KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA MASYARAKAT PASISI BARUS

TESIS

Oleh:

YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA MASYARAKAT PASISI BARUS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara Judul Tesis : Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat

Pasisi Barus

Nama Mahasiswa : Yenny Puspita Saragih

Nomor Pokok : 117009028

Program Studi : Linguistik

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S) (Dr. Nurlela, M.Hum) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A)

Tanggal Lulus : 28 Agustus 2013

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada tanggal 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S Anggota : 1. Dr. Nurlela, M.Hum 2. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D 3. Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D 4. Dr. Dwi Widayati, M.Hum

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

Judul Tesis

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA MASYARAKAT PASISI BARUS

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013

Yenny Puspita Saragih, S.Pd

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.

Kata kunci: kearifan lokal, kesantunan berbahasa, tindak tutur, masyarakat Pasisi Barus, antropolinguistik, pragmatik.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.

Key Word: local wisdom, language politeness, speech acts, Pasisi Barus Society, anthropolinguistic, pragmatic.

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang sekaligus juga sebagai Dosen Penguji I pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penyusunan tesis ini. 4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran serta memotivasi dan membantu dalam penyusunan tesis ini. 5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak sekali masukan dan saran, serta memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini. 6. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara 7. Ibu Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini 8. Seluruh dosen pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 9. Orang tua penulis, H. Abdullah Saragih dan Nursiah serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang. 10. Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu bersama-sama. 11. Kepala Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah memberi ijin meninggalkan tugas saat proses ujian-ujian berlangsung. 12. Rekan-rekan guru dan staf tata usaha di Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah membantu untuk menggantikan tugas penulis saat meninggalkan tugas mengajar. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin

Medan, Agustus 2013 Penulis

Yenny Puspita Saragih

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi Nama Lengkap : Yenny Puspita Saragih, S.Pd Jenis Kelamin : Wanita Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 15 Januari 1981 Alamat Rumah : Jalan Aso-Aso No. 73 Kelurahan Pancuran Pinang Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga, Sumatera Utara Nomor HP : 081376251251 Agama : Islam

II. Riwayat Pendidikan SD : SD Negeri 084086 Kota Sibolga Lulus Tahun 1992 SMP : MTs Swasta Darur Rachmad Kota Sibolga Lulus Tahun 1996 SMA : SMA Negeri 3 Kota Sibolga Lulus Tahun 1999 S1 : Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan Lulus Tahun 2003 S2 : Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2013

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii RIWAYAT HIDUP ...... v DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Ruang Lingkup ...... 8 1.3 Rumusan Masalah ...... 9 1.4 Tujuan Penelitian ...... 9 1.5 Manfaat Penelitian ...... 10 1.5.1 Manfaat Teoritis ...... 10 1.5.2 Manfaat Praktis ...... 10

BAB II KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ...... 11 2.1 Konsep ...... 11 2.1.1 Kearifan Lokal ...... 11 2.1.2 Kesantunan Berbahasa ...... 14 2.2 Kerangka Teori ...... 17 2.2.1 Teori Kesantunan ...... 17 2.2.2 Pembentukan Kesantunan ...... 26 2.2.3 Tindak Tutur...... 29 2.2.4 Konteks ...... 34 2.2.5 Pragmatik ...... 36 2.2.6 Antropolinguistik ...... 38 2.2.7 Kerangka Teori Yang Diterapkan ...... 40 2.3 Kajian Pustaka ...... 42

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...... 47 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 47 3.1.1 Geografi Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 47 3.1.2 Demografi Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 49 3.1.3 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 51 3.2 Barus Sebagai Wilayah Bahasa Pesisir ...... 55 3.3 Penutur Bahasa Pasisi ...... 60 3.4 Gambaran Bahasa Pasisi ...... 63

Universitas Sumatera Utara BAB IV METODE PENELITIAN ...... 67 4.1 Jenis Penelitian ...... 67 4.2 Lokasi Penelitian ...... 67 4.3 Data dan Sumber Data ...... 67 4.4 Metode Pengumpulan Data ...... 68 4.5 Metode Analisis Data ...... 69

BAB V PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN ...... 73 5.1 Pendahuluan ...... 73 5.2 Paparan Data ...... 73 5.2.1 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menolak ...... 73 5.2.2 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Meminta ...... 80 5.2.3 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Memerintah ...... 83 5.2.4 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Melarang ...... 86 5.2.5 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menawarkan ...... 87 5.3 Pembahasan ...... 88 5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ...... 88 5.3.2 Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ...... 108 5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ...... 113

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...... 120 5.1 Simpulan ...... 120 5.2 Saran ...... 121

DAFTAR PUSTAKA ...... 123

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Jumlah dusun/lingkungan menurut desa/kelurahan ...... 31

5.1 Strategi Kesantunan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur Menolak ... 68

5.2 Strategi Kesantunan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur Menolak ..... 71

5.3 Strategi Kesantunan Berterima Kasih Pada Tindak Tutur Menolak ..... 72

5.4 Strategi Kesantunan Menunda Pada Tindak Tutur Menolak ...... 73

5.5 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Menolak .. 74

5.6 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Meminta ... 75

5.7 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis Pada Tindak Tutur Meminta ... 75

5.8 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Meminta ...... 76

5.9 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Meminta ...... 77

5.10 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar

Pada Tindak Tutur Memerintah ...... 78

5.11 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis

Pada Tindak Tutur Memerintah ...... 78

5.12 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Memerintah ...... 79

5.13 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Memerintah ...... 80

Universitas Sumatera Utara 5.14 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Melarang ...... 81

5 15 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak langsung

Pada Tindak Tutur Melarang ...... 82

5.16 Strategi Kesantunan Menawarkan Pada Tindak Tutur Menawarkan ... 83

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff ...... 18

2.2 Skala Kesantunan Leech ...... 21

2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson ...... 26

2.4 Rangkuman Kerangka Teori ...... 27

2.5 Kerangka Pikir Penelitian ...... 42

3.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 44

3.2 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah Berdasarkan Kecamatan ...... 45

3.3 Perbandingan jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Tengah

di rinci menurut kecamatan tahun 2011 ...... 46

3.4 Lambang Kabupaten Tapanuli Tengah ...... 49

3.5 Peta Kecamatan Barus ...... 55

4.1 Komponen Analisis Data Model Interaktif ...... 66

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Biodata Informan dan Transkripsi Dialog ...... 126

2. Biodata Narasumber ...... 135

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa yang pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling bertukar informasi, juga menjadi perekat hubungan antara pembicara dan pendengar.

Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan menggunakan bahasa yang santun.

Dengan menggunakan bahasa yang santun, kemungkinan terjadinya konflik akan semakin kecil sehingga perselisihan yang saat ini semakin marak kita saksikan baik di televisi maupun di lingkungan sekitar kita dapat dihindari dan suasana damai akan lebih mendominasi kehidupan ini.

Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas berkaitan dengan fenomena di masyarakat terutama di bidang politik yang terjadi sejak lepas dari masa orde baru dan beralih ke masa reformasi. Masa reformasi yang telah berjalan hampir 15 tahun ini ditandai dengan uforia kebebasan berbicara oleh masyarakat Indonesia. Uforia kebebasan berbicara yang terkadang tak lagi menghiraukan kesantunan itu dapat dilihat pada suasana unjuk rasa, acara diskusi dan debat di televisi, bahkan di ruang sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Akibatnya tak jarang kita saksikan terjadi konflik antara dua orang yang berseberangan pendapat yang dijadikan narasumber dalam suatu acara di televisi atau perang mulut antar anggota DPR yang terkadang juga berakhir anarkis. Hal-hal tersebut sebenarnya dapat dihindari jika kita masih berpedoman pada prinsip-prinsip

Universitas Sumatera Utara kesantunan dalam berkomunikasi. Tawuran pelajar hingga memakan korban jiwa juga sering dipicu oleh komunikasi yang tidak santun antara seorang siswa dengan siswa lain yang akhirnya melebar menjadi konflik antarsekolah.

Fenomena berbahasa yang terlihat saat ini sangat membuat miris perasaan.

Tayangan televisi didominasi oleh acara-acara yang mempertontonkan orang-orang yang menggunakan bahasa yang tidak santun, sehingga tidak jarang terlihat dua narasumber yang berseberangan pendapat saling memotong pembicaraan, berebut kesempatan untuk memberikan pendapatnya masing-masing. Fenomena seperti ini dinilai kurang santun`karena tidak mengikuti pola giliran yang dianjurkan oleh

Ketidaksantunan dalam berbahasa yang terjadi di masyarakat cenderung dilakukan oleh remaja. Contoh tuturan yang menunjukkan ketidaksantunan berbahasa berikut ini adalah tuturan seorang siswa yang merasa tidak terima dengan hukuman yang diberikan salah seorang guru kepadanya.

A: Elok-elok muncung Bapak tu mangeccek.

(Bagus-bagus muncung Bapak kalau berbicara)

Kata muncung yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘mulut’ namun merupakan kata yang sangat tidak santun dan kasar jika digunakan dalam pertuturan formal di sekolah, apalagi jika tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa yang terhadap guru. Kata-kata yang tidak santun yang dituturkan oleh siswa tersebut pada contoh tuturan di atas sangat memungkinkan memicu konflik yang besar jika saja sang bapak guru tidak dapat menahan emosi. Di sinilah terjadinya penggunaan kekerasan terhadap siswa tersebut, yang kemudian si siswa mengadukan kepada orang tuanya tentang berlakunya kekerasan terhadap anaknya. Tanpa menyelidiki

Universitas Sumatera Utara dulu latar belakang terjadinya peristiwa tersebut, terjadilah konflik yang melebar hingga melibatkan aparat polisi.

Media jejaring sosial di dunia maya, seperti twitter dan facebook yang saat ini sangat digemari oleh masyarakat dunia terutama generasi muda, juga menunjukkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari yang disaksikan di televisi. Fenomena penggunaan bahasa yang tidak santun di media jejaring sosial bahkan dapat dikatakan lebih parah jika dibandingkan dengan di televisi. Sering kali terjadi pengguna media ini menuliskan kata-kata yang penuh caci-maki di akun facebook atau twitternya, yang terkadang ditujukan langsung kepada orang yang dimaksud, atau tanpa menyebutkan secara eksplisit nama orang yang dituju. Komentar-komentar orang yang berseberangan pendapat terhadap suatu berita di situs berita online juga menggunakan bahasa yang jauh dari kata-kata santun, apalagi jika topik berita menyangkut masalah SARA.

Ironisnya, sebagian masyarakat semakin permisif dalam menanggapi masalah ketidaksantunan berbahasa ini dengan dalih perkembangan zaman akibat modernisasi dan globalisasi sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran kesantunan dalam berbahasa.

Untuk itulah masalah kesantunan berbahasa perlu diangkat dan dibahas dalam topik penelitian ini agar hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran kepada masyarakat untuk peka mengenai masalah ketidaksantunan berbahasa bagi kaum muda yang lebih sering mengabaikan hal ini.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk mempelajari suatu bahasa, mau tak mau kita juga harus mempelajari

Universitas Sumatera Utara budaya penutur bahasa tersebut sebab bahasa hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya (Sibarani, 2004: 65). Seperti kata kepeng memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan antara bahasa Pesisir yang penuturnya terdapat di Sibolga dan sebagian Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) dengan bahasa Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam bahasa Pesisir kata kepeng bermakna ‘uang’ atau ‘duit’ sedangkan bagi masyarakat Minang kata tersebut merupakan kata yang tabu diucapkan sebab kata tersebut merujuk pada organ tubuh yang lazim ditutupi oleh pakaian sehingga tidak sopan diucapkan di depan orang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya, faktor- faktor sosial seperti status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan kesantunan berbahasa.

Kesantunan berbahasa dalam suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya. Sebab, seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa erat kaitannya dengan budaya.

Kesantunan berbahasa dalam bahasa rakyat (folk speech) sebagai bagian dari kebudayaan daerah di nusantara ini merupakan salah satu wujud dari tradisi lisan yang selayaknya ditumbuhkembangkan untuk menemukan kembali pedoman- pedoman leluhur yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tersebut. Melalui tradisi lisan bahasa rakyat, yang dalam hal ini berupa bahasa tutur, kita dapat

Universitas Sumatera Utara menggali kearifan lokal yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tutur tersebut untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan bangsa saat ini yang tak lepas dari ancaman disintegrasi akibat terjadinya konflik- konflik sosial yang salah satu penyebabnya adalah hilangnya nilai-nilai kesantunan berbahasa dalam berkomunikasi.

Indonesia merupakan negeri yang kaya akan keragaman kebudayaan yang sering dijadikan ladang penelitian. Keragaman kebudayaan ini biasanya dimiliki oleh suku-suku minoritas yang tinggal di pedalaman dan pedesaan di wilayah nusantara ini. Dalam masing-masing keragaman kebudayaan ini terdapat nilai-nilai luhur yang masih tetap dipertahankan dan menjadi kearifan lokal bagi masyarakat pemilik kebudayaan tersebut.

Penggalian kearifan lokal dalam suatu kebudayaan memiliki arti penting dalam upaya untuk keberlanjutan kebudayaan tersebut. Terlebih lagi di tengah modernisasi yang disebabkan oleh globalisasi menjadi penyebab bergesernya nilai- nilai budaya lokal yang berganti dengan budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.

Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Sejaln dengan pernyataan Sibarani di atas, kearifan lokal digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya tersebut.

Universitas Sumatera Utara Kearifan lokal dalam suatu kebudayaan digali melalui nilai-nilai budaya yang hanya dapat disimpulkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia yang diwariskan secara turun temurun. Namun nilai-nilai tersebut hanya dapat diperoleh pada masyarakat yang masih kokoh mempertahankan tradisi yang jumlahnya semakin sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang mengalami pergeseran nilai-nilai sebagai akibat dari modernisasi.

Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat ini tetap bertahan ditengah gencarnya ancaman budaya luar yang begitu mudah mempengaruhi masyarakat terutama generasi muda melalui media televisi dan internet yang menjadi imbas dari globalisasi informasi dan modernisasi. Pemertahanan nilai-nilai dalam kebudayaan ini biasanya melalui proses pewarisan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka.

Dari pengamatan penulis, kesantunan berbahasa saat berkomunikasi masih terlihat dalam interaksi pergaulan sehari-hari masyarakat Barus, Kabupaten Tapanuli

Tengah. Berikut adalah percakapan saat seorang ibu menyuruh kepada anak laki-laki tertuanya untuk memperbaiki atap rumah dan percakapan antara dua tetangga.

1. Ibu : Talok kuti mamparekkikan atok kito tu? ‘Bisa kuti memperbaiki atap

(rumah) kita?

(Kuti adalah panggilan untuk anak laki-laki tertua dalam keluarga)

Anak : Jadi. Sabanta lai yo mak. “Ya. Sebentar lagi bu’.

2. A: Jadi pai ka Medan barisuk? ‘jadi pergi ke Medan besok?’

Ado tampek-tampek makkan maccam etek Ana. Di medan katonyo dibalinyo.

‘Ada peralatan makan seperti punya bu Ana. Katanya dia beli di Medan.’

Universitas Sumatera Utara B: Bekko la kok sampat ambo carikan. ‘Kalau sempat saya nanti saya cari.’

Pada percakapan pertama, kalimat suruhan atau perintah yang seharusnya bermodus imperatif, tetapi dalam realisasinya si ibu menggunakan kalimat pertanyaan atau interogatif. Pertanyaan tersebut juga menyiratkan bahwa si ibu memberikan pilihan kepada si anak apakah ia mau melakukan yang diperintahkan atau tidak. Hal ini menunjukkan kesantunan berbahasa walaupun jelas-jelas yang disuruh adalah anaknya sendiri. Dalam hal ini si ibu juga menunjukkan kearifan kepada sang anak untuk membiasakan diri bersikap santun.

Kesantunan yang ditunjukkan B dalam percakapan kedua adalah dengan menjanjikan hal yang belum tentu dapat ia lakukan. Hal ini dilakukan hanya untuk menyenangkan hati A. Untuk meminta B melakukan hal yang diinginkannya, A tidak secara langsung mengutarakan maksudnya meminta B untuk membelikan suatu barang.

Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menemukan dan menggali kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang disimpulkan dan ditafsirkan dari bahasa tutur masyarakat tersebut. Barus merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara, yang menurut para sejarawan kebudayaannya telah dimulai sejak pertengahan abad 9 M.

Bahasa tutur atau bahasa rakyat (folk speech) yang digunakan masyarakat

Barus saat ini adalah bahasa Pesisir (Pasisi) yang merupakan kombinasi bahasa

Melayu, dan Minang. Penutur bahasa Pesisir ini tersebar di daerah-daerah pesisir pantai Barat Sumatera dari Singkil (Nangroe Aceh Darussalam) hingga Natal

(Madina, Sumatera Utara). Namun, Bahasa Pesisir yang digunakan masyarakat Barus

Universitas Sumatera Utara memiliki perbedaan dan ciri khas dibandingkan dengan penutur bahasa Pesisir di

Sibolga, Sorkam, dan daerah lainnya.

1.2 Ruang Lingkup

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik.

Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian bahasa di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok untuk memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis data tentang kesantunan berbahasa.

Kesantunan berbahasa dalam satu masyarakat berhubungan dengan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut. Jadi, penelitian ini juga merupakan kajian antropolinguistik yang mengkaji tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan.

Antropolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah antara hubungan bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, tepatnya di Desa Pasar Batu Gerigis, Desa Kampung Solok, Desa Pasar Tarandam dan Desa Kedai Gadang ini, dibatasi dengan hanya meneliti bagaimana kesantunan anggota masyarakat pada saat saling berkomunikasi dalam ranah keluarga dan

Universitas Sumatera Utara lingkungan tetangga di keempat desa tersebut. Penetapan keempat desa ini dilatari oleh letak geografisnya yang berada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.

1.3 Rumusan Masalah

Dalam usaha untuk menemukan kearifan lokal dalam bahasa tutur masyarakat

Barus, penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan- pertanyaan berikut;

1. Bagaimanakah strategi pembentukan kesantunan berbahasa dalam bahasa

tutur pada masyarakat Pasisi Barus?

2. Bagaimanakah pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus?

3. Bagaimanakah kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi

Barus?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Menjelaskan strategi kesantunan berbahasa dalam bahasa tutur pada

masyarakat Pasisi Barus.

2. Mendeskripsikan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus.

3. Menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi

Barus.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Universitas Sumatera Utara Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai kesantunan berbahasa yang berasal dari data bahasa daerah memperkaya khazanah penelitian tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu usaha untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi muda khususnya kesantunan bahasa pada budaya masyarakat Barus yang telah mulai tergerus modernisasi yang berpotensi menggeser nilai-nilai budaya lokal dan menggantinya dengan budaya asing dari luar. Kearifan lokal kesantunan berbahasa masyarakat Barus yang tergali dalam penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Barus pada khususnya yang pada akhirnya dapat memberikan kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara

Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:

1. mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam

budaya asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan,

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Dalam Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur

Universitas Sumatera Utara tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit

Universitas Sumatera Utara dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai- nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.

Universitas Sumatera Utara Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh- kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilai- nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.

2.1.2 Kesantunan Berbahasa

Dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.

Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik

Universitas Sumatera Utara penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Dengan menggunakan bahasa manusia menjalin kebersamaan dalam keteraturan hidup kemasyarakatan dan kebudayaan serta saling bekerja sama. Kebersamaan dan kerjasama sangat ditentukan oleh fungsi bahasa.

Bahasa tutur atau bahasa lisan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari memerankan hal yang sama, yaitu menciptakan kebersamaan dan mendorong terciptanya kerjasama. Melalui penggunaan bahasa tutur yang baik, benar dan sesuai dengan konteks sosial, pada akhirnya, rasa kebersamaan akan semakin meningkat, yang menghasilkan peningkatan kerjasama. Hal ini karena, secara lisan, penggunaan bahasa tutur mengandung etika dalam komunikasi interpersonal, tahu dan paham akan kondisi psikologis mitratutur. Konsekuensinya, terciptalah penguatan silaturahmi, interaksi, kebersamaan, kerjasama, dan saling ketergantungan. Singkatnya, terjalinnya harmonisasi dalam berkomunikasi, berhubungan dan bekerjasama sebagai sebuah solidaritas sosial.

Untuk itu dalam bahasa tutur seharusnya tidak lepas dari kesantunan untuk menjaga harmonisasi dalam berkomunikasi. Kesantunan (kesopansantunan) sama dengan tata karma atau etika. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati dalam perilaku sosial (Sibarani, 2004: 170).

Universitas Sumatera Utara Menurut Yule (2006:104) kesantunan berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri

Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya penutur. Kesantunan berbahasa verbal merujuk kepada percakapan, lisan dan pertuturan. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk ke dalam kesantunan nonverbal di antaranya adalah unsur suprasegmental, paralinguistik dan proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi.

Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik.

Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal

(kebahasaannya) saja tanpa mempertimbangkan faktor nonverbal yang mempengaruhi.

Kartomiharjo (1981) menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur tidak bisa lepas dari norma-norma sosial dan budaya yang dimilikinya. Kesantunan

Universitas Sumatera Utara ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) Empan papan, menerangkan bahwa dalam berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar sesuai dengan tataran masyarakat, (2) Urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) Mapanake wong tuwo, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dituakan.

Sementara itu Gunarwan (1998, dalam Gunarwan 2007) menjabarkan norma- norma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidal, yaitu: (1) Kurmat atau (hormat),

(2) Andaphasor (rendah hati), (3) Ampan-papan (sadar akan tempat), dan (4) Tepa- slira (tenggang rasa).

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Teori Kesantunan

Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diamtaranya adalah

Lakoff (1973), Leech (1983) dan Brown & Levinson (1987). Teori ketiga pakar ini beranjak dari kenyataan bahwa ternyata Prinsip Kerja Sama Grice lebih sering dilanggar oleh penutur dalam komunikasi pada umumnya. Berikut akan dijelaskan mengenai teori ketiga pakar tersebut mengenai kesantunan berbahasa.

(1) Teori Kesantunan Lakoff

Universitas Sumatera Utara Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas

(formality), 2) ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti memenganggapnganggap penutur dan lawan tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.

Kaidah Kesantunan Lakoff

Persamaan atau Ketidaktegasan Formalitas (Formality) Kesekawanan (Equality (Hesitancy) or Camaraderie)

Tidak memaksa Memberikan pilihan Menganggap sama

Gambar 2.1

Kaidah Kesantunan Lakoff (1973)

(2) Teori Kesantunan Leech

Menurut Leech (1983) prinprinsipsip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)

Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri sesendirindiri sekecil mungkin,

(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan

Universitas Sumatera Utara menyatakan : (a) minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, (b) maksimalkan rasa hormat terhadap orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati menyatakan : (a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

(5) Maksim Kesepakatan menyatakan : (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati menyatakan : (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain, (b) tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.

Leech menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech dijelaskan sebagai berikut.

1) Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada

besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak

tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri

penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,

semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak

santunlah tuturan itu.

2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya

pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam

kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra

tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin

santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak

Universitas Sumatera Utara memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan

tersebut akan dianggap tidak santun.

3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat

langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu

bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.

Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan

dianggap semakin santunlah tuturan itu.

4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin

jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur,

tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya,

semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung

berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah

pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di

antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.

Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur

dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.

Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan

mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan

dalam bertutur.

Universitas Sumatera Utara Skala Kesantunan Leech

Cost-Benefit Optionality Indirectness Authority Social Distance

Kerugian- Pilihan Ketidaklangsungan Keotoritasan jarak Sosial Keuntungan

Gambar 2.2

Skala Kesantunan Leech (1993)

(3) Teori Kesantunan Brown dan Levinson

Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui kajian menyeluruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (face), yang didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah mereka disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua penutur agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara.

Universitas Sumatera Utara Brown dan Levinson mendefinisikan kesantunan bahasa sebagai strategi menghindari mengancam muka orang lain yang dikenal dengan Face-Threatening Act

(FTA). Untuk itulah pentingnya kesantunan dalam berkomunikasi, sebab ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka positif dan muka negatif.

Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,

2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.

Muka positif mengacu ke diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan agar apa yang dilakukan dan diyakininya, diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik. Sedangkan muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan memberikannya kebebasan dari keharusan melakukan sesuatu (Sibarani, 2004: 180-181). Karena ada dua sisi muka yang terancam, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan positif

(untuk menjaga muka positif) dan kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif).

Brown dan Levinson merinci strategi kesantunan positif ke dalam 15 subkategori: 1) memberi perhatian (notice); 2) melebihkan dalam memberi komentar

Universitas Sumatera Utara atau pujian (exaggerate); 3) menegaskan (intensify); 4) menggunakan penanda sebagai anggota kelompok yang sama (use in-group identity markers); 5) mengupayakan kesepakatan (seek agreement); 6) menghindari perbedaan pendapat

(avoid disagreement); 7) mengisyaratkan kesamaan pandangan (presuppose common ground); 8) menggunakan lelucon (joke); 9) menampilkan pengetahuan penutur dan mempertimbangkan keinginan penutur (assert S’knowledge and concern for H’s wants); 10) menawarkan, berjanji (offer, promise); 11) bersikap optimis (be optimistic); 12) menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan (include both S and

H in the activity); 13) memberi atau meminta alasan (give reasons); 14) menerima atau menampilkan sikap timbal balik atau saling (assume or assert repciprocity); 15) memberi hadiah pada petutur (give gifts to H).

Ke lima belas strategi kesantunan positif tersebut dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) mengungkapkan “kesamaan pijaan” (common ground), misalnya dengan memperhatikan minat, keinginan, keperluan petutur; mengungkapkan kesamaan keanggotaan dengan petutur, seperti menggunakan permarkah identitas yang menunjukkan bahwa penutur dan petutur termasuk ke dalam kelompok yang sama atau mempunyai kesamaan pandangan, pendapat, pengetahuan atau empati, semuanya diungkapkan dengan mencari kesetujuan; menghindari ketidaksetujuan; meningkatkan kesamaan pijaan; dan berseloroh; (2) mengungkapkan bahwa penutur dan petutur adalah kooperator, misalnya dengan menunjukkan bahwa penutur mengetahui apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan menunjukkan adanya refleksivitas (menawarkan, menjanjikan, memberikan/meminta alasan); dan (3)

Universitas Sumatera Utara memenuhi apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan memberikan sesuatu kepadanya (barang, simpati, pengertian, kerja sama).

Sementara strategi kesantunan linguistik negatif terdiri dari 10 strategi, yakni:

1) menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect); 2) pertanyaan, kalimat berpagar (question, hedge); 3) bersikap pesimis (be pessimistic); 4) meminimalkan tekanan (minimize imposition); 5) memberikan penghormatan (give deference); 6) meminta maaf (apologize); 7) menghindarkan penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’ (impersonalize S and H: avoid the pronoun I and You); 8) menyatakan tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum (state the FTA as a general rule); 9) nominalisasi (nominalize); 10) menyatakan terus terang penutur berhutang budi kepada petutur (go on records).

Kesantunan negatif yang dijabarkan Brown dan Levinson menjadi 10 strategi dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) menggunakan strategi tidak langsung konvensional, yang intinya adalah jangan memaksa petutur untuk melakukan sesuatu;

(2) jangan berasumsi mengenai apa yang dimaui petutur, misalnya dengan menggunakan pagar (hedge) atau kalimat tanya; (3) jangan memaksa penutur, misalnya dengan jalan memberinya opsi, antara lain dengan mengasumsikan bahwa petutur mungkin tidak bersedia melakukan sesuatu-jadi penutur perlu bersikap pesimistik; penutur meminimalkan ancaman dengan cara: (a) mengurangi keterpaksaan dan (b) menunjukkan hormat; (4) mengomunikasikan bahwa penutur tidak menghendaki memaksa petutur, misalnya dengan meminta maaf (termasuk menunjukkan keengganan), dengan memisahkan penutur dan petutur dari

Universitas Sumatera Utara keterpaksaan, yaitu dengan: (a) menghindari pronominal “saya” dan “kamu/Anda”;

(b) mengungkapkan FTA sebagai hal yang umum; dan (c) menominalkan kata kerja sehingga efek gaya bahasanya lebih formal; (5) memberikan kompensasi bagi keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif, misalnya dengan mengatakan bahwa tindakan on record adalah tindakan terpaksa yang merupakan “utang” penutur atau bahwa petutur tidak “berutang” kepada penutur.

Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan kultural.

1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance

between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan

umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and

hearer relative power) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur.

3) Skala peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif

tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Misalnya menelpon

seseorang lewat jam 10 malam akan dianggap tidak sopan dan bahkan

melanggar norma kesantunan. Namun hal yang sama dapat dianggap santun

pada situasi genting seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, dan

sebagainya.

Universitas Sumatera Utara Skala Kesantunan Brown & Levinson

Jarak sosial (Social Kekuasaan relatif Peringkat distance) (Relative power) (Rank rating)

Perbedaan umur, jenis Kedudukan asimetrik Kedudukan relatif kelamin, dan latar antara penutur tindak tutur belakang sosiokultural

Gambar 2.3

Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)

2.2.2 Pembentukan kesantunan

Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan

(politeness principle), 2) menghindarkan kata-kata tabu, 3) menggunakan eufemisme,

3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6) menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek-aspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa.

Berdasarkan teori-teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.

Universitas Sumatera Utara

Menghindari Kata Tabu

Menggunakan Menggunakan Honorifik Eufemisme

Memberi Pembentukan Tidak Pilihan Kesantunan Memaksa Berbahasa

Mengutamakan Menggunakan Keuntungan Ujaran Tidak Mitra Tutur Langsung

Menggunakan Kalimat Berpagar

Gambar 2.4 Rangkuman Kerangka Teori

Berdasarkan rangkuman dari teori Lakoff (1973), Leech (1993) dan Brown &

Levinson (1987) serta pembentukan kesantunan menurut Sibarani (2004), kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini merumuskan delapan strategi pembentukan kesantunan, yakni 1) menghindari kata tabu, 2) menggunakan honorifik, 3) menggunakan eufemisme, 4) tidak memaksa, 5) memberi pilihan, 6) menggunakan

Universitas Sumatera Utara ujaran tidak langsung, 7) menggunakan kalimat berpagar, dan 8) mengutamakan keuntungan mitra tutur. Ke delapan strategi pembentukan kesantunan tersebut satu persatu dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, kata-kata yang dianggap tabu berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tetapi, secara umum kata-kata tabu merupakan kata-kata yang menyebutkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi. Kata ‘jaya’ adalah salah satu kata yang pantang diucapkan karena merupakan salah satu kata-kata yang tabu diucapkan bagi masyarakat Pasisi Barus. Kedua, menggunakan honorifik berarti menggunakan kata-kata yang menunjukkan hormat kepada mitra tutur yang salah satunya dengan menggunakan sapaan yang sesuai untuk mitra tutur tersebut.

Contohnya pada tuturan ‘Nandak pulang, Angku?’, kata angku (kakek) merupakan kata honorifik yang menunjukkan penghormatan penutur kepada mitra tuturnya yang sudah tua. Ketiga, menggunakan eufemisme berarti memilih kata yang lebih halus untuk mengungkapkan sesuatu kepada mitra tutur. Contohnya dapat dilihat pada tuturan ‘Nandak pai pulo ambo bekko’ (Saya hendak pergi pula). Pada tuturan tersebut, penutur memilih menggunakan kalimat yang lebih halus untuk menolak permintaan mitra tuturnya yang ingin datang berkunjung ke rumah penutur. Keempat, memberi pilihan bermakna bahwa tuturan yang digunakan penutur memberikan pilihan yang sebanyak mungkin kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Yang tadi tu sajo ndak Tiya?’ (Apa tidak yang itu saja, Tiya?). Pada tuturan tersebut penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan yang diinginkan penutur. Kelima, tidak memaksa berarti penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa mitra tutur seperti pada contoh tuturan

Universitas Sumatera Utara ‘Rancaknyo jangan lai pakke itu’ (Sebaiknya jangan pakai lagi itu). Tuturan tersebut menunjukkan penutur tidak memaksa mitra tutur untuk melakukan yang diinginkan penutur. Keenam, menggunakan ujaran tidak langsung bermakna penutur tidak menyampaikan maksud tuturannya secara langsung. Contohnya penutur yang memerintahkan cucunya untuk mengambilkan air hangat pada tuturan ‘Ado ai hangek, Pia?. Alih-alih menggunakan kalimat imperatif, sang nenek menggunakan kalimat interogatif. Ketujuh, menggunakan kalimat berpagar (hedges) yang biasanya menggunakan pemarkah pengandaian, seperti jika, kalau, dan sebagainya seperti yang terdapat pada tuturan ‘Kok sampat bekko, lalukan kepeng ko da’. Pada tuturan tersebut, penutur bermaksud meminta mitra tuturnya untuk mengantarkan uang kepada seseorang. Konstruksi kalimat berpagar yang digunakan penutur merupakan salah satu bentuk kesantunan dalam berbahasa. Kedelapan, mengutamakan keuntungan mitra tutur berarti penutur berusaha memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Diantekkanla Angku?’ yang merupakan tindak tutur menawarkan untuk diantarkan pulang yang menunjukkan penutur mengutamakan keuntungan bagi mitra tuturnya.

2.2.3 Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan.

Universitas Sumatera Utara Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dlm arti yang sebenarnya (Rustono, 1999: 33).

Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran

(yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan), menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur, dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana, bilamana, bagaimana.

Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif.

Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada

kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating),

menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining),

menolak, (declining), dan mengklaim (claiming).

2. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya

untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya,

memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon/meminta

(requesting), melarang (prohibiting), menasehati (advising), dan

merekomendasi (recommending).

Universitas Sumatera Utara 3. Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan

atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya

berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf

(pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), berbelasungkawa

(condoling).

4. Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan

janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan

menawarkan sesuatu (offering).

5. Deklarasi (Declarations), bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan

dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing),

menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing),

mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi.

Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.

Contoh:

A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata)

B: akan ku matikan.

Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai perintah, sama seperti “ matikan lampunya”. Seseorang mungkin juga menyatakan

Universitas Sumatera Utara perintah dalam bentuk pernyataan kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur kalau lampunya terlalu terang”.

Wijana (1996) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak literal. a. Tindak tutur langsung dan tak langsung

Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif) dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu

(informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan “Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.

Universitas Sumatera Utara b. Tindak tutur literal dan tindak tutur tak literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.

1. Penyanyi itu suaranya bagus.

2. Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)

Kalimat (1) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (2) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (2) merupakan tindak tutur tak literal. Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :

1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang

diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud

pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah,

memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat

tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Siti gadis yang cantik”, Berapa saudaramu,

Mad?

2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur

yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud

Universitas Sumatera Utara pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa

yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika

diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi

sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur

yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan,

tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan

maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya

ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.

4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah

tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan

maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu

lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat

“Lantainya bersih sekali, Mbok.”

2.2.4 Konteks

Tuturan selalu diwujudkan dalam konteks tertentu. Konteks memegang peranan penting dalam menafsirkan makna tuturan karena makna tuturan dapat berbeda-beda dalam konteks yang berbeda. Kemampuan menafsirkan makna tuturan tergantung pada kemampuan mitra tutur menghubungkan tuturan itu dengan konteks yang melingkupinya.

Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan

Universitas Sumatera Utara terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

Penyimpangan dan pematuhan prinsip kesantunan berbahasa merupakan bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa atau konteks tutur dibentuk oleh berbagai unsur, seperti: penutur, mitra tutur, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran. Unsur-unsur itu berhubungan pula dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa, antara lain dikemukakan oleh Hymes

(dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, tercakup dalam akronim SPEAKING ( S: setting, P: participants, E: ends, A: act sequence K: key, I: instrumentalities, N: norm, G: genres).

.Latar (setting) berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung.

Peserta tutur (participants) adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).

Tujuan (ends) merujuk pada maksud dan tuturan pertuturan. Urutan tindakan (act sequence) mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Kunci (key) mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan, apakah dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.

Instrumen (instrumentalities) mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Norma (norm) mengacu pada norma

Universitas Sumatera Utara atau aturan dalam berinteraksi. Genre (genres) mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.

2.2.5 Pragmatik

Pragmatik (Pragmatics) merupakan kajian arti atau makna yang timbul dalam pemakaian bahasa. Definisi pragmatik telah banyak disampaikan para linguis yang menggeluti pragmatik, diantaranya adalah sebagai berikut.

Levinson (1983: 9) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Levinson, 1983: 9)

Studi pragmatik berpusat pada penggunaan bahasa dalam suatu situasi ujar yang berhubungan dengan retorika. Hal ini sejalan dengan pendapat Leech (1993: 22-24) yang menjelaskan bahwa retorika adalah keterampilan penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Salah satu dari bentuk retorika yang dikemukakan oleh Leech (1993: 205) adalah retorika interpersonal. Dalam retorik interpersonal terdapat prinsip-prinsip komunikasi , salah satu diantaranya adalah prinsip bertindak tutur yang berterima dalam suatu masyarakat, yang merupakan salah satu bentuk kesopanan. Namun, tingkat penggunaan maksim-maksim pada prinsip tindak tutur masing-masing kelompok masyarakat, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, berbeda-beda dari suatu budaya ke budaya yang lain.

Beberapa definisi pragmatik menurut Yule (2006: 3- 4) sebagai berikut.

1. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur.

Universitas Sumatera Utara Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri

2. Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.

Tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang didalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakana yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa.

3. Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan

daripada yang dituturkan.

Pendekatan ini juga perlu menyelidiki bagaimana cara pendengar dapat menyimpulkan tentang apa yang dituturkan agar dapat sampai pada suatu interpretasi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Studi ini menggali betapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan ternyata menjadi bagian yang disampaikan. Dapat dikatakan bahwa studi ini adalah studi pencarian makna yang tersamar.

4. Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.

Pandangan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menentukan pilihan antara yang dituturkan dengan yang tidak dituturkan. Jawaban yang mendasar terikat pada gagasan jarak keakraban. Keakraban, baik keakraban fisik, sosial atau konseptual, menyiratkan adanya pengalaman yang sama. Pada asumsi tentang seberapa dekat atau

Universitas Sumatera Utara jauh jarak pendengar, penutur menentukan seberapa banyak kebutuhan yang dituturkan.

Beberapa defenisi pragmatik yang telah dikemukakan di atas memiliki kesamaan pengertian yakni sama-sama mendasarkan pijaan analisisnya pada konteks.

Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan.

2.2.6 Antropolinguistik

Antropolinguistik menurut Sibarani (2004: 50) adalah cabang linguistik yang yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat.

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: a) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas dan b) peran bahasa dalam mngembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial.

Sementara itu, Duranti mengenalkan konsep "linguistik-antropologi" yang ia gagas sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya. Duranti (1997) menyatakan:

Universitas Sumatera Utara linguistic anthropology as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice.

Selanjutnya, Kridalaksana (1984) menggunakan istilah kajian antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan. Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan.

Antropologi linguistik adakalanya disebut sebagai etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata, tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan atau menelaah bagai mana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat lalu menghubungkan dengan konsep budayanya.

Penelitian ini juga merupakan bagian dari kajian antropolinguistik karena meneliti kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang kemudian dikaitkan dengan kearifan lokal yang terkandung dalam kesantunan berbahasa sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Kesantunan berbahasa antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain berbeda menurut budaya yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat tersebut. Pada masyarakat Mandailing di

Tapanuli Selatan, merupakan hal yang wajar menggunakan sapaan orang kedua ho

(kau) kepada mitra tutur yang lebih tua ataupun orang yang belum dikenal dekat.

Sementara penggunaan sapaan orang kedua kau yang digunakan masyarakat Pasisi

Barus untuk mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan ang untuk mitra tutur

Universitas Sumatera Utara berjenis kelamin laki-laki hanya digunakan untuk mitra tutur yang usianya lebih muda atau jarak sosialnya dekat. Penggunaan kedua sapaan tersebut kepada mitra tutur yang lebih tua akan dianggap tidak santun sesuai dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itulah kesantunan berbahasa juga merupakan bagian dari kajian antropolinguistik yang mengkaji bahasa berdasarkan konteks budaya masyarakat penutur bahasa tersebut.

2.2.7 Kerangka Teori yang Diterapkan

Penelitian ini berpijak pada kajian antropolinguistik dan pragmatik karena mengkaji kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang dikaitkan dengan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. Penelitian ini tidak dapat hanya didasarkan pada teori pragmatik saja sebab kesantunan berbahasa beroperasi secara berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan masyarakat bahasa yang berbeda (Leech, 1993: 15). Oleh karena itulah penelitian ini juga didasarkan pada kajian antropolinguistik yang mengkaji bahasa berdasarkan konteks budaya penutur bahasa tersebut.

Teori pragmatik, dalam hal ini teori kesantunan, dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya dan memperkaya wawasan bagaimana bahasa digunakan oleh penuturnya di dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan pragmatik turut memberi sumbangan besar terhadap kajian antropolinguistik yang memberikan penekanan pemahaman budaya melalui kajian linguistik (Sibarani, 2004:

52).

Universitas Sumatera Utara Tuturan-tuturan pada ranah keluarga dan tetangga masyarakat Pasisi Barus dalam interaksi sehari-hari dikelompokkan berdasarkan jenis tindak tuturnya berdasarkan teori Searle (1969) dan dianalisis berdasarkan strategi kesantunan Brown

& Levinson (1987). Dari strategi-strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk menunjukkan kesantunan dalam berbahasa, didapat pola kesantunan berbahasa dan kearifan lokal yang tersirat dalam kesantunan berbahasa masyarakat tersebut.

Kerangka teori yang diterapkan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut.

Antropolinguistik Pragmatik

Universitas Sumatera Utara

Kesantunan Berbahasa

Teori Wajah (Face) Teori Tindak Tutur Searle Brown & Levinson (1987) (1969)

Strategi Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus

Pola Kesantunan Kearifan Lokal Berbahasa Masyarakat Kesantunan Berbahasa Pasisi Barus Masyarakat Pasisi Barus

Gambar 2.5 Kerangka Pikir Penelitian

2.3 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang memberi kontribusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tesis Evizariza (2002) yang berjudul “Tindak Tutur Permintaan dalam Bahasa

Indonesia Studi Kasus Penutur Bahasa Melayu Riau pada Ranah Keluarga di Pekan

Baru” mengkaji tentang tindak tutur permintaan, cara mengungkapkan tindak tutur serta kesopanan yang direfleksikan dalam tindak tutur permintaan dalam bahasa

Indonesia oleh penutur bahasa Melayu Riau pada ranah keluarga di Pekan Baru.

Temuan dalan penelitian ini adalah bahwa bentuk tindak tutur permintaan dalam

Universitas Sumatera Utara interaksi antara penutur dengan mitra tutur pada ranah keluarga di Pekan baru didapat sebelas pola tutur sebagai kinerja verbalnya. Beliau menyimpulkan bahwa interaksi kinerja verbal tindak tutur permintaan dalam ranah keluarga ini mempertimbangkan aspek kesopanan, Kesopanan direfleksikan dalam tuturan yang mengakibatkan orang lain melakukan sesuatu yang dimaksudkan penutur. Kontribusi penelitian beliau terhadap penelitian yang telah dilakukan ini adalah pemilihan ranah keluarga sebagai ruang lingkup penelitian sebab ranah keluarga merupakan ranah awal sebagai tempat pengajaran kesantunan dalam berbahasa.

Dalam jurnal LOGAT volume 1 di halaman 87-95 yang berjudul “Perangkat

Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)” Namsyah

Hot Hasibuan (2005) mengklasifikasikan tindak tutur data bahasa Mandailing berdasarkan sistematisasi Searle yang mengelompokkannya ke dalam lima jenis tindak tutur utama, yakni tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini karena dalam penelitian mengenai kesantunan dan tindak tutur ini, beliau juga menggunakan teori kesantunan Brown dan Levinson. Dalam simpulan penelitian ini dinyatakan bahwa dalam masyarakat Mandailing, prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat, baik formal maupun informal.

Dalam jurnal PELLBA 18 yang berjudul “Implikatur dan Kesantunan

Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk”, Asim Gunarwan (2007) mencoba menunjukkan bahwa teori pragmatik, tepatnya teori kesantunan, dapat dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya. Bahasan beliau

Universitas Sumatera Utara dalam tulisan tersebut didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Beliau menganalisis ujaran-ujaran dalam lakon ludruk Jawa dengan memilih dialog-dialog yang potensial mengandung kesantunan, baik yang positif maupun yang negatif, atau ketiadaan kesantunan. Penelitian beliau memberikan kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini dalam hal pemilihan tuturan yang mengandung kesantunan pada data-data bahasa yang didapat.

Disertasi Sri Minda Murni (2009) yang berjudul “Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara” berkenaan dengan kajian realisasi kesantunan linguistik dalam ranah sidang Dewan

Perwakilan Rakyat daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian beliau memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal penggunaan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik rekam dan teknik dokumentasi. Penelitian ini juga memberikan kontribusi dalam hal mengenai strategi kesantunan positif dan negatif yang didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Hasil penelitian beliau menunjukkan bahwa dua tindak tutur yakni tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat direalisasi melalui modus, pronomina, pemarkah kesantunan, kata berpagar (hedges), perujuk diri (committers), dan penurun (downtoner). Beliau juga menemukan bahwa kesantunan linguistik di dalam rapat Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ditandai dengan sifat ketidaklangsungan ujaran yang ditunjukkan melalui modus.

Pada jurnal Bahasa dan Seni Tahun 40 Nomor 1, Syarifuddin Achmad (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Strategi Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis

Universitas Sumatera Utara Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan” mengkaji tentang (1) bentuk dan ciri-ciri linguistik kesopanan berbahasa; (2) wujud strategi kesopanan berbahasa; (3) implikasi realisasi nilai makna budaya siri’ dalam masyarakat Bugis Pinrang.

Penelitian ini menggunakan metode etnometodologi, dengan teknik analisis discourse analysis ditinjau dari pragmatik, semiotik dan konsep face want dari Brown dan

Levinson (1987). Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) ciri dan bentuk linguistik kesopanan penggunaan afiksasi pemarkah kesopanan yaitu morfem proklitika t dan ta, enklitika pronomina ta, ki’, ni’ kosakata honorifik dan sebutan, leksikal iye, tabe, taddampenga, (2) ditemukan ragam pragmatik kesopanan bahasa dalam beberapa maksim yaitu maksim kebijakan, kemurahan, penerimaan, kerendahan hati/simpati, (3) ragam strategi perwujudan kesopanan dalam bald on record, kesopanan positif, kesopanan negatif, kesopanan off record, (4) realisasi dan implikasi budaya siri’ yang terwujud dalam konsepsi nilai dasaretika dan kesopanan berbahasa, aktualisasi diri, citra diri, keberanian, solidaritas, dan kerjasama.

Nazaya Zulaikha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Partikel

Pemarkah Emotif Bahasa Jepang: Satu Kajian Pragmatik” membahas partikel/joshi bahasa Jepang sebagai pemarkah makna emotif , makna emotif yang dibawa oleh partikel, dan hubungan makna emotif dengan konteks situasi percakapan. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa komik “Gals!” karya Mihona Fujii jilid 1, 2, dan 3 dengan memberi penekanan analisis pada konteks situasi percakapannya. Landasan teori yang digunakan adalah studi pragmatik berdasarkan teori Leech, yakni studi yang mengkaji makna dengan mempertimbangkan konteks situasi percakapan, dan konteks situasi berdasarkan teori Sinar.

Dengan demikian, makna emotif dapat diketahui. Dalam menganalisis data, dipertimbangkan

Universitas Sumatera Utara leksikal yang merujuk pada makna emotif tertentu dan bagian-bagian dalam konteks situasi, yakni medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Teknik analisis substitusi dan teknik delesi digunakan sebagai instrumen pembuktian keabsahan makna emotif yang dikaji.

Hasil temuan menunjukkan, terdapat 17 partikel yang menunjukkan makna emotif yang kesemuanya berperan sebagai partikel akhir kalimat, 3 buah diantaranya memiliki makna emotif yang lebih dari satu. Selain itu, ditemukan bahwa medan wacana memiliki peran yang amat penting dalam menentukan makna emotif suatu partikel dan semua partikel tidak dapat disubstitusi maupun dilesapkan karena menyebabkan terjadi perubahan makna emotif dan kerancuan dalam penerjemahan. Kontribusi penelitian tersebut pada penelitian ini adalah mengenai teori yang menjelaskan kesantunan dengan partikel.

Universitas Sumatera Utara BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Tengah

3.1.1 Geografi Kabupaten Tapanuli Tengah

Menurut data dari BPS, dalam Tapanuli Tengah dalam Angka 2012,

Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera dengan panjang garis pantai 200 km dan wilayahnya sebagian besar berada di daratan Pulau

Sumatera dan sebagian lainnya di pulau-pulau kecil. Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah

6.194,98 km² meliputi darat dan laut dengan hamparan gunung, pantai dan laut

(gupala).

Letak wilayah yang strategis, keanekaragaman potensi sumber daya alam yang besar dan harmonisnya multietnik masyarakat menyebabkan Tapanuli Tengah sebagai permata tersembunyi yang akan berkilau dan sangat berharga dengan sentuhan percepatan pembangunan dan peningkatan investasi.

Kabupaten Tapanuli Tengah terletak pada 1°11’00” - 2°22’0” LU dan 98°07’

- 98°12’ BT, Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah 6.194,98 km² yang terdiri atas darat 2.194,98 km² dan laut 4.000 km². Batas wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah sebagaimana terlihat di gambar 2.1 adalah sebagai berikut:

Arah Timur Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan

dan Kabupaten Pakpak Bharat

Arah Barat Kota Sibolga dan Samudera Hindia

Universitas Sumatera Utara Arah Utara Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh)

Arah Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan

Sumber: Pemkab Tapanuli Tengah, 2012

Gambar 3.1. Peta Kabupaten Tapanuli Tengah Sumber: Pemkab Tapanuli Tengah, 2012

Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terbentuk pada tanggal 24 Agustus

1945. Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Pandan. Pada bulan Mei 2007, secara administratif Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 19 kecamatan, 24 kelurahan dan 154 desa, yaitu meliputi Kecamatan Manduamas,

Sirandorung, Andam Dewi, Barus, Barus Utara, Sosorgadong, Sorkam Barat,

Sorkam, Pasaribu Tobing, Kolang, Tapian Nauli, Sitahuis, Pandan, Tukka, Badiri,

Pinangsori, Lumut, Sibabangun, dan Suka Bangun.

Pada bulan Desember 2007 jumlah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah bertambah satu lagi yaitu Kecamatan Sarudik sehingga jumlah kecamatan seluruhnya

Universitas Sumatera Utara 20 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah. Peta wilayah masing-masing kecamatan dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2. Peta Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan kecamatan Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah

Pemekaran kecamatan tersebut dimaksudkan untuk lebih mempercepat proses pembangunan daerah, meningkatkan kapasitas dan kualitas pemerintah kecamatan dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, serta pelayanan umum dan pelayanan dasar kepada masyarakat.

3.1.2 Demografi Kabupaten Tapanuli Tengah

Penduduk Tapanuli Tengah terdiri atas multi etnik yaitu suku Batak, Minang,

Jawa - Madura, Bugis, Cina, Aceh, Melayu, Sunda, dan lain-lain, dengan mayoritas suku Batak. Kerukunan, keamanan, ketertiban dan toleransi dalam semangat gotong-

Universitas Sumatera Utara royong yang terjalin dan terbina selama ini membuat Tapanuli Tengah semakin kondusif dan tangguh secara sosial kemasyarakatan dalam menyikapi globalisasi dengan berbagai perubahan yang begitu cepat.

Jumlah Penduduk (ribu)

Sirandorung Manduamas Barus Utara Andam Dewi Sosor Gadong Barus Pasaribu Tobing Sorkam Barat Sorkam Kolang Sitahuis Jumlah Penduduk (ribu) Tapian Nauli Sarudik Tukka Pandan Sukabangun Lumut Sibabangun Badiri Pinang Sori

0 10 20 30 40 50 60

Gambar 3.3. Perbandingan jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Tengah di rinci menurut kecamatan tahun 2011 Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah

Pada tahun 2011, kabupaten Tapanuli Tengah, jumlah penduduk paling banyak terdapat di kecamatan Pandan yaitu 48.028 jiwa dan yang paling sedikit berada di kecamatan Sukabangun yaitu 2.868 jiwa. Daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah kecamatan Pandan dengan kepadatan penduduk 1.323

Universitas Sumatera Utara jiwa/km2 dan yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah kecamatan Kolang yaitu 42 jiwa/km2.

3.1.3 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pelaksanaan urusan

Pemerintahan di daerah antara lain di Tapanuli Tengah tetap dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 24 Agustus 1945 Residen Tapanuli, saat itu menghunjuk Z.A. Glr Sutan Komala Pontas Pemimpin Distrik Sibolga selanjutnya sebagai Demang dan menjadi penanggung jawab pelaksana roda pemerintahan di

Tapanuli Tengah. Pada saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing eks Wakil Residen

Tapanuli menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Tarutung. Pada tanggal 15

Oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah Otonom setingkat di wilayahnya pada pemerintahan daerah kepada masing-masing Residen.

Gubernur Tapanuli Sumatera Timur dengan Keputusan Nomor 1 Tahun 1946 mengangkat dan mengukuhkan Z.A. Glr Sutan Komala Pontas sebagai Bupati/Kepala

Luhak Tapanuli Tengah. Sesuai Keputusan Gubernur Sumatera Timur tanggal 17 Mei

1946 Kota Sibolga dijadikan sebagai Kota Administratif yang dipimpin oleh seorang

Walikota dan pada saat itu dirangkap oleh Bupati Kabupaten Sibolga (Tapanuli

Tengah) yaitu Z.A. Glr Sutan Komala Pontas. Luas wilayah Kota Administratif

Sibolga ditetapkan dengan Ketetapan Residen Tapanuli Nomor 999 Tahun 1946.

Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk Kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa Pemerintahan

Universitas Sumatera Utara Belanda. Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai Daerah Otonom dipertegas oleh

Pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Drt 1956 tentang Pembentukan Daerah

Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 maka ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah tanggal 24 Agustus

1945.

Dalam perjalanan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah telah silih berganti

Kepala Daerah sebagai berikut;

1. Z.A. Glr Sutan Komala Pontas (1945 – 1946)

2. Prof. Mr. M. (1946 – 1946)

3. A. M. Djalaluddin (1946 – 1947)

4. Mangaraja Sori Muda (1947 – 1952)

5. Ibnu Sa’adan (1952 – 1954)

6. Raja Djundjungan (1954 – 1958)

7. Matseh Glr. Kasayangan (1958 – 1959)

8. M. Samin Pakpahan (1959 – 1965)

9. S.S. Paruhum Stn. Singengu (1965 – 1967)

10. Ridwan Hutagalung (1967 – 1975)

11. Bangun Siregar (1975 – 1980)

12. Lundu panjaitan, SH (1980 – 1985)

13. H. Abd. Wahab Dalimunthe, SH (1985 – 1990)

14. Drs. Amrun Daulay (1990 – 1995)

15. Drs. Panusunan Pasaribu (1995 – 2001)

Universitas Sumatera Utara 16. Drs. Tuani Lumbantobing (2001 – 2006)

17. Drs. Rudolf Pardede, sebagai Penjabat (2006)

18. Drs. Tuani Lumbantobing (2006 – 2011).

19. Raja Bonaran Situmeang, M. Hum ( 2011 – sekarang)

Gambar 3.4. Lambang Kabupaten Tapanuli Tengah Sumber: Pemkab Tapanuli Tengah

Penjelasan arti lambang Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebagai berikut:

1. Lambang berbentuk lingkaran, satu tangkai kapas dan satu tangkai padi, kapas

8 butir dan padi 45 butir menggambarkan bulan dan tahun bersejarah dari

kemerdekaan Negara Republik Indonesia, juga menggambarkan tujuan untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

2. Bintang bersudut lima ditempatkan dibagian paling atas, menggambarkan

rakyat Tapanuli Tengah percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

ajaran agama menjadi pedoman dalam semua perikehidupan rakyatnya.

Universitas Sumatera Utara 3. Tiga batang bambu runcing bermakna ganda yaitu melambangkan Daerah

Tapanuli Tengah basis perjuangan merebut kemerdekaan Negara Republik

Indonesia, juga melambangkan situasi tekad untuk mewujudkan cita-cita

luhur bangsa dengan dasar musyawarah dan tatanan hidup “DALIHAN

NATOLU” sebagai tatanan hidup masyarakat yang hidup rukun dan dinamis.

4. Motto Daerah “Sahata Saoloan” yang diabadikan pada bagian depan rumah

adat mengandung makna bahwa rakyat Tapanuli Tengah untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila telah lebih

dahulu menyatukan pendapat, sikap, gerak langkah, seiya-sekata, satu dalam

perkataan dan satu pula dalam perbuatan.

5. Payung adat melambangkan bahwa masyarakat pendatang, dihargai, diayomi

serta dilindungi dalam arti kehadiran dan eksistensinya dapat diterima dengan

baik, tumbuh bersama-sama dengan budaya Tapanuli.

6. Gunung, Pantai dan Laut (Gupala) menggambarkan kekayaan potensi Daerah

Tapanuli Tengah, Gunung, Pantai yang landai penuh keindahan menyimpan

banyak objek wisata yang menarik dan menakjubkan, pantai penuh pohon

nyiur melambai menambah pesona dan keelokannya serta laut yang kaya akan

potensi ikan yang terkenal enak dan kwalitasnya terkenal.

7. Sorel (pita) tempat tulisan Tapanuli Tengah berwarna kuning melambangkan

kesetiaan pada perjuangan bangsa dan kesatuan tekad untuk memakmurkan

penduduk berdasarkan usaha bersama dan terpadu atas dasar kegotong-

royongan.

Universitas Sumatera Utara 8. Warna dasar Lambang berwarna putih melambangkan kesucian dan

kemurnian.

3.2 Barus Sebagai Wilayah Bahasa Pesisir

Dalam Panggabean (1995: 12) dinyatakan bahwa wilayah Barus Raya terletak di pantai barat Sumatera. Sebagian wilayahnya yang dulu, kini termasuk dalam

Propinsi Sumatera Utara dan sebagian lagi Daerah Istimewa Aceh (kini Nangroe

Aceh Darussalam). Barus Raya meliputi Kecamatan Barus (kini telah di pecah menjadi 4 kecamatan, yaitu kecamatan Barus, Barus Utara, Sirandorung dan ), kecamatan Sorkam, sebagian kecamatan Sibolga (kini Kotamadya Sibolga), kecamatan Pakkat, Kecamatan Parlilitan, Kecamatan Onan Ganjang, dan seluruh wilayah yang terletak di sebelah kanan atau timur sungan Simpang-kanan atau sebagian dari Kabupaten Aceh Selatan termasuk Kota Singkil Baru.

Dalam penulisan sejarah Indonesia, Barus paling banyak dikenal sebagai tempat kediaman penyair Melayu Hamzah Fansuri dan sebagai sumber kapur barus dan menyan. Kedua damar ini sudah termasuk perdagangan Sumatera dengan Cina sekurang-kurangnya mulai abad ke-7, dan pada waktu-waktu tertentu juga dicari oleh pedagang dari India dan Timur Tengah. Benar tidaknya Barus dikunjungi secara langsung oleh pedagang Cina dan India yang mencari dammar-damar itu, ataukah barang dagangan ini diangkut dulu oleh pengantara ke pelabuhan-pelabuhan di

Sumatra Utara dan Timur, masih belum diketahui dengan pasti. Namun yang telah diketahui adalah bhwa nama Barus dalam catatan Cina masa dulu dihubungkan dengan dammar kapur barus yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya.

Universitas Sumatera Utara Pada kira-kira abad ke-10 ada bukti yang menimbulkan kesan bahwa pedagang dari

Timur Tengah memang langsung mendatangi pantai barat Sumatra untuk mencari kedua dammar tadi. Barus dikenal oleh bangsa Arab dengan nama Fansur dan kedua nama itu telah muncul di beberapa sumber masa dulu.

Penelitian dari segi arkeologi mengenai sejarah dini pelabuhan tersebutmasih pada tingkat awal. Temuan arkeologi yang paling terkenal dari Barus ialah sebuah tiang bertulis dari Lobu Tua di dekat Pansur yang sekarang disimpan di Museum

Nasional . Dalam prasasti yang telah dibaca oleh K.A. Nilakanta Sastri itu terdapat terdapat angka tahun yang sama dengan tahun 1088 M (Drakard, 2003: 17).

Menurutnya prasasti itu berasal dari sebuah serikat dagang Tamil (“merchant guilt”) yang rupanya dating berdagang dengan daerah ini selama abad ke-11. Keramik dari

Lobu Tua boleh jadi dari masa sedini abad ke-8 atau ke-9 dan berdasarkan temuan keramik dapat dikemukakan sebagai tahun batas sementara untuk pemukiman paruh pertama abad ke-12.

Bukti-bukti dalam kesusasteraan Minagkabau tradisional menceritakan ada hubungan khusus antara Kerajaan Minangkabau di pegunungan dengan pelabuhan- pelabuhan pantai di pesisir barat dan timur pulau Sumatera. Meskipun ada bukti tentang adanya ikatan yang berkesinambungan antara Minangkabau dan raja-rajanya di Barus dan daerah-daerah sekitarnya sampai abad ke-19.

Kira-kira abad ke-16 Barus menjadi pusat budaya dan agama yang boleh jadi keci namun penuh kegiatan. Salah satu petunjuk ke arah ini ialah hubungan antara

Barus dengan penyair Melayu Hamzah Fansuri. Tidak diketahui apakah Hamzah menamakan dirinya Fansuri karena ia lahir di Barus atau karena ia pernah hidup di

Universitas Sumatera Utara tempat itu. Yang sudah jelas ialah bahwa ia kenal pelabuhan itu dan menghabiskan sebagian dari hidupnya di sana. Kapur barus dan nama Barus ada disebut dalam syairnya. Makam penyair ini ditemukan di Mekkah, Arab Saudi.

Barus juga tempat beberapa situs makam dengan nisan-nisan yang pahatannya kurang lazim dan yang beberapa di antaranya ada tulisannya. Salah satu hipotesa yang menjadi pertimbangan ahli purbakala ialah kemungkinan bahwa penganut- penganut Hamzah dan murid-muridnya menghindar dari pengejaran yang yang bersifat keagamaan di Aceh dan akhirnya dikubur di Barus. Banyaknya nisan di

Barus boleh jadi menunjukkan kemakmuran dan kegiatan keagamaan yang terdapat di kerajaan itu pada tahun-tahun sebelum persentuhan dengan Eropa (Drakard, 2003:

21).

Dalam Panggabean (1995) diceritakan bahwa Sultan Ibrahimsyah yang makamnya terdapat di makam Mahligai (kini menjadi tujuan wisata religi yang banyak dikunjungi para peziarah) menjadi raja di Barus di daerah tepi laut dekat tepi sungai di penghujung abad ke-15 dengan nama Kerajaan Hatorusan.

Namun ternyata di bagian hulu juga sudah ada negeri/kampung dan mempunyai raja sendiri hingga terjadilah sengketa. Melalui perjanjian sumpah, akhirnya Sultan Ibrahimsyah tetap berdiam di hilir dan raja yang sudah berdiam di hulu masing-masing menjadi raja sendiri.

Pada pertengahan abad ke-16 VOC pertama kali datang ke Barus dan mengetahui bahwa Barus diperintah oleh dua raja (Raja di hulu dan raja di hilir).

Dokumen Belanda menamakannya Kampung Mudik dan Kampung Hilir. Hingga sekarang, nama Kampung Mudik tetap digunakan sedangkan Kampung Hilir terakhir

Universitas Sumatera Utara berpindah hingga ke Sigambo-gambo. Pusat perdagangan dan benteng Belanda didirikan di Batu Gerigis.

Wilayah Barus Raya dahulu, saat ini telah menjadi empat kecamatan yaitu

Kecamatan Barus, Kecamatan Barus Utara, Kecamatan Manduamas dan Kecamatan

Sirandorung. Keempat kecamatan tersebut merupakan bagian dari Kabupaten

Tapanuli Tengah di samping lima belas kecamatan lain yaitu Sorkam, Pandan, Pinang

Sori, Kolang, Tapian Nauli, Sibabangun, Sosor Gadong, Sorkam Barat, Andam Dewi,

Sitahuis, Tukka, Badiri, Pasaribu Tobing, Suka Bangun dan Lumut. Peta kecamatan

Barus dapat dilihat di Gambar 3.5.

Kecamatan Barus berada di Pantai Barat Sumatera dengan ketinggian antara 0

– 3 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Barus terletak pada Koordinat 02°

02’05” - 02° 09’29” Lintang Utara, 98°17’18” - 98° 23’28” Bujur Timur. Sebelah

Utara berbatasan dengan Kecamatan Andam Dewi, sebelah Selatan dengan

Kecamatan Sosorgadong, sebelah Timur dengan Kecamatan Barus Utara, sebelah

Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kecamatan Barus terdiri dari 2 Kelurahan dan 11 Desa, dengan luas keseluruhan 21,81 Km2, seluruhnya berada di daratan Pulau

Sumatera. Desa Ujung Batu merupakan Kelurahan/Desa terluas yaitu dengan luas

4,51 Km2. Kecamatan Barus tergolong daerah beriklim tropis dan hanya ada dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Antara Januari – Desember 2011 suhu udara maksimum bisa mencapai 32,80C dan suhu minimum mencapai 20,90C.

Ratarata suhu udara di Kecamatan Barus sebesar 26,30C.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.5. Peta Kecamatan Barus Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah

Kecamatan Barus terdiri dari 11 Desa dan 2 Kelurahan. Satuan Lingkungan

Setempat (SLS) di bawah Desa/Kelurahan hanya ada satu tingkatan yaitu Dusun untuk Desa dan Lingkungan untuk Kelurahan. Dari 11 Desa dan 2 Kelurahan di

Kecamatan Barus terdapat 33 dusun dan 8 Lingkungan. Kelurahan Padang Masiang adalah Desa/Kelurahan yang mempunyaimempunyai Dusun/Lingkungan terbanyak yaitu

Kelurahan Padang Masiang yaitu 5 Lingkungan dan di urutan kedua adalah Desa

Patupangan dengan 4 Dusun.

Tabel 3.1 Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah Jumlah dusun/lingkungan menurut desa/kelurahan

Universitas Sumatera Utara No. Desa/kelurahan Dusun Lingkungan Jumlah

1. Patupangan 4 - 4

2. Kedai Gedang 3 - 3

3. Sigambo-gambo 3 - 3

4. Padang Masiang - 5 5

5. Kampung Solok 4 - 4

6. Pasar Batu Gerigis - 3 3

7. Pasar tarandam 3 - 3

8. Kinali 2 - 2

9. Ujung Batu 3 - 3

10. Kampung Mudik 3 - 3

11. Gabungan Hasang 3 - 3

12. Aek Dakka 3 - 3

13. Bungo Tanjung 3 - 3

Jumlah 33 8 41

3.3 Penutur Bahasa Pasisi

Struktur penduduk Kecamatan Barus tahun 2011 tergolong berstruktur umur muda, di mana jumlah penduduk yang berumur di bawah 15 tahun sebanyak 6.048 orang (38,60%). Penduduk berumur antara 15 – 64 tahun sebanyak 9.033 orang

(57,65%). Sedangkan penduduk berumur 65 tahun ke atas sebanyak 588 orang

(3,75%). Sex Rasio Kecamatan Barus ini adalah 101,32 Angka ini menunjukkan

Universitas Sumatera Utara bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan.

Sedangkan Sex Rasio pada tahun 2010 adalah 100,27. Dari angka di atas dapat dijelaskan bahwa tahun 2010 pertumbuhan penduduk laki-laki lebih besar dari pertumbuhan penduduk perempuan.

Penyebaran penduduk masih terpusat di Desa Kampung Solok. Tahun 2011 menunjukkan sebanyak 1.029 orang (6,57%) tinggal di Desa Kampung Solok yang memiliki luas 0,31 km2, maka kepadatan penduduk adalah 3.319 penduduk per kilometer persegi (km2). Sedangkan Desa Ujung Batu merupakan Desa/Kelurahan yang kepadatannya terkecil yaitu 174 penduduk per kilometer persegi (Km2), di mana sebanyak 787 orang tinggal di Desa Ujung Batu yang luas wilayahnya 4,51 Km2.

Penyebaran Penduduk pada tahun 2010 juga terpusat di Desa Kampung Solok dengan jumlah penduduk 1.027 orang (6,56%) dan kepadatan penduduk 3.313 penduduk per kilometer persegi (km2) dan yang kepadatannya terkecil yaitu 174 penduduk per kilometer persegi (Km2) adalah Desa Ujung Batu, di mana sebanyak 786 orang tinggal di Desa Ujung Batu yang luas wilayahnya 4,51 Km2.

Penutur bahasa Pasisi di Kecamatan Barus terletak di desa-desa berikut, yakni

Aek Dakka, Bungo Tanjung, Padang Masiang, Ujung Batu, Kinali, Kampung Solok,

Pasar Batu Gerigis, Pasar Tarandam, Kedai Gedang, Sigambo-gambo, dan Padang

Masiang. Sedangkan di Desa Bukit Patupangan dan Gabungan Hasang, mayoritas penduduk menggunakan bahasa Batak Toba dalam interaksi komunikasi sehari-hari.

Namun secara umum sebagian besar penutur bahasa Pasisi di Kecamatan Barus juga dapat berbahasa Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara Di Kecamatan Barus tiga agama di dunia yakni Islam, Kristen Protestan dan

Kristen Katholik hidup berdampingan. Penduduk Kecamatan Barus didiami Etnis

Pesisir yang mayoritas beragama Islam. Bentuk keyakinan lain adalah kepercayaan

Parmalim yang merupakan agama nenek moyang suku Batak. Etnis Pesisir mempunyai ragam budaya dan bahasa tersendiri. Berkenaan dengan pembagian etnis dimiliki penduduk melahirkan suatu ke-Bhinneka Tunggal Ika an. Demikian di

Kecamatan Barus, Etnis Pesisir hidup berdampingan dengan Etnis Minangkabau,

Batak Toba, Mandailing, Aceh, Pakpak, Nias, Bugis dan Jawa. Kendatipun demikian keturunan Arab, India dan China masih terdapat di Kecamatan Barus.

Penduduk Kecamatan Barus yang beretnis Pesisir umumnya mempunyai marga sesuai dengan suku induknya. Masyarakatnya banyak yang bermarga Batak seperti: Pasaribu, Sinaga, Sinambela, Tarihoran, Sitanggang, Sihombing, Tanjung,

Pohan, Samosir, Limbong dan lain-lain. Ada juga yang bermarga Mandailing seperti

Nasution, Lubis, Batubara, Matondang dan bersuku Minang di antaranya Chaniago.

Dari Etnis Nias ada marga Harefa, Lase. Begitu juga dari marga Pakpak yakni Gaja,

Tumanggor dan lain-lain.

Etnis pesisir atau pasisi terkadang juga dikatakan suku Batak Pesisir, sebab kenyataannya etnis pasisi sebagian besar memang bermarga Batak seperti Simamora,

Pasaribu, Malau,Sihombing, dan lain-lain, di samping marga Tanjung yang merupakan salah satu marga sebagian besar masyarakat pasisi di Barus.

3.4 Gambaran Bahasa Pasisi

Universitas Sumatera Utara Bahasa Pasisi adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Pesisir di sebagian Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang menjadi bahasa percakapan dalam pergaulan sehari-hari. Masyarakat yang menggunakan bahasa Pasisi di Kabupaten

Tapanuli Tengah sebagian besar terdapat di daerah Kolang, Sorkam dan Barus.

Bahasa Pasisi ini agak unik, karena bahasa ini adalah hasil gabungan dari 3 bahasa, yaitu dari bahasa Batak, Minangkabau dan Melayu. Jadi urang pasisi (sebutan untuk masyarakat pesisir Sibolga dan Tapanuli Tengah) ini sebenarnya adalah orang Batak yang berbahasa Melayu. Dan kenyataannya sebagian besar etnis Pasisi, terutama kaum tua, juga fasih menggunakan bahasa Batak.

Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai struktur bahasa pasisi dari segi fonologi, leksikon, morfologi dan semantik.

a. Fonetik dan Fonologi

Dalam bahasa pasisi jarang ditemukan fonem /ə/ seperti pada kata ‘enam’

‘kemana’ dan ‘pergi’ dalam bahasa Indonesia. Fonem tersebut berubah menjadi fonem /a/ dalam bahasa pasisi menjadi anam, kamano, dan pai. Fonem /ə/ juga bisa berubah menjadi /ɜ/ seperti kata ‘tenang’, huruf ‘e’ dilafalkan menjadi bunyi [ə] dalam bahasa Indonesia namun menjadi bunyi [ɜ] dalam bahasa pasisi.

Ciri fonologis lainnya dalam bahasa ini adalah bunyi diftong [aɪ] dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada kata ‘badai’ dan ‘pantai’ menjadi bunyi [ɜ] dalam bahasa pasisi. Diftong [aɪ] yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia seperti pada kata ‘tirai’, ‘pakai’, serta kata ‘badai’ dan ‘pantai’ tadi. nyaris tidak digunakan dalam bahasa ini. Dalam bahasa pasisi, fonem /aɪ/ pada kata-kata tersebut menjadi /ɜ/.

Universitas Sumatera Utara Jika posisi [k] terdapat di tengah kata maka bunyi tersebut menjadi [kk] seperti pada kata ‘pikki’ (pikir) ‘bukkak’ (buka) dan ‘pakke’ (pakai).

b. Morfologi

Ciri morfologi bahasa pasisi terlihat pada contoh berikut:

Prefiksasi (ber→ba, di→di, me→ma, mam, man, mang, pe→pa, pang) bakare bersikeras basirebuk berebut bajalan berjalan dipirik dicubit/dijewer mambasu mencuci mancalik melihat mambali membeli mangagi memberi malakkak memukul pangatak pembohong pajaga penjual tatidu tertidur tagalak tertawa tajatu terjatuh tapaliek terlihat (tanpa sengaja)

Sufiksasi (kan→kan, an→an) dangakan dengarkan

Universitas Sumatera Utara gadangkan besarkan calikkan perlihatkan balikkan belikan jamuran jemuran

Konfiksasi (ke-an→ke-an) kasampi’an (kesempitan)

Kaluna’an (terlalu lunak)

Kakete’an (terlalu kecil)

c. Leksikon

Beberapa makna kata dalam bahasa pasisi dapat dilihat sebagai berikut:

Bahasa Pasisi Arti dalam bahasa Indonesia solop (n) selop/sandal pinggan (n) piring cambung (n) mangkok sarawa (n) celana bare (n) beras pirik (v) cubit/jewer pai (v) pergi danga (v) dengar lompek (v) lompat lanting (v) lempar kikkik (adj) pelit

Universitas Sumatera Utara kalam (adj) gelap tarang (adj) terang ampek (num) empat anam (num) enam tigo bale (num) tiga belas saribu (num) seribu

Kata yang memiliki hubungan polisemi dalam bahasa Pasisi contohnya kata gata yang dapat bermakna ‘gatal’ dan ‘genit’, kata mura yang dapat bermakna

‘murah’ dapat pula bermakna ‘mudah’. Dalam bahasa Pasisi kata calik bersinonim dengan kata liek yang artinya ‘lihat’. Namun kata liek juga juga dapat berarti ‘alot' dan dapat pula berarti ‘liat’ untuk kata ‘tanah liat’. Dalam hal ini liek (lihat) berhubungan homonim dengan liek (alot) dan liek (liat).

Contoh leksikon yang memiliki hubungan sinonim dalam bahasa Pasisi di antaranya adalah kata jigil dan mada (kata sifat) yang berarti ‘nakal’, liek dan calik

(kata kerja) yang berarti ‘lihat’, pelok dan puek (kata kerja) yang berarti ‘buat’.

Sementara contoh kata yang memiliki hubungan antonim adalah sebagai berikut: kalam ‘gelap’ tarang/kilek ‘terang’ bengak ‘bodoh’ pande ‘pandai’ mada ‘nakal’ tobok ‘baik’ gadang ‘besar’ ketek ‘kecil’

Universitas Sumatera Utara BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Sesuai dengan topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan, metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini paling cocok digunakan untuk penelitian yang berupa kajian antropolinguistik yang menelaah bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat desa di Kecamatan Barus, yaitu Desa Pasar

Batu Gerigis, Desa Kampung Solok, Desa Pasar Tarandam dan Desa Kade Gadang.

Penentuan lokasi ini berdasarkan letak geografis keempat desa tersebut yang berada tepat di pesisir pantai barat Sumatera. Selain dikarenakan alasan tersebut, di keempat desa ini merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang telah lama tinggal di tempat tersebut dan masih menggunakan bahasa Pasisi dalam ranah keluarga dan lingkungan tetangga..

4.3 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson (1987). data tersebut diambil dari informan yang terdiri atas empat keluarga yang tinggal di empat desa yang menjadi

Universitas Sumatera Utara lokasi penelitian. Pada saat penelitian dilakukan, jumlah anggota keluarga yang turut serta dijelaskan sebagai berikut.

Keluarga I yang tinggal di Desa Kampung Solok terdiri dari 6 (enam) orang anggota keluarga, yakni ayah, ibu, dua orang anak laki-laki, satu orang anak perempuan dan seorang adik perempuan dari ayah. Keluarga II yang tinggal di Desa

Kade Gadang terdiri dari 4 (empat) orang anggota keluarga, yakni ayah, ibu dan dua orang anak perempuan. Keluarga III yang tinggal di Desa Pasar Tarandam terdiri dari

3 (tiga) orang, yakni seorang ibu dan dua orang anak perempuannya. Keluarga IV yang tinggal di Desa Pasar Batu Gerigis terdiri dari 4 (empat) orang, yakni ayah, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah metode simak dengan menggunakan teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa para informan yang dalam hal ini adalah para anggota keluarga yang menjadi sumber data pada penelitian ini. Teknik lanjutan dari teknik sadap yang dilakukan pada penelitian ini berupa teknik simak bebas libat cakap (Mahsun, 2005: 92-95). Peneliti hanya sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan dan hanya menyimak dialog yang terjadi antarinforman.

Penerapan metode simak dengan teknik sadap pada penelitian ini dilakukan dengan perekaman percakapan yang terjadi dalam interaksi sehari-hari dalam ranah keluarga penutur bahasa Pesisir dialek Barus dan juga dalam interaksi dengan

Universitas Sumatera Utara tetangga melalui alat perekam digital. Pada saat proses pengumpulan data dengan perekaman dilakukan, peneliti berusaha agar para informan tidak menyadari bahwa percakapan yang mereka lakukan sedang disadap. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data tuturan yang alami dan tidak dibuat-buat.

Peneliti juga melakukan wawancara terbuka dan mendalam (in-depth, open- ended interviews) dengan pemuka adat dan orang yang dianggap mengetahui seluk beluk bahasa yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai kesantunan berbahasa pada masyarakat tersebut.

4.5 Metode Analisis Data

Seiddel (1998) dalam Moleong (2005: 248) menjelaskan proses penganalisisan data, sebagai berikut:

1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal diberi kode agar

sumber datanya tetap dapat diselusuri,

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan,

membuat ikhtiar, dan membuat indeksnya,

3. Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,

mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat

temuan-temuan umum.

Dalam Mahsun (2011: 269) juga dijelaskan bahwa dalam analisis kualitatif ada keterpaduan antara tahap penyediaan data dengan tahap analisis data sebagai suatu yang bersifat melingkar (siklus). Mulai dari penyusunan data ke dalam pola-

Universitas Sumatera Utara pola, kategori, fokus, tema atau pokok permasalahan tertentu, sampai pada upaya melakukan penyajian data (display data) dan membuat generalisasi.

Proses analisis yang bersifat siklus antara tahap penyediaan data dan analisis data sampai pada tahap penyajian hasil analisis yang berupa pemaparan dan penegasan simpulan dapat dilihat pada analisis data kualitatif model Interaktif Miles dan Huberman pada gambar 3.1.

Pengumpulan Penyajian Data Data

Reduksi Verifikasi Data

Gambar 4.1 Komponen Analisis Data Model Interaktif

Metode analisis data yang dilakukan penulis mengikuti model analisis interaktif yang diperkenalkan oleh Miles dan Huberman (dalam Denzin dan Lincoln,

2009:592). Metode analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Mentranskripsikan data berupa tuturan para informan yang diperoleh melalui

metode simak yang dilakukan dengan penyadapan atau perekaman. Seluruh

tuturan yang telah direkam ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan,

Universitas Sumatera Utara b. Menyeleksi data tuturan yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Tuturan-

tuturan yang telah ditranskripsikan dipilah berdasarkan ada atau tidaknya

kesantunan dalam penggunaan bahasa.

c. Mengelompokkan data-data tuturan yang telah diseleksi berdasarkan jenis

tindak tuturnya. Tuturan-tuturan yang menunjukkan kesantunan berbahasa

diklasifikasikan ke dalam lima tindak tutur yang dibahas, yakni: menolak,

meminta, memerintah, melarang dan menawarkan.

d. Melakukan pengkategorian berdasarkan strategi kesantunan berbahasa. Data

tuturan dikelompokkan lagi berdasarkan strategi kesantunan yang digunakan

dalam tindak tutur menolak, meminta, memerintah, melarang dan

menawarkan.

e. Menyajikan data yang telah yang telah diseleksi dan dikelompokkan. Data

tuturan yang menunjukkan kesantunan disajikan berdasarkan pengelompokan

tindak tutur dan pengkategorian strategi kesantunan yang digunakan.

f. Membuat simpulan sementara dan melakukan verifikasi dengan menguji

kembali dengan fakta di lapangan. Simpulan sementara diuji kembali dengan

mengkonfirmasi kembali data-data yang telah direduksi kepada narasumber.

g. Membuat simpulan akhir. Simpulan akhir didapat setelah melakukan

pengujian data kembali di lapangan kepada narasumber.

Untuk menemukan pola kesantunan berbahasa pada tuturan masyarakat Pasisi

Barus, peneliti melakukan analisis data dengan metode padan intralingual. Metode padan intralingual adalah metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun

Universitas Sumatera Utara dalam beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun, 2005: 117-120). Metode ini diperlukan untuk menentukan letak pemarkah kesantunan yang berterima dalam bahasa yang digunakan masyarakat Pasisi Barus. Contohnya dapat dilihat pada contoh data tuturan meminta maaf berikut.

Maap da. Maap yo. Maap la yo. Maap bana da. Maap bana yo. Maap bana la da. Maap bana la yo.

Unsur lingual yang terdapat pada tuturan-tuturan di atas adalah maap, da, yo, la, bana. Dengan metode padan intralingual didapat pola meminta maap yang berterima pada bahasa ini adalah sebagai berikut.

Maap + (bana) + (da/la/yo)

Kata maap yang selalu berada di awal dapat diikuti bana, da, la, yo. Kata bana, yang berfungsi opsional berarti boleh disertakan atau tidak, dapat digunakan bersamaan dengan partikel da, la, ataupun yo.

Universitas Sumatera Utara BAB V

PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN

5.1 Pendahuluan

Pada bagian ini akan memaparkan data-data tuturan yang menjadi temuan dalam penelitian tentang kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa pada masyarakat

Barus. Data tuturan dalam penelitian ini diklasifikasikan ke dalam lima macam tindak tutur, yakni: 1) realisasi kesantunan berbahasa dalam menolak, 2) realisasi kesantunan berbahasa dalam meminta, 3) realisasi kesantunan berbahasa dalam memerintah, 4) realisasi kesantunan berbahasa dalam melarang, 5) realisasi kesantunan berbahasa dengan menawarkan.

5.2 Paparan Data

5.2.1 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menolak

Kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menolak direalisasikan dengan strategi memberi alasan, meminta maaf, berterima kasih, menunda dan dengan konstruksi kalimat berpagar.

Pada tabel 5.1 berikut disajikan data-data realisasi kesantunan berbahasa dengan strategi memberi alasan pada tindak tutur menolak yang ditunjukkan oleh masyarakat Barus dalam interaksi komunikasi di ranah keluarga dan lingkungan tetangga.

Tabel 5.1 Strategi Kesantunan dengan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur Menolak

Universitas Sumatera Utara No. Contoh Tuturan Konteks (1) A : Jadi kami bekko ka ruma Teti da. Seseorang (Jadi kami nanti ke rumah Teti ya.) mengkonfirmasikan kembali rencana B : Nandak pai pulo ambo bekko. kunjungannya ke Barisuk sajola munak datang yo. rumah temannya (Hendak pergi pula saya nanti, Besok namun permintaan sajalah kalian datang ya.) tersebut ditolak.

(2) A : Kok pai munak Ri, lalukan ikko ka si seseorang menolak emi yo. permintaan kakaknya (Kalau kalian mau pergi (nanti) untuk mengantarkan antarkan ini ke (rumah) Emi ya.) uang kepada adiknya yang tinggal di tempat B : Indak bakareta pulo ambo, Ti. lain. (Saya tidak bawa sepeda motor, Ti.)

(3) A : Bisa agaknyo ambo pakke sabanta Seseorang menolak kareta munak tu, Er. permintaan tetangganya (Pinjam sebentar sepeda motormu, yang ingin meminjam Er.) sepeda motor.

B : Nandak pai ambo, Ning. (Saya mau pergi, Ning.)

(4) A : Karajokkanla PR tu, Dan. Seorang anak yang (Kerjakanlah PR itu, Dan.) menolak perintah ibunya untuk B : Manunggu Kuti ambo. mengerjakan PR. (Saya menunggu Kuti.)

(5) A : Basula pinggan tu, Pia. Seseorang yang (Cucilah piring itu, Pia) menolak perintah bibinya untuk menyuci B : Ala manunggu kawan ambo, Oncu. piring. Bekkola. (Teman saya sudah menunggu, Oncu. Nanti saja.)

(6) A : Di Angku nasi lamak ko? Seseorang yang

Universitas Sumatera Utara (Maukah Kakek nasi lemak ini?) menolak tawaran makanan. B : Dak ambo makkan sipuluk. (Saya tidak (bisa) makan (makanan yang terbuat dari) beras pulut.)

(7) A : Co ambikkan dulu ai Oncu nan di Seseorang yang meja tu. menolak perintah (Coba ambilkan dulu air (minum) bibinya untuk Oncu yang di atas meja itu,) mengambilkan air minum. B : Si Kuti nan dakkek bana itu, Oncu. (Kuti yang lebih dekat (ke meja) itu, Oncu.

(8) A : Ala jadi ba’antekkan lauk tadi? Seorang anak yang (Sudah diantarkan ikan tadi?) menolak perintah ibunya untuk B : Dibaok Aya kareta, Oncu.. mengantarkan ikan. (Sepeda motor dibawa Ayah, Oncu.)

(9) A : Naik kereta sajo la kito pai, Ning. Seseorang yang (Naik sepeda motor saja kita pergi, menolak usul Kak.) tetangganya untuk pergi dengan sepeda B : Bajalan sajo la. Dakkek anyo. motor. (Jalan kaki saja. Dekat, kok)

Contoh tuturan yang bercetak tebal pada pada tabel 5.1 di atas merupakan tuturan menolak dengan strategi memberi alasan. Tuturan (1B) Nandak pai pulo ambo bekko (Saya akan/hendak pergi nanti) merupakan pemarkah kesantunan yang digunakan penutur untuk menolak permintaan mitra tuturnya yang ingin datang bertamu dengan alasan bahwa ia tidak berada di rumah pada saat yang dimaksudkan mitra tuturnya tersebut. Demikian juga halnya dengan pertuturan (3). Situasi pada

Universitas Sumatera Utara pertuturan (3) penutur (A) bermaksud meminjam sepeda motor (B).. Permintaan tersebut ditolak oleh (B) dengan alasan bahwa ia juga akan pergi memakai sepeda motor tersebut. Pemarkah kesantunan pada tuturan menolak penutur (B) Nandak pai ambo, Ning adalah alasan akan pergi.

Pemarkah kesantunan pada pertuturan (2), (4), (5), (6), (7), (8) dan (9) juga ditunjukkan oleh kalimat bercetak tebal. Pada pertuturan (2) penutur (A) meminta tolong kepada (B) untuk mengantarkan uang kepada adiknya. Permintaan tersebut ditolak oleh (B) dengan memberikan alasan bahwa ia tidak membawa sepeda motor sehingga akan merepotkan bagi dia jika masih harus menuruti permintaan (A).

Tuturan yang bercetak tebal pada pertuturan-pertuturan tersebut merupakan pemarkah kesantunan dalam tindak tutur menolak dengan strategi memberi alasan

Tabel 5.2 Strategi Kesantunan dengan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur Menolak

No. Contoh Tuturan Konteks (1) A : Baokla lauk ko. (Bawalah ikan ini.)

B : Maap, Oncu. Di ruma dak ado na Seseorang yang mamakkan lauk gadang. menolak tawaran untuk (Maaf, Oncu. Di rumah tidak ada membawa pulang ikan. yang (bisa) memakan ikan besar.)

(2) A : Singgala munak sabanta, Ri. Manggule Pari ambo. (Singgahlah kalian sebentar, Ri. Saya menngulai (ikan) Pari.)

B : Ya maap bana, Mak. Ala manunggu Seorang anak yang aya si Adit di rumah, tabaok ambo menolak tawaran gulai kunci. ibunya.

Universitas Sumatera Utara (Aduh, maaf sekali, mak. Ayah si Adit sudah menunggu. Kunci (rumah) terbawa oleh saya.)

Dari data di atas ditunjukkan bahwa unsur-unsur perangkat kesantunan berbahasa yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam tindak tutur menolak dengan strategi meminta maaf adalah dengan pola maap + kata sapaan. Kata maap diikuti oleh kata sapaan terhadap mitra tutur seperti yang terlihat pada tuturan maap,

Oncu. Pada tuturan ini kata maap diikuti oleh kata sapaan Oncu, yang merupakan sapaan untuk adik dari ayah atau ibu yang paling bungsu. Pada data tuturan ya maap bana, Mak, kata maap diikuti oleh kata sapaan Mak.

Tabel 5.3 Strategi Kesantunan dengan Berterima Kasih pada Tindak Tutur Menolak

No. Contoh Tuturan Konteks (1) A : Makkanla kito dulu ha. (Makanlah kita dulu ya.)

B : Mo kasi, Mami. Nandak pai Seseorang yang pulo kami ikko. menolak tawaran (Terima kasih, Mami. Hendak pergi makan. pula kami (sekarang) ini.)

A : Masukla dulu. (Masuklah dulu)

(2) B : Mo kasi, Ning. Barang pabilo la Seseorang yang singga kami. menolak tawaran untuk (Terima kasih, kapan-kapan kami singgah. saja kami singgah)

Universitas Sumatera Utara Kesantunan bahasa pada tindak tutur menolak yang direalisasikan dengan strategi berterima kasih menunjukkan pola Mo kasi + Kata sapaan. Kedua unsur perangkat kesantunan ini ditunjukkan pada tuturan Mo kasi, Mami. Mami merupakan kata sapaan yang dipergunakan masyarakat Pasisi Barus untuk adik perempuan ibu.

Tabel 5.4 Strategi Kesantunan dengan Menunda pada Tindak Tutur Menolak

No. Contoh Tuturan Konteks (1) A : Karajokanla pr, Rizki. Jangan Seorang anak yang bamain juo. menolak permintaan (Kerjakanlah PR-nya, Rizki. Jangan ibunya untuk main terus.) mengerjakan PR.

B : Sabanta, Mak. Makkan ambo daulu. (Sebentar, Mak. Saya makan dulu.)

(2) A : Mak, balikan di ambo sarawa Seorang ibu yang macam punyo Kuti tu yo. menolak permintaan (Mak, belikan untuk saya celana anaknya supaya seperti punya Kuti itu ya.) dibelikan celana.

B : Bekko la kok ala pulang Aya dari lawik. (Nanti saja kalau Ayah sudak pulang dari laut.)

(3) A : Ala jadi bablender bumbu gule Seorang anak tadin? perempuan yang (Sudah diblender bumbu untuk menolak permintaan gulai tadi?) ibunya untuk memhaluskan bumbu B : Tunggu sabanta lai, Mak. gulai. (Tunggu sebentar lagi, Mak.)

(4) A : Baokkanla ikko, Eri. (Bawakanlah ini, Eri.)

Universitas Sumatera Utara Menolak permintaan B : Sabanta, bekko ambo japuk lai. membawakan barang. (Sebentar, nanti saya ambil lagi.)

(5) A : Makkan, Ucci? (Mau makan, Ci?) Menolak tawaran B : Sabanta lai la. Sumbayang ambo makan. dulu.

Tuturan yang menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menolak dengan strategi menunda, oleh masyarakat Pasisi Barus ditunjukkan dengan menggunakan kata sabanta dan bekko. Kedua perangkat kesantunan ini juga terkadang diikuti kata sapaan untuk mitra tutur.

Tabel 5.5 Strategi Kesantunan dengan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Menolak

No. Contoh Tuturan Konteks (1) A : Lalukan ikko ka etek Ati yo, Ri? (Singgahkan ini ke (rumah) etek Ati ya, Ri?

B : Kok bisa jangan lai ambo, Teti. Seseorang menolak Nandak lakke ambo ha. permintaan kakanya (Kalau bisa jangan saya Teti. Saya untuk mengantarkan mau cepat (pergi).) barang.

Strategi kalimat berpagar untuk menunjukkan kesantunan berbahasa pada tindak tutur menolak menggunakan perangkat konjungsi subordinatif, seperti yang terlihat pada data kok bisa jangan lai ambo (kalau bisa jangan saya lagi). Unsur perangkat kesantunan pada tuturan tersebut adalah konjungsi kok bisa (kalau bisa).

Universitas Sumatera Utara

5.2.2 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Meminta

Kesantunan berbahasa juga direalisasikan oleh masyarakat Barus dalam tindak tutur permintaan. Sejumlah contoh ujaran yang merupakan realisasi kesantunan berbahasa dalam meminta adalah sebagai berikut:

Tabel 5.6 Strategi Kesantunan dengan Kalimat Berpagar pada Tindak Tutur Meminta

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Kok jadi munak pai, Ri, lalukan Dituturkan oleh seorang ikko ka si Emi yo? kakak yang meminta adiknya (Kalau kalian jadi pergi, Ri, mengantarkan sesuatu. antarkan ini ke (rumah) si Emi ya.)

(2) Kok indak litak ang, Pan,tolong Dituturkan oleh seorang ibu daulu pindakan lamari ketek tu ka yang meminta anak laki- kamar Aya Endek. lakinya untuk memindahkan (Kalau kamu tidak capek, Pan, lemari. tolong dulu pindahkan lemari kecil ini ke kamar Aya Endek.)

(3) Kok sampat Mamak, parancak ikko Dituturkan oleh seseorang da. yang meminta tetangganya (Kalau sempat Mamak, perbaiki ini untuk memperbaiki kursi ya.) kayu.

Pada tindak tutur meminta, kesantunan direalisasikan dengan menggunakan kalimat berpagar yang berupa klausa konjungsi subordinatif. Pada data tuturan Kok jadi munak pai, Ri, lalukan ikko ka si Emi yo (Kalau kalian jadi pergi, Ri, antarkan ini kepada Emi ya). Unsur perangkat kesantunan pada data tersebut adalah klausa Kok jadi munak pai yang merukan klausa konjungsi subordinatinf yang menggunakan konjungsi kok (kalau/jika).

Universitas Sumatera Utara Tabel 5.7 Strategi Kesantunan dengan Bersikap Pesimis pada Tindak Tutur Meminta

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Bisa agaknyo ambo pakke sabanta Dituturkan oleh seseorang kareta munak tu, Er. yang bermaksud meminjam (Bisakah saya pinjam sebentar sepeda motor tetangganya. sepeda motormu, Er.)

(2) Sampat anyo Teti mangantekkan Dituturkan oleh seorang adik urang ko? (Apakah Teti sempat yang meminta kakaknya mengantarkan anak-anak ini?) untuk mengantarkan anak- anak mereka ke sekolah. (3) Talok Umak anyo manjago urang ko? (Apakah Ibu bisa menjaga Dituturkan oleh seorang anak anak-anak ini?) yang meminta ibunya menjaga anak-anak. (4) Talok anyo sorang ang mangangkeknyo tu? (Apakah kamu Dituturkan oleh seorang ibu bisa mengangkat itu sendirian? yang meminta anaknya memindahkan barang berat..

Perangkat kesantunan pada tindak tutur meminta dengan strategi bersikap pesimis atau menunjukkan kesangsian adalah frase modalitas bisa agaknyo, sampat anyo, talok anyo yang diletakkan di awal kalimat. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kata anyo dapat ditempatkan sebelum kata sapaan dan dapat juga dipergunakan setelah kata sapaan. Pola Modal + anyo + Kata sapaan + Kata Kerja ditunjukkan pada contoh data Sampat anyo Teti mangantekkan urang ko? (Apakah

Teti sempat mengantarkan anak-anak ini?). Sedangkan pola Modal + Kata Sapaan + anyo ditunjukkan pada data tuturan Talok Umak anyo manjago urang ko? (Apakah

Umak bisa menjaga anak-anak ini?).

Tabel 5.8 Strategi Kesantunan dengan Ujaran Tidak Langsung pada Tindak Tutur Meminta

Universitas Sumatera Utara No. Contoh Tuturan Konteks (1) Ado ai hangek situ, Pia? Dituturkan oleh seorang (Ada air (minum) hangat di situ, nenek yang meminta Pia?) cucunya untuk mengambilkan air hangat (2) Ala nandak habis gulo, Oncu. Dituturkan oleh seorang anak (Gula sudah hampir habis, Oncu.) yang meminta bibinya untuk Ado sare, Uning? membeli gula.

(3) (Ada (daun) serai, Uning?) Seseorang yang meminta daun serai kepada (4) Indak di Uning lai blender ko? tetangganya (Apakah blender ini tidak Uning pakai lagi? Seseorang meminta blender yang sebelumnya dipinjam (5) Ikko ha ado tugas urang si Rizki tetangganya. mancari gambar tumbuhan pemakan serangga. Seseorang yang meminta (Ini ada tugas si Rizki mencari bantuan untuk mencarikan gambar tumbuhan pemakan gambar kepada tetangganya. serangga)

Perangkat kesantunan berupa penggunaan kata sapaan juga ditunjukkan pada tindak tutur meminta yang direalisasikann dengan strategi bentuk ujaran tidak langsung dan meminimalkan tekanan. Bentuk ujaran tidak langsung di sini maksudnya adalah dengan tidak mengutarakan secara langsung tujuan penutur kepada mitra tutur. Misalnya pada tuturan Ado sare Uning? (Uning punya daun serai?). Pada tuturan ini tujuan penutur bukan untuk menanyakan apakah mitra tutur mempunya barang tersebut atau tidak namun sebenarnya maksud penutur adalah ingin meminta barang tersebut.

Tabel 5.9 Strategi Kesantunan dengan Meminimalkan Tekanan pada Tindak Tutur Meminta

No. Contoh Tuturan Konteks

Universitas Sumatera Utara (1) Yang tadi sajo ndak Tiya? Seseorang yang meminta (kalau yang tadi saja, bagaimana untuk memilih gambar yang Tiya? sebelumnya.

5.2.3 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Memerintah Dari data yang diperoleh, kesantunan berbahasa juga direalisasikan dalam tuturan memerintah seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.10 berikut.

Tabel 5.10 Strategi Kesantunan dengan Kalimat Berpagar pada Tindak Tutur Memerintah

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Kok ado anyo, agi sajola. Seseorang yang menyuruh (Kalau (uangnya) ada, berikan istrinya untuk memberikan saja.) uang kepada anaknya.

(2) Kok dak ado karajo ang, Mam, Seseorang yang menyuruh pahangke’i dulu galas-galas di adiknya untuk mengangkat meja tu. gelas-gelas di meja. (Kalau kamu tidak ada pekerjaan, Mam, angkati gelas-gelas (yang) di (atas) meja itu.

Perangkat yang menunjukkan kesantunan pada tuturan memerintah dengan strategi kalimat berpagar seperti yang ditunjukkan pada data di atas adalah dengan menggunakan klausa konjungsi subordinatif. Sebagai contoh pada tuturan Kok dak ado karajo, ang Mam, pahangke’i dulu galas-galas di meja tu (kalau kamu tidak ada kesibukan, Mam, angkat dulu gelas-gelas di meja itu). Klausa konjungsi subordinatif

Kok dak ado karajo ang, Mam menggunakan konjungsi kok (kalau/jika).

Tabel 5.11 Strategi Kesantunan dengan Bersikap Pesimis pada Tindak Tutur Memerintah

Universitas Sumatera Utara No. Contoh Tuturan Konteks (1) Talok sorang ang mambaoknyokko, Seseorang yang menyuruh Mam. adiknya untuk mengangkat (Apakah kamu sanggup membawa barang. ini sendirian, Mam?)

(2) Talok ang anyo mampature lampu Seseorang yang menyuruh ko, Pan? cucunya untuk memperbaiki (Apakah kamu bisa memperbaiki lampu. lampu ini, Pan?)

Pola kalimat tuturan dan unsur perangkat kesantunan pada tindak tutur memerintah dengan strategi bersikap pesimis hampir sama dengan pola kalimat tuturan dan unsur perangkat kesantunan pada tindak tutur meminta, yakni menggunakan modalitas talok anyo, dan talok ang anyo. Begitu juga kesantunan berbahasa yang ditunjukkan pada tindak tutur memerintah dengan strategi menggunakan ujaran tidak langsung yang penjelasannya hampir sama dengan penjelasan pada realisasi kesantunan dalam meminta.

Tabel 5.12 Strategi Kesantunan dengan Ujaran Tidak langsung pada Tindak Tutur Memerintah

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Dakkek kompor lauk tu. Seorang ibu yang menyuruh (ikannya di dekat kompor.) anak perempuannya untuk membersihkan ikan.

(2) Ala sanjo, Pia. Seorang ibu yang menyuruh (Hari sudah senja, Pia.) anaknya masuk ke rumah.

(3) Saketek lai ai di cerek ko. Seorang ayah yang (Air di ceret ini tinggal sedikit.) menyuruh istrinya memasak air. (4) Ado si Imam di situ, Dan? Seorang ibu yang menyuruh (Adakah si Imam di situ, Dan?) anaknya memanggil anaknya yang lain.

Universitas Sumatera Utara (5) Ala tarang ari, Mam. Seorang ibu yang menyuruh (Hari sudah terang (siang), Mam. anaknya bangun pagi.

Tabel 5.13 Strategi Kesantunan dengan Meminimalkan Tekanan pada Tindak Tutur Memerintah

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Bajalan sajola antekkan, baapo? Seorang ibu yang menyuruh (Kalau jalan kaki saja, bagaimana?) anaknya mengantarkan barang dengan berjalan kaki saja. (2) Basula pinggan tu, Pia. Seorang ibu yang menyuruh (Cucilah piring itu, Pia.) anaknya mencuci piring.

(3) Karajokanla PR, Rizki. Jangan Seorang ibu yang menyuruh bamain juo. anaknya mengerjakan PR (Kerjakanlah PR-mu Rizki. Jangan main terus.)

(4) Naikla ka rumah, Dan. La patang Seorang ibu yang menyuruh ari. anaknya masuk ke dalam (Masuklah ke rumah, Dan. Hari rumah. sudah petang.) (5) Baokla ka sikko. Seorang ibu yang menyuruh (Bawalah ke sini) anaknya mengambilkan sesuatu. (6) Co ambikkan dulu ai Oncu nan di Seseorang yang menyuruh meja tu. keponakannya untuk (Coba ambilkan dulu air minum mengambilkan air minum di (7) Oncu yang di meja itu.) atas meja.

(8) Buekkan ikko di ate meja tu. Seorang ibu yang menyuruh (Letakkan ini di atas meja itu.) anaknya menaruh bumbu ikan di atas meja. (9) Balikan dulu karambi di hajja tu Seorang ibu yang menyuruh sakajak. anaknya membeli kelapa di (Belikan dulu kelapa di (warung) warung. Hajjah itu sebentar.)

(10) Ambikkan munak dulu tampek- Seorang ibu yang menyuruh tampeknyokko. anaknya mengambilkan

Universitas Sumatera Utara (Ambilkan dulu (wadah) untuk wadah. tempat (ikan) ini)

(11) Puekkan sajo ka dalam tasnyo. Seorang ibu yang menyuruh (Taruh saja di dalam tasnya.) anaknya memasukkan buku adiknya ke dalam tas. (12) Pelokkan jo ka kareta tu. Seseorang yang menyuruh (Taruh ke sepeda motor itu.) seorang anak meletakkan sesuatu ke sepeda motornya. (13) Lantingkan jo ka banda. Seorang ibu yang menyuruh (Lemparkan ke parit) anaknya melemparkan sampah ikan ke parit. (14) Puekkan ikko di situ jo. Seorang ibu yang menyuruh (Taruh ini di situ) anaknya meletakkan sesuatu ke atas meja.

Sedangkan kalimat tuturan memerintah dengan strategi meminimalkan tekanan menunjukkan pola perangkat kesantunan yang lebih bervariasi. Pertama,

Kata kerja + la seperti pada contoh Basula pinggan tu, Pia (Cuculah piring itu, Pia).

Kedua, Kata kerja + kan seperti pada contoh Buekkan ikko di ate meja tu (Taruhkan ini di atas meja). Ketiga, Kata kerja + la + jo seperti pada contoh Puekkan ikko di situ jo (letakkan ini disitu). Partikel jo dapat juga dipergunakan di tengah kalimat tuturan seperti pada contoh data lantingkan jo ka banda (Lemparkan ke parit).

5.2.4 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Melarang

Pada tabel 5.14 berikut disajikan data tuturan melarang yang menunjukkan kesantunan berbahasa pada masyarakat barus.

Tabel 5.14 Strategi Kesantunan dengan Meminimalkan Tekanan pada Tindak Tutur Melarang

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Jangan lai kalua, baapo? Indak Seorang ibu yang melarang

Universitas Sumatera Utara ado lai kawan nan dilua. anaknya keluar rumah. (Tidak usah lagi keluar, bagaimana? Tidak ada lagi teman (mu) yang berada di luar)

(2) Rancaknyo jangan lai pakke itu. Seorang ibu yang menyuruh Pendek bana. anaknya untuk mengganti (Bagusnya jangan lagi kamu pakai pakaian yang dipakainya. (rok) yang itu. Terlalu pendek.)

(3) Elok lai jangan baok inyo. Seorang ibu yang menyuruh (Lebih baik jangan kamu bawa dia). anaknya untuk tidak membawa cucunya ke pasar.

Tabel 5.15 Strategi Kesantunan dengan Ujaran Tidak Langsung pada Tindak Tutur Melarang

No. Contoh Tuturan Makna Ilokusi (1) Nandak kamano lai? Ala kalam Seorang ibu yang yang ari. (Mau kemana lagi? Hari sudah menyuruh anaknya untuk gelap) tidak keluar rumah.

(2) Indak litak na bamain tu sajo, Seorang ibu yang melarang Rizki. anaknya bermain terus (Apakah tidak capek bermain terus, menerus. Rizki?)

Kesantunan berbahasa pada tindak tutur melarang juga direalisasikan dengan strategi meminimalkan tekanan dan menggunakan ujaran tidak langsung. Perangkat kesantunan yang digunakan dalam strategi meminimalkan tekanan adalah dengan penggunaan kata baapo, rancaknyo, elok.

5.2.5 Realisasi Kesantunan Berbahasa dengan Menawarkan

Universitas Sumatera Utara Tindak tutur menawarkan adalah salah satu strategi kesantunan dalam berbahasa. Data tuturan menawarkan yang diperoleh dalam penelitian ditunjukkan dalam tabel 5.16 berikut:

Tabel 5.16 Strategi Kesantunan dengan Menawarkan pada Tindak Tutur Menawarkan

No. Contoh Tuturan Konteks (1) Di Angku nasi lamak ko? Seseorang yang menawarkan (Maukah Angku (kue) nasi lemak makanan kepada seorang ini?) kakek.

(2) Nandak mangapo kian? Kok Seseorang yang menawarkan penting padia ambo talepon mak untuk menelepon suaminya lakke awaknyo pulang. untuk segera pulang. (Ada perlu apa? Kalau memang penting biar saya telepon agar dia segera pulang.)

(3) Makkan, Ucci? (Apakah Ucci mau Seseorang yang menewarkan makan? mengambilkan makan siang untuk neneknya. (4) Ambo pelok kian la, Ci? Seseorang yang menawarkan (Saya buatkan sekarang, Ci?) menyiapkan makan siang untuk neneknya. (5) Diprint, kak? (Mau diprintkan, Seseorang menawarkan kak?) untuk mencetakkan gambar.

(6) Pulang, Angku? Antekkan la, Kuti. Seseorang yang menawarkan (Mau pulang, Angku? Antarkanlah, untuk mengantarkan pulang. Kuti.)

5.3 Pembahasan

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai kesantunan berbahasa masyarakat

Barus yang direalisasikan dalam berbagai tindak tutur serta strategi yang digunakan masyarakat tersebut untuk menunjukkan kesantunan berbahasa.

Universitas Sumatera Utara 5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus

Strategi pembentukan kesantunan dalam berbahasa yang digunakan oleh masyarakat Pasisi Barus dalam interaksi sehari-hari di ranah keluarga dan tetangga dijelaskan sebagai berikut.

a. Strategi pembentukan kesantunan pada tindak tutur menolak

Menolak bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan karena menolak pada hakikatnya dapat mengancam muka mitra tutur. Tidak ada satu cara terbaik pun dalam menolak permintaan seseorang karena hal tersebut dapat menjatuhkan ‘muka’ orang tersebut. Oleh karena itu, dalam tindak tutur menolak penutur berusaha menyelamatkan muka mitra tutur untuk mengurangi akibat tidak menyenangkan yang disebabkan oleh penolakan tersebut.

1) Memberi alasan

Pemarkah kesantunan pada tindak tutur menolak permintaan yang digunakan masyarakat Pasisi Barus adalah dengan eufemisme yakni dengan memberikan alasan untuk menghaluskan penolakan untuk tidak menyinggung perasaan mitra tutur.

Tuturan penolakan dapat dilihat pada data (2B) berikut:

(1) A : Jadi kami bekko ka ruma Teti da. Jadi kami nanti ke rumah Teti ya. (Teti merupakan panggilan untuk kakak perempuan)

(2) B : Nandak pai pulo ambo bekko. Barisuk sajola munak datang yo. Hendak pergi pula saya nanti, Besok sajalah kalian datang ya.

Alasan yang kuat diperlukan pada saat harus menolak permintaan seseorang agar penolakan tersebut tidak membuat mitra tutur tersinggung. Tuturan (2) merupakan tuturan penolakan atas permintaan pada tuturan (1) yang meminta untuk

Universitas Sumatera Utara datang berkunjung ke rumah B. Pada tuturan (2) terdapat indikasi kesantunan berbahasa yang ditunjukkan oleh B untuk menolak permintaan A dengan memberikan alasan bahwa B kemungkinan besar tidak akan berada di rumah pada saat A akan datang. Kemudian B melanjutkan dengan memberi usul untuk datang keesokan harinya. Untuk menyelamatkan muka positifnya B menggunakan strategi memberikan alasan yang merupakan strategi kesantunan positif.

Tuturan penolakan dengan memberikan alasan cenderung memberikan fakta kepada mitra tutur bahwa penutur memang harus menolak permintaan mitra tutur.

Dengan memberikan alasan, penutur cenderung menunjukkan fakta yang dapat membantu menyelamatkan muka negatifnya.

Contoh tuturan dari data yang diperoleh yang menunjukkan penolakan dengan memberikan alasan juga dapat dilihat sebagai berikut:

(3) A : Di Angku nasi lamak ko? Apakah Angku mau nasi lemak ini? (Angku merupakan panggilan untuk ayah dari ayah/ibu)

(4) B: Dak ambo makkan sipuluk. Saya tidak (bisa) makan (makanan yang terbuat dari) beras pulut.

Penolakan terhadap penawaran seseorang merupakan hal yang dapat mengancam muka positif orang yang menawarkan tersebut. Dengan memberikan alasan yang jelas maka muka positif orang yang menawarkan tersebut dapat diselamatkan. Data tuturan (4) menunjukkan bahwa B menolak penganan yang terbuat dari beras pulut yang ditawarkan oleh A pada tuturan (3) dengan memberikan alasan bahwa B tidak dapat memakan penganan yang terbuat dari beras pulut.

Tuturan (4) merupakan tuturan yang menyatakan alasan yang dituturkan oleh seorang

Universitas Sumatera Utara kakek lanjut usia. Fakta yang diungkapkannya bahwa ia tidak dapat memakan makanan yang terbuat dari beras pulut dapat dipahami mitra tutur bahwa penutur menolak tawaran tersebut.

2) Berterima kasih

Tuturan penolakan atas suatu tawaran biasanya direalisasikan dengan memilih strategi mengucapkan terima kasih. Dari data-data yang diperoleh menunjukkan strategi ini lebih banyak digunakan penutur yang lebih muda kepada mitra tutur yang lebih tua dan penutur yang memiliki kekuasaan lebih rendah daripada mitra tutur. Penutur yang lebih tua atau yang memiliki kekuasaan lebih tinggi lebih memilih strategi memberi alasan pada saat harus menolak suatu tawaran.

Strategi yang menunjukkan kesantunan dalam berbahasa dengan berterima kasih dalam tuturan menolak tawaran ditunjukkan pada tuturan (5b) berikut:

(5) A: Makkanla kito dulu ha. Makanlah kita dulu ya.

(6) B: Mo kasi, Mami. Nandak pai pulo kami ikko. Terima kasih, Mami. Hendak pergi pula kami (sekarang) ini.

Pertuturan di atas terjadi saat (B) beserta temannya datang ke rumah (A) kerabatnya yang dipanggil dengan tuturan Mami. Strategi yang digunakan oleh (B) pada tuturan (5) untuk menolak tawaran (A) pada tuturan (6) agar makan siang di rumahnya adalah dengan mengucapkan terima kasih yang kemudian dilanjutkan dengan memberi alasan bahwa (B) akan segera pulang. Strategi bertutur yang digunakan oleh (B) merupakan strategi kesantunan positif karena tuturan penolakan

(B) dapat mengancam muka positif (A).

Universitas Sumatera Utara 3) Meminta maaf

Dari data yang diperoleh juga ditemukan adanya tuturan penolakan dengan dengan meminta maaf. Hal tersebut dapat ditemukan pada data berikut:

(7) A: Baokla lauk ko. Bawalah ikan ini.

(8) B: Maap, Oncu. Di ruma dak ado na mamakkan lauk gadang. Maaf, Oncu. Di rumah tidak ada yang (suka) memakan ikan besar. (Oncu merupakan tutur panggilan untuk saudara ayah/ibu yang paling bungsu)

Pada pertuturan di atas (A) menawarkan pada (B) ikan tongkol besar, namun ditolak oleh (B) dengan strategi meminta maaf yang merupakan strategi kesantunan negatif karena penolakannya dapat mengancam muka negatif (B). Kemudian (B) melanjutkan tuturannya dengan memberi alasan bahwa anggota keluarga di rumahnya tidak ada yang suka makan ikan besar. Alasan yang diberikan (B) dapat diterima oleh

(A) sebab ikan tersebut akan sia-sia saja jika tetap diterima (B).

b. Strategi pembentukan kesantunan pada tindak tutur meminta

Tindak tutur meminta merupakan salah satu tindak tutur yang kurang menguntungkan bagi mitra tutur karena menunjukkan dominasi penutur. Tindak tutur meminta biasanya dituturkan oleh jarak sosial atau kekuasaannya lebih rendah kepada yang berstatus sosial atau kekuasaan lebih tinggi.

1) Penggunaan kalimat berpagar (hedges)

Salah satu strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk menunjukkan adanya kesantunan berbahasa pada saat menuturkan permintaan adalah

Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan kalimat berpagar (hedges). Misalnya tuturan permintaan antara adik dan kakak yang ditunjukkan pada data (7) berikut:

(7) Kok jadi munak pai, Ri, lalukan ikko ka si Emi yo? (Kalau kalian jadi pergi, Ri, antarkan ini ke (rumah) si Emi ya.)

(8) Kok indak litak ang, tolong daulu pindakan lamari ketek tu ka kamar Aya Endek. (Kalau kamu tidak capek, tolong dulu pindahkan lemari kecil ini ke kamar Aya Endek.)

(Aya Endek merupakan sapaan penutur kepada Adik laki-laki ayahnya) (Ang adalah singkatan dari wa’ang yang merupakan sapaan untuk orang kedua laki-laki)

Pada tuturan (7) dan (8), penutur menggunakan konstruksi berpagar (Kok jadi munak pai dan Kok indak litak ang) sebelum meminta untuk melakukan yang dimaksudkan. Hal ini menyiratkan bahwa penutur mempertimbangkan kerugian yang akan dialami mitra tutur yang diakibatkan oleh permintaannnya tersebut. Pada tuturan

(7) dan (8) penutur ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin memberatkan mitra tutur dengan permintaan yang diutarakan.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pemarkah kesantunan pada tindak tutur meminta dengan strategi menggunakan kalimat berpagar adalah konjungsi koordinatif kok yang berarti kalau/jika/jikalau.

Dengan menggunakan kalimat berpagar berarti penutur telah mempertimbangkan bahwa tindakan yang dimaksudkannya akan mengganggu kebebasan pribadi mitra tutur untuk melaksanakannya. Sebaliknya, mitra tutur merasa citra dirinya dihargai oleh penutur. Oleh sebab itu dengan mempertimbangkan kebebasan pribadi mitra tutur berarti penutur telah berupaya menghargai citra diri

Universitas Sumatera Utara mitra tutur dengan melaksanakan tindakan yang dimaksudkan tuturan yang menggunakan konstruksi berpagar tersebut.

2) Bersikap pesimis (menunjukkan kesangsian)

Selain menggunakan konstruksi berpagar, masyarakat Pasisi Barus juga menggunakan strategi bersikap pesimis dalam tindak tutur permintaan. Dengan bersikap pesimis atau dengan kata lain menunjukkan kesangsian, penutur yang sebenarnya sangat berharap permintaannya dapat dikabulkan menyiratkan bahwa penutur sangat menghargai mitra tutur. Tuturan permintaan seperti ini terjadi karena peran dan persepsi tindakan yang diinginkan atau diharapkan penutur kepada mitra tutur dimungkinkan dapat merugikan baik bagi penutur sendiri maupun bagi mitra tutur dalam interaksi. Dengan menggunakan strategi bersikap pesimis untuk meminta sesuatu atau meminta orang melakukan sesuatu, penutur menunjukkan bahwa mitra tutur diberikan alternasi tindakan (menolak atau menyetujui), namun tetap menjaga kehormatan (citra muka) untuk tidak mempermalukan penutur dan mitra tutur. Fungsi yang demikian ini cenderung menyediakan antisipasi, baik yang berhubungan dengan penjagaan hubungan dan penyelamatan muka dalam interaksi.

Tuturan permintaan dengan menunjukkan kesangsian dapat dilihat pada data berikut:

(9) Bisa agaknyo ambo pakke sabanta kareta munak tu, Er. (Bisakah saya pinjam sebentar sepeda motormu, Er.)

(10) Sampat anyo Teti mangantekkan urang ko? (Apakah Teti sempat mengantarkan anak-anak ini?)

(11) Talok Umak anyo manjago urang ko? (Apakah Ibu bisa menjaga anak-anak ini?)

Universitas Sumatera Utara

(12) Talok anyo sorang uweng mangangkeknyo tu? (Apakah uweng bisa mengangkat itu sendirian? (uweng = abang)

Pada tuturan (9), (10), (11), dan (12) di atas, strategi yang menunjukkan kesangsian atau bersikap pesimis ditandai dengan kelompok kata Bisa agaknyo,

Sampat anyo, Talok anyo. Tuturan (9) merupakan permintaan untuk meminjam sepeda motor kepada tetangga, tuturan (10) dituturkan oleh seorang adik yang meminta kakaknya untuk mengantarkan dua orang anaknya ke sekolah, tuturan (11) dituturkan oleh seorang anak yang meminta tolong ibunya untuk menjaga anak- anaknya sementara dia tidak berada di rumah, dan tuturan (12) merupakan tuturan seseorang yang meminta tolong untuk mengangkat 2 galon air minum kepada abang becak.

Pemarkah kesantunan pada tindak tutur meminta dengan strategi bersikap pesimis atau menunjukkan kesangsian pada contoh data di atas adalah bisa agaknyo, sampat anyo, talok anyo.

Tuturan yang menunjukkan kesangsian cenderung menguntungkan baik bagi penutur maupun mitra tutur, karena selain memberikan penghargaan citra diri penutur dan mitra tutur, tuturan yang cenderung pesimis ini dapat menyelamatkan muka penutur ketika terjadi penolakan terbuka oleh mitra tutur. Oleh karena itu, dalam pemakaiannya tuturan yang menunjukkan kesangsian cenderung sopan, karena penutur dan mitra tutur tidak merasa dirugikan jika tuturan yang menunjukkan kesangsian tersebut menghasilkan tindakan seperti yang dimaksudkan penutur.

Universitas Sumatera Utara Pengungkapan tutur dengan bersikap pesimis penutur cenderung menunjukkan bahwa ia tidak memaksakan keinginannya kepada mitra tutur, meskipun ia menilai bahwa mitra tutur dapat melaksanakan tindakan yang dimaksudkan. Dengan kesan tidak memaksa mitra tutur, tuturan permintaan dengan bersikap pesimis menunjukkan adanya kesantunan dalam berbahasa yang bertujuan untuk menghindarkan penutur dan mitra tutur dari konflik dan tetap dapat menjaga hubungan mereka secara harmonis.

3) Penggunaan ujaran tidak langsung

Tuturan permintaan juga direalisasikan dalam bentuk ujaran tidak langsung seperti yang ditemukan pada data berikut:

(13) Ala nandak habis gulo, Oncu. (Gula sudah hampir habis, Oncu.)

(14) Ado sare, Uning? (Ada (daun) serai, Uning?)

(15) Indak di Uning lai blender ko? (Apakah blender ini tidak Uning pakai lagi? (Uning = kakak)

Pemarkah kesantunan pada contoh data di atas adalah dengan menggunakan modus interogatif untuk tuturan meminta.

Tuturan (13) dituturkan oleh seorang keponakan kepada bibinya yang akan pergi ke pasar. Tuturan permintaan untuk membeli gula direalisasikan dengan pernyataan bahwa persediaan gula di rumah sudah hampir habis. Tuturan (14) dituturkan seseorang yang membutuhkan daun serai untuk masakannya kepada

Universitas Sumatera Utara tetangganya yang diyakininya memiliki barang yang dibutuhkannya tersebut.

Pertanyaan apakah mitra tutur memiliki barang tersebut merupakan bentuk tidak langsung tuturan permintaan. Tuturan (15) dituturkan oleh seseorang yang salah satu alat rumah tangganya dipinjam oleh tetangganya. Untuk meminta kembali barang yang dipinjam tersebut, penutur menggunakan strategi tidak langsung dengan menanyakan apakah barang tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.

c. Strategi pembentukan kesantunan dalam tindak tutur memerintah

Memberi perintah atau menyuruh merupakan salah satu tindakan yang dapat mengancam muka negatif mitra tutur. Interaksi dalam ranah keluarga tindak tutur memerintah merupakan salah satu tindak tutur yang paling banyak dituturkan oleh orang tua kepada anak. Seperti yang terlihat pada data berikut:

(16) Buekkan ikko di ate meja tu. (Letakkan ini di atas meja itu.)

(17) Naikla ka rumah, Dan. La patang ari. (Masuklah ke rumah, Dan. Hari sudah petang.)

(18) Baok ka sikko. (Bawa ke sini.)

(19) Pelok ka ate meja. (Taruh di atas meja.)

Tuturan (16), (17), (18), dan (19) merupakan contoh-contoh tuturan memberi perintah yang dituturkan oleh orang tua kepada anak. Tuturan (16) dituturkan oleh seorang ibu yang memerintahkan kepada anak perempuannya untuk meletakkan

Universitas Sumatera Utara makanan yang akan dihidangkan ke atas meja, tuturan (17) merupakan tuturan seorang ibu yang menyuruh anak laki-lakinya dan tidak lagi berada di luar karena hari sudah petang, tuturan (18) juga perintah yang dituturkan oleh sang ibu kepada anaknya untuk membawakan barang itu kepadanya dan tuturan (19) dituturkan oleh seorang kakak yang memerintahkan kepada adiknya untuk meletakkan buku-bukunya di atas meja.

Pada lazimnya, tuturan memberi perintah cenderung memberikan konflik antara orang yang tua kepada yang muda atau yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi kepada yang yang lebih rendah. Sebab biasanya orang yang lebih tua lebih mementingkan kesesuaian peran dan status mereka dalam interaksi dengan yang lebih muda. Hal ini ditunjukkan oleh tuturan (18) dan (19) yang cenderung menunjukkan dominasi penutur kepada mitra tutur. Namun kedua tuturan ini masih tetap dianggap wajar oleh mitra tutur jika dituturkan penutur kepadanya, meskipun tuturan tersebut dapat mengancam citra dirinya (muka negatif) karena kurang dihargai oleh penutur.

Namun tindakan pengancaman muka yang diakibatkan oleh tutuuran memerintah ini dapat dikurangi dengan menggunakan bahasa yang menyiratkan bahwa penutur meminimalkan tekanan atau paksaan kepada mitra tutur seperti yang ditunjukkan pada tuturan (16) dan (17). Pada kedua tuturan ini penutur menunjukkan kesantunan berbahasa dengan menggunakan tuturan yang dapat mengurangi keterancaman citra diri mitra tutur. Pengurangan keterancaman muka yang ditunjukkan pada tuturan (16) dilakukan dengan menggunakan tuturan yang menyiratkan meminta bantuan bukan memerintah. Walaupun orang tua memiliki kekuasaan besar untuk menggunakan tuturan kalimat perintah secara langsung, ia masih memilih menggunakan tuturan

Universitas Sumatera Utara yang menyiratkan meminta bantuan. Perintah untuk segera masuk ke dalam rumah pada tuturan (17) direalisasikan dalam bentuk tuturan yang menyiratkan pengurangan paksaan terhadap mitra tutur sehingga mitra tutur yang dalam hal ini seorang anak merasa dihargai dan tidak dirugikan karena pengancaman muka yang diakibatkan oleh tuturan perintah tersebut.

1) Penggunaan kalimat berpagar (hedges)

Tindakan pengurangan keterancaman muka mitra tutur akibat tuturan memerintah juga dilakukan penutur dengan menggunakan kalimat berpagar (hedges).

Penggunakan kalimat berpagar dalam tuturan memberi perintah dapat menguntungkan penutur dan mitra tutur sebab konstruksi kalimat berpagar menunjukkan penutur memberikan pilihan yang seluas-luasnya kepada mitra tutur dan dan mitra tutur juga merasa dihargai kebebasannya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang diinginkan. Tuturan memerintah dengan menggunakan konstruksi kalimat berpagar ditemukan pada data berikut:

(20) Kok ado anyo, agi sajola. (Kalau (uangnya) ada, berikan saja.)

(21) Kok dak ado karajo ang, Mam, pahangke’i dulu galas-galas di meja tu. (Kalau kamu tidak ada pekerjaan, Mam, angkati gelas-gelas (yang) di (atas) meja itu.

Konstruksi berpagar (hedges) pada tuturan (20) dan (21) ditunjukkan oleh kelompok kata Kok ado anyo (kalau ada) dan Kok dak ado karajo (kalau tidak ada pekerjaan). Tuturan (20) dituturkan oleh seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya untuk memberikan pinjaman uang kepada kerabat mereka. Kalimat berpagar yang digunakan sang suami memberikan keleluasaan pilihan kepada sang istri untuk

Universitas Sumatera Utara memberikan pinjaman atau tidak. Dengan tuturan tersebut sang istri merasa bebas untuk menentukan tindakan yang akan dipilih. Tuturan (21) merupakan perintah yang dituturkan oleh seorang kakak kepada adiknya untuk mengangkat gelas-gelas kotor yang ada di atas meja agar diletakkan ke tempat mencuci piring. Konstruksi berpagar yang digunakan penutur menunjukkan ia memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan yang dimaksudkan jika kenyataannya berkebalikan dengan yang diungkapkan. Dalam hal ini sang adik dapat memilih untuk tidak mengangkat gelas-gelas tersebut jika ia memang ada pekerjaan lain.

2) Bersikap pesimis (menunjukkan kesangsian)

Tuturan memerintah dengan menunjukkan kesangsian atau bersikap pesimis juga ditemukan pada data tuturan (22) dan (23) yang diperoleh pada penelitian ini.

(22) Talok sorang ang mambaoknyokko, Mam. (Apakah kamu sanggup membawa ini sendirian, Mam?)

(23) Talok ang anyo mampature lampu ko, Pan? (Apakah kamu bisa memperbaiki lampu ini, Pan?)

Tuturan (22) dituturkan oleh seorang kakak yang memerintahkan adiknya untuk mengangkat barang yang agak berat dan tuturan (23) merupakan perintah yang dituturkan seorang kakek kepada cucunya untuk memperbaiki lampu emergency.

3) Penggunaan ujaran tidak langsung

Usaha pengurangan pengancaman muka mitra tutur yang diakibatkan tuturan memerintah yang dituturkan penutur juga dilakukan dengan menggunakan ujaran tidak langsung seperti yang ditemukan pada data berikut:

(24) Dakkek kompor lauk tu. (Ikannya di dekat kompor.)

Universitas Sumatera Utara (25) Ala sanjo, Pia. (Hari sudah senja, Pia.)

(26) Saketek lai ai di cerek ko. (Air di ceret ini tinggal sedikit.)

Tuturan (24) merupakan tuturan seorang ibu yang mengatakan bahwa ikan berada di dekat kompor. Mitra tutur yang dalam hal ini adalah anak perempuan memahami bahwa pernyataan sang ibu merupakan perintah baginya agar membersihkan ikan tersebut. Tuturan (25) dituturkan kepada seorang anak perempuan yang masih bercengkerama bersama teman-temannya di luar rumah.

Penutur yang merupakan adik perempuan dari ibu mitra tutur mengatakan hari sudah senja yang merupakan ujaran tidak langsung yang dipahami sebagai mitra tutur sebagai perintah untuk masuk rumah.

4) Meminimalkan paksaan

Dalam tindak tutur memerintah, masyarakat Barus lebih banyak menggunakan tuturan yang meminimalkan paksaan terhadap mitra tutur. Tuturan memerintah dengan meminimalkan paksaan ditunjukkan dalam beberapa bentuk berikut :

a. Penggunaan Akhiran –kan

Pada masyarakat Barus, tuturan memerintah yang menambahkan akhiran –kan setelah verba lebih menyiratkan kesantunan daripada hanya verbanya saja. Contoh data tuturan masyarakat Barus yang menggunakan akhiran –kan setelah verba dengan yang tidak menambahkan akhiran –kan dalam memerintah dapat dilihat sebagai berikut:

(27) Buekkan ikko di ate meja tu.

Universitas Sumatera Utara (Taruhkan ini di atas meja itu.)

(28) Balikan dulu karambi ka Hajja tu sakajak. (Belikan dulu kelapa ke (warung) Hajjah itu sebentar.)

(29) Ambikkan munak dulu tampek-tampeknyokko. (Ambilkan kalian dulu wadah untuk tempat (ikan) ini.)

(30) Ambik dulu kepeng di lamari tu. (Ambil dulu uang di lemari itu.)

(31) Baok ka sikko. (Bawa ke sini.)

(32) Puek sajo ka dalam tasnyo. (Taruh saja ke dalam tasnya.)

Tuturan (27), (28) dan (29) yang menambahkan akhiran –kan setelah kata kerja lebih menunjukkan kesantunan dari pada tuturan (30), (31) dan (32) yang hanya menggunakan kata dasar verba tanpa menambahkan akhiran –kan.

b. Penggunakan Partikel la

Dari data yang diperoleh, partikel la ditambahkan setelah verba dalam tuturan memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu. Contoh data mengenai hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

(33) Naikla ka rumah, Dan. La patang ari. Naiklah ke rumah, Dan. Sudah petang hari. Masuklah ke rumah, Dan. Hari sudah petang. (34) Baokla ka sikko. Bawalah ke sini. (35) Ambikla ka ruma. Ado anyo si Erni di situ. Ambillah ke rumah. Ada kok si Erni di situ. ‘Ambillah di rumah (saya). Ada kok si Erni di situ.

Tuturan (33), (34) dan (35) di atas lebih menunjukkan kesantunan jika dibandingkan dengan tuturan berikut:

Universitas Sumatera Utara (33a) Naik ka ruma, Dan. Masuk ke rumah, Dan.

(34a) Baok ka sikko. Bawa ke sini.

(35a) Ambik ka ruma. Ambil di rumah (saya).

Tuturan (33a), (34a) dan (35a) merupakan tuturan perintah yang jelas kepada mitra tutur yang menunjukkan dominasi penutur terhadap mitra tutur. Keterancaman muka mitra tutur yang diakibatkan oleh ketiga tuturan ini lebih besar daripada jika penutur menambahkan partikel –lah setelah kata kerja seperti pada tuturan (33), (34) dan (35) yang lebih menunjukkan kesantunan karena menyiratkan meminimalkan paksaan kepada mitra tutur dalam melakukan tindakan yang diinginkan penutur.

c. Penggunakan Partikel Yo

Penambahan partikel yo di tengah atau di akhir tuturan memerintah juga menunjukkan bahwa tuturan itu lebih santun, bahkan lebih santun dari pada hanya menambahkan akhiran –kan dan partikel –la setelah verba. Contoh data yang menggunakan partikel –yo dapat dilihat sebagai berikut:

(33b) Pelokkan ka ate meja tu yo. (Taruhkan ke atas meja itu ya.)

(34b) Baokla ka sikko yo. (Bawalah ke sini ya.)

(35b) Ambikla ka ruma yo. (Ambillah di rumah (saya) ya.)

Jika dibuat derajat kesantunan dari tuturan yang kurang santun ke tuturan yang lebih santun maka rentangnya dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Kurang santun

Universitas Sumatera Utara (1) Pelok ka ate meja tu

(2) Pelokkan ka ate meja tu.

(3) Pelokla ka ate meja tu.

(4) Pelokkan ka ate meja tu yo.

(5) Pelokla ka ate meja tu yo.

Lebih santun

d. Penggunaan partikel Jo

Penambahan partikel jo dalam tuturan juga lebih menyiratkan kesantunan seperti yang ditemukan pada data berikut:

(36) Pelokkan jo ka kareta Uweng nin. Taruhkan ke sepeda motor Uweng itu.

(37) Lantingkan jo ka banda. Lemparkan ke parit.

Seperti halnya partikel yo yang jika ditambahkan dalam tuturan memerintah yang telah ditambahkan akhiran –kan maupun yang telah ditambahkan partikel la dapat menjadikan tuturan tersebut lebih santun, demikian juga halnya dengan penambahan partikel jo. Penambahan partikel ini juga bisa saja di tengah tuturan dan terkadang digunakan di akhir tuturan seperti pada tuturan berikut:

(36a) Pelokkan jo ka kareta Uweng nin. Taruhkan ke sepeda motor Uweng itu.

(37b) Lantingkan jo ka banda. Lemparkan ke parit.

Partikel, dalam bahasa Indonesia, biasanya berfungsi sebagai penegas.

Partikel penegas ini tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi

Universitas Sumatera Utara menampilkan unsur yang ditempelinya. Chino (2008 : vii dalam Zulaikha, 2013) mengungkapkan bahwa sebuah partikel mungkin dapat didefenisikan sebagai bagian yang tidak dapat ditafsirkan dalam sebuah percakapan yang memiliki kemutlakan arti tersendiri yang bebas ikatan dan melengkapi dirinya sendiri dalam bagian-bagian pembicaraan. Dalam bahasa yang digunakan masyarakat Pasisi Barus, partikel penegas ini dimasukkan dalam kategori fatis (Agustina 2004) yang lebih berfungsi untuk memunculkan efek stilistika.

e. Permintaan Berpagar (Hedges)

Penggunaan konstruksi ‘berpagar’, yaitu konstruksi kalimat yang menggunakan klausa subordinatif atau kelompok kata yang dapat mengurangi paksaan terhadap lawan bicara seperti klausa, kalau boleh, jika tidak keberatan, dan sebagainya (Sibarani, 2004: 196).

Dari data yang diperoleh juga ditemukan adanya tuturan permintaan berpagar sebagai salah satu strategi kesantunan yang dipilih oleh penutur untuk mengurangi keterancaman muka mitra tutur. Data mengenai hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

(38) Kok sampat bekko lalukan ikko ka rumah yo. Kalau sempat nanti antarkan ini ke rumah (saya) ya.

(39) Kok bisa japukkan sajo sakajak. Kalau bisa jemputkan saja sebentar.

(40) Kok jadi munak pai, manitip ambo da. Kalau kalian jadi pergi, saya menitip ya.

(41) Kok talok, angkekkan ka ate rumah yo. Kalau sanggup, angkatkan ke dalam rumah ya.

Universitas Sumatera Utara Pemarkah kesantunan penggunaan permintaan berpagar menyiratkan penutur memberikan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang diminta.

Semakin mitra tutur memiliki pilihan maka semakin santunlah tuturan penutur.

d. Strategi pembentukan kesantunan kesantunan dalam tindak tutur

melarang

Strategi yang digunakan dalam tindak tutur melarang adalah sebagai berikut.

1) Meminimalkan tekanan

Dari data yang diperoleh ditemukan bahwa realisasi kesantunan berbahasa dalam melarang dilakukan dengan strategi meminimalkan tekanan terhadap mitra tutur. Contoh data yang ditemukan adalah sebagai berikut:

(42) Jangan lai kalua, baapo? Indak ado lai kawan nan dilua. (Tidak usah keluar lagi, bagaimana? Tidak ada lagi kawan(mu) yang (berada) di luar.)

Pemarkah kesantunan dalam tindak tutur melarang pada data di atas adalah kata baapo (bagaimana) yang menyiratkan seolah-olah penutur meminta persetujuan dan tidak memaksa. Pada data tuturan selanjutnya, pemarkah kesantunan rancaknyo dan elok lai yang berarti ‘sebaiknya’ juga menyiratkan penutur mengurangi paksaan terhadap mitra tutur.

(43) Rancaknyo jangan lai pakke itu. Pendek bana. (Bagusnya jangan lagi kamu pakai (rok) yang itu. Terlalu pendek.)

(44) Elok lai jangan baok inyo. (Lebih baik jangan kamu bawa dia)

2) Penggunaan ujaran tidak langsung

Universitas Sumatera Utara Melarang dengan pemarkah menggunakan ujaran tidak langsung juga lebih menunjukkan kesantunan berbahasa seperti yang ditemukan pada data berikut:

(45) Nandak kamano lai? Ala kalam ari. (Mau kemana lagi? Hari sudah gelap)

(46) Indak litak na bamain tu sajo, Rizki? (Apakah tidak capek bermain terus, Rizki?)

Ujaran tidak langsung pada tuturan (45) dan (46) ditandai dengan penggunaan kalimat interogatif untuk melarang, alih-alih menggunakan kalimat imperatif negatif.

Tuturan (45) tersebut dituturkan oleh seorang ibu yang bermaksud melarang anaknya yang ingin keluar rumah pada saat menjelang magrib. Tuturan (46) dituturkan oleh seorang ibu yang melarang anak laki-lakinya bermain terlalu lama.

e. Strategi pembentukan kesantunan dalam tindak tutur menawarkan

Tuturan menawarkan sesuatu atau melakukan sesuatu untuk kemudahan mitra tutur merupakan salah satu tuturan yang mengindikasikan kesantunan dalam berbahasa. Pembentukan kesantunan dalam tindak tutur menawarkan adalah dengan menawarkan sesuatu seperti yang ditemukan pada data berikut:

(47) Makkan, Ucci? (Apakah Ucci mau makan?) (Ucci = nenek)

(48) Ambo pelok kian la, Ci? (Saya buatkan sekarang, Ci?)

(49) Diprint, kak? (Mau diprintkan, kak?)

(50) Pulang, Angku? Antekkan la, Kuti. (Mau pulang, Angku? Antarkanlah, Kuti.)

Universitas Sumatera Utara Tuturan menawarkan sesuatu merupakan salah satu strategi kesantunan positif yang berarti penutur ingin dengan tuturannya tersebut ia semakin dihargai oleh mitra tutur.

5.3.2 Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus

Dari strategi-strategi kesantunan berbahasa yang digunakan oleh masyarakat

Pasisi Barus, didapat 10 pola kesantunan yang dijelaskan sebagai berikut.

Tindak tutur menolak yang menunjukkan kesantunan berbahasa masyarakat

Pasisi Barus dapat dilihat sebagai berikut:

(1) Nandak pai pulo ambo bekko. Hendak pergi pula saya nanti

(2) Indak bakareta pulo ambo, Ti. Tidak (membawa sepeda motor) pula saya, Ti.

(3) Nandak pai ambo, Ning. Hendak pergi saya, Ning.

(4) Manunggu Kuti ambo. Menunggu Kuti saya.

Dari data-data di atas maka didapat pola kesantunan berbahasa pada tindak tutur menolak dengan strategi memberi alasan sebagai berikut:

(Nandak/indak) + Verba + Subjek + (Kata Sapaan)

Seperti halnya pola bahasa tutur masyarakat Pasisi Barus pada umumnya, pola kesantunan dengan menggunakan strategi memberi alasan juga diawali dengan verba yang diikuti dengan subjek pronomina orang pertama ambo (saya). Pada data tuturan di atas kata pai (pergi), bakareta (membawa kereta) dan manunggu

Universitas Sumatera Utara (menunggu) berfungsi sebagai verba. Sementara kata nandak (hendak), indak (tidak) dan kata sapaan merupakan opsional atau boleh ada dan boleh tidak ada.

Pada data berikut ditemukan letak subjek yang berbeda dari pola yang ditunjukkan di atas.

(5) Dak ambo makkan sipuluk. Tidak saya makan (penganan berbahan) beras pulut.

Pola kalimat di atas adalah sebagai berikut:

(Dak) + Subjek + Verba

Tindak tutur menolak dengan strategi meminta maaf ditunjukkan pada data berikut:

(1) Maap, Oncu. Maaf, Oncu.

(2) Ya maap bana, Mak. Aduh maaf sekali, Mak.

Dari data-data di atas maka didapat pola sebagai berikut:

(Ya) + Maap + (bana) + Kata Sapaan

Kata maap sebagai pemarkah kesantunan dapat diikuti oleh kata ya dan bana, keduanya opsional yang berarti dapat disertakan ataupun tidak disertakan mengikuti kata maap. Pada contoh data di atas, kata sapaan berada di akhir tuturan. Pada tuturan pertama terdapat kata sapaan Oncu yang berarti sapaan untuk adik perempuan dari ayah penutur dan pada tuturan kedua terdapat kata sapaan Mak yang ditujukan ibu si penutur yang menjadi mitra tutur pada pertutura tersebut.

Universitas Sumatera Utara Data-data berikut merupakan tuturan menolak dengan strategi berterima kasih.

(1) Mo kasi, Mami. Terima kasih, Mami (2) Mo kasi, Ning. Terima kasih, Ning.

Dari data-data tersebut didapatkan pola kesantunan berbahasa pada tindak tutur menolak dengan strategi berterima kasih sebagai berikut:

Mo kasi + Kata Sapaan

Frase Mo kasi yang merupakan bentuk singkat dari kata tarimo (terima) lebih lazim digunakan dalam bahasa tutur masyarakat Pasisi Barus daripada bentuk lengkapnya tarimo kasi. Pada tindak tutur menolak dengan strategi berterima kasih, frase mo kasi biasanya diikuti oleh kata sapaan. Pada contoh tuturan pertama terdapat kata sapaan mami yang berarti tuturan sapa untuk adik perempuan dari ibu dan pada tuturan kedua terdapat kata sapaan Ning (Uning) yang merupakan bentuk sapaan untuk kakak perempuan.

Data tuturan kesantunan dengan strategi menunda ditunjukkan sebagai berikut:

(1) Sabanta, Mak. Sebentar, mak. (2) Tunggu sabanta lai, Mak. Tunggu sebentar, Mak (3) Sabanta. Sebentar. (4) Sabanta lai la. Sebentar lagilah. (5) Bekko la. Nantilah. (6) Bekko ambo japuk. Nanti saya jemput.

Universitas Sumatera Utara

Data-data tersebut menunjukkan bahwa kata yang menjadi pemarkah kesantunan dalam tuturan menolak dengan strategi menunda adalah kata sabanta

(sebentar) dan bekko (nanti). Sehingga dapat disimpulkan pola kesantunan pada tuturan menolak dengan strategi menunda sebagai berikut:

1) (Tunggu) + Sabanta + (lai) + (la) + Kata Sapaan

2) Bekko + (la) + S + V

Pola kesantunan pada tindak tutur menolak dengan strategi menunda pada pola pertama menggunakan kata sabanta (sebentar) sebagai pemarkah yang dapat didahului kata tunggu (tunggu) dan diikuti partikel lai (lagi) dan la (lah). Sementara pemarkah kesantunan pada pola kedua adalah kata bekko (nanti) yang dapat diikuti partikel la (lah), subjek dan verba.

Pola kesantunan pada strategi kesantunan dengan menggunakan kalimat berpagar pada tindak tutur menolak, meminta dan memerintah dapat disimpulkan dari data-data berikut:

(1) Kok bisa jangan lai ambo, Oncu. Kalau bisa jangan lagi saya, Oncu. (2) Kok jadi munak pai, Ri, lalukan ikko ka si emi yo, Kalau jadi kalian pergi, Ri, singgahkan ini kepada Emi ya. (3) Kok bisa japukkan sajo sakajak ka ruma. Kalau bisa jemput saja sebentar ke rumah. (4) Kok ado anyo agi sajola Kalau memang ada berikan saja.. (5) Kok sampat mamak, parancak ikko da. Kalau Mamak sempat, perbaiki ini ya.

Universitas Sumatera Utara Maka pola kesantunan pada strategi kalimat berpagar yang terdapat pada tindak tutur menolak, meminta dan memerintah adalah:

Konjungsi Koordinatif + (anyo) + V + S

Kata kok (kalau/seandainya) yang merupakan pemarkah kesantunan dengan strategi kalimat berpagar biasanya disandingkan dengan kata bisa atau jadi atau sampat (sempat) atau ado (ada) merupakan konjungsi koordinatif dan dapat diikuti kata anyo, kemudian verba dan subjek. Subjek yang digunakan biasanya berbentuk sapaan untuk orang kedua.

Strategi kesantunan dengan menunjukkan kesangsian atau bersikap pesimis dapat dilihat pada contoh tuturan berikut:

(1) Talok sorang ang mambaoknyokko, Mam? Apakah kamu mampu membawa ini sendirian, Mam? (2) Talok ang anyo mampature lampu ko, Pan? Apakah kamu mampu memperbaiki lampu ini, Pan? (3) Talok umak anyo manjago urang ko? Apakah Umak mampu manjaga anak-anak ini? (4) Bisa agaknyo ambo pakke sabanta kareta munak tu, Er? Mungkinkah saya bisa memakai sepeda motormu itu, Er.

Pola kesantunan yang dapat disimpulkan dari contoh tuturan di atas adalah:

1) Talok + S + (anyo) + V atau

2) Talok + (anyo) + S + V

3) Bisa + (agaknyo) + S + V

Universitas Sumatera Utara Kata anyo dapat disandingkan langsung setelah kata talok yang merupakan pemarkah kesantunan pada strategi kesantunan bersikap pesimis dan dapat pula digunakan setelah subjek. Sementara strategi kesantunan dengan pemarkah kata bisa sering kali disandingkan dengan kata agaknyo. Tetapi kata agaknyo bersifat opsional yang berarti dapat digunakan dan dapat pula tidak disertakan.

Strategi kesantunan dengan menggunakan ujaran tidak langsung dikenali dengan melihat modus yang digunakan penutur dalam tuturannya. Misalnya, ketika penutur menggunakan modus interogatif untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu, berarti tuturan tersebut merupakan tidak langsung. Begitu juga jika seseorang menggunakan modus deklaratif untuk meminta atau memerintahkan sesuatu maka tuturan tersebut juga tuturan tidak langsung. Dengan kata lain, jika kalimat yang digunakan dalam tuturan tidak sesuai dengan fungsinya secara konvensional (kalimat deklaratif untuk memberi informasi, kalimat interogatif untuk bertanya dan kalimat imperatif untuk meminta atau memberi perintah), tuturan tersebut dikatakan tuturan tidak langsung. Berarti pola kesantunan pada strategi ujaran atau tuturan tidak langsung memiliki banyak variasi sesuai dengan bentuk kalimat yang digunakan untuk menyampaikan maksud penutur.

5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa

Kearifan lokal kesantunan berbahasa merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dalam berinteraksi dalam masyarakat. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku,

Universitas Sumatera Utara baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan smenjawab berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh ketidaksantunan dalam berbahasa.

Etika yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kermudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Sikap-sikap kearifan yang tersirat dalam kesantunan berbahasa pada masyarakat Pasisi Barus adalah: 1) Sikap menghindari perselisihan, dan 2) sikap tenggang rasa.

1) Sikap Menghindari Perselisihan

Penggunaan bahasa yang dianggap tidak santun sering kali menjadi pemicu perselisihan antar individu maupun kelompok. Kesantunan yang ditunjukkan masyarakat Pasisi Barus dalam berbahasa dalam berinteraksi di ranah keluarga dan tetangga mengandung kearifan yang tersirat dalam pemilihan strategi kesantunan yang selalu berupaya menghindari perselisihan. Misalnya dalam hal menolak suatu perintah atau permintaan mitra tutur. Tindak tutur menolak sangat rentan

Universitas Sumatera Utara menimbulkan perselisihan antara penutur dan mitra tutur sebab keterancaman muka yang diakibatkan oleh tindak tutur ini sangat besar. Ketersinggungan mitra tutur akibat penolakan penutur cenderung menyebabkan konflik yang pada akhirnya dapat menyebabkan perselisihan.

Sebagai contoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari, saat dalam situasi menolak permintaan yang datang dari orang-orang di sekeliling, baik itu anggota keluarga, saudara maupun teman. Tidak ada satu cara terbaik pun dalam menolak permintaan seseorang karena hal tersebut dapat menjatuhkan ‘muka’ orang tersebut.

Mengenai hal ini masyarakat Barus memiliki prinsip sebagai berikut: Iyokan nan di urang, lalukan nan di awak. (‘Iyakan yang dikatakan orang, lakukan yang kita inginkan’). Maksud kalimat tersebut adalah jangan menolak apa yang dikatakan/disuruh penutur di depannya, walaupun apa yang dikatakan tidak sesuai dengan keinginan. Namun pada kenyataannya petutur tetap melakukan hal yang sesuai keinginannya. Prinsip tersebut bisa dipandang positif maupun negatif. Sisi positifnya adalah maksud untuk menghindari perselisihan secara langsung karena menolak permintaan sudah pasti akan mengecewakan pihak yang mengharapkan permintaan tersebut dipenuhi. Namun prinsip tersebut dapat juga dipandang negatif karena orang tersebut bisa saja dianggap tidak tegas atau tidak menepati janji.

Menolak apa yang diperintahkan atau diminta penutur secara langsung di depannya cenderung menyebabkan ketersinggungan yang lebih besar daripada jika perintah atau permintaan tersebut disetujui dengan kata-kata walaupun sebenarnya tindakan yang diharapkan penutur tidak dapat dikabulkan oleh mitra tutur.

Universitas Sumatera Utara Tindak tutur meminta dan memerintah juga sangat rentan menyebabkan perselisihan jika tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa. Sehingga perlu adanya kesantunan berbahasa untuk mengurangi keterancaman wajah mitra tutur.yang diakibatkan oleh perintah penutur tersebut. Sebagaimana yang ditunjukkan pada contoh tuturan berikut:

Kok indak litak, Ang, tolong dulu pindakan lamari ketek tu ka kamar Aya.

‘Kalau kamu tidak capek, tolong pindahkan lemari kecil itu ke kamar Ayah’.

Kesantunan berbahasa yang direalisasikan dengan konstruksi kalimat berpagar berupa klausa konjungsi subordinatif Kok indak litak, Ang (kalau kamu tidak capek) menunjukkan bahwa penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur dan tidak memaksakan kehendaknya. Konstruksi berpagar tersebut juga menunjukkan perhatian penutur kepada mitra tutur dan memberi kesan bahwa penutur sangat menghargai mitra tutur.

Selanjutnya kearifan lokal yang dapat dijelaskan dari pertuturan berikut:

Upaya menghindari perselisihan juga ditunjukkan pada tindak tutur meminta berikut:

Indak di Uning lai blender ko?

‘Tidak Uning pakai lagi blender ini?’

Ungkapan meminta kembali barang yang sebelumnya dipinjam oleh tetangga penutur itu memberikan kesan santun sebab penutur berusaha mengurangi keterancaman muka mitra tutur yang seharusnya mengembalikan barang yang

Universitas Sumatera Utara dipinjam sebelum diminta. Penutur menggunakan kalimat tuturan yang tidak secara langsung meminta barang tersebut namun menanyakan apakah barang tersebut tidak dipakai lagi.

Tuturan-tuturan yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam berinteraksi dengan keluarga dan tetangga mengandung kearifan untuk lebih mengutamakan kesepakatan. Masyarakat ini cenderung lebih memilih menyetujui hal yang semula berlawanan dengan yang dia kehendaki dengan maksud untuk menyenangkan mitra tutur. Mereka cenderung mentolerir kerugian yang mereka alami demi keuntungan mitra tutur. Namun jika ternyata ketidaksepakatan tidak dapat dihindari, mereka cenderung memilih strategi-strategi yang menunjukkan kesantunan untuk mengurangi keterancaman muka akibat ketidaksepakatan tersebut. Contoh tuturan yang menunjukkan sikap kearifan ini dapat dilihat pada tuturan menolak usul berikut:

A : Naik kareta sajo la kito, Ning. ‘Kita naik sepeda motor saja, Ning.’ B : Bajalan sajo la. Dakkek anyo. ‘(Kita) jalan kaki saja. Dekat kok.’ A : Jadila kok baitu. ‘Baiklah kalau begitu.’

Sikap yang ditunjukkan pada pertuturan di atas adalah upaya penutur A yang mengutamakan kesepakatan walaupun hal tersebut, dalam konteks pertuturan di atas, cenderung merugikan dirinya akibat tuturan mitra tutur yang menolak keinginan penutur A untuk pergi bersama dengan sepeda motor. Penutur menunjukkan sikap menghindari perselisihan yang sekaligus mengutamakan kesepakatan dengan menyetujui keinginan mitra tutur untuk pergi jalan kaki.

Universitas Sumatera Utara Kearifan lokal masyarakat Pasisi Barus yang tersirat dalam sikap mengutamakan kesepakatan merupakan perwujudan nilai lokal (local value) yang mampu menciptakan harmoni dan solidaritas sosial dalam masyarakat tersebut dan saat berinteraksi dengan masyarakat lain.

2) Sikap Tenggang Rasa

Masyarakat Pasisi Barus juga hidup berdampingan dengan pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti Minang, Mandailing, Madura dan lain-lain.

Masyarakat pasisi Barus memandang keharmonisan sosial sebagai perwujudan dari kepekaan warganya untuk saling memahami dan mengerti perasaan masing-masing, yang dapat dirumuskan dalam wujud saling tenggang rasa. Sikap tenggang rasa ditunjukkan dalam interaksi sehari-hari dalam ranah keluarga dan lingkungan masyarakat.

Kearifan yang terkandung dalam sikap tenggang rasa ini ditunjukkan dengan strategi-strategi kesantunan dalam berbahasa yang mengutamakan untuk tidak menyinggung perasaan mitra tutur layaknya mempertimbangkan perasaan sendiri.

Sikap tenggang rasa didasari dengan rasa tidak ingin melukai perasaan orang lain atau menghindarkan kata-kata yang dapat melukai perasaan mitra tutur atau orang yang mendengar tuturan tersebut.

Orang-orang tua pada masyarakat Pasisi Barus juga juga mengajarkan sikap tenggang rasa kepada generasi muda dengan tuturan penolakan dengan maksud tidak ingin memberatkan dan menyusahkan orang lain, dengan kata lain mengutamakan keuntungan orang lain. Hal ini ditunjukkan pada contoh pertuturan berikut:

Universitas Sumatera Utara A : Pulang, Angku? Antekkanla, Kuti. Mau pulang, Angku? Antarkanlah, Kuti. B : Angku sajo. (Biar) Angku saja. C : Talok anyo sorang Angku? Apa bisa Angku (pulang) sendirian. B : Dak mangapo. Tidak apa-apa.

Sikap yang mengutamakan keuntungan orang lain dan mengutamakan kerugian pada diri sendiri menunjukkan sikap tenggang rasa kepada orang lain. Orang lain yang menjadi mitra tutur pada pertuturan di atas juga menunjukkan sikap tenggang rasanya dengan rasa peduli kepada mitra tutur yang dalam konteks pertuturan di atas akan pulang dengan berjalan kaki. Rasa peduli dengan berusaha memberikan keuntungan mitra tutur dengan menawarkan untuk mengantarkannya dengan naik sepeda motor menunjukkan sikap tenggang rasa yang menjadi salah satu kearifan dalam budaya masyarakat tersebut.

Universitas Sumatera Utara BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan analisis temuan penelitian yang telah dilakukan maka dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut.

Kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus dalam lima tindak tutur yakni menolak, meminta, memerintah, melarang dan menawarkan direalisasikan dengan delapan strategi, yaitu: 1) memberi alasan, 2) meminta maaf, 3) berterima kasih, 4) menunda, 5) menggunakan kalimat berpagar, 6) bersikap pesimis, 7) menggunakan ujaran tidak langsung, 8) meminimalkan tekanan, dan 9) menawarkan.

Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menolak, masyarakat Pasisi Barus menggunakan lima strategi, yaitu: 1) memberi alasan, 2) berterima kasih, 3) meminta maaf, 4) menunda dan 5) menggunakan kalimat berpagar. Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur meminta, masyarakat Pasisi Barus menggunakan empat strategi, yaitu: 1) kalimat berpagar, 2) bersikap pesimis atau menunjukkan kesangsian, dan 3) menggunakan ujaran tidak langsung serta 4) meminimalkan tekanan. Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur memerintah, masyarakat Pasisi Barus menggunakan empat strategi, yaitu: 1) kalimat berpagar, 2) bersikap pesimis atau menunjukkan kesangsian, 3) menggunakan ujaran tidak langsung dan 4) meminimalkan tekanan.

Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur melarang, masyarakat

Pasisi Barus menggunakan dua strategi, yaitu: 1) meminimalkan tekanan, dan 2)

Universitas Sumatera Utara menggunakan ujaran tidak langsung. Untuk menunjukkan kesantunan berbahasa dalam tindak tutur menawarkan, masyarakat Pasisi Barus menggunakan satu strategi, yaitu strategi menawarkan.

Penggunaan akhiran dan partikel dalam tuturan sehari-hari masyarakat Pasisi

Barus juga mempunyai andil dalam menunjukkan kesantunan berbahasa pada masyarakat ini, khususnya pada tuturan memberi perintah. Partikel dan akhiran yang digunakan untuk menunjukkan kesantunan berbahasa pada masyarakat Pasisi Barus yakni: 1) akhiran –kan, 2) partikel –yo, 3) partikel –jo, dan 5) partikel –lah.

Dari strategi-strategi yang digunakan untuk membentuk kesantunan dalam berbahasa didapat sepuluh pola pembentukan kesantunan. Pola-pola pembentukan kesantunan berbahasa yang berterima dalam bahasa yang digunakan masyarakat

Pasisi Barus tersebut didapat dengan metode padan intralingual.

Kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus dalam bertindak tutur saat berinteraksi di ranah keluarga dan lingkungan tetangga mencerminkan sikap-sikap yang mengandung kearifan lokal sebagai berikut: 1) sikap menghindari perselisihan, dan 2) sikap tenggang rasa.

Pengajaran kesantunan berbahasa terhadap generasi muda telah diberikan sejak dini kepada anak dalam interaksi antar anggota keluarga. Sering terjadi orang tua lebih memilih strategi yang lebih santun saat bertutur kepada anak, walaupun ia tetap dianggap santun jika bertutur secara langsung (on record). Hal ini dilakukan orang tua sebagai pembelajaran kepada anak-anaknya untuk menggunakan bahasa yang santun dalam berinteraksi dengan orang lain. Lingkungan keluarga merupakan

Universitas Sumatera Utara tempat yang paling ampuh sebagai tempat terjadinya proses penguatan pendidikan kesantunan berbahasa anak atau generasi muda.

5.2 Saran

Temuan dalam penelitian telah memberikan penjelasan mengenai kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus dalam berinteraksi dan berkomunikasi dalam ranah keluarga dan lingkungan tetangga. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa dalam ranah lain.

Temuan hasil penelitian kearifan lokal kesantunan berbahasa hanya terbatas pada masyarakat Pasisi Barus saja, jadi perlu ditindaklanjuti dengan penelitian yang sama untuk masyarakat tutur lainnya.

Penelitian ini menyoroti kesantunan berbahasa yang direalisasikan dalam tindak tutur menolak, meminta, memerintah, melarang dan menawarkan. Maka disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengkaji salah satu tindak tutur saja agar penelitian tersebut dapat menghasilkan pola-pola yang lebih rinci mengenai bentuk kesantunan berbahasa dalam bahasa daerah.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Akmajian, Adrian. 2001. Linguistics: An Introduction to Language and Communication. New Delhi: Prentice Hall.

Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. Bandung :Angkasa.

Ataupah, 2004, Peluang Pemberdayaan Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Kehutanan. Kupang:

Ayatrohaedi, (Ed). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Bungin, Burhan (Ed). 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Brown, Penelope and S. C Levinson. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Denzin, Norman K. Yvona S. & Lincoln. 2009. Qualitative Research. Penerjemah Dariatno dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Drakard, Jane. 2003. Sejarah Raja-Raja Barus. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Evizariza. 2002. Tindak Tutur Permintaan dalam Bahasa Indonesia Studi Kasus Penutur Bahasa Melayu Riau pada Ranah Keluarga di Pekan Baru. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pacasarjana.

Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil Blackwell.

Guillot, Claude. 2002. Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Universitas Sumatera Utara Guillot. 2008. Barus: Seribu Tahun yang Lalu. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Gunarwan, Asim. Implikatur dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk. PELBBA 18. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya. Jakarta: Unika Atmajaya.

Hasibuan, Namsyah Hot. 2005 Perangkat Tindak Tutur dan Siasat kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing). LOGAT Volume 1: 87-95

Hoed, Benni H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Keraff, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey N. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: UI Press.

Mahsun, M.S. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, metode dan Tekniknya. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.

Makmur, Ade (Ed). 2011.Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.

Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Peneltian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Murni, Sri Minda. 2009. Kesantunan Linguistik dalam ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. [Disertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana.

Nababan, A. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat. Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB.

Panggabean, Hamid. 1995. Bunga Rampai Tapian Nauli. Jakarta: Tapian Nauli-Tujuh Sekawan.

Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

Universitas Sumatera Utara Sibarani, Robert 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sinar, T. Silvana. 2010. Teori & Analisis Wacana : Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Sinar, T. Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press.

Yule, G. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/merumuskan-prinsip-kesantunan-berbahasa- dalam-masyarakat-indonesia/ [29 Juli 2013]. www. bps. go.id. 2012. Tapanuli Tengah dalam Angka 2012. [22 Januari 2013].

Universitas Sumatera Utara