SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei 2015

ITA SYAMTASIYAH AHYAT

Perkembangan Islam di Kesultanan

RESUME: Kesultanan Banjarmasin merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu sebelumnya, yakni Negara Dipa dan Negara Daha. Bermula dari perkampungan orang-orang Melayu, kemudian menjadi pelabuhan yang dilalui oleh para pedagang Muslim dalam pelayarannya untuk mendapatkan rempah-rempah dan lainnya, kesultanan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan penting di Selatan. Kesultanan Banjarmasin berdiri pada awal abad ke-16 M dengan nama ibukota yang sama dan terletak di muara Sungai Barito. Banjarmasin, selain sebagai kota pelabuhan, juga merupakan ibu kota kerajaan, keraton, dan kompleks pemukiman, sehingga pantaslah Banjarmasin disebut suatu “kota”. Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintahan Pangeran Samudra, yang bergelar “Sultan Suryanullah”, misalnya, merupakan penguasa Islam pertama di Kalimantan Selatan, yang terjadi pada masa awal abad ke-16, dan di-Islam-kan oleh Penghulu dari kesultanan Demak di Jawa Tengah. Kesultanan Banjarmasin mempunyai daerah kekuasaan, yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Negara Daha. Daerah kekuasaan kesultanan Banjarmasin selanjutnya, yakni pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata, sebagaimana diceritakan oleh “Hikayat Banjar” dan “Hikayat Lembu Mangkurat”, adalah negara/kota/ daerah seperti , Berau, Karasikan, Lawai, dan Sambas. Perkembangan kesultanan ini bersamaan dengan penyebaran Islam, sehingga Islam sangat mewarnai corak kesultanan dalam hal budaya, sosial, politik, dan juga ekonomi. Islam, dengan kata lain, telah melahirkan suatu peradaban yang khas di kesultanan Banjarnasin. KATA KUNCI: Kesultanan Banjarmasin, pedagang Muslim, kesultanan Demak, penyebaran Islam, dan peradaban Islam di Kalimantan Selatan.

ABSTRACT: “The Development of Islam in Banjarmasin Sultanate”. The sultanate of Banjarmasin is a continuation of the previous Hindu kingdoms, the Dipa State and Daha State. It began as the settlements of the Malays, then a port for Muslim traders in getting spices and other commodities, the sultanate developed into an important kingdom in . Banjarmasin sultanate was established at the beginning of the 16th century with its capital of the same name and was located at the mouth of the Barito River. Banjarmasin, beside as a port city, is also a capital of the kingdom, the palace, and a residential complex, so it is worth Banjarmasin called a “city”. Sultanate of Banjarmasin with the reign of Prince Samudra, with the title “Sultan Suryanullah”, for example, is the first Islamic rulers in South Kalimantan, which occurred in the early 16th century, and being Islamized by the “Penghulu” (Muslim leader) from in Central . The Banjarmasin sultanate has a territory, which was a continuation of the kingdom of Daha State. The next Banjarmasin sultanate territory, namely during the reign of Prince Suryanata, as told by the “Tale of Banjar” and “Tale of Lambung Mangkurat”, is a state / city / country like Kutai, Berau, Karasikan, Lawai, and Sambas. The development of the sultanate along with the spread of Islam in the area, so that it has made Islam highly influenced the cultural, social, political, and economic lives of the sultanate. Islam, in other words, has brought about a typical civilization of Banjarmasin sultanate. KEY WORD: Banjarmasin sultanate, Muslim traders, Demak sultanate, spreading of Islam, and Islamic civilization in South Kalimantan.

About the Author: Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat adalah Dosen Senior di Departemen Sejarah FIPB UI (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas ), Kampus UI Depok, Jawa Barat, Indonesia. Penulis dapat dihubungi dengan alamat emel: [email protected] How to cite this article? Syamtasiyah Ahyat, Ita. (2015). “Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin” in SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, Vol.8(1) Mei, pp.11-20. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, ISSN 1979-0112. Available online also at: http://sosiohumanika-jpssk.com/02/ Chronicle of the article: Accepted (January 29, 2014); Revised (May 30, 2014); and Published (May 30, 2015).

© 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia 11 ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com ITA SYAMTASIYAH AHYAT, Perkembangan Islam

PENDAHULUAN adalah negara/kota/daerah Kutai, Berau, Kesultanan Banjarmasin berdiri pada Karasikan, Lawai, dan Sambas (dalam awal abad ke-16 M (Masehi), dengan ibukota Kiaibondan, 1953:14). dengan nama yang sama serta terletak di Sementara itu, J.J. Ras (1968) muara Sungai Barito. Menurut Hikayat menceritakan bahwa daerah-daerah yang Banjar, Banjarmasin merupakan ibukota mengirim upeti tiap-tiap musim angin barat kerajaan ketiga, setelah yang pertama adalah adalah dari Sabangau, Mandawai, Sampit, Tanjungpura sebagai ibukota kerajaan Pambuang, Kotawaringin, Sukadana, Lawai, Negara Dipa, dan yang kedua adalah Muara dan Sambas; dan kembali pada musim Bahan atau Marabahan sebagai ibukota angin timur. Sedangkan daerah-daerah dari kerajaan Negara Daha (dalam Saleh, yang mengirim upeti pada musin angin 1958:24). timur adalah dari Takisung, Tambangan Letak Banjarmasin yang sangat strategis Laut, Kintap, Hasam-hasam, Laut Pulau, di muara Sungai Barito, sungai yang besar Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan; di Kalimantan Selatan, memungkinkan dan kembali pada musim angin barat (Ras, kapal-kapal besar dari pantai dapat berlabuh 1968:440). di pelabuhan Banjarmasin. Perpindahan Banjarmasin, selain sebagai kota bandar dari Muara Bahan ke Banjarmasin pelabuhan, juga merupakan kota kerajaan sangat menguntungkan perdagangan pada (ibukota kerajaan), kraton, dan kompleks waktu itu, sekitar abad ke-16. Akibatnya, yang terdapat di Banjarmasin, sehingga bandar (pelabuhan) Banjarmasin ramai pantaslah jika Banjarmasin disebut suatu dikunjungi oleh kapal-kapal para pedagang. kota (Tjandrasasmita, 2000:45). Kompleks Walaupun jarak antara Muara Bahan dengan istana disebut sebagai dalem sirap, yang Banjarmasin hanya lebih-kurang 50 km, mempunyai bangunan inti dan merupakan tetapi perjalanan ke Muara Bahan sangat tempat tinggal Sultan dan keluarganya, yang sulit ditempuh, karena banyak lika-liku disebut bubungan tinggi. Di depan bubungan sungai. Hal tersebut terjadi disebabkan tinggi terletak balai seba, tempat pertemuan kerajaan Negara Daha menitikberatkan antara Sultan dengan para pembantunya. kegiatan ekonominya dari hasil pertanian; Di bagian depan kompleks istana terdapat sedangkan Kesultanan Banjarmasin, gerbang yang menjadi pintu masuk istana, kegiatan ekonominya pada perdagangan disebut gerbang sungkul awan batulis. (Ras, 1968:52). Pintu gerbang ini dihiasi dengan berbagai Kesultanan Banjarmasin, dengan ukiran yang mempunyai lambang dan pemerintahan Pangeran Samudra yang arti sendiri. Di antaranya adalah kembang bergelar Sultan1 Suryanullah, kata melor melayap dan usir-usir, yang masing- “Suryanullah” adalah gelar yang diberikan masing melambangkan sifat kesucian Sultan oleh seorang Arab (Ras, 1968:438; dan sebagai wakil Allah dan pengharapan Kartodirdjo, Poesponegoro & Notosusanto agar Allah selalu memberikan rejeki dan eds., 1977, III:271), merupakan penguasa keberhasilan bagi Sultan dan penduduknya Islam pertama di Kalimantan Selatan, dalam melaksanakan perdagangan.2 Hal yang terjadi pada masa awal abad ke-16, ini menunjukkan adanya perpaduan unsur yang di-Islam-kan oleh penghulu dari religius dan ekonomis, yang mewarnai Demak. Kesultanan ini mempunyai daerah sistem politik di kesultanan Banjarmasin. kekuasaan, yang merupakan kelanjutan dari Menurut J.J. Ras (1968), masuknya kerajaan Negara Daha. Daerah kekuasaan Islam di Kalimantan Selatan bersamaan kesultanan Banjarmasin pada masa dengan berdirinya kesultanan Banjarmasin, Pangeran Suryanata, yang diceritakan oleh yang didirikan oleh Raden Samudra Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu Mangkurat, dan didukung oleh Patih Masih, Balit,

1Kata sultan berasal dari akar kata saltana, yang artinya 2Di depan istana terdapat mesjid, tempat dimana Sultan dan kekuasaan (reign, mandate), menjadi penguasa, dan pemimpin pejabat kerajaan mengadakan sembahyang setiap hari Jum’at. (ruler). Lihat, selanjutnya, Amany Lubis (2005:68). Selanjutnya, lihat Amir Hasan Kiaibondan (1953:138-140).

12 © 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei 2015

Muhur, Patih Kuin, dan Patih Balitung. Di Sedangkan J.J. Ras (1968) menegaskan kesultanan Banjarmasin, setelah Pangeran bahwa Banjarmasin sebagai kraton ke-3, Samudra masuk Islam, maka agama Islam yang didirikan dengan batuan Demak dari menyebar ke wilayah kekuasaan kesultanan Jawa, terjadi sebelum abad ke-16. (Ras, 1968:442). Pendapat Dr. Eisenberger yang Bahkan ketika Pangeran Samudra mengatakan bahwa Banjarmasin didirikan mendapat kemenangan atas Pangeran pada tahun 1595, hal ini tidak dapat Tumenggung, sesuai janjinya dengan diterima, karena catatan sejarah tidak Demak, ia dan seluruh keluarga kraton dan mendukungnya (dalam Saleh, 1958). penduduk Banjarmasin masuk Islam, yang Apabila kerajaan Islam Demak di Jawa, terjadi pada tahun 1526 M. Pada waktu sebagai kerajaan yang membantu berdirinya itu yang menjadi Sultan Demak adalah kerajaan Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Pangeran Trenggana, sultan ketiga Demak, maka tahun 1595 tidak mungkin terjadi, yang berkuasa pada tahun 1521-1546. sebab pada tahun tersebut kerajaan Demak Ketika Pangeran Samudra (bergelar Sultan sudah tidak ada lagi. Suriansyah) naik tahta, beberapa daerah Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis sekitar sudah mengakui kekuasaannya, pada tahun 1511, maka munculah kerajaan- yaitu Sambas, Batanglawai, Sukadana, kerajaan Islam, antara lain Aceh di Sumatera Kotawaringin, Sampit, Mendawi, dan bagian utara, Demak di Jawa Tengah, dan Sambangan. Ternate di kepulauan Maluku, sebagai lawan Sultan Suriansyah kemudian digantikan baru Portugis. Kerajaan Demak memahami oleh putranya, Sultan Rahmatullah. tentang bahaya datangnya Portugis, karena Sultan-sultan berikutnya adalah Sultan itu pada tahun 1524 dikirim pasukan ke Hidayatullah (putera Sultan Rahmatullah) Jawa Barat, di bawah pimpinan Faletehan, dan Marhum Panembahan yang dikenal dan berhasil menaklukkan Banten Girang Sultan Musta’inullah. Pada masa Marhum dan Selat Sunda juga dikuasai. Pada tahun Panembahan, ibukota kerajaan dipindahkan 1527, Faletehan merebut Sunda Kelapa serta beberapa kali. Pertama ke Amuntai, memukul mundur Portugis, dan timbullah kemudian ke Tambangan dan Batang kenyataan bahwa Portugis tidak berani Banyu, dan akhirnya ke Amuntai kembali. berlayar melalui jalur Laut Jawa. Tahun 1527 Perpindahan ibukota kesultanan itu didirikan kota Jayakarta oleh Faletehan. terjadi akibat datangnya VOC (Vereenigde Baru ketika Sultan Trenggono tewas pada Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan tahun 1546, ketika mengepung Pasuruan di Dagang Hindia Belanda) ke Banjarmasin Jawa Timur, Portugis kembali menggunakan dan menimbulkan huru-hara, karena ingin jalan lama ke Maluku dan berkedudukan di memonopoli perdagangan lada (Yatim, Gresik (cf Vlekke, 1961:88; dan Ideham et al., 2001:220-221). 2003:67-68). Menurut analisa beberapa penulis, Apabila tahun 1521, pasukan Demak antara lain penulis Balanda, yaitu menyerang (dan Majapahit runtuh J.C. Noorlander (1935) dan sejarawan pada tahun 1521), serta tahun 1524 pasukan Banjarmasin, Idwar Saleh (1958), yang Demak menyerang dan menaklukan Sunda membantu Pangeran Samudra adalah Kelapa, maka pengiriman armada bantuan Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak di pasukan Demak ke Banjarmasin harus Jawa, yang memerintah dari tahun 1521- terjadi pada tahun 1526 (Saleh, 1958:25-26). 1546. Tentang tahun berdirinya kesultanan Dengan demikian, berdirinya Kesultanan Banjarmasin, ada beberapa pendapat antara Banjarmasin adalah pada tahun 1526, dan lain: Dr. Eisenberger menyebutkan tahun hal ini merupakan kemenangan Pangeran 1595; Encyclopaedie van Nederlandsch Indië Samudra atas Pangeran Tumenggung dari menyebutkan tahun 1520; dan Colenbrander kerajaan Negara Daha yang beragama Hindu. dalam bukunya Koloniale Geschiedenis juga Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) menyebut tahun 1520 (dalam Saleh, 1958:24). merupakan cikal-bakal dari raja-raja

© 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia 13 ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com ITA SYAMTASIYAH AHYAT, Perkembangan Islam

Banjarmasin. Juga menyerahnya kerajaan Terbentuknya kesultanan Banjarmasin Negara Daha kepada Kesultanan menggantikan kerajaan Negara Daha, yang Banjarmasin, serta mengakui kedaulatan beragama Hindu, telah mengubah menjadi Kesultanan Banjarmasin, menyebabkan kerajaan yang bercorak Islam. lama-kelamaan kerajaan Negara Daha Islam terus berkembang di Banjarmasin. runtuh, serta tidak terdengar lagi dalam Gerak awal dari upaya Pangeran Suriansyah Hikayat Banjar. Penduduk dan harta menyebarkan dan mengembangkan Islam pusaka kerajaan Negara Daha dipindahkan secara luas kepada masyarakat ialah dengan oleh Sultan Suriansyah ke Kesultanan mendirikan sebuah mesjid. Namanya mesjid Banjarmasin, kecuali 1,000 penduduk “Sultan Suriansyah”, yang merupakan ditinggalkan untuk rakyat Pangeran mesjid pertama di kesultanan Banjarmasin Tumenggung, yang berdiam di daerah Alai pada abad ke-16. Mesjid ini berdiri sebagai (Ideham et al., 2003:68). hasil musyawarah antara Sultan dan para pembesar kesultanan, dan masih ada hingga PENYEBARAN DAN PERKEMBANGAN kini di Kampung Kuin, sudah beberapa kali AGAMA ISLAM dipugar (Basuni, 1986:35-36). Dalam hal ini, Dengan demikian, perkampungan orang Sultan tidak bertindak atas kemauan sendiri, Melayu (Banjar Oloh Masih) berkembang tetapi dibatasi oleh para petinggi kesultanan menjadi sebuah kota istana, kota pelabuhan/ dan diatur dengan ketentuan kesultanan,3 perdagangan, dan kota sebagai pusat tidak seperti pada masa Hindu, dimana penyebaran agama Islam. Pembentukan kota Raja merupakan titisan dari Dewa, sehingga ini sesuai menurut teori Cooly, yaitu salah melahirkan konsep Dewa-Raja.4 satu syarat menjadi kota adalah masalah Hal yang penting dalam menyebarkan transportasi (cf dalam Kartodirdjo, 1992; dan Islam adalah peran dari para Sultan Tjandrasasmita, 1997). Banjarmasin, yang selalu menjadi tauladan Kampung Banjarmasin pada awalnya bagi rakyatnya, yaitu antar lain dengan tempat orang Melayu yang dipimpin oleh senantiasa memakai nama-nama Islam Patih Masih (sebagai kepala kampung), yang dan bertindak sesuai dengan cara-cara terletak antara pertemuan Sungai Barito Islam. Tersebarnya agama Islam di daerah dan Sungai Martapura, juga merupakan Banjarmasin ini juga tidak dengan paksaan tempat pertukaran barang antara komunitas maupun kekerasan. Ditunjang oleh ajaran Melayu dengan Dayak Ngaju, dan Islam yang tidak membeda-bedakan menjadi tempat kegiatan perdagangan. Kemudahan transportasi antar daerah 3Teologi Islam menempatkan Raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada masa Hindu-Buddha. hulu sungai dan muara sungai berdampak Pada masa Islam, Raja kedudukannya sebagai khalifatullah pada berkumpulnya para pedagang dari fil ardhi, wakil Tuhan di dunia. Para Raja di Jawa menerima berbagai daerah untuk melakukan transaksi gelar ini dalam masa yang relatif lambat. Amangkurat IV (1719-1724), misalnya, adalah Raja pertama dari kerajaan perdagangan. Lama-kelamaan, sekitar Mataram Islam di Jawa, yang menggunakan gelar ini dalam pasar muncul bangunan-bangunan tempat bentuk Prabu Mangku-Rat Senapati ing Ngalaga, Ngabdu’ penyimpanan barang-barang komoditas Rahman Sayidin Panatagama, Kalipatullah ing Tanah Jawa. Gelar ini dipakai hanya oleh Raja Mataram Islam di Yogyakarta perdagangan dan rumah-rumah para sejak tahun 1755. Kerajaan Islam di Jawa terlambat pedagang mulai bermunculan, dan pada menggunkan gelar khalifatullah, mungkin penerimaan gelar tersebut harus ada pengakuan dan dukungan dari seluruh akhirnya di kampung Banjarmasin lahirlah Dunia Muslim. Karena itu, para utusan yang dikirim para masyarakat pedagang dan merupakan kota Raja Islam dari Jawa ke Mekkah hanya mampu memperoleh dagang (Ideham et al., 2003:47). gelar Sultan. Selanjutnya, lihat Soemarsaid Moertono (1985:34-35). Agama Islam menjadi agama resmi 4Konsep “Dewa-Raja” berarti kedudukan Raja dipercayai kerajaan dan penerapan hukum Islam di bersifat ke-Dewa-an. Sifat-sifat ke-Dewa-an dari Raja-raja daerah kesultanan Banjarmasin adalah itu dilukiskan dengan berbagai cara, bergantung kepada kepercayaan yang dianut. Kalau Hinduisme yang dianut, sejalan dengan terbentuknya kesultanan maka Raja dianggap sebagai titisan (inkarnasi) dari Dewa, dan dinobatkannya Sultan Suriansyah atau pun sebagai keturunan dari Dewa; atau sebagai keduanya, baik penitisan maupun keturunan Dewa. sebagai raja pertama yang beragama Islam. Selanjutnya, lihat Robert Heine-Geldren (1982:16).

14 © 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei 2015 golongan atau kasta, seperti yang ada pada Perkembangan Islam yang sangat agama Hindu. Faktor lain ialah bahwa berarti terjadi pada masa pemerintahan peng-Islam-an banyak ditunjang oleh Sultan Tahmidullah II (Pangeran Nata peran dari golongan atas, yaitu pemegang Alam), sekitar tahun 1785-1808; dan tahta kesultanan Banjarmasin beserta Sultan Sulaiman (1808-1825), yang keluarganya. Segala sesuatu yang dilakukan kedatangan seorang ulama besar yaitu oleh Raja merupakan contoh yang harus Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari diikuti oleh rakyatnya (Basuni, 1986:40). perantauannya, setelah menuntut ilmu di Dengan berkuasanya Sultan dan dua kota suci di Mekkah dan Madinah. didukung oleh para petinggi kesultanan, Dalam menyebarkan agama Islam, Syekh maka Islam berkembang dengan mulus Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat melalui perdagangan, yaitu melalui dukungan dengan disediakannya segala jalan sungai antara pedalaman dan kota sarana dan fasilitas dalam menyebarkan pelabuhan Banjarmasin. Rakyat di kesultanan agama Islam oleh Sultan (Ensiklopedi Islam, Banjarmasin, yang letaknya di pedalaman, 1992:229). dapat dikunjungi oleh para pedagang yang Hasil-hasil pemikiran yang cermelang adalah juga guru agama, sehingga para dari Syekh Muhammad Arsyad al- petani, peternak, dan nelayan dapat memeluk Banjari menambah berkembangnya agama Islam (Basuni, 1986:40). agama Islam di Banjarmasin, antara lain: Hasil dari penyebaran Islam itu bukan (1) Mengajarkan ilmu agama kepada saja tampak dalam bidang politik, sosial, masyarakat Banjarmasin; (2) Mengusulkan dan keagamaan, tetapi juga dalam bidang kepada Sultan agar diangkat Mufti dan budaya. Misalnya huruf Arab, yang Qadi di kesultanan Banjarmasin, serta digunakan dalam pelajaran membaca diangkat pengurus mesjid seperti khatib, Al-Qur’an dan menghafal bacaan sholat, imam, muazzin, dan penjaga mesjid; (3) juga perjanjian yang dibuat antara Sultan Mengusulkan kepada Sultan agar di Banjarmasin dengan VOC (Vereenigde kesultanan Banjarmasin diberlakukan Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan hukum Islam, bukan hanya terbatas pada Dagang Hindia Belanda) dan Inggris pada hukum perdata, tetapi juga hukum pidana abad ke-17, ditulis dengan huruf Arab- Islam, misalnya, hukuman mati bagi Melayu. Demikian pula dengan historiografi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, tradisional berupa Hikayat Lembu Mangkurat, dicambuk bagi penzina, dan hukum mati Hikayat Raja-raja Banjar dan Kotawaringin, bagi orang Islam yang murtad; serta (4) dan Hikayat Banjar, semuanya ditulis dalam Untuk melaksanakan hukuman secara Islam huruf Arab-Melayu.5 tersebut, beliau mengusulkan dibentuk Menurut Zafry Zamzam, didalam Mahkamah Syariah, semacam pangadilan bukunya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tingkat banding, di samping lembaga sebagai Ulama Juru Dakwah (n.y., no year atau kekadian (cf Zamzam, n.y.; Daudi, 1980; dan tanpa tahun), ada dua orang Datu yang giat Ensiklopedi Islam, 1992). melakukan dakwah, yaitu Datu Kandang Untuk memimpin Mahkamah Syariah, di bagian utara yang mengajar mengaji Al- maka ditunjuklah seorang Mufti. Dan Qur’an dan menghidupkan sembahyang Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan Jum’at di mesjid; sedangkan Datu Sanggul adalah Syekh Muhamad As’ad, cucu dari berdakwah di bagian selatan. Beliau giat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari; dan mengusahakan atau menghadiahkan tiang- bertindak sebagai Qadi pertama adalah Abu tiang kayu besi pada orang-orang yang akan Zu’ud, anak dari Syekh Muhammad Arsyad mendirikan mesjid (Zamzam, n.y.:3). al-Banjari. Kemudian, Sultan mengangkat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari 5Lihat, misalnya, “Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintah-pemerintah sebagai Musytasyar (Mufti Besar) kesultanan VOC, Bataafse Republik, Inggris, dan Hindia-Belanda, 1635- Banjarmasin untuk mendampingi Sultan 1860”, Arsip Tahun 1965. Djakarta: ANRI [Arsip Nasional Republik Indonesia]; dan J.J. Ras (1968 dan 1986). dalam menjalankan pemerintahan sehari-

© 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia 15 ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com ITA SYAMTASIYAH AHYAT, Perkembangan Islam

hari (Zamzam, n.y.; dan Daudi, 1980). tersebut tidak saja dilakukan pada daerah Untuk mendidik dan membina tertentu, tapi kepada seluruh umat Islam masyarakat Islam, Syekh Muhammad di pelosok bumi ini. Sebagaimana firman Arsyad al-Banjari mendirikan pondok Allah SWT (Subhanahu Wa-Ta’ala), dalam Al- pesantren, untuk menampung para santri Qur’an, antara lain surat An-Nahl ayat 125, yang datang menuntut ilmu dari berbagai yang artinya: pelosok di Kalimantan. Dari sini lahirlah ulama-ulama yang akan mengembangkan Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, Islam dengan syiar dan dakwah Islam dan bantahlah dengan cara yang baik. di Kalimantan, di antaranya: Syekh Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih Syihabuddin dan Syekh Abu Zu’ud, mengetahui tentang siapa yang tersesat dari keduanya putra dari Syekh Muhammad jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (dalam Arsyad al-Banjari; serta Syekh Muhammad Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1999). as-’Ad, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Ensiklopedi Islam, 1992:229). Tersebarnya agama Islam ke segala Kurang-lebih 40 tahun, Syekh pelosok daerah di Kalimantan merupakan Muhammad Arsyad al-Banjari usaha Syekh Muhammad Arsyad al- mengembangkan dan menyiarkan agama Banjari dengan anak-cucunya, yang sudah Islam di daerah Banjarmasin, dengan tak mempunyai ilmu pengetahuan hasil mengenal lelah. Tibalah saatnya beliau didikannya sendiri. Mereka menyebarkan dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Islam ke daerah-daerah, seperti: Pagatan yaitu tepatnya tanggal 6 Syawal 1227 (Kabupaten Kota Baru), Taniran (Kabupaten H (Hijriah) / 1812 M (Masehi). Beliau Hulu Sungai Selatan), Amuntai (Kabupaten menderita berbagai macam penyakit, yaitu Hulu Sungai Utara), Marabahan (Kabupaten penyakit lumpuh, tekanan darah tinggi, dan Barito Kuala), dan Martapura (Kabupaten masuk angin (angin belawa, menurut bahasa Banjar). Di hampir semua kota di Kalimantan Banjar). Beliau meninggal dunia dalam usia Selatan terdapat keturunan yang pasti 105 tahun dalam perhitungan tahun Hijriyah profesinya, yaitu ulama (Daudi, 1980:31). dan 102 tahun dalam perhitungan tahun H.W. Muhd Shaghir Abdullah (1990) Masehi (Daudi, 1980:59). bahkan menyebutkan bahwa agama Islam Sebelum Syekh Muhammad Arsyad al- tidak saja berkembang di Kalimantan Banjari menghembuskan nafasnya yang Selatan, tapi juga di luarnya, seperti terakhir, beliau berwasiat bahwa jika Pontianak (Kalimantan Barat), umpamanya beliau wafat, maka jasadnya hendaknya pendiri pondok pesantren Saigoniyah di dimakamkan di Kalampaian, apabila dapat kampung Saigon, Pontianak. Di antara anak dibawa dengan perahu; tetapi apabila cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sedang musim kemarau dan sungai tidak yang terkenal dan berjasa di luar Kalimantan dapat dilayari, hendaknya dimakamkan adalah: Haji Muhammad Thaib di Kedah, di Karang Tengah, dimana isteri beliau Tanah Melayu; Haji Abdurahman Siddiq di yang tua, Bajut, dimakamkan. Ternyata Sepat Tembilahan, Sumatera; dan Haji Chalil sewaktu menghembuskan nafasnya yang di Bangil, Surabaya, Jawa Timur (Nawawi, terakhir, waktu itu musim hujan dan sungai 1977:95). pasang (pasang dalam bahasa Banjar artinya Banyak aktivitas Syekh Muhammad air naik), maka dapatlah wasiat pertama Arsyad al-Banjari diarahkan demi dilaksanakan, yaitu Syekh Muhammad terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang murni Arsyad al-Banjari dimakamkan di kampung didalam kehidupan umat Islam. Di antara Kalampaian (Halidi, 1980:43). aktivitas beliau yang menonjol adalah: Islam memerintahkan kepada seluruh Pertama, melaksanakan kaderisasi umatnya untuk menyebarkan agama dan ulama dan juru dakwah lewat lembaga mengajak kepada kebaikan serta berseru pendidikan semacam pesantren di Dalam kepada amal ma’ruf dan nahi munkar. Hal-hal Pagar, dengan harapan supaya lembaga

16 © 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei 2015 ini akan menghasilkan para ulama yang yang berlaku di seluruh dunia Islam pada tahu benar akan ajaran-ajaran Islam yang berbagai kawasan dan tempat, serta berlaku murni dan sekaligus mampu dan mau pada setiap kurun waktu dari masa ke masa. mengamalkannya. Setelah para santri itu Tetapi, berlakunya hukum Islam selalu dianggap sudah memiliki ilmu pengetahuan mempertimbangkan kondisi dan situasi yang cukup, mereka disebar ke masyarakat tertentu. “Kondisi” tersebut menyangkut untuk mengajarkan agama Islam yang benar keadaan tempat dimana hukum itu berlaku; dan murni, serta sekaligus peragaan ajaran sedangkan “situasi” mengacu pada suasana agama Islam dalam pengamalannya, yang dalam mana hukum itu berlaku (Ideham et pada masa-masa sebelumnya, masyarakat al., 2003:145). tidak mempunyai figur panutan, sehingga Pemikiran tradisional dari suatu pengamalan agama Islam belum sesuai masyarakat tertentu sangat mempengaruhi dengan apa yang diharapkan. perkembangan hukum Islam; dimana Kedua, menulis beberapa kitab yang beisi hukum syariah tidak dapat menyelesaikan ajaran-ajaran agama Islam yang murni dan suatu masalah, misalnya, maka hukum benar, sebagai pegangan dan pedoman adat akan muncul menggantikannya. bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya Pada gilirannya, pengadilan yang yang terkenal dan menjadi rujukan dakwah bersifat non-syariah akan semakin meluas adalah: (1) Ushuluddin, (2) Luqtatul ‘Ajlan, (3) kewenangannya. Perkembangan sejarah Kitabul Faraid, (4) Kitabun Nikah, (5) Tuhfatur dari suatu tempat akan banyak sekali Raghibin, (6) Sabilal Muhtadin, (7) Qawlul menentukan penerimaan hukum Islam Mukhtasar, (8) Kanzul Ma’rifah, (9) Hasyiah dalam masyarakat yang bersangkutan Fathil Jawad, dan (10) Mushaful Quranil Karim (Ideham et al., 2003:145). (dalam Shaghir Abdullah, 1990:41-42). Perkembangan Islam di Kalimantan Perkembangan Islam yang sangat berarti Selatan yang penting lainnya, yaitu ketika pula terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sultan Adam6 mengeluarkan Undang- Adam al-Wasih Billah, yang menggantikan Undang untuk pemerintahan kesultanan pemerintahan Sultan Sulaiman (1808- dan rakyatnya, yang disebut Undang-Undang 1825). Perkembangan ini tampak terlihat Sultan Adam, dikeluarkan pada tahun 1835. dengan adanya perubahan pada struktur Undang-Undang Sultan Adam adalah hukum kesultanan Banjarmasin, yang mana Islam dalam bidang politik sebagai proses dalam struktur pemerintahan yang lama perkembangan perundangan Islam didalam antara lain disebutkan bahwa setelah kesultanan Banjarmasin. Sebagai seorang Sultan (Panembahan) adalah Mangkubumi, penguasa, Sultan Adam dikenal sebagai yang bertugas menjalankan organisasi Sultan yang keras dalam menjalankan pemerintahan dan menjatuhkan hukuman ibadah Islam dan dihormati oleh rakyatnya. mati. Hukuman yang dijalankan didasarkan Beliau pula merupakan salah seorang Sultan pada kitab-kitab Nitisastra dan Prajogakrama yang sangat memperhatikan perkembangan (dalam Saleh, 1958:50), tapi dengan Islam di Kalimantan (Van der Ven, 1860; perkembangan Islam, maka hukum yang Kiaibondan, 1953; dan Ideham et al., 2003). digunakan adalah berdasarkan hukum Undang-Undang Sultan Adam terdiri atas Islam, seperti yang terdapat dalam Undang- 31 pasal (Kiaibondan, 1953:151-155), yang Undang Sultan Adam. Hukum Islam memang tidak hanya 6Sultan Adam lahir pada tahun 1785. Beliau adalah merupakan hukum yang bersifat universal, putra Sultan Sulaiman, Sultan yang beliau gantikan. Sultan Adam mempunyai 5 saudara sekandung, yaitu: Pangeran tetapi juga sebagai hukum yang sangat Mangkubumi Nata, Ratu Haji Musa, Pangeran Perbasari, kontekstual sifatnya. Sebagai hukum yang Pangeran Hasir, dan Pangeran Sungging Anum. Di samping universal, hukum Islam sebagai hukum itu, Sultan Adam juga masih mempunyai saudara satu bapak tapi beda ibu sebanyak 13 orang, sehingga beliau bersaudara Allah yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al- 18 orang. Pendidikan Sultan Adam dimulai pada waktu Sunnah adalah tidak terikat pada tempat mudanya adalah pendidikan agama Islam, yang sangat mempengaruhi watak dan kepribadian beliau. Selanjutnya, dan waktu. Hukum Islam adalah hukum lihat M. Suriansyah Ideham et al. (2003:149).

© 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia 17 ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com ITA SYAMTASIYAH AHYAT, Perkembangan Islam

materinya dapat dikelompokkan kedalam tujuan dari Undang-Undang Sultan Adam enam masalah, sebagai berikut: itu dikeluarkan, seperti yang jelas tertulis, Pertama, masalah-masalah Agama adalah: untuk menyempurnakan agama dan dan Peribadatan, yang mencakup: pasal kepercayaan rakyat; untuk mencegah jangan 1 tentang masalah kepercayaan; pasal 2 sampai terjadi pertentangan di kalangan tentang mendirikan tempat ibadah dan rakyat; serta untuk memudahkan bagi para sembahyang berjemaah; serta pasal 20 hakim dalam menetapkan hukum, sehingga tentang kewajiban melihat awal Ramadhan rakyatnya menjadi baik (Kiaibondan, atau awal bulan puasa. 1953:151-155; dan Ideham et al., 2003:151-152). Kedua, masalah-masalah Hukum dan Dengan demikian, pada masa Tata-Pemerintahan, yang mencakup: pasal pemerintahan Sultan Adam, dalam 3 dan pasal 21 tentang kewajian tetuha struktur kesultanan Banjarmasin, terjadi kampung; serta pasal 31 tentang kewajiban penambahan, yaitu: adanya Mufti (hakim lurah dan mantri-mantri. yang tertinggi, pengawas pengadilan Ketiga, masalah Hukum Perkawinan, umum); Pengulu (hakim yang kebanyakan yang mencakup: pasal 4 dan pasal 5 tentang mendapat piagam dan cap dari Panembahan); syarat nikah; pasal 6 tentang perceraian; Lalawangan (kepala didalam sebuah pasal 18 tentang barambangan; pasal 25 daerah); Lurah (langsung sebagai pembantu tentang mendakwa istri berzinah; serta pasal Lalawangan dan mengawasi pekerjaan 30 tentang perzinahan. beberapa orang pembekal atau kepala Keempat, masalah Hukum Acara kampung, dan dibantu oleh khalifah, bilal, Peradilan, yang mencakup: pasal 7 dan dan kaum; Pembekal (kepala dari sebuah pasal 9 tentang tugas mufti; pasal 10 tentang kampung); Mantri (pangkat kehormatan tugas hakim; pasal 11 tentang pelaksanaan untuk orang-orang yang terkemuka putusan; pasal 12 tentang pengukuhan dan berjasa, diantaranya ada juga yang keputusan; pasal 13 tentang kewajiban bilal menjadi kepala dalam sebuah daerah yang dan kaum; pasal 14 tentang surat dakwaan; mempunyai kekuasaan yang sama dengan pasal 15 tentang tenggang waktu gugat- lalawangan; Tatuha Kampung (orang yang menggugat; pasal 19 tentang larangan terkemuka didalam kampung, karena dapat raja-raja atau mantri-mantri campur tangan penghargaan dari anak buah kampung); urusan perdata, kecuali ada surat dari serta Panakawan (orang-orang yang menjadi hakim; serta pasal 24 tentang kewajiban suruhan Sultan atau Kepala-kepala, serta hakim memeriksa perkara. dibebaskan dari segala pekerjaan negeri dan Kelima, masalah Hukum Tanah, yang dari segala pembayaran pajak). mencakup: pasal 17 tentang gadai tanah; Di samping semua itu, golongan-golongan pasal 23 dan pasal 26 tentang masalah yang turut membantu melaksanakan undang- daluarsa; pasal 27 tentang sewa tanah; pasal undang dan hukum adat, terutama Kadang 28 tentang pengolahan tanah; serta pasal 29 Raja, Pangeran, Gusti, Raden, Kiai Demang, dan tentang menterlantarkan tanah. Nanang, maka kedudukan mereka masing- Keenam, masalah Peraturan Peralihan, masing dalam pemerintahan ada dua macam, yang mencakup: pasal 16 tentang peraturan yaitu: (1) sebagai pembantu kehormatan; dan peralihan (cf Kiaibondan, 1953:151-155; dan (2) sebagai penyelenggara yang tetap dalam Ideham et al., 2003:151-152). suatu cabang pekerjaan, misalnya dalam Undang-Undang Sultan Adam ditetapkan pekerjaan melaksanakan pemerintahan pada tahun 1251 Hijriah oleh Sultan Adam di kampung-kampung, dalam urusan sendiri. Undang-undang ini dibuat oleh kepolisian, perguruan, pemungutan cukai, sebuah tim dengan pimpinan Sultan urusan sosial, urusan perusahaan di laut dan Adam, serta dibantu oleh para anggota, di sungai, rawa-rawa, kehutanan, ternak, antara lain, seperti menantu Sultan Adam, upacara-upacara resmi, dan lain-lain, yang yaitu Pangeran Syarif Hussein, Mufti H. berhubungan dengan keperluan-keperluan Jamaluddin, dan lain-lain. Maksud dan pemerintah.

18 © 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 8(1) Mei 2015

Mengenai Nanang, misalnya, ada tiga Halidi, Yusuf. (1980). Ulama Besar Kalimantan: Syekh macam pendapat, yaitu: pertama, nama Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin: Penerbit Aulia. Nanang adalah turunan Gusti yang jadi Heine-Geldren, Robert. (1982). Konsepsi tentang Negara prajurit pilihan atau pahlawan dalam & Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: CV kesultanan Banjarmasin, karena nama Rajawali, Terjemahan. turunan Gusti diganti dengan nama Nanang, Ideham, M. Suriansyah et al. (2003). Sejarah Banjar. maka kedudukan para Nanang didalam Banjarmasin: Balitbangda [Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah] Provinsi Kalimantan majelis upacara resmi sejajar dengan kaum Selatan. bangsawan seperti Pangeran dan Gusti. Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Kedua, nama Nanang menunjukkan turunan dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia dari Depati atau Adipati, terutama di daerah Pustaka Utama. Amuntai, yang menyebut mereka sebagai Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto [eds]. (1977). Sejarah Nasional orang Anang-anang atau Nanang. Dan Indonesia, Jilid III dan IV. Jakarta: Balai Pustaka. ketiga, seorang wanita turunan Andin jika Kiaibondan, Amir Hasan. (1953). Suluh Sedjarah menikah dengn rakyat jelata, maka anak Kalimantan. Bandjarmasin: Penerbit Fadjar. mereka itu disebut orang Anang atau Nanang Lubis, Amany. (2005). Sistem Pemerintahan Oligarki (Kiaibondan, 1953:150-151). dalam Syariah Islam. Jakarta: UIN [Universitas Islam Negeri] Jakarta Press. Moertono, Soemarsaid. (1985). Negara dan Usaha Bina- KESIMPULAN Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Banjarmasin, yang semula merupakan Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan suatu perkampungan orang Melayu, Obor Indonesia, Terjemahan. Nawawi, H. Ramli. (1977). “Syekh Muhammad Arsyad menjadi pelabuhan yang disinggahi al-Banjari: Penyebar Ajaran Islam Ahlussunah oleh para pedagang Muslim, menjadi wal-Jama’ah Abad ke-18 di Kalimantan Selatan”. kota Muslim, dan berlanjut menjadi kota Tesis Sarjana Tidak Diterbitkan. Banjamasin: FKIP kerajaan. Sultan dan masyarakatnya [Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan] mengembangkan agama Islam, sehingga Universitas Lambung Mangkurat. Noorlander, J.C. (1935). Bandjarmasin en de Companie Islam di kesultanan Banjarmasin mengalami in de Tweede Helft der 18 de Eeuw. Leiden: The perkembangan yang cukup menyeluruh di Martinus Nijhoff. segala bidang, baik dalam bidang politik, Ras, J.J. (1968). Hikayat Banjar: A Study in Malay ekonomi, dan sosial maupun budaya. Historiography. Leiden: The Martinus Nijhoff. Semuanya itu telah melahirkan suatu Ras, J.J. (1986). “Hikayat Banjar and Pararaton: A Structural Comparison of Two Chronicles” dalam peradaban Islam yang khas di kesultanan C.M.S. Hellwig & S.O. Robson [eds]. A Man of Banjarmasin, dimana agama Islam cukup Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. berkembang pesat di Kalimantan khususnya Teeuw. Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA: dan di wilayah Nusantara umumnya.7 Foris Publications, hlm.184-203. Saleh, Idwar. (1958). Sedjarah Bandjarmasin. Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru. Shaghir Abdullah, H.W. Muhd. (1990). Syekh Muh. Arsyad al-Banjari: Matahari Islam. Banjarmasin: Seri Referensi Ulama Pengarang Asia Tenggara, Periode III. “Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Asy Syfa’, 1999. Bandjarmasin dengan Pemerintah-pemerintah Basuni, Ahmad. (1986). Nur Islam di Kalimantan Selatan. VOC, Bataafse Republik, Inggris, dan Hindia- Surabaya: Bina Ilmu. Belanda, 1635-1860”. Arsip Tahun 1965. Djakarta: Daudi, Abu. (1980). Maulana Syekh Moh. Arsyad al- ANRI [Arsip Nasional Republik Indonesia]. Banjari: Tuan Haji Besar. Martapura: Sekretariat Tjandrasasmita, Uka. (1997). ”Struktur Masyarakat Madrasah Sullamul ‘Ulum Dalam Pagar. Kota Pelabuhan Ternate Abad XIV- XVII” dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992. Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra. Jakarta: Proyek IDSN [Inventarisasi dan Dokumentasi 7Pernyataan: Saya menyatakan bahwa artikel ini Sejarah Nasional], Direktorat Jendral Kebudayaan, sepenuhnya adalah karya saya sendiri. Tidak ada bagian di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang lain, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan Tjandrasasmita, Uka. (2000). Pertumbuhan dan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika akademik yang Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia: Dari berlaku dalam masyarakat ilmiah. Begitu pula, artikel ini Abad XIII Sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara belum direviu dan belum diterbitkan oleh jurnal lain. Kudus.

© 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia 19 ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com ITA SYAMTASIYAH AHYAT, Perkembangan Islam

Van der Ven, A. (1860). “Aantekeningen Omtrent het Yatim, Badri. (2001). Sejarah Peradaan Islam: Dirasah Rijk Bandjermasin” dalam TBG (Tijdschrift van Islamiah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bataviaasch Genootschap), Volume IX. Zamzam, Zafry. (n.y.). Syekh Muhammad Arsyad al- Vlekke, B.H.M. (1961). Nusantara: A History of Indonesia. Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah. Banjarmasin: Bandung: Sumur Bandung. IAIN [Institut Agama Islam Negeri] Antasari.

20 © 2015 by Minda Masagi Press Bandung, UNHAS Makassar, and UNIPA Surabaya, Indonesia ISSN 1979-0112 and website: www.sosiohumanika-jpssk.com