3 Bhinneka Wujud
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai 3 Bhinneka Wujud 35 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai Bhinneka wujud mengajak mengamati arsitektur Nusantara dengan langkah pengamatan yang bertahap, tidak sekaligus dan serentak. Ini berarti bahwa pengamatan akan diawali atas bagian demi bagian arsitektur, sejauh mungkin secara meluas dan mendalam. Langkah pengamatan ini kemudian dilanjutkan dengan langkah perangkaian bagian sehingga bagian-bagian yang dulunya saling berdiri sendiri, sekarang berkait dan melebur menjadi satu kesatuan bangunan. Sebuah arsitektur adalah bangunan yang memiliki nilai atau mutu lebih, dan itulah yang dilakukan dalam langkah selanjutnya, yakni ‘membaca bangunan’. Apabila dengan membaca dapat ditemukan makna-makna dan nilai-nilai, maka bangunan ini dipandang sebagai bangunan yang bernilai dan bermutu, bangunan ini termalih (ter-transformasi) menjadi arsitektur. Pengamatan atas bagian-bagian bangunan akan mencakup pengamatan atas bagian atap, dinding dan kolong. Dalam memerikan masing-masing bagian, dibatasi pada pemerian tampilan. Tampilan melibatkan geometri, komposisi/estetika, bahan, unity lewat laras ataukah kontras. Platonic solid menjurus ke kontras, tetapi yang non-platonic, seperti: lonjong, berpotensi untuk laras. Memang, penggunaan bahan-bahan bangunan organik sering mengecoh penilaian yakni, seringkali dikatakan sebagai laras. Seusai mengamati atap, kita akan melakukan pengamatan atas bagian yang ternaungi oleh atap. Di situ bisa bagian dinding ruangan atau ‘tubuh’ bangunan, serta bagian kolong bangunan atau ‘kaki’ bangunan. Oleh karena dalam arsitektur bisa berlaku satu ditambah satu tidak sama dengan dua, melainkan sama dengan satu, maka pengamatan dilanjutkan 36 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai dengan menempatkan bangunan sebagai satu kesatuan gugus bangunan. Dalam langkah ini dilakukan pengamatan atas sistem struktur dan konstruksi dari bangunan mengingat struktur dan konstruksi inilah yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian, tidak banyak berbeda dari perangkaian balok dengan tiang. Seusai kegiatan ini, kita akan melakukan pengamatan atas bangunan sebagai kesatuan antara rupa dengan konstruksi. Hal ini dilakukan sebagai jalan untuk mengungkap makna demi makna dari bangunan yang diamati. Dengan terungkapnya makna itu, maka bangunan termalih menjadi arsitektur, mengingat makna merupakan satu mutu atau nilai yang bisa diungkapkan oleh bangunan. Atap Arsitektur adalah pernaungan atau perteduhan. Pemikiran nenek-moyang kita yang tinggal di daerah yang tropik dan rawan gempa, bisa jadi didasarkan dari kenikmatan dan kenyamanan saat bernaung atau berteduh di bawah pohon yang rindang. Pohon ini memiliki cabang dan ranting yang membentang meluas dari batang induknya; dan dari ranting-rantingnya tumbuhlah daun demi daun yang rimbun. Pohon mangga, sukun dan beringin adalah contoh dari pohon yang rindang itu. Pohon rindang ini lalu menjadi metafora, model atau panutan dalam membuat bangunan yang menjadi naungan atau teduhan. Melalui berbagai malihan (transformasi) dan ragam (variasi) maka nenek-moyang kita berhasil menciptakan naungan yang demikian kaya wujudnya, utamanya adalah atap bangunan. Dari relief di candi Borobudur (abad 8M) dapat disaksikan sejumlah wujud atap bangunan, dan saling berbeda satu dari yang lain. Atap menjadi bagian bangunan 37 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai yang senantiasa langsung terlihat, dan itu berarti bahwa bagian ini adalah yang bisa diamati dan dipelajari dengan langsung. Berhadapan dengan arsitektur Nusantara seringkali terarah perhatiannya pada atap bangunan. Ini dapat dimaklumi karena memang arsitektur Nusantara tampil dengan demikian banyak wujud atap. Kita memang belum pernah dengan sungguh-sungguh menghitung berapa banyak wujud atap yang ada di arsitektur Nusantara ini, yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Di saat arsitektur Nusantara yang satu dijejerkan dengan yang lain, dengan segera tersaksikan wujud atap yang berbeda, dan tentu tak ada keberatan untuk mengawali pengamatan atas wujud arsitektur Nusantara ini dengan mengenal wujud-wujud atap. Tentu saja, hal ini dilakukan dengan melakukan penjejeran atap yang satu dengan yang lain sehingga tersaksikan pula varian atau variasi dari rupa atap di Nusantara. Oleh karena konsep arsitektur Nusantara adalah naungan atau teduhan, maka atap menjadi unsur utama dari arsitektur. Dapat dikatakan bahwa masing-masing arsitektur Nusantara pasti memperlihatkan atap bangunannya; jadi, tidak ada atap datar yang hanya membuat bangunan kelihatan sebagai bangunan yang tanpa atap. Dalam hal geometri dasar dari atap arsitektur Nusantara ini, kita dapat menyebut prisma, limas (atau: piramida) dan kerucut sebagai bangun dasar dari atap arsitektur 38 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai Prisma Arsitektur Aceh yang berada di bagian paling barat Nusantara adalah arsitektur dengan bangun atap yang paling umum dikenal, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di banyak tempat di mancanegara. Umoh Aceh ini memiliki atap bangunan yang hari ini sangat dikenal sebagai atap yang memiliki bangun atap pelana. Atap ini adalah bentukan geometri yang berupa prisma, yakni dua lembar lempengan yang diletakkan dalam kedudukan miring serta saling bertemu di bagian atas lempeng membujurnya. Balok bubungan menjadi tempat yang penting bagi lempeng atap karena di situlah lempeng atap bertumpu. Bubungan atap itu sendiri ditopang oleh dua tiang utama. Tiang utama ini tidak berperan sebagai tiang untuk perdindingan bangunan; meskipun berada di dalam ruangan tetapi tiang utama itu tidak berkaitan dengan pembagian ruangan di dalam bangunan. Bentukan prisma dari bangunan ini memiliki ukuran yang mampu menaungi sampai enam keluarga, sehingga dapat dikatakan sebagai atap prisma yang berukuran besar. Atap prisma ini juga sepenuhnya merupakan lempengan yang menutupi ruangan bagi tempat tidur keluarga-keluarga yang ada di sana. Atap ini tidak menjulur ke bawah sehingga menjadi dinding bagi ruangan keluarga tersebut, sehingga dapat dengan gampang dikenali manakah atap bangunan dan mana pula yang adalah dinding ruangan. Di sini lalu atap itu dapat dipadankan bagaikan kepala sedang ruangan keluarga sebagai tubuh dari bangunan Umoh Aceh. Diduga kuat pada mulanya atap ini memakai ilalang, rumbia atau sirap sebagai bahan penutupnya, tetapi seiring hadirnya bahan-bahan baru, sekarang tidak sedikit yang memakai seng gelombang. Arsitektur Bugis, Banjar, Lamin, Betang, Minahasa 39 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai dan masih banyak arsitektur Nusantara lainnya yang memiliki atap prisma ini, yakni atap prisma yang bagaikan kepala bangunan karena di bawah atap itu ada dinding ruangan sehingga bagaikan tubuh bangunan. Tentu saja, tidak semua arsitektur itu memiliki ukuran seperti Umoh Aceh, karena juga tidak sedikit yang hanya ditempati oleh satu keluarga. Dapat dikatakan tak banyak berbeda dari atap umoh Aceh adalah atap rumah lamin, rumah betang dan rumah panjang yang ada di Kalimantan. Dibanding dengan yang Aceh maka yang Kalimantan ini bisa memiliki ukuran panjang yang luar biasa yakni lebih dari seratus meter. Ada sebuah foto jaman Hindia Belanda yang memperlihatkan bangunan di Kalimantan yang demikian panjang tetapi tidak sepenuhnya lurus bubungannya; terlihat bubungannya agak berkelok bagaikan ular yang berkelok merayap. Ini mengisyaratkan bahwa bangunan yang panjang itu terbentuk dari sebuah rumah panjang yang dari waktu ke waktu ditambah gugus bangunannya sehingga menjadi semakin panjang saja ukurannya. Di Kalimantan, ukuran lebar atap kurang lebih tidak banyak berbeda dari yang Aceh, demikian pula dengan lereng atau kemiringan lempeng atapnya, tetapi tidak pada kedua bagian ujung bubungannya. Di Kalimantan Timur khususnya, di kedua ujung bubungan maupun di bagian tengah bubungan dengan sengaja dipasang hiasan yang panjangnya hampir mencapai dua meter, hiasan yang khas Kalimantan Timur. Dengan adanya dinding ruangan, maka lereng atau kemiringan atap umoh Aceh relatif landai; sudut kemiringannya di bawah 45 derajat. Melalui ukuran panjang-lebar lempeng atap yang lebih kecil –hanya mampu menaungi satu buah gugus bangunan untuk satu 40 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai keluarga — serta dengan lereng atau kemiringan atap yang lebih curam daripada yang Aceh, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur Minahasa dan Gorontalo di Sulawesi bagian utara, serta arsitektur Melayu di Sumatra bagian timur dan Malaysia (dan bahkan lebih luas lagi, hingga Thailand, Vietnam dan Philipina). Jikalau kemiringan lempeng itu menjadi lebih curam lagi, namun hanya maksimum sekitar enampuluh derajat saja, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur arsitektur Bugis, Bone, Makasar, Salayar dan sekitarnya. Mengenai arsitektur Bugis dan sejenisnya ini, di banyak pesisir di Nusantara dapat saja kita temukan bentukan seperti ini, mengingat masyarakat Bugis ini adalah pelayar yang handal. Lebih lanjut dengan atap dari arsitektur Bugis ini. Jikalau bangun prisma dari atap ini memperlihatkan bangun persegi empat pada tampang samping, maka pada tampang depan bangunan akan ditemui bentukan yang segitiga. Dinding segitiga ini memperoleh sebutan yang bermacam-macam, akan tetapi maksud dari sebutan itu sama saja yakni sebagai penahan angin. Dimaksud dengan penahan angin adalah pengendali aliran angin, bukan unsur yang menghalangi angin masuk ke dalam bangunan. Penahan angin dari arsitektur Bugis dan sejenisnya menyandang makna yang tersendiri, dan itu berlaku bagi semua bangunan yang di Indonesia. Lempeng dinding yang segitiga