i

PRAKATA

Buku ajar Sejarah Kontemporer Peristiwa Sejarah dalam Narasi WARTOP ini diterbitkan untuk menyediakan bahan bacaan akademik dalam materi perkuliahan Sejarah Indonesia Kontemporer. Buku ajar sejarah Indonesia dilengkapi dengan narasi wayang tokoh pahlawan (WARTOP), dimana WARTOP merupakan media pembelajaran yang diteliti oleh penulis dalam pembelajaran matakuliah sejarah Indonesia kontemporer untuk meningkatkan rasa nasionalisme mahasiswa. Narasi WARTOP dalam buku ajar ini diharapkan dapat diterapkan dan menjadi media pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan.

Buku ajar Sejarah Indonesia Kontemporer Indonesia ini berisikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang menjadi kisah kontemporer yang masih dibicarakan sepanjang masa. Buku ajar sejarah Indonesia Kontemporer Peristiwa Sejarah Indonesia dalam Narasi Wayang menyuguhkan materi sejarah Indonesia Kontemporer yang terdiri dari peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia dari tahun 1945 sampai orde baru, yakni peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan (1966) yang dilengkapi dalam narasi Wayang Tokoh Pahlawan Indonesia (WARTOP). WARTOP merupakan media pembelajaran inovasi yang dapat digunakan dalam menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia kontemporer.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan buku ajar Sejarah Indonesia Kontemporer Indonesia Peristiwa Sejarah dalam Narasi WARTOP, semoga bermanfaat dalam perkembangan media dan bahan pembelajaran.

Malang, 30 Mei 2017

Penulis, Puspita Pebri Setiani, M.Pd

ii

DAFTAR ISI

PRAKATA ...... i

DAFTAR ISI ...... ii

DESKRIPSI MATAKULIAH ...... 1

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ...... 4

RANCANGAN PERKULIAHAN SEMESTER ...... 8

BAB I SEJARAH INDONESIA KONTEMPORER

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 20 B. MATERI AJAR ...... 20 1. Pengertian Sejarah Indonesia Kontemporer ...... 21 2. Pokok-Pokok Penting dalam Sejarah Indonesia Kontemporer ...... 21

BAB II PERISTIWA RENGASDENGKLOK

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 24 B. MATERI AJAR ...... 24 1. Latar Belakang Peristiwa Rengasdengklok ...... 24 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peristiwa Rengasdengklok ...... 27 3. Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok ...... 28 C. NASKAH NARASI WARTOP ...... 35

BAB III DETIK-DETIK PROKLAMASI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 49 B. MATERI AJAR ...... 49 1. Latar Belakang Peristiwa Proklamasi ...... 49 2. Penyusunan Teks Proklamasi ...... 52 3. Detik-detik Proklamasi kemerdekaan ...... 54 4. Makna dan Arti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ...... 59 5. Dukungan Rakyat terhadap Proklamasi Kemerdekaan di Lapangan Ikada ...... 65 6. Tindakan-Tindakan Heroik di Berbagai Daerah ...... 66 7. Reaksi Jepang Terhadap Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ...... 70

iii

C. NASKAH NARASI WARTOP ...... 71

BAB IV SERANGAN UMUM 1 MARET

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 82 B. BAHAN AJAR ...... 82 1. Latar Belakang Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1945 ...... 82 2. Serangan Oemoem Siang Hari ...... 86 3. Pertemuan Soeharto-Sri Sultan ...... 90 C. NASKAH NARASI WARTOP ...... 101

BAB V PERISTIWA G30S/PKI TAHUN 1965

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 113 B. BAHAN AJAR ...... 113 1. Pertentangan dengan Pemimpin Tentara ...... 113 2. Kontroversian Istilah G-30-S/PKI ...... 119 3. Berbagai Kisah G30S/PKI ...... 121 4. Kolonel Latief dan Pelurusan Sejarah ...... 128 5. Menciptakan Beragam Narasi Tragedi 1965 ...... 130 6. Rehabilitas Korban 1965 ...... 134 7. Pembantaian 1965, Kekerasan Terbesar dan Rekonsialiasi ...... 138 8. Demi Kemanusiaan Cabut TAP XXV/MPRS/1966 ...... 145 9. Malam Simalakama ...... 147 C. NASKAH NARASI WARTOP ...... 151

BAB VI PERISTIWA SURAT PERINTAH 11 MARET 1966

A. TUJUAN PEMBELAJARAN ...... 162 B. BAHAN AJAR ...... 162 1. Latar Belakang Peristiwa SUPERSEMAR ...... 162 2. Surat Perintah 11 Maret 1966 ...... 171 3. Mengakhiri Dualisme ...... 174 C. NASKAH NARASI WARTOP ...... 187

GLOSARIUM ...... 200 INDEKS ...... 207 DAFTAR PUSTAKA ...... 208

iv

DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Kontemporer Kode Mata Kuliah : SEJ 319 SKS : 2

A. Deskripsi Mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer berisikan kajian tentang sejarah Indonesia dari tahun 1945 yakni dari awal orde baru samapi dengan orde lama dimana memfokuskan pada perkembangan sejarah Indonesia kontemporer, pembentukan identitas kebudayaan bangsa samapi peristiwa sejarah kontemporer yang terjadi di Indonesia. Melalui mata kuliah ini mahasiswa diharapkan dapat menganalisis sejarah Indonesia kontemporer. Mata kuliah ini membahas tentang peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia dari tahun 1945 sampai orde baru, yakni peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kompetensi dan Indikator Capaian No. Kompetensi Indikator Capaian 1. Memahami pengertian dan 1.1 Menjelaskan pengertian Sejarah ruang lingkup Sejarah Indonesia Indonesia Kontemporer. Kontemporer 1.2 Menyebutkan pokok-pokok penting dalam Sejarah Indonesia Kontemporer. 2. Menganalisis peristiwa 2.1 Mendeskripsikan kronologi peristiwa rengasdengklok Rengasdengklok 2.2 Menjelaskan dampak peristiwa rengasdengklok dalam persiapan kemerdekaan Indonesia

1

3. Menganalisis peristiwa detik- 3.1 Menjelaskan peristiwa detik-detik detik proklamasi proklamasi 3.2 Menganalisis kondisi Indonesia saat detik-detik proklasi Kemerdekaan Indonesia 4. Menganalisis peristiwa 4.1 Mendiskripsikan peristiwa serangan serangan umum 1 Maret 1949 umum 1 Maret 1949 4.2 Menjelaskan dampak dari peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 5. Menganalisis peristiwa 5.1 Menjelaskan kontroversi kisah 30 G30S/PKI September 1965 dari beberapa tafsir. 5.2 Menganalisis perbedaan pendapat tentang kontroversi kisah 30 September 1965 dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia saat ini. 6. Menganalisis peristiwa 6.1 Mendekripsikan kisah sejarah SUPERSEMAR Supersemar. 6.2 Menganalisis perbedaan pendapat tentang saat ini tentang kisah sejarah Supersemar

C. Materi Pokok 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Sejarah Indonesia Kontemporer. 2. Peristiwa Rengasdengklok 3. Peristiwa detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia 4. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 5. Peristiwa Gerakan 30 September/PKI 6. Peristiwa Sepersemar

2

D. KEPUSTAKAAN 1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, : kompas,2009 2. Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. : Galang Press. 3. Dake, Antonie C.A,. File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 4. Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita 5. Fatlah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. 2005 6. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta. 7. Herimanto dan Eko Targiyatmi. Sejarah.Kelas XI. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2014 8. Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: ,1984 9. M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi 10. Notosusanto, Nugroho, Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, 1976 11. Notosusanto, Nugroho. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: PT. Intermasa. 1984 12. Pour, Julius. Doorstoot Naar Djokja. Jakarta: Kompas, 2010 13. , Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Press, 2014 14. Syafi‘ie, Imam. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah.

3

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Kontemporer Kode : SEJ. 319 SKS : 2 Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer Capaian Pembelajaran : serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966).

Kemampuan Indikator Pokok Kegiatan Bentuk Penilaian Media akhir yang bahasan Pembelajaran pembelajaran diharapkan (metode dan Jenis Kriteria Bobot pengalaman belajar) 1. Mahasiswa 1.1 Mahasiswa dapat Pengertian a. Mahasiswa Diskusi, Tes Kebenaran mampu menjelaskan dan Ruang menjelaskan Penugasan dalam pengertian sejarah memahami menguraikan pengertian Lingkup individu pengertian dan kontemporer. perkembangan Sejarah Indonesia Sejarah ruang lingkup b. Mahasiswa sejarah berdiskusi dan kontemporer sejarah Kontemporer. Indonesia 1.2 Mahasiswa dapat Kontemporer memaparkan kontemporer ruang lingkup dalam menyebutkan sejarah kehidupan pokok-pokok kontemporer sehari-hari. penting dalam Sejarah Indonesia

Kontemporer.

2. Mahasiswa 2.1 Mendeskripsikan Peristiwa Diskusi, studi Unjuk Kesesuaian WARTOP mampu kronologi Rengasdengkl kasus, tugas kerja narasi

4

menganalisis peristiwa ok kelompok, role WARTOP peristiwa Rengasdengklok play WARTOP dengan materi rengasdengklok 2.2 Menjelaskan peristiwa dampak peristiwa Rengasdengkl rengasdengklok ok. dalam persiapan kemerdekaan Indonesia 3. Mahasiswa 3.1 Menjelaskan Peristiwa Penugasan, Unjuk Kebenaran WARTOP mampu peristiwa detik- detik-detik diskusi, roleplay kerja dalam WARTOP memahami menganalisis detik proklamasi proklamasi 3.2 Menganalisis peristiwa peristiwa detik- kondisi Indonesia detik-detik detik saat detik-detik proklamasi proklamasi proklasi Kemerdekaan Indonesia 4. Mahasiswa 4.1 Mendiskripsikan Peristiwa Diskusi, Unjuk Kebenaran WARTOP mampu peristiwa serangan roleplay kerja dalam WARTOP memahami menganalisis serangan umum 1 umum 1 Maret 1949 Maret 1949 peristiwa peristiwa 4.2 Menjelaskan serangan serangan dampak dari umum 1 umum 1 Maret peristiwa Maret 1949 1949 serangan umum 1 Maret 1949 5. Mahasiswa 5.1 Mahasiswa dapat Kisah sejarah a. Mendeskripsikan Tanya jawab, Unjuk Kebenaran WARTOP mampu mendekripsikan G 30 S/PKI kisah sejarah 30 diskusi, role kerja dalam play WARTOP memahami menganalisis kontroversi kisah S eptember 1965 dari berbagai kisah 30 kisah 30 September pandangan September kontroversi 30 1965 dari 1965

5

September beberapa tafsir b. Mendiskripsikan 1965 5.2 Mahasiswa dampak meng analisis peristiwa 30 September 1965 perbedaan bagi masyarakat pendapat tentang Indonesia sampai kontroversi kisah saat ini 30 September Pemutaran Film 1965 dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia saat ini 6. Mahasiswa 6.1 Mahasiswa dapat Kisah sejarah a. Mendeskripsikan Diskusi, Unjuk Kesesuaian WARTOP mampu mendekripsikan supersemar kisah sejarah roleplay kerja pemahaman WARTOP kisah menganalisis kisah sejarah Supersemar b. Mendiskripsikan supersemar kisah sejarah Supersemar berbagai Supersemar 6.2 Mahasiswa kontroversi kisah menganalisis sejarah perbedaan Supersemar pendapat tentang saat ini tentang kisah sejarah supersemar

Refrensi:

1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009

6

2. Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press. 3. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 4. Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita 5. Fatlah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. 2005 6. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta. 7. Herimanto dan Eko Targiyatmi. Sejarah.Kelas XI. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2014 8. Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka,1984 9. M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi 10. Notosusanto, Nugroho, Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, 1976 11. Notosusanto, Nugroho. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: PT. Intermasa. 1984 12. Pour, Julius. Doorstoot Naar Djokja. Jakarta: Kompas, 2010 13. Sudirman, Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Press, 2014 14. Syafi‘ie, Imam. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah

7

Rencana Perkuliahan Semester

Jurusan/Program : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Studi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 1-2

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Pengertian dan ruang lingkup sejarah Indonesia kontemporer. C. Indikator 1.3 Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Sejarah Indonesia Kontemporer. 1.4 Mahasiswa dapat menyebutkan pokok-pokok penting dalam Sejarah Indonesia Kontemporer. D. Materi Pokok Pengertian dan Ruang Lingkup Sejarah Indonesia Kontemporer E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu 1. Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan 2. Inti c. Mahasiswa menjelaskan Diskusi, 70 menit pengertian sejarah Penugasan kontemporer. individu d. Mahasiswa berdiskusi dan memaparkan ruang lingkup sejarah kontemporer 3. Penutup Refleksi: Dosen memberi 20 menit penguatan: pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer

8

F. Sumber Bahan 1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009 2. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta. 3. Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka,1984 4. M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi 5. Pour, Julius. Doorstoot Naar Djokja. Jakarta: Kompas, 2010 6. Sudirman, Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Press, 2014

G. Penilaian 1. Tes Essay a. Jelaskan pengertian dari sejarah kontemporer! b. Berikan contoh kisah sejarah Indonesia yang tergolong sejarah kontemporer! c. Jelaskan ruang lingkup dari sejarah kontemporer!

2. Rubrik Penskoran No. Rubrik Penskoran Skor 1. Bila jawaban benar, jelas dan lengkap 3 2. Bila jawaban benar dan jelas tapi tidak lengkap 2 3. Bila jawaban benar tapi tidak lengkap 1 4. Bila jawaban salah 0 Skor Maksimal 3

9

Rencana Perkuliahan Semester

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 3-4

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Mengemukakan kisah peristiwa rengasdengklok dan dampak dari peristiwa rengasdengklok C. Indikator a. Mendeskripsikan kronologi peristiwa Rengasdengklok b. Menjelaskan dampak peristiwa rengasdengklok dalam persiapan kemerdekaan Indonesia D. Materi Pokok Peristiwa rengasdengklok E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan Inti 1. Mendiskusikan peristiwa Diskusi, WARTOP 80 menit rengasdengklok dan Studi dampaknya bagi kemerdekaan kasus, Indonesia tugas 2. Kelompok memainkan kelompok, roleplay WARTOP peristiwa role play penculikan Soekarno oleh WARTOP. pemuda Penutup Refleksi: Dosen memberi 10 menit penguatan

10

F. Penilaian Penilaian unjuk kerja roleplay WARTOP peristiwa rengasdengklok menggunakan check list: No. Aspek yang Dinilai Skor 1 2 3 1. Penyampaian materi 2. Penyampaian narasi WARTOP 3. Kesesuaian roleplay dengan materi 4. Ketepatan peran WARTOP dengan narasi 5. Menarik kesimpulan dari peristiwa Skor Perolehan Skor Maksimum 15

Keterangan Penilaian: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik

Skor Perolehan Nilai = x 100 Skor Maksimal

Kriteria Penilaian: Sangat menguasai : 91-100 Menguasai : 71-90 Cukup : 61-70 Kurang : nilai kurang dari 60

G. Sumber Bahan 1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009 2. Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press. 3. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 4. Fatlah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. 2005 5. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta

11

Rencana Perkuliahan Semester

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 5-6

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966).. B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Mahasiswa mampu menganalisis peristiwa detik-detik proklamasi C. Indikator 3.1 Menjelaskan peristiwa detik-detik proklamasi 3.2 Menganalisis kondisi Indonesia saat detik-detik proklasi Kemerdekaan Indonesia D. Materi Pokok Peristiwa detik-detik proklamasi E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu 1. Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan 2. Inti 1. Memaparkan peristiwa detik- Diskusi, WARTOP 70 menit detik proklamasi Studi 2. Mendiskusikan kondisi kasus, Indonesia saat detik-detik tugas proklasi Kemerdekaan kelompok, roleplay Indonesia WARTOP. 3. Kelompok memainkan roleplay WARTOP peristiwa detik- detik proklamasi 3. Penutup Refleksi: Mahasiswa 20 e menyimpulkan peristiwa detik- n detik proklamasi i t

12

F. Penilaian Penilaian unjuk kerja roleplay WARTOP peristiwa detik-detik proklamasi menggunakan check list: No. Aspek yang Dinilai Skor 1 2 3 1. Penyampaian materi 2. Penyampaian narasi WARTOP 3. Kesesuaian roleplay dengan materi 4. Ketepatan peran WARTOP dengan narasi 5. Menarik kesimpulan dari peristiwa Skor Perolehan Skor Maksimum 15

Keterangan Penilaian: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik

Skor Perolehan Nilai = x 100 Skor Maksimal

Kriteria Penilaian: Sangat menguasai : 91-100 Menguasai : 71-90 Cukup : 61-70 Kurang : nilai kurang dari 60

G. Sumber Bahan 1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009. 2. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 3. Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita 4. Fatlah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. 2005 5. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta. 13

Rencana Perkuliahan Semester Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 7-9

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Menganalisis serangan umum 1 Maret 1949 C. Indikator 4.1 Mendiskripsikan peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 4.2 Menjelaskan dampak dari peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 D. Materi Pokok Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan Inti c. Mendeskripsikan kisah Tanya WARTOP 70 menit sejarah peristiwa serangan jawab, umum 1 Maret 1949 diskusi, d. Mendiskripsikan dampak role play peristiwa peristiwa serangan WARTOP umum 1 Maret 1949 Penutup Membuat ikhtisar pengertian 20 menit

14

F. Penilaian Penilaian unjuk kerja roleplay WARTOP peristiwa Serangan umum 1 Maret 1949 menggunakan check list: No. Aspek yang Dinilai Skor 1 2 3 1. Penyampaian materi 2. Penyampaian narasi WARTOP 3. Kesesuaian roleplay dengan materi 4. Ketepatan peran WARTOP dengan narasi 5. Menarik kesimpulan dari peristiwa Skor Perolehan Skor Maksimum 15

Keterangan Penilaian: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik

Skor Perolehan Nilai = x 100 Skor Maksimal

Kriteria Penilaian: Sangat menguasai : 91-100 Menguasai : 71-90 Cukup : 61-70 Kurang : nilai kurang dari 60

G. Sumber Bahan 1. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 2. Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta. 3. Herimanto dan Eko Targiyatmi. Sejarah.Kelas XI. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2014

15

Rencana Perkuliahan Semester

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 10-13

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Menganalisis kisah kontroversi 30 September 1965 C. Indikator 5.1 Mahasiswa dapat mendekripsikan kontroversi kisah 30 September 1965 dari beberapa tafsir 5.2 Mahasiswa menganalisis perbedaan pendapat tentang kontroversi kisah 30 September 1965 dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia saat ini D. Materi Pokok Kisah sejarah G 30 S/PKI E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan Inti 1. Mendeskripsikan kisah Tanya WARTOP 70 menit sejarah 30 S eptember 1965 jawab, dari berbagai pandangan diskusi, 2. Mendiskripsikan dampak role play peristiwa 30 September 1965 WARTOP bagi masyarakat Indonesia sampai saat ini Penutup Membuat ikhtisar pengertian 3. menit

16

F. Penilaian Penilaian unjuk kerja roleplay WARTOP peristiwa G30S/PKI menggunakan check list: No. Aspek yang Dinilai Skor 1 2 3 1. Penyampaian materi 2. Penyampaian narasi WARTOP 3. Kesesuaian roleplay dengan materi 4. Ketepatan peran WARTOP dengan narasi 5. Menarik kesimpulan dari peristiwa Skor Perolehan Skor Maksimum 15

Keterangan Penilaian: 4 = Kurang 5 = Cukup 6 = Baik

Skor Perolehan Nilai = x 100 Skor Maksimal

Kriteria Penilaian: Sangat menguasai : 91-100 Menguasai : 71-90 Cukup : 61-70 Kurang : nilai kurang dari 60

G. Sumber Bahan 1. Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009 2. Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press. 3. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 4. Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita 17

Rencana Perkuliahan Semester Jurusan/Program Studi : Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Mata Kuliah : Sejarah Kontemporer Kode : SEJ SKS : 2 Pertemuan : 14-16

A. Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah kontemporer serta mendiskripsikan kisah-kisah sejarah Indonesia yang tergolong dalam sejarah kontemporer serti peristiwa rengasdengklok (1945), detik-detik proklamasi (1945), serangan umum 1 Maret 1949, G 30 S/PKI (1965) dan SUPERSEMAR (1966). B. Kemampuan Akhir yang Diharapkan Menganalisis kisah sejarah Supersemar C. Indikator 6.1 Mahasiswa dapat mendekripsikan kisah sejarah Supersemar 6.2 Mahasiswa menganalisis perbedaan pendapat tentang saat ini tentang kisah sejarah supersemar D. Materi Pokok Kisah sejarah supersemar E. Langkah Kegiatan No. Tahap Kegiatan Pembelajaran Metode Media Alokasi Waktu 1. Pendahuluan Apersepsi: Dosen membuka 10 menit perkuliahan dan menunjukkan gambar James, Charles, Peter, dan Catherine. 2. Inti 1. Mendeskripsikan kisah Diskusi, WARTOP 70 menit sejarah Supersemar roleplay 2. Mendiskripsikan WARTOP berbagai kontroversi kisah sejarah Supersemar 3. Penutup Refleksi 20 enit

18

F. Penilaian Penilaian unjuk kerja roleplay WARTOP peristiwa Supersemar menggunakan check list: No. Aspek yang Dinilai Skor 1 2 3 1. Penyampaian materi 2. Penyampaian narasi WARTOP 3. Kesesuaian roleplay dengan materi 4. Ketepatan peran WARTOP dengan narasi 5. Menarik kesimpulan dari peristiwa Skor Perolehan Skor Maksimum 15

Keterangan Penilaian: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik

Skor Perolehan Nilai = x 100 Skor Maksimal

Kriteria Penilaian: Sangat menguasai : 91-100 Menguasai : 71-90 Cukup : 61-70 Kurang : nilai kurang dari 60 G. Sumber Bahan 1. Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press. 2. Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005 3. Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita 4. Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka,1984 19

BAB I SEJARAH INDONESIA KONTEMPORER

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan dari pemebalajaran BAB I diharapkan mahasiswa mampu menguraikan pengertian dan ruang lingkup sejarah Indonesia kontemporer. Adapun indikator capaian pembelajaran sebagaia berikut:

1.1 Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Sejarah Indonesia Kontemporer. 1.2 Mahasiswa dapat menyebutkan pokok-pokok penting dalam Sejarah Indonesia Kontemporer.

B. MATERI AJAR

Menurut batasan peristiwa yang buat oleh Kuntowijoyo (dalam Arwinto, 2012) bahwa untuk kasus Indonesia maka sejarah kontemporer itu biasanya dimulai dari tahun 1945. Sejarah kontemporer adalah sejarah mutakhir yang jejak-jejak peristiwa masih relatif dekat dan dirasakan kehadirannya oleh kita pada masa sekarang.

Sejarah kontemporer memiliki ciri kompleksitas dari peristiwa dan interpretasinya. Kompleksitas sejarah kontemporer disebabkan karena semua dokumen, arsip, dan sumber primer lainnya belum bisa dibuka dan dipelajari oleh umum, dengan demikian belum bisa dilakukan rekonstruksi sejarah secara utuh, selain itu karena beberapa tokoh pelaku sejarahnya masih hidup. Hal yang terakhir ini serigkali mengundang perdebatan sejarah yang berkepanjangan sebab ada beberapa memori kolektif atau pribadi karena pertimbangan politik dan kekuasaan yang bersifat kekinian sering ditonjolkan untuk hal-hal yang menyenangkan di satu sisi, dan sengaja diheningkan untuk hal-hal yang kurang menyenangkan di sisi lain.

20

1. Pengertian Sejarah Indonesia Kontemporer Menurut Notosusanto (dalam Azinar, 2009) sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah. Menurut Azinar (20017) sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini.

2. Pokok-Pokok Penting dalam Sejarah Indonesia Kontemporer.

Siapa yang tidak mengenal sosok soekarno? Soekarno adalah sosok yang identik dengan ide NASAKOM (sebuHah pemikiran yang disintesakannya dari nasionalisme, agama, dan Marxisme) yang coba ia usulkan dalam pencarian identitas indonesia. Ide-ide tersebut yang ia usulkan pula dalam falsafah . Soekarno belajar berpolitik dari H.O.S. Cokroaminoto. Soekarno muda sempat mondok di rumah Cokroaminoto di Jl. Paneleh VI No. 29 dan 31. Bermula dari rumah tersebutlah tiga ideologi besar (nasionalisme, agama, dan Marxisme) bermula. Rumah Cokroaminoto pernah ditinggali oleh ketiga orang (Semaoen, Soekarno, dan Kartosowiryo), sesekali singgah dan menginap di rumah ini. Pertemanan Soekarno dan Kartosuwiryo dan Cokroaminotolah yang memperkenalkan islam sebagai ideologi kepadanya, sedangkan perjumpaan dengan Prawirjodirdjo, 21

Semaoen, dan Dasono semakin merperkenalkan Soekarno terhadap prinsip- prinsip komunisme. Soekarno memang dipengaruhi oleh Marxisme. Seperti yang diuraikan dalam buku Rosian Anwar Soekarno adalah hewan politik (politik animal) dan suatu campuran dari Marxis, Mistikus, Moderator, dan Muslim. Tidak diragukan lagi Soekarno muda, memberikan ide-ide dari pemikirannya terhadap konsep nasionlisme dan indonesia merdeka. Tatkala bersidang di gedung Landrad , keberanian Soekarno memberikan inspirasi dan menyuntikkan semangat bagi para nasionalis. Lewat perjalanan yang begitu panjang akhirnya indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945. Peristiwa itu tenyunya menjadi pertanda lepasnya pemerintahan penjajah di Indonesia. Sejak itulah seluruh wilayah Hindia Belanda kemudian dikenal dengan nam Indonesia. Maka proklamasi disebut sebagai kemenangan atas perwujudan gagasan ‗‘Indonesia‘‘. Paska Proklamasi, perjalanan dalam pencarian identitas nasional ‗‘menjadi Indonesia‘‘ masih terjadi permasalahan, baik menyangkut permasalahan kadaulatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Permasalah dari luar negeri menyangkut pengakuan dari kemerdekaan dari negara lain, adanay agresi militer Belanda, diplomasi internasional, dan lainnya. Permasalahan kedaulatan dari dalam negeri muncul dari perbedaan konsep dan cara membangun identitas nasional yang bernama ‗‘Indonesia‘‘. Bukan hanya itu saja, permasalahan dalam negeri Indonesia menjadi sangat kompleks, Indonesia enjadi panggung politik yang bergeliat dan ramai. Apalagi dengan ditandatangani Maklumat no. X oleh Hatta. Uniknya, tatkala menandatangani Maklumat no. X , Hatta menduduki posisi sebagai wakil presiden Indonesia. Indonesia kala itu memang meiliki model kepemimpinan yang unik dengan dwi-tunggal (1945), model kepemimpinan ini hanya dimiliki oleh negara indonesia tidak negara lain. Hatta dan Soekarno sebagai dwitunggal memiliki hak dan kekuasaan yang sama. Maka selaku wakil presiden Hatta juga memiliki kekuasaan untuk menandatanani maklumat no. X. Seturut Hatta maklumat no. X adalah wujud dari ketidak setujuan bebrapa 22

orang dengan partai tunggal yang akan didirikan oleh Soekarno, sekligus sebagi image bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.

Tatkala sejarah menyadarkan kita tentng perbedaan-perbedaan, ia sebetulnya telah mengajarkan toleransi dan kebebasan, ‗‘ujar Francois Caron, professor sejarah di Universitas Sorbonne, Paris. Begitu orde baru berakhir, bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku- buku baru diluncurkan. Sejarahpun menjadi polemic. Penulisan ini menawarkan tipologi kontroversi sejarah indonesia yag disebabkan oleh fakta (dan interprestasi) yang 1) tidak tepat; 2) tidak lengkap; 3) tiidak jelas. Pembedaan ini diakui tidak begitu tegas batasnya, tetapi dapat digunakan sebagai kerangka kerja.

Termasuk dalam kategori pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan mantan Presiden Soeharto. Selama ini PKI ditulis menyatu dengan Gerakan 30 September (G30S),seakan partai tersebut dalang tunggal dari percobaan kudeta 1965. Padahal ada versi lain tentang keterlibatan Militer, Sukarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Malah belakangan muncul versi baru yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut ‗‘kudeta merangkak‘‘.

Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 merupakan tonggak sejarah paling penting rezim Soeharto. Namun tidak tepat kalau surat tersebut diberikan Pesiden Sukarno dengan sukarela. Meskipun tanpa todongan senjata, masuk akal kalau pembuatan surat tersebut dilakukan oleh Sukarno di bawah tekanan tiga perwira tinggi yang disuruh Soeharto. Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949, dikesankan dirancang oleh Soeharto. Lebih meyakinkan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah konseptor serangan itu.

23

BAB II PERISTIWA RENGASDENGKLOK

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan pembelajaran pada BAB II ini adalah mahasiswa mampu mengemukakan kisah peristiwa rengasdengklok dan dampak dari peristiwa rengasdengklok, adapun indikator capaian pemebalajarannya sebagai berikut:

2.1 Mendeskripsikan kronologi peristiwa Rengasdengklok

2.2 Menjelaskan dampak peristiwa rengasdengklok dalam persiapan kemerdekaan Indonesia

B. MATERI AJAR

1. Latar Belakang Peristiwa Rengasdengklok

Memuncaknya perjuangan menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia nampak digiatkan oleh bangsa Indonesia dari golongan tua maupun dari golongan muda. Kedua-duanya berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan, hanya caranya mengemukakan dan melaksanakan pendapat itulah yang berbeda. Golongan tua sesuai dengan perhitungan politiknya berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah hanya dengan jalan bekerjasama dengan Jepang.

Mereka menggantungkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Jumbi Iinkai). Peresmian pembentukan badan itu dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan dekrit Jenderal Besar Terauci, Panglima Tentara Umun Selatan yang membawahkan semua tentara Jepang di Asia Tenggara.

24

Para anggota didalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu digerakan oleh pemerintah sedangkan mereka diijinkan melakukan segala sesuatunya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri; tetapi di dalam melakukan kewajibannya itu mereka diwajibkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaannyalah menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, karena itu harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya. b. Kemerdekaan negara Indonesia itu merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu;

Dengan diumumkannya pembentukan PPKI pada tanggal 7 Agustus 1945, maka pada saat yang sama Dokuritsu Jumbi Cosakai dibubarkan. Kepada para anggota PPKI Gunseikan Jenderal Yamamoto mengucapkan terimahkasihnya dan menegaskan kepada mereka bahwa para anggota yang duduk dalam PPKI itu tidak dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas saja, akan tetapi oleh Jenderal Besar Terrauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi diseluruh Asia Tenggara. Untuk pengangkatan itu, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh Pergerakan Nasional Ir.Sukarno, Drs. Moh.Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat. Pada tanggal 9 agustus 1945 mereka berangkat menuju ke markas besar Terauci di Vietnam Selatan.

Dalam suatu pertemuan di Dalath (Vietnam Selatan) pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci menyampaikan kepada ketiga pemimpin tersebut bahwa pemerintah kemaharajaan telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk melaksanakannya telah dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilaksanakan segera 25

setelah persiapannya selesai. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Mungkin pelaksanaannya tidak dapat sekaligus untuk seluruh Indonesia, melainkan demi bagian sesuai kondisi setempat.

Duapuluh-satu amggota telah dipilih, tidak hanya terbatas pada wakil-wakil dari Jawa, tetapi juga dari berbagai Pulau dan suku seperti berikut: 12 wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatera, 2 wakil dari golongan penduduk Cina. Yang ditunjuk sebagai ketua dalam PPKI adalah Ir. Sukarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta ditunjuk sebagai wakil ketua. Sebagai penasehatnya ditunjuk Mr.Ahmad Subardjo.

Kemudian PPKI ditambah dengan enam anggota lagi tanpa seizin Jepang; anggota-anggota itu adalah Wiranatakusumah, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri dan Ahmad Subardjo. Dan saat ketiga tokoh PPKI, yakni Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Widiodiningrat berangkat kembali menuju Jakarta pada tanggal 14 agustus 1945 ternyata Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Wediodiningrat berangkat kembali menuju Jakarta pada tanggal 14 agustus 1945.

Begitu soekarno dan Hatta pulang dari Dalat pada 14 Agustus 1945, Sjahrir memberitahu mereka bahwa Jepang sudah meminta gencatan senjata. Sekali lagi ia mendesak mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang sudah menyerah merasa bahwa kelompok-kelompok bawah tanah belum mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang. Mereka khawatir apabila hal itu justru mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia.

Jepang saat itu menghadapi pemboman AS atas Hirosyma dan Nagasaki, sedangkan Uni Sovyet menyatakan perang terhadap Jepang dengan cara melakukan penyerbuannya ke Mancuria. Dengan demikian dapat diduga bahwa kekalahan Jepang dalam waktu yang sangat singkat, sehingga proklamasi kemerdekaan harus segera dilaksanakan. Dalam hal ini Ir. Sukarno dan Moh. 26

Hatta berpendapat bahwa ―soal kemerdekaan Indonesia yang datangnya dari pemerintahan Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal karena Jepang sudah kalah. Kini kita menghadapi serikat yang berusaha akan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi.

Mereka ingin memperbicangkan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sehingga dengan demikian tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang, yang menetapkan waktu berkumpulnya para anggota PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 dan waktu diadakannya siding PPKI yang pertama pada keesokan harinya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peristiwa Rengasdengklok Keinginan para pemuda untuk memaksa golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia gagal sehingga para pemuda segera mengadakan rapat di Jalan Cikini 71. Mereka memutuskan untuk membawa Ir. Sukarno dan Moh.Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Menurut jalan pemikiran pemuda jika Sukarno-Hatta masih berada di Jakarta maka kedua tokoh ini akan dipengaruhi dan ditekan oleh Jepang serta menghalanginya untuk memproklamirkan kemerdekaan ini dilakukan. Rengsadengklok dipilih untuk mengamankan Sukarno-Hatta berdasarkan pertimbangan daerah tersebut jauh dari jalan raya sehingga mudah mengawasi gerak-gerik tentara Jepang. Rengasdengklok dipilih untuk mengamankan Sukarno-Hatta karena perhitungan militer. Antara anggota Peta Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka melakukan latihan bersama-sama. Selain itu Rengasdengklok letaknya terpencil yakni 15 Km ke dalam dari Kedung-gede, Karawang pada Jalan raya Jakarta-Cirebon. Dengan demikian deteksi dapat dengan mudah dilaksanakan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang hendak

27

datang ke Rengasdengklok baik yang datang dari arah Jakarta, maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah, karena pastilah mereka harus melalui Kedung-gede dahulu dimana pasukan Tentara Peta telah bersiap-siap untuk menahanya. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan muda, yang menganggap PPKI adalah badan Jepang dan tidak menyetujui lahirnya proklamasi kemerdekaan secara apa yang telah dijanjikan oleh Jenderal Besar Terauci dalam pertemuan di Dalath. Sebaliknya golongan muda menghendaki terlaksananya proklamasi kemerdekaan dengan kekuatan sendiri lepas sama sekali dari pemerintah Jepang. termasuk tokoh yang pertama yang mendesak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta tanpa menunggu janji Jepang yang dikatakannya sebagai tipu muslihat belaka. Karena ia mendengarkan radio yang tidak disegel oleh pemerintah militer Jepang, ia mengetahui bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah. Desakan tersebut dilakukannya pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam suatu pertemuan dengan Drs. Moh. Hatta tak lama sesudah Hatta kembali dari Dalath. Tetapi Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta masih mencari kebenaran berita tentang kapitulasi Jepang secara resmi dan tetap ingin membicarakan pelaksanaan proklamasi pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

3. Terjadinya Peristiwa Rengasdengklok Desas-desus bahwa Jepang sudah atau akan menyerah terhadap Sekutu memicu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang sudah siap untuk bangkit melawan Jepang apabila Sekutu mendarat di Indonesia. Pada 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran radio bahwa Jepang menyerah terhadap sekutu, Soetan Sjahrir mendesak agar bersama Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir juga meyakinkan Hatta bahwa ia akan didukung para pejuang bawah tanah serta banyak unit Peta. Tindakan selanjutnya diambil oleh golongan pemuda yang terlebih dahulu mengadakan suatu perundingan di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di 28

Pegangsaan Timur, Jakarta. Pada tanggal 15 agustus, 1945, jam 20.00 WIB. Diantara hadirin Nampak , Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, di samping Wikrana dan Armansjah dari golongan kaigun. Keputusan rapat yang dipimpin oleh Cairul Saleh menunjukan tuntutan-tuntutan radikal golongan pemuda yang diantaranya menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantung- gantungkan pada orang dan kerajaan lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakannya perundingan dengan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta agar supaya mereka turut menyatakan proklamasi. Keputusan rapat tersebut disampaikan oleh dan Darwis pada saat yang sama yakni jam 22.00 WIB di rumah kediaman Ir. Sukarno, Pegangsaan Timur (Sekarang jalan Proklamasi) 56, Jakarta. Tuntutan Wikrana agar proklamasi dinyatakan oleh Ir. Sukarno pada keesokan harinya telah menegangkan suasana karena ia mengatakan bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan. Mendengar ancaman itu, Ir. Soekarno menjadi sangat marah dan menlontarkan kata-kata yang bunyinya sebagai berikut: ―Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok. Suasana hangat itu disaksikan oleh golongan nasionalis angkatan tua lainnya seperti Drs. Moh. Hatta, dr. Buntaran, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri. Nampak adanya perbedaan pendapat, dimana golongan pemuda tetap mendesak agar besok tanggal 16 agustus 1945 dinyatakan proklamasi, sedangkan golongan pemimpin angkatan tua masih menekankan perlunya diadakan rapat PPKI terlebih dahulu.

Walaupun demikian, Sjahrir yang percaya bahwa Sukarno bersedia untuk segera untuk memproklamasikan kemerdekaan melalui naskah deklarasi berisi kata-kata yang sangat anti-Jepang yang telah disiapkan Sjahrir maupun kawaan-

29

kawannya, segera mengorganisasi kelompok-kelompok bawah tanah dan pelajar Jakarta untuk mengadakan demonstrasi umum dan kerusuhan militer. Salinan naskah deklarasi kemerdekaan yang anti-Jepang itu sudah dikirimkan ke seluruh pelosok Pulau Jawa untuk segera diterbitkan begitu Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang diharapkan akan terlaksana pada 5 Agustus 1945.

Setelah segala persiapan dimulai, jelaslah bahwa Sukarno dan Hatta tidak bersedia memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Sjahrir tidak dapat menghubungi semua pemimpin kelompoknya pada waktu yang tepat guna mengabarkan pembatalan proklamasi. Revolusi akhirnya meletus secara terpisah di Cirebon pada 15 Agustus dibawah pimpinan Dr. Sudarsono, tetapi berhasil dipadamkan oleh Jepang.

Perbedaan pendapat itu telah membawa golongan pemuda kepada tindakan selanjutnya yakni menculik Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan itu berdasarkan keputusan rapat terakhir yang diadakan pada jam 24.00 WIB menjelang tanggal 16 agustus 1945 di Cikini 71, Jakarta. Rapat selain dihadiri oleh pemuda-pemuda yang berapat sebelumnya di ruangan Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan Timur, Jakarta, Juga dihadiri oleh , Jusuf Kunto, Dr. Muwardi dari barisan pelopor, Syodanco Singgih dari Daidan Peta Jakarta Syu. Mereka bersama Cairul Saleh telah bersepakat untuk melaksanakan keputusan rapat pada waktu itu, yaitu antara lain ―menyingkirkan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota‖, dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Demikianlah pada tanggal 16 agustus 1945 jam 04.00 WIB terjadi peristiwa penculikan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta untuk dibawa ke luar kota menuju Rengasdengklok, yang jaraknya 15 Km dari Kedung Gede, Karawang. Rencana berjalan dengan lancar karena diperolehnya dukungan berupa perlengkapan Tentara PETA dari Cudanco Latief Hendrayaningrat yang pada saat itu sedang menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang bertugas ke 30

Bandung. Demikianlah pada tanggal 15 agustus 1945 pukul 04.30 waktu jaman Jepang (pukul 04.00 WIB) Ir. Sukarno dan Drs. Moh.Hatta oleh sekelompok pemuda dibawah keluar kota menuju ke Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan dari sebelah timur Jakarta. Sukarno dan Hatta yang disertai ibu dan Guntur Sukarno Putra dibawah ke rumah seorang warga keturunan Tionghoa bernama Jiauw Ki Song. Para pemuda berusaha meyakinkan kedua tokoh tersebut agar berusaha meyakinkan kedua tokoh tersebut agar segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan tentara Jepang. Mereka meyakinkan Sukarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun resikonya. Jepang sudah mengetahui perihal penculikan Sukarno dan Hatta, Ahmad Soebarjo yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Sukarni, pergi ke Rengasdengklok-tentu saja dengan sepengetahuan Laksamana Maeda atau setidaknya para pejabat militer Jepang untuk membujuk Sukarni maupun para pemimpin mahasiswa untuk kembali ke Jakarta bersama dengan Sukarno dan Hatta. Hal itu membenarkan kecurigaan Sukarno dan Hatta Jepang sudah mengetahui rencana besar tentang proklamasi kemerdekaan. Mereka juga menjadi semakin percaya bahwa sekumpulan penduduk yang sudah dipersenjatai dan berjaga-jaga di pinggiran Ibu kota tidaklah memadai karena kini mereka tidak dapat lagi mengadakan serangan mendadak terhadap Jepang.

Sukarno dan Hatta masih ingin menghindari pertumpahan darah, sedangkan kelompok-kelompok bawah tanah mengikuti tuntutan Sjahrir agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan dalam kata-kata yang sangat anti- Jepang sampai-sampai seluruh rakyat Indonesia bersedia menggulingkan Jepang secara bersama-sama. Sementara itu, kelompok bawah tanah pimpinan Sukarni yang didukung oleh sejumlah kelompok persatuan mahasiswa telah kehilangan kesabaran, sehingga pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, mereka menculik Sukarno dan Hatta untuk dibawa ke Garnisun Peta di Rengasdengklok.

31

Di sana, mereka meyakinkan Sukarno dan Hatta bahwa Jepang benar- benar sudah menyerah. Kemudian mereka mencoba membujuk keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Sukarni bersikeras bahwa ada 15.000 pemuda bersenjata di pinggir-pinggir Jakarta yang siap memasuki ibu kota begitu proklamasi dikumandangkan. Namun, upaya itu tidak terlalu berhasil. Sementara itu, di Jakarta telah terjadi kesepakatan antara golongan tua yang diwakili oleh Ahmad Subardjo dengan Wikana dari golongan muda untuk mengadakan proklamasi di Jakarta.

Dilain pihak, Laksamana Muda Maeda bersedia rumahnya dijadikan tempat perundingandan menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda dan Subardjo menuju Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno. Semua ini dilakukan tidak lepas dari rasa prihatin sebagai orang Indonesia, sehingga terpanggil untuk mengusahakan agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan secepat mungkin.

Sesampainya di Rengasdengklok rombongan yang membawa Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta langsung menuju ke markas kompi Cudanco Subeno. Disana berlangsung pembicaraan antara Ir. Sukarno, Sukarni dan Singgih, sementara Drs. Moh. Hatta sedang ke luar ruangan. Sukarni atas nama golongan pemuda mendesak kembali agar Ir. Sukarno bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pembicaraan diantara mereka tidak membawa hasil. Tetapi dalam pembicaraannya dengan Singgih, akhirnya Ir. Sukarno bersedia untuk menyetujui desakan golongan pemuda yang diwakili oleh Singgih, supaya proklamasi kemerdekaan diucapkan tanpa campur tangan pemerintah Jepang. Sementara itu antara Mr. Ahmad Subardjo dengan Wikana terdapat sepakat bahwa proklamasi kemerdekaan harus dilakukan di Jakarta, di mana Laksamana Maeda bersedia akan menjamin keselamatan selama mereka berada di rumahnya. Karena itu Jusuf Kunto hari itu juga membawa Mr. Ahmad Subardjo bersama Sudiro (Mbah) ke Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno dan Hatta. 32

Rombongan tiba pukul 07.00 WIB. Di Rengasdengklok antara golongan tua dan golongan muda tidak terjadi perundingan, hanya telah diberi jaminan oleh Ahmad Subardjo dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 agustus 1945. Rombongan yang terdiri atas Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Jusuf Kunto segera berangkat menuju Rengasdengklok, tempat dimana Sukarno dan Moh.Hatta diamankan oleh pemuda. Selanjutnya, Ahmad Subardjo berhasil meyakinkan pemuda, bahwa proklamasi akan dilaksanakan keesokan harinya paling lambat pukul 12.00 WIB. Akhirnya, Subeno sebagai komandan kompi PETA setempat bersedia mengijinkan Sukarno-Hatta ke Jakarta. Ahmad Subardjo kemudian menghubungi Laksamana Maeda untuk meminta bantuannya. Laksamana Maeda mengijinkan rumahnya digunakan sebagai tempat menyusun naskah proklamasi. Beliau berjanji akan menjaga keselamatannya selagi masih didalam rumahnya. Sjahrir kemudian menemui Sukarno mendesaknya untuk berjanji agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Akan tetapi, ia tidak mendapat jaminan dari Sukarno bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilakukan dengan kata-kata yang sangat anti-Jepang sebagaimana yang disarankan Sjahrir dan kelompoknya. Sehari penuh Sukarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka berdua supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari setiap kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak terlaksana. Agaknya kedua pemimpin senior itu mempunyai wibawa yang cukup besar, sehingga para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok segan untuk melakukan penekanan. Namun dalam suatu pembicaraan berdua dengan Sukarno, Shodanco Singgih menganggap Sukarno menyatakan kesediaannya untuk mengadakan proklamasi itu segera sesudah kembali ke Jakarta. Berdasarkan anggapan itu Singgih pada tengah hari itu kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana Proklamasi itu kepada kawan-kawanya pemimpin pemuda. 33

Begitu kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 tengah malam, Hatta segera menghubungi tangan-kanan panglima Angkatan perang Jepang dii Jawa. Pejabat tersebut memberitahu Hatta bahwa yang dimaksud dengan ‗‘Jepang menyerah‘‘ adalah bahwa Jepang ‗‘ hanya menjadi agen sekutu‘‘ dan berarti Jepang tidak akan menyetujui proklamasi kemerdekaan oleh orang Indonesia. Menjadi jelaslah bagi Hatta dan Sukarno bahwa revolusi damai mustahil terjadi dan bahwa cara-cara proklamasi kemerdekaan yang disarankan oleh Sjahrir, Sukarni, Wikana, maupun pemimpin gerakan bawah tanah lainnya merupakan satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan. Sesampainya di Jakarta pada jam 23.00 WIB rombongan menuju rumah Laksamana Maeda di JL. Imam Bonjol No.1 (sekarang tempat kediaman resmi Duta Besar Inggris) setelah Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing terlebih dulu. Ditempat inilah naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun. Sebelumnya Sukarno dan Hatta telah menemui Somubuco, Mayor Jenderal Nisyimura untuk menjajagi sikapnya mengenai proklamasi kemerdekaan. Dengan segan-segan Nisymura mengikatkan diri untuk tidak menghalang-halangi proklamasi, ada tidak ada pernyataan yang anti Jepang.

34

C. NASKAH NARASI PERISTIWA RENGASDENGKLOK

“PERISTIWA PENCULIKAN SOEKARNO-HATTA”

BABAK 1

Narasi :Pada tanggal 7-9 agustus 1945, Jepang mengalami kehancuran akibat dijatuhi bom oleh Amerika Serikat. Hal ini sebagai akhir dari Perang Dunia II. Pada tanggal 12 agustus 1945, ketiga pimpinan PPKI diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalath (Vietnam Selatan). Ketika Jepang sudah mengalami kekalahan pada akhir perang dunia II, Pada 14 agustus 1945 menyebabkan Jepang sudah harus menyerah tanpa syarat kepada sekutu.Berita kekalahan Jepang tersebut didengar oleh Sutan Sajhrir, Wikana, Chairul saleh dan Darwis. Mereka mendengarnya melalui siaran Radio BBC. Hal ini yang menyebabkan golongan muda muda menggiatkan diri untuk bisa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa harus melalui rapat PPKI yang direncanakan sebelumnya. Akhirnya Sutan Sajhrir sepakat untuk menemui Drs.Moh.Hatta yang baru pulang dari Dalath (Vietnam Selatan).

Adegan : (Sutan Sajhrir, Chairul Saleh dan Darwis setelah mendengarkan radio lalu bercakap-cakap)

Sutan Sajhrir : ‗‟Kawan-kawan berdasarkan apa yang kita dengar bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu. Berarti hal ini dapat membuat kita semakin mudah untuk bisa memproklamirkan kemerdekaan.‘‘

Wikana : ‗‟Benar sekali kawan. Hal tersebut sangat benar‟‟

35

Sutan Sajhrir : ‗‟kita harus segera bericara dengan golongan tua mengenai hal ini. Oh ya, yang paling penting kita harus mewaspadai jangan sampai kemerdekaan kita dicampurkan oleh dominasi PPKI‟‟

Darwis : ‗‟Mengapa demikian saudaraku? Ada apa dengan PPKI?‟‟

Sutan Sajhrir : ‗‟Apakah saudara belum tau bahwa PPKI itu adalah bentukan Jepang. Kita harus bisa melakukannya sendiri.‟‟

Wikana : ‗‟Lalu, lantas demikian, Bagaimana caranya agar kita bisa memproklamasikan kemerdekaan kita sendiri?‟‟

Sutan Sajhrir : ‗‟Kalau mengenai hal itu, kita bisa memberitahu golongan tua kita mengenai masa proklamasi ini. Jangan sampai kita bergantung dengan Jepang.‟‘

Wikana : ‗‟Golongan tua katamu bung,, lalu, siapa yang akan mau bung dengan cara yang kita maksudkan ini?‘‘

Sutan Sajhrir : “Bung karno” yang akan melakukannya bung…

Darwis : „‟Apa kamu benar bung, bukankan Bung Karno itu adalah ketua umum PPKI. Bagaimana mungkin bung‟‟?

Wikana : „‟kalau bung Karno tidak mendukung rencana kita ini, apa pun caranya kita harus bisa membujuknya, walaupun dengan cara paksa sekalipun.‟‟

Sutan Sajhrir : „‟betul bung, tapi kita harus bisa membujuknya dengan baik- baik. Kita harus bisa menggunakan cara yang baik bung jangan lagi menggunakan kekerasan. Hal itu, tidak menjamin kemerdekaan bung.‘‘

36

Wikana dan Darwis : (menjawab bersama-sama) Setuju bung,, (sambil menganggukan kepala)

Adegan : ‗‘Sutan Sajhrir menemui Hatta di rumahnya, sebelum menemui Soekarno.‘‘

Sutan Sajhrir : (Sambil Menunggu di depan rumah Hatta, selama 1 jam).

Moh. Hatta : Ada apa Sajhrir, Mengapa kamu kemari?

(sambil mempersilahkan duduk kepada Sajhrir) silahkan duduk.

Sutan Sajhrir : Bung, kami sudah mengetahui kondisi terkini dari Jepang saat ini.

Moh. Hatta : Apa yang kamu ketahui tentang kondisi Jepang saat ini?

Sutan Sajhrir : Saya dan teman-teman saat ini sudah mengetahui lewat radio tentang Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 kemarin.

Moh. Hatta : Kalau begitu kita sekarang harus menemui Bung Karno.

Sajhrir : Baiklah Bung. (Sambil berdiri lalu keluar dari rumah Hatta) kita harus segera ke rumah Bung Karno

Babak II

Narasi : Agar bisa merealisasikan hal tersebut, akhirnya golongan pemuda mengambil langkah selanjutnya dengan melakukan perundingan terlebih dahulu disalah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia), pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.00 WIB. Golongan pemuda yang hadir

37

diantaranya adalah, Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, di samping Wikrana dan Armansjah dari golongan kaigun.

Adegan : Golongan Muda melakukan perundingan di ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia), pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.00 WIB.

Chairul Saleh : ‗‟Selamat malam saudara- saudara.‘‘

Pemuda : (menjawab bersama-sama) selamat malam juga saudara.

Chairul Saleh : Saudara-Saudara malam ini, kita harus sepakat mengenai tindakan yang kita lakukan sekarang.

Wikana : Kita harus bisa mendesak Sukarno dan Hatta agar mereka bisa memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini tanpa harus ada campur tangan dari PPKI.

Subadio : Betul saudaraku, kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal dari rakyat Indonesia sendiri tidak harus bergantung dengan negara lain.

Chairul saleh : Kita harus bisa saudara-saudara, semua ikatan yang di janjikan oleh Jepang harus di putuskan. Keputusannya sekarang adalah kita harus segera melakukan perundingan dengan Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta agar supaya mereka dapat menyatakan proklamasi bangsa ini.

Pemuda : (menjawab serempak) betul sekali. Kami semua sangat setuju.

38

Narasi : Berdasarkan kesepakatan tersebut, akhirnya beberapa diantara golongan pemuda tersebut pun menemui Soekarno dan Hatta. Malam tanggal 15 Agustus pukul 22.00 WIB di rumah kediaman Ir. Sukarno, Pegangsaan Timur (Sekarang jalan Proklamasi) 56, Jakarta. Keputusan rapat tersebut disampaikan oleh Wikana dan Darwis. merekapun sepakat untuk melakukan perundingan dengan golongan tua agar proklamasi kemerdekaan bisa segera mungkin dilaksanakan tanpa harus sesegera mungkin dilaksanakan.

Adegan : Wikana dan Darwis pergi ke rumahnya Soekarno untuk menemuinya serta membicarakan proklamasi kemerdekaan.

Wikana dan Darwis :(bersama-sama mengucapkan salam) Assalamualaikum.

Soekarno : Silahkan masuk, (mempersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu) ada perlu apa saudara-saudara kemari?

Darwis : kami kemari datang untuk menemui bung Karno untuk membicarakan mengenai kemerdekaan kita bung. Sekarang Jepang sudah menyerah kepada sekutu.

Sukarno : Masih ada lembaga yang berhak untuk mempersiapkan itu, dan belum ada kesepakatan dalam lembaga yang berwenang tersebut.

Wikana : Apa yang anda maksudkan tadi dengan lembaga yang berwenang itu adalah PPKI?

Soekarno : Betul sekali, (sambil menganggukan kepala), PPKI bisa menangani hal tersebut dengan baik.

39

Darwis : Kami sebagai golongan muda tidak akan menyetujui hal tersebut. Kami tidak menginginkan PPKI ambil bagian dalam hal ini, karena kami tau PPKI itu adalah buatan Jepang.

Soekarno : lalu, apa yang akan anda lakukan? (dengan nada bicara yang keras).

Darwis : Kami tidak ingin Jepang ikut campur mengenai proklamasi kita bung.

Wikana : Kalau Bung Karno tidak bersedia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan besok, maka aka nada pertumpahan darah

Soekarno : (mendengar ancaman tersebu dengan Suara keras dan marah sambil menatap para pemuda) “ini batang leherku,, silahkan seret aku ke pojok dan tebas leherku ini, kalau kalian menginginkan kemerdekaan itu”.

Hatta : Untuk apa kalian kemari, kalau kalian bisa membendung kekuatan sendiri. Untuk apa kalian meminta kami agar memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini sesegera mungkin.

Sukarno : Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI, karena saya akan tanyakan dengan wakil-wakil PPKI besok.

Darwis : Sampai kapan kita harus menunggu janji dari Jepang bung, yang ingin memberi kita hadiah kemerdekaan.

40

Wikana : Apakah kita sendiri sebagai rakyat Indonesia tidak mempunyai hak untuk memprokalamasikan kemerdekaan bangsa ini..

Hatta : Baiklah, jikalau demikian, ijinkan kami melakukan perundingan dengan golongan tua lainnya.

Wikana dan Darwis : (sambil bergegas dari tempat duduk mereka) baiklah bung.

Adegan : Soekarno dan Hatta berdiskusi dengan golongan tua lainnya yakni dengan Ahmad Subardjo, Syodanco Singgih, Iwa Kusuma.

Sukarno : Silahkan duduk bung (sambil menunjuk ke arah kursi)

Hatta : Bagaimana sudah sekarang, golongan muda semakin mendesak kami agar bisa memproklamasikan kemerdekaan.

Sukarno : Betul bung, tapi sekarang kita jangan gegabah, jangan sampai nanti terjadi satu dua hal tidak diinginkan.

Djojo Pranoto : Iya bung, sekarang yang paling penting kita harus bisa membendung kekuatan sekutu yang ingin kembali berkuasa di negeri ini. Kalau mengenai proklamasi kemerdekaan sebaiknya kita bahas dalam rapat PPKI tanggal 18 agustus mendatang.

Iwa Kusuma : Lalu bagaimana dengan pendapat golongan muda, apa kita abaikan saja bung?

41

Subardjo : Betul sekali, lagipula mereka itu masih muda. Apalagi pemikiran mereka itu belum terlalu matang. Kita harus bisa menatap masa depan dari bangsa ini. Jangan sampai semua rencana kita berantakan.

Iwa Kusuma : Baiklah, sekarang kesepakatan kita tetap sama. Kita tidak boleh gegabah.

Soekarno dan Hatta : (Menganggukan kepala pertanda setuju dengan golongan tua lainnya)

Babak III

Narasi : Adanya perbedaan pendapat, dimana golongan pemuda tetap mendesak agar besok tanggal 16 Agustus 1945 harus dinyatakan sebuah proklamasi kemerdekaan, sedangkan golongan pemimpin angkatan tua masih menekankan pada rapat PPKI terlebih dahulu dan harus dipersiapkan secara pasti tanpa harus terlalu buru-buru seperti yang diidam-idamkan oleh para pemuda. Hal itupun membawa golongan pemuda kepada tindakan radikal selanjutnya yakni menculik Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan tersebut didasarkan hasil keputusan terakhir pada pukul 24.00 WIB. Hal itu mereka lakukan agar menghidarkan mereka dari pengaruh Jepang saat itu. Tepat pukul 04.00 WIB, beberapa pemuda membawa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menuju Rengasdengklok. Rombongan ini berangkat dari kediaman Soekarno yang dikawal oleh pasukan PETA

42

dibawah pimpinan Syodanco Singgih. Merekapun menculik Soekarno dan Hatta menuju Rengsadengklok pada malam itu.

Adegan : Beberapa golongan pemuda menjemput paksa Soekarno dan Hatta.

Chairul Saleh : Kami harus membawa bapak dari sini sekarang juga (sambil menatap mata Soekarno dengan marah)

Soekarno : (dengan nada bicara yang keras) ada apa ini, mengapa kalian menggotong kami seperti ini?

Yusuf kunto : Bung tidak perlu tahu ke mana? Ikuti saja kami..

Syodanco Singgih : Jikalau bung mau tau ke mana kita akan pergi, bung harus ikut kami sekarang juga!!!!!!

Narasi : Soekarno serta ibu Fatmawati dan Moh.Hatta akhirnya berhasil di bawah oleh pemuda ke Rengasdengklok. Sementara itu peristiwa hilangnya Soekarno dan Hatta saai itu menimbulkan berbagai tanda tanya dari golongan tua lainnya, karena pada waktu rapat PPKI kedua tokoh itu tidak ada di tempat.

Adegan : Golongan tua yang sempat bingung dan khawatir tentang keberadaan Soekarno dan Hatta yang hilang.

Sudiro : Apakah kalian semua sudah tau? Saat ini Bung karno dan Bung Hatta tidak ada di kota,, sepertinya mereka di bawah paksa atau tidak sepertinya mereka diculik (dengan nada bicara khawatir)..

43

Mr. Soebardjo : (kaget) apa?? Diculik katamu bung,, benarkah itu? Lalu,,,, sekarang di mana mereka?

Sudiro : Bung saya pun tidak mengetahui yang pasti.. Sepertinya saya curiga bung,, yang melakukan pencullikan itu pemuda bawah tanah bung…

Mr. Subardjo : Pasti mereka tahu sekarang Bung Karno dan Bung Hatta ada di mana,…

Adegan : Rombongan tiba di Rengasdengklok,, terjadilah perdebatan antara pemuda dan golongan tua..

Soekarno : Sekarang jelaskan kepada kami saudara-saudara, apa sebenarnya keinginan kalian sehingga kami sampai dibawah ke sini?

Darwis : Sebenarnya bung, keinginan kami sama seperti yang sebelumnya.. kami tetap ingin membicarakan mengenai proklamasi kemerdekaan

Moh. Hatta : Sebelumnya kami sudah mengatakan bahwa mengenai proklamasi hal itu akan dibicarakan dalam sidang PPKI nanti.. hal itu sudah menjadi keputusan kami…

Syodanco Singgih : Hal itu sangat benar bung,,, tetapi kami ingin kita sendiri, rakyat sendiri yang akan melakukannya.. kami berpendapat bahwa kita tidak harus menunggu hasil siding PPKI.. kami tahu bung,, PPKI itu adalah bentukan Jepang, kami tidak ingin campur tangan Jepang dalam kemerdekaan kita.

Soekarno : Kalian sangat benar,, hal itu sangat benar, tapi kalian harus tahu saat ini hal itu tidak mungkin.. kita masih

44

terlalu dini untuk melakukannya sendiri. Kita juga belum menyiapkannya semaksimal mungkin. Untuk itu, kita harus membutuhkan bantuan Jepang saat ini.

Darwis : Apakah bung bisa bertanggung jawab apabila nanti sebenarnya yang dijanjikan Jepang itu hanya janji manis belaka?

Sukarni : Sampai kapan kita harus menunggu janji manis itu bung? Kita harus memroklamasikannya sendiri bung,, kita bisa membendung kekuatannya sendiri bung.. hal ini demi rakyat terbelenggu oleh penjajahan selama bertahun-tahun bung.. mereka berhak atas semuanya bung.. mereka berhak untuk bebas.

Syodanco Singgih : Saudara sekalian, tenanglah.. kita harus membicarakannya dengan kepala dingin. Jangan sampai ada ketegangan diantara kita.

Narasi : Kemudian Syodanco Singgih mencoba untuk menjauhkan Soekarno dan Hatta dari perdebatan itu untuk menghindari ketegangan. Akhirnya merekapun berunding..

Adegan : Syodanco Singgih berunding dengan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta

Syodanco Singgih : Bung, saya mengerti dengan perhitungan kalian,, saya paham dengan kesiapan kita yang belum matang dan belum mempertimbangkan semuanya dengan pasti.. Saat ini, kami yakin kekuatan yang kita miliki sendiri bung, kesempatan itu sudah ada di depan mata kita bung, kita harus menggunakannya itu.. Apa yang 45

mereka katakan sangat benar bung,, saya sangat mendukungnya.

Moh. Hatta : Tapi, apa yang kalian katakan itu mungkin?

Syodanco Singgih : Sangat mungkin bung,,,hal itu bisa kita lakukan dengan usaha yang baik,, kami yakin kita semua pasti sudah menemukan jalan keluarnya. Saat ini,, pemuda yang lainnya sudah merencanakan strategi untuk bisa mengatasi serangan dari Jepang atau sekutu apabila nanti kita ingin memproklamasikan kemerdekaan kita.

Soekarno : (Sambil menganggukan kepala) baiklah saudara,, jikalau demikian saya setuju. Kita akan memproklamasikan kemerdekaan tanpa ada campur tangan Jepang.

Narasi : Sementara di Jakarta pada siang hari itu, golongan tua yakni Mr. Achmad Subardjo bertemu dengan Wikana di kantornya. Dia pun mulai berbicang mengenai keberadaan Soekarno saat ini.

Subardjo : Bung,, saat ini kami sangat membutuhkan pertolongan mu,, bisahkan kau memberitahukan keberadaan Soekarno dan Hatta saat ini..

Wikana : Saat ini bung, saya tidak tahu sama sekali tentang keberadaan mereka.

Yusuf Kunto : Apa yang kalian perbincangkan saat ini?

Subardjo : Bisakah kalian memberitahu saya di mana Bung karno dan Bung Hatta saat ini. (dengan penuh kekhwatiran). Beritahu kami secepatnya.

46

Yusuf Kunto : Kalau mengenai Bung Karno dan Bung Hatta,, saat ini kalian tidak usah kwahtir. Kami sedang menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang. Saat ini mereka ada di luar kota yakni di Rengasdengklok.

Subardjo : Beritahu mereka sekarang, apabila mereka kembali ke Jakarta nanti aku akan menjamin keselamatan mereka. Saya berjanji juga esok kami akan menjamin kemerdekaan yang kalian inginkan.

Wikana : Baiklah,, sekarang yang akan mengantarkanmu bertemu bung Karno dan bung Hatta adalah Yusuf Kunto.

Narasi : Akhirnya, rombongan dari Jakarta berangkat menuju Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Mereka sampai disana pukul 17.30.

Adegan : Mr. berbincang dengan Ir. Soekarno.

Mr. Achmad Subardjo : Selamat malam saudara, kedatangan kami kesini adalah ingin menjemput bung Karno dan bung Hatta untuk kembali ke Jakarta. Saya juga akan memberikan jaminan bahwa esok proklamasi kemerdekaan akan diumumkan.

Darwis : Baiklah, jika memang kemerdekaan bisa dijamin akan diprokalamasikan besok maka sekarang juga kami akan menyetujui untuk pemulangan bung Karno dan bung Hatta.

47

Narasi : Akhirnya kesepakatan untuk kembali ke Jakarta pun berhasil. Golongan tua dan golongan muda pun berangkat dari Rengasdengklok menuju Jakarta. Peristiwa penculikan Soekarno dan Hatta pun telah selesai. Rengasdengklok pun menjadi saksi bisu peristiwa sejarah yang menjadikan bangsa Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

48

BAB III DETIK-DETIK PROKLAMASI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan dari pembelajaran pada BAB III ini adalah mahasiswa mampu menganalisis peristiwa detik-detik proklamasi, indikator capaian pembelajaran sebagai berikut:

3.1 Menjelaskan peristiwa detik-detik proklamasi

3.2 Menganalisis kondisi Indonesia saat detik-detik proklasi Kemerdekaan Indonesia

B. MATERI AJAR

1. Latar Belakang Peristiwa Proklamasi

Desas-desus bahwa Jepang sudah atau akan menyerah terhadap Sekutu memicu aksi beberapa organisasi bawah tanah yang sudah siap untuk bangkit melawan Jepang apabila Sekutu mendarat di Indonesia. Pada 10 Agustus 1945, setelah mendengar siaran radio bahwa Jepang menyerah terhadap sekutu, Soetan Sjahrir mendesak Mohammad Hatta agar bersama Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir juga meyakinkan Hatta bahwa ia akan didukung para pejuang bawah tanah serta banyak unit Peta.

Begitu Soekarno dan Hatta pulang dari Dalat pada 14 Agustus 1945, Sjahrir memberitahu mereka bahwa Jepang sudah meminta gencatan senjata. Sekali lagi ia mendesak mereka untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta yang belum begitu yakin bahwa Jepang sudah menyerah merasa bahwa kelompok-kelompok bawah tanah belum mampu menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Jepang. Mereka khawatir apabila hal itu justru mengakibatkan pertumpahan darah yang sia-sia.

49

Walaupun demikian, Sjahrir yang percaya bahwa Sukarno bersedia untuk segera untuk memproklamasikan kemerdekaan melalui naskah deklarasi berisi kata-kata yang sangat anti-Jepang yang telah disiapkan Sjahrir maupun kawan- kawannya, segera mengorganisasi kelompok-kelompok bawah tanah dan pelajar Jakarta untuk mengadakan demonstrasi umum dan kerusuhan militer. Salinan naskah deklarasi kemerdekaan yang anti-Jepang itu sudah dikirimkan ke seluruh pelosok Pulau Jawa untuk segera diterbitkan begitu Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang diharapkan akan terlaksana pada 5 Agustus 1945. Setelah segala persiapan dimulai, jelaslah bahwa Sukarno dan Hatta tidak bersedia memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Sjahrir tidak dapat menghubungi semua pemimpin kelompoknya pada waktu yang tepat guna mengabarkan pembatalan proklamasi. Revolusi akhirnya meletus secara terpisah di Cirebon pada 15 Agustus dibawah pimpinan Dr. Sudarsono, tetapi berhasil dipadamkan oleh Jepang.

Sukarno dan Hatta masih ingin menghindari pertumpahan darah, sedangkan kelompok-kelompok bawah tanah mengikuti tuntutan Sjahrir agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan dalam kata-kata yang sangat anti-Jepang sampai-sampai seluruh rakyat Indonesia bersedia menggulingkan Jepang secara bersama-sama. Sementara itu, kelompok bawah tanah pimpinan Sukarni yang didukung oleh sejumlah kelompok persatuan mahasiswa telah kehilangan kesabaran, sehingga pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, mereka menculik Sukarno dan Hatta untuk dibawa ke garnisun Peta di Rengasdengklok. Di sana, mereka meyakinkan Sukarno dan Hatta bahwa Jepang benar-benar sudah menyerah. Kemudian mereka mencoba membujuk keduanya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Sukarni bersikeras bahwa ada 15.000 pemuda bersenjata di pinggir-pinggir Jakarta yang siap memasuki ibu kota begitu proklamasi dikumandangkan.

Sukarno dan Hatta yakin bahwa kekuatan bersenjata yang dikatakan Sukarni terlalu dibesar-besarkan, dan bahwa Jepang akan dengan mudah meredam aksi 50

percobaan proklamasi kemerdekaan. Tampaknya Sukarno dan Hatta merasakan adanya keungkinan Jepang bersedia memahami keinginan mereka untuk merdeka sehingga mereka tidak akan menentang proklamasi dengan kekuatan militer. Untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu, setidaknya Sukarno dan Hatta ingin memastikan lebih dulu sikap para pejabat militer Jepang sebelum menggerakan rakyat.

Lebih lagi, keduanya merasa bahwa setiap deklarasi harus benar-benar mencakup seluruh penduduk Indonesia, dank arena itu harus dilaksanakan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Menurut mereka, dengan cara seperti itu, seluruh rakyat Indonesia akan bangkit secara bersama-sama guna menegaskan kemerdekaan. Dengan demikian, peluang kesuksesan mobilisasi rakyat untuk melawan Jepang akan lebih besar. Sidang PPKI tersebut rencananya akan diadakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00, setelah itu Sukarno dan Hatta akan mengusulkan perihal proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, Jepang sudah mengetahui perihal penculikan Sukarno dan Hatta, Ahmad Soebarjo yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Sukarni, pergi ke Rengasdengklok-tentu saja dengan sepengetahuan Laksamana Maeda atau setidaknya para pejabat militer Jepang untuk membujuk Sukarni maupun para pemimpin mahasiswa untuk kembali ke Jakarta bersama dengan Sukarno dan Hatta. Hal itu membenarkan kecurigaan Sukarno dan Hatta Jepang sudah mengetahui rencana besar tentang proklamasi kemerdekaan. Mereka juga menjadi semakin percaya bahwa sekumpulan penduduk yang sudah dipersenjatai dan berjaga-jaga di pinggiran Ibu kota tidaklah memadai karena kini mereka tidak dapat lagi mengadakan serangan mendadak terhadap Jepang.

Begitu kembali ke Jakarta pada 16 Agustus 1945 tengah malam, Hatta segera menghubungi tangan-kanan panglima Angkatan perang Jepang di Jawa. Pejabat tersebut memberitahu Hatta bahwa yang dimaksud dengan ‗‘Jepang

51

menyerah‘‘ adalah bahwa Jepang ‗‘ hanya menjadi agen sekutu‘‘ dan bersrti Jepang tidak akan menyetujui proklamasi kemerdekaan oleh orang Indonesia. Menjadi jelaslah bagi Hatta dan Sukarno bahwa revolusi damai mustahil terjadi dan bahwa cara-cara prolamasi kemerdekaan yang disarankan oleh Sjahrir, Sukarni, Wikana, maupun pemimpin gerakan bawah tanah lainnya merupakan satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan. Sjahrir kemudian menemui Sukarno mendesaknya untuk berjanji agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Akan tetapi, ia tidak mendapat jaminan dari Sukarno bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilakukan dengan kata-kata yang sangat anti- Jepang sebagaimana yang disarankan Sjahrir dan kelompoknya.

Jepang kini waspada, dan pergerakan semua pemimpin Indonesia diawasi secara ketat. Penting untuk mengadakan pertemuan disuatu tempat yang bebas dari mata-mata Kompeitai. Sekitar tengah malam, Hatta menghubungi Marsekal Muda Maeda yang bersedia menyediakan rumahnya untuk digunakan sebagai tempat pertemuan kelompok nasionalis. Maeda meninggalkan rumahnya dan pada 17 Agustus 1945 pukul 02.00, Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan PPKI dan Soebardjo, Wikana, serta Sukarni untuk merencanakan proklamasi kemerdekaan.

2. Penyusunan Teks Proklamasi

Setelah tiba di Jakarta, rombongan para pemuda dan Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana di jalan Imam Bonjol No. 1 untuk menyusun naskah proklamasi kemerdekaan. Di ruang makan rumah Maeda, Ir Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo merumuskan naskah proklamasi dengan disaksikan oleh , Sukarni, B. M. Diah, dan Sudiro. Dalam proses penyusunan naskah proklamasi, Ir. Sukarno menulis konsep naskah proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Ahmad Subardjo dan Drs. Moh. Hatta menyumbangkan pikiran secara lisan. Kalimat pertama yang berbunyi ‗‟kami

52

bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia‟‟ disusulkan oleh Achmad Subardjo.

Kalimat kedua yang berbunyi ‗‘ Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatya‘‘ diusulkan oleh Moh. Hatta. Kedua kalimat ini kemudian digabung dan disempurnakan sehingga diperoleh rumusan teks Proklamasi tulisan tangan Ir. Sukarno. Setelah konsep teks Proklamasikan ditunjukan kepada yang hadir timbullah masalah mengenai siapa yanga akan menandatanganinya. Ir. Sukarno menyarankan pada peserta rapat agar bersama- sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Hal itu diilhami oleh penandatanganan naskah kemerdekaan Amerika Serikat (Declarations of Independence) yang ditandatangani 13 wakil Negara bagian. Namun, usulan tersebut ditentang golongan pemuda. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani naskah Proklamasi adalah Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni tersebut disetujui hadirin. Selanjutnya, Sayuti Melik bertugas mengetik naskah tulisan tangan Ir. Sukarno dengan melakukan beberapa perubahan.

Perubahan-perubahan tersebut meliputi: a. Kata ‗‘tempoh‘‘ diubah menjadi tempo; b. Wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi ‗‘Atas nama bangsa Indonesia‘‘; c. Tulisan ‗‘Djakarta, 17-08‘05‘‘ diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun ‘05.

Pertemuan yang menghasilkan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut berlansung pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, timbul masalah bagaimana caranya berita proklamasi tersebut disebarluaskan kepada rakyat Indonesia.

53

Malam itu juga diputuskan bahwa naskah proklamasi akan dibacakan pukul 10.00 WIB pagi di Lapangan Ikada, Gambir. Tetapi karena ada kemungkinan timbul bentrokan dengan pasukan Jepang yang terus berpatroli, akhirnya diubah di kediaman Sukarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Sukarni melaporkan bahwa lapangan Ikada telah dipersiapkan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengarkan pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, Ir. Sukarno menganggap lokasi lapangan Ikada bisa menimbulkan bentrokan antara rakyat dan pihak militer Jepang. Akhirnya disepakati bahwa upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan dihalaman rumah Ir. Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.

3. Detik-detik Proklamasi kemerdekaan

Pada pukul 05.00 (waktu jawa pada zaman Jepang) fajar 17 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia dan para pemimpin pemuda keluar dari ruangan rumah Laksamana Maeda dengan diliputi oleh kebangsaan. Mereka pulang ke rumah masing-masing setelah berhasil merumusakan Proklamasi bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Ir. Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur Bo. 56 (sekarang jalan Proklamasi, Gedung Perintis kemerdekaan), pada pukul 10.30 (waktu Jawa pada zaman Jepang) atau pukul 10.00 WIB sekarang. Sebelum pulang Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor berita terutama B. M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.

Sementara itu para pemuda tidak langsung menuju ke rumah masing-masig, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang membagi pekerjaan dalam kerlompok-kelompok untuk penyelenggaraan naskah Proklamasi. Kegiatan mereka dibagi-bagi. Masing-masing kelompok pemuda mengirimkan kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat proklamasi telah tiba.

Di antara mereka adalah para pemuda yang bermarkas di jalan Bogor Lama (sekarang Jalan Dr. Suhardjo SH) dari kelompok Sukarni. Malam itu 54

mereka melakuakn rapat rahasia di Kepu (Kemayoran), kemudian pindah ke Defensielijn van den Bosch (sekarang Jalan Bungur Besar) untuk mengatur pelaksanaan dan cara penyiaran berita Proklamasi. Semua alat komunikasi yang ada akan dipergunakan untuk maksud itu. Pamphlet, pengeras suara, dan mobil akan dikerahkan ke segenap penjuru kota. Diusahakan juga pengerahan massa untuk mendengarkan pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur No. 56.

Ribuan pamphlet berhasil dicetak dengan roneo pada malam itu juga, dan segera disebarkan ke pelbagai penjuru kota. Di dalam situasi yang menegangkan itu para pemuda memasang pamphlet-pamflet di tempat-tempat yang mudah di lihat oleh public. Juga secara beranting berita itu disampaikan ke luar Kota Jakarta.

Tanpa diduga oleh siapa pun pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, barisan pemuda datang berbondong-bondong menuju ke Lapangan Ikada di sudut tenggara Lapangan Monumen Nasional (Monas) yang sekarang. Rupanya pihak Jepang telah mencium kegiatan para pemuda malam itu, karena itu mereka berusaha untuk menghalang-halanginya. Lapangan Ikada telah dijaga oleh pasukan-pasukan Jepang yang bersenjata lengkap. Para pemuda datang ke tempat itu karena informasi dari kawan-kawannya yang disampaikan secara beranting dari mulut ke mulut bahwa Proklamasi akan diucapkan di Lapangan Ikada. Ternyata Proklamasi tidak diadakan di Lapangan Ikada, tetapi di Pegangsaan Timur 56. Pemimpin barisan pelopor Sudiro juga pergi ke Lapangan Ikada dan melihat pasukan-pasukan Jepang menjaga lapangan itu. Ia segera kembali dan melaporkan hal itu kepada dr. Muwardi, kepala keamanan Ir. Sukarno pada waktu itu. Ia mendapat penjelasan bahwa Proklamasi tidak diadakan di Ikada melainkan di Pegangsaan Timur 56. Ia segera kembali ke Ikada untuk memberitahukan hal itu kepada anak buahnya.

Pada pagi hari itu juga rumah Ir. Sukarno dipadati oleh sejumlah massa pemuda yang berbaris secara teratur dan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara

55

pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan beberapa orang anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Ir. Sukarno. Permintaan itu dipenuhi oleh cudanco Latief, dan beberapa orang prajurit Peta berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur ke belakang rumah itu. Di samping itu di kesatrian mereka di Jaga Monyetlah disiagakan pasukan yang dipimpin oleh sydanco Arifin Abdurrahman.

Sementara itu persiapan di Pegangsaan Timur sendri cukup sibuk, Wakil walikota Suwirjop memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan, yaitu mikrofon dan beberapa pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonoprawoto pergi ke rumah Gumnawan pemilik took radio Satria di Salemba Tengah 24, untuk meminjam mikrofon dan pengeras suara. Gunawan mengijinkan dan mengirim seorang pemuda kepercayaannya untuk melayani penggunaannya.

Sedangkan Sudiro (yang pada waktu itu merangkap sebagai sekertaris Ir. Sukarno) memerintahkan kepada S. Suhud Komandan Pengawal Rumah Ir. Sukarno (yang memangku jabatan Pemimpin Besar Barisan Pelopor), untuk menyiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Ia tidak ingat sama sekali untuk memindahkankan salah satu tiang itu. Malahan ia mencari satu batang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali, lalu di tanam beberapa langkah dari teras. Bendera yang dijahit dengan tangan yang akan dikibarkan, sudah disiapkan oleh Nyonya Fatmawati Sukarno. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang kain itu tidak disiapkan untuk bendera, tetapi keperluan lain. Sebagaimana yang telah disepakati semula para pemimpin bangsa Indonesia menjelang pukul 10.30 telah berdatangan ke Pegangsaan Timur. Di antara mereka adalah dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. A.A. Maramis, Mr. Latuharhary, Abikusno Tjokrosuyoso, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokromaminoto, Oto Iskandardinata, Ki Hajat Dewantara, Sam Ratu Langie, 56

K.H. Mas Mansur, Mr. Sartono, Sajuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Abrani, dr. Muwardi, A.G. Pringgodigdo, dan lain-lain.

Adapun acara yang ditentukan dalam upacara itu, diatur sebagai berikut;

Pertama, pembacaan Proklamasi;

Kedua, pengibaran Bendera Merah Putih;

Ketiga, sambutan Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi.

Para pemuda yang berdiri menunggu sejak pagi hari sudah mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar pembacaan Proklamasi segera dilakukan. Mereka mendesar dr. Muwardi agar segera mengingatkan Ir. Sukarno, setelah dibukakan pintu, ia menyampaikan keinginan para pemuda. Bung Karno menolak desakan para pemuda itu. Ia menyatakan bahwa ia tidak mungkin melakukannya sendiri tanpa hadirnya Drs. Moh. Hatta. Ia harus menunggu hadirnya Hatta. Dr. Muwardi masih mendesak terus, dan menyatakan bahwa hal itu lebih baik dikerjakan oleh Ir. Sukarno sendiri saja tanpa kehadiran Bung Hatta. Karena naskah Proklamasi toh sudah ditandatangani berdua. Karena didesak juga Ir. Sukarno menjawab dengan nada marah ‗‘ saya tidak akan membacakan Proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak mau menunggu, silahkan membaca Proklamasi sendiri‘‘.

Justru pada saat itu dari halaman luar terdengar suara-suara berseru: ‗‘Bung Hatta datang‘‘. Lama menit sebelum acara di mulai, Hatta datang. Ia berpakaian putih-putih, dan langsung menuju ke kamar Sukarno. Sambil menyambut kedatangan Hatta, Sukarno bangkit dari tempat tidurnya dan lansung berpakaian. Juga ia mengenakan setelan putih-putih.

Beberapa menit sebelum pukul 10.30 (waktu Jawa pada jaman Jepang) Cudanco Latief Hendraningrat mengetuk pintu kamar Ir. Sukarno dan setelah dibukakan pintu bertanya: ‗‘Apakah Bung Karno sudah siap?‘‘. Kedua pemimpin

57

itu mengangguk, lalu keluar menuju tempat yang tersedia, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Sukarno. Upacara berlansung tanpa protocol. Segera Latief memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda, yang telah menunggu sejak pagi. Semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilahkan Ir. Sukarno, Sukarno dan Hatta maju beberapa langkah dari tempatnya semula.sukarno mendekati mikrofon. Dengan suara yang mantap dan jelas ia mengucapakan pidato pendahuluan yang singkat sebelum membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan dan pukul 10.00 WIB Ir. Sukarno menyampaikan pidatonya, yang berbunyi:

Saudara-saudara sekalian! Saya sudah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naik da nada turun, tetapi jiwa kita tetap menuju kearah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak henti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan kita sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh rakyat Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa sekaranglah dating saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu. Dengarlah proklamasi kami.

58

PROKLAMASI Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen „05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta

Demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita bangsa kita! Mulai saat ini kita menjusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, merdeka, kekal abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!

Upacara pembacaan teks proklamasi tersebut dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih yang dilakukan oleh S. Suhud dan Latif Hendraningrat. Pada saat bendera dikibarkan secara spontan para hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seusai pengibaran bendera diteruskan dengan sambutan Walikota Jakarta Suwirjo dan dr. Muwardi. Meskipun dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun acara tersebut membawa perubahan yang luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia.

4. Makna dan Arti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Setelah berabad-abad bangsa Indonesia memperjuang kemerdekaan dan dilandasi oleh semangat kebangsaan, dan telah mengorbankan nyawa maupun harta yang tidak terhitung jumlahnya, maka peristiwa Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik puncak perjuangan tersebut. 59

Proklamasi kemerdekaan merupakan peristiwa yang sangat penting dan memiliki makna yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia. a. Dari sudut pandang hukum, proklamasi merupakan pernyataan yang berisi keputusan bangsa Indonesia untuk menetapkan tatanan hukum nasional (Indonesia) dan menghapuskan tatanan hukum kolonial. b. Dari sudut pandang politik dan ideologi, proklamasi merupakan pernyataan bangsa Indonesia yang lepas dari penjajahan yang lepas dari penjajahan dan membentuk Negara Republik Indonesia yang bebas, merdeka, dan berdaulat penuh. c. Proklamasi merupakan puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. d. Proklamasi menjadi alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan. e. Proklamasi merupakan mercusuar yang menunjukan jalannya sejarah, pemberi inspirasi, dan motivasi dalam perjalanan bangsa Indonesia di semua lapangan di setiap keadaan. f. Dengan proklamasi kemerdekaan, maka bangsa Indonesia telah lahir sebagai bangsa dan Negara yang merdeka, baik secar de facto maupun secara de jure.

Para pemuka Indonesia yang hadir dalam peristiwa perumusan teks proklamsi berkumpul dalam dua ruangan yakni ‗‘ruangan makan‘‘ dan serambi depan. Mereka yang merumuskan melakukan nnya di dalam ‗‘ruangan makan‘‘ , yakni Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Pada saat itu Ir. Soekarno memegang pena dan menulis teks Proklamasi yang terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama yang berbunyi ‗‘kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia‘‘ adalah merupakan kalimat yang dikutip oleh Mr. Ahmad Subarjo dari piagam Jakarta yang antara lain berbunyi sebagai berikut: ‗‘Atas berkat Rahmat Allah maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan‘‘. Kemudian Drs. Moh. Hatta menyempurnakan teks

60

proklamasi dengan kalimat kedua yang berbunyi sebagai berikut: ‗‘Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya‘‘. Demikianlah perumusan teks Proklamsi dilakukan bersama-sama oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Subardjo di dalam ‗‘ruang makan‘‘ dari rumah Laksamana Maeda. Turut serta menyaksikan perumusan tersebut ialah Sajuti Melik, Sukarni, B.M.Diah, dan Sudiro (Mbah).

Setelah selesai, teks Proklamasi dibacakan di hadapan pemuka-pemuka yang sebagian besar adalah anggota-anggota PPKI dan mereka itu semuanya menunggu di dalam ‗‘serambi muka‘‘ yang biasanya dipergunakan untuk menerima tamu oleh Laksamana Maeda. Di sinilah teks Proklamasi dimusyawarahkan. Pada waktu itu timbullah persoalan tentang siapa yang akan mendatangani. Yang memberi komentar adalah Chairul Saleh yang tidak setuju bila teks itu ditandatangani oleh anggota-anggota PPKI, karena menurut anggapannya badan itu bentukan Pemerintah Jepang yang anggota-anggota diangkat oleh Jepang pada waktu itu. Muncullah Sukarni, dan sebagai jalan keluar ia mengusulkan agar teks Proklamasi sebaiknya ditandatangani oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Ternyata usulnya itu disetujui oleh semua orang yang hadir. Maka teks Proklamasi selanjutnya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Olehnya terhadap beberapa kata dari versi terakhir itu diadakan perubahan-perubahan, yaitu kata ‗‘tempoh‘‘ menjadi ‗‘tempo‘‘ ‗‘wakil2 bangsa Indonesia‘‘ dirubah menjadi ‗‘Atas nama Bangsa Indonesia‘‘, barulah versi terakhir yang telah diketik itu ditandatangani oleh Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta, versi itulah yang dikenal sebagai naskah otentik.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 12.00 (waktu tokyo) atau jam 10.30 waktu Jawa jaman Jepang, atau jam 10.00 WIB, teks Proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno dengan didampingi oleh Drs. Moh. Hatta di tempat kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) No. 56, Jakarta. Dengan

61

Proklamasi ini tercapailah Indonesia Merdeka yang susunan negaranya diatur dengan sebutan Undang-undang Dasar 1945.

Segera setelah itu, bersama dengan pesan pribadi Hatta kepada sahabat- sahabatnya dari kelompok nasionalis, proklamasi kemerdekaan disiarkan di seluruh radio Domei Indonesia dan jaringan telegraf oleh para pengawai Indonesia di balik pintu terkunci kantor mereka di Jakarta (Batavia). Revolusi Indonesia sudah dilancarkan dan mendengar reksi hebat di seluruh pelosok Nusantara, meskipun tidak segera diketahui di Jakarta. Jepang langsung bereaksi.

Tepat pada saat pengucapan Proklamasi itu pengeras suara yang dipakai rusak. Padahal sebelum dipergunakan telah dicoba beberapa kali berjalan dengan baik. Hal itu mungkin disebabkan kabel-kabelnya rusak, terinjak-injak oleh massa.

Acara selanjutnya dengan pengibaran bendera Merah Putih. Sukarno dan Hatta maju beberapa langkah menurunui anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan, dan mengikatnya pada tali dengan bantuan Cudanco Latief. Bendera dinaikan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin para hadirin spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali untuk menyusaikan iramanya dengan lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai penggerekan bendera diteruskan dengan sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi. Seusai upacara, kemudian mereka saling bertukar fikiran sebentar, lalu masing-masing meninggalkan tempat.

Peristiwa besar itu berlansung hanya selama kurang lebih satu jam dengan penuh kekhidmatan sekalup sangat sederhana. Namun ia membawa perubahan luar biasa dalam kehidupan Bangsa Indonesia.

Berita proklamasi yang telah meluas di seluruh Jakarta segera disebarkan ke seluruh Indonesia. Pada pagi hari tanggal 17 Agustus itu juga, teks Proklamasi

62

telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei, Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks itu dari seorang wartawan Domei, yang bernama Syahruddin. Segera ia memerintahkan F. Wuz seorang markonis, supaya disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyelesaikan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Ia mengetahui berita Proklamasi itu telah tersiar ke luar lewat udara. Dengan marah-marah orang Jepang memerintahkan agar penyiaran berita itu dihentikan. Tetapi Waedan Penewelen memerintahkan kepada F. Wuz untuk terus menyiarkannya. Berita itu kemudian diulangi setiap setengah jem sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran itu, pucuk pimpinan dari tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.

Sekalipun pemancar pada kantor Berita Domei disegel, mereka tidak kehilangan akal. Para pemuda membuat pemancar baru, dengan bantuan beberapa orang teknisi radio, Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Alat-alat pemancar yang diambil dari kantor berita Domei bagian demi bagian dibawa ke rumah Waidan B. Penelewen, dan sebagian ke , dengan kode panggilan DJK 1. Dari sisnilah seterusnya berita Proklamasi disiarkan. Usaha para pemuda dalam penyiaran berita ini tidak terbatas lewat radio, melainkan juga lewat pers dan surat selebaran. Hamper seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus memuat berita Proklamasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikianlah berita proklamasi tersiar keseluruh pelosok tanah air. Reaksi Masyarakat Indonesia Terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Revolusi Indonesia sudah dilancarkan dan mendapat reaksi hebat di seluruh pelosok Nusantara, meskipun tidak segera diketahui di Jakarta. Di daerah , Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum‘at legi

63

jam 10.00 (tepat). Berita proklamasi mula-mula dikumandangkan melalui Kantor Berita Domei Jakarta.

Berita ini langsung diterima oleh seorang markonis Sugiarin Kantor Berita Domei di Semarang, kemudian dibawa dan diserahkan oleh Syarief Sulaiman daan M.S. Mintardjo ke Gedung Jawa Hokokai. Saat itu di Gedung Jawa Hokokai sedang diadakan rapat Komite Persiapan Indonesia Merdeka di bawah pimpinan Mr Wongsonegoro selaku Fuku Syucokan (Asisten Residen) di Semarang. Mr. Wongsonegoro menerima pers-copy berita Proklamasi itu. Kemudian membacakannya sampai dua kali di hadapan siding. Para hadirin yang mendengarkannya bertepuk tangan penuh kegembiraan. Kemudian siding berhenti sebentar lalu bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil menyerukan ‗‘Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta‘‘ dan Hidup Bangsa Indonesia.‘‘ Kemudian siding dibubarkan. Harian Suara Asia di adalah Koran pertama yang menyiarkan berita proklamasi. Sementara itu berita Proklamasi kemerdekaan pada siang hari itu juga disiarkan lewat Semarang Hoso Kyoku (siaran radio) dengan tidak melalui ijin dari Kepala Studio Semarang. Pembacaan berita proklamasi melalui siaran radio ini mendahului acara siaran sembahyang Jum‘at, sehingga didengar oleh orang banyak. Demikian pula para Jemaah yang bersembahyang di masjid segera mengetahui berita Proklamasi Kemerdekaan itu. Siaran ini didengar juga oleh pejabat Jepang yang menjadi kepala: Studio Semarang, yang segera memrintahkan agar acara siaran sembahyang Jum‘at dihentikan dan pegawai- pegawainya dipanggil untuk dimintai pertanggung jawabannya. Acara siaran khotbah selesai dibacakan, tetapi siaran sembahyang yang tengah berlangsung itu segera diputuskan. Hal ini kabar dari luar kota yang ditempelkan di papan pengumuman Ucapan reaksioner dari sementara mantan penguasa Belanda yang sudah keluar dan tawanan seperti ex Residen Surabaya, Tacoma mendapat sanggahan keras dari para pemuda. Berita bersemangat

64

kemerdekaan memenuhi papan pengumuman yang dipelihara dan dijalankan oleh pemuda pelajar dilingkungan. Tiap malam dadakan penjagaan siskamling dan dapur umum yang menyediakan minuman dan makanan ala kadarnya bermunculan di mana-mana. Jawa semangat dan nilai-nilai 1945 mengejawantah dalam bentuk solidaritas dan kesatuan di antara penduduk lingkungan. Pada bulan-bulan awal sesudah Proklamasi Kemerdekaan suasana penuh gejolak. Sebentar-sebentar terdengar aba-aba ‗‘siaap‘‘ untuk berjaga-jaga terhadap lawan-lawan kemerdekaan Indonesia yang berusaha menghancurkan Republik Indonesia. Semntara itu barisan pemuda semakin berkonsolidasi. Angkatan Muda Republik Indonesia di Semarang Barat misalnya, sudah makin kuat. Pemuda-pemuda pelajar mendapat latihan dasar kemiliteran secara kilat dipimpin oleh pemuda-pemuda yang pernah mendapat latihan kemiliteran, dan juga dari para anggota kepolisian. Pemuda-pemuda menempati gedung bekas kediaman perwira Jepang sebagai markasnya, misalnya di jalan Karangtengah dan Pendrikan (Jln. Imam Bonjol) dengan indiknya di Gedong Jero. Peralatan dan persenjataan makin diperkuat sehingga merupakan barisan pemuda yang tangguh.

5. Dukungan Rakyat terhadap Proklamasi Kemerdekaan di Lapangan Ikada Rapat raksasa Ikada diselenggarakan pada tanggal 19 September 1945 dan dipelopori oleh Komite Van Actie (Komite Aksi Menteng 31). Komite inilah yang melakukan pengerahan massa ke lapangan Ikada dengan tujuan sebagai berikut. 1) Agar para pemimpin RI dapat berbicara di hadapan rakyat. 2) Agar semangat kemerdekaan tetap menyala di hati rakyat. 3) Ingin menunjukan kepada dunia bahwa rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan dengan tenaga sendiri, bukan atas bantuan Jepang. Sebelumnya, pemimpin militer Jepang telah melarang rapat tersebut. Untuk menghalang-halangi rapat, pasukan Jepang yang bersenjata lengkap berjaga-jaga 65

di sekitar lapangan Ikada. Namun, kehadiran pasukan Jepang tidak mencegah rakyat untuk menghadiri rapat. Sekitar pukul 15.00 WIB, Sukarno memasuki lapangan didampingi sepasukan BKR dan para pemuka bangsa Indonesia dan berpidato. Dalam pidato tersebut ia menegaskan bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dan bertekad mempertahankan kemerdekaan itu. Lalu, ia menutup pidatonya dengan ajakan kepada rakyat untuk setia kepada pemerintah dan pulang dengan tenang, namun tetap waspada. Akibat sikap antisipati yang ditunjukan Jepang di lapangan Ikada, beberapa hari kemudian para pejuang BKR dan pemuda menyerbu gudang senjata Jepang di Cilandak, Jakarta.

6. Tindakan-Tindakan Heroik di Berbagai Daerah Setelah menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang tunduk pada perintah sekutu. Keadaan seperti ini digunakan bangsa Indonesia untuk melucuti senjata pasukan Jepang. Tersebarnya berita proklamasi yang sangat mengembirakan itu membuat rakyat memberikan sambutan luar biasa yang dibuktikan dengan dilakukannya pelucutan-pelucutan pasukan Jepang dan pengambilalihan pucuk pimpinan lembaga-lembaga pemerintahan dari tangan Jepang di berbagai daerah. Tujuan bangsa Indonesia melucuti tentara Jepang sebagai berikut. a) Mendapatkan senjata sebagai modal perjuangan selanjutnya. b) Mencegah agar senjata Jepang tidak jatuh ke tangan Sekutu. c) Mencegah agar senjata itu tidak digunakan Jepang untuk membunuh rakyat. Tindakan heroic (kepahlawanan) tersebut terjadi serentak di berbagai daerah, antara lain di Semarang, Yogyakarta, Solo, Bandung, Surabaya, Aceh, , dan Makasar. a. Di Makassar Pada tanggal 19 Agustus 1945, rombongan Gubernur Sulawesi Dr. , mendarat di Sapiria, Bulukumba. Setelah sampai di Makassar, 66

Gubernur Dr. Sam Ratulangi segera membentuk pemerintah daerah. Mr. Andi Zainal Abidin diangkat sebagai Sekretaris Daerah. Tindakan gubernur oleh para pemuda dianggap terlalu berhati-hati, sehingga para pemuda bergerak dan merencanakan merebut gedung-gedung vital, seperti studio radio dan markas polisi. Kelompok pemuda tersebut terdiri dari kelompok Barisan Berani Mati (Boei Taishin), bekas kaigun heiho dan pelajar SMP. Pada tanggal 28 Oktober 1945 mereka melakukan aksinya. Akibatnya peristiwa tersebut, pasukan Austrilia yang telah ada melucuti mereka. Sejak peristiwa tersebut, pasukan Australia yang telah ada melucuti mereka. Sejak peristiwa tersebut gerakan pemuda dipindahkan dari Makassar ke Polombangkeng. b. Di Bali Para pemuda Bali telah membentuk berbagai organisasi pemuda, seperti AMI, Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada akhir Agustus 1945. Mereka berusaha untuk menegakkan Republik Indonesia melalui perundingan tetapi mendapat hambatan dari pasukan Jepang. Pada tanggal 13 Desember 1945 mereka melakukan gerakan serentak untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang, meskipun gerakan ini gagal. c. Di Surabaya Kedatangan NICA dan dipersenjatai KNIL telah menimbulkan bentrokan bersenjata dan permusuhan antara orang Belanda dan para pemuda pejuang. Misalnya, pada tanggal 19 September 1945 terjadi Insiden Bendera di Surabaya. Peristiwa ini bermula dari sikap orang-orang Belanda yang mengibarkan bendera Merah Putih Biru (bendera Belanda) di atas Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya. Peristiwa itu menimbulkan kemarahan kemarahan rakyat Surabaya. Selanjutnya, rakyat Surabaya menyerbu Hotel Yamato. Beberapa pemuda Indonesia dengan gagah berani naik di atas hotel untuk menyobek warna biru pada bendera Belanda sehingga tinggal warna merah dan putih. Dengan demikian, bendera ini menjadi warna bendera Indonesia. Hal itu berarti rakyat tidak suka terhadap sikap tentara Sekutu dan NICA di Indonesia. 67

d. Di Yogyakarta Perebutan kekuasaan dari tangan Jepang di Yogyakarta sudah dimulai sejak tanggal 26 September 1945. Sejak pukul 10.00 semua pegawai instansi pemerintahan dan perusahaan yang dikuasai Jepang melaksanakan aksi mogok. Mereka memaksa agar orang-orang Jepang menyerahkan asset dan kantornya kepada orang Indonesia. Tanggal 27 September 1945 Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah tersebut telah berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada hari itu juga di Yogyakarta diterbitkan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Pada tanggal 7 Oktober 1945 para pemuda, BKR, dan polisi istimewa menyerang tangsi Jepang. Dalam pertempuran tersebut gugur beberapa pemuda, seperti Faridan M. Noto, A. M. Sangaji, Abu Bakar Ali, dan Suroto. e. Di Solo Para pemuda melakukan pengepungan markas Kompetai Jepang. Dalam pengepungan itu, seorang pemuda bernama Arifin gugur. Nama Arifin kemudian diabadikan menjadi nama sebuah jembatan yang menghubungkan Widuran dan Kabelan di atas Sungai Pepe. f. Di Palembang Dukungan dan perebutan kekuasaan terjadi di Sumatera Selatan pada tanggal 8 Oktober 1945, ketika Residen Sumatera Selatan dr. A. K.Gani bersama seluruh pegawai Gunseibu dalam suatu upacara menaikkan bendera Merah Putih. Setelah upacara selesai, para pegawai kembali ke kantornya masing-masing. Pada hari itu juga diumumkan bahwa di seluruh Keresidenan Palembang hanya da satu kekuasaan Republik Indonesia. Perebutan kekuasaan di Palembang berlangsung tanpa insiden, sebab orang-orang Jepang telah menghindar ketika terjadi demonstrasi.

68

g. Di Bandung Pertempuran diawali dengan usaha para pemuda untuk merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACE (Artillerie Constructie Winkel, sekarang Pindad). Usaha tersebut berlansung sampai datangnya pasukan Sekutu di Bandung tanggal 17 Oktober 1945. h. Di Kalimantan Di beberapa kota di Kalimantan mulai timbul gerakan yang mendukung priklamasi. Akibatnya tentara Australia yang sudah mendarat atas nama Sekutu mengeluarkan ultimatum melarang semua aktifitas politik, seperti demonstrai dan mengibarkan bendera Merah Putih, memakai lencana Merah Putih dan mengadakan rapat. Namun kaum nasionalis tidak menghiraukannya. Di tanggal 14 November 1945, tidak kurang 8.000 orang berkumpul di depan komplek NICA sambil membawa bendera Merah Putih. i. Di Manado Usaha menegakkan kedaulatan di Sulawesi Utara tidak padam, meskipun tentara NICA telah menguasai wilayah tersebut. Pada tanggal 14 Febdruari 1946, para pemuda indonesia anggota KNIL tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) mengadakan gerakan di Tangsi Putih dan Tangsi Hitam di Teling, Manado. Mereka membebaskan tawanan yang mendukung Republik Indonesia antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A. Maengkom, Kusno, Dhanupojo, dan G. E. Duhan. Di sisi lain mereka juga menahan Komandan Garnisun Manado dan semua pasukan Belanda di Teling dan penjara Manado. Dengan diawali peristiwa terssebut para pemuda menguasai markas Belanda di Tomohon dan Tondano. Berita tentang perubahan kekuasaan tersebut dikirim ke pemerintah pusat yang saat itu di Yogyakarta dan mengeluarkan maklumat No. 1 yang ditandatangani oleh Ch.Ch. Taulu. Pemerintah sipil dibentuk tanggal 16 Februari 1946 dan sebagai residen dipilih B. W. Lapian.

69

7. Reaksi Jepang Terhadap Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Jepang langsung bereaksi. Atas perintah Panglima Angkatan Darat Jepang di Jawa, Maeda beserta seluruh stafnya dipenjarakan, dan pengumuman kemerdekaan yang dikirimkan melalui pos ke seluruh pelosok Jakarta dirobek oleh Kompeitai. Pada hari berikutnya, Jepang mengumumkan pembubaran Peta, Heiho, dan semua organisasi Indonesia bersenjata.

Walaupun demikian, pada awalnya para pejabat Jepang tampak ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap Sukarno dan Hatta. Pada 19 September 1945, dengan didesak oleh kelompok-kelompok bawah tanah, Sukarno dan Hatta mengadakan rapat raksasa yang dihadiri oleh orang-orang Indonesia yang antusias di Lapangan Ikada, Jakarta. Rapat tersebut dijaga ketat oleh tank-tank dan mobil-mobil bersenjata Jepang. Rupanya keinginan pertama mereka menangkap Sukarno dan Hatta. Meskipun demikian, antusiasme yang semakin membesar serta jumlah kerumunan yang semakin membengkak menyebabkan Jepang berubah pikiran.

Secara singkat, Sukarno berpidato dihadapan kerumunan rakyat dengan kata-kata yang moderat tetap menekankan pada kemerdekaan Indonesia. Sukarno kemudian mengimbau puluhan ribu orang yang menyimak pidatonya saat itu untuk meninggalkan tempat secara tenang dan pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang itu menurut. Tidak ada yang dapat dilakukan Jeapang selain merasa terkesan pada demonstrasi yang begitu terkendali tersebut.

70

C. NASKAH NARASI

”DETIK-DETIK MENJELANG PROKLAMSI 17 AGUSTUS 1945”

BABAK I

Narasi : Tanggal 6 Agustus 1945 kota Hiroshima dijatuhi bom atom oleh Sekutu dan pada tanggal 9 Agustus 1945 giliran Kota Nagasaki yang dijatuhi oleh bom atom oleh Sekutu pula. Kejadian ini memberikan penderitaan bagi rakyat Jepang. Pasukan Jepang semakin lemah dan pada tanggal 12 Agustus 1945 Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Setelah pembicaraan masalah proklamasi kemerdekaan di Dalat, dua hari kemudian pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat pada sekutu, yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu tetapi berita tentang kekalahan tersebut sangat dirahasiakan oleh Jepang bahkan semua stasiun radio disegel oleh Jepang tetapi tokoh golongan muda yakni Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis mendengar kabar ini melalui radio BBC.

Adegan : (Sutan Syahrir, Wikana dan Darwis sedang mendengarkan radio)

Syahrir : ‖Kawan-kawan tentara Jepang telah menyerah kepada sekutu, berarti di indonesia terjadi kekosongan kekuasaan.” Kita harus mendesak golongan tua terutama bung Karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan!”

Wikana :‖Betul sekali kawan.”

Syahrir :”Tetapi jangan sampai Proklamasi kemrdekaan diproklamirkan oleh PPKI.”

71

Darwis :”Kenapa kau berpendapat demikian sobat?”

Syahrir :”Karena PPKI adalah badan bentukan Jepang!”

Wikana : ”Kita tidak ingin ada campur tangan Jepang dalam Proklamasi Kemerdekaan!”

”Lalu siapa yang berhak mempoklamirkan kemerdekaan?”

Syahrir :‖Bung Karno sebagai pemimpin rakyat, atas nama rakyat dan melalui siaran Radio!”

(Syahrir berbicara berapi-api)

Wikana :”Tetapi permasalahannya apakah bung Karno setuju, beliau kan merupakan ketua PPKI.

Darwis :‖ Kalau beliau menginginkan naskah Proklamasi tetap disusun oleh PPKI, kita paksa saja dia, kalau perlu...... ”

Syahrir :‖ Kalau perlu apa ? .... Kita harus bicara dulu secara baik-baik dengan beliau wis!”

Wikana :‖ Betul kawan, kekerasan bukan cara penyelesaian yang tepat.”

”Sebaiknya setelah bung Karno pulang dari Dalat, kita segera menemuinya.”

Darwis dan Syahrir: ”betul.” (keduanya menjawab bersamaan)

Narasi : Tanggal 14 Agustus 1945 Syahrir, Wikana, Darwis dan Saleh menemui bung Karno di kediamannya

Sukarno : ”Silahkan masuk.‖(bung Karno mempersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu )

Sukarno : ”Ada maksud apa saudara-saudara datang kemari.”

72

Syahrir : ” Begini bung Karno, Jepang telah menyerah bung, dan kami minta bung Karno segera memproklamirkan kemerdekaan.”

Sukarno :”Tetapi kan ada badan yang berhak untuk merumuskan itu semua.”

Wikana :‖Maksud anda PPKI?”

Sukarno :”Betul, karena PPKI lebih tahu hal-hal apa saja yang harus disiapkan.”

Syahrir :”Kami atas nama golongan muda tidak setuju jika PPKI yang menyiapkan proklamasi kemerdekaan, karena PPKI merupakan bentukan Jepang!”(Syahrir menjawab dengan nada keras)

Darwis :‖Kami tidak ingin kemerdekaan yang kita peroleh ada campur tangan dari pemerintah Jepang!”

Sukarno : ‖Memproklamasikan kemerdekaan merupakan hak dan tugas PPKI.”

Darwis : ‖Baik kalau pendapat anda tetap seperti itu, kami mohon diri”

Narasi : Akhirnya karena masing-masing mempertahankan pendapatnya keempat orang golongan muda tersebut berpamitan kepada bung Karno.

Adegan :(Syahrir, wikana, dan Darwis berpamitan dan bergegas meninggalkan kediaman Bung Karno dengan wajah kesal )

BABAK II

Narasi : Keesokan harinya pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 20.00 WIB golongan muda revolusioner mengadakan rapat di gedung gedung lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur dan mereka tetap berpendirian bahwa kemerdekaan adalah hak dan urusan rakyat Indonesia sendiri. Dan hasil keputusan rapat tersebut disampaikan oleh Wikana, Sukarni dan Darwis

73

kepada Bung Karno.(di Kediaman Bung Karno juga terdapat bung Hatta, Ahmad Subarjo, Dr. Buntaran, Dr. Sanusi dan Iwa Kusumasumantri)

Wikana : ”Selamat malam Bung Karno?”

Sukarno :”Ada maksud apa lagi anda kemari?”

Wikana : ‖Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !‖

Darwis :‖ Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !‖

Wikana :” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar- besaran esok hari !‖ (Wikana berteriak dengan nada mengancam)

Narasi : Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menghampiri Wikana

Sukarno : ‖ Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !‖.

Hatta : ―… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?‖

Darwis : ‖ apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah?”

Wikana : ”Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?‖

74

‖ Kami berdua telah membicarakannya baik-baik dengan Jepang, saya takut Jepang hanya melakukan tipu muslihat sehingga jika kita bertindak salah akan terjadi pertumpahan darah.‖

Sukarno : ”kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Sekarang saya mohon waktu sejenak untuk berunding karena saya tidak bisa memutuskan sendiri (Demikian jawab Bung Karno dengan tenang)

Narasi : Sukarno, Hatta, Ahmad Subarjo, Dr. Buntaran, Dr. Sanusi dan Iwa Kusumasumantri yang hadir malam itu melakukan perundingan. Setelah selesai berdiskusi Hatta menyampaikan hasil perundiangannya kepada golongan muda.

Hatta :”Usul dari golongan muda tetap kami tidak bisa terima, karena kurang perhitungan dan takut memakan banyak korban jiwa dan harta.”

(Para pemuda memperlihatkan wajah yang menggambarkan ketidak senangan)

Wikana : ” Baik kalau anda masih tetap mempertahankan pendapat kalian, kami mohon diri.”

Narasi : Para pemuda kemudian bergegas meninggalkan kediaman bung Karno dengan wajah penuh ketidak puasan.

75

BABAK III

Narasi : Setelah mengetahui pendirian golongan tua, pada pukul 24.00 golongan muda melakukan rapat di Asrama Baperpi, Jalan Cikini 71. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengungsikan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan proklamasi kemerdekaan segera dibacakan tanpa pengaruh Jepang. Pada pukul 04.00 tanggal 16 Agustus 1945 dibawa ke Rengasdengklok. Shodanco Singgih yang merupakan tentara PETA melakukan aksi tersebut.

Adegan : Sukarno dan Hatta dibawa oleh Wikana dan Shodanco Singgih menuju Rengasdengklok di perjalanan Sukarno berbincang-bincang dengan Shodanco Singgih.

Wikana : ”Kenapa anda tetap bersikeras bung Karno kalau proklamasi harus disusun oleh PPKI?”

Sukarno : ” Bukannya saya tidak setuju Proklamasi dibuat oleh kita sendiri, tetapi kita harus melihat situasi terlebih dahulu agar rakyat tidak menjadi korban.”

Wikana : ”Tetapi kami golongan muda dan tentara PETA akan berada di belakang anda jka terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Sukarno : ”Baiklah jika itu keinginan kalian kami akan merumuskan naskah Proklamasi setelah kembali ke Jakarta.”

Narasi : Caerul Shaleh akhirnya menyampaikan berita gembira tersebut sesampainya di Rengasdengklok, dan ia bergegas kembali ke Jakarta untuk menyampaikan hal tersebut kepada para pemimpin pemuda.

76

(Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas antara Sukarno-Hatta dan Golongan muda).

Syahrir : ‖ Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …‖.

Sukarno : ‖ Lalu apa ?‖ teriak Bung Karno.‖Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 ―.

Syahrir : ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16

Sukarno : ”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur‟an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia ―.

Narasi : Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Takashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo

77

memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

Adegan : (Penjemputan Sukarno-Hatta oleh Ahmad Subarjo dan Sudiro untuk kembali ke Jakarta)

Babak IV

Narasi : Sesampai di Jakarta Sukarno- Hatta bersama Laksamana Maeda menemui Mayjen Nishimura untuk berunding, tetapi Nishimura tidak mengizinkan proklamasi kemerdekaan. Kemudian mereka menuju rumah laksamana Tadashi Maeda di JL. Imam Bonjol No.1. Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Sukarno, Hatta dan Ahmad Subarjo merumuskan naskah proklamasi di ruang makan.

Adegan : (Sukarno, Hatta dan Achmad Subarjo duduk bertiga berhadapan dan membicarakan rumusan naskah proklamasi. Sukarno menuliskan rumusan tersebut ke selembar kertas)

Narasi : Setelah selesai teks proklamasi tersebut dibacakan di serambi depan. Di hadapan peserta rapat dan golongan muda.

Sukarn : ―Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa

78

saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing―. Kepada siapa saja yang hadir di dalam rapat ini agar dapat menandatanganinya secara bersama.” syahrir :”Saya kurang setuju, naskah proklamasi tersebut sebaiknya ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta saja atas nama bangsa Indonesia.”

Sukarno : ”Bagaimana hadirin?”

Hadirin yang hadir menjawab serentak Setujuuuuuu.....!!!

Narasi : Usul Syahrir ternyata disetujui oleh seluruh peserta rapat.

Sukarno : ”Tolong ketikkan Sayuti!”

Narasi : Setelah naskah proklamasi diketik oleh Sayuti Melik, kemudian Sukarno dan Hatta menandatangani naskah tersebut.

Adegan : (Sukarno dan Hatta menandatangani naskah tersebut secara bergantian)

BABAK V

Narasi : Setelah terjadi perdebatan tentang dimana lokasi pembacaan naskah proklamasi akhirnya disepakati bahwa pembacaan naskah proklamsai dbacakan di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, pukul 10.00. Para undangan dan warga Jakarta pun berbondong-bondong menuju kediaman Bung Karno tersebut. Bung Karno lalu menyampaikan pidatonya sebelum membacakan naskah proklamasi.

Sukarno : ―Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.

79

Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.”

”Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat- singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.”

”Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu―. Merdekaaaaaa...... !!!!!! 80

Semua yang hadir di situ menjawab merdeka!!!!!!!! Secara serentak

Narasi : Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ‖ lebih baik seorang prajurit ,‖ katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat. Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang.

Adegan : Pengibaran bendera merah putih dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan S.Suhud diiringi lagu Indonesia Raya oleh hadirin yang hadir pada saat itu.

Narasi : Peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia ini berlangsung sekitar satu jam. Meski sederhana namun upacara itu dilakukan denan hikmat. Indonesia merdeka, bangsa baru telah lahir.

81

BAB IV SERANGAN UMUM 1 MARET

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan pemeblajaran pada BAB IV adalah mahasiswa mampu menganalisis serangan umum 1 Maret 1949, adapun indikator capaian pembelajaran adalah:

4.1 Mendiskripsikan peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 4.2 Menjelaskan dampak dari peristiwa serangan umum 1 Maret 1949

B. MATERI AJAR

1. Latar Belakang Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1945

Di Yogyakarta, peristiwa konflik pasca proklamasi kemerdekaan juga terjadi, yang dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran. Serangan ini direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman. Tujuannya adalah untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI-berarti juga Republik Indonesia-masih ada dan cukup kuat. Sehingga, dengan demikian, tindakan ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlansung di Dewan Keamanan PBB, dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

82

Menurut catatan sejarah, peristiwa serangan umum 1 maret 1949 di Yogyakarta ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, yang membawahi daerah Yogyakarta. Atas dasar surat perintah dari Kolonel Bambang Soegeng, WK III telah melancarkan serangan serentak terhadap kedudukan Belanda di Yogyakarta pada tanggal 9 Januari 1949, 16 Januari 1949, dan tanggal 4 Februari 1949, Letkol Soeharto mengadakan perubahan SWK dari 6 menjadi 7 SWK.

Serangan serentak ketiga dilaksanakan pada 16 Januari 1949. Pada kesempatan ini, Komandan SWK 101 Lettu Marsoedi dan Lettu Amir Moertono disusupkan kedalam kota dan bermarkas di Dalem Prabeyo, di kompleks Keraton. Penempatan kedua perwira muda itu kelak terbukti efektif untuk menjalin koordinasi antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan pimpinan gerilya, khususnya Letkol Soeharto. Serangan serentak oleh pasukan Republik dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 1949. Nah, puncak dari serangan-serangan itu adalah Serangan Umum 1 Maret 1949. Pasukan gerilya terdiri dari satuan TNI, Polisi/MB, satuan TP/TGO, dan satuan kelaskaran. Kekuatan pasukan gerilya yang akan dilibatkan dalam serangan Umum 1 Maret 1949 berjumlah 2000 personel. Pasukan yang akan dikerahkan adalah seluruh satuan yang tergabung dalam WK III yang berada di sekitar Yogyakarta, di Kompi Soewarno, dari Batalyon Darjatmo berasal dari Muntilan, dan Kompi Soedarsono Bismo dari Yon Sroehardjono dari Purworejo, serta Ton Soelaksono dari Yon Soenitioso dari WK 1 Divisi II/GM II Klaten.

Berita tentang serangan umum 1 maret 1949 disiarkan melalui pemancar radio di Wonosari. Waktu Belanda melancarkan serangan balasan, pemancar radio tersebut menjadi sasaran utama. Peristiwa serangan umum 1 maret 1949 juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke pemerintah PDRI di Bikittinggi melalui radiogram. Berita ini kemudian disampaikan kepada Mramis (diplomat RI di New York).

Serangan umum 1 maret 1949 mempunyai arti penting, baik di dalam mapun di luar negeri. Serangan umum 1 maret 1949 mencapai tujuannya yakni sebagai berikut:

83

a. Ke Dalam 1) Mendukung perjuangan diplomasi; 2) Meninggikan semangat rakyat dan TNI yang sedang bergerilya; 3) Secara tidak langsung telah mempengaruhi sikap para pemimpin Negara federal bentukan Belandua (seperti Negara Passundan, Negara Sumatera Timur) yang tergabung dalam Bijeenkomst Federal Voor Overleg (BFO). b. Ke Luar 1) Menunjukan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan mampu mengadakan serangan; dan 2) Mematahkan moral pasukan Belanda.

Itulah tujuan yang dicapai dari serangan umum 1 maret 1949 di Yogyakarta. Persoalannya, dalam perjalanannya, terlalu banyak peristiwa sejarah dikebiri dan direkayasa.

Sejarahwan Anhar Gonggong berpendapat bahwa penggagas Serangan Umum 1 Maret bukan Letkol Soeharto. Menurutnya, inisiatif penyerangan seperti itu bukan berasal dari komandan brigade, tetapi berasal dari pejabat yang lebih tinggi. Hal ini juga dipertanyakan oleh Soedarisman, mantan Walikota Yogyakarta (1947-1966).

Sumber lain menyebutkkan bahwa gagasan Serangan Umum Maret 1949 adalah inisiatif Panglima Besar Sudirman, sebab ia adalah pucuk pimpinan militer tertinggi saat itu. Bahkan Sulta Hamengku Buwono memberikan dukungan terhadap rencana ini. Keterangan lain menyebutkan bahwa penggagas atau inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah dr. Wiliater Hutagalung, yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritoroial. Ia bertugas membentuk jaringan di wilayah divisi II dan III. Pemikiran yang dikembangkan Hutagalung dalah perlu meyakinkan dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada; ada pemerintahan, ada organisasi TNI dan tentaranya. Ia menambahkan perlunya melakukan serangan spektakuler terhadap isolasi Belanda atas ibukota Yogyakarta.

84

Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat; Pembantu Presiden Sukarno, pernah bertutur, sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jendral Sudirman, yaitu minta ijinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan Soeharto, ketika itu berpangkat Mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan gagasan saya.‘‘hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan, Takhta untuk Rakyat (1982).

Di tengah kontriversi Serangan Umum 1 Maret 1949, satu fakta sejarah yang tidak terbantahkan oleh peran penting Radio Rimba Raya saat agresi militer Belanda ke II. Melalui informasi yang disiarkan Radio Rimba Raya yang berada di pedalaman Aceh, tepatnya di Aceh Tengah (sekarang Bener Meriah) tentang resolusi dewan keamanan PBB yang ditolak oleh Belanda yang disusul dengan propaganda Belanda bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi, muncul gagasan untuk melakukan counter serta melakukan serangan spektakuler. Hal inlah yang melatarbelakangi Serangan Umum 1 Maret 1949.

Setelah melakukan serangan, sekitar dua hari kemudian, informasi keberhasilan kembali disiarkan oleh Radio Rimba Raya, seperti dalam keterangan website Sekretariat Republik Indonesia ‗‘Radio Rimba Raya milik Republik di Sumatera, sekitar dua hari kemudian, mencatat bahwa serangan terhadap Yogyakarta dan penduduk kota itu (adalah) prestasi militer yang luar biasa.

Fakta sejarah tentang Radio Rimba Raya juga pernah disiarkan di RI nasioanal. Acara Forum Dialog tersebut berlangsung hari Jum‘at tanggal 19 Desember 1998 pukul 21.30. pokok pembahasan yaitu sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Para peserta dialog malam itu adalah Umar Said Noor (mantan Wakil Kepala Stasiun Radio AURI Bukittinggi), Aboebakar Loebis (mantan Diplomat RI), Bapak Halim (mantan Wakil Gubernur Militer Sumatera Barat), dan didampingi oleh seorang sejarahwan terkemuka Prof. Dr,. Taufik Abdullah, serta dengan moderator RI Bapak Purnama. Dalam dialog tersebut, terungkap peran pemancar Radio Rimba Raya yang memperlancar tugas pemerintah PDRI.(SUDIRMAN)

85

Sementara itu TNI dalam waktu kurang lebih satu bulan sudah selesai dengan konsolidasinya dan sudah mulai memberikan pukulan-pukulan kepada tentara Belanda. Pertama kali yang menjadi sasaran adalah garis-garis komunikasi Belanda: kawat-kawat telepon yang diputuskan, jalan kereta-api dirusak dan bahkan konvoi- konvoi Belanda di siang hari diserang. Karena itu pihak Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota- kota yang telah didudukinya. Dengan demikian man-power –nya habis, terpaku pada ribuan pos kecil diseluruh daerah Republik yang kini merupakan satu medan gerilya yang luas. Setelah pasukan-pasukannya tersebar di luar kota-kota yang didudukinya, TNI mulai menyerang kota-kota itu sendiri. Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel (sekarang Presiden) Soeharto denga berhasil didudukinya kota itu selama enam jam, dengan terang benderang membuktikan kepada dunia bahwa TNI jauh daripada hancur, bahkan masih mempunyai kemampuan ofentif. Juga jelas dari laporan-laporan yang masuk, bahwa inisiatif sudah beralih dari pihak tentara Belanda ke pihak TNI. Kini TNI-lah pihak pihak yang menyerang dan pihak Belanda yang bertahan.

2. Serangan Oemoem Siang Hari

Tepat pukul 06.00 pagi tanggal 1 Maret 1949, sirene di atas menara besi samping Pasar Beringhardjo, berbunyi nyaring memecah kesenyapan. Selama tiga bulan terakhir, bunyi sirene tersebut menyatu dengan kehidupan seharian masyarakat Djokja. Berawal sejak tentara Belanda menduduki Ibu Kota Republik dan mereka langsung menerapkan jam malam. Penduduk dibenarkan berada di luar rumah, sejak pukul 21.00 malam sampai 06.00 pagi.

Begitu bunyi sirene berakhir, warga masyarakat bergerak. Sebagaimana selama ini menjadi sebuah rutinitas. Mereka muali membuka pintu rumah atau meninggalkan halaman, untuk mengalami kehidupan sehari-hari. Mendadak, rutinitas tersebut berubah, dan malah tidak terjadi.

86

Semuanya kemudian menjadi berantakan. Oleh karena berakhir sirene pagi itu langsung disambut bunyi ledakan dan tembakan, ditujukan kearah pos-pos pertahanan tentara Belanda di seluruh kota Djokja. Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Wehrkreise III, memimpin dua ribu anak buahnya, memenuhi janjinya untuk melancarkan Serangan Oemoem pada siang hari.

Pierre Heijboer, dalam edisi bahasa Indonesia buku De Politionel Acties, De Strijd om Indie 1945-1949 melukiskan,‘‘…ketika pada tanggal 1 Maret 1949 orang- orang Indonesia melancarkan serangan, bagi Kolonel Van Langen hal tersebut memang mengejutkan. Sehingga di bagian Selatan Kota, pasukan Republic dapat dengan cepat menerobos sampai di Alun-alun Utara dan kantor pos. Di bagian Barat, pasukan tempur yang di pimpin sendiri oleh Soeharto, setelah melewati pertempuran selama satu jam sudah mencapai jalan utama di tengah kota, Malioboro. Di bagian Timur, Kapten Rakido dan kelompokya berhasil menguasai Pabrik Besi Watson, tempat sejumlah amunisi milik tentara Belanda disimpan…‘‘

‗‘Menurut para prajurit Republik, anggota KNIL yang menjaga kompleks Pabrik Besi Watson hanya berpura-pura bertahan, dengan cara menembakkan senjta mereka ke atas. Mereka menembak ke atas, tetapi segera membiarkan pabrik direbut pasukan TNI, berikut seluruh persediaan amunisi yang ada di dalamnya. Benteng Vredeburg di seberang jalan depan Istana Presiden, bahkan sudah sejak pagi hari ‗‘dilepaskan‘‘ oleh tentara Belanda‘‘.

‗‘di bagian Utara Kota, serangan pasukan Republik tidak bisa berlangsung dengan lancar. Namun, pasukan TNI yang bertugas di sana, memang hanya bertugas mencegah datangnya bantuan tentara Belanda dari arah Mogoewo. Dalam hal ini, tugas mereka berhasil. Dari Mogoewo tidak ada gerakan maju atau bantuan dikirim ke Djokja.

‗‘Menjelang pukul 12.00, bantuan pasukan Belanda yang sudah lama ditunggu, akhirnya sampai di Djokja. Bukan dari Mogoewo, tetapi justru dari arah Utara. Komandan Brigade yang berada di Magelang, Kolonel Van Zanten, datang dengan 87

bantuan Batalion KNIL paling tangguh. Mereka segera turun tangan, melaju untuk memberikan bantuan. Kedua pasukan tersebut diberi nama julukan Andjing NICA dan Gadjah Merah. Kedua-duanya veteran pertempuran di Sumatera dan Bali. Meskipun demikian, kedua pasukan KNIL andalan tersebut memerlukan waktu sekitar satu jam, untuk menghalau pasukan Republik dari seluruh wilayah Kota Djokja bagian Utara.‘‘

‗‘Waktu satu jam tersebut segera dimanfaatkan oleh TNI untuk mulai mengundurkan diri, dengan mengorbankan tiga ratus prajuritnya gugur. Tetapi di mata dunia, pasukan Belanda selama waktu enam jam telah menerima pukulan sangat hebat, dengan terjadinya serangan gerilya pada siang hari…‘‘

Serangan Oemoem 1 Maret bukan saja mengejutkan, tetapi juga terkoordinasi dengan cepat. Secara serentak , memanfaatkan isyarat tanda berakhirnya jam malam dari bunyi sirene di Pasar Beringhardjo, gerilyawan TNI menyerbu Djokjakarta dari keempat sudut kota. Serbuan mereka, dibarengi hujan tembakan oleh pasukan gerilya yang sudah menyelinap yang sudah menyelinap masuk ke dalam kota sejak tengah malam.

Dari arah Selatan, bergerak maju pasukan SWK 1O2 dipimpinan Mayor Sardjono. Kemudian dari arah Barat, pasukan SWK 103-A di bawah pimpinan Mayor Soekasno dan dari arah Timur, pasukan SWK 105 di bawah komando Mayor Soedjono.

Dalam serangan tersebut, Komandan WK III Letnan Kolonel Soeharto menempatkan pos komando di Sektor Barat. Sementara pos komando taktis WK III sudah bergerak lebih dulu meninggalkan Patook menuju ke jalan Malioboro, jalan yang membelah kedua Kota Djokja. Dari lokasi tersebut Soeharto bisa lebih mudak mengendalikan pasukannya.

Suksesnya serangan memang tak lepas dari dukungan pasukan Republik yang berada di sekitar Djokja. Letnan Kolonel Soedarto, Komandan SWK 106 juga segera melakukan operasi di wilayah tugasnya, Kulon Progo. Mereka berhasil mengikat satu

88

Kompi tentara Belanda penjaga Jembatan Bantar di Sungai Progo. Dengan demikian, mereka tidak bisa bergerak kemana-mana, sekaligus mencegah datangnya bantuan tentara Belanda dari arah Barat.

Dalam pada itu, Batalyon Soerohardjono di Poerworedjo dan Batalyon Soedarmo di Keboemen, sebagai bagian dari Brigade X TNI, bertugas sebagai lingkran luar untuk mengkal datangnya bantuan tentara Belanda dari arah Barat. Batalyon Darjatmo yang bertugas menjaga wilayah Salaman dan Magelang, juga merupakan lingkaran untuk menangkal bantuan musuh yang datang dari Magelang.

Sedangkan Batalyon Soenitioso, pasukan ini sesungguhnya berada di bawah komando Gubernur Militer Soerakarta, Kolonel , bertugas di Klaten, terletak antara Kota Djokja dengan Solo. Sesuai hasil rapat koordinasi dengan Soeharto di Desa Ngingil, Soenitioso bertugas menangkal datangnya bantuan dari arah Solo.

Catatan dalam buku Serangan Umum 1 Maret 1949 melukkiskan Susana saat pertempuran berlangsung. ‗‘Dalam waktu singkat, hamper di setiap sudut kota, telah berhasil dikuasai oleh TNI. Jalan Malioboro sampai Toegoe, dipenuhi pasukan gerilya. Di sebagian rumah penduduk, mulai berkibar bendera Merah Putih. Rakyat menyambut kemenangan tersebut dengan gembira. Mereka segera menyediakan makanan dan minuman di depan rumah masing-masing.‘‘

‗‘Banyak ibu dan para wanita membawa bakul berisi makanan untuk dibagi- bagikan kepada para gerilyawan. Hampir semua penduduk Djokja keluar rumah. Mereka segera bergabung dengan TNI, memenuhi jalan-jalan di kota. Mereka merasa bangga, oleh karena pasukan TNI sanggup menunjukan kekuatannya, meski dalam keadaan kekurangan. Hari itu tanggal 1 Maret 1949, pejuang TNI bersama rakyat telah memperoleh kemenangan besar.‘‘

‗‘Dalam keadaan gelisah, tentara Belanda mulai hubungan radio, meminta bantuan pasukan dari Magelang dan Semarang. Pukul 11.00 bantuan dari Magelang

89

tiba di Djokja, setelah berhasil mengatasi hambatan yang dilakukan oleh Peleton I dan III Kompi Martono dan Kesatuan Brigade IX, di sepanjang perjalanan Magelang- Djokjakarta. Bantuan pasukan Belanda tersebut terdiri dari Batalyon Gadjah Merah dan Andjing NICA, diperkuat satu kompi panser dan satu peleton tank. Di samping itu, bantuan udara taktis juga didatangkan dari Kalibanteng, Semarang.‘‘

‗‘Beberapa satuan Republik mencoba menghambat gerak maju tentara Belanda. Tetapi, usaha mereka sia-sia. Tentara Belanda berhasil mengatasi barikade yang dipasang TNI dan terus maju, menusuk masuk ke dalam kota. Mengingat tugas sudah tercapai dan situasi sudah tidak ada lagi menguntungkan, untuk menghindari jangan sampai jatuh koban lebih besar, sesuai dengan isi perintah operasi dari Letnan Kolonel Soeharto, seluruh pasukan WK III segera mundur, meninggalkan Kota Djokja…‘‘

3. Pertemuan Soeharto-Sri Sultan

Serangan ke Djokja pada siang hari tanggal 1 Maret 1949 dipimpin Letnan Kolonel Soeharto. Tetapi, pernah ada yang meyangsikan, benarkah pengambil inisiatif untuk melakukan serangan ada pada Soeharto? Sedangkat saat itu pangkatnya hanya Letnan Kolonel?

Soeharto pada saat itu usianya belum genap 27 tahun. Dia dilahirkan di Kemoesoek, Godean, beberapa kilometer arah Barat Djokja. Setelah mengikuti latihan meter di Gombong, Jawa Tengah, dia dilantik sebagai Sersan KNIL. Pada masa pendudukan Jepang, awalnya menjadi anggota Keiboidan, polisi, tetapi kemudian masuk PETA, pasukan militer yang didirikan Jepang untuk petahanan dalam negari, dengan pangkat Soedantjo, Komandan Peleton. Kemudian naik menjadi Tjudantjo, Komandan Kompi.

Panggilan Revolusi menyebabkan Soeharto sejak awal ikut dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Sampai nantinya, BKR tumbuh menjadi TNI, dan karier militer Soeharto ikut menanjak. Pada awal tahun 1948, Soeharto menjabat Komandan

90

dan Brigade X TNI dengan pangkat Letnan Kolonel serta memperoleh tugas tambahan, Komandan Wehrkreise III. Bertugas mempertahankan Ibu Kota Republik berikut seluruh wilayah Keresidenan Djokjakarta.

‗‘Tengah malam menjelang Serangan Oemoem 1 Maret 1949, dengan mengenakan pakaian abdi dalem, Pak Harto saya hantar untuk mengadakan pertemuan dengan Sri Sultan, di tempat tinggal saya.di sana kemudian dirundingkan rencana serangan, yang akan dilaksanakan pada pagi harinya,‘‘ demikian penjelasan Goesti Bendoro Pangeran Harjo Praboeningrat.

Praboeningrat tinggal di Ngejaman, di sisi Barat Keraton. Untuk menggambarkan perundingan antara Soeharto dengan Sri Sultan, di dinding tembok Pagelaran Keraton Djokja dibikinrelief kenangan. Soeharto memakai pranakan, baju dari bahan lurik khusus untuk petugas Keraton, duduk berhadapan dengan Sultan. Di samping mereka sebuah pesawat radio, ‗‘Pesawat radio di latar belakang menunjukan Sri Sultan selalu mengikuti siaran radio, termasuk dari pemancar luar negeri, untuk mengikuti segala berita sekitar perjuangankemerdekaan,‘‘ begitu penjelasan mengenai relief termasuk.

Pertemuan antara Soeharto dengan Sri Sultan bersama Praboeningrat, menurut Soeharto berlangsung bukan semalam sebelum Serangan Oemoem, melainkan jauh setelah peristiwa itu, yakni menjelang daerah Djokjakarta dikembalikan kepada Republik. Dalam kata-kata Soeharto:‘‘…selama perundingan, Belanda telah minta kepada Sultan, agar setelah tentara mereka ditarik mundur dari Djokja, keamanan diserahkan kepada polisi. Terus terang, hal ini saya tolak. Karena apa? Oleh karena demikian hanya akan menunjukan, bahwa kehadiran daripada TNI dianggap tidak ada.‘‘

‗‘Pada waktu itu, dalam keadaan perang, di mana TNI yang memegang komando, malahan juga memegang pemerintahan, kok sekarang akan disingkirkan begitu saja? Polisi yang akan ditonjolkan, tentu saja akan bisa menimbulkan hal-hal kurang baik, oleh karena itu saya tolak.‘‘ 91

Soeharto menambah, ‗‘Sri Sultan memang belum banyak berhubungan langsung dengan saya, selalu lewat kurir. Mungkin hal ini menimbulkan pertanyaan dari Sultan, Harto ini mau membantu saya atau tidak? Sehingga terpaksa, harus saya jelaskan sendiri, dengan masuk ke dalam kota, untuk bisa masuk ke Keraton….‘‘

‗‘Saya masuk ke Keraton dengan singgah di Prabeyo, dapur Keraton. Secara kebetulan pengurusnya sudah saya kenal baik, Saudara Hendro. Saya bermalam di situ, ganti pakaian pranakan, kemudian dituntut Pangeran Praboeningrat, menuju ke dalam Istana, ke Keputran tetapi memang sengaja digelapkan, untuk merasiakannya, supaya tidak tahu bahwa saya masuk Keraton, bertemu Sri Sultan. Saya kemudian berbicara, memberitahu keseluruhannya kepada beliau. Baru sesudah itu, saya kembali…‘‘

Soeharto dengan jujur mengaku,‗‘…kesempatan masuk ke Djokja memang juga saya menfaatkan untuk keperluan pribadi. Sebagai manusia, dengan sendirinya saya selalu ingat keluarga. Oleh karena pada waktu saya tinggalkan (bulan Desember), istri saya sudah mengandung besar. Tanggal 23 Januari 1949 saya dengar anak pertama saya, perempuan, lahir di tempat pengungsian, di depan Penjara Wirogoenan, di depan hidung tentara Belanda. Dia dan ibunya sama sekali belum pernah saya tengok. Maka malam itu, saya sengaja ingin melihat putri saya, di tempat pengungsian.‘‘

Dalam pada itu, Sultan Hamengkoe Boewono IX sendiri juga sudah pernah menjelaskan. Dia sampaikan pada peresmian Monumen1 Maret di depan kantor pos Djokja, acara yang juga dihadiri Presiden Soeharto‘‘…bulan Desember, sekitar dua minggu sebelum Belanda menyerbu Djokja, saya di panggil Pak Dirman dan diberitahu, bahwa keputusan pemerintah, andaikata ada penyerbuan dari Belanda, maka saya harus tetap tinggal di Kota, dengan memikul sendiri resikonya.‘‘

‗‘Jawaban saya, kalau memang itu sudah keputusan pemerintah, maka saya akan berusaha menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Maka terjadi penyerbuan

92

daripada tentara Belanda, yang dinamakan Aksi Polisionil II dan semangat perlawanan rakyat, umumnya berkobar-kobar.‘‘

‗‘Pada kira-kira akhir bulan Januari, saya mendapat berbagai laporan bahwa semangat daripada rakyat di Kota ini, agak mengendor. Oleh karena itu merasa sangat khawatir, bahwa kan bisa terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Sudah tentu, hal ini oleh pihak musuh juga membakar-bakar, agar supaya sesuatu terjadi, antara rakyat kita dengan anak-anak yang sedang berjuang. Maka pada permulaan bulan Februri saya minta agar bisa berbicara dengan Pak Harto, yang (daerah operasinya) berada di sebelah Selatan Djokja. Maka kira-kira tanggal 10 Februari, kami mengadakan perundingan…‘‘

‗‘Saya laporkan kepada Pak Harto, mengenai suasana di dalam Kota. Kita beranggapan, satu-satunya jalan adalah melakukan SO, Serangan Oemoem. Kebetulan saya mendengar dari radio, bahwa soal Indonesia akan segera dibicarakan dalam United Nations pada sekitar akhir Februari, maka saya mengusulkan, agar supaya dijadikan satu saja, untuk bisa memberikan semangat kembali kepada penduduk di Kota ini, dan juga untuk menarik perhatian daripada United Nations. Mengenai teknispelaksanaannya, saya serahkan sepenuhnya kepada Pak Harto. Maka saya tidak tahu, bagaimana pada waktu itu, Pak Harto berhasil mempersiapkan semuanya, hanya dalam waktu sangat pendek…‘‘

Kapten Widodo salah seorang komandan lapangan dalam Serangan Oemoem 1 Maret mengatakan,‘‘…jabatan saya Komandan Kompi 1, Batalyon 1, Resimen 22 TNI. Sebagai Komandan Batalyon saya Mayor Sardjono, sedangkan Letnan Kolonel Soeharto jabatannya Komandan Resimen. Kompi saya waktu itu berkekuatan 400 orang, bertugas SWK 102, wilayah Djokjakarta Selatan.‘‘

Menurut Widodo, perwira militer kelahiran Wonosari, Gunung Kidul dan nantinya mencapai pangkat Jendral bintang empat serta pernah memegang jabatan Panglima , Panglima Kowilban II serta Kepala Staf Angkatan Darat,

93

‗‘Pertempuran tanggal 1 Maret berlangsung dnegan sengit, meski tidak lebih dari enam jam. Pasukan yang dikerahkan datang dari mana-mana.‘‘

‗‘Dari arah Selatan, intinya Batalyon Sardjono. Dari Barat pasukan Overste Soehoed merupakan gabungan pasukan 151, Kompi 100, pasukan Kahar Moezzakar. Dari arah Utara adalah Tentara Pelajar serta pasukan Akademi Militer, di bawah pimpinan Mayor Koesno…‘‘

‗‘Sedangkan dari Timur Batalyon Soedjono. Di samping kesatuan-kesatuan tempura da kesatuan senjata bantuan. Pada serangan 1 Maret, yang digunakan hanya senjata berat lintas datar 2 cm. kita memang tidak membawa senjata lengkung, karena pelurunya tidak punya.‘‘

‗‘Berapa jumlah korban dalam pasukan kita, saya tidak tahu. Tetapi dari Kompi saya saja, 12 orang gugur dan 20 orang mengalami luka-luka. Jumlah korban tewas di pihak musuh juga, saya tidak tahu. Tetapi saya melihat sekitar 20 oarang tentara Belanda mati, mayatnya berserakan di sepanjang Malioboro, Stasiun Toegoe dan di pabrik paku Watson.‘‘

Widodo mengemukakan, ‗‘salah satu pertempuran tragis terjadi di sekitar pohon Beringin kembar, di tengah Alun-alun Utara Keraton. Pasukan satu regu, termasuk komandannya, Letnan Soegiman terjebak dalam perangkap musuh. Seluruh regu tersebut dihabiskan Belanda, kecuali satu orang bisa hidup. Dia berhasil melarikan diri, kemudian melaporkan kepada saya, namanya Kasim, pangkatnya prajurit.‘‘

Buku Rumpun Diponegoro dan pengabdiannya menyebutkan:

‗‘Komandan Brigade X, Letnan Kolonel Soeharto selaku pimpinan umum datang dari arah Barat, dengan menempatkan pokoknya di Koentjen. Beliau melalui Notojoedan bersenjatakan sepucuk owen gun MK 142, langsung memimpin anak buahnya dari Sektor Barat, sampai ke Patook dan Jalan Malioboro.‘‘

94

‗‘Ciri khas kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto, selalu berada di tengah- tengah pasukan yang sedang dalam keadaan kritis. Dengan cara demikian, moril pasukan bisa tetap tinggi, oleh karena mereka kemudian ikut berkeyakinan, pasti akan dapat keluar dari kesulitan.‘‘

‗‘Sebagai tanda pengenal, masing-masing gerilyawan memakai ‗‘janur kuning‘‘. Penggunaan daun kelapa muda tersebut diikat pada leher, kepala atau di tangan. Di samping itu, ‗‘janur kuning‘‘ mudah didapat. Pemakaian tanda tersebut sebenarnya diambili kisah pewayangan, dari cerita Anoman Obong. Menurut kisahnya barangsiapa memakai tanda tersebut untuk mengambil suri teladan tradisi Jawa, agar semuanya bisa selamat dalam pertempuran…‘‘

Pertempuran di Alun-alun Utara di atas kemudian berbuntut panjang. Tentara Belanda merasa mendapat tambahan dari arah Keraton. Oleh karena itu, konvoi yang didatangkan dari Magelang segera melaju, melintas Alun-alun, berhenti di depan Magangan, pintu kiri Keraton. Atas perintah Sultan, pintu gerbang dibuka, dan beliau sendiri menyongsong mereka.

Dalam buku Tahta Untuk Rakyat diuangkapkan. ‗‘ ternyata pimpinan pasukan tank tersebut Letnan Kolonel Scheers, seorang insinyur lulusan Universiteit Delft. Dalam pertemuan dua orang tersebut, Hamengkoe Buwono IX menang wibawa dan dapat menguasai percakapan, oleh karena ada suatu kebiasaan lama yang sudah berakar di Negeri Belanda. Universiteit Leiden, tempat Sultan Kuliah, merupakan universitas tertua, maka alumni universitas lain, seperti dari Delft tersebut, membuat Scheers sangat hormat pada Sultan…‘‘

Niatnya untuk memeriksa kompleks Keraton hanya dia dilakukan secara sekadarnya. Kemudian, Scheers mohon diri dan secepatnya memerintahkan anak buahnya meninggalkan Keraton. Seandainya dia saat itu memeriksa dengan teliti, akhir cerita kisah ini pasti bisa menjadi lain.

95

‗‘…sungguh beruntung, tiga orang Panglima Besar Soedirman yang sedang ikut duduk, memakai pakaian abdi dalem serta berbaur dengan para abdi dalem asli. Mereka bisa lolos dari pengamatan tentara Belanda. Padahal, kurir-kurir tadi sengaja masuk Keraton untuk mendapatkan laporan mengenai jalannya Serangan Oemoem yang baru saja selesai.‘‘

‗‘Memang Keraton Djokja dengan beberapa bentuk bangunannya, memberi banyak kemungkinan bagi seseorang untuk membenamkan diri, sementara jumlah abdi dalem yang banyak, merupakan lingkungan yang ideal untuk menyusup…‘‘

Dua hari kemudian, tanggal 3 Maret, sejumlah pesawat terbang melintas di atas Keraton, berputar-putar sambil menukik. Menurut Sultan, dalam surat yang dia kirimkan kepada sahabatnya di Batavia, Mr. Soedjono, ‗‘Sejak pukul 08.30 pagi, rumah saya sudah dikepung. Di sebelah Utara tiga buah tank, di sebelah Selatan beberapa bren-carrier dan banyak sekali perwira dan prajurit Belanda. Sekitar pukul 11.30 datang lima buah pesawat terbang pemburu. Mereka terbang berputar-putar di atas rumah kediaman saya serta terbang menukik di atas Keraton, melakukan aksi intimidasi. Pukul 12.00 tepat, Mayor Jendral Meijer, Komandan Teritorial Jawa Tengah datang bersama Dr. Angent, Territorial Bestuurs Adviseur, Kolonel Van Langen, Residen Stock yang juga Bestuurs Advisiuer untuk Djokja, berikut ajudan serta Polisi Militer Pengawal…‘‘ Sultan menerima mereka dalam pakaian Jawa sederhana tanpa membawa keris. Hanya didampingi, Pangeran Praboeningrat, salah seorang saudaranya .

Jendral Meijer langsung menyatakan bahwa tentara pendudukan cukup mempunyai bukti, Sultan telah mengadakan pertemuan dengan pimpinan gerombolan teroris serta memberikan sejumlah instruksi kepada mereka. Dilemparakan juga tuduhan, Siti Hinggil telah sering menjadi sarang gerombolan pengacau keamanan dan kalau dikejar, mereka selalu mundur dan menghilang, masuk ke kompleks Keraton.

96

‗‘Semua tuduhan tersebut didengarkan oleh Sri Sultan dengan duduk sambil ber-sedakep (kedua tangan disilangkan kedada) berikut senyuman sekilas…‘‘ Begitu buku Tahta Untuk Rakyat dengan subjudul Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX melukiskan pertemuan pada hari Kamis tengah hari tersebut.

Meijer: ‗‘Apakah Sri Sultan bersedia menghentikan sikap nonkoperatif terhadap Belanda?‘‘

Sultan: ‗‘Saya tidak bersedia menjawab pertanyaan Tuan.‘‘

Meijer:‘‘Mengapa Sri Sultan tidak mau keluar dari Keraton dan bergerak dengan leluasa? Hal semacam ini, tinggal terus di dalam keratin justru membikin kami curiga.‘‘

Sultan:‘‘Jendral mengatakan saya boleh keluar dari Keraton? Sedangkan selama ini, Kolonel Van Langen, melarang saya bergerak dengan leluasa. Lantas mana yang benar? Ini berarti, antara pimpinan tentara pendudukan Belanda tidak ada kerja sama, tidak ada samenwerking. Lagi pula kejadian di kantor Kepatihan beberapa hari lalu, sangat menyinggung kehormatan saya. Anak buah Tuan bersikap tidak sopan dan jelas mereka melakukan perampokan.‘‘

Sultan mengacu kepada kejadian tanggal 22 Febdruari 1949, kantornya di Kepatihan Danoeredjan diserbu tentara Belanda. Langsung diobrak-abrik, para pegawainya disergap. Kemudian banyak barang diangkut, termasuk surat-surat penting. Antara lain naskah skripsi Sultan yang dia susun waktu kuliah di Leiden, berikut catatan lengkap semua proses demokratisasi desa, sebagaimana yang sudah dia terapkan di wilayah Djokjakarta pada akhir pendudukan Jepang.

Meijer:‘‘Persoalan di Kepatihan bukan instruksi saya.‘‘

Sultan:‘‘Apalagi tanpa instruksi? Berarti anak buah Tuan berbuat tanpa perintah dan telah berlaku indisipliner? Dan hal yang sama, dapat saja Tuan lalukan di

97

Keraton saya, oleh karena Tuan membawa senjata sedang saya tidak. Tetapi ingat, sebelum Tuan melakukan hal itu, Tuan harus lebih dulu membunuh saya…‘‘

Ketegasan sikap Sultan, ternyata menimbulkan rasa respek besar dari Jendral Meijer bersama rombongannya. Jika sebelumnya mereka datang dengan nada angkuh, seketika itu juga langsung berubah sopan. Mereka keudian menjabat tangan Sultan dengan hormat dan segera meninggalkan Keraton.

Selasa sore tanggal 1 Maret pukul 17.00 waktu setempat, Markas Besar KNIL, di Batavia mengeluarkan release:‘‘Selasa pagi tadi, sekitar pukul 04.00, pos-pos depan Tentara Kerajaan di perbatasan Djokja telah ditembaki. Pukul 06.00, di berbagai tempat di dalam kota terjadi aksi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh gerombolan bersenjata dari arah Barat, sedangkan percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan Selatan, di mana terletak kompleks Kerton.

‗‘Pihak militer segera mengambil tindakan untuk mematahkan serangan tersebut. Dengan melintas Alun-alun kota, sebuah pasukan kita telah dikerahkan ke tempat yang sedang terancam di Selatan kota, guna menghadapi seraangan. Pasukan tersebut ternyata telah ditembalki dengan hebat dari bagian luar tembok Keraton. Setelah pasukan kita mencapai tembok Utara Keraton, mereka kemudian ditembaki dari dalam tembok. Tembakan-tembakan juga datang dari para penembak tersembunyi di pohon-pohon di balik tembok Keraton.‘‘

‗‘Oleh karena itu, Komandan pasukan mintan izin untuk memasuki Keraton. Permintaan tersebut segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Beliau menerangkan, bahwa di halaman dalam Keraton tidak ada anggota gerombolan pengacau. Penyelidikan lebih lanjut tidak dilakukan, oleh karena pemimpin Tentara Kerajaan berpegang kepada jaminan Sultan.‘‘

‗‘Kekacauan terakhir lebih kurang jam 11.00 pagi. Ditaksir ada sekitar 2000 orang anggota gerombolan, yang setelah menyusun kekuatan diluar kota, melakukan serangan masuk ke kota. Para penyerang sekarang telah diceraiberaikan di semua

98

tempat, dengan menderita korban lebih dari 300 orang tewas terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjata berikut mayat-mayat. Di pihak Tentara Kerajaan, tercatat ada enam orang gugur, di antaranya tiga orang anggota polisi. Selain itu, 14 orang menderita luka-luka.‘‘

‘‘Segera setelah pasukan kita berhasil melumpuhkanserangan, keadaan di dalam Kota Djokja menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu lintas dan pasar kembali seperti biasa. Malam harinya dan malam-malam berikutnya, kita harapkan akan bisa terus demikian…‘‘

Nada pernyataan resmi otoritas militer Belanda di atas memang sangat optimis. Usuh bisa dihalau dengan dengan cepat serta membawa kerugian besar kepada gerombolan pengacau.pertempuran berlangsung singkat, musuh sudah berhasil dihalau hingga lari keluar kota. Sementara ju,lah korban di pihak Tentara Kerajaan sangat sedikit, hanya enam orang. Itu pun, yang tiga orang anggota polisi.

Pernyataan di atas tidak akurat.

Sama sekali tidak menyinggung, bahwa menjelang siang, pihak Tentara Kerajaan sudah mulai dilanda frustasi, khususnya menghadapi dahsyatnya pukulan dari pasukan Republik. Sehingga pertahanan di Benteng Vredeburg sudah terpaksa mereka ditinggalkan, kemudian meminta bantuan dua Batalyon pasukan dari Magelang berikut mendatangkan pesawat terbang dari Kalibanteng Semarang, untuk memberikan dukungan tembakan guna menghalau musuh. Mereka tidak pernah menduga, Soeharto jauh lebih cerdik.

Soeharto sudah memperhitungkan, serbuan ke Djokja sebagaimana dilakukan anak buahnya pada hari Selasa tersebut,tidak akan banyak artinya jika tidak diketahui masyarakat internasional. Dalam kata-katanya sendiri, Soeharto mengungkapkan, ‗‘ Pasukan saya masih tetap memiliki komunikasi radio. Segera saya perintahkan, kirimkan sebelumnya, beritanya lewat radio. Sender radionya ada di Plajen,

99

Wonosari, Gunung Kidul. Hubungan dari Wonosari akan bisa langsung diterima di Boekittinggi, dari sini terus ke Atjeh, lantas ke Rangoon, kemudian ke New Delhi.‘‘

Dengan demikian, serangan pada tanggal 1 Maret tersebut, hari juga telah bisa sampai serta sudah diterima negara-negara lain. Dan kemudian kembali ke wilayah indonesia. Oleh karena itu, ketika pada Selasa sore, Dinas Penerangan Tentara Kerajaan di Batavia mengeluarkan release mengenai Serangan Oemeom, segera menjadi bahan ejekan.

Sebab tidak hanya tidak akurat, tetapi juga terlambat dan tidak lengkap. Oleh Karena Kantor Berita asing dan juga berbagai stasiun radio di luar negeri, telah lebih dahulu mengutip berita yang dikirim Soeharto, lewat pemancaran radio darurat milik Angkatan Udara dari Gunung Kidul.

100

C. NASKAH NARASI

„‟SERANGAN UMUM 1 MARET 1949‟‟

BABAK 1

Narasi : Di Yogyakarta, peristiwa konflik pasca proklamasi kemerdekaan juga terjadi, yang dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran. Serangan ini direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman. Tujuannya adalah untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI-berarti juga Republik Indonesia-masih ada dan cukup kuat. Sehingga, dengan demikian, tindakan ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlansung di Dewan Keamanan PBB, dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

Pada bulan desember sebelum belanda menyerbu Djokja, Sri Sultan bertemu dengan Pak Dirman.

Pak Dirman : ‗‟Yang mulia Sri Sultan, berdasarkan keputusan pemerintah, andaikata ada penyerbuan dari Belanda, yang mulia diharapkan

101

untuk tetap tinggal di Djokja, dengan menanggung sendiri resikonya.‘‘

Sri Sultan : ‗‟kalau itu memang sudah keputusan pemerintah, maka saya akan berusaha menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya.‘‘

Narasi : Pertemuan Soeharto dengan Sri Sultan

Adegan : (Soeharto berjalan menuju ke keratin, supaya tidak ada yang curiga ia berpura-pura singgah di Prabeyo, dapur Keraton)

Soeharto : Asalamuaikum,,,,(mengetuk pintu dapur)

Hendro : Walaikum salam,,(mengintip dari balik pintu, kemudian membukakan pintu)

Hendro : ‗‟silahkan masuk‟‟ (menegok keluar, untuk memastikan tidak ada yang melihat Letnan Kolonel Soeharto masuk)

Soharto : ‗‟aman mas?‟‟'

Hendro :‘‘ aman pak,,‘‘

Soharto : ‗‟Ndro,,, tolong berikan saya pakaian Pranaka.‘‘

Hendro : „‟Baik Pak‟‟ (Mengambil pakaian yang dituhkan Soeharto)

Narasi : Setelah berpakaian Soeharto dituntun Pangeran Praboeningrat menuju ke dalam istana.

Soeharto : ‗‟MERDEKA,,,‘‘

Pangeran Praboeningrat: ‗‘MERDEKA,,,‘‘ (sambil mempersilahkan Soeharto duduk)

Soeharto : ‗‟Yang mulia Sri Sultan, keadaan kita saat ini sudah diujung tanduk, Belanda tidak mau menyerah.‘‘ 102

Sri Sultan : ‗‟Ya, Pak Harto… keadaan di dalam kota juga kurang baik.‘‘

Pangeran Praboeningrat:‟‟Betul,,, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita harus meyakinkan rakyat dan mengembalikan semangat mereka.‘‘ (sahutnya dengan penuh semangat)

Soeharto : Apa yang terjadi warga kota , yang mulia.‘‘

Sri Sultan : ‗‟Begini, Pak Harto. Menurut laporan yang saya dapatkan, semangat dari rakyat kota ini agak mengendor. Saya khawatir, akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Dan kondisi ini sangat menguntungkan untuk musuh.‟‟

Soeharto :‘‘ Apapun titah dari yang mulia untuk keluar dari kondisi ini akan saya lakukan,

Sri Sultan : ‗‟Harto,,, mungkin sebaiknya kita melakukan serangan oemoem.‘‘

Soeharto :‟‟Bagaimana maksud yang mulia? (terperangah dengan usulan Sri Sultan)

Sri Sultan :‟‟Maksudnya,, kita membuat strategi serangan Oemeom untuk mengepung Belanda di kota ini. Mungkin ini cara yang terbaik untuk melemahkan Belanda. Saya percayakan kamu untuk mengatur strategi.‘‘‘

Soeharto ;‘‘ Baik yang mulia, akan saya laksanakan.‘‘(sambil berdiri dan berjabat tangan sebagai pertanda kesepakatan)

BABAK II

NARASI : Sri Sultan mengirimkan surat kepada Panglima Besar Jendral Sudirman yang berisi,

103

‘‘Menurut laporan yang saya terima bahwa;

1. Sektor perekonomian dan kehidupan ekonomi rakyat mengalami kemerosotan.

2. Sector pemerintahan dan militer yang tidak mampu melakukan perlawanan yang berarti menimbulkan situasi yang tidak menentu di kalangan rakyat.

3. Berita yang saya dengar dari radio yang mana akan dilaksanakan sidang dengan dewan keamanan PBB pada akhir Februari.

Maka dengan ini saya menguasulkan kepada panglima besar agar diadakan suatu serangan besar-besaran terhadap Djokja yang terkodinir dengan baik. Serangan tersebut dilakukan pada siang hari, agar dapat diketahui oleh utusan-utusan KTN dan selekasnya dikabarkan melalui radio.

Sekian, Merdeka.‘‘

Surat tersebut dikirim kepada Jendral Sudriman yang berada di Markas Gerilya Panglima Besar, Pacitan, Jawa Timur.

Adegan : (Pak Dirman membaca surat yang dikirim oleh Sri Sultan HK IX kemudian langsung membalasnya dengan surat.yang berisi bahwa Jendral menyetujui usulan tersebut dan melimpah tugas untuk mengatur taktik serangan kepada Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise III yang berada di wilayah Ibu Kota Djokjakarta‘‘)

Pak dirman :‘‘ Merdeka,,, ‗‘

104

Prajurit : ‗‟Merdeka,,,‘‘

Pak Dirman : ‗‟Para pejuang yang saya cintai berdasarkan surat yang saya dapat dari yang mulia Sri Sultan, oleh sebab itu saya meminta kepada prajurit untuk bersama-sama membentuk strategi pertahanan dari luar kota Djokja untuk menangkal bantuan Belanda.‘‘

Prajurit : ‗‟Siap dilaksanakan,,‘‘

Narasi : Letkol. Soeharto tetap berhubungan dengan Jendral Sudirman dan mengirim informasi melalui mata-mata. Hal itu dilakukan agar tidak dicurigai Belanda. Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise III bersama Ventje Soemoel SWK 103-A , Mayor Sardjono SWK 102, Mayor Soekasno SWK 104, Mayor Soedjono SWK 105, tidak hanya tinggal diam tetapi mereka bersama-sama menyusun strategi penyerangan sesuai dengan yang direncanakan. Agar tidak dicurigai oleh Belanda Letkol. Soeharto bersama rekan-rekannya menyusun strategi di markas di Subwehkreise 103 A, Godean Sleman.

Adegan : (Letkol. Soeharto menunjukan peta jalur penyerangan yang akan dilakukan)

Letkol. Soeharto:‟‟Belanda menduduki kota. Pasukan akan saya tarik keluar kota dulu sampai keadaan memungkinkan.belanda tidak akan bisa berbuat banyak di luar kota.saya sudah perintahkan Lettu. Marsudi untuk menggalangkan kekuatan di dalam kota, dan bekerjasama dengan pemerintahan sipil, dalam hal ini Sri Sultan dan Walikota. Kita tetap bergerilya dari luar karena ada

105

pergeseran pasukan WK 3 maka WK 3 akan dibagi ke dalam sub WK.

Adegan : (Letkol. Soeharto meletakkan tangan ke belakang sambil berdiri)

Letkol Soeharto: ‗‘ Serangan yang akan dilakukan pada pos-pos Belanda akan dilakukan berdasarkan daerah masing-masing sub WK.‘‘

Mayor Ventje :‟‟Betul, saya setuju. Kita harus tetap melakukan perlawan sesuai perintah Panglima.‟

Letkol. Soeharto: ‗‘ Baik, untuk lebih jelasnya, Mayor Ventje Soemoel SWK 103-A dari arah sudut Barat kota, Mayor Sardjono SWK 102 dari arah Selatan kota , Mayor Soekasno SWK 104 dari arah Utara kota, sedangkan Mayor Soedjono SWK 105 dari arah Timur kota.‟‟

Adegan : (serentak mereka menjawab ya sebagai pertanda setuju atas keputusan Letkol Soeharto)

Mayor Sardjono:‘‘ Letnan, bagaimana dengan pertahanan keliling kota dan bagaimana jika Belanda dapat dengan cepat mendapat bantuan?‘‘

Letkol Soeharto: ‗‟kita akan dibantu oleh pasukan Republik.kolonel Soedarto Komandan SWK 106 akan membantu sesuai dengan wilayah tugasnya di Kulon Progo. Selain itu, kita akan dibantu oleh Brigade X TNI yaitu Batalyon Soerohardjojo di Poerworedjo dan Batalyon Soedarmo di Keboemen. Mereka bertugas sebagai lingkaran luar untuk menangkalnya bantuan tentara Belanda dari arah Barat. Batalyon Darjatmo bertugas menjaga wilayah Salaman dan Magelang sebagai lingkaran untuk menangkal bantuan musuh yang datang dari Magelang. Sedangkan Batalyon Soenitioso, pasukan ini sesungguhnya berada di bawah komando Gubernur Militer Soerakarta, Kolonel Gatot Soebroto, bertugas di

106

Klaten, terletak antara Kota Djokja dengan Solo. Sesuai hasil rapat koordinasi dengan Soeharto di Desa Ngingil, Soenitioso bertugas menangkal datangnya bantuan dari arah Solo. „‘

Mayor Sudjono:‟‟Letnan, menurut saya semuanya sudah memiki tugas menurut daerah tugas masing-masing, mari kita perjuangkan bumi pertiwi ini bersama-sama. Merdeka‟‟

Adegan : (dengan serentak mereka berteriak ‗‘Merdeka, merdeka,, merdeka,,)

BABAK III

Narasi : Tepat pukul 06.00 pagi tanggal 1 Maret 1949, sirene di atas menara besi samping Pasar Beringhardjo, berbunyi nyaring memecah kesenyapan. Selama tiga bulan terakhir, bunyi sirene tersebut menyatu dengan kehidupan seharian masyarakat Djokja. Berawal sejak tentara Belanda menduduki Ibu Kota Republikdan mereka langsung menerapkan jam malam. Penduduk dibenarkan berada di luar rumah, sejak pukul 21.00 malam sampai 06.00 pagi.

Semuanya kemudian menjadi berantakan. Oleh karena berakhir sirene pagi itu langsung disambut bunyi ledakan dan tembakan, ditujukan kea arah pos-pos pertahanan tentara Belanda di seluruh kota Djokja. Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Wehrkreise III, memimpin dua ribu anak buahnya, memenuhi janjinya untuk melancarkan Serangan Oemoem pada siang hari.

Sebagai tanda pengenal, masing-masing gerilyawan memakai ‗‘janur kuning‘‘. Penggunaan daun kelapa muda tersebut diikat pada leher, kepala atau di tangan. Di samping itu, ‗‘janur kuning‘‘

107

mudah didapat. Pemakaian tanda tersebut sebenarnya diambili kisah pewayangan, dari cerita Anoman Obong. Menurut kisahnya barangsiapa memakai tanda tersebut untuk mengambil suri teladan tradisi Jawa, agar semuanya bisa selamat dalam pertempuran…

Adegan : (‘Komandan Brigade X, Letnan Kolonel Soeharto selaku pimpinan umum datang dari arah Barat, dengan menempatkan pokoknya di Koentjen. Beliau melalui Notojoedan bersenjatakan sepucuk owen gun MK 142, langsung memimpin anak buahnya dari Sektor Barat, sampai ke Patook dan Jalan Malioboro.‘‘)

Letkol Soeharto:‟‟waspada prajurit,,, perhatikan kanan-kiri… ayo,, terus maju!.‘‘ (dengan penuh semangat)

Prajurit : ‗‟Siap dilaksanakan.‘‘

Letkol Soeharto:‟‟lemparkan granat dan tembak semua orang-orang Belanda yang mencoba melarikan diri.. lepaskan tembakan!‘‘(berteriak sambil menunjuk kearah pos Belanda)

Prajurit :‟‟tembak,,‘‘(teriak)

Adegan : (‘Dari arah Selatan, Batalyon Sardjono. Dan menempatkan pasukan dari Barat pasukan Overste Soehoed merupakan gabungan pasukan 151, Kompi 100, pasukan Kahar Moezzakar. Dari arah Utara adalah Tentara Pelajar serta pasukan Akademi Militer, di bawah pimpinan Mayor Koesno…)

Sardjono :‟‟siapkan senjata,,, berjalanlah dengan hati-hari serta perhatikan kanan-kiri kalian!‘‘

Prajurit :‟‟siap dilaksanakan.‘‘

Sardjono :‟‟terus maju,,, dan patahkan Belanda.‘‘

108

Prajurit : ‗‟siap,,,,‘‘

Sardjono :‟‟ayo,,, berlindung. Lemparkan granat!

Adegan : (Dari arah Timur Batalyon Soedjono dengan mengugunak senjata berat lintas datar 2 cm.)

Soedjono :‟‟Pasukan Batalyon SWL 105,, siap menyerbu.‘‘

Prajurit : ‗‟siap pak.‘‘

Soerdjono : ‗‟lemparkan granat.‘‘(menujuk kearah pos pertahanan Belanda)

Tentara Belanda :‘‘ Kita diserang,,,‘‘ (lari menjauhi ledakan)

Soedjono :‘‘ berlindung-berlindung! lepaskan tembaka!.‘‘(berteriak)

Prajurut :‟‟tembak,!!!‘‘ (menembak kearah tentara Belanda yang mencoba melarikan diri)

Prajurit Belanda: ‗‘Indonesia menyerang kita,,,‘‘(berteriak sambil berlari untuk memberitahu teman-temannya di pos lain)

Narasi : Dalam keadaan gelisah, tentara Belanda mulai hubungan radio, meminta bantuan pasukan dari Magelang dan Semarang. Pukul 11.00 bantuan dari Magelang tiba di Djokja, setelah berhasil mengatasi hambatan yang dilakukan oleh Peleton I dan III Kompi Martono dan Kesatuan Brigade IX, di sepanjang perjalanan Magelang- Djokjakarta. Bantuan pasukan Belanda tersebut terdiri dari Batalyon Gadjah Merah dan Andjing NICA, diperkuat satu kompi panser dan satu peleton tank. Di samping itu, bantuan udara taktis juga didatangkan dari Kalibanteng, Semarang.

109

Pertempuran di Alun-alun Utara di atas kemudian berbuntut panjang. Tentara Belanda merasa mendapat tambahan dari arah Keraton. Oleh karena itu, konvoi yang didatangkan dari Magelang segera melaju, melintas Alun-alun, berhenti di depan Magangan, pintu kiri Keraton. Atas perintah Sultan, pintu gerbang dibuka, dan beliau sendiri menyongsong mereka. ‘Memang Keraton Djokja dengan beberapa bentuk bangunannya, memberi banyak kemungkinan bagi seseorang untuk membenamkan diri, sementara jumlah abdi dalem yang banyak, merupakan lingkungan yang ideal untuk menyusup. Tetapi perlawanan Belanda tersebut dapat dihalaukan oleh tentara Indonesia.

Letkol Soeharto:‖SERANG,,,, SERANG..bebaskan Ibu Pertiwi,,‘‘(memimpin pasukan menyerang Belanda)

Adegan : (Mayor dari setiap Batalyon melapor ke Letnan Soeharto dan memberi hormat)

Mayor Sardjono:‟‟pasukan SWK 102, sudah mengamankan wilayah Selatan‟‟(memberi hormat kepada Letkol Soeharto).

Mayor Ventje :‘‘ Pasukan SWK 103 juga sudah mengamankan arah Barat.‘‘

Mayor Soekasno: ‗‟Pasukan SWK 103 juga sudah mengamankan arah Utara.‘‘

Mayor Soedjono:‟‟Pasukan SWK 105 juga sudah mengamankan arah Timur kota.‘‘

Lekol Soeharto:‟‟Tuntaskan tugas kalian sampai Belanda terpukul mundur. Ayo bergerak dan pertahankan kota Djokja.‘‘

Adegan : (dengan serempak para mayor manjawab ‗‘Siap dilaksana, Merdeka, Merdeka..‘‘)

110

Narasi : Belanda diserang dari segala arah dan betul-betul terkepung, Belanda kesulitan untuk menenrima bantuan karena pasukan gerilya RI ada dimana-mana. Dalam waktu singkat, hampir di setiap sudut kota, telah berhasil dikuasai oleh TNI. Jalan Malioboro sampai Toegoe, dipenuhi pasukan gerilya. Di sebagian rumah penduduk, mulai berkibar bendera Merah Putih. Rakyat menyambut kemenangan tersebut dengan gembira. Mereka segera menyediakan makanan dan minuman di depan rumah masing-masing.

Adegan : (Widodo Komandan Kompi 1, Batalyon 1, Resimen 22 TNI. Di bawah pimpinan Mayor Sardjono menghampiri Letkol. Soeharto)

Letkol soeharto: ‗‟Berapa jumlah korban dalam pasukan kita?‘‘

Widodo : ‗‟Dari Kompi saya, ada 12 orang gugur dan 20 orang luka-luka. Di pihak Tentara Kerajaan, tercatat ada enam orang gugur, di antaranya tiga orang anggota polisi. Selain itu, 14 orang menderita luka-luka.‟‟

Adegan : (Letkol. Soeharto berjalan menuju tempat peristirahatan bagi yang luka-luka dan berada ditengah-tengah untuk memberidukungan kepada mereka)

Letkol Soeharto:‟‟terima kasih kawan-kawan..Merdeka, Merdeka…‘‘

Letkol Soeharto: ‗‟tetaplah berkomunikasi dengan radio untuk menginformasikan kemenangan kita.‟‟

Prajurit :‟‟Baik pak, semuanya sudah dilaksanakan.‘‘

Narasi : Dengan demikian, serangan pada tanggal 1 Maret tersebut, hari juga telah bisa sampai serta sudah diterima negara-negara lain. Dan kemudian kembali ke wilayah Indonesia. Oleh karena itu, ketika pada Selasa sore, Dinas Penerangan Tentara Kerajaan di Batavia

111

mengeluarkan release mengenai Serangan Oemeom, segera menjadi bahan ejekan.

Sebab tidak hanya tidak akurat, tetapi juga terlambat dan tidak lengkap. Oleh Karena Kantor Berita asing dan juga berbagai stasiun radio di luar negeri, telah lebih dahulu mengutip berita yang dikirim Soeharto, lewat pemancaran radio darurat milik Angkatan Udara dari Gunung Kidul.

112

BAB V PERISTIWA G30S/PKI TAHUN 1965

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan pembelajaran pada BAB V adalah mahasiswa mampu menganalisis kisah kontroversian G30S/PKI tahun 1965, indikator capaian pembelajarannya sebagai berikut:

5.1 Mahasiswa dapat mendekripsikan kontroversi kisah 30 September 1965 dari beberapa tafsir 5.2 Mahasiswa menganalisis perbedaan pendapat tentang kontroversi kisah 30 September 1965 dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia saat ini

B. MATERI AJAR

1. Pertentangan dengan Pemimpin Tentara

Untuk dapat mengerti sikap serta tindakan Sukarno dalam hubungan pembersihan pucuk pimpinan Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 dalam presektifnya yang tepat, maka harus ditilik kembali suasana politik dan ekonomi yang mencekeram Indonesia pada tahun 1965. Tahun sebelumnya telah ditandai peningkatan politik konfrontasi terhadap Malysia. Kebijakan ini digunakan Sukarno untuk mengalih perhatian di dalam negeri dari keadaan ekonomi yang kian memburuk. Selama tahun 1965 politik konfrontasi itu juga menciptakan medan ketegangan dalam segi tiga hubungan kekuatan antara Sukarno, Angkatan Darat dan PKI. Hubungan kekuatan ini merupakan keimbangan yang mengkhawatirkan.

Radikalisasi sikap terhadap luar negeri, khususnya dengan negara jiran Indonesia yang terdekat, berkembangan seiring dengan pertentangan yang

113

semakin menajam di dalam negeri. Di satiu sisi negara menghadapi keadaan ekonomi yang menyedihkan. Penagihan pajak ambruladul, jaringan jalan terabaikan dan pembangunan berhenti akibat ketiadaan modal. Kinerja jasa jaringan telepon sangat buruk dan di kota-kota sering harus dilakukan oleh kurir- kurir. Menurun nilai tukar resmi, satu dollar AS dihargai 45 rupiah, tetapi kenyataannya untuk satu dollar itu orang harus mengeluarkan Rp. 8.500, inflasi yang sangat besar selama tahun 1965 bahkan meloncak sampai 500 persen. Harga beras pada tahun itu membengkak menjadi sembilan kali lebih tinggi dari sebelumnya. Untuk tahun anggaran yang berjalan (18965) tidak mungkin untuk menyususn rancangan pendapatan dan pengeluaran negara. Tidak mengherankan bahwa para pengamat sampai pada kesimpulan bahwa rezim Sukarno dalam tahun 1965 ‗‘menuju kearah keruntuhan total‘‘.

Di lain pihak keadaan ekonomi yang menyedihkan itu merupakan lahan subur untuk agitasi politik. Partai yang dengan jitu menggunakan keadaan itu adalah PKI. Dengan jumlah anggotanya, partai ini berada di atas angin, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Menurut perkiraan jumlah anggotanya mencapai angka 20-an juta orang. Dengan latar belakang ini dapatlah dimengerti bahwa pimpinan partai bertekad untuk menempatkan diri di barisan depan. Dari awal tahun 1965 sampai akhir September tahun yang sama bisa dikatakan ada ‗‘ofentif radikal‘‘yang ditangani oleh ketua PKI, Aidit, beserta teman-temannya. Dalam kurun waktu itu masyarakat Indonesia merasakan tekanan yang kian besar. Dikatakan bahwa ‗‘polarisasi politik lebih meningkat dari masa sebelumnaya, karena Presiden Sukarno secara terbuka memihak pada PKI dalam menghadapi pimpinan tentara‘‘? bagi Presiden ketegangan yang diakibatkan itu jika ditakar secara jitu justru cocok bagi harapannya. Dengan demikian ia dapat menempatkan tentara maupun PKI dalam kedudukan tidak nyaman sementara mengukuhkan peranannya sebagai penengah.

Salah satu cara yang ia gunakan adalah ‗‘Angkatan Kelima‘‘ sebagai alat pendongkrak. Beberapa kalangan politik berpendapat bahwa ada baiknya untuk 114

membentuk suatu ‗‘milisi rakyat‘‘ dengan mempersenjatai petani dan orang-orang sipil. Karena kekuatan itu dapat memberi sumbangan pada usaha-usaha yang dirancangkan dalam rangka politik konfrontasi. Dengan demikian maka tekanan Militer khususnya Angkatan Darat dapat diperingan. Gagasan untuk membentuk ‗‘Angkatan Kelima‘‘ dicetus oleh pihak komunis Cina, yang berusaha mendorong Sukarno menerima gagasan itu ketika ia mengunjungi Cina akhir tahun 1964. Tidak lama kemudian dalam kerja sama mulus antara para kamerad Cina dan Indonesia gagasan ‗‘Angkata Kelima‘‘ itu muncul di permukaan dan dioper sebagai inisiatif oleh pimpinan PKI.

Jelas bahwa bagi PKI, dan sampai taraf tertentu juga Sukarno, mempunyai pandangan lain sama sekali mengenai angkatan itu. PKI merupakan partai yang memiliki organisasi yang luas dan, paling sedikit di atas kertas, didukung jutaan anggota. Partai ini juga memiliki jaringan cabang yang tersebar diseluruh nusantara, dan khususnya sangat kuat di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di samping itu terdapat pula organisasi-organisasi massa, yang terbuka maupun yang tidak menjalin hubungan terbuka dengan PKI, seperti serikat buruh dan tani SOBSI dan BTI. Organisasi-organisasi ini konon juga memiliki jumlah anggota jutaan orang. Pimpinan PKI memang merasakan masih ada kekurangan, karena di bidang Militer bahkan paramiliter, pihak komunis tidak diperhitungkan. Dalam pengaturan kenegaraan di Indonesia memang secara ketat tertata pemilahan kekuasaan. Dalam hal ini monopoli untuk melancarkan kekuatan di bidang eksternal berada di tangan Angkatan-angkatan Darat, Laut, dan Udara. Di bidang internal Angkatan Kepolisianlah yang berperan. Tetapi kenyatannya menyuguhkan gambaran yang agak berbeda, hal mana antara lain disebabkan juga akibat perkembangan historis. Dari perlawanan terhadap Belanda setelah Perang Dunia Kedua muncul suatu organisasi Militer yang sejak masa itu secara tradisional dilandasi rasa memenuhi panggilan dan tugas untuk harus mengamban misi kemasyarakatan. Rasa pengambanan itu tidaklah berubah. Inilah sebabnya Angkatan Darat senantiasa terlibat menangani soal-soal kemasyarakatan dalam

115

pelaksanaan kekuasaannya. Dalam hubungan ini Angkatan Laut dan Angkatan Udara hanyalah berperan terbatas. Atas dasar inilah Angkatan Darat Indonesia memainkan peran yang lebih bersifat politik di bandingkan dengan keadaan di negara-negara baru bekas jajahan lainnya. Juga di bidang ekonomi Angkatan Darat kian berperan, misalnya ketika perusahan-perusahan Belanda dan asing lainnya diambil alih dalam kebijaksanaan nasionalsasi. Sering Angkatan Darat mengatasi fakum yang terjadi dalam pimpinan perusahan–perusahan itu dengan menugaskan perwira-perwiranya untuk memimpin perusahan–perusahan tersebut. Argumentasi bahwa tindakan itu hanya bersifat sementara ternyata tidak demikian halnya. Dalam hubungan ini secara perlahan-lahan pimpinan Angkatan Darat, khususnya para panglima daerah, berhasil memegang kekuasaan di bidang ekonomi.

Perkembangan itu tidaklah selalu disambut dengan sorak-sorai dan sudah yang tentu tidak oleh PKI. Tidak mengherankan bahwa salah satu kelompok yang kemudian dinamakan dan dikenal dengan kapitalis birokatrat (kabir). Kelompok yang disasar itu terdiri dari perwira-perwira Angkatan Darat yang statusnya terandalkan oleh fungsi dan uang dari jabatan yang diemban. Inilah salah satu sasaran PKI untuk tahun 1965 karenanya terdapat dalam slogan partai yang pertama yakni ‗‘Ganyang Kabir‘‘.

‗‘‘‘ itu memberikan pada tentara kekuasaan dan pengaruh yang lebih luas dari yang telah dimiliki. PKI karenanya sangat berkepentingan untuk menghadapi pihak Angkatan Darat di semua bidang dan dari sudut pandang inilah gagasan membentuk ‗‘Angkatan Kelima‘‘ sangatlah disambut. Dengan ‗‘angkatan Kelima‘‘ inilah yang diharapkan kelebihan kekuasaan yang dimiliki Angkatan Darat dapat diimbangi dan di hadapi di bidang militer.

Insiden yang terjadi di Sumetra Utara tanggal 13 Mei 1965 bagi PKI merupakan ujian mengenai makna usaha untuk mempersenjatai rakyat. Dalam insiden itu sekelompok petani yang telah dipengaruhi sejumlah anggota kader

116

PKI berusaha untuk menanami tanah milik Perusahan Bandar Betsy. Hal itu memang sudah mereka lakukan selama bertahun–tahun. Seorang bintara Angkatan Darat dengan dibantu beberapa orang berusaha menghalangi beberapa petani itu karena tanah tersebut bukan milik mereka. Bintara ini kemudian dibunuh oleh para petani tersebut. Insiden ini oleh pihak Angkatan Darat ditanggapi sangat serius. Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Yani kemudian menegaskan bahwa provokasi semacam itu dari pihak PKI tidak akan ditoleransi lagi.

Sukarno pada masa penuh gejolak itu memerlukan untuk memanggil Jenderal Nasution (menteri keamanan dan perwira tertinggi di Indonesia) serta Yani untuk mendapatkan keterangan menegenai berbagai masalah dari kedua mereka ini. Kedua Jenderal kemudian diminta menghadap di Istana Merdeka pada tanggal 24 Mei 1965. Salah satu pokok pembicaraan adalah masalah Nasakomisasi. Mempolitisasikan Angkatan Bersenjata memang merupakan salah satu harapan pimpinan PKI. Dalam pertemuan di Istana Merdeka Sukarno rupanya ingin memastikan pendirian kedua perwira tinggi itu terhadap politisasi Angkatan Bersenjata seperti diharapkan PKI itu. Angkatan Darat memang bertekad keras untuk tidak membiarkan perkembanngan kearah politisasi itu. Yani memang tidak secara tegas menentukan sikapnya, tetapi sehari kemudian dalam suatu pernyataan ia mengatakan ‗‘hakiki Nasakom adalah semangatnya dan bukan pengotakan secara kompartemen‘‘. Dengan kata lain: Angkatan Darat menolak unsur-unsur luar dalam tubuhnya.

Dua hari kemudian Sukarno secara mendadak menyelenggarakan pertemuan dengan para panglima dari keempat angkatan. Pertemuan itu berlangsung tanggal 26 Mei 1965. Presiden ingin kepastian mengenai bahwa kelompok perwira Angkatan Darat di belakang layar melancarkan agitasi terhadap dirinya dan justru bersekongkol dengan musuh dari luar yaitu pihak Inggris.

117

Pada pagi harinya sebelum pertemuan itu, Waperdam 1 (wakil perdana menteri satu) Subandrio, yang juga merupakan kepala BPI (Badan Pusat Intelijen) mengungkapkan untuk pertama kalinya ada suatu kolompok subvertif yakni Dewan Jenderal. Tidak kebetulan Subandrio mengungkapkan hal itu sebelum para panglima bertemu dengan Sukarno. Tetapi yang lebih menarik apalagi adalah bahwa ungkapan itu dibuat dalam suatu pertemuan yang dihadiri orang-orang komunis. Dalam pertemuan itu Subandrio juga megatakan bahwa Presiden mempunyai bukti–bukti bahwa para Jenderal itu berkomplot dengan duta besar Inggris di Jakarta., SIR Andrew Gilchrist.

Dengan pertemuan para panglima angkatan kemudian pada hari itu terjadi konfrontasi, pecah pertengkaran antara Presiden dan Yani. Yani membantas tegas bahwa ia atau sesama jenderalnnya berkomplot terhadap Sukarno apalagi berkomplot dengan Inggris. Juga mengenai insiden di Bandar Batsy, Yani melampiaskan kejengkelannya.

Pada waktu itu antara Presiden dan pimpinan Angkatan Darat seakan-akan terjadi permainan pingpong politik. Pers secara luas memberitakan hal itu. Menyusul pertengkaran tanggal 26 Mei itu, Sukarno rupanya ingin meredakan tegangan. Dalam suatu pernyataan di depan sejumlah panglima daerah pada tanggal 28 Mei, ia mengatakan bahwa masalahnya tidaklah berkisar pada mengangkat komandan-komandan serta wakil-wakil mereka mempunyai kayaninan politik tertentu. Masalahnya adalah soal ‗‘semangat dan persatuan Nasakom‘‘. Dengan pernyatan itu rupanya Presiden menerima bahwa usaha Nasakomnisasi di bidang Militer harus ia kesampingkan sementara.

Tetapi kemudian Sukarno menyinggung lagi satu masalah peka, yang disamping Nasakomisasi, masih terdapat antaranya Angkatan Darat, yakni soal pembentukan ‗‘Angkatan Kelima‘‘. Pada awal tahun 1965, Sukarno memilih diam diri mengenai masalah ‗‘Angkatan Kelima‘‘ itu. Pada mulanya ia masih mendorong untuk memanas-manasi tentara saja. Dalam ceramahnya pada tanggal

118

20 Mei di Lembaga Pertahan Nasional di Bandung, yang tidak hanya diikuti pihak tentara, Sukarno mengetengahkan bahwa ia ‗‘masih belum‘‘ menampung gagasan untuk mempersenjatai para petani dan kaum buruh. Sekalipun demikian ia menganggap ‗‘soalnya penting‘‘. Pada tanggal 31 Mei ia bahkan melangkah lebih jauh lagi. Dalam sambutan yang berlangsung juga di Lembaga Pertahanan Nasional dan khusus diselenggarakan untuk para komandan dari ketiga angkatan bersenjata dan kepolisian, ia menasihati agar ‗‘usulannya‘‘ untuk mempersenjatai petani dan buruh dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Ia juga menyarankan para komandan itu untuk mengemukakan juga saran–saran mereka. Rupanya masalah ‗‘Angkatan Kelima‘‘ itu sangat meggores kalbunya. Tidak lama kemudian tanggapan pertama datang dari Angkatan Baersenjata . Marsekal Madya Udara Omar Dani, Panglima Angkatan Udara, menyetujui rangsangan Sukarno dan mengumumkan bahwa Angkatan Udara sepanjang tersangkut pembentukan ‗‘Angkatan Kelima‘‘ menyetujui bulat pandangan Presiden. Yani, sementara itu, memperdengarkan suara lain: ‗‘Angkatan Kelima‘‘ adalah masalah yang harus diputuskan Presiden.

2. Kontroversian Istilah G-30-S/PKI

Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang seheboh istilah G30S. Sampai-sampai seorang menteri terlibat langsung dalam konferensi istilah ini melalui peraturan dan surat yang dikeluarkannya tahun 2006.

Akhirnya September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian enam jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando gerakan 30 september. Empat puluh hari setelah peristiwa itu, departemen pertahanan mengeluaran buku berjudul 40 hari kegagalan „‟G-30-S‟‟ . Belum dicantumkan kata PKI. Saat itu, walaupun sejak hari pertama percobaan kudeta, para pembantu Mayor Jenderal Soeharto seperti Yoga Sugama dan , sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya.

119

Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Soekarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers Militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu.

Tahun 1966 rezim orde baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, buku-buku yang memuat versi lain dilarang. Diluar negeri misalnya, terbit tulisan Ben Anderson dan Ruth Mcvey (1966) yang menganggap ini persoalan internal angkatan darat.

Ragam penyebutan tersebut berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan perspektif orang /kerlompok yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu gerakan tiga puluh September. Itu yang tertulis secara nyata dalam dokumern-dokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai ‗‘pembentukan Dewan Revolusi‘‘ serta ‗‘Penurunan dan Kenaikan Pangkat‘‘. Bahwasannya kemudian muncul penafsiran tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI, AD,CIA, Sukarno, Soeharto, ‗‘Kudeta merangkak MPRS‘‘, dst).

Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998 bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa orde baru. Terbit pula buku- buku sejarah dengan beragam versi mengenai gerakan 30 September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G30S dan pada tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G30S.

Kurikulum 2004 (dalam bentuk buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan menengah Indra Jati Sidi dan Kepala Balitbang Boediono. 120

Anehnya, dalam kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diatur mealui peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G30S/PKI. Kemudian kejaksaan agung mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan menanyakan siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G30S? Jawab mereka, kurikulum itu disusun berdasarkan masukan dari para ahli (sejarahwan, para psikologi dan pendidikan serta kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah. Selanjutnya kejaksaan agung juga memeriksa beberapa penerbit. Karena menteri pendidikan nasional meminta instansi ini untuk menarik buku-buku sejarah yang menghilangkan kata PKI dibelakang singkatan G30S.

Peraturan menteri pendidikan nasional itu dapat membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa. Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan ‗‘mencerdaskan kehidupan bangsa‘‘.

3. Berbagai Kisah G30S/PKI

Pelurusan sejarah, berarti menjadikan sejarah yang dulu seragam menjadi beragam. Bila dulu Cuma ada satu versi mengenai gerakan tiga puluh September 1965 (G30S), kini muncul berbagai versi. Selama orde baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: partai komunis Indonesia (PKI) adalah dalang G30S.

Namun, terbitnya buku-buku yang ditulis tokoh kiri seperti Kolonel Latief dan Sulami sekretaris Gerwani, memperkuat alasan untuk meragukan versi pemerintah. Mereka mengaku disiksa sebelum dan sesudah masuk penjara. Dari proses pemeriksaan yang penuh siksaan, tentu hanya dihasilkan laporan dan persidangan yang disampaikan secara terpaksa meski tidak benar demikian. Padahal, alasan utama menganggap PKI sebagai dalang G30S adalah pengakuan tokoh-tokoh kiri itu.

Maka, muncul versi lain yang sebetulnya sudah terbit di luar negeri, hanya saja belum beredar di Indonesia semasa Soeharto berkuasa. Misalnya pendapat

121

dua ilmuan Cornel University-AS, Benedict R.Anderson dan Ruth MC. Vey, bahwa peristiwa G30S Merupakan puncak konflik intern di tubuh Angkatan Darat. Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi itu sebetulnya sama anti- PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno.

Yang pertama adalah ‗‘faksi tengah‘‘ yang loyal terhadap Presiden Soekarno, dipimpin Men/Pangad Letjen , hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional, di mana PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua ‗‘faksi kanan‘‘ bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernapaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto. Menjelang tahun 1965, Sukarno mencium faksionalisme itu dan memulai memecah belah kedua kubu itu.

Peristiwa yang berdalih menyelamatkan Sukarno, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama dalam ‗‘faksi tengah‘‘ . dengan demikian, menurut Cornel Paper, akan melapangkan jalan bagi perbutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD. Selain mendukung versi itu, W. F. Wertheim menambahkan, Syam Kamaru zaman yang dalam buku putih Sekneg disebut sebagai Kepala Biro Khusus Central PKI adalah ‗‘agen rangkap‘‘yang bekerja untuk Aidit dan AD.

Bukan hanya lembaga atau kelompok, pribadi tokoh pun dikaitkan dengan peristiwa itu. Menurut Antonie Dake dan John Hugnes , Presiden Sukarno terlibat dala intrik itu. Menurut mereka, G30S adalah skenario yang disiapkan Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tertinggi AD. PKI ikut terseret akibat amat tergantung kepada Sukarno. Belakangan, pejabat yang disoroti punya andil dalam gerakan itu adalah Jenderal Soeharto sebagaimana dituduhkan oleh bekas anak buahnya, Kolonel Latief.

Di luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Inggris , perkembangan sejarah ‗‘yang gelap‘‘ itu cukup mengembirakan, karena setiap periode (20-30 tahun) ada arsip-arsip yang boleh dibuka untuk umum (declasified). Dengan demikian, dari 122

waktu ke waktu senantiasa muncul data-data baru misalnya mengenai keterlibatan Pemerintah Amerika dan Inggris (terutama dinas rahasia CIA dan M16) dalam kasus tahun 1965. Seperti terlihat dalam dokumen mengenai politik luar negeri Amerika Serikat dari tahun 1964-1968 mengenai Indonesia, Malaysia, Filipina yang sempat dipasang pada salah satu situs internet.

Sebagai konsekuensi dari perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, Amerika Serikat saat itu menghadapi Vietnam Utara yang dibantu Uni Soviet berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan kelompok kiri. CIA membantu dengan berbagai cara dan pengucuran dana, segala usaha untuk menghancurkan PKI. Dalam dokumen itu terungkap bantuan yang diberikan pihak Amerika Serikat sebanyak Rp. 50 juta (?) kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu melalui perantara . Sebagaimana diketahui, KAP Gestapu dipimpin Subscan Z.E (almarhum) dari NU dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).

Menurut Davit T. Johnson (1976), ada enam skenario yang dijalankan Amerika Serikat dalam menghadapi situasi yang memanas di Indonesia menjelang tahun 1965 yaitu:

1. Membiarkan saja; 2. Membujuk Sukarno mengubah kebijakan; 3. Menyingkirkan Sukarno; 4. Mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan; 5. Merusak kekuatan PKI; 6. Merakayasa kehancuran PKI sekaligus kejatuhan Soekarno.

Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.

123

Indikasi keterlibatan pemeritah/Dinas Rahasia Inggris dan Australia juga ada. Namun, hal itu lebih tampak setelah peristiwa G30S. Pihak Inggris membantu propoganda untuk menghancurkan PKI.

Dalam buku Roland Challis (2001) koresponden BBC yang berkedudukan di Singapura dan sering ke Jakarta menjelang peristiwa G30S terungkap, tahun 1962 sudah ada komitmen antara Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan perdana menteri Inggris Harold Macmillan bahwa Sukarno mesti di ‗‘likudasi‘‘. Tentara AL Inggris yang berbasis di Singapura siap membantu Pemerintah Indonesia untuk menghadapi ancaman jatuhnya Indonesia ke tangan komunis.

Menurut Mike Head (1999) ‗' peran Australia adalah sama aktifnya dengan peran Pemerintah Amerika Serikat, meski skalanya lebih kecil. Dalam telegram yang dikirim dari dan kedutaan Australia di Jakarta, tercermin sikap bahwa Soeharto ‗‘harus bersikap lebih keras untuk menghancurkan semua dukungan bagi PKI‘‘.

Tulisan Coen Hotzappel (dalam Journal Of Contemporary Asia, Vol 2,1979) dapat dipandang dalam konteks skenario nomor 6 yang dikemukakan David T. Johnson di atas. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengoordinir kegiatan di , sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, Telekomunikasi, dan teritorial.

Bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Coen Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani yang melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa Jenderal yang belum semuanya tewas di Lubang Buaya dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Sukarno tidak mau mendukung gerakan itu dan memerintahkan kepada Brigjen Suparjo untuk 124

menghentikan operasinya. Coen menuding Sjam dan Mayor Udara Sujono sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat dan kemudian PKI yang dianggap sebagai dalang kudeta itu dihancurkan, sedangkan Sukarno yang tidak mau mengutuk PKI dijatuhkan.

Analisis Soebandrio juga menarik. Ia melihat keterlibatan Soeharto melalui dua katehori (bekas) anak buahnya di Kodam Diponegoro. Pertama, Letkol Untung dan Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal Kepada Presiden Sukarno (dan ini sepengetahuan Soeharto). Kedua, Yoga Sugamadan Ali Murtopo, yang dulunya berjasa (melakukan maneuver dan operasi intelijen) unutk menjadikan Soehrto sebagai Panglima Kodam Diponegoro. Yoga Sugama ditarik Soeharto ke Jakarta untuk menjadi Kepala Intel Kostrad pada Januari 1965 ketika sedang bertugas sebagai atase Militer di Yugoslavia.

Yang terjadi kemudian, peristiwa 1 Oktober 1965 yang sudah sama-sama diketahui umum. Yang menarik adalah trio pertama (Soeharto-Untung -Latief) yang dirancang untuk dikorbankan, sedangkan yang dipakai selanjutnya adalah trio kedua (Soeharto—Yoga Sugama-Ali Murtopo). Kedua trio itu berasal dari Kodam Diponegoro. Letkol Untung sampai akhir hayat tidak yakin bahwa ia akan dieksekusi seperti dituturkannya kepada Soebandrio di Penjara Cihami. Ia merasa Soeharto adalah bekas atasannya dan yang dianggap sebagai kawan dalam peristiwa G30S. Latief juga bekas bawahan Soeharto yang merasa seperti dikhianati seperti terungkap dalam buku pledoi sekligus memoarnya.

Sobandrio menyimpulkkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingan di Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu, tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung

125

Karno dengan menangkap 15 menteri yang Sukarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Mengapa sampai terjadi beberapa versi sejarah? Jawaban yang sedikit teoritis pernah dikemukakan antara lain oleh sejarahwan Prancis, Paul Veyne, dalam buku Comment on ecrit I‟historie (1971). Katanya, seperti sebuah roman, sejarah bisa mengemas satu abad dalam dua halaman, bisa pula dalam seribu pagina. Sejarah itu sebyektif, ia adalah proyeksi dari nilai-nilai yang kita anut dan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan. Bila tukang jahit bisa mengukur baju, sejarahwan tidak bisa mengukur peristiwa. Peristiwa tidak punya ukuran mutlak. Satu peristiwa bisa dianggap lebih penting dari yang lain oleh sejarahwan, tergantung kriteria yang ditetapkan.

Peristiwa itu tidak hadir seperti butir-butir pasir. Peristiwa itu btidak berdiri sendiri dan terisolasi. Peristiwa itu bukan mahluk, tetapi persilangan rute/trayek. Peristiwa itu bukan benda. Peristiwa adalah potongan realitas yang kita tangkap dari subtansi (manusia, benda) yang berinteraksi. Bila melihat sebuah kubus, kita tidak dapat melihat semua sisinya sekaligus. Tetapi, kita dapat melipatgandakan seudut pandang ini dengan memutarnya. Peristiwa itu bukan totalitas tetapi simpul dari jaringan.

Sejarah seperti dikatakan oleh Paul Veyne adalah penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwa itu sendiri. Peristiwa itu sendiri tidak bisa ‗‘diraih‘‘ oleh sejarahwan secara langsung dan utuh. Ia selalu tidak lengkap dan hanya dipermukaan (lteral). Dilcak melalui jejak (tekmeria). Diperlukan dokumendan kesaksian dari pelaku. Meski kita menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, kejadian itu tetap tidak terliput secara keseluruhan. Itu sebabnya terdapat berbagai versi dalam sejarah.

Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu? Tugas sejarawaan kadang kala ibarat dokter, seperti pernah dikatakan Marc Ferro. Ia melakukan diagnose, berbagai versi itu termasuk bagian dari diagnose. Sang dokter berusah 126

menyimpulkan, artinya membuat sintesa dari berbagai versi tadi dan mengeluaran pendapat.

Kasus G30S kita jadikan contoh. Kita tahu, gerakan ini menyebut diri sebgai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu lebih obyektif bila peristiwa itu disebut sebagai G30S., bukan Gestapu dan bukan pula Gestok. Ada beberapa fakta yang dapat diterima. Pertama, yang diculik adalah perwira Militer (khususnya Angkatan Darat) yang menculik dari resimen Cakrabirawa yang juga berasal dari unsur Angkatan Darat. Beberapa pimpinan PKI (Dalam Hal Ini Biro Khusus) seperti Aidit dan Sjam, dipercayakan terlibat dalam gerakan itu. Sjam sendiri masih misterius, apakah dia doebel agent (AD dan Biro Chusus PKI) bahkan triple agent (AD, Biro Chusus PKI, dan CIA)? Beberapa dinas rahasia asing juga berperan sebagai CIA. Pada tingkat Lokal, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, merupakan kodfam yang paling ‗‘terlibat‘‘ G30S. para pelaku dan pemberantas gerakan ini paling banyak berasal dari Kodam ini. Dari data yang sudah diterima, dibuat narasi tentang G30S.

Namun, itu saja tidak cukup. Sebuah peristiwa juga memiliki unsur kausalitas, hubungan sebab akibat. Kondisi nasional sebelum 30 September 1965 menjadi latar belakang meletusnya gerakan ini. Saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Dalam konteks internasional, sedang berkecamuk perang dingin. Amerika Serikat berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.

Tragedy tahun 1965 tidak berhenti sampai 1 Oktober 1965, tetapi berkelanjutan sampai masa Orde Baru, karena dampak langsung peristiwa ini adalah pembantaian massal tahun 1965/1966 dan penahanan politik di Pulau Buru (tahun 1969-1979). Mengungkapkan rangkaian peristiwa secara utuh juga merupakan bagian dari pelurusan sejarah.

127

4. Kolonel Latief dan Pelurusan Sejarah

Tanggal 6 April 2005 pagi Kolonel Abdul Latief wafat di Jakarta dalam usia 78 tahun. Ia tokoh sejarah yang memegang peran kunci dalam peristiwa G30S tahun 1965.

Pleidoi yang disampaikan dalam sidang Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) Jawa Barat tahun 1978 telah diterbitkan tahun 2000 dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Buku tersebut memberikan sumbangan menyangkut empat hal dalam upaya pelurusan sejarah Indonesia.

Pertama, peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 semakin dikecilkan bahkan dilecehkan. Bukan hanya sebagai penggagas serangan umum itu, lebih dari itu, sebagai pelaksana lapangan pun diragukan. Menurut Latief, saat itu ia memimpin pasukan yang menduduki daerah sepanjang Malioboro. Pasukannya diserang balik oleh Belanda dan mengakibatkan dua orang gugur dan 12 orang luka-luka.

Ketika ia kembali ke markas, Soeharto sedang makan soto babat bersama pengawalnya. Malahan Latief kembali diperintah untuk menggempur pasukan Belanda yang ada di pemakaman Kuncen, Yogyakarta.

Soherto masih hidup, tentu ia dapat membantah keterangan Latief apabila itu tidak benar. Bantahan Soeharto itu sangat penting karena di antara pelaku sejarah peristiwa itu hampir semuanya sudah meninggal. Kalau didiamkan, tentu dapat merugikan prestasi Soeharto. Paling tidak, menurut hemat saya, Soeharto adalah pelaksana lapangan dari serangan tersebut sungguh pun dalang di balik aksi itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kedua, Latief mengeluarkan kesaksian bahwa ia telah memberitahukan rencana aksi G30S itu kepada Soeharto baik pada tanggal 28 September 1965 (di rumah Jalan ) dan di RSPAD Gatot Subroto pada malam hari sebelum peristiwa itu terjadi. Mengenai pertemuan dengan Latief tanggal 30 September 128

1965 ternyata Soeharto mempunyai dua versi yang bvrbeda. Kepada Wartawan Amerika Serikat, Arnold Brackman, ia mengatakan bahwa Latief datang kesana untuk ‗‘mengecek‘‘ Soeharto. Tidak dijelaskan untuk mengecek apa. Kepada wartawan majalah Jerman Der Spiegel, Soeharto mengatakan bahwa Latief datang untuk membunuhnya namun tidak jadi karena di sana ada banyak orang. Terlepas dari mana antara kedua versi itu yang benar, Soeharto mengakui keberadaan Latief di RSKAD Gatot Subroto malam itu.

Ketiga, kalau dapat disimpulkan bahwa Soeharto mengetahui gerakan itu sebelum terjadi seberapapun mendalam atau tidak mendalamnya pengetahuannya ia telah melakukan kelalaian karena tidak melaporkan peristiwa yang sangat krusial itu kepada Jenderal Ahmad Yani (atau A.H. Nasution). Aspek ini menjadi enty point bagi analisis ‗‘kedeta merangkak‘‘ yang dilontarkan kemudian oleh beberapa pengamat. Analisis itu sendiri bersifat pos-factum, maksudnya analisis dilakukan setelah rentetan peristiwa terjadi.

Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain yang disampaikan oleh Saskia Wieringa, Piter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio. Mantan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) ini membagi kudeta merangkak itu atas empat tahap: 1. Menyingkirkan para jendral saingannya melalui pembunuhan yang terjadi tanggal 1 Oktober 1965 dini hari; 2. Membubar PKI, partai dengan jumlah anggota berapa juta orang, yang menjadi pendukung Bung Karno; 3. Menagkap 15 orang menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno; 4. Merenggut kekuasaan dari Sukarno.

Analisis ini memperlihatkan seakan-akan strategi perebutan kekuasaan yang berlangsung dari tahun 1965 sampai dengan 1966/1968 terencana secara sistematis, sungguhpun tahap demi tahap itu sebetulnya berjalan sesuai dengan perkembangan situasi.

Keempat, pengalaman Latief selama ditahan memperlihatkan kekejaman yang tiada tara pada penjara Orde Baru. Terutama di tujukan terhadap orang- 129

orang yang tidak disukai penguasa. Latief ditangkap begitu cepat setelah peristiwa G30S/1965, tetapi ia keluar penjara termasuk yang paling belakang. Selama 33 tahun ia dibalik jeruji besi, termasuk 10 tahun dalam sel isolasi. Di dalam sel isolasi itu kakinya yang terkena bayonet dan digips tidak dibersihkan oleh petugas kesehatan sehingga penuh ulat dan mengeluarkan bau. Dalam kesakitan yang tidak tertahankan ia disuntik insulin meskipun Latief alergi terhadap obat ini sehingga ia sempat jatuh pingsan.

Prof. Henk Schulte Nordhold dari Universitas Amsterdam mengatakan bahwa salah satu ciri historiography Orde Baru adalah tidak disinggungnya aspek kekerasan dalam sejarah. Hal tersebut benar kalau dilihat pada buku sejarah yang diajarkan sekolah-sekolah, yang diceritakan hanyalah keberhasilan operasi- operasi Militer dalam menumpas berbagai pemberontakan di Indonesia, tetapi kekerasan justru tidak disebut. Kekerasan yang ditutup-tutupi itu yang terualang dan terulang lagi dalam berbagai kejadian di Tanah Air pasca-1965.

Di dalam memoarnya Soebandrio menyebutkan peran perwira yang berasal dari lingkungan Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, diseputar tahun 1965. Mantan Menteri Luar Negeri RI itu menyebut Soepardjo-Untung-Latief sebagai ‗‘trio yang dikorbankan‘‘, sedangkan Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo sebagai ‗‘trio yang dipakai selanjutnya‘‘. Kalau betul bahwa Kolonel Abdul Latief itu dikorbankan, semoga pengorbannya mendorong bangsa ini untuk kembali menulis sejarahnya secara benar.

5. Menciptakan Beragam Narasi Tragedi 1965

Tragedy 1965 perlu dilihat sebagai konsekuensi permusuhan komunisme dengan islam sejak 1948. Tahun 1965/1966 kelompok Islam bersekutu dengan Angkatan Darat menghancurkan PKI. Menurut Anthoni Reid (Revolusi Nasional Indonesia, anti Komunis 1996), peristiwa Madiun 1948 penting bukan hanya karena jatuh korban cukup besar pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan () dan kiri (). 130

Persiapan menyongsong pemilu 1955 memperuncing keadaan. Fatwa komunisme identic dengan ateisme dikeluarkan Masyumi akhir 1954 di Surabaya. Sebelumnya, Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis di Jawa Barat (Samsuri, Politik Islam Komunis, Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal,2004) .

Tahun 1960-an kekuasaan terpusat pada tiga pilar: PKI, Angkatan Darat, dan Sukarno di puncak piramida. PKI kian di atas angin. Kiprah politik mereka dilukiskan Arbi Sanit dalm buku Badai Revolusi, Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (2000). Konflik budaya tampak pada buku D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya (1995). Sementara ‗‘aksi sepihak‘‘ diuraikan Aminuddin Kasdi (Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965,2001). Soegianto Patmo (Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965,2000), dan Fadjar Praktikto (Gerakan Rakyat Kelaparan di Gunung Kidul. 2000).pada akhir era demokrasi terpimpin, ada upaya menulis sejarah dari perspektif kiri. Untuk mengantisipasi ini, tahun1964 A.H.Nasution membentuk Biro Khusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata cikal bakal Pusat Sejarah ABRI.

Pada 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Sejak 1 Oktober 1965.Yoga Sugama sudah yakin ini memberontak PKI. Menurut hemat saya, tragedy 1965 meupakan trilogi saat G30S, pasca-G30S di mana terjadi pembantaian setengah juta jiwa, dan pembuangan ke pulau Buru (1969-1979) Pada 30 September 1965 meletus gerakan kecil yang berdampak sangat besar. Mengenai peristiwa G30S hanya versi tunggal yang diajarkan sekolah. Buku-buku lain di larang, seperti terbitan ISAI, bayang-bayang PKI (1995). Dan Selain PKI dan ―Biro Khusus‖, dalang lainnya adalah Angkatan darat, pihak Asing (CIA dan lain-lain), serta Soekarno dan Soeharto (disebut sebagai kudeta merangkak).

Buku-buku terlarang itu beredar pasca Soeharto, seperti Cornell paper (Ben Anderson dkk). Selain disertasi Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang

131

Tebu, juga terbit suntingan Robert Crib, pembantaian PKI di Jawa/Bali 1965/1966. Tentang Pulau Buru selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer, terdapat beberapa kesaksian, yang terakhir adalah Memoar Pulau Buru karya Hesri Seriawan.

Selain melalui pendidikan dengan Buku Putih dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto untuk legitimasi kekuasaan, militer juga memanfaatkan monumen dan museum seperti diungkap disertasi Kate McGregor, Universitas Mel-bourne, 2002. Tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto seperti ditulis Budi Irawanto, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (1999).

Sebelumnya, sejarah ditulis dari sudut penguasa. Kini muncul tulisan dari perspektif korban. Dalam hal ini sejarah lisan sangat berperan karena membuat korban bersuara. Dua buku paling menonjol adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Menghayati Pengelaman Korban 1965, dan Menembus Tirai Asap, Kesaksian Tahanan Politik 1965.

Buku pertama sangat monumental, 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Maka terungkaplah pola penangkapan/pembantaian setelah 1 Oktober 1965. Seluruhnya melanggar hukum, tidak satupun dilengkapi surat perintah resmi. Tidak terbayang derita batin para korban. Perempuan mendadak jadi kepala keluarga dan tak luput dari pemerkosaan bergilir. Puluhan sketsa menggambarkan siksaan sadis dipenjara.

Buku kedua sangat menyentuh perasaan. Kehancuran keluarga menimpah hampir semua korban. Selain itu, ada buku tipis, Usaha Untuk Tetap Mengenang, Kisah-Kisah Anak-Anak Korban Peristiwa 65. Tema ini juga menjadi bahan skripsi di Universitas Indonesia (Toeti Kakiailatu, 1984), Universitas Gadja Mada (Sriwahyuntari, Kromo Kiwo, 2004) dan Universitas Diponegoro (Triyana Kasus Pembantaian Massal PKI di Grobogan, 2004).

132

Karya pengarang kiri banyak beredar, antara lain diterbitkan Pustaka Jaya. Ratna Sarumpaet mementaskan drama Anak Kegelapan dilengkapi dengan DVD. Berita terbaru, Leontin Dewangga, kumpulan cerpen Martin Aleida – sebagian tentang derita korban 1965 – menerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra Pusat Bahasa 2004 pada 1 Oktober 2004.

Komunisme dan Islam

Desertasi Budiawan di National Univercity of diterbitkan dengan judul mematahkan pewarisan ingatan: wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca –Soeharto. Rekonsiliasi lebih mudah apabila kelompok kiri mengingat juga peristiwa sebelum G30S (aksi sepihak dan lain-lain) dan sebaliknya kalangan islam mengingat pula peristiwa sesudah G30S (termasuk pembantaian massal 1965/1966, dan seterusnya). Selama ini kedua pihak hanya mengenang hal-hal yang merugikan mereka. Budiawan sengaja mengulas dan dua memoar tokoh islam kiri, Hasan Raid (Pergulatan Muslim Komunis) dan Haji Ahmadi Mustahal (Dari Gontor Ke Pulau Buru). Sebelumnya telah terbit dua skripsi tentang tokoh Digulis Haji Misbach serta pemberontakan Komunis-Islam di karya Michael Williams dan di Silungkang karya Mestika Zed.

Peristiwa Kanigoro, , dikisahkan dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI (1999). Tidak ada yang terbunuh dalam kasus ini, demikian pula tidak ada Al-quran yang diinjak seperti rekayasa museum pengkhianatan PKI yang diresmikan Soeharto tahun 1990. Tahun 1996 terbit buku Agus Sunyoto dan kawan-kawan, Berjihad Menumpas PKI. Akbar Tandjung mensponsori penerbitan buku Fath Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah (1997).

Wacana rekonsiliasi dengan korban 1965 yang dilontarkan (Gus Dur) disambut hangat kelompok muda Syarikat yang melakukan rekonsiliasi tingkat akar rumput antara anggota Banser (NU) dan korban PKI di seantero Pulau Jawa. Chandra Aprianto menulis artikel 133

Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur. Beberapa buku diterbitkan Syarikat, juga Buletin Ruas. Buku terakhir mereka berjudul menelusuri luka-luka sejarah 1965-1966 di Blora. Kelompok muda NU yang lain, Desantara, menerbitkan Syir‟ah yang diaganggap menyaingi majalah Sabili. Sementara kelompok penerbit muda NU, LKiS, menerbitkan buku Kasiyanto Kasemin, Analisis Wacana Pencabutan TAP/MPRS/XXV/1966.

Terjadi kesenjangan besar antara NU dan . Dari kalangan terakhir jarang terdengar nada rekonsiliasi. Padahal, Kokam Muhammadiyah juga terlibat dalam pembantaian 1965. Ini berdasarkan keputusan Muhammadiyah di Jakarta, 9-11 November 1965, bahwa jihad melawan PKI adalah ibadah, bukan sunah, melainkan wajib ain (Hasan Ambary, 2001: halaman 14).

Tidak merata sikap elite NU terhadap rekonsiliasi. Gus Dur paling mendukung. Mereka yang menolak adalah Jusuf Hasyim. Salahuddin Wahid setuju kebijakan diskriminatif terhadap keluarga kiri dihapus, sedangkan Hasyim Musadi agak ambivalen dengan menyatakan ― rehabilitasi terhadap orang PKI harus dilakukan secara bertahap. Jika orang PKI itu terlampau banyak direhabilitasi, dengan adanya kemiskinan massal itu untuk menghidupkan kembali komunisme‖.

6. Rehabilitas Korban 1965

SIDANG Tahunan MPR, Agustus 2003, gagal mencabut ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis di Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Kounisme/Marxisme- Leninisme.

Padahal, selama puluhan tahun ketetapan (Tap) MPRS inilah yang menjadi ‗‘cantolan‘‘ berbagai peraturan diskriminatif yang menimpa jutaan warga

134

Indonesia. Misalnya sebuah keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1981 tentang larangan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ANGGOTA TNI/Polri, guru, pendeta, dan sebagainya bagi mereka yang terlibat lagsung atau tidak langsung dalam G30S/1965 dan mereka yang tidak ‗‘bersih lingkungan‘‘. Demikian pula ketentuan untuk memperoleh KTP seumur hidup bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun tidak diperlakukan bagi kelompok itu, lagi-lagi berdasarkan Tap MPRS itu.

Upaya untuk mencabut stigma buruk bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa 1965 beserta keluarganya yang tinggal melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang itu pun masih panjang prosesnya.

Saat ini Rancangan Undang-undang KKR sudah ada di DPR tetapi belum dibicarakan. Tentu ini akan memakan waktu. Sementara pelaksanaan tugas dari KKR itu sendiri tentu akan berlangsung lebih dari setahun.

Namun, saat ini berembus angin segar di tengah teriknya matahari saat Mahkamah Agung (MA) menulis surat kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. Nomor KMA/403/VI/2003 (12 Juni 2003), yang ditandatangani Ketua MA Bagir Manan. Dalam pertimbangan surat itu disebutkan berdasarkan pasal 37 UU Nomor 14 Tahun 1985, MA dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga tinggi negara lainnya. Belakangan ini MA telah menerima surat dari perorangan atau kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai Korban Orde Baru dan menginginkan rehabilitasi. Padahal, wewenang rehabilitasi tidak ada pada MA, tetapi merupakan hak prerogratif presiden.

Dalam pemberian rehabilitasi itu, berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen, sebenarnya Presiden RI dapat memberikan rehabilitasi karena telah mendapat rekomendasi dari MA. Pasal 14 UUD 1945 yang sudah diamandemen berkaitan dengan hak prerogratif presiden: Ayat (1), Presiden memberikan Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan 135

Mahkamah Agung. Ayat (2), Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Alasan MA mengirim surat ini adalah (1) untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama, dan (2) didorong semangat rekonsiliasi bangsa. Maka, MA ‗‘memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah konkret kearah penyelesaian tuntutan yang snagat diharapkan tersebut.‘‘

Biasanya, menjelang 17 Agustus, pemerintah memberikan remisi bagi tahanan. Juga pada kesempatan ini dapat diberikan amnesti, abolisi, garsi, dan rehabilitasi yang semuanya yang merupakan hak prerogratif presiden. Seyogianya setelah tragedy nasional tahun 1965, 38 tahun berlalu, presiden dapat memberikan rehabilitasi kepada mereka yang tidak pernah diadili tetapi telah diberi stigma buruk sebagai orang yang diduga terlibat G30S. Sepuluh ribu orang telah dibuang ke Pulau Buru tahun 1969-1979 tanpa diadili. Menurut Kobkamtib, pada tahun 1979 ratusan ribu orang-orang masih dikenai wajib lapor.

Ada pendapat, rehabilitasi hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah pernah dihukum namun, ada pandangan lain, namun mereka yang tidak pernah diadili namun pernah menjalani hukuman seperti di buang ke Pulau Buru, dapat direhabilitasi nama baiknya. Biasanya rehabilitasi itu disertai kompensasi atau ganti rugi. Namun, ganti rugi itu tidak harus berbentuk uang, dapat pula berupa natura (paket kredit usaha, beasiswa kepada anak-anak mereka, dan lain-lain).

Jika pemerintah tidak mampu karena kondisi ekonomi amat terpuruk dewasa ini, dapat saja kompensasi itu ditangguhkan sampai keadaan keuangan negara mengizinkan. Banyak di antara korban peristiwa 1965 yang sebelumnya bekerja sebagai PNS maupun TNI/Polri. Bila hak mereka dipulihkan, berarti kan diberikan tunjangan pensiun bagi orang-orang itu. Namun, bila kini hal itu tidak

136

sanggup dipenuhi, hal itu bisa ditunda. Bagi korban 1965 dan keluarganya, rehabilitasi nama baik itu merupakan hal baik yang paling utama.

Mungkin secara khusus, kalangan swasta yang mampu dapat memberi kompensasi. Seperti Caltex yang sejak tahun 1975 pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan ‗‘rendahan‘‘ (kelompok Non-Staff dan Assiciate Staff).

Rasionalisasi yang dilakukan perusahaan demi efisiensi tentu sesuatu yang lumrah. Namun, dalam kasus ini alasan yang digunakan adalah politik dan hukum. Penyebab sepele, karena gaji karyawan itu harus dipotong Rp.100 (seratus rupiah) antara tahun 1964-1966 untuk Persatuan Buruh Minyak (Perbum). Hal itu tidak jauh berbeda dengan keharusan gaji PNS dipotong untuk iuran Korpri pada masa Orde Baru. Padahal sebenarnya hanya sebagian kecil karyawan yang benar-benar aktif pada organisasi yang digolongkan sebagai ‗seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI‘‘ (Lampiran Keppres No 85/Kogam/1966). Di Caltex, karyawan yang terkena kasus ini disebut sebagai ‗‘Kanai Saratuih‘‘ (maksudnya dipecat gara-gara seratus perak). Terhadap kategori ini dapat diberi kompensasi oleh perusahan yang bersangkutan.

MPR telah memberi saran kepada presiden untuk melakukan rehabilitasi. Jadi, presiden Megawati dapat memberikan rehabilitasi kepada korban peristiwa 1965 dimulai dari mantan Presiden Sukarno sampai kepada bekas tahanan politik golongan A, B, dan C. tentu saja ‗‘rehabilitasi‘‘ ini dapat diwujudkan dalam bentuk lain bagi tokoh-tokoh PRRI (misalnya Syafrudin Prawiranegara, M. Natsir, dan Muhammad Rasyid) dengan mengangkat mereka sebagai pahlawan nasional. Rekonsiliasi nasional yang kita dambakan itu akan memperlihatkan titik-titik terang.

137

7. Pembantaian 1965, Kekerasan Terbesar dan Rekonsialiasi

Dari sepuluh besar pelanggaran HAM, yang paling besar adalah pembantaian tahun1965 yang menurut hemat saya menjadi tanggung jawab rezim Orde Baru (Orba).

Dalam suplemen bagi guru sejarah tentang peristiwa-peristiwa yang kontraversial, dibahas kapan lahirnya Orba. Dalam bab itu dikemukakan beberapa tanggal yang dicalonkan sebagai tanggal lahir Orba yaitu 10 Januari 1966 (ketika pertama kali dilakukan demontrasi Tritura), 11 Maret 1966 (keluarnya Supersemar), 31 Agustus 1966 (seminar AD II menghasilkan Orba), 23 Februari 1967 (penyerahan kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto).

Bila salah satu tanggal itu dipilih maka pembantaian yang terjadi terutama Oktober sampai Desember 1065 tidak termasuk Orba. Menurut hemat saya, pembantaian tahun 1965 adalah awal Orba bukan akhir Orba. Ada beberap alasan untuk menganggap 1 Oktober 1965 sebagai tanggal lahir Orba.

Tanggal 1 oktober 1965 Soeharto mulai menguasai keadaan. Pada sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang terbit semua surat kabar kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.

Dengan demikian, seluruh informasi dikuasasi tentara. Berita yang terbit pada kedua Koran itu diarahkan menggiring opini masyarakat bahwa PKI adalah dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai biang kebejatan moral.

Informasi itu lalu diserap Koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 oktober 1965. Itu yang lalu dijadikan bahan pengajaran sejarah di sekolah. Dengan demikian, tanggal 1 oktober 1965 adalah sekaligus tanggal Soeharto mulai merebut kekuasaan, mempertahankan kekuasaan (dengan memonopoli informasi) dan mengawetkan kekuasaan (dengan mengendalikan penulisan sejarah).

138

Pencobaan kudeta yang gagal 1 Oktober 1965 diikuti pembataian misal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan jumlah korban pembantaian tahun 1965/1966 terutama di Jawa, Sumatera, dan Bali. Jumlah korban pembantaian tahun 1965/1966 itu tidak mudah diketahui persis. Bila semuannya dijumlah dan dibagi 39, didapat angka rata-rata 430.590 orang.

Robert Cribb mengatakan, pembantaian tahun 1965 dilakukan dengan memakai alat sederhana: pisau, golok, dan senjata api. Tidak ada kamar gas seperti yang dilakukan oleh Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawah jauh sebelum dibantai, biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain kejadian itu biasanya malam. Proses pembunuhan berlangsung relative cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam empat tahun.

Pembantaian PKI itu dilakukan secara sistematis dengan pola bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain serta didukung beberapa factor (tiga yang pertama dikutip dari)

Pertama, budaya amuk yang dipercayai, paling tidak oleh pengamat Barat, sebagai unsur penopang kekerasan.

Kedua, konflik di daerah-daerah antara golongan komunis dan non komunis terutama para kiai sudah mulai tampak sejak tahun 1960-an.

Ketiga, militer diduga berperan dalam menggerakan massa.

Keempat, factor provokasi oleh media massa yang menyebabkan masyarakat geram.

Peran Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha juga amat krusial. Surat kabar ini mula-mula yang menyebarkan berita sadis mengenai Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal berdasar visum et repertum dokter seperti diungkapkan Ben Anderson (1987) para jenazah hanya mengalami

139

luka tembak dan memar terkena gagang senjata atau terbentur dinding sumur. Berita tentang kekejaman kelompok wanita kiri ini memicu kemarahan masyarakat.

Dalam peristiwa pembunuhan massal tahun1965/1966 perlu dipisahkan antara 1) konflik antarmasyarakat dengan 2) kejahatan yang dilakukan oleh Negara. Pertikaian antarkelompok masyarakat meski memakan banyak korban, bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan Negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam pembunuhan.

Menurut Cribb, ―Dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah kedatangan kesatuan elite militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindak kekerasan atau memberi contoh‖ . Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, menurut Cribb, ―untuk menciptakan kerumitan masalah. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam menghancurkan komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.‖

Keterangan Robert Cribb itu perlu diteliti ulang. Hingga kini hanya satu - dua buku tentang pembantaian tahun 1965/1966. Seyogianya dilakukan banyak riset tentang periode yang kelam dalam sejarah Indonesia itu. Dari segi jumlah jiwa, jumlah korban kekerasan pada masa sebelum tahun 1965 lebih kecil (bahkan amat kecil) bila dibanding korban pembantaian pasca G30S. Namun, saya sengaja menyandingkan dan menghubungkan masa pra – 1965 dan pasca – 1965 dengan mengatakan, pembunuhan massal yang terjadi (terutama banser NU) di Jawa Timur misalnya hanya reaksi atas konflik sosial yang telah tumbuh sebelumnya. Bahwa reaksi itu jauh lebih dahsyat dari aksi yang mendahuluinya, itu dapat (mohon) dimaklumi.

Saya ingin mengatakan, konflik horizontal antaranggota/kelompok masyarakat dapat didamaikan. Maksud antara banser NU dengan korban G30S 140

dapat dilakukan rekonsiliasi. Namun, kejahatan Negara terhadap masyarakat harus tetap diusut. Perlu diselidiki, misalnya apakah operasi militer, terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi PKI sampai ke akar– akarnya, melewati ketentuan yang berlaku?

Meski pembantaian tahun 1965 merupakan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, namun masa sebelumnya tentu tidak bisa dilupakan. Karena sebagian kejadian pasca G30S itu merupakan reaksi dari konflik yang telah berlangsung taun-tahun sebelumnya.

Pada masa demokrasi terpimpin ini tepat tahun1960-an terjadi berbagai aksi kekerasan yang terutama dilakukan kelompok kiri yang saat itu sedang di atas angin. Tahun-tahun sebelum 1965 merupakan masa yang menyakitkan bagi sebagian umat Islam. Bila masa ini tidak usut, akan muncul penolakan umat Islam terhadap keberadaan komisi kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi (KKKR).

Rekonsiliasi perlu dilakukan, tergantung cakupan tugas komisi kebenaran, apakah hanya menginvestigasi kekerasan yang melibatkan Negara atau konflik horizontal antar etnis. Bila yang dipilih jawaban yang ke-dua, maka rekonsiliasi itu terjadi antara berbagai kelompok. Rekonsiliasi itu hendaknya antara ideology (antara orang Islam dengan kelompok eks komunis), lintas etnis (contoh Dayak- Madura; BBM-Bugis, Buton, Makassar-dengan berbagai suku di Irian Jaya; selain itu etnis Tionghoa perlu dilibatkan dalam berbagai sektor sebagaimana etnis lain di Indonesia), lintas pemeluk agama (Ambon Islam dengan Ambon Kristen).

Akan tetapi yang paling krusial adalah antara sipil dengan militer. Hampir semua pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah tentu melibatkan kelompok yang bersenjata (militer atau elite militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka juga menyangkut pihak yang memegang senjata. Yang selalu jadi korban adalah pihak sipil (tentu ditambah sedikit dari militer). Hubungan sipil milier itu akan menentukan apakah di masa datang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM. Di atas disebutkan rekonsiliasi umat Islam dengan 141

kelompok masyarakat eks komunis. Istilah eks itu menunjukan, belum tentu kelompok itu masih menganut ideology komunisme.

Kekerasan telah terjadi di Nusantara sebelum kedatangan orang Eropa. Namun, kolonian Belanda yang memulai melakukan kekerasan secara sistematis demi merebut suatu daerah atau mempertahankan wilayah yang dikuasai. Pada zaman pendudukan Jepang juga terjadi berbagai kekerasan. Namun, karena tujuannya untuk melakukan rekonsiliasi antar bangsa sendiri, pengusutan pelanggaran berat HAM seyogyanya dibatasi sejak Indonesia merdeka 17 agustus 1945.

Demikian banyak dan luas daerah yang akan diteliti. Karena itu saya mengusulkan agar ditetapkan 10 kategori utama. Meski demikian tertutup kemungkinan bagi daerah untuk melakukan penelitian tambahan diluar 10 golongan kasus itu, misalnya di Lampung ada kasus Talang Sari yang melibatkan seorang Jenderal. Di Sumbar mungkin bisa diteliti kembali kekejaman pada masa PRRI. Dewasa ini timbul pertanyaan apakah komisi kebenaran itu bersifat sentralistik atau desentralistik.

Kasus kejahatan dan pelanggaran HAM yang diusut bisa dibatasi dengan kejahatan yang disponsori, dilakukan atau dibiarkan oleh negara (dengan bantuan alat negara). Ke-10 penggolongan itu menyangkut kekerasan yang melibatkan aparat Negara. Meski demikian terhadap kasus konflik etnis yang terjadi belakangan ini dapat diberikan batasan berbeda. Dalam kasus Sambas, Maluku Selatan, Maluku Utara perlu dilakukan investigasi dengan tujuan mengungkapkan kebenaran, guna memudahkan rekonsiliasi antar-etnis/penganut agama yang pernah bertikai.

Rekonsiliasi adalah masalah nasional yang mendesak. Karena itu sebaiknya KKKR yang akan dibentuk segera bekerja dalam waktu misalnya satu tahun (1 Januari 2001 sampai 31 Desember 2001). Tidak ada masalah jika komisi

142

yang dibentuk pemerintah ada komisi serupa yang diprakarsai LSM. Keduanya bisa berjalan seiring, bahkan saling membantu.

Kegiatan pengumpulan kesaksian melalui sejarah lisan seperti yang dilakukan Yayasan Lontar (korban peristiwa 1965), Pakorba (korban Orba) dan Kongres Rakyat Korban DOM Aceh (4-6 November 2000) dapat membantu tugas KKKR yang akan dibentuk itu. Bila tujuan pengungkapan kebenaran itu untuk mengetahui siapa pembunuhnya, ini harus diwaspadai agar jangan sampai menjadi arena balas dendam. Siapa tahu ada keluarga korban yang menunggu kesempatan untuk membalas sakit hati selama bertahun-tahun untuk akhirnya melakukan kejahatan serupa. Kalau begitu identitas pelaku perlu dirahasiakan.

Pengungkapan masa lalu sebetulnya bukan saja terkait dengan aspek hukum tetapi juga menyangkut memori kolektif /masyarakat. Karena itu gerakan ini jangan dilihat semata-mata dari segi yuridis tetapi juga aspek ingatan masyarakat. Karena itu untuk mengelolah ingatan masyarakat, perlu diperbaiki pendidikan sejarah.

Bukan hanya periodisasi pelanggaran HAM saja yang penting, tetapi perlu dipikirkan modus pengungkapan keberan itu. Dari segi sejarah tentu dilakukan penelitian terhadap peristiwa/kasus yang telah disebut di atas. Sumber primer (arsip dan kesaksian korban) dan sekunder (berita di surat kabar) perlu dikumpulkan. Dalam hal ini sebaiknya didukung usaha yang dilakukan Arsip Nasioanl RI bekerja sama dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mempersiapkan Keppres tentang penarikan arsip-arsip militer (TNI dan Polri) ke Arsip Nasional RI. Berdasarkan UU Kearsipan tahun 1971, hal itu sebenarnya sudah diatur. Namun, rupanya UU itu dianggap perlu diperkuat dengan Keppres.

Kesaksian korban diperoleh melalui sejarah lisan. Sebaiknya program ini dilakukan secara nasional dengan anggaran negara dan dilakukan oleh lembaga- lembaga penelitian, Arsip Nasional RI, Universitas, dan LSM. 143

Pelanggaran HAM bukan hanya menyangkut kekerasan fisik tetapi juga berbetuk peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan tercabutnya HAM bagi kelompok masyarakat tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah TAP MPRS XXV tahun 1966 yang oleh pejabat pemerintah dijadikan alasan untuk tidak menghapuskan peraturan perundang-undangan yang dianggap ada di bawah TAP MPRS itu. Contoh, Instruksi Mendagri No 32 Tahun 1981 tentang ―pembinaan dan pengawasan eks tapol/napol G30S/PKI‖ yang melarang eks tapol/napol bekerja sebagai ABRI atau PNS (termasuk di BUMN dan sebagai guru), menjadi anggota Parpol dan , Pers, Dalang, Lurah, Lembaga Bantuan Hukum dan Pendeta (baca penjelasan pemerintah tentang skrining mental ideologis untuk pegawai negeri, calon PNS dan lainnya 8 September 1988.

Rehabilitasi dapat dianggap langkah awal rekonsiliasi. Bahkan rehabilitasi bisa dilihat sebagai konsekuensi tercapainya rekonsiliasi. Rehabilitasi terbagi dua, rehabilitasi fisik dan rehabilitasi mental. Yang bersifat fisik adalah penggantian material terhadap kerugian yang diderita karena tuduhan politik yang tidak terbukti bahkan tidak pernah diperiksa di pengadilan. Persoalan ini bukan bidang saya, biar diurus pakar hukum. Pendapat saya, uang sebagai rekompensasi tidak akan bisa mengganti kerugian psikis yang diderita korban Orba. Nama baiknya yang hilang selama ini tak langsung kembali sekejap mata.

Tidak kalah penting, rehabilitasi mental yaitu pemulihan nama baik. Bagaimana menghapuskan stigma masa lalu. Selama tiga dekade, orang-orang yang dituduh terlibat G30S beserta keluarganya telah disisihkan dari masyarakat, dianggap sebagai penyakit yang menjijikan dan bisa menular. Menghapus stigma masa lalu caranya, kampanye melalui media massa (media cetak dan media elektronik) dan pengajaran di sekolah. Para korban Orba harus bersuara, merintih bahkan berteriak, mengisahkan pengalama masa lampau mereka. Mereka mampu mengungkapkan kebenaran. Para sejarahwan (dan pers) harus lebih memberi perhatian pada ―sejarah korban‖ ini.

144

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia penuh dengan praktik kekerasan sejak kita merdeka sampai sekarang. Sampai hari ini masyarakat Indonesia dilanda berbagai konflik komunal, ketersingkiran sosial, vigilante dan konflik vertikal yang semuanya berkaitan dengan kekerasan atau akibat dari kekerasan.

8. Demi Kemanusiaan Cabut TAP XXV/MPRS/1966

Dalam sidang tahunan MPR 1-10 Agustus, dijadwalkan pencabutan beberapa Tap MPR yang tidak sesuai dengan situasi sekarang. Sebagian kalangan di DPR ingin mempertahankan Tap MPRS No XXV Tahun 1966 tentang ―Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Lenimisme‖. Sikap itu dapat dipahami karena selama 32 tahun Orde Baru, kebenaran peristiwa ini tidak boleh diungkap kepada publik.

Padahal Ketetapan MPRS No.XXV Tahun 1966 merupakan sekedar penguatan Keppres No. 1/3/1966 yang dikeluarkan Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi, Ir. Sukarno, 12 Maret 1966 tentang pembubaran PKI. Keppres itu mengatasnamakan Sukarno. Tetapi, Presiden Sukarno dengan gambling menolak keputusan itu seperti disampaikannya pada tanggal itu juga dengan memanggil Basuki Rachmat, M.Yusuf, dan Amirmachmud ke Istana Bogor. Tetapi, Soeharto tetap pada keputusannya, yang hakikatnya merupakan penyalahgunaan Supersemar yang dikeluarkan 11 Maret 1966.

Letjen Soeharto membubarkan PKI bukan karena PKI dalang Gerakan 30 September 1965 (kini versi itu amat diragukan), tetapi karena ia ingin menghancurkan partai yang merupakan saingan terberat dalam mencapai puncak kekuasaan. Kebetulan keinginan Soeharto itu sejalan dengan sebagian kalangan Islam yang secara horizontal sudah terlibat konflik pertanahan di pedesaan Jawa 145

dengan partai/ormas kiri. Pembubaran PKI bukan meredam konflik, malah membakar ladang kering permusuhan yang sudah ada di pedesaan. Secara kronologis, pasukan komando datang dari suatu daerah, secara bertahap terjadilah pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan sebagainya. Korban yang jatuh diperkirakan dari 500.000 sampai tiga juta jiwa.

Namun, pembantaian yang merupakan kejahatan atas kemanusiaan itu masih dirasa kurang cukup. Sebanyak 10.000 orang termasuk orang tua dan anak- anak dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979), tanpa pengadilan. Masih belum puas, mantan tahanan politik itu masih harus rutin melapor selama bertahun-tahun. Masih dianggap kurang, anak-anak dan cucu-cucu mereka dinyatakan tidak ―bersih lingkungan‖. Artinya, mereka tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, militer, polisi, guru dan jabatan strategis lain di masyarakat.

Sampai renta (60 tahun ke atas) mereka masih disakiti. Kepada eks tapol, tidak diberi KTP seumur hidup. Beberapa waktu lalu, dengan perjuangan berat Nani Nurani (62), mantan penari Istana Cipanas diputus pengadilan PTUN Jakarta untuk berhak mendapat KTP seumur hidup. Ia sempat ditahan selama tujuh tahun gara-gara pernah menari pada ulang tahun PKI, Juni 1965. Pertanyaannya, apakah ribuan eks tapol itu harus mengajukan kasusnya kepada pengadilan PTUN di seluruh wilayah di Indonesia.

Hal serupa dialami seorang kakek, Ir.Setiadi Reksoprodjo. Mantan Menteri Tenaga Listrik semasa Sukarno itu ―diamankan‖ Maret 1966 dan ditahan tanpa pengadilan, dan mengalami nasib sama. Ia yang tinggal di jalan Sibayak tidak diberi KTP seumur hidup oleh Lurah Menteng, Jakarta. Untung , mantan Gubernur DKI segera menelpon sang lurah segera mengantarkan KTP ke rumah yang bersangkutan. Tetapi apakah Bang Ali harus menelepon setiap kali dan apakah itu tugas beliau.

Hingga kini stigma buruk terhadap orang-orang yang dituduh berideologi kiri masih dilestarikan. Keluarga yang dituduh komunis meski banyak diantara 146

mereka yang tidak tahu apa-apa tentang ideologi kiri akan terkucil di masyarakat. Pernikahan bisa batal bila diketahui salah satu pasangan ternyata mempunyai orang tua atau paman yang terlibat G30S 1965.

Beberapa tahun silam, seorang anggota DPRD (dari fraksi PDI-P) Yogyakarta dimasalahkan karena dituduh tidak ―bersih lingkungan‖. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah di Tanah air. Persyaratan menjadi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) sesuai UU mengenai Otonomi Daerah tahun 1999 mencantumkan ―tidak terlibat G30S/PKI‖.

Banyak di antara anak-anak korban tragedy 1965 yang selama puluhan tahun terpaksa menyimpan identitasnya. Berarti selama sepersekian dari perjalanan hidupnya, orang-orang ini yang jumlahnya sudah jutaan orang telah menyandang trauma yang sebetulnya bukan berasal dari kesalahannya. Padahal, sang anak tidak minta mereka dilahirkan sebagai anak dari seorang anggota PKI (atau NU, Muhammadiyah, PNI, tentara, atau polisi). Hanya karena orang tuanya dituduh terlibat peristiwa 1965 mereka terkena getahnya. Mengapa konflik antar ideologis antar orang tua pada masa lalu, masih ditanggung anak cucu yang tak tahu apa-apa? Maka demi pertimbangan kemanusiaan (yang adil dan beradab), Tap MPRS XXV/1966 perlu dicabut selamanya. Karena TAP itu merupakan biang kerok dari UU dan peraturan lain diskriminatif dan member stigma tak berampun pada suatu kelompok dan keluarganya.

9. Malam Simalakama

Menteri Sekertaris Negara Hatta Rajasa mengatakan bahwa peringatan hari Kesaktian Pancasila dilakukan tanggal 30 September 2008 jam 24.00. Acara itu dimajukan karena tanggal 1 Oktober bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sedangkan tanggal 30 September seusai shalat Maghrib dan Isya biasanya umat Islam melakukan takbiran. Jadi peringatan Kesaktian Pancasila diapit oleh dua ritual religius. Tentu hal ini amat merepotkan. Bila biasanya pada malam takbiran orang sudah berada di kampung halaman atau bercengkrama di tengah keluarga 147

setelah sebulan berpuasa, kini terpaksa pergi ke Lubang Buaya untuk melakukan upacara di tengah malam buta.

Di samping itu terpaksa paradoks karena malam takbiran merupakan malam kemenangan bagi umat Islam setelah berjuang sebulan penuh menahan hawa nafsu sementara itu malam 30 September merupakan malam kekerasan dan sekaligus kekalahan pahit bagi tentara nasional karena demikian banyak perwira tinggi secara serempak hilang nyawanya tidak dalam peperangan. Tertangkapnya sekaligus enam orang jenderal dalam suasana damai memperlihatkan bahwa fungsi intelijen militer lumpuh. Yang sangat ironis, seorang Mayor Jenderal yang kemungkinan besar mengetahui rencana penculikan itu tidak memberitahukan atasannya. Seandainya hal itu dilaporkan, tentu penangkapan yang berujung tragedi nasional bisa dicegah.

Peringatan Kesaktian Pancasila dari tahun ke tahun setelah era reformasi kian kehilangan magnetnya dan semakin dilematis. Di satu sisi terdapat keengganan sebagian masyarakat termasuk pejabat untuk melakukan upacara, terutama pada era Megawati Soekarnoputri. Hal ini dapat dimaklumi karena malam tersebut merupakan awal kejatuhan Bung Karno dari kekuasaannya yang berlangsung liat dan menyayat perasaan. Namun di sisi lain, peringatan ini menjadi kewajiban bagi militer.

Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati Angkatan Darat. Tanggal 24 September 1966, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan supaya hari itu diperingati seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Itu sebabnya keluar Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966) tertanggal 29 September 1966 agar hari itu diperingati ―seluruh slagorde Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan massa rakyat‖.

148

Sesungguhnya tidak ada keharusan pejabat tinggi negara dan para menteri menghadiri acara tersebut walaupun era Orde Baru ini seakan seremoni wajib.

Masyarakat mempertanyakan apakah relevansi peristiwa 30 September 1965 dikaitkan dengan Kesaktian Pancasila. Aksi itu gagal karena kecerobohan pelakunya dalam merancang strategi militer dan menerapkannya di lapangan.

Pada era Orde Baru, bendera dinaikkan setengah tiang pada 30 September dan secara penuh esoknya. Namun, kini sebagian masyarakat sudah tidak peduli kecuali instansi militer. Bahkan mempertanyakan, enam jenderal dibunuh 1 Oktober 1965 dinihari kenapa bendera berkabung dimajukan sehari sebelumnya. Mungkin jalan keluarnya, bendera dipasang setengah tiang tanggal 1 Oktober pukul 06-12 dan dikibarkan penuh pukul 12-18. Tetapi, ini jelas merepotkan.

Penamaan ―Malam Jahanam‖ terhadap malam 30 September 1965 memang menimbulkan efek psikodramatis karena enam jenderal tewas seketika. Mungkin tidak ada di Negara lain di dunia, para jenderal sebanyak itu gugur bersama-sama bukan di medang perang. Tetapi, persoalan yang lebih penting, bukankah malam-malam setelah peristiwa itu yang menyebabkan kematian lebih dari 500.000 jiwa warga Indonesia tidak kalah sadisnya?

Penetapan atau sebaliknya penghapusan hari bersejarah memang menjadi kebijakan politis suatu rezim. Semasa Soeharto berkuasa, bukan hanya peringatan lahirnya Pancasila yang dilarang, tetapi juga hari buruh 1 Mei. Ketika Awaluddin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja tahun 1966 ia belum berhasil menghapus acara kaum buruh itu karena serikat pekerja cukup kuat. Namun hal ini baru tercapai setahun kemudian. Walaupun reformasi telah berjalan 10 tahun, upaya menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional belum tercapai sampai sekarang.

Pada tanggal 1 Juni 1945 Sukarno berpidato tentang dasar negara yang dinamainya Pancasila. Sejak 1970 peringatan hari lahirnya Pancasila itu dilarang

149

Kopkamtib sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto. Pada diorama Monas tatkala dirancang sebelum 1965 terdapat diorama hari lahir Pancasila 1 Juni, namun ketika pembangunanya diselesaikan tahun 1970 dioroma itu dihilangkan. Hampir tiga decade kelahiran pancasila tabu diperingati. Namun, ternyata larangan itu tidak mangkus lagi setelah reformasi.

150

C. NASKAH NARASI

PEMBUNUHAN TUJUH JENDERAL

BABAK 1:

Narasi : Dari awal tahun 1965 sampai akhir September tahun yang sama bisa dikatakan ada ‗‘ofentif radikal‘‘nyang ditangani oleh ketua PKI, Aidit, beserta teman-temannya. Dalam kurun waktu itu masyarakat Indonesia merasakan tekanan yang kian besar. Dikatakan bahwa ‗‘polarisasi politik lebih meningkat dari masa sebelumnaya, karena Presiden Sukarno secara terbuka memihak pada PKI dalam menghadapi pimpinan tentara‘‘? bagi Presiden ketegangan yang diakibatkan itu jika ditakar secara jitu justru cocok bagi harapannya. Dengan demikian ia dapat menempatkan tentara maupun PKI dalam kedudukan tidak nyaman sementara mengukuhkan peranannya sebagai penengah.

Akhirnya September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian enam jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando gerakan 30 september.

Adegan: Dalam Markas PKI

Aidit : „‟Kita harus betindak cepat dari Angkatan Darat. Kita harus melancarkan kudeta sebleum angkatan darat pencetusan Dewan Revolusi tidak menguntungkan bagi kita.‟‟ (berjalan mengintari meja)

Anggota PKI 1 : „‟Iya pak. Kita harus melancarkan kudeta. Keadaan saat ini tidak menguntungkan bagi kita.‟‟

151

Aidit : „‟Kalau begitu, kita harus merencanakan kudeta ini dengan baik dan teliti, jangan biarkan rencana kita tercium oleh angkatan darat‟‟.

Anggota PKI 2 : „‟Bagaimana kalau kita harus menentukan target kita terlebih dahulu?‟

Aidit : „‟Oke,, kita harus menentukan target terlebih dahulu.‟‟ (menanguk-anggukkan kepala).

‗‘Yang paling penting kita menargetkan lawan kita yaitu angkatan darat.‘‘ (duduk menopang dagu)

Anggota PKI 1 : „‟Tentu saja pak, kita akan membuat mereka mengetahui siapa kita. Dan keadaan ini akan mempengaruhi kondisi Bung Karno, saat ini kita tidak bisa bergantung lagi padanya.‟‟

Anggota lain : „‟Jangan sampai dewan revolusi itu mendahului kita untuk melancarkan kudeta. Sukarno harus kita turunkan.‟‟

Aidit : „‟Saya minta untuk mencatat nama target berikut: Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto, Mayjen TNI Anumerta , Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta , dan Jenderal A.H. Nasution.

Anggota PKI 1 : ‗‘Pak, kapan pelaksanaannya?‘‘

Anggota lain : „‟Kita juga harus membuat rincian pelaksanaannya.‟‟ (tatapan a

Aidit : „‟Bagaimana kalau waktu pelaksanaannya, akhir September. Dan kita menyerbu pada saat subuh supaya tidak dicurigai. Kita melakukannya diam-diam.‟‟

152

Angota lain :„‟Pak, bagaimana dengan pasukannya, akan lebih baik jika kita menggunakan pasukan tentara dan langsung menyerbu ke rumah jenderal-jenderal itu.‟‟

Aidit : „‟Kalau menurut saudara seperti itu, tidak apa-apa, tetapi kita harus membuat rincian pelaksanaan dan juga memberi nama untuk pasukannya. Akan lebih baik juga jika kita membaginya dalam beberapa kelompok.‟‟

Anggota PKI 2 : „‟Menurut saya kita buat saja dalam tiga kelompok yaitu Pasopati, Pringgodani dan Bimasakti.

Anggota PKI 1: „‟Tapi sebaikanya, tiap kelompok memiliki tugas masing-masing supaya mudah dipantau. Bagaimana saudara?‟‟

Anggota lain : „‟Ya, baguslah kalau begitu. Menurut saya penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati, Setelah itu mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengoordinir kegiatan di Lubang Buaya, sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, Telekomunikasi, dan teritorial.‟‟

Aidit : „‟Saya setuju.‟‟ (menganguk-anggukan kepala dan tersenyum tipis). Tetapi saudara, apa yang saudara maksud dengan lubang buaya?‟‟

Anggota lain : „‟maksud saya pak, tentunya para jenderal yang kita culik harus kita binasakan agar rencana kita lancar. Untuk apa diculik, kalau kita membiarkan mereka hidup?‟‟

Aidit : „‟Oke,,, saya mengerti maksud saudara. Mari kita lakukan saja sesuai rencana. Tetapi sebelum itu kita cukup tinjau keadaan. Kita akan merubah rencana bila situasi tidak berjalan sesuai dengan rencana kita.‟‟ (Penuh semangat)

153

Narasi : Akhirnya mereka mencapai kesepaktan akan rencana mereka. Kemudian mereka berjabat tangan dan perlahan-lahan para anggota meninggalkan markas.‘‘

BABAK II

Narasi : Kolonel Untung yang loyal terhadap PKI dan Peristiwa G30S/PKI baru dimulai pada tanggal 1 Oktober pagi atau pada saat subuh, dimana kelompok pasukan bergerak dari Lapangan Udara Halim Perdana kusuma menuju daerah selatan Jakarta untuk menculik tujuh jenderal yang semuanya merupakan anggota tentara. Pada saat subuh 1 Oktober 1965, para pasukan tentara yang dibawah komando PKI menuju ke rumah target yang sudah di rencanakan dan berjalan menurut keolompok yang sudah dibagikan.

Adegan: di depan markas PKI

Aidit : ‗‟Semuanya sudah siap?‟‟

Prajurit :‟‟siap pak‟‟ (jawab mereka serempak)

Letkol. Untung: „‟Sekali lagi semuanya, siap gerak!!! Laksanakan sesuai komando dan tetap menjaga posisi.‘‘ prajurit : ‗‟Sangat siap pak.‟‟ (jawab pasukan tentara dengan serempak).

Letkol Untung : „‟Masuk ke mobil yang sudah tersedia dan menurut kelompok masing-masing, dan jangan lupa tetap pada posisi. Selesaikan semuanya sesuai rencana, semoga kudeta ini berjalan dengan lancar. Ayo,,,bergerak.‟‟

154

Prajurit :‟‟Siap dilaksanakan.‟‟ (jawab serempak dan kemudian berjalan menuju kendaraan yang mengantar mereka ke rumah target)

BABAK III

Narasi : sekitar pukul 04.00 pagi para pasukan sudah tiba di posisi masing-masing. Pasukan Pasopati A di rumah Ahmad Yani, Pasopati B di rumah Haryono, Pasopati C di rumah Parman, Pasopati D di rumah Suprapto, Pasopati E di rumah Sutoyo, Pasopati F di rumah Panjaitan, dan Pasopati G di rumah Nasutio. Semuanya dilakukan secara bersamaan.

Adegan:

Pasopati A 1:‟‟Maju,,maju, tangkap mereka.‟‟ (melambai kepada temannya menyuruh masuk)

Ahmad Yani :‟‟Apaan ribut pagi-pagi.‟‟ (bangun dan mengucek mata)

Pasopati A 1 :‟‟Jangan bergerak, tetap diam atau seluruh keluargamu mati!‟‟ (menerobos masuk dan menodong senjata kearah Yani)

Ahmad Yani :„‟Apa maksud semua ini?‟‟ (kebingungan dengan apa yang terjadi).

Pasopati A 3 ;‟‟Jangan banyak bacot lho,,, ikuti saja. Dasar..‘‘(menendang Yani)

Pasopati A 2:‘‘ Ayo ikat dia, dan bereskan yang lain di rumah ini.‟‟ (menoleh ke kiri dan kanan)

155

Pasopati B 1 :‘‘Ayo,, terobos masuk,,, dan tangkap dia.‘‘ (menerobos pintu )

Pasopati B 3 : ‗‟Jangan teriak atau pun melawan.‘‘(menodong senjata ke aarah Haryono yang masih terduduk mendengar benturan keras pintu yang terbuka secara paksa)

Haryono : ‗‟Ada apa ini? Kenapa kalian mengancam saya?‘‘(penuh tanda tanya)

Pasopati B 2 :‟‟Ikuti saja dan tidak perlu kamu tahu. Nanti kamu akan tahu sendiri. Bangun!! Ikat dia dan bersihkan semua yang ada di rumah ini!‟‟

Pasopati C 1 :‟‟Lompat,, lompat.‟‟(memandu yang lain untuk melompat pagar)

Buka pintu dan awasi sekeliling!!!‟‟

Pasopati c 2 :‟‟Siap,, ambil posisi. Ayo saudara.‘‘(mengajak rekannya masuk)

Pasopati C 1 : „‟Bangun,, bangun.‘‘ (menggoyangkan badan Parman)

Parman :‘‘ Aapa sih yang bikin ribut ini. (mengucek mata dan terbelalak)

Ada apa ini???‘‘

Pasopati C 1 :‘‘ Bangun dan jangan melawan. Ikuti saja perintah dan jangan bertanya! (menodong senjata kearah parman dan istrinya)

Pasopati D 1:‘‘ Bergerak dan bereskan mereka.‘‘(memerintah teman-temannya)

Pasopati D 2 : ‗‟Siap,,,‘‘ (berjalan kearah pintu rumah Mayjen Suprapto)

Pasopati D 1 : ‗‟Masuk, masuk…‘‘(berjalan memasuki rumah dan menyerang Suprapto)

Suprapto :‟‟kenapa kalian ini? Kenapa menangkap saya, apa maksud semua ini?‟‟

156

Pasopati D 2 :‟‟Banyak ngomong lho.‘‘(memukul Suprapto)

Diam saja,,, banyak bacot lho ya… (memukulnya lagi)

Pasopati E 1 :‟‟Dobrak,,,‘‘(mendobrak pintu)

Panjaitan :‟‟Suara apa itu,,,‘‘(serentak bangun dan mengecek keadaan)

Pasopati E 1 :‘‘ Tangkap mereka. Ayo periksa. Jangan meninggalkan apapun.‘‘(memerintah kawan-kawannya dan berjalan mengintari ruang tamu)

Panjaitan : ‗‟Bangun bu, bangun. Lekas sembunyikan anak-anak. Ada yang masuk rumah kita bu.(membangunkan sang istri)

Ibu Panjaitan : ‗‟ada apa pak? ‗‘(teriak karena terganggu)

Panjaitan :‟‟Ada yang masuk rumah kita bu. Lekaslah jaga anak-anak. Bapak akan mengecek keluar.‘‘

Pasopati E 2 :‟‟Jangan bergerak dan lepaskan senjata, atau keluargamu akan mati. (menodong senjata kearah Panjaitan yang berjalan menuju ruang tamu)

Panjaitan :‘‘ Siapa kalian. Ambil apa yang kalian mau, tapi jangan keluargaku.‟‟

Pasopati E 2 : ‗‟Kami datang untuk kamu, (mengikat Panjaitan dan memukulnya)

Tandean :‟‟Ada apa ribut-ribut ini.‟‟ (mengecek keliling rumah)

Pasopati F 1 : ‗‟Tembak,, tembak.‘‘

Nasution : ‗‟Kenapa aku mendengar suara tembakan? Apa aku salah dengar. Tetapi suaranya kok, terasa dekat sekali.‘‘(bangun dan keluar kamar) 157

„‟siapa mereka itu? Tandean,,,(kaget melihat Tandean terkapar mati di halaman).

Nasution : ‗‟Penyerangan, penyerangan.‘‘(lari ke kamar dan memnagunkan orang-orang rumah)

Pasopati F 2 :‟‟Dimana mereka,,,(mencari-cari di setiap ruangan)

Irma Nasution :‘‘ Ayah-bunda,,,,(menangis mendengar suara tembakan)

Pasopati F 1 :‘‘ Jangan menangis. Kami tidak akan menyakitimu. Tutup mata.‘‘(berjalan kearah Irma kemudian menembaknya)

Nasution :‟‟Ayo, lari..kita harus lari.‘‘(memerintahkan kelurganya lari dan menoleh ketika mendengar suara tembakan)

Siapa lagi yang mereka tertembak? (menoleh dan menghitung anggota keluarga dan tersadar ada satu orang yang tertinggal yaitu Irma)

Pasopati F 2 :‟‟Sial, dimana mereka. Dia adalah target utama kita, tetapi kita tidak mendapatkannya.‟‘ (mencari setiap ruangan dengan penuh kemarahan)

Pasopati F 3 :‘‘ apa yang terjadi. Kenapa kita tidak mendapatkan Nasution. Dimana dia?‟‟

Pasopati F 2 :‘‟ Dia berhasil Kabur. Sial….‘‘(menggeram dan menendang meja)

Pasopati F 1 :‘‘Kita tidak mendapatkan dia tetapi putri kecilnya ia tinggalkan untuk kita. Aku sudah menghabisinya.‘‘(disambut tawa teman- temannya)

158

BABAK IV

Narasi : setelah penangkapan para Jenderal di serahkan kepada pasukan Pringgodani. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada massa pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29 September untuk mengadili dengan cara mereka. Massa dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jenderal yang akan menambah kesengsaraan bagi rakyat itu. Massa yang berkumpul di lubang buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral tersebut. Pagi itu pula mereka berhasil menguasai Gedung RRI dan Gedung Pusat Telekomunikasi. Di bawah todongan pistol, seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan bahwa G-30-S telah menyelamatkan Negara.

Adegan: di gedung RRI

Bimasakti :‟‟Jangan bergerak,, dan ikuti saja perintah kami, atau kamu akan mati saat ini juga.‘‘(menodong senjata kearah penyiar RRI)

Penyiar RRI :‟‟Ba..baik.‘‘(tergagap karena ketakutan)

Adegan : Lubang Buaya berada di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Khususnya di Kelurahan Lubang Buaya Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

Pasopati A1 :‘‘ Urus mereka. kami sudah melaksanakan tugas. Sekarang mereka menjdi tanggung jawab kalian. (menyerah para j3nderal yang sudah mereka culik)

P. Pringgodani : ‗‟baik, serahkan semuanya pada kami.‘‘

159

P. Pringgodani lai : ‗‟Serang mereka. Lepaskan unek-unek kalian terhadap pemerintah kepada mereka. Merka ini adalah sumber penderitaan rakyat. Habisi mereka!!! (menunjuk para jenderal)

Massa pndkng PKI: ‗‟Serang,,,,,,,,,‘‘(memukul dan menyiksa para jenderal hingga mati)

P. Pringgodani :‘‘ Buang mereka ke sumur tua itu dan kuburkan mereka. Jangan biarkan orang-orang tau kalau mereka dikubur disini. (berteriak menyoraki massa yang menghabisi para jenderal)

Narasi : setelah para jenderal dibunuh oleh massa dan pasukan Pringgodani, terjadi sesuatu diluar rencana. Pasukan Bimasakti tidak bisa menguasai seluruh Jakarta. Jakarta Timur tidak bisa dikuasai karena merupakan wilayah KOSTRAD. Pada saat aksi berlangsung, suara tembakan terdengar di daerah Jakarta Timur yang merupakan wilayah KOSTRAD yang dibawah pimpinan Soeharto.

KOSTRAD :‟‟Bukankah itu suara tembakan? Ayo, segera laporkan kepada Komandan.‘‘(berjalan mencari Soeharto)

Soeharto :‟‟Ada apa. Kenapa kamu lari-lari begitu?‘‘

KOSTRAD :‘‘ Pak ada deru tembakan dari arah sana pak.‘‘(menunjuk kerarah kelurahan Cipayung)

Soeharto :‟‟apa? Tembakan? (kaget)

Bukankah itu wilayah PKI. Cepat kumpulkan pasukan dan cari tahu permasalahannya.

KOSTRAD :‟‟Baik komandan.‘‘

160

Narasi : Pada jam 7 pagi, RRI menyiarkan pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, komandan Cakrabiwa, regimen penjaga Presiden, bahwa gerakan 30 September telah berhasil mengambil alih beberapa lokasi strategis di Jakarta dengan bantuan anggota militer lainnya. Mereka berkeras bahwa gerakan ini didukung oleh Central Intelligence of America (CIA) yang bertujuan untuk menurunkan Soekarno dari posisinya. Tetapi semua itu dapat di atasi karena segera di tumpaskan oleh pasukan KOSTRAD yang di bawah komando Soeharto. Pemumpasatn itu berlanjut sampai semua pemimpin-pemimpinnya tertangkap dan dimasukan ke penjara di pulau Buru.

161

BAB VI PERISTIWA SURAT PERINTAH 11 MARET 1966

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan dari pembelajaran BAB VI adalah mahasiswa mampu menganalisis kisah dari SUPERSEMAR, dimana indikator capaian pemebalajaran adalah:

6.1 Mahasiswa dapat mendekripsikan kisah sejarah Supersemar 6.2 Mahasiswa menganalisis perbedaan pendapat tentang saat ini tentang kisah sejarah supersemar

B. MATERI AJAR

1. Latar Belakang Peristiwa SUPERSEMAR a. TNI pada Zaman Demokrasi Terpimpin Harapan tentara untuk memperluas peran politiknya dan memiliki landasan konstitusional dalam UUD 1945 pada masa demokrasi terpimpin telah tercapai. Soekarno juga telah memegang kembali pimpinan politik kebangsaan dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas. Legge (1972: 309) menyebut ― soekarno telah merebut kembali posisi sentralnya dalam persoalan bangsa.‖ Pada masa demokrasi parlementer, kekuasaan legislatif yang merupakan manifestasi dari partai sangatlah dominan. Sebaliknya, dalam demokrasi terpimpin yang menjadi penentu ialah presiden sebagai pimpinan eksekutif. Anggota DPR dan MPR diangkat oleh presiden, karena belum diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota dewan. Kekuatan politik yang menonjol ialah presiden Soekarno dan Angkatan darat ini. Demokrasi terpimpin diandaikan sebagai suatu sistem politik yang dipengaruhi secara kritis, terutama sekali oleh suatu hubungan antara presiden Soekarno dan Angkatan darat, suatu hubungan ―konflik yang mantap‖ yang 162

ditandai oleh upaya bersama dan berlangsungnya terus kompetisi dan ketegangan antara kedua mitra yang bertanding kurang lebih setaraf. Di zaman demokrasi terpimpin ini, PKI berkembang pesat dan menjadi kekuatan politik yang menonjol karena prinsip gotong royong dan kekeluargaan dalam politik. Sedangkan partai yang gigih melawan PKI, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), telah dibubarkan karena tokohnya mendukung pemberontakan di daerah Sumatra dan Sulawesi. Maka terjadilah persaingan antara tiga kekuatan yakni TNI, PKI dan Presiden. Soekarno yang menjaga keseimbangan antara TNI dan PKI. Kewibawaan dan kedudukan Presiden sebagai penentu kebijakan menjadi perebutan dua kekuasaan politik TNI dan PKI, untuk saling mendekati dan mempengaruhi Presiden. Presiden Soekarno menekankan politik antiimperialisme, antikolonialisme dan antineokolonialisme, serta mengagungkan semboyan progresif revolusioner. PKI adalah partai yang memiliki pengikut besar dan merupakan organisasi massa modern. Dengan begitu, Soekarno sangat menumpukan pada kekuatan PKI yang memiliki dukungan massa yang besar dan revolusioner, sedangkan partai yang lain dinilainya relativ lemah. Sementara itu, TNI mencurigai dan mewaspadai PKI, karena pernah memberontak dan menusuk dari belakang Republik Indonesia pada tahun 1948 dalam usahanya menguasai kekuasaan dan mengkomuniskan Indonesia. Karena itu, TNI berusaha menghalangi perkembangan PKI dan selalu mewaspadainya. Pada awal demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno bekerja sama dengan Angkatan Darat untuk mengendalikan partai-partai. Ini menjadikan tentara mempunyai kekuasaan baru dari pemerintah pusat, otonomi pengawasan dari parlemen, peran politik yang diperluas, dan penguasaan perusahaan-perusahaan negara. Disamping itu, Presiden Soekarno juga mengatur keseimbangan kekuatan politik antara tentara dan PKI, dan berusaha tetap mengontrolnya agar salah satunya tidak lebih dominan dan Presiden 163

tetap menjadi factor penentu kebijakan. Sedangkan tentara sangat mewaspadai kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, yang digunakan Soekarno untuk mendukung ide dan proyek Nasakomisasi system demokrasi terpimpin. Sebaliknya, PKI selalu memanfaatkan proyek Nasakomisasi untuk masuk ke dalam pemerintahan dan lembaga nonstructural yang penting. Peningkatan kekuatan politik tentara tercermin dalam lembaga- lembaga resmi pada masa demokrasi terpimpin. Dalam kabinet yang dibentuk setelah kembali ke UUD 1945 hampir 1/3 menterinya diangkat dari perwira militer. Tentara juga diwakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyar Sementara (MPRS) yang baru dibentuk. Disamping itu kepala staf ketiga angkatan dan kepala kepolisian negara duduk dalam kabinet sebagai ef officio. Di tingkat daerah pada 1960, terdapat lima perwira militer menjabat jabatan politik sebagai gubernur. Di samping itu, tentara juga menjabat kedudukan politik yang penting di badan-badan, seperti Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Koti) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan Nasution sebagai wakil dan Achmad Yani sebagai kepala staf. Badan ini berkembang menyaingi kabinet sebagai lembaga pengambil keputusan penting dalam segala persoalan. Kedudukan politik tentara menjadi makin kuat setelah berhasil membebaskan Irian Barat dengan perjuangan senjata pada desember 1961. Dalam praktiknya, demokrasi terpimpin sangat menyimpang dari konsepnya yang dikemukakan Presiden pada 1957, dan tidak konsisten dengan ucapan Presiden pada 1959. Hal itu dapat dijelaskan secara mudah dari ucapan dan tindakan Presiden. Ketika memperingati hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI yang keempat belas, 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang berjudul ―Penemuan Kembali Revolusi Kita‖, yang kemudian diterima sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia. Ia juga mengulangi kembali bebrapa konsep demokrasi terpimpin dengan menyeru supaya liberalism dan induvidualisme gaya barat. 164

Presiden tidak akan merupakan satu-satunya sumber kekuasaan. Presiden akan mengetuai pembicaraan-pembicaran yang menggunakan cara musyawarah untuk sampai kepada pengambilan keputusan politik, dan hanya akan mengambil keputusan secara sepihak apabila musyawarah gagal mencapai mufakat. Namun, tidak sampai tujuh bulan sesudah ucapan itu, Presiden membubarkan parlemen, karena parlemen menolak rancangan undang-undang anggaran belanja yang diajukan oleh pemerintah. Kemudian diumumkan bahwa sebuah parlemen gotong royong akan dilantik pada 1960. Sikap Soekarno tidak konsisten dengan sikap sebelumnya. Ketika didesak untuk membubarkan parlemen yang bukan hasil pemilihan umum pada peristiwa 17 oktober 1952, ia menolak karena tidak mau menjadi diktator. Demikian juga ketika ia berpidato di depan para guru pada 30 oktober 1956, dan sepulangnya dari Tokyo pada juli 1959, ia menyatakan tidak ingin menjadi diktator. Tetapi pada 1960, ia membubarkan parlemen yang anggotanya merupakan hasil pemilihan umum 1955 yang sangat demokratis. Ironisnya, pembubaran DPR itu mendapat dukungan luas oleh militer dan partai politik. Ini dikarenakan wibawa Soekarno yang didukung tentara, dan juga karena mereka mendapat untung dengan bisa masuk ke dalam DPR itu. Ketika Soekarno melihat kedudukan tentara menjadi semakin mantap dan kokoh, ia pun mulai menoleh pada partai yang mempunyai dukungan massa dan berorganisasi rapi serta militan untuk mengimbang kekuatan tentara., karena itu ia memilih PKI. Sejak akhir 1960, Soekarno mencoba memasukkan unsur PKI ke dalam pemerintahannya, namun ditentang keras oleh kelompok tentara anti PKI karena melihat pengalaman yang lalu ketika PKI memberontak pada tahun 1948. Sementar itu, pembubaran parlemen oleh Soekarno pada Maret 1960, mendapat tentangan, karena dianggap menghapuskan demokrasi. Pada 24 Maret 1960, muncul Liga Demokrasi yang dipimpin oleh beberapa tokoh partai Masyumi, PSI, partai Katolik, dan partai IPKI dalam rangka menentang 165

kebijakan Soekarno untuk melenyapkan parlemen dan menghapuskan demokrasi, serta dalam rangka menghapuskan komunis. Liga demokrasi ini kemudian mendapatkan dukungan tokoh PNI, NU dan Mohammad Hatta. Mereka menuntut supaya rancangan pembentukan DPR-GR ditunda untuk mencari data yang demokratis dan konstitusional, Karena penghapusan parlemen oleh presiden dan parlemen bertentangan dengan UUD. Namun, Soekarno menolak tuntutan ini dan menyatakan bahwa Liga Demokratis tidak demokratis, karena ia merupakan kelompok orang- orang fasis yang mendorong pemberontakan dengan kekuatan bersenjata. Sikap tentara terhadap Liga Demokrasi masih mendua kelompok. Kolonel Soekendero aktif mendukung Liga Demokrasi untuk menghimpun kekuatan guna menghancurkan PKI, di samping mengurangi kekuasaan Soekarno. Presiden menyatakan, setiap serangan dan kecaman terhadap PKI sebagai perbuatan khianat dan kontra revolusioner. Pernyataan Presiden membuat tentara yang anti-PKI itu makin marah. Sebab, dari segi ideology PKI yang ateis tidak sesuai dengan Pancasila. Oleh sebab itulah, Achmad Yani dan Sembilan orang diantara enam belas Panglima Divisi memutuskan untuk bertindak menghancurkan PKI. Pada Agustus 1960, Panglima Daerah Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan melarang PKI di wilayah masing-masing. Kelompok ini kemudian mengadakan pertemuan di Jawa Timur atas undangan Panglima Daerah Jawa Timur Surachman, dan memutuskan berkonfrontasi dengan Soekarno mengenai masalah PKI. Kasus itu diselesaikan pada rapat para penguasa b. Aksi-aksi Tritura Tiga bulan sesudah janji Presiden Soekarno diucapkan, belum juga ada tanda-tanda bahwa penyelesaian politik akan dilaksanakan. Ketegangan malah memuncak oleh kebijaksanaan dibidang ekonomi. Menyadari akan memuncaknya kegelisahan sosial maka pada tanggal 31 desember 1965 Badan Koordinasi Kesatuan Aksi dan Front Pancasila menandatangani sebuah 166

naskah deklarasi mendukung pancasila. Pokok isinya adalah persatuan antara Dwitunggal yang terdiri dari rakyat dan ABRI dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni, serta menolak usaha pembelaan G30S/PKI dalam bentuk apapun. Untuk menolong penderitaan rakyat, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) meminta agar keputusan menaikan harga barang ditinjau kembali. Pernyataan ini ternyata tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Ketidakpuasan rakyat akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi- demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar. Dengan dimotori oleh KAMI dimulailah aksi-aksi demonstrasi, yang dipelopori oleh mahasiswa Universitas Indonesia dengan jaket kuningnya pada tanggal 10 januari 1966. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah yakni: 1) Bubarkan PKI 2) Turunkan harga/perbaiki ekonomi 3) Retool Kabinet Dwikora

Sementara itu mahasiswa dan Pemuda di bandung mencetuskan petisi Ampera yang ditujukan langsung pada presiden. Kepada DPRGR juga disampaikan tuntutan yang sama. Aksi demonstrasi yang semula terutama dilakukan di Jakarta dan Bandung menjalar ke kota-kota lain di Indonesia. Ternyata aksi demontrasi mahasiswa dan pelajar ini mendapat dukungan dari berbagai kekuatan sosial lainnya maupun dari Front Pancasila dan rakyat umum. Waktu itu ―jaket kuning‖ Universitas Indonesia menjadi lambang perjuangan menegakan keadilan dan kebenaran yang murni. Sejak itu dianggap telah lahir suatu generasi baru yang kemudian dikenal sebagai angkatan 66.

Reaksi pemerintah atas Tritura adalah mengundang KAMI untuk hadir dalam sidang paripurna Kabinet Ampera pada tanggal 15 Januari 1966 di Bogor. Dalam sidang itu Presiden menuduh aksi-aksi mahasiwa didalangi 167

oleh Nekolim (Neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme) khususnya CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat. Ia menegaskan bahwa political solution akan tetap diberikan, dan kepada yang sanggup menurunkan harga-harga akan diangkat menjadi Menteri Urusan Harga. Akhirnya Presiden Soekarno memberi komando kepada seluruh rakyat untuk membentuk ―Barisan Soekarno‖ guna mempertahankan kedudukannya terhadap apa yang dirasakannya sebagai usaha mendongkelnya.

Sekali lagi Nampak bahwa Presiden Soekarno tidak tepat menilai keinginan rakyat yang sebenarnya, sehingga situasi tidak bertambah tenang malah sebaliknya. Komando Presiden dimanfaatkan oleh golongan yang terdesak oleh aksi-aksi Tritura, terutama Dr. Subandrio dan kawan-kawan maupun PKI. Pada tanggal 16 januari 1966 Subandrio dan kawan-kawan menyatakan bahwa ―Barisan Soekarno‖ bertujuan untuk mempertahankan ajaran-ajaran pemimpin besar Revolusi Bung Karno. Karena pada waktu itu rakyat masih mengakui kepemimpinan Presiden Soekarno, maka berbagai pihak menyatakan dukungan terhadap Presiden. Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, mengeluarkan pernyataan mendukung komando Presiden Soekarno sebagai suatu usaha ―untuk mempertinggi kewaspadaan terhadap Neokolim, kontra revolusi, Gestok/PKI, kaum vested interest dan kaum intrik. Kelihatan semua waktu itu semua pihak berlomba-lomba mendukung komando tersebut.

Dalam pada itu ABRI sebagai kekuatan sosial-politik mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI tetap taat kepada PBR/Pangti ABRI dan menyerukan agar memelihara kekompakan sesama ABRI dan kekompakan antara rakyat dan ABRI. Namun pimpinan ABRI menyatakan bahwa seluruh rakyat yang setia kepada pancasila dan UUD 45 adalah ―Barisan Soekarno‖, sehingga tidak perlu terbentuknya secara fisik. Oleh karena itu larangan dari Pepelrada Jawa Barat, yang memandang pembentukan barisan itu secara fisik akan menimbulkan perpecahan, dikuti oleh daerah-daerah lain seperti Komando 168

Antar-daerah Sumatera. KAMI Pusat, yang berpendapat sama mendukung larangan tersebut karena hanya akan merugikan perjuangan rakyat saja.

Kegagalan pada langkah pertama dari usaha pembentukan ―Barisan Soekarno‖, berarti juga kegagalan untuk mengalihkan perhatian rakyat dari penyelesaian politik yang sangat ditunggu-tunggu. Presiden Soekarno yang tidak puas atas sambutan terhadap komandonya, kembali mengulangi seruannya pada tanggal 20 Januari 1966 yang intisarinya adalah agar para pendukungnya yang menyusun kekuatan.

Seruan ini dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan Orde Lama yang menghasut massa PNI/Front Marhaenis Ali-Surachman (PNI-Asu) untuk membalas aksi-aksi KAMI dan lain-lainnya dengan perbuatan teror. Jelaslah bahwa pertentangan antara Orde Baru dan Orde lama tidak hanya terbatas pada ―perang mulut‖ (pernyataan dan penyebaran pamflet) tetapi juga sudah meningkat kepada perbenturan fisik. Dengan menggunakan Resimen Cakrabirawa (Pengawal Presiden), Biro Pusat Intelijen (BPI) dan orang-orang kriminal, aksi-aksi demonstrasi hendak dipatahkan. Hanya dengan bantuan ABRI dan Front Pancasila perjuangan Tritura dapat diteruskan.

Sementara itu, intrik-intrik politik tetap dilakukan Orde Lama dengan melontarkan beberapa isu. Antara lain bahwa perlu lowongan jabatan wakil presiden diisi; yang dijawab oleh pernyataan ABRI bahwa pada saat itu pengisian lowongan jabatan itu belum mendesak. Kemudian dilontarkan isu, setelah reorganisasi KOTI, bahwa partai-partai dan organisasi-organisasi massa politik akan ditertibkan secara integral. Isu ini akan dijawab Front Pancasila tanggal 14 februari yang pada pokoknya mendukung tuntutan Tritura dan menolak semua fitnah yang ditujukan kepa KAMI da Front Pancasila.

Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno melakukan reshuflle kabinet. Ditegaskan bahwa reshuffle bukan karena perjuangan kesatuan- 169

kesatuan aksi, melainkan karena meningkatnya perjuangan revolusi. Susunan kabinet yang disebut ―kabinet Dwikora yang disempurnakan‖ ternyata sangat mengecewakan harapan rakyat, karena beberapa tokoh seperti Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H Nasution, yang gigih menentang G30S/PKI justru disingkirkan. Sebaliknya beberapa orang yang diragukan iktikad baiknya, bahkan terlibat G30S/PKI seperti Dr. Subandrio, Oei Tjoe Tat S.H., dan Ir. Surachman diangkat sebagai menteri. Karena itu mahasiswa memberi nama ―kabinet Gestapu‖ atau ―Kabinet 100 Menteri‖ karena anggotanya lebih dari 100 orang.

Ketidaksetujuan angkatan 66 dengan hasil reshuflle kabinet, ditandai dengan aksi serentak mengempeskan ban-ban mobil di jalan-jalan raya di seluruh ibu kota sehingga lalu lintas macet total pada waktu pelantikan kabinet. Bentrokan fisik terjadi di beberapa tempat, dan dalam bentrokan di depan Istana, seorang demonstran yang bernama Arief Rachman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia, gugur karena Resimen Cakrabirawa, Pengawal Presiden. Peristiwa berdarah ini menambah parahnya krisis nasional. Akibat dari aksi tersebut pada 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia yakni Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Di samping itu surat perintah penangkapan atas tokoh-tokoh KAMI juga dikeluarkan.

Mahasiswa-mahasiswa Bandung yang tidak puas memprotes keputusan di atas dengan mengeluarkan ―Ikrar keadilan dan kebenaran‖ dan mengajak rakyat meneruskan perjuangan. Sementara, Dr. Subandrio dalam peringatan Ulang Tahun Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, ormas PNI-Asu, pada tanggal 28 Februari 1966 menghasut masa marhean untuk melakukan aksi terror terhadap lawan politiknya. Keadaan bertambah kacau tidak aman, bahkan di Jakarta jam malam diperpanjang. Tindakan selanjutnya untuk mematahkan perjuangan KAMI adalah dengan menutup Universitas Indonesia

170

pada tanggal 3 maret 1966 dan melarang mahasiswa untuk berkumpul lebih dari lima orang.

Krisis nasional ternyata tidak bisa diatasi, karena tuntutan pokok rakyat, supaya PKI ditindak, tidak dipenuhi. Sebagai ganti KAMI muncul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) yang melanjutkan aksi-aksi Tritura. Masa demonstran mengobrak-abrik Departemen Luar Negeri sebagai tempat kedudukan Menteri Subandrio dan kantor berita RRC Hsin Hua di Jakarta pada tanggal 8 Maret dibakar yang menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.

Hari itu juga, Presiden mengeluarkan Perintah Harian yang ditujukan kepada seluruh slagorde ABRI, parpol-parpol dan ormas-ormasnya, Golkar dan seluruh rakyat ―yang progresif-revolusioner‖. Isinya antara lain adalah seruan supaya waspada terhadap usaha-usaha untuk membelokkan jalanya revolusi kita ke ―kanan‖, dan supaya siap sedia untuk tujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI/Kepemimpinan Besar Revolusi serta untuk memperhebat penganyaan terhadap Nekolim serta ―Proyek British Malaysia‖.

2. Surat Perintah 11 Maret 1966

Perintah Presiden Soekarno agar Pepelgarda meningkatkan pelaksanaan KAMI, mengkhawatirkan golongan Pancasilais. Pada tanggal 8 Maret Front Pancasila mengeluarkan surat edaran yang isinya meminta kepada pemerintah agar pembubaran KAMI ditinjau kembali. Permintaan itu ditandatangani oleh wakil Sembilan parpol ormas. Presiden yang merasa ditentang perintahnya, marah sekali atas permintaan tersebut.

Untuk mengatasi krisis politik yang semakin memuncak, Presiden memanggil Front Pancasila, PNI-Asu dan pada pertemuan tersebut, Front Pancasila sudah membulatkan tekad akan kompak menghadapi Orde Lama.

171

Pertemuan itu dihadiri oleh wakil-wakil NU, PSII, Perti, Muhammadyah, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PNI-Asu dan Perdana Menteri yakni: Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena, Dr. Chairul Saleh, Menteri Dalam Negeri dr. Sumarno, Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi dan Dubes RI untuk Kuba A.M. Hanafi.

Pertemuan berlangsung dalam suasana panas itu berkisar kepada dua pemikiran yang saling bertentangan. Pihak pemerintah (Orde Lama) menghendaki agar Front Pancasila (Orde Baru) menghendaki agar PKI-lah yang dibubarkan, yang merupakan sumber krisis politik. Karena itu, Front Pancasila tidak bersedia mengutuk demontrasi kecuali hanya mengingatkan agar tidak ditunggangi oleh pihak ketiga. Hasil kompromi yang diperoleh tidak memuaskan kedua pihak, terutama Front Pancasila. Untuk menghindari salah pengertian tentang hasil kompromi parpol-parpol dan ormas tanggal 10 maret itu, Front Pancasila mengeluarkan suatu penjelasan tersendiri untuk intern parpol dan ormas pada tanggal 11 maret 1966.

Sidang paripurna kabinet, yang bertujuan mencari jalan dari krisis yang memuncak, diadakan pada tanggal 11 maret 1966. Para demonstran memboikot sidang itu dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana. Seperti biasa, dalam sidang itu Presiden Soekarno menegaskan kembali tentang revolusi Indonesia, tetapi belum lama ia berpidato, Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Cakrabirawa, memberitahukan bahwa di luar Istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal pada seragamnya. Presiden yang khawatir akan keamanannya, meski ada jaminan Pangdam V/Jaya Brigadir Jenderal Amir- machmud bahwa keadaan aman, segera meninggalkan sidang.

Tindakan itu dikuti oleh Dr. Subandrio dan Dr. Chairul Saleh, yang bersama-sama dengan Presiden Soekarno menuju Bogor dengan helikopter. Sidang ditutup oleh Dr. Leimena, yang kemudian juga menyusul ke Bogor. Apa yang dikhawatirkan itu sebenarnya tidak perlu, karena pasukan yang dicurigai itu

172

adalah pasukan ABRI yang menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan akibat aksi demontrasi disekitar Istana. Panik yang diperlihatkan Presiden Soekarno dengan meninggalkan begitu saja sidang paripurna kabinet telah memerosotkan kewibawaan presiden yang dinilai tidak dapat lagi mengendalikan situasi. Untuk menghadapi segala kemungkinan, terutama untuk memperoleh dukungan atas tindakan yang dilakukannya, Front Pancasila mengadakan kontak dengan para Panglima ABRI. Pada waktu itu di Jakarta telah berkumpul para Panglima ABRI seluruh Indonesia yang menurut rencana akan diberi briefing oleh Presiden tanggal 12 Maret 1966. Kewibawaan Presiden yang semakin merosot itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena pasti akan membahayakan keselamatan negara. Karena itu tiga orang perwira tinggi TNI-Angkatan Darat yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat (Menteri Urusan Demobilisasi dan Veteran), M.Jusuf (Menteri Perindustrian) dan Brigadir Jenderal Amir Machmud (Pangdam V/Jaya) bersepakat untuk menyusul Presiden ke Bogor dengan motivasi agar Presiden tidak merasa terpencil dan meyakinkan bahwa ABRI khususnya TNI akan siap sedia mengatasi keadaan, asal diberi kepercayaan penuh. Maksud ketiga perwira tinggi itu lalu dilaporkan kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang pada waktu itu sedang sakit di rumah karena alerginya kumat. Maksud ketiga perwira tinggi itu disetujui oleh Jenderal Soeharto. Atas pertanyaan ketiga perwira tinggi itu, Jenderal Soeharto minta disampaikan kepada Presiden akan kesanggupannya yang sudah beberapa kali diungkapkan. Pesan tersebut berlatar belakang dialog yang sudah dilakukan berkali-kali sejak tanggal 2 oktober 1965 antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Soeharto mengenai G30S/PKI dan epilognya, yang saling berbeda pendapat. Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena itu akan melanggar doktrin Nasakom yang telah dilontarkan ke seluruh dunia. Sebaliknya Jenderal Soeharto berpendapat pergolakan tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipuaskan dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Pada suatu ketika 173

Jenderal Soeharto menyatakan kesanggupanya untuk membubarkan PKI sehingga dapat meredakan pergolakan sosial-politik asal mendapat kepercayaan penuh serta kebebasan bertindak dari Presiden. Pembicaraan antara ketiga perwira tinggi itu dengan Presiden Soekarno yang didampingi ketiga Waperdam maupun Komandan Resimen Cakrabirawa, menghasilkan suatu surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang dikenal kemudian dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau disingkat Supersemar. Dengan demikian tanggal 11 Maret 1966 lalu dianggap sebagai titik awal Zaman Orde Baru. Dua tindakan penting yang diambil pemegang Supersemar adalah pertama: melarang PKI beserta ormasnya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh wilayah Indonesia, terhitung tanggal 12 Maret. Kedua: pada tanggal 18 Maret melakukan penahanan terhadap 15 orang menteri yang dinilai terlibat dalam pemberontakan G30S/PKI atau memperlihatkan itikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Tindakan yang sudah lama dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat yang Pancasilais itu disambut dengan gembira dan rasa syukur. DPRGR dalam sidang paripurna tanggal 16 Maret 1966 mendukung kebijaksanaan yang diambil oleh Pengemban Supersemar. Untuk segera memulihkan keamanan dan ketertiban Pengemban Supersemar menyerukan agar para mahasiswa dan pelajar kembali ke bangku sekolah, dan kepada semua parpol dan ormas diserukan agar tidak menerima anggota bekas PKI dan ormasnya, serta kepada seluruh anggota partai terlarang itu segera melaporkan diri paling lambat akhir Maret 1966.

3. Mengakhiri Dualisme

Krisis yang ditimbulkan oleh pemberontakan G30S/PKI itu menumbuhkan krisis baru, baik dibidang kepeimpinan nasional, maupun dibidang politik, kemanan dan ekonomi nasional. Sikap tidak tegas Presiden Soekarno terhadap pemberontakan G30S/PKI, adalah bibit yang menumbuhkan dualisme

174

Kepemimpinan Nasional yang berjalan hamper satu tahun 1966-1967. Sekalipun Presiden Soekarno telah member wewenang penuh kepada pengemban Surat Perintah 11 Maret, namun Presiden Soekarno tetap berpendirian bahwa demokrasi terpimpin dengan landasan Nasakom harus tetap dipertahankan. Dalam menanggapi perkembangan situasi, pada tanggal 5 Mei 1966, Waperdam Bidang Hankam ad interim Letnan Jenderal Soeharto memberikan pertanggung-jawaban kepada rakyat mengenai sikap ABRI terhadap Bung Karno sebagai berikut:

a. Tidak menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dalam perangkat liberalism parlementer b. Juga tidak mendongkel-dongkel Presiden c. Sunguh-sungguh menempatkan Bung Karno menurut hakikat kemurnian kedudukan Presiden yang sebenarnya, pemimpin rakyat, penyambung lidah rakyat menurut asas dan sendi UUD 45.

Pernyataan Jenderal Soeharto ini kemudian dipertegas dengan pernyataan pimpinan ABRI 5 Mei 1966, yang antara lain berbunyi:

―Bahwa ABRI adalah pengaman, pengamal revolusi Indonesia, yang juga pengaman pimpinan revolusi, pengaman kewibawaan Presiden Bung Karno beserta ajaran-ajarannya yang dengan iktikad baik sebagai anak kandung revolusi Indonesia, berani dan jujur dalam memberikan laporan dan pertimbangan kepada pemimpin revolusi Indonesia, untuk mencegah, baik sekarang maupun nanti, pengambilan keputusan dan kebijaksanaan yang kurang tepat, karena tidak mengejawantahkan suara hati nurani rakyat.

Pernyataan ini ditandatangani oleh masing-masing Jenderal Soeharto, Laksamana Mulyadi, Marsekal Rusmin Nuryadin dan Jenderal polisi Sutjipto Judodiharjo. Sebulan kemudian pada tanggal 9 Juni 1966 DPRGR menyampaikan sebuah memorandum mengenai sumber tertib hukum, yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber tertib hukum, dan Surat Perintah 11 Maret juga merupakan salah satu sumber hukum. 175

MPRS yang telah membersihkan diri dari unsur-unsur G30S/PKI pada tanggal 20 Juni - 6 Juli 1966 mengadakan sidangnya yang ke-4 di Jakarta. Sejak semula MPRS melihat gelagat Presiden Soekarno masih ingin mempertahankan legitimasi PKI dan Demokrasi Terpimpin. Langkah pertama yang diambil oleh MPRS dalam sidang umum ke IV itu ialah mengukuhkan Surat Perintah 11 Maret 1966 menjadi ketetapan MPRS No. IX/1966.

MPRS mempertimbangkan secara masak bahwa Surat Perintah 11 Maret adalah satu-satunya upaya khusus untuk mengatasi ancaman terhadap jalannya revolusi, kewibawaan pemimpin revolusi dan keutuhan bangsa dan negara yang harus dikukuhkan menjadi keputusan rakyat. Dengan dikukuhkan Surat Perintah 11 Maret menjadi ketetapan MPRS berarti presiden selaku mandataris Surat Perintah tersebut.

Bahwa Presiden Soekarno masih berkeras hendak mempertahankan Demokrasi Terpimpin serta Nasakom dari pidato kenegaraan 17 Agustus 1966 yang berjudul ―jangan sekali-kali meninggalkan sejarah‖. Juga dari pidato Presiden Soekarno di depan sidang MPRS selaku mandataris di dalamnya. Presiden Soekarno hanya mengemukakan Sembilan masalah pokok (Nawaksara) dan tidak menyinggung sama sekali masalah pemberontakan G30S/PKI. Ketika pimpinan MPRS meminta melengkapi pidato tersebut, Presiden menyakatakan bahwa sebagai mandataris yang perlu dipertanggungjawabkannya hanyalah pelaksanaan GBHN. Versi beliau tentang G30S/PKI adalah karena ―keblingernya pimpinan PKI ―, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar, sebagaimana pendapat golongan Orde Lama pada masa itu. Rakyat menganggap bahwa Presiden Soekarno telah mempertajam situasi konflik.

Ada tiga masalah pokok yang harus dilaksanakan oleh Pengemban Surat Perintah 11 Maret pada masa ini. Pertama, masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, baik operasi-operasi secara fisik terhadap sisa-sisa G30S/PKI maupun pelaksanaan pembersihan aparatur pemerintah. Masalah kedua adalah

176

pembentukan kabinet baru. MPRS memberikan mandat kepada pengemban Surat Perintah 11 Maret untuk membentuk kabinet baru dengan batas waktu yang ditentukan, cabinet berhasil dibentuk pada tanggal 25 Juli 1966, dengan Jenderal Soeharto sebagai ketua Presidium, Kabinet baru disebut Kabinet Ampera dengan empat program (catur karya):

a. Memperbaiki kehidupan rakyat b. Melaksanakan pemilihan umum dengan batas waktu seperti yang ditentukan oleh MPRS c. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasioanal d. Melanjutkan perjuangan antikolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Dengan terbentuknya kabinet baru ini berarti ABRI menerima suatu tanggung jawab yang harus dipikul pada pundaknya. TNI-Angkatan Darat, yang terpanggil oleh rasa tanggung jawab tersebut, menyelenggarakan seminar Angkatan Darat II, dari tanggal 25 -31 agustus 1966. Tujuan seminar ini adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada kabinet Ampera, karena TNI- Angkatan Darat bertekad untuk mensukseskan kabinet baru untuk menyelamatkan Negara dari kekacauan politik dan ekonomi. Nampak bahwa TNI-Angkatan Darat sebagai bagian daripada ABRI yang tumbuh dari rakyat bukanlah semata-mata merupakan kekuatan hankam, melainkan juga merupakan sosial-politik. Seminar Angkatan Darat II ini dipimpin oleh wakil panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Panggabean. Hasil seminar tersebut berupa sumbangan pikiran TNI- Angkatan Darat yang dibantu oleh para sarjana pendukung Orde baru, yang tertuang pada:

a. Garis-garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Politik.

177

b. Garis-garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Ekonomi.

Sumbangan pikiran itu pada tanggal 31 Agustus 1966 disampaikan kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto. Dan pada tanggal 8 September 1966 ketua Presidium dalam briefingnya kepada para menteri utama, menteri, sekertaris jenderal, direktur jenderal serta pejabat lainnya, memutuskan agar dalam rangka pelaksanaan tugas mensukseskan Kabinet Ampera, digunakan saran-saran hasil seminar Angkatan Darat II.

Sementara itu di bidang politik situasi konflik masih terus berlangsung, bahkan cenderung kearah bencana perpecahan nasional, akibat ―tertundanya‖ permintaan pimpinan MPRS agar presiden menyampaikan Pelengkap Nawaksara (Pel-Nawaksara). Akhirnya Pel-Nawaksara diterima oleh MPRS pada tanggal 10 Januari 1967, setelah isinya diumumkan, timbul pelbagai macam reaksi dari masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat berendapat bahwa situasi harus diselesaikan melalui jalan konstitusional. Dalam memorandumnya kepada MPRS, disarankan agar MPRS segera menyelenggarakan sidang istimewa.

Pendapat DPR ini juga dituangkan di dalam resolusi tanggal 9 februari 1967 yang ditujukan kepada ketua Presidium Kabinet Ampera. Yang diminta oleh DPR adalah kejelasan peranan Presiden Soekarno dalam hubungannya dengan peristiwa G30S/PKI. Seminggu berikutnya, tanggal 15 Februari pimpinan MPRS menolak Pd-Nawaksara sebagai laporan pertanggungjawaban Presiden. Di dalam situasi konflik politik yang demikian tajam, ABRI berpendapat bahwa kunci penyelesaian konflik ini terletak pada diri Presiden Soekarno. Perpecahan akan timbul dikalangan rakyat seandainya MPRS memecat Presiden Soekarno, seorang proklamator dan seorang pejuang pergerakan nasional. Ketiga masalah ini yang harus diselesaikan oleh Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, sebelum Sidang Istimewa MPRS.

178

Menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa di dalam upaya mencari penyelesaian situasi konflik ini, Pimpinan ABRI melakukan pendekatan pribadi dengan Presiden Soekarno. Maka dilakukannlah serangkaian pembicaraan antara Presiden Soekarno dengan pimpinan ABRI. Dalam hal ini telah pula berperan seorang tokoh PNI, yaitu Hardi S.H. Akhirnya , pada tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno menandatangani suatu dokumen yang berisi penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto. Pada hari kamis sore, tanggal 21 Februari 1967 Jenderal Soeharto memanggil semua menteri ke kantor Presidium Kabinet, Merdeka Barat 15.

Para menteri tidak ada seorangpun yang tahu maksud panggilan Jenderal Soeharto itu, kecuali para panglima angkatan. Kemudian mereka berangkat bersama-sama ke Istana, sedang Jenderal Sutjipto serta Laksamana (marsekal) Rusmin Nuryadin telah mendahului datang di Istana. Pada hari kamis pukul 19.30 bertempat di Istana Negara , dengan disaksikan oleh ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto.

Isi pengumuman itu adalah sebagai berikut:

Pengumuman Presiden

Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara.

1) Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhitung mulai hari

179

ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. 2) Pengemban Ketetapan MPRS/IX/1966 melaparkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu. 3) Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan dan menjaga dan menegakan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. 4) Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.

Dengan penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret, secara faktual dualism pemimpin nasional dan situasi konflik berakhir, namun secara konstitusional dan formal belum sepenuhnya berakhir. Karena hal itu merupakan wewenang MPRS. Pada tanggal 7-12 Maret 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa. Dengan pengunduran diri Presiden Soekarno pada tanggal 20 Februari 1967, maka MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno menunjuk serta mengangkat Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai pejabat Presiden RI sampai dilangsungkannya pemilihan umum. Dengan ketetapan MPRS ini dualism kepemimpinan nasional yang berlarut-larut secara resmi berakhir.

Konsensus nasional adalah suatu keputusan politik yang dihasilkan oleh partai politik dan golongan karya, pada tahun 1967. Peristiwa ini berlatar belakang TAP MPRS No.XI/MPRS/1966, TAP XII/MPRS, 1966, TAP No.XLII/MPRS/1968, tentang kepartaian dan pemilihan umum. Kemudian TAP

180

ini melahirkan tiga rancangan undang-undang yang disampaikan kepada DPRGR pada bulan November 1966. Rencana undang-undang itu terdiri dari:

a. RUU tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan b. RUU tentang Pemilihan Umum c. RUU tentang Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sejak Orde Baru lahir, semua kekuatan social politik sepakat untuk melakukan koreksi total terhadap berbagai penyelewengan yang dilakukan Orde lama. Mereka sepakat pula untuk tetap mempertahankan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 45 secara murni dan konsekuen. Hal ini tercermin dalam TAP No.XX/MPRS/1966, bahwa pembukaan UUD 45 tidak dapat diubah oleh siapapun. Landasan tersebut oleh pemerintah dijabarkan dalam tiga RUU tersebut dalam rangka pelaksanaan UUD 45 secara murni dan konsekuen.

Ketiga RUU tersebut dibahas diforum DPRGR, namun berjalan lambat dan ―alot‖, terutama mengenai RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, yang berlangsung hamper tiga tahun. Pembahasan dilakukan oleh Panitia Khusus (PK) DPRGR sejumlah 45 orang, yang dipimpin oleh Djen Moch.Surjopranoto dari Fraksi NU bersama pemerintah. RUU Pemilu berhasil diselesaikan pada bulan November 1967, namun pengesahannya oleh DPR disetujui ditunda sampai selesainya RUU tentang Susunan MPR, DPR dan DPRD. Dalam rapat, Panitia Musyawarah kelompok bulan desember 1967 telah dicapai suatu konsensus. Konsensus ini kemudian ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRGR 16 Desember 1967 yang antara lain:

a. Jumlah anggota DPR tidak boleh ngombro – ombro. b. Ada balance/keseimbangan yang baik antara jumlah perwakilan pulau dan luar jawa. c. Factor jumlah penduduk diperhatikan. d. Ada anggota yang diangkat di samping anggota yang dipilih. 181

e. Tiap kabupaten dijamin minimal mendapat satu wakil. f. Persyaratan mengenai domisili dihapuskan. g. Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan non ABRI; untuk non ABRI harus non massa. h. Jumlah yang diangkat untuk MPR adalah sepertiga dari seluruh anggota. i. Jumlah anggota DPR ditetapkan 460 anggota, terdiri 360 anggota dipilih melalui pemilihan umum dan 100 anggota yang diangkat. j. Sistem pemilihan propotional representation yang sederhana. k. Stelsel pemilihan; lijsen – stelsel. l. Daerah pemilihan; daerah tingkat I.

Pembahasan DPR lanjut dengan RUU tentang susunan MPR, DPR dan DPRD. Dalam pembahasan ini terdapat tujuh problema, diantaranya yang tidak mudah disepakati dianggap sebagai crucial points. Pembahasan tujuh crucial points berjalan secara lambat dan ―alot‖. Tiga problema dianggap berat, sulit mencapai kata sepakat walaupun telah dilakukan berbagai pertemuan formal dan informal. Masalah crucial tersebut adalah:

a. Imbangan antara golongan politik dan golongan karya yang mewakili utusan golongan politik dan utusan golongan karya pada MPR (Pasal I ayat 3). b. Jumlah yang diangkat untuk keanggotaan DPRD I, DPRD II (Pasal 17 ayat 4 dan pasal 24 ayat 4). c. Jumlah utusan daerah untuk keanggotaan MPR (Pasal 8, ayat 1 dan 4).

Mengenai ketiga masalah itu fraksi – fraksi dan pemerintah mempertahankan pendirian masing – masing yang memakan waktu hampir satu setengah tahun oleh karena tidak maju – majunya proses pembahasan, sedangkan saat pemilihan umum sedah mendekat, maka perlu dicari jalan keluar yang tepat untuk mengatasi kesulitan tersebut. Atas prakarsa presiden soeharto, pada tanggal 14 – 17 oktober 1969, pimpinan partai – partai politik dan golkar diundang untuk

182

bertukar pikiran dengan presiden soeharto. Dalam pembicaraan dengan partai – partai politik dan golkar pemerintah tetap pada pendiriannya, yaitu tetap pada konsensus yang telah dicapai pada tahun 1967, dan pemilihan umum harus diselenggarakan tepat pada waktunya. Penjelasan pemerintah secara terperinci kemudian diberikan pada rapat kerja yang diadakan oleh panitia khusus tanggal 21 Oktober 1969.

Mengenai pengangkatan anggota DPR I, DPRD II, minimum dan maksimum adalah 20 persen. Hal ini adalah dalam rangka mengamankan pancasila dan UUD 45. Mengenai pasal 34 RUU pemilu, presiden memandang pasal tersebut adalah tepat dalam rangka penataan kembali kehidupan politik, tegasnya penyederhanaan partai – partai.

Setelah menerima penjelasan pemerintah, partai – partai politik dan golkar melonggarkan pendiriannya. Sasaran pokok adalah terselenggaranya pemilihan umum tepat pada waktunya. Sebagaimana yang diajukan oleh PNI, NU, Parkindo, PSII. Fraksi PNI menyatakan setuju pengangkatan 20 persen di DPRD I dan DPRD II, fraksi karya pembangunan memutuskan tidak mempersoalkan lagi pasal 34 RUU, demikian pula PSII tidak meneruskan lagi usulnya. Pihak NU menyatakan tidak menghalang – halangi jumlah pengangkatan di DPRD I dan DPRD II menjadi masing – masing 20 persen. Sedangkan fraksi ABRI menyatakan setuju usul PNI, hanya menggunakan istilah 1/5 (seperlima) untuk anggota DPRD I dan DPRD II.

Akhirnya masalah – masalah yang menjadi crucial points dalam RUU pemilu berhasil dipecahkan dan diratifikasi oleh sidang pleno, DPRGR tanggal 22 november 1969. Pemecahan crucial point secara musyawarah dan mufakat antara presiden, tokoh – tokoh parpol dan golkar, baik pada forum DPR, maupun pada pertemuan – pertemuan informal pada hakikatnya adalah suatu konsensus nasional. Karena semua pihak menyadari bahwa mempertahankan pancasila

183

sebagai pandangan hidup bangsa, dan dasar Negara merupakan masalah yang paling hakiki bagi kelangsungan hidup Negara.

Mayor Jenderal Soeharto mengambil segala langkah tersebut di atas, karena pada tanggal 1 oktober 1965 itu terdapat suatu vacuum kekuasaan di Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Presiden Sukarno ternyata tidak berada di Istana dan kemudian diketahui malahan berada di Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdana Kusuma, yang justru menjadi markas bagi pemberontak G.30.S./PKI. Wakil perdana menteri (Waperdam) Subandrio berada di Sumatera, Waperdam III Chairul Saleh sedang menjadi tamu negara di Republik Rakyat Cina, sedangkan Waperdam II Leimena tidak dapat mengambil tindakan apa- apa.Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal A.Yani telah ditembak oleh pemberontak dan dibawa pergi ke tempat yang belum diketahui.

Pada tanggal 2 oktober, Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden/Panglima Tertinggi, yang sementara itu berhasil dibawa keluar dari Lanuma Halim dan pada waktu itu sudah berada di Istana Bogor. Jenderal Soeharto melaporkan segala tindakan yang telah diambilnya untuk menumpas pemberontakan, dan pada waktu itu juga presiden Sukarno secara resmi menugaskan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, yang kemudian secara formil ia ditetapkan menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kop-kamtib). Beberapa minggu kemudian juga, Jenderal Soeharto juga diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang telah gugur sebagai pahlawan Revolusi, sekaligus pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal. Proses pemulihan keamanan dan ketertiban ternyata mengalami hambatan, khususnya aspek politisnya, justru karena sikap presiden Sukarno sendiri. Presiden Sukarno ternyata belum juga mau meninggalkan praktek-praktek orde lama yang inkonstitusional dan mendukung PKI. Karena sikapnya itu berlawanan dengan rasa keadilan rakyat, maka kewibawaannya dengan cepat merosot, sehigga timbulah krisis kepemimpinan nasional yang terungkap secara tajam oleh 184

berkobarnya aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang didukung oleh rakyat. Tritura itu adalah: a. Bubarkan PKI b. Retool kabinet c. Turunkan harga-harga

Jenderal Soeharto selaku Panglima kopkamtib dalam serangkaian dengan dialog dengan Presiden Sukarno mengajukan suatu konsepsi untuk mengatasi keadaan, yang antara lain meliputi tindakan membubarkan PKI serta membersihkan anasir yang terlibat dalam G.30.S./PKI dari lingkungan pemerintahan. Tetapi selama berbulan-bulan presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap PKI, meskipun ia menjanjikan suatu ―political solution‖. Ia malah menyatakan, bahwa peristiwa pemberontakan G.30.S./PKI hanyalah suatu ―rimpeltje in de ocean van de revolutie‖ (kerutan kecil pada permukaan samudera revolusi). Sikap yang berlawanan dengan kehendak rakyat itu, krisis kepemimpinan semakin meningkat dan situasi semakin tegang.

Titik balik tercapai pada tanggal 11 maret 1966, ketika presiden Sukarno dengan sekonyong-konyong meningkalkan suatu sidang kabinet di Istana Negara dan mengungsi ke Istana Bogor diiringi oleh Waperdam Subandrio dan Chairul Saleh dan kemudian disusul oleh Waperdam Leimena. Kepergian Presiden itu disebabkan oleh suasana panic karena komandan Resimen Pengawal Presiden Tjakrabirawa melaporkan, seolah-olah disekitar Istana terdapat ―pasukan liar‖. Yang dikatakan ―pasukan liar‖ itu tidak lain adalah pasukan RPKAD yang ikut menjaga keamanan dalam pakaian kamuflase sandi yudha.

Mengalami peristiwa di Istana Negara itu, tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat, yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dan para Brigadir Jenderal M. Yusuf dan Amirmachmud (yang kedua tersebut pertama adalah menteri sedangkan yang tersebut terakhir adalah Panglima Kodam V/Jaya) sepakat untuk menyusul Presiden Sukarno ke Bogor untuk meyakinkan, bahwa

185

ABRI, khususnya TNI-AD tetap mendampinginya dan tetap bersedia mengatasi keadaan, asal diberi kepercayaan penuh. Sebelum pelaksanaan niatnya itu mereka bertiga berpamitan kepada atasannya, yakni Jenderal Soeharto yang pada waktu itu sedang sakit di rumah, karena penyakit alerginya kumat. Jenderal Soeharto menyetujui maksud ketiga perwira tinggi itu dan menitipkan pesan kepada Presiden Sukarno, bahwa ia tetap siap sedia mengatasi keadaan, asal diberi kepercayaan penuh untuk melaksanakan konsepsi yang telah berulang-ulang diusulkannya. Di Istana Bogor, ketika perwira tinggi itu mengadakan pembicaraan selama berjam-jam dengan Presiden Sukarno mengenai cara-cara yang tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan presiden. Dalam hal itu Presiden didampingi oleh ketiga Waperdam dan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur. Akhirnya presiden Sukarno memutuskan untuk mengeluarkan suatu surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang memberinya wewenang untuk mengambil semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan Presiden. Teks surat perintah itupun kemudian dirumuskan oleh ketiga waperdam bersama dengan perwira tinggi tersebut dengan Brigjen Sabur sebagai sekertaris dan setelah selesai diketik, lalu ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Surat Perintah 11 Maret (disingkat SP 11 Maret atau Supersemar) itu kemudian dijadikan landasan hukum oleh Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI, mengamankan ansir-anasir yang dianggap terlibat G.30.S/PKI atau beritikad tidak baik terhadap usaha pemulihan keamanan dan ketertiban serta kemudian membentuk kabinet baru. Secara historis, Surat Perintah 11 Maret itu Nampak menjadi titikpangkal bagi pembinaan Orde Baru.

186

C. NASKAH NARASI CERITA PERISTIWA

SUPERSEMAR (SURAT PERINTAH 11 MARET)

Babak 1

Narasi : Kemerdekaan yang diproklamirkan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 1 oktober 1965 itu terdapat suatu vacuum kekuasaan di Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia karena Presiden Sukarno ternyata tidak berada di Istana dan kemudian diketahui malahan berada di Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdana Kusuma, yang justru menjadi markas bagi pemberontak G.30.S./PKI. Pada tanggal 2 oktober, Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden/Panglima Tertinggi, yang sementara itu berhasil dibawa keluar dari Lanuma Halim dan pada waktu itu sudah berada di Istana Bogor. Jenderal Soeharto melaporkan segala tindakan yang telah diambilnya untuk menumpas pemberontakan, dan pada waktu itu juga presiden Sukarno secara resmi menugaskan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, yang kemudian secara formil ia ditetapkan menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kop-kamtib).

Adegan : Presiden Soekarno berbicara dengan Jenderal Soeharto pada tanggal 2 Maret 1996 sekaligus pengankatan Jenderal Soeharto menjadi Kop-kamtib.

187

Presiden Soekarno : Ada apa Pak Harto? Ada kepentingan apa kamu kemari?

Jenderal Soeharto : (memberikan hormat) Pak saya datang kemari ingin membicarakan mengenai masalah yang sekarang terjadi yakni kekacauan yang dibuat oleh para pemberontak sudah berhasil ditumpaskan pak

Presiden Soekarno : Apa yang telah kamu lakukan dalam mengatasi hal ini pak Harto?

Jenderal Soeharto : Pak Karno, saya sudah memulihkan keamanan dengan ketertiban yang terjadi sekarang ini pak.

Presiden Soekarno : Baiklah Pak Harto, sebagai penghargaan terhadap hal telah kamu lakukan saat ini juga saya akan menaikan jabatanmu Pak Harto.

Jenderal Soeharto : Siap laksanakan pak (mengangkat kepala sambil memberi hormat)

Presiden Soekarno : Saya akan menetapkan Pak Harto menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kop-kamtib).

Narasi : Pada hari itu juga secara formil Jenderal Soeharto ditetapkan menjadi Kop-kamtib. Beberapa minggu kemudian juga, Jenderal Soeharto juga diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang telah gugur sebagai pahlawan Revolusi, sekaligus pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal. Setelah itu Jenderal Soeharto melakukan pemulihan terhadap

188

situasi yang terjadi saat itu dengan harus membubarkan PKI. Hal inipun yang menjadi adanya pro-kontra di antara Soekarno dan Soeharto.

Adegan : Jenderal Soeharto berdiskusi dengan Presiden Soekarno perihal keinginannya untuk membubarkan PKI

Jenderal Soeharto :(Sambil memberikan salam hormat), pak Karno, saya ingin membicarakan mengenai PKI dengan bapak..

Presiden Soekarno : Apalagi yang kita harus bicarakan pak Harto?

Jenderal Soeharto : Pak Karno, sekarang salah satu hal yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah yang kian rumit ini adalah dengan secepatnya membubarkan Partai Politik komunis Indonesia atau PKI pak.

Presiden Soekarno : Tidak Pak Harto, saya tidak setuju dengan hal tersebut.

Jenderal Soeharto : Mengapa bapak tidak menyetujui hal ini pak? Bukankah selama ini dalang dari setiap kekacauan adalah partai politik tadi.

Presiden Soekarno : Pak Harto, tidak mungkin saya membubarkan PKI karena itu akan melanggar doktrin Nasakom yang telah dilontarkan ke seluruh dunia.

Jenderal Soeharto : Pak Karno, saat ini yang harus diketahui oleh bapak adalah pergolakan tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipuaskan dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan.

189

Presiden Soekarno : Apakah kamu sanggup jika melakukan hal ini Pak Harto?

Jenderal Soeharto : Saya sanggup untuk membubarkan PKI sampai keakar-akrnya, Pak Karno. Saya ingin meredakan pergolakan sosial-politik, asalkan dalam hal ini saya mendapat kepercayaan penuh serta kebebasan bertindak dari Presiden.

Presiden Soekarno : Saya tetap tidak ingin melakukannya pak Harto.

Jenderal Soeharto : Baiklah pak, (Meniggalkan Soekarno)

Babak 2

Narasi :Pada Tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan Sidang paripurna kabinet untuk mengatasi segala krisis dan kekacauan yang terjadi. Dalam sidang itu Soekarno menegaskan tentang revolusi Indonesia yang harus ditegakan. Namun, suasana sidang itu berlangsung tidak kondusif ketika banyaknya massa yang melakukan kembali aksi mereka di luar Istana. Hal ini menimbulkan kekawhatiran yang luar biasa yang dirasakan oleh Soekarno.

Adegan : Presiden Soekarno mengadakan Sidang Paripurna kabinet di Istana Negara pada tanggal 11 maret 1966

Soekarno : Selamat siang saudara-saudara..

Peserta Sidang : Selamat Siang pa.

190

Soekarno : Kita berkumpul di sini pada saat ini adalah untuk melaksanakan Sidang Paripurna Kabinet dalam rangka untuk mengatasi segala krisis yang ada dalam bangsa kita saat ini sekaligus untuk mengatasi segala kekacauan yang ada. Sekali lagi saya tekankan kepada saudara-saudara sekalian bahwa kita harus menegakan lebih mendalam lagi mengenai revolusi Indonesia sebagai akar dari persatuan kita.

Narasi : Selang beberapa menit kemudian, ketika Presiden Soekarno belum lama berpidato, tiba-tiba munculah Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Cakrabirawa

Adegan : Brigadir Jenderal Sabur, memberitahukan keadaan di luar Istana kepada Presiden.

Jenderal Sabur : (Sambil berdiri di samping Presiden Soekarno) Pak, di luar istana sekarang keadaan sangat kacau pak

Presiden Soekarno : (Sambil menunjukan wajah kwatir) Apa yang sedang terjadi sekarang di luar Istana Sabur?

Jenderal Sabur : Sekarang di luar Istana pak, banyak pasukan tanpa tanda pengenal di seragamnya.

Presiden Soekarno : (Menghentikan pidatonya dihadapan hadirin yang ikut sidang tersebut).

Narasi : Presiden akhirnya meninggalkan Sidang Paripurna tersebut karena takut akan keamanannya.

Adegan : Pangdam V/Jaya Brigadir Jenderal Amir-machmud memberitahukan kepada Soekarno mengenai jaminan keamanan oleh pasukan Cakrabirawa, Namun Soekarno

191

tidak mengindahkannya malah meninggalkan sidang tersebut.

Amir-machmud : Saat ini bapak tidak usah takut, saya bisa menjamin keamanan bapak meskipun saat ini di luar banyak pasukan yang tidak dikenal.

Presiden Soekarno : Tidak pa, saya tidak yakin dengan hal tersebut. (sambil berjalan meninggalkan sidang).

Subandrio : Saya bersedia untuk mendampingi bapak sekarang agar keluar dari Istana menuju Bogor.

Chairul Saleh : Baiklah, saya juga akan ikut.

Narasi : Presiden Soekaro pun meninggalkan Istana dengan menggunakan helikopter menuju Bogor agar bisa menghindarkan diri dari ancaman yang tidak diinginkan. Sidang ditutup oleh Dr. Leimena, yang kemudian juga menyusul ke Bogor. Panik yang diperlihatkan Presiden Soekarno dengan meninggalkan begitu saja sidang paripurna kabinet telah memerosotkan kewibawaan presiden yang dinilai tidak dapat lagi mengendalikan situasi.

Adegan : Perwira tinggi TNI-Angkatan Darat yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat (Menteri Urusan Demobilisasi dan Veteran), M.Jusuf (Menteri Perindustrian) dan Brigadir Jenderal Amir Machmud (Pangdam V/Jaya) bersepakat untuk berniat pergi menyusul ke Bogor untuk berbicara dengan Presiden Soekarno. Merekapun berdiskusi untuk hal tersebut dan

192

menyampaikannya kepada Pimpinan mereka Jenderal Soeharto.

Basuki Rachmat : Pak, sekarang ini kita harus menyusul untuk menemui bapak Presiden Soekarno dan berbicara langsung dengan bapak mengenai keadaan bangsa kita saat ini.

Amir Machmud : Betul sekali pak,, saya tidak ingin bapak Presiden kita merasa bahwa bapak tersisihkan atau terpencilkan saat ini.

Basuki Rachmat : Sebagai ABRI kita siap untuk menghadapi semua berbagai permasalahan yang ada saat ini maupun berbagai hal yang diluar dugaan kita.

M.Jusuf : Saya sangat setuju pak,,

Adegan : Ketiga Jenderal tersebut pun pergi ke rumah Jenderal Soeharto untuk mendiskusikan keinginan mereka serta meminta persetujuannya.

Ketiga Jenderal :(sambil memberikan hormat) Selamat Siang Pak Harto..

Jenderal Soeharto : Selamat Siang,, (sambil terbaring ditempat tidurnya karena sedang sakit)

Basuki Rachmat : Pak Harto, saat ini keadaan sangat buruk pa..sekarang Pak Presiden baru saja meninggalkan sidang paripurna kabinet di Istana negara.

Amir Machmud : Betul sekali pak… di Istana juga tadi banyak pasukan yang yang tidak ada tanda pengenal diseragamnya.

193

M.Jusuf : Kami tidak ingin, Saat ini Presiden Soekarno merasa tersisihkan akibat keadaan ini Pak Harto

Jenderal Soeharto : Saya sudah berpikir seperti yang kalian rasakan saat ini,, berkali-kali saya memberitahukan Pak Karno bahwa kita bisa mengendalikan situasi ini.

Basuki Rachmat : Lalu,, apa pendapat beliau pak?

Jenderal Soeharto : Beliau tetap saja tidak inginkan hal tersebut,, karena saya sudah menetapkan bahwa PKI harus dibubarkan karena mereka selalu memberontak..

M.Jusuf : Mengapa demikian Pak Harto?

Jenderal Soeharto : Beliau tetap menginginkan PKI tetap bertahan dan tidak harus dibubarkan, karena hal itu akan akan melanggar doktrin Nasakom yang sudah diirarkan diseluruh dunia.. saya sangat yakin apabila kita membubarkannya semua kekacauan dalam Negara kita saat ini bisa dikendalikan.

Amir Machmud : Kami sangat setuju Pak,, sebagai ABRI kita harus segera bertindak dalam menangani keamanan dan ketertiban bangsa ini.

Jenderal Soeharto : Baiklah,,,, sekarang kalian bertiga saya utus untuk menemui Bapak Presiden Soekarno saat ini untuk berbicara dengannya mengenai hal yang kita bicarakan tadi.

Basuki Rachmat : Setuju Pak (Sambil mengangguka kepala),,

194

Jenderal Soeharto : Sampaikan juga pesanku kepada beliau, bahwa saya siap dan sanggup untuk membubarkan PKI agar dapat meredakan pergolakan sosial-politik, yang terpenting adalah saya mendapat kepercayaan penuh serta kebebasan bertindak dari Presiden.

Ketiga Jenderal : Siap pak,, (memberikan hormat)

Narasi : Akhirnya ketiga Jenderal pergi ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno. Mereka ingin mendiskusikan dengan Presiden untuk segera mengendalikan situasi yang saat itu sedang mengalami keadaan yang tidak bisa di bending. Aksi-aksi masyarakat yang menuntut agar berbagai kebijakan pemerintah harus diperbaiki. Berbagai konflikpun terjadi mewarnai pemerintahan Republik terutama karena ketidakpuasaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang berujung pada aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa lalu dimotori oleh rakyat. Aksi demontrasi ini dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Adegan : Ketiga perwakilan Jenderal yang diutus Soeharto berbicara dengan Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno : Mengapa kalian kemari?

Basuki Rachmat : Pak Karno,, saat ini kondisi Negara kita sangat kacau..Kami sebagai ABRI siap untuk mengatasi hal ini Pak.

Presiden Soekarno : Lalu apa yang akan kalian lakukan?

195

Amir machmud : Kami ingin mengendalikan dan menertibkan keamanan saat ini pak.

M.Jusuf : Pak, kami juga akan memberitahukan amanat dari bapak Jenderal Soeharto

Presiden Soekarno : Apa yang dikatakan oleh Jenderal Soeharto?

M.Jusuf : Pak Harto berpesan bahwa dia sanggup mengemban tugas ini dan siap untuk menerima tugas apapun yang diberikan oleh bapak.

Narasi : Setelah berbicara dengan waktu berjam-jam akhirnya Presiden Soekarno pun mengambil sebuah keputusan. Dalam keadaan terdesak akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Jenderal Soeharto.

Adegan : Soekarno membuat keputusan untuk mengeluarkan surat perintah tersebut.

Presiden Soekarno : Sekarang jika memang itu yang bisa dilakukan saya akan memberikan keputusannya.

Amir Machmud : Apa yang akan kita putuskan Pak Karno?

Presiden Soekarno : Saya akan memutuskan untuk mengeluarkan suatu surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang memberinya wewenang untuk mengambil semua tindakan yang perlu guna mengatasi keadaan dan memulihkan kewibawaan Presiden.

Ketiga Jenderal : (menjawab bersama-sama), siap laksanakan pak.

Narasi : Setelah memutuskan untuk melakukan hal tersebut akhirnya Surat keputusan tersebut pun dirumuskan oleh

196

ketiga waperdam bersama dengan perwira tinggi tersebut dengan Brigjen Sabur sebagai sekertaris dan setelah selesai diketik, lalu ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Suatu surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang dikenal kemudian dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau disingkat Supersemar. Dengan demikian tanggal 11 Maret 1966 lalu dianggap sebagai titik awal Zaman Orde Baru.

197

GLOSARIUM

 Dokuritsu Junbi Iinkai : Bahasa Jepang dalam arti bahasa Indonesianya adalah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia  Golongan tua : Golongan yang berpendapat bahwa yang berhak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah PPKI  Golongan muda : Golongan yang berpendapat bahwa yang berhak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah rakyat Indonesia itu sendiri tanpa harus ada campur tangan PPKI  PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (bentukan Jepang) dan diketuai oleh Ir. Soekarno  Jenderal Besar Terauci : Jenderal Jepang yang membawahi wilayah luas di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.  Proklamasi:Pemberitahuan atau pengumuman secara umumkepada seluruh rakyat yang berkaitan dengan ketatanegaraan.  Peristiwa Rengasdengklok: Penculikan atau pengasingan Soekarno-Hatta ke tempat yang bernama Rengasdengklok supaya terhindar dari pengaruh Jepang.  Desas-desus : Berita yang tersebar luas tetapi kebenarannya masih diragukan.  Deklarasi : Hasil kesepakatan umum  PETA : Pasukan Indonesia buatan Jepang (Pembela Tanah Air)  Daidanco : Bahasa Jepang yang dalam bahasa Indonesia adalah Komando Batalyon  Markas kompi : Tempat Satuan militer yang terdiri dari 100 orang  Perundingan :Pembicaraan tentang sesuatu untuk mencapai tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima semua pihak  Kemerdekaan : Suatu keadaan yang bebas atau terlepas dari penguasaan Negara tertentu atau pihak tertentu. Atau dengan kata lain adalah bebas dari belenggu penjajah

198

 Kurir: utusan yang menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat.  Pamphlet (bentuk ejaan lama dari pamphlet): surat selebaran.

 Roneo: memperbanyak dengan mesin stensil.

 PETA: Pembela Tanah Air (organisasi bentukan Jepang).

 Rediden: pegawai pamongpraja yang mengepalai daerah (bagian dari propinsi yang meliputi beberapa kabupaten).

 Sekutu: sebutan untuk Amerika Serikat.

 Deklarasi: pernyataan ringkas dan jelas (keterangan lengkap mengenai kemerdekaan Indonesia).

 PPKI: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

 Ideologi: kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.

 Daulat: kekuasaan atau perintah

 Jemaah: kumpulan atau rombongan orang beribadah.

 BKR: Badan Keamanan Rakyat

 Markas: tempat kedudukan pemimpin tentara (pandu, badan perjuangan, dsb)

 PPI: Pasukan Pemuda Indonesia

 Fuku Syucokan: asisten redisen

 Hoso Kyoku: siaran radio

 Komite Van Actie: komite aksi Menteng

 Markonis: orang yang melayani telekomunikasi di kapal

 Gunseibu: bagian suka berteman 199

 Kaigun Heiho: angkatan laut Heiho

 ACE (Artilerie Constructie Winkel): badan konstruksi artileri

 Amunisi: bahan pengisi senjata api (spt, mesiu atau peluru).

 BKR: badan keamanan rakyat  Brigade: satuan angkatan bersenjata yang terdiri atas dua, tiga, dan empat resimen.  Diplomat: orang berkecimpung dalam bidang diplomasi (menteri luar negeri, duta besar, dsb).  Gerilya: cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang (biasanya dilakukan dengan sembunyi-bunyi dan secara tiba-tiba),perang secara kecil-kecilan dan tidak terbuka).  Kolonel: pangkat perwira menengah TNI peringkat pertama di ketentaraan, satu tingkat di bawah brigadier jendral TNI, laksamana pertama TNI.  Kompi: bagian dari batalyon, terdiri atas 150-200 orang, dipimpin oleh seorang berpangkat kapten.  Konsolidasi: meperkuat hubungan  KTN: komisi tiga negara  Mayor: pangkat perwira menengah peringkat terendah di ketentaraan.  PBB: perserikatan bangsa-bangsa  PDRI: pemerintah darurat republic Indonesia  Resimen: pasukan tentara yang terdiri atas beberapa battalion yang biasanya dikepalai oleh seorang perwira menengah.  TNI: tentara negara Indonesia  Abolisi: peniadaan peristiwa pidana  Abortif: terhenti dalam perkembangan  Agitasi: hasutan kepada orang banyak (untuk mengadakan pemberontakan)  Akidah: kepercayaan dasar  Ambivalen: bercabang dua yang saling bertentangan

200

 Amnesti: pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikah kepala negara kepada seseorang  Argumentasi: alasan yang kuat untuk menolak suatu pendapat  Ateisme: paham yang tidak mengakui keberadaan Tuhan  Bayonet: senjata tajam seperti pisau, runcing sekali.  Disertasi: karangan ilmiah yang ditulis untuk memperoleh gelar dokor  Diskriminatif: bersifat membeda-bedakan  Dollar: nama mata uang Amerika Serikat  G30S: Gerakan 30 September  Grasi: ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman  HAM: Hak Asasi Manusia  Indikasi: tanda-tanda yang menarik perhatian  Inflasi: kemerosotan nilai mata uang karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan harga barang naik.  Insulin: hormone yang dibentuk di pankreas yang mengendalikan kadar gula di darah.  Jiran: negara tetangga  Kamerad: saudara separtai  Kapitalis: kaum bermodal  Kiprah:derap kegiatan  Kompartemen: bagian dari organisasi yang mengurusi suatu bidang tertentu  Komprehensif: bersifat mampu  Komunal: milik rakyat atau umum  Komunis: sebuah paham  Konferensi: rapat atau pertemuan  Konfrontasi: permusuhan, pertentangan  Konotasi: tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata  Kronologis: menurut urutan waktu 201

 Krusial: gawat, genting, menentukan  Kudeta:perebutan kekuasaan (pemerintah) dengan paksa  Laten: tersembunyi, terpendam  Legitimasi: pernyataan yang sah (sesuai dengan UU)  MA: Mahkamah Agung  Milisi: kewajiban masuk tentara untuk jangka waktu tertentu  Monopoli: hak tunggal untuk berusaha  MPR: Majelis Perwakilan Rakyat  NU: Nadathul Ulama  Pagina: halaman  PKI: partai komunis Indonesia  Pleidoi: pidato pembelaan terhadap terdakwa yang dibacakan oleh pembela  Prespektif: sudut pandang  Radikalisasi: proses, cara meradikal (menuntut perubahan UU dengan keras)  Reformasi: perubahan secara drastis untuk perbaikan disuatu masyarakat atau negara.  Rehabilitasi: pemulihan keadaan  Rekonsiliasi: perbuatan yang memulihkan hubungan pada keadaan semula  Remisi: pengurangan hukuman kepada orang yang diberi hukuman  Rezim: tata pemerintahan, pemerintahan yang berkuasa  Rival: lawan atau saingan  Stigma: ciri negative yang menempel pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya  Telegram: berita yang di kirim melalui telegraf  Trilogi: tiga hal yang paling bertaut dan saling bergantung  Yuridis: menurut hokum  ABRI : Singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia  Barisan Soekarno : Salah satu bentuk barisan pendukung Soekarno agar bisa menghalangi PKI untuk tidak mempengaruhi Presiden Soekarno serta mendukung 202

semua tindakan yang dilakukan Soekarno dan melindunginya dari bentuk terror lawan politiknya.  Central Intelligence Agency : Salah satu bentuk badan intelijen pemerintah federal , sebagai lembaga eksekutif, Amerika Serikat  crucial points : bagian yang sangat penting  DPRGR : Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong adalah dewan perwakilan rakyat yang dibentuk setelah dikeluarkannya dekrit presiden 5 juli 1959 atau setelah kembali berlakunya UUD 1945.  Dualisme : Dua prinsip yang saling bertentangan  Demokrasi terpimpin : Sistem pemerintah yang berpusat pada satu kepemimpinan saja yakni kepala pemerintahan atau presiden saja.  demokrasi parlementer: Demokrasi yang lebih menunjukan adanya hubungan yang sangat erat antara pemerintah dan perwakilan rakyat atau eksekutif dan legislatif  ef officio : Jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.  Front Pancasila :Sebuah komunitas atau forum politik yang bertujuan untuk membantu membangkitkan Indonesia mewujudkan pemerintahan yang baik, memberikan pendidikan politik bagi semua orang Indonesia, menampung aspirasi masyarakat untuk mempertahankan eksistensi Indonesia pancasila  Gestapu : Kependekan dari Gerakan September Tiga Puluh atau gerakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia.  KAMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia  Kabinet Dwikora :Kabinet pemerintahan di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno dengan masa kerja dari 27 agustus 1964 – 22 februari 1966  kaum intrik : Orang yang suka menyebarka berita bohong agar bisa dengan sengaja menjatuhkan lawannya.  kaum vested interest : kaum yang sangat sukar sekali melepas kedudukannya sehingga menghalangi proses perubahan sosial bagi kelompok karena dapat mengancam kedudukanya yang lainnya. 203

 kekuasaan legislative : kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang dituangkan dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945  KOTI : Singkatan dari Komando Inti  Liberalism parlementer: Negara yang dipimpin oleh Perdana Menteri dan perdana menteri tersebut akan diberhentikan oleh parlemen  marheanisme : Ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia, Ir. Soekarno,  MPRS : Bentuk akronim dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dibentuk pada tahun 1959 pada saat dekrit presiden RI yang pertama.  Nasakom : bentuk akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yakni asas politik Presiden pertama RI.  Nawaksara : Istilah untuk Pidato Presiden Soekarno sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas sikapnya dalam menghadapi Gerakan 30 September.  Nekolim : bentuk akronim dari kata neokolonialisme yang di kenal oleh Panglima besar Revolusioner Indonesia yakni Presiden Soekarno.  Orde Baru : Suatu tatanan kehidupan rakyat Indonesia dengan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.  Orde Lama : Sebutan bagi system pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1945-1968  petisi : pernyataan yang disampaikan kepada pemerintah agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal yang dianggap penting.  PKI :Partai yang berasaskan Komunis yang pernah berkembang di Indonesia, lalu pada akhirnya dibubarkan pada tahun 1965 karena dianggap partai terlarang  PNI : Partai politik tertua di Indonesia dengan ketuanya adalah Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono.  propotional representation : Penentuan wakil dalam parlemen berdasarkan pemilu 204

 Resimen Cakrabirawa: Komando pasukan khusus yang bertugas untuk menjaga keamanan Presiden Soekarno dan merupakan gabungan dari pasukan gabungan TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia.  reshuflle kabinet : perombakan kabinet yang dilakukan oleh Kepala Pemerintahan dengan mengganti komposisi menteri dalam kabinetnya  sidang paripurna : rapat yang dilaksanakan oleh DPR, baik DPR RI atau DPRD di mana rapat ini dihadiri oleh seluruh anggota DPR minimal 2/3 dari keseluruhan anggota.  Supersemar : Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret adalah surat perintah Presiden Soeharto kepada Jenderal Soeharto sebagai wewenang untuk megambil tindakan yang perlu sebagai tindakan untuk keamanan dan ketertiban Negara, maupun kewibawaan presiden.  TRITURA : Tiga Tuntutan Rakyat

205

INDEKS

Aidit. 124, 132, 137, 145, 158 Ahmad Subarjo 62 Amerika Serikat. 55, 132-134, 137, 139 Amir Machmud 155 Australia 69, 70, 133, 134 Belanda 15,16, 22, 66, 69 Bimasakti 134 Chairul Shaleh 25 CIA 17, 130, 132, 137, 141, 187 Darwis 26 Djokja, Yogyakarta 92-94, 96,97, 102, 104 G30S 129-135, 137, 138, 140, 141, 143-147, 150, 152,155, 156, 158, 159, 160, 161, 195, 196, 198 Godean 96 Inggris 31, 127, 128, 132, 133, 134, Jenderal A.H. Nasution. 126, 132, 139, 141, 158 Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, 131, 135, 139, Laksamana Maeda 28-31 Mohammad Hatta 25, 51, 62, 181 PBB 89, 91 Soeharto 17, 89-93, 95-101, 106 Soekarno 15, 16, 23, 25, 26, 29, 51, 60, 62

206

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman, membokar manipulasi sejarah, Jakarta: kompas,2009

Baskara T. Wardaya. 2009. Membongkar Supersemar: dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press.

Dake, Antonie C.A,. Sukarno File-Berkas-Berkas Sukarno 1965-1967 Kronologi Suatu Keruntuhan, Jakarta: Penerbit Aksara Kurnia, 2005

Eros Djaraot, dkk. 2006. Misteri Supersemar. Jakarta: Mediakita

Fatlah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. 2005

Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg. 2008. Indonesia Merdeka karena Amerika. Terj. Zia Anshor. Jakarta: Serambi Ilmus Semesta.

Herimanto dan Eko Targiyatmi. Sejarah.Kelas XI. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2014

Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka,1984

M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi

Notosusanto, Nugroho, Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia, 1976

Notosusanto, Nugroho. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: PT. Intermasa. 1984

Pour, Julius. Doorstoot Naar Djokja. Jakarta: Kompas, 2010

Sudirman, Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Press, 2014

Syafi‘ie, Imam. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jawa Tengah.

207

208