Perfilman Indonesia Di Masa Pendudukan Jepang Dan Revolusi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Perfilman Indonesia di Masa Pendudukan Jepang dan Revolusi ERA 1942 - 1967 Pada masa ini gerakan politik nasionalisme perfilman mulai sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas untuk perjuangan. Para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineaspun mulai menggagas, perlunya organisasi dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa dan Belanda. Kalangan film menanggapi respon politik tersebut dengan melahirkan organisasi bernama SARI (Sjarikat Artist Indonesia) pada 28 Juli 1940 di Prinsen Park (Lokasari Jakarta, di masa kini) yang dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan. Ketika Belanda menyerah pada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Hal pertama yang dilakukan mereka adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik Te Teng Chun serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Wong Bersaudara pun beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. Sementara Te Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Sementara para artisnya kembali ke media tonil atau sandiwara. Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso. Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha (cikal bakal lahirnya PFN di masa kini) pada bulan September 1942. Dan berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943, Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda. Di kantor ini pula menjadi tempat pertama kali sineas pribumi mempelajari dan membuat sebuah film, antara lain: Mohammad Jamin, Chaeroel Saleh, R.M Soetarto, Kaharudin, Armijn Pane, Usmar Ismail, Cornel Simandjoentak Pada masa ini, setiap bioskop di Hindia Belanda diwajibkan menayangkan slide dan memutar film-film pendek berisi bahan penerangan dan propaganda Jepang. Dan menjadi awal pelarangan bagi film impor (Amerika dan Inggris). Nama-nama bioskop pun banyak yang diganti, misalnya: Rex Bioscoop di Jakarta menjadi Yo Le Kwan, Emma Bioscoop di Malang menjadi Ki Rak Kwan, Central Bioscoop di Bogor menjadi Thoeo Gekijo. Kaum pribumi bisa melihat film bukan semata produk industri dan hiburan semata, melainkan juga sebagai media perjuangan. Kaum pribumi sadar akan kekuatan media film dalam membentuk opini publik. Tokoh pergerakan seperti Dr. Adnan K Gani pun ikut main dalm sebuah film. Tapi karena produksi film makin hari makin surut, maka kegiatan para aktivis lebih banyak ke arah diskusi dan strategi politik. Dari aktifitas ini mulai muncul nama-nama seperti: Usmar Ismail, Jayus Siagian, D. Jayakusuma. Ketiga orang inilah yang menghidupkan klub diskusi film lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan kemudian ditutup oleh Pemerintah Militer Jepang. Di masa ini Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra dan digubah oleh Cornel Simanjuntak menjadi lagu. Sajak dan lagu Tjitra pertama kali dipublikasikan di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Di tahun 1946, sajak dan lagu tersebut difilmkan oleh Usmar Ismail. Untuk menarik hati kaum Muslimin, bioskop dilarang beroperasi pada waktu maghrib dan isya. Bioskop yang semula hanya diperuntukkan bagi warga kulit putih, seperti Deca Park dan Capitol, dibuat terbuka untuk pribumi. Perfilman dan bioskop pada masa pendudukan Jepang ini juga mengalami masa sulit. Jumlah bioskop semakin menurun tajam. Dari semula sekitar 300 gedung menjadi hanya 52 gedung, masing-masing tersebar di Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Penyebabnya harga tiket yang mahal, setara harga satu kilogram beras jatah pemerintah (10 sen) dan film yang diputar hanya berisi propaganda tanpa sedikitpun mengandung unsur hiburan. Sejarah mencatat hanya sedikit film yang lahir masa ini, seperti: Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd. Arifien; Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih; Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang punya jabatan dalam Pemerintahan Militer Jepang. Ketika Jepang mulai terdesak hingga masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Pergerakan berbau politik kebanyakan diusung lewat kelompok-kelompok sandiwara. Di antaranya: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, D. Jajakusuma, Suryosumanto dan lain-lain mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka; Sementara itu di Sumatera Barat ada Sjamsoedin Syafei yang menggerakkan kelompok Ratu Asia. Studio film Jepang, Nippon Eigha Sha, direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Pada masa ini pula lahir Berita Film Indonesia atau BFI. Pada masa ini pula lahir tiga lembaga perfilman yang menjadi cikal bakal film Indonesia. Ketiga lembaga itu adalah Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Pada tahun 1946, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan darurat. Oleh karenanya di kota ini berdiri sekolah film bernama Cine Drama Institute atau CDI. Dan pendirinya, antara lain: Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul juga sekolah film bernama KDA yang dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini dan lain-lain. Para pendiri KDA ini juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit. Film Indonesia yang lainnya yang diproduksi setelah kemerdekaan ini, antara lain: Air Mata Mengalir di Tjitaroem yang disutradarai oleh Rustam St Panidih, Anggrek Boelan (Anjar Asmara), Djaoeh Dimata (Anjar Asmara), Aneka Warna (Moh Said), Bengawan Solo (Jo An Tjiang), Harta Karun (Usmar Ismail), Menanti Kasih (Moh Said), Sehidup Semati (Fred Young), dan Tjitra (Usmar Ismail). Pada era ini, minat masyarakat terhadap film-film Hollywood muncul kembali lagi. Film-film ini masuk dengan sangat mudah melalui sebuah agen pengimpor film yang dikenal dengan sebutan AMPAI (American Motions Pictures Asociation in Indonesia) yang merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan film, seperti: Paramount, Universal, 21Century Fox, MGM, Columbia, dsb. Masuknya film-film impor ini dengan mudah ke tanah air karena sama sekali tak dibatasi kuota impornya. Pada bulan Maret 1950, Usmar Ismail membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dengan kantor pusatnya di Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat. Di saat yang sama, bersama Djamaluddin Malik (ayahanda Camelia Malik) beliau membentuk Perseroan Artis Film Indonesia (PERSARI). Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Pada tanggal itulah dijadikan sebagai Hari Film Indonesia atau hari kelahiran Film Indonesia. Di sisi lain, pada tahun 1952, dengan tangan dingin dari Djamaluddin Malik PERSARI sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, yaitu: Rodrigo de Villa dan Leilana. Menginjak tahun 1954, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail mulai membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia dan akhirnya di kemudian hari menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) . Di tengah maraknya aksi kelompok 'kiri', Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, Asrul Sani dan Suman Jaya serta beberapa bintang lain yang telah banyak memberi sumbangsih pada dunia film, mulai dituduh sebagai antek Nekolim, kontra revolusi dan sejumlah 'gelar' yang menyakitkan. Untuk menghadapi intrik-intrik dari PKI, Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani bergabung dengan LESBUMI (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ dari Partai Nahdlatul Ulama (NU). Tahun 1955, Festival Film Indonesia lahir dan menuai hasil yang kontroversi. Ini disebabkan karena Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. Sementara Aktor dan Aktris Terbaiknya masing-masing dua orang dari kedua film itu: AN Alcaff dan Abdul Hadi serta Dhalia dan Fifi Young. Setahun kemudian, tepatnya di tahun 1956, para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia (PERFEPI). Sementara Suryosoemanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Melalui organisasi-organisasi perfilman ini, para dilakukan aksi melawan dominasi film impor. Di Tahun 1960, di Festival Film International Moskow, Bambang Hermanto mendapat penghargaan sebagai peran utama terbaik dalam film Pedjuang karya Usmar Imsail. Ketika PKI dan partai-partai golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (PARFIAS), mereka tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film NAsional. Mereka menuntut supaya tanggal 30 April 1964-lah (tanggal berdirinya PARFIAS) yang harus diakui sebagai Hari Film Nasional. Di sisi lain, aksi ini benar-benar memporak-porandakan perfilman dan bioskop di Indonesia. Dari 753 bioskop yang terdaftar, cuma 350 saja yang aktif beroperasi. Selebihnya malah menutup bioskop mereka. Terbukti setelah boikot ini usai dan impor film kembali normal di tahun 1966. Film-film Hollywood masih mendapatkan tempat utama dari penonton Indonesia. Produksi film lokal terus menurun. Meskipun sempat diadakan FFI III pada bulan Agustus 1967, tetap saja belum sanggup menggairahkan produksi film lokal. Begitu pula dengan kehadiran teknologi baru cinemascope dan film berwarna di tahun 1968, belum sanggup mendatangkan gairah baru. .