Download Layar Terkembang Pdf SINOPSIS NOVEL LAYAR TERKEMBANG Karya : Sutan Takdir Alisjahbana

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Download Layar Terkembang Pdf SINOPSIS NOVEL LAYAR TERKEMBANG Karya : Sutan Takdir Alisjahbana download layar terkembang pdf SINOPSIS NOVEL LAYAR TERKEMBANG Karya : Sutan Takdir Alisjahbana. Raden Wiraadmadja memiliki dua orang anak gadis yang sifatnya sangat berbeda, yaitu Tuti dan Maria .Tuti si sulung adalah seorang gadis yang pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang, lincah, dan mudah kagum. Itulah sebabnya, semua orang yang berada di dekatnya pasti akan menyenangi kehadirannya. Pada suatu sore, kedua kakak beradik itu berjalan-jalan ke akuarium di pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik melihat ikan-ikan dalam akuarium, mereka berkenalan dengan seorang pemuda tampan yang bernama Yusuf. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran. Ketika pulang, Yusuf mengantarkan kedua gadis itu sampai ke rumah mereka. Setelah bertemu dengan Maria, Yusuf selalu membayangkan wajah Maria. Senyum dan tingkah Maria yang periang membuat pemuda itu merasa senang berada di sampingnya. Tidak disangka oleh Yusuf, keesokan harinya dia bertemu lagi dengan Maria dan Tuti di depan Hotel Des Indes .Dengan senang hati, Yusuf mengantar kedua kakak beradik itu berjalan-jalan dan pulang ke rumahnya.Semenjak pertemuan keduanya itu, Yusuf mulai sering berkunjung ke rumah Maria. Beberapa waktu kemudian Yusuf dan Maria sepakat menjalin hubungan cinta kasih. Di sisi lain, Tuti yang lebih benyak menghabiskan waktu untuk berorganisasi dan membaca buku-buku juga memikirkan masalah asmaranya karena melihat hubungan Maria dengan Yusuf yang semakin erat. Ia sebenarnya telah menerima surat cinta dari Supomo. Akan tetapi ia menolaknya karena ia tidak mencintai Supomo.. Ia tak mau berpura-pura mencintai meskipun ia juga merindukan kehadiran seorang laki-laki. Pada suatu hari keluarga Raden Wiraatmadja dikejutkan oleh hasil diagnosis dokter yang menyatakan bahwa Maria mengidap penyakit TBC yang disertai penyakit Malaria. Atas saran dokter, Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya, Jawa Barat. Pada saat itu, Tuti dan Yusuf sering menghabiskan waktu bersama untuk pulang-pergi menjenguk Maria. Mereka juga sering berdiskusi dan saling menguatkan satu sama lain. Semakin hari kesehatan gadis itu semakin melemah sekalipun ia telah menjalani perawatan intensif. Maria yang periang dan lincah seperti kehilangan semangat hidupnya. Hal ini membuat Yusuf merasa sedih. Pemuda itu mendampingi kekasih hatinya dengan setia. Namun penyakit TBC yang diderita Maria semakin hari semakin parah sehingga tak lama kemudian Maria pun meninggal dunia. Sebelum menghembuskan napas terkhirnya, Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar mereka bersatu dalam hubungan pernikahan. Akhirnya Tuti dan Yusuf pun menikah sesuai dengan permintaan orang yang mereka cintai tersebut. Karya-karyanya ; Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Anak Perawan Disarang Penyamun, Grotta Azzura, Tebaran Mega, Lagu Pemacu Ombak, Perempuan di Persimpangan Zaman, dan Kebangkitan. Disamping karya-karya fiksi, Takdir juga menulis karya-karya non fiksi yang antara lain adalah Perjuangan Tanggungjawab dalam Kesustraan Indonesia, dan Amir Hamzah sebagai penyair dan Uraian Sajak Nyanyi Sunyi. Biografi Pengarang ; Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, 11 Februari 1908. Pendidikan ; HIS ditempuh sejak 1915-1921. Tahun 1921-1925 Takdir menempuh Pendidikan Kweekschool Bukit Tinggi yang kemudian dilanjutkan ke Hogere Kweekschool di Bandung. Pada tahun 1937-1942 Takdir menjalani pendidikan di Rechtschogeschool di Jakarta. Pendidikan di Fakultas Sastra ditempuhnya tahun 1940-1942. Pada tahun 1979 Takdir mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Bahasa dari Universitas Indonesia dan Pada tahun 1987 mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa untuk Ilmu Sastra dari Universiti Sains Malaysia. Menganalisis Buku Fiksi. This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA. Overview. More details. Words: 384 Pages: 3. Preview Full text. Menganalisis Buku Fiksi. Judul Penulis Penerbit Cetakan/Tahun Tebal buku. : LAYAR TERKEMBANG : St. Takdir Alisyahbana : Balai Pustaka : Cetakan ke-22 / 1993 : 139 Halaman. 2. Tentang Pengarang Nama. : Sutan Takdir Alisyahbana. : 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Pendidikan : Ijazah Guru 1942 Meester in de Rechten (SH) Jabatan. : -Rektor Universitas Nasional, Jakarta -Ketua Akademi Jakarta -Ketua Himpunan Filsafat Indonesia, Jakarta. Karya Tulis : Anak Perawan di Sarang Penyamun; Dian yang tak Kunjung Padam; Layar Terkembang; Pelangi; Pembimbing ke Filsafat; Percobaan; Puisi Baru; Puisi Lama; Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia; Kamus Istilah; Sejarah Bahasa Indonesia; Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia; Grotta Azzura; Values as Integrating; Forces in Personality; Society and Culture; The Failure of Modern Linguistics; Indonesia; Social and Cultural Revolution; Indonesian Language and Literatur, dan lain-lain. 3. Daftar Isi - Kata Pengantar - Bagian Pertama - Bagian Kedua - Penutup. Cerita ini melukiskan perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya. Dua orang bersaudara yang mendapat pendidikan menengah memiliki perangai yang berbeda. Maria, adalah seorang dara yang lincah dan periang, sedang Tuti, kakaknya, selalu serius dan aktif dalam berbagai kegiatan wanita. Di tengah-tengah dua dara jelita ini muncul Yusuf, seorang mahasiswa Kedokteran, yang pada masa itu dikenal dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Sejak pertemuannya yang pertama di Aquarium Pasar Ikan, antara Maria dan Yusuf timbul kontak batin. Setelah melalui tahap-tahap perkenalan, pertemuan dengan keluarga, dan kunjungan oleh Yusuf, maka diadakanlah ikatan pertunangan. Tetapi sayang, ketika menjelang hari pernikahan, Maria jatuh sakit. Penyakitnya parah, malaria dan TBC, sehingga harus dirawat di Sanatorium Pacet. Tak lama kemudian Maria meninggal. Sebelum ajal datang, Maria berpesan agar supaya Tuti, kakaknya, bersedia menerima Yusuf. Tuti tidak menolak dan cerita roman “Layar Terkembang” ini disudahi dengan pertunangan antara Yusuf dan Tuti. 5. Kelebihan Buku ini dapat menginspirasi wanita yang membacanya Buku ini di tulis oleh seorang pujangga yang sangat terkenal Memiliki judul buku yang menarik untuk dibaca Sudah dicetak sebanyak sejak tahun 1937 Buku ini sudah banyak di konversi menjadi Drama Dicetak oleh Balai Pustaka yang terkenal banyak memproduksi buku-buku yang terkenal Dan lain-lain Tidak mencantumkan daftar isi Terlalu banyak pemborosan kertas/ banyak halaman kosong Tidak mencatumkan UUD tentang hak cipta Dan lain- lain. Lengkap - Contoh Soal Mengontruksi Resensi dengan Kaidah Bahasa Asing yang Benar kelas 11 SMA/MA. Contoh Soal Mengontruksi Resensi dengan Kaidah Bahasa Asing yang Benar kelas 11 SMA/MA - Adik adik semuanya apa kabar? semoga dalam keadaan sehat sehat saja, kali ini bersama kakak bospedia, kakak ingin membagikan kepada adik adik kelas XI SMA/MA mengenai soal tentang Mengontruksi Resensi dengan Kaidah Bahasa Asing yang Benar dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat yah. Selamat mengerjakan. Novel Klasik Indonesia 1937: Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang adalah novel karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan pada tahun 1937 oleh Balai Pustaka. Novel ini mengisahkan dua bersaudara mahasiswa kedokteran (Tuti dan Maria). Novel ini dianggap memberikan gambaran adopsi budaya Barat oleh masyarakat Indonesia. Novel ini merupakan salah satu ciri khas dari kelahiran periodisasi Pujangga Baru. Novel ini dianggap unik karena dianggap salah satu cerita yang baru mengangkat setting di luar kota Melayu, melainkan di Batavia. Cerita yang diangkat merupakan masalah seorang kakak adik yang memiliki latar belakang berbeda memandang suatu kehidupan. Tokoh Maria (adik) dengan sifat periang dan mudah mengagumi, sedangkan tokoh Tuti (kakak) dengan sifat yang tegas dalam memandang suatu hal dan memiliki kriteria yang tinggi untuk menilai sesuatu merupakan dua kolaborasi sifat yang unik dalam penokohan yang diciptakan oleh pengarang. Novel-novel klasik memang tak bisa hilang begitu saja dalam memori para pembacanya, ada nostalgia yang dapat kembali terungkap ketika membacanya. Namun selain dapat mengangkat kembali kenangan masa lalu, novel klasik juga dapat membawa para pembaca baru untuk dapat merasakan bagaimana keadaan kehidupan, bahasa, dan budaya di masa lampau melalui tulisan-tulisan para pujangga besar Indonesia tersebut. Oleh karena itulah Balai Pustaka kembali menghadirkan 30 Koleksi Klasiknya, dengan menampilkan desain sampul seperti pertama kali terbit semakin membuat koleksi buku ini seperti mesin waktu yang membawa pembacanya benar-benar kembali ke masa lampau. 30 judul koleksi klasik tersebut adalah: 1. Atheis – Achdiat K. Mihardja 2. Azab dan Sengsara – Merari Siregar 3. Cinta Tanah Air – Nur St. Iskandar 4. Habis Gelap Terbitlah Terang – R.A. Kartini; Penerjemah, Armijn Pane 5. La Hami – Marah Roesli 6. Layar Terkembang – St. Takdir Alisjahbana 7. Salah Asuhan – Abdoel Moeis 8. Salah Pilih – Nur St. Iskandar 9. Sengsara Membawa Nikmat – Toelis St. Sati 10. Sitti Nurbaya – Marah Roesli 11. Airlangga – Sanoesi Pane; Penerjemah, Das Chall 12. Hulubalang Raja – Nur St. Iskandar 13. Cerita si Penidur – Aman Dt. Madjoindo 14. I Swasta Setahun di Bedahulu – A.A. Pandji Tisna 15. Kalau Tak Untung – Selasih 16. Pahlawan Minahasa – M.R. Dayoh 17. Robert Anak Surapati – Abdoel Moeis 18. Sukreni Gadis Bali – A.A. Pandji Tisna 19. Surapati – Abdoel
Recommended publications
  • Literary Works and Character Education
    International Journal of Language and Literature June 2016, Vol. 4, No. 1, pp. 176-180 ISSN: 2334-234X (Print), 2334-2358 (Online) Copyright © The Author(s). 2015. All Rights Reserved. Published by American Research Institute for Policy Development DOI: 10.15640/ijll.v4n1a20 URL: https://doi.org/10.15640/ijll.v4n1a20 Literary Works and Character Education Dr. Ch. Evy Tri Widyahening, S.S., M.Hum1 & Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum2 Abstract The purpose of this research is (1) to explain and to describe the about position of character education in literary appreciation; (2) to explain and to describe about literary works which contains the education element of character. The method which is used in this research is qualitative descriptive method with the technique is content analysis. Data source is documents about literary works. The technique of data collecting is analysis of document. The technique of data validity uses data triangulation. The technique of data analysis uses interactive data analysis technique by Miles and Hubermann. The result of this research indicates that character education need to be given to the students since in the beginning of their education experiences through the activity of character literary appreciation. It is happened because of literary works represents human life that has also relates to character in life. It is hoped that through the activity of literary appreciation since the students are in elementary level, it will obviate the future generation from hedonism, egoist, individualism, and ethnocentrism. The implementation of character values will become strong foundation in building a nation. Keywords: Literary works, character education, literary appreciation A.
    [Show full text]
  • Sejarah Sastra Indonesia
    0 | Sejarah Sastra Indonesia 1 | Sejarah Sastra Indonesia KATA PENGANTAR Sastra Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis. Hal itu tidak hanya mendapat perhatian dari pemerhati sastra, sastrawan maupun pengajar sastra melainkan juga masyarakat umum yang juga merupakan penikmat sastra. Membicarakan perkembangan sastra suatu bangsa tentunya harus membicarakan sejarah sastra itu. Kehadiran kesusastraan Indonesia tidak dapat lepas dari sejarah yang melahirkan dan membesarkannya. Beberapa ahli sastra memberikan argumen yang dijadikan landasan pijakan kapan kelahiran sastra Indonesia. Beberapa pendapat tersebut menyiratkan bahwa perjalanan sastra Indonesia belumlah panjang.Usia kesusastraan Indonesia tidaklah sepanjang kesusastraan Inggris, Amerika, Arab, Jepang, Cina atau kesusastraan negara lainnya. Namun demikian, dengan usia yang belum terlalu panjang tersebut bukan berarti sastra Indonesia sepi dari karya-karya yang monumental. Kehidupan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai sekarang sangatlah marak. Banyak sastrawan yang lahir pada setiap masa dan membawa bentuk-bentuk yang berbeda dengan masa sebelumnya. Berbagai peristiwa kesusastraan datang silih berganti mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Hasil sastra yang dilahirkan terus bertambah setiap saat. Fakta itulah yang harus diketahui oleh siapapun yang berminat terhadap kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang bersifat komprehensif. Buku tersebut tidak hanya mengenai sastrawan dan karyanya tetapi juga mencakup berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sastra Indonesia dari sejak kelahiran sampai sekarang. Banyak penulis yang telah melahirkan buku sejarah sastra Indonesia, seperti Sejarah Sastra Indonesia (Bakri Siregar, 1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Ajip Rosidi, 1968), Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Pamusuk Eneste, 1988), Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (Jacob Sumardjo, 1992) dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S., 2007).
    [Show full text]
  • Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher
    A r t a n d E ntertainment in t h e N e w O r d e r ' s Ja il s Hersri Translated and Introduced by Keith Foulcher Introduction "Art and Entertainment in the New Order's Jails" is one of three long essays on the ex­ perience of political imprisonment in Indonesia's New Order, written between 1991 and 1993 and published by the author from his home in the Netherlands, in the middle of 1993.1 It forms part of a large corpus of writing, including the 276 page manuscript by Pramoedya Ananta Toer, Nyanyian Tunggal Seorang Bisu [The Lone Song of a Mute], which documents the deprivation and suffering of those imprisoned in the wake of the New Order's rise to power in 1965/66. For periods of up to fourteen years, tens of thousands of Indonesians found themselves imprisoned without trial in brutal and inhuman conditions for no other reason than their past membership of organizations having connections to the pre-1965 left, and the political and ideological commitments which association with these organizations was seen to imply. Hersri Setiawan, the writer of this essay, was at the time of his imprisonment a former member of Lekra, the "People's Cultural Institute" that had connections with the PKI, the Indonesian Communist Party. Between 1958 and 1960, he had held a leadership position in the Central Java office of the organization, before taking up a position as Indonesia's repre­ sentative at the Asia-Africa Writers' Bureau in Colombo, Sri Lanka, which he held between 1961 and August 1965.
    [Show full text]
  • Identitas Dan Nasionalitas Dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No
    HUMANIORA Identitas dan Nasionalitas dalam Sastra Indonesia VOLUME 15 No. 1 Februari 2003 Halaman 15 - 22 IDENTITAS DAN NASIONALITAS DALAM SASTRA INDONESIA* Aprinus Salam** Pengantar Untuk sekedar memberi gambaran akan pentingnya masalah ini, paling tidak telah ada dentitas dan nasionalitas merupakan beberapa kajian yang telah menguraikan faktor penting bagi kehidupan ber- masalah nasionalitas. Keith Foulcher (1991) bangsa dan bernegara. Faktor yang pernah menganalisis masalah nasionalisme menyebabkannya penting karena identitas dalam sastra Pujangga Baru (1933-1941). dan nasionalitas secara teoretis merupakan Foulcher memfokuskan kajiannya pada unsur utama dalam menyangga keberlang- usaha perjuangan mencari bentuk nasionalis- sungan kehidupan berbangsa. Pernyataan itu me yang ideal pada masa-masa tersebut berangkat dari satu pengandaian teoretis yang direpresentasikan dalam karya-karya bahwa "kecintaan" dan perasaan "memiliki" Pujangga Baru. Ahmad Sahal (1994) membi- seseorang kepada masyarakat dan bangsa- carakan nasionalisme sebagai satu sikap per- nya, bergantung pada bagaimana seseorang lawanan terhadap narasi nasionalisme yang mendefinisikan dan mengidentifikasi dirinya, lebih mapan (kolonial). Kajian Sahal difokus- suatu konsep identitas yang sepenuhnya kan terhadap karya Toer, yaitu Rumah Kaca. imajiner, terhadap lingkungan sosialnya. Hilmar Farid (1994) juga pernah menulis "Rumusan" seseorang dalam mendefinisikan masalah nasionalisme dalam sastra Indone- dan mengidentifikasi diri tersebut, memberi sia. Akan tetapi, fokus kajian
    [Show full text]
  • Part I. a Short History of Indonesian Cultural Policy
    47 Part I. A Short History of Indonesian Cultural Policy 48 Chapter 1 The Genesis of Modern Cultural Policy in Indonesia: Culture and Government in the Late Colonial and Japanese Occupation Periods, 1900-1945 Benedict Anderson, in his introduction to Southeast Asian Tribal Groups and Ethnic Minorities, writes: It is easy to forget that minorities came into existence in tandem with majorities ... They were born of the political and cultural revolution brought about by the maturing of the colonial state and by the rise against it of popular nationalism. The former fundamentally changed the structures and aims of governance, the latter its legitimacy. (1987a, p. 1) This chapter explores how Indonesian cultural policy was born within the complex relationship between Indonesian populations and the policies of foreign administrations. Anderson’s observation highlights that when the Indonesian nationalists declared independence, they declared popular dominion over a territory that was already profoundly shaped by modern methods of government. Indeed, the resistance of anticolonial nationalists, as noted by David Scott, was articulated into a ‘political game’ that was itself linked to the ‘political rationality’ of the colonial state (1995, p. 198) and also, in the case of much of Southeast Asia, then impacted by Japanese occupation. Dutch colonial cultural policy, which bloomed at the beginning of the twentieth century, and Japanese occupying cultural policy should not be understood as fundamentally different to post-independence cultural policy, but as its precursors. 1. Culture and Government in Indonesia from 1900 to 1945 Scott writes that ‘in order to understand the project of colonial power at any given historical moment one has to understand the character of the political rationality that constituted it’ (1995, p.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    M. Bodden Utopia and the shadow of nationalism; The plays of Sanusi Pane 1928-1940 In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (1997), no: 3, Leiden, 332-355 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 12:36:07AM via free access MICHAEL H. BODDEN Utopia and the Shadow of Nationalism The Plays of Sanusi Pane 1928-1940 i Benedict Anderson's seminal work, lmagined Communities, among other things, uses several early works of modern Southeast Asian literature to demonstrate the emergence of a new kind of narrative perspective which could be associated with the general growth of nationalism in the nine- teenth and twentieth centuries (Anderson 1983:32-7). Subsequently, much work has been done on the links between literature and the construction of a 'national identity'. Fredric Jameson has gone so far in his thinking about the relationship between nationalism and literature as to claim that all 'third world' texts 'necessarily project a political dimension in the form of a national allegory' (Jameson 1986:69). Aijaz Ahmad, responding to Jameson's assertion and the article in which it appeared, countered that Jameson had turned all Asian and African critics and writers into mystifïed 'civilizational others'. He had done this, Ahmad claimed, by reducing all the issues dealt with by these writers and critics to the singular problem of a nationalist struggle against colonial oppressors and their post-colonial successors. Ahmad argued that it is necessary to avoid such reductionism, no matter how well- intentioned, by overlooking neither 'class formation and class struggle' as motivating forces in history, nor 'the multiplicities of intersecting conflicts based upon class, gender, nation, race, region and so on ...' (Ahmad 1987: 8-9).
    [Show full text]
  • A Study of Women Characters in Indonesian Novels Ied Veda Sitepu
    Women’s Struggle for Existence: A Study Of Women Characters In Indonesian Novels Ied Veda Sitepu Introduction Women and their surroundings are abundant sources of imagination and inspiration. In many literary writings, women are portrayed to play different roles at different times, ini backgrounds/cultures, and with different problems. They are created partly or completely by different authors, men and women. No matter who creates them, the authors try to present the pictures or qualities of women of their imagination. The purpose of the creation can be a more portrayal of women (in reality), an expectation of what women should be or many others. In Indonesian literary writings, women, too, are portrayed in different roles compared to those of other writings. They are portrayed as housewives, teachers, artists, etc., with certain qualities attached to them. They are close to our life because they reflect the reality, where women are part or members of the society. This chapter discusses how Indonesian authors, men and women alike, portray women in their writings. Is it true that women are portrayed to be submissive and abedient as it is required in the patriarchal sosiety? How do they struggle to exist in the midst of male domination? Two novels, Gadis Pantai (A Girl from the Seashore) by Pramoedya Ananta Toer and Tarian Bumi (the Dance of the Earth) by Oka Rusmini have been used for purposes of discussion and illustration. One novel is written by a man and the other by a woman. In addition, several novels will also be mentioned to provide a broader picture of women in their struggle for existence.
    [Show full text]
  • Analisis Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana Abdul Kohar Abstract
    www.ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/tribakti E-ISSN 2502-3047 P-ISSN 1411-9919 Permanent link for this document : https://doi.org/10.33367/tribakti.v31i1.959 Islamic Theology And Rasionalism: Analisis Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana Abdul Kohar Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga [email protected] Abstract This paper explores the thoughts of Sutan Takdir Alisyahbana (STA). STA is referred to as a cultural practitioner, because it discusses more the cultures that enter Indonesia, such as Indian, Hindu, Buddhist, Islamic and native Indonesian culture, even it also discusses western culture. He also wrote a lot such as poetry, novels, philosophy books and he was among the first to make Indonesian terms, so he was called a writer. This research is a type of library research (library research) by presenting qualitative-interpretative data. The purpose of this study is to reveal the fact that the religion of Islam in Indonesia is a religion that does not dichotomize between the reality supported by invoices and spiritual reality because Islam today is deeply engrossed in the history of the development of Islam in the time of the Prophet Muhammad, also today Islam is shackled with religious myths, so as to be able to resolve Islam in Indonesia, it cannot develop and is anti-Western rationality. STA thinking is rooted in the humanist understanding that developed in Europe from the Renaissance to the rise of new-positivism. Its humanism is built on human liberation from the shackles of mythology and religion. Keywords: Teologi Islam, Rasionalis, S. Takdir Alisyahbana Abstrak Tulisan ini mengupas tentang pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana (STA).
    [Show full text]
  • 162 B. Pemahaman Karya Sastra Alat Pengumpul Data Untuk Sub-Variabel
    162 b. Pemahaman karya sastra Alat pengumpul data untuk sub-variabel ini terdiri atas 15 soal dalam bentuk esey mengenai tiga buah ncvel yang bertudul Layar Terkembang 5 soal. Atheis 5 soal, dan Keberangkatan, yang masing masing soal tersebut diidahului oleh kutipan dari ketiga novel tersebut. Skor ideal pemahaman ketiga novel tersebut adalah 99. c. Pemaknaan karya sastra Alat pengumpul data untuk sub-variabel ini terdiri atas 10 soal dalam bentuk esey, tentang pemberian makna utuh dan makna bagian, serta membuat parifrase dari dua buah puisi yang dikutip dari Priangan Sijelita karya Ramadhan K.H. dan Sepisaupi karya Sutarji. Skor ideal bagian ini adalah 100. 2. Kemampuan Apresiasi Karya Sastra Alat pengumpul data variabel ini terdiri atas 25 soal bentuk objektif yang disertai kutipan-kutipan pendek dari beberapa wacana sastra, dan 25 soal bentuk esey yang bentuk pertanyaannya sama dengan sub-variabel pemahaman dan pemaknaan pada ketiga novel tersebut di atas serta pemaknaan terhadap dua buah puisi di atas. Skor ideal ini adalah 100. 163 3. Variabel Minat Baca Sastra dan Pengalaman Belajar Sastra Variabel minat baca sastra {MBS) dan pengalaman belajar sastra (PBM) diasumsikan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan apresiasi sastra. Penjaringan MBS dan PBM ini hanya dilakukan sebelum MMPRS dilaksanakan. Penskoran kedua variabel ini penulis uraikan satu per satu, yaitu sebagai berikut: a. Variabel Minat Baca Sastra (MBS) Variabel MBS ini terdiri atas 40 pernyataan, satu pernyataan tidak signifikan, yang dua lagi menghasilkan t hitung 0. Oleh karena itu yang terpakai dalam penelitian ini hanya 37 pernyataan saj a. Penskoran variabel MBS terentang dari 3 sampai dengan 1 untuk tiap pernyataan yang positif/ dan 1 sampai 3 untuk pernyataan yang negatif.
    [Show full text]
  • A:\2. Partisi Andez\0. Jurnal-Jurnal\1. Jurnal
    Jurnal Membaca e-ISSN 2580-4766 http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jurnalmembaca p-ISSN 2443-3918 MAKNA SIMBOLIS DALAM NOVEL LAYAR TERKEMBANG Hanafi1) dan Akhmad Baihaqi2) Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten1) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa2) [email protected]), [email protected]) Abstrak Tujuan penelitian ini yaitu untuk menyelidiki (1) makna simbolis tokoh protagonis dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana; (2) makna simbolis judul novel Layar Terkembang; dan (3) perbedaan makna simbolis Layar Terkembang dulu dengan makna simbolis Layar Terkembang sekarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian membuktikan bahwa tokoh Maria merupakan makna simbolis dari kebudayaan Indonesia tradisional yang telah mati, dan masa silam sudah tidak ada lagi, sedangkan tokoh Tuti merupakan makna simbolis dari kebudaya- an Indonesia modern, ilmu pengetahuan dan teknologi canggih Barat, industrialisasi yang penuh dinamika, dan emansipasi yang tinggi. Kemudian, judul novel Layar Terkembang merupakan makna simbolis dari adanya usaha untuk mengembangkan intelektualisme, industrialisasi, individualitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sistem informasi dan komunikasi yang mutakhir. Terakhir, penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan di mana Layar Terkembang dahulu didasari semangat cita-cita mencapai Indonesia merdeka, tetapi sekarang didasari semangat upaya untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan di segala bidang. Kata kunci: Makna Simbolis, Novel, Semiotika. PENDAHULUAN Balai Pustaka pada 1936. Novel ini ditulis oleh Sebagai sebuah tanda, setiap karya sastra tentu Sutan Takdir Alisyahbana. Novel Layar dapat dikaji melalui semiotika. Hal ini me- Terkembang merupakan karya sastra yang pe- ngacu pada asumsi bahwa setiap karya sastra nuh dengan makna simbolis karena menam- yang ditulis akan memiliki sifat keruangan.
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 148 Sixth International Conference on Languages and Arts (ICLA 2017) Emblems of Gender Case Study to Indonesian Novel Asmawati STKIP-YDB Lubuk Alung [email protected] Abstract—This study aims to describe gender emblems that reflected in Indonesian novel in the time before and after The Indonesian Independence day. There are four gender emblems that reflect in Indonesian novel through socio-literature study and using literature-feminism approach. First, gender banner of novel in 1920s that consist of the desire to reorganize man and woman relationship to create romantic relationship and determine the choice. Second, emblems of gender that contain protest of gender injustice in public appear in 1930s’ novels. Third, emblems of gender in 1970s-1990s’ novels which contains of gender injustice in local culture (in this case is Java) that placed women as the second social stratum. Fourth, emblems of gender in novel of reformation era voiced global equality for women. The cause of these emblems is the women’s education. Having education makes women able togo beyond the tradition, life pressures and self-equality with men in all aspects. These four genders are the basis of women characters in Indonesian novels to do some changes in behavior and place themselves in society and not being tied up in domestic scope anymore. The change of behavior is related with four stigma as the effect of (1) victims of politic, (2) tradition and culture in society,(3) sexual problems, (4) domestic problems. Domestic problem here is not the problem related with family life but as the source that will produce other problems that lead women in wrong position, marginal, hurt, inferior and weak Keywords—Reflection, Gender Emblems, Indonesian Novel I.
    [Show full text]
  • Semangat Feminis Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Dan
    SEMANGAT FEMINIS DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI DAN NOVEL NAYLA KARYA DJNAR MAESA AYU: KAJIAN INTERTEKSTUAL SKRIPSI Oleh : Nama : Annisa Rahayuni Nim : 2111409006 Program Studi : Sastra Indonesia Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SARI Rahayuni, Annisa. 2013. Semangat Feminis dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu: Kajian Intertekstual, Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Sumartini, S.S., M.A, Pembimbing II: Uum Qomariyah, S. Pd., M. Hum. Kata Kunci: bentuk semangat feminis, faktor semangat feminis, hubungan intertekstual Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu adalah para perempuan sastra wangi yang menjadi sorotan publik karena karyanya dianggap mendobrak tabu seksualitas. Melalui maha karyanya yang diberi judul Saman dan Nayla, Ayu dan Djenar mengangkat tema sosial yang dibedah dalam bingkai feminisme untuk melawan dominasi patriarki dan kekerasan terhadap perempuan. Novel Saman dan Nayla membahas tentang diskriminasi perempuan secara terperinci. Dalam novelnya, Ayu dan Djenar merepresentasikan relasi gender yang mengarah pada perempuan yang superior, perempuan yang mencoba untuk melawan kekuatan budaya patriarki. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana bentuk semangat feminis dalam novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (2) faktor apa yang melatarbelakangi semangat feminis dalam novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu (3) bagaimana hubungan intertekstual antara novel Saman karya Ayu Utami dan novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Berkaitan dengan masalah tersebut, bentuk dan faktor yang melatarbelakangi semangat feminis yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami dibandingkan dengan bentuk dan faktor yang melatarbelakangi semangat feminis pada novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu.
    [Show full text]