KONDISI JAWA TENGAH PADA ABAD VIII SAMPAI ABAD XV M

Oleh: Siti Maziyah

ABSTRACT

Using historical method, this research attempts to find out Central condition in the 8th to 15th Centuries. Collecting data from ancient inscriptions, ancient books, and earlier researches, indications are found that the 8th to 10th centuries seems existing as an old kingdom territory, but in the 11th to 15th centuries, it became a subordinate territory in the old kingdom. Data also indicate that the centre of the kingdom often changed places.

Keywords: ancient Central Java, old kingdom, subordinate territory

A. PENDAHULUAN yakni Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta Jawa Tengah adalah sebuah masih merupakan daerah swapraja provinsiIndonesia yang terletak di bagian kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dan terdiri dari dua wilayah, yaitu dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, barat, Samudra Hindia dan Daerah sebagaimana yang terdiri dari Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Pakualaman dan Kasultanan Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Ngayogyakarta. Masing-masing gewest Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas itu Gewest Rembang juga meliputi Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga Regentschap Tuban dan meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah Bojonegoro.Setelah diberlakukannya selatan, serta Kepulauan Karimun Jawa di Decentralisatie Besluit pada tahun 1905, Laut Jawa. gewesten diberi otonomi dan dibentuk Pengertian Jawa Tengah secara Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk geografis dan budaya kadang-kadang juga gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu mencakup wilayah Daerah Istimewa Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai dan Magelang. "jantung" budaya Jawa. Meskipun Sejak tahun 1930, provinsi demikian, di provinsi ini ada pula suku ditetapkan sebagai daerah otonom yang bangsa lain yang memiliki budaya yang juga memiliki Dewan Provinsi berbeda dengan suku Jawa seperti suku (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa beberapa karesidenan (residentie), yang Barat, ada pula warga Tionghoa-, meliputi beberapa kabupaten Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang (regentschap), dan dibagi lagi dalam tersebar di seluruh provinsi ini. beberapa kawedanan (district). Provinsi Menurut sejarahnya, Jawa Tengah Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, sebagai provinsi dibentuk sejak zaman yaitu Pekalongan, Jepara-Rembang, Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Semarang, Banyumas, dan Kedu. Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) Setelah kemerdekaan Indonesia, desa/kelurahan.Sebelum diberlakukannya pada tahun 1946 pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang daerah swapraja Kasunanan dan Pemerintahan Daerah, Jawa Tengah juga Mangkunegaran, dan dijadikan terdiri atas 4 kota administratif, yaitu karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, dan Undang-Undang ditetapkan pembentukan Klaten. Namun sejak diberlakukannya kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah Otonomi Daerah tahun 2001 kota-kota yang meliputi 29 kabupaten dan 6 administratif tersebut dihapus dan menjadi kotamadya. Penetapan Undang-Undang bagian dalam wilayah kabupaten. Adanya tersebut hingga kini diperingati sebagai kebijakan otonomi daerah, menyebabkan 3 Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni kabupaten memindahkan pusat tanggal 15 Agustus1950. pemerintahan ke wilayahnya sendiri, yaitu Secara administratif, Provinsi Jawa Kabupaten Magelang, dari Kota Magelang Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 ke Mungkid; Kabupaten Tegal, dari Kota kota. Administrasi pemerintahan Tegal ke Slawi; serta Kabupaten kabupaten dan kota ini terdiri atas 545 Pekalongan, dari Kota Pekalongan ke kecamatan dan 8.490 Kajen.

Peta Jawa Tengah (sumber: Wikipedia)

Permasalahan yang muncul pada demikian, maka data utama yang artikel ini adalah bagaimanakah kondisi digunakan di dalam penelitian ini adalah Jawa Tengah pada abad VIII sampai abad prasasti-prasasti sezaman dengan XV M, khususnya dalam kancah permasalahan yang dikaji. Prasasti yang pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno di sesuai dengan topik permasalahan dapat Jawa. dilacak pada kumpulan prasasti karya J.L.A. Brandes yang berjudul Oud- B. METODE PENELITIAN Javaansche Oorkonden, yang telah diterbitkan pada VBG (Verhandelingen van Penelitian ini adalah penelitian de Koninklijk Bataviaasch Genootschap van sejarah, khususnya sejarah kuna. Dengan Kunsten en Wetenschappen) Volume LX, maupun pada prasasti-prasasti yang telah Canggal digunakan dalam bentuk candra diteliti oleh para ahli sebelumnya. Setelah sengkala yang berbunyi çrutîndriya rasair ditemukan beberapa prasasti yang atau dalam bahasa Jawa Kuna berbunyi dimaksud, dilakukan penerjemahan untuk çruti-indriya-rasa yang berarti angka mengetahui isi dari masing-masing tahun 654 Ç (732 M). prasasti tersebut. Secara lengkap penanggalan pada Selain prasasti, digunakan pula prasasti Canggal berbunyi sebagai berikut: kitab-kitab kesusasteraan serta hasil-hasil —Çâkendre‘tigate çrutîndriyaœrasair penelitian terdahulu yang dapat menunjang ankîkêrte vatsare. Vârendrau dhavala- data. Setelah semua data yang diperlukan trayodaçi-tithau bhadrottare kartika. terkumpul, dilakukan interpretasi dan Lagne kumbhamaye...“ Artinya: —Pada selanjutnya dirangkai dalam sebuah tulisan tahun Çaka yang telah lalu dengan ditandai berupa hasil penelitian yang menjawab angka —çrutîndriyaœrasa“ yang berarti permasalahan yang telah dikemukakan. angka tahun 654 Ç (732 M), hari Senin, hari baik, tanggal 13 paro terang, bulan C. HASIL DAN PEMBAHASAN Kartika, dalam naungan zodiak Kumbha (Aquarius)“. 1. Sumber-Sumber Penting mengenai Menurut penanggalan Masehi, Keberadaan Jawa Tengah tanggal 13 paro terang, bulan Kartika

tahun 654 Ç adalah sama dengan tanggal Ada beberapa prasasti penting yang 28 Oktober 732 M. Pada waktu itu Sanjaya memuat informasi mengenai keberadaan yang sebenarnya telah naik tahta sejak daerah-daerah di Jawa Tengah terutama tahun 717 M, mendirikan sebuah lingga pada masa-masa yang sangat awal. (perwujudan Dewa Çiwa dalam bentuk Prasasti-prasasti itu menunjukkan adanya tugu batu) di bukit Çtirangga untuk peristiwa-peristiwa penting di daerah Jawa keselamatan rakyatnya karena sebelumnya Tengah lengkap dengan penanggalannya, kerajaan itu telah diserang oleh tentara seperti pada prasasti Canggal Sriwijaya yang mengakibatkan kerusakan (Poerbatjaraka, 1952), prasasti Mantyasih hebat. Pada kesempatan itu pula Sanjaya (de Caparis, 1950:124-6) dan prasasti menyatakan bahwa ia adalah putra Wanua Tengah III (Kusen, 1988). Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Prasasti Canggal adalah prasasti Dengan kata lain, Sanjaya menggunakan yang pertama ditemukan di daerah prasasti Canggal ini sebagai sarana Jawa Tengah, tepatnya di halaman legitimasi terhadap tahtanya pada Kerajaan percandian di atas Gunung Wukir, desa Mataram Kuna. Canggal, Kecamatan Salam, Kabupaten Sebetulnya ada prasasti yang lebih Magelang. Prasasti itu masih tua menurut paleografinya, yaitu prasasti menggunakan bahasa Sansekerta dan Sojomerto yang ditemukan di daerah hurufnya pun masih berbentuk huruf Pekalongan. Prasasti itu berbahasa Melayu Pallawa, sebagaimana prasasti-prasasti Kuna dan menyebutkan nama Dapunta yang dikeluarkan sezaman seperti pada Salendra beserta nama ayah dan ibunya, prasasti Tuk Mas yang sebenarnya yaitu Santanu dan Bhadrawati, serta nama berdasarkan paleografi menunjukkan masa istrinya yaitu Sampula. Di dalam prasasti yang lebih tua daripada prasasti Canggal, itu masih ada satu tokoh lagi yang disebut maupun pada prasasti-prasasti dari dengan predikat Hiyang, jadi mungkin Kerajaan Sriwijaya. Perbedaan yang merupakan tokoh yang telah diperdewakan sangat nyata dengan prasasti-prasasti dari dan dianggap sebagai leluhur Dapunta Sriwijaya terletak pada penulisan angka Salendra. Dari nama Dapunta Salendra ini tahun, karena pada prasasti-prasasti dari kemudian diyakini oleh para ahli sejarah Sriwijaya itu angka tahun menggunakan bahwa tokoh inilah cikal-bakal raja-raja angka biasa, sedangkan pada prasasti Mataram Kuna di Jawa Tangah. Meskipun dan sejarahnya dapat dibedakan dengan demikian, prasasti Mantyasih, 907 M dan daerah di Jawa Barat maupun di Jawa prasasti Wanua Tengah III, 908 M Timur. Sumber tertua yang menyebut menyatakan bahwa sebenarnya cikal-bakal pulau Jawa dengan kata Yawa, sekaligus raja-raja Mataram Kuna adalah Sanjaya menginformasikan keberadaan Jawa dengan menyebutkannya sebagai raja Tengah pada zaman kuna dalam artian Mataram Kuna yang pertama. Kedua sebagai sebuah daerah kerajaan adalah prasasti itu dikeluarkan oleh Rakai prasasti Canggal (Poerbatjaraka, ibid, hlm. Watukura Dyah Balitung yang dapat naik 52-55). Prasasti yang ditemukan di tahta karena perkawinannya dengan salah halaman percandian di atas Gunung seorang putri raja seperti yang diberitakan Wukir, desa Canggal, Kecamatan Salam, oleh prasasti Mantyasih, 907 M. Pada Kabupaten Magelang ini dikeluarkan oleh prasasti itu juga disebutkan raja-raja Raja Sañjaya pada tanggal 6 Oktober 732 Mataram Kuna yang berkuasa di Medang M untuk memperingati telah didirikannya yang terletak di Poh Pitu. Anehnya, raja- bangunan suci untuk pemujaan lingga di raja yang telah disebutkan pada prasasti itu daerah itu. Kerajaan itu bernama Mataram kemudian direvisi melalui prasasti Wanua dan beribukota di Mêdang seperti yang Tengah III yang diterbitkan setahun disebutkan oleh prasasti Sanguran 928 M, setelah prasasti Mantyasih. Kondisi ini —kadatwan i Mêdang“ (Brandes, op.cit.). sebenarnya juga merupakan suatu Sañjaya adalah raja pertama yang legitimasi terhadap tahta kerajaan. bertahta di Mêdang, yang terletak di Poh Selain ketiga prasasti tersebut masih Pitu yang sampai sekarang keberadaannya banyak lagi prasasti yang berhubungan tidak diketahui dengan jelas. Keterangan dengan wilayah Jawa Tengah. Akan tetapi, ini diketahui berdasarkan daftar urutan ketiga prasasti tersebut sudah dapat raja-raja pada prasasti Mantyasih dan mewakili wilayah Jawa Tengah dan situasi prasasti Wanua Tengah III. Daftar itu pemerintahan pada masa Kerajaan bukan merupakan silsilah, karena pada Mataram Kuna. Prasasti-prasasti yang lain prasasti Mantyasih raja-raja itu disebut akan digunakan sebagai data pendukung sebagai rahyang ta rumuhun ri mdang ri dalam pembahasan selanjutnya. poh pitu yang maksudnya adalah raja-raja terdahulu yang memerintah di Mêdang 2. Jawa Tengah Abad VIII-X M: yang yang terletak di Poh Pitu. Urutan Daerah Kerajaan Kuna raja-raja Medang menurut kedua prasasti Jawa Tengah adalah suatu kawasan di itu adalah sebagai berikut: Pulau Jawa, yang berdasarkan kebudayaan

No. Prasasti Mantyasih, Pras. Wanua Tengah III, Tahun 907 M 908 M Pemerintahan Nama Raja Nama Raja 1. Rakai Mataram Sang Rahyanta ri Mdang ri Poh Tak disebut Ratu Sanjaya* Pitu* 2. Rakai Panangkaran* Rakai Panangkaran* 746-784 3. Rakai Panunggalan Rakai Panaraban 785-803 4. Rakai Warak Rakai Warak Dyah Manara 804-827 5...... Dyah Gula 828-828 6. Rakai Garung* Rakai Garung * 829-847 7. Rakai Pikatan* Rakai Pikatan Dyah Saladu* 848-855 8. Rakai Kayuwangi* Rakai Kayuwangi Dyah 856-885 Lokapala 9...... Dyah Tagwas 885-885 10...... Rakai Panumwangan Dyah 885-887 Dewendra 11...... Rakai Gurunwangi Dyah 887-887 Badra 12. Rakai Watuhumalang Rakai Wungkal Humalang 894-898 Dyah Jbang 13. Rakai Watukura Dyah Rake Watukura Dyah Cri 899-911 Balitung Dharmmodaya Icwarakecawotsawatungga Mahasambhu Rudramurti

Keterangan: Daftar nama raja-raja tersebut tidak semuanya menunjukkan hubungan darah antara ayah dengan anak. * : terdapat hubungan darah ayah dan anak (Sumber: Prasasti Wanua Tengah III, 830 Çaka)

Menurut prasasti Mantyasih, 907 mempunyai daerah lungguh di daerah M dan prasasti-prasasti sebelumnya, Kedu Selatan. Dengan demikian, maka seperti prasasti Kelurak, 782 M (Bosch, dapat disimpulkan bahwa pusat kerajaan 1928:1-56), prasasti Abhaygiriwihara, 792 yang dimaksud tersebut di atas berada di M (Casparis, op.cit. hlm. 21-22), prasasti daerah Kedu. Poerbatjaraka menunjukkan Kayumwungan, 824 M (ibid. hlm. 38-41), bahwa Desa Watukara masih ada hingga dan prasasti Sojomerto yang berdasarkan sekarang, yaitu di Kecamatan Bubutan, paleografi berasal dari pertengahan abad Kabupaten Purworejo, di sebelah barat VII (Poesponegoro, 1993:90-91), raja-raja Sungai Bogowonto, dekat pantai selatan tersebut di atas ternyata merupakan (lihat Poerbatjraka, 1932:514-520). anggota wangsa Çailendra, wangsa yang Melihat kenyataan ini, maka mungkin berkuasa di Jawa Tengah semenjak abad sekali Rakai Panangkaran telah VIII M sampai abad X M. Keterangan ini memindahkan pusat kerajaannya ke daerah antara lain disebutkan oleh prasasti sekitar , atau di , atau di Mantyasih yang menyatakan bahwa Rakai daerah Purwodadi-Grobogan. Hal ini dapat Panangkaran telah menamakan dirinya diketahui berdasarkan informasi dari sebagai —Permata Wangsa Çailendra“. prasasti Kelurak, 782 M yang menyatakan Rakai Panangkaran adalah putra Sañjaya bahwa ia telah membangun serangkaian yang kemudian meninggalkan ajaran candi kerajaan di daerah Prambanan, agama Siwa dan kemudian menjadi antara lain Candi untuk pemujaan penganut agama Budha Mahayana. Mañjusri, Candi Plaosan Lor yang Pemindahan agama ini dilatarbelakangi melambangkan kesatuan kerajaan, dan di oleh adanya penyakit yang diderita oleh daerah Kedu, Candi untuk Sañjaya hingga meninggalnya dalam pemujaan terhadap pendiri wangsa penderitaan yang amat sangat. Penyakit itu Çailendra. Ia juga membangun Candi datangnya diakibatkan karena Sañjaya Kalasan pada tahun 778 M, membangun ingin mematuhi ajaran gurunya yang sebuah bangunan di bukit Ratu Baka pada beragama Siwa. Karena takut, kemudian tahun 778 M, serta sebuah biara di bukit Rakai Panangkaran berpindah agama dan Ratu Baka pada tahun 792 M. Selain itu, di memindahkan pusat kerajaannya ke arah daerah Prambanan, di Bogem dan di desa timur dari daerah Kedu. Boyolali masih terdapat sisa-sisa bangunan Berdasarkan gelar kerakaian yang candi Budha yang besar, seperti arca-arca dimiliki oleh Balitung sebagai raja yang Budha dan Bodhisatwa, yang pantas mengeluarkan prasasti Mantyasih, yaitu diletakkan di halaman candi. Adapun di Rakai Watukura, menunjukkan bahwa ia daerah Purwodadi-Grobogan ditemukan toponim nama-nama kuno seperti Mêdang, sekarang masih ada kota kecamatan yang Gunung Tugêl, dan sebagainya. Di bernama Garung di lereng barat Gunung Gunung Tugêl sampai sekarang masih Sindoro dan Sumbing (Poesponegoro, terdapat sekelompok masyarakat yang op.cit, hlm. 117). beragama Hindu dan aktif menjalankan Di daerah Temanggung, di dekat agamanya itu karena ditunjang oleh Candi Perot, ditemukan kembali dua buah adanya semacam kuil untuk menjalankan prasasti di atas batu yang cukup besar, aktivitas agamanya itu. yaitu prasasti Tulang Air. Keterangan di Prasasti Kayumwungan, 824 M dalamnya menyebutkan adanya penetapan ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa suatu daerah sima di desa Tulang Air oleh Sansekerta dan bahasa Jawa-Kuna. Bagian Rakai Patapan pu Manuku pada hari yang berbahasa Sansekerta berisi Minggu Pahing, paringkelan Tunglai, keterangan mengenai raja , tanggal 15 Juni 850 M. Pada waktu itu anak Rakai Panangkaran, yang disebut yang menjadi raja adalah Rakai Pikatan. Ia sebagai permata wangsa Çailendra, dan mendapatkan tahta kerajaan karena anak perempuannya yang bernama menikahi Pramodawarddhani sebagai putri Pramodawarddhani. Putri ini telah mahkota. Sebagai penganut agama Çiwa, mendirikan sebuah bangunan suci agama maka Rakai Pikatan memerintahkan Budha dengan nama Çrimad Wenuwana membangun candi kerajaan berlandaskan dan mentahbiskan arca Çri Ghananatha di agama Çiwa, yaitu percandian Loro dalamnya. Sedangkan bagian yang Jongrang di Prambanan. Informasi ini berbahasa Jawa Kuna menyebutkan bahwa diketahui dari prasasti Çiwagerha, 885 M. pada waktu yang sama Rakayan Patapan Untuk menunjukkan perhatiannya pada pu Palar suami-istri memberikan tanah istrinya yang beragama Budha, ia sawah di Waluang, di Babadan, dan di menambahkan dua candi perwara di Kisir yang termasuk wilayah kompleks Candi Plaosan Lor berupa Kayumwungan, serta di Santwi Karung bangunan stupa pada percandian itu. yang termasuk wilayah Tri Haji. Seluruh Kedua stupa itu bertuliskan asthupa Çri sawah yang memerlukan benih sebanyak Maharaja Rakai Pikatan dan anumoda 16,5 amet padi itu dijadikan simabagi Rakai Guruwangi dyah Saladu (Casparis, bangunan suci yang didirikan oleh 1950). Kedua tulisan itu berbeda dengan Pramodawarddhani itu (lihat Schrieke, tulisan pada candi perwara yang lain. Hal 1975). Berdasarkan nama-nama desa yang ini membuktikan bahwa kedua stupa itu disebut di dalam prasasti itu, dapat merupakan bangunan tambahan. diperkirakan bahwa tanah sawah yang Pada masa pemerintahan Rakai dijadikan sima itu terdapat di daerah Pikatan terjadi perang perebutan tahta Parakan-Temanggung. Dengan demikian, yang berlangsung selama satu tahun. Rakai seharusnya bangunan suci itu berada di Walaing adalah seorang raja daerah yang daerah Parakan-Temanggung juga karena mencoba merebut tahta itu. Pada saat itu prasasti itu sendiri menyatakan bahwa Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, anak candi itu dibangun di daerah itu (iha bungsu Rakai Pikatan, berhasil mendesak grame). Rakai Walaing yang kemudian mendirikan Casparis (op.cit, hlm. 125) benteng pertahanan di Bukit Ratu Baka. Di mengidentifikasikan Rakarayan Patapan tempat itu Rakai Walaing sempat pu Palar sebagai Rakai Garung. Menurut mendirikan berbagai bangunan lingga bagi Casparis, dalam salah satu prasasti pernah Çiwa dalam berbagai aspeknya sebagai disebutkan wihara i garung dan karena upaya magis untuk memperoleh amat terkenalnya bihara di Garung itu, kemenangan. Setelah kemenangan maka daerah Garung disebut juga sebagai diperoleh oleh Rakai Kayuwangi, maka ia Patapan (tempat pertapaan). Sampai kemudian dinobatkan menjadi raja pada tahun 856 M dan kraton Kerajaan yang berangka tahun 914 M. Prasasti itu Mataram di pindah ke Mamratipura. Ia menyebutkan tentang upacara yang memerintah sampai tahun 883 M. dilakukan Daksa bersama dengan istrinya, Setelah masa pemerintahan Rakai akan tetapi tidak jelas upacara apa yang Kayuwangi terjadi banyak intrik di mereka jalankan itu. Setelah pemerintahan kerajaan, hingga kemudian muncul tokoh Daksa, kondisi pemerintahan semakin yang menarik, yaitu Çri Maharaja Rakai tidak stabil dan sebagai Watukura Dyah Balitung Çri ketidakstabilan itu ditandai dengan adanya Dharmmodaya Mahasambhu. Masa letusan Gunung Merapi yang terhebat pemerintahannya berlangsung selama 12 dalam sejarahnya kurang lebih pada tahun (899-911 M). Berdasarkan gelar perempat pertama abad X M. R.W. van kerakaiannya tokoh ini berasal dari daerah Bemmelem menyatakan bahwa letusan itu Kedu selatan. Menurut prasasti Mantyasih, demikian dahsyatnya sehingga sebagian 899 M, ia dapat naik tahta Kerajaan besar puncaknya hilang dan terjadi Mataram karena pernikahannya dengan pergeseran lapisan tanah ke arah barat putri mahkota. Perkawinan seorang raja daya sehingga terjadi lipatan yang antara disebutkan dalam sebuah prasasti lain membentuk Gunung Menoreh. merupakan peristiwa langka, hal ini Letusan itu disertai dengan gempa yang menunjukkan bahwa perkawinan itu amat hebat, banjir lahar, hujan abu, dan batu- penting artinya bagi raja yang batuan yang sangat mengerikan bersangkutan. Tanpa adanya perkawinan (Bemmelem, 1949:560-562). Kondisi itu itu, kemungkinan Rakai Watukura Dyah menyebabkan rusaknya ibukota Medang Balitung tidak akan dapat menduduki tahta dan daerah pemukiman di Jawa Tengah, kerajaan. Peristiwa penting yang terjadi sehingga oleh rakyat dirasakannya sebagai pada masa pemerintahannya adalah adanya pralaya atau kehancuran dunia. Salah satu perluasan wilayah kekuasaaan ke daerah bukti dari kondisi yang digambarkan oleh Jawa Timur seperti yang terekam pada R.W. van Bemmelem itu adalah prasasti Kubu-Kubu, 905 M. Adapun tertimbunnya kompleks Candi prasasti Telang, 904 M merekam peristiwa di daerah Kalasan sedalam 7 meter di dibuatnya tempat penyeberangan di bawah tanah. Selain itu beberapa Paparahuan, di tepi Bengawan Solo. penggalian arkeologis menunjukkan Tempat ini sekarang namanya desa Praon bahwa wilayah di daerah Yogyakarta dan yang terletak di daerah Wonogiri. Rakai sekitarnya, bahkan sampai di daerah Watukura membuat tempat penyeberangan Bantul menunjukkan bahwa lapisan tanah ini untuk melaksanakan nazar seorang raja pada bagian atas itu mengandung pasir yang telah memerintah sebelumnya, yaitu yang cukup dalam. Hal ini tentu saja haji dewata sang lumah ing Çataçerngga diakibatkan oleh adanya bencana alam (raja yang telah diperdewakan dan yang hebat itu. dimakamkan di Çataçerngga). Çataçerngga Adanya kondisi yang demikian ini adalah daerah di sekitar pegunungan mengakibatkan Raja Sindok kemudian Dieng, seperti yang dikatakan oleh prasasti memindahkan letak ibukota kerajaan itu ke Kuti, 804 M, bahwa di dalam prasasti itu tempat yang lebih aman dan lebih suci, Gunung Çataçerngga disebut sesudah yaitu ke wilayah Jawa Timur, di Gunung Dihyang. Tamwlang. Informasi ini diperoleh melalui Setelah masa pemerintahan Rakai prasasti Turyyan 929 M. Dengan Watukura, kondisi politik pemerintahan demikian, pada waktu itu kemudian daerah tidak stabil. Pada masa pemerintahan di Jawa Tengah tidak lagi menjadi daerah Daksa sebagai penggantinya, ditemukan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram prasasti berupa lempengan emas dan perak Kuna, karena daerah itu sudah dianggap di desa Pesindon, Kabupaten Wonosobo, tidak mempunyai kesakralan yang dapat mendukung keberlangsungan ternyata justru mendekati bentuk-bentuk pemerintahan itu sendiri. Sesuai dengan arsitektur bangunan masa prasejarah, yaitu landasan kosmogonis, maka harus dalam bentuk bangunan yang berteras atau didirikan kerajaan baru dengan wangsa berundak-undak, dengan teras teratas baru pula. Oleh karena itu Pu Sindok sebagai tempat tersakral. Pada bagian itu membangun kembali Kerajaan Mataram di dibuat sebuah candi induk dalam bentuk Jawa Timur dengan tetap mempertahankan bangunan piramida terpancung, dan pada nama Mataram. bagian puncaknya terdapat sebuah altar sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, 3. Jawa Tengah pada Abad XI-XV M berdasarkan struktur bangunannya, kompleks percandian ini ternyata Setelah Kerajaan Mataram Kuno menunjukkan seperti kompleks-kompleks dipindahkan ke Jawa Timur pada sekitar percandian di Jawa Timur, yaitu —berjalan perempat pertama abad X M sampai awal ke belakang“, dalam artian, tempat yang abad XII M, maupun kemudian pada masa paling suci berada di tempat paling Kerajaan Jenggala, Kerajaan Kediri serta belakang. Lokasi bangunan itu tepatnya Kerajaan Singhasari, daerah Jawa Tengah berada di Bukit , oleh karena itu, tidak disebut-sebut lagi di dalam prasasti. kompleks percandian itu kemudian Hal ini terjadi karena Kerajaan Mataram dinamai Candi Sukuh. Di dekat Bukit tersebut sedang meluaskan daerah Sukuh juga ditemui bangunan percandian pemerintahannya di wilayah Jawa Timur. yang arsitekturnya hampir sama, Adapun daerah di Jawa Tengah pada berundak-undak, dinamai Candi Cetho. periode itu tinggal menjadi daerah Pada Candi Sukuh itu ditemui tiga bawahan saja yang tidak banyak berperan candra sangkala memet, yaitu candra penting pada proses pemerintahan, sengkala dalam bentuk gambar, yang sehingga tidak banyak yang menyebutkan semuanya menyebutkan angka tahun yang daerah itu kecuali pada naskah sama yaitu tahun 1359 Ç (1437 M). Ketiga Nagarakertagama yang digubah pada masa candra sangkala memet itu dapat dibaca Kerajaan Majapahit. Daerah-daerah Jawa sebagai berikut: —wiwara wiyasa anahut Tengah yang disebut oleh naskah jalu“. Sedangkan pada patung yang Nagarakertagama adalah Watukura (pupuh terletak di depan candi induk, yang 77:3), Mêdang (pupuh 78:5), Pikatan menggambarkan cerita Garudeya, ditemui (pupuh 17:4; 73:3), Waleri (pupuh 41:4), prasasti yang menuliskan angka tahun Sêcang (pupuh 23:1), Têlang (pupuh 76:4), 1363 Ç (1441 M). Dengan demikian dapat Lasêm (pupuh 5:1; 6:1; 12:2, 18:3; 59:3; diketahui bahwa proses pembuatan Candi 84:5), Mataram (pupuh 6:3), Matahun Sukuh itu terjadi menjelang pertama abad (pupuh 6:1; 12:2; 58:3; 65:3), dan Pajang XV M, pada saat menjelang keruntuhan (pupuh 5:2; 6:2; 18:3; 59:3; 84:4). Kerajaan Majapahit. Menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit yang diakibatkan oleh 4. Ibukota Kerajaan yang Berpindah- datangnya pengaruh Islam, banyak pindah masyarakat yang beragama Hindu merasa terdesak oleh ajaran baru itu dan berusaha Pada tulisan bagian 3.2. di atas, untuk tetap mempertahankan agamanya berdasarkan berita dari prasasti, dapat dengan jalan mendirikan bangunan- diketahui bahwa Kerajaan Mataram bangunan suci di daerah-daerah perbukitan setidaknya mengalami empat kali tempat mereka melarikan diri mencari pemindahan pusat pemerintahan. Pusat keamanan dalam menjalankan agama pemerintahan pertama berada di Mêdang mereka di daerah Karanganyar, Surakarta. yang terletak di Poh Pitu, daerah yang Bentuk arsitektur bangunan-bangunan itu berada di sekitar Kedu. Ibukota kerajaan itu kemudian dipindahkan lebih ke timur hancuran. Pralaya adalah zaman yang oleh Rakai Panangkaran. Letaknya tidak dikuasai oleh Dewi Kali, sehingga diketahui secara jelas, karena di prasasti mengakibatkan orang-orang selalu berbuat pun tidak disebutkan letak Mêdang pada negatif (Poesponegoro, op.cit, hlm. 88- masa pemerintahan Rakai Pangkaran itu. 190). Dewi Kali adalah perwujudan istri Hanya berdasarkan tinggalan-tinggalan Çiwa dalam kondisi marah. Satu-satunya arkeologisnya dapat diperkirakan berada di tokoh yang dapat meredam amarah Dewi daerah sekitar Prambanan. Kemudian Kali adalah Wisnu. ibukota kerajaan itu dipindah lagi oleh Konsep pralaya itu bermacam- Rakai Kayuwangi, karena daerah di sekitar macam, misalnya di dalam prasasti Prambanan sudah dianggap tidak sakral Çiwagerha, 856 M dikatakan bahwa lagi, karena di daerah itu telah terjadi pralaya yang terjadi di kerajaan Rakai perang perebutan tahta antara Rakai Pikatan diakibatkan oleh serangan dari Pikatan dengan Rakai Walaing, seorang Rakai Walaing yang mengakibatkan raja daerah. Oleh karena itu, ketika Rakai kerajaan Rakai Pikatan menjadi porak- Kayuwangi naik tahta menggantikan Rakai poranda. Pada masa sebelumnya, yaitu Pikatan, letak Mêdang, ibukota kerajaan pada masa Rakai Panangkaran, konsep itu, dipindah ke Mamratipura. Pemindahan pralaya itu terjadi dengan meninggalnya yang ketiga terjadi pada masa Sanjaya yang menderita sakit akibat dari pemerintahan Rakai Watukura Dyah keinginan Sanjaya untuk mematuhi ajaran Balitung, yang berdasarkan kerakaiannya gurunya. Oleh karena itu, kemudian Rakai pusat pemerintahan itu kembali ke daerah Panangkaran tidak saja memindahkan Kedu. Selanjutnya pemindahan yang ibukota kerajaan, tetapi kemudian juga terakhir dilakukan oleh Pu Sindok ke mengganti agama yang dianutnya, yaitu daerah Tamwlang, di Jawa Timur, karena dari agama Hindu kemudian beralih pada terjadi pralaya yang diakibatkan oleh agama Budha. Selanjutnya pada masa Pu meletusnya Gunung Merapi di Jawa Sindok pralaya itu ditunjukkan oleh Tengah. adanya —amarah dari para dewa“ dengan Sebenarnya perpindahan ibukota suatu meletusnya Gunung Merapi. Menurut kerajaan merupakan hal yang biasa pada agama Hindu, satu-satunya yang hidup masa Kerajaan Mataram Kuna. Hal itu pada masa pralaya itu adalah Wisnu. sebenarnya dilandasi oleh kepercayaan Dengan demikian dapat dimengerti jika agama Hindu pada masyarakat Jawa Kuna, kemudian Airlangga yang berhasil yaitu dikenalnya konsep satu hari mengukuhkan kembali kerajaan sebagai konsep waktu berlangsungnya Dharmawangsa Teguh seperti yang dunia. Di dalam konsep itu terdapat diberitakan pada prasasti Pucangan kaliyuga, suatu konsep yang membenarkan menyatakan bahwa dirinya merupakan terjadinya perpindahan pusat titisan dari dewa Wisnu. Konsep adanya pemerintahan, agar tercapai kemakmuran pralaya ini dapat diterapkan pada kembali bagi raja dan seluruh rakyat yang pemerintahan dan individu. Ukuran dipimpinnya. Pada konsep satu hari pralaya dapat juga terjadi pada diri raja Brahma itu, masyarakat Jawa Kuna sebagai wakil dari dewa. Misalnya ada mengenal pembagian zaman menjadi seorang raja yang dapat dibunuh oleh empat babak, yaitu Kertayuga (zaman seorang petani. Menurut kepercayaan Jawa emas), Tertayuga (zaman perak), Kuna, hal ini merupakan suatu pralaya, Dwaparayuga (zaman perunggu), dan karena raja dapat meninggal —hanya“ oleh Kaliyuga (kiamat). Sebelum mencapai seorang petani saja. zaman Kaliyuga ini, terjadi pralaya, yaitu Selain mengenal konsep satu hari proses paling rumit dalam pembabakan Brahma, masyarakat Jawa Kuna juga zaman karena harus melalui proses hancur- memiliki kepercayaan terhadap adanya ketidakstabilan pemerintahan yang menyebutkan sebagai berikut mengakibatkan harus pindahnya pusat (Groeneveldt, 2009:18-19): —Ka-ling juga pemerintahan itu ke tempat lain yang lebih dikenal dengan nama Java, terletak di suci dan penuh dengan perlindungan dari samudra selatan, di sebelah timur dewata. Sebab-sebab berpindahnya pusat dan di sebelah barat Bali. Di sebelah pemerintahan itu dapat terjadi karena raja selatannya terdapat lautan dan di sebelah yang yang memerintah sudah lebih dari 3 utaranya terdapat Kamboja. Penduduknya generasi atau 5, 7, 9, dan seterusnya yang membuat pertahanan dari kayu. Bahkan merupakan urutan ganjil; jika keraton itu bangunan terbesar juga ditutupi oleh daun sudah pernah diduduki atau pernah palem. Mereka memiliki balai-balai dari dikalahkan oleh musuh; serta jika terjadi gading dan tikar yang terbuat dari kulit bencana alam yang dipercaya sebagai terluar dari bambu. Tembok kota terbuat kutukan dari dewa. Meskipun sebab dari balok-balok kayu. Di dalamnya pertama sampai ketiga itu merupakan terdapat sebuah bangunan besar berlantai faktor perpindahan kerajaan, akan tetapi dua yang ditutupi dengan kulit palem faktor yang paling mempengaruhi adalah gomuti. Di gedung inilah raja tinggal. Dia agama (Schrieke, 1957; Geldem, 1942). bertakhta di balai-balai gading.“ Seperti yang telah disebutkan pada tulisan bagian 3.2., bahwa letak ibukota- ibukota kerajaan itu tidak dapat dikenali D. KESIMPULAN lagi sekarang. Hal ini antara lain Berdasarkan hasil penelitian disebabkan bentuk fisik bangunan kraton tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa itu sudah tidak dijumpai lagi. Istana yang daerah Jawa Tengah sebenarnya sudah baru itu biasanya dibangun di sekitar tanah menjadi daerah pusat pemerintahan yang subur. Sering terjadinya perpindahan semenjak awal abad ke VIII M hingga ibukota kerajaan mempengaruhi semua abad X M. Adapun pada abad XI-XV M, sumber daya kekuasaan yang sudah daerah Jawa Tengah bukan merupakan terbatas, tersedot dipergunakan untuk daerah yang penting, sehingga jarang proses migrasi dan membangun ibukota disebut oleh sumber sejarah kuna. yang baru. Menurut babad memindahkan Ibukota kerajaan itu berdasarkan ibukota kerajaan hampir selalu dimulai bukti-bukti dari prasasti sering mengalami dengan merabas hutan yang lebat, perpindahan karena adanya alasan-alasan kemudian didirikan istana yang sederhana yang menyebabkan daerah itu tidak suci dengan menggunakan bahan yang ada di lagi, dan ibukota kerajaan itu —bergerak“ sekitarnya. Istana disempurnakan secara dari daerah Kedu menuju ke arah timur bertahap sambil membuka hutan untuk kemungkinan ke daerah Kalasan, daerah tanah pertanian, dan saluran pengairan Prambanan, atau daerah Purwodadi- dengan mengerahkan semua rakyat. Hutan Grobogan. Sampai saat ini keraton yang lebat, binatang buas, dan Kerajaan Mataram Kuna itu tidak dapat perhubungan yang sulit menyebabkan dijumpai lagi karena bahan bangunan yang pembangunan ibukota kerajaan digunakan berasal dari kayu dan bahan- memerlukan waktu yang cukup lama bahan yang cepat rusak. Berdasarkan (Sudjana, 2001:4,13). Dengan demikian berita-berita dari prasasti dapat diketahui tidak mengherankan jika sampai sekarang bahwa daerah di sekitar pegunungan tidak pernah dijumpai istana-istana pada Sindoro-Sumbing dan daerah di sekitar zaman kuna, karena bahan bangunan Parakan Temanggung merupakan daerah istana-istana itu terbuat dari kayu yang penting pada masa itu. Kemungkinan tidak dapat tahan lama. Hal ini dikuatkan daerah ini merupakan daerah sakral, oleh berita Cina dari Dinasti Tang yang karena adanya pegunungan Dihyang. berkuasa pada tahun 618-907 yang

DAFTAR PUSTAKA and Realm ini Early Java.The Hague/Bandung: W. Van Hoeve. Bemmelem, R.W. van. 1949. The Geology Schrieke, B.J.O. 1975. Sedikit Uraian of Indonesia. tentang Pranata Perdikan.Jakarta: Boechari. 1976. —Some Considerations on Bhratara. the Problem of the Shift of Sudjana, I Made. 2001. Nagari Tawon Mataram‘s Center“, Bulletin of the Madu, Cet. I. Bali: Larasan-Sejarah. Research Center of Archaelogy of Stuterheim, W.F. 1927. —Een belangrijk Indonesia, no. 10. oorkonde uit de Kedu“, TBG, Bosch, F.D.K. 1928. —De inscriptie van LXVII. Keloerak —, TBG, LXVIII. Brandes, J.L.A. —Oud-Javaansche Oorkonden“, XXXI, Nagelaten transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door Dr. N.J Krom, VBG, LX. Casparis, J.G. de. 1950. —Short Inspiration from Candi Plaosan Lor“, Berita Dinas Purbakala, No. 4. Caparis, J.G. de. 1950. Inscripties uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I).Bandung: Masa Baru. Geldem, R. Von Heine. 1942. —Conceptions of States and Kingship in South East Asia“, FEO, 22. Groeneveldt, W.P. 2009. dalam Catatan Tionghoa, terjemahan Gatot Triwira, cetakan pertama. Jakarta: Komunitas Bambu. Kusen. 1988. —Prasasti Wanua Tengah III, 830 Çaka: Studi Tentang Latar Belakang Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Sejak Rake Panangkaran sampai Rake Watukura Dyah Balitung“, Makalah Kegiatan Ilmiah Arkeologi.Yogyakarta: IAAI Komisariat Yogyakarta-Jawa Tengah. Poerbatjaraka. 1932. —Enkele oude plaatsnamen besproken“, TBG, LXXII. Poesponegoro, Marwati Djoened, eds. 1993. Sejarah Nasional Indonesia, II, Edisi IV, Cet. VIII. Jakarta: Balai Pustaka. Poerbatjaraka, R. Ng. 1952. Riwayat Indonesia. Djakarta: Pembangunan. Schrieke, B.J.O. 1957. Indonesian Sosiological Studies, Part two: Ruler