A Story of Tomorrow
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/2249868. Rating: General Audiences Archive Warning: No Archive Warnings Apply Fandom: EXO (Band) Character: Kim Joonmyun | Suho, Wu Yi Fan | Kris Additional Tags: Friendship, Tragedy, Angst Stats: Published: 2014-09-03 Words: 4409 A Story of Tomorrow by Liana_DS Summary “Aku bukan leader.” “Jika bicara realita, sekarang aku juga bukan leader, Yi Fan.” -Tentang hari esok yang tidak terbaca dan goodbye stage.- Notes [Disclaimer] Wu Yi Fan dan semua karakter dari SM Entertainment bukan milik saya, tetapi milik Tuhan dan diri mereka sendiri. Lirik ‘Miracles in December’ adalah milik penciptanya. Plot sepenuhnya dari imajinasi saya dan saya tidak menarik kepentingan komersial apapun dari penulisan FF ini. [Warning] Para member saling memanggil dengan nama asli, tetapi di narasi, nama yang dipakai adalah nama panggung, mohon jangan bingung (karena bagi yang bukan EXO-L, mungkin ini agak membingungkan). No bash, dan ini sama sekali bukan ramalan (Future!AU). See the end of the work for more notes I try to find you, who I can’t see I try to hear you, who I can’t hear (EXO – Miracles in December) 28 Desember 2016 Konser tunggal EXO yang bertajuk ‘The Lost Planet’ kembali digelar di Guangzhou, Cina. Para penampilnya—siapa lagi kalau bukan sebelas pemuda tampan dari planet luar tata surya—sedang dalam perjalanan menuju lokasi konser. Van mereka sangat ramai karena penghuninya sibuk bercanda untuk menghilangkan tegang. “Kkaebta.” Baekhyun memulai permainan sambung kata. Chanyeol mengeluarkan tawa khasnya yang seperti monster. Ia menyebutkan satu kata tak bermakna yang terdengar sangat aneh, lalu menunjuk si kulit susu. “Ayo, Hun!” Si magnae mengucapkan kata yang lebih aneh (jangan lupa cadelnya) dan menyentuh lengan salah satu kakaknya. “Lu Han-hyeong, giliranmu.” Luhan tertawa malu. “Haruskah? Ini permainan yang sangat bodoh.” “Bodoh, tapi menyenangkan! Daripada kita tegang!” Baekhyun membela diri. Chanyeol, Chen, dan Lay menyetujui. Lay bahkan menyuruh Luhan cepat-cepat menjawab. “Setelah ini giliranku. Ayo cepat, supaya aku bisa menyebutkan kataku!” “Baik, baik,” Luhan menyebutkan katanya, “Silakan, Xing.” Lay dengan bahagia meneruskan suku kata terakhir Luhan. “Kyungsoo!” D.O. menggeleng cepat sambil tertawa tertahan. Ia menunjuk Tao di sebelahnya—yang kontan menjawab dengan sama semangat dengan Lay. Tao kemudian menepuk bahu Kai. “Giliranmu!” Kai diam saja. Tao menepuk bahunya lagi. “Ayo, Jongin!” “Hm... aku pas. Joonmyun-hyeong saja yang jawab.” ucap Kai sambil tersenyum lemah. Tao berkedip-kedip cepat keheranan. “Kau kenapa?” Suho yang ada di dekat Kai mengamati sang adik dengan seksama. Aneh. Sebagai magnae berstatus lead dancer, biasanya semangat Kai selalu tinggi. “Jongin, kau sakit?” “Tidak, Hyeong. Cuma agak capek, tetapi aku tidak apa-apa.” “Oh... Kau mengantuk?” “Sedikit. Lanjutkan saja mainnya. Ayo, Hyeong.” Chanyeol dan Sehun menelengkan kepala mereka ke arah Kai. “Kelihatannya dia benar-benar sakit,” Chanyeol kemudian menoleh ke bagian belakang van, “Minseok-hyeong, ada yang butuh dipijat, nih!” “Heh?” Xiumin melepas earphonenya, “Siapa?” Kai segera menggeleng. Bisa mati dia kalau dipijat Xiumin—biarpun badannya kecil, tenaga Xiumin dapat menghancurkan kaleng cola. Suho tertawa. “Ya sudah. Biarkan Jongin istirahat supaya bisa tampil maksimal nanti. Sehun, ambilkan bantal kecil di dekatmu.” Patuh, Sehun menyerahkan bantal leher pada Suho. Dia tidak bicara apa-apa, tetapi mukanya jadi serius, mengkhawatirkan partner-in-crime-nya. Kai memasang bantal itu di leher, lalu memejamkan mata. Suho meletakkan telunjuknya di depan bibir. Para member mengangguk mengerti. Permainan berlanjut. Suho menyebutkan katanya, lalu kembali ke Xiumin, dan berputar lagi ke Baekhyun. “Kkaebsong!” “Sst!!!” Chen dan D.O. sama-sama menegur Baekhyun yang volume suaranya susah diatur itu, “Jongin sedang tidur!!!” Baekhyun manyun. “Tapi Jongin itu ‘kan susah bangunnya. Biar aku berteriak, dia juga tak akan dengar.” “Tetap saja. Kasihan, tau, dia kecapekan.” Baekhyun hendak protes lagi, tetapi tidak jadi karena Xiumin sang tetua berwibawa menyilangkan telunjuknya di depan bibir. “Iya deh, maafkan aku.” Kata-kata aneh kembali bersambung. Sehun sempat berhenti cukup lama karena tidak menemukan kata yang lucu. Kakak-kakaknya menggoda dan hampir menimbulkan keramaian lagi, tetapi D.O. setia membungkam mereka. Suho tersenyum saja, membiarkan Kai bersandar di bahunya tanpa sadar. Ia selalu merasa tenang jika para membernya bahagia seperti sekarang. Ia menyempatkan diri bermanja dalam kebahagiaan itu supaya mampu bertahan. Perjalanan mereka sulit dan Suho-lah yang paling kesulitan, memikul tanggung jawab atas apa yang dilakukan sepuluh anggotanya di hadapan publik. Meski kadang ada member yang tersandung masalah, Suho tidak pernah benar-benar menyalahkan mereka. Semua lelah, semua ingin melampiaskan rasa lelah itu, hanya tidak tahu bagaimana cara yang tepat. Yah, satu hal yang bagus adalah EXO, sejak kehilangan satu member, jadi semakin dekat satu sama lain. Tidak ada rahasia, semua berbagi supaya dapat saling menguatkan dan tidak ada yang lepas lagi. “Hyeong,” D.O. memanggil Suho—dialah member yang koneksinya paling kuat dengan sang leader tunggal, “Kenapa?” “Tidak. Aku hanya sedang senang.” “Senang kenapa?” “Karena—“ Pertanyaan D.O. tidak pernah terjawab. Bruak! Crash!!! “Jongin, awas!!!” “Xing! Yi Xing!!! Ukh, uhuk!” “Jongdae di mana?!” “Minseok-hyeong terjebak, tolong dia...” “S-sakit... Yeol-hyeong...” “Kyungsoo... dia masih di mobil...” 28 Desember 2016 Sebuah kecelakaan lalu-lintas yang melibatkan dua mobil dan satu van terjadi di Guangzhou, Cina. Lima belas orang tewas, tiga orang luka berat, dan dua orang luka ringan akibat peristiwa ini. Sebelas korban tewas berasal dari van yang mengangkut personel boy group Korea EXO yang hendak menyelenggarakan konser tunggal ‘The Lost Planet’. 2 Januari 2017 Jika dibolehkan, Suho ingin disuntik mati saja. Atau menggantikan tempat pengemudi van supaya ia tewas bersama sepuluh membernya. Ya. Sebelas orang di van tewas, tetapi hanya sepuluh dari mereka yang merupakan member EXO. “Pasien ini sulit berkoordinasi. Keadaan mentalnya tidak baik. Bahkan keluarganya tidak bisa mendekatinya karena ia cenderung melukai orang-orang yang ada di dekatnya.” “Aku tahu ini berat, tetapi mekanisme pembelaan egonya juga jelek, sehingga keadaannya memburuk. Apa yang harus kita lakukan?” “Diazepamnya tidak bisa masuk, pula. Kita harus panggil dokter lagi!” Para perawat yang bicara dalam bahasa Mandarin di luar kamar tidak diacuhkan Suho. Apalah yang dia pedulikan saat ini selain para membernya yang telah pergi. Apa yang harus ia katakan pada orang tua para member? Bagaimana ia mempertanggungjawabkan kematian sepuluh rekannya? Bagaimana ia dapat mengisi sebelas posisi jika ia sendirian? Bagaimana dengannya? Sanggupkah ia bertahan tanpa sepuluh membernya dalam bayang-bayang kenangan empat tahun ke belakang? Sehun, Kai, Tao. Magnae manja yang akhir-akhir ini makin penurut dan dewasa. D.O. ‘Ibu’ pengganti yang menjadi wakil leader. Chanyeol, Chen, Baekhyun. Beagle line yang mencerahkan suasana dengan mengesampingkan kelelahan mereka sendiri. Lay. Boneka Mashi Maro yang memiliki kebaikan seluas samudera. Luhan dan Xiumin. Hyeong tertua yang menjalankan tugas mereka dengan kebijaksanaan masing-masing. Suho ingin mati. Suho sungguh ingin mati daripada disiksa kesepian. Tak ada yang dapat Suho ajak berbagi perasaan. Pertama, karena orang Korea di sini hanya orang tua dan kakaknya—mereka sudah diusir Suho dengan kasar saat pertama menginjakkan kaki di kamar. Kedua, tak ada yang bersama sepuluh member selama dirinya, jadi tentu tak ada yang mengerti kehilangan ini. Samar, Suho mendengar suara ibunya di depan kamar, berbicara dengan seorang pria muda. Dalam bahasa Korea. Aneh. Ini ‘kan di Guangzhou. Siapa yang bisa bahasa Korea selancar— “Akan saya usahakan. Baik. Saya permisi.” Suho kenal betul suara berat itu. Bertahun-tahun bersama pemilik suara ini menanamkan memori yang kuat di kepala Suho. Pintu terbuka. “Mau apa kau?” sambut Suho dingin. Terdengar pintu tertutup setelahnya. Suho harap pintunya tertutup dari luar... sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Orang yang masuk kamar menjawab, “Aku menjengukmu, Joonmyun.” “Jenguk saja mantan membermu yang sudah meninggal, Wu Yi Fan!” Bentakan Suho membuat pria yang bernama Wu Yi Fan itu mematung. Rasa sakit kembali menusuknya. Yi Fan menarik napas dalam. Dia tidak boleh menunjukkan getar dalam suaranya pada Suho. “Aku sudah menjenguk mereka semua,” ucapnya kemudian, datar dan hampa, “Aku juga berusaha menghadiri semua upacara pemakaman, walau tidak sampai selesai.” Dan Yi Fan melihat betapa banyaknya luka di tubuh masing-masing member akibat kecelakaan itu. Ia tak bisa membayangkan sedahsyat apa kecelakaan yang menimpa mereka dan merasa sama buruknya dengan Suho karena tidak ikut mati. Keadaan korban yang hidup malah lebih buruk. “Pergi.” “Tidak akan.” “Pergi kubilang.” “Tidak sampai kau mau makan.” “Aku akan mencabut infusku dan lari kalau kau tidak pergi.” “Jangan coba-coba melakukannya.” Frustrasi karena Yi Fan tidak mengindahkan perintahnya, Suho meraba-raba infusnya, hendak melepas selang tipis itu. Yi Fan cepat tanggap. Ia jauhkan satu tangan Suho dari tangan yang tertancapi infus. Suho memberontak. “Lepaskan aku! Aku ingin melihat para memberku! Jika pengkhianat sepertimu saja bisa menemui mereka, kenapa aku tidak?” Kaki Suho menendang-nendang asal hingga selimutnya tersibak tak karuan. Ia berniat menyingkirkan