<<

EKSPLOITASI DAN RESISTENSI BURUH MIGRAN NIAS DALAM HUBUNGAN KEKUASAAN STRUKTUR DAN AGEN DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

TESIS

OLEH

EFENTINUS NDRURU 147047004

STUDI PROGRAM MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Universitas Sumatera Utara EKSPLOITASI DAN RESISTENSI BURUH MIGRAN NIAS DALAM HUBUNGAN KEKUASAAN STRUKTUR DAN AGEN DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi dalam Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

OLEH

EFENTINUS NDRURU 147047004

STUDI MAGISTER SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal: 26 Agustus 2016

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Dr. Harmona Daulay, M. Si Anggota : 1. Prof. Rizabuana Ismail, M.Phil., PhD 2. Drs. Zulkifli, M.A 3. Dra. Ria Manurung, M.Si 4. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS

PERNYATAAN “EKSPLOITASI DAN RESISTENSI BURUH MIGRAN NIAS DALAM HUBUNGAN KEKUASAAN STRUKTUR DAN AGEN DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian- bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 26 Agustus 2016 Penulis,

Efentinus Ndruru

Universitas Sumatera Utara EKSPLOITASI DAN RESISTENSI BURUH MIGRAN NIAS DALAM HUBUNGAN KEKUASAAN STRUKTUR DAN AGEN DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU

ABSTRAK Isu perburuhan merupakan suatu permasalahan sosial yang terus dibahas dan dianalisis dari berbagai persepktif ilmu akademik. Kritik terhadap Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sering menjadi sorotan para aktivis buruh. Sistem kontrak kerja “outsourcing” terhadap buruh perkebunan dinilai sebagai praktek efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh. Asumsi peneliti bahwa praktik-praktik semacam ini merupakan perbudakan modern sebagai manifestasi kerja paksa masa kolonial Belanda. Peneliti buruh migran Nias di perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper Pelalawan Riau merupakan interpretasi makna dari asumsi peneliti dengan pendekatan metode kualitatif. Lokasi penelitian secara spesifik ditentukan di Estate Pelalawan yang cukup dekat kota Pangkalan Kerinci. Teknik pengambilan data menggunakan metode wawancara dan observasi partisipan terhadap para buruh migran Nias, kepala rombongan, kontraktor, dan perusahaan (humas PT. RAPP) sebagai data primer, sedangkan data sekunder adalah kuesioner dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan buruh. Peneliti juga menggunakan analisis data dengan menggunakan metode analitik yang diperkenalkan oleh Habermas. Hasil penelitian buruh migran Nias di perkebunan PT. RAPP ditemukan bahwa penerapan sistem outsourcing merupakan salah satu bentuk eksploitasi tenaga buruh. Tingkat pendidikan dan keterbukaan pada informasi awal ketika dalam proses rekrutmen tidak berjalan semestinya. Buruh “dipasung” dengan oleh agen melalui struktur kekuasaan yang saling mempengaruhi dalam kekuasaan dominan dan subordinat. Model utang dan sistem penggajian tidaklah mendatangkan kesejahteraan, justru buruh terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ekploitatif. Kepala rombongan, sebagai “agen liar” dan kontraktor perusahaan penyediaan tenaga kerja justru menjadi pelaku eksploitatif. Mimpi para buruh mendapatkan jaminan sosial, THR, dan kesejahteraan sirna ketika melihat situasi mereka diperlakukan layaknya seorang budak. Pengawas ketenagakerjaan, serikat buruh (SBSI 92), dan Kelompok Ikatan Keluarga Nias (IKN) seolah-olah tidak tahu realitas kehidupan buruh. Akhirnya, para buruh migran Nias hanya bisa keluar jika berjuang melalui resistensi dan dibantu oleh “tangan-tangan” pemerhati yang berkecimpung dalam perjuangan advokasi buruh. Kata Kunci: Buruh Migran Nias, outsourcing, eksploitasi, dan resistensi.

i

Universitas Sumatera Utara EXPLOITATION OF MIGRANT WORKERS AND RESISTANCE NIAS RELATIONS OF POWER STRUCTURE AND AGENT IN THE PELALAWAN DISTRICT RIAU PROVINCE

ABSTRACT

Labor issues is a social problem which continued to be discussed and analyzed from a variety of academic science perspective. Critics of the Act No. 13 of 2003 on Manpower is often in the spotlight labor activists. System contracts "outsourcing" of the plantation workers as the practice effect fragmented, degrading, discriminatory and exploitative of workers. Assumptions investigators that such practices is a modern manifestation of slavery forced labor Dutch colonial period. Researchers Nias migrant workers in the plantation PT. Riau Andalan Pulp and Paper Pelalawan Riau is the discovery of the meaning of the assumptions of researchers with qualitative method approach. The research location is specified in Estate Pelalawan fairly close to the town of Pangkalan Kerinci. Data collection techniques using interviews and participant observation against migrant workers Nias, head of the group, the contractor, and the company (PR PT. RAPP) as the primary data, secondary data were questionnaires and documents relating to labor. The researchers also used data analysis using analytic methods introduced by Habermas. Research Nias migrant workers in the plantation PT. RAPP was found that the application of the system of outsourcing is a form of exploitation of labor power. The level of education and openness to the initial information when in the recruitment process is not running properly. Workers "shackled" by the agent through the interplay of power structure in the dominant and subordinate powers. Model debt and payroll system does not bring prosperity, it trapped workers in the cycle of poverty and exploitative. Head of the group, as "agents of the wild" and contractor labor supply company became the perpetrator of exploitation. The dream of the workers to social security, THR, and prosperity vanished when looking at the situation they are treated like a slave. Labor inspectors, trade union (SBSI 92), and the Group of the Association of Families of Nias (IKN) as if the workers do not know the reality of life. Finally, Nias migrant workers can only come out if struggling through resistance and is assisted by the "hands" observer who engaged in the struggle for labor advocacy.

Keywords: Migrant Workers Nias, outsourcing, exploitation, and resistance

ii

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sampai saat ini saya masih diberikan kesehatan dan keselamatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Isu eksploitasi buruh migran Nias merupakan suatu kondisi sistem outsourcing yang terapkan oleh perkebunan kepada buruh.

Eksploitasi dalam kajian struktur dan agen dalam perkebunanadalah suatu yang tidak dapat dipungkiri mengingat penjelmaan kekuasaan menyebar dimana-mana.

Bentuk penjelmaan “perbudakan modern” dalam sistem kerja merupakan manifestasi kerja rodi (kerja paksa) zaman kolonial Belanda. Praktek eksploitasi melalui struktur dan agen dalam hubungan dualitas merupakan suatu kajian persepktif sosiologis. Kajian ilmiah tersebut merupakan pembahasan penulis dalam seluruh penulisan tesis ini sebagai satu kesatuan pemikiran.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. Muriyanto

Amin, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Rizabuana

Ismail, M. Phil., PhD, sebagai pembimbing pertama dan sekaligus selaku Ketua

Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Drs. Zulkifli,

M.A sebagai dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan proposal, penelitian, dan sampai pada tahap analisis data, sehingga menjadi sebuah karya ilmiah. Penulis menyadari bahwa kontribusi pemikiran ilmu bapak telah mengajarin penulis banyak hal tentang budaya kampus, terutama dalam proses membimbing mahasiswa. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dan

iii

Universitas Sumatera Utara berkontribusi dalam penulisan tesis ini yaitu Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si sebagai

Sekretaris Magister Sosiologi FISIP USU sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dan memberi masukan selama penulisan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen bapak Henri Sitorus, PhD yang telah banyak memberikan masukan dalam perspektif sosiologi perburuhan, Drs. Argyo

Demartoto, M.Si, PhD selaku dosen FISIP Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membagikan ilmunya memberikan masukan melalui email, sekalipun penulis tidak pernah bertemu dengan beliau. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap staf, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penghargaan yang setinggi-tingginya peneliti haturkan kepada kawan- kawan angkatan awal pada Program Magister Sosiologi, Desti Ariani, Rholand,

Selamat Sinaga, Nurbadaria Tampubolon, Elida Usni, Mardiana, Jimmy Saputra,

Muhammad Reza Ardillah, dan Feriel Amelia Sembiring yang banyak memberikan dukungan kepada penulis melalui kebersamaan dalam ruang kelas.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman Institut

Kajian Sosiologi Indonesia (IKSI), terutama Puteri Atikah, Desti, Jhoni Binsar,

Muh. Iqbal, Rholand,dan Lilis yang telah memberikan masukan dalam ruang diskusi ilmiah. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Irma Juraida, bapak

Samseng Barus yang telah mendoakan dan mendorong penulis supaya secepat mungkin menyelesaikan tesis dengann hasil yang memuaskan.

Penulis memberikan penghargaan dan perasaan terhutang budi kepada kedua orangtua penulis Nifaogõ Ndruru dan Lutinaria Telaumbanua yang telah mendoakan dan memberikan dukungan materi dari segala keterbatasan. Penulis

iv

Universitas Sumatera Utara juga mengucapkan banyak terimakasih kepada keluarga abang Ama Klara Ndruru,

(Buanaso Ndruru, S.Ag) dan Ina Klara (Epriliyani Halawa) yang telah banyak memberikan dukungan doa dan materi, dan kedua adik Soter Ndruru, Efriyanti

Ndruru yang telah mendoakan dan sekaligus dorongan bagi penulis untuk secepat mungkin merampungkan penulisan tesis ini.

Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Nuryudica

Harefa, Am.Keb yang telah sabar menunggu, mendoakan, dan berjuang menjalani kebersamaan, sekaligus mendorong penulis untuk secepat mungkin merampungkan ini dengan baik. Penulis juga banyak mengucapkan terimakasih keluarga Ina Ronal di Mandrehe yang setiap saat mendoakan, dan mendukung perjuangan penulis menyelesaikan Program Magister Sosiologi Universitas

Sumatera Utara-Medan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga Ariyus Baene,

Ama/Ina Serlin Nduru, Sozifao Hia mantan Anggota DPRD Kabupaten Pelalawan

Periode 2009-2014 yang telah banyak membantu selama proses penelitian di perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper Pelalawan. Akhinya, penulis juga tidak luput dari kesalahan baik dalam pemberian informasi maupun sistematika penulisan. Penulis juga berharap adanya kritikan ataupun berbagi ilmu selain sebagai rujukan dari ilmu-ilmu lainnya. TerimaKasih dan Ya‟ahowu.

Medan, 26 Agustus 2016

Penulis,

Efentinus Ndruru

v

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xii DAFTAR BAGAN, GRAFIK, DAN MATRIKS ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ...... 1 1.2. Rumusan Masalah ...... 13 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Perburuhan di Indonesia ...... 16 2.1.1. Buruh Perkebunan Masa Kolonial ...... 17 2.1.2. Buruh Perkebunan Masa Orde Lama ...... 21 2.1.3. Buruh Perkebunan Masa Orde Baru ...... 23 2.1.4. Buruh Perkebunan Era Reformasi ...... 24 2.2. Kerangka Konsep dan Teoritis ...... 26 2.2.1. Buruh dalam Struktur dan Agen ...... 28 2.2.2. Resistensi Buruh Sehari-Hari ...... 31 2.3. Kerangka Berpikir ...... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ...... 41 3.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan ...... 43 3.3. Sumber Data Penelitian ...... 46 3.3.1. Data Primer ...... 46 3.3.2. Data Sekunder ...... 46

vi

Universitas Sumatera Utara 3.4. Proses Jalannya Penelitian ...... 47 3.5. Informan Penelitian ...... 56 3.6. Teknik Pengumpulan Data ...... 66 3.6.1. Wawancara ...... 66 3.6.2. Observasi Partisipan ...... 68 3.6.3. Kuesioner ...... 70 3.7. Teknik Analisis Data ...... 72 3.8. Keterbatasan Penelitian ...... 75

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PERKEBUNAN 4.1. Sejarah Perusahaan ...... 77 4.2. Ruang Lingkup Perusahaan ...... 78 4.3. Sektor Pelalawan (Estate Pelalawan) ...... 79 4.3.1. Identifikasi Jenis Pekerjaan ...... 84 4.3.2. Barak ...... 85 4.3.3. Camp Moving ...... 90 4.4. Kesehatan ...... 94 4.5. Akses Pendidikan Anak ...... 98 4.6. Akses Tempat Peribadatan ...... 104

BAB V KONDISI-KONDISI PENDUKUNG PRAKTEK EKSPLOITASI BURUH MIGRAN NIAS 5.1. Buruh Migran Nias ...... 106 5.1.1. Mimpi Sejahtera di “Negeri Seberang” ...... 109 5.1.2. Buruh Minim Keterampilan ...... 111 5.2. Tingkat Pendidikan Rendah ...... 113 5.3. Tempat Tinggal Terisolasi ...... 116 5.4. Akses Informasi Sulit ...... 119 5.4.1. Informasi Hak dan Tanggung Jawab ...... 123 5.4.2. Informasi Upah ...... 124 5.4.3. Informasi Jam Kerja ...... 126 5.4.4. Informasi Hak Cuti ...... 128

vii

Universitas Sumatera Utara 5.4.5. Informasi Tempat Tinggal ...... 129 5.4.6. Informasi K3 ...... 130

BAB VI STRUKTUR HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM SISTEM OUTSOURCING 6.1. Pola Rekrutmen Buruh ...... 132 6.2. Kontrak Kerja Abu-Abu ...... 137 6.2.1. Perjanjian Borongan Plantation Sepihak ...... 137 6.2.2. Kontrak Kerja antara Ada dan Tiada ...... 141 6.3. Hubungan Kerja dengan Sistem Pengupahan ...... 143 6.4. Pengorganisasian Kerja dan Pendapatan ...... 148 6.5. Belenggu Kepala Rombongan ...... 154 6.5.1. Hutang: Jeratan Sekaligus Keuntungan ...... 157 6.5.2. Tingginya Harga Kebutuhan Pokok ...... 164 6.6. Diskriminasi Jaminan Sosial dan THR ...... 169 6.6.1. Kematian di Kanal dan Sumur ...... 175 6.6.2. Bunuh Diri dengan Minum Racun ...... 178 6.6.3. Saksi Bisu Kuburan Rantau Baru ...... 179 6.7. Pekerja Anak Umur 5-17 Tahun ...... 183 6.8. Perlindungan Buruh Perempuan ...... 187 6.9. Tingkat Kesejahteraan Buruh ...... 192 6.10. Pengawasan Disnarketrans dan Serikat Buruh ...... 203

BAB VII RESISTENSI SEHARI-HARI BURUH DALAM MENGHADAPI EKSPLOITASI 7.1. Resistensi Buruh ...... 206 7.1.1. Resistensi Berujung pada Pemecatan ...... 207 7.1.2. Melawan Berarti Siap Dipecat ...... 209 7.1.3. Laporan Tanpa Hasil di SBSI ...... 211 7.2. Bentuk Resistensi Sehari-hari ...... 214 7.2.1. Membuang Pupuk atau Obat Tanaman ...... 216 7.2.2. Merusak Tempat Bibit (Trey) ...... 219

viii

Universitas Sumatera Utara 7.2.3. Memperlambat Kerja ...... 220 7.2.4. Mencuri Kabel di Pabrik Perusahaan ...... 221 7.3. Melarikan Diri Sebagai Resistensi Akhir ...... 223

BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan ...... 226 8.2. Implikasi Teoritis ...... 230 8.3. Saran...... 236

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 4.1. Daerah operasi kegiatan Industri perusahaan PT. RAPP ...... 79 Tabel 5.1. Posisi kerja dan faktor pendorong ...... 107 Tabel 5.2. Tingkat pendidikan responden ...... 115 Tabel 5.3. Informasi hak dan tanggung jawab ...... 123 Tabel 5.4. Informasi upah buruh migran Nias ...... 125 Tabel 5.5. Informasi jam kerja buruh migran Nias ...... 126 Tabel 5.6. Informasi hak cuti kerja buruh migran Nias ...... 128 Tabel 5.7. Informasi tempat tinggal buruh migran Nias ...... 129 Tabel 5.8. Informasi K3 ...... 130 Tabel 6.1. Sistem rekrutmen buruh migran Nias di Estate Pelalawan ...... 134 Tabel 6.2. Posisi kerja dan biaya perongkosan tenaga kerja ...... 135 Tabel 6.3. Perkembangan upah minimum Kabupaten Pelalawan tahun 2010-2016 ...... 151 Tabel 6.4. Utang Individu pada awal keberangkatan buruh migran Nias .... 160 Tabel 6.5. Utang individu saat tiba dilokasi kerja buruh migran Nias ...... 161 Tabel 6.6. Utang individu selama menjalani bekerja ...... 161 Tabel 6.7. Utang Biaya pendirian camp Buruh Migran Nias ...... 161 Tabel 6.8. Daftar harga barang rata-rata di moving camp buruh Migran Nias Estate Pelalawan ...... 161 Tabel 6.9. Daftar wajib lapor perusahaan kontraktor dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan ...... 170 Tabel 6.10. BPJS kesehatan dan tenaga kerja ...... 173 Tabel 6.11. Tunjangan hari raya buruh migran Nias ...... 174 Tabel 6.12. Pekerja Anak dibawah Umur ...... 185 Tabel 6.13. Perlindungan terhadap buruh Perempuan ...... 190

x

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 4.1. Pintu Gerbang Masuk Estate Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten Pelalawan-Riau ...... 77 Gambar 4.2. Peta Kabupaten Pelalawan ...... 79 Gambar 4.3. Sketsa Peta Estate Pelalawan...... 80 Gambar 4.4. Barak Nurseri lokasi perkantoran Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper ...... 83 Gambar 4.5. Barak TPK 5 Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper ...... 85 Gambar 4.6. Camp buruh outsourcing migran Nias di TPK 18 Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper ...... 87 Gambar 4.7. Sumur galian di camp TPK 1 Sektor Pelalawan yang tidak cocok untuk kesehatan buruh ...... 90 Gambar 4.8. Klinik kesehatan camp satelit Sektor Pelalawan perusahaan perkebunan PT. RAPP ...... 92 Gambar 4.9. Fasilitas pendidikan Tingkat Kakak-Kanak (TK) di lokasi perkantoran Sektor Pelalawan ...... 95 Gambar 6.1. Peneliti bersama asisten dan safety pulang dari Lokasi TPK 1 Sektor Pelalawan ...... 173 Gambar 6.2. Anak-anak Kamp TPK Madukoro, K-030 sedang mengambil air minum...... 174 Gambar 6.3. Pintu gerbang tempat pemakaman umum yang dihibahkan PT. RAPP kepada pekerja asal Nias ...... 178 Gambar 6.4. Buruh migran Nias yang baru makamkan di Rantau Baru ...... 179

xi

Universitas Sumatera Utara DAFTAR BAGAN, GRAFIK, DAN MATRIKS

Daftar Judul Halaman

Bagan 2.1. Kerangka pemikiran ...... 40 Bagan 3.1. Hubungan timbal balik antara penyajian data dengan teks analitik dalam analisis data buruh perkebunan ...... 74 Grafik 6.1. TPAK usia umur 10-17 tahun Indonesia, 2004-2009 ...... 184 Matriks 6.1. Interpretasi struktur dan agen dalam praktek eskploitasi ...... 201 Matriks 8.1. Interpretasi konsep “the power cuba” dalam eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias ...... 234

xii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman Lamp. 1.1. Matriks sasaran arah penelitian eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias ...... 1 Lamp. 1.2. Pedoman wawancara ...... 4 Lamp. 1.3. Lembar kuesioner ...... 9 Lamp. 1.4. Surat pernyataan jaminan kerahasiaan ...... 14 Lamp. 1.5. Perjanjian borongan plantation ...... 16 Lamp. 1.6. Surat ijin penelitian dari dinas tenaga kerja dan transmigrasi Kabupaten Pelalawan ...... 23 Lamp. 1.7. Surat permohonan ijin penelitian versi permintaan Perusahaan PT. RAPP ...... 24 Lamp. 1.8. Surat permohonan ijin penelitian kepada dinas tenaga kerja dan trasnmigrasi Kabupaten Pelalawan ...... 25

xiii

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Fenomena migrasi tenaga kerja Nias dalam realitas sosial merupakan suatu gejala sosial di tengah potret struktur kemiskinan. Migran tenaga kerja Nias memutuskan meninggalkan kampung mencari kehidupan layak di luar kepulauan

Nias. Penghasilan sebagai petani karet tradisional tidak menjanjikan, belum lagi curah hujan tinggi dan harga getah karet yang semakin menurun. Data Badan

Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (2015:56), kabupaten/kota se-Kepulauan

Nias menepati posisi teratas sebagai penduduk termiskin di Provinsi Sumatera

Utara. Jumlah dan persentase penduduk miskin tahun 2013 Kota Gunungsitoli berjumlah 41,10 jiwa (30,94), Kabupaten Nias Utara berjumlah 40,78 jiwa

(30,94%), Kabupaten Nias Barat berjumlah 24,88 jiwa (29,65%). Kabupaten Nias

Selatan jumlah penduduk miskin 56,96 jiwa (18,83%), Kabupaten Nias berjumlah

23.29 jiwa (17,28%). Persentase kemiskinan masyarakat Kepulauan Nias mendorong Presiden Republik Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 131

Tahun 2015 menetapkan daerah Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan,

Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten Nias Barat kategori daerah tertinggal tahun

2015-2019.

Isu migrasi tenaga kerja Nias merupakan suatu tanggapan atas realitas sosial ekonomi yang tidak kunjung membaik. Asumsi tersebut sejalan dengan penelitian Purwanto, at al., (2011:8), faktor ekonomi di daerah asal menjadi faktor pendorong dominan kedatangan orang Nias. Alasan khusus lainnya juga muncul berkenaan dengan persoalan kedekatan keluarga antara pekerja dengan pihak lain

1

Universitas Sumatera Utara 2

yang mengajak, atau niatan mencari pengalaman baru. Penelitian lain menunjukkan bahwa faktor migrasi tenaga kerja Nias di Kota Medan didorong keinginan mencari pengalaman dan bekerja di Kota (Simanihuruk, 1991:76).

Menurut Boswell (2008:560), untuk menganalisis konsep migrasi tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomis dan sosiologis sebagai kesatuan interaksi sosial.

Migrasi tenaga kerja tidak lepas dari jaringan primordial sesama migran.

Ekspresi nyata dari jaringan sosial itu terlihat dalam memperoleh pekerjaan, pemukiman dan lain sebagainya sebagai migran baru. Jaringan primordial merupakan modal sosial paling penting bagi migran selain kualifikasi sumber daya manusia; pendidikan atau keterampilan. Akan tetapi, realitas ini dilihat perusahaan sebagai celah untuk memangkas biaya rekrutmen dan jaminan sosial pekerja. Temuan tersebut dipertajamkan oleh penelitian Izzah (2011:176) mengemukakan bahwa sistem rekrutmen “getok tukar” dan sistem tidak terikat, kerja borongan, merupakan salah satu potret sistem ketenagakerjaan di

Samarinda. Di sana para migran berjuang memperoleh penghasilan dari ketatnya persaingan kerja.

Para migran tenaga kerja Nias sering sekali teriming-iming cerita para kerabat atau orang-orang yang pernah merantau. Selalu cerita sukses penuh harapan dan masa depan yang cerah di perantauan, apalagi kontaktor yang berasal dari perusahaan tertentu menyampaikan tawaran pekerja bagi siapa saja yang berminat menuju Riau dengan gaji harian 50 ribu dan biaya transportasi ditanggung perusahaan (Hia, 2010:99). Pola rekrutmen semacam justru pernah diterapkan pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Para agen tenaga kerja lapangan (werek) mencari calon tenaga buruh untuk dipekerjakan di perkebunan

Universitas Sumatera Utara 3

Sumatera Timur itu, melakukan berbagai macam cara, termasuk membujuk dan bahkan menipu dengan diiming-iming ceritera tentang kesuksesan dan kesejahteraan hidup kelak di “negeri seberang” (Suwirta, 2002:27).

Buruh-buruh migran datang dengan membawa mimpi untuk hidup layak, tapi mimpi tersebut seketika buyar ketika menemukan fakta bahwa mereka kerja laksana budak. Mereka bekerja borongan dengan target besar dan para buruh pun harus tidur di lahan perkebunan (Sawit Watch, 2013:3). Posisi tawar para buruh yang rendah juga merupakan kondisi yang memungkinkan penghisapan dan kekerasan terhadap buruh perkebunan. Apalagi buruh migran yang didatangkan berpendidikan rendah (melek huruf), bahkan tidak tahu berbahasa Indonesia.

Akhirnya, buruh mendapat perlakuan kasar dari kontraktor-kontraktor dengan struktur kebijakan baru di luar perusahaan. Para kontraktor diberi hak istimewa oleh perusahaan sebagai kepala pekerja dan mengawasi para buruh. Para kontraktor menyusun strategi dengan melarang para buruh berbelanja di luar selain pada kontraktor saja. Kontraktor menjadi seorang pedagang dan menyediakan kebutuhan buruh dan dijual kepada para pekerja dengan harga tinggi dari pasaran. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tanpa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti berutang pada warung dan tidak jarang terjebak dalam tengkulak atau lintah darah menyebabkan sifat ketergantungan yang tinggi pada perusahaan (Sawit Watch,

2013:6; Hia, 2010:100).

Menurut Silaban (2015:6), saat ini 60 persen produk global diproduksi perusahaan rantai pemasok global korporasi multinasional. Perusahaan memilih menggunakan subkontraktor dengan pekerja kontrak untuk terus mereduksi biaya

Universitas Sumatera Utara 4

upah dan biaya produksi. Taktik ini dilakukan untuk meminimalkan berbagai hambatan hukum dengan mengalihkan menjadi tanggung jawab perusahaan lain.

Perusahaan sebagian besar hanya memperhatikan keuntungan, tanpa memikirkan kesejahteraan para buruh. Kecenderungan informalisasi tenaga kerja dan desentraliasi produksi merupakan salah satu strategi yang dikembangkan oleh pemilik modal untuk mencari tingkat surplus yang sebesar-besarnya. Hal ini merupakan bagian dari perubahan sistem produksi dalam upaya menghindari bentuk hubungan kerja formal dalam rangka mengelak dari berbagai resiko dan biaya ketenagakerjaan. Bentuk yang dikembangkan antara lain mengatur sistem kerja buruh lepas, buruh paruh waktu, kontrak musiman, buruh borongan, maupun buruh tetap yang bekerja penuh akan tetapi beban kerjanya sangat banyak. Prinsip untuk mencari tingkat produksinya menjadi sangat dominan dan memandang tenaga kerja manusia sebagai komoditas, yang bisa dihitung berdasarkan sejumlah tenaga kerja manusia sebagai produksi kapitalis ini adalah penambahan kuantitatif dari nilai tukar uang-barang-uang, yang terus-menerus mencari tingkat surplus sebesar-besarnya (Bottomore, 1985 dalam Sugiarti, 2010:1).

Legalisasi “outsourcing” ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan isu yang ramai diperdebatkan antara pemerintah dan aktivitas buruh, terutama legalisasi “pemborongan pekerjaan” atau

“outsourcing”. Aktivitis buruh menilai “outsourcing” dikatakan sebagai bentuk eksploitasi terhadap buruh. Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) sebuah aliansi puluhan serikat buruh dan ornop perburuhan, tegas menyebutnya sebagai salah satu bentuk legalisasi terhadap praktik “perbudakan modern” (modern slavery), yang menempatkan buruh yang notabene adalah manusia hanya menjadi

Universitas Sumatera Utara 5

komoditas belaka yang dikenal dengan pasar buruh (Tavip, 2003 dalam Tjandra,

2003:29-30; Sawit Watch, 2013:5).

Pemahaman legalisasi “outsourcing” menurut studi Suhardin (2009:198) bahwa eksistensi sistem outsourcing dan kerja kontrak tidak memberikan jaminan masa depan yang jelas dan pasti, selain tidak menerima THR, mereka juga tidak akan menerima berbagai tunjangan atau dana hari tua, dana pensiun, ataupun

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), mereka hanya semata menerima upah.

Ketiadaan mendapatkan hak-hak karyawan selain upah itu sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran HAM, khususnya yang berkaitan dengan kelangsungan hidup buruh yaitu jaminan atas pekerjaan.

Penelitian Tjandraningsih at al., (2010:xvi) di Provinsi Kepulauan Riau,

Jawa Barat, dan Jawa Timur menilai, sistem outsourcing bukan lagi meningkatkan kesejahteraan, justru mengeksploitasi buruh. Ia menganalisis bahwa praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing membawa efek fragmentasi, degradatif, diskriminatif, dan eksploitasi terhadap buruh. Praktek hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan struktur fragmentasi atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik. Praktek diskriminasi terhadap buruh terjadi pada usia dan status perkawinan, upah dan hak berorganisasi. Praktek degradasi pada kondisi kerja dan kesejahteraan buruh.

Praktek eksploitasi karena dengan kewajiban, jam kerja, dan di tempat yang sama dengan buruh upah. Praktek eksploitasi, diskriminasi, degradasi, dan fragmentasi merupakan efek dari kekuasaan aktor terhadap struktur dalam praktik sosial.

Struktur pengorganisasian tenaga kerja di Indonesia tersebut merupakan manifestasi praktek pemerintah kolonial Belanda. Maka, pada bagian ini, peneliti

Universitas Sumatera Utara 6

membahas dua studi sejarah yang bisa mendeskripsikan struktur yang diciptakan oleh aktor-aktor terhadap nasib buruh diberbagai lokasi perkebunan di Indonesia.

Pertama, peneliti Ingleson (2015:37), sejak dekade 1910-an, sebagian besar pekerja direkrut langsung oleh mandor. Pabrik, bengkel, dan pelabuhan sangat mempercayai dan mengandalkan para mandor ini. Biasanya mereka memilih pekerja yang datang langsung mencari lowongan di gerbang pabrik. Kadang mereka mencari langsung di kampung halamannya, tetapi lebih sering lagi memakai jaringan informan yang mereka miliki, melalui mudik singkat saat hari- hari besar atau saat keramaian di kampung mereka. Mandor adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan patronase.

Kedua, peneliti Suwirta (2002:27-28) seorang sejarawah mengatakan bahwa pemberian “sistem komisi” dari orang-orang Eropa (pengelolah agen) pada masa kolonial di perkebunan Sumatera Timur kepada werek (petugas lapangan) dalam mencari dan mengusahakan tenaga buruh, telah menimbulkan cara-cara rekrutmen yang tidak sehat. Jumlah “komisi” yang diterima para werek memang cukup tinggi. Misalnya saja, untuk seorang calon buruh yang berhasil didapatkannya, werek menerima bayaran dari agen senilai dengan bayaran 266 hari kerja para buruh di Pulau Jawa. Upah buruh masa itu rata-rata berkisar antara

30-35 sen perhari. Bahkan pada tahun 1924, upah buruh perkebunan terendah 24 sen, yang bekerja di pabrik 53 sen, dan buruh tidak terampil di kota 80 sen.

Tidaklah mengherankan, kalau bayaran “komisi” yang tinggi itu telah mendorong para werek menggunakan berbagai macam cara untuk memperoleh tenaga buruh buat bekerja di perkebunan Sumatera Timur.

Universitas Sumatera Utara 7

Bagaimana pun juga, catatan sejarah masa kolonial mempunyai pengaruh dalam struktur perburuhan di Indonesia pasca kemerdekaan. Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah Indonesia, namun masih jauh dari apa yang diharapkan. Peneliti berasumsi bahwa kebijakan pemerintah terhadap buruh masih disusupin kekuatan tersembunyi (hidden power) orang kuat atau pemilik modal

(Gaventa, 2006:29). Buktinya nasib buruh antara kaum kapitalisme (aktor perusahaan) telah tercipta kesenjangan sosial yang cukup jauh sampai sekarang.

Maka pada bagian ini, peneliti memaparkan studi tentang buruh di berbagai wilayah di Indonesia antara lain sebagai berikut.

Studi Sari at al., (2015:131), keterlekatan buruh mencakup para perekrutan tenaga kerja yang tidak memprioritaskan pendidikan yang tinggi. Para buruh yang tidak mempunyai skill dan pendidikan rendah kebanyakan berminat bekerja di industri sumpit dengan upah rendah. Buruh disatu sisi mendapatkan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran, meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat, tetapi di sisi lain tenaga buruh dieksploitasi. Kondisi tenaga kerja di

Indonesia dinilai oleh Amin (2011:55) sebagai perubahan sistem fleksibilitas kerja baru. Liberisasi outsourcing dan buruh kontrak sejak Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyulitkan pola pengorganisasian. Praktik outsourcing dan kerja kontrak membuat buruh menjadi moving target, selalu bergerak dari majikan satu ke majikan lainnya, dengan kondisi kerja berlainan.

Situasi ini tidak bisa diikuti serikat buruh dengan struktur model lama (old fashioned structure) yang biasanya mengikuti hierarki birokrasi pemerintah

(pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Model seperti ini tak cukup fleksibel dalam merespons perubahan pasar kerja. Perlu dipertimbangkan dan justru diperbanyak

Universitas Sumatera Utara 8

model organisasi matriks bersifat fleksibel pula untuk merespons situasi ekonomi yang semakin cepat berubah.

Studi Tjandraningsih at al., (2010:44-46), Provinsi Kepulauan Riau, Jawa

Barat, dan Jawa Timur mengenai upah layak di sektor tekstil dan garmen memperlihatkan Upah Minimal Kerja (UMK) hanya memenuhi 62,4% pengeluaran riil. Maka ketika buruh kontrak/outsourcing mendapatkan upah pokok di bawah UMK, kemampuan upah tersebut untuk memenuhi pengeluaran riil semakin rendah. Bekasi misalnya, upah pokok terendah buruh kontrak adalah

Rp. 825.000 maka upah tersebut hanya bisa memenuhi 56,2% dari rata-rata pengeluaran riil buruh. Buruh outsourcing di Jawa Timur dengan menerima upah pokok terendah sebesar Rp.670.000 maka upah tersebut hanya mampu memenuhi

45,6% dari rata-rata pengeluaran riil. Buruh kontrak dengan upah rendah tidak mungkin menabung dan tidak mempunyai jaminan hidup sama sekali ketika masa kontrak berakhir dan berstatus sebagai penganggur. Inilah titik terburuk dari kondisi buruh kontrak dan outsourcing. Pembedaan upah juga tampak dari perbedaan rata-rata upah total. Rata-rata upah total buruh kontrak 16.71% lebih rendah dibandingkan rata-rata upah total buruh tetap, sementara rata-rata upah total buruh outsourcing 26% lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah total buruh tetap (Tjandraningsih at al., 2010:44-46).

Mengenai komponen upah, hampir semua komponen upah, persentase jumlah buruh kontrak yang menerimanya lebih kecil daripada buruh tetap dan persentase buruh outsourcing yang menerimanya lebih kecil daripada buruh kontrak, kecuali untuk tunjangan shift. Misalnya premi hadir buruh tetap menerima 74,0%, premi hadir buruh kontrak 67,6%, dan premi hadir untuk buruh

Universitas Sumatera Utara 9

outsourcing 46,1%. Uang makan untuk buruh tetap 48,9%, buruh kontrak 37,4%, dan buruh outsourcing hanya 25,5% uang makan. Studi ini menunjukkan bahwa sebagian buruh kontrak dan outsourcing juga menerima salah satu atau beberapa komponen upah berupa premi hadir, premi masa kerja, tunjangan jabatan, uang makan, tunjangan transport, tunjangan keluarga, tunjangan shift dan tunjangan perumahan. Hal ini berbeda dengan realitas sosial di berbagai sektor industri yang hanya memberikan upah pokok dan uang makan bagi buruh kontrak dan outsourcing. Fakta ditemukan bahwa tidak semua buruh tetap menerima semua komponen upah, merupakan implikasi langsung dari tidak adanya struktur yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan berbagai komponen upah (selain upah pokok) kepada buruhnya. Dengan demikian, pemberian komponen upah (selain upah pokok) sangat tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan.

Keprihatinan nasib buruh dalam berbagai studi di atas, memperlihatkan pola struktur kekuasaan dalam hubungannya agen (pelaku, aktor) merupakan kajian pada praktik sosial yang tengah berlangsung. Menurut Giddens (2003:3)

“Struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia”. Giddens melihat struktur sebagai medium sekaligus hasil dari tindakan yang ditata secara terulang oleh struktur. Agen atau pelaku adalah orang yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan dan peristiwa. Maka semakin jelas bahwa struktur dan agen berperan penting dalam sistem buruh di Indonesia, tentu tidak terlepas dari undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku.

Struktur hubungan kekuasaan buruh dengan kontraktor, sistem outsourcing, dan upah di kalangan buruh itu, muncul kepermukaan ketika para ahli seperti Ingleson, Suwirta, Sari, Amin, Tjandraningsih dan lain sebagainya

Universitas Sumatera Utara 10

melakukan studi mengenai kehidupan sosial buruh dari berbagai perspektif ilmu.

Artinya, gejala eksploitasi di kalangan buruh migran bukan muncul dari studi yang khusus membahas mengenai buruh. Untuk itulah, peneliti akan melakukan studi mengenai eksploitasi buruh migran Nias di Pelalawan Riau secara lebih mendalam dalam perspektif sosiologis melalui pendekatan teori strukturasi menurut Anthony Giddens.

Berdasarkan penelitian Purwanto, at al., (2011:4-5), para buruh plantation

(penanaman) PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang didominasi oleh pekerja asal Nias berkisar 80 persen. PT. RAPP sebelum tahun 2002, semua tenaga kerja mulai dari staf, karyawan sampai buruh terdaftar sebagai pekerja PT.

RAPP. Semua urusan mengenai ketenagaan kerja mulai dari rekruitmen, mengadministrasikan pekerja pada dinas kerja, pendaftaran jamsostek, sistem penggajian sampai pemberian tunjangan hari raya, tunjangan kecelakaan kerja, pesiun, dan tunjangan atau insentif lainnya ditangani langsung oleh RAPP. Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 pasal 58-66 mengenai outsourcing, kebijakan perusahaan mengenai ketenagakerjaan pun berubah.

Jenis pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja diserahkan pada kontaktor- kontraktor supplier tenaga kerja. Pekerja yang semula merupakan buruh langsung perkebunan PT. RAPP diputus berhubungan dengan diserahkan pada kontraktor.

Mulai saat itu di lingkungan perkebunan PT. RAPP mulai bermunculan kontraktor-kontraktor supplier tenaga kerja. Bahkan perkebunan PT. RAPP sendiri mendorong kemunculan kontraktor ini guna pemenuhan kebutuhan tenaga kerja. Bahkan semua aspek yang berkaitan dengan produksi mulai dari tenaga

Universitas Sumatera Utara 11

kerja, jamsostek, perlengkapan kerja dan alat perlindungan diri harus disediakan oleh kontraktor (Purwanto, at al., 2011:4-5).

Aspek lain kontraktor mulai membuat struktur untuk mendapatkan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Orang yang pertama sekali diajak adalah saudara kandung kemudian saudara ipar dan temannya sendiri. Perekrutan tenaga kerja ini selanjutnya oleh kontraktor supplier tenaga kerja diangkat sebagai kepala rombongan (KR) membawahi para pekerja yang berhasil dikumpulkannya.

Sebagai imbalan KR mendapat fee dari kontraktor sebesar 10% dari hasil pekerja anggotanya. Bahkan kontraktor kadang keluar dari aturan perusahaan perkebunan

PT. RAPP seperti mempersilahkan membawa anggota keluarga termasuk anak kecil yang sebenarnya dilarang oleh perusahaan (Purwanto, at al., 2011:5).

Perubahan dan pengawasan yang lemah terhadap sistem kerja di PT RAPP turut mendukung eksploitasi buruh. Buruh teralienasi oleh tindakan kekuasaan pelaku yang dimobilisasi oleh struktur. Menurut Scott (1993:271), bagi buruh yang menurut batasannya, bekerja dalam struktur yang tidak menguntungkan dan rentan terhadap penindasan, bentuk-bentuk perjuangan sehari-hari itu itu mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia. Scott mengistilahkan sebagai resistensi sehari-hari terhadap eksploitasi. Asumsi peneliti bahwa kekuasaan ada dalam diri penindas dan tertindas (majikan dan buruh) dalam kapasitas yang berbeda.

Bentuk resistensi sehari-hari yang dikemukakan oleh Scott dapat ditemukan dalam hasil penelitian Yudhanto terhadap petani tambang tradisional.

Strategi perlawanan petani tambang tradisional dalam menjaga kelangsungan hidup di tengah rendahnya imbal jasa dilakukan dengan penambang melakukan

Universitas Sumatera Utara 12

penyulingan secara mandiri yang kemudian dijual ke beberapa penampung di daerah Tuban, Blora, dan Bojonegoro, untuk dikirim ke Surabaya dan Semarang.

Penjualan lantung yang dilakukan oleh petani penambang tanpa melalui sistem

(KUD Bogo Sasono) berdampak pada kurangnya supplai hasil tambang yang diterima pertamina melalui KUD Bogo Sasono. Selain itu rangkaian kekesalan petani tambang tersebut berujung pada penambang tidak lagi menyetorkan hasil tambangnya ke KUD Bogo Sasono (Yudhanto, 2011:86-87).

Berdasarkan uraian penelitian kasus buruh perkebunan di Indonesia dari masa kolonial sampai era reformasi adalah beberapa hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiologis. Asumsi peneliti bahwa pola yang digunakan oleh perusahaan melalui agen supplier tenaga kerja menjadi kondisi yang memungkinkan eksploitasi, sekaligus membentuk resistensi sehari-hari sebagai senjata orang kalah. Praktek eksploitasi dan resistensi berpuncak pada tingkat kesenjangan sosial antara buruh dan majikan (perusahaan) yang membuat kondisi buruh tinggal dalam garis kemiskinan. Asumsi lain bahwa praktik eksploitasi tenaga kerja bisa jadi menjadi salah satu bentuk perbudakan modern (modern slavery) yang bergerak massif melalui struktur yang dipengaruhi agent. Blythe

(2011:6), membagi tiga kategori perbudakan modern melalui kebijakan

Organisasi Perburuhan Indonesia (The International Labour Organisation) disingkat ILO: Pertama, rekrutmen tidak bebas: pola rekrutmen dengan menipu melalui janji-janji palsu tentang kondisi pekerjaan, konten atau legalitas kontrak kerja. Tenaga kerja dipaksa bekerja kepada majikan tertentu pada saat rekrutmen.

Kedua, pekerjaan dibawah tekanan: jam kerja berlebihan, melebihi jam kerja yang sudah ditentukan, dipaksa, kualitas hidup memprihatinkan, pembatasan kebebasan

Universitas Sumatera Utara 13

dan lembur paksa. Ketiga, ketidakmungkinan meninggalkan majikan: dikondisikan tergantung kepada majikan, penggunaan ancaman atau hukuman apabila keluar dari pekerjaan (majikan), dan penyitaan dokumen kartu identitas, passpor atau dokumen perjalanan.

Struktur ketenagakerjaan buruh migran telah mengurung dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Sejalan dengan itu, buruh hanya keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar (Suyanto, 2013:9-10). Maka tidak terlalu berlebihan Jean

Baudrilland dalam refleksi filosofisnya mengatakan Matinya Sang Buruh. Artinya berakhirnya fungsi dan kekuatan buruh dalam jaman kapitalisme global. Bagaikan putusnya hubungan petanda-petanda dalam bahasa maka putus juga hubungan buruh-kapitalisme dalam arti bahwa kekuatan dan pengaruh buruh tersebut telah hilang (Susanto, 2010:7). Kondisi struktur sosial buruh migran seperti ini, apakah tidak mungkin struktur dan agen ikut menanamkan pengaruhnya. Kondisi-kondisi seperti inilah yang menjadi latar belakang masalah mengapa studi mengenai eksploitasi dan resistensi buruh migran dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Ada tiga persoalan pokok dari latar belakang masalah menjadi sasaran studi eksploitasi dan resistensi buruh migran sebagai berikut.

Pertama, studi mengenai buruh migran sudah banyak dilakukan, hasil yang diperoleh berupa gambaran kehidupan sosial, ekonomi dalam berbagai perspektif ilmu sosial. Studi mengenai eksploitasi buruh migran dalam hubungan kekuasaan antara struktur dan agen secara mendalam masih jarang dilakukan peneliti,

Universitas Sumatera Utara 14

meskipun masalah ini hampir selalu dijumpai dikalangan buruh. Apa saja kondisi- kondisi yang mendukung hubungan kekuasaan antara struktur dan agen dalam praktek eksploitasi buruh migran Nias?

Kedua, jika perhatian para peneliti sebelumnya pada tingkat kesejahteraan hidup masih rendah dalam hal kesehatan, letak geografis, strategi bertahan hidup dan lain sebagainya. Bagaimana struktur hubungan kekuasaan perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan terhadap buruh Migran Nias?

Ketiga, eksploitasi buruh migran berarti ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Kekuasaan itu bukan hanya terdapat pada kelompok (majikan), melainkan juga kekuasaan itu ada dalam diri tertindas (buruh) yang dipahami

Scott sebagai resistensi sehari-hari. Bahkan Scott sendiri menekankan bahwa resistensi sehari-hari kaum buruh merupakan kolaborasi kekuasaan yang ada dimana-mana. Bagaimana resistensi sehari-hari buruh migran Nias dalam menghadapi eksploitasi di PT RAPP Pelalawan Riau?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Studi eksploitasi dan resistensi buruh dalam hubungan kekuasaan antara struktur dan agen ini, sudah tentu merupakan analisis kondisi-kondisi yang mendukung hubungan kekuasaan antara struktur dan agen dalam praktek eksploitasi. Penelitian tersebut diharapkan dapat mengugah minat para ahli ilmu sosial Indonesia untuk melakukan studi serupa secara seksama di perkebunan maupun pabrik dalam skala besar.

Penelitian tentang buruh tentu mempunyai hubungan kekuasaan, perusahaan, kontraktor, kepala rombongan terhadap buruh migran. Kekuasaan itu bukan hanya ada dalam kelompok majikan saja, melainkan ada di kalangan buruh

Universitas Sumatera Utara 15

dalam kapasitas yang berbeda. Manfaatnya, para peneliti dan pengambil kebijakan tentang buruh harus mempertimbangkan aspek-aspek dalam kekuasaan masing- masing aktor (pelaku) terhadap struktur. Dengan demikian, eksploitasi buruh di

Indonesia perlu dilawan menuju manusia bermartabat.

Penelitian buruh bertujuan untuk mengetahui resistensi sehari-hari buruh dalam menghadapi eksploitasi. Scott mendeskripsikan kekuasaan para buruh kaum buruh sebagai resistensi sehari-hari. Bentuk-bentuk resistensi ini yang perlu diperhatikan oleh perusahaan atau buruh untuk mencari langkah-langkah penanggulangannya.

Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dipaparkan sejarah perburuhan di Indonesia mulai masa kolonial Belanda, orde lama, orde baru, dan pasca era reformasi dengan berbagai ciri khas masing-masing. Kebijakan pemerintah terhadap perburuhan dari masa ke masa diakui masih jauh dari apa yang diharapkan, bahkan kebijakan perburuhan pasca era reformasi dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinilai sebagai bentuk dekolonisasi atau lebih tepat dikatakan perbudakan modern.

Pada bab ini juga akan diuraikan konsep buruh sebagai orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Buruh pada pembahasan bab ini khususnya buruh outsourcing baik sebagai buruh borongan maupun buruh harian lepas menggunakan teori strukturasi yang pernah dikemukakan oleh

Giddens dari persepektif sosiologis. Majikan mempunyai “kekuasaan dominan” untuk melakukan eksploitasi terhadap tenaga buruh, sebaliknya buruh mempunyai kekuasaan melakukan resistensi sehari-hari sebagai senjata orang kalah yang pernah dikemukakan oleh Scott. Kesatuan teori strukturasi, resistensi sehari-hari, dalam hubungan kekuasaan merupakan suatu kerangka pemikiran dalam pembahasan bab-bab selanjutnya, untuk menemukan bentuk-bentuk eksploitasi tenaga kerja yang dimainkan oleh agen melalui struktur.

2.1. Sejarah Perburuhan di Indonesia

Pemaparan sejarah perburuhan perkebunan di Indonesia merupakan suatu tahapan dari masa kolonial sampai pasca reformasi yang berpuncak pada Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan

16

Universitas Sumatera Utara 17

outsourcing. Peneliti memaparkan buruh perkebunan masa kolonial, buruh perkebunan orde lama, buruh perkebunan orde baru, dan buruh perkebunan era reformasi, secara khusus buruh outsourcing (buruh borongan dan buruh harian lepas) sebagai kajian peneliti. Perkembangan sejarah masalah sosial perburuhan dari tahap ke tahap menjadi garis penghubung dalam menjelaskan eksploitasi dan resistensi buruh migran. Bahkan buruh perkebunan dalam perspektif sejarah menjadi uraian legalisasi outsourcing sebagai manifestasi “perbudakan modern” buatan kapitalisme.

2.1.1. Buruh Perkebunan Masa Kolonial

Masa kolonialisme, pembangunan perkebunan berlangsung secara massif.

Kapitalisme, umumnya Belanda, mendapatkan hak sewa pakai atas tanah yang luas untuk dijadikan perkebunan (Sawit Watch, 2013:4). Kapitalisme kolonial di

Indonesia muncul sejak abad 17-18 di Jawa dan Sumatera Timur. Kapitalisme perkebunan ini merupakan kolonisasi resmi Belanda, yang sebelumnya dirintis oleh kapitalisme dagang Belanda, yakni VOC. Sistem tanam paksa yang ditetapkan sejak tahun 1830 pada dasarnya adalah suatu penghidupan kembali sistem eksploitasi dari masa VOC, yang berupa sistem penyerahan wajib

(Kartodirdjo dan Suryo, 1991:53-54). Berkembang biaknya kapitalisme perkebunan di Jawa dan Sumatera Timur akibat berkurangnya peran negara kolonial dalam memaksa penduduk-penduduk pribumi menyediakan produk komoditi tertentu yang dikerjakan secara paksa.

Setelah mengalami pergeseran politik di negeri Belanda, akibat banyaknya kritikan dari tanah jajahan dan dari Belanda sendiri, di samping mulai bangkrutnya VOC, maka kaum kapitalis Belanda memaksa menghapuskan

Universitas Sumatera Utara 18

monopoli negara kolonial atas sistem kapitalis dagang. Kaum borjuis baru ini mengusulkan untuk mengembangkan sistem kapitalis perkebunan di tanah jajahan, seperti Jawa dan Sumatera Timur, yang cocok untuk sejumlah komoditi ekspor dan ditemukan sumber energi baru, seperti minyak bumi. Perkebunan di

Sumatera Timur dirintis pertama kali tahun 1863 oleh Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda. Ia memperoleh tanah seluas 4.000 bau (boouw) dari Sultan

Mahmud, Penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau (Suwirta,

2002:21).

Tenaga kerja perkebunan di Sumatera Timur dahulu terkenal dengan sebutan kuli kontrak. Suatu istilah bagi mereka yang hidup sengsara kemudian mengikat diri pada perjanjian kerja di perkebunan. Ribuan kuli didatangkan baik resmi ataupun tidak resmi atau melalui penipuan, menyulap hutan belantara menjadi perkebunan. Para buruh sering ditipu oleh para pemilik kebun saat memberikan gaji. Kuli ditempatkan dalam barak sebagai tempat tidur bersama.

Barak itu tidak dilengkapi dengan perabotan yang memadai. Barak hanya berdinding papan, berlantai tanah dan beratap daun rumbia. Kondisi barak yang demikian menyebabkan kuli sangat rentan terkena penyakit (Situmorang, at al.,

2008:22).

Ordonansi kuli pada waktu itu mewajibkan perusahaan memberikan pelayanan kesehatan bagi kuli. Namun realitasnya perawatan kesehatan yang memadai kuli tidak pernah ada. Rumah sakit perkebunan tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, tidak ada kamar , tidak ada penerangan di malam hari, tidak ada ruang khusus untuk pasien penyakit menular, tidak ada bantal atau kasur, dokter yang jarang memeriksa keadaan pasien dan sebagainya. Kondisi

Universitas Sumatera Utara 19

demikian menyebabkan kuli sering tidak mau dirujuk ke rumah sakit. Rumah sakit dianggap sebagai pintu menuju kematian (Yasmin, 2007:25).

Pemilik kebun juga membentuk semacam tim untuk mengawasi tindak- tanduk para kuli. Ada juga tim pelacak yang dibentuk untuk melacak kuli yang melarikan diri. Para pemilik kebun memanfaatkan kekuasannya dengan sesuka hati menghukum kuli. Bentuk-bentuk hukuman yang sering diterima kuli seperti disekap satu hari, dipenjara, dicambuk, diikat pada tiang selama beberapa hari, dipukul, ditendang, ditampar, dipasung, diborgol, dirantai, dijemur selama 2 minggu, dibenamkan ke air, digosok kemaluannya dengan merica halus, ditusuk bagian bawah kukunya, diseret dengan kuda, dipukuli dengan jekatang dan setelahnya disiram air. Bentuk hukuman ini dilakukan di tempat terbuka dan sengaja diperlihatkan pada semua kuli dengan maksud agar kuli tidak melakukan pelanggaran lagi.

Studi Suwirta (2002:29-31), mengatakan bahwa buruh perkebunan yang didatangkan dari pulau Jawa tidak bisa keluar dari daerah perkebunan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena adanya kebijakan pemerintah kolonial

Belanda memberlakukan peraturan perburuhan (Koeli Ordonanntie) pada tahun

1880. Peraturan ini dikeluarkan, sebenarnya untuk melindungi kepentingan para penguasa perkebunan dari pada untuk melindungi hak-hak dan kepentingan para buruh. Dalam peraturan itu ditetapkan bahwa setelah sistem kontrak selesai, para buruh boleh kembali ketempat asalnya atau memperpanjang kontrak lagi. Akan tetapi tidak ada jaminan yang pasti dalam aturan tersebut, telah melahirkan penyelewengan, penekanan dan penindasan dalam praktek pelaksanaannya.

Universitas Sumatera Utara 20

Kedua, karena berkembangnya kegiatan perjudian yang diintrodusir dan dibiarkan pemerintah kolonial Belanda. Pada masa kolonial, perjudian merupakan fenomena sosial dan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan buruh di perkebunan. Biasanya pada “gajian besar” yang diadakan dua minggu sekali, para bandar judi dari kota berusaha membujuk para buruh agar mau memasangkan uangnya untuk permainan judi. Akibatnya, banyak buruh menunggak hutang, sehingga untuk dapat membayarnya terpaksa mereka memperpanjang kontrak kerja kembali dengan pihak penguasa perkebunan.

Ketiga, karena adanya perdagangan candu yang diusahakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perdangangan candu sangat penting artinya bagi pendapatan ekonomi negara-negara kolonial, termasuk Belanda. Pemerintah kolonial Belanda melakukan strategi pemasaran dengan menunjuk agen-agen candu yang diawasi dan digaji oleh pemerintah. Melalui agen-agen inilah candu itu didistribusikan kepada konsumen lewat kaki-tangan dan jaringan sub-agen yang tersebar di berbagai tempat.

Gambaran kondisi buruh perkebunan di Sumatera Timur adalah suatu bentuk penindasan melalui struktur perburuhan. Bentuk penindasan ini tentu mendapat resistensi dari pihak buruh kepada penguasa perkebunan. Bentuk perlawanan yang paling ekstrim yang dilakukan kuli adalah bunuh diri. Menurut

Pelzer (1985:170) hubungan yang dilakukan oleh buruh sebagai berikut:

“...hubungan setiap hari antara buruh-buruh dan asisten-asisten Eropa bukan tidak sering menimbulkan dendam yang mendalam di pihak buruh yang mengalami perlakuan kejam dari para asisten itu, baik dengan kata-kata kasar maupun pemukulan yang tak beradab. Kejadian itu mungkin bermula karena baik buruh Jawa maupun buruh Cina tidak begitu mengerti bahasa Melayu sepotong-sepotong yang digunakan oleh asisten-asisten, mapun karena buruh itu tidak melihat alasan mengapa ia dimarahi. Setiap pertengkaran menambah

Universitas Sumatera Utara 21

ketegangan antara asisten dan buruh sampai demikian rupa sehingga suatu insiden kecil saja akan membut buruh itu sangat marah dan dalam kemarahan seperti itu akan mencabut pisaunya dan melukai dengan parah atau membunuh asisten itu...”

Kuli perempuan adalah golongan kuli yang paling sering mengalami kekerasan seksual dan fisik. Banyak kuli perempuan yang terjebak pada ikatan tanpa pernikahan dengan sesama kuli. Perempuan juga dipaksa untuk menjadi gundik staf perusahaan, pemilik kebun atau mandor.

2.1.2. Buruh Perkebunan Masa Orde Lama

Inilah masa keemasan gerakan buruh. Gerakan nasionalisme yang dilancarkan Soekarno menyapu perkebunan di berbagai daerah. Kebijakan orde lama yang berpihak kepada buruh adalah adanya berbagai produk undang-undang yang mengarah kepada kepentingan kaum buruh. Waktu itu ada Undang-Undang

Pengawas Perburuhan, misalnya tentang kecelakaan kerja. Dominasi gerakan buruh terhadap regulasi pada masa itu luar biasa dengan ditetapkannya syarat- syarat umum antara lain:

Pertama, kepastian kerja pada waktu itu terkait dengan jangka waktu bekerja selama 25-30 tahun dan memiliki masa pensiun. Kedua, kesejahteraan buruh diwajibkan diberikan 15 macam kepada buruh. Ketiga, upah itu pengertiannya “berapa anda sanggup bayar upah saya”. Sehingga konsep tersebut menempatkan buruh sebagai manusia dengan perbagai kebutuhannya. Keempat, buruh mendapatkan pendidikan gratis dan memadai. Kelima, tunjangan kesehatan diberikan dalam bentuk pencegahan. Enam, hak untuk rekreasi diberikan ke buruh, karena buruh sebagai manusia juga buruh keluar dari rutinitasnya (Sawit

Watch, 2013:4-5).

Universitas Sumatera Utara 22

Perlu dicatat bahwa pada masa Indonesia merdeka sistem perkebunan mulai ditata, namun masih mempertahankan sistem yang mengutungkan elit penguasa. Disamping itu, perkembangan politik mulai berjalan beriringan, kesempatan kepada petani dan buruh memperjuangkan hak-hak mulai terbuka.

Kondisi itu memunculkan masalah baru yaitu persaingan antara kekuatan politik oleh partai-partai politik dalam mendapatkan pengikut-pengikutnya sehingga organisasi-organisasi petani dan buruh menjalin hubungan politik dengan partai politik atas dasar kesamaan bentuk dasar (platform). Organisasi petani dan buruh saat itu semuanya solid mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan buruh dan petani melalui pembaharuan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pembaharuan ekonomi meliputi nasionalisasi tanah dan perkebunan asing, redistribusi tanah bagi mereka yang tidak memiliki tanah, meleyapkan feodalisme, dan peningkatan produksi. Di bidang politik menuntut hal bicara, bebas berkumpul, dan hak untuk mogok, dan pers yang bebas (Situmorang, at al., 2008:25). Perjuangan kelompok buruh dalam merebut kemerdekaan serta mempertahankannya dari agresi Belanda, menjadi motif politik pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan buruh

(Habibi, 2009:41-42).

Pada tahun 1950 dikatakan sebagai periode kemenangan buruh ditandai oleh efektivitas protes dan pemenuhan tuntutan yang dilakukan kaum buruh.

Salah satu realisasi tuntutan kum buruh waktu itu adalah kesepakatan penentuan upah antara organisasi buruh dan Sumatera Planters Assosiasion dibawah pengawasan panitia penyelesaian perburuhan Republik Indonesia (P3RI). Pada bidang politik ekonomi para organisasi buruh secara konsisten menamakan diri

Universitas Sumatera Utara 23

sebagai pejuang anti imperialis dan kapitalis yang secara tegas menolak modal asing (Situmorang, at al., 2008:26).

Dalam konteks ini bisa menjelaskan bahwa pola relasi buruh-majikan- pemerintah adalah model yang okomodatif. Terlihat dari paket undang-undang dan kebijakan perburuhan yang dikeluarkan seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 tahun

1948 tentang Kecelakaan Kerja; Undang-Undang Nomor 21 tahun 1954 tentang

Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Majikan; Undang-Undang

Nomor 18 tahun 1958 tentang Ratifikasi Persetujuan International Labour

Organization (ILO) Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar dan Hak

Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama; dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Situmorang, at al.,

2008:26).

2.1.3. Buruh Perkebunan Masa Orde Baru

Konteks ekonomi politik yang merubah pada masa orde baru juga mengubah pola hubungan perburuhan di Indonesia. Kondisi ekonomi porak- poranda pada awal pemerintahan orde baru membuat pemerintah fokus pada pembenahan masalah ekonomi. Pemberhentian massal buruh terjadi dimana- mana, termasuk buruh dimana banyak pabrik tutup karena tidak sanggup menanggung biaya produksi. Realitas krisis ekonomi yang terjadi mendorong pemerintah untuk meminta asisten IMF dan lembaga internasional lain untuk membantu menangani krisis ekonomi di Indonesia. Lembaga-lembaga internasional menyarankan merombak sistem ketenagakerjaan yang kaku, diubah menjadi fleksibel untuk menarik investasi, yang pada gilirannya mendorong

Universitas Sumatera Utara 24

pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi pengangguran (Habibi, 2009:43).

Pemerintah mengintrodusir sistem “outsourcing” dan sistem kontrak pada sistem ketenagakerjaan. Aturan-aturan yang dinilai memberatkan harus diganti menjadi lebih “market friendly”. Hak mogok, cuti maupun pesangon harus dibuat sefleksibel mungkin sebagian hubungan perburuhan mulai diatur oleh mekanisme pasar. Dengan demikian, motif ekonomi sangat berpengaruh terhadap dimensi hubungan perburuhan (Habibi, 2009:43).

Kondisi perburuhan saat itu boleh dikatakan berpola akomodatif buruh- majikan-negara dibawah rezim otoriterisme Soeharto. Kontrol negara terhadap kekuatan sosial kemasyarakatan termasuk serikat buruh berlangsung terus menerus dengan dukungan militer. Salah satu contoh pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus “Marsinah” hingga kini masih merupakan misteri. Pada tingkat pengupahan belum mengalami peningkatan malah cenderung menurun bila dikonversikan dengan daya beli buruh. Sementara sistem kontrak kerja buruh perkebunan semakin lemah (Situmorang, at al., 2008:28-29).

2.1.4. Buruh Perkebunan Era Reformasi

Peristiwa setelah bergulirnya Presiden Soeharto dan jatuhnya rezim orde baru tidak membawa dampak perubahan kondisi kaum buruh. Apalagi saat peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 bangsa Indonesia justru mengalami krisis ekonomi yang berakibat pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada buruh- buruh industri. Masa reformasi dalam bidang hubungan kerja dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara 25

yang memperlihatkan neoliberalisme. Peraturan perundang-undang yang lahir masa Presiden Megawati ini telah mengubah perburuhan lebih fleksibel.

Menurut Habibi (2009:3-4), lahirnya ketentuan Undang-Undang Nomor

13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan mengakibatkan perubahan mendasar dalam struktur tenaga kerja sebagai berikut: Pertama, diberlakukannya sistem

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pemberlakuan PKWT membuat perusahaan dapat memperkerjakan buruh kontrak untuk pekerja-pekerja jenis tertentu dalam waktu tertentu. Dampaknya adalah banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Justru ini buruh kontrak tidak memperoleh hak-hak sebagaimana buruh tetap sehingga meringankan beban pengusaha.

Kedua, diberlakukan sistem outsourcing. Dalam hal ini perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Implikasi dari penerapan outsourcing adalah banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan buruh dan untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja. Perusahaan dalam hal ini merasa aman dari segala macam tuntutan buruh, karena sudah dialihkan kepada perusahaan jasa pekerja.

Studi Tjandra (2003:26-27) menegaskan bahwa pemberlakuan UU

Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 memperlihatkan kemajuan sekaligus juga kemunduran. Pada saat terdapat seperangkat regulasi canggih terhadap sektor modern (formal) dalam ekonomi, pada saat itu pula terjadi penyingkiran dan

Universitas Sumatera Utara 26

informalisasi hubungan kerja berdampak pada buruh. Penggantian definisi

“buruh” menjadi “pekerja/buruh” dengan menghilangkan unsur majikan, terutama pasal 1 ayat 3 “pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Berbeda dengan definisi sebelumnya yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan mendefinisikan “buruh” sebagai “barangsiapa yang bekerja kepada majikan dan menerima upah”. Artinya, unsur majikan pun menjadi hilang. Penghilangan unsur ini merupakan sebuah upaya pembuat UU untuk memperluas pengertian “pekerja/buruh”, sehingga bisa juga meliputi juga buruh yang bekerja sendiri maupun “outsourcing” yang de jure bekerja pada satu perusahaan namun de facto bekerja pada satu perusahaan lain lagi.

Penghapusan unsur “majikan” dari pengertian “pekerja/buruh” dalam UU

No. 13 tahun 2003 lebih jauh merupakan indikasi yang menunjukan niat untuk menciptakan hubungan kerja bersifat individual, menyerahkan pendapatan buruh semata kepada kemampuan dan kinerjanya sendiri yang tidak menjadi tanggung jawab perusahaan/majikan lagi. Perubahan definisi ini juga sejalan dengan ketentuan mengenai outsourcing maupun kerja kontrak yang kini ditingkatkan kualitasnya menjadi sebuah ketentuan undang-undang (Tjandra, 2003:27).

2.2. Kerangka Konsep dan Teoritis

Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah

(KBBI, 2001:158). Buruh adalah seorang yang melakukan kegiatan/pekerjaan dengan tidak menanggung resiko terhadap hasil produksi dan bertujuan mendapatkan upah. Sementara upah adalah balas jasa berupa uang atau barang

Universitas Sumatera Utara 27

yang diberikan langsung kepada buruh untuk suatu pekerjaan/jasa yang telah dilakukan (BPS, 2014:4).

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (1) mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat. Sedangkan pemberi kerja adalah perorangan, pengusaha badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Tenaga pekerja atau buruh yang menjadi kepentingan pengusaha merupakan sesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi pekerja/buruh sehingga pekerja atau buruh itu selalu mengikuti tenaganya ke tempat. Pengusaha kadangkala seenaknya memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh karena tenaganya sudah tidak diperlukan lagi. Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan, turut serta melindungi pihak yang lemah

(pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Pekerja pada perusahaan dapat digolongkan dalam pekerjaan tetap dan pekerja tidak tetap. Pekerja tetap adalah pekerja yang telah diangkat sebagai pegawai/karyawan perusahaan dengan mendapat surat keputusan. Tidak termasuk pekerja adalah tenaga ahli/expert yang diperbantukan dan dibayar pihak lain.

Pekerja tidak tetap adalah pekerja harian lepas dan pekerja borongan. Pekerja harian lepas adalah pekerja tidak tetap yang dibayar berdasarkan banyaknya hasil kerja, sedangkan pekerja borongan adalah pekerja tidak tetap yang dibayar

Universitas Sumatera Utara 28

berdasarkan volume pekerja yang diselesaikan (BPS, 2014:3; Situmorang, at al.,

2008:4).

Buruh pada dasarnya sebagai kelas subordinat sering dihadapkan pada berbagai masalah di hampir semua negara. Misalnya pada abad ke-19, buruh tambang emas di Benua Afrika berkulit hitam dieksploitasi. Buruh yang tidak mempunyai skill (keahlian) dipekerjakan pada kerja kasar. Sementara buruh berkulit putih dari Inggris mendapat posisi yang bagus karena mempunyai keahlian tertentu (Burawoy, 2010:1054). Eksploitasi terhadap Buruh Afrika juga dialami oleh buruh Nias di PT RAPP Pelalawan dalam skala yang berbeda. Akar masalahnya ialah para buruh tidak mempunyai skill dan tingkat pendidikan yang rendah menjadi faktor pendukung eksploitasi. Oleh sebab itu, peneliti akan mengelaborasi kasus eksploitasi buruh dalam perspektif sosiologi untuk menganalisis peran agen dalam struktur baik sebagai superordinat maupun subordinat.

2.2.1. Buruh dalam Struktur dan Agen

Eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan antara struktur dan agen merupakan suatu kajian komperehensif untuk menganalisis buruh. Pemikiran dasar bahwa ekploitasi ada karena ada subjek yang berkuasa dan objek yang dikuasai (majikan antara buruh). Tindakan eksploitasi tentu mendapat perlawanan (resistensi) dari tertindas (buruh), walaupun dalam skala kecil (perlawanan semi) atau menurut Scott diklasifikasikan sebagai bentuk perlawanan sehari-hari. Artinya, kekuasaan ada dalam diri penindas dan tertindas

(majikan dan buruh) dalam kapasitas yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara 29

Dalam teori strukturasi, konsep kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur atau sistem, melainkan kapasitas yang melekat pada pelaku.

Karena itu, kekuasan selalu menyangkut kapasitas transformatif (Giddens,

2003:19). Logika umumnya bahwa tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur tanpa dominasi dan relasi kekuasaan yang berlangsung di antara superordinat (majikan) dan subordinat (buruh), yaitu perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan terhadap buruh.

Menurut Priyono (2016:19-19), ada dua sentral yang menjadi pokok pemikiran Giddens, yaitu hubungan antara struktur (structure) dan pelaku

(agency), serta sentralisasi ruang (space) dan waktu (time). Pertama hubungan pelaku dan struktur. Mengatakan bahwa pelaku berbeda dengan struktur sama dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Begitu pula mengatakan bahwa struktur terkait dengan pelaku, dan sebaliknya, tidak mengatakan banyak hal.

Hubungan keduanya sebagai relasi dualitas (duality): “tindakan dan struktur saling mengandaikan”. Pelaku adalah orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia”. Struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial. Kedua, setralisasi waktu dan ruang. Sebagai poros yang menggerakkan teori strukturasi, sentralisasi waktu dan ruang juga menjadi kritik terhadap dualisme statistik, sinkroni versus diakroni, stabilitas versus perubahan. Waktu dan ruang biasanya dipahami sebagai arena atau panggung tindakan (stage) kemana kita masuk, dari mana kita keluar (Turner, 2003:972).

Kekuasaan terjadi lewat mobilitas struktur dominasi dalam menguasai ekonomi dan otoritas. Menurut Giddens (dalam Sewell, 1992:4), kekuasaan

Universitas Sumatera Utara 30

terbentuk dalam dan melalui dua reproduksi struktur dominasi. Maka kekuasaan adalah kapasitas yang inheren pada pelaku, maka tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang lain. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya, bahwa dalam kekuasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada tataran yang menguasai maupun yang dikuasai, dan bekerja saling mengkontrol.

Konsep Giddens tentang kekuasaan berbeda dengan dominasi. Konsep dominasi lebih menekankan pada skema asimetris hubungan pada tataran struktur, terutama mencakup skema penguasaan atas orang lain dan ekonomi. Sementara kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada tataran pelaku (interaksi dan praktek sosial). Singkatnya, ada sebuah kekuasaan tidak dilihat dari otoritas penguasaan akses ekonomi oleh pelaku terhadap pelaku lainnya, melainkan kekuasaan ada dalam praktik-praktik sosial sejumlah pelaku dalam mereproduksi struktur.

Giddens (2003:30) berpandangan bahwa struktur itu sebagai “rules and resources”, yakni tata aturan atau sumber daya, serta memiliki hubungan dualitas dengan agensi, serta melahirkan berbagai praktik sosial sebagaimana tindakan sosial. Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural untuk memungkinkan pengikatan ruang dan waktu mereproduksi praktik-praktik sosial dalam sistem sosial kehidupan masyarakat.

Giddens menegaskan bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia”. Agen atau pelaku adalah orang-orang yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan dan peristiwa. Struktur adalah “aturan (rules)

Universitas Sumatera Utara 31

dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial”. Sistem sosial, “mereproduksikan praktik sosial, atau mereproduksi hubungan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial yang terorganisasi” (Ritzer dan Goodman, 2008:571).

Giddens menunjukkan bagaimana orang bisa saja menjadi agen aktif dan banyak tahu dan dia bisa saja dibangun oleh dan mereproduksi struktur sosial, misalnya buruh dan majikan. Adanya dualitas, yaitu struktur dan pelaku dalam proses yang menempatkan struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana sebagai medium praktik sosial, sehingga prinsip dualitas inilah yang membangun teori strukturasi (Giddens, 2003:18) dalam hal melihat agensi dan struktur. Jadi, mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya: agensi terandaikan dalam struktur, dan struktur terlibat dalam agensi.

Ia menolak melihat struktur sekedar sebagai sesuatu yang menghambat, tetapi justru melihat struktur dengan sesuatu yang menghambat dan sekaligus mendorong. Kemudian posisi ruang dan waktu merupakan pusat (poros) yang menggerakkan teori strukturasi. Ruang dan waktu menurut Giddens selanjutnya bukanlah merupakan arena atau panggung tindakan, melainkan unsur konstitusi tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya, tanpa ruang dan waktu tidak ada tindakan, dan tanpa ruang dan waktu tidak akan terjadi peristiwa dan gejala dalam struktur sosial (Lubis, 2014:144; Turner, 2003:970).

2.2.2. Resistensi Buruh Sehari-Hari

Pemikiran James Scott tentang resistensi (perlawanan) kaum petani (buruh) sehari-hari sangat relevan untuk menganalisis kondisi buruh saat ini. Peneliti berasumsi bahwa tindakan eksploitasi tenaga buruh yang dilakukan oleh majikan

Universitas Sumatera Utara 32

merupakan bentuk eksploitasi massif yang bermanifestasi dalam struktur. Bentuk eksploitasi dalam struktur melahirkan resistensi sebagai kekuasaan atau sejata orang lemah melalui perlawanan dalam skala kecil atau semi perlawanan. Bentuk perlawanan tersebut bisa melalui doa, curhat dengan sesama buruh atau sabotase dan lain sebagainya. Scott mengistilahkan perlawanan petani (buruh) sebagai senjata-senjata orang kalah.

Realitas lapangan perlawanan kaum buruh mewujud dalam panduan perlawanan yakni bercorak Scottian (Scott 1993:271) dengan corak perlawanan dari hasil pengartikulasian dan kolaborasi. Kemunculan panduan perlawanan tersebut disebabkan perlawanan dipahami sebagai strategi dan taktik untuk mencapai tujuan dan memenangkan kepentingan, sehingga bentuknya akan beragam bentuk.

Menurut Scott (1985), teori perlawanan (resistensi) untuk membingkai perwujudan bentuk perlawanan kultural yang diperagakan buruh dalam tindakan keseharian. Menjadi bermakna kultural karena konsep perlawanannya menjadi bagian keseharian pihak-pihak yang disebutkan kaum lemah saat merespon penguasaan pihal lain yang dianggapnya kuat.

Scott mendefinisikan perlawanan sebagai serangkaian tindakan dari anggota kelompok kelas subordinat, yang ditunjukan untuk mengurangi atau menolak suatu klaim (seperti sewa, pajak, atau prestise) dari kelas subordinat

(pemilik lahan, petani kaya, atau negara) atau ditunjukan untuk meningkatkan kelas sosialnya sendiri dalam kerja, tanah, sumbangan, atau rasa hormat sebagaiman dikemukakan oleh Scott (1990:36) sebagai berikut.

“...lower class resistance among peasants in act (s) by member (s) of the class that is (are) intended either to mitigate or to deny claim (for

Universitas Sumatera Utara 33

example, landlords, large farmers, the state) or to advance its own classes (for example, work, land, charity, respect) vis-a‟-vis those superordinate class...”.

Scott (1990:34) dengan mengutip Hobsbawn, mengemukakan bahwa kelas sosial yang disebutnya „kalah” tersebut kurang berminat melakukan perlawanan terbuka dan mengandung resiko dalam rangka mengubah struktur besar seperti negara atau hukum. Menurutnya, perlawanan kelas petani cenderung mengikuti pada sistem dan meminimalisir kerugian pada diri sendiri. Scott bersikap untuk mengkritik kajian perlawanan yang menekankan pada perlawanan terbuka dan konfrontatif, karena menurutnya corak perlawanan seperti itu bukan wujud perjuangan politik petani, tetapi merupakan corak perlawanan tani bercorak revolusioner meskipun terselubung maka hal tersebut selalu dipimpin dan diorganisir pihak luar.

Resistensi kelas petani diwujudkan dalam bentuk perlawanan keseharian atau bentuk perlawanan jangka panjang dan prosaik, biasa-biasa saja, yang merupakan senjata kelompok yang relatif tak berdaya (powerless) berupa memperlambat kerja (foot dragging), berpura-pura (dissimulation), melarikan diri

(desertion), pura-pura memenuhi permohonan (false compliance), pencurian

(pilfering), berlagak tidak tahu (feigned ignorance), menjatuhkan nama baik

(slander), pembakaran (arson), penyabotan (sabotage), dan sebagainya. Semua bentuk perlawanan tersebut berciri tak butuh kordinasi dan perencanaan, implisit, menggunakan jejaring informal, kerap dilakukan untuk kepentingan sendiri, dengan ciri khas menghindari konfrontasi simbolis langsung terhadap otoritas atau kekuasaan (Scott, 1990:433). Menurut Scott, teknik-teknik perlawanan low profile seperti demikian yang paling pas untuk struktur kelas petani yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara 34

dalam upaya menguras energi lawan dengan gaya gerilya, tanpa organisasi, dan melalui cara inilah kelas petani (buruh) menyatakan kehadiran politisnya.

Wujud pertarungan kelas petani menurut Scott melibatkan pemaknaan simbol dalam rangka memberi penggalan makna sejarah tentang bagaimana masa lampau dan masa kini dipahami dan dinamai, atau untuk menilai kesalahan dan penyebabnya, yang dipakai untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Pertarungan simbol yang tidak indah, membutuhkan unsur fitnah, gosip pembunuhan karakter, memberi julukan kasar (rude nicknames), bahasa tubuh atau sikap diam namun dimaksudkan untuk merendahkan orang lain, yang kebanyakan dilakukan terselubung dibalik layar kehidupan (Scott, 1993:283).

Simbol, norma, atau ideologi yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari pelaku tersebut, paling tidak semua perilaku diilhamkan oleh itikad baik, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi perlawanan tersebut tanpa penekanan pada tujuan (Scott, 1993:285).

Temuan Gaventa (2006:2) sangatlah mendukung pemikiran Scott dalam konsep the power cube. Gaventa menegaskan bahwa telah bermunculannya ruang- ruang baru dan peluang masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan, namun pertanyaan kritis juga harus dijawab adalah apakah hal itu benar-benar mewakili jika telah terjadi pergeseran nyata atas kekuasaan (perlawanan). Apakah hal itu benar-benar telah membuka ruang partisipasi, dan apakah keterlibatan masyarakat tersebut juga beresiko karena hanya akan melegitimasi status quo atau justru memberi kontribusi pada “pengucilan” (pemikiran kelompok lain) dan ketidakadilan semata.

Universitas Sumatera Utara 35

Penelitian Veneklasen dan Miller (2002:39; bdk. Gaventa, 2006:24) membagi beberapa tahapan kekuasaan sebagai berikut: Pertama, kekuatan “lebih”

(power over) mengacu pada kemampuan kuat untuk mempengaruhi tindakan dan menggunakannya untuk menguasai yang lain. Kedua, kekuatan “untuk” (power to) adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan kemampuan dan kapasitas untuk melakukan tindakan, untuk menjalankan hak dan mewujudkan potensi hak, kewarganegaraan. Ketiga, kekuatan “dalam” (power within) sering merujuk bagaimana warga (buruh) memperoleh rasa identitas diri, percaya diri, dan kesadaran yang merupakan persyaratan untuk melakukan tindakan. Keempat, kekuatan “dengan” (power with) mengacu pada sinergi yang dapat muncul melalui kemitraan dan kolaborasi dengan kelompok/orang lain, atau melalui proses aksi kolektif dari dalam.

Menurut Gaventa (2006:26), “power analisys” dapat digambarkan sebagai sebuah The Power Cuba yang terbagi seperti rubik yang terdiri dari level, ruang partisipan dan bentuk kekuatan yang mempengaruhi kebijakan. Gaventa menjelaskan bahwa ruang partisipan berbagi menjadi beberapa ruang tertutup, diundang dan ruang yang direbut atau dibuat sebagai berikut.

Pertama, ruang tertutup (closed) adalah meskipun memfokuskan pada ruang dan tempat-tempat terbuka membuka kemungkinannya untuk partisipasi, tetapi di sisi lain ternyata masih banyak pengambilan keputusan yang dilakukan ruang tertutup. Artinya, keputusan dibuat oleh sekelompok aktor di belakang

“pintu tertutup”, tanpa mencoba untuk membuka sebuah proses yang lebih inklusif. Dalam kacamata pemerintah (perusahaan), cara lain untuk memahami ruang ini adalah ruang yang “diberikan” kepada elite (baik itu birokrat, ahli atau

Universitas Sumatera Utara 36

wakil-wakil terpilih) yang membuat keputusan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat (buruh), tanpa harus perlu lebih luas untuk melakukan konsultasi dan adanya partisipasi masyarakat.

Kedua, ruang dimana masyarakat “diundang” (invited) yaitu masyarakat diundang sebagai upaya memperluas partisipan dengan pemerintah. Ruang

“diundang” ini mungkin diatur sedemikian rupa dan kegiatan tersebut dilembagakan sebagai bentuk konsultasi.

Ketiga, diklaim atau menciptakan ruang (claim). Akhirnya, ada ruang yang diklaim oleh aktor yang tidak kuat tetapi melawan pemegang kekuasaan, atau ruang tersebut dibuat lebih mandiri oleh masyarakat. Ada yang menyatakan bahwa “ruang ketiga” ini dimana aktor sosial menolak ruang hegemonik dan menciptakan ruang untuk sendiri. Ruang ini berkisar dari yang diciptakan oleh gerakan sosial dan forum warga, orang bukan hanya berkumpul tetapi untuk berdebat, berdiskusi dan menolak.

Bentuk kekuasaan dimanifestasikan untuk mempengaruhi kebijakan menurut Veneklasen dan Miller (dalam Gaventa, 2006:29) terbagi atas: Pertama, kekuatan yang terlihat (visible power): pengambilan keputusan yang terlihat.

Tingkat ini meliputi aspek-aspek terlihat dan didefiniskan sebagai kekuatan politik. Baik itu dalam hal aturan formal, struktur, pemerintah, lembaga dan prosedur pengambilan keputusan. Strategi yang menargetkan tingkat ini adalah mencoba mengubah “siapa, bagaimana, dan apa” dari pembuatan kebijakan sehingga proses kebijakan sehingga proses kebijakan yang terjadi lebih demokratis dan akuntabel, dan melayani kebutuhan dan hak-hak masyarakat.

Universitas Sumatera Utara 37

Kedua, kekuatan yang tersembunyi (hidden power): setting oleh agenda politik. Orang kuat tertentu dan lembaga menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan siapa yang mengambil keputusan dan apa yang didapatkan dari sebuah agenda. Dinamika ini beroperasi pada berbagai tingkatan untuk mengucilkan dan mendevaluasi representasi dari kelompok yang tidak kuat.

Strategi advokasi pemberdayaan menjadi fokus pada penguatan organisasi dan gerakan masyarakat miskin agar dapat membangun kekuatan banyak kolektif dan mencetak aktor pemimpin baru untuk mempengaruhi cara-cara berbentuk agenda politik dan meningkatkan visibilitas dan legitimasi pada masalah, suara dan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, kekuatan tak terlihat (invisibel power): dari tiga dimensi kekuatan, hal ini yang paling terdalam dan tidak terlihat. Kekuatan tak terlihat tersebut mampu membentuk psikologis dan ideologis batas partisipan. Masalah yang berpengaruh dan isu-isu yang tidak dibicarakan di meja pengambilan keputusan, aktor yang terlibat bukanlah sebagai pelaku asli. Cara ini mencoba mempengaruhi bagaimana individu berpikir dan menerima status quo.

Kerangka teoritis dalam kesatuan struktur dan agen dalam pemikiran

Giddens mempunyai unsur kekuasaan dialektis antara majikan dan buruh dalam kapasitas yang berbeda. Buruh sebagai objek tertindas (eksploitasi) mengatur strategis resistensi terhadap subjek yang menindas (majikan). Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa buruh (agen) mempunyai resistensi dan dielaborasi dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi Veneklaten, Miller, dan Gaventa membagi tahapan kekuasaan itu mulai dari power with, power within, power to, dan power over, kemudian dimanifestasikan dalam kebijakan ruang partisipan dalam ruang

Universitas Sumatera Utara 38

terbuka, diundang, dan diklaim, akhirnya kekuasaan (resistensi) itu diungkapkan dalam bentuk kekuasaan yang terlihat, tersembunyi, dan tidak terlihat.

2.3. Kerangka Berpikir

Konteks kajian penelitian eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan antara struktur dan agen, dalam beberapa kasus ditemukan bahwa dalam sebuah perkebunan atau perusahaan mempunyai aktor- aktor yang mempengaruhi struktur. Buruh sebagai kelas subordinat teralienasi, bahkan menjadi objek eksploitasi dalam struktur tersebut. Buruh sebagai obyek tertindas mengadakan resistensi kepada obyek yang pelaku dalam berbagai manifestasi yang terselubung. Eksploitasi dan resistensi buruh dalam hubungan kekuasaan antara struktur dan agen dibagi sebagai berikut.

Pertama, pemikiran Giddens dan Scott, merupakan kesatuan proses kekuasaan dalam sebuah sistem dominasi kelompok terhadap kelompok yang lain.

Giddens melihat strukur dan agen sebagai kesatuan kekuasaan dialektis dalam praktik sosial. Pada kajian ini buruh dan perusahaan, kontraktor dan kepala rombongan bertranformatif dalam kekuasaan berdasarkan kapasitas masing- masing aktor. Scott mendeskripsikan kekuatan atau kekuasaan itu tampil dalam bentuk resistensi sehari-hari dalam berbagai wujud.

Bagi buruh yang menurut batasannya, bekerja dalam struktur yang tidak menguntungkan dan rentan terhadap penindasan, bentuk-bentuk perjuangan sehari-hari itu mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia.

Kebanyakan bentuk-bentuk perjuangan ini menghentikan aksinya jauh sebelum seluruh tuntutan terpenuhi. Semua itu hanya membutuhkan koordinasi atau perencanaan yang sedikit atau tidak sama sekali; seringkali bentuk menolong diri

Universitas Sumatera Utara 39

pribadi; dan secara tipikal menghindari tiap konfrontasi yang bagaimanapun dengan penguasa atau norma-norma elit (Scott, 1993:271).

Kedua, struktur kekuasaan dalam interaksi sosial tidak lagi melalui penindasan, tetapi melalui penyesuaian norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi sebagai filter untuk mengawasi pelaku tindakan terhadap struktur yang telah ada, dalam hal ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan. Giddens (Turner, 2003:972), memberikan pengawasan (kontrol) terhadap struktur melalui dialektika antara buruh dan majikan (perusahaan, kontraktor dan kepala rombongan). Scott mengelaborasi kekuasaan kaum tertindas dalam bentuk perlawanan sehari-hari.

Ketiga, struktur hubungan kekuasaan buruh dengan majikan (perusahaan, konraktor, dan kepala rombongan) dilihat sebagai hubungan pelaku yang ditransformasikan struktur. Giddens mengarahkan untuk mencermati dan mengkiritisi produksi-produksi yang dihasilkan oknum (aktor) baik itu perusahaan, kontraktor dan kepala rombongan dalam kaitannya dengan hak-hak buruh.

Universitas Sumatera Utara 40

Bagan 2.1. Kerangka Pemikiran

Kondisi- kondisi pendukung praktek Sejarah Perburuhan di eksploitasi Perusahaan  Diskriminasi Indonesia: jaminan sosial  Buruh Masa Kolonial  Upah dibawah Eksploitasi dan  Buruh Orde Lama Struktur UMK Kontraktor resistensi buruh  Buruh Orde Baru hubungan  Pekerja anak kekuasaan migran Nias dalam  Buruh Era Reformasi  Minimnya dalam hubungan kekuasaan Kajian Teoritis: perlindungan perusahaan struktur dan agen  Struktur-Agen Kepala buruh perkebunan  Resistensi sehari-hari rombongan perempuan  Tingkat Resistensi Buruh kesejahteraan

sehari-hari memprihatinkan buruh migran Nias

Universitas Sumatera Utara BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab III akan dibahas mengenai metodologi penelitian yang digunakan, terutama metode penelitian kualitatif. Selanjutnya akan dibahas tentang lokasi penelitian dan alasan pemilihan sebagai satu kesatuan pendorong penelitian menganalisis kasus eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias di

Pelalawan. Adapun dua sumber data penelitian yang akan digunakan: data primer dengan menggunakan penelitian kualitatif dan data sekunder dengan menggunakan data kuantitatif sebagai pendukung data kualitatif. Peneliti juga menentukan beberapa informan yang mengetahui dan memenuhi kriteria sebagai informan. Data-data hasil penelitian akan dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode analisis sosial Hermeneutik sebagai analisis yang cukup akurat. Akhirnya pada sub bagian terakhir, peneliti memaparkan kelemahan dalam proses penelitian.

3.1. Desain Penelitian

Penelitian eksploitasi dan resistensi Buruh Migran Nias dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen di Pelalawan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (2013), penelitian kualitatif merupakan kajian yang melibatkan pendekatan interpretif naturalistik dengan mempelajari fenomena yang ada dan mencoba untuk memahami dan menafsirkan. Selain itu menurut Creswell (2003:198), penelitian kualitatif merupakan proses penelitian berdasarkan metodologi penelitian tertentu untuk menyelidiki masalah sosial atau masalah manusia, dimana peneliti membangun gambaran yang kompleks dan

41

Universitas Sumatera Utara 42

bersifat holistik dengan menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi yang alamiah (natural).

Penggunaan metode ini sangatlah penting karena kerangka pemikiran struktur dan agen dalam praktik sosial buruh migran merupakan analisis pada tingkat mikro, dengan analisis tingkat makro yang berupa fenomena struktur terhadap agen dalam hubungan dialektik. Metode kualitatif membantu peneliti untuk menemukan dan menganalisis pertanyaan ketiga rumusan masalah, yaitu kondisi-kondisi yang mendukung hubungan kekuasaan antara struktur dan agen dalam praktek eksploitasi buruh migran Nias, hubungan kekuasaan perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan terhadap buruh Migran Nias, serta resistensi sehari-hari buruh migran Nias dalam menghadapi eksploitasi di Perusahaan

Perkebunan PT RAPP Pelalawan Riau.

Desain penelitian eksplanatoris membantu peneliti untuk mendapatkan kondisi-kondisi yang mendukung eksploitasi buruh, hubungan kekuasaan antara perusahaan, kontraktor, kepala rombongan, dan buruh, serta resistensi kaum buruh menghadapi eksploitasi di perusahaan PT RAPP dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipan. Selain itu peneliti menggunakan kuesioner untuk melengkapi data-data situasi sosial di rumah dan tempat kerja disamping menjaring kasus eksploitasi dan bentuk resistensi sehari-hari yang dilakukan selama ini oleh buruh yang mengacu pada peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang obyektif, peneliti menggunakan penelitian lapangan semi etnografi supaya peneliti dapat menggambarkan kehidupan dan perilaku buruh migran Nias tetapi juga mencoba untuk menyimpulkan arti dari perilaku. Tujuan utama dari etnografi adalah beralih dari

Universitas Sumatera Utara 43

apa yang dapat dengan mudah kita amati secara eksternal kepada apa yang benar- benar dirasakan dan berarti secara internal bagi orang yang kita amati (Neuman,

2013:465).

3.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Pemilihan

Penelitian eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dilakukan di Estate

Pelalawan Perusahaan Perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten

Pelalawan Provinsi Riau. Adapun lokasi-lokasi penelitian: buruh harian lepas migran Nias lokasi pembibitan Akasia Pelalawan Centre Nurseri (PCN), Barak

Sektor Pelalawan, Barak TPK 5, Camp Moving (tenda biru) TPK Madukoro, TPK

18, dan TPK 17 dan Camp Satelit Klinik Kesehatan. Peneliti juga mengadakan penelitian terhadap buruh harian lepas Kerinci Centre Nurseri (KCN), mantan buruh di nurseri TPK 5,5, Sektor Pelalawan di Barak Aceh1 dan rumah-rumah sekitar lokasi perkebunan. Selanjutnya, peneliti juga mengkonfirmasi data buruh di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan, khususnya informan Windo (bidang pengawas tenaga kerja) dan informan Swandi (bidang hubungan masyarakat dan industri).

Penelitian buruh di Pelalawan Riau pada dasarnya merupakan suatu keprihatinan peneliti mengenai berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh buruh migran Nias di tempat perantauan. Pemilihan lokasi penelitian pada awalnya, direncanakan di Berastagi, Kabupaten Karo tentang yang sama, buruh harian lepas

(aron) masyarakat Nias, namun setelah peneliti mempertimbangan dengan tingkat laporan hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Purwanto, maka

1 Barak Aceh merupakan nama barak (tempat tinggal memanjang) yang dimiliki oleh orang dari etnis Aceh, sehingga sering disebut sebagai barak Aceh. Barak ini merunjuk pada pemilik barak itu sendiri, yaitu orang Aceh, maka sering disebut sebagai barak Aceh.

Universitas Sumatera Utara 44

peneliti memutuskan untuk memilih di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau sebagai lokasi penelitian.

Pemilihan lokasi penelitian buruh Perusahaan perkebunan PT. Riau

Andalan Pulp and Paper Estate Pelalawan sebagai berikut: Pertama, peneliti terdorong untuk melakukan kajian buruh migran Nias dari perspektif analisis strukturasi dalam kaitanya dengan kekuasaan. Artinya, struktur rekruitmen ketenagakerjaan tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh UU

Ketenagakerjaan dan berakibat pada upah. Struktur tersebut tanpa disadari para buruh teralienasi dalam dunia yang berujung pada ekploitasi eksistensi manusia itu sendiri.

Ketertarikan untuk memilih lokasi penelitian di Kabupaten Pelalawan semakin kuat, ketika peneliti membaca hasil penelitian kajian Antropologi

Universitas Indonesia Oleh Semiarto Aji Purwanto dan kawan-kawan dengan judul “Asesmen Pendidikan dan Kajian Komuniti di Riau Program Pelita

Pendidikan, Yayasan Tanoto”. Peneliti membaca satu halaman demi halaman untuk menemukan masalah yang paling urgen untuk diteliti. Memang fokus penelitian tersebut pada respon keluarga buruh migran Nias terhadap Program

Pelita Pendidikan, Yayasan Tanoto yang masih minim. Peneliti mulai merefleksikan akar masalah, mengapa respon migran Nias masih kurang?

Alasannya, migran Nias terbelit dalam struktur dinamika kelompok kerja pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 58-66 tentang

Ketenagakerjaan. Jenis pekerjaan termasuk penyediaan tenaga kerja semuanya diserahkan pada kontraktor-kontraktor supplier tenaga kerja.

Universitas Sumatera Utara 45

Kedua, penelitian mengenai buruh migran sebenarnya sudah banyak dilakukan khususnya diberbagai tempat di Indonesia. Misalnya pendidikan anak, pendidikan anak pekerja/buruh, skema bantuan dan komite sekolah, diskriminasi dan eksploitasi kaum buruh, buruh perkebunan di Sumatera Timur sebuah tinjauan sejarah, buruh, serikat, dan politik, upah buruh di Indonesia dan lain sebagainya. Namun ulasan lebih mendalam, mengapa dan bagaimana kondisi itu dimungkinkan, justru tidak terlalu diperhatikan. Dengan demikian, pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Pelalawan sangatlah tepat mengingat sistem yang terstruktur sering melenceng dari ketentuan yang berlaku.

Ketiga, studi tentang Nias, terutama migrasi yang bekerja di sektor informal di kota Medan sudah pernah dilakukan oleh peneliti Simanihuruk. Akan tetapi penelitian tersebut masih sebatas adaptasi migran Nias dalam konteks perkembangan kota di Indonesia. Justru peneliti memahami bahwa buruh di

Pelalawan Riau melalui sistem rekrutmen yang dilakukan perusahaan secara implisit dipahami sebagai praktek alienasi yang pernah dikemukakan oleh Karl

Marx. Penelitian terdahulu telah memulai mengungkapkan kondisi buruh itu lewat dinamika kerja antara perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan dengan berbagai siasat untuk mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, rahasia itu masih terselubung, dan itu akan disingkapkan dalam penelitian ini.

Keempat, menurut keterangan dari para keluarga peneliti yang pernah dan masih tinggal di Pelalawan bahwa para buruh belum mendapatkan jaminan sosial dan kenaikan upah selama sembilan tahun. Dalam wawancara dengan informan mengakui bahwa PT. RAPP banyak sekali praktek penipuan, diskriminasi antara buruh dan kepala rombongan. Selain kondisi geografis yang sulit dijangkau, para

Universitas Sumatera Utara 46

buruh juga tinggal di camp moving (tenda biru) yang masing-masing membawa keluarga dan anak-anak yang sebenarnya dilarang oleh perusahaan.

Kelima, buruh PT. RAPP Pelalawan sebagian besar adalah orang Nias, sehingga tidak terlalu sukar bagi peneliti untuk mendapatkan data-data yang diperlukan. Begitu juga tempat tinggal selama studi akan berlangsung, diberikan kemudahan oleh buruh migran Nias yang kebetulan masih sekeluarga dengan peneliti, sehingga akan dengan leluasan mengadakan wawancara lebih mendalam tentang situasi sosial yang dialami.

3.3. Sumber Data Penelitian

Penelitian eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias menggunakan dua sumber data penelitian. Kedua sumber data penelitian ini akan saling menunjang data penelitian untuk mendapatkan data yang valid, komprehensif, dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder dalam penelitian buruh migran Nias.

3.3.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ekploitasi dan resistensi buruh migran Nias adalah data kualitatif melalui metode wawancara dan observasi partisipan di lokasi tempat tinggal dan kerja para buruh migran Nias. Data ini menjadi data paling utama dalam menginterpretasi serta menganalisis data hasil penelitian.

Tujuannya ialah menemukan gambaran kehidupan dan perilaku buruh migran

Nias.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kuesioner yang disebarkan kepada 80 responden migran Nias, baik sebagai buruh harian lepas maupun

Universitas Sumatera Utara 47

sebagai buruh borongan. Data ini sekaligus menjadi bahan penunjang untuk temuan data wawancara dan observasi partisipan yang dicatat dalam bentuk etnografi. Asumsi peneliti bahwa informasi yang didapat melalui wawancara dan observasi partisipan kadang kurang lengkap, maka untuk melengkapi data tersebut, menggunakan data kuesioner.

3.4. Proses Jalannya Penelitian

Proses penelitian buruh migran Nias yang berada dibawah sistem outsourcing di bagian penanaman perkebunan PT. RAPP Pelalawan merupakan suatu proses yang panjang dengan berbagai kesulitan. Tantangan pertama adalah pengurusan ijin penelitian yang sangat berbelit dari pihak perusahaan. Berhadapan dengan Humas PT. RAPP, peneliti bersama saudara Yusman ke kantor Hinder

Ordinatie (HO) Blok 6 (enam) bagian humas untuk pengurusan ijin penelitian.

Ruangan itu ada seorang satpam, langsung meminta informasi nama staf humas yang mengurus ijin penelitian dari kampus. Satpam itu mengatakan bahwa staf humas PT. RAPP tidak masuk kantor pada hari tersebut. Petugas humas masuk kantor hanya pada hari Senin dan Jumat, karena sehari-hari informan bertugas sebagai dosen di Universitas Riau (UNRI). Satpam itu berpesan bahwa biasanya pihak humas sulit memberikan ijin penelitian, apalagi kalau judul penelitian itu tidak mendukung pihak PT. RAPP Pelalawan Riau.

Langkah selanjunya, setelah keluar dari ruangan, langsung menghubungi salah satu direktur perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL), Porsea-Sumatera

Utara melalui telepon seluler. Sekedar dipahami bahwa direktur PT. TPL pernah memberi materi kuliah tentang praktek penerapan hubungan masyarakat dan perusahaan di hadapan mahasiswa Magister Sosiologi USU dari aspek human

Universitas Sumatera Utara 48

development. Ketika itu, peneliti langsung sharing rencana penelitian di PT.

RAPP Pelalawan Riau. Ia sangat mendukung dan bahkan ia siap membantu proses perijinan di lokasi penelitian. Beberapa menit kemudian direktur perusahaan tersebut via telepon merekomendasikan untuk menghubungi staf yang kebetulan dikenal, yaitu Matius, namun ketika peneliti menghubungi, informan mengaku bahwa ia bukan humas bagian penelitian kampus. Humas bagian penelitian PT.

RAPP bernama Ahmad dan ketika itu, informan mengirim nomor kontak person

Ahmad. Akhirnya, peneliti menghubungi staf bagian humas penelitian kampus tersebut dengan penuh harapan agar proses perijinan berjalan dengan baik.

Peneliti mengadakan percakapan kepada humas penelitian melalui telepon.

Awal percakapan, peneliti memberitahu identitas dan maksud dan tujuan karena staf humas tersebut masih barada Pekan Baru. Informan (staf humas) langsung bertanya tentang judul penelitian, dan peneliti langsung menyebutkan judul penelitian: eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen di Pelalawan Riau. Informan langsung memberikan sanggahan dan pembelaan bahwa tidak betul ada kasus eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias. “Itu tidak benar, jangan bapak membuat kontrak produktif terhadap judul penelitian itu. Judul penelitian itu tidak bisa kami berikan, karena itu sangat bertendensi kontrak produktif”. Peneliti langsung menjawab: “Itu khan asumsi peneliti, bisa saja peneliti salah, makanya peneliti harus turun ke lapangan, apakah memang benar ada atau tidak, kasus eksploitasi itu”. Informan langsung mematikan hp dan mengatakan lagi sibuk. Peneliti kemudian mencoba menghubungi beberapa kali, namun tidak ada tanggapan sama sekali.

Universitas Sumatera Utara 49

Penelitian ini menghadapi kendala dalam pengurusan ijin penelitian, sekaligus mendorong peneliti untuk ingin tahu. Peneliti menghubungi salah satu direksi perusahaan lain sekali lagi dan memberitahukan kesulitan dari pihak humas PT. RAPP Pelalawan Riau. Direksi tersebut kemudian merekomendasikan untuk menjumpai putra Nias, bapak Zalukhu, anggota DPRD. Peneliti meminta kesediaan Yusman mengantar ke kantor DPRD Kabupaten Pelalawan. Sesampai di lokasi kantor DPRD, Yusman berkata, “sepengetahuan saya, bahwa tidak ada anggota DPRD marga Zalukhu, jangan-jangan itu bapak Hia putra Nias yang juga mantan anggota DPRD Kabupaten Pelalawan satu tahun sebelumnya”.

Beberapa saat kemudian, Yusman memberikan kontak person nomor HP

Sozifao Hia, alias Ama Roki Hia dan langsung peneliti SMS memberitahukan identitas, maksud dan tujuan. Selang beberapa menit, peneliti menghubungi dan langsung meminta kesediaan bertemu dengan salah satu mantan anggota DPRD, asal Nias tersebut. Langsung diantar ke rumah mantan anggota DPRD itu dengan sepeda motor ke lokasi perumahan berdekatan dengan Rumah Sakit Umum

Efarina, Pangkalan Kerinci dan disambut baik dan menyatakan dukungan terhadap penelitian buruh migran Nias.

Sozifao Hia merupakan mantan DPRD Kabupaten Pelalawan, Provinsi

Riau Periode 2009-2014. Ia pernah menjadi kepala sekolah di SMA Global,

Yayasan di bawah naungan PT. RAPP dekat HO. Ia juga pernah menjadi seksi humas di PT. RAPP dan Alumni Magister Sosiologi UNRI. Beberapa tahun kemudian, ia sering berlawanan dengan pihak PT. RAPP demi memperjuangkan orang Nias dan berpesan agar obyektif dalam penelitian ini. Di sela pembicaraan dengan informan, peneliti mendapatkan kiriman pesan via SMS dari Ahmad untuk

Universitas Sumatera Utara 50

memberitahu bahwa ia berkenan ditemuin di kantor lokasi HO blok 6 (enam) pada hari berikutnya. Informan menegaskan bahwa ia sangat membantu dalam proses perijinan ini. Ia berjanji bersedia mendampingi peneliti untuk menjumpai pihak humas PT. RAPP apabila mendapatkan kesulitan dari pihak perusahaan.

Beberapa hari kemudian, peneliti langsung menuju Lokasi HO kantor

Humas menjumpai Ahmad, humas PT. RAPP, tetapi dia baru tiba setengah dua belas siang di kantor dengan alasan sibuk. Ada hal menarik yang bisa diamati selama menunggu staf humas ialah pembicaraan mengutus beberapa orang yang mempunyai kompetensi bernegosiasi dengan camat dekat PT. RAPP Pelalawan

Riau. Pembicaraan itu mengandung unsur negosiasi relasi kekuasaan dari pihak- pihak yang berkaitan dengan lingkungan perusahaan.

Ketika tiba staf humas menyuruh untuk masuk ke dalam sebuah ruangan untuk membicarakan ijin penelitian. Dalam ruangan tersebut kami membicarakan perijinan penelitian dan beginilah hasil percakapan peneliti dengan Ahmad, humas penelitian kampus PT. RAPP Pelalawan Riau sebagai berikut.

“...sebenarnya, kita (PT. RAPP) tidak berhubungan langsung dengan para buruh migran Nias, tetapi melalui kontraktor. Seharusnya yang pas adalah para kontraktor. Kita hanya terima pekerjaan dan kita tidak mau banyak tahu tentang itu. Coba pastikan kontraktor mana yang diteliti, baru kita suratin. Tentang judul eksploitasi dan resistensi. Masalah eksploitasi itu bahasa jelek. Maksud saya apapun tujuannya nanti, tapi intinya bahasanya dirubah. Dan saya yakin direktur tidak ada memberikan tolerir tentang judul ini. Tentang migran tidak pas, karena orang Nias itu khan orang Indonesia, bukan migran. Imigran baru dikatakan dari luar negeri, misalnya Timor Leste. Coba buka google. Bahasanya harus jelas. Maksudnya, saya harus punya argumen untuk direksi. Dirubah bahasa eksploitasi, resistensi, dan migran itu. Saran saya sih ya. Dirubah suratnya dan proposalnya difoto copy. Saya yakin ini tidak diterima. Bagus kita ngomong keras. Cari padanan bahasa yang lebih sor, ini khan bahasa jelek”.

Universitas Sumatera Utara 51

Keterangan percakapan antara peneliti dan informan humas perusahaan merupakan suatu tawaran persyaratan yang harus dipenuhi oleh peneliti. Ada dua hal menarik yang bisa ditarik dalam percakapan tersebut, adalah pertama pihak perusahaan hendak menekankan bahwa perusahaan dan kontraktor penyalur tenaga kerja mempunyai batas-batas tertentu. Perusahaan hendak menekankan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kontraktor merupakan tanggung jawab kontraktor itu sendiri. Aspek kedua bahwa pihak perusahaan, dalam hal ini staf humas perusahaan mempunyai rahasia-rahasia yang harus djaga dari mitra para peneliti. Percakapan peneliti dan informan tentang surat ijin penelitian sebagai berikut

“...ngak apa-apa yang penting selesaikan dulu. Kapan anda siap, saya coba bantu. Pertama: pastikan siapa kontraktornya dan dimana, dan kita minta suratnya. Pada prinsipnya kita tidak keberatan. Apakah saya sudah bisa ke lapangan pak sambil menunggu perubahan surat ini? Silahkan. Tolong inilah. Judul proposal dan surat ini diubah dengan judul yang bagus. Kalau sudah selesai, nanti saya akan bantu...”.

Pertemuan dengan seksi humas penelitian kampus memberikan kesan tersendiri. Asumsi peneliti bahwa pihak perusahaan menyembunyikan sesuatu tentang kehidupan buruh migran di Nias. Penolakan atas judul eksploitasi dan resistensi memberikan sinyal bahwa perusahaan telah melakukan pelanggaran aturan-aturan dalam ketenagaan kerja. Itu suatu kesimpulan awal yang muncul dalam benak penelitian. Singkatnya, biarlah realitas menyatakan diri apa adanya seiring waktu penelitian di lokasi perusahaan tersebut. Beberapa saat kemudian, peneliti menelepon pihak kampus Magister Sosiologi USU, untuk membicarakan mengenai perubahan judul penelitian asal usul pihak perusahaan, sekaligus untuk memuluskan ijin penelitian dari pihak perusahaan perkebunan PT. RAPP

Universitas Sumatera Utara 52

Pelalawan Riau. Akhirnya, peneliti diberikan kelonggaran oleh pihak kampus, untuk mengurus ijin penelitian yang baru dengan mengubah judul dan proposal.

Perubahan judul eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen di Kabupaten Pelalawan Riau dan proposal versi baru merupakan usulan pihak perusahaan PT. RAPP Pelalawan Riau.

Perubahan judul itu bagi peneliti semata-mata memuluskan ijin penelitian, tetapi peneliti tetap berkomitmen dengan judul awal penelitian, yaitu eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias. Menurut peneliti, data-data penelitian sangatlah penting, surat adalah sebagai kelengkapan dokumentasi, tetapi toh akhirnya peneliti mengurus di kantor dinas Tenaga Kerja dan transmigrasi Kabupaten

Pelalawan Riau.

Beberapa hari kemudian, peneliti kembali menemui Ahmad, humas penelitian kampus PT. RAPP untuk pengurusan ijin penelitian. Pertemuan tersebut berlangsung sekitar setengah jam. Pertama, peneliti menyampaikan proposal penelitian dengan judul strategi bertahan hidup para pekerja Nias: suatu kajian sosiologis dan surat permohonan ijin penelitian terbaru atas permintaan pihak RAPP. Perubahan judul dan surat permohonan ijin penelitian disambut dengan baik, bahkan secara tegas dikatakan oleh informan, “Inilah yang kami harapkan”. Setelah itu, peneliti merasa curiga dalam arahan informan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak menolak penelitian saudara. “Ada pun yang kami harapkan dalam penelitian itu, yaitu peneliti akan kami bantu dan peneliti juga membantu kami. Artinya, penelitian ini jangan sampai ada kontrak produktif.

Bisa-bisa orang Nias akan eksodus. Hanya suku Nias yang bisa bertahan di bagian penanaman ini dan mereka cukup kuat. Sebaliknya juga peneliti juga bisa

Universitas Sumatera Utara 53

secepatnya menyelesaikan tesis:. Akhir pertemuan itu, informan berpesan, “kita saling menjaga dan saling menguntungkan”.

Satu hal yang masih terbersik di benak peneliti ketika Ahmad menegaskan kembali: “Penelitian ini win-win solution lah, jangan sampai pekerja Nias eksodus”. Perusahaan sangat berharap dalam penelitian saudara tetap menjaga situasi, jangan sampai membuat kontrak produktif. Kami juga berharap supaya orang Nias diberikan pemahaman agar mereka mau bekerjasama dengan pihak perusahaan. Informan melanjutkan pembicaraan tentang lokasi penelitian. Peneliti mengusulkan perusahaan suplier tenaga kerja PT. Talabu, PT. Albina, PT. Agung

Artumoro, PT. Denis, PT. Famomaha, dan kontraktor di nurseri-nurseri yang ada di Sektor Pelalawan. Menurut Ahmad, humas PT. RAPP bahwa nama-nama kontraktor ini akan diberitahukan melalui surat kesediaan bersedia menerima peneliti. Peneliti juga meminta kepada informan kartu nama agar memudahkan keluar masuk dari pintu pengawasan. Ahmad meminta foto kopi Kartu Tanda

Mahasiswa (KTM) dan 2 (dua) lembar pasphoto, dan beberapa saat kemudian peneliti langsung menyerahkan kepada informan dan menjanjikan akan mengeluarkan kartu nama beberapa hari kemudian.

Berdasarkan pertemuan kedua pihak humas penelitian kampus perusahaan

PT. Riau Andalan Pulp and Paper, peneliti menduga bahwa permintaan perubahan judul dan proposal penelitian dari eksploitasi dan resistensi Buruh Migran Nias menjadi strategi bertahan Hidup Pekerja Nias: suatu kajian sosiologis merupakan suatu kecurigaan peneliti akan realitas lapangan penelitian. Asumsi peneliti bahwa pihak perusahaan berusaha menutupi segala penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan para buruh migran Nias. Selain itu, arahan pra penelitian pada hari ini

Universitas Sumatera Utara 54

semakin meneguhkan kecurigaan peneliti bahwa ada yang disembunyikan perusahaan terhadap situasi tenaga kerja di bagian plantation, yang dominan dikuasai oleh para kontraktor asal Nias. Arahan penelitian “win-win solution” antara peneliti dan perusahaan adalah tawaran diplomatis yang tersembunyi dari agen-agen pelaku eksploitasi. Singkatnya, perusahaan aman dan peneliti bisa menyelesaikan tesis tepat waktu, namun peneliti tetap komit bahwa fakta kehidupan buruh di lapangan harus dibongkar.

Berdasarkan perjanjian tentang surat ijin penelitian dengan pihak humas penelitian PT. RAPP peneliti memutuskan untuk memastikan kepastian itu.

Peneliti melalui SMS diberitahu bahwa informan tidak bisa dijumpai pada hari itu dengan alasan ada urusan mendadak di luar kota. Beberapa hari kemudian, peneliti mengirim SMS kepada informan, seksi humas PT. RAPP untuk bertemu di kantor, namun SMS tidak dibalas dan tidak diangkat. Akhirnya peneliti memutuskan langsung menghadap ke kantor, ternyata informan itu di lantai tiga.

Peneliti langsung menuju lantai 3 ruang rapat, dan betapa terkejut informan karena memang tidak ada ijin dari beliau. Staf humas penelitian kampus

PT. RAPP itu sedang duduk di ruang pertemuan sendirian, ketika peneliti tiba informan terkejut dan peneliti langsung meminta surat keterangan ijin penelitian dan kartu nama yang sebelumnya sudah dijanjikan. Informan mengatakan bahwa ia tidak bisa menjanjikan hari ini, karena lagi sibuk ada presentation dari dokter- dokter pagi itu. Informan menyuruh peneliti untuk menunggu informasi berikut dan dengan kecewa, peneliti mengiakan alasan tersebut. Pukul 15.00 wib, peneliti mendapatkan pesan SMS dari Ahmad untuk pengurusan ijin penelitian. Peneliti langsung menuju kantor HO, dan langsung disuruh satpam menjumpai seorang

Universitas Sumatera Utara 55

ibu di ruangan lantai tiga. Peneliti betapa terkejut, ketika melihat surat perjanjian kerahasiaan perusahaan disodorkan kepada peneliti untuk ditanda tanganin.

Peneliti juga diminta foto kopi kartu mahasiswa dan pas photo. Peneliti diberikan dua lembar surat pernyataan jaminan kerahasiaan dan ditanda tangani di atas materai enam ribu dan diketahui oleh ketua Prodi Magister Sosiologi, baru dikeluarkan surat keterangan meneliti oleh PT. RAPP.

Peneliti meminta pendapat dari beberapa pihak, terutama ketua prodi

Magister Sosiologi Universitas Sumatera Utara dan Sozifao Hia tentang surat pernyataan perjanjian kerahasiaan. Akhirnya, peneliti memutuskan untuk tidak menyerahkan surat pernyataan tersebut mengingat surat itu bersifat mengikat.

Proses pengumpulan data penelitian hampir 70 persen sudah terkumpul, komperehensif, dan valid tentang buruh migran Nias. Alhasih, peneliti mengurus keterangan penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten Pelalawan.

Kendala dalam pengumpulan data penelitian dari pihak perusahaan berdampak pada penelitian lapangan di lokasi buruh bekerja. Sering kewalahan untuk melewati pos pengamanan sendirian yang cukup ketat. Apalagi peneliti tidak secara terang-terangan menunjukkan diri sebagai peneliti, karena belum ada surat pengantar secara tertulis dari pihak humas PT. RAPP. strategi melewati pos pengamanan sekuriti, berboncengan dengan para pengurus kontraktor yang cukup dikenal, seolah-olah menampilkan diri sebagai pengurus salah satu kontraktor suplier tenaga kerja di lokasi areal Perkebunan Estate Pelalawan.

Berbagai macam kendala dalam penelitian ini, terutama dari perusahaan pemberi kerja turut mempengaruhi penelitian lain. Memang disisi lain, peneliti

Universitas Sumatera Utara 56

sebagai putra Nias mendapatkan kemudahan dalam hal bahasa karena memang sebagian besar buruh tidak mampu berbahasa Indonesia dan melek huruf. Selain itu, peneliti menggunakan relasi keluarga untuk bisa masuk ke dalam areal perkebunan, tanpa ada kecurigaan dari pihak staf PT. RAPP. Justru kendala lain dalam peneliti ini adalah kecurigaan dan ketertutupan diri agen-agen suplier tenaga kerja

Penelitian buruh migran Nias di Pelalawan Riau merupakan studi kasus dengan penekanan analisis struktur atas agen dalam praktik sosial. Stuktur tersebut tercermin dalam sistem dinamika kerja yang terdiri dari perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan dalam hubungan agen dengan buruh migran

Nias. Oleh sebab itu dalam pengumpulan data bagi kepentingan analisis struktur buruh migran menggunakan tiga metode, yaitu metode observasi partisipan, wawancara, dan kuesioner. Menurut Small (2011:65), banyak penelitian menggunakan teknik wawancara, analisis dokumentasi, atau observasi partisipan untuk meinterpretasi data yang cukup luas.

3.5. Informan Penelitian

Penentuan informan dalam penelitian buruh migran Nias yang tersebar di lokasi PT RAPP menjadi kendala tersendiri bagi peneliti. Kesulitan untuk melakukan rapport dengan buruh dikarenakan jam kerja yang relatif sibuk. Belum lagi sifat tertutup para pihak perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan sebagai aktor pelaku struktur ketenagakerjaan. Begitupun pendekatan terhadap subyek buruh di bagian penanaman dan tinggal di moving camp berupa tenda biru yang setiap saat dapat dipindah mengikuti perpindahan lokasi kerja. Tentu harus bisa mengantisipasi situasi tersebut untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

Universitas Sumatera Utara 57

bias data dengan teknik penentuan informan yang tepat. Ada dua strategi penentuan informan penelitian dalam literatur disebut sampling purposive dan snowmball sampling (Sugiono, 2013:85; Martono, 2015:269; Tashakkori dan

Teddlie, 2010:123; Neuman, 2013:298-299).

Adapun dua kelompok informan dalam penelitian buruh migran Nias di perusahaan perkebunan PT. RAPP sebagai berikut. Informan Primer kelompok pertama adalah Buruh borongan migran Nias. Pertama, Gaurifa Larosa (nama anomim) adalah salah satu informan yang berasal dari Kabupaten Nias, Sumatera

Utara. Ia bekerja di perkebunan PT. RAPP melalui kepala rombongan dibawa kontraktor PT. Albina hampir tujuh tahun. Saat ini informan tersebut masih belum menikah dan tinggal di kamp TPK 1 Sektor Pelalawan. Informan mengaku bahwa hasil yang diperoleh setiap keluar aprahan belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi mengirim ke kampung halaman. Bahkan informan mengaku masih mempunyai utang kepada kepala rombongan sekitar Rp. 5 juta tempat ia bekerja untuk membiayai pengobatan ibunya ketika itu.

Kedua, Boni Mendrofa (nama anomim) merupakan buruh borongan yang berasal dari Kabupaten Nias. Informan mengaku bahwa ia memutuskan merantau karena faktor ekonomi di daerah asal dan informan mengaku bahwa sudah lama keluar dari Pulau Nias sekitar 10 tahun yang lalu, sementara di perkebunan PT.

RAPP sudah empat tahun. Pada awalnya, informan mengaku bekerja dibawah kepala rombongan sekaligus kontraktor PT. Ria Hati. Namun karena merasa tidak cocok dengan para tenaga kerja dan kontraktor, informan memutuskan pindah ke kontraktor PT. Agung Artumoro di lokasi kamp TPK Madukoro, Sektor

Pelalawan. Ketiga, Lukas Laia (nama anomim) merupakan buruh borongan dari

Universitas Sumatera Utara 58

Kabupaten Nias Selatan. Buruh ini mengaku sudah bekerja di Perkebunan PT.

RAPP selama 3 tahun dibawah kepala rombongan, kontraktor PT. Arisman.

Informan ini mengaku bahwa ia beserta kakaknya perempuan didatangkan ke perkebunan tersebut melalui jasa kepala rombongan dengan menanggung perongkosan dari daerah asal sampai ke perkebunan melalui sistem utang. Pada waktu itu, informan mengaku bahwa mereka tidak mendapatkan informasi tentang tempat tinggal di areal perkebunan. Informan mengaku bahwa sebelumnya mereka bekerja di lokasi Pulau Seraput yang sangat sulit dijangkau, tetapi pada saat penelitian ini berlangsung, informan sudah pindah ke kontraktor PT.

Artumoro, TPK 18,5 blok 14Q.

Keempat Erwin Telaumbanua (nama samaran) merupakan buruh borongan yang bekerja dibawah kontraktor PT. Join Karya Mandiri, TPK 17, len 11.

Informan mengaku bahwa ia sudah lama bekerja di PT. RAPP selama empat tahun, namun sebelumnya ia bergabung di kontraktor PT. Join Karya Mandiri, ia pernah bekerja disalah satu kontraktor sektor meranti. Informan mengaku pindah dari kontraktor itu karena tidak ada penghasilan, bahkan sampai berutang sekitar

Rp. 4 juta selama 2 tahun. Informan baru pindah dari kontraktor sebelumnya, karena utangnya ditembusi oleh kontraktor PT. Join Karya Mandiri. Kelima,

Fanolo Halawa merupakan buruh borongan dari Kabupaten Nias Selatan. Ia awalnya bekerja di kontraktor PT. Talabu, tetapi beberapa tahun kemudian ia memutuskan pindah ke kontraktor PT. Agung Artumoro di TPK 17, len 18 alasan penghasilan minim. Informan mengaku bahwa selama hampir lima tahun bekerja sampai saat ini penghasilan setiap bulan masih dibawah UMK, apalagi ketika

Universitas Sumatera Utara 59

masih bekerja di kontraktor PT. Talabu. Saat ini informan masih belum menikah dan sudah berumur 30 tahun.

Keenam, Charles Laoli merupakan buruh borongan dari Kabupaten Nias dibawah kepala rombongan, yaitu mertuanya sendiri di kontraktor PT. Albina lokasi TPK 18. Informan memutuskan bekerja di perkebunan PT. RAPP atas desakan mertuanya. Ia mengaku selama lima bulan bekerja disitu belum pernah gajian, bahkan utang semakin besar. Tindakan sewenang-wenang mertuanya laki- laki sering menjadi sorotan informan, bahkan ia sering mengkritik banyak jenis kerja yang tidak dihitung sebagai penghasilan. Informan juga mengakui bahwa tenaga kerja yang lain sering berantam, dan bahkan selama lima bulan ini sudah banyak anggota tenaga kerja yang terpaksa pindah ke kontraktor lain, karena belum ada pembayaran upah.

Ketujuh, Moni Ndruru merupakan salah satu buruh borongan dari

Kabupaten Nias Selatan. Ia mengaku sudah lama bekerja di perkebunan PT.

RAPP selama 5 tahun. Sebagai isteri salah satu kepala rombongan di kontraktor

PT. Agung Artumoro tidak mendapatkan perlakuan khusus dalam pengajian.

Informan mengaku bahwa kehidupan di perkebunan, apalagi yang tinggal di kamp sangatlah keras, selain menahan teriknya matahari pada siang hari, mereka juga terpaksa meminum air lahan gambut yang berwarnah merah. Kedelapan, Soja

Ndruru merupakan buruh borongan di kontraktor PT. Agung Artumoro, TPK 17

Sektor Pelalawan. Informan ini pernah menjadi buruh harian lepas bagian penyulingan air untuk keperluan air minum. Kesembilan Ama Iman Baene merupakan mantan buruh yang masih tinggal bersama anak-anaknya di lokasi perkebunan. Informan mengaku bahwa ia bekerja di perkebunan PT. RAPP

Universitas Sumatera Utara 60

pertama sekali di Pulau Serapu. Pengalaman bekerja di Pulau Serapu selama satu tahun memberi bukti kerasnya hidup sebagai buruh, apalagi umurnya sudah lanjut usia 60 tahun. Informan memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang dirasa masih kurang. Selama bekerja di Pulau Serapu, informan hanya dapat mengumpulkan uang selama setahun sekitar Rp. 5 juta. Pada saat wawancara berlangsung, informan tidak bekerja lagi di perkebunan tersebut, ia memilih menjadi tukang di salah satu lokasi perumahan dekat perkebunan Sektor

Pelalawan.

Kelompok kedua adalah buruh harian lepas (BHL) yang menjadi informan sebagai berikut. Pertama, Ina Arman Baene (nama anonim) adalah buruh harian lepas yang berasal dari Kabupaten Nias Selatan. Informan mengaku migrasi ke

Riau sudah 15 tahun, dan bekerja sendiri di perkebunan PT. RAPP sudah 7 tahun sebagai buruh harian lepas di Pelalawan Centre Nurseri (PCN), Sektor Pelalawan.

Ia merupakan tenaga kerja outsourcing dengan sistem harian mulai bekerja pukul

06.00-17.00 wib di kontraktor PT. Alam Permata Riau. Kedua, Ani Zalukhu merupakan buruh harian lepas perempuan yang sehari-hari bekerja di Centre

Nurseri Pelalawan. Informan mengaku sudah bekerja selama 7 tahun dengan dibawah kontraktor PT. Alam Permata Riau. Ketiga, Mareti Gulo adalah buruh harian lepas di Pelalawan Centre Nurseri (PCN) selama 13 tahun di bagian penyiraman. Informan ini mengaku bahwa ia dulu direkrut oleh kepala rombongan kontraktor PT. Bersatu Dalam Iman dan bekerja di bagian plantation selama 2 tahun. Ia memutuskan pindah ke nurseri karena selama dua tahun ia tidak mendapatkan pembayaran upah dari kontraktor tersebut. Informan ini

Universitas Sumatera Utara 61

berasal dari kabupaten Nias Barat bersama dengan satu keluarga di Barak Sektor

Pelalawan.

Keempat, Herni Zai merupakan buruh harian lepas perempuan yang sehari-hari bekerja di nurseri Pelalawan Centre Nurseri (PCN) Sektor Pelalawan dan tinggal di Barak Aceh. Pada awalnya buruh migran Nias dari Kabupaten Nias

Utara ini mengaku direkrut melalui jasa kepala rombongan dari kampung halaman dan langsung bekerja di Nurseri TPK 5,5 kontraktor PT. Deliveri Sektor

Pelalawan, tetapi karena upah kecil sehari-hari Rp. 40.000 akhirnya memutuskan pindah ke nurseri lain. Kelima, Otomosi Zega merupakan mantan buruh harian lepas di nurseri TPK 5,5 Sektor Pelalawan. Informan ini keluarga dari tempat kerja karena dipecat oleh kontraktor yang memperkerjakan mereka. Ia mengaku dipecat karena melaporkan tindakan kesewenangan para kontraktor kepada pihak maneger perusahaan PT. RAPP. Mereka dipecat tanpa melalui prosedur yang jelas antara kontraktor dan tenaga kerja. Selama bekerja hampir 2 tahun di Nurseri TPK

5,5 mereka menerima upah jauh dari apa yang diharapkan, bahkan sering sekali berutang. Keenam, Adina Zega adalah buruh perempuan migran Nias yang sehari- hari bekerja di Kerinci Centre Nurseri (KCN). Informan ini belum menikah (25 tahun) dan tinggal di Barak Aceh bersama dengan orangtuanya Otomosi Zega yang pernah dipecat di Nurseri. Ia menjadi tenaga kerja dibawah kontraktor PT.

Artapeda sebagai buruh harian lepas sekitar 3 bulan lalu, dan sebelumnya bekerja di Nurseri TPK 5,5 hampir 2 tahun.

Kelompok ketiga adalah kepala rombongan antara lain sebagai berikut.

Pertama, Jaya Buulolo (nama samaran) di PT. Albina kurang lebih tiga tahun dilokasi TPK Madukoro, Kopartemen 030. Kedua, Karmila Laia adalah kepala

Universitas Sumatera Utara 62

rombongan berjenis kelamin perempuan. Pada awalnya, ia sebagai anggota melalui kontraktor PT. Arisman, tetapi akhirnya ia memindahkan diri ke

Kontraktor PT. Agung Artumoro. Informan ini mengaku pindah karena pembayaran aprahan kepada tenaga kerja melalui kontraktor sering terlambat dan banyak potongan harga.

Kelompok keempat, pengurus kontraktor sebagai berikut. Pertama,

Onesman Telaumbanua adalah pengurus kontraktor di PT. Join Karya Mandiri. Ia diberikan kepercayaan oleh kontraktor untuk mengawasi dan memfasilitasi para tenaga kerja di areal TPK 17 Len 11 Sektor Pelalawan. Informan mengaku sudah bekerja di perkebunan PT. RAPP selama 15 tahun dari tenaga kerja biasa sampai menjadi pengurus kontraktor. Kedua, Yustin Laia merupakan mantan pengurus kontraktor PT. Sumber Usaha Baru yang telah banyak memberikan berkas-berkas yang digunakan oleh kontraktor. Selama 13 tahun bekerja di Perkebunan PT.

RAPP mulai dari anggota, kepala rombongan, dan bahkan menjadi pengurus kontraktor sudah dijalani. Informan mengaku berhenti dari pengurus kontraktor dan menjadi pengurus di salah satu gereja kristen karena bosan melihat kondisi buruh migran Nias yang tidak kunjung membaik. Ketiga, Monas Laia adalah pengurus kontraktor PT. Talabu yang sudah sukses. Informan ini mengaku sudah bekerja sebagai pengurus kontraktor hampir 11 tahun.

Kelompok kelima adalah kontraktor PT. Join Karya Mandiri di Barak TPK

5 bernama Nikodemus Telaumbanua dari kabupaten Nias Selatan. Ia mengaku bekerja di perkebunan PT. RAPP hampir 15 tahun dan mendirikan PT hampir 4 tahun lebih. Informan ini cukup hati-hati menjawab pertanyaan satu persatu,

Universitas Sumatera Utara 63

bahkan dengan nada emosi sering sekali terlontar dari mulut direktur sekaligus pendiri kontraktor ini.

Keenam, informan diluar tenaga kerja yang memberikan beberapa data berkaitan dengan tenaga kerja. Pertama, Dokter Ani (nama anomim) merupakan salah satu dokter yang ditugaskan oleh pihak perusahaan PT. RAPP di lokasi

Satelit, Sektor Pelalawan. Ia ditugaskan disalah satu klinik bersama satu orang perawat dan satu orang Bidan untuk melakukan medical cek up (tes kesehatan) kepada tenaga kerja yang baru dan juga para tenaga kerja yang sakit. Kedua,

Swandi adalah informan pendukung dari Kepala Bidang Hubungan Industri

Disnakertrans Kabupaten Pelalawan dan Windo sebagai kepala Bidang pengawasan tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan. Ketiga, Ojis

(nama Anomim) merupakan penatua gereja sekaligus tenaga kerja di Speadboat transportasi kanal (sungai). Informan dipilih sebagai narasumber karena ia terlibat langsung sebagai salah satu petugas pengurus pemakaman buruh yang meninggal di perkebunan tersebut, khususnya pekerja Nias. Keempat, Ahmad (nama samaran) adalah staf humas penelitian kampus PT. RAPP Kabupaten Pelalawan untuk memberikan ijin penelitian.

Ada beberapa kriteria informan yang turut memberikan data dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, peneliti terlebih dahulu harus mempertimbangkan informan yang akan diteliti. Adapun informan penelitian ini adalah buruh outsourcing (buruh borongan dan buruh harian lepas), kepala rombongan, pengurus kontraktor, kontraktor, dan staf perusahaan PT. RAPP.

Pertama, informan buruh outsourcing (buruh borongan dan buruh harian lepas) memiliki karakteristik sudah bekerja menjadi buruh minimal 1 (satu) tahun dan

Universitas Sumatera Utara 64

mengetahui secara mendetail interaksi sosial dalam realitas sebagai buruh. Selain itu, informan buruh harian lepas dan buruh borongan mempunyai kebebasan untuk memberikan informan yang akurat, tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Kedua, informan kepala rombongan minimal 3 tahun menjadi KR di lokasi perusahaan perkebunan PT. RAPP dan mempunyai kebebasan untuk memberikan informasi valid dalam penelitian. Ketiga, pengurus kontraktor minimal 11 tahun tinggal bekerja di PT. RAPP dan menjadi pengurus kontraktor lebih tiga tahun.

Keempat, kontraktor (direktur utama kontraktor), yang sudah bekerja minimal 15

(lima belas) tahun.

Pada dasarnya buruh outsourcing (buruh borongan dan buruh harian lepas) berpindah-pindah dari kontraktor satu ke kontraktor yang lain. Kontraktor pertama biasanya perusahaan suplier tenaga kerja yang merekrut dari daerah asal atau perkebunan kelapa sawit di luar perusahaan perkebunan PT. RAPP, misalnya buruh Perkebunan Kelapa Sawit PT. Torganda. Namun karena buruh merasa kurang nyaman dan tidak cocok dengan kontraktor pertama, memilih kontraktor yang lain dengan syarat harus melunasi utang dari kontraktor pertama. Sering sekali kontraktor pihak kedua melunasi utang buruh dikontraktor pertama yang bisa mencapai puluhan juta. Pola pindah-pindah kontraktor, bagi buruh sudah dianggap lumrah di tengah realitas sosial kehidupan para buruh di perusahaan perkebunan PT. RAPP.

Kedua, peneliti juga mengadakan penelitian kepada pihak-pihak yang terkait dengan kehidupan buruh, dalam hal ini petugas kesehatan (dokter) di camp satelit kesehatan Estate Pelalawan, tentang mekanisme medical cek untuk mendapatkan kartu nama, informasi tentang pelayanan kesehatan keluarga dan

Universitas Sumatera Utara 65

buruh itu sendiri. Peneliti juga mengadakan wawancara dengan pihak dinas tenaga kerja dan transmigrasi Kabupaten Pelalawan, terutama kepada informan Windo di bidang pengawasan tenaga kerja dan informan Swandi bidang hubungan masyarakat dan industri. Pada penelitian dinas terkait, peneliti mendapatkan informasi tentang wajib lapor perusahaan tentang tenaga kerja, kewajiban perusahaan memberi BPJS Tenaga Kerja dan Kesehatan, dan Tunjangan Hari

Raya (THR). Selanjutnya, peneliti juga mengadakan wawancara dengan penatua

(pengurus) Gereja Kristen Protestan Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang sering menguburkan buruh migran Nias di Pemakaman Umum Ikatan Keluarga

Nias (IKN) Rantau Baru. Buruh migran Nias yang dikebumikan, rata-rata meninggal karena kecelakaan di kanal, bunuh diri karena minum racun, penyakit kaki gajah (buru gambu), kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya. Akhirnya, peneliti mengadakan wawancara kepada informan Ahmad, humas hubungan antara kampus pada perusahaan PT. RAPP (Asia April grup) dalam bentuk informasi arahan pra penelitian.

Ketiga, memilih buruh berdasarkan informasi yang diperoleh dari anggota informan lain yang telah dipilih atau dari individu lainnya. Karena setiap orang baru memiliki potensi untuk memberikan informasi lebih dari yang lain pada kasus buruh migran, sampel berkembang dengan cepat sebagaimana kajian itu berlanjut. Peneliti mendekati buruh migran sebagai sampel pertama selanjutnya sampel pertama merekomendasikan buruh lain yang sungguh tahu dan mengetahui akar permasalahan dalam buruh kerja baik sebagai subyek maupun obyek pelaku. Apabila data yang sudah peneliti kumpulkan sudah lengkap secara kompeherensif, maka saat itu juga penarikan sampel dihentikan. Melalui teknik

Universitas Sumatera Utara 66

penarikan sampel ini, peneliti dapat memperoleh data tentang situasi dan kondisi buruh migran, terutama sistem outsourcing sebagai obyek eksploitasi.

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara, pertama dengan melakukan wawancara dengan beberapa informan kunci (primer) dan informan sekunder yang telah memenuhi kriteria sebagai informan. Kedua metode observasi partisipan dilakukan dengan mengamati tempat tinggal, proses cek kesehatan para buruh migran Nias, dan aktivitas keluarga para buruh di lokasi tempat tinggal. Ketiga, peneliti melakukan pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner untuk mendukung data-data penelitian, termasuk tingkat pendidikan, sistem rekrutmen, upah, jaminan sosial dan lain sebagainya.

3.6.1. Wawancara

Peneliti mewawancarai beberapa narasumber yang mengetahui dengan benar peristiwa atau dinamikan kelompok kerja buruh migran Nias. Peneliti merasa bahwa wawancara sangatlah penting, sebagai perangkat untuk memproduksi pemahaman situasional yang bersumber dari episode-episode interaksional khusus. Metode ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal seorang peneliti, termasuk ras, kelas sosial, kesukuan dan gender (Denzin dan

Lincoln, 2010, 495). Tujuan dari wawancara sendiri adalah untuk mengumpulkan informasi dan bukan untuk merubah ataupun mempengaruhi pendapat informan.

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis wawancara, antara lain:

Pertama, wawancara terstruktur. Mekanisme wawancara terstruktur harus disesuai dengan pedoman penelitian, apabila muncul kejadian di luar pedoman tersebut maka hal tersebut tidak dihiraukan. Dalam melakukan wawancara,

Universitas Sumatera Utara 67

peneliti membawa instrumen pedoman untuk wawancara, tape recorder, kamera dan catatan harian untuk mencatat segala peristiwa selama proses penelitian.

Melalui metode tersebut, peneliti mampu mendapatkan data kondisi-kondisi yang mendukung struktur dan agen dalam praktek eksploitasi buruh migran Nias, mendapatkan data hubungan buruh dengan perusahaan, kontraktor dan kepala rombongan dalam sebuah struktur dan agen. Data ini menjadi acuan untuk menganalisis dampak hubungan tersebut dalam realitas kehidupan sosial ekonomi buruh migran Nias.

Kedua, wawancara tidak terstuktur, data yang dikumpulkan dari teknik wawancara ini dapat beraneka ragam. Hal ini terjadi karena pertanyaan yang diajukan tidak terpusat pada satu pokok permasalahan, tetapi pertanyaan dapat beralih-alih dari satu pokok ke pokok pertanyaan yang lain, sehingga peneliti sampai pada penyebab terakhir (causa finalis). Peneliti menggunakan jenis wawancara ini pada sore hari atau malam hari, atau pada waktu lain dimana informan bersedia untuk diwawancarai. Data yang diperoleh akan memberikan gambaran secara mendetail situasi kehidupan buruh migran Nias di PT. RAPP

Pelalawan Riau. Metode wawancara tidak terstruktur membantu peneliti memperoleh data yang valid mengenai situasi kehidupan buruh sebagai obyek eksploitasi. Teknik ini dilakukan para siapa saja yang dijumpai baik orang tua, anak, dan siapa saja yang terlibat dalam aktivitas keseharian buruh. Tujuannya ialah peneliti dapat menemukan data komperehensif antara hasil pengamatan dan hasil wawancara untuk meminimalisir bias data penelitian. Pengumpulan data wawancara dengan menggunakan alam rekam.

Universitas Sumatera Utara 68

Sementara alat bantu pengumpulan data lainnya yang masih dapat digunakan adalah kamera. Penggunaaan kamera harus terlebih dahulu meminta kesediaan informan jika peneliti bermaksud mengabadikan profil diri informan selama studi berjalan. Demikian pula terkait dengan jenis studi yang mempelajari kasus maka alat pengumpulan data pada studi kasus seperti surat-surat, foto atau benda-benda yang mempunyai kaitan dengan kasus tersebut cenderung tidak ada pada informan. Peneliti ingin mendapatkan data berbentuk dokumen atau surat- surat perjanjian dan bukti-bukti lain dan berbagai bukti riil. Strategi peneliti mendapatkan dokumen itu dengan mendekati salah satu mantan pengurus kontraktor. Metode pendekatan yang peneliti lakukan akhirnya berhasil, peneliti mendapatkan dokumen surat perjanjian borongan plantation, berkas aturan rumah tangga pendirian perusahaan penyalur tenaga kerja yang dikeluarkan oleh notaris, absen daftar hadir buruh sekaligus data syarat mendapatkan bantuan beras dari perusahaan PT. RAPP, surat keterangan manipulasi dokumen pendaftaran anggota

BPJS ke perusahaan, dan lain sebagainya. Peneliti pernah meminta dokumen tersebut kepada salah satu kontraktor, tetapi tidak diberikan alasan kerahasiaan.

3.6.2. Observasi Partisipan

Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi partisipatif pada informan (perempuan yang berkasus) di wilayah domestik dan publik. Dalam proses wawancara ini peneliti dipandu dengan pedoman pertanyaan. Materi wawancara mendalam pada informan mencakup sejarah/riwayat terjadinya eksploitasi, bentuk-bentuk eksploitasi yang dialami oleh buruh migran Nias dan materi lain yang terkait dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Mengamati indikasi praktik eksploitasi buruh migran Nias digunakan analisa

Universitas Sumatera Utara 69

situasi sosial. Metode atau teknik ini digunakan menganalisis jenis kegiatan apa saja dilakukan lokasi kerja, di camp, barak, dan klinik kesehatan yang merupakan satu kesatuan. Siapa pelaku dan obyek dari kegiatan dan juga dalam konteks ruang serta waktu kegiatan tersebut dilakukan. Analisa situasi sosial digunakan mengamati segala kegiatan yang ada di perkebunan. Hal yang serupa juga dilakukan pada kegiatan seperti pemeriksaan kesehatan di klinik kesehatan maupun tempat tinggal.

Peneliti memasuki lapangan penelitian dengan mengamati situasi kehidupan sosial buruh migran Nias mulai pagi hari sampai malam hari, secara khusus peneliti mencermati dinamika kerja di perkebunan tersebut. Untuk sampai pada tujuan utama penelitian, peneliti menggunakan observasi partisipan dengan terlibat dalam kegiatan sehari-hari para buruh yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian. Peneliti menjadi salah satu anggota kepala rombongan dengan pendekatan kekeluargaan. Peneliti melaksanakan apa yang dilakukan oleh para buruh sambil sesekali melakukan wawancara tentang pengalaman mereka sebagai buruh dalam suka maupun duka yang dialami.

Peneliti juga menggali informasi satu persatu tentang sistem pengupahan, strategi bertahan hidup, resistensi, kegiatan sehari-hari dan lain sebagainya sesuai dengan arah penelitian. Peneliti dalam hal ini menjalin interaksi kekerabatan yang akrab dengan pendekatan sosial budaya para buruh, misalnya bahasa Nias. Posisi sebagai peneliti tentu harus diperhatikan agar dalam hasil pengamatan tidak bias.

Peneliti dalam posisi tertentu membuat distansi (jarak) dengan buruh, tetapi di lain kesempatan posisi peneliti sebagai rekan buruh yang turut merasakan penderitaan mereka.

Universitas Sumatera Utara 70

3.6.3. Kuesioner

Peneliti dalam mendapatkan data secara komprehensif menggunakan langkah strategis dengan menyebarkan kuesioner terbuka dan tertutup kepada responden. Pengisisan kuesioner ini langsung dituntut oleh peneliti, karena buruh sebagain besar tidak bisa membaca dan menulis. Item-item pertanyaan kuesioner memuat faktor migrasi, sistem rekruitmen, bentuk resistensi, sistem penggajian, sistem bertahan hidup, tingkat kesejahteraan buruh, BPJS, fasilitas transportasi dan kesehatan, informasi tentang mekanisme kerja dan jaminan sosial, kepuasan fasilitas transportasi dan kesehatan, pekerja anak dibawah umur, perlindungan buruh perempuan, dan anggota serikat buruh.

Peneliti menggunakan strategi pengumpulan data ketika buruh tidak bekerja, misalnya libur hari raya imlek di Barak Sektor Pelalawan, buruh di camp moving dengan tinggal bersama para buruh, ikut bersama salah satu pengurus kontraktor ketika ada medical cek up di satelit klinik kesehatan dan pada malam hari di barak tempat tinggal para buruh. Memang ada buruh yang tidak bersedia mengisi kuesioner alasan keamanan, tetapi peneliti berusaha meyakinkan responden bahwa data-data yang akan dimasukan tetap dijaga. Tentu pola pendekatan etnisitas juga mempengaruhi tingkat kepercayaan para buruh kepada peneliti.

Populasi yang digunakan dalam penelitian buruh adalah seluruh Buruh

Perkebunan Migran Nias (penanaman dan nurseri) yang ada di Estate Pelalawan,

PT. Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Buruh migran Nias sebagai karyawan perusahaan Perkebunan PT. RAPP, operator speadboat, operator genset, petugas K3 tidak termasuk karena jumlah mereka sekitar 5 persen dari total populasi.

Universitas Sumatera Utara 71

Peneliti mengalami kendala besar dari pihak humas PT. RAPP, terkait dengan ijin penelitian yang cukup berbelit. Maka dengan bermodalkan ijin lisan dari humas PT. RAPP dan jarinngan keluarga dengan para pengurus kontraktor dan buruh, peneliti bisa mendapatkan data lapangan dengan lengkap. Akibatnya, peneliti tidak secara terang-terangan mengambil data, terutama di nurseri-nurseri yang berdekatan dengan perkantoran Sektor Pelalawan. Bahkan sering sekali, peneliti sering kewalahan ketika melewati pos pemeriksaan pintu gerbang utama areal perkebunan Sektor Pelalawan, akhirnya peneliti seolah-olah pengurus kontraktor, karena sebelumnya peneliti sering bersama dengan pengurus salah satu kontraktor yang cukup dikenal.

Kendala lain dalam penelitian ini adalah akses untuk masuk ke dalam perusahaan sangat sulit, apalagi peneliti harus menempuh jarak 50 km transportasi darat dan 1-5 km transportasi kanal. Jarak dan keamanan diri peneliti juga menjadi bahan pertimbangan untuk selalu ikut dengan salah satu pengurus kontraktor atau keluarga yang bisa menjamin keselamatan peneliti. Kendala tersebut mempunyai pengaruh dalam penentuan sampel penelitian. Oleh sebab itu, maka teknik penarikan sampel dilakukan secara tidak cak atau non random.

Penarikan sampel tidak acak ini dilakukan dengan teknik kebetulan

(accidental sampling). Metode ini dilakukan di moving camp TPK Madukoro,

TPK 18,5 blok 14Q, TPK 17 len, 11, TPK, 17 Len 18, TPK 18. Pada sela-sela tes kesehatan (MCU) di klinik kesehatan camp Satelit peneliti menggunakan kesempatan untuk mengumpulkan data penyebarkan daftar pertanyaan yang cara pengisiannya dituntut langsung. Penarikan sampel juga dilakukan di Barak TPK 5,

Universitas Sumatera Utara 72

Barak TPK Sektor Pelalawan, dan Barak Aceh, yang didominasi oleh buruh harian lepas melaui sistem outsourcing.

Pengisian kuesioner dilakukan juga pada malam hari di camp dan ketika pada sore hari sepulang kerja. Kebanyakan peneliti langsung wawancara sambil mengisi data kuesioner, karena buruh migran Nias sebagian besar tidak bisa membaca dan menulis. Peneliti juga meminta bantu kepada salah satu keluarga buruh migran Nias untuk menyebarkan kuesioner, namun peneliti merasa curiga karena data yang bias, maka langkah tepat, peneliti membatasi teknik pengambilan data tersebut.

Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 80 buruh outsourcing

(59 buruh borongan dan 21 buruh harian lepas). Penetapan responden ini didasari alasan bahwa jawaban-jawaban dalam kuesioner yang dianalisis cenderung memiliki alasan yang sama (kejenuhan data). Di samping itu, peneliti merasa keselamatan peneliti mulai terancam, apalagi surat pernyataan perjanjian kerahasiaan peneliti memutuskan untuk tidak diserahkan. Peneliti menemukan aktor-aktor kontraktor dan kumpulan Ikatan keluarga Nias yang secara tidak langsung menganggu keselamatan peneliti, karena sebagian besar kontraktor yang bersentuhan dengan buruh migran Nias adalah kontraktor suku Nias. Selain itu, keluarga yang selama ini membantu peneliti mulai merasa tidak nyaman dengan isu-isu negatif yang dihembuskan oleh aktor-aktor tertentu.

3.7. Teknik Analisis Data

Pertama, peneliti menggunakan analisis data kualitatif dengan metode analisis kasus. Analisis kasus mengandung pemahaman bersifat deskriptif.

Pertanyaan klasiknya adalah “apakah yang sedang terjadi dan bagaimana hal itu

Universitas Sumatera Utara 73

bisa terjadi”. Dua pertanyaan ini menuntut sebuah pertimbangan rasional tentang gejala sosial eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias yang diteliti. Studi

Hubermas & Miles (dalam Denzin & Lincoln, 2010:597) menegaskan bahwa pentingnya analisis data dalam tahapan analisis kasus; a) agar analisis yang dilakukan memiliki hubungan erat dengan data yang tersaji, b) memudahkan seorang analisis memprediksi jenis analisis apa yang harus dilakukan pada tahap berikutnya, c) memudahkan pembandingan lintas data, d) mengukuhkan kredibilitas tesis, sehingga menyajikan data tersebut sekaligus berarti memunculkan kesimpulan-kesimpulan. Analisis data tersebut, peneliti dapat mengklasifikasikan kondisi-konsisi sosial buruh yang memungkinkan eksploitasi, peneliti juga dapat menginterpretasikan hubungan antara perusahaan, kontraktor, pengurus kontraktor, kepala rombongan, buruh outsourcing (buruh harian lepas dan buruh borongan), dan akhirnya strategi perlawanan yang digunakan oleh buruh itu sendiri.

Kedua, data sebaran kuesioner yang dikumpulkan telah dikumpulkan dianalisis menggunakan program SPSS 19 dan item-item pertanyaan yang bersifat tertutup akan dianalisis lewat tabel tunggal sederhana yang merefleksikan frekuensi dan persentasenya. Dengan demikian, akan terlihat kecenderungan baik dalam sistem ketenagakerjaan buruh di perkebunan sektor Estate Pelalawan Riau.

Selanjunya, item pertanyaan terbuka dalam kuesioner akan dianalisis dengan cara menggolongkan dalam kategori-kategori tertentu dan kemudian diinterpretasikan berdasarkan permasalahan penelitian yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hasil interpretasi data penelitian kuesioner menjadi pendukung data kualitatif untuk

Universitas Sumatera Utara 74

menemukan permasalahan kasus eksploitasi dan resistensi buruh yang akan diekplorasi dengan teori dan data penelitian tentang buruh.

Bagan 3.1. Hubungan timbal balik antara penyajian data dengan teks analitik dalam analisis data buruh perkebunan

Sumber: Hubermas & Miles (Denzin & Lincoln, 2010:590)

Grafik 3.1 merupakan sajian data analisis bersifat sekuensial dan interaktif dalam keseimpulan tertulis saling mempengaruhi satu sama lain. Penyajian data membantu peneliti dalam menentukan pola-pola, teks pertama yang merasionalkan sajian data dan menuntut analisis baru berubah ke dalam bentuk data tersaji; revisi dan perluasan data tersaji menunjuk pada pola relasi dan penjelasan baru yang menjadikannya semakin unik dalam satu kesatuan teks, dan seterusnya. Sajian data-data tersebut memperkuat analisis dan kemudian menyajikan datanya lebih kuat dan jelas.

Dalam kaitannya dengan teori, peneliti menggunakan kontruk teori menurut Hubermas & Miles (dalam Denzin & Lincoln, 2010:599) sebagai berikut:

Pertama, “grand theory”, menggunakan kontruk teori strukturasi anthony

Universitas Sumatera Utara 75

Giddens, dan James Scott dalam teori resistensi sehari-hari. Kedua, peta (map) digunakan untuk mengeneralisasi sebuah teori (atau cerita) tentang kasus tertentu.

Ketiga, pola yang diprediksi dari berbagai peristiwa agar bisa dikomparasikan dengan kejadian yang sedang diamati. Keempat, suatu model dengan perangkat proporsi tersambung yang menunjuk pada pola relasi-relasi khusus, yang sering kali bersifat hierarkis antara berbagai komponen. Kelima, suatu jaringan dari pola relasi non-hierarkis, yang dituangkan dalam berbagai pernyataan yang menentukan hubungan antara konsep.

3.8. Keterbatasan Penelitian

Penelitian buruh di perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and

Paper merupakan suatu penelitian analisis kasus ekploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen. Peneliti mengakui bahwa membuka tabir “kotak pandora” kasus eksploitasi bukan hal yang mudah.

Apalagi kasus eksploitasi tidak secara terang-terangan dilakukan oleh aktor-aktor perusahaan, baik perusahaan suplier tenaga kerja maupun agen-agen “liar” kepala rombongan dalam kacamatan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Bahkan kendala utama menyangkut ijin penelitian secara tertulis dari pihak humas PT. RAPP yang tak kunjung dikeluarkan. Hal tersebut sedikit mempengaruhi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian di lapangan. Maka pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan perusahaan tidak bisa langsung peneliti wawancarai, karena surat resmi tidak ada, misalnya Maneger Sektor

Pelalawan, asisten perusahaan, dan mandor-mandor perusahaan PT. RAPP.

Universitas Sumatera Utara 76

Peneliti juga mengalami kendala terhadap para buruh, terutama kesulitan untuk menjangkau lokasi camp. Sering sekali peneliti sudah sampai di persimpangan jalan, tetapi speadboat sebagai alat transportasi kanal tidak ada.

Kendala lain, peneliti kadang lupa berdistansi dengan obyek penelitian, karena merasa simpati dengan kondisi kehidupan para buruh yang masih semarga, sesuku, seagama dengan peneliti, walaupun demikian, kendala-kendala pada umumnya tidak mempengaruhi data penelitian.

Universitas Sumatera Utara 77

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PERKEBUNAN

Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai sejarah perusahaan, ruang lingkup perusahaan, dan secara khusus akan diuraikan secara mendetail lokasi

Sektor Pelalawan sebagai tempat penelitian buruh migran Nias. Adapun yang menjadi uraian lokasi penelitian di Sektor Pelalawan ialah identifikasi jenis kerja,

Barak, dan camp moving. Uraian gambaran penelitian selanjutnya ialah pelayanan kesehatan, akses pendidikan anak dan tempat peribadatan sebagai fasilitasi yang disediakan oleh perusahaan. Seluruh pembahasan dalam gambaran umum penelitian ini merupakan satu kesatuan untuk mengamati dan menganalisis kondisi sosial yang dihadapi oleh buruh migran Nias di Pelalawan Riau.

4.1. Sejarah Perusahaan

PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembuatan Pulp and Paper. Perusahaan ini didirikan oleh

Sukanto Tanoto yang lahir pada tahun 1949 yang bermula dari bisnis keluarga hingga menjadi bisnis international. PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan anak perusahaan Raja Garuda Mas International yang merupakan pemegang saham utama APRIL Group (Asia Pasific Resource International Holding Ltd.) yang telah diperkenalkan dalam dunia bisnis international.

PT. Riau Andalan Pulp and Paper berkedudukan di Jakarta pada tahun

1989 dan baru tahun 1995 perusahaan ini mulai beroperasi di Provinsi Riau tepatnya Desa Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan, dengan kapasitas hasil produksi mencapai 750.000 ton pulp pertahun.

Universitas Sumatera Utara 78

Pada tahun 2010, kegiatan kehutanan April Group diukur untuk memberikan kontribusi 6,9% dari total output ekonomi Provinsi Riau. April Grup telah menciptakan sekitar 90.000 lapangan kerja, yang ketika digabungkan dengan inisiatif untuk memberikan akses yang lebih baik untuk pendidikan dan dukungan sosial di berbagai bidang seperti kesehatan dan perumahan, telah melihat standar hidup meningkat dan penurunan tingkat kemiskinan dari 30%.

4.2. Ruang Lingkup Perusahaan

PT. Riau Andalan Pulp and Paper adalah salah satu perusahaan terbesar di

Indonesia yang bergerak dalam bidang usaha produksi pulp (bubur kertas) dan paper (kertas). PT. Riau Andalan Pulp and Paper terdiri dari 4 departemen sebagai berikut.

Pertama, PT. RPE (Riau Power Energy), yang berfungsi untuk memproduksi listrik, steam (uap), air dan udara bertekanan; Kedua, PT. Riau

Fiber, unit bisnis yang meyediakan bahan baku kayu, sekaligus menjadi lokasi pemilihan tempat penelitian, terutama di plantation dan Nurseri Sektor Pelalawan;

Ketiga, PT. Riau Pulp, yang berfungsi untuk menghasilkan pulp (bubur kertas);

Keempat, PT. RAK (Riau Andalan Kertas), yang berfungsi untuk menghasilkan paper (kertas).

PT. Riau Andalas Pulp and Papers (RAPP) merupakan perusahaan besar yang turut membantu perekonomian daerah mulai dari hulu sampai ke hilir.

Daerah operasional PT. RAPP meliputi beberapa kabupaten/kota, yakni

Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, sementara kantor pusatnya berdomisili di Kerinci Kabupaten Pelalawan. Ketiga kabupaten daerah operasi kegiatan industri, peneliti memilih Kabupaten

Universitas Sumatera Utara 79

Pelalawan, terutama Sektor Pelalawan Riau, tanpa menghiraukan data penelitian dari lokasi lain. Peneliti juga memilih Pelalawan Nurseri Centre (PCN) satu dari pusat tiga pusat pembibitan milik PT. RAPP yang ada, diantaranya Baserah

Nurseri Central (BSN) dan Kerinci Nurseri Centre (KCN).

Tabel 4.1. Daerah Operasi Kegiatan Industri Perusahaan PT. Riau Andalan Pulp and Papers No Administratif Fiber Estates Luas Areal Total (Ha) Kabupaten

1 Logas 42,735 Kuantan Singingi 2 Tesso 36,25 Kampar 3 Langgam 10,1 Pelalawan 4 Cerenti 40,26 Kuantan Singingi 5 Baserah 21,195 Pelalawan 6 Ukui 19,3 Pelalawan 7 Mandau 23 Pelalawan 8 Pelalawan 79,3 Pelalawan 9 Rantau Baru 12 Pelalawan 10 Lubuk Sakat 12,25 Pelalawan 11 Pontianai 5,41 Pelalawan 12 Siak Kecil 19,75 Pelalawan 13 Accses Roud/Coridor 8,45 Pelalawan Total 330 Sumber: Workshop Sosialisasi Sertifikasi PHTL, 2011

4.3. Sektor Pelalawan (Estate Pelalawan)

Penelitian di lokasi Estate Pelalawan yang relatif dekat dari pusat kota, sekitar 10 Km dari Kota Kerinci, dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi jalan menuju Estate Pelalawan bergelombang dan penuh debu, apalagi kalau pada siang hari. Sepanjang jalan menuju lokasi penelitian terus memperhatikan aktivitas truk fuso yang membawa kayu-kayu bulat ke pabrik pengolahan cukup tinggi pada siang dan malam hari. Bagi pengguna kendaraan roda dua, perusahaan selalu menghimbau supaya tetap konsentrasi dan mengurangi laju kendaraan,

Universitas Sumatera Utara 80

apalagi kalau berpapasan dengan truk gandeng yang membawa bahan mentah ke pabrik.

Penelitian hari pertama di lokasi Estate Pelalawan, peneliti ikut bersama pengurus kontraktor penyalur tenaga kerja PT. Albina. Memasuki pintu gerbang lokasi penelitian, kami (peneliti dan pengurus kontraktor) sampai di pos pengamanan. Jumlah sekuriti (satpam) perusahaan pada hari itu, ada lima orang masing-masing dua orang junior dan tiga orang senior. Petugas sekuriti mencatat plat sepeda motor, nama pengendara sepeda motor, kontraktor dari mana, dan lokasi dan tujuan yang dikunjungi. Peneliti waktu itu berpura-pura mengaku pengurus kontraktor, karena surat keterangan ijin meneliti dari humas perusahaan oleh Ahmad masih sebatas lisan, sedangkan surat resmi masih belum dikeluarkan.

Gambar 4.1. Pintu Gerbang Masuk Estate Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper Kabupaten Pelalawan-Riau

Estate Pelalawan memiliki pekerja asal Nias dalam jumlah besar yaitu sekitar 800 orang yang terdiri dari Buruh Harian Lepas (BHL) di Pelalawan

Universitas Sumatera Utara 81

Centre Nurseri (PCN), Nurseri Kerinci Centre Nurseri (KCN), dan Nurseri TPK

5,5, operator speadboat dan perahu pompong, petugas safety (K3), karyawan perusahan PT. RAPP, operator genset, dan buruh outsourcing (tenaga kerja yang direkrut melalui penyedia/penyalur tenaga kerja dan perjanjian kerjanya tidak dengan perusahaan tempatnya bekerja tetapi dengan perusahaan penyalurnya).

Mengingat jumlah buruh migran Nias yang banyak, peneliti membatasi subyek penelitian, yaitu buruh harian lepas di nurseri-nurseri Pelalawan Centre

Nurseri (PCN), dan ditambah buruh Nurseri Kerinci Centre Nurseri (KCN), dan

Nurseri TPK 5,5. Subyek buruh outsourcing asal Nias, terutama dari perusahaan penyalur tenaga kerja PT. Albina, PT. Agung Artumoro, PT. Join Karya Mandiri,

PT. Talabu, dan PT. Sumber Usaha Baru, dan PT. Arisman.

Sektor Pelalawan (Estate Pelalawan) perusahaan PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan salah satu sektor daerah operasi perusahaan yang dipimpin oleh Jamu Tarigan (Riau Fiber), Sugeng sebagai maneger plantation dan Yudi sebagai asisten plantation. Ada juga beberapa perusahaan yang beroperasi di

Sektor Pelalawan, antara lain Riau Fiber, Indra Fiber, Kampar Fiber, CV. Alam

Lestari, PT. Anugerah, PT. Kiat Mas, dan PT. Madukoro. Selain itu ada beberapa departemen yang beroperasi di Sektor Pelalawan antara lain, Departemen plantation (penanaman), water maneger (maneger air), planing (perencanaan), comom servis (perawatan alat), PA (personalia), dan safety (keselamatan kerja).

Universitas Sumatera Utara 82

Gambar 4.2. Peta Kabupaten Pelalawan

Universitas Sumatera Utara 83

Gambar 4.3. Sketsa Peta Estate Pelalawan

Universitas Sumatera Utara 84

Berdasarkan pengamatan peneliti sekitar kantor Sektor Pelalawan, peneliti melihat fasilitas SPBU mini, Pelalawan Centre Nurseri (PCN), aula yang biasa dijadikan tempat ibadat, kantin, kantor safety, klinik kesehatan, mobil ambulance, barak, rumah karyawan perusahaan, gedung Sekolah tingkat kanak-kanak (TK), gedung Sekolah dasar (SD), mushollah, tempat penyulingan air, tempat perbaikan alat berat dan lain sebagainya. Ada hal menarik dilokasi Sektor Pelalawan yaitu masing-masing barak ada pengelompokkan berdasarkan etnis dan status kerja.

Misalnya, para mandor, asisten dan karyawan lainnya biasa tinggal di perumahan yang dominasi oleh suku Batak dan Jawa, sedangkan buruh harian lepas dominan tinggal di barak yang kurang layak.

Menurut pengakuan penghuni barak Sektor Pelalawan, selain Barak Sektor

Pelalawan, ada juga barak yang tidak jauh dari tempat itu, yaitu barak “milik” penduduk setempat, dan disewakan Rp. 300.000 per bulan. Peneliti memperhatikan barak itu, cukup bagus dibandingkan dengan barak Sektor

Pelalawan. Sementara bangunan barak itu didirikan di lokasi perkebunan perusahaan PT. RAPP. Ada informan yang mengatakan bahwa lokasi barak itu merupakan lahan sengketan dengan perusahaan dan masyarakat setempat.

4.3.1. Identifikasi Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang ada di Perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper dibagi dalam 4 (empat) kelompok besar yaitu penanaman, perawatan, pemanenan dan pembibitan sebagai berikut.

Pertama, Penanaman (planting): penanaman merupakan jenis pekerjaan yang membutuhkan jumlah tenaga kerja paling banyak di PT. RAPP. Penanaman dikatakan pekerjaan yang paling mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus

Universitas Sumatera Utara 85

dan dapat dilakukan siapa saja. Bagian penanaman ini didominasi oleh buruh asal

Nias. Berdasarkan data Estate Pelalawan jumlah pekerja asal Nias dibagian penanaman tidak kurang dari 500 orang. Berdasarkan observasi hampir 99 persen buruh migran Nias bekerja di bagian penanaman.

Kedua, perawatan: bagian perawatan terdiri dari 3 jenis pekerjaan yaitu weeding atau membersihkan gulma, singling atau pemotongan cabang dan spaying atau penyemprotan tenaman. Jenis pekerjaan ini sedikit memerlukan keahlian dan tenaga yang lebih besar. Jenis pekerjaan dilakukan oleh orang diluar suku Nias

Ketiga, pemanen (harvesting): pemanenan sekaligus juga land clearning adalah pekerja yang dilakukan dengan keahlian khsuus seperti mengoperasikan chainsaw, alat berat dan lain sebaaginya serta membutuhkan tenaga yang cukup besar. Jenis pekerjaan ini hampir tidak ada orang Nias.

Keempat, pembibitan (nursery): nurseri merupakan tempat pembibitan akasia, walaupun disetiap estate terdapat pembibitan (nursery), kebutuhan bibit untuk estate sebenarnya disuplay langsung dari nurseri pusat. Pekerja Nurseri berada yang masing-masing estate umumnya berasal dari Nias dan sedikit pekerja lain suku Batak dan Jawa.

4.3.2. Barak

Barak Sektor Pelalawan dominan dihuni oleh buruh harian lepas dan sebagaian buruh borongan migran Nias. Pada bagian ini ada dua barak yang pernah peneliti kunjungi di Sektor Pelalawan. Pertama, barak tempat tinggal para buruh migran Nias di lokasi perkantoran Sektor Pelalawan. Barak di sektor

Universitas Sumatera Utara 86

Pelalawan tersebut dominan dihuni oleh Buruh Harian Lepas (BHL) asal Nias yang bekerja di Pelalawan Centre Nurseri (PCN).

Senin 8 Februari 2016 bertepatan hari Raya Imlek bagi etnis Tionghoa di

Indonesia, peneliti mengadakan penelitian di barak lokasi perkantoran Sektor

Pelalawan. Buruh harian lepas (BHL) dan karyawan PT. RAPP libur bersama, kecuali buruh harian lepas di nurseri bagian penyiraman. Sejenak peneliti memperhatikan aktivitas di barak itu, ada yang bermain bola volly, latihan vokal grup, dan bercerita sesama buruh asal Nias dengan bahasa daerah Nias. Barak tersebut berbentuk rumah panggung sekitar 15 ruangan dan masing-masing ruangan ada empat kamar. Setiap kamar di huni oleh satu keluarga berukuran 3 x

4 meter dan memiliki jendela. Kamar tersebut terdapat lemari pakaian, televisi dan berbagai gantungan pakaian sekitar dinding kamar itu, sedangkan untuk tidur biasanya dilantai papan dengan alas tikar atau kasur sederhana.

Gambar 4.4. Barak Nurseri Lokasi Perkantoran Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper

Universitas Sumatera Utara 87

Peneliti juga memperhatikan bahwa disetiap ruangan terdapat WC yang digunakan bersama oleh penghuni yang berada dalam satu deret ruangan itu.

Menurut pengakuan buruh yang tinggal di tempat itu, sebagian besar WC tersebut tidak berfungsi dengan baik. Pada bagian belakang barak itu terdapat tempat memasak yang cukup luas. Mereka menggunakan gas elpiji untuk memasak dan makanan sehari-hari. Peneliti juga mengamati sejumlah para bola televisi untuk masing-masing satu keluarga untuk bisa menonton program TV pada malam hari.

Buruh yang tinggal di tempat kira-kira dua ratus orang belum termasuk anak-anak. Jumlah yang sedemikian banyak itu cukup banyak untuk ukuran barak itu, apalagi papan barak itu sudah mulai busuk, dan bagian permukaan lantai tidak datar (bergelombang). Memang sudah berapa kali disampaikan kepada pihak perusahaan agar dibangun barak baru atau direhab total, namun jawaban yang diberikan hanya menunggu dan menunggu, tanpa ada realisasi. Sementara untuk kebutuhan air minum, para buruh membeli sendiri air galon dari kota Kerinci.

Para buruh dilarang untuk meminum air yang disediakan di polytag oleh perusahaan. Air itu hanya digunakan untuk kebutuhan cuci pakaian dan mandi.

Sementara air yang sama didistribusikan ke TPK-TPK, terutama buruh yang tinggal di kamp buruh borongan melalui sistem outsourcing.

Kedua, Barak TPK 5 berjarak 5 km dari perkantoran Sektor Pelalawan.

Pada hari kamis, 11 Februari 2016, peneliti mengadakan observasi di barak itu pada sore hari ketika buruh sudah pulang dari tempat kerja. Barak itu cukup memprihatinkan kondisinya, karena sebagian besar fasilitas kamar mandi kurang layak dan bahkan banyak tidak berfungsi. Bila dibandingkan dengan Barak di

Universitas Sumatera Utara 88

Sektor Pelalawan sangat jauh berbeda, mungkin ini karena barak TPK 5 usianya lebih tua dibandingkan dengan barak nurseri. Penelitian Purwanto at al.,

(2011:18), barak nurseri lebih baik karena baru dibangun bertepatan dengan mulai dijalankan program inang asung pada tahun 2007, sedangkan barak TPK 5 sudah ada jauh sebelumnya.

Pada sore hari itu, peneliti mengamati anak-anak muda ada yang sedang bermain bola voly, bermain-main, ada yang sedang duduk di depan pintu, ada juga yang sedang menggendong adiknya. Wajah anak-anak di barak TPK 5 terlihat kuyu tidak seceria anak-anak di barak nurseri yang terlihat riang. Di tempat ini terdapat dua barak permanen yang saling berhadapan dan tengah kedua barak tersebut merupakan lapangan tempat bermain anak-anak dan taman sederhana.

Gambar 4.5. Barak TPK 5 Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper

Barak masing-masing memiliki 5 pintu dan masing-masing pintu memiliki

5 buah kamar atau bilik. Disetiap pintu terdapat WC yang digunakan secara

Universitas Sumatera Utara 89

bersama oleh penghuni yang berada dalam deret pintu. Bilik atau kamar yang berukuran 3 x 4 dan memiliki jendela. Satu bilik biasanya dihuni oleh satu keluarga atau satu kelompok pekerja lajang. Dalam bilik terdapat terdapat tempat tidur tingkat yang difungsikan sebagai lemari untuk menyimpan pakaian dan berbagai barang lainnya, sedangkan untuk tidur biasanya di lantai papan dengan alas tikar atau kasur sederhana.

Barak TPK 5 ini tidak sekokoh penampilan yang diperlihatkan. Banyak permasalahan infranstruktur yang tidak memadai dan rusak. Menurut pengakuan mereka, pada awalnya ada sepuluh toilet yang ada, hanya tiga yang masih bisa digunakan. Permasalahan ini sudah dilaporkan kepada perusahaan tetapi saat ini juga masih belum ada tindakan dan perbaikan. Kerusakan toilet tersebut adalah pipa air besar semen yang sudah pecah sehingga tidak dapat digunakan untuk buang air besar atau pun tempat saluran air untuk memenuhi bak mandi. Oleh karena itu, untuk buang air besar mereka harus pergi ke belakang barak. Akhirnya bak mandi ditutup dengan papan yang di atasnya ditaruh ember sebagai tempat menampung air mandi. Begitu pula dengan closet-nya, akhirnya jalan ditutup dengan drum untuk menampung air bersih.

Pemandangan di belakang barak, peneliti juga melihat tanaman pohon pisang, pepaya, dan cabai yang ditanam oleh anggota kerja. Semenjak dibangun penghuni barak TPK 5 sekitar 40 keluarga dan beberapa kelompok pekerja lajang.

Penghuni umumnya oleh pekerja asal Nias yang bekerja dibagian rounding atau erendi, pekerja spraying dan bagian water managemen. Pekerja yang tinggal di sini umumnya sebagai pegawai bulanan dan kontraktor atau BHL. Di Barak ini

Universitas Sumatera Utara 90

terdapat 15 orang anak usia sekolah baik TK dan SD yang bersekolah di TK/SD

Global andalan yang berjarak 5 km dari barak.

4.3.3. Camp Moving

Camp moving yang pernah peneliti kunjungi adalah kamp Jaya Bulolo

Kepala rombongan PT. Albina di Lokasi Madukoro Kopartemen K-030. Pada hari berikutnya peneliti mengadakan observasi di camp moving anggota Kepala

Rombongan Ama Emi Bulolo, PT. Albina di Lokasi TPK 1 Sektor Pelalawan.

Camp anggota kepala rombongan Aryaman Ndruru, PT. Agung Artumoro Lokasi

Ali Madukoro, kopartemen RK 02. Camp TPK 18 Kepala Rombongan Matius

Ndruru, PT. Agung Artumoro. Kamp TPK 18 kepala rombongan Karmila Laia,

PT. Agung Artumoro dan PT. Arisman.

Gambar 4.6. Camp Buruh Outsourcing Migran Nias di TPK 18 Sektor Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper

Para pekerja bagian penanaman tinggal di moving camp berupa tenda biru yang setiap saat dapat dipindah mengikuti perpindahan lokasi kerja. Biaya pembuatan camp atau tenda ada yang ditanggung sendiri oleh KR tetapi ada juga

Universitas Sumatera Utara 91

KR membebankannnya pada pekerja. Artinya biaya pembuatan camp ditanggung bersama-sama oleh seluruh penghuni camp. Untuk sampai ke moving camp dari jalan utama yang bisa dilalui mobil harus disambung dengan perahu. Perusahaan

Perkebunan PT. RAPP sendiri tidak membolehkan moving camp terlihat di jalan utama untuk menghindari kesan negatif bila ada kunjungan tim audit dari pihak- pihak terkait. Penempatan tenda diatur oleh ketua rombongan dan pengawas PT.

RAPP dilokasi yang dianggap strategis untuk menjangkau seluruh areal yang didapat oleh rombongan tersebut. Bila lokasi kerja masih dekat dengan camp maka cukup dijangkau dengan berjalan kaki tetapi apabila sudah jauh dijangkau dengan menggunakan perahu milik rombongan tersebut. Perusahaan PT. RAPP sendiri tidak menyediakan sarana angkutan bagi pekerja dari camp ke areal kerja.

Camp moving pekerja Nias dibagi dalam sekat bilik-bilik berdasarkan jumlah keluarga yang ada dan jumlah pekerja lajang disediakan bilik tersendiri yang ditepati 5-6 orang pekerja lajang. Untuk keperluan makan mereka memasak sendiri-sendiri sesuai kebutuhan keluarga. Kegiatan memasak pada pekerja Nias ini khusus untuk kebutuhan keluarga inti, maka tiap-tiap keluarga mempunyai dapur masing-masing. Tidak jarang berpindah alat masak ke dapur lain atau digunakan bumbu masak oleh orang lain menimbulkan perselisihan diantara sesama penghuni camp, walaupun sebenarnya sesama penghuni camp masih memiliki hubungan kerabat satu dengan yang lainnya. Di kalangan PT. RAPP sendiri buruh migran Nias mengatakan mereka memiliki jiwa sosial rendah dan temperamental. Seorang tokoh Nias mengatakan mereka menjadi temperamental karena mereka merupakan masyarakat yang frustasi akibat tingginya himpitan ekonomi yang dialami, mereka mudah tersinggung bahkan menjadi apatis.

Universitas Sumatera Utara 92

Sebagai contoh diungkapkan oleh seorrang staf bila ada kematian yang mengantar ke pemakaman hanya beberapa orang saja yaitu kerabat yang tergolong dekat, sedangkan yang lain kadang hanya menonton saja.

Bilik dalam camp umumnya berukuran 2 x 2,5 meter. Bilik merupakan ruang pribadi bagi penghuninya sebagai tempat tidur, tempat istrahat, tempat melakukan aktivitas pribadi, menyimpan barang milik pribadi dan harta penghuninya. Satu bilik umumnya diisi oleh suami-isteri dan anak-anak mereka yang masih kecil dengan jumlah 1-2 orang. Anak yang sudah besar bergabung di bilik lajang. Selain bilik terdapat beranda bersama yang digunakan untuk bersantai dan ngobrol-ngobrol antara penghuni kamp. Bagi kamp yang memiliki genset di beranda ini biasanya ditempatkan televisi sebagai sarana hiburan. Acara yang diputar berasal dari CD player karena televisi tidak dilengkapi antena parabola sehingga tidak bisa menangkap siaran. Tetapi hanya sebagai kecil saja camp yang tidak menggunakan alat penerangan sama sekali, itu pun untuk hiburan beberapa camp lain yang berjarak 2-3 km dari camp.

Untuk keperluan buang air besar dibuat WC yang terpisah dari kamp dan untuk keperluan mandi dan cuci pakaian camp memanfaatkan kanal di sekitar kamp. Kamp para pekerja ini didirikan di atas lahan gambut terbuka. Pada cuaca panas, keadaan di sekitar kamp akan terasa sangat panas karena sama sekali tidak ada pohon peneduh. Sebaliknya bila datang hujan, air hujan tampias masuk ke dalam beranda bahkan masuk ke bilik-bilik pekerja. Tidak jarang terpal camp tersingkap bila hujan disertai angin kencang. Bila datang hujan tanah menjadi becek, permukaan tanah naik dan membuat rongga dibawahnya yang sering kali membuat penghuni kamp terperosok ke dalam tanah. Untuk menghindari hal

Universitas Sumatera Utara 93

tersebut penghuni kamp menempatkan papan atau potongan kayu sebagai tempat pijakan. Kasus terperosok penghuni kamp ke dalam tanah sering dialami oleh orang dewasa maupun anak-anak.

Gambar 4.7. Sumur galian di camp TPK 1 Sektor Pelalawan yang tidak cocok untuk kesehatan buruh

Akses transportasi ke camp moving cukup sulit karena harus menggunakan perahu melalui kanal-kanal. Akhirnya buruh yang ada di moving camp terisolasi dari lingkungan luar. Salah satu sarana untuk berhubungan dengan lingkungan luar adalah telepon seluler yang mendapat sinyal pada titik tertentu saja. Informan mengatakan bahwa orang yang bertahan bekerja di tempat seperti ini umumnya adalah buruh yang berlatar belakang petani atau pernah merantau sebelumnya dan bekerja di tempat yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Seperti yang pernah mereka kerjakan di kebun kelapa sawit, tambang atau buruh bangunan, di luar itu sulit orang bisa bertahan di tempat kerja seperti ini.

Universitas Sumatera Utara 94

Banyak orang pada awalnya bersedia ikut bekerja tetapi setelah beberapa hari kerja merasa tidak betah dan tidak tahan dengan kondisi yang dihadapi akhirnya meminta berhenti. Ada yang pergi dengan melarikan diri yang kadang membuat KR rugi dan bahkan ada juga yang mempersulit tenaga kerja. Ini juga merupakan salah satu alasan orang yang diajak bekerja adalah orang yang berasal dari suatu daerah karena apabila kabur akan mudah menemukannya kembali.

4.4. Kesehatan

Pola makan para pekerja di moving camp berkisar 2-3 kali sehari dengan menu utama nasi dan ikan asin. Untuk mendapatkan protein tambahan sesekali pekerja memancing ikan atau berburu hewan liar seperti pelanduk, landak, biawak, dan babi hutan. Ayam hampir tidak bisa didapat di camp dan telor kalaupun tersedia di KR harganya mahal. Sebagai bahan perbandingan harga 1 butir telur ayam di Pangkalan Kerinci Rp. 1000,- sedangkan di camp dijual seharga Rp. 1500,- sayuran yang sering dikonsumsi adalah kankung yang tumbuh liar dikanal. Dapat dikatakan asupan gizi pekerja di moving camp sangat rendah.

Untuk menambah asupan giji pekerja PT. RAPP secara berkala memberikan tambahan nutrisi berupa biscuit dan lainnya oleh pekerja disebut pundding

(fooding). Menurut para pekerja tambahan nutrisi berupa biskuit diberikan 2 (dua) minggu sekali berdasarkan jumlah pekerja yang tercatat di PT. RAPP dan bukan kebutuhan keluarga. Biscuit itu biasanya dibawakan oleh mandor ke camp pada hari Sabtu. Informasi lain mengatakan tambahan nutrsisi tersebut baru diberikan apabila diorder atau ditanyakan oleh KR kepada mandor apabila tidak ditanyakan oleh KR kepada mandor sering tidak dikirim.

Universitas Sumatera Utara 95

Anak-anak yang tinggal di kamp itu juga mengalami kondisi yang memperhatikan dalam hal gizi. Makanan yang mereka konsumsi sama seperti makanan orang dewasa, mereka tidak minum susu karena untuk membeli susu membutuhkan biaya yang besar. Gizi yang didapat anak-anak yang tinggal di camp itu sama bersasal dari nasi yang dimakan oleh orang dewasa. Anak-anak dibawah umur 1 tahun, nasi yang dimakan dihancurkan dengan menggunakan air panas dan disaring dengan alat saringan. Hasil penyaringan nasi yang disiram air panas ini dijadikan makanan utama anak-anak.

Gambar 4.8. Klinik Kesehatan Camp Satelit Sektor Pelalawan Perusahaan Perkebunan PT. RAPP Sering makanan mereka hanya berupa nasi, jarang sekali anak-anak ini mengkonsumsi sayur dan buah-buahan karena memang untuk mendapatkannya sulit selain harus mengeluarkan biaya tambahan. Lokasi moving camp karena terisolasi, para pekerja sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dan sarana yang memadai dari perusahaan. Anak balita tidak pernah mendapatkan imunisasi

Universitas Sumatera Utara 96

bahkan persalinan pun sering dilakukan di camp dengan pertolongan kerabat atau dukun bayi. Sering sekali luka akibat kecelakaan kerja atau luka kecelakaan akibat bermain pada anak-anak sering ditangani sendiri dibandingkan dengan membawa di klinik. Salah satu hambatan adalah tidak ada transportasi yang tersedia, misalnya mobil ambulance atau speadboat ambulance. Untuk mengatasi sakit ringan pekerja mengkonsumsi obat yang bebas disediakan oleh KR seperti paradol, neopanasin, paramex, dan bodrek.

Perusahaan sebenarnya sudah memberikan pelayanan kesehatan yang memadai pada pekerja dan keluarganya, tetapi terhambat pada kondisi lapangan yang sulit. Apabila ada kasus laporan kecelakaan maka tim medis akan segera dikirim. Dalam kasus sering terjadinya persalinan di camp karena pekerja tidak mematuhi aturan yang diterapkan. Aturan perusahaan perempuan yang mengandung tidak diperkenankan untuk bekerja.

Menurut salah satu staf apabila mereka menginginkan persalinan di rumah sakit maka perusahaan akan mengantarnya ke rumah sakit. Namun aturan itu sering kali tidak ditaati oleh pekerja dengan berbagai alasan seperti kebiasaan di kampung mereka baru membawa ibu yang akan melahirkan apabila keadaan sudah mendesak, tidak dimilikinya biaya untuk melakukan persalinan di rumah sakit dan sebagainya. Buruh berlaku demikian karena di camp juga ada biasanya orang yang biasanya membantu melakukan persalinan, mereka baru akan menghubungi medis apabila ada masalah dalam persalinan, ditambah juga dengan keterkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa dari kampung asal.

Bahkan dikatakan tim medis sering menangani persalinan di perjalanan seperti di atas perahu dan mobil.

Universitas Sumatera Utara 97

Pelayanan kesehatan bagi pekerja dan keluarganya tersedia di klinik yang terletak di satelit dan sektor yang berjarak di rentang 15 km sampai 40 km dari camp tempat tinggal pekerja. Untuk berobat pada klinik tersebut pekerja tidak dipungut biaya, kecuali bila pasien harus dirujuk ke rumah sakit di tempat lain

(Pangkalan Kerinci) maka pembiayaan ditanggung 50% oleh perusahaan dan sisanya dibebankan kepada pasien. Jenis penyakit yang paling sering diderita oleh pekerja Nias dan keluarganya antara lain, malaria, ISPA, gatal pada kulit, sakit kepala, batuk, flu, pilek. Pada musim kemarau malaria dan batuk-batuk sering terjadi. Kondisi kamp yang tidak sehat dan bilik saling berdempetan turut membantu penyebaran penyakit ke semua penghuni kamp.

Peneliti tidak sependapat dengan hasil penelitian Purwanto, at al.,

(2010:23), tentang pernyataan yang diberikan oleh salah satu staf perusahan PT.

RAPP bahwa pelayanan kesehatan di klinik gratis, selalu ada sosialisasi dan kesediaan ambulance. Menurut temuan lapangan, bahwa sosialisasi di camp moving hanyalah retorika tanpa ada realisasi, buktinya sudah dua tahun buruh pernah mengunjungi camp di salah satu TPK, bahkan ada petugas medis yang meminta uang ketika berobat di salah satu klinik kesehatan. Buruh migran Nias ketika meminta layanan ambulance untuk berobat di luar perusahaan membayar

Rp. 300.000-400.000.

Rendahnya tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan juga terhambat oleh persepsi pekerja Nias mengenai pengobatan dan sakit. Bagi mereka berobat ke fasilitas kesehatan seperti klinik atau rumah sakit identik dengan keharusan disuntik (injeksi). Bila tidak disuntik bagi mereka sama saja dengan tidak berobat dan tidak ada bedanya dengan membeli obat bebas yang dijual KR. Riset

Universitas Sumatera Utara 98

Sciortino (2007:100-101), persepsi masyarakat, suntikan merupakan spesialis utama dari pelayanan biomedis. Kecepatan hasil pengobatan ini membuat orang percaya bahwa alat suntik tepat untuk mengobati semua jenis penyakit. Suntikan menjadi simbol kekuatan penyembuhan tradisional modern. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tradisi pengobatan biomedis telah “disuntikan” ke desa-desa.

4.5. Akses Pendidikan Anak

Akses pendidikan anak anak-anak buruh di Estate Pelalawan PT. Riau

Andalan Pulp and Paper sangat terbatas dan sulit. Fasilitas pendidikan yang ada di

Estate Pelalawan adalah TK dan SD Global Andalan yang didirikan tahun 2007.

Sekolah ini berada di lingkungan perkantoran dan pemukiman karyawan tetap

Perusahaan Perkebunan PT. RAPP Sektor Pelalawan. Jumlah tenaga mengajar 12 orang termasuk kepala sekolah dan wakil kepala sekolah yang ikut mengajar.

Sedangkan untuk TK dikelola oleh 2 tenaga pengajar. Siswa sekolah ini sebagian besar anak-anak pekerja Nias yang tinggal di barak permanen seperti TPK 5, TPK

5,5, dan sebagian kecil anak karyawan tetap PT. RAPP.

Gambar 4.9. Fasilitas Pendidikan Tingkat Kakak-Kanak (TK) di Lokasi Perkantoran Sektor Pelalawan

Universitas Sumatera Utara 99

Menurut keterangan buruh migran Nias di barak Sektor, karyawan PT.

RAPP memilih menyekolahkan anak mulai dari tingkat SD sampai lanjutan di

Sekolah Global Andalan yang ada di Townsite 1 dan 2 di Pangkalan Kerinci yang dianggap kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan SD yang ada di Sektor

Pelalawan. Sedangkan untuk TK karyawan menyekolahkan anaknya di TK Estate

Pelalawan.

Menurut keterangan para buruh harian lepas di barak Sektor Pelalawan, jumlah murid SD kira-kira 120 orang dan murid TK sebanyak 41 orang. Jumlah tenaga pengajar untuk SD sebanyak 11 orang, 9 orang merupakan guru tetap dan 2 orang sisanya guru honorer. Dari sembilan orang guru tetap 7 orang diantaranya adalah sarjana 4 orang. Pada kunjungan para buruh di barak sektor mengeluhkan bahwa anak-anak SD sudah dua tahun tidak mendapatkan Bantuan Siswa Miskin

(BSM), hanya sekali diterima Rp. 400.000, dan itu pun dipotong oleh pihak sekolah Rp. 200.000 perorang. Dari 120 jumlah siswa hanya 10 orang yang menerima bantuan siswa miskin. Padahal buruh itu waktu ke Kota Pangkalan

Kerinci, anak-anak di sekolah dekat HO masih mendapat beasiswa.

Perusahaan PT. RAPP menyediakan fasilitas bis sekolah untuk kepentingan sekolah anak karyawan dan pekerja antara jemput siswa.

Keberangkatan bis disesuaikan dengan jadwal sekolah siswa dalam satu hari bis bisa sampai 3 trip untuk antar jemput siswa. Pelayanan antara jemput siswa bukan saja dari sektor ke Pangkalan Kerinci tetapi juga ke barak-barak permanen seperti

Pelalawan Centre Nurseri, TPK 5, karena siswa anak dari pekerja Nias tinggal di barak tersebut.

Universitas Sumatera Utara 100

Penelitian Purwanto, at al., (2011:50), keberadaan sekolah di Estate

Pelalawan bermula dari kepedulian beberapa orang petugas pelayanan iman dari gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang merasa prihatin melihat anak- anak pekerja Nias tidak mendapatkan pendidikan sama sekali. Pada tahun 2004 diluar tugas memberikan pelayanan iman, petugas tersebut kemudian memberikan pendidikan informal kepada anak-anak pekerja Nias agar mereka bisa membaca dan menulis. Kegiatan ini kemudian mendapat tanggapan positif dari PT. RAPP.

Pada tahun 2007 melalui Yayasan Kerinci Citra Kasih (YKCK) kegiatan pendidikan informal tersebut ditingkatkan menjadi sekolah formal dan dibangun gedung sekolah permanen di lokasi sekolah itu sekarang. Status sekolah di Estate

Pelalawan saat ini sudah resmi dan teregister di dinas pendidikan setempat. Untuk saat ini gereja BNKP tidak lagi memberikan pelayanan iman ke camp-camp karena tidak dimilikinya tenaga pelayan. Upaya untuk meminta tenaga telah dilakukan bebrapa kali oleh tokoh Ikatan Keluarga Nias (IKN) ke sinode BNKP namun jawabannya selalu sama yaitu tidak ada tenaga. Bahkan menurut Vicaris saja saat ini hanya 2 orang, itu pun sudah ditempatkan di daerah lain.

Perlu diakui bahwa SD Global Andalan (GA) Pelalawan walaupun sudah ada sekolah formal, tingkat partisispasi pekerja Nias untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Ini terlihat walaupun sudah disediakan bis sekolah dari barak dibiarkan tidak sekolah oleh karena orangtuanya. Selain itu kerap kali anak berhenti sekolah karena alasan yang tidak jelas. SD Global Andalan

Pelalawan juga memberikan kemudahan bagi anak pekerja yang sebelumnya bersekolah Nias untuk melanjutkan SD GA di Pelalawan. Tanpa membawa surat pidah dan buku raport pun anak-anak pekerja Nias tetap diterima untuk

Universitas Sumatera Utara 101

melanjutkan sekolah. Menurut kepala sekolah setiap siswa yang pindah sekolah maka harus dilengkapi surat pindah dari sekolah asal dan buku raport sebagai salah satu persyaratan diterima di sekolah baru. Tetapi umumnya anak-anak pekerja Nias yang dibawah oleh orangtuanya tidak membawa raport dan surat pindah dari sekolah asal. Kemudahan lain yang diberikan sekolah kepada anak- anak pekerja Nias adalah siswa tidak diharuskan menggunakan seragam sekolah dan sepatu apabila memang orangtuanya tidak mampu. Sama dengan Sekolah SD lainnya Sekolah Global Andalan Pelalawan telah meluluskan 6 siswa pekerja

Nias, 1 orang diantaranya melanjutkan sekolah di SMP Pangkalan Kerinci sedangkan lima orang lainnya tidak diketahui apakah mereka melanjutkan sekolah atau tetap dibarak membantu orangtua mereka.

Hambatan utama yang dihadapi oleh para pekerja Nias untuk menyekolahkan anak di Estate Pelalawan adalah kondisi geografis yang sulit.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa lokasi pemukiman atau moving camp pekerja Nias berada di pedalaman yang sulit diakses. Jarak dari sektor ke tempat berada ke pemukiman berjarak 30-40 km jalan darat atau sekitar 1 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dan harus disambung dengan perjalanan menggunakan perahu dengan waktu tempuh bervariasi antara 15 menit sampai lebih 1 jam. Kondisi ini sangat tidak memungkinan bagi anak-anak yang tinggal di moving camp untuk bisa menjangkau sekolah.

Kondisi geografis yang sulit juga memperburuk keadaan dengan tidak adanya sarana transportasi khusus bagi anak untuk bersekolah tentunya membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi dan akan menjadi beban bagi perusahaan. Untuk mengatasi masalah ini pada tahun 2007 perusahaan pernah

Universitas Sumatera Utara 102

mengadakan program “inang Asung” atau ibu asuh bagi orangtua anak-anak pekerja Nias dan membangun barak penampungan anak-anak yang lokasinya berada di nurseri. Anak-anak pekerja yang ada di kamp dikumpulkan di barak tersebut dan diasuh oleh beberapa orang tenaga yang dipekerjakan khusus menjaga anak-anak. Sesuai dengan namanya “inang Asuh” tujuan program ini adalah memberikan pengasuhan bagi anak-anak pekerja.

Bila dilihat lebih jauh dasar pemikirannya antara lain tempat orangtuanya yaitu moving camp sangat tidak layak untuk anak-anak baik dari segi kesehatan maupun keselamatan, keberadaan anak-anak di lokasi kerja bisa menganggu aktivitas bekerja orangtua dan bisa berdampak rendahnya produktivitas kerja bahkan tidak tercapainya target kerja, dengan ditempatkan di nurseri setidaknya anak usia sekolah bisa sekolah karena ada bis antar jemput untuk siswa dan anak yang belum cukup umur untuk sekolah mendapat tempat tinggal yang layak dan pengawasan yang baik dari inang asuh.

Keberadaan inang asuh ini tidak bisa bertahan lama dan hanya berjalan kurang lebih 2 tahun. Tahun 2009 inang asuh ditiadakan karena beberapa faktor antara lain dalam aturan PT. RAPP semua pekerja harus dilakukan oleh pihak kedua dalam hal ini kontraktor dan pembayaran dilakukan langsung oleh kantor pusat. Maka program inang asuh ini pun harus dijalankan oleh kontraktor rekanan.

Dengan demikian inang asuh merupakan pekerja dari kontraktor dan pembayaran pun dilakukan oleh kontraktor. Setiap mendapatkan pekerjaan dari perusahaan biasa kontraktor ingin mengambil keuntungan dari pekerja tersebut tidak terkecuali juga pada program inang asuh. Karena adanya pemotongan dari kontraktor maka gaji yang diterima oleh inang asuh gaji yang diterima oleh inang

Universitas Sumatera Utara 103

asuh tidak utuh dan sangat kecil. Menurut pengakuan seorang bekas inang asuh gaji yang diberikan oleh kontraktor sangat kecil. Untuk mengasuh anak sebanyak

10 orang dana yang diberikan oleh kontraktor hanya Rp. 30.000 karena tidak adanya biaya makan untuk anak-anak asuh, upah tersebut menurutnya habis untuk keperluan makan anak-anak asuh itu sendiri sehingga pengasuh tidak mendapat apa-apa.

Seorang mantan inang asuh lainnya mengatakan bahwa dalam 1 bulan gaji inang asuh sebesar Rp. 1,2 juta karena dipotong oleh kontraktor yang diterima hanya Rp. 800.000. Ditambah uang gaji tersebut juga pada kenyataannya habis untuk biaya makan anak-anak mereka. Informasi lain menyebutkan bahwa gaji yang diterima oleh inang asuh disesuaikan dengan jumlah anak yang diasuh semakin banyak anak yang diasuh maka akan semakin besar upah yang diterima.

Cara ini tidak jarang menimbulkan pertengkaran antara inang asuh dengan lainnya.

Bagi orangtua anak atau pekerja program inang asuh juga menjadi beban karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk makan anak yang dititipkan pada inang asuh. Faktor lain bahwa orangtua tidak percaya sepenuhnya pada orang lain untuk mengasuh anaknya. Ada rasa kekhawatiran apabila anak dititipkan pada pihak lain sehingga secara psikologis membuat mereka tidak tenang. Pada orangtua juga merasa lebih nyaman apabila anak selalu ada di dekat dengan mereka dan dalam pengawasan sendiri. Karena adanya berbagai kendala di atas maka program inang asuh akhirnya berhenti pada sekitar tahun 2009.

Anak-anak asuh dikembalikan pada orangtua masing-masing.

Universitas Sumatera Utara 104

Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan juga merupakan kendala bagi orangtua untuk menyekolahkan anak. Disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa pekerja banyak yang terjerat utang karena pendapatan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan menyekolahkan anak artinya harus ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Memang sekolah tidak memungut bayaran dan tidak mewajibkan seragam bagi yang tidak mampu tetapi ada keperluan-keperluan lain untuk bersekolah seperti baju yang layak, buku, tas dan biaya untuk makan anak itu sendiri. Menurut keterangan seorang informan bahwa tidak kurang dari Rp. 300.000 harus dikeluarkan setiap bulannya untuk biaya anak sekolah. Dengan tingkat pendapatan dan upah yang rendah dan adanya jeratan utang, menyekolahkan anak bukanlah prioritas bagi pekerja. Prioritas para pekerja saat ini adalah bagaimana upaya bertahan hidup.

Faktor lain adalah latar belakang pendidikan orangtua yang berasal dari desa-desa pedalaman yang belum memadang pendidikan sebagai hal yang penting bagi masa depan anak. Bagi mereka nampaknya jenjang pendidikan formal yang ideal dianggap menyita waktu teramat panjang, butuh waktu lama, dan menghabiskan biaya besar. Bagi buruh di Sektor Pelalawan sekolah model formal berjenjang tak bisa menuju kebutuhan riil kehidupannya yang serba kekurangan.

Para pekerja Nias memiliki prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan dasar paling urgen: mencukupi pangan harian, dan kalau ada kebutuhan lain setelah itu, lebih kepada hal-hal yang akan menjamin lagi ketahanan pangan tersebut: mengumpulkan uang untuk membeli sawah dan kebun.

Universitas Sumatera Utara 105

4.6. Akses Tempat Peribadatan

Fasilitas sarana peribadatan bagi agama Islam ada di Pelalawan Estate terdapat dua mushollah yang masing-masing berada di lokasi Sektor Pelalawan dan Satelit. Untuk non muslim belum ada sarana peribadatan, dan menurut keterangan para buruh di barak Sektor Pelalawan untuk buruh yang beragama

Kristen, baik Katolik maupun Protestan apabila ingin melakukan peribadatan dipersilahkan menggunakan bangunan serba guna milik perusahaan yang berada di sektor. Selain itu, buruh agama kristen yang berada di barak TPK 5 terpaksa menggunakan salah satu ruangan untuk bisa melaksanakan ibadat.

Sarana peribadatan bagi pekerja non muslim ini bukan saja belum memadai tetapi sulit dijangkau oleh para pekerja Nias yang tinggal di moving camp yang sebagian besar beragama Protestan. Para pekerja sendiri mengaku bahwa selama ini mereka belum pernah pergi ke tempat ibadat karena jarak yang cukup jauh. Mereka juga mengaku selama ini belum pernah ada pelayanan iman bagi petugas gereja ke camp-camp tempat tinggal masing-masing. Maka bila ada anak yang baru lahir, terpaksa haru menunggu beberapa tahun kemudian untuk dibaptis di kampung. Pada hal tempat ibadat merupakan penunjang kesejahteraan lain yang harus disediakan oleh perusahaan berdasarkan aturan perundangan adalah sarana peribadatan sesuai dengan agama yang dianut oleh para pekerja.

Peneliti memahami kondisi ini sebagai bentuk eksploitasi terhadap hak-hak warga negara untuk beribadah sesuai iman dan kepercayaan yang dianut.

Universitas Sumatera Utara BAB V KONDISI-KONDISI PENDUKUNG PRAKTEK EKSPLOITASI BURUH MIGRAN NIAS

Bab ini merupakan suatu pembahasan tentang kondisi-kondisi yang mendukung praktek eksploitasi untuk menuju bab inti, terutama praktek eksploitasi dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen. Hasil interpretasi data penelitian akan diuraikan dalam beberapa bagian yang diawali dengan buruh migran Nias sebagai kondisi pendukung utama. Peneliti menemukan bahwa kondisi kemiskinan dan tingkat pendidikan di daerah asal merupakan salah satu faktor utama pendorong dan penarik migrasi, sekaligus praktek eksploitasi buruh migran Nias. Faktor pendukung lain ialah tempat tinggal yang cukup terisolasi dari akses umum, maka tidak mengherankan kondisi ini menjadi kesempatan bagi para agen (agency) untuk mempengaruhi struktur dalam praktik sosial demi keuntungan kapitalisme. Dalam sub bagian akan diuraikan tentang informasi- informasi ketenagakerjaan, misalnya upah, jam kerja, hak cuti, tinggal tinggal, dan keselamatan dan kesehatan kerja. Bagian-bagian tersebut, diinterpretasikan melalui kajian teoritis sebagai satu kesatuan data yang komprehensif dan valid.

5.1. Buruh Migran Nias

Buruh migran etnis Nias di perkebunan pohon akasia PT. Riau Andalan

Pulp and Paper (RAPP) dominan penduduk Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten

Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Nias Barat. Informan Yustin Laia, mantan buruh borongan, kepala rombongan, dan pengurus kontraktor sebagai penyediaan tenaga kerja asal Nias di bagian penanaman PT. RAPP mengatakan bahwa jumlah buruh migran Nias yang sudah tersebar di perkebunan tersebut diperkirakan mencapai 4.000 orang tenaga kerja. Tenaga kerja asal Nias tersebar di bagian

106

Universitas Sumatera Utara 107

penanaman dan nurseri-nurseri pada 13 (tiga belas) sektor daerah operasi kegiatan industri perusahaan perkebunan PT. RAPP, salah satunya Sektor Pelalawan.

Buruh migran Nias pada umumnya terdorong untuk bekerja di perkebunan

PT. RAPP karena faktor ekonomi. Buruh outsourcing PT. Agung Artumoro bernama Fanolo Halawa, dari Kabupaten Nias Selatan mengatakan “alasan migrasi karena tidak ada lapangan kerja di Nias. Kalau ada penghasilan di Nias tidak mungkin saya ke Nias”. Hal sama diungkapkan oleh Adina Zega, Buruh

Harian Lepas di Kerinci Centre Nurseri (KCN), “Ya...taulah bang, di Nias kurang lapangan pekerjaan”. Informan Mareti Gulo, buruh harian lepas di Pelalawan

Nurseri Centre (PCN) mengafirmasi pernyataan Adina Zega, “Belum lagi penghasilan karet yang tidak menentu, curah hujan yang tinggi”. Alasan tersebut menjadi faktor pendorong buruh migran Nias memutuskan merantau dan bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak membutuhkan keterampilan.

Tabel 5.1 Posisi Kerja dan Faktor Pendorong Bekerja Pendorong Bekerja di Perkebunan Lapangan Biaya Posisi Kerja Pekerjaan Melunasi Sekolah terbatas Utang Anak Lain-lain Buruh Borongan 36 8 11 4 Buruh Harian Lepas 21 0 0 0 Total 57 8 11 4 Persentase (%) 71,3 10,0 13,8 5,0 Sumber: Penelitian Lapangan 2016

Tabel 5.1 merupakan hasil survei yang disebarkan kepada 80 responden buruh migran Nias, terutama buruh outsourcing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi kerja dan faktor pendorong bekerja di PT. Riau Andalan Pulp and

Paper responden yang terdiri dari 5 kategori, yaitu lapangan pekerjaan yang terbatas di daerah asal (71,3%), melunasi utang, biaya menyekolahkan anak

Universitas Sumatera Utara 108

(10,0%), mencari pengalaman (0%), dan lain-lain (5,0%). Responden buruh borongan dan buruh harian lepas, memiliki proporsi terbesar, sedangkan yang terkecil adalah responden yang memilih lain-lain dengan berbagai alasan.

Singkatnya, responden terdorong bekerja di PT. RAPP karena lapangan pekerjaan terbatas di daerah asal.

Penelitian yang pernah diadakan oleh Sinode Pertama Keuskupan Sibolga

(Renstra, 2010-2014:68-69) menemukan problem utama yang dihadapi oleh

Gereja di Kepulauan Nias dalam bidang ekonomi ini adalah kemiskinan. Struktur pendapatan sebanyak 60,5% responden yang berada di desa menyatakan bahwa pendapatannya kurang dari Rp. 500.000 dibandingkan dengan kota hanya 33,8%.

Disparitas ekonomi antara desa dan kota sebagaimana ditunjukkan dalam survei umat tahun 2009 merefleksikan trend kemiskinan di Indonesia. Secara konsisten angka kemiskinan di desa jauh lebih tinggi dari kota dan rata-rata nasional.

Memang di kota juga ditemukan kantong-kantong kemiskinan, tetapi kemiskinan lebih merupakan fenomena pendesaan, tempat dimana petani tinggal dan berjuang menghasilkan barang-barang dasar, khususnya makanan yang dibutuhkan umat manusia, termasuk orang kota. Gejala sosial ini menurut Gereja adalah ketidakadilan ekonomi di tengah gencarnya pembicaraan tentang pemerataan dan keadilan sosial. Sedikit orang pada puncak piramida menguasai banyak, sementara kebanyakan rakyat, terutama keluarga-keluarga petani dibiarkan merana.

Penelitian Purwanto, at al., (2011:6), merangkum faktor-faktor migrasi pekerja Nias ke PT. RAPP sebagai berikut. Pertama, minimnya sumber mata pencaharian di Nias memaksa masyarakat Nias harus mencari pekerjaaan di luar

Universitas Sumatera Utara 109

Nias, tingginya mahar atau uang jujuran untuk pernikahan. Kedua, sosial-kultural melalui budaya merantau ke daratan Sumatera seperti Medan, Sibolga, Dumai dan

Pekan Baru. Ketiga, sosial-ekonomi yang sangat rendah di Nias. Keempat, adat, yaitu tingginya mahar atau uang “jujuran” untuk perkawinan yang harus diberikan pihak laki-laki kepada perempuan.

Bekerja di PT. RAPP memungkinkan memperoleh uang pinjaman untuk uang jujuran lebih besar dibandingkan dengan bekerja di Nias sendiri. Mereka bisa meminjam uang jujuran pada KR atau kontraktor supplier tenaga kerja yang kemudian dibayar dengan mengabdikan tenaga kerjanya pada KR atau kontraktor tersebut. Dibalik semua motif dan alasan tersebut maka hampir semua informan dan responden sepakat bahwa faktor ekonomi daerah asal menjadi faktor pendorong yang dominan melatar belakangi kedatangannya.

Berdasarkan temuan data di atas makin jelaslah bahwa buruh migran Nias di perkebunan Pelalawan didorong oleh faktor kemiskinan di daerah asal, terutama minimnya mencari mata pencaharian sehari-hari dan mencari uang jujuran pernikahan yang cukup tinggi di Kepulauan Nias. Faktor penarik ke perkebunan Pelalawan adalah kemudahan untuk mendapatkan biaya perongkosan yang ditalangin oleh kepala rombongan (KR) sebagai utang, serta tidak membutuhkan keterampilan bekerja yang hampir sama dengan jenis pekerjaan di daerah asal.

5.1.1. Mimpi Sejahtera di “Negeri Seberang”

Potret kemiskinan di Kepulauan Nias bukan sekedar isu di kalangan masyarakat luas, secara khusus masyarakat Nias. Kesenjangan sosial di antara masyarakat bagaikan jurang yang sulit diseberangin. Kelompok kelas elit muncul

Universitas Sumatera Utara 110

satu persatu, sementara rakyat miskin bertambah dari tahun ke tahun dan beban ekonomi semakin tinggi dari hari ke hari. Mata pencaharian petani karet kurang menjanjikan, apalagi setiap tahun curah hujan tinggi dan harga karet yang semakin menurun. Itulah sekelumit realitas sosial yang dirasakan oleh masyarakat

Nias, terutama buruh pekerja di perkebunan.

Persoalan kemiskinan menjadi bahan pertimbangan bagi buruh migran

Nias mencari kehidupan “negeri seberang”. Mimpi sukses di negeri seberang buyar seketika ketika buruh diperlakukan layaknya seperti budak. Buruh hanya bekerja dan bekerja, tanpa ada kontrak kerja yang jelas, upah yang jelas, dan jaminan sosial. Belum lagi utang yang semakin terus bertambah, sementara penghasilan perbulan tidak sebanding. Maka tepatlah bunyi pepatah kuno, “lebih besar tiang dari pasang” artinya lebih besar pengeluaran daripada penghasilan.

Kondisi realitas sosial-ekonomi buruh menjadi kesempatan bagi pelaku

(agency) eksploitasi. Gaya eksploitasi bermanifestasi dalam struktur (structure) yang oleh Giddens dikonseptualisasikan sebagai aturan (rules) dan sumber daya

(resources). Struktur dinyatakan oleh Giddens selain dapat membatasi atau mengekang (constraining), dapat pula memberdayakan (enabling) pelaku.

Pembatasan atau pemberdayaaan struktur tersebut dapat dilakukan oleh kapitalisme karena modal kapital yang melekat padanya (Giddens, 1984; Sewell,

1992:4).

Sebagaimana diungkapkan dalam teori strukturasi, Giddens menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, dimana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam dualitas, bukan dualisme, termaktub pengertian bahwa antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan; diantara keduanya

Universitas Sumatera Utara 111

terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial; dimana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari hasil interaksi antara struktur dengan pelaku

(Priyono, 2016:29).

Dalam konteks perburuhan di Pelalawan, manifestasi eksploitasi buruh tersingkapkan dalam berbagai cara yang digunakan oleh para agen suplier tenaga kerja atau kepala rombongan. Praktek eksploitasi dikondisikan dengan cara membiayai perongkosan dari tempat asal, memberikan pinjaman uang berapa pun itu asalkan sampai dan mau bekerja di perkebunan PT. RAPP. Buruh migran Nias ketika mendapati diri diperlakukan tidak adil, gaji dibawah Upah Minimum

Kabupaten (UMK) Kabupatan Pelalawan tahun 2016 Rp. 2.176.480 dan tempat tinggal di moving camp. Buruh ingin mau keluar, tetapi tidak bisa, karena utang, terpaksa harus kerja dan kerja. Kondisi ini menjadi alat ampuh bagi agen untuk

“mengikat” buruh melalui struktur dalam praktik sosial.

5.1.2. Buruh Minim Keterampilan

Interpretasi data penelitian melalui hasil wawancara dengan para informan ditemukan bahwa buruh migran Nias pada umumnya minim keterampilan. Buruh migran Nias dominan bekerja di bagian penanaman dan pembibitan. Buruh migran Nias sangat sedikit di bagian perawatan dan penanaman, karena dibutuhkan keahlian khusus. Alasan utama adalah buruh migran Nias tidak mempunyai keahlian untuk mengoperasikan alat-alat berat di bagian pemanenan dan perawatan. Singkatnya, para buruh migran Nias minim keterampilan memungkinkan kondisi-kondisi praktik eksploitasi terhadap tenaga buruh.

Universitas Sumatera Utara 112

Model migrasi buruh migran Nias pada umumnya melalui jaringan primordial (kekerabatan), disisi lain menjadi keuntungan bagi buruh, tetapi disamping itu justru menjadi jerat bagi buruh itu sendiri. Para kontraktor, kepala rombongan, dan buruh yang sudah dianggap sukses merekrut tenaga kerja pertama-tama keluarga keluarga intim, tetangga, dan baru kampung. Para buruh migran Nias menyadari pentingnya hubungan sosial informal dengan kerabat atau teman yang berpengalaman di sebuah perkebunan. Realitas tersebut terlihat pada migran asal Nias yang memiliki kedekatan primordial, pertemanan, dan kekerabatan. Para buruh sebagian besar terserap di sektor perkebunan tidak terampil dan kebanyakan berpendidikan tidak tamat SD memilih menjadi buruh di perkebunan akasia.

Karakteristik jaringan sosial buruh migran Nias di lokasi penanaman dan nurseri Estate Pelalawan perusahaan perkebunan PT. RAPP terbukti memberikan implikasi sosial-ekonomi. Sebaliknya, jaringan sosial itu mempunyai dampak negatif ketika agen-agen tersebut mencari keuntungan atas buruh itu sendiri.

Menurut pengakuan salah satu kepala rombongan bahwa untuk mendatangkan anggota baru, ia mendapatkan balas jasa Rp. 100.000 per orang dari salah satu kontraktor suplier tenaga kerja. Bahkan agen yang mendatangkan tenaga kerja dari tempat lain sering dipercayakan sebagai kepala rombongan dalam satu camp dengan mendapatkan komisi (fee) dari harga lahan yang dikerjakan oleh buruh.

Adapun hasil wawancara dengan informan Jaya Bulolo, kepala rombongan kontraktor orang Nias menuturkan sebagai berikut:

“...Saya merekrut pekerja dengan mendatangkan anggota dari luar atau PT lain, misalnya dari Dumai. Saya harus membayar utang mereka di tempat kerja sebelumnya, dan sekaligus membiayai ongkos perjalanan sampai ke tempat tujuan. Misalnya, anggota yang

Universitas Sumatera Utara 113

baru saya kita datangkan dari Dumai ada enam keluarga, kita melunasi utang dan ongkos mereka sekitar Rp. 38 juta. Biasanya, para pekerja mengutang kepada kepala rombongan, terutama kebutuhan sehari-hari yang disediakan oleh PT adalah tenda dan papan tripleks. Ada perjanjian, apabila sebelum sampai tiga bulan biaya tenda dan triplek tidak dibayar, jika sudah melewati tiga bulan. Biasanya saya diberikan Rp.100.000 perkepala kerja oleh PT sebagai balasa jasa, selain itu, saya juga berhak menjadi kepala rombongan mereka...”.

Bila dikaji lebih mendalam bahwa struktur jaringan sosial justru bersifat paradoks, buruh dari Nias mendapatkan pekerjaan, tetapi sekaligus buruh sudah

“ditransaksikan” oleh agen dalam praktik sosial. Struktur utang dan fee yang diperoleh kepala rombongan dari kontraktor merupakan bentuk-bentuk eksploitasi tersingkap dalam struktur yang dikondisikan oleh agen secara masif.

5.2. Tingkat Pendidikan Rendah

Buruh migran Nias di PT. RAPP pada umumnya berpendidikan rendah, dan malah masih banyak yang belum pernah mengenyam pendidikan formal, alias buta huruf. Maka tidak mengherankan apabila sebagian besar buruh yang peneliti jumpai tidak bisa berbahasa Indonesia. Tingkat pendidikan yang masih rendah berdampak pada ketidaktahuan berbahasa Indonesia dengan baik, serta strukur pengelompokkan tempat tinggal berdasarkan etnis menjadi kondisi-kondisi yang memungkinkan eksploitasi melalui struktur.

Tingkat pendidikan buruh migran Nias yang rendah pada zamannya sudah dikemukakan oleh Paulo Freire (1984: 33) bahwa pendidikan adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan. Artinya, pendidikan sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia sebagai mahkluk yang bermartabat. Dalam konteks buruh migran Nias, pendidikan yang

Universitas Sumatera Utara 114

rendah dan ketidakmampuan berbahasa Indonesia menjadi faktor pendukung eksploitasi, penindasan, dan pembodohan oleh aktor-aktor kekuasaan dominan yang dimanifestasikan oleh agen-struktur melalui praktik sosial.

Buruh migran Nias karena ketidaktahuan berbahasa Indonesia, membaca, dan menulis merupakan suatu kesempatan bagi agen untuk membuat kebijakan sepihak. Dalam satu kesempatan, peneliti mengamati salah satu pengurus kontraktor membubuhi tanda tangan surat perjanjian kerja untuk diserahkan kepada pihak maneger kantor Estate Pelalawan. Surat tersebut seharusnya ditanda tangani oleh buruh yang bekerja pada kontraktor bersangkutan. Para agen-agen tenaga kerja seenaknya membuat surat perjanjian dengan buruh yang tidak mau patuh terhadap kebijakan sepihak baik dari kontraktor maupun kepala rombongan.

Misalnya ketika ada kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian buruh di salah satu pengurus kontraktor, maka cepat-cepat agen-agen tersebut membuat surat pernyataan dan ditanda tangani di atas materai enam ribu kepada pihak keluarga bahwa tidak menuntut kepada pihak kontraktor atau agen-agen suplier tenaga kerja di kemudian hari.

Hal lain yang menarik dalam penelitian ini adalah pemalsuan surat keterangan dari kepala Desa. Memang di sisi lain, para buruh migran Nias sebagian besar tidak mempunyai dokumen, misalnya Kartu Tanda Penduduk

(KTP), padahal persyaratan masuk kerja dan tes kesehatan harus mempunyai

KTP. Akhirnya, agen-agen tenaga kerja kontraktor membuat surat keterangan palsu atas nama kepala desa di salah satu Kabupaten Nias Selatan. Semua surat keterangan berasal dari satu wilayah kepala desa menegaskan bahwa buruh bernama tersebut benar penduduk salah satu desa di Kabupatan Nias Selatan dan

Universitas Sumatera Utara 115

Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan sedang dalam pengurusan.

Padahal setelah peneliti bertanya satu persatu kepada masing-masing buruh migran Nias sedang menunggu antrian tes kesehatan ada yang berasal dari

Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Utara.

Pemalsuan data tersebut semakin kuat ketika salah satu petugas klinik memanggil satu persatu nama buruh yang akan mengikuti tes kesehatan. Buruh sering sekali tidak langsung menjawab karena buruh yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa nama itu adalah namanya sendiri. Misalnya, nama asli Fanolo

Halawa, tetapi dalam surat keterangan bernama Herman, tanpa marga. Buruh baru tahu bahwa nama itu adalah namanya sendiri ketika salah satu pengurus kontraktor yang memegang foto kopi surat keterangan itu memberitahukan kepada salah satu buruh yang ada di situ. Berdasarkan survei penelitian buruh migran Nias di PT. Riau Andalan Pulp and Paper Estate Pelalawan dari 80 responden sebagai berikut.

Tabel 5.2. Tingkat Pendidikan Responden No Pendidikan Formal Jumlah Persentase 1 Tidak Sekolah 14 17,5 2 Tidak Tamat SD 24 30,0 3 Tamat SD 26 32,5 4 SMP 10 12,5 5 SMA 6 7,5 Total 80 100,0 Sumber: Penelitian Lapangan, 2016.

Pendidikan formal responden yang terpilih dari 5 kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, SMP dan SMA. Responden yang tamat SD

(32,5%) memiliki proporsi terbesar, sedangkan yang terkecil adalah responden yang telah mengecap pendidikan di Sekolah Mengenah Atas (7,5%) dengan

Universitas Sumatera Utara 116

proporsi yang ekstrim sekitar 25% (persen). Proporsi lain apabila dibagi dua kategori pendidikan formal mulai tidak sekolah, tidak tamat SD (30,5), tamat SD, dibandingkan dengan proporsi SMP dan SMA maka ditemukan jarak yang cukup signifikan 80% berbanding 20% (persen). Maka sangatlah tepat yang dikemukan oleh Evers (dalam Simanihuruk, 1999:61), ketika lapangan kerja formal tidak bisa diperoleh, maka sektor informal menjadi pilihan akhir. Pilihan itu dijatuhkan karena sifat pekerjaan informal yang juga dikenal dark economy ini tidak terikat dengan aturan formal. Bahkan kerap menjadi bumper bagi cadangan barisan tenaga kerja yang menganggur dan setengah menganggur baik itu pendesaan maupun perkotaan.

5.3. Tempat Tinggal Terisolasi

Tempat tinggal buruh migran Nias sangat mendukung kondisi-kondisi yang memungkinkan eksploitasi. Pola pemukiman rata-rata terisolasi dari dunia luar, apalagi buruh yang tinggal di moving camp. Berbeda pemukiman buruh harian lepas yang tinggal di Barak Sektor Pelalawan dan Barak TPK 5, dan Barak

TPK 5,5 yang disiapkan oleh perusahaan perkebunan PT. RAPP. Barak tersebut dapat dijangkau dengan transportasi darat, sementara moving camp selain menggunakan transportasi darat juga menggunakan transportasi kanal (sungai), misalnya perahu pompong atau speadboat.

Pemukiman buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Penataan pemukiman diatur sedemikian rupa sebagai bagian dari sistem pengawasan.

Apalagi buruh migran Nias yang tinggal di moving camp, para mandor dan asisten perusahaan PT. RAPP tidak memperbolehkan mendirikan camp dekat

Universitas Sumatera Utara 117

jalan. Pengaturan moving camp ini merupakan siasat pihak perusahaan untuk menghindari penilaian buruk tentang kondisi buruh perkebunan yang sebenarnya.

Maka tidak jarang jika ada tim audit dari luar atau tamu, pihak perusahaan selalu memberikan pengawalan ketat, sekaligus mengarahkan tim audit ke tempat- tempat yang sudah ditentukan atau “dibersihkan” sebelumnya. Bahkan menurut pengakuan salah satu buruh harian lepas di nurseri TPK 5,5, para mandor atau asisten melarang para buruh melakukan interaksi sosial dengan pihak audit.

Pola pemukiman moving camp bila dikaji dari aspek kesehatan, dapat dikatakan tidak layak, apalagi kamp itu dihuni oleh anak-anak yang masih kecil.

Hasil observasi di moving camp menunjukkan bahwa anak-anak buruh migran

Nias masih banyak yang tinggal di kamp, misalnya moving camp lokasi TPK

Madukoro anak-anak ada 9 (sembilan) orang seharunya sudah SD. Selain itu, moving camp lokasi TPK 18, anak-anak dari keluarga buruh migran Nias ada sekitar 15 orang dan sama sekali tidak sekolah. Situasi tersebut dapat dipastikan bahwa jika anak buruh migran Nias dibiarkan tidak sekolah terus-menerus maka itu merupakan bencana bagi generasi muda ke depan. Anak-anak tersebut calon- calon buruh menggantikan orangtuanya di kemudian hari bahkan sudah banyak anak yang sudah mulai dipekerjakan dan masih dibawah umur. Bahkan lebih tegas lagi anak-anak keluarga buruh migran Nias yang tidak mendapatkan pendidikan sama sekali merupakan pembodohan generasi yang terus diwariskan turun- temurun.

Kebutuhan air minum di moving camp juga sangatlah terbatas, terlebih buruh di TPK yang jauh dari dari jalan lintas perusahaan. Buruh yang tinggal di camp, misalnya TPK 18, len 18 sama sekali tidak mendapatkan air bersih (air

Universitas Sumatera Utara 118

yang disuling dari air kanal). Mereka biasanya minum air kanal atau air sumur lahan gambut yang digali dekat camp, baru mereka bisa minum air bersih, ketika ada hujan. Berbeda pengakuan salah satu pengurus kontraktor yang mengatakan bahwa buruh di TPK 18 mendapatkan suplair air dari perusahaan. Dalam hal ini, peneliti mengamati bahwa pihak kontraktor atau perusahaan selalu memberikan keterangan yang bertolak belakang dari realitas lapangan. Peneliti secara lebih mendalam memahami hegemoni yang dilakukan oleh agen perusahaan sebagai siasat menutup realitas sosial buruh. Hal ini tentu berpengaruh kepada data-data penelitian lapangan yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Peneliti jika membandingkan dengan salah satu hasil laporan lembaga penelitian yang pernah dilakukan di perusahaan perkebunan yang juga peneliti teliti, maka sering sekali mengalami bias data.

Buruh migran Nias di camp moving yang mendapatkan jatah air minum dari perusahaan bukan tanpa masalah dengan kesehatan. Menurut pengakuan para buruh di barak sekitar Perkantoran Estate Pelalawan bahwa air bersih yang disediakan oleh perusahaan tidak diperkenankan untuk kebutuhan air minum, kecuali mencuci pakaian dan mandi. Buruh di Sektor Pelalawan terpaksa harus membeli air galon aqua dari Kota Pangkalan Kerinci, namun air yang sama disalurkan ke barak TPK 5 dan TPK 5,5 dan camp-camp di TPK tertentu. Peneliti memahami praktek semacam ini merupakan praktek eksploitasi yang berdampak pada kesehatan para buruh. Maka tidak jarang, para buruh migran Nias mengeluh sakit pada pergelangan kaki, karena dalam proses penyulingan air tersebut menggunakan kaporit yang sering tidak sejalan dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.

Universitas Sumatera Utara 119

Air minum yang disediakan di setiap polytag simpang TPK cukup bau obat, sehingga bila diamati pada dasar polytag tersebut ada larutan kamporit, dan semakin jelas ketika buruh memasuki air itu ke dalam jeregen putih. Menurut salah satu buruh yang pernah bekerja di bagian penyulingan air itu, bahwa proses penyulingan air gambut tersebut terdiri dari empat tahapan. Ia menegaskan dari empat tahapan itu tidak layak minum, bahkan ukuran campuran kaporit (obat) tidak sesuai dengan standar yang sebenarnya. Peneliti memahami konsep tersebut sebagai prinsip ekonomis, modal yang sekecil-kecilnya dan untung sebesar- besarnya. Agen-agen perusahaan berorientasi pada profit, sehingga kadang membutakan mata untuk memperlakukan manusia (buruh) sebagai sesama yang mempunyai harkat dan martabat yang sama.

Peneliti jauh lebih dari itu menemukan masalah kebutuhan air bersih yang sangat urgen untuk penelitian berikutnya. Kebutuhan air bersih dan terlebih buruh di camp yang tidak mendapatkan jatah bersih dari perusahaan berdampak negatif pada kesehatan buruh perempuan. Temuan sosial kesehatan bahwa buruh perempuan yang hendak melahirkan sering kena penyakit air, tanpa terkecuali buruh laki-laki. Para buruh sering sekali penyakit kaki gajah, perut membesar mengakibatkan kematian. Asumsi peneliti bahwa air minum dengan menggunakan kaporit, terlebih yang terpaksa meminum air lahan gambut menimbulkan penyakit kaki gajah atau penyakit air, terutama pada ibu yang hendak melahirkan.

5.4. Akses Informasi Sulit

Kondisi-kondisi yang memungkinkan eksploitasi buruh migran Nias adalah minimnya akses informasi baik dari buruh itu sendiri maupun dari media

Universitas Sumatera Utara 120

massa. Penting memahami akses informasi di perkebunan PT. RAPP sangat sulit dijangkau, hanya beberapa saja yang bisa dijangkau dengan jaringan telepon seluler. Selain itu, akses liputan pers sangat sulit dilakukan oleh wartawan lokal, karena banyak prosedur yang harus diikuti sebagai langkah untuk menutup informasi. Pengakuan ini semakin jelas ketika peneliti kebetulan bertemu dengan dua orang wartawan koran lokal di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Kedua wartawan putra kepulauan Nias tersebut bernama Olani Zebua dan

Waruwu. Mereka mengaku bahwa akses untuk masuk ke lokasi Perkebunan PT.

RAPP sangat dipersulit, karena setiap pintu masuk gerbang diawasi oleh satpam sebanyak lima orang. Sekalipun kedua wartawan koran lokal ini, mendapat berita tentang masalah buruh, tetapi sering sekali kurang dipublikasikan oleh koran setempat.

Skenario yang dilakonkan oleh agen terhadap bentuk eksploitasi buruh migran Nias sering dilakukan oleh para agen kontraktor yang berasal dari Nias sendiri. Para kontraktor dari Nias kira-kira 20 kontraktor mempunyai “tekad” untuk saling menutup informasi dari pihak luar. Kasus kelalaian kontraktor atau kematian salah satu anggota kontraktor selalu diselesaikan secara kekeluargaan yang cenderung mengurangi resiko dari pihak kontraktor. Misalnya, salah satu buruh migran Nias meninggal, karena kecelakaan ketika bekerja, maka kontraktor sering membuat aturan sesuka hati, tanpa memberikan santunan sosial. Praktek semacam itu, justru menjadi praktek-praktek eksploitasi yang terselubung dalam struktur yang dipengaruhi oleh agen.

Sebaliknya bahwa ketidakkompakan di antara para kontraktor migran Nias menjadi celah untuk menjatuhkan sesama. Pada kunjungan penelitian pertama, di

Universitas Sumatera Utara 121

salah satu kontraktor terjadi kecelakaan di kanal yang mengakibatkan dua orang buruh migran Nias meninggal dunia. Salah satu pengurus kontraktor migran Nias cepat-cepat membuat laporan pengaduan di kantor polisi setempat. Pengurus kontraktor tersebut mengklaim bahwa kematian kedua buruh Nias itu merupakan kelalaian dari salah satu kontraktor suku Jawa dan kepala rombongan orang Nias.

Satu hal lagi yang sangat menarik mengamati dinamika praktek-praktek eksploitasi yang dimainkan oleh agen-agen perusahaan suplier tenaga kerja dalam menutup kasus buruh itu ialah peran Ikatan Keluarga Nias (IKN). Peneliti pada waktu itu menuju ke rumah salah satu kepala rombongan, tiba-tiba di tengah jalan peneliti dan salah satu pengurus kontraktor lain berpapasan di tengah jalan.

Mereka mengadakan perbincangan bahwa salah satu kontraktor melaporkan dirinya dan kontraktor ke kantor polisi terkait peristiwa kematian buruh di kanal.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba pengurus kontraktor dari Nias menyesal dengan tindakan kontraktor asal Nias yang membuat pelaporan di kantor polisi. Pengurus kontraktor tersebut menyarankan supaya kasus tersebut disampaikan di Ikatan

Keluarga Nias Pelalawan.

Peneliti penasaran, peran IKN dalam kasus-kasus buruh migran Nias.

Peneliti mencoba menggali informasi sepanjang jalan kepada salah satu pengurus kontraktor tersebut. Intinya bahwa IKN selama ini mempunyai peran membela

“Buruh Migran Nias” terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum.

Jika ada masalah buruh selama ini biasanya di selesaikan secara kekeluargaan dan apabila tidak membuahkan hasil, maka masalah itu diselesaikan dalam perkumpulan IKN Pelalawan. Peneliti melihat dinamika peran IKN tidak lebih membela kepentingan pemodal (kontraktor asal Nias). Kecelakaan buruh migran

Universitas Sumatera Utara 122

Nias di salah satu kontraktor orang Nias cenderung diselesaikan secara kekeluarga bersifat menguntungkan kontraktor. Akan tetapi apabila ada buruh yang diperlakukan tidak sepantasnya oleh kontraktor dari suku lain, maka kelompok

IKN inilah yang cenderung membela berdasarkan undang-undang

Ketenagakerjaan. Perilaku semacam ini bisa dianalogikan, “IKN tajam diluar kontraktor suku Nias, tetapi tumpul pada kontraktor orang Nias sendiri, sekalipun buruh migran Nias”.

Bila dibedah lagi peran IKN dalam kasus buruh migran Nias, peneliti menemukan konsep pemikiran yang hampir sejalan dengan analogi tersebut.

Peneliti dalam kesempatan penelitian mencoba menggali informasi siapa saja pengurus dan anggota IKN itu. Ternyata Ikatan Keluarga Nias Kabupaten

Pelalawan tersebut di dominasi oleh barisan kontraktor asal Nias. IKN memiliki peran penting terhadap ketertutupan akses informasi kepada dunia luar yang masih memberi hati membela kaum buruh. Lakon yang dimainkan oleh agen melalui struktur dalam praktik sosial berada dalam lingkaran kekuasaan yang berdampak pada eksploitasi.

Tindakan agen terhadap struktur dalam praktik sosial mengakibatkan buruh tetap dieskploitasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten

Pelalawan sebagai salah satu harapan untuk mendengar jerita sosial buruh, justru kurang berjalan maksimal. Pada kesempatan mengadakan penelitian dari salah satu petugas Dinas Ketenagakerjaan atas nama Swandi bidang hubungan industri dan masyarakat (buruh) mengaku belum mendapatkan informasi eksploitasi tersebut. Ia mengaku personil dari dinas ketenaga kerja masih kurang dan ia berharap mendapat laporan dari IKN sebagai perkumpulan orang Nias di

Universitas Sumatera Utara 123

Kabupaten Pelalawan. Peneliti memahami temuan itu bukanlah sebuah solusi, karena sangat kecil kemungkinan IKN yang sebagian besar para kontraktor

“melaporkan diri” terhadap bentuk-bentuk pelanggaran aturan ketenagakerjaan.

5.4.1. Informasi Hak dan Tanggung Jawab

Buruh mempunyai hak dan kewajiban mengetahui tugas dan tanggung jawab dalam mekanisme ketenagakerjaan. Informasi tentang sistem kerja, upah dan lain sebagainya merupakan bahan pertimbangan bagi buruh untuk memutuskan bekerja dibuktikan dengan pendaftaran. Perusahaan perkebunan PT.

RAPP sebagai lokasi penelitian melakukan penyimpangan yang tidak sejalan dengan undang-undang ketengakerjaan.

Praktek yang diterapkan oleh perusahaan PT. RAPP adalah bekerja dulu baru diadakan tes kesehatan dan pendaftaran. Artinya, buruh yang didatangkan oleh agen dari luar, langsung ditempatkan disebuah camp yang sudah disediakan, atau bergabung dengan buruh lainnya. Pada saat itu, buruh langsung bekerja, tanpa terlebih dahulu mengikuti prosedur pendaftaran dan tes kesehatan di klinik tertentu. Beberapa minggu kemudian buruh yang baru masuk mengikuti tes kesehatan dan pendaftaran kepada pihak perusahaan.

Tabel 5.3. Informasi Hak dan Tanggungjawab Informasi Jumlah Persentase (%) Ya 44 55,0 Tidak 36 45,0 Total 80 100,0 Sumber: Data penelitian lapangan, 2016

Data kuesioner yang disebarkan kepada 80 responden buruh migran Nias outsourcing (buruh harian lepas dan buruh borongan) mengaku bahwa mendapat informasi hak dan tanggung jawab 55 % atau 44 orang. Sementara yang tidak

Universitas Sumatera Utara 124

mendapatkan informasi tentang hak dan tanggung jawab selama bekerja 45 % atau 36 orang. Perbedaan antara yang mendapatkan informasi dan tidak mendapatkan informasi hak dan tanggung jawab selama bekerja mempunyai perbedaan yang cukup dekat 10% (persen). Temuan data ini menunjukkan bahwa pihak perusahaan atau agen tenaga kerja kurang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi kepada pihak buruh migran Nias. Praktek tersebut justru menjadi indikator-indikator yang memungkinkan eksploitasi buruh.

5.4.2. Informasi Upah

Bagi buruh, upah merupakan sumber penghasilan utama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecil upah akan sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mereka, tercermin dari kemampuan (daya beli) upah yang mereka terima memenuhi berbagai kebutuhan. Maka faktor penting dalam sistem pengupahan adalah informasi atau kejelasan tentang upah yang akan diterima oleh buruh.

Buruh migran Nias di perkebunan PT. RAPP dibagian plantation dan

Nurseri ada perbedaaan signifikan dalam pembayaran gaji. Buruh harian lepas yang bekerja di nurseri mendapatkan upah berdasarkan bulan, sementara buruh borongan mendapatkan upah minimal 2 bulan bahkan sampai empat bulan. menurut pengakuan informan Charles Laoli (buruh borongan) di bagian plantation sebagai berikut:

“...banyak kerja kita yang tidak terhitung harganya. Misalnya, ada tiga tahap kerja, pertama, menarik rumput paling tidak mencapai 5 hari dan itu tidak dibayar. Kedua, menyemprot dibayar Rp. 80.000 perhektar. Akhinya, pada waktu servis minimal 3 hari dan tidak dibayar. Disitu aja kita waktu kita habis. Kita tidak bisa menanam karena kurang kerja...... belum dibayar sampai sekarang. Sudah lima bulan belum pernah gajian. Itu aja kerja kami menyemprot 33 hektar

Universitas Sumatera Utara 125

hanya Rp. 47.000 lima hari, 50 hanya 250.000. Penyiangan tidak dibayar...”.

Temuan ini dapat diinterpretasikan bahwa informasi tentang harga setiap jenis pekerjaan belum terlalu jelas antara pekerja dengan kepala rombongan, sehingga harga yang diberikan tidak sesuai dengan UMK. Pada hal Upah

Minimum Kabupaten (UMK) Pelalawan tahun 2016 sebesar Rp. 2. 176. 480.

Berikut hasil sebaran kuesioner kepada 80 responden tentang informasi upah sebelum bekerja. Peneliti memberi batasan kerja dalam arti ini sebelum mengikuti prosedur tes kesehatan dan pengiriman data-data kepada pihak perusahaan.

Tabel 5.4. Informasi upah Buruh Migran Nias

Informasi Upah Jumlah Persentase (%) Ya 10 12,5 Tidak 70 87,5 Total 80 100,0 Sumber: Data penelitian lapangan, 2016.

Sebaran data kuesioner kepada 80 responden ditemukan bahwa buruh migran Nias sebagai buruh outsourcing (buruh harian lepas dan buruh borongan) ditemukan bahwa jumlah yang menjawab 87% (persen) atau 70 orang tidak mendapatkan informasi tentang upah dari perusahaan atau agen penyalur tenaga kerja. Sementara buruh migran Nias yang mendapatkan informasi tentang upah hanya 12,5 % (persen) atau 10 orang dari 80 responden. Data tersebut menunjukkan perbedaan yang cukup tajam sekitar 75% antara yang mendapatkan informasi atau sama sekali tidak mendapatkan informasi upah.

Buruh migran Nias tidak mendapatkan informasi upah adalah pengakuan beberapa informan. Para informan buruh migran Nias sebagian besar mengaku tidak mengetahui upah. Buruh Migran Nias mengaku bahwa yang mereka ketahui adalah bekerja, masalah upah soal belakang. Peneliti justru melihat bahwa ada

Universitas Sumatera Utara 126

perbedaan tajam antara buruh borongan di camp moving dan buruh harian lepas di nurseri tentang informasi upah. Para buruh borongan sebagian besar tidak mengetahui informasi upah yang akan mereka terima setiap keluar ampraha, bahkan ada seorang ibu sudah bekerja lebih dua bulan sama sekali belum mengetahui upah yang akan mereka terima sampai detik itu.

Buruh migran Nias yang sehari-hari bekerja di nurseri sedikit lebih jelas dalam pengupahan. Pada umumnya buruh di nurseri tersebut mengaku mengetahui upah setiap bulan, karena memang setiap bulan proses penggajian dilakukan oleh perusahaan yang mempekerjakan para buruh harian lepas itu. Para buruh harian lepas masih minim informasi tentang standar upah minimal kabupaten. Buruh harian lepas di nurseri yang mereka ketahui adalah menerima upah setiap bulan, soal UMK sama sekali tidak dihiraukan.

5.4.3. Informasi Jam Kerja

Jam kerja merupakan salah satu indikator kondisi-kondisi yang memungkinkan praktek eksploitasi buruh. Peneliti untuk memastikan informasi jam kerja ini, harus ikut bersama mengamati kegiatan buruh dari pagi hari sampai pada malam hari. Peneliti juga menyebarkan kuesioner kepada 80 responden buruh migran Nias di Estate Pelalawan.

Tabel 5.5. Informasi Jam Kerja buruh Migran Nias Jam Kerja Jumlah Persentase (%) Ya 54 67,5 Tidak 26 32,5 Total 80 100,0 Sumber: Penelitian Lapangan. 2016

Temuan data penelitian di atas menunjukkan bahwa informasi jam kerja buruh migran Nias waktu pendaftaran belum sepenuhnya dilaksanakan. Data

Universitas Sumatera Utara 127

penelitian menunjukkan 67,5 % (persen) buruh migran Nias mendapatkan informasi tentang jam kerja, sedangkan 32,5 % (persen) buruh migran Nias tidak mendapatkan informasi kerja. Perbedaan informasi yang diperoleh para buruh migran Nias cukup jauh dengan yang belum mendapatkan informasi sama sekali.

Data ini sebenarnya cukup diapresiasi pada tahap informasi, tetapi justru realisasi di lapangan kerja jauh dari standar aturan ketenagakerjaan. Informan Boni

Mendrofa menuturkan kisah jam kerja sebagai berikut.

“...Kami star kerja mulai jam 6, kadang sampai jam 6 sore. Kalau pagi hari, kami wajib masuk jam 06.00 Wib karena ada mastera (baris) atau swiping untuk diberikan pengarahan, dan kadang tidak masuk akal, bahkan sampai 2 jam. Pernah saya marah waktu itu, dia menghina kami orang Nias. Perempuan dari Nias pernah dipaksa untuk seleksi, sementara orang mereka Batak tidak ikut seleksi. Kami waktu itu berantam (adu argumen) dengan bos itu, akhirnya ia mengalah dan menyuruh semua, tanpa terkecuali untuk seleksi bibit yang mati dan bagus. Ada juga sama kami istilah gotong royong, untuk membersihkan rumput dekat train bisa mencapai satu atau satu jam setengah sebelum kerja, sementara suku yang lain tidak ikut gotong royong dan tidak ada paksaan...”.

Jam kerja buruh harian lepas sering sekali melebihi tujuh jam, dan sama sekali tidak dihitung sebagai upah lembur. Buruh harian lepas di nurseri biasanya sudah sampai di lapangan jam 06.30, sampai jam 09.00 melakukan jam widding dengan membersihkan rumput dan sampah, tanpa dihitung sebagai jam kerja.

Kerja target baru dimulai pukul 09.00-11.30, pukul 11.30.12.30 istrahat siang, pukul 12.30-17.00 bahkan sampai pukul 18.00 baru bisa pulang. Buruh outsourcing diperlakukan lebih dari itu, mulai kerja pukul 06.00 sampai 12.00, pukul 12.00-13.00 istrahat siang, dan dilanjutkan 13.00-17.00 dan bahkan 17.30 baru bisa pulang ke camp, tanpa ada upah lembur. Peneliti juga mengamati perbedaan jam aktivitas mandor perusahaan PT. RAPP yang jauh lebih longgar.

Universitas Sumatera Utara 128

Para mandor perusahaan tiba di lokasi kerja pukul 08.00-12.00 dan pukul 13.00-

17.00 pulang dari lokasi areal kerja.

Informasi melalui sebaran kuesioner dan praktek jam kerja melalui pengamatan dan wawancara justru mengalami perbedaan mendasar. Peneliti berusaha mencari sebab akibat realitas tenaga kerja tersebut. Akhirnya peneliti menemukan bahwa informasi kerja sering hanya disampaikan secara lisan, tanpa ada kontrak kerja secara tertulis. Agen-agen tenaga kerja membuat kebijakan untuk memperoleh profit, tanpa menghiraukan jam kerja.

5.4.4. Informasi Hak Cuti

Kontrak kerja yang tidak jelas, tanpa pemberitahuan informasi yang akurat dan tertulis merupakan kondisi yang memungkinkan eksploitasi buruh migran

Nias. Cuti merupakan hak setiap buruh, baik itu hak cuti melahirkan, cuti sakit dan, cuti paternitas. Praktek semacam ini sering menjadi kendala utama bagi buruh perempuan migran Nias.

Tabel 5.6. Informasi Hak Cuti Buruh Migran Nias Hak Cuti Jumlah Persentase (%) Ya 10 12,5 Tidak 70 87,5 Total 80 100,0 Sumber: Penelitian lapangan 2016

Data penelitian terhadap 80 responden buruh migran Nias tentang informasi hak cuti menunjukkan bahwa buruh migran Nias yang mendapatkan informasi hak cuti hanya 12,5 % atau 10 orang, sementara buruh yang tidak mendapatkan informasi hak cuti sekitar 87,5 % atau 70 orang. Realita temuan lapangan ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan keduanya.

Universitas Sumatera Utara 129

Peneliti justru melihat kondisi ini merupakan kondisi-kondisi yang pendukung praktek eksploitasi. Fakta di lapangan penelitian menunjukkan bahwa buruh perempuan sering mengeluh jika melahirkan, mereka tidak diperbolehkan kerja dan sesudah melahirkan mereka juga tidak langsung bekerja, harus menunggu penerimaan tenaga kerja berikutnya. Praktek-praktek yang dikondisikan oleh agen melalui struktur merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap perlindungan buruh perempuan.

5.4.5. Informasi Tempat Tinggal

Penelitian di camp moving TPK Ali Madukoro Estate Pelalawan

Perusahan Perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper terungkap bahwa pilihan untuk tinggal di camp tidak didasarkan pada informasi. Buruh borongan dari perkebunan kelapa Sawit PT. Torganda itu mengaku bahwa sebelumnya ia pernah diberitahu untuk tinggal di camp tersebut. Beliau beranggapan bahwa mereka akan tinggal di Barak atau perumahan yang telah disediakan oleh perusahaan. Seandainya buruh itu tahu bahwa tinggal di camp seperti itu, maka mereka tidak mau bekerja di PT. RAPP. Mereka juga tidak bisa pulang karena sudah tersangkut dengan utang biaya perongkosan dari tempat sebelumnya ke lokasi kerja.

Tabel 5.7, memaparkan hasil penelitian sebaran kuesioner ke 80 responden buruh migran Nias di Perkebunan Estate Pelalawan

Tabel 5.7. Informasi Tempat Tinggal Buruh Migran Nias Perlengkapan Rumah Jumlah Persentase (%) Ya 35 43,8 Tidak 45 56,3 Total 80 100,0 Sumber: Data penelitian lapangan, 2016

Universitas Sumatera Utara 130

Data penelitian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa para buruh migran Nias masih banyak yang belum mendapatkan informasi tempat tinggal sekitar 56,3 % (persen) atau 45 orang, sebaliknya buruh migran Nias yang mendapatkan informasi tempat tinggal sekitar 43,8 % (persen) atau 35 orang.

Menurut informan Karmila Laia buruh migran Nias di TPK 18, ia baru menyadari bahwa mereka tinggal di camp setelah sampai di lokasi perusahaan, mau keluar tidak bisa, karena sudah terbelit dengan utang.

5.4.6. Informasi K3

Kasus kematian di kanal dan kasus bunuh diri dengan minum racun yang sering terjadi di kalangan buruh migran Nias menjadi pertanyaan penting untuk dianalisis. Peneliti sengaja mengangkat point dalam interpretasi pembahasan ini mengingat kasus kematian sangatlah tinggi. Menurut pengakuan salah satu pengurus gereja dan mantan pengurus kontraktor yang sudah bekerja di lokasi PT.

RAPP selama 10 tahun lebih, jumlah rata-rata buruh migran Nias yang meninggal dalam perbulan bisa mencapai 10 orang. Peneliti sendiri menyaksikan sendiri bahwa selama tiga minggu di lokasi penelitian, kasus kematian tenggelam di kanal dan minum racun can lain sebagainya ada 7 orang dikebumikan di Pemakaman

Umum Rantau Baru, itu pun masih sekitar Pelalawan. Pertanyaan penting untuk dianalisis ialah informasi tentang Kesehatan dan Keselamata Kerja (K3).

Tabel 5.8. Informasi K3 Buruh Migran Nias K3 Jumlah Persentase (%) Ya 51 63,8 Tidak 29 36,3 Total 80 100,0 Sumber: Data Penelitian Lapangan 2016

Universitas Sumatera Utara 131

Data penelitian sebaran kuesioner kepada 80 responden buruh migran Nias di Estate Pelalawan menunjukkan bahwa 63,8 % mendapatkan informasi K3, sementara buruh migran Nias 36,3 % tidak mendapatkan informasi kesehatan dan keselamatan kerja. Data ini semakin dikuatkan dengan data observasi di kantor safety (termasuk K3) ketika diadakan sosialisasi tentang keselamatan kerja yang lengkap. Peneliti mengamati melalui penjelasan pihak safety bahwa sesuai dengan prosedur, tetapi mengapa angka kematian/kecelakaan kerja masih tinggi.

Kelalaian itu sering terjadi karena kepala rombongan atau kontraktor sering melakukan lalai dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Ketentuan itu misalnya jumlah orang dalam speadboat tidak boleh lebih enam atau tujuh orang, tetapi kenyataan bila diamati jumlah yang dimuat di speadboat melebihi muatan mencapai 14 orang.

Interpretasi data penelitian tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa kasus-kasus kecelakaan kerja dipengaruhi oleh manajemen yang kurang ketat dari perusahaan pemberi kerja. Perusahaan bersifat menyampaikan informasi melalui safety, tanpa kontrol yang ketat. Selain itu, perusahaan berusaha meminimalkan pengeluaran dengan mengurangi speadboat atau biaya transportasi kanal untuk mendapatkan profit sebesar-besarya. Di sisi lain, para kepala rombongan melalui perpanjangan tangan kontraktor suplier tenaga kerja kurang memprioritaskan keselamatan buruh, selain belum pernah dituntut oleh pihak korban, juga kartu

BPJS yang tidak ada. Peneliti mengamati kasus-kasus tersebut menjadi kondisi- kondisi yang memungkinkan praktek eksploitasi buruh migran Nias.

Universitas Sumatera Utara BAB VI STRUKTUR HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM SISTEM OUTSOURCING

Bab ini merupakan inti dalam pembahasan keseluruhan interpretasi data penelitian eksploitasi dan resistensi buruh migran Nias dalam hubungan kekuasaan struktur dan agen. Pada bagian pertama, akan diuraikan pola struktur rekrutmen buruh dari daerah asal sampai ke daerah tujuan, atau perkebunan.

Peneliti secara spesifik membahas kontrak kerja yang bersifat abu-abu atau tidak jelas. Selanjutnya pada pembahasan berikut akan membahas tentang perorganisasian kerja, sistem kepala rombongan sebagai jeratan dan sekaligus keuntungan yang berdampak pada diskmininasi upah dan jaminan sosial baik terhadap perempuan maupun terhadap pekerja anak. Pola stuktur dan agen mempunyai peran penting memainkan “eksploitasi” pada tenaga buruh itu sendiri.

6.1. Pola Rekrutmen Buruh

Pola rekrutmen buruh migran Nias yang diterapkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja di PT. Riau Andalan Pulp and Paper masih menggunakan pola masa kolonial. Tenaga kerja direkrut oleh kepala rombongan dengan iming- iming upah yang besar. Bahkan para kepala rombongan atau pengurus kontraktor mencari langsung di kampung halamannya, tetapi sering mereka menggunakan jaringan informal yang mereka miliki ketika libur natal dan tahun baru (Ingleson,

2015:37; Simanihuruk, 1999:84). Para agen ada juga yang datang ke perkebunan yang kebetulan tutup atau tidak menerima lagi tenaga kerja, misalnya tenaga kerja dari perkebunan kelapa sawit PT. Torganda yang tutup sementara akhir tahun

2015. Artinya, agen adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan patronase.

132

Universitas Sumatera Utara 133

Buruh migran Nias membawa seluruh anggota keluarga dan tinggal dan hidup di camp maupun barak yang disediakan oleh perusahaan. Padahal areal camp tidak layak menjadi tempat tinggal anak-anak kecil dan balita. Para buruh membawa kebiasaan-kebiasaan di Nias dan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi di lingkungan kerja. Mereka menjalani seluruh daur kehidupan layaknya hidup di lingkungan pemukiman desa atau kampung. Mereka melakukan tahapan hidup perkawinan, melahirkan, dan bahkan kematian di lokasi kerja. Mereka mengembangkan organisasi sosial yang tidak berbeda dengan kampung asal sebagai strategi adaptasi di lingkungan baru (Simanihuruk, 1999:88). Adat kebiasaan telah dipindahkan ke lokasi pekerjaan dengan modifikasi-modifikasi tertentu.

Sistem kekerabatan yang dibangun oleh pekerja asal Nias lebih tampak dalam dalam satu kelompok atau rombongan yang umumnya memiliki hubungan kekerabatan atas hubungan darah atau melalui perkawinan. Adanya pihak kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan dalam satu tenda atau rela kerja secara adat menguntungkan bagi pekerja. Adanya hubungan kekerabatan juga memudahkan kepala rombongan (KR) mengatur dan mendistribusikan buruh pada pekerja.

Orang Nias umumnya lebih percaya pada kerabat sendiri dibandingkan pada pihak lain sehingga mereka lebih nyaman bekerja bersama keluarga sendiri.

Bentuk rekrutmen semacam ini bersifat patron klien antara kepala rombongan dan pekerja. Kepala rombongan (KR) memudahkan untuk mengontrol tenaga kerja dari segala bentuk resistensi kepada pihak kontraktor, misalnya melarikan diri. Bagi kepala rombongan bahwa sangat kecil kemungkinan tenaga kerja melarikan diri dari camp, karena mempunyai ikatan keluarga dan mudah

Universitas Sumatera Utara 134

dicari jejak keberadaan si pekerja. Menurut Lukas Laia, “kami tidak bisa melarikan diri karena kami masih satu keluarga, kecuali kalau orang lain”. Pekerja juga mendapatkan perlindungan dari ikatan primordial antara buruh dan KR.

Menurut Izzah (2011:176), jaringan primordial merupakan modal sosial paling penting bagi para migran selain kualifikasi sumber daya manusia, pendidikan atau keterampilan. Akan tetapi realitas ini dilihat perusahaan sebagai celah untuk memangkas biaya rekrutmen dan jaminan sosial pekerja. Beliau menilai justru sistem rekrutmen getok tular dan sistem tidak terikat, kerja borongan, merupakan salah satu potret sistem ketenagakerjaan di Samarinda. Di sana para migran berjuang memperoleh penghasilan dari ketatnya persaingan kerja.

Berdasarkan tabel 6.1, survei penelitian 80 responden terhadap buruh harian lepas dan buruh outsourcing di Estate Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, ditemukan sistem rekrutmen buruh migran Nias dilakukan oleh kepala rombongan 53,8 persen (43 orang). Disusul kemudian teman atau sahabat 27,5 persen (22 orang), dan kontraktor 10 persen (8 orang).

Tabel 6.1. Sistem Rekrutmen Buruh Nias No Sistem Rekrutmen Frekuensi Persentase 1 Teman atau Sahabat 22 27,5 2 Kontraktor 8 10,0 3 Kepala rombongan 43 53,8 4 Kemauan Sendiri 6 7,5 5 Lain-lain 1 1,3 Total 80 100 Sumber: Penelitian lapangan, 2016

Universitas Sumatera Utara 135

Biaya perongkosan para buruh migran Nias dari tempat asal sampai ke perkebunan ditanggung oleh agen penyalur kerja dalam bentuk utang. Bahkan tidak segan-segan agen penyalur tenaga kerja melunasi utang buruh dari tempat kerja sebelumnya. Misalnya buruh outsourcing Sabar Laia dan buruh lainnya mengakui mereka berutang kepada PT. Albina sekitar 40-an juta untuk melunasi utang-utang selama bekerja di perkebunan kelapa sawit PT. Torganda. Artinya, buruh masih belum bekerja sudah berutang duluan kepada kepala rombongan atau kontraktor. Langkah-langkah tersebut digunakan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja untuk “mengikat” secara tidak langsung tenaga kerja.

Tabel 6.2, memperlihatkan pihak penanggung jawab perongkosan buruh dari daerah daerah asal menuju lokasi perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan

Pulp and Paper atas survei 80 responden buruh harian lepas dan buruh outsourcing asal Nias sebagai berikut.

Tabel 6.2. Posisi Kerja dan Biaya Perongkosan Tenaga Kerja Pembiayaan Perongkosan Buruh Posisi Kerja Kepala Diri Lain- Kontraktor Rombongan Sendiri lain Total Buruh Borongan 11 32 15 1 59 Buruh Harian Lepas 5 2 12 2 21 Frekuensi 16 34 27 3 80 Persentase 16 42,5 27 3,8 100 Sumber: Penelitian lapangan 2016

Temuan di atas menunjukkan sistem rekrutmen yang dilakukan oleh kepala rombongan 42,5 persen (34 orang) dengan menanggung segala biaya perongkosan dari daerah asal menuju ke tempat tujuan. Bahkan pembelian APD, biaya pembuatan tenda, kebutuhan pokok sehari-hari ditanggung oleh KR atau

Universitas Sumatera Utara 136

kontraktor dan dibayar dengan memotong langsung upah pekerja. Model pemberian utang, disatu sisi membantu keluarga buruh yang hendak mencari kehidupan di perkebunan, sisi lain menjadi jerat yang membuat buruh tidak berdaya. Buruh dengan upah yang rendah, sementara utang makin besar kepada kepala rombongan atau kontraktor menjadi strategis untuk tidak bisa keluar dari perusahaan itu. Arti lain, buruh setiap hari gali lubang dan tutup lubang, tanpa menghasilkan kesejahteraan hidup yang layak. Maka sangatlah tepat bila dikaitkan dengan pemikiran Giddens dalam kaitan dengan integrasi agen-struktur.

Giddens (dalam Lubis, 2014:146) melihat bahwa agen (kepala rombongan) terlibat dalam struktur dan struktur juga melibatkan agen (buruh), struktur juga dapat memberi peluang kepada agen. Lebih jelas dikatakan oleh Faucault sebagai kekuasaan yang tidak hanya berada di tangan kepala rombongan, melainkan di tangan buruh sebagai agen.

Riset yang dilakukan Sawit Watch (2013:3), mempertajam temuan di

Kalimantan ini bahwa pola rekruitmen buruh kelapa sawit dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Buruh-buruh ini datang dengan membawa mimpi untuk hidup layak, tapi mimpi tersebut seketika buyar ketika menemukan fakta bahwa mereka kerja laksana budak. Buruh bekerja borongan dengan target besar dan terpaksa tidur di lahan perkebunan. Bentuk pola semacam ini justru ditemukan dalam interaksi sosial antara buruh dan majikan dalam kekuasaan untuk mengeksploitasi tenaga buruh.

Pola rekrutmen yang dilakukan oleh kontraktor atau kepala rombongan terhadap buruh outsourcing merupakan strategi agen tenaga kerja melalui struktur dalam praktik sosial. Pola pengisapan perusahaan terhadap tenaga kerja BHL dan

Universitas Sumatera Utara 137

buruh outsourcing lewat bentuk dan pola rekruitmen. Dalam proses rekruitmen, buruh, pihak perkebunan tidak mengalami kendala karena kelimpahan tenaga kerja terampil dan murah. Keuntungan yang didapat oleh perusahaan dari pola- pola demikian adalah upaya menghindari tanggungjawab sosial seperti jaminan sosial tenaga kerja dan perlindungan terhadap buruh apabila mendapatkan gangguan kesehatan dan kecelakaan (Situmorang, at al., 2008:77).

6.2. Kontrak Kerja Abu-abu

Kontrak kerja buruh migran Nias di areal perusahaan perkebunan Estate

Pelalawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper masih abu-abu (tidak jelas). Buruh outsourcing antara lain buruh harian lepas dan buruh borongan sebagian besar tidak mempunyai kontrak kerja. Berdasarkan mekanisme ketenagaan kerja, apalagi perusahaan PT. RAPP standar internasional seharusnya mempunyai kontrak kerja antara perusahaan dan kontraktor penyalur tenaga kerja, selanjunya kontraktor dengan buruh. Memang ditemukan berbagai macam pola yang diterapkan para kontraktor satu dengan lain cukup bervariasi. Ada kesan aturan kontrak kerja antara kontraktor dan tenaga kerja dilakukan sewenang-wenang satu pihak, apalagi banyak tenaga kerja yang tidak bisa membaca dan menulis.

6.2.1. Perjanjian Borongan Plantation Sepihak

Perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper sebagai pihak pemberi kerja mempunyai pola-pola perjanjian kerja dengan pihak kontraktor penyalur tenaga kerja. Perjanjian kontrak kerja antara PT. Riau Andalan Pulp and

Papers bersifat tidak langsung. Perusahaan PT. RAPP sebagai induk perusahaan masih menggunakan anak perusahaan milik, misalnya CV. Alam Lestari, CV.

Tuah Negeri, PT. Madukoro, CV. Anugerah, PT. Riau Fiber, PT. Indra Fiber, PT.

Universitas Sumatera Utara 138

Kampar Fiber, PT. Kiat Mas. Artinya, permodalan untuk membuka konsesi Hutan

Tanaman Industri (HTI) semuanya dimodali perusahaan milik Sukanto Tanoto.

Menurut pengakuan informan, harga tiap-tiap jenis pekerjaan anak perusahaan PT. RAPP menerapkan harga yang berbeda-beda kepada kontraktor.

Misalnya, harga perhektar bagian penanaman bibit akasia (Planting Package:

Planting+RP+MOP+Micro) Elevanted Area (3x2M) rata-rata tahun 2014 Rp.

803.000. Selain itu, CV dan PT mempunyai jenjang yang berbeda, logikannya masa CV sebagai anak perusahaan PT. RAPP melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan perseroan (PT) penyalur tenaga kerja. Misalnya surat perjanjian borongan plantation No. 10/TN/S-TSK/LGL/III/2014 antara direktur CV. Tuah

Negeri sebagai pihak pertama dan direktur PT. Sumber Usaha Baru.

Perjanjian borongan plantation pada pasal 6 tentang tanggung jawab para pihak. Pertama, pihak pertama bertanggung jawab untuk: 1) melaksanakan pembayaran atas hasil pekerjaan pihak kedua yang dilakukan sesuai dengan ketentuan perjanjian ini dan/atau petunjuk/perintah tertulis pihak pertama. 1) menunjuk wakil pihak pertama yang berwenang mewakili pihak pertama dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

Kedua, pihak kedua bertanggung jawab untuk: 1) menyediakan minimal peralatan dan perlengkapan kerja yang mencukupi dan dalam kondisi baik dan siap pakai untuk pelaksanaan pekerjaan; 2) menyediakan tenaga kerja yang berpengalaman dan mencukupi untuk pelaksanaan pekerjaan namun tidak kurang dari 20 (dua puluh) orang; 3) menunjuk seorang wakil dari pihak kedua sebagai pengawas atas seluruh tenaga kerjanya, orang yang mudah dihubungi dan harus bertanggung jawab penuh untuk menangani masalah-masalah tenaga kerjanya; 4)

Universitas Sumatera Utara 139

membongkar dan menurunkan bibit yang diangkut pihak pertama ke lapangan; 5) menyediakan transportasi untuk tenaga kerja pihak kedua.

Perjanjian point 6 (enam) dikatakan bahwa bersama dengan tenaga kerja pihak kedua mematuhi tata tertib yang berlaku di lokasi kerja pihak pertama; 7) membayar ganti kerugian atas tindakan yang dilakukan pihak keud dan/atau tenaga kerja pihak kedua yang baik karena disengaja maupun karena kelalaian merugikan pihak pertama dan/atau pihak ketiga; 8) menggantikan tenaga kerja atas permintaan pihak pertama dalam hal tenaga kerja pihak kedua tidak mematuhi tata tertib pihak pertama (interdispliner), berbuat tindak pidana atau pun alasan lain dari pihak pertama; 9) menjamin dan menanggung pihak pertama bahhwa segala peralatan dan perlengkapan kerja untuk pelaksanaan pekerjaan adalah milik sah pihak kedua atau diperoleh pihak kedua secara sah sehingga nantinya pihak pertama tidak akan mendapat gugatan dalam bentuk apapun dari pihak ketiga baik di dalam maupun di luar pengadilan yang menyatakan berhak atau turut memiliki hak atas peralatan dan perlengkapan pihak kedua; 10) mengasuransikan segala peralatan dan perlengkapan pihak kedua yang dipergunakan untuk pelaksanaan pekerjaan dari segala akibtan (all risk insurance). Segala kerugian yang timbul akibat tidak diasuransikannya peralatan dan/atau perlengkapan pihak kedua, pihak pertama untuk sekarang dan dikemudian hari dibebaskan dari gugatan dalam bentuk apapun dari pihak kedua dan/atau pihak ketiga baik di dalam maupun di luar pengadilan;

Perjanjian pertama dan pihak kedua dalam point 11 (sebelas) dikatakan bahwa pihak pertama memberikan uang makan, upah, dan pemondokan bagi tenaga kerja pihak kedua; 12) keamanan dari peralatan dan perlengkapan pihak

Universitas Sumatera Utara 140

kedua dan membebaskan pihak pertama dari gugatan dalam bentuk apapun dari pihak kedua dan/atau pihak ketiga baik di dalam maupun di luar pengadilan akibat kelalaian pihak kedua menjaga keamanan tersebut; 13) menggantikan peralatan pemadam kebakaran di lokasi kerja pihak pertama; 14) menyediakan peralatan dan perlengkapan keamanan bagi tenaga kerjanya sesuai dengan peraturan keamana pihak pertama, seperti topi pengaman, sepatu safety, dan rompi safety.

Informan Yustin Laia, mantan pengurus PT. Sumber Usaha Baru (PT.

SUB) mengatakan bentuk perjanjian antara pihak kontraktor dan pihak perusahaan sifatnya sepihak. Artinya, kontraktor penyalur tenaga kerja mempekerjakan tenaga kerja di lokasi areal perkebunan, sementara surat perjanjian baru dikirim oleh kontraktor ke perusahaan. Minimal tiga bulan sampai satu tahun, surat perjanjian itu baru dikeluarkan oleh pihak pertama kepada pihak kedua. Realitas perusahaan penyalur tenaga kerja mau tidak mau harus menerima surat perjanjian itu, karena tenaga kerja sudah bekerja di areal perkebunan. Jika surat perjanjian itu tidak disetujui oleh pihak kedua, maka proses pencarian apraham tidak dilakukan oleh pihak pertama atau pihak ketiga. Padahal tenaga kerja sudah bekerja selama tiga bulan atau sudah satu tahun. Singkatnya, pihak kedua mau tidak mau harus menerima surat perjanjian dari pihak pertama, itulah yang disebut perjanjian sepihak.

Model perjanjian sepihak dalam sistem ketenagakerjaan di perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan strategi pihak perusahaan melepaskan diri dari bentuk tuntutan hukum pada kemudian hari.

Pihak pertama sebagai pemberi kerja yang memiliki kekuasaan dominan, selanjutnya pihak kedua sebagai penyalur tenaga kerja mempunyai kekuasaan

Universitas Sumatera Utara 141

dominan atas tenaga kerja. Hierarki kekuasaan semacam ini merupakan bentuk- bentuk tindakan eksploitasi tenaga buruh yang dilakukan oleh agen melalui struktur dalam praktik sosial. Akhirnya, struktur hierarki kekuasaan tersebut pada ujungnya buruh tetap menjadi “korban” yang tidak mempunyai posisi tawar dalam sebuah sistem ketenagakerjaan.

6.2.2. Kontrak Kerja antara Ada dan Tiada

Umumnya kontak kerja antara buruh dan kontraktor penyalur tenaga kerja hampir tidak ada. Bahkan informasi-informasi tentang sistem kerja, pengupahan, dan tempat tinggal baru hampir tidak diberitahukan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja kepada tenaga kerja. Tenaga kerja yang didatangkan dari luar, mereka hanya tahu bahwa kerja dan kerja, tanpa ada kontrak kerja yang jelas.

Padahal dalam perjanjian borongan plantation antara Anak perusahaan PT. RAPP dan perusahaan penyalur tenaga kerja pasal 7 dijelaskan tentang tanggung jawab pihak kedua terhadap tenaga kerjanya sebagai berikut.

Pertama, pihak kedua harus mengikuti dan melaksanakan segala tanggung jawab dan kewajiban kepada pekerja dan instansi terkait sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Perusahaan dan tenaga kerjanya diwajibkan sudah menjadi Peserta Jamsostek, hal ini dibuktikan dengan sertifikat kepesertaan perusahaan dan kartu peserta untuk masing-masing tenaga kerja. Hal ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 tahun 1993; 2)

Melakukan wajib lapor ke dinas tenaga kerja setempat, hal ini dibuktikan dengan adanya dokumen wajib lapor yang sudah mendapat pengesahan dari pihak dinas ketenagakerjaan setempat, hal ini merujuk kepada UU No. 7 Tahun 1981; 3)

Universitas Sumatera Utara 142

Pengaturan tentang pembayaran upah minimal sama dengan UMP atau UMK bagi kabupaten/kota yang telah mempunyai UMK. Hal ini merujuk kepada pasal 88 s/d pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Negara Republik Negara

RI No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah; 4) Pengaturan tentang waktu kerja dan perhitungan/pembayaran upah lembur. Hal ini merujuk kepada pasal 77 s/d pasal 85 UU No. 13 Tahun 2003, Keputusan Menteri Tenaga kerja No. Kep-

102/Men/VI/2014 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur; 5)

Pengaturan tentang kerja No. PER-04/MEN/1994; 6) Melaksanakan PERDA setempat yang mengatur tentang Ketenagakerjaan.

Kedua, wajib melaporkan dan memberikan bukti bahwa telah mengikuti segala peraturan dan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Ketiga, setiap karyawan pihak kedua dan membebaskan pihak pertama dari gugatan dalam bentuk apapu juga dari pihak kedua, tenaga kerja pihak kedua dan/atau pihak ketiga baik dalam maupun di luar pengadilan; termasuk akan tetapi tidak terbatas pada penyelesaian hingga tuntas masalah tenaga kerja pihak kedua yang mengalami kecelakaan kerja sebagai akibat pelaksanaan perjanjian ini. Kelima, menjamin tenaga kerja yang dipekerjakan pihak kedua tidak merupakan tenaga kerja di bawah umur yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya oleh peraturan-peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Keenam, menyediakan peralatan dan perlengkapan keamanan bagi tenaga kerjanya sesuai dengan jenis pekerjaan sebagaimana yang ditentukan dalam lampiran personal protection equipment (PPE) atau alat pelindung diri (APD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini. Ketujuh, memprioritaskan tenaga kerja lokal atau tempatan sebagai karyawannya dimana

Universitas Sumatera Utara 143

pihak kedua beroperasi. Delapan, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan industrialis.

Perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dan penyalur tenaga kerja dalam realita tidak dipenuhi dengan baik. Misalnya jamsostek, wajib lapor, pembayaran upah minimal UMK (UMK Pelalawan Rp. 2.176. 480 tahun 2016), waktu kerja dan perhitungan atau pembayaran upah lembur, pengaturan tentang kerja, melaksanakan aturan peraturan daerah setempat. Kewajiban-kewajiban demikian jauh dari yang diharapkan. Upah minimal yang seharusnya dibayar berdasarkan UMK, tetapi kenyataan dibayar dibawah UMK Pelalawan. Menurut pengakuan para buruh sebagian besar tidak ada kontrak kerja antara perusaahaan penyalur tenaga kerja dan buruh secara tertulis. Berbeda halnya dengan buruh harian lepas di Pelalawan Centre Nurseri dan Kerinci Centre Nurseri memiliki kontrak perjanjian kerja. Ada skenario yang dimainkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja. Ketika peneliti bersama dengan salah satu pengurus kontraktor, peneliti mengamati sendiri bagaimana salah satu pengurus kontraktor merekayasa tanda tangan para buruh.

6.3. Hubungan Kerja dengan Sistem Upah

Penelitian Purwanto, at al., (2011:24-25) melukiskan dinamika kelompok kerja para buruh migran Nias dari dari karyawan menjadi pekerja. Sekitar tahun

2002 semua buruh dari staf, karyawan sampai buruh terdaftar sebagai pekerja perusahaan Perkebunan PT, RAPP. Semua urusan mengenai buruh dari rekruitmen, mengadministrasikan pekerja ke disnaker, pendaftaran jamsostek, sistem penggajian sampai pemberian tunjangan hari raya, tunjangan kecelakaan kerja, pensiun, dan tunjangan atau insentif lainnya ditangani langsung oleh RAPP.

Universitas Sumatera Utara 144

Tentu sistem ini perusahaan PT. RAPP merasa direpotkan dengan berbagai urusan mengenai ketenagaan kerja dan tingginya resiko yang akan muncul apabila memiliki jumlah buruh yang cukup banyak seperti demonstrasi buruh, PHK dan lain sebagainya.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 58-66 mengenai outsouring memperbolehkan perusahaan menggunakan pihak lain untuk menjalankan aktivitasnya maka kebijakan perusahaan mengenai ketenagaan kerja pun berubah. Semua jenis pekerjaan termasuk juga penyediaan tenaga kerja diserahkan pada kontraktor-kontraktor suplier tenaga kerja. Buruh yang semula merupakan buruh langsung PT. RAPP diputus hubungannya dan diserahkan pada kontraktor. Mulai saat itu dilingkungan PT. RAPP mulai bermunculan kontraktor- kontraktor supplier tenaga kerja. Bahkan perusahaan PT. RAPP sendiri mendorong bermunculan kontraktor-kontraktor ini guna pemenuhan kebutuhan tenaga kerja.

Semua aspek yang berkaitan dengan produksi mulai dari penyediaan tenaga kerja, jamsostek, perlengkapan kerja dan alat perlindungan diri (APD) harus disediakan olek kontraktor. Untuk mendapatkan pekerjaan, kontraktor harus mengajukan “amprahan” pekerja terlebih dahulu, para perusahaan. Semakin banyak buruh yang dimiliki maka semakin besar pula amprahan yang diperoleh kontraktor. Ini artinya mendatangkan keuntungan yang semakin besar pula bagi kontraktor. Para kontraktor melalui perpanjangan tangannya melakukan berbagai cara dan strategi untuk mendapatkan buruh sebanyak banyaknya. Orang yang pertama kali diajak untuk bekerja adalah saudara kandung kemudian saudara ipar dan temannya sendiri. Perekrutan tenaga ini selanjutnya oleh kontraktor diangkat

Universitas Sumatera Utara 145

sebagai kepala rombongan (KR) membawahi para pekerja yang berhasil dikumpulkannya. Sebagai imbalan KR mendapatkan fee dari kontraktor sebesar

10% dari hasil kerja para anggotanya.

Kadang cara yang dilakukan oleh kontraktor keluar dari aturan PT. RAPP seperti mempersilahkan buruh membawa anggota keluarganya termasuk anak kecil yang sebenarnya dilarang oleh RAPP. Hal ini lah yang menyebabkan banyaknya buruh migran Nias yang membawa serta keluarga mereka dan dalam satu rombongan satu dengan yang lain memiliki ikatan kekerabatan. Di pihak lain perusahaan PT. RAPP sendiri tidak bisa berbuat banyak karena membutuhkan keberadaan buruh untuk kelangsungan produksi.

Amprahan dicairkan oleh kontraktor kepada kepala kepala rombongan yang ada dibawahnya. Semakin banyak jumlah anggota dalam satu rombongan maka semakin besar pula jatah pekerjaan yang diberikan oleh kontraktor kepada rombongan tersebut. Sistem outsourcing, PT. RAPP tidak mempunyai hubungan langsung dengan pekerja. Pekerja bukan karyawan tetapi pekerja kontraktor.

Segala urusan menyangkut pekerja merupakan wewengan kontraktor, oleh karena itu buruh PT. RAPP tidak bisa sepenuhnya mengontrol para buruh termasuk pembagian kerja dan besaran upah yang diterima buruh. Bagi buruh outsoucing, upah dan komponen-komponen upah yang diterima oleh buruh adalah hasil kesepakatan antara perusahaan dan pengguna dengan penyalur tenaga kerja, sementara buruh outsourcing tidak memiliki posisi tawar atas komponen- komponen upah itu (Tjandraningsih, 2010:46).

Pekerja seringkali menjadi sumber eksploitasi bagi kontraktor. “Makan- memakan” diantara sesama pekerja asal Nias juga tinggi. Sebagai contoh menurut

Universitas Sumatera Utara 146

staf Pelalawan Estate harga yang diberikan untuk menggarap 1 ha lahan dengan jarak tanam 2 x3 meter dari perusahaan ke kontraktor sebesar Rp. 550.000 oleh kontraktor diberikan kepada KR sebesar Rp. 400.000 dan KR ke buruh paling tinggi adalah Rp. 350.000/ha. Bahkan ada KR yang hanya memberikan harga sebesar Rp. 295.000 per hektar. Penelitian Purwanto, at al., (2011:25), pembelian

APD para buruh sudah diserahkan dari perusahaan ke kontraktor, tetapi kenyataannya para pekerja harus membayar APD tersebut ke kontraktor.

Dengan melakukan pemotongan sebesar Rp. 150.000 untuk setiap hektarnya dan menjual berbagai perlengkapan kepada pekerjaanya maka keuntungan yang diperoleh kontraktor sangat besar. Keuntungan kontraktor menjadi lebih besar lagi dengan menyediakan berbagai macam barang kebutuhan pokok bagi pekerja di lapangan. Kondisi ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan kehidupan buruh yang terjerat dalam utang dan kemiskinan. Menanggapi hal ini salah seorang tokoh Nias mengatakan sistem outsourcing yang diperlakukan di RAPP hanya kembuat gemuk kontraktor yang menjadikan para pekerja sebagai sapi perahan.

Perusahaan pemberi kerja PT. RAPP sendiri mengakui memang ada pemotongan yang dilakukan oleh kontraktor terhadap buruh karena kontraktor juga ingin mendapatkan keuntungan. Namun PT. RAPP selalu mengingatkan kontraktor bahwa upah yang diberikan tidak boleh tidak boleh dibawah UMK.

UMK Kabupaten Pelalawan Tahun 2016 adalah sebesar Rp. 89.000/hari atau sebesar Rp. 2.176.180,-/bulan. Dengan adanya potongan dan sedikitnya hari kerja sering menyebabkan pendapatan pekerja di bawah UMK. Kondisi buruh semakin parah dengan tingginya harga kebutuhan pokok yang dijual oleh KR. Tidak jarang

Universitas Sumatera Utara 147

pada saat kirahan jumlah ambilan barang lebih besar dari pada pendapatan yang menyebabkan pekerja berutang kepada KR.

Peneliti justru melihat temuan Purwanto at al., (2011) membela pihak perusahaan melalui pernyataannya bahwa sudah semacam kode etik antara perusahaan (RAPP) dengan kontraktor, perusahaan tidak akan menanyakan besaran upah yang diberikan oleh kontraktor pada pekerja. Hal itu merupakan urusan internal kontraktor dengan pekerjanya. Tidak tertutup kemungkinan apabila apabila perusahaan/staf perusahaan banyak bertanya mengenai hak-hak pekerja disalah artikan oleh kontraktor dan dianggap staf tersebut meminta fee dari kontraktor. Asumsi peneliti dari beberapa temuan justru alasan perusahaan ini merupakan salah satu pembelaan dari realitas sosial buruh. Perusahaan sebagai pemberi kerja seharusnya mempunyai tanggung jawab moral untuk memperhatikan tingkat kesejahteraan para buruh.

Kontraktor bisa sewaktu menarik tenaga kerjanya apabila hubungan kerja dengan perusahaan dianggap kurang menguntungkan atau perusahaan dianggap mencampuri internal kontraktor seperti ingin apakah hak-hak pekerja diberikan sepenuhnya atau tidak, ingin mengetahui besarannya gaji pekerja, insentif-insentif yang diberikan pada buruh dan lain sebagainya. Apabila kontraktor menarik tenaga kerjanya maka hal ini merupakan kerugian bagi perusahaannya/estate.

Perusahaan akan mengalami kelangkaan buruh dan akibatnya adalah targer produski tidak tercapai.

Penerapan sistem outsourcing menyebabkan kehidupan para buruh menurun secara drastis. Mereka yang semula mendapatkan gaji bulan secara tetap karena pendapatan tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan yang mereka

Universitas Sumatera Utara 148

lakukan. Hak-hak buruh yang sebelumnya diterima langsung oleh buruh dari perusahaan seperti tunjangan ahri raya, insetif dan bonus, setelah ditangani oleh kontraktor banyak hak-hak mereka yang tidak diberikan tetapi diambil oleh kontraktor. Dengan sistem outsourcing para buruh juga kehilangan jenjang karier, mereka selamanya akan menjadi buruh dan tidak akan mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Hal ini berarti mereka juga tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kenaikan gaji yang biasanya dipertimbangkan berdasarkan masa kerja dan prestasi kerja yang mereka capai. Hal yang sama juga terjadi pada buruh lepas (BHL), sebelum diterapkan outsourcing pendapat BHL setiap harinya sangat jarang mengacu pada upah standar harian. Tetapi ketika mereka diserahkan kepada kontraktor dan bekerja secara borongan, upah yang tidak diperoleh setiap hari menjadi tidak jelas.

6.4. Pengorganisasian Kerja dan Pendapatan

Pembagian kerja dalam satu rombongan diatur oleh kepala rombongan

(KR). Setidaknya ada 3 jenis pembagian kerja yaitu ada yang bertugas mengatur jalan tanam dengan menarik tali yang sudah ditandai dari ujung ke ujung lahan.

Ada juga yang bertugas menunggal dan menaburkan benih sekitar lubang. Ketiga adalah petugas penanam yang bertugas memasukan bibit pada yang sudah tersedia. Para buruh biasa bekerja mulai jam 6 pagi sampai jam sore 5 atau lebih.

Selama bekerja para pekerja diawasi oleh mandor dari perusahaan. Permasalahan teknis seperti jarak tanam, pengambilan bibit, penentuan titik untuk menarik lajur diatur dan diawasi oleh mandor agar sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.

Universitas Sumatera Utara 149

Apabila pekerjaan tidak terlalu banyak, maka KR harus mengatur banyaknya jumlah anggota yang bekerja setiap harinya. Hal ini dilakukan agar ada pemerataan pendapatan dan upah yang diterima oleh anggota tidak terlalu kecil.

Sebagai contoh pada rombongan yang terdiri dari 30 buruh, bila pekerja tinggal 2 ha maka yang dipekerjakan oleh KR hanya 20 buruh atau kurang. Asumsi harga per hektar Rp. 350.000, pendapatan seorang buruh adalah 2 x Rp. 350.000: 20 =

Rp. 35.000, anggota yang diprioritaskan untuk buruh adalah anggota yang memiliki hutang besar pada KR. Dalam kondisi pekerja lancar, satu kelompok kerja dengan 30 orang anggota dalam 1 hari bisa menyelesaikan penanaman sampai 5 ha. Bila dibagi rata maka pendapatan setiap buruh adalah 5 x 350.000 :

30 = Rp. 58.300 perhari atau sekitar 1.166.000 per bulan dengan asumsi 20 hari kerja.

Contoh lain menunjukkan satu kelompok kerja yang berjumlah 20 orang dalam 1 hari bisa menyelesaikan pekerjaan sebanyak 4 ha. Dengan demikian penghasilan rata-rata setiap pekerja adalah 4 x 350.000 : 20 = Rp. 70.000 per hari atau sebesar Rp. 1.540.000 setiap bulannya (22 HK). Kasus pada kelompok lain menunjukkan pendapatan pekerja lebih kecil lagi, kelompok kerja berjumlah 8 sampai 10 orang dalam 1 hari hanya mendapatkan pekerjaan 1 hektar lahan. Bila yang bekerja 8 orang, pendapatan pekerja kurang Rp. 350.000 : 8 = Rp.

1.050.000/hari atau Rp. 875.000/bulan. Bila yang bekerja 10 orang maka pendapatan pekerja sebesar Rp. 700.000/bulan.

Dalam satu kelompok buruh tidak bisa bekerja penuh dengan berbagai alasan seperti cuaca buruk, tidak adanya bibit, belum mendapat aprahan pekerjaan, sehingga jumlah hari kerja (HK) pekerja sangat sedikit dan tidak

Universitas Sumatera Utara 150

sampai diatas 20 hari. Bila tidak ada pekerjaan maka para pekerja diam menganggur dan tidak punya pendapatan sama sekai. Kondisi ini membuat buruh menjadi merasa merugi karena biaya hidup harus dikeluarkan. Akibatnya pada saat kirahan, pendapatan lebih kecil dari pengeluaran sehingga mereka berutang pada KR. Perusahaan sendiri memberikan rangsangan apabila seorang buruh mencapai 22 hari kerja dalam sebulan maka akan mendapatkan bonus beras 15 kg beras.

Sistem outsourcing kerja borongan, pendapatan buruh menjadi tidak tentu tergantung ada atau tidak adanya pekerja. Seorang staf PT. RAPP mengatakan sebenarnya pekerjaan selalu tersedia tetapi masalahnya adalah pekerja Nias umumnya hanya mau di penanaman saja, mereka tidak mau mengerjakan pekerja lain sehingga weeding, singling, dan sprying. Hal inilah yang sering menyebabkan buruh migran Nias menganggur. Untuk mengatasi permasalahan ini salah satu persyaratan yang diterapkan oleh PT. RAPP adalah para kontraktor harus bersedia melakukan pekerjaan selain penanaman.

Kondisi miris cara kepala rombongan mengeksploitasi tenaga buruh berdasarkan pengakuan Charles Laoli, buruh borongan di salah satu kontraktor asal Nias sebagai berikut.

“... kita hanya berkutak pada utang. Kurang kerja. Hanya menyemprot kerugian juga. Mengapa? Banyak kerja kita yang tidak terhitung harganya. Misalnya, ada tiga tahap kerja, pertama, menarik rumput paling tidak mencapai 5 hari dan itu tidak dibayar. Kedua, menyemprot dibayar Rp. 80.000 perhektar. Akhinya, pada waktu servis minimal 3 hari dan tidak dibayar. Disitu aja kita waktu kita habis. Kita tidak bisa menanam karena kurang kerja...”. Berdasarkan pengakuan ini, peneliti memahami bahwa kepala rombongan tidak jujur dalam memberikan informasi upah dan kerja. Kepala rombongan menyuruh buruh melakukan pekerjaan tanpa dibayar. Tentu ini berpengaruh pada

Universitas Sumatera Utara 151

penghasilan setiap bulan para buruh. Beberapa buruh mengatakan dalam satu dari bisa mendapatkan upah Rp. 60.000-Rp.87.000. Jumlah tersebut memang berada dibawa UMK Harian Pelalawan seebsar Rp. 87.000/hari. Tetapi apabila dikalikan dengan jumlah hari kerja maksimal 20 hari perbulan maka pendapatan pekerja adalah Rp. 1.200.000/bulan. Artinya jumlah ini berada dibawah UMK bulanan

Rp. 2.187.168. pendapatan keluarga akan bertambah apabila isteri juga ikut bekerja. Ketidakpastian pendapatan buruh migran Nias juga terlihat dalam buku catataan KR. Dalam buku catatan tersebut terlihat ada pekerja yang mendapatkan upah sebesar Rp. 35.000,/hari, ada yang mendapatkan upah Rp. 20.000/hari bahkan ada yang hanya mendapat Rp. 7.000/hari. Bila dikaitkan dengan 20 hari kerja maka pendapatan pekerja tersebut berkisar antara Rp. 400.000-Rp. 700.000.

Tabel 6.3. Perkembangan Upah Minumum Kabupaten Pelalawan tahun 2010-2016 No Kabupaten Pelalawan Jumlah (RP) 1 UMK 2010 1.020.000 2 UMK 2011 1128.000 3 UMK 2012 11250.000 4 UMK 2013 1.445.000 5 UMK 2014 1.710.000 6 UMK 2015 1.952.000 7 UMK 2016 2.176.500 Sumber: Data diolah oleh peneliti

Penelitian Purwanto at al., (2011) berbeda dengan temuan peneliti sendiri di lapangan dalam hal etos kerja. Beliau mengatakan etos kerja buruh migran Nias memang rendah dan sering tidak masuk kerja. Peneliti menemukan justru sebaliknya. Etos kerja buruh asal Nias begitu tinggi, buruh outsourcing pada pukul 06.00 wib, mereka sudah memulai bekerja. Sementara mandor atau asisten perusahaan PT. RAPP baru datang pada pukul 08.00 wib. Bahkan mereka kadang

Universitas Sumatera Utara 152

pulang pukul sore hari pukul 17.30. Ketika peneliti mencoba menggali informasi dari beberapa informan, alasan mereka kerja pukul 06.00 karena jam itu dirasa efektif untuk bekerja, selain menghindari terik matahari, juga untuk bisa mengerjakan penghasilan yang sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan.

Mengacu pada ketentuan perundang-undangan jam kerja mulai jam 06.00 wib sudah menyalahi aturan yang ditetapkan. Pekerja hanya berpikir bagaimana melakukan pekerjaan sebanyak-banyaknya guna memperoleh pendapatan sebesar- besarnya.

Sistem penggajian atau kirahan berbeda antara satu kelompok kerja dengan kelompok lainnya tergantung kebijakan KR masing-masing. Ada kelompok yang menerapkan kirahan setiap bulan ada juga yang 2-3 bulan sekali bahkan ada yang kirahan enam bulan. RAPP sendiri baru melakukan pembayaran pada kontraktor setelah melakukan pekerjaan selesai dan memenuhi standar.

Kelompok yang menerapkan kirahan setiap bulan maka pembayaran upah pekerja ditalangi terlebih dahulu oleh kontraktor. Penerapan sistem penggajian tersebut bukan tidak mungkin terjadi eskploitasi, Gidden justru mencermati pola pengupahan tersebut sebagai kesadaran praktis sebagai tindakan dan praktik sosial yang lambat laun menjadi struktur, dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/praktik sosial (Priyono, 2016:29).

Pemberlakukan struktur sistem outsourcing dan kerja borongan maka para kontraktor harus memiliki modal awal untuk bisa mendapatkan pekerjaan dari perusahaan PT. RAPP. Modal dibutuhkan untuk rekruitmen tenaga kerja. Semua biaya di atas harus ditanggung/ditalangi lebih dulu oleh kontraktor karena PT.

RAPP baru akan membayar kontraktor pada akhir pekerjaan. Apabila kontraktor

Universitas Sumatera Utara 153

tidak memiliki modal kuat dan tidak mampu menalangi pembayaran gaji pekerja sering kali membuat buruh pindah pada kontraktor lain. Sebaliknya sering terjadi juga upah pekerja tidak diberikan dan dibawa kabur oleh KR dan menimbulkan perkelahian antara sesama buruh migran Nias.

Kondisi buruh di nurseri sedikit lebih baik dibandingkan dengan pekerja borongan yang tinggal di moving camp. Selain tinggal di Barak permanen ketersediaan pekerja dan pendapatan lebih pasti. Terdapat 3 (tiga) macam pekerjaan di nurseri yaitu pekerja borongan, buruh harian lepas (BHL) dan karyawan kontraktor. Untuk pekerja yang bisa diborongkan seperti mencampur tanah dengan pupuk dan memasukkan benih pada trey (kotak benih) dikerjakan oleh pekerja borongan. Sedangkan pekerjaan yang tidak bisa diborongkan seperti merawat benih, menyiram dan sejenisnya ditangani langsung oleh kontraktor.

Pekerjaan ini dilakukan oleh pekerja tetap kontraktor yang mendapat gaji bulanan dan buruh harian lepas (BHL).

Buruh mengaduk tanah dengan pupuk dibayar sebesar Rp. 50.000/kubik.

Dalam satu hari buruh bisa menyelesaikan pekerja antara 1-2 kubik. Artinya dalam 1 hari buruh bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 50.000-Rp.

100.000, hambatan yang sering dihadapi para pekerja adalah sulitnya mendapatkan tanah terutama pada saat hujan. Sehingga dalam satu hari rata-rata pekerja hanya bisa menyelesaikan pekerjaan sebanyak 1.5 kubik. Dengan hari kerja maksimal 20 hari maka pekerja bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp.

1.500.000/bulan. Pekerja memasukan benih dibayar sebesar Rp. 18.500 untuk setiap bedengnya. Dalam satu hari pekerja bisa menyelesaikan 3 bedeng, maka penghasilan pekerja sebesar Rp. 1.221.000 dengan asumsi 22 hari kerja.

Universitas Sumatera Utara 154

Hambatan yang sering dihadapi oleh para pekerja antara lain sering terlambatnya pengembalian trey dari bagian penanaman dan datangnya hujan yang menyebabkan pekerja tidak dapat bekerja.

Pekerjaan bulanan yang berada langsung dibawah kontraktor besar upah pekerja baru adalah Rp. 900.000/bulan ditambah makan sebanyak 3 kali sehari yang disediakan oleh kontraktor. Keperluan makan pekerja ini kontraktor memperkerjakan tukang masak tersendiri. Setelah lima bulan upah dinaikkan menjadi 1,2 juta dan setalah 1 tahun naik menjadi 1,5 juta ditambah jatah makan 3 kali sehari. Kebijakan kontraktor, lama kontrak dengan pekerja adalah satu tahun setelah itu bisa diperpanjang. Apabila pekerja ingin masak sendiri maka upah akan diberikan penuh sebesar Rp. 2.176.500. pekerja yang memilih makan dari perusahaan biasanya adalah pekerja lajang. Tetapi ada juga pekerja yang memilih masak sendiri, mereka biasanya adalah pekerja yang sudah berkeluarga. Untuk buruh harian lepas (BHL), upah yang diberikan sebesar Rp. 78.000/hari. Pendapat

BHL dalam 1 bulan tergantung dari kerajinan buruh itu sendiri. Dalam satu minggu BHL bisa bekerja sebanyak 6 hari atau sebanyak 22 hari dalam sebulan.

Dengan demikian maka pendapatan BHL bisa mencapai Rp. 1.716.000 perbulan.

6.5. Belenggu Kepala Rombongan

Pemakai jasa kepala rombongan dalam sistem ketenagakerjaan di perusahaan Perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper merupakan point penting dalam interpretasi data eksploitasi buruh migran Nias. Eksistensi kepala rombongan mempunyai andil penting, karena intensif melakukan interaksi sosial terhadap para buruh. Penting dipahami bahwa dalam undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 tidak dikenal istilah kepala rombongan.

Universitas Sumatera Utara 155

Menurut informan Swandi, kepala bagian hubungan masyarakat dan industri dinas tenaga kerja dan transmigrasi bahwa pemakaian kepala rombongan dan subkontraktor adalah “liar” tidak resmi.

Kepala rombongan merupakan orang yang diberikan kepercayaan oleh salah satu kontraktor untuk mengurus semua anggota kerja di satu camp. Pada dasarnya KR harus tinggal bersama anggota tenaga kerja. Ia merupakan perpanjangan tangan kontraktor untuk mengatur jalannya kerja, dan menyuplai kebutuhan tenaga kerja di camp. KR biasanya membawahi minimal 20-40 tenaga kerja di satu camp yang berhasil direkrut di luar perusahaan. Menurut pengakuan salah satu kepala rombongan, buruh yang didatangkan dari luar dihargai sekitar

10% fee dari kontraktor. Selain itu juga kepala rombongan mempunyai persen dari harga disetiap lahan yang dikerjakan oleh buruh, dan juga dari hasil penjualan kebutuhan pokok di camp.

Kepala rombongan sebagian besar mempunyai kaitan keluarga dengan kontraktor. Misalnya di salah satu kontraktor suku Nias, direksi kontraktor membawahi sekitar 20-30 kepala rombongan, masing-masing kepala rombongan adalah adik dan keluarga intinya dari direksi kontraktor, bahkan pengurus kontraktor itu sendiri adalah keluarga dari sang isteri direksi kontraktor. Metode pendekatan kekeluargaan ini adalah jaringan kekuasaan untuk mengamankan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.

Kepala rombongan tidak jarang memperlakukan buruh tidak adil, dalam hal keterlambatan pembayaran gaji buruh. Berikut pengakuan Jaya Bulolo salah satu kepala rombongan, kontraktor asal Nias.

“...Ada kepala rombongan yang memainkan kirahan (upah anggota), dengan alasan belum lolos kerja kita. Padahal uang itu sudah

Universitas Sumatera Utara 156

dimainkan untuk bisnis lain oleh kepala rombongan. Bisa juga ada kendala pembayaran kirahan di PT (kontraktor), tapi lama kelamaan ketahuan juga kepada angota. Jumlah utang tahu dan sementara penghasilan tidak ada. Itu penyebabnya, anggota sering cabut dari kontraktor yang satu ke kontraktor yang lain”.

Kasus serupa dialami oleh Mareti Gulo, salah satu mantan buruh borongan yang bergabung dengan salah satu kontraktor suku Nias. Ia mengaku hampir dua tahun bekerja, tanpa ada pembayaran upah yang dilakukan oleh kepala rombongan sekaligus kontraktor. Akhirnya ia memutuskan untuk cabut dari kepala rombongan itu di menjadi buruh harian lepas di Pelalawan Centre Nurseri, tanpa pernah ada pembayaran gaji. Berikut Penuturan Mareti Gulo kepada Peneliti:

“...Pertama sekali saya datang bekerja di PT. RAPP di bagian plantation, TPK 17 sektor Pelalawan. Saya bergabung dengan kontraktor Ama Bobi Zebua selama dua tahun. Saya pindah dari plantation ke nurseri karena tidak lancar gaji. Ia sering terlambat membayar gaji, bahkan sampai enam bulan. Kalau kebutuhan makan disediakan, tetapi gaji setiap keluar aprahan tidak ada. Jika kami tanya ke kontraktor, katanya sudah dibayar ke KR, sementara ditanya ke KR katanya belum keluar aprahan. Akhirnya saya memutuskan untuk pindak. Sebenarnya selama dua tahun besar penghasilan kami ketika itu, tapi tidak dibayar...”.

Kasus tersebut merupakan eksploitasi yang dilakukan oleh kepala rombongan terhadap hak-hak buruh. Pada kenyataannya buruh menjadi tereksploitasi dengan struktur kekuasaan dominan yang dilakonkan oleh kepala rombongan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kontraktor. Pemakaian jasa kepala rombongan tentu mempunyai pertimbangan dari kontraktor itu sendiri. Hal ini terungkap dalam kesempatan wawancara dengan Monas Laia salah satu informan pengurus kontraktor suplier tenaga kerja PT. Talabu suku Nias.

“...di kontrak itu dengan perusahaan pihak pertama adalah direksi PT. RAPP, pihak kedua mewakili direktur kontraktor. Terhadap tenaga kerja, langsung direktur membawahi tenaga kerja. Nah, sementara struktur kita bukan seperti ini, direktur, ditenaga itu, okelah ada pengawas tidak apa-apa, di dalam kontrak itu tidak ada

Universitas Sumatera Utara 157

KR, kekuatan hukumnya tidak ada, nah, seharusnya direktur langsung tenaga kerja sebenarnya. Pihak kedua menyediakan tenaga kerja, bukan kepala rombongan. Sementara sistem kita khususnya ono niha, seluruhnya kontraktor ono niha, mana ada anggota yang mau kita kalau tidak pakai KR. Rahasianya KR bebas-bebas gugatan sebetulnya, tidak ada ikatan. Makanya kami ikat KR dengan kontrak, tapi itu tidak berkekuatan hukum. Sehingga contohnya satu juta diberikan, seharusnya strukturnya langsung direktur, pengawas langsung ke tenaga kerja. Dengan mengambil persen dari harga Rp. 750.000. tapi dilapangan mungkin hanya Rp. 500.000, sudah ditahan oleh KR. Lalu KR tidak ada, mana mau orang datang ke sini?

Informan Monas Laia, melanjutkan beberapa solusi yang pernah dilakukan oleh para kontraktor sebagai berikut.

Pernah kami beritahu, bagaimana kalau KR kita buatkan kekuatan hukumnya? Ada kendala dalam hal bayar pajak khan terpaksa direkturnya yang membayar. Contohnya, PT. Talabu seakan-akan memberi kerja kepada KR, dan kita harus membayar pajak 10% dan dibayar lagi oleh PT. RAPP kepada kita 10%, yang artinya 20%, darimana kita ambil? Satu tahun aja pajak PT. Talabu 2,5 Miliar yang anggotannya 1500 tenaga kerja...”.

Ungkapan salah satu pengurus kontraktor ini merupakan dilema yang sering dihadapi oleh kontraktor, disatu sisi pihak kontraktor sadar bahwa sistem kepala rombongan akan semakin memperburuk keadaan para buruh, sementara disisi lain kehadiran KR akan mendatangkan para buruh. Padahal buruh bebas dari segala gugatan hukum bila terjadi masalah dikemudian hari. Hubungan kekuasaan antara kontraktor dan kepala rombongan adalah mutualisme, kontraktor mendapatkan banyak tenaga kerja, sementara KR mendapatkan fee dan bebas dari gugatan hukum. Mekanisme kekuasaan tersebut justru berdampak pada kesejahteraan buruh. Buruh menjadi sapi perahan, tenaganya dieksploitasi oleh agen melalui struktur dalam praktik sosial.

6.5.1. Hutang: Jeratan sekaligus Keuntungan

Hutang menjadi fenomena tak terpisahkan dari kehidupan para pekerja

Universitas Sumatera Utara 158

asal Nias. Beberapa kasus terungkap bahwa orang Nias sudah memiliki utang dari sejak awal keberangkatan dari Nias sampai tiba di lokasi kerja.

Utang tersebut untuk ongkos perjalanan, pembelian APD, pendaftaran jamsostek dan sebagainya yang ditalangi terlebih dahulu oleh KR atau kontraktor dan dibayar dengan memotong langsung upah pekerja. Karena saat mulai bekerja tidak memiliki uang tunai maka kebutuhan hidup sehari hari seperti sembako, rokok dan lain sebagainya diperoleh dengan cara menghutang terlebih dahulu ke

KR yang dibayar kemudian pada saat kirahan. Dengan demikian hutang para pekerja semakin bertambah. Salah seorang KR yang berasal dari Nias mengatakan dalam 2-3 bulan pertama pekerja belum mendapat keuntungan karena habis digunakan untuk membayar keperluan awal pada KR.

Pekerja Nias khususnya yang membawa keluarga tidak dapat melunasi utang karena ada kebutuhan lain seperti meminjam uang untuk dikirim ke kampung, biaya perkawinan dan keperluan konsumtif lain seperti membeli pulsa dan sebagainya. Sebenarnya pada pekerja asal Nias sudah bisa melunasi hutang awal untuk keberangkatan dan lain sebagainya itulah yang menyebabkan mereka tetap berutang pada KR. Interaksi berlangsung melalui aktivitas para agen, sementara struktur memiliki “satu eksistensi nyata” berupa aturan-aturan, serta sumber-sumber yang terimplementasikan dalam interaksi, yang berarti interaksi dari struktur tersebut dalam setiap prosesnya selalu dikembangkan (Lubis,

2014:152). Komparasi pemberian pinjaman uang oleh agen (KR) melalui struktur utang merupakan tindakan interaksi sosial yang berimplikasi pada eksploitasi tenaga buruh.

Hutang adalah salah satu alat yang digunakan oleh KR untuk mengikat

Universitas Sumatera Utara 159

pekerja. KR akan senang bila para pekerjanya memiliki hutang banyak karena semakin banyak hutang semakin mudah diikat. Berikut penuturan informan

Mareti Gulo sebagai berikut:

“Ya...kami disini, terutama yang bekerja dibagian plantation kebanyakan berutang, bahkan tak jarang ada yang berutang puluhan juta. Dengan berutang maka kami siap memberikan tenaga kami untuk bekerja sampai utang itu terlunaskan. Bisa saja kami lima tahun utang itu baru lunas. Apapun yang diaturkan oleh kontraktor, maka wajib kami ikuti.”

Sebaliknya bagi para pekerja berhutang juga merupakan salah satu cara bertahan hidup dan mengambil manfaat dari adanya kebebasan berhutang dari KR misalnya untuk memperoleh biaya perkawinan dan sebagainya. Pekerja Nias berpikir bahwa dengan mereka bekerja disana bisa menggelar pesta pernikahan yang kurang lebih sama dengan biaya meminjam kepada kepala rombongan dengan jaminannya keberadaan mereka ditempat untuk terus bekerja. Hal ini sulit untuk mereka dapatkan di Nias. Beberapa pekerja Nias sendiri menganggap mengambil barang terlebih dahulu pada KR bukan lah berhutang. Mereka mengistilahkannya dengan kata “pendapatan yang dimakan terlebih dahulu”.

Terkesan hutang bagi pekerja Nias sudah seharusnya terjadi karena sistem pembayaran yang diterapkan memaksa pekerja mengambil barang kebutuhan terlebih dahulu pada KR dan baru akan dilunasi pada saat gajian atau kirahan.

Pemberian hutang sama halnya dengan pemberian pinjaman sebidang tanah yang dilakukan oleh kaum feodal. Maka bukan tanpa alasan Martin mengecam secara kritis hubungan kekuasaan feodal (kepala rombongan) dengan petani (buruh) di Eropa ketika itu. Martin (1993:165) memahami bahwa feodalisme sebagai sebuah sistem sosial yang amat kompleks yang memiliki struktur yang amat beraneka-ragam di seluruh Eropa: Feodalisme Inggris amat

Universitas Sumatera Utara 160

berbeda dengan feodalisme Prancis. Meskipun demikian inti sistem tersebut memuat dua hubungan pribadi, yaitu antara raja dengan tuan-tuan tanah, dan antara tuan tanah dengan petani. Ciri utama sistem feodal adalah penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan pemeliharaan, yang ada di dalam hubungan antara tuan tanah dengan petani biasanya berupa pemberian pinjaman sebidang tanah. Dalam hal ini, buruh

(petani) tetap menjadi korban kekuasaan kaum feodal, sekalipun memberikan

“perlindungan” sesaat melalui pinjaman. Dalam konteks ini, utang merupakan tindakan kekuasaan feodalisme masuk dalam sendi-sendi penindasan terhadap tenaga buruh migran Nias.

Adapun berbagai macam utang ada pada buruh migran Nias: utang individu pada awal keberangkatan, utang individu saat tiba di lokasi kerja, dan utang individu selama menjalani pekerjaan, berikut akan dipaparkan dalam tabel.

Tabel 6.4. Utang individu pada awal keberangkatan buruh Migran Nias

Jenis Utang Rp (kira-kira) Keterangan

Ongkos 700.000 Angka untuk keluarga pekerja bisa dihitung berdasarkan jumlah ang Makan, minum, rokok 300.000 dibawa. Jika tidak membawa keluarga maka biasanya pekerja Total 1.000.000 meminjam sejumlah uang lagi kepada KR untuk kebutuhan keluarga yang ditinggalkan di Nias Sumber: Purwanto (2011) dan data penelitian lapangan, 2016

Berdasarkan Tabel 6.4 menerangkan cara-cara yang digunakan oleh para kontraktor atau kepala rombongan untuk mendapatkan tenaga kerja. Pemberian pinjaman utang menjadi “aset” untuk mendapatkan keuntungan dan kepastian pekerja. Peneliti lebih jauh melihat struktur yang dimainkan oleh KR sebagai kondisi-kondisi jeratan sekaligus keuntungan bagi agen tenaga kerja (KR).

Universitas Sumatera Utara 161

Tabel 6.5. Utang Individu saat tiba di Lokasi kerja buruh Migran Nias

Jenis Utang Rp (kira-kira) Keterangan Alat safety: Terdapat perbedaan informasi mengenai kelengkapan peralatan Sepatu boat 90.000 safety dan alat kerja dimana terdapat keterangan bahwa hal itu Sarung tangan 10.000 semestinya disediakan secara gratis Alat kerja: oleh perusahaan/kontraktor atau diperlukan sebagai inventaris yang Tugal 50.000 dipinjamkan kepada pekerja. Ember pupuk 15.000 Faktanya beberapa informan mengatakan bahwa peralatan Jamsostek tersebut mesti dibeli oleh pekerja. Total 165.000 Sumber: Purwanto (2011) dan data penelitian lapangan, 2016

Tabel 6.6. Utang Individu selama menjalani Bekerja

Jenis Utang Rp (kira-kira) Keterangan

Sembako/bulan 400.000 Rincian biaya rutin dan intemnya relatif dan setiap individu paling Lain-lain 200.000 tidak mengambil belanja berupa beras, ikan asin, gula, kopi, teh, Total 600.000 bumbu (mecin, garam) sesekali mie instan dan minuman sachet energi kuku bima, lalu rokok/tembakau untuk pekerja laki-laki Sumber: Purwanto (2011), dan data penelitian lapangan, 2016

Beban utang lainnya adalah biaya pendirian untuk kelompok tinggal.

Setiap individu akan dibebani utang pribadi atas keseluruhan biaya pendirian camp setelah dibagi sesuai jumlah anggota pekerja yang tinggal. Untuk camp ukuran minimal seluas 10 x 12 meter maka harga yang harus ditanggung oleh anggota rombong, misalnya 10 (plus keluarga) anggota adalah sebagai berikut.

Tabel 6.7. Utang Biaya pendirian camp Buruh Migran Nias

Material Jumlah Harga (+) Keterangan Terpal 10x12 meter 1 buah Rp. 800.000 Besaran total harga berbanding lurus Paku berbagai Ukuran 10 kilogram Rp. 250.000

Universitas Sumatera Utara 162

Martil/palu 2 buah Rp. 75.000 dengan luasan camp Papan dan tiang 2,5 kubik Rp. 5.000.000 (tergantung jumlah Gergaji 2 buah Rp. 150.000 anggota) semakin luas sebuah camp semakin Rp. 6.275.000 besar biaya yang muncul Sumber: Purwanto (2011), dan data penelitian lapangan, 2016

Dengan membagi ke dalam jumlah anggota sebanyak 10 orang pekerja misalnya (bisa lebih) maka utang setiap pekerja untuk bebas pendirian moving camp sebagai berikut Rp. 6.275.000 : 10 = Rp. 627.500. Beberapa informan mengatakan bahwa utang akibat jujuran tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Satu sisi memang memberatkan tetapi di sisi lain menguntungkan. Uang jujuran yang amat besar tersebut bila dicari tanpa utang tentunya sulit didapatkan dan bila harus mengutang pun akan sulit diperoleh di Nias. Di tempat kerja, uang tersebut bisa diperoleh dengan meminjam pada KR.

Dari hasil survei, terlihat bahwa 72.3% dari 80 responden mempunyai utang kepada KR atau kontraktor. Sejalan dengan pengamatan kualitatif, sebanyak 80% responden berhutang pada KR atau kontraktor, 2.9% pada mandor, 5.7% pada saudara dan 1.4% pada kawan. Menarik bahwa hutang tersebut, sebagian besar diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sebanyak 70.5%. Hal ini mengindikasikan posisi keuangan yang kritis pada sebagian besar pekerja. Persentase hutang berikut adalah untuk mengirim saudara di kampung, sebanyak 14.9%, biaya hajat 9%, membeli barang 4.5%. Urusan domestik, yaitu untuk mengirim uang ke saudara dan biaya upacara menempati porsi kedua. Angka hutang untuk kebutuhan sekunder nampaknya sangat rendah.

Struktur utang itu merupakan jeratan sekaligus keuntungan. Jeratan ketika penghasilan tidak sesuai dengan pengeluaran, sedangkan keuntungan ketika buruh

Universitas Sumatera Utara 163

dalam kesulitan keuangan. Intinya, buruh tetap terikat dalam jeratan struktur yang dilakonkan oleh kepala rombongan atau kontraktor. Indikator lain membuktikan bahwa buruh migran nias yang memiliki utang besar semakin terisolasikan dari dunia luar. Misalnya buruh migran Nias yang terbelit utang, tidak diperbolehkan keluar dari areal lokasi kerja, karena takut melarikan diri. Lebih parah lagi, buruh tinggal di salah satu pulau lokasi areal kerja, maka itu semakin sulit. Berikut pengakuan Ama Iman Baene salah satu mantan buruh yang pernah bekerja di

Pulau Serapu sebagai bagian dari lokasi perkebunan Pt. RAPP sebagai berikut.

“... tiap bulan hanya saya yang bisa menerima gaji. Sementara yang lain berutang untuk biaya kebutuhan makan dan ada juga yang menikah. Tiap bulan saya berturut-turut selama empat bulan saya mendapatkan upah Rp. 3 juta. Kami gajian sekali 2 bulan. Orang yang berutang, misalnya selama satu dua bulan itu ia mengambil beras 12 karung, itu yang membuat berutang. Di sana keluarga dekatnya sendiri ada dua orang masing-masing berutang Rp. 25 juta. Bahkan di situ ada yang berutang Rp. 30 juta. Mereka hanya bisa keluar dari kamp itu, jika ada kontraktor lain atau kepala rombongan yang bersedia mencabut mereka dengan melunasi semua utangnya. Selama saya di serapu belum pernah keluar dari pulau itu. Apalagi yang mempunyai utang besar kepada KR, itu tidak bisa keluar dari pulau serapu, karena takut melarikan diri...”.

Realitas sosial kondisi buruh di perusahaan perkebunan PT. Riau Andalan

Pulp and Paper merupakan lingkaran perbudakan modern. Peneliti memahami bahwa perbudakan modern merupakan manifestasi perbudakan tanam paksa yang pernah diterapkan pada masa kolonial. Kondisi ini merupakan cerminan sistem tenaga kerja yang tidak lagi bersifat humanis, tetapi lebih pada nilai ekonomis.

Manusia dibutakan dengan nilai material, sehingga melupakan sesama sebagai manusia yang mempunyai martabat sama. Tindakan pemberian utang dipahami

Giddens sebagai waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan, melainkan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya,

Universitas Sumatera Utara 164

tanpa ruang dan waktu, tidak ada tindakan. Karena itu waktu dan ruang harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial (Priyono, 2016:19).

6.5.2. Tingginya Harga Kebutuhan Pokok

Selama bekerja di RAPP, para pekerja hanya mengandalkan hidup dari upah mereka sebagai buruh outsourcing. Mereka tidak memiliki alternatif lain untuk mendapatkan penghasilan. Bahkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sepenuhnya bergantung pada barang barang yang disediakan oleh KR. Pekerja tidak bisa bercocok tanam karena rotasi perpindahan mereka yang sangat cepat dan tanah gambut yang sulit diolah. Untuk memelihara ternak mereka juga terbentur pada aturan perusahaan yang melarang pekerja memelihara ternak karena khawatir akan adanya penyebaran penyakit terutama setelah terjadinya wabah flu burung yang menyerang berbagai tempat di Indonesia. Untuk ikan segar pekerja dapat memperolehnya di kanal dengan cara memancing. Memasang jaring dilarang oleh perusahaan karena bisa mengganggu lalu lintas perahu operasional perusahaan.

Sebuah keluarga pekerja yang memiliki anak balita maka keluarga tersebut hanya mengandalkan pendapatan suami, sementara istri tidak bisa bekerja karena harus merawat anak dengan perhitungan kerja maksimal, keluarga tersebut mendapat penghasilan sebesar Rp. 1.166.000 per bulan. Sulit bagi seorang pekerja untuk memperoleh pendapatan di atas jumlah tersebut karena pada kenyataannya sering mendapat hambatan dalam pekerjaan seperti cuaca buruk, sakit atau adanya hal teknis seperti kelangkaan bibit, pupuk dan sebagainya. Pendapatan keluarga akan meningkat apabila suami dan istri sama sama bekerja.

Penghasilan bisa bertambah menjadi dua kali lipat dan akan menjadi lebih

Universitas Sumatera Utara 165

besar lagi apabila ada anak mereka yang sudah bisa ikut bekerja. Alasan inilah yang digunakan oleh pekerja Nias untuk membawa serta keluarga mereka ke tempat kerja. Dengan membawa anak yang sudah besar maka kedua orang tua bisa fokus bekerja karena pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci dan menjaga anak yang masih kecil bisa mereka serahkan pada anak yang lebih besar.

Anak tersebut juga sewaktu waktu dilibatkan dalam pekerjaan untuk menambah penghasilan keluarga. Kenyataan dilapangan para pekerja tidak selalu beruntung mendapatkan penghasilan maksimal karena adanya berbagai hambatan.

Dalam kondisi ini pendapat pekerja menjadi sangat minim. Bila mengacu pada buku catatan pendapatan seorang KR yang menyebutkan dalam sehari pekerja ada yang mendapatkan upah sebesar Rp. 35.000 - Rp 20.000, bahkan Rp.

7.000 dengan jumlah hari kerja sebanyak 20 hari maka pendapatan pekerja dalam

1 bulan sekitar Rp. 400.000 - Rp. 700.000. Sebagian besar pekerja mengatakan bahwa untuk kebutuhan makan dengan menu utama ikan asin dalam 1 bulan menghabiskan uang berkisar antara Rp.500.000-Rp. 600.000 per bulan. Berikut akan disajikan daftar harga barang kebutuhan para buruh migran Nias di moving camp sebagai berikut.

Tabel 6.8. daftar harga barang rata-rata di moving camp buruh Migran Nias Estate Pelalawan No Nama Barang Satuan Harga I (Rp) Harga II (RP) 1 Beras 1 karung 150.000 200.000 2 Ikan asin 1 kg 25.000 30.000 3 Supermie 1 bks 1.500 2.000 4 1 bks 2.000 2.500 5 Minyak goreng 1 kg 15.000 17.000 6 Susu kental M 1 kaleng 8.900 10.000 7 Gula 1kg 13.000 15.000 8 Garam 1 bks 1.000 2.000 9 Bawang 1 kg 25.000 27.000

Universitas Sumatera Utara 166

10 Daging Ayam 1 kg 25.000 26.000 11 Telor 1 butir 2.000 2.500 12 Cabe 1 kg 40.000 45.000 13 Bubur Sun 1 kotak 120.000 130.000 14 Kol 1 kg 10.000 12.000 15 Sabun Cuci 1 bks 2.000 3.000 16 Sabun mandi 1 btg 3.500 5.000 17 gigi Kecil 1 tube 5000 7.000 18 Sikat gigi Formula 1 buah 3500 5.000 19 Shampo 1 sc 1000 1.500 20 Rokok 1 bks 12.000 15.000 21 Ajinomoto 1 bks 2.000 2.500 22 Daging babi 1 kg 45.000 50.000 Sumber: Data Penelitian lapangan 2016.

Berdasarkan keterangan para pekerja maupun hasil survei kuesioner pengeluaran tersebut untuk rumahtangga dengan jumlah anggota sebanyak 3-5 orang. Bila pekerja sudah terbebas dari hutang awal seperti biaya perjalanan, biaya pembelian perlengkapan kerja, biaya pembuatan camp dan sebagainya, dengan pendapatan maksimal Rp. 1.166.000,- pekerja bisa menyisihkan uang sebesar Rp. 500.000 per bulan. Sisa uang biasanya tetap mereka simpan di KR sampai saat mereka membutuhkan seperti untuk membeli baju, mengirim uang ke kampung dan untuk perjalanan pulang ke kampung pada hari raya. Tetapi apabila pekerjaan sedang sepi kadang pekerja hanya bisa memperoleh kelebihan

Rp.100.000 setiap bulan bahkan tidak jarang upah yang diperoleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan terpaksa berhutang pada

KR. Kondisi inilah yang paling sering terjadi pada pekerja Nias. Keadaan akan semakin parah apabila pekerja memiliki kebutuhan-kebutuhan lain yang terpaksa harus meminjam uang pada KR seperti uang untuk membantu kerabat yang menikah, uang untuk jujuran sampai pinjaman uang untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli Hp dan lain sebagainya.

Universitas Sumatera Utara 167

Seperti pekerjaan dapat diartikan sedang tidak bisa bekerja maksimal akibat keterlambatan suplai pupuk atau bibit dan jumlah lahan yang dikerjakan sedikit, tidak ada pekerjaan juga terkait dengan mekanisme penyediaan lahan oleh

PT. RAPP. Lahan belum bisa dikerjakan apabila belum lulus dalam penilaian.

Mekanismenya adalah dari bagian harvesting yang melakukan land clearing lahan diserahkan ke bagian planing dan dilakukan penilaian apakah sudah layak ditanami atau tidak. Bila lulus penilaian selanjutnya lahan diserahkan ke bagian planting, selanjutnya oleh bagian planting diamprahkan ke kontraktor. Dalam proses inilah para pekerja borongan harus menunggu, bahkan sering terjadi pembayaran upah sering terlambat, berikut pemaparan informan Boni Mendrofa sebagai berikut.

“...Sering. Kami pernah terlambat pembayaran gaji mencapai tiga bulan. Kami pernah kirahan sekaligus dua kali. Alasan mereka terhambat soal pembayaran pajak, itu aja alasan mereka. Padahal upah itu sudah cair dari Perawang. Itu kalau kami selidiki, dia mainkan dulu gaji kita itu...”.

Informan Yustin Laia, salah mantan pengurus kontraktor asal Nias mengatakan bahwa ada beberapa kendala yang sering dihadapi dalam pengecekan lahan dan pencarian amprahan. Pertama, bekerja mulai satu bulan maka dicek, kadang terjadi pekerjaan sudah selesai, lima hari sampai sepuluh hari bahkan sampai satu bulan baru dicek oleh perusahaan. Maka pekerjaan itu kalau untuk cek mi up kadang lokasi (rumput) yang sudah disemprot, naik lagi dan itu sudah seratus persen naik. Pengecekan satu bulan maka akhirnya tidak lulus, mengapa karena bunga naik lagi. Jadi Tenaga kerja balik meservis, contoh dia terima Rp.

50.000 perhari, maka dia kembali mengerjakan bisa bergaji Rp. 20.000 perhari.

Sesudah diservis, maka tim audit dari perusahaan mengecek ulang, baru dianggap

Universitas Sumatera Utara 168

lulus, setelah lulus dan diajukan kembali ke perusahaan lagi.

Kedua, proses untuk pembuatan amprahan dari lulus bisa mencapai satu bulan dan lebih, baru mereka membuat yang disebut amprahan. Amprahan ini baru dibuat penagihan dari kontraktor. Itu proses lama dari pembuatan amprahan dengan pembuatan vois penagihan ke perusahaan itu bisa sampai dua minggu sampai satu bulan. Sesudah diserahkan ke perusahaan, perusahaan itu kadang terlambat untuk mengirim ke kasir perusahaan. Sehingga berlarut-larut dalam amprahan yang satu kopartemen ini bisa mencapai tiga bulan. Makanya keluar pembayaran RAPP sekaligus dari jumlah hasil bagi jumlah 10 % (persen).

Ketiga, kadang kontraktor tidak langsung membayar dan uang itu digunakan untuk keperluan lain. Nanti kalau sudah habis faktur pajak, baru sekaligus dibayar, padahal peraturan pembayaran pajak sekali satu bulan, kalau ada hasil dan aktivitas. Makanya itulah terjadi di Pelalawan, khususnya PT.

RAPP, tenaga kerja bekerja dalam satu aktivitas dalam satu bulan pembayaran bisa tiga bulan dengan cara seperti ini. Belum tentu lagi kontraktor, darimana tahu para tenaga kerja bahwa itu sudah keluar, karena Sudah tradisi RAPP membayar gaji berbulan, cepat lambat kontraktor juga mengatakan belum keluar. Maka anggota menunggu tinggal menunggu dan menunggu, dan menghabiskan belanja ya sudahlah. Makanya terus menerus berutang. Makanya kalau dicek di PT.

RAPP, khususnya kontraktor di plantation semua tenaga kerja berutang, makanya orang itu berat keluar karena berutang. Informan Yustin Laia, mantan pengurus kontraktor asal Nias memberikan saran sebagai berikut.

“... Jadi sebenarnya dari mana kita tahu kenapa orang itu berutang? Karena itu strategi bagi perusahaan, kalau dibuat pembayaran itu cepat dibayar, kemungkinan orang itu tidak lama. Bukan bertahan tenaga kerja karena berhasil, tetapi karena utang. Jadi beribu-ribu

Universitas Sumatera Utara 169

tenaga kerja di kontraktor, mungkin yang namanya berutang itu paling 10% dari beribu...”.

Keempat, harga ini turun menurun dari perusahaan ke kontraktor 20-35% baru diturunkan KR 20-30% dan itulah yang sampai ke tenaga kerja, dan ada lagi antara KR ke formen seterusnya baru turun ke tenaga kerja, makanya tinggal separoh. Ada lagi istilah mengesub (subkontraktor) memotong dari kontraktor

26% baru turun ke KR, seterusnya ke formen dan akhirnya ke tenaga kerja. Jadi hasil 100% tinggal tenaga kerja 50%, dan semua tenaga kerja di RAPP, khususnya kontraktor yang didaftarkan ke BPJS kurang separoh. Apa alasanya kenapa tidak didaftarkan? Kemungkinan karena pekerja di PT. RAPP tidak menyetujui.

Pemberi kerja itu materail kurang dan itu ditunda atau atau tidak ada persediaan.

Yustin Laia menilai bahwa taktik perusahaan menahan material untuk menahan tenaga kerja.

6.6. Diskriminasi Jaminan Sosial dan THR

Tuntutan jaminan sosial untuk buruh outsourcing adalah suatu keharusan melihat resiko kecelakaan dan kesehatan kerja yang dihadapi oleh buruh, karena jaminan sosial berbasiskan relasi kerja, sakit, kecatatan, melahirkan, tunjangan hari tua, dan sebagainya. Berpedoman pada surat perjanjian borongan plantation pasal 7 (1) dikatakan, “Perusahaan dan tenaga kerjanya diwajibkan sudah menjadi peserta jamsostek, hal ini dibuktikan dengan sertifikat kepesertaan perusahaan dan kartu peserta untuk masing-masing tenaga kerja. Hal ini merujuk kepada

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 tahun 1993”. Peraturan tersebut ditegaskan lagi Informan Swandi, bidang hubungan masyarakat dan industri dinas tenaga kerja dan trasmingrasi Kabupaten Pelalawan, “Kita dari dinas

Universitas Sumatera Utara 170

ketenagakerjaan selalu mengawasi perusahaan kontraktor untuk wajib lapor, BPJS tenaga kerja dan kesehatan”.

Realitas ini justru bertolak belakang dari fakta temuan penelitian terhadap buruh outsourcing baik sebagai buruh borongan maupun buruh harian lepas migran Nias. Mereka sebagian besar belum mempunyai kartu BPJS kesehatan ataupun kartu tenaga kerja, tetapi bila dikonfirmasi kepada kontraktor atau pengurus kontraktor, pada umumnya mengaku bahwa kontraktor telah menyiapkan kartu BPJS. Peneliti berusaha meminta kartu BPJS kepada tenaga kerja, dan hanya sekitar 3 % (persen) yang bisa menyerahkan kartu BPJS, selain itu tidak ada. Akhirnya, peneliti mendapatkan keterangan wajib lapor dari informan Windo pengawas tenaga kerja, dinas tenaga kerja dan Transmigrasi

Kabupaten Pelalawan. Peneliti meminta data-data wajib lapor dan kepesertaan perusahaan kontraktor asal Nias sebagai anggota BPJS, tetapi data yang diberikan hanya 8 perusahaan suplier tenaga kerja.

Tabel 6.9. Daftar wajib lapor perusahaan kontraktor dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan

No Perusahaan Tenaga kerja No BPJS KK 1 PT. Talabu 1058 DD002792 2 PT. Agung Artumoro 50 DD004572 3 PT. Albina 95 DD004820 4 PT. Sastra Famomaha 61 DD003781 5 PT. Arisman 72 DD004877 6 PT. Karmila Intan Perkasa 36 DD004089 7 CV. Honorius 25 - 8 PT. Buala 300 DD004748 Sumber: Dinas Ketenagaan Kerja Februari 2016.

Berdasarkan data di atas, peneliti memahami sungguh miris melihat data yang diberikan oleh Dinas Ketenagaan kerja yang cukup jauh berbeda dengan fakta di lapangan. Misalnya PT. ATM, tenaga kerjanya sudah mencapai 1000

Universitas Sumatera Utara 171

orang, sementara yang dilaporkan hanya 50 orang, PT. Albina yang dilaporkan ke

Dinas ketenagaan kerja hanya 95 orang, padahal data lapangan menunjukkan tenaga kerja sudah mencapai 900 orang dan lain sebagainya. Peneliti memaknai perbedaan ini sebagai cara perusahaan kontrator menghindari biaya yang besar, demi profit.

Menurut pengakuan informan Nikodemus, direktur kontraktor perusahaan

suplier tenaga kerja, PT. Join Karya Mandiri (JKM) bahwa ada persyaratan untuk

pengurusan BPJS. Tidak semua tenaga kerja bisa diurus BPJS nya, hanya yang

memenuhi persyaratan. Ia menegaskan bahwa apabila tenaga kerja tidak

memenuhi persyaratan, untuk apa, itu hanya menghabiskan buang-buang uang

saja, karena sebagian besar kontraktor yang membayar kartu BPJS itu. Berikut

contoh yang dikemukakan oleh Nikodemus:

“...contoh bulan ini masuk tenaga kerja masuk, kita tidak langsung mengurus BPJS, karena belum tentu ia betah satu atau dua minggu bekerja. Kalau kita di PT. Join Karya Mandiri, minimal tiga bulan bekerja betah bekerja, kita training, kita lihat karakternya, bagaimana nilainya bekerja, apakah memenuhi persyaratan dan kita lihat dia bertahan lama. Ya wajar kita urus BPJS nya. Kalau tidak ngapain kita buang-buang uang. Karena itu sebagian kontraktor yang membiayai BPJS, bukan hanya dari tenaga kerja...”.

Direktur perusahaan supplier tenaga kerja ini menambahkan lagi bahwa

pihak kontraktor membayar untuk BPJS tenaga Kerja 35% dan 65% dari Tenaga

Kerja. Beliau mengatakan bahwa bulan Juli 2015, ia mengurus BPJS, tetapi tidak

lama kemudian tenaga kerja pindah kontraktor dan ada juga yang pulang. Maka

pada periode 2016 ini, ia tidak buru-buru mengurus BPJS, harus memenuhi tiga

bulan, dengan memperhatikan keseriusan kerja. Apalagi di kontraktor ini, juga

mempunyai pengalaman dari pekerja ke kontraktor, kita sudah tahu sifat orang-

orang itu yang bekerja sungguh-sungguh ada juga yang tidak bekerja sungguh-

Universitas Sumatera Utara 172

sungguh. Misalnya, kita sudah MCU, kita sudah perlengkapi semuanya, seminggu

dua minggu bisa saja dia cabut, khan kecewa kita. Sementara dana yang kita

keluarkan dari awalnya bukan sedikit, biaya camp, perongkosannya, belanjanya

lah, peralatan kerjannya lah,

Temuan tersebut semakin jelas dalam pengakuan salah satu mantan pengurus kontraktor yang telah banyak memberikan data manipulasi perusahan dan kontraktor terhadap tenaga kerja. Beliau mamaparkan cara rekayasa BPJS sebagai berikut.

“...Kita daftarkan anggota 10 orang, pembayaran melalui bank, dan surat keterangan serah terima dari BPJS kita berikan kepada mereka. Itulah direkayasa pembayaran iurai misalnya Rp. 10 juta, dan sementara disitu Rp. 20 juta. Dalam Rp. 20 juta mungkin beberapa orang, karena perusahaan tidak bertanya, nama-nama siapa ini? Karena nama-nama yang terurai yang bukti itu pernah didaftarakan seratus orang, maka nama-nama itu-itu saja yang diubah, dan nama- nama dan kode BPJS. Itulah yang disampaikan kepada perusahaan...”.

Bentuk-bentuk manipulasi yang dilakukan oleh perusahaan kontraktor merupakan suatu diskriminasi jaminan sosial. Dari segi undang-undang setiap tenaga kerja mempunyai hak untuk diikutsertakan jaminan sosial terutama fasilitas kesehatan dan jika mengalami kecelakaan kerja dan kewajiban perusahaan melindungi kesehatan dan keselamatan kerja (Situmorang, at al., 2008:128).

Informan Yustin Laia menuturkan manipulasi yang sering dilakukan oleh kontraktor sebagai berikut.

“... pendaftaran BPJS ini kebanyakan ada penipuan, misalnya dari 1058 mungkin hanya 58 yang terdaftar BPJS. Khan perusahaan PT. RAPP tidak mengenal bahwa itu tenaga kerja. Maka fakta yang didaftarkan di BPJS bukan tenaga kerja, melainkan keluarganya sendiri atau pengurus PT itu sendiri. Apalagi perusahaan mempunyai tanggungan BPJS 70%. Memang ada perdebatan waktu itu dengan pihak RAPP: Pertama, ada ketentuan wajib didaftarkan ke BPJS yang sudah memenuhi gaji Upah Minimal Kabupaten. Apakah

Universitas Sumatera Utara 173

RAPP bisa menjamin? Saya juga yakin bahwa kontraktor tidak akan membuka rahasia ini, kalau ia masih bekerja di PT. RAPP. Saya bisa membuka rahasia ini karena saya tidak bekerja lagi sebagai pengurus. Padahal orang Nias adalah tenaga kerja tulen PT. RAPP. Apakah sudah terpenuhi upah, Apakah Jam kerja 8 jam, dan bila lewat delapan jam, apakah sudah dihitung sebagai lembur? Apakah hak Cuti? Apakah THR ada, Apakah harga bisa mencukupi. Kalau setiap hari bekerja bisa terpenuhi, tetapi bagaimana kalau hanya 2 atau 3 hari kerja dalam seminggu? RAPP terkenal dengan Standar Operasi Prosedur (SOP). Kami butuh perubahan. Kalau saya sudah termakan budi. Saya melihat tenaga kerja suku Nias bisa dijengkal...”.

Temuan hasil wawancara dengan informan tersebut hendak menegaskan bahwa peran agen sebagai kekuasaan yang terstruktur merupakan bentuk-bentuk kekuasaan yang dimainkan sebagai kondisi penindasan terhadap jaminan hidup.

Peneliti Tjandraningsih, at al., (2010:30) menegaskan bahwa penggunaan buruh kontrak dan outsourcing telah menciptakan hubungan buruh dan majikan yang lebih kompleks dan memunculkan diferensiasi atau pembedaan buruh dalam satu perusahaan berdasarkan status hubungan kerja, buruh tetap, buruh kontrak, dan buruh outsourcing untuk melakukan pekerjaan yang sama. Peneliti juga mengadakan survei 80 responden terhadap buruh migran Nias di Estate Pelalawan

(buruh harian lepas dan buruh borongan).

Tabel 6.10. BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja

Penyediaan BPJS Jumlah Persen Perusahaan 5 6,3 Kontraktor 14 17,5 Lain-lain (tidak ada) 61 76,3 Total 80 100,0 Sumber: Penelitian Lapangan 2016

Berdasarkan data di atas, dari 80 responden buruh migran Nias, buruh yang didaftarkan oleh kontraktor (perusahaan suplier tenaga kerja) masuk anggota

BPJS hanya 17,5 %, sementara pihak perusahaan PT. RAPP dalam hal ini hanya

Universitas Sumatera Utara 174

6,3 %. Akan tetapi lebih banyak buruh migran nias (buruh harian lepas dan buruh borongan) yang tidak terdaftar sebagai anggota BPJS 76,3 %. Temuan ini menunjukkan bahwa buruh migran Nias (buruh borongan dan buruh harian lepas) masih banyak yang belum mendapatkan jaminan sosial.

Peneliti juga menemukan data yang hampir sama dengan tunjangan hari raya (THR). Ketentuan THR semakin dipertegas dalam peraturan Menteri

Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan hari Raya

Keagamaan bagi pekerja/buruh perusahaan. Dalam pasal 2 dikatakan bahwa (1) perusahaan wajib memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan atau secata terus menerus atau lebih; (2) THR keagamaan sebagaimana disebutkan pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Implikasi di lapangan bahwa masih banyak buruh migran Nias yang belum mendapatkan THR seperti dalam tabel berikut ini.

Tabel 6.11. Tunjangan Hari Raya buruh Migran Nias

THR Jumlah Persen Ya 2 2,5 Tidak 78 97,5 Total 80 100,0 Sumber: Data Penelitian lapangan 2016

Berdasarkan data di atas ditemukan bahwa dari 80 responden buruh migran Nias (buruh harian lepas dan buruh borongan) hanya 2,5 % yang sudah mendapatkan THR, sedangkan jumlah yang belum pernah menerima THR ada

97,5 % atau 78 orang. Peneliti menemukan bahwa pemberian THR ini tergantung masing-masing kontraktor, semakin dekat dengan pengawasan dinas tenaga kerja,

Universitas Sumatera Utara 175

maka THR dan BPJS diprioritaskan pengurusannya. Misalnya Adina Zega buruh harian lepas yang sebelumnya bekerja di Nurseri TPK 5,5 yang cukup jauh dari

Kota Pangkalan Kerinci tidak pernah mendapatkan THR, tetapi setelah pindah ke

Kerinci Centre Nurseri (KCN) baru mendapatkan THR karena cukup dekat dengan kota Pangkalan Kerinci.

Temuan lapangan penelitian bahwa ketidakikutan serta menjadi anggota

BPJS dan Tunjangan Hari Raya (THR) melalui perusahaan suplier tenaga kerja tentu mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan, dan keselamatan kerja (K3).

Angka kematian di kanal, dan kasus bunuh diri mempunyai kaitan dengan BPJS dan THR. Dalam pengakuan pada informan tentang kondisi-kondisi yang dihadapi oleh buruh migran Nias bahwa semakin longgarnya aturan penerapan BPJS dan

THR, maka kasus kematian dan bunuh diri migran Nias semakin meningkat. Para agen perusahaan (kontraktor dan KR) tidak banyak mengeluarkan biaya jika ada yang meninggal dunia, paling hanya biaya kuburan dan makan bersama secara kekeluargaan.

6.6.1. Kematian di Kanal dan Sumur

Kasus kematian di kanal, bukanlah cerita baru di kalangan buruh migran

Nias, terutama yang tinggal di camp. Peneliti mengumpulkan data-data tentang kematian itu dari berbagai narasumber. Pertama, kasus kematian dikanal ketika para pekerja dari camp menuju areal kerja menggunakan speadboat. Menurut keterangan pengurus kontraktor bahwa muatan speadboat hanya 5-7 orang, tetapi kenyataan sering sekali pada KR “memaksa” memuat melebihi muatan yang sudah ditentukan, akhirnya speadboat kandas di tengah perjalanan jalur air. Kasus kematian di kanal, peneliti sempat menjumpai keluarga korban tenggelamnya

Universitas Sumatera Utara 176

speadboat, berikut hasil wawancara dengan buruh borongan, Saba dari kecamatan

Lolowau Kabupaten Nias Selatan.

Informan Saba menuturkan kisahnya sebagai berikut: pada hari selasa pagi para pekerja menuju lokasi kerja sebanyak dua belas orang dan satu orang operator speadboat. Tiba-tiba speadboat langsung tenggelam ke kanal sebagai jalur menuju lokasi kerja. Pada saat itu, hanya satu orang yang bisa berenang sementara yang lain berusaha untuk menyelamatkan diri, dua orang meninggal dunia (seorang bapak kelaurga bernama Karedi Hulu meninggalkan anak lima orang dan satu isteri) dan adiknya perempuan marga hulu berumur 19 tahun dan belum menikah, sementara dua orang lainnya kritis dan sedang dirawat di rumah sakit.

Gambar 6.1. Peneliti bersama Asisten dan Safety pulang dari Lokasi TPK 1 Sektor Pelalawan Kedua, kasus kematian dikanal terjadi ketika ada buruh yang tidak sabar menunggu speadboat atau perahu pompong dari areal yang lain. Itu sering terjadi pada siang hari ketika pulang ke kamp untuk makan siang, sementara terik

Universitas Sumatera Utara 177

matahari menyegat dan sudah lapar. Akhirnya, buruh berusaha berenang, tanpa mempunyai skill untuk berenang. Padahal pihak perusahaan sering mengingatkan agar tidak berenang di kanal, karena cukup berbahaya.

Ketiga, kasus kematian di kanal dan sumur bisa terjadi kebanyakan menelan korban anak-ank anak-anak yang tinggal di camp. Orangtua sedang bekerja di areal kerja atau ibu sedang memasak, sementara anak-anak bermain- main di sekitar camp yang cukup berbahaya. Menurut pengakuan Ama Iman

Baene, mantan buruh borongan di Pulau Serapu, ketika di camp pernah ada 2 orang anak langsung meninggal karena jatuh ke sumur. Kasus kematian anak di kanal juga sering terjadi, ketika anak sedang bermain-main di atas speadboat seperti terlihat dalam gambar berikut ini.

Gambar 6.2. Anak-anak Kamp TPK Madukoro, K-030 sedang mengambil air minum

Kasus-kasus kematian di kanal dan sumur merupakan kondisi-kondisi yang dialami oleh buruh migran Nias di tengah posisi tawar rendah. Kematian

Universitas Sumatera Utara 178

bagi buruh bukan terjadi dalam setahu, bisa hampir dalam seminggu selalu ada orang yang meninggal, tanpa ada santunan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan.

Peneliti mamahami kasus kecelakaan kerja ini merupakan kelalaian dari pengawas ketenagaan kerja dan perusahaan.

6.6.2. Bunuh Diri dengan Minum Racun

Kasus bunuh diri mempunyai posisi kedua, setelah kasus di tenggelam di kanal atau sumur galian. Kasus ini sangat memprihatinkan melihat kondisi buruh di camp. Pada akhir penelitian, peneliti mendapatkan informasi bahwa ada kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang ibu dengan minum racun pestisida yang sehari-hari digunakan untuk menyemprot rumput. Kasus kematian di kanal menurut pengakuan beberapa informan sebagai berikut. Buruh ini sudah lama bekerja di PT. RAPP melalui kontraktor suplier tenaga kerja. Ia sudah lama bekerja, sementara penghasilan tidak ada, sementara utang kepada KR semakin besar. Mau pulang tidak bisa, karena terbelit dengan utang. Isteri sering bertengkar dengan suami, karena ingin pulang. Akhirnya sang isteri bunuh diri ketika orang lain bekerja.

Ada juga kasus kematian, karena kelalaian. Pada waktu itu tenaga kerja ini di suruh mengambil bibit dari TPK, waktu itu panas sekali. Ia meminta air di rumah simpang TPK itu, lalu ia disuruh meminum di jeregen itu, tapi ternyata racun. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit selama dua minggu, dan sudah diperbolehkan pulang. Tapi satu bulan kemudian ia meninggal di Kamp. Ia dikuburkan di Rantau Baru dengan peti kayu seadanya, tanpa ada santunan sosial dari BPJS. Perusahaan hanya memberikan Rp. 5.000.000, dan itupun tidak langsung diberikan ke isterinya. Uang itu digunakan untuk acara syukuran dan

Universitas Sumatera Utara 179

makan bersama daging babi hutan yang diberi oleh KR. Ia meninggalkan seorang isteri dan utang Rp. 20 juta biaya pernikahan yang ditalangin oleh KR. Isteri inilah yang akhirnya melunasi utang-utang itu, sampai ia menikah dengan orang lain.

Kasus kematian urutan ketiga adalah penyakit kaki gajah “biri gambu” yang disebabkan oleh air dan lingkungan yang kurang bersih. Kasus ini sering diderita oleh ibu-ibu yang hendak melahirkan, tanpa terkecuali laki-laki. Selain itu, kasus lain adalah kecelakaan mengendarai sepeda motor, penyakit biasa dan lain sebagainya. Kasus berujung pada kematian adalah kasus jatuh dari kamar mandi, terutama ibu yang mau melahirkan. Berikut penuturan Adina Zega, buruh harian lepas di Nurseri KCN. “Kakak saya sedang hamil, dan jatuh di kamar mandi. Tidak ditanggung oleh kontraktor. Padahal ia dulu tenaga kerja, tetapi karena hamil, ia tidak diijinkan bekerja oleh mandor. Suaminya tenaga kerja juga.

Waktu itu kami sewa ambulance dari sektor dan kami bayar Rp. 500.000 sampai di Rumah Sakit Efarina Pangkalan Kerinci. Semua biaya pengobatan kami tanggung sendiri. Biaya buka gerbang kuburan di Rantau Baru kami bayar Rp.

250.000. Kontraktor Wendi (KR) hanya membantu Rp. 2 juta”.

6.6.3. Saksi Bisu Kuburan Rantau Baru

Pamakaman Umum Rantau Baru merupakan saksi bisu kematian buruh migran Nias tanpa mendapatkan santunan sosial kepada pihak keluarga. Kuburan

Rantau Baru merupakan lahan yang dihibahkan oleh perusahaan PT. Riau

Andalan Pulp and Paper kepada buruh migran Nias yang bekerja di perusahaan itu. Kuburan itu terdapat di tengah kebun kelapa sawit, milik salah satu perusahaan perkebuna kelapa sawit. Menurut keterangan informan Ojis, lahan

Universitas Sumatera Utara 180

pemakaman itu dihibahkan oleh PT. RAPP Kepada IKN (IKATAN keluarga

Nias) Pangkalan Kerinci pada tahun 2007 seluas 2 hektar. Jarak dari Kota

Pangkalan Kerinci sekitar 25 menit dengan sepeda motor. Untuk masuk ke lokasi pemakaman, peneliti bersama tim harus masuk ke salah satu kebun sawit, dan di tengah perkebunan sawit itu, di situlah lokasi pemakaman itu.

Sekilas gambaran umum bahwa kuburan itu kurang tampak dari luar, layaknya pemakaman umum. Lokasi kuburan tersebut terletak pas di tengah kebun kelapa sawit milik perusahaan lain. Pemakaman itu kurang terawat, padahal setiap orang yang dikuburkan dilahan itu harus dibayar oleh keluarga duka Rp.

250.000 yang dikelolah oleh IKN (Ikatan Keluarga Nias). Bahkan ada isu terbaru bahwa setiap orang yang dikuburkan di lokasi itu, keluarga duka wajib membayar

Rp. 500.000. menurut pengakuan Sojis dan Yustin Laia, kuburan itu dihibahkan oleh PT. RAPP kepada keluarga masyarakat Nias yang bekerja di PT. RAPP seluas 2 hektar. Namun sayang, laporan keuangan kurang jelas diantara para pengurus IKN, yang saling melempar tanggung jawab satu sama lain.

Jika kita melihat sejenak, kuburan itu tidak terlalu banyak karena dipenuhi oleh semak belukar. Akan tetapi bila kita jejaki satu persatu, ternyata lebih setengah lokasi itu sudah dipenuhi oleh kuburan-kuburan. Sebagai besar kuburan- kuburan itu belum diurus dan dipasang semen dengan baik, sehingga kita kadang kesulitan untuk mengidentifikasi kuburan tersebut. Selain itu juga, susunan kuburan-kuburan itu belum diatur dengan baik, sehingga kita kesulitan lahan yang sudah digunakan untuk menguburkan orang meninggal.

Pada waktu itu, peneliti meminta kesediaan salah satu pengurus Gereja

BNKP dan sering menguburkan orang meninggal, sekaligus buruh di perusahan

Universitas Sumatera Utara 181

PT. RAPP. Beberapa hari yang lalu baru kami selesai kuburkan satu orang mayat, belum pulang kami, ada lagi yang dikuburkan. Biasanya kematian mereka aneh- aneh mulai dari tenggelam di kanal dan bunuh diri dengan minum racun.

Contohnya, ada orang bunuh diri karena sudah 2-3 tahun bekerja tidak ada hasil ketika kirahan. Mereka rencanakan untuk pindah ke tempat lain karena tidak punya uang. KR melarang tidak bisa pindah sebelum utang sekian juta dilunasi semuanya. Apabila tidak dilunasi maka muncul keributan, atau pengeroyokan.

Maka daripada ada masalah, lebih baik minum racun. Saya berdoa supaya terbongkar kasus ini, sekalipun tidak seratus persen. Kasus ini tidak pernah terbongkar karena ada oknum-oknum yang selalu menutupi.

Gambar 6.3. Pintu Gerbang Tempat Pemakaman Umum yang dihibahkan PT. RAPP kepada Pekerja Asal Nias Ada dua jenis kematian yang paling banyak di sini: kematian tenggelam di kanal dan kematian bunuh diri dengan minum racun. Bila di perkirakan kuburan ini sudah dikuburkan orang lebih (1000 orang) seribu orang dari tahun 2007

Universitas Sumatera Utara 182

sampai Februari 2016. Itu kalau ditanya ke kontraktor, tidak pernah keluar informasi. Menurut pengakuan informan Ojin, “bahkan ada orang kita Nias yang dibunuh di HO (pabrik) karena mencuri besi, tanpa ada pemberitahuan. Mungkin sudah ajal bagi mereka. Alasan mereka bahwa mereka tenggelam di kanal. Waktu itu kedua mayat itu dibawa ke Pekan Baru untuk diotopsi, waktu orang kita Nias mau melihat, tetapi tidak diijinkan. Mereka langsung persiapkan peti mati dari sana”.

Gambar 6.4. Buruh Migran Nias yang baru makamkan di Rantau Baru

Berikut hasil wawancara dengan informan Ojin, pengurus gereja BNKP di

Pelalawan:

“...Pamakaman Rantau Baru ini, tidak pernah kosong dalam seminggu. Kematian di sini aneh-aneh. Bisa kita katakan bunuh diri dan tenggelam di kanal 50 persen. Yang saya kuburkan saja, saya tiba disini tahun 2010 dan 2011 saya aktif menguburkan orang meninggal 30-40 orang, bahkan dikuburan lalang kabung juga. Rata- rata yang meninggal di sini, tidak ada imbalan baik dari PT. RAPP maupun kontraktor. Paling mereka beli makan untuk makan bersama, dan bisa-bisa ditanggung oleh keluarga yang berduka itu. Selain bapak itu, Pendeta BNKP Efrata Pangkalan Kerinci sering

Universitas Sumatera Utara 183

menguburkan orang meninggal di sini. Jarang polisi datang kalau ada yang tenggelam, karena tidak diinformasikan...”.

Temuan ini hendak menegaskan bahwa angka kematian sangatlah tinggi di perusahaan tersebut, bahkan keluarga korban tidak mendapatkan santunan sosial dari kontraktor atau perusahaan tempat para buruh migran Nias bekerja.

6.7. Pekerja Anak Umur 5-17 Tahun

Peraturan perundangan-undangan No 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan mendefiniskan tenaga kerja anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Anak-anak di Indonesia dianggap sangat berharga, baik sebagai diri mereka sendiri maupun sebagai sumber daya manusia yang akan menentukan masa depan negara. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi bangsa-bangsa dan para orangtua untuk menjamin agar setiap anak memiliki peluang terbaik untuk tumbuh sehat, memperoleh akses pendidikan yang layak dan pada gilirannya untuk menjadi warga negara yang produktif di masa depan. Singkatnya, semua pihak memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan segala kemungkinan upaya dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi manusia bagi anak-anak.

Namun demikian, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan. Untuk berbagai alasan, masih cukup banyak anak di Indonesia yang meninggalkan sekolah dan memasuki pasar kerja terlalu dini. Sesungguhnya hal ini merupakan masalah serius sebab, seperti yang dicatat oleh Komnas HAM (1998), anak-anak yang bekerja pada gilirannya akan mengakibatkan sumber daya manusia berkualitas buruk bagi suatu bangsa. Undang-undang No 13 Tahun 2003

Ketenagakerjaan tentang mendefinisikan tenaga kerja anak-anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.

Universitas Sumatera Utara 184

Dari jumlah anak usia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen dianggap sebagai anak-anak yang bekerja. Dari total anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen adalah pekerja anak. Pekerja anak mencakup semua orang yang berumur 5-17 tahun yang, selama jangka waktu tertentu, terlibat dalam satu atau lebih dari kegiatan kategori berikut: (1) bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, dan (2) pekerjaan di bawah ini umur minimum untuk bekerja.

Grafik 6.1. TPAK Usia Umur 10-17 Tahun Indonesia, 2004-2009

Sumber: BPS dan ILO, Pekerja Anak di Indonesia, 2009.

Grafik 6.1 menunjukkan bahwa untuk anak umur 10-17 tahun selama

2004-2009, TPAK hanya sedikit mengalami peningkatan. TPAK yang rendah ini dapat dimengerti karena sub-populasi yang bersangkutan masih berada pada umur bersekolah. Selain itu, karena keduanya antara bekerja dan pengangguran bagi anak-anak adalah sesuatu yang tidak diinginkan, TPAK hanya dianggap sebagai sarana untuk mengukur pekerja anak dalam suatu populasi dari pekerjaan atau tingkat pengangguran yang dilihat secara terpisah. Di samping itu, keprihatinan orang tentang sosok Pekerja Anak di Indonesia 2009 yang cukup besar, hampir 14

Universitas Sumatera Utara 185

juta pada tahun 2009. Data Sakernas tahun 2009 menunjukkan di daerah perkotaan, mayoritas buruh anak, sekitar 35 persen, bekerja sebagai operator dan pekerja kasar. Sebagai perbandingan, persentase pekerjaan yang sama di daerah pedesaan lebih kecil, kurang dari 20 persen (BPS-ILO, Pekerja Anak di Indonesia

2009:26).

Berdasarkan temuan lapangan di perusahaan perkebunan PT. Riau

Andalan Pulp and Paper Pelalawan, peneliti menemukan bahwa angka pekerja anak di perusahaan tersebut memberikan output terhadap angka pekerja anak di

Indonesia. Dalam penyebaran kuesioner terhadap 80 responden buruh migran

Nias tidak begitu tampak perbedaan yang mencolok antara responden yang mengakui pekerja anak. Responden yang mengatakan ada pekerja anak hanya

41,3 %, sementara responden yang mengatakan tidak ada pekerja anak ada 58,8

%. Namun demikian, angka ini tentu bukan berarti tidak ada pekerja anak di lokasi perkebunan Estate Pelalawan.

Tabel 6.12. Pekerja Anak Dibawah Umur

Pilihan Jumlah Persen Ya 33 41,3 Tidak 47 58,8 Total 80 100,0 Sumber: Penelitian Lapangan 2016

Dalam kesempatan wawancara, informan sebagian besar tidak mengaku ada pekerja anak, tetapi hasil melalui pengamatan dapat diketahui bahwa hampir setiap camp ada pekerja anak. Pernah salah satu pengurus kontraktor PT. JKM bernama Onesman Tel, ketika peneliti bertanya, apakah ada pekerja anak di kontraktor anda tempat bekerja. Maka dengan ringan, ia mengatakan tidak ada.

Pihak kontraktor tidak menginjinkan anak bekerja di bawah umur 18 tahun ke

Universitas Sumatera Utara 186

bawah. Akan tetapi kebohongan itu sangat tampak, karena pada saat yang sama peneliti mendapatkan dua orang anggotanya masih terhitung sebagai pekerja anak.

Peneliti memastikan asumsi itu dengan langsung bertanya kepada kedua anak itu, ternyata betul bekerja di kontraktor JKM, tempat Onesman bekerja. Kedua pekerja anak tersebut Migran Nias Selatan masing-masing berumur 14 dan 15 tahun.

Menjajaki kebenaran pekerja anak, peneliti berusaha mengunjungi beberapa camp, dan berusaha untuk berbicara dengan pekerja anak tersebut. Satu persatu peneliti bertanya kepada pekerja anak itu, mereka mengaku bahwa umur ada yang masih berumur 15 dan 17 tahun. Masing-masing masih diajak oleh kakak atau abangnya untuk bekerja, tetapi ada juga yang memang atas keinginannya sendiri. Ada juga orangtua yang tidak mau anaknya bekerja, tetapi anak itu lebih memilih bekerja sebagai operator speadboat, karena malas ke sekolah.

Peneliti menemukan hal menarik bagaimana peran kontraktor atau kepala rombongan memanipulasi identitas pekerja anak. Ketika mengikuti proses medical cek-up (tes kesehatan) dan pendaftaran, pekerja anak masing-masing diakali mengaku berusia 18 tahun ke atas. Peneliti mengikuti terus pola pembicaraan di antara para buruh migran Nias, “Ada yang mengatakan kalau kalian ditanya nanti berapa umurmu, kamu harus menjawab 19 tahun, jangan sebaliknya”. Pada hal jelas-jelas anak itu masih berumur kira-kira 15 tahun ke bawah. Peran pengurus kontraktor atau kepala rombongan bukan hanya itu, mereka membuat surat keterangan kepala desa bahwa kartu tanda penduduk yang bersangkutan masih dalam pengurusan dan secara terang-terangan anak itu ditulis

Universitas Sumatera Utara 187

berumur 19 tahun. Pada akhir pemeriksaan kesehatan, peneliti memastikan kepada salah satu dokter Ani di klinik kesehatan PT. RAPP, apakah di antara buruh yang mengikuti tes hari ini ada yang masih tergolong pekerja anak.

“...itu bukan hanya tiga dek (pekerja anak), bahkan lebih. Itu sebenarnya urusan kontraktor, siapa aja yang mau kerja diterima. Kalau kami hanya menulis bahwa belum cukup umur, mudah- mudahan mereka lolos. Sebenarnya tidak diijinkan, tapi banyak yang lolos. Itu kebanyakan Nias. Memang susah, hanya orang Nias saja yang mau dibawa ke sini. Mau kita buat aturan, tapi banyak juga bolong-bolongnya. Para Kontraktor hanya mengejar target. Kalau di sini tidak terlalu ketat, secara mental menginginkan, karena belum pantas kerja. Itu masalah diperbincangkan. Kalau dinasehati tidak mau, jugul-jugul semua. Sebenarnya kami tidak suka melihat kecelakaan itu. Mereka pun tidak dipaksa. Mereka buat persetujuan, ya banyak juga bolong-bolongnya. Seharusnya Itulah fungsi mandor menegakkan aturan, tapi kalau ada kecelakaan ketat, tapi hanya sebentar saja kalau tidak diperhatikan. Maka harus banyak penyuluhan. Perubahan pola pikir. orang Nias di sini kebanyakan tidak sekolah, dan malah tidak bisa berbahasa Indonesia...”.

Pengakuan informan dr. Ani di klinik kesehatan camp satelit merupakan cerminan hubungan kekuasaan yang didominasi oleh agen tenaga kerja.

Kontraktor seharusnya melarang pekerja anak, karena cukup berbahaya bagi keselamatan pekerja anak. Interpretasi kemudian bahwa para kontraktor berorientasi pada profit, sementara para pekerja anak atau keluarga anak membutuhkan pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, setidaknya bisa membantu orangtua. Mandor dalam hal ini sebagai representasi perusahaan seharusnya mempunyai andil untuk melarang pekerja anak. Akhirnya, tenaga pekerja anak dieksploitasi oleh kapitalisme untuk mendapatkan profit sebesar- besarnya.

6.8. Perlindungan Buruh Perempuan

Praktek hubungan kerja outsourcing buruh merupakan wujud dari labour market flexibility yang diterapkan untuk menekan biaya tenaga kerja, mengurangi

Universitas Sumatera Utara 188

pekerja tetap, memaksimalkan fleksibilitas, menggeser resiko perusahaan kepada buruh serta mematahkan kekuatan serikat buruh (Tjandraningsih, at al., (2010:3).

Fenomena ini perlu dipahami karena tidak hanya membawa dampak bagi buruh dan serikatnya, tetapi juga membawa implikasi lebih luas terhadap permasalahan ketengaakerjaan dan sosial terutama buruh perempuan.

Hasil kajian Sawit Watch (2014) yang menyebutkan bahwa rata-rata buruh informal bekerja dalam kondisi yang tidak layak. Sebagian besar perempuan yang bekerja di perkebunan, bekerja sebagai buruh harian lepas yang tidak memiliki kontrak kerja dan menerima upah lebih kecil dibandingkan buruh tetap. Buruh perempuan di perkebunan bekerja dengan resiko tinggi seperti membabat pohon namun tidak memiliki perlindungan yang memadai. Selain itu, para perempuan itu juga tidak menerima perlindungan sosial sebagaimana yang diterima buruh formal. Bahkan Sawit Watch juga menemukan buruh perempuan buruh rentan mendapat pelecehan dari mandor kebun. Senada dengan temuan Sawit Watch,

ILO juga menyebutkan kondisi buruh informal kondisi kerjanya lebih sulit.

Contohnya PRT yang sekitar 70% bekerja dengan jam kerjanya berlebihan dengan upah yang rendah (30% PRT menerima upah kurang dari 300.000 per bulan).

Temuan Sawit Watch dan ILO tidak berbeda dengan buruh migran Nias di perkebunan PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Berdasarkan pengamatan dan pengakuan beberapa perempuan buruh harian lepas yang sehari-hari bekerja di nurseri bahwa buruh perempuan sering sekali bekerja di luar ketentuan jam kerja dan upah. Buruh harian lepas di nurseri sering sekali bekerja bukan atas dasar jam kerja, melainkan berdasarkan target kerja. Buruh perempuan dipaksa harus

Universitas Sumatera Utara 189

menyelesaikan bagian pekerjaan yang sudah ditentukan oleh mandor atau asisten perusahaan yang disebut buruh harian lepas target.

Buruh harian lepas yang bekerja di nurseri adalah dominan perempuan migran Nias. Mereka diwajibkan sudah hadir di areal kerja pukul 06.30 untuk mengikuti arahan dari mandor perusahaan penyalur tenaga kerja dimana mereka terdaftar. Selesai arahan sekitar lima belas menit sampai setengah jam, para buruh perempuan mulai bekerja membersihkan rumput dan sampah di nurseri tanpa dihitung sebagai upah dari kerja sampai jam 09.00 yang disebut jam widding.

Pihak kontraktor sering mengatakan bahwa upah jam widding dihitung sebagai bantuan beras dari perusahaan PT. RAPP, tetapi kelompok lain dari kontraktor yang berbeda dan lokasi kerja yang sama tidak diperlakukan jam widding, tetapi mereka mendapatkan beras 15 kg per bulan, bahkan diperkenakan pulang ke rumah pukul 16.00.

Buruh di Nurseri tersebut baru mulai dihitung sebagai jam kerja pukul

09.00 sampai 11.30 istrahat siang 13.00 mulai kerja lagi tanpa waktu tertentu, tergantung target yang ditentukan. Umumnya, buruh perempuan di nurseri ini diperbolehkan pulang ke rumah atau barak pukul 17.00-18.00. Menurut Ina

Arman, para mandor perusahaan di Pelalawan Centre Nurseri (PCN), kadang melakukan diskriminasi dengan memarahi para buruh perempuan, jika belum mencapai target kerja yang sudah ditentukan. Mereka mendapatkan upah Rp.

78.000 per hari, dan apabila tidak pernah absen selama satu minggu (Senin sampai

Sabtu siang), atau 6,5 hari kerja (HK) akan mendapatkan bonus gaji setengah hari

Rp. 39.000. Peneliti memaknai temuan ini sebagai bentuk penghisapan tenaga buruh perempuan, karena selalu dianggap lemah, sekalipun upah yang mereka

Universitas Sumatera Utara 190

terima Rp. 78.000 per hari. Berikut akan diterangkan dalam perlindungan buruh perempuan migran Nias:

Tabel 6.13. Perlindungan terhadap buruh Perempuan Perlindungan buruh perempuan Buruh Ya Tidak Total Laki-laki 2 50 52 Perempuan 1 27 28 Total 3 77 80 Persen (%) 3,8 96,3 100,0 Sumber: Penelitian lapangan 2016

Berdasarkan tabel 6.8. di atas dtemukan bahwa sebaran kuesioner kepada

80 responden memilih 96,3 % belum mendapatkan perlindungan, sementara yang mengatakan sudah mendapatkan perlindungan buruh perempuan hanya 3,8 % atau

3 orang. Jumlah responden laki-laki yang menjawab tidak mendapatkan perlindungan buruh perempuan 50 dari 52 orang, sementara perempuan yang menjawab tidak mendapatkan perlindungan sebanyak 27 dari 28 orang.

Temuan kuesioner tersebut semakin dipertajam dalam penelitian kualitatif, melalui wawancara dengan informan. Menurut Firman Zega, buruh harian lepas di

Nurseri PCN, kendala lain yang sering dihadapi buruh perempuan di nurseri adalah pemecatan. Mereka dipecat sesuka hati para kontraktor, tanpa ada peringatan. Padahal aturan awal kerja di telah dibacakan prosedur pemecatan, tetapi sering sekali tidak diterapkan dengan baik. Selain itu, buruh perempuan tidak mendapatkan cuti melahirkan, bahkan harus menunggu pelamaran berikutnya sekalipun di kontraktor yang sama. Berikut hasil penuturan Herni Zai, buruh perempuan kontraktor suplier tenaga kerja PT. Alam Permata Riau:

“...Kendala utama di sini kalau kami melahirkan, kami tidak diperbolehkan kerja. Selain itu, setelah kami melahirkan dan kami minta untuk kerja kembali tidak diterima lagi. Kami harus menunggu

Universitas Sumatera Utara 191

dan melamar lagi. Misalnya, ketika saya selesai melahirkan, saya harus menunggu untuk bisa kerja kembali selama 7 (tujuh) bulan...”.

Kutipan hasil wawancara di atas merupakan suatu bentuk pelanggaran perlindungan buruh perempuan. Dalam proses persalinan pun, buruh perempuan kurang mendapatkan fasilitas kesehatan dari pihak klinik kesehatan. Mereka tidak mendapatkan sosialisasi dan kontrol kehamilan dari petugas klinik kesehatan.

Bahkan sering buruh perempuan di moving camp ketika melahirkan hanya dibantu oleh dukun sesama buruh perempuan. Apalagi di camp yang cukup jauh dari klinik kesehatan, selain transportasi air dan darat tidak selalu ada ditempat.

Ironisnya, keluarga buruh perempuan yang dibantu oleh salah satu bidan dari klinik kesehatan perusahaan PT. Riau Andalan Pulp and Paper kadang meminta biaya persalinan.

Tempat tinggal barak buruh perempuan pada umumnya kurang layak ditepati oleh ibu yang hendak melahirkan, apalagi barak TPK 5,5 dan TPK 5 dimana fasilitas kamar mandi dan WC sudah rusak. Berdasarkan pengamatan peneliti, barak panggung sangat sulit ketika turun dan naik melalui tangga itu.

Selain itu, fasilitas kamar mandi juga kurang memungkinkan untuk seorang ibu yang mau melahirkan. Memang ada beberapa kamar mandi dan WC, tetapi hampir semua tidak berfungsi dengan baik. Beberapa kali disampaikan kepada mandor atau perusahaan, tetapi jawaban hanya menunggu dan menunggu. Akibatnya, pernah ada buruh perempuan migran Nias yang sedang mengandung keguguran dan meninggal dunia karena terpeleset di kamar mandi.

Tidak ada perbedaan mendasar pembagian jenis pekerjaan antara laki-laki dan perempuan di bagian penanaman. Jenis pekerjaan yang berbahaya pun dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan, tanpa menggunaka alat pengaman

Universitas Sumatera Utara 192

seperti sarung tangan dan masker. Jam kerja berlangsung sama dengan jam kerja laki-laki, mulai jam 06.00 atau 06.30 sampai jam 12.00 dan dilanjutkan pukul

13.00-17.00 atau 18.00 sore. Bahkan sepulang kerja, buruh perempuan memasak di dapur masing-masing, sementara sang suami duduk manis sambil merokok di depan kamar. Sistem sosial yang dikontruksikan bahwa buruh perempuan selain bekerja di penanaman, ia juga bekerja di camp, yaitu memasak dan mengurus anak. Asumsi ini bila dibenarkan jika melihat indikator fakta sosial merupakan beban ganda perempuan sebagai kontruksi budaya patriarkhi. Mereka masih banyak diperlakukan diskriminatif baik menyangkut upah, status, dan peluang mengembangkan karier. Sebagai akibatnya, buruh perempuan menjadi pihak yang kurang berdaya (Zubaedi, 2013:234).

Penelitian World Bank at al., (1999) menemukan bahwa tingkat ketaatan untuk ketentuan-ketentuan mengenai fasilitas menyusui, kompensasi lembur, dan cuti haid rendah. Selain itu, ahli-ahli hukum yang bekerja dengan LSM-LSM yang terkait dengan pekerja dan perempuan menerima keluhan dan permintaan bantuan secara rutin dari para pekerja perempuan berkenaan dengan pemecatan ilegal yang terkait dengan kehamilan atau hak ibu, upah yang tidak dibayar, penutupan pabrik yang tidak jelas alasannya (dengan dibukanya kembali pabrik tersebut tidak lama kemudian dengan nama yang berbeda dan para pekerja baru), dan lembur yang dipaksakan tanpa tunjangan-tunjangan yang memadai (ILO, 2006:27).

6.9. Tingkat Kesejahteraan Buruh

Berdasarkan peraturan perundang-undangan setiap perusahaan diwajibkan memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada para pekerjanya. Selain tidak diperbolehkan memberikan upah dibawah ketentuan UMK berlaku, perusahaan

Universitas Sumatera Utara 193

berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang memadai, menyediakan sarana peribadatan, fasilitas tempat tinggal yang memadai dan memmberikan kesempatan bagi pekerjanya untuk mendapatkan pekerjaan sampingan guna menambah penghasilan.

Dengan diterapkan sistem outsourcing, RAPP tidak mempunyai hubungan langsung dengan pekerja karena semua urusan yang menyangkut pekerja merupakan wewengan bagi para kontraktor supplier tenaga kerja. Oleh karena itu

PT. RAPP juga tidak bisa mengontrol secara langsung sistem penggajian dan pendapatan dari pekerja. Dalam penggajian atau upah PT. RAPP hanya bisa meminta kepada kontraktor agar upah yang diberikan kepada para pekerja tidak lebih rendah dari UMK. UMK Kabupaten Pelalawan tahun 2010 adaah Rp.

42.100/hari atau sebesar Rp. 1.1050.000/ bulan.

Terdapat dua kelompok pekerja Nias di RAPP yaitu pekerja borongan yang tinggal di moving camp dan pekerja yang tinggal di barak permanen.

Penghasilan pekerja borongan sangat tidak menentu tergantung dari atau tidaknya pekerjaan dan besaran pekerjaan yang berhasil mereka lakukan. Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa pendapatan pekerja borongan sangat fluktuatif kadang berada di atas UMK, tetapi sering juga di bawah UMK berlaku contoh kasus menyebutkan kadang pekerja mendapatkan upah sebesar Rp. 52.000/hari atau kira-kira Rp. 1.1.60.000/bulan yang artinya pendapatan berada di atas UMK berlaku, tetapi lebih sering pendapatan pekerjaan hanya sebesra Rp. 35.000 atau

20.000 perhari yang artinya pendapatan mereka berada di bawah UMK berlaku.

Dilihat dari tingkat pendapatan maka sebenarnya para pekerja ini jauh dari kondisi sejahtera.

Universitas Sumatera Utara 194

Hasil wawancara dan kuesioner rata-rata pengeluaran untuk konsumsi para pekerja dengan jumlah anggota rumah tangga 3-5 orang berkisar antara Rp.

500.00-Rp. 600.000/bulan dengan menu utama nasi dan ikan asin. Telor merupakan menu yang mewah sedangkan ayam dan daging merupakan makanan yang sangat langka bagi mereka. Sayuran juga sulit didapatkan kecuali sayuran yang tumbuh liar seperti kangkung dan jamur. Untuk kuah kadang hanya berupa air putih yang ditaburi air garam atau vetsin. Bila dirata-ratakan konsumsi perorangan satu rumah tangga berkisar antara Rp. 120.000-Rp. 200.000/bulan dengan tingkat asupan gizi seadanya. Melihat kondisi itu sulit dikatakan para pekerja di moving camp berada dalam kondisi sejahtera. Sarana ekonomi yang bisa diakses juga sangat terbatas mereka hanya mengandalkan barang-barang yang disediakan oleh KR. Berdasarkan perundang-undnagan sebenarnya perusahaan dianjurkan menyediakan fasilitas ekonmi yang bisa menyediakna kebutuhan para pekerjanya. Di pelalawan estate sebenarnya juga ada koperasi karywan yang menyediakan barang kebutuhan, namun pekerja di moving camp karena alasan jarak dan tidak ada modal transportasi tidak bisa mengakses koperasi itu.

Dalam kondisi kekurangan, wajar bila para buruh hanya sedikit yang menabung secara teratur dari penghasilannya. Mereka menabung di rumah, menitipkan pada orang lain (seperti pada KR) atau menanbung di bank dengan persentase angka kurang lebih sama. Sarana ekonomi yang bisa diakses juga sangat terbatas mereka hanya mengandalkan barang-barang yang disediakan oleh

KR.

Selain upah kerja, pekerja di moving camp tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan tambahan dengan menciptakan beragam kegiatan

Universitas Sumatera Utara 195

ekonomi produktif. Bercocok tanam jelas bisa mereka lakukan karena kondisi tanah gambut yang tidak bisa ditanami tanaman produktif seperti sayuran, buah- buaha dan sebagainya. Akibatnya pekerja sama sekali tidak bisa memperoleh bahan tambahan makanan untuk konsumsi atau dijual. Mereka juga tidak bisa beternak baik untuk konsumsi maupun dijual karena berbentur atauran pekerjaan yang tidak memperbolehkan pekerja memelihara ternak di areal kerja karena khawatir terjadinya penyebarab penyakit dari hewan. Kesulitan lain untuk bercocok tanam adalah rotasi perpindahan areal kerja yang cukup cepat berkisar antara 2-4 bulan, kondisi ini tidak memungkinkan pekerja untuk bercocok tanam yang membutuhkan lama.

Disebutkan di atas bahwa perusahaan juga berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi pekerja dan keluarganya. Sebenarnya perusahaan telah menyediakan sarana kesehatan berupa klinik di sektor dan satelit. Namun karena jarak yang sangat jauh dari lokais tempat tinggal dan terbatasnya sarana angkutan, maka fasilitas kesehatan ini sulit diakses oleh para pekerja lebih mengandalkan obat-obat warung yang dijual KR, meminta bantuan dukun atau pengobatan tradisional atau membiarkannnya saja sehingga sembuh dengan sendirinya.

Fasilitas penunjang kesejahteraan lain yang harus disediakan oleh perusahaan berdasarkan aturan perundangan adalah sarana peribadatan sesuai dengan agama yang dianut oleh para pekerja. Untuk sarana peribadatan di

Pelalawan Estate terdapat dua mesjid yang masing-masing berada di Sektor dan

Satelit. Untuk non muslim belum ada sarana peribadatan. Menurut keterangan para informan Kristen baik Katolik maupun Protestan apabila ingin melakukan

Universitas Sumatera Utara 196

peribadatan dipersilahkan menggunakan bangunan serba guna milik perusahaan yang berada di sektor. Sarana peribadatan bagi pekerja non muslim ini bukan saja belum memadai tetapi sulit dijangkau oleh para pekerja Nias yang tinggal di moving camp yang sebagian besar beragama Protestan. Para pekerja sendiri mengaku bahwa selama ini mereka belum pernah pergi ke tempat ibadat karena jarak yang cukup jauh. Mereka juga mengaku selama ini belum pernah ada pelayanan iman bagi petugas gereja ke camp-camp tempat tinggal mereka.

Dengan tempat tinggal terbuat dari terpal plastik, bilik untuk keluarga hanya berukuran 2,5 x 3 meter dan alas tempat tidur dari tikar serta lingkungan sekitar yang sangat becek saat hujan dapat dikaatakn tempat tinggal ini jauh dari memadai. Namun dpat dimengerti karena tempat tinggal ini merupakan tempat tinggal sementara dan harus pindah dari dalam jangka 2-4 bulan mengikuti rotasi perpindahan areal kerja. Masalahnya adalah para pekerja nias menempati camp semacam ini dalam jangka waktu lama dan membawa serta keluarga mereka termasuk anak kecil dan balita yang tidak baik berada di tempat semacam ini terutama dilihat dari segi kesehatan dan keselamatan. Pihak perusahaan sendiri mengatakan sebenarnya perusahaan melarang berada anak-anak di areal kerja tetapi para pekerja sendirilah yang melanggar aturan perusahaan dengan membawa serta anak-anak mereka. Dalam konteks Pelalawan Estate pihak perusahaan juga mengatakan tidak memungkinkan penempatan semua pekerja pada barak-barak permanen karena lokasi kerja sulit dan terpotong-potong oleh kanal. Dibutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi apabila menempatkan pekerjaan di barak permanen karena harus ada angkutan antara jemput baik

Universitas Sumatera Utara 197

berupa kendaraan darat maupun kendaraan air. Selain itu proses antar jemput ini membutuhkan waktu lama sehingga efektifivitas kerja akan terganggu.

Keadaan lebih baik diperoleh oleh pekerja asal Nias yang tinggal di barak permanen seperti barak nurseri TPK 5, TPK 1. Barak tempat tinggal para pekerja ini dikatakan memadai terbuat dari papan lanyai maupun dinding, ruang kamar atau bilik berukran 3 x 4 meter dan di dalamnya disediakan tempat tidur tingkat walaupun tempat tidur ini lebih banyak difungsikan sebagai lemari dari pada untuk tidur. Untuk tidur pekerja memilih tidur di lantai beralaskan kasur. Barak juga memiliki dapur, kamar mandi dan closet leher angsa. Tinggal bagaimana kesadaran para penghuni untuk merawat dan menjaga kebersihan barak. Di bagian barak depan terdapat halaman cukup luas utuk bermain anak-anak dan terdapat taman yang dibuat oleh penghuni untuk memperindah barak. Barak juga memiliki sarana penerangan listrik dan genset sehingga penghuni bisa setiap saat menikmati liburan televisi atau memutar musik pada mala hari.

Karena para penghuni barak ini umumnya adalah pegawai kontraktor dan buruh harain lepas maka pendapatan mereka lebih pasti dan terukur. Upah harian maupun gaji bulanan yang diberikan oleh kontraktor bisa dikontrol oleh perusahaan, upah harian BHL berdasarkan informasi yang diperoleh berkisar antara 43.000-Rp. 45.000 per haru tergantung dari kontraktor tempat mereka bekerja ini artinya berada di atas UMK berlaku sebesar Rp. 42.1000/hari.

Demikian juga dengan pekerja dengan gaji bulanann, pertama kali bekerja upah sebesar Rp. 1.200.000/bulan akan dinaikkan setiap 3 bulan sekali. Tiap bulan kedua gaji sebesar Rp. 1.500.000/bulan. Ini artinya berada di atas UMK bulanan

Pelalawan sebesar Rp. 1.050.000/bulan. Ini berbeda dengan pekerja moving camp

Universitas Sumatera Utara 198

yang berpendapat tergantung dari ada atau tidaknya pekerjaan tergantung dari besaran kerja yang mereka lakukan. Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya pekerja borongan kerap juga menggangur karena belum adanya amprahan pekerja untuk mereka.

Pekerja juga bisa memperoleh makanan tambahan dengan bercocok tanam memanfaatkan lahan yang berada di belakang barak. Dari pengamatan terlihat bagian belakang barak dijadikan kebun oleh pekerja dengan menanam bermacam tanaman seperti pisang, pepaya, singkong, jagung dan lain sebagainya. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan asupan gizi tambahan dari lahan yang diusahakan.

Sarana pendukung kesejahteraan lain seperti sarana kesehatan dan koperasi juga mudah diakses oleh para pekerja karena tidak terhambat oleh sulitnya kondisi geografis. Sebagai contoh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mereka bisa menghubungi bagian kendaraan operasional perusahaan untuk diantara jemput klinik perusahaan yang ada di sektor maupun satelit. Bila kondisi sakit parah mereka juga bisa diantar ke rumah sakit yang berada di Pangkalan Kerinci. Untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok mereka juga tidak sepenuhnya tergantung pada barang yang disediakan oleh KR, pekerja bisa berbelanja ke koperasi karyawan yang ada di sektor atau berbelanja langsung ke Pangkalan

Kerinci menumpang kendaraan antara jemput siswa yang beroperasi setiap hari.

Dengan adanya kendaraan antar jemput siswa ini, anak-anak pekerja juga tidak mengalami kesulitan untuk mengakses sekolah baik yang berada di sektor maupun di townsite 1 dan townsite 2 Pangkalan Kerinci. Kendaraan antara jemput ini

Universitas Sumatera Utara 199

disesuaikan dengan jadwal sekolah anak-anak. Dalam 1 hari kendaran antar jemput ini bisa sampai 3 trip perjalanan untuk mengantar jemput siswa sekolah.

Beberapa aspek tingkat kesejahteraan pada umumnya jauh dari yang diharapkan. Temuan ini memperlihatkan permainan agen dalam struktur kekuasaan berlangsung massif. Ada kesan tindakan-tindakan agen terhadap buruh berlangsung dualitas dalam praktik sosial terhadap tenaga buruh. Pada bagian ini akan diuraikan matriks pembahasan struktur dan agen dalam hubungan kekuasaan antara perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan. Keseluruhan rangkaian dalam pembahasan bab inti ini, mulai dari sistem rekrutmen tenaga kerja, kontrak kerja, kepala rombongan, sistem utang dan pekerja anak akan akan dirangkum dalam bagan dan matriks berikut ini.

Struktur

Agen Buruh

Bagan 6.1. Struktur dan agen tenaga buruh

Keterangan:

1. Struktur melekat pada agen dan buruh melalui sistem outsourcing. Sistem

tersebut diawali dalam sistem rekruitmen dari daerah asal sampai ke lokasi

perkebunan.

Universitas Sumatera Utara 200

2. Struktur yang melekat bersifat dialektik antara agen yang berdampak pada

eksploitasi tenaga buruh, terutama sistem utang.

3. Agen bermetamorfosis dalam struktur penentuan harga setiap lahan yang

dikerjakan oleh buruh dalam tingkatan mulai dari perusahaan, kontraktor, dan

kepala rombongan yang berjalan massif.

4. Peran agen melalui struktur yang bersifat dialektik menghasilkan diskriminasi

pada upah, jaminan sosial yang bersifat segitiga sebagai tindakan agen

(kontraktor).

Universitas Sumatera Utara 201

Matriks 6.1. Interpretasi Stuktur dan Agen dalam Praktek Eksploitasi

Struktur-agen Perusahaan Kontraktor Kepala Rombongan 1. Sistem rekrutmen:  Perusahaan sebagai pemberi kerja  Pihak kedua (kontraktor)  Kepala rombongan melakukan Perusahaan, kontraktor membuat sistem outsourcing mencari tenaga kerja di daerah perjanjian “liar” dengan dan kepala rombongan dengan kontraktor tertentu untuk perkebunan atau daerah kontraktor dengan memberikan membentuk struktur menyediakan tenaga kerja. Dalam tertentu untuk bekerja di beban kepada KR, terutama hubungan kekuasaan hal ini perusahaan “lepas tangan” perusahaan perkebunan. Pihak penyediaan jasa tenaga kerja untuk memperoleh terhadap segala permasalahan kontraktor semakin banyak dengan fee 10% dan ia juga untung. buruh dan dialihkan kepada pihak anggota yang didatangkan diberi kepercayaan untuk pertama (kontraktor). akan semakin banyak memimpin anggota yang keuntungan yang diperoleh. berhasil dikumpulkan.

2. Pengupahan  Harga Lahan yang serahkan  Kontraktor menyerahkan harga  Harga dengan potongan dari Model pengupahan kepada kontraktor cukup tinggi, perhektar kepada KR dengan kontraktor ke KR, lalu ada lagi menindas buruh yang dan kontraktor melakukan harga tertentu. Ada kalanya formen, maka yang sampai tidak mempunyai posisi pemotongan 35 persen untuk KR memotong persen dari kepada tenaga kerja hanya 30- tawar. masing-masing harga perhektar hektar tersebut sampai 25 40 persen perhektar. Misalnya dengan. persen. Harga itulah yang Rp. 800.000 sampai Ke tenaga

Universitas Sumatera Utara 202

kemudian diserahkan kepada Kerja Rp. 350.000. tenaga kerja. 3. Diskriminasi jaminan Perusahaan dalam kontrak kerja  Kontraktro dalam laporan KR dengan previlegi khusus Sosial mewajibkan kontraktor untuk wajib lapor memberikan data tidak dibebani dengan menyediakan Jaminan Sosial bagi yang tidak sesuai dengan penyediaan kartu BPJS, maka tenaga kerja. Namun proses lapangan. Kontraktor tidak apabila anggota tenaga kerja pengecekan dari perusahaan tidak mau tahu tentang BPJS dengan yang sakit, itu ditanggung oleh berjalan dengan baik. berbagai alasan. tenaga kerja itu sendiri. 4. Sistem Utang  Sistem pembayaran gaji dari  Kontraktor memberikan utang  Utang merupakan jerat Jeratan utang perusahaan sekali dua bulan atau berapa pun itu asalkan kerja. sekaligus keuntungan bagi merupakan tindakan sesuai lahan yang dikerjakan dan Sistem utang itu akhirnya tenaga kerja. Bahkan sering agen terhadap struktur dinyatakan lolos. Kendala bahwa membuat tenaga kerja tidak sekali tenaga kerja hanya sebagai bentuk hasil pengecekan di lahan yang bisa keluar dari kontraktor. Ia berutang dan beutang setiap perulangan praktik sudah dikerjakan sering terlambat hanya kerja dan kerja. bulan. sosial antara majikan- dan berdampak pada pembayaran buruh. upah.

Universitas Sumatera Utara 203

6.10. Pengawasan Disnarketrans dan Serikat Buruh

Pengawasan dalam hubungan ketenagakerjaan merupakan sesuatu yang penting dan harus dilakukan oleh pihak terkait. Perusahaan perkebunan dalam satu daerah kabupaten mendapatkan kepercayaan penuh kepada pihak Dinas tenaga kerja dan Transmigrasi. Persoalan muncul ketika kontrol atau pengawasan pada dinas terkait lemah, akibatnya pihak yang memiliki kekuasaan subordinat dijolimi dengan sistem-sistem yang diatur oleh agen melalu praktik sosial.

Realitas kehidupan sosial buruh migran di salah satu perkebunan skala

International masuk dalam tahap memprihatinkan. Indikator lain bahwa tenaga buruh dieksploitasi melalui sistem outsourcing yang sering melenceng dari ketentuan Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Pengawasan dari perusahaan juga dipandang lemah, karena tim audit atau tamu yang datang ke lokasi perkebunan diatur dalam struktur. Tim audit atau tamu dari luar “diarahkan” pada lokasi-lokasi yang sudah distrerilkan

“dibersihkan” dari segala bentuk penyelewengan yang tidak sesuai dengan standar operational. Lebih tajam lagi peneliti memahami strategi ini merupakan hegemoni yang dimainkan oleh aktor-aktor untuk menutup “aib” pengisapan tenaga buruh, secara khusus buruh penanaman dan buruh harian lepas di nurseri. Konsep

“proteksi” yang dimainkan oleh perusahaan merupakan gayung bersambung dari pihak kontraktor suplier tenaga kerja. Agen (kontraktor) mendapatkan perintah dari atasan perusahaan untuk melengkapi hal-hal yang menjadi bahan penilaian dari tim audit atau tamu, misalnya alat pelindung diri (APD). Singkatnya, indikator penilaian sudah dipenuhi ketika tim audit atau tamu dari luar, terutama tim audit untuk proses sertifikasi international.

Universitas Sumatera Utara 204

Pengawasan dari dinas tenaga kerja dan transmigrasi Kabupaten Pelalawan juga dinilai lemah. Peneliti dalam proses verifikasi data tenaga kerja menemukan fakta tentang wajib lapor yang setiap bulan dilaporkan oleh perusahaan kontraktor suplier tenaga kerja. Dalam data wajib lapor yang diserahkan melalui bapak Budi bagian bidang pengawas ketenagakerjaan tidak koheren dengan realitas lapangan.

Ada beberapa temuan bahwa salah stau kontraktor melaporkan bahwa tenaga kerja yang terdaftar di perusahaan ia pimpin berjumlah dua puluh lima orang, padahal data di lapangan jumlah tenaga kerja sudah mencapai 900 orang. Artinya, pihak kontraktor melaporkan data yang tidak sesuai dengan fakta lapangan.

Memang di sisi lain, Bapak Swandi bagian Hubungan Industri dan Masyarakat

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan mengaku personil dari Disnarkertras tidak banyak, apalagi mengawasi perusahaan yang sudah mencapai 300 di Kabupaten Pelalawan. Justru Swandi mengharapkan Mitra

Kerjasama dari pihak Ikatan Keluarga Nias (IKN) Kabupaten Pelalawan dan

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI 92) yang juga dipimpin oleh masyarakat

Nias di Kabupaten Pelalawan.

Usulan informan Swandi ini tentu baik, melihat peran IKN dan SBSI 92 selama ini di Kabupaten Pelalawan. Peneliti justru melihat lain bahwa IKN mempunyai tajik “bergigi” kepada kontraktor atau perusahaan yang tidak mempunyai kaitan dengan kontraktor orang Nias. Padahal kasus eksploitasi buruh migran Nias yang menjadi obyek penelitian, hampir semua kontraktor orang Nias.

Maka sangat kecil kemungkinan informasi atau laporan kasus buruh migran Nias dibawah kontraktor orang Nias terbongkar melalui pengurus IKN, karena para pengurus kontraktor adalah sebagian besar anggota IKN itu sendiri. Argumen lain

Universitas Sumatera Utara 205

yang bisa ditawarkan adalah dalam kasus-kasus kematian atau kecelakaan kerja buruh migran Nias di salah satu kontraktor suku Nias, IKN sering menjadi wadah

“pendamai” antara buruh dan kontraktor yang bertentangan dengan aturan ketenagakerjaan.

Kendala yang sama dalam hal pengawasan Serikat Buruh Sejahtera

Indonesia (SBSI 92) kurang berjalan dengan baik. Peneliti menilai serikat buruh yang didirikan oleh Ama Timo, asal Nias mati suri dan bersifat fragmentasi. SBSI

92 selain dimotori oleh orang Nias juga mempunyai jaringan relasi dengan kelompok IKN. Ada kecenderungan SBSI 92 tidak punya kekuatan untuk menyuarakan keadilan kepada kontraktor orang Nias yang dengan sesuka hati mendiskriminasi kesejahteraan para buruh migran Nias. Ada lingkaran kekuasaan yang dimainkan oleh kontraktor terhadap lembaga atau wadah yang bisa mengadvokasi ketidakadilan terhadap buruh.

Universitas Sumatera Utara BAB VII RESISTENSI SEHARI-HARI BURUH DALAM MENGHADAPI EKSPLOITASI

Dalam bab ini akan diuraikan tentang resistensi sehari-hari buruh migran

Nias. Pada bagian sub bab pertama dijelaskan tentang resistensi buruh yang pernah dikemukakan oleh James Scott. Pemikiran Scott akan diuraikan dalam kaitannya dengan hasil interpretasi data penelitian. Bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari dilakukan tidak terstruktur dan dilakukan secara individu, bahwa konsekuensi tindakan resistensi terhadap pribadi bisa berakibat pemecatan terhadap tenaga kerja. Adapun bentuk-bentuk perlawanan yang pernah dilakukan: membuang pupuk atau obat tanaman, merusak tempat bibit, memperlambat kerja dan mencuri, dan akhirnya melarikan diri sebagai pilihan akhir.

7.1. Resistensi Buruh

Eksploitasi atau pengisapan tenaga buruh yang dilakukan oleh agen dalam struktur di sebuah perkebunan bukan tanpa resistensi. Pola-pola resistensi buruh terhadap eksploitasi berada dalam kekuatan tersembunyi, sebagai bentuk ketidak cocokan terhadap kekuasaan dominan. Bentuk resistensi demikian lahir dari pilihan rasional para buruh dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang pernah dikemukakan oleh James Scott pada masa itu, justru masih relevan untuk dikaji zaman sekarang ini. Simpulnya, pemikiran Scott telah membangun fondasi utama dalam menganalisis masalah sosial yang dihadapi oleh kaum marginal, walaupun terdapat beberapa kelemahan teori tersebut.

Penelitian buruh borongan dan buruh harian lepas (BHL) migran Nias di

Nurseri dan Plantation perkebunan akasia milik PT. Riau Pulp and Paper ditemukan beberapa tindakan eksploitasi tenaga buruh. Tingkat pendidikan yang

206

Universitas Sumatera Utara 207

rendah dan ketidaktahuan berbahasa Indonesia mengkondisikan situasi eksploitasi buruh. Agen dalam hal ini perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan membentuk struktur dalam sistem rekrutmen tenaga kerja dari daerah asal. Tenaga kerja dominan migran Nias diiming-iming dengan upah yang tinggi, bahkan biaya perongkosan dari tempat asal sampai ke lokasi perkebunan dihitung sebagai utang. Artinya, buruh sudah dikontruksikan berutang kepada pihak penyediaan jasa penyalur tenaga kerja (kepada kepala rombongan atau kontraktor), sehingga sulit keluar dari areal perkebunan.

Realitas eksploitasi yang dialami para buruh migran Nias melahirkan suatu resistensi sehari-hari. Sosiolog James Scott, memahami bentuk perlawanan sehari- hari kaum tani, dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup kaum tani, dan tata perilaku ekonomi petani diikat oleh sistem moral, yang berfungsi agar terpeliharanya keamanan subsistensi. Dalam konteks buruh migran Nias di

Pelalawan Riau, perlawanan dipahami sebagai penolakan dari ketidakadilan yang dilakukan oleh aktor (pelaku) pihak penguasa (perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan).

7.1.1. Resistensi Berujung Pada “Pemecatan”

Buruh harian lepas (BHL) di nurseri TPK 5,5 Sektor Pelalawan pernah mengalami pengalaman buruk berhadapan dengan perusahaan penyalur tenaga kerja PT. Deliveri. Informan Adina Zega mengaku bahwa mereka sering mengalami keterlambatan pembayaran gaji dari kontraktor, bahkan bisa sampai tiga bulan, itu pun kalau dibayar hanya setengah gaji dari tiga bulan itu. Mereka pernah melaporkan keterlambatan gaji tersebut kepada mandor dan asisten perusahaan PT. RAPP, jawaban mereka bahwa tidak berurusan dengan gaji.

Universitas Sumatera Utara 208

Bentuk perlawanan para buruh harian lepas terhadap ketidaksewenangan aktor-aktor kontraktor tidak berhenti kepada asisten dan mandor. Para buruh harian yang tidak puas dengan keterlambatan pembayaran gaji, meneruskan perlawanan ke pihak perusahaan melalui representasi direktur perusahaan Jelo

Singh dan Jamu Tarigan, direktur Sektor Pelalawan (Riau Fiber), walau akhirnya berujung pada “pemecatan”. Otomosi, mantan buruh harian lepas di Nurseri TPK

5,5 Sektor Pelalawan sebagai berikut:

“...Pada suatu hari ada kunjungan tamu/bos besar perusahaan, yakni pak Jelo dan Pak Jamu. Kami sudah nekat untuk bertanya, walaupun resikonya kami harus keluar dari sini. Kami waktu itu ada 14 orang sepakat untuk keluar dari barak ini. Kedua bos itu diapit terus oleh mandor dan tidak diperkenankan untuk komunikasi dengan bos. Namun kami terus merapat ke bos itu, karena kami sudah berniat untuk keluar. Saya langsung bertanya kepada kedua bos itu. Pak, kami anggota pak Warni, gaji kami hanya Rp. 55.000 per hari. THR tidak ada. Kalau sakit bayar sendiri. Sudah dibilang bang Remo kalau ditanya berapa gaji kalian, harus dijawab Rp. 68.000. Siapa makan gaji kami, apakah Pak Warni atau bapak sendiri...?”

Ketika itu Otomosi Zega, dan buruh harian lepas lainnya disuruh menghadap pemimpin di kantor Sektor Pelalawan. Pihak perusahaan menjanjikan akan memberitahukan hasil laporan itu selama dua hari ke depan, karena direktur kontraktor PT. Deliveri masih berada di kota Pekan Baru. Selama dua hari menunggu, bahkan sampai beberapa minggu, namun tidak ada kepastian dari pihak perusahaan atau kontraktor.

Informan Adina Zega, anak kandung Otomosi dalam kesempatan wawancara yang berbeda mengatakan bahwa ketika itu mereka memilik mogok kerja selama tiga hari karena sudah tiga bulan belum ada pembayaran upah.

Kondisi ini terungkap dalam wawancara dengan Adina Zega, mantan Buruh

Harian Lepas di Nurseri TPK 5,5 sektor Pelalawan sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara 209

“...Kami waktu itu mogok kerja selama tiga hari karena sudah tiga bulan gaji kami tidak dibayar. Setelah itu kami disuruh keluar, 3 keluarga sementara gaji kami belum dibayar. Kami terpaksa menunggu selama dua minggu, itu pun dua hari sebelum kami berangkat, gaji kami baru dibayar. Kami pernah melapor di kantor, tapi itu kawan mereka juga. Untuk sementara kami tinggal sama keluar di Barak Aceh, sebelum mendapatkan kerja baru...”.

Kondisi tenaga kerja buruh harian lepas asal Nias memperlihatkan dimensi kekuasaan antara majikan (perusahaan dan kontraktor) dalam skala yang berbeda.

Majikan (perusahaan dan kontraktor) sebagai pemberi kerja atau penyalur kerja mempunyai kekuasaan dominan atas buruh yang adalah kelas subordinat. Buruh tidak mendapatkan pembelaan dari pihak perusahaan sebagai pemilik perkebunan, sementara pihak penyalur tenaga kerja berleha-leha di atas penderitaan buruh.

Buruh sebagai kelas subordinat harus “menyerah” dan memilih keluar dari tempat kerja tanpa ada pembelaan dari pihak lain.

7.1.2. Melawan Berarti Siap Dipecat

Perlawanan terhadap penguasa mengandung dua unsur konsekuensi logis, ialah berhasil atau gagal. Perlawanan dikatakan berhasil apabila aspirasi yang disampaikan diterima dengan baik oleh pihak penguasa, sedangkan perlawanan dikatakan gagal jika berakhir pada keputusan sepihak yang dilakukan oleh penguasa, misalnya pemecatan. Analogi tersebut sangatlah tepat untuk meletakkan dilema yang sering dialami oleh para buruh di Indonesia. Gambaran situasi buruh bukan sesuatu hal yang baru, tetapi sudah pernah diterapkan pada masa kolonial dalam sistem kerja Koeli Ordonnantie pada tahun 1880 (Suwirta,

2002:29) mereka dipaksa bekerja dibawah tekanan untuk mencapai target yang diputuskan perusahaan perkebunan. Praktek penghisapan upah murah tersebut

Universitas Sumatera Utara 210

dibarengi dengan kewenangan pihak perkebunan dalam memberikan hukuman ke buruh kontrak jika melakukan kesalahan (Paranginangin, 2013:4).

Penelitian buruh outsourcing dan buruh harian lepas asal Nias di perusahaan perkebunan PT. Riau Pulp and Paper memperlihatkan ketakutan yang dialami oleh buruh. Informan pada umumnya mempunyai ketakutan ketika diminta kesediaan untuk diwawancarai dengan alasan takut. Bahkan ada yang tidak mau diwawancarai, karena dianggap sebagai provokator dalam perusahaan.

Buruh outsourcing sangat menarik untuk dikaji ketakutan yang mereka alami, baik sebagai buruh maupun pihak pemberi tenaga kerja. Buruh outsourcing

“dipaksa” secara tidak langsung oleh agen penyalur tenaga kerja mengakui regulasi kerja yang bertentangan dengan realita. Lucunya, ketika peneliti bertanya tentang kesediaan kerja setiap hari, mereka mengakui tetap berjalan dengan baik, tetapi hari itu juga mereka tidak kerja karena material bibit akasia belum sampai ke areal penanaman. Ketakutan mengungkapkan realitas sistem kerja yang diberlakukan oleh agen (pelaku) terhadap tenaga kerja diakui sendiri oleh Ina

Windi. Buruh Harian Lepas di Nurseri Pelalawan Centre Nurseri (PCN) awalnya tidak mau diwawancarai karena bisa-bisa dipecat dari pekerjaannya. Peneliti kemudian berusaha menjelaskan bahwa data-data ini akan dirahasiakan, baru ia mau diwawancarai.

Kontraktor penyalur tenaga kerja PT. Join Karya Mandiri Onesman Tel mengafirmasi kondisi-kondisi yang memungkinankan pihak kontraktor atau pekerja mengungkapkan kondisi tenaga kerja. Kontraktor asal Nias selatan ini mengatakan bahwa “Semasa kami bernaung di bawah perusahaan PT. RAPP, kami tidak bisa membocorkan masalah di sini. Rahasia di sini kita jika kita

Universitas Sumatera Utara 211

berbuat membocorkan rahasia, kita tidak langsung dikatakan keluar, tetapi tidak diberi area kerja berbulan-bulan (tiga atau enam bulan)”.

Berdasarkan temuan penelitian terhadap buruh outsourcing (buruh harian lepas dan borongan) migran Nias ini memperlihatkan ketakutan yang merupakan manifestasikan pelaku melalui struktur dalam regulasi tenaga kerja sehari-hari.

Bagi Giddens, (Priyono, 2016:18), struktur adalah aturan (rules) dan sumberdaya

(resources) yag terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana “struktur sosial merupakan hasil

(outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial.

7.1.3. Laporan Tanpa Hasil Ke SBSI

Kritik Amin (2011:54) terhadap fragmentasi gerakan buruh di Indonesia

Pasca Orde Baru merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Peneliti juga menemukan tindakan fragmentasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI 1992) di perusahaan perkebunan PT. RAPP Pelalawan Riau. Sukirman Zalukhu, sebagai wakil ketua Ikatan Keluarga Nias (IKN) wilayah Sektor Pelalawan mengafirmasi realitas kiprah SBSI 1992 terhadap buruh migran Nias.

Mandor Cleaning Servis Sukirman Zalukhu dari Kabupaten Nias Utara yang sudah bekerja di PT. RAPP selama 17 tahun mengaku kiprah Serikat Buruh

Sejahtera Indonesia 1992 berikut.

“...sebelumnya ada juga Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) yang didirikan oleh Ama Timo Laia, bersama dengan bapak Hia (Sozifao Hia, alias Ama Roki, mantan anggota DPRD Kabupaten Pelalawan Periode 2009-2014). Waktu itu dikumpulkan KTP, kartu keluarga untuk memperjuang hak-hak pekerja perempuan antara pekerja dan kontraktor, misalnya melahirkan. Tapi sampai sekarang tidak ada hasil, jawaban hanya sabar dan sabar. Itu yang membuat orang kita Nias tidak percaya lagi kepada mereka. Kemungkinan mereka “masuk angin” dari pihak kontraktor...”.

Universitas Sumatera Utara 212

Penyataan informan ini bukan tanpa alasan bila diinterpretasikan alur pemikiran logis. Pertama, kehadiran pendiri SBSI Ama Timo Laia dan Sozifao

Hia tidak lah tepat mengingat kehadiran mereka untuk strategi pemenangan pemilu legislatif Periode II tahun 2014-2019 dengan mengumpulkan KTP dan kartu keluarga para buruh. Kedua, Ama Timo Laia sebagai pendiri SBSI dan sekaligus wartawan dan Sozifao Hia mantan Humas PT. RAPP dan anggota

DPRD Kabupaten Pelalawan periode 2009-2014 menjadi pengurus Ikatan

Keluarga Nias (IKN) Pelalawan, dimana ketua dan anggota IKN itu adalah para kontraktor itu sendiri (20 kontraktor suku Nias). Logisnya, sangat kecil kemungkinan Sozifao Hia dan Ama Timo Laia memperjuangkan hak-hak buruh dibawah kendali penyalur tenaga kerja asal Nias yang adalah anggota IKN itu sendiri. Ketiga, kecurigaan tersebut makin kuat, ketika pengaduan para buruh tidak ada kepastian yang jelas. Akibatnya para buruh migran suku Nias kurang percaya lagi kepada SBSI, bahkan menuduh bahwa SBSI “masuk angin” dari pihak kontraktor.

Hubungan buruh dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 di Pelalawan

Riau bukan temuan baru mencermati gerakan buruh di Indonesia. Menurut Amin

(2011:54-55), aneka perubahan ekonomi-politik internasional juga mempengaruhi gerakan buruh di Indonesia yang memiliki ciri khasnya sendiri dan membedakannya dengan gerakan buruh di Eropa misalnya. Beberapa perbedaan adalah sebagai berikut.

Pertama, struktur masyarakat Indonesia berbeda dengan Eropa. Di

Indonesia tidak ada kapitalis borjuasi munis dan proletar murni, sedangkan di negara-negara Eropa perbedaan kelas itu jelas ada. Tidak ada kelas buruh sejati

Universitas Sumatera Utara 213

karena mayoritas buruh di Indonesia bekerja di sektor agrikultur, Usaha Kecil

Menengah (UKM) dan Koperasi, serta sektor informal. Sedangkan majikan tidak pula dapat disamakan dengan kategori kelas borjuasi murni sesuai dengan kategori Marx ketika melihat dan menyampaikan ide tentang analisis kelas untuk meningkatkan posisi politik kaum buruh. Perbedaan ini merupakan kasus yang khas di Indonesia dengan masyarakat di Eropa seperti Inggris dan Jerman.

Mengorganisasi buruh dengan tujuan akhir menumbangkan kelas kapitalis jelas salah kaprah atau kesilapan strategi dan ahistoris yang berakibat pada semakin melemahnya posisi tawar buruh. Sejak beberapa tahun lalu, baik di ILO maupun wadah serikat buruh dunia (ITUC) mengembangkan social dialogue sebagai kunci penyelesaian perselisihan perburuhan. Perubahan yang perlu dilakukan adalah membuat sistem yang lebih adil. Perundingan menjadi lebih produktif ketimbang konfrontasi di jalanan. Mogok dan demo tetap perlu sebagai pamungkas, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai indikator mengukur kehebatan gerakan buruh yang diorganisir. Indikator utama terpulang pada apa hasil akhir positif yang diterima buruh.

Kedua, kualifikasi pemahaman para aktivis buruh di Indonesia tidak sama dengan aktivis buruh di Eropa. Selama ini banyak aktivis buruh bergelut dalam tataran normatif, misalnya terkait kenaikan upah, THR, dan pesangon. Aktivis buruh di Indonesia belum begitu paham usulan yang bersifat makro, seperti konsep pengupahan yang lebih adil, sistem jaminan sosial, konsep peningkatan produktivitas, dan penanggulangan pengangguran. Para aktivis buruh di Indonesia cenderung lebih mengedepankan sikap reaktif daripada solutif dalam merespons kebijakan baru. Sedangkan di negara-negara Eropa, aktivis buruh lebih

Universitas Sumatera Utara 214

mengelaborasi usulan-usulan alternatif yang masuk akal sehinga dapat memperluas dukungan dari masyarakat. Sehingga, gerakan buruh di Eropa memiliki relevansinya baik bagi buruh dan masyarakat.

Ketiga, terkait dengan ideologi aktivis serikat buruh. Banyak aktivis serikat buruh di Indonesia yang tidak jernih memposisikan dirinya sebagai pejuang buruh. Ada aktivis serikat buruh yang sering berpindah dari satu serikat buruh ke serikat buruh lainnya sehingga memperluas fragmentasi, kemudian menjadi pengurus di partai yang tidak punya program perburuhan, termasuk juga memiliki perusahaan outsourching, menjadi kuasa hukum buruh, tetapi justru mengorbankan buruh. Sementara yel-yel yang diteriakkan melakukan revolusi buruh dan perjuangan kelas. Aktivis setengah hati‖ dengan orientasi pragmatis hanya menambah deretan panjang fragmentasi buruh di Indonesia. Berbeda dengan para aktivis buruh di negaranegara Eropa, di mana para aktivisnya sangat menekankan pentingnya ideologi yang harus diyakini. Sebentuk perangkat perjuangan aktivis buruh baik di partai politik dan parlemen selalu terkait dengan platform dan program yang sesuai dengan aspirasi buruh.

7.2. Bentuk Resistensi Sehari-hari

Eksploitasi terhadap buruh adalah bentuk kekuasaan dominan yang dilakukan oleh agen terhadap struktur dalam praktik sosial. Giddens dengan teori strukturasinya menekankan kajian pada “praktik sosial yang tengah berlangsung” sebagaimana dinyatakannya, bahwa “ranah dasar studi ilmu-ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individu, ataupun eksistensi bentuk totalitas sosial apapun, melainkan praktik yang ditata di sepanjang ruang dan waktu (Ritzer dan Goodman, 2008:569).

Universitas Sumatera Utara 215

Praktik sosial yang dikemukakan oleh Giddens lebih tepat digambarkan oleh James C. Scott dalam konteks perburuhan di Indonesia. Bagi buruh, bekerja dalam struktur yang tidak menguntungkan dan rentan terhadap penindasan, bentuk-bentuk perjuangan sehari-hari itu mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia (Scott,1993: 271). Argumen ini tentu masih sejalan dengan pemikiran Foucault yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada dimana-mana atau tersebar dimana-mana. Dalam konsep ini, peneliti menarik benang merah pemikiran yang relevan untuk meletakkan posisi buruh dan majikan dalam hubungan kekuasaan. Artinya, kekuasaan itu tersebar dimana-mana, baik sebagai majikan (perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan) maupun buruh.

Kekuasaan mestinya dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebaagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasikan mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi dimana relasi kekuasaan adalah efeknya (Mudhoffir, 2013:79).

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani (buruh) tidak sampai pada tahap pembangkangan secara terbuka dan dilakukan secara kolektif, bentuk-bentuk perlawanan ini antara lain; mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar, dan melakukan sabotase, bentuk perlawanannya sedikit sekali atau sama sekali tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan, dan secara cerdas menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak-pihak yang berkuasa atau dengan norma-norma elit (Scott,

2000:40). Ketika pemberontakan untuk membongkar struktur yang menindas

Universitas Sumatera Utara 216

terlalu mahal untuk dilakukan dan hasilnya juga tidak berketentuan–kecuali memunculkan struktur baru yang sama saja menindas atau bahkan lebih menindas lagi, maka resistensi sehari-hari menjadi senjata yang paling ampuh bagi kaum peasant dan terutama golongan miskin (Sairin, at al,. 2002:245).

Penelitian buruh migran Nias di Perusahaan Perkebunan PT. Riau Andalan

Pulp and Paper menemukan hal-hal yang menjadi bentuk resistensi sehari-hari.

Temuan tersebut tidak diamati secara langsung, tetapi tindakan dan perilaku yang terus menerus diamati dalam ruang dan waktu. Peneliti awalnya berharap akan mendapatkan data-data resistensi itu melalui sebaran kuesioner kepada 80 responden, tetapi tidak kunjung membuahkan hasil. Dalam lebaran kuesioner, peneliti telah menyiapkan beberapa item pertanyaan terbuka kepada responden.

Ada pun item itu ialah resistensi terhadap kesewenangan perusahaan, kontraktor perusahaan suplier tenaga kerja, pengurus kontraktor, dan kepala rombongan dalam hal upah, resistensi terhadap jaminan sosial (BPJS dan THR), resistensi terhadap fasilitas pendidikan anak, dan resistensi terhadap fasilitas tempat tinggal.

Bentuk-bentuk resistensi yang disajikan dalam pilihan ganda: a) melarikan diri, b) membakar hutan, c) membuang pupuk, d) berbohong, dan e) lain lain sering dilewati atau paling melingkari pilihan e) lain-lain, tanpa memberikan keterangan, walaupun ada satu atau dua orang menjawab di kolom pilhan e (lain-lain) dengan memberi keterangan “pasrah”. Sekali pun demikian bukan berarti tidak ada bentuk resistensi sehari-hari secara implisit.

7.2.1. Membuang Pupuk dan Obat Tanaman

Bentuk resistensi sehari-hari buruh migran Nias di perkebunan PT. Riau

Andalan Pulp and Paper masih bersifat individual, sporadis dan tidak terencana

Universitas Sumatera Utara 217

dengan baik. Bagi sebagian buruh yang sudah mempunyai daya kritis dan sudah tahu sedikit peraturan kerja, bentuk resistensinya adalah membuang pupuk.

Bentuk resistensi membuang pupuk merupakan resistensi sehari-hari buruh sebagai bentuk protes atas kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam pengupahan. Dalam sistem pengupahan sering tidak sesuai dengan UMK

Kabupaten, sementara pengeluaran setiap bulan semakin membengkak.

Perlawanan ini dilakukan oleh pribadi, tanpa ada perorganisasian di antara buruh itu.

Proses buruh membuang pupuk dilakukan dengan menunggu mandor perusahaan keluar dari lokasi areal kerja. Pupuk masukan ke dalam celah permukaan tanah lahan gambut yang memungkinkan tidak diketahui oleh pihak mandor keesokan harinya. Ada juga yang membuang pupuk atau obat pestisida ke kanal, tetapi jenis pupuk atau obat tanaman itu harus diperhitungkan larutannya, jangan sampai pupuk atau obat yang dibuang mudah diketahui. Misalnya, pupuk tersebut tidak larut dalam air, sehingga mudah diketahui oleh pihak perusahaan, karena apabila diketahui pelaku pembuang pupuk oleh mandor perusahaan akan mendapatkan sanksi berupa pemotongan upah.

Sistem pendistribusian pupuk atau obat tanaman tentu mempunyai perhitungan matang, dengan hasil pertumbuhan tanaman. Perusahaan mulai curiga dengan pupuk atau obat yang disalurkan ke camp, tidak sebanding dengan kesuburan tanaman. Maka perusahaan membuang kebijakan baru dengan menyerahkan pengurusan penyediaan obat tanaman kepada kontraktor penyalur tenaga kerja, terkecuali pupuk yang diolah oleh perusahaan sendiri. Mekanisme ini justru semakin memperkecil tindakan-tindakan resistensi para buruh migran

Universitas Sumatera Utara 218

Nias, karena pengurusan pupuk sudah diserahkan kepada kontraktor. Struktur penyerahan penyediaan pupuk atau obat ke kontraktor menjadi peluang bagi kontraktor untuk meraung profit. Kontraktor justru mendapatkan persenan dari takaran standar pupuk atau obat dan harga-harga obat dan pupuk yang dibeli sendiri dibandingkan dengan harga dari perusahaan. Intinya, hubungan kekuasaan perusahaan dan kontraktor bersifat mutualisme, yaitu perusahaan mendapatkan hasil tanaman yang baik dan kontraktor mendapatkan persenan dari harga dan takaran pupuk. Sebaliknya, buruh tetap tinggal dalam kondisi terisolasi, tereksploitasi dan tak berdaya.

Bentuk “kerjasama” perusahaan dan kontraktor semakin memperkecil resistensi buruh sehari-hari. Penyediaan pupuk dan obat tanaman dikendalikan oleh kontraktor yang mengetahui seluk beluk resistensi buruh. Perlu dipahami bahwa kontraktor asal Nias dominan memulai bisnis pertama sekali menjadi buruh, kemudian kepala rombongan dan akhirnya menjadi pemilik kontraktor.

Selain itu, kontraktor mempunyai “mata-mata” pengamat yang siap sedia memberikan laporan tentang gerakan-gerakan atau tindakan-tindakan yang merugikan kontraktor sendiri. Mata-mata tersebut adalah keluarga atau kepala rombongan itu sendiri atas dasar ikatan kekeluargaan. Kendala lain ditemukan jika kontraktor atau keluarga yang bisa dipercaya tidak ada di dalam camp tersebut. Artinya, celah-celah melakukan resistensi terhadap kontraktor selalu ada.

Para kontraktor (agen suplier tenaga kerja) tidak kehabisan akal menutup celah-celah resistensi yang merugikan kontraktor. Akhirnya para kontraktor, dan memang tidak semua menyerahkan penyediaan pupuk kepada kepala rombongan melalui penentuan harga. Mekanisme dari kontraktor ke kepala rombongan, sama

Universitas Sumatera Utara 219

halnya dengan struktur hubungan kekuasaan perusahaan dan kontraktor.

Kontraktor mendapatkan keuntungan dan keamanan, sedangkan kepala rombongan mendapatkan persenan dari penentuan harga pupuk dan obat tanaman hingga sampai kepada buruh. Intinya perusahaan, kontraktor, dan kepala rombongan mendapat keuntungan masing-masing, sebaliknya buruh selain harga yang dijatuhkan kepadanya rendah, sekaligus memperkecil celah resistensi.

7.2.2. Merusak Tempat Bibit (Trey)

Resistensi bentuk lain adalah merusak atau membuang trey (tempat bibit akasia yang dari nurseri ke areal kerja. Merusak atau membuang trey dilakukan tanpa pengorganisasian dan dilakukan oleh individu. Berdasarkan pengamatan peneliti, tempat bibit akasia dari nurseri sering rusak dan dilempar begitu saja.

Bibit yang diantar mobil truk perusahaan ke simpang TPK dan kemudian dinaikkan ke atas perahu pompong sering rusak. Salah satu penyebab kerusakan trey (bibit) itu adalah ketika memuat trey ke perahu kurang diperhatikan perawatannya dan dilempar begitu saja. Akibatnya tempat bibit tersebut sering rusak dan bahkan dibuang ke tempat yang aman dari pengamatan mandor.

Perilaku membuang atau merusak tempat bibit akasia bukan tanpa pertimbangan bagi aktor pelaku. Pertimbangan demikian sering berkaitan dengan kepuasan upah yang diterima oleh buruh atau lebih tepat lagi, tindakan itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan dan implementasi perusahaan yang sering merugikan pihak buruh. Dalam hasil percakapan dengan sesama buruh ketika menegur salah satu temannya yang melempar begitu saja tempat bibit akasia tersebut, ia menjawab, “ah biarkan saja rusak, kita yang

Universitas Sumatera Utara 220

selama ini menderita di tempat ini”. Sejenak bila diinterpretasi hasil percakapan bahwa ada unsur resistensi yang sering lalai di mata perusahaan.

James Scott (1985) memahami teknik pertentangan sesuai dengan struktur sosial kaum buruh sebagai kelas subordinat. Bentuk-bentuk perlawanan sehari- hari dengan merusak alat-alat yang dianggap milik perusahaan atau majikan salah satu bentuk pilihan rasional. Buruh sadar bahwa bentuk-bentuk laporan pengaduan kepada perusahaan yang dilakukan oleh oknum tertentu, tidak efektif karena sama sekali tidak digubris. Merusak alat-alat sebagai pilihan yang kurang mendapat perhatian dan resiko besar dari pihak perusahaan.

7.2.3. Memperlambat Kerja

Bentuk resistensi sehari-hari dengan memperlambat kerja sebagaian besar dilakukan oleh buruh harian lepas di nurseri pembibitan tanaman akasia. Pilihan memperlambat kerja dilakukan oleh buruh ketika jauh dari pengamatan mandor dan asisten kontraktor. Perilaku memperlambat kerja pada dasarnya erat dengan kepura-puraan sebagai mekanisme melawan penguasa (majikan) tanpa terorganisasi dan terstruktur. Gerakan masif sebagai bentuk resistensi para buruh migran Nias mulai dibaca oleh perusahaan (majikan). Maka perusahaan membuat regulasi baru dalam sistem kerja, yaitu buruh harian lepas target. Para buruh dipaksa untuk mengerjakan beberapa jalur dalam satu hari tanpa ada perubahan dalam pengupahan. Jika tidak selesai target yang sudah ditentukan oleh mandor, akan dimarahin, alasannya malas dan terlalu banyak cerita dengan buruh yang lain. Jika target kerja yang sudah ditentukan selesai sebelum jam 17.00 atau jam

16.00 maka besoknya akan ditambahkan target kerja, misalnya hari ini

Universitas Sumatera Utara 221

mendapatkan 3 (tiga) jalur dengan 5 orang pekerja, mungkin besok akan ditambahkan menjadi 4 (empat) jalur dengan jumlah tenaga kerja yang sama.

Alasan lain sebagai bentuk resistensi yang dilakukan oleh buruh adalah berpura-pura sakit atau pusing. Memang ada yang betul-betul sakit, tetapi ada juga yang sengaja berpura-pura, maka tidak mau mandor atau asisten memberikan toleransi. Justru disini para mandor atau asisten perusahaan sering terkecok dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh mandor, tetapi tidak jarang para mandor atau asisten mengetahui tindakan itu sebagai bentuk kepura-puraan, jika dilakukan sesering mungkin dan orang yang sama.

Berbeda dengan para buruh di bagian penanaman atau sering disebut buruh borongan. Alasan sakit atau kurang sehat dipahami sebagai bentuk kemalasan, maka tidak jarang apabila ada tenaga kerja mengaku kurang sehat menimbulkan kemalasan bagi buruh yang lain. Bahkan jika salah satu buruh tidak begitu semangat atau kurang bergaih dalam bekerja, maka bisa bubar para pekerja yang lain. Maka langkah yang tepat adalah kepala rombongan mengeluarkan sebuah kebijakan, jika ada anggota yang malas atau pura-pura sakit, dan bahkan sakit tidak akan mendapkan upah. Tentu kebijakan ini cenderung mendiskriminalisasi buruh, maka mau tidak mau buruh memaksa diri untuk bekerja, sekali pun kurang sehat.

7.2.4. Mencuri Kabel di Pabrik Perusahaan

Bentuk resistensi dengan mencuri kabel di pabrik perusahaan semakin meningkat kepada perusahaan, tetapi masih skala resistensi sehari-hari. Kasus pencurian kabel dilakukan oleh buruh atau mantan buruh yang pernah bekerja di lokasi areal perkebunan perusahaan PT. Riau Andalan Pulp and Paper.

Universitas Sumatera Utara 222

Berdasarkan pengakuan salah satu buruh migran Nias bahwa kasus pencurian dilakukan para malam hari, terutama pada musim hujan. Para pencuri tersebut diam-diam masuk melalui “jalur tikus” belakang pabrik perusahaan. Dengan alat seadanya para aktor mencuri beberapa kabel dan dijual kepada agen yang siap membeli dengan bayaran mahal.

Perbuatan itu dilakukan terus-menerus, akhirnya perusahaan mulai resah dengan para pencuri itu. Masyarakat di sekitar perusahaan mulai ditanyakan orang-orang yang terlibat dalam perusahaan itu, dan tidak seorang pun yang mengaku, termasuk kepada salah satu informan penelitian. Sebenarnya mereka tahu orang-orang yang terlibat dalam pencurian itu, dan peneliti sendiri pernah menjumpai orang tersebut. Pada saat waktu itu, beberapa orang sudah berkumpul kebetulan ada resepsi pernikahan salah satu keluarga buruh migran Nias. Dalam percakapan tersebut, peneliti sempat menangkap pembicaraan mereka untuk mencuri beberapa besi atau kabel yang ada di belakang pabrik tersebut. Mereka berfikir bahwa perbuatan mencuri tidaklah berdampak kerugia besar kepada pihak perusahaan.

Kasus pencurian sebagai bentuk resistensi sehari-hari bukanlah tanpa jaringan dari dalam perusahaan yang menjadi sasaran pencurian selama ini. Ada beberapa orang yang memberikan informasi tentang saat-saat yang tepat untuk melakukan aksi pencurian, sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pencurian dilokasi perusahaan yang terjadi terus menerus membuat perusahaan melakukan pengawasan yang ketat, dan pernah berhasil. Keberhasilan pihak perusahaan bukan dengan menangkap, tetapi “membunuh” di tempat. Beberapa informan mengaku bahwa para pencuri itu ditembak, tetapi informasi itu masih

Universitas Sumatera Utara 223

simpang siur, tetapi yang jelas dua orang pencuri suku Nias meninggal dunia.

Pada waktu itu dilakukan otopsi oleh pihak kepolisian Polda Provinsi Riau, tanpa ada kejelasan dan kepastian penyebab kematian dari pihak kepolisian sampai sekarang. Pihak keluarga dan masyarakat suku nias di sekitaran Pangkalan

Kerinci mengetahui bahwa kedua pencuri itu meninggal, dimasukkan ke dalam peti mayat (tanpa pernah dibuka) hingga dikuburkan. Kasus ini tentu menjadi menjadi kajian pada peneliti berikutnya, tetapi yang penting resistensi dengan mencuri bisa mengakibatkan kehilangan nyawa.

Bentuk-bentuk resistensi dengan mencuri sebenarnya menjadi rambu- rambu kepada perusahaan atas ketimpangan sosial. Perusahaan makin jaya dan para kontraktor semakin bertambah pundi-pundi kekayaan, sebaliknya para buruh makin hari makin tersiksa, berjuang melawan kerasnya pekerjaan, berjuang melawan panasnya matahari dan lain sebagainya. Protes-protes masif yang dilakukan oleh aktor-aktor seharusnya menjadi intropeksi diri bagi perusahaan dan kontraktor di tengah kesenjangan majikan (perusahaan dan kontraktor) antara buruh yang cukup melebar.

7.3. Melarikan Diri sebagai Resistensi Akhir

Bentuk resistensi akhir yang sering dilakukan oleh buruh migran Nias di perkebunan Pelalawan Nias adalah melarikan diri. Pilihan melarikan diri berarti keputusan bulat untuk tidak bekerja lagi dan siap menanggung resiko dari kontraktor bersangkutan. Selain itu, pilihan melarikan diri harus mempunyai perhitungan yang matang, mulai dari siapa? kapan? bagaimana? dan kemana?

Pertama, pertanyaan “siapa” mengacu pada pelaku (yang melarikan diri) adalah buruh yang mempunyai utang lebih lima juta kepada kepala rombongan atau

Universitas Sumatera Utara 224

kontraktor. Menurut informan Karmila Laia, kepala rombongan di salah satu kontraktor mengatakan bahwa selama ini ada 10 anggotanya yang melarikan diri karena utang Rp. 38.300.000. Ada kecenderungan bahwa buruh yang sering melarikan diri adalah buruh yang sama sekali tidak mempunyai kaitan keluarga atau satu kampung. Interpretasikan tindakan melarikan diri dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap upah yang tidak sesuai dengan tenaga kerja.

Kedua, pertanyaan kapan menjadi bahan pertimbangan bagi aktor yang melarikan diri. Artinya, kapan saat yang tepat untuk melarikan diri dari areal perusahaan. Tentu tidak gampang mengingat lokasi camp yang terisolasi dari dunia luar, untuk menuju lokasi persimpangan TPK, harus melalui jalur kanal dengan naik speadboat. Maka saat yang tepat yang dilakukan pada malam hari, terutama pada musim hujan atau hari minggu ketika aktivitas penanaman tidak ada.

Ketiga, pertanyaan berikut adalah “bagaimana” tindakan melarikan diri dilakukan. Bahan pertimbangan ini, tentu harus akurat karena dalam satu camp bisa saja kepala rombongan mempunyai mata-mata untuk mengamati setiap gerak buruh yang berencana melarikan diri. Mata-mata tersebut adalah keluarga dekat

(jaringan kekerabatan) dalam sebuah camp. Buruh harus memikirkan bagaimana itu transportasi (sungai) kanal dan darat karena lalu lintas jalan dalam perusahaan hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pada perusahaan. Sementara jalan dari dalam perusahaan rata-rata terbilang cukup jauh dan keberadaan camp terisolasi dari dunia luar, belum lagi di pos pemeriksaan yang dijaga ketat oleh lima (5) orang satpam selama 24 jam. Keempat, pertanyaan akhir adalah “kemana” menunjukkan tujuan yang hendak dituju oleh buruh. Maka

Universitas Sumatera Utara 225

salah satu langkah untuk memastikan tujuan sasaran adalah jaringan keluarga di perkebunan tempat lain.

Bentuk resistensi melarikan diri merupakan tanggapan atas ekploitasi yang dimainkan kekuasaan aktor-aktor tenaga kerja. Dalam konteks ini, tindakan eksploitasi (penghisapan tenaga buruh) sesuatu yang harus dilawan, dalam gerakan yang tidak terorganisisir dan individual. Bentuk semacam ini seharusnya dipahami oleh perusahaan atau pihak pelaku eksploitasi sebagai bentuk penolakan atas kebijakan yang kurang memihak kepada nasib buruh. “Pasungan” buruh dalam struktur hubungan kekuasaan antara majikan dan buruh menjadi seruan profetis yang perlu dilawan melalui bentuk-bentuk resistensi sehari-hari.

Resistensi sehari-hari bisa saja merobohkan sebuah kekuasaan feodalisme sebagai bentuk perbudakan modern.

Universitas Sumatera Utara BAB VIII PENUTUP

8.1. Kesimpulan Bentuk hubungan kekuasaan struktur dan agen dalam praktik ketenagakerjaan pasca diberlakukan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 merupakan ajang bagi perusahaan suplier tenaga kerja mendapatkan arena di ruang publik. Momok menakutkan kuli kontrak pada masa kolonial Belanda mempunyai panggung manifestasi dalam perbudakan modern di berbagai perkebunan saat ini. Pada masanya, ribuan kuli didatangkan baik resmi ataupun tidak resmi atau melalui penipuan, menyulap hutan belantara menjadi perkebunan. Para buruh sering ditipu oleh para pemilik kebun saat memberikan gaji. Kuli ditempatkan dalam barak sebagai tempat tidur bersama. Barak itu tidak dilengkapi dengan perabotan dan hanya berdinding papan, berlantai tanah dan beratap daun rumbia. Masa itu kini bemanifestasi seiring perubahan kebijakan perburuhan dengan menganut sistem neoliberalisme. Perubahan merupakan dorongan politik kapitalisme luar negeri di Indonesia untuk membuat kebijakan perburuhan menjadi “market friendly” dan didukung situasi krisis ekonomi 1998 yang berdampak pada PHK dimana-mana.

Implikasi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan “mimpi buruk” para buruh ditengah hubungan tenaga kerja yang kurang jelas. Buruh tetap “dipaksakan” pindah dari satu tuan (majikan) ke majikan yang satu pada majikan lainnya. Tenaga buruh kini di eksploitasi dari satu tuan ke tuan lainnya, tanpa kontrak kerja yang jelas. Kondisi tersebut diperparah oleh pola rekrutmen tenaga kerja yang sering menyeleweng dari prosedur resmi. Peneliti buruh migran Nias di perusahaan perkebunan PT. Riau

226

Universitas Sumatera Utara 227

Andalan Pulp and Paper Pelalawan Riau membukakan mata terhadap praktek eksploitasi yang dilakukan oleh agen melalui struktur dalam praktik sosial.

Temuan eksploitasi buruh migran Nias ini akan dipaparkan dalam tiga dalam pembahasan berikut ini.

Pertama, praktek eksploitasi buruh migran Nias dapat dipahami dalam hubungan analogi sebab-akibat. Eksploitasi atau penghisapan tenaga buruh sebagai akibat “post factum”, maka sebelum “post factum” tentu ada “pra factum” itu lah yang peneliti maksud sebagai sebab. Dalam konteks buruh migran

Nias, ada eksploitasi berarti ada kondisi-kondisi yang memungkinkan praktek eksploitasi. Berdasarkan temua peneliti kondisi-kondisi dimungkinkan oleh kondisi kemiskinan buruh migran Nias dari daerah asal. Selain itu kondisi tingkat pendidikan para buruh dari daerah kepulauan Nias masih rendah, dari 80 responden buruh migran Nias (buruh harian lepas dan buruh borongan) ditemukan bahwa responden yang tamat SD (32,5%) memiliki proporsi terbesar, sedangkan yang terkecil adalah responden yang telah mengecap pendidikan di Sekolah

Mengenah Atas (7,5%) dengan proporsi yang ekstrim sekitar 25% (persen). Para buruh migran Nias sebagian besar buruh masih melek huruf dan kurang tahu berbahasa Indonesia dan tentu berpengaruh pada keahlian.

Kondisi lain yang mendukung praktek eksploitasi adalah tempat tinggal camp yang sangat terisolasi dunia luar, bahkan akses untuk menjangkau lokasi camp atau barak masih menggunakan transportasi darat dan air. Selain itu, informasi-informasi penting mengenai sistem ketenagakerjaan dan pengupahan masih simpang siur dan tidak jelas dan sering bertolak belakang dari praktek di lapangan. Sebaran kuesioner kepada 80 responden para buruh migran Nias

Universitas Sumatera Utara 228

mengatakan bahwa informasi hak dan tanggung jawab dalam kerja masih banyak yang belum mendapatkan informasi sekitar 45% (persen), buruh yang tidak mendapatkan informasi tentang upah 87,5%, buruh yang tidak mendapatkan informasi jam kerja 32,5%, buruh yang tidak mendapatkan informasi hak cuti

87,5%, buruh yang tidak mendapatkan informasi tempat tinggal 56,3%, dan buruh yang tidak mendapatkan informasi K3 36,3%.

Kedua, struktur hubungan kekuasaan perusahaan dan buruh dalam sistem outsourcing dalam prakteknya melangengkan eksploitasi buruh. Praktek tersebut ditemukan dalam pola rekrutmen tenaga kerja dari daerah asal sampai ke lokasi perkebunan. Taktik agen-agen tenaga kerja dengan menanggung segala biaya perongkosan dan kebutuhan lain sampai ke tempat perusahaan sebagai utang, dan disisi lain para tenaga kerja yang didatangkan siap menawarkan tenaga untuk bekerja. Mimpi suskes di “negeri seberang” buyar seketika ketika mereka diperlakukan tidak adil, kerja dengan target tanpa jaminan sosial layaknya seorang budak. Mau cabut diri tidak bisa, karena utang sudah “mengikat” kedua kaki dan tangan, akhirnya pasrah bergulat dengan realitas sosial sehari-hari.

Kontrak kerja yang tidak jelas justru semakin memperparah kondisi para buruh migran Nias. Akibatnya, buruh bekerja lebih dari waktu yang sudah ditetapkan dalam undang-undang ketengakerjaan. Buruh migran Nias mendapatkan upah minimum di bawah UMK Kabupaten Pelalawan 2016 Rp.

2.178.000, jaminan sosial sebagian besar tidak ada, THR tidak ada, dan perlindungan perempuan tidak dihiraukan. Maka langkah yang sering dilakukan oleh buruh adalah memperkerjakan anak di bawah umur untuk menambah

Universitas Sumatera Utara 229

pendapatan atau setidaknya bisa melunasi utang setiap bulan kepada kepala rombongan.

Kepala rombongan mendapatkan posisi sebagai pengawas anggota dalam satu camp dengan previlegi yang dimiliki. KR mendapatkan fee 10% per anggota tenaga kerja yang berhasil didatangkan dari luar, mendapatkan persenan dari harga borongan yang diturunkan oleh kontraktor, dan beralih “profesi” sebagai penjual barang kebutuhan pokok dengan harga melambung tinggi. Selain itu, KR mempunyai “kaki tangan” minimal dua orang dari sejumlah tenaga kerja di camp disebut formen. Formen tersebut mendapatkan previlegi dari kepala rombongan untuk mengatur jalannya kerja dengan persenan yang sudah ditentukan. Cucuran persenan harga borongan dari perusahaan ke kontraktor dan dari kontraktor ke kepala rombongan dan dari kepala rombongan ke formen, itulah yang sampai ditangan para buruh, misalnya satu hektar harga dari perusahaan Rp. 880.000, sampai kepada buruh hanya Rp. 350.00-400.000.

Realitas lain bahwa angka kecelakaan kerja semakin meningkat, tanpa ada jaminan sosial dan lain sebagainya. Kekuasaan “rezim” para pengeksploitasi tenaga kerja migran Nias justru menutup mata ketika anggota keluarga dan buruh meninggal karena kecelakaan kerja (tenggelam di kanal atau meninggal di sumur) dan ada juga kasus bunuh diri dengan minum racun. Keluarga korban tidak mendapatkan apa-apa selain “uang damai” dan makan bersama. Kini tempat

Pemakaman Umum Rantau Baru menjadi “saksi bisu” segala peristiwa yang dialami oleh buruh migran Nias. Kuburan tersebut merupakan lahan seluas 2 hektar yang dihibahkan oleh PT. Riau Andalan Pulp and Paper melalui Ikatan

Keluarga Nias (IKN). Tangan-tangan pemerintah melalui representasi dinas

Universitas Sumatera Utara 230

tenaga kerja dan transmigrasi dan Serikat buruh Sejahtera Indonesia (SBSI 92) seolah-olah tidak tahu, atau memang tidak mau tahu tentang kondisi buruh, maka diperlukan sebuah penelitian lanjut.

Ketiga, buruh sebagai obyek eksploitasi tenaga kerja bukan tanpa perlawanan. Mereka mempunyai senjata yang sering disebut oleh James Scoot sebagai senjata orang-orang kalah, yaitu resistensi sehari-hari. Aksi-aksi perlawanan yang tidak terorganisir dan dilakukan secara individu terus dilancarkan dalam bentuk membuang pupuk atau obat tanaman, merusak fasilitas perusahaan, mencuri kabel di pabrik perusahaan, dan melarikan diri sebagai resistensi akhir. Para buruh melihat celah-celah untuk melakukan perlawanan masif terhadap kebijakan yang tentu merugikan buruh itu sendiri, walaupun demikian, perusahaan terus menerus mempersempit ruang resistensi dengan mengubah regulasi kebijakan mengenai sistem kerja.

8.2. Implikasi Teoritis

Implikasi pemikiran Anthony Giddens dalam teori strukturasi sangatlah tepat menggambarkan praktek ekeploitasi buruh migran Nias di Pelalawan Riau.

Interpretasi domain praktek-praktek sosial yang ditata menurut ruang dan waktu secara terus menerus diciptakan melalui alat-alat ekspresi diri sebagai aktor.

(Giddens, 2003:2-3). Giddens memahami alat teresbut sebagai struktur yang hanya muncul di dalam berbagai tindakan instan serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan perilaku agen-agen manusia, sehingga praktek- praktek sosial yang memiliki perluasan ruang-waktu terbesar dalam totalitas seperti itu bisa diacu sebagai institusi. Maka salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumber daya digunakan dalam produksi dan

Universitas Sumatera Utara 231

reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem(dualitas struktur) (Giddens, 2003:22).

Struktur dan agen sangatlah tepat menggambarkan interaksi sosial antara buruh dan perusahaan (majikan). Interpretasi demikian bahwa perusahaan mempengaruhi agen, sebaliknya agen mempengaruhi struktur. Agen adalah orang perusahaan mempengaruhi struktur, dan struktur mempengaruhi agen (buruh).

Struktur diciptakan melalui aturan (rules) atas prinsip kapitalime, dan aturan itu mempengaruhi agen (buruh) dalam praktik sosial (Lubis, 2014:148). Aturan menjadi sarana bagi tindakan eksploitasi tenaga kerja para buruh melalui praktik sosial sebagai manifestasi perbudakan masa kolonial. Tenaga buruh dihisap oleh kapitalisme melalui struktur dalam cara yang berbeda dan tujuan yang sama yang disebut perbudakan modern.

Perbudakan modern bila dipahami kebelakang merupakan suatu pemanfaatan tenaga kerja terletak pada peranan yang dimainkan antara majikan dan budaknya. Budak senantiasa memberikan pelayanan penuh yang tidak diinginkannya kecuali untuk kejayaan majikannya. Hakikat perbudakan adalah kedudukan yang tidak manusiawi dari para budak, yakni berubahnya kedudukan mereka sebagai suatu obyek (Martin, 1993:117). Gejala lain ditemukan bahwa budak mempunyai perbandingan biaya tetap dan biaya tak terduga dalam pertanian perkebunan lebih tinggi pada budak dari pada buruh lepas (Martin,

1993:136). Pada intinya, budak masih dilihat sebagai aset untuk mendapatkan keuntungan.

Asumsi peneliti bahwa bukan tidak mungkin praktek ekploitasi yang diterapkan oleh perusahaan, melalui penyerahan kerja kepada suplier tenaga kerja

Universitas Sumatera Utara 232

merupakan perbudakan modern. Ini dibuktikan dengan beberapa temuan penelitian bahwa sebagain besar perusahaan menyerahkan kerja kepada suplier tenaga kerja melalui sistem outsourcing. Belum lagi penerapan sistem outsourcing melenceng dari UU ketengakerjaan No 13 Tahun 2003, sementara pengawasan masih lemah. Pemikiran Giddens sebenarnya telah mengelaborasi temuan dan asumsi penelitian dalam hubungan kekuasaan dari kerja paksa bermanifestasi dalam perbudakan modern.

James Scott melalui teori resistensi sehari-hari. Scott memahami resistensi sehari-hari sebagai tanpa pengorganisasian dan dilakukan secara individual kepada penguasa. Di sini kekuatan sebuah teori dalam mengaplikasikan struktur dan agen dalam kekuasaan. Bila ditarik lebih mendalam lagi, justru Scott merupakan penghubungan teori struktur dan agen yang lebih aplikatif dan sederhana. Dengan demikian, teori resistensi sehari-hari masih relevan diterapkan pada saat ini dengan menyesuaikan pada perkembangan zaman.

Pengkombinasian teori struktur dan agen dalam hubungan kekuasaan menjadi kacamatan untuk melihat kaitan teori dan temuan penelitian. Eksploitasi tenaga buruh melalui diskriminasi jam kerja, upah, dan jaminan sosial merupakan cetakan kekuasaan para agen dalam meraung untung. Pola-pola rekrutmen menjadi jerat struktur yang memasung kebebasan para buruh. Menurut Karl Marx

(dalam Suseno, 2001:97), para buruh mengalami alienasi (keterasingan), karena sifatnya yang sosial terasing juga daripadanya. Faucault justru hadir meyakinkan pada buruh bahwa bukan berarti manusia tidak bisa keluar dari kondisi eksploitasi. Manusia mempunyai kekuasaan yang tersebar dimana-mana.

Universitas Sumatera Utara 233

Implikasi kekuasaan tersebut secara lebih jelas diterangkan oleh Gaventa (2006:2) dalam teori “Power Cuba” atas temuan penelitian sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara 234

Matriks 8.1. Interpretasi Konsep “The Power Cuba” dalam Eksploitasi dan Resistensi Buruh Migran Nias

No Tahapan Kekuasaan Ruang Partisipan Manifestasi Kekuasaan

1 5. Power over (kekuatan lebih):  Closed (ruang tertutup):  Visible power (kekuatan terlihat): Kekuatan yang dimiliki oleh para buruh Memfokuskan pada ruang dan tempat- Strategi mengubah “siapa, dengan menguasai kebijakan dan aturan tempat terbuka membuka kemungki- bagaimana, dan apa” dari pembuatan yang berlaku dalam perusahaan. Pada ta- nannya untuk partisipasi, tetapi di sisi kebijakan perburuhan sehingga hap ini masyarakat memiliki kekuatan lain ternyata masih banyak pengambilan proses kebijakan yang terjadi lebih yang lebih dari perusahaan. Penelitian keputusan yang dilakukan ruang tertu- demokratis dan aku-ntabel, dan buruh migan di PT. RAPP belum ditem- tup. Mekanisme ini kurang kelihatan, melayani kebutuhan dan hak-hak ukakan kekuatan lebih dari perusahaan. masih dikuasai oleh kelompok tertentu. buruh migran Nias di PT. RAPP 2  Power to (kekuatan untuk):  Invited (ruang diundang):  Hidden power (kekuatan ters.em- Sesuatu yang penting berkaitan dengan Masyarakat diundang sebagai upaya bunyi): kemampuan dan kapasitas untuk memperluas partisipan dengan perusah- Setting oleh agenda buruh. Orang melakukan tindakan, untuk menjalankan aan. Ruang “diundang” ini mungkin kuat tertentu dan lembaga hak dan mewujudkan kemampuan untuk diatur sedemikian rupa dan kegiatan ters- menggunakan pengaruhnya untuk melalui organisasi yang cenderung tidak ebut dilembagakan sebagai bentuk kons- mengendalikan siapa yang

Universitas Sumatera Utara 235

ditemukan terhadap penelitian buruh ultasi. Media paling penting di sini mengambil keputusan dan apa yang migran Nias di PT. RAPP. adalah Ikatan Keluarga Nias (IKN). didapatkan dari sebuah agenda. 3  Power within (kekuatan dalam):  Claim (ruang klaim):  Invisible power (kekuatan tak Bentuk resistensi ini dilakukan oleh Ruang yang diklaim oleh aktor yang terli-hat): beberapa buruh untuk mempertanyakan tidak kuat tetapi melawan pemegang Kekuatan tak terlihat tersebut mampu hak-hak mereka sebagai tenaga kerja. kekuasaan, atau ruang tersebut dibuat membentuk psikologis dan ideologis Bentuk-bentuk kekuatan ini masih tahap lebih mandiri oleh masyarakat. Ada batas partisipan. Kekuatan ini justru awal untuk memulai sebuah kekuatan yang menyatakan bahwa “ruang ke- dimiliki oleh perusahaan dalam dan belum terlalu terkoordinir dengan tiga”, aktor sosial menolak ruang heg- meng-atur mekanisme sistem yang baik. emonik dan menciptakan ruang sendiri. berlaku diantara para buruh outsourcing. 4  Power with (kekuatan dengan): Resistensi yang dilakukan oleh buruh secara kolektif tanpa terstruktur dan terorganisasi sebagai bentuk resistensi sehari-hari. Bentuk-bentuk resistensi ter- sebut adalah membuang pupuk atau obat

Universitas Sumatera Utara 236

tanaman, merusak fasilitas, memperlam- bat kerja dan lain sebagainya.

Universitas Sumatera Utara 237

8.3. Saran

Temuan penelitian buruh migran Nias di perusahaan perkebunan

PT. Riau Andalan Pulp and Paper Pelalawan yang berimplikasi pada eksploitasi tenaga buruh menjadi tugas penting dalam pemangku kepentingan dan sekaligus buruh itu sendiri. Proses Tuntutan hak-hak buruh masih jauh dari apa yang diharapkan oleh semua orang, termasuk pada buruh. Maka dalam penelitian ini, peneliti menawarkan beberapa saran berdasarkan data penelitian:

Pertama, kondisi kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, dan informasi saat pendaftaran di salah satu perkebunan menjadi hal penting.

Maka langkah ke depan buruh yang didatangkan dari daerah tertentu setidaknya berpendidikan SMA. Ini sekaligus menjadi tugas pemerintah bagiamana langkah-langkah ke depan untuk meningkatkan tingkat pendidikan daerah-daerah tertinggal. Selain itu, buruh hendak mendaftar harus mengetahui lebih jelas tentang mekanisme sistem kerja, pengupahan, dan hak-hak yang dimiliki oleh buruh secara tertulis.

Kedua, pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi harus memberikan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Maka langkah yang paling penting adalah dinas tenaga kerja mewajibkan kepada perusahaan untuk memberikan sosialisasi tentang hak-hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh buruh, terutama buruh yang baru masuk, sehingga buruh mengetahui apa saja hak dan kewajibannya, dan jika ada penyelewengan bagaimana prosedur pengaduan. Penting juga dalam hal ini

Universitas Sumatera Utara 238

pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu meninjau lokasi kerja para buruh dengan melibatkan pers, terutama agen-agen tenaga kerja yang dianggap liar, mislanya sub kontraktor, kepala rombongan, dan formen.

Ketiga, buruh harus bisa membuat perlawanan terhadap perusahaan atau agen-agen yang mempunyai peran penting dalam mengeksploitasi tenaga buruh. Bentuk perlawanan yang paling cocok adalah resistensi sehari-hari. Peneliti menyadari bahwa bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari masih belum kuat dan belum diketahui oleh sebagian buruh. Maka hendaknya pihak-pihak yang berkepentingan atas nama perjuangan buruh harus melakukan advokasi terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak pelaku eksploitasi.

gggg

Universitas Sumatera Utara 239

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan/Literatur: [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan 2014. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan 2014. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Sumatera Utara dalam Angka 2015. Medan: BPS. Creswell, J.W., 2014. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publication. Denzin, K. Norman dan Yvonnas S. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Ed Ke-3. Balai Pustaka, Jakarta. Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Terjemahan Adi Loka Sujono. Pasuruan: Pedati. Habibi, Muhtar. 2009. Gemuruh Buruh di Tengah Pusaran Neoliberalisme: Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca Orde Baru. Yogyakarta: FISIP UGM-Gava Media. Hia, David K. 2010. Eksodus Masyarakat Nias, Positifkah? Dalam Pustaka Nias dalam Media Warisan: Kumpulan Artikel dan Opini. Nata‟alui Duha (ed). Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. Ingleson, John. 2015. Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia Pada 1920an-1930an. Terjemahan Andi Achdian. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Kartodirdjo, Sartono dan Suryo Djoko. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Universitas Sumatera Utara 240

Lubis A. Yusuf. 2014. Posmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Martin, Roderick. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT RajaGrasindo Persada. Neuman, W. Lawrence. 2013. Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitaif. Terjemahan Edina T. Sofia. Jakarta: PT. Indeks. Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta: Sinar Harapan. Priyono-Herry, B. 2014. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Rencana Strategi Pastoral (Renstra) 2010-2014. Gereja Mandiri Solider dan Membebaskan. Sibolga: Sinode I Keukuspan Sibolga. Ritzer, G., dan Goodman, D.J., 2008. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir. Terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Diterjemahkan Budi Kusworo, Hira Jhamtani, Mochtar Pabotingi, dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott, James C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New York: Yale University Press. Situmorang, Manginar, Sibarani, Daniel Dolok, dan Lingga, Juan. 2008. Buruh Harian Lepas: Studi kajian Hubungan Kerja, Upah dan Kesejahteraan di Perkebunan Sumatera Utara. Medan: Kelompok Pelita Sejahtera (KPS). Suseno, Frans Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed methods). Bandung: ALFABETA. Suyanto, Bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya: Fakta Kemiskinan Masyarakat Pesisir,

Universitas Sumatera Utara 241

Kepulauan, Perkotaan dan Dampak dari Pembangunan di Indonesia. Malang: Intrans Publis hing. Sciortino, Rosalia. 2007. Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: UGM Press. Tjandraningsih, I., Herawati R., dan Suhadmadi. 2010. Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia. Jakarta: AKATIGA-FSPM- FES. Turner, Bryan S. 2012. Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Weber, Max. 2006. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zubaedi, 2013. Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik. Jakarta: Kencana.

Tesis dan Laporan Penelitian Purwanto, S.A., Haryono, Rokhdian, D., Handiko, K.B., Sugiharti, R., dan Erlangga, E., 2011. Asesmen Pendidikan dan Kajian Komuniti di Riau Program Pelita Pendidikan Yayasan Tanoto [Laporan Akhir]. Depok: Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia. Simanihuruk, Muba. 1999. Adaptasi Migran dalam Konteks Perkembangan Kota di Indonesia: Studi Migran Nias yang bekerja di sektor informal di Kota Medan [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana. Susanto, Harris. 2010. Matinya Sang Buruh: Refleksi Pemikiran Filosofis atas Pemikiran Jean Baudrillard [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana. Yasmis. 2007. Kuli Kontrak di Perkebunan tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia, Program Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara 242

Jurnal dan Laporan Penelitian: Amin, Muryanto. 2011. Fragmentasi Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Orde Baru. Politeia, 3 (1): 47-57. Boswell, Christine. 2008. Combining Economics and Sociology in Migration Theory. Journal of Ethnic and Migration Studies, 34 (4): 549-566. Gaventa, John. 2006. Finding the Space for Change: A Power Analysis. IDS Bulletin. 37 (6):23-33. Mudhoffir, A. Mughis. 2013. Teori Kekuasaan Michael Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Sosiologi Masyarakat, 18(1):75- 100. Nahsir, Haedar. 2012. Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens. Sosiologi Reflektif 7(1): 1-9. Tjandra, Surya. 2003. UU Ketenagakerjaan dalam konteks gejala Informalisasi Hubungan Kerja dalam UUK: Legalisasi “Perbudakan Modern”? Jurnal Analisis Sosial, 8 (3):21-34. Sale, Joanna E.M., Lohfeld, L.H., and Brazil, Kevin. 2002. Revisit ing the Qualitative-Qualitative Debate: Implication for Mixed-Methods Research. Quality & Quantity, 36:43-53. Sewell, William H. 1992. A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation. American Jurnal of Sociology, 98 (1):1-29. Sari, T.D., Arsal, T., dan Kismini, E., 2015. Keterlekektan Buruh terhadap Industri Sumpit (Kasus di Desa Rowolaku Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan). Solidarity 4(2):131-144. Sawit Watch. 2013. Sistem Kerja dan Pola Perekrutan buruh Perkebunan. Bogor: Tanda Sawit, 2 Scott, James C. 1990. Everyday Forms of Resistance. Copenhagen, 4 (89):33-62. Suhardin, Yohanes. 2009. Eksistensi Outsourcing dan kerja kontrak dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Hukum Pro Justitia, 27(2):193- 202.

Universitas Sumatera Utara 243

Suwirta, Andi. 2002. Buruh Perkebunan di Sumatera Timur: Sebuah Tinjauan Sejarah. Pendidikan Sejarah 3(5): 19-36. Small, M. Luis. 2011. How to Conduct a Mixed Methods Study: Recent Trends in a Rapidly Growing Literatur. Annual Riview Sociology, 37:57-86. Silaban, Rekson. 2015. Buruh dan Korporasi Global. Kompas (Opini), Kamis, 30 April (1): 6. Veneklasen, Lisa and Miller, Valeria. 2002. Power and Empowermed, PLA Note,43:39-41. Yudhanto. 2011. Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di Tengah Rendahnya Imbal Jasa. Jurnal Fisip UMRAH, 1(1):75-91.

Universitas Sumatera Utara 244

Lampiran 1.1. Matriks Sasaran Arah Penelitian Eksploitasi dan Resistensi Buruh Migran Nias Rumusan Alat yang digunakan Data yang diharapkan Asumsi Masalah Observasi Wawancara Kuesioner 1. Apa saja  Informasi  Mengamati  Wawancara  Item  Peneliti dapat mendapatkan kondisi- kurang lengkap sistem kerja dengan buruh pertanyaan deskripsi factor pendorong kondisi yang terhadap  Lingkungan untuk mengali dalam dan penarik bekerja di PT. mendukung perusahaan. kerja informasi faktor kuesioner RAPP hubungan  Buruh tidak  Kondisi pendorong dan memuat  Mencermati mekanisme kekuasaan mempunyai Kesehatan. penarik bekerja di indikator: kerja, sistem pengupahan, antara struktur keahlian,  kondisi camp PT. RAPP Pendidikan jaminan sosial. dan agen kemampuan  Kebutuhan  Sistem rekrutmen dan informasi.  Data kuesioner, peneliti dalam praktek berbahasa makan . buruh  Pendidikan: akan memperoleh data eksploitasi Indonesia dan  Keluarga  Biaya yang Keahlian, tentang hubungan kerja buruh migran membaca. (pendidikan dibutuhkan Bahasa, dengan tingkat pendidikan. Nias?  Jaminan sosial anak-anak)  Hak dan membaca  Informasi awal tentang  Kondisi tempat  Sistem kewajiban  Informasi: perusahaan dalam tinggal. pengupahan  Sistem pengajian, Sistem kerja, kaitannya dengan sistem  Jaminan sosial. upah, hak dan pengupahan kewajiban  Hak dan kewajiban sebagai buruh dalam perusahaan.

Universitas Sumatera Utara 245

2. Bagaimana  Peneliti  Mengamati  Wawancara  Point yang  Peneliti dapat menemukan Struktur berasumsi ada hubungan dengan staf paling penting gambaran secara lengkap hubungan transaksi kontraktor perusahaan dalam bagaimana system kekuasaan buruh. dengan (humas), kuesioner rekrutmen, berapa fee yang perusahaan,  Struktur perusahaan. wawancara dalam aspek diperoleh, bagaimana kontaktor, dan menciptakan  Mengamati dengan beberapa ini ialah aspek hubungan perusahaan, kepala eksploitasi oleh hubungan kontraktor dan ekonomi dan kontraktor dan kepala rombongan aktor-aktor kontraktor kepala sosial buruh. rombongan. terhadap perusahaan. dengan kepala rombongan.  Apek  Peneliti diharapkan dapat buruh migran  Buruh rombongan.  Menggali Ekonomi: mendapatkan gambaran Nias? diperlakukan  Mengamati informasi menggali tentang mekanisme sebagai sapi hubungan mekanisme informasi penggajian, fasilitas yang perah. kontraktor rekrutmen tentang gaji, disediakan oleh perusahaan.  Buruh tidak dengan buruh. pekerja. upah, dan  Akhirnya, peneliti dapat berdaya.  Mengamati  Menggali biaya kerja. menemukan akar dari  Buruh sudah sistem informasi sistem  Aspek sosial: eksploitasi itu dari sudut tergantung pengupahan. kerja. Menggali pandang buruh dan kepada  Mengamati  Menggali informasi perusahaan, kontraktor, dan kontraktor dan sikap informasi tentang tentang kepala rombongan dalam kepala ketergantungan buruh. jaminan sebuah strukutur yang rombongan. .  Menggali sistem kesehatan, dibangun oleh agen. pengupahan. pendidikan dan lain sebagainya.

Universitas Sumatera Utara 246

3. Bagaimana  Peneliti  Peneliti akan  Peneliti akan  Item Kuosioner  Peneliti dapat memperoleh resistensi berasumsi mengamati menggali dalam poit ini data tentang resistensi yang sehari-hari bahwa buruh bentuk-bentuk informasi bentuk- yakni dilakukan buruh terhadap buruh dalam melakukan perlawanan bentuk “reistensi” perusahaan dalam kapasitas menghadapi perlawanan yang perlawanan baik sehari-hari: yang berbeda-beda. eksploitasi di sehari-hari dilakukan oleh kontraktor, misalnya PT RAPP dalam bentuk buruh dalam perusahaan, berbohong, Pelalawan sabotase, aktivitas yang kepala melarikan diri, Riau? melarikan diri, sehari-hari. rombongan, dan sabotase, berpura-pura buruh. berpura-pura tidak berdaya, dll. berbohong,

Universitas Sumatera Utara 247

Lampiran 1.2.

PEDOMAN WAWANCARA Eksploitasi dan Resistensi Buruh Migran Nias dalam Hubungan Kekuasaan Struktur dan Agen di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

1. Identitas Informan Nama : Umur : Jenis Kelamin : Asal daerah : Lokasi kerja : Pendidikan : Lama kerja : Status Kerja : 2. Daftar pertanyaan untuk Staf Perkebunan PT. RAPP Pelalawan Riau Sebagai berikut: 2.1. Bagaimana menurut Anda Buruh Migran Nias yang ada di perusahaan ini? 2.2. Bagaimana Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh buruh, kontraktor dan kepala rombongan di perusahaan ini? 2.3. Bagaimana jika buruh, kontraktor dan kepala rombongan menyimpang dari aturan yang ditetapkan dalam perusahaan ini? Sanksi dalam bentuk apa? 2.4. Bagaimana syarat seorang buruh outsourcing atau buruh kontrak supaya bisa diangkat menjadi buruh tetap? 2.5. Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan kepada buruh migran Nias? Misalnya BPJS. 2.6. Berapa upah rata-rata setiap bulan untuk buruh tetap, buruh kontrak, dan outsourcing? 2.7. Apakah ada pemotongan gaji yang dilakukan oleh perusahaan kepada buruh? Berapa?

Universitas Sumatera Utara 248

2.8. Apakah ada buruh migran Nias yang pernah keluar dari aturan perusahaan? Dalam bentuk apa? 2.9. Bagaimana menurut saudara kehadian kontraktor di perusahaan ini semenjak diberlakukan undang-Undang Ketenagaankerja tahun 2003? 2.10. Bagaimana hubungan perusahaan dengan kontraktor dan kepala rombongan? 2.11. Apa saja perjanjian dengan kontraktor yang ada di perusahaan ini? 2.12. Apakah perusahaan penyalur kerja (kontraktor) mendapatkan gaji atau tunjangan dari perusahaan? 3. Daftar Pertanyaan untuk Kontraktor PT. RAPP Pelalawan Riau Sebagai berikut: 3.1. Bagaimana kerjasama kontraktor dengan perusahaan? Apa saja hak dan kewajiban perusahaan? 3.2. Bagaimana cara anda memperoleh pekerja dari Nias? 3.3. Bagaimana perjanjian ada dengan kepala rombongan mengenai buruh? 3.4. Berapa fee yang anda berikan kepada kepala rombongan sebagai bentuk balas jasa karena mendatangkan buruh dari Nias? 3.5. Bagaimana sistem pembayaran gaji buruh? Apakah melalui kepala rombongan? 3.6. Apakah ada pemotongan gaji? Dan berapa? 3.7. Bagaimana hubungan anda dengan buruh migran Nias yang bekerja di PT. RAPP? 3.8. Apa saja fasilitas yang disediakan oleh kontraktor (CV) kepada kepala rombongan dan buruh migran Nias? 3.9. Bagaimana pendapat anda tentang buruh migran dari Nias yang ada dibawah naungan CV saudara? 3.10. Apakah ada buruh yang pernah keluar dari aturan yang anda tetapkan? Misalnya dalam bentuk apa? 3.11. Apa sanksi yang anda berikan jika salah satu buruh jika melanggar aturan yang ditetapkan? 3.12. Apakah kontraktor (CV) menyediakan Jaminan Sosial (dana sosial) untuk buruh? Dalam bentuk apa saja?

Universitas Sumatera Utara 249

3.13. Bagaimana syarat-syarat supaya buruh mendapatkan jaminan sosial atau bantuan sosial lainnya? 4. Daftar pertanyaan untuk “Kepala Rombongan” PT. RAPP Pelalawan Riau sebagai berikut: 4.1. Berapa lama anda menjadi kepala rombogan? 4.2. Bagaimana cara anda merekrut buruh migran Nias untuk bisa bekerja di PT. RAPP Pelalawan? 4.3. Siapa yang menanggung biaya saudara dan juga biaya buruh dari Nias untuk bisa sampai ke PT. RAPP? Dan berapa nominalnya? 4.4. Apa saja yang ditanggung oleh perusahaan/kontraktor setiap buruh migran Nias yang bekerja di PT. RAPP? 4.5. Bagaimana perjanjian anda dengan kontraktor jika ada buruh yang anda datangkan dari Nias untuk bekerja di PT. RAPP? 4.6. Berapa fee yang diberikan oleh kontraktor/perusahaan kepada saudara sebagai bentuk balas jasa karena mendatangkan pekerja? 4.7. Bagaimana perjanjian anda dengan buruh migran Nias yang anda datangkan untuk bekerja di PT. RAPP? 4.8. Apakah ada buruh yang pernah keluar dari prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan? Dalam bentuk apa dan bagaimana menyelesaikannya? 4.9. Bagaimana dengan pembayaran gaji yang dilakukan oleh kontraktor, apakah pernah terlambat? 4.10. Bagaimana hubungan anda dengan buruh? Apakah anda pernah membantu buruh dalam kesulita? Dalam bentuk apa? 4.11. Berapa kira-kira penghasilan anda setiap bulan? 4.12. Apakah anda puas dengan upah yang diberikan oleh perusahaan atau kontraktor? 5. Daftar Pertanyaan untuk Buruh Migran Nias di PT. RAPP Pelalawan Riau sebagai berikut: 5.1. Apa yang mendorong anda memutuskan merantau dan bekerja di PT RAPP Pelalawan Riau? 5.2. Apa faktor penarik sehingga Anda memilih bekerja di PT. RAPP Pelalawan Riau?

Universitas Sumatera Utara 250

5.3. Apakah saudara ikut membawa keluarga (anak, isteri dan saudara lain) di PT ini? 5.4. Siapa yang membiayai seluruh proses perjalanan anda sehingga sampai di PT RAPP Pelalawan Riau? 5.5. Apa saja yang ditanggung oleh (perusahaan/kontraktor/kepala rombongan) sampai ke PT RAPP Pelalawan? 5.6. Kira-kira berapa nominal dalam rupiah yang ditanggung oleh perusahaan/kontraktor/kepala rombongan? 5.7. Bagaimana cara anda melunasi uang itu kepada perusahaan/kontraktor/ kepala rombongan? 5.8. Bagaimana tanggapan saudara/i setelah sampai di PT RAPP Pelalawan Riau? 5.9. Apakah sistem pengajian selama ini sesuai dengan apa yang anda harapkan? 5.10. Apakah saudara mendapatkan jaminan sosial yang disediakan perusahaan? Misalnya BPJS dan lain sebagainya? 5.11. Mengapa Anda masih bertahan bekerja di PT RAPP Riau sampai sekarang? 5.12. Bagaimana Strategi anda bertahan hidup di perusahaan ini? 5.13. Bagaimana hubungan anda dengan perusahaan di PT RAPP Pelalawan Riau? 5.14. Siapa saja yang anda kenal diantara pemimpin di perusahaan PT RAPP Pelalawan Riau? 5.15. Apakah Anda sering dikunjungi dan apa saja yang disampaikan oleh staf pemimpin perusahaan? 5.16. Bagaimana upah yang diberikan oleh perusahaan setimpal dengan pengeluaran yang anda keluarkan setiap bulan? 5.17. Apakah anda cukup diperhatikan oleh perusahaan? Dan dalam bentuk apa? 5.18. Bagaimana hubungan anda dengan kontraktor di CV tempat anda bekerja? 5.19. Apakah kontraktor sering membantu saudara? Dan dalam bentuk apa?

Universitas Sumatera Utara 251

5.20. Apakah dalam pengajian setiap bulan pernah terlambat? Dan berapa lama? 5.21. Pernah anda tanyakan kepada kontraktor mengapa pengajian terlambat? Dan apa alasan pihak kontraktor? 5.22. Bagaimana dengan kehadiran kepala rombongan cukup membantu saudara dalam mendapatkan pekerjaan? 5.23. Apakah setiap hari anda bekerja? Dari jam berapa sampai jam berapa? 5.24. Pernahkan anda keluar dari prosedur perusahaan yang ditetapkan? Misalnya melarikan diri, menipu, melawan kontraktor dan lain sebagainya? 5.25. Apakah pernah ada kasus pelarian di perusahaan ini? Coba ceritakan bagaimana kisahnya? 5.26. Sampai kapan anda bertahan di perusahaan ini?

Universitas Sumatera Utara 252

Lampiran 1.3 LEMBAR KUESIONER

Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar berdasarkan pengalaman anda di PT. RAPP Pelalawan Riau dengan melingkari salah satu pilihan (a,b,c,d, dan lain- lain) dibawah ini. Nama : 1. Posisi Pekerjaan : 2. Jenis kelamin : 3. Pendidikan : 4. Penghasilan : 5. Lama Bekerja : 6. Mulai Migrasi :

7. Apa hal yang paling mendorong Anda memutuskan untuk merantau di PT. RAPP Pelalawan Riau? a. Lapangan pekerjaan yang terbatas di daerah asal b. Melunasi Utang c. Biaya menyekolahkan anak d. Mencari pengalaman e. Lain-lain 8. Siapa yang mengajak saudara pertama kali untuk bekerja di PT. RAPP Pelalawan Riau? a. Teman atau Sahabat b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Kemauan sendiri e. Lain-lain 9. Apa yang sering anda lakukan ketika upah tidak sesuai dengan harapkan saudara/i? a. Melarikan diri b. Membakar hutan c. Membuang pupuk d. Berbohong

Universitas Sumatera Utara 253

e. Lain-lain 10. Apa yang sering anda lakukan ketika jaminan sosial (kesehatan dan tunjangan hari raya) tidak sesuai dengan harapkan saudara/i? a. Melarikan diri b. Membakar hutan c. Membuang pupuk d. Berbohong e. Lain-lain 11. Apabila fasilitas pendidikan anak tidak sesuai dengan harapan saudara, Apa yang sering anda lakukan? a. Melarikan diri b. Membakar hutan c. Membuang pupuk d. Berbohong e. Lain-lain 12. Apa yang sering anda lakukan ketika fasilitas tempat tinggal tidak sesuai dengan harapkan saudara/i? a. Melarikan diri b. Membakar hutan c. Membuang pupuk d. Berbohong e. Lain-lain 13. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran gaji, kepada siapakah anda melapor? a. Perusahaan b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Teman sejawat e. Lain-lain 14. Siapa yang menanggung biaya perjalanan anda dari daerah asal sampai ke hingga ke PT. RAPP? a. Perusahaan

Universitas Sumatera Utara 254

b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Diri sendiri e. Lain-lain 15. Apabila anda mengalami kesulitan uang untuk kebutuhan pokok sehari-hari kepada siapa anda meminta bantu? a. Perusahaan b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Teman Sejawat e. Lain-lain 16. Siapa pihak yang bisa melakukan pemotongan upah setiap kali penggajian? a. Perusahaan b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Teman anda e. Lain-lain 17. Berapa penghasilan rata-rata yang anda peroleh setiap bulan? a. Rp. < 1.300.000. b. Rp. 1.300.000-1.500.000 c. Rp. 1.500.000-1.700.000 d. Rp. 1700-000.1.190.000 e. Rp. > 1. 900.000 18. Siapa yang membayar BPJS kesehatan dan ketenaga kerja kepada saudara? a. Perusahaan b. Kontraktor c. Kepala Rombongan d. Diri sendiri e. Lain-lain

Universitas Sumatera Utara 255

Berikanlah jawaban pertanyaan berikut sesuai dengan pendapat Anda, dengan memberikan tanda ceklis ( ) pada kolom yang sudah tersedia. No Pertanyaan Ya Tidak

19 Apakah waktu berpindah disediakan fasilitas transportasi yang layak? 20 Apakah waktu Anda berpindah disediakan fasilitas kesehatan? 21 Apakah anda pada waktu pendaftaran diinformasikan tentang tugas dan tanggungjawab? 22 Apakah anda waktu pendaftaran diinformasikan tentang upah dan tunjangan hari raya? 23 Apakah anda pada awal pendaftaran diinformasikan tentang jam kerja? 24 Apakah anda waktu pendaftaran diinformasikan tentang hak cuti? 25 Apakah pada awal pendaftaran diinformasikan tentang perlengkapan fasilitas rumah? 26 Apakah pada awal pendaftaran diinformasikan tentang K3 (Kesehatan, Keselamatan sebelum kerja)? 27 Apakah anda puas dengan fasilitas transportasi yang disediakan oleh Kontraktor atau PT. RAPP? 28 Apakah Anda puas dengan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh PT? 29 Apakah anda memperoleh hak untuk cuti libur umum? 30 Apakah anda memperoleh hak cuti sakit? 31 Apakah anda memperoleh hak cuti melahirkan atau paternitas? 32 Apakah anda memperoleh hak cuti panjang dan cuti sosial? 33 Apakah ada pekerja anak di PT. Anda bekerja? 34 Apakah anda mengikutkan anak untuk bantu-bantu bekerja? 35 Apakah perusahaan menyediakan perlindungan terhadap buruh perempuan? 36 Apakah anda memperoleh tunjangan hari raya? 37 Apakah anda ikut menjadi anggota serikat buruh pekerja? Pilihan: Jika Ya Sebutkan Serikat Apa?...... Jika Tidak, mengapa?......

------Terimakasih------

Universitas Sumatera Utara 256

Lampiran 1.4. Surat Pernyataan Jaminan Kerahasiaan

Universitas Sumatera Utara 257

Universitas Sumatera Utara 258

Lampiran 1.5. Perjanjian Borongan Plantation

Universitas Sumatera Utara 259

Universitas Sumatera Utara 260

Universitas Sumatera Utara 261

Universitas Sumatera Utara 262

Universitas Sumatera Utara 263

Universitas Sumatera Utara 264

Universitas Sumatera Utara 265

Lampiran 1.6. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Tenaga dan Trasmigrasi Kabupaten Pelalawan

Universitas Sumatera Utara 266

Lampiran 1.7. Surat Permohonan Ijin Penelitian Versi Permintaan Perusahaan PT. RAPP

Universitas Sumatera Utara 267

Lampiran 1.8.

Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pelalawan-Ria

Universitas Sumatera Utara