3 Bhinneka Wujud

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

3 Bhinneka Wujud Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai 3 Bhinneka Wujud 35 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai Bhinneka wujud mengajak mengamati arsitektur Nusantara dengan langkah pengamatan yang bertahap, tidak sekaligus dan serentak. Ini berarti bahwa pengamatan akan diawali atas bagian demi bagian arsitektur, sejauh mungkin secara meluas dan mendalam. Langkah pengamatan ini kemudian dilanjutkan dengan langkah perangkaian bagian sehingga bagian-bagian yang dulunya saling berdiri sendiri, sekarang berkait dan melebur menjadi satu kesatuan bangunan. Sebuah arsitektur adalah bangunan yang memiliki nilai atau mutu lebih, dan itulah yang dilakukan dalam langkah selanjutnya, yakni ‘membaca bangunan’. Apabila dengan membaca dapat ditemukan makna-makna dan nilai-nilai, maka bangunan ini dipandang sebagai bangunan yang bernilai dan bermutu, bangunan ini termalih (ter-transformasi) menjadi arsitektur. Pengamatan atas bagian-bagian bangunan akan mencakup pengamatan atas bagian atap, dinding dan kolong. Dalam memerikan masing-masing bagian, dibatasi pada pemerian tampilan. Tampilan melibatkan geometri, komposisi/estetika, bahan, unity lewat laras ataukah kontras. Platonic solid menjurus ke kontras, tetapi yang non-platonic, seperti: lonjong, berpotensi untuk laras. Memang, penggunaan bahan-bahan bangunan organik sering mengecoh penilaian yakni, seringkali dikatakan sebagai laras. Seusai mengamati atap, kita akan melakukan pengamatan atas bagian yang ternaungi oleh atap. Di situ bisa bagian dinding ruangan atau ‘tubuh’ bangunan, serta bagian kolong bangunan atau ‘kaki’ bangunan. Oleh karena dalam arsitektur bisa berlaku satu ditambah satu tidak sama dengan dua, melainkan sama dengan satu, maka pengamatan dilanjutkan 36 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai dengan menempatkan bangunan sebagai satu kesatuan gugus bangunan. Dalam langkah ini dilakukan pengamatan atas sistem struktur dan konstruksi dari bangunan mengingat struktur dan konstruksi inilah yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian, tidak banyak berbeda dari perangkaian balok dengan tiang. Seusai kegiatan ini, kita akan melakukan pengamatan atas bangunan sebagai kesatuan antara rupa dengan konstruksi. Hal ini dilakukan sebagai jalan untuk mengungkap makna demi makna dari bangunan yang diamati. Dengan terungkapnya makna itu, maka bangunan termalih menjadi arsitektur, mengingat makna merupakan satu mutu atau nilai yang bisa diungkapkan oleh bangunan. Atap Arsitektur adalah pernaungan atau perteduhan. Pemikiran nenek-moyang kita yang tinggal di daerah yang tropik dan rawan gempa, bisa jadi didasarkan dari kenikmatan dan kenyamanan saat bernaung atau berteduh di bawah pohon yang rindang. Pohon ini memiliki cabang dan ranting yang membentang meluas dari batang induknya; dan dari ranting-rantingnya tumbuhlah daun demi daun yang rimbun. Pohon mangga, sukun dan beringin adalah contoh dari pohon yang rindang itu. Pohon rindang ini lalu menjadi metafora, model atau panutan dalam membuat bangunan yang menjadi naungan atau teduhan. Melalui berbagai malihan (transformasi) dan ragam (variasi) maka nenek-moyang kita berhasil menciptakan naungan yang demikian kaya wujudnya, utamanya adalah atap bangunan. Dari relief di candi Borobudur (abad 8M) dapat disaksikan sejumlah wujud atap bangunan, dan saling berbeda satu dari yang lain. Atap menjadi bagian bangunan 37 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai yang senantiasa langsung terlihat, dan itu berarti bahwa bagian ini adalah yang bisa diamati dan dipelajari dengan langsung. Berhadapan dengan arsitektur Nusantara seringkali terarah perhatiannya pada atap bangunan. Ini dapat dimaklumi karena memang arsitektur Nusantara tampil dengan demikian banyak wujud atap. Kita memang belum pernah dengan sungguh-sungguh menghitung berapa banyak wujud atap yang ada di arsitektur Nusantara ini, yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Di saat arsitektur Nusantara yang satu dijejerkan dengan yang lain, dengan segera tersaksikan wujud atap yang berbeda, dan tentu tak ada keberatan untuk mengawali pengamatan atas wujud arsitektur Nusantara ini dengan mengenal wujud-wujud atap. Tentu saja, hal ini dilakukan dengan melakukan penjejeran atap yang satu dengan yang lain sehingga tersaksikan pula varian atau variasi dari rupa atap di Nusantara. Oleh karena konsep arsitektur Nusantara adalah naungan atau teduhan, maka atap menjadi unsur utama dari arsitektur. Dapat dikatakan bahwa masing-masing arsitektur Nusantara pasti memperlihatkan atap bangunannya; jadi, tidak ada atap datar yang hanya membuat bangunan kelihatan sebagai bangunan yang tanpa atap. Dalam hal geometri dasar dari atap arsitektur Nusantara ini, kita dapat menyebut prisma, limas (atau: piramida) dan kerucut sebagai bangun dasar dari atap arsitektur 38 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai Prisma Arsitektur Aceh yang berada di bagian paling barat Nusantara adalah arsitektur dengan bangun atap yang paling umum dikenal, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di banyak tempat di mancanegara. Umoh Aceh ini memiliki atap bangunan yang hari ini sangat dikenal sebagai atap yang memiliki bangun atap pelana. Atap ini adalah bentukan geometri yang berupa prisma, yakni dua lembar lempengan yang diletakkan dalam kedudukan miring serta saling bertemu di bagian atas lempeng membujurnya. Balok bubungan menjadi tempat yang penting bagi lempeng atap karena di situlah lempeng atap bertumpu. Bubungan atap itu sendiri ditopang oleh dua tiang utama. Tiang utama ini tidak berperan sebagai tiang untuk perdindingan bangunan; meskipun berada di dalam ruangan tetapi tiang utama itu tidak berkaitan dengan pembagian ruangan di dalam bangunan. Bentukan prisma dari bangunan ini memiliki ukuran yang mampu menaungi sampai enam keluarga, sehingga dapat dikatakan sebagai atap prisma yang berukuran besar. Atap prisma ini juga sepenuhnya merupakan lempengan yang menutupi ruangan bagi tempat tidur keluarga-keluarga yang ada di sana. Atap ini tidak menjulur ke bawah sehingga menjadi dinding bagi ruangan keluarga tersebut, sehingga dapat dengan gampang dikenali manakah atap bangunan dan mana pula yang adalah dinding ruangan. Di sini lalu atap itu dapat dipadankan bagaikan kepala sedang ruangan keluarga sebagai tubuh dari bangunan Umoh Aceh. Diduga kuat pada mulanya atap ini memakai ilalang, rumbia atau sirap sebagai bahan penutupnya, tetapi seiring hadirnya bahan-bahan baru, sekarang tidak sedikit yang memakai seng gelombang. Arsitektur Bugis, Banjar, Lamin, Betang, Minahasa 39 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai dan masih banyak arsitektur Nusantara lainnya yang memiliki atap prisma ini, yakni atap prisma yang bagaikan kepala bangunan karena di bawah atap itu ada dinding ruangan sehingga bagaikan tubuh bangunan. Tentu saja, tidak semua arsitektur itu memiliki ukuran seperti Umoh Aceh, karena juga tidak sedikit yang hanya ditempati oleh satu keluarga. Dapat dikatakan tak banyak berbeda dari atap umoh Aceh adalah atap rumah lamin, rumah betang dan rumah panjang yang ada di Kalimantan. Dibanding dengan yang Aceh maka yang Kalimantan ini bisa memiliki ukuran panjang yang luar biasa yakni lebih dari seratus meter. Ada sebuah foto jaman Hindia Belanda yang memperlihatkan bangunan di Kalimantan yang demikian panjang tetapi tidak sepenuhnya lurus bubungannya; terlihat bubungannya agak berkelok bagaikan ular yang berkelok merayap. Ini mengisyaratkan bahwa bangunan yang panjang itu terbentuk dari sebuah rumah panjang yang dari waktu ke waktu ditambah gugus bangunannya sehingga menjadi semakin panjang saja ukurannya. Di Kalimantan, ukuran lebar atap kurang lebih tidak banyak berbeda dari yang Aceh, demikian pula dengan lereng atau kemiringan lempeng atapnya, tetapi tidak pada kedua bagian ujung bubungannya. Di Kalimantan Timur khususnya, di kedua ujung bubungan maupun di bagian tengah bubungan dengan sengaja dipasang hiasan yang panjangnya hampir mencapai dua meter, hiasan yang khas Kalimantan Timur. Dengan adanya dinding ruangan, maka lereng atau kemiringan atap umoh Aceh relatif landai; sudut kemiringannya di bawah 45 derajat. Melalui ukuran panjang-lebar lempeng atap yang lebih kecil –hanya mampu menaungi satu buah gugus bangunan untuk satu 40 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai keluarga — serta dengan lereng atau kemiringan atap yang lebih curam daripada yang Aceh, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur Minahasa dan Gorontalo di Sulawesi bagian utara, serta arsitektur Melayu di Sumatra bagian timur dan Malaysia (dan bahkan lebih luas lagi, hingga Thailand, Vietnam dan Philipina). Jikalau kemiringan lempeng itu menjadi lebih curam lagi, namun hanya maksimum sekitar enampuluh derajat saja, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur arsitektur Bugis, Bone, Makasar, Salayar dan sekitarnya. Mengenai arsitektur Bugis dan sejenisnya ini, di banyak pesisir di Nusantara dapat saja kita temukan bentukan seperti ini, mengingat masyarakat Bugis ini adalah pelayar yang handal. Lebih lanjut dengan atap dari arsitektur Bugis ini. Jikalau bangun prisma dari atap ini memperlihatkan bangun persegi empat pada tampang samping, maka pada tampang depan bangunan akan ditemui bentukan yang segitiga. Dinding segitiga ini memperoleh sebutan yang bermacam-macam, akan tetapi maksud dari sebutan itu sama saja yakni sebagai penahan angin. Dimaksud dengan penahan angin adalah pengendali aliran angin, bukan unsur yang menghalangi angin masuk ke dalam bangunan. Penahan angin dari arsitektur Bugis dan sejenisnya menyandang makna yang tersendiri, dan itu berlaku bagi semua bangunan yang di Indonesia. Lempeng dinding yang segitiga
Recommended publications
  • Ungkapan Bentuk Dan Makna Filosofi Atap Masjid Raya Sumatera Barat, Padang, Indonesia
    Supriatna, Handayani, Ungkapan Bentuk dan makna Filosofi Ata Masjid Raya Sumatera Barat Volume 4 – Nomor 2 – Juni 2021 p-ISSN 2621-1610 e-ISSN 2620-9934 http://ejournal.upi.edu/index.php/jaz - e-mail: [email protected] doi.org/10.17509/jaz.v4i2.32964 UNGKAPAN BENTUK DAN MAKNA FILOSOFI ATAP MASJID RAYA SUMATERA BARAT, PADANG, INDONESIA 1 Article History: Cecep Supriatna First draft received: Sri Handayani2 24 Maret 2021 1 Program studi Arsitektur S-2, FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia Revised: 2 Program studi Pendidikan teknologi Agro Industri, FPTK Universitas Pendidikan Indonesia, 26 April 2021 Bandung Indonesia Accepted: Jl. Dr. Setiabudhi No. 207 Bandung, Indonesia, 40154 10 Juni 2021 Email: [email protected] First online: [email protected] 10 Juni 2021 Abstract: Islamic architecture appears not only as mere ornament, but is a media that plays Final proof received: an important role that has its own charm for every visitor/user, because a good design must Print: respond to geography, location, climate, size, culture and others. The dome-shaped mosque 15 Juni 2021 building has thrived in the Islamic world and has become a symbol of expression of the structure and identity of a mosque. However, in the last two decades, many mosques without Online domes have appeared in Indonesia. Mosques with modern geometric elements are 15 Juni 2021 increasingly standing majestically in several areas in Indonesia. Some architects began to Jurnal Arsitektur ZONASI eliminate the dome element in the mosque, but still displayed Islamic values. One of the is indexed and listed in mosques without a dome is the Great Mosque of West Sumatra.
    [Show full text]
  • LAPORAN PENELITIAN No : 09/Pen.Arsitektur/UKP/2011 STUDI STRUKTUR DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL SUKU BATAK TOBA, MINANGKABAU
    LAPORAN PENELITIAN No : 09/Pen.Arsitektur/UKP/2011 STUDI STRUKTUR DAN KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL SUKU BATAK TOBA, MINANGKABAU DAN TORAJA Oleh: Esti Asih Nurdiah, ST., MT. JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS KRISTEN PETRA SURABAYA 2011 i HALAMAN PENGESAHAN 1. a. Judul : Studi Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Suku Batak Toba, Minangkabau dan Toraja. b. Bidang Ilmu : Struktur Arsitektur c. Nomor Penelitian : 09/Pen.Arsitektur/UKP/2011 2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : Esti Asih Nurdiah, ST., MT. b. Jenis Kelamin : Perempuan c. Pangkat/Golongan/NIP : IIIB / 08-005 d. Jabatan Akademik : Asisten Ahli e. Fakultas/Jurusan : FTSP / Arsitektur f. Universitas : Universitas Kristen Petra 3. Jumlah Tim Peneliti : - 4. Lokasi Penelitian : Universitas Kristen Petra 5. Kerjasama dengan Instansi Lain : - 6. Jangka Waktu Penelitian : 1 tahun 7. Biaya : a. Sumber dari UK Petra : Rp. 1.640.650 b. Sumber Lainnya : - Total : Rp. 1.640.650 Surabaya, 12 September 2011 Mengetahui, Ketua Jurusan Arsitektur Ketua Peneliti Agus Dwi Hariyanto, ST., M.Sc. Esti Asih Nurdiah, ST., MT. NIP. : 99-033 NIP. : 08-005 Menyetujui, Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Ir. Handoko Sugiharto, MT. NIP: 84-028 ii ABSTRAK Keindahan arsitektur nusantara telah dikenal luas dan banyak dieksplorasi sejak masa Kolonial atau penjajahan bangsa asing di kepulauan nusantara. Arsitektur nusantara sebagian besar merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun berdasarkan adat dan tradisi setempat. Proses pendirian rumah tradisional sejak awal penentuan lokasi hingga didirikan dan dihuni, tidak pernah lepas dari pengaruh adat, kepercayaan dan tradisi. Oleh karena itu, arsitektur nusantara seringkali disebut juga sebagai Arsitektur Tradisional atau Rumah Tradisional.
    [Show full text]
  • Surau Nagari Lubuk Bauk Dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan Dan Makna Ornamen
    Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan dan Makna Ornamen Ivo Giovanni, Isman Pratama Nasution Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini membahas bangunan surau di Sumatera Barat yaitu Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh adat pada bangunan surau berdasarkan tinjauan arsitektur dan makna ornamennya. Selain itu, dilakukan perbandingan antara surau dengan bangunan tradisional Minangkabau lainnya, yaitu rumah gadang dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Hal ini dilakukan agar unsur-unsur adat yang terlihat pada surau dapat diuraikan dengan jelas, sehingga dapat diketahui makna dari setiap unsur adat tersebut dan peran surau bagi masyarakat Minangkabau pada saat surau tersebut dibangun. Berdasarkan kajian ini dapat diketahui bahwa Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan memiliki bangunan yang berbeda. Surau Nagari Lubuk Bauk memiliki bentuk yang bertingkat, karena hal ini dipengaruhi oleh aliran adat Koto Piliang yang menganut paham aristokrasi, sedangkan Surau Gadang Bintungan tidak bertingkat karena dipengaruhi oleh aliran adat Bodi Caniago, yang menganut paham demokrasi. Selain itu ragam hias ornamen yang terdapat pada surau ini juga memiliki makna yang mengandung pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Kata Kunci: Adat Minangkabau, Bangunan tradisional, Surau Gadang Bintungan, Surau Nagari Lubuk Bauk. Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan of West Sumatra: A study of Architectural Style and the Meaning of the Ornament. Abstract This article discusses about surau (little Mosque) in West Sumatra, namely Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan. The aim of this article is to see the tradition influences in the buildings, based on their architectures and the meaning of ornaments.
    [Show full text]
  • Bracing Sebagai Teknologi Kontrol Seismik Pada Struktur Rumah Tradisonal Sumatra
    E-ISSN : 2621-4164 Vol. 01 No 02 Desember 2018 BRACING SEBAGAI TEKNOLOGI KONTROL SEISMIK PADA STRUKTUR RUMAH TRADISONAL SUMATRA Mohammad Ihsan 1Universitas Bakrie *)Kawasan Rasuna Epicentrum, Jl. H. R. Rasuna Said No.Kav. C-22, RT.2/RW.5, Karet Kuningan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12940 Abstract Sumatra Island is earthquake hazard area in Indonesia, because two continental plates generate subduction zone. In Sumatra there are many traditional house, function of traditional house is dwellings as well as community meeting halls because that have cultural and historical values. The ancestors have also learned a lot about natural events they have experienced, from this experience they can make earthquake resistant structures for large earthquake, the result is that the Traditional Houses can still stand firm. One of the seismic control technologies in Sumatran traditional house is bracing. In this paper the structure of Sumatran Traditional Houses modeled by numerical analysis and analyzed dynamically behavior from its structure. The analysis revealed the secrets of seismic bracing control in the structure of the Sumatran Traditional House. Keywords: Sumatran Traditional House, Earthquake, Bracing Abstrak Pulau Sumatra merupakan salah satu daerah rawan gempa di Indonesia karena terdapatnya pertemuan dua lempengan benua. Di Pulau Sumatra masih banyak Rumah Tradisional baik yang difungsikan sebagai tempat tinggal maupun sebagai Rumah Adat yang mempunyai nilai budaya dan historis dan seringkali berfungsi sebagi balai pertemuan masyarakat. Para leluhur juga telah banyak belajar dengan kejadian alam yang pernah mereka alami sehingga mereka dapat membuat struktur tahan gempa dan jika terjadi gempa besar Rumah Tradisional masih dapat berdiri kokoh.
    [Show full text]
  • Kajian Awal Keaslian Struktur Dari Arsitektur Tradisional Di Sumatera
    Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 4, 001-008, Februari 2020 https://doi.org/10.32315/sem.4.001 Kajian Awal Keaslian Struktur dari Arsitektur Tradisional di Sumatera Ari Siswanto Korespondensi : [email protected] Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya Abstrak Arsitektur dan struktur dari beberapa tipe rumah tradisional di Sumatera memiliki keaslian yang tidak disadari karena belum banyak penelitian tentang hal tersebut. Keaslian yang tidak mendapatkan pengaruh dari budaya di luar Indonesia karena memang kontekstual dengan budaya dan lingkungan setempat. Rumah tradisional berbentuk panggung menggunakan struktur kayu tanpa paku yang memiliki fleksibilitas gerakan jika terjadi goncangan akibat gempa bumi yang akrab di wilayah Sumatera Bagian Barat. Keaslian arsitektur dan struktur tradisional di Sumatera merupakan mahakarya di bidang bangunan yang membanggakan dan memperoleh apresiasi mendalam secara global. Sebaliknya, penghargaan dari bangsa Indonesia terhadap arsitektur dan struktur asli Indonesia masih sangat kurang. Beberapa tipe rumah tradisional di Sumatera menunjukkan keaslian arsitektur dan struktur yang mengagumkan dan sesuai dengan prinsip arsitektur dan struktur masa kini. Prinsip dan filosofi struktur bagian bawah asli Indonesia masih tetap relevan dan dapat menjadi inspirasi bagi para arsitek dan ahli struktur secara lokal maupun global. Kata-kunci: arsitektur, keaslian, struktur, Sumatera, tradisional Pendahuluan Hindu, Buddha, Kristen, Islam, Cina dan Eropa (Barat) yang telah mempengaruhi arsitektur Pulau Sumatera dihuni oleh beberapa suku tradisional di Sumatera bahkan di Indonesia. bangsa yang memiliki berbagai tipe arsitektur Walaupun demikian, masih terdapat beberapa tradisional yang telah melekat dengan arsitektur tradisional di Sumatera yang tidak kehidupan mereka selama beberapa generasi mendapatkan pengaruh dari kebudayaan luar, secara turun temurun (Alain & Viaro, 2007; Ari, setidak-tidaknya struktur bagian bawah 2009; Mukhtar, Pangarsa, & Wulandari, 2013).
    [Show full text]
  • Eksistansi Rumah Tradisonal Padang Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Dan Tantangan Jaman
    Simposium Nasional RAPI XI FT UMS – 2012 ISSN : 1412-9612 EKSISTANSI RUMAH TRADISONAL PADANG DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DAN TANTANGAN JAMAN Purwanita Setijanti 1, Johan Silas 2, Susetyo Firmaningtyas 3, Hartatik 4 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Telp. 031 5924301 1Email: [email protected] 2Email: [email protected] 3Email: [email protected] 4Email: [email protected] Abstrak Keberadaan rumah tradisional telah melalui proses yang sangat panjang dan terbukti mampu mengakomodasi kebutuhan penghuninya dan tanggap pada kondisi alam. Akan tetapi seiring dengan perubahan gaya hidup, perubahan iklim dan bencana alam seperti gempa bumi telah menjadi masalah utama rumah tradisional di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan rumah tradisional dianggap tidak mampu lagi mengakomodasikan kebutuhan penghuni, baik dari sisi desain, sosial maupun teknologi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Sebagai sampel penelitian dipilih rumah tradisional Padang, di Propinsi Sumatera Barat. Bangunan rumah taradisional Padang teruji tahan terhadap gempa yang terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2009. Rumah Tradisional Padang tidak dikenal secara luas, masyarakat umumnya lebih mengenal rumah Gadang atau rumah Bagonjong yang juga berasal dari Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini berupa tipologi rumah tradisional Padang yang telah ada dan masih tetap eksis berdasarkan bahan, bentuk, fungsi dan keterkaitan dengan tata nilai-nilai sosial, aspek teknis bangunan dan aspek lingkungan dan iklim setempat diharapkan dapat ditemukan benang merah aspek- aspek normatif pada bangunan rumah tradisional yang perlu dipertahankan. Dengan ditemukannya esensi/inti dari rumah tradisional Padang tersebut diharapkan dapat dikembangkan bentuk arsitektur yang menjawab tantangan perubahan iklim dan jaman namun tetap didasarkan atas norma bangunan tradisional.
    [Show full text]
  • Rumah Gadang As a Symbolic Representation of Minangkabau Ethnic Identity
    International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 1, January 2015 Rumah Gadang as a Symbolic Representation of Minangkabau Ethnic Identity Elda Franzia, Yasraf Amir Piliang, and Acep Iwan Saidi the people of Minangkabau bring their culture and tradition Abstract—Minangkabau is one of the ethnic groups in to their new land. Indonesia. This ethnic group is usually known by rumah makan Tradition is always becoming the base of the Minangkabau padang or traditional food stall with spicy and delicious food in culture. People whose travel always looking for their ethnic it, or by the people’s specific choice of earning their living such as being a seller or entrepreneurs. On the other hand, every group’s society. People need to be rooted to their culture. It ethnic group has a symbol or other visual identity use for their constructs their identity. Therefore the traveler is still identification. Rumah Gadang, the traditional house of connected to their villages and clan, and the traveler is always Minangkabau, is one of the symbolic representations of find the way to go back home. Minangkabau’s self identity. The unique visual form of Rumah Identity related to the cultural characteristic of the ethnic Gadang can be seen in many visual identities of Minangkabau’s people in daily basis, such as for rumah makan padang’s logo, group. Rumah gadang is the traditional house of stall’s identity, corporate identity, or as a virtual identity and a Minangkabau ethnic people. The modernization and profile picture in social network site such as Facebook. This globalization have transferred the rumah gadang into the phenomenon is becoming the visual language in Indonesia’s symbolic position of people’s tradition.
    [Show full text]
  • Sosial Budaya Masyarakat Pariangan Dalam Karya Film Dokumenter “Ishlah”
    1 SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PARIANGAN DALAM KARYA FILM DOKUMENTER “ISHLAH” Nolly Media Putra1 Ediwar dan Gerzon Ajawaila ABSTRAK Karya film dokumenter “Ishlah” merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari peristiwa sosial budaya. gagasan dasar diusung berdasarkan beberapa kebiasan bersama masyarakat nagari Pariangan yang dinilai sebagai ruang sosial, sekaligus wadah bagi semua lapisan masyarakat dalam dalam membina hubungan silaturahmi antar sesama, baik itu kebiasaan sehari-hari ataupun kebiasaan-kebiasan seperti upacara adat bahkan keagamaan (upacara Ratik Tagak dan Maulid Nabi) Tema yang diacu adalah nilai sosial budaya yang terdapat pada setiap kebiasan, selain fungsi dasarnya sebagai wadah spiritual, beberapa dari kebiasaan tersebut juga merupakan sebagai ruang sosial (media) yang mampu mempersatukan hubungan antarsesama dan mempererat hubungan silaturahim. Metode garapan dilakukan melalui riset, pengolahan data, penulisan naskah berupa treatment, proses shooting dan editing. Karya ini dibagi kedalam lima segmen. Bagian pertama memvisualkan geografis daerah, bagian kedua, sistem mata pencaharian, bagian ketiga, memvisualkan unsur relegius dan aktivitas mayarakat (anak-anak belajar mengaji, para pemuda belajar pasambahan dan main koa. Pada bagian keempat menggambarkan upacara Ratik Tagak dan Maulid Nabi. Bagian kelima adalah bagian penutup, menggambarkan beberapa rumah gadang yang telah ditinggalkan bahkan sudah mulai rusak, pada 1 Nolly Media Putra, adalah Mahasiswa Program Pascasarjana ISI Padangpanjang 2 bagian ini juga digambarkan beberapa orang yang sedang memperbaiki rumah gadang yang telah rusak tersebut. Kata Kunci: Dokumenter, Upacara Ratik Tagak, Maulid Nabi, silaturrrahmi, nilai sosial. ABSTRACT Ishlah is a documentary movie wich inspired by local culture. Basic idea contructed by social behaviour of peoples who life in Pariangan this social behaviour contains whole peoples live activity such daily activity and cultural ceremony and religious ceremony.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Gadang
    1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Gadang merupakan rumah komunal masyarakat Minangkabau, rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama lain dengan Rumah Baanjuang. Oleh karena itu, baik dari gaya, hiasan bagian dalam dan luar serta fungsi sosial budaya Rumah Gadang mencerminkan kebudayaan dan nilai ke- Minangkabauan. Rumah Gadang berfungsi sebagai rumah tempat tinggal bagi anggota keluarga satu kaum, yang mana merupakan perlambangan kehadiran satu kaum dalam satu nagari, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk di dalam suku atau kaum yang secara turun temurun dan hanya dimiliki atau diwarisi kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan Rumah Gadang biasanya terdapat dua buah bangunan rangkiang, yang digunakan untuk menyimpan padi. Kata “Gadang” dalam bahasa Minangkabau artinya besar. Maka Rumah Gadang biasa memiliki ukuran besar dan sering digunakan untuk menyelesaikan urusan besar, seperti musyawarah adat dan upacara perkawinan. Rumah Gadang memiliki bentuk seperti rumah panggung dan persegi panjang. Lantainya terbuat 2 dari kayu. Atapnya menonjol dan mencuat ke atas. Biasanya dicat dengan warna coklat tua. Arsitektur Rumah Gadang yang unik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang melihatnya. Rumah Gadang menurut adat dimiliki oleh kaum perempuan yang akan terus diwariskan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya di bawah kewenangan pemimpin kaum atau suku yang lazim disebut Mamak Kaum. Berdasarkan adat Minangkabau, setiap Rumah Gadang didiami oleh keluarga besar pihak istri yang terdiri atas nenek, anak-anak perempuan dan cucu perempuan.
    [Show full text]
  • Penerapan Arsitektur Neo-Vernakular Pada Gedung Wayang Orang Sriwedari Di Taman Sriwedari Surakarta the Application of Neo-Vern
    Jurnal AGORA ISSN 1411-9722 (Print) Vol. 17 No. 2 Desember 2019: 98-103 ISSN 2622-500X (Online) DOI: http://dx.doi.org/1025105/agora.v17i1.7501 PENERAPAN ARSITEKTUR NEO-VERNAKULAR PADA GEDUNG WAYANG ORANG SRIWEDARI DI TAMAN SRIWEDARI SURAKARTA THE APPLICATION OF NEO-VERNACULAR ARCHITECTURE TO THE WAYANG ORANG BUILDING AT TAMAN SRIWEDARI SURAKARTA Aldin Fatih1, A. Hadi Prabowo2, Laksmi Utami3 1) Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti 2,3) Dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti *email: [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Taman Sriwedari merupakan kawasan cagar budaya dan konservasi, serta termasuk kawasan strategis social budaya Kota Surakarta. Dalam hal itu, pemerintah Kota Surakarta ingin merancang sebuah Gedung Wayang Orang yang nanti akan dijadikan sebagai tempat pemantasan kesenian wayang orang rutin dilakukan sehingga terlestarikannya kesenian wayang orang. Pemerintah Kota Surakarta ingin merancang Gedung Wayang Orang nilai estetika yang tinggi, namun tanpa menghilangkan unsur tradisional dari Kota Surakarta agar bisa meninggalkan rasa citra dan kesan pada pengunjung maupun pengguna bangunan. Oleh karena itu, Arsitektur Neo – Vernakular menjadi pilihan yang sangat tepat. Arsitektur Neo – Vernakular bisa diterapkan pada bangunan dari kriteria, karakteristik maupun prinsip yang nantinya akan diterapakan pada bangunan. Dalam tulisan ini membahas bagaimana penerapan Neo Vernakular dapat diterapan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunana pendekatan kualitatif dengan studi literatur serta menganalisi langsung. Hasil pembahasan menunjukan bahwa unsur lokal, adat atau budaya diterapkan pada gubahan massa, bentuk atap maupun ornamen pada bagian bangunan. Kata kunci : Kota Surakarta, Taman Sriwedari, arsitektur neo vernakular, Gedung Wayang Orang.
    [Show full text]
  • Guna Dan Citra Sebagai Wujud Kreativitas Dalam Arsitektur Nusantara Studi Kasus Arsitektur Tongkonan Toraja, Mamasa Dan Batak Toba
    ISSN 2460-7878 (print) - 2477-5975 (Online) jurnalsaintek.uinsby.ac.id/index.php/EIJA Vol 6, No 1, 2020 Guna dan citra sebagai wujud kreativitas dalam arsitektur nusantara Studi Kasus Arsitektur Tongkonan Toraja, Mamasa dan Batak Toba Josephine Roosandriantini Universitas Katolik Darma Cendika, Surabaya, Indonesia. [email protected] Abstrak Arsitektur nusantara yang merupakan hasil ide kreatif dari masyarakat Nusantara, yang cenderung diciptakan hanya dengan material dan peralatan sederhana. Akan tetapi arsitektur nusantara yang hadir dengan identitas kekunoannya, bukan berarti tidak memiliki nilai kreativitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi penerapan teori "Guna dan Citra" dari Mangunwijaya dalam memandang wujud kreativitas dalam arsitekur nusantara. Pengumpulan data dilakukan melalui berbagai kajian literatur untuk menarik kesimpulan tentang bagaimana Teori "Guna dan Citra" diterapkan di Arsitektur Nusantara. Dua objek arsitekur Tradisional, yakni bangunan Tongkonan di Toraja dan Mamasa, serta arsitektur Batak Toba dipilih sebagai objek kajian. Hasil kajian memperlihatkan bahwa penerapan aspek Guna terletak pada pada detail arsitektural konstruksi, tampilan atap dan material yang berkaitan dengan fungsi. Sedangkan penerapan Citra terletak pada penggambaran makna yang dikaitkan kepada penyelesaian bangunan. Selain itu kajian ini semakin menguatkan fakta bahwa Arsitektur Nusantara merupakan hasil ide kreatif masyarakatnya dalam beradaptasi dengan kondisi geogfrafis dan iklim. Kata kunci: arsitektur nusantara, guna, citra, kreativitas, Abstract Nusantara architecture, which is the result of creative ideas from the Nusantara people, tends to be created with simple materials and equipment. However, the Nusantara architecture, which comes with its ancient identity, does not mean that it has no creative value. This study explores the application of Mangunwijaya's "Use and Image" theory in seeing the form of creativity in Nusantara architecture.
    [Show full text]
  • Laporan Akhir Penelitian Fundamental
    i Kode/Nama Rumpun Ilmu : 733/Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup LAPORAN AKHIR PENELITIAN FUNDAMENTAL PENGEMBANGAN MITIGASI BENCANA BERBASIS KEARIFAN TRADISIONAL SEBAGAI UPAYA PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Ketua : Dr. Ir. Indarti Komala Dewi M.Si NIDN 0003025801 Anggota : Dr. Yossa Istiadi, MSi NIDN 9903015856 UNIVERSITAS PAKUAN November 2014 ii iii RINGKASAN Berbagai kejadian bencana telah memberikan pengalaman empiris pada masyarakat Indonesia dalam hal menghadapi dan mengurangi risiko bencana. Salah satu alternatif dalam mengurangi risiko bencana bencana adalah memanfaatkan kearifan tradisional. Oleh karena itu penggalian kembali kearifan tradisional sangat penting dalam upaya penyelamatan masyarakat dari risiko bencana. Dalam hal ini pendidikan memegang peran penting dalam membantu meningkatkan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam mitigasi bencana Sebagian besar wilayah Kabupaten Tasikmalaya , dari segi fisik merupakan kawasan rawan bencana, salah satunya adalah kecamatan Salawu(Perda Kabupaten Tasikmalaya No 2/2012). Salah satu kampung di Kecamatan Salawu yang masih memegang kuat budaya dan adat adalah Kampung adat Naga. Kampung Naga secara geografis terletak pada Koordinat 7º21’49,024” - 7º21’31,757” Lintang Selatan dan 107º59’24,753” - 107º59’44,252” Bujur Timur. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan penelitian adalah bagaimana masyarakat tradisional Kampung Naga memitigasi bencana, sehingga kampung atau tempat tinggal mereka dapat aman dari risiko bencana; apa saja bentuk kearifan tradisional yang dapat mitigasi bencana; dan bagaimana mengembangkan pengetahuan mitigasi bencana berdasarkan kearifan tradisional tersebut. Penelitian ini dilakukan selama 2 tahun. Untuk tahun pertama tujuan penelitian adalah : 1. Mengkaji dan memetakan mitigasi bencana berbasis kearifan tradisional di Kampung Naga 2. Mengkaji prospek dan fokus mitigasi bencana yang melembaga secara tradisi di Kampung Naga 3.
    [Show full text]