STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA EDUKASI DI KOTA

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran. Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA EDUKASI DI KOTA YOGYAKARTA

Ani Wijayanti

STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA EDUKASI DI KOTA YOGYAKARTA

Ani Wijayanti

Desain Cover : Herlambang Rahmadhani

Sumber : www.shutterstock.com

Tata Letak : Gofur Dyah Ayu

Proofreader : Windi Imaniar

Ukuran : xii, 100 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN : 978-623-02-0373-2

ISBN Elektronis: 978-623-02-0569-9

Cetakan Pertama : Desember 2019

Hak Cipta 2019, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2019 by Deepublish Publisher All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA) Anggota IKAPI (076/DIY/2012) Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581 Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]

Kata Pengantar

Pariwisata dan pendidikan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai keterkaitan yang sangat kuat. Pariwisata membutuhkan sumber daya manusia yang andal untuk membangun dan mengambangkan potensi pariwisata. Sedangkan, pendidikan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam mengambangkan pariwisata itu sendiri. Pariwisata yang berkelanjutan harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas di bidang pariwisata. Pendidikan merupakan aktivitas pembelajaran yang meliputi pengetahuan dan keterampilan melalui proses pengajaran, pelatihan, ataupun penelitian. Proses pendidikan sendiri merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mewujudkan aktivitas pembelajaran bagi para peserta didik. Upaya ini dilakukan untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat dan mampu berkontribusi di masyarakat luas. Proses pendidikan diharapkan mampu menciptakan peserta didik yang lebih kritis dalam berpikir dan berorientasi ke masa depan. Pariwisata merupakan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk tujuan rekreasi. Kata pariwisata sendiri berasal dari bahasa sanskerta “pari” yang berarti berkali-kali sedangkan “wisata” yang berarti bepergian. Sehingga pariwisata bisa diartikan sebagai aktivitas bepergian atau perjalanan ke suatu tempat yang dilakukan berulang-ulang. Aktivitas pariwisata yang dilakukan sangat ditentukan oleh tujuan dari pariwisata itu sendiri. Setiap wisatawan mempunyai tujuan wisata yang berbeda- beda, yang pada akhirnya akan menentukan pengalaman yang diperoleh selama melakukan kegiatan wisata. Salah satu tujuan berwisata adalah memperoleh pengalaman pembelajaran. Aktivitas

Kota Yogyakarta Page v pariwisata yang bertujuan untuk mendapatkan pengalaman pembelajaran disebut pariwisata pendidikan atau pariwisata edukasi. Pariwisata edukasi merupakan perjalanan wisata yang menggabungkan unsur aktivitas wisata dan pendidikan. Aktivitas wisata yang dilakukan mempunyai muatan pendidikan yang bertujuan memperdalam aktivitas belajar di ruang kelas. Materi dalam pemanduan wisata dirancang sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kurikulum pendidikan di sekolah. Wisata edukasi mempunyai tujuan meningkatkan daya berpikir dan kreativitas wisatawan. Segmen pasar pariwisata edukasi meliputi semua wisatawan yang melakukan perjalanan dengan tujuan melakukan aktivitas pembelajaran. Perjalanan yang dilakukan tidak hanya sekedar melakukan aktivitas wisata, tetapi mempunyai nilai tambah edukasi. Wisata edukasi menjadi destinasi wisata utama bagi berbagai institusi pendidikan. Pariwisata edukasi memberikan pengalaman baru dalam proses belajar, yakni suasana berbeda yang tidak diperoleh dalam aktivitas pembelajaran di kelas. Kota Yogyakarta dengan predikat kota pelajar menawarkan berbagai destinasi pariwisata edukasi yang sangat potensial. Pemerintah Kota Yogyakarta telah memetakan destinasi pariwisata edukasi dalam tiga kelompok utama, yakni Taman Pintar, Nutfah Plasma Pisang, dan museum. Kota Yogyakarta mempunyai 17 buah museum yang menawarkan daya tarik wisata edukasi yang berbeda antar satu museum dengan museum lainnya. Melihat pada potensi pariwisata edukasi yang ada di Kota Yogyakarta, maka pengelolaan menjadi aspek yang sangat penting agar mampu mewujudkan pariwisata edukasi yang berdaya saing. Pengelolaan pariwisata edukasi yang tematik masih menjadi isu yang sangat strategis. Pengelolaan pariwisata pada umumnya masih bertumpu pada trial and error. Pengelolaan yang bertumpu pada trial and error tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya perencanaan yang masih lemah dan keterbatasan sumber daya. Model pengelolaan pariwisata edukasi seperti ini cukup riskan karena dapat

Page vi Kota Yogyakarta memberikan informasi yang tidak akurat tentang realitas objektif di lapangan. Buku ini hadir untuk menawarkan beberapa model pengelolaan pariwisata yang dapat diimplementasikan terutama pada pariwisata edukasi yang tematik. Buku ini menyajikan beberapa model pengelolaan pariwisata yang sudah ada sebagai pembanding terhadap model pengelolaan pariwisata yang didesain penulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama kurang lebih dua tahun. Penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari penyusunan disertasi program doktor Kajian Pariwisata di Universitas Gadjah Mada. Proses penyusunan buku ini tidak lepas dari keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, sehingga masih terdapat kekurangan. Untuk itu, penulis akan terus menyempurnakan buku ini dengan menerbitkan buku-buku selanjutnya sebagai pelengkap dari buku ini. Kritik, koreksi, saran, dan masukan dari para pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk melengkapi kekurangan dalam penyusunan buku ini, serta dapat disampaikan melalui alamat email: [email protected].

Yogyakarta, 15 September 2019 Penulis,

Ani Wijayanti

Kota Yogyakarta Page vii

Daftar Isi

Kata Pengantar ...... v Daftar Isi ...... viii Daftar Gambar ...... x Daftar Tabel ...... xi

PENDAHULUAN...... 1

BAB I PROFILE PARIWISATA EDUKASI DI KOTA YOGYAKARTA ...... 5 1.1. Profil Kota Yogyakarta ...... 5 1.2. Profil Pariwisata Edukasi Kota Yogyakarta ...... 7 1.2.1. Taman Pintar 8 1.2.2. Museum 15

BAB II KONSEP PARIWISATA EDUKASI...... 35 2.1. Ruang Lingkup Pariwisata Edukasi ...... 35 2.2. Karakteristik Pariwisata Edukasi ...... 36 2.3. Unsur Pokok Pariwisata Edukasi ...... 37 2.4. Motivasi Pariwisata Edukasi ...... 38 2.5. Produk Pariwisata Edukasi ...... 39 2.6. Segmen Pariwisata Edukasi...... 41 2.7. Pengalaman Pariwisata Edukasi ...... 44

BAB III PERAN STAKEHOLDER DALAM PARIWISATA EDUKASI ...... 49

BAB IV PENGELOLAAN PARIWISATA EDUKASI ...... 53 4.1. Model Pengelolaan Pariwisata ...... 55

4.1.1. Model Pengelolaan dengan pendekatan Daya Saing ...... 55

Page viii Kota Yogyakarta 4.1.2. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Sumber Daya ...... 56 4.1.3. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Pemangku Kepentingan ...... 57 4.1.4. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Pasar dan Produk ...... 58 4.2. Pengelolaan Pariwisata Edukasi ...... 66 4.3. Kinerja Pengelolaan ...... 69

BAB V PEMASARAN PARIWISATA EDUKASI ...... 70 5.1. Citra Pariwisata ...... 72 5.2. Media Komunikasi Pemasaran...... 72

BAB VI ISU STRATEGIS PERKEMBANGAN PARIWISATA DI KOTA YOGYAKARTA ...... 76

PENUTUP...... 82 Daftar Pustaka ...... 84 Daftar Indeks ...... 91 Glosarium ...... 94 Tentang Penulis ...... 99

Page viii Kota Yogyakarta

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan di Kota Yogyakarta ...... 6 Gambar 1.2 Perkembangan Hotel di Kota Yogyakarta 2010 – 2017 ...... 7 Gambar 1.3 Denah Taman Pintar Yogyakarta ...... 10 Gambar 1.4 Pisang Seribu dan Pisang Sangga Buana ...... 14 Gambar 1.5 Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto ...... 16 Gambar 1.6 Museum Biologi...... 17 Gambar 1.7 Museum Benteng Vredeburg...... 18 Gambar 1.8 Museum Bahari Yogyakarta ...... 19 Gambar 1.9 Museum Dr. Mata YAP ...... 21 Gambar 1.10 Museum Sonobudoyo ...... 22 Gambar 1.11 Museum Sasana Wiratama ...... 23 Gambar 1.12 Museum Gembira Loka ...... 24 Gambar 1.13. Museum Sandi Negara ...... 25 Gambar 1.14 Museum Kirti Griya Dewantara ...... 26 Gambar 1.15 Museum Puro Pakualaman...... 27 Gambar 1.16 Museum De Mata Trick Eye...... 28 Gambar 1.17 Museum Dharma Wiratama ...... 29 Gambar 1.18 Museum Sasmita Loka ...... 31 Gambar 1.19 Museum Perjuangan Yogyakarta ...... 32 Gambar 1.20 Museum Keraton Yogyakarta...... 33 Gambar 1.21 Museum ...... 34 Gambar 2.1 Jumlah Sekolah dan Pelajar DIY Tahun 2017 ...... 44 Gambar 3.1 Hubungan Konsumen dan Penyedia Jasa Pariwisata Pendidikan ...... 50 Gambar 4.1 Model Pengelolaan Pariwisata ...... 57 Gambar 4.2 Model Struktural Daya Saing Destinasi Pariwisata ...... 58 Gambar 4.3 Model Pengelolaan Pariwisata Edukasi ...... 59

Page x Kota Yogyakarta

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Motivasi Pariwisata Edukasi ...... 38

Kota Yogyakarta Page xi

Page xii Kota Yogyakarta

PENDAHULUAN

Pariwisata merupakan sektor penggerak ekonomi yang penting bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terlihat dengan banyaknya objek dan daya tarik wisata yang mampu menyerap kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pada tahun 2014 jumlah wisatawan mengalami kenaikan 17,90 % dibandingkan dengan tahun 2013, yakni dari 2.837.967 menjadi 3.346.180 wisatawan (Kedaulatan Rakyat, 2015). Berbagai jenis pariwisata ditawarkan di DIY meliputi wisata budaya, wisata alam, wisata minat khusus, wisata edukasi, wisata kuliner, wisata belanja, dan wisata MICE. Keanekaragaman seni dan budaya yang didukung oleh kreativitas serta keramahtamahan masyarakat mampu menciptakan produk- produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi pariwisata membutuhkan pengelolaan yang tepat sebagai upaya mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Pengelolaan destinasi pariwisata berperanan kunci dalam peningkatan daya saing sektor pariwisata. Saat ini, destinasi pariwisata menghadapi tantangan kompleks, mulai dari koordinasi lintas sektor, peningkatan daya tarik, penanganan mutu lingkungan, sampai perbaikan citra. Model pengelolaan destinasi pariwisata harus mampu mengatasi tantangan tersebut secara tepat sehingga memberikan kontribusi positif terhadap seluruh komponennya. Pengelolaan destinasi pariwisata harus memahami kebutuhan dan motivasi wisatawan sehingga dapat menentukan metode pengelolaan yang tepat dan menghindari penurunan kualitas destinasi pariwisata (Howie, 2003). Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata sudah dikenal luas. Provinsi ini merupakan salah satu destinasi pariwisata primer setelah , Bali, dan Batam. Hasil kuesioner tahunan Dialog Pasar Wisata DIY ke beberapa kota se-Jawa sejak tahun 2009

Kota Yogyakarta Page 1 menunjukkan hasil bahwa study tour ke DIY merupakan pilihan utama para pengunjung di luar Jakarta dan Bali (Kedaulatan rakyat, 2012). Pada beberapa tahun terakhir aktivitas study tour yang sering disebut wisata studi berkembang pesat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisata studi sebagai agenda rutin dari beberapa sekolah dan perguruan tinggi mampu mendongkrak pariwisata dan mendorong pergerakan perekonomian rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kompas, 2010). Kunjungan ribuan pelajar dari luar daerah melalui program wisata studi pada masa liburan sekolah menjadi harapan bagi para pengrajin. Kunjungan tersebut mampu meningkatkan gairah pengrajin kecil untuk meningkatkan produknya. Berbagai usaha jasa, selain industri kerajinan yang dapat menjadi peluang usaha, antara lain adalah jasa kuliner, jasa akomodasi, jasa transportasi, jasa pemandu pariwisata, dan jasa informasi. Konsep pariwisata edukasi merupakan pariwisata yang menerapkan pendidikan nonformal bagi wisatawan melalui kegiatan wisata dan belajar dengan metode yang menyenangkan. Dalam hal ini proses pembelajaran dapat lebih cepat dimengerti dan diingat. Salah satu faktor pendorong munculnya konsep pariwisata edukasi adalah kejenuhan metode pembelajaran dalam ruangan yang kaku dan formal. Bentuk-bentuk kegiatan pariwisata edukasi, meliputi belajar sejarah, belajar seni dan budaya, belajar bahasa, konferensi, dan kunjungan ke perguruan tinggi atau sekolah-sekolah. Berbagai kegiatan tersebut diharapkan mampu mendukung kegiatan pembelajaran formal yang dilaksanakan di sekolah dan menjadi sarana untuk memperdalam pemahaman dalam proses belajar. Pariwisata edukasi berperan sebagai sarana peningkatan standar akademik (Smith, 2013) sehingga program wisata studi menjadi agenda rutin, sebagai bagian dari kurikulum di sekolah atau merupakan kegiatan ekstrakurikuler. Dari uraian di atas terlihat bahwa pariwisata edukasi berperanan penting dalam peningkatan pariwisata di DIY. Pengelolaan produk pariwisata edukasi menjadi aspek yang sangat penting untuk menjawab isu-isu strategis yang berkembang dewasa ini, yakni

Page 2 Kota Yogyakarta pengelolaan produk pariwisata edukasi yang mendukung keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal. Tingkat kunjungan wisatawan yang tidak merata secara ke ruangan dan bersifat musiman menjadikan pengelolaan destinasi pariwisata membutuhkan strategi yang tepat. Keberhasilan pengelolaan produk pariwisata edukasi diukur dari sejumlah wisatawan yang memperoleh pengalaman berkualitas dan pengetahuan baru dalam aktivitas pariwisata edukasi. Pengalaman ini ditentukan oleh pemasok primer dan sekunder (Ritchie, 2003). Pemasok primer meliputi atraksi dan event, sumber daya manusia, perencana perjalanan afinitas, dan tour operator. Pemasok sekunder terdiri atas jasa transportasi, jasa perhotelan, dan organisasi pemasaran. Kombinasi dari kedua pemasok tersebut membentuk pengalaman pariwisata edukasi dari produk wisata yang dikonsumsi para wisatawan, sekaligus menjadi parameter keberhasilan pengelolaan destinasi pariwisata. Pariwisata edukasi dilakukan dengan berbagai cara di antaranya mengamati benda, tanaman, dan hewan secara langsung dengan melibatkan berbagai indra, seperti perasa, pendengaran, dan penglihatan. Manfaat yang diperoleh dengan melakukan pariwisata edukasi, yakni meningkatkan kreativitas peserta didik, menambah ilmu pengetahuan dan perbendaharaan kata, memancing minat terhadap hal tertentu, memperkaya informasi yang sudah diperoleh di sekolah, memperoleh pengalaman nyata dan benar-benar mengalami secara langsung, meningkatkan wawasan dan pengetahuan, meningkatkan kemampuan bersosialisasi, dan menanamkan sikap menghargai karya dan jasa orang lain. Selain berbagai manfaat yang diperoleh, tidak jarang dalam aktivitas pariwisata edukasi ditemukan beberapa kekurangan dan kendala yang cukup mengganggu. Dalam aktivitas pariwisata edukasi, pihak sekolah serta pendidik dituntut bertanggung jawab penuh terhadap keadaan peserta didiknya, sementara tanggung jawab ini bisa ditanggung bersama pengelola pariwisata. Pariwisata edukasi membutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang, karena melibatkan banyak pihak dalam aktivitas wisatanya. Kendala lainnya,

Kota Yogyakarta Page 3 yakni unsur rekreasi yang mendominasi. Dalam aktivitas pariwisata edukasi, unsur rekreasi lebih kuat dan mengesampingkan unsur pembelajaran, sehingga sasaran program tidak tercapai. Sejauh ini belum ada kajian tentang model pengelolaan produk pariwisata edukasi sehingga pengembangan dan perkembangan pariwisata edukasi lebih banyak bertumpu pada pendekatan trial and error. Pendekatan seperti ini cukup riskan karena dapat memberikan informasi yang tidak akurat tentang realitas objektif di lapangan. Sampai dewasa ini model pengelolaan pariwisata edukasi yang tepat belum tersedia. Kajian tentang pariwisata di DIY lebih berfokus pada produk-produk parsial dan dari sisi rencana pengembangan atraksi (Ripparda DIY, 2012-2025). Meskipun tetap penting karena sifatnya makro, hal ini tidak mampu menghasilkan gambaran pengelolaan salah satu produk secara tematik, termasuk pariwisata edukasi. Basis informasi yang lemah mengakibatkan pengembangan pariwisata edukasi kelak tidak berkelanjutan atau setidak-tidaknya in efisien, serta potensial berdampak negatif terhadap perkembangan pariwisata DIY. Fluktuasi kunjungan wisatawan dan penyelenggaraan event pariwisata edukasi membawa implikasi pada manajemen pariwisata. Pilihan tema, dukungan pemangku kepentingan, strategi pemasaran, dan target pasar merupakan beberapa elemen yang harus ditangani dengan tepat. Kelemahan pengelolaan salah satu unsur tersebut akan memengaruhi keseluruhan kinerja pariwisata edukasi.

Page 4 Kota Yogyakarta

BAB I PROFILE PARIWISATA EDUKASI DI KOTA YOGYAKARTA

1.1. Profil Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta merupakan Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai luas wilayah 32,502 Km atau 1,02% dari luas Provinsi Daerah Yogyakarta. Kota Yogyakarta terletak antara 110°24'19"-110°28'53" Bujur Timur dan antara 07°15'24"-07°49'26" Lintang Selatan. Di Kota ini terdapat tiga sungai, yaitu Sungai Gajah wong yang mengalir dari arah Utara ke Selatan, Sungai Code yang mengalir di bagian timur kota, dan Sungai Winongo yang mengalir di barat kota. Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, 616 RW dan 2.532 RT dengan luas wilayah 32,5 km2. Adapun batas wilayah Kota Yogyakarta, sebelah utara yakni Kabupaten Sleman, sebelah timur dan barat yakni Kabupaten Bantul dan Sleman, dan sebelah selatan yakni Kabupaten Bantul. Penggunaan lahan paling banyak diperuntukkan bagi perumahan, yaitu sebesar 2.101,79 hektar, sedangkan untuk pertanian hanya 101,10 hektar. Dari aspek sumber daya manusia tercatat tingkat partisipasi angkatan kerja pada tahun 2017 sebesar 65,72%. Sumber daya manusia ini menjadi faktor penentu keberhasilan proses pembangunan, salah satunya pembangunan pariwisata di Kota Yogyakarta. Dilihat dari jenis kelamin, tingkat partisipasi perempuan 60,05% lebih kecil dibandingkan laki-laki, yakni mencapai 71,81%. Lapangan usaha di Kota Yogyakarta sendiri didominasi oleh perdagangan besar, perdagangan eceran, rumah makan, dan hotel, yakni sebesar 43,44% pada tahun 2017. Secara menyeluruh pertumbuhan ekonomi di Kota Yogyakarta menunjukkan kecenderungan moderat, terlihat dari nilai PDRB (Produk Domestik

Kota Yogyakarta Page 5

Regional Bruto) per kapita tahun 2017 tercatat 74,06 juta/thn. PDRB tertinggi di Kota Yogyakarta masuk pada kategori penyediaan akomodasi dan makan minum yakni tercatat sebesar 13,55%. Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata mempunyai jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dari tahun 2016 s/d 2018 mengalami kenaikan mencapai 90%, seperti terlihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Pertumbuhan Kunjungan Wisatawan di Kota Yogyakarta Sumber : Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, 2019

Rata-rata lama tamu menginap pada tahun 2017 tercatat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yakni mencapai 90%. Rata-rata lama tamu mancanegara menginap pada tahun 2016 yakni 1,96 malam menjadi 2,26 pada tahun 2017. Sedangkan rata-rata lama tamu domestik menginap pada tahun 2016 yakni 1,58 sedangkan tahun 2017 menjadi 1,64 malam (BPS Kota Yogyakarta, 2018). Seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan, Industri pariwisata di Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, di antaranya usaha akomodasi, hiburan, dan MICE. Jumlah tempat hiburan di Kota Yogyakarta pada tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 20,58% dari tahun 2016, yakni sebanyak 34 tempat

Page 6 Kota Yogyakarta hiburan. Jumlah usaha MICE pada tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 27% dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 11 jasa usaha MICE. Pertumbuhan hotel di Kota Yogyakarta tercatat mengalami peningkatan sebesar 63,5% dari tahun 2010 s/d 2017, seperti terlihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Perkembangan Hotel di Kota Yogyakarta 2010 – 2017 Sumber : Kota Yogyakarta dalam Angka, 2018

Namun demikian, pada tahun 2017 tercatat ada penurunan pada usaha restoran dan biro perjalanan. Pada tahun 2017 usaha dibidang restoran dan rumah makan mengalami penurunan sebesar 46% dari tahun sebelumnya, tercatat sebanyak 161 restoran. Sedangkan usaha biro perjalanan mengalami penurunan sebesar 63,54%, yakni tercatat 190 pada tahun 2017.

1.2. Profil Pariwisata Edukasi Kota Yogyakarta Berdasarkan peraturan pemerintah RI Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan kepariwisataan nasional Tahun 2020- 2025, Kota Yogyakarta dan sekitarnya ditetapkan sebagai salah satu KSPN dari 88 KSPN yang terdapat pada 50 destinasi pariwisata di . Penetapan tersebut berdasarkan berbagai kriteria yang dimiliki Kota Yogyakarta, yakni; memiliki potensi pengembangan pariwisata, memiliki sumber daya pariwisata potensial, memiliki potensi pasar berskala nasional dan internasional, berlokasi strategis,

Kota Yogyakarta Page 7 berperan strategis dalam menjaga daya dukung lingkungan hidup, berperan strategis dalam pelestarian aset budaya, memiliki kesiapan masyarakat, memiliki kekhususan wilayah, dan memiliki potensi produk wisata masa depan. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kota Yogyakarta tahun 2015-2025, tertuang bahwa Kota Yogyakarta mengklasifikasikan pembangunan daya tarik wisata dalam lima kelompok, yakni sejarah dan budaya, ekowisata, pendidikan, belanja, dan MICE. Daya tarik wisata pendidikan ditetapkan berdasarkan tiga kriteria, yakni merupakan kebutuhan ilmu pengetahuan, memberikan wawasan kebijakan lokal, dan memberi pemahaman teknologi maju dan modern. Pembangunan daya tarik wisata pendidikan meliputi tiga destinasi, yakni Taman Pintar, Plasma Nutfah Pisang, dan museum.

1.2.1. Taman Pintar Pembangunan Taman Pintar di Kota Yogyakarta tidak terlepas dari peristiwa ledakan perkembangan sains sekitar tahun 90-an, terutama Teknologi Informasi yang telah menghantarkan peradaban manusia menuju era tanpa batas. Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas sebuah ide pembangunan Taman Pintar sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan dan menghadapi realitas perkembangan dunia. Nama Taman Pintar dipilih karena kawasan ini diperuntukkan bagi para pelajar, mulai prasekolah sampai sekolah menengah untuk memperdalam pemahaman soal materi-materi pelajaran yang telah diterima di sekolah dan sekaligus berekreasi. Pembangunan Taman Pintar bertujuan untuk memperkenalkan science kepada siswa sejak dari dini untuk memperluas dan mengasah kreativitas anak didik, sehingga tidak menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka, tetapi mampu menciptakan teknologi sendiri. Bangunan Taman Pintar berada di bekas kawasan Shopping Center. Relokasi area Taman Pintar dimulai tahun 2004, dilanjutkan dengan tiga tahap pembangunan dan terselesaikan pada tahun 2008. Taman Pintar dibangun di kawasan Shopping Center, dengan

Page 8 Kota Yogyakarta mempertimbangkan keterkaitan antara Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societe Militer dan Gedung Agung. Pembangunan Taman Pintar dilaksanakan dalam tiga tahap, di mana relokasi area dimulai pada tahun 2004. Pembangunan Tahap I dimulai dengan pembangunan Playground, Gedung PAUD Barat, dan PAUD Timur, yang diresmikan dalam Soft Opening pertama tanggal 20 Mei 2006 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo. Pembangunan Tahap II dilanjutkan pada Gedung Oval lantai I dan II serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening kedua tanggal 9 Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo, bersama Menristek, Kusmayanto Kadiman, serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pembangunan Tahap III yakni Gedung Kotak lantai II dan III, Tapak Presiden dan Gedung Memorabilia. Grand Opening Taman Pintar dilaksanakan setelah selesai pembangunan, yakni pada tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Taman Pintar memiliki visi sebagai wahana ekspresi, apresiasi dan kreasi sains yang terbaik se-Asia Tenggara dalam suasana yang menyenangkan. Sedangkan misinya, yakni pengembangan sumber daya manusia di bidang sains dan teknologi, penyediaan alat peraga pembelajaran yang berkualitas, dan menumbuhkembangkan minat anak dan generasi muda terhadap sains melalui imajinasi, percobaan dan permainan yang menyenangkan. Pengembangan Taman Pintar memiliki beberapa tujuan, yakni; menyediakan sarana pembelajaran sains bagi siswa yang mendukung kurikulum pendidikan, memotivasi anak dan generasi muda untuk mencintai sains, membantu guru dalam mengembangkan pengajaran di bidang sains, dan memberi alternatif wisata sains. Taman Pintar merupakan Science Centre terlengkap di Asia Tenggara, karena mencakup beberapa bidang ilmu pengetahuan, meliputi sejarah, fisika, biologi, matematika, dan kimia. Taman Pintar Berdiri sejak tahun 2003 di atas lahan seluas 1,2 ha di kawasan

Kota Yogyakarta Page 9 strategis, yakni Jl. Panembahan Senopati No. 1-3 Yogyakarta, 55122. Denah kawasan wisata Taman Pintar dapat dilihat pada Gambar1.3.

Gambar 1.3 Denah Taman Pintar Yogyakarta Sumber : Taman Pintar, 2016.

Taman Pintar menyediakan wahana belajar sambil berwisata bagi siswa pra sekolah sampai sekolah menengah. Para wisatawan mendapatkan pengalaman berupa pemahaman materi-materi pelajaran sekolah dalam setiap aktivitas wisata. Taman Pintar menjadi pusat ilmu pengetahuan berbasis teknologi, dan dibangun dengan konsep pengembangan kawasan yang terintegrasi, sekaligus memberikan ruang berekspresi. Kawasan wisata Taman Pintar terdiri dari beberapa area meliputi: Playground, Paud Barat dan Timur, Planetarium, Kampung Kerajinan, Science Theater, Perpustakaan, gedung Oval, gedung Kotak, food court, dan souvenir counter. Area Playground meliputi semua area lahan terbuka yang berfungsi sebagai zona penyambutan dan permainan. Pada area ini terdapat beragam zona pembelajaran, terdiri dari: wahana bahari, desaku permai, spektrum warna, taman air menari, dinding

Page 10 Kota Yogyakarta berdendang, sistem katrol, rumah pohon, jembatan goyang, jungkat- jungkit, labirin, forum batu, tapak presiden, gong perdamaian, Replika Mini Roket dari LAPAN, zona Kesehatan dan zona lalu-lintas. Pada area playground juga terdapat planetarium, gedung PAUD, dan Kampung Kerajinan. Planetarium Taman Pintar Yogyakarta merupakan planetarium pertama di Indonesia yang menggunakan digital projector, berkapasitas 50 pengunjung. Para pengunjung dapat menikmati suasana langit kota Yogyakarta pada malam hari, fenomena alam seperti gerhana matahari dan gerhana bulan, berbagai bentuk ilustrasi rasi bintang dan hujan meteor, pada sesi akhir pengunjung disuguhi film pendek bertema astronomi dengan judul The Birth of Solar System dan Rocket Man. Gedung PAUD meliputi; PAUD Barat dan Timur. Kedua gedung tersebut merupakan bangunan peninggalan Belanda yang merupakan bangunan cagar budaya yang masih terjaga keasliannya. Pengunjung PAUD dibatasi pada usia 2 s/d 7 tahun, serta tidak boleh didampingi orang tua saat masuk ke Gedung PAUD, guna menciptakan kemandirian anak-anak. Adapun berbagai aktivitas wisata yang dapat dilakukan di gedung PAUD, di antaranya; menyusun balok, berpetualang, bermain komputer, mewarnai, dan membaca berbagai bahan bacaan di perpustakaan. Pada sisi timur area playground terdapat Kampung Kerajinan, yang menyuguhkan kreativitas dalam suasana tradisional. Para pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas wisata, meliputi: membatik, melukis gerabah, dan melukis kaos. Produk wisata lain yang ditawarkan selain playground yakni Science Theater dan perpustakaan, gedung Oval, dan gedung Kotak. Gedung Science Theater dan perpustakaan pada awalnya merupakan gedung memorabilia, yang saat ini masih direnovasi dan belum beroperasional. Gedung Oval sendiri merupakan materi pembelajaran bagi para pengunjung, karena atapnya berstruktur kubah atau dome, menyebabkan setiap gelombang suara terkumpul dalam titik fokus dome dan dipantulkan lagi dalam bentuk suara menggema. Gedung Oval dan Kotak menampilkan berbagai daya tarik wisata yang sangat mendukung materi pembelajaran, mulai dari fase kehidupan air,

Kota Yogyakarta Page 11 kehidupan purba sampai dengan fase peradaban. Gedung tersebut menawarkan berbagai kegiatan ilmiah yang sangat interaktif dan menyenangkan, di mana para pengunjung bisa melihat dan mencoba langsung berbagai alat peraga dan percobaan sains. Berbagai aktivitas yang bisa dilakukan pengunjung, di antaranya: mempelajari berbagai jenis ikan air tawar, mempelajari kehidupan prasejarah, pembelajaran ilmu-ilmu dasar (matematika, fisika, kimia, dan biologi) dalam penerapan kehidupan sehari-hari, pembelajaran Indonesia secara geografis dan kekayaan warisan leluhur dalam bentuk peta multilayer interaktif, dan belajar menjadi presenter dalam ruang broadcasting. Selain berbagai aktivitas wisata tersebut, Pengelola Taman Pintar juga menyelenggarakan berbagai event yang dilaksanakan secara tahunan guna meningkatkan daya tarik wisata. Even tersebut bisa diikuti masyarakat umum, khususnya pelajar SD, SMP, dan SMA, di antaranya: workshop Robotik, dan Energi Alternatif, kompetisi Roket Air, kontes Robot, dan Taman Pintar Mini race Competition. Daya tarik lain yakni tersedianya laboratorium Taman Pintar yang menyediakan sarana dan prasarana bagi sekolah yang belum memiliki fasilitas laboratorium. Laboratorium Taman Pintar meliputi bidang Fisika, Kimia, Biologi, dan Hand on Science.

1.2.2 Kebun Plasma Nutfah Pisang Kebun Plasma Nutfah Pisang berlokasi di Malangan, Jalan Lingkar Selatan, Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebun ini dibudidayakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Kantor Pertanian dan Kehewanan. Kebun Plasma Nutfah Pisang yang dibangun sejak tahun 1988 dan memiliki lahan seluas 2 hektar, merupakan inisiasi dari mendiang Raden Ayu Siti Hartinah atau Ibu Tien Soeharto. Lahan ini telah menjadi rumah bagi para pisang selama 20 tahun. Tanaman pisang merupakan varian yang mudah dibudidayakan. Kebun Plasma Nutfah Pisang dikembangkan untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan nilai ekonomis dari buah pisang itu sendiri. Plasma Nutfah Pisang memiliki arti tumbuhan pisang yang diprotoplasmakan dari sel-sel

Page 12 Kota Yogyakarta yang mengandung kromosom-kromosom atau gen-gen, yang dikembangkan untuk mendapatkan keanekaragaman sifat yang menurun kepada keturunan pisang. Kebun ini mempunyai fungsi utama melaksanakan pengumpulan, pemeliharaan, dan penyebarluasan koleksi berbagai jenis pisang. Koleksi varietas pisang yang dimiliki telah mencapai 346 dari sekitar 5.500 pohon pisang, yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kebun Plasma Nutfah Pisang diresmikan sebagai kebun koleksi pelestarian pisang terlengkap di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara oleh Departemen Pertanian RI. Pada Tahun 2004, kebun tersebut dirintis sebagai pusat Pisang Nasional dengan meningkatkan sarana prasarana pendukungnya, berupa laboratorium kultur jaringan, laboratorium olahan, rumah aklimatisasi (tempat adaptasi bibit tanaman), gedung promosi, dan Sumber Daya Manusia. Dari laboratorium yang dimiliki, dapat diciptakan puluhan bahkan ratusan tunas dari satu pohon, dengan memotong bonggol pisang dan memanfaatkan kultur jaringan, maka bibit pisang dapat dibiakkan menjadi varietas unggulan. Varietas pisang yang sering dikembangbiakkan melalui kultur jaringan, meliputi; pisang Raja Bagus, Ambon, Kepok, Cavendis, dan Emas. Koleksi tanaman pisang yang ada di Kebun Plasma Nutfah sangat bervariasi, mulai dari pisang unggulan seperti pisang raja sampai pisang hias yang biasa ditanam di rumah maupun hotel. Koleksi unggulan tanaman pisang, yakni pisang seribu dan pisang sangga buana. Varietas pisang yang ada di Kebun Plasma Nuftah, di antaranya pisang Ambon, pisang Mouli, pisang Ronggolawe, pisang Raja, pisang Bulu, pisang Emas, pisang Kepok, pisang Rama, pisang Rayok, pisang Rejang, pisang Renda, pisang Sabit, pisang Samarinda, pisang Santen, pisang Sasi, pisang Semut, dan lain sebagainya. Dari berbagai varietas tersebut, terdapat beberapa keunikan, yakni pisang berbuah dua tandan, jantung pisang tegak ke atas, berbuah tanpa jantung pisang, dan memiliki nama unik, yakni pisang gendruwo. Koleksi tanaman pisang di Kebun Plasma Nutfah, dapat dilihat pada Gambar 1.4

Kota Yogyakarta Page 13

Gambar 1.4 Pisang Seribu dan Pisang Sangga Buana Sumber: Biogen Litbang Pertanian, 2016

Kebun Plasma Nutfah Pisang dibangun dengan berbagai tujuan, di ataranya; melestarikan, memanfaatkan, dan menyebarluaskan pisang bagi kepentingan yang lebih berdaya guna, wahana preservasi dan konservasi lahan dalam kota, tempat rekreasi ilmiah atau wisata pendidikan bagi masyarakat umum, menjadi tempat penelitian bagi mahasiswa dan umum yang ingin belajar tentang pisang, mendukung pengembangan industri pisang, menjadi basis teknologi, di antaranya teknologi pengolahan pisang, teknologi perbanyakan bibit, dan konservasi pisang secara kultur jaringan Kebun Plasma Nutfah Pisang melayani permintaan pasar berupa tunas hasil kultur jaringan maupun berupa tunas. Dalam sehari, permintaan bibit pisang bisa mencapai 50 bibit tunas dan 20 bibit kultur jaringan. Selain menjual bibit pisang, Kebun Plasma Nutfah Pisang juga menyediakan berbagai olahan pisang, berupa kerupuk bonggol pisang, keripik pisang, tepung pisang, dan sari minuman pisang. Kebun Plasma Nutfah Pisang mempunyai fungsi sebagai media pembelajaran, sehingga sering menerima kunjungan dari berbagai elemen masyarakat, baik pelajar, mahasiswa, maupun, kelompok UMKM, dan Petani, dengan jadwal kunjungan setiap hari Selasa dan kamis

Page 14 Kota Yogyakarta

Fasilitas yang terdapat di Kebun Plasma Nuftah Pisang, di antaranya lahan kebun itu sendiri, laboratorium, dan pendopo. 1. Kebun pisang Kebun seluas kurang lebih 2 hektar yang digunakan sebagai media tanam pohon pisang dengan beragam genetik 2. Laboratorium kultur jaringan Laboratorium ini berfungsi memback up ketersediaan benih unggul pisang. 3. Laboratorium olahan pisang Laboratorium ini digunakan untuk mencipta varian olahan pisang yang merupakan produk kuliner dengan bahan baku yang bersumber dari pohon pisang, mulai dari buah, daun, bunga, kulit buah, sampai bonggol pisang. 4. Pendopo Pendopo ini digunakan untuk menerima tamu kunjungan edukasi, yang berlokasi di tengah kebun.

1.2.2. Museum Kota Yogyakarta mempunyai 17 museum, yang tersebar di kawasan wisata Kota Yogyakarta. Berdasarkan data yang disajikan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dan visitingjogja.com Kota Yogyakarta mempunyai 17 museum, meliputi;

1. Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto Museum memorial Jenderal Besar Soeharto diresmikan bertepatan dengan hari lahir Bapak Soeharto, yakni tanggal 08 Juni bertempat di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, DIY. Museum memorial Jenderal Besar Soeharto dibangun dan diresmikan oleh Bapak H. Probosutedjo (adik dari Soeharto) dan Mbak Tutut (putri pertama Soeharto). Museum menempati lahan seluas 3.620 meter persegi, serta didirikan untuk mengenang jasa dan pengabdian Jenderal Besar Soeharto untuk bangsa Indonesia semasa hidupnya. Museum ini memajang berbagai prestasi yang diraih semasa menjabat Presiden RI ke-2. Museum terdiri dari beberapa

Kota Yogyakarta Page 15 bangunan utama seperti pendopo, ruang diorama, dan masjid kecil di sebelah selatan persis ruang diorama ini. Memasuki museum ini pengunjung akan disambut dengan patung besar Jenderal Besar HM. Soeharto karya seniman Edhi Sunarso yang bersebelahan dengan batu besar sebagai prasasti peresmian museum, seperti terlihat pada Gambar 1.5.

Gambar 1.5 Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto Sumber : visitingjogja.com

Museum ini memiliki pendopo yang memajang multimedia perjuangan beliau serta buku elektronik yang bersebelahan dengan patung setengah badan Bapak Soeharto. Koleksi lengkap museum ini dipamerkan pada ruang diorama yang dikemas dengan perpaduan tradisional dan modern. Pada ruang diorama tersebut pengunjung disambut dengan instalasi rol film yang berisi dokumentasi visual gerak tentang perjuangan beliau. Selain itu, pengunjung juga disuguhi diorama perjuangan beliau ketika melakukan koordinasi dengan Pangsar Jenderal Sudirman ketika SO 1 Maret 1949. Di dalam diorama ini, diberikan gambaran visual ketika beliau diundang oleh FAO di Roma tahun 1985 untuk mendapatkan penghargaan keberhasilan dalam melakukan swasembada pangan.

Page 16 Kota Yogyakarta

2. Museum Biologi UGM Museum Biologi merupakan gabungan dari dua museum, yakni museum zoologicum milik Prof. Drg. R.G. Indroyono dan museum herbarium milik Prof. Ir. Moeso Soeryowinoto. Museum Biologi diresmikan pada tanggal 20 September 1969 oleh Rektor UGM, Prof. Drg. R.G. Indroyono, dan Drs. Anthon Sukahar selaku ketua tim pelaksana, serta resmi dibuka untuk umum pada tanggal 1 Januari 1970. Museum Biologi UGM terdiri dari delapan ruangan yang diisi dengan berbagai koleksi diorama yang berisikan jenis-jenis hewan yang telah diklasifikasikan. Ruang selasar juga dimanfaatkan sebagai ruang pameran yang berisi berbagai macam hewan dari karnivora, herbivora hingga omnivora. Museum Biologi dapat dilihat pada Gambar 1.6.

Gambar 1.6 Museum Biologi Sumber : visitingjogja.com

3. Museum Benteng Vredeburg Bangunan museum benteng Vredeburg pada awalnya berfungsi sebagai benteng pertahanan. Hal ini terlihat dari bentuk bangunan yang memiliki menara pengawas di keempat sudutnya dan dikelilingi parit memutar, seperti terlihat pada Gambar1.7.

Kota Yogyakarta Page 17

Gambar 1.7 Museum Benteng Vredeburg Sumber : visitingjogja.com

Museum Benteng Vredeburg merupakan bangunan cagar budaya yang berdiri di atas tanah dengan luas sekitar 2100 meter persegi. Koleksi yang dimiliki museum ini, meliputi: a) Diorama perjuangan bangsa Indonesia sebelum Proklamasi 1945 sampai pada era Orde Baru. b) Benda-benda bersejarah, seperti foto-foto dan lukisan tentang perjuangan dari era prakemerdekaan, perang kemerdekaan dan setelah merdeka. c) Bangunan-bangunan peninggalan Belanda, yang dipugar sesuai bentuk aslinya. Benteng ini berdiri berkat izin Sri Sultan HB I yang diberikan kepada pihak pemerintah Belanda untuk membangun sebuah bangunan yang difungsikan sebagai benteng peristirahatan pada tahun 1760, di atas tanah milik Kraton Yogyakarta. Bangunan tersebut dinamakan Benteng Rustenburg oleh pihak pemerintah Belanda. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1765-1788 benteng ini berganti nama menjadi Benteng Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Secara historis bangunan ini telah mengalami berbagai perubahan fungsi, sebagai berikut;

Page 18 Kota Yogyakarta

a) Tahun 1760-1830, difungsikan sebagai benteng pertahanan. b) Tahun 1830-1945, difungsikan sebagai markas militer Belanda dan Jepang. c) Tahun 1945-1977, difungsikan sebagai Mabes Militer RI. d) Tahun 1977-1985, pihak Militer RI mengembalikan kepada pemerintah melalui Mendikbud, serta ditetapkan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara pada tanggal 09 Agustus 1980. e) Tahun 1985, fungsi Benteng Vredeburg di pugar menjadi Museum Perjuangan dan dibuka untuk umum. f) Tahun 1992, resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.

4. Museum Bahari Yogyakarta Museum Bahari Yogyakarta resmi dibuka untuk umum pada tanggal 25 April 2009. Museum Bahari Yogyakarta diprakarsai oleh Laksamana Madya TNI Yosafat Didik Heru Purnomo. Kecintaannya pada kelautan dan keresahannya pada generasi muda yang tidak lagi concern terhadap bidang kelautan mendorong beliau menghibahkan rumah pribadinya sebagai museum, seperti terlihat pada Gambar 1.8.

Gambar 1.8 Museum Bahari Yogyakarta Sumber : visitingjogja.com

Kota Yogyakarta Page 19

Museum Bahari Yogyakarta menyajikan seluk beluk dunia maritim kepada pengujung. Pengunjung dapat mengetahui secara detail isi anjungan kapal perang, serta film dokumenter sejarah TNI AL. Selain itu, juga terdapat koleksi kelautan dan pertahanan laut berupa meriam, bom laut, torpedo, alat selam, telegraf, miniatur kapa, peta laut dunia, jangkar dan replika kapal beserta komponen- komponen di dalamnya. Museum Bahari memiliki empat ruang utama, yaitu ruang koleksi dan suvenir, ruang koleksi di lantai dua, ruang anjungan, dan ruangan audio visual yang dilengkapi dengan peralatan audio visual untuk pemutaran film yang berkaitan dengan kelautan. Selain koleksi tersebut museum ini juga menyajikan simulasi di anjungan kapal yang dilengkapi dengan sistem kendali senjata dan navigasi serta peralatan pendukung kapal perang seperti baling- baling, ranjau, torpedo, dan meriam.

5. Museum Dr. Mata YAP Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap merupakan museum yang terletak di dalam kompleks Rumah sakit Mata Dr. Yap di Jalan Cik Ditiro 5 Yogyakarta, dan bernaung di bawah Yayasan Dr. Yap. Museum ini berdiri atas prakarsa direktur RS. Mata Dr. Yap, dr. Tri Sutartin Radjiman, didukung oleh Magdalena Indrawati, Ki Nayono, Ir. Anna Ismudianto, dan Ira Masri Singarimbun. Mereka adalah cikal bakal ide pendirian museum Rumah Sakit Mata Dr Yap. Awalnya, museum ini didirikan karena banyaknya alat-alat kesehatan yang dulu dipakai oleh Dr. Yap Hong Tjoen, terbengkalai dan hanya tersimpan di gudang. Museum RS Mata Dr. Yap memberikan alternatif wisata ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dan kesehatan mata, serta mempunyai peranan yang besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran mata. Koleksi di dalam museum menunjukkan sejarah panjang perjalanan Dr. Yap Hong Tjoen berkiprah di Indonesia khususnya selama menangani kesehatan mata masyarakat sejak jaman penjajahan belanda, sekitar tahun 1923. Museum ini dibagi menjadi 4 ruang terpisah, yaitu ruang peralatan kedokteran berisi peralatan praktik yang dipakai oleh Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap

Page 20 Kota Yogyakarta

Kie Tong, ruang keluarga, ruang peralatan rumah tangga yang berisi radio, meja-kursi, mesin jahit, lampu, ranjang tidur, dan jam dinding tua, dan yang terakhir yaitu ruang perpustakaan. Gedung museum Dr. Mata Yap dapat dilihat pada Gambar 1.9.

Gambar 1.9 Museum Dr. Mata YAP Sumber : visitingjogja.com

6. Museum Sonobudoyo Museum Sonobudoyo menjadi salah satu tempat kunjungan wisata yang diminati wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Museum ini terletak tidak jauh dari Kraton Yogyakarta serta Benteng Vredeburg. Secara struktural Museum Sonobudoyo merupakan instansi yang berada di bawa UPT Daerah pada Dinas Kebudayaan DIY. Museum ini berfungsi sebagai pengelola benda museum yang memiliki nilai budaya ilmiah, meliputi koleksi pengembangan dan bimbingan edukatif kultural. Museum Sonobudoyo juga memiliki tugas mengumpulkan, merawat, melaksanakan penelitian, pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi. Keberadaan Museum Sonobudoyo berkaitan erat dengan yayasan pada masa kolonial yaitu Java Institut yang sangat memperhatikan dan peduli pada kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Lembaga ini

Kota Yogyakarta Page 21 menjadi cikal bakal berdirinya Museum Sonobudoyo yang diresmikan oleh Sri Sultan HB VIII dengan ditandainya melalui Candrasengkala Kayu Winayang Ing Brahmana Budha. Museum Sonobudoyo berdiri di atas tanah hadiah dari Sri Sultan HB VIII dengan ditandai sengkalan candrasengkala, Buta Ngrasa Estining Lata pada tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi. Peresmian museum dilakukan oleh Sri Sultan HB VIII pada hari Rabu Wage tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sangkala Kayu Kinayang Ing Brahmana Budha yang berarti tahun Jawa atau tepatnya tanggal 6 Nopember 1935 tahun Masehi. Memasuki era pendudukan Jepang, bagian museum ini difungsikan menjadi Kantor Sosial bagian Pengajaran oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja, setelah Indonesia merdeka beralih fungsi menjadi Kantor Jajaran Pemerintah DIY oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito. Sebagai salah satu destinasi wisata museum dengan tingkat kunjungan yang tinggi, museum Sonobudoyo memiliki sepuluh jenis koleksi berasal dari lintas disiplin ilmu pengetahuan, yaitu, Jenis Koleksi Geologika, Jenis Koleksi Biologika, Jenis Koleksi Ethnografkai, Jenis Koleksi Arkeologi, Jenis Koleksi Numismatika atau Heraldika, Jenis Koleksi Historika, Jenis Koleksi Filologika, Jenis Koleksi Keramologika, Jenis Koleksi Seni rupa dan Jenis Koleksi Teknologika. Gedung museum Sonobudoyo dapat dilihat pada Gambar 1.10.

Gambar 1.10 Museum Sonobudoyo Sumber : visitingjogja.com

Page 22 Kota Yogyakarta

7. Museum Sasana Wiratama Museum ini merupakan salah satu destinasi wisata sejarah yang cukup banyak dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Bangunan museum pada awalnya merupakan kediaman Pangeran , serta mempunyai arsitektur khas Jawa, seperti terlihat pada Gambar 1.11.

Gambar 1.11 Museum Sasana Wiratama Sumber : visitingjogja.com

Museum Sasana Wiratama diresmikan pada tanggal 9 Agustus 1969 oleh Presiden Soeharto. Museum yang didominasi dengan warna hijau ini didirikan untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro. Sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dalam membela kemerdekaan bisa dilihat lewat benda-benda peninggalannya yang dipajang di museum ini. Wisata museum ini menyajikan berbagai koleksi di antaranya, senjata tradisional (keris, panah, dan pedang) yang dipergunakan Pangeran Diponegoro dalam perjuangannya. Di museum ini juga bisa dilihat secara langsung tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro ketika meloloskan diri dari kepungan Belanda.

8. Museum Gembira Loka Museum ini terletak di kawasan wisata KRKB (Kebun Raya dan Kebun Binatang) Gembira Loka, yang dikenal dengan nama Diorama

Kota Yogyakarta Page 23

Flora dan Fauna KRKB Gembira Loka, seperti terlihat pada Gambar 1.12.

Gambar 1.12 Museum Gembira Loka Sumber : visitingjogja.com

Museum ini menyajikan informasi mengenai flora dan fauna dari berbagai tempat laut, udara dan darat. Selain itu pengunjung juga bisa melihat diorama pengolahan jamu tradisional yang diolah secara manual. Museum ini mempunyai berbagai koleksi hewan-hewan yang telah mati dan di air keras, terdiri dari hewan karnivora, herbivora hingga omnivora. Selain itu, juga terdapat diorama yang menggambarkan alur sungai dari hulu hingga hilir yang dijaga kelestarian lingkungannya juga dapat dilihat oleh pengunjung. Fungsi diorama ini sebagai salah satu sisi edukasi bagi pengunjung yang disediakan pihak KRKB Gembira Loka, selain diorama ini KRKB Gembira Loka juga memiliki kawasan konservasi yang mampu mendukung kelestarian bermacam-macam koleksi tumbuhan di objek wisata ini.

9. Museum Sandi Negara Sejarah perkembangan ilmu intelijen atau persandian di Indonesia khususnya Yogyakarta dimulai dari sebuah rumah kecil

Page 24 Kota Yogyakarta yang berada di tepian barat Sungai Progo. Para pejuang Indonesia melakukan kegiatan persandian di rumah Bapak Ponijan di Dusun Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh, Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian dikenal dengan Rumah Sandi. Kegiatan ini dilakukan, ketika akan melaksanakan SO 1 Maret 1949. Peran pentingnya ilmu sandi atau intelijen bagi sebuah negara menjadi alasan utama Pemerintah DIY melalui Dinas Kebudayaan DIY, membuat sebuah museum tentang Lembaga Sandi Negara agar masyarakat umum mengetahui seluk beluk sebuah organisasi sandi negara. Museum Sandi Negara berlokasi di kawasan Kotabaru, Yogyakarta, mempunyai beraneka macam koleksi yang bernilai sejarah menceritakan dunia persandian secara lebih luas, seperti terlihat pada Gambar1.13.

Gambar 1.13. Museum Sandi Negara Sumber : visitingjogja.com

Museum ini menyimpan berbagai alat-alat sandi yang digunakan oleh petugas sandi saat melakukan kegiatan persandian, di antaranya; sepeda ontel untuk mengantar surat-surat rahasia dan kode dari dinas ke alamat yang dituju, telegraf yang dibuat pada tahun 1809, mesin sandi BC-543 buatan Swedia, mesin sandi SRE-KG buatan Indonesia, dan koleksi Cuneiform sebagai penanda masa peradaban

Kota Yogyakarta Page 25

Mesopotamia Kuno. Museum Sandi juga dilengkapi dengan fasilitas pusat informasi dan media permainan yang menggunakan teknologi multimedia.

10. Museum Kirti Griya Dewantara Museum Kirti Griya Dewantara menggambarkan pahit getirnya perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam melepaskan belenggu kebodohan yang menghinggapi masyarakat jelata. Museum ini memajang berbagai koleksi buku yang menjadi referensi Ki Hadjar Dewantara dalam berpikir, menulis dan berjuang melalui dunia pendidikan. Museum Kirti Griya juga memajang berbagai koleksi yang menunjang kehidupan sehari-hari Ki Hadjar Dewantara layaknya orang awam seperti; perabotan rumah mulai dari ruang tamu, perpustakaan hingga kamar tidur. Wisata museum ini juga menampilkan beberapa karya tulis Ki Hadjar Dewantara, di antaranya, tulisan berjudul Ais Ik eens Nederlander Was atau Seandainya Saya Seorang Belanda, Een voor Allen maar Ook Allen voor Een atau Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu jua, dan Sari Swara, yakni buku berisi tangga nada Jawa dalam musik yang telah dikonversi menjadi bentuk partitur Barat. Museum Kirti Griya Dewantara dapat dilihat pada Gambar 1.14.

Gambar 1.14 Museum Kirti Griya Dewantara Sumber : visitingjogja.com

Page 26 Kota Yogyakarta

11. Museum Puro Pakualaman Museum Puro Pakualaman berada di bawah naungan Bebadan Museum Puro Pakualaman yang telah diresmikan pada tanggal 29 Januari 1981, serta bertempat di kompleks Puro Pakualaman, yang berjarak 2 Km dari Malioboro ke arah timur. Seluruh koleksi dibagi dalam 3 bagian ruangan. Bagian depan berada di sebelah timur kompleks istana Puro Pakualaman. Pintu masuk pengunjung melalui regol Wiwara Kusuma (berhiaskan lambang mahkota Praja Pakualaman dan tanaman lung lungan), seperti terlihat pada Gambar 1.15.

Gambar 1.15 Museum Puro Pakualaman Sumber : visitingjogja.com

Museum ini dibangun pada tanggal 7 Agustus 1884 pada masa pemerintahan Paku alam V. Regol ditandai dengan tulisan berhuruf Jawa, wiwara kusuma winayang reksa, yang merupakan simbol pengayoman, keadilan dan kebijaksanaan. Koleksi yang disimpan meliputi; seperangkat singgasana Pangeran Adipati Praja Paku alaman, terdiri atas dua kursi kebesaran dan sebuah meja bundar berhiaskan ukiran dengan sentuhan warna merah dan kuning keemasan, sepasang cempurit atau tempat sirih, kecohan, sebuah payung Tanggul naga, seperangkat singgasana, sebilah keris dengan

Kota Yogyakarta Page 27 dapur Tanggung Blambangan, dua keris berukuran besar yang diberi nama Kombakarna dan Dasamuka, berbagai senjata zaman VOC berbentuk karabin berlaras panjang dan pendek, kaliber besar dan kecil, tempat peluru dan sangkur, serta berbagai senjata tusuk dan tajam yang merupakan koleksi yang membawa kita mengingat pada kekuasaan VOC. Selain koleksi terebut, terdapat juga berbagai busana kelengkapan Puro Pakualaman, antara lain busana prajurit Plangkir, abdi dalem, Pangeran Adipati Praja Pakualaman, Permaisuri Pangeran Adipati Praja Pakualaman, dan busana Bedoyo Samgita Hasta. Benda koleksi lain berupa rebab kuno peninggalan Sri Puro Paku Alam VII dan kereta kebesaran untuk upacara resmi keprajaan.

12. Museum De Mata Trick Eye Museum ini menawarkan sensasi tiga dimensi dengan berbagai pose dan latar belakang yang mengagumkan karena seperti nyata, seperti terlihat pada gambar 1.16.

Gambar 1.16 Museum De Mata Trick Eye Sumber : visitingjogja.com

Museum ini merupakan terbesar di dunia karena memiliki 120 gambar tiga dimensi (3D), sedangkan di luar negeri paling banyak hanya 70 gambar. Museum ini menawarkan beberapa pengalaman 3D,

Page 28 Kota Yogyakarta di antaranya; menyeberangi jembatan kayu tua yang di bawahnya ada aliran sungai lahar panas merah membara dan merasakan menerima bunga tanda kasih dari Sri Sultan HB X. Museum ini menghadirkan beraneka gambar mulai dari tema alam, olahraga, tokoh, binatang, super hero, roman, sirkus, ornamen, termasuk obyek wisata Tamansari dan Pagelaran Kraton Yogyakarta. Gambar-gambar tiga dimensi didisplay menggunakan model labirin sehingga tidak membuat jenuh para pengunjung museum. Sebagian besar karya merupakan kreasi Petrus Kusuma sendiri dan sebagian lain karya mahasiswa seni rupa ISI Yogyakarta. Koleksi lain yang ditawarkan museum ini, yakni Dwalik yang merupakan museum rumah terbalik terbesar dan De ARCA dengan berbagai koleksi patung karakter tokoh dengan ukuran nyata.

13. Museum Dharma Wiratama Bangunan yang berdiri menghadap selatan ini merupakan warisan Belanda yang banyak menyimpan sejarah perjuangan bangsa Indonesia khususnya TNI AD, seperti terlihat pada Gambar 1.17.

Gambar 1.17 Museum Dharma Wiratama Sumber : visitingjogja.com

Kota Yogyakarta Page 29

Bangunan museum ini sangat menarik perhatian karena bentuknya sangat berbeda dengan gedung-gedung lainnya sehingga mudah untuk dikenali. Fungsi bangunan ini mengalami perubahan sesuai era jaman yang terus berjalan. a) Era Kolonialisme Belanda Gedung ini adalah rumah dinas bagi pejabat administrasi perkebunan tebu Belanda di daerah DIY dan Jateng. b) Era kolonialisme Jepang Gedung ini digunakan oleh Syudokan atau tentara Jepang wilayah DIY sebagai markas komando. c) Era Perang Kemerdekaan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Letjend menggunakan gedung ini sebagai markas penyusunan strategi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). d) Era Orde Baru sampai dengan Sekarang gedung ini berfungsi sebagai wisata museum TNI AD. Rute kunjungan di Museum Dharma Wiratama atau dikenal juga museum TNI AD dimulai dari Ruang Pengantar yang terletak di bagian tengah depan. Di tempat ini terdapat dua ruangan yang dipergunakan Pangsar Jendral Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo sebagai ruang kerja yang saling berhadapan. Kedua ruangan ini menyimpan koleksi berupa meja kerja, kursi, telepon kuno, dan gambar kedua pahlawan nasional tersebut. Rute selanjutnya yakni Ruang Palagan (pertempuran besar), yaitu Palagan Ambarawa, Palagan Bali, Palagan Bandung, Palagan Makassar, Palagan Medan, Palagan Palembang, Palagan Semarang, dan Palagan Surabaya. Setelah itu kita memasuki ruangan senjata yang memamerkan senjata api dan tajam. Museum Dharma Wiratama juga menyimpan berbagai koleksi berupa replika dapur umum yang menyimpan koleksi peralatan masak tradisional seperti; dandang, kekep, kukusan, bakul dan kayu bakar sebagai bahan bakar. Selain itu juga terdapat pameran alat komunikasi berupa; radio pemancar dan penerima, alat-alat kesehatan, panji-panji kebesaran TNI AD dan aneka macam seragam TNI AD dengan tanda jasa berupa Satya Lencana dan Bintang Jasa. Disisi utara, terdapat ruangan yang

Page 30 Kota Yogyakarta menggambarkan peristiwa kelam negeri ini salah satunya Pemberontakan G30S/PKI dan DI/TII Kartosuwiryo.

14. Museum Sasmita Loka Museum Sasmita Loka menggambarkan kediaman rumah Pangsar Jendral Sudirman. Bangunannya berupa Rumah besar menghadap ke barat dengan pilar-pilar gagah dengan pintu-pintu tinggi dan besar, seperti terlihat pada Gambar 1.18.

Gambar 1.18 Museum Sasmita Loka Sumber : visitingjogja.com

Museum ini menggambarkan kesederhanaan Pangsar Jendral Sudirman dalam kehidupannya sehari-hari, terlihat dari perabotan mebel yang sangat sederhana untuk ukuran seorang tokoh besar. Setiap sudut ruangan museum ini menjadi saksi perjuangan Pangsar Jendral Sudirman, walau dalam keadaan sakit parah, tetap bersikeras melakukan gerilya untuk menyerang Belanda yang sudah menguasai ibukota Yogyakarta. Koleksi lain dari museum ini, berupa prasasti sebagai penanda dimulainya perang gerilya Pangsar Jenderal Sudirman melawan tentara Belanda. Selain itu, juga terdapat maket rumah persembunyian beliau di daerah Pacitan dalam mengatur strategi mengepung Belanda dan merebut kembal ibukota Yogyakarta

Kota Yogyakarta Page 31 dari tangan tentara Belanda. Pada rute akhir kunjungan museum terdapat peta rute gerilya Pangsar Jendral Sudirman bersama para pemuda yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

15. Museum Perjuangan Yogyakarta Museum Perjuangan Yogyakarta merupakan salah satu penanda sejarah pentingnya Hari Kebangkitan Nasional yang diprakarsai oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Pada tanggal tersebut lahir sebuah pergerakan Budi Utomo yang didirikan beliau bersama dengan para mahasiswa STOVIA Jakarta yang dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebagai bentuk apresiasi pemerintah untuk mengenang setengah abad Hari Kebangkitan Nasional, berdirilah Museum Perjuangan Yogyakarta, seperti terlihat pada Gambar 1.19.

Gambar 1.19 Museum Perjuangan Yogyakarta Sumber : visitingjogja.com

Pembangunan museum dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Sri Paku Alam VIII pada tanggal 29 Juni 1961. Pembangunan museum ini selesai pada tahun 1963. Rancang Bangun dari wisata museum ini adalah hasil perpaduan gaya arsitektur zaman kekaisaran Romawi Kuno dan Candi Mataram Hindu. Bentuk bangunan museum memiliki ciri khas melingkar seperti silinder yang dikenal dengan Ronde Tempel. Istilah ini muncul karena

Page 32 Kota Yogyakarta seluruh bangunan di bagian bawah atap tertempel relief-relief perjuangan bangsa Indonesia (relief yang terpampang mengelilingi bangunan museum itu menceritakan riwayat perjuangan bangsa Indonesia secara kronologis mulai dari berdirinya Budi Utomo hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan patung wajah para pahlawan nasional. Pintu masuk utama bagi para pengunjung berada di bagian depan gedung dan langsung berada di lantai II. Di lantai II, pengunjung bisa melihat interior gedung ini dipenuhi dengan jendela sebagai jalur cahaya matahari yang berjumlah 45 buah. Salah satu sudut dari ruangan ini, tampak anak tangga menuju lantai dasar, yang sempat dimanfaatkan sebagai Museum Sandi Negara. Pada lantai utama, terdapat banyak koleksi pernak-pernik perjuangan mulai dari meja dan peralatan makan yang pernah dipakai Presiden Soekarno, peninggalan sepeda tua, alat komunikasi radio perjuangan, dan tas milik Bung Hatta.

16. Museum Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta memiliki museum yang dikenal dengan Museum Keraton Yogyakarta yang memiliki ciri khas arsitektur, seperti terlihat pada Gambar 1.20.

Gambar 1.20 Museum Keraton Yogyakarta Sumber : visitingjogja.com

Kota Yogyakarta Page 33

Museum Keraton Yogyakarta dimulai masa pemerintahan Sri Sultan HB VII dan Sri Sultan HB VIII. Museum Keraton Yogyakarta berdiri di atas tanah seluas 14.000 meter persegi. Bangunan berarsitektur khas Jawa ini memiliki berbagai macam koleksi mulai dari peralatan rumah tangga, keris, tombak, wayang, gamelan, naskah kuno, foto dan lukisan di antaranya ada yang berusia sampai 200 tahun.

17. Museum Batik Yogyakarta Museum Batik berdiri pada Tanggal 25 Mei 1977 dengan menempati areal seluas 400 meter persegi. Koleksi yang dimiliki berupa beraneka ragam kain batik berupa kain panjang, sarung, selendang, taplak atau penutup meja dan sebagainya dengan motif gaya Yogyakarta, Surakarta, Madura dan tempat-tempat lain di Indonesia. Koleksi lain yang dipamerkan, berupa peralatan membatik mulai dari canting, cap beraneka motif, bahan pewarna dan parafin (malam). Koleksi Batik tertua dibuat pada tahun 1780. Dalam perkembangannya Museum ini juga mengoleksi karya sulam acak buah karya Ibu Dewi Nugroho yang berjumlah sekitar 1236 buah. Pengunjung museum ini berkesempatan mengikuti pelatihan atau workshop membatik. Gedung museum batik dapat dilihat pada Gambar 1.21.

Gambar 1.21 Museum Batik Sumber : visitingjogja.com

Page 34 Kota Yogyakarta

BAB II KONSEP PARIWISATA EDUKASI

2.1. Ruang Lingkup Pariwisata Edukasi Pariwisata merupakan kegiatan perpindahan orang untuk sementara waktu ke destinasi pariwisata, baik di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya dan melaksanakan kegiatan selama di destinasi pariwisata tersebut, berikut penyiapan fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan mereka (Pitana dan Gayatri, 2005). Menurut Undang-undang No. 10 tahun 2009 segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan daya tarik, atraksi wisata serta usaha-usaha yang berhubungan dengan penyelenggaraan aktivitas wisata disebut pariwisata. Pariwisata merupakan industri multisektor yang terdiri dari berbagai kegiatan yang memberikan pengalaman perjalanan bagi wisatawan. Berbagai kegiatan tersebut di antaranya ialah usaha jasa transportasi, akomodasi, makan dan minum, dan bisnis hiburan yang ditawarkan kepada perorangan atau kelompok yang bepergian jauh dari rumah (Bhargava, 2009). Uraian tersebut mendasari penggunaan istilah pariwisata edukasi sebagai kegiatan pariwisata yang melibatkan pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan berbagai fasilitas dan layanan wisata guna memberikan pengalaman pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan dan pariwisata merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya bersinergi dan saling melengkapi. Proses pendidikan yang dilaksanakan dalam aktivitas pariwisata merupakan metode pembelajaran yang aktif dan kreatif, serta merupakan alternatif metode belajar yang efektif. Aktivitas pariwisata edukasi dapat menjadi sarana bersosialisasi dan menumbuhkan rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap seni, budaya, dan bangsa. Pariwisata edukasi merupakan aktivitas pariwisata yang dilakukan wisatawan dan bertujuan memperoleh pendidikan dan pembelajaran. Ankomah dan Larson (2002) menggambarkan salah satu aktivitas pariwisata

Kota Yogyakarta Page 35 edukasi yang terbagi dalam dua tahap, yakni pengalaman kelas dan pengalaman lapangan atau destinasi pariwisata. Tahap pertama merupakan pembelajaran di ruang kelas untuk memberikan pengetahuan dasar dan persepsi mengenai aktivitas selanjutnya. Tahap kedua merupakan pengalaman di destinasi pariwisata, di mana para peserta melakukan perjalanan untuk berpartisipasi aktif dan memperoleh keterampilan yang akan memperkuat pengetahuan yang sudah diperoleh di kelas sebelumnya.

2.2. Karakteristik Pariwisata Edukasi Pariwisata edukasi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pariwisata lain. Kegiatan pariwisata edukasi bervariasi, dimulai dari mengenal sekolah, adat-istiadat, belajar bahasa, sampai dengan kegiatan seminar dan penelitian (Yuan, 2003 dalam Wang, 2008). Ritchie (2003) mengemukakan bahwa aktivitas pariwisata edukasi meliputi konferensi, penelitian, pertukaran pelajar nasional dan internasional, kunjungan sekolah, sekolah bahasa, dan wisata studi, yang diorganisasi baik secara formal maupun nonformal, dengan tujuan wisata alam maupun wisata buatan. Cohen (2008) mengemukakan bahwa aktivitas pariwisata edukasi meliputi pembelajaran tentang sejarah, geografi, bahasa, agama, dan budaya melalui kunjungan situs penting, keterlibatan dalam penelitian, dan konferensi. Tujuan utama pariwisata edukasi ialah pendidikan dan penelitian sehingga sekolah atau perguruan tinggi dan situs sejarah menjadi destinasi utama dalam pariwisata edukasi (Wang, 2008). Pariwisata edukasi mengutamakan unsur pembelajaran dalam setiap aktivitas wisata. aktivitas wisata mampu mendukung pembelajaran di sekolah baik secara langsung maupun tidak langsung. Pariwisata edukasi menjadi wadah dalam memperdalam ilmu yang dipelajari di sekolah, melalui aktivitas nyata yang dilakukan dalam sebuah kegiatan wisata.

Page 36 Kota Yogyakarta

2.3. Unsur Pokok Pariwisata Edukasi Menurut Cohen (2008) program pariwisata edukasi melibatkan dua aspek pendidikan, yakni pengalaman dan interaktif. Pembentukan pengalaman sangat dipengaruhi oleh produk yang dikonsumsi selama melakukan aktivitas pariwisata. Sedangkan interaktif mempunyai makna saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini terjadi aksi dan reaksi antara wisatawan dengan berbagai hal yang dijumpai pada saat melakukan aktivitas pariwisata. Aktivitas pariwisata pendidikan mencakup tiga unsur pokok, meliputi kurikulum, teks, dan guru. Kurikulum dalam sebuah aktivitas pariwisata edukasi digambarkan sebagai proses perjalanan, teks terdiri dari orang, tempat dan peristiwa, sedangkan guru digambarkan sebagai pemandu dan konselor. Perjalanan diumpamakan sebagai kurikulum dalam proses pembelajaran, karena proses perjalanan melibatkan perencanaan. Perencanaan perjalanan disusun sedemikian rupa sehingga aktivitas pariwisata bisa dilaksanakan terarah dan ter koordinir. Sama halnya dengan kurikulum sebuah program studi yang memuat perencanaan pembelajaran pada periode waktu tertentu. Pelaksanaan kurikulum membutuhkan guru sebagai koordinator atau pemandu wisata sebagai pendamping kelompok, sekaligus perencana dan penentu kebijakan. Perjalanan wisata direncanakan dan di koordinir oleh kedua belah pihak, yakni pihak sekolah dan pengelola destinasi wisata. Teks secara umum mempunyai arti pembahasan. Dalam perjalanan pariwisata, teks salah satunya digambarkan sebagai berbagai peristiwa atau aktivitas yang dialami wisatawan dalam perjalanan wisata. aktivitas yang bersifat informal sangat penting untuk mengurangi kebosanan wisatawan. Selain itu, aktivitas wisata juga harus disesuaikan dengan latar belakang pendidikan wisatawan agar tidak merendahkan atau melebihi kapasitas wisatawan yang pada akhirnya akan memunculkan sikap frustrasi dari wisatawan. Tiga unsur tersebut sangat menentukan dalam pengemasan produk pariwisata edukasi yang ditawarkan ke wisatawan, di mana kualitas produknya sangat ditentukan oleh pengalaman pembelajaran.

Kota Yogyakarta Page 37

2.4. Motivasi Pariwisata Edukasi Motivasi utama sebuah perjalanan wisata edukasi adalah memenuhi kebutuhan akan belajar sesuatu hal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pariwisata edukasi merupakan wisata minat khusus dengan tujuan khusus pula, yakni mendapatkan pengalaman pembelajaran. Motivasi melakukan pariwisata edukasi dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor daya tarik destinasi pariwisata dan faktor pendorong dari daerah asal. Daya tarik pariwisata berupa; citra yang bagus, biaya murah, dan kualitas pendidikan yang bagus. Faktor pendorong meliputi prospek pekerjaan yang ditawarkan serta biaya pendidikan yang lebih mahal di dalam negeri (Lam et. al. 2011). Pevzner dan Nikolaeva (2013) menyampaikan beberapa faktor yang mendorong wisatawan melakukan studi ke luar negeri, yakni belajar tentang negara lain, belajar bahasa asing (bahasa tuan rumah), dan kesempatan untuk memperoleh karier internasional. Atraksi wisata sebagai salah satu produk pariwisata edukasi menjadi motivasi dan alasan utama bagi wisatawan untuk mengunjungi sebuah destinasi pariwisata (Crouch dan Ritchie, 1999). Weidenfeld dan Leask (2013) menggambarkan atraksi sebagai perhelatan yang melibatkan daya tarik produk inti dalam sebuah event. Semakin banyak variasi atraksi pariwisata yang ditawarkan, semakin lama waktu tinggal wisatawan dan semakin tinggi pengalaman yang diperoleh. Ritchie (2003) menguraikan motivasi pariwisata edukasi berdasarkan pada lima kategori, meliputi; fisik, budaya, sosial, spiritual, dan fantasi, seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Motivasi Pariwisata Edukasi

Kategori Motivasi Pendidikan Motivasi Fisik Penyegaran tubuh dan pikiran, kesehatan, keterlibatan olahraga, dan kontak dengan kehidupan luar Budaya Keingintahuan tentang negara, orang, budaya dan tempat asing, serta ketertarikan dalam seni, musik, arsitektur dan cerita rakyat. Sosial Mengunjungi teman dan kerabat, bertemu dengan orang baru, mencari pertemanan dan relasi baru, prestise dan status, fashion, pengejaran hobi, melanjutkan studi, mencari relasi bisnis dan

Page 38 Kota Yogyakarta

Kategori Motivasi Pendidikan Motivasi mengejar tujuan profesional, konferensi dan rapat, dan memperkuat ikatan keluarga. Spiritual Mengunjungi tempat dan seseorang untuk tujuan agama, perjalanan sebagai bagian dari ziarah, perjalanan untuk menemukan jati diri, dan kontak dengan alam. Fantasi Kegembiraan pribadi, membebaskan diri dari lingkungan sosial permanen, dan pemenuhan keinginan. Sumber: Ritchie, 2003

2.5. Produk Pariwisata Edukasi Produk merupakan hasil pengembangan suatu strategi bisnis, yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk dibeli, digunakan, atau dikonsumsi untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan (Ishak, 2010). Sedangkan Alma (2005) menyatakan produk adalah seperangkat atribut baik berwujud maupun tidak, meliputi warna, harga, nama pabrik, nama penjual, serta pelayanan yang diterima pembeli untuk memuaskan keinginannya. Levitt (1987) dalam Sunyoto (2014) menyampaikan produk ditawarkan dalam empat unsur, meliputi; produk inti atau generik (core or generic product), produk yang diharapkan (expected product), produk tambahan (augmented product), dan produk potensial (potential product). Produk pariwisata merupakan berbagai barang persediaan pariwisata yang disediakan oleh pelaku industri pariwisata sebagai pemenuhan kebutuhan wisatawan, yang berujud material maupun non material. Dengan kata lain, produk wisata merupakan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan wisatawan selama melakukan perjalanan wisata (Pendit, 2002). Produk wisata dapat dikategorikan menjadi dua yakni subjek sentra dan objek sentra. Produk subjek sentra merupakan usaha yang bersifat memotivasi seseorang agar tertarik melakukan perjalanan, sekaligus memberi kesempatan untuk menikmati perjalanan tersebut. Produk ini, di antaranya usaha perbankan, asuransi, dan penerbitan kepariwisataan. Sedangkan produk objek sentra merupakan usaha

Kota Yogyakarta Page 39 yang mempunyai sifat ketergantungan terhadap perkembangan pariwisata itu sendiri, meliputi; akomodasi, suvenir, tempat rekreasi, dan kuliner. Produk pariwisata merupakan perpaduan barang dan jasa yang ditawarkan sebagai suatu kegiatan pengalaman untuk wisatawan (Cooper dan Hall, 2008). Pariwisata sebagai produk berbasis pengalaman membutuhkan pemahaman elemen konsumsi dan produksi dalam mengenali fenomena pariwisata. Nilai pengalaman pariwisata ditentukan oleh konsumen dan produsen sebagai hasil konsumsi produk pariwisata (Cooper dan Hall, 2008). Produk pariwisata edukasi merupakan produk yang mampu memberikan pengalaman pembelajaran aktif, sebagai tujuan utama yang ingin diperoleh dalam pariwisata edukasi. Cooper dan Hall (2008) menyebutkan ada empat bentuk produk pariwisata, meliputi produk perjalanan, destinasi pariwisata, usaha pariwisata, dan jasa. Pada pariwisata edukasi, produk perjalanan merupakan keseluruhan perjalanan wisatawan dari tempat tinggal sampai kembali lagi, sebagai pengalaman pendidikan yang melibatkan semua pemangku kepentingan pariwisata. Perjalanan edukasi terbagi menjadi dua, yakni perjalanan berbasis kurikulum dan kunjungan ekstra kurikuler. Perjalanan berbasis kurikulum terkait secara langsung dengan pelajaran di kelas, baik sebagai bagian integral maupun perluasan pengalaman belajar formal. Sedangkan kunjungan ekstra kurikuler tidak terkait secara langsung dengan pelajaran di kelas atau disiplin ilmu tertentu, serta tidak menjadi tuntutan kurikulum. Produk destinasi pariwisata merupakan keseluruhan pengalaman pendidikan yang diperoleh wisatawan sebagai hasil dari pertemuan dengan masyarakat dan lingkungan di destinasi pariwisata. Produk usaha pariwisata edukasi merupakan kumpulan pengalaman pendidikan yang diberikan oleh sebuah perusahaan, individu, atau lembaga atas berbagai tahap perjalanan. Sedangkan, produk jasa merupakan sebuah paket layanan pariwisata edukasi yang diterima wisatawan dalam perjalanan di destinasi pariwisata.

Page 40 Kota Yogyakarta

Produk pariwisata edukasi mempunyai karakteristik yang relatif sederhana dan murah, namun mencakup beberapa unsur penting, yakni koordinasi sosial, budaya, dan membangun sumber daya yang sudah ada (Taylor, 2006). Salah satu contohnya ialah homestay sebagai pengganti hotel. Homestay merupakan akomodasi yang paling banyak digunakan oleh para wisatawan edukasi karena lingkungannya sangat mendukung dalam proses pembelajaran, baik bahasa maupun budaya (Taylor, 2006). Salah satu produk unggulan dalam pariwisata edukasi ialah daya tarik kebudayaan. Kebudayaan mampu menarik wisatawan melakukan perjalanan pariwisata edukasi, tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga merupakan pembelajaran (Emekli, 2006; Benur dan Bramwell, 2015). Produk pariwisata memiliki tiga dimensi, meliputi produk inti, produk nyata, dan produk tambahan (Swarbrooke, 2002). Pada pariwisata edukasi, produk inti merupakan produk yang menawarkan pengalaman pendidikan dan pembelajaran sebagai manfaat utama dan benar-benar ingin dibeli wisatawan, berupa atraksi pariwisata edukasi. Produk nyata merupakan produk inti yang dikemas menjadi sebuah paket wisata dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, meliputi fitur, nama merek, kualitas, dan kemasan. Produk tambahan yang dibutuhkan dalam aktivitas wisata mencakup semua layanan tambahan, baik yang berwujud maupun tidak.

2.6. Segmen Pariwisata Edukasi Pasar pariwisata terbentuk berdasarkan segmentasi, yakni proses pembagian suatu pasar sebagai suatu keseluruhan ke dalam kelompok-kelompok orang yang berbeda, yang mempunyai kebutuhan produk yang relatif sama dan harus digarap melalui strategi pemasaran secara terpisah (Suwantoro, 2004). Pasar wisatawan dapat dibedakan berdasarkan beberapa klasifikasi, yakni usia, jenis kelamin, status dalam keluarga, tempat tinggal, lama kunjungan, individual atau grup, jenis transportasi yang digunakan, waktu kunjungan, dan gaya hidup (Swarbrooke, 2002). Wisatawan pariwisata edukasi adalah orang yang melakukan perjalanan jauh dari

Kota Yogyakarta Page 41 kota atau negara asal, dan setidak-tidaknya menginap semalam, di mana pendidikan dan pembelajaran merupakan tujuan sekunder, tetapi dianggap sebagai cara penting untuk mengisi waktu luang (Ritchie, 2003). Ritchie membagi segmen pasar pariwisata edukasi ke dalam tiga kelompok, yakni 1. Wisatawan dewasa dan usia lanjut Wisatawan yang masuk dalam kategori dewasa dan usia lanjut merupakan wisatawan yang berumur lebih dari 50 tahun. Namun demikian ada juga yang mengategorikan sebagai wisatawan yang memiliki usia lebih dari 60 atau 65 tahun. Wisatawan tersebut mempunyai motivasi yang kuat untuk melakukan pembelajaran seumur hidup. 2. Siswa sekolah Wisatawan yang masuk dalam kategori siswa sekolah meliputi, siswa sekolah dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sampai sekolah menengah, yang berusia 5-18 tahun. Siswa sekolah bahasa asing juga masuk dalam kategori ini, meskipun siswanya tidak terbatas pada anak-anak, tetapi juga melibatkan orang dewasa. 3. Mahasiswa Segmen pasar yang masuk dalam kategori ini, terdiri dari mahasiswa perguruan tinggi yang berusia antara 18 sampai dengan 30 tahun. Segmen pasar ini mempunyai populasi yang berbeda, baik dari aspek usia, sosial, budaya, pendidikan, maupun ekonomi. Pengelompokan segmen pasar juga bisa dilakukan berdasarkan potensi pasar pariwisata pendidikan. Menurut Ankomah dan Larson (2002), salah satu segmen pariwisata pendidikan yang potensial, yakni orang-orang yang melakukan program pertukaran pelajar. Ankomah dan Larson (2002) membagi pangsa pasar pariwisata edukasi ke dalam empat kategori, yakni domestik, intraregional, Eropa, dan Amerika Utara. Destinasi pariwisata yang mempunyai segmen pasar siswa sekolah mempunyai peluang yang cukup besar untuk menarik minat

Page 42 Kota Yogyakarta pasar. Sekolah bisa menjadi sarana pemasaran yang baik, salah satunya menggunakan proses jemput bola. Pihak pengelola sekolah bisa didorong untuk melaksanakan wisata studi pada waktu senggang. Hal ini, mendorong terciptanya pemasaran word of mouth, di mana para siswa sering melakukan kunjungan ulang bersama keluarga. Wisatawan dengan kategori siswa pelajar tersebut, dalam waktu mendatang akan menjadi segmen dewasa yang cukup potensial. Minat wisata dari para siswa semakin meningkat dengan adanya beberapa destinasi yang memiliki misi pendidikan, seperti museum dan galeri seni. Setiap segmen pasar pendidikan mempunyai perbedaan, namun demikian terdapat tiga prinsip utama yang harus diperhatikan bagi pengelola destinasi pariwisata pendidikan, yakni; memahami kebutuhan para siswa, memahami kurikulum yang diterapkan di sekolah, dan memahami sistem pengelolaan sekolah, terutama dalam membuat keputusan untuk melakukan wisata studi. Belajar bahasa merupakan salah satu segmen penting dalam pariwisata edukasi. Menurut Batchelor (2000) segmen pasar dalam pariwisata edukasi yang menitikberatkan pada pembelajaran bahasa, meliputi; bahasa Inggris umum, liburan dewasa, liburan junior, Bahasa Inggris eksekutif, dan bahasa Inggris Plus. Dalam bahasa Inggris plus, aktivitas wisata mengombinasikan pembelajaran bahasa Inggris dengan mata pelajaran lain. Dilihat dari sisi segmen pasar, pariwisata edukasi mempunyai segmen pasar yang terdiri dari semua siswa prasekolah sampai mahasiswa perguruan tinggi, baik yang sedang menempuh pendidikan formal maupun nonformal. Pelajar yang tinggal di Kota Yogyakarta merupakan segmen pasar pariwisata edukasi. Jumlah peserta didik dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di DIY tercatat sebesar 1.044.464 orang. Keseluruhan peserta didik tersebut merupakan segmen pasar yang potensial bagi perkembangan pariwisata edukasi. Segmen pasar terbesar berasal dari perguruan tinggi, yakni 37,55% atau sebanyak 392.295 mahasiswa. Data pelajar

Kota Yogyakarta Page 43 dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di DIY dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 2.1 Jumlah Sekolah dan Pelajar DIY Tahun 2017 Sumber: Dikpora Yogyakarta, 2017

Segmen pasar pariwisata edukasi yang berasal dari DIY belum bisa terserap secara maksimal. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang berasal dari DIY masih relatif sedikit. Dari hasil survei terhadap 200 wisatawan yang berkunjung pada empat objek wisata edukasi, jumlah wisatawan yang berasal dari DIY, kurang dari 25%. Sementara itu, frekuensi kunjungan wisatawan yang lebih dari satu kali kurang dari 50%. Jumlah kunjungan wisatawan bisa ditingkatkan dengan meningkatkan kinerja pengelolaan objek wisata.

2.7. Pengalaman Pariwisata Edukasi Pariwisata merupakan rangkaian pengalaman wisatawan yang lengkap sejak waktu keberangkatan dari rumah sampai saat kembali (TPRG, 2003 dan TPDS, 2003--2007). Pengalaman wisatawan edukasi

Page 44 Kota Yogyakarta setidak-tidaknya menyangkut tiga aspek, yakni proses perencanaan (perkiraan wisatawan melalui ekspektasi), perjalanan sebenarnya yang melibatkan proses pendidikan dan pembelajaran (kejadian selama perjalanan), dan akhirnya ingatan akan berbagai peristiwa pariwisata (Chandralal dan Valenzula, 2013). Untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam industri pariwisata, sebuah destinasi pariwisata harus mampu menawarkan pengalaman wisatawan yang lebih dibandingkan dengan destinasi pariwisata lain yang mempunyai segmen wisatawan yang sama (Dwyer dan Kim, 2003). Industri pariwisata yang kompetitif menitikberatkan pada aktivitas merancang dan menerapkan pengalaman pribadi yang mudah diingat (Verma et.al., 2002). Sifat holistik dari pengalaman yang dirancang dalam industri pariwisata mampu menghasilkan produk yang unik dan sulit untuk ditiru (Berry et.al., 2002). Dalam industri pariwisata, nilai pengalaman produk pariwisata merupakan faktor utama yang memengaruhi motivasi pelanggan untuk membeli layanan (Brunner-Sperdin dan Peters, 2009); mempelajari pengalaman wisatawan lebih penting daripada produk pariwisata itu sendiri (Arnould dan Price, 1993). Menurut Prahalad dan Ramaswamy (2004) pengalaman merupakan segala sesuatu yang memberikan nilai dan dihasilkan dari interaksi seseorang pada tempat dan waktu tertentu dan dalam konteks tindakan tertentu. Pengalaman tidak terpusat pada produk tetapi lebih terfokus pada konteks konsumen. Menurut Larsen (2007) konsep pengalaman wisatawan mencakup harapan, kejadian, dan kenangan. Selain harapan, aspek lain yang terkait dengan pengalaman ialah persepsi atau pemahaman hal-hal yang dikatakan oleh indra (Myers, 2003; Passer dan Smith, 2004). Pengalaman wisatawan terbentuk dalam lingkungan tempat layanan disediakan dan interaksi antara pengelola dan wisatawan (Baker dan Parasuraman, 1992) sehingga aspek layanan sangat penting dalam membentuk pengalaman wisatawan (Brunner-Sperdin dan Peters, 2009). Lingkungan yang membentuk pengalaman terdiri dari fasilitas fisik, lokasi, suasana, dan kondisi interpersonal (Clarke

Kota Yogyakarta Page 45 dan Ruth, 1995). Kombinasi beberapa pengalaman wisatawan berkembang menjadi persepsi citra, yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan destinasi pariwisata dalam menarik minat pengunjung (Horrigan, 2009). Citra merupakan elemen penting bagi wisatawan dalam memilih sebuah destinasi wisata (Kamenidou et.al., 2009). Pengalaman terwujud karena adanya keterlibatan dari wisatawan dalam berbagai aktivitas wisata (Poulsson dan Kale, 2004; Echeverri, 2005; Brunner-Sperdin dan Peters, 2009). Pullman dan Gross (2003) mengatakan bahwa penciptaan aktivitas yang melibatkan pelanggan digunakan sebagai dasar dalam mendesain pengalaman wisatawan. Berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam menciptakan jaringan pengalaman wisatawan disebut tourismscapes (Van der Duim, 2005). Namun demikian, tidak jarang pengalaman wisatawan hanya terjadi pada pertemuan pendek, terputus, dan bukan dalam waktu lama sehingga tidak diperoleh pengalaman yang aktual (Ritchie dan Hudson, 2009). Pada umumnya, wisatawan lebih termotivasi oleh pengalaman awal melalui gambaran mental dan emosional yang kuat dibandingkan dengan karakteristik fisik sebuah destinasi pariwisata (Oh et.al., 2007). Pengelola pariwisata harus mengetahui cara menciptakan keadaan yang mampu meningkatkan pengalaman karena pada dasarnya mereka tidak dapat memberikan pengalaman bagi wisatawan, tetapi hanya menyediakan seperangkat keadaan atau lingkungan agar wisatawan dapat benar-benar memiliki pengalaman (Mossberg, 2007). Aho (2001) mengembangkan empat elemen inti dari pengalaman wisatawan, yaitu pengalaman emosional, belajar, pengalaman praktis, dan pengalaman transformasional. Urry (2002) mengemukakan bahwa pariwisata menggabungkan kedua unsur, yakni landscape dan sensescapes, yang melibatkan berbagai indra sebagai komponen penting dari pengalaman wisatawan. Pariwisata telah menjadi bagian penting dari kualitas hidup (Csikszentmihalyi dan Hunter 2003), serta budaya yang merupakan tempat setiap orang mengekspresikan pencarian pengalaman unik

Page 46 Kota Yogyakarta

(Binkhorst, 2002). Menjual pengalaman menjadi strategi yang tepat dalam pengelolaan produk pariwisata karena pengalaman lebih mampu menyentuh wisatawan dibandingkan dengan produk itu sendiri (Pine dan Gilmore, 1999). Pengelola destinasi pariwisata harus memikirkan perbedaan produk yang dimiliki dengan produk lain untuk memberikan pengalaman unik kepada wisatawan (Sharpley dan Telfer, 2002). Selain itu, pengelola destinasi pariwisata juga melakukan modifikasi produk secara berkesinambungan karena wisatawan cenderung mencari kebaruan dalam aktivitas wisata (Chandralal dan Valenzuela, 2013). Komponen penting dari pengalaman pariwisata pendidikan terdapat pada berbagai pariwisata minat khusus, di antaranya pariwisata alam dan budaya. Pengalaman pembelajaran yang diperoleh dari aktivitas ekowisata berbeda dengan aktivitas pariwisata lain. Pembelajaran pada aktivitas ekowisata berfokus pada penemuan dan pembelajaran pada alam terbuka. Sedangkan, pariwisata budaya merupakan pariwisata yang melibatkan berbagai atraksi budaya, yang dikelola dengan baik untuk memenuhi permintaan wisatawan. Peran pendidikan dan pembelajaran sangat penting untuk mewujudkan pengalaman yang berkaitan dengan pariwisata warisan budaya. Peningkatan produk pariwisata budaya mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan akan wisatawan dan pelestarian warisan budaya. Upaya meningkatkan pengalaman wisata budaya dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni melakukan edukasi kepada pengunjung melalui penyajian berbagai hiburan, komodifikasi warisan budaya, dan penggunaan interpretasi untuk meningkatkan pembelajaran bagi wisatawan. Keberhasilan pengelolaan pariwisata edukasi sangat ditentukan oleh tingkat pengalaman, keaslian produk wisata, dan kegiatan pembelajaran yang interaktif. Dalam hal ini, pendidikan merupakan bagian dari pengalaman inti. Tingkat pengalaman wisatawan tidak bisa terlepas dari peran pemandu wisata yang bertugas menyediakan informasi kepada wisatawan pariwisata edukasi. Pemandu wisata mempunyai tiga tugas

Kota Yogyakarta Page 47 pokok, yakni pengelola tour, pengelola pengalaman, dan pengelola sumber daya. Sebagai pengelola tour, seorang pemandu wisata menjalankan tugasnya sebagai penyedia hiburan bagi wisatawan. Pemandu wisata menyajikan dan mengarahkan wisatawan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas wisata yang menyenangkan. Sebagai pengelola pengalaman, seorang pemandu wisata berperan sebagai guru yang membimbing wisatawan dalam setiap atraksi wisata untuk mendapatkan pengalaman yang optimal. Sebagai pengelola sumber daya, pemandu wisata mampu memotivasi dan mengubah perilaku wisatawan ke arah perilaku yang ramah lingkungan dan menjaga kelestariannya. Pengelolaan pengalaman pariwisata pendidikan diperlukan untuk melindungi eksistensi dan keberlanjutan sumber daya yang dimiliki. Pengelolaan pengalaman dapat dilakukan dengan meminimalisasi dampak aktivitas wisata terhadap sumber daya melalui zonasi wilayah dan pembatasan jumlah pengunjung.

Page 48 Kota Yogyakarta

BAB III PERAN STAKEHOLDER DALAM PARIWISATA EDUKASI

Kesulitan membangun kerja sama dalam mengemas pariwisata merupakan isu strategis bagi para pengelola. Hall dan McArthur (dalam Ritchie, 2003) menyampaikan pentingnya pendekatan pemangku kepentingan dan kolaboratif dalam pariwisata edukasi, seperti digambarkan oleh Bodger (1998) dan CTC (2001) pada Gambar 3.1. Pengelolaan pariwisata edukasi tidak bisa lepas dari kerja sama semua pihak yang terlibat. Cohen (2008) dan Mitchell (2001) menjelaskan bahwa model pengelolaan pariwisata edukasi di Israel merupakan hasil kerja sama dari beberapa institusi dan individu. Pihak institusi berperan sebagai perencana dan penentu kebijakan umum. Peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan pariwisata edukasi sangat dibutuhkan sejak perencanaan sampai dengan evaluasi pelaksanaan. Pemangku kepentingan dalam pariwisata edukasi, di antaranya; tour operator, guru, siswa, pendidik, dan pelaku industri pariwisata. Para pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk menciptakan produk pariwisata edukasi dan memasarkan produk- produk tersebut untuk memperoleh manfaat dari tujuan pariwisata edukasi.

Kota Yogyakarta Page 49

ORGANISASI PEMASARAN DESTINASI Organisasi tingkat nasional, regional, dan lokal. SUMBER DAYA

PROFESIONAL/AHLI  Programer  Pemimpin PEMASOK PRODUK UTAMA  Atraksi/event  Tour operator

ORGANISASI KLIEN

Organisasi klien dan perencana perjalanan afinitas adalah staf dan PEMASOK PRODUK SEKUNDER relawan dari organisasi afinitas  Layanan perhotelan yang bertanggung jawab dalam  Bisnis perjalanan perencanaan, pengembangan dan  Penyedia jasa transportasi memastikan tersampaikannya program pembelajaran bagi peserta, contohnya perencana perjalanan, elderhostel, grup alumni. PARTISIPAN ATAU WISATAWAN EDUKASI

Gambar 3.1 Hubungan Konsumen dan Penyedia Jasa Pariwisata Pendidikan Sumber: Bodger, 1998 dan CTC, 2001.

Pemangku kepentingan berasal dari tiga pihak, yakni internal, eksternal, dan kepentingan masa depan. Pemangku kepentingan internal meliputi karyawan, manajer, dan pemegang saham. Pemangku kepentingan eksternal berasal dari organisasi, individu, dan masyarakat setempat. Pemangku kepentingan masa depan meliputi wisatawan yang akan datang dan penduduk lokal (Ritchie, 2003). Pemangku kepentingan dalam sebuah destinasi pariwisata meliputi wisatawan sebagai permintaan, industri sebagai pemasok, dan host yang meliputi masyarakat setempat dan lingkungan (Pavlovich, 2003). Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) pemangku kepentingan terbagi atas tiga kategori, yakni industri pariwisata, dukungan lingkungan dan masyarakat setempat atau pemerintah. Ketiga pemangku kepentingan mempunyai peran yang berbeda-beda dan sangat penting dalam sebuah model pengelolaan pariwisata. Industri pariwisata berperan sebagai penyedia peluang kerja, lingkungan berfungsi menarik wisatawan untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya lokal, alam, arsitektur (buatan manusia),

Page 50 Kota Yogyakarta sedangkan masyarakat lokal atau pemerintah daerah berfungsi untuk membuat keputusan (Timur, 2012). Menurut Timur (2012) pelaku pariwisata perkotaan terdiri dari industri dan pemerintah (di tingkat kota, regional, atau nasional). Keduanya berperan penting dalam penggunaan ruang dan penyelenggaraan kegiatan untuk memenuhi permintaan wisatawan, dalam bentuk menegakkan warisan fisik di kota-kota, memperkuat budaya dan kelangsungan hidup sosial warga setempat, dan memberikan pembangunan jangka panjang dan kesempatan kerja (Paskaleva-Shapira, 2001). Organisasi kepariwisataan sebagai salah satu pemangku kepentingan eksternal berfungsi mengkoordinasi berbagai instansi, mengawasi bermacam-macam aktivitas pariwisata, merencanakan dan menerapkan promosi pariwisata, dan mengawasi kebijakan harga (Wahab, 2003). Pemerintah mempunyai peranan yang sangat kuat dalam promosi dan pengembangan secara sistematis sebuah destinasi pariwisata. Secara umum organisasi kepariwisataan bertanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaan kepariwisataan secara menyeluruh. Terdapat dua bentuk organisasi kepariwisataan, yakni organisasi yang dikelola oleh pemerintah dan nonpemerintah, dengan skala regional, nasional, dan internasional. Komitmen stakeholder dalam mengembangkan Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata terlihat dari berbagai penghargaan yang diperoleh dalam bidang pariwisata, yakni; (1) penghargaan Anugerah Pesona Indonesia (API) pada Tahun 2018, yakni penghargaan atas keberhasilan penyelenggaraan Dragon festival, (2) Pada tahun 2018 Kota Yogyakarta berhasil meraih predikat sebagai kota terbaik pariwisata kategori Platinum sekaligus sebagai kota terbaik investasi kategori gold dalam ajang Indonesia’s Attractiveness Award (IAA), dan (3) Penghargaan The Best Performance kategori Gold pada tahun 2014 dalam acara Travel Club Tourism Awards (TCTA), sebagai penghargaan atas konsistensi dalam pembangunan, pengembangan, dan pembinaan pada sektor pariwisata. Industri pariwisata di Kota Yogyakarta dikembangkan melalui pembentukan komunitas kreatif. Komunitas kreatif merupakan

Kota Yogyakarta Page 51 komunitas yang bergerak dibidang ekonomi kreatif, di antaranya; industri yang bergerak dibidang periklanan, animasi, game developer, dan handicraft. Dinas pariwisata bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mewujudkan pengembangan industri pariwisata berbasis komunitas kreatif, di antaranya Bank Indonesia. Pengembangan industri pariwisata tidak terlepas dari kontribusi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Kota Yogyakarta. Pengembangan UMKM melibatkan berbagai stakeholder di antaranya Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) yang memfasilitasi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi, peningkatan pemasaran, penumbuhan industri Kecil Menengah, dan perlindungan pasar domestik. Industri kreatif yang dikembangkan Kota Yogyakarta, di antaranya industri berbasis budaya Yogyakarta seperti blangkon, keris, dan gamelan. Pembangunan pariwisata dan UMKM di Kota Yogyakarta berdasarkan pada empat konsep, yakni kraton, kaprajan, kampung, dan kampus atau 4K. Salah satu upaya pemerintah kota dalam meningkatkan industri pariwisata, yakni menyelenggarakan Jogja Heboh. Program Jogja heboh merupakan program pesta diskon dari beberapa tenant sehingga perputaran ekonomi dari pelaku pariwisata mengalami peningkatan. Program ini bertujuan meningkatkan jumlah pengeluaran dari wisatawan yang berkunjung di Kota Yogyakarta. Program ini melibatkan pelaku wisata se-Daerah Istimewa Yogyakarta, di antaranya PHRI, ASITA, dan Kadin. Industri pariwisata di Kota Yogyakarta membutuhkan kebijakan untuk mengembangkan industri penunjang yang terencana dan baik. Kebijakan yang baik mampu meningkatkan investasi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat Kota Yogyakarta melalui pertumbuhan PDRB dan APBD Pemerintah terutama berupa PAD. Hal demikian akan efektif hanya apabila industri pariwisata yang berkembang meliputi perencanaan hotel, restoran, souvenir, food and baverage dan jasa-jasa lainnya yang masih keterkaitan secara langsung dengan kepariwisataan.

Page 52 Kota Yogyakarta

BAB IV PENGELOLAAN PARIWISATA EDUKASI

Suli et.al. (2013) menyampaikan strategi mengelola pariwisata edukasi dengan tiga cara; Pertama, tema produk pariwisata edukasi harus mencerminkan budaya dan sejarah kota tersebut. Kedua, melakukan regenerasi produk pariwisata yang inovatif untuk meningkatkan minat wisatawan dan mendorong partisipasi wisatawan. Aktivitas wisata tersebut memberikan kesempatan wisatawan untuk mengalami kebiasaan hidup masyarakat lokal dan meningkatkan interaksi. Ketiga, merumuskan produk pariwisata untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan pasar, seperti halnya wisatawan edukasi yang banyak dari kalangan usia muda dengan keinginan kuat untuk mengetahui budaya dan atraksi sejarah. Produk pariwisata edukasi harus dikelola dengan baik agar mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal. Dalam pengelolaan pariwisata edukasi diperlukan adanya kesesuaian produk dengan lokasi wisata. Dimensi produk dan lokasi mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan destinasi pariwisata yang kompetitif. Para pemangku kepentingan harus fokus pada kegiatan wisata dan tingkat keterlibatan wisatawan. Dalam hal ini, dimensi lokasi dengan produk yang dimiliki mampu mempunyai daya tarik wisata (Al-Knight, 2011). Lingkungan destinasi pariwisata yang dikelola dengan tepat menjadi promosi yang baik bagi sebuah destinasi pariwisata (Mihalic, 2000). Terdapat dua aspek penting dalam pengelolaan pariwisata, yakni kemampuan mengantisipasi dan mengelola situasi krisis. Kotler et.al., (2010) menyampaikan bahwa krisis bukan merupakan satu- satunya kesulitan yang dihadapi dalam proses pengelolaan destinasi pariwisata. Membangun dan mempertahankan infrastruktur yang dibutuhkan juga menjadi kesulitan dan risiko cukup tinggi bagi pengelola. Setiap destinasi pariwisata mengalami siklus hidup yang

Kota Yogyakarta Page 53 akan memasuki tahap pertumbuhan dan penurunan. Strategi yang dapat dilakukan oleh pengelola dalam fase pertumbuhan ialah merencanakan, mengatur, dan melaksanakan pembentukan infrastruktur yang sesuai dengan permintaan wisatawan (Nemethy, 1990). Secara tradisional, beberapa destinasi pariwisata merespons penurunan jumlah pengunjung dengan meningkatkan aktivitas pemasaran (Buhalis, 2000). Strategi tersebut tampaknya kurang tepat dalam pengelolaan pariwisata karena hanya memperbesar biaya pemasaran. Industri pariwisata harus menggunakan konsep daya saing sebagai paradigma baru dalam pengelolaan produk pariwisata (Ritchie dan Crouch, 2003). Dewasa ini, daya saing diterima secara luas sebagai faktor terpenting yang menentukan keberhasilan jangka panjang dalam industri pariwisata (Kozak dan Rimmington, 1999). Strategi diversifikasi dan konsentrasi produk pariwisata merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan produk pariwisata (Benur dan Bramwell, 2015). Dalam pengelolaan sebuah produk, atribut dasar tidak menjamin kesuksesan dalam pengembangan sebuah destinasi pariwisata, dalam hal ini diperlukan upaya diversifikasi produk pariwisata. Upaya diversifikasi produk mengharuskan pembangunan dilakukan secara berkelanjutan untuk menghadapi tantangan sosial, lingkungan, dan ekonomi (Rotich et.al., 2012). Diversifikasi produk pada pariwisata edukasi dapat dilakukan melalui empat tahapan. Tahap pertama dilakukan dengan cara menggali potensi dari sebuah kawasan dan mendesain atraksi wisata tunggal yang mampu memberikan pengalaman pendidikan dan pembelajaran. Tahap kedua, menjadikan kawasan tersebut sebagai embrio destinasi pariwisata edukasi dengan meningkatkan pelayanan dan mengembangkan sarana dan prasarana pendukung. Tahap ketiga, pemasaran destinasi pariwisata edukasi yang meliputi pengenalan produk, promosi, dan penjualan harus dilakukan agar produk dikenal luas dan memunculkan banyak permintaan wisata. Tahap keempat, dilakukan diversifikasi destinasi pariwisata edukasi. Dalam rangka menarik minat wisatawan, sebuah destinasi pariwisata pendidikan harus mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri dibandingkan

Page 54 Kota Yogyakarta dengan destinasi pariwisata lain. Produk pariwisata edukasi harus didesain sedemikian rupa sehingga mempunyai ikon yang kuat di mata wisatawan. Untuk menjamin keberhasilan dalam pengelolaan produk, maka dibutuhkan pemahaman kebutuhan wisatawan itu sendiri (Majava et.al., 2014). Kaosa-ard (2002) mencontohkan Singapura sebagai negara yang berhasil dalam pengelolaan produk pariwisata dengan mengelola sistem telekomunikasi, transportasi, kebersihan, dan keselamatan sebagai unsur penting dalam aktivitas pariwisata. Sebuah model diperlukan untuk menggambarkan dan mengaplikasikan sebuah teori secara konkret dan disajikan dalam suatu bentuk atau gambar pola sederhana, yang merupakan kerangka kerja yang memuat beberapa informasi. Model mempunyai tujuan utama untuk mempermudah pemikiran sistematis dan mempunyai fungsi deskriptif, prediktif, dan normatif (Rakhmat, 2001). Model yang berorientasi pada produk bertujuan untuk menghasilkan suatu produk yang bersifat spesifik, efektif, dan efisien (Mustaji, 2012). Dalam pengelolaan pariwisata edukasi, model diperlukan untuk memberikan informasi yang berorientasi ke masa depan, menunjukkan alternatif arah tindakan untuk dievaluasi sebelum dilaksanakan, dan memberikan solusi sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada. Beberapa model pariwisata berikut ini disajikan untuk memberikan gambaran dan sebagai acuan dalam menyusun model pengelolaan pariwisata edukasi di Kota Yogyakarta. Tiga model pengelolaan pariwisata yang disajikan ialah pengelolaan dengan pendekatan daya saing dan daya tarik (Vengesayi, 2003), pendekatan daya saing dengan indikator kekuatan dan kelemahan (Dwyer dan Kim, 2003), dan pendekatan perspektif pemangku kepentingan (Yoon, 2002).

4.1. Model Pengelolaan Pariwisata 4.1.1. Model Pengelolaan dengan pendekatan Daya Saing Model pengelolaan pariwisata yang disusun oleh Vengesayi (2003) menggunakan pendekatan daya saing dan daya tarik, serta dibentuk

Kota Yogyakarta Page 55 dari lima proposisi. Proposisi pertama dibentuk oleh keterkaitan antara atraksi pariwisata dan perpaduan aktivitas wisatawan dengan daya tarik dan daya saing. Proposisi kedua dibentuk oleh keterkaitan antara tingkat fasilitas penunjang dan kemampuan pengelolaan destinasi pariwisata berkaitan dengan daya tarik dan daya saing. Proposisi ketiga dibentuk oleh kepadatan, keamanan, kemampuan sumber daya manusia, tingkat kerja sama, dan kompetisi antar destinasi sebagai unsur yang menyusun lingkungan destinasi. Proposisi keempat dibentuk oleh keterkaitan antara lingkungan sebagai tempat produk wisata itu dirasakan dengan daya tarik dan daya saing destinasi pariwisata. Proposisi kelima dibentuk oleh keterkaitan antara kemampuan destinasi pariwisata menarik wisatawan dan bersaing secara internasional dengan citra dan pengalaman tentang harga.

4.1.2. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Sumber Daya Model pengelolaan destinasi pariwisata berdaya saing, menurut Dwyer dan Kim (2003), meliputi beberapa variabel, yakni sumber daya, kondisi situasional, dan daya saing. Variabel sumber daya utama dan pendukung dikelompokkan dalam sumber daya warisan dan buatan, sebagai karakteristik destinasi pariwisata yang mampu menarik pengunjung. Sumber daya yang dimiliki sangat memengaruhi kondisi situasional, meliputi pengelolaan dan permintaan pasar. Demikian pula sebaliknya, kondisi situasional juga memengaruhi sumber daya yang ada. Pengelolaan destinasi pariwisata dilakukan untuk meningkatkan daya tarik sumber daya utama, memperkuat kualitas dan efektivitas faktor-faktor pendukung dan sumber daya, salah satunya ialah dengan pemasaran, yang mampu memunculkan permintaan wisatawan. Faktor daya saing sebagai sarana menuju tujuan sosial-ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat dibatasi oleh kondisi situasional yang ada. Daya saing itu dipengaruhi oleh indikatornya, meliputi atribut subjektif (daya tarik destinasi) dan atribut objektif (pemasaran destinasi, pengeluaran pendapatan oleh wisatawan asing), sedangkan indikator kemakmuran sosial-ekonomi

Page 56 Kota Yogyakarta nasional atau regional berkaitan dengan tingkat produktivitas di bidang ekonomi, tingkat lapangan pekerjaan, pendapatan per kapita, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Model pengelolaan pariwisata tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Kondisi Kemakmu- Situasional Daya Saing Destinasi ran Sosial- Sumber Sumber Ekonomi daya daya warisan buatan Pengelolaan Destinasi

Indikator Indikator Faktor pendukung dan Daya Saing Daya Saing sumber daya Kondisi Destinasi Nasional/ Permintaan Regional

Gambar 4.1 Model Pengelolaan Pariwisata Sumber: Dwyer dan Kim, 2003

4.1.3. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Pemangku Kepentingan Menurut Yoon (2002) sebuah destinasi pariwisata dapat dikelola dengan menggunakan model perspektif pemangku kepentingan. Dukungan para pemangku kepentingan pariwisata dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata merupakan elemen kunci untuk keberhasilan operasional, pengelolaan, dan keberlanjutan jangka panjang dari tujuan pariwisata. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah masyarakat selaku pemangku kepentingan pariwisata cenderung berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata jika mereka percaya bahwa akan mendapatkan keuntungan tanpa memerlukan biaya. Model ini dibangun dengan menggunakan lima variabel, yakni dampak pengembangan pariwisata, perilaku lingkungan, kedudukan dalam masyarakat, preferensi pengembangan atraksi pariwisata, dan dukungan terhadap strategi daya saing

Kota Yogyakarta Page 57 destinasi. Model pengelolaan dengan pendekatan perspektif pemangku kepentingan dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Dampak Pengembangan Pariwisata

Dukungan Keinginan Perilaku pada Strategi Lingkungan Mengembangkan Atraksi Pariwisata Daya Saing Destinasi

Kedudukan dalam Masyarakat

Gambar 4.2 Model Struktural Daya Saing Destinasi Pariwisata Sumber: Yoon, 2002

4.1.4. Model Pengelolaan dengan Pendekatan Pasar dan Produk Ketiga contoh model pengelolaan pariwisata di atas menitikberatkan pada daya saing dan peran pemangku kepentingan. Sementara itu, faktor permintaan pasar sebagai faktor yang penting dalam pariwisata edukasi belum menjadi pertimbangan. Keberhasilan pengelolaan pariwisata edukasi tergantung pada pemenuhan permintaan pasar pariwisata edukasi, yakni pengalaman pembelajaran dalam aktivitas wisata. Permintaan pasar pariwisata edukasi memengaruhi daya saing dan tingkat keterlibatan para investor, yaitu para pemangku kepentingan. Permintaan pasar sebagai faktor kunci dalam keberhasilan pengelolaan pariwisata menjadi acuan bagi penulis dalam mendesain model pengelolaan pariwisata edukasi di Kota Yogyakarta dengan pendekatan “pasar dan produk”. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah jika permintaan pasar pariwisata edukasi tinggi, pengelolaan terhadap produk pariwisata edukasi akan meningkat. Konsep “pasar dan produk” diartikan bahwa pasar dan

Page 58 Kota Yogyakarta produk pariwisata edukasi saling tergantung dan membentuk kerangka interaksi pembeli dan penjual dalam usaha pariwisata edukasi. Penulis telah melakukan penelitian terhadap beberapa destinasi pariwisata edukasi di Kota Yogyakarta, serta menghasilkan sebuah model pengelolaan pariwisata edukasi. Model pengelolaan yang dibangun menggunakan pendekatan pasar dan produk yang existing dan potensial. Pasar dan produk potensial memberikan ide dan gagasan baru bagi pengelola dalam pengembangan pariwisata edukasi, sekaligus mengurangi tingkat kejenuhan karena mampu memunculkan berbagai atraksi wisata baru bagi wisatawan. Model pengelolaan produk pariwisata edukasi dengan pendekatan pasar dan produk dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Model Pengelolaan Pariwisata Edukasi Sumber : Penulis, 2018

Model yang dibangun merupakan model yang responsif terhadap pasar dan produk yang exsisting dan potensial meliputi tiga

Kota Yogyakarta Page 59 tahap, meliputi input, proses, dan output yang diuraikan sebagai berikut.

INPUT Input atau tahap pertama pada Gambar 7.3 merupakan permintaan pariwisata edukasi, meliputi lingkungan fisik dan sosial, atraksi wisata, dan sumber daya yang mendukung aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Permintaan pariwisata edukasi terbagi menjadi dua, yakni pasar existing dan pasar potensial. Pasar existing dalam pariwisata edukasi merupakan sekumpulan wisatawan yang mempunyai minat dan kemampuan untuk membeli produk pariwisata edukasi. Pasar existing di Kota Yogyakarta meliputi semua pelajar baik yang tinggal di Kota Yogyakarta maupun di luar Kota Yogyakarta. Sedangkan pasar potensial dalam pariwisata edukasi, merupakan sekumpulan wisatawan yang mempunyai tingkat minat tertentu terhadap produk pariwisata edukasi (Hussain et.al., 2013). Pasar potensial di Kota Yogyakarta meliputi wisatawan bukan pelajar yang memiliki minat terhadap atraksi wisata yang melibatkan aktivitas pendidikan dan pembelajaran yang ditawarkan di Kota Yogyakarta. Permintaan wisatawan menjadi acuan bagi pengelola pariwisata edukasi dalam mendesain produk pariwisata yang melibatkan unsur pendidikan dan pembelajaran. Wisatawan mempunyai permintaan akan lingkungan pariwisata yang kondusif, yang meliputi lingkungan fisik, sosial, atraksi wisata, dan sumber daya yang mendukung aktivitas pariwisata edukasi. 1) Lingkungan fisik dalam pariwisata edukasi, di antaranya, berbagai wahana permainan, zonasi atraksi wisata, bangunan bersejarah, dan benda-benda koleksi. 2) Lingkungan sosial pada pariwisata edukasi meliputi cerita rakyat setempat, bahasa, budaya lokal, dan tradisi masyarakat setempat. 3) Atraksi wisata pariwisata edukasi merupakan permintaan dan daya tarik utama bagi wisatawan edukasi. Atraksi pariwisata edukasi merupakan sebuah perhelatan yang sangat dipengaruhi oleh produk inti pariwisata edukasi (Weidenfeld & Leask, 2013). Atraksi pariwisata edukasi diwujudkan dalam berbagai event pendidikan, serta mampu

Page 60 Kota Yogyakarta menjadi alat strategis untuk mempromosikan sebuah destinasi pariwisata edukasi (Swarbrooke, 2002). 4). Sumber daya pariwisata terdiri dari tiga hal, yakni sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya kebudayaan (Soekadijo, 2000). Menurut Damanik & Weber (2006) sumber daya pariwisata menyangkut produk dan jasa pariwisata. Dalam pariwisata edukasi, sumber daya produk terangkum dalam beberapa aspek, berupa atraksi pariwisata edukasi, akomodasi, transportasi, dan hiburan, sedangkan jasa berupa pelayanan yang diberikan pengelola kepada wisatawan selama melakukan aktivitas pariwisata. Perpaduan antara produk dan layanan pariwisata tersebut membentuk sebuah destinasi pariwisata (Buhalis, 2000).

PROSES Proses dalam model ini merupakan aktivitas pengelolaan produk, sebagai aspek penawaran pariwisata edukasi meliputi produk existing dan produk potensial. Produk existing merupakan produk yang ada dan ditawarkan kepada wisatawan berupa berbagai produk yang mendukung atraksi wisata pendidikan dan pembelajaran. Produk existing berupa semua produk pariwisata edukasi yang dikelola dan ditawarkan bagi wisatawan edukasi di Kota Yogyakarta, meliputi atraksi wisata seni dan budaya, sejarah, ilmu pengetahuan, konferensi, dan mempelajari teknologi baru. Produk potensial dalam hal ini merupakan produk pariwisata di Kota Yogyakarta yang mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai produk pariwisata edukasi dengan meningkatkan daya saing melalui diferensiasi produk pariwisata edukasi (Sunyoto, 2014). Salah satu produk potensial, yakni atraksi wisata yang melibatkan pembelajaran bahasa. Produk tersebut sejauh ini belum dikembangkan secara maksimal pada keempat objek wisata yang diteliti. Pada tahap ini terjadi proses desain produk guna menciptakan pengalaman wisatawan berupa atraksi wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran. Proses pengelolaan produk pariwisata

Kota Yogyakarta Page 61 edukasi sangat dipengaruhi oleh kerja sama berbagai pemangku kepentingan dan regulasi atau kebijakan yang berlaku. Penawaran produk mengacu pada permintaan wisatawan guna mewujudkan pengalaman pendidikan dan pembelajaran dalam aktivitas wisata. Proses penawaran produk pariwisata melibatkan dua aspek penting, yakni pelayanan pariwisata dan konsentrasi atau diversifikasi produk. Pelayanan merupakan perilaku produsen dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan (Kotler, 2002). Pelayanan merupakan aktivitas yang tidak kasat mata sebagai akibat dari interaksi konsumen dan produsen (Gronroos, 2001). Pelayanan pariwisata melibatkan semua pemangku kepentingan yang terlibat dan menjadi tolak ukur keberhasilan pengelolaan destinasi pariwisata. Untuk menciptakan pengalaman yang maksimal bagi wisatawan, pelayanan saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan desain produk yang baik. Dalam mendesain sebuah produk pariwisata edukasi, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan oleh pengelola, yakni konsentrasi atau diversifikasi produk. Berkonsentrasi pada satu produk dapat menjadi produk yang kompetitif dan berkelanjutan apabila mampu memberikan manfaat yang jelas dan didukung oleh semua pemangku kepentingan (Getz et.al., 2012). Kondisi ini terlihat jelas pada Museum Biologi yang menawarkan benda-benda koleksi berupa awetan tumbuhan dan hewan. Pada satu sisi, Museum Biologi merupakan satu-satunya museum dengan koleksi yang sangat spesifik dan tidak dimiliki oleh objek wisata lain. Pada sisi lain, pengelola menghadapi tantangan untuk menciptakan atraksi pariwisata yang menarik guna menghindari kejenuhan pengunjung yang hanya melihat benda koleksi berupa awetan tumbuhan dan hewan. Benur dan Bramwell (2015) menyampaikan diversifikasi produk mampu meningkatkan pengalaman wisatawan. Diversifikasi produk pariwisata edukasi tidak bertujuan untuk mengubah produk existing, tetapi mengurangi kejenuhan dan memperpanjang lama tinggal wisatawan (Pitana, 2006 dalam Naibaho, 2011). Upaya

Page 62 Kota Yogyakarta diversifikasi harus memperhatikan tujuan utama dari wisatawan edukasi yakni mendapatkan pengalaman pendidikan dan pembelajaran. Diversifikasi produk terlihat jelas pada pengelolaan Taman Pintar. Taman Pintar melakukan diversifikasi produk dengan cara mengombinasikan produk wisata yang sudah ada dengan produk baru yang didesain mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menarik pasar baru dan mempertahankan pasar yang sudah ada (Benur dan Bramwell, 2015). Diversifikasi produk dilakukan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui penawaran pengalaman yang lebih dibandingkan dengan destinasi pariwisata lainnya (Dwyer dan Kim, 2003). Pada tahap input dan proses, variabel pasar existing, pasar potensial, produk existing, dan produk potensial saling memengaruhi dalam proses pengelolaan pariwisata edukasi untuk mewujudkan pengalaman pariwisata edukasi.

OUTPUT Bagian ketiga, yaitu output, menggambarkan pengalaman yang diperoleh wisatawan setelah mengonsumsi produk pariwisata edukasi yang ditawarkan. Pariwisata merupakan rangkaian pengalaman wisatawan yang lengkap sejak keberangkatan dari rumah sampai saat kembali (TPRG, 2003 dan TPDS, 2007--2003). Pengalaman produk pariwisata tersebut kemudian menjadi faktor utama yang memengaruhi permintaan wisatawan selanjutnya (Brunner-Sperdin dan Peters, 2009). Pengalaman wisatawan terbentuk dari lingkungan pengalaman yang diwujudkan oleh pengelola pariwisata. Lingkungan pengalaman pariwisata merupakan ruang interaksi pengelola dengan wisatawan, yang produk pariwisata itu dikonsumsi dengan memuaskan (Prahalad dan Ramaswamy, 2004). Pengalaman sebagai produk utama dalam industri pariwisata menjadi target untuk mencapai destinasi pariwisata yang berdaya saing. Pengalaman dapat dievaluasi melalui penilaian tingkat kepuasan wisatawan, yang merupakan tujuan penting dalam sebuah bisnis pariwisata (Chi dan Hailin, 2008).

Kota Yogyakarta Page 63

Upaya mewujudkan pengalaman wisatawan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan pemangku kepentingan dan kebijakan yang berlaku. Jika keterlibatan pemangku kepentingan tinggi, pengalaman wisatawan akan meningkat. Sebaliknya, jika kebijakan yang diterapkan terlalu mengikat, pengalaman wisatawan akan rendah karena keterbatasan pengelola dalam mendesain variasi aktivitas wisata. Pengelolaan pariwisata tidak bisa terlepas dari kerja sama berbagai pemangku kepentingan. Cohen (2008) dan Mitchell (2001) menjelaskan bahwa model pengelolaan pariwisata edukasi merupakan hasil kerja sama dari beberapa institusi dan individu. Sejalan dengan model yang dibangun (Gambar 7.3) pemangku kepentingan pariwisata meliputi wisatawan sebagai permintaan, industri sebagai penyedia produk, dan host yang meliputi masyarakat setempat dan lingkungan (Pavlovich, 2003). Dalam proses pengelolaan, interaksi antar berbagai pemangku kepentingan tersebut terikat oleh regulasi atau kebijakan yang berlaku pada sebuah destinasi pariwisata. Salah satu aspek yang sangat berkaitan dengan regulasi ialah birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu pemangku kepentingan pengelolaan pariwisata yang mempunyai peran strategis dalam menentukan arah dan sasaran pengelolaan pariwisata (Kusworo dan Damanik, 2002). Keberhasilan pengelolaan pariwisata sangat bergantung pada sistem regulasi, di antaranya, ialah birokrasi dalam mengelola sumber daya pariwisata yang ada. Pariwisata edukasi menjadi sarana meningkatkan standar akademik dalam dunia pendidikan (Smith, 2013). Dengan demikian, pariwisata edukasi menjadi motivasi kuat dalam rangka mengembangkan pendidikan. Motivasi yang kuat menimbulkan permintaan wisatawan dan menjadi peluang bagi para pengelola destinasi pariwisata untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Permintaan tersebut memberikan gambaran jelas bagi para pengelola pariwisata edukasi dalam mendesain produk yang akan dihasilkan untuk memenuhi permintaan pasar dan memunculkan permintaan wisatawan untuk berkunjung pada sebuah destinasi pariwisata (Vengesayi, 2003). Permintaan pasar dan upaya mendesain produk

Page 64 Kota Yogyakarta sangat memengaruhi kinerja pengelolaan dalam mewujudkan berbagai atraksi wisata sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Uraian tersebut membentuk empat proposisi. Proposisi pertama dibentuk oleh keterkaitan antara permintaan wisatawan edukasi dengan ketersediaan produk pariwisata edukasi itu sendiri. Proposisi kedua dibentuk oleh keterkaitan antara permintaan wisatawan edukasi dengan kinerja pengelolaan produk pariwisata edukasi. Proposisi ketiga dibentuk oleh keterkaitan antara ketersediaan produk pariwisata edukasi dengan kinerja pengelolaan produk pariwisata edukasi. Sedangkan, proposisi keempat dibentuk oleh keterkaitan antara permintaan wisatawan edukasi dengan variasi aktivitas pariwisata edukasi. Kinerja pengelolaan dapat dilihat dari ketersediaan dan kelayakan produk, meliputi fasilitas utama, fasilitas tambahan, pelayanan, dan jasa pendukung. Ketersediaan produk yang memadai baik dalam kualitas maupun kuantitas memengaruhi variasi aktivitas wisata yang didesain oleh pengelola. Kinerja pengelolaan merupakan upaya pengelola pariwisata edukasi dalam pemanfaatan potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, meliputi pengelolaan atraksi wisata, berbagai jenis layanan pariwisata, dan fasilitas pendukung (Priono, 2012). Semakin lengkap fasilitas dan produk yang dimiliki, aktivitas wisata yang ditawarkan semakin bervariasi. Selain itu, kinerja pengelolaan yang baik mampu memberikan kontribusi dalam pembentukan pengalaman wisatawan. Uraian di atas membentuk proposisi kelima dan keenam. Proposisi kelima dibentuk oleh keterkaitan antara kinerja pengelolaan produk pariwisata edukasi dengan variasi aktivitas pariwisata edukasi. Proposisi keenam dibentuk oleh keterkaitan antara kinerja pengelolaan produk pariwisata edukasi dengan tingkat pengalaman wisatawan edukasi. Berbagai aktivitas pariwisata edukasi dirancang untuk menciptakan pengalaman pendidikan dan pembelajaran. Berbagai aktivitas pariwisata edukasi di Israel didesain untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang sejarah Israel, geografi, bahasa, agama, dan budaya, melalui kunjungan situs penting, keterlibatan dalam

Kota Yogyakarta Page 65 penggalian arkeologi, belajar lagu dan tarian Israel, dan mengikuti konferensi (Cohen, 2008). Aktivitas pariwisata edukasi sangat bervariasi dimulai dari mengenal sekolah, budaya, belajar bahasa, menghadiri simposium atau seminar, sampai dengan mengikuti proyek penelitian (Wang, 2008). Pengalaman pembelajaran melalui pariwisata edukasi menjadi fokus utama dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Pernyataan di atas membentuk proposisi ketujuh. Proposisi ketujuh dibentuk oleh keterkaitan antara variasi aktivitas pariwisata edukasi dengan tingkat pengalaman wisatawan edukasi.

4.2. Pengelolaan Pariwisata Edukasi Pengelolaan pariwisata merupakan suatu proses perubahan pokok yang dilakukan oleh manusia secara terencana pada suatu kondisi kepariwisataan tertentu yang kurang baik menuju kondisi kepariwisataan yang baik (Biduan, 2016). Salah satu kegiatan pengelolaan adalah mendesain sebuah produk untuk mencapai tujuan tertentu. Mendesain merupakan cara penuangan sebuah ide dan memungkinkan untuk memperbaiki konsep asli (Swarbrooke, 2002). Desain produk industri pariwisata dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, mendesain usaha-usaha yang berkaitan dengan publisitas promosi, perbankan, perasuransian, dan sejenisnya. Kedua, mendesain usaha-usaha yang termasuk dalam lingkungan akomodasi, angkutan, suvenir atau kerajinan rakyat, rekreasi, taman hiburan, berbagai objek wisata, dan sebagainya. Ketiga, membuat desain-desain sesuai dengan kebutuhan pariwisata secara bertahap, lengkap dengan perincian bentuk, jenis, dan harganya (Pendit, 2006). Proses pengelolaan dimulai dengan menghasilkan ide (Godfrey dan Clarke, 2000), menyortir, dan menentukan desain produk. Salah satu tahap terpenting pengelolaan produk ialah cerita dibalik produk itu sendiri (Schejbal, 2013). Langkah ini sangat penting sebagai upaya mendefinisikan produk apa yang ingin diciptakan. Salah satu upaya mendorong produk pariwisata menjadi sukses ialah fokus pada kelompok pelanggan tertentu atau target pasar. Target pasar diperlukan untuk menemukan tema yang sesuai dengan pengelolaan

Page 66 Kota Yogyakarta sebuah produk pariwisata. Tema sangat dibutuhkan pada saat penyelenggaraan event pariwisata. Penyusunan, perancangan, dan realisasi produk wisata juga dilihat dari adanya infrastruktur dasar dan pendukung, struktur dan fasilitas organisasi, kualitas sumber daya manusia, dan dukungan pemasaran untuk penawaran dan penjualannya. Selain itu, pengelolaan pariwisata harus memerhatikan lingkungan, yakni daya dukung situs sebagai bagian dari upaya konservasi (Schejbal, 2013). Suli et.al. (2013) menyampaikan strategi mengelola pariwisata edukasi dengan tiga cara; Pertama, tema produk pariwisata edukasi harus mencerminkan budaya dan sejarah kota tersebut. Kedua, melakukan regenerasi produk pariwisata yang inovatif untuk meningkatkan minat wisatawan dan mendorong partisipasi wisatawan. Aktivitas wisata tersebut memberikan kesempatan wisatawan untuk mengalami kebiasaan hidup masyarakat lokal dan meningkatkan interaksi. Ketiga, merumuskan produk pariwisata untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan pasar, seperti halnya wisatawan edukasi yang banyak dari kalangan usia muda dengan keinginan kuat untuk mengetahui budaya dan atraksi sejarah. Produk pariwisata edukasi harus dikelola dengan baik agar mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal. Dalam pengelolaan pariwisata edukasi diperlukan adanya kesesuaian produk dengan lokasi wisata. Dimensi produk dan lokasi mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan destinasi pariwisata yang kompetitif. Para pemangku kepentingan harus fokus pada kegiatan wisata dan tingkat keterlibatan wisatawan, yang dimensi lokasi dengan produk yang dimiliki tersebut mampu mempunyai daya tarik wisata (Al-Knight, 2011). Lingkungan destinasi pariwisata yang dikelola dengan tepat menjadi promosi yang baik bagi sebuah destinasi pariwisata (Mihalic, 2000). Terdapat dua aspek penting dalam pengelolaan pariwisata, yakni kemampuan mengantisipasi dan mengelola situasi krisis. Kotler et.al., (2010) menyampaikan bahwa krisis bukan merupakan satu- satunya kesulitan yang dihadapi dalam proses pengelolaan destinasi

Kota Yogyakarta Page 67 pariwisata. Membangun dan mempertahankan infrastruktur yang dibutuhkan juga menjadi kesulitan dan risiko cukup tinggi bagi pengelola. Setiap destinasi pariwisata mengalami siklus hidup yang akan memasuki tahap pertumbuhan dan penurunan. Strategi yang dapat dilakukan oleh pengelola dalam fase pertumbuhan ialah merencanakan, mengatur, dan melaksanakan pembentukan infrastruktur yang sesuai dengan permintaan wisatawan (Nemethy, 1990). Secara tradisional, beberapa destinasi pariwisata merespons penurunan jumlah pengunjung dengan meningkatkan aktivitas pemasaran (Buhalis, 2000). Strategi tersebut tampaknya kurang tepat dalam pengelolaan pariwisata karena hanya memperbesar biaya pemasaran. Industri pariwisata harus menggunakan konsep daya saing sebagai paradigma baru dalam pengelolaan produk pariwisata (Ritchie dan Crouch, 2003). Dewasa ini, daya saing diterima secara luas sebagai faktor terpenting yang menentukan keberhasilan jangka panjang dalam industri pariwisata (Kozak dan Rimmington, 1999). Strategi diversifikasi dan konsentrasi produk pariwisata merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan produk pariwisata (Benur dan Bramwell, 2015). Dalam pengelolaan sebuah produk, atribut dasar tidak menjamin kesuksesan dalam pengembangan sebuah destinasi pariwisata, dalam hal ini diperlukan upaya diversifikasi produk pariwisata. Upaya diversifikasi produk mengharuskan pembangunan dilakukan secara berkelanjutan untuk menghadapi tantangan sosial, lingkungan, dan ekonomi (Rotich et.al., 2012). Diversifikasi produk pada pariwisata edukasi dapat dilakukan melalui empat tahapan. Tahap pertama dilakukan dengan cara menggali potensi dari sebuah kawasan dan mendesain atraksi wisata tunggal yang mampu memberikan pengalaman pendidikan dan pembelajaran. Tahap kedua, menjadikan kawasan tersebut sebagai embrio destinasi pariwisata edukasi dengan meningkatkan pelayanan dan mengembangkan sarana dan prasarana pendukung. Tahap ketiga, pemasaran destinasi pariwisata edukasi yang meliputi pengenalan produk, promosi, dan penjualan harus dilakukan agar produk dikenal luas dan memunculkan banyak permintaan wisata. Tahap keempat,

Page 68 Kota Yogyakarta dilakukan diversifikasi destinasi pariwisata edukasi. Dalam rangka menarik minat wisatawan, sebuah destinasi pariwisata pendidikan harus mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri dibandingkan dengan destinasi pariwisata lain. Produk pariwisata edukasi harus didesain sedemikian rupa sehingga mempunyai ikon yang kuat di mata wisatawan. Untuk menjamin keberhasilan dalam pengelolaan produk, maka dibutuhkan pemahaman kebutuhan wisatawan itu sendiri (Majava et.al., 2014). Kaosa-ard (2002) mencontohkan Singapura sebagai negara yang berhasil dalam pengelolaan produk pariwisata dengan mengelola sistem telekomunikasi, transportasi, kebersihan, dan keselamatan sebagai unsur penting dalam aktivitas pariwisata.

4.3. Kinerja Pengelolaan Kinerja adalah tingkat pencapaian misi, tujuan dan sasaran organisasi (Cascio, 2006; Richardo dan Wade, 2001). Draft (2000) mengatakan bahwa kinerja adalah kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan menggunakan sumber daya. Kinerja pengelolaan pariwisata edukasi merupakan pemanfaatan potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pariwisata edukasi, meliputi pengelolaan atraksi wisata, berbagai jenis layanan pariwisata, dan fasilitas pendukung (Priono, 2012). Kinerja pengelolaan merupakan proses tempat para pengelola memastikan bahwa aktivitas dan keluaran berkontribusi pada pencapaian tujuan dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien (Noe et.al., 2010; Draft, 2000; Richardo dan Wade, 2001). Kinerja pengelolaan bertujuan untuk mentransformasikan potensi sumber daya manusia ke dalam kinerja dengan menghilangkan rintangan serta memotivasi dan meremajakan sumber daya manusia (Kandula, 2006).

Kota Yogyakarta Page 69

BAB V PEMASARAN PARIWISATA EDUKASI

Pemasaran mengulas secara sistematis segala pergerakan dalam dunia usaha. Kegiatan pemasaran dimulai sejak produk yang meliputi barang dan jasa diproduksi sampai dengan proses pendistribusian akhir kepada konsumen. Kegiatan pemasaran tidak terhenti sampai produk terjual, tetapi masih ada kegiatan lanjutan yang disebut after sales service. Kegiatan after sales service mencakup pelayanan pembelian produk sampai dengan pelayanan garansi kepada pelanggan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa kegiatan marketing merupakan rangkaian kegiatan yang saling terkait dari dimulai dari kegiatan riset, proses produksi, penjualan ke konsumen, sampai dengan layanan pasca penjualan produk (Yoeti, 1996). Pemahaman mengenai pemasaran mengalami pergeseran. Pada awalnya pemasaran berorientasi terhadap produk (product orientation), namun dewasa ini bergeser menjadi berorientasi pada konsumen (consumer oriented). Pemasaran yang bertumpu pada produk mengartikan bahwa semua barang yang diproduksi pasti akan dibeli konsumen. Dalam kenyataannya, kondisi tersebut hanya berlaku pada produk yang sangat terbatas dan banyak dibutuhkan oleh konsumen. Sedangkan pemasaran yang bertumpu pada konsumen lebih mengutamakan kualitas produk. Dalam hal ini, hanya produk yang mempunyai kualitas baik yang akan dibeli konsumen dan mampu bersaing dipasar. Pemasaran dalam industri pariwisata cukup kompleks karena produknya mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan barang dan jasa yang lain. Pemasaran pariwisata sendiri mencakup seluruh kegiatan dalam rangka mempertemukan permintaan dan penawaran, untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan dan keuntungan bagi pelaku usaha pariwisata. Pemasaran pariwisata dilakukan oleh pelaku usaha pariwisata untuk mencapai target-target

Page 70 Kota Yogyakarta yang ditentukan, di antaranya menarik wisatawan berkunjung, meningkatkan jumlah kunjungan, meningkatkan lama tinggal, dan meningkatkan pembelanjaan wisatawan. Perbedaan pemasaran kepariwisataan dengan pemasaran produk lain dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya; 1. Kepariwisataan erat kaitannya dengan pelayanan Pelayanan dalam jasa pariwisata tidak bisa disimpan untuk menyesuaikan dengan permintaan dan penawaran. Pelayanan terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan antara produksi dan konsumsi. 2. Supply yang terpisah-pisah Barang dan jasa pariwisata diproduksi secara terpisah-pisah, sebagai contoh; travel agent menyiapkan perjalanan, hotel menyediakan akomodasi, restoran menyediakan makanan dan minuman, dan lain sebagainya. 3. Demand yang tergabung Meskipun produk pariwisata yang meliputi barang dan jasa diproduksi secara terpisah, namun dikonsumsi oleh wisatawan pada waktu yang tidak jauh berbeda atau berurutan. Keberadaan supply yang beragam mampu menimbulkan ketidakpuasan bagi wisatawan. Dalam hal ini peran perantara sangat diperlukan untuk menjamin kelancaran aktivitas wisata, salah satunya yakni travel agent. 4. Keanekaragaman motif perjalanan Motif setiap wisatawan mengunjungi sebuah destinasi yang sama sangat beragam, di antaranya berolah raga, bersantai, belajar sesuatu, dan melukis. Motif yang beragam tersebut tentunya diikuti pula dengan kebutuhan dan pelayanan yang beragam. 5. Perantara berperan penting Perantara dalam industri pariwisata di antaranya, yakni travel agent dan tour operator. Keberadaan perantara sangat dibutuhkan untuk menjamin supply yang beragam tidak menimbulkan keluhan pelanggan.

Kota Yogyakarta Page 71

6. Peran organisasi kepariwisataan Peranan organisasi kepariwisataan sangat dibutuhkan mengingat jasa-jasa industri pariwisata yang dihasilkan sangat beragam, sementara permintaannya tergabung. Selain itu, sebagian besar usahanya relatif kecil dan mempunyai keterbatasan baik dalam modal maupun pengelolaan. Organisasi kepariwisataan mempunyai peran kuat dalam perencanaan, pengembangan, dan pembinaan agar tercapai sinkronisasi dalam berbagai aktivitas kepariwisataan.

5.1. Citra Pariwisata Citra atau image pariwisata mampu mendiferensiasikan diri dari pesaing. Citra yang merupakan bagian dari brand harus mampu menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Daerah Istimewa Yogyakarta pernah menggunakan slogan “Jogja Never Ending Asia” dengan tulisan kota Jogja berwarna hijau. Dalam rangka meningkatkan image pariwisata di Yogyakarta, pemerintah berupaya melakukan rebranding yang mempunyai unsur Sabdatama dan Jogja Renaissance. Slogan tersebut mencerminkan ikatan emosional masyarakat Kota Yogyakarta sehingga slogan tersebut tidak hanya menjadi milik pemerintah, tetapi milik masyarakat secara utuh.

5.2. Media Komunikasi Pemasaran Promosi melalui slogan saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilan program pemasaran pariwisata di Kota Yogyakarta. Cara strategis lain yang tidak kalah pentingnya yakni menggunakan berbagai media promosi baik online maupun offline. Dinas pariwisata di Kota Yogyakarta telah melakukan berbagai upaya pemasaran baik vertikal maupun horizontal. Konsep pemasaran vertikal dilakukan dengan dua cara yakni Above The Line (ATL) dan Below the Line (BTL). Above The Line merupakan cara pemasaran menggunakan media, baik cetak maupun elektronik, sedangkan Below The Line dilakukan melalui penyelenggaraan berbagai event yang ditujukan langsung terhadap segmen pasar yang dituju. Dalam konsep horizontal marketing,

Page 72 Kota Yogyakarta promosi yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan komunitas yang ada di masyarakat. Ada dua metode pendekatan dalam melakukan promosi, yaitu off line melalui intimacy dan on line melalui excitement. Off line melalui intimacy adalah mendekati komunitas untuk membuat kesaksian tentang destinasi dan produk pariwisata Indonesia (testimonial). Sedangkan on line melalui excitement, menggunakan teknologi informasi, komunitas internet (media sosial) misal blog, facebook, millist, memberikan cerita atau kesaksian tentang Indonesia. Berbagai upaya pemasaran dilakukan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dengan menggandeng berbagai stakeholder baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Beberapa program pemasaran yang dilakukan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, di antaranya; a. Workshop promosi dan pemasaran. Mengadakan workshop promosi dan pemasaran pariwisata dengan melibatkan stakeholder pariwisata di Kota Yogyakarta. Program ini bertujuan mewujudkan sinergi antar stakeholder dalam program pemasaran Kota Yogyakarta. Para stakeholder dibidang pariwisata tersebut di antaranya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Association of The Indonesian tours & Travel Agencies (ASITA), dan Himpunan Pemandu Wisata. b. Promosi melalui travel dialog dan table top. Program ini bertujuan mempertemukan pengusaha-pengusaha di luar Kota Yogyakarta dengan Pengusaha di Kota Yogyakarta dalam mempromosikan objek wisata di Kota Yogyakarta. c. Menciptakan Kampung Wisata. Program ini merupakan program menciptakan sebuah destinasi wisata dengan melibatkan masyarakat setempat untuk meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan. d. Program 1Hotel 1Dewi. Program 1Hotel 1Desa Wisata merupakan program dinas pariwisata provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertujuan untuk memperluas pemasaran destinasi wisata.

Kota Yogyakarta Page 73

e. Menyelenggarakan event nasional dan internasional. Dinas pariwisata menyelenggarakan berbagai event internasional di antaranya Jogja International Heritage walk, Java Netpac Festival, Customfest, dan Asia Tri. Sedangkan event nasional meliputi Festival Kebudayaan Yogyakarta, Artjog, Bedog Art Festival, Festival Boneka, dan Festival Gamelan. Berbagai event yang diselenggarakan bertujuan untuk meningkatkan animo wisatawan untuk berkunjung dan meningkatkan lama tinggal wisatawan. f. Mengembangkan website direktori pariwisata. Pengembangan website tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan destination branding dan mendukung promosi pariwisata di Kota Yogyakarta. Website yang menampilkan wisata Kota Yogyakarta tersebut di antaranya; visitingjogja.com, wisatajogja.org, pariwisatajogjakarta.go.id, dan yogyakarta.panduanwisata.id. g. Melakukan kampanya “Ayo ke Jogja”. Program ini bertujuan meningkatkan citra Jogja yang dilakukan Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta (BP2KY) melalui kerja sama dengan pemerintah kota, masyarakat, insan pariwisata, dan media massa di Kota Yogyakarta. h. Meresmikan Generasi Pesona Indonesia (GenPI). GenPI merupakan komunitas yang bersifat sosial atau volunteer dan merupakan komunitas netizen seperti @jogjaupdate, @travellerkaskus, @malamuseum, @kulinerjogja, dan @jogjainfo. Komunitas tersebut aktif melakukan promosi acara dan destinasi wisata di Kota Yogyakarta secara masif. Komunitas ini melakukan promosi pariwisata dengan cara memviralkan berbagai informasi seputar destinasi, event-event, festival, dan lain sebagainya dalam bentuk foto, video, maupun grafis ke berbagai akun sosial media. Promosi ini dipandangan sangat efektif karena mampu menjangkau masyarakat luas dalam waktu yang relatif sangat singkat.

Page 74 Kota Yogyakarta

i. Menggelar event nasional pada saat low season. Salah satu event yang digelar yakni Jogjavaganza. Event ini digelar untuk meningkatkan aktivitas pariwisata di Kota Yogyakarta pada saat low season dengan melibatkan berbagai pelaku pariwisata di Kota Yogyakarta. Target jumlah wisatawan yang ingin diperoleh Kota Yogyakarta pada tahun 2019, yakni 3,47 juta. Selain jumlah wisatawan yang berkunjung, lama tinggal wisatawan juga menjadi target Kota Yogyakarta. Dinas pariwisata Kota Yogyakarta berusaha meningkatkan rata-rata lama tinggal wisatawan bisa mencapai lebih dari 2 hari, di mana rata-rata lama tinggal wisatawan saat ini yakni 1,9 hari. Wisatawan yang tinggal lebih lama akan berbelanja lebih banyak, sehingga memberikan multiplier effect terhadap kesejahteraan masyarakat di Kota Yogyakarta, serta meningkatkan penerimaan pajak hotel dan restoran. Wisata kuliner dan belanja merupakan kekuatan aspek pendukung pariwisata yang bisa digunakan untuk meningkatkan lama tinggal wisatawan. Salah satu upaya nyata yang dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta untuk meningkatkan aktivitas wisata belanja yakni, pembukaan pasar Beringharjo sebagai pasar tradisional terbesar di Kota Yogyakarta sampai malam hari. Sedangkan untuk wisata kuliner, di Kota Yogyakarta banyak tersedia tempat kuliner sebagai tujuan wisata dengan suasana yang nyaman dan menu yang unik. Wisata kuliner dan belanja harus diperkuat guna menumbuhkan industri pariwisata di Kota Yogyakarta, mengingat Kota Yogyakarta tidak memiliki potensi wisata alam. Para wisatawan yang berkunjung di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa mengunjungi berbagai daya tarik wisata alam di luar Kota Yogyakarta, tetapi membeli akomodasi, melakukan wisata kuliner, dan melakukan aktivitas belanja di Kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta Page 75

BAB VI ISU STRATEGIS PERKEMBANGAN PARIWISATA DI KOTA YOGYAKARTA

Secara menyeluruh isu pariwisata di Kota Yogyakarta dikelompokkan menjadi dua, yakni isu global dan isu nasional. Isu global ditandai dengan pertumbuhan dinamika pariwisata di kawasan Asia Pasifik dan perkembangan tren pasar (diversifikasi dan segmentasi). Sedangkan isu nasional terlihat dari pengembangan destinasi prioritas nasional, di mana Kota Yogyakarta menjadi bagian KSPN Borobudur. Seiring dengan pertumbuhan pariwisata global telah berkembang berbagai isu strategis baik positif maupun negatif. Isu-isu strategis di Kota Yogyakarta yang perlu mendapatkan perhatian terkait pengembangan pariwisata dikelompokkan dalam beberapa aspek, di antaranya adalah: a. Aspek ekonomi 1) Berkembangnya usaha pariwisata Berkembangnya usaha pariwisata di Indonesia maupun di Kota Yogyakarta yang begitu pesat dan menjanjikan, dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pariwisata edukasi sebagai salah satu jenis pariwisata yang sangat diminati wisatawan, memberi peluang untuk pengembangan potensi-potensi wisata yang belum tergarap di Kota Yogyakarta. 2) Liberalisasi perdagangan Liberalisasi perdagangan pasar bebas dalam negeri, dan implementasi masyarakat Ekonomi Asia (MEA) tahun 2015 yang mengharuskan kepariwisataan Kota Yogyakarta punya daya saing tinggi dan berstandar internasional. Dalam hal ini

Page 76 Kota Yogyakarta

pengelolaan pariwisata edukasi yang tematik menjadi isu yang sangat strategis. 3) Pariwisata sebagai penggerak perekonomian. Sektor pariwisata sebagai sektor utama penggerak perekonomian Kota Yogyakarta, belum dirasakan kemanfaatannya secara merata bagi seluruh lapisan masyarakat di Kota Yogyakarta. Pemerataan pengembangan pariwisata sangat penting agar perkembangan perekonomian bisa dirasakan seluruh masyarakat Kota Yogyakarta. Sebaran daya tarik wisata, atraksi pariwisata dan amenitas pendukung pariwisata yang masih banyak terfokus di bagian utara Kota Yogyakarta, menyebabkan belum optimalnya pengembangan pariwisata di bagian selatan Kota Yogyakarta. b. Aspek Daya tarik wisata 1) Potensi pariwisata Kota Yogyakarta Beraneka ragam potensi daya tarik wisata Kota Yogyakarta baik budaya, sejarah, pendidikan, kuliner, dan belanja yang khas/unik memiliki daya saing yang tinggi dengan daerah di luar Kota Yogyakarta. 2) Kota Yogyakarta sebagai pariwisata budaya Ditetapkannya kebudayaan sebagai dasar pembangunan dan pengembangan segala aspek kehidupan, termasuk pada sektor kepariwisataan Kota Yogyakarta. 3) Kampung wisata Perkembangan Kampung Wisata sebagai destinasi wisata alternatif bagi wisatawan, sehingga akan memperkaya pilihan destinasi wisata di Kota Yogyakarta. Keberadaan kampung wisata untuk mewujudkan konsep OVOP, yakni one village one product. 4) Atraksi wisata malam Pengembangan atraksi pariwisata di waktu malam, yang mampu menjadi daya tarik baru bagi wisatawan di Kota Yogyakarta. Pengembangan atraksi wisata ini bertujuan untuk

Kota Yogyakarta Page 77

memperpanjang aktivitas wisata dan meningkatkan pembelanjaan wisatawan, sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Sampai saat ini, masih minim atraksi pariwisata yang diselenggarakan di malam hari, sebagai daya tarik wisata bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta. 5) Pengembangan destinasi wisata baru Pengembangan destinasi wisata baru di wilayah selatan Kota Yogyakarta, yang dapat menjadi daya tarik wisata, dan mengembangkan tingkat perekonomian di wilayah selatan Kota Yogyakarta 6) Pengelolaan potensi wisata Kota Yogyakarta Pengelolaan aneka ragam potensi daya tarik wisata Kota Yogyakarta baik budaya, sejarah, pendidikan, kuliner, dan belanja yang berdaya saing perlu ditingkatkan kualitasnya (terstandarisasi). 7) Meningkatkan atraksi seni budaya Atraksi seni budaya sebagai daya tarik wisata di seluruh destinasi pariwisata Kota Yogyakarta, secara kualitas dan kuantitas perlu untuk ditingkatkan. 8) Pengelolaan Kawasan Malioboro Pengelolaan kawasan Malioboro sebagai titik strategis pariwisata Kota Yogyakarta belum optimal. Penataan, inovasi, dan kreasi aktivitas pariwisata dengan melibatkan berbagai stakeholder sangat diperlukan. c. Aspek Stakeholder 1) Kontribusi stakeholder Kesadaran wisata serta kesiapan seluruh stakeholder pariwisata dan masyarakat Kota Yogyakarta semakin meningkat. Namun demikian, perilaku sebagian pelaku usaha pariwisata yang masih mementingkan keuntungan jangka pendek, tanpa memperhatikan citra pariwisata Kota Yogyakarta ke depannya

Page 78 Kota Yogyakarta

2) Kontribusi perguruan tinggi Kepedulian dunia pendidikan (terutama Perguruan Tinggi) yang cukup tinggi dalam mendukung kepariwisataan Kota Yogyakarta. Salah satu kontribusi yang sangat dibutuhkan, yakni peningkatan kualitas sumber daya manusia yang belum sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan dalam bidang pariwisata. 3) Sapta pesona Pemahaman dan penerapan Sapta Pesona, serta kesiapan seluruh stakeholder pariwisata dan masyarakat Kota Yogyakarta yang masih perlu ditingkatkan. 4) Kelembagaan pariwisata Kelembagaan pariwisata yang terkelola dengan baik dan berkelanjutan belum optimal, terutama yang berbasis komunitas/kemasyarakatan. Belum optimalnya relasi/kerja sama antar pelaku ekonomi kreatif (komunitas atau masyarakat) di wilayah dengan para pelaku jasa usaha pariwisata (hotel, restoran, dsb.) yang ada di Kota Yogyakarta, sehingga peningkatan perekonomian sebagai dampak berkembangnya sektor pariwisata belum dirasakan sepenuhnya oleh warga Kota Yogyakarta. d. Aspek Sarana Penunjang 1) Perkembangan produk dan jasa pariwisata Produk-produk (barang dan jasa) sebagai penunjang atau pendukung kepariwisataan Kota Yogyakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik fisik maupun non fisik. 2) Perkembangan media massa 3) Perkembangan media massa dan teknologi informasi yang pesat sebagai sarana penunjang kepariwisataan di Kota Yogyakarta. Media massa menjadi sarana paling efektif dalam berbagai program promosi dan pemasaran. Namun demikian, pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) sebagai media promosi

Kota Yogyakarta Page 79

dan informasi pariwisata belum maksimal, sebagai salah satu strategi pemasaran pariwisata Kota Yogyakarta 4) MICE Ketersediaan berbagai sarana prasarana yang memadai untuk mendukung peningkatan perkembangan wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition). 5) Ketersediaan amenities Ketersediaan sarana prasarana amenitas (hotel, restoran, dsb.) dan aksesibilitas yang memadai ke destinasi wisata di sekitar Kota Yogyakarta, membuka peluang Kota Yogyakarta sebagai hub bagi wisatawan yang berkunjung ke DIY. 6) Bandara baru YIA Beroperasinya Yogyakarta International Air Port (YIA) membuka dan mempermudah akses ke destinasi wisata di sekitar DIY, seperti Candi Borobudur di Magelang dan destinasi wisata lainnya. 7) Pelaku ekonomi kreatif Belum optimalnya fasilitasi bagi para pelaku ekonomi kreatif di wilayah dalam rangka penguatan pariwisata Kota Yogyakarta 8) Kuantitas sarana prasarana Kuantitas sarana prasarana pendukung pariwisata di antaranya; parkir, toilet, pedestrian, dan transportasi belum memadai. e. Aspek Pengelolaan 1) Birokrasi Perubahan pola pikir, sikap, perilaku profesionalisme dan transformasi birokrasi masih lambat dan memerlukan percepatan. Jalur birokrasi yang panjang perlu didesain ulang agar mempercepat proses pengembangan dan menunjang pengelolaan destinasi pariwisata. 2) Promosi dan pemasaran Terbatasnya promosi dan pemasaran pariwisata ke daerah atau negara yang potensial bagi kunjungan wisatawan ke Kota Yogyakarta. Perluasan promosi dan pemasaran ke berbagai

Page 80 Kota Yogyakarta

daerah sangat diperlukan untuk meningkatkan animo kunjungan wisatawan. 3) Sinergi antar destinasi Belum optimalnya sinergi antar instansi (Perangkat Daerah) yang menangani sektor pariwisata secara holistik di Kota Yogyakarta. 4) Pengelolaan transportasi Manajemen transportasi dalam kota yang belum optimal, menyebabkan kemacetan lalu lintas di saat liburan dan peak season. Pengelolaan transportasi sangat memengaruhi kenyamanan wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata.

Kota Yogyakarta Page 81

PENUTUP

Pariwisata pendidikan atau pariwisata edukasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Pariwisata edukasi memberikan pengalaman baru dalam model pembelajaran yang mampu melengkapi proses pembelajaran dalam ruang teori. Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar mempunyai potensi pariwisata edukasi yang sangat besar dan membutuhkan keterlibatan para stakeholder dalam pengelolaan pariwisata edukasi. Keberhasilan pengelolaan pariwisata edukasi dapat dilihat dari tingkat pengalaman pembelajaran yang diperoleh wisatawan. Pengelolaan pariwisata edukasi yang tematik sangat penting untuk mewujudkan pengalaman pembelajaran tersebut. Salah satu model pengelolaan yang direkomendasikan yakni model pengelolaan dengan pendekatan pasar dan produk. Model pengelolaan ini memberikan pertimbangan yang besar pada permintaan pasar sebagai acuan dalam menyiapkan ketersediaan produk dan jasa pariwisata edukasi. Model pengelolaan ini melibatkan beberapa variabel pokok, yakni pasar dan produk eksisting, pasar dan produk potensial, dan pengalaman wisata edukasi. Model yang dibangun diharapkan mampu mengurangi kesenjangan antara permintaan wisatawan dan penawaran produk, sehingga terwujud pengalaman pariwisata edukasi berupa pendidikan dan pembelajaran. Kedua faktor tersebut sebagai unsur utama dalam membangun model pengelolaan produk, diperkuat dengan faktor lain, sehingga model yang dibangun mempunyai performa yang lebih kuat. Beberapa saran yang dapat disampaikan bagi pengelola pariwisata edukasi dan pemangku kepentingan, yakni; pengelola pariwisata edukasi harus memahami isu-isu strategis yang sedang berkembang, sehingga pengembangan pariwisata edukasi bisa mengikuti perkembangan industri pariwisata; penelitian pasar (market research) perlu dilakukan oleh pengelola pariwisata edukasi

Page 82 Kota Yogyakarta untuk mengetahui pasar existing dan potensial secara tepat; pengembangan produk pariwisata sesuai dengan kebutuhan pariwisata edukasi, melalui pemilihan tema yang sesuai; penyiapan sumber manusia secara berkesinambungan melalui program-program pelatihan, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan; kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mengurangi kendala-kendala dalam pengembangan pariwisata edukasi; melakukan monitoring selama proses pengelolaan pariwisata dan evaluasi hasil pengelolaan tersebut. Sedangkan saran bagi pemerintah daerah di antaranya; menyusun kebijakan yang mendukung program pengelolaan pariwisata edukasi di Kota Yogyakarta, pemerintah daerah berkontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata, pemerintah daerah mendukung program-program promosi pariwisata secara terpadu, pemerintah daerah mengolah data dan mengemas informasi yang bermanfaat bagi pengelola pariwisata edukasi.

Kota Yogyakarta Page 83

Daftar Pustaka

Aho, S.K. 2001. Towards a general theory of touristic experiences: Modelling experience process in tourism. Tourism Review,56, 33- 37. Ali-Knight, J.M., 2011. The Role of Niche Tourism Products in Destination Development. Disertasi : Edinburgh Napier University. http://www.napier.ac.uk/~/media/worktribe/output- 209366/fullthesispdf.pdf. (diakses 12 Januari 2014). Ankomah, P.K & Larson, R.T., 2002, Education Tourism: A Strategy to Suistainable Tourism Development in Sub-Saharan Africa (internet), (diakses 19 Januari 2015). Arnould, E. J & Price, L. 1993. River Magic: extraordinary experience and the extended service encounter. Journal of Consumer Research, 20(1). Baker, J.D.G & A. Parasuraman. 1992. An Experimental approach to making retail store environmental decisions. Journal of Retailing, 68 (4). Benur, A.M & Bramwell, B. 2015. Tourism Product Development and Product Diversification in Destinations. Tourism Management 50, 213 – 224. Berry, L. L., Carbone, L. P., & Haeckel, S. 2002. Managing the total customer experience. MIT Sloan Management Review, 43. Biduan, P.G. 2016. Strategi Pengelolaan Pariwisata dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Sangihe. Jurnal eksekutif, 1(7). Brunner-Sperdin, A & Peters, M. 2009.What influences guests' emotions? The case of high-quality hotels. International Journal of Tourism Research. 2009, 11, 171-183. Buhalis, D. 2000. Marketing the Competitive Destination of the Future. Tourism Management. 2000, 21, 97-116. Bhargava, M. 2009. Tourism: Issues and perspectives. New Delhi : Raj Publications.

Page 84 Kota Yogyakarta

Binkhorst. 2002. Holland, the American way: Transformations of the Netherlands into US vacation experiences. PhD Thesis Tilburg University, Tilburg.Brunner-Sperdin, A & Peters, M. 2009.What influences guests' emotions? The case of high-quality hotels. International Journal of Tourism Research. 2009, 11, 171-183. Bodger, D. 1998. Leisure, Learning, and Travel. Journal of Phvsical Education. Recreation & Dance, 69(4),28-31 Cascio, W. F. 2006. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Life, Profits. McGraw-Hill Irwin. Chi, C.G & Hailin, Q. 2008. Examinging the stuctural relationships of destination image, tourist satisfaction and destination loyalty. Tourism Management, 2008, 29, 624-636 Chandralal, L & Valenzuela, F.R. 2013. Exploring Memorable Tourism Experiences: Antecedents and Behavioural Outcomes. Journal of Economics, Business and Management, 1(2), 177-181. Clarke, I & Ruth, A. S. 1995. Beyond the Servicescape: The Experience of Place. Journal of Retailing and Consumer Services, 2 (3), 149- 162. Cohen, E.H. 2008, Youth Tourism to Israel. Educational Experiences of The Diaspora, Clevedon, UK: Channel View Publications. Cooper, C & Hall, C.M. 2008. Contemporary Tourism : An International Approach. Amsterdam : Elsevier. Crouch, G. I & Ritchie, J. R. B. 1999. Tourism, Competitiveness and Societal Prosperity. Journal of Business Research, 44 (3), 137- 152. Csikszentmihalyi, M & J. Hunter. 2003. Happiness in everyday life: the uses of experience sampling. Journal of Happiness Studies. 2003, 4, 185-199 Daft, R.L. 2000. Organization Theory and Design. (7th Ed.) South- Western College Publishing, Thomson Learning. U.S.A. Damanik, J & Weber F.H. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta : Andi Offset. Dwyer, L & Kim, C. 2003. Destination competitiveness: Determinants and indicators. Current Issues in Tourism, 6(5), 369-414. Emekli, G. 2006. Geography, Culture and Tourism: Cultural Tourism. Aegean Geography Magazine, 15, 51-59. Gronroos, C. 2001. Service Management and marketing, 2nd ed. New York: Wiley.

Kota Yogyakarta Page 85

Godfrey, K & Clarke, J. 2000. The Tourism Development Handbook: A Practical Approach To Planning And Marketing. London: Continuum. Getz, D., Svensson, Peterssen., & Gunnervall, 2012. Hallmark Events: Definition, Goals and Planning Process. International Journal of Event Management Research, 7(1). Horrigan, D. 2009. Branded Content: A New Model For Driving Tourism Via Film And Branding Strategies. Tourismos: An International Multidisciplinary Journal of Tourism. 2009, 4, 51- 65. Howie, F. 2003. Managing The Tourist Destination. London : Continum. Oh, H., Fiore, A.M & Jeoung, M. 2007. Measuring Experience Economy Concepts: Tourism Applications. Journal of Travel Research. 2007, 46, 119-132. Kamenidou, I., Mamalis, S., & Priporas, C. 2009. Measuring Destination Image And Consumer Choice Criteria: The Case Of Mykonos Island. Tourismos: An International Multidisciplinary Journal of Tourism. 2009, 4, 67-79. Kandula, S. R. 2006. Performance Management. New Delhi: Prentice Hall. Kaosa-ard, M., 2002. Development and Management of Tourism Products: The Thai Experience. CMU Journal, 1 (3), 289-301. Kedaulatan Rakyat Online. 06 Februari 2015. “Kunjugan Wisatawan 2014 Lampaui Target”. Http://krjogja.com/read/247646/kunjungan-wisatawan-2014- lampaui-target.kr. Diakses pada 31 Agustus 2015 Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2012. “Membaca Perencanaan Pariwisata DIY 2025”.Http://hpijogja.wordpress.com/2012/07/17/membaca- perencanaan-pariwisata-diy-2025/. Diakses pada 24 Desember 2014 Kusworo, H.A & Damanik, J. 2002. Pengembangan SDM Pariwisata Daerah : Agenda Kebijakan untuk Pembuat Kebijakan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6(1), 105-120. Kompas.com, 11 Februari 2010. “Wisatawan Pelajar Dongkrak Pariwisata Yogya”. Http://properti.kompas.com/read/2010/02/11/16534563/wis atawan.pelajar.dongkrak.pariwisata.yogya. Diakses pada 31 Agustus 2015.

Page 86 Kota Yogyakarta

Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Milenium Prehallindo. Kotler, P., Bowen, J.T., & Makens, J.C. 2010. Marketing for Hospitality and Tourism: fifth edition. New Jersey: Pearson. Kozak, M & Rimmington, M. 1999. Measuring Tourist Destination Competitiveness: Conceptual Considerations and Empirical Findings. Hospitality Management, 18, 273-83. Lam, J.M.S., Ariffin, A.A.M., & Ahmad, A. 2011. Edutourism : Exploring The Push-Pull Factors in Selecting A University. International Journal of Business and Society. 12 (1), 63-78. Larsen, S. 2007. Aspects of a Psychology of the Tourist Experience. Journal of Hospitality and Tourism, 7, 7 – 18. Majava, J., Nuottila, J., Haapasalo, H., & Law, K.M.Y. 2014. Customer needs in Market-Driven Product Development: Product Management and R&D Standpoints. http://dx.doi.org/10.4236/ti.2014.51003. (diakses 31 Agustus 2013). Mihalic, T. 2000. Environmental Management of a Tourist Destination: A Factor of Tourism Competitiveness. Tourism Management, 21 (1), 65-78. Mitchell, B. 2001. Resource and Environmental Management. Routledge. Mossberg, L. 2007. A Marketing Approach to The Tourist Experience. Scandinavian Journal Of Hospitality and Tourism, 7(1), 59-74. Naibaho, E. R. 2011. Diversifikasi Produk Wisata Di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Skripsi. Bogor: IPB. Nemethy, A. .1990). Resorts Go Up and Down. Snow Country, 3 (7), 31- 32. Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B., & Wright, P.M. 2010b. Human Resource Management: Gaining a Competitive Advantage, 7th ed., New York: McGraw-Hill/Irwin. Myers, D. G. 2003. Psychology. New York: Worth Publishers. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2012. Tentang Pencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provonsi Derah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2025. Parahalad, C.K & Ramaswamy, V. 2004. Co-creating Unique Value with Customers. Strategy & Leadership, 32 (3), 4-9

Kota Yogyakarta Page 87

Passer, M. W. & Smith, R. E. 2004. Psychology-The Science of Mind and Behavior. Boston: McGraw- Hill. Paskaleva-Shapira, K. 2001. Promoting partnership for effective governance of sustainable urban tourism. Working paper INTA International Seminar Tourism in the City-Opportunity Regeneration and Development. SUT Governance. https://pdfs.semanticscholar.org/f29d/f76c4b717a583d63d7e aaab7a72b5eab8f2b.pdf. (diakses 2 Februari 2014). Pavlovich, K. (2003). The Evolution and Transformation of a Tourism Destination Network: The Waitomo Caves, New Zealand. Tourism Management, 24, 203-216. http://dx.doi.org/10.1016/S0261-5177(02)00056-0 Pendit, N.S. 2002. Ilmu Pariwisata (Sebuah pengatar Prdana). Jakarta. PT Pradnya Paramita. Pendit, N.S. 2006. Ilmu Pariwisata (Sebuah pengatar Prdana). Jakarta. PT Pradnya Paramita. Pevzner, M.N & Nikolaeva, A.N. 2013, Academic Mobility Student as a Type of Education Tourism in Higher Education in Veliky Novgorod. Lapland University Consortium, (diakses 21 Desember 2013). Pine, J. B & Gilmore, J.H. 1999. The Experience Economy: Work is a Theatre and every Business a Stage. Cambridge : Harvard Business School. Pitana, I.G & Gayatri, P.G., 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Poulsson, S. H. G & Kale. 2004. The Experience Economy and Commercial Experiences. Marketing Review, Westburn Publishers Ltd. 4: 267-277. Priono, Y. 2012. Identifikasi Produk Wisata Pariwisata Kota (Urban Tourism) Kota Pangkalan Bun sebagai Urban Heritage Tourism. Jurnal Perspektif Arsitektur, 7(2), 72-86 Pullman, M. E & M. A. Gross. 2003. Welcome to Your Experience: Where You Can Check Out Anytime You'd Like, But You Can Never.Journal of Busimess and Management, 9 (3). Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Ricardo, R., & Wade, D. (2001). Corporate Performance Management: How to Build a Better Organization through Measurement Driven Strategies Alignment. Butterworth Heinemann.

Page 88 Kota Yogyakarta

Rotich, D., Nthiga, R., & Bor, T. 2012. Product Diversification for Sustainable Tourism Development Exploring The Strenghts and Challenges of Kisumu Region, Kenya. European Journal of Business and Social Sciences, 1(9), 108-117. Ritchie, B.W. 2003. Managing Educational Tourism. Britain : Cromwelll Press. Ritchie, J. R. B & Hudson, S. Understanding and Meeting the Challenges of Customer/Tourist Experience Research. International Journal of Tourism Research. 2009, 11, 111-126. Ritchie, J. R. B & Crouch, G. I. 2003. The competitive destination: A sustainable tourism perspective. Wallingford, UK: CABI Rotich, D., Nthiga, R., & Bor, T. 2012. Product Diversification for Sustainable Tourism Development Exploring The Strenghts and Challenges of Kisumu Region, Kenya. European Journal of Business and Social Sciences, 1(9), 108-117. Schejbal, C. 2013. Tourism Product Design. Acta Logistica Moravica, 2, 50-60. Sharpley, R & Telfer, D.J. 2002. Tourism and Development: Concepts and Sissue. Clevedon: Channel View Publications. Soekadijo. 2000. Anatomi Pariwista. Jakarta : Gramedia Smith, A. 2013. The Role of Educational Tourism in Raising Academic Standards. African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, 2 (3), 1-7. Suli, D., Cani, M.S., & Suli, H. 2013. Communication of Tourism Product: The Case of Himara. European Journal of Suistainable Development, 2 (4), 347-354. Swarbrooke, J. 2002. The Development And Management Of Visitors Attractions (2nd.ed). London: Routledge. Taylor, S. 2006, Theorizing Educational Tourism: Practices, Impacts, and Regulation. Ecuador : Columbia University. Timur, S. 2012. Analyzing urban tourism stakeholder relationship: A network perspective.http://torc.linkbc.ca/torc/downs1/AnalyzingUrban TourismStakeholderRelationships.pdf. (diakses 20 Desember 2013).Tourism Policy Review Group (TPRG). 2003. New Horizons for Irish Tourism, An Agenda for Action. http://www.dttas.ie/sites/default/files/publications/tourism/e nglish/executive-summary-tourism-renewal-group-report-sept- 2009/tourismreviewreport03.pdf. (diakses 18 January 2015).

Kota Yogyakarta Page 89

Tourism Policy Review Group (TPRG). 2003. New Horizons for Irish Tourism, An Agenda for Action. http://www.dttas.ie/sites/default/files/publications/tourism/e nglish/executive-summary-tourism-renewal-group-report-sept- 2009/tourismreviewreport03.pdf. (diakses 18 January 2015). Tourism Product Development Strategy (TPDS) 2007-2013. 2007. Available online : http://www.failteireland.ie/FailteIreland/media/WebsiteStruct ure/Documents/4_Corporate_Documents/Strategy_Operations_ Plans/Tourism-Product-Development-Strategy-2007- 2013.pdf?ext=.pdf. (diakses 18 January 2015). Urry, J. 2002. The Tourist Gaze: Leisure and travel in contemporary societies (2nd Edition). London: Sage Undang-undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Verma, R. G., Plaschka., & J.J. Louviere. Understanding customer choices: a key to successful management of hospitality services. Cornell Hotel and Restaurant Administrative Quarterly, 43, 15– 24. Van der Duim. Tourism scapes: An actor-network perspective on sustainable tourism development. Ph.D.Thesis, Wageningen University. 2005. Availabel online : http://www.globalislands.net/greenislands/docs/netherlands_t esisrene.pdf. (accessed on 7 January 2015). Vengesayi, S. 2003. A Conceptual Model of Tourim Destination Competitiveness and Atractivenes (internet), (diakses 23 Desmber 2014). Wahab, S. 2003. Pemasaran Pariwisata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Wang, B. 2008. Education Tourism Market in China An Explorative Study in Dalian. International Journal of Business and Management, 3 (5), 44-49. Weidenfeld, A. & Leask, A. 2013. A comparative assessment of the management of visitor attractions and events. Current Issues in Tourism, 16(6), 552-569. Yoon, Y., 2002, Development of a Structural Model for Tourisn Destination Competitiveness from Stakeholder’ Persepctive. Disertasi: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Page 90 Kota Yogyakarta

Daftar Indeks

A E

Above The Line (ATL) · 72, 94 Ekowisata · 8, 47 Akomodasi · 2, 6, 35, 40, 41, 61, 66, 71, Ekstrakurikuler · 2 75, 94 Event · 3, 4, 12, 38, 60, 67, 72, 74, 75, 94 Atraksi wisata · 35, 48, 54, 59, 60, 61, 65, Existing · 59, 60, 61, 62, 63, 83 68, 69, 77 G B Guru · 9, 37, 48, 49 Below the Line (BTL) · 72, 94 Biro perjalanan · 7 I

C Input · 60 Interaktif · 12, 37, 47 Citra · 1, 38, 46, 56, 74, 78, 96 Consumer oriented · 70 K

D Kolaboratif · 49 Konselor · 37 Daya saing · 1, 54, 55, 56, 57, 58, 61, 68, Konservasi · 14, 24, 67, 96 76, 77 KSPN · 7, 76, 96 Daya tarik · vi, 1, 8, 11, 12, 35, 38, 41, 53, Kuliner · 1, 2, 15, 40, 75, 77, 78, 98 55, 56, 60, 67, 75, 77, 78, 97 Kurikulum · vi, 2, 9, 37, 40, 43 Demand · 71, 95 Desain · iv, 66 Destinasi · vi, 1, 3, 7, 8, 22, 23, 35, 36, 37, L 38, 40, 43, 45, 46, 47, 50, 51, 53, 54, 56, 57, 59, 61, 62, 63, 64, 67, 68, 71, Landscape · 46 73, 74, 76, 77, 78, 80, 81, 95, 98 Lintassektor · 1 Diversifikasi · 54, 62, 68, 76 Domestik · 1, 6, 21, 23, 42, 52, 97

Kota Yogyakarta Page 91

M 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 72, 77, 80, 82, 83 Persepsi · 36, 45, 46 Mancanegara · 1, 6, 21, 23 Plasma Nutfah Pisang · 8, 12, 13, 14 Market research · 82 Product orientation · 70 MICE · 1, 6, 8, 80, 98 Produk · 5, 11, 39, 40, 41, 53, 55, 58, 61, Model · vi, x, 1, 55, 56, 57, 58, 59, 82, 86, 67, 69, 79, 87, 88 90, 96 Promosi · 13, 51, 53, 54, 66, 67, 68, 72, Modifikasi · 47 73, 74, 79, 80, 83, 94, 97 Multiplier effect · 75 Proposisi · 56, 65, 66 Multisektor · 35 Proses · v, vii, 35, 61, 62, 66, 97 Museum · vi, 8, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 43, 62 R

N Restoran · 7, 52, 71, 75, 79, 80, 94

Nilai ekonomis · 12 S

O Science · 8 Sensescapes · 46 Souvenir · 10, 20, 40, 52, 66 Output · 63, 97 Stakeholder · 49, 78, 90, 97

Study tour · 2 P Supply · 71

Pasar · 1, 41, 58, 59, 60 T Pemasaran · 3, 4, 41, 43, 52, 54, 56, 67,

68, 70, 71, 72, 73, 79, 80, 94, 97 Taman Pintar · vi, x, 8, 9, 10, 11, 12, 63 Pemasok primer · 3 Target pasar · 4, 66 Pemasok sekunder · 3 Teks · 37 Pembelajaran · v, vi, 2, 4, 9, 10, 11, 14, 35, Tematik · vi, vii, 4, 77, 82 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 45, 47, 54, Tourismscapes · 46 58, 60, 61, 62, 63, 65, 68, 82, 98 Trial and error · vi, 4 Pendidikan · v, x, 35, 38, 50, 99 Pengalaman · v, vi, 3, 10, 28, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 44, 45, 46, 47, 54, 56, 58, W 61, 62, 63, 64, 65, 68, 82, 94, 98 Pengelolaan · vi, vii, 1, 3, 4, 35, 43, 44, 47, Wisata alam · 1, 36, 75 49, 50, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 61, 62, Wisata belanja · 1, 75

Page 92 Kota Yogyakarta

Wisata budaya · 1, 47 Wisata edukasi · vi, 1, 38, 44, 82 Wisata kuliner · 1, 75 Wisata MICE · 1, 80 Wisata minat khusus · 1, 38 Wisata studi · 2, 36, 43 Wisatawan · v, vi, 1, 2, 3, 4, 6, 10, 21, 23, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 50, 52, 53, 54, 56, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 82, 86, 94, 98 Word of mouth · 43

Kota Yogyakarta Page 93

Glosarium

Amenitas : Berbagai fasilitas yang dimanfaatkan wisatawan selama berwisata di luar akomodasi, di antaranya restoran, toko cendera mata, sarana ibadah, sarana kesehatan, dan taman. Above The Line (ATL) : Strategi pemasaran dan promosi yang dilakukan dengan menggunakan media, baik cetak maupun elektronik. After sales service: Pelayanan pasca penjualan merupakan upaya yang dilakukan produsen dalam rangka menjalin hubungan baik dengan konsumen dan meningkatkan loyalitas pelanggan. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah): Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh DPRD, yang ditetapkan dengan peraturan daerah, yang mempunyai masa satu tahun dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. ASITA: Association of The Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA) merupakan perusahaan perjalanan pariwisata Indonesia, yang berdiri pada tanggal 7 Januari 1971. Afinitas: Ketertarikan yang ditandai dengan persamaan kepentingan. Akomodasi: Sesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan bagi seseorang atau sekelompok orang melakukan aktivitas bepergian sementara, di antaranya; tempat menginap atau tempat tinggal. Below the Line (BTL): Pemasaran dan promosi dalam bentuk penyelenggaraan event yang ditujukan langsung terhadap segmen pasar yang disasar. Citra: Kesan timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan. Kesan ini muncul berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman atas sebuah kenyataan yang dialami seseorang.

Page 94 Kota Yogyakarta

Citra sendiri bersifat abstrak namun bisa dirasakan karena merupakan hasil dari pengalaman. Consumer oriented: Berorientasi pada konsumen, dalam hal ini produsen memfokuskan diri pada upaya memenuhi kebutuhan konsumen. Citra atau image: Penilaian konsumen terhadap merek pada sebuah pasar. Destinasi: Tempat tujuan, dalam ruang lingkup pariwisata destinasi sangat popular menjadi satu rangkaian kata dengan wisata, menjadi destinasi wisata. Demand: Jumlah barang yang dibutuhkan konsumen atau disebut juga permintaan konsumen Diversifikasi: Usaha penganekaragaman produk dan jasa dalam rangka memaksimalkan keuntungan serta untuk mengatasi kendala usaha yang dihadapi. Diorama: Sejenis benda miniatur tiga dimensi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suatu adegan. Edukatif: Suatu kondisi yang memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pengajaran. Ekowisata: Perjalanan yang bertanggungjawab menuju destinasi yang alami yang melestarikan lingkungan, mendorong kesejahteraan masyarakat setempat, dengan melibatkan interpretasi dan pendidikan lingkungan hidup. Fluktuasi: Sebuah kondisi tidak tetap, bisa digambarkan turun ataupun naik. Flora: Segala macam jenis tanaman dan tumbuhan Fauna: Segala macam jenis binatang Holistik: Sebuah cara pandang terhadap sesuatu hal yang bersifat menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek.

Kota Yogyakarta Page 95

Handicraft: Disebut juga kriya merupakan sebuah keterampilan tangan atau kerajinan yang dibuat dengan membutuhkan ketelitian untuk setiap detil karya seni yang dihasilkan. Inefisien: Sebuah kondisi tidak efisien atau pemborosan sesuatu hal. Interpretasi: Merupakan tafsiran, penjelasan, makna, arti, kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap suatu objek yang dihasilkan dari pemikiran mendalam dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang orang yang memberi interpretasi. Input : Semua potensi sebagai masukan sebuah proses. KSPN: Kawasan strategis pariwisata nasional, yakni kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Komodifikasi: Transformasi barang, jasa, gagasan, dan orang menjadi komoditas atau objek dagang. Lintas sektor; Program yang melibatkan berbagai stakeholder baik pemerintah maupun swasta yang disusun untuk mewujudkan alternatif kebijakan secara komprehensif sehingga terdapat keputusan dan kerja sama. Model: Gambaran sederhana yang dapat menjelaskan objek, sistem, atau suatu konsep yang dapat menjadi dasar atau rujukan. Model dapat berupa gambar rancangan atau citra. Museum: Institusi yang melayani kebutuhan publik dengan melakukan pengoleksian, konservasi, penelitian, mengkomunikasikan, dan memamerkan berbagai benda untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan rekreasi. Multiplier effect: Merupakan efek yang ditimbulkan sebagai dampak berbagai aktivitas pariwisata yang mampu memberikan pengaruh ke berbagai aspek baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas tersebut.

Page 96 Kota Yogyakarta

Output: Hasil langsung yang dapat dirasakan dari suatu proses Product orientational: Berorientasi pada produk, dalam hal ini memfokuskan pada kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Proses: Serangkaian kegiatan yang dirancang secara sadar dalam usaha meningkatkan input dan menghasilkan output berkualitas. Segmen pasar: Sekelompok orang atau organisasi yang memiliki kesamaan karakteristik sehingga memiliki kebutuhan produk dan jasa yang relatif sama. Stakeholder: Suatu masyarakat, kelompok, komunitas, ataupun individu yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap suatu organisasi. Supply: Ketersediaan barang dan jasa pada sebuah pasar. Word of mouth: Aktivitas promosi dan pemasaran yang terjadi melalui proses penyampaian informasi dari konsumen satu ke konsumen yang lain. Wisatawan domestik: Individu atau sekumpulan orang yang melakukan perjalanan wisata dan berasal dari dalam negeri atau lokal. Wisatawan Mancanegara Individu atau sekumpulan orang yang melakukan perjalanan wisata dan berasal dari luar negeri atau interlokal. Wisata budaya: Kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk melakukan kegiatan rekreasi dengan cara mempelajari daya tarik budaya dengan memanfaatkan potensi budaya pada daerah yang dikunjungi. Wisata alam: Kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk melakukan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan potensi sumber daya alam, baik yang bersifat alami maupun hasil budidaya.

Kota Yogyakarta Page 97

Wisata minat khusus: Kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi sebuah tempat berdasarkan motivasi atau minta khusus terhadap objek atau kegiatan pada destinasi tersebut. Jenis pariwisata ini pada umumnya memerlukan fasilitas yang spesifik dan dipilih oleh wisatawan yang mempunyai kompetensi khusus, salah satu contohnya adalah wisata petualang. Wisata edukasi: Kegiatan perjalanan wisata oleh seseorang atau sekelompok yang memiliki nilai tambah edukasi. Dalam hal ini tidak sekedar berekreasi tetapi terdapat muatan pendidikan dalam aktivitas wisata dengan tujuan akhir memperoleh pengalaman pembelajaran. Wisata kuliner: Kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok dengan tujuan menikmati makanan khas daerah yang dikunjungi. Daya tarik utamanya yakni produk makanan. Wisata belanja: Kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk membeli jasa maupun barang yang mempunyai ciri khas dari daerah yang dikunjungi. Wisata MICE: MICE adalah akronim dari Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition. Dalam bahasa Indonesia yakni pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran. Wisata MICE merupakan kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk melakukan kegiatan MICE. Kegiatan ini banyak dilakukan oleh para akademisi dan pelaku usaha.

Page 98 Kota Yogyakarta

Tentang Penulis

Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.MPar lahir di Sleman, pada tanggal 03 Mei 1978. Penulis sangat konsisten mendalami bidang ilmu pariwisata, hal ini terlihat dari jenjang pendidikan tinggi yang ditempuh sejak Diploma Tiga sampai dengan program Doktor. Pada tahun 1999 berhasil menyelesaikan pendidikan pada jenjang Diploma Tiga dengan mengambil jurusan Perhotelan di Politeknik API Yogyakarta. Sempat berhenti untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih selama beberapa saat karena mengambil tawaran pekerjaan sebagai hotelier di Hotel Inna Garuda, yang saat ini sudah berubah nama menjadi Hotel Grand Inna. Pada tahun 2004 melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) API Yogyakarta, dengan mengambil jurusan Manajemen Pariwisata. Penguasaan ilmu dibidang manajemen pariwisata diperdalam dengan melanjutkan studi pada jenjang strata dua pada dua perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang pertama yakni Sekolah Tinggi Pariwisata Indonesia (STIEPARI) di Semarang dari tahun 2009 s/d 2011, sedangkan yang kedua adalah Universitas Sarjana wiyata Taman Siswa (UST) pada tahun 2015 s/d 2017. Pendidikan tertinggi yang berhasil diraih, yakni program doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan program studi Kajian Pariwisata. Selain pendidikan formal, penulis juga pernah menempuh pendidikan nonformal di Highline College dan Kapiolani Community College, USA, pada tahun 2012. Saat ini penulis merupakan dosen aktif dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Bina Sarana Informatika, yang berdiri pada tahun 2018 sebagai hasil merger dari beberapa perguruan tinggi di bawah Yayasan Bina Sarana Informatika, salah satunya yakni Akademi Pariwisata BSI Yogyakarta. Sebelum menjabat sebagai Dekan, penulis menduduki jabatan sebagai direktur pada akademi tersebut. Selain bekerja sebagai dosen, penulis juga

Kota Yogyakarta Page 99 menjadi konsultan kementerian pariwisata dan tenaga ahli pada beberapa dinas pariwisata. Sebagai dosen, penulis aktif mengikuti kegiatan ilmiah, seperti seminar nasional dan internasional baik sebagai peserta maupun pemakalah yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di luar negeri. Berbagai artikel dibidang pariwisata telah berhasil diterbitkan, di antaranya terbit pada jurnal nasional terakreditasi, jurnal internasional ter indeks Web of Science dan Scopus.

Page 100 Kota Yogyakarta 690/DSM-25/S/XII/2019 Sertifikat Ani Wijayanti

Penulis Buku Penerbit Deepublish berjudul “STRATEGI PENGE MBANGAN PARIWISATA EDUKASI DI KOTA YOGYAKARTA”

Yogyakarta, 31 Desember 2019