TEKNOLOGI PENGENDALIAN RAMAH LINGKUNGAN PENGGEREK BUAH KAKAO ( Snell.)

ENVIRONMENTALLY FRIENDLY TECHNOLOGY CONTROL OF COCOA POD BORERS (Conopomorpha cramerella Snell.)

Samsudin

BALAI PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI DAN PENYEGAR Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357 [email protected]

ABSTRAK

Penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella (Snellen) merupakan hama utama pada tanaman kakao di Indonesia. Persentase serangan hama ini rata-rata dapat mencapai lebih dari 90%, yang mengakibatkan kehilangan hasil mencapai 64,9%– 82,2%. Serangan hama ini sangat khas dan sulit dideteksi karena imago betina meletakkan telur pada buah kakao yang masih muda dan gejala baru terlihat pada saat buah siap dipanen. Telur diletakkan pada permukaan buah kakao, kemudian menetas dan larva instar ke-1 menggerek kulit buah masuk ke dalam buah. Larva hidup di dalam buah sehingga sulit untuk dikendalikan. Upaya pengendalian hama ini harus dilakukan secara terpadu berbasis pemahaman terhadap bioekologi dan teknologi budidaya kakao yang baik. Pengendalian terpadu PBK meliputi: penanaman atau sambung samping dengan klon tahan PBK, pemupukan berimbang, pemangkasan secara periodik, pemanenan, sanitasi kebun, penyarungan buah muda, memelihara semut hitam, penyemprotan dengan pestisida nabati, dan penggunaan jamur entomopatogen.

Kata kunci: Kakao, bioekologi, Conopomorpha cramerella, PBK, pengendalian terpadu

ABSTRACT

Cocoa pod borer (CPB) Conopomorpha cramerella (Snellen) is one of the major pest of cocoa in Indonesia. The percentage of CPB attacks can reach more than 90%, which resulted in loss of yield at about 64.9% to 82.2%. This pest was very distinctive and difficult to detect due to the imago female lays their eggs on the young cocoa pods and the symptoms will appear when the pods was ready to harvest. The eggs are laid on the surface of cocoa pods husk, which then hatch and the first instar larvae were penetrate into the pods. This larvae live inside the pods that makes difficult to control. This pest control efforts should be integrated based on the understanding of its bioecology and the cocoa cultivation technologies. Integrated control of CPB include: planting or side grafting using resistant clones to CPB, balanced fertilization, pruning periodically, frequent harvesting, field sanitation, young pod sleeving, maintaining of black ants, spraying using botanical pesticides and the use of entomopathogenic fungi.

Keywords: Cocoa, bioecology, Conopomorpha cramerella, CPB, integrated control

PENDAHULUAN telur menetas menjadi larva langsung masuk dan berkembang di dalam buah kakao (Wardojo, 1980; Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan 1981; Depparaba, 2002). Selama ini petani kakao salah satu komoditas yang mempunyai peran penting umumnya menggunakan insektisida kimia sintetik. dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2002, Hasil penelitian Sulistyowati et al. (2007) Indonesia pernah menempatkan diri sebagai menunjukkan penggunaan insektisida berbahan aktif produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai ganda sipermetrin dan klorpirifos pada buah kakao Gading, tetapi kemudian tergeser oleh Ghana menjadi dengan panjang < 9 cm mampu mematikan 56,3%- urutan ketiga sejak tahun 2003 sampai sekarang. 71,5 % larva dan menekan kehilangan hasil sebesar Salah satu penyebab turunnya produksi dan 75,9%-88,9% dibandingkan kontrol. Akan tetapi telah produktivitas kakao nasional disebabkan serangan diketahui bahwa pengendalian dengan menggunakan hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha pestisida kimia sintetik terbukti dapat menimbulkan cramerella (Snellen) (Lepidoptera: Gracillariidae) berbagai dampak negatif, antara lain: meninggalkan (Goenadi, Baon, Herman, & Purwoto, 2005; residu pada hasil, pencemaran lingkungan, dan Sulistyowati & Wiryadiputra, 2007; Valenzuela, mengakibatkan ketidakseimbangan pada ekosistem Purung, Roush, & Hamilton, 2014). Rata-rata di lahan perkebunan. persentase serangan PBK di sentra produksi kakao Upaya pengendalian hama dan penyakit nasional mencapai lebih dari 90% (Sulistyowati, tanaman dalam sistem pertanian bioindustri yang Mufrihati, & Wardani, 2007) sehingga menyebabkan sedang dikembangkan oleh pemerintah saat ini, kehilangan hasil 64,9%–82,2% (Wardojo, 1980; menuntut untuk memanfaatkan seluruh sumberdaya Goenadi et al., 2005). hayati yang ada dalam suatu ekosistem secara Pengendalian hama PBK sangat mahal dan harmonis. Dasar dari sistem pertanian bioindustri sulit apabila larva telah menyerang buah, sebab sejak tersebut adalah siklus biologi (biocycling) untuk

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 167

menjaga kelestarian alam. Maka, upaya pengendalian (Sulistyowati & Wiryadiputra, 1997; Sjafaruddin, PBK harus dilakukan secara terintegrasi 1997; Deppraba, 2002). Larva instar pertama menggunakan beberapa teknologi pengendalian yang berwarna putih transparan dengan panjang  1 mm. ramah lingkungan dengan tetap mempertimbangkan Larva langsung menggerek ke dalam buah dengan aspek sosial dan ekonomi. Tulisan ini menguraikan memakan kulit buah, daging buah, dan saluran tentang bioekologi hama penggerek buah kakao, makanan ke biji (plasenta). Lama stadium larva 14– status teknologi pengendalian hama tersebut yang 18 hari yang terdiri atas 4–6 instar (Ooi et al., 1987), ramah lingkungan, dan implementasi dan pada pertumbuhannya maksimal bisa mencapai pengendaliannya secara terpadu. panjang 12 mm dengan warna putih sampai hijau muda (Gambar 1). Larva berganti kulit sebanyak 4 BIOEKOLOGI PENGGEREK BUAH KAKAO DAN kali dalam waktu 14–18 hari di dalam buah kakao GEJALA KERUSAKANNYA (Sjafaruddin, 1997). Dengan demikian, C. cramerella dapat menyelesaikan siklus hidupnya di dalam buah Bioekologi Penggerek Buah Kakao (PBK) sebelum buah dipanen. Bahkan menurut Suparno Hama penggerek buah kakao (PBK) (2000) setiap buah kakao dapat menunjang Conopomorpha cramerella (Snellen) termasuk dalam kehidupan C. cramerella dari satu sampai tiga ordo Lepidoptera dan famili Gracillariidae yang generasi. merupakan serangga berukuran kecil. Serangga Berdasarkan perhitungan Samsudin (2012) dewasa (imago) dari C. cramerella berupa ngengat dengan potensi menghasilkan telur setiap serangga (moth) dengan ukuran panjang  7 mm dan betina adalah antara 100-200 butir dan siklus hidup rentangan sayap 12 mm. Ngengat berwarna cokelat rata-rata 1 bulan per generasi sebagaimana hasil dengan pola zig-zag berwarna putih sepanjang sayap penelitian Wiryadiputra (1996), maka dalam satu depan. Ukuran antenna lebih panjang dari tubuhnya tahun secara teoritis akan dihasilkan 1.200–2.400 dan mengarah ke belakang. Imago aktif terbang pada ekor larva, hanya dari sepasang PBK. Kondisi ini juga malam hari dan meletakkan telurnya antara pukul didukung oleh faktor tanaman inang yaitu kakao 18.00–07.00. Imago akan melakukan kopulasi pada yang berbuah sepanjang musim, sehingga siklus pagi hari sebelum matahari terbit antara pukul hidup PBK ini akan terus berlanjut di lahan 04.00–05.00. Pada siang hari imago bersembunyi pertanaman kakao. Oleh karena itu, upaya untuk pada tempat yang terlindung dari sinar matahari, memutus siklus hidup PBK ini, seperti panen sering, umumnya pada cabang-cabang horizontal. Imago sanitasi buah terserang dan pemanfaatan perangkap betina meletakkan telur hanya pada permukaan buah imago, merupakan teknologi pengendalian yang kakao. Lama hidup imago betina rata-rata 7 hari dan sangat efektif. setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak Menjelang berpupa, larva instar akhir akan 100–200 butir. Umumnya imago betina lebih memilih membuat lubang keluar yang cukup besar dengan meletakkan telur pada buah yang berukuran sekitar diameter sekitar 1 mm pada kulit buah, sehingga 11 cm atau berumur 75 hari (Wiryadiputra, 1996; mudah untuk dilihat dengan mata telanjang (Gambar Sulistyowati, Yohanes, & Mufrihati, 2002; 2). Larva yang menjelang menjadi pupa mulai keluar Sulistyowati, 2003). dari buah pada pukul 18.00, puncaknya pada pukul Telur C. cramerella berbentuk oval dengan 20.00–22.00, dan tidak ditemukan larva keluar panjang 0,45–0,50 mm, lebar 0,25–0,30 mm, berwarna setelah pukul 08.00 pagi (Lim, 1992). orange, dan waktu stadium telur antara 2–7 hari

Gambar 1. Larva C. cramerella instar akhir yang berukuran kurang dari 1 cm Figure 1. The late-instar of C. cramerella larvae with size less than 1 cm

168 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

Gambar 2. Lubang keluar larva instar akhir pada kulit buah kakao Figure 2. Hole out of late-instar larvae on the surface of cocoa pods husk

Sebelum menjadi pupa, larva instar akhir berukuran lebih dari 15 cm atau berumur lebih dari akan membuat kokon terlebih dahulu. Pupa biasanya 120 hari, umumnya tidak menimbulkan kerusakan di melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, dalam buah. Hal ini karena pada saat itu buah telah ranting, kotak atau karung tempat buah, bahkan memasuki masa pematangan dan buah sudah dapat kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil dipanen ketika larva belum mencapai biji. panen (Wardojo, 1980; Lim, 1992). Tempat yang lebih Larva yang baru menetas langsung disukai untuk pupasi C. cramerella adalah daun-daun menggerek buah dan memakan bagian buah yang kering yang terdapat di atas permukaan tanah (68%), lunak di antara biji di bawah kulit buah dan saluran buah (26%), batang (5%) serta cabang dan ranting makanan ke biji (placenta), tetapi tidak memakan biji. pohon kakao (1%). Kokon dari pupa berbentuk oval Menurut Wardoyo (1994), kerusakan pada pulp berwarna putih kekuningan, pupa berwarna cokelat, mengakibatkan biji saling melekat satu sama lainnya lama stadium pupa 5–8 hari (Lim, 1992). Siklus hidup dan ada yang melekat pada dinding buah. Lim (1992) C. cramerella memerlukan waktu selama 35–45 hari menyatakan bahwa serangan pada buah bagian dari telur sampai menjadi imago. (Hase, 2009) anterior akan menyebabkan kerusakan lebih serius Selain menyerang tanaman kakao, tanaman terhadap perkembangan biji atau bahkan yang menjadi inang alternatif dari C. cramerella menyebabkan buah membusuk. Hal itu disebabkan adalah ( lappaceum L.), mangga karena terjadinya pelukaan pada jaringan (Mangifera indica L.), serikaya (Anona squamosa L.), translokatori yang dapat memutus aliran makanan belimbing (Averhoa carambola L.), duku atau langsat yang menuju biji. Tetapi, jika serangan terjadi saat (Lansium domesticum L.), nangka (Artocarpus integra buah dalam proses pematangan dan biji telah Merr.), jeruk (Citrus sinensis L.) (Zehnter, 1901), kola terbentuk sempurna, maka serangan larva ini tidak (Cola nitida), nam-nam (Cynometra cauliflora) akan mempengaruhi hasil, meskipun tetap dapat (Roepke, 1917), kasai (Pometia pinnata), pulasan mempengaruhi mutu biji (Gambar 3). (Nephelium mutabile) (Ooi, 1986), dan mata kucing Gejala serangan PBK baru akan tampak dari (Nephelium malaiense) (Depparaba, 2002). luar setelah buah matang dan siap dipanen. Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao Gejala Kerusakan Akibat Serangan PBK yang terserang PBK umumnya menunjukkan gejala C. cramerella statusnya akan menjadi hama masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau atau apabila imago betina meletakkan telur pada buah kuning jingga (Gambar 4). Buah kakao yang terserang kakao muda dengan panjang antara 8-15 cm. Menurut menjadi lebih berat dan bila diguncang tidak pengamatan Wardojo (1994), buah kakao yang terdengar suara ketukan antara biji dengan dinding berukuran 5−7 cm dan yang sangat muda jarang buah. Hal ini terjadi karena timbulnya lendir dan terserang PBK. Apabila buah dengan ukuran tersebut kotoran pada daging buah dan rusaknya biji-biji di terserang, umumnya larva akan mati atau tidak dalam buah. berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika imago betina meletakkan telurnya pada buah yang

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 169

a b

Gambar 3. (a) Gejala serangan PBK pada buah kakao dan (b) buah sehat Figure 3. (a) Symptoms of CPB on infected cocoa pods and (b) healthy pod

a b

Gambar 4. (a) Buah terserang PBK dan (b) buah sehat Figure 4. (a) Cocoa pod attacked by CPB and (b) healthy pod

170 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

Metode Pengukuran Serangan Hama PBK Persentase kehilangan hasil (Y) pada kakao Untuk mengukur tingkat kerusakan dan adalah perbandingan antara jumlah biji kakao yang kehilangan hasil akibat serangan PBK pada buah tidak dapat dipanen dengan jumlah biji total, kakao, dilakukan perhitungan terhadap persentase dinyatakan dalam satuan persen (Sulistyowati & serangan (PS), intensitas serangan (IS) dan persentase Junianto, 1995). Persentase kehilangan hasil dihitung kehilangan hasil (Y). Persentase serangan (PS) berdasarkan persamaan intensitas serangan yang menunjukkan kuantitas buah yang terserang PBK dikemukakan oleh Wardani, Winarno & Sulistyowati diantara total buah yang dipanen, dan dapat dilihat (1997): dari gejala luarnya. PS ini dihitung dengan menggunakan rumus: Y = -0,0210 + 0,1005 X

PS = [(a)/(a+b)] x 100 % Keterangan : Y = kehilangan hasil Keterangan : X = nilai intensitas serangan PBK PS = persentase buah kakao yang terserang PBK a = jumlah buah kakao terserang PBK TEKNOLOGI PENGENDALIAN PBK RAMAH b = jumlah buah kakao sehat LINGKUNGAN

Intensitas serangan (IS) adalah suatu Penggunaan Tanaman Resisten besaran yang menggambarkan tingkat kerusakan Pengendalian hama yang hidup dalam buah. Pengukuran intensitas serangan PBK jaringan tanaman seperti PBK ini sangat sulit untuk menggunakan 4 kategori berdasarkan banyaknya biji dilakukan. Upaya yang dinilai paling efisien dan lengket pada setiap buah yang diamati, yaitu sehat, ekonomis adalah pengendalian dengan tanaman ringan (R), sedang (S), dan berat (B) seperti tercantum resisten. Menurut Wiryadiputra (1996) beberapa dalam Tabel 1. (Sulistyowati et al , 2007). keuntungan menggunakan varietas resisten dalam Penghitungan intensitas serangan PBK digunakan pengendalian hama antara lain: (1) mengendalikan rumus: populasi hama tetap di bawah ambang kerusakan IS = [(1R + 3S + 9B) ] / AT dalam waktu yang cukup lama, (2) tidak berdampak negatif pada lingkungan, (3) tidak membutuhkan alat

dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak Keterangan: membutuhkan biaya tambahan lain. Samsudin (2011) IS = intensitas serangan menyatakan bahwa keuntungan dari penggunaan R = jumlah buah terserang ringan tanaman resisten terhadap hama dan penyakit S = jumlah buah terserang sedang antara lain akan dapat membantu mempertahankan B = jumlah buah terserang berat keanekaragaman hayati dan secara teknis A = nilai pembobot tertinggi kompatibel untuk dikombinasikan dengan hampir T = jumlah buah diamati semua teknik pengendalian.

Kendala yang dihadapi dalam program Tabel 1. Kategori tingkat kerusakan buah akibat pemuliaan ketahanan PBK selama ini adalah adanya serangan PBK keterbatasan sumber materi genetik sifat ketahanan Table 1. The categories of pod damage levels PBK (Susilo, Mangoendidjojo, Witjaksono, caused by CPB disease Sulistyowati & Mawardi, 2009). Klon kakao tahan Kategori PBK selama ini didapatkan melalui eksplorasi dan tingkat Nilai seleksi buah kakao berdasarkan morfologi dan Kriteria biji lengket kerusakan pembobot anatomi buah. Menurut Tjatjo, Baharuddin, & Asrul buah (2008), umumnya pada kulit buah yang kasar Bebas Semua biji kakao mudah 0 terdapat lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan dikeluarkan dari kulit buah, oleh PBK dibandingkan kulit yang halus. Hal itu antar biji tidak lengket diduga karena struktur permukaan kulit buah kakao Ringan Semua biji dapat 1 yang halus kurang disukai oleh imago betina untuk dikeluarkan dari kulit, biji meletakkan telur sehingga kurang dipilih untuk tidak terlalu lengket (biji oviposisi. Hasil penelitian Limbongan (2012) lengket <10%). menunjukkan bahwa karakter morfologis klon Sedang Biji saling lengket tetapi 3 harapan tahan PBK antara lain: bentuk buah elips masih dapat dikeluarkan dan oblong, kulit buah tebal dan permukaan halus, dari kulit buah (biji lengket konstruksi buah tidak berlekuk, dan apeks buah 10%-50%). tumpul. Sedangkan karakter anatomisnya, yaitu Berat Biji saling lengket dan tidak 9 volume plasenta besar dan lapisan sklerotik tebal. dapat dikeluarkan dari kulit Tebal rata-rata sklerotik yang tahan PBK antara 0,6– buah (biji lengket >50%) 0,9 mm. Hasil skrining yang dilakukan oleh Susilo, Sumber: Sulistyowati et al. (2007) et al. (2009) diperoleh 3 klon kakao tahan PBK, yaitu Source : Sulistyowati et al. (2007) KW 570 (ARDACIAR 10), KW 397 (Na 33), dan KW 566 (Paba/V/81L/1), akan tetapi klon-klon tahan tersebut

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 171

mempunyai potensi produksi lebih rendah 11,1%. Kondisi ini dikarenakan terjadinya dibandingkan klon-klon unggul yang telah peningkatan kandungan Si, polifenol, lignin, dan direkomendasikan seperti KW 162 (PBC 123) dan KW kekerasan kulit buah. Bahan lain yang terbukti 163 (BR 25). Lebih lanjut Susilo (2012) melaporkan dapat meningkatkan ketahanan kakao adalah klon KW 514 telah dirilis dengan nama ICCRI 07 dan biokaolin. Hasil pengujian Kresnawaty, Budiani, KW 570 dirilis dengan nama Sulawesi 03 sebagai klon Wahab, & Darmono (2010) menunjukkan aplikasi unggul kakao tahan PBK hasil proses pemuliaan biokaolin dapat meningkatkan hasil panen di selama kurang lebih 12 tahun. Pemanfaatan klon- perkebunan kakao milik petani. klon tersebut, selain sebagai pembanding sifat ketahanan PBK juga digunakan sebagai sumber gen Fisik dan Mekanik ketahanan PBK yang memang masih terbatas Pengendalian fisik dan mekanik adalah ketersediaannya. Teh, Pang, & Ho (2006) melaporkan tindakan langsung atau tidak langsung dengan cara di Sabah telah dibudidayakan secara komersial klon merubah kondisi lingkungan yang dapat menekan tahan PBK, yaitu PBC123 dan IMC23. populasi hama. Bentuk-bentuk pengendalian fisik Program perakitan klon kakao tahan PBK dan mekanik antara lain dengan penggunaan suhu masih terus dilakukan. Isda, Kasim, Mansyurdin, tinggi dan rendah, mengurangi kelembaban, Chaidamsari, & Santoso (2008) telah berhasil menggunakan alat perangkap, membuat penghalang mengklon gen penyandi ketahanan terhadap PBK dan penolak, memungut dengan tangan, yang berasal dari kulit buah kakao, yaitu gen menggoyang-goyang, mengumpulkan, dan proteinase inhibitor (PIN) yang telah diketahui menangkap. berperan sebagai penghambat aktivitas protease Beberapa teknik pengendalian fisik dan serangga. Keberhasilan ini telah membuka jalan mekanik yang telah dilakukan untuk mengendalikan untuk merakit tanaman kakao transgenik yang tahan PBK, antara lain: terhadap PBK. (1) Teknik penyarungan buah muda (sleeving). Penyarungan buah kakao terbukti sangat efektif Kultur Teknik melindungi buah dari serangan PBK. Menurut Pengendalian kultur teknik atau budidaya Mustafa (2005) dibandingkan insektisida adalah teknik pengendalian hama secara tidak Sihalotrin, metode penyarungan buah 15 kali langsung melalui tindakan-tindakan kultur teknik lebih efisien. Metode penyarungan yang yang ada hubungannya dengan produksi tanaman dilakukan pada buah dengan ukuran 5-8 cm, dan menyebabkan lingkungan pertanaman kurang efektif menurunkan intensitas serangan, jumlah sesuai dengan kehidupan, pertumbuhan, lubang masuk dan keluar, jumlah biji lengket, dan perkembangan atau reproduksi hama. Beberapa meningkatkan berat biji (Suwitra, Mamesah, & teknologi budidaya telah terbukti mampu Ahdar, 2010). Plastik yang digunakan sebaiknya menurunkan serangan PBK, antara lain: mudah terurai sehingga tidak menjadi cemaran (1) Metode pengendalian dengan cara panen sering, pada lingkungan. Hasil penelitian Sembel, pemangkasan, sanitasi, dan pemupukan atau Watung, Shepard, Hammig, & Carner (2011) dikenal dengan metode PSPSP terbukti efektif menunjukkan pengendalian dengan penyarungan mampu mengendalikan hama PBK (Taufik & buah menggunakan plastik polymer yang mudah Koes, 2011) dan berhasil menekan serangan PBK terurai (degradable) efektif menurunkan hingga 20%-60% (Bahri & Suntoro, 2002). serangan PBK. Akan tetapi dalam (2) Metode pengendalian dengan sistem pangkas implementasinya di lapangan, teknik eradikasi (SPE). Meskipun telah terbukti penyarungan ini dinilai tidak praktis dan memberikan hasil yang positif, akan tetapi ekonomis apabila dilakukan pada tanaman kakao metode ini menyebabkan kehilangan hasil panen yang sudah tua. cukup besar (Lala, Syukur, & Talanca, 2005). (2) Penggunaan perangkap serangga imago jantan (3) Pengendalian dengan pemupukan urea yang dengan memanfaatkan feromon seks. dibarengi dengan sanitasi kebun terbukti dapat Penggunaan perangkap ini sekaligus juga meningkatkan hasil dari 650 kg/ha menjadi 900 digunakan sebagai cara memonitor populasi PBK kg/ha. Selain itu juga menurunkan persentase di kebun kakao. Pengendalian dengan cara serangan sebesar 34,6% dan kerusakan biji mengumpulkan imago jantan dengan sebesar 38,4% (Lebe, Anshory, & Toana, 2008). memanfaatkan feromon seks kemudian (4) Metode pengendalian dengan cara meningkatkan dimatikan terbukti dapat menurunkan tingkat ketahanan alami tanaman, misalnya dengan kerusakan buah kakao (Beevor, Mumford, Shah, aplikasi silika (Si) dan biokaolin. Menurut Wijaya, Day, & Hall, 1993). Hasil penelitian Sulistyowati Prawoto & Ihromi (2009), intensitas kerusakan (2014) menunjukkan penggunaan perangkap yang PBK berkorelasi negatif dengan peningkatan mengandung feromon seks dengan kerapatan 24 kadar Si dalam kulit buah, polifenol, kadar lignin, perangkap/ha dapat mengurangi kehilangan hasil dan tingkat kekerasan kulit buah kakao. Hasil sebesar 75,5% dibandingkan kontrol. penelitian yang dilakukan Ihromi (2014) menunjukkan konsentrasi Si formulasi tepung Biologi sebesar 3% yang disemprotkan langsung ke buah Pengendalian biologis atau pengendalian ukuran panjang 8–12 cm dan tajuk dapat hayati merupakan teknik pengendalian hama dengan menurunkan intensitas serangan PBK sampai menggunakan musuh alami berupa patogen,

172 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

parasitoid, dan predator yang dapat menekan 16,2%, dan Saleh (2012) juga menyatakan semut populasi hama. Kelebihan pengendalian hayati D. thoracicus mampu mencegah serangan PBK di dibandingkan cara pengendalian yang lain adalah lapangan. kemampuannya bekerja secara alamiah tanpa campur tangan manusia sehingga lebih efesien. Organik Agensia hayati yang telah terbukti efektif Pengendalian organik atau pengendalian mengendalikan PBK antara lain: dengan pestisida nabati adalah teknologi (1) Jamur patogen serangga, terdiri dari: Verticillium pengendalian hama dengan memanfaatkan bahan tricorpus (Gomies, 2009), Metarhizium spp. dari tumbuhan, baik berupa ekstrak, tepung atau (Trizelia, Nurbailis, & Ernawati, 2013; Sugianto, minyak. Pestisida nabati yang terbukti efektif untuk Pangestiningsih, & Oemry, 2013), dan Beauveria mengendalikan PBK antara lain: ekstrak mimba bassiana (Mustafa, 2005; Trizelia, Rusli, Syam, (Willis, Laba, & Rohimatun, 2013), ekstrak buah Nurbailis, & Sari, 2010; Yulianti, Daud, & Gassa, maja Crescentia cujete (Sjam, 2006), minyak cengkeh 2012; Sugianto et al., 2013). Verticillium tricorpus dan serai wangi (Asaad & Willis, 2012), ekstrak daun dengan konsentrasi 104 spora/ml yang bandotan, bawang putih, dan minyak kemiri sunan diaplikasikan 4 kali dengan selang aplikasi 7 (Soesanthy & Samsudin, 2013), ekstrak umbi gadung, hari, efektif mengendalikan hama PBK di jeringau, dan brotowali (Nuriadi & Gusnawaty, 2013). lapangan (Gomies, 2009). Isolat Metarhizium spp. Asaad & Willis (2012) melaporkan beberapa yang berasal dari rizosfir dapat mematikan pupa jenis formula pestisida nabati seperti mimba, CEES C. cramerella sampai 96,7% dan menghambat 50 EC, bio protector-2, bio protector-1, dan asimba 50 pembentukan imago (Trizelia et al., 2013) dan EC efektif digunakan dalam pengendalian hama PBK perlakuan M. anisopliae sebanyak 50 g/l mampu di lapang. Pestisida nabati tersebut mengandung mematikan 90–100% imago PBK di laboratorium bahan aktif berasal dari minyak atsiri, yaitu minyak (Sugianto et al., 2013). Aplikasi B. bassiana pada cengkeh dan serai wangi. Hasil penelitian Willis et al. daun yang digunakan untuk perangkap pupa (2013) juga menyatakan kombinasi Sitronellal 34% + mampu menginfeksi pupa PBK dan dapat Eugenol 80% + Azadirachtin 0,6% dengan menurunkan populasi PBK di lapangan (Trizelia konsentrasi 5 ml/ l mampu mengurangi tingkat et al., 2010). Hasil penelitian Yulianti et al. (2012) kerusakan buah akibat serangan PBK, yang

menunjukkan bahwa nilai LC50 terhadap telur dan ditunjukkan dengan nilai efikasi sebesar 37% pada pupa di dalam botol pada konsentrasi B. bassiana serangan ringan; 51,6% pada serangan sedang; dan 1,9 x 108 spora/ml. Sementara itu, Sugianto et al. 65,2% pada serangan berat. Hasil penelitian (2013) melaporkan bahwa perlakuan B. bassiana Soesanthy & Samsudin (2013) menunjukkan ekstrak 50 g/l mampu mematikan imago PBK 90–100% di bandotan-metanol 1% dapat menurunkan tingkat Laboratorium. kehilangan hasil panen kakao sebesar 36,1%, ekstrak (2) Nematoda patogen serangga, terdiri dari: bawang putih-etanol 1% menurunkan 58,4%, dan Steinernema carpocapsae (Arifin, 1999; Rosmana, minyak kemiri sunan 1% menurunkan sampai 20%. La Daha, Ridayani, Gassa, & Urling, 2009; Sementara itu, kombinasi antara ekstrak umbi Rosmana, Shepard, Hebbar, & Mustari, 2010) dan gadung, jeringau, dan brotowali yang diaplikasikan Heterorhabditis sp. (Samsudin & Indriati, 2013). secara rutin dalam interval 5 hari dapat menekan Menurut Rosmana et al. (2009) S. carpocapsae persentase buah terserang dari 100% menjadi 27,78% dapat persisten pada permukaan kulit buah dan kerusakan biji dari 91,33% menjadi 11,33% kakao, baik pada musim hujan ataupun musim (Nuriadi & Gusnawaty, 2013). Ekstrak buah maja kering dan mampu melakukan penetrasi pada Crescentia cujete dapat menurunkan intensitas lubang masuk PBK secara aktif. Hasil penelitian serangan sampai 20,9% (Sjam, 2006) Rosmana et al. (2010) menunjukkan pemanfaatan nematoda S. carpocapsae yang dikombinasikan IMPLEMENTASI PENGENDALIAN TERPADU dengan penyarungan buah kakao mampu PBK melindungi buah kakao dari serangan PBK sampai 100%. Demikian pula hasil penelitian Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah Samsudin & Indriati (2013) yang menunjukkan teknologi pengendalian hama yang didasarkan aplikasi Heterorhabditis sp. dipadukan dengan prinsip ekologis dengan menggunakan berbagai penyarungan buah muda, efektif menurunkan taktik pengendalian yang kompatibel antara satu serangan PBK dan tingkat kerusakan biji kakao. sama lain sehingga populasi hama dapat Sebab menurut Rosmana et al. (2010) selubung dipertahankan di bawah jumlah yang secara plastik akan memberikan kelembaban yang lebih ekonomik tidak merugikan serta mempertahankan tinggi sehingga nematoda dapat hidup lebih lama kesehatan lingkungan dan menguntungkan bagi di permukaan kulit kakao. pihak petani (Oka, 1994). PHT adalah satu cara (3) Predator serangga yang telah digunakan sebagai pendekatan pengendalian hama yang didasarkan agens pengendali hayati PBK adalah semut hitam pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi Dolichoderus thoracicus (Anshary, 2009; Saleh, dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang lebih 2012). Hasil penelitian Anshary (2009) diketahui bertanggungjawab (Untung, 2001). bahwa semut D. thoracicus dapat menekan PBK merupakan hama tanaman kakao yang serangan PBK sampai 8,3%, kerusakan biji paling penting saat ini dan memiliki bioekologi yang menjadi 25,4%, dan persentase penurunan biji khas. Hama ini sulit dideteksi keberadaannya dan

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 173

sulit dikendalikan karena selama stadium larva ujung bawah dari buah dibiarkan tetap terbuka. berada dalam buah kakao. Mengingat semakin Dengan penyelubungan buah tersebut, imago luasnya penyebaran hama PBK dan besarnya betina tidak bisa meletakkan telur pada kulit kerugian yang ditimbulkannya maka perlu segera buah sehingga buah akan terhindar dari serangan diupayakan metode penanggulangan yang efektif dan PBK. efisien (Sulistyowati, 1997). Pengendalian hama ini (7) Memelihara predator PBK berupa semut hitam tidak mungkin hanya mengandalkan satu teknologi (Dolichoderus thoracicus). Semut ini juga telah pengendalian, tetapi harus dilaksanakan dalam satu terbukti mampu mengendalikan hama Helopeltis paket teknologi pengendalian terpadu (PHT) spp. Cara yang paling mudah untuk memelihara (Sulistyowati, 1997; Baharuddin, 2005; Susilo, 2012). semut hitam adalah dengan meletakkan sarang Meskipun pengendalian PBK dalam bentuk paket semut yang terbuat dari lipatan daun kelapa atau sederhana dengan hanya 4 teknologi saja, yaitu daun kakao, kemudian diberi larutan gula merah. panen sering, pemangkasan, penyarungan buah (8) Penggunaan jamur entomopatogen seperti B. muda, dan B. bassiana sudah efektif dapat bassiana, Metarizium spp. dan Paecilomyces mengendalikan PBK di lapangan (Indriati, Samsudin, fumosoroseus dengan dosis 50-100 g spora/ha, & Rubiyo, 2013), akan tetapi efektifitasnya belum volume semprot 250 l/ha atau 250 l/pohon dengan teruji dapat stabil dalam waktu panjang. Oleh karena menggunakan knapsack sprayer pada buah itu, teknologi pengendalian PBK harus dilakukan kakao muda dan cabang horizontal dapat secara terpadu berbasis pada aspek bioekologinya di melindungi buah dari serangan PBK. Hanya saja lapang. Paket PHT kakao tersebut adalah: upaya penyediaan agens pengendali hayati ini (1) Penanaman atau sambung samping dengan klon dalam skala besar masih sangat sulit dilakukan. ICCRI 07 dan Sulawesi 03 yang terbukti tahan Implementasi paket PHT tersebut secara PBK untuk kegiatan peremajaan dan rehabilitasi teknis di lapangan oleh petani harus disesuaikan kebun kakao rakyat di wilayah endemik PBK. dengan pemahaman petani, ketersediaan teknologi, (2) Melakukan pemupukan berimbang dengan dan melalui pertimbangan ekonomis. Menurut memadukan pupuk kimia dan pupuk organik Siswanto & Karmawati (2011), adopsi teknologi PHT yang memanfaatkan serasah daun kakao, buah diperlukan upaya konkrit melalui diseminasi, kakao terinfeksi hama dan penyakit, kulit kakao bimbingan, pelatihan petani, dan demplot. Di dan limbah perkebunan kakao lainnya. samping itu, menurut Jahuddin (2011) perlu dibangun (3) Melakukan pemangkasan secara periodik. Hal ini kelembagaan PHT yang lebih memadai sehingga dilakukan mengingat bahwa salah satu memungkinkan semua pemangku kepentingan dapat kelemahan imago PBK adalah tidak menyukai mengambil perannya masing-masing secara sinar matahari langsung sehingga bila sering bersinergi dan terintegrasi dalam kerangka dilakukan pemangkasan yang teratur akan dapat pemberdayaan petani PHT. menekan populasi hama. Disamping itu, pemangkasan bentuk pohon kakao dengan PENUTUP membatasi tinggi tajuk tanaman maksimum 3-4 meter akan memudahkan saat pengendalian dan Hama PBK C. cramerella Snell. memiliki panen. bioekologi khas yang sulit dideteksi dan (4) Melakukan panen sering pada saat buah masak dikendalikan. Kerusakan dan kerugian yang awal dengan rotasi 1 minggu. Kegiatan panen ini diakibatkan oleh serangan PBK sangat besar dan harus segera diikuti dengan pemecahan buah luas areal serangannya cenderung terus bertambah. pada hari itu juga, kemudian kulit buah Upaya pengendalian PBK harus dilakukan secara dikumpulkan dan dibenamkan ke dalam tanah terpadu, meliputi: penanaman atau sambung serta ditimbun tanah setebal 20 cm. Kegiatan ini samping dengan klon tahan PBK, pemupukan akan secara signifikan dapat memutus siklus berimbang, pemangkasan secara periodik, panen hidup dari PBK. sering, sanitasi kebun, penyarungan buah muda, (5) Melakukan sanitasi kebun dengan cara memelihara semut hitam, penyemprotan dengan membersihkan areal kebun dari daun-daun pestisida nabati, dan penggunaan jamur kering, tanaman tidak sehat, ranting kering, kulit entomopatogen jika memungkinkan. buah maupun gulma yang berada di sekitar tanaman. Kondisi lingkungan yang bersih ini DAFTAR PUSTAKA tidak sesuai dengan lingkungan untuk berkembangnya hama PBK. Anshary, A. (2009). Penggerek buah kakao, (6) Melakukan penyarungan buah muda berukuran Conopomorpha cramerella Snellen (Teknik 5–8 cm dengan plastik. Teknik penyarungan buah pengendalian yang ramah lingkungan). J. ini sangat efektif dan efesien apabila dilakukan Agroland, 16(4), 258-264. pada tanaman kakao yang pohonnya masih Arifin, M. (1999). Teknik produksi dan pemanfaatan pendek atau pohon kakao hasil sambung musuh alami dalam pengendalian hama samping. Kantong plastik yang digunakan dapat tanaman perkebunan. Pertemuan menggunakan bekas mie instan atau bungkus Pembahasan Teknis Perlindungan Tanaman, makanan lainnya. Teknisnya sangat mudah, yaitu Direktorat Proteksi Tanaman, Direktorat dengan cara mengikatkan ujung bagian atas dari Jenderal Perkebunan (p. 13). Bogor, 26-29 Juli kantong plastik pada tangkai buah dan bagian 1999.

174 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

Asaad, M., & Willis, M. (2012). Kajian pestisida nabati Kresnawaty, I., Budiani, A., Wahab, A., & Darmono, yang efektif terhadap hama penggerek buah T.W. (2010). Aplikasi biokaolin untuk kakao (PBK) pada tanaman kakao di Sulawesi perlindungan buah kakao dari serangan PBK, Selatan. Suara Perlindungan Tanaman, 2(2), Helopeltis spp., dan Phytophthora palmivora. 24-34. Menara Perkebunan, 78(1), 25-31. Baharudin. (2005). Pengendalian hama penggerek Lala, F., Syukur, M., & Talanca, A. H. (2005). Kajian buah kakao Conopomorpha cramerella Snell. kelayakan rakitan teknologi pengendalian Bul. Teknologi dan Informasi Pertanian, 8-14. penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella Snell di daerah Tidore Kepulauan. Bahri, A.M.S., & Suntoro. (2002). Success project in Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Southeast Sulawesi. Midterm Review Success Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel (pp. Project. Makassar. 178-186). Beevor, P.S., Mumford, J.D., Shah, S., Day, R.K., & Lebe, I., Anshory, A., & Toana, M.H. (2008). Pengaruh Hall, D.R. (1993). Observations on pheromone- pemupukan urea dan sanitasi terhadap baited mass trapping for control of cocoa pod intensitas serangan penggerek buah kakao borer, Conopomorpha cramerella, in Sabah, Conopomorpha cramerella (Snellen) East Malaysia. Crop Protection, 12(2), 134– (Lepidoptera: Gracilariidae). J. Agrisains, 9(2), 140. 81-88. Depparaba, F. (2002). Penggerek buah kakao Lim, G.T. (1992). Biology, ecology, and control of cocoa (Conopomorpha cramerella Snell.) dan pod borer Conopomorpha cramerella penanggulangannya. J. Penelitian dan (Snellen). In Cocoa Pest and Disease Pengembangan Pertanian, 21(2), 69-74. Management in Southeast Asia and Australia. Goenadi, D.H., Baon, J.B., Herman, & Purwoto, A. FAO Prod. and Protection, 12, 85−100. (2005). Prospek dan arah pengembangan Limbongan, J. (2012). Karakteristik morfologi dan agribisnis kakao di Indonesia (p. 27). Jakarta: anatomis klon harapan tahan penggerek buah Badan Penelitian dan Pengembangan kakao sebagai sumber bahan tanam. J. Pertanian, Departemen Pertanian. Litbang Pertanian, 31(1), 14-20. Gomies, B.E.L.L. (2009). Used of Verticillium tricorpus Mustafa, B. (2005). Kajian penyarungan buah muda as natural control agenst cocoa fruit borer kakao sebagai suatu metode pengendalian Conopomopha cramerella in Jayapura, Papua penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha Province. J. Budidaya Pertanian, 5, 99-104. cramerella Snellen (Lepidoptera: Hase, B. (2009). Hama penggerek buah kakao (PBK) Gracillariidae). Prosiding Seminar Ilmiah dan dan metoda pengendalian. Retrieved from Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda http:// www.tanindo.com/abdi12/hal0801.htm. Sul-Sel (pp. 23-35). Ihromi, S. (2014). Induksi ketahanan tanaman kakao Nuriadi, & Gusnawaty, H.S. (2013). Kaji tindak terhadap hama penggerek buah kakao (PBK) pengendalian hama penggerek buah kakao dengan aplikasi Si formulasi tepung. Retrieved (Conopomorpha cramerella Snellen) dengan from http://hdl.handle.net. pestisida nabati. J. Agroteknos, 3(1), 14-18. Indriati, G., Samsudin, & Rubiyo. (2013). Keefektifan Oka, N.I. (1994). Pengendalian hama terpadu dan paket teknologi pengendalian penggerek buah implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: kakao di Provinsi Bali. Buletin Riset Tanaman UGM Press. Rempah dan Aneka Tanaman Industri, 4(1), Ooi, P.A.C. (1986). Food of Conopomorpha 65-70. cramerella (Snellen). MAPPS Newsletter, 10, Isda, M.N., Kasim, M., Mansyurdin, Chaidamsari, T., 5−6. & Santoso, D. (2008). Kloning dan Ooi, P,A,C., Chan, L.G., Khoo, K.C., Teoh, C.H., Mamat, karakterisasi gen penyandi inhibitor Md.J., Ho, C.T., & Lim, G.S. (1987). proteinase dari kulit buah kakao. Menara Introduction to the cocoa pod borer. In P,A,C. Perkebunan, 76(2), 83-92. Ooi, , L.G. Chan, Khoo K.C., Teoh C.H., Md.J. Jahuddin, R. (2011). Implementasi paradigma baru Mamat, Ho C.T., & Lim G.S. (Eds). pengendalian hama terpadu pada tanaman Management of Cocoa Pod Borer (pp. 1-6). kakao di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Kuala Lumpur: The Malaysian Plant Protection dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Society. Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Roepke, W. (1917). Cacao (translated from onze Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (pp. 9 – koloniale Landbouw by P.C. Wessel, H.D. 15). Tjeenk Willink & Zoon, N) In Hille Toxopeus & P.C. Wessel (Eds.). Cocoa Research in Indonesia 1900−1950. Vol. II (pp. 69−74). American Cocoa Research Institute.

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 175

Rosmana, A., La Daha, A. Ridayani, Gassa, A., & Sugianto, Y., Pangestiningsih, Y. & Oemry, S. (2013). Urling, A. (2009). Persistency and penetration Uji efektifitas beberapa entomopatogen pada of entomopathogenic nematode Steinernema imago penggerek buah kakao Conopomorpha carpocapsae on surface of cocoa pod and its cramerella Snellen (Lepidoptera: infectivity to cocoa pod borer Conopomorpha Gracillariidaae) di laboratorium. J. online cramerella (Lepidoptera, Gracillariidae). Agroekoteknologi, 1(4), 1-11. Agritrop, 28, 161-168. Sulistyowati, E., & Junianto, J.D. (1995). Inventarisasi Rosmana, A., Shepard, B.M., Hebbar, P., & Mustari, A. musuh alami hama penggerek buah kakao (2010). Control of cocoa pod borer and (PBK) Conopomorpha cramerella Snell. di Phytophthora pod rot using degradable plastic Provinsi Maluku. J. Pelita Perkebunan, 11(2), pod sleeves and a nematode Steinernema 76-89. carpocapsae. Indonesian Journal of Sulistyowati, E. (1997). Prospek pemanfaatan Agricultural Science, 11(2), 41-47. tanaman tahan dalam pengelolaan hama Saleh, A. (2012). Studi berbagai jenis sarang penggerek buah kakao. Warta Pusat Penelitian permanen untuk mengembangbiakkan semut Kopi dan Kakao, 13(3), 204-212. hitam, Dolichoderus thoracicus (Smith) Sulistyowati, E., Yohanes, D. J., & Mufrihati, E. (2002). (Hymenoptera: Formicidae). J. Entomologi Kajian ekobiologi dan metode pengendalian Indonesia, 9(2), 64-70. jasad pengganggu utama untuk mendukung Samsudin. (2011). Teknologi tanaman perkebunan PHT pada tanaman kakao. Laporan Proyek resisten terhadap hama. Sirkuler Teknologi Penelitian PHT Perkebunan Rakyat TA 2001 (p. Tanaman Rempah dan Industri (p. 24). 24). Sukabumi: Unit Penerbitan dan Publikasi Sulistyowati, E. (2003). Pengendalian hama utama, Balittri. teknik pengamatan dan pengendaliannya pada Samsudin. (2012). Penggerek buah kakao (PBK), tanaman kakao, teknik budidaya dan serangga kecil yang merugikan. Majalah Semi pengolahan hasil kakao. Jember: Pusat Populer TREE, 3(1), 3. Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Samsudin, & Indriati, G. (2013). Sinergisme Sulistyowati, E., & Wiryadiputra, S. (2007). Integrated Heterorhabditis sp. dengan penyarungan buah pest management of cocoa pod borer in dalam mengendalikan penggerek buah kakao Indonesia. Paper Presented at USDA-ARS Conopomorpha cramerella. Buletin Riset Seminar on 22 February 2007, Beltsville, Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Maryland. Industri, 4(1), 19-26. Sulistyowati, E., Mufrihati, E., & Wardani, S. (2007). Sembel, D.T., Watung, J., Shepard, M., Hammig, M., & Potensi insektisida berbahan aktif ganda Carner, G.R. (2011). Control of cocoa pod sipermetrin plus klorpirifos dalam borer, Conopomorpha cramerella Snellen on mengendalikan penggerek buah kakao, cocoa plantations in North Sulawesi using Conopomorpha cramerella Snell. Warta Pusat degradable polymer sleeves. Eugenia, 17(2), Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 23(3), 102-107. 159-167. Siswanto, & Karmawati, E. (2011). Percepatan adopsi Sulistyowati, E. (2014). Effectiveness of sex pheromon teknologi PHT kakao di Sulawesi Selatan. in controlling cocoa pod borer, Conopomorpha Prosiding Seminar Nasional Inovasi cramerella (Snell.) J. Pelita Perkebunan, 30(2), Perkebunan (pp. 148–155). 115-122. Sjafaruddin. (1997). Pengendalian penggerek buah Suparno, T. (2000). Infestasi penggerek buah kakao kakao. Kendari: Balai Pengkajian Teknologi ke dalam perkebunan Kerkap, Bengkulu Utara Pertanian. dan Pengendaliannya. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 1(1), 11-15. Sjam, S. (2006). Pemanfaatan ekstrak buah maja (Bignoniaceae : Crescentia cujete) dengan Susilo, A.W., Mangoendidjojo, W., Witjaksono, EM4 terhadap penggerek buah kakao Sulistyowati, E., & Mawardi, S. (2009). Conophomorpha cramerella Snellen Respons ketahanan beberapa klon kakao (Lepidoptera: Gracillariidae). Buletin (Theobroma cacao L.) terhadap hama Penelitian, 9(1), 18-23. penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) di wilayah Sulawesi Tengah. Soesanthy, F., & Samsudin. (2013). Peranan ekstrak Pelita Perkebunan, 25(3), 161-173. babadotan dan bawang putih, serta minyak kemiri sunan terhadap serangan penggerek Susilo, A.M. (2012). Penemuan klon kakao tahan hama buah kakao. Buletin Riset Tanaman Rempah penggerek buah kakao (PBK) di Indonesia. dan Aneka Tanaman Industri, 4(2), 157-164. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 24(2), 1-5.

176 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

Suwitra, I.K., Mamesah, D., & Ahdar. (2010). Valenzuela, I., Purung, H.B., Roush, R.T., & Hamilton, Pengendalian hama penggerek buah kakao A.J. (2014). Practical yield loss models for Conopomorpha cramerella dengan metode infestation of cocoa with cocoa pod borer sarungisasi pada ukuran buah kakao yang moth, Conopomorpha cramerella (Snellen). berbeda. Seminar Regional Inovasi Teknologi Crop Protection, 66, 19–28. Pertanian, Mendukung Program Pertanian Wardani, S., Winarno, H., & Sulistyowati, E. (1997). Propinsi Sulawesi Utara (pp. 165-174). Model pendugaan kehilangan hasil akibat Taufik, M., & Koes F. (2011). Presentase aplikasi serangan hama penggerek buah kakao. Pelita metode PSPS untuk mengendalikan hama Perkebunan, 13, 33-39. penggerek buah kakao (Conopomorpha Wardojo, S. (1980). The cocoa podborer major cramerella Snellen) (Lepidoptera: hidranceto development. Indonesian Gracillariidae) oleh petani kakao di Sulawesi Agricultural Research & Development Journal, Tenggara. Suara Perlindungan Tanaman, 1(4), 2, 1-4. 21-28. Wardojo, S. (1981). Strategi penelitian dan Teh, C., Pang, J.T., & Ho, C. (2006). Variation of the pemberantasan penggerek buah coklat. response of clonal cocoa to attack by cocoa Menara Perkebunan, 49(3), 69-74. pod borer Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) in Sabah. Crop Wardojo, S. (1994). Strategi pengendalian hama Protection, 25(7), 712–717. penggerek buah kakao (PBK) di Indonesia. Paper presented at Gelar Teknologi dan Tjatjo, A.A., Baharuddin, & Asrul, L. (2008). Pertemuan Regional Pengendalian PBK (p. 5). Keragaman morfologi buah kakao harapan Kabupaten Polmas Sulawesi Selatan, 3− 4 tahan hama penggerek buah kakao di Oktober 1994. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. J. Agrisistem, 4, 37-43. Wijaya, K.A., Prawoto, A. A., & Ihromi, S. (2009). Induksi ketahanan tanaman kakao terhadap Trizelia, Rusli, R., Syam U., Nurbailis, & Sari, S.P. hama penggerek buah kakao dengaaplikasi (2010). Pemasyarakatan penggunaan silika. J. Pelita Perkebunan, 25(3), 184-198. cendawan entomopatogen Beauveria bassiana sebagai bioinsektisida untuk pengendalian Willis, M., Laba, I W., & Rohimatun. (2013). Efektifitas hama buah kakao di daerah Padang Pariaman. insektisida sitronellal, eugenol, dan Kumpulan Artikel Kegiatan Pengabdian azadirachtin terhadap hama penggerek buah kepada Masyarakat (pp. 1-8). Padang: kakao Conophomorpa cramerella (Snell.) Bul. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Littro, 24(1), 19-25. Universitas Andalas. Wiryadiputra, S. (1996). Hama penggerek buah kakao: Trizelia, Nurbailis, & Ernawati, D. (2013). Virulensi Kendala utama industri kakao Indonesia dan berbagai isolat jamur entomopatogen saran pengelolaannya. Jurnal Perlindungan Metarhizium spp. terhadap hama penggerek Tanaman Indonesia, 2(1), 16-23. buah kakao Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera: Gracillariidae). J. HPT Tropika, Yulianti, Daud, I.D., & Gassa, A. (2012). Pengujian 13(2), 151-158. LC50 Beauveria bassiana dari isolat Ostrinia furnacalis terhadap mortalitas telur dan pupa Untung, K., (2001). Pengantar pengelolaan hama penggerek buah kakao (Conopomorpha terpadu (p. 273). Yogyakarta: Gadjah Mada cramerella) pada tanaman kakao. Retrieved University Press. from http://www.peipfi-komdasulsel.org/ jurnal-perlindungan/

Zehntner, L. (1901). Over eenige insectenplsgen bij de

cacao cultuur op Java. De Nieuwe Gids, 3, 567−572.

Samsudin: Teknologi Pengendalian Ramah Lingkungan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) 177

178 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao