SUNAN KUDUS: DINAMIKA AJARAN, TRADISI DAN BUDAYA DI KUDUS JAWA TENGAH TAHUN 1990-2015

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh : Yuliana Nurhayu Rachmawati NIM : 11140220000071

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1440 H

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Sunan Kudus: Dinamika Ajaran, Tradisi dan Budaya di Kudus Jawa Tengah 1990-2015, penulisan skripsi ini bertujuan untuk membahas masyarakat Kudus yang masih mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi, hal demikian berdasarkan latar belakang sejarah strategi dakwah Sunan Kudus dengan media sapi ketika Islamisasi. Oleh karenanya, masyarakat yang mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi dan implikasi pada masa kontemporer menjadi inti pembahasan skripsi penulis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dan metode historis. Penulis menggunakan teori sejarah sosial yang didukung dengan konsep identitas dan komunitas. Masyarakat Kudus sebagai kajian sosial yang memiliki identitas toleran di tengah masyarakat yang plural. Hasil penelitian ini menunjukan terbentuknya konstruksi sosial masyarakat Pluralis dan menghargai adanya perbedaan, perbedaan dapat berjalan selaras dan beriringan kemudian melahirkan inovasi baru yang lebih baik. Strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus memberikan implikasi besar terhadap masa kontemporer, dalam sosial-keagamaan Islam menjadi agama mayoritas penduduk. Dalam bidang ekonomi, tercipta kuliner khas Kudus dengan bahan daging kerbau sebagai pengganti daging sapi. Dalam bidang sosial-masyarakat terbentuk hubungan masyarakat yang harmonis antar agama dan etnis yang ada di Kudus.

Keywords: Sunan Kudus, Strategi Dakwah, Implikasi Kontemporer, Konstruksi Sosial Masyarakat. KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb

Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis. Atas izin dan kehendak Allah penulis mampu meyusun skripsi ini dan dapat menyelesaikan studi Strata Satu pada Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut- pengikutnya. Nabi yang membawa manusia dari zaman kegelapan menuju kemenangan, semoga kita semua mendapatkan syafa’at dari beliau kelak di yaumul qiyamah nanti. Aamiin.

Dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Sunan Kudus: Ajaran, Tradisi dan Budaya di Kudus- Jawa Tengah Tahun 1990-2015”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian skripsi, terdapat banyak kekurangan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat rahmat Allah SWT, dukungan serta pengarahan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat dan telah ditentukan olehNya. Harapan penulis semoga skripsi ini dapar bermanfaat untuk kepentingan bersama.

Sehubungan dengan itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

i 1. Bapak Prof. Dede Rosyada selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Prof. Sukron Kamil, M.Ag, Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak H. Nurhasan, MA., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam serta Ibu Sholikatus Sa’diyah, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Imam Subchi, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mendorong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Prof. Dr. M. Dien Madjid., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan nasihat, arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi sehingga penulis termotivasi untuk menyelasaikan skripsi ini tepat pada waktunya. 6. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA., selaku Dosen Penguji 1 dan Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, M.Ag selaku Dosen Penguji 2 pada sidang munaqasyah yang telah memberikan kritik dan saran sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 7. Kepada seluruh Dekanat dan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa aktif di Fakultas Adab dan Humaniora.

ii 8. Terimakasih yang sangat mendalam teruntuk Ayahanda Mulyo Haris dan Ibunda Sri Lestari yang tidak henti- hentinya mendo’akan serta memberikan motivasi penuh selama penulisan skripsi ini. Dukungan materi dan dukungan non-materi yang diberikan dari mereka menjadikan semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 9. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adik tercinta Raafi Apria Dikda Nurrosyid, atas do’a dan dukungan yang diberikan selama mengerjakan skripsi ini. 10. Ucapan terimakasih yang tak terbatas kiranya penulis sampaikan kepada teman hidup Abdul Azis yang selalu sedia menjadi partner ketika mencari sumber tidak peduli hujan, angin dan panas yang menghadang. Do’a dan harapan darinya menjadikan semangat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 11. Ucapan terimakasih juga ingin penulis sampaikan kepada seluruh Narasumber skripsi meliputi terkhusus Bapak Edy Supratno selaku Budayawan di Kabupaten Kudus yang sangat membantu dalam memberikan informasi dan jaringan yang luas kepada penulis, kemudian Bapak Denny Nurhakim selaku staf di Yayasan Masjid, Makam dan Menara Kudus, Bapak Moh. Rosyid selaku Ketua Komunitas Tali Akrap yang telah mempertemukan penulis kepada Narasumber utama, Bapak I Putu Dantra selaku ketua Persatuan Hindu Dharma yang telah memberikan penimbang dalam penulis menuliskan skripsi

iii ini, Bapak Aslim Akmal selaku Tokoh Masyarakat, Mas Zaki Aftoni selaku juru kunci (informasi) Langgar Bubrah, Bapak Sugiono selaku Kepala Desa Rahtawu, Bapak Setiyo Budi selaku Kepala Desa Wonsoco, Bapak Sutekno selaku Dhalang Klithik, Bapak Sayuto selaku di Desa Wonosoco, serta Narasumber lain yang telah memberikan informasi terkait dengan pembahasan skripsi ini. 12. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada staf Perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Daerah Kabupaten Kudus yang telah menyediakan sumber skripsi dan melayani dengan baik. 13. Kepada manusia-manusia ciptaan Allah yang senantiasa menyebut identitas mereka sebagai “Wanita SPI B” meliputi Aulia Fauziah, Hardiyanti, Nida Auliah, Siti Hajar, Sarah Fadhilah, Indana Zulfa, Putry Hasanah, Sri Hesti Damayanti, Toatun dan Vida Melati Al-Haq sebagai penghibur serta penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Kepada Komunitas Chili’s yang juga memberikan dukungan semangat supaya lekas terselesaikan penulisan skripsi ini. 15. Keluarga Besar SPI Kelas B 2014 yang telah memberikan kenangan berharga selama belajar mengajar di kelas, serta teman-teman seperjuangan prodi Sejarah dan Peradaban

iv Islam angkatan 2014 yang juga berjuang menyelesaikan skripsi.

Penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis berharap ada tegur sapa untuk penyempurnaan karya ini sangat bermanfaat untuk orang banyak sebagai bahan bacaan dan referensi.

Jakarta, 21 November 2018 Penulis

Yuliana Nurhayu R

v vi DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ...... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... HALAMAN PENGESAHAN ...... HALAMAN ABSTRAK ...... HALAMAN KATA PENGANTAR ...... i HALAMAN DAFTAR ISI ...... vii HALAMAN TRANSLITERASI ...... ix HALAMAN DAFTAR TABEL ...... xi HALAMAN DAFTAR GAMBAR ...... xiii HALAMAN DAFTAR ISTILAH ...... xv

BAB I PENDAHULUAN…………………………………...1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Batasan Masalah ...... 6 D. Rumusan Masalah ...... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 F. Tinjauan Kajian Terdahulu ...... 9 G. Metode Penelitian ...... 10 H. Sistematika Penulisan...... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………13 A. Landasan Teori ...... 13 B. Kajian Pustaka ...... 14 C. Kerangka Berfikir……………………………….. .16

BAB III DESKRIPSI UMUM KABUPATEN KUDUS . ..21

A. Letak Geografis Kabupaten Kudus ……… ………21 B. Kependudukan di Kudus ………………………....23 1. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah ...... 23 2. Mata Pencaharian Penduduk ...... 25 C. Aktivitas Penduduk (Sosial dan Budaya) ...………29

vii

1. Sosial Masyarakat Kudus ...... 29 2. Kebudayaan Masyarakat Kudus ...... 31 D. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus ...... 36

BAB IV SEJARAH SUNAN KUDUS ...... 41

A. Biografi Sunan Kudus ...... 41 1. Silsilah Sunan Kudus ...... 43 2. Potensi Pribadi Sunan Kudus ...... 45 B. Strategi Dakwah Sunan Kudus ...... 49 C. Peninggalan Sunan Kudus ...... 54

BAB V DAMPAK STRATEGI DAKWAH SUNAN KUDUS DENGAN MEDIA SAPI ...... 65

A. Tinjauan Sejarah dan Sosial ...... 65 1. Agama Hindu di Kudus ...... 65 2. Persepsi Sapi bagi Umat Hindu ...... 67 3. Agama Islam di Kudus ...... 70 4. Persepsi Sapi bagi Umat Islam ...... 72 5. Hubungan Umat Islam dan Umat Hindu di Kudus ...... 76 6. Kepatuhan terhadap Wali ...... 79 B. Upaya Pelestarian Peninggalan Sunan Kudus ...... 87 1. Kearifan Lokal dalam Wujud Kuliner ...... 87 2. Event dengan Menu Daging Kerbau ...... 92 C. Persepsi Masyarakat Kontemporer terhadap Sapi dan Hubungan Sosial Masyarakat ...... 95 1. Sikap Tepo Sliro Konteks Kontemporer ...... 96 2. Komunitas Tali Akrap ...... 101

BAB VI PENUTUP ...... 103 A. Kesimpulan ...... 103 B. Implikasi ...... 104 C. Saran ...... 104 DAFTAR PUSTAKA ...... 105

LAMPIRAN ...... 117

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Padanan Aksara Huruf Huruf Keterangan Arab Latin A tidak dilambangkan ا B be ب T te ت Ts te dan es ث J je ج h ha dengan garis di bawah ح Kh ka dan ha خ D De د Dz de dan zet ذ R Er ر Z Zet ز S Es س Sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص Ḏ de dengan garis di bawah ض Ṯ te dengan garis di bawah ط Ẕ zet dengan garis di bawah ظ koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع Gh ge dan ha غ F Ef ف Q Ki ق K Ka ك L El ل M Em م N En ن W We و H Ha ھ Apostrof ` ء Y Ye ي

ix

B. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah __َ_

i Kasra ¯¯ِ¯

u Ḏammah __ُ_

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i ــَـ ي au a dan u ــَـ و

C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: TandaVokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan â a dengan topi di atas ـَا î i dengan topi di atas ـِ ي û u dengan topi di atas ـٌ و

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Peta Konsep Pembahasan Skripsi……………… 19 Tabel 4.1 Silsilah Sunan Kudus A ……………………………… 43 Tabel 4.2 Silsilah Sunan Kudus B ……………………………... 44 Tabel 5.1 Jumlah Umat Hindu di Kabupaten Kudus .... 70

xi

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 6.1 Penyembelihan Kerbau di Masjid Baiturrahim 1………………………………………….. 121 Gambar 6.2 Gambar 6.2 Penyembelihan Kerbau di Masjid Baiturrahim 2 …………………………………………. 121

Gambar 6.3 Masjid Menara Kudus Simbol Pluralisme Agama……………………………………...... 122 Gambar 6.4 Umat Agama Bahai dan Sedulur Sikep Samin Menghadiri Perayaan Natal di Kudus 122

Gambar 6.5 Tradisi Buka Luwur ………………………………… 122

Gambar 6.6 Pertunjukan Wayang Klitik Wonosoco...... 122

viii

GLOSARIUM

Ahimsa Ahimsa merupakan sebuah jalan yang tepat dalam agama Hindu untuk tidak menyakiti

sapi. Ahimsa dapat diartikan sebagai sarana

untuk mencapai kebenaran (seluruh kebenaran yang ada dalam literature Weda bahwa sapi merupakan hewan yang diagungkan dan juga dilambangkan ibu dari segala ternak alam semesta.

Bancaan Merupakan proses bagian dari ritual do’ a yang dilengkapi dengan sodaqohan. Makanan yang biasanya disajikan ialah jajanan pasar atau sejenisnya.

Diversitas Sebuah perbedaan atau keragaman kebudayaan pada suatu masyarakat atau suatu daerah.

Doctrine of Suatu keyakinan yang mengklaim bahwa salvation surga hanya milik agama tertentu saja juga berlaku pada agama yang sama tetapi aliran berbeda.

Kontradiktif Suatu hal yang memiliki sifat berlawanan atau bertentangan dengan kebiasaan yang ada

xv

di suatu masyarakat. Berlawanan dalam arti perbedaan pernyataan pada saat terjadi dengan pernyataan di kemudian waktu.

Permisif Salah satu jenis sikap masyarakat yang terbuka dan mengizinkan sesuatu hal baru masuk dalam sosial masyarakat. Membuka peluang yang sebelumnya dianggap tabu menjadi hal yang biasa di masyarakat.

Pluralisme Keadaan masyarakat yang majemuk, saling menerima satu sama lain berkaitan dengan sosial dan politik dalam suatu masyarakat.

Reduksionistik Merupakan sebuah fenomena baru yang unik yaitu persamaan agama (religious equality) tidak saja memperhatikan eksistensi nyata dari sebuah agama melainkan juga memperhatikan syariat yang ada dalam sebuah agama sehingga adanya persamaan agama menjadi salah satu fenomena yang dapat menciptakan masyarakat harmonis, menjunjung tinggi nilai toleransi dan saling menghargai.

Sinkretisasi Sebuah penyerasian atau penyeimbangan antara dua aliran yang biasa dikaitkan dengan agama.

xvi

Tepo Sliro Sikap toleransi yang ada pada suatu masyarakat.

Vegetarisme Merupakan paham yang menyatakan berpantang makan-makanan hewani, dan hanya makan-makanan nabati. Vegetarisme sebagai sarana untuk mencapai spiritual, bukan hanya soal makanan yang sifatnya vegetarian melainkan sikap dan perilaku yang juga sifatnya harus vegetarian yaitu dengan meninggalkan maksiat, hawa nafsu, berbohong, menyakiti, dan perbuatan buruk lainnya.

Wali Orang yang dikasihi Allah, Wali berarti teman-kekasih-pengikut. Secara umum Wali (aulia Allah) adalah hamba yang sungguh- sungguh mengabdi, menaati Allah dan Rasul-Nya sehingga diistimewakan dan mendapat maqam (kedudukan atau derajat). Melalui kedekatan dan ketaatannya kepada Allah maka seorang Wali akan diberikan anugerah oleh Allah berupa “karomah” dan penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat maksiat, apabila terjerumus maka ia akan segera bertaubat.

xvii

xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Islamisasi di Jawa berlangsung sejak abad ke-13 Masehi sampai abad ke-15 Masehi. Islam dibawa oleh pedagang maupun mubalig muslim melalui kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang lambat laun menyebabkan munculnya kerajaan Islam, dimulai dari Kerajaan Demak, Cirebon, Banten, Pajang dan Mataram.1 Secara historis, Islamisasi di Jawa tidak terlepas dari peran Walisongo yang melakukan dakwah dengan pendekatan budaya lokal dan dianggap sesuai dengan sendi-sendi tauhid, dakwah dimulai dari abad 15 Masehi sampai dengan abad ke- 16 Masehi .2 Salah satu anggota dari Walisongo adalah Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq. Islamisasi dan Kerajaan Islam berkembang secara signifikan seiring runtuhnya kerajaan . Pada masa Kerajaan Islam Demak, Sunan Kudus diberi kewenangan untuk menyebarkan dakwah Islam di

1Marwati Djoenoed Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010) 50-51. Lihat juga di Purwadi. Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, (Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005) 17.

2Agus Sunyoto, Walisongo Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011) 88-89.

1

2

Kudus pada tahun 1549 M.3 Sunan Kudus melakukan dakwah kepada para penguasa, Jawa dan masyarakat umum. Untuk memperluas dakwah dan memperbanyak umat, Sunan Kudus melakukan tabligh keliling dari tempat satu ke tempat yang lain.4 Strategi yang digunakan dengan pendekatan dakwah langsung ke tengah masyarakat melalui seni dan budaya dengan penyampaian yang toleran dan bijaksana. Cara seperti ini yang dianggap efektif untuk mengetahui serta mendalami pengharapan dari masyarakat. Strategi dakwah yang toleran dan bijaksana oleh Sunan Kudus, saat ini mampu mewujudkan masyarakat plural saling rukun satu dengan yang lain dan terbebas dari konflik etnis- agama di tengah keberagaman etnis yang terus mengalami perkembangan.5 toleransi sebagai salah satu esensi dari Gusjigang yaitu Gus (bagus), Ji (Ngaji) dan Gang (Dagang).6 Gusjigang sebagai pedoman semangat berdagang muslim Kudus yang harus memiliki kriteria bagus (berakhlak baik), dapat mengaji dan pandai berdagang. Sikap toleransi sebagai

3Sesuai dengan angka tahun yang tertulis di Mihrab Masjid Al- Aqsha. 4Ibid., Agus Sunyoto, Walisongo Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan…, 191. 5Dandung Budi Yuwono, The Social Construction of Sunan Kudus Cultural Legacy, LPPM UIN Yogyakarta: Jurnal Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi Vol. 03. No.01 (2017). 6 Sumintarsih dkk, Gusjigang Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus, (Yogyakarta: BPNB, 2016) 69. 3

akhlak baik yang dimiliki oleh Sunan Kudus sebagai tauladan yang toleran dan empati terhadap agama maupun budaya.7 Strategi toleran yang dimaksud tidak lain berupa pendekatan kepada masyarakat Hindu dengan menggunakan media sapi. Sapi dianggap hewan beratma oleh umat Hindu sehingga sapi tidak boleh disakiti dan dibunuh. Melalui sapi manusia hidup, melalui sapi manusia mendapatkan kesejahteraan, sapi membantu manusia dalam segi pertanian. Penghormatan umat Hindu terhadap sapi sangat besar, Sunan Kudus menggunakan celah tersebut menjadi strategi dakwah dengan fatwanya melarang masyarakat menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau. Berdasarkan latar belakang tersebut, masyarakat Kudus sampai saat ini menggunakan daging kerbau pada acara tertentu dan juga hari- hari biasa. Adapun tradisi atau perayaan masih berjalan sampai pada hari ini meliputi tradisi Buka Luwur (Assyuro), tradisi Mauludan (memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabi’ul Awwal),8 danHari Raya Idul Adha. Kudus sebagai daerah yang memiliki ikatan Islam yang cukup kuat, oleh karenanya tradisi yang ada pada saat pra-Islam masih dipertahankan oleh masyarakat

7Nur Said, Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan Kudus, Jurnal Penelitian Islam Empirik, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAIN Kudus Vol. 6. (2013): 124. 8Tradisi Buka Luwur bersamaan dengan 10 Muharram (Assyuro) yang menjadi sebuah tradisi rutin setiap tahun, tradisi buka luwur merupakan penggantian kain kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. 4

modern.9 Penggunaan daging kerbau, pada masa kontemporer menjadi trade mark kuliner Kota Kudus. Berbagai sajian kuliner yang di dalamnya terdapat kearifan lokal sebagai wujud akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam. Adapun peninggalan sejarah Sunan Kudus masih dilestarikan hingga saat ini, baik yang berupa fisik dan non- fisik. Peninggalan yang berupa fisik ialah Masjid Al-Aqsha10, Menara Kudus dan beberapa masjid yang dipercaya oleh masyarakat sebagai peninggalan Sunan Kudus.11 Sedangkan, peninggalan yang berupa non-fisik yaitu penggantian daging sapi dengan daging kerbau.12 Pelestarian budaya lokal oleh masyarakat sebagai wujud penghormatan terhadap Sunan Kudus sebagai sosok yang toleran terhadap masyarakat non-muslim. Di samping itu masyarakat Jawa memiliki pemikiran yang masih sinkretis13, masyarakat Jawa mempercayai bahwa seorang wali memiliki karomah dari Allah sehingga setiap perkataan wali dianggap

9 Lance Cantles, Religion, Politics, and Economic Behavior in : The Kudus Cigarette Industry, (Yale University, 1967) 102. 10S.P.Gustami dan Supatmo, “Architecture of the Menara Kudus is A Representasion of Culture Acculturation”. Pascasarjana UGM: Jurnal Humanika 18, no.4 (2005): 575. 11M. Syakur, “Tradisi Masyarakat Islam Di Kudus Jawa Tengah”, Universitas Wachid Hasyim Semarang, 8. 12Kees Van Dijk dan P. Nas, Dakwah and Indigenous Culture; The Dissemination of Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Globalization, Localization and Indonesia, Leiden: KITLV, (1998): 223. 13Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa, Suatu Pendekatan Antropologi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), 38. 5

sebagai fatwa yang harus diikuti.14 Pada konteks modern, sikap masyarakat yang teguh untuk tidak menyembelih sapi di dekatkan dengan istilah “Pluralime Agama” dan Toleransi. Toleransi konteks mayoritas terhadap minoritas di gambarkan dalam umat Muslim terhadap umat Hindu.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang sejarah strategi dakwah sosio-kultural Sunan Kudus menggunakan media sapi. Masyarakat Kudus sampai saat ini tetap memegang teguh untuk tidak menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau. Sikap masyarakat yang masih mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi, pada masa kontemporer tentunya menghadirkan berbagai persoalan yang dapat penulis identifikasi sebagai berikut: 1. Faktor dan alasan masyarakat Kudus tetap mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi, sedangkan mayoritas penduduk Kudus beragama Islam berbeda dengan masa Islamisasi ketika mayoritas masyarakat Kudus beragama Hindu. 2. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga tradisi tidak menyembelih sapi.

14Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa (Bandung: Mizan, 1995) 18.

6

3. Persepsi masyarakat Kudus terhadap sapi pada masa kontemporer. Juga hubungan sosial di antara masyarakat Kudus.

C. Batasan Masalah Dari berbagai permasalahan yang ada, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skripsi ini yakni berfokus pada dinamika ajaran, tradisi, dan budaya yang dibawa oleh Sunan Kudus pada abad ke-15 di Kudus, Jawa Tengah. Adanya semangat masyarakat dalam mempertahankan ajaran, tradisi dan budaya hingga abad modern menjadi kajian yang menarik untuk ditelusuri, bagaimana sebuah masyarakat dapat mempertahankan anjuran untuk tidak menyembelih sapi dalam waktu yang sedemikian lama serta bagaimana masyarakat membentuk suatu konstruksi sosial masyarakat yang harmonis dan damai. Selain pembatasan pembahasan, penulis juga membatasi jangka waktu dalam penulisan skripsi ini. Jangka waktu yang penulis pilih ialah sejak tahun 1990-2015, pemilihan tahun ini karena Kudus pernah mengalami huru-hara anti Cina pada tahun 1980 yang bermula dari Solo. Sehingga dapat diidentifikasi bagaimana sikap toleransi dalam hubungan masyarakat setelah tahun tersebut sampai dengan tahun 2015 (merujuk pada masa kontemporer).

7

D. Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah yang disebutkan, penulis membuat pertanyaan untuk menjawab semua permasalahan yang penulis batasi. Adapun sub pertanyaan pokok adalah sebagai berikut: a). Mengapa masyarakat Kudus masih mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi? Sedangkan background masyarakat saat ini mayoritas Islam? b). Bagaimana upaya pelestarian tradisi dan budaya di Kudus terkait dengan larangan penyembelihan sapi? c). Bagaimana persepsi sosial masyarakat kontemporer terhadap sapi dan hubungan sosial di antara mereka?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setiap penulisan dan penelitian pasti mempunyai tujuan yang ingin di capai. Tujuan akademis yang ingin di capai penulis antara lain adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui alasan masyarakat mempertahankan tidak menyembelih sapi meskipun background dari masyarakat Kudus adalah mayoritas penduduk menganut agama Islam. 2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan masyarakat modern dalam melestarikan tradisi dan budaya di Kudus, terkait dengan adanya larangan menyembelih sapi di Kudus. 8

3. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Kudus terhadap sapi pada masa kontemporer yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Juga untuk mengetahui hubungan sosial di antara masyarakat terkait dengan tradisi tidak menyembelih sapi. Outcome terkait penelitian ini yaitu meneladani sikap masyarakat yang memiliki sikap toleransi serta semangat masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan tradisi dan budaya lokal yang berkembang di masyarakat supaya tetap lestari dan menjadi eksistensi sebuah peninggalan warisan kebudayaan dari masa lampau, sehingga menambah khasanah pengetahuan sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat kepa da berbagai pihak yang ada di Kudus yakni antara lain Masyarakat, Dunia Akademik dan Balai Pelestarian Budaya di Kudus. Adapun manfaat yang penulis harapkan adalah sebagai berikut: 1. Adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menambah referensi untuk penulisan tentang sejarah lokal khususnya yang berkaitan dengan tradisi atau budaya lokal dalam suatu masyarakat. 2. Adanya penulisan skripsi ini, diharapkan dapat menarik peneliti lainnya sehingga penulisan tentang wilayah Kudus dapat dikembangkan dari segi metode, sumber kajian, serta analisis dalam Dunia Akademik. 9

3. Adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi penimbang bagi pengembangan sebuah budaya yang memiliki akar positif-pluralis dalam kehidupan bermasyarakat bukan hanya mengembangkan tetapi juga melestarikan budaya lokal yang ada di masyarakat sebagai warisan budaya yang harus dijaga oleh Balai Pelestarian Budaya Kabupaten Kudus.

F. Tinjauan Kajian Terdahulu Permasalahan yang berkaitan dengan pembahasan Sunan Kudus dalam proses Islamisasi sudah pernah dikaji oleh beberapa penulis lain. Adapun Mujib Hardiyansyah yang membahas peninggalan sejarah berupa fisik yaitu Rumah Tradisional Kudus: Pengaruh Agama Islam Dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900). Skripsi ini membahas bagaimana perubahan dan perbedaan Rumah Tradisional Kudus setelah masa Islamisasi di Kudus. Skripsi ini tidak membahas bagaimana dakwah sosio-kultural Sunan Kudus yang berdampak pada masa kontemporer yaitu masyarakat yang sampai saat ini tidak menyembelih sapi serta bagaimana konstruksi Pluralisme yang ada di Kabupaten Kudus. Penulis kedua, yaitu Mashlihatuz Zuhroh dengan judul Masjid Menara Kudus: Ekspresi Multikulturalisme Sunan Kudus. skripsi ini membahas secara detail bangunan Masjid Menara Kudus yang dijadikan sebagai simbol multikulturalisme Kota Kudus. Akan tetapi tidak membahas 10

detail bagaimana strategi dakwah Sunan Kudus menggunakan media sapi untuk menarik perhatian umat Hindu dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat Kudus saat ini. Maka penulis tertarik untuk mengkhususkan membahas pengaruh anjuran tidak menyembelih sapi oleh Sunan Kudus. Penulis tertarik untuk membahas bagaimana implikasi anjuran tidak menyembelih sapi bagi kehidupan kontemporer. Serta membahas faktor masyarakat tetap melestarikan kebiasaan yang telah ada sejak abad ke-15 sampai saat ini.

G. Metode Penelitian Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode historis. Metode penelitian kualitatif sebagai penelitian secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi kondisi dan keadaannya, menekankan pada deskripsi secara alami.15 Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah untuk menemukan data autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintetis atas data semacam itu yang menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.16 Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan sejarah sosial dan kebudayaan. Sejarah sosial sebagai studi yang mengkaji kehidupan masyarakat dari

15Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet-11 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998) 11. 16Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Cet-3 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007) 44. 11

berbagai aspek yang saling berkaitan. Kebudayaan merupakan segala hal yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, istiadat dan kebiasaan. Kebudayaan sebagai keseluruhan dari tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat. Louis Gottschalk dalam buku ‘Mengerti Sejarah’ menjelaskan bahwa suatu metode sejarah dapat berubah seiring dengan zaman yang berlangsung. Penulis sejarah harus mampu membedakan data autentik dan tidak autentik sehingga tidak diragukan kredibilitas dari data yang didapatkan.17 Penerapan metode historis menempuh tahapan-tahapan kerja sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Notosusanto meliputi Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi, dan Historiografi.18

H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan terhadap penulisan ini dan memberikan gambaran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan. Penulis membagi pembahasan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan yang membahas secara umum tentang penelitian yang akan dilakukan dan pembahasan yang akan ditulis oleh penulis meliputi Sub-bab: latar belakang

17Louis Gottschlak, Mengerti Sejarah, Cet-4 (Jakarta: UI-Press, 1985) 23.

18 Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008) 42. 12

masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, membahas landasan teori, kajian pustaka dan kerangka berpikir dalam penulisan skripsi. Bab III, menjelaskan Kabupaten Kudus meliputi Sub- bab: letak geografis kependudukan Kabupaten Kudus, aktifitas penduduk, kehidupan religi masyarakat Kudus. Bab IV, membahas latar belakang sejarah Sunan Kudus meliputi Sub-bab: biografi Sunan Kudus, strategi dakwah Sunan Kudus, peninggalan Sunan Kudus. Bab V, membahas isi utama dampak peninggalan non- fisik Sunan Kudus dalam kehidupan sosial masyarakat Sub- bab: tinjauan sejarah dan sosial, persepsi masyarakat kontemporer terhadap sapi, faktor yang melatar belakangi masyarakat untuk tetap mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi, upaya pelestarian peninggalan Sunan Kudus, konstruksi sosial masyarakat. Bab VI,sebagai Penutup, penulis akan memberikan kesimpulan maupun saran-saran dari penulisan skripsi ini. BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Teori yang relevan dengan pembahasan skripsi terkait dengan Sunan Kudus: Dinamika Ajaran, Tradisi dan Budaya ialah Sejarah Sosial. Sejarah Sosial yang secara umum diartikan sebagai sejarah masyarakat, sejarah sosial mengkaji aspek kehidupan masyarakat dari lapisan dan periode yang berbeda.1 Istilah lain sejarah sosial sebagai sebuah kajian yang berkaitan dengan rakyat, masyarakat kecil, gerakan sosial, tingkah laku dan adat istiadat.2 Berdasarkan teori sejarah sosial, Kudus memiliki latar belakang sejarah Islamisasi dengan strategi dakwah sosio- kultural dengan media sapi. Sunan Kudus melarang masyarakat menyembelih sapi oleh karenanya masyarakat Kudus tetap melestarikan tradisi tidak menyembelih sapi sampai saat ini, meskipun background masyarakat mayoritas menganut agama Islam. Masyarakat Kudus mengganti sapi dengan kerbau untuk perayaan Idul Adha. Secara sosial, masyarakat Kudus memiliki identitas kolektif yang dikenal sebagai masyarakat toleran di samping penyebutan kota karena banyaknya yang

1Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Pustaka Obor, 2011) 22. 2Eric Hosbawn, Primitive Rebels (London: Routledge, 1972) 32.

13

14

berdiri di Kudus. Sikap masyarakat untuk tidak menyembelih sapi justru menciptakan konstruksi sosial masyarakat yang harmonis dan terhindar dari konflik etnis dan agama. Adapun konsep pokok yang mendukung teori sejarah sosial ialah konsep identitas dan komunitas. Identitas dan komunitas menurut Peter Burke sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengamati perbedaan budaya secara kontras pada suatu lingkungan masyarakat misalnya perbedaan sikap keagamaan penduduk, perbedaan sikap penduduk secara konservatif, serta hubungan komunitas dengan lingkungan. Titik pokok kajian identitas dan komunitas ialah mengamati bagaimana tercipta, bertahan dan hilangnya suatu komunitas dengan pengamatan terhadap ritual dan simbol.3 Melalui ritual dan simbol tersebut akan menciptakan komunitas yang memiliki solidaritas sosial secara spontan dan tidak terstruktur.

B. Kajian Pustaka

Sudah cukup banyak penulisan yang berkenaan sosial masyarakat Kudus akan tetapi sejauh yang penulis amati belum ada yang membahas tentang Sunan Kudus: Dinamika Ajaran, Tradisi dan Budaya di Kudus Jawa Tengah. Adapun buku, jurnal dan laporan ilmiyah yang menjadi rujukan dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

3 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Pustaka Obor, 2011) 83-85.

15

Pertama, Solichin Salam dalam bukunya yang berjudul Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam menjelaskan secara kualitatif bagaimana masyar akat Kudus memahami dan memaknai warisan budaya Sunan Kudus yang perlu dipertahankan dan terus direproduksi secara sosial.4 Kedua, Mark Woodward dalam bukunya Java, Indonesian and Islam, buku ini membahas mengenai bagaimana paham masyarakat Jawa yang masih erat menjaga tradisi lokal seperti “Selametan”. Sebagai tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun.5 Ketiga, Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa. Buku ini menjelaskan bagaimana walisongo melakukan dakwahnya di tanah jawa, terkhususnya Sunan Kudus yang melakukan dakwah di Kudus setelah runtuhnya Majapahit dan strategi dakwah Sunan Kudus dalam menarik umat Hindu untuk masuk Islam.6 Keempat, Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, buku ini menjelaskan bagaimana Sunan Kudus diberikan kewenangan menyampaikan dakwah di Kudus

4Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam ( Kudus: Menara Kudus, 1977) 2. 5Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (London New York : Springer Dordrecht Heidelberg, 2011) 4. 6 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa (Bandung: Mizan, 1995) 2.

16

setelah menjadi Senopati di Kerajaan Demak, juga menjelaskan kuatnya pengaruh majapahit di daerah Jawa.7 Kelima, buku yang ditulis oleh Sri Indrahti yang berjudul Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Sejarah. Buku ini menjelaskan bagaimana masyarakat Kudus dalam menjaga tradisi pra-Islam sampai masa kontemporer yaitu tidak menyembelih kerbau dan menarik masyarakat luar untuk wisata ziarah di Kudus.8 Selain itu, penulis juga menggunakan referensi dari Jurnal yang didapatkan dari J-STOR juga beberapa Jurnal Nasional dan Internasional seperti Humanika, QIJIS, Addin Vol.8, No. 2 yang ditulis oleh Syaiful Arif dengan Judul Strategi Dakwah Sunan Kudus, menjelaskan bagaimana dakwah yang disampaikan oleh Sunan Kudus begitu toleran dan menghormati umat Hindu. Penjelasan dakwah Sunan Kudus ini dijelaskan dalam bangunan konkrit yang berupa Masjid Al-Aqsha (wujud akulturasi berbagai agama).

C. Kerangka Berpikir Dakwah sebagai sebuah cara yang dilakukan oleh ulama, kiai maupun tokoh pemuka agama Islam yang lain dalam menyampaikan wahyu Allah atau perintah Allah melalui

7Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta : LKis. 2005) 2. 8Indrahti, Sri. Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, (Semarang: CV. Madina, 2012) 3. 17

cara yang sebagaimana Rasulullah SAW ajarkan yang dikenal dengan istilah maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan. Sunan Kudus mengikuti cara dakwah Rasulullah dengan dakwah langsung ke lapangan dengan pendekatan kultural dan sosial. Melalui dakwah secara kultural mampu menjadikan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Kudus. Oleh karenanya Masyarakat Islam di Kudus masih memegang anjuran Sunan Kudus di masa lampau untuk tidak menyembelih sapi meskipun saat ini mayoritas penduduk di Kudus beragama Islam. .Mereka mempercayai bahwa fatwa yang disampaikan oleh wali sebagai pandangan hidup dalam menjalankan aktivitas keagamaan secara adat maupun tradisi. Misalnya dalam perayaan Idul Adha, mayoritas masyarakat Islam di Kudus menyembelih kerbau sebagai pengganti sapi. Ada pun beberapa masyarakat lain di Kudus, memilih menyembelih sapi namun dalam jumlah yang sedikit. Sikap masyarakat yang memilih untuk tidak menyembelih sapi tidak lain disebabkan oleh kepatuhan masyarakat terhadap figur Sunan Kudus sebagai tokoh yang menyebarkan Islam di Kudus dan sebagai seorang wali yang seharusnya dihormati. Pada sisi lain kesadaran sejarah oleh masyarakat untuk tetap melestarikan peninggalan Sunan Kudus sebagai peninggalan non-fisik yang tidak boleh hilang oleh perubahan dan perkembangan zaman.

18

Berdasarkan latar belakang strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus memberikan dampak yang memiliki nilai positif bagi masa kontemporer. Di antaranya, membentuk hubungan baik antara umat Islam dengan umat Hindu, terbentuk konstruksi sosial masyarakat plural yang sadar akan nilai toleransi, menciptakan ikon kuliner guna menarik masyarakat luar untuk berkunjung ke Kudus serta memberikan peluang usaha bagi masyarakat Kudus yang berada di luar daerah.

19

PETA KONSEP

Strategi Dakwah Sunan Kudus

Faktor yang mempengaruhi masyarakat Kudus masih Masalah mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi sedangkan background masyarakat mayoritas beragama Islam.

Sosial Strategi Dakwah Sunan Kudus Pendekatan Kebudayaan Sikap Masyarakat Kudus dalam Metodologi menjaga anjuran tidak menyembelih sapi

Latar belakang sejarah Islamisasi oleh Sunan Sejarah Kudus dengan strategi Sosial dakwah oleh Sunan Teori (Peter Kudus dengan Burke) mengganti sapi dengan kerbau untuk menghormati umat Hindu

Islam menjadi agama mayoritas penduduk di Kudus, tetapi Temuan anjuran tidak menyembelih sapi tetap dijalankan sebagai sikap patuh masyarakat terhadap Sunan Kudus sebagai Wali

Masyarakat melestarikan anjuran Terbentuk hubungan masyarakat yang tidak menyembelih sapi dengan Plural dan harmonis. Sadar akan menciptakan kuliner berbahan daging pentingnya toleransi dan menghargai kerbau sebagai kuliner dengan cita adanya perbedaan. rasa kearifan lokal khas Kudus

BAB III DESKRIPSI UMUM KABUPATEN KUDUS

A. Letak Geografis Kabupaten Kudus Kabupaten Kudus terletak di antara 110036’ dan 110050’BT (Bujur Timur) serta 6051’ dan 7016’ LS (lintang Selatan). Kabupaten Kudus dibatasi oleh beberapa Kabupaten, yaitu di sebelah Utara Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan , Kabupaten Pati dan Kabupaten Demak, yang terakhir di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara.1 Kabupaten Kudus memiliki ketinggian ±55 푚푚 di atas permukaan laut. Letak Kabupaten Kudus sangat strategis yakni di pantai pesisir utara Jawa, sehingga Kudus dijadikan sebagai wilayah perlalu-lintasan yang menghubungkan daerah sekitar dengan Ibukota Provinsi yaitu Semarang. Daerah bagian timur meliputi Pati-Tayu-Juwana-Rembang-Lasem- Jepara-Demak- Pati-Purwodadi dan Blora serta daerah bagian barat meliputi Mayong-Jepara- dan Bangsri. Kudus termasuk kota yang ramai dan dikenal sebagai kota industri rokok kretek, gula, pertenunan, percetakan dan

1Anonim, Kabupaten Kudus Dalam Angka 2018 ( Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2018). 7.

21

22

lainnya.2 Selain dikenal sebagai kota industri, Kudus juga memiliki trade mark yang menunjukan harmoni sosial masyarakat yang berilmu dan toleran dengan sebutan ,3 karena penyebaran Islam pada abad lima belas oleh Sunan Kudus. Nama Kudus diambil dari bahasa Arab yakni Al-Quds yang berarti kesucian, kata Quds artinya suci. Karena pelafalan lidah Indonesia sehingga menjadi Kudus. Sebelum diberi nama Kudus, nama asli Kota Kudus adalah “Loaram” diambil dari sebuah nama pohon “Lo” (sejenis buah kluwing). Saat ini Desa Loaram menjadi Desa Loram atau Ngloram.4 H.J. De Graaf menyatakan bahwa sebutan nama Kudus merujuk pada nama kota al-Quds, Baitulmaqdis (Yerussalem, Palestina) yang dijadikan sebagai tempat suci oleh Sunan Kudus. Penyebutan nama tertua yakni “” yang memiliki arti rumah-rumahan (di atas makam). Kata “Tajug” sendiri menunjukan kekeramatan sehingga diperkirakan sebelum zaman Islam, Kudus telah memiliki kekeramatan tertentu.5 Sedangkan Solichin Salam menyebut kata “Tajug” sebagai

2 Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977) 1. 3Dibuktikan dengan banyaknya jumlah pesantren yang ada di Kudus. 4Ibid., Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam…, 55. Lihat juga buku Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 28. 5H.J. De Graaf dan TH. G.Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Dari Majapahit ke Mataram (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1985) 115-117.

23

masjid-masjid kecil yang ada di daerah Pasundan, jika di Jawa Tengah lebih dikenal dengan sebutan “Langgar” dan di Minangkabau disebut sebagai “”.6 Berbagai asal-usul belum jelas dalam penyebutan Kudus, tetapi kota Kudus telah terkenal di Jawa bahkan Nusantara sebagai pusat agama. Masjid Al-Aqsha menjadi representasi sejarah berdirinya Kota Kudus.7 Hal ini tidak terlepas dari peranan Sunan Kudus dalam proses penyebaran Islam di Kudus, Jawa Tengah. Sunan Kudus melakukan pendekatan dakwah kultural dan bijaksana kepada masyarakat, adanya pandangan antara Sunan Kudus dengan santrinya agar tidak perlu memusnahkan segala sesuatu yang mengingatkan pada masa lalu (kekafiran) pada zaman pra-Islam atau bahkan melupakannya sama sekali.

B. Kependudukan di Kabupaten Kudus 1. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Berdasarkan data statistik yang ada, pada tahun 1905 Kudus memiliki jumlah penduduk 90.000 jiwa, kemudian pada tahun 1953 meningkat menjadi 309.273 jiwa8, lalu

6Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 31. 7Ibid., H.J De Graaf dan TH. G. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Dari Majapahit ke Mataram…, 117. 8Ibid., Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam…, 5. 24

pada tahun 2011 menjadi 769.904 jiwa.9 Data statistik yang terakhir pada tahun 2015 menunjukan jumlah penduduk 831.478 jiwa10. Kabupaten Kudus termasuk ke dalam kategori kota kecil yang memiliki luas wilayah hanya 42.516 Hektar, terbagi menjadi 9 Kecamatan yang terdiri dari 123 desa, 9 kelurahan,11 Wilayah Kabupaten Kudus menjadi tiga bagian; pada bagian utara sebagai daerah pegunungan, bagian tengah sebagai dataran, dan bagian selatan sebagai daerah dataran rendah. Pembagian wilayah Kudus ini dipisahkan oleh Kali Gelis sehingga sering disebut dengan Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Menurut BPS Kecamatan Kota Kudus, antara Kudus Kulon dengan Kudus Wetan memiliki luas wilayah yang berbeda. Kudus Kulon memiliki luas wilayah 1.047,32 Ha atau 2,46% dari luas Kabupaten Kudus, Kudus Kulon sebagai Kecamatan terkecil tetapi memiliki jumlah desa yang banyak, meliputi 25 desa setiap kelurahan.12

9 Anonim, Kabupaten Kudus Dalam Angka 2018 ( Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2018). 3. 10Data penduduk per- tanggal 02 April tahun 2018 menunjukan jumlah penduduk sebanyak 835.318. WEB. Adminduk, http://dukcapilkudus.com/berita/grafik-data-kependudukan-per-27-maret- 2-april-2018/ diakses pada 7-5-2018 pukul 12: 51. 11 Data di dapat dari Anonim, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, Pemerintah Kabupaten Kudus, III- 101 berdasarkan kondisi eksisting tahun 2011. 12Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 44.

25

Kecamatan Kota dengan penduduk terpadat yakni 91.279 jiwa dengan aktifitas penduduk yang paling sibuk jika dibandingkan dengan delapan kecamatan yang ada.13 Hal demikian karena Kecamatan Kota sebagai pusat dari seluruh kegiatan manusia di luar sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa, pelayanan masyarakat, pendidikan, dan pemerintahan sehingga dalam keseharian tampak sibuk. Kepadatan penduduk di Kudus Kulon juga terlihat dari pola pemukiman bangunan yang cukup tinggi dengan jarak yang sempit dan berhimpitan, kebanyakan ini merupakan rumah bangunan lama bahkan ada pula yang berumur satu abad. Sedangkan untuk bangunan rumah sendiri ada yang masih tradisional, kolonial dan modern kontemporer.

2. Mata Pencaharian Penduduk Struktur mata pencaharian penduduk Kabupaten Kudus lebih banyak pada sektor perdagangan dan industri. Kedua mata pencaharian tersebut awalnya merupakan sektor sekunder sedangkan sektor primernya adalah pada bidang pertanian dan pertambangan, seiring peralihan zaman sektor sekunder lebih modern dan menggantikan peranan

13Ibid., Anonim, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, Pemerintah Kabupaten Kudus, III- 130 berdasarkan kondisi eksisting tahun 2011. 26

sektor primer yang masih bersifat tradisional,14 sedangkan beberapa dari jumlah penduduk bekerja pada bidang jasa. Menurut sejarah sebelum Sunan Kudus datang, masyarakat mencari nafkah dengan bertani, membuat jaring dan mencari ikan.15 Kedatangan Sunan Kudus, sedikit demi sedikit mulai mengubah pola perekonomian masyarakat dengan mengenalkan perdagangan sehingga Kota Kudus tumbuh sebagai kota dagang (Kaligelis- Wulan-Pelabuhan Jepara) dengan berbagai komoditi yang dibawa oleh para pedagang yang sekedar transit ke pelabuhan. Kudus sejak abad ke-19 terkenal sebagai kota industri kretek karena banyaknya gedung dan pabrik rokok di Kudus. Kehidupan masyarakat yang sebelumnya bertani dan mengandalkan perikanan kemudian bertransformasi menjadi pedagang. Tradisi berdagang masyarakat Kudus mengikuti cara dagang Sunan Kudus sebagai contoh figur yang baik dalam berdagang, yakni berdagang sesuai dengan ajaran Islam dan dengan karakter akhlak baik. Label Kudus sebagai kota industri dan dagang semakin melekat di Kudus, bukan hanya sebagai industri rokok

14Struktur penduduk menurut Anonim, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, (Kudus: Bappeda, 2011) vi. 15 Ibid., Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 27.

27

melainkan juga konveksi.16 Pada segi pendapatan, Kudus sebagai wilayah yang memiliki pendapatan tertinggi di Jawa karena hasil industri yang besar. Berdirinya perusahaan besar yang ada di Kudus, juga menumbuhkan sebuah harmoni antar masyarakat untuk saling berinteraksi dengan baik. Pemilik usaha dagang bukan hanya muslim saja tetapi juga etnis lain di luar Kudus termasuk etnis Tionghoa yang memiliki perusahaan rokok sejak tahun 1932.17 Data statistik 2012 menunjukan Kudus berkembang karena berbagai industri yang tumbuh baik dalam bidang konveksi, rokok, makanan dan minuman. Dalam bidang usaha makanan terdapat satu trade mark unik yang mungkin saat ini telah di kenal di berbagai wilayah yang ada di Indonesia yaitu jenang Mubarok. Jenang Mubarok sejak dahulu telah dikenal sebagai jenang khas Kudus. Kuliner lain yang terkenal adalah Soto Kudus dan Pindang Kudus, kedua makanan ini terkenal di berbagai wilayah karena keunikan yang terdapat pada daging sebagai bahan dalam membuat soto atau pindang. Para pedagang yang menjual soto atau pindang ini tidak menggunakan daging sapi melainkan dengan daging

16 Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 29-32. 17Lance Cantles, Religion, Politics, and Economic Behavior in Java : The Kudus Cigarette Industry, (Yale University, 1967) 35. 28

kerbau sehingga dalam masyarakat umum soto kudus dikenal sebagai soto kerbau. Bagi masyarakat yang merantau ke luar kota, mereka berwirausaha dengan menjual soto kerbau yang digemari oleh masyarakat karena daging kerbau yang teksturnya lebih gurih jika dibandingkan dengan soto daging sapi. Masyarakat Kudus Kulon terkenal sebagai masyarakat yang mahir dalam berdagang terlihat dari banyaknya warung dan toko kelontong di sepanjang jalan Sunan Kudus dan jalan Menara yang antara lain menjual peralatan konveksi, bordir, percetakan dan toko pakaian. Juga ada pula yang berjualan di sekitar jalan Madurekso seperti menjual buku, jajanan, cidera mata dan souvenir.18 Secara ekonomi, mata pencaharian masyarakat Kudus Wetan tidak jauh berbeda dengan masyarakat yang ada di Kudus Kulon yang juga bermata pencaharian sebagai pengusaha dan pedagang meskipun tarafnya lebih rendah jika dibandingkan dengan pengusaha dan pedagang yang ada di Kudus Kulon. Masyarakat Kudus Wetan pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai masyarakat yang aktif dalam bidang pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari bangunan rumah adat yang penuh dengan ukiran menunjukan status sosialnya lebih tinggi.

18Ibid., Sumintarsih, Christriyati Ariyati dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus…, 47.

29

C. Aktivitas Penduduk (Sosial dan Budaya) 1. Sosial Masyarakat Kudus Kudus memiliki struktur masyarakat yang beragam baik itu dari segi keagamaan dan juga etnis. Keragaman masyarakat Kudus terlihat dari bangunan tempat ibadah berbeda-beda dan letaknya tidak berjauhan, meskipun demikian keadaan sosial masyarakat tetap harmonis. Keharmonisan yang tumbuh di tengah masyarakat tercipta dari konstruksi sosial masyarakat Kudus yang sadar akan pentingnya nilai toleransi terhadap umat beragama dan etnis lain. Penyebutan nama Kudus memberikan kesan menarik karena adanya sebuah menara yang berdiri di sekitar makam Sunan Kudus. Menara tersebut sebagai simbol akulturasi bahwa masyarakat Kudus sebagai masyarakat yang religius dan mengakomodir budaya lokal.19 Kudus sebagai kota tua yang saat ini mayoritas penduduknya adalah muslim berbeda dengan masa Islamisasi atau sekitar abad ke-15, di mana agama Hindu menjadi mayoritas. Secara sosiologis, Kudus sebagai

19M.Syakur, “Tradisi Masyarakat Islam di Kudus Jawa Tengah”, Semarang: Universitas Wachid Hasyim Semarang, 12. Lihat juga Ashadi. “Correlation Between the Mosque and Traditional House Architecture in Kudus, Indonesia”. Jakarta: Universitas Jakarta, International Journal of Built Environment and Scientific Research, Vol.0, No.01 (2017). 30

daerah yang memiliki struktur elemen masyarakat yang saling terkait khususnya komunitas-komunitas muslim yang memiliki tradisi dan adat istiadat berbeda mengikuti karakteristik kebudayaan masing-masing. Perilaku sosial masyarakat Kudus berdasarkan pada ajaran agama (great religion) dan budaya lokal (minor tradition) yang ada sehingga dalam berinteraksi sosial memiliki beragam cara.20 Interaksi sosial dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Kudus memang tidak jauh dari adat dan tradisi. Kebudayaan yang memiliki nilai sosio-religius yang tinggi dan penguat keimanan seperti adanya komunitas thariqah, NU, Muhammadiyah dan kegiatan ini dikembangkan dalam dunia pendidikan formal dan informal. Kehidupan sosial-beragama di Kudus yang harmonis karena adanya rasa saling menghormati. Keharmonisan yang dapat dijadikan contoh ialah ketika adanya event atau acara diskusi kelompok yang diadakan oleh komunitas muslim dengan tema kebudayaan yang biasanya dilaksanakan di Masjid Al-Aqsha, mampu mendatangkan peserta lintas agama yang ada di wilayah Kudus. Begitu

20Chakim, Sulchan. “Dakwah dan Dialektika Budaya Jawa dalam Lintasan Sejarah”, STAIN Purwokerto: Jurnal Komunika Vol-2, No.1 (2008) 42-44.

31

pun ketika ada event lain yang diadakan oleh komunitas non-muslim di Kudus.21 Contoh sosial sikap toleransi yang lainnya yakni antara pengusaha dan karyawan. Perusahaan rokok yang mendominasi di Kudus, pemilik perusahaan ini adalah Tionghoa yang berbeda agama dengan karyawannya. Seperti misalnya, ketika waktu sholat tiba maka karyawan diperbolehkan untuk melakukan ibadah sholat lima waktu.22 Sikap toleransi yang di jaga erat oleh masyarakat Kudus mengurangi angka konflik antaragama di Kudus. Meskipun pada tahun 1918 pernah terjadi konflik antara umat Islam dengan orang-orang Tionghoa, hal tersebut bukan menjadi masalah yang besar,23 karena pada saat ini dua etnis tersebut dapat hidup berdampingan begitu pula dengan umat lain seperti penganut agama Kristen, Buddha dan Hindu.

2. Kebudayaan Masyarakat Kudus Suatu masyarakat sebagai makhluk sosial yang memiliki kebudayaan, sehingga antara masyarakat dengan budaya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan (ibarat

21Hasil Wawancara dengan Pak Denny pada tanggal 17 Januari 2018, pukul 13:20. 22M. Syakur, “Tradisi Masyarakat Islam di Kudus Jawa Tengah”, Semarang: Universitas Wachid Hasyim Semarang, 7. 23H. Abd. Rachman, The Pesantren Architects and Their Socio- Religious Teachings, (Ph.D, dissertation), Universitas of California Los Angeles, 1997, 207-208. 32

dua sisi mata uang yang sama) sekalipun itu berbeda dengan perkembangan kebudayaan di bagian wilayah lain.24 Perbedaan kebudayaan menjadi masalah sosial yang dilatar belakangi oleh tipologi kebudayaan dan tipologi masyarakat. Lebih tepatnya perbedaan antara masyarakat perdesaan dan masyarakat perkotaan. Masyarakat perdesaan memiliki ciri diferensiasi dan stratifikasi yang sedang sehingga menjadikan masyarakat kota sebagai arah orientasinya mewujudkan peradaban yang baru seperti bertanam ketika masyarakat perdesaan masih berkebun, kepegawaian di masa kolonial serta orientasi terhadap peradaban bekas kerajaan, berdagang dengan pengaruh Islam yang kuat ketika masyarakat perdesaan masih bercocok tanam. Hal berbeda justru terjadi pada masyarakat perkotaan yang memiliki ciri pusat pemerintahan yang lemah serta metropolitan mulai mengembangkan sektor perdagangan dan industri yang masih di dominasi oleh pemerintahan.25 Secara sosial dan budaya, masyarakat Kudus memiliki perbedaan yang cukup siginifikan dari daerah sekitarnya. Seperti misal dalam aspek bahasa umumnya memiliki dialek tersendiri, dialek spesifik Kudus. Terdapat ciri khas

24Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015) dalam Endriatmo Soetarto dan Ivanovich Agusta, Masyarakat dan Kebudayaan, 65. 25Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015) dalam Endriatmo Soetarto dan Ivanovich Agusta, Masyarakat dan Kebudayaan, 68.

33

khusus dalam pemakaian bahasa jawa seperti misal kata ‘ora’ (tidak), masyarakat Kudus biasanya menggunakan kata ‘orak’, kata ‘wae’ menjadi ‘ae’. Kemudian di dapati juga kata lain seperti kata yang menunjukan kepada seseorang dengan tambahan kata ‘mu’ di Kudus biasanya diganti dengan kata ‘em’ misal; buku-mu menjadi buku-em, bapak-mu menjadi bapak-em dan lain sebagainya.26 Perbedaan dialek masyarakat Kudus ini menunjukan ekspresi atas kepribadian yang dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Dari segi dialek bahasa, antara Kudus dengan kota lain memang berbeda. Termasuk pula perbedaan sosial masyarakat antara masyarakat Kudus Wetan dan Kudus Kulon dengan ciri khas masing-masing. Kudus Kulon terletak di barat Kaligelis, dengan ciri khas Kota Kudus sendiri atau dikenal sebagai pusat budaya masyarakat Kudus, hal demikian dimungkinkan karena jejak-jejak Sunan Kudus dari nilai-nilai yang bersifat tangiable dan intangiable ada di Kudus Kulon27. Kudus Kulon, masyarakatnya dikenal memiliki sikap religiusitas serta memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, julukan untuk masyarakat Kudus Kulon adalah

26Ibid., Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam…, 5. 27 Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 43. 34

wong ngisor menoro. Dari segi historis, bagian Kudus Kulon dahulunya yang bermukim antara lain adalah para pengusaha, pedagang, kiai, petani dan ulama.28 Sedangkan ciri khas yang dimiliki wilayah Kudus Wetan sendiri dikenal sebagai masyarakat yang modern. Di wilayah ini dahulunya dimukimi oleh priyayi, cendekiawan, kaum guru, dan kaum ningrat.29 Pengenalan masyarakat Kudus Wetan sebagai masyarakat yang sudah modern (menyembelih sapi) dan pengenalan masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat tradisional (masih memegang teguh untuk tidak menyembelih sapi). Sikap masyarakat Kudus yang berbeda ini, jika ditarik dari garis sejarahnya masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat yang mengikuti ajaran Sunan Kudus sedangkan masyarakat Kudus Wetan sebagai masyarakat yang mengikuti ajaran Sunan Muria sehingga lebih memilih untuk tidak menyembelih sapi.30 Ciri khas suatu masyarakat salah satunya dapat dilihat dari bentuk budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut, termasuk juga ketika ada suatu wilayah yang masih

28Mas’ud, Abdurrahman. Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan. Dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, Amin, M. Darori 224-225 (Yogyakarta: Gama Media, 2002). 29Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 43. 30Hasil wawancara dengan Pak Edy Supratno, pada tanggal 12 Juli 2018, pukul 10:20.

35

mempertahankan tradisi sebagai peninggalan nenek moyang yang dianggap berjasa di wilayah tersebut. Pada konteks ini dapat disebutkan bahwa masyarakat Kudus memiliki tradisi yang berbeda dengan wilayah lain, yakni sedikitnya terdapat tiga tradisi yang masih dipertahankan. Tradisi ketika zamannya Sunan Kudus hingga tradisi setelah Sunan Kudus wafat masih dipertahankan hingga saat ini. Sedikitnya terdapat tiga tradisi yang masih rutin dijalankan setiap tahun antara lain ialah pertama tradisi dhandangan yakni sebuah tradisi untuk menyambut datangnya bulan puasa, kedua tradisi buka luwur yakni mengganti kain penutup di makam Sunan Kudus sebagai bentuk penghormatan masyarakat terhadap Sunan Kudus. Kemudian, yang ketiga terdapat tradisi mauludan yakni tradisi untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Uniknya, antara tradisi buka luwur dan tradisi mauludan dilaksanakan di Masjid sedangkan untuk tradisi dhandangan sendiri dilaksanakan di wilayah yang ramai, tepatnya dari menara hingga alun-alun Kudus.31 Kebudayaan memiliki klasifikasi yang beragam selain dalam bentuk tradisi, di Kudus juga masih mempertahankan seni pertunjukan wayang namun seni pertunjukan ini berada di wilayah lain, lebih tepatnya di

31 Sumintarsih, Christriyati Ariani dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2016) 41. 36

Wonosoco, Kecamatan Undaan. Pertunjukan wayang ini juga termasuk peninggalan Sunan Kudus yang masih di pertahankan sampai saat ini bahkan masih terus di produksi.32 Sedangkan, untuk bentuk kebudayaan yang berbentuk seni bangunan atau peninggalan, dapat dilihat dari bentuk arsitekrtur bangunan Masjid Al-Aqsha yang memiliki keunikan tersendiri yakni dengan mengadobsi aristektur bangunan umat Hindu. Masjid Al-Aqsha sebagai wujud representasi sejarah kota Kudus tentang pentingnya sikap toleransi terhadap umat beragama. Selain dalam bentuk tradisi, terdapat organisasi seni tari Jawa dan modern yang masing-masing berjumlah 7 dan 8 kelompok. Untuk kesenian tradisional yaitu Orkes Melayu masih memiliki jumlah yang besar yaitu 108 kelompok. Kesenian dalam bentuk teater yaitu seni barongan dan wayang purwo masing-masing mendominasi dengan angka 47 dan 25 kelompok.33

D. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus Berdirinya Kota Kudus merupakan hasil dari penyebaran agama Islam, dalam perkembangannya Kudus dikenal sebagai pusat pengetahuan dan penyebaran Islam. Hal

32Hasil wawancara dengan Pak Dani, pada tanggal 18 Januari 2018. 33Anonim, Kabupaten Kudus Dalam Angka 2018 ( Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2018). 123.

37

ini tidak terlepas dari peran Sunan Kudus yang melakukan dakwah di Kudus.34 Namun, secara keagamaan masyarakat Kudus Kulon lebih taat dalam menjalankan segala perintah dari Allah, dengan mengikuti jejak Sunan Kudus sebagai tauladan yang taat dalam beribadah. Kudus Kulon dikenal sebagai kampung santri karena interaksi sosial masyarakat lebih sering dipenuhi dengan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan menjalankan ibadah bersama di masjid. Ketika menjalankan aktivitas keagamaan, Kudus Kulon juga masih erat dalam menjaga sebuah ajaran oleh Sunan Kudus yang saat ini menjadi tradisi yaitu enggan menyembelih sapi,35 meskipun masyarakat di luar daerah Kudus menganggap adanya hal demikian karena dakwah yang belum selesai. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Kudus, dilihat dari banyaknya jumlah bangunan masjid di Kudus jika dibandingkan dengan tempat peribadatan umat lain.36 Terdapat agama lain yang ada di Kudus meliputi Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Buddha. Menurut data sensus penduduk menurut agama pada tahun 2011, penganut agama Islam berjumlah 750.415, penganut agama Kristen 11.211, penganut

34Ibid., Sumintarsih, Christriyati Ariyati dkk, Gusjigang: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi Pedagang Kudus…, 48. 35Lance Cantles, Religion, Politics, and Economic Behavior in Java : The Kudus Cigarette Industry. (Yale University, 1967) 287. 36Anonim, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, (Kudus: Bappeda, 2011) xxvi. 38

agama Katolik 6.189, penganut agama Hindu 218, dan penganut agama Buddha 1.150.37 Masyarakat Kudus sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada paragraf sebelumnya, bahwa Islam menjadi agama mayoritas penduduk di Kudus dan masih lekat dengan tradisi yang telah ada sejak abad ke-15 yang lalu. Bagi mereka, nilai-nilai yang terkandung pada ajaran agama Islam bukan hanya diamalkan melainkan menjadi pedoman hidup.38 Agama menjadi dasar tingkah laku bukan hanya sekedar kepercayaan, baik disadari secara nalar maupun tidak tercermin dalam nalar. Agama memiliki hubungan erat dengan tingkah laku yang dilakukan setiap hari. Penerapan soal pernikahan dan soal pembagian harta (warisan), tidak berlaku hukum adat melainkan menggunakan hukum Islam, menyesuaikan penduduk yang mendiami Kota Kudus adalah mayoritas Islam. Agama Islam sebagai agama yang mendominasi di Kota Kudus, sehingga Kudus dikenal dengan sebutan kota santri yang berpusat di Desa atau dikenal dengan ‘wong ngisor menoro’ lebih tepatnya. Meskipun terdapat cukup banyak santri yang ada di Kudus Kulon namun penduduknya heterogen, karena perbedaan agama di kalangan masyarakat, terdapat Tionghoa, Kristen, Katolik, Hindu dan

37 Ibid., Anonim, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, Pemerintah Kabupaten Kudus, 2011, iv. 38 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 322.

39

Buddha juga termasuk beberapa yang dikategorikan sebagai kaum priyayi dan .39 Sebagian masyarakat muslim Kudus menempati Kudus Kulon dengan kesan religiusitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat muslim yang ada di Kudus Wetan. Sebagian penduduk yang mendiami Kudus Kulon adalah santri yang fanatik sehingga seorang figur (kiai) sebagai panutan masyarakat Kudus Kulon. Jika ditarik pada waktu yang lampau dari sejarah penyebaran Islam di Kudus yang sangat panjang, sikap masyarakat Kudus Kulon menunjukan keberhasilan proses Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam dan memiliki pengaruh yang begitu besar dan mampu menembus waktu hingga sekarang.

39Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, ( Jakarta: Inti Idayu Press, 19 84) 18. BAB IV SEJARAH SUNAN KUDUS

A. Biografi Sunan Kudus Perkembangan Islam di Kudus tidak dapat dilepaskan dari peran Sunan Kudus sebagai seorang wali yang menyebarkan dakwah Islam di Kudus, Jawa Tengah. Sebelum Sunan Kudus menyebarkan agama Islam di Kudus, masyarakat sekitar Kudus mempercayai bahwa terdapat seorang da’i yang sering disebut sebagai keturunan Tionghoa yakni Kyai Telingsing, nama aslinya The Ling Sing.1 Penyebaran agama Islam di Jawa dimulai dari pesisir utara Jawa meliputi Gresik, Tuban, Ampel, Cirebon dan Banten. Tetapi terdapat sungai Tanggulangin di sebelah barat dan sungai Juwana di sebelah timur sehingga Kudus dapat terhubung dengan wilayah pesisir. Sunan Kudus sebagai walisongo angkatan ketiga yang diberikan wewenang untuk menyebarkan agama Islam ke daerah Kudus pada masa berdirinya Kerajaan Islam Demak.2 Sunan Kudus adalah putera dari R. Usman Haji atau Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Secara nasab belum ditemukan secara pasti sehingga beberapa penulis menulis silsilah Sunan

1Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977) 14. Lihat juga di Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 12. 2Rachmad Abdullah, Walisongo, Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404- 1482), (Solo: Al- Wafi, 2015) 94- 96.

41

42

Kudus dengan versi yang berbeda-beda sama seperti penulisan nasab walisongo yang lainnya.3 Solichin Salam membagi silsilah A dan silsilah B yang keduanya sama- sama bernasab pertama yakni Nabi Muhammad SAW. Tidak ada perbedaan prinsipil antara silsilah A dengan silsilah B, hanya perbedaan penyebutan nama asli dan istri Sunan Kudus yaitu dalam silsilah A Sunan Kudus menikah dengan putri Pangeran Tandaterung dan silsilah B menyebutkan bahwa Sunan Kudus menikah dengan putri . Terdapat kemungkinan Sunan Kudus melakukan pernikahan dua kali.4

3Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang di Singkirkan (Jakarta: Transpustaka, 2011) 184-185. 4Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977) 19. 43

1. Silsilah Sunan Kudus Adapun silsilah yang ditulis oleh Solichin Salam sebagai berikut:5

Nabi Muhammad

Ali r.a

S. Husein

S. Zainal Abidin

S. Zainul Kabir- Syekh Mahmudi Nil Kabir

S. Dulnapi + putri Prabu Brawijaya V

K.S Ampel dan putri Nyi Ageng Manyuro

putri Nyi Ageng Manyuro + S. Kaji Ngusman melahirkan

K.S Ngudung

K. Sunan Kudus + putri Pangeran Pecat Tandaterung (Majapahit)

7 putra dan 1 putri

Tabel 4. 1 Silsilah Sunan Kudus A

5Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977) 18. Lihat juga di Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 10.

44

Sedangkan menurut silsilah B yang tertulis adalah sebagai berikut; sama-sama bermula dari: 6

Nabi Muhammad SAW

Ali ra + S. Fatimah

Syaidina Husain

Zainul Abidin

Zainul Aliem

Zaini al Kubra

Zaini al Khusain

Maulana Jumadalkubra- Ibrahim Asmarakandi

Usman Haji (Sunan Ngudung atau Jipang Panolan)

Sunan Kudus (Ja’far Shodiq)

Sunan Kudus (Ja’far Shodiq)+ Dewi Rukhil putri R. Ma’dum Ibrahim (Sunan Bonang)

Tabel 4.2 Silsilah Sunan Kudus B Diambil dari nama Ja’far Shadiq merupakan nama imam Syi’ah keenam. Perayaan tradisi ‘Buka Luwur’ atau

6Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977) 18. 45

penggantian kelambu makam Sunan Kudus menjadi tanda kedua yang bertepatan dengan tanggal 10 Assyuro seperti perayaan umat Syi’ah dalam memperingati meninggalnya Sayyidina Husein.7 Tetapi setelah ditelusuri, tidak terdapat ajaran Syi’ah baik itu dalam dalam penyampaian Islam yang dibawa oleh Sunan Kudus, maupun keturunan Sunan Kudus yang tidak beraliran Syi’ah .

2. Potensi Pribadi Sunan Kudus Potensi sebagai acuan dari kemampuan seseorang dalam melakukan suatu hal atau mengamalkan suatu ilmu. Walisongo memiliki tradisi keilmuan seperti mata rantai yang tidak dapat dipisahkan, berkaitan satu dengan lainnya.8 Menyesuaikan dengan ini, Sunan Kudus memiliki riwayat pendidikan berguru dengan Raden Rahmat dan . a. Sunan Kudus dikenal sebagai waliyul ilmi Sunan Kudus dikenal sebagai “waliyul ilmi” di antara kesembilan wali yang lainnya, sebagai seorang yang memiliki keahlian di bidang agama meliputi tauhid, hadits, usul, tafsir, sastra, mantiq terkhusus dalam bidang fiqih. Sunan Kudus sebagai guru besar sehingga banyak murid serta kader-kadernya di berbagai pelosok daerah.9 Termasuk

7Ibid., Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam…, 23. 8 Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo (Bandung: Mizan, 1996) 68- 70. 9 Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 14.

46

juga murid Sunan Kudus yang bertempat di Kudus dan turut serta menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus juga dikenal sebagai seorang pujangga yang mengarang riwayat pondok berisi filsafat serta berjiwa agama, di antara ciptaannya ialah Gending Maskumambang dan Mijil.10

b. Sunan Kudus dikenal sebagai ulama faqih Potensi yang terkenal dalam diri Sunan Kudus, beliau dikenal sebagai ulama faqih yang ketat dalam memegang syariat dalam cara berfikirnya dan tegas bertindak dalam menghadapi penyelewengan. Juga diriwayatkan Sunan Kudus mengambil peranan dalam sidang para wali yang dikuasakan oleh Demak untuk mengadili Syekh Siti Jenar atau Lemah Abang.11

c. Sunan Kudus, Panglima Perang Kerajaan Demak Pada sisi yang lain, Sunan Kudus dikenal sebagai seorang tokoh yang gagah berani, beliau yang menggantikan ayahnya memimpin ekspedisi ke Jawa Timur setelah

10Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 14. Lihat juga Hindun. “Syingir: Transformasi Puisi Arab ke Dalam Puisi Jawa”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Humaniora, Vol.24, No.1 (2012) 75. 11Ibid., Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo,… 44-45. Lihat juga Jurnal Utomo, Agus Himawan. “Tauhid Al-Wujud Syeikh Siti Jenar dan Unio Mystica Bima”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Filsafat, Vol.40, No.2 (2006). 47

ayahnya gugur di medan pertempuran.12 Sunan Kudus menjadi panglima perang kerajaan Demak dalam ekspedisi melawan majapahit, hal lain yang menunjukan keberanian Sunan Kudus ketika menghentikan pemberontakan yang dilakukan oleh Kebo Kenanga yang membangkang terhadap Sultan Demak, pemberontakan yang dilakukan oleh Kebo Kenanga sebagai reaksi dari paham Siti Jenarnya yang tidak lain dikarenakan sakit hati atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada gurunya.13 Tindakan yang dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap Kebo Kenanga sebagai seorang tokoh yang mempertahankan kemurnian agama Islam.

d. Sunan Kudus sebagai Da’I dan Amirul Hajj Spesifikasi lain dari Sunan Kudus yang dikenal sebagai wali yang menyebarkan agama di Kudus, menyesuaikan dengan tanggal berdirinya Masjid Al-Aqsha, Sunan Kudus mulai melakukan dakwah di Kudus pada tahun 1549 M. Angka tahun ini terdapat pada mihrab Masjid Al– Aqsha, sebagai peninggalan dari Sunan Kudus. Penulis memilih tahun 1549 sebagai tahun yang relevan untuk Sunan Kudus melakukan dakwah di Kudus, dengan melihat

12Ibid., Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo,… 44. Lihat juga di Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986). 13Ibid., Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo,… 44. H.J. De Graaf dan TH. G Pigeud, Kerajaan- Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986) 71- 72.

48

dan menganalisa kronologi waktu atau masa Sunan Kudus ketika menjadi seorang ulama, panglima perang juga pedagang. Sebutan Amirul Hajj juga melekat pada Sunan Kudus, karena beliau pernah memimpin jamaah Haji.14

e. Sunan Kudus seorang Pedagang Beberapa sumber lain mengatakan jika Sunan Kudus adalah seorang pedagang sehingga di masyarakat Kudus semangat untuk mengikuti jejak Sunan Kudus yakni semangat berdagang.15Saat ini, semangat berdagang dikenal dengan istilah ‘gusjigang’.16 Mengingat tanah wilayah Kudus yang cocok untuk berwirausaha jika dibandingkan dengan bertani atau bercocok tanam. Belum ada sumber buku yang menyebutkan komoditi dagang yang dahulu dibawa oleh Sunan Kudus akan tetapi terdapat kemungkinan komoditi yang dibawa adalah kain.17 Oleh karenanya, dalam penyusunan silsilah Sunan Kudus terdapat sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kudus sebagai keturunan Persia, yang tidak lain berasal dari Pasai (Aceh) tetapi ada pula yang

14Ibid., Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo…, 43. 15Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 14. 16Said, Nur. “Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan Kudus”, Kudus: STAIN Kudus, Jurnal Penelitian Islam Empirik, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 6. (2013).

17Hasil wawancara Staf Yayasan Masjid, Makam dan Menara Kudus yaitu Pak Denny pada 17 Januari 2018, pukul 13:20. 49

menyebutkan bahwa Sunan Kudus adalah keturunan Jawa asli. Penting kiranya, jika penulis meruntutkan potensi Sunan Kudus selain sebagai pendakwah yang menyebarkan agama Islam di Kudus. Hal ini untuk mengetahui kronologi tepat Sunan Kudus menjadi seorang pendakwah, sehingga dapat dipetakan secara jelas.

B. Strategi Dakwah Sunan Kudus Strategi dakwah merupakan bagian yang penting dalam penyebaran agama Islam, melalui sebuah strategi maka masyarakat akan dengan mudah dalam mengenal, mempelajari, memeluk dan mengamalkan ajaran Islam khususnya dalam beribadah. Gerakan dakwah Walisongo merujuk pada usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara yang damai melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, penyampaian ajaran yang disesuaikan dengan wilayah setempat atau dapat dikatakan Islam yang dibumikan sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk setempat melalui asimilasi dan sinkretisasi. Strategi dakwah Sunan Kudus tidak jauh berbeda dengan strategi dakwah yang dilakukan oleh Walisongo lainnya yakni dengan pendekatan melalui sosial dan budaya, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang mendekati dan mengenalkan Islam kepada masyarakat melalui

50

seni wayang.18 Sunan Kudus juga mengenalkan kepada masyarakat yaitu seni pertunjukan ‘wayang klithik’. Wayang klithik yang biasanya disebut sebagai wayang krucil karena terbuat dari kayu. Sunan Kudus melakukan dakwah melalui seni, sosial dan budaya dengan cara yang bijaksana. Strategi dakwah Sunan Kudus yang sedikit banyaknya berfokus melalui sebuah ajaran toleransi kepada umat non-Islam yang dimulai dengan seni, sosial dan budaya. Melalui strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, sampai saat ini masyarakat masih menjaga peninggalan juga nilai- nilai yang diajarkan oleh Sunan Kudus terutama nilai toleransi yang kuat di tengah masyarakat Kudus.19 Adapun strategi yang dilakukan sebagai berikut: a) Strategi Budaya dan Seni, Sunan Kudus mengenalkan pertunjukan wayang. Wayang yang dipertunjukan oleh Sunan Kudus, oleh masyarakat Kudus dikenal dengan sebutan ‘wayang klithik’. Sedikit memang sumber buku yang menyebutkan dakwah Sunan Kudus melalui seni ‘wayang klithik’, dinamakan ‘wayang klithik’ karena ketika

18Ibid., Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo…, 71. 19Supatmo dan S.P Gustami, Seni Bangunan Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya, Jurnal Humanika, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM, 571. 51

dimainkan wayang ini berbunyi ‘klithik- klithik- klithik’.20 Sunan Kudus juga membuat tembang Maskumambang dan Mijil. b) Strategi Sosial, secara sosial Sunan Kudus menggunakan dua strategi untuk mendekati masyarakat yaitu antara lain dengan menghormati masyarakat Hindu yaitu tidak menyembelih sapi. Sapi sebagai hewan yang dihormati dan disucikan oleh umat Hindu. Sunan Kudus menggunakan media sapi untuk mendekati umat Hindu guna menyampaikan ajaran agama Islam. Menurut cerita yang sudah berkembang luas, Sunan Kudus mengikat lembu atau sapi yang telah dihias kemudian diikat di halaman masjid. Sapi yang diikat di halaman Menara mampu menarik perhatian umat Hindu, karena mereka penasaran bagaimana Sunan Kudus memperlakukan sapi tersebut.21 Sapi yang diikat di halaman masjid tersebut tidak boleh dipotong, hanya diikat saja. Kemudian, masyarakat yang pada saat itu masih memeluk agama Hindu berdatangan dan berkerumun di halaman masjid. Setelah kedatangan masyarakat Hindu tersebut, Sunan Kudus menyampaikan dakwahnya. Sampai saat ini masyarakat Kudus bagian kulon

20Wayang Klithik tersebut masih dilestarikan oleh masyarakat Kudus yang bertempat tinggal di Wonosoco bahkan masih diadakan pagelaran wayang klithik. 21Solichin Salam, Ja’far Shadiq : Sunan Kudus, Cet- 3 (Kudus: Menara Kudus, 1986) 15.

52

atau barat (khususnya) masih menjaga anjuran tersebut untuk tidak memotong sapi bahkan di pasar tradisional pedagang hanya menjual daging kerbau. Strategi dakwah yang digunakan oleh Sunan Kudus tersebut, sampai sekarang oleh masyarakat Kudus dianggap sebagai strategi dakwah yang mengajarkan nilai toleransi atau lebih dikenal dengan sebutan “tepo sliro” yakni ajaran toleransi beragama. Sebagaimana Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama dan antar etnis. Sunan Kudus mendekati masyarakat Hindu melalui berbagai cara yang bijaksana, sehingga hati masyarakat Kudus. Sampai saat ini masih menjaga kepatuhan terhadap apa yang sudah diajarkan oleh Sunan Kudus termasuk untuk tidak memotong sapi dan mengganti dengan daging kerbau. Jika dari tinjauan Islam (fiqh) sapi sebagai hewan yang halal untuk dikonsumsi, tujuan dari tidak diperbolehkannya menyembelih sapi agar tercipta hubungan baik antara Islam dengan umat Hindu sehingga Sunan Kudus dapat meneruskan dakwahnya. Melalui cara yang demikian maka tidak akan merusak kepercayaan dan tradisi umat Hindu yaitu sebuah filosofi jika sapi adalah hewan yang disucikan. Sikap yang dilakukan oleh Sunan Kudus tersebut 53

menunjukan dakwah Islam dengan cara yang damai. Dakwah yang dilakukan dengan pendekatan psikologi.22 Strategi sosial yang kedua, Sunan Kudus membuat tempat wudu berupa delapan pancuran yang terletak di arah selatan Masjid al-Aqsha. Tempat wudu tersebut diyakini sebagai arkeologi kuno, adanya tempat wudu tersebut menunjukan bahwa Sunan Kudus memperhatikan kebersihan di berbagai hal sebelum melakukan ibadah. Tempat wudu yang dibuat berjumlah delapan, terdapat objek ukiran yang berbentuk ukiran kepala. Bentuk dari pancuran yang berjumlah delapan dihubungkan dengan delapan jalan mulia dalam agama Buddha.23 Kedelapan simbol Buddha tersebut menunjukan pentingnya sebuah moral bagi manusia. Taktik pembuatan pancuran yang berjumlah delapan tersebut untuk menarik perhatian umat Buddha agar mau datang ke Masjid. c) Strategi melalui seni arsitekur, cara yang terakhir dakwah yang dikenalkan melalui budaya, yaitu terlihat dari arsitektur Masjid Al-Aqsha yang didominasi dengan bangunan peribadatan umat Hindu yaitu Pura. Masjid Al- Aqsha mengalami beberapa kali renovasi, sebelumnya

`22Zaenal Muttaqin, Sunan Kudus’ Legacy on Cross-Cultural Da’wa, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. X STAIN Surakarta, 124-125. 23Zaenal Muttaqin, Sunan Kudus’ Legacy on Cross-Cultural Da’wa, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. X STAIN Surakarta, 124-125.

54

Masjid Menara ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan dan 5 buah pintu sebelah kiri. Pintu besar terdiri dari pada 5 buah dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Renovasi yang dilakukan bukan hanya dari desain bangunan tetapi juga perluasan area masjid. Masjid Menara dibangun Sunan Kudus pada tahun 956 H. hal ini berdasarkan sebagaimana tertulis pada batu tulis yang terletak di atas tempat pengimaman Masjid, batu tersebut berbahasa dan bertuliskan kalimat Arab juga berperisai. Adapun ukurannya dengan perisainya ialah panjang 46 cm dan lebar 30 cm, jika tanpa perisai maka panjang 41 cm dan lebar 23,5 cm.24

C. Peninggalan Sunan Kudus Tokoh yang bersejarah (memiliki peran penting) dalam suatu masyarakat biasanya memiliki peninggalan sejarah sebagai bukti atas peran yang pernah dijalaninya. Sunan Kudus sebagai seorang wali yang pernah menyebarkan agama Islam di Kudus melalui cara yang bijaksana. Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus melekat di hati masyarakat sehingga kepatuhan dan rasa hormat terhadap Sunan Kudus masih mengakar secara kuat di kalangan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat masih menjaga peninggalan Sunan Kudus yang tidak lain berwujud fisik (bangunan) dan non-fisik (sikap).

24 Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 22. 55

1. Masjid Al-Aqsha Masjid merupakan salah satu bukti peninggalan masa Islamisasi, ada pun berbagai corak khas yang disajikan pada masjid-masjid kuno.25 Kekhasan arsitektur dalam masjid kuno yang sebagian besar menunjukan wujud akulturasi antara masa Islam dan masa pra-Islam. Bangunan Masjid yang memiliki atap tumpang (meru) berasal dari abad ke-16 Masehi sampai abad ke-18 Masehi seperti pura-pura di Bali. Beberapa Masjid Kuno yang ada di Indonesia meskipun memiliki desain seperti bangunan pra-Islam, fungsinya tetap sama sebagai tempat Ibadah. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi bangunan Masjid Kuno di Indonesia. Pertama menyesuaikan dengan ekologi, masjid dengan atap tumpang akan memudahkan air meluncur ke dalam. Kedua, faktor peralihan agama Hindu- Buddha ke Islam sehingga tidak terjadi cultural shock karena di dalam masjid diajari ketauhidan. Bangunan beratap tingkat (meru) dianggap sebagai tempat suci bagi dewa. Terdapat juga bangunan Pra-Islam yang memiliki seni arsitektur seperti bangunan pintu gerbang, keraton , dan makam-makam kuno yang masih dapat ditelusuri baik dari masa pra-Islam dan pengaruhnya bagi kebudayaan kontemporer. Menurut arkeologi Islam, dua macam bentuk

25Uka Tjandrasasmita, Arkeologi , ( Jakarta : PT. Gramedia ) 237-239.

56

pintu gerbang yang disebut dengan Candi Bentar dan Kori Agung.26 Pada lingkungan bangunan Masjid Al-Aqsha terdapat Menara dan pintu gerbang yang menyerupai Kori Agung milik umat Hindu.27 Masjid Al-Aqsha yang ada di Kudus, 28 sebagian besar masyarakat mengakui jika masjid dan menara tersebut adalah peninggalan dari Sunan Kudus. Sebagian masyarakat lainnya berpendapat jika Masjid Al- Aqsha dan Menara yang terletak di depan masjid adalah bangunan peninggalan Sunan Kudus, akan tetapi untuk pintu gerbang atau yang biasa disebut sebagai Kori Agung adalah sisa-sisa peradaban Hindu yang ada di Kudus. Menara yang diyakini sebagai peninggalan Sunan Kudus tersebut memiliki bentuk bangunan yang sama dengan Candi Kul- Kul di Bali.29 Menara Kudus selalu menjadi titik utama

26Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, ( Jakarta : PT. Gramedia ) 243. Lihat juga di Munandar, Agus Aris Istana. Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke-14-19 Cet-1, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2005) 42.

27Hasil Wawancara dengan Pak I Putu Dantra pada 31 Oktober 2018 Pukul 14:20. 28Ashadi, “Menara Kudus sebagai Aksis Mundi: Menelusuri Komunitas Kudus Kuno”, Universitas Muhammadiyah Jakarta: Jurnal NALARs, Vol. 6 No. 1. Lihat juga Solichin Salam, Ja’far Shadiq, Sunan Kudus (Kudus : Menara Kudus, 1986) 23. 29Mas’udi, “Genealogi Walisongo : Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”. STAIN Kudus: Jurnal ADDIN Vol. 8, No.2. Lihat juga di Dandung Budi Yuwono, Konstruksi Sosial Atas Warisan Budaya Sunan Kudus (The Social Construction of Sunan Kudus Cultural Legacy), LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi, Vol. 03. No. 1. Lihat juga buku Sri Indrahti, Kudus dan Islam: 57

penelitian para ahli, fokus penelitiannya tidak lain adalah tinjauan Islam di Kudus menurut bangunan Masjid Menara Kudus. Penyebutan secara umum lebih lekat dengan sebutan Masjid Menara Kudus, penyebutan ini menunjukan jika Masjid Al-Aqsha adalah milik Menara, sehingga jika dianalisis bisa jadi Menara yang lebih dahulu ada sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun. Masjid Al-Aqsha menunjukan kombinasi bangunan yang sudah menuju ke modern, terlihat dari adanya kubah yang muncul pada abad ke-19 dan ke-20. Menara Kudus sendiri memiliki eksistensi keindahan, keunikan dan memiliki makna serta nilai kearifan budaya lintas kultur. Masjid Al-Aqsha didirikan pada tahun 1549 M, sebuah angka tahun yang tertulis di mihrab. Masjid Al-Aqsha memiliki tiga serambi, serambi kanan bagi jemaah laki-laki, serambi kiri bagi jemaah perempuan dan serambi depan biasanya digunakan oleh santri dan para peziarah. Bagian lain dari Masjid Al-Aqsha adalah tempat wudhu, tempat wudhu juga dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebuah hiasan unik menyerupai gaya arsitektur milik Buddha terdapat pada tempat wudhu laki-laki lebih tepatnya pada ukiran-ukiran kran air.30 Makam Sunan Kudus sendiri

Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, (Semarang: CV. Madina, 2012) 80. 30Dandung Budi Yuwono, Konstruksi Sosial Atas Warisan Budaya Sunan Kudus (The Social Construction of Sunan Kudus Culural Legacy),

58

terletak di samping Masjid Al-Aqsha, arsitektur yang bernuansa Hindu juga terdapat pada pintu masuk makam, ciri khas yang sangat unik dan penuh dengan akulturasi. Masjid Menara Kudus (Masjid Al-Aqsha dan Menara) sebagai sebuah simbol awal adanya peradaban yang mengakulturasikan antara budaya Hindu-Buddha-Islam- Konghucu, simbol sebuah kerukunan antar umat beragama yang harus di junjung tinggi. Bangunan Menara menjadi platform toleransi dalam membangun masyarakat yang Plural.31

2. Wayang Klithik Wayang memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat Jawa, sehingga dapat disebut juga bahwa wayang menunjukan identitas masyarakat Jawa.32 Wayang kerap kali mempertunjukan kisah-kisah yang bertemakan ‘Mahabarata’ dengan tokoh yang mencerminkan sikap dan perbuatan dalam sehari-sehari. Berbeda dengan itu, Wayang Klithik lebih memiliki kisah modern tanpa melupakan pesan moral juga disampaikan.

LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi, Vol. 03. No. 1. 31E.M Nadjib Hassan dan Maesah Anggi. Menara Menjaga Tradisi Nusantara, (Kudus: Yayasan Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus, 2015) 13. 32 Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta : Inti Dayu Press, 1984) 33. 59

Wayang klithik merupakan wayang yang digunakan oleh Sunan Kudus sebagai salah satu media dakwah Islam di Kudus. Wayang Klithik terbuat dari kayu bukan seperti wayang pada umumnya yang dibuat dari bahan kulit (wayang purwo). Secara umum wayang yang terbuat dari kayu dikenal dengan sebutan Wayang Krucil, namun berbeda dengan masyarakat Kudus yang lebih suka menyebutnya dengan sebutan Wayang Klithik. Sebutan Wayang Klithik ini berasal dari bunyi wayang yang apabila digerakkan berbunyi ‘klithik’ – ‘klithik’ – ‘klithik’. Pada saat ini Wayang Klithik menjadi khas Desa Wonosoco karena desa tersebut yang melestarikan pertunjukan Wayang Klithik beserta gamelan yang mengiringi pertunjukan Wayang Klithik. Belum ada bukti sejarah tertulis tentang Wayang Klithik, sejauh ini hanya masyarakat hanya mengetahui Wayang Klithik melalui tradisi lisan atau tutur dari masyarakat. Menurut informasi dari masyarakat Desa Wonosoco, Wayang Klithik biasa dipertunjukan satu tahun sekali, setiap ada Tradisi Bersih Desa Wonosoco. Tema untuk pertunjukan bervariasi tidak hanya monoton pada satu tema saja namun menyesuaikan dengan event dan permintaan. Ketika Tradisi Bersih Desa, biasanya tema yang dipertunjukan tentang sejarah berdirinya Desa Wonosoco. Juga pula ketika ada event di Menara tema yang ditampilkan dalam pertunjukan pun berbeda yaitu dengan tema

60

berdirinya Menara Kudus, bahkan juga mengaitkan dengan strategi dakwah Sunan Kudus yang menggunakan media sapi sebagai simbol toleransi terhadap Umat Hindu. Tema pertunjukan Wayang Klithik dipersiapkan oleh Pak Dhalang. Secara keseluruhan Wayang Klithik memiliki jumlah yaitu 60 buah berupa golek 2 buah, namun yang sering ditampilkan berjumlah 30 buah wayang. Perangkat lainnya berupa gamelan dengan nada ‘galak ganjur’, kayu rancak kelir satu set dan kelir gunungan 1 buah. Bahan dari Wayang Klithik ini terdiri dari kayu, logam dan kusa (tali pengait wayang). 3. Sikap Toleransi antar Masyarakat Toleransi merupakan sebuah bagian penting dan seharusnya ada di masyarakat, adanya toleransi tidak lain bertujuan untuk menghindari konflik antar agama, konflik antar etnis dan konflik ras. Konflik yang berlatar belakang perbedaan etnis dan perbedaan agama sering terjadi di berbagai wilayah. Kabupaten Kudus sebagai salah satu wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Sejauh ini, masyarakat Kudus yang terdiri dari beragam etnis dan beragam agama hidup secara rukun dan damai serta belum ada konflik yang 61

serius seperti ketika peristiwa anti Tionghoa pada tahun 1918 dan 1980.33 Sebuah kesadaran pluralisme yang berkembang di masyarakat menjadi salah satu dasar kerukunan untuk hidup secara berdampingan bersama dengan masyarakat yang berbeda etnis dan berbeda agama, dasar kedua ialah sebuah semangat masyarakat dalam menjalankan kehidupan sosial sesuai dengan ajaran Sunan Kudus yakni toleransi terhadap umat beragama lain.34 Sunan Kudus sebagai seorang tokoh toleran yang dihormati oleh masyarakat Kudus. Pemeliharaan sikap toleransi antar masyarakat tersebut dijadikan sebagai salah satu peninggalan Sunan Kudus atau disebut juga dengan warisan budaya. Ajaran toleran yang berawal dari larangan penyembelihan sapi oleh Sunan Kudus kepada masyarakat Kudus, karena kultur Hindu yang mendominasi pada masa Islamisasi. Pengenalan nilai toleransi pada masyarakat Kudus dimulai sejak usia dini pada bangku sekolah, nilai toleransi

33M. Syakur, Tradisi Masyarakat Islam di Kudus Jawa Tengah, Semarang :Universitas . Lihat juga Mas’udi. “Antropologi Walisongo: Akulturasi Budaya Islam terhadap Keberagaman Masyarakat Kudus dalam Diseminasi Harmoni Ajaran Islam Sunan Kudus”. Dalam Prosceeding AICIS XIV, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI dan STAIN Samarinda, 200. Balikpapan: Annual International Conference on Islamic Studies XIV, Paper AICIS XIV, 2014.

34Dandung Budi Yuwono, Konstruksi Sosial Atas Warisan Budaya Sunan Kudus (The Social Construction of Sunan Kudus Culural Legacy), LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi, Vol. 03. No. 1.

62

diajarkan oleh para pendidik. Salah satu pendidikan karakter yang diajarkan di MtsN 01 Kudus,35 mengenalkan kepada para murid terkait sejarah Sunan Kudus sebagai tokoh yang toleran serta nilai toleransi yang harus diterapkan di kalangan siswa Kudus itu sendiri. Pendidikan karakter sejak dini ini, nyatanya mampu membentuk pribadi masyarakat untuk hidup secara rukun dan damai. Kerukunan beragama dan penerimaan etnis lain terwujud dengan baik.36 Pluralisme yang ada pada masyarakat Kudus sebagai sunnatullah yang harus dijaga dan diperlihara. Antara masyarakat Kudus dengan figur Sunan Kudus sebagai simbol pluralisme yang tidak dapat dipisahkan karena tatanan obyek yang menjadi fakta sosial sebagai masyarakat pluralis. Kesadaran pluralisme antar masyarakat bukan hanya jangkauan individu melainkan seluruh elemen masyarakat, hal ini tidak lain karena faktor lingkungan sosial yang memiliki andil besar dalam pembentukan sikap toleransi antar masyarakat. Islam sangat menjunjung tinggi persamaan dan menghargai perbedaan. Strategi dakwah Islam oleh Sunan

35Hasil Wawancara dengan Pak Aslim Akmal Wawancara dilakukan pada Tanggal 5 September 2018 Pukul 11:30.

36Said, Nur. “Urgensitas Cultural Sphere Dalam Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Semangat Multikulturalisme Sunan Kudus bagi Pendidikan Multikultural di STAIN Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol.7. No. 1 (2013) 25-28. 63

Kudus bukan serta merta menyingkirkan kebudayaan yang sebelumnya telah ada di Kudus melainkan mengenalkan Islam kepada masyarakat sebagai Islam yang toleran dan ramah. Islam yang fleksibel menyesuaikan tatanan yang sudah ada tanpa merusak syariat dalam beribadah itu sendiri. Jalinan Islam yang toleran dan ramah mampu mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang faham dan sadar betul akan pentingnya kerukunan serta terbebas konflik yang berlatar belakang agama.

64

BAB V DAMPAK STRATEGI DAKWAH SUNAN KUDUS DENGAN MEDIA SAPI

A. Tinjauan Sejarah dan Sosial 1. Agama Hindu di Kudus Sebelum Islamisasi Kabupaten Kudus tepatnya pada abad ke-14 M sampai ke-15 M. Agama Hindu merupakan agama mayoritas penduduk Kabupaten Kudus. Dipercaya jika sebelum Islamisasi, Kudus merupakan pusat pemerintahan Hindu. Dibuktikan dengan dominasi bangunan Hindu pada Menara Kudus. Secara historis, umat Hindu di Kudus adalah Hindu yang mendapatkan pengaruh dari Kerajaan Majapahit. Pengaruh Kerajaan Majapahit sangat luas dan menyeluruh di Pulau Jawa dan Bali.1 Kerajaan Majapahit memiliki pengaruh yang luas termasuk kawasan Nusantara. Oleh karenanya umat Hindu yang dahulu ada di Kudus adalah umat Hindu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Untuk saat ini, umat Hindu yang ada di Kudus hanya 12 KK.2 Sebagai gambaran, penulis melampirkan tabel yang menunjukan keberadaan umat Hindu di Kudus saat ini :

1Agus Aris Munandar, Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke-14-19 Cet-1, ( Jakarta : Komunitas Bambu, 2005) 130-133. 2Hasil Wawancara dengan Pak I Putu Dantra pada tanggal 31 Oktober 2018, pukul 14:30. Didukung dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, Kabupaten Kudus Dalam Angka, in Figures. (Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2018) 68.

65

66

Umat Hindu di Kudus

Kec. Gebog 0

Kec. Jekulo 0

Kec. Undaan 0

Kec. Kaliwungu 0

Kec. Mejobo 0

Kec. Jati 2

Kec. Dawe 2

Kec. Bae 8

Kec. Kota 5

0 2 4 6 8 10

Umat Hindu di Kudus

Tabel 5.1 Jumlah Umat Hindu di Kabupaten Kudus3

3 Data di dapatkan dari Anonim, Kecamatan Kota Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Bae Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan GebogKudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Jekulo Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Mejobo Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Jati Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim , Kecamatan Undaan Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Kaliwungu Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017. Anonim, Kecamatan Dawe Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

67

Pada tahun delapan puluh umat Hindu eksis kembali, di antara mereka menjadi pegawai di beberapa lembaga pemerintah. Petilasan yang masih tertinggal di Kudus terdapat di sejumlah tempat yaitu di Desa Rahtawu tepatnya di Puncak Songo Likur, kemudian di Desa Bacin ditemukan Arca yang sekarang diletakkan di Museum Ronggo Warsito, serta di Langgar Bubrah yang letaknya tidak jauh dari Menara Kudus sekitar 10 meter jaraknya dari Menara, di luar bangunan Langgar Bubrah terdapat Lingga dan Yoni yang merupakan Arca milik umat Hindu.4 Terakhir terdapat dua gerbang yang letaknya ada di Masjid Al-Aqsha, kebanyakan orang Kudus tidak mengakui dan lebih percaya jika gerbang tersebut peninggalan Sunan Kudus. Sedangkan untuk Menara sendiri seorang arkeolog berpendapat jika menara bukanlah candi Hindu karena jumlahnya hanya satu.

2. Persepsi Sapi Bagi Umat Hindu Agama Hindu sebagai suatu agama yang bersifat politeisme atau memiliki banyak Tuhan, karena memiliki banyak dewa yang disembah. Dalam Agama Hindu terdapat ajaran Ahimsa,5 dari ajaran Ahimsa tersebut

4Hasil Wawancara dengan Moh. Rosyid (Ketua Komunitas Tali Akrap) pada tanggal 18 Oktober 2018, pukul 13:11 dan wawancara dengan Zaki Aftoni (informan) di Langgar Bubrah pada tanggal 5 September 2018, pukul 13:39. 5I Ketut Wisarja, Ghandi dan Masyarakat tanpa Kekerasan, (Surabaya: Paramita, 2007) 75.

68

kemudian berkembang menjadi Vegetarianisme tujuannya agar terjaga keharmonisan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama manusia dan terjaga hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam agama Hindu berkembang ajaran toleransi yang dikenal dengan sebutan “Ahimsa” merupakan ajaran anti kekerasan dalam Hindu. Toleransi kepada sapi sebagai hewan yang diyakini memiliki atma bagi kehidupan. Ahimsa berarti tidak menyakiti, atau menolak keinginan untuk membunuh dan membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Melalui ajaran “Ahimsa”, manusia diajaran untuk melakukan kebenaran dan melalui Ahimsa sebagai sarana untuk tidak melakukan kekerasan dalam mencapai kebenaran, justru sebaliknya melalui “Ahimsa” justru harus menciptakan suasana membangun cinta, berbuat baik terhadap orang lain bahkan musuh sekali pun. Hal ini berarti jika manusia telah melewati ajaran Ahimsa maka kehidupan akan berjalan harmonis dan tidak ada konflik. Adanya Ahimsa maka akan tercipta kebenaran, cinta kasih, sayang, damai dan harmonis antara manusia, hewan dan tumbuhan. 69

Terdapat kalimat yang populer dalam kitab Catur Veda,6 tidak lain berbunyi : “Gavah Vivasyah Matarah” kalimat tersebut memiliki arti jika sapi adalah ibu seluruh dunia.7 Atas ajaran ini maka sapi bagi umat Hindu sebagai hewan yang sakral yang semestinya harus dihormati dan tidak boleh dipotong bahkan tidak boleh dimakan dagingnya. Sapi satu-satunya hewan yang menyerahkan tubuhnya, susunya dan kotorannya untuk makhluk lain.8 Oleh karenanya sapi menjadi kesayangan para dewa khususnya dewa Sri Krisna dan dewa Siwa yang menjadikan sapi sebagai kendaraan. Selain sebagai ibu, sapi juga diibaratkan sebagai sumber kemakmuran (bumi) dan ibu dari segala ternak. Dalam agama Hindu terdapat keyakinan jika setelah meninggal roh atau atma saat menuju surga dengan menunggang sapi (lembu). Sapi sebagai hewan yang sangat membantu kegiatan manusia, sapi sebagai sumber kehidupan untuk membajak sawah, memberikan susu yaitu tambahan asi bagi bayi, kotoran sapi dimanfaatkan sebagai

6Veda merupakan ajaran suci yang tidak pernah mengajarkan untuk membunuh sapi. Darmayasa, Keagungan Sapi Menurut Literatur Veda, (Bali: Maligenik, 1989) 6. 7Darmayasa, Keagungan Sapi Menurut Literatur Veda, (Bali: Maligenik, 1989) 1-3. 8Darmayasa, Keagungan Sapi Menurut Literatur Veda, (Bali: Maligenik, 1989) 1.

70

pupuk yang bertujuan untuk kesuburan tanah dan sebagai sarana transportasi atau sarana penarik (gerobak).9 Umat Hindu memiliki kasih sayang yang luar biasa terhadap sapi, dalam agama Hindu terdapat tradisi yang dilaksanakan khusus untuk menghormati sapi, tradisi ini dilakukan dalam setiap tahun dengan sebutan tradisi tumpak kandang, dalam tradisi ini sapi dibuatkan sesajen supaya mendatangkan manfaat bagi manusia.

3. Agama Islam di Kudus Islam sebagai agama mayoritas penduduk di wilayah Kudus, pertumbuhan Islam di Kudus signifikan menyesuaikan dengan dikuasainya wilayah Kudus oleh Kerajaan Islam Demak. Pada masa pemerintahan Kerajaan Islam Demak, hampir seluruh wilayah Jawa berada dalam kekuasaan Kerajaan Islam Demak termasuk Cirebon dan Banten. Hal ini dikarenakan ambisi raja Demak untuk menjadi penguasa tanah Jawa.10 Secara historis agama Hindu adalah agama mayoritas ketika Islamisasi di Jawa Tengah, khususnya kota Kudus sebagai topik inti. Agama Hindu-Buddha sebagai agama yang terlebih dahulu datang dan ada di Indonesia sebelum masuknya agama Islam, Konghucu, dan Kristen. Agama

9Hasil Wawancara dengan I Putu Dantra pada tanggal 31 Oktober 2018 Pukul 14:30 10H.J. De Graaf dan TH. G Pigeud, Kerajaan- Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986) 60. 71

Hindu-Buddha berada pada lapisan terbawah dan terlebih dahulu menyerap di hati masyarakat Jawa bahkan Indonesia,11 sehingga kedua agama ini lebih memiliki pengaruh yang besar dalam alam fikiran dan perasaan masyarakat. Meskipun masyarakat telah berkonversi ke agama lain seperti Islam, Konghucu, dan Kristen. Terdapat pengelompokan pada masyarakat yang dianggap melakukan praktik keagamaan secara benar dan masyarakat yang hanya berkonversi tetapi masih melakukan praktik yang berbau Hindu-Buddha, sebutannya tidak lain ialah ‘Abangan’ dan ‘Kauman’. Abangan sebagai contoh dari masyarakat yang masih melakukan praktik Hindu-Buddha dan Kauman sebagai bagian dari masyarakat yang melakukan praktik keagamaan secara benar sepenuhnya atau dapat dikatakan sesuai dengan syari’at.12 Jika dikaitkan antara agama dan sistem nilai budaya memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku masyarakat. Agama seperti yang sudah dijabarkan sebagai pandangan hidup masyarakat sedangkan sebuah sistem nilai budaya sebagai nilai yang mengitari kehidupan.

11Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta : Inti Dayu Press, 1984) 17- 21. 12Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta : Inti Dayu Press, 1984) 17. Lihat juga dalam Buku Niels Mulders. Mysticism in Java: Ideology in Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2005) 38.

72

Sebelum Islam datang, agama Hindu yang terlebih dahulu membentuk sistem nilai di wilayah Kudus.

4. Persepsi Sapi bagi Umat Islam Sapi secara fiqih adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi dan disembelih. Terdapat dua ayat Al-Qur’an yang mengisahkan tentang sapi. Pertama, firman Allah yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 54 berbunyi:”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai Kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri sendiri karena kalian menjadikan anak lembu (sesembahan kalian), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian, maka Allah akan menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ayat pertama ini mengisahkan kaum Nabi Musa (Bani Israel) yang menyembah lembu (anak sapi) seperti yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Sehingga Nabi Musa menyerukan kepada kaumnya untuk segera bertaubat. Bertaubat yang dimaksud ialah disambung dengan ayat lain yang terdapat dalam Surat Al-A’raf ayat 149 berbunyi : “Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun 73

berkata, “Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami...” Kedua, firman Allah yang terdapat dalam surat Al- Baqarah ayat 73 berbunyi: “lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota (badan) sapi betina itu”, “Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati”. Ayat kedua ini mengisahkan jika pembunuhan seorang dari kaum Nabi Musa yang menimbulkan fitnah karena belum diketahui pembunuhnya. Kemudian Allah melalui Nabi Musa memerintahkan mereka (Bani Israel) menyembelih sapi betina, Bani Israel baru menemukan sapi dalam empat puluh tahun milik seorang lelaki yang tidak lain golongan dari Bani Israel juga. Sapi tersebut ditukar dengan emas sepenuh kulit sapi kemudian disembelih dan memukulkan sebagian tubuh sapi ke tubuh mayat yang terbunuh. Maka si terbunuh hidup kembali . Melalui ayat ini mengingatkan kepada Bani Israel atas kekuasaan-Nya dan kemampuan-Nya dalam menghidupkan orang-orang yang telah mati melalui apa yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri dalam kasus pembunuhan tersebut. Kekuasaan Allah dijadikan sebagai hujah yang menunjukan adanya hari berbangkit dan sekaligus memutuskan masalah persengketaan di kalangan dan keingkaran mereka (Bani Israel).

74

Secara umum sapi memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Jika berbicara soal manfaat sapi bagi manusia tidak jauh berbeda dengan umat Hindu yang memanfaatkan sapi sebagai sarana transportasi pengangkut hasil panen (QS.An-Nahl ayat 7),13 pembajak sawah (QS.Ali Imran ayat 14),14 dan sebagian masyarakat juga mengkonsumsi susu sapi (QS.An-Nahl ayat 66).15

13Sebuah ayat yang menjelaskan tentang manfaat dari hewan ternak. Pada ayat ke-7 berbunyi: “Dan ia (binatang ternak) memikul beban- beban kalian ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Tafsir Ibnu Katsir Digital P16_Hal. 5. 14Sebuah ayat yang menjelaskan kesenangan manusia di Dunia sifatnya hanya sementara. Dalam bunyi ayat tersebut terdapat kata “wal an’ami” yang berarti hewan ternak disusul dengan kata “wal hartsi” yang berarti sawah ladang. Dua kata yang saling berkaitan dalam memelihara sapi, unta dan kambing serta kegunaan sawah ladang untuk bercocok tanam. Ayat tersebut berbunyi: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surge). Katakanlah, “Inginkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Dan (ada pula) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Al-Imam Asy- Syaukani. Tafsir Ibnu Katsir Digital P3_Hal. 7. 15Sebuah ayat yang menjelaskan bahwa dalam binatang ternak terdapat susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia tepatnya dalam Surat An-Nahl ayat ke-66 yang berbunyi: “Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian minum dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang hendak meminumnya. Dan dari buah kurma dan anggur, kalian buat minum yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang memikirkan”. Al-Imam Asy-Syaukani. Tafsir Ibnu Katsir Digital P16_Hal. 28. 75

Masyarakat muslim yang hidup daerah pedesaan masih menggunakan sapi sebagai transportasi pengangkut hasil panen, namun ada juga masyarakat yang sudah beralih dengan menggunakan motor atau sepeda untuk mengangkut hasil panen. Selain digunakan untuk mengangkut hasil panen, sapi juga digunakan untuk membajak sawah oleh petani. Namun, berbeda dengan masa sekarang petani lebih memilih menggunakan traktor yang dirasa lebih cepat dan praktis sehingga sawah lebih cepat untuk digarap. Sementara itu, sapi juga dipelihara oleh petani sebagai hewan ternak yang nantinya akan dilakukan penggemukan. Setelah sapi memiliki bobot yang cukup, maka sapi tersebut akan dijual. Bukan hanya umat Hindu yang memelihara sapi melainkan umat Muslim yang berada di perkampungan atau desa masih banyak yang memelihara sapi, baik itu dipelihara untuk dikembangkan atau pun hanya dipelihara untuk dilakukan penggemukan. Penyebutan sapi oleh masyarakat Jawa, populer dengan istilah “rojo koyo” yang memiliki arti sebagai hewan yang menghasilkan banyak uang apabila masyarakat memelihara dan mengembangkan peternakan sapi. Mayoritas masyarakat yang tinggal di daerah sulit irigasi memilih untuk memelihara sapi daripada

76

memelihara kerbau. Terkait dengan perawatan sapi lebih mudah jika dibandingkan dengan perawatan kerbau yang membutuhkan banyak air. Sapi memang memberikan manfaat yang cukup banyak kepada manusia, namun dalam Islam tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan jika sapi dilarang untuk dibunuh seperti ajaran yang terdapat dalam agama Hindu. Hal demikian yang membedakan persepsi sapi menurut Hindu dan persepsi sapi menurut Islam. Justru dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk menyembelih sapi yaitu dalam QS.Al-An’am ayat 142.16

5. Hubungan umat Islam dan umat Hindu di Kudus Hubungan yang harmonis antar masyarakat menjadi suatu hal yang sifatnya sangat berharga. Adanya hubungan harmonis antar masyarakat akan menghindarkan konflik yang terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan agama dan perbedaan etnis. Umat Hindu dan umat Islam memiliki perbedaan yang cukup bertolak belakang. Sebuah perbedaan dalam berkeyakinan dan perbedaan dalam menjalankan aktifitas ibadah.

16Sebuah ayat yang menjelaskan bahwa binatang ternak dapat dijadikan pengangkutan dan juga untuk disembelih, ayat tersebut berbunyi: “dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih”. Di antara binatang tersebut antara lain ialah unta, sapi dan kambing. Namun, sapi tidak dapat digunakan untuk pengangkutan, hanya untuk disembelih kemudian dikonsumsi dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya. Al-Imam Asy-Syaukani. Tafsir Ibnu Katsir Digital P6_Hal. 56. 77

Atas latar belakang perbedaan yang bertolak belakang tersebut, saat ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk tetap hidup dalam kerukunan. Umat Hindu sebagai minoritas tetap dapat bersosial secara baik dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas di Kudus. Bahkan, salah seorang umat Hindu menjadi Ketua Rukun Tetangga di salah satu desa di Kudus. Sebuah kerukunan yang tercipta secara rapi dan terstruktur. Umat Hindu juga mendapatkan pendidikan yang layak di bangku sekolah, meski jumlahnya hanya sedikit akan tetapi pihak sekolah memperhatikan kebutuhan siswa yang memiliki latar belakang agama Hindu.17 Anak-anak dari umat Hindu yang masih duduk di bangku sekolah biasanya diletakkan di SD Negeri. Di lain waktu anak-anak yang beragama Hindu diberikan pendidikan keagaaman yang berkaitan dengan Agama Hindu itu sendiri dengan mendatangkan guru ke Sekolah. Perhatian lain juga terlihat pada pendidikan usia dini yang disebut dengan PAUD. Umat Hindu di Kudus mendirikan sebuah PAUD untuk umat Hindu, tempatnya masih berada di rumah warga karena muridnya hanya lima orang. Meskipun demikian semangat untuk tetap belajar mereka tetap ada. Pada sisi sosial lain, antara umat Islam dengan umat Hindu di Kudus memiliki hubungan sosial yang baik atau

17Hasil Wawancara dengan Pak I Putu Dantra pada tanggal 31 Oktober 2018 pukul 14:30.

78

dikenal di Jawa dengan sebutan “sayuk rukun” yakni sikap saling membantu ketika ada tetangga hajatan dan lain sebagainya. Seperti halnya hubungan masyarakat Rahtawu yang masih saling gotong royong ketika ada hajatan atau warga yang kesusahan, tanpa memikirkan latar belakang agama, mereka tetap menghadiri.18 Dalam agama Hindu terdapat beberapa tradisi atau ritual sejak lahir sampai menjelang pernikahan. Untuk melaksanakan tradisi tersebut biasanya mereka mendatangkan tetua Hindu yang ada di Kudus untuk mendoakan. Hubungan antar masyarakat di Kudus yang letaknya semi-perkotaan saat ini di setting untuk hidup secara individualis.19 Selama tidak ada gangguan antar umat beragama maka keadaan hubungan sosial masyarakat tetap harmonis, sebagaimana mestinya hidup berdampingan. Umat Hindu menyetujui dan menghormati sikap masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi sebagai nilai toleransi terhadap umat Hindu. Hal-hal yang sifatnya sederhana (anjuran tidak menyembelih sapi) justru terbentuk masyarakat untuk hidup secara rukun, damai dan harmonis. Sangat berbeda dengan keadaan hubungan sosial masyarakat antara umat Hindu dan Muslim di India Utara terus mengalami konflik.

18Hasil Wawancara dengan Pak Sugiono pada tanggal 12 Agustus 2018 pukul 12 :55. 19Hasil Wawancara dengan Moh.Rosyid pada tanggal 18 Oktober 2018, pukul 13:11. 79

Konflik yang terjadi karena latar-belakang perbedaan agama dan perbedaan persepsi sapi diantara Hindu dan Islam. Sapi sebagai hewan yang memiliki nilai tinggi bagi umat Hindu di India Utara dan sapi sebagai hewan yang halal dan biasa disembelih ketika perayaan Idul Adha bagi umat Islam . Kasus-kasus karena sapi sering terjadi di India Utara, terutama ketika perayaan Idul Adha dan ketika umat Hindu memiliki perayaan atau melakukan ritual tradisi Konflik antara Hindu dan Muslim terjadi selama tahun 1885-1893, 1907-1914, 1917-1918, dalam tiga periode ini terjadi peralihan kekuatan politik bertepatan dengan festival agama mayoritas dari dua komunitas yang ada di India Utara. Aktifitas pemotongan sapi di India Utara ketika Idul Adha menjadikan komunitas Muslim dan komunitas Hindu bersitegang, seperti perlakuan muslim terhadap umat Hindu yang dengan meletakan daging sapi di tempat peribadatan (Pura) dan umat Hindu yang meletakkan babi di Masjid milik umat Muslim.20

6. Kepatuhan Terhadap Wali Masyarakat Kudus sampai saat ini masih menjaga tradisi untuk tidak menyembelih sapi. Secara garis besar sikap yang masih dijaga oleh umat Muslim di Kudus untuk tidak menyembelih sapi adalah sikap patuh terhadap figur Sunan

20G.R. Thursby, “Hindu-Muslim Relations in British India”. (Leiden: E. J Brill, 1975) 73-78.

80

Kudus sebagai seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di Kudus. Tradisi tidak menyembelih sapi telah mengakar kuat pada masyarakat Kudus, oleh karenanya tradisi tidak menyembelih sapi tidak tergerus oleh perubahan dan perkembangan zaman. Justru sikap yang dilakukan oleh masyarakat Kudus dapat menjaga peninggalan Sunan Kudus sekaligus bukti otentik terkait dakwah Sunan Kudus. Sikap masyarakat Kudus yang demikian tidak lain selain untuk menghormati umat Hindu yang masih ada, juga untuk menjaga nilai-nilai dari warisan budaya yang telah ada dalam suatu masyarakat untuk tetap dihargai dan dijaga sepanjang itu tidak bertentangan dengan ajaran dan nilai Islam. Islam memberikan corak dan warna bagi kemajuan peradaban masyarakat Muslim.21 Terdapat kemiripan sikap antara Muslim Mappila Kerala dengan santri Jawa tradisional, keduanya sama-sama berorientasi pada ulama-centric yang sebagian besar berafiliasi dan berketurunan dari guru-guru muslim. Adanya pendidikan formal dan informal seperti halnya di Jawa yang memiliki pendidikan berbasis madrasah dan pendirian beberapa pesantren dengan metode belajar yang sama seperti di Jawa. Metode pembelajaran ini

21Zakiya Darajat. “Warisan Islam Nusantara”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Al-Turas, Vol.XXI No.1 (2015). 81

menekankan pada aspek hafalan, pembelajaran teks-teks Arab dan kepatuhan terhadap Wali yang kebanyakan dari mereka adalah tokoh lokal.22 Kepatuhan terhadap Wali ini diperlihatkan dari sikap masyarakat baik itu ketika melakukan kegiatan ziarah atau melakukan hal sosial yang lain. Persamaan kedua yaitu adanya ritual ‘’ atau ‘Nercha’ suatu bentuk pembagian makanan kepada sesama komunitasnya.23 Kedua kemiripan ini sebagai hasil dari jalinan perdagangan India Selatan dengan Asia Tenggara, model muslim kawasan Pantai khususnya kawasan pantai Utara Jawa. Komunitas Muslim Kerala menyebarkan pengaruh kebudayaan yang kuat bagi muslim Asia Tenggara, Jawa khususnya. Model tradisi yang berkembang di Jawa, menurut Snouck Hurgronje sebagai bentuk pengaruh dari komunitas muslim yang berasal dari Dekkan. Pengaruh komunitas muslim Dekkan terhadap masyarakat Asia Tenggara terwujud pada sebuah tradisi maulud Nabi.24 Keruntuhan Majapahit menjadi eksekusi awal

22Ibid.,Mark Woorward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Cet-2 ,… 88. 23Slametan untuk penyebutan masyarakat Jawa dan Nercha sebagai penyebutan masyarakat Kerala. 24Maulud Nabi sebuah peringatan hari kelahiran Nabi Muhhamad SAW juga perayaan Muharram atas meninggalnya Hussain yang awalnya berasal dari masyarakat Syi’ah tetapi juga dijalankan oleh masyarakat Sunni termasuk di Asia Selatan. Pada proses formulasi kerajaan Islam menguasai kehidupan keagamaan di Jawa Tengah dengan sangat kompleks.

82

penghancuran bentuk kerahiban (ecclesiastical) Hindu- Budha dan segala hal yang berhubungan dengan mereka. Wali sebagai orang yang mengenal Allah, karena pencapaian tersebut wali diberikan kekuatan khusus dari Tuhan atau disebut juga sebagai sebuah anugerah dari Tuhan.25 Meskipun sering dikecam oleh fundamentalis dan modernis pembaharu, penghormatan terhadap Wali dan makam Wali memainkan peran yang sentral. Sejak dari Maroko sampai Indonesia, makam Wali diyakini memiliki sumber barokah, makam-makam Wali tersebut mengundang banyak tamu untuk didatangi dan memperoleh barokah. Barokah yang diperoleh dapat digunakan untuk tujuan tertentu dari pengobatan, pengamanan posisi yang menguntungkan dan juga untuk meningkatkan daya spiritual pengunjung dalam menjalankan ibadah karena ingat terhadap kematian yang akan datang. Seorang Wali memiliki ikatan yang kuat dengan kehidupan keagamaan Islam sehingga penghormatan serta sejarah yang saling berkaitan tidak dapat dipisahkan.26

25 Mark Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan… 104. Carra de Vaux menjelaskan bahwa Wali diberikan sebuah anugerah dari Tuhan berupa pembebasan hawa nafsu.

26Qomari. “Wali Dalam Pandangan Jawa", Gelar. Vol. 5 No.1 Juli 2007. 83

Sikap penghormatan terhadap Wali memilliki kaitan penting dengan rumusan Sufisme eksoterik. Nicholson menyebut Sufisme sebagai bentuk filsafat keagamaan (bentuk Islam rakyat). Sufisme memang memiliki hubungan yang kuat dengan pemikiran agama Jawa, terutama kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan penghormatan terhadap orang mati, barokah dan ziarah.27 Orang Jawa meyakini bahwa Wali memiliki kramat,28di Jawa dan di berbagai belahan dunia yang lain, Wali sebagai seorang yang memiliki kekuasaan untuk memberi berkah dan membantu masyarakat dalam menyelesaikan urusan keduniawian dan keagamaan. Konsep kramat adalah dasar kepercayaan yang berkaitan dengan kehidupan setelah mati dan kultus kematian (cult of the died).29 Di dunia muslim tempat keramat dianggap sebagai tempat yang paling suci terkecuali ka’bah, sedangkan tempat suci lain yang ada di

27Mark Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan… 104. 28Kramat sebagai ajektif yang mencirikan pencapaian religiusitas seorang wali. Dalam bahasa arab ‘‘Keramat’’ berarti sebuah keajaiban- keajaiban yang dimiliki oleh para wali untuk kebaikan maupun sebagai bukti kewalian yang mereka miliki. Ibid., Mark Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan… 258- 260.

29Peacock dalam buku yang ditulis oleh Mark menjelaskan bahwa adanya kehidupan setelah kematian (cult of died) Ibid., Mark Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan… 263. Lihat juga di Ismail, Arifuddin. “Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional di Zaman Modern”. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. (2013).

84

Jawa Tengah yaitu makam Walisongo termasuk makam Sunan Kudus dan beberapa makam keramat lainnya. Ziarah sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau orang tua yang sudah mati, sehingga ketika anaknya datang berziarah, maka anak tersebut akan mendapatkan barokah dari orang tuanya. Peran ziarah ke makam Wali sebagai peribadatan rakyat (dalam Islam untuk mengingat kematian). Kegiatan ziarah ke makam Wali memang sudah umum dilakukan di kalangan masyarakat luas. Wali yang paling umum diharapkan berkahnya adalah Wali pendiri ordo Sufi, syuhada dan Sultan yang shaleh. Masyarakat Kudus dan masyarakat selain Kudus masih melakukan ziarah ke makam Sunan Kudus sebagai bentuk penghormatan. Sunan Kudus sebagai seorang Wali yang menyebarkan agama Islam di Kudus sehingga makamnya dianggap sebagai tempat yang keramat. Masyarakat yang datang untuk berziarah memiliki tujuan agar mendapatkan berkah, bertawasul30 dan beberapa lainnya untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa akan ada kematian, tidak adanya kehidupan yang kekal.

30Tawasul, mengerjakan suatu amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan perantaraan nama seseorang yang dianggap suci dan dekat dengan Tuhan. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet-4, (Jakarta : Balai Pustaka) 1151. 85

Terdapat dua kategori masyarakat yang ada di Kudus, dalam persoalan memegang teguh dan mulai mengikis tradisi tidak menyembelih sapi di Kudus. Kategori pertama, masyarakat yang masih memegang teguh anjuran Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi. Kategori kedua, masyarakat yang perlahan-lahan mulai mengikis kebiasaan masyarakat untuk tidak menyembelih sapi. Kategori masyarakat yang pertama sebagai masyarakat asli Kudus yang sampai saat ini patuh dan taat kepada Sunan Kudus, sedikitnya terdapat empat faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat untuk tidak menyembelih sapi: 1. Pengetahuan masyarakat bahwa sapi sebagai hewan yang beratma dan sifatnya sakral bagi umat Hindu sehingga menjaga untuk tidak menyembelih sapi dan menggantikan dengan kerbau, sebagai salah satu sikap untuk membentuk nilai toleransi di tengah masyarakat. 2. Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun sebagai sikap menghormati peninggalan lelulur. 3. Kesadaran sejarah masyarakat bahwa strategi dakwah Sunan Kudus yang mendekati masyarakat melalui media sapi sebagai peninggalan non-fisik yang harus dilestarikan supaya generasi penerus tidak kehilangan

86

jejak atau latar belakang mengapa di Kudus masyarakatnya tidak menyembelih sapi. 4. Kepatuhan masyarakat terhadap figur Sunan Kudus yang toleran dan bijaksana sehingga menjadi tokoh tauladan yang terus diikuti oleh masyarakat. Kepatuhan masyarakat yang masih dijaga selain tidak menyembelih sapi yaitu berziarah ke makam Sunan Kudus.31

Kategori masyarakat yang kedua, ialah masyarakat pendatang yang berdomisili di Kudus dan perlahan-lahan mulai mengikis kebiasaan masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi, sedikitnya terdapat empat faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat pendatang untuk menghilangkan tradisi tidak menyembelih sapi antara lain:

1. Masyarakat yang menganggap jika tradisi tidak menyembelih sapi yang berlaku di Kudus sudah tidak relevan dengan zaman. 2. Masyarakat Muslim selain paham Nahdliyin, karena Muslim Nahdliyin mendominasi di Kudus. 3. Masyarakat pendatang yang lebih menyukai tekstur daging sapi daripada tekstur daging kerbau. 4. Lebih banyak yang memelihara atau memiliki peternakan sapi daripada kerbau, hal ini karena

31 Sri Indrahti, Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, (Semarang: CV. Madina, 2012) 76-78. 87

perawatan kerbau lebih membutuhkan banyak air daripada sapi.

Dua kategori masyarakat Kudus ini, biasa dikotakkan dengan sebutan Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Akan tetapi, pada Kudus bagian Wetan pun masih banyak masjid yang ketika Idul Adha menyembelih kerbau, seperti di Masjid Nganguk Wali yang letaknya berada di timur Kali Gelis. Meskipun terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat yang tetap mempertahankan dan masyarakat yang mengikis, keduanya dapat berjalan selaras selama itu tidak menyebabkan konflik. Masyarakat Kudus memiliki sikap permisif terhadap hal-hal baru sehingga sifatnya bebas melakukan apapun selama itu tidak mengganggu keharmonisan dalam hubungan sosial masyarakat.

B. Upaya Pelestarian Peninggalan Sunan Kudus 1. Kearifan Lokal dalam Wujud Kuliner Suatu tradisi akan tetap lestari jika masyarakat pendukungnya masih menggunakan dalam kehidupan sehari-hari, terus menerus dan tidak tergerus oleh zaman. Masyarakat Kudus sebagai masyarakat yang menghormati dan menghargai jasa Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam, sebuah ajaran toleransi masih mengakar kuat dalam hati masyarakat Kudus. Ajaran toleransi yang bermula dari penggantian daging sapi

88

menjadi daging kerbau. Pada kenyataannya masyarakat Kudus saat ini sangat akrab dengan daging kerbau dibandingkan dengan daging sapi, oleh karenanya olahan yang berbahan pokok dari daging kerbau pun dilestarikan dalam berntuk makanan sebagai berikut: a. Nasi Jangkrik Nasi Jangkrik terdiri dari nasi dan daging saja. Nasi Jangkrik hanya dijual di Kudus, letaknya di sebelah utara Menara. Resep dari Nasi Jangkrik sendiri sudah dipatenkan di Menara terkait dengan komposisi dan cara memasak (step by step) jika tidak sesuai maka akan berbeda rasanya, ketika ada event tradisi Buka Luwur atau khaulnya Sunan Kudus,32 resep dari Nasi Jangkrik digunakan. Uniknya, yang memasak dari Nasi Jangkrik tersebut adalah kaum laki-laki dan kemudian ibu-ibu mendapat bagian membungkus saja. Pembungkusan Nasi dan daging kerbau ini masih tradisional yaitu dengan menggunakan daun jati yang diikat dnegan bambu atau anyaman jerami.

b. Soto Kudus (Soto Kebo) Soto Kudus, tidak jauh berbeda dengan soto pada umumnya akan tetapi yang khas di sini adalah daging yang digunakan merupakan daging kerbau. Kuah dari

32Furqon Ulya Himawan, “Berkah Keberagaman Nasi Jangkrik”. Media Indonesia (2011) 9. 89

Soto Kudus sendiri memiliki aroma rempah yang kuat, aroma cengkeh lebih mendominasi. Soto Kudus terkenal di berbagai daerah, oleh karenanya Soto Kudus menjadi trade mark kuliner kota Kudus. Masyarakat Kudus lebih akrab dengan sebutan Soto Kebo kemudian digantikan dengan sebutan Soto Kerbau lalu mengalami reduksi nama kembali menjadi Soto Kudus dan dikenal oleh masyarakat luar dengan sebutan Soto Kudus. Soto Kerbau mulai diperjual belikan sejak tahun 2000 dengan tambahan bumbu daun melinjo dan kuahnya tidak diberi santan.33 Dalam semangkuk soto kerbau terdiri dari nasi, irisan daging kerbau, tauge, kubis, daun kucai, kemudian di siram dengan kuah soto dan ditaburi bawang goreng serta tambahan perasan jeruk nipis.

c. Sate Kerbau Sate kerbau sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sate pada umumnya, hanya saja sate kerbau berbahan daging kerbau sehingga memiliki tekstur yang lebih tebal dibandingkan sate ayam dan sate kambing. Serta

33Putu Fajar Arcana, Jejak Toleransi dalam Pindang Kerbau https://travel.kompas.com/read/2014/12/29/112700427/Jejak.Toleransi.dal am.Pindang.Kerbau diakses Pada Tanggal 4 November 2018 Pukul 11:49. Lihat juga Furqon Ulya Himawan, “Berkah Keberagaman Nasi Jangkrik”. Media Indonesia (2011): 9.

90

tekstur daging kerbau sendiri berserat dan cenderung keras jika dibandingkan dengan daging sapi.34 Dalam mengolah daging kerbau untuk bahan sate memang diperlukan teknik khusus dalam memasak sehingga menghasilkan tekstur daging yang lembut, legit dan enak. Teknik yang digunakan yaitu sebelum dimasak, daging terlebih dahulu disayat untuk diambil urat-uratnya. Setelah itu, bagian daging diiris tipis kemudian daging dicacah dengan palu sampai lunak. Kuliner sate kerbau bukan hanya dijual di Kota Kudus saja, akan tetapi kuliner sate kerbau dapat ditemui di Kota Demak bahkan kuliner sate kerbau juga terkenal di Jakarta. Kuliner sate kerbau dalam festival kuliner yang diadakan di Jakarta di bandrol dengan harga 85.000 per porsi.

d. Pindang Kerbau Pindang Kerbau sejenis kuliner sayur yang hampir mirip dengan rawon akan tetapi memiliki tekstur air yang sedikit cair dengan warna yang lebih terang dari rawon. Bahan dan bumbu yang terdapat pada pindang kerbau sendiri adalah sebagai berikut yang antara lain daging kerbau sebagai bahan utama, bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, terasi,

34 Furqon Ulya Himawan, “Berkah Keberagaman Nasi Jangkrik”. Media Indonesia (2011): 9. 91

keluwek, santan dan garam dilengkapi dengan daun melinjo segar ketika dihidangkan. Penjualan Pindang Kerbau sangat familiar di masyarakat, baik dari masyarakat Kudus sendiri maupun dari masyarakat dari luar kota. Sebuah peninggalan toleransi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dalam bidang ekonomi.35

e. Uyah Asem Uyah Asem merupakan olahan daging kerbau yang dibumbui kemudian dimasak hingga airnya meresap habis, tekstur dagingnya empuk seperti rendang tetapi tidak berkuah dan tidak terlalu bertabur banyak rempah, hanya berbentuk daging saja dengan rasa asam dan bertekstur lembut. Daging yang digunakan harus menggunakan daging kerbau, jika tidak menggunakan daging kerbau maka rasanya tidak akan enak.36 Kelima kuliner di atas merupakan kuliner yang mengandung nilai kearifan lokal dan nilai toleransi. Strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus memang memiliki dampak yang luar biasa di masa

35https://travel.kompas.com/read/2014/12/29/112700427/Jejak.To leransi.dalam.Pindang.Kerbau diakses pada tanggal 5 November 2018 pukul 12:06. 36Hasil wawancara dengan Bapak Mohammad Aslim Akmal pada tanggal 5 September 2018 pukul 11:35.

92

kontemporer. Rasa toleransi dan rasa menghargai umat Hindu yang diajarkan oleh Sunan Kudus, saat ini mampu membentuk masyarakat yang memiliki sikap sosial yang dijunjung tinggi. Setiap serat daging kerbau pada kuliner yang ada terdapat nilai-nilai toleransi yang diwariskan oleh Sunan Kudus. Sajian Kuliner yang disediakan di Kudus bukan hanya semata-mata untuk dinikmati oleh lidah melainkan juga harus dinikmati oleh hati, supaya menjadi artefak peninggalan tradisi untuk menjaga sikap toleransi di Kudus yang sudah berjalan sejak abad ke-15. Nilai toleransi memanglah bukan sebesar porsi yang disajikan pada setiap kuliner yang berbahan pokok daging kerbau melainkan sebuah nilai yang harus dirawat dan ditanam secara terus menerus, melalui kuliner ini lah salah satu upaya untuk mempertahankan bagaimana strategi dakwah Sunan Kudus yang harus diteladani dan tetap dihormati.

2. Event dengan Menu Daging Kerbau a. Tradisi Buka Luwur Tradisi Buka Luwur merupakan sebuah tradisi penggantian kain kelambu makam Sunan Kudus. Tradisi Buka Luwur dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 10 Muharram, Tradisi Buka Luwur sejenis khoul yang sudah umum dilakukan oleh masyarakat 93

Jawa sebagai bentuk penghormatan kepada seorang Wali atau Kyai yang memiliki peran di suatu daerah.37 Proses yang dilakukan dalam prosesi Tradisi Buka Luwur diawali dengan khataman Qur’an,38 ceramah, pembacaan tahlil dan doa bersama, dan diakhiri dengan bancaan.39 Bancaan atau Berkatan yang disediakan ketika Tradisi Buka Luwur ialah sebungkus Nasi Jangkrik dengan Uyah Asem, sebuah olahan daging kerbau yang secara khusus dimasak dengan garam dan asam Jawa.40 Melalui adanya Tradisi Buka Luwur menarik perhatian masyarakat dan menjadi media pemersatu antara Muslim dan non-Muslim. Perusahaan Rokok yang berada di Kudus biasanya menyumbangkan beberapa ekor hewan kerbau untuk Menara Kudus, menjadi donatur tetap setiap tahun, termasuk juga beberapa Perusahaan lain yang ada di Kudus. Esensi yang terdapat pada Tradisi Buka Luwur sebagai sebuah ekspresi masyarakat dalam dinamika tindakannya, agar meneladani Sunan Kudus dalam

37Furqon Ulya Himawan, “Berkah Keberagaman Nasi Jangkrik”. Media Indonesia (2011): 9. 38Pembacaan Al-Qur’an tanpa melihat atau disebut dengan metode menghafal. 39Nur Said, Revitalizing The Sunan Kudus’ Multiculturalism in Responding Islamic Radicalism in Indonesia, Kudus : QIJIS (Qudus International Journal of Islamic Studies), Vol. 1 No. 1 (2013). 40Sri Indrahti, Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, (Semarang: CV. Madina, 2012) 102.

94

hidup bermasyarakay dan membiasakan bersedekah. Tradisi Buka Luwur dilakukan secara turun temurun dan dari generasi ke generasi.41

b. Acara Hajatan Pengantin Setiap hajatan pernikahan yang diselenggarakan di Kudus menggunakan menu dengan bahan pokok daging kerbau. Kebiasaan masyarakat Kudus dalam menjaga tradisi untuk tidak menyembelih sapi berlaku pada acara pribadi setiap masyarakat. Salah satunya ialah hajatan pernikahan, di mana catering yang melayani untuk konsumsi saat pesta pernikahan hanya menyediakan dagiang kerbau sebagai bahan pokok makanan. Jika pun tidak ada daging kerbau opsional lainnya yaitu daging ayam bukan daging sapi. Hal ini karena penjualan daging kerbau mendominasi di pasar tradisional yang ada di Kudus.

c. Hari Raya Idul Adha Hari Raya Idul Adha merupakan hari raya kedua setelah Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam. Pada perayaan Hari Raya Idul Adha mayoritas masyarakat Kudus menyembelih kerbau bukan sapi. Tidak

41Dandung Budi Yuwono, Konstruksi Sosial Atas Warisan Budaya Sunan Kudus (The Social Construction of Sunan Kudus Culural Legacy), LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi, Vol. 03. No. 1. 95

terpetakkan antara Kudus Wetan maupun Kudus Kulon, kerbau masih mendominasi dalam perayaan Idul Adha. Ada pun masyarakat yang tidak menyembelih kerbau pada umumnya adalah pendatang yang mulai berangsur-angsur menggantikan kerbau dengan sapi. Tetapi, jika masyarakat asli Kudus sendiri tetap mempertahankan untuk menyembelih kerbau.

C. Persepsi Masyarakat Kontemporer terhadap Sapi dan Hubungan Sosial Masyarakat Persepsi masyarakat Kudus yang saat ini mayoritas penduduknya beragama Islam menganggap sapi sebagai hewan yang secara fiqih boleh untuk disembelih. Menyembelih sapi bukan lagi menjadi hal tabu bagi masyarakat Kudus, akan tetapi masyarakat asli Kudus justru memilih untuk tidak menyembelih sapi sebagai wujud toleransi dan menjaga hubungan sosial secara baik dengan umat Hindu yang ada di Kudus. Sikap masyarakat yang masih mempertahankan tradisi tidak menyembelih sapi, saat ini mampu membentuk hubungan sosial masyarakat yang damai dan terhindar dari konflik. Hubungan yang terjalin dari berbagai etnis dan perbedaan agama yang ada di Kudus. Memilih untuk tidak menyembelih sapi sebagai sikap bijak dalam skala kecil dalam masyarakat Kudus. Masyarakat Kudus yang tidak

96

menyembelih sapi, masih dapat mengkonsumsi daging sapi dengan membeli daging sapi secara langsung di pasar tanpa harus mengubah tradisi masyarakat Kudus yang telah berlangsung secara turun temurun sejak masa Islamisasi di Kudus. Kebiasaan masyarakat Kudus untuk tidak menyembelih sapi sebagai ikon dan kearifan lokal di Kudus. a) Sikap Tepo Sliro (Toleransi) Konteks Kontemporer Masyarakat Jawa memiliki anggapan bahwa semua agama baik, berdasarkan pemikiran yang demikian maka seluruh agama mengajarkan sikap yang budi luhur dan pembersihan diri atau kesucian rohani, tidak ada agama yang tidak mengajarkan kedua hal tersebut sehingga muncul sikap hormat terhadap semua agama.42 Sikap untuk saling menghormati tersebut memberikan dampak terhadap hubungan sosial yang baik karena tidak adanya rasa permusuhan yang timbul antar masyarakat. Agama sebagai pernyataan yang utuh dari manusia sehingga agama memiliki nilai yang sangat berharga.43 Bagi masyarakat Jawa, agama bagian dari pembangunan segi kualitatif pada diri manusia supaya

42Mohammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Cet-1 (Yogyakarta: LESFI, 2002) 1. Lihat juga Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis Cet-1, (Jakarta : Perspektif, 2005) 49- 52. 43 Mohammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Cet-1 (Yogyakarta: LESFI, 2002) 4-6. 97

menjadi manusia yang seutuhnya. Di samping sebuah agama, masyarakat juga memiliki sebuah sistem nilai budaya (cultural value system) dalam kehidupan yang memiliki pengaruh cukup efektif. Sistem nilai budaya terbentuk dari nilai-nilai budaya terkait konsep yang hidup dalam alam pikiran sebuah masyarakat yang dianggap sebagai hal yang bernilai, berharga, penting dan memiliki fungsi sehingga menjadi sebuah pedoman yang memberikan arah dan orientasi bagi kehidupan. Nilai-nilai budaya ada sejak turun temurun sehingga mengakar kuat dalam jiwa masyarakat.44 Antara agama dengan sistem nilai budaya memiliki keterkaitan yang erat, agama sebagai sebuah asas dalam kehidupan sedangkan sistem nilai budaya sebagai seperti cincin yang pernah melingkari kehidupan. Sikap Tepo Sliro atau toleransi yang dilakukan oleh masyarakat Kudus sebagai salah satu bukti peninggalan non-fisik Sunan Kudus yang berkaitan dengan strategi dakwah. Tepo Sliro sendiri dilakukan untuk menghargai umat Hindu. Sikap Tepo Sliro dalam masyarakat Jawa sebagai sebuah bentuk usaha menempatkan diri pada keadaan orang lain sehingga mengerti mengapa orang tersebut dalam keadaan dan hubungan tersebut. Sikap

44 Mohammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Cet-1 (Yogyakarta: LESFI, 2002) 8.

98

Tepo Sliro tidak akan mudah menyalahkan apa yang dilakukan oleh seseorang.45 Tepo Sliro atau Toleransi sebagai sikap saling menghargai adanya sebuah perbedaan sehingga tercipta keadaan yang harmonis dan terbebas dari konflik antar etnis dan agama. Sikap toleransi yang dilakukan oleh Sunan Kudus untuk menarik perhatian masyarakat Hindu supaya umat Hindu tertarik untuk masuk Menara. Sikap toleransi yang dilakukan oleh Sunan Kudus bukan hanya untuk menghormati umat Hindu yang ada di wilayah Kudus melainkan seluruh umat Hindu yang ada di Jawa. Kuatnya pengaruh Hindu di Jawa memerlukan strategi dakwah yang bijaksana, maka digunakanlah media sapi sebagai hewan yang dihormati oleh umat Hindu. Sikap Tepo Sliro atau toleransi dari masyarakat telah membentuk pluralisme agama di masyarakat. Pluralisme agama dari masyarakat Kudus ini terlihat dari bang unan Menara Kudus yang berhadapan dengan Kelenteng (Hok Ling Bio), hal demikian menunjukan keragaman agama, etnis dan budaya dari masyarakat Kudus.46 Keragaman

45Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta : Inti Dayu Press, 1984) 52. Lihat juga Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) 21.

46Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian, (Jakarta: Fikr Rabbani Group, 1998) 22. Lihat juga Husaini, Aldian. Pluralisme Agama HARAM, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2005) 31. 99

agama menjadi sebuah isu yang dominan setiap zaman, jika sebagian masyarakat Jawa menganggap bahwa semua agama adalah baik, namun sebagian masyarakat lain akan mengklaim bahwa agama yang dianutnya merupakan agama yang paling benar dan penganut agama lain tidak akan mendapatkan space surga. Sikap seperti demikian biasa disebut ‘doctrine of salvation’ (doktrin keselamatan). Anggapan yang seperti demikianlah yang akan menimbulkan konflik di masyarakat.47 Islam yang mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persamaan dan menghargai adanya perbedaan sebagai modal dalam kehidupan sosial. Di samping itu, dalam agama Hindu juga diajarkan nilai toleransi. Toleransi yang ada pada umat Hindu lebih kepada toleransi yang diberikan kepada sesama umat Hindu itu sendiri. Sebuah toleransi dalam beribadah atau bersembahyang, terdapat perbedaan antara cara sembahyang umat Hindu yang ada di kota dan umat Hindu yang ada di desa. Umat Hindu yang ada di desa melakukan ibadah dengan datang ke Pura dan beberapa simbol yang dibawa yaitu kembang, dupa, air dan api.

47Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, Cet- 1 (Jakarta: Perspektif, 2005) 1-2.

100

Sedangkan untuk umat Hindu yang hidup di kota biasa melakukan sembahyang dengan cara bertapa (Yoga).48 Sikap “Tepo Sliro” atau Toleransi selalu menjadi trend yang hangat untuk dibicarakan terlebih lagi dengan beragam agama dan etnis yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap toleransi yang dijaga oleh umat Islam Kudus terhadap umat Hindu khususnya ialah dengan tidak menyembelih sapi, mengingat sapi sebagai hewan yang disucikan dan dihormati. Akan tetapi, konteks toleransi yang dibutuhkan oleh umat Hindu saat ini ialah pendirian tempat Ibadah bagi umat Hindu. Pendirian tempat Ibadah bagi umat Hindu (Pura), diinginkan pada suatu area yang mana terdapat tempat ibadah bagi seluruh agama yang diresmikan oleh Pemerintah.49 Seperti di Bali dan Boyolali yang memiliki sebuah area, di mana area tersebut berdiri seluruh tempat ibadah bagi semua agama. Sedikit Kabupaten yang memiliki konsep demikian.

48 Putu Setia, Kebangkitan Hindu : Menyongsong Abad ke-21 Cet- 1, ( Bali: Manikgeni, 1993) 82-89. 49Hasil wawancara dengan Pak Moh. Rosyid pada tanggal 18 Oktober 2018, pukul 13:11 dan Hasil wawancara dengan Pak I Putu Dantra pada tanggal 31 Oktober 2018, pukul 14:30. 101

b) Komunitas Tali Akrap Secara terminologi Komunitas Tali Akrap adalah kepanjangan dari Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan Pantura. Komunitas ini sebagai forum bertukar pendapat dan bertukar fikiran yang sifatnya lintas agama, dengan dasar untuk mengerti dan mengenal penganut ajaran agama yang berbeda di Kabupaten Kudus. Komunitas Tali Akrap sendiri didirikan sejak tahun 2014, dipelopori oleh Moh. Rosyid yang saat ini juga merangkap sebagai Ketua Komunitas Tali Akrap. Saat ini Komunitas Tali Akrap memiliki Kantor resmi di Desa Dersalam, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus.50 Dibentuk dan dikembangkan Komunitas Tali Akrap di Kabupaten Kudus bertujuan untuk meningkatkan nilai toleransi antar umat beragama. Menanamkan sikap untuk saling mengerti dan memahami adanya sebuah perbedaan. Sesuai dengan namanya yaitu forum lintas agama, maka anggota dari komunitas ini juga memiliki latar belakang yang berbeda-beda menurut kepercayaan yang ada di lintas Pantura khususnya Kabupaten Kudus sendiri. Terdiri dari perwakilan dari agama Islam, perwakilan dari agama Hindu, perwakilan dari agama Kristen, perwakilan dari agama Katolik, perwakilan dari

50Hasil wawancara dengan Pak Moh. Rosyid dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2018, pukul 13:11.

102

agama Buddha dan juga termasuk perwakilan agama Kepercayaan yang masih ada sampai saat ini. Masing-masing dari perwakilan tersebut akan hadir dalam jadwal rutinan yang diadakan setiap bulan atau ketika ada kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan yang dilakukan pun bermacam-macam, diantaranya kegiatan sosial, kunjungan, dan juga hanya sekedar guyub rutin seiap bulan. Seperti contoh ketika semua anggota telah berkumpul diadakan sosialisasi yang berkaitan dengan BPJS, sosialisasi Jasa Raharja dan penyuluhan untuk mendapatkan Bantuan Hukum. Hal-hal yang sifatnya umum akan tetapi sosialisasi di masyarakatnya kurang, maka di Komunitas Tali Akrap akan diperjelas. Kemudian juga dalam setiap tahun diadakan beberapa kali kunjungan ke umat minoritas yang ada di tempat lain.51 Adanya Komunitas Tali Akrap menjelaskan yang masih ragu-ragu dan mengeratkan tali silaturahmi antar umat beragama khususnya dalam konteks toleransi. Komunitas Tali Akrap sebagai sebuah wadah atau forum umat minoritas berkeluh kesah dan sebagai wadah menemukan solusi atas masalah yang ada di masyarakat.

51Hasil wawancara dengan Pak I Putu Dantra pada tanggal 31 Oktober 2018, pukul 14:30. BAB VI PENUTUP

A. KESIMPULAN Strategi dakwah sosio-kultural yang digunakan oleh Sunan Kudus dengan media sapi memberikan implikasi yang besar terhadap masa kontemporer baik dalam bidang sosial- keagamaan, bidang perekonomian, dan bidang sosial- masyarakat. Dalam bidang sosial-keagamaan, Islam menjadi agama mayoritas di Kudus. Hubungan antara umat Islam dengan umat Hindu terjalin harmonis. Dalam bidang perekonomian anjuran tidak menyembelih sapi oleh Sunan Kudus, menjadi peluang usaha masyarakat Kudus untuk membuka usaha kuliner dengan daging kerbau sebagai ikonnya. Dalam bidang sosial-masyarakat, terbentuk masyarakat Pluralis yang sadar akan pentingnya sikap toleransi terhadap umat minoritas dan sikap menghargai akan perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat, sehingga dijadikanlah sebuah perbedaan tersebut sebagai keselarasan dalam hidup bermasyarakat. Beberapa faktor yang melatar belakangi sikap masyarakat untuk tetap melestarikan kebiasaan tidak menyembelih sapi antara lain adalah kesadaran masyarakat terhadap sejarah Kota Kudus yang tidak boleh menyembelih

103

104

sapi yang diajarkan oleh Sunan Kudus dan tidak dilupakan oleh generasi penerus sebagai wujud toleransi terhadap umat Hindu. Faktor kedua, kebiasaan masyarakat untuk tidak menyembelih sapi terus menerus dilakukan sejak abad ke-15 dan pengenalan figur Sunan Kudus yang toleran sejak dini. Faktor ketiga, figur Sunan Kudus sebagai teladan masyarakat dalam bersikap.

B. IMPLIKASI Sikap masyarakat Kudus yang sadar akan toleransi dalam suatu masyarakat menjadi spirit keBhinnekaan masyarakat Indonesia untuk hidup harmonis dan terhindar dari konflik etnis dan agama. Perbedaan bukan kendala untuk bersatu melainkan sebuah romansa kehidupan yang seharusnya diselaraskan. Namun, pada sisi lain sikap dan nilai toleransi yang ada di masyarakat seharusnya diupayakan semaksimal mungkin supaya umat minoritas di daerah Kudus tidak merasa terdiskriminasi, secara sosial hubungan terjalin dengan baik.

C. SARAN Sikap toleransi perlu diketahui oleh masyarakat karena itu perlu adanya penelitian lain untuk memperbanyak wacana sikap toleransi yang diajarkan Sunan Kudus, sehingga masyarakat dapat membacanya. DAFTAR PUSTAKA

SUMBER WAWANCARA

Pada Tanggal 2 September 2018 Pukul 15:10 Nama : Katon Nursito (67 tahun). Alamat : Desa Kramat RT.04/RW07, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus Pekerjaan : Penjaga Masjid Nganguk Wali / Buruh Serabutan

Pada Tanggal 29 Agustus 2018 Pukul 11:50 Nama : Sayuto (58 tahun) Alamat : Desa Wonosoco RT.02/RW.03, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Pekerjaan : Tani (Kyai Masjid Wonosoco)

Pada Tanggal 7 September 2018 Pukul 10.15 Nama : Setiyo Budi (40 tahun). Alamat : Desa Wonosoco RT 03/ 01 Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Pekerjaan : Kepala Desa Wonosoco

Pada Tanggal 5 September 2018 Pukul 13:39 Nama : Zaki Aftoni (36 tahun). Alamat : Jl. Dr. Wahidin, Kedungpaso RT 03/RW 02 Demangan, Kota Kudus. Pekerjaan : Penjaga Langgar Bubrah (Juru Kunci)

Pada Tanggal 12 Juli 2018 11:01 Pukul dan 12 September 2018 Pukul 13:10 Nama : Edy Supratno (43 tahun). Alamat : Desa Panjang, RT 05/RW.02, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus. Pekerjaan : Tokoh Masyarakat, Penulis Buku Djamhari Penemu Kretek

105

Pada Tanggal 18 Januari 2018 Pukul 09:20 dan 12 Juli 2018 Pukul 14:01 Nama : Denny Nurhakim Alamat : Desa Karangmalang RT 07 RW 04 Pekerjaan : Staf Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus

Pada Tanggal 18 Oktober 2018 Pukul 13:11 Nama : Moh. Rosyid Alamat : Dukuh Kayuapu Wetan RT 03/RW. 05, Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae Pekerjaan : Ketua Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan (Tali Akrap)

Pada Tanggal 12 Agustus 2018 Pukul 12:55 Nama : Sugiono (52 tahun) Alama : Desa Rahtawu RT. 03/ RW. 01, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus Pekerjaan : Kepala Desa Rahtawu

Pada Tanggal 21 Agustus 2018 Pukul 10:20 Nama : Edi Sutanto (52 tahun). Alamat : Desa Kajar, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus Pekerjaan : Tukang Becak

Pada Tanggal 21 Agustus 2018 Pukul 10:40 Nama : Su’udi (60 tahun) Alamat : Desa Padurinan, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus (Asal Pati, Kayen, Desa Pesagi) Pekerjaan : Wiraswasta

Pada Tanggal 21 Agustus 2018 Pukul 11:00 Nama : Maulana (33 tahun). Alamat : Madurekso, Jl. Menara, Kabupaten Kudus Pekerjaan : Tukang Foto di Depan Menara

Pada Tanggal 13 Agustus 2018 Pukul 10:20 Nama : Aslim Akmal (56 tahun). Alamat : Jl. KH. M. Arwani RT 05/ RW 01, Krandan, Kabupaten Kudus. Pekerjaan : Tokoh Masyarakat

106

Pada tanggal 31 Oktober 2018 Pukul 14:30 Nama : I Putu Dantra (57 tahun). Alamat : Desa Rendeng, Kabupaten Kudus. Pekerjaan : Ketua PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)

BUKU Abdullah, Rachmad . Walisongo; Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482). Solo : Al-Wafi, 2015.

Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Cet-3. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet-11, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998.

Bappeda, Laporan Akhir Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kabupaten Kudus, Kudus: Pemerintah Kabupaten Kudus, 2011.

BPS Kabupaten Kudus. Kabupaten Kudus Dalam Angka 2018, Kudus Regency in Figures. Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2018.

------. Kecamatan Kota Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Bae Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan GebogKudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Jekulo Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

107

------. Kecamatan Mejobo Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Jati Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Undaan Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Kaliwungu Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

------. Kecamatan Dawe Kudus Dalam Angka 2017, Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, 2017.

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa, Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

Cantles, Lance. Religion, Politics, and Economic Behavior in Java : The Kudus Cigarette Industry. Yale University, 1967.

Damami, Mohammad. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Cet-1, Yogyakarta: LESFI, 2002.

Darmayasa, Keagungan Sapi Menurut Literatur Veda, Bali : Maligenik, 1989.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet-4, Jakarta : Balai Pustaka.

G Pigeud, TH dan H.J. De Graaf. Kerajaan- Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers, 1986.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press, 2008.

108

Hassan, E.M Nadjib dan Maesah Anggi. Menara Menjaga Tradisi Nusantara, Kudus: Yayasan Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus, 2015.

Hardjowirogo, Marbangun. Manusia Jawa, Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Hidayat, Surahman. Islam, Pluralisme, dan Perdamaian, Jakarta: Fikr Rabbani Group, 1998.

Indrahti, Sri. Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, Semarang: CV. Madina, 2012.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Cet-I. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2013.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia, Jilid- 2, Terj. Winarsih Partaningrat Arifin dkk. Jakarta: Gramedia, 2005.

Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004. ------. Pesantren dan Walisongo: Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan. Dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, Amin, M. Darori 224-225. Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Mas’udi. “Antropologi Walisongo: Akulturasi Budaya Islam terhadap Keberagaman Masyarakat Kudus dalam Diseminasi Harmoni Ajaran Islam Sunan Kudus”. Dalam Prosceeding AICIS XIV, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI dan STAIN Samarinda, 200. Balikpapan: Annual International Conference on Islamic Studies XIV, Paper AICIS XIV, 2014.

Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta : Lkis, 2005.

109

Munandar, Agus Aris Istana. Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke-14-19 Cet-1, Jakarta : Komunitas Bambu, 2005.

Nasdian, Fredian Tonny. Sosiologi Umum, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015.

Notosusanto, Nugroho. Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 2008.

Nuha, Ulin. “Tradisi Ritual Buka Luwur”, Jurnal SmaRT, Vol.2, No.1 55-59.

Osman, Fathi Muhamed. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, Jakarta: Demokrasi Project, 2012.

Poesponegoro, Marwati Djoenoed. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Purwadi. Babad Demak: Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005.

Rahmah, Yuliar Aini. “New Interperpretation on Prohibition to Slaughter Cow for Kudus Society, Paul Ricouer’s Social Hermeneutic Perspective”. (Thesis) Semarang: UIN Walisongo, (2016).

Said, Nur. Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Brillian Media, 2010.

Saksono,Widji, Mengislamkan Tanah Jawa, Bandung :Mizan, 1995. Salam, Solichin. Ja’far Shadiq, Sunan Kudus. Kudus: Menara Kudus, 1986.

Salam, Solichin, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam, Kudus: Menara Kudus, 1977.

Setia, Putu. Kebangkitan Hindu : Menyongsong Abad ke-21 Cet- 1, Bali: Manikgeni, 1993.

110

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulasman. Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung : Pustaka Setia, 2014.

Sunaryo, Thomas. Kretek Pusaka Nusantara. Jakarta: Serikat Kerakyatan Indonesia, 2013.

Sunyoto, Agus, Walisongo Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka, 2011.

Suparlan, Parsudi. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta : CV. Rajawali, 1984.

Thursby, G.R. “Hindu-Muslim Relations in British India”, Leiden: E. J Brill, 1975.

Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta : PT. Gramedia.

Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, Cet- 1 Jakarta: Perspektif, 2005.

Wahid, Abdurrahman. Pribumisasi Islam, in Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hinga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan Pustaka, 2016.

Wisarja, I Ketut. Ghandi dan Masyarakat tanpa Kekerasan. Surabaya: Paramita, 2007.

Woorward, Mark. Java, Indonesia and Islam. Vol.3. New York: Springer Dordrecht Heidelberg London, 2011.

Woodward, Mark. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Cet-2 Yogyakarta: LKiS, 2004.

111

JURNAL :

Achidsti, Sayfa Aulia. “Strategi Penyebaran Agama Islam pada Masyarakat Jawa”, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol.10, No.2 (2012) 203 -205.

Arif, Syaiful. “Strategi Dakwah Sunan Kudus”, Driyarkara Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat, Jurnal ADDIN, Vol. 8. No. 2. (2014).

Ashadi, Ashadi. “Correlation Between the Mosque and Traditional House Architecture in Kudus, Indonesia”. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, International Journal of Built Environment and Scientific Research, Vol.0, No.01 (2017) 24.

Ashadi. “Menara Kudus sebagai Aksis Mundi: Menelusuri Komunitas Kudus Kuno”. Universitas Muhammadiyah Jakarta: Jurnal NALARs, Vol. 6 No. 1.

Bull, Ronald Lukens. “The Traditions of Pluralism, Accomodation, And Anti-Radicalism in the Pesantren Community”, USA: University of North Florida, Journal of Indonesian Islam, Vol.2, No. 1 (2006), 2.

Darajat, Zakiya. “Warisan Islam Nusantara”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Al-Turas, Vol.XXI No.1 (2015) 72.

Dijk, Kees Van dan P. Nas. “Dakwah and Indigenous Culture; The Dissemination of Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Globalization, Localization and Indonesia”, Leiden: KITLV, (1998).

Gustami, S.P dan Supatmo. “Seni Bangunan Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya”. Yogyakarta: Pascasarjana UGM Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah, Jurnal Humanika.

112

Gustami, S.P. dan Supatmo, “Architecture of the is A Representasion of Culture Acculturation”. Pascasarjana UGM: Jurnal Humanika 18, No.4 (2005): 575.

Hakim, Lukmanul. “Pandangan Islam tentang Pluralitas dalam Konteks Kerukunan Umat Beragama”, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. Jurnal Harmoni. (2011) 11.

Himawan, Furqon Ulya. “Berkah Keberagaman Nasi Jangkrik”. Media Indonesia (2011) 9.

------, Furqon Ulya. “Semangkuk Toleransi dari Kudus”. Media Indonesia (2011) 9.

Hindun. “Syingir: Transformasi Puisi Arab ke Dalam Puisi Jawa”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Humaniora, Vol.24, No.1 (2012) 75.

Indahtri, Sri, Siti Maziyah dkk. “Dinamika Islamisasi di Kudus Menggali Nilai-Nilai Ketokohan Para Sunan Pada Wisata Ziarah di Kudus”. Semarang: Universitas Diponegoro. (2013).

Ismail, Arifuddin. “Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional di Zaman Modern”. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. (2013).

Kasdi, Abdurrohman. “The Role of Walisongo in Development Islam Nusantara Civilization”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol.11, No.1 (2017) 17.

Kholid, Idham. “Walisongo: Eksistensi dan Perannya dalam Islamisasi dan Implikasinya terhadap Munculnya Tradisi-Tradisi di Tanah Jawa”. Cirebon: Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jurnal TAMADDUN, Vol.4 Ed.1 (2016) 6-7.

113

Mas’udi, “Genealogi Walisongo : Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol. 8, No.2.

Moqsith, Abd. “Tafsir atas Islam Nusantara (Dari Islamisasi Nusantara Hingga Metodologi Islam Nusantara”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. 15, No. 2. (2016).

Muttaqin, Zaenal. “Sunan Kudus Legacy On Cross-Cultural Da’wa”. Jakarta : Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. Jurnal Harmoni. (2011) 119.

Nurini. “Kajian Pelestarian Kampung Kauman Kudus Sebagai Kawasan Bersejarah Penyebaran Agama Islam”. Semarang: Universitas Diponegoro. Jurnal TEKNIK, Vol.32 No.1 (2011) 13.

Rosyid, Moh. “Genealogi Walisongo: Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN, Vol.8, No.2 (2014) 225-227.

------. “Keselarasan Hidup: Beda Agama dan Aliran: Interaksi Nahdliyin, Kristiani, Buddhis, dan Ahmadi di Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal Fikrah, Vol.2, No.1 (2014) 81.

------. “Menguji Kebenaran Local Wisdom sebagai Modal Toleransi: Studi Kasus di Kudus”, Kudus: STAIN Kudus, Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol.4 No.2 (2016) 285-289.

Said, Nur. “Gusjigang dan Kesinambungan Budaya Sunan Kudus”, Kudus: STAIN Kudus, Jurnal Penelitian Islam Empirik, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 6. (2013).

------. “Revitalizing The Sunan Kudus Multiculturalism in Responding Islamic Radicalism in Indonesia”. Kudus:

114

STAIN Kudus Qudus International Journal of Islamic Studies. Vol. 1. (2013).

Said, Nur. “Urgensitas Cultural Sphere Dalam Pendidikan Multikultural: Rekonstruksi Semangat Multikulturalisme Sunan Kudus bagi Pendidikan Multikultural di STAIN Kudus”. Kudus: STAIN Kudus, Jurnal ADDIN Vol.7. No. 1 (2013) 25-28.

Sulistiono, Budi. “Wali Songo dalam Pentas Sejarah Nusantara”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. (2014).

Sulchan, Chakim. “Dakwah dan Dialektika Budaya Jawa dalam Lintasan Sejarah”, Purwokerto: STAIN Purwokerto, Jurnal Komunika Vol-2, No.1 (2008) 42-44.

Suparjo, “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia”. Purwokerto: STAIN Purwokerto, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol.2 No.2 (2008).

Syakur, M. “Tradisi Masyarakat Islam Di Kudus Jawa Tengah”. Semarang: Universitas Wachid Hasyim Semarang. Paper.

Yuwono, Dandung Budi. “The Social Construction of Sunan Kudus Cultural Legacy”. LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Jurnal Studi Masyarakat, Religi, dan Tradisi Vol. 03. No.01 (2017).

Zin, Ab. Aziz Mohd. “Metode Dakwah Walisongo”. Jurnal Ushuludin.

WEB http://bappeda.kuduskab.go.id/document/DATA%20DAN%20ST ATISTIK%202015.pdf Diakses Pada 7 Mei 2018 Pukul 12:01.

115 http://dukcapilkudus.com/berita/grafik-data-kependudukan-per- 27-maret-2-april-2018/ Diakses Pada 7 Mei 2018 Pukul 12: 51. Putu Fajar Arcana, Jejak Toleransi dalam Pindang Kerbau https://travel.kompas.com/read/2014/12/29/112700427/ Jejak.Toleransi.dalam.Pindang.Kerbau Diakses Pada Tanggal 4 November 2018 Pukul 11:49. Andy Trisandy, 5 Kuliner Daging Kerbau yang Bisa Kamu Temukan di Demak, Endes Banget, https://www.idntimes.com/food/dining-guide/andry- trisandy/5-kuliner-daging-kerbau-yang-bisa-kamu- temukan-di-demak-endes-banget/full Diakses Pada tanggal 2 November 2018 Pukul 8:24

Badri , Zet. Tradisi Bubur Suro dan Buka Luwur Makam Sunan Kudus. Jakarta: ICC Jakarta, 2017 dapat dilihat di https://icc-jakarta.com/tradisi-bubur-suro-dan-buka- luwur-makam-sunan-kudus/ Diakses Pada 14 November 2018 Pukul 7:20. Seputar Kudus. Sutikno, Satu-satunya Dalang Wayang klithik Desa Wonosoco. Kudus: Seputarkudus.com, 2014 dapat dilihat di http://seputarkudus.com/2014/09/sutikno- satu-satunya-dalang-wayang.html Diakses Pada 14 November 2018 Pukul 7:25. Koran Jakarta. Merasakan Kearifan Lokal dalam Sajian Kuliner. Jakarta: Koran Jakarta, 2018. Dapat dilihat di http://www.koran-jakarta.com/merasakan-kearifan- lokal-dalam-sajian-kuliner/ Diakses Pada 14 November 2018 pukul 7:29.

116

LAMPIRAN 1

Gambar 6.1 Penyembelihan Kerbau di Masjid Jami’ Baiturrahim 1 (dokumentasi pribadi)

Gambar 6.2 Penyembelihan Kerbau di Masjid Jami’ Baiturrahim 2 (dokumentasi pribadi)

117

LAMPIRAN 2

Gambar 6.3 Masjid Menara Kudus Simbol Pluralisme Agama. Gambar didapatkan dari Putudananjaya, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/lebih-dekat- masjid-menara-kudus/ diakses pada 9 November 2018 pukul 05.05.

Gambar 6.4 Umat Agama Bahai dan Sedulur Sikep Samin Menghadiri Perayaan Natal di Kudus. Gambar didapatkan dari Dwi Layla, http://jateng.tribunnews.com/2017/12/26/umat-agama-bahai-dan-sedulur-sikep- samin-hadiri-perayaan-natal-di-kudus diakses pada 9 November 05.10.

118

LAMPIRAN 3

Gambar 6.5 Tradisi Buka Luwur. Gambar didapatkan dari https://budayajawa.id/tradisi-bubur-suro-dan-buka-luwur-makam-sunan-kudus/ diakses pada 9 November 2018 pukul 05.46.

Gambar 6.6 Pertunjukan Wayang Klitik Oleh Pak Sutekno. Gambar didapatkan dari http://seputarkudus.com/2014/09/sutikno-satu-satunya-dalang-wayang.html diakses pada 9 November 2018 pukul 06.00.

119

Wawancara Pak Sutekno Wawancara dengan Pak Su’udi

Wawancara dengan Pak Maulana Wawancara Pak Sugiono

120

Wawancara Pak Aslim Akmal

Wawancara Pak Moh. Rosyid

Wawancara dengan Pak Setiyo Budi

Wawancara dengan Pak Edy Supratno

121

122

123

124

125

126

127

128