1

IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA (Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Tahun 2009)

SKRIPSI

Oleh : MEIDAWATI SUSWANDARI K8405024

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 2

IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA (Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta Tahun 2009)

Oleh : MEIDAWATI SUSWANDARI K8405024

SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

3

ABSTRAK Meidawati Suswandari, Identitas Dialek Banyumasan Sebagai Sebuah Konstruksi Budaya (Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta) Tahun 2009. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, 2009. Penelitian ini bertujuan untuk menggali data dan informasi tentang dialek banyumasan menjadi suatu bentuk identitas kedaerahan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan, dilihat dari a).persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari, b).adanya lingkungan yang berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan, c).upaya mahasiswa asli banyumasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan (khususnya dialek banyumasan). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data didapat dari subjek penelitian yaitu mahasiswa asli banyumasan yang belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta baik di lingkungan kos ataupun di lingkungan sekitar kampus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Teknik pengambilan informan meliputi informan kunci dan informan pendukung. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan konstruksi identitas dialek banyumasan yang diambil dari teori Anthony Giddens meliputi 4 pernyataan. Pertama, bermula dari persepsi yang berisi stereotip tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip yang telah muncul sebelumnya, memberikan gambaran pada mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul seperti dialek banyumasan dianggap sebagai dialek masyarakat bawah dan kadang masih dianggap ndeso dan katro. Kedua, adanya penanaman persepsi tersebut, mengarah pada faktor pemilihan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek karena kedekatan emosional yang secara nalar dan emosional. Ketiga, mahasiswa asli banyumasan yang telah memilih dalam penggunaan dialek merupakan proses yang dinegosiasikan dan berlangsung secara rutinitas. Keempat, disisi lain, lingkungan kos dan kampus juga berperan dalam konstruksi identitas dialek banyumasan. Identitas dibentuk dan dibangun berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang sifatnya homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Dialek banyumasan akan mengalami eksis pada saat berada di wilayah induknya yaitu sekitar BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan ). Akan tetapi pada saat keluar wilayah BARLINGMASCAKEB (terutama di lingkungan UNS), dialek banyumasan mengalami pergeseran dialek meliputi dialek modifikasi antara dialek banyumasan dengan dialek Solo (Jawa alus), antara dialek banyumasan dengan Bahasa , ataupun antara tiga bahasa yaitu dialek banyumasan, dialek Solo dan Bahasa Indonesia.

4

ABSTRACT Meidawati Suswandari. Banyumasan Identity as a Culture Construction (A Study of The Use of Banyumasan Dialect in Banyumasan Origin Student Civitas Who Are Taking Course in Sebelas Maret University, Surakarta) 2009. Thesis. Surakarta: Teaching Faculty And Education Science of Sebelas Maret University-Surakarta, 2009. This research has aim to explore any data and information about banyumasan as becoming a local identity form which is constructed and negotiated, seen from a). banyumasan origin student’s perception toward banyumasan dialect in day-to-day socialization, b) there is a environment which has influence in maintaining local identity, c) banyumasan origin student’s effort in maintaining local identity (especially banyumasan dialect). This research uses qualitative descriptive approach method. The data source is taken from research subject that is banyumasan origin students taking course in Sebelas Maret University, Surakarta both around boarding house or around campus’ environment. The data collection method used is participation observation and deep interview. The technique of taking tke informant such as key informant and supporting informant. The technique of data analysis used is interactive analysis model. Based on the research finding, it is concluded that the identity construction of banyumasan dialect from Anthony Giddens there are four statement. First, it is started from the perception containing certain stereotype about banyumasan dialect. The previous occurring perception give a picture to banyumasan-native student and outside-banyumasan student about banyumasan dialect. Second, the existing perception for example is that banyumasan dialect is considered a low- class society’s dialect and it is sometimes considered ndeso (countrified dialect) and katro (plebeian dialect). The existence of above perception directs toward the selection factor of banyumasan dialect in the civitas of banyumasan origin students. The banyumasan origin do the selection of the dialect because of a emotional and logical emotion closeness. Third, the banyumasan origin student who has chosen toward the use of dialect is a process that is negotiated and going on as a routine. Four, in other hand, the boarding house and campus environment also has a role in the construction of banyumasan dialect construction. The identity is constructed and built based on boarding house and campus environment which is homogenous (the majority is banyumasan origin student) and heterogeneous (the majority is outside-banyumasan student). The banyumasan dialect will experience existence when it is in its host area that is around BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Nevertheless, when it is outside the BARLINGMASCAKEB area (especially UNS area), the banyumasan dialect experiences dialect shift covering dialect modification between banyumasan dialect with Solo dialect (Smooth Jawa), between banyumasan dialect with Indonesian, as well as three dialect that are banyumasan dialect, Solo dialect, and Indonesian.

5

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Juli 2009

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Basuki Haryono, M.Pd Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A. NIP. 19500225 197501 1 002 NIP. 132 308 880

6

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Tanggal :

Tim Penguji Skripsi : Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. M.H. Sukarno, M.Pd 1...... NIP. 19510601 197903 1 001 Sekretaris : Drs. Haryono, M.Si 2...... NIP. 130 906 771 Anggota I : Drs. Basuki Haryono, M.Pd 3...... NIP. 19500225 197501 1 002 Anggota II : Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A 4...... NIP. 132 308 880

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP. 19600727 198702 1 001

7

MOTTO

Bahasa Mewujudkan Tingkah Laku Seseorang (Lindha Thomas)

Bersatu Kita Kompak, Berkata Kita Ngapak (Anonim)

Bahasa Ibarat Raga Tanpa jiwa (Penulis)

8

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan Kepada : v Ayah dan Ibu tercinta. v Kakak dan adikku. v Teman-teman angkatan 2005. v Almamater.

9

KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah- skripsi ini dapat terselesaikan pada waktunya untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Skripsi berisi tentang pendeskripsian konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan UNS yang dikaji dari teori Anthony Giddens. Banyak hambatan dan rintangan yang cukup menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang muncul dapat teratasi. Untuk itu, ucapan terima kasih peneliti haturkan atas segala bantuannya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Drs. Saiful Bachri, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS. 3. Bapak Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi FKIP UNS. 4. Bapak Drs. Basuki Haryono, M.Pd sebagai Pembimbing I yang senantiasa memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Ibu Atik Catur Budiati, S.Sos, M.A sebagai Pembimbing II yang memberikan ide dan masukan serta bimbingannya dalam penyusunan skripsi. 6. Ibu Siany Indria L, S.Ant, M.Hum sebagai Pembimbing Akademik. 7. Seluruh Dewan Dosen Pendidikan Sosiologi-Antropologi FKIP UNS. 8. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu baik dari rekan-rekan informan maupun rekan-rekan yang lainnya. Peneliti dalam hal ini juga menyadari bahwa skripsi yang telah disusun masih terdapat kekurangan. Namun, diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang sosial.

Surakarta, Juli 2009 Peneliti

10

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGAJUAN...... ii ABSTRAK ...... iii ABSTRACT...... iv PERSETUJUAN...... v PENGESAHAN...... vi MOTTO ...... vii PERSEMBAHAN...... viii KATA PENGANTAR...... ix DAFTAR ISI...... x DAFTAR TABEL ...... xiii DAFTAR GAMBAR...... xiv DAFTAR LAMPIRAN...... xv

BAB I . PENDAHULUAN A. Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan Penelitian...... 6 D. Manfaat Penelitian...... 7 BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ...... 8 1. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Indonesia ...... 8 a. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Orde Baru...... 11 b. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Reformasi...... 13 2. Bahasa Sebagai Unsur Budaya ...... 15 a. Bahasa dan Dialek...... 17 b. Dialek Banyumasan dan Perkembangannya...... 23 3. Identitas Kedaerahan Sebagai Sebuah Konstruksi Budaya ...... 26 a. Identitas...... 26 b. Bahasa, Identitas Kedaerahan dan Konstruksi Budaya ...... 29 11

B. Kerangka Berpikir ...... 34 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 37 1. Tempat Penelitian ...... 37 2. Waktu Penelitian...... 38 B. Bentuk dan Strategi Penelitian ...... 38 1. Bentuk Penelitian...... 38 2. Strategi Penelitian ...... 40 C. Sumber Data...... 42 D. Teknik Pengambilan Informan...... 45 E. Teknik Pengumpulan Data...... 45 F. Validitas Data...... 48 G. Analisis Data ...... 50 H. Prosedur Penelitian...... 51 BAB IV. LAPORAN DAN ANALISIS PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian...... 54 1. Lingkungan Kos Sekitar UNS ...... 54 2. Lingkungan Kampus UNS...... 55 B. Deskripsi Data Penelitian ...... 57 1. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan...... 58 a. Persepsi tentang Dialek Banyumasan 58 b. Peran Dialek Banyumasan bagi Mahasiswa Asli Banyumasan ...... 62 c. Pemilihan Penggunaan Dialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan ...... 63 2. Pengaruh Lingkungan dalam Mempertahankan Identitas Kedaerahan .64 a. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kos ...... 64 b. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kampus ...... 67 3. Upaya Pelestarian Dialek Banyumasan ...... 72 a. Komunitas Banyumasan...... 72 b. Upaya Secara Individu...... 73 12

C. Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian...... 73 1. Terbentuknya Identitas Dialek Banyumasan Melalui Stereotip ...... 79 2. Pemilihan Penggunaan Dialek Secara Nalar dan Emosional...... 83 3. Rutinitas Berdialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan...... 86 4. Lingkungan Sebagai Determinasi Dialek Banyumasan...... 88 BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan...... 96 B. Implikasi...... 98 1. Implikasi Teoritis...... 98 2. Implikasi Praktis ...... 99 C. Saran...... 100

DAFTAR PUSTAKA...... 101 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 103

13

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Waktu Penelitian……………………………………………………… 38

14

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur berpikir Konstruksi Identitas Dialek Banyumasan...... 36 Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif...... 51

15

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perijinan Menyusun Skripsi...... 104 Lampiran 2. Data Mahasiswa UNS tahun 2005-2008...... 106 Lampiran 3. Interview Guide dan Observasi...... 128 Lampiran 4. Fieldnote ...... 129 Lampiran 5. Matriks Hasil Penelitian Mahasiswa Asli Banyumasan ...... 165 Lampiran 6. Matriks Hasil Penelitian Mahasiswa Luar Banyumasan...... 179 Lampiran 7. Matriks Hasil Penelitian dan Teori...... 180 Lampiran 8. FotoPenelitian...... 185 Lampiran 9. Curiculum Vitae...... 187

16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang plural. Hal ini ditandai dengan kemajemukan masyarakat Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang berbeda. Mereka hidup dalam satuan kelompoknya masing-masing yang tidak hanya beraneka ragam suku- bangsa, juga beragamnya agama yang dianut. Namun, mengenai jumlah suku- bangsa itu ternyata terdapat perbedaan dari para ahli ilmu sosial. Menurut Koentjaraningrat (1979:21-34), bahwa watak majemuk secara sosio-kultural masyarakat Indonesia adalah terdiri atas bangsa yang bersuku-suku dengan cara hidup bermasyarakat dan berbudaya, adat istiadat serta 300 lebih dialek lokal, hidup di atas lebih kurang 17 ribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang ke Merauke serta dari Zulu ke Pulau Rote. Dalam wilayah nusantara yang berpulau-pulau tersebut, bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat menyatukan berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaan, kesukuan dan kebahasaan kedalam satu masyarakat Indonesia antar suku, antar daerah dan antar budaya. Hal ini sudah ada pada tahun 1928, para pemuda menyelenggarakan kongres pemuda yang terkenal dengan Sumpah Pemuda yang menghasilkan kesepakatan secara ideologis, yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan bahasa Indonesia. Walaupun telah ada di atas, tetapi bahasa-bahasa lokal yang ada pada setiap suku bangsa atau setiap daerah tertentu, tetap hidup subur dan terjamin eksistensinya hingga sekarang ini. Karena bahasa-bahasa lokal seperti bahasa Jawa dan bahasa banyumasan, dapat memperkaya khasanah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Mahasiswa yang belajar secara berkesinambungan dalam menempuh pendidikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya dan menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk lebih memperluas wawasan dalam ilmu 17

pengetahuan. Salah satu arena untuk memperluas ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan jalur seseorang untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang terampil dan bertanggung jawab berupa penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat. Pendidikan membuka peluang kreativitas inovatif yang membekali peserta didik yang menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Apabila kita berbicara menyangkut mobilitas sosial, biasanya kita berpikir tentang perpindahan dari suatu tingkat yang rendah ke suatu tingkat yang lebih tinggi. Akan tetapi, mobilitas dapat berlangsung dalam dua arah. Sebagaimana orang berhasil mencapai status yang tinggi, namun beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada tingkat status yang dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan turun lebih rendah daripada itu. Mobilitas jenis di atas merupakan bentuk mobilitas dalam lingkup antar generasi yakni kita bisa membandingkan status pekerjaan ayah dan anak, selain itu kita juga bisa mengetahui sampai sejauh mana sang anak mengikuti jejak sang ayah dalam hal pekerjaan. Mobilitas juga bisa ditelaah dari segi gerak intragenerasi, yakni kita bisa mengukur sejauh mana individu yang sama mengalami perubahan sosial dalam masa hidupnya. Kekuatan perubahan sosial yang amat besar dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation) dalam meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multikulturnya. Pendidikan mempunyai fungsi sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warga negara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Berdasarkan latar belakang sosial budaya yang berbeda, mahasiswa yang belajar untuk mencari ilmu yang bersifat akademik, mereka juga dituntut untuk bersosialisasi dengan kehidupan sosial dan budaya tersebut. Sosialisasi dapat berupa penyesuaian diri atau proses pembelajaran tentang kebiasaan masyarakat setempat dengan harapan dapat diterima dan sesuai aturan serta norma yang berlaku di daerah tersebut. Bahkan untuk mendalami lebih jauh tentang nilai, 18

sikap, budaya dan kehidupan sosial dalam suatu masyarakat yang didatangi, mengharuskan mereka untuk belajar bahasa setempat. Hal ini bertujuan untuk lebih mudah memahami dan mampu berbaur secara cepat dengan masyarakat setempat. Mempelajari bahasa setempat merupakan salah satu unsur pendukung berjalannya proses komunikasi atau penyampaian pesan, baik antara seorang individu dengan individu lainnya ataupun antara individu dengan sekelompok masyarakat. Bahasa menjadi salah satu kekuatan bangsa dari suku bangsa yang besar dengan berjuta-juta penduduk yang akan melahirkan variasi tentang perbedaan daerah secara geografi maupun kehidupan sosial budaya yang beragam pula. Sementara dialek-dialeknya merupakan alat subetnis yang harus dipelihara keberadaannya sebagai pendukung dan pemerkaya bahasa Jawa standar. Dalam bahasa daerah khususnya bahasa Jawa standar terdapat perbedaaan logat atau pengucapan oleh para penuturnya, yang biasa disebut dengan dialek (dialect). Pengucapan dialek bahasa Jawa yang diucapkan orang Jawa seperti (Banyumas), Tegal, Surakarta, atau Surabaya memiliki ciri khas masing-masing. Salah satu dialek yang memiliki kekhasan dalam pengucapan vocal ‘a’ yang sangat mantap, tegas, lugas dan tidak setengah-tengah yaitu dialek Banyumasan atau yang biasa disebut dialek ngapak. Namun eksistensi dialek banyumasan oleh para penutur aslinya terutama di kalangan mahasiswa asli banyumasan sudah secara tidak utuh menggunakan bahasa ibu mereka. Penggunaan dialek banyumasan yang mulai mengalami pergeseran dikalangan mahasiswa asli banyumasan terlihat adanya penggunaan dialek banyumasan dengan bahasa campuran seperti menyisipi kata-kata atau istilah asing atau bahasa lain yang dianggap lebih gaul serta ada pula yang sama sekali menghilangkan bahasa asal dengan beralih bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan bahasa yang lebih mudah dipahami. Gambaran secara langsung penulis rasakan ketika suatu saat berbincang dengan kakak tingkat di kampus. Ketika sudah banyak bercakap-cakap, mahasiswa tersebut sangat fasih dengan bahasa Indonesia. Mahasiswa tersebut bukan berasal dari warga Jakarta dan sekitarnya, namun berasal dari asli 19

banyumasan. Dalam hal ini, dialek banyumasan sudah tidak dipergunakannya dalam berkomunikasi. Dari fenomena tersebut, mengidentifikasikan faktor penutur dari generasi muda dengan dipengaruhi faktor lingkungan seperti faktor geografis, faktor sosial dan faktor budaya yang menjadikan dialek banyumasan mengalami pergeseran. Selain itu, perasaan gengsi atau karena tidak mau dianggap sebagai orang tidak modern, yang kemudian menjadikan para mahasiswa semakin beralih bahasa sehari-hari dengan bahasa yang tidak secara utuh berdialek banyumasan. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa akan menimbulkan konsekuensi terkait dengan bahasa daerah yang digunakan oleh masing-masing suku bangsa tersebut. Maka, sangat penting bahasa daerah perlu terus dibina dan dilestarikan. Salah satu wujud dalam melestarikan bahasa daerah khususnya bahasa Jawa yang berdialek banyumasan adalah adanya komunitas mahasiswa yang asli banyumasan, yaitu seperti Kepamba yang merupakan secara umum bagi mahasiswa asli se-eks Karesidenan Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan Kemangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga). Sedangkan, penutur dialek banyumasan berjumlah 12 juta sampai 15 juta penduduk. Dialek banyumasan yang memiliki karakter vokal dominan "a" itu lahir lebih dahulu dibandingkan bahasa "wetan" (keratonan), yang karakter vokal dominan "o" (Anonim, 2006). Menurut Achmad Tohari seiring perkembangan zaman, jumlah penutur dialek banyumasan secara berangsur-angsur terancam karena semakin sedikitnya penutur yang secara utuh berdialek banyumasan. Hal ini dikarenakan, masyarakat banyumasan ada yang menganggap rendah dan malu menggunakan bahasanya sendiri dan lebih memilih menggunakan bahasa daerah lain, seperti Solo dan yang dianggap lebih halus dan berperadaban (sumber : wawancara 19 November 2008). Dialek banyumasan yang mengalami pergeseran oleh para penuturnya, tidak terlepas dari proses konstruksi budaya yang dilabelkan oleh masyarakat luar 20

banyumasan. Mereka menganggap dalam pengucapan atau logat pada dialek banyumasan memiliki karakteristik yang berbeda dari yang lain karena kadang dianggap sebagai bahasa yang kasar dan tidak memiliki unggah-ungguh (sopan santun). Hal inilah yang mengidentikkan dialek banyumasan sebagai bahasa pelawak (guyonan) dan bahasa kaum lapisan bawah (rakyat jelata). Contoh sebuah kasus dalam dunia hiburan, dialek dijadikan peluang yang besar bagi para komedian untuk menjual kepamorannya dengan beberapa kekhasan tertentu dengan menggunakan dialek tertentu pula. Fenomena ini secara tidak sengaja menimbulkan identitas yang melekat pada seseorang dikarenakan menggunakan dialek yang khas. Sebagai contoh Cici Tegal, meski dirinya bukan asli dari Tegal, tetapi masyarakat memberikan icon atau identitas seorang komedian dengan logat khas Tegalnya yang menjadikan penonton atau orang yang mendengar pada saat dia melakon menjadi bahan tertawaan. Komedian yang serupa juga terjadi pada aktor komedian Kadir dan Doyok dengan logat Madura, serta Parto dengan dialek banyumasan. Meski memunculkan identitas tertentu, secara tidak langsung terjadi proses stereotip atau label sosial. Proses stereotip atau label sosial ini, dibentuk atau dikontrusikan oleh masyarakat yang berada di luar komunitas atau penutur suatu dialek, yang kemudian akan memberikan label tertentu dari suatu dialek. Hal yang terjadi dalam pelabelan tentang dialek banyumasan, yang oleh masyarakat luar banyumasan memberikan label atau penyebutan dengan bahasa ngapak. Anggapan lucu dialek banyumasan atau bahasa ngapak oleh orang luar inilah yang kemudian menimbulkan perasaan malu serta menganggap rendah budaya sendiri sebab bahasanya dinilai kasar dan menjadi bahan tertawaan. Stereotip semacam ini yang kemudian berkembang di luar daerah banyumasan. Pada akhirnya dialek banyumasan mengalami pergeseran oleh para penutur aslinya. Mengacu dari permasalahan di atas, pada kesempatan ini peneliti tertarik melakukan penelitian tentang dialek banyumasan yang berkembang dikalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di Universitas Sebelas Maret (UNS) 21

dalam upaya mempertahankan dialek banyumasan sebagai identitas lokal atau kedaerahan. Maka penelitian ini mengambil judul : ”IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN SEBAGAI SEBUAH KONSTRUKSI BUDAYA (Studi Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan Yang Belajar di Universitas Sebelas Maret, Surakarta Tahun 2009)”

B. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi identitas budaya yang bersifat kedaerahan dalam dialek banyumasan dibentuk dan dinegosiasikan, dilihat dari : a. bagaimana persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari ?, b. bagaimana pengaruh lingkungan dalam mempertahankan identitas kedaerahan?, c. bagaimana upaya mahasiswa banyumasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan (khususnya dialek banyumasan) ?.

C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menggali data dan informasi tentang dialek banyumasan menjadi bentuk identitas kedaerahan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan, dilihat dari : a. persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari, b. adanya lingkungan yang berpengaruh dalam mempertahankan identitas kedaerahan, c. upaya mahasiswa banyumasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan (khususnya dialek banyumasan).

22

D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan teori Antony Giddens, penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk mendeskripsikan konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan UNS yang memberikan pengaruh tentang persepsi dialek banyumasan dan faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. 2. Mendeskripsikan tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan UNS berdasarkan teori Anthony Giddens. 3. Bagi peneliti agar lebih meningkatkan peran dan kemampuan melalui perngkajian dialek banyumasan di wilayah Surakarta.

23

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Indonesia Kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Dalam bahasa sansekerta, kata kebudayaan berasal dari “buddayah” yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah culture dan dalam bahasa Belanda disebut cultuur. Kedua kata ini berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah (bertani). Dengan demikian, ”culture dan cultuur berarti sebagai segala daya kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam” (Kun Maryati dan Juju Suryawati, 2006:109). Selanjutnya, seorang antropolog sosial, E.B. Tylor dalam mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem kompleks manusia sebagai anggota masyarakat yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan (Soerjono Soekanto, 2003:172). Sedangkan menurut Koentjoroningrat (1990:180), ”kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan manusia yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar”. Manusia merupakan makhluk yang mampu mengubah dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Secara garis besar potensi yang ada pada manusia terdiri atas empat potensi, yaitu a. hidayat al- gharizziyat yaitu manusia mempunyai dorongan secara primer untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia berupa instink, dorongan untuk mempertahankan diri, dorongan untuk mengembangkan jenis dan dorongan yang melekat pada diri manusia secara fitrah, b. hidayat al- hassiyat adalah potensi inderawi manusia berupa indera penglihatan, pencium, peraba, pendengar dan perasa yang menghubungkan manusia dengan dunia luar dirinya, c. hidayat al-aqliyyat yaitu manusia dibekali 24

dengan kemampuan akal, d. hidayat al-diniyyat adalah manusia dengan potensi keagamaan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi (Jalaluddin, 2006:32-34). Manusia dengan kemampuan akal memiliki peran dalam aktivitas dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun peran manusia dilihat dari aspek 1). al-basyr merupakan aspek fisik atau biologis manusia yang terdiri dari unsur materi (ragawi), 2). al-insan adalah kemampuan manusia untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan mental spiritual (rohani), 3). al-nas merupakan manusia secara fitrah, hidup sebagai makhluk yang berkelompok, sejak dari keluarga, bangsa dan umat manusia, 4). konsep bani adam yaitu menyatukan visi manusia dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam As, 5). konsep al-ins adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada Allah dan makhluk yang jinak serta hidup menetap, 6). konsep abd-Allah adalah peran manusia disesuaikan dengan kedudukannya sebagai abdi (hamba), 7). konsep khalifah Allah yaitu membangun dan mengelola alam sekitar berdasar kemampuan dan tidak lepas dari kehendak Penciptanya (Jalaluddin, 2006:18-30). Peran manusia di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa manusia makhluk sosial, sehingga dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari kesatuan integrasi dalam suatu kelompok masyarakat yang berbudaya. Hal ini dijelaskan oleh Astrid Susanto (1983:123) dari pandangan Malinowski, mengemukakan bahwa budaya adalah “culture is an integrated comosed of partly autonomous, partly coordinated institutions. It is iontegrated on a series of principies such as the community of blood through procreation, the continuity in space related to cooperation the specialization of activities ang last but not least, the use of power in political organization”. Artinya, kebudayaan adalah kesatuan integrasi dari bagian yang otonom, bagian dari kelembagaan yang terkoordinasi. Kesatuan integrasi ini, sebagai bagian dari proses komunitas atau masyarakat yang berjalan secara terus-menerus terkait dengan tingkah laku yang khusus, tetapi juga berkaitan dengan kekuasaan dalam kehidupan politik. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal, peran dan potensi manusia meliputi 25

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan dan kebiasaan sebagai hasil dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang diperoleh melalui proses belajar dalam pengorganisasian kehidupan suatu kelompok masyarakat. Disamping itu, proses terjadinya kebudayaan manusia merupakan proses yang sifatnya turun-temurun dan secara geografis. Hal ini dapat dilihat dari (1) pakaian, perumahan, alat-alat yang mereka pakai sehari-hari sesuai dengan adapt masyarakat setempat, (2) bahasa yang dipakai di lingkungan mereka yang akhirnya merupakan bahasa khas seperti Jawa, Sunda dan sebagainya juga dialek- dialek atau campuran-campuran dari bahasa-bahasa yang terdapat di daerah perbatasan seperti Cirebon (bahasa pada masyarakat perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah), Banyuwangi (bahasa pada masyrakat perbatasan antara Jawa Timur dan Madura), (3) terdapat perkawinan diantara mereka-mereka dan tidak ada atau kurangnya percampuran dari daerah luar, corak-corak khas mengenai bentuk muka, perawakan dan yang menjadi ciri khas ragawi dari bahasa atau golongan tertentu seperti mata sipit, hidung mancung, rambut keriting dan sebagainya (Hassan Sadily, 1984:84). Seperti halnya pakaian, bahasa dan terjadi perkawinan campuran hegemoni) merupakan contoh proses terjadinya kebudayaan yang diwariskan secara genealogis (turun-temurun) dan bersifat geografis (berdasar latar belakang kedaerahan). Akan tetapi kebudayaan memiliki sifat yang dinamis. Kebudayaan mengalami pergerakan atau perubahan karena unsur-unsur kebudayaan lain, melalui : a). akulturasi adalah proses sosial yang timbul kertika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing, b). asmilasi adalah terjadinya percampuran yang memunculkan adanya kebudayaan baru akibat adanya interaksi antara kebudayaan yang berbeda-beda, c). inovasi adalah sebuah proses pembauran dalam unsur kebudayaan masyarakat, seperti adanya penemuan baru dalam teknologi manusia, d). difusi adalah proses penyebaran kebudyaan dari satu daerah ke daerah lain yang terjadi secara langsung atau tidak langsung (Kun Maryati dan Juju Suryawati, 2006:126-127). Sistem kebudayaan suatu daerah dengan perkembangan atau dinamika kebudayaan yang dinamis, akan menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang 26

berbeda-beda. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan dibagi dalam tiga wujud, yaitu (1). wujud kebudayaan berupa sistem ide-ide, gagasan, nlai-nilai, norma- norma, dan peraturan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, dipegang ataupun difoto dan tempatnya di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup, (2). wujud kebudayaan berupa aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan, seperti perilaku dan bahasa pada saat mereka berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari di masyarakat, (3). wujud kebudayaan berupa artefak atau benda-benda hasil karya manusia yang secara fisik (aktivitas perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat) yang sifatnya paling konkret, dapat diraba, dilihat dan difoto (Elly M. Setiadi dkk, 2006:28-30). Berdasarkan ketiga wujud kebudayaan di atas, pada dasarnya Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki etnis dan adat istiadat yang beranekaragam. Keberagaman adat istiadat mencakup ide, gagasan, seperangkat aktivitas atau perilaku serta hasil karya manusia yang melahirkan karakteristik masyarakat yang sifatnya majemuk dan multikultural. Hal inilah yang akan mengarah pada dinamika masyarakat yang terjadi pada masa Orde baru dan Era Reformasi. a. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Orde Baru Pemerintah Orde Baru banyak menggalakkan pluralisme sosial untuk memperkuat persatuan nasional, misalnya dengan menghindari permasalahan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Akan tetapi, pluralisme politik tidak mendapatkan dukungan dan dibatasi oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pluralisme politik mengarahkan kepada perbedaan pendapat dan konflik dengan sesama warga negara atau pemerintah, dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sehingga, pada era Orde Baru dapat dilihat dari dominannya pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ormas-ormas sebagai representasi dari masyarakat madani (civil society) dan partai-partai politik sebagai representasi masyarakat politik (politic society) kurang memiliki otonomi yang cukup untuk menentukan kebijakan organisasi masing-masing, termasuk 27

dalam hal kebijakan kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah (Nur Cholish Madjid, 2001:14). Salah satu khasanah kebudayaan nasional yaitu bahasa Indonesia mengalami pembatasan di Era Orde Baru. Pembatasan terhadap pengembangan bahasa dengan dimunculkannya pembakuan bahasa dalam bentuk penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) dan melalui penerapan ketetapan MPR No.11/MPR/1983 yang menyatakan bahwa ”bahasa harus dibina dan dikembangkan secara baik dan benar serta digunakan secara baik dan benar”. Adapun akibat dari pembakuan bahasa ini kemudian bahasa Indonesia tidak berkembang secara wajar yaitu menjadikan bahasa Indonesia terasa asing dan kaku (M.Ainul Yaqin, 2005:93-94) Oleh sebab itu, dalam masa Orde Baru ini, bangsa Indonesia diarahkan kepada masyarakat yang sifatnya majemuk dalam kesatuan integrasi sosial. Menurut Furnival, pada masa Hindia-Belanda masyarakat Indonesia sudah menjadi bagian dari masyarakat majemuk (plural societies) yaitu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik, perbedaan ras yang bersifat organis, atau suatu masyarakat dengan sistem nilai yang dianut oleh kesatuan sosial yang menjadi sub-sub kebudayaan dalam anggota masyarakat yang bersifat diverse yaitu masyarakat yang terbagi dalam sub-sub kebudayaan tertentu dan oleh Clifford Geertz menyebutnya dengan istilah primordial (Nasikun, 2001:28- 33). Sedangkan menurut Alo Liliweri, (2001:167), konsep masyarakat majemuk adalah adanya pertahanan melalui pengakuan adanya bhineka tunggal ika sebagai masyarakat Indonesia dengan ciri-ciri adanya suku, agama, ras dan golongan yang homogen dan tidak tersegregasi. Masyarakat majemuk yang merupakan bagian dari masyarakat organis yang terbagi dalam sub-sub kebudayaan tertentu, menurut Furnival (1940) dalam Alo Liliweri (2001:166) pada dasarnya ciri-ciri masyarakat majemuk itu sendiri adalah “kehidupan masyarakat yang berkelompok-kelompok yang hidup 28

berdampingan secara fisik, tetapi mereka hidup secara terpisah-pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik”. Masyarakat yang hidup terpisah-pisah dengan adanya perbedaan antar suku bangsa, agama, ras dan adat istiadat di dalam masyarakat majemuk tidak telepas dari unsur konflik. Dalam hal ini dikemukakan oleh Pierre L.Van Den Berghe, bahwa dalam masyarakat majemuk memiliki ciri-ciri seperti 1) adanya segmentasi kelompok-kelompok, 2) struktur sosial kelembagaan yang bersifat non-komplementer, 3) kurang mengembangkan konsensus atau kesepakatan diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, 4) sering mengalami konflik diantara kelompok satu dengan yang lain, 5) muncul integrasi sosial atas dasar paksaan (coercion), 6) muncul dominasi politik dari suatu kelompok atas kelompok lain (Nasikun, 2001:33). Oleh sebab itu, masyarakat majemuk yang hidup berdampingan satu sama lain dan tidak menutup kemungkinan adanya sub-sub kebudayaan dengan struktur sosial kelembagaan yang bersifat non-komplementer dan terkadang menimbulkan konflik. Karena pada dasarnya dalam suatu masyarakat majemuk terbagi atas dua hal, yaitu a) masyarakat yang terbentuk secara horisontal seperti masyarakat etnik, ras (masyarakat berdasarkan atas asal-usul keturunan), masyarakat berdasarkan bahasa daerah, adat istiadat atau perilaku, agama, dan pakaian atau makanan serta budaya material lainnya, b) masyarakat terbentuk secara vertikal, yaitu berdasarkan penghasilan (ekonomi), pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosio-politik (Nasikun, 2001:28). b. Kebudayaan Masyarakat Indonesia di Era Reformasi Menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru, massa melakukan dukungan terhadap pemerintah reformasi, dengan harapan adanya pluralisme politik yang akan membawa dampak munculnya ”euforia demokrasi”. Rakyat dapat mengapresiasikan pendapatnya secara bebas, tetapi hal ini tidak disertai dengan pengembangan aspek-aspek pluralisme politik lainnya, terutama desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah, baik dalam hal rekruitmen kepemimpinan maupun pengelolaan sumber daya alam. Disisi lain 29

banyak diantara warga negara yang secara umum tingkat pendidikannya masih rendah, belum cukup memiliki budaya demokratis dalam menghadapi perbedaan- perbedaan. Hal ini menimbulkan akses konflik terbuka dan bentrokan fisik diantara beberapa kelompok sosial, atas dasar agama, suku, maupun hanya sekedar perbatasan area tempat tinggal sepeerti peristiwa di Sambas, Ketapang, Ambon dan lainnya (Nur Cholish Madjid, 2001:15). Namun, dalam hal pengembangan kebudayaan nasional di masing- masing daerah diberikan suatu otonom untuk mengembangkan potensinya. Hal ini diarahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pasal 3 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom diatur kewenangan propinsi dalam Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Kewenangan tersebut berbunyi ”... penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai-nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah” (Sri Kusrini, 2002:254). Kewenangan suatu daerah dalam mengembangkan potensi kedaerahan diberi keleluasan pada masa reformasi. Hal inilah yang menimbulkan perbedaan satu sama lain yang kemudian mengatasnamakan masyarakat multikultural. Multikulturalisme adalah paham dalam memahami dan menerima perbedaan yang setiap individu manusia, akan tetapi memiliki potensi besar terjadinya konflik antar kelompok. Keberagaman kelompok menimbulkan konflik dengan latar belakang perbedaan prinsip dari masing-masing kelompok. Bahkan konflik multikulturalisme mengarah pada perbedaan geografis, etnis, budaya, bahasa, agama, keyakinan, pola pikir dan perbedaan kemampuan secara fisik serta psikologi (M.Ainul Yaqin, 2005:v). Mengacu pada dinamika ataupun bentuk masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural di atas, diperkirakan terdapat lebih dari 500 suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia yang telah diikrarkan pada Sumpah pemuda 1928 adalah satu-satunya bahasa yang mempersatukan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia yang pada mulanya berasal dari bahasa Melayu telah menjadi simbol integrasi bangsa dan menjadi kerangkan acuan dalam berkomunikasi. Menurut AJawaila dalam Nani Tuloli dkk (2003:27), 30

bahwa “pengakuan tentang kemajemukan masyarakat dan budayanya serta upaya membangun persatuan tersebut diperlihatkan pula lewat semboyan bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu”. Hal tersebut dijadikan pedoman yang untuk membangun dan mengembangkan kebudayaan nasional yang tercantum dalam pasal 32 UUD 1945. Pasal tersebut berisi tentang “kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai hasil buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa”. Puncak-puncak kebudayaan daerah berarti unsur-unsur kebudayaan daerah yang dianggap bermutu tinggi yang dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia. Maka, kebudayaan nasional, bukan dominasi dan monopoli kebudayaan dari salah satu daerah, tetapi sebagai kesatuan berbagai budaya unggul di Indonesia. Kebudayaan nasional tersebut berupa unsur atau simbol- simbol sistem nilai budaya atau pranata sosial budaya dari salah satu suku bangsa yang dapat diterima sebagai kerangka dalam pergaulan antarsuku bangsa. Dalam ranah pergaulan antarsuku bangsa, keberadaan kebudayaan lokal sebagai alat komunikasi yang dikembangkan sebagai bagian dari kebudayaan nasional, sehingga kebudayaan global yang melanda dunia tanpa adanya hambatan. Kebudayaan global yang menyebar ke berbagai penjuru berpengaruh pada kehidupan masyarakat terkait perkembangan dan kemajuan masyarakat modern saat ini (Nani Tuloli dkk, 2003:27-29).

2. Bahasa Sebagai Unsur Budaya Masyarakat Indonesia dengan kemajemukan dan multikulturalnya, memilki unsur-unsur kebudayaan yang beranekaragam terutama untuk menjaga eksistensi bahasa di suatu masyarakat. Maka, bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya dari suatu masyarakat. Dapat dikatakan bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dengan budaya, karena budaya merupakan bagian dari bahasa dan begitu juga sebaliknya. Menurut Soerjono Soekanto, (2003:176 ) menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur-unsur pokok (besar) atau cultural universals berupa peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian 31

hidup dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Sedangkan dalam pandangan Kottak (1987:244) dalam M. Ainul Yaqin (2005:87) menjelaskan bahwa “perubahan-perubahan yang terjadi pada kultur juga menghasilkan perubahan-perubahan pada bahasa dan cara berfikir seseorang”. Kultur dan bahasa terjadi relasi satu sama lain yaitu kultur dapat menjadi bagian dari bahasa atau sebaliknya. Di dalam kultur tersebut, dapat dilihat melalui bahasa yang digunakan. Bahasa Jawa dengan ciri-ciri lugas, intonasinya keras dan kosakata yang khas seperti rek, cak, opo, gak termasuk orang yang berkultur Jawa Timuran. Sedangkan bahasa Jawa dengan ciri-ciri tenang, intonasinya halus dan kosakata yang khas, seperti kata cab, kang, pripun, ora, termasuk orang yang berkultur dari Yogyakarta, Jawa Tengah atau dari wilayah Mataram (bekas wilayah mataram seperti Ngawi, Madiun, Magetan, Pacitan, Tulungagung dan Blitar). Bahkan ada pembedaan lain mengenai bahasa yang digunakan secara geografis. Bahasa masyarakat yang tinggal di sekitar pantai dan masyarakat petani yang tinggal di pedalaman dan pegunungan akan memiliki perbedaan. Bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang tinggal di wilayah pantai dan berprofesi sebagai nelayan biasanya mempunyai ciri-ciri yang keras, lugas, dan cepat pengucapannya. Hal tersebut disebabkan oleh kehidupan yang keras seperti suasana pantai yang panas, angin laut yang kencang dan jenis pekerjaan nelayan yang beresiko tinggi. Sedangkan bahasa orang-orang yang tinggal di wilayah pedalaman dan pegunungan sebagai petani mempunyai ciri-ciri halus, pelan dan santai. Ciri-ciri tersebut dipengaruhi oleh latar belakang seperti suasana pegunungan yang sejuk, tenang dan pekerjaan bertani yang tidak sekeras dan tidak beresiko tinggi pekerjaaan sebagai nelayan (M.Ainul Yaqin, 2005:87-89). Oleh karena itu, setiap bahasa mempunyai struktur dan sistem tanda yang mencerminkan struktur dalam sistem kebudayaan masyarakatnya. Terkadang pencampuran budaya dapat mengubah gaya dan struktur bahasa. Sebaliknya bahasa dapat mengubah kebudayaan pada saat globalisme. Karena bahasa adalah alat canggih dalam menstranformasikan budaya dan nilai-nilai bahasa lokal atau bahasa ibu. Pada saat modernisasi muncul kebijakan politik yaitu satu bahasa 32

nasional, bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa-bahasa pinggiran, bahasa daerah atau bahasa lokal tersubordinasi (Ubed Abdilah, 2002:70-71). a. Bahasa dan Dialek Bahasa mempunyai struktur dan sistem tanda tertentu yang mencerminkan latar belakang kehidupan suatu masyarakat terkait dengan kehidupan budayanya, menurut Kridalaksana dalam Abdul Chaer (1994:33-58) definisi bahasa antara lain 1) bahasa sebagai sistem, artinya bahasa tersusun menurut pola, tidak tersusun acak, dan secara sembarangan, 2) bahasa berupa lambang, artinya bahasa menunjukan tanda atau isyarat tertentu dari suatu benda, 3) bahasa memiliki bunyi, artinya bahasa menunjukan bunyi atau kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran-getaran di telinga yang bereaksi karena perubahan tekanan udara, 4) bahasa adalah arbiter, artinya berubah-ubah, tidak tetap, tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa yang berwujud bunyi dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh suatu lambang tertentu. Sebagai contoh antara kuda dengan yang dilambangkan sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai. Penjelasan kenapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi kuda, bukan rusa atau gajah, 5) bahasa memiliki makna, artinya pengucapan kata tertentu yang memiliki suatu makna tertentu pula (untuk menunjukan sesuatu), 6) bahasa bersifat konvensional, artinya semua anggota masyarakat mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu untuk mewakili konsep yang diwakilinya, 7) bahasa itu unik, artinya mempunyai ciri khas masing-masing yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya, 8) bahasa itu dinamis, artinya adanya perubahan sepanjang waktu, 9) bahasa itu bervariasi, artinya memiliki variasi bahasa seperti idiolek, dialek dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu, 10) bahasa itu manusiawi, artinya bahasa hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia, 11) bahasa itu universal, artinya unsur bahasa yang 33

paling umum dari bahasa lainnya, 12) bahasa bersifat produktif. maksudnya meskipun unsur bahasa terbatas, tapi terdiri dari satuan yang tidak terbatas. Disamping itu, menurut Linda Thomas dan Shan Wareig (2007:9), bahasa bukan saja ciri khas dari suatu masyarakat tertentu, tetapi bahasa dapat menjadi sesuatu yang menyatakan apa yang menjadi maksud atau tujuan kita. Bahasa merupakan suatu sistem yang hidup yang menjadi bagian dari perlengkapan budaya dari suatu kelompok orang. Namun, bahasa juga menunjukan ujung tombak suatu budaya, kelompok-kelompok kekeluargaan atau lembaga-lembaga politik. Menurut Sapir Whorf, “bahasa adalah unsur terpenting dalam budaya karena bahasa menunjukkan pandangan dunia tentang suatu masyarakat pemakainya dan tentang lingkungan mereka”. Bahasa mengarahkan pada persepsi para pemakainya terhadap hal-hal tertentu, seperti memberi petunjuk atau isyarat berdasarkan perbedaan dan persamaan budaya diantara berbagai suku bangsa (Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat, 2000:118-119). Selain itu, pengertian bahasa adalah “a system of arbitrary vocal symbol by which members of a speech community cooperate and interact in terms of their total culture”, artinya bahasa sebagai lambang-lambang vokal yang arbitrer (berubah) dan membentuk sistem yang ajeg bagi penutur bahasa tersebut. Penutur adalah anggota masyarakat dari bahasa tertentu yang terikat budaya yang terbentuk secara konvensional. Sehingga, bahasa merupakan cermin budaya dari penutur bahasa tersebut (Anton dkk, 1991:203). Menurut M. Ainul Yaqin, (2005:74), definisi bahasa yaitu, pertama, bahasa adalah kumpulan bermacam-macam simbol dengan menggunakan aturan- aturan tertentu untuk mengkomunikasikan pesan kepada orang lain. Kedua, bahasa sebagai alat berkomunikasi individu dalam bertukar pikiran (sharing idea) dan perasaan (feeling) satu dengan yang lainnya. Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan tertentu yang didalamnya menunjukkan sifat arbiter (berubah), pemaknaan, simbol atau lambang, petunjuk tentang masyarakat pemakainya dalam berinteraksi sosial. 34

Mengacu pada beberapa definisi bahasa di atas, adapun ciri-ciri bahasa, yaitu “a) bahasa digunakan untuk menstransmisikan pesan, b) bahasa merupakan kode yang pemakaiannya ditentukan bersama oleh warga suatu kelompok atau satu masyarakat. Oleh karena itu, bahasa berdimensi sosial dan merupakan aktivitas kehidupan manusia” (Dwi Purnanto, 1999:91). Bahasa merupakan alat penyampaian pesan kepada orang lain, oleh Abdul Chaer (1994:71-81) membedakan jenis-jenis atau klasifikasi bahasa menjadi empat diantaranya (1) pendekatan genetis yaitu bahasa yang diturunkan secara genealogis (berdasarkan keturunan), (2) klasifikasi tipologi yaitu berdasarkan kesamaan tipe bahasa seperti bunyi, morfem, kata, frase, kalimat, dan sebagainya, (3) klasifikasi areal yaitu berdasarkan hubungan timbal balik antar bahasa dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetika atau tidak, (4) klasifikasi sosiolinguistik yaitu berdasarkan hubungan bahasa dengan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Dari penjabaran di atas, jenis-jenis bahasa dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu dilihat dari kategori atau pendekatan genetis yang berdasarkan keturunan bahasa-bahasa itu, kategori tipologi yang berlandaskan kesamaan tipe bahasa, kategori areal yang berupa interaksi antarbahasa dan kategori sosiolinguistik yang berdasarkan hubungan bahasa dan peran status dalam masyarakat. Bahasa suatu masyarakat terdiri dari ragam bahasa berdasar letak geografis masing-masing. Ragam bahasa dalam geografis kecil disebut dengan dialek atau logat. Istilah tersebut oleh masyarakat bahasa yang besar memiliki nilai yang merendahkan. Orang yang memakai bahasa besar atau bahasa baku dalam kehidupan sehari-hari cenderung menganggap rendah orang-orang yang menggunakan dialek atau logat (Khaidir Anwar, 1990:33-34). Oleh sebab itu, fenomena perkembangan sebuah dialek dipengaruhi oleh lima faktor pembentukan yaitu (a).faktor regional, (b).sosial, (c).historis, (d).profesional, (e).terpengaruh oleh kontak bahasa. Pertama, faktor regional yaitu perbedaan lokasi atau tempat bermukim, hal tersebut di karenakan tempat yang 35

terpencil yang membuat penutur jarang berkomunikasi, keterisolasian daerah mengakibatkan hubungan dengan dunia luar jarang, dan komunitas dialek berdasar bertempat tinggal secara terpisah dari kelompok bahasa induk. Kedua, faktor sosial yaitu menunjukkan kedudukan sosial penutur bahasa. Geertz dalam buku The Religion of (1960) oleh berpendapat bahwa “perbedaan penggunaan styleme yang terdiri atas krama, madya, ngoko berkaitan erat dengan kedudukan sosial penutur dan gaya hidup religionitas para penutur, yang terbagi dalam golongan priyayi, santri dan abangan”. Ketiga, faktor historis yaitu hubungan bahasa dalam kurun waktu bahasa tertentu dipakai orang. Keempat, faktor profesi adalah dengan melihat profesi seseorang. Ragam bahasa ini disebut register. Sebagai contoh, seorang ahli kimia, menyebutkan istilah “air” dengan istilah kimia “H2O”. Kelima, faktor kontak bahasa. Dalam kontak bahasa muncul diglosa. Menurut Ferguson (1959) diglosa adalah situasi kebahasaan akan memunculkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap baik atau kurang baik (Herudjati Purwoko dan IM Hendrarti, 2004:10-17). Pembentukan setiap bahasa manusia seperti bahasa Inggris dan bahasa Cina (Mandarin) bersifat kultural maupun individual dengan orang lain. Bahasa sebagai sistem dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat yang khas, memiliki 3000 bahasa yang berbeda dengan keanekaragaman dan kehasan masing-masing (William A.Havilan, 1985:360-376). Dalam kajian sosio-kultural, menurut Ashadi Siregar (2003:126) bahwa fungsi bahasa adalah : (i). Pathic funtion berupa percakapan basa-basi untuk memelihara hubungan atau menciptakan hubungan dengan orang yang belum dikenal, (ii). Regulatory function dalam bahasa digunakan dalam hubungan sosial dengan tujuan yang sudah ditentukan bersama seperti dalam kegiatan profesional atau manajemen, (iii). Emotive function merupakan bahasa untuk mengekpresikan perasaan, seperti anak-anak yang menciptakan bunyi sendiri atau seperti bahasa plesetan di kalangan kaum muda kota di Jawa pada masa Orde Baru, (iv). Aesthetic function merupakan bahasa yang mirip dengan fungsi emotif yang diekspresikan dengan kaidah tertentu untuk mendapatkan efek keindahan, (v) metalinguistic function adalah memberikan pemaknaan atas kenyataan yang mendasari suatu bahasa diekspresikan.

36

Pada perkembangannya bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi bagi manusia, akan tetapi bahasa juga wilayah politik, sosial dan budaya. Menurut Hooker dalam M. Ainul Yaqin (2005:74-75) yang mengambil pendapat dari bahasa dapat memasuki wilayah politik dapat dilihat dari politisasi terhadap penggunaan bahasa Indonesia oleh kelompok gerakan perlawanan sebelum kemerdekaan, pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi dan Era Pasca Reformasi melalui berbagai cara seperti penggunaan kata-kata yang menjadi ikon pada era-era tertentu, hingga pembakuan bahasa. Politisasi bahasa ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat rezim kekuasaannya. Oleh karena itu, dalam pendapat Spring (2001:153-64) konstruksi identitas merupakan bagian dari interpretatif dan narasi dari orang-orang yang lebih memiliki kekuasaan yang lebih elit. Sedangkan bahasa memasuki wilayah sosial dapat dilihat dari anggapan positif maupun negatif terhadap penggunaan bahasa tertentu. Contohnya adanya anggapan negatif terhadap masyarakat penggunaan bahasa dari kelas sosial tertentu seperti bahasanya orang yang mempunyai status sosial tinggi lebih halus daripada bahasanya orang yang status sosialnya rendah. Bahasa juga dapat memasuki wilayah budaya dapat dilihat dari bahasa Jawanya masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara pulau Jawa mempunyai ciri-ciri bernada tinggi, lugas dan apa adanya. Sedangkan bahasa Jawanya atau logat Jawanya masyarakat yang tinggal di pedalaman Pulau Jawa mempunyai ciri-ciri bernada lebih pelan, lebih halus, dan lebih sering menggunakan unggah-ungguh (tata cara bersikap khususnya bagi suku Jawa pedalaman untuk membangun kesan sopan terhadap orang lain). Menurut Rodman dan Adler (1997) dalam M.Ainul Yaqin (2005:76-80) bahasa memiliki kekuatan bahasa yang meliputi delapan kategori yaitu penanaman, kredibilitas, status, seks dan ras, kekuatan, afiliasi, keinginan dan tanggung Jawab. Pertama, kekuatan bahasa dipakai sebagai tanda menyebut sesuatu berupa benda hidup atau benda mati. Contohnya nama Abdul Hamid merupakan nama orang dari suku kata bahasa Arab. Kedua, menunjukan kredibilitas. Bahasa dapat mengetahui kredibilitas orang lain yang sedang berbicara. Sebagai contoh, orang pada saat pidato akan nampak berwibawa dan 37

memiliki kredibilitas ataupun sebaliknya. Ketiga, menunjukan status. Bahasa menunjukan status penuturnya. Keempat, menunjukan ras dan seks. Bahasa mempunyai kekuatan untuk menunjukkan identitas dan mengkategorikan dari ras apa orang yang sedang menggunakan bahasa tersebut dan berdasarkan jenis kelamin, baik pria atau wanita. Sedangkan identitas berdasarkan pembedaan jenis kelamin dikemukakan oleh Winter (1999:59-80). Identitas tersebut terjadi pada masyarakat Kubo di Papua Nugini secara partifial dibedakan lebih pada gender yang sifatnya pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau kaum muda dan kaum yang tua. Kelima, menunjukan kekuatan seperti gaya, intonasi bahasa dengan kepercayaan diri, bergaya memberikan perintah kepada orang lain dan dapat membuat orang lain kagum. Keenam, menunjukan keinginan seseorang dan maksud tertentu. Misalkan, seorang calon presiden yang berkampanye ”janji-janji manis” untuk menarik simpati rakyat. Ketujuh, memperlihatkan adanya afiliasi (solidaritas) terhadap orang lain. Kedelapan, menunjukan tanggung Jawab yaitu bahasa yang bercirikan logis, realitstis, tidak dibuat-buat dan dengan bahasa tubuh yang santun serta apa adanya. Sedangkan menurut Fishman (1982) fungsi dialek ada dua, yaitu untuk sarana berkomunikasi dan untuk menjalin persahabatan dengan sesama remaja dan untuk memenuhi kebutuhan penutur bahasa tentang identitas sosial budaya (Herudjati, 2004:30). Uraian di atas dapat ditarik simpulan, fungsi bahasa ataupun dialek adalah sebagai alat untuk mengkomunikasikan pesan antar penutur dan mitra tutur secara tertulis, ide, gagasan atau perasaan (tujuan estetis) dalam wilayah politik, sosial, dan budaya yang menunjukkan suatu kekuatan bangsa dalam bentuk penanaman, kredibilitas, status seks dan ras, kekuatan, afiliasi keinginan dan tanggung Jawab serta perwujudan identitas sosial-kultural. Fungsi bahasa yang salah satunya sebagai alat komunikasi, pada dasarnya memiliki peran tersendiri dalam mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang latar belakang etnis, budaya, dan bahasa yang berbeda. Haugen berpendapat bahwa “bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis terpisah dari kelompok induk. Sebaliknya selama para penutur tinggal di 38

satu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama” (Herudjati, 2004:5). Khaidir Anwar (1990:33-35), juga berasumsi bahwa “bagaimanapun juga terdapat masalah mengenai hubungan bahasa baku atau bahasa umum dengan dialek-dialeknya”. Sehingga, dalam dialek terdapat penilaian yang subyektif mengenai kegunaan dialek. Misalkan dialek dalam kehidupan sehari-hari,maka dialek dianggap sebagai sesuatu yang penting dan menguasai tingkah laku sosial penuturnya. Dengan demikian, peran yang dapat diambil dari keberadaaan bahasa adalah perwujudan identitas penuturnya dan menyatukan kelompok masyarakat yang berbeda budaya. b. Dialek Banyumasan dan Perkembangannya Setiap bahasa mencerminkan latar belakang masyarakat dan kebudayaannya. Hal ini terlihat pada saat kita bertanya pada lawan bicara tentang ciri-ciri orang lain. “Kita sering mengatakan atau bertanya “bahasa Indonesianya dialek apa, Sunda, Batak, atau Jawa?”. Atau apabila orang yang kita tanyakan tersebut menggunakan bahasa Jawa maka kita juga mengatakan, “bahasa Jawanya dialek Jawa Timur “Suroboyonan” (dialek masyarakat pantai utara Jawa Timur) atau bahasa Jawanya dialek Jawa Timur “Mataram” (dialek masyarakatnya seperti Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Pacitan, Magetan)?. “Apakah bahasa Jawanya berdialek Jogjakarta, Jawa Tengahan atau Banyumasan”. (M.Ainul Yaqin. 2005:80-81).

Masyarakat yang memiliki karakteristik masing-masing muncul perbedaaan logat atau yang biasa disebut dengan dialek atau logat. Salah satu masyarakat dengan dialek khususnya yaitu masyarakat dengan dialek banyumasan. Wilayah Banyumasan secara geografis dari sisi barat daya Provinsi Jawa Tengah (Pulau Jawa bagian tengah). Secara astronomi berada diantara 5˚ Lintang Selatan, 10˚ Lintang Selatan dan 105˚ Bujur Timur, 115˚ Bujur Timur, dari rangkaian kepualauan nusantara bagian barat. Wilayah Banyumas secara administrasi terbagi menjadi empat kabupaten yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara. Di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan Sungai Citanduy. Sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, 39

sebelah tenggara berbatasan dengan daerah Bagelen (Kabupaten Kebumen), sebelah timur dengan Kabupaten Wonosobo, sedang sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Secara morfologi Karesidenan Banyumas bagian tengah merupakan tanah pegunungan kapur yang membujur dari barat ke timur, yang disebut pegunungan Kendeng. Batas bagian utara yaitu pegunungan Perahu dengan puncak tertingginya Gunung Slamet dan Gunung Perahu di dataran tinggi Dieng. Wilayah tersebut terbelah menjadi lembah karena adanya beberapa aliran sungai. Di daerah yang paling barat, mengalir sungai Citaduy. Didaerah bagian timur- utara mengalir anak sungai Klawing dan sungai Sapi. Di bagian tenggara mengalir Kali Bodho yang menjadi batas dengan daerah Kabupaten Kebumen. Secara historologi, sosiologi, dan kulturiologi, yang disebut wong banyumasan yaitu pertama, orang-orang yang merasa dan mengakui kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidup menetap di wilayah Banyumas. Kedua, orang-orang masih bangga menjadi anak, putu, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, gropak senthe, kandang bubrah, debok bosok, galih asem (sebelas silsilah Jawa untuk nama-nama tingkat garis keturunan dari wong banyumasan). Ketiga, yang disebut wong banyumasan yaitu siapa saja yang pernah tinggal-menetap di wilayah eks-Karesidenan Banyumas. Selain itu, wong banyumasan juga tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan batas wilayah atau siapapun yang berkuasa di wilayah administrasi pemerintahan adipati Banyumas. Wong banyumasan pada awalnya bertempat tinggal di luar batas wilayah kadipaten Pasir Luhur, Wirasaba, Banyumas dan Bagelen Barat (kini Kebumen). Akan tetapi, pada awal abad ke-21 menjadi wilayah pembangunan BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) ( Budiono, 2008:13-19). Adapun sejarah pertama kali tentang dialek banyumasan menurut Budiono (2008:6-7), bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang lebih tua daripada bahasa Jawa lainnya. Dialek banyumasan sebagai bahasa Jawa pada tahap awal yang disebut bahasa Jawa dwipa atau bahasa Jawa murni (Pure 40

Javaness Language). Sedangkan pengguna atau penutur dialek banyumasan disebut wong banyumasan atau komunitas Jawa banyumasan. Dialek banyumasan yang biasa disebut dialek ngapak memiliki ciri-ciri pengucapan vokal ‘a’ dan ‘o’, konsonan ‘b, d, k, g, h, y, l, dan w’ sangat mantap (luged), tegas, lugas, tidak mengambang (ampang) atau setengah-setengah. Dialek banyumasan dengan karakteristik pengucapan vokal ‘a’ dan ‘o’ ini, memiliki ciri utama bahasa ibu wong banyumasan menurut Budiono (2008:20) yaitu “jika mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (bergelutuk artinya kalau berbincang-bincang seperti saling tergesa- gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikkan, sedap di dengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya tentu mulutnya mecucu (maju kedepan)”. Dalam hal ini, dialek banyumasan dengan ciri khas tersebut, antar penuturnya saling terjadi kontak bahasa. Menurut Fathur Rokhman dalam Kongres Bahasa Jawa III (2001:39) ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam kontak dua bahasa di masyarakat. Pertama adalah dua bahasa menyatu sehingga lahirlah bahasa baru disebut pijin. Kedua adalah bahasa lama kalah dan tergeser oleh bahasa pendatang. Ketiga adalah bahasa lama dan bahasa baru hidup berdampingan dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Menurut Irwan Abdullah (2006:94-96) perkembangan bahasa nusantara dalam konteks global memiliki tiga bentuk. Pertama, disebabkan oleh interaksi antarbahasa. Interaksi antara bahasa daerah yang penuturnya terbatas dengan bahasa daerah dengan penuturnya sangat banyak. Hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan kedua bahasa daerah tersebut seperti adanya satu bahasa tertentu. Kedua, disebabkan interaksi bahasa daerah dengan bahasa nasional. Hal ini terjadi sejak awal 1970-an (pemerintah Orde Baru), yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sehingga pembinaan bahasa daerah kurang diperhatikan. Adanya interaksi antar bahasa tersebut, muncul keprihatinan terhadap eksistensi bahasa pimggiran. Menurut Abdullah (1999) dalam Irwan Abdullah 41

(2006:97) perkembangan bahasa dalam rangka pengembalian bahasa pada function dan performance (Abdullah, 1999) dapat dilihat dari tiga fakta, yaitu : 1). fakta tentang berkurangnya jumlah penutur bahasa nusantara. Hanya ada kelompok tertentu yang masih bisa berbahasa daerah, terutama kalangan tua sementara anak-anak muda tidak dapat lagi dapat berbahasa daerah dengan baik. Kondisi semacam ini dialami secara khusus oleh kelompok bahasa kecil yang memiliki penutur dengan jumlah terbatas, 2). fakta berkurangnya penggunaan sehari-hari bahasa nusantara. Kegiatan sosial tertentu yang melibatkan emosi dan bersifat informal dapat berlangsung dalam bahasa daerah, meskipun ketergantungan pada konteks sosial menjadi penting. Dalam masyarakat yang heterogen bahasa daerah ini pun ditinggalkan dalam komunikasi karena komunikasi melibatkan anggota etnis yang berbeda, 3). fakta tentang gagalnya bahasa daerah merespon kebutuhan komunikai global yang ditandai dengan masuknya bahasa teknologi melalui teknologi produk sejak tahun 1990-an.

Selain dari ketiga fakta perkembangan bahasa tersebut, ada tiga arah pengembangan bahasa. Pertama, bahasa mengalami proses stylization yaitu bahasa dengan sentuhan gaya dominan dibandingkan penggunaan kata-kata atau kalimat gaul. Kedua, proses privatisasi bahasa nusantara dalam penggunaan bahasa pada kelompok tertentu. Bahasa daerah sebagai bahasa yang khas untuk membangun kembali pada saat bahasa Indonesia mendominasi. Ketiga, melemahnya fungsi kontrol bahasa akibat kredibilitas bahasa. Bahasa tidak efektif untuk komunikasi antar orang karena terbatas pada kelompok dan kelas tertentu. Dalam hal ini, eksistensi bahasa daerah mengalami peminggiran dan bersifat terbatas (Irwan Abdullah, 2006:99-100). Dari beberapa faktor perkembangan dialek-dialek yang ada di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa adanya pergerseran karena : a) faktor globalisasi, b) interaksi antarmasyarakat yang multilingual, c) proses stylization dengan sentuhan gaya berbahasa yang normatif, d) adanya privatisasi bahasa nusantara, e) melemahnya fungsi kontrol bahasa. 3. Identitas Kedaearahan Sebagai Konstruksi Budaya a. Identitas Pada dasarnya, bahasa yang diucapkan oleh setiap orang menunjukkan identitasnya masing-masing, baik itu menunjukkan latar belakang kehidupan sosial budaya, politik maupun status dan peran seseorang dalam suatu masyarakat. 42

Menurut Giddens definisi identitas adalah “apa yang kita pikirkan tentang diri sebagai pribadi bukanlah kumpulan sifat-sifat yang kita miliki, ataupun benda yang kita tunjuk” (Barker, 2006:171). Identitas merupakan salah satu cara berpikir tentang diri kita yang berubah dari satu situasi ke situasi yan lain menurut ruang dan waktu. Seperti halnya pendapat Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas dan Shan Wareig (2006:224), “identitas yaitu siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita, tidak semata ditentukan oleh dari kalangan mana kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari mana kita termasuk”. Giddens menambahkan bahwa identitas yang kita ciptakan membangun apa yang kita pikir tentang diri kita dari situasi masa lalu dan masa kini dan dengan apa yang sedang kita inginkan untuk masa yang akan datang. Proses ini disebut dengan proyek. Proyek identitas ini tergantung pada situasi dimana kita menerjemahkan budaya dalam konteks budaya tertentu. Giddens memberikan pengertian tentang “proyek identitas adalah sesuatu yang kita ciptakan dan dibentuk, sesuatu yang dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang dating kemudian” (Barker, 2006:171). Bagi Giddens, identitas juga dianalogikan “sebagai isu agensi (individu mengkonstruksikan suatu proyeksi) dan sebagai determinasi sosial (proyeksi kita dikonstruksikan secara sosial dan identitas sosial melekat pada kita)” (Barker, 2006:186). Pengertian tersebut memiliki arti bahwa identitas dibentuk dengan adanya individu yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu tersebut, namun lingkungan atau kehidupan sosial budaya yang mengkonstruksikan hal demikian. Konsep agensi diistilahkan oleh Giddens dengan kebebasan, kehendak bebas, kreativitas dan orisinalitas. Agensi ini diproduksi secara sosial dan sumber daya sosial yang beraneka ragam, kemudian menimbulkan kemampuan bertindak pada ruang tertentu dengan berdasar atas pilihan dan determinasi sosial. Adapun pilihan dan determinasi dalam menciptakan identitas adalah 1).dengan membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian tentang tindakan mana yang terbaik, nilai yang telah dibangun secara sosial untuk 43

kita sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa asli banyumasan dalam menggunakan dialeknya, 2).gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari seperti halnya adanya pengaruh faktor eksternal yaitu lingkungan, 3).pilihan bersifat rutinitas atau harian dan tidak terpikirkan secara sadar. Rutinitas menurut Giddens (2005:158) meliputi ikatan dan bentuk kehidupan sehari-hari dibangun ulang dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang lebih luas, 4).dalam memilih, kadang kita tidak memiliki pengetahuan ‘obyektif’ tentang kondisi tindakan kita sendiri karena kita tidak dapat melangkah keluar dari situasi-situasi tersebut, karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Hal inilah yang akan mengarah kepada identitas dalam dialek banyumasan (Barker, 2006:188). Dalam pilihan dan determinasi terdapat istilah orisinalitas. Menindaklanjuti hal demikian, identitas sebagai sebuah hal yang tidak menentu dan ditentukan, yang tidak berarti bahwa kita tidak orisinal. Identitas adalah suatu proses sosial dan budaya, dimana individualitas tentang diri kita dapat dipahami secara spesifik dimana sumber daya sosial diri kita diatur untuk melakukan pilihan dan determinasi (Barker, 2006:189). Oleh sebab itu, identitas bukan sesuatu yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Contohnya identifikasi dalam kelas, gender, umur, seksualitas, agama, etnisitas, maskulin, dan lain-lain. Identitas ini kemudian menjadi terkotak-kotak dengan beberapa makna identitas tertentu (Barker, 2006:181). Pemaknaan identitas ini dipengaruhi adanya individu dengan sosial budaya yang berbeda dan dibentuk adanya tatanan sosial yang ada di masyarakat. Hal tersebut menimbulkan identitas yang ditunjuk seseorang selalu berubah menurut bagaimana subyek yang dipresentasikan. Hall berargumen bahwa “identitas dibangun oleh sesuatu yang bersifat kontradiktif dan saling silang atau saling meniadakan satu sama lain” (Barker, 2006:183). Maka, elastisitas untuk memberikan makna dalam identitas menunjukan bagaimana kita 44

memikirkan diri kita dan orang lain yang disebabkan oleh pergeseran dan perubahan karakter sang pemberi identitas. Jadi, definisi identitas menurut Giddens dimaksudkan bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita pikirkan yang didalamnya terdapat proses penciptaan dan pembentukan atau proyek identitas dengan melibatkan konsep agensi berupa pilihan dan determinasi (pemaknaan identitas). Hal tersebut tidak terlepas dari pemaknaan identitas yang bersifat bebas, dinamis, terus-menerus berkembang dan berubah. . b. Bahasa, Identitas Kedaerahan dan Konstruksi Budaya Eksistensi dialek banyumasan merupakan wujud dari identitas kedaerahan, dalam proses tersebut terjadi sebuah konstruksi budaya dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Perkembangan bahasa daerah dengan perbedaan logat atau dialeknya yang khas, dalam kerangka pemikiran Chaika (1994:270) bahwa dialek menunjukan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas yang dimilikinya. Akan tetapi, dialek juga sebagai proses awal pembentukan terbentuknya masyarakat untuk saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ibu yang mereka sepakati bersama, “dialect studies show that how one speaks is inextricably bound up with one’s identity. Who one is, how one may be treated, and how one may treat other are all proclaimed in one’s speech. In earlier times, in stable societies, people in a community knew one another and knew where everyone belonged on the social scale”. Artinya, studi tentang dialek menunjukan bagaimana seseorang berbicara yang tidak bisa terlepas dari identitas seseorang. Seseorang yang dapat dikatakan dan seseorang yang dapat mengatakan menjadi bagian yang lainnya (satu kelompok identitas) adalah dengan cara berbicara orang tersebut. Pada awalnya, masyarakat dibangun oleh orang dalam suatu komunitas satu dengan komunitas lainnya dan memasukan diri mereka menjadi bagian dalam skala sosial. Masing-masing masyarakat khususnya suku bangsa yang mendiami wilayah tertentu, membangun dan mengembangkan kebudayaan serta memperlihatkan identitas sebagai pendukung kebudayaan. Begitu juga dengan 45

bahasa. Salah satu hal untuk menentukan identitas kita dan untuk mempengaruhi cara orang lain memandang kita adalah melalui cara kita menggunakan bahasa. Orang akan menggunakan bahasa untuk membentuk identitas sosial atau lebih dari identitas sosial. Bahasa sangat penting bagi pembentukan identitas individu dan identitas sosial. Masalah identitas tersebut meliputi siapa diri kita, bagamana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memadang diri kita, tidak semata ditentukan dari kalangan mana orang tua kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari kelas mana orang tua kita berasal, dan digolongan mana kita termasuk. Keberadaan identitas individu dan identitas sosial atau identitas institusional adalah sesuatu yang terus-menerus dibentuk dan dinegosiasikan dalam sepanjang kehidupan kita lewat interaksi kita dengan orang lain (Linda Thomas, 2007:223-235). Selain itu, bahasa memiliki konsep konstruksi yang mengarah pada pandangan untuk memperkuat pemahaman diri. Menurut Hall “bahasa dan pemikiran membentuk ‘aku’, keduanya membawa ’aku’ kepada hakikat melalui proses pemaknaan” (Barker, 2006:178). Seseorang yang tidak memiliki ‘aku’, maka orang tersebut tidak memiliki identitas. Bahasa membangun makna melalui serangkaian perbedaan yang bersifat relasional dan tidak stabil. Akan tetapi, bahasa juga bersifat mendefinisikan, mengkonstruksikan dan memproduksi obyek pengetahuan seseorang terhadap sesuatu, sehingga muncul karakteristik identitas sesuatu tersebut. Karakteristik identitas tentang sesuatu merupakan hasil konstruksi diri. Menurut Anthony Giddens, (2005:163) adalah sebagai ”proyek refleksif, bagian elemental dari refleksivitas modernitas, seorang individu harus menemukan identitasnya sendiri diantara sejumlah strategi dan pilihan yang disediakan oleh sistem abstrak”. Identitas merupakan satu unsur subyektif yaitu berhubungan dengan dialektis di masyarakat. Karena, identitas dibentuk oleh proses-proses sosial, maka identitas dipelihara, dimodifikasi atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya 46

identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu dan struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya atau bahkan membentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus, tetapi sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu pula. Oleh sebab itu, menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:24-25), identitas merupakan budaya yang dikonstruksi dan menemukan konteksnya. Karena kebudayaan dipandang sebagai produk dari proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang terbuka bagi segala gagasan lama dan baru. Demikian pula pernyataan Ariel Haryanto (1989:3), ”bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, tetapi juga membentuk dan menentukan sejarah sosial”. Karena bahasa bukan hanya sebagai alat mengungkapkan pikiran dan komunikasi, tetapi juga pembentuk pikiran dari tatanan sosial dari tiap individu. Konstruksi identitas juga terkait dengan dialektika antara individu dan masyarakat, karena identitas merupakan produk-produk sosial secara sosial obyektif. Selain itu, dialektika juga berkaitan antara alam (sosio-historis) dan masyarakat. Dialektika ini terjadi dalam situasi sosio-historis yang sudah berstruktur. Dialektika berlangsung terus-menerus dari awal dan terus berkembang selama eksistensi individu dalam masyarakat secara sosio-historis. Secara lahiriah, individu sebagai dialektika dengan dunia sosialnya dan merupakan produk sosial. Sedangkan secara batin, individu merupakan dialektika antara faktor biologis individu. Faktor biologis individu memberi batasan secara sosial bagi tiap individu, karena dunia sosial yang ada telah menetapkan batas- batas sosial secara biologis. Dialektika dianggap sebagai pertarungan antara diri yang lebih tinggi dengan diri yang lebih rendah, yang masing masing-masing dipersamakan dengan identitas secara pro-sosial dan anti-sosial. Terkadang, diri yang lebih tinggi menguasai diri yang lebih rendah (Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, 1990:248-261). Menurut Eriksen (1993) dalam Yekti Mauneti (2006:27-28) identitas kultural sebagai konstruksi untuk memperkuat identitas kelompok yang terancam atau golongan minoritas. Identitas sifatnya berubah secara situasional tergantung 47

identitas tersebut dikontruksikan. Identitas yang dikonstruksi melibatkan other. Menurut Eriksen (1993:62) dalam Yekti Mauneti (2006:24) sejumlah other adalah: “kelompok-kelompok dan kolektivitas-kolektivitas selalu terbentuk dalam hubungannya dengan sejumlah other. Identitas bersama bangsa Eropa, misalnya akan selalu harus mendefinisikan dirinya dalam kontras dengan identitas Muslim Timur Tengah, atau Arab mungkin juga dalam hubungannya dengan identitas-identitas Afrika, Asia Timur, dan Amerika Utara, tergantung pada situasi sosialnya (1993:62)” (Yekti Mauneti, 2006:29).

Menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:28) terjadinya konstruksi identitas terdapat tumpang tindih permasalahan budaya. Sedangkan menurut King (1982) dalam Yekti Mauneti (2006:29) bahwa proses pertukaran kebudayaan terjadi dalam waktu yang lama meliputi proses asimilasi antar kelompok etnis. Sehingga proses konstruksi identitas tersebut bersifat kompleks sebagian karena konstruksi merupakan salah satu produk sejarah. Jadi konstruksi identitas sebagai identitas budaya yang dibentuk dan dibangun berkaitan dengan konsep budaya. Proses kebudayaan terdapat interaaksi yang berjalan terus-menerus bahkan terjadi asimilasi budaya. Identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat merupakan proses sosial (proyek identitas) yang didalamnya terdapat pemberian nama atau tanda. Menurut Joanna Thornborrow dalam Linda Thomas dan Shan Wareig (2007:230). ”pemberian nama kepada seseorang, juga dapat sekaligus menjadi tanda bahwa orang itu diterima kedalam kelompok budaya atau agama tertentu, sehingga nama itu tidak hanya memberikan identitas individu tapi juga sekaligus memberikan identitas individu kelompok atau agama”. Identitas berupa pemberian nama atau tanda mengarah kepada pelabelan atau pengkategorian kelompok tertentu. Hal ini dicontohkan oleh Sacks terhadap para remaja yang mengendarai mobil yang dianggapnya karena masih remaja dan seharusnya belum mengendarai mobil. Dari pengkategorian tersebut mengidentifikasikan bahwa seseorang atau kelompok tersebut masuk dalam golongan remaja yang merupakan bagian dari konstruksi orang dewasa yang menyebut mereka masih dalam kategori remaja. 48

Peristiwa tersebut memposisikan seseorang atau kelompok dalam suatu kategori tertentu dengan pemberian label tertentu. Kelompok yang lebih kuat posisinya (mayoritas) akan membuat dan memberikan label kepada kelompok yang lemah (minoritas) untuk penilaian terhadap kelompok yang dilabeli (Linda Thomas dan Shan Wareig, 2007:237). Bahkan dalam penelitian Yekti Mauneti tentang identitas masyarakat Dayak dengan mengambil ringkasan dari tulisan Vickers (1989) yang memberikan gambaran bagaimana penjajah Belanda mendefinisikan citra Bali dari citra sebagai sebuah tempat yang liar tidak beradab menjadi citra sebuah pulau surga. Selain itu, menurut M. Ainul Yaqin (2005:98-101), istilah stereotip atau pelabelan masuk dalam kategori penilaian yang bersifat negatif. Hal ini dijelaskan bahwa didalam beragamnya bahasa khususnya dialek, dapat menimbulkan penilaian-penilaian terhadap dialek yang ada, yang berupa penilaian positif dan penilaian negatif (stereotip). Penilaian positif sebuah bahasa dapat dilihat dari penggunaan Bahasa Inggris secara sukarela oleh masyarakat internasional sebagai bahasa resmi antar bangsa di dunia. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional lebih didasari oleh sejarah masa lalu. Pada era kolonialisme Inggris yang mempunyai wilayah jajahan terluas. Sedangkan di Indonesia sendiri, penilaian positif dapat dilihat dari disetujuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional resmi bagi seluruh bangsa Indonesia pada Kongres Pemuda 1928. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional untuk bahasa perdagangan di wilayah Nusantara. Akan tetapi, stereotip dapat terjadi kepada satu bahasa tertentu. Stereotip ini disebabkan oleh etnosentrisme budaya yang berakibat pada etnosentrime bahasa. Pandangan etnosentrisme bahasa yaitu kecenderungan mengukur bahasa orang lain dengan bahasa sendiri. Sehingga akan berakibat pada pemaknaan bahwa bahasa orang lain akan dinilai sebagai bahasa yang aneh, lucu, kasar dan dinilai tidak baik. Penjelasan di atas mengarahkan kita kepada pengertian bahwa bahasa dengan adanya perbedaan dialeknya masing-masing merupakan hasil kontruksi 49

masyarakat terkait dengan konstruksi identitas kedaerahan. Identitas yang terdiri dari identitas individu dan identitas sosial tersebut, mengalami proses dialektika dan adanya proses sosialisasi dengan penafsiran secara sosial dan historis. Karena konsep identitas tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan proses kontruksi kehidupan sosial budaya di masyarakat. Bahasa yang memiliki keanekaragaman dialek atau logat terdapat penilaian-penilaian atau pemberian suatu label (cap) terhadap dialek, yang berupa penilaian positif dan penilaian negatif (stereotip).

B. Kerangka Berpikir Bangsa Indonesia dalam perkembangan menuju mayarakat yang bebas dan berdaulat dalam keanekaragaman suku, budaya, agama, ras, dan bahasa. Pada dasarnya dinamika masyarakat dan kebudayaan di Indonesia sesuai dengan perjalanan waktu dari masa ore baru dan masa reformasi muncul masyarakat majemuk dan masyarakat multikultural. Salah satu perkembangan kebudayaan dalam masa orde baru dan reformasi adalah mengenai eksistensi bahasa. Bahasa merupakan salah satu unsur budaya dan berfungsi dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya untuk mencapai kesatuan integrasi dalam puncak kebudayaan nasional. Istilah bahasa, ada yang berupa bahasa nasional dan bahasa lokal (bahasa daerah). Bahasa daerah ini memiliki perbedaan dalam hal logat atau yang biasa disebut dengan dialek. Dalam penelitian ini akan meneliti tentang dialek banyumasan yang oleh orang luar daerah banyumasan disebut dengan dialek ngapak. Dialek ini telah mengalami pergeseran bahasa dari para penuturnya, terutama kalangan mahasiswa yang asli dari banyumasan di kota Surakarta. Penelitian ini berdasarkan kasus penggunaan dialek banyumasan oleh mahasiswa asli banyumasan yang datang dengan tujuan belajar di Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama dalam berinteraksi sehari-hari di lingkungan kos dan kampus. Fenomena yang terjadi adalah mereka sudah jarang menggunakan bahasa asli banyumasan, bahkan ada yang benar-benar menghilangkan bahasa ibu mereka dengan Bahasa Indonesia ataupun menyisipkan kata-kata atau istilah asing. Fenomena tersebut ada beberapa 50

kecenderungan perasaan malu, gengsi dan alasan untuk beradaptasi dengan daerah yang didatanginya. Akan tetapi, dialek banyumasan disatu pihak merupakan salah satu kekuatan dan ciri khas suatu daerah, apalagi mahasiswa sebagai generasi muda sudah selayaknya melestarikan budaya dari warisan luhur. Dialek banyumasan merupakan perwujudan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas masyarakat banyumasan. Identitas dalam dialek banyumasan ini ada kaitannya dengan sebuah konstruksi budaya. Konstruksi budaya terkait konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan UNS. Hal tersebut merujuk dari teori Anthony Giddens yang mencakup empat hal, yaitu adanya stereotip dan persepsi berupa tindakan masa lalu yang berasal dari mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan, adanya pilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan, rutinitas berdialek bagi mahasiswa asli banyumasan, serta keberadaan lingkungan kos dan kampus dalam konstruksi dialek banyumasan. Keempat hal tersebut merupakan alur yang menggambarkan proyek identitas di UNS. Selanjutnya keempat hal tersebut akan memberikan gambaran mengenai upaya mahasiswa asli banyumasan untuk mempertahankan bahasa ibu mereka pada saat berada di luar induk banyumasan yaitu di lingkungan kos dan kampus UNS. Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut kerangka berpikir dalam penelitian ini :

51

Gambar 1. Alur Berpikir Konstruksi Identitas Dialek Banyumasan

KONSTRUKSI IDENTITAS DIALEK BANYUMASAN

IDENTITAS (GIDDENS)

Stereotip Pemilihan Rutinitas Lingkungan dan Dialek Penggunaan Kos dan Persepsi Dialek Kampus

Upaya Mahasiswa Asli Banyumasan Dalam Mempertahankan Dialek Banyumasan

52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Secara umum, metode adalah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu secara sistematis. Sementara metodologi ialah suatu kajian untuk mempelajari peraturan-peraturan dari suatu metode. Jadi metode penelitian adalah kajian untuk mempelajari peraturan-peraturan dalam penelitian. Jika ditinjau dari segi filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu menyangkut bagaimana seorang peneliti mengadakan penelitian (Husaini Usman dan Purnomo Setiady A, 2000: 42) Sedangkan menurut Agus Salim (2006:11) dan Dedy Mulyana (2006:145), metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur untuk memecahkan problem dan mencari jawaban dengan mengkaji topik penelitian. Perspektif metodologi dipengaruhi perspektif yaitu perspektif yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa atau situasi yang lain. Adapun pokok-pokok kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di lingkungan kos dan kampus sekitar Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Subyek penelitian yaitu mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Secara spesifik mahasiswa asli banyumasan yang dimaksud yaitu mahasiswa asli banyumasan yang berasal dari eks Karesidenan Banyumasan meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Pertimbangan secara ilmiah terkait dengan subyek dalam penelitian ini adalah karena para penutur atau pengguna dialek banyumasan asli yaitu mereka (mahasiswa asli banyumasan) yang dari kecil hingga saat ini menempuh studi secara akademik berkecimpung dengan dialek banyumasan. Akan tetapi fenomena sosial yang muncul, dialek banyumasan mulai terjadi pergeseran di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Pergeseran tersebut nampak 53

pada penggunaan dialek banyumasan yang tidak secara utuh terutama di lingkungan kos dan kampus. Sebagai contoh pergeseran pada dialek Solo-Yogya dan Bahasa Indonesia. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan hingga penulisan laporan akhir. Adapun rincian waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 1. Waktu Penelitian No. Kegiatan Waktu Des ’08 Januari - Mei’09 - Juli’09 April’09 Juni’09 1. Penyusunan Proposal

2. Penyusunan Desain Penelitian

3. Pengumpulan Data

4 Analisis Data

5. Penulisan Laporan Akhir

B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali atau membangun proporsi atau menjelaskan makna di balik realita. Peneliti melihat peristiwa di lapangan, berupaya menemukan apa yang sedang terjadi dalam dunia yang diteliti (Burhan Bungin, 2003:82). Penelitian kualitatif merupakan penelitian multimetode dengan satu fokus masalah 54

penelitian. Disamping itu penelitian kualitatif memiliki sudut pandang naturalistik dan pemahaman interpretif tentang pengalaman manusia (Agus Salim, 2006:35- 38). Sudut pandang naturalistik menurut H.B. Sutopo (2002:33) bahwa topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli (yang sebenarnya) dari subyek penelitian. Kondisi subyek tersebut tidak dipengaruhi oleh perlakuan (treatment) secara ketat oleh peneliti. Sedangkan sudut pandang interpretif dalam penelitian kualitatif yaitu penafsiran data (termasuk penarikan simpulannya) secara idiografis, yaitu mengkhususkan kasus daripada secara nomotetis (mengikuti hukum-hukum generalisasi). Karena interprestasi dalam penelitian kualitatif tidak mengarah pada melakukan generalisasi dari hasil penelitiannya (H.B.Sutopo, 2002:44). Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Lexy J.Moleong, 2007:4) mendefinisikan ”metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Tugas peneliti dalam penelitian kualitatif menurut H.B Sutopo (2002:35) yaitu menggambarkan atau menjelaskan tentang situasi yang sebenarnya untuk mendukung penyajian data dari lapangan. Pendekatan kualitatif ini meliputi pada latar ilmiah dan individu secara holistik (utuh) yaitu tidak mengisolasi individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi sebagai bagian dari keutuhan atau keseluruhan. Menurut Denzin dan Lincoln (1987) dalam Lexy J.Moleong (2007:5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah dengan tujuan untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dengan metode yang telah ada. Disamping itu, dalam konteks Jane Richie, penelitian kualitatif adalah ”upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti” (Lexy J. Moleong, 2007:6). Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualittatif adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang sifatnya secara holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara interpretif atas 55

pengalaman manusia dengan menggunakan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dan dengan metode yang sistematis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti hendak mendeskripsikan dan menggali data tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan yang terjadi di lingkungan kos dan kampus UNS tentang konstruksi identitas dialek banyumasan. 2. Strategi Penelitian Menurut Edward Taylor (1991) dan Gadamer (1991) dalam Achmad Fedyani S (2005:286) pendekatan interpretif menolak antara subyektivitas dan objektivitas yang berarti bahwa mereduksi makna yang kompleks produk diri sendiri, tapi berdasarkan jaringan makna yang tidak pernah direduksi sebelumnya. Maka, pendekatan interpretif merupakan ”titik balik ke dunia obyektif yang memandang dunia sebagai lingkaran makna yang di dalamnya kita menemukan diri sendiri dan yang tak pernah dapat kita melampauinya”. Hal tersebut menjadi garis besar pendekatan interpretif sebagai pemahaman untuk menemukan makna dari suatu kejadian atau praktik sosial dalam konteks sosial tertentu. Achmad Fedyani S (2005:290-297) menambahkan bahwa penelitian ini mengikuti pendapat Clifford Geertz tentang pendekatan interpretif simbolik atau antropologi simbolik. Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah ada semenjak abad ke-19 dengan tokoh Edward Taylor bahwa kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran dan bersifat arbiter (berubah). Mengekspresikan bunyi tidak secara langsung maka dihubungkan dengan simbol yang berupa bahasa yang ada pada manusia. Disamping itu, pendapat Cassier (1976) bahwa simbol merupakan ekspresi dari simbolik pengalaman manusia. Pada dasarnya ”manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian dari semesta alam ini. Bagian-bagian dari semesta alam ini bagaikanan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik”. Dan salah satunya bahasa yang merupakan bagian dari bentuk interaksi yang berbentuk simbol secara verbal. Bahasa dalam sistem simbol dijadikan pedoman untuk memberikan suatu tanda makna yang spesifik karena simbol atau tanda 56

memiliki makna dalam satu konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula. Jadi antropologi simbolik atau interpretif simbolik adalah strategi pendekatan dalam penelitian sosial yang memandang manusia sebagai pembawa dari produk, sebagai subyek sekaligus obyek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku dalam berkomunikasi pesan. Oleh karena itu, Miles Richarson (1984) dalam Achmad Fedyani S (2005:298) bahwa antropologi dengan pendekatan interpretif merupakan kombinasi konsep kebudayaan yang berupa simbol dengan konsep kebudayaan yang berupa interaksi sosial. Sedangkan, menurut Denzin dalam Dedy Mulyana, (2006:149) ada tujuh karakteristik interaksi simbolik, yaitu (a). simbol dan interaksi menjadi satu sebelum penelitian tuntas, (b). peneliti meneliti perspektif atau peran orang lain yang bertindak dan memandang dunia dari sudut pandang subyek, (c). peneliti mengaitkan simbol dan definisi subyek hubungan sosial dan kelompok sosial, (d). Pengamatan dan pencatatan setting perilaku dalam interaksi, (e). metode penelitian tentang proses atau bentuk perubahan perilaku yang statis (tetap), (f). pelaksanaan penelitian sebagai interaksi simbolik, (g). menggunakan konsep operasional (jelas) dan teori universal serta interaksional). Berdasarkan pendekatan interpretif simbolik di atas, maka penelitian ini menggunakan sudut pandang penelitian yang sifatnya emik. Menurut Clifford Geertz tugas dari interpretif simbolik merupakan penelitian yang menyediakan jawaban bagi kita adalah orang lain dan dengan demikian melibatkan catatan (rekaman) mengenai apa yang dikatakan orang. Maka, untuk mengungkapkan jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari manusia termasuk hakikat dan makna, selain bagaimana identitas manusia didefinisikan dan dipelihara, kemudian menterjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi konsep-konsep yang dipahami bagi peneliti dengan memperluas universe. Memperluas universe yaitu bahwa tugas peneliti mengungkapkan struktur-struktur konseptual (keadaan sebenarnya) yang menginformasikan perilaku subyek diri kita dan mengkonstruksi yang berisi informasi perilaku yang sebenarnya dari subyek penelitian (Achmad Fedyani S, 2005:304). 57

Pendekatan interpretif simbolik dengan sudut pandang emik yang universe ini, oleh Clifford Geertz menggambarkan penelitian dengan deskripsi yang tebal. Artinya bahwa dengan adanya kemajemukan konseptual dalam teori dimaksudkan untuk memahami makna kemudian menginterprestasikan makna tersebut dalam bahasa yang dapat dipahami (Achmad Fedyani S, 2005:306). Selain itu, menurut H.B Sutopo (2002:110), penelitian deskriptif adalah penelitian yang merupakan pengembangan dari penelitian eksploratif. Artinya bahwa dalam penelitian yang mengarah kepada pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai kondisi sebenarnya lapangan. Deskripsi penelitian ini yaitu yaitu pergeseran dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Pendeskripsian tersebut meliputi persepsi mahasiswa asli banyumasan mengenai dialek banyumasan, penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus serta upaya mahasiswa asli banyumasan mempertahankan identitas dialek banyumasan.

C. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data berupa informan, peristiwa atau aktivitas, dan tempat atau lokasi. Menurut H.B.Sutopo (2002:50) informan (narasumber) adalah individu yang memiliki informasi. “Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki oposisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi ini, sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitati lebih tepatnya disebut sebagai informan daripada responden”

Definisi informan menurut Fontan dan Frey (1994) bahwa : “informan adalah seseorang yang bertindak sebagai pembantu peneliti, tetapi ia berasal atau menjadi anggota kelompok yang diteliti. Tugas informan yang utama adalah sebagai petunjuk jalan (guide) dan penerjemah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat kultural, serta istilah-istilah khas atau ungkapan-ungkapan yang dikembangkan secara khusus oleh anggota masyarakat”

58

Sedangkan definisi informan menurut James P. Spradley (1997:46), “informan adalah manusia yang mempunyai masalah, keprihatinan dan kepentingan”. Informan merupakan bagian dari masyarakat yang hidup kompleks antar satu masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, sehingga peneliti harus mengetahui situasi penelitian lapangan yang sedang dihadapi dan harus memperhatikan kepentingan tertentu pada diri si informan. Menurut Suwardi Endraswara (2006:119), sangat penting dalam menentukan informan kunci. Adapun karakteristik informan kunci, diantaranya 1.informan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti, 2.usia informan telah dewasa, 3.informan sehat jasmani dan rohani, 4.informan bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan pribadi untuk menjelekkan orang lain, 5.Informan tersebut merupakan tokoh masyarakat, 6.Informan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti. Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS dengan karakteristik informan, yaitu a.mahasiswa asli banyumasan yang meliputi mahasiswa yang berasal dari Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen, b.mahasiswa asli banyumasan dilihat dari latar belakang ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya (interaksi sosial dan kebiasaan sehari-hari), c.mahasiswa asli banyumasan yang baru dan sudah lama tinggal di kota Surakarta (UNS), d.mahasiswa asli banyumasan dalam lingkungan kos dan kampus, e.mahasiswa asli banyumasan yang mengikuti dan yang tidak mengikuti komunitas mahasiswa banyumasan. Peran informan di atas adalah untuk menjawab tentang konstruksi identitas dialek banyumasan dalam proses individu dan proses sosial, yang meliputi : 1). persepsi mahasiswa asli banyumasan terhadap dialek banyumasan dalam pergaulan sehari-hari dilihat dari : a). persepsi mahasiswa asli banyumasan jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya dan bahasa yang lucu serta bersifat prestise, b). peran dialek banyumasan, c). pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan, 59

2). pengaruh lingkungan dalam mempertahankan identitas kedaerahan, yaitu : a). penggunaan dialek banyumasan di kos, b). penggunaan dialek banyumasan di kampus, 3). upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan, melalui : a). komunitas banyumasan, b). upaya secara individu. Disamping itu, dalam penelitian ini juga melibatkan beberapa informan pendukung yaitu mahasiswa luar banyumasan. Tujuan penggalian informasi dari mahasiswa luar banyumasan adalah untuk mencari makna identitas tentang dialek banyumasan dari luar penutur aslinya. Adapun dalam rangka penggalian informasi kepada mahasiswa luar banyumasan, terkait: (1). makna dialek banyumasan yang didapat baik pada saat mendengarkan percakapan maupun persepsi secara umum, (2). kesan yang diperoleh pada saat mendengarkan percakapan yang berdialek banyumasan melalui pemutaran film veronika. Sumber data yang kedua pada penelitian ini yaitu berupa peristiwa atau aktivitas. Peristiwa adalah sumber data secara disengaja ataupun tidak disengaja, sedangkan aktivitas merupakan rutinitas yang berulang atau yang hanya satu kali terjadi. Aktivitas tersebut meliputi aktifivas secara formal ataupun tidak formal, tertutup atau terbuka untuk dapat diamati oleh siapapun (H.B Sutopo, 2002:51). Terkait dengan peristiwa, aktivitas dan perilaku, dalam penelitian ini hendak mengamati atau mengobservasi mengenai lingkungan kos dan kampus yang berpengaruh pada pergeseran dialek banyumasan dan upaya untuk mempertahankan identitas kedaerahan. Sumber data yang ketiga, yaitu berkaitan dengan tempat atau lokasi penelitian. Menurut HB Sutopo (2002:52), “informasi mengenai kondisi dari lokasi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya baik yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Dari pemahaman lokasi dan 60

lingkungannya peneliti bisa secara cermat mencoba mengkaji dan secara kritis menarik kemungkinan simpulan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian”. Oleh karena itu, lokasi yang diambil dalam penelitian ini, merujuk pada peristiwa atau aktivitas yang terjadi dalam penggunaan dialek banyumasan dikalangan mahasiswa asli banyumasan yang meliputi kehidupan sehari-hari di lingkungan kos dan kampus di UNS.

D. Teknik Pengambilan Informan Penelitian ini menggunakan teknik informan berdasarkan informan kunci dan informan pendukung. Menurut James Spradley (1997:61), kriteria pemilihan informan, yaitu 1.enkulturasi penuh, 2. keterlibatan langsung, 3. suasana budaya yang tidak dikenal, 4. waktu yang cukup, 5. non analitis. Selain itu, ada pertanyaan dasar dalam menentukan informan yang benar adalah a. pemilihan informan yang memadai, b.menanyakan pada mereka berbagai hal yang mereka tahu dan kuasai. Dengan kata lain, kita harus mengadakan seleksi para informan yang mempunyai kemampuan yang kita butuhkan. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan jaringan, yaitu berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemilihan mahasiswa yang berasal dari asli banyumasan melalui perkenalan dengan teman di lingkungan kos dan kampus. Selain itu, penentuan informan melalui perkumpulan atau komunitas banyumasan dari masing-masing daerah seperti komunitas mahasiswa yang asli banyumasan, yaitu seperti Kepamba yang merupakan secara umum bagi mahasiswa asli se-eks Karesidenan Banyumasan (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan Amarangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga).

E. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi. Menurut Denzin (1970) dalam (Black, James A. dan Dean J. Champion, 1992:306) “wawancara adalah pertukaran percakapan dengan tatap 61

muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain”. Sehingga, dalam wawancara terdapat dua pelaku. Menurut Lexy J.Moleong (2007 : 186), dua pelaku tersebut yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Selanjutnya Koentjoroningrat (1986:129) memberikan penjelasan berdasar metode penelitian masyarakatnya, bahwa wawancara adalah penelitian untuk mengumpulkan keterangan kehidupan manusia dalam masyarakat dan sebagai alat pembantu utama dari metode observasi (pengamatan) Adapun wawancara dalam penelitian ini yaitu wawancara tidak terstruktur, atau yang biasa disebut dengan wawancara mendalam (indepth interviewing), karena peneliti tidak tahu apa yang belum diketahuinya. Wawancara dilakukan untuk mencari kedalaman informasi dengan cara yang tidak terstruktur berupa pertanyaaan open-ended (terbuka) untuk menggali pandangan subyek yang diteliti. Wawancara mendalam (indepth interviewing) akan mendapatkan situasi yang akrab. Peneliti berhadapan langsung dengan subyek yang diwawancarai dan situasi di sekitar informan (H.B Sutopo, 2002:59-60). Sedangkan menurut Malinowski, wawancara mendalam merupakan wawancara tidak terstruktur yang digunakan untuk memahami perilaku kompleks dari anggota masyarakat tanpa kategorisasi penelitian (Burhan Bungin, 2003:90). Wawancara mendalam menurut Bogdan dan Taylor (1975:8) tugas peneliti dengan dua pertanyaan yaitu pertanyaan subtantif dan pertanyaan teoritik. Pertanyaan substansif meliputi persoalan aktivitas budaya, dan pertanyaan teoritik berupa pertanyaan tentang makna dan fungsi. Disamping itu, wawancara mendalam tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang. Peneliti tidak percaya begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan perlu melakukan pengecekan melalui pengamatan. Itulah sebabnya cek dan re-cek secara bergantian dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan, atau dari informan yang satu ke informan yang lain (Suwardi Endraswara, 2006:152). Dalam hal ini, wawancara akan dilakukan kepada informan, yaitu mahasiswa asli banyumasan (Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen) yang belajar di UNS. Selain itu, informan pendukung yang 62

diwawancari adalah mahasiswa luar banyumasan, hal ini ditunjukan untuk mencari jawaban tentang pemaknaan secara sosial tentang identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam pencarian data yang mendalam, tidak hanya membutuhkan wawancara mendalam, tetapi juga memerlukan pengamatan atau observasi. Observasi adalah pengamatan dengan mendatangi lokasi peristiwa. Peneliti aktif sebagai pengamat, tetapi mengikuti situasi penelitian dengan mempertimbangkan posisi yang bisa memberikan akses untuk pengumpulan data lengkap dan mendalam (H.B. Sutopo, 2006:67). Sedangkan menurut Suwardi Endraswara (2006:135), observasi adalah penelitian sistematis dengan kemampuan indera manusia. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Tugas peneliti berupa pengamatan tentang : “apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka”. Metode observasi dalam penelitian ini yaitu observasi partisipan aktif atau pengamatan berperan serta. Menurut Bruyn, metode pengamatan berperan serta adalah “prosedur riset yang dapat memberikan basis yang memadai untuk menangkap makna yaitu makna mengenai eksistensi manusia dilihat dari sudut pandang orang dalam”. Pengamat sebagai partisipan yang belajar untuk masuk dan betah dalam budaya yang diamati dan menelaah serta melaporkan temuannya. Peneliti harus menemukan rumahnya kembali setelah keluar dari penelitiannya. Oleh sebab itu, pengamatan berperan serta dianggap cocok untuk meneliti perilaku manusia dan realitas kehidupan secara rutinitas dan alamiah. Tugas peneliti adalah berusaha memahami makna dari subyek maupun obyek penelitian yang diamati. Sehingga menempatkan manusia sebagai humanistik yang berperilaku (Dedy Mulyana, 2006:167-180). Pengamatan partisipan dalam penelitian ini yaitu mengamati tentang aktivitas atau perilaku informan (mahasiswa asli banyumasan) dalam lingkungan kos dan kampus. Lingkungan tersebut meliputi pengamatan lingkungan kos putra dengan observasi tidak langsung. Agar data yang diperoleh akurat, maka peneliti 63

dengan melibatkan informan teman-teman kos putra dalam memberikan gambaran tentang si informan kunci melalui wawancara. Selain itu, pengamatan yang sifatnya observasi partisipan juga dilakukan pada saat pemutaran film dokumenter yangberdialek banyumasan yang berdurasi tiga belas menit tiga belas detik. Film tersebut berjudul yang berjudul “peronika” yang merupakan buah karya dari Laely Leksono. Pengamatan ini bertujuan untuk melihat bagaimana reaksi atau respon saat pemutaran film tersebut, dan tidak menutup kemungkinan ada wawancara untuk menggali respon yang muncul pada informan-informan tersebut. Adapun informan yang dimaksud adalah informan kunci dan informan pendukung, yaitu mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. F. Validitas Data Penelitian kualitatif menyadari bahwa realitas obyektif tidak pernah bisa ditangkap, maka untuk pemahaman mendalam tentang fenomena yang diteliti, dalam memperoleh validitas data, dapat dilakukan dengan trianggulasi. “Triangulasi bukan alat atau strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif pembuktian secara empiris, sudut pandang pengamatan yang teratur dan menjadi strategi yang baik untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian (Agus Salim, 2006:35). Dalam penelitian ini, triangulasi yang peneliti menggunakan yaitu triangulasi sumber (data) dan triangulasi metode. Menurut Sutopo ( 2002:79) triangulasi data atau sumber mengarahkan peneliti menggunakan sumber data yang berbeda. Artinya, data yang sama atau sejenis, secara kelompok berasal dari sumber sejenis ataupun berbeda jenis. Triangulasi sumber dalam penelitian ini yaitu informan. Kedudukan informan sebagai narasumber dengan teknik wawancara mendalam (wawancara tidak terstruktur), sehingga informasi dari narasumber yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari narasumber (informan) lainnya. Sedangkan menurut Patton (1987:331) triangulasi sumber merupakan pengecekan balik tentang derajat kepercayaan (validitas) informasi berupa waktu dan alat yang berbeda dengan cara : 64

1.membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, 2.membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, 3.membandingkan apa yang dikatakan orang- orang tentang situasi penelitian dengan apa yang ikatakannya sepanjang waktu, 4.membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan, 5.membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Lexy J.Moleong, 2007:330-331)

Penelitian ini menggunakan triangulasi data (sumber) yaitu informan yang berbeda-beda dengan mengkategorikan informan yang berasal dari Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen. Pengecekan balik untuk memperoleh derajat kepercayaan (validitas) dilakukan dengan : a. membandingkan persepsi informan yang satu dengan informan yang lainnya tentang dialek banyumasan serta membandingkan penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus, b. membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara yaitu membandingkan antara persepsi informan dengan pengamatan yang sebenarnya tentang penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus, c. membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan informan. Dalam hal ini mencari data dari mahasiswa luar banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan untuk mencari jawaban tentang konstuksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS. Triangulasi kedua dalam penelitian ini yaitu triangulasi metode. Menurut H.B Sutopo (2002:80), triangulasi metode adalah pengumpulan data-data yang sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode yang berbeda. Hal ini bertujuan membandingkan data yang telah diperoleh dari beberapa metode atau teknik pengumpulan data, sehingga dapat ditarik simpulan data untuk lebih kuat validitasnya. Sehingga, seperti yang telah dijabarkan di atas, triangulasi metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode wawancara mendalam 65

(indepth interviewing) dan metode observasi partisipan (pengamatan berperan serta). G. Analisis Data Menurut Miles dan Huberman (1992:16-20) analisis data penelitian kualitatif terdapat tiga alur kegiatan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Pertama, reduksi data yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar atau mentahdari lapangan. Reduksi data secara terus-menerus selama kegiatan penelitian di lapangan. Bahkan sebelum data terkumpul, antisipasi akan adanya reduksi data sudah nampak. Selama pengumpulan data, terdapat tahapan reduksi berikutnya yaitu meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat pemilihan data, dan menulis memo. Kemudian reduksi data berlanjut sampai sesudah penelitian di lapangan, hingga laporan akhir lengkap tersusun. Kedua, penyajian data yaitu alur kedua dalam kegiatan analisis atau sekumpulan informasi untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Hal tersebut meliputi pemahaman apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk penelitiannya. Menurut Faust (1982) penyajian data kualitatif berupa teks naratif yaitu memproses infomasi kedalam bentuk tulisan yang sederhana. Kegiatan penyajian data berupa pembuatan matriks, grafik, jaringan dan bagan untuk menggabungkan informasi yang mengarah pada analisis. Akan tetapi, membuat matrik juga merupakan bagian dari kegiatan reduksi data. Ketiga, penarikan kesimpulan (verifikasi) yaitu menarik kesimpulan dan verifikasi. Kegiatan tersebut meliputi pengumpulan data, mencarai makna, mencatat keteraturan, pola- pola, penjelasan, menganalisis sebab akibat, dan proposisi yang ada pada masalah penelitian. Penarikan kesimpulan hanya sebagian dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung yaitu dengan cara merefleksi kembali (meninjau ulang) apa yang telah ditemukan. Proses seperti ini disebut model analisis yang dapat diperjelas dengan bagan berikut ini : 66

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data

Penarikan kesimpulan

Gambar 2. komponen-komponen analisis data model interaktif (Matthew B.Miles dan A.Michael Huberman, 1992:20)

Berdasarkan model interaktif di atas, penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data, kegiatan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Pengumpulan data berupa persepsi dan penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Selain itu, dalam mengumpulkan data tentang konstruksi identitas dialek banyumasan meliputi persepsi mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. Hasil penelitian lapangan tersebut dinarasikan dalam bentuk fieldnote. Kemudian peneliti melakukan reduksi data dari fieldnote tersebut dalam bentuk matriks hasil penelitian. Kemudian matriks yang telah ada di lanjutkan pada penyajian data dengan membuat matriks gabungan antara matriks hasil penelitian dengan matriks teori sebagai bahan analsis data. Data yang sudah dianalisis tersebut, kemudian ditarik kesimpulan dan diverifikasi (kroscek) dengan triangulasi data (sumber) dan triangulasi metode. H. Prosedur Penelitian Langkah-langkah penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara pasti seperti halnya penelitian kuantitatif. Menurut Husnaini Usman dan Purnomo Setiady A, 2000:82-84), langkah-langkah penelitian kualitatif dapat dibagi menjadi lima, diantaranya : 1. studi pendahuluan untuk penjajagan keadaan di lapangan agar lebih fokus, 67

2. pembuatan pradesain penelitian yaitu membuat desain tentang teori, instrumen penelitian dan mendesain analisis data, 3. seminar pradesain yaitu melakukan seminar sebagai umpan balik dari proposal penelitian untuk mengadakan perbaikan tulisan, 4. pengumpulan data dan memasuki lapangan meliputi memilih lokasi atau tempat, informan (pelaku) dan kegiatan (aktivitas) di lapangan, 5. analisis data yang terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Akan tetapi, langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah dengan mengambil prosedur penelitian dari H.B.Sutopo (2002:187-190) yang meliputi empat tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian. Untuk lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut. a. Persiapan. 1) Menyusun proposal penelitian yang meliputi pengajuan judul dan tulisan proposal penelitian kepada dosen pembimbing . 2) Membuat desain penelitian yaitu dengan mengumpulkan bahan/sumber materi penelitian yang berasal dari lapangan berupa data dan pengamatan awal serta menyiapkan instrumen penelitian atau alat observasi. 3) Mengurus perizinan penelitian. b. Pengumpulan Data. 1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta atau observasi partisipan. 2) Membuat fieldnote (catatan lapangan) dan transkrip hasil wawancara. 3) Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan. c. Analisis Data. 1) Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai desain penelitian yang meliputi reduksi data (pembuatan matriks hasil penelitian lapangan), penyajian data (pembuatan matriks hasil lapangan dengan matriks teori) dan penarikan kesimpulan (verifikasi). 2) Mengembangkan hasil intepretasi data dengan analisis lanjut kemudian disesuaikan dengan hasil temuan di lapangan. 68

3) Melakukan pengayaan dalam menganalisis data yang sudah ada dengan dosen pembimbing. 4) Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. d. Penyusunan Laporan Penelitian. 1) Penyusunan laporan awal. 2) Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan dosen pembimbing. 3) Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi 4) Penyusunan laporan akhir.

69

BAB IV LAPORAN DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lingkungan kos dan kampus Universitas Sebelas Maret, Surakarta (UNS). Adapun hal-hal yang dapat dideskripsikan mengenai lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Lingkungan Kos Sekitar UNS. Lingkungan kos yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu lingkungan kos di sekitar kampus UNS, baik yang berada di depan kampus atau pun di belakang kampus. Karakteristik kos yang diambil yaitu lingkungan kos terdapat mahasiswa asli banyumasan. Hal tersebut meliputi penghuni kos secara homogen (berasal dari mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan kos yang heterogen (penghuni kos mayoritas mahasiswa yang berasal dari luar banyumasan). Penelitian di lingkungan kos bertujuan untuk menggali data tentang penggunaan dialek banyumasan, meliputi lingkungan kos putra ataupun putri. Data-data yang diambil dalam penelitian ini berupa letak geografis kamar kos dan kehidupan sosial budaya. Letak geografis kamar kos mencakup letak strategis kamar kos mahasiswa asli banyumasan dengan teman-teman kos lainnya dalam satu blok atau satu kompleks kamar kos. Kehidupan sosial budaya meliputi kehidupan keluarga mahasiswa asli banyumasan, latar belakang pendidikan, kehidupan ekonomi, dan kehidupan sosial. Kehidupan keluarga berkaitan tentang hubungan kekeluargaan dengan ayah, ibu, dan saudara. Latar belakang pendidikan berkaitan dengan pendidikan terakhir ayah dan ibu serta pola pendidikan dalam lingkungan keluarga. Kehidupan ekonomi menyoroti tentang jumlah uang saku dan fasilitas yang berkenaan dengan perkuliahan dan kehidupan sehari-hari. Kehidupan sosial mencakup kebiasaan sehari-hari berupa interaksi dan komunikasi antar teman-teman kos, baik dengan teman kos yang berasal dari satu dialek banyumasan atau pun berasal dari luar banyumasan. 70

Lingkungan kos di sekitar kampus UNS terdiri dari kos Surya 1, Surya 2, Surya 3, kos Panggung Rejo, Kos Jalan Kabut, Kos Sawah Karang, kos Ngoresan, kos Gulon, kos Tejo, kos Pucang Sawit dan kompleks STSI. Kos tersebut, masing-masing kos memiliki karakteristik masing-masing. Jika dilihat dari penutur dialek banyumasan dan luar banyumasan, ada beberapa kompleks kos- kosan yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan dan ada pula kos yang mayoritas mahasiswa asli banyumasan. Sebagai contoh di kos IK di kos Ngoresan, SLV di kos Tejo, dan Ulya di kos Surya 2 sebagaian besar penghuni kos tersebut yaitu mahasiswa sekitar Solo-Yogya. Sedangkan kos yang mayoritas mahasiswa asli banyumasan dapat diambil contoh dari hasil penelitian ini, yaitu kos Ichen di kos Jalan Kabut dan kos DD di kompleks STSI.

2. Lingkungan Kampus UNS.

Karena sulitnya mencari data mahasiswa asli banyumasan dari tiap daerah penutur seperti dari Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen, maka penelitian ini hanya menyajikan hasil rekapitulasi data tentang penutur dialek banyumasan berdasarkan letak provinsi. Provinsi yang menjadi obyek kajian tentang penutur dialek banyumasan yaitu Provinsi Jawa Tengah khususnya wilayah se-eks Karesidenan Banyumas. Banyumas merupakan salah satu dari Karesidenan yang ada di Jawa Tengah. Sedangkan, Provinsi Jawa Tengah terbagi atas 2 kawasan, yaitu Jawa Tengah kawasan Utara dan Jawa Tengah kawasan Selatan. Jawa Tengah bagian Utara meliputi Banyumas, Purwokerto, Banjarnegara, Purbalingga, Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang dan sekitarnya. Sedangkan Jawa Tengah bagian Selatan meliputi Cilacap, Kebumen, dan eks-Karesidenan Surakarta. Data mengenai jumlah mahasiswa asli banyumasan dapat diperoleh dari Sekertariat SPMB UNS. Data tersebut berisi tentang penerimaan Mahasiswa Baru (Maru) berdasarkan asal provinsi mulai tahun 2005 sampai 2008. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 menempati urutan terbanyak mengenai jumlah mahasiswa dibandingkan provinsi lainnya. Provinsi lain meliputi Provinsi Jawa 71

Barat, DKI, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Timur dan Luar Jawa. Pada tahun 2008 UNS menerima...... mahasiswa baru. Provinsi Jawa Tengah berjumlah 3780 mahasiswa, dengan prosentase 78,20%. Hal tersebut sebagai deskripsi awal bahwa Provinsi Jawa Tengah menempati urutan paling banyak di tahun 2008. Bahkan hampir di setiap tahunnya mengalami penambahan jumlah mahasiswa sejak tahun 2005 sampai tahun 2008 dari semula jumlah mahasiswa pada tahun 2005 hanya 1806 mahasiswa, menjadi 3780 mahasiswa. Sedangkan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 mendapat prosentase 2,28% dengan jumlah 113 mahasiswa, Jakarta 3,74% dengan jumlah 185 mahasiswa, Yogyakarta 2,83% dengan jumlah 140 mahasiswa, Jawa Timur 9,92% dengan jumlah 491 mahasiswa, dan Luar Jawa 3,03% dengan jumlah 150 mahasiswa. Disamping itu, kehidupan sosial budaya mahasiswa asli banyumasan sebagai pendatang selalu melakukan adaptasi dengan kehidupan sosial budaya yang ada di Surakarta. Selain itu, meneliti tentang pola interaksi dan komunikasi sehari-hari di lingkungan kampus. Sedangkan, kehidupan budaya berkaitan dengan keberagaman budaya diantara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya. Hal ini meliputi perbedaan asal daerah dan perbedaan fakultas satu dengan fakultas yang lain. Kampus sebagai tempat belajar para mahasiswa dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian serta pengembangan masyarakat dengan acuan kurikulum yang tertata rapi oleh masing-masing program studi (prodi) atau jurusan tertentu, memberikan konsekuensi untuk menghasilkan lulusan sarjana yang berkualitas dan multitalenta sesuai dengan prodi atau jurusan yang diambilnya. Disamping itu, lingkungan kampus yang beranekaragam dari berbagai belahan daerah merupakan bagian dari masyarakat multikultural di UNS. Tiap-tiap daerah memiliki karakteristik budaya yang membawa konsekuensi pada pola pergaulan dan khususnya penggunaan dialek dalam rangka berinteraksi dan berkomunikasi di lingkungan kampus.

72

B. Deskripsi Data Penelitian Masyarakat merupakan sebuah komunitas atau sekumpulan orang-orang dalam suatu wilayah karakteristik tiap-tiap tertentu seperti adat-istiadat, budaya, kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun nilai serta norma menjadi satu bagian yang tidak bisa terpisahkan satu sama lainnya. Masyarakat dengan kehidupan yang kompleks, senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan yang sifatnya dinamis. Namun karena gejala tersebut memiliki intensitas yang begitu kuat, maka makin banyak nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah lalu perlahan-lahan akan mengalami perubahan. Telah menjadi hukum alam bahwa masyarakat memiliki perbedaan kemampuan dan kepekaan dalam mengadopsi setiap perubahan ataupun tentang inovasi baru. Ada masyarakat yang masih erat memegang teguh adat mereka, ada pula yang semakin terbuka dengan adat daerah lain, sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi perubahan adat dan kebiasaan. Perubahan adat dan kebiasaan dalam masyarakat yang multilingual dan multikultural terutama bangsa Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa yang beragam, menimbulkan konsekuensi banyaknya bahasa daerah yang digunakan oleh masing-masing suku bangsa di Indonesia. Oleh sebab itu, bahasa daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan serta memperkaya perbendaharaan bahasa dan khasanah kebudayaan nasional sebagai salah satu unsur kepribadian bangsa. Bahasa daerah perlu terus dibina agar tetap mampu menjadi ungkapan budaya masyarakat yang mendukung kebhinekaan budaya sebagai kreativitas dan sumber kekuatan bangsa. Salah satu sumber kreativitas dan kekuatan bangsa di antara bermacam- macam dialek yang ada di Pulau Jawa salah satunya dialek banyumasan. Secara historis, etnologis, sosiologis, kultural dan formal, penutur asli dialek banyumasan meliputi daerah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen dan biasa disebut wilayah BARLINGMASCAKEB. Dari para penutur asli tersebut tersebar ke berbagai pelosok di daerah yang berbeda. Ada yang dengan tujuan bekerja di daerah orang lain, alasan hidup merantau, ataupun karena tujuan untuk belajar. Penelitian ini meneliti tentang mahasiswa asli 73

banyumasan yang belajar di UNS dengan tujuan belajar. Penelitian ini mencakup penggalian data tentang penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan, baik di kos dan di kampus. Adapun deskripsi hasil penelitian tentang identitas dialek banyumasan sebagai sebuah konstruksi budaya.

1. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan. a. Persepsi Tentang Dialek Banyumasan. Bahasa dengan dialek (pengucapan/logat) dari tiap-tiap daerah, tidak ada bedanya dengan cerminan dari para pengguna bahasa/dialek tersebut. Bahasa mempermudah orang untuk saling berkomunikasi satu sama lain dan menunjukkan identitas seseorang tentang keberadaan akan siapa dirinya di dalam masyarakat. Pemaknaan bahasa yang bisa dikaji dalam hal kekuasaan, politik, status sosial, maupun berkaitan dengan identitas seseorang. Akan tetapi, dalam tulisan ini difokuskan pada kajian bahasa sebagai sebuah identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat dalam lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya meliputi lingkungan kos dan lingkungan kampus di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Namun, di antara mahasiswa asli banyumasan terdapat persepsi yang berlmacam-macam tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul menurut mahasiswa asli banyumasan, bahwa dialek banyumasan adalah bahasa dengan dialek atau logat yang cepat dan ceplas-ceplos (terbuka). Hal ini diungkapkan oleh TFA yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Banyumas dan baru dua tahun di Solo, berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang memiliki logat cepat dan sifatnya “ceplas-ceplos” (terbuka). Selain itu, dialek banyumasan terlihat dari para penutur aslinya pada saat pengucapan vokal ‘a’ yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi ngapak ?” (kamu sedang apa?). Selain itu, konsonan ‘d’, ‘g’, dan‘k’ juga dilafalkan dengan sangat mantap. Hal inilah yang oleh orang luar banyumasan memberikan istilah dialek ngapak- 74

ngapak. Disamping itu, Rista yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah Surya 1, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, memiliki volume tinggi ,adanya penekanan dalam kata tertentu dan pengucapan kalimat cepat. Penekanan dalam huruf tertentu misalnya pada huruf ‘k’, jika dengan dialek Jawa alus atau Jawa wetan (Solo-Yogya) yang menyatakan kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’ mengalami penekanan dalam pelafalannya. Menurut DON hal tersebut merupakan bagian dari kajian fonologi. Dialek banyumasan yang memiliki keunikan dan ciri khas pengucapan pada huruf dan kosakata tertentu dalam pelafalannya, diakui oleh DD dan Wan mahasiswa asli Kebumen, serta Wh mahasiswa asli Purbalingga bahwa dialek banyumasan sarat dengan nuansa humor atau kelucuan. Dialek banyumasan menurut DD sebagai bahasa yang unik dan memiliki nilai tersendiri, apalagi sangat kental dengan hal-hal yang bersifat lucu. “Kadang ngomong bahasa banyumasan luwih ana lucune ketimbang bahasa jawa alus, lucuné garing banget. Angger bahasa banyumasan toli ngomong sithik-sithik mesti ana baé sing gawé weteng kepingkel-pingkel”. (Kadang berbicara dengan bahasa banyumasan lebih ada lucunnya daripada bahasa jawa alus sangat susah sekali. Kalau bahasa banyumasan itu, berbicara sedikit-sedikit pasti ada saja yang membuat perut (orang) terbahak-bahak). (L/DD/5/4/09). Wan berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang sifatnya lucu (humoris) yang merupakan percampuran bahasa antara Jawa alus dan Jawa Timuran alias dialek tengah-tengah. Pernyataan Wan tersebut juga dikuatkan oleh DON mahasiswa asli Purbalingga yang menyatakan jika dilihat dari segi geografis, dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran. Menurut ST, dialek banyumasan merupakan bahasa yang fulgar, tidak membedakan status seseorang (tidak ada unggah-ungguh), tidak plin-plan (apa adanya) dan dialek yang sifatnya datar. Menurut NP mahasiswa asli Kebumen yang sudah lima tahun berada di Solo mengungkapkan bahwa dialek banyumasan 75

adalah bahasa yang sifatnya terbuka, fulgar dan ibaratnya tidak plin-plan (konsisten). “Dialek banyumasan kuwe pokoke angger ngomong iya, iya. Ora ya ora. Dadine ora ditutup-tutupi” (Dialek banyumasan itu pokoknya kalau berbicara iya, maka bilang iya. Kalau dalam hati berkata tidak. Maka bilang tidak. Jadi tidak ada yang ditutup-tutupi).(W/NP/13/4/09). Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak membeda-bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat. NP menambahkan bahwa dialek banyumasan sifatnya datar antar perasaan sedih dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya. Sebagai contoh ada sebuah pertanyaan : “rika kenangapa tiba !?” (Kamu kenapa jatuh!?). Dari pertanyaan di atas, bisa berarti dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada keras (marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya. Penjelasan mengenai dialek banyumasan dari mahasiswa asli banyumasan memiliki keberagaman persepsi. Ada kalanya dialek banyumasan merupakan dialek yang sudah merupakan bagian dari hidup orang banyumasan dan tidak bisa dipisahkan dari sifatnya yang medhok. Hal ini dijelaskan oleh Ichen mahasiswa asli Cilacap bahwa dialek banyumasan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak bisa terpisahkan. “inyong angger ora ngomong ngapak- ngapak, kayané ana sing ilang baé sekang inyong kiyé”. (Aku kalau tidak berbicara ngapak-ngapak sepertinya ada yang hilang pada diriku ini) (W/Ichen/15/4/09). Selain itu, menurut DON dialek banyumasan jika dilihat dari segi sejarah merupakan dialek yang paling lama atau tertua dari bahasa jawa lainnya, hal ini terjadi pada zaman batu (palaeolitikum). Dialek banyumasan dengan usia yang paling tua dari dialek Jawa lainnya, oleh karena itu dialek banyumasan memiliki kosakata yang paling banyak. Hal ini dibenarkan oleh Epra mahasiswa asli Purbalingga yang sudah empat tahun di kampus UNS. Dialek banyumasan juga diartikan sebagai dialek yang dapat menunjukkan identitas penuturnya. Hal ini diterangkan oleh IK mahasiswa asli Banjarnegara bahwa dialek banyumasan merupakan bahasa yang menunjukkan inilah ‘aku’. “iya, mba. Dialék banyumasan kue njelasna tentang siapa si inyong kiyé. Logaté sing akéh huruf ‘a’ 76

-né”.. (Iya, Mba. Dialek banyumasan itu menjelaskan tentang siapa aku ini. Logatnya banyak menggunakan huruf ‘a’) (W/IK/6/4/09) Identitas diri yang ditunjukkan bahwa seseorang berasal dari daerah banyumasan akan nampak juga pada sifat kepolosan orang banyumasan pada saat berbicara ngapak-ngapak. Menurut GNC mahasiswa asli Purbalingga, dialek banyumasan memiliki definisi sebagai dialek yang memiliki keunikan karena adanya perbedaan dengan dialek-dialek yang lain. Uniknya disini kadang membuat orang lain merasa terhibur dengan kelucuan dan kepolosannya pada saat penutur asli kaum banyumasan melafalalkan logat banyumasan. Oleh karena itu, dialek banyumasan oleh masyarakat luas di luar banyumasan yang dikenal adalah bahasa yang menggunakan dialek "ngapak" yang selama ini hanya diidentikkan sebagai bahasa pelawak (guyonan) dan bahasa kaum lapisan bawah (rakyat jelata). Bahasa ibu wong banyumasan adalah jika mereka berbicara terlihat cowag (keras nada suaranya), gemluthuk (bergelutuk artinya kalau berbincang-bincang seperti saling tergesa-gesa atau cepat menanggapi), logatnya kenthel, luged, mbleketaket (kental, mengasyikkan, sedap di dengar oleh sesama asal daerahnya), dan cara bicaranya tentu mulutnya mecucu (maju kedepan). Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil simpulan tentang persepsi mahasiswa asli banyumasan terkait dialek banyumasan yaitu pertama bahwa dialek banyumasan identik dengan vokal ‘a’ dan konsonan ‘d’, ‘g’ dan ‘k’ yang mantap dalam pengucapannya, sehingga logatnya cepat dengan volume tinggi dan ceplas-ceplos (terbuka dan tidak plin-plan). Kedua, dialek banyumasan merupakan dialek yang menyatukan penutur yaitu mahasiswa asli banyumasan yang berada di UNS. Ketiga, dialek banyumasan sebagai wujud identitas wong banyumasan. Keempat, dialek banyumasan sering dikaitkan dengan nuansa humor dan kepolosan dari para penuturnya. Kelima, dialek banyumasan memiliki sifat yang datar, baik kalimat sedih atau kalimat gembira sama saja. Keenam, dialek banyumasan tidak ada pembedaan tingkatan dalam penuturan kepada orang yang lebih tua atau muda (tidak ada tingkatan dialek). Ketujuh, dialek yang 77

merupakan bagian dari hidup mahasiswa asli banyumasan dan secara historis dialek banyumasan merupakan dialek yang tertua diantara dialek Jawa lainnya. b. Peran Dialek Banyumasan bagi Mahasiswa Asli Banyumasan. Dialek banyumasan yang dipergunakan oleh mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS memiliki peran yang bermacam-macam. Dialek banyumasan sebagai identitas orang banyumasan yang memliki ciri khas dan logat yang berbeda dari dialek dalam bahasa jawa lainnya. Menurut DD dialek banyumasan memiliki peran sebagai penyatu antar penutur banyumasan. Maka, dialek banyumasan menjadi salah satu perekat kedekatan emosional diantara mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Hal ini terjadi pada TFA pada saat bertemu dengan mahasiswa banyumasan yang pada awalnya tidak kenal, kemudian berkenalan dan ternyata berasal dari satu kawasan yang sama yaitu banyumasan, maka secara tidak langsung berbicara ngapak-ngapak. “Inyong angger ketemu karo kancané, apa pas kenalan karo wong sing habitaté pada baé kaya inyong, ya ngomong kaya kiyé, mba” (Aku kalau bertemu dengan teman atau pada saat berkenalan dengan orang yang sama dengan aku, maka akan berbicara dengan dialek banyumasan) (W/TFA/3/4/09). Selain itu, menurut mahasiswa asli banyumasan bahwa dialek banyumasan sebagai salah satu bentuk keanekaragaman budaya dari bangsa berupa dialeknya yang khas. Oleh karena itu, menurut DON bahwa peran dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus selain sebagai alat komunikasi dan untuk mengenalkan budaya banyumasan. Sedangkan pendapat Rista mahasiswa asli Cilacap, bahwa peran dari penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kampus sebagai identitas diri yang memiliki ciri khas yang unik dan tidak ada di tempat lain. Disamping itu, dialek banyumasan berperan sebagai dialek yang dekat dengan strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Misalkan standarisasi atau EYD ke bahasa Indonesia tentang “apa”. Dalam dialek banyumasan, pelafalan tetap “ngapak” sesuai tulisan, untuk jawa alus “opo”. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yaitu pertama mengenalkan kebudayaan dialek 78

banyumasan pada masyarakat Solo dan sekitarnya, terutama di wilayah UNS. Kedua, dialek banyumasan berperan sebagai bentuk identitas dari mahasiswa banyumasan. Ketiga, dialek banyumasan berperan sebagai penyatu antar mahasiswa dialek banyumasan di wilayah UNS. Keempat, dialek banyumasan berperan sebagai dialek yang dekat dengan standarisasi ke dalam bahasa Indonesia. c. Pemilihan Penggunaan Dialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan memiliki pemilihan yang berbeda dalam menggunakan dialek mana yang akan dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehari-hari baik di lingungan kos maupun kampus. Dalam hal ini faktor yang disoroti yaitu faktor internal dari tiap-tiap mahasiswa asli banyumasan. Menurut Ng, ST dan Wh, mereka melalukan pemilihan secara personal dalam memilih dialek yang akan mereka pergunakan yaitu tergantung lawan bicara mereka. Sehingga dalam hal ini bersifat kondisional, karena bertujuan untuk berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Hal serupa juga terjadi pada DD, GNC, Wan dan Ns. Mereka menyatakan bahwa faktor pemilihan dialek yang dipergunakan dalam lingkungan kos dan kampus karena untuk memperlancar komunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ulya bahwa faktor pemilihan dialek bertujuan untuk memudahkan orang lain khususnya mahasiswa luar banyumasan agar mencerna bahasa lebih mudah dipahami. Dalam hal ini, sangat dimungkinkan adanya percampuran dialek seperti modifikasi dialek banyumasan dengan dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan dengan Bahasa Indonesia, atau pun variasi dialek banyumasan, dialek Solo-yogya dan Bahasa Indonesia. Fenomena pemilihan dialek dari mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kos dan kampus karena secara emosional dipilih untuk mempermudah interaksi dan komunikasi. Hal ini terjadi pada Rista, yang memilih menggunakan dialek campuran pada saat di kos dan di kampus karena sifatnya menyesuaikan. Bahkan menurut Ichen, memilih dialek banyumasan sebagai dialek alternatif di 79

UNS, baik di kos dan di kampus adalah untuk mengenalkan budaya banyumasan khususnya terkait dengan dialeknya. Uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa proses pemilihan dialek tertentu khususnya dialek banyumasan yaitu petama faktor pemilihan dilakukan secara emosional dan berlangsung secara terus-menerus. Kedua, faktor pemilihan dikarenakan untuk beradaptasi dengan lawan bicara (adaptasi dengan mahasiswa luar banyumasan) agar lebih mempermudah interaksi dan komunikasi.

2. Pengaruh Lingkungan dalam Mempertahankan Identitas Kedaerahan. a. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kos.

Secara umum penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan terbagi dalam dua kategori, yaitu lingkungan kos yang homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan kos yang heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Adapun penggunaan dialek banyumasan di lingkungan yang homogen mahasiswa asli banyumasan seperti TFA, DD, NP, Ichen, GNC, Wan, dan Ng. TFA yang kos di daerah belakang kampus yaitu di jalan Surya 1 dengan nama kos TSD. Kehidupan sehari-hari di lingkungan kos, TFA menggunakan dialek banyumasan sebagai prioritas utamanya dalam bercakap-cakap dengan teman- teman kos. Kos TSD yang terdiri dari 60-an penghuni kos putri memiliki keanekaragaman asal-usul daerah dari tiap warga kos TSD tersebut. Untuk satu blok yang terletak di lantai dua sebelah barat terdapat sepuluh kamar. Dari kesepuluh kamar dengan sepuluh penghuni kamar, delapan orang berasal dari daerah banyumasan yang terdiri dari dua orang Cilacap, tiga orang asli Kebumen, dua orang berasal dari Purbalingga dan seorang lagi berasal dari Banyumas yaitu si TFA. Sedangkan dua orang lagi dari jumlah kesepuluh orang di blok barat lantai dua tersebut, mereka berasal dari daerah / wilayah luar

80

banyumasan seperti dari Pati dan Blora. Dialek yang dipergunakan dalam blok kamar tersebut, didominasi oleh dialek banyumasan. Sehingga tidak jarang dua orang yang berasal dari Pati dan Blora mengikuti sedikit demi sedikit tentang pelafalan beberapa kata-kata yang berkenaan dengan dialek banyumasan. Hal serupa juga terjadi pada Ichen. Penggunaan dialek banyumasan di kos masih sangat kental, karena hampir sebagian besar di kosnya (kos IN) mayoritas adalah anak asli Cilacap dengan perbedaan jurusan dan fakultas dari tiap-tiap mahasiswa asli banyumasan yang berada di kos IN tersebut. Kos IN yang berada di daerah belakang kampus, kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah Jalan Kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan masih ada. Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari Cilacap semua yaitu ada 17 anak, sedangkan sisanya satu orang adalah berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Begitu juga yang terjadi di kos Ng, dua orang mahasiswa yang dengan dialek halus (Solo-Yogya) atau dengan vokal ”o”, mereka mengikuti teman-teman kos dari banyumas yang berjumlah enam orang dan letak kamar masih berada dalam satu blok kamar di kos tersebut. Selain itu, fenomena yang terjadi pada mahasiswa asli banyumasan yang masih kental dengan dialek ngapak-ngapak mendapat identitas tertentu di lingkungan kampus oleh teman-temannya. Ng mendapat julukan inyong, yaitu merujuk pada nama panggilan untuk diri sendiri dalam dialek banyumasan yaitu inyong (”aku” dalam bahasa Indonesia). Begitu juga dengan Ichen, di lingkungan kampus tetap secara utuh menggunakan dialek banyumasan, dan oleh teman- temannya mendapat julukan “miss ngapak”. Lain halnya dengan lingkungan kos yang heterogen atau memiliki keanekaragaman asal daerah. Mahasiswa asli banyumasan memiliki kuantitas yang minoritas dibandingkan mahasiswa luar banyumasan, baik yang berasal dari se-eks Karesidenan Surakarta (Solo), Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat bahkan Luar Jawa sekalipun. Fenomena tersebut terjadi pada kos IK, Rista, DON, Ulya, SLV, Epra, ST, Ns dan Wh. Rista dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan kos, lebih banyak menggunakan dialek yang sudah 81

dimodifikasi dengan dialek Jawa alus. Artinya bahwa dialek banyumasan yang dipergunakan oleh Rista sudah tidak utuh lagi, bahkan yang menjadi dominasi dalam berdialog sehari-hari dengan teman-teman kosnya yaitu dengan dialek Solo (Jawa alus). Hal ini terkait kehidupan kos Rista yang mayoritas terdiri dari daerah Solo, Boyolali, Sragen dan Wonogiri, sedangkan hanya Rista saja yang berasal dari luar daerah Solo. Sehingga mau tidak mau, menyesuaikan diri dan ikut bercampur dengan belajar dialek Solo. Sebab, teman-teman di kos memberikan kesan lucu dan tersenyum pada saat Rista bercakap-cakap dengan dialek banyumasan. Lantas lambat laun semakin lama hidup di Solo, kurang lebih selama tiga tahun, Rista lebih menggunakan dialek Jawa alus (dialek Solo). Hal ini dikarenakan di lingkungan kos mayoritas mahasiswa luar banyumasan khususnya mahasiswa dengan dialek Jawa alus bahkan berasal dari asli daerah sekitar kawasan Solo. Bahkan pacar Rista yang masih satu kelas dan berasal dari Klaten menjadi salah satu faktor pergeseran dialek pada Rista. Percakapan sehari- hari dalam intensitas pertemuan sepasang sejoli tersebut yaitu dialek Solo. Karena RK pacar Rista tidak memahami dialek banyumasan, sehingga Rista menyesuaikan diri dengan dialek RK yaitu dialek Jawa alus. Begitu juga yang terjadi pada ST mahasiswa asli Purbalingga yang baru satu tahun berada di UNS. ST kos di salah satu daerah Ngoresan. Kos yang ditempati ST, mayoritas mahasiswa luar banyumasan. Kos dengan sistem kontrak tersebut, terdapat dua belas anak kos yang terdiri dari sembilan anak kos dari eks- Karisidenan Surakarta seperti Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Sedangkan satu anak dari Yogyakarta, dan dua anak lagi yaitu ST dan satu anak dari Kebumen. Meskipun ST ada teman satu kos yang berasal dari banyumasan yaitu Kebumen yang bernama Rzk, akan tetapi Rzk secara batas geografis rumahnya berbatasan dengan Purworejo, sehingga dialek yang dipakai sudah mengalami peralihan. Dialek yang lebih dominan pada saat di rumah yaitu dialek Yogya (Jawa alus). Oleh karena itu, dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa lingkungan kos yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan, sangat dimungkinkan memiliki peluang yang kecil untuk mahasiswa asli banyumasan menggunakan dialek banyumasan karena lawan bicara yang sudah berbeda. 82

Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus maka menjadi terbiasa dan terasah. Begitu juga mahasiswa asli banyumasan yang jarang atau bahkan tidak sama sekali menggunakan dialek banyumasan di lingkungan kos, maka dialek-dialek tertentu akan menjadi dialek barunya. b. Penggunaan Dialek Banyumasan di Kampus. Penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kampus, tidak jauh beda yang terjadi di lingkungan kos. Hal tersebut dengan mengkategorikan antara lingkungan kampus yang homogenitas dan heterogenitas. Sebagian besar dari penelitian yang diperoleh, mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kampus mengunakan dialek campuran atau modifikasi. Dialek modifikasi tersebut meliputi dialek banyumasan, dialek Jawa alus (Solo- Yogya) dan Bahasa Indonesia. Hal ini dapat diambil contoh dari informan yang bernama DD. Di lingkungan kampus yang heterogen dari teman-teman satu angkatan DD yang berasal dari Jawa alus (Solo, Yogya, dan Purworejo) dan Jawa Timuran (Gresik, Magetan dan Ngawi) mengharuskan DD menyesuaikan dengan bahasa teman-temannya yaitu dialek Solo-Yogya. Sedangkan, ada dua orang temannya yang satu angkatan yang berasal dari Banyumas dan Cilacap, maka oleh DD diajak bercakap-cakap dengan dialek banyumasan, dan terkadang teman- teman lainnya merasa terhibur dengan obrolan tiga orang ini. “Inyong ngomong karo si IJH karo si NING kadang malah kanca-kancané memperhatikan kami, jéréné kayané gayeng temen” (Aku berbicara dengan si IJH dan si NING kadang teman-teman bahkan memperhatikan kami, kata mereka kita mengobrol sepertinya akrab sekali).(L/DD/5/4/09). Hal serupa juga terjadi pada GNC. Pada saat di kampus, GNC menyesuaikan dengan lawan bicaranya, yaitu dengan tiga unsur bahasa sekaligus meliputi dialek Solo, dialek banyumasan, dan Bahasa Indonesia. Namun yang lebih sering adalah dialek Solo, karena sebagian besar teman-temannya berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya. Mekipun demikian, logat ngapak dalam setiap kalimat ataupun percakapan masih ada. “Íya, Mba. Inyong angger ngomong dadiné ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Sing penting 83

menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena nék inyong ngomong ngapak-ngapak, kanca-kancané pada ora ngerti”. (Iya, Mba. Aku kalau berbicara jadinya ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Yang penting menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena kalau aku berbicara ngapak-ngapak teman-teman tidak mengerti) (L/GNC/20/4/09). Sedangkan yang terjadi pada Ulya sangat didominasi penggunaan Bahasa Indonesia. Ulya mahasiswa asli Banjarnegara yang sudah dua tahun di UNS, pada saat di kampus lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagian besar teman yang mengambil jurusan D3 perpustakaan kebanyakan warga Solo. Mahasiswa yang berasal dari luar Solo, hanya Ulya dan dua orang temannya, satu laki-laki yang bernama YG berasal dari Gombong dan yang perempuan bernama ME yang berasal dari Tambak, Banyumas. “Konco-koncoku neng kampus nék ngomong, nganggone bahasa Indonesia. Tapi nek karo si YG tidak pernah omong-omongan, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, yo tetep nganggo bahasa Indonesia. Tapi nék karo Me karena kami tidak begitu akrab kadang-kadang ngomong dialék banyumasan kadang-kadang bahasa Indonesia”. (Teman- temanku di kampus kalau berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi jika dengan si YG tidak pernah mengobrol, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, ya tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi, kalau dengan ME karena kami tidak begitu akrab, terkadang bicara dialek banyumasan kadang bahasa Indonesia) (W/Ulya/18/4/09). Uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa penggunaan dialek banyumasan di lingkungan kampus di kalangan mahasiswa asli banyumasan sudah mengalami pergeseran dialek. Hal tersebut disebabkan lingkungan kampus yang sedemikian beragam asal-usul daerah dan begitu cepatnya mobilitas lingkungan pergaulan diantara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya. Apalagi intensitas pertemuan dalam perkuliahan ataupun di luar perkuliahan menjadikan mudah dan cepatnya berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lainnya. Tidak jarang juga pergeseran menuju dialek Jawa alus ataupun Bahasa Indonesia sebagai salah satu alternatif untuk mempermudah komunikasi (karena 84

teman-teman di kampus tidak begitu paham dengan dialek banyumasan) dan dengan alasan agar cepat beradaptasi dengan teman-teman yang ada di kampus. Selain itu, menurut TFA ada beberapa hal yang mempengaruhi pergeseran dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan, diantaranya faktor geografis dan lingkungan pergaulan. Lingkungan geografis berupa perbedaan atara letak daerah Solo dengan daerah banyumasan. Daerah Solo dan sekitarnya masih termasuk dalam lingkup Kasunanan Surakarta, sedangkan daerah banyumasan jauh dengan lingkup keraton baik keraton Kasultanan Yogyakarta bahkan Kasunanan Surakarta. Disamping itu, menurut DD pergeseran dialek banyumasan disebabkan oleh faktor lokasi terkait dengan kehidupan kos dan kampus. Lingkungan kos dan kampus menjadi titik awal dari pergeseran dialek banyumasan karena terjadi secara terus-menerus. Menurut NS mahasiswa asli Purbalingga yang mengalami pergeseran dialek menyatakan beralih kepada dialek campuran dengan tujuan untuk beradaptasi. Hal ini memiliki pengertian bahwa lingkungan kos dan kampus berlangsung secara terus-menerus akan membentuk pola atau perilaku seseorang. Hal tersebut berasumsi bahwa seseorang bergaul dengan lingkungan yang memiliki kesamaan berdialek banyumasan, maka dialek banyumasan akan lebih kental daripada di lingkungan yang heterogenitas atau mayoritas orang luar banyumasan. Sedangkan menurut DON dialek banyumasan mengalami pergeseran dari para penuturnya disebabkan karena diglosa yaitu terjadinya perubahan bahasa dari kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan yang berbeda, menyangkut kebudayaan orang Solo dengan kebudayaan orang banyumasan dalam satu komunitas kebudayaan Solo. Sebagai contoh Ng yang sudah selama enam tahun hidup di Solo, karena terbiasa di lingkungan kos menggunakan dialek banyumasan dan mayoritas adalah mahasiswa asli banyumasan, maka yang terjadi adalah dialek banyumasan masih sangat kental. Lain halnya dengan Ns yang baru dua tahun hidup di Solo. Karena di lingkungan kosnya sebagian besar mahasiswa luar banyumasan,yang terjadi adalah adanya percampuran antara dialek banyumasan dengan dialek Solo. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan menggunakan dialek modifikasi dialek banyumasan dan dialek Solo. 85

Ns juga menambahkan, faktor yang mempengaruhi pergeseran dialek banyumasan yaitu faktor pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan yang dimiliki seseorang akan semakin membuatnya memiliki prestise yang tinggi pula. Hal tersebut, karena tidak mau dianggap ndeso dan katro. Tapi lain halnya dengan DD penyebutan ndeso dan katro yang terjadi pada mahasiswa banyumasan yang kemudian beralih dengan dialek campuran atau modifikasi yaitu karena faktor adaptasi atau keinginan untuk menyesuaikan diri. Menurut NP jika menanggapi perkembangan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS yaitu semakin mengalami pergeseran sekitar 60% dan 40% antara Jawa banyumasan dan Jawa alus (Jawa wetan). Faktor yang mempengaruhi pergeseran, menurut NP adalah karena pengaruh budaya, lingkungan geografis, pola makan dan bawaan dari nenek moyang. NP mengemukakan bahwa pengaruh budaya karena budaya yang dimiliki oleh orang banyumasan bersifat terbuka, sedangkan orang Solo memiliki sifat yang alus. Dilihat dari letak geografis karena perbedaan tempat tinggal dengan latar belakang dekat atau jauh dengan lingkungan keraton. Selain itu jika dilihat dari pola makan, dibedakan bahwa orang Solo lebih menyukai makanan yang manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang banyumasan yang menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas dalam kandungan lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau menggerakkan adrenalin manusia. Sedangkan berdasarkan bawaan nenek moyang karena bahasa merupakan sudah dari dahulu diturunkan sejak dini dari orang tua kepada anaknya lewat interaksi satu sama lain. Menurut Rista, mahasiswa asli Cilacap, pergeseran dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan terkait dengan dua hal, yaitu dari segi intern dan segi ekstern. Segi intern yaitu dari diri pribadi orang banyumasan ketika berada di daerah perantauan melakukan pemilihan dialek yang akan dipergunakan. Selain itu juga, dalam pemilihan dialek yang akan dipergunakan yaitu karena prestise atau penghargaan terhadap diri sendiri. Artinya, bahwa orang banyumasan masih menganggap dialek banyumasan identik dengan orang yang masih tradisional atau dari kalangan bawah. Dilihat dari segi ekstern yaitu 86

berdasarkan pengaruh lingkungan dan tuntutan. Artinya, bahwa lingkungan memiliki peran besar dalam eksistensi dialek banyumasan. “Lingkungan sifaté okeh Mba. Ono sing termasuké lingkungan pergaulan, lingkungan kampus, ya kuwé ditambah lingkungan kos” (Lingkungan sifatnya banyak, Mba. Ada yang termasuknya lingkungan pergaulan, lingkungan kampus dan lingkungan kos) (W/Rista/17/4/09). Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya pergeseran dialek banyumasan yaitu faktor intern dan ekstern. Pertama faktor intern meliputi faktor diri tentang pemilihan dialek yang dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Serta faktor perasaan malu, gengsi dan prestise mengenai pencitraan terhadap rendahnya dialek banyumasan yang identik dengan kelas menengah bawah. Kedua, faktor ekstern yang meliputi faktor geografis, faktor lokasi yaitu lingkungan kos dan kampus, lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari-hari, faktor adaptasi dan faktor diglosa yang multilingual, pendidikan, pengaruh budaya, pola makan, dan faktor tuntutan. Faktor geografis secara umum meliputi perbedaan wilayah banyumasan yang jauh dengan keraton dibandingkan dengan Solo. Secara spesifik yaitu perbedaan letak strategis kamar kos diantara informan banyumasan. Hal ini mencakup, kamar kos atau tempat kos yang homogen mahasiswa asli banyumasan dengan jumlah yang mayoritas dan heterogen (mayotitas mahasiswa luar banyumasan). Begitu juga yang terjadi di lingkungan kampus yaitu mengenai pola interaksi dan komunikasi sesama mahasiswa yang memiliki perbedaaan asal daerah. Faktor lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari-hari terutama kegiatan rutinitas pada saat berbicara denagn lawan bicara (mahasiswa lain). Faktor untuk adaptasi dengan tujuan mempermudah menyesuaikan diri dengan teman di kos dan di kampus agar lebih interaktif dan komunikatif. Faktor diglosa yang multilingual, yaitu adanya peran dua atau lebih bahasa Jawa Solo dengan dialek banyumasan dalam satu lingkungan Solo. Faktor pendidikan memberikan pengertian adanya latar belakang dunia perkuliahan yang merupakan jenjang tertinggi dari pendidikan formal lainnya, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Pengaruh budaya mencakup perbedaan budaya Solo dan banyumasan. Pola 87

makan meliputi pengertian bahwa orang banyumasan lebih menyukai makanan pedas dibandingkan dengan orang Solo. Hal ini memberikan argumen bahwa jenis makanan yang berstruktur pedas lebih menguatkan daya semangat dan adrenalin sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan tegas. Sedangkan faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan lingkungan barunya.

3. Upaya Pelestarian Dialek Banyumasan. a. Komunitas Banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan yang dengan tujuan belajar di UNS dalam mempererat antar sesama wong banyumasan, muncul komunitas banyumasan. Komunitas tersebut meliputi komunitas mahasiswa yang asli banyumasan, yaitu seperti Kepamba yang secara umum bagi mahasiswa asli se-eks Karesidenan Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), Kecap (mahasiswa yang hanya berasal dari Cilacap), Kluban (kelompok mahasiswa Banyumas), Fosimba (forum komunikasi mahasiswa Banjarnegara), dan Kemangga (Forum komunikasi mahasiswa Purbalingga). Jumlah mahasiswa UNS yang mengikuti komunitas mahasiswa Cilacap (Kecap) terdapat 78 mahasiswa. Sedangkan jumlah mahasiswa UNS yang mengikuti komunitas banyumas (Kluban) terdapat 29 mahasiswa., komunitas mahasiswa banjarnegara (Fosimba) terdapat 37 mahasiswa, komunitas mahasiswa Kebumen terdapat 5 mahasiswa, dan komunitas mahasiswa Purbalingga (Kemangga) terdapat 34 mahasiswa. Komunitas bagi mahasiswa asli banyumasan adalah komunitas yang dijadikan sebagai ajang untuk berkumpul mahasiswa asli banyumasan yang ada di UNS. Informan yang mengikuti dialek banyumasan yaitu DD dan Wh komunitas anak Kebumen, Ichen dan Rista komunitas anak Cilacap, Ng komunitas anak Banyumas, serta ST dan Ns komunitas anak Purbalingga. Fungsi komunitas banyumasan yaitu salah satunya adalah merekatkan persaudaraan antar mahasiswa asli banyumasan di UNS. Selain itu, menurut DD komunitas banyumasan bermanfaat untuk menyalurkan canda dan tawa yang nota bene dialek 88

banyumasan sarat dengan lucu dan humor. Menurut Ichen, komunitas dialek banyumasan sebagai ajang menjalin silaturahmi dan kekeluargaan terutama dengan mengadakan acara atau agenda untuk buka bersama dan jalan-jalan ke suatu tempat. Ataupun dapat menjadi forum temu kangen dan mengasah kembali dialek ngapak-ngapak. Diakui oleh Ng yang pernah mengikuti komunitas banyumasan selama satu periode, komunitas banyumasan dapat mengasah kembali dialek ngapak-ngapak yang mengalami modifikasi ke dialek Solo atau Bahasa Indonesia. Akan tetapi eksistensi komunitas mahasiswa banyumasan di lingkungan UNS mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan, kurangnya koordinasi antara mahasiswa asli banyumasan. Komunitas banyumasan minimal dalam eksistensinya mengadakan agenda buka bersama dalam setiap tahunnya. Untuk intensitas pertemuan secara rutinitas belum terkodisikan, karena mahasiswa asli banyumasan yang tersebar di beberapa fakultas. Selain itu, sulitnya pendataan dan mengkomunikasikan waktu yang serentak untuk pertemuan atau sekedar kumpul bersama dalam event-event tertentu. b. Upaya Secara Individu. Berbagai macam cara untuk bisa melestarikan dialek banyumasan yang sudah mengalami pergeseran diantara para penutur aslinya terutama di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Adapun cara atau langkah yang dapat diambil, yaitu menurut IK dan SLV masih tetap menggunakan dialek banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di kampung melalui teknologi mutakhir yaitu pesan singkat sms atau telepon dengan berdialek banyumasan. Selain itu menurut Wan dan Epra, pada saat pulang kampung, menggunakan kembali dialek asal (dialek banyumasan) untuk melatih kembali kosakata yang selama ini sudah ada percampuran dengan dialek Solo dan bahasa Indonesia. Bahkan menurut NP, melestarikan dialek banyumasan yaitu dengan pulang dan menikah dengan orang banyumasan, masukkan muatan lokal atau kurikulum yang berdialek banyumasan dalam pelajaran sekolah, dan membeikan sosialisasi melalui siaran radio yang berdialek banyumasan. 89

C. Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian Manusia dalam kehidupan sosial memiliki sifat saling hidup ketergantungan satu sama lain. Peran manusia untuk kehidupan sosialnya adalah saling bekerja sama dan membantu satu sama lain. Manusia yang saling bekerjasama akan membentuk suatu masyarakat dalam kesatuan organis. Manusia yang tergabung dalam sekelompok orang dan membentuk masyarakat tidak bisa terpisah dari kehidupan sosial dan budayanya. Masyarakat secara sosial memiliki intensitas saling berinteraksi dan komunikasi satu sama lain. Sedangkan masyarakat dalam kehidupan budayanya meliputi pola perilaku, kebiasaan, tata nilai, norma, aturan, sekelompok pengetahuan, kepercayaan yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan memiliki keterkaitan dalam membentuk pola perilaku dari tiap-tiap pribadi manusia. Kebudayaan yang terjadi pada manusia, pada dasarnya diturunkan secara genealogis (turun-temurun atau terus-menerus) dan tidak dapat lepas dari lingkungan geografis. Menurut Hassan Sadily (1984:84) pakaian, perumahan, bahasa, sistem perkawinan yang ada di suatu daerah diwariskan secara regenerasi dari nenek moyangnya karena kebudayaan itu sifatnya dinamis. Indonesia sebagai salah satu negara yang berbentuk kepulauan memiliki keanekaragaman berupa adat istiadat, agama, ras dan suku bangsa yang merupakan hasil dari ide, gagasan, dan seperangkat aktivitas atau perilaku serta hasil karya manusia. Seperangkat ide dan gagasan tersebut mengalami dinamika dalam masyarakat yang majemuk dan masyarakat yang multikultural. Perkembangan kebudayaan pada masyarakat majemuk terjadi di Era Orde Baru dengan sistem pluralisme. Selain itu, peristiwa Sumpah Pemuda 1928 juga merupakan salah satu bentuk kesatuan integrasi dalam masyarakat majemuk yang menghasilkan kesepakatan secara ideologis, yaitu satu tanah air, tanah air Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia; dan satu bahasa, bahasa persatuan bahasa Indonesia. Menurut Furnival dalam Alo Liliweri (2001:166) masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup berkelompok dan saling berdampingan secara fisik, akan tetapi mereka hidup secara terpisah-pisah karena adanya perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam satu unit politik. Kemudian, jatuhnya 90

Era Ode Baru digantikan dengan Era Reformasi. Pada Era Reformasi tidak lagi disertai dengan pengembangan pluralisme, akan tetapi masing-masing daerah diberikan otonom untuk mengembangkan kebudayaan daerahnya yang mengatasnamakan masyarakat multikultural. Salah satu perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia dalam masyarakat multikultural yaitu bahasa. Menurut Koentjoroningrat (Soerjono Soekanto, 2003:176) bahasa merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Bahasa sebagai unsur budaya bahwa bahasa digunakan pada masyarakat untuk mempermudah dalam menyampaikan pesan. Menurut Sapir Whorf (Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat, 2000:118-119), “bahasa adalah unsur terpenting dalam budaya karena bahasa menunjukkan pandangan dunia tentang suatu masyarakat pemakainya dan tentang lingkungan mereka”. Bahasa mengarahkan pada persepsi para pemakainya terhadap hal-hal tertentu, seperti halnya memberi petunjuk atau isyarat dengan berdasarkan perbedaan dan persamaan budaya diantara berbagai suku bangsa. Selain itu, bahasa dapat memasuki wilayah politik, sosial dan budaya. Menurut Hooker dalam M. Ainul Yaqin (2005:74-75) bahasa dapat memasuki wilayah politik terutama di Era Orde Baru. Sebagai contoh, adanya politisasi terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang disempurnakan dalam EYD. Politisasi bahasa ini biasanya menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat rezim kekuasaannya. Sedangkan bahasa memasuki wilayah sosial dapat dilihat dari anggapan positif maupun negatif terhadap penggunaan bahasa tertentu. Contohnya adanya anggapan negatif terhadap masyarakat yang menggunakan bahasa dari kelas sosial tertentu seperti bahasanya orang yang mempunyai status sosial tinggi lebih halus daripada bahasanya orang yang status sosialnya rendah, meskipun anggapan ini belum tentu benar. Bahasa juga dapat memasuki wilayah budaya. Hal ini terlihat dari dialek pada masyarakat yang tinggal di Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa biasanya mempunyai ciri-ciri bernada tinggi, lugas dan apa adanya. Sedangkan dialek pada masyarakat yang tinggal di daerah dekat keraton mempunyai ciri-ciri bernada lebih pelan, lebih halus, dan 91

lebih sering menggunakan unggah-ungguh (tata cara bersikap khususnya bagi daerah dekat keraton untuk membangun kesan sopan terhadap orang lain. Sedangkan menurut Ubed Abdilah (2002:70-71) bahasa merupakan alat dalam menstranformasikan budaya dan nilai-nilai bahasa lokal atau bahasa ibu ketika terjadi globalisme. Dalam kondisi ini, bahasa-bahasa pinggiran, bahasa daerah, bahasa lokal tersubordinasi. Bahkan, bahasa lokal menjadi bahasa kesekian, marginal dan mengalami diskriminasi. Menurut Khaidir Anwar (1990:33-34), bahasa terdiri dari ragam bahasa yang berbeda-beda secara geografis. Ragam bahasa dalam suatu daerah yang geografisnya kecil disebut dengan dialek atau logat. Salah satu pulau yang ada di Indonesia yang memiliki keberagaman dialek yaitu Pulau Jawa. Setiap daerah di Pulau Jawa memiliki perbedaan dialek dengan ciri khasnya masing-masing. Pengucapan dialek bahasa Jawa yang diucapkan orang Jawa seperti Purwokerto (Banyumas), Tegal, Surakarta, atau Surabaya memiliki perbedaan. Salah satu dialek yang memiliki kekhasan dalam pengucapan vocal ‘a’ yang sangat mantap, tegas, lugas dan tidak setengah-tengah yaitu dialek banyumasan atau yang biasa disebut dialek ngapak. Penutur dialek ngapak, ada kalanya melakukan mobilitas hingga keluar daerah banyumasan. Ada yang dengan tujuan bekerja, merantau dan tujuan belajar. Salah satu penutur dialek dengan tujuan belajar hingga ke luar daerah asal, yaitu mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Mahasiswa yang belajar secara berkesinambungan dalam menempuh pendidikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya, menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk lebih memperluas wawasan dalam ilmu pengetahuan bahkan harus bisa menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS mencakup penelitian tentang kehidupan yang ada di kampus dan di kos. Menurut Budiono (2008:13-19), secara geografis wilayah Banyumasan terbentang dari sisi barat daya Provinsi Jawa Tengah (Pulau Jawa bagian tengah). Pulau Jawa berada diantara 5˚ Lintang Selatan, 10˚ Lintang Selatan dan 105˚ Bujur Timur, 115˚ Bujur Timur, dari rangkaian kepualauan nusantara bagian 92

barat. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, wilayah Banyumas terbagi menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Jawa Barat. Sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah tenggara berbatasan dengan daerah Bagelen (Kabupaten Kebumen), sebelah timur dengan Kabupaten Wonosobo, sedang sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Secara historologi, sosiologi, dan kulturiologi, yang disebut wong banyumasan yaitu orang-orang yang masih merasa dan mengakui memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak-ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya tinggal menetap di wilayah Banyumas. Sedangkan pengguna atau penutur dialek banyumasan biasa disebut dengan wong banyumasan yang lebih tepatnya disebut sebagai komunitas Jawa banyumasan, dimana mereka mendiami wilayah bagian Barat Daya Jawa Tengah. Secara historis, etnologis, sosiologis, kultural dan formal disebut wilayah barlingmascakeb, yang meliputi daerah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Elaine Chaika (1994:270) memberikan argumen pada dasarnya dialek menunjukan bagaimana orang berbicara terkait dengan identitas yang dimilikinya. Dialek juga sebagai proses awal pembentukan terbentuknya masyarakat untuk saling berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa ibu yang mereka sepakati bersama. Selanjutnya, Linda Thomas (2007:223-235) menambahkan tentang masalah identitas yaitu bahwa identitas merupakan suatu hal yang menunjukkan siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri sendiri, bagaimana cara orang lain memandang pribadi kita, tidak semata-mata ditentukan dari kalangan mana orang tua kita dilahirkan dan dibesarkan atau dari kelas mana orang tua kita berasal, dan digolongan mana kita termasuk. Identitas individu dan identitas sosial atau identitas institusional menjadi sesuatu yang terus-menerus dibentuk dan dinegosiasikan dalam sepanjang kehidupan lewat interaksi dengan orang lain. Giddens berasumsi bahwa identitas adalah gagasan identitas yang sifatnya dinamis, bisa berubah, bisa diciptakan dan dibentuk, senantiasa mengikuti proses penciptaan dan pembentukan budaya tersebut yang terangkum dalam 93

proyek identitas. Disamping itu, identitas yang dikemukakan Winter (1999:59-80) yaitu identitas dengan berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Identitas tersebut terjadi pada masyarakat Kubo di Papua Nugini secara partifial dibedakan lebih pada gender yang sifatnya pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau kaum muda dan kaum yang tua. Menurut Khan (1995) dalam Yekti Mauneti (2006:24- 25), juga menganggap identitas budaya sebagai sesuatu yang sengaja dibangun yang secara tidak langsung memang tidak lepas dari budaya yang dikonstruksi dan konteks budaya (sejarah). Jadi menurut Khan identitas budaya tidak hanya dikonstruksi tapi juga harus menemukan konteksnya (proses konstruksi) yang berdasarkan sejarahnya. Hal tersebut diperkuat oleh argumen Ariel Haryanto (1989:3) menambahkan bahwa bahasa tidak hanya dibentuk dan ditentukan, akan tetapi bahasa juga bisa membentuk dan menentukan sejarah sosial. Dalam hal ini, dialek banyumasan tidak hanya terbentuk dan ditentukan oleh setiap penuturnya, tapi dialek banyumasan pada dasarnya telah membentuk dan menentukan sejarah sosialnya yang berupa pencitraan atau identitas yang melekat pada dialek banyumasan yang merupakan dialek yang bernada keras, nuansa humor dan tidak ada struktur tingkatan dialek (tidak ada unggah-ungguhnya). Pada dasarnya eksistensi bahasa menunjukkan identitas seseorang. Menurut Giddens (Chris Barker, 2006:186) identitas yang dibangun tergantung dimana situasi kita menterjemahkan dan diterjemahkan dalam konteks budaya tertentu. Giddens memberikan asumsi bahwa konstruksi identitas dilihat dari dua hal, yaitu identitas yang dilihat dari isu (konsep) agensi dan identitas yang dilihat dari konsep determinasi (pemaknaan sosial). Konsep agensi adalah bahwa individu mengkonstruksikan suatu proyeksi atau keadaan diri kita sebagai suatu hal yang memiliki makna dan dengan ciri khas tertentu. Sedangkan, determinasi sosial adalah identitas seseorang yang dikonstruksikan secara sosial dengan berdasarkan ciri khas yang sudah melekat pada diri kita yang berasal dari konstruksi sosial. Pengertian tersebut memiliki arti bahwa identitas dibentuk oleh individu pemilik identitas dan lingkungan atau kehidupan sosial budaya yang mengkonstruksikan identitas tersebut. 94

Konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS berdasarkan teori identitas Giddens (Chris Barker, 2006:188) berupa konsep agensi (pilihan) dan determinasi, dapat dirumuskan dalam empat hal, yaitu (1)dengan membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian tentang tindakan mana yang terbaik, nilai yang telah dibangun secara sosial untuk kita sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa asli banyumasan dalam memilih dialek di lingkungan kos dan kampus, (2) gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari. Hal ini nampak pada faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus, (3) pilihan memilih suatu dialek bersifat rutinitas atau harian dan tidak terpikirkan secara sadar. Menurut Giddens (2005:158) rutinitas meliputi ikatan dan bentuk kehidupan sehari-hari yang dibangun secara berulang-ulang, (4). dalam memilih, kadang kita tidak memiliki pengetahuan ‘obyektif’ tentang kondisi tindakan kita sendiri karena kita tidak dapat melangkah keluar dari situasi-situasi tersebut, karena dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya. Hal inilah yang akan mengarah kepada eksistensi identitas dialek banyumasan di lingkungan UNS.

1. Terbentuknya Identitas Dialek Banyumasan Melalui Stereotip. Mahasiswa asli banyumasan menggunakan dialek berkaitan dengan tindakan yang berorientasi pada masa lalu yaitu adanya persepsi yang muncul berupa stereotip (labelisasi) tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan merupakan konsep agensi Giddens yang bermula dari membandingkan hasil dari tindakan kita di masa lalu dengan membuat penilaian tentang tindakan mana yang terbaik dan nilai yang telah dibangun secara sosial untuk kita sebelumnya. Karena persepsi itu sendiri merupakan hasil dari proses stereotip (labelisasi) yang berasal dari mahasiswa luar banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan. Misalkan, bahasa dengan dialek atau logat yang cepat dan ceplas-ceplos (terbuka). Jika terlihat dari para penutur aslinya pada saat pengucapan vokal ‘a’ yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi apa?” (kamu sedang apa?). Selain itu, konsonan ‘d’, ‘g’, dan‘k’ juga dilafalkan dengan sangat 95

mantap jika dibandingkan dengan dialek Jawa alus atau Jawa wetan (Solo-Yogya) yang menyatakan kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’ mengalami penekanan dalam penuturnya. Hal tersebut dilihat dari segi fonologi. Dampak terhadap penggunaan dialek secara fonologi di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang beralih ke dialek Yogya-Solo atau bahasa Indonesia yaitu pada saat berbicara masih nampak dialek banyumasan berupa penekanan pada huruf- huruf tertentu seperti ‘d’, ‘g, dan ‘k. Sedangkan stereotip yang muncul dari mahasiswa luar banyumasan bahwa dialek banyumasan sebagai dialek yang aneh, unik, lucu, intonasi cepat, gemluthuk (rumit).dan ngapak-ngapak, nuansa humor dan membuat tertawa. Pada waktu pertama kali menjadi mahasiswa yang mengenal heterogenitas asal daerah, DF mendengar dialek banyumasan muncul perasaan shock. Kemudian ada sebuah pertanyaan di dalam hati “(termasuk dialek mana?, mahasiswa tersebut berbicara apa?)”. Selain itu juga, muncul perasaan dialek banyumasan termasuk dialek yang kasar (tidak ada unggah-ungguh). Disisi lain, pada saat menonton film veronica, ada sebuah percakapan dari seorang anak yang sekiranya seperti mengatai (menghina) orang tua sendiri. Kesan yang diperoleh HN mendengar percakapan dialek banyumasan tersebut tidak memahami makna yang sedang dibicarakan. Akan tetapi hanya tersenyum dan lebih memperhatikan bahwa dialek banyumasan banyak pada penekanan huruf ‘k’ yang sangat mantap. Penekanan tersebut juga memberikan suatu identitas dari orang banyumasan, karena dialeknya yang kelihatan jelas dan lugas. Dialek banyumasan dari segi percakapan terlalu mematikan huruf tertentu seperti ‘d’, ‘g’, dan ‘k’. Sehingga dialek banyumasan yang terkesan tidak halus pengucapannya dan bernada tinggi masih seperti kelihatan orang ndeso dan katro. Mahasiswa luar banyumasan memberikan istilah dialek ngapak-ngapak mencakup tentang identitas dialek yang khas dengan volume keras, sarat dengan nuansa humor atau kelucuan, bahasa yang unik dan memiliki nilai tersendiri. Dilihat dari segi geografis dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran, bahasa yang 96

fulgar, tidak membedakan status seseorang (tidak ada unggah-ungguh), tidak plin- plan (konsisten) dan dialek yang sifatnya datar. Sebagai contoh ada sebuah pertanyaan : “Rika kenangapa tiba !?” (Kamu kenapa jatuh!?). Dari pertanyaan di atas, bisa berarti atas dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada keras (marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya. Ada pula yang beranggapan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang bervolume tinggi dalam pengucapannya, dialek dengan kosakata banyak, bernuansa lucu (humor) dan polos. Menurut Joanna Thornborrow (Linda Thomas dan Shan Wareig, 2007:230) identitas yang dibentuk dan dibangun oleh masyarakat merupakan proses sosial (proyek identitas) yang didalamnya terjadinya proses label sosial atau stereotip. ”Pelabelan atau pemberian suatu benda atau nama kepada seseorang, dapat dijadikan tanda seseorang diterima kedalam kelompok budaya atau agama tertentu, sehingga nama itu tidak hanya memberikan identitas individu, tetapi juga sekaligus memberikan identitas individu kelompok atau agama”. Stereotip tersebut mengarah pada pelabelan secara positif dan negatif. Stereotip positif menganggap bahwa dialek banyumasan memiliki kekhasan dari dialek daerah lainnya yang masih satu lingkup dengan Jawa khususnya di Jawa Tengah. Stereotip negatif ada anggapan bahwa dialek banyumasan identik dengan masyarakat yang masih menengah ke bawah. Hal tersebut mengarah pada tingkatan sosial di masyarakat yang cenderung membedakan lapisan sosial secara berhierarki (bertingkat). Stereotip yang muncul, secara tidak langsung dalam intensitas yang lama akan menanamkan pola pikir tertentu yang mengarah pada pemaknaan identitas dialek banyumasan. Konstruksi identitas dialek banyumasan tidak terlepas dari penilaian atau pemaknaan dialek banyumasan oleh orang banyumasan dan orang luar banyumasan itu sendiri. Penilaian dapat berupa penilain yang positif dan penilaian yang negatif tergantung dari konteks mempersepsikannya. Dalam penilaian tersebut, akan memunculkan suatu label-label atau cap-cap tertentu pada dialek banyumasan. Stereotip memiliki sebab-sebab yang kompleks dari suatu keberadaan masyarakat di lingkungan UNS. Karena pada dasarnya lingkungan 97

UNS merupakan kawasan pelajar yang datang tidak hanya dari se-eks Karisidenan Surakarta, akan tetapi dari berbagai daerah dan berbagai budaya khususnya dialek yang dibawanya. Fenomena yang terjadi pada TFA dan DD, pemberian stereotip berasal dari proses pemaknaan tertentu yang terucap dari orang yang satu ke yang lain. Karena orang luar banyumasan tidak memahami keunikan dan arti (makna) dari percakapan suatu dialek banyumasan. Selain itu, yang terjadi pada IK, mahasiswa asli Banjarnegara yaitu karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan budaya berupa pemberian nilai atau tanda terhadap orang banyumasan yang sifatnya terdominasi oleh dialek Jawa alus. Sebab, orang luar banyumasan menganggap dialek banyumasan sebagai bahasa yang tidak memiliki unggah-ungguh dan bernada keras dalam pengucapannya. Penilaian atau penandaan pada penutur dialek banyumasan juga terjadi pada Ichen yang di kampus mendapat julukan miss ngapak. Menurut DON, munculnya stereotip yang terjadi pada dialek banyumasan seperti penyebutan bahasa planet atau miss ngapak merupakan proses yang terbentuk dari lingkungan budaya dan lingkungan sosial masyarakat Solo. Disisi lain proses stereotip dikarenakan adanya prestise. Rista, yang malu menggunakan dialek banyumasan dengan alasan kadang ditertawakan oleh teman- teman kos dan kampus terutama pada saat awal masuk wilayah Solo. Prestise yang terjadi karena penghargaan terhadap diri orang banyumasan, jika ngomong ngapak-ngapak dianggap orang yang masih tradisional dan dari kalangan bawah. Munculnya pemaknaan pada dialek banyumasan merupakan bagian dari unsur geografis. Gejala konstruksi sosial dan pelabelan yang terjadi pada Ng dan Ns, berdasarkan letak jauh dekatnya dengan area keratin. Ataupun, karena adanya struktur pembagian lokasi dari pengguna dialek, seperti pembagian area dialek Jawa wetan (Solo-Yogya) dan dialek Jawa Kulon (ngapak-ngapak). Konstruksi yang terjadi pada identitas dialek banyumasan tersebut, kemudian mengarah pada peran bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Peran bahasa dalam hal ini adalah kekuatan untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat yang latar belakang etnis, budaya, dan bahasanya berbeda-beda 98

menjadi satu kesatuan masyarakat. Haugen (Herudjati, 2004:5) berpendapat bahwa “bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis terpisah dari kelompok induk. Sebalikya selama para penutur tinggal di satu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama”. Khaidir Anwar (1990:33-35), juga berasumsi bahwa “bagaimanapun juga terdapat masalah mengenai hubungan bahasa baku atau bahasa umum dengan dialek-dialeknya”. Sehingga pada dasarnya, antara dialek yang satu dengan yang lainnya terdapat penilaian yang subyektif mengenai kegunaannya, kadang-kadang dialek dianggap lebih dapat diterima dari pada yang lain. Selain itu menurut Spring (2001:153-64) konstruksi identitas merupakan bagian dari interpretatif dan narasi dari orang- orang yang lebih memiliki kekuasaan yang lebih elit. Hal inilah yang menandakan adanya struktur tertentu dalam terjadinya konstruksi identitas. Pemahaman tentang konstruksi identitas muncul adanya perasaan terpinggir bagi yang tidak memiliki komunitas yang mendukungnya. Peranan dialek dalam suatu masyarakat dapat memperluas rasa solidaritas atau dapat memperenggang persaudaraan. Bahkan dapat memunculkan anggapan bahwa orang kelihatan rendah secara status. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pembentukan identitas dialek banyumasan merupakan hasil tindakan yang berorientasi pada masa lalu. Tindakan masa lalu berupa stereotip yang telah dibangun sebelumnya. Stereotip yang telah ada, akan memunculkan persepsi-persepsi di kalangan mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. Persepsi tersebut yang akan mempengaruhi konstruksi dialek banyumasan di lingkungan UNS.

2. Pemilihan Penggunaan Dialek Secara Nalar dan Emosional. Adanya stereotip yang melekat pada dialek banyumasan, juga akan mempengaruhi pada pemilihan dialek di kalangan masaiswa asli banyumasan. Proses pemilihan dialek melibatkan proses negosiasi yang di lakukan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan. Konsep agensi yang berupa pemilihan penggunaan dialek banyumasan secara personal dari tiap-tiap mahasiswa asli banyumasan memiliki perbedaan satu sama lain. Menurut Ng, ST dan Wh, mereka melakukan pemilihan dialek secara 99

personal yaitu tergantung lawan bicara mereka. Sehingga dalam hal ini bersifat kondisional, karena bertujuan untuk menjalin komunikasi dengan lawan bicaranya. Maka, DD, GNC, Wan dan Ns pun memiliki alasan yang menjadikan faktor pemilihan secara personal yaitu untuk memperlancar komunikasi. Disamping itu, faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan adalah melibatkan peran dialek banyumasan di lingkungan UNS. Gagasan untuk memilih berdasarkan nalar psikis dan emosional yang tidak pernah dapat sepenuhnya kita sadari. Karena yang terjadi di kalangan mahasiswa asli banyumasan berasal dari kedekatan emosional yaitu ingin menunjukan budaya banyumasan yang beranekaragam dari penggunaan dialek banyumasan, keinginan untuk menunjukkan identitas wong banyumasan dan sebagai alat menyatukan mahasiswa asli banyumasan yang ada di lingkungan kos dan kampus UNS. Berdasarkan konsep agensi Giddens, faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan kos dan kampus dibedakan dalam lingkungan yang homogen dan heterogen. Akan tetapi, faktor pemilihan juga merupakan bagian dari tindakan masa lalu tentang stereotip dan persepsi dialek banyumasan. Ada pula persepsi yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan bahwa pola makan mempengaruhi sifat seseorang merupakan bagian dari tindakan yang nalar dan kedekatan emosional yang tidak disadari sebelumnya. Hal tersebut mengasumsikan bahwa jika dilihat dari pola makan, orang Solo lebih menyukai makanan yang sifatnya manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang banyumasan yang menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas dalam kandungan lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau menggerakkan adrenalin manusia. Disamping itu, fenomena pemilihan dialek yang sesuai dari mahasiswa asli banyumasan dalam lingkungan kos dan kampus UNS dalam hal berinteraksi dan berkomunikasi, yaitu karena secara sadar ingin memilih untuk berdialek tertentu. Hal ini terjadi pada Rista, yang memilih menggunakan dialek campuran pada saat di kos dan di kampus karena sifatnya menyesuaikan. Bahkan menurut Ichen, memilih dialek banyumasan sebagai dialek alternatif di lingkungan UNS, 100

baik di kos dan di kampus yaitu bertujuan untuk mengenalkan budaya banyumasan khususnya terkait dengan dialeknya. Faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan terdapat unsur subyektif yang berupa proses negosiasi atau dialektis. Proses dialektis menyangkut identitas yang dipelihara, dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial ditentukan oleh struktur sosial. Identitas dihasilkan oleh interaksi antar mahasiswa asli banyumasan atau antara mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan. Hal tersebut akan menimbulkan kesadaran individu dan struktur sosial yang sudah diberikan, kemudian dipelihara, dimodifikasi secara berulang-ulang. Oleh karena itu, identitas yang terjadi pada dialek banyumasan merupakan hasil konstruksi suatu fenomena yang dinegosiasikan antara individu dan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus, tetapi sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu pula. Hal ini yang terjadi pada mahasiswa asli banyumasan yang mengalami pergeseran dalam penggunaan dialek yaitu DON, Rista, Ng, SLV, ST, Ns dan Wh. Fenomena yang terjadi pada informan tersebut, proses negosiasi muncul sebagai proses yang ditujukan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan. Jadi proses negosiasi antara individu dengan masyarakat yaitu mahasiswa asli banyumasan yang secara sadar melakukan proses negosiasi. Proses negosiasi tersebut berasal dari dalam diri pribadi mereka menggunakan dialek. Pemilihan penggunaan dialek bertujuan untuk mempermudah komunikasi lawan bicaranya yaitu mahasiswa luar banyumasan yang merupakan bagian dari satu kesatuan masyarakat di lingkungan yang beragam, baik di kos ataupun di kampus. Berbicara tentang dialek, juga mengarah pada dialektika antara alamiah dan masyarakat. Lingkungan alamiah yang dimaksud yaitu lingkungan secara sosio-historis. Dialektika mewujudkan diri kembali dalam diri tiap individu. Dialektika berlangsung terus-menerus yang terus berkembang selama eksistensi individu dalam masyarakat antara manusia dan situasi sosio-historisnya. Dialektika terkadang muncul pertarungan antara diri yang lebih tinggi dan diri 101

yang lebih rendah yang masing-masing dipersamakan dengan identitas sosial dan manusia yang pro-sosial atau anti-sosial. Diri yang lebih tinggi harus berulang- ulang menguasai diri yang lebih rendah dan terkadang melalui adu kekuatan. Menurut Eriksen (1993) dalam Yekti Mauneti (2006:27-28) identitas diarahkan kepada golongan-golongan minoritas atau kelompok yang terancam atau lemah atau dalam perubahan sosial yang cepat. Hal ini terjadi pada identitas dialek banyumasan yang oleh orang awam sebagai dialek yang memiliki dialek berstrata rendah. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan yaitu adanya gagasan memilih secara nalar dan emosional. Nalar dan emosional berarti dialek banyumasan sudah menjadi ciri khas dan bagian dari mahasiwa asli banyumasan sebagai wong banyumasan. Faktor pemilihan tersebut meliputi proses negosiasi atau dialektis yang menyangkut identitas yang terjadi secara berulang-ulang dalam lingkungan sosio- historis, individu dan masyarakat. Proses negosiasi tersebut memiliki tujuan untuk mempermudah berkomunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan.

3. Rutinitas Berdialek di Kalangan Mahasiswa Asli Banyumasan. Pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan tidak lepas dari lingkungan masyarakat Solo, terutama di lingkungan kos dan kampus UNS. Lingkungan pergaulan di kos dan kampus merupakan suatu aktivitas yang berjalan terus-menerus. Begitu juga interaksi dan komunikasi di kalangan mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan. Kegiatan yang berjalan secara terus-menerus dan sifatnya rutin akan menjadi suatu kebiasaan. Hal ini berlaku bagi penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan, baik di kos dan di kampus yang akan membentuk kebiasaan penggunaan dialek yang dipergunakan. Berdasarkan pandangan Giddens (Chris Barker, 2006:181) bahwa identitas bukan sebagai sesuatu yang tetap dan alamiah (natural), melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Titik perbedaan yang semakin berkembang meliputi proses interaksi dan komunikasi yang terus-menerus 102

berjalan di kalangan mahasiswa asli banyumasan dengan mahasiswa luar banyumasan. Lingkungan kos yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan, sangat dimungkinkan memiliki peluang yang kecil untuk mahasiswa asli banyumasan dalam mengembangkan dialek banyumasan karena lawan bicara yang sudah berbeda. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus maka menjadi terbiasa. Begitu juga mahasiswa asli banyumasan yang jarang atau bahkan tidak sama sekali menggunakan dialek banyumasan di lingkungan kos, maka dialek-dialek tertentu yang akan menjadi dialek barunya. Pada dasarnya mahasiswa asli banyumasan yang mengalami pergeseran penggunaan dialek banyumasan disebabkan adanya lingkungan kos dan kampus. Lingkungan tersebut meliputi keberagaman asal-usul daerah. Selain itu, mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya semakin berkembang pesat dalam mobilitas sosialnya. Hal ini didukung adanya interaksi dan komunikasi sehari-hari, baik di kos ataupun kampus yang monoton dan terus- menerus. Apalagi di kampus, intensitas pertemuan dalam perkuliahan ataupun di luar perkuliahan akan mempermudah dan mempercepat komunikasi dan interaksi satu sama lainnya. Tidak jarang juga, pergeseran menuju dialek Jawa alus ataupun Bahasa Indonesia sebagai salah satu alternatif untuk mempermudah komunikasi (karena teman-teman di kampus tidak begitu paham dengan dialek banyumasan) atau dengan alasan agar cepat beradaptasi dengan teman-teman yang ada di kampus. Hal ini terjadi pada mahasiswa asli banyumasan yang bernama IK, Ulya, Epra, dan Rista juga demikian. Kebiasaan sehari-hari di kos dengan lingkungan yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan khususnya mahasiswa yang berasal dari dialek Jawa Alus, secara lambat laun karena terbiasa mengikuti dialek tersebut, pada akhirnya dialek yang dominan saat ini yaitu dialek Jawa Alus (dialek Solo-Yogya). Uraian di atas dapat disimpulkan bahawa identitas bukan sebagai sesuatu yang tetap dan alamiah, melainkan sebuah proses yang terus menerus berubah dan memiliki titik-titik perbedaan yang semakin berkembang. Titik perbedaan yang semakin berkembang berkaitan dengan perbedaan antara lingkungan kos dan kampus yang sifatnya homogen dan heterogen. Lingkungan tersebut 103

mempengaruhi terus menerus dan terjadi secara berulang-ulang dalam intensitas yang rutin.

4. Lingkungan Sebagai Determinasi Dialek Banyumasan. Pemilihan penggunaan dialek yang terjadi secara rutin merupakan bagian dari eksistensi lingkungan yang mengikatnya. Lingkungan pergaulan juga dapat menjadi salah satu alasan mahasiswa banyumasan dalam rangka pemilihan dialek yang hendak dipergunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ulya. Tujuan penggunaan dialek luar banyumasan untuk mempermudah dalam berkomunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan agar mengetahui dan memahami dialek yang diucapkan. Dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya percampuran dialek, yang terkadang meliputi modifikasi antar dialek, baik dialek banyumasan dengan dialek Solo, ataupun dialek Solo, banyumasan dan Bahasa Indonesia. Para penutur dialek banyumasan mampu mengembangkan dialek banyumasan pada saat mahasisswa asli banyumasan senantiasa berkecimpung di daerah mereka (wilayah asal sekitar banyumasan). Sedangkan pada saat mereka keluar, lantas beradaptasi selama beberapa tahun atau bahkan menetap di daerah yang mereka datangi, lambat laun dialek banyumasan masih nampak terlihat, namun kemungkinan tersebut kecil. Karena yang terjadi di lingkungan kos dan kampus pada mahasiswa asli banyumasan di sekitar UNS sudah mengalami pergeseran dalam penggunaan dialek mereka. Fenomena sosial ini, merupakan bagian dari pemaknaan identitas yang secara sosial budaya membentuk dan menanamkan identitas tertentu pada dialek banyumasan. Identitas dialek banyumasan yang dibentuk dan dibangun tersebut, khususnya oleh orang luar banyumasan dan berdasarkan konteks lingkungan sosial budaya. Menurut Hall (Chris Barker, 2006:183), identitas dibangun dengan melibatkan lingkungan dan konteks lainnya yang sifatnya elastis. Sehingga dalam pemaknaan identitas selain dipengaruhi individu, tetapi juga bahwa lingkungan sosial dan budaya yang berbeda akan membentuk tatanan sosial yang ada di 104

masyarakat. Dalam hal ini tatanan sosial dari dialek banyumasan yang keberadaannya tidak lagi di wilayah induknya di kawasan banyumasan, namun di lingkungan kos dan kampus UNS. Fenomena yang muncul yaitu mahasiswa asli banyumasan mengalami pergeseran penggunaan dialek banyumasan, baik di kos ataupun di kampus. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan secara homogen dan heterogen. Lingkungan yang homogen, baik di kos ataupun di kampus akan menimbulkan efek yang berbeda dengan lingkungan yang heterogen. Penggunaan dialek banyumasan dalam interaksi dan komunikasi di lingkungan yang homogenitas mahasiswa asli banyumasan akan lebih kental dialek banyumasan jika dibandingkan dengan lingkungan yang heterogen terutama jumlah mahasiswa luar banyumasan lebih mendominasi daripada mahasiswa asli banyumasan. Disisi lain, muncul pendapat dari Irwan Abdullah (2006:94-96) yang menyatakan bahwa salah satu perkembangan bahasa nusantara dalam konteks global disebabkan oleh interaksi antarbahasa daerah itu. Hal tersebut diakibatkan oleh pertemuan langsung dua daerah, seperti yang terjadi daerah-daerah perbatasan. Hal ini terjadi dalam interaksi beberapa bahasa atau dialek di lingkungan kos dan kampus diantaranya dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan, dan bahasa Indonesia. Menurut (Appadurai, 1991) dalam Irwan Abdullah (2006:97) interaksi antar bahasa daerah menyebabkan munculnya kelompok pemakai bahasa lain dari suatu daerah. Interaksi antara bahasa daerah yang penuturnya yang terbatas dengan bahasa daerah dengan penuturnya sangat banyak. Hubungan keduanya akan mempengaruhi perkembangan kedua bahasa daerah tersebut karena dominasi suatu bahasa akan terbentuk dari interaksi tersebut. Dalam hal ini terjadi dalam dialek banyumasan sebagai dialek pendatang di lingkungan kos dan kampus UNS yang terjadi adalah dialek banyumasan tidak mampu dipertahankan secara utuh oleh para penutur asli banyumasan, yaitu mahasiswa asli banyumasan. Ada kecenderungan lainnya yang merujuk pada fenomena perkembangan dialek di wilayah kos dan kampus bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Menurut Herudjati (2004:10-17) ada lima faktor yang mempengaruhinya, 105

yaitu : (1) faktor regional, (2) sosial, (3) historis, (4) profesional, (5) terpengaruh oleh kontak bahasa. Pertama, faktor regional membuat sebuah bahasa berubah karena para penutur mengucapkan varietas yang berbeda pada lokasi atau tempat mereka bermukim. Hal ini bisa terdiri dari tiga sebab, yaitu karena tempat yang terpencil yang membuat penutur jarang berkomunikasi sehingga kemurnian dialek dan adat istiadat yang mendukung cukup terjaga dari pengaruh dunia luar, karena keterisolasian daerah mengakibatkan hubungan dengan dunia luar jarang sehingga secara politis tertutup akibat pengalaman sosial yang menyedihkan seperti perang, penjajahan, atau usaha mempertahankan adat kebiasaan dan karena komunitas sebuah dialek bisa terbentuk karena ada segregasi para penutur yang bertempat tinggal secara terpisah dari kelompok bahasa induk. Dalam hal ini, gejala sosial yang terjadi pada eksistensi dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus secara kuantitatif memiliki jumlah yang minoritas dibandingkan penutur yang termasuk luar banyumasan. Sehingga dialek banyumasan yang keluar dari induk tempat berkembangnya terutama di kawasan banyumasan, lebih sulit dikembangkan daripada di daerah banyumasan. Sebab, penutur banyumasan sifatnya lebih pasif daripada di wilayahnya sendiri. Menurut William A.Havilan (1985:360-376) konteks regional dengan melibatkan sistem kebudayaan yang khas yaitu bahwa pembentukan setiap bahasa manusia seperti bahasa Inggris dan bahasa Cina (Mandarin) adalah sarana untuk menyampaikan informasi dan berbagai pengalaman, baik yang bersifat kultural maupun individual dengan orang lain. Bahasa yang menyebar di seluruh dunia diperkirakan terdapat 3000 bahasa yang berbeda dengan keanekaragaman dan kekhasan masing-masing. Faktor kedua, adalah faktor sosial menunjukkan kedudukan sosial antar penutur bahasa, dalam hal ini pembedaan dialek banyumasan dengan Solo-Yogya. Dialek banyumasan pada dasarnya tidak berjenjang seperti dialek Yogya-Solo seperti tingkatan ngoko, madya, dan krama. Dialek banyumasan tidak mengenal istilah strata atau status yang ditunjukkan bagi penutur lainnya. Sebagai contoh, jika saya (peneliti) “madang” (makan), maka Ayah juga madang, Ibu juga madang, Nenek juga madang, Kakek juga madang, Pak Mentri juga madang, dan Pak Presiden juga madang. Lain halnya dengan 106

dialek Solo-Yogya yang sangat kental dengan pembedaan strata dari golongan masyarakat biasa, priyayi dan sang Raja dan keturunannya. Dalam buku The Religion of Java (1960) oleh Geertz berpendapat bahwa perbedaan penggunaan styleme yang terdiri atas ngoko, madya, krama, berkaitan erat dengan kedudukan sosial penutur dan gaya hidup para penutur yang terbagi dalam golongan priyayi, santri dan abangan. Dalam hal ini struktur kata madang diperuntukan untuk bahasa ngoko dan dhahar sebagai tingkatan bahasa krama. Oleh karena itu, keberadaan dialek banyumasan akan terpinggirkan pada saat di luar induk banyumasan, yaitu di lingkungan dialek Solo-Yogya. Hal tersebut menimbulkan strata sesuai stereotip yang telah muncul bahwa dilaek banyumasan dianggap sebagai dialek yang lebih rendah dibanding dialek Solo-Yogya. Ketiga, faktor historis memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa itu dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa biasa disebut dialek temporal atau dialek historikal. Dialek banyumasan pada saat ini sudah mengalami perkembangan dan sudah tidak utuh lagi berlaku dialek yang sangat asli dan kadang kedengarannya sangat kasar. Saat ini sudah ada jenjang tertentu pada saat kita berbicara dengan orang yang lebih tua dengan harapan untuk menghormati mereka. Sejarah memberikan gambaran, bahwa dahulu untuk pertama kalinya ada utusan seorang prajurit yang mendapat tugas di luar keraton yaitu kawasan banyumasan. Masyarakat setempat mengagumi dialek yang halus dan sopan dari sang Prajurit. Lambat laun proses sosialisasi dan internalisasi serta perkembangan zaman mengubah status dialek banyumasan memiliki tingkatan tertentu bagi penuturnya. Keempat, faktor profesional adalah dengan melihat profesi seseorang. Ragam bahasa ini disebut register. Sebagai contoh, seorang ahli kimia, menyebutkan istilah “air” dengan istilah kimia “H2O”. Hal ini terkait dengan dialek banyumasan yang memiliki banyak kosakata tertentu, sebagai contohnya arti kata makan : badhog; madang; mangan. Kelima, faktor kontak bahasa. Situasi kebahasaan akan menimbulkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap baik atau kurang baik, oleh Ferguson (1959) disebut diglosa. Sebaliknya apabila dua bahasa yang hidup bersama dalam suatu komunitas mempunyai otoritas dan kekuatan seimbang disebut bilingual atau 107

multilingual jika lebih dari dua bahasa. Di lingkungan kos dan kampus, terjadi multilingual dialek yaitu dialek Solo-Yogya, dialek banyumasan dan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, dialek banyumasan dengan ciri khas tersebut, oleh penuturnya saling terjadi kontak bahasa. Menurut Fathur Rokhman dalam Kongres Bahasa Jawa III (2001:39) ada tiga kemungkinan yang terjadi dalam kontak dua bahasa di masyarakat. Pertama adalah dua bahasa menyatu sehingga lahirlah bahasa baru disebut pijin. Kedua adalah bahasa lama kalah dan tergeser oleh bahasa pendatang. Ketiga adalah bahasa lama dan bahasa baru hidup berdampingan dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan fenomena yang terjadi pada dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS, secara garis besar meliputi dua hal yaitu faktor intern dan ekstern. Pertama faktor intern meliputi faktor diri tentang pemilihan dialek yang dipergunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Serta faktor perasaan malu, gengsi dan prestise mengenai pencitraan terhadap rendahnya dialek banyumasan yang identik dengan kelas menengah bawah. Kedua, faktor ekstern yang meliputi faktor geografis, faktor lokasi terkait dengan lingkungan kos dan kampus, lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari- hari, faktor untuk adaptasi dan faktor diglosa yang multilingual, pendidikan, pengaruh budaya, pola makan, dan faktor tuntutan. Faktor geografis secara umum meliputi perbedaan wilayah banyumasan yang jauh dengan keraton dibandingkan dengan Solo. Secara spesifik yaitu perbedaan letak strategis kamar kos diantara informan banyumasan. Hal ini mencakup, kamar kos atau tempat kos yang homogen mahasiswa asli banyumasan dengan jumlah yang mayoritas dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Begitu juga yang terjadi di lingkungan kampus yaitu mengenai pola interaksi dan komunikasi dengan sesama mahasiswa dengan adanya perbedaan asal daerah. Faktor lingkungan pergaulan dan kebiasaan sehari-hari terutama kegiatan rutinitas pada saat berbicara dengan lawan bicara (mahasiswa lain). Faktor untuk adaptasi dengan tujuan mempermudah menyesuaikan diri dengan teman di kos dan di kampus agar lebih interaktif dan komunikatif. Faktor diglosa yang multilingual, yaitu adanya peran 108

dua atau lebih bahasa jawa Solo dengan dialek banyumasan dalam satu lingkungan Solo. Faktor pendidikan memberikan pengertian adanya latar belakang dunia perkuliahan yang merupakan jenjang tertinggi dari pendidikan formal lainnya, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Pengaruh budaya mencakup perbedaan budaya Solo dan banyumasan. Pola makan meliputi pengertian bahwa orang banyumasan lebih menyukai makanan pedas dibandingkan dengan orang Solo. Hal ini memberikan argumen bahwa jenis makanan yang berstruktur pedas lebih menguatkan daya semangat dan adrenalin sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan tegas. Sedangkan faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan lingkungan barunya. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas dibentuk dan dibangun berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang homogen dan heterogen. Dialek banyumasan eksis pada saat berada di wilayah induknya yaitu di sekitar milayah barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen). Akan tetapi, pada saat keluar wilayah barlingmascakeb, dialek banyumasan mengalami pergeseran di kalangan penuturnya. Pergeseran tersebut berupa munculnya dialek modifikasi antara dialek banyumasan dengan dialek Solo, dialek banyumasan dengan Bahasa Indonesia, atau percampuran antara dialek banyumasan, dialek Solo dan Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, berdasarkan konsep agensi dan determinasi Giddens, secara keseluruhan dapat ditarik disimpulkan dalam empat hal. Pertama, konstruksi identitas dialek banyumasan karena adanya pemaknaan budaya. Pemaknaan tersebut muncul sebagai proses keberadaan lingkungan yang mencakup didalamnya adalah lingkungan sosial budaya Solo. Pemaknaan budaya terkait dengan stereotip yang muncul dari mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan. Stereotip dengan berbagai pemaknaan pada dialek banyumasan akan menciptakan identitas tertentu, baik stereotip dalam hal yang positif maupun stereotip dalam hal yang negatif. Stereotip positif berupa dialek yang memiliki kekhasan dan lain dari pada dialek daerah lainnya yang masih satu lingkup dengan Jawa khususnya di Jawa Tengah. Stereotip negatif ada anggapan 109

bahwa dialek banyumasan identik dengan masyarakat yang masih menengah ke bawah terutama terkait dengan tingkatan sosial di masyarakat yang masih cenderung membedakan lapisan sosial secara bertingkat. Stereotip yang bermunculan secara tidak langsung dan dalam intensitas yang lama akan menanamkan pola pikir tertentu yang mengarah pada pemaknaan identitas dialek banyumasan. Kedua, konstruksi identitas dialek banyumasan terbentuk secara nalar dan emosinal. Pembentukan identitas dialek banyumasan mengarah pada proses pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek dengan tujuan untuk menyesuaikan. Dalam pemilihan tersebut tidak lepas dari persepsi-persepsi tentang dialek banyumasan yang muncul sebelumnya. Hal inilah yang akan memberikan dampak pada identitas-identitas tertentu yang dibangun dan dinegosiasikan tentang dialek banyumasan. Ketiga, identitas dialek banyumasan terbentuk karena adanya rutinitas penggunaan dialek di lingkungan kos dan kampus. Tujuan mahasiswa asli banyumasan dalam pemilihan dialek yaitu untuk menyesuaikan diri dengan mahasiswa luar banyumasan. Proses penyesuaian tersebut terjadi terus-menerus dan menjadi rutinitas dalam kesehariannya karena dituntut lingkungan sosialnya yang baru yaitu di lingkungan berdialek Jawa Alus. Sehingga muncul dialek modifikasi seperti dialek Solo-Yogya dengan dialek banyumasan ataupun dengan bahasa Indonesia. Perkembangan zaman dengan adanya modernitas dan globalisasi memberikan kemungkinan pada perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Gejala sosial yang muncul, dialek banyumasan tidak utuh lagi secara kosakata dan pelafalannya atau pengucapannya. Hal yang terjadi adalah muncul tingkatan dalam dialek seperti dialek untuk ngoko dan krama alus. Keempat, konstruksi identitas dialek banyumasan tidak lepas dari lingkungan yang mengikatnya yaitu lingkungan kos dan kampus UNS. Lingkungan kos dan kampus menjadi faktor eksistensi dialek banyumasan. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan yang homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan heterogen (mayoritas mahasiswa luar 110

banyumasan). Karena lingkungan menjadi bagian dari mahasiswa asli banyumasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam hal ini, dapat diambil simpulan secara keseluruhan tentang konstruksi identitas dialek banyumasan bahwa terbentuknya identitas dialek banyumasan bermula dari stereotip yang muncul di kalangan mahasiswa luar banyumasan dan mahasiswa asli banyumasan. Stereotip tersebut sebagai hasil dari tindakan masa lalu tentang pemberian tanda atau penilaian pada dialek banyumasan. Dengan adanya stereotip akan mempengaruhi konstruksi dialek banyumasan di lingkungan Solo. Konstruksi tersebut meliputi pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan di kos dan di kampus. Lingkungan tersebut meliputi lingkungan yang homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan lingkungan yang heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Disamping itu, pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan melibatkan proses negosiasi secara nalar dan emosional. Penggunaan dialek tersebut juga berlangsung secara terus-menerus (bersifat rutinitas). Rutinitas berkaitan dengan interaksi dan komunikasi di lingkungan kos dan kampus. Karena pada dasarnya lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan dialek banyumasan. Dalam rangka mempertahankan dialek banyumasan di lingkungan UNS, upaya yang dilakukan mahasiswa asli banyumasan melalui upaya secara individu dan melalui komunitas banyumasan. Upaya secara individu yaitu tetap konsisten menggunakan dialek banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di kampung melalui teknologi mutakhir yaitu pesan singkat sms atau telepon dengan berdialek banyumasan. Sedangkan melalui komunitas banyumasan yaitu untuk temu kangen dan kebersamaan antar mahasiswa asli banyumasan yang menyebar di wilayah UNS.

111

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan Berdasarkan deskripsi laporan dan analisis data pada bab sebelumnya, konstruksi identitas dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus UNS meliputi 4 hal, yaitu persepsi tentang dialek banyumasan, faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan, rutinitas penggunaan dialek di lingungan kos dan kampus, dan pengaruh lingkungan kos dan kampus dalam konstruksi identitas dialek banyumasan. Pertama, persepsi mahasiswa asli banyumasan tentang dialek banyumasan yaitu dialek sebagai perekat kedekatan emosional di antara mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, dialek banyumasan merupakan salah satu akses mengenalkan budaya banyumasan, dan sebagai wujud identitas diri masyarakat banyumasan. Kedua, adanya persepsi yang muncul memberikan pengaruh pada pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Adapun faktor pemilihan dialek di kalangan mahaisiswa asli banyumasan, yaitu a. pemilihan secara nalar dan emosional sesuai dengan lawan bicara, b. memilih dialek di luar dialek banyumasan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahaiswa luar banyumasan. Ketiga, pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan tidak lepas dari lingkungan yang mengikatnya. Lingkungan tersebut melibatkan lingkungan kos dan kampus secara homogen (mayoritas mahaiswa asli banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Adapun penggunaan dialek di lingkungan kos, yaitu menggunakan dialek banyumasan karena satu blok kamar yang homogen. Sedangkan pada saat mayoritas mahasiswa asli luar banyumasan lebih banyak, maka yang mendominasi dialeknya yaitu dialek modifikasi (dialek banyumasan, dialek Solo-Yogya) dan Bahasa Indonesia). 112

Keempat, adakalanya menggunakan dialek karena menyesuaikan dengan lawan bicara atau bahkan lebih sering menggunakan dialek Jawa wetan (solo) dan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa informan (mahasiswa asli banyumasan) merasa minoritas dari teman-teman kosnya khususnya berdasarkan asal daerah dan penggunaan dialek banyuamsan. Sedangkan penggunaan dialek di kalangan mahasiwa asli banyumasan pada saat di kampus, yaitu dialek campuran (modifikasi) yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan teman satu angkatan di fakultasnya, akan tetapi pada saat bertemu dengan orang banyumasan menggunakan dialek banyumasan. Sehingga penggunaan diialek campuran Solo-Yogya ataupun dialek banyumasan tergantung lawan bicara. Mahasiswa asli banyumasan yang mengalami pergeseran penggunaan dialek banyumasan, adapun dua upaya yang dapat dilakukan dalam mempertahankan dialek banyumasan. Upaya dindividu yaitu tetap konsisten menggunakan dialek banyumasan meski hanya lingkup teman-teman yang ada di kampung melalui teknologi mutakhir yaitu pesan singkat SMS atau telepon dengan berdialek banyumasan. Sedangkan upaya melalui komunitas banyumasan yaitu untuk temu kangen dan kebersamaan antar mahasiwa asli banyumasan yang menyebar di wilayah UNS. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, konstruksi identitas dialek banyumasan dapat disimpulkan bahwa konstruksi identitas dialek banyumasan dari Anthony Giddens bermula dari persepsi yang berisi stereotip tertentu tentang dialek banyumasan. Konstruksi bermula dari persepsi yang berisi stereotip tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip yang telah muncul sebelumnya, memberikan gambaran pada mahasiswa asli banyumasan dan mahasiswa luar banyumasan tentang dialek banyumasan. Persepsi yang muncul seperti dialek banyumasan dianggap sebagai dialek masyarakat bawah dan kadang masih dianggap ndeso dan katro. Adanya penanaman persepsi tersebut, mengarah pada faktor pemilihan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek karena kedekatan emosional yang secara nalar dan emosional. Mahasiswa asli banyumasan yang 113

telah memilih dalam penggunaan dialek merupakan proses yang dinegosiasikan dan berlangsung secara rutinitas. Disisi lain, lingkungan kos dan kampus juga berperan dalam konstruksi identitas dialek banyumasan. Identitas dibentuk dan dibangun berdasarkan lingkungan kos dan kampus yang sifatnya homogen (mayoritas mahasiswa asli banyumasan) dan heterogen (mayoritas mahasiswa luar banyumasan). Dialek banyumasan akan mengalami eksis pada saat berada di wilayah induknya yaitu sekitar BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen). Akan tetapi pada saat keluar wilayah BARLINGMASCAKEB (terutama di lingkungan UNS), dialek banyumasan mengalami pergeseran dialek meliputi dialek modifikasi antara dialek banyumasan dengan dialek Solo (Jawa Alus), antara dialek banyumasan dengan Bahasa Indonesia, ataupun antara tiga bahasa yaitu dialek banyumasan, dialek Solo dan Bahasa Indonesia.

B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis

Berdasarkan simpulan di atas bahwa konstruksi identitas dialek banyumasan menurut Gidden yaitu adanya stereotip yang muncul pada dilaek banyumasan. Stereotip tersebut merupakan bagian dari hasil tindakan di masa lalu. Stereotip yang muncul mengarah pada pemilihan penggunaan dialek banyumasan. Pemilihan dialek secara rutinitas bersifat nalar dan emosional serta dipengaruhi oleh lingkungan kos dan kampus di UNS. Ada stereotip yang menyatakan bahwa dialke banyumasan dianggap sebagai dialek yang endah statusnya karena dengan logat cablaka (terbuka) dan tidak ada unggah-ungguh. Hal tersebut, dalam analsis Giddens merupakan satu kesatuan proses konstruksi identitas dialek banyumasan yang bermula dari stereotip yang akan mempengaruhi pada persepsi dan pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan.

114

Namun, ada tokoh neo-marxis yaitu Pierre Bourdieu yang berargumen bahwa bahasa dapat dikaji tentang kekuasaan yang bersifat simbolik, yaitu adanya tanda-tanda linguistik yang merupakan comoditas yang diberikan oleh kekuasaan sesuai dengan hukum pasar dimana bahasa diwacanakan. Pertukaran linguistik merupakan relasi komunikasi antara pengirim dan penerima pesan, karena ia adalah sebuah konteks sosial, dan juga sebuah pertukaran ekonomi. Logika ekonomi seperti produsen dan konsumen, modal linguistik, dan pasar dimana orang bisa memperoleh keuntungan baik material dan simbolik. Kekuasaan simbolik yang tejadi pada dialek banyumasan terlihat pada kampanye calon-calon wakil rakyat atau calon presiden dan calon wakil presiden untuk mendapatkan simpati rakyat. Misalkan saja, sang calon wakil rakyat atau calon presiden tersebut mengemukakan kampanye atau dengan memasang poster dengan menyisipkan kata atau kalimat dalam bahasa lokal (dialek banyumasan). Hal tersebut merupakan bagian dari kepentingan yang disampaikan secara simbolik (bahasa tertentu) dengan tujuan mendapat dukungan suara atau dukungan massa. Sesuai penjabaran teori dari Giddens dan Pirre Bourdieu di atas, maka peneliti tidak melakukan analisis dalam ranah konstruksi bahasa berdasar kekuasan simbolik. Hal ini disebabkan teori konstruksi yang terjadi secara kekuasaan simbolik (modal) Pierre Bourdieu memiliki perbedaan analisis dengan konstruksi yang terjadi secara pilihan dan determinasi Giddens. 2. Implikasi Praktis Mendeskripsikan konstruksi identitas dialek banyumasan sebagai dialek pendatang di lingkungan UNS dilihat dari pengaruh lingkungan kos dan kampus UNS yang akan memberikan pengaruh pada persepsi tentang dialek banyumasan dan faktor pemilihan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Mendeskripsikan tentang pergeseran penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan di lingkungan UNS. 115

Adanya pergeseran penggunaan dialek banyumasan di lingkungan UNS, memberikan arahan pada upaya mahasiswa asli banyumasan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek banyumasan.

C. Saran Konstruksi identitas dialek banyuamsan terjadi karena adanya stereotip tertentu tentang dialek banyumasan. Stereotip tersebut memberikan arahan pada persepsi dan faktor pemilihan penggunaan dialek di kalangan mahasiswa asli banyumasan. Fenomena yang muncul, dialek banyumasan mengalami pergeseran di kalangan mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS. Oleh karena itu, mahasiswa asli banyumasan diharapkan dapat mempertahankan dialek banyumasan dimanapun dan kapanpun dengan menghilangkan stereotip tentang dialek banyumasan. Sebagai contoh penggunaan dialke banyumasan di lingkungan kos, kampus, ataupun pada saat berada di wilayah luar induk banyumasan. 1. Melestarikan dialek banyuamsan melalui telekomunikasi jarak jauh (SMS dan telepon), email, chating dengan teman-teman asli banyuamsan yaitu adanya konsistensi menggunakan dialek banyumasan. 2. Mahasiswa luar banyumasan diharapkan tidak lagi memberikan stereotip negatif terhadapa dialke banyumasan yang masih dianggap rendah sebagai dialek masyarakat yang berstrata rendah. Misalkan dengan menganggap dialek banyumasan merupakan salah satu dialek- dialek di Indonesia yang memiliki ciri khas tertentu yang unik (sebagai wujud keanekaragaman dialek di Indonesia). 3. Menghidupkan kembali dialek banyuamsan di lingkungan UNS melalui komunitas banyumasan yang lebih pro-aktif dengan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan dialek banyumasan. Sebagai contoh pada saat agenda pertemuan sesama mahasiswa asli banyumasan, para mahasiswa asli banyumasan yang datang diwajibkan menggunakan dialek banyumasan. 116

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Achmad Fedyani Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer (Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, edisi pertama). Jakarta : Prenada Media.

Agus Salim. 2006. Teori dan Paradigma (Penelitian Sosial). Yogyakarta : Tiara Wacana.

Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anonim. 2006. www.wikipedia.com. Bahasa Jawa Banyumas. (24 September 2008).

Anton dkk, 1991 : 203. Pellba 4 (Diskusi Panel : Bahasa dan Budaya). Yogyakarta :Kanisius.

Ariel Haryanto. 1989. Prisma (Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial). Jakarta : LP3ES. 1989.

Ashadi Siregar. 2003. Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahsaan dan Kesustraan (Bahasa dan Perkembangan Budaya). Jakarata : Pusat Bahasa Depdiknas.

Astid S. Susanto. 1983. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : IKAPI.

Barker, Chris. (Terjemahan: Nurhadi). 2006. Cultural Studies. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. 1990. Jakarta : LP3ES.

Black, James A. dan Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung : PT Eresco.

Budiono Herusantoto. 2008. Banyumas (Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak). Yogyakarta : LKIS.

Burhan Bungin. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Grafindo Persada. Chaika, Elaine. 1994. Language : The Social Mirror. USA : Heinle an Heinle Publishers.

117

Dedy Mulyana. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat. 2000. Komunikasi Antar Budaya (Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Dwi Purnanto. 1999. Mibas (Fenomena Pemakaian Bahasa dalam Era Reformasi.

Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Hassan Sadily. 1984. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta : PT Bina Aksara.

Havilan, William A. 1985. Antropologi Edisi keempat. Surakarta : PT Gelora Aksara Pratama.

Herudjati Purwoko dan IM Hendrarti. 2004. Rekayasa Bahasa dan Sastra Nasional. Semarang : Masscom Media.

Husnaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Irwan Abdullah. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Jalaluddin. 2006. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Khaidir Anwar, 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa. Ogyakarta :UGM Press. Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan. . 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2006. Sosiologi untuk SMA dan kelas XI. Jakarta : Esis Erlangga.

Lexy J. Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Linda Thomas dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

M.Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural (Croos Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan). Yogyakarta : Pilar Media.

Miles, Matthew B dan A.Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : Universitas Press.

118

M. Koderi dan Fadjar P. 1996. Kamus Dialek Banyumas-Indonesia. Purwokerto : Badan Kesenian Banyumas (BKB).

Nani Tuloli, dkk, 2003. Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa. Jakarta : CV Mitra Sari.

Nasikun. 2001. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Nur Cholish Madjid. 2001. Pluralitas Agama (kerukunan dalam Keberagaman). Jakarta : Buku Kompas.

Pemerintah DIY, Jateng, Jatim. 2001. Kongres Bahasa Jawa III (Pembinaan dan Pengajaran).Yogyakarta.

Pemerintah DIY, Jateng, Jatim. 2001. Kongres Bahasa Jawa III (Kebahasaan). Yogyakarta.

Pike dan Halliday. 1989. Prisma (Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial). Jakarta : LP3ES.

Soerjono Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.

Spring. 2001. Ethnology “Reconstructing Ethnicity: Recorded and Remembered Identity in Taiwan”. University of Pittsburgh- Of the Commonwealth System of Higher Education. Vol. 40, No.2, pp. 153-164.

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian). Surakarta : UNS Press.

Suwardi Endraswara. 2006. Metode, Teori dan Teknik Penelitian Kebudayaan (Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi). Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Ubed Abdilah, 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang : Indonesiatera.

Winter. 1999. Ethnology “Rereading Relationships: Changing Constructions of Identity Among Kubo of Papua New Guinea1”. University of Pittsburgh- of The Common Wealth System of Higher education., vol. 38, pp. 59-80.

Yekti Maunati. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta : LKIS.

119

Lampiran 3 INTERVIEW GUIDE DAN OBSERVASI

A. Interview Guide 1. Mahasiswa Asli Banyumasan. a. Bagaimana persepsi Anda tentang dialek banyumasan ? b. Menurut Anda, apa peran dari dialek banyumasan ? c. Dalam pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan kos dan kampus, Anda berkomunikasi dengan dialek apa ? d. Atas dasar apa, Anda memilih dialek tersebut? e. Menurut Anda bagaimana perkembangan dialek banyumasan di lingkungan luar banyumasan (khususnya di lingkungan kos dan kampus UNS) ? f. Bagaimana pendapat Anda, jika dikatakan bahwa dialek banyumasan semakin ditinggalkan oleh para penutur aslinya ? g. Menurut Anda, identitas yang berdialek banyumasan yang seperti apa ? h. menurut Anda, bagaimana pemberian label dalam identitas dialek banyumasan terbentuk dan dinegosiasikan ? i. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Anda untuk mempertahankan dialek banyumasan ? j. Bagaimana pendapat Anda tentang komunitas mahasiswa banyumasan?

2. Mahasiswa Luar Banyumasan. a. Bagaimana pendapat Anda tentang dialek banyumasan ? b. Bagaimana pendapat Anda setelah menonton film “veronica” khususnya pada saat mendengar percakapan yang menggunakan dialek banyumasan?

B. Observasi 1. Melakukan pengamatan pada mahasiswa asli banyumasan dalam penggunaan dialek di lingkungan kos dan kampus. 2. Mengamati ekspresi mahasiswa luar banyumasan pada saat menonton film “veronica”. 120

Lampiran 4 FIELDNOTE

Informan 1 Suasana siang yang panas, peneliti melakukan wawancara dan observasi di kamar kos TFA sekitar jam 13.15 sampai 14.30 tepatnya pada tanggal 3 April 2009 dan pada hari Sabtu, 4 April 2009 jam 13.20- 14.20 WIB. Pada hari pertama wawancara, dengan nuansa kamar kos yang sedikit panas, sehingga kipas angin pun dinyalakan untuk menyegarkan ruangan. TFA yang baru saja selesai kuliah jam setengah satu, lantas sholat dhuhur, kemudian peneliti melakukan wawacara. TFA merupakan gadis kelahiran Banyumas 22 Febuari 1989 ini, sudah selama dua tahun hidup di Solo. Usianya yang sudah 20 tahun, saat ini dia sedang menginjak semester empat di Fakultas Ekonomi UNS. TFA memiliki tinggi badan sekitar 169 cm dan berat badan 48 kg. Wajahnya yang riang dan polos menjadi salah satu karakteristik gadis berambut keriting ini. TFA merupakan anak tunggal dari seorang ayah yang bernama ST dan ibu yang bernama SY. Latar belakang pendidikan ibu adalah lulusan SMA, sedangkan ayahnya yang wiraswasta merupakan lulusan D3 pendidikan. Ibu TFA bekerja sebagai guru SD di kota Banyumas. Kehidupan ekonomi keluarga sangat mapan, karena penghasilan ayah meskipun wiraswata tapi termasuk wiraswasta yang sukses. Diakui oleh TFA sebuah mobil mangkir di rumahnya di Banyumas. Gadis yang sangat menyayangi hewan kelinci ini, memiliki hobby membaca buku, terutama buku tentang perjalanan sebuah kehidupan seperti buku Tetralogi Laskar Pelangi. Sate, mie ayam dan bakso merupakan makanan favoritnya. TFA yang mempunyai tingkah laku polos dan supel, oleh teman-teman kosnya biasa dijuluki ‘si Oneng’. Hal yang paling disukai oleh gadis yang senantiasa perfek terhadap segala sesuatu yaitu hal-hal yang rapi dan teratur. Sebuah kelucuan dan peristiwa humoris adalah hal-hal lain yang paling disukai. TFA yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Banyumas berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah bahasa yang memiliki logat cepat dan sifatnya “ceplas-ceplos” (terbuka), selain itu menurut TFA, dialek 121

banyumasan terlihat dari para penutur aslinya pada saat pengucapan vokal ‘a’ yang sangat mantap. Contohnya : “Rika lagi apa ?” (kamu sedang apa?). TFA yang kos di daerah belakang kampus letak persisnya di jalan Surya 1 dengan nama kos TSD, dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kos, penggunaan dialek banyumasan adalah prioritas utamanya alam bercakap-cakap dengan teman-teman kos. Kos TSD yang terdiri dari 60-an penghuni kos putri memiliki keanekaragaman asal-usul daerah dari tiap warga kos TSD tersebut. Untuk satu blok yang terletak di lantai dua sebelah barat terdapat sepuluh kamar. Dari kesepuluh kamar dengan sepuluh penghuni kamar, delapan orang berasal dari daerah Banyumasan yang terdiri dari dua orang cilacap, tiga orang asli Kebumen, dua orang berasal dari Purbalingga dan seorang lagi berasal dari Banyumas yaitu si TFA. Sedangkan dua orang lagi dari jumlah kesepuluh orang di blok barat lantai dua tersebut, mereka berasal dari Pati dan Blora. Bahasa yang dipergunakan dalam blok kamar tersebut sangat didominasi oleh dialek banyumasan, sehingga tidak jarang dua orang yang berasal dari Pati dan Blora tersebut mengikuti sedikit demi sedikit tentang pelafalan beberapa kata-kata yang berkenaan dengan dialek banyumasan. Di lingkungan kampus, TFA sifatnya menyesuaikan dengan lawan bicaranya. Bahkan yang lebih sering dia menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan teman-teman TFA dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia meski sebenarnya sebagian besar teman-teman satu angkatan 2006 di Fakultas Ekonomi berasal dari daerah Jawa tengan dan Jawa Timuran. Hanya beberapa orang yang berasal dari Jakarta yaitu ada tiga orang, dan dari Bangka Belitung satu orang, engkulu satu orang, serta Lampung dan Palembang masing-masing satu orang. TFA bisa saja berdialog dengan bahas Indonesia dengan teman-teman sat fakultasnya, akan tetapi pada saat dia bertemu dan berkenalan dengan teman yang berasal dari satu kawasan yang sama (daerah banyumasan), maka akan kembali berdialek ngapak-ngapak. “Inyong angger ketemu karo kancané, apa pas kenalan karo wong sing habitaté pada baé kaya inyong, ya ngomong kaya kiyé, mba” (Aku kalau bertemu 122

dengan teman atau pada saat berkenalan dengan orang yang sama dengan aku, maka akan berbicara dengan dialek banyumasan).(W/TFA/3/4/09). Bahwasanya dialek banyumasan menunjukkan identitas penuturnya. Menurut TFA, dialek banyumasan semakin tergeser karena faktor geografis dan faktor lingkungan pergaulan. Selain itu, adanya beberapa mahasiswa asli banyumasan yang memang malu atau gengsi menggunakan bahasa asli mereka. “Angger inyong ora isin ngomong ngapak-ngapak, Nggo ngapa isin, wong bahasane dhéwék ko. Inyong moh kaya liyane sing jaréné isin ngomong ngapak- ngapak, Tapi angger neng kampus inyong nganggo bahasa Indonesia, sebab kanca-kancané ora mudeng bahasané inyong. Wong inyong dhéwék sing kur ngomong ngapak-ngapak ko. Liyané wong jawa alus apa jawa wétan, jawa timuran, Jakartaan, trus bangsané wong luar jawa” (Kalau saya tidak malu berbicara ngapak-ngapak. Buat apa malu, bukankah bahwa bahasanya kita sendiri. Aku tidak mau seperti lainnya yang katanya malu berbicara ngapak-ngapak. Tapi kalau di kampus, aku memakai bahasa Indonesia sebab teman-teman tidah paham bahasaku. Karena cuma aku sendiri yang berbicara dengan bahasa ngapak-ngapak. Lainnya orang jawa alus atau jawa wetan, Jawa Timuran, Jakarta, dan Luar Jawa).(W/TFA/4/4/09). Untuk menanggapi hal demikian, menurut TFA upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan yaitu dengan menggalakkan terus berbicara dengan dialek banyumasan meski berada di daerah luar banyumasan dan tidak boleh malu menggunakan dialek sendiri. “Kadang inyong kesuh karo wong-wong sing ngomongi angger bahasa banyumasan kasar, ora ana sopan santun, trus dicap sebagai bahasa planét”(Kadang aku kesal dengan orang-orang yang bilang bahwa bahasa banyumasan kasar, tidak ada sopan santun, dan dicap sebagai bahasa planet). Menurut TFA bahwa istilah bahasa planet yang diberikan oleh orang-orang luar banyumasan merupakan hasil dari proses yang terucap satu sama lain, karena orang luar banyumasan tidak memahami keunikan dan arti tersendiri dari dialek banyumasan.(W/TFA/4/4/09). 123

Informan 2 Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan kali ini adalah di kos informan yang bernama DD pada tanggal 5 April 2009 Minggu pagi jam 09.00- 11.30 WIB. DD mahasiswa FKIP di salah satu jurusan PIPS ini merupakan asli dari daerah Kebumen. DD lahir di kota Kebumen pada dua puluh satu tahun yang lalu dari ayah yang bernama SHW dan ibu yang bernama Sr. Usia sang ayah yang lima belas tahun lebih tua dari sang ibu, menjadikan ayah DD lebih matang dan dewasa dalam menyikapi permasalahan keluarga. Sang ayah memiliki latar belakang lulusan pendidikan PGSD dan seorang pensiunan PNS. Sedangkan ibu tamatan SMA. DD adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan ekonomi keluarga sudah mapan sendiri-sendiri. DD yang memiliki tinggi badan kurang lebih 160 cm ini, memiliki hobi mendengar cerita lucu atau komedian. Alamat kos DD yaitu sebelah barat kampus UNS, lebih tepatnya di daerah STSI. Kos HDYT adalah nama kos yang selama tiga tahun ditempatinya dan belum pernah pindah kos karena merasa betah (kerasan) tinggal di kos tersebut. DD yang saat ini menginjak semester enam sudah sedikit demi sedikit paham tentang keadaan di daerah Solo. DD sebagai mahasiswa perantauan yang belajar di UNS mengemukakan bahwa dialek banyumasan merupakan bahasa yang terlalu cepat, bahasa yang kasar tapi memang sudah tabiatnya demikian. Jika berinteraksi dengan teman-teman di kos, DD tetap menggunakan dialek banyumasan apalagi penghuni kos HDYT yang berjumlah tiga belas orang berasal dari daerah banyumasan semua, yang meliputi Kebumen ada enam orang, dua orang dari Cilacap, dan lima orang dari Banyumas dan Purwokerto. Dialek banyumasan menurut DD sebagai bahasa yang unik dan memiliki nilai tersendiri, apalagi sangat kental dengan hal-hal yang bersifat lucu. “Kadang ngomong bahasa banyumasan lewih ana lucune daripada bahasa jawa alus, lucune garing banget. Angger bahasa banyumasan toli ngomong sithik-sithik mesti ana baé sing gawé weteng kepingkel-pingkel”. (Kadang berbicara dengan bahasa banyumasan lebiah ada lucunnya daripada bahasa jawa alus sangat susah sekali. Kalau bahasa banyumasan itu, berbicara sedikit-sedikit pasti ada saja yang 124

membuat perut terbahak-bahak). (L/DD/5/4/09). Selain itu, dialek banyumasan memiliki peran untuk menyatukan satu komunitas antar penutur dialek banyumasan itu sendiri. Di lingkungan kampus yang sifatnya sangat heterogen dari teman-teman satu angkatan DD yang berasal dari jawa alus (Solo, Yogya, dan Purworejo) dan Jawa Timuran (Gresik, Magetan dan Ngawi) mengharuskan DD menyesuaikan dengan bahasa teman-temannya yaitu bahasa ngoko bahasa Jawa alus (bahasa Jawa Solo-yogya). Sedangkan, ada dua orang temannya yang satu angkatan yang berasal dari Banyumas dan Cilacap, maka oleh DD diajak bercakap-cakap dengan dialek banyumasan, dan terkadang teman-teman lainnya merasa terhibur dengan obrolan tiga orang ini. “Inyong ngomong karo si IJH karo si NING kadang malah kanca-kancané memperhatikan kami, jéréné kayane gayeng temen” (Aku berbicara dengna si IJH dan si NING kadang teman-teman bahkan memperhatikan kami, kata mereka kita mengobrol sepertinya akrab sekali).(L/DD/5/4/09). Menurut DD perkembangan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS bisa dipengaruhi oleh dua sebab, yaitu karena faktor lokasi terkait hidup beradaptasi dengan daerah yang didatanginya, dan karena merasa malu atau gengsi menggunakan dialek banyumasan, sehingga takut dianggap sebagai orang ndéso. Penggunaan dialek banyumasan yang terjadi bagi mahasiswa asli banyumasan ini, menurut DD sudah termodifikasi dengan jawa alus. Jadi mahasiswa asli banyumasan sudah tidak secara utuh menggunakan pengucapan ngapak-ngapak, tetapi jawa alus pun sudah masuk di dalamnya. DD menambahkan bahwa yang terjadi pada dialek banyumasan yang mengalami pergeseran tersebut tidak berdasarkan karena letaknya jauh ataupun dekat dngan keraton kasunanan Surakarta. Akan tetapi, tergantung orang tersebut beradaptasi dan bergaul dengan siapa yang menjadi lawan bicaranya. Munculnya pemberian label atau cap terhadap dialek banyumasan yang oleh orang luar banyumasan disebut dengan istilah ngapak-ngapak ini, bahwasanya orang luar banyumasan tersebut tidak tahu makna dan nilai dari persepsi atau percakapan yang didapat dari sebuah komunikasi antar orang banyumasan. Karena terdapat nilai-nilai tertentu yang diperoleh dalam 125

menggunakan dialek banyumasan, yaitu seperi nilai keluguan, kelucuan dan sifatnya supel. Selain itu nilai-nilai tertentu adalah seperti dalam hal sifat terbuka dan menunjukkan suatu identita diri dari pemakai bahasa tersebut. Dialek banyumasan yang semakin terjadi pergeseran dari para penuturnya, menurut DD, ada beberapa hal yang harus dilakukan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, yaitu (1) jangan pernah malu menggunakan dialek banyumasan dalam situasi apapun dan dalam kelompok kecil manapun, (2). Dialek banyumasan bisa dikembangkan melalui komunitas yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk berkumpul antar mahasiswa perantauan dari banyumasan yang belajar di UNS, selain itu dengan adanya komunitas ini dapat menyalurkan canda dan tawa serta merekatkan persaudaraan.

Informan 3 Senin pagi yang cerah, tepatnya tanggal 6 April 2009 jam 09.15- 11.30 WIB, peneliti melakukan wawancara dan observasi di informan yang ke tiga karena dia jadwal kuliahnya siang sampai sore. Gadis manis berkulit sawo matang bertubuh sedikit gemuk dengan tinggi badan kurang lebih 157 cm memiliki nama samaran IK. Dia yang baru saja selesai mencuci baju tersebut, peneliti wawancarai terkait dalek banyumasan. Ia lahir dari seorang ayah bernama SK yang berusia 51 tahun dan ibu bernama SR yang berusia 48 tahun. IK lahir pada tahun 1989 di kota Banjarnegara. Gadis ini merupakan anak kedua atau bungsu, ia memiliki satu kakak laki-laki yang belum menikah dan sedang menempuh S2. Ayah IK seorang PNS yaitu tepatnya sebagai Penilik Sekolah (PS) di kota Banjarnegara, sedangkan ibunya bekerja sebagai PNS yaitu guru SD yang juga di kota Banjarnegara. Kehidupan ekonomi keluarga cukup mapan walaupun secara nominal, IK keberatan untuk menyebutkan berapa penghasilan dari kedua orang tuanya. Akan tetapi menurutnya penghasilan dari usaha ayah dan gaji ibunya bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga. Pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak sangat demokratis yang cenderung liberal karena orang tua tidak pernah memarahi walaupun ia berbuat salah. Akan tetapi orang tuanya tetap memberikan nasihat setelah ia melakukan kesalahan. Gadis yang hobi memelihara ikan cupang di kamar kosnya ini lebih mengarahkan kepada hal-hal yang bersifat atletis dan kebugaran tubuh, sehingga dalam 2 kali seminggu disempatkan untuk berolahraga secara rutin. Jenis olahraga yang paling digemari yaitu olah raga basket dan voli. Selain menyenangi hal-hal tersebut ia juga mengaku menyenangi masakan yang rasanya asin dan pedas. Makanan favorit IK seperti bakso dengan kuah yang pedas. IK yang sangat tidak suka dengan kebohongan dan menunggu akan sesuatu adalah mahasiswa jurusan kebidanan UNS angkatan 2007. Selama dua tahun mengenyam bangku kuliah di UNS, IK masih kental dalam berdialog 126

banyumasan apalagi jika bertemu dengan teman yang berasal dari daerah sekitar karisidenan Banyumas (Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Banyumas dan Kebumen). IK yang meiliki sifat tegas, cekatan dan periang ini, bahwa dialek banyumasan merupakan bahasa yang menunjukkan inilah ‘si aku’. “iya, mba. Dialek banyumasan kue njelasna tentang siapa si inyong kiyé. Logaté sing akéh huruf ‘a’ -né” , ucap IK. (Iya, Mba. Dialek banyumasan itu menjelaskan tentang siapa aku ini. Logatnya banyak menggunakan huruf ‘a’). (W/IK/6/4/09) Jika berbicara tentang peran dan makna dialek banyumasan menurut gadis yang menyukai warna merah ini, adalah sebagai penunjuk jati diri. Kos IK di GWA daerah belakang kampus dengan mayoritas penghuni kos berasal dari daerah sekitar Solo dan beberapa daerah lain seperti Jakarta. Jumlah anak kos GWA keseluruhan ada 16 anak, di mana 12 anak berasal dari Solo, Klaten, dan Sukoharjo sedangkan 3 anak berasal dari Jakarta serta IK yang seorang diri berasal dari kota Banjarnegara. Dalam percakapan dengan teman-teman kos, IK terkadang bersifat menyesuaikan. Sebab, pada saat IK berbicara dengan dialek banyumasan ada kata-kata tertentu yang tidak dimengerti oleh teman-teman kosnya. Sehingga IK pada saat di kos menggunakan logat bersifat campuran dan tergantung dengan siapa dia berbicara dan dari mana asal lawan bicaranya itu. Sebagai contoh IK yang bercakap dengan WD salah satu teman kos IK yang kamarnya berada di samping kiri kamar IK berasal dari Jakarta. IK menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dengan WD. Hal ini juga terjadi pada DV yang berasal dari Klaten, IK menggunakan dialek jawa alus dengan disipi dialek banyumasan ataupun bahasa Indonesia jika dengan dialek banyumasan sukar dipahami oleh DV. Begitu juga di lingkungan kampus, IK menggunakan bahasa campuran tergantung dengan lawan bicaranya. Menanggapi penggunaan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, menurut IK memang semakin mengalami pergeseran. Hal ini terjadi pada diri IK. Sebenarnya memiliki keinginan untuk tetap melestarikan dialek sendiri, akan tetapi lingkungan tidak begitu mendukung. Sebagian teman di kos dan di kampus sangat berbanding terbalik dengan harapannya untuk tetap melestarikan dialek banyumasan. Sehingga dialek banyumasan yang berkembang di Solo merupakan bahasa yang sudah mengalami infeksi dari dominasi dialek jawa alus yang sifatnya mayoritas. Oleh karena itu, menurut IK, bahwasanya yang sangat berpengaruh terjadinya hal demikian yaitu faktor lingkungan dimana kita berada dan bergaul dengan teman-teman yang dilihat dari asal-usul yang heterogen. Selain itu, menurut IK, terjadinya pergeseran dialek banyumasan pada kalangan mahasiswa asli banyumasan karena muncul cap-cap atau label tertentu yang menjadikan beberapa diantaranya merasa malu dan gengsi menggunakan dialek ngapak-ngapak. Hal ini terjadi karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial masyarakat dalam memberikan penilaian atau penandaan terhadap orang banyumasan yang sifatnya terdominasi oleh dialek Jawa alus. Sebab, orang luar banyumasan menganggap dialek banyumasan sebagai bahasa yang tidak memiliki unggah-ungguh dan bernada keras dalam pengucapannya. 127

Menurut IK upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga terus lestarinya dialek banyumasan yaitu harus memiliki prinsip untuk tidak merasa malu menggunakan dialek sendiri (dialek banyumasan).

Informan 4 Suasanana wawancara ditemani langit gelap hanya dengan lampu sinar philips kamar yang menyala terang berwarna putih, peneliti melakukan wawancara sekaligus observasi dengan menginap di tempat informan pada hari Senin, 13 April 2009 jam 20.00- 22.00 WIB setelah selesai sholat isya dan makan malam. Dan pada hari kedua tidak menginap, hanya sekedar wawancara dan observasi pada hari Selasa 14 Paril 2009 jam 13.00-14.00 WIB sebelum NP setelah selesai kuliah. NP saat ini sudah berusia dua puluh empat tahun. Gadis kelahiran Kebumen dari pasangan RNO dan STI sudah lima tahun berada di kota Solo. Mahasiswi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ini, memiliki hobi berdebat. Jurusan yang diambil di FISIP yaitu S1 ilmu komunikasi. Sang ayah yang merupakan pensiunan dari guru SMP di kota Kebumen, memiliki semangat untuk membiayai sekolah anak-anaknya hingga jenjang S1 semua. Ibu NP yang sampai sekarang bekerja sebagai penjual sembako di depan rumah harus berjuang membantu ekonomi keluarga. NP terlahir dari tiga bersaudara. NP adalah anak kedua, kakak perempuan yang hanya lulusan SMA, sehingga tidak bisa melanjutkan S1 karena masalah finansial yang pada saat itu belum mencukupi untuk membiayai kuliah. Saat ini sang kakak sudah menikah dan bekerja di swalayan daerah Kebumen. Sedangkan harapan sang ayah agar anak-anaknya bisa mengenyam pedidikan hingga S1 baru terjadi pada diri NP. RSO sang adik laki- laki dari NP, masih duduk di bangku kelas dua SMA. Harapan terbesar orang tua NP adalah bisa menyekolahkan RSO sampai jenjang S1 pula seperti NP kakak perempuannya. . Gadis penggemar kerupuk udang ini, alamat kosnya di jalan Surya 1. NP berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman sat kosnya tetap menggunakan dialek banyumasan. Menurut NP dialek banyumasan adalah bahasa yang sifatnya terbuka, fulgar dan ibaratnya tidak plin-plan (konsisten). “Dialék banyumasan kuwé pokoké angger ngomong iya, ya iya. Ora ya ora. Dadiné ora ditutup-tutup” (Dialek banyumasan itu pokoknya kalau berbicara iya, maka bilang iya. Kalau dalam hati berkata tidak. Maka bilang tidak. Jadi tidak ada yang ditutup-tutupi).(W/NP/13/4/09) Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak membeda-bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat. NP menambahkan bahwa dialek banyumasan sifatnya datar antar perasaan sedih dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya. Sebagai contoh ada sebuah pertanyaan : “Rika kenangapa tiba !?” (Kamu jatuh!?). Dari pertanyaan di atas, bisa berarti atas dua hal yaitu menyatakan pertanyaan dengan nada keras (marah) atau ikut bersedih sehingga berempati untuk bertanya. Sedangkan, peran dan makna berdialek banyumasan bagi para penuturnya menurut NP adalah sebagai perwujudan identitas diri sebagai kaum banyumasan dan sebagai pengikat sesama orang banyumasan. Dalam lingkungan kampus, NP tetap konsisten menggunakan dialek banyumasan. Pada suatu ketika pada awal-awal menjadi mahasiswa FISIP UNS 128

bercakap-cakap dengan dialek banyumasan, ditertawakan dan dianggap lusu bahasanya oleh teman-temannya. Setelah itu, NP bahkan semakin gencar untuk meningkatkan berdialek ngapak-ngapak untuk berkomunikasi dalam situasi apapun dengan teman-teman di kampusnya. Bahkan sampai saat ini, teman-teman yang dahulu menertawakan NP, sudah semakin terbiasa dengan logat banyumasan. Adapula teman-teman NP yang meniru beberapa ucapan yang mudah diingat “Inyong kecot” (Aku lapar). Jika menanggapi perkembangan dialek banyumasan bagi mahasiswa asli banyumasan yang belajar di UNS, semakin mengalami pergeseran sekitar 60% dan 40% antara jawa banyumasan dan jawa laus (jawa wetan). Faktor yang mempengaruhi pergeseran tersebut, menurut NP adalah karena pengaruh budaya, lingkungan geografis, pola makan dan bawaan dari nenek moyang. NP mengemukakan bahwa pengaruh budaya karena budaya yang dimiliki oleh orang banyumasan bersifat terbuka, sedangkan orang Solo memiliki sifat yang alus. Dilihat dari letak geografis yang pasti sudah jelas karena perbedaan tempat tinggal dengan latar belakang dekat dengan dan jauh dengan lingkungan keraton. Selain itu jika dilihat dari pola makan, dibedakan bahwa orang Solo lebih menyukai makanan yang sifatnya manis dan tidak terlalu pedas, lain halnya dengan orang banyumasan yang menyukai rasa asin dan rasa pedas. Secara struktur rasa pedas dalam kandungan lombok (cabé) sangat membantu untuk meningkatkan atau menggerakkan adrenalin manusia. Sedangkan berdasarkan bawaan dari nenk moyang karena bahasa merupakan sudah dari dulu diturunkan sejak dini dari orang tua kepada anaknya lewat interaksi satu sama lain. Dialek banyumasan yang terkadang muncul istilah bahasa ngapak-ngapak menurut NP merupakan hasil dari budaya yang dibentuk secara bersama-sama dalam suatu masyarakat tertentu. Karena pada dasarnya budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. “Dadi timbul budaya, ya timbul kata tertentu. Contoné ya, tentang simbol kematian. Angger wong Solo nganggo werna mérah, trus angger wong nggoné inyong nganggo werna putih. Berarti nangkana ganuné ana kesepakatan, trus kesepakatan kuwé dadi turun-temurun maring anak putuné” (Jadi, timbul suatu budaya, maka timbul suatu kata tertentu. Contohnya tentang simbol kematian. Kalau orang Solo menggunakan kain warna merah, sedangkan daerahku menggunakan warna kain putih. Maka, dahulu kala ada sebuah kesepakatan, lalu kesepakatan tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya).(W/NP/14/4/09). Dengan adanya fenomena yang terjadi pada dialek banyumasan, sebagai upaya untuk melestarikan dialek banyumasan menurut NP adalah dengan (1). Jangan malu menggunakan dialek banyumasan, (2) pulang dan menikah dengan orang banyumasan, (3) masukkan muatan lokal atau kurikulum yang berdialek banyumasan, (4) sosialisasikan siaran radio dengan berdialek banyumasan atau media elektronik lainnya.

Informan 5 Wawancara dan observasi ini dilakukan pada tanggal 16 April 2009 dengan menginap di kos informan. Jadwal wawancara tersebut dilakukan pada jam 19.00-21.30 WIB. Gadis kelahiran Kota Cilacap dan berusia 20 tahun 129

memiliki nama samaran Ichen. Ia lahir dari seorang Ayah bernama SK berusia 60 tahun dan ibu bernama KR yang berusia 55 tahun. Ayahnya lulusan D2 PGSD dan ibunya lulusan SPG. Kedua Orang tua bekerja sebagai Guru SD. Ayah guru SD di Kota Cilacap sedangkan ibu guru SD di kota Cilacap pula. Gadis ini merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dan semua kakaknya perempuan. Kakak yang pertama sudah menikah dan mempunyai satu anak, tinggal bersama orang tuanya di kota Cilacap pula. Sedangkan kakak yang kedua baru lulus bulan September tahun 2007 dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Sudirman. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena pada tahun 2006 rumahnya roboh akibat belum pernah direnovasi karena rumah tersebut adalah rumah warisan dari neneknya. Penghasilan dari gaji ayah dan ibu digunakan untuk membiayai semua kebutuhan kuliah Ichen dan kakak. Selain itu orang tuanya sedang membangun rumah sehingga ia harus hemat dalam mengelola pengeluaran. Akan tetapi Ichen merupakan gadis yang pandai bersyukur dengan apa yang ia peroleh. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan keagamaan yang sudah matang. Setiap minggu keluarga mengundang Ustad untuk mengaji bersama di rumah. Orang tuanya adalah sosok yang tegas apabila tidak melaksanakan sholat atau mengaji maka akan ditegur dan jika tidak mempan ia akan dimarahi. Ia memiliki hobi membaca buku dan majalah karena menurutnya dengan membaca akan memberikan berbagai inspirasi yang menakjubkan. Ichen merupakan seorang mahasiswi Fakultas matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam (F.MIPA) semester empat. Ia tergolong gadis yang pintar dilihat dari indek prestasi di atas 3. Cewek cantik yang memiliki kulit putih, senang senyum, agak sedikit pemalu dan akrab dengan teman-temannya sehingga tidak heran ia mempunyai banyak teman. Saat diwawancarai cewek ini tidak segan-segan memberikan berbagai komentar panjang lebar mengenai berbagai hal tentang dirinya. Penggunaan dialek banyumasan di kos masih sangat kental, karena hampir sebagian besar dikosnya (kos IN) mayoritan adalah anak asli Cilacap, dan yang membedakan adalah berbeda jurusan dan fakultas. kos IN yang juga berada di daerah belakang kampus, tapi kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah jalan kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan akan semakin berasa dan tidak ada bedanya yang secara nyata berada di lingkup dan lingkungan daerah Banyumasan. Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari Cilacap semua yaitu ada 17 anak, sedangkan sisanya satu orang adalah berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Tidak bisa terbendung dalam benak kita, apa yang terjadi dalam percakapan sehari-hari oleh para penghuni kos IN yaitu dengan dialek banyumasan. Dan tak khayal satu orang dari Ngawi tersebut mengikuti arus yang menjadi logat mayoritas berdialek banyumasan. Di kos IN yang juga berada di daerah belakang kampus, tapi kos tersebut lebih tepatnya terletak di daerah jalan kabut. Unsur kekentalan dan keutuhan berdialek banyumasan akan semakin berasa dan tidak ada bedanya yang secara nyata berada di lingkup dan lingkungan daerah Banyumasan. Kos IN yang merupakan kos bagi mahasiswa perempuan, dengan jumlah kamar seluruhnya ada 18 kamar dengan 18 penghuni, hampir sebagian besar berasal dari Cilacap semua yaitu ada 17 anak, 130

sedangkan sisanya satu orang adalah berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Tidak bisa terbendung dalam benak kita, apa yang terjadi dalam percakapan sehari-hari oleh para penghuni kos EN yaitu dengan dialek banyumasan. Dan tak khayal satu orang dari Ngawi tersebut mengikuti arus yang menjadi logat mayoritas berdialek banyumasan. Sedangkan ada percakapan sehari-hari yang menjadi kebiasaan di kos tersebut adalah dengan dialek banyumasan. Ada beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan kos tersebut, dua orang mahasiswa yang dengan dialek halus (Yogya dan Solo) atau dengan vokal ”o”, mereka mengikuti teman-teman kos yang enam orang tersebut. Meski hanya beberapa kata dan dalam penanda kata tertentu misalnya mengikuti nama panggilan untuk diri sendiri dalam dialek banyumasan yaitu inyong (”aku” dalam bahasa Indonesia), dan penggunaan kata ”aja kaya kuwe lah” (”jangan seperti itu , ya” arti kata dalam bahasa Indonesia). Begitu juga dengan di lingkungan kampus, Ichen tetap secara utuh menggunakan dialek banyumasan, dan oleh teman-temannya mendapat julukan “miss ngapak”. Menurut Ichen dialek banyumasan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak bisa terpisahkan. “inyong angger ora ngomong ngapak-ngapak, kayané ana sing ilang baé sekang inyong kiyé”. (Aku kalau tidak berbicara ngapak-ngapak sepertinya ada yang hilang pada diriku ini). (W/Ichen/15/4/09). Dialek ngapak yang berkembang saat ini sudah semakin mengalami pergeseran, tapi tidak terjadi pada diri si Ichen. Dia senantiasa berdialog dengan dialek banyumasan. Menurut Ichen, ada beberapa orang temannya yang satu kampus yang juga berasal dari Cilacap dan Banjarnegara, untuk logat jawa banyumasannya sudah berubah, ada sisipan dialek jawa alus yang sifatnya modifikasi dialek jawa alus dan jawa banyumasan. Hal ini dimungkinkan faktor dari lingkungan kos yang sangat didominasi oleh orang Solo atau jawa alus (jawa wetan), hal ini terjadi pada salah satu temannya yang bernama MD yang berasal dari Banjarnegara yang kos di daerah Ngoresan. Terjadinya pergerseran tersebut juga tidak lepas dari konstruksi budaya yang membentuk bahwa dialek banyumasan bersifat keras, bernada tegas dan bahkan ada nilai humor pada saat orang banyumasan mengucapkan logatnya dengan lawan bicaranya. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini, menurut Ichen, mahasiswa asli banyumasan hendaknya tidak secara utuh meninggalkan dialek asli mereka sebagai khasanah budaya sendiri. “Wong kita dilahirkan trus digedhékna neng kana, ya paling ora kudu mewariskan budayane dhéwék. Aja isin”. (Karena kita dilahirkan dan dibesarkan di sana, paling tidak harus mewariskan budaya sendiri. Jangan malu). (W/Ichen/16/4/09). Upaya yang bisa ditempuh selain tetap menggunakan dialek banyumasan dalam keseharian, tapi juga harus bangga dengan dialek banyumasan dengan ikut serta dalam komunitas dialek banyumasan untuk menggelar beberapa acara atau agenda yang sifatnya tetap menjaga pelestarian dialek banyumasan di wilayah Solo khususnya di UNS.

Informan 6 Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan pada informn ke enam ini adalah di kos pada tanggal 17 April 2009, tepatnya hari Jum’at dengan menginap di kos informan selama semalam. Wawancara yang dilakukan sekitar 131

jam 17-00-18-00 WIB, kemudian berlanjut jam 20.00- 21.30 WIB. Gadis berkulit manis memiliki postur tubuh yang tinggi 160 cm dan berkaca mata memiliki nama samaran Rista. Ia lahir di kota Cilacap pada 19 tahun yang lalu dari seorang ayah bernama DN berusia 54 tahun dan ibu bernama RB yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan SD bekerja sebagai pedagang sedangkan ibunya lulusan SMP yang bekerja sebagai pegawai administrasi di Puskesmas Cilacap. Rista merupakan anak nomor satu dari dua bersaudara. Sang adik yang bernama DR masih duduk di bangku SMP kelas dua. Kehidupan ekonomi sangat cukup karena ayah Rista sebagai pedagang alat-alat elektronik di sebuah toko yang cukup besar di kota Cilacap, sedangkan sang ibu yang sebagai pegawai perawat di Puskesmas sangat membantu menambah finansial keluarga. Mengenai kehidupan keagamaan, Rista dilahirkan dari keluarga yang taat beribadah karena semenjak kecil usia enam tahun hingga kelas 4 Sekolah Dasar ikut les belajar Alqur’an secara privat. Begitu juga dengan cara mendidik dari sang ayah dan sang ibu yang sangat demokratis. Akan tetapi jika sudah melewati batas, maka ayah dan ibunya akan memarahi. Rista saat ini menempuh kuliah di UNS di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Bahasa Indonesia. Gadis yag sangat menyukai hewan kupu-kupu ini menggemari kegiatan olahraga berupa olahraga bola voli. Warna hijau adalah warna favoritnya hal ini nampak dari hiasan dinding yang senantiasa bernuansa hijau muda. Membaca novel menjadi suatu kebiasannya sehari-hari disamping karena jurusan di pendidikan bahasa Indonesia. Rista yang termasuk remaja masjid yang aktif ini memiliki jenis makanan yang tidak pernah membuatnya bosan yaitu cap cay kuah dan steak. Ada satu hal yang tidak diukai oleh Rista yaitu menunggu. Rista yang tergolong anak yang tidak sabar tapi disisi lain memiliki sebuah semangat yang menggebu-gebu, sehingga dalam mengerjakan tugas pun jangan sampai ditunda. Mendapatkan sebuah hadiah ataupun mendapatkan suatu kejutan merupakan harapan dan keinginananya dari setiap orang-orang terdekatnya. Rista yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah Surya 1 ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, memiiki volume keras dan adanya penekanan dalam kata tertentu dan penuturan bahasanya terbilang cepat. Penekanan dalam huruf tertentu misalnya pada huruf ‘k’, jika dengan dialek jawa alus atau jawa wetan (Solo-Yogya) yang menyatakan kata “dhéwé’ tanpa adanya penekanan huruf ‘k’, sedangkan untuk dialek banyumasan pelafalannya yaitu “dhéwék”, dimana huruf ‘k’ mengalami penekanan dalam penturannya. Adapun fungsi dari penggunaan dialek banyumasan di lingkungan UNS, menurut Rista yaitu sebagai perwujudan diri, sebagai bahasa yang sifatnya unik dan tidak ada di tempat lain, serta dialek banyumasan fungsinya merupakan dialek yang sangat dekat dengan strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh kata ucapan “Apa”. Dalam dialek banyumasan, pelafalan tetap “apa” sesuai tulisan, untuk jawa alus “opo”, sedangkan untuk standarisasi atau EYD ke bahasa Indonesia adalah “apa”. Dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan kos, Rista dalam penggunaan dialek banyumasan sudah mengalami percampuran atau modifiksi. Artinya bahwa dialek banyumasan yang dipergunakan oleh Rista sudah tidak utuh lagi, bahkan yang menjadi dominasi dalam berdialog sehari-hari dengan teman- 132

teman kosnya yaitu dengan menggunakan dialek Solo (jawa alus). Hal ini terlihat terpengaruh dengan kehidupan kos Rista yang mayoritas terdiri dari daerah Solo, Boyolali, Sragen dan Wonogiri, sedangkan hanya Rista saja yang berasal dari luar daerah Solo. Sehingga mau tidak mau, menyesuaikan diri dan ikut bercampur dengan belajar dialek Solo. Sebab pada saat awal masuk kuliah, Rista yang masih polos sebagai seorang pendatang dari Cilacap, jika berdialog dengan teman-teman kos menggunakan dialek banyumasan, ada kalanya beberapa teman kosnya yang merasa geli dan merasa lucu dengan bahasa ngapak-ngapaknya. Lantas dengan adanya hal demikian, lambat laun semakin lama hidup di Solo, kurang lebih selama tiga tahun karena Rista sekarang semester enam, dialek yang dipergunakan Rista sudah mengalami perbedaan. Hal ini dikarenakan komunitas yang ada di lingkungan kos sangat mendominasi dari orang-orang kalangan jawa alus bahkan berasal dari asli daerah sekitar kawasan Solo. Sedangkan dalam konteks yang sangat berpengaruh juga, Rista yang saat ini memiliki pacar dengan teman satu kelasnya, juga karena berasal dari daerah Klaten. Secara otomatis, bahasa yang dipergunaka dari pasangan sejoli tersebut yaitu dialek Solo, karena si RK yang merupakan pacar Rista tidak memahami dialek banyumasan, sehingga Rista yang mengharuskan mentransfer ataupun lebih memudahkan untuk berkomunikasi dengan dialek si RK. Rista dalam kehidupan kampus, tidak jauh beda keadaannya di lingkungan kos. Teman-teman kampus Rista didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah Solo dan Yogya. Menurut Rista perkembangan yang terjadi saat ini dalam penggunaan dialek banyuamsan di kalangan mahasiswa di UNS sifatnya “mandek”, artinya bahwa orang banyumasan menyesuiakan ke Solo dan tidak bisa mempertahankan. Penggunaan dialek banyumasan yang semakin mengalami pergeseran tersebut, Rista menambahkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi dipandang dari segi intern dan segi ekstern. Maksud segi intern yaitu dari diri pribadi orang banyumasan ketika berada di daerah perantauan yang dialeknya sudah berbeda memiliki kesadaran untuk memilih bahasa apa yang cocok. Selain itu juga, dalam pemilihan dialek yang akan kita pergunakan adalah karena sifat prestise atau penghargaan terhadap diri kita sendiri, mengandung arti bahwa orang banyumasan yang masih menggunakan dialek banyumasan dianggap orang yang masih tradisional dan dari kalangan bawah. Dilihat dari segi ekstern yaitu berdasarkan pengaruh lingkungan dan tuntutan. Maksudnya bahwa lingungan yang akan semakin memiliki peran besar dalam eksistensi dialek banyumasan. “Lingkungan sifat okéh Mba. Ono sing termasuké lingkungan pergaulan, lingkungan kampus, ya kuwé di tambah lingkungan kos” (Lingkungan sifatnya banyak, Mba. Ada yang termasuknya lingkungan pergaulan, lingkungan kampus dan lingkungan kos) (W/Rista/17/4/09) Dialek banyumasan ada kalanya terjadi suatu proses labelisasi atau stereotip atau adanya pemberian cap tertentu. Rista meskipun dalam pergaulan di kos dan di kampus, dialek banyumsan sudah sifatnya termodifikasi dengan dialek jawa Solo, ada keinginan untuk bisa melestarikan dialeknya diantaranya yaitu melestarikan dialek banyumasan dengan melihat keadaan atau melihat lawan bicara kita. Kalaupun lawan bicara kita, adalah orang berasal dari daerah 133

banyumasan maka ngomonglah dengan bahasa ngapak-ngapak, tapi jika lawan bicara kita luar banyumasan dan orang tersebut tidak paham dengan bahsa kita, maka menyesuaikan dengan bahasa yang semmapu kita, entah dengan dialek jawa Solo ataupun bahasa Indonesia tergantung dari konteks lawan bicara, apakah dari Soo-Yogya, Jawa Timuran ataupun dari jawa barat dengan konteks satuan nasional bahasa Indonesia.

Informan 7 Pada tanggal 18 April 2009, penenliti melakukan waancara dan observasi kepada informan ke tujuh di kos pada jam 09.30-12.15 WIB. Laki-laki cakep berpostur tinggi 165 dan berkulit lumayan bening bernama DON (samaran). Ia merupakan anak kelahiran kota Purbalingga tahun 1989. Ayahnya bernama KM yang berusia 53 tahun dan ibunya bernama SC yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan Diploma dan bekerja sebagai Guru SD. Sedangkan ibunya lulusan S1 bekerja sebagai guru SMP. Kedua orang tuanya juga bekerja di kota Purbalingga. DON merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ia memiliki satu adik laki- laki dan satu adik perempuan. Adik laki-laki bernama VIC yang duduk di bangku kelas 3 SMP, sedangkan adik perempuan bernama SIS yang masih duduk di bangku kelas 4 SD. Pola asuh yang diterapkan dikeluarga adalah kedisiplinan dan cenderung keras. DON semasa kecil paling sering dimarahi karena nakal. Kehidupan ekonomi keluarga cukup berada karena selain penghasilan dari gaji ayah dan ibunya sebagai pegawai negeri juga ada penghasilan dari sawah. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama. Orang tuanya sangat menomorsatukan yang namanya agama sehingga sejak kecil ia sudah diajari sholat dan mengaji. Laki- laki yang gemar makan-makanan bernuansa pedas seperti nasi goreng pedas dan mie ayam ini, pada prinsipnya lebih menyukai warna biru dan hitam. Pengalaman organisasi yang pernah dilakoninya adalah seperti pramuka, karang taruna dan Himpunan Mahasiswa Program (HMP). Membaca, menulis, dan bermain musik adalh hobinya. Mahasiswa fakultas Keguruan dan Ilmu Pedidikan ini, di UNS mengambil jurusan bahasa Inggris. DON yang kos di GWS ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang pengucapannya penuh, seperti konsonan ‘k’ dan ‘g’. Hal tersebut dilihat dari segi fonologi, sedangkan dilihat dari segi sejarah, pada dasrnya dialek yang sifatnya sudah paling lama atau tertua dari bahsa jawa lainnya, hal ini terjadi pada zaman batu (palaeolitikum). Jika dilihat dari segi geografis, dialek banyumasan merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran. Menurut DON, fungsi dialek banyumasan di lingkungan UNS adalah sebagai alat komunikasi dan sebagai alat yang mengenalkan budaya kita dengan yang lainnya. Jika dilingkungan kos, DON menggunakan dialek campuran, karena kos yang berjumlah 14 orang, yang mendominasi adalah mahasiswa yang berasal dari sekitar Solo dan Jakarta. Untuk teman kosnya yang berasal dari Jakarta ada dua orang, sedangkan yang berasal dari daerah solo dan sekitarnya ada sebelas orang, sedangkan DON merasa terpojok dengan kehadiran seorang diri. Sehingga bahasa yang dipergunakn sifatnya sudah terinfeksi dengan dialek campuran, jika berbicara dengan teman yang berasal dari Jakarta, tetap menggunakn bahasa 134

nasional bahasa Indonesia. Sedangkan lainnya adalah dialek Solo. Lingkungan kampus DON juga tidak ada bedanya dengan di kos. Dialek yang DON pergunakan sifatnya campuran atau modifikasi. Dialek banyumasan yang mengalami pergesran dari para penuturnya tersebut, dalam hal ini menrut DON disebabkan karena dua hal yaitu karena keinginan untuk beradaptasi dan karena diglosa (terjadinya perubahan bahasa dari kebudayan yang berbeda dalam ini menyangkut kebudayan orang Solo dan kebudayan orang banyumasan). Pada dasarnya DON tidak pernah memiliki keinginan untuk menghilangkan jati dirinya terkait dengan dialek banyumasan. Akan tetapi dalam konteks lingkungan kos dan kampusdialek banyumasan menjadi suatu hal yang sifatnya terdominasi oleh dialek Solo. DON berargumen bahwa kurang lebih pergeseran yang terjadi pada dirinya sekarang adalah perbandingan 5% malu dan 95% tidak malu menggunaka dialek banyumasan. “Aku sebeneré yo ora isin, nganggo dialek banyumasa, tapi mau gimana lagi. Kanca-kancaku neng kos karo kampus sing akéh wong wétan” . (Aku sebenarnya ya tidak malu menggunakan dialek banyumasan, tapi mau gimana lagi. Teman-temanku di kos dan kampus kebanyakan menggunakan bahasa jawa alus (jawa wetan) (L/DON/18/4/09). Sehingga, sikap yang terkadang dilakukan oleh DON dalam hal demikian yaitu jika ditelepon dengan teman-temannya yang kuliah bukan di UNS ataupun teman- temannya yang berada di rumah (Purbalingga) DON berbicara dengan menggunakan dialek banyumasan. Meskipun demikian, diakui oleh DON karena terbiasa menggunakan dialek Solo, jadi ada beberapa kata-kata yang secara tidak sadar sering mengucapkan kata-kata tertentu dengan pelafan menurut dialek Solo. Sebgai contoh, penyebutan kata “kiyé” (dialek banyumasan), tetapi sering diucapkan DON dengan dialek Solo menjadi “iki”. Selain itu, munculnya stereotip yang terjadi pada dialek banyumasan seperti penyebutan ‘bahasa planet’ baghasa ngapak menurut DON merupakan sebuh proses yang terbentuk dari lingkungan. Hal ini nampak bahwa lingkungan yang sangat berpengaru besar pada diri DON adalah di kos kampus. Munculnya stereotip yang menyatakan bahwa kamu ini orang ngapak, kamu ini orang bandekan terlihat dari cengkoknya atau penekanan tertentu ketika berbicara dengan lawan bicara. “Aku walaupun sudah ngomong karo bahasa Solo, mesti tetap kétok medoké banyumasan. Dadiné angger wong bener-bener isoh ngematké aku walaupun ngomongnya sudah logat Solo, tapi ya ketoro banyumasané”. (Aku walaupun sudah berbicara bahasa Solo, pasti tetap kelihatan cengkok atau medok banyumasan. Jadi jika ada orang yang benar-benar memperhatikan aku walaupun berbicara sudah logat Solo, tapi ya kelihatan banyumasannya) (L/DON/18/4/09).

Informan 8 Penelitian selanjutnya adalah di kos Ulya pada hari Sabtu, 18 April 2009 sekaligus menginap di kos Ulya untuk melakukan wawancara dan observasi. Wancara dilakukan pada jam 19.15-21.15 WIB. Dengan ditemani lampu philips, peneliti melakukan wawancara setelah sholat isya dan makan malam. Gadis berbadan mungil dengan memiliki tinggi badan 150 cm bernama Ulya (samaran) dan berusia 20 tahun yang lahir di kota Banjarnegara. Ia lahir dari seorang Ayah 135

yang bernama SRM berusia 55 tahun dan ibu bernama DM berusia 50 tahun. Ayah lulusan SMP dan bekerja sebagai pedagang bakso di Cikampek. Sedangkan ibu lulusan SMP dan tidak bekerja hanya ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah mengurus sawah sebagai buruh tani. Ia merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara dan adik laki-lakinya masih kelas 1 SD yang bernama DY. Kehidupan ekonomi keluarga sangat sederhana karena hanya ayahnya yang bekerja buruh tani dan terkadang sebagai buruh bangunan. Ia lahir dari keluarga yang taat beragama karena sejak kecil Ulya dididik dengan penuh kedisiplinan. Ketika kecil sampai SMU orang tuanya memanggil guru agama untuk mengajar mengaji. Ulya merupakan mahasiswa D3 Jurusan Perpustakaan semester empat. Gadis yang memiliki hobi membaca novel ini, termasuk mahasiswa yang sangat ingin membahagiakan orang tuanya. Waktu perkuliahan yang jatuh pada siang sampai sore hari pada setiap harinya yaitu mulai hari senin sampai jum’at, waktu luang pada pagi hari, dia pergunakan untuk part time di perpustakaan pusat sebagai pegawai part time mulai jam 08.00 WIB hingga jam 12.00 WIB. Ulya yang memakai jilbab dalam kesehariannya, mengaku memakai jilbab sejak kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA). Awalnya ia pakai jilbab karena disuruh oleh ayah dan ibunya dan belum mengerti tentang makna jilbab itu sendiri. Setelah kuliah dan ikut pengajian ia mengetahui kalau berjilbab adalah kewajiban seorang muslimah dan berjilbab berarti bukan hanya sekedar menutupi aurat tubuh tetapi juga menjaga hati dan perilaku. Ulya termasuk anak yang pendiam, dia jarang bergaul dengan teman- teman atau pun berjalan-jalan sekedar membuang waktu yang tidak bermanfaat. Menurut Ulya, dialek banyumasan adalah bahasa yang pengucapannya banyak mnggunakan vokal ‘a’. Ulya kos di SKN di daerah Jalan Surya 2 dalm kesehariannya di lingkungan kos menggunkan dialek solo yang lebih banyak daripada dialek banyumasan. Hidup selama dua tahun di Solo, dengan teman- teman kos yang semuanya berjumlah 18 penghuni kos, rata-rata berasal dari daerah Solo, Sukoharjo Klaten, Wonogiri, Ngawi, Temanggung dan Magelang, Ulya sudah terkontaminasi dengan dialek Solo. Sedangkan pada saat di kampus, Ulya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya yang mengambil jurusan D3 perpustakaan kebanyakan hampir seluruhnya warga Solo, yang berada di luar Solo, hanya Ulya dan dua orang temannya, satu laki-laki yang bernama YG berasal dari Gombong dan yang perempuan bernama ME yang berasal dari Tambak, Banyumas. “Konco-koncoku neng kampus nek ngomong, nganggone bahasa indonesia. Tapi nek karo si YG tidak pernah omong-omongan, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, yo tetep nganggo bahasa Indonesia. Tapi nek karo Me karena kami tidak begitu akrab kadang-kadang ngomong dialek banyumasan kadang-kadang bahasa Indonesia”. (Teman-temanku di kampus kalau berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Tapi jika dengan si YG tidak pernah mengobrol, kecuali tanya-tanya tentang kuliah, ya tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, kalau dengan Me karena kami tidak begitu akrab, terkadang bicara dialek banyumasan kadang bahasa Indonesia) (W/Ulya/18/4/09). Ulya sebenarnya bangga menggunakan dialek sendiri, apalagi jika berada di daerah orang lain. Akan tetapi situasi lingkungan baik di kos dan di kampus tidak mendukungnya. Sehingga, mau tidak mau menyusaikan dengan bahasa 136

setempat, yaitu dialek Solo pada saat di kos dan bahasa Indonesia pada saat di kampus. Sebagai warga dialek banyumasan sikap yang harus dihadapi oleh Ulya agar dialek banyumasan tidak hilang secara penuh, yaitu pada saat dirinya kembali ke Banjarnegara dengan ayah, ibu, adik dan kerabatnya yang di Banjarnegara tetap menggunakan dialek banyumasan, meskipun dialek banyumasan yang sifatnya tidak utuh lagi karena sudah terlalu terbiasa menggunakan dialek Solo, sehingga dialek Solo pun terbawa juga.

Informan 9 Wawancara dan observasi ini peneliti lakukan pada hari Senin, 20 April 2009 jam 14.30- 16.30 setelah GNC selesai kuliah di kampus. Dengan suasana kampus yang masih ramai dengan aktifitas futsal, akhirnya kami mencari tempat duduk yang lebih kondusif untuk melakukan wawancara. Sedangkan pada saat observasi adalah dengan mengamati GNC pada saat mengobrol sebentar dengan teman yang hendak megajak pulang bersama. Laki-laki berkulit sawo matang dan berhidung mancung memiliki nama samaran GNC. Ia merupakan cowok berusia 21 tahun dan lahir di Kota Banyumas. Ayah bernama SP dan ibu bernama SR. Sang ayah lulusan diploma dan sang ibu pendidikan terakhir adalah SMA. Sang ayah adalah seorang guru SD, sedangkan sang ibu hanya ibu rumah tangga. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena semua penghasilan digunakan untuk membiayai sekolah GNC dan 2 saudaranya yang lain. GNC merupakan anak ke 2 dari tiga bersaudara. Kakak peremuannya yang bernama LS kuliah di Fakultas Teknik UNSOED, dan adik laki-laki duduk di bangku kelas 2 STM. Kehidupan keagamaan dari golongan yang taat karena menurutnya ketika menelpon atau pulang ke rumah orang tuanya menanyakan tentang sholatnya. GNC yang memiliki hobi traveling, naik gunung dan memasak ini menyukai olaraga taekwondo. Warna hitam adalah warna favoritnya. Hal ini terlihat pada nuansa hitam yang melekat pada dirinya mulai dari baju, sepatu, tas, serta gantungan kunci sepeda motor yang bergambar kartun detectiv conan yang berwarna hitam kebiruan. Ia saat ini duduk di semester 8 Program Pendidikan Seni Rupa. Laki-laki yang sangat menggemari tokoh Harry Potter ini, sanagt menghargai ebuah persahabatan. Sehingga di lingkungan kos atau kampus, GNC termasuk anak yang mudah dan cepat bergaul. GNC kos di PRJ daerah belakang kampus UNS. Model kos yang ditempatinya bersama dengan kelima orang temannya adalah sistem kontrak. Semua penghuni kos adalah anak banyumasan, yang meliputi dua anak dari Banyumas, dan masing-masing satu anak dari Gombong, Kebumen, Adipala (Cilacap), serta dari Banjarnegara. Jadi sangat dimungkinkan dialek banyumasan begitu amat sangat mendominasi dan bernuansa lebih kental. Namun, ha ini berbeda dengan di kampus. Karena sifatnya yang heterogen, pada saat di kampus, GNC menyesuaikan dengan lawan bicaranya, yaitu dengan tiga unsur bahasa sekaligus meliputi dialek Solo, dialek Banyumasan, dan bahasa Indonesia. Namun yang lebih sering adalah dialek solo, karena sebagian besar teman-temanya orang sekitar Solo. Mekipun demikian logat ngapak dalam setiap kalimat ataupun percakapan masih terucap. “Íya, Mba. Inyong angger ngomong dadiné ya, campur bawur, campuraduk deh pokoknya. Sing penting menyesuaikan dan tidak 137

meninggalkan dialek sendiri. Karena nek inyong ngomong ngapak-ngapak, kanca-kancané pada ora ngerti”. (Iya, Mba. Aku kalau berbicara jadinya ya, campur bawur, campur aduk deh pokoknya. Yang penting menyesuaikan dan tidak meninggalkan dialek sendiri. Karena kalau aku berbicara Ngapak-ngapak teman-teman tidak mengerti) (L/GNC/20/4/09). Oleh karena itu, menurut GNC, pada dasarnya dialek banyumas memiliki definisi sebagai diale yang memiliki keunikan karena adanya perbedaan dengan dialek-dialek yang lain. Uniknya disini kadang membuat oraang lain merasa terhibur dengan keluacuan dan kepolosanya pada saat penutur asli kaum banyumasan melaflalkan logat banyuamsan. Dialek banyumasan yang pada dasarnya mulai semakin tergeser oleh para pentuutr asinya bisa disebabkan oleh beberapa hal. Menurut GNC sebab-sebab tersebut meliputi, keberadan dilaek banyumasan dalam lingkup di daerah pendatang dan lingkup dari dalam diri pribadi orang terebut untuk memilih bahasa yang akan dia pilih dalam memperlancar komunikasi ataupun berbahasa dengan orang lain. Rasa malu dan yang sifatnya prestise menurut GNC bukanlah yng menjadi faktor dirinya untuk bisa mempertahankan sepenuhnya dialek banyumasan. Karena di kampus yang sifatnya heterogen, sangat sulit untuk bisa mendominasi dialek banyumasan, karena disamping teman-temannya tidak paham arti dan maksud dari perkataan dan ucapan yang terlontar dari mulut GNC. Sehingga mau tidak mau menyesuaikan teman atau lawan bicaranya hendak menggunakan Jawa Solo atau bahasa Indonesia. Agar tetap menjaga kelestarian dialek banyumasan sikap yang dilakukan GNC, adalah di kos. Peluang besar untuk menumbuhkembangkan dan kembali pada budaya banyumasan dengan dialek ngapak-ngapak, adalah di kos. Dialek banyumasan yang muncul stereotip sebagai kaum banyumasan atau masyarakat bagian jawa kulon, menurut GNC merupakan bagian dari sebuah masyarakat dan lingkungannya terutama lingkungan sosial dan orang-orang didalamnya dalam berbicara satu sama lain.

Informan 10 Penelitian ini dilakukan pada saat setelah selesai kuliah yaitu sekitar jam 11.00- 12.30 WIB di kampus dekat kantin bahasa Indonesia FKIP tepatnya pada hari Selasa 21 April 2009. Dengan suasana yang masih ramai lalu lalang mahasiswa di gedung E, Wan dan peneliti mencari tempat di perpus FKIP untuk melakukan wawancara. Laki-laki berkaca mata dengan postur badan sedang kira- kira 155 cm dan berat 45 kg. Ia bernama Wan (samaran) yang lahir di kota Kebumen dan berusia 20 tahun. Ayah bernama NM yang berusia 57 tahun, lulusan SMP dan bekerja sebagai tani. Sedangkan ibu bernama KH yang berusia 54 tahun, lulusan SMP dan bekerja sebagai tani juga. Kehidupan ekonomi sangat sederhana karena hanya bergantung dari penghasilan saat panen tiba. Sedangkan untuk kehidupan agama ia mengaku dari keluarga yang cukup taat karena ayah dan ibu sangat memperhatikan pendidikan agama. Wan memiliki hobi bernyanyi terutama nyanyi di kamar mandi. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Laki-laki yang menyukai warna biru dan hitam ini mengaku kalau dirinya memiliki sifat yang pemalu akan tetapi jika sudah bercanda adalah sifat yang paling digemarinya. Wan yang saat ini aktif di Lembaga Pers Mahasiswa 138

FKIP (LPM Motivasi) adalah mahasiswa jurusan pendidikan ekonoomi angkatan 2007. Laki-laki yang menyukai tokoh Tom dan Jery ini kosnya ada di daerah STSI, kos tersebut bernama kos DGN. Di kos Wan masih menggunakan dialek banyumasan secara aktif. Karena separuh dari penghuni kos di kos DGN Wan masih bisa mengaktualisasikan dirinya untuk bicara ngapak-ngapak. Jika pada saat sudah ada di kampus ataupun dalam kegiatan organsasi di LPM Motivasi sudah tidak sama seperti di kos. Di kampus, menggunakan bahasa campuran tergantung dari lawan bicaranya menggunakan dialek apa. Menurut Wan dialek bnayumasan adalah dialek yang sifatnya lucu (humoris) bahasa yang merupakan percampuran antara jawa alus dan jawa timuran alisa dialek tengah-tengah, dialek yang menggunakan vokal lebih banyak ‘a’ dan memiliki logat yang sedikit keras dibanding dengan dialek Solo-Yogya. Fungsi dialek banyumasan terutama di daerah UNS yaitu sebagai komunikasi sesama orang banyumasan dan untuk memperlancar warga satu rumpun banyumasan. Jika berkomentar tentang hal-hal yang menjadikan suatu pergeseran dialek banyumasan di lingkup UNS baik di kos atau kampus, bisa dilihat dari segi lingkungan. Hal ini memang tidak terlepas dari kondisi budaya masyarakat Solo yang berbeda dengan kondisi budaya masyarakat banyumasan. Pada dasarnya Wan tidak merasa malu menggunkan dialek banyumasan. Faktor lingkungan dan konteks lawan bicara yang mempesempit ruang gerak untuk mengeksistensikan dialek banyumasan di rumpun Solo dengan jumlah yang mayoritas. Sehingga untuk dapat tetap menjaga kelestarikan dialek banyumasan menurut Wan dapat dilakukan dengan berdialek ngapak-ngapak di kos bersama dengan temn-temanya yang berasal dari rumpun banyumasan. “Saya di kos berusaha memeaki bahasa sendiri agar bisa menyeimbangkan da tidak hilang”. (L/Wan/21/4/09).

Informan 11 Penelitian ini dilakukan dengan wawancara sekaligus observasi di kos dan kampus informan yang kesebelas. Wawancara pada hari pertama dengan menginap di kos informan pada hari Selasa 21 April 2009, jam wawancara sekitar jam 19.00-21.00 WIB sedangkan untuk hari kedua dilakukan di kampus informan setelah selesai kuliah hari Rabu, 22 April 2009 jam 13.30-143.45 WIB di dekat ruang parkiran kendaraan bermotor. Gadis berpostur sedang, berkulit putih dengan tinggi kurang lebih 150 cm dan memiliki berat badan 44 kg bernama samaran SLV. Ia lahir di Kota Purbalingga pada tahun 1987 sehingga sekarang sudah berusia 22 tahun pada 6 April lalu. Ayah bernama WH yang berusia 50 tahun, lulusan STM dan bekerja sebagai karyawan swasta di parik permen davos Purbalingga. Sedangkan ibu berinisial LS yang berusia 47 tahun, lulusan Sekolah Dasar SMP dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meskipun demikian, kehidupan ekonomi keluarga tidak kekurangan, karena gaji yang diterima oleh ayah SLV termasuknya besar dan bisa menyekolahkan SLV dan kakak laki-lakinya yang alumni Fakultas Teknik Elektro dari UNDIP. Sekarang sang kakak sudah bekerja di sebuah toko di kota Purbalingga. SLV yang merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS ini, hanya dua bersaudara dengan kakak laki-lakinya. SLV yang anak bungsu, sangat menggemari buku bacaan novel ataupunbuku sepeerti Harry 139

Potter. Makanan favoritnya yang senantiasa bernuansa pedas dan manis itu, dalam keehariannya yang paling disukai adalah kumpul bersama keluarga di rumah. Ada dua jenis film yang sanagt diminati yaitu film Lord Of The Ring dan Twilight. Sebagai marga keturunan Cina atau tionghoa ini, SLV berasal dari marga Oi dari keluarga asang ayah. Sedangkan untuk generasi mulai dari SLV tersebut gelar marga sudah tidak lagi dipakai ataupun diturunkan dlam nama belakang baik dari SLV ataupun sang kakak. Cita-cita yang sangat didambakan semenjak kecil adalah menjadi dokter. Sebagai penggemar warna hitam, biru dan putih ini di kamar kosnya pun identik dengan nuansa lebih dominn biru, hal lain juga terdapat di kuku tangannya yang diberi cat kuku warna biru muda. Dengan raut mata yang sipit dan rambut panjang sepunggung berombak SLV merupakan salah satu penggemar jenis binatang anjing dan kuncing. Dalam keyakinan yang dianut secara turun temurun dari keluarga ayah dan ibu yaitu agamaa katolik. SLV kos di GBES daerah sekitar kentingan belakang kampus UNS. SLV yang dibesarkan dari keluarga Tionghoa menurutnya tidak merasa minder menggunakan dialek banyumasan. Dalam didikan keluarga di Purbalingga, meski masa-masa kecil diajarkan bahasa Indoneisa, tapi khasanah untuk berdialek banyumasan sudah menajdi bagian dirinya. Di kos karena komunitas penghuni sangat kecil dan hanya dia saja yang berasal dari kaum banyumasan sehingga untuk mendapatkan peercakapan dialek banyumasan secara utuh masih begitu sulit. Namun terkadang jika untuk suasana bercanda tertentu dialek banyumasan sebagai lahan percakapan yang menarik dengan teman-temannya di kos yang berjumlah sekitar 34 orang itu. SLV merasa bangga dengan dialek banyumasan karena pada dasarnya dialek banyumasan tidak semua daerrah memiliki dilaek yang seperti dialek banyumasan tersebut yang istilahnya ngapak-ngapak. Begitu juga di kampus, mengalami ketimpangan dan mengalami hal yang serupa dengan yang terjadi di kos. Namun jika di kampus ada beberapa temannya yang satu angkatan anak kedokteran 2005 yang berjumlah 100an orang, ada yang berasal dari purbalingga sekitar dua orang, dari kebumen satu orang, dan dari kawasan banyumasan lain yang SLV tidak memahami sepenuhya teman-teman yang luar non banyumasan. Kadang jika bertemu dengan temna-teman yang satu rumpun, ada kalanya berbicara dan ngobrol dengan dialek banyumasan. Sekedar menjadi celoteh dan temu kangen setelah free tes ataupun setelah kulaih selesai. SLV yang merasa bahwa dialek banyumasan memang mengalami pegeseran diantara para penuturnya akan tetapi tergantung dalam konteks dimana lingkungan dirinya beradada dalam kehidupan sehari-hari. Karena SLV sendiri yang di kos hanya dia saja yang berasal dari banyumasan dari 34 orang penghuni kos, secara otomatis akan terdominasi dari dialek Solo yang sifatnya menyesuaikan karena teman- teman kosnya tidak mengerti arti dan maksud dari dialek banyumasan tyang dituturkannya. Begitu juga di kampus, dari seratus orang hanya beberapa anak yang bisa dijadikan sosialisasi diri untuk kembali ke daerah dialek asal. Selain itu, tidak menutup kemungkinan SLV meskipun berdasarkan garis keturunan Cina, tapi diakui oleh dia bahwa pada saat sms-an atau telepon dengan teman-teman kampung di Purbalingga, entah yang di Purbalingga sendiri atau berpencar kuliah di daerah luar banyumasan, bahasa sms yang di tlis adalah dialek ngapak-ngapak. 140

“Dialek banyumasan itu sudah jadi bagian diri aku, tapi mau gimana lgi neng Solo sebagian besar temenku orang Solo dan ada juga yang dari jawa barat dan Jakarta jadi, ya mau gimana lagi”. (W/SLV/21/4/09).

Informan 12 Pada hari Rabu malam tepatnya pada tanggal 22 April 2009, wawancara dan observasi dilakukan di kos informan yang ke-12 . Wawancara dilakukan pada jam 19.30-21.45 WIB di kamar yang dipenuhi foto keluarga, sahabat dan teman- teman serta kerabatnya. Gadis yang memiliki badan semampai, rambut panjang dan senang tersenyum ini, bernama samaran Epra. Gadis cantik kelahiran kota Purbalingga, lahir dari seorang ayah bernama AS dan ibu bernama Wh. Ayahnya lulusan S1 dan bekerja sebagai pegawai negeri Telkom di kota Purbalingga. Sedangkan ibunya lulusan SMP dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Epra merupakan adalah anak ke 1 dari 2 bersaudara. Ia memiliki satu adik perempuan yang sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA. Kehidupan perekonomian orang tua sangat berada hal ini dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal di kos yang termasuk kos elit di daerah depan kampus UNS dan beberapa perlengkapan make up yang bermerek tinggii. Kehidupan agama keluarganya biasa saja karena menurutnya orang tuanya hanya mengajarkan ibadah yang biasa yaitu sholat sedangkan hal-hal yang lain tidak diajarkanseperti puasa yang benar dan berjilbab misalnya Sekarang Epra semester 8 pada Fakultas Teknik Arsitek UNS. Ia yang memiliki hobi membaca komik dan nonton film, sangat menggemari Adrea Hirata dalam bukunya Sang Pemimpi. Gadis yang senang berbelanja dengan teman-teman kosnya, memiliki warna favorit biru, hal ini nampak pada aju-baju yang sebagian besar berwarna biru yang ada di lemari kamarnya. Epra merupakan gadis yang senang dandan, hal ini dapat dilihat dari penampilannya yang selalu cantik. Berbagai alat kosmetik bisa dijumpai dikamarnya dari kosmetik untuk perawatan dari ujung kaki sampai ke kepala. Ia juga sering ke salon untuk perawatan misalnya membonding rambut dan creambath. Baginya wanita itu harus rapi, perfect, rajin, dan bersih agar kelihatan cantik. Kos nya yang bernama kos KD yang berada di depan kampus UNS merupakan menjadi hunian dari awal menjadi mahasiswa hingagga sekarang yang kurang lebih sudah mendekati empat tahun tinggal di kos tersebut. Di lingkungan kos, Epra dalam berdialog dengan teman-teman kosnya menggunakan dialek campuran. Kos KD yang terdapat 23 orang, hanya ada dua orang yang berasal dari kawasan banyumasan yaitu si Epra dan satu orang temannya yang juga tetangga kamar disebelah kanannya yang bernama Sgy anak Fakultas Hukum. Jika pada sat berbicara dengan Sgy, Epra menggunakan dialek banyumasan namun tidak lagi secara utuh, karena sudah terbiasa dengan dialek Solo dengan teman-tema kampus dan sebagian juga di kos. Sehingga tak khayal, dialek banyumasan tidak lagi bisa dikembangkan dalam konteks kampus yang sifatnya heterogen. Bahkan ada teman Epra yang asli dari Gombong (Kebumen) menggunakan dialek Banyumasan sudah tidak bisa, karena meski kelahiran dari Gombng akan tetapi saat SD kelas 5 samapi SMA hidup di Jakarta, lalu kuliah di Solo. Dan bahasa yang dipergunakan pun dialek Jakarta. Menurut Epra, dialek banyumasan adalah bahasa yang 141

memiliki kosakata paling banyak, dan bahasa yang ngapak-ngapak. Oleh karenanya, fungsi dialek banyumasan dalam lingkup di UNS, menurut Epra sebagai bentuk keanekaragaman di wilayah Indonesia yang majemuk dan sebagai alat komunikasi. Epra yang mengalami pergeseran dialek karena lingkungan kos dan kampusnya tidak bersahabat untuk berdialek banyumasan, pada dasarnya Epra merasa bangga dengan dialek banyumasan. Dirinya tidak meras minder atau dianggap rendah. Karena selain wajahnya yang secara fisik cantik, denagn dialek banyumasan menajdi aura tersendiri dari keunikan dari teman-teman lainnya. “Aku angger ngomong ya tetep ngapak, angger karo kancané wong purbalingga sing pada telepon. Tapi neng kos karo kampus, yo isoh. Mereka pada ’ mudeng bahasaku” . (Aku kalau berbicara ya tetap ngapak kalau dengan temanku orang purbalingga yang sering telephon. Tapi kalau di kos dan kampus, ya tidak bisa. Mereka tidak paham bahasaku) (W/Epra/22/4/09).

Informan 13 Wawancara dan observasi yang peneliti lakukan pada informan ke tiga belas ini yaitu di kos pada tanggal 23 April 2009, tepatnya hari Kamis dengan menginap di kos informan selama semalam. Wawancara yang dilakukan sekitar jam 08.00-09.30 WIB. Kemudian wawancara dan observasi kedua di kampus informan pada jam 13.30-14.15 WIB hari Jum’at 24 April 2009. Gadis berkulit manis memiliki postur tubuh tinggi sekitar 165 cm memiliki nama samaran Ng. Ia lahir di kota Banyumas pada 19 tahun yang lalu dari seorang ayah bernama DN berusia 54 tahun dan ibu bernama RB yang berusia 50 tahun. Ayahnya lulusan SD bekerja sebagai pedagang sedangkan ibunya lulusan SMP yang bekerja sebagai pegawai administrasi di Puskesmas Banyumas. Ng merupakan anak nomor satu dari dua bersaudara. Sang adik yang bernama DR masih duduk di bangku SMP kelas dua. Kehidupan ekonomi sangat cukup karena ayah Rista sebagai pedagang alat-alat elektronik di sebuah toko yang cukup besar di kota Banyumas, sedangkan sang ibu yang sebagai pegawai perawat di Puskesmas sangat membantu menambah finansial keluarga. Ng saat ini menempuh kuliah di UNS di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Gadis yag sangat menyukai hewan kucing ini menggemari kegiatan traveling. Warna orange adalah warna favoritnya hal ini nampak dari hiasan dinding yang senantiasa bernuansa hijau orange. Ng yang menjadi salah satu penghuni kos di daerah Surya ini, menyatakan bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang disebut dialek ngapak, pelafalan jelas dan vokal banyak ‘a’. Dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan kos, Ng dalam penggunaan dialek banyumasan tetap banyumasan karena sebagian besar kamar informan yang terletak di lantai dua yaitu mahasiswa asli banyumasan semua. Kecuali lantai satu, terdapat mahasiswa luar banyumasan. Akan tetapi Ng mengalami perbedaan dialek pada saat sudah ada di kampus, karena teman-teman kampus Ng didominasi oleh orang-orang yang berasal dari daerah Solo dan Yogya serta ada beberapa yang berasal dari Luar Jawa. Akan tetapi Ng, yang terkadang masih menggunakan dialek banyumasan dengan beberapa temannya yang juga berasal dari Cilacap dan Kebumen, ada kalanya ngapak-ngapak. Bahkan kadang mendapat julukan inyong. 142

Menurut Ng, peran dialek banyumasan sangat penting di lingkungan UNS, apalagi pada saat bertemu dengan orang asi banyumasan. Karena terkadang untuk hiburan tersendiri dan mengingatkan akan dialek banyumasan yang sudah semakin bergeser di kalangan penuturnya. Ng mengakui penggunaan dialek banyumasan pada saat di kos beda dengan pada saat di kampus. Hal ini dikarenakan mempermudah komunikasi pada teman-teman yang khususnya tidak paham dan mengerti arti ataupun maksud yangg terkandung dalam dialek banyumasan. Penggunaan dialek banyumasan yang semakin mengalami pergeseran tersebut, Ng menambahkan bahwa memang sejak dahulu daerah banyumasan identik dengan daerah jauh dari keraton, baik keraton Yogya ataupun Solo. Pada saat penyebutan jauh dekat dengan keraton, orang-orang luar banyumasan secara tidak sengaja menjadi bagian dari proses penanaman cap atau label terhadap identitas dialek banyumasan. Sehingga upaya pelestarian dialek banyumasan menurut Ng, kadang sulit dilakukan pada saat lingkungan yang mayoritas mahasiswa luar banyumasan. Sebagian besar teman Ng di kampus yaitu mahasiswa asli eks-Karisidenan Solo dan ada beberapa dari Luar Jawa. Ng yang minoritas kadang untuk bisa ngomong ngapak adalah pada saat teman-teman yang berasal dari Cilacap dan Kebumen mengajak dengan dialek banyumasan. Terkadang teman-teman mahasiswa yang mendengar perbincangan tersebut, merasa tertarik dengan dailek yang bagi mereka asing terdengar. Selain itu, upaya yang dilakukan yaitu mengikuti komunitas banyumasan. Ng yang hanya satu periode gabung di komunitas banyumasan, akan tetapi kurang aktif, jadi tidak termaksimalkan. Menurut Ng, komunitas banyumasan sebagai ajang untuk perkumpulan kekeluargaan dari anak- anak satu wilayah banyumasan, meskipun tidak berjalan rutin dengan agenda- agenda pertemuan antar mahasiswa asli banyumasan. Karena sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Informan 14 Peneliti melakukan wawancara dan observasi di kampus ST sekitar jam 11.30 sampai 11.55 tepatnya pada tanggal 23 April 2009 dan pada hari Kamis. Sedangkan pada Kamis sore berlanjut menginap di tempat informan (ST) yang kos di daerah Panggung Rejo jam 19.20- 21.15 WIB. Pertama kali wawancara, dengan nuansa kampus FISIP yang ramai dengan lalu lalang mahasiswa keluar dari ruang perkuliahan, kemudian peneliti melakukan wawacara. ST merupakan gadis kelahiran Purbalingga 9 Maret 1989 ini, sudah selama dua tahun hidup di Solo. Usianya yang sudah 20 tahun, saat ini dia sedang menginjak semester empat di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS. ST memiliki tinggi badan sekitar 157 cm dan berat badan 44 kg. Wajahnya yang riang dan polos menjadi salah satu karakteristik gadis berambut lurus sebahu tersebut. ST merupakan anak tunggal dari seorang ayah yang bernama Din dan ibu yang bernama My. Latar belakang 143

pendidikan ibu adalah lulusan D3 pendidikan, sedangkan ayahnya lulusan SMA yang berwiraswasta. Ibu ST bekerja sebagai guru SD di kota Purbalingga. Kehidupan ekonomi keluarga sangat mapan, karena penghasilan ayah meskipun wiraswata tapi termasuk wiraswasta yang sukses. Gadis yang sangat menyayangi hewan kupu-kupu ini, memiliki hobi membaca komik, terutama komik tentang kisah percintaan. Bakso merupakan makanan favoritnya. ST yang selama delapan belas tahun dibesarkan di kota Purbalingga berpendapat bahwa dialek banyumasan adalah dialek yang agak kasar dan medhok, terutama untuk pengucapan vokal ‘a’. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kos menggunakan dialek campuran anatara dialek banyumasan dengan dialek Solo. Kos ST yang terdiri dari 15 penghuni kos putri memiliki keanekaragaman asal-usul daerah. Sepuluh penghuni kamar berasal dari eks- Karisidenan Solo seperti Klaten, Sragen, Wonogiri dan Boyolali, dua orang berasal dari Magelang dan Muntilan, dua orang berasal dari Magetan dan Ngawi, serta ST sendiri yang berasal dari Purbalingga. Di lingkungan kampus, ST lebih sering dia menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan teman-teman ST dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, terkadang menggunakan dialekmodifikasi yaitu dialek banyumasan, dialek Solo, dan Bahasa Indonesia. Sehingga menurut ST, peran dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus sudah mengalami pergeseran. “Sebenere kuwi ngomong dialek banyumasan kanggo penyambung komunikasi karo wong sesama asli banyumasan. Tapi lingkungan tidak mendukungku, yo meh piyé menéh” (sebenarnya itu berbicara dialek banyumasan untuk alat komunikasi dengan sesama asli banyumasan. Tapi lingkungan tidak mendukungku, ya mau gimana lagi) (W/ST/23/4/09). Untuk berbicara dengan dialek banyumasan, menurut ST pernah merasa malu pada saat awal datang di Solo. Berkomunikasi dengan teman-teman kos dan kampus yang seolah-olah menyiratkan lawan bicara ST (teman-teman di kos dan kampus) ingin tertawa. Selain saat ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia pada saat di kampus dan menggunakan dialek Solo pada saat di kos, merupakan 144

tujuan utama adalah untuk memudahkan orang lain mencerna percakapan. Jadi, agar orang lain tidak dibuat kebingungan dengan dialek yang diucapkan ST. Hal tersebut semakin tergesernya penutur dialek banyumasan. Untuk menanggapi hal demikian, menurut ST upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan penggunaan dialek banyumasan di kalangan mahasiswa asli banyumasan yaitu terus berbicara dengan dialek banyumasan di lingkungan kos dan kampus. Meski hal demikian sulit untuk dilakukan oleh ST. Karena menurut ST, sudah pengaruh kebiasaan hidup engan interaksi dan komunikasi yang berdialek di luar dialek banyumasan. Atau bisa juga dengan mengikuti komunitas banyumasan yaitu ajang pertemuan anak banyumasan dan untuk menjalin silaturahmi antar anak banyumasan.

Informan 15 Jum’at pagi menjelang siang dengan langit cerah. Peneliti melakukan wawancara dan observasi yang pertama tepatnya Jum’at, 24 April 2009 jam 09.15-10.30 WIB. Sedangkan wawancara dan observasi kedua yaitu di kos Ns pada hari Sabtu siang 25 April 2009 jam 10.30-11.15 WIB. Gadis manis berkulit kuning langsat, mata agak sipit, meski tidak ada keturunan keluarga China. Ns nama gadis itu. Ns memiliki tubuh sedikit gemuk dengan tinggi badan kurang lebih 158 cm. Pada waktu wawancara yang pertama, Ns baru saja beranjak dari kamar mandi untuk membersihkan badannya alias mandi pagi. Ns lahir dari seorang ayah bernama Ksd yang berusia 51 tahun dan ibu bernama Tri yang berusia 48 tahun. Ns lahir pada tahun 1989 di kota Purbalingga. Gadis ini merupakan anak kedua atau bungsu, ia memiliki satu kakak laki-laki yang belum menikah dan sudah bekerja di daerah Purbalingga juga. Ayah Ns seorang PNS yaitu tepatnya sebagai Pegawai Kabupaten di kota Purbalingga, sedangkan ibunya bekerja sebagai PNS yaitu guru SD yang juga di kota Purbalingga. Kehidupan ekonomi keluarga cukup mapan. Pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak sangat demokratis. Gadis yang hobi memelihara tanaman hias meski sedikit di kosnya. Selain menyenangi hal-hal tersebut Ns juga mengaku menyenangi masakan yang rasanya pedas. Makanan favorit Ns seperti bakso Mie ayam dengan saos merah dan sambal pedas. Ns yang sangat tidak suka dengan kebohongan adalah mahasiswa jurusan komunikasi Fakultas Hukum UNS angkatan 2006. Selama dua tahun mengenyam bangku kuliah di UNS, Ns mengemukakan pendapat bahwa dialek banyumasan yaitu dialek cepat, kasar dan ngapak. “Ana maning lakuné wong Purbalingga. Hehehehe... dialek banyumasan kadang gawé aku ngguyu mba. Mergone jarang bali ngomah tur sering krungu bahasa wong kéné sing nganggoné ‘o’ terus. Dadiné pas bali ngomah, kepikiran neng ati, nék ternyata bahasané aku seperti ni to” (Ada lagi lelakunya orang Purbalingga. Hehehehe...dialek banyumasan 145

kadang membuat aku tertawa mba. Karena jarang pulang ke rumah dan sering mendengar bahasa orang sini yang memakai ‘o’ terus. Jadi, waktu pulang ke rumah, punya pemikiran di hati, kalau ternyata bahasaku seperti ini ya” (W/Sn/25/4/09) Jika berbicara tentang peran dan makna dialek banyumasan menurut gadis yang menyukai warna hijau ini, adalah sebagai penunjuk diri atau identitas diri. Kos Sn di Wdi daerah belakang kampus dengan mayoritas penghuni kos berasal dari daerah sekitar Solo dan beberapa daerah lain seperti Jakarta dan Jawa Barat. Jumlah anak kos Wdi keseluruhan ada 14 anak, di mana 11 anak berasal dari Solo, Klaten, dan Sukoharjo sedangkan 2 anak berasal dari Jakarta dan jawa Barat serta Sn yang seorang diri berasal dari kota Purbalingga. Dalam percakapan dengan teman-teman kos, Sn terkadang bersifat menyesuaikan. Sebab, pada saat Sn berbicara dengan dialek banyumasan ada kata-kata tertentu yang tidak dimengerti oleh teman-teman kosnya. Sehingga Sn pada saat di kos menggunakan logat bersifat campuran dan tergantung dengan siapa dia berbicara dan dari mana asal lawan bicaranya itu. Begitu juga di lingkungan kampus, Sn menggunakan bahasa campuran tergantung dengan lawan bicaranya. Sn yang mengalami pergeseran dialek tersebut, merupakan faktor faktor lingkungan dengan teman-teman dari asal-usul yang heterogen. Selain itu, menurut Sn, terjadinya pergeseran dialek banyumasan pada kalangan mahasiswa asli banyumasan karena muncul cap-cap atau label tertentu yang menjadikan beberapa diantaranya merasa malu dan gengsi menggunakan dialek ngapak- ngapak. Hal tersebut dialami Sn pada saat awal di Solo, terutama dengan mahasiswa luar banyumasan. Ada kalanya teman-teman kos ataupun kuliah ada yang tersenyum setelah Sn mengucap logat banyumasan yang dirasa aneh dan jarang didengar oleh telinga mereka. Hal ini terjadi karena adanya proses budaya dalam lingkungan sosial masyarakat dalam memberikan penilaian atau penandaan terhadap orang banyumasan yang sifatnya lucu. Menurut IK upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga terus lestarinya dialek banyumasan yaitu ikut komunitas banyumsan meski saat ini intensitas keaktifan komunitas banyumasan yang ada di Solo, kurang menjaring dan membudidayakan mahasiswa asli banyumasan. Bahwasanya komunitas banyumasan itu adalah forum komunikasi anak-anak ngapak, untuk mengapresiasikan dialek banyumasan. Karena dalam pertemuan mahasiswa asli banyumasan dalam komunitas banyumasan, terkadang mengharuskan mahasiswa asli banyumasan untuk berbicara ngapak-ngapak dengan tujuan untuk melatih kembali dialek banyumasan.

Informan 16 Penelitian selanjutnya adalah di kos Wh pada hari Minggu, 25 April 2009 sekaligus menginap di kos Wh untuk melakukan wawancara dan observasi yang pertama. Wawancara tepatnya pada jam 19.15-20.45 WIB. Penelitian kedua dilakukan di kampus Wh, pada Senin siang 27 April 2009 jam 12.15-12.50 WIB yaitu di Fakultas Pertanian. Peneliti melakukan wawancara setelah sholat isya dan makan malam. Gadis berkulit sawo matang ini memiliki tinggi badan 150 cm yang berusia 20 tahun yang lahir di kota Kebumena. Ia lahir dari seorang Ayah yang bernama Rs berusia 56 tahun dan ibu bernama Fd berusia 53 tahun. Ayah 146

lulusan SMP dan bekerja sebagai pedagang soto di Banjarnegara. Sedangkan ibu lulusan SMP dan ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah menjual soto. Wh merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara dan adik perempuan masih kelas 5 SD yang bernama Rn. Kehidupan ekonomi keluarga sangat sederhana karena hanya ayahnya hanya menopang dari hasil penjualan soto. Wh lahir dari keluarga yang taat beragama karena sejak kecil Wh dididik dengan rasa tanggung jawab dan kemandirian. Wh merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian semester empat. Gadis yang memiliki hobi menghias kamar, termasuk mahasiswa yang sangat ingin sukses untuk kebahagiaan ayah dan ibunya. Dengan biaya kuliah yang tidak murah, Wh juga dibantu oleh Pamannya yang ada di Serang, untuk biaya kuliah seperti SPP (semesteran). Sedangkan biaya hidup ditanggung oleh kedua orang tuanya. Wh termasuk anak yang pendiam dan pekerja keras. Menurut Wh, dialek banyumasan adalah dialek kasar, lucu didengar, ngapak, dan intonasi bernada keras. Wh kos di JNH di daerah Sawah Karang dalam kesehariannya di lingkungan kos menggunakan dialek Solo yang lebih banyak daripada dialek banyumasan. Hidup selama dua tahun di Solo, dengan teman-teman kos yang semuanya berjumlah 13 penghuni kos, rata-rata berasal dari daerah Solo, Sukoharjo Klaten, Wonogiri, Ngawi, dan Temanggung. Wh sudah terkontaminasi dengan dialek Solo. Disisi lain karena wilayah kebumen (rumahnya) berbatasan dengan area Purworejo yang merupakan berdialek sudah mendekati Jawa alus khususnya dialek Yogya. Sedangkan pada saat di kampus, Wh lebih sering menggunakan dialek campuran seperti dialek Solo dan Bahasa Indonesia. Untuk dialek banyumasan jarang, karang teman-teman di kampus Fakultas Pertanian lebih dominan berdialek ‘o’ (eks-Karisidenan Surakarta) dan Jawa Timuran. “Aku nék ngomong nganggo banyumasan wis rada kagok. Mergo wis biasa. Tapi tetep, meski ngango logat Solo tapi banyumasan sing medhok ésih ono” (Aku kalau berbicara dengan banyumasan sudah agak canggung. Karena sudah biasa. Tapi, tetap saja meski dengan logat Solo, tapi banyumasannya yang medhok masih ada) (W/Wh/24/4/09). Menurut Wh peran dialek banyumasan sebagai wujud identitas wong banyumasan. Akan tetapi situasi lingkungan baik di kos dan di kampus tidak mendukungnya. Sehingga, mau tidak mau menyusaikan dengan bahasa setempat, yaitu dialek Solo pada saat di kos dan bahasa Indonesia pada saat di kampus. Hal tersebut dilakukan juga bertujuan untuk mempermudah komunikasi dan beradaptasi dengan mahasiswa lainnya, baik di kos ataupun pada saat di kampus dengan keberagaman asal daerah. Disisi lain, malu karena dalam logat banyumasan yang memang benar-benar asli dan belum tercampur dengan dialek krama alus, amat sangatlah kasar. Menurut Wh, komuitas banyumasan merupakan komunitas anak-anak yang ngomong ngapak-ngapak, dengan tujuan untuk saling temu kangen dengan orang satu daerah banyumasan.

147

Lampiran 5 MATRIKS HASIL PENELITIAN MAHASISWA ASLI BANYUMASAN

PERTANYA INFORMAN 1 INFORMAN INFORMA INFORMA AN 2 N 3 N 4 PENELITIA N a. persepsi mahasiswa asli banyumas an terhadap dialek banyumas an dalam pergaulan sehari-hari =

1. persepsi Bahasa yang Bahasa yang Dialek Dialek tentang memiliki logat unik dan banyumasa banyumasan dialek cepat dan sifatnya memiliki n adalah banyumas “ceplas-ceplos” makna merupakan bahasa yang an (terbuka) hal ini tersendiri, dan bahasa yang sifatnya terlihat pada saat sangat menunjukka terbuka, penutur aslinya dominant n inilah ‘si fulgar dan mengucapkan dengan hal- aku’. ibaratnya vokal ‘a’ yang hal yang tidak plin- sangat mantap. bersifat plan kelucuan (konsisten). (humor). Selain itu dialek banyumasan tidak berdasarkan atas strata atau tidak membeda- bedakan pelapisan sosial atau status seseorang dalam suatu masyarakat 148

serta sifatnya datar antar perasaan sedih dan senang pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya. 2. Peran Dialek Menyatukan Peran dialek Menunjukka dialek banyumasan satu banyumasa n identitas banyumas menunjukan komunitas n adalah diri an identitas antar penutur sebagai banyumasan penuturnya. dialek penunjuk . banyumasan. jati diri. 3. Persepsi Menurut informan Kadang Bangga Bangga mahasisw 1, tidak merasa merasa dialek menggunak dengan a asli malu banyumasan an dialek dialek banyumas menggunakan susah dicerna banyumasa ngapak- an jika dialek oleh orang n, tapi ngapak. dikatakan banyumasan luar karena tidak bahwa banyumasan ada lawan dialek dan kadang bicara yang banyumas membuat di kos an tertawa. misalnya, semakin jadi tidak ditinggalk dapat an oleh menjaga para kelestarian penutur dialek aslinya banyumasa dan n. bahasa yang lucu serta bersifat prestise.

4. Faktor Memilih Proses Memilih Memilih pemilihan menggunakan memilih karena dialek bahasa dialek tertentu dengan dialek menyesuaik banyumasan jika lihat dengan lawan terntentu an dengan karena dari bicaranya adalah adalah dengan siapa lawan memiliki individu. tergantung alasan untuk bicara kekhasan darimana atau asal bisa lancar informan. tersendiri. 149

mula si lawan berkomunikas bicara (sifatnya i. kondisional) dan dikarenakan menyesuikan diri. b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertaha nkan identitas kedaerahan 1. penggun Dialek Dialek Menyesuaik Tetap dialek aan banyumasan, banyumasan an dengan banyumasan dialek karena dari satu karena satu lawan utuh. banyuma blok kamar kos yang bicara, san di informan mendominasi malah lebih kos homogenitas orang sering orang banyumasan. dialek Jawa banyumasan. wetan (Solo) dan bahasa Indonesia karena informan merasa seorang diri dari kosnya yang berasal dari banyumasa n. 2. penggun Dialek campuran, Dialek Menggunak Tetap dialek aan kadang campuran an dialek banyumasan dialek menggunakan Solo-Yogya campuran secara utuh. banyuma bahasa Indonesia dan dialek (Jawa san di dengan teman satu banyumasan Wetan, kampus angkatan di tergantung dialek fakultasnya, akan dari lawan banyumasa tetapi pada saat bicara n dan bertemu dengan informan bahasa orang kedua. Indonesia). banyumasan menggunakan dialek 150

banyumasan. c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan = 1. Melalui - Komunitas komunitas banyumasan banyumasan dapat menyalurkan - - canda dan tawa serta merekatkan persaudaraan. 2.. Upaya Melestarikan (1) jangan Berprinsip Jangan malu secara penggunaan pernah malu tidak malu menggunaka individu dialek menggunakan berbicara n dialek banyumasan dialek ngapak- banyumasan dikalangan banyumasan ngapak. , (2) pulang mahasiswa asli dalam situasi dan menikah banyumasan yaitu apapun dan dengan orng dengan dalam banyumasan menggalakkan kelompok , (3) terus berbicara kecil masukkan dengan dialek manapun, (2). muatan lokal banyumasan Dialek atau meski berada di banyumasan kurikulum daerah luar bisa yang banyumasan dan dikembangka berdialek tidak boleh malu n melalui banyumasan menggunakan komunitas , (4) dialek sendiri. banyumasan. sosialisasika n siaran radio dengan berdialek banyumasan atau media elektronik lainnya.

PERTANYA INFORMAN 5 INFORMAN INFORMA INFORMA 151

AN 6 N 7 N 8 PENELITIA N a. persep si mahas iswa asli banyu masan terhad ap dialek banyu masan dalam perga ulan sehari -hari =

1.persepsi Dialek Dialek Dialek Dialek tentang dialek banyumasan banyumasan banyumasa banyumasan banyumasan sudah menjadi adalah dialek n adalah adalah bagian dari yang disebut dialek yang bahasa yang hidupnya yang dialek pengucapan pengucapan tidak bisa ngapak, nya penuh, nya banyak terpisahkan. memiiki seperti menggunaka volume keras konsonan n vokal ‘a’. dan adanya ‘k’ dan ‘g’. penekanan Hal tersebut dalam kata dilihat dari tertentu dan segi penuturan fonologi, bahasanya sedangkan terbilang dilihat dari cepat. segi sejarah, Penekanan pada dalam huruf dasarnya tertentu dialek yang misalnya pada sifatnya huruf ‘k’, jika sudah dengan dialek paling lama Jawa alus atau atau tertua Jawa Wetan dari bahasa 152

‘k’, Jawa sedangkan lainnya, hal untuk dialek ini terjadi banyumasan pada zaman pelafalannya batu yaitu (palaeolitik “dhewek”, um). Jika dimana huruf dilihat dari ‘k’ mengalami segi penekanan geografis, dalam dialek penuturannya. banyumasa n merupakan dialek yang diapit oleh dua dialek, yaitu dialek Jawa Barat (Sunda) dan Jawa Timuran. 2.Peran dialek Mengenalkan Sebagai Peran Sebagai banyumasan dialek perwujudan dialek tutur kata banyumasan yang diri, sebagai banyumasa yang memiliki ciri khas bahasa yang n di lingkup berdialek tertentu. sifatnya unik UNS adalah ngapak- dan tidak ada sebagai alat ngapak. di tempat lain, komunikasi serta dialek dan sebagai banyumasan alat yang fungsinya mengenalka merupakan n budaya dialek yang kita dengan sangat dekat yang dengan lainnya. strandarisasi dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. 3.Persepsi Tidak merasa Menyesuaikan Menggunak Pernah mahasiswa canggung diri dan ikut an dialek merasa asli menggunakan belajar dialek yang sudah bahwa banyumasan dialek Solo serta ada modifikasi dialek jika dikatakan banyumasan, kalanya dan banyumasan 153

bahwa dialek bahkan di kampus beberapa tergantung ada sisi banyumasan mendapat julukan teman kosnya dari lawan humor semakin miss ngapak. yang merasa bicaranya (lucu) pada ditinggalkan geli dan berasal dari saat pertama oleh para merasa lucu daerah kali hidup di penutur dengan bahasa mana. Solo. aslinya dan ngapak- bahasa yang ngapaknya. lucu serta Lantas dengan bersifat adanya hal prestise. demikian, lambat laun semakin lama hidup di Solo, dialek yang dipergunakan yang lebih dominant adalah dialek Solo. 4.Faktor Memilih tetap Secara Melakukan Secara pemilihan mengunakan kesadaran dari proses konteks, bahasa jika dialek diri pribadi pemilihan lingkungan lihat dari banyumasan memilih secara sadar pergaulan individu. karena secara bahasa apa dengn (teman- sadar ingin yang cocok bahasa yang teman di mengenalkan (faktor sifatnya kampus) dialek individu). menyesuaik yang lebih banyumasan an dengan sering untuk tetap eksis lawan menggunaka (ada) bicara n bahasa informan. Indonesia, maka yang dominan adalah bahasa Indonesia. b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertaha nkan identitas kedaerahan 1. pengguna Dialek Dialek Dialek Di 154

an dialek banyumasan campuran atau campuran lingkungan banyumas karena hamper modifikasi, karena yang kos an di kos semua penghuni karena mendomina menggunkan kos adalah kaum homogenitas si dari dialek solo banyumasan. dari daerah Jakarta dan yang lebih Solo-Yogya. Solo. banyak daripada dialek banyumasan 2. pengguna Dialek Dialek Dialek Di kampus an dialek banyumasan menyesuaikan campuran lebih sering banyumas meski teman- lawan bicara atau menggunaka an di teman kampus dan sifatnya modifikasi. n bahasa kampus sudah heterogen “mandek”, Indonesia. asal usul artinya bahwa daerahnya. orang banyumasan menyesuiakan ke Solo dan tidak bisa mempertahan kan. c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan = 1. Melalui Perkumpulan anak Forum komunitas banyumasan yang komunikasi - banyumasa ada di Solo. anak-anak - n Komunitas dialek yang satu banyumasan daerah untuk menggelar banyumasan. beberapa acara Mempererat atau agenda yang pesaudaraan sifatnya tetap anak-anak menjaga banyumasa pelestarian dialek yang berada banyumasan di di Solo (UNS) wilayah Solo 2.. Upaya Harus bangga Melestarikan Menggunak Pada saat 155

secara dengan dialek dialek an dialek informan individu banyumasan banyumasan yang kembali ke dengan ikut serta dengan sifatnya tempat asal dalam komunitas melihat menyesuaik dengan dialek keadaan atau an dengan ayah, ibu, banyumasan melihat lawan lawan adik dan bicara kita. bicara kerabatnya Kalaupun informan. tetap lawan bicara menggunaka kita, adalah n dialek orang berasal banyumasan dari daerah , meskipun banyumasan dialek maka banyumasan ngomonglah yang dengan bahasa sifatnya ngapak- tidak utuh ngapak, tapi lagi karena jika lawan sudah terlalu bicara kita terbiasa luar menggunaka banyumasan n dialek dan orang Solo, tersebut tidak sehingga paham dengan dialek Solo bahasa kita, pun terbawa maka juga. menyesuaikan dengan bahasa yang semampu kita, entah dengan dialek jawa Solo ataupun bahasa Indonesia tergantung dari konteks lawan bicara, apakah dari Solo-Yogya, Jawa Timuran ataupun dari Jawa Barat dengan konteks 156

satuan nasional bahasa Indonesia.

PERTANYA INFORMAN 9 INFORMAN INFORMA INFORMA AN 10 N 11 N 12 PENELITIA N a. persep si mahas iswa asli banyu masan terhad ap dialek banyu masan dalam perga ulan sehari -hari =

1.persepsi Dialek yang Dialek Dialek Dialek tentang dialek memiliki banyumasan bersifat banyumasan banyumasan keunikan karena adalah dialek ngapak- adalah adanya perbedaan yang sifatnya ngapak. bahasa yang dengan dialek- lucu memiliki dialek yang lain. (humoris) kosakata Uniknya disini bahasa yang paling kadang membuat merupakan banyak, dan orang lain merasa percampuran bahasa yang terhibur dengan antara Jawa ngapak- kelucuan dan alus dan Jawa ngapak. kepolosanya pada Timuran alisa saat penutur asli dialek tengah- kaum banyumasan tengah, dialek melafalkan logat yang banyumasan. menggunakan vokal lebih 157

banyak ‘a’ dan memiliki logat yang sedikit keras dibanding dengan dialek Solo-Yogya. 2.Peran dialek Menujukan jati Fungsi dialek Bisa Peran dan banyumasan diri. banyumasan dijadikan makna diael terutama di sosialisasi banyumasan daerah UNS diri untuk sebagai yaitu sebagai kembali ke bentuk komunikasi daerah keanekaraga sesama orang dialek asal. man di banyumasan wilayah dan untuk Indonesia memperlancar yang warga satu majemuk rumpun dan sebagai banyumasan. alat komunikasi. 3.Persepsi Rasa malu dan Pada dasarnya Kadang ada Tidak malu mahasiswa yang sifatnya tidak merasa pemikiran dan biasa asli prestise bukanlah malu tenyata jika saja, serta banyumasan yang menjadi menggunkan ditelaah tidak merasa jika dikatakan faktor dirinya dialek logat lucu. bahwa dialek untuk bisa banyumasan. banyumasa banyumasan mempertahankan Faktor n nuansa semakin sepenuhnya dialek lingkungan dengan ditinggalkan banyumasan. dan konteks kelucuan. oleh para Karena di kampus lawan bicara penutur yang sifatnya yang aslinya dan heterogen, sangat mempesempit bahasa yang sulit untuk bisa ruang gerak lucu serta mendominasi untuk bersifat dialek mengeksistens prestise. banyumasan, ikan dialek karena disamping banyumasan teman-temannya di rumpun tidak paham arti Solo. dan maksud dari kosakata dialek banyumasan. 4. Faktor Pemilihan dialek Pemilihan Pemilihan Pemilihan pemilihan banyumasan lebih dialek karena karena bahasa jika karena banyumasan melihat melihat 158

lihat dari memperlancar lebih karena konteks konteks individu. komunikasi dan memperlancar dengan dengan sifatnya komunikasi lawan lawan bicara menyesuaikan. dan sifatnya bicara dan dan menyesuaikan lingkungan lingkungan . yang lebih yang lebih dominan. dominan. b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertaha nkan identitas kedaerahan 1. pengguna Dialek Dialek Percakapan Dialek yang an dialek banyumasan banyumasan, sehari-hari dipergunaka banyumas begitu amat karena di kos lebih n yaitu an di kos sangat mayoritas sering dialek mendominasi dan anak Bahasa campuran bernuansa lebih banyumasan. Indonesia. (Jawa Solo kental karena dan ngapak- semua teman kos ngapak). terdiri dari anak banyumasan. 2. pengguna Menyesuaikan Dialek Sifatnya Dialek an dialek dengan lawan campuran menyesuaia campuran banyumas bicaranya, yaitu tergantung kn karena (bahasa an di dengan tiga unsur dari lawan teman- Indonesia, kampus bahasa sekaligus bicara teman Jawa Solo meliputi dialek informan. kosnya dan napak- Solo, dialek tidak ngapak), banyumasan, dan mengerti tapi yang Bahasa Indonesia. arti dan lebih sering maksud dari bahasa dialek Indonesia. banyumasa n yang dituturkan informan. c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan 159

dialek banyumasan = 1. Melalui - komunitas - - banyumasan 2.. Upaya Agar tetap Tetap Pulang Dengan secara menjaga menjaga kampung teman-teman individu keletarian dialek kelestarikan dan bertemu di kampong banyumasan sikap dialek kerabat, dan di yang dilakukan banyumasan keluarga daerah lain adalah di kos. dapat serta teman- tapi masih Peluang besar dilakukan teman di berasal dari untuk dengan sekolah banyumasan menumbuhkemba berdialek formal (SD, , tetap ngkan dan ngapak- SMP, dan menggunaka kembali pada ngapak di kos SMA) n bahasa budaya bersama menggunak sms yang banyumasan dengan an dialek berdialek dengan dialek teman- banyumasa banyumasan ngapak-ngapak, temannya n lagi, . adalah di kos. yang berasal meski dari rumpun dialek Solo Solo. ada beberapa kata-kata tertentu yang terbawa.

PERTANYA INFORMAN 13 INFORMAN INFORMA INFORMA AN 14 N 15 N 16 PENELITIA N a. persepsi mahasiswa asli banyumas an terhadap dialek banyumas an dalam pergaulan sehari-hari 160

=

1. persepsi Dialek yang Dialek yang Dialek Dielak yang tentang ngapak-ngapak, agak kasar, kasar, lucu cepat, kasar dialek cara kata jelas, dan medhok. didengarkan dan ngapak. banyumas vokal ‘a’. , ngapak an dan intonasi yang bernada keras) 2. Peran Sesama daerah Sebagai ciri Menunjuka Sebagai alat dialek anak banyumasan khas dan alat n identitas untuk banyumas untuk beradaptsi komunikasi. diri. berkomunia an dengan daerah ksi dalam Solo dan pergaulan menunjukan bawa sehari-hari. informan orng dialek banyumasan. 3. Persepsi Tidak malu Kadang pada Malu Malu, mahasisw karena dialek waktu awal karena, ada karena awal a asli banyumasan sulit berkomunikas kata-kata masuk banyumas dicerna. i dengan yang kuliah dan an jika teman-teman memang berteman dikatakan di kos dan asli dari dengan bahwa kampus, banyumasa orang yang dialek merasa malu. n pada saat hetergoen banyumas Karena ada terdengar di dari daerah an kosakata wilayah asal kadang semakin tertentu yang Jawa alus. tersenyum ditinggalk sifatnya pada sat an oleh kurang sopan informan para dan kasar berbicara penutur (meski dialek ngapak- aslinya asli ngapak. dan sebenarnya bahasa dari dialek yang lucu banyumasan serta memang yang bersifat utuh tidak ada prestise. unggah- ungguhnya). 4. Faktor Proses pemilihan Adanya Memilih Proses pemilihan karena untuk keinginan untuk bisa memilih bahasa beradaptasi dan untuk memilih berkomunik dialek yang jika lihat memudahkan dialek yang asi dan mudah 161

dari komunikasi. bisa beradaptasi dipahami individu. memudahkan dengan oleh orang orang lain lawan lain, dan mencerna bicaranya. menyesuaika dialek n dialek banyumasan. lawan bicaranya (kondisional ). b. bagaimana lingkungan berpengaruh dalam mempertaha nkan identitas kedaerahan 1. pengguna Dialek Campuran Campuran Campuran an dialek banyumasan, (dialek (dialek (dialek banyumas karena mayoritas banyumasan banyumasa banyumasan an di kos wong dan Jawa n dan Jawa dan Jawa banyumasan. Solo). Solo). Solo). 2. pengguna Dialek campuran Campuran Campuran Campuran an dialek (dialek ngapak (dialek Jawa (dialek (dialek Jawa banyumas dan ngoko Jawa Solo, dialek Jawa Solo, Solo, dialek an di alus) banyumasan dialek banyumasan kampus dan bahasa banyumasa dan bahasa Indonesia). n dan Indonesia). bahasa Indonesia). c. upaya mahasiswa asli banyumasan dalam melestarikan dialek banyumasan = 1. Melalui Suatu Ajang Komunitas Forum komunitas perkumpulan pertemuan anak-anak komunikasi banyumasan kekeluargaan dari anak yang anak-anak anak-anak satu banyumasan. ngomong ngapak. klub Mempertemu ngapak- Berapresiasi (banyumasan). kan dan ngapak. dan Untuk menjalin menjalin Saling temu mengasah 162

silaturahmi dan silaturahmi kangen berdialek kekeluargaan sesame dengan banyumasan banyumasan. orang satu , karena daerah dalam banyumasa komunitas n. tersebut kadang diharuskan berbicara ngapak- ngapak, sehingga untuk lebih mengasah dialek ngapak- ngapak. 2.. Upaya Di kampus ada - Bergabung secara kalanya - dengan individu menggunakan komunitas dialek banyumasan banyumasan. .

163

Lampiran 6 MATRIK HASIL PENELITIAN MAHASISWA LUAR BANYUMASAN MATRIKS INFORMAN 1 INFORMAN 2 INFORMAN 3 PERTANYAAN

1. Makna Dialek yang Dialek yang Lucu, nuansa dialek aneh, unik, dan memiliki intonasi humor dan banyumasan lucu cepat, gemluthuk membuat tertawa. yang didapat (rumit).dan baik pada ngapak-ngapak. saat mendengark an percakapan maupun persepsi awam.

2. Kesan yang Kesan pertama Kesan yang Dialek diperoleh jadi mahasiswa diperoleh banyumasan dari pada saat yang mengenal mendengar segi percakapan mendengark heterogenitas asl percakapan dialek terlalu mematikan an daerah, banyumasan tidak huruf tertentu percakapan mendengar memahami makna seperti ‘k’, ‘g’, yang dialek tertentu yang sedang dan ‘d’. Sehingga berdialek muncul perasaan dibicarakan hanya dialek banyumasan shock. Kemudian tersenyum dan banyumasan yang dan setelah ada sebuah lebih terkesan tidak nonton film pertanyaan memperhatikan halus “veronica” didalam hati bahwa dialek pengucapannya (termasuk dialek banyumasan dan bernada tinggi mana?, dia banyak pada masih seperti berbicara apa?). penekanan huruf kelihatan orang Selain itu juga, ‘k’ yang sangat ndeso dan katro. Ada perasaan mantap. Selain itu, dialek penekanan banyumasan tersebut juga termasuk dialek memberikan suatu yang kasar (tidak identitas dari ada unggah- orang ungguh) karena banyumasan, pada sat karena dialeknya menonton film yang kelihatan veronica, ada jelas dan lugas. sebuah percakapan dari 164

seorang anak yang sekiranya seperti mengatai (menghina) orang tua sendiri.

165

Lampiran 7 MATRIKS HASIL PENELITIAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN KONSEP AGENSI KONSEP DETERMINASI

1. PERSEPSI, PERAN, DAN Persepsi yang muncul dari FAKTOR PEMILIHAN BAHASA mahasiswa asli banyumasan v Persepsi dialek banyumasan merupakan konsep agensi § Dialek dengan logat cepat, Giddens yang bermula dari ceplas-ceplos membandingkan hasil dari § Vocal ‘a’, konsonan ‘d’, ‘g’, dan tindakan kita di masa lalu ‘k’ yang mantap dengan membuat penilaian - § Dialek yang tidak plin-lan, tentang tindakan mana yang terbuka (fulgar) dan volume terbaik dan nilai yang telah tinggi dalam pengucapannya. dibangun secara sosial untuk kita § Dialek yang datar sebelumnya. Karena persepsi itu § Kosakata banyak sendiri merupakan hasil dari § Bernuansa lucu (humor) dan proses stereotip (labelisasi) yang polos. berasal dari mahasiswa luar § Dialek yang menyatukan banyumasan dan mahasiswa asli penutur banyumasan banyumasan seperti Dialek (mahasiswa asli banyumasan) di dengan logat cepat, ceplas- wilayah UNS ceplos, vocal ‘a’, konsonan ‘d’, § Dialek yang merupakan wujud ‘g’, dan ‘k’ yang mantap, dialek identitas wong banyumasan yang tidak plin-lan, terbuka § Dialek tertua diantara dialek (fulgar) dan volume tinggi dalam jawa lainnya. pengucapannya, dialek yang datar, kosakata banyak, bernuansa lucu (humor) dan polos.

v Peran dialek banyumasan Peran dialek banyumasan menurut mahasiswa asli § Mengenalkan keanekaragaman banyumasan yang ada di UNS budaya banyumasan (khususnya sebagai gagasan untuk memilih - dialek banyumasan) berdasarkan nalar psikis dan § Mewujudkan identitas emosional yang tidak pernah § Menyatukan antara penutur dapat sepenuhnya kita sadari. (mahasiswa asli banyumasan). Hal ini bagian dari kedekatan § Dialek banyumasan berperan emosional yang secara tidak sebagai dialek yang dekat dengan langsung ingin menunjukan stndarisasi ke bahasa Indonesia. budaya banyumasan yang beranekaragam dari dialek, keinginan untuk menunjukkan identitas wong banyumasan dan sebagai alat menyatukan 166

mahasiswa asli banyumasan yang ada di UNS. v Faktor pemilihan di kalangan mahasiswa asli Setelah adanya penanaman banyumasan persepsi yang bermunculan, § Secara sadar memilih dialek mengarah pada faktor pemilihan yang sesuai dengan lawan bicara. dialek banyumasan di kalangan - § Memilih dialek di luar dialek mahasiswa asli banyumasan. banyumasan dengan tujuan untuk Tindakan untuk melakukan mempermudah komunikasi pemilihan dengan dengan mahasiswa luar membandingkan penilaian yang banyumasan muncul (stereotip) sosial dengan § Tujuan untuk mengenalkan dialek pengalaman tindakan mahasiswa banyumasan di lingkungan kos asli banyumasan (setelah dan kampus UNS. bercakap-cakap dengan ngapak- ngapak) di wilayah UNS. Mahasiswa asli banyumasan melakukan pemilihan dialek selain karena kedekatan emosional yang secara nalar tanpa disadari dengan tujuan untuk mengenalkan dialek banyumasan, akan tetapi juga berkaitan dengan tindakan yang berorientasi pada masa lalu. Hal ini bermula pada persepsi yang bermunculan(stereotip/labelisasi) pada saat berbicara dengan mahasiswa luar banyumasan dengan tujuan untuk mempermudah interaksi dan komunikasi. Proses pemilihan dialek tersebut juga melibatkan adanya proses negosiasi yang secara asadar di lakukan dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi dengan mahasiswa luar banyumasan. 2. PENGARUH LINGKUNGAN Lingkungan kos dan kampus Konstruksi yang DALAM MEMPERTAHANKAN menjadi faktor yang penting terjadi pada DIALEK BANYUMASAN (dilihat terjadinya konstruksi budaya dialek dari lingkungan kos dan kampus (identitas dialek banyumasan). banyumasan secara homogen dan heterogen) Secara intern dapat dikaitkan tidak terlepas dari dengan konsep agensi Giddens lingkungan yang faktor intern meliputi : dengan melibatkan faktor ada di wilayah 167

§ faktor diri tentang pemilihan pemilihan dialek di kalangan UNS. dialek yang dipergunakan untuk mahasiswa asli banyumasan di Lingkungan kos berinteraksi dan berkomunikasi. lingkungan kos dan kampus dan kampus § faktor perasaan malu, gengsi dan yang homogen dan heterogen. secara homogen prestise mengenai pencitraan Faktor pemilihan berawal dari dan heterogen terhadap rendahnya dialek tindakan masa lalu (adanya akan berpengarh banyumasan yang identik dengan stereotip) mengenai dialek pada penggunaan kelas menengah bawah. banyumasan. dialek di Akan tetapi, adanya persepsi kalangan yang muncul bahwa pola makan mahasiswa asli faktor ekstern yang meliputi : akan mempengaruhi sifat banyumasan. § Faktor geografis secara umum seseorang merupakan bagian Lingkungan meliputi perbedaan wilayah dari tindakan yang secara nalar tersebut meliputi banyumasan yang jauh dengan dan berupa kedekatan emosinal pendidikan, keraton dibandingkan dengan Solo. yang tidak disadari sebelumnya. diglosa, geografis Secara spesifik yaitu perbedaan Lingkungan pergaulan di kos kamar, adaptasi, letak strategis kamar kos diantara dan kampus merupakan suatu budaya, dan informan banyumasan. Hal ini aktivitas yang berjalan terus- tuntutan (harapan mencakup, kamar kos atau tempat menerus. Begitu juga interaksi untuk cepat kos yang homogen mahasiswa asli dan komunikasi di kalangan menyesuaikan banyumasan dengan jumlah yang mahasiswa asli banyumasan diri dengan mayoritas dan heterogen dengan mahasiswa luar lingkungan (mayotitas mahasiswa luar banyumasan. Kegiiatan yang barunya). banyumasan). Begitu juga yang berjalan secara terus-menerus Selain itu, terjadi di lingkungan kampus yaitu dan sifatnya rutin akan menjadi konstruksi mengenai pola interaksi dan suatu kebiasaan. Hal ini berlaku muncul berasal komunikasi dengan sesama bagi penggunaan dialek di dari persepsi mahasiswa dengan adanya kalangan mahasiswa asli mahasiswa asli perbedaaan asal daerah. banyumasan, baik di kos dan di banyumasan yang § Faktor lingkungan pergaulan dan kampus yang akan membentuk merasa malu, kebiasaan sehari-hari terutama kebiasaan penggunaan dialek gengsi dan kegiatan rutinitas pada saat yang dipergunakan dengan prestise pada saat berbicara denagn lawan bicara melihat dari lingkungan yang menggunakan (mahasiswa lain). homogen dan heterogen. dialek § Faktor untuk adaptasi dengan banyumasan di tujuan mempermudah lingkungan UNS. menyesuaikan diri dengan teman di Persepsi yang kos dan di kampus agar lebih demikian, muncul interaktif dan komunikatif. sebagai proses § Faktor diglosa yang multilingual, stereotip dari yaitu adanya peran dua atau lebih penanaman bahasa jawa Solo dengan dialek lingkungan sosial banyumasan dalam satu yang menyatakan lingkungan Solo. adanya kekuasan § Faktor pendidikan memberikan simbolik dari pengertian adanya latar belakang suatu dialek 168

dunia perkuliahan yang merupakan banyumasan. jenjang tertinggi dari pendidikan Kekuasan formal lainnya, menjadi salah satu simbolik ini alternatif untuk meningkatkan taraf memiliki arti hidup yang lebih baik. bahwa stereotip § Pengaruh budaya mencakup dan penanaman perbedaan budaya Solo dan makna bahwa banyumasan. dialek § Pola makan meliputi pengertian banyumasan bahwa orang banyumasan lebih sebagai dialek menyukai makanan pedas masyarakat dibandingkan dengan orang Solo. bawah dan Hal ini memberikan argumen kadang masih bahwa jenis makanan yang dianggap ndeso berstruktur pedas lebih dan katro. menguatkan daya semangat dan adrenalin sehingga mempengaruhi logat bicara dialek banyumasan yang bernada keras dan tegas. § faktor tuntutan yaitu berupa proses penyesuaian diri dengan lingkungan barunya. § Adanya stereotip (labelisasi) yang berasal dari mahasiswa luar banyumasan.

169

Lampiran 8 FOTO PENELITIAN

i

Foto 1. Peneliti bersama Ulya (mahasiswi asli Banjarnegara) pada saat pat time di Perpustakaan Pusat.

Foto 3. DD bersama teman-teman di kos yang mayoritas mahasiswa asli banyumasan.

Foto 5. film peronika pada awal durasi.

i ii

Foto 2. peneliti pada saat wawancara dengan DD (mahasiswa asli kebumen) di tempat kosnya.

Foto 4. dokumentasi salah satu informan pada saat buka bersama sesama mahasiswa asli banyumasan.

Foto 6. Percakapan antara Jamilah dengan mertuanya dalam dialek banyumasan di film peronika.

ii iii

Foto 7. Nonton bareng film peronika di kos Wh, Ngoresan.

Foto 9. Salah satu informan asli banyumasan (ST) menyaksikan film peronika.

iii iv

Foto 8. informan Wh bersama teman-teman pada saat di kantin sekitar kampus.

Foto 10. Salah satu mahasiswa luar banyumasan bersama teman-temannya di area kampus.

iv v

Lampiran 10 CURRICULUM VITAE

Nama : Meidawati Suswandari NIM : K8405024 Temp, tgl lahir : Purbalingga, 12 Mei 1987 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Program Studi : Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas : KIP Alamat : Dagan RT 02 / RW VIII, Kec.Bobotsari, Kab.Purbalingga, Jawa Tengah 53353

Riwayat Pendidikan : • SD Negeri 3 Dagan Tahun 1993-1999 • SMP Negeri 1 Bobotsari Tahun 1999-2002 • SMA Negeri 1 Bobotsari Tahun 2002-2005 • Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2005-2009

Nama Ayah : Ruswan Pekerjaan : Bina Marga Banyumas Utara, Prov.Jateng Nama Ibu : Kartini Pekerjaan : Guru SD Alamat : Dagan RT 02 / RW VIII, Kec.Bobotsari, Kab.Purbalingga, Jawa Tengah 53353

v