PEMIKIRAN K. H. ABDUL WAHID HASYIM TENTANG PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh SYAFIQ AKHMAD MUGHNI NIM: 108011000036

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M

ABSTRAK

SYAFIQ AKHMAD MUGHNI, NIM 108011000036. “Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini memfokuskan pada tema tentang pendidikan Islam, yang berupaya membawa suasana baru memperkenalkan kembali salah satu khasanah pemikiran keislaman abad modern di dunia Islam yaitu K.H. Abdul Wahid Hasyim.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian kualitatif, termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), Sedangkan Penelitian ini bersifat deskriptif, yakni penyusun berusaha menggambarkan obyek penelitian, yaitu pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim tentang pendidikan Islam. Dalam menyusun penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan historis dan analisis data digunakan analisis sejarah (historis analysis). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa gagasan konsep pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap perkembangan pendidikan Islam di era kolonial Belanda, dan Jepang, yang dianak tirikan. Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim adalah bentuk pendidikan inklusif, dengan kata lain pendidikan yang tidak menutup diri dan membatasi pada aspek pendidikan agama, namun pendidikan yang responsif terhadap perkembangan zaman. Pemikiran pendidikannya yaitu dalam tiga aspek. Pertama, Tujuan Pendidikan Islam, menurutnya tujuan pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada mencetak ahli agama. Jika berorientasi pada urusan ukhrowi dan mengabaikan urusan duniawi akan membuat Islam tertinggal serta terbelakang. Kedua, Kurikulum Pendidikan Islam, menurutnya sistem kurikulum agama tanpa kurikulum umum itu tidak rensponsif kepada perkembangan zaman. Ketiga, Metode Pembelajaran, menurutnya diharapkan proses belajar mengajar yang aktif- dialogis, yaitu guru bukan satu-satunya sumber belajar. K.H. A. Wahid Hasyim pemikirannya berasas pada “al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shalih, wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah”.

Kata Kunci : Pembaharuan, Pendidikan Islam, K.H. Abdul Wahid Hasyim

i

KATA PENGANTAR ِب ِب ِب ْس ِب ا اَّرلْس ِب اَّرل ْس ِب

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia serta anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “PEMIKIRAN K.H. ABDUL WAHID HASYIM TENTANG PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM” dapat terselesaikan. Tanpa anugerah dan karunia-Nya berupa nikmat kesehatan maka penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya Allah Engkau telah memberikan kekuatan kepada penulis, yang telah memberikan motivasi yang besar berupa kesabaran dalam menghadapi hambatan dan rintangan selama penulis mengerjakan skripsi. Dan Terima Kasih ya Rabbi, hingga saat ini penulis masih diberikan aroma udara yang memberikan kehidupan ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, dan para sahabat yang senantiasa setia menemani perjalanan dakwahnya. Semoga kita termasuk dalam golongan beliau yang menegakkan panji-panji Islam serta dapat mengembangkan ajaran beliau. Amin. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat do’a, dukungan, bantuan dan motivasi yang tak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini selesai pada waktunya. Oleh karena itu, penulis sampaikan terima kasih yang sangat dalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya dengan penuh rasa hormat kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini khususnya kepada: 1. Ayahanda Musanep dan Ibunda Siti Uswatun Khasanah yang selalu memberi motivasi dan dukungan untuk penulis selama penulis mengerjakan skripsi serta memberikan dukungan moral dan material, do’a dan senyuman yang menyemangati penulis untuk tabah dalam menghadapi kesulitan-kesulitan selama proses pembuatan skripsi ini. Terima Kasih telah menjadi orang tua penulis. ii

2. Bapak Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Bahrissalim, MA, Ketua Jurusan PAI dan Bapak Sapiudin Shidiq, M.Ag Sekretaris Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, penulis ucapkan terima kasih yang telah banyak membantu dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Khalimi, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuknya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 5. Bapak Abdul Ghofur, MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh perhatian telah memberi bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 6. Dosen FITK khususnya dosen PAI, yang dengan penuh semangat membimbing penulis. Terima kasih atas sumbangsih pemikirannya. 7. Bapak pimpinan dan karyawan/i Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan pelayanan dan pinjaman buku-buku yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi. 8. Gus Ghofar dan para staf yayasan serta kepala perpustakaan Tebuireng Cak As’ad, tidak lupa pula Guru-guruku di MASS dan Pondok Tebuireng Jombang Jatim. Terima kasih atas bantuannya serta doanya kepada penulis. 9. Kakak; Yu Mus, Mukhlisin, Tri Dewi Istikharoh, Jarotun, Mas Muh, Anto, Popo, dan adikku tercinta Ahmad Hafidz Faisal Aziz dan Neqvi Ikfina Kamalia Rizqi terima kasih atas bantuan, kepedulian serta dukungan kalian dalam memberikan motivasi untuk cepat menyelesaikan Skripsi ini. 10. Teman-teman kosan H. Hanif seperjuangan; Cahyono Adi Nur, Yasir, Lubay, Osnod, Ical, Ahmad Irwan Irfany, Mbah Ary Agus MH, Munif, Sugiarto, Deny Juhaeni, Afdil, Mustamil Arifin, Nofiyanto, Aang Nurfauzi, dan Ari Agus Sudiar serta mas Joko dan mba Ti. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan kesetiaan kalian. Besok kita bercanda dan belajar lagi melanjutkan kisah yang tersisa. iii

11. Temen-temenku yang nan jauh disana; Avi, Doel, Hendra, Trio, Royes, Thorick, Tata, Imat, Khamam, Huda A, Huda B, Acil, Azwani, Bombom, Farid Maulana, Fikri, Irfan, Ishak, Jamil, Masas, Safrijal, Samsul. Terima kasih atas bantuannya dan motivasinya untuk penulis. Tetap jaga Silaturahminya. 12. Arek-arek Mbureng angkatan 2008 di Ciputat; Faqih, Aftony, Alvie, Aksan, Muiz, Irwan, Imron, Qnoy, Sidiq, Topik, Umam, Jajang, Oland, Linda, Endri Diana, Ratna, Hilwa. Terima kasih banyak. Warkop menunggu kita. 13. Untuk Siti Muthoharoh terima kasih atas energi, motivasi dan meluangkan waktu untuk sharing serta mewarnai hari-hari penulis. 14. Keluarga besar Pendidikan Agama Islam kelas A angkatan 2008, kenangan indah dan kebersamaan kita yang tidak akan terlupakan, terima kasih untuk kalian semua. 15. Team Futsal New Soul; Ibnu, Takhsis, R-one, Nur, Subhan, Husyeni, Hery, Hardiansyah, Kamil, Faridl, Istikhory, Fahmi, Nuryadi dan Majid. Kapan kita tanding lagi. 16. Tak lupa juga teman-teman PMII dan HMI serta HIKMAT (Himpunan Keluarga Mahasiswa Alumni Tebuireng) yang selalu ada dalam sumbangsih arahan dan pemikirannya, demi kelancaran skripsi ini dan telah mengajarkan banyak tentang organisasi dan realita kehidupan. 17. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.

Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menghaturkan terima kasih banyak dan semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin Ya Rabbl Alamin.

Jakarta, 25 April 2013

Syafiq Akhmad Mughni iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR GAMBAR ...... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 7 C. Pembatasan Masalah ...... 7 D. Rumusan Masalah ...... 8 E. Tujuan Penelitian ...... 8 F. Manfaat Penelitian ...... 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembaharuan ...... 9 1. Pengertian Pembaharuan ...... 9 2. Pembaharuan Pesantren ...... 11 B. Pendidikan Islam ...... 13 1. Pengertian Pendidikan Islam ...... 13 2. Kurikulum Pendidikan Islam ...... 16 3. Metode Pembelajaran ...... 17 4. Tujuan Pendidikan Islam ...... 19 C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa ...... 23 D. Kajian yang Relevan ...... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian ...... 35

v B. Metodologi Penelitian ...... 35 C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...... 36 1. Teknik pengumpulan data ...... 36 2. Teknik pengolahan data ...... 37 D. Analisa Data ...... 37 E. Teknik Penulisan ...... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ...... 38 1. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 38 2. Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 41 3. Organisasi K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 46 4. Karya-karya K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 52 5. Latar Belakang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim .. 54 6. Konsep Pemikiran Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 56 B. Pembahasan ...... 67 C. Relevansi Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan Perkembangan Pendidikan Masa Kini ...... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 76 B. Saran ...... 77

DAFTAR PUSTAKA ...... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi

DAFTAR GAMBAR

1.1 Arah Pengembangan dan Pencapaian Tujuan Pendidikan ...... 23 2.1 Silsilah K.H. A. Wahid Hasyim ...... 40

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang selalu merindukan kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala potensi yang dimilikinya, ia berusaha maju dan berkembang untuk mecapai kesempurnaannya baik secara jasmani maupun rohani. Demi mancapai kesempurnaannya, manusia dituntut untuk bergaul dengan orang lain dan alam semesta yang senantiasa berubah-ubah, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mempertahankan kehidupannya. Dan pendidikan sebagai salah satu cara manusia untuk memenuhi hal tersebut. Pendidikan dalam kehidupan manusia, mempunyai peranan yang sangat penting. Ia dapat membentuk keperibadian seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat membentuk kepribadian seseorang. Ia diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktivitas seseorang. Dengan bantuan pendidikan, seseorang dapat memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya, sehingga ia mampu menciptakan suatu karya yang gemilang dalam

1 2

hidupnya. Atau ia dapat mencapai suatu peradaban yang tinggi dan gemilang dengan bantuan pendidikan.1 Selaras dengan firman Allah swt. Surat At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:

            

          

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah: 122).2

Ayat diatas menunjukan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sesungguhnya menuntut ilmu itu amat penting sekali bagi manusia di dunia ini. Terutama melalui lembaga pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak bisa apa- apa, karena dari pendidikan itu sendiri manusia mempu mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat di dalam kehidupannya. Selain ayat diatas masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menghargai akal, pendidikan yang dapat membedakan antara diri manusia dengan yang lain. Seperti halnya para pakar pendidikan mengungkapkan pentingnya pendidikan itu sendiri. Menurut Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, yang dikutip oleh Syamsul Kurniawan menyatakan pendidikan di artikan sebagai upaya penanaman nilai- nilai dalam keseluruhan proses pembelajaran untuk tujuan tertentu.3 Pada dasarnya pendidikan merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan potensi diri sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang

1 Hanun Asrorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. II, hal. 2. 2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV Atlas, 1998), hal. 301. 3 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hal. 9.

3

terjadi. Menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang system pendidikan nasional menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.4 Dalam Islam sendiri Pendidikan adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukkan secara sadar dan terencana agar terbina suatu keperibadian yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.5 Sebagai sebuah system, pendidikan Islam mempunyai Aspek-aspek antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Aspek-aspek tersebut antara lain meliputi tujuan, kurikulum, metode, guru, lingkungan dan sarana.6 Islam adalah agama yang universal, ajaran didalamnya tidak hanya menekankan pada aspek ritualitas, ubudiyah, penghambaan manusia kepada Tuhannya semata. Lebih dari itu, ajaran Islam juga menyentuh kedalam ranah pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi semua orang (education for all) laki-laki maupun perempuan dan pendidikan berlangsung sepanjang hayat (long life education).7 Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika perkembangan kaum muslimin. Di mana ada komunitas muslim, maka terdapat tingkat aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Sejarah yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu (even in the past), jangan dianggap remeh dan dibiarkan lewat seiring dengan berlalunya waktu, sebab begitu besar makna sejarah bagi kehidupan umat. “Belajarlah dari sejarah”, demikianlah kata-kata mutiara yang dapat mengingatkan makna sejarah itu.

4 Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), hal. 8 5 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), Cet ke-9. hal. 340 6 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet ke-1, hal. 10 7 Pandangan Islam terhadap Pendidikan seperti diatas adalah interpretasi dari hadis Nabi saw. yang artinya: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim laiki-laki dan perempuan dan tuntutlah ilmu dari mulai buaian sampai keliang lahat”.

4

Bahkan Bung Karno sebagai persiden RI pertama telah menitipkan sesuatu yang sangat berharga, berupa “Jasmerah”, sebagai akronim dari “jangan sampai melupakan sejarah”. Sejarah memang mengandung kegunaan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulakan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan manusia. Dengan demikian begitu pentingnya sejarah pendidikan Islam.8 Dimulai dari pendidikan Islam Indonesia masa awal. Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam sistem yang sederhana, dimana pengajaran diberikan dengan sistem halaqoh yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushalla, bahkan juga rumah-rumah ulama.9 Disamping itu ada juga yang dinamakan , yakni lembaga pendidikan Islam tradisional di Sumatra Barat. Di Minangkabau istilah surau telah digunakan sebelum datangnya Islam. Ia merupakan tempat yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Dikatakan bahwa Raja Ditiawarman telah mendirikan komplek surau di sekitar Bukit Gombak. Surau ini dipergunakan sebagai tempat berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-masalah agama.10 Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada yang bernama Sekolah tingkat Dasar, Sekolah Kelas II, HIS (Hollands Inlandse School), MULO (Meer Unigebreid Leger Onderwijs), AMS (Algemene Middelbare School) dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya pengajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus izin dahulu. Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa tidak semua boleh memberikan pelajaran.

8 Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. iii 9 Mansur dkk, op. cit., hal. 46. 10 Hanun Asrorah, op. cit., hal. 146.

5

Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam. Ulama-ulama dan guru-guru agama kehilangan konsentrasinya untuk memberikan pelajaran, dengan begitu pelaksanaan pendidikan terganggu. Pada pertengahan abad ke 19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak itu, tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah meberlakukkan Politik Etis yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat. Jadi dengan adanya diskriminasi dalam segala lini kehidupan akibat kolonialisme dan feodalisme tersebut, maka terdapat banyak tokoh pemikir dan pejuang rakyat baik pribadi maupun lewat organisasi yang bangkit dan sadar menolak terhadap perlakuan atau penjajahan tersebut. Karena mereka sadar bahwa semua manusia, bangsa adalah bermartabat, maka tidak pantas suatu bangsa menjajah bangsa lain. Sejarah mencatat bahwa pada masa awal lahirnya Islam, umat Islam belum memiliki budaya mebaca dan menulis karena belum adanya tuntutan dari perkembangan masyarakat. Setelah Indonesia dijajah oleh Belanda pendidikan Islam mendapat tantangan, sekolah Belanda dikembangkan oleh pemerintah Belanda untuk menghasilkan tenaga rendah yang dapat digaji jauh lebih murah daripada pekerja golongan Belanda yang didatangkan dari negeri Belanda. Inilah kemungkinan yang melatarbelakangi pendidikan formal berorientasi pada kerja dan sifat-sifatnya kapitalis yang cinta pada harta benda atau sifat materialistik, sehingga mengalami berbagai malpraktek pendidikan yang silakukan sekarang ini.11 Pada awal pemerintah Jepang mengambil siasat menrangkul umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Hal ini

11 Mansur dkk, op. cit., hal. 51-52.

6

dikarenakan Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi Jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu para pemuka agama lebih diberikan keleluasaan dalam mengembangkan pendidikannya. Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka dapat memperkuat kekuasaannya di Indonesia. Untuk itu mereka menempuh beberapa kebijakan. Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamistiche Zaken yang dipimpin oleh orang-rang orientalis Belanda diubah namanya oleh Jepang menjadi Kantor Sumubu yang dipimpin oleh ulama Islam, yaitu K.H. M. Hasyim Asy’ari, sedangkan didaerah-daerah dibentuk Sumuka. 12 Salah satu tokoh yang tak kalah pentingnya yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya disebut Wahid Hasyim). Beliau adalah tokoh yang sangat cerdas, tegas dan berani. Serta salah satu tokoh yang memperjuangkan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI untuk menyiapkan wujud NKRI dan tokoh Islam yang memperjuangkan pendidikan Islam di Indonesia. Menurut Zamakhsyari, sebagaimana dikutip oleh Seri Buku Tempo mengungkapkan bahwa K.H. M. Hasyim Asy’ari mempercayakan jabatan Sumubu kepada sang anak (Wahid Hasyim). Ketika memimpin kantor urusan agama yang sesungguhnya embrio Kementrian Agama itu, Wahid Hasyim menfokuskan diri pada masalah umat Islam yang bercerai-berai. Wahid Hasyim saat itu menjadikan Shumubu sebagai jembatan perbedaan umat Islam agar tidak terpecah.13 Sosok Wahid Hasyim yang merupakan tokoh kelahiran pesantren tetapi beliau memiliki pemikiran yang moderat. Beliau melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang, yang diantaranya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang dapat dibuktikan adalah dengan perombakan sistem pendidikan pesantren Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari.14 Ia melihat perlunya pembaharuan dalam sistem

12 Ibid., hal. 61. 13 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta: KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hal. 43. 14 Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hajim, 1957), hal. 739

7

pendidikan yang tradisional dan hanya mengkaji kitab-, yang menggunakan metode halaqoh, untuk kemudian di transformasikan kearah yang lebih progresif, tutorial. Namun yang lebih pokok dari pembaharuannya adalah perlunya dimasukan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren, karena ia memandang tidak semua -santri itu bercita-cita ingin menjadi ulama atau kyai. Dari wacana yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh mengenai gagasan Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim. Dan penulis membuat skripsi ini dengan judul: “Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”.

B. Identifikasi Masalah 1. Pendidikan dianggap penting oleh semua kalangan, baik oleh agamawan, sosialis, suku, besar maupun kecil dan sebagainya. 2. Sejarah ajaran Islam dalam segi pendidikan dianggap lamban di Indonesia mengakibatkan kurang mengena kepada lapisan masyarakat 3. Fenomena masyarakat Indonesia yang kurang akan aplikasi pendidikan Islam sampai sekarang sangat jauh dari harapan.

C. Pembatasan Masalah Selain dikenal sebagai tokoh kemerdekaan Indonesia. Wahid Hasyim juga dikenal lewat pemikiran-pemikirannya, yaitu pemikiran agama, politik, pendidikan, dan perjuangannya. Agar masalah yang diteliti tidak melebar dan keluar dari pembahasan, karena itu penulis memberi batasan masalah dalam skripsi ini yaitu: 1. Mengenal sosok Wahid Hasyim, latar belakang keluarga, pendidikan, organisasi dan karya-karyanya? 2. Menguraikan konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang Pembaharuan Pendidikan Islam?

8

3. Relevansi pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan perkembangan Pendidikan Masa kini?

D. Perumusan Masalah Berdasarkan masalah yang telah dibatasi seperti di atas, maka perumusan masalah yang diajukan penulis adalah “Bagaimana Konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang Pembaharuan Pendidikan Islam?”.

E. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian kualitatif ini adalah: 1. Untuk menambah data-data informasi tentang pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam pendidikan 2. Untuk mengetahui latar belakangnya dan keluarganya 3. Untuk mengetahui lebih jelas konsep pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim dan relevansi pemikirannya.

F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Dapat dijadikan sumber referensi dalam rangka memperkaya khazanah dalam pemikiran tokoh pendidikan. 2. Dapat memberikan kontribusi ilmiah tentang konsep pemikiran tokoh pendidikan dan dijadikan sumber bacaan. 3. Dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi mahasiswa untuk melakukkan penelitian dan kajian pemikiran tokoh pendidikan lebih lanjut.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pembaharuan 1. Pengertian Pembaharuan Kata pembaharuan dapat diartikan dengan reformasi, yaitu perubahan radikal untuk perbaikan di bidang sosial, politik, hukum, agama dan lain sebagainya dalam suatu masyarakat atau negara.1 Menurut Abdul Rahman Saleh, sebagaimana dikutip oleh Armai Arief mengatakan pembaharuan biasanya dipergunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya kepada cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dan lebih maju serta mencapai suatu tujuan yang lebih baik dari sebelumnya.2 Sedangkan L. Stoddard menyatakan bahwa pembaharuan dapat disamakan artinya dengan reformasi. Menurutnya pembaharuan adalah reformasi is radical change for better in social, politikal or religious affair (perubahan secara radikal

1 M. Dahlan Y Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003), hal. 660 2 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Isam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), hal. 19.

9 10

ke arah yang lebih baik dalam bidang sosial, politik, maupun masalah-masalah keagamaan).3 Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, moderenisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam “aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisasi dalam masyarakat barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, -istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi 4 5 . َج َّد َج - ُي َج ِّد ُي - تَج ْ ِ ْ ً ا modern. Pembaharuan dalam bahasa Arab itu tajdid dari akar kata Tajdid dari segi bahasa itu pembaharuan, dan dari segi istilah memiliki dua arti; pertama, Pemurnian dan kedua, Peningkatan, pengembangan, modernisasi. Maksud pemurnian itu memelihara ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, dan maksud dari peningkatan, pengembangan dan modernisasi itu sebagai wujud pengamalan ajaran Islam dan tetap berpegang teguh kepada al- Qur’an dan Sunnah.6 Adanya tajdid atau pembaharuan pendidikan Islam pada abad modern dapat dilihat dari dua faktor penting, antara lain; pertama, kondisi internal dalam dunia pendidikan dan intelektual Islam. kedua, faktor eksternal. Yaitu terjadi kontak hubungan antara Islam dan dunia Barat menyadarkan umat Islam untuk mengimbanginnya.7 Dikatakan oleh K. H. Ali Ma’sum menyinggung masalah tajdid; bahwa adanya tajdid dan munculnya mujadid di Indonesia tak ditolak, asal benar-benar sesuai dengan tuntutan. Memang itu telah dijanjikan oleh Nabi kita sendiri bahwa

3 Ibid., hal. 19 4 , Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 9. 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet ke-8, hal. 85 6 Djohan Efendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi; Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 121 7 Armai Arief, op.cit., hal. 23-24. 11

di setiap 100 tahun, umat Islam akan kedatangan mujadid. Karena tajdid itu tidak lain menghidupkan sesuatu dan mengembalikannya kepada yang asli.8

2. Pembaharuan Pesantren Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” awalan “pe” dan akhiran “an”, yang menentukan tempat. Berarti “tempat para santri”. Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik-baik.9 Pondok pesantren, pondok itu kamar, gubuk, rumah kecil dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga “pondok” diturunkan dari kata Arab yaitu “furuq” (ruang tidur, wisma, hotel sederhana). Istilah pondok pesantren dimaksudkan untuk suatu bentuk pendidikan ke-Islaman yang melembaga di Indonesia.10 Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaannya pesantren di Indonesia di mulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama ada di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, di mana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang dapat menyesuaikan diri dan penuh tenggang rasa.11 Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam stuktur sosio-kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan dengan dinamika

8 Djohan Efendi, op.cit., hal. 125-126. 9 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat-P3M, 1986), Cet ke-1, hal. 99 10 Ibid., hal. 98 11 Amin Haedari, Transformasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LeKDiS & Media Nusantara, 2006), Cet ke-1, hal. 3 12

modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan peantren. Karena itu, sistem pesantren harus selalu melakukkan rekonstruksi pemahaman tentang ajaran- ajarannya agar tetap relevan dan survive.12 Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukanlah dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang sangat jitu: al-Muhafazhah „ala al-Qadim ash-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid al- Ashlah (memelihara nilai-nilai klasik yang baik dan menerima/menggali nilai- nilai baru yang lebih konstruktif). Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi. Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan tidak terlepas dari al-Ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, aspek al-Ashlah menjadi kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efesiensi.13 Modernisasi pendidikan Islam pertama kali setidaknya mempunyai dua kecenderungan, antara lain: pertama, adopsi sistem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh yang bertitik tolak pada sistem kelembagaan pendidikan modern (Belanda), misalnya yang dilakukan oleh melalui Madrasah Adabiyah yang kemudian diubah menjadi Sekolah Adabiyah. Di sekolah ini mengadopsi seluruh kurikulum Belanda; dan hanya menambahkan pelajaran agama 2 jam dalam sepekan. Kedua, modernisasi pendidikan Islam yang bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam sendiri. Modernisasi ini dilakukkan di dunia pesantren, surau, melalui adopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan metode pembelajaran.14

12 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), Cet ke-1, hal. 128 13 Ibid., hal. 129 14 Amin Haedari, op. cit., hal. 10-11. 13

Dengan kata lain sejauh mana pesantren melakukan modernisasi tetap harus ada batasannya. Dengan adanya moderniasi, pesantren tidak kehilangan jati dirinya yang khas.

B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Sebelum melangkah kepada pendidikan Islam, terlebih dahulu kiranya diterangkan tentang pendidikan. Pendidikan secara etimologi berasal dari kata “didik” yang kemudian mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”, mengeandung arti perbuatan (hal cara, dsb)15 Istilah pendidikan ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education”, yang diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.16 Sedangkan secara terminology, pengertian pendidikan belum ada kesepakatan bersama dari pakar-pakar pendidikan. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.17 Dalam konteks yang lebih luas John Dewey memberikan definisi sebagai oraganisasi pengalaman hidup. Sementara itu, Komisi Nasional Pendidikan mendefinisikan, pendidikan adalah usaha nyata menyeluruh yang setiap program dan kegiatannya selalu terkait dengan tujuan akhir pendidikan.18 Pendidikan juga mengandung arti sebagai usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak

15 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet ke-12, hal. 250 16 Armai Arief, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Diklat Perkuliahan, 2002), hal. 2 17 Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), hal. 5. 18 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), Cet ke-1, hal. 18. 14

didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari.19 Adapun istilah pendidikan Islam, setidaknya ada tiga kata yang berhubungan dengan istilah tersebut, yaitu al-Tarbiyah, al-Ta‟lim dan al-Ta‟dib. Pertama kata at-Tarbiyah berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti memimpin, memperaiki, menambah, memelihara, mengasuh dan mendidik.20 Kata Tarbiyah umumnya diartikan sebagai usaha sadar untuk membimbing, mendidik untuk mendewasakan anak, mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan agar manusia tumbuh dewasa dan bisa berkompetitif pada zamannya. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menggunakan term rabba terdapat dalam surat al-Isra ayat 24, yang berbunyi:

     .  .      

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".” (QS. Al-Isra: 24).21 Menurut Syed M. Naquib Al-Attas, pengertian at-Tarbiyah secara etimologi sebanding dengan kata ghadza yadzwu yang bererti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, membuat menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakkan.22 Kedua kata at-Ta‟lim berasal dari kata allama yuallimu ta‟liman yang berarti mengajar, memberitahu, mempelajari.23 Kata at-Ta‟lim dalam pendidikan

19 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 40. 20 A. W. Munawwir, Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresive, 1984), hal. 462. 21 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hal. 428. 22 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Cet ke-7, hal. 66. 23 A. W. Munawwir, op. cit., hal. 966. 15

bererti kegiatan untuk mentransfer ilmu pengetahuan atau informasi melalui pembelajaran. Abdul Fatah Jalal berpendapat bahwa at-Ta‟lim menurutnya lebih universal dibanding dengan proses at-Tarbiyah. Untuk ini Jalal mengajukan alasan, bahwa kata at-Ta‟lim berhubungan dengan pemberian bekal pengetahuan. Pengetahuan ini dalam Islam dinilai sesuatu yang memiliki kedudukan yang tinggi.24 Adapun kecenderungannya kata at-Ta‟lim lebih kepada transfer ilmu pengetahuan dengan perubahan sikap yang dihasilkannya. Atau dengan kata lain penggambaran mengenai proses pembelajaran, baik di lingkungan pendidikan maupun masyarakat. Ketiga kata at-Ta‟dib berasal dari addaba, yuaddibu, ta‟diban yang berarti mendidik atau memperbaiki, beradab dan sopan santun.25 Adapun kata at-Ta‟dib dalam arti pendidikan, Syed M. Naquib Al-Attas mengartikan at-Ta‟dib sebagai pengenalan dan pengakuan secara berangsur- angsur yang ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan peciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. Ketiga istilah diatas sebenarnya memberikan kesan berbeda, istilah at- Tarbiyah mengesankan proses pembinaan dan pengarahan untuk pembentukan kepribadian, sikap dan mental. Kemudian istilah at-Ta‟lim mengesankan proses pemberian bekal pengetahuan. Dan istilah at-Ta‟dib mengesankan proses pembinaan sikap, moral dan etika. Dari pengertian-pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha atau kegiatan kependidikan yang melalui pendidik kepada peserta didik yaitu dengan bimbingan jasmani dan rohani, pengajaran dan latihan untuk menyempurnakan dan mengarahkan kompetisi yang ada dalam diri peserta didik agar terwujudnya pribadi yang baik, Islami, dan menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan hidup.

24 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, hal. 8 25 A. W. Munawwir, op. cit., hal. 12. 16

2. Kurikulum Pendidikan Islam Kurikulum merupakan rencana pendidikan yang memberi pedoman tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Pengertian asal kata curriculum ialah arena perlombaan (race course). Frasa “arena perlombaan” sering kali dipandang sebagai metafora yang bermanfaat bagi perenungan makna kurikulum pendidikan. Kadang-kadang arena itu dibayangkan sebagai arena pacuan kuda yang memiliki garis start dan garis finish dengan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh jocky.26 Dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah menyebutkan Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah atau pada lembaga pendidikan. Dan juga bisa diartikan perangkat mata pelajaran kuliah untuk suatu bidang keahlian khusus.27 Kemudian Zakiah Daradjat menyatakan kurikulum adalah “suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan- tujuan pendidikan tertentu”.28 Ada empat komponen utama kurikulum, yaitu tujuan, bahan ajar, metode- alat dan penilaian. Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan, baik berupa penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan bahan ajar; untuk menyampaikan bahan ajar diperlukan metode serta alat-alat bantu; serta untuk menilai hasil dan proses pendidikan siperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian. Dalam pembahasan tentang bahan ajar, pengetahuan selalu didiskusikan oleh para ahli, baik dari klasifikasi maupun dari squence-nya. Para ulama muslim masa lalu yang menaruh perhatian terhadap topik ini antara lain al-Ghazali, Ibnu Khaldun dan al-Zarnuji.29

26 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 1999), hal. 161. 27 M. Dahlan Y Al-Barry, dkk, op. cit., hal. 440 28 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam., (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke-3, hal. 122. 29 Hery Noer Aly, op. cit., hal. 167 17

Oman Mohammad al-Toumy al-Syaibany menyebutkan lima ciri kurikulum pendidikan Islam. Antara lain: a. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan kadungan-kandungannya, metode-metode, alat-alat, dan tekniknya bercorak agama. b. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh. Di samping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual. c. Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan pengembangan sosial. d. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik. e. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan minat dan bakat anak didik.30

Pendidikan Islam dibangun atas dasar pemikiran yang islami; bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islam. Pemikiran tersebut pada gilirannya akan melahirkan kurikulum yang khas Islami.31

3. Metode Pembelajaran Metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep prosedur yang sistematis.32 Seperti yang dikemukakan di atas, metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata

30 Abudin Nata, op. cit., hal. 127. 31 Hery Noer Aly, op. cit., hal. 163 32 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Cet ke-11, hal. 201 18

agar tujuan tercapai secara optimal. Hal ini berarti, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.33 Selanjutnya, yang dimaksud dengan metode mengajar ialah ara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Bagian penting yang sering dilupakan orang adalah strategi mengajar yang sesungguhnya melekat dalam metode mengajar. Namun, berbeda dari strategi mengajar (teaching strategy), metode mengajar tidak langsung berhubungan dengan hasil belajar yang dikehendaki. Artinya, dibandingkan dengan strategi, metode pada umumnya kurang berorientasi pada tujuan (less goal-oriented) karena metode dianggap konsep yang lebih luas daripada strategi. Gagasan ini tidak mengurangi signifikasi metode mengajar, lantaran strategi mengajar itu lebih ada dan berlaku dalam krangka metode mengajar.34 Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, dan menekankan pada interaksi peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Berikut beberapa metode pembelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk pendidik. a. Metode Demostrasi Yang di maksud metode demostrasi itu guru dapat memperlihatkan suatu proses, peristiwa, atau cara kerja suatu alat kepada peserta didik. Demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekedar memberikan pengetahuan yang sudah diterima begitu saja oleh peserta didik, sampai pada cara agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah.35

33 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet ke-6, hal. 145. 34 Muhibbin Syah, loc. cit. 35 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), Cet ke-5, hal. 107. 19

b. Metode Ceramah Metode Ceramah merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pembelajaran. Pada metode ini, guru menyajikan bahan melalui penuturan atau penjelasan lisan langsung terhadap peserta didik. c. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan. Pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa juga dari peserta didik, demikian halnya jawabannya.36 d. Metode Diskusi Metode diskusi sebagai percakapan pesponsif yang dijalin oleh pertanyaan-pertanyaan problematis yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalah. Hal tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) bahwa diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Di metode diskusi pasti ada pemasalahan yang harus di selesaikan.37 Dan masih banyak lagi metode-metode pembelajaran yang dapat membantu peserta didik untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran di lembaga pendidikan. Metode-metode pembelajaran diatas adalah metode-metode pembelajaran yang sering diterapkan dalam pengajaran di lembaga pendidikan.

4. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung cita- cita, kehendak, dan kesengajaan, serta berkonsekuensi penyusunnan daya-upaya untuk mencapainya.38 Maka tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang

36 Ibid., hal. 115. 37 Ibid., hal. 117. 38 Hery Noer Aly, op. cit., hal. 51. 20

berbentuk tetap dan stastis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.39 Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa, Insan Kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah swt.40 Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur yang kemudian dinamakan kompetensi. Ada empat, yaitu: a) Tujuan Pendidikan Nasional/ TPN, b) Tujuan Institusional/ TI, c) Tujuan Kurikuler/ TK, d) Tujuan Pembelajaran atau Tujuan Instuksional.

a. Tujuan Pendidikan Nasional (TPN) Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang bersifat paling umum dan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan, artinya setiap lembaga dan penyelenggara pendidikan harus dapat membentuk manusia yang sesuai dengan rumusan itu, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Tujuan pendidikan umum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang ideal sesuai dengan pandangan hidup dan filsafah suatu bangsa yang dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang. Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3, yang merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

39 Zakiah Daradjat, dkk, op .cit., hal. 29. 40 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam/ IPI, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 41. 21

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.41 b. Tujuan Institusional (TI) Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dengan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka menempuh atau dapat menyelesaikan program di suatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, seperti misalnya standar kompetensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan dan jenjang pendidikan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab V Pasal 26 dijelaskan standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dan Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningatakan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Selanjutnya Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan,

41 Wina Sanjaya, op. cit., hal. 63. 22

kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menetapkan ilmu, teknologi, dan seni yang beranfaat bagi kemanusiaan.42 c. Tujuan Kurikuler (TK) Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang atau mata pelajaran. Oleh sebab itu, tujuan kurikuler dapat didefinisikan sebaai kualifikasi yang harus dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan suatu bidang studi tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional. Pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dan menengah teridiri atas: 1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia Bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/ keigatan agama, kewarganegaran, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan. 2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian Bertujuan: membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebagsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/ atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani. 3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi Bertujuan mengembangkan logika, kemampuan berfikir, dan analisis peserta didik.43

42 Ibid., hal. 64. 43 Ibid., hal. 65. 23

d. Tujuan Pembelajaran/ Instruksional (TP) Tujuan pembelajaran atau instruksional merupakan tujuan yang paling khusus. Tujuan pembelajaran yang merupakan bagian dari tujuan kurikuler, dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan.44 Dibawah ini hubungan setiap kalsifikasi tujaun dari tujuan umum sampai tujuan khusus, inilah gambaran tentang tujuan pendidikan, antara lain:

Tujuan Pendidikan

Arah Tujuan Institusional Arah Pencapaiaan penjabaran tujuan Tujuan Kurikuler tujuan

Tujuan Pembelajaran

Gambar 1.1 Arah Pegembangan dan Pencapaian Tujuan Pendidikan45

C. Gambaran Umum Pendidikan Islam dari Masa ke Masa 1. Masa Permulaan Islam Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang Asing Asia, seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen

44 Ibid., hal. 66. 45 Ibid., hal. 67 24

disuatu wilayah Indonesia, melakukkan perkawinan dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini sering terjadi secara bersamaan.46 Ketika berdiri kerajaan perlak yang menurut seminar Medan pada tahun 1963, dan seminar di Aceh pada tahun 1978, sekitar abad-abad pertama Hijriyah, lembaga-pendidikan seperti meunasah, rangkang, dayah dan bentuk pendidikan atau pengajian di surau dan masjid. Jadi pengertian pendidikan pada masa permulaan masuknya Islam di Nusantara ialah pengajian disurau-surau dan masjid. Ketika berdiri kerajaan Islam lain sesudah kerajaan Perlak seperti kerajaan Islam Samudra Pasai (1025 M), Kerajaan Aceh (1025 M), dan kerajaan Islam Tamiah (1184 M) dapat dipastikan bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan Islam di wilayah-wilayah kerajaan tersebut tentu samik berkembang luas dan dapat diperkirakan pihak kerajaan memberikan bantuan untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan Islam di wilayahnya.47 Menegaskan uraian diatas bahwa pada abad-abad pertama Hijriyah atau sekitar abad 8 atau 9 Masehi, pendidikan Islam telah berdiri dan berkembang di Aceh lewat surau-surau dan masjid.

2. Masa Penjajahan Belanda Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799 lalu diikuti masa penjajahan pemerintah colonial mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa misi keagamaan golongan Kristen telah jalan bareng, baik dilakukkan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintah colonial, oleh Zending (Kristen Protestan) dan misionaris (Katolik). Dalam penyiapan tenaga trampil untuk mendukung operasional kegiatan VOC, baik yang bergerak dilapangan maupun tenaga administrasi, VOC

46 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), Cet. I. hal. 33 47 Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara & Penamadani, 2010), hal. 30-31 25

membuka lembaga pendidikan dibeberapa tempat di kawasan Indonesia Barat dan Timur. Yang dipilih untuk diterima di lembaga pendidikan tersebut adalah dari golongan Kristen, dan untuk kaum Muslimin tertutup, terkecuali dalam kasus- kasus tertentu. Sebagai organisasi perdagangan yang semata-mata terfokus pada usaha meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, bersikap formal mereka adalah “netral agama”. Tetapi dalam kenyataannya, VOC menjalankan “politik agama”. Penduduk pribumi yang beragama Islam akan dikristenkan. Dibalik konsep mengkristekan penduduk pribumi (umat Islam) terkandung sejumlah tujuan yang ingin dicapai secara berjenjang. Kalau penduduk pribumi berhasil dikristenkan, maka hambatan psikologis antara orang Belanda dan penduduk pribumi, dengan sendirinya akan hilang, dan kemungkinan timbulnya konflik dan perlawanan pribumi terhadap bangsa Belanda dengan motif keagamaan akan sirna pula. Orang Belanda dan penduduk pribumi sudah seiman; sama-sama penganut agama Kristen. Tetapi sejarah mencatat kenyataan lain; dalam masa VOC yang berlangsung selama hampir dua abad 1602-1799 ia gagal mengkristenkan umat Islam Indonesia. Ketika mulai memikirkan, merencanakan dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, diantara pejabat dan pemerintah colonial terjadi perbedaan pandangan. Sebagian beranggapan, bahwa sekolah agama yang telah memasyarakat layak dipertanggungjawabkan sebagai wadah pendidikan bagi pribumi. sekolah agama yang telah tersebar luas dan telah memiliki sarana pendidikan, walaupun masih sangat sederhana dan umumnya dibiayai masyarakat sendiri akan menguntungkan karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan mulai dari nol. Tetapi sebagian pejabat kolonial menolak keras untuk menjadikan sekolah-sekolah agama-madrasah-menjadikan model pendidikan penduduk pribumi. Sistem pendidikan pesantren atau diniyah dan madrasah dinilai terlalu buruk. Didalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur’an. Di pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf Latin. Guru-gurunya pun tidak 26

bisa membaca dan menulis huruf Latin. Pendidikan pesantren/ madrasah, adalah pendidikan agama dank arena secara teknis sulit diadopsi untuk pendidikan pribumi. Uraian diatas terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren atau madrasah sebagai bentuk dan model penduduk pribumi, disamping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan. Alasan politik dapat ditilik dari dua sisi. Dari sisi pandangan pemerintah colonial Belanda, yang memiliki ketentuan kata akhir bgi kebijakan di bidang pendidikan pribumi, tidak bisa tidak ikut dipengaruhi oleh citra dan semangat keagamaan. Dari sisi pandang yang kedua, yaitu dari umat Islam (pengelola dan pemilik sekolah agama atau madrasah). Mereka tidak rela kalau pihak orang “kafir” ikut mencampuri atau mengontrol dan mengawasi lembaga pendidikan pesantren dan madrasah.48 Respon umat Islam dan ormas-ormas Islam atas “Politik Pendidik Belanda” secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan sebagai berikut: Kelompok Pertama, menolak sama sekali segala yang berbau “kafir” tidak ada kompromi. Untuk menghindari pegaruh Belanda, golongan ini melakukan uzlah dari kota ke desa. Pendidikan yang dikelola golongan ini menjadi sangat eksklusif dan tertutup. Menjadilah pemerintah Kolonial Belanda mencurigai kegiatan pendidikan mereka, seperti dianggap menjadi pusat perlawanan dank arena itu harus diawasi dan dimata-matai. Symbol-simbol bangsa Barat yang “kafir” seperti pakai pantolan, jas, dasi, pakaian, kursi, meja, bahkan papan tulis juga dikharamkan. Mata pelajaran non agama, juga”dikharamkan” untuk dipelajari. Kelompok kedua, mereka yang disebut Steenbrink, menolak system Pendidikan Belanda sambil meniru. Sisi-sisi yang dianggap baik untuk pendidikan madrasah mereka terima, tapi sisi-sisi yang merusak atau yang dapat mereduksi tujuan utama pendidikan madrasah sebgai lembaga tafaqahu fiddin mereka tolak.

48 Ibid., hal. 49-53. 27

Kelompok ini dari perorangan, tokoh masyarakat pesantren, pengelola madrasah dan dari ormas-ormas Islam seperti , Persis, Perti, al- Irsyad dan lain-lain. Kelompok ketiga, Kelompok ini dianggap oelh kelompok Islam sendiri sebgai terlalu akomodatif terhadap politik pendidikan Belanda. Salah seorang yang sangat terkenal adalah Abdullah Ahmad dengan madrasah Adabiyah nya di Padang Panjang. Kelompok keempat, Respon mereka terhadap “politik Pendidikan” pemerintah colonial Belanda dan pembaharuan pendidikan Islam, pada dasarnya dalam sikap mendua seperti disebutkan oleh Steenbrink: menolak sambil mengikuti.49 Jadi pada masa colonial Belanda, Pendidikan Islam dilaksanakan di pesantren dan madrasah dan hanya mempelajari ilmu agama. Kemudian pemerintah colonial belanda mempermainkan “politik pendidikan” yang mana ingin semua sekolah, madrasah dan pesantren itu diatur oleh Belanda yang mana sekolah agama akan dijadikan sebagai kristenisasi serta kurikulumnya dirubah menjadi; agama Kristen, bahasa Belanda dan huruf-huruf Latin. Di sini banyak pertentangan dari kalangan pesantren, madrasah dan ormas- oramas Islam. Belanda mencurigai ada gerakan-gerakan yang tersembunyi sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan colonial Belanda.

3. Masa Jepang Pemerintah Belanda sejak tanggal 8 Maret 1942 lenyap di bumi Indonesia karena harus bertekuk lutut kepada Jepang. Kendati demikian, bangsa Indonesia belum bebas dari penjajahan, sebab Jepang mengambil alih pendudukan Indonesia dari Belanda. Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia yang bercita-cita besar ingin menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal itu sudah direncanakan Jepang sejak taun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Partai-partai Islam seakan mendapat kekuaan kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, organisasi Islam

49 Ibid., hal. 63-64. 28

dan nasionalisme sekuler. Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah sebenarnya mempunyai massa yang patuh dan hanya dengan pendekatan agama penduduk Indonesia dpat dimobilisasi. Sejak itulah organisasi-organisasi non keagamaan dibubarkan, sedangkan organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, NU, Persyarikatan Ulama, dan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian dilanjutkan dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), diperkenankan lagi meneruskan kegiatannya. Permohonan Masyumi juga diterima pemerintah Jepang untuk mendirikan barisan Hizbullah, sebuah wadah kemiliteran bagi para santri untuk mempersiapkan tenaga-tenaga militer yang ahli. Bahkan tentara Pembela Tanah Air (PETA) banyak dimiliki oleh golongan santri yang digodok dalam adah kemiliteran tersebut. Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan pada rakyat Indonesia dengan janji mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berbeda dengan situasi sebelumnya di mana kalangan Islam mendapat layanan dari Jepang, keanggotaan BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis sekuler yang ketika itu lazim disebut golongan kebangsaan, dan di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide Pancasila. Dalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip ketuhanan, tetapi terkesan negara dipisahkan dari agama. Setelah itu dialog resmi ideologi antara dua golongan terbukti dalam suatu forum musyawarah. Panitia Sembilan, semacam sebuah komisi dari forum itu membahas hal-hal yang sangat mendasar, prembule UUD. Lima orang mewakili golongan nasionalis sekuler, yakni; Soekarno, Hatta, Yamin, Maramis dan Subardjo. Adapun yang mewakili golongan Islam ada empat orang, yakni; Abdul kahar Muzakir, Wahid Hasyim, dan . Kompromi yang dihasilkan atas musyawarah itu dikenal dengan Piagam Jakarta. Adapun sila pertama yang merupakan prinsip ketuhanan berarti kewajiban melakukkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 29

Menjelan kemerdekaan setelah Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).50 Kebijakan Jepang terhadap Pendidikan Islam di Indonesia sangatlah bagus. Contohnya seperti mengapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualis membedakan antara pengajaran Barat dan pengajaran bumi putera. Dengan penghapusan pendidikan bertujuan mengambil hati rakyat Indonesia dan pemerintah Jepang berdalih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan, padahal Jepang mempunyai semboyan Asia untuk bangsa Asia. Jepang menguasai Indonesia yang kaya sumber alam dan bermanfaat untuk kepentingan perang Jepang. Sistem sekolah pada zaman Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajah Belanda. Hanya satu sekolah rendah yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat, ialah Sekolah Rakyat 6 tahun, yang dikenal dengan nama Kokumin Gakkoo. Sekolah-sekilah desa dibiarkan, tetapi namanya diganti menjadi sekolah pertama. Adapun susunan pengajarannya menjadi; Pertama, Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama), Kedua, Sekolah Menengah 3 tahun. Ketiga, Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun (SMA pada zaman Jepang). Terbukti bahwa sistem perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa penjajahan Jepang. Kelebihan pada masa Jepang yakni menjunjung dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di tiap-tiap sekolah. Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap- tiap jenis sekolah telah dilaksanakan. Namun demikian sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang kepada rakyat.51 Seperti halnya seiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang.

50 Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 57-59. 51 Ibid, hal. 60-61. 30

4. Masa Kemerdekaan dan Orde lama Dari awal kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Lama dapat dibagi sebagai beriku: (1) Masa awal kemerdekaan dimulai sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat penyerahaan kedaulatan dari pemerintahan Belanda tahun 1949. Dalam periode ini, keadaan dalam negeri masih meliputi suasana revolusi fisik melawan Belanda dan tentara sekutu yang ingin menganulir kemerdekaan Indonesia. Disamping harus berperang melawan Belanda dan tentara sekutu, pemerintah Indonesia harus berhadapan pula dengan anasir-anasir dalam negeri yang melakukkan makar dan pemberontakan seperti yang dilakukan PKI di Madiun tahun 1948, peristiwa Soumokil yang memproklamasikan “Negara Maluku Utara”, pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan lain-lain. (2) Era “Demokrasi Liberal” berlangsung antara 1952-1959 (hingga saat Dekrit Persiden kembali ke Undang-Undang Dasar 1945). (3) Era “Demokrasi Terpimpin pemerintahan Orde Lama tahun 1959, sampai meletus peristiwa makar G30S/PKI tahun 1965.” Kebijakan publik yang berkaitan dengan pendidikan Islam dalam masa awal kemerdekaan sampai runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang dibicarakan dalam hal ini meliputi: (1) Rancangan Pembaruan Sistem Pendidikan Nasional, (2) Penyelengaraan Pendidikan Agama di sekolah umum dan pembinaan madrasah dan pesantren, (3) Cita-cita konvergensi antara isi pendidikan umum dan Pendidikan agama (Islam), (4) Pembaruan dan revitalisasi sekolah Agama, menyusul penerbitan Undangan-undang No 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah. Sebagai model dalam melakukan pembaruan dan revitalisasi Sekolah Agama itu, kementrian Agama mengembangkan proyek perintisan Madrasah Wajib Belajar (MWB).52

52 Marwan Saridjo, op. cit., hal. 65-66. 31

5. Masa Orde Baru Dalam masa pemerintahan Orde Baru, terjadi banyak upaya untuk pembaruan dan pengembangan sistem dan peningkatan mutu pendidikan Islam, baik dilakukan oleh pemerintah, maupun dilakukan oleh masyarakat sendiri. Di antara upaya yang dilakukan oleh Negara/ pemerintah, di samping memberikan perhatian dalam pembiayaan dan subsidi juga menerbitkan sejumlah kebijakan publik, baik berupa TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden, Keputusan mentri dan SKB tingkat Mentri. Beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah itu, ada yang dinilai oleh masyarakat sebagai kontroversial. Bahkan dari kebijakan Pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam itu dinilai sebagai memuat agenda untuk mengubah lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi lembaga sekuler. Tetapi kontroversi dan kesalahan pahaman itu dapat diselesaikan, dicarikan solusi melalui dialog dan musyawarah diantara Pemerintah dan komponen-komponen masyarakat yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan Islam. Dari pihak masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga aktif melakukan revitalisasi terhadap sistem dan metodologoi pembelajaran pada lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren dll.53 Di masa ini juga ada ide penyelengaraan Pendidikan di Bawah satu Atap dan SKB tiga Mentri 1975.

6. Masa Reformasi Berakhirnya kekuasaan Persiden Soeharto tahun 1997, dan digantikan oleh Wakil Persiden B.J. Habibie menjadi Persiden menandai lahirnya era reformasi. Lahirnya era reformasi itu disebut dengan sifat euforia oleh komponen bangsa yang telah lama menginginkan perubahan, baik masyarakat umum, kalangan birokrasi/ eksekutif, legislatif dan yudikatif. Euforia di kalangan anggota DPR sebagai representative darikekuatan politik, tercermin dari kegesitan mereka dalam merampungkan tugas-tugasnya yang berkaitan dengan bidang legislatif,

53 Ibid., hal. 103-104. 32

seperti mereview Undang-undangyang sudah ada agarsejalan dengan tuntutan dan semangat reformasi, atau menyusun Undang-undang baru untuk menetapkan gerak maju reformasi. Presiden B.J Habibie, menjanjikan akan menyelenggarakan pemilihan umum lebih cepat dari semestinya. Janji itu direspon dengan antusias oleh DPR, dan mereka menyatakan kesanggupan untuk enyelesaikan Undang-undang dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Hasil pemilu tahun 1999 menghasilkan pemerintahan baru dibawah pimpinn Gus Dur alias KH. . Di antara gebrakan Gus Dur setelah dilantik menjadi Presiden, ia memulai dengan melakukkan rekrunkturisasi-refungsionalisasi dan menghapus beberapa Kementrian dan lembaga non Kementrian. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Kementrian Pendidikan Nasional. Kementrian Penerangan dan Kementrian Sosial, serta Kementrian Olahraga dan Pemuda dihapus. Perubahan nama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementrian pendidikan Nasional dimaksudkan Gus Dur untuk menyatukan penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan yang ada di Indonesia di bawah satu atap atau dalam satu tangan. Memang gagasan ini tidak terexpose secara meluas di masyarakat, sehingga tidak sempat menimbulkan pro dan kontra. Tetapi pentujuk khusus Gus Dur kepada Menteri Pendidikan Nasional Dr. Yahya Muhaimin, bahwa rencana untuk penyelenggaraan pendidikan di bawah satu atap itu sebagai suatu keniscayaan dan karenanya harus segera diwujudkan. Petunjuk mengenai hal itu dikemukakan Gus Dur pada saat memberitahukan atau meminta kesediaan Dr. Yahya Muhaimin untuk diangkat menjadi Menteri pendidikan Nasional. Belum sampai seratus hari menududuki kursi menteri Pendidikan Nasional, Dr. Yahya Muhaimin telah beberapa kali dipanggil Gus Dur, dan mengingatkan akan tugasnya menyatukan pengelolaan pendidikan nasional dibawah satu atap.54

54 Ibid., hal. 147-151. 33

D. Kajian Yang Relevan Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan skripsi, yang membahas tentang K.H. A. Wahid Hasyim. Terdapat dalam beberapa buku dan juga terdapat dalam Tesis dan Skripsi, diantaranya dalam buku K.H. A. Wahid Hasyim yang berjudul Mengapa Memilih NU? (Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik) yang didalamnya membahas tentang Keagamaan, kependidikan dan kepolitikan antaranya yaitu Perbaikan Perjalanan Haji, Beragamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, kemajuan bahasa berarti kemajuan bangsa, tuntutan berfikir, perguruan tinggi Islam dan mengapa saya memilih NU.55 Tesis yang di tulis oleh Ruchman Basori yang berjudul The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia: Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, dalam tesis tersebut membahas mengenai pendidikan dan pembaharuan pesantren dan madrasah, tentang K.H. A. Wahid Hasyim dan pemikirannya serta pembaharuan pendidikan pesantren dan madrasah perspektif kontemporer.56 Skripsi yang ditulis oleh Riky Haryanto yang berjudul K.H. Abdul Wahid Hasyim; Studi Analisis tentang Pemikiran, Kiprah & Perjuangan, dalam skripsi tersebut membahas tentang Biografi singkat K.H. A. Wahid Hasyim, pemikiran aspek Agama & politik, kiprah dan perjuangan K.H. A. Wahid Hasyim yang meliputi masa pra-Kemerdekaan, menjelang kemerdekaan serta sesudah kemerdekaan.57 Selanjutnya Skripsi yang ditulis oleh Fahmi Ulum yang berjudul Abdul Wahid Hasyim; Kajian tentang Aktifitasnya dalam Bidang Pendidikan, dalam skripsi tersebut hanya membahas Biografi dan aktifitasnya dalam bidang pendidikan di pondok Tebuireng.58

55 K.H. A. Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik, Ed. Buntaran Sanusi dkk (Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 101. 56 Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia; Jejak Langkah K. H. A. Wahid Hasyim, (Jakarta: Inceis, 2006), Cet I. Tesisnya yang berjudul Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Pesantren dan Madrasah (Studi atas Pemikiran Pendidikan Islam K. H. A. Wahid Hasyim) di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004, dipublikasikan. 57 Riky Haryanto, K.H. A. Wahid Hasyim; Studi Analisis tentang Pemikiran, Kiprah & Perjuangan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2007, tidak dipublikasikan 58 Fahmi Ulum, Abdul Wahid Hasyim; Kajian tentang Aktifitasnya dalam Bidang Pendidikan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2005, tidak dipublikasikan. 34

Dari sekian buku yang penulis temukan hampir semuanya membahas tentang kehidupan dan perjalanan intelektual serta politiknya K.H. A. Wahid Hasyim dari berbagai aspek kehidupan. Berbeda dengan diatas, dalam skripsi ini penulis lebih fokus membahas tentang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang Pembaharuan Pendidikan Islam.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam.” ini dilaksanakan dari bulan Desember 2012 sampai bulan April 2013 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Wahid Hasyim tentang pendidikan Islam.

B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dan metode yang digunakan Metode penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah pendidikan maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan sejarah pendidikan.1

1 Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982), hal. 51.

35 36

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.2

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Teknik pengumpulan data Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan.3 Misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah, catatan kisah sejarah; surat kabar, internet dan sumber lain, yang berhubungan dengan Wahid Hasyim dan Pemikirannya terutama tentang pendidikan Islam. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya. Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini pemikiran-pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim yang banyak dituangkan dalam tulisan-tulisan kecilnya yang sudah dikumpulkan oleh H. Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Kemudian banyak buku yang memuat pemikiran beliau seperti karya Seri Buku Tempo yang berjudul Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, dan buku karya Muhammad Rifai yang berjudul Wahid Hasyim; Biografi Singkat 1914-1953., Serta buku K.H. A. Wahid Hasyim Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya Bagi Agama dan Bangsa editor Shofiyullah Mz., dkk.,

2 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-3, h. 60. 3 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329. 37

Sedangkan buku pendukung dalam penulisan sekripsi ini adalah karya Ahmad Zaini yang berjudul K.H. Abdul Wahid Hasyim, Pembaru Pendidikan Islam, buku karya Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren., buku The Founding Father, Pesantren modern Indonesia Jejak langkah K.H. A. Wahid Hasyim karya Ruchman basori, dan buku karya Saifullah Ma’shum yang berjudul Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, serta karya Saiful Umam, K.H. Wahid Hasyim: Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi, dalam , menteri-menteri Agama RI: Biografi sosial politik. Kemudian buku K.H. A. Wahid Hasyim: Mengapa Memilih NU? Editor Buntaran Sanusi dkk.

2. Teknik Pengelolahan data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data- data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.

D. Analisis Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Sejarah (historis analysis), dan dengan pendekatan deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu.4 Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.

E. Teknik Penulisan Secara teknik, penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.

4 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. ke-10, h. 234.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data 1. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 atau bertepatan dengan tanggal 5 rabi’ al-Awwal 1333 di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah putra Kyai Haji (K.H) Hasyim Asy’ari, pendiri (NU).1 Dari pasangan K.H. M. Hasyim Asy’ari – Nyai Nafiqoh binti Kyai Ilyas Madiun. Wahid Hasyim adalah anak kelima K.H. M. Hasyim Asy’ari dan Nafiqah, dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim. Dan kemudia, dia lebih dikenal dengan Wahid Hasyim.2 Ada cerita menarik tentang bayi Wahid Hasyim. ibunya setiap kali mengandung selalu payah. Kepayahan tersebut dirasakan lebih parah ketika mengandung Wahid Hasyim, sehingga di khawatir jika bayi yang sedang dikandungnya itu tidak sempurna. Dalam suasana seperti itu, dia bernazar;

1 Achmad Zaini, K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011), hal. 7 2 Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial- Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), hal. 99

38 39

seandainya bayinya itu selamat dan tidak kurang suatu apa, dia akan bawa berkunjung ke Kyai Kholil, di Bangkalan, Madura, yang juga guru K.H. M. Hasyim Asy’ari. Tradisi nazar memang suatu hal yang biasa dalam tradisi pesantren, begitu juga mengunjungi rumah kyai terkenal. Nazar ini dilaksanakan ibunya ketika Wahid Hasyim berusia sekitar 3 bulan. Ketika mereka sampai dirumah Kyai Kholil, hari sudah malam dan turun hujan. Namun apa yang terjadi? Mereka tidak diperbolehkan masuk ke rumah tetapi juga tidak diizinkan pergi dari tempat itu. Mereka diminta untuk tetap di depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan makin deras, sang ibu meletakan anaknya di lantai halaman rumah Kyai Kholil, agar terlindung dari hujan, karena khawatir anaknya jatuh sakit. Tapi Kyai Kholil melarang hal ini dan memerintahkan sang ibu untuk mengambil kembali anaknya. Kejadian ini diyakini sebagai pertanda bahwa sang bayi akan menjadi orang yang luar biasa.3 Konon cerita itu adalah kilas balik dari keberhasilan K.H. Abdul Wahid Hasyim menjadi orang besar di negara ini dan menjadikannya pribadi yang perfikir kedepan, dan diyakini sebagai pertanda bahwa beliau akan menjadi orang yang luar biasa. Itu semua tidak lepas dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, K.H. M. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri K.H. Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antara-anak kyai atau anak kyai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja pertama kesultanan Pajang (1549-1582) keduanya bermuara di sultan Demak raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.4

3 Ibid., hal. 100 4 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta: KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hal. 34 40

Berikut silsilah K.H. Abdul Wahid Hasyim yang bermuara ke Brawijaya VI.

BRAWIJAYA VI Garis Ayah Garis Ibu

JAKA TINGKIR JAKA TARUB I (Meninggal 1578)

JAKA TARUB II PANGERAN BENAWA

KYAI AGENG KETIS

PANGERAN SAMBO KYAI AGENG SABA

AHMAD KYAI AGENG SOLO

ABDUL JABBAR

KYAI AGENG PEMANAHAN SICHAH

PANEMBAHAN SENOPATI LAYYINAH

PANGERAN KAJURAN HALIMAH/ WINIH

MARKINAH K.H. HASYIM ASY’ARI (1871-1957) NAFIQOH Pesantren Tebuireng (Meninggal 1939)

K.H.A. WAHID HASYIM SHOLIHAH (1914-1953) (1922-1994)

Abdurrahman Aisyah Sholahuddin Umar Lily Chadijah Muhammad Wahid (1941) Al-Ayubi (1944) (1948) Hasyim SHICHAH (1939 -2009) (1942) (1953)

Gambar 2.1 Silsilah K.H. A. Wahid Hasyim yang bermuara ke Brawijaya VI.5

5 Ibid., hal. 35. 41

Jelas sekali Asal usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan priyai. Menjadikannya orang yang besar dan berpengaruh pula. Mengambil kata mutiara yaitu Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang religius. Ibunya, Nafiqah, adalah anak Kyai Ilyas seorang Kyai yang terkenal dari pesantren Sewulan madiun, sedang dari garis keturunan ayah, dia merupakan keturunan dari ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek dan buyutnya adalah ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu agama dan yang mengilhami berdirinya pesantren di pulau Jawa. Ayah Wahid Hasyim sendiri adalah pendiri pesantren Tebuireng Jombang, K.H. M. Hasyim Asyari. Kakeknya K.H. Hasyim Asyari adalah pendiri pesantren Keras di Jombang. Sedang kakek buyutnya K.H. Usman selain dikenal sebagai pendiri pesantren Gedang, juga dikenal sebagai ulama yang mengenalkan ajaran Thariqat Naqsabandiyah di Jombang. Bahkan pesantrennya sebagaimana disinyalir oleh Gus Dur sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur. Sejak kecil ia terkenal sebagai anak yang pendiam, peramah, dan pandai mengambil hati orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolong kawan, suka bergaul dengan tidak memandang bangsan, atau memilih agama pangkat dan uang; terlalu percaya pada kawan, suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat mengatasi kemarahannya.6 Dengan sifat yang mudah bergaul dan suka menolong ini lah yang menjadikan Wahid Hasyim sebagai orang yang dihormati oleh kawan maupun lawan politiknya.

2. Pendidikan K.H. Abdul Wahid Hasyim Pendidikan dan bimbingan agama beliau dapatkan langsung dari ayahnya dalam lingkungan keluarga yang sangat religius yaitu pesantren Tebuireng. Sebagaimana umumnya anak-anak yang lain, pada umur 5 tahun beliau belajar membaca al-Qur’an pada ayahnya selepas shalat Maghrib dan Dzuhur, di samping

6 Ruchman Basori, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia: Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, (Jakarta: Inceis, 2006), Cet I, hal. 62 42

bersekolah di Madrasah Salafiyahdi Tebuireng dan khatam al-Qur’an pada usia 7 tahun. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak kecil seusia 7-13 tahun belajar al-Qur’an sebagai pendidikan agama tingkat dasar.7 ketika usianya 7 tahun ia mulai belajar kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim, Mutamimmah pada ayahnya juga. Merupakan umur yang relatif muda untuk anak pada zamannya dan kitab-kitab tersebut sebenarnya baru diajarkan bagi santri yang cukup senior. Pada umur 12 tahun wahid hasyim telah tamat dari Madrasah Salafiyah Tebuireng, dan mulai mengajar adiknya (A. Karim Hasyim) kitab „Izi pada malam hari. Pada masa itu wahid hasyim sangat giat mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan bahasa Arab dan sastranya, akan tetapi cara belajarnya sebagian besar dengan kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. Kitab-kitab yang sering ditela’ahnya antara lain “Diwanusy-Syu‟ara” dan oleh karenanya tiada sedikit hafalan syair-syair dalam bahasa Arab. Syair-syair tersebut dihimpun dan disusun dalam sebuah buku tebal.8 Perkembangan pengetahuan yang diperoleh oleh Wahid Hasyim selalu menjadi perhatian ayahnya. Ketika Wahid Hasyim dipandang sudah cukup dalam menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya mengirim dia untuk lebih mendalami ilmu agama di berbagai pesantren. Pada usia 13 tahun, beliau mulai pengembaraannya dari satu pesantren kepesantren lainnya. Pesantren pertama yang dikunjungi adalah Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, pesantren dimana ayahnya juga pernah belajar. Dibawah bimbingan ayahnya dan Kyai Chozin Panji, Wahid Hasyim belajar kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufiq (kitab tentang Tauhid dan Tasawuf), Taqrib (Tentang Hukum Islam) dan Tafsir Jalalain (tentang Tafsir al-Qur’an). Wahid Hasyim tinggal disana selama 25 hari selama bulan Ramadhan9. Kemudian kembali ke Tebuireng. Tahun berikutnya beliau mulai pengembarannya ke berbagai pesantren di Jawa,

7 Ibid., hal. 63 8 Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957), hal. 145-146. 9 Pada bulan Ramadhan, di pesantren-pesantren ada kebiasaan pengajian “Kilatan” atau “Tabarrukan” jumlah kitab yang dibaca diperbanyak, begitu juga waktunya, dengan target kitab khatam dibaca selama satu bulan Ramadhan. 43

termasuk Pesantren Lirboyo, Kediri, sebelum akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar otodidak di pesantrennya sendiri. Dengan demikian, pendidikan Wahid Hasyim diperoleh dari ayahnya secara informal dan secara formal dari beberapa kyai di berbagai pesantren yang dikunjunginya. Program pembelajaran yang diikuti, termasuk program Ramadhan yang sering dikenal dengan nama pesantren kilat dengan sistem halaqoh, biasanya bebentuk membaca kitab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa atau Melayu. Program dianggap selesai apabila seluruh kitab sudah dibaca. Untuk mendalaminya, santri diharapkan mengulang kembali (mereview) apa yang telah dipelajarinya secara sendiri.10 Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu seolah-olah yang diperlukan Wahid Hasyim adalah keberkatan dari sang Guru, bukan ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, demikian mungkin beliau berfikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara bagaimana saja. Tapi soal memperoleh berkat kyai harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menetap si pesantren. Inilah yang agaknya menjadi pertimbangan utama dari Wahid Hasyim ketika itu. Kebiasaan mengembara ke pesantren satu dan pesantren lainnya dapat dipahami sebgai aplikasi metode pengajaran modern yaitu studi comperatif, yaitu dengan cara melihat dari dekat, membandingkan sistem pengajaran, karakter pesantren satu dan pesantren lain. Agar nantinya dapat diambil pelajaran yang lebih berharga untuk kehidupan kita. Ternyata hal ini menjadi sangat positif bagi pembentukan dan mengembangan pendidikan pesantren di kelak kemudian hari.11 Meskipun Wahid Hasyim telah menguasai bahasa Arab dan kitab-kitab, tetapi Wahid Hasyim belum bisa membaca tulisan yang ditulis dengan huruf latin. Beliau baru belajar huruf latin pada usia 15 tahun. Dalam waktu yang cukup singkat, dia sudah bisa menguasainya. Meskipun tidak diketahui bagaimana dia dapat menguasainya begitu cepat, akan tetapi semenjak Moh. Ilyas, sepupu Wahid Hasyim, lulus dari HIS dan datang ke Tebuireng untuk memdalami ilmu Agama pada tahun 1925, dapat diasumsikan bahwa Wahid Hasyim belajar huruf latin dari

10 Achmad Zaini, op. cit., hal. 13 11 Ruchman Basori, op. cit., hal. 64 44

sepupunya tersebut. Semenjak itu Wahid Hasyim menjadi seorang kutu buku. Berbagai buku, majalah dan jurnal dibacanya, baik itu ditulis dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun Arab. Dia juga berlangganan beberapa jurnal dan majalah dalam negeri dan luar negeri, seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat, Pandji Pustaka, Umm al-Qura‟, Shaut al-Hijaz, al-Latha‟if al-Musawarah, Kullusha‟in wa al-Dunya dan De Locomotif. Kemampuan membaca huruf latin mengantarkan Wahid Hasyim mengenal ilmu pengetahuan “sekuler” dan berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda dan Inggris. Disamping dia mempelajari ilmu dan bahasa tersebut secara otodidak dari Sumber Pengetahuan, majalah tiga bulanan, Wahid Hasyim belajar juga kepada Imam Sukarlan12, Moh. Ilyas13, dan beberapa santri ayahnya yang mempunyai kemampuan dalam bidang tersebut. Hal ini dimungkinkan karena santri yang belajar dari Tebuireng datang dari berbagai lapisan dan daerah, yang mana sebagian mereka pernah belajar di sekolah-sekolah Belanda. Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota perpustakaan di Surabaya. Tidak seperti anggota lainnya yang membaca berdasar sesuatu yang menjadi keinginan (interes) mereka, Wahid Hasyim membaca semua buku yang tersedia di perpustakaan, bahkan dilaporkan bahwa dia meminjam berdasarkan nomor buku secara berurutan. Sayangnya, informasi berkaitan dengan hal ini sangat sedikit. Bisa jadi bener bahwa dia membaca seluruh buku yang ada dikarenakan jumlah buku yang tersedia masih sangat terbatas, atau dia mereview buku tersebut untuk melihat isi buku, kemudian dia membaca secara selektif sesuai dengan minatnya. Singkatnya, melalui otodidak, pengetahuan yang didapat sangat luas mulai tafsir, hadis, fiqih, sampai pegetahuan tentang sejarah, politik, dan filsafat. 14 Kegemaran membacanya kian meningkat, sampai-sampai Wahid Hasyim harus menggunakan kaca mata.15 Ini semua bekal ilmu pengetahuan yang luas ini menjadikan modal

12 Imam Sukarlan adalah Guru pada Taman Siswa yang belajar ilmu keislaman sekaligus mengajar bahasa Belanda di Tebuireng. 13 Moh. Ilyas adalah saudara sepupu Wahid Hasyim. Dia adalah alumni sekolah Belanda, Holland Inlandsche Scholen (HIS) di Surabaya. Di Tebuireng, Ilyas selain belajar ilmu keislaman juga mengajar bahasa Belanda dan Sains. 14 Achmad Zaini, op.cit., hal. 14 15 Lihat Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 146 45

utama untuk mengajar di Tebuireng dan sekaligus bahan untuk ceramah dan pengajian. Pada tahun 1931 mulailah Wahid Hasyim mengajar kitab “Ad-Durarul Bahiyah” dan “Kafrawi” kepada murid-muridnya di malam hari, dan kadang- kadang ia diminta untuk berpidato, kalau kebetulan ada rapat umum. Pendek kata, pengaruhnya sudah mulai tampak sekalipun masih samar-samar.16 Ketika menginjak umur 17 tahun (1932-1933), beliau dikirim ayahnya belajar selama 1 tahun di Mekkah, disamping untuk menunaikan ibadah haji dengan ditemani Moh. Ilyas (sepupunya), yang telah banyak berjasa pada pembentukan kecerdasan dan pribadi Wahid Hasyim. Pergaulan dengan bermacam-macam bahasa Islam yang sama ke Mekkah untuk kepentingan Ibadah dan menuntut Ilmu pengetahuan agama, membuat wahid Hasyim luas cara berfikirnya dan tidak sombong (ta‟ashub) dalam menghadapi suatu persoalan. Disamping belajar ilmu pengetahuan, bersama Moh. Ilyas beliau turut menginsafkan masyarakat Indonesia di Mekkah menurut ukuran kebangsaannya, berupa menentang pelecehan (penghinaan-penghinaan) yang pada waktu itu ditujukan kepada bangsa Jawa. Setelah kurang lebih satu tahun di Mekkah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia. Selain sebagai seorang Ulama, beliau menjadi staf pengajar di Tebuireng. Beliau juga ditunjuk menjadi asisten (badal) ayahnya yang tugasnya, antara lain menjaga kesinambungan proses belajar mengajar (PBM), menjawab surat-surat yang berkaitan dengan fiqih yang di tujukan kepada ayahnya dan mendatangi pengajian atau ceramah. Hal yang demikian itu sudah menjadi pola kaderisasi di pesantren, seorang Gus yang dikirim ke Mekkah dan sekembalinya dari Mekkah setatusnya bukan lagi sebagai santri ayahnya melainkan sebagai staf pengajar dan harus siap suatu saat menggantikan ayahnya dalam memimpin pesantren.17 Selanjutnya Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun dengan menikahi Solehah binti K.H. bisyri Syamsuri, pendiri dan

16 Ibid., hal. 147 17 Ruchman Basori, op. cit., hal. 67-68. 46

pimpinan Pesantren Denanyar Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim dikaruniai 6 anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurahman ad- Dachil (Sekarang lebih dikenal dengan Abdurahman Wahid/ Gus Dur, Persiden 4 RI), Aisyah, Salahuddin Al-Ayyubi (dikenal dengan Shalahuddin Wahid dan sekarang Pemimpin Pesantren Tebuireng), Umar, Lily Chadijah, dan Muhammad Hasyim.18

3. Organisasi K.H. Abdul Wahid Hasyim a. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) Untuk mengorganisasikan kegiatan para pemuda dan santri, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) pada tahun 1936. Beliau sendiri yang langsung menjadi pemimpinnya. Ussaha ikatan ini antara lain mendirikan taman bacaan.19 Tidak lama ikatan pelajar itu telah beranggotakan lebih dari 300 orang. Lalu beliau mendirikan sebuah taman bacaan atau bibliotheek, yang menjadikan tidak kurang dari 500 buah kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda. Kitab- kitab bacaan itu terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda, dan Inggris. Suatu kemajuan yang sangat luar biasa pada pesantren pada saat itu.20 b. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Nadhlatul Ulama (NU) Nahdlatul Ulama (NU), artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16 Rajab 1344 H di Surabaya. Lahirnya NU berkaitan dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Mekkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran

18 Lihat Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed.), op. cit., hal. 102. 19 Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 163 20 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 154 47

Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni yang sudah berjalan sejak lama di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lainnya akan dilarang, bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan kekuasaanya ke seluruh dunia. Dari sinilah akhirnya Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan.21 Hampir warga NU yang berada di desa, baik yang berprofesi sebagai petani, pedagang, buruh, maupun tukang, dalam menjadi warga NU lebih mempertimbagkan emosional. Kebanyakan dari mereka menjadi warga NU karena keluarga, tetangga, majikan, sahabat, dan tokoh yang menjadi panutan mereka. Akan tetapi hal ini tidak terjadi pada diri Wahid Hasyim. Beliau memiliki pertimbangan tersendiri ketika terjun dalam organisasi pergerakan. Padahal saat itu beiau sudah terkenal sebagai tokoh muda yang cerdas, apalagi ia seorang anak dari pendiri NU. Banyak tawaran dari berbagai organisasi agar ia berkiprah dalam berbagai organisasi tersebut. Akan tetapi, Wahid Hasyim melihat saat itu berbagai organisasi tersebut selalu saja ada kekurangannya. Apakah itu massnya, kurang militan-radikal-revolusioner, ataupun kurang banyak kaum terpelajar dalam organisasi pergerakan tersebut. Oleh sebab itu beliau membutuhkan empat tahun lamanya sebelum akhirnya berkeputusan bergabung dengan NU. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU). Alasan beliau adalah tidak ada satu pun perhmpunan yang 100% memuaskan atau sempurna. Masing-masing ada kekurangannya, maka harus dipilih yang paling ringan kekurangannya. Dari sini, beliau memakai ukuran keradikalan (ketangkasan dan kecepatan), NU jelas bukan. Akan tetapi, NU adalah organisasi yang mengalami perkembangan pesat dengan cabang di mana- mana. Jadi, apa artinya radikal jika selama 10 tahun hanya mempunyai sepuluh cabang. Sementara NU yang dikatakan lambat bergerak itu sudah mempunyai

21 Soeleiman Fadeli dkk, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), hal. 1-2. 48

cabang 60% di berbagai daerah dan hampir merata di seluruh Indonesia.22 Melihat kenyataan ini beliau mengenyampingkan ukuran radikalisme, beliau memandang bahwa yang terpenting bukanlah kegagalan dalam berjuang, melainkan hasil dari perjuangan itu sendiri. Dari sini bisa kita lihat karakter berfikir Wahid Hasyim yaitu satu sisi beliau terlihat sebagai sosok yang tradisionalis dan di sisi lain tentunya jalur radikal. Akan tetapi beliau melihat NU mempunyai prospek yang bagus kedepannya dari pada organisasi yang lainnya. Dalam karir dan perjuangan di NU ini, Wahid Hasyim tidak langsung menjadi tokoh penting. Padahal, jika beliau mau, bisa saja beliau menjadi seorang tokoh dalam NU, apalagi beliau adalah anak tokoh salah satu pendiri organisasi NU yang saqngat dihormati oleh para ulama sepuh. Namun, beliau memulai karir dan perjuangannya di tubuh NU dari bahwa sekali. Karirnya di NU dimulai sebagai penulis ranting NU Cukir, kemudian dipilih beliau menjadi Ketua NU Jombang, dan kemudian pada 1940 beliau menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (Pendidikan).23 c. K.H. Abdul Wahid Hasyim Al-Majlis al-Islam al-A’la al-Indonesia (MIAI) MIAI merupakan gabungan dari ormas-ormas Islam yang berdiri atas prakarsa dari K.H. Abdul Wahab dari NU, K.H. Mas Mansur dan K.H. dari Muhammadiyah serta W. Wondoamiseno dari Serikat Islam. pada tahun 1937 M di kota Surabaya.24 MIAI dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Majlis Islam Tinggi. Kiprah Wahid Hasyim dalam organisasi MIAI ini bisa dikatakan penting selain karena kepribadiannya yang terbuka, mudah bergaul, berpengethuan yang luas, dan kepandaiannya, juga karena pengaruh ayahnya, K.H. M. Hasyim Asyari, yang sebenarnya ditunjuk oleh para ulama dan para pemuka Islam kala itu menjadi pemimpinnya organisasi tersebut. K.H. M. Hasyim Asyari menerima

22 Muhammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, (Jogjakarta: Garasi, 2009), hal. 58 23 Ibid., hal. 60 24 Shofiyullah Mz (ed), K.H. A. Wahid Hasyim, Sejarah Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, (Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011), Cet I, hal. 276. 49

dirinya ditunjuk sebagai penasehat MIAI, tetapi pendelegasian dan pelimpahan tugas-tugas atas kepemimpinan organisasi tersebut dilimpahkan kepada anaknya, yaitu Wahid Hasyim. Wahid Hasyim masuk ke dalam MIAI dan berkiprah di sana ketikan MIAI mengadakan kogres pada 1939. Dalam kongres tersebut, beliau terpilih sebagai ketua MIAI mewakili dari NU. Organisasi yang bergabung dalam MIAI pada 1941 antara lain: PSII, PBII, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Indonesia, Persis, Nahdlatul Ulama, Ijtihadul Islamiyah, Al-Islam, Al-Irsyad, PAI, Musyawaratun Thalibin, dan Jamiatul Washilah. Kiprahnya Wahid Hasyim adalah menjaga persaudaraan antar-umat Islam bisa dilakukan dengan konsekuen. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan kesamaan ketimbang perbedaan di antara golongan, aliran, dan perbedaan mazhab Islam di Indonesia. Perjalanan Wahid Hasyim dalam organisasi ini relatif tidak banyak. Pada 1941 beliau mengundurkan diri dari MIAI dan mengundurkan diri pula di PBNU ketua bidang Ma’arif NU, dengan alasan dipanggil ayahnya untuk megasuh Pesantren Tebuireng karena ayahnya sudah lanjut usia.25 Dengan demikian beliau hanya menjadi anggota biasa di MIAI. Tidak lama MIAI dibekukan oleh Jepang, kemudian menjadi Masyumi. d. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Masyumi Pada tahun 1943 didirikan Masyumi di Jakarta (pada masa pendudukan tentara Jepang) di bawah pimpinan K.H. Mas Mansur sebagai ketua dan Wahid Hasyim sebagai wakil ketua. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka timbullah fikiran dari pemuka-pemuka Islam, di antaranya M. Nasir dan Wahid Hasyim hendak mengadakan Mu’tamar Islam dari segala golongan seluruh Indonesia. Akhirnya diadakanlah: Kongres Umat Islam di Yogyakarta (Nopember 1945). Pada waktu itu lahirlah satu partai politik baru dengan nama Masyumi.

25 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 65-66. 50

Waktu itu di diambillah ikrar bersama, yaitu hanya mengakui Masyumi sebagai satu-satunya partai politik dijadikan anggota istimewa dalam Masyumi. Partai-partai politik yang telah berdiri sebelum proklamasi ditiadakan dan dilebur menjadi Masyumi.26 Wahid hasyim menyadari bahwasanya organisasi Masyumi adalah alat penjinak Jepang terhadap gerakan politik Islam. Maka dari itu, sejak masuk ke Masyumi Wahid Hasyim mencari para pemuda untuk menyelamatkan organisasi ini dan masyarakat agar tidak sekedar menjadi alat propaganda Jepang semata. Wahid Hasyim mengajak M. Natsir, Harsono Cokroaminoto, Prawoto Mangkusasmito dan . Perekrutan ini bertujuan untuk meminimalisir pengerahan pemerintah Jepang untuk Romusa secara masal. Dan berusaha mengadakan persiapan-persiapan penting dan diam-diam, persiapan-persiapan yang ditujukan untuk memperkuat perlawanan rakyat, baik rohani berupa penyiaran ajaran Islam yang sebenarnya, dan jasmani dalam mengisi Tentara Pembela Air (PETA) atau persiapan tentara Islam (Hizbullah). Kebingungan tentara Jepang berhubung dengan hasil-hasil penyerangan tentara sekutu. Dipergunakan sebaik-baiknya untuk menguntungkan pertahanan bangsa, tanah air dan Agama.27 Kemudian, Wahid Hasyim menguatkan bidang media pada organisasi ini. Beliau bersama kawan-kawan yang progresif mendirikan majalah Suara Muslimin Indonesia, tempat ia menjadi pimpinannya. Media ini kebanyakan berisi himbauan kepada pemuda untuk mengobarkan semangat jihad dan peperangan melawan jepang. Didalam menulis beliau sering menggunakan nama samaran atau tak bernama. Penyamaran ini dipakai utuk menyinggung “politik manis” Jepang. Di dalam media ini juga terdapat karangan semangat jihad dari berbagai penulis, seperti K.H. A. Mokti, R.H. Adnan, Asa Bafagih, H.M. dahlan, A. Bahri, Abdullah Aidit, maupun Hatta. Di samping itu beliau juga memelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggotanya didik agar trampil dan mahir berpidato di hadapan

26 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), hal. 368 27 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 332. 51

umum. Para ahli pidato atau da’i ini di gunakan sebagai penyambung gagasan- gagasan Masyumi dan Wahid Hasyim untuk memperkuat rasa persatuan dan persaudaraan umat Islam Indonesia. Di Jakarta diadakan latihan ulama yang didalamnya beliau memberikan pelajaran kedisiplinan dan ceramah-ceramah mengenai pengetahuan umum dan perjuangan. Latihan ini setiap bulannya mengeluarkan 60 kiai yang tersebar di seluruh Jawa. Pada zaman inilah bisa dikatakan sebagai masa emas politik Islam ketika masing-masing golongan bekerja sama dan mengetahui posisinya masing-masing. Muhammadiyah giat mengadakan latihan untuk menolong fakir miskin sedangkan NU giat latihan untuk mempersiapkan kiai-kiainya. Menjelang kemerdekaan (1944) Wahid hasyim pindah di Jakarta karena banyak tenaga dan pekerjaan yang harus dicurahkannya di ibukota. Bisa dikatakan pada tahun inilah fase politisnya dimulai. Apalagi pada tahun 1945 beliau menjadi ketua Masyumi. Organisasi ini bisa dikatakan adalah partai politik Islam terbesar di Indonesia saat itu. Fase ini sebelumnya dimulai ketika Wahid Hasyim yang berada dalam BPUPKI mempersiapkan proklamasi kemerdekaan dengan tujuan menyusun Pancasila, UUD 1945. Di dalam tugas tersebut, Wahid Hasyim mewakili NU juga mewakili MIAI. Kemudian hal itu dilanjutkan ketika beliau menjadi wakil Masyumi masuk kedalam stuktur pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, yaitu dalam kabinet Soekarno sebagai dan dalam kabinet Parlementer sebagai Menteri Agama mewakili Masyumi. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia dan berdiri R.I.S. maka dalam kabinet Hatta (1950) Wahid Hasyim dipilih menjadi Menteri Agama. Jabatan itu terus menerus dipegangnya sampai tiga kali kabinet yaitu dalam kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman. Kiprah Wahid Hasyim dalam Masyumi juga bisa dilihat dari susunan kepengurusan Masyumi dari periode ke periode. Misalnya pada periode 1945 dalam pengurusan Pimpinan Pusat Masyumi Wahid Hasyim menjabat Ketua Muda II bagian Majlis Syuro dan ketua umumnya adalah ayahnya. Kemudian, pada tahun 1949 perubahan kepengrusan Pimpinan Pusat Mayumi, yaitu menghilangkan kepengurusan Majlis Syuro. Wahid Hasyim menjadi salah satu 52

anggota pimpinan pusat Masyumi. Hal ini dilanjutkan kembali pada 1951. Pada periode inilah NU mengalami perselisian kemudian berlajut perpecahan dengan Masyumi dan akhirnya memutuskan keluar dari Masyumi. Namun demikian, bahwa NU keluar dari Masyum lebih disebabkan karena pembagian kursi atau kepentingan politiknya di parlemen dan pemerintahan tidak adil dan menindas NU yang kebanyakan memberikan sumbangsihnya. Wahid Hasyim mengakomodir persoala ini agar tidak jauh menjadi perpecahan. Akan tetapi, ketika sulit diatasi maka beliau lebih memilih untuk memperjuangkan NU dan tetap menjaga hubungan baik dengan kelompok lain dengan mendirikan LMI (Liga Muslim Indonesia). 28 e. K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Liga Muslim Pada tahun 1952 Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslim Indonesia (LMI), suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan kepengurusannya adalah K.H. A. Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.29

4. Karya-karya K.H. Abdul Wahid Hasyim Wahid Hasyim adalah seorang tokoh yang aktif dan produktif dalam menulis. Namun yang disayangkan adalah belum sampai di cetak sebagai buku. Banyak artikel beliau baik yang menyangkut keagamaan, pendidikan maupun tentang politik di publikasikan di berbagai majalah dan koran. Dan pemikiran beliau di kumpulkan dalam buku yang diterbitkan oleh Kementrian Agama serta banyak para cendikia yang menuliskan pemikiran beliau dalam bentuk buku. Buku-buku yang membahas Kehidupan, pemikiran dan perjuangan beliau mungkin sudah tidak bisa ditemukan dipasaran lagi, seperti Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Kemudian, K.H. A. Wahid Hasyim

28 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 68-70 29 Ensiklopedi Islam, op. cit., hal. 164 53

(1914-1953): His Educational and Religious Thought. Buku ini berbahasa Inggris dan belum diterjemahkan.30 Karya buku yang membahas tentang Wahid Hasyim: a. K.H. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU?, 1985 b. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, 1998 c. The Founding Father; Pesantren Modern Indonesia, Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, 2006 d. Wahid Hasyim; Biografi Singkat (1914-1953), 2009 e. K.H. Abdul Wahid Hasyim, Pembaru Pendidikan Islam dan Perjuangan Kemerdekaan, 2011 f. K.H. A. Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, 2011 g. Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Seri Buku TEMPO, 2011 h. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia, 2011

Karya berupa artikel: a. “Nabi Muhammad SAW dan Persaudaraan Manusia”. Pidatonya pada acara pembuakaan Perayaan Nabi Muhammad Saw. Di Istana Negara, Jakarta. 2 Januari 1950 b. “Kebangkitan Dunia Islam”. Di Media Mimbar Agama edisi No. 3-4, Maret-April 1951. c. “Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Pidato perayaan Hari Raya Idul Fitri, Indonesia masih berbentuk Serikat (RIS). d. “Fanatisme dan Fanatisme”. Dalam Gempita No.I tahun ke-1 (15 Maret 1955) e. “Siapakah yang Akan Meenang dalam Pemilihan Umum yang Akan Datang?” dalam Gema Muslimin, tahun ke-1 Maret 1953

30 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 42. 54

f. “Abdullah Oebayd sebagai Pendidik”. Dalam Suluh NU, Agustus 1941, Th. Ke-1 No. 5. g. “Kemajuan Bahasa berarti Kemajuan Bangsa”. Dalam Suara Ansor, Rajab 1360 Th. IV No.3. h. “Pendidikan Ketuhanan”. Dalam Mimbar Agama Tahun 1 No. 5-6, 17 November-17 Desember 1950. i. “Perguruan Tinggi Islam”. Pidato menyambut berdirinya Uniersitas Islam Sumatera Utara di Medan 21 Juni 1952. j. “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”. Pidato pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta 26 September 1951 k. “Pentingnya Terjemah Hadis pada Masa Pembangunan”. Termuat sebagai kata sambutan dalam kitab Tarjamah Hadis Shahih Bukhori 1953 l. “Tujuan Berfikir”. Kata pendahuluanagenda Kementrian Agama 1951-1952 m. “Islam antara Materialisme dan Mistik”. Ceramah pada malam purnama sidi Kamis malam, 4 Desembr 1952 n. “Perbaikan Perjalanan Haji”. Dalam Mimbar Agama Tahun I No. 2, 17 Agustus 1951.31

5. Latar Belakang Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim Wahid Hasyim adalah sosok yang pemuda yang brilian dan berpandangan kedepan melampaui kebanyakan orang pada waktu itu. Ide-ide dan gagasanya dan kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan, pergerakan, di pentas politik dan pendidikan adalah indikator utama Wahid Hasyim dalam berpandangan kedepan. Untuk mencapai ketahap itu semua selain berasal dari dirinya yang memang mumpuni, cerdas, otodidak dan mampu bergaul dengan siapapun tanpa pandang bulu, namun ada faktor eksternal pulalah yang turut mempengaruhi pemikiran Wahid Hasyim. Antara lain:

31 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 677-886. 55

a. K.H. Hasyim Asy’ari, ialah sosok ayah yang demokratis. Kedisiplinanya dalam memimpin dan sikap demokratisnya tampak menonjol dalam kehidupan keluarga, terutama dalam mendidik putra-putrinya. Sebagai ulama besar beliau mengharapkan puta-putrinya bisa engikuti jejak dan berkembang menjadi generasi yang berpengetahuan luas, khususnya dalam ilmu agama. Untuk itulah suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian rupa sehingga mendukung proses pembelajaran seluruh angota keluarganya. Sejak dini putra-putrinya diperkenalkan dengan pengetahuan agama Islam dan dibebaskan untuk mepelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan bagi putra-putrinya sebab secara ekonomi tergolong mampu untuk ukuran saat itu. Dalam suasana itulah Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang.32 b. K.H. Muchammad Ilyas, adalah saudara sepupu K.H. Abdul Wahid Hasyim yang pernah mengenyam pendidikan Hollands Indische School (HIS) di Surabaya. Memiliki jasa besar dalam membimbing Wahid Hasyim sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab. Ia yang memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan umum yang pernah didapatnya di HIS dan tidak terdapat dalam pondok pesantren. Misalnya bahasa Inggris dan Belanda. Dari sinilah terdapat interaksi antara K.H. Muhammad Ilyas dan K.H. A. Wahid Hasyim mengenai dinamika ilmu pengetahuan. Bersama K.H. Muhammad Ilyas, K.H. A. Wahid Hasyim menepuh studi di tanah suci (Mekkah) selama dua tahun.33 Di Mekkah Wahid Hasyim disamping menunaikan Haji, beliau meperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, sharaf, fikih, tafsir dan hadis.34 c. Dan gurunya di Masjidil Haram ialah Syeikh Umar Hamdan, seorang ulama yang terkenal alimya ketika itu di Mekkah. Kepadanya Wahid Hasyim belajar terutama ilmu-ilmu hadis, tafsir, fiqih, tasawuf, nahwu,

32 Saifullah Ma’shum, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), Cet I, hal. 301 33 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 25-26. 34 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 56 56

saraf dan lainnya. Kemudian kepada Syeikh Abdul Wahab Al-Khuqir, seorang hafiz al-Qur’an dan alim dalam fannya. Serta guru yang lain yang dikunjungi kerumahnya yaitu K.H. Bakir dari Yogyakarta yang terkenal baik di Mekkah ataupun di Indonesia.35 d. Serta pengaruh gelombang pembaharu Islam yang sangat gencar dilakukan di negeri-negeri Muslim di Timur Tengah, mendorong munculnya kesadaran para pendidik Islam di Indonesia untuk melakukkan perubahan- perubahan. Demikian juga, sistem pendidikan Belanda yang kala itu jauh lebih maju dan lebih modern, tampaknya juga menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran baru tersebut.36

6. Konsep Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim Di awal abad ke 20, tidak disangsikan lagi bahwa bangsa Indonesia mengalami berbagai bentuk pergerakan (perubahan) sosial, keagamaan, politik dan pendidikan. Pergerakan ini dipelopori tidak saja oleh para pemimpin kaum sekuler nasionalis, tetapi juga oleh pemimpin Muslim nasionalis yang dalam perkembangannya terpecah menjadi dua kubu: modernis dan tradisionalis. Perkembangan pergerakan tersebut termasuk peran para pemimpinnya telah banyak dikaji oleh para sarjana Barat dan Indonesia. Tetapi, kebanyakan mereka memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pergerakan sekuler dan modernis. Sedangkan kaum tradisionalis mendapat perhatian yang sangat kecil. Hal ini mungkin disebabkan bahwa kaum modernis, dalam pandangan mereka, sebagai kelompok yang mempunyai pandangan dinamis, pragmatis dan adaktif, sebaliknya kaum tradisionalis selalu mempunyai pandangan yang negatif terhadap segala bentuk inovasi trutama Barat, dan pemimpinnya dikategorikan sangat resisten untuk menerima perubahan. Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dapat diperhitungkan. Seperti dalam pergerakan kemerdekaan,

35 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 86-87 36 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), Cet ke-1, hal. 151 57

andil dan sumbangsih Wahid Hasyim menjadi ketua Majlis A‟la Islam Indonesia (MIAI), ditunjuk menjadi salah seorang anggota PPM sampai dipilihnya dia sebagai menteri agama menunjukkan bahwa perannya sangat signifikan dalam rangka merebut kemerdekaan dan mempersatukaan wilayah Indonesia.37 Wahid Hasyim adalah sosok pejuang yang cerdas, pragmatis dan tokoh muda yang menjadi ketua Departemen Ma’arif PBNU, ketua MIAI, ketua Masyumi, perintis berdirinya Hizbullah, pendiri Sekolah Tinggi Islam Jakarta, Kepala Jawatan Agama Pusat (Shumubucho), anggota termuda BPUPKI, penasehat Panglima Besar Jendral , Ketua Umum PBNU, Menteri Agama.38 Dan juga kyai Wahid Hasyim adalah sosok konseptor pendidikan Indonesia yang sangat tangguh yang dibuktikan oleh kemampuannya menjadikan Kementrian Agama sebagai Pengelola pendidikan bagi generasi muda Indonesia.39 Di abad ini Tradisi Pesantren telah melahirkan budayawan agung kyai Wahid Hasyim, tokoh pembangunan Peradaban Indonesia Modern, setaraf kualitas dan kelasnya dengan pendiri Peradaban Melayu antara abad ke-13 dan ke 17; , Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, dan Nuruddin Arraniri.40 Meneliti gagasan dan pemikiran Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat menarik. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini peneliti merumuskan konsep pemikiran pendidikan Wahid Hasyim dalam tiga aspek, yaitu a) Tujuan Pendidikan Islam, b) Kurikulum Pendidikan, dan c) Metode Pembelajaran.

a. Tujuan Pendidikan Islam Sebelum menuju sub pembahasan Wahid Hasyim, ada beberapa faktor pembaharuan pendidikan yang di formulasikan oleh Wahid Hasyim yaitu ada dua hal secara historis melatarbelakangi pembaharuan. Pertama,

37 Achmad Zaini, op. cit., hal. 1-3. 38 Saifullah Ma’shum, op. cit., hal. 299. 39 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. 149 40 Ibid., hal. 37. 58

kondisi umat Islam yang terbelakang dalam hal pendidikan, yang berdasar pada kesadaran pentingnya pendidikan dalam rangka membangun bangsa. Kedua, sentimen negatif Wahid Hasyim terhadap kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan, begitu pula nasionalisme yang dibangun anak bangsa yang merambah dan mewujud dalam bentuk reformasi pendidikan Islam sebagai peneguhan atas eksistensi identitas umat Islam juga sebagai perlawanan terhadap pemerintah kolonialisme.41 Kedua faktor diatas itulah yang melatarbelakangi Wahid Hasyim dalam melakukan perubahan pendidikan Islam di Tebuireng. Setiap orang mengenal bahwa pesantren pada masa awal merupakan suatu lembaga pendidikan klasik dan tradisional di negeri ini.42 Termasuk Pesantren Tebuireng. Pesantren ialah tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari bahasa Arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik/ kitab kuning karangan ulama-ulama besar. Mereka yang berhasil dalam belajaranya memang diharapkan menjadi kyai, ulama, muballigh, setidak-tidaknya guru agama.43 Pesantren yang semula mempunyai tujuan untuk menjadikan kyai, ulama dan muballigh mendapat respon dari masyarakat, terutama orang tua yang mempercayakan kepada kyai dan mendidik anaknya agar kelak memahami agama secara mendalam dan pada akhirnya harapan untuk menjadikan anak-anaknya sebagai tokoh agama. “...... orang tua-tua masa lalu mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya, kurangnya kesedian

41 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal.361 42Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 224. 43 M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet ke-3, hal. 2 59

anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern..”.44

Dengan demikian tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan menegakan Islam dan kejayaan umat.45 Dari latar belakang itulah tujuan pesantren dirumuskan hanya mencetak para ulama dan ahli agama belaka, dengan kata lain pesantren tidak menerima atau menolak pelajar umum masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan tidak sesuai dengan tujuan pesantren tersebut. Kecenderungan belajar di pesantren yang demikian, menggugah Wahid Hasyim untuk memberikan alternatif lain kepada santri. Yang menyarankan kepada sebagian santri tidak untuk menjadi ulama. Hal tersebut senada dengan kenyataan pada waktu itu sebagian santri yang mondok bertujuan tidak untuk menjadi ulama. Pemikiran Wahid Hasyim pula, dapat dilihat dari tulisannya tentang “Pentingnya Terjemah Hadits pada Masa Pembangunan”. Wahid Hasyim mengatakan bahwa: “...Untuk menjadikan orang beragama tidak perlu orang itu diharuskan (ditentukan) mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, orang yang berpengetahuan agama tidak mesti menjadi orang yang beragama dengan baik. Acap kali kita dapatkan seorang yang tidak berpengetahuan agama dengan luas dan dalam, beragama lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama, dalam arti yang dalam dan luas. Juga sering kita dapatkan irang yang mengerti betul ilmu-ilmu agama dengan sedalam-dalamnya, perbuatannya tidak memberikan nama baik sebagai orang beragama”46

Tulisan Wahid Hasyim di atas, bukan semata-mata beliau anti terhadap pengetahuan agama melainkan upaya Wahid Hasyim dalam

44 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, K.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU?, (Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 71. 45 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, tt), hal. 4. 46 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 70. 60

memberikan pemahaman akan potensi-pontensi setiap individu. Oleh karena itu Wahid Hasyim berpendapat bahwa tidak selayaknya tujuan pendidikan di lingkup pesantren hanya berorientasi dalam cakupan yang kecil, dan hanya bercita-cita untuk menghasilkan lulusan/ jebolan yang berpengetahuan agama yang mendalam (ahli agama/ ulama). Menurut beliau penguasaan ilmu agama yang luas dan dalam bukanlah jaminan untuk memastikan baiknya keagamaan seseorang dan sebaliknya ada perilaku seseorang yang menunjukkan keagamaan yang baik yang berasal dari orang yang keberagamaannya tidak lebih baik. Beberapa alasan Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian; yaitu: 1) Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari kyai berbagai pesantren. 2) Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang dituls dengan bahasa non-arab. 3) Para santri dapat menfokuskan waktu untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.47

Dengan itulah K.H. A. Wahid Hasyim berinisiatif untuk merombak dan mengembangkan tujuan pendidikan Islam, dengan menyarankan agar tidak semua santri dicetak untuk menjadi ulama atau ahli agama. Maksud beliau itu agar santri bukan semata-mata mencari ridho Allah swt. Melainkan mampu beradabtasi dengan lingkungan masyarakat, kreatif, berketrampilan dan bertanggung jawab. Dan ide ini sekarang dikenal dengan life skill education. Walau demikian Wahid Hasyim tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dan ahli agama. Sesuai dengan tulisannaya: “..Ini tidaklah berarti bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandung bahasa Arab. Maksud saya ialah tidak menyetujui mengarabkan angkatan (generasi) kita yang akan

47 Muhammad Rifai, op. cit., hal. 54. 61

datang dengan memakai bahasa dan istiadat Arab yang berbeda dari bahasa dan istiadat Indonesia. Dalam pada itu bagi orang yang ingin menjadi betul tentang ilmu agama Islam, maka tiada lain jalannya kecuali melalui bahasa yang mengandungnya. Akan tetapi hal itu hanya bagi orang-orang ahli yang sedikit jumlahnya.”48

Menurut Shofiyullah Mz, bahwa tujuan pemikiran dari Wahid Hasyim lebih bercorak subtantif dan inklusif, dan lebih indah lagi jika corak pemikiran tersebut dapat diwarisi oleh generasi bangsa sekarang.49 Dengan demikian dapat dipahami tujuan pendidikan menurut Wahid Hasyim harus memenuhi kebutuhan akhirat (ukhrowi) dan Duniawi. Serta moral dan akhlak. Seperti tulisan beliau tentang Ilmu pengetahuan dan Ketuhanan: “..Dua kemungkinan itu kuncinya terletak pada pendidikan, baik mengenai pendidikan kecerdasan, maupun pendidikan jiwa (rohani), ataupun pendidikan badan (jasmani). Dengan perkataan pendidikan di sini tidaklah diartikan secara falsafah yang berurat dengan dalamnya.”50

Inilah preogresifnya Wahid Hasyim yang mana sudah jauh mencanangkan untuk martabat para santri, agar santri tidak dianggap remeh dan bisa dikatakan sejajar atau lebih tinggi dari kelompok lain. Jadi Tujuan Pendidikan menurut Beliau ialah mengembangkan pendidikan Islam (pesantren) dan menyarankan agar tidak semua santri dicetak menjadi ulama, dan orientasi pendidikan Islam kepada kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang baik.

b. Kurikulum Pedidikan Islam Pada zaman kolonial Belanda, Umat Islam mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan dikelola kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern,

48 K.H. A. Wahid Hasyim, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 823. 49 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 71. 50 K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 78. 62

liberal dan netral agama. Kenetralan Belanda terhadap agama tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen daripada Islam.51 Spesialis masing-masing lembaga pendidikan jelas berbeda, jika lembaga pendidikan umat Islam kajian ilmu-ilmu agama saja sedangkan lembaga pendidikan Belanda lebih menekankan kepada ilmu-ilmu umum atau non- agama. Dalam konteks ini upaya Wahid Hasyim yang dilakukkan adalah menengahi perbedaan dua sistem pendidikan diatas. Kepedulian Wahid Hasyim terhadap pendidikan umat Islam Indonesia khususnya kalangan pesantren, yaitu mencoba memperbaiki sistem pendidikan Islam Indonesia dengan memodernisasi sistem pendidikan pesantren yang nyatanya kurang ikut perkembangan zaman. Sifat keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dapat dilihat ketika beliau mengusulkan adanya perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang ditawarkan adalah dimasukkannya ilmu pengetahuan “sekuler” dalam kurikulum pesantren dengan harapan santri tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat, sehingga santri, dalam pandangannya, menjadi manusia yang sempurna. Di satu sisi santri menjadi ahli agama, di sisi lain santri siap bersaing dengan koleganya yang berasal dan sekolah “sekuler” dalam memperebutkan lapangan pekerjaan.52 Bentuk realisasi dari gagasan pembaruan pendidikan Wahid Hasyim yaitu dengan didirikannya sekolah atau lembaga pendidikan yang bernama Madrasah Nizhamiyah.53 Di mana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum.

51 Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005), hal. 53 52 Achmad Zaini, op. cit., hal. 2 53 Madrasah Nidhzamiyah berdiri tahun 1934 dan direstui oleh ayahandanya tahun 1935. Pada awal ruang pengajarannya di Serambi Masjid Tebuireng dengan siswa 29. Ini adalah terobosan pendidikan, karena pertama kali pesantren yang mengembangkan penjaran umum 70%. Lihat Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 37. 63

Ide Wahid Hasyim yang mengembangkan pendidikan umum dengan prosentase lebih besar dari pendidikan Islam, itu bukan tanpa alasan, karena menurut pandangan beliau bahwa santri diajari pelajaran agama secara meluas dan mendalam, sebagian santri tidak akan menjadi ulama. Karena Wahid Hasyim ingin membekali santri dengan ketrampilan untuk bekal di masyarakat. Materi pelajaran yang diberikan meliputi aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam sedang untuk bahasa meliputi bahasa Indonesia, Inggris dan bahasa Belanda. Dan ketrampilan mengetik.54 Lembaga pendidikan Nidhzamiyah memberikan materi yang beragam, dari bahasa dan ilmu pengetahuan umum dikarenakan bahasa- bahasa asing dan ilmu pengetahuan umum tersebut untuk konteks perjuangan bangsa Indonesia yang sedang dijajah. Namun tidak melupakan bahasa Indonesia yang nantinya untuk mempersatukan Indonesia. Seperti tulisan Wahid Hasyim yang menyatakan, hanyalah sebagai bukti bahwasannya kemajuan bahasa itu berarti kemajuan bangsa: “...Penulis senang kepada orang yang berbahasa asing dan setuju juga, karena kecuali termasuk menunaikan kewajiban sebagai putera Timur yang muslim yang diharuskan menuntuk akan sekalian kepandaian yang ada diatas jenapa ini dan ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, pun penulis pernah juga belajar sekalipun hanya satu ONE dan ONE atau se EEN du EEN tetapi dalam selama kita belajar itu, kita harus tetap mempunyai anggapan dan kepercayaan bahwasannya kita putra Indonesia, kita mempunyai bahasa sendiri”.55

Berkaitan dengan di atas Wahid Hasyim mendirikan perpustakaan untuk meningkatkan kebiasaan membaca. Selain 1.000 judul buku. Bagian perpustakaan berlangganan majalah dan surat kabar, yaitu Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, al-Munawwarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan

54 Achmad Zaini, op. cit., hal. 38. 55 K.H. A. Wahid Hasyim, Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, op. cit., hal. 66. 64

Penyebar Semangat. Ketujuh urutan pertama jurnal tersebut diterbitkan oleh berbagai organisasi Islam di tahun 1930-an, baik modernis maupun traisionalis. Keempat jurnal yang terakhir diterbitkan oleh kelompok “Nasionalis”. Dari kesebelas jurnal tersebut, hanya Berita Nahdlatul Ulama saja, yang secara konsisten mewakili pandangan kaum tradisionalis. Kesediaan Wahid Hasyim untuk berlangganan majalah dan surat kabar milik kaum Islam modern dan kelompok “Nasionalis” merupakan gambaran pribadinya yang progresif.56 Dalam pembaharuan ini Wahid Hasyim tidak lepas dari kritik. Segala kritik, segala serangan mengenai usahanya dari segala golongan, tidak diindahkan oleh Wahid Hasyim, semuanya itu disambut dengan tenang dan beliauberjalan dengan keyakinannya sebagai idealis.57 Yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan terobosan baru dikalangan pesantren. Padahal pada saat itu mata pelajaran non-agama masih dianggap tabu karena dianggap identik dengan Barat. Saat itu usia beliau baru 21 tahun. Hal ini Wahid Hasyim mengatakan bahwa: “Kalau dulu orang mengartikan pendidikan Barat itu pada umumnya sebagai suatu cara pendidikan yang didasarkan atas pengetahuan Barat, adat-istiadat Barat, bahasa Barat secara yang lahir, maka di sini yang dimaksud dengan Barat adalah lebih dari itu. Pendidikan yang didasarkan pada filsafat Barat yang pokok yaitu kebendaan (materialisme) walaupun wadahnya sudah dinasionalkan dengan adat-istiadat nasional dan bahasa nasional”.58

Tulisan Wahid Hasyim di atas itu mengenai ketidak setujuan beliau terhadap pandangan masyarakat pesantren pada saat itu, yang menganggap pendidikan umum atau non-agama itu dikategorikan dalam keilmuan yang negatif. Karena pada waktu itu Barat (Belanda) adalah musuh besar untuk masyarakat Indonesia. Menurut beliau yang dimaksud dengan Barat Itu

56 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal. 177. 57 Aboe Bakar Atjeh, op. cit., hal. 153. 58 K.H. A. Wahid Hasyim, Pendidikan Ketuhanan. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 803. 65

lebih dari apa yang masyarakat pikirkan, salah satunya materialisme dan 3 G; Gold, Glory, Gospel. Senada dengan di atas Wahid Hasyim dalam tulisannya mengatakan bahwa: “Sesungguhnya dalam lapangan pengetahuan, tiada perlu ada perselisihan dan perpecahan; juga dalam pandangan Islam demikian pula halnya. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap membeda-bedakan di dalam segala hal; juga dalam lapangan pengetahuan”.59

Menurut beliau, agama saja tidak membeda-bedakan di dalam segala hal apalagi dalam segi ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama. Jadi pemikiran Wahid Hasyim dalam kurikulum pendidikan Islam adalah perlunya memasukkan ilmu pendidikan umum kedalam kurikulum pesantren. Seperti dengan adanya Madrasah Nizhamiyah yang mana kurikulum ilmu umum 70% dan ilmu agama 30%.

c. Metode Pembelajaran Bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa Kitab Kuning menjadi text books, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru dimulai terjadi pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran Kitab Kuning secaara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Mekkah.60 Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah: a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang

59 K.H. A. Wahid Hasyim, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Dalam Aboe Bakar Ajteh, op. cit., hal. 813. 60 Marzuki Wahid, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 224. 66

menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqoh. b. Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab kuning yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri, kendatipun demikian metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung. c. Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.61

Sepulang dari Mekkah, Wahid Hasyim mengusulkan kepada ayahnya (K.H. Hasyim Asy’ari) untuk merubah metode pembelajaran di pesantren. Perubahan metode pembelajaran yang mulanya menggunakan metode sorogan atau bandongan diganti dengan sistem tutorial dengan bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis.62 Metode tutorial merupakan cara menyampaikan bahan pelajaran yang telah dikembangkan dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa dapat mengkonsultasikan tentang masalah-masalah dan kemajuan yang ditemuinya secara periodik (berjangka).63 Wahid Hasyim mengharapkan dengan adanya perubahan itu agar terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif-dialogis, yang mana bukan semata-mata guru sebagai satu-satunya sumber ilmu dan pendapat guru tidaklah suatu kebenaran mutlak, sehingga bisa disanggah dan dimusyawarahkan bersama oleh peserta didik. Jadi pemikiran beliau dalam metode pembelajaran itu pergantian metode wetonan dan sorogan dengan sistem tutorial yang sistematis dan

61 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-1, hal. 287. 62 Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 65. 63 Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), cet ke-2, hal. 77. 67

perjenjangan dalam kelas, serta mengindahkan proses belajar mengajar yang aktif-dialogis dan guru ditempatkan bukan satu-satunya sumber ilmu.

B. Pembahasan Menurut Rupert C. Lodge, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar mengatakan Life is education and education is life.64 Pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada di dalamnya. Hal ini disebabkan, karena manusia merupakan subjek dan obyek pendidikan. Artinya, manusia tidak akan bisa berkembang dan mengembangkan kebudayaannya secara sempurna bila tidak ada pendidikan. Untuk itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa eksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar bagi meneruskan dan mengekalkan kebudayaan manusia. Di sini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan (mengharmonisasikan) kebudayaan lama dengan kebudayaan baru secara proporsional dan dinamis.65 Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban Islam dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi. Oleh sebab itu di dalam al-Quran telah ditetapkan proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah. Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup (life- skill). Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber

64 Samsul Nizar, op. cit., hal. v. 65 Ibid. 68

otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia.66 Modernisme muncul karena beberapa faktor, antara lain kontak dengan Barat, kesadaran reinterpretasi ajaran agama, kejumudan67 dan taqlid.68 Yang dimaksud dengan dasar-dasar modernisme dalam Islam di sini adalah dasar-dasar pemikiran ulama dan cendikiawan muslim guna mengembangkan analisa mereka dalam memperjuangkan ajaran Islam yang universal.69 Kenyataannya pendidikan Islam Indonesia pada zaman Belanda mengalami nasib yang tragis, di mana pendidikan Islam pada saat itu dianak tirikan, bahkan penduduk asli (bumi putera) diperlakukan sebagai penduduk kelas nomer tiga, karena kelas nomer tiga itu kelas paling rendah di negeri ini. Di mana orang Belanda sebagai kelas nomor satu, orang asing (termasuk Cina) sebagai kelas dua, sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.70 Dari latarbelakang itulah para cendikiawan muslim mencoba memperbaru pendidikan Islam, yang mana agar Indonesia dipandang dan pendidikan Islam di Indonesia mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi lama. Salah satu tokoh pembaharu pendidikan Islam adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim merombak sistem pesantren Tebuireng, metode pembelajaran dan tujuan pendidikannya. Maka Wahid Hasyim mencoba untuk mengoreksi harapan (expectation) santri belajar di pesantren. Beliau mengusulkan agar kebanyakan santri yang datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin, dan menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan

66 Qurroti A’yun’s Blog, Konsep Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Link http://aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan-Islam. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013. 67 Jumud adalah mandek atau statis dan baku. Lihat M. Dahlan Y. Al-Barry, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003), hal. 346. 68 Taqlid adalah mengikuti sesuatu tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Lihat Ibid., hal. 757. 69 T.H. Thalhas, Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan & K.H. M. Hasyim Asy‟ari, (Jakarta: Galura Pase), hal. 10. 70 Mansur dkk, op. cit., hal. 55 69

menguasai ketrampilan yang berguna langsung di tengah masyarakat di mana mereka berada. Akhirnya pada tahun 1935 Wahid Hasyim mendirikan sekolah yang bernama Nizhamiyah, dengan kurikulumnya 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Yang mana di ajarkan aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam dan bahasa Indonesia, Belanda serta ketrampilan mengetik. Tidak cukup disitu Wahid Hasyim juga mendirikan perpustakaan yang bertujuan untuk meningkatkan kebiasaan membaca para santri.71 Dengan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, beliau tidak lepas dari kritikan. Antara lain kritikan yang datang itu dari kalangan ulama dan masyarakat. Anggapan ulama bahwa ide pembaharuan Wahid Hasyim sebagai upaya mencapur adukan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian yang mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih dianggap produk bangsa kolonial.72 Beliau tidak mengindahkan dengan adanya kritikan tersebut. Melainkan melanjutkan pembaharuan yang sudah dirancangnya. Keberhasilan Madrasah Nizhamiyah sebagai pilot project dalam memodernisasi pesantren merupakan langkah awal bagi Wahid Hasyim dalam mengembangkan reformasi pendidikan di kalangan kaum tradisional. Sejak beberapa kyai mengadopsi sistem madrasah di pesantrennya, kurikulum yang diterapkan bervariasi disesuaikan dengan keahlian yang dimiliki oleh pesantren tersebut dan tersedianya guru.73 Hasil dan pembaharuan pendidikan di Tebuireng sangat meggembirakan dengan masuknya orang-orang NU di departemen- departemen. Sebagai contoh, ketika Wahid Hasyim ditunjuk menjadi asisten ayahnya sebagai mentri agama di masa penjajahan Jepang mengajukan usulan agar dibentuk Shumuka (kantor cabang kementrian agama) di tiap residen, dia dengan mudah menunjuk beberapa lulusan Tebuireng dan lulusan pesantren lainnya yang layak menduduki posisi tersebut.74

71 Achmad Zaini, op. cit., hal. 37-39. 72 Ibid., hal. 41. 73 Ibid., hal. 42. 74 Ibid., hal. 44. 70

Setelah bangsa Indonesia memenangkan “Perang Revolusi” melawan Belanda, Presiden Soekarno mengangkat K.H. A. Wahid Hasyim menjadi Mentri Agama Republik Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949, dua hari setelah ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhag. Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Wakil Presiden pada penutupan sidang KMB yang memungkinkan Bung Karno segera membentuk Kabinet RIS Pertama tanggal 29 Desember 1949. Wahid Hasyim selaku Menteri Agama segera menyiapkan langkah- langkah untuk mewujudkan impiannya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai modal untuk memahami ajaran-ajaran Islam, menjadikan al-Qur’an dan Hadist sebagai tuntutan moral yang dapat menjiwai hati dan pikiran dalam upaya membangun peradaban Indonesia Modern. Langkah-langkah beliau sangat konkrit. Dalam waktu enam bulan setelah menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di hampir setiap keresidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) di Yogyakarta, Bukittinggi, Bandung, Malang, serta mendirikan Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.75 Pemikiran pendidikan guru berangkat dari pemikiran beliau bahwa guru yang mengajar di madrasah hanya lulusan HIS atau pesantren, sehingga dinilai masih kurang ilmunya untuk menjadi guru, itu sebabnya berdirinya pendidikan guru agama di setiap provinsi dan kabupaten. Enam tahun sebelum menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam. Sekolah yang diasuh K.H. Kahar Muzakkir ini berdiri di gedung Kantor Imigrasi, Gondangdia, Jakarta, pada 1944. Dari sekolah itulah bermacam Perguruan Tinggi Islam yang ada di negeri ini berhulu.76 Empat tahun kemudian tepatnya tahun 1948, sekolah ini berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas: pendidikan, agama, hukum dan ekonomi. Universitas tertua itu sejak didirikan hingga kini berada di Yogyakarta.

75 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hal. 152. 76 Seri Buku Tempo, op. cit., hal. 78. 71

Pada saat Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama pada 1950, Fakultas Agama UII di negerikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN). Adapun tiga fakultas lainnya tetap berstatus swasta dan dikelola pihak UII. Penegerian Fakultas Agama UII menjadi PTAIN diatur dalam peraturan Persiden No. 34 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950. Yang diteken Assaat selaku Pemangku Jabatan Presiden RI. Saat peresmian PTAIN, 26 September 1951, Wahid Hasyim menyampaikan pidato berjudul “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”. Beliau menyampaikan, pembentukan perguruan tinggi bertujuan mencapai kemajuan dengan penekanan pada pengemabangan atmosfer berfikir secara rasional. Penyelenggaraan PTAIN selanjutnya diatur dengan Peraturan Bersama Mentri Agama dan Menteri Pendidikan tertanggal 21 Oktober 1951 yang diteken Wahid Hasyim dan Mr . Sejak didirikan, PTAIN mengalami perkembangan pesat, baik dari jumlah mahasiswanya maupun dari keluasan bidang ilmu agama Islam yang dipelajari. PTAIN kelak menjadi cikal bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Enam tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1957, juga berdiri Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) sebagai kelanjutan usaha mendirikan Sekolah Guru Agama Atas serta Sekolah Guru dan Hakim Agama.77 Jadi segenap paparan di atas, di mana Wahid Hasyim menilai bahwasannya pendidikan Islam Indonesia di nilai maju adalah pendidikan yang mengkombinasikan antara ilmu agama dan ilmu non-agama atau umum. Karena beliau ingin membekali para santri terutama dan umumnya untuk generasi muda Indonesia dengan meningkatkan sumber daya manusia dan mengikuti perkembangan zaman.

77 Ibid., hal. 79. 72

C. Relevansi Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dengan Perkembangan Pendidikan Masa Kini Cukup banyak alasan bangsa Indonesia membahas kembali kehidupan Wahid Hasyim, antara lain: 1. Terlahir dari Tradisi pesantren. 2. Wahid Hasyim adalah seorang intelektual dan budayawan besar lulusan pesantren yang memainkan peran penting dalam peletakan batu pertama bangunan peradaban modern, periode kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 3. Wahid Hasyim juga peletak dasar modern bagi umat Islam berupa ramuan tradisi Pesantren dengan modernitas pendidikan sampai sekarang.78

Wahid Hasyim mewarisi khazanah intelektual sang ayah dengan cara yang paling baik. Beliau mampu mengembangkan diri jauh melebihi rekan-rekannya yang mendidikan pendidikan formal. Ia membangun pergaulan yang luas, merintis dan memimpin organisasi sosial dan politik, terlibat dalam gerakan kemerdekaan, hingga menjadi menteri agama yang pertama di Republik ini. Pikiran-pikiran beliau berkarakter progresif dan berjangkau luas kedepan. Hal ini tampak dari perspektifnya mengenai ilmu pengetahuan dan juga praktik mendidik putra-putrinya. Wahid Hasyim yang bahkan lahir dan tumbuh dari keluarga pesantrenm beliau melihat pentingnya ilmu umum dan penguasaan bahasa asing selain Bahasa Arab yang diwajibkan bagi para santri. Sejalan dengan pandangan itu semua putra-putrinya di masukkan ke lembaga pendidikan modern, tanpa meninggalkan pengetahuan agama, yang merupakan basis intelektual dan kultural yang ditekankannya. Keenam putra-putrinya, akhirnya kelak menjadi tokoh yang berwawasan luas, tetap berwatak santri.79 Perhatian Wahid Hasyim dalam menyeimbangkan antara ilmu penetahuan umum dan agama juga diimplementasikan dalam bentuk lain, yakni memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, menyusul ditetapkannya UU Pendidikan No. 4/ 1950, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan

78 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hal. 151. 79 Shofiyullah Mz (ed), op. cit., hal.361 73

Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Bersama pada 1951, yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu, keputusan bersama ini juga menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Kementrian Agama dianggap telah memenuhi wajib belajar.80

Selama 2 tahun 4 bulan menjadi Menteri Agama Wahid Hasyim membidangi lahirnya Undang-undang Pendidikan RI Nomor 4 Tahun 1950. Sejumlah pasalnya tetap berlangsung sampai sekarang, antara lain: 1. Tujuan Pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga-warga yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air (pasal 3) 2. Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar (pasal 10 ayat 2) 3. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan. Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama (pasal 20, ayat 21) 4. Disemua sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tuanya menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut (pasal 20, ayat 1) Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1950, Wahid Hasyim berhasil memasukan pasal-pasal kebajikan pendidikan sebagai berikuta:

1. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri 2. Memimpin, menyokong serta mengamati pendidikan dan pengajaran di madrasah dan perguruan agama lainnya 3. Mengadakan pendidikan guru dan hakim agama 4. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan pengajaran rohani kepada anggota-anggota tentara, asrama, rumah- rumah penjara dan tempat-tempat lain yang dipandang perlu.81 PTAIN yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 26 September 1951 itu pada tahun 2011 telah beranak-pinak menjadi:

1. Enam Universitas Islam Negeri (UIN: Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, Malang, dan Makasar)

80 Azyumardi Azra; Saiful Umam (ed.), op. cit., hal. 94. 81 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hal. 153-154. 74

2. Empat belas Institut Agama Islam Negeri (IAIN: Aceh, Medan, Padang, jambi, Palembang, Lampung, Serang, Bengkulu, Semarang, Surabaya, Mataram, Manado, Gorontalo, dan Ambon) 3. Tiga puluh empat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di sejumlah ibukota provinsi dan kabupaten. 4. Dan, sekitar 450 Perguruan Tinggi Agama Islam swasta (PTAIS).82 Upaya dan pemikiran Wahid Hasyim dalam mengembangkan pendidikan Islam dan memajukan Pendidikan Indonesia. Antara lain dengan merombak sistem pembelajaran pesantren yang di awal menggunakan sistem wetonan dan bandungan dirubah menjadi sistem tutorial agar aktif-dialogis, dan memasukan ilmu non-agama (ilmu pengetahuan umum) ke dalam kurikulum pesantren, serta tujuan pendidikan dengan mengusulkan agar santri tidak serta merta menjadi ulama akan tetapi diajarkan ilmu pengetahuan, bahasa dan ketrampilan mengetik untuk membekali santri di kehidupan masyarakat serta mengikuti zaman. Dan pemikiran-pemikiran beliau tentang perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN) yang nantinya menjadi UIN itu juga mengkombinasikan antara ilmu non-agama dan ilmu agama yang mana ingin memajukan pendidikan Indonesia dan mencerdaskan bangsa. upaya serta pemikiran beliau tersebut relevan dengan tujuan pendidikan nasional, yang termuat dalam sistem pendidikan nasional Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 bab 2, yang berbunyi: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.83 Serta relevan dengan Ketentuan Umum Undang-undang No. 20 Tahun 2003, pasal 1 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

82 Ibid., hal. 160. 83 Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), hal. 8 75

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.84

84 Ibid, hal. 5

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan data dan analisis di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Gagasan Pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim dilatarbelakangi oleh kekecewaan dan sentimen negatif kepada kolonialisme yang menganaktirikan masyarakat pribumi terkait hak-hak untuk mengenyam pendidikan, dan kondisi umat Islam Indonesia yang terbelakang dalam hal pendidikan. Ini mendorong Wahid Hasyim untuk meramu Pendidikan Islam di Indonesia untuk memajukan dan mencerdesakan bangsa dengan mendirikan madrasah Nizamiyah. Antara lain dengan; Pertama, Tujuan Pendidikan Islam, yaitu dengan berorientasi kepada kebutuahan masyarakat sesuai perkembangan zaman serta tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi lama yang baik. Kedua, Kurikulum Pendidikan Islam, perlunya memasukan ilmu pendidikan umum ke dalam kurikulum pendidikan Islam. dan Ketiga, Metode Pembelajaran, yaitu tutorial yang sistematis dan aktif-dialogis. 2. Kontribusinya terhadap upaya Pembaharuan Pendidikan Pesantren, yang mana tidak hanya bertujuan atau berorientasi kepada urusan ukhrowi saja namun harus diimbangi oleh urusan duniawi agar umat Islam khususnya di

76 77

Indonesia tidak tertinggal dan terbelakang, lebih lagi mengikuti perkembangan zaman. 3. Pentingnya mempelajari Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim yang progresif ini yang berazaskan pada; ِ ِ ِ ِ اَلُْم َحافَظَةُ َعلَى اْلَقديِْم ال َّصال ِح َواْألَ ْخ ُذ ِب اْل َلديْد اْألَ ْ لَ ِح “Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menerima nilai-nilai baru yang lebih baik”.

B. Saran Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis memiliki harapan: 1. Masyarakat Indonesia, agar dapat lebih jauh mengenal sosok Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam yang berasal dari Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, tidak hanya mengenal tokoh-tokoh luar saja. 2. Untuk Civitas Akademika, penulis berharap agar dapat melanjutkan penelitian dan mengembangkan pemikiran, gagasan dan cita-cita K.H. Abdul Wahid Hasyim, untuk berperan dan sumbangsih untuk perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. 3. Untuk Pesantren di seluruh Indonesia, agar dapat mengarahkan santri atau peserta didik beroreintasi kepada perkembangan zaman, akan tetapi tidak lupa dengan tradisi di setiap daerah masing-masing. Seperti bercocok tanam, berdagang dsb. 4. Untuk Mahasiswa, agar dapat memahami pemikiran dan gagasan serta cita-cita pembaharuan pendidikan Islam dan sosok pejuang kemerdekaan K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam memajukan khasanah keilmuan Islam. Kemudian meneladani semangat dan kegigihan dalam memperjuangkan Pendidikan Islam pada era Belanda, Jepang dan Kemerdekaan. Yang akhirnya, mengharapkan agar pemuda Indonesia menjadi generasi penerus untuk memajukan pendidikan Islam Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed M. Naquib, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung: Mizan, Cet ke-7, 1997.

Al-Barry, M. Dahlan Y, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Inelektual, Surabaya: Target Press, 2003.

Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalimah, 1999.

Arief, Armai, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Diklat Perkuliahan, 2002.

______, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara ADI, 2009.

______, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Perss, 2002.

______, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, Cet ke-1, 2005.

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, Cet ke-10, 2009.

Asrorah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 2001.

Atjeh, Aboe Bakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957.

Azra, Azyumardi; Umam, Saiful (ed.), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.

Barnadib, Imam, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982.

Basori, Ruchman, The Founding Father, Pesantren Modern Indonesia: Jejak Langkah K.H. A. Wahid Hasyim, Jakarta: Inceis, Cet ke-1, 2006.

Blog, Qurroti A’yun’s, http://aaxu.wordpress.com-pembaharuan-pendidikan- islam. Pada tanggal 28 Maret 2013.

Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam., Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-3, 1996.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV Atlas, 1998.

78 79

______, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha Putra, 1989.

______, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.

Efendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi; Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010

Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Fadeli, Soeleiman, dkk, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, Surabaya: Khalista, 2007.

Haryanto, Riky, K.H. A. Wahid Hasyim; Studi Analisis tentang Pemikiran, Kiprah & Perjuangan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2007.

Hasyim, A. Wahid, Pentingnya Terjemah Hadist pada Masa Pembangunan. Dalam Buntaran Sanusi, dkk, K.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU?, Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985.

Kurniawan, Syamsul, Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Ma’shum, Saifullah, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, Cet ke-1, 1998.

Mansur dkk, Rekonsruksi Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2005.

Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet ke-5, 2007.

Munawwir, A. W, Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresive, 1984.

Mz, Shofiyullah (ed), K.H. A. Wahid Hasyim, Sejarah Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, Cet ke-1, 2011.

80

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet ke-1, 1997.

______, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo, Cet ke-9, 2004.

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, Cet ke-1, 2007.

Purwodarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet ke-12, 1991.

Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta: Erlangga, tt.

Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, Cet ke-3, 1985.

Rifai, Muhammad, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Jogjakarta: Garasi, 2009.

Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, Cet ke-6, 2009.

Sanusi, Buntaran, dkk, K.H.A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU? Konsep tentang Agama, Pendidikan dan Politik, Jakarta: PT Inti Sarana Aksara, 1985.

Saridjo, Marwan, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara & Penamadani, 2010.

Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta: KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.

SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, Cet ke-1, 2006.

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: PT Alfabeta, 2008.

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet ke-1, 2004.

81

Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet ke-11, 2005.

Thalhas, T.H., Alam Pikiran K.H. Ahmad Dahlan & K.H. M. Hasyim Asy’ari, Jakarta: Galura Pase, Cet ke-1, 2002.

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam/ IPI, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Ulum, Fahmi, Abdul Wahid Hasyim; Kajian tentang Aktifitasnya dalam Bidang Pendidikan, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2005.

Wahid, Marzuki, dkk, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Yamin, Martinis, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta: Gaung Persada Press, cet ke-2, 2004.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet ke- 8, 1990.

______, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996.

Zaini, Achmad, K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat-P3M, Cet ke-1, 1986.

PESANTREN TEBUIRENG

Jl. Irian Jaya 10 Tebuireng Jombang 61471 Telp. 0321-863136, 867866 Fax. 0321-867867 http://www.tebuireng.org e-mail : [email protected]

SURAT KETERANGAN Nomor: 723/I/HM 00 01/SEK/2012

Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang menerangkan bahwa :

N a m a : Syafiq Akhmad Mughni NIM : 108011000036 Program Study : Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bahwa Yang bersangkutan telah melakukan penelitian untuk kegiatan penelitian di Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, guna penyelesaian skripsi dengan judul “Pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim tentang Pendidikan Agama Islam”. Penelitian literatur dimaksud dimulai tanggal 29 November s.d. 01 Desember 2012.

Demikian Surat Keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Tebuireng, 03 Desember 2012

Ir. H. Abdul Ghofar Sekretaris

Tiket kereta Api Gaya Baru Malam Selatan (GBM Selatan) Pasar Senen-Surabaya yang digunakan penulis untuk pemberangkatan menuju Tebuireng, Jawa Timur

Tiket kereta Api Gaya Baru Malam Selatan (GBM Selatan) Jombang Jawa Timur- Jakarta Kota yang digunakan penulis untuk pulang ke Jakarta.

Rep. Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim,Djakarta, 1957

K.H. A. Wahid Hasyim

K.H. Abdul Wahid Hasyim ketika berusia 12 tahun. Pada usia yang relatif Muda ini, ia telah menggunakan kacamata. Katanya, akibat terlalu banyak membaca.

Remaja K.H. Abdul Wahid Hasyim ketika berusia 18 tahun dan mengenakan Sorjan, pakaian tradisional Jawa.

Pemuda K.H. Abdul Wahid Hasyim ketika berusia 20 tahun. Nampak gagah Dan berwibawa

K.H. Abdul Wahid Hasyim Bersama istri tercinta

Persiden Soekarno di dampingi K.H. Abdul Wahid Hasyim, sedang beramah tamah dengan para alim ulama sesudah konferensi Ru’yah

K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam percakapan santai dengan Kapten kapal haji pertama ke Mekkah, sesudahnya masa revolusi

K.H. Abdul Wahid Hasyim sedang berunding dengan Sekretaris Jenderal Kantor Urusan Agama RI, R. Mohammad Kafrawi.

Perundingan antara K.H. Abdul Wahid Hasyim dan Mr. T. Mohammad Hassan, wakil dari maskapai kapal haji Inaco.

K.H. Abdul Wahid Hasyim berfoto bersama, di tengah-tengah pimpinan dan karyawan Kantor Urusan Agama Provinsi Sumatra Tengah.

K.H. Abdul Wahid Hasyim, di tengah-tengah para peserta konferensi Dinas Kementrian Agama yang berlangsung di Hotel Homann, Bandung Jawa Barat.

Upacara peringatan ulang tahun pertama berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), di Yogyakarta.

Duduk dari kiri ke kanan: Dr. Soekiman, K.H. Abdul Wahid Hasyim, dan K.H. M. Mansur. Berdiri dari kiri ke kanan: K.H. Faqih Usman, Mahfud Siddik, S. Umar Hobais dan W. Wondoamiseno. Gambar ini dibuat untuk PII di rumah kediaman H. Afandi di Jombang, Jawa Timur.

Menteri Agama RIS, K.H. Abdul Wahid Hasyim duduk berdampingan dengan Presiden Soekarno, dalam salah satu perayaan Islam di Istana Negara Jakarta.

Ketika jenazah K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam perjalanan dari Jakarta menuju Tebuireng. Di sepanjang jalan penuh manusia berjalan, datang menunjukkan dukacita. Baik lawan atau kawan mengeluarkan air mata tatkala melihat jenazah orang besar ini.

Pada waktu jenazah akan dibawa masuk kedalam lapangan PP Tebuireng. Terjadi puncak kesedihan, karena tiap telapak tangan tanah itu adalah tempat permainan dan tempat perjuangan K.H. Abdul Wahid Hasyim

Sumber dari buku K.H. A. Wahid Hasyim Mengapa Memilih NU? (Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik) (Ed) Buntaran Sanusi dkk