SULTAN ISKANDAR MUDA Pendahuluan Hampir Dalam
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SULTAN ISKANDAR MUDA Pendahuluan Hampir dalam seluruh aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar muda merupakan masa kegemilangan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan) yang adil dan universal, tetapi juga telah mampu melaksanakan secara adil dan universal pula. Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia. Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dia juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya a!amnya, tetapi kekayaan itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia. Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606 - 1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia. Silsilah, Kelahiran dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda. Namun dari hasil identifikasi atas beberapa sumber yang ada menegaskan bahwa dia lahir sekitar tahun 1583. (Denys Lombard, 1991: 225-226). Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Bangsa, yang juga dikenal dengan nama Paduka Syah Alam, Puteri Sultan Alaidin Ri’ayat Syah (1589-1604). Sultan Ri’ayat Syah adalah putera Sultan Firman Syah bin Sultan Inayat Syah. ( Hikayat Aceh : par. 16, 72). Sedangkan ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan ’Alaiddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571). Pada kurun-kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal sebagai keturunan Raja Makota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223). Dengan demikian berarti Sultan Iskandar Muda merupakan percampuran darah Malaka dan Aceh. Pada masa kecilnya, Iskandar Muda yang dijuluki Raja Zainal atau Raja Silan ini sangat senang bermain boneka kuda, gajah dan biri-biri yang dapat bertarung yang terbuat dari emas. (Hikayat Aceh : par.124, 119). Selain itu dia juga ikut bermain panta, (Hikayat Aceh : par.124, 120) dan kalau pada malam hari ketika bulan terang dia mengadakan permainan meuraja-raja bersama teman-temannya (Zainuddin, 1957: 17). Pendidikan Sultan Iskandar Muda Sultan lskandar Muda yang pada masa bayinya sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana, sehinga sejak masa kecilnya telah mengetahui bagaimana seluk beluk kehidupan adat dan tata kerama dalam istana, baik dalam hal sopan santun antar anggota keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan lain sebaginya. Sejak usia antara 4 dan 5 tahun kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan Agama dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya. Selain dia, ke dalam istana diikutsertakan juga teman-temannya yang lain untuk belajar bersama. (Zainuddin, 1957: 20) Ketika usianya mencapai baligh, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang budak pengiringnya kepada Teungku Di Bitai (salah seorang ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis yang sangat menguasai ilmu falak dan ilmu firasat). Dari ulama ini secara khusus dia mempelajari ilmu nahu. Melihat kecerdasan, ketekunan, kemuliaan sikap dan tingkah laku lskandar Muda telah menjadikannya sebagai salah seorang murid yang paling disayangi oleh Teungku Di Bitai. Karena itu, pada suatu hari gurunya diilhami untuk memberikan satu nama kebesaran kepadanya dengan gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah (Zainuddin, 1957: 27). Semenjak saat itu, panggilan Peurkasa terhadap Iskandar Muda yang masih muda belia semakin populer bukan hanya di kalangan istana saja tetapi julukan itu semakin terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri. Dalam kurun-kurun berikutnya, ayahnya Sultan Mansursyah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Mekah, di antaranya Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Sekh Muhammad Jamani yang keduanya ahli dalam bidang ilmu fiqah, tasawuf dan ilmu falak. Selanjutnya hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat yakni Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda. Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempejarai berbagai ilmu yang belum diketahuinya. Pada saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam. Penobatan Sultan Iskandar Muda Menurut sumber-sumber Eropa yang merujuk pada peristiwa gagalnya penyerbuan Don Martin Affonso di Aceh, menyebutkan bahwa Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 29 Juni 1606. Akan tetapi dalam naskah Bustanus-Salatin ditemukan keterangan bahwa dia diangkat sebagai Sultan pada 6 Zulhijjah 1015 H (awal April 1607 M). (Bustanus-Salatin II, XIII, 23). Tindakan pertama Sultan Iskandar Muda dalam mengawali karirnya adalah mengamankan golongan yang terdiri dari orang kaya yang sejak tahun 1604 telah bersekongkol menjadi oposisinya istana. Dia menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan segala tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para oposisi yang tidak mau memberikan dukungan dalam upaya menegakkan kebenaran. Di sisi lain, para generasi muda yang sebagian besar merupakan sahabat dan teman-temannya waktu kecil yang pernah belajar mengaji bersama memberikan dukungan yang sangat luar biasa. Itulah sebabnya mengapa kemudian dia disebut sebagai Sultan Iskandar Muda, tidak lain karena dia mempunyai pendukung utama dan bala tentara dari orang-orang muda atau orang-orang yang memiliki semangat muda. Kebijakan Sultan Iskandar Muda dalam Menegakkan Hukum dan Adat Karena rakyat Aceh terdiri dan beberapa kaum dan sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya. Untuk menjamin langgengnya kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan kemakmuran Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun tata negara atas empat bagian. (Ismuha: 1988, 155) 1. Segala persoalan yang menyangkut tentang adat maka kebijaksanaannya diserahkan kepada sultan, penasehat dan orang-orang besarnya. 2. Segala urusan hukum diserahkan kepada para ulama yang pada masa Syekh Nuruddin Ar-Raniry diangkat sebagai qadhi malikuladil. 3. Urusan qanun, majelis adab, sopan santun dan tertib dalarn pergaulan hidup bermasyarakat, termasuk mengenai berbagai upacara adat diserahkan kepada kebijaksanaan Maharani (Putroe Phang). 4. Sedangkan urusan reusam (pertahanan dan keamanan) berada dalam kekuasaan Panglima Kaum atau Bentara pada masing-masing daerah. Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun dan reusam itu kemudian tertuang dalam sebuah hadih maja yang hingga saat ini masih dikenal dalam masyarakat Aceh yang berbunyi : Adat bak poteu meureuhum, hukom bak syiah kuala Meujeuleueih kanun bak putroe phang, reusam bak bentara (laksamana). Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggungjawab mengatur masing- masing urusan tersebut, Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan adat meukota alam. Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwira- perwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun (peraturan) yang sesuai dengan tatakerama dan maklumat Raja. Di dalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja raja. Selain itu, qanun yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda juga dapat ditemukan dalam beberapa bagian dari naskah Tajus-Salatin yang ditulis oleh Bukhari Al- Jauhari. Bahkan beberapa bab dalam naskah ini secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang (Tajus-Salatin: 16). Dalam naskah Mahkota Raja-raja pada bagian ketiga secara khusus membahas tentang adat majelis raja-raja. Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan