Batu tabung berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan nama mata angin dalam bahasa Jawa Kuno Baskoro Daru Tjahjono, Arlo Griffiths, Véronique Degroot

To cite this version:

Baskoro Daru Tjahjono, Arlo Griffiths, Véronique Degroot. Batu tabung berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan nama mata angin dalam bahasa Jawa Kuno. Berkala Arkeologi (), Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, 2014, 34 (2), pp.161-182. ￿10.30883/jba.v34i2.23￿. ￿halshs-01908636￿

HAL Id: halshs-01908636 https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-01908636 Submitted on 30 Oct 2018

HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non, lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires abroad, or from public or private research centers. publics ou privés. BATU TABUNG BERPRASASTI DI CANDI GUNUNG SARI (JAWA TENGAH) DAN NAMA MATA ANGIN DALAM BAHASA JAWA KUNO1

THE INSCRIBED STONE CYLINDERS AT CANDI GUNUNG SARI (CENTRAL ) AND THE NAMES OF THE DIRECTIONS OF SPACE IN OLD JAVANESE

Baskoro Daru Tjahjono1, Arlo Griffths2 dan Veronique Degroot2 1Balai Arkeologi Medan 2Ecole française d'Extrême-Orient, Jakarta [email protected] [email protected] [email protected]

ABSTRACT This article presents an architectural and epigraphical study of several objects recovered from the Central Javanese site of Gunung Sari. The site has yielded unique cylindrical stone objects, some of which bear short inscriptions in Old indicating the directions of space. Based on architectural arguments, we conclude that the temple was a Śaiva monument. The cylindrical objects were most likely placed originally in the floor of the platform of the temple, where they covered foundation deposits placed during the construction of the temple in connection with the ritual preparation of the ground plan. Although objects exactly identical in shape have thus far not been discovered in Java, objects that had different shapes but similar ritual functions can be identified at other more or less contemporary sites in the region. Some of these bear inscriptions. The inscriptions of Candi Gunung Sari are, however, unique in that they offer by far the oldest (nearly) complete system of eight directions of space expressed in Javanese terms.

Keywords: Temple, Short inscription, Directions of space, Architecture, Ancient Mataram

ABSTRAK Artikel ini menyajikan studi arsitektur dan epigrafi dari beberapa artefak yang ditemukan di Candi Gunung Sari, Jawa Tengah. Pada situs tersebut ditemukan batu berbentuk tabung yang tidak ditemukan di tempat lain, beberapa di antaranya mengandung prasasti pendek berbahasa Jawa Kuno yang berisi penunjuk arah mata angin. Berdasarkan alasan arsitektural, kami menarik kesimpulan bahwa candi itu adalah bangunan berlatar belakang Sivaisme. Konon, batu-batu tabung itu rupanya diletakkan di dalam alas candi dan menutupi peripih-peripih yang dibuat selama candi dibangun, berkaitan dengan persiapan ritual tata letak candi. Meskipun benda yang persis sama belum pernah ditemukan di Jawa selama ini, artefak berbentuk lain dengan fungsi ritual yang sama dapat dikenali di beberapa situs yang kurang lebih semasa di daerah yang sama. Beberapa di antaranya juga mengandung prasasti. Prasasti-prasasti di Candi Gunung Sari memiliki keunikan karena menyebutkan sistem (hampir) lengkap yang paling tua dari delapan mata angin yang diungkapkan dalam istilah Jawa asli.

Kata kunci: Candi, Prasasti pendek, Arah mata angin, Arsitektur, Mataram kuno

Tanggal masuk : 21 Agustus 2014 Tanggal diterima : 3 November 2014

1 “Les pierres cylindriques inscrites du Candi Gunung Sari (Java Centre, Indonésie) et les noms des directions de l‟espace en vieux-javanais.” BEFEO 97-98 (2010-11, terbit 2013): 367–90. Diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati Hidayat.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 161 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot) PENDAHULUAN dalam dua proyek penggalian untuk pelestarian yang dilaksanakan pada Dalam buku tribahasa yang 1998 (Nugrahani, Hery Priswanto & menarik Situs-situs Marjinal/Sanctuaires Imam Fauzi 1998; Nugrahani, Tjahjono retrouvés/Sites out of Sight (Rizky Prasodjo & Baskoro Daru Tjahjono Sasono, Ferry Ardyanto & Elbaz 1998), serta Véronique Degroot, 2002, 75), tercantum mengenai Candi arkeolog yang baru-baru ini menyusun Gunung Sari bahwa: sebuah inventaris situs arkeologis masa Candi Hindu ini menyisakan satu Hindu-Buddha di Jawa bagian tengah kaki candi induk serta reruntuhan (Degroot 2009). 3 candi perwara. Artefak-artefak Penelitian lapangan bersama yang pernah ditemukan di situs ini, dilaksanakan pada Juli 2009 untuk seperti relief barong, arca mencari dan membuat abklats dari Mahissasuramadrini, dan , prasasti sebagai langkah perdana sudah dipindahkan ke kantor menuju penerbitannya. Di sini kami Suaka Peninggalan Sejarah dan menyajikan hasil penelitian arkeologis Purbakala Jawa Tengah. Kaki dan epigrafis mengenai batu tabung dan candi yang tersisa ini berukuran prasastinya yang bertujuan untuk lebih 10 × 10 meter dengan tinggi 50 memahami seluk-beluk situs Candi cm. Di tengahnya terdapat lubang Gunung Sari. diameter 1,5 meter yang dulunya berfungsi sebagai sumur. Pada TEMPAT SITUS DAN PENELITIAN bagian kemuncak candi, dulu TERDAHULU pernah dipahatkan beberapa pra- sasti Jawa Kuno.2 Candi tersebut berada di bukit yang dinamai Gunung Sari, Desa Berharap menemukan prasasti Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten yang disebutkan dalam buku panduan Magelang, Provinsi Jawa Tengah.3 Bukit yang sederhana ini tentang berbagai itu dibatasi di sebelah utara oleh situs arkeologis kecil di Jawa bagian Blongkeng, di timur oleh Kali Jlegong, tengah (Provinsi Jawa Tengah dan dan di sebelah selatan oleh Kali Putih. Daerah Istimewa Yogyakarta), Arlo Dari puncaknya pengunjung dapat Griffiths, peneliti di bidang epigrafi yang melihat pemandangan yang menakjub- bertugas di kantor EFEO di Jakarta, kan. Posisinya di bukit yang dikelilingi mengunjungi Candi Gunung Sari pada kali, pemandangan Gunung Merapi, dan tanggal 25 Februari 2009. Di sana tempatnya di wilayah pertanian yang terdapat sejumlah batu tabung yang subur pasti telah menjadikan situs itu beberapa di antaranya berprasasti mencolok dalam lanskap Pulau Jawa pendek. Prasasti itu tampaknya belum pada masa lampau, dan oleh karena itu tercatat dan fungsi batu tabungnya serta menjadi tempat ideal untuk membangun posisi aslinya di situs juga sama tidak sebuah candi. jelas. Maka timbul gagasan menulis Gunung Sari menjadi bagian dari sebuah artikel sebagai kerja sama perbukitan yang memanjang di kaki antara Arlo Griffiths dengan Baskoro Gunung Merapi, banyak di antaranya Daru Tjahjono, arkeolog dari Balai yang pernah atau masih ditempati candi Arkeologi di Yogyakarta, yang turut (gbr. 1), misalnya Gunung Pring (di sebelah barat laut) dan Gunung Wukir (di sebelah tenggara). Bukit yang 2 Di sini tak satu patah kata pun kita membaca tentang terakhir ini diperkirakan tempat asal sebuah prasasti lain yang disebut di versi Prancis paragraf ini di buku yang sama. Prasasti menurut prasasti bertanggal tertua di Jawa sumber ini disimpan di lembaga yang dulu bernama bagian tengah, yaitu prasasti monu- Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, kini Balai mental Raja Sañjaya, yang bertitimang- Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di . Para petugas menegaskan bahwa di Balai itu tidak satu pun tersimpan artefak berprasasti yang berasal 3 07° 36'08.0" Selatan dan 110 16'59.6" Timur (WGS dari Candi Gunung Sari. 84).

162 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182 sa 654 Śaka (732 M) dan disebut berprasasti namun kemungkinan besar prasasti Canggal atau prasasti Gunung pada unsur hiasan yang mewah. Wukir dalam pustaka sekunder. Dataran Beberapa tahun kemudian, van rendah yang membentang di bawahnya Aalst (1899, 394) menerakan Candi merupakan wilayah paling kaya akan Gunung Sari dalam daftar peninggalan peninggalan arkeologis di Jawa. Candi kuno di Kecamatan Probolinggo yang kuno, seperti Candi Gunung Wukir atau disusunnya. Van Aalst menyumbangkan Candi berdampingan di sana unsur-unsur pertama yang dapat dengan beberapa monumen yang lebih membantu untuk menentukan agama muda seperti Candi .4 yang melatari monumen itu. Di tengah Candi Gunung Sari sendiri sudah runtuhan ia memang mencatat keber- lama dikenal: deskripsi pertama adaan sebuah sumur di landasan candi, lokasinya berasal dari karya Hoeper- yaitu salah satu unsur tetap candi Hindu mans yang mengunjunginya pada 1865. di Jawa namun tidak lazim dalam hal Deskripsi itu yang baru diterbitkan pada bangunan yang dilatari agama Buddha. 1914, menjelaskan bahwa candi Ia juga menyebutkan bahwa, di sawah tersebut telah dirusak dan sebagian yang terletak di kaki bukit, terdapat batunya digunakan untuk membangun sebuah alas patung berbentuk yoni dan sebuah tangga monumental menuju dihiasi sebuah ―banaspati‖ (pastilah sebuah makam modern yang terletak di kepala singa atau kālamukha). Walau- bagian bawah bukit (Hoepermans pun van Aalst sendiri tidak menarik 1914, 140).5 Menurut penulis yang kesimpulan apa pun, kedua unsur itu, sama, berbagai patung yang berasal sumur dan yoni — kalau yoni-nya dari Gunung Sari pada masa itu terdapat memang berasal dari Gunung Sari — di dekat kediaman controleur . dapat diduga bahwa candi itu Situs Gunung Sari juga disebutkan diperuntukkan bagi pemujaan dewa oleh Verbeek (1891, 156 no. 299) yang Śiva, jadi bukan candi Buddha, berbeda mencatat keberadaan reruntuhan dari Candi Ngawen yang terletak di sebuah candi dan melakukan peng- dekatnya. Van Aalst juga melaporkan galian pertama. Hasilnya, menurut cerita rakyat setempat yang dinilainya Verbeek, ―banyak batu candi berukir‖, hanya dongeng: Gunung Sari menyem- artinya ia tidak mengacu pada batu bunyikan sebuah candi bertingkat yang luas, mirip dengan .

4 Penggalian terkini memperlihatkan Seperti diketahui, sejarah kerajaan Hindu-Buddha di bahwa keraguan van Aalst memang Jawa lazimnya dibagi dalam dua periode besar: periode Jawa Tengah (abad VII hingga awal X) dan beralasan. Di Gunung Sari tidak ada periode Jawa Timur (abad X hingga XV). Periode candi bertingkat, tetapi jelas sebuah Jawa Tengah sendiri, yang menjadi obyek kajian ini, bangunan kecil yang cukup mirip Candi sering dibagi dalam dua periode, yaitu “kuno” (732– Gunung Wukir.6 830) dan “mutakhir” (830–928). Sebagian besar candi kemungkinan dibangun dalam periode yang cukup singkat, dari perempat terakhir abad VIII DESKRIPSI DAN PENANGGALAN hingga perempat ketiga abad IX. Mengenai CANDI GUNUNG SARI kronologi candi Jawa Tengah (dan kesulitan memosisikan setiap candi dalam kronologi yang Puncak Gunung Sari telah mutlak) lihat secara umum Vogler 1953, Soekmono 1979, Williams 1981, Dumarçay 1993, Klokke 2006, diratakan sedemikian rupa untuk mem- dan khususnya Degroot 2009: 14–18. Tanggal yang bentuk bidang segi empat yang luas. diajukan dalam karya ilmiah untuk masing-masing Setidaknya empat bangunan pernah candi umumnya mengacu pada epigrafi. Hipotesis dibangun di sini, namun kini hanya mengenai asosiasi beberapa prasasti dengan tersisa bagian dasarnya. Penggalian monumen tertentu serta perannya dalam menanggali awal pembangunan monumen itu, menurut pendapat yang dilaksanakan pada 1998 oleh kami, harus dibaca dengan hati-hati, tidak seperti Suaka Peninggalan Sejarah dan kebiasaan ahli sejarah Jawa. 5 Makam ini masih digunakan pada masa kini; undakannya sekarang dibeton sehingga kami tidak 6 Candi Gunung Sari juga diulas kembali dalam dapat memerikan apakah masih mengandung batuan inventaris Krom (1915, 265 no. 852). Tak ada unsur dari candi. baru dalam deskripsi lokasinya.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 163 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot) Purbakala (sekarang BPCB, lihat cat. 2) selatan situs, mungkin satu-satunya Jawa Tengah, bekerja sama dengan bagian yang tersisa dari bangunan Balai Arkeologi Yogyakarta maupun kelima. Kompleks itu dikelilingi pagar Universitas Gadjah Mada telah dari bata yang runtuhannya masih menjelaskan denah situs (gbr. 2). Candi tampak jelas di sebelah timur candi induk, yang landasannya berukuran induk. Di antara materi yang terbongkar 12×12m, menghadap ke barat, sebagai- selama penggalian, terdapat sebuah mana banyak monumen di Jawa. patung Mahākāla, ditemukan di dekat Sebuah tangga menonjolkan muka tangga, serta tiga batu patok (masih in barat. Di depan candi induk, terdapat situ) yang digunakan untuk membatasi sisa-sisa sebuah bangunan datar ruang peribadatan. Ketiga batu patok itu, lonjong yang belum tergali seluruhnya masing-masing berada di sebelah tetapi pasti berukuran sekitar 6×3,5m. Di selatan tangga candi utama, di tengah sebelah utara dan selatannya tampak sisi timur pagar keliling, dan di sudut hasil penggalian berupa sisa-sisa bagian timur laut pagarnya. dasar dua bangunan lain. Sebuah dinding runtuh, yang terletak di bagian

Gambar 1. Peta Jawa bagian tengah dengan situs yang disebutkan dalam teks (V. Degroot).

164 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

Berbagai temuan tersebut mene- Beberapa unsur hiasan yang gaskan hipotesis yang telah diajukan masih ada memungkinkan untuk mene- berdasarkan deskripsi van Aalst: Candi tapkan penanggalan sementara itu. Gunung Sari adalah candi dewa Śiva. Satu-satunya kālamukha (gbr. 3) yang Kehadiran Mahākāla, batu patok, ditemukan dalam kondisi utuh memiliki maupun tatanan bangunan itu sendiri suatu ciri khas, yakni matanya sudah cukup untuk membuktikannya. berbentuk spiral dan motif flora menon- Gabungan sebuah candi utama dengan jolkan pipinya. Mata spiral itu bangunan berbentuk datar lonjong di menyerupai beberapa kālamukha di hadapannya memang merupakan Candi (yang dibuat pada tatanan ruang yang khas untuk candi- pembangunan tahap kedua), dan yang candi Śiva di Jawa. Tatanan yang sama terdapat di Candi Plaosan Lor, Ngawen, ditemukan juga di Dieng (kompleks atau Loro Jonggrang, namun ditemukan Candi Arjuna dan Semar) dan Gedong pula — meskipun jarang — di beberapa Songo (II, III) serta Candi . Di bangunan yang lebih kuno, seperti bangunan landasan itu adakalanya Candi dan Borobudur (Klokke ditambahkan dua candi sekunder, 2006, 55). Motif tumbuhan yang seperti kasus ini, namun juga di diukirkan di pipi tampaknya juga ciri dan Loro Jonggrang. khas dari suatu gaya yang relatif muda Tiga unsur merupakan kunci untuk (Plaosan Lor, Loro Jonggrang, penanggalan situs tersebut: teknik Morangan). Hubungan Candi Gunung pembangunan, keberadaan batu patok Sari dengan beberapa candi besar dari dan hiasan arsitektural. Pondasi zaman yang lebih mutakhir (lihat cat. 4) bangunan Gunung Sari dibentuk dari di bagian selatan dan tengah Jawa batu kali sebagaimana lazimnya (Plaosan Lor dan Loro Jonggrang) bangunan candi di Jawa. Di atas batu dipastikan oleh hiasan sebuah fragmen kali itu diletakkan bangunan yang kusen pintu: jelas tampak dedaunan sebenarnya. Artinya bangunan tersebut yang terarah ke atas, yakni suatu ciri hampir tidak berdasar. Penggalian telah khas gaya yang lebih mutakhir memungkinkan kami untuk menyimpul- (Klokke 2006, 56). Dua fragmen makara kan bahwa massa internal candi induk masih terlihat di lokasi. Fragmen — dan tampaknya ketiga bangunan di pertama cukup naturalis: dapat dikenali depannya juga — terdiri dari bongkahan mata setengah tertutup dan gigi runcing, batu tufa yang dipahat secara kasar, yang diukir secara cukup realis. sementara muka dinding dibuat dari Fragmen kedua adalah sebuah bongkahan andesit yang dipotong potongan genting yang tidak bergaya secara cermat. Teknik itu sangat naturalis, seperti di candi-candi paling berbeda dengan penggunaan andesit kuno, tetapi distilisasi menjadi unsur secara hampir eksklusif di candi-candi flora, mencontoh makara yang lebih paling tua. Tampaknya batu tufa baru mutakhir di Candi Plaosan Lor atau yang mulai digunakan di Jawa pada sekitar lain (ibid.). Pengamatan beberapa tahun 830 M (Dumarçay 1993: 19), antefik yang masih ada juga menunjuk- maka tanggal itu mungkin merupakan kan penanggalan muda. Bentuknya terminus post quem bagi bangunan (berujung tiga) memang mirip dengan Candi Gunung Sari. Kehadiran batu antefik Candi Ijo dan Plaosan Lor patok menunjukkan penanggalan yang (Degroot & Klokke 2010: 58). Demikian sama karena didapati bahwa pada pula motif lengkungan yang terdapat di umumnya batu patok diasosiasikan beberapa antefik dan antefik yang tidak dengan candi yang lebih muda (setelah dibuat dari satu blok batu, tetapi ujung 830 M), seperti di Candi Ijo, Loro tengahnya disambung ke bagian bawah Jonggrang, atau Sambisari. dengan sistem sambungan lubang dan pasak.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 165 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

Gambar 2. Denah situs Candi Gunung Sari (V. Degroot)

Gambar 3. Kālamukha di Candi Gunung Sari (Dok. V. Degroot 2009).

Analisis stilistik atas berbagai itu.Sebuah fragmen kecil panel yang unsur hiasan yang masih utuh jelas berbingkai bentuk mata cincin tampak- menunjukkan bahwa Candi Gunung Sari nya menunjukkan hubungan antara sezaman dengan atau lebih muda Candi Gunung Sari dan gaya Loro daripada Plaosan Lor sehingga dapat Jonggrang (Degroot & Klokke 2010: 61), dipastikan bahwa pembangunannya jadi dapat ditentukan pembangunannya paling awal berlangsung pada 830 M, di sekitar tahun 850 M. titimangsa berdasarkan sumber epigrafis yang lazim dikaitkan dengan monumen

166 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

BATU TABUNG bentuk batu tabung di kedua kelompok identik. Bagian bawah batu berbentuk Keunikan situs Gunung Sari segi delapan. Bagian atas, baik yang terutama terletak pada keberadaan batu bertutup maupun yang tidak, agak tabung berprasasti di tengah runtuhan cembung. Sambungan antara badan candi. Di Pulau Jawa, prasasti yang dan bagian atas terkadang bulat, diukirkan langsung di sebuah monumen terkadang agak cekung, menggambar- cukup langka, sehingga setiap kasus kan semacam sisi genta. Berdasarkan baru patut dicermati dan diteliti. Kami pemeriksaan semua batu yang telah menginventarisasi, di situs dan memungkinkan diperiksa, tabungnya beberapa desa di kaki bukit, ada selalu berongga. Ukuran dindingnya sembilan batu tabung, dua belas hanya 10–15 cm dan dasarnya terbuka. penutup batu tabung, dan delapan Kemiripan bentuk antara batu tabung fragmen besar tabung.7 Dari sudut monolitik dan batu tabung bertutup pandang pemotongan batu, batu tabung menimbulkan dugaan bahwa keduanya itu terbagi dalam dua kelompok (gbr. 4 mempunyai fungsi sama. Dapat dan 5): batu tabung monolitik (berjumlah diasumsikan bahwa pemilihan bentuk tiga) dan batu tabung yang terdiri dari tertentu sebenarnya bergantung pada badan dan penutup. Secara umum ukuran batu yang tersedia.

Gambar 4. Gambar dan potongan batu tabung di Gunung Sari (V. Degroot).

7 Dalam tabel di bawah ini, batu tabung no. 15 (prasasti J) dan no. 16 (prasasti K) masing-masing berasal dari dukuh Gunung Sari dan Ngasem, dua dukuh yang menjadi bagian dari desa Gulon (kecamatan Salam, kabupaten Magelang). Batu tabung lain berasal dari puncak bukit itu.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 167 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

Gambar 5. Foto batu tabung dan penutup yang tidak bertulis (Dok. V. Degroot 2009)

Tabel 1. Temuan batu tabung di Candi Gunung Sari

Tinggi Lebar landasan Diameter tubuh No. Deskripsi Prasasti (cm) (cm)* (cm) 1 tabung monolitik 54 52† 42 2 tabung monolitik 55 51 42 3 tabung monolitik A 64 67 59 4 tabung C 36,5 74 62 5 tabung E 44 68 56 6 tabung F 39 64 54 7 tabung (fragmen) I 30‡ (terlalu hancur) 8 tabung 32 66 56 9 tabung 33 62 54 10 tabung 28 48 42 11 penutup B 35 68 12 penutup D 30 59 13 penutup G 27 56 14 penutup H 26 38 15 penutup J 47 36 16 penutup K 36 60 17 penutup 36 55 18 penutup 30 54 19 penutup 30 43 20 penutup 31 54 21 penutup 37 47 22 penutup 30 60 Catatan: * Ukuran ini diambil di landasan segi delapan, jadi tidak ada dalam hal penutup sendirian. † Lebar asli yang diperkirakan. ‡ Tinggi yang masih tersisa.

168 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

Berdasarkan data pada tabel 1 sebagian Tiga hipotesis dapat diajukan: 1) besar batu tabung dapat dikelompokkan batu tabung terletak berderet di tanah di dalam tiga kelompok menurut garis sekeliling candi, 2) batu tabung berdiri di tengahnya: kelompok pertama berkisar teras candi utama, 3) batu tabung antara 38 cm dan 43 cm (batu no. 1, 2, menjadi bagian atap bangunan. 10, 14, dan 19), kelompok kedua antara Hipotesis pertama menganggap bahwa 54 cm dan 56 cm (batu no. 5, 6, 8, 9, 13, batu tabung pada awalnya terdapat di 17, 18, dan 20), dan kelompok ketiga sekitar tempat ditemukannya selama antara 59 cm dan 62 cm (batu no. 3, 4, penggalian. Hipotesis itu mustahil 12, dan 22). Ada satu batu tabung yang karena dua alasan. Pertama, foto dan mencolok karena garis tengahnya hasil penggalian memperlihatkan bahwa sangat besar (68 cm),8 satu lagi karena batu tabung merupakan bagian dari ukurannya kecil (36 cm).9 runtuhan bahan bangunan candi. Ketika tiba di lokasi, semua batu Kemudian, semua batu tabung berciri tabung yang masih ada di bukit tidak memiliki dasar sehingga ditang- dikumpulkan di sekeliling candi induk. gapkan bahwa artefak itu diletakkan di Beberapa tergeletak di tanah, sedang- atas batu lain yang menjadi dasarnya. kan yang lain berdiri di puncak runtuhan Namun, tak ada satu jejak landasan pun (gbr. 6). Memang jelas bahwa tak satu yang ditemukan di sekitar candi, bahkan pun batu tabung terletak di posisi tidak terdapat di bawah runtuhan, asalnya, namun tetap menarik untuk sehingga hampir mustahil bahwa batu mencatat posisi batu tabung berprasasti. tabung itu didirikan di sekeliling bagian Kedua laporan penggalian menegaskan dasar candi. hubungan antara batu tabung dan candi Kedua hipotesis lain yang ber- induk. Semua batu tabung yang digali kaitan dengan posisi asli batu tabung pada 1998 ditemukan di sepanjang tersebut sangat sukar untuk dipilih mana dinding bagian dasar candi induk, di yang lebih benar dibandingkan yang tengah fragmen yang kebanyakan lain, mengingat petunjuk yang ada pada berasal dari badan candi. Dua batu kami terlalu sedikit. Memang secara tabung telah ditemukan di sekitar umum bentuk batu tabung mirip dengan tangga. Dua sampai empat batu tabung kemuncak yang biasanya menghiasi yang lain (sayang laporan penggalian atap candi Jawa, namun ukuran dan tidak memberikan penjelasan terperinci) konsepsinya berbeda: kemuncak terdapat di sepanjang dinding selatan. lazimnya bergaris tengah pendek, tidak Adapun penutup yang berhasil berongga, dan disambung dengan batu ditemukan dalam penggalian itu di bawahnya oleh sistem lubang dan tergeletak beberapa meter di sebelah pasak. Hipotesis tentang batu tabung timur candi.10 Dari data tersebut dapat yang berasal dari superstruktur disimpulkan bahwa batu tabung itu bangunan hampir mustahil juga karena semula berdiri dengan jarak teratur di penemuan dua bantalan batu berbentuk candi atau di dekatnya. Meskipun teratai di antara peninggalan candi demikian, posisi yang pasti di dalam dalam rangka penggalian tahun 1998. bangunan masih harus ditentukan. Dua bantalan batu tersebut jelas merupakan bagian atap candi dan baik sistem penyambungan (sebuah lubang) maupun ukurannya tidak cocok dengan batu-batu tabung yang menjadi pokok 8 Maksudnya penutup tabung 11, bertuliskan prasasti penelitian ini. Perlu juga diingat kembali B. bahwa candi itu telah digunakan sebagai 9 Maksudnya batu tabung 15, bertuliskan prasasti J. Proporsinya mirip dengan batu tabung monolitik, sumber bahan bangunan sehingga tetapi ketiadaan landasan segi delapan membuatnya dibongkar sampai ke tingkat dasar, mirip dengan penutup. 10 Perlu dicatat bahwa penutup ini, sebagaimana batu tabung yang ditemukan di sebelah selatan tangga, terletak langsung di samping batu patok pertama yang telah disebutkan di muka (h. 164).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 169 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

Gambar 6. Denah posisi batu tabung (V. Degroot 2009) sementara batuan tertentu sebagaimana menjelaskan mengapa batu tabung itu telah disebutkan terdahulu (h. 163), berongga. telah dimanfaatkan untuk membangun Menurut hasil penggalian dan tangga makam yang terletak di kaki upaya sementara pembangunan bukit. Sebagian besar batu yang tersisa kembali di lokasi, yang dianggap berasal dari bagian bawah candi, jadi sebagai umpak di Candi sedikit mengherankan jika batu tabung itu menonjol dari lantai teras. Dua pertiga merupakan bagian dari superstruktur. bagian bawah batu — berbentuk tabung Karena tidak ada unsur seperti yang di Gunung Sari — pembanding, tidak dapat disimpulkan sebenarnya tidak kasat mata karena langsung bahwa batu tabung tersebut tersembunyi di balik lantai batu teras berdiri di teras. Tidak satu pun candi (gbr. 9 dan 10). Sebuah batu yang Jawa ditata demikian. Meskipun begitu, ditemukan di Candi Gunung Sari tiga candi yang hampir sezaman dengan membuat kami berpikir bahwa demikian candi Gunung Sari menunjukkan kepada pula halnya dengan batu tabung kami. kami bahwa teras candi mungkin saja Yang dimaksud adalah sebuah bongkah diisi struktur tertentu. Memang, di Candi batu yang satu sisinya dipahat Sambisari, Kedulan, dan Klero, bilik berbentuk busur lingkaran yang garis candi induk dikelilingi batu yang tengahnya cocok dengan batu tabung. bentuknya terkadang bulat atau persegi, Maka, sebagaimana di Kedulan, batu tampaknya untuk digunakan sebagai tabung Candi Gunung Sari pastilah umpak tiang kayu (gbr. 7). Di Sambisari, ditanam dalam batu dan hanya bagian terdapat kolong di bawah batu untuk atas yang tampak. Meskipun demikian, menempatkan sesajen (gbr. 8). mungkin tatanan itu bukan asli, Walaupun begitu, sulit membayangkan melainkan hasil dari suatu renovasi bahwa batu tabung di Candi Gunung candi. Jika demikian, renovasi itu bukan Sari mampu menopang tiang. satu-satunya yang dialami candi itu: Sebaliknya, dugaan tentang fungsinya hampir separuh batu tabung dan sebagai tempat sesajen masuk akal, penutupnya telah dipotong. Pemotongan sesungguhnya barangkali menjadi satu- seperti itu sering memunculkan rongga satunya gagasan yang mampu dalam tabung.

170 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

Gambar 7. Foto Candi Sambisari dengan umpak-umpak Gambar 8. Posisi penempatan peripih (Sumber: Y. Coffin 1988) (Dok. SPSP Jawa Tengah 1977)

Gambar 9. Denah Candi Kedulan dengan posisi batu tabung (V. Degroot).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 171 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

Gambar 10. Batu tabung di Candi Kedulan (Dok. V. Degroot 2002).

PRASASTI kami boleh jadi tampak cukup semena, apalagi tampaknya prasasti semacam ini Sebelas batu tabung berprasasti sampai kini tidak dikenal dalam korpus tersebut memberikan secara keseluru- epigrafi Jawa, menurut daftar beranotasi han tujuh teks berbeda yang ditafsirkan berbagai jenis ―prasasti pendek [short sebagai singkatan dari nama arah mata inscriptions]‖ pada bangunan suci yang angin dalam bahasa Jawa Kuno, atau disusun oleh de Casparis (1950: 111– kombinasi singkatan nama untuk 118; 1958: 12–13).12 Walaupun menamai arah angin perantara; kecuali demikian, perlu dipertimbangkan fakta satu kasus istilah yang hanya terdiri atas bahwa ukiran suku kata itu, kecuali laur· satu suku kata sehingga tidak disingkat. (D), pasti tidak membentuk unsur Mengikuti arah jarum jam, dan mulai dari kosakata dari suatu bahasa yang timur, didapati teks yang berikut (gbr. digunakan di daerah itu pada masa 11–12).11 pembangunan Candi Gunung Sari vai untuk vaitan, ‗timur‘ (I) (artinya bahasa Jawa Kuno, Sanskerta, vai ki untuk vaitan kidul, atau Melayu Kuno). Sebaliknya, satu- ‗tenggara‘ (E, G) satunya kata yang dikenal, yakni laur· ki untuk kidul, ‗selatan‘ (F, (KJKI: 608 s.v. lor), menunjukkan bahwa H) bahasa Jawa Kuno-lah yang digunakan. ki ku untuk kidul kulvan, ‗barat Kemudian suku kata lain dapat daya‘ (C, J, K) diinterpretasikan sebagai singkatan dari ku untuk kulvan, ‗barat‘ (B) nama arah mata angin di dalam bahasa itu (KJKI: 498, 534, 1423, s.vv. kidul, laur· ku untuk laur kulvan, ‗barat 13 laut‘ (A) kulwan/kulon, wetan). Semua teks laur· untuk ‗utara‘ (D) 12 Pada bagian akhir artikel ini akan ditunjukkan Mengenai interpretasi teks pendek bahwa tipe tersebut bukanlah satu-satunya dan itu, pada pandangan pertama hipotesis setidaknya dua contoh lain batu berprasasti nama mata angin terdapat juga di candi lain meskipun tidak tercatat, yaitu batu dari Candi Plaosan Lor. 11 Huruf kapital dari A sampai K kami gunakan 13 Transliterasi dalam artikel ini mengikuti norma secara semena untuk menandai prasasti di masing- internasional sistem aksara India sehingga kami masing batu tabung. Pembaca dapat menemukan harus menggunakan huruf v alih-alih w yang biasa dalam tabel terdahulu batu tabung atau penutup digunakan para ahli dan penulis asal mana bertuliskan prasasti mana dan melihat Indonesia pada umumnya, serta digunakan dalam gambar 12 untuk menemukan foto beberapa KJKI. Varian ejaan au/o/va dan ai/e masing- abklats yang kami hasilkan pada Juli 2009 dan masing ekuivalen satu sama lain. Dalam sekarang menjadi koleksi EFEO. penjelasan tentang singkatan, kami memilih ejaan

172 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182 yang kami temukan dapat dijelaskan mendalam atas sistem mata angin dengan mudah jika hipotesis kami dalam bahasa Austronesia di Indonesia memang benar. Perlu dicatat bahwa bagian barat dan Madagaskar yang satu-satunya yang tidak ada dalam diterbitkan oleh Adelaar pada 1997 (lihat berbagai prasasti yang kami himpun Adelaar 1997, 65). adalah nama arah timur laut. Bentuk Bahasa Jawa Kuno telah hurufnya cukup konsisten dan sesuai meminjam dari bahasa Sanskerta istilah secara paleografis dengan prasasti mata angin pūrva, āgneya, dakṣiṇa, Jawa dari abad IX M, namun tidak nairiti (< nairr̥ ta/nirr̥ ti), paścima, memungkinkan penanggalan yang lebih bāyabya, uttara, aiśānya. Ketika mencari tepat. laman yang terkait dalam KJKI, didapati acuan pada dua penggal dari teks yang SISTEM MATA ANGIN DALAM berjudul Koravāśrama. Di dalamnya, BAHASA JAWA KUNO berbagai istilah itu yang muncul dua kali dalam bahasa Sanskerta dialihbahasa- Sebelum kembali pada hubungan kan ke dalam bahasa Jawa Kuno14. antara interpretasi beberapa prasasti pendek tersebut serta batu tabung yang (1) Koravāśrama: 2, baris 16–22 menyandangnya dengan situs tempat Apūrva, tan kapūrvan ta sira, pan batu itu ditemukan, kami ingin vetan, (āgneya), tan kāgneyan pva menggarisbawahi sepintas pentingnya sira, apan kidul-vetan, adakṣiṇa, analisis kebahasaan atas teks yang tan kadakṣiṇan pva sira, (apan singkat itu. kidul, anairiti, tan kanairiti pva sira) Pembaca yang memeriksa kamus apan kidul-kulon, paścima, tan Zoetmulder dan mencari kata arah mata kapaścima pva sira, apan kulon, angin perantara di dalam entri tentang (bāyabya), tan kabāyabya pva arah mata angin utama (yakni wetan, sira, pan lor-kulon, (uttara), tan kidul, kulon, lor) tidak akan menemu- ka°uttara, apan sira lor, (aiśānya), kannya. Pastilah karena alasan itu pula tan ka°aiśānyan, apan sira lor- tidak terdapat pembahasan tentang vetan, (madhya), tan kamadhya berbagai istilah yang menunjuk arah pan riṅ təṅah. mata angin perantara dalam bahasa Jawa Kuno di dalam analisis

14 Untuk kedua kutipan ini, teks mengikuti hasil suntingan Swellengrebel (1936) sementara terjemahan berdasarkan terjemahannya ke dalam bahasa Belanda, hanya dengan satu perbaikan kecil. Setelah menyusun paragraf-paragraf ini, kami dapati bahwa Damais telah menegaskan pentingnya Koravāśrama dalam konsepsi yang berkaitan dengan sistem arah di Jawa (1969: 95– 97) dan dia mengutip dari teks ini “daftar yang digunakan dalam KJKI untuk menuliskan kesembilan arah mata angin yang [oleh teks ini] kata yang berarti „barat‟, yaitu kulvan, bukan diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno, dengan kulon, meskipun faktanya kedua ejaan itu terdapat petunjuk tentang masing-masing dewa [liste des dalam epigrafi dari masa yang sama yang neuf directions de l’Espace que [le texte] traduit berkaitan dengan prasasti kami. Titik tengah (·) en vieux javanais, avec indication de la déité]” memarkahi virāma/paten. (1969: 97).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 173 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot) E Gambar 11. aBatu tabung berprasasti (E) vai ki dan (F) ki .

F a

Gambar 12. Kolase abklats EFEO n. 1867 (A), 1868 (B), 1871 (E), 1872 (F), 1875 (I), 1876 (J).

―Apūrva, tidak termasuk kualifikasi karena artinya memang ‗barat‘; ‗dari timur‘ karena artinya memang bāyabya, tidak termasuk kualifikasi ‗timur‘; āgneya, tidak termasuk ‗dari barat laut‘ karena artinya kualifikasi ‗dari tenggara‘ karena memang ‗barat laut‘; uttara, tidak artinya memang ‗tenggara‘; termasuk kualifikasi ‗dari utara‘ adakṣiṇa, tidak termasuk kuali- karena artinya memang ‗utara‘; fikasi ‗dari selatan‘ karena artinya aiśānya, tidak termasuk kualifikasi memang ‗selatan‘; anairiti, tidak ‗dari timur laut‘ karena artinya termasuk kualifikasi ‗dari barat memang ‗timur laut‘; madhya, tidak daya‘ karena artinya memang termasuk kualifikasi ‗dari pusat‘ ‗barat daya‘; apaścima, tidak karena artinya memang ‗pusat‘.‖ termasuk kualifikasi ‗dari barat‘

174 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

(2) Koravāśrama: 48, baris 23–30 teratur: tenggara bukan kidul vaitan kaliṅanya, pūrva ṅaranniṅ vetan, melainkan vaitan kidul, dan nama arah bhaṭṭāra Umāpati aneriya, āgneya mata angin perantara — oleh sebab itu kidul-vetan, ya ta bhaṭṭāra — tidak disusun secara konsisten dalam (Maheśvara) aneriya, dakṣiṇa urutan laur/kidul + vaitan/kulon. kidul, bhaṭṭāra Brahmā aneriya, Kasus lain penggunaan istilah nairiti kidul-kulon, ya ta bhaṭṭāra arah mata angin setempat yang tercatat Rudra aneriya, paścima kulon, dalam KJKI selalu berdiri sendiri, artinya bhaṭṭāra Mahādeva aneriya, tidak dalam suatu konteks yang bāyabya lor-kulon, bhaṭṭāra memberikan sistem seutuhnya. Sebagai Śaṅkara aneriya, uttara lor, ya ta contoh, di antara berbagai teks yang bhaṭṭāra Viṣṇu aneriya, aiśānya lebih tua, dapat disebutkan lor-vetan, ya ta bhaṭṭāra Śambhu Brahmāṇḍapurāṇa bahasa Jawa Kuno, aneriya, madhya riṅ təṅah, ya ta teks berbentuk prosa yang mengandung bhaṭṭāra Śiva aneriya, ya ta kalimat seperti berikut (ed. Gonda, h. sinaṅguh kəṇḍəṅ səṅkər iṅ 151, baris 2–3): riṅ samāgama kidul bhuvana ṅaranya de saṅ maharṣi kulvan iṅ ta madhyadeśa larinikaṅ gaṅgā ‗di pertemuan dua sungai di ―Pemahamannya: pūrva, artinya Madhyadeśa, Sungai Gangga mengalir timur, tempat Batara Umāpati; ke arah barat daya‘ (mengikuti āgneya, artinya tenggara, tempat terjemahan dalam bahasa Belanda Batara Maheśvara; dakṣiṇa, karya Gonda 1933). Di samping itu, kita artinya selatan, tempat Batara membaca di teks Smaradahana (ed. Brahmā; nairiti, artinya barat daya, Poerbatjaraka [1931], bait 4.16): kulvan- tempat Batara Rudra; paścima, kidulnya ‗di barat lautnya‘. Penggal artinya barat, tempat Batara terakhir itu juga satu-satunya contoh Mahādeva; bāyabya, artinya barat lain, yang kami temukan, dari sebuah laut, tempat Batara Śaṅkara; istilah perantara yang menunjukkan uttara, artinya utara, tempat Batara tatanan T/B+U/S yang sama dengan Viṣṇu; aiśānya, artinya timur laut, vaitan kidul dalam sistem di Candi tempat Batara Śambhu; madhya, Gunung Sari. Meskipun demikian, itu artinya pusat, tempat Batara Śiva. penggal yang tertera dalam sebuah Itulah yang dimengerti oleh kakavin dan bukan dalam teks pendeta agung sebagai ‗batas berbentuk prosa, artinya kendala matra kosmos‘.‖ dapat menjelaskan inversi dari urutan yang lazim. Koravāśrama adalah teks muda Artikel Adelaar memperlihatkan yang kemungkinan besar disusun di dengan sangat jelas kelenturan ekstrem Jawa Timur. Mungkin sekali asalnya dari dan ketakajegan diakronis sistem arah akhir zaman Majapahit atau bahkan mata angin dalam berbagai bahasa setelah masa itu (Zoetmulder 1974: Austronesia kelompok barat. Adelaar 129). Itulah, sepengetahuan kami, satu- mengemukakan bahwa berbagai satunya sumber tekstual (susastra atau transformasi sering ada maknanya jika epigrafis) yang menyajikan suatu sistem kita melihat suatu sistem secara arah mata angin dalam bahasa Jawa keseluruhan. Sayang, istilah untuk timur Kuno secara utuh. Sistem simetris dan laut tidak tertera dalam sistem di Candi teratur dari berbagai istilah setempat Gunung Sari sehingga kami terpaksa yang ditemukan cocok persis dengan puas dengan spekulasi. Kami cenderung yang berlaku di bahasa Jawa modern untuk memahami sistem prasasti di (Adelaar 1997: 64 dst. dengan gambar Candi Gunung Sari dengan berpatokan 3.12). Sementara itu, prasasti pendek pada urutan baku asal India, artinya yang kami temukan, yang lebih tua searah jarum jam, sebagaimana telah beberapa abad daripada Koravāśrama, kita lihat dalam kedua penggal memperlihatkan suatu sistem hampir lengkap namun agak berbeda dan tidak

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 175 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot) Koravāśrama.15 Bermula dari timur, Prasasti di Candi Gunung Sari, yang diperoleh T/vaitan, TG/vaitan kidul, kemungkinan besar merupakan bukti S/kidul, BD/kidul kulvan, B/kulvan, paling kuno — yang dikenal sampai hari BL/laur kulvan, U/laur, TL/?. Kiranya ini — dari suatu sistem arah mata angin dapat diamati suatu struktur yang setiap yang diungkapkan dengan istilah yang istilahnya diawali dengan unsur terakhir murni bahasa Jawa dan tidak hanya dari istilah terdahulu. Dengan landasan mengandung keempat arah mata angin itu, dapat diprakirakan bahwa istilah tetapi juga keempat arah mata angin yang hilang adalah laur vaitan (sesuai perantara, memberikan data baru yang dengan istilah dalam Koravāśrama dan signifikan. Memang pada hakikatnya bahasa Jawa modern). Maka, istilah laur prasasti ini tidak dapat membuktikan kulvan meruntuhkan struktur tadi. apa pun secara mandiri, namun tetap Mungkin itu dapat dijelaskan secara membuat kita mempertanyakan apakah fonologis dengan merujuk ke ‗hukum bahasa Jawa Kuno, dalam struktur Behagel‘ yang mengharuskan bahwa kosakatanya, pada pertengahan abad kata majemuk ditata dengan urutan IX mencerminkan suatu tatanan ruang jumlah suku kata yang makin besar yang melingkar, alih-alih tatanan aksial (jadi, laur kulvan dan bukan kulvan laur). yang akan mendominasi setidaknya Berbagai data menunjukkan sejak abad XV. keberadaan dua cara memahami ruang di Jawa masa lampau: di satu pihak PENUTUP dalam urutan baku India, di pihak lain sesuai dengan poros utama (utara- Sebagai kesimpulan, kami ingin selatan).16 Data epigrafis yang ada pada kembali pada hubungan antara prasasti kami hingga sekarang menunjukkan dan batu tabung yang menyandangnya. bahwa setidaknya sejak 880 M,17 kedua Kami mengetahui bahwa prasasti itu persepsi tentang ruang hadir menggambarkan sebuah sistem arah berdampingan karena pemilihan sistem angin dengan mengikuti arah jarum jam; tampaknya ditentukan oleh konteks.18 sedangkan penyandangnya diletakkan secara teratur dan mungkin sekali 15 ditanam di sekitar bilik candi utama. Artikel Damais yang disebutkan dalam catatan terdahulu menyajikan berpuluh-puluh contoh lain Berdasarkan pengamatan, hipotesis yang membuktikan bahwa susunan pradakṣiṇa kami adalah batu tabung itu mejadi memang tatanan baku untuk menyebut arah mata tempat peletakan peripih-peripih dan angin dalam bahasa Jawa Kuno. setiap batu tabung berkaitan dengan 16 Mengenai keberadaan poros seperti itu dan ungkapan kebahasaannya dalam istilah Jawa Kuno satu mata angin tertentu atau dengan lor-kidul, yang berarti „ke segala arah‟, lihat Lokapāla (Penjaga Mata Angin) yang Aichele 1959. bersangkutan. Hipotesis itu kiranya tidak 17 Prasasti Wuatan Tija, yang bertitimangsa tahun mustahil karena di Jawa sudah 880 (lihat Damais 1952: 42–43 dan 1955: 155–156 ditemukan sejumlah contoh peripih yang mengenai tanggal; Sarkar 1971: 250–261 untuk penerbitan ulang disertai terjemahan Inggris) mengandung daun emas bertuliskan adalah prasasti tertua yang bertanggal dan menyebutkan arah mata angin secara berpasangan (utara-selatan, timur-barat). Istilah yang digunakan (dari bahasa Sanskserta atau bahasa setempat) adalah bahasa Jawa Kuno (lempeng II B, baris 10: bergantung pada jumlah mata angin yang lor-kidul, vaitan-kulvan), konteksnya adalah disebutkan. Sesungguhnya Damais (1995: 150 kutukan. Prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dari cat. 36 [= 1969: 81 cat. 1]) telah menyatakan: Gaṇḍasuli menyajikan pada baris 9, dalam “Dalam prasasti Jawa, urutan yang terdiri atas petunjuk umum mengenai segala arah kerajaan, delapan mata angin itu (…) sering kali disebut satu daftar istilah yang dipinjam dari bahasa berkaitan dengan batas tanah yang diberi hak Sanskerta: pūrvva dakṣiṇa paścima uttara (lihat de istimewa. Di situ selalu dimulai dari timur dan Casparis 1950: 61). Mungkin itu prasasti tertua berlanjut sampai timur laut secara pradakṣiṇa. dari tipe itu yang dikenal di Jawa (lihat Bentuknya adalah kata sifat Sanskerta yang Weatherbee 2000: 346 mengenai titimangsanya, kadang-kadang dijawakan.” Sebaliknya, ketika sekitar tahun 832 M). dalam konteks yang sama, yaitu pembatasan lahan, 18 Lihat Klokke 1994: 82, Degroot 2009: 132–134. hanya empat mata angin yang disebutkan, prasasti Ketika sistem mengikuti arus jarum jam zaman Jawa Tengah hampir selalu menggunakan digunakan, tampaknya pemilihan istilah khusus istilah setempat (vetan, kidul, kulvan, lor).

176 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182 nama para penjaga mata angin (dalam daripada yang telah diterbitkan); prasasti, nama-nama itu selalu diterakan terakhir, yang menarik minat khusus sesuai dengan arah jarum jam).19 kami di sini adalah nama kedelapan Misalnya peripih yang ditemukan di Lokapāla,23 ditambah nama Brahmā, Candi B di kompleks percandian Loro mungkin berfungsi sebagai penjaga Jonggrang berisi sembilan belas lempe- pusat.24 Peripih di Jolotundo yang ngan emas,20 yang masing-masing dibongkar juga bertuliskan nama Īśāna bertuliskan mantera oṁ paścimagātrāya yang diasosiasikan dengan timur laut namaḥ; nama Caturaiśvarya (‗keempat dan yang menjaga penjuru kemampuan‘ akal budi, sebuah daftar tenggara (Groeneveldt 1887: 216). khas Agama Śiva di India dan juga di Terakhir, perlu disebutkan bahwa );21 nama keempat Ular setidaknya dua batu persegi, temuan kosmis yang mungkin diasosiasikan dari Candi Plaosan Lor (gbr. 13), yang dengan mata angin tertentu;22 nama tampaknya tidak disebutkan dalam yang diterbitkan dalam bacaan dhasama laporan-laporan penggalian situs itu dan yang tidak memungkinkan penggo- pasti merupakan penutup peripih: longannya dalam salah satu kelompok masing-masing bertuliskan prasasti yang kami identifikasi di sini dan pūrvva.25 Dengan demikian, jika barangkali perlu dikoreksi (namun digabungkan dengan batu tabung dari diperlukan reproduksi yang lebih bagus Candi Gunung Sari, kami mendapati, pada skala yang lebih besar daripada 19 Dalam prasasti yang diterakan di atas lempengan tembaga, hanya empat nama sering kembali dalam 23 (T), Agni (Tg), Yama (S), Riniti (salah ungkapan kutukan dan selalu dalam urutan yang dibaca, sebenarnya Niriti = Nirr̥ ti, Barat Daya), sama (yang perlu digarisbawahi karena tidak Baruṇa (B), Vāyu (BL), Soma (U), Iśāna (i tampak dimulai dengan timur): Yama (S), Baruṇa (B), pendek, TL). Untuk diskusi lebih lengkap tentang Kuvaira (U), Bāsava (T). Lihat prasasti Kancana beberapa Lokapāla di Jawa, lihat Acri & Jordaan (860 M), Wuatan Tija (880), Rukam (907), Sugih 2012. Manek (915), Gilikan (923), Sangguran (928), dan 24 Peran ini kiranya kurang lazim untuk Brahmā jika Kampak (928). kita berpatokan pada daftar yang diterbitkan oleh 20 Lempengan ini disimpan di BPCB Yogyakarta, Damais (1969): di sini Brahmā biasanya tampil bernomor BG 1752 sampai dengan 1769. Prasasti sebagai dewa selatan (sebagaimana dalam penggal ini diterbitkan oleh BPCB dalam bentuk buku kecil kedua Koravāśrama yang telah kami sebutkan) yang menyangkut koleksi epigrafi dengan judul dan Śiva/Sadāśiva berada di pusat. Padahal, jelas Pusaka Aksara Yogyakarta (2007), h. 129–134, bahwa Yama ialah Lokapāla selatan dan nama dilengkapi foto yang sebagian besar jelas. Terbitan Śiva/Sadāśiva tidak tertera di mana pun di antara itulah yang kami gunakan sebagai acuan dalam kesembilanbelas lempengan. Sebenarnya, ada catatan berikut ini. Lihat pula Rita Margaretha sumber dari India yang lebih dekat secara Setianingsih 2002, yang menyebutkan nomor kronologis dengan temuan di Prambanan B, yang inventaris yang berbeda (BG 1751, 1804–1817). dapat membantu untuk memahami posisi Brahmā. Lempengan-lempengan itu layak ditelaah secara Dominic Goodall (2011) mengemukakan bahwa khusus dengan mempertimbangkan kekayaan data banyak teks menyebut pusat sebuah situs dengan India yang disajikan dalam Goodall 2011. brahmasthāna „posisi Brahmā‟. Misalnya, untuk 21 Maksudnya , Jñāna, Vairāgya, Aiśvarya. Agama Śiva aliran Tantra, deskripsi terkuno Lihat misalnya teks dalam bahasa Jawa Kuno tentang prosedur pratiṣṭhā (ritual pendirian), Vr̥ haspatitattva yang mengajarkan doktrin Agama terdapat dalam Niśvāsaguhya 2.47, 2.100, atau Śiva (ed. Sudarshana ) 24.16: makveh Brahmayāmala 3.9, dsb. Teks itu menyebut batu prakāraniṅ buddhi, nihan lvirnya: dharma jñāna yang diletakkan di bawah liṅga dengan instilah vairāgya aiśvarya „ciri akal adalah yang berikut: brahmaśilā „batu Brahmā‟ (mungkin mengingat kebijakan, pengetahuan, kearifan, kewibawaan‟. posisinya dalam brahmasthāna). Lempengan yang bertuliskan aiśvarya telah dibaca 25 Batu tersebut direkam pada suatu foto yang bagus: secara salah sebagai suryya. OD 14987. Foto itu tampaknya diambil selama 22 Ananta, Bāsuki, Kapila, Takṣaka. Ular kosmis penelitian tahun 1940, namun baik batuan maupun biasanya berjumlah delapan atau sembilan atau foto tidak disebutkan dalam laporan tahunan juga lebih. Lihat misalnya Agastyaparva (ed. (Oudheidkundig Verslag). De Casparis 1958 juga Gonda) 44.18–21: kunaṅ anak bhagavān kaśyapa i tidak menyebutkannya. Mengenai asalnya, kami saṅ kadrū nihan: nāga sevu kvehnya. kunaṅ mengikuti pangkalan data daring Universitas pinakādinya bāsuki, śeṣa, takṣaka, kapila, Leiden (https://socrates.leidenuniv.nl/). Setelah kanortaka, dhanañjaya „Adapun anak begawan bertanya ke BPCB Prambanan yang bertanggung Kaśyapa dengan Kadrū adalah seribu ular, dimulai jawab atas konservasi Candi Plaosan, ternyata dari Bāsuki, Śeṣa, Takṣaka, Kapila, Kanortaka, kedua batu persegi itu tidak tertera dalam Dhanañjaya‟. inventaris koleksinya.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 177 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot) yang biasa, jejak suatu ritual untuk UCAPAN TERIMA KASIH pembangunan candi dan pembatasan ruang yang digunakan.26 Data yang Kami berterima kasih atas terhimpun belum memungkinkan untuk dukungan pemikiran dan persahabatan memahami organisasi ritual itu yang dari Henri Chambert-Loir, Emmanuel sebenarnya atau fakta bahwa di Francis, dan Marijke Klokke yang telah sejumlah batu diterakan mata angin menyumbangkan saran dan koreksi yang sama. penting pada versi terdahulu kajian ini, serta kepada Vincent Tournier, yang membantu kami pada titik awal penelitian.

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient BKI Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (van Nederlandsch-Indië) KJKI Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Gambar 13. Dua penutup peripih di Candi Plaosan Lor Zoetmulder (dengan Robson) (Sumber: OD 14978). 1995

26 Menurut kami sangat mungkin kedua piring bulat

yang masing-masing bertuliskan madya „pusat‟ dan dak·sina „selatan‟, yang pernah dilihat oleh Stutterheim (1924: 292 dan 1927: 191) di Berlin, digunakan dalam fungsi yang serupa. Kami tidak berhasil memeriksa foto-foto yang disebutkan oleh Damais (1995: 152 cat. 51 [= 1969: 83–84 cat. 7]; artikel itu, yang diterbitkan anumerta, menyatakan secara salah bahwa Stutterheim tidak menyebutkan piring itu dalam artikel tahun 1924), sebaliknya kami sempat memeriksa kedua piring tersebut di Berlin pada September 2010 dalam gudang Museum für Asiatische Kunst yang menyimpan- nya dengan nomor inventaris II 644 dan 645.

178 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

DAFTAR PUSTAKA

van Aalst, J. 1899. ―Opgaven omtrent verschillende hindoe-oudheden, voorkomende in de controle-afdeling Pråbålinggå, regentschap Magelang, residentie Kedoe‖ dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 41. Hlm. 391–415.

Acri, Andrea & Roy Jordaan. 2012. ―The Dikpālas of ancient Java revisited. A new identification for the twenty-four directional deities on the Śiva temple of the Loro Jonggrang complex‖ dalam BKI 168. Hlm. 274–313.

Adelaar, K. Alexander. 1997. ―An Exploration of Directional Systems in West Indonesia and Madagascar‖ dalam Gunter Senft (ed.) Referring to Space. Studies in Austronesian and Papuan Languages. Oxford: Clarendon Press. Hlm. 53–81.

Aichele, W. 1959. ―Lor-kidul (zu Nāgarakṛtāgama 82 und 683)‖ dalam BKI 115. Hlm. 328– 335. de Casparis, J.G. 1950. Inscripties uit de Çailendra-Tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung: A.C. Nix.

______1958. Short Inscriptions from Tjaṇḍi Plaosan-Lor. Berita Dinas Purbakala / Bulletin of the Archaeological Service of the Republic of Indonesia No. 4. Djakarta.

Damais, Louis-Charles. 1952. ―Études d‘épigraphie indonésienne. III. Liste des principales inscriptions datées de l‘Indonésie‖ dalam BEFEO 46. Hlm. 1–105.

______1955. ―Études d‘épigraphie indonésienne. IV. Discussion de la date des inscriptions‖ dalam BEFEO 47. Hlm 7–290.

______1995. ―Tentang perlambangan warna pada mata angin‖ dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: EFEO. Hlm. 111–164. (Terjemahan dari ―Études javanaises III. A propos des couleurs symboliques des points cardinaux‖ dalam BEFEO 56 (1969). Hlm. 75– 118.)

Degroot, Véronique. 2009. Candi, Space and Landscape. A study on the distribution, orientation and spatial organization of Central Javanese temple remains. Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, 38. Leiden: Sidestone.

Degroot, Véronique & Marijke J. Klokke. 2010. ―Interrelationships among Central Javanese temple: the example of Asu, and Pendem‖ dalam Archipel 80. Hlm. 45–75.

Dumarçay, Jacques. 1993. Histoire architecturale de Java. Mémoires archéologiques XIX. Paris: EFEO.

Goodall, Dominic. 2011. ―The throne of worship: an ‗archaeological tell‘ of religious rivalries‖ dalam Studies in History 27/2 (terbit 2013). Hlm. 221–250.

Gonda, Jan. 1932. Het Oud-Javaaansche Brahmāṇḍapurāṇa. Proza-text and Kakawin, uitgegeven en van aantekeningen voorzien. Bandoeng: A.C. Nix & Co.

______1933. Het Oud-Javaaansche Brahmāṇḍa-Purāṇa vertaald. Bandoeng: A.C. Nix & Co.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 179 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

______1933–36. Agastyaparva. Uitgegeven, gecommentarieerd en vertaald. Diterbitkan secara bertahap dalam BKI 90 (1933), 92 (1935) dan 94 (1936).

Groeneveldt, W.P. 1887. Catalogus der archeologische verzameling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht.

Hoepermans, N.W. 1914. ―Hindoe-oudheden van Java‖ dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië 1913. Hlm. 73–372.

Klokke, Marijke J. 1994. ―On the orientation of ancient Javanese : the example of Candi Surowono‖ dalam IIAS Yearbook 1994. Hlm. 73–86.

______2006. ―The history of Central Javanese architecture: architecture and sculptural decoration as complementary sources of information‖ dalam H. Chambert-Loir & B. Dagens (ed.) Anamorphoses: hommage à Jacques Dumarçay. Paris: Les Indes Savantes. Hlm 49–68. Krom, N.J. 1915. ―Inventaris der Hindoe-oudheden op den grondslag van Dr R.D.M. Verbeek‘s Oudheden van Java‖ dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië 1914. Hlm. 1–358.

Nugrahani, D.S., Hery Priswanto & Imam Fauzi. 1998. Laporan Ekskavasi Penyelamatan Situs Gunungsari 1998. Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Nugrahani, D.S., Tjahjono Prasodjo & Baskoro Daru Tjahjono. 1998. Laporan Ekskavasi Penyelamatan Situs Gunungsari Tahap II 1998.

Poerbatjaraka, R. Ng. Dr. 1931. Smaradahana. Oud-Javaansche tekst met vertaling. Bandoeng: A. C. Nix & Co.

Rita Margaretha Setianingsih. 2002. Kumpulan Prasasti Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta. Bogem: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rizky Sasono, M., Ferry Adyanto & Jean-Pascal Elbaz. 2002. Situs-situs Marjinal/Sanctuaires retrouvé /Sites out of Sight. Enrique Indonesia.

Sarkar, Himansu Bhusan. 1971. Corpus of the Inscriptions of Java (up to 928 A.D.) Jilid I. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhyaya.

Soekmono, R. 1979. ―The archaeology of before 800 A.D.‖ dalam R.B. Smith & W. Watson (ed.). Early South East Asia. Essays in archaeology, history and historical geography. New York – Kuala Lumpur: Oxford University Press. Hlm. 457–472.

Stutterheim, W.F. 1924. ―Oudjavaansche plastiek in Europeesche musea‖ dalam BKI 80. Hlm. 287–301.

______1928. ―Nog eens de collectie Dieduksman‖ dalam Oudheidkundig Verslag 1927. Hlm. 189–193.

Sudarshana Devi. 1957. Wṛhaspati-tattwa, an Old Javanese philosophical text. Nagpur: International Academy of Indian Culture.

180 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

Swellengrebel, J.L. 1936. Korawāśrama. Een Oud-Javaansch proza-geschrift, uitgegeven, vertaald en toegelicht. Santpoort: C.A. Mees.

Verbeek, R.D.M. 1891. Oudheden van Java. Lijst der voornaamste overblijfselen uit den hindoetijd op Java met een oudheidkundige kaart. ‘s Gravenhage: Nijhoff dan Batavia: Landsdrukkerij.

Vogler, E.B. 1953. ―Ontwikkeling van de gewijde bouwkunst in het Hindoeïstische Midden-Java‖ dalam BKI 109. Hlm. 249–272.

Weatherbee, Donald E. 2000. ―The Hyang Haji of the Gandasuli II Inscription, circa 832 AD‖ dalam Lokesh Chandra (ed.) Society and Culture of Southeast Asia: Continuity and Changes, Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan. Hlm. 345–353.

Williams, Joanna. 1981. ―The date of Barabudur in relation to other Central Javanese monuments‖ dalam L.O. Gomez & H.W. Woodward (ed.) Barabudur. History and significance of a Buddhist monument. Berkeley Buddhist Studies Series, 2. Berkeley: University of California Press. Hlm. 25–46.

Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature. Den Haag: Martinus Nijhoff.

______1995. bekerja sama dengan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna- Indonesia. 2 jilid. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 181 dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)

182 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182