PELAYARAN NIAGA MANDAR PADA PARUH PERTAMA ABAD KE-20 MANDAR COMMERCIAL SHIPPING IN THE FIRST HALF OF THE 20TH CENTURY

Muhammad Amir Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 , 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: [email protected] Diterima: 17 Oktober 2019; Direvisi: 29 Oktober 2019; Disetujui: 29 November 2019

ABSTRACT This study reveals and explains various matters concerning the dynamics of Mandar commercial shipping in the first half of the 20th century. This study uses the historical method, which explains a problem based on a historical perspective with its stages consisting of heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The results of the study show that the maritime shipping and trade of Mandar people covered the entire archipelago so that they were known as an accomplished seaman. They did not only play an important role in building up the archipelago maritime network but also revived the port and people activities related to maritime trade. Mandar commercial shipping is also a connector between islands, thus make people felt closer who was fragmented in the archipelago. Therefore, the Mandar people play an important contribution in knitting Indonesian integration through the maritime tradition. To become a maritime nation, a nautical culture is needed and Mandar seamen have strengthened the foundation in developing as the world’s maritime axis. Keywords: commercial shipping, Mandar, and integration.

ABSTRAK Kajian ini mengungkap dan menjelaskan berbagai hal menyangkut dinamika pelayaran niaga Mandar pada paruh pertama abad ke-20. Kajian ini menggunakan metode sejarah yang menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah dengan tahapannya terdiri atas heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelayaran dan perdagangan maritim orang Mandar mencakup seluruh wilayah Nusantara, sehingga dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka bukan hanya berperan penting dalam membangun jaringan maritim Nusantara, melainkan juga menghidupkan aktivitas pelabuhan dan penduduk yang terkait dengan perdagangan maritim. Pelayaran niaga Mandar juga menjadi penghubung antarpulau, sehingga mendekatkan masyarakat yang terpisah-pisah di seluruh Nusantara. Oleh karena itu, orang Mandar berkontribusi penting dalam merajut integrasi Indonesia melalui tradisi bahari. Untuk menjadi negara maritim diperlukan budaya bahari dan para pelaut Mandar telah memperkuat pondasi dalam membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kata kunci: pelayaran niaga, Mandar, dan integrasi.

PENDAHULUAN menggantungkan diri secara langsung atau Indonesia adalah negara maritim tidak langsung pada laut. Karena itu, melihat (archipelagic state) yang terdiri atas 17.504 sejarah Indonesia dari wilayah daratan saja pulau (besar dan kecil), dengan panjang akan membawa akibat pada pengetahuan garis pantai 81.000 kilometer. Fakta ini dan pandangan tentang masa lampau yang menunjukkan bahwa sebelum dikenalnya jalur selalu berat sebelah, yang seharusnya adalah transportasi udara, banyak penduduknya yang sejarah tanah air (Lapian, 1987; Zuhdi, 2010).

121 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137

Itulah sebabnya Presiden Joko Widodo, dalam kerajaan di Nusantara, seperti Sriwijaya, pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2014, Majapahit, Aceh, Banten, Ternate, Makassar, mengingatkan bahwa kita telah terlalu lama Buton, dan kerajaan-kerajaan maritim lainnya memunggungi laut, samudra, selat, dan teluk. memperlihatkan corak yang pada Kini saatnya kita mengembalikan semangat orientasi sektor kelautan sebagai sumber bahari, karena jalesveva jayamahe (di laut justru potensi ekonomi untuk menopang kepentingan kita jaya) sebagai semboyang TNI AL. Sikap politik (kekuasaan) dan kesejahtraan rakyatnya. “memunggungi” laut itu, tidak hanya dalam Pendek kata, kebangkitan dan keruntuhan pembangunan, tetapi juga dalam pengkajian kerajaan-kerajaan itu sangat dipengaruhi oleh sejarah dan budaya yang belum sepenuhnya kemampuannya memanfaatkan (mengontrol) “berimbang” antara kelautan dan kedaratan. potensi laut (maritim) dan dinamika yang Penelitian mengenai sejarah dan budaya menyertainya. Dalam abad XVII, ketika Indonesia hingga kini masih banyak kekuatan maritim bangsa Eropa (khususnya berfokuspada aspek darat. Aspek laut masih Belanda) memaksakan monopoli perdagangan kurang mendapat perhatian. rempah-rempah, respon kerajaan-kerajaan itu Meskipun demikian, kajian berbeda. Ada yang bersekutu dan ada pula yang maritim telah dirintis oleh sejumlah peneliti berseteru. Oleh karena itu, penelitian mengenai atau pakar, di antaranya J.C. van Leur (1934) aspek kemaritiman (sejarah dan budaya) perlu yang mengkaji sejarah perdagangan mendapat perhatian agar pengalaman masa lalu Nusantara dari masa awal kedatangan bangsa- masyarakat Indonesia tidak banyak terabaikan bangsa Barat, dan O.W. Wolters (1967) (meminjam istilah Susanto Zuhdi). mengenai perkembangan pelayaran dan Sejauh ini, kajian sejarah masih perdagangan di Nusantara sebelum kedatangan berfokus pada kerajaan (institusi politik). bangsa-bangsa Eropa. Sementara sejarawan Peran pelaut lokal belum mendapat perhatian. Indonesia yang berfokus pada kemaritiman di Walhasil, ruang historiografi lebih banyak antaranya F.A. Sutjipto (1983) yang mengkaji dilihat dari segi politik kekuasaan. Padahal, kawasan di sekitar Selat Madura; A.B. Lapian kebangkitan maritim pribumi hanya dapat (1987) meneliti sejarah kawasan Laut Sulawesi dicapai bila mendapat dukungan dari pelaut dengan fokus pada fenomena orang laut, lokal, Namun, studi mengenai peran suku laut, dan raja laut; I Gde Parimartha (2002) bangsa maritim di Indonesia belum banyak yang meneliti tentang perdagangan dan politik dilakukan. Kehadiran mereka cenderung di Nusa Tenggara; Singgih Tri Sulistiyono dipandang sebagai “pelengkap” dalam ruang (2003) mencoba untuk melacak pasang-surut historiografi Indonesia. Pada konteks inilah, perkembangan Jaringan Laut Jawa dalam penelitian mengenai dunia maritim Indonesia kaitannya dengan perkembangan pelayaran menjadi penting dilakukan. Selain sebagai dan perdagangan antardaerah dalam kerangka refleksi pengalaman masa lalu masyarakatnya, proses integrasi ekonomi di Indonesia; dan juga bagian dari upaya memperkuat integrasi Gusti Asnan (2000) tentang dunia maritim bangsa dan memberikan kerangka acuan bagi pantai Barat Sumatera. Sementara Eward L. pemerintah yang sedang bergiat membangun Poelinggomang (1991) mengenai perdagangan (kembali) poros maritim. Upaya ini perlu Makassar; Susanto Zuhdi (1999) mengenai diperkaya dengan hasil-hasil kajian, baik Kesultanan Buton; dan Abdul Rasyid Asba menyangkut pelayaran dan perdagangan (2003) tentang perdagangan kopra di Makassar. maritim. Realitas studi tersebut menimbulkan Berdasarkan uraian singkat tersebut, pertanyaan, apakah sejarah dan aktivitas maka yang menjadi pokok persoalan dalam manusia Indonesia lebih banyak terjadi di darat? kajian ini adalah bagaimana jaringan pelayaran Padahal perkembangan dan dinamika kerajaan-

122 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pelayaran Niaga Mandar pada Paruh... Amir niaga Mandar dan peranan pelaut Mandar pelaku sejarah dan tokoh masyarakat mampu dalam merajut integrsai Indonesia pada paruh memberikan informasi tentang objek kajian. pertama abad ke-20. Penjelasan mengenai Sumber yang telah dikumpulkan tersebut hal ini akan ditelusuri pada faktor lingkungan dianalisis melalui tahapan kritik sumber, (alam) dan latar kesejarahan orang Mandar. interpretasi, dan kemudian direkonstruksi Karena interaksi antara manusia dengan menjadi narasi sejarah tentang pelayar niaga lingkungannnya menciptakan karakter (mental) Mandar pada paruh pertama abad ke-20. yang mendasari orang Mandar berorientasi ke laut. Selain itu, juga penjelasan mengenai PEMBAHASAN kompleksitas yang mempengaruhi dan Sekilas Tentang Mandar perubahan sosial yang menyertainya tidak dapat diabaikan dalam memahami dinamika Daerah Mandar yang kini menjadi pelayaran dan perdagangan maritim orang Provinsi Sulawesi Barat terbentuk berdasarkan Mandar. Sebagaimana dipahami bahwa orang Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 yang Mandar merupakan salah satu etnik di Sulawesi disahkan dalam sidang paripurna Dewan yang berorientasi ke laut. Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada 22 September 2004, dan diresmikan METODE pembentukannya pada 16 Oktober 2004. Jauh sebelumnya wilayah yang terdiri atas Untuk menjawab persoalan penelitian, Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), diperlukan analisis berdasarkan metode Majene, dan Mamuju merupakan bagian dari sejarah. Sebuah metode yang merekonstruksi Provinsi Sulawesi Selatan. Tiga wilayah yang kembali peristiwa masa lampau melalui sejak dahulu dikenal dengan Mandar, terletak tahapan kerja pengumpulan sumber-sumber di pesisir barat bagian utara jazirah selatan sejarah, menilainya secara kritis, dan Sulawesi. Jarak antara Makassar dengan menyajikan dalam bentuk narasi sejarah. Dua Sulawesi Barat, kurang lebih 300 km di sebelah jenis sumber yang digunakan dalam kajian utara Kota Makassar. Terletak antara 118º dan ini, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. 119º BT dan antara 1º dan 3º LS. Batas wilayah Sumber tertulis terdiri atas manuskrip lokal pemerintahannya pada bagian timur dan yang disebut lontarak (manuskrip yang semula selatan berbatasan dengan wilayah Propvinsi ditulis pada daun lontar) dan sumber tertulis Sulawesi Selatan, pada bagian barat berbatasan lainnya. Sumber lontarak yang digunakan dengan Selat Makassar, dan pada bagian utara diperoleh dari Museum Daerah Mandar berbatasan dengan wilayah Provinsi Sulawesi di Majene, yaitu Lontarak Pattodioloang Tengah. Luas wilayah provinsi ini adalah Mandar, Lontarak Pattappingan Mandar, dan 16.937,16 kilometer persegi (Poelinggomang, Lontarak Balanipa Mandar. Meskipun ketiga 2012:17). Wilayah pemerintahan provinsi ini lontarak ini tidak menggunakan penanggalan, terdiri atas enam wilayah pemerintah kabupaten, tetapi dapat memberikan informasi yang amat yaitu Kabupaten Polewali Mandar (Polman), penting tentang objek kajian. Selain itu, kajian Kabupaten Mamasa, Kabupaten Majene, ini juga menggunakan sumber tertulis lainnya, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara, baik berupa dokumen dan sumber-sumber dan Kabupaten Mamuju Tengah. sejarah lainnya yang tersimpan pada lembaga Data keberadaan wilayah itu menunjukkan kearsipan, maupun berupa buku, artikel, dan bahwa Provinsi Sulawesi Barat yang berada pada hasil penelitian yang berkaitan dengan pelayaran pesisir pantai jalur pelayaran dan perdagangan dan perdagangan maritim orang Mandar. maritim Selat Makassar. Lima dari enam Sementara sumber lisan diperoleh melalui kabupaten memiliki wilayah pantai, mulai dari wawancara mendalam dengan para pelaut atau

123 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137 kabupaten paling utara yaitu Kabupaten Mamuju dasar pembentukan kerajaan yang kemudian Utara ke selatan Kabupaten Mamuju Tengah, diangkat menjadi raja pertama di masing- Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, dan masing kerajaan tersebut. Kabupaten Polewali Mandar. Hanya Kabupaten Sementara kedatangan Tomanurung di Mamasa yang tidak memiliki wilayah pantai. Mandar, dikisahkan sebagai tokoh pemula Garis pantai yang panjang dari utara ke pemukiman yang kemudian tersebar ke selatan ini telah melapangkan penduduknya berbagai wilayah. Dalam Lontarak Balanipa yang mayoritas orang Mandar dikenal sebagai Mandar dan Lontarak Pattodioloang di Mandar pelaut dan pedagang antarpulau yang ulung, di memberikan keterangan bahwa manusia samping kegiatan sebagai nelayan dan petani pertama yang disebut Tomanurung datang ke tambak. Selain di provinsi ini, pemukiman Mandar dan mendarat di Ulu Saddang (hulu orang Mandar juga dapat dijumpai pada Sungai Saddang). Lebih lanjut dikisahkan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, seperti dalam kedua lontarak itu, bahwa Tomanurung di Kabupaten Pinrang, Kabupaten Pangkep, di Ulu Saddang kawin dengan Tokombong di Kabupaten Selayar, dan Kota Makassar serta Bura (muncul dari busa air) yang melahirkan provinsi lainnya di Indonesia. anak bernama Tobanua Pong. Lalu Tobanua Pong kawin dengan Tobisse di Tallang yang Latar Integrasi Mandar melahirkan beberapa orang anak, antara lain: Landobelua,1 Lasokeppang, Lando Guttu, Usuk Awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Sabambang, dan Pakdorang.2 Perkawinan antara wilayah Mandar belum dapat dipastikan. Pakdorang dengan Rattebiang melahirkan Berdasarkan keterangan lisan dan naskah empat orang anak; Tusudidi, Sibannangan lokal berupa lontarak (naskah yang semula (tinggal di Mamasa), Pongkapadang (tinggal di ditulis pada daun lontar) menunjukkan bahwa, Makbuliling), dan seorang yang tidak diketahui asal mula kerajaan-kerajaan di jazirah selatan namanya tinggal di Massupu. Pongkapadang Sulawesi tidak terlepas dari kedatangan seorang kawin dengan Sanrobone di Buttu Bulu yang pangerang atau putri baik dari atas maupun dari bawah. Dikatakan Tomanurung apabila seorang melahirkan anak bernama Bellotere (Lontarak Pattodioloang: 7; Lontarak Balanipa: 5). yang tidak diketahui nama dan asal-muasalnya muncul dari atas dan dikatakan Totompok Bellotere kemudian kawin dengan seorang apabila ia muncul dari bawah. Munculnya pria yang tidak disebutkan namanya datang dari Tomanurung itu biasanya diawali konflik antara Makka dan berlabuh di lereng Buttu Allo. Dalam lontarak dikisahkan bahwa air laut dahulu satu negeri yang disebut wanua (Bugis), banua atau lembang (Mandar), dan borik (Makassar) 1 Dalam lontarak dikisahkan, bahwa I Landobelua dengan negeri lainnya yang susah didamaikan kawin dengan putra Raja Bone, namun tidak jelas apakah (PaEni, 1986: 35). Dalam sumber-sumber ia terlebih dahulu ke Gowa baru ke Bone atau sebaliknya. lontarak diceritakan bahwa hanya Tomanurung Sedangkan Lasokeppang, Lando Guttu, dan Usuk Sabambang tidak dikisahkan lebih lanjut dengan siapa yang dapat atau mampu mendamaikan konflik- mereka kawin (Lontarak Pattodioloang: 8-9). konflik tersebut. Tomanurung di Gowa dan 2 Menurut Mattulada bahwa perkawinan antara Bone misalnya, menjadi tokoh pemersatu Tobanua Pong dengan Tobisse di Tallang melahirkan yang berhasil memulihkan kehidupan tujuh orang anak, namun hanya lima orang yang masyarakat yang sebelumnya dikisahkan disebutkan namanya dalam lontarak. Kelima orang anak itu kemudian tersebar ke berbagai wilayah, yaitu dalam keadaan kacau balau dan membangun Landobelua ke Gowa, Lasokeppang ke Belua (Luwu), tatanan pemerintahan yang terorganisasi dalam Lando Guttu tinggal di Ulu Saddang, Usuk Sabambang bentuk kerajaan (Lontarak Akkarungeng Bone; tinggal di Karonangan, dan Pakdorang tinggal Bittuang. Patunru,1983:2). Itulah sebabnya Tomanurung Itulah sebabnya orang Mandar menyatakan diri bersaudara dengan orang Toraja, orang Luwu (Bugis), di Gowa dan Bone dianggap sebagai peletak dan orang Gowa (Mattulada, 1998: 63)

124 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pertunjukan Barongsai pada Cap Go Meh... Irwan sampai di Buttu Bulu dan Buttu Allo (Lontarak penurunan permukaan laut (masa glasial). Pattodioloang: 8). Mereka melahirkan anak Di samping itu, juga dapat dipahami bahwa yang dinamakan Tometeeng Bassi. Selanjutnya, penghuni daerah ini adalah kelompok migran Tometeeng Bassi melahirkan Daeng Lumalek, yang datang dari daerah lain, diperkirakan dan Daeng Lumalek melahirkan sebelas orang dari Cina Selatan, yang kemudian menetap anak. Kesebelas orang bersaudara itu, adalah: dan membangun persekutuan masyarakat. Hal (1) Daeng Tumanang tinggal di Peurangan, inilah yang mendasari penduduk daerah pesisir (2) Lamberesusu tinggal di Makka, (3) Daeng (babana binanga) dan daerah pedalaman Manganna tinggal Tabulahang, (4) Sambalima (ulunna salu) bercikal bakal pada keturunan tinggal di Tabang, (5) Pullaomesa tinggal di yang sama dan bersaudara (Poelinggomang, Ulu Salu, (6) Taandiri tinggal di Mamuju, 2004: 3). (7) Daeng Palullung tinggal di Sendana, (8) Namun karena berbagai alasan, seperti Todipikung tinggal di Malakbo, (9) Taluwattu pertambahan penduduk, bencana alam, wabah tinggal di Mambu,3 (10) Topanibulu pergi ke penyakit ataupun karena persoalan adat dan Bone, dan (11) Topalik tinggal di Lemo (Napo). sistem kekuasaan, sehingga mereka berpindah Topalik melahirkan Tobittoeng dan Tobittoeng dan membangun permukiman baru. Persebaran kemudian kawin dengan putra Tomakaka Napo, permukiman ke berbagai tempat di Mandar dan lahirlah Taurra-urra. Lalu Taurra-urra kawin tersebut, lambat laun berkembang menjadi dengan putri Tomakaka Lemo, yang kemudian persekutuan masyarakat yang disebut banua melahirkan We Apas. Perkawinan antara We atau lembang di bawah seorang pimpinan yang Apas dengan Puang di Gandang (putra Tomakaka dikenal Tomakaka. Maksudnya, orang yang Napo), melahirkan Imanyambungi yang digelar dituakan dan memiliki kelebihan dan kearifan 4 Todilaling (Leyds, 1940: 9-16). yang dapat dijadikan sebagai teladan dalam Gambaran yang dikisahkan dalam kedua kehidupan masyarakat. Menurut Darmawan lontarak tersebut, tidak hanya menunjukkan bahwa Tomakaka dapat diartikan sebagai orang bahwa Tomanurung di Ulu Saddang sebagai yang punya kesanggupan dalam segala hal tokoh pemula adanya pemukiman di Mandar atau sanggup mengayomi masyarakat. Selain (baik di daerah pegunungan maupun di daerah di Mandar istilah Tomakaka juga dikenal pesisir), tetapi juga memberikan petunjuk di Tanah Toraja dan Luwu. Tomakaka tidak bahwa pada prinsipnya penduduk Mandar hanya diartikan sebagai orang yang dianggap (Sulawesi Barat) dan Sulawesi Selatan, bahkan kakak, tetapi lebih dari itu. Sebab, kata itu Sulawesi Tengah memiliki latar kesejarahan mengandung makna yang lebih dalam dan yang sama dan bersaudara. Selain itu, juga mempunyai arti simbolik apabila kata kaka itu menunjukkan bahwa pemukiman di daerah mendapat awalan ma sehingga menjadi kata ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi makaka di belakang kata to. Jadi Tomakaka bermakna orang yang dituakan dan mempunyai 3 Taluwattu melahirkan tiga orang anak, yaitu I banyak kemampuan sehingga diangkat menjadi Manriwa – neneknya orang Matanga, Sappawiwa tinggal di Tawang, dan yang ketiga tinggal di Mambu – neneknya pemimpin. Tomakaka juga berarti Tomakkelita, orang di Padang. artinya orang yang memiliki lita atau negeri 4 Meskipun nama-nama tersebut ada sedikit per- (Rahman, 1988:155). bedaan antara Lontarak Balanipa Mandar dan Lontarak Para Tomakaka yang tersebar di daerah Pattodioloang di Mandar, tetapi substansinya dapat dikatakan tetap sama. Demikian pula halnya dengan kisah Mandar, pada umumnya terkait atau merupakan yang bersumber dari keterangan-keterangan lisan dari keturunan dari Tomanurung di Ulu Saddang. Pitu Ulunna Salu yang dikemukakan oleh Leyds, pada Dalam tulisan Leyds yang bersumber dari prinsipnya terdapat cukup banyak persamaan, misalnya lontarak, disebutkan bahwa Tomakaka yang nama Pakdorang, Pongkapadang, sebelas bersaudara, pertama menetap di Ulu Saddang kemudian Tobittoeng, dan Taurra-urra.

125 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137 keturunannya tersebar ke berbagai daerah dan tampaknya tidak mampu mengatasi ancaman terdapat 41 Tomakaka di Mandar, yang masing- dan gangguan dari luar, sehingga mereka masing memerintah di daerah domisilinya kemudian mencari seorang pemimpin yang 5 (Leyds, 1940: 19-20). dapat membantu untuk menyelamatkan rakyat Pada awalnya kepemimpinan Tomakaka dan negeri atau mempertahankan keutuhan dapat berjalan dengan baik dan menjadi wilayahnya (Amir, 2011: 50). Usaha pencarian teladan yang senantiasa mengayomi warganya. itu akhirnya tertuju kepada Imanyambungi Namun dalam perkembangannya tidak berjalan karena dianggap mampu dan cakap untuk sebagaimana yang diharapkan masyarakat. menjadi pemimpin berdasarkan pengalaman Sebab sejumlah Tomakaka, seperti Tomakaka di Kerajan Gowa.6 Itulah sebabnya, mereka Passokkorang, Lenggo, Lempong, dan Tande juga berusaha menjalin hubungan dengan berusaha menguasai Tomakaka lain, sehingga Gowa, suatu kerajaan yang telah membangun terjadi konflik antara Tomakaka yang satu hegemoni kekuasaan di jazirah selatan Sulawesi dengan lainnya. Akibatnya ketenteraman sejak abad ke-16. dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat terganggu (Lontarak Pattodioloang: 10). 6 Imanyambungi adalah putra dari Tomakaka Puang Kenyataan itu mendorong sejumlah di Gandang dari Napo yang amat bijak, pemberani, Tomakaka, seperti Tomakaka Napo, Samasundu, dan amat disegani. Ibunya bernama We Apas putri Mosso, dan Todatodang untuk mempersatukan dari Tomakaka di Lemo. Namun terdapat sejumlah diri dalam suatu ikatan persekutuan yang dikenal versi tentang keberangkatan Imanyambungi ke Gowa. Pertama, ketika usia Imanyambungi beranjak empat belas Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar). tahun, ia terlibat dalam suatu pembunuhan yang dilaku- Dalam perkembangannya, persekutuan ini pun kannya secara terpaksa terhadap sepupunya, saat mereka

5 Adapun keempat puluh satu Tomakaka itu adalah: melakukan sabung ayam di halaman rumah neneknya. (1) Tomakaka di Ulu Saddang, (2) Tomakaka di Motting Rakyat menilai bahwa peristiwa itu merupakan perbuatan tercelah dan melanggar adat, sehingga harus mendapat – Botang, Rantebulahan, (3) Tomakaka di Rantebulahan, hukuman dipatei (dibunuh) atau dipaliq (diasingkan). (4) Tomakaka di Lembang Api – Allu, (5) Tomakaka Walaupun neneknya sebagai Tomakaka yang disegani, di Makula – Pambusuang, (6) Tomakaka di Salimbokbo namun kehendak orang banyak harus dilaksanakan. – Ulu Mandak, (7) Tomakaka di Lenggo – Mapilli, (8) Tomakaka Tomakaka di Batuwulawang, (9) Tomakaka di Garombang Mosso yang menyaksikan peristiwa itu menilai bahwa hal itu terjadi karena Imanyambungi – Bulo, Mapilli Utara, (10) Tomakaka di Tamaranu, mendapat penghinaan yang dilontarkan oleh sepupunya, (11) Tomakaka di Pojosang – Napo, (12) Tomakaka di setelah ayamnya kalah dalam sabung ayam itu. Dengan Saragian – Allu, (13) Tomakaka di Ambok Padang – usaha yang keras dari Tomakaka Mosso, Imanyambungi Tubbi, (14) Tomakaka di Kelapa Dua, (15) Tomakaka di akhirnya diasingkan ke Gowa. Versi kedua, bahwa Passokkorang, (16) Tomakaka di Malandi – Campalagian, sifat yang selalu ingin tahu, bebas dan ingin mendapat (17) Tomakaka di Karamangang, (18) Tomakaka di Titie – pengalaman yang lebih luas, membawa Imanyambungi Mapilli, (19) Tomakaka di Leranglerang, (20) Tomakaka nekad naik ke perahu orang Makassar yang sedang di Napo, (21) Tomakaka di Pangale – Samasundu, (22) berlabuh di Balanipa, dan bersembunyi di ruang barang. Tomakaka di Sajoang – Allu, (23) Tomakaka di Salarri – Sementara perahu sedang berlayar tanpa diketahui oleh Limboro, (24) Tomakaka di Leppong – Renggean, (25) siapapun, ia tiba-tiba muncul digeladak dan mengagetkan Tomakaka di Puttanginor – Allu, (26) Tomakaka di Patui semua awak perahu. Seusai tanya jawab, nahkoda – Tandassura, (27) Tomakaka di Tande – Majene, (28) memutuskan untuk mengembalikannya ke Balanipa. Tomakaka di Buttupau – Pamboang, (29) Tomakaka di Namun, keputusan itu ditolak oleh Imanyambungi. Oleh Salabose – Majene, 30) Tomakaka di Sonde – Tappalang, karena pada dirinya tampak suatu keanehan berupa (31) Tomakaka di Selumase – Tappalang, (32) Tomakaka pancaran sinar yang keluar dari tubuhnya dikala sedang di Puttade – Cenrana, (33) Tomakaka di Seppong – Ulu tidur, sehingga nahkoda menganggap bahwa ia bukan Mandak, (34) Tomakaka di Tabbang – Sebelah Timur orang biasa. Sesampainya di Gowa, ia langsung diantar Mamasa, (35) Tomakaka di Balobang – Pamboang, ke istana Gowa, dan akhirnya ia diterima dan dianggap (36) Tomakaka di Puabang – Majene, (37) Tomakaka sebagai warga istana dan mendapat perlakuan serupa di Binuang, (38) Tomakaka di Lebbani Mamuju, (39) – dengan anak-anak raja di istana (Syah, 1997: 10-13; Tomakaka di Kalukku Mamuju, (40) Tomakaka di – Leyds, 1940: 23). Kalumpang, dan (41) Tomakaka di Lomo – Mamuju.

126 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pertunjukan Barongsai pada Cap Go Meh... Irwan

Ketika kembali ke negeri kelahirannya melalui Perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Napo, Imanyambungi segera memerangi Luyo) pada abad ke-16. Perjanjian ini bukan para Tomakaka yang mengancam Appe hanya dilatari oleh meningkatnya konflik Banua Kaiyang. Atas dukungan dan bantuan antarkerajaan dalam memperluas wilayah dari Gowa dan Appe Banua Kaiyang, ia kekuasaan, tetapi juga persaingan dalam berhasil mengalahkan dan menaklukkan para mengontrol perdagangan maritim di Mandar. Tomakaka yang selama ini membuat keonaran Oleh karena itu, pembentukan Konfederasi di Mandar (Saharuddin, 1985: 45; Kila, 2014: Mandar bertujuan untuk menjalin kerjasama 213). Keberhasilan Imanyambungi dalam dalam rangka membangun dan mewujudkan memulihkan ketenteraman dan ketertiban kesejahteraan dan kedamaian di wilayah masyarakat, sehingga ia dipilih dan diangkat Mandar. Selain itu, perjanjian yang mendasari menjadi pemimpin atau pemegang kendali konfederasi ini juga mengandung nilai kekuasaan atas persekutuan Appe Banua persatuan dan kesatuan atau integrasi serta Kaiyang dan negeri-negeri yang ditaklukkan. toleransi dan persaudaraan. Itulah sebabnya Pembentukan kesatuan pemerintahan inilah sejumlah perjanjian antarkerajaan, dikenang yang kemudian menjadi dasar berdirinya oleh masyarakat sebagai konvensi dalam Kerajaan Balanipa, dengan pusat pemerintahan menata kehidupan bersama dan hubungan di Napo, suatu wilayah yang sejak lama dikenal antarkerajaan di Mandar yang memandang sebagai bandar niaga di Mandar. kerajaan lain sebagai bagian yang terpisahkan Demikian pula dengan para Tomakaka dari keberadaannya. yang lain di Mandar, baik di daerah pesisir atau muara sungai (babana binanga) maupun Mandar dalam Lintasan Pelayaran Niaga di daerah pedalaman atau hulu sungai (ulunna Kerajaan-kerajaan di Mandar dalam salu) berusaha membentuk persekutuan yang menata kehidupan bersama di wilayah tersebut, terdiri atas beberapa negeri (banua) dalam suatu bukan hanya berusaha menjalin hubungan kesatuan pemerintahan yang kemudian disebut kerjasama dengan kerajaan lain, tetapi juga kerajaan. Di daerah pesisir pantai atau muara mengeluarkan kebijakan yang berkaitan sungai, selain Kerajaan Balanipa terbentuk pula dengan pengembangan perdagangan maritim. sejumlah kerajaan antara lain Sendana, Banggae Kerajaan Balanipa misalnya, merespon (Majene), Pamboang, Tappalang, Mamuju, dan 7 dengan pemindahan pusat pemerintahan yang Binuang. Ketujuh kerajaan di pesisir pantai itu sebelumnya ditempatkan di Napo ke daerah kemudian membentuk persekutuan yang dikenal pesisir pantai yang terletak di muara Sungai dengan Pitu Babana Binanga. Hal inilah yang Mandar, yang disebut dengan Tangga-Tangga. melapangkan orang Mandar menjadi pelaut Dalam rangka menyongsong kepindahan pusat ulung dan mereka tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan itu, dibentuklah petugas-petugas laut, sebagaimana ungkapan bahwa “sisara’ kerajaan yang dalam lontarak disebut dengan pai mata malotong anna mapute, anna sisara’ sakka manarang (lengkap segala kepandaian), sasi lopi, anna to Mandar (nanti berpisah mata ” yaitu berjumlah “seribu orang” (tau sallesso- hitam dari putihnya, barulah laut, perahu, dan rang) dengan berbagai keterampilan khusus. orang Mandar berpisah (Rahman, 2014:49). Misalnya: pembuat perahu, pemintal tali, Dalam perkembangannya, kedua perse- pembuat layar perahu, tukang kayu, pandai kutuan itu membentuk Konfederasi Mandar emas, pandai besi, pandai kuningan, pembuat

7 Sementara di daerah pegunungan atau hulu sungai alat batu, pembuat alat kesenian, pengukir, terbentuk Kerajaan Rantebulahan, Tabulahan, Aralle, pasukan berani mati, pasukan penyumpit, Mambi, Matangnga, Tabang, dan Bambang. Ketujuh pasukan senapan, pasukan pengawal, pengasuh, kerajaan di hulu sungai itu kemudian membentuk juru masak, pengambil air, dan pengambil kayu. persekutuan yang dikenal dengan Pitu Ulunna Salu.

127 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137

Masing-masing kelompok tersebut terdiri atas pengungkapannya tentang jaringan pelayaran dua puluh orang (Lontarak Pattodioloang: 14). niaga, Hall memasukkan pelabuhan-pelabuhan Selain itu, juga diangkat pejabat yang bertugas di jazirah selatan Sulawesi ke dalam jaringan mengatur lalu lintas dan pendaratan perahu pelayaran niaga yang sebagian besar berada dagang yang keluar masuk pelabuhan yang di bawah pengawasan kelompok pedagang disebut sawannar (sahbandar). di Jawa.9 Dalam babat Negarakartagama Keterlibatan penduduk di jazirah selatan yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1364, Sulawesi, termasuk di kawasan Mandar menyebutkan beberapa wilayah di kawasan yang kini dikenal dengan Sulawesi Barat ini yang didatangi armada dagang Majapahit, dalam dunia maritim tidak dapat dipisahkan yaitu Luwu, Bantaeng, Selayar, dan Makassar.10 dari kegiatan pelayaran dan perdagangan di Menurut Edward L. Poelingomang, bahwa wilayah Kepulauan Indonesia pada khususnya sesungguhnya Makassar yang disebut itu serta Asia Tenggara dan Asia Timur pada adalah pelabuhan yang berada di pesisir barat umumnya. Kebijakan perdagangan yang umum jazirah selatan Sulawesi, seperti Tallo, Siang dilaksanakan di Asia Tenggara sejak lama, bukan (Pangkajene), Bacukiki (Parepare), Suppa, saja diarahkan untuk memikat pedagang dan dan Napo (Balanipa, Mandar). Wilayah ini pelaut di wilayah ini (Bugis, Makassar, Mandar, yang dalam perkembangan kemudian, apabila

Selayar, dan Bajo) dan lainnya (Buton, Jawa, Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang dan Melayu), tetapi juga bagi bangsa manapun meliputi pesisir timur Semenajung Malaka, Thailand, yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim dan Selatan (untuk memudahkan, kita sebut di Asia Tenggara. Dalam hubungan itu peranan jaringan perdagangan Laut Cina Selatan). Keempat, pelaut dan pedagang di wilayah ini tidak dapat jaringan perdagangan Laut Sulu yang meliputi pesisir dibaikan. Mereka tidak hanya melakukan barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara ( Darussalam). Kelima, jaringan pelayaran niaga ke daerah-daerah produksi perdagangan Laut Jawa yang meliputi Kepulauan Nusa komoditi terpenting ketika itu, yaitu rempah- Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, rempah di Maluku dan kayu cendana di Timor Jawa, dan bagian selatan Sumatra. Jaringan perdagangan dan Sumba. Tetapi mereka juga melakukan yang terakhir ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Pada dasarnya setiap jaringan pelayaran niaga ke badar-bandar niaga di perdagangan memiliki pola khusus perkembangan Jawa, Selat Malaka, Kalimantan, dan lainnya. pertukaran internalnya, akan tetapi berlangsung Keterbukaan dan jalinan hubungan niaga yang hubungan perdagangan antara jaringan perdagangan- baik itu, bahkan memikat juga para pedagang jaringan perdagangan itu (Hall, 1985: 20-25 dan 224- lain datang ke wilayah ini untuk melakukan 225; Poelinggomang, 2002:19-20). 9 Pelayaran pedagang di Jawa itu menyusuri ke kegiatan niaga (Poelinggomang,2002:28). timur melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusa Tenggara Keterangan tentang bandar niaga atau hingga memasuki Maluku dan kemudian menelusuri pelabuhan-pelabuhan di kawasan Sulawesi pelabuhan di jazirah selatan Sulawesi terus ke arah utara hingga akhir abad ke-15 belum dapat menelusuri pesisir timur Kalimantan hingga mencapai dipastikan. Kenneth R. Hall, seorang sejarawan Mindanao. Pelayaran ke arah barat melalui pesisir timur Sumatera dan memasuki jaringan perdagangan Selat yang mengkaji perdagangan di Asia Tenggara Malaka hingga pelabuhan-pelabuhan di Sumatera Utara tidak menyebutkan atau memasukkan wilayah (Poelinggomang, dkk., 2005a:52). Sulawesi dalam lima jaringan perdagangan di 10 Dalam babat Negarakartagama diperoleh Asia Tenggara sekitar abad ke-14 dan permulaan keterangan bahwa setelah Gadjah Mada diangkat menjadi abad ke-15.8 Meskipun demikian, dalam mangkubumi (1331-1364) menggantikan Arya Tadah, Kerajaan Majapahit mulai melancarkan ekspedisi untuk 8 Kelima jaringan perdagangan (commercial menguasai Nusantara. Ekspedisi ini menduduki beberapa zones) ketika itu adalah: pertama, jaringan perdagangan daerah di Sulawesi, di antaranya Bantayang (Bantaeng), Teluk Begal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Luwuk (Luwu), Makassar, Butung (Buton), dan Selaya Selatan, Sri Langka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir atau Selayar (Yamin, 1986:60-63; Poelinggomang, utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan 2005b:3).

128 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pertunjukan Barongsai pada Cap Go Meh... Irwan mengikuti ulasan Eredia disebut “Wilayah Setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada Makassar” (Macazar Regiam). Kota pelabuhan 1511, dan timbul ancaman keamanan pelayaran Makassar yang hingga kini bertahan dengan laut di beberapa jalur pelayaran, para pedagang sebutan itu sesungguhnya baru dibangun pada dan pelaut berusaha mencari jalur pelayaran dan paruh kedua abad ke-16, yaitu pada masa pelabuhan yang aman. Pedagang Cina, Spanyol pemerintahan Raja Gowa X, Tunipalangga di Luzon, dan Sulu memanfaatkan jalur Selat 11 Ulaweng (1546-1565). Makassar dalam pelayaran mereka ke selatan. Pelabuhan-pelabuhan di jazirah selatan Sementara pedagang Melayu dinyatakan Sulawesi itu mulai menjadi pusat kegiatan meninggalkan Malaka dan mencari koloni pada akhir abad ke-15, dan berada di tengah- dagang baru, di antaranya pelabuhan Siang tengah dunia perdagangan. Di bagian utara (Pangkajene) dan pelabuhan lainnya di jazirah berkembang jaringan perdagangan Laut Sulu, di selatan Sulawesi (Poelinggomang, 2002:22). bagian timur dan selatan jaringan perdagangan Berdasarkan sejumlah kajian yang ditulis Laut Jawa, dan di barat jaringan perdagangan menurut pemberitaan bangsa asing menyangkut Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Teluk jazirah selatan Sulawesi, bahwa perdagangan Begal.12 Meskipun jaringan perdagangan di di Siang telah berkembang pesat jauh sebelum wilayah itu, mengalami kegoncangan akibat Makassar muncul. Bahkan Kerajaan Gowa dan intervensi bangsa Eropa, tetapi perniagaan Tallo pernah berada dalam kekuasaannya. Siang terus berlangsung sehingga terjadi pergeseran (Sciom, Ciom atau Ciam) pertama kali muncul jaringan pelayaran niaga. Jaringan pelayaran pada sumber Eropa dalam sebuah peta Portugis niaga yang berpusat di Cina Selatan misalnya, yang bertarikh 1540. Selain Siang, pembuat peta yang menurut Hall meliputi pelabuhan- Portugis itu juga mengenal beberapa tempat pelabuhan di pesisir Vietnam, Thailand, (pelabuhan) yang berada di pesisir barat Sulawesi Semenanjung Malaka, Filipina, dan menjalin seperti, Tetoli (Toli-Toli), Mamallo atau Mamoio hubungan dengan pelabuhan-pelabuhan di (Mamuju), Curicuri, Quiqui atau Quriquri Jawa seperti Tuban, Gresik, Jepara, dan Demak. (Kurikuri, Mamuju), Mandar (Balanipa), Supa (Suppa), Lynta (Alitta), Machoquique (Bacukiki), 11 Dalam laporan perjalanan Tome Pires pada awal abad ke-16 (1512-1513), yang ditulis berdasarkan Tello (Tallo), Goa (Gowa), dan Agacim atau keterangan pedagang Melayu, disebutkan bahwa Agaci (Garessi), dan lain-lain (Pelras,1973:53; “Kepulauan Makassar berada di jalur menuju Maluku, Andaya,2004:25). Menurut pemberitaan yang dicapai lewat pelayaran dari Tanjungpura selama Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis empat atau lima hari. Kepulauan ini terdiri dari yang mengujungi Siang pada 1542, bahwa orang banyak pulau dan merupakan negeri besar. Dari sini kita dapat bertolak ke Buton dan Maluku dan juga ke Melayu telah menetap di bandar niaga itu sejak utara. Penduduknya masih kafir. Penduduk kepulauan sekitar tahun 1490 (Poelinggomang,2002:23).13 ini melakukan perdagangan dengan Malaka, Jawa, Tampaknya pengenalan wilayah itu oleh Kalimantan, Siam, dan semua tempat antara Pahang pedagang-pedagang Melayu mendorong mereka dan Siam. Mereka lebih mirip orang Siam daripada memilihnya sebagai koloni dagang ketika Malaka ras lain” (Pires, 2014: 291; Poelinggomang, 2002:21; Pelras,1977:227). diduduki oleh Portugis. Kehadiran mereka 12 Gambaran tersebut memberikan petunjuk bahwa 13 Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis, pelabuhan-pelabuhan di wilayah Sulawesi menjadi pusat awalnya singgah dulu di Siang sebelum melanjutkan kegiatan karena beberapa faktor. Pertama, letaknya perjalanan ke utara menuju Sulawesi Tengah untuk strategis - posisinya berada di tengah-tengah dunia mencari kayu Cendana. Ketika dia kembali pada 1544, perdagangan. Kedua, munculnya intervensi bangsa dia singgah di tiga tempat, yaitu Suppa, Siang dan Gowa. Eropa sehingga perdagangan di pusat niaga mengalihkan Paiva berkomentar bahwa Gowa adalah sebuah kota kegiatan mereka ke tempat lain. Ketiga, pedagang dan bawahan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah- yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan daerah penghasil dan bandar niaga lain (Poelinggomang, Siang, namun tidak lagi begitu” (Pelras, 1973: 47; Andaya, 2004: 26). 2002:22).

129 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137 menambah kesibukan kegiatan perdagangan Jaringan Pelayaran Niaga Mandar di bandar niaga itu serta membuka kesempatan Keberhasilan VOC menaklukkan bagi perkembangan dan kemajuannya Menu- Makassar (1667-1669) dan kebijakan rut Manuel Pinto, seorang Portugis yang monopoli perdagangan rempah-rempah mengunjungi Siang, penduduk Siang berjumlah Maluku, tidak memudarkan semangat pelaut sekitar 40.000 orang pada tahun 1545. Suatu dan pedagang dari jazirah selatan Sulawesi. jumlah yang sangat banyak bagi kehidupan Mereka (Bugis, Makassar, dan Mandar) suatu bandar niaga ketika itu (Poelinggomang, bukan hanya tetap berusaha menerobos dkk., 2005a:54; Pelras,1973:53). monopoli VOC atau melanggar aturan VOC Sehubungan dengan pemberitaan bangsa yang melarang memasuki Maluku, tetapi asing tersebut, tampak bahwa sejumlah tempat mereka juga mengalihkan kegiatannya ke di Sulawesi Barat telah dikenal oleh pedagang pusat perdagangan lain, seperti , Portugis, seperti Mamuju, Kurikuri, dan Mandar Kutai, Riau, Semenanjung Malaka, dan Sulu.15 (Balanipa). Kapan daerah itu mulai muncul dan Pengalihan atau pemindahan kegiatan ke pusat berkembang sebagai bandar niaga belum dapat perdagangan dan daerah-daerah yang relatif dipastikan. Eredia hanya menyebutkan dalam baru di luar sistem monopoli VOC, termasuk catatannya bahwa Mamallo atau Mamoio yang diaspora pelaut Bugis, Makassar, dan Mandar kini dikenal dengan Mamuju, terletak di ujung pada abad ke-17 dan 18, sesungguhnya telah barat kerajaan-kerajaan di Mandar, seperti juga memberikan landasan bagi perkembangan Curicuri atau Quriquri (sekarang, Kurikuri), jaringan pelayaran dan perdagangan mereka penduduknya mengirim hampir semua kulit pada abad-abad berikutnya (Bakti, 2010:7). penyu dari waktu ke waktu. Balanipa-Mandar Ketika kapal-kapal uap kapitalis dikisahkan telah menjadi pusat pemerintahan pada umumnya dan kolonial Belanda pada dan pelabuhan utama. Menurut Paiva, bahwa khususnya mendominasi perairan Nusantara, pada 1544, Karaeng Siang memutuskan para pelaut dari jazirah selatan Sulawesi untuk mengasingkan anaknya ke Mandar (Bugis, Makassar, dan Mandar) masih tetap karena tidak mau diperintah (Pelras,1977:238; memainkan peranan penting dalam pelayaran Andaya,2004:25). Tumbuh dan berkembangnya niaga di tengah ekspansi kapal uap pada akhir pelabuhan-pelabuhan di pesisir barat jazirah abad ke-19 hingga pertengahan abad ke- selatan Sulawesi sebagai pemasaran produksi dan 20. Wilayah pelayaran niaga mereka sangat pelabuhan singgah bagi para pedagang, bukan luas mencakup hampir seluruh kawasan dan saja karena letaknya yang strategis di tengah- pelabuhan di Nusantara. Berbeda dengan masa- tengah dunia perdagangan. Tetapi juga karena masa sebelumnya terutama setelah penaklukan perluasan dan pergeseran jaringan perdagangan Makassar, pemerintah kolonial Belanda telah akibat intervensi bangsa Eropa dalam dunia mengendorkan kebijakan monopolinya dalam niaga serta peran pedagang dan pelaut di wilayah perdagangan maritim sejak paruh kedua ini yang melakukan pelayaran niaga ke daerah abad ke-19. Kebijakan ini sejalan dengan 14 produksi dan bandar niaga lain. semakin merosotnya perdagangan rempah-

rempah Maluku. Semua pelabuhan di Hindia 14 Tambahan pula, bila diikuti pemberitaan 15 Menurut Warren, bahwa sebelum 1760 tercatat Tome Pires tampak bahwa perkembangan pelabuhan- sekitar empat belas hingga lima belas perahu dagang pelabuhan di wilayah ini menjadi pusat kegiatan telah Bugis mengunjungi Sulu setiap tahun. Perahu-perahu terjadi selambat-lambatnya pada akhir abad ke-15, bandar dagang itu datang dari Maluku degan membawa rempah- niaga di daerah ini telah dikenal dan berkembang serta rempah, sarang burung, gula, beras, kain tenun untuk penguasa beberapa bandar niaga itu tidak membatasi pakaian, dan lontar. Barang dagangan yang utama adalah dan melarang pedagang-pedagang asing untuk berniaga mesiu (Warren, 1981:11; Poelinggomang, 2002: 38). (Polenggomang, dkk., 2005a:53).

130 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pelayaran Niaga Mandar pada Paruh... Amir

Belanda dapat dilabuhi oleh perahu-perahu Pappadang (pelayar dan pedagang yang pribumi, sehingga memberikan keleluasaan melayari Mandar – Padang) pulang pergi; (b) kepada pelaut Bugis, Makassar, dan Mandar Indonesia bagian tengah terdiri atas: Pa’jawa untuk melakukan pelayaran niaga. Pelabuhan- adalah pelayar dan pedagang yang melayari pelabuhan di jazirah selatan Sulawesi kembali Mandar – Jawa (, Ceribon, Gresik, semarak sebagai pusat jaringan pelayaran , Banyuwangi); Pabboroneo adalah pribumi (Sulistiyono,2012:79). pelayar dan pedagang yang melayari Mandar – ParapelautMandar,terutamaberpangkalan Kalimantan (Kalimantan Utara, jika Belanda di Teluk Mandar antara Polewali dan Mamuju. menghalangi rute di Laut Jawa menuju ke Di sepanjang pantai ini terdapat sejumlah kota Singapura) pulang pergi; (c) Indonesia bagian pelabuhan kecil, seperti Binuang, Balanipa, timur terdiri atas: Passalaparang (pelayar dan Majene, Pamboang, Sendana, Tappalang, pedagang yang melayari Mandar – Lombok, dan Mamuju. Mereka melakukan pelayaran Sumbawa); Pattimor (pelayar dan pedagang niaga ke berbagai penjuru Nusantara dengan yang melayari Mandar – Timor (Kupang), menggunakan perahu layar, seperti , Waingapu; Paambung (pelayar dan pedagang , , dan sope (Silistiyono,2012:79).16 yang melayari Mandar – Ambon, Seram, Selain itu, berdasarkan sejumlah informan Buru; Pattaranate (pelayar dan pedagang yang bahwa mereka melakukan pelayaran niaga ke melayari Mandar – Ternate, dan Bacan) pulang Singapura, , Sumatera, Kalimantan, pergi (Rahman,1988:76-77). Jawa, Ambon, Ternate, dan Nusa Tenggara Sementara sumber lain melukiskan bahwa dengan menggunakan perahu ba’go, , orang-orang Mandar di pantai adalah pelayar dan dan lete.17 Menurut Darmawan bahwa jaringan pedagang terkenal. Pelayaran dan perdagangan pelayaran dan perdagangan orang Mandar di menjadi sumber mata pencaharian utama. seluruh Nusantara adalah sebagai berikut: (a) Perjalanan dagang sangat jauh dilakukan, di Indonesia bagian barat terdiri atas: Pattumasik antaranya Sumatera, Singapura, Jawa, Borneo (pelayar dan pedang yang melayari Mandar – dan Maluku semuanya dikunjungi. Sebagai Singapura; Passa’la (pelayar dan pedagang muatannya adalah barang-barang tenun, yang melayari Mandar – Malaysia – Singapura); ikan, produk pertanian, rotan dan sebagainya. Angkutan balik terdiri atas barang tembaga, 16 Padewakang adalah perahu layar dari jazirah selatan Sulawesi, memiliki haluan yang lebih kuat tembikar, berbagai peralatan rumah tangga dan dibandingkan dengan jenis perahu lain yang berasal bahan makanan. Muatan balik tersebut kembali dari daerah ini. Perahu jenis ini memiliki dua tiang dijual di daerah Mandar atau di tempat lain. layar dan sebuah bangunan atas yang berada di sisi Para pelaut ini kebanyakan menghidupkan depan kapal yang menandakan jenis perahu ini laik laut pelayaran pribumi di daerah ini dengan kapal- dengan kecepatan berlayar yang memadai. Rata-rata volume perahu jenis ini adalah antara 7 dan 15 kojang kapal besar. Perdagangan domestik juga (1 kojang=2 ton). Palari merupakan perahu yang lebih sangat ramai, beberapa pasar menarik banyak kecil dari jenis padewakang dengan rata-rata volume 4– pengunjung. Orang menjumpai pasar yang 5 kojang. Perahu pinisi sesung-guhnya merupakan besar di Balanipa, Pembusuang, Campalagian, pengaruh dari bentuk sekunar yang merupakan model Mapili. Di samping itu, ada juga pasar-pasar kapal Eropa pada abad-abad lampau dengan volume 3–5 kojang. Sementara sope atau pakur adalah perahu kecil kecil di pedalaman di hampir semua pusat satu layar yang digunakan untuk angkutan barang ke dan pemukiman. Selain barang tenun dan peralatan dari pulau-pulau kecil sekitarnya atau untuk menangkap rumah tangga, di sana berbagai bahan pangan ikan (Vuuren, L. van. 1917:8; Sulistiyono,2012:85). pribumi, buah dan komoditi kerajinan dijual 17 Baharuddin Lolo, wawancara di Bababulo pada (Anonim,1912:514). 4 Februari 2016; Nurdin Amin, wawancara di Pamboang pada 4 Februari 2016; M. Jafar, wawancara di Pangaliali Berikut gambaran singkat tentang pada 6 Februari 2016. pelayaran niaga Mandar ke berbagai penjuru

131 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019:

Nusantara. Selama masa akhir muson timur bulan. Jika mereka mulai berlayar pada bulan (Oktober) perahu-perahu Mandar melakukan Januari, maka mereka akan datang kembali pelayaran menuju ke Singapura dengan ke Mandar pada bulan Juli atau Agustus. singgah di Pulau Ani (Kepulauan Riau) untuk Setelah beristirahat selama beberapa bulan, mendapatkan air tawar. Pelayaran ke Singapura mereka berlayar kembali ke Singapura pada membutuhkan waktu selama empat belas hari. bulan Oktober (Sulistiyono,2012:80; Turpijn, Di Singapura mereka menjual antara lain kopra, 933:118;). kapok, dan rotan. Setelah barang dagangannya Selain itu, pelaut Mandar juga habis terjual, mereka membeli berbagai melakukan pelayaran dan perdagangan komoditi di pelabuhan bebas itu untuk dibawa maritim ke Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. pulang, seperti tembikar, benang, perkakas Mereka yang melakukan pelayaran niaga rumah tangga, pisau, korek api, dan sebagainya. ke Sumatera, khususnya Padang mulai Sebagian dari mereka juga ada yang berlayar meninggalkan Mandar pada puncak muson ke Penang. Selama dua minggu pertama bulan timur (sekitar Juli) menuju ke Masalimo dan Desember, mereka berlayar pulang ke secara kemudian ke Pulau Laut. Dari sini mereka langsung dengan memanfaatkan muson barat menuju ke Kepulauan Masalembo. Dari daerah ke Mandar (Majene). Di pelabuhan ini mereka ini mereka dapat mencapai Bawean dalam sudah ditunggu orang-orang yang menginginkan waktu dua puluh empat jam untuk melanjutkan untuk mendapatkan barang-barang baru dari pelayaran ke Karimun Jawa dan selanjutnya Singapura. Namun demikian para pedagang ke Semarang. Dari Semarang mereka ini hanya menjual sekitar seperempat saja melanjutkan pelayaran ke Batavia melalui dari barang yang mereka bawa. Uang hasil Pekalongan, Tegal, Cirebon, dan Kerawang. penjualan digunakan untuk membeli barang- Perjalanan dari Semarang ke Kerawang barang kerajinan Mandar yang biasanya dibuat ditempuh dalam waktu sekitar empat puluh oleh kaum wanita Mandar, seperti sarung yang delapan jam. Setelah menempuh perjalanan digemari oleh masyarakat di Indonesia bagian sekitar setengah hari dari Kerawang mereka timur (Turpijn,933:118; Sulistiyono,2012:79). dapat berlabuh di Batavia. Mereka kemudian Setelah beristirahat selama beberapa membongkar semua barang dagangan yang minggu dengan keluarganya, mereka mulai sudah diatur oleh mitra perusahaan dagang di melakukan pelayaran lagi ke arah timur Batavia (Sulistiyono,2012:80). pada bulan Januari untuk menjual barang Mitra perusahaan dagang di Batavia dagangannya. Dari Mandar mereka berlayar ke tersebut, juga bertanggung jawab atas Parepare, Kepulauan Spermonde (khususnya pengiriman sebagian barang dagangan ke Salemo, Barang Lompo, dan Kodingareng), Padang dengan menggunakan kapal KPM Bantaeng, dan Balangnipa (Sinjai). Mulai dari (Koninklijke Pakervaart Maatcshappij). Balangnipa, trayek terbagi menjadi dua yaitu ke Beberapa awak perahu ditugaskan untuk Ambon, tetapi dalam perjalanan pulang mereka mengawal barang-barang tersebut ke Padang. singgah di Oliase, Banda, Gisser dan kemudian Hanya sekitar empat awak perahu yang tinggal ke Makassar. Pada trayek kedua, mereka di perahu mereka di Batavia. Di Padang mereka berlayar ke Kendari, Salabangka, Bungu, tinggal di Kampung Bugis atau Kampung Mari, Kepulauan Banggai Sula, Bacan, Jailolo, Batipoe dan mereka harus menjual barang Tidore, dan Ternate. Dengan menggunakan dagangnya. Barang dagang yang dijual di rute yang sama mereka berlayar kembali ke Padang terutama terdiri atas berbagai jenis Mandar. Perjalanan niaga ke Ambon pakaian yang diimpor dari Singapura dan sarung menghabiskan waktu sekitar enam bulan, Mandar yang terkenal dengan “sarung Mandar sedangkan pada rute Ternate menghabiskan waktu sekitar tujuh

132 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pelayaran Niaga Mandar pada Paruh... Amir atau kain Bugis”.18 Ketika barang dagangan Mandar, Makassar, dan Bira di jazirah sudah terjual semuanya, mereka kembali ke selatan Sulawesi, bukanlah satu-satunya Batavia dengan naik kapal KPM, kecuali pangkalan perahu pribumi selama periode mereka yang kawin dengan wanita setempat akhir kolonial Belanda. Surabaya juga tetap tinggal di Padang. Sementara itu, awak merupakan pangkalan yang besar di Jawa. perahu yang bertugas di Batavia berbelanja Namun sangat menarik karena orang Bugis, berbagai barang yang akan dijual di Mandar, Makassar, dan Mandar merupakan kelompok seperti benang, kapas, dan peralatan rumah yang paling dominan dalam dunia pelayaran tangga. Mereka berlayar kembali ke Mandar dan perdagangan maritim di pelabuhan ketika muson barat pada bulan Desember tersebut. Tampaknya hal ini tidak terlepas dari (Sulistiyono, 2012:80). diaspora dagang mereka yang menggunakan Para pelaut dan pedang Mandar Surabaya sebagai pangkalannya. Di samping melakukan pelayaran ke Kalimantan (antara sebagai pelabuhan tujuan pelayaran niaga lain Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, pribumi, Surabaya juga menjadi pangkalan Samarinda, Tarakan, dan Tawau), , perahu terbesar di Hindia Belanda (Indonesia). Jawa (Gresik, Surabaya, Semarang, dan Mereka diorganisir dalam Roepelin (Roekoen Batavia), Sumatera (Bengkulu, Padang, dan Pelayaran Indonesia) dipimpin Nadjamuddin Belitung) selama muson timur.19 Mereka Daeng Malewa.21 Perahu pribumi yang dimiliki memperdagangkan berbagai jenis pertanian, oleh orang Bugis, Makassar, Mandar, Buton, hasil hutan, dan kerajinan. Selama muson barat Madura, dan Jawa menggunakan Surabaya mereka kembali ke jazirah selatan Sulawesi sebagai pangkalan dalam pelayaran dan (antara lain Mandar, Makassar, dan Bira) perdagangan maritim antara satu pelabuhan ke dengan singgah di Belitung, Batavia, dan pelabuhan lain atau satu pulau ke pulau lainnya pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, yang semakin melapangkan terwujudnya Sumbawa, Frores Barat, dan Sumba. Mereka integrasi Indonesia. memperdagangkan hasil laut, hutan, dan pertanian. Ketika perahu mencapai Sumbawa, Membangun Integrasi Indonesia mereka memuat beras untuk dijual di Sumba Pelayaran dan perdagangan maritim dan Flores Barat. Selain itu, mereka juga Mandar dari satu pulau ke pulau lainnya, membeli hasil laut, seperti tripang dan mutiara 20 mengandung banyak pesan dan makna dalam untuk di jual di Makassar. kaitannya dengan pengenalan wilayah,

18 Mereka dapat memperoleh keuntungan sekitar 50 penduduk, dan komoditi, yang semuanya persen dari hasil transakti tersebut. Misalnya harga sarung menjadi faktor pendukung keberlangsungan Mandar di Majene adalah f 15/kodi dan menjadi f 20-25, tradisi maritim. Tidak dapat diragukan sedangkan harga sarung biasa yang diimpor dari Singapura, Batavia atau Makassar f 6/kodi dan menjadi f 15/kodi di dan Bawean. Sedangkan kacang, kerbau, dan hasil hutan Padang (Turpijn, 1933:118; Sulistiyono,2012:85). dibawa ke Buleleng (Bali), Ampenen, dan Surabaya 19 Nurdin Amin, wawancara di Pamboang pada 4 (Sumber Arsip, No. 658; Sulistiyono, 2012:81). Februari 2016; Baharuddin Lolo, wawancara di Bababulo 21 Roepelin merupakan organisasi para awak pada 4 Februari 2016; M. Jafar, wawancara di Pangaliali perahu layar tradisional yang didirikan di Surabaya pada 6 Februari 2016. pada 1 November 1935. Ketua organisasi ini adalah 20 Selain itu, Perlu dikemukakan bahwa pelabuhan- Nadjamuddin Daeng Malewa dari Makassar. Anggota pelabuhan yang terletak di bagian barat Sumbawa juga organisasi ini terdiri atas awak perahu pribumi dari orang dikunjungi oleh perahu-perahu dari Bawean, Madura, Makassar, Bugis, Mandar, Madura, Jawa, dan sebagainya Balangnipa, Bone, dan Selayar dengan membawa beras yang menggunakan Surabaya basisnya. Pusat organisasi untuk Flores, Sumba, dan Ende setiap tahun. Selama ini ada di Surabaya, sedangkan cabangnya didirikan di musim panen, perahu-perahu ini memuat beras di Makassar, Banjarmasin, Palembang, Batavia, Semarang, Sumbawa (pelabuhan Taliwang, Sapakeh, dan Labuan) dan Cirebon (Daeng Malewa,1937:18). untuk dikirim ke Lombok, Sumenep (Madura)

133 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137 lagi, bahwa mereka adalah para aktor yang mereka menjalin hubungan niaga dengan menyatukan Indonesia, yang secara geografis berbagai penduduk lokal di Indonesia, antara satu pulau dengan pulau lainnya terpisah tempat mereka mencari muatan dan menjual yang semuanya dibasahi oleh laut. Menurut barang. Beruntung ada bahasa Indonesia yang Fernand Braudel dalam Rahman Hamid, digunakan sebagai bahasa pemersatu bagi bahwa laut selain menyediakan kesatuan semua suku bangsa di Indonesia. Bahasa yang (unity), transportasi, sarana pertukaran, dan digunakan dalam perdagangan di Kepulauan perhubungan, laut juga menjadi pemisah besar Indonesia, Singapura dan Malaysia, adalah (great devider). Setiap daerah yang memiliki bahasa Melayu, sehingga dapat dipahami oleh perbedaan terhubung di laut, tetapi bukan pelaut Mandar, meskipun dari segi pengucapan oleh air laut, melainkan orang-orang yang dan sebagian kata agak berbeda dengan bahasa bergiat di laut, sebagai pelayar dan pedagang Indonesia. Dengan demikian, sosialisasi dan (Braudel,1972:276; Hamid,2015:12). penggunaan bahasa Indonesia makin diperkuat Melalui kegiatan pelayaran niaga, terjadi dalam tradisi maritim. proses interaksi komunitas lintas budaya Sebaran komoditi yang beragam di sehingga melahirkan, dalam bahasa Taufik tempat yang berbeda memungkinkan terjadi Abdullah, “interpenetrasi kebudayaan”. Berbagai perdagangan antarpulau. Perahu-perahu Mandar, corak kebudayaan, dengan sekian ragam bentuk dengan kekuatan tenaga angin, mengarungi dan intensitasnya, telah pernah dialami dan lautan Indonesia, memanfaatkan angin musom bahkan masih berlangsung sampai sekarang. dan bintang-bintang di langit sebagai penunjuk Dialog antara wilayah dan etnisitas yang kini arah. Pelayaran memanfaatkan angin musom telah dianggap dan dirasakan sebagai bagian menghasilkan pola kegiatan musiman sepanjang dari kenyataan yang telah dikonseptualisasikan tahun. Angin barat (Barat Laut dan Barat Daya) sebagai bagian dari kesadaran satu bangsa dan pada Oktober-Maret dimanfaatkan berlayar ke satu tanah air (Abdullah, 2015:37-38). kawasan timur untuk mencari muatan, kemudian Hampir seluruh wilayah Indonesia, dibawa ke kawasan barat ketika musom khususnya kawasan pesisir dan pelabuhan, timur (Timur Laut dan Tenggara) pada April- pernah didatangi oleh para pelaut Mandar. September. Selain itu, juga bertiup angin muson Bagi mereka, Indonesia bukan sebuah ruang utara (Januari hingga awal Februari) dan angin kehidupan yang dibayangkan, seperti kata muson selatan (tenggara) pada Juni dan awal Juli Benedict Anderson (2002:8-11), melainkan serta pengaruh angin darat dan angin laut. ruang geografi dan sosiokultural yang secara Keadaan tersebut memungkinkan para nyata dilihat dan dialami. Semua tempat yang pelaut tidak hanya terpola dalam wilayah pernah didatangi, dalam kegiatan pelayaran dan pelayaran satu poros maritim utama timur – perdagangan, masih diingat dan mudah mereka barat, sebab kegiatan serupa juga terjadi pada sebutkan. Berbagai kisah pengalaman menarik, poros maritim utara – selatan. Pola tersebut susah dan senang, telah menyatu dalam ingatan tidak sepenuhnya dibentuk oleh angin musim. mereka sebagai ‘dokumen’ sejarah yang hidup. Meskipun tidak dapat dipungkiri lebih banyak Meskipun demikian, dari segi waktu, kadang mempengaruhinya, karena para pelaut juga mereka sulit memastikan waktu mereka dapat berlayar tidak searah angin, bergantung mendatangi suatu tempat. Tetapi tahu betul pada wilayah dan komoditi yang dituju. Teknik dengan siapa mereka berkomunikasi. berlayar seperti ini disebut maggaragaji Pengenalan berbagai kelompok suku (menggergaji) atau zig-zag. Sedangkan, pelaya- bangsa tidak hanya secara fisik, tetapi juga ran yang searah dengan angin disebut turu secara kultural. Tanpa adanya pemahaman (Baharuddin Lolo, wawancara di Bababulo komunikasi lintas budaya akan sulit bagi pada 4 April 2016).

134 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pelayaran Niaga Mandar pada Paruh... Amir

Kedua teknik berlayar tersebut digunakan Batavia); Pabboroneo (Samarinda, Balikpapan, sesuai keadaan angin musom dan kepentingan Banjarmasing, dan Pontianak, Tarakan, dan pelayar. Dengan demikian, kondisi angin yang Tawau). Juga di bagian barat Nusantara seperti telah terpola secara musiman tidak membatasi Pattumasik (Singapura), Passa’la (Malaysia), ruang gerak aktivitas pelaut, bahkan melahirkan dan Pappadang (Padang). daya kreasi baru berupa teknik berlayar PelayaranniagaMandardaripulaukepulau maggaragaji. Meskipun demikian, dari segi di seluruh pelosok Nusantara tersebut, bukan frekuensinya, teknik berlayar turu lebih banyak hanya berkaitan dengan pengenalan wilayah, digunakan daripada teknik maggaragaji. Teknik penduduk, dan komoditi, yang semuanya maggaragaji menggunakan lebih banyak waktu menjadi faktor pendukung keberlangsungan dibandingkan teknik turu. Karena itu, bagi tradisi maritim, melainkan juga menunjukkan sebagian pelaut, teknik maggaragaji dipandang pentingnya jaringan perdagangan Mandar kurang efektif, kecuali pada kondisi tertentu di dalam peta pelayaran dan perdagangan maritim mana pelaut harus berlayar menyongsong angin Indonesia. Mereka telah menjadi penghubung (bilu). atau mendekatkan pulau-pulau dan masyarakat Selain sebagai pelayar (passombal) dan yang terpisah-pisah di seluruh Nusantara. Oleh pedagang (padanggang), nelayan (posasi) juga karena itu, peranan pelaut Mandar, tidak hanya merupakan kegiatan utama penduduk di pesisir sebagai aktor pemersatu bagi negara maritim pantai Mandar. Kondisi lahan yang sebagian Indonesia, melainkan juga telah memperkuat besar adalah berbukit dan berbatu, tidak fondasi dalam proses integrasi Indonesia dan memungkinkan bagi mereka menggantungan dalam membangun Indonesia sebagai poros kebutuhan hidup pada hasil bumi di darat. maritim dunia. Pada kondisi ini, keadaan alam menjadi sumber lahirnya daya kreasi dan adaptasi Daftar Pustaka bagi penduduk, dengan menjalankan aktivitas Abdullah,Taufik.2015.“DinamikaKebudayaan: pelayar dan pedagang. Bagi mereka, laut Otentisitas dan Saling Penetrasi dalam merupakan tempat mencari nafkah, sedangkan Lintasan Sejarah” dalam Sahrul Maududi darat merupakan tempat tinggal. Tak heran, (ed). Penyerbukan Silang Antarbudaya: sebagian besar waktu mereka berada di laut Membangun Manusia Indonesia. Jakarta: atau seberang lautan, berlayar dan berdagang Alex Media Komputindo. keliling Indonesia (Hamid, 2011:28-34). Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2005. Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: PENUTUP Kepustakaan Populer Gramedia. Jaringan pelayaran dan perdagangan Amir, Muhammad. 2011. “Konflik Balanipa – maritim Mandar meliputi seluruh Nusantara. Belanda di Mandar 1862-1872”. Makassar: Bukan hanya di bagian timur Nusantara Tesis Magister Universitas Hasanuddin. sebagaimana yang terekam dalam ingatan Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communi- kolektif para pelaut dengan istilah Paambung ties. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar. (Ambon, Seram, Gisser, Banda, dan Buru; Anonim. 1912. Nota van Toelichting Betrefende Pattaranate (Kendari, Sula, Bacan, Jailolo, het Landschap Balangnipa, dalam TBG Tidore, dan Ternate); Passalaparang (Bali, Tijschrift voor Indische Taal-Lan-en Lombok, dan Sumbawa); Pattimor (Kupang, Volkenkunde), No. 54. Batavia: Albercht Waingapu, dan Ende). Melainkan juga di M. Nijhiff. bagian tengah Nusantara seperti Pa’jawa Asba, A. Rasyid. 2003. “Ekspansi dan Kontraksi (Surabaya, Gresik, Banyuwangi, Semarang, Ekspor Kopra Makassar 1883-1958”. Pekalongan, Tegal, Ceribon, Kerawang, dan Jakarta: Disertasi Universitas Indonesia.

135 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: 121—137

Asnan, Gusti. 2000. Trading and Shipping Leonard Y. Andaya. 2004 Warisan Arung Activities: The West Coast of Sumatra Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Absd 1819-1906. Jakarta: Yayasan Rusli Amran. Ke-17. Makassar: Ininnawa. Bakti, Andi Faisal (ed). 2010. Diaspora Bugis Leyds, W. J. 1940. Memori van Overgave, di Alam Malayu Nusantara. Makassar: Assistant Resident Mandar. Majene: 9 Ininnawa. Februari 1940. Braudel, Fernand. 1972. The Meditteranean Lontarak Akkarungeng Bone. Koleksi Yayasan and the Mediterranean World in the Age Kebudayaan Sulawesi Selatan. of Philip II. Vol. 1. London: Fontana/ Lontarak Balanipa Mandar. Koleksi Museum Collins Press. Daerah Mandar. Pires, Tome. 2014. Suma Oriental: Perjalanan Lontarak Pattapingan Mandar. Koleksi Dari Laut Merah Ke Cina & Buku Museum Daerah Mandar. Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Lontarak Pattodioloangdi Mandar. Koleksi Ombak. Museum Daerah Mandar. Daeng Malewa, Nadjamuddin.1937. De Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Indonesische Prauwvaart. Surabaya. Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Dick, Howard W. 1975. “Perahu Shipping in Hasanuddin University Press. Eastern Indonesia”, dalam Bulletin of PaEni, Mukhlis. 1986. “Landasan Kultur Dalam Indonesian Economic Studies 23, 104- Pranata Sosial Bugis Makassar”, dalam 121. Dimensi Sosial Bugis Makassar. Ujung Hamid, Abd. Rahman. 2011. Orang Buton: Suku Pandang: PLPIIS. Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta: Parimatha, I Gde. 2002. Perdagangan dan Ombak. Politik di Nusa Tenggara 1815-1915. Hamid, Abd. Rahman. 2015. Pengalaman, Jakarta: Djambatan. Ingatan, dan Sejarah: Kisah Empat Pelaut Patunru, Abd. Razak Daeng. 1983. Sejarah Buton, dalam Walasuji Vol.6, No.1. Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Makassar: BPNB Sulawesi Selatan. Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and Pelras, Christian. 1973. “Sumber Kepustakaan States Development in Early Southeast Eropa Barat Mengeranai Sulawesi Asia. Honolulu: University of Selatan”, dalam Buku Peringatan; Dies Press. Natalis Ke-XXI, Fakulatas Hukum, Horrigde, Adrian. 1981. The Prahu; Tradisonal Universitas Hasanuddin. Boot of Indonesia. Kula Lumpur: Pelras, Christian. 1977. “Les premieres donnees Oxford University Press. occidentals concermant Celebes-sud” Horrigde, Adrian. 1986. Sailing Craft of Indone- (Data-data Pertama Dunia Barat mengenai sia. : Oxford University Press. Sulawesi Selatan),dalam BKI (Bijdragen Kila, Syahrir. 2014. Hubungan Kerajaan Gowa tot de Taal-, Land- en Volkenkunde), Dengan Kerajaan Balanipa Mandar, Vol. 133 (2-3). s. Gravenhage: Martinus dalam Jurnal Walasuji, Volume 5, Nomor Nijhoff. 2. Makassar: BPNB Sulawesi Selatan. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Lapian, Adrian Bernard. 1987. “Orang Laut – Forum Jakarta –Paris EFEO. Bajak Laut – Raja Laut: Sejarah Kawasan Pires, Tome. 2014. Suma Oriental: Perjalanan Laut Sulawesi Abad XIX”. Yogyakarta: Dari Laut Merah Ke Cina & Buku Disertasi Universitas Gadjah Mada. Francisco Rodrigues. Yogyakarta: Ombak.

136 WALASUJI Volume 10, No. 2, Desember 2019: Pelayaran Niaga Mandar pada Paruh... Amir

Poelinggomang, Edward L. 1991. Proteksi Sumber Arsip, No. 658. Missive van de Governor dan Perdagangan Bebas, Kajian Tentang van Celebes en Onderhoorigheden aan de Perdagangan Makassar Pada Abad Ke- Directeur van Financien (Archivieven van 19. Amsterdam: Disertasi Academisch Financien), 8 Juli 1900. Jakarta: ANRI. Vrije Universiteit. Sutjipto, F. A.1983. Kota-kota Pantai di Sekitar Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Selat Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan Abad XIX). Yogyakarta: Disertasi Perdagangan Maritim. Jakarta: Universitas Gadjah Mada. Gramedia. Syah, M.T. Azis.1997. Sejarah Mandar. Ujung Poelinggomang, Edward L., dkk. 2005a. Sejarah Pandang: Yayasan Al Azis. Sulawesi Selatan, Jilid I. Makassar: Turpijn, J. 1933. De Boegineesche Handelspra- Balitbangda Propinsi Sulawesi Selatan. uwen, Economische Weekblad. Poelinggomang, Edawrd L. 2005b. Sejarah Vuuren, L. van. 1917. De Prauwvaart van Bandar Makassar. Makalah pada Celebes, Koloniale Studien I. Seminar “Bandar Lama Makassar”, Warren, James Francis. 1981. The Sulu Zone yang dipresentasikan di Aula Pelindo IV, 1768-1898. Singapore: Singapore Univer- Makassar, tanggal 11 Juni 2005. sity Press. Poelinggomang, Edward L. 2012. Sejarah Wolters, O.W.1967. Ealy Indonesian Commercen Mandar: Masa Kerajaan hingga Sulawesi A Study of the Origins of Sriwijaya. Ithaca: Barat. Surakarta: Zadahaniva. Cornell University Press. Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988. Puang dan Yamin, Muhammad, 1986. Gadjah Mada: Daeng, Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Pahlawan Persatuan Nusantara. Jakarta: Balanipa Mandar. Makassar: Disertasi PN Balai Pustaka. Doktor Universitas Hasanuddin. Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Rope Labu Wana: Rahman, Darmawan Mas’ud. 2014. Puang Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: dan Daeng, Kajian Sistem Nilai Budaya Disertasi Universitas Indonesia. Orang Balanipa Mandar. Surakarta: Zuhdi, Susanto. 2010. Labu Rope Labu Wana: Zadahaniva Publishing. Sejarah Buton yang Terabaikan. Jakarta: Saharuddin. 1985. Mengenal Pitu Babana Rajawali Press. Binanga (Mandar) dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: CV. Mallomo Karya. Sulistiyono, Singgih Tri. 2003. The Sea Network: Patterens in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s. Leiden: Disertasi Laeden University. Sulistiyono, Singgih Tri. 2012. Pasang Surut Jaringan Makassar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda, dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan Jilid 4. Jakarta: Kemdikbud.

137