Kebangkitan Industri Perfilman Nasional Di Tengah Kekosongan Festival Film Indonesia (1993—2005)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Kebangkitan Industri Perfilman Nasional di Tengah Kekosongan Festival Film Indonesia (1993—2005) Marcia Audita, Muhammad Wasith Albar Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Nama : Marcia Audita Program Studi : Ilmu Sejarah Judul : Kebangkitan Industri Perfilman Nasional Di Tengah Kekosongan Festival Film Indonesia (1993—2005) Skripsi ini membahas mengenai kebangkitan industri perfilman nasional di tengah kekosongan Festival Film Indonesia (1993—2005). Festival Film Indonesia (FFI) merupakan sebuah kompetisi antar insan perfilman sebagai wujud apresiasi bangsa kepada para pekerja film dalam rangka membangkitkan sinema Indonesia. Pelaksanaan FFI sempat mengalami masa kekosongan selama lebih dari satu dasawarsa di tahun 1993—2003. Berakhirnya masa tugas Panitia Tetap FFI serta tingkat penurunan kuantitas dan kualitas film Indonesia telah memengaruhi arus peredaran film dalam hal produksi, distribusi dan eksibisi hingga menjelang era awal masa reformasi. Masa kekosongan tersebut rupanya diisi oleh aktivitas para sineas muda yang mulai berusaha untuk kembali membangitkan produksi perfilman nasional. Keberhasilan para sineas muda dalam mengembalikan penonton Indonesia mendorong FFI untuk hadir kembali di tahun 2004 dengan puncak jumlah produksi film serta prestasi internasional diraih di tahun 2005. Pada akhirnya skripsi ini membuktikan bahwa masa kekosongan berkepanjangan FFI rupanya tidak menyurutkan dan memengaruhi para sineas untuk terus berkarya membangkitkan kembali industri perfilman nasional yang sempat merosot. Skripsi ini menggunakan pendekatan desktiptif naratif melalui 4 tahapan metode sejarah: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Kata Kunci: FFI, Film, Sineas, Orde Baru, Reformasi, Produksi, Distribusi, Eksibisi. The Awaken of National Film Industries in the Middle of Indonesian Film Festival Emptiness (1993—2005) Abstract This thesis discusses about the revival of the national film industry in the middle of the emptiness Indonesian Film Festival (1993—2005). Indonesian Film Festival (FFI) is a competition between film- makers as an appreciation of the nation to film workers in order to raise Indonesian cinema. Implementation of the FFI had experienced a period of vacancy during a decade in the years 1993— 2003. The Expiration of the Standing Committee of FFI and the rate of decline in the quantity and quality of Indonesian films have affected the flow of circulation of the film in terms of production, distribution and exhibition of up ahead of the beginning of the reform era. The vacancy period apparently filled by the activities of the young filmmakers who began trying to re-generating national film production. The succeded of the young filmmakers in the audience restore Indonesia encouraged Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016 FFI to be present again in 2004 and the peak in the number of international film production and performance achieved in 2005. At the end of this thesis proves that the prolonged vacancy of FFI apparently did not discourage and affect filmmakers to revive the national film industry which had declined before. This thesis uses descriptive narrative approach through 4 stages of the historical method: heuristic, verification, interpretation and historiography Keywords: FFI, film, filmmakers, New Order, Reform, Production, Distribution, Exhibition. Pendahuluan Satu dasawarsa kekosongan FFI yang kembali terulang menjadi sebuah refleksi penting perihal nasib sebenarnya industri perfilman nasional sejak tahun 1993—2003. Periode ini merupakan puncak beredarnya film impor dan film instan. Kejayaan sebelumnya yang didapatkan sineas di periode awal Orde Baru, seketika berbalik di tahun 1993. Krisis ekonomi akibat liberalisasi perbankan dan semakin besarnya hutang negara, menjadikan pemerintah mengesampingkan persoalan tersier, termasuk masalah perfilman. Dana yang seharusnya diberikan kepada Kementrian Penerangan untuk anggaran FFI harus dialihkan sementara ke urusan negara. Besarnya biaya memproduksi film mengakibatkan sebagian sineas kehabisan ide untuk terus berkarya dan mempertahankan pekerjaan. Sebagai dampaknya, film komersil dan instan yang ongkos produksinya lebih murah menjadi satu-satunya cara untuk dapat terus bertahan. Bersamaan dengan itu pula terjadi peralihan saham bioskop nasional ke bioskop jaringan modal asing yang memberikan ruang sempit bagi film Indonesia di bidang eksibisi. Kemunculan stasiun televisi swasta di awal tahun ‘90an seolah menjawab keresahan sineas akan nasib dan pekerjaan mereka sebagai pekerja layar lebar. Migrasi besar pekerja film ke dunia televisi menggambarkan bahwa saat itu situasi perfilman nasional sedang terpuruk dan kehilangan pasarnya. Sebagian besar pekerja film berbondong-bondong terjun ke dunia layar kaca dan sinetron yang saat itu lebih digemari. Mendekati tahun 1998 sebagai puncak krisis, film Indonesia semakin tidak mendapat perhatian. Harapan orang film, baik sineas maupun kritikus film agar FFI dapat diadakan harus kembali ditunda disebabkan kurangnya peran pemerintah akibat prioritas pembenahan sektor politik dan ekonomi. 1 Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016 Untuk itu penulis memilih topik ini selain dikarenakan ketertarikan penulis terhadap dunia perfilman, banyak peneliti terdahulu membahas mengenai masalah perfilman, namun tidak menggabungkan dengan peran FFI itu sendiri sebagai suatu acuan untuk mengukur gerak-gerik dinamika perfilman nasional. Kekosongan FFI yang dialami selama 10 tahun telah merepresentasikan bagaimana kondisi media audio-visual tersebut hadir di tahun 1993—2003. Fokus terpenting penelitian ini adalah bagaimana kekosongan FFI selama satu dasawarsa dimanfaatkan oleh para sineas untuk memperjuangkan nasib film nasional yang pada akhirnya dapat mengembalikan penonton Indonesia untuk diakui di ajang internasional di sepanjang tahun 1993—2005. Skripsi ini membuktikan bahwa kekosongan FFI tidak memberikan pengaruh apapun kepada para sineas untuk terus beraktivitas dan berkarya dalam upaya membangkitkan industri perfilman nasional sehingga FFI 2004 dapat kembali diwujudkan. Tahun 1993—2003 merupakan masa dimana film Indonesia kehilangan bentuk, arah dan gairah, hingga pada akhirnya akan muncul sebuah generasi baru perfilman yang sebagian besar berangkat dari generasi berbeda dari pejuang film sebelumnya.1 Generasi ini disebut dengan generasi sineas muda, yang mulai terlihat di awal tahun 2000an. Permasalahan inilah yang sesungguhnya akan diangkat, yaitu bagaimana perjuangan sineas dalam mewujudkan kebangkitan film Indonesia yang memberikan dampak pada kembalinya FFI 2004. Metode Penelitian Dalam mengembangkan penelitian kualitatif ini digunakan metode sejarah untuk merekonstrusi kejadian di masa lampau yang mencakup pada 4 tahapan, yaitu heuristik (pengumpulan data), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran sumber) dan historiografi (penulisan sejarah). Heuristik merupakan pengumpulan sumber-sumber terkait yang menjadi langkah pertama dalam penelitian sejarah. Pada tahap ini, sumber dikategorikan menjadi dua macam, yaitu sumber primer dan 1Rita Sri Hastuti dkk, Workshop Wartawan Film dan Sosialisasi Draft RUU Perfilman. (Jakarta : Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2007), h. 164. 2 Kebangkitan Industri ..., Marcia Audita, FIB UI, 2016 sekunder. Untuk sumber primer dapat diklasifikasikan pula menjadi dua kategori, yaitu tertulis dan lisan. Dalam sumber primer tertulis, penulis mengkaji studi kepustakaan melalui buku, surat kabar, majalah dan arsip terkait. Pada sumber primer lisan, penulis dapatkan melalui tahapan wawancara dengan tiga penggiat film: sineas (M. Abduh Azis, Jose Purnomo dan Muhammad Alwi Dahlan), pemerintah sezaman (Muhammad Alwi Dahlan sebagai Menteri Penerangan 1998) dan kritikus film (Ekky Imandjaya) sehingga pada proporsi penelitian ini tidak hanya dilihat oleh satu sisi saja. Setelah berhasil mengumpulkan sumber penelitian di dalam tahapan heuristik, perlu ada kritik mengenai kevalidan dan kredibilitas keseluruhan sumber tertulis dan lisan di dalam verifikasi sebagai tahapan kedua metode penelitian sejarah. Verifikasi dilakukan dengan cara melihat relevansi dari masing-masing sumber lalu membandingkannya dengan sumber lain. Tahapan ketiga, yaitu interpretasi adalah proses penafsiran dan menganalisis makna dari berbagai fakta dari sumber-sumber penelitian untuk kemudian dapat direkonstruksi ke dalam penulisan. Historiografi sebagai tahap akhir metode penulisan sejarah merupakan upaya untuk merangkai fakta yang telah dikritik dan dianalisis sebelumnya sehingga melahirkan sebuah penulisan sejarah untuk menciptakan kembali totalitas peristiwa masa lampau yang sesungguhnya terjadi.2 Perjalanan Festival Film Indonesia (FFI) : Wajah Film Sebelum Tahun 1993 Kategori film cerita pertama kali mulai berkembang di Perancis, Italia, Inggris kemudian Amerika Serikat hingga Asia (India) lalu masuk ke Asia Tenggara, salah satunya Hindia Belanda.3 Diperkirakan masyarakat Hindia Belanda mulai menonton film bisu dokumenter pada tanggal 5 Desember 1900 di sebuah rumah Maatschapij Fuchs Tanah Abang4, tertera dalam Surat Kabar Bintang Betawi: 2 Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 21. 3http://www.history.com/news/the-lumiere-brothers-pioneers-of-cinema (Diakses pada Senin, 14 Desember 2015 Pukul 20.00 WIB). 4Ekky Imandjaya. A to Z about