serba tanggung atau mimikri ....Pada Hanafi sudah nyata tak ada dalam konsep Bhaba (1994), atau dalam keteguhan hati di dalam agamanya, kejadian lain seseorang memiliki multi- sedang bangsanya sendiri pun su- identitas. Dalam masyarakat posmodern, dah dibelakanginya (h. 52) wacana multiidentitas tersebut menye- .... Hanafi menyumpahi dirinya, babkan seseorang membangun sekat-sekat karena ia dilahirkan sebagai imajiner, untuk mempertahankan identitas Bumiputra! (h. 53.) dirinya, secara individual. Sekat-sekat ima- .... Bukanlah ia seketika sudah jiner individual tersebut memberikan memuliakan bangsanya dan hubungan yang problematik dengan nasio- meninggikan derajat Bumiputra, nalisme. tetapi ia tak suka memberi kepada siapapun juga di luar kaum bangsa Dari "Rumah" ke Identitas itu, buat menghinakannya dengan tidak memberi alasan (h. 57) Nasionalitas, etnisitas, ideologi, mung- .... "Anak itu lama di rantau orang, kin ada referensinya, tetapi identitas personal disangkanya mudah saja ia meng- tidak. Bagaimana identitas personal diper- ubah adat kita." (h. 71). oleh? Ada semacam dugaan bahwa mungkin rumahlah yang memberi seseorang perasaan Pertanyaannya, di mana Hanafi? beridentitas secara pribadi, sesuatu yang lebih kongkrit. Rumah yang membuat sese- Proses apa yang menyebabkan sese- orang kerasan, yang membuat seseorang orang tergusur dari rumahnya, dari dalam kangen. Peristiwa-peristiwa tertentu dalam dirinya sendiri atau dari luar, atau dari luar rumah, bergurau dengan keluarga, selalu kemudian menjadi dalam dirinya sendiri. menjadi bagian penting dalam hidup sese- Seseorang menjadi orang luar ketika ia tidak orang. Kalau seseorang pergi ke mana saja, diterima oleh wacana dominan tentang rumahlah yang menyebabkannya pulang. konsep rumah dalam suatu tempat tertentu. Tidak jarang, rumahlah yang sering membuat Proses-proses yang menyebabkan seorang seseorang bermimpi. Kata sebuah pepatah menjadi orang dalam dan orang luar, adalah there is no place like home. Rumah yang proses-proses konsolidasi yang dilakukan memberi perlindungan dan rasa aman. Akan oleh institusi-institusi tertentu (kelas atau tetapi, apakah rumah itu? Dalam pengertian kelompok-kelompok kepentingan), berdasar- luas, rumah adalah sebuah tempat yang kan norma-norma dan nilai-nilai tertentu,

16 Humaniora Volume XV, No. 1/2003 Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia ataupun pengetahuan tertentu, atau bahkan Akan tetapi, jika berangkat dari ke- seperti partai-partai atau lembaga-lembaga mungkinan ideologi pengarang, tampaknya tertentu, sehingga seseorang menjadi Moeis berpihak pada inside adat-istiadat dan tersubjeksi oleh proses konsolidasi tersebut kampung halamannya. Mungkin pembaca (Untuk keterangan ini lihat konsep Althusser juga "digiring" untuk tidak menyukai orang dalam Fairclough, 1992: 30-33, 86-95; seperti Hanafi. Seseorang yang pandangan Storey, 1993: 110-113; Belsey, 1980: 56-62). dan gaya hidupnya sudah kebelanda- Dengan demikian, definisi tentang menjadi belandaan, bangsa penjajah. Di sini Moeis orang luar atau orang dalam itu selalu bermaksud membangun sikap nasionalisme berubah, serba bergantung kepada sudut dan antikolonial. Hanya, proses konsolidasi pandang posisi tempat orang luar dan atau yang memenangkan pertarungan itu bukan orang dalam. atas nama bangsa, tetapi konsolidasi atas Dalam hal di atas, terjadi proses tawar- nama agama (Islam). menawar, apakah ia harus kembali menjadi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang orang dalam, atau tetap di luar. Tawar-mena- mencoba melihat situasi di atas berpihak war itu demikian keras dan mungkin sulit pada orang luarnya SN, dengan representasi dipertemukan. Jika Hanafi orang luar sesuatu, Tuti dan Yusuf, sebagai pilihan rumah tentu seharusnya ia orang dalam sesuatu psikologis dan rasionalnya (bahkan di masa yang lain. Sementara itu, ternyata ia juga depan), seperti diceritakannya secara tidak/belum diterima menjadi orang dalam- panjang lebar dalam Layar Terkembang (LT). nya orang luar itu. Di sinilah problematika- STA tampaknya tidak berangkat atas nama nya, Hanafi berada dalam serba perbatasan, agama, tetapi lebih atas nama rasionalisme ia menjadi sesuatu yang ambivalen. Ia tidak/ (tentu karena ia berkenalan dan berkat belum masuk ke satu inside tertentu. konstruksi "pendidikan modernnya"). Diceri- Sebagai contoh, dikutipkan teks berikut takan dalam novel itu, Tuti yang progresif, dalam SN. rasional, emansipatif, efektif, sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat Maria. Melihat ... Seorang dari anak muda ini, ialah LT yang rasional kebarat-baratan (dari sudut seorang anak laki-laki, yang umur- nya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya pandang yang menolaknya), men- baju jas tutup putih dan celana jadi lebih menarik. Karena, siapa yang pendek hitam, ...... Topinya topi rum- menjadi orang luar (asing) (Tini?) atau siapa put putih, yang biasa dipakai bangsa menjadi orang dalam (Yah?) menjadi tidak Belanda. ... (h. 9). jelas batas-batasnya. Dalam banyak hal Tono ... Jika dipandang dari jauh, tentulah memiliki kenangan dan impian terhadap akan disangka, anak muda ini se- kemungkinan pilihannya kepada Yah, sesu- orang anak Belanda, yang hendak atu yang dianggap lebih dan atau atas nama pulang dari sekolah. Tetapi jika dilihat tradisi(-onalisme). Akan tetapi, karena Yah dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa (tradisionalisme) juga belum dapat Eropa; karena kulitnya kuning seba- didefinisikan secara cukup jelas, maka tidak gai kulit langsat, rambut dan mata- heran jika akhir cerita mengambang. nya hitam sebagai dawat. ...(h. 9). Ciri-ciri wacana yang mengangkat .... Teman anak muda ini, ialah se- batas-batas itu, sesungguhnya belum orang anak perempuan yang umur- bergeser jauh hingga ke novel-novel 1970- nya kira-kira 15 tahun. Pakaian an. Cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang- gadis ini pun sebagai pakaian anak Kunang di Manhattan menawarkan ilustrasi Belanda. ... (h. 9). yang penting. Di ketinggian sebuah hotel di .... Menurut bangun tubuh, warna kulit kota besar Amerika, yang dibayangkan dan perhiasan gadis ini, nyatalah ia Marno adalah sebuah tempat di desanya. bangsa anak negeri di sana; anak Lampu-lampu yang berkelipan di belantara orang kaya atau orang yang ber- pencakar langit yang kelihatan dari jendela, pangkat tinggi. ... (h. 10). mengingatkan Marno pada ratusan kunang-

Humaniora Volume XV, No. 1/2003 17 Aprinus Salam kunang yang suka bertabur malam-malam nama tradisi tidak bisa dipilih begitu saja. di sawah embahnya di desa (Kayam, 1995: Anggaplah pilihan itu tradisi(onalisme) Jawa, 128. Cet. I, 1972). Walaupun Marno sudah tetapi apakah Jawa dapat mewakili sesuatu cukup lama di AS dan menimba ilmu di sana, yang kelak disebut bangsa Indonesia. Marno tidak akan pernah menjadi orang Ada baiknya kita meloncat ke novel-novel Amerika (lahir batin) karena sejarah sosial- akhir yang mengharu-biru, yaitu Saman dan psikologisnya dibesarkan di desa (Jawa). Supernova. Era sekarang adalah suatu era Jane dan Marno berselisih paham tentang ketika peranan arus kapital dan teknologi sesuatu yang dilihat secara berbeda karena demikian berperan dan sangat signifikan. latar belakang kultural dan psikologis mereka Dunia menjadi demikian menyusut sehingga berbeda. Akan tetapi, apakah Marno masih batas-batas geografis, batas-batas etnis dan bisa disebut Jawa, atau bahkan mewakili nasionalitas, bahkan batas-batas publik dan prototipe orang Indonesia? privat menjadi demikian kabur. Berikut Dengan semangat yang berbeda, NH. dikutipkan salah satu paragrafnya. Dini dalam Pada Sebuah Kapal (1973), Di taman ini, saya adalah seekor menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai burung. Terbang beribu-ribu mil dari orang yang selalu merindukan tanah air, sebuah negeri yang tak mengenal membanggakan dirinya sebagai orang Indo- musim, bermigrasi mencari semi, nesia (Jawa), walaupun dalam praktik tempat harum rumput bisa tercium, kesehariannya, Sri, tokoh novel itu, tidak juga pohon-pohon, yang tak pernah dapat sepenuhnya disebut sebagai orang kita tahu namanya, atau umurnya Indonesia Jawa. Hal tersebut tampak dari (Jambu Air, draft: 1). cara Sri melihat bangsa dan budaya (Jawa), Seorang gelandangan yang dan bagaimana ia hidup seperti orang Eropa berbaring di bangku menggeliat (Prancis). dalam selimut yang berdebu. Kita Wacana yang diusung oleh novel-novel tidak tahu siapa dia, apa warna di atas adalah pengakuan terhadap keber- kulitnya. Tapi kita tahu, dia menik- pihakan sebagai proses konsolidatif bahwa mati tidur. Saya sedang berbahagia, batas-batas terhadap rumah, tentang mana begitu saya akan menjawab jika dia orang luar dan orang dalam, dan sebagai aki- bangun dan bertanya apa saja. ... batnya, tertanggalnya identitas lama, tetapi Saya sedang menunggu Sihar di belum terpasangnya identitas baru, cukup tempat ini. Di tempat yang tak jelas. Rumah yang dibayangkan itu bukan seorang pun tahu, kecuali gembel itu. semata-mata dalam pengertian kongkret, ...( Jambu Air, draft: 2) tetapi karena situasi dan kondisi, seperti peranan teknologi dan kapital masih cukup Dalam novel itu, memang ada upaya ingin rendah, maka seseorang memiliki keleluasa- mempertahankan rumah, agar kembali men- an dan kepastian untuk memilih sesuatu jadi lebih kongkret, sebagai "respons" sebagai acuan identitasnya, dengan ke- terhadap perdebatan polemik kebudayaan mungkinan tidak berhasil. Wacana yang seperti berujung pada Belenggu. Kenyata- berkembang adalah kalau tidak menjadi annya, rumah yang dulu pernah dibayangkan orang dalam berarti orang dalamnya orang dan dimiliki tergusur oleh kekuatan modal luar, walaupun kenyataannya Hanafi tidak dan teknologi. Pada gilirannya, ada kesan masuk menjadi orang dalam mana pun. dalam novel Saman, Jambu Air (Utami), tidak Sementara itu, rasionalisme Tuti masih lagi mempedulikan di mana dan apa itu dilihat dengan penuh perlawanan. Paling rumah. Ia bisa di mana saja, tanpa mengenal tidak ada kontradiksi-kontradiksi di dalam batas-batas geografis dan fisik, bahkan tanpa dirinya yang belum sepenuhnya dapat identitas. Hal itu mendapatkan wadahnya didamaikan. Di lain pihak, kegagapan secara lebih memadai dalam Supernova Belenggu terjadi karena konsolidasi atas dengan tokoh yang sama sekali tidak

18 Humaniora Volume XV, No. 1/2003 Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia dikenal "pribadinya" kecuali nama dan batas-batas itu, kembali ia membuat sekat- alamat e-mail. sekat imajiner, agar ia tetap merasa memi- Tidak ada meja yang mampu meng- liki rumah. Sangat mungkin sekat-sekat ikatku. Dunia virtual adalah kantorku. yang dibangun itu berdasarkan sekat-sekat Semua yang dirumah ini akan kujual kebangsaan, bahasa, ras, agama, suku, habis kecuali laptop. Dialah satu- atau bahkan komunitas-komunitas/institusi- satunya instrumen jaring laba- institusi tertentu yang lebih kecil. Akan tetapi, labaku," ujar Diva ringan. "Sekolah dalam situasi kapitasilasi dan teknologisasi ini tidak akan mengenal hirarki guru- yang menyebakan publikasi tempat-tempat, murid. Pada akhirnya kita saling sekat-sekat itu tampaknya tidak cukup me- membagi pengetahuan dari peng- madai. Yang terjadi kemudian adalah orang alaman hidup masing-masing. Dan membangun sekat-sekat pribadi dalam ruang biarkanlah jaringan kita berevolusi publik, sebagai akibat intervensi publikasi ke bentuk apapun itu nanti..." (Dee, 2001: 153) terhadap tempat-tempat. Artinya, yang terjadi adalah proses individuasi di satu pihak, dan Sejenak mereka menikmati proses publikasi (pemassaan) di pihak lain. hawa euforia, sampai tiba-tiba Proses ini adalah terjadinya proses "peng- sesuatu menggelitik pikiran Dimas. genahan" yang sangat berlawanan. Di satu "Ruben... mungkinkah Super- pihak seseorang baru merasa memiliki nova ternyata salah satu dari tokoh kita?" personalitas berdasarkan sekat-sekat ima- "Mungkin. Kenapa tidak?" jinernya, di lain pihak seseorang justru sema- "Andai kita berdua juga bagian kin merasa tidak memiliki identitas, persona- dari cerita yang kita buat sendiri. litas, karena menjadi bagian dari massa yang Kira-kira apa peran kita?" (Dee, tidak beridentitas, bahkan tidak berkarakter. 2001: 162). Batas antara batas individu dan publik yang tidak jelas itu dibangun berdasarkan Kapitalisasi dan teknologisasi (globali- proses konsolidasi berlapis dan sangat sasi) yang cepat merembes dan melakukan mungkin beragam. Perbedaan lapis dan intervensi ke rumah-rumah, meluluhkan ragam tersebut yang menyebabkan terjadi- batas-batas. Orang dengan terpaksa atau nya perbedaan dalam cara seseorang mem- tidak, dikondisikan untuk tidak memiliki bangun ruang individu karena setiap individu batas-batas rumah secara definitif. Tempat- akan membuat sekat-sekat berdasarkan tempat diproduksi dengan demikian cepat, berbagai lapis-lapis konsolidatif yang menjadi menjadi apakah itu tempat umum, atau bagian dari pengalaman hidupnya dan tempat-tempat yang "disucikan". Dengan seberapa jauh seseorang tersebut menem- demikian, pengertian rumah pun ada atau patkan dirinya dalam inside tertentu, atau tidak ada menjadi serba bergantung, menjadi tidak sama sekali. Demikian pula sebaliknya, demikian hierarkis, tergantung kepentingan akan terjadi perbedaan dalam cara menem- modal/kapital yang didukung perangkat patkan tempat-tempat milik publik. Beberapa teknologisnya. Karena tidak ada lagi tempat yang bisa menjadi rumah, orang-orang hidup konflik dengan kekerasan, seperti penjarahan dengan tidak mengenal batas-batas dalam atas nama massa tertentu, merupakan ben- pengertian pertamanya (dalam pengertian tuk konflik karena tidak jelasnya batas-batas novel BP). Oleh sebab batasan itu tidak jelas, imajiner tersebut. padahal penting untuk identifikasi, seseorang Dalam konteks inilah, Saman dan Su- menjadi orang tak dikenal secara personal pernova justru ingin membebaskan kemung- (strangers). kinan terhadap proses-proses pemilihan. Jika Untunglah, berdasarkan kesadaran- novel sebelum 1970-an mewacanakan batas- nya manusia adalah sesuatu yang menun- batas antara inside dan outside, novel tut dirinya beridentitas. Dalam kerabunan generasi Utami dan Dee justru melebur-

Humaniora Volume XV, No. 1/2003 19 Aprinus Salam kannya, termasuk pengingkaran terhadap Pada periode 1940-an hingga 1950-an, proses konsolidatif. muncul kesadaran baru. Ini mungkin karena proses pendidikan modern semakin Identitas, Batas-Batas, dan Nasionalitas memperlihatkan konstruk dan hasilnya. Akan tetapi, karena belum masak betul, Menggarisbawahi beberapa hal di atas, bayangan tentang rumah lebih sebagai bagaimana karya sastra merepresentasikan gagasan psikologis, tidak begitu kongkrit tentang rumah adalah sesuatu yang penting seperti tampak dalam Belenggu. Pada tahun bagi kemungkinan-kemungkinan seseorang 1970-an dan 1980-an, gagasan tentang merasa mencintai, merindukan, sesuatu rumah kembali mengkongkret, tetapi tidak yang dia rasa miliknya. Telah terjadi pergeser- lebih sebagai bayangan-bayangan sekilas an konsep (definisi) tentang rumah antara terhadap masa lalu. Tokoh-tokoh yang dulu dan sekarang. Juga memperlihatkan melintas batas, selalu mengenang sesuatu bahwa gagasan atau definisi tentang rumah yang menjadi pengalaman hidupnya di berubah sesuai dengan waktu dan tempat, desanya, yang begitu akrab dan tak terlupa- antara dulu dan sekarang (Lihat Sarup, 1996: kan, tetapi sesungguhnya ia sendiri mungkin 3; atau bandingkan dengan Bhaba, 1997: seperti orang asing yang seolah berusaha 445-455). menemukan dan menikmati kembali apa Yang pasti, pada tahun 1990-an dan yang ditemukan sebagai orang modern. setelahnya, gagasan tentang rumah demi- Di samping itu, novel-novel sebelum kian mencair. Seseorang tiba-tiba bisa di 1970-an cenderung sebagai upaya konsoli- mana saja kapan saja. Karena perubahan datif terhadap kemungkinan-kemungkinan tempat dan ruang-ruang terjadi demikian bagaimana agar tetap merasa dan sekaligus cepat, seseorang, terpaksa atau tidak, men- berpihak kepada orang dalam. Perasaan jadi tidak memiliki dan berada di luar rumah. memiliki rumah dan beridentitas masih bisa Mungkin karena itu pula, secara bawah sadar dirasakan. Akan tetapi, di balik itu, tentu saja seseorang justru semakin berupaya keras memperlihatkan bahwa manusia dalam karya untuk membangun batas-batas. Karena sastra itu secara tidak disadarinya merupa- ruang (rumah) privat dan publik menjadi kan manusia yang tersubjeksi, mungkin oleh campur aduk, sekarang bahkan seseorang konsep nation yang dimobilisasi oleh negara, bisa membuat batas-batas untuk ruang mungkin karena masih cukup rendahnya (rumah) privatnya, secara imajineri, di ruang intervensi kapital dan teknologi, khususnya publik, seperti dilakukan tokoh-tokoh Saman bagi orang Indonesia. Ada masa transisi dan Supernova. Tampaknya, mungkin, karya seperti direpresentasikan Marno, tetapi sastra tidak dapat diharapkan untuk "men- belum terimplikasi secara definitif dalam definisikan" konsep rumah, dan itu memang kesadaran berbangsa. Marno hanya repre- bukan tugasnya. sentasi orang Jawa Indonesia, seperti halnya, Sementara itu, rumah dalam karya dalam dimensi yang berbeda, Hanafi atau sastra modern awal (1920-an bahkan hingga Samsul Bahri. Di sini diharapkan bahwa 1970-an), lebih definitif batas-batasnya. sastra adalah proses konsolidasi itu sendiri. Rumah yang dibayangkan adalah rumah Hal yang menarik dari pengalaman konkret dan relatif statis. Waktu itu, gerakan Marno adalah ketika berada di ketinggian modal (di Indonesia belum tinggi) dan tekno- Manhattan yang dikenangnya bukanlah logi masih lumayan sederhana, penduduk kesadaran imajinernya bahwa ia seseorang juga belum terlalu padat, maka ruang dirasa- bangsa Indonesia. Yang dikenangnya, dan kan masih cukup besar. Seseorang memiliki ini yang membuat hatinya ada di salah satu kesempatan yang luas untuk menentukan wilayah Indonesia, kenangan di desa. Atau secara definitif yang dibayangkannya sebagai seperti kita sering mendapat cerita, yang rumah. Memang, sudah ada perubahan, dikenang seseorang tentang tanah airnya tetapi tampaknya desakan perubahan masih adalah kenangan tentang rasa makanan belum mampu mengatasi yang telah mapan. tertentu, bunyi suara salung atau gamelan,

20 Humaniora Volume XV, No. 1/2003 Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia suara uir-uir (gareng pung), dan sebagainya. dominasi imajinasi-imajinasi dalam lapis-la- Apakah ini hanya memperlihatkan kegagalan pis identitas, selain identitas personal, "negara" dalam memobilisasi konsep nation, terutama dalam pertarungan politik. seperti disinyalir Gellner bahwa pada dasar- Wacana dan makna yang diangkat nya identitas rumah nasionalisme tidak generasi Utami dan Dee adalah upaya mempunyai akar yang cukup kuat dalam pengakuan, dan sekaligus pembebasan psiko manusia. Ia harus diciptakan dan terhadap upaya-upaya identifikasi akibat ditumbuhkan (Gellner, 1983: 34). subjeksi, baik oleh negara, maupun oleh Sejauh ini, memang jarang ditemukan institusi-institusi tertentu. Ada kemungkinan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra In- bahwa sastra mutakhir kita justru memberi donesia demikian bangga dengan kebangsa- pencerahan tertentu agar tidak mudah ter- indonesiaannya. Hanafi memang pernah subordinasi/tersubjeksi oleh gagasan- marah kepada Corrie karena Corrie menghina gagasan yang dimobilisasi negara, wacana bangsa Hanafi. Alasan Hanafi marah kepada dan kisah cinta tanah air, wacana satu nusa Corrie bukan atas nama bangsa Indonesia, satu bangsa, bahkan wacana-wacana yang tetapi di dalam bangsa yang dihina Corrie diusung oleh agama, suku, dan ras, karena itu ada ibunya, orang yang dicintai dan yang mereka kapling bukan pada batas- dihormati Hanafi. Kebangsaan yang imajiner batas nation (imajinari), tetapi lebih pada tersebut tertolong oleh batas-batas tertentu batas-batas personal secara imajinari pula, seperti kekerabatan, dan juga kesukuan, batas-batas dalam nation, batas-batas da- sesuatu proses konsolidasi yang bisa jadi lam ruang publik. Bukan saja karena orang lebih "berakar" dibanding atas nama agama, menjadi asing di tanah/rumahnya sendiri (for- bahkan atas nama bangsa. Sadeli dalam eigners), pada tingkat lanjut seseorang Maut dan Cinta (1977) karya Mochtar Lubis, menjadi tidak dikenal (strangers) bukan saja memiliki sikap nasionalis, cinta tanah air, dan di rumahnya, tetapi dalam tempat yang lebih revolusionis, tetapi semua semangatnya itu luas dari itu. justru untuk bangsa Indonesia yang lain, Sastra Saman dan Supernova menolak bangsa Indonesia yang tidak korup, yang proses-proses konsolidasi, tentu dengan pemimpinnya dapat dibanggakan. Karya- "membangun konsolidasi tandingan" dengan karya Toer punya konsep tersendiri tentang cara-cara "subversif". Apakah dari kesadaran nasionalisme, dan dengan itu ia melawan itu kita justru mencoba kembali merumuskan nasionalisme Indonesia. identitas, mulai dari rumah hingga kebangsa- Menilik kemungkinan representasi an dengan kriteria yang lebih definitif yang rumah dan manusia Indonesia dalam Saman mampu mengakomodasi lapis-lapis identi- dan Supernova, apa yang dapat dikatakan tas? Tugas sastrawan adalah membuat novel dalam fenomena tersebut. Sesuai dengan yang bagus. Kadang-kadang kita perlu kerangka analisis, kapitalisme dan tekno- percaya bahwa tokoh-tokoh dalam karya loginya, telah mensubordinasi batas-batas sastra (Indonesia) tentu tidak sepenuhnya dan definisi nasionalitas sehingga nasional- sebagai representasi masyarakat Indonesia. isme tidak lagi mampu berposisi sebagai suatu tempat (rumah) yang melindungi dan Catatan Akhir memelihara identitas, kecuali yang tersisa seperti bahasa, dan batas-batas tertentu Sekedar catatan akhir, ada kemung- (etnisitas, agama) yang justru ingin ditolak, kinan sastra kita sekarang tidak memberi paling tidak oleh Saman dan Supernova perhatian pada batas imajiner kebangsaan karena agama, etnisitas, dan ras, juga berba- sebagai hal penting. Sastra kita sekarang haya bagi nation imajineri Indonesia. Agama justru berpihak kepada kemanusiaan, dia dan etnisitas bisa menjadi nation dalam na- tidak berpihak pada bangsa Indonesia, tetapi, tion imajinernya, atas nama agama dan atau jika mungkin, pada bangsa manusia. Bangsa etnisitas. Akan selalu terjadi gerak wacana Indonesia boleh bubar, etnisitas boleh gulung yang berlawanan dalam memperebutkan tikar, agama boleh tidak berlaku lagi, bahasa

Humaniora Volume XV, No. 1/2003 21 Aprinus Salam boleh silih berganti, ras boleh campur aduk, Faruk. 1994. "Ke Dataran Kesempurnaan- perkauman boleh disingkirkan, tetapi tidak mu". “Nasionalisme dalam Sastra manusia. Sastra mutakhir kita mencoba Pujangga Baru". Dalam Kalam. Edisi 3, membangun dunia ini menjadi rumah manu- Jakarta. sia masing-masing dalam dunia, dan mem- Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: bangun dunia dalam rumah. Kesusastraan dan Nasionalisme di In- donesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti DAFTAR PUSTAKA Pusaka. Gellner, Ernest, 1983. Nations and National- Alisjahbana, Sutan Takdir. 1962. Layar ism. Itacha: Cornell University Press. Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka. Kayam, Umar. 1995. Sri Sumarah. Jakarta: Belsey, Chaterine. 1980. Critical Practice. Pustaka Jaya. London and New York: Methuen Lubis, Mochtar. 1977. Maut dan Cinta. Bhaba, Homi K. 1994. Nation and Narration. Jakarta: Pustaka Jaya. London and New York: Routledge. Moeis, Abdul. 1999. Salah Asuhan. Jakarta: Bhaba, Homi K. 1997. "The World and the Balai Pustaka. Home". Dalam Anne McClintock, Aamir Mufti, dan Ella Shohat (eds.). Danger- Pane, Armijn. 1981. Belenggu. Jakarta: Dian ous Liaisons, Gender, Nation, and Rakyat. Postcolonial Perspectives. Minneapolis. Rusli, Marah. 1999. Siti Nurbaya Kasih Tak London: University of Minnesota Press. Sampai. Jakarta: Balai Pustaka. Brennan, Timothy. 1994. "The National Long- Sahal, Ahmad. 1994. "Terjerat dalam Rumah ing for Form". Dalam Homi K. Bhabha. Kaca: Masih Meyakinkankah Nasional- Nation and Narration. London and New isme". Dalam Kalam. Edisi 3, Jakarta. York: Routledge. Sarup, Madan. 1996. Identity, Culture, and Dee. 2001. Supernova. Bandung: Truedee The Postmodern World. Athens: The Books. University of Georgia Press. Dini, NH. 1973. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Siregar, Merari. 1999. Azab dan Sengsara. Pustaka Jaya. Jakarta: Balai Pustaka. Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Storey, John. 1993. An Introductory Guide Social Change. Cambridge: Polity to Cultural Theory and Popular Culture. Press. London: Harvester Wheatsheaf. Farid, Hilmar. 1994. "Menemukan Bangsa, Utami, Ayu. (tt). Jambu Air. Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia". Dalam Kalam, ______. Saman. (Draft). Edisi 3, Jakarta.

22 Humaniora Volume XV, No. 1/2003