Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

3 Bhinneka Wujud

35 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Bhinneka wujud mengajak mengamati arsitektur Nusantara dengan langkah pengamatan yang bertahap, tidak sekaligus dan serentak. Ini berarti bahwa pengamatan akan diawali atas bagian demi bagian arsitektur, sejauh mungkin secara meluas dan mendalam. Langkah pengamatan ini kemudian dilanjutkan dengan langkah perangkaian bagian sehingga bagian-bagian yang dulunya saling berdiri sendiri, sekarang berkait dan melebur menjadi satu kesatuan bangunan. Sebuah arsitektur adalah bangunan yang memiliki nilai atau mutu lebih, dan itulah yang dilakukan dalam langkah selanjutnya, yakni ‘membaca bangunan’. Apabila dengan membaca dapat ditemukan makna-makna dan nilai-nilai, maka bangunan ini dipandang sebagai bangunan yang bernilai dan bermutu, bangunan ini termalih (ter-transformasi) menjadi arsitektur.

Pengamatan atas bagian-bagian bangunan akan mencakup pengamatan atas bagian atap, dinding dan kolong. Dalam memerikan masing-masing bagian, dibatasi pada pemerian tampilan. Tampilan melibatkan geometri, komposisi/estetika, bahan, unity lewat laras ataukah kontras. Platonic solid menjurus ke kontras, tetapi yang non-platonic, seperti: lonjong, berpotensi untuk laras. Memang, penggunaan bahan-bahan bangunan organik sering mengecoh penilaian yakni, seringkali dikatakan sebagai laras.

Seusai mengamati atap, kita akan melakukan pengamatan atas bagian yang ternaungi oleh atap. Di situ bisa bagian dinding ruangan atau ‘tubuh’ bangunan, serta bagian kolong bangunan atau ‘kaki’ bangunan. Oleh karena dalam arsitektur bisa berlaku satu ditambah satu tidak sama dengan dua, melainkan sama dengan satu, maka pengamatan dilanjutkan

36 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

dengan menempatkan bangunan sebagai satu kesatuan gugus bangunan. Dalam langkah ini dilakukan pengamatan atas sistem struktur dan konstruksi dari bangunan mengingat struktur dan konstruksi inilah yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian, tidak banyak berbeda dari perangkaian balok dengan tiang. Seusai kegiatan ini, kita akan melakukan pengamatan atas bangunan sebagai kesatuan antara rupa dengan konstruksi. Hal ini dilakukan sebagai jalan untuk mengungkap makna demi makna dari bangunan yang diamati. Dengan terungkapnya makna itu, maka bangunan termalih menjadi arsitektur, mengingat makna merupakan satu mutu atau nilai yang bisa diungkapkan oleh bangunan.

Atap Arsitektur adalah pernaungan atau perteduhan. Pemikiran nenek-moyang kita yang tinggal di daerah yang tropik dan rawan gempa, bisa jadi didasarkan dari kenikmatan dan kenyamanan saat bernaung atau berteduh di bawah pohon yang rindang. Pohon ini memiliki cabang dan ranting yang membentang meluas dari batang induknya; dan dari ranting-rantingnya tumbuhlah daun demi daun yang rimbun. Pohon mangga, sukun dan beringin adalah contoh dari pohon yang rindang itu. Pohon rindang ini lalu menjadi metafora, model atau panutan dalam membuat bangunan yang menjadi naungan atau teduhan. Melalui berbagai malihan (transformasi) dan ragam (variasi) maka nenek-moyang kita berhasil menciptakan naungan yang demikian kaya wujudnya, utamanya adalah atap bangunan. Dari relief di candi Borobudur (abad 8M) dapat disaksikan sejumlah wujud atap bangunan, dan saling berbeda satu dari yang lain. Atap menjadi bagian bangunan

37 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

yang senantiasa langsung terlihat, dan itu berarti bahwa bagian ini adalah yang bisa diamati dan dipelajari dengan langsung.

Berhadapan dengan arsitektur Nusantara seringkali terarah perhatiannya pada atap bangunan. Ini dapat dimaklumi karena memang arsitektur Nusantara tampil dengan demikian banyak wujud atap. Kita memang belum pernah dengan sungguh-sungguh menghitung berapa banyak wujud atap yang ada di arsitektur Nusantara ini, yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Di saat arsitektur Nusantara yang satu dijejerkan dengan yang lain, dengan segera tersaksikan wujud atap yang berbeda, dan tentu tak ada keberatan untuk mengawali pengamatan atas wujud arsitektur Nusantara ini dengan mengenal wujud-wujud atap. Tentu saja, hal ini dilakukan dengan melakukan penjejeran atap yang satu dengan yang lain sehingga tersaksikan pula varian atau variasi dari rupa atap di Nusantara.

Oleh karena konsep arsitektur Nusantara adalah naungan atau teduhan, maka atap menjadi unsur utama dari arsitektur. Dapat dikatakan bahwa masing-masing arsitektur Nusantara pasti memperlihatkan atap bangunannya; jadi, tidak ada atap datar yang hanya membuat bangunan kelihatan sebagai bangunan yang tanpa atap. Dalam hal geometri dasar dari atap arsitektur Nusantara ini, kita dapat menyebut prisma, limas (atau: piramida) dan kerucut sebagai bangun dasar dari atap arsitektur

38 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Prisma Arsitektur Aceh yang berada di bagian paling barat Nusantara adalah arsitektur dengan bangun atap yang paling umum dikenal, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di banyak tempat di mancanegara. Umoh Aceh ini memiliki atap bangunan yang hari ini sangat dikenal sebagai atap yang memiliki bangun atap pelana. Atap ini adalah bentukan geometri yang berupa prisma, yakni dua lembar lempengan yang diletakkan dalam kedudukan miring serta saling bertemu di bagian atas lempeng membujurnya. Balok bubungan menjadi tempat yang penting bagi lempeng atap karena di situlah lempeng atap bertumpu. Bubungan atap itu sendiri ditopang oleh dua tiang utama. Tiang utama ini tidak berperan sebagai tiang untuk perdindingan bangunan; meskipun berada di dalam ruangan tetapi tiang utama itu tidak berkaitan dengan pembagian ruangan di dalam bangunan.

Bentukan prisma dari bangunan ini memiliki ukuran yang mampu menaungi sampai enam keluarga, sehingga dapat dikatakan sebagai atap prisma yang berukuran besar. Atap prisma ini juga sepenuhnya merupakan lempengan yang menutupi ruangan bagi tempat tidur keluarga-keluarga yang ada di sana. Atap ini tidak menjulur ke bawah sehingga menjadi dinding bagi ruangan keluarga tersebut, sehingga dapat dengan gampang dikenali manakah atap bangunan dan mana pula yang adalah dinding ruangan. Di sini lalu atap itu dapat dipadankan bagaikan kepala sedang ruangan keluarga sebagai tubuh dari bangunan Umoh Aceh. Diduga kuat pada mulanya atap ini memakai ilalang, rumbia atau sirap sebagai bahan penutupnya, tetapi seiring hadirnya bahan-bahan baru, sekarang tidak sedikit yang memakai seng gelombang. Arsitektur Bugis, Banjar, Lamin, Betang, Minahasa

39 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

dan masih banyak arsitektur Nusantara lainnya yang memiliki atap prisma ini, yakni atap prisma yang bagaikan kepala bangunan karena di bawah atap itu ada dinding ruangan sehingga bagaikan tubuh bangunan. Tentu saja, tidak semua arsitektur itu memiliki ukuran seperti Umoh Aceh, karena juga tidak sedikit yang hanya ditempati oleh satu keluarga.

Dapat dikatakan tak banyak berbeda dari atap umoh Aceh adalah atap rumah lamin, rumah betang dan rumah panjang yang ada di Kalimantan. Dibanding dengan yang Aceh maka yang Kalimantan ini bisa memiliki ukuran panjang yang luar biasa yakni lebih dari seratus meter. Ada sebuah foto jaman Hindia Belanda yang memperlihatkan bangunan di Kalimantan yang demikian panjang tetapi tidak sepenuhnya lurus bubungannya; terlihat bubungannya agak berkelok bagaikan ular yang berkelok merayap. Ini mengisyaratkan bahwa bangunan yang panjang itu terbentuk dari sebuah rumah panjang yang dari waktu ke waktu ditambah gugus bangunannya sehingga menjadi semakin panjang saja ukurannya. Di Kalimantan, ukuran lebar atap kurang lebih tidak banyak berbeda dari yang Aceh, demikian pula dengan lereng atau kemiringan lempeng atapnya, tetapi tidak pada kedua bagian ujung bubungannya. Di Kalimantan Timur khususnya, di kedua ujung bubungan maupun di bagian tengah bubungan dengan sengaja dipasang hiasan yang panjangnya hampir mencapai dua meter, hiasan yang khas Kalimantan Timur.

Dengan adanya dinding ruangan, maka lereng atau kemiringan atap umoh Aceh relatif landai; sudut kemiringannya di bawah 45 derajat. Melalui ukuran panjang-lebar lempeng atap yang lebih kecil –hanya mampu menaungi satu buah gugus bangunan untuk satu

40 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

keluarga — serta dengan lereng atau kemiringan atap yang lebih curam daripada yang Aceh, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur Minahasa dan Gorontalo di Sulawesi bagian utara, serta arsitektur Melayu di bagian timur dan (dan bahkan lebih luas lagi, hingga Thailand, Vietnam dan Philipina). Jikalau kemiringan lempeng itu menjadi lebih curam lagi, namun hanya maksimum sekitar enampuluh derajat saja, maka kita akan berhadapan dengan arsitektur arsitektur Bugis, Bone, Makasar, Salayar dan sekitarnya. Mengenai arsitektur Bugis dan sejenisnya ini, di banyak pesisir di Nusantara dapat saja kita temukan bentukan seperti ini, mengingat masyarakat Bugis ini adalah pelayar yang handal. Lebih lanjut dengan atap dari arsitektur Bugis ini. Jikalau bangun prisma dari atap ini memperlihatkan bangun persegi empat pada tampang samping, maka pada tampang depan bangunan akan ditemui bentukan yang segitiga. Dinding segitiga ini memperoleh sebutan yang bermacam-macam, akan tetapi maksud dari sebutan itu sama saja yakni sebagai penahan angin. Dimaksud dengan penahan angin adalah pengendali aliran angin, bukan unsur yang menghalangi angin masuk ke dalam bangunan. Penahan angin dari arsitektur Bugis dan sejenisnya menyandang makna yang tersendiri, dan itu berlaku bagi semua bangunan yang di . Lempeng dinding yang segitiga ini hanya terbentuk dari satu lembaran lempeng dinding kalau bangunannya adalah bangunan rakyat jelata. Bila bangunan itu milik bangsawan maka akan dihadirkan tiga lempeng dinding, dengan lempeng teratas berbangun segitiga, serta dua lempeng di bawahnya berbangun trapesium. Akhirnya, memperlihatkan satu lempeng segitiga dan empat lempeng trapesium bila bangunannya adalah atau rumah raja. Dengan bentukan yang menampakkan lempeng yang lima lapis di Bima dan Sumbawa Besar karena

41 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

keduanya adalah kraton yang berpedoman pada arsitektur Bugis. Dari pertimbangan teknis bangunan, adanya tiga macam lempeng dinding segitiga ini besar sekali kaitannya dengan ukuran bangunan. Makin besar ukuran bangunan maka akan semakin lebar alas segitiga lempeng dinding. Dengan ukuran lempeng segitiga yang semakin besar maka pemanfaatan angin untuk ikut mendinginkan ruangan di dalam bangunan akan semakin sulit. Yang juga sulit adalah dalam hal teknik membuat dinding. Dengan ukuran yang sebesar kraton, maka adanya rongga antar lempeng yang lebih banyak akan membuat aliran udara ke dalam ruangan akan semakin banyak, dan itu akan semakin menyejukkan ruangan. Juga, akan lebih mudah membuat lima lempengan yang memungkinkan air mengalir daripada membuat satu lempengan yang tanpa ada peluang bagi angin untuk menembus ke dalam ruangan.

Marilah kita kunjungi lagi Sumatra bagian Timur serta bagian selatan. Di sini kita akan menyaksikan bangunan-bangunan yang ditujukan hanya untuk satu keluarga tetapi dengan bentukan atap yang juga atap prisma. Akan tetapi ada perubahan yang membuat atap prisma di sini berbeda dari atap prisma di Aceh. Pertama-tama ukuran lempeng menjadi lebih kecil serta kemiringan lempengnya menjadi lebih curam. Sebagai akibatnya, dari arah samping kita berkesempatan melihat dengan nyata lempeng atap dan lempeng dinding ruangan. Lebih lanjut lagi, di Sumatra bagian timur dan selatan ini, tidak sedikit bangunan yang lempeng atapnya tidak bertampang persegi empat dari tampang sampingnya, melainkan sedikit menjurus pada bentukan trapesium terbalik. Di sini sisi panjang dari lempeng atap justru bertumpu pada bubungan atap, dan sebagai akibatnya

42 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

maka dari tampang samping atap bangunannya menjadi menjorok ke depan dan ke belakang.

Bentukan yang sudah malih menjadi trapesium terbalik ini mengalami malihan yang lebih lanjut lagi. Lihat saja atap arsitektur Toba, dan jejerkanlah dengan atap arsitektur Aceh. Dengan penjejeran itu terlihat nyata bahwa bagian bubungan arsitektur Aceh telah mengalami pemalihan sehingga menjadi bubungan yang melengkung di Batak Toba. Bubungan yang melengkung ini ternyata dilanjutkan dengan ujung bubungan atap di bagian depan dibuat lebih tinggi daripada ujung bubungan di bagian belakang. Tidak itu saja pemalihannya, ukuran lempeng atap juga menunjukkan bahwa kemiringan serta lebar lempengan telah berbeda, sehingga di Batak Toba kita tidak banyak menyaksikan dinding ruangan karena tampilan samping didominasi oleh lempengan atap. Perbedaan kemiringan dan ukuran lempeng atap ini mengakibatkan arsitektur Aceh tidak terlalu menjadikan lempeng atap sebagai bagian yang menarik untuk dilihat; dan di Batak Toba, lempeng atap ini mampu menjadi daya tarik dalam melihat bangunan Batak Toba. Kemudian, kalau arsitektur Batak Toba melakukan pelengkungan atas bubungan sehingga mampu memperlihatkan bangunan dengan atap yang melengkung, di kawasan Sumatra bagian timur dan bagian selatan dapat kita saksikan atap prisma yang bubungannya juga dilengkungkan, tetapi pelengkungannya menumbuhkan pertanyaan apakah memang sengaja dilengkungkan ataukah menjadi lengkung karena beratnya beban lempeng atap. Kemudian, karena lereng dari lempengan atapnya sudah lebih curam daripada lereng atap umoh Aceh, maka lempeng atap lalu ikut menampilkan diri pada tampilan bangunan,

43 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

sehingga ada keseimbangan antara lempeng atap dan lempeng dinding ruangan. Arsitektur dari daerah Sumatera Timur ini lalu dapat dikatakan sebagai perantara dari yang bubungan lurus di Aceh menjadi bubungan melengkung di Batak Toba.

Apakah pemalihan dengan membuat bubungan menjadi lengkung hanya sebatas di arsitektur Batak Toba? Tidak, ada arsitektur lain yang juga memnunjukkan bubungan yang melengkung. Pembuatan bubungan yang melengkung di arsitektur berikut ini nampaknya lebih banyak menunjuk pada pemalihan yang eksageratif (melebih-lebihkan) sehingga yang terlihat adalah sebuah tampilan yang spektakular. Arsitektur dan arsitektur Toraja menjadi bangunan dengan kesan tampilan yang spektakular. Di arsitektur Minangkabau, tidak hanya bubungannya dilengkungkan, tetapi juga diulang-ulang menyamping sehingga menghadirkan tiga, lima atau lebih bubungan yang sangat menjulang pelengkungannya (disebut gonjong oleh arsitektur Minangkabau). Di situ, bubungan itu mulanya lurus saja, tetapi menjelang akhir bubungan dibuatlah pelengkungan yang curam sehingga mendekati tegak (vertikal), dan hal itu dibuat berulang-ulang. Bubungan yang diulang-ulang tidak dilakukan di arsitektur Toraja. Di sini, bubungan ini dilengkungkan dengan sangat eksageratif, sampai-sampai ada kesan sepertinya bubungan ini hampir berbangun setengah lingkaran. Tidak itu saja, ujung dari bubungan bagian depan juga dijorokkan demikian jauh ke depan sampai-sampai diperlukan tiang tambahan untuk menopang penjorokan bubungan ini. Selanjutnya, bersama-sama dengan arsitektur Minangkabau lempengan atap yang memiliki lereng yang curam tidak dibarengi dengan lebar lempeng atap yang mampu menutup dinding

44 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

ruangan. Lempeng atap di Minangkabau dan Toraja dibiarkan tidak menutupi dinding; jadi tidak banyak berbeda dari Aceh. Meskipun begitu, dari tampilan samping bisa disaksikan hadirnya atap bangunan yang spektakular ini.

Ada arsitektur lain yang memiliki bangun prisma tetapi dengan kemiringan atap yang besar yakni lebih dari 60 derajat, sehingga kelihatan curam lerengnya. Tambi dan Lobo di Sulawesi Tengah adalah atap prisma yang memiliki lereng atap curam. Dengan lereng atap yang curam, maka lempeng atap dapat dimanfaatkan sekaligus sebagai dinding ruangan. Dengan pemanfaaan ini maka bangunan hanya terlihat bagian atapnya saja, menjulur sampai mendekati tanah, dan sama sekali tak terlihat adanya dinding bangunan. Meskipun begitu, tidak berarti bahwa bangunan ini lalu tidak memiliki dinding ruangan. Bagian sisi depan dan belakang bangunan merupakan bagian yang memiliki bentukan yang segitiga, dan di sisi inilah pintu atau lubang masuk ke dalam bangunan ditempatkan. Tambi dan Lobo ini memiliki lempeng atap yang berbentuk bidang datar yang ditempatkan secara miring. Ada lumbung yang pada dasarnya juga berbangun prisma, tetapi mengalami variasi dalam lempengan atapnya, tidak lempengan yang lurus melainkan lempengan yang menggembung satu arah. Lumbung di Bali dan di Lombok adalah bangunan yang dimaksud. Dilihat dari depan, kedua lumbung ini memperlihatkan tampak yang garis tepinya adalah garis menggembung. Sudah barang tentu, karena merupakan lumbung, tidak ada keharusan untuk memiliki dinding ruangan di bagian sisi lempengan atap. Dengan menyaksikan kenyataan bahwa antara Tambi dengan umoh Aceh dapat dilihat

45 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

sebagai malihan dari atap prisma (kemiringan dan ukuran dari lempeng atap) maka di sini dapat dikatakan bahwa atap Tambi termalih menjadi atap umoh Aceh.

Limas dan Limasan Jika kita melihat masjid-masjid yang tidak menggunakan kubah sebagai atapnya, maka sebagian banyak masjid itu menggunakan atap limas sebagai bangun geometri atapnya. Sebutan limas ini sinonim dengan piramida, dan karena itu lebih baik dan jitu bila digunakan sebutan limas. Lempeng limas ini memiliki kekhasan yakni dari tampak depan maupun samping sama-sama memperlihatkan lempeng atap, yang berbangun segitiga samakaki hingga segitiga samasisi. Dalam atap yang memiliki bangun segitiga samakaki maka atap bangunan akan terlihat menjulang karena tinggi dari segitiga lebih besar ukurannya daripada alas segitiga samakakinya. Di samping pemakaian untuk masjid, lempeng limas ini juga digunakan untuk makam dan bangunan ibadah seperti gereja katedral, kapel, masjid, mushola dan bangunan untuk meditasi. Secara umum lalu terlihat sebagai bentukan yang mampu mencirikan diri menjadi bangunan yang sakral. Tentu saja, hal ini bukan rumus yang membuat hanya limas saja yang boleh untuk bangunan yang sakral; dan bangunan yang tak sakral juga boleh menggunakan atap limas ini.

Masjid beratap limas tidak terbatas di daerah yang tertentu, tetapi sudah hadir demikian meluas di seluruh Nusantara. meluasnya penggunaan atap limas ini juga sampai pada penggunaan untuk bangunan ibadah lain di Nusantara ini. Misalnya di Jawa, kita bisa

46 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

menyaksikan atap limas ini untuk berbagai penggunaan. Penyebutan di Jawa juga tersendiri, yakni disebut atap taju, atau tajuk.

Di Bali, dapat disaksikan bangunan meru yang sserupa dengan pagoda. Di meru, hanya sosok paling atas saja yang bersosok limas, sedang sosok-sosok di bawahnya adalah limas yang terpotong bagian atasnya.

Sementara itu, di banyak masjid juga dapat dijumpai sosok limas di bagian paling atas, di bawahnya ada satu atau dua lapis limas terpotong, sehingga menghasilkan masjid dengan bentukan atap yang bersusun tiga. Kemudian ada bangunan atap yang dapat disebut atap limasan, yang dalam konstruksi Belanda dinamakan atap perisai. Sebagai gubahan geometri, sosok limasan ini dapat dikatakan sebagai bentukan yang terjadi dari prisma dengan separuh limas di kedua sisi samping prisma itu. Mengenai atap limasan ini, nampaknya cukup banyak arsitektur yang menggunakan sosok limasan ini maupun varian darinya.

Di Flores dapat dinikmati atap limasan yang dramatik yakni di arsitektur daerah Ende. Di daerah ini dapat ditemui berbagai varian dari bangunan limasan ini, mulai dari limasan yang tipikal hingga limasan yang memiliki lempeng atap melengkung dan menjulang tinggi ke langit. Pemandangan yang juga mengagumkan dapat ditemui pada pangembe, arsitektur Sumba. Di sini bentukan limasan dihadirkan sebagai limasan yang menjulang tinggi, sehingga menguatkan kesan vertikalitasnya. Di alas limasan ini, dipasang lagi lempengan atap yang berupa limasan terpotong, dan dengan kemiringan lempeng yang

47 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

sangat landai. Gubahan seperti di Sumba ini menjadi sangat lazim di Jawa-Mataraman (Yogya-Surakarta hingga Blitar) dan Sumenep-Madura melalui bentukan yang dinamakan atap juglo dan atap limansap (ada yang menyebut limasan)

Kerucut dan Membundar Masih ada satu lagi sosok atap yang harus disebut di sini, namun sosok ini lebih dominan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sosok kerucut serta setengah bola adalah yang dimaksud di sini. Bangunan mbaru niang, Wae Rebo – Flores, merupakan bangunan yang dengan jelas dan tegas menampilkan bangun kerucut yang lempeng atapnya hampir menyentuh tanah. Jangan berharap menyaksikan dinding dan kolong, karena dindingnya diganti oleh lempengan atap, dan kolongnya tersembunyi di balik lempeng atap itu. Di Timor, dapat ditemui malihan dari bangun kerucut ini. Ada malihan yang menghasilkan sosok kerucut dengan memperlihatkan lempengan dinding berkeliling, jadi lempeng atapnya memendek bila dibanding dengan lempeng atap Wae Rebo. Kemudian, ada pula malihan yang memakai pola seperti terjadinya atap limasan. Di situ, kerucut dibelah menjadi dua serta di bagian tengahnya (yang merupakan rongga hasil belahan kerucut) diberi bangun prisma. Bangunan tidak banyak menyisakan bekas-bekas bangun kerucut, melainkan lebih sebagai bangunan prisma yang kedua ujungnya dibubuhi bentuk setengah kerucut, seperti di arsitektur Savu. Bangunan yang berdenah lingkaran ini tidak cukup tersebar merata di Nusantara, dan nampaknya terbatas di NTT dan Papua. Di Papua, bangunan Honai adalah yang paling sering dimunculkan. Bangunan ini memiliki atap yang

48 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

berbangun mendekati setengah bola dan duduk di atas sebuah tabung yang adalah dinding ruangan. Tidak terjumpai adanya kolong sebab dindingnya sampai ke tanah. Selama ini belum berhasil ditemui bentukan membundar di daerah Maluku maupun Maluku Utara. Apabila bisa ditemukan, maka dapat dimantapkan adanya rangkaian Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

Persolekan Di depan sudah disinggung barang sedikit mengenai penghiasan pada atap arsitektur Nusantara yaitu penghiasan yang terjadi di Lamin Kalimantan Timur. Di sini, bubungan diberi hiasan pada bagian tengah dan kedua ujungnya. Penghiasan di bagian ujung bubungan memang cenderung lazim ditemui di arsitektur Nusantara. Ada penghiasan di ujung depan bubungan dengan memasang tanduk kerbau, seperti di Sumatera bagian Timur dan Selatan. Penghiasan di Sulawesi bagian Selatan menunjukkan keunikan tersendiri. Dari Taman Mini Sulawesi Selatan (di daerah benteng Somba Opu) dapat kita saksikan beragam penghiasan pada ujung depan bubungan pada khususnya. Ada yang merupakan penghiasan terhadap batang bubungan yang dijulurkan sehingga menjorok dari lempeng atapnya; ada yang membuat hiasan dengan meneruskan lisplank sehingga menghasilkan pola huruf V; dan ada pula yang merupakan gabungan dari penjuluran bubungan dan lisplank. Masing-masing penghiasan dikatakan sebagai ciri dari kabupaten tertentu di Sulawesi Selatan. Tindakan membubuhkan hiasan di ujung bubungan ini ternyata tidak sebatas di Nusantara saja, bahkan di Thailand dan Kamboja dapat dijumpai

49 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

penghiasan ini. Sementara itu, ada arsitektur yang membuat bubungan atap menjorok cukup jauh, kemudian dilakukan pemberian lempengan atap yang berbangun segitiga dan menyatu dengan lempengan atap. Arsitektur Sabu dan arsitektur Maluku Utara adalah contoh dari arsitektur yang menampilkan gubahan bubungan yang seperti itu.

Masih dengan penghiasan atap bangunan. Di pesisir Utara Jawa dapat disaksikan penghiasan yang diberikan di sepanjang bubungan. Penghiasan ini berupa pemasangan genteng bubungan yang dilengkapi dengan gambar wayang. Pada bangunan dengan atap limasan, bisa saja penghiasan seperti itu dilakukan tidak hanya di bubungan tetapi juga di semua jurai atap. Di Jawa bagian tengah dan selatan, penghiasan biasanya dilakukan hanya di bagian tengah bubungan, dan terbuat dari tanah bakar yang diukir atau dipahat seperti biasa dilakukan di dinding candi batu bata. Penghiasan yang dilakukan di Bali lebih tertuju pada ujung bubungan dan ujung bawah dari jurai atap, dan biasanya berupa genteng tanah bakar yang dibuat sehingga berkesan tanah yang diukir. Perlu dicatat di sini bahwa ukiran yang Bali dan yang Jawa tidak sama, sehingga masing-masing mampu memberitahukan apakah ukiran Jawa ataukah ukiran Bali.

Dinamika Wujud Dari segenap pengamatan di depan dapat kiranya disampaikan hal-hal pokok perihal atap arsitektur Nusantara berikut ini. bagi arsitektur dua musim, tuntutan untuk mendapat naungan atau teduhan, bukan perlindungan seperti yang diperlukan di arsitektur empat

50 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

musim. Mengacu pada pohon yang rindang, naungan atau teduhan ini dapat diupamakan dengan rentang dedaunan yang menjadikan pohon besar itu menjadi rindang maka muncullah lempeng atap yang dipasang miring ke satu sisi saja. Di Jawa, lempeng atap seperti ini disebut sebagai atap panggang-pe, sedang lempeng atap itu sendiri disebut empyak. Bertolak dari lempeng atap yang miring satu sisi, maka dihadirkanlah lempeng atap yang miring di dua sisi serta sisi atas lempeng saling bertemu. Di sini hadirlah atap dengan bangun prisma, yakni atap yang dari tampang samping memperlihatkan bangun persegi panjang sedang dari tampang depan memperlihatkan bangun segitiga samakaki atau samasisi. Berbagai ragam atau variasi sosok atap dapat dihasilkan dengan melakukan pemalihan terhadap atap prisma ini, mulai dari bangun prisma yang sudut alasnya besar sehingga menghasilkan prisma yang menjulang meninggi (seperti di Tambi, Sulawesi Tengah), hingga yang sudutnya landai sehingga lempeng atapnya memiliki lereng atau kemiringan yang berpotensi membuat lempeng atap tidak terlalu mencolok (seperti di arsitektur Aceh). Pemalihan lain dapat dilakukan pada bubungan atap, yakni dengan membuat bubungan itu melengkung. Bentukan yang melengkung ini bisa saja dipicu oleh gejala konstruksi yang menunjukkan bubungan yang melengkung karena harus menahan beban dari lempeng atap. Daripada nanti bubungan akan melengkung, lebih baik di awal membangun dibuatlah bubungan yang melengkung ini (arsitektur Toba, Toraja dan Minangkabau). Pemalihan lain dapat pula terjadi, yakni membuat lempeng atap yang berbangun trapesium terbalik, sisi panjang trapesium ditempatkan di bubungan. Dengan pemalihan seperti ini maka bubungan menjadi menjulur jauh dari dinding segitiga yang menjadi sisi depan atap prisma ini (Sabu dan Maluku Utara).

51 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Bangun limas dari atap arsitektur Nusantara juga menyebar di banyak tempat di Nusantara, akan tetapi dengan kekhususan yang juga berlaku bagi seluruh Nusantara. Bangun limas (yang di Jawa disebut sebagai atap taju, tajug atau tajuk) ini lebih banyak digunakan untuk bangunan yang sakral seperti tempat ibadah, cungkup (bangunan penaung makam) maupun tempat meditasi atau bertapa. Jikalau untuk bangunan ibadah, atap limas ini dibuat bertumpuk dan makin lapis bawah semakin meluas ukurannya. Bangun limas yang ditumpuk ini mendapat tampilan yang spektakular di arsitektur Bali karena tumpukannya bisa mencapai sebelas buah limas. Memang, dibanding dengan atap prisma maka atap limas ini tidak terlalu banyak ragam pemalihannya; hal itu mungkin disebabkan karena peruntukan yang khusus dari bangun limas. Pemalihan atas bangun limas dapat pula disaksikan dari adanya penggabungan antara bangun prisma dengan bangun limas ini. Bila sebuah limas dibelah dua secara tangkup, lalu masing-masing belahan dipasang di sisi segitiga dari atap prisma, maka timbullah bangunan baru yang dalam konstruksi bangunan seringkali dikenal dengan sebutan atap perisai. Bangun limasan ini boleh saja diperlakukan sebagai sebuah bangun yang tersendiri karena dari bangun ini dapat dilakukan berbagai pemalihan. Dalam tampilan yang menekankan vertikalitas, atap perisai seperti ini dapat disaksikan di kawasan Ende, Flores. Pemalihan dalam rupa menumpuk limasan dapat ditemui di Sumba, Jawa dan Sumenep.

Masih ada satu lempeng atap yang perlu disampaikan di sini yakni atap yang berbangun kerucut. Bangunan yang unik ini juga tergolong unik dalam persebarannya di Nusantara yakni di kawasan Nusa Tenggara Timur dan Papua. Bangun kerucut yang paling terkenal

52 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

adalah bangunan mbaru niang yang ada di Wae Rebo, Flores. Bertolak dari bangun ini kita bisa menyaksikan pemalihannya di kawasan pulau Timor. Di sana atap kerucut ini ada yang sudah dihadirkan dengan menyertakan dinding ruangan sebagai tampang bangunannya; kita juga menjumpai pemalihan yang menggabungkan atap prisma dengan atap kerucut yang dibelah, dan masing-masing belahan ditempelkan di sisi prisma (tidak banyak berbeda dari bangun limasan). Baik di NTT maupun di Papua kita dapat menyaksikan pemalihan dari kerucut menjadi setengah bola, seperti di Honai di Papua. Di situ, atap setengah bola itu berada di atas dinding ruangan. Dan lebih terkesan sebagai dinding ruangan berbangun tabung yang ditumpangi oleh atap yang bangunannya setengah bola.

Penutup atap Penggunaan seng gelombang dan genteng tanah bakar dapat dikatakan sebagai perkembangan terakhir dari penggunaan bahan lempeng atap di arsitektur Nusantara. Penggunaan seng gelombang di Minangkabau, sudah dilakukan di awal 1900-an, dan penggunaan genteng tanah bakar di Jawa pasti sudah dilakukan sebelum1900. Mengenai genteng ini, tidak sedikit daerah yang menolak menggunakannya; mereka lebih memilih seng gelombang meskipun menimbulkan panas di dalam ruangan. Penolakan penggunaan genteng cukup menarik untuk disimak, yaitu “belum mati kok sudah ditempatkan di bawah tanah.” Apakah pendapat ini sepenuhnya benar, ataukah akal dari pengusaha seng gelombang dalam mengiklankan produknya di abad 19 dan awal abad 20, belum ada yang

53 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

meneliti. Sebelum pertengahan abad 19 sebagian terbesar arsitektur Nusantara, yang pasti masih menggunakan bahan organik sebagai bahan untuk lempeng atapnya. Alang-alang atau ilalang, rumbia, daun kelapa atau lontar, bambu, ijuk dan sirap adalah berbagai bahan penutup atap yang digunakan di arsitektur Nusantara. Masyarakat Nusantara juga sangat menyadari bahwa bahan penutup atap ini sangat terbatas keawetannya, oleh karena itu banyak arsitektur yang membuat aturan untuk melakukan penggantian penutup atap dalam kurun waktu yang tertentu. Di Trusmi - Cirebon, sewaktu atapnya terbuat dari rumput alang-alang, maka setiap tahun dilakukan penggantian bahan atap ini. Saat ini bahan penutup atap sudah diganti dengan genteng, tradisi mengganti setiap tahun masih terus dilakukan. Sudah barang tentu, masing-masing arsitektur menggunakan bahan penutup yang jumlahnya mencukupi. Penggunaan sirap akan menjadikan penggantiannya dilakukan dalam selang waktu yang cukup panjang, sehingga harganya tergolong mahal dan tidak mudah mendapatkannya. Oleh karena itu hanya bangunan ‘kelas atas’ yang memakai sirap, misalnya kraton. Selanjutnya, penggunaan bambu sebagai bahan penutup atap ternyata bukan monopoli arsitektur Toraja saja. Arsitektur daerah lain juga tidak sedikit yang menggunakan bambu sebagai penutup atap, misalnya di Bali, di Madura (bagian utara) dan di Jawa Tengah. Teknik pengkonstruksian atap bambu memang saling berbeda sehingga tidak disangkal lagi arsitektur Toraja memiliki lapisan bambu yang paling tebal. Berbicara tentang arsitektur Toraja, di sana masih dapat ditemui bangunan yang menggunakan lempengan batu sebagai bahan penutup bangunannya, yakni di Papabatu. Hingga hari ini, nampaknya hanya di Papabatu itu saja dapat ditemui atap batu; di berbagai tempat di Nusantara tidak (belum) berhasil ditemui bangunan dengan atap

54 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

batu. Masih satu lagi kekhasan bahan penutup atap, kali ini ditemukan di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Di desa-desa yang berada di dalam hutan jati, sangat biasa dijumpai bangunan yang menggunakan daun jati sebagai bahan penutup atapnya. Daun jati ini juga digunakan untuk membuat dinding bangunan. Kreatifitas dalam mendayagunakan sumberdaya alam yang tersedia, seringkali harus dikalahkan oleh penilaian kemiskinan, itulah yang dialami oleh desa-desa berdaun jati itu.

Mengakhiri pengamatan atas bahan penutup atap ini, ada baiknya di sini disampaikan beberapa teknik yang digunakan dalam menggunakan alan-alang sebagai bahan penutup atap. Di Sumba barat daya, penutupan atap dilakukan dengan menggunakan alang-alang sebagai bahan bangunannya. Di sana, alang-alang diikat menjadi satu ikatan yang dapat digenggam tangan. Genggam demi genggam ikatan alang-alang inilah yang dilemparkan dari bawah untuk dipasang di kerangka atap. Ada aturan bahwa pelemparan alang-alang itu tidak boleh meleset atau gagal diterima oleh yang di atas, sebab akan mendapat hukuman oleh adanya kegagalan ini. Aturan ini nampaknya dibuat agar pelempar alang-alang adalah mereka yang berkeahlian khusus dalam melempar; sehingga tidak setiap orang dapat menjadi pelempar alang-alang. Di Bali penggunaan alang-alang sebagai penutup atap dilakukan dengan teknik yang berbeda. Sebatang reng kayu atau bambu sepanjang sekitar satu meter dijadikan batang perangkai alang-alang sehingga penutup atap ini memang berupa lembaran alang-alang. Lembaran inilah yang diikatkan ke kerangka atap. Sudah barang tentu, di sini tidak dilakukan cara yang dipakai di Sumba, lembaran itu tidak dilempar. Yang unik dan menarik adalah teknik yang dipakai di Wae Rebo, Flores.

55 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Di sini, batang atau sulur rotan yang panjangnya bisa mencapai sepuluh meter dijadikan perangkai alang-alang dan perangkai ijuk. Didapatkanlah lembaran penutup atap yang mencapai panjang hingga sepuluh meter. Sebelum dipasang di atap, lembaran ini digulung menjadi gelendong lembaran alang-alang atau ijuk. Pada saat pemasangan, barulah gelendong itu diurai sambil dikaitkan pada kerangka atap bangunan. Teknik seperti ini sangat jitu mengingat bangunan Wae Rebo berbentuk kerucut.

Dinding Apabila kita mengawali pengamatan atas dinding ruangan ini dengan mengangkat mbaru niang, Wae Rebo, maka kita akan berhadapan dengan bangunan yang tidak memiliki dinding ruangan. Di mbaru niang itu, atap bangunan yang berbangun kerucut dibuat menerus ke bawah hingga hampir menyentuh tanah. Sebagai akibatnya, ruangan yang ada di dalam mbaru niang ditutup oleh lempeng atap, bukan oleh lempeng dinding. Tambi di Sulawesi Tengah juga sejalan dengan mbaru niang. Di Tambi, bangun prisma dari atap bangunan sekaligus menjadi dinding dari ruangan yang ada di dalam tambi; sehingga juga tidak ditemui dinding ruangan yang tersendiri. Berbeda dari mbaru niang, tambi didirikan di atas konstruksi balok yang membentuk kolong, sehingga bangunan terlihat terangkat dari muka tanah. Dari kejadian mbaru niang dan tambi ini kita mengetahui bahwa atap tidak hanya menjadi penaung tetapi juga menjadi penutup ruangan, menjadikan yang ada di dalam ruangan tersembunyi dari luar, menjadi tersimpan dengan seksama. Bagian dalam dari bangunan menjadi bagian yang tersembunyi, sehingga bisa dimanfaatkan

56 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

menjadi tempat untuk menyimpan. Jika memasuki pekarangan rumah Jawa dan rumah Bali, kita akan diberi suguhan bangunan yang hanya tiang-tiang penyangga atap belaka. Pendapa dan adalah bangunan tanpa dinding, hanya sejumlah tiang tegak saja yang menjadi penegas antara ruangan di dalam bangunan dengan pelataran di sekitarnya.

Pengamatan terhadap dinding di arsitektur Nusantara ternyata harus berhadapan pula dengan kebhinnekaan dinding bangunan. Pada titik kebhinnekaan yang satu ada bangunan dengan dinding yang tegas, jelas dan nyata seperti arsitektur Aceh dan arsitektur Toraja; sedang di titik kebhinnekaan yang lain ditemui bangunan yang tanpa dinding.

Di depan telah ditegaskan bahwa dalam pandangan arsitektur Nusantara, arsitektur itu adalah pernaungan atau perteduhan. Dalam perjalanan waktu, kebutuhan untuk menyimpan menjadi mendesak untuk memperoleh tempat yang tepat, yakni aman dan terjaga. Rongga atap kemudian muncul sebagai ruangan yang digunakan untuk menyimpan. Dalam ukuran yang cukup besar, maka tambi di Sulawesi Tengah adalah selesaian yang terjadi. Ruangan di dalam bangunan Tambi itu tidak lebih dan tidak kurang adalah rongga atap. Jikalau Tambi memiliki bangun yang berupa prisma, maka dalam bangun kerucut dapat ditunjukkan mbaru niang dari Wae Rebo, Flores. Bangunan dengan gubahan wujud yang tanpa dinding ini samasekali tidak dimaksudkan untuk ditetapkan sebagai bangunan pertama setelah naungan. Berbagai bangunan lumbung yang tersebar di Nusantara ini dapat dengan baik, digunakan sebagai bentukan bangunan penyimpanan

57 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

yang khusus hanya untuk menyimpan. Koji Sato bahkan berteori bahwa arsitektur Nusantara bermula dari lumbung.

Dengan adanya dinding maka ruangan di dalam bangunan tidak lagi menyempit ke atas melainkan bisa sama luasnya dengan alas ruangan (jadi membentuk bangun tabung atau silinder, atau bangun kotak kalau lantainya berbangun persegi atau bujursangkar). Rumah bolon di Batak Toba dan Karo, Sumatera Utara, juga rumah Lio di Ende maupun Lobo di Sulawesi Tengah adalah contoh dari arsitektur dengan dinding ruangan yang masih belum mampu menandingi atau menyaingi dominasi dari lempeng atap. Meskipun berupa dinding yang tidak dominan, tetapi dinding di Toba dan Karo sempat dilengkapi dengan hiasan yang berupa ukiran maupun lukisan berwarna; dan penghiasan ini mampu menyembunyikan keberadaan sebagai dinding ruangan. Di sini keberadaan dinding masih belum menjadi dominan karena yang dominan masih lempeng atapnya. Di situ dinding bangunan hampir-hampir tak berbeda dari dinding candi yang berhiaskan relief. Dinding lebih terhadirkan sebagai kanvas untuk lukisan atau ukiran.

Penempatan lempeng atap yang semakin jauh dari muka tanah, penghadiran dinding yang semakin meninggi, atau pendindingan atas kolong yang bergeladak, semua itu adalah pemalihan yang memperlihatkan dinding yang semakin lama semakin menjadi dominan. Dinding yang hadir penuh sebagai unsur yang menutup ruangan di dalam bangunan, maka bisa saja dinding ruangan ini menjadi lebih dominan daripada lempeng atap (di arsitektur Aceh) atau bisa pula bersaing dengan lempeng atap (arsitektur Minangkabau).

58 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Dinding ruangan lalu bisa tampil polos tanpa hiasan, tetapi bisa juga tampil dengan berhias, mulai berhias sebagai emphasis hingga berhias menjadi penghilang dinding (karena dipenuhi oleh hiasan).

Memang, nampaknya tidak ada kemutlakan untuk menghadirkan dinding ruangan dalam arsitektur Nusantara. dengan adanya dinding yang dengan kuat mengindikasikan ketertutupan, nampaknya arsitektur Nusantara tidak terlalu berminat untuk itu. Demikian banyak bangunan yang hadir seperti halnya di Jawa, yakni bangunan yang tanpa dinding; tidak sedikit pula bangunan yang didirikan dengan kolong yang menjulang. Dalam hal dinding bangunan dengan sengaja dihadirkan maka dapat disaksikan usaha- usaha untuk menjadikan dinding ruangan ini menjadi daya tarik yang mampu menyaingi dominasi dari lempeng atap. Lihat saja dinding rumah Gadang di Minangkabau atau di Toraja, demikian pula dengan di Batak (Karo, Toba maupun Simalungun). Di situ sekujur dinding ruangan yang bagian luar dipenuhi oleh hiasan yang mampu menghilangkan kepolosan dinding, bahkan mampu membuat orang tidak melihat bagian ini sebagai dinding ruangan.

Dinding ruangan bisa ada sebagai unsur bangunan akan tetapi juga bisa tidak diperlukan keberadaannya. Tambi dan mbaru niang tidak memerlukan dinding ruangan, tetapi sebaliknya, rumah gonjong dan Tongkonan memutlakkan perlunya dinding ruangan ini. bila ditimbang bahwa bangunan itu pertama-tama adalah karena adanya atap sebagai naungan atau teduhan, maka kehadiran dinding ruangan dapat dikatakan sebagai hasil

59 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

dari memperpendek tingginya lempeng atap; semakin memendek tingginya lempeng atap akan semakin nyata kehadiran dari dinding ruangan. Kehadiran dinding sebagai pemalihan juga dapat dipandang sebagai usaha mengangkat lempeng atap menjadi lebih tinggi sehingga semakin berjarak dari muka tanah. Di sini, adanya kolong menjadi unsur yang penting mengingat kolong adalah unsur yang membuat lempeng atap berjarak dari muka tanah. Semakin meninggi kolongnya, akan semakin luas kesempatan bagi dinding ruangan untuk menampakkan dirinya. Dari sini dapat dikatakan bahwa dinding ruangan tidak menjadi unsur yang setara pentingnya dengan unsur atap dan unsur kolong.

Kolong Meskipun mbaru niang di Wae Rebo, terlihat sebagai bangunan yang atapnya hampir menyentuh lantai, tetapi sebenarnya saja bangunan ini memiliki bagian bangunan yang memisahkan dirinya dari tanah tempatnya dia berada. Di bawah geladak lantai dasar yang menjadi tempat tinggal dan tempat bermusyawarah ini dapat ditemui sebuah kolong yang tingginya sekitar satu meter dari muka tanah. Kolong ini terbentuk dari sejumlah tonggak yang ditancapkan ke dalam tanah. Jadi, meskipun tersembunyi, ternyata mbaru niang adalah bangunan yang berkolong, meskipun kolongnya hanya sekitar satu meter saja tingginya. Kolong yang terbentuk dari tiang yang ditancapkan ke dalam tanah bukan satu- satunya kolong yang ada di arsitektur Nusantara. masih ada sejumlah jenis kolong lain yang dimiliki oleh arsitektur Nusantara. Sekurangnya ada tiga jenis kolong bangunan yaitu

60 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

pertama kolong dari tiang tanpa balok, kedua, kolong dari tiang dengan balok, dan yang ketiga adalah kolong sebagai bentukan dari balok tumpuk.

Kolong dari tiang tanpa balok merupakan jenis kolong yang banyak ditemui di arsitektur Nusantara. Tiang-tiang yang membentuk kolong ini bisa saja merupakan tiang penopang kerangka atap, penopang kerangka lantai, maupun tiang sebagai pelengkap dinding ruangan. Oleh karena itu ada tiang kolong yang mencapai tinggi sampai pada atap bangunan, tetapi juga ada tiang yang hanya setinggi lantai ruangan. Tiang-tiang pembentuk kolong ini ada yang berdiri di atas umpak dan ada pula yang tertanam ke dalam tanah. Tiang yang berdiri di atas umpak dimaksudkan agar tiang dapat terbebas dari lapuk karena kelembaban tanah, dan dapat pula terbebas dari kerusakan yang terjadi oleh adanya getaran dan gerakan tanah (misalnya gempa atau longsor). Ketinggian dari tiang dapat saja hanya setinggi satu meter, seperti di mbaru niang. Di situ, tiang yang ditanam ke dalam tanah telah mengalami penanganan tertentu sebelum ditanam. Di bagian yang tertanam itu sebelumnya telah dibungkus dengan ijuk untuk menghindari rayap dan serangga perusak kayu. akan tetapi bisa saja lebih tinggi dari manusia yang berdiri (misalnya di arsitektur Aceh dan betang) dan bahkan bisa pula beberapa meter di atas tanah (di Papua). Kemudian, ada pula yang jarak antar tiangnya relatif rapat seperti umumnya arsitektur Bugis dan Buton, tetapi ada pula yang longgar jaraknya, seperti arsitektur Aceh. Dengan perbedaan jarak tiang ini kita juga berkesempatan untuk membuat pendugaan bahwa di tempat bersangkutan cukup mudah untuk mendapatkan balok geladak atau balok lantai yang panjang (dan karenanya jarak tiangnya dapat

61 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

renggang-renggang, seperti di Aceh dan Dayak Kalimantan). Perbedaan lebar antar tiang ini dapat dengan langsung berpengaruh pada kesan tampilan dari arsitektur. Kolong dengan tiang longgar cenderung menghasilkan kesan bangunan yang imbang antara horisontalitas dan vertikalitasnya; tetapi tidak demikian dengan bangunan yang tiangnya rapat, kesan vertikalitasnya lebih terasa daripada horisontalitasnya. Kolong bangunan dengan tiang yang tidak terangkai oleh balok ini ada yang tampil dengan sangat khas dan sekaligus menjadikan tampilannya mencengangkan. Di kawasan Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara dan Papua serta Papua Barat, dapat ditemui bangunan-bangunan yang tiang bangunannya bukan tiang yang lurus. Dengan kata lain, semua tiang bangunan adalah tiang bangunan yang bengkak-bengkok, samasekali tidak lurus. Meskipun serba bengkok, tetapi tiang-tiang yang di atas lantai bisa berupa tiang lurus, demikian pula dengan balok- balok bangunan maupun bubungan bangunan, semua merupakan kayu yang lurus.

Di samping bangunan dengan kolong yang berupa deretan tiang belaka, ada pula bangunan yang memiliki kolong yang terbentuk dari gabungan tiang dan balok. Di sini tiang-tiang kolong bangunan saling dirangkai satu dengan yang lain oleh balok-balok perangkai. Untuk arah membujur bangunan, balok perangkai juga merupakan sebatang balok kayu yang tidak disambung. Di sinilah keistimewaan dari kolong dengan tiang memakai balok perangkai. Arsitektur Batak Toba dan Karo pada khususnya, dan arsitektur Toraja adalah contoh jelas dari bangunan yang memakai kolong seperti ini. Selanjutnya, kolong yang seperti ini juga menunjukkan jarak antar tiang yang relatif saling berdekatan, serta penampang tiang yang umumnya berbangun lingkaran akan tetapi dengan balok

62 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

yang berpenampang persegi. Balok perangkai ini memiliki penampang yang membuat keberadaan sebagai balok atau sebagai papan menjadi kabur, dapat dikatakan sebagai papan tetapi juga bisa dikatakan sebagai balok. Meskipun tidak banyak arsitektur di Nusantara yang memiliki kolong berupa tiang yang berbalok, tetapi wujud arsitekturnya cukup menyita perhatian, seperti di arsitektur Toba dan arsitektur Toraja.

Baik kolong yang hanya berupa deretan tiang berkeliling maupun kolong dengan tiang yang dirangkai balok, keduanya membentuk kolong yang merupakan ruangan yang terbuka, ruangan yang isinya dapat dilihat dari luar dengan langsung. Kesempatan seperti ini tidak banyak didapat jikalau kolongnya terbentuk dari balok tumpuk. Bila dua balok membujur diletakkan sejajar, kemudian dekat ujungnya ditumpangi oleh dua balok melintang yang juga sejajar, maka terbentuklah ruangan kolong yang berbangun empat persegi panjang. Balok yang ditumpuk dengan posisi yang saling tegaklurus ini bisa saja mencapai lima tumpuk bujur-lintang (3 bujur dan 2 lintang, atau 2 bujur dan 3 lintang), dan penampang balok yang berbangun lingkaran sebesar sekitar 30 cm, dapat ditemui di kraton Batak Simalungun. Di situ balok-balok itu sepenuhnya hanya saling ditumpuk semata. Di Lobo, Sulawesi Tengah, balok tumpuknya dilengkapi dengan tali rotan sebagai pengikat antara yang membujur dengan yang melintang. Dari buku yang ditulis oleh Kaudern (1923) dapat diketahui bahwa sebagian banyak bangunan di Sulawesi Tengah di saat itu merupakan bangunan dengan kolong berupa balok tumpuk.

63 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Keberadaan kolong menimbulkan pertanyaan tersendiri. Tidak peduli apakah di pesisir ataukah di perbukitan, di persawahan ataukah di savana, di tengah rimba ataukah di pinggir sungai, hampir semua arsitektur Nusantara hadir dalam rupa bangunan berkolong.

Bagaimana mungkin keadaan tempat demi tempat saling berbeda dan tersendiri, tetapi semua bangunan menggunakan kolong. Ketut Wiradnyana (2009) dari Balai Arkeologi Medan membuat perkiraan bahwa pasang dan surutnya air serta perlindungan terhadap binatang buas adalah pertimbangan bagi hadirnya bangunan berkolong itu. Kita tidak akan membicarakan pertimbangan Wiradnyana itu, karena ada pertimbangan lain yang luput dari pengamatannya. Sebagai negeri dengan dua musim, maka musim hujan adalah sebuah kepastian yang tidak akan mungkin untuk ditolak. Hujan hanya akan menghasilkan tanah yang basah, tanah yang becek atau tanah yang bergeser hingga longsor. Hujan juga menjadi salah satu penyumbang bagi hadirnya banjir. Telah disampaikan di depan bahwa kehidupan siang hari masyarakat Nusantara lebih banyak dilangsungkan di luar bangunan, di emperan bangunan, di pelataran atau di ladang dan sawah. Semua tempat ini akan menjadi basah dan bisa menjadi becek bila ditimpa hujan. Dihadapkan dengan keadaan ini maka tinggal di lantai bangunan adalah salah satu penyelesaian yang jitu. Tetapi lantai bangunan ini harus terangkat dari muka tanah, dan karena itu hadirlah kolong bangunan. Bagaimanakah dengan tinggi-rendahnya lantai, dan sekaligus tinggi-rendahnya kolong bangunan? Apakah tingginya kolong berkaitan dengan ketakutan akan binatang buas? Karena kita tidak banyak tahu tentang binatang buas, sekaligus juga takut pada binatang tersebut, pertimbangan kolong yang tinggi karena binatang buas bisa menjadi mungkin

64 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

adanya. Penyelidikan yang mendalam dan teliti terhadap binatang buas menunjukkan bahwa binatang ini tidak dengan gampang langsung menyerang manusia. Selama teritorial binatang tersebut tidak dilanggar dan dimasuki, maka binatang buas itu tidak akan menjadi buas. Mengenai teritorial binatang ini, manusia juga dengan baik mengenal adanya teritori binatang buas ini, dan itu membuat manusia tidak melakukan intervensi ke teritorial binatang buas itu. Juga, binatang buas tidak perlu untuk harus keluar dari rimba untuk mencari mangsa, karena dalam rimba sudah tersedia banyak mangsa. Dari pertimbangan-pertimbangan itu maka tidak ada kaitan yang dapat ditarik antara tinggi- rendahnya kolong dengan keberadaan binatang buas sebagai ancaman.

Tinggi-rendahnya kolong bangunan secara langsung ditentukan oleh tinggi-pendeknya tiang yang menyangga bangunan. Berat bangunan yang tertentu akan menuntut tiang yang juga tertentu. Bisa saja tiang yang pendek yang digunakan karena memang tiang ini memiliki property yang memungkinkan; bisa saja pendek karena kayunya kuat dan awet. Kalau batang kayu yang pendek tidak memenuhi property-nya, maka batang kayu yang panjang adalah penyelesaiannya. Apakah masyarakat lama Nusantara sudah mampu mengenal property kayu? Hingga hari ini masih banyak masyarakat desa yang mengenal property dari kayu; sungguh nenek-moyang kita itu tolol kalau berabad lamanya menggunakan kayu untuk bangunan tetapi tidak mampu mengenal property kayu. Hanya kita saja yang tidak mampu mengetahui bagaimana nenek-moyang kita mengenal property kayu dan menandai kayu tersebut. Hal ini semakin membuat kita memberi penghargaan yang tinggi pada nenek-moyang kita itu saat kita berada di daerah Bulukumba, Sulawesi

65 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Selatan maupun di kepulauan Maluku. Betapa tidak, di tempat-tempat itu dapat kita temui tiang bangunan yang tidak tegak lurus dengan bumi. Ada tiang yang miring letaknya, dan bahkan ada pula tiang yang berkelok-kelok sehingga sama sekali tidak tegak lurus dengan bumi. Perpaduan antara penguasaan bahan bangunan serta pengetahuan mekanika teknik, benar-benar mengagumkan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak pandangan bahwa tinggi-rendahnya kolong bangunan banyak ditentukan oleh mutu maupun property dari batang kayu yang dipakai untuk tiang bangunan.

66