PENGATURAN TANAH BALUWARTI SEBAGAI KAWASAN CAGAR BUDAYA YANG BERBASIS BUDAYA HUKUM JAWA*

Lego Karjoko**

Abstract The aim of this research is to describe the regulation of Baluwarti land. As agreement between government, Baluwarti society and keraton Surakarta relatives about the meaning of keraton Surakarta and the property of Baluwarti land. This research uses quality method with socio-legal study approach. The data consist if primary and secondary sort. The sources of the ›rst data are keraton Surakarta relatives, the apparatus of Surakarta government and Baluwarti society, while the second are public and personeal data and the legally data. There were two ways to teke the primary data, namely observation and interview. Secondary had been gathered through library study, analysis of document, archives, primary and secondary legal data. Trianggulation method had been used to check the validity of data. The analysist consist of three ways used in the same moment, namely data reduction, data serve and veri›cation. The interpretation had been used to understand the meaning of the information and the relation among it. The composition of the meaning relation depents on the thougt frame of the informant. As result of the discussion of this research is the harmonious opinion between Surakarta gavernment, Baluwarti society and keraton Surakarta reltives thet keraton Surakarta is the adat institution. It is also the guardian of and the tourism destinatiun. Each of them uses legal culture of Javanese as their frame of opinion. The opinion of part of keraton Surakarta relatives that keraton Surakarta is the governance center can’t be received. Such opinion isn’t compatable with the aspiration of Surakarta government and Baluwarti society. It is also able to cause the social violetry. There is a different opinion between keraton Surakarta relatives, government of Surakarta and Baluwarti society about the meaning of property of Baluwarti land. According to Baluwarti society and Surakarta government, Baluwarti land is the state property. On the other side, as for keraton Surakarta relatives, Baluwarti land is Sinuhun property delegated to Parentah Keraton Surakarta. But actually the three sides have the same interest. All of them hope that the existention of keraton Surakarta can give them economic constribution. The same interest is the foudation of the regulation of Baluwarti society as the cultural guardian. The source of Baluwarti land is the nation property, while Surakarta government regulates the relation between Sri Susuhunan and keraton relatives, person and corporation with Baluwarti land. The owner of Baluwarti property is Sri Susuhunan as the chief of keraton Surakarta relatives.

Kata Kunci: budaya hukum, pengaturan, tanah Baluwarti.

* Laporan Hasil Penelitian Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. ** Dosen Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (e-mail: lkarjoko63@yahoo. co.id). 36 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52

A. Latar Belakang Masalah bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya Keraton Surakarta merupakan aset serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA pariwisata yang mempunyai nilai jual yang dan PP Nomor 38 Tahun 1963 disatu sisi tinggi. Keraton Surakarta berkedudukan dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di sebagai pusat orientasi kebudayaan Jawa sisi lain dapat menyebabkan tidak adanya mempunyai nilai budaya tinggi. Kehidupan kepastian hukum mengenai status hukum tradisi itu sebagian besar hingga sekarang tanah Baluwarti. Dengan demikian perlu masih hidup di sana. Hal ini menjadikan adanya pengaturan tanah Baluwarti yang keraton Surakarta sebagai inti kawasan komprehensif. wisata budaya di Kota Surakarta. Kegiatan tradisi budaya keraton B. Perumusan Masalah Surakarta berlangsung dalam suatu wilayah Pengaturan tanah Baluwarti berarti yaitu Keraton Surakarta yang terletak di pengaturan hubungan hukum antara kelurahan Baluwarti, kecamatan Pasar pemerintah kota Surakarta, masyarakat Kliwon, kota Surakarta, yang sampai saat ini Baluwarti dan kerabat Keraton Surakarta status hak atas tanahnya masih diperebutkan dengan tanah Baluwarti. Sebagai titik awal antara kerabat keraton Surakarta, pemerintah untuk merekontruksi pengaturan tanah kota Surakarta, dan masyarakat Baluwarti. Baluwarti terlebih dahulu harus dilakukan Pada satu sisi Pemerintah Kota Surakarta rekonstruksi pengertian keraton Surakarta dan dan masyarakat Baluwarti menganggap hak atas tanah Baluwarti. Untuk menyusun tanah Baluwarti berdasarkan UUPA (yang konstruksi pengaturan tanah Baluwarti berideologi budaya hukum kekeluargaan) digunakan paradigma konstruktivisme, menjadi tanah negara. Sedangkan menurut dengan teori sistem hukum dari Lawrence M. kerabat Keraton Surakarta, berdasarkan Friedman, teori interaksionisme simbolik, Keppres Nomor 23 Tahun 1988 tanah pandangan Dunia Jawa dari Franz Magnis Baluwarti adalah milik keraton Surakarta. Suseno dan teori konfiik sosial dari Dean G. Tidak adanya kepastian hukum mengenai Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. status hukum tanah Baluwarti yang Secara teoritis pengaturan tanah merupakan kawasan cagar budaya akan Baluwarti sebagai kawasan cagar budaya menghambat terciptanya atmosfer living dapat dihasilkan dari interaksi antara kerabat culture keraton Surakarta. keraton Surakarta, masyarakat Baluwarti Berdasarkan pendapat Lon L. Fuller dan pemerintah kota Surakarta. Masyarakat mengenai delapan prinsip legalitas,1 tidak melalui kulturnya menyediakan seperangkat jelas dan tidak rincinya UUPA, PP Nomor arti yang sama terhadap simbol-simbol 224 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 23 tertentu (dalam hal ini keraton Surakarta Tahun 1988 dalam mengatur peralihan dan hak atas tanah Baluwarti). Dalam

1 Lon L. Fuller melihat hukum, sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Ada delapan nilai-nilai (de- lapan prinsip legalitas) yang harus diwujudkan oleh hukum. Mengenai delapan prinsip legalitas dapat di baca dalam Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 51-52. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 37 berinteraksi masing-masing kelompok ini primer, pengumpulan data dilakukan dengan dapat menggunakan budaya hukum Jawa dua cara yaitu, pengamatan (observasi) dan atau kekeluargaan sebagai kerangka acuan wawancara (interview). Pengumpulan data yang akan menjadi titik tolaknya dalam sekunder dilakukan melalui studi pustaka memaknai keraton Surakarta dan hak atas dan content analysis dokumen, arsip, bahan tanah Baluwarti. Untuk mengintegrasikan hukum primer dan bahan hukum sekunder. pendapat ketiga pihak tersebut mengenai Pengecekan keabsahan data dilakukan makna keraton Surakarta dan hak atas tanah dengan teknik trianggulasi sumber. Analisis Baluwarti digunakan strategi bridging. terdiri dari 3 alur kegiatan yang terjadi secara Berdasar asumsi tersebut di atas bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, maka permasalahan umum dari penelitian penarikan kesimpulan/veri›kasi. Interpretasi ditempatkan dalam pertanyaan: bagaimana terhadap data tersebut untuk menangkap pengaturan tanah Baluwarti sebagai makna dan hubungan antar makna di balik kawasan cagar budaya yang dihasilkan dari informasi data tersebut. Kemudian disajikan pengintegrasian pendapat pemerintah Kota keterkaitan makna-makna berdasarkan pola Surakarta, masyarakat Baluwarti dan kerabat pikir para informan. keraton Surakarta mengenai makna keraton Surakarta dan hak atas tanah Baluwarti? D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pendapat Pemerintah Kota Surakarta C. Metode Penelitian Mengenai Makna Keraton Surakarta Penelitian ini menggunakan metode dan Hak Atas Tanah Baluwarti kualitatif. Ada dua jenis data kualitatif a. Budaya Hukum Jawa sebagai yang dikumpulkan dalam penelitian ini, Kerangka Acuan dalam Memaknai yaitu: pertama, ideologi yang mendasari Keraton Surakarta asumsi-asumsi fundamental yang digunakan Keraton Surakarta sebagai sumber kerabat keraton Surakarta, pemerintah kota daya kultural selalu dipandang sebagai Surakarta dan masyarakat Baluwarti dalam aspek ›sik berupa struktur ›sikal suatu memaknai keraton Surakarta dan hak atas tempat (meliputi berbagai bentukan ›sik tanah Baluwarti. Kedua, konsep keraton baik bangunan maupun lanskap beserta Surakarta dan hak atas tanah Baluwarti kualitas estetikanya), dan aspek non›sik dari kerabat keraton Surakarta, pemerintah berupa kegiatan atau akti›tas pengguna di Kota Surakarta dan masyarakat Baluwarti. dalamnya. Dengan perkataan lain keraton Data diperoleh dari data primer dan data Surakarta sebagai aset wisata meliputi sekunder. Data primer bersumber dari atraksi ›sik dan non›sik. kerabat keraton Surakarta, aparat pemerintah Berdasarkan Surat Keputusan Wali- kota Surakarta, aparat kantor pertanahan kotamadya KDH Tk II Surakarta Nomor kota Surakarta, masyarakat Baluwarti. Data 646/116/I/1997 tentang Penetapan Bangun- sekunder bersumber dari: data sekunder an-Bangunan dan Kawasan Kuno Bersejarah yang bersifat pribadi dan publik, serta data di Kotamadya Dati II Surakarta yang sekunder di bidang hukum. Untuk jenis data 38 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52 dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang upacaranya. Baik kehidupan keseharian Cagar Budaya, maka bangunan keraton maupun upacara itu berpeluang besar untuk Surakarta merupakan benda cagar budaya. bercerita banyak mengenai keraton secara Pasal 16 Perda Kotamadya Dati menyeluruh. Upacara adat di dalam keraton II Surakarta Nomor 8 Tahun 1993 selalu memiliki makna religius (sebagai yang menyatakan benda cagar budaya penyeimbang kosmos), makna kultural dimanfaatkan untuk industri pariwisata (sebagai usaha pengembangan kebudayaan) sejalan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan makna sosial (sebagai upaya peningkatan UU Nomor 5 Tahun 1992 yang menentukan kesejahteraan masyarakat). Ada 2 upacara benda cagar budaya dapat dimanfaatkan adat keraton yang memberikan kontribusi untuk kepentingan pariwisata. yang besar terhadap sektor informal yaitu Potensi benda cagar budya, bangunan upacara kirab pusaka 1 Suro dan sekatenan keraton Surakarta sebagai obyek wisata (gerebeg mulud) yang berlangsung selama dapat dikelompokan sebagai berikut:2 satu bulan. 1) Yang termasuk obyek yang mempunyai Menjadikan upacara adat keraton se- potensi sangat tinggi untuk dikembang- bagai aset wisata harus berpegang pada misi kan, yaitu: Kelompok Kawasan Kera- Kota Surakarta yaitu “mewujudkan citra ton Kasunanan. kota Solo sebagai kota budaya yang didu- 2) Yang termasuk mempunyai potensi kung oleh pelayanan jasa pariwisata, perda- tinggi untuk dikembangkan yaitu Ke- gangan, industri yang bertumpu pada hasil lompok Kawasan Lingkungan Peruma- kerajinan rakyat dalam kehidupan perkotaan han Baluwarti dan Kelompok Gapura/ yang kondusif merangsang kehidupan yang Tugu/ Monumen/Perabot Jalan Yakni kreatif, produktif dan mandiri”. Untuk mem- Gapura Keraton (Klewer, Batangan dan buat upacara adat tradisional, dalam hal ini Gading). upacara adat keraton, menjadi produk wisata 3) Yang termasuk obyek yang berpotensi perlu ada perubahan-perubahan. Setidak- sedang untuk dapat dikembangkan, tidaknya perubahan fungsi. Pada mulanya yaitu Kelompok Bangunan Rumah Tra- upacara adat keraton ini diselenggarakan disional yakni Dalem Brotodiningratan, dalam memenuhi fungsi magis keagamaan Dalem Purwodiningratan, Dalem Sa- masyarakat. Ketika upacara adat keraton di- sonomulyo, Dalem Suryohamijayan, jadikan obyek wisata, maka ada perubahan Dalem Wuryaningratan, dalem Mloyo- fungsi. Ia akan menjadi bagian dari indus- suman, Dalem Ngabean. tri pariwisata dan fungsinya juga melayani Aspek non›sik di dalam keraton sistem sosial dalam industri pariwisata. Pe- merupakan suatu living culture yang nyelenggaraannya juga berdasarkan kaidah- terejawantahkan dalam kegiatan penghuninya kaidan industri. Tari Bedhaya Ketawang berupa kehidupan keseharian beserta upacara- misalnya yang dulu hanya disajikan pada

2 FISIP UNS, —Rencana Induk Pendayagunaan Bangunan/Benda dan Kawasan Cagar Budaya Sebagai Aset Wisata di Kotamadya Dati II Surakarta”, Dinas Pariwisata Pemda Kotamadya Dati II Surakarta, 1997, hlm. 70- 71. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 39 saat jumenengan atau tingalan jumenengan Baluwarti. Berdasarkan pendapat Dean dalem dan dilakukan dalam rangka me- G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin,3 tingginya menuhi fungsi magis religius, ketika menjadi aspirasi pemerintah Kota Surakarta atas aset wisata bisa ditarikan setiap saat menurut hak atas tanah Baluwarti disebabkan oleh pesanan wisatawan. pertama, prestasi masa lalu, Surat Mendagri Bagi pemerintah Kota Surakarta yang ditujukan kepada Gubernur Jawa bangunan keraton dan upacara adat keraton Tengah Nomor Dox.48/1/30 tertanggal Surakarta, sebagai simbol budaya hukum 29 Oktober 1956, perihal tanah keraton Jawa, merupakan aset pariwisata yang (Baluwarti) Surakarta, yang menyatakan dapat mendatangkan manfaat ekonomi. Hal bangunan dan tanah di Baluwarti dalam inilah yang mendasari digunakan budaya penguasaan pemerintah Republik Indonesia. hukum Jawa sebagai kerangka acuan bagi Surat Mendagri tersebut di atas pemerintah Kota Surakarta dalam memaknai telah mendorong lahirnya Surat walikota keraton Surakarta sebagai sebuah lembaga KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3 adat, pemangku budaya jawa yang dipimpin Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 seorang raja. tentang penggunaan/pengurusan tanah negeri DKS daerah kalurahan Baluwarti. b. Budaya Hukum Kekeluargaan se- Berdasarkan surat walikota ini, pengurusan bagai Kerangka Acuan dalam Me- tanah Baluwarti diserahkan kepada Dinas maknai Hak Atas Tanah Baluwarti Penghasilan Daerah dan terhadap warga Pemerintah Kota Surakarta mengacu Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dianggap sebagai penyewa tanah kepada (UUPA) yang berideologi budaya hukum pemerintah daerah. Bagi penghuni tanah kekeluargaan dalam memaknai tanah Baluwarti diwajibkan membuat “perjanjian Baluwarti sebagai tanah negara. sementara sewa menyewa tanah yang Pemerintah Kota Surakarta mempunyai dikuasai pemerintah daerah kotamadya keinginan yang kuat atas penguasaan tanah Surakarta”.4

3 Ada lima determinan tingkat aspirasi yaitu prestasi masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, aturan dan norma, pembandingan dengan orang lain, dan terbentuknya kelompok pejuang, dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin terj. Helly P. Soetjipto dan Mulyantini Soetjito, 2004, Teori Konfiik Sosial, Pustaka Pelajar, , hlm. 28-35. 4 Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah. Dalam UUPA secara tegas ditentukan bahwa teori domein dilepaskan. Asas ini dipandang sebagai dasar dari pada perundang-undangan agraria pemer- intah jajahan. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah ditentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai hal ini maka tidak perlu dengan konstruksi negara sebagai pemilik tanah, lebih tapat jika negara ini dipandang sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat. Apa yang dimaksud dlam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan lagi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA. Istilah dikuasai dalam ketentuan ini berarti bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia diberi wewenang untuk mengatur sesuatu yang berkaitan den- gan tanah. Dalam UUPA ditegaskan bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk melakukan berbagai persediaan berkenaan dengan tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, dalam Sudargo Gautama, 1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 55-57. 40 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52

Berdasarkan pendapar Dean G. Pruitt an upacara adat keraton belum memberikan dan Jeffrey Z. Rubin maka Surat Mendagri manfaat ekonomi yang berarti bagi warga Nomor Dox. 48/1/30 tertanggal 29 Baluwarti, meskipun di kalurahan Baluwarti Oktober 1956 telah memunculkan aspirasi banyak potensi ekonomi yang dapat dikem- pemerintah Kota Surakarta atas hak atas bangkan antara lain celana pantai, bordir, ba- tanah Baluwarti yang tidak realistis, artinya tik, kayu dan makanan khas Solo. aspirasi yang tidak konsisten dengan aspirasi Bagi masyarakat Baluwarti, keraton kerabat keraton Surakarta. Hal ini dapat Surakarta merupakan lembaga adat, sumber menimbulkan konfiik.5 budaya Jawa yang dipimpin oleh Sinuhun Kedua, peraturan perundang-undangan (raja). Berkaitan dengan pengganti PB XII, mengenai tanah Baluwarti dalam keadaan masyarakat menganggap sampai saat ini lemah. Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. keraton Surakarta masih belum mempunyai Rubin tidak jelas dan tidak rincinya UUPA, PP raja karena baik KGPH Hangabei maupun Nomor 224 Tahun 1961 dan Keppres Nomor KGPH Tedjowulan belum teruji secara 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan spiritual dengan mengenakan atribut bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya penobatan yang asli yaitu Dhampar Kencono serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA (singgasana raja), Kuluk Panigoro (mahkota dan PP Nomor 38 Tahun 1963 di satu sisi raja), Kiai Suryo Waseso (bros berlian) dan dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di Kutang Ontokusumo. sisi lain telah mendorong pemerintah kota Sampai saat ini masyarakat Baluwarti Surakarta membentuk cara pandang yang masih merasakan adanya suatu kekuatan bersifat idiosyncratic mengenai hak atas “gaib” dari keraton yaitu rasa tentram, damai tanah Baluwarti, yang tidak cocok dengan dalam setiap upaya mengelilingi tembok cara pandang kerabat keraton Surakarta.6 keraton sebanyak tujuh kali. Rasa damai dan tentram ini sangat terasa pada saat PB XII 2. Pendapat Masyarakat Baluwarti masih jumeneng. Mengenai Makna Keraton Surakar- Dengan demikian masyarakat Baluwar- ta dan Hak Atas Tanah Baluwarti ti mempunyai budaya hukum Jawa, keraton a. Budaya Hukum Jawa sebagai merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton Kerangka Acuan dalam Memaknai adalah tempat raja bersemayam, dan raja Keraton Surakarta merupakan sumber kekuatan-kekuatan kos- Masyarakat Baluwarti berharap upacara mis yang mengalir ke daerah dan membawa adat keraton dapat dikelola sedemikian rupa ketentraman, keadilan, dan kesuburan.7 Bu- sehingga dapat mendatangkan manfaat eko- daya hukum Jawa ini merupakan kerangka nomi bagi warga. Selama ini penyelenggara- acuan bagi masyarakat Baluwarti dalam me-

5 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. cit., hlm. 29 6 Ibid., hlm. 32.. 7 Franz Magnis Suseno, 1993, Etika Jawa Sebuah Analisis Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 107. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 41 maknai keraton Surakarta sebagai lembaga 23 tahun 1988 dalam mengatur peralihan adat, sumber budaya Jawa yang dipimpin bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya oleh seorang raja. serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan PP Nomor 38 Tahun 1963 di satu sisi b. Budaya Hukum Kekeluargaan se- dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 bagai Kerangka Acuan dalam Me- di sisi lain telah mendorong masyarakat maknai Hak Atas Tanah Baluwarti. Baluwarti membentuk cara pandang yang Masyarakat Baluwarti, mengacu bersifat idiosyncratic mengenai hak atas UUPA yang berideologi budaya hukum tanah Baluwarti, yang tidak cocok dengan kekeluargaan dalam memaknai hak atas cara pandang kerabat keraton Surakarta.9 tanah Baluwarti sebagai tanah Negara dan Ketiga, menurut warga Baluwarti, menuntut serti›kasi tanah tersebut. tanah di kalurahan Baluwarti merupakan Berdasarkan pendapat Dean G. Pruitt tanah negara yang dapat diminta statusnya dan Jeffrei Z. Rubin,8 tingginya aspirasi menjadi hak milik atau hak-hak lainnya yang masyarakat Baluwarti atas hak atas tanah diatur dalam UUPA karena kenyataannya di Baluwarti ini disebabkan oleh pertama kalurahan Baluwarti sudah ada tiga bidang prestasi masa lalu. Sejak tahun 1967 sampai tanah yang berserti›kat hak milik atas nama dengan tahun 1996, pemerintah Kota keluarga mantan presiden Soeharto yaitu Surakarta mengijinkan warga Baluwarti Ngabeyan seluas 1 ha, Suryohamijayan untuk menggunakan tanah DKS di kalurahan seluas 1 ha dan mangkubumen seluas 1 Baluwarti dengan cara sewa menyewa. ha. Fenomena ini disebut sebagai invidious Perjanjian penggunaan tanah dalam bentuk comparison. Pembandingan sosial menjadi sewa menyewa tersebut mengakibatkan menyakitkan bila kita melihat bahwa orang warga Baluwarti tidak ragu lagi mengatakan yang kita jadikan pembanding memiliki rasio tanah dilingkungannya (kalurahan Baluwarti) penghargaan terhadap kontribusi yang lebih merupakan tanah negara karena pemerintah tinggi dibanding kita. Hal ini menstimulasi Kota Surakarta sudah mengklaim tanah peningkatan aspirasinya sendiri, yang DKS di kalurahan Baluwarti sebagai tanah kemudian mengarah terjadinya konfiik.10 yang dikuasainya dan menerima uang sewa atas penyewaan tanah tersebut. 3. Pendapat Kerabat Keraton Surakarta Kedua, peraturan perundang-undangan Mengenai Makna Keraton Surakarta mengenai tanah Baluwarti dalam keadaan dan Hak Atas Tanah Baluwarti lemah. Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. a. Budaya Hukum Jawa sebagai Rubin tidak jelas dan tidak rincinya UUPA, Kerangka Acuan dalam Memaknai PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Keppres No. Keraton Surakarta

8 Mengenai lima determinan tingkat aspirasi dapat dilihat dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. cit., hlm. 28-35. 9 Ibid., hlm. 32. 10 Ibid., hlm. 42-43. 42 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52

Makna keraton Surakarta di kalangan membantu memulihkan situasi secepatnya kerabat keraton Surakarta, terbagi menjadi yakni mohon PB XII dapat melaksanakan dua yaitu: pertama, keraton Surakarta kirab pusaka keraton Surakarta tepat pada sebagai pusat pemerintahan dengan Sinuhun malam 1 suro.11 sebagai raja dan kedua, keraton Surakarta Permohonan (mantan) presiden sebagai lembaga adat, pemangku budaya Soeharto kepada PB XII ini dapat diartikan: Jawa yang dipimpin Sinuhun. pertama, (mantan) presiden Soeharto menganut kepercayaan Jawa yaitu perpaduan 1. Keraton Surakarta sebagai Pusat Pe- atau campuran antara kepercayaan Jawa merintahan asli (animisme-dinamisme), Hindu dan Budaya hukum Jawa merupakan Islam. Menurut Saifudin, kirab pusaka kerangka acuan bagi sebagian kerabat keraton mengandung nilai-nilai keselamatan keraton Surakarta dalam memaknai keraton dan kedamaian. Kirab pusaka memiliki Surakarta sebagai pusat pemerintahan nilai ›loso›s yakni keseimbangan dan dengan Sinuhun sebagai raja. Wilayahnya keselarasan antara makrokosmos dan meliputi eks karisidenan Surakarta sesuai mikrokosmos, antara jagad gede (dunia perjanjian Gianti tahun 1755. besar) dan jagad cilik (manusia) dalam Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey mewujudkan keselamatan dan kedamaian Z. Rubin makna keraton Surakarta sebagai sesuai dengan sifat-sifat Ilahi. Keseimbangan pusat pemerintahan dari sebagian kerabat dan keselarasan tersebut diwujudkan dalam keraton, yang jauh melebihi penilaian bentuk tata cara kosmis-religius magis yang pemerintah kota Surakarta dan masyarakat dalam hal ini dalam wujud kirab pusaka Baluwarti terhadap keraton Surakarta, yang inti maknanya adalah keselamatan dan disebabkan oleh : pertama, prestasi masa ketentraman.12 Dalam upacara kirab pusaka lalu. Menurut KRT Tundjung W. Sutirta, ini secara antropologis dapat dilihat bahwa staf pengajar UNS, pada tahun 1974 terjadi budaya keraton Jawa masih eksis.13 peristiwa besar melanda ibukota Jakarta Kedua, (mantan) presiden Soeharto yang dikenal dengan peristiwa Malari mengakui PB XII sebagai raja keraton yang mengakibatkan korban jiwa dan harta Surakarta karena menurut Franz Magnis benda sangat banyak. Agar peristiwa itu Suseno hanya seorang raja yang dapat tidak melebar dan tidak terulang pada masa memusatkan suatu takaran kekuatan mendatang, presiden Soeharto pada waktu itu kosmis yang besar dalam dirinya sendiri meminta Sinuhun Paku Buwono XII melalui sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya.14 peran institusi keraton Surakarta untuk Salah satu tugas raja adalah mengontrol

11 Solo Pos, 15 Juni 2004. 12 Saifudin, 2000, Proses Adaptasi Budaya Keagamaan dan Kepercayaan dalam Upacara Kirab Pusaka Keraton Surakarta (Suatu Telaah Historis Antropologi), Tesis Program Magister Studi Islam, UMS, Surakarta, hlm. 79. 13 Ibid., hlm. 89. 14 Franz Magnis Suseno, Op. cit, hlm. 100. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 43 alur kesaktian dari istana ke masyarakat. menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal Ia harus menentukan secara tegas bentuk ini (mantan) presiden Soeharto mempun- kesaktian apa dan seberapa besar kesaktian yai tekad untuk mengupayakan pelestarian yang diperlukan untuk mempertahankan keraton Kasunanan Surakarta dengan motif stabilitas dan kemakmuran kerajaan dan budaya yang sangat dominan mengalahkan mengeluarkannya pada saat yang tepat. motif ekonomi.16 Kesaktian ditebarkan melalui upacara- Kalimat “Sri Susuhunan selaku pim- upacara ritual kerajaan di mana pusaka- pinan kasunanan Surakarta” dalam Pasal pusaka keraton dipamerkan.15 2 Keppres Nomor 23 Tahun 1988, bila Budaya hukum Jawa merupakan ke- dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) kontrak rangka acuan bagi (mantan) presiden Soe- politik Kasunanan tahun 1939,17 maka dapat harto dalam memaknai keraton Surakarta dimaknai Sri Susuhunan sebagai kepala sebagaimana terlihat dalam Keppres Nomor pemerintah swapraja kasunanan Surakarta 23 Tahun 1988. Dalam menimbang dan dan sebagai pimpinan kerabat keraton. Pasal 2, keraton Surakarta dapat ditafsirkan Dengan perkataan lain Keppres Nomor 23 sebagai keraton (kerabat keraton Surakarta) tahun 1988 memaknai keraton Surakarta dan negeri (pemerintahan swapraja kasuna- secara budaya, sebagai pusat pemerintahan nan Surakarta). Dalam menimbang huruf (a) dan sebagai kerabat keraton Surakarta. Keppres Nomor 23 Tahun 1988 dinyatakan Berdasarkan pendapat Erving bahwa keraton kasunanan Surakarta meru- Goffman18 maka makna keraton Surakarta pakan peninggalan budaya bangsa yang dari (mantan) Presiden Soeharto, seorang perlu dipelihara dalam rangka melestari- yang sangat dominan di era orde baru yang kan kebudayaan nasional dan kepariwisa- termuat dalam Keppres Nomor 23 Tahun taan. Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan 1988 bahwa keraton Surakarta sebagai permohonan kirab pusaka 1 Suro maka kerajaan Kasunanan Surakarta yang terdiri

15 Mark R. Woodward, 1999, Islam Jawa, LKIS, Yogyakarta, hlm. 225. 16 Ada 4 motif kebijakan pariwisata yaitu 1) motif budaya sangat dominan, motif ekonomi sangat tipis atau bahkan diabaikan. 2) motif kebudayaan seimbang dengan motif ekonomi. 3) motif ekonomi lebih dominan mengalahkan motif budaya. 4) motif ekonomi mengakibatkan eksploitasi kebudayaan. Dalam Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Re›ka Aditama, Bandung, hlm 6. 17 Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) kontrak politik 1939 Sri Susuhunan mempunyai dua macam kedudukan, yaitu: Sebagai kepala pemerintah swapraja Kasunanan Surakarta dan Sebagai kepala istana dan pimpinan kerabat keraton Surakarta. Hal ini dapat dimengerti karena se- jak reorganisasi agraria diadakan pemisahan antara Keraton (Parentah Keraton Surakarta) yang tugasnya menyelenggarakan urusan keluarga raja dan rumah tangga istana dengan Negeri (pemerintahan swapraja Kasunanan Surakarta) yang menjalankan tugas pemerin- tahan. Dengan demikian Keraton Surakarta Hadiningrat terdiri dari dua badan yang mas- ing-masing berdiri sendiri yaitu Keraton (kerabat keraton Surakarta) dan Negeri. 18 Menurut Erving Goffman penilaian diri sendiri justru lebih banyak ditentukan kendalinya oleh orang-orang yang secara dominan menguasai lingkungan sosial yang ada. Dalam HR Riyadi Soeprapto, 2002, Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern, Averroes Press, Malang, hlm. 226-227. 44 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52 dari : kerabat keraton dan negeri dengan Sri politikpun menjadi relatif karena ia Susuhunan sebagai raja, sangat menentukan menyadari kesamaannya dengan setiap raja sebagian kerabat keraton dalam memaknai politik. Orang itu seorang kalifullah karena keraton Surakarta tersebut di atas. dalam kebijaksanaan dan kesaktiannya Kedua, peraturan perundang-undangan terbukalah kekuasaan Ilahi sendiri sehingga mengenai swapraja Surakarta dalam ia dalam dunia menjadi wakil Allah. Ia keadaan lemah. Tidak jelasnya rumusan kata seorang ksatria pinandhita, tujuan tertinggi kasunanan Surakarta dalam Keppres Nomor yang dapat dicapai seseorang yaitu seorang 23 Tahun 1988 telah membuat sebagian ksatria yang telah menjadi bijaksana, dengan kerabat keraton Surakarta mempunyai demikian tak terkalahkan, dan yang dapat cara pandang yang bersifat idiosyncratic menunjukkan jalan ke dalam batin kepada mengenai makna keraton Surakarta yang orang lain.21 tidak cocok dengan cara pandang pemerintah Pandangan dunia Jawa lingkaran kota Surakarta dan masyarakat Baluwarti.19 ketiga yang dianut sebagian kerabat keraton Surakarta mempengaruhi pendapatnya 2. Keraton Surakarta sebagai Lembaga mengenai keraton Surakarta sebagai berikut: Adat dan Pemangku Budaya bagi internal keluarga keraton, seorang ›gur Jawa yang Dipimpin Sinuhun Sinuhun masih akan tetap diperlukan untuk Di kalangan kerabat keraton Surakarta memimpin dan menjaga kelangsungan kirab pusaka dimaknai sebagai usaha keraton. Pada saat ini keraton Surakarta manusia sebagai hamba Allah, yang disebut bukanlah lembaga politik, bukan pula kawulo untuk mewujudkan kesatuan dengan lembaga pemerintahan formal. Sekarang Pangeran Yang Maha Agung (Gusti) disebut keraton Surakarta hanya merupakan lembaga manuggaling kawulo gusti. Pandangan adat pemangku budaya Jawa. demikian dapat dikategorikan sebagai Makna keraton Surakarta sebagai lingkaran ketiga dari pandangan dunia Jawa. lembaga adat, pemangku budaya Jawa dari Menurut Franz Magnis Suseno apa yang sebagian kerabat keraton dibentuk dan secara khusus berlaku bagi penguasa yaitu didukung oleh pemerintah kota Surakarta dan bahwa ia merupakan wadah kekuatan Ilahi, masyarakat yang berorientasi pada keraton. menurut mistik Jawa sebenarnya berlaku bagi Menurut Sri Susuhunan Paku Buwono XII setiap orang karena pada dasar keakuannya antusiasme masyarakat yang ditunjukkan setiap manusia manunggal dengan dasar dalam bentuk kesediaan terlibat pada setiap Ilahi dari mana ia berasal.20 menyelenggarakan upacara-upacara Bagi orang yang mencapai paham tradisi, merupakan salah satu alasan yang kesatuan Tuhan dan hamba, kekuatan membuatnya berbahagia serta bersedia

19 Dean G. Druitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. cit., hlm. 32. 20 Franz Magnis Suseno, Op. cit., hlm. 113. 21 Ibid., hlm. 132-133. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 45 bertahan memimpin kasunanan. Di sisi SG, tanah DKS, tanah leluhur, tanah dan lain sikap pemerintah yang berkepentingan bangunan aset kasunanan yang disewa terhadap pengembangan maupun pelestarian Belanda dan tanah DRS. Hanya DRS ini kebudayaan adat22 ia artikan sebagai jaminan yang sejak berlakunya UUPA menjadi hak atas eksistensi peran keraton di masa milik negara, sedangkan yang lainnya tetap mendatang.23 milik keraton Surakarta, karena menurut diktum keempat UUPA, setelah berlakunya b. Budaya Hukum Jawa sebagai UUPA tanah swapraja atau bekas swapraja Kerangka Acuan dalam Memaknai menjadi tanah negara. Dari lima macam Hak Atas Tanah Baluwarti tanah milik keraton Surakarta tersebut, Berbeda dengan makna keraton hanya tanah DRS yang dikuasai oleh rijk Surakarta, dengan budaya hukum Jawa kasunanan (swapraja Surakarta). Selama ini sebagai kerangka acuannya di kalangan pemerintah keliru menterjemahkan status kerabat keraton Surakarta ada kesamaan tanah keraton Surakarta, semua tanah yang dalam memaknai hak atas tanah Baluwarti berkaitan dengan keraton langsung menjadi sebagai tanah milik Sinuhun. milik negara.25 Tanah Baluwarti adalah Menurut kerabat Keraton, seluruh tanah milik Sinuhun karena tanah Baluwarti tanah di wilayah eks karisidenan surakarta merupakan tanah DKS. termasuk tanah Baluwarti adalah milik raja Tanah Baluwarti adalah tanah milik di mana raja berhak mengatur hasil tanah. Sri Susuhunan, dimana pengelolaannya Hal ini sesuai dengan pendapat Soemarsaid didelegasikan kepada parentah Keraton Moertono, raja mempunyai dua jenis hak Surakarta. Wewenang parentah keraton atas tanah yaitu hak politik atau hak publik, Surakarta terhadap tanah Baluwarti adalah: hak untuk menetapkan luasnya yuridiksi a. Mengatur dan mengawasi penggunaan teritorialnya dan hak untuk mengatur hasil tanah. tanah sesuai dengan adat.24 b. Menggunakan tanah untuk keperluan Menurut kerabat Keraton ada lima parentah keraton Surakarta dalam macam tanah keraton Surakarta yaitu tanah melaksanakan tugasnya.

22 Untuk mendayagunakan upacara adat keraton sebagai obyek wisata pada tahun 2002, 2003, dan 2004 pemerin- tah kota Surakarta memberikan bantuan sebesar 150 juta rupiah per tahun yang diambil dari dana APBD untuk penyelenggaraan gerebeg besar Idul Adha, kirab pusaka 1 Syuro, sekatenan (gerebeg mulud), sesaji mahesa lawung, tingalan jumenengan dalem, selikuran dan gerebeg Idul Fitri. 23 Bram Setiyadi, dkk, 2001, Raja di Alam Republik, Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII, Bina Rena Pariwara, Yogyakarta, hlm. 143-144. 24 Soemarsaid Moertono, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mata- ram II Abad XVI sampai XIX, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 134. 25 Menurut Usep Ranawidjaja, status swapraja itu meliputi: a. Kontrak politik beserta ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda. b. Hukum adat ketatanegaraan dari swapraja itu sendiri dan hukum tertulisnya. c. Ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam hukum antar negara. Dengan demikian hak dan wewenang Sri Susuhunan baik sebagai kepala pemerintahan (rijk kasunanan) maupun sebagai kepala parentah keraton atas tanah menjadi hapus dan beralih kepada negara, dalam Usep Ranawidjaja, 1955, Swapraja Sekarang dan di Hari Kemudian, Djambatan, Jakarta, hlm. 3. 46 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52 c. Memberikan sebagian tanah kepada di kelurahan Baluwarti Kota Surakarta pihak ketiga dengan hak magersari, hak terdapat 157 hak sewa anggaduh, hak sewa atas bangunan dan d. Nenggo adalah merupakan hak yang nenggo. memberi wewenang kepada sentono d. Menerima uang wajib tahunan dan uang untuk menempati bangunan di atas sewa. tanah pamijen keraton dengan jangka Hak yang terdapat dalam parentah waktu 3 tahun. Sampai dengan tahun keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti, 2003 di kelurahan Baluwarti terdapat antara lain: 45 nenggo griyo. a. Hak Magersari adalah hak yang Peraturan perundang-undangan menge- memberi wewenang kepada abdi dalem nai tanah Baluwarti dalam keadaan lemah. untuk mendirikan dan mempunyai Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin rumah di atas tanah pamijen keraton, tidak jelas dan tidak rincinya UUPA, PP No- dengan jangka waktu 3 tahun. Sampai mor 224 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 23 dengan tahun 2003 terdapat 358 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas magersari di Kalurahan Baluwarti Kota tanah Kasunanan dan pembagiannya serta Surakarta. tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan b. Hak Anggaduh adalah merupakan PP Nomor 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan hak yang memberi wewenang kepada Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di sisi lain sentono dan abdi dalem tingkat tinggi telah mendorong kerabat keraton Surakarta untuk mendirikan dan mempunyai membentuk cara pandang yang bersifat idio- bangunan di atas tanah pamijen keraton syncratic mengenai hak atas tanah Baluwar- untuk jangka waktu yang tidak terbatas, ti, yang tidak cocok dengan cara pandang selama tanahnya dipergunakan untuk pemerintah kota Surakarta dan masyarakat tempat tinggal. Sampai dengan tahun Baluwarti.26 2003 terdapat 104 hak anggaduh dalam wilayah Kalurahan Baluwarti Kota 4. Konstruksi Pengaturan Tanah Balu- Surakarta. warti sebagai Kawasan Cagar Budaya c. Hak Sewa Atas Bangunan (Kontrak) Menurut Blumer, tindakan manusia adalah merupakan hak abdi dalem penuh dengan penafsiran dan pengertian. untuk menempati ruang atau bangunan Tindakan-tindakan mana saling diselaraskan yang digunakan untuk rumah tangga, dan menjadi tindakan bersama. Setiap tin- dengan membayar sejumlah uang dakan berjalan dalam bentuk prosesual dan kepada parentah keraton Surakarta masing-masing saling berkaitan dengan tin- sebagai sewa untuk jangka waktu dakan-tindakan prosesual orang lain.27 Seja- tertentu. Sampai dengan tahun 2003 lan dengan pendapat Blumer telah ada kese-

26 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. cit., hlm. 32. 27 Margaret M. Poloma Terj. Tim Yasogama, 2003, Sosiologi Kontemporer, Raja Gra›ndo Persada, Jakarta, hlm. 261. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 47 larasan atau kesesuaian pendapat pemerintah Isu yang muncul kepermukaan adalah Kota Surakarta, warga Baluwarti dan seba- pemerintah Kota Surakarta, masyarakat gian kerabat keraton Surakarta mengenai Baluwarti dan kerabat keraton Surakarta makna keraton Surakarta sebagai lembaga sama-sama menginginkan penguasaan atas adat, pemangku budaya jawa yang dipimpin tanah Baluwarti. Bagi pemerintah Kota Sinuhun dan dapat dimanfaatkan sebagai Surakarta, pendayagunaan keraton Surakarta, obyek wisata. Masing-masing kelompok itu, baik bangunan maupun upacara adat, sebagai pemerintah Kota Surakarta, warga Baluwarti aset wisata untuk peningkatan devisa dan kerabat keraton Surakarta, sama-sama merupakan kepentingan yang mandasar, mengguanakan budaya hukum Jawa sebagai yang menjadi pondasi bagi kepentingan/ kerangka acuan untuk menata pendapatnya keinginan atas penguasaan tanah Baluwarti. mengenai makna keraton Surakarta. Dengan serti›kat hak atas tanah, warga Pendapat sebagian kerabat keraton Baluwarti memperoleh kepastian hukum Surakarta yang menyatakan keraton Sura- dan digunakan sebagai agunan kredit untuk karta sebagai pusat pemerintahan tidak pengembangan usaha. Mengingat kelurahan dapat diakomodasi dalam pengaturan tanah Baluwarti, tempat keraton Surakarta, sebagai Baluwarti karena tidak kompatibel dengan daerah tujuan wisata maka usaha souvenir aspirasi pemerintah kota Surakarta dan ma- dapat meningkatkan pendapatan masyarakat syarakat Baluwarti dan dapat menimbulkan Baluwarti. Dengan demikian bagi masyara- gejolak sosial seperti yang pernah terjadi kat Baluwari keberadaan keraton Surakarta pada tahun 1945-1946. sebagai aset wisata yang menjadikan kelura- Sebagaimana telah diuraikan di muka han Baluwarti sebagai daerah tujuan wisata mengenai makna hak atas tanah Baluwarti merupakan kepentingan yang mendasar atau belum terjadi tindakan bersama. Bridging yang menjadi pondasi kepentingan atau ke- suatu cara untuk mencapai solusi integratif inginan serti›kasi tanah Baluwarti. yang dapat digunakan untuk mengintegrasi- Bagi kerabat keraton Surakarta, ke- kan makna hak atas tanah Baluwarti dari ke- pentingan yang mendasari tuntutan hak atas tiga pihak tersebut. Di dalam bridging, tidak tanah Baluwarti adalah eksistensi keraton satu pihakpun yang mendapatkan tuntutan Surakarta karena tanah merupakan sarana aslinya, tetapi sebuah opsi baru dirancang legitimasi kekuasaan raja dan sebagai sum- sedemikian rupa sehingga dapat memuaskan ber pembiayaan keraton Surakarta. keinginan-keinginan terpenting yang mela- Berdasarkan analisis kepentingan terse- tarbelakangi tuntutan tersebut. Bridging bi- but di atas dapat disimpulkan diantara para asanya muncul dari reformulasi isu-isu yang pihak sesungguhnya tidak ada pertentangan dibuat berdasarkan analisis terhadap kepen- yang fundamental pada tuntutan mereka. tingan yang mendasari isu-isu tersebut.28 Para pihak mempunyai kepentingan yang

28 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Op. cit., hlm. 331-332. 48 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52 sama yaitu eksistensi keraton Surakarta itu dapat berbeda dari sistematika hukum dapat memberi manfaat ekonomi. Berdasar- dari bangsa-bangsa lain dan waktu-waktu kan pendapat Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. lain, niscaya bahwa sistem-sistem itu dapat Rubin29 kepentingan bersama ini merupakan saling dibandingkan, bahkan bersama-sama landasan dalam rekonstruksi pengaturan ta- mewujudkan suatu kesatuan.30 Berdasar- nah Baluwarti yang dapat mengakomodasi kan pendapat Paul Scholten tersebut di atas kepentingan para pihak. maka dengan landasan kepentingan bersama Menurut Paul Scholten sistem hukum (eksistensi keraton Surakarta) dapat dibuat ada dalam kesadaran hukum manusia. Jika konstruksi hak atas tanah Baluwarti sebagai memang kesatuan dalam hukum adalah un- kawasan cagar budaya berdasarkan kompa- sur yang mutlak harus ada dalam kehidupan rasi sistem hukum tanah nasional dan sistem kejiwaan manusia, maka apapun isi hukum hukum tanah keraton Surakarta, sebagaima- itu, betapapun juga sistematika dari hukum na terlihat dalam tabel di bawah ini.

Konstruksi Hak Atas Tanah Baluwarti sebagai Kawasan Cagar Budaya Konstruksi HAT Sistem HAT No. Unsur Sistem HAT Nasional Baluwarti sebagai Kasunanan Kawasan Cagar Budaya 1 Budaya Kekeluargaan Keraton Surakarta Kekeluargaan dan Jawa Hukum 2 Konsepsi Komunalistik Religius Sebagai pusat kosmos Sebagai pemangku bu- yang memungkinkan sinuhun adalah pemilik daya Jawa Sinuhun adalah penguasaan tanah secara segala sesuatu yang pemilik tanah Baluwarti, individual dengan hak- ada dalam kerajaannya dimana hak milik sinuhun hak atas tanah yang termasuk tanah. merupakan bagian dari bersifat pribadi sekaligus hak bangsa. mengandung unsur kebersamaan 3 Fungsi Tanah Tanah untuk kemakmuran Tanah sebagai alat Tanah sebagai kawasan bersama, tanah bukan legitimasi kekuasaan cagar budaya yang sebagai komoditas raja dan hasil tanah bermanfaat untuk untuk konsumsi rakyat kemakmuran bersama, dan bangsawan tanah bukan sebagai komoditas

29 Solulsi dapat diterima para pihak apabila kepentingan yang mendapatkan prioritas lebih tinggi yang dipenuhi, sementara kepentingan yang mendapatkan prioritas lebih rendah harus dilupakan, Ibid, hlm. 332. 30 Paul Scolten terj. B. Arief Sidharta, 2003, De Structure Der Techtswetenschap, Alumni, Bandung, hlm. 37. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 49

4 Hierarki a. Hak bangsa a. Hak milik sinuhun a. Hak bangsa b. HMN b. Hak menguasai : b. Hak menguasai c. Hak ulayat ñ rijk kasunanan pemerintah kota d. Hak-hak perorangan: (untuk DRS) Surakarta 1. HAT yang ñ parentah c. Hak-hak perorangan: bersumber pada keraton 1. HAT: hak bangsa Surakarta ñ primer: HM 2. Wakaf (untuk DKS) Sinuhun 3. Hak tanggungan c. Hak atas tanah ñ Sekunder: HAT perorangan yang yang bersumber bersumber pada pada HM Sinuhun hak milik sinuhun 2. Hak Tanggungan 5 Prinsip a. Kebangsaan a. Hak milik sinuhun a. Kebangsaan b. HMN b. Hak menguasai: b. Hak menguasai c. Pengakuan hak ulayat ñ Rijk pemerintah kota d. Fungsi sosial hak atas kasunanan Surakarta tanah untuk tanah c. Fungsi sosial hak atas e. Hanya WNI yang DRS tanah dapat mempunyai hak ñ Parentah d. Subyek Hak Milik milik keraton adalah Sri Susuhunan f. Persamaan antara laki- Surkarta untuk e. Subyek HGB dan hak laki dan wanita tanah DKS pakai sesuai UUPA g. Perlindungan c. Fungsi sosial hak f. Hanya sentono dan golongan ekonomi atas tanah abdi dalem beserta lemah d. Tanah DRS untuk keluarganya yang h. Landreform kawula dalem dan dapat menjadi subyek i. Tata guna tanah orang eropa dan magersari, anggaduh, timur asing kontrak dan nenggo e. Tanah DKS untuk g. Perlindungan golongan kawula dalem ekonomi lemah f. Perlindungan h. Landreform golongan ekonomi i. Tata guna tanah lemah g. Landreform

Sumber: diolah dari data primer dan sekunder.

E. Kesimpulan ga Baluwarti dan sebagian kerabat keraton Ada keselarasan atau kesesuaian Surakarta mengenai makna keraton Surakar- pendapat pemerintah Kota Surakarta, war- ta sebagai lembaga adat, pemangku budaya 50 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, Halaman 35 - 52

Jawa yang dipimpin Sinuhun dan dapat di- kepentingan yang sama yaitu eksistensi ke- manfaatkan sebagai obyek wisata. Masing- raton Surakarta dapat memberi manfaat eko- masing kelompok itu sama-sama menggu- nomi. Kepentingan bersama ini merupakan nakan budaya hukum Jawa sebagai kerangka landasan dalam merekonstruksi pengaturan acuan untuk menata pendapatnya mengenai tanah Baluwarti sebagai kawasan cagar bu- makna keraton Surakarta. Pendapat sebagian daya . Hak atas tanah Baluwarti bersumber kerabat keraton Surakarta yang menyatakan pada hak bangsa. Pemerintah kota Surakarta keraton Surakarta sebagai pusat pemerin- sebagai pemegang HMN mengatur hubung- tahan tidak dapat diakomodasi dalam pe- an antara Sri Susuhunan, dan kerabat keraton ngaturan tanah Baluwarti karena tidak kom- Surakarta lainnya, individu, badan hukum patibel dengan aspirasi pemerintah Kota dengan tanah Baluwarti. Hak atas tanah Balu- Surakarta dan masyarakat Baluwarti dan warti adalah hak milik Sri Susuhunan selaku dapat menimbulkan gejolak sosial. Peme- pimpinan kerabat keraton Surakarta. Hak mi- rintah Kota Surakarta, masyarakat Baluwarti lik ini dapat dibebani HGB, hak pakai, hak dan kerabat keraton Surakarta mempunyai sewa, magersari, anggaduh, nenggo. Karjoko, Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya 51

DAFTAR PUSTAKA

FISIP UNS, 1997, Rencana Induk Pendaya- Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra gunaan Bangunan/Benda dan Kawasan Aditya Bakti, Bandung. Cagar Budaya Sebagai Aset Wisata di Ranawidjaja, Usep, 1955, Swapraja Seka- Kotamadya Dati II Surakarta, Dinas rang dan di Hari Kemudian, Djam- Pariwisata Pemda Kotamadya Dati II batan, Jakarta. Surakarta, Surakarta. Saifudin, 2000, Proses Adaptasi Budaya Gautama, Sudargo, 1990, Tafsiran UUPA, Keagamaan dan Kepercayaan dalam Citra Aditya Bakti, Bandung. Upacara Kirab Pusaka Keraton Sura- Moertono, Soemarsaid, 1985, Negara dan karta (Suatu Telaah Historis Antrop- Usaha Bina Negara di Jawa Masa ologi), Tesis Program Magister Studi Lampau Studi tentang Masa Mataram Islam UMS, Surakarta. II Abad XVI sampai XIX, Yayasan Obor Scholten, Paul terj. Sidharta, B. Arief, 2003, Indonesia, Jakarta. Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Band- Poloma, Margaret M terj. Tim Yasogama, ung. 2003, Contemporary Sociological The- Setiadi, Bram, dkk, 2001, Raja di Alam Re- ory atau Sosiologi Kontemporer, Raja publik, Keraton Kasunanan Surakarta Gra›ndo Persada, Jakarta. dan Paku Buwono XII, Bina Rena Pari- Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin terj. wara, Yogyakarta. Soetjipto, Helly P dan Soetjipto, Sri Soeprato, H.R. Riyadi, 2002, Interaksionis- Mulyatini, 2004, Social Confiict Esca- me Simbolik Perspektif Sosiologi Mod- lation, Stalemate, and Settlement atau ern, Averroes Press, Malang. Teori Konfiik Sosial, Pustaka Pelajar, Woodward, Mark R, 1999, Islam Jawa, Yogyakarta. LKIS, Yogyakarta. Putra, Ida Bagus Wiyasa, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Re›ka Aditama, Bandung.