BAB II KONDISI SURAKARTA SEBELUM Proklamasi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II KONDISI SURAKARTA SEBELUM PROKLAMASi A. Surakarta Masa Pendudukan Jepang Pada masa kolonial (abad XIX dan XX), wilayah Surakarta (Solo) dan Yogyakarta merupakan tempat kedudukan empat kekuasaan yang “berdiri sendiri” di bawah kekuasaan negara kolonial Hindia Belanda. Keraton Kesunanan dan Kadipaten Mangkunegaran di kota Surakarta, sedangkan keraton Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta. Meskipun keempatnya secara resmi mengaku pewaris kerajaan Mataram, namun mereka sesungguhnya adalah koloni Belanda di pulau Jawa yang diperintah secara tidak langsung, yaitu dengan meletakkannya di bawah dua karesidenan yakni Surakarta dan Yogyakarta. Keempat wilayah itu disebut vorstenlanden ( wilayah raja-raja ), berbeda dari wilayah Jawa lain yang dikuasai secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah penyerahan pemerintah Belanda atas Indonesia secara total di kota Bandung tanggal 8 Maret 1942, pemerintah Jepang resmi berdiri di Indonesia. Pada awal kedatangan pasukan militer Jepang, masyarakat Indonesia secara umum menyambut dengan baik. Tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti Ir.Soekarno dan Drs. Moh. Hatta bersedia bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang padahal pada masa pemerintahan Hindia Belanda mereka bersikap non koopertif. Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang dengan dengan kekuatan 100.000 orang mendarat di Indonesia melalui Merak, Indramayu dan dekat Rembang. Dan pada commit to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id16 tanggal 5 dan 7 Maret 1942, kota Solo dan Yogjakarta jatuh ke tangan Jepang. Sehingga jepang pada waktu itu sudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Pendudukan Jepang ini merupakan rangkaian politik imperialismenya di Asia Tenggara. Sebagai akibat dari kemajuan industri Jepang yang pesat ditempuhlah strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru juga sumber pangan Jepang. Penyambutan yang positif dari masyarakat atas kedatangan Jepang tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti propaganda yang dilakukan secara intensif oleh Sendenbu (Barisan Propaganda Dai Nippon) sebelum mereka tiba di Indonesia. Jauh sebelum melakukan invasinya ke Indonesia, radio Tokyo telah menerangkan maksud kedatangan tentara Jepang ke Indonesia. Dalam siarannya, radio tersebut menyebutkan ajaran Hakko-ichiu yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia, dijelaskan bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bertujuan untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari belenggu penjajahan Barat dan bertekad memajukan bangsa Indonesia sehingga setara dengan bangsa- bangsa yang telah maju.1 Jepang melakukan propaganda yang intensif untuk menyakinkan rakyat Indonesia bahwa bangsa Jepang adalah saudara tua seperjuangan melawan Barat. Namun kenyataannya semua tindakan dan perlakukan menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia. Politik Jepang untuk mengatur ekonomi masyarakat terwujud dalam politik penyerahan padi secara paksa yang berakibat kemiskinan endemis, 1 G.Moedjanto, Indonesia Abad Ke 20 jilid I dari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati. (Jakarta:Kanisius,commit 1998) to user, hlm . 76 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id17 menurunnya derajat kesehatan, dan meningkatnya angka kematian serta berbagai penderitaan fisik dalam pengerahan tenaga kerja romusa , perekrutan pemuda dan masyarakat desa dalam latihan kemiliteran untuk kemenangan perang Asia Timur Raya. Pada awal pendudukan Jepang , mengambil dua langkah penting , yaitu pertama menstabilkan kondisi ekonomi yang terlihat dari upayanya untuk menguasai inflasi ekonomi dengan menetapkan patokan harga bagi sebagian besar barang dan menangani dengan keras penimbun barang. Kedua Jepang mengeluarkan aturan produk hukum baru sesuai dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia. Keberhasilan Jepang menduduki Surakarta merupakan salah satu dari keberhasilan di daerah lain di pulau Jawa. Keadaan ini membuat kedudukan Belanda di bawah Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh goyah dan akhirnya menyerah tanpa syarat pada militer Jepang di bawah Letnan Jendral Hitoshi Immamura pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati. Pemerintahan sementara Jepang telah berakhir pada bulan Agustus 1942 kemudian digantikan dengan pemerintahan pendudukan. Dalam pemerintahan pendudukan ini Jepang mengadakan reorganisasi struktur pemerintahan karena tenaga pemerintahan sipil dari Jepang telah tiba. Pergantian status pemerintahan tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 1942 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1942 tentang aturan pemerintahan syu (karesidenan) dan tokubetsu syi (kotapraja istimewa). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18 Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 1942, seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Kochi Surakarta (Daerah Istimewa Surakarta) dan Kochi Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dibagi menjadi Syu (Karesidenan), Syi (Kota Praja), Ken (Kabupaten), Gun (Kawedanan/Distrik), Son (Kecamatan), dan Ku (Desa/Kelurahan). Masing-masing unit administrasi tersebut dipimpin oleh Syuchokan (kepala daerah Syu, dahulu Resident), Syico (kepala daerah Syi, dahulu Walikota), Kencho (kepala daerah Ken, dahulu Bupati), Guncho (kepala daerah Gun, dahulu Wedana), Soncho (kepala daerah Son, dahulu Asisten Wedana), dan Kucho (kepala daerah Ku, dahulu Kepala Desa). Undang-Undang ini juga menghapus pembagian pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas tiga propinsi di Jawa.2 Selama pendudukan Jepang, pemerintah Jepang mengekang berbagai organisasi di Indonesia. Jepang dengan kaum nasionalis mengadakan kerjasama dengan tujuan bersatu dan berdiri sepenuhnya dibelakang Jepang serta memperlancar pekerjaan pemerintahan militer. Pendudukan Jepang di Indonesia telah merobek-robek sendi-sendi nilai ekonomi, sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena menguras harta dan tenaga rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia merasakan malapetaka baru dengan merasakan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia merasakan kekurangan pangan dan sandang yang kemudian mengakibatkan kelaparan dan kematian serta penderitaan moral . 2 Ibid .hlm 74-75 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19 Pemerintahan Jepang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia melalui tiga prinsip kebijakan : 1) mencari dukungan penduduk, 2) memanfaatkan struktur pemerintahan yang ada, 3) mengusahakan agar daerah yang diduduki dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Langkah lain yang ditempuh pemerintah Jepang untuk mengendalikan ekonomi adalah dengan mengeluarkan beberapa peraturan yang bersifat kontrol. Peraturan tersebut antara lain maklumat tentang melanggar peraturan urusan ekonomi di daerah Surakarta yang dikeluarkan oleh Kooti Zimukyoku (kantor urusan Kooti) pada bulan Agustus 1942. Peraturan ini berisi tentang hukuman bagi penduduk yang melanggar peraturan pembatasan harga, menahan barang dan mengirim barang ke luar daerah. Penduduk yang melanggar peraturan ini akan diberi sanksi berupa denda, penjara atau pencabutan surat izin kepemilikan barang serta perampasan terhadap barang-barang yang dimiliki. Padi merupakan makanan pokok militer Jepang dan beras Jawa bermutu tinggi, oleh karena itu pemerintahan Jepang berusaha agar beras Jawa dapat memenuhi kebutuhan militer Jepang. Pada awalnya pemerintahan Jepang dalam mengelola politik pangan masih menggunakan politik Hindia Belanda. Kebijakan Hindia Belanda pada dasarnya bersifat pasar bebas kecuali kontrol data.3 3 Aiko Kurosawa, Mobilitas dan Kontrol : Studi Tentang Perubahan commit to user Sosial Pedesaan Jawa 1942 – 1945,( Bandung : Grasindo, 1993). hlm. 70 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20 Pada tahun 1943, pemerintahan militer Jepang baru memperhatikan kebijakan politik pangan. Pada dasarnya kebijakan politik pangan memunculkan tiga peraturan yakni 1) penetapan kuota pangan, 2) penetapan harga beras dan gabah, 3) dibentuknya badan pengolahan pangan. Penetapan kuota padi menggunakan prinsip momi kyoosyutu yaitu kaum produksi padi yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mencapai kemenangan akhir dalam peperangan.4 Besarnya persedian bibit padi ditetapkan sebanyak-banyaknya 75 kg/ha dan bibit gabah 50 kg/ha, produksi padi petani yang sudah dikurangi untuk bibit dan makan selama setahun harus diserahkan atau dijual kepada pemerintah.5 Badan yang mengurusi pengolahan pangan yaitu Shokuryo Kanrizimusyo (Kantor Pengolahan Pangan) yang kemudian berubah menjadi Zyuuyoo Bussi Kodan (Badan Pengolahan pangan). Di Surakarta tidak hanya dikontrol oleh Zyuuyoo Bussi Kodan namun juga di kontrol oleh Kooti Soomutyokan (Badan Hukum untuk Komoditi Bahan Pangan Pokok). Kedua badan ini yang mempunyai wewenang dalam menetukan kuota penyerahan wajib dan disimpan untuk makan dan bibit. Kedua badan itu dalam menjalankan tugasnya menggunakan penguasa lokal seperti kencho (bupati), sencho (camat), dan kucho (kepala desa). Pemerintahan Jepang membebankan tanggung jawab kepada kuncho untuk mengawasi produksi padi dari penduduk. Kucho membebankan pada petani agar 4 Djawa Baroe , Tanggal 1 Boelan 4 tahoen 2605, hlm 7 commit to user 5 Kan po no 41, April 2604, hlm 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21 dapat memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh kedua badan tersebut, bahkan sering kali melebihi kuota yang telah ditetapkan. Kucho juga diberikan tanggung jawab untuk memberikan uang ganti rugi produksi kepada petani, bahkan tidak jarang uang ganti rugi tersebut dikorupsi. Kebijakan penyerahan wajib membawa dampak yang sangat besar bagi petani.