ISSN : 2502-4345 Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dam Humaniora Volume 5 Nomor 1, Juni 2019

Jurnal Pangadereng adalah jurnal yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan dengan tujuan menyebarluaskan informasi sosial dan budaya. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini adalah hasil penelititan yang dilakukan oleh penulis/calon peneliti, akademisi, mahasiswa, dan pemerhati yang berhubungan dengan ilmu sosial dan humaniora. Terbit pertama kali tahun 2015 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu tahun Pada bulan Juni dan Desember.

Pelindung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penanggung Jawab Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Pemimpin Redaksi Hj. Raodah, SE., MM

Sekretaris Rismawidiawati, S.Sos., M.Si.

Dewan Redaksi Ansaar, SH Dra. Hj. Masgaba, MM Simon Sirua Sarapang, SS., M.Hum.

Staf Redaksi Nadrah, ST., MT Muh. Aulia Rakhmat, S.Pd., M.Pd.

Mitra Bestari Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN) Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS) Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS) Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS) Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar) St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM)

Editor Dr. Syamsul Bahri, M.Si. Abdul Hafid, SH Sahajuddin, SS., M.Si. Taufik Ahmad, S.Pd., M.Si.

Desain Grafis Asri Hidayat, ST M. Thamrin Mattulada, SS., M.Si.

Alamat Redaksi Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jl. Sultan Alauddin, Talasalapang Km 7 Makassar 90221 Telepon/Fax. 0411-865166 Email: [email protected]

ISSN : 2502-4345

Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dam Humaniora Volume 5 Nomor 1, Juni 2019 DAFTAR ISI

WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH KOMODIFIKASI DARI PARA PENELITI BISSU 1 - 12 (Spiritual Tourism: Achieving Commodification Seeds from Researchers of Bissu) Feby Triadi

TARI DINGGU EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA 13 - 29 (The Dinggu Dance an Expression of Rejoicing Over Successful Harvest Among the Tolaki People of Kolaka, Southeast Sulawesi) Syamsul Bahri

LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA MATTULADA “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” 30 - 45 (Latoa: Buginese Political Anthropology by Mattulada an Interpretation of Epistemology) Slamet Riadi

PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PEMANFAATAN TANAMAN OBAT PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA 46 - 63 (Local Knowledge Regarding The Use of Traditional Medicinal Plants Among the Tolaki of The Konawe Regency in Southeast Sulawesi) Raodah

ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN 64 – 74 (The Pilgrimage to The Grave of Sheikh Yusuf Al-Makassari in Gowa Regency, South Sulawesi) Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi

ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG DI SODOHOA KENDARI BARAT 75 - 85 (The Work Ethos of The Immigrant Fishing Community in Sodohoa, West Kendari) Masgaba

REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN BALANIPA ABAD XVI-XVII 86 - 101 (Indonesian Reflection: Study of The Government System of Balanipa Kingdom in The 16TH and 17TH Centuries) Abd.Karim PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, KECAMATAN BISSAPU) 102 - 115 The Utilization of Aquatic Biological Resources: Prospective of Seaweed Development in The Coastal Area of Bantaeng Regency (Case Study in The Township of Bonto Jai, Bissapu Distrct) Nur Alam Saleh

NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN DI MUSEUM LA GALIGO 116 - 132 La Galigo Manuscript: The Cultural Identity of South Sulawesi in The La Galigo Museum Andini Perdana

STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN KARAMPUANG DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP 133 - 145 (The Survival Strategy of Karampuang Fishermen in Making A Living to MEET Daily Needs) Abdul Asis

BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI PRODUKSI, PERDAGANGAN, PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946-1956) 146 - 161 Berre’ (Rice) in The South Sulawesi: from Production, Trading, Shipping, to Rice Smuggling (1946-1956) Adil Akbar

PENGUATAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI KOTA PAREPARE 162 - 174 (Reinforcement of Food Security Institutional in The City of Parepare) Ansar Arifin dan Syamsul Bahri

PENGANTAR REDAKSI

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat-Nya segala apa yang dilakukan dengan niat suci dan kerja keras sehingga penyususn jurnal ini dapat terlaksanakan dengan baik. Redaksi berupaya untuk meningkatkan kualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi sistematika penulisan. Dewan redaksi “Pangadereng” dengan segala kerendahan hati menghaturkan rasa terima kasih kepada semua pihak khususnya Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, para peneliti serta segenap staf yang terus mendorong terbitnya jurnal ilmiah Volume 5 Nomor 1, Juni 2019 ini. Jurnal kali ini memuat dua belas tulisan dengan substansi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, Politeknik Pariwisata Makassar, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Universitas Negeri Makassar dan Universitas Hasanuddin. Selain itu ada penulis dari luar pulau Sulawesi yakni Universitas dan Universitas Gadjah Mada. Semua dorongan itu menjadi modal kerja yang sangat berarti. Tentu, ucapan terima kasih juga layak dihaturkan kepada semua pihak yang telah bersedia menyumbangkan pemikirannya, masukan, gagasan, motivasi dalam proses penerbitan jurnal ini. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah bersedia menyerahkan naskahnya untuk diterbitkan di edisi ini. Semoga di edisi-edisi mendatang masih berkenan menyerahkan naskah-naskah yang lebih aktual dan berkualitas demi kemajuan penerbitan jurnal ini di masa depan. Teriring pula terima kasih untuk Mitra Bestari pada jurnal edisi ini, yakni:  Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, M.A (Bidang Sejarah, UIN)  Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. (Bidang Sejarah, UNHAS)  Dr. Ansar Arifin Sallatang (Bidang Antropologi, UNHAS)  Dr. Tasrifin Tahara (Bidang Antropologi, UNHAS)  Jusmiati Garing, SS., MA (Bidang Bahasa, Balai Bahasa Makassar)  St. Junaeda, S.Ag. M.Pd. MA (Bidang Sejarah, UNM) Semoga jurnal yang diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan ini memberi manfaat kepada segenap pembaca.

Redaksi

Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora

ISSN: 2502-4345 Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kata Kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa izin dan biaya

Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) parahnya lagi karena konflik itu juga masuk dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH menemukan, dan menjelaskan batas pemisah KOMODIFIKASI DARI PARA PENELITI antara Bissu sebagai pelaku seni, dan Bissu BISSU sebagai pelaku kebudayaan. Kata Kunci: pariwisata, komodifikasi, PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu peneliti, Bissu Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Juni 2019 hlm. 1 – 12. Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan Budaya Sulawesi Selatan) dampak penelitian yang terus dilakukan terhadap komunitas Bissu. Dari penelitian TARI DINGGU yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, KEBERHASILAN PANEN PADA Darmapoetra 2014), beberapa diantara MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI mereka masih membahas hal yang sama, DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA seperti gender, Islam, dan juga adaptasi warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu mengisi dan melengkapi kekosongan narasi Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata Juni 2019 hlm. 13 - 29. hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan objeknya (Bissu) semata, namun belum Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir melihat kesiapan warga sekitar dalam diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di merespon kebijakan dan pelaksanaannya. Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan dilakukan pada bulan November 2018. baku makanan pokok, saat itu pula Adapun teknik pengumpulan data dengan masyarakat berinisiatif menciptakan tari melakukan pengamatan, serta melakukan dinggu dengan pola gerakannya mengikuti wawancara langsung dengan informan, aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir seperti Bissu, dewan adat dan tokoh padi menjadi beras dengan menggunakan pemerintahan. Meminjam teknik analisis data lesung, dan alu terbuat dari bahan kayu yang etnografi Spradley (1997), penelitian ini digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau memiliki temuan, jika benih komodifikasi tampi dari anyaman bambu sebagai alat awalnya dilakukan oleh peneliti, yang membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari memperkenalkan dan menggiring mereka ke sisi praktisnya adalah menginventarisasi industri pariwisata. Tentu memunculkan karya budaya untuk memperkaya konflik diantara peneliti yang ada, sehingga perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya, peneliti sebelumnya terkesan mewariskan adalah sebagai ajang mengenal lebih jauh konflik bagi peneliti yang akan datang, dan nilai dan makna yang tertuang dalam tari dinggu. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang mengedepankan karya-karyanya. Penelitian ini menghasilkan pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada dua kesimpulan mendasar, yakni pertama, tari, alat peraga, pakaian, dan aksesoris. karya Mattulada berjudul Latoa ini sangat Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari bercirikan positivisme, pun sama dengan dinggu. Tari dinggu dalam perkembangannya, beberapa karyanya yang lain. Kedua, serta studi literatur adalah mengarah pada meskipun memiliki epistemologi yang sama buku teori serta beberapa tulisan hasil di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada penelitian sebelumnya. Temuan penelitian yang lain memiliki paradigma yang berbeda. terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini diposisikan sebagai tari kreasi, yaitu tari yang Kata kunci: epistemologi, positivisme, Latoa tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut keberhasilan memanen padi, tetapi tari dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya kebersamaan atau pemersatu dan nilai Sulawesi Selatan) estetika serta menuai makna kegembiraan dan ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu PENGETAHUAN LOKAL TENTANG dalam perkembangannya, menjadi mendunia PEMANFAATAN TANAMAN OBAT karena telah dijaga keberadaannya dan juga PADA MASYARAKAT TOLAKI DI telah dipentaskan ditingkat lokal, nasional, KABUPATEN KONAWE SULAWESI dan internasional. TENGGARA

Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Juni 2019 hlm. 46 - 63.

Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada) Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan

LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK manfaat tanaman obat yang digunakan ORANG BUGIS KARYA MATTULADA masyarakat Tolaki dalam mengobati berbagai “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman obat diperoleh berdasarkan pengalaman yang PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu diwariskan secara turun temurun. Penelitian Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 ini menggunakan metode kualitatif dengan Juni 2019 hlm. 30 - 45. teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa sebagian masyarakat menginterprestasi epistemologi seperti apa Tolaki terutama yang tinggal di Desa yang terdapat dalam karya Mattulada, Latoa; Abelisawah masih memanfaatkan tanaman Suatu lukisan antropologi politik orang obat sebagai ramuan untuk mengobati Bugis. Pembahasan terkait epistemologi penyakit medis dan non medis. Tanaman obat dalam suatu karya etnografi, masih kurang banyak tumbuh secara liar di sekitar mendapatkan perhatian serius oleh kalangan lingkungan tempat tinggal mereka, dan akademisi, khususnya yang bergelut dalam sebagian ditanam dihalaman rumah sebagai bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan epistemologi dalam suatu karya, penelitian dengan ramuan tanaman obat biasanya ini menggunakan metode pencarian beberapa dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan sumber pustaka, yang berhubungan dengan dibacakan mantra sesuai dengan jenis karya Mattulada. Setelah itu, melakukan penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan pembacaan induktif-deduktif, untuk tanaman obat digunakan masyarakat menemukan asumsi dasar yang menjadi Abelisawa mulai dari pasien anak-anak landasan Mattulada dalam menghasilkan sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat masih berasal dari Sulawesi melainkan juga dari menggunakan dukun dan ramuan obat untuk Jawa, Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam faktor ekonomi, terbatasnya tenaga medis, Syekh Yusuf memberikan dampak yang baik sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun bagi perekonomian masyarakat sekitar. menyembuhkan penyakit, tanaman obat dianggap aman dan kurang efek Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf. sampaingnya, rendahnya pengetahuan tentang pengobatan medis, dan waktu pelayanan yang mudah. Masgaba (Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawsei Selatan) Kata Kunci: Tanaman obat, penyakit, mbu uwoai, Tolaki. ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG DI SODOHOA KENDARI BARAT Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi (Politeknik Pariwisata Makassar) PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL- Juni 2019 hlm. 75 - 85. MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di Sodohoa Kendari Barat, Kota Kendari. Metode PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu pengumpulan data berupa wawancara, focus Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 group discussion, dan pengamatan. Hasil Juni 2019 hlm. 64 - 74. penelitian menunjukkan bahwa, nelayan pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka berasal dari Kabupaten Gowa Propinsi melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah adalah untuk mengetahui apa saja motivasi perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan, peziarah yang datang ke makam syekh yusuf terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual sejauh mana ritual dan religiusitas meraka yang tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat nelayan pendatang tidak memiliki modal uang terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga untuk beraktivitas melaut, sehingga mereka bagiamana ziarah makam berdamapak pada meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor kehidupan ekonomi, legitimasi politik dan sosial budaya timbul sebagai akibat adanya naluri pariwisata. Penelitian ini menggunakan untuk bekerja agar memperoleh penghasilan metode penelitian kualitatif. Untuk untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. memperoleh data primer dan data sekunder Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun menggunakan teknik observasi, wawancara, temurun dari orang tua mereka, tidak ada dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa keterbatasan keterampailan dan keahlian yang terdapat motivasi yang berbeda-beda dari dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi setiap peziarah yang datang ke mkaam syekh adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki penghasilan. Yusuf, ziarah makam dapat dijadikan sebagai legitamsi politik dalam mengumpulkan suara Kata kunci: Etos Kerja, Sosial Ekonomi, sebagai metode pencitraan politik, dari segi Nelayan Pendatang. pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan pendapatan asli daerah kabupaten Gowa karena pengunjung yang datang bukan saja Abd.Karim (Universitas Indonesia) Nur Alam Saleh (Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan) REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA BALANIPA ABAD XVI-XVII HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu PESISIR KABUPATEN BANTAENG Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, Juni 2019 hlm. 86 – 101. KECAMATAN BISSAPU)

Kerajaan Balanipa (Mandar) telah PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu “berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Apabila salah satu cerminan Indonesia adalah Juni 2019 hlm. 102 - 116. sistem pemerintahan demokratis, maka identitas politik yang kita sandang sebagai Penelitian ini mengkaji tentang perubahan Negara Demokratis telah ada sebelum negara struktur sosial baik itu bentuk-bentuk ini lahir. Bahwa jiwa keindonesiaan telah ada produksi, teknologi dan kelembagaan serta sebelum kehadiran Bangsa Eropa di dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi Nusantara. Bahkan telah dipraktekkan di masyarakat. Budi daya rumput laut juga telah Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI- mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan XVII sebagai sistem perintahan lokal ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan (mara’dia). Sistem tersebut memiliki di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai perangkat konstitusi Kerajaan dimana Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan kedudukan Raja tidak mutlak berkuasa. data diperoleh dengan penelitian lapangan Lembaga hadat memiliki kuasa untuk yang mencakup observasi, dokumentasi, dan memberhentikan raja sebagai pemimpin, wawancara, Adapun teknik analisis data yaitu seperti Presiden yang bisa diturunkan dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan kesimpulan. Dalam perkembangannya Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih pembudi daya rumput laut telah menjadi atas kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang pantai Kabupaten Bantaeng pada umumnya sekarang merupakan warisan dari masa lalu dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat daya rumput laut mempunyai peluang untuk sebagai bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel meningkatkan pendapatan petani di Desa ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, Bonto Jai. Budi daya rumput laut lebih bagaimana praktek-praktek demokrasi menguntungkan dibanding dengan diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai itu di terjemahkan oleh elit dan masyarakat nelayan. Satu hal yang sangat menarik dari Mandar? dan bagaimana sistem pemerintahan kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan itu dijalankan di Mandar pada abad XVI- keterlibatan kaum wanita yang turut XVII? artikel ini menggunakan metode mengambil bagian sebagai tenaga kerja. penelitian sejarah. Dengan menggunakan sumber lokal (Lontara’’) dan akan dilengkapi Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial, dengan sumber-sumber dari zaman kolonial. Pembudidayaan.

Kata Kunci: Pemerintahan, mara’dia, demokrasi, Indonesia, Mandar, Balanipa

Andini Perdana (Balai Pelestarian Cagar Abdul Asis (Balai Pelestarian Nilai Budaya Budaya Sulawesi Selatan) Sulawesi Selatan)

NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS STRATEGI BERTAHAN HIDUP BUDAYA SULAWESI SELATAN DI NELAYAN KARAMPUANG DALAM MUSEUM LA GALIGO PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP

PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Juni 2019 hlm. 117 - 133. Juni 2019 hlm. 134 - 146.

Pemberian nama La Galigo pada Museum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari dan memahami strategi bertahan hidup atas makna La Galigo yang dikenal di daerah nelayan Karampuang dalam pemenuhan Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang Massenrempulu. La Galigo merupakan digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo teknik pengumpulan data melalui wawancara, memiliki koleksi naskah La Galigo yang observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian teregistrasi dalam Memory of the World menunjukkan bahwa nelayan di Pulau UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di Karampuang masih menggunakan alat ruang pameran tetap, namun representasi tangkap sederhana dan penghasilannya masih identitas budaya Sulawesi Selatan belum tergolong rendah. Pada musim paceklik, tercermin dalam ekshibisi tersebut. Belum nelayan merasa kesulitan untuk memenuhi direpresentasikan itulah yang mendorong kebutuhan hidup mereka sehari-hari, penulis untuk mengidentifikasi nilai penting sehingga mereka beralih ke pekerjaan lain dengan mengolah kebun dengan menanam makna La Galigo, menganalisis konsep ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan tanaman hortikultura seperti jagung, ubi merekomendasikan storyline ekshibisi kayu, dan sayur-sayuran. Peluang untuk museum. Metode yang digunakan adalah melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas studi kasus dengan pendekatan museology, bagi masyarakat nelayan di sana karena akses khususnya teori new museum, identitas ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini, dekat. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan di disimpulkan bahwa minimnya informasi luar bidang kenelayanan adalah menjadi dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan pedagang, buruh bangunan, kuli angkut kurangnya penggalian nilai penting La Galigo pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek. bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang antara mereka, memori kolektif masyarakat, bekerja menjadi penjaga toko, buruh cuci di dan relevansi cerita itu dengan saat ini. kota, dan membuka kedai-kedai di rumah Perbaikan storyline cerita La Galigo yang dengan menjual barang kebutuhan hidup bukan hanya mendeskripsikan naskah La sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya sampingan, kebutuhan hidup keluarganya dengan koleksi lain dan merepresentasikan dapat terpenuhi. identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan. Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan Kata kunci : La Galigo, museum, identitas Karampuang, kebutuhan hidup. budaya

Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM, Ansar Arifin (Departemen Antropologi Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah) FISIP UNHAS)

Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI Budaya Sulawesi Selatan) PRODUKSI, PERDAGANGAN, PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946- PENGUATAN KELEMBAGAAN 1956) KETAHANAN PANGAN DI KOTA PAREPARE PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 PANGADERENG, Hasil Penelitian Ilmu Juni 2019 hlm. 147 – 162. Sosial dan Humaniora Volume 5 Nomor 1 Juni 2019 hlm. 163 – 175. Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Artikel ini menjelaskan dua hal penting, Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; yakni soal kelembagaan ketahanan pangan kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran dalam rumah tangga miskin di Kota Parepare Komoditas Beras di Sulawesi Selatan kurun dan model alternatif kelembagaan ketahanan tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan pangan rumah tangga nelayan miskin yang Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1950- sesuai dengan tuntutan perkembangan. 1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode Cluster Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan Porpose Sampling. Sampelnya adalah tahapan, Heuristik (pengumpulan data, kelompok-kelompok sosial, lembaga- terutama studi kearsipan dan kepustakaan) lembaga sosial kenelayanan, dan organisasi kritik, Interpertasi (penafsiran) dan kemasyarakatan yang dipilih secara purposif S Histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari dan dianalisis dengan model analisa penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil sosiometrik dan deskriptif. Teknik produksi beras di Sulawesi Selatan pengumpulan data menggunakan metode memuaskan, hal ini dikarenakan potensi alam survei dan indepth interview (wawancara dan luasnya lahan produktif untuk ditanami mendalam) serta metode focus-group padi, selain itu kehadiran pelabuhan – discustion (FGD). Hasil penelitian ini pelabuhan di pesisir barat dan timur Sulawesi menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan Selatan mendorong terciptanya jejaring pangan tradisonal telah ada sejak dahulu perdagangan beras di kawasan timur dalam masyarakat nelayan miskin di Kota Indonesia pada kurun tahun 1946-1950. Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan persoalan kemiskinan. Tetapi, karena gejolak politik yang terjadi di Sulawesi pertumbuhan jumlah penduduk dan Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi kebutuhan pangan meningkat sehingga produksi dan perdagangan beras di daerah dibutuhkan manajemen ketahanan pangan tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek yang lebih kompleks. Oleh sebab itu, penyulundupan beras. Secara umum dapat kelembagaan pangan lokal perlu ditopang disimpulkan selain bernilai ekonomis, oleh sistem organisasi modern demi menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki memperkuat kelembagaan ketahanan pangan nilai politik. lokal. Demikian pula sebaliknya, kelembagaan modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, yang sudah lama dipraktikkan oleh pelabuhan, penyelundupan, perdagangan. masyarakat miskin di Kota Parepare.

Kata Kunci: ketahanan pangan; penguatan kelembagaan; kemiskinan.

Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora

ISSN: 2502-4345 Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Keyword are extracted from articles. Abstrack may be reproduced without permission and cost

Feby Triadi (Universitas Gadjah Mada) circles. This research also identifies and explains the delineation line between Bissu as SPIRITUAL TOURISM: ACHIEVING artists, and Bissu as cultural actors. COMMODIFICATION SEEDS FROM RESEARCHERS OF BISSU Keywords: tourism, commodification, researchers, Bissu PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June 2019 p. 1 - 12. Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai This paper aims to interpret the impact of Budaya Sulawesi Selatan) ongoing research on the Bissu community. From the existing research (see: Lathief THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, OF REJOICING OVER SUCCESSFUL Sharyn 2010, Darmapoetra 2014), some of HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE them are still discussing the same thing, such OF KOLAKA, SOUTHEAST SULAWESI as gender, Islam, as well as an ongoing adaptation of citizens. This study seeks to fill PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June and complete the existing narrative void, as 2019 p. 13 - 29. lately, the perpesctive of tourism only considers policymakers and objects of The dinggu dance constitutes a dance form practiced by the Tolaki people of Kolaka, in interest (Bissu), only but has not paid attention to the readiness of the local people the province of Southeast Sulawesi. Since the in responding to policies and their adoption of rice as the staple food of the implementation. This study employed an Tolaki, the society took the initiative to create ethnography method, carried out in the dinggu dance, featuring movements November 2018. The techniques used to to following the motions of people threshing collect data were making observations, as rice by pounding, pounding a wooden mortar well as conducting interviews directly with and pestle, as well as involving a winnowing informants, such as Bissu, traditional adat basket woven from bamboo, used for councils, and government figures. Borrowing separating out chaff. The aim of this the Spradley (1997) ethnographic data research, from a practical perspective, is to analysis technique, this study reports finding inventorize cultural heritage to preserve a that the seed of commodification was initially cherished legacy. From an academic planted by researchers, who introduced and perspective, the aim is to further explore the led them to the tourism industry. The result values and meaning carried by the Dinggu has been conflict between the existing dance. The research method used is a researchers, to the point that past qualitative approach, prioritizing observation researchers seem to leave an inheritance of of the movements of the dance, its props, conflict for future researchers, and even costume, and accessories. Interviews focused worse, the conflict has also entered into Bissu on the birth of the dinggu dance and its development, and literature study focused on Raodah (Balai Pelestarian Nilai Budaya theory books and a few previous written Sulawesi Selatan) works of research. The research shows that the current form of the Dinggu dance is LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE employed as an art form, that is, a dance that USE OF TRADITIONAL MEDICINAL is no longer only performed at rice harvest PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE celebrations. Rather, the Dinggu dance is KONAWE REGENCY IN SOUTHEAST equated with the traditional values of SULAWESI comradery or group unity, aesthetic values, and the expression of joy and gratitude over PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June a harvest. In its development, the Dinggu 2019 p. 46 – 63. dance has achieved globally recognized status, by guarding its existence, and This written work aims to describe the practicing it on a local, national, and benefits of medicinal plants utilized by the international scale. Tolaki people in treating various illnesses. Local medicinal plant knowledge is Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest experience-based and is passed down from

generation to generation. This research takes Slamet Riadi (Universitas Gadjah Mada) a qualitative approach, employing the data gathering methods of interviews, observation, LATOA: BUGINESE POLITICAL and documentation. The results of the

ANTHROPOLOGY BY MATTULADA „AN research indicate that a subset of the Tolaki INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY population, especially that of the Abelisawah township, continue to make use of PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June concoctions made from medicinal plants in 2019 p. 30 – 45. the treatment of both physical and non-

This research intends to interpret the kind of physical ailments. The medicinal plants are epistemology contained in the work of naturally abundant in the immediate

Mattulada, Latoa; Suatu Lukisan Antropologi environment, and some are planted around people's houses to serve as family medicine Politik Orang Bugis. The discussion related to epistemology in an ethnographic work, still plants. The treatment and administration of the medical plant concoctions are typically lacks serious attention, by academics, especially those involved in the field of performed by a medicine man (mbu' owai), who recites a mantra according to the type of anthropology. In analyzing epistemology of this research, this study uses the search illness ailing the patient. The medicinal method of several library sources, which are plants used by the people of Abelisawa are related to Mattulada's work. After that, do administered to patients ranging from young inductive-deductive readings, in order to find children to adults. There are a few factors the basic assumptions that became the that cause the people to continue using the foundation of Mattulada to produce his medicine men and the traditional medicine works. This research produced two for the treatment of various illnesses, namely fundamental conclusions, firstly, Mattulada's their economic state, limited access to work entitled Latoa is very characterized by medical and social services, the belief in the positivism, and similar to several of his other medicine men's power to heal, the works. Secondly, despite having the same understanding of medicinal plants as safe epistemology in each of his works, several and free from side effects, a lack of other Mattulada works have different knowledge regarding modern medicine, and paradigms. convenience in terms of time needed for treatment. Keywords: epistemology, positivism, Latoa Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June uwoai, Tolaki. 2019 p. 75 – 85

This written work constitutes the results of Renold dan Muh. Zainuddin Badollahi research conducted among an immigrant (Politeknik Pariwisata Makassar) fishing community in Sodohoa, West Kendari, in the city of Kendari. The data collection THE PILGRIMAGE TO THE GRAVE OF methods used include interviews, focus group SHEIKH YUSUF AL-MAKASSARI IN GOWA discussion, and observation. The research REGENCY, SOUTH SULAWESI results indicate that the immigrant fishermen in the Sodohoa district originate from the PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June regions of Pangkep, Ulung Lero, and 2019 p. 64 – 74. Makassar. Essentially, the primary motive for migration, other than economic and socio- This study focuses on the ritual of the cultural factors, is the variety of fish found in pilgrimage to the grave of Sheikh Yusuf the waters of Kendari, especially the high- located in the Gowa Regency, in the province selling tuna. The economic factor stems from of South Sulawesi. The aim of this study was the fishermen's lack of capital for conducting to examine the motives of pilgrims visiting the their seagoing activities, leading to their grave of Sheikh Yusuf, the extent of their borrowing money from an employer in ritual and religiosity towards Sheikh Yusuf, Kendari. The socio-cultural factor stems from as well as the visible impact of the pilgrimage the fishermen's conscience obligating hard on economic life, political legitimacy, and work to generate an income to meet the day- religious tourism. This study employs to-day needs of their families. Being qualitative research methods for primary and fishermen is a legacy that is passed down the secondary data collection using observation, generations from their ancestors; they cannot interview, and literature study techniques. pursue other careers, due to their limited The results of this study demonstrate that a skills and abilities. The enthusiasm for their variety of motivations exist among pilgrims work is motivated by a sense of shame (siri’) visiting the grave of Sheikh Yusuf. Also, the for one who does not produce an income. pilgrimage can be used as a political tool for in gathering votes as a method of political Keywords: Work Ethos, Social Economy, imaging. In terms of religious tourism, the Immigrant Fishermen. pilgrimage can increase revenue in the Gowa Regency due to visitors coming not only from Sulawesi, but also from Java, Kalimantan, Abd.Karim (Universitas Indonesia) Papua, Sumatra and even from abroad. In addition, the presence of the grave of Sheikh INDONESIAN REFLECTION: STUDY OF Yusuf has a good impact on the economy of THE GOVERNMENT SYSTEM OF the surrounding community. BALANIPA KINGDOM IN THE 16TH AND 17TH CENTURIES Keywords: Pilgrimage, grave, Sheikh Yusuf. PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June 2019 p. 86 – 101. Masgaba (Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawsei Selatan) The kingdom of Balanipa (Mandar) was "democratic" before Indonesia was born. If THE WORK ETHOS OF THE IMMIGRANT one reflection of Indonesia is a democratic FISHING COMMUNITY IN SODOHOA, government system, then the political identity WEST KENDARI that we rely on as a Democratic State existed before this country was born. That the soul of Nur Alam Saleh (Balai Pelestarian Nilai Indonesianness existed before the presence of Budaya Sulawesi Selatan) Europeans in the Archipelago. In fact, it was been practiced in the Kingdom of Balanipa THE UTILIZATION OF AQUATIC (Mandar) in the 16th-17th centuries as a BIOLOGICAL RESOURCES: PROSPECTIVE local form of government (mara'dia). This OF SEAWEED DEVELOPMENT IN THE system featured a Kingdom constitution COASTAL AREA OF BANTAENG REGENCY serving to limit the King from wielding (CASE STUDY IN THE TOWNSHIP OF absolute power. The traditional institution BONTO JAI, BISSAPU DISTRCT) held the power to dismiss the king as a leader, such as the President who can be PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June removed from his position by the country's 2019 p. 102 – 115. People's Consultative Assembly (MPR). The leader is chosen by the will of the people. A This research examines social structural reflection of the system of government, that change, both in the forms of production, the soul of the age which is now a legacy of technology, and organization, along with the the nation's past itself is not a western accompanying impact on the socio-economic nation's inheritance as a colonial nation. lives of the population. The development of Furthermore, this article will answer the big the seaweed industry has also affected an question, namely, how are democratic aspect of the socio-cultural and economic practices applied in Mandar? How was lives of the community. The research took democracy interpreted by the elite and the place in the regency of Bantaeng, in the Mandar community? And how was the system township of Bonto Jai in the Bissapu district. of government run in Mandar in the sixteenth The research method employed is field and seventeenth centuries? This article research, including observation, documentation, and interviews, along with employ historical research methods, using local sources (Lontara’), complemented by the data analysis technique of data reduction, sources from the colonial era. The practice of presentation, and conclusion. In its democracy, namely the birth of the concept of development, seaweed farmers have come to Mengga Lenggoq Mengga Belawa, is one of dominate the scene of community activity on the concepts offered by the system of the beaches of the Bantaeng regency in government. The soul of Democracy is general, and especially in the Bonto Jai embedded in the following concepts: (1) township. The development of the seaweed Manu' Tandi Pessisi'i (a chicken whose industry carries the potential to improve the scales are not seen), meaning that in daily economic standing of farmers in the Bonto life, regardless of status or position, Jai township. The seaweed industry is more customary law is still upheld; (2) Beang profitable than the previous profession of Tandi Gati (rice that does not need to be these workers, namely as fishermen. One very measured), meaning a People-based interesting element in the development of the economy, while also attaching importance to seaweed industry is the inclusion of women in the interests of the lower class; (3) Beluwa' the labor force. Tandi Biti (combed hair that no longer needs to be held in place), meaning continuous Key words: Fishermen, Seaweed, social, unity; and (4) Ara Ratang Tandi Dappai Resource development. (rope that does not need to be measured), meaning that the law or judicial system does not discriminate.

Keywords: Government, Mara'dia, democracy, Indonesia, Mandar, Balanipa Andini Perdana (Balai Pelestarian Cagar Abdul Asis (Balai Pelestarian Nilai Budaya Budaya Sulawesi Selatan) Sulawesi Selatan)

LA GALIGO MANUSCRIPT: THE THE SURVIVAL STRATEGY OF CULTURAL IDENTITY OF SOUTH KARAMPUANG FISHERMEN IN MAKING SULAWESI IN THE LA GALIGO MUSEUM A LIVING TO MEET DAILY NEEDS

PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June 2019 p. 116 – 132. 2019 p. 133 – 145.

The bestowal of the name La Galigo upon the This research aims to discover and Provincial State Museum of South Sulawesi is understand the survival strategy of fishermen based on the La Galigo manuscript, which is in Karampuang in meeting daily needs. The famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, research method used is descriptive- Selayar, and Massenrempulu regions. For qualitative, employing the datagathering them, La Galigo is their unifier. As part of its techniques of interviews, observation, and collection, the La Galigo Museum features a documentation. The results of this research La Galigo manuscript, which is registered as show that fishermen in the islands of a UNESCO Memory of the World. The Karampuang continue to use simple fishing manuscript is currently on display in the equipment and generate a meager income. In permanent exhibition room of the La Galigo the off season, the fishermen experience museum; however, the representation of the difficulty in meeting daily needs, to the point cultural identity of South Sulawesi has been that they pursue side jobs by planting not reflected in the exhibit. This has gardens and cultivating crops such as corn, encouraged the author to identify the cassava, and vegetables. Opportunities for significance of the La Galigo manuscript, side jobs are numerous for the fishing analyze the concept of the current exhibits of community there, due to the convenient the La Galigo Museum, and recommend the access to the Mamuju regency. Other side addition of the La Galigo storyline to the work available aside from fishing is museum. The research employed a case study becoming a small-goods trader, a method, with a museology approach, construction worker, a port laborer, market especially examining new museums, cultural laborer, or motorcycle-taxi driver. As for the identity, and exhibits. The conclusion in this wives of these fishermen, many work at research was the lack of information in the stores, work as cleaners in the city, or open La Galigo exhibition due to the lack of up shops at home to sell basic products. By research of the significance of the La Galigo generating supplementary income, the needs for various ethnic groups, the unity between of the family are able to be met. them, the collective memory of the society, and the relevance of the La Galigo story to Keywords: side work, Karampuang the present. The development of the La fishermen, daily needs. Galigo storyline, which not only describes the La Galigo manuscript itself, but links it to other collections and represents the cultural Adil Akbar (Program Pascasarjana UNM, identity of South Sulawesi, is needed. Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah)

Keywords : La Galigo, museum, the cultural BERRE’ (RICE) IN THE SOUTH identity SULAWESI: FROM PRODUCTION, TRADING, SHIPPING, TO RICE SMUGGLING (1946-1956)

PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June The article explains two important things, i.e. 2019 p. 146 – 161. the problem of food security institutional in the poor households in the city of Parepare; Three primary objects of discussion are alternative models of food security presented in this research: first, rice institutional for poor fishermen households production in South Sulawesi during the that are in accordance with the demands of years 1946-1950; second, the trade network development. This study uses the Cluster and shipping of rice as a commodity in South Porpose Sampling method. The samples are Sulawesi during the years 1946-1950; third, social groups, service social institutions, and the smuggling of rice in South Sulawesi community organizations that are during the years 1950-1956. The method purposively selected, and analyzed using employed in this research is a historical sociometric and descriptive analysis models. approach consisting of the following stages: Data collection techniques use survey data collection (especially in study of methods and in-depth interviews, as well as archives and records), critical, interpretation, focusgroup discustion (FGD) methods. The and historiography (compiling the history). result of this study indicates that traditional The results of this research demonstrate, first food security institutional is already exist for of all, a healthy level of production of rice in a long time in poor fishing communities in South Sulawesi, due to the quality and the city of Parepare as a form of adaptation quantity of arable land suitable for rice to the problem of poverty. Nevertheless, planting; also, the presence of ports on both population growth and food needs are the east and west sides of the peninsula increased, it is necessary to manage more motivated the creation of rice trade network complex food security. Therefore, local food in East Indonesia during the years 1946- institutional needs to be supported by modern

1950. Nevertheless, it is undeniable that the organizational system in order to strengthen political upheaval that took place in South local food security institutional. Vice versa, Sulawesi in the 1950s affected the production modern institutional needs to be supported by and trade of rice in the area, with one of the local institutional that have been practiced results being the emergence of rice for a long time by the poor in the city of smuggling. It may be generally concluded Parepare. that in addition to contributing to the economy, the creation of a trade network also Keywords: food security; institutional carries a political aspect. strengthening; poorness.

Keywords: South Sulawesi, rice, ports, smuggling, trade

Ansar Arifin (Departemen Antropologi FISIP UNHAS)

Syamsul Bahri (Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan)

REINFORCEMENT OF FOOD SECURITY INSTITUTIONAL IN THE CITY OF PAREPARE

PANGADERENG, Volume 5 Number 1 June 2019 p. 162 – 174.

WISATA SPIRITUAL: MENUAI BENIH KOMODIFIKASI DARI PARA PENELITI BISSU (SPIRITUAL TOURISM: ACHIEVING COMMODIFICATION SEEDS FROM RESEARCHERS OF BISSU)

Feby Triadi Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta, 55281 Surel: [email protected]

ABSTRACT This paper aims to interpret the impact of ongoing research on the Bissu community. From the existing research (see: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, Darmapoetra 2014), some of them are still discussing the same thing, such as gender, Islam, as well as an ongoing adaptation of citizens. This study seeks to fill and complete the existing narrative void, as lately, the perpesctive of tourism only considers policymakers and objects of interest (Bissu), only but has not paid attention to the readiness of the local people in responding to policies and their implementation. This study employed an ethnography method, carried out in November 2018. The techniques used to to collect data were making observations, as well as conducting interviews directly with informants, such as Bissu, traditional adat councils, and government figures. Borrowing the Spradley (1997) ethnographic data analysis technique, this study reports finding that the seed of commodification was initially planted by researchers, who introduced and led them to the tourism industry. The result has been conflict between the existing researchers, to the point that past researchers seem to leave an inheritance of conflict for future researchers, and even worse, the conflict has also entered into Bissu circles. This research also identifies and explains the delineation line between Bissu as artists, and Bissu as cultural actors.

Keywords: tourism, commodification, researchers, Bissu

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menafsirkan dampak penelitian yang terus dilakukan terhadap komunitas Bissu. Dari penelitian yang ada (lihat: Lathief 2004, Boellstorff 2004, Makkulawu 2008, Sharyn 2010, Darmapoetra 2014), beberapa diantara mereka masih membahas hal yang sama, seperti gender, Islam, dan juga adaptasi warga yang berlangsung. Penelitian ini, ingin mengisi dan melengkapi kekosongan narasi yang telah ada. Sebab belakangan, pariwisata hanya dilihat dari pengambil kebijakan dan objeknya (Bissu) semata, namun belum melihat kesiapan warga sekitar dalam merespon kebijakan dan pelaksanaannya. Metode dalam penelitian ini adalah etnografi, dilakukan pada bulan November 2018. Adapun teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan, serta melakukan wawancara langsung dengan informan, seperti Bissu, dewan adat dan tokoh pemerintahan. Meminjam teknik analisis data etnografi Spradley (1997), penelitian ini memiliki temuan, jika benih komodifikasi awalnya dilakukan oleh peneliti, yang memperkenalkan dan menggiring mereka ke industri pariwisata. Tentu memunculkan konflik diantara peneliti yang ada, sehingga peneliti sebelumnya terkesan mewariskan konflik bagi peneliti yang akan datang, dan parahnya lagi karena konflik itu juga masuk dalam kalangan Bissu. Penelitian ini juga menemukan, dan menjelaskan batas pemisah antara Bissu sebagai pelaku seni, dan Bissu sebagai pelaku kebudayaan.

Kata Kunci: pariwisata, komodifikasi, peneliti, Bissu

1

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENDAHULUAN kemampuan mendesain perangkat Budaya merupakan suatu produk yang kebijakan secara spesifik (Djafar, 2015). dijadikan wadah pengembangan pariwisata, Secara optimis pada abad 21 wadah ini merangkum artefak, karya seni, kepariwisataan akan menjadi salah satu prilaku masyarakat atau keindahan alam kegiatan sosial ekonomi yang terpenting (Minawati, 2013), lanjutnya Smith dalam dan akan menjadi salah satu industri ekspor Minawati (2013), pariwisata dapat di dunia (Nugroho, 1997). Berangkat dari diidentifikansikan berdasarkan lima tipe. itu, pariwisata merupakan sektor yang Yakni, pariwisata etnik, pariwisata budaya, paling didengung-dengungkan untuk pariwisata sejarah, dan pariwisata rekreasi menggenjot pertumbuhan negara. Dekat (Minawati, 2013). dengan itu, dalam tulisan yang lain Menurut organisasi pariwisata dunia, Nugroho menjelaskan salah satu dilema turis merupakan seseorang yang melakukan yang dihadapi dari sektor pariwisata, perjalanan paling tidak sejauh 80 Km (80 terutama dengan kaitanya pada dampak Mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi. pertumbuhan kunjungan wisatawan luar Dekat dengan itu, dapat ditarik sebuah negeri (sebagai akibat dari globalisai), yang benang merah atau kesimpulan tetang membawa budaya mereka. Pertumbuhan pariwisata, adanya niat yang berbatas jarak pariwisata yang tidak terkontrol dimana untuk menghibur diri, maka dengan akan menimbulkan berbagai macam sendirinya dia dapat disebut sebagai ancaman, baik terhadap lingkungan alam, wisatawan. dan budaya lokal (Nugroho, 1997). Menyoal tentang pariwisata, bukan Selain itu, wisata budaya dikatakan sebagai yang tertua dari fenomena melulu pada hal yang membuatnya gemilang dan dikenal. Dekat dengan itu, pariwisata, orang-orang telah bepergian antropologi sebagai bagian dari karena alasan pariwisata budaya sejak pengembangan pariwisata, lebih melihat zaman Romawi. Mengunjungi situs sektor pariwisata menggunakan kacamata bersejarah, budaya, menghadiri acara-acara kultural. Indikator utama melihat secara khusus dan festival telah menjadi bagian kultural adalah dengan mempelajari hasil dari pengalaman pariwisata (Kastamu, tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, 2015). Belakangan wisata budaya kajian ilmu antropologi mencoba untuk berkembang dengan berbagai jenis dimulai memberikan pemetaan, sejauh mana sektor dari wisata budaya, wisata religi sampai pariwisata dapat memberikan keuntungan, pada wisata kemiskinan yang terjadi di Jakarta (Rahayu, 2017). atau malah menampakkan kerugian bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Tentu Tidak terelakkan pula dengan wisata dengan mempertimbangkan kebijakan yang spiritual yang terjadi pada komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep, dalam penelitian membalutnya (Bolaane & Kanduza, 2008). Dengan diberikannya otoritas lapangan yang saya lakukan, ada beberapa pengelolaan dana kepada daerah, terlebih wisatawan yang berkunjung untuk melihat pada otonomi pedesaan. Maka daerah dan menikmati nuansa magis yang didorong untuk berperan lebih aktif dalam ditawarkan oleh komunitas ini. Biasanya, melihat sisi kultural pada konteks kunjungan ini akan ramai pada saat upacara memajukan sektor pariwisata. Dengan mappalili (awal turun sawah) sedang harapan pengembangan pariwisata yang dilakukan, tepatnya di bulan November. berbasis kearifan lokal, mampu hadir dan Berkembangnya komunitas ini sebagai memberikan kemajuan bagi daerah tersebut. sebuah objek wisata tidak terlepas dari para Menurut Sidney dalam Djafar (2015) peneliti yang membuatnya terkenal, banyak formulasi kebijakan terdapat proses dari karya-karya mereka yang mendunia identifikasi sebagai pendekatan yang dan diperbincangkan berbagai disiplin ilmu. bertujuan menyelesaikan masalah sekaligus Tentu menjadi menarik mengupas dan

2

Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi menelaah komunitas ini dari latar belakang lakukan adalah sebuah kejahatan yang tidak keilmuan yang berbeda. Saking banyaknya boleh dibenarkan. penelitian yang didapatkan mengenai komunitas ini, tak bisa dipungkiri beberapa METODE dari mereka, menkaji dengan skop dan Beberapa metodologi penelitian yang sudut pandang yang sama. ada dalam dunia akademik, selalu menitik Tentu dengan berbagai alasan. beratkan pada bagaimana proses atau Pertama, penelitian mengenai komunitas ini langkah-langkah apa saja yang digunakan tidak memiliki regulasi yang jelas mengenai untuk mendapatkan data. Termasuk dalam topik yang akan diangkat. Hal ini metode penelitian antropologi, ingin diperparah saat saya melakuakn studi melihat kelakuan atau kreativitas peneliti pustaka dengan menyambangi dinas untuk mendapatkan data saat di lapangan Perpustakaan dan Arsip Daerah di yang multi metode (Hidayah, 2012), dengan Kabupaten Pangkep, tidak satupun tulisan asumsi segala sesuatu yang didaptkan (skripsi, tesis, disertasi, dan buku) yang adalah data, karenanya data bersifat seperti saya temukan membahas mengenai Bissu. air yang terus mengalir. Olehnya itu, tugas Opsi untuk berkunjug ke Perpustakaan peneliti adalah memberikan pemetaan pada Daerah bagi para peneliti adalah sebuah realita, fakta, dan data sebagai upaya untuk kemirisan, dan hal yang sia-sia. memfokuskan hasil penelitian. Kedua, literatur peneliti luar yang telah Penelitian ini dilakukan di Kecamatan membahas mengenai Bissu sulit dan Segeri yang berada di Kabupaten Pangkep. langkah didapatkan, tentu ini menjadi Penanda utama saat memasuki Kecamatan sebuah kekosongan literatur untuk melihat Segeri, selain hamparan empang yang bagaimana narasi etik (pandangan peneliti berseblahan dengan jalan poros Makassar luar) menerjemahkan Bissu dalam ke Barru, juga terdapat banyak kios-kios pemahaman mereka sendiri. Ketiga, yang menjajakan Jeruk Bali, berbagai kebanyakan narasi hasil penelitian dalam macam jeruk dengan istilah lokal negeri terlalu membawanya ke hal yang disediakan. Salah satunya jeruk jenis tidak dimengerti oleh akal sehat dan bencong, selain itu jika dari arah berkutat pada itu-itu saja. berlawanan akan banyak ditemui kios Keempat, banyaknya peneliti luar yang jajanan dange yang terbuat dari ketan hitam ingin mengetahui komunitas ini dalam yang dibakar diatas tungku tanah. ranah akademik/ilmiah, menjadikan peneliti Penelitian ini dilakukan saat diadakan dalam negeri seperti artis yang selalu dicari- upacara mappalili (awal turun sawah), cari. Padahal apa yang peneliti dalam negeri upacara ini dilaksanakan saat bulan ketahui sudah tidak kontekstual dan usang November sebagai penanda bagi petani untuk diceritakan kembali. Hal ini untuk mulai menggarap sawahnya. Data diperparah karena peneliti dalam yang ditampilkan dalam penelitian ini memahami Bissu masih diwarnai dengan adalah hasil wawancara langsung dengan mitos budaya yang mereka yakini. informan, seperti Bissu, dewan adat, tokoh Dari empat alasan yang saya paparkan pemerintahan, dalam tulisan ini saya juga diatas, para peneliti Bissu secara tidak sadar menampilkan catatan lapangan yang membuka ruang dan menumbuhkan benih merupakan refleksi dari sebuah peristiwa komodifikasi bagi komunitas yang sifatnya yang saya alami. sakral dan tertutup. Hal ini diperparah Untuk manuai hasil pemetaan data dengan kelakuan berengsek peneliti dalam yang baik, maka dalam penelitian ini, saya negeri yang ikut-ikutan melakonkan Bissu menggunakan rujukan dari Spradley dalam pagelaran tertentu, alih-alih untuk tentang bagaimana metode etnografi menyelamatkan tradisi, apa yang mereka digunakan dalam suatu penelitian masyarakat. Bagi Spradley (1997),

3

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 etnografi merupakan pekerjaan Munculnya istilah pariwisata spiritual mendeskripsikan suatu kebudayaan, atau wisata spiritual tidak bisa terlepas konsekuensi penelitian ini dimulai dari awal dengan adanya Gerakan Zaman Baru atau November hingga akhir, adapun teknik The New Age Movement. Padahal antara pengumpulan data melingkupi pengamatan pariwisata dan spiritual merupakan dua hal partisipasi, wawancara langsung dan yang berseberangan, oleh Rogers (2002) mendalam. disebut sebagai “secular and spirituality”. Untuk menuai hasil yang memuaskan, The New Age adalah potret zaman yang maka digunakan pula teknik analisi data. memadukan rasionalisme Barat dengan Data yang didapatkan, akan dikumpulkan mistikspiritual Timur. Ciri utama dari dan digunungkan untuk dapat melihat zaman ini adalah penolakan terhadap agama gambaran secarah utuh dan mnyeluruh, formal, karena dipandang cenderung seperti menghubungkan tema-tema kultural, mengekang kebebasan individu (Sutama, analisis domanin, data ini berupa gambaran 2013). awal mengenai objek yang diteliti, dan Esensi batas spiritual yang ditawarkan melakukan analisi maju bertahap, atau biasa dalam wisata ini, menembus kesejukan disebut analisis taksonomi (Spradley, batas-batas agama, dalam pesan yang ingin 1997). disampaikan bahwa semua agama dilihat sama, hanya percaya pada realitas dari PEMBAHASAN Tuhan. Jadinya, wisata spiritual yang dilakukan menembus agama dominan atau Bissu, Awal Pariwisata Spiritual Pada bulan Desember 1976, biasa juga wisata model ini disebut wisata lintas agama (Sukidi, 2001). Namun, untuk UNESCO dan Word Bank mensponsori pertemuan pertama tentang dampak sosial- menarik dan melihat konteksnya pada budaya dari pariwisata, dalam forum itu komunitas Bissu, hanya dilakukan pada menghasilkan seperangkat rekomendasi waktu menggelar upacara adat saja (lihat kebijakan tentang masalah yang Gambar 1). ditimbulkan. Salah satu bagian dari rekomendasi ini berfokus pada bagaimana budaya lokal harus disajikan kepada wisatawan dan bagaimana wisatawan dapat dilatih untuk lebih sopan memperlakukan budaya lokal (Wood, 1980). Turunan dari itu, Indonesia baru merespon dampak pariwisata bagi kebudayaan dengan menerbitkan Undang- undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 tahun 2017. Jadi ada sekitar 41 tahun Gambar 1. Seorang Bissu sedang berjalan kebudayaan Indonesia mengalami masa ke tempat upacara, tepat di depan yang tidak menentu, orang-orang berbicara wisatawan asing dan lokal. (Dokumentasi mengenai kebudayaan tanpa sebuah Pribadi, 2018). pegangan atau dasar konstitusi yang jelas, tentang bagaimana memperlakukan nilai budaya, baik dalam perspektif lokal, Olehnya itu, saat upacara yang maupun dalam perspektif global. Walaupun dilakukan Bissu sedang berlangsung, maka telah ada undang-undang mengenai akan mengundang banyak wisatawan untuk pariwisata, namun itu tidak ditopang oleh berkunjung. Seperti apa yang diungkapkan hal yang sifatnya dari dalam, yakni dari oleh ’ Nani sehari sebelum upacara kebudayaan itu sendiri. berlangsung, dengan nada yang sungguh

4

Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi dan penuh keyakinan dirinya Dilain kesempatan, saya juga mengungkapkan seperti ini. melakukan wawancara secara tidak Naulle baja engka pole taunna langsung dengan para pemuda Desa Segeri, pariwisata, jaji u suromanenggi tauwe yang waktu itu ikut membatu persiapkan mappasadia yekko engkai pole. Apa acara yang akan dilaksanakan besok. makanja diita ko enga to pole na Mereka membenarkan apa yang dikatakan degaga persiapatta digauranggi. oleh Puang Making tadi, karenanya mereka bergotong royong melakukan persiapan.

Wisata spiritual yang dilakukan oleh Artinya: banyak tamu yang datang umumnya telah Besok akan datang orang-orang dari banyak dilakukan di daerah lain, seperti di Dinas Pariwisata berkunjung, jadi saya Bali, India, Cina dan Tibet (lihat Sutama memberitahukan mereka yang bergelut 2013). Umumnya wisatawan jenis ini didapur untuk mempersiapkan hal yang memiliki dua fktor yang berbeda pertama, dibutuhkan ketika mereka datang. keinginan meninggalkan tempat dimana Karena tidak elok jika tamu tidak wisatawan biasa tinggal untuk menuju ke dilayani dengan baik (Bissu Nani, suatu tempat yang asing baginya. November 2018). Sedangkan motif kedua adalah, keinginan berkunjung ke suatu tempat yang memiliki

fasilitas atau hal-hal tertentu yang tidak Ini menandakan jika kedatangan dimiliki oleh tempat atau daerah dimana ia mereka telah dinantikan setiap tahunnya, biasa tinggal (Sutama, 2013). karena itu Puang Matoa Nani (Ketua Bissu Artinya, wisatawan berkunjung Segeri) meminta agar melakukan persiapan. meninggalkan rutinitas kesehariannya untuk Selain itu, saat saya didatangi oleh salah menemukan suatu hal yang baru, satu tokoh masyarakat dan juga dewan adat sebelumnya hal baru ini tidak ditemukan di Segeri, Puang Making sapaan akrab ditempat asal mereka. Namun ada yang warga untuknya, Puang Matoa menguatkan berbeda ketika saya bertanya kepada salah asumsi yang saya bangun sebelum satu wisatawan lokal yang ikut melakukan turun lapangan. menyaksikan pagelaran Bissu, dia satu dari Dirinya mengakui kalau kegiatan yang rombongan tour yang dilaksanakan oleh dilaksanakan tiap tahunnya ini mengundang sbuah agen perjalanan dan menyambangi banyak wisatawan dari mancanegara, tiga kota. Baginya, ini memang sudah wisatawan lokal tentu dengan tujuan yang dijadwalkan dan memang salah satu berbeda-beda, mulai dari hanya sekedar destinasinya adalah melihat pagelaran menyaksikan pegelaran mereka, pembuatan Bissu. film pendek sampai mendatangkan para Sebenarnya kesini bukan pilihan ta’, peneliti; cuma kami ikut dari prodi, tapi salah Besok itu, sudah banyak tamu yang satu kunjungannya memang ke sini. datang, biasanya orang pariwisata Baru ka’ juga tahu, kalau ini yang datang, juga bawa rombongan. dibilang Bissu (Firah, salah satu Termasuk juga anak muda dari IPPM rombangan wisatawan lokal, (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa) November 2018). Pangkep terlibat di sini, tahun lalu itu penuh di sini, sampai bermalam, juga Dengan pengakuan ini, tentu bukan bangun tenda, pokoknya ramai ada Pak dorongan dari dalam diri untuk untuk Desa, Camat, mungkin juga besok mengetahui Bissu. Hanya saja, agen travel datang Pak Bupati. yang tentu diuntungkan dari kasus ini. Dalam benak saya sebagai refleksi dari kejadian di lapangan, menganggap yang

5

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 akan datang menyaksiakan adalah mereka tadi, lambat laun hilang dengan sendirinya yang berkecimpung langsung dalam dunia dan menjadi profan. pariwisata, atau sekedar petinggi dari Dinas Karena Bissu sebagai subjek akan Pariwisata daerah maupun Provonsi. sebuah agama masyarakat Bugis, tentu juga Namun apa yang saya temui berbeda mengalami proses disembedded, proses dengan asumsi yang saya bangun, sebab penggeseran dari agama sebagai suatu yang yang datang adalah rombongan mahasiswa hidup dalam komunitas keagamaan yang salah satu perguruan tinggi, yang tertanam dalam sejarah dan sosiologi dikoordinir oleh agen perjalanan. masyarakat tercabut dari sistem refrensinya. Agama tidak lagi mengakar dalam Bissu dan Benih Komodifikasi kehidupan komunitas sebagai jawaban atas Program pariwisata mendesak mereka persoalan komunitas yang menyerah untuk merubah kesakralan upacara yang (Abdullah, 2017). dilakukan, menjadi sebuah komoditas Dekat dengan itu, komodifikasi budaya tontonan untuk dijual. Komunitas Bissu merupakan transaksi jual beli benda budaya yang makin berkurang ini berada dalam melalui proses industri yang lahir seiring ambang antara ada dan tiada, dikatakan ada dengan era globalisasi, sedangkan industri karena komunitasnya masih dihendaki dan pariwisata adalah anak kandung globalisasi terutama dengan hal sifatnya ritual. yang memproduksi benda budaya untuk Dikatakan tidak ada, karena masyarakat diperjual belikan demi keuntungan secara yang semula menopang keberadaannya finansial (Irianto, 2016). Seperti dengan kemudian meninggalkannya karena kasus yang saya paparkan diatas tadi, selalu ada saja pihak yang terus diuntung dan berbagai sebab (Lathief, 2004). Membincangkan tentang pariwisata, dibuntungkan. tentu akan dekat dengan berbagai objek. Dengan berubahnya konsepsi kesenian Ditulisan ini pariwisata dekat dengan atau pagelaran yang dilakukan Bissu, dari kebijakan, seni dan kebudayaan, dari semua yang sifatnya semata untuk mendepatkan itu, untuk melihatnya terus berkelanjutan, berkat sebagai rasa kesyukuran dari dewa. maka pelestarian dengan cara apapun pasti Perubahan makna ini ditandai dengan akan dialakukan, seperti pariwisata yang bayaran yang diminta atau bahkan yang penuh dengan komodifikasi. Tentu ini juga diterima oleh oknum tertentu untuk meraup tidak terlepas dari bagaimana komunitas untung dari pagelaran Bissu. Tentu ini Bissu dikomodifikasi secara legal dan memberikan pemaknaan yang berbeda dari pagelaran untuk memintah rahmat dan hampir tidak mendapat celah. Perlu ditekankan dalam poin ini adalah, berkah, berubah menjadi pagelaran yang bagaimana komunitas Bissu tidak lebihnya dipertontonkan dan mendapat sejumlah imbalan. hanya sebuah objek komodifikasi. Tanpa ada hal yang mampu menjadikannya sebuh Saat di lapangan, saya juga mendapati kesepakatan akan nilai yang dijunjung banyak keluh kesah dari pemerhati Bissu, bersama. pemerhati ini memiliki WAG (WhatsApp Adanya pemasaran produk pariwisata Group) sendiri. Didalam grup itu terdiri di Segeri, dengan cara mengemas pegelaran dari peneliti dan budayawan. Saya tradisional dilakukan oleh Bissu yang mempelajari pola komunikasi yang ada di bernilai religius, menjadi seni pariwisata grup itu, hingga akhirnya saya dapat yang bernilai komersial, dan dapat menarik benang merah. Bahwa mereka dipertontonkan secara bebas kepada para sangat menentang suatu yang sifatnya wisatawan. Sama dengan tari tradisional komodifikasi bagi komunitas Bissu ini. Barong yang ada di Bali, lihat (Dewi, Namun mereka diperhadapkan oleh dua hal, 2016). Jadinya, hal yang sifatnya sakral merawat budaya yang tidak lagi murni atau malah memperparah dengan membiarkan

6

Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi begitu saja, tanpa komodifikasi. Hal ini membayar sejumlah mahar saat ingin juga didukung oleh tulisan Makkulawu, mengikuti upacara mappalili, tentu hal dirinya menuliskan seperti ini: itu kami tidak gubris, membiarkannya Sekarang mereka juga sudah tampil berlalu dan tetap mengikuti ritual untuk suguhan para wisatawan yang (Catatan Lapangan, 2018). membutuhkannya, bahkan dapat Dengan begitu, adanya salah satu memenuhi undangan untuk mengadakan oknum yang ingin meraup keuntungan dari pertunjukan di luar Sulawesi Selatan. peristiwa seperti ini, memperparah jalannya Jadi, tidak heran kalau sudah ada dosen plekasanaan upacara mappalili. Tentu juga seni atau perguruan tinggi dianggap sebagai komoditi semata, bukan memberanikan diri diangkat menjadi sesuatu yang benar-benar menampakkan Bissu, bahkan sudah ada yang hebat lagi corak spiritualitasnya. mengangkat Puang Matoa sendiri untuk Dari kacamata Antropologi, pariwisata kepentingan grupnya (W. Makkulau, selalu dilihat dari sisi emik, artinya 2008). pariwisata menjadi sebuah narasi bersama Paparan yang dituliskan Makkulau ini yang tidak hanya dilihat dari segi ekonomi, rasanya sangatlah pedas, dan memang ini sosial dan lainnya, tetapi pariwisata selalu sudah terjadi, sehingga apa yang saya dilihat bagaimana penerimaan masyarakat narasikan sebagai sebuah komodifikasi dari terhadap wisatawan asing yang datang. para peneliti terjadi beberapa tahun sebelum Dalam konteks Kecamatan Segeri, bukan saya melakukan turun lapangan. Sacara hanya Bissu yang mendapat focus kajian, tidak sadar, para peneliti sebelumnya namun respon kultural masayarakat menjadi mewariskan konflik bagi para peneliti kajian utamanya. pemula seperti saya. Belum lagi jika saya Temuan saya kali ini, masyarakat Segeri hanya dipertemukan oleh Bissu dari belum mampu menjaga citra Bissu sebagai golongan mereka saja, padaahal sejatinya, orang suci. Lathief dalam penjabarannya data yang saya perlukan, tidak ada pada mengenai kelasifikasi Bissu, menuliskan Bissu golongannya itu. kalau mereka (Bissu) dari golongan Dalam melihat perkembangan paccalabai di kalangan remaja Segeri, komunitas ini dari segi pariwisata, saya dikenal dengan maju kena—mundur kena, juga menemukan kejanggalan yang saya yang maksudnya adalah calabai yang bisa tuliskan dalam catatan harian saat berada di berhubungan dengan pria dan wanita. lapangan. Lanjutnya, calabai tipe ini disebut pula pisau silet, yang maknanya dapat mengiris Selain permasalahan dalam internal dua sisi secara bolak-balik (Lathief, 2004). Bissu maupun dari kalangan peneliti, Selain tidak mampu menjaga citra suci permasalahan juga saya temukan dari yang dimiliki Bissu, kaulah muda yang ada dalam masyarakat Segeri sendiri. di Segeri dalam pengamatan saya Karena saya menempatkan diri sebagai mengalami yang namanya shock culture, peneliti ketika itu, maka untuk beberapa dari mereka jika melihat menambah data yang saya perlukan, wisatawan asing selalu bertindak over. saya memutuskan untuk bergabung Dengan mengajaknya berfoto atau dalam lingkaran para peneliti dari mengajaknya berbicara dengan dalam maupun luar negeri, yang menggunakan bahasa Inggis yang pas- kebetulan juga ada di Segeri. Saat pasan, dan terkadang mempelesetkannya sebelum upacara mappalili dilakukan dengan bahasa Bugis. ada oknum dari pemerintah setempat yang menemui kami, dalam Beberapa dari wisatawan asing tidak perbincangannya yang memakan waktu terlalu merespon jika mendapati remaja cukup lama, kami dimintai untuk seperti ini. Bahkan jika sudah kelewatan,

7

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 beberapa dari mereka merasa terganggu dan komersial (Irianto, 2016). Kesenian tidak nyaman. Justru sudut pandang ini tradisional yang mengandung sebuah nilai yang tidak dilihat dalam pengembangan dan menjadi ekspresi masyarakat, pariwisata yang ada di Segeri. Belum lagi menciptakan keserasian antara manusia dan jika wisatawan asing tidak begitu suka lingkungan, harus pula menyesuaikan diri diperlalukan begitu, maka biasanya mereka dengan kebutuhan pasar yang akhirnya saling mengumpat dengan menggunakan berada pada tuntutan industri pariwisata. dua dialeg namun arti tetap sama yaitu Bagi para pelaku kesenian, mencelah. menampilkan hasil cipta, rasa, karya, dan Perhatikan Gambar 2. Saat saya karsa dalam sebuah pagelaran adalah menyaksikan awal turunnya arajang untuk sesuatu yang didamba-dambakan. Namun dipindahkan ke rumah baru yang telah itu berbeda bagi para pelaku budaya, dibuatkan oleh pemerintah. Saya melihat melakukan sebuah perfom bukanlah seorang warga lokal yang sedang meminum keharusan buat mereka. Ada atau tidak minuman keras dan seakan adanya perfom mereka harus tetap mempertontonkan bagi siapa saja yang melakukan ritual upacara yang sifatnya datang. Kelakuan seperti ini yang akan sudah diwariskan secara turun-temurun. Ini merusak citra suci Bissu sebagai penjaga merupakan sebuah batas demarkasi antara rumah dan benda-benda sakral yang ada di pelaku seni dan pelaku budaya. Segeri. Saat melihat sisi kehidupan dan konteks yang ada pada komunitas Bissu, mereka dapat dicap sebagai sebuah pelaku budaya. Bagi mereka, ada atau tidak adanya wisatawan, upacara harus tetap berlangsung. Berbeda lagi jika konteksnya saat mereka melakukan tarian maggiri (menusukkkan benda tajam pada tubuhnya), diluar waktu upacara dan di tempat-tempat yang telah direncanakan. Dalam konteks itu, mereka tidak lagi disebut sebagai pelaku budaya, mereka lebih pantas disebut Gambar 2. Seorang warga lokal di kolong sebagai seorang pelaku seni. rumah sedang minum minuman keras saat Dengan melakukan pagelaran diluar hal upacara ritual, dari situlah mereka dapat upacara Bissu sedang berlangsung. melanjutkan kehidupan. Diundang, pentas, Dokumentasi Pribadi (2018). dan mendapat bayaran adalah hal yang sangat diidam-idamkan oleh segelintir Dengan memperlihatkan kelakuan Bissu, apalagi saat pentas itu dilakukan seperti ini, akan menambah sebuah akar diluar daerah dan mengharuskannya untuk permasalahan baru bagi pengembangan membawa persiapan yang lebih. Namun ada pariwisata di Segeri. Karena respon kultural juga Bissu yang tidak ingin ambil pusing tadi yang tidak mampu dilihat sebgaia dengan itu, bagi mereka berprofesi sebagai sebuah nilai adaptasi. indo’ botting lebih menjanjikan ketimbang harus melakukan pelesiran sana-sini. Komodifikasi, Upaya Merajut De’pa na palili tauwe nak dakku u Kehidupan lokka di Sumatra, sibawaka i Juleha, Sejak dicanangkan industri pariwisata pa Wa Nani, alena tosi lokka ko Bali. di Indonesia pada tahun 1986, maka Iyya na Juleha, lokka tosika ko kesenian tradisional merupakan salah satu Sumatra. Pa’ alena (Bissu Wa’ Nani) atraksi yang bertujuan untuk hiburan

8

Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi

de’ naelo terimai yekko mariawa Bissu dan Pagelaran Tari pakoenna. Pagelaran tari merupakan sebuah kerja seni dimana tubuh bekerja atau berekspresi Artinya: diluar gerak keseharian. Unsur pokok seni Sebelum dilaksanakan mappalili nak, tari adalah segala potensi yang ada pada saya berangkat ke Sumatra, saya tubuh manusia. Sejak manusia lahir, potensi bersama Juleha, karena Wa Nani, dia seni yang ada pada tubuh manusia adalah yang berangkat ke Bali. Saya dan gerak dan suara (Sumaryono, 2011). Juleha berangkat ke Sumatra. Karena Olehnya itu, dalam gerak sebuah pagelaran kalau dia (Bissu Wa Nani) tidak ingin merupakan suatu yang kultural dan melekat menerima kalau honornya sedikit dan identik. Pada perdebatan mengenai (gerakan tangannya sambil konsep tubuh dan fikiran, adalah dua hal mengisyaratkan uang) (Bissu Sale’, yang saling mempengaruhi dan masing- November 2018). masing memiliki titik keunggulan, dimana titik keunggulan itu bermain dalam proses Hal ini menandakan jika asumsi merajut keseharian. kehidupan dari pagelaran ke pagelaran Pagelaran yang dilakukan oleh Bissu di membuatnya semakin kuat. (lihat Gambar Sulawesi Selatan, dengan gamblang 3 saat melakukan wawancara dengan Bissu memperlihatkan sebuah kekuatan fikiran Sale’). yang mempengaruhi kekuatan tubuh. Pada praktiknya seorang Bissu akan menacapkan benda tajam ke beberapa bagian tubuhnya, karena adanya kekuatan fikiran mempengaruhi tubuh, maka tubuh merespon dengan kebalnya bagian yang ditancapkan benda tajam tadi. Tari seperti ini biasnya dilakukan Bissu untuk merespon dunia gaib, bentuknya dalam berbagai upacara dan hajat hidup sehari-hari (Lathief, 2004). Gambar 3. Saya sedang melakukan Walaupun pandangan ini terkesan wawancara dengan Bissu Sale’ dan sangat fenomenlogis, namun pandangan menceritakan dirinya telah melakukan tersebut dilihat sebagai indikator mengenai perfom di Sumatra. (Dokumentasi Pribadi, penting dan mendasarnya kejadian, 2018). perwujudan dan gejala sehingga patut Sementara itu, yang menjadi hal unik dilihat dari pelbagai segi. Sejalan dengan dari hasil pengamatan saya juga, ketika para itu, tubuh dianggap sebagai media ungkap Bissu melakukan perfom dalam rangkaian yang dapat dieksplorasi hingga batas yang upacara. justru tidak mendapat keuntungan paling jauh (Simatupang, 2013). Sehingga dari upacara itu, mereka betul-betul dengan alasan itu, komodifikasi atas tubuh, melakukannya tanpa imbalan sepeserpun. peran dan pagelarannya kian kompleks Artinya, ketika para Bissu didatangi untuk terjadi. sebuah perfom dalam konteks Segeri, Bissu sejatinya merupakan pendeta mereka melakukannya sebagai sebuah yang dapat menghubungkan manusia pengabdian. Justru membuatnya dengan dewa pencipta, semakin hari tereksploitasi adalah para agen perjalanan semakin tereksploitasi. Sehingga yang entah bekerjasama dengan siapa, dan penghargaan atas dirinya semakin terlihat mendapat akses untuk menyaksikan samar, inilah yang ditawarkan dalam pagelaran itu tanpa membayar pajak sah. masyarakat urban, mengakar pada sistem produksi, salah satunya pagelaran itu yang

9

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 terus berubah. Tentu dibalut indah dengan mengembalikan posisinya, kepada ranah keuntungan pariwisata yang kian hari kian yang sakral. menjanjikan. Sampailah pada wacana apropriasi Bissu; Sebuah Komoditas Budaya seni, sehingga tari tidak muncul sebagai hal Dalam tulisan ini saya mewacanakan turun-temurun, melainkan muncul dengan pernyataan Geertz, yang mengisyaratkan sesuatu yang terus mengalami kebaharuan. bahwa seni merupakan perkara yang sulit Olehnya itu, pagelaran (tari) maggiri (lihat dimengerti jikalau hanya melihat dari Gambar 4) yang dilakukan oleh Bissu permukaan. Seni membutuhkan sebuah adalah suatu yang terus berubah. Karena tindakan untuk mengenalnya (Raditya, sifatnya yang terus berubah, hingga tari 2014). Maka dari itu untuk sebuah laku istimewa dilakukan oleh orang dan di pagelaran Bissu, adalah sebuah perpaduan tempat tertentu, dapat dilakuan oleh orang pada tatanan sosial, ekonomi bahkan yang biasa saja. relevansi politik. Dimana perpaduan itu Selain itu, konteks tari biasanya untuk hanya dipandang sebagai suatu produk sesuatu yang sakral, kini menjadi suatu untuk melanggengkan komoditas. yang dapat dinikmati khal layak umum. Pergeseran makna dari pagelaran yang Dinikmatinya tari secara umum, maka sifatnya sakral, natural, dan kultural kian dengan begitu eksploitasi dan komodifikasi hari dianggap sebagai objek dari tontonan bekerja. Dari kelakuan itu nantinya akan semata. Hadirnya industri pariwisata membuat mereka semakin bebas dari nilai menampakkan implikasi yang luas, yang sebelumnya telah mengikat. dikarena termasuk pada pergeseran sakral ke sangat memungkinkan paradigma post— tontonan, ini merupakan sebuah kajian modernisme akan menjadi semakin jelas budaya populer, dengan asumsi bahwa sosoknya dan semakin kuat pengaruhnya budaya konfensional ketika sudah menjadi terhadap wacana kesenian dalam hal yang dikomersialkan maka saat itu antropologi budaya (Ahimsa-Putra, 2000). dapat diakatakan budaya populer. Penanda lainnya adalah jika dahulu pagelaran Bissu diadakan karena bersifat ekologis, maka sekarang pagelaran itu bergeser dengan objek industri. Industri dimaksudkan adalah pariwisata. Dalam tulisan ini bukan ingin menyudutkan industri pariwisata, karena disisi lain, dalam sudut pandang pariwisata. Kebudayaan tidaklah berubah, nilai dalam kebudayaanpun juga tidak berubah. Tapi Gambar 4. Beberapa Bissu tengah yang menjadi titik tekannya bahwa nilai itu mempersiapkan diri untuk menari magis mengalami sebuah proses transformasi maggiri. (Dokumentasi Pribadi, 2018). bukan perubahan. Maka dengan asumsi

seperti ini, industri pariwisata tetap dengan Ketika pariwisata semakin massif angkuhnya berjalan langgeng ditengah dilakukan atas mereka, lambat laun akan terpaan identitas yang mulai tidak karuan. menghilangkan sisi sakral, dan Komodiifikasi yang dimaksudkan mengedepankan sisi profan. Inilah yang merupakan segala bentuk gerak tubuh dari dibungkus oleh industri pariwisata dan seorang Bissu. Bagaimana tidak, pesatnya hampir tidak mampu dipandang dari sisi permintaan akan pagelaran yang emik, memasuki abad 21 saat era post— dipentaskan oleh mereka, tidak sejalan modernisme tidak dapat dielakkan. Saat itu dengan apa yang ia dapatkan. Hal ini pula, peneliti harus kembali diperparah oleh hadirnya pemerintah yang

10

Wisata Spiritual: Menuai Benih Komodifikasi .....Feby Triadi dengan getol mendorong terjadinya kebudayaan. Karena pariwisata kajiannya pemajuan kebudayaan, padahal jika ditelaah adalah prilaku manusai, olehnya itu, sisi lebih kritis, pemajuan kebudayaan hanyalah Antropologis tidak bisa dilepaskan begitu kedok bagi peningkatan sektor pariwisata saja. Dekat dengan itu, Antropologi tidak (lihat Gambar 5). melihat pariwisata sebagai sebuah kelakuan manusia untuk memajukan kesejahtraan dengan penguatan ekonomi. Melainkan Antropologi hadir untuk memberikan kritik terhadap pariwisata, melihat lebih jeli tentang warga sekitar merespon wisatawan yang datang. Seperti halnya dalam melihat komunitas Bissu yang ada di Sulawesi Selatan. Tidak dapat dilepaskan dari unsur komodifikasi nilai budaya untuk keperluan ekonomi. Karena kelakuan pariwisata Gambar 5. Setelah menari maggiri Bissu memang memiliki sisi yang kejam. Tapi berfoto dengan dewan adat, tokoh dapat menjadi sebuah nilai tambah ketika pemerintahan dan warga yang turut melihat sisi yang menjadi komodifikasi menyaksikan. (Dokumentasi Pribadi, 2019). akan terus ada dan selalu mengalami pembaharuan. Sehingga dengan ini, segala bentuk Peristiwa yang terjadi dalam konteks komodifikasi akan nilai dan pelaku budaya, Segeri, Kabupaten Pangkep di atas, tidak selalu menjadi objek. Mereka yang dapat juga dilepaskan oleh kelakuan para bersentuhan langsung dengan sejarah, peneliti. Selain mewariskan beberapa mengetahui seluk-beluk dan nilai tentang konflik ternyata juga peneliti sebelumnya budaya, merupakan awal atau sebuah berperan penting bagi kehidupn mereka kesombongan baru. Namun, membedakan (Bissu), melalui pagelaran yang budaya dan kebudayaan saja masih teramat diperkenalkan lewat hasil penelitian mereka samar, sama ketika pembedaan objek dan yang telah mendunia. Tidak sampai disitu, subjek pada komodifikasi budaya. semua elemen juga memiliki kewajiban Dengan arti, beberapa nilai budaya untuk turun langsung dalam memberikan akan terus mengalami pembaharuan dan edukasi kepada warga lokal, jika memang tentu akan terus ada. Akan tetapi ingin merespon pariwisata dengan baik. keberadaanya terlepas dari nilai suci dan sakral dibanding keberadaannya beberapa DAFTAR PUSTAKA tahun silam. Untuk itu diperlukan strategi Abdullah, Irwan. (2017). Di Bawah yang mampu menciptakan standar mutu Bayang-Bayang Media: Kodifikasi, kesenian tradisional yang menyangkut Divergensi dan Kooptasi Agama di segala aspeknya, diantaranya adalah Era Internet. Sabda , 12, 116-121. konstruksi, koreografi, media dan revitalisasi. Karena sejatinya media Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2000). Wacana merupakan sebuah pesan untuk memaknai Seni Dalam Antropologi Budaya: nilai yang lain (Boudrillard, 2013). Tekstual, Kontekstual dan Post- Modernitis. In H. S. Ahimsa-Putra, PENUTUP Ketika Orang Jawa Nyeni (pp. 399- 427). Yogyakarta: Galang Press. Pariwisata akan menuntun kita berjalan ke mana saja, hingga sampai pada sebuah Bolaane, Meitseo, & Kanduza, Ackson. persimpangan, kita harus memilih. (2008). Critical Factors in Cultural Membaca atau malah dibaca oleh Tourism in Botswana. Botswana

11

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Society , Vol. 39 (Tourism as a Raditya, Micheal HB. (2014). Antara Rasa Sustainable Development Factor), 54- dan Estetika Komodifikasi Nilai 61. Konsumsi Pada Pangan Sebagai Boudrillard, Jean. (2013). Masyarakat Wujud Eksistensi. Kawistara , 4, 111- Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi 224. Wacana. Rahayu, Andina. (2017, Januari 22). Dewi, Angraeni Purnama. (2016). Jakarta Hidden Tour, Wisata di Sudut Komodifikasi Tari Barong di Pulau Kumuh Ibukota. Kemiskinan pun Bali Seni berdasarkan Karakter Laku Dijual di Sana! Retrieved Pariwisata. Panggung , 222-233. Februari Kamis, 2019, from www.hipwee.com: Djafar, Suaib. (2015). Evaluasi Kebijakan https://www.hipwee.com/travel/jakart Pariwisata. Yogyakarta: Ombak. a-hidden-tour-wisata-di-sudut- Hidayah, Sita. (2012). Antropologi Digital kumuh-ibukota-kemiskinan-pun-laku- dan Hiperteks: Sebuah Pembahasan dijual-di-sana Awal. Ranah , 2-10. Simatupang, Lono. (2013). Pagelaran Irianto, Agus Maladi. (2016). Komodifikasi Sebuah Mozaik Penelitian Seni- Budaya di Era Ekonomi Global Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Terhadap Kearifan Loka; Studi Kasus Spradley, James. P. (1997). Metode Eksistensi Industri Pariwisata dan Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kesenian Tradisional di Jawa Tengah. Wacana. Theologia , 27, 213-236. Sukidi. (2001). New Age Wisata Spiritual Kastamu, Matatizo. (2015). Tourism as Lintas Agama. Jakarta: Gramedia Acculturation Process and a Modern Pustaka Utama. Leisure Activity. Tanzania: Faculty of Arts And Social Sciences Sumaryono. (2011). Antropologi Tari Departement of Cultural Dalam Perspektif Indonesia. Anthropology and Tourism. Yogyakarta: Media Kreativa. Lathief, Halilintar. (2004). Bissu Sutama, I Ketut. (2013). Pariwisata Pergulatan dan Perannya di Spiritual di Bali dari Perspektif Masyarakat Bugis. Depok: Desantara. Stakeholders Pariwisata. Jurnal Perhotelan dan Pariwisata , 1-14. Minawati, Rosta. (2013). Komodifikasi: Manipulasi Budaya Dalam (Ajang) Makkulau, Muhammad Farid. (2008). Pariwisata. Ekspresi Seni Jurnal Ilmu Manusia Bissu. Makassar : Pustaka Refleksi. Pengetahuan dan Karya Seni , 15, 117-127. Wood, Robert E. (1980). International Nugroho, Heru. (1997). Garda Terdepan Tourism and Cultural Change in Penjaja "Komoditi Budaya": Southeast Asia. Economic Pemandu Wisata dan Biro Perjalanan Development and Cultural Change , dalam Industri Pariwisata. Jurnal 561-581. Ilmu Sosial dan Politik , 1, 63-72. ______. (1997). Industrialisasi Sektor Pariwisata: Pintu Masuk pembangunan atau Pelembagaan keterbelakangan? Kelola , VI, 28-38.

12

TARI DINGGU EKSPRESI UCAPAN SYUKUR ATAS KEBERHASILAN PANEN PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA TOLAKI DI KOLAKA SULAWESI TENGGARA (THE DINGGU DANCE AN EXPRESSION OF REJOICING OVER SUCCESSFUL HARVEST AMONG THE TOLAKI PEOPLE OF KOLAKA, SOUTHEAST SULAWESI)

Syamsul Bahri Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan e-mail: [email protected]

ABSTRACT The dinggu dance constitutes a dance form practiced by the Tolaki people of Kolaka, in the province of Southeast Sulawesi. Since the adoption of rice as the staple food of the Tolaki, the society took the initiative to create the dinggu dance, featuring movements following the motions of people threshing rice by pounding, pounding a wooden mortar and pestle, as well as involving a winnowing basket woven from bamboo, used for separating out chaff. The aim of this research, from a practical perspective, is to inventorize cultural heritage to preserve a cherished legacy. From an academic perspective, the aim is to further explore the values and meaning carried by the dinggu dance. The research method used is a qualitative approach, prioritizing observation of the movements of the dance, its props, costume, and accessories. Interviews focused on the birth of the dinggu dance and its development, and literature study focused on theory books and a few previous written works of research. The research shows that the current form of the dinggu dance is employed as an art form, that is, a dance that is no longer only performed at rice harvest celebrations. Rather, the dinggu dance is equated with the traditional values of comradery or group unity, aesthetic values, and the expression of joy and gratitude over a harvest. In its development, the dinggu dance has achieved globally recognized status, by guarding its existence, and practicing it on a local, national, and international scale. Keywords: Dance, Dinggu, Tolaki, Harvest

ABSTRAK Tari dinggu merupakan jenis tari yang hadir diprakarsai masyarakat suku bangsa Tolaki di Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak orang Tolaki menjadikan padi sebagai bahan baku makanan pokok, saat itu pula masyarakat berinisiatif menciptakan tari dinggu dengan pola gerakannya mengikuti aktivitas masyarakat saat menumbuk bulir padi menjadi beras dengan menggunakan lesung, dan alu terbuat dari bahan kayu yang digunakan untuk menumbuk, serta nyiru atau tampi dari anyaman bambu sebagai alat membersihkan sekam. Tujuan penelitian, dari sisi praktisnya adalah menginventarisasi karya budaya untuk memperkaya perbendaharaan pustaka. Dari sisi ilmiahnya, adalah sebagai ajang mengenal lebih jauh nilai dan makna yang tertuang dalam tari dinggu. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang mengedepankan pengamatan terhadap gerakan-gerakan pada tari, alat peraga, pakaian, dan aksesoris. Wawancara terkait yang melatari lahirnya tari dinggu. Tari dinggu dalam perkembangannya, serta studi literatur adalah mengarah pada buku teori serta beberapa tulisan hasil penelitian sebelumnya. Temuan penelitian terungkap, bahwa tari dinggu dewasa ini diposisikan sebagai tari kreasi, yaitu tari yang tidak lagi hanya dipentaskan saat menyambut keberhasilan memanen padi, tetapi tari dinggu juga syarat dengan nilai seperti, nilai kebersamaan atau pemersatu dan nilai estetika serta menuai makna kegembiraan dan ucapan syukur. Akan tetapi, tari dinggu dalam perkembangannya, menjadi mendunia karena telah dijaga keberadaannya dan juga telah dipentaskan ditingkat lokal, nasional, dan internasional. Kata Kunci: Tari, Dinggu, Tolaki, Panen

13

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENDAHULUAN selesai.(https”//braily.co.id/tugas/9731220) Kesenian merupakan salah satu unsur . Menurut Tarimana (1989:245), pada kebudayaan yang sifatnya universal. masyarakat Tolaki dikatakan seni sebagai Kesenian pada prinsipnya dapat ditemukan eksperimen keagamaan, seperti ditemukan pada hampir di seluruh kelompok pada beberapa macam seni tari yang masyarakat, baik yang hidupnya berada di dihasilkan, seperti tari pemujaan yang wilayah pedesaan maupun terpencil terlebih disebut tari lariangi dan tari lulo sangia, lagi di wilayah perkotaan yang terbilang serta tari dinggu. kompleks (Koentjaraningrat, 1982:2). Guna menghindari penulisan ganda, Kesenian yang kita ketahui terdiri atas tulisan ini didukung beberapa hasil berbagai jenis atau kategori, yakni seni penelitian terdahulu, yaitu tulisan yang musik, sastra, teater, rupa, patung, dan seni dilakukan oleh Anna Putri (2008), hasil tari. penelitian beliau yang diberi judul “Sejarah Seni tari yang dikenal dengan nama Tari Lariangi di Kabupaten Konawe”, “tari dinggu” yang menjadi objek dalam mengatakan bahwa tari lariangi masuk tulisan ini dimaknai sebagai suatu aksi atau pada masa pemerintahan Mokole Wekoila kegiatan yang dilakoni oleh sekelompok pada abad ke-10 Masehi. Pada awalnya tari orang tertentu. Dalam hal ini, kelompok ini berfungsi sebagai penyembahan kepada orang yang berlatar belakang suku bangsa para dewa (Sangia) dan terkait dengan Tolaki dengan menggunakan gerakan tubuh sistem kepercayaan. Kemudian beralih dengan tertata secara beririma dan fungsi sebagai tari penghibur Raja (Mokole) terstruktur, dilangsungkan di tempat yang dan pejabat kerajaan. Tari ini juga telah dikonstruksi sedemikian rupa dengan mengungkap mengenai peralatan, tampilan penuh hiasan dan di tempat perlengkapan, dan proses tari. tertentu. Adapun sasaran terlaksananya “tari Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh dinggu” ini adalah untuk keperluan Dwi Ruliyana Ningsih (2016), yang diberi pengungkapan perasaan, maksud, dan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pikiran sehingga ketika tarian itu dirangkai Pada Materi Seni Monotambe Melalui menjadi satu kesatuan sehingga dengan Pembelajaran PAIKEM (Pembelajaran sendirinya menghasilkan keindahan bagi Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan setiap para penikmat. Seni tari tidak dapat Menyenangkan) di kelas IV SD Negeri dipisahkan dengan alat musik pengiring, Tuoy Kecamatan Unahaa. Penelitian ini seperti “tari dinggu” yang pementasannya terfokus pada hubungan antara edukasi, diringi, alat-alat seperti gong, gendang, dan kesenian dan teknik menari pada tingkat beragam bumyi-bunyian. Terkait dengan siswa sekolah dasar. Tari mondotambe hal tersebut (Danesi, 2010:86-87) melihat (menjemput atau menyambut tamu) sebagai seni tari dalam lima fungsi, yaitu: (a) sarana salah satu tari suku Tolaki yang komunikasi estetis, (b) komunikasi ritual kesehariannya digunakan untuk penyambutan sekaligus komunal, (c) sebagai rekreasi, atau menjemput tamu. Temuan hasil kebutuhan fisik, dan psikologi, (d) fungsi penelitian dikatakan bahwa siswa sekolah sosial, dan ruang untuk mencari pasangan dasar bisa dengan cara yang mudah dapat hidup di kalangan remaja. mengikuti gerakan dalam tari mondotambe. Menurut Suryo, tari merupakan Secara visual, gerakan dalam tari ini cukup ekspresi subjektif yang diwujudkan dalam mudah untuk dipelajari karena sifatnya, bentuk objektif (Sumaryono, 2011). Tari lambat, dan lembut. Untuk kalangan anak- merupakan sebuah ungkapan pernyataan anak, bisa dengan mudah untuk dan ekspresi dalam gerak yang memuat mempelajarinya dan dijadikan dasar untuk komentar-komentar mengenai realitas tari lainnya. Keaktifan gerak motorik anak kehidupan yang mampu merasuk dibenak bisa dilatih dan terus dikembangkan dengan penikmatnya setelah pertunjukan pelajaran tari seperti tersebut.

14

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Sedangkan hasil penelitan lainnya bisa dilihat melalui gerakan penari ketika dilakukan oleh Abdul Halim (2017). menumbuk lesung dengan menggunakan Penelitian ini difokuskan pada tari lulo, alu secara bersamaan. Varian gerakan yang yaitu sebuah tari yang cukup populer di beragam membuat penonton terkesima kalangan orang yang berlatar belakang suku dengan permainan alu dan lesung secara bangsa Tolaki, dengan mengangkat sebuah apik. Kekompakan petani laki-laki maupun judul, yaitu: “Transformasi Tari Lulo Pada perempuan ketika berada di sawah diiringi Masyarakat Tolaki Di Kabupaten Konawe dengan iringan musik yang menggunakan Sulawesi Tenggara. Penelitian ini melihat peralatan tradisional yang tidak kalah perubahan tari lulo yang menjadi icon Suku autentik dan penuh khas. Tari dinggu yang bangsa Tolaki dari waktu ke waktu. sarat akan makna kerap ditampilkan, baik di Sebelum mengalami transformasi fungsi, tingkat daerah, nasional maupun tari lulo hampir punah terutama ketika internasional. Dari segi gerakan, tari dinggu fungsi tari ini sebagai medium untuk lebih variatif dan sarat akan gambaran pengobatan dan pemujaan. Prihatin dengan kehidupan suku bangsa Tolaki pada zaman kondisi seperti ini maka pemerintah dahulu, khusunya di kalangan kaum petani. berupaya untuk merevitalisasi tari lulo. Tari ini menceritakan kehidupan Beberapa upaya yang dilakukan seperti masyarakat Tolaki yang erat kaitannya ceremonial penyambutan tamu, pesta dengan sistem mata pencaharian zaman pernikahan, festival lomba (Lulo Kreasi), dahulu hingga sekarang, yaitu pertanian. hiburan dan pergaulan khususnya di Tari yang menggambarkan suka cita petani kalangan anak muda. Secara tidak langsung ketika menyambut musim panen tiba dan tari lulo bertransformasi karena adanya bersyukur atas limpahan rezeki yang perubahan sosial budaya global, ekonomi, diberikan oleh mahakuasa. Selain berupa pendidikan, dan teknologi. kesenian, tari ini juga menjadi salah satu Bertolak pada ketiga hasil penelitian media untuk menyatukan kembali perasaan sebelumnya, tulisan ini meliaht sebuah tari rindu akan kampung halaman dan kearifan yang juga diprakarsai orang yang berlatar lokal masyarakat yang penuh belakang suku bangsa Tolaki, tetapi kesederhanaan. mengkhususnya sebuah tari yang disebut “tari dinggu”. Tari dinggu, adalah satu METODE jenis tari tradisional suku bangsa Tolaki, Penelitian ini menggunakan metode khususnya yang bermukim di Kolaka, kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian dahulu merupakan daerah kerajaan yang mengacu pada berbagai cara atau Mekongga. Tari ini menceritakan suka cita strategi dalam rangka penjaringan atau petani ketika menyambut dan melaksanakan pegumpulan data, dengan ciri khasnya panen padi sawah. Tari yang energik dan adalah pengamatan (oberservasi) dan ceria menggambarkan betapa semangatnya wawancara (interview), serta studi pustaka petani memanen padi berkat keberadaan sebagai pelengkap pengungkapan teori dan Dewi Padi atau Dewi Sri (Sanggoleo Mbae) konsep-konsep ilmiah. Sedangkan, yang memberikan keberkahan atas usaha pendekatan yang digunakan adalah etnografi, yang dilakukan serta dipercaya menjaga selain sebagai prosedur kerja, juga tidak kesuburan padi. Tari ini juga bernuansa terlepas dari pendeskripsian aspek-aspek penggambaran rasa syukur masyarakat atas mendasar dari pengalaman, yaitu (1) apa limpahan panen yang diterima. Lewat tari yang manusia perbuat, (2) apa yang ini, kita bisa melihat secara tidak langsung manusia ketahui, dan (3) dan apa-apa saja visual kehidupan petani pada suku bangsa yang manusia gunakan. Oleh karena itu, Tolaki pada zaman dahulu. sasaran deskripsi dimulai dari asal usul tari Tari dinggu memiliki gerakan yang dinggu, proses tari, peralatan dan penuh semangat dan kekompakan. Hal ini perlengkapan tari, makna tari, dan fungsi,

15

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 serta perkembangan tari dari waktu ke tari, persiapan penari sebelum pentas, dan waktu. saat penari pentas. Kesemuanya Kolaka yang saya pilih sebagai lokasi ditunjukkan dengan menampilkan gambar- penelitian dimulai dengan membaca gambar yang diamati. Sedangkan, teknik beberapa buku yang memuat informasi wawancara yang dilakukan adalah peneliti tentang Kolaka, seperti di antaranya tulisan bertatap muka dengan para informan, Rauf Tarima mengenai budaya suku bangsa dimana pengajuan pertanyaan dari peneliti Tolaki, terkait dengan penelitian Syamsul tetap mengacu pada instrumen penelitian Bahri mengenai Aneka Tambang di yang telah dirancang secara tersuktur Pomalaa. Dari bacaan inilah saya sebelumnya. Adapun ajuan pertanyaan yang menemukan beragam kriteria tentang perlu didapat dari para informan berupa: kolaka, seperti: (1) Kolaka merupakan salah sejarah lahirnya tari dinggu di lingkungan satu daerah yang menjadi pusat persebaran masyarakat yang berlatarbelakang suku orang-orang yang berlatarbelakang suku bangsa Tolaki, persoalan yang melatari bangsa Tolaki, (2) Kolaka merupakan lahirnya tari dinggu, makna yang tempat awal lahirnya tari dinggu, (3) terkandung dari setiap pergerakan tari Kolaka merupakan sentra pengembangan dinggu, makna yang terkandung dari setiap tari dinggu hingga kini, dan (4) Kolaka alunan musik pengiring, dalam rangkaian merupakan tempat di mana ditemukan apa tari dinggu dipentaskan, kenapa berdiri bangunan sanggar tari, khususnya penarinya terdiri dari laki-laki dan yang membina tari dinggu yang disebut: perempuan, dan mengapa tari dinggu sanggar seni Sanggoleo:” dimainkan sebanyak 10-12 orang. Terkait Menentukan informan dalam kegiatan studi pustaka, selain menghadirkan buku- penelitian ini dilakukan secara acak, namun buku yang memuat teori dan konsep, juga tetap memperhatikan kriteria-kriteria yang menghadirkan beberapa hasil penelitian dimiliki para informan, artinya yang sebelumnya. bersangkutan terenkulturasi penuh terhadap Analisis data dilakukan melalui alur, objek penelitian. Adapun kelompok orang seperti (a) reduksi data, dimana data yang yang dipilih sebagai informan, adalah telah dikumpulkan melalui pengamatan dan beberapa orang terlibat sebagai penggiat wawancara mendalam disusun dalam dan pelaku seni, dalam hal ini pelatih tari bentuk catatan lapangan lalu diseleksi, “dinggu”, pemilik dan anggota pengurus memfokuskan, menyederhanakan dan sanggar, dalam hal ini Sanggar Sanggoleo, mengabstraksikan data lapangan. (b) sebagai penari tari dinggu, beberapa penyajian data diracik secara teratur dan penggiat budaya, termasuk pihak terintegrasi, kemudian disajikan dalam pemerintah yang membidangi kesenian, bentuk deskripsi, dan (c) penarikan dalam hal ini kepala dan beberapa anggota kesimpulan, dimana data disajikan dan yang tergabung pada Seksi Pertujukkan dilanjutkan dengan memahami maknanya dalam lingkup UPTD (Unit Pelaksana lalu membuat proposisi. Teknis Daerah) Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara. PEMBAHASAN Pengumpulan data terkait dengan Asal Usul Tari Dinggu penelitian ini dilakukan cara observasi Modinggu berasal dari bahasa Tolaki, (pengamatan) dan interview (wawancara), terdiri atas dua kata, yaitu “mo” dan serta studi pustaka. Dalam kegiatan “dinggu”. “Mo” adalah kata depan yang pengamatan, objek-objek yang diamati berarti pelaku dan “dinggu”, berarti sentuh meliputi perlengkapan pendukung atau bersentuhan. Bersentuhan dimaksud pelaksanaan tari dinggu, seperti adalah antara lesung dan alu mengeluarkan kelengkapan pakaian dan segala bentuk bunyi. Bunyi ini merupakan alunan musik aksesorisnya, alat musik sebagai pengiring pengiring dari tari dinggu. Sebelum

16

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri dirancang menjadi tari, orang Tolaki menyebutnya modinggu. Tari dinggu diperkirakan hadir sejak abad ke XIV, merupakan perkembangan dari tari pomorodo yang juga merupakan tari persembahan kepada “dewi padi”. Tari dinggu merupakan tarian rakyat yang dikenal sejak padi dijadikan bahan makanan pokok. Kegiatan menumbuk padi saat itu, merupakan cikal bakal hadirnya tari dinggu Foto 1. 12 orang Penari, dua laki-laki, 10 yang terus dikembangkan sampai sekarang. perempuan, serta peralatan peraga Tari dinggu merupakan tarian yang merepresentasikan luapan kegembiraan dan Pementasan/pertunjukan tari dinggu rasa syukur masyarakat saat panen padi. dimulai dengan menyuarakan musik Perayaan panen padi tidak bersifat formal pengiring yaitu sekelompok penabuh alat ataupun sakral karena merupakan tarian musik. Setelah alat pengiring berbunyi rakyat sehingga sebelum dan sesudah keluarlah dua orang laki-laki yang pelaksanaan tarian tidak terdapat ritual membawa diirama lesung dan alu dengan khusus terlebih unsur magis. cara disandang di bahu masing-masing.

Jarak antara pembawa lesung dengan Gerakan dan Sketsa Tari Dinggu pembawa alu sejauh dua meter. Pada saat Tari dinggu adalah tari yang kental kedua pembawa lesung bergeser, masuklah dengan ketradisionalannya sehingga penari perempuan sebagai penampi dan pementasannya banyak memperagakan penumbuk padi keluar dengan barisan gerakan imitative dan ekspresif. kedua sejajar masing-masing tiga penari Gerakannya menirukan kegiatan aktivitas setiap barisan, berjalan melalui atau menumbuk padi sehari-hari, dan penuh mengitari lesung dan pembawa lesung. dengan nilai simbolik. Ritme dalam tari ini Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada juga sangat dinamis di mana ada waktu gambar berdasarkan posisinya melalui gerakannya sangat cepat, sedang, dan sketsa di bawah ini. gerakan lambat. Oleh karena itu, dinggu dikatakan satu jenis tari yang atraktif dan kaya akan gerakan dan pola lantai. Tari dinggu diperagakan oleh 10-12 orang, terdiri laki-laki dan perempuan. Enam orang perempuan menempati posisi sebagai penampi, sisanya empat orang perempuan sebagai penumbuk padi dan dua laki-laki sebagai pemegang alu. Tugas yang berbeda masing-masing penari menciptakan gerakan yang berbeda pula. Namun, tidak mengurangi keindahan penampilan di atas Foto 2. Penari melakukan pergerakan arena pentas. Tari dinggu terdiri atas masuk area pentas dilengkapi alat peraga beberapa babak, dimulai dari membawa padi, menaruh padi, menumbuk padi, membersihkan padi, dan diakhiri dengan Setiap penari melakukan gerakan gerakan lulo. Untuk melihat kelompok berbeda yang terdiri atas tiga bagian, yaitu penari dimaksud perhatikan gambar berikut. pemegang alu, penumbuk lesung, dan penampi. Untuk posisi penari, perhatikan sketsa berikut:

17

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

dan ke kiri berulang-ulang sampai bunyi alu PNBK PNBK berhenti, seperti dilihat pada gambar berikut. PNBK PNBK LSG

PNPI PNPI

PNPI PNPI

PNPI PNBI

PNBK PNBK Foto 4. Enam orang Penari melakukan pergerakan menumbuk dan menampi Keterangan: - PNBK, penari yang berperan sebagai penumbuk padi Posisi penari dapat dilihat pada sketsa - PNPI, penari yang berperan sebagai berikut: penampi beras - LSG, lesung PN PN PN PN . PI PI PI PI PN PN PN Setiap penampi bila sejajar dengan BK BK BK lesung, nyiru diangkat lalu diayunkan PN PN BK BK seperti sedang memasukkan padi ke dalam L lesung. Para penampi berjalan terus di PN PNS PN muka lesung membentuk satu barisan lalu BK BKG BK duduk di lantai dengan pola sejajar. Dengan bagian sejajar, tiga orang secara vertikal Keterangan: seperti gambar berikut. - PNBK, penari pada posisi penumbuk - PNPI, penari pada posisi penampi - LSG, lesung

Ketika bunyi alu berhenti, dilanjutkan bunyi alat musik pengiring, para penumbuk membantu barisan menghadap lesung dan para penampi berdiri lalu berjalan melalui antara penumbuk padi dan lesung. Sewaktu sejajar dengan lesung untuk ditampi lalu berjalan di belakang para penumbuk dan Foto 3. Penari melakukan peragaan kembali membentuk dua barisan sejajar. mengelilingi lesung dengan Kemudian duduk meletakan nyiru di lantai membawa penampi sambil menunggu bunyi alu kedua.

Penumbuk padi bergabung dengan pembawa lesung, lalu berjalan mengelilingi lesung, lalu berdiri untuk menumbuk dengan sentuhan alu, musik pengiring berhenti, disambut bunyi alu pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Para penampi menggoyangkan nyiru ke depan, ke kanan,

18

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

utama dari tari dinggu.

Foto 5. 12 orang Penari dan 4 pemusik pengiring tari saat penari melakukan pergerakan, laki-laki menumbuk dan perempuan menampi Keterangan: Ketika para penampi membentuk - PNBK, penari pada posisi penumbuk barisan melingkar mengelilingi lesung, lalu - PNPI, penari pada posisi penampi berhenti dan siap untuk menumbuk dengan - LSG, lesung sentuhan alu kembali. Bunyi alu yang kembali terdengar dengan semangat para Kemudian para penari membentuk satu penampi dengan kedua belah tangan barisan sejajar dan saling berpegangan disertai dengan sentakan dan ayunan kaki, tangan, dengan sebutan satu gerakan lulo seperti terlihat berikut. (molulo), merupakan gerakan khas pada tarian suku bangsa Tolaki. Posisi kedua penari laki-laki berada di sisi ujung kiri dan kanan semantara penari perempuan berada di tengah. Lulo dilakukan dengan semangat dan ritme musik yang cukup cepat. Nyiru yang tadi dibawa semua diletakan dan ditumpuk di atas lesung dengan posisi saling silang, seperti pada gambar berikut.

Foto 6. Tujuh orang penari melakukan pergerakan menumbuk dan menampi

Saat alu ditumbukkan ke lesung, penari menampilkan gerakan yang sangat lincah dan cepat, seketika juga musik pengiring sengaja dihentikan agar suara lesung dan alu bisa jelas terdengar oleh penonton. Pada Foto 7. Penari Melakukan Gerakan Lulo sketsa di bawah ini semua penari yang bertugas membawa alu dan lesung Bunyi alat-alat musik pengiring berkumpul pada satu titik, yaitu lesung. terdengar sebagai penyambung bunyi alu. Ada sekitar enam penari yang dengan cepat Para penampi mengambil kembali nyirunya menumbuk lesung secara bergantian. lalu berjalan membentuk barisan lingkaran Mereka melakukannya dengan aktraktif seperti ular atau naga di belakang lesung. namun teratur. Menumbuk lesung sampai Dengan saling memegang pinggang menghasilkan bunyi yang khas sesuai masing-masing penari lain yang ada di dengan jalan cerita dalam tari. Gerakan depannya. Mereka mengelilingi lesung inilah yang merupakan gerakan khas dan dengan gerakan maju mundur dan kepala

19

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 yang sesekali menengok ke kiri dan ke karena menjadi ciri khas dan pembedanya kanan diiringi dengan hentakan kaki yang tari dinggu dengan jenis tari lainnya. Dalam cukup kuat, seperti gambar berikut. membentuk keindahan, lesung dicat dengan perpaduan antara warna gelap dan cerah, seperti hitam, merah kuning dan hijau, dan diberi motif hias. Khusus pada bagian bawah, lesung diberi gambar bermotif sama dengan rok penari perempuan yang diberi rumbai-rumbai. Tipe lesung dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut.

Foto 8. Penari Membentuk Satu Lingkaran Mengelilingi Lesung

Kedua kaki dan genggaman tangan diangkat dan diturunkan sesuai dengan iringan musik. Sementara itu, penampi menuju lesung, para penumbuk berjalan Foto 9. Alat Peraga Lesung dan Tampi pula mengelilingi lesung. Seketika itu juga, dengan Corak Warna-Warni iringan musik berhenti dan semua barisan siap di tempat untuk melaksanakan gerakan 2. Alu selanjutnya. Alu dalam bahasa Tolaki disebut o alu, Bunyi alu yang ketiga terdengar dibuat dari kayu khusus, seperti kayu kembali, para penampi mulai kandolea atau sokibiri (bahasa Tolaki) menggoyangkan nyirunya disertai badan karena diharapkan mengeluarkan bunyi yang sedikit membungkuk. Penumbuk padi khusus. Alu digunakan untuk menumbuk dengan barisan melingkar berjalan di padi di lesung dengan ukuran kurang lebih hadapan lesung. Para penampi berjalan satu meter, juga diberi warna sama seperti melewati lesung, setelah sampai di tempat lesung, yaitu warna hitam, merah, kuning, lesung, kedua pembawa lesung mengambil dan hijau. lesungnya, lalu kembali mengikuti rekannya yang sedang berjalan dengan 3. Tempayan atau Tampi sentuhan alu. Seketika itu juga menandakan Tampi dalam bahasa Tolaki disebut o tari sudah selesai dilakukan, musik duku. Tampi dibuat dari anyaman bambu pengiring masih berbunyi sampai para oleh kaum laki-laki. Dalam tari dinggu, alat penari selesai turun dari panggung atau ini digunakan sebagai properti yang pentas. memberikan gambaran kehidupan petani pada zaman dahulu. Untuk memberikan Peralatan Tari Dinggu kesan, Tampi yang digunakan dalam tari 1) Lesung dinggu diberi hiasan berupa batu permata Lesung dalam bahasa Tolaki disebut o imitasi yang cukup berkilau. Pada bagian nahu, sebuah peralatan yang dibuat dari sisi lingkarannya diberi lilitan sulaman bahan kayu yang tergolong keras dan kuat, benang emas. Sampai sekarang masyarakat seperti halnya dari kayu jenis kalapi, suku Tolaki masih menggunakan alat ini cendana, dan jati. Dahulu, lesung untuk membersihkan beras sebelum difungsikan sebagai tempat atau wadah dimasak, seperti berikut. menumbuk gabah menjadi beras. Alat ini sangat penting dalam pentas tari dinggu

20

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Alat musik ini selain berfungsi sebagai pengiring, juga berfungsi sebagai alat komunikasi pada masyarakat suku bangsa Tolaki pada zaman dahulu. Fungsi gong lainnya adalah sebagai harta, mas kawin, pusaka, lambang status pemilik, perangkat upacara, dan lainnya. Jumlah gong sering kali lebih penting dari nada gong (gong sebagai simbol/ritual). Foto 10. Sebuah Niru/Tampi sebagai

Alat Peraga Tari 2. Gendang

Gendang dalam bahasa orang Tolaki Alat Musik Pengiring Tari disebut kanda-kanda. Gendang merupakan 1. Gong alat musik ritmis yang terbuat dari bahan Gong dalam bahasa orang Tolaki dasar kayu dan kulit sapi, termasuk pada disebut tawa-tawa/karandu. Dua buah gong alat musik yang tahan lama dan awet. Alat yang digunakan mengiringi tari dinggu, ini dimainkan dengan cara ditabu memakai yaitu satu berukuran besar dan satunya telapak tangan. Itulah sebabnya tangan berukuran sedang. Gong dipilih adalah sebagai penentu nada yang menghasilkan yang bisa menghasilkan bunyi yang baik. bunyi keras sampai pelan. Suaranya yang Para pemukul gong harus mengetahui khas membangkitkan semangat para penari dengan pasti kualitas gong yang akan agar lebih lincah dan energik. Begitu juga dimainkan, terutama menyangkut suara. para penonton yang menyaksikannya. Apabila ada pukulan yang dianggap tidak Model gendang dimaksud, seperti berikut. cocok seperti suara sumbang, maka gong akan diganti dengan gong lain. Untuk melihat dua buah gong dimaksud, perhatikan gambar berikut.

Foto 12. Model Gendang Pengiring Tari

3. Ndengu-ndengu Ndengu-ndengu merupakan alat musik yang terdiri atas tiga buah gong kecil, dua Foto 11. Dua Buah Model Gong Pengiring di antaranya berukuran sama. Tiga buah Tari gong kecil ini diletakan secara horizontal ke string setiap bingkai kayu. Setiap gong Gong yang tampak di atas terbuat dari memiliki nada dan bunyi yang berbeda leburan logam (perunggu dengan tembaga) sehingga dapat menghasilkan lantunan dengan permukaan bundar. Gong dapat suara yang berbeda pula. Nada gong ada digantung pada bingkai atau diletakkan yang rendah, datar, dan tinggi. Gong berjajar pada rak, atau bisa ditempatkan biasanya dimainkan dengan irama yang pada permukaan yang lunak seperti tikar. cepat, bersamaan dengan tabuhan gendang. Gong yang memiliki suara rendah, ditabuh Sang pemukul memainkan dengan cara dengan pemukul kayu yang ujungnya memukul alat ini sesuai dengan iringan dibalut dengan karet, katun, atau benang. musik lainnya.

21

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Gong kecil ini terbuat dari leburan memberikan gambaran kehidupan petani logam dan perunggu, juga dilengkapi alat pada beberapa tahun silam yang belum pemukul terbuat dari kayu atau berbentuk banyak mengenal jenis pakaian. Menurut tongkat berlapis. Bagian atas (ujung) Husein (1984/1985:2), pakaian adat adalah pemukul diberi lilitan kain atau benang pakaian yang sudah dipakai secara turun- untuk menghasilkan bunyi keras tapi temurun yang merupakan salah satu lembut sekaligus tidak merusak permukaan identitas dan dapat dibanggakan oleh gong yang terus dipukul. Alat musik ini sebagian besar pendukung kebudayaan juga dipakai pada pagelaran musik tertentu. Pakaian adat dilengkapi dengan tradisional gamelan di Pulau Jawa dan perhiasan dan kelengkapan tradisional instrumen melodi terbuka pada degung lainnya, kesatuan utuh antara busana dan gamelan Sunda yang disebut bonang. perhiasan dan kelengkapannya menunjukan Untuk melihat gong dimaksud perhatikan lengkapnya pakaian adat tersebut. Pakaian gambar berikut. memiliki nilai, etik, estetik, simbolik, religius, status sosial pemakainya sekaligus mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik, dan religius serta dapat dibanggakan oleh pendukung kebudayaan tersebut. Pakaian berfungsi sebagai simbol dalam corak ornamennya, juga melambangkan sejarah kehidupan manusia dan menjadi unsur penting bagi status seseorang. Sedangkan fungsinya sebagai lambang stabilitas dapat kita lihat dalam peranannya dalam perubahan fase-fase Foto 13. Ndengu-ndengu kehidupan manusia. Kostum dalam tari dinggu secara 4. Suling Bambu tidak langsung memberikan gambaran Suling bambu dalam bahasa orang tentang pakaian adat suku bangsa Tolaki, Tolaki disebut, o suli. Suling bambu baik yang dikenakan laki-laki maupun merupakan alat musik tiup, sudah sejak perempuan ketika menanam padi. Kostum lama dimainkan sebagai tanda suka cita yang dikenakan dibuat dengan menarik agar ataupun ratapan kesedihan. Suaranya yang terlihat cantik (mencolok) di depan khas memberikan kesan hidup dan panggung atau ketika pentas. Adapun memberikan gambaran betapa asrinya kostum yang digunakan adalah: kehidupan di persawahan pada zaman dahulu. Suling sangat akrab dengan 1. Kostum Laki-laki kehidupan petani karena sering dimainkan 1.1. Baju di sawah ketika sedang beristirahat. Suling Baju dalam bahasa orang Tolaki yang panjang terbuat dari bambu. Pada disebut o babu. Baju yang digunakan bisa bagian permukaan, diberi lubang yang berlengan pendek atau berlengan panjang. sejajar sehingga menghasilkan bunyi yang Motifnya menyerupai khas Melayu, diberi berbeda. Cara memainkannya adalah ditiup hiasan sulaman benang warna keemasan sambil lubangnya dibuka dan ditutup pada bagian leher (kera) baju, sisi lengan dengan jari jemari tangan. dan pinggir bawah baju. Di bagian tengah terdapat desain motif yang sama dengan Kostum Tari motif pada penari perempuan berwarna Penari tari dinggu menggunakan kuning keemasan. Biasanya baju berwarna kostum tradisional yang sederhana, artinya cerah seperti biru, merah, dan kuning. disesuaikan dengan latar belakang tari yang

22

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

1.2. Celana pertanian, ekonomi yang baik dan Celana dalam bahasa Tolaki disebut kemakmuran. Selain itu ada nilai religi saluaro. Celana yang dipakai dalam tari didalamnya, yaitu osara dengan mematuhi dinggu berukuran sampai betis (saluaro dan memahami ungkapan “nggomuinuke donggoro). Pada bagian bawah diberi osuwi monggake loio” yang berarti sulaman warna kuning keemasan. Warna seseorang tidak akan lagi mengeluarkan celana senada dengan warna baju yang pernyataan (yang kasar) karena mulutnya dikenakan. osuwi dan memakan loio (jahe) yang pedas rasanya. Ungkapan ini bermakna tobat dan 1.3. Ikat kepala berhenti atas perbuatan salah yang Ikat kepala juga merupakan dilakukan dan tidak boleh diulangi kembali. kelengkapan pada pakaian tari. Pada bagian Warna yang digunakan adalah warna cerah kepala diberi tutup (pabele) dan juga ikat seperti merah (yang berarti darah, matahari, kepala yang tinggi bernama bate (batik). raja, api, marah, dan keberanian), biru Motif ikat kepala biasanya senada dengan (yang berarti air, kehidupan yang kekal, sarung yang dikenakan pada celana. keabadian, keseimbangan, keselarasan, keharmonisan, dan laut), kuning (yang 1.4. Caping berarti daging, bulan, permaisuri, tanah, Caping meruapakan sejenis topi. dendam, keuletan, kemuliaan, kejayaan, Pada beberapa kesempatan, ikat kepala kemenangan, dan perempuan) dan hijau biasa diganti dengan topi caping, yaitu topi (yang berarti tumbuh-tumbuhan, tanaman, khas petani yang sengaja dikenakan untuk kesejukan, kesegaran, kesuburan, kemakmuran, memberikan kesan petani yang mendalam. kesejahteraan, senyum, tawa, umur panjang, Caping biasanya dipakai oleh petani laki- dan daratan). laki. 2.2. Rok 1.5. Sarung Rok merupakan merupakan kebutuhan Sarung yang digunakan dililit di untuk pakaian di bagian bawah yang daerah pinggang. Motif sarung beraneka panjangnya samapai pergelangan kaki. Rok ragam tergantung yang diinginkan tetapi ini berwarna cerah dan masih menggunakan masih dalam kategori motif khas suku motif khas suku Tolaki. Pada bagian tengah Tolaki. Misalnya saja kotak-kotak (garis terdapat motif khas yaitu Pati-pati horizontal dan vertikal) yang masih kental pinehiku. Motif ini menyerupai siku lengan hubungannya dengan bentuk kalo yang tangan manusia (ohiku). Motif yang terlihat memiliki sisi segi empat. Selaian itu bisa pada sarung memiliki arti tentang juga motif lain seperti tumbuhan pakis klasifikasi dua bagian dalam tubuh manusia (kepala pakis), dedaunan, ani-ani dan lain- yaitu tubuh kasar/ jasmani (o kanda) dan lain. tubuh halus/ jiwa (penao). Keduanya terdiri atas beberapa unsur yang terkandung 2. Kostum Perempuan didalamnya. Unsur kuat yang terdiri dari 2.1. Baju tulang (o wuku), urat (o uha), rambut (o Baju dalam bahasa Tolaki disbut o wu), dan kuku (o kuku). Sedangkan unsur babu. Baju yang dikenakan adalah lemah terdiri atas darah (o beli), kencing/ berlengan pendek dengan potongan air seni (o eme), otak (o undo), dan daging sepinggang. Pada bagian leher diberi hiasan (o beli). Ukirannya menyerupai gelombang sulaman benang emas dengan sedikit yang berbentuk kerucut seperti gerigi. belahan. Pada bagian kiri dan kanan atas Warna rok berwarna cerah seperti biru, dada diberi hiasan motif menyerupai ani-ani merah, dan kuning. Pada bagian bawah rok (o suwi, alat yang digunakan untuk diberi ornamen rumbai-rumbai yang memotong padi). Motif ini memiliki makna berbentuk persegi panjang dengan ujung

23

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 meruncing dengan warna merah dan 2.6. Riasan kuning. Desain rok sengaja dibuat tidak Riasan atau merupakan kebutuhan terlalu sempit agar lebih mudah untuk mempercantik penampilan penari selain bergerak. memakai kostum tari, mereka juga diberi riasan di bagian wajah. Pada zaman dahulu 2.3. Hiasan kepala menggunakan riasan tradisional seperti Hiasan kepala atau disebut dalam bedak yang dari beras (sadaki), penghitam bahasa Tolaki kalunggalu. Pada bagian alis (o tila), dan pemerah bibir (tirangga). kepala digunakan pengikat pada bagian Seiring dengan berjalannya waktu, para depan yang berwarna merah. Makna dari penari diberi riasan wajah yang umum pengikat kepala ini adalah masyarakat diberikan pada panari modern. Seperti petani pada saat itu siap untuk bekerja dan tambahan bulu mata palsu, pemerah pipi memanen padi secara bersama-sama. Selain (blush on), pembentuk rahang/ tulang pipi itu ada juga penutup kepala berupa lilitan (konturing), pengalas bedak (foundation), kain yang dijepit pada bagian belakang pewarna mata (eye shadow) dan lainnya. dengan sisi ujung yang dibiarkan di kiri dan Riasan wajah semakin banyak untuk kanan. Agar lebih rapi maka rambut sengaja mempertegas riasan khususnya ketika diikat dan dibuat bentuk konde ke atas (o berada di panggung dan dokumentasi. timu). Tidak lupa diberi hiasan logam berbentuk helaian bunga berwarna Makna Tari Dinggu keemasan. Simbol yang didalamnya terkandung makna memiliki terjemahan masing-masing 2.4. Ikat pinggang dan fungsi tersendiri bagi manusia Ikat pinggang atau dalam bahasa orang bersangkutan. Seperti yang dikemukakan Tolaki disebut Sulepe. Ikat pinggang oleh Bachtiar (1982: 16) yaitu (1) simbol- dipasang atau dikenakan pada bagian luar simbol konstruktif yang terbentuk sebagai pakaian. Ikat pinggang berwarna gelap kepercayaan-kepercayaan dan biasanya inti dimaknai hitam, rambut, malam, bayangan, dari agama, (2) simbol-simbol kognitif kesunyian, rahasia, tertutup, noda, dan yang membentuk ilmu pengetahuan, (3) aspek selatan. Ikat pinggang ini makin simbol-simbol penilaian moral yang cantik dengan hiasan motif keemasan di sisi membentuk nilai-nilai (aturan-aturan), dan atas, bagian bawah diberi rumbai-rumbai (4) simbol-simbol ungkapan perasaan berwarna cerah (mirip dengan hiasan pada (ekspresif). Hanya manusia yang dapat rok). melakukan simbolisasi terhadap sesuatu. Penggunaan simbol dalam bentuk budaya, 2.5. Gelang tentunya dilakukan dengan penuh Gelang dalam hahasa Tolaki disebut kesadaran, pemahaman, dan penghayatan kale-kale. Gelang sebagai kebutuhan yang tinggi, serta dianut secara tradisional mempercantik penampilan perempuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. maka dikenakan aksesoris berupa gelang Tari dinggu sebagai salah satu tari suku yang biasanya terbuat dari pecahan kaca, bangsa Tolaki sangat akrab dengan besi, dan kulit kerang-kerangan. Selain itu masyarakat yang notabene bekerja sebagai juga, mereka menggunakan hiasan berupa petani. Pada zaman dahulu, sebelum anting-anting (andi-andi), kalung (eno- mengenal jenis pekerjaan lain, masyarakat eno), gelang pada kaki (o langge), kalung Tolaki sangat menggantungkan kehidupannya pada badan (sambiala), dan juga gelang pada daratan terlebih ketika mengenal sistem yang terbuat dari akar bahar (kalepasi). pengetahuan pertanian. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul tari yang diciptakan untuk membangkitkan semangat masyarakat khususnya di bidang pertanian.

24

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

Tari tersebut dikenal dengan tari Dinggu memulai hidup sejak berada dalan rahim atau Modinggu. ibunya selama tujuh sampai sembilan Dalam tari dinggu terkandung makna bulan, lahir di dunia kemudian disambut yang baik untuk diketahui dan dipahami (mesosambakai),melaksanakan pemotongan oleh manusia. Secara pribadi, tari dinggu rambut pertama (mepokui), melakukan banyak mengajarkan seseorang untuk sunat atau pemotongan pada kulup kelamin menjadi pribadi yang bekerja keras dan (manggilo), menikah/ perkawinan (mepakawi tidak mudah menyerah. Hal ini tersirat atau medulu) dan seterusnya sampai dalam gerakan tari dinggu yang meninggal dunia (mateaha). Suatu gerakan memberikan gambaran betapa semangatnya yang menyimbolkan akan perjalanan kehidupan masyarakat zaman dulu yang kehidupan seseorang di dunia. Perjalalan ulet dalam bekerja. Gerakan penuh yang dimulai dari tangisan dan akan kecekatan dalam menumbuk padi di dalam diakhirii dengan tangisan pula. lesung bermakna untuk mendapatkan Selain bermakna sebagai siklus hidup, sesuatu dibutuhkan kerja keras dan usaha lingkaran yang dibentuk juga merupakan berproses. Tidak ada hasil yang muncul representasi dari kalo. Kalo adalah alat begitu saja tanpa adanya tenaga dan rasa pemersatu pada suku Tolaki. Kalo sebagai capek. cara mengikat yang membelitkan Segi sosial, tari dinggu juga memiliki (mowewei), melingkari (mombali), dan makna bahwa kita sesama manusia harus sebagai pertemuan kegiatan bersama saling tolong-menolong. Tidak ada satu dimana pelaku membentuk lingkaran yang manusia pun yang bisa hidup sendiri tanpa disebut metaboriri (sambil makan bantuan orang lain. Termasuk dalam proses bersama). Begitu pula dalam konsep tari pengerjaan padi menjadi beras. Dalam tari Dinggu yang disebut modinggu yaitu ini digambarkan ada beberapa tahap yang menumbuk padi secara bersama-sama harus dilewati dan dilakukan petani dengan mengelilingi sebuah lesung sambil sebelum bisa mengonsumsi nasi. Sebagai membunyikan lesung dan alu. sumber makanan yang mengandung Kalo sendiri memiliki fungsi yaitu karbohidrat, beras tidak bisa dikonsumsi sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai begitu saja, tetapi butuh tahap pengerjaan kenyataan dalam kehidupan seseorang, yang tidak singkat dan butuh kerjasama. sebagai fokus dan pemersatu unsur-unsur Adanya kekompakan dalam bekerja kebudayaan Tolaki, sebagai pedoman hidup maka satu pekerjaan akan diselesaikan untuk terciptanya ketertiban sosial dan dengan waktu yang lebih singkat. moral dalam kehidupan, dan sebagai Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi pemersatu untuk pertentangan-pertentangan rasa persaudaraan, khususnya ketika musim konseptual dan sosial dalam kebudayaan panen tiba. Mereka akan sangat senang dan dan kehidupan masyarakat suku Tolaki. menikmati setiap waktu ketika musim ini Selain gerakan membentuk lingkaran, tiba. Selain menjadi wadah silahturahmi terdapat juga gerakan membungkuk. juga menjadi ajang untuk pesta rakyat yang Gerakan ini memiliki makna bahwa menghibur. Cukup sederhana, namun manusia akan kembali ke asal, yaitu tanah. sangat berharga bagi mereka yang hidup Manusia yang diciptakan dari genggaman jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang lebih tanah pada akhirnya akan menemui ajalnya ke arah individualisme. dan kembali di kubur di dalam tanah. Ketika tari dinggu berlangsung ada Gerakan ini kembali mengingatkan kita gerakan dimana penari mengelilingi lesung kepada Tuhan dan senantiasa mengingat dan membentuk satu lingkaran. Lingkaran akan dosa serta kesalahan yang telah yang dibentuk bermakna sebagai siklus dilakukan. Begitu pula dengan tanaman/ hidup manusia. Manusia hidup dilahirkan tumbuhan yang mati akan jatuh ke tanah. dan mati dengan kematian. Manusia Di bumi manusia dapat bernafas dengan

25

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 oksigen dan memiliki tempat tinggal. Fungsi Tari Dinggu Manusia harus menghargai dan menyadari Setiap jenis seni yang lahir dan keberadaannya di bumi berkat kekuasaan diciptakan oleh akal budi manusia tentu dari sang pencipta. memiliki fungsi yang terkandung Tidak lupa dalam tari ini terdapat didalamnya. Fungsi tari mencakup secara gerakan penyembahan. Tangan disatukan individu maupun masyarakat setempat dan seakan-akan memberikan hormat. sebagai pelaku (ataupun penikmat). Lahir Tujuan gerakan tersebut adalah sebagai dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari wujud rasa syukur kepada Dewi Padi yang menjadikan seni terus berkembang sudah memberikan panen berlimpah. begitupula dengan fungsinya sendiri. Masyarakat petani pada zaman dahulu, Apabila dikaji maksud dan tujuan dari percaya segala keberuntungan dan suatu tari dan mengaitkannya dengan fungsi keberkahan dari segi pertanian, yakni maka dapat dilihat dari sisi peralatan, pertolongan dari Dewi Padi (Sanggoleo gerakan bahkan tempat pelaksanaan. Tari Mbae, Wulia Mbae, Warakano ombuno o Dinggu adalah tari yang membutuhkan pae). Wujud dari Dewi Padi sendiri kekompakan dan kerja sama. Tari yang dilegendakan berupa sosok ular sawah dan dilakukan secara bersama-sama ini secara burung walet. Dia menjaga sawah dengan tidak langsung berfungsi sebagai ajang memangsa tikus yang menjadi hama dan untuk menciptakan rasa persatuan antara dapat menggagalkan panen petani. satu sama lain. Secara sosial, manusia Keberadaan Dewi Padi sangat diagungkan menjadi makhluk yang saling dan dimuliakan karena dianggap sebagai membutuhkan. Tanpa terkecuali pada tari penguasa alam. ini yang membutuhkan beberapa orang Namun, jika dimaknai pada saat ini untuk bisa memulainya. Dentuman suara gerakan ini telah bergeser menjadi alu dan lesung yang aktraktif, tidak akan ungkapan terima kasih dan syukur kepada bisa bunyi dengan meriah tanpa kerja sama Tuhan Yang Maha Esa karena telah yang baik. Untuk itu, tari ini menjadi salah memberikan keberhasilan dalam panen. satu wujud pemersatunya masyarakat Pergeseran makna ini terjadi dikarenakan khususnya di daerah pedesaan. Bukan saja masyarakat yang sudah mengenal dan ketika musim panen tiba, melainkan juga menganut satu agama yang diyakini seperti dalam aktivitas kegotongroyongan lainnya. Islam dan Kristen yang masuk di dataran Fungsi tari ini juga mempengaruhi jiwa bumi anoa. masyarakat untuk terus saling tolong Jika dilihat dari segi kepercayaan yang menolong. Ketika ada hajatan (pesta) masih mengandung animisme dan seperti pernikahan ataupun upacara dinamisme, masyarakat percaya bahwa kematian, tanpa pamrih mereka akan saling setiap bulir beras memiliki jiwa atau nyawa. membantu dan menolong sebisa mungkin. Setiap bulir itu hidup dan tidak boleh disia- Jika tidak bisa membantu dalam bentuk siakan. Terdapat unsur pemali yang sampai uang, biasanya mereka menggantinya sekarang masih dipercaya yang menyatakan dengan bahan makanan dan tenaga. bahwa “Tidak boleh menyisakan nasi satu Begitupula ketika ada kegiatan membangun bulir pun di atas piring, kalau ada yang rumah dan sarana rumah ibadah, jembatan tersisa maka bulir nasi tersebut akan dan lain-lain yang menunjang menangis”. Oleh sebab itu, seseorang tidak pembangunan daerah. Hal ini juga boleh sesuka hati membuang makanan dipertegas dengan adanya prinsip saling secara sengaja ataupun tidak sengaja karena membantu satu sama lain yang dikenal setiap bulir nasi membutuhkan proses yang dengan istilah samaturu. tidak mudah untuk sampai bisa dikonsumsi. Sesi religi, tari dinggu juga berfungsi Pesan moral yang mengajarkan pada sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang manusia agar lebih menghargai apa yang diterima. Jika pada zaman dahulu telah diterimanya.

26

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri mengungkapkan rasa syukur dan terima dilupakan. Oleh sebab itu, ketika tari kasih kepada Dewi Padi (Dewi Sri) maka Dinggu dimainkan, banyak masyarakat saat ini hal itu sudah berubah dengan yang antusias untuk menyaksikannya. Bagi bersyukur kepada Tuhan. Walaupun telah penonton khususnya generasi muda, tari mengalami pergeseran namun masyarakat Dinggu merupakan tari yang unik karena tetap bersyukur atas nikmat yang diterima menggunakan peralatan pertanian dan dan dilimpahkan. Sehingga tari ini juga bisa berbeda dengan tari Lulo. Tidak semua dikatakan sebagai wujud rasa gembira yang orang dapat menari Dinggu karena terdiri diungkapkan melalui tari. Secara khusus dari beberapa gerakan. Berbeda dengan pada suku Tolaki, Dewi Padi dinamakan Lulo yang mana sebagian besar masyarakat sanggoleo mbae, wurake mbae, wulia sudah bisa mempraktikannya sehingga ini mbae, warako ombuno o pae (masing- menjadi tantangan tersendiri. masing berarti roh padi, nyawa padi, Sebagai warisan budaya daerah, tari halusnya padi, inti persona Dewa Padi). Dinggu juga mulai dilombakan pada ajang- Secara psikologis, masyarakat ajang (event) seni. Ajang seni yang dimulai khususnya yang bersuku Tolaki dan baik dari tingkat kecamatan maupun mempunyai sawah di kampung halaman kabupaten. Bukan saja berunjuk di atas akan kembali mengingat suasana desa. pentas, melainkan tari ini juga digunakan Latar belakang tari yang menceritakan sebagai tari untuk menyambut tamu ketika aktivitas petani di desa ketika musim panen ada kegiatan penting. Dengan adanya tiba secara tidak langsung menciptakan rasa pertunjukan yang dilakukan, diharapkan rindu. Suara lesung dan alu yang khas masyarakat khususnya generasi muda dapat menjadi satu bunyi yang begitu berbekas di mengenal budaya daerahnya sendiri dan benak orang yang mendengarnya. Suara ikut serta melestarikannya. Pelestarian yang terus berbunyi membawa seseorang budaya dilakukan sebagai bentuk untuk kembali mengingat masa lalu bahkan pengenalan dan promosi budaya kepada masa kecilnya di sawah bersama sanak masyarakat umum, bukan hanya kepada keluarga. Tentunya hal ini sangat masyarakat suku Tolaki. mengharukan dan membawa nostalgia Secara moral, tari Dinggu tersirat tersendiri khususnya bagi generasi lalu makna yang berarti bahwa betapa sulitnya yang sekarang sudah menjadi orang tua proses petani dalam menanam padi, bahkan lebih dari itu. merawat hingga memanen. Hal ini menjadi Seni tari juga memiliki fungsi sebagai pelajaran untuk kita agar lebih menghargai hiburan begitu pula tari Dinggu. Bekerja di makanan dan tidak menyia-nyiakannya, sawah ketika musim panen tiba memaksa serta kembali mengingat masih banyak petani untuk melakukan hal yang monoton. orang lain yang sulit untuk mendapatkan Untuk mengurangi rasa jenuh dan cape, sesuap nasi. Hal ini berkaitan dengan sambil bekerja mereka menari dan kebiasaan makan manusia yang suka menikmati bunyi khas dari lesung dan alu. membuang makanan atau menjadikannya Sekadar untuk melepas rasa penat, mereka basi sehingga tidak bisa dimakan kembali. bergerak dan menganyunkan kaki. Dengan Manusia harus lebih bijak ketika hendak melakukan tari, rasa penat yang dirasakan makan dan lebih memperhatikan porsi semakin berkurang dan tidak terasa karena makan agar tidak berlebih-lebihan (rakus). dilakukan dengan hati yang riang. Tetapi pada saat ini, tari ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat suku PENUTUP Tolaki karena bisa dikatakan sudah jarang Tari dinggu merupakan tari tradisional dimainkan dan dilakukan. Keberadaan tari suku bangsa Tolaki yang lahir dan Lulo yang lebih dikenal masyarakat luas dilatarbelakangi aktivitas bertani masyarakat. membuat tari Dinggu perlahan mulai Dengan keterbatasan tenaga dalam

27

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mengerjakan suatu lahan pertanian Kerja Sama FKIP Unhalu dengan membuat mereka harus bekerja sama dalam Pemda Kota Kendari. melakukan segala kegiatan pertanian Husein A. Chalik. Et. Al. 1992/1993. termasuk ketika musim panen tiba. Mereka Pakaian Adat Tradisional Daerah melakukan pekerjaan bersama-sama dengan Sulawesi Tenggara. Kendari: Bagian penuh keuletan sehingga walaupun tanpa Proyek Inventarisasi dan Pembinaan tenaga mesin, tetapi mereka masih dapat Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara. menyelesaikannya dengan baik. Hal ini juga diterapkan sesuai dengan alat pemersatu Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, suku bangsa Tolaki yaitu Kalo. Mereka Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia: diharuskan untuk saling tolong-menolong Jakarta. di segala bidang apapun termasuk bekerja Melamba, Basrin. 2013. Tolaki: Sejarah, di sawah sehingga membentuk jiwa Identitas dan Kebudayaan. Lukita: integritas di antara mereka. Yogyakarta. Tari dinggu dipentaskan, selain dukungan aksesoris berbentuk pakaian Putri, Anna. 2008. Sejarah Tari Lariangi di digunakan para penari, saat pentas penari Kabupaten Konawe. Skripsi. menggunakan alat peraga yanag Universitas Halu Oleo: Kendari. melambangkan lesung (o nohu), alu (o alu) Sadalwati, Arini Wahyu. Unsur-Unsur dan tempayan (o doku), di samping diiringi Pembangun Tari Lariangi Pada lentuman alat musi, seperti gong, gendang, Masyarakat Kaledupa. Tesis. Kajian dan suling. Kesemua peralatan atau properti Budaya. Program Pasca Sarjana tari tersebut menggambarkan semangat dan Universitas Halu Oleo: Kendari. percerminan makna yang ada pada tarian Sumaryono. 2011. Antropologi Tari Dalam tersebut secara utuh. Sebagai tari yang Perspektif Indonesia. BP ISI sudah lama diciptakan, tari ini kaya akan Yogyakarta: Yogyakarta. pesan dan segala sesuatu yang baik. Mulai dari segi individu, sosial, psikologi, tata Su’ud, Muslimin. 2011. Kompilasi Hukum krama sampai kepercayaan (religi). Adat Perkawinan Di Sulawesi Tenggara Semuanya terangkum dalam satu tari (Tolaki, Buton, Muna, Moronene dan dinggu yang disiratkan melalui gerakan, Bugis Makassar). Scotchom: Kendari. kostum, dan tujuan tari. Tamburaka, Rustam. E. 2010. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 45 Tahun DAFTAR PUSTAKA SulawesiTenggara Membangun. Unhalu Bachtiar. 1982. Simbol Dalam Sistem Press: Kendari. Budaya Masyarakat. Pustaka Jaya: Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Jakarta. Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No. 3. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Balai Pustaka. Jakarta. Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Widaryanto, F.X. 2007. Antropologi Tari. Semiotika dan Teori Komunikasi. Sunan Ambu Press STSI Bandung: Jalasutra: Yogyakarta. Bandung. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Sumber Lain: Penelitian Kebudayaan. UGM Press (https://brainly.co.id/tugas/9371220). Badan Penerbit dan Publikasi Diakses pada Kamis, 1 Februari 2018 Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. (09.34 WITA) Hafid, Anwar; Safar, Misran. 2008. Kajian (https://ilmuseni.com/seni- Pengembangan Kebudayaan di Kota pertunjukan/seni-tari/unsur-unsur-seni- Kendari: Kendari: Laporan Penelitian tari). Diakses pada Kamis, 1 Februari

28

Tari Dinggu …. Syamsul Bahri

2018 (09.37 WITA) (https://www.sekolahpendidikan.com/2017/ 06/pengertian-lengkap-tari- tradisional.html). Diakses pada Jumat, 2 Februari 2018 (09.30 WITA) http://protomalayans.blogspot.com/2012/11 /suku-tolaki-sulawesi.html Diakses pada Selasa, 03 April 2018 (09.00 WITA) http://unj- pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/bahas a-tolaki-dan-persebarannya.html. Diakses pada Selasa, 03 April 2018 (09. 14 WITA).

29

LATOA: ANTROPOLOGI POLITIK ORANG BUGIS KARYA MATTULADA “SEBUAH TAFSIR EPISTEMOLOGIS” (LATOA: BUGINESE POLITICAL ANTHROPOLOGY BY MATTULADA „AN INTERPRETATION OF EPISTEMOLOGY)

Slamet Riadi Universitas Gadjah Mada JL. Sosio Humaniora Bulaksumur, Sagan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman. D.I Yogyakarta 55281 Surel: [email protected]

ABSTRACT This research intends to interpret the kind of epistemology contained in the work of Mattulada, Latoa;Suatu Lukisan Antropologi Politik Orang Bugis. The discussion related to epistemology in an ethnographic work, still lacks serious attention, by academics, especially those involved in the field of anthropology. In analyzing epistemology of this research, this study uses the search method of several library sources, which are related to Mattulada's work. After that, do inductive-deductive readings, in order to find the basic assumptions that became the foundation of Mattulada to produce his works. This research produced two fundamental conclusions, firstly, Mattulada's work entitled Latoa is very characterized by positivism, and similar to several of his other works. Secondly, despite having the same epistemology in each of his works, several other Mattulada works have different paradigms.

Keywords: epistemology, positivism, Latoa

ABSTRAK Penelitian ini bermaksud untuk menginterprestasi epistemologi seperti apa yang terdapat dalam karya Mattulada, Latoa; Suatu lukisan antropologi politik orang Bugis. Pembahasan terkait epistemologi dalam suatu karya etnografi, masih kurang mendapatkan perhatian serius oleh kalangan akademisi, khususnya yang bergelut dalam bidang ilmu antropologi. Dalam menganalisis epistemologi dalam suatu karya, penelitian ini menggunakan metode pencarian beberapa sumber pustaka, yang berhubungan dengan karya Mattulada. Setelah itu, melakukan pembacaan induktif-deduktif, untuk menemukan asumsi dasar yang menjadi landasan Mattulada dalam menghasilkan karya-karyanya. Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan mendasar, yakni pertama, karya Mattulada berjudul Latoa ini sangat bercirikan positivisme, pun sama dengan beberapa karyanya yang lain. Kedua, meskipun memiliki epistemologi yang sama di tiap karyanya, beberapa karya Mattulada yang lain memiliki paradigma yang berbeda.

Katakunci: epistemologi, positivisme, Latoa

PENDAHULUAN penulis menemukan salah satu karyanya yang sangat fenomenal yakni “Latoa”. Nama Mattulada sudah tidak asing lagi Namun, rasa penasaran penulis pada waktu bagi penulis pribadi, sebab nama ini sering itu terhadap karya “Latoa”, masih sangat penulis jumpai di Fakultas Sastra (yang kini minim sehingga penulis belum pernah telah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu membaca secara utuh apa yang kemudian Budaya) Universitas Hasanuddin, sebagai menjadikan sosok Mattulada, begitu sebuah nama auditorium. Ketika menjadi fenomenal dengan karyanya “Latoa”. mahasiswa baru penulis belum terlalu Setelah masuk dan mulai mengenal Ilmu mengenal sosok Mattulada sampai ketika

30

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Antropologi, penulis mulai berpikir untuk anggapan dasar sebagai suatu hal (bisa segera menuntaskan karya Mattulada tentu benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah dalam pembacaan secara akademis. oleh disiplin, dan sebagainya) yang tidak sebab itu, melalui kesempatan ini penulis dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah mencoba memahami tafsir epistemologis diterima kebenarannya (namun hal ini dan paradigma apa yang digunakan oleh masih bisa dikritisi secara ilmiah pula). Mattulada dalam menganalisis Latoa dan Anggapan-anggapan ini lahir dari sebuah keterkaitannya dengan pola pikir dan perenungan-perenungan filosofis dan perilaku politik masyarakat Bugis, yang reflektif, penelitian-penelitian emipiris yang dikenal dalam ilmu Antropologi, sebagai canggih, atau bisa juga berasal dari Antropologi Politik. pengamatan yang saksama (Ahimsa, 2009; Sebagaimana yang telah terjelaskan di 4). atas bahwa pintu masuk untuk menemukan dan memahami epistemologis dan METODE paradigma seperti apa yang digunakan oleh Mattulada ialah melalui karyanya dalam Penelitian ini bermaksud untuk bentuk disertasi dengan judul “Latoa: suatu menelusuri epistemologi dalam sebuah lukisan analitis terhadap antropologi karya antropologi. Karya antropologi yang politik orang Bugis”. Secara keseluruhan menjadi fokus penelitian penulis ialah analisa epistemologis penulis terhadap tulisan tangan dari maestro antropologi di Mattulada lebih banyak mencakup tentang Sulawesi, Mattulada, dengan karyanya yang isi, bangunan argumentasi, kerangka berjudul Latoa: Suatu Lukisan Antropologi analisis, dan konseptual teoritik dari Politik Orang Bugis. Membedah karya ini karyanya Latoa. Namun, adapun karya- dalam kerangka penelusuran epistemologinya, karya lainnya yang penulis lihat juga menjadi suatu hal yang sangat penting, jika menjadi hal penting untuk memperkuat tidak ingin dikatakan sebagai sesuatu yang argumentasi penulis terhadap simpulan mendesak. Sebab, beberapa penelitian yang mengenai epistemologi apa yang digunakan menceritakan atau setidaknya menggambarkan Mattulada dalam Latoa, juga beberapa kondisi sosial masyarakat bugis, cenderung tulisan-tulisan lainnya. mengutip beberapa bagian dari karya Tentu apa yang penulis lakukan ini Mattulada tersebut. memiliki bentuk yang berbeda dengan apa Dalam pencarian epistemologi, yang telah dilakukan oleh Ahimsa (1997: penelitian ini mengambil sumber dari 25-48) dalam menganalisis epistemologi beberapa tulisan atau karya Mattulada, Koentjaraningrat dengan judul tulisan kemudian dibandingkan dengan karya “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Latoa, guna untuk melihat secara Tafsir Epistemologis”, Menurut penulis, hal mendalam ideologi atau epistemologi ini bukan menjadi suatu permasalahan, seperti apa yang berada dibalik proses sebab arah dari tulisan penulis dengan kreatif penciptaan beberapa karyanya. Ahimsa itu sama-sama menuju suatu titik Proses ini dimulai dari mencari asumsi- akhir, yakni pencarian epistemologis dari asumsi dasar yang ada dalam karya Latoa, seorang tokoh. kemudian melakukan pembacaan secara Mencari sebuah epistemologi yang induktif dan deduktif. Setelah proses menjadi bangunan dasar dari sebuah pembacaan dan penelusuran asumsi dasar penelitian bukan hal yang mudah, sebab yang ada dalam karya ini, penulis kemudian epistemologi ialah sesuatu yang sifatnya melakukan proses generalisasiuntuk melihat “implisit” dan kadang sulit ditemukan epistemologi apa yang berada di balik karya secara tersurat dalam laporan penelitian fenomenal Mattulada ini. Proses ilmiah maupun kerja-kerja ilmiah. Ahimsa selanjutnya ialah dengan membandingkan (2009; 4) mengartikan asumsi atau atau menelusuri beberapa karya Mattulada yang lainuntuk melihat lebih jauh, apakah 31

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 epistemologi dari seorang Mattulada Science‟, Kedua, Science as the only berbeda-beda dari tiap karyanya, atau tetap basis for generating knowledge, sama dalam setiap proses kreatifnya. Concept/Terms as Value-Neutral (stripped of moral content), dan Ketiga

Reality as unequivocal.” (Wicks and PEMBAHASAN Freeman, 1998) Epistemologi „Positivisme‟ Mattulada “Penjelasan positivistik mengabaikan Dalam konteks penelitian ilmu sosial- tentang hal mendasar dari keberagaman budaya, positivisme sebagai sebuah aliran sosial dan lebih mengarah pada filsafat mesti dibumikan dalam kerangka perumusan hukum-hukum atau model- kajian ilmu sosiologi atau ilmu sosial- model yang lebih abstrak dan umum.” budaya, yang dikenal sebagai “positivistic (Turner, J.H, 2006) attitude” seperti yang telah dipaparkan oleh Bryant (1985) di bawah ini: Perkembangan awal positivisme dalam “Pertama, “metodologi-metodologi kajian ilmu sosial-budaya juga dipengaruhi pokok yang ada dalam ilmu alam, oleh tiga tokoh besar pemikiran Perancis sebaiknya secara lansung dapat yakni Saint-simon, Comte, dan Durkheim. diterapkan dalam ilmu sosiologi”, Comte dan Durkheim yang merupakan dua Kedua, “anggapan-anggapan dasar tokoh sentral dalam perkembangan bahwa hasil akhir dari penelitian/ positivisme dalam ilmu sosial-budaya. investigasi sosiologi dapat dirumuskan Adapun pemikiran kedua tokoh tersebut seperti “hukum” atau “gejala hukum” secara garis besar penulis jelaskan di bagian yang mirip dengan generalisasi dalam ini. ilmu sains”, Ketiga, “asumsi praktis Di awal, Comte berbeda pandangan dari sosiologi memiliki perangkat teknis sekaligus meragukan tawaran “the new yang khas.” (Bryant, 1985; 7-9). Christianity” oleh Saint-Simon sebagai suatu yang dapat mempersatukan rasa Sedangkan dalam berbagai wacana solidaritas dalam masyarakat, menurut terkait positivisme dalam berbagai ilmu Comte hal ini kemudian justru membawa pengetahuan, penulis menemukan prinsip- konflik antarwarga masyarakat Perancis prinsip positivisme yang juga memiliki pola (melalui dogma agama) yang telah dikritik yang sama dengan apa yang dikembangkan di beberapa dekade sebelumnya. Oleh sebab oleh Bryant di atas, semisal: itu, Comte lebih memilih untuk “poin inti dari positivisme sangat mengembangkan cara berpikir saintifik identik dengan empirisme tradisional dalam melihat gejala yang ada pada dimana positivisme sangat menentang masyarakat. atau berlawanan arah pada hal-hal Dalam tradisi positivisme, Durkheim yang bersifat teologis dan metafisis, lebih banyak memberikan penjelasan terkait pengetahuan adalah pengetahuan yang pandangan “positivisme” dalam sebuah nyata dan dapat diobservasi secara ilmu pengetahuan, yang pada dasarnya empirik dan mengedapankan terdiri atas aturan “kualifikasi” dan “syarat- generalisasi dan cara pengamatan yang syarat”. Dalam hal ini, Durkheim berusaha induktif.” (Heidtman, Wysienska, keluar dan menolak segala asumsi dasar Szmatka, 2000) tentang filsafat positivisme yang terlalu menyederhanakan persoalan kompleksitas “tiga hal pembeda yang ada dalam manusia dan hal inilah yang kemudian asumsi dasar positivisme yang sangat memberikan pengaruh besar dalam esensialis dan pasti yakni Pertama, perkembangan ilmu sosiologi (Bryant, „Finding and Making‟, „Descriptive and 1985; 33-34). Dalam merumuskan Prescriptive, „Science and Non pandangannya, Durkheim menyatakan ada

32

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi beberapa pandangan dasar tentang perbandingan, dan Kelima, berusaha positivisme yakni: menemukan dan merumuskan konsep “Pertama Fakta sosial dapat ditemukan fungsional dalam kebudayaan.” di dalam eksistensi dari manifestasi individu yang terekam dalam organisasi Kelima asumsi dasar positivisme di sosial, struktur sosial, perilaku sosial, atas yang penulis gunakan untuk melihat representasi kolektif atau unsur-unsur dan memastikan apakah seorang Mattulada kebudayaan, dan kondisi sosial beraliran epistemologi positivisme dalam mutakhir yang semuanya merupakan menganalisis karyanya Latoa dan karya- representasi dari masyarakat bukan karyanya yang lain. Adapun poin-poin dari secara individu, Kedua, Fakta sosial asumsi dasar positivisme yang akan penulis sebagai sesuatu yang terhubung dengan gunakan untuk memahami epistemologi berbagai hal (empirik), Ketiga, positivistik Mattulada dalam karyanya ini terminologinya merujuk pada adalah sebagai berikut: “penyebab-penyebab” dan yang a. Pembacaan Induktif: Fakta-Fakta lainnya memiliki terminologi yang Sosial-Budaya Masyarakat Bugis merujuk pada “fungsi-fungsi”, dan Karya Mattulada ini secara keempat, kepatuhan moral yang keseluruhan menyinggung salah satu etnis dibangun pada suatu memori kolektif yang ada di Sulawesi Selatan yakni suku masyarakat “the sacred”, yang Bugis (To-Ugi). Masyarakat Bugis kemudian dapat mengatur dan dibicarakan panjang lebar dalam karyanya mengkonsepkan cara pandang, berpikir, pada subbagian “suku bangsa Bugis” dan berperilaku masyarakat dalam (Mattulada, 1985; 5-65). Dalam karyanya struktur sosial. Memori kolektif ini penulis menemukan delapan bagian masyarakat ini dapat menjadi sebuah yang selanjutnya penulis sebut sebagai koin yang mempunyai dua sisi, bisa fakta kebudayaan. “normal” dan bisa juga Delapan fakta kebudayaan dalam “pathological”, tergantung bagaimana masyarakat Bugis disebutkan oleh konstruksi kolektif itu dibangun dalam Mattulada terdiri atas: Pertama, bahasa dan masyarakat”.(Bryant, 1985; 34-52) kesusasteraan orang Bugis yang terdiri atas Secara keseluruhan penulis lontara‟, paseng, attoriolong, pau-pau ri menyimpulkan ada beberapa poin-poin inti kadong, tolo‟ atau pau-pau, pappanngaja‟, atau asumsi dasar dari pandangan sure‟ bicara attoriolong, pau-kotika, sure positivisme dalam melihat atau eja, dan sure bawang (1985; 16-19). Kedua, menganalisis gejala sosial-budaya yang rumah-rumah orang Bugis, disini Mattulada kerangka kerjanya sangat mirip dengan (1985; 23-24) membagi dua kategorisasi analisas dan kerangka kerja yang ada dalam rumah orang Bugis, dari segi penggunaan ilmu alam, yakni, (rakkeang, alebola, dan awasao) dan dari segi kedudukan atau lapisan sosial “Pertama, menemukan dan mengamati penghuninya (saoraja, saopiti‟, bola to fakta-fakta sosial yang ada di sama‟). Ketiga, pelapisan masyarakat Bugis masyarakat, Kedua,merumuskan dan yang terdiri atas anakarung, maradeka, dan mengeneralisasi fakta-fakta sosial yang ata. Keempat, sistem kekerabatan ditemukan kedalam suatu hukum-hukum masyarakat Bugis dikenal sebagai sosial, yang modelnya mirip dengan asseajingeng, Kelima, sompa atau sunreng penentuan hukum-hukum alam, Ketiga, (uang mahar) dalam kepercayaan menggunakan kerangka berpikir ilmiah masyarakat Bugis, Keenam, adat istiadat secara induktif ke deduktif, Keempat, masyarakat Bugis yang terdiri atas lima merumuskan sistem klasifikasi atau unsur panngaderreng, Ketujuh, kaidah- tipologi kebudayaan melalui konsep kaidah pokok dalam kehidupan masyarakat

33

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Bugis yang meliputi beberapa azas (1985; baru (yang jauh dari prinsip pada era galigo 341) yakni azas mappasilasa‟e, yang menjunjung tinggi dewa-dewa) mappasisaue, mappasenrupae, dan dimana terdapat sikap rasional dalasirim mappalaiseng, dan Kedelapan, siri‟ dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, pandangan kehidupan masyarakat Bugis artinya membebaskan pikiran orang dari yang memiliki konsepsi sebagai siri‟emmi belenggu terkait adanya anggapan bahwa rionroang rilino, materi siri‟na, dan mate raja adalah titisan dewa-dewa yang sanggup siri‟ (1985; 63). memberikan kebahagiaan pada rakyat Bagian selanjutnya dalam karya hanya karena berkat kedewataannya atau Mattulada yakni fokus pada jenis lontara‟ berkat namanya atau kharismanya (intinya Latoa sebagai sebuah warisan masyarakat tolak ukur raja itu amanah atau tidak tidak Bugis. Menurut Mattulada secara garis lagi dilihat secara ideal, tetapi dinilai besar dari Latoa adalah kumpulan ucapan- melalui perbuatannya kepada Negara dan ucapan, petuah-petuah dari beberapa raja rakyatnya). Sebagai simpulan dari dan orang-orang bijaksana (sekitar abad ke pandangan di atas, Mattulada (1985; 90) XVI), mengenai berbagai hal, terutama memberikan pandangannya bahwa seluruh kewajiban-kewajiban raja dan abdi raja kehidupan politik orang Bugis didasarkan terhadap negara dan rakyatnya di samping pada ajaran moral, yang bersandar pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat nilai-nilai yang ada di dalam Latoa dan terhadap raja dan negaranya (Mattulada, tercermin dalam sikap panngaderreng, hal 1985; 85). ini lah yang menjadi alasan kuat, Kandungan Latoa yang menjadi pola bagaimana pengaruh islam dengan mudah berpikir orang Bugis dalam hidup berkontribusi terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaannya panngaderreng yang diyakini sebelumnya meliputi tiga hal menurut Mattulada (1985; oleh masyarakat Bugis. 87) dalam abstraksinya terhadap kandungan Latoa itu sendiri yakni: b. Pembacaan Deduktif: Generalisasi “pertama, manusia itu, apa pun dan dan Perbandingan Fakta-Fakta bagaimanapun tingkat atau derajat Sosial-Budaya Masyarakat Bugis sosialnya adalah makhluk yang sama Fakta-fakta sosial-budaya masyarakat derajatnya sebagai ciptaan Tuhan, Bugis yang telah disusun dan diamati oleh kedua, manusia itu, dalam tujuan Mattulada seperti yang penulis jelaskan di hidupnya berhasrat untuk selalu bagian atas, kemudian digeneralisasi dalam berbuat kebajikan. Dan ketiga, beberapa tipologi kebudayaan masyarakat manusia itu, dalam membangun nilai- Bugis yang memiliki fungsinya masing- nilai dan pranata-pranata sosial masing. Generalisasi dan perbandingan kebudayaannya selalu berusaha yang dilakukan oleh Mattulada terhadap mencapai keselarasan antara berbagai fakta-fakta sosial-budaya kepentingan kolektif dengan masyarakat Bugis menunjukkan bagaimana kepentingan individualnya” corak berpikir positivistis yang dianut oleh Menurut Mattulada, ketiga pola seorang Mattulada. sikap umum di atas yang mendasari alam Beberapa generalisasi dan pikiran yang dituangkan dalam Latoa ini perbandingan fakta-fakta sosial-budaya memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai yang dilakukan oleh Mattulada dalam karyanya „Latoa: Suatu Lukisan Analitis dan kaidah-kaidah sosial-budaya serta menjadi ukuran tingkah laku masyarakat terhadap Antropologi Politik Orang Bugis‟ Bugis yang disebut panngaderreng (1985; yakni sebagai berikut: 87). Dari prinsip-prinsip dasar Latoa ini, masyarakat Bugis, kemudian memasuki era

34

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Bahasa dan Kesusasteraan Bugis Makassar, yang memandang alam Dibagian ini, Mattulada meletakkan semesta ini, sebagai „sulapa‟ eppa‟ posisi bahasa sebagai bagian dari salah satu walasuji‟ (segi empat belah ketupat). unsur kebudayaan, apa yang dilakukannya Sarwa ini adalah satu kesatuan yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh dinyatakan dalam simbol (sa) yang Koentjaraningrat dalam menempatkan berarti „seua‟ atau tunggal dan esa”. bahasa sebagai bagian atau unsur dari Simbol tersebut, disimbolkan sebagai kebudayaan (Koentjaranigrat, 2009; 165). mikroskosmos/sulapa‟ eppa‟na taue Selain meletakkan bahasa dalam salah satu (segi empat tubuh manusia), dimana unsur kebudayaan, Mattulada juga lebih dipuncak terletak kepalanya, disisi kiri jauh menggali fakta-fakta sejarah bahasa dan kanan adalah tangannya, dan Bugis yang dikenal dalam bentuk aksara ujung bawah adalah kakinya. Simbol ini lontara dan merumuskannya dalam bentuk menyatakan diri secara konkrit pada yang lebih konkret sebagai sebuah sistem bagian kepala manusia yang disebut nilai, yang disebut panngaderreng. „sauang/mulut atau tempat keluar‟ yang dimana dari mulutlah segala sesuatu “Masyarakat Bugis juga memiliki dinyatakan dalam bentuk „sadda/bunyi‟, sistem bahasa dan kesusasteraannnya, lalu kemudian tersusun sehingga dimana bahasa Bugis pada zaman memiliki makna sebagai „ada/kata, dahulu menjadi bahasa untuk semua sabda, titah‟, dari kata „ada‟ inilah kegiatan kebudayaan orang segala sesuatu yang meliputi seluruh Bugis(Mattulada, 1985; 8). Bahasa ini tertib kosmos (sarwa alam) diatur dan kemudian digunakan untuk bila kata „ada‟ ini dibubuhi kata menyebarkan agama, berdagang, sandang tertentu yakni (bunyi „E‟) pertanian, dan ilmu kesusasteraan. maka kata „ada‟ menjadi „adae/kata itu‟ Bahasa-bahasa Bugis dan Makassar dan kata ‟adae‟ ini lah yang menjadi mempunyai lambang bunyi atau aksara pangkal kata dari ade‟ atau adat dan yang sama, yang kemudian disebut sabda penertib yang meliputi sarwa sebagai aksara lontara‟. Baik tanda- alam (sa).” (Mattulada, 1985; 9) tanda bunyi atau aksara lontara‟ maupun hasil-hasil kesusasteraan Selain Bahasa, Mattulada (1985; 16- Bugis (klasik) erat hubungannya 19) juga berpandangan bahwa secara dengan masalah kehidupan yang keseluruhan masyarakat Bugis mengenal tersimpul dalam panngaderreng.” bentuk kesusasteraan klasik bernama (Mattulada, 1985; 8) lontara‟ yang memiliki banyak jenis dan fungsinya masing-masing: Lebih jauh lagi, Mattulada kemudian “Lontara’ adalah manuskrip- merumuskan bahwa penciptaan sistem manuskrip atau catatan tertulis yang tanda bunyi „aksara lontara‟ nyatanya aslinya ditulis di atas daun lontara‟ memiliki fakta-fakta kebudayaan, selain (rontal), namun lontara‟ dalam bentuk memiliki fungsi sebagai bahasa aslinya ini sudah sulit ditemukan dan komunikasi, juga ternyata memiliki makna digantikan dengan kertas. Manuskrip- yang berbeda, yakni menjadi suatu sistem manuskrip dengan aneka ragam isinya kepercayaan atau adat. Hal ini dijelaskan antara lain: Paseng, ialah kumpulan oleh Mattulada dibawah ini: amanat keluarga atau orang-orang “..Sehubungan dengan pencipataan bijaksana yang dimanatkan turun tanda-tanda bunyi yang disebut aksara temurun dan menjadi kaidah hidup lontara‟ terdapat anggapan bahwa hal dalam masyarakat Bugis. Attoriolong, itu berpangkal pada kepercayaan dan kumpulan catatan mengenai silsilah pandangan mitologis orang Bugis- para raja, keluarga bangsawan, dan

35

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

orang-orang tertentu, biasanya bagian yang menyatakan fungsinya masing- Attoriolong ini digunakan untuk masing dan juga memiliki bentuk yang menyusun peristiwa sejarah. Pau-Pau berbeda-beda berdasarkan golongan ri Kadong, ialah cerita-cerita rakyat masyarakat yang ada di Bugis. Rumah- yang mengandung legenda-legenda rumah orang Bugis dibangun di atas tiang dan berbagai kejadian atau peristiwa (rumah panggung), yang terdiri atas tiga yang luar biasa, namun diragukan susun yakni: kebenarannya, biasanya hanya “rakkeang, ialah bagian atas rumah, digunakan untuk bahan pelipur lara terletak di bawah atap dan bagian ini dan hiburan. Tolo’ atau Pau-Pau, dipakai untuk menyimpan padi, ialah semacam cerita rakyat yang persediaan pangan, dan juga untuk sudah dituliskan, biasanya menyimpan benda-benda pusaka menceritakan tentang tokoh-tokoh keluarga. Alebola, ialah bagian tengah yang pernah ada dan sekarang disusun yang ditempati oleh manusia, yang kembali dalam bentuk hikayat. terbagi atas ruang tamu, ruang Pappanngaja’, ialah kumpulan keluarga, kamar tidur, ruangan makan pedoman hidup atau nasehat yang dan dapur. Awasao, ialah bagian diberikan oleh orangtua kepada anak bawah lantai panggung, dipakai untuk keturunannya. Ulu-ada, ialah menyimpan alat-alat pertanian, manuskrip-manuskrip yang memuat kandang ayam, kambing, atau secara tentang perjanjian antar Negara atau spesifik tempat yang menyimpan wilayah pada saat itu. Sure’ bicara segala kebutuhan mata pencarian.” attoriolong, ialah kumpulan aturan atau undang-undang yang berlaku Rumah-rumah orang Bugis juga dalam neger-negeri yang berazas digolongkan menurut kedudukan atau ade‟attoriolong (adat leluhur). Pau- lapisan sosial penghuninya yang seperti kotika, ialah kumpulan catatan tentang penulis sampaikan sebelumnya. Jenis-jenis waktu yang baik dan waktu yang buruk rumah ini juga terdiri atas tiga macam untuk melakukan suatu perbuatan, yakni: misalnya mengetahui kapan harus “Pertama, Saoraja, rumah besar yang turun ke sawah, mendirikan rumah, didiami keluarga raja atau kaum keluar rumah, makna mimpi. Sure eja, bangsawan, memiliki ciri-ciri antara ialah kumpulan Elong yang dinyayikan lain berpetak lima atau tujuh. pada upacara tertentu. Sure bawang, Timpa‟laja (bubungan) nya bersusun ialah cerita-cerita roman yang ada lima bagi seorang raja yang berkuasa dalam masyarakat Bugis.” dan bersusun tiga bagi bangsawan Pengklasifikasian jenis-jenis kesusas- lainnya. Memiliki sapana atau tangga teraan masyarakat Bugis klasik dan beralas yang diatapi di atasnya. beragam fungsinya di atas merupakan suatu Kedua, Saopiti’, ialah rumah tempat usaha pengumpulan fakta-fakta kediaman, bentuknya lebih kecil dari kesusasteraan masyarakat Bugis yang saoraja berpetak tidak lebih dari begitu banyak, lalu kemudian empat, berhubungan satu atau tiga, diklasifikasikan berdasarkan pada tidak memiliki sapana dan rumah ini fungsinya masing-masing. biapenulis dimiliki oleh orang baik- baik, orang kaya, atau orang yang Rumah-Rumah Orang Bugis berkedudukan terpandang dalam Selain aspek bahasa dan kesusasteraan masyarakat. Ketiga, Bola to sama’, klasik yang dimiliki masyarakat Bugis, atau barum parung adalah rumah menurut Mattulada (1985; 23-24) rumah- tempat kediaman orang kebanyakan rumah orang Bugis juga terdiri atas tiga (masyarakat biasa), rata-rata berpetak

36

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

tiga, berhubungan lapis dua dan tidak hukum-hukum alam, yang dapat mempunyai sapana.” memotivasi atau mendasari seseorang atau Di bagian ini tampak jelas bagaimana kelompok untuk bertindak atau berperilaku, Mattulada menerapkan cara kerja yakni pada perbedaan stratifikasi sosial positivisme dalam karyanya dengan masyarakat Bugis. Lebih jauh lagi, mengambil fakta-fakta tentang rumah- stratifikasi sosial ini juga memiliki fungsi rumah masyarakat Bugis lalu kemudian sosial dalam kehidupan masyarakat Bugis digeneralisasi melalui sistem perbandingan itu sendiri. Dalam hal ini, semakin jelas antara bagian rumah yang satu dengan bagaimana Mattulada kembali menjelaskan, bagian rumah yang lainnya dan juga antara konsepsi hukum-hukum sosial melalui apa bentuk rumah yang satu dengan bentuk yang dikatakan Durkheim (1984; 231, 240, rumah yang lainnya. 315) sebagai „the sacred‟ yang ada pada Hasil perbandingan Mattulada ini masyarakat Bugis, yakni siri‟. Siri‟ ini menghasilkan suatu simpulan bahwa kemudian menjadi hukum sosial dari konsepsi tentang rumah bagi masyarakat masyarakat Bugis yang berfungsi untuk Bugis memiliki dua fungsi, yakni rumah mengontrol, mengatur, dan mendasari yang memiliki fungsi ruang dan kerja, dan segala perilaku dan perbuatan masyarakat rumah yang memiliki fungsi sebagai Bugis. penjelas identitas sosial (kelas) pemilik Pandangan Mattulada di atas secara rumah. tegas menggambarkan bahwa ada seperangkat nilai panngaderreng (ade‟, bicara, rapang, wari, dan sara) yang c. Hukum-Hukum Sosial dalam mengatur segala lini kehidupan masyarakat Kehidupan Masyarakat Bugis Bugis yang telah terjelaskan sebelumnya Sejauh yang penulis temukan ada dua dan hal ini menunjukkan bahwa Mattulada faktor menurut Mattulada (1985) yang sangat berpaham positivisme dengan dasar menjadi hukum-hukum sosial dalam atau anggapan bahwa Mattulada melihat kehidupan masyarakat Bugis, yakni panngaderreng dan siri‟ sebagai hukum panngaderreng dan siri‟. Keduanya secara sosial dan memiliki azas-azas serta unsur- tidak langsung dan langsung mengatur dan unsur yang terintegrasi dan saling mengarahkan pola pikir, tingkah laku, dan menguatkan antar yang satu dengan yang pedoman hidup masyarakat Bugis dalam lainnya. menjalani kehidupan politiknya dalam bernegara. Beberapa gambaran hukum- d. Fungsionalis Struktur dalam hukum sosial yang dijelaskan Mattulada Kebudayaan Masyarakat Bugis dalam kehidupan masyarakat Bugis tergambarkan dalam beberapa fakta-fakta Unsur-unsur dari panngaderreng sosial-budayanya. Semisal pada fakta sosial (ade‟, bicara, rapang, wari, dan sara) yang mengenai pelapisan masyarakat Bugis yang juga menjadi hukum-hukum sosial bagi terdiri atas anakarung, maradeka, dan ata kehidupan masyarakat Bugis ini menurut yang menurut Mattulada (185; 24) memiliki Mattulada juga memiliki fungsinya masing- fungsi yang penting dan perbedaan masing yang akan memperkokoh nilai stratifikasi sosial ini juga dapat panngaderreng apabila disadari oleh sikap menerangkan latarbelakang dan sifat-sifat siri‟, seperti yang secara ringkas penulis mendasar dari masyarakat Bugis dalam jelaskan di bawah ini, bertindak, berperilaku dan berpikir. Ade‟, Apa yang bisa penulis simpulkan dari Ade‟ adalah salah satu aspek dari pandangan di atas bahwa, Mattullada panngaderreng yang mengatur pelaksanaan berusaha menunjukkan bahwa ada semacam sistem norma dan aturan-aturan adat dalam hukum-hukum sosial yang mirip dengan

37

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 kehidupan orang Bugis. Menurut Mattulada Jenis-jenis ade‟ dalam arti pranata (1985; 345-346) bahwa: masyarakat antara lain misalnya ade‟ “semua tindakan orang Bugis dalam puraonro (norma fundamental yang lingkup panngaderreng adalah ade‟ sulit diubah), ade‟ abiasang (norma yang menyatakan diri dalam semua kebiasaan), dan ade‟ maraja (norma segi kehidupan, misalnya ade baru).” akkalabinengeng (hal-ikhwal yang Bicara, mengatur masyarakat Bugis dalam Bicara adalah aspek panngaderreng berumah tangga), termasuk persoalan yang mempersoalkan masalah peradilan, keturunan yang boleh atau tidak boleh dimana mempermasalahkan semua hak dan saling menikah, hukum perkawinan, kewajiban dari tiap persona hukum dalam etika dan pendidikan dalam memperlakukan diri dalam hidup berkeluarga, dan norma yang panngaderreng dalam kontiniutas peradaban mengatur tentang martabat dan harga orang Bugis (Mattulada, 1985; 372). diri dari suatu perkawinan.” Menurut Mattulada (1985; 372), Ade‟ Pada bagian atas telah disebutkan menurut lingkup kompetensinya adalah bahwa ade‟ ialah kongkritisasi atau lebih luas dari pada ruang-lingkup dan perwujudan dalam segenap tata-tertib yang kompetensi bicara, sebab ade‟ bersifat meliputi semua orang dalam bersikap dan preventif dari para penjahat, mencegah bertindak di dalam masyarakat dan perbuatan yang sewenang-wenang dari kebudayaan, maka menurut Mattulada orang yang kuat dan melindungi yang (1985; 347) itu berarti pula bahwa semua lemah, sedangkan bicara, lebih bersifat orang, semua keadaan, dan semua benda represif, menyelesaikan sengketa, yang terlibat di dalamnya adalah aspek ade‟ mengembalikan sesuatu yang tidak wajar adanya. Dengan demikian, dalam realitas kepada keadaan yang lebih wajar yang kehidupan masyarakat dijumpai adanya: tentunya berdasar dan bersandar pada keadaan yang objektif. Maka dari itu bicara “Pertama, Pranata sosial, berupa dalam usahanya untuk mencapai tujuan pakkatenni ade‟ yang merupakan kebenaran, berpegang pada bicara lembaga atau orang-orang petugas tongettelu/tiga pangkal kebenaran dari masyarakat (Negara) yang bicara, yakni (Mattulada, 1985; 373): berkewajiban menjalankan “Pertama, pengakuan dengan jujur pengawasan dan pelaksanaan ade‟. kesalahan dari orang yang bersalah Mereka adalah personifikasi dalam dan kesalahan itu terbukti ada, panngaderreng dalam realitas sebagai kesalahan ade‟. Kedua, kehidupan masyarakat (Negara) yang Pembenaran secara ikhlas terhadap dimana dalam melaksanakan tugas kebenaran orang yang berbuat benar dan kewajibannya, mereka melarutkan dan kebenaran itu ada, sebagai diri dalam tuntutan-tuntutan dari kebenaran meurut ade‟. Ketiga, kewajiban ade‟, sehingga padanya Mufakat pakkatenni ade‟, untuk dibebankan syarat-syarat yang sangat menyatakan salah bagi yang bersalah berat, misalnya sebagai manusia dan benar bagi yang benar.” pribadi mereka harus melepaskan diri dari nafsu-nafsu pribadi. Kedua, Ade‟ Terakhir perihal bicara, Mattulada sebagai pranata sosial ialah pola-pola (1985; 371-372) beranggapan dengan ideal dalam bentuk dan suasana yang meminjam istilah dari Malinowski beraneka macam. Inilah yang (effective custom) bahwa: menentukan pola-pola formil dari ade‟ “dilihat lebih jauh, ancaman-ancaman dan berlakunya menurut urutan, serta yang demikian berat dan kebanyakan sarana-sarana pelaksanaannnya. tertuju kepada hukuman mati atau 38

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

pembuangan dan sistem yang (magic-protective) yang berfungsi mempebolehkan penuntutan hukum untuk melindungi milik umum dari atas kejahatan yang telah dilakukan gangguan-gangguan seseorang, tidak dikenal, maka hukuman ini tidak melindungi seseorang dalam keadaan hanya dipandang cuman sekedar bahaya.” ancaman agar orang takut berbuat Wari’, kejahatan, melainkan juga dipandang sebagai suatu pernyataan dimana yang Wari dalam pengertian Latoa bersalah juga telah melepaskan diri bermakna „yang tahu membedakan‟, dari sistem panngaderreng dan tidak sedangkan dalam pengertian leksikalnya memiliki siri‟ pada dirinya lagi, adalah tak lain dari penjenisan yang sehingga hukuman yang dijalaninya membedakan yang satu terhadap yang lain, akan diterima dengan mata terbuka suatu perbuatan yang selektif, perbuatan (sebagai pembuktian diri bahwa di menata atau menertibkan (Mattulada, 1985; dalam dirinya masih ada siri‟ guna 380). Menurut Mattulada (1985; 380), wari‟ menegakkan panngderreng yang telah secara umum berfungsi protokoler dan dilanggarnya)..pendapat Malinowski meliputi sekurang-kurangnya tiga hal bahwa semua aktivitas kebudayaan yakni: (institutions dan customs) mempunyai “Pertama, menjaga jalur dan garis fungsi untuk memenuhi suatu kompleks keturunan yang membentuk pelapisan kebutuhan naluria manusia untuk masyarakat (standen) dalam secara timbale balik dengan sesame masyarakat atau yang mengatur manusia lainnya dalam masyarakat tentang tata-keturunan melalui menerima dan menunaikan kewajiban hubungan perkawinan. Kedua, menurut suatu prinsip yang disebut menjaga atau memelihara tata- „princple of reciprocity‟.” susunan atau tata-penempatan sesuatu Rapang, menurut urutan semestinya, dan Ketiga, menjaga dan memelihara Rapang dalam Latoa mengandung hubungan kekeluargaan antara raja makna sebagai pengokohan negara dan suatu negeri dengan negeri lainnya, secara makna leksikalnya, memiliki arti sehingga dapat ditentukan mana yang sebagai contoh, misal, ibarat, atau tua, mana yang muda dalam tata perumpamaan, persamaan atau kiasan. panngaderreng (upacara-upacara Menurut Mattulada (1985; 378) rapang kenegaraan) yang Secara keseluruhan, berfungsi sebagai: wari‟ berfungsi sebagai pranata yang “Pertama, Stabilisator (memberi menata Negara.” petunjuk tentang latar belakang sistem Sara’ yang berakar dalam pola kebudayaan), yakni menjaga agar ketetapan, Setelah sistem panngaderreng keseragaman, dan kontinuitas suatu masyarakat Bugis mendapatkan warna baru tindakan berlaku konsisten dari waktu dari Islam (sara‟) dan bercampur dari yang lalu sampai masa kini dan masa aspek-aspek (ade‟, rapang, wari‟, bicara) depan. Kedua, Bahan perbandingan lainnya, maka seketika kehidupan (bijaksana dan tidak berpandangan masyarakat Bugis pun berubah. Perubahan sempit), dalam keadaan belum adan tersebut menurut Mattulada (1985; 383) norma atau undang-undang yang terletak pada adanya dua macam organisasi mengatur suatu hal tertentu, maka sara‟ sebagai ade‟ dan sebagai rapang berfungis sebagai panngaderreng terakhir. Sara sebagai yurisprudensi. Ketiga, alat pelindung organisasi ade‟ (pemerintahan) berkembang yang berwujud dalam pamali-pamali dalam kedudukan arti dan fungsinya.

39

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Semua orang yang menyelenggarakan salah satu unsur tidak berfungsiakan urusan syariat islam disebut parewa sara‟ berdampak pada ketidakstabilan sosial yang (pegawai syarat) dan terjadilah pembagian ada di masyarakat (Kaplan, Manners, 2012; tugas antara pampawa ade‟ (pemerintah) 77). dengan parewa sara‟ (biasa disebut sebagai Jika melihat karya Mattulada maka pegawai sara‟). struktur atau unsur yang saling berintegrasi Dari penjabaran aspek-aspek dan memiliki fungsi satu sama lain disini panngaderreng yang terjelaskan di atas, ialah unsur-unsur yang ada di dalam Mattulada menekankan bagaimana fungsi Panngaderreng yakni, ade‟, rapang, wari, dari tiap unsur dari sistem kebudayaan bicara, dan sara‟. Hal ini senada dan (panngaderreng) saling mendukung dan sejalan dengan asumsi dasar yang terdapat terintegrasi antara satu sama lainnya dan dalam sebuah epistemologi positivisme, menurut penulis ini merupakan sebuah seperti yang telah penulis bahasakan di bukti bagaimana pandangan Mattulada bagian-bagian sebelumnya dalam tulisan dalam melihat fakta-fakta kebudayaan ini. masyarakat Bugis secara positivisme. Hal Epistemologi Mattulada dalam Karya ini disebutkan Mattulada (1985; 381-382) Karyanya yang Lain bahwa: Pada bagian ini penulis akan “aspek-aspek ade‟, bicara, rapang, memperkuat simpulan terhadap epistemologi dan wari‟ adalah bagian yang saling „positivisme‟ dari seorang Mattulada dalam berintegrasi antara satu dengan yang karyanya Latoa dengan melacak beberapa lainnya. Apabila ade’ berfungsi tulisan Mattulada yang secara keseluruhan sebagai preventif (pencegahan) dalam terbagi dalam tiga jenis, yakni pertama pergaulan hidup untuk menjaga dalam bentuk sebuah buku yang berjudul kelangsungan hidup masyarakat dan „Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan kebudayaan, bicara berfungsi represif Sulawesi Selatan (1998)‟ dan kedua ialah untuk mengembalikan sesuatu pada sebuah jurnal „Antropologi Indonesia No.48 tempatnya, rapang berfungsi sebagai (1991)‟ yang memuat ulang kumpulan stabilisator untuk menjaga tulisan-tulisan Mattulada antara lain kesinambungan pola peradaban, maka „Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar wari’ berperang dalam mappalaiseng dan Kaili di Sulawesi‟, „Elit di Sulawesi (membedakan) yaitu mengatur Selatan‟, „Sirik dan Pembinaan kompetensi masing-masing aspek di Kebudayaan‟, „Manusia dan Kebudayaan atas, sehingga tidak berbenturan satu Kaili di Sulawesi Tengah‟, „To-Kaili (orang sama lainnya (membangun kaili), „Sekelumit sejarah kebudayaan keserasian), terakhir sara’ berfungsi kaili‟, „Modal Personality orang Kaili‟, memperkuat dan memperteguh nilai „To-Kaili dan Hari esok‟. Ketiga ialah, ade‟ utamanya dalam iman dan sebuah jurnal „Antropologi Indonesia No.58 kebenaran tauhid.” (1999)‟ dengan judul tulisan Selain menganut paham positivisme „Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan dalam karyanya Latoa: suatu lukisan di Indonesia: Porspek Budaya Politik abad analitis terhadap antropologi politik orang ke-21‟. Bugis, Mattulada juga menggunakan Poin-poin inti yang penulis gunakan pendekatan atau paradigma fungsionalisme untuk membuktikan bahwa Mattulada struktur dimana paradigma ini memiliki seorang yang positivistik melalui karya- asumsi dasar bahwa tiap struktur atau unsur karyanya yang lain sama dengan apa yang saling berintegrasi antara satu sama lainnya penulis lakukan pada pembahasan dan memiliki fungsi masing-masing untuk sebelumnnya, yakni berpijakbeberapa menjaga suatu kestabilan sosial, sebab jika asumsi dasar dari positivisme itu sendiri

40

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi sebagai berikut, Pertama, menemukan dan juga dilakukan Mattulada (1998; 409) mengamati fakta-fakta sosial yang ada di dalam melihat pelapisan masyarakat yang masyarakat, Kedua, merumuskan dan telah berubah seiring dengan perjalanan mengeneralisasi fakta-fakta sosial yang panjang sejarah kebudayaan masyarkat ditemukan kedalam suatu hukum-hukum Sulawesi Selatan yang dia simpulkan sosial yang modelnya mirip dengan sebagai berikut: penentuan hukum-hukum alam, Ketiga, “peristiwa ini, telah melahirkan elit baru menggunakan kerangka berpikir ilmiah dan mengubah sistem atau status sosial secara induktif ke deduktif, Keempat, masyarakat di Sulawesi Selatan, terbagi merumuskan sistem klasifikasi atau tipologi menjadi tiga yakni „Kaum Anakarung kebudayaan melalui konsep perbandingan, (bangsawan)‟, „Kaum ambtenaar dan Kelima, berusaha menemukan dan Gubernemen (Cendekiawan)‟, dan „Kaum merumuskan konsep fungsional dalam Hartawan (pedagang dan pengusaha)” kebudayaan. Dalam jurnal „Antropologi Indonesia Dalam bukunya „Sejarah, Masyarakat, No.48 (1991)‟, Mattulada dalam tulisannya dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (1998)‟, „Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar Mattulada berusaha untuk membuat suatu dan Kaili di Sulawesi (1991; 4-85)‟, dengan rentetan sejarah kebudayaan Sulawesi jelas mengulangi pembahasannya dalam Selatan yang berdasar pada fakta-fakta memandang kebudayaan Bugis-Makassar sosial-budaya yang didapatnya dari yang sama dilakukannya dalam karyanya berbagai sumber seperti bahan-bahan Latoa (1985) dengan mencantumkan arkeologi, cerita-cerita rakyat, dan mitos- sejarah, pelapisan masyarakat, sistem mitos (legenda) yang ada pada masyarakat kekerabatan, nilai panngaderreng dan siri‟. Sulawesi Selatan. Dari hasil penelusuran Sebagai contoh Mattulada menganggap fakta-fakta sosial masyarakat Bugis, bahwa pelapisan masyarakat yang ada di Mattulada kemudian mengklasifikasikannya Bugis sebagai bentuk dari hukum-hukum kedalam pembabakan sejarah kebudayaan sosial yang mengatur pandangan hidup, Sulawesi Selatan sebagai berikut pola pikir, dan karakter masyarakat Bugis (Mattulada, 1998; 3-5): (1991; 17): “Pertama, kerajaan-kerajaan lokal “Pelapisan masyarakat atau stratifikasi dan konsepsi kedatuanto manurung sosial, biasanya dianggap pula sangat (abad XIII-XIV), Kedua, kristalisasi penting untuk dipergunakan dalam kewilayahan kerajaan-kerajaan lokal mencari latar belakang pandangan kesukuan yang berusaha menetapkan hidup, watak, atau sifat-sifat mendasar identitas masing-masing dan dari suatu masyarakat. Malahan lebih diterimanya islam menjadi agama jauh dari pada itu, akan dapat umum rakyat sulawesi selatan (abad diungkapkan dalam warna hubungan- XIV-XVI), Ketiga, pertumbuhan hubungannya” masyarakat islam dan tantangan Selain pelapisan masyarakat Bugis, menghadapi intervensi kekuatan Konsepsi ata (golongan bawah masyarakat bangsa-bangsa barat (abad XVI-XVII), Bugis) dalam Panngaderreng menurut Keempat, perang melawan kolonialisme Mattulada (1991; 28) juga sebagai bentuk dan imperialism Belanda, Inggris, dan hukum-hukum sosial yang ada pada Portugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Bugis, sekitarnya (abad XVII-XIX), Kelima, zaman hindia Belanda (1900-1945).” “ata harus dipandang bukan sebagai suatu lapisan sosial yang fundamental, Usaha untuk membuat generalisasi ata hanya dapat dipandang sebagai dengan melakukan klasifikasi yang berdasar salah satu aspek dari panngaderreng pada fakta-fakta sosial masyarakat Bugis untuk mencegah orang Bugis-

41

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Makassar untuk, pertama menerima antara satu sama lain, keempat, atau menyerah kepada nasib tanpa adanya kecendrungan mengelompokkan usaha, kedua, menyerah dalam perang, diri ke dalam kelompok asli, kelima, tanpa perlawanan habis-habisan, adanya perasaan keterikatan kedalam sebab menjadi ata, berarti seseorang kelompok karena dipengaruhi oleh kehilangan siri‟nya.” hubungan genealogis dan ikatan kesadaran territorial.” Dalam tulisan Mattulada yang berjudul „Manusia dan Kebudayaan Bugis- Sama halnya dengan tulisan Makassar dan Kaili di Sulawesi‟, juga Mattulada yang lain di dalam jurnal ini, secara eksplisit menganggap bahwa Siri‟ yakni „Elit di Sulawesi Selatan (1991; 86- sebagai sesuatu yang sakral (the sacred) 101)‟ mencoba untuk merumuskan dan dan menjadi hukum sosial yang dapat mengklasifikasikan berbagai fakta mengatur pola pikir kehidupan masyarakat kebudayaan masyarakat sulawesi selatan Bugis, dan menghubungkannya dengan perubahan pelapisan masyarakat yang sebenarnya “..anggapan bahwa siri‟ itu bagi tulisan ini juga memiliki kemiripan yang orang Bugis masih tetap merupakan hampir sama dalam karyanya Latoa (1985). suatu yang lekat kepada martabat Sedangkan pada tulisannya tentang „Sirik kehadirannya sebagai manusia pribadi dan Pembinaan Kebudayaan (1991; 102- dan sebagai warga dari suatu 109)‟,penulis menemukan di bagian awal persekutuan. Orang Bugis-Makassar bagaimana Mattuada membahas tentang menghayati siri‟ itu sebagai panggilan konsepsi siri‟ sebagai hukum sosial yang yang mendalam dalam diri pribadinya, bersifat sakral (sacred) dan untuk mempertahankan nilai sesuatu merumuskannya dibagian akhir dengan yang dihormati, dihargai, dan meletakkan konsepsi siri‟ mesti dimilikinya. Sesuatu yang dihormati, bertransformasi dengan konsepsi pancasila dihargai, dan dimilikinya mempunyai sebagai suatu nilai yang berdampak arti esensial, baik bagi dirinya maupun terhadap bagaimana seharusnya masyarakat bagi persekutuannya.” (Mattulada, Bugis-Makassar berpikir, bersikap, dan 1991; 51). bertingkah laku dalam bingkai kenegaraan Sedangkan dalam pembahasannya (1991; 109). tentang manusia dan kebudayaan Kaili, “sirik pada orang Bugis-Makassar, Mattulada berusaha untuk mengeneralisasi kalau itu benar masih potensial untuk berbagai fakta sosial masyarakat Kaili dan dapat menemukan reorientasi merumuskannya kedalam lima ciri-ciri transformasi ke dalam interpretasi pengelompokkan masyarakat Kaili, untuk yang dapat menekapi etos kebudayaan mencoba mengidentifikasi masyarakat Kaili Nasional Pancasila, yang segenap di masa sekarang. Pengelompokkan dan unsur-unsurnya merupakan darah generalisasi masyarakat Kaili oleh daging pribadi sirik, maka niscaya Mattulada (1991; 120) sebagai berikut: sirik itu dapat menjadi daya dorong “pertama, adanya alat komunikasi yang kuat bagi pembinaan kebudayaan antara sesama orang Kaili yaitu Indonesia”. bahasa/dialek yang memelihara Di bagian lain dalam jurnal ini yang keakraban dan kebersamaan diantara menyangkut tentang kebudayaan mereka, kedua, adanya pola-pola masyarakat Kaili, penulis menemukan pola sosiokultural yang menumbuhkan yang seragam dalam tulisan Mattulada perilaku yang dinilai sebagai bagian untuk mengungkap kebudayaan masyarakat dari kehidupan adat istiadat yang Bugis-Makassar dan Kaili, dimana di dihormati bersama diantara mereka, tulisannya yang berjudul „To-Kaili (orang ketiga, adanya perasaan keterikatan 42

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi kaili)‟ dan „Sekelumit sejarah kebudayaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: kaili‟, Mattulada berusaha menjelaskan Porspek Budaya Politik abad ke-21 (1991; bagaimana hubungan antara Kaili dengan 5-12)‟. Dalam tulisan ini Mattulada Bugis-Makassar, kontak seperti apa yang mengawali keyakinannya bahwa: kedua wilayah ini lakukan di masa dulunya “ada seperangkat sistem nilai dan persebarannya diwilayah sulawesi (mengontrol untuk tujuan harmonisasi tengah. Dalam tulisan berikutnya, tentang atau dengan kata lain merupakan „Modal Personality orang Kaili‟ dan „To- konsepsi dasar dari fungsionalisme Kaili dan Hari esok‟, Mattulada juga struktur) dalam semboyan bhineka merumuskan dan menglasifikasi berbagai tunggal ika yang terwujud dalam alam fakta kebudayaan masyarakat Kaili ke pikiran (sistem budaya) dan batang dalam beberapa bagian, yakni tubuhnya yang bergerak (sistem sosial) “makna dan proses pernikahan, untuk memenuhi cita-cita ideal demi merumuskan lima masalah dasar tujuan hidup sebagai manusia”. dalam kebudayaan masyarakat Kaili, Dibagian akhir tulisannya yang sistem keagamaan dan kepercayaan, berjudul „Kesukubangsaan dan Negara bahasa dan kesusasteraan. Selain itu, Kebangsaan di Indonesia: Porspek Budaya Mattulada membuat kesimpulan Politik abad ke-21‟, Mattulada dengan tentang kebudayaan masyarakat Kaili cermat merumuskan dan menggeneralisasi di masa depan, dengan akan terjadinya berbagai fakta-fakta tentang keindonesian kontak dengan berbagai kebudayaan di secara objektif yang meliputi luar masyarakat Kaili, akan kecendrungan-kecendrungan perkembangan berdampak pada cairnya kehidupan global masa depan menjadi tiga hal yang masyarakat Kaili, terlebih lagi jika menjadi tolak ukur dalam landasan ideal masyarakat Kaili mempersiapkan yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia generasi penerusnya dengan bekal dalam Negara republik yang berkedaulatan pendidikan” (1991; 181-182) rakyat (1991; 11) sebagai berikut, Secara keseluruhan, penulis “pertama, abad ke 21 mengembangkan menyimpulkan bahwa kumpulan tulisan rujukan-rujukan kemanusiaan dengan Mattulada dalam jurnal Antropologi pengutamaan kualitas individu dan hak Indonesia No. 48, 1991, sangat bercirikan asasi manusia, sehingga pemerintahan positivisme seperti apa yang dikatakan oleh Negara kurang mejadi layak disebut Ahimsa (1997; 25-28) dengan istilah sebagai penguasa atau kekuasaan dan „etnografi laci‟, dengan membuat lebih tepat dikatakan sebagai klasifikasi kebudayaan masyarakat Bugis- pengelola atau manajer dalam tatanan Makassar dan Kaili di Sulawesi Selatan masyarakat sipil, kedua, Negara- berdasar pada fakta-fakta yang negara nasional semakin tidak populer dikumpulkannya, merumuskan masa depan dengan timbulnya satuan-satuan atau dengan fakta-fakta masa lalu, meyakini kelompok masyarakat yang lebih kecil adanya nilai sosial yang menjadi hukum dalam mengantisipasi terhapusnya sosial dan sangat erat dengan kebudayaan batas-batas kedaulatan Negara yang Bugis-Makassar dan Kaili. diambil alih oleh wilayah-wilayah Tulisan yang terakhir yang penulis perbatasan untuk berhubungan secara lihat untuk lebih memastikan lagi sebuah lansung dengan wilayah batas Negara kepastian penulis terhadap tafsir lain, ketiga, khususnya di Indonesia epistemologi „positivisme‟ dari seorang komposisi persebaran penduduk yang Mattulada ialah pada sebuah jurnal amat tidak merata, tidak mendukung „Antropologi Indonesia No.58 (1999)‟ bagi kekuatan persatuan bangsa dengan judul tulisannya „Kesukubangsaan Indonesia, karena tampilnya mayoritas

43

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tunggal dari salah satu epistemologis (hal.25-48), dalam kelompok/golongan sebagai unsur Koentjaraningrat dan Antropologi di persatuan yang dapat melemahkan Indonesia, Jakarta; Yayasan Obor rasa persatuan dan kesadaran untuk Indonesia memelihara rasa persatuan.” Bryant, 1985, Positivism in Social Theory and Research, London: MACMILLAN PUBLISHER LTD. PENUTUP Setelah menganalisa dan menafsir Durkheim, 1984, The Division of Labour in epistemologis dari seorang Mattulada, Society, London: Macmillan Press khususnya dalam kajian ilmiahnya yang Heidtman, Wysienska, Szmatka, 2000, menganalisis tentang warisan budaya Positivism and Types of Theories in masyarakat Bugis yakni Latoa dengan judul Sociology, Sociological Focus, Vol. karyanya Latoa: suatu lukisan analitis 33, No. 1 (February 2000), pp. 1-26, terhadap antropologi politik orang Bugis, Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu penulis menemukan beberapa pola dan Antropologi, Jakarta: PT RINEKA pandangan Mattulada yang sangat kental CIPTA mencirikan positivisme. Tidak hanya di dalam karyanya Latoa saja, tetapi hampir Kaplan, Manners (terj. Simatupang), 2012, disemua tulisan Mattulada mencirikan hal Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka tersebut. Menjadi suatu kepuasan batin Pelajar tersendiri menyelesaikan tulisan ini sebab Mattulada, 1985, LATOA: Suatu Lukisan sedari awal tujuan penulis yakni mengenal Analitis Terhadap Antropologi Politik lebih jauh sosok Mattulada melalui karya- Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjah karyanya. Hal ini bisa dikatakan sangat Mada University Press. subjektif tetapi penulis memahami bahwa subjektivitas dalam ilmu pengetahuan itu ______, 1998, Sejarah, Masyarakat dan benar adanya. Kebudayaan Sulawesi Selatan, Terakhir, penelitian ini menjadi Makassar: Hasanuddin University penting untuk dikembangkan lagi dengan Press. menggunakan epistemologi berbeda untuk ______, 1991, Masyarakat dan melihat berbagai kemungkinan yang ada di Kebudayaan Bugis-Makassar dan dalam sejarah, polemik, dan kebudayaan Kaili di Sulawesi. Jurnal Antropologi masyarakat Bugis. Sekaligus untuk menjadi Indonesia No.48, Tahun XV Januari- bahan reflektif dalam kehidupan akademis, April. PP. 4-85. khususnya dalam ilmu antropologi. ______, 1991, Elit di Sulawesi Selatan; DAFTAR PUSTAKA Jurnal Antropologi Indonesia No.48, Tahun XV Januari-April. PP. 86-101. Ahimsa, 2009, Paradigma Ilmu Sosial- Budaya (Sebuah Pandangan), ______, 1991, Sirik dan Pembinaan Bandung: sebuah makalah yang Kebudayaan; Jurnal Antropologi disampaikan pada kuliah umum Indonesia No.48, Tahun XV Januari- “paradigma penelitian ilmu-ilmu April. PP. 102-109. humaniora” yang diselenggarakan ______, 1991, Manusia dan Kebudayaan oleh program studi linguistik, sekolah Kaili di Sulawesi Tengah; Jurnal pasca sarjana, Universitas Pendidikan Antropologi Indonesia No.48, Tahun Indonesia. XV Januari-April. PP. 110-120. ______, 1997, Antropologi ______, 1991, To Kaili (orang Kaili); Koentjaraningrat: Sebuah tafsir Jurnal Antropologi Indonesia No.48,

44

Latoa: Antropologi Politik Orang Bugis …. Slamet Riadi

Tahun XV Januari-April. PP. 121- 132. ______, 1991, Sekelumit Sejarah Kebudayaan Kaili; Jurnal Antropologi Indonesia No.48, Tahun XV Januari-April. PP. 133-154. ______, 1991, Modal Personalitiy Orang Kaili; Jurnal Antropologi Indonesia No.48, Tahun XV Januari-April. PP. 157-171. ______, 1991, To Kaili dan Hari Esok; Jurnal Antropologi Indonesia No.48, Tahun XV Januari-April. PP. 172- 181. ______, 1999, Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: Prospek budaya politik abad ke-21; Jurnal Antropologi Indonesia No.58, PP. 5-12. Turner, J.H, 2006, Explaining the Social World: Historicism versus Positivism. The Sociological Quarterly, Vol. 47, No. 3 (Summer, 2006), pp. 451-463 Wicks and Freeman, 1998, Organization Studies and the New Pragmatism: Positivism, Anti-Positivism, and the Searchfor Ethics. Organization Science, Vol. 9, No. 2 (Mar. - Apr., 1998), pp. 123-140

45

PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PEMANFAATAN TANAMAN OBAT PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE SULAWESI TENGGARA (LOCAL KNOWLEDGE REGARDING THE USE OF TRADITIONAL MEDICINAL PLANTS AMONG THE TOLAKI OF THE KONAWE REGENCY IN SOUTHEAST SULAWESI) Raodah Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jl. Sultan Alauddin Km7 Makassar Telp.(0411)883748/885119,Fax (0411)883748 Email: [email protected]

ABSTRACT This written work aims to describe the benefits of medicinal plants utilized by the Tolaki people in treating various illnesses. Local medicinal plant knowledge is experience-based and is passed down from generation to generation. This research takes a qualitative approach, employing the data gathering methods of interviews, observation, and documentation. The results of the research indicate that a subset of the Tolaki population, especially that of the Abelisawah township, continue to make use of concoctions made from medicinal plants in the treatment of both physical and non-physical ailments. The medicinal plants are naturally abundant in the immediate environment, and some are planted around people's houses to serve as family medicine plants. The treatment and administration of the medical plant concoctions are typically performed by a medicine man (mbu' owai), who recites a mantra according to the type of illness ailing the patient. The medicinal plants used by the people of Abelisawa are administered to patients ranging from young children to adults. There are a few factors that cause the people to continue using the medicine men and the traditional medicine for the treatment of various illnesses, namely their economic state, limited access to medical and social services, the belief in the medicine men's power to heal, the understanding of medicinal plants as safe and free from side effects, a lack of knowledge regarding modern medicine, and convenience in terms of time needed for treatment. Keywords: Medicinal Plants, illness, mbu uwoai, Tolaki.

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan manfaat tanaman obat yang digunakan masyarakat Tolaki dalam mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan lokal tentang tanaman obat diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun temurun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Tolaki terutama yang tinggal di Desa Abelisawah masih memanfaatkan tanaman obat sebagai ramuan untuk mengobati penyakit medis dan non medis. Tanaman obat banyak tumbuh secara liar di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, dan sebagian ditanam dihalaman rumah sebagai TOGA (tanaman obat keluarga). Pengobatan dengan ramuan tanaman obat biasanya dilakukan oleh dukun (mbu’ owai) dan dibacakan mantra sesuai dengan jenis penyakit yang diderita pasien. Pemanfaatan tanaman obat digunakan masyarakat Abelisawa mulai dari pasien anak-anak sampai dewasa. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat masih menggunakan dukun dan ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, yaitu faktor ekonomi, terbatasnya tenaga medis, sosial, kepercayaan akan kemampuan dukun menyembuhkan penyakit, tanaman obat dianggap aman dan kurang efek sampaingnya, rendahnya pengetahuan tentang pengobatan medis, dan waktu pelayanan yang mudah.

Kata Kunci: Tanaman obat, penyakit, mbu uwoai, Tolaki. 46

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

PENDAHULUAN maupun tumbuh secara liar. Tanaman tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Pengobatan tradisional pada awalnya untuk diramu dan disajikan sebagai obat dikenal dengan jamu, yaitu ramuan dari guna penyembuhan penyakit. Pada berbagai tanaman obat yang dianggap umumnya yang dimaksud sebagai obat berkhasiat untuk mengobati berbagai tradisional adalah ramuan dari tumbuh- penyakit, hingga sekarang ini jamu telah tumbuhan yang berkhasiat obat. Tumbuhan dikembangkan dalam industri modern dan obat adalah salah satu bahan utama produk- dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu produk jamu. Kartasapoetra (1992) pengobatan alternatif. Setiap daerah menyatakan bahwa “Tanaman obat adalah memiliki karakteristik berbeda-beda tentang tanaman yang berasal dari alam yang masih pengetahuan lokal tanaman obat yang sederhana, murni belum tercampur atau diperoleh berdasarkan pengalaman dan diolah”. Sedangkan Siswanto (1997) diwariskan secara turun temurun. Secara menyebutkan tumbuhan obat adalah umum yang dimaksud dengan obat “tanaman atau bagian tanaman yang tradisional adalah ramuan dari tumbuhan digunakan sebagai bahan obat tradisional yang berkhasiat sebagai obat yang diketahui atau jamu. Tanaman atau bagian tanaman dari penuturan orang-orang tua atau yang digunakan sebagai bahan pemula berdasarkan pengalaman. Tradisi dan bahan baku obat “. pengetahuan masyarakat lokal di daerah Dalam budaya masyarakat Tolaki sejak pedalaman tentang pemanfaatan tumbuhan lama telah mengenal pengetahuan yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan penggunaan tanaman telah berlangsung sejak lama. Pengetahuan obat untuk penyembuhan berbagai ini dimulai dengan dicobanya berbagai penyakit. Mereka mengenal adanya tokoh tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dianggap mempunyai hidup. Tradisi pemanfaatan tumbuhan pengetahuan dalam hal pengendalian dan sebagian telah dibuktikan kebenarannya penyembuhan berbagai jenis penyakit. Para secara ilmiah, namun masih banyak yang tokoh pengobat tradisional disebut belum tercatat secara ilmiah dan mbu’uwoai (dukun), sedang konsep disebarluaskan melalui publikasi-publikasi. pengobatan disebut mepakuli dan penyakit (Florentina, et.al.2006) diartikan ohaki. Konsep pengetahuan Salah satu ciri budaya masyarakat di budaya orang Tolaki yang berkaitan dengan negara berkembang adalah masih tanaman obat umumnya dihafalkan dan dominannya unsur-unsur tradisional dalam disimpan dalam ingatan para tokoh kehidupan sehari-hari. Keadaan ini pengobat dan masyarakat yang sering didukung oleh keanekaragaman hayati yang menggunakan tanaman obat, sebagai salah terhimpun dalam berbagai tipe ekosistem satu alternatif dalam mengobati berbagai yang pemanfaatannya telah mengalami penyakit. Pencatatan sistem pengetahuan sejarah panjang sebagai bagian dari menyangkut ramuan tradisional pada kebudayaan. Penggunaan bahan alam masyarakat Tolaki dianggap sangat sebagai obat tradisional di Indonesia telah potensial bagi usaha pelestarian, sebagai dilakukan sejak berabad-abad yang lalu bagian dari pengetahuan budaya daerah. terbukti dari adanya naskah lama pada daun Menurut konsep pengobatan lontar Husodo (Jawa, Usada (Bali), tradisional orang Tolaki, bahwa suatu Lontarak Pabbura (Sulawesi Selatan) yang penyakit timbul bukan disebabkan sesuatu memanfaatkan berbagai tanaman untuk basil atau virus atau lainnya melainkan menyembuhkan berbagai penyakit semata-mata karena gangguan setan atau (Hafid,1992/1993) karena disebabkan oleh bikinan orang yang Tanaman obat-obatan tradisional iri hati, benci melalui apa yang disebut o adalah tanaman yang dapat dipergunakan doti nilalaeami (ilmu hitam, racun melalui sebagai obat, baik yang disengaja ditanam 47

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 makanan dan minuman dan dengan cara budaya. Oleh sebab itu, dipandang perlu apapun). Orang Tolaki apabila sakit lebih adanya usaha penelitian dan pengkajian banyak menggunakan mbu’uwoai dari pada mengenai sistem pengetahuan lokal tentang pengobatan dokter. Seorang dukun dalam bagaimana pemanfaatan tanaman obat pada mengobati suatu penyakit menggunakan masyarakat Tolaki, sebagai salah satu sejumlah tanaman obat, mereka meramu bagian dari sistem pengetahuan lokal bahan obat-obatan tersebut, lalu diminum tentang pengobatan tradisional dan faktor- atau digosokkan kebadan untuk faktor apa yang mempengaruhi masyarakat menyembuhkan berbagai penyakit Tolaki di Desa Abelisawah masih (Tarimana, 1993). melakukan pengobatan tradisional. Tujuan Banyak manfaat yang dirasakan oleh penelitian untuk mendeskripsikan sistem masyarakat dengan adanya tanaman obat, pengetahuan lokal berkaitan dengan jenis- bahkan tanaman obat dapat menjadi salah jenis tanaman obat dan pemanfaatannya satu alternatif yang dapat menyebuhkan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, berbagai macam penyakit yang sangat serta untuk mendeskripsikan dan ekonomis. Meskipun kemajuan dalam menganalisis faktor–faktor yang bidang teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi masyarakat Tolaki memilih terus berkembang pesat, namun dan menggunakan pengobatan tradisional. penggunaan tumbuhan obat sebagai obat tradisional oleh masyarakat terus meningkat METODE perkembangannya. Hal ini dapat dilihat Penelitian ini adalah penelitian yang terutama dari banyaknya obat tradisional bersifat deskriptif dengan memfokuskan dan jamu-jamu yang diproduksi oleh pada pengetahuan lokal tentang industri-industri. Menurut Surpiono (1997) pemanfaatan tanaman obat pada masyarakat ada beberapa manfaat tumbuhan obat, Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pendekatan seperti; a) menjaga kesehatan. Fakta penelitian yang digunakan adalah keampuhan obat tradisional dalam pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menunjang kesehatan telah terbukti secara diharapkan dapat mengungkap empirik, penggunaannya pun terdiri atas permasalahan yang berhubungan dengan berbagai lapisan, mulai anak-anak, remaja, penelitian ini. Dalam pendekatan kualitatif, dan orang lanjut usia; b) memperbaiki cara hidup dan cara pandang atau status gizi masyarakat. Banyak tanaman ungkapan-ungkapan emosi dari warga apotik hidup yang dapat dimanfaatkan masyarakat yang diteliti mengenai suatu untuk perbaikan dan peningkatan gizi gejala yang ada dalam kehidupan mereka misalnya kacang, sawo, belimbing wuluh, itu justru digunakan sebagai data (Moleong, sayur-sayuran, buah-buahan sehingga 2001). kebutuhan vitamin akan terpenuhi; c) Lokasi penelitian di Desa Abelisawah menghijaukan lingkungan. Meningkatkan Kecamatan Angglomoare, pemilihan lokasi penanaman apotik hidup salah satu cara tersebut didasarkan atas pertimbangan untuk menghijaukan lingkungan tempat bahwa di desa tersebut masih banyak tinggal; dan d) meningkatkan pendapatan masyarakat yang masih memanfaatkan masyarakat. Penjualan hasil tanaman akan tanaman obat untuk menyembuhkan menambah penghasilan keluarga. berbagai penyakit. Data yang dikumpulkan Menyadari arti pentingnya peranan dalam penelitian berasal dari dua sumber, pengetahun pemanfaatan tanaman obat yaitu data primer dan sekunder. Data tradisional dalam rangka pembinaan dan primer, yaitu data yang diperoleh langsung pengembangan unsur kebudayaan daerah, melalui wawancara dengan informan yang sebagai bagian dari integral dari upaya terdiri atas: mbu wuoi (dukun) tokoh-tokoh pembangunan nasional, yang terkait dengan adat, masyarakat yang memanfaatkan pembinaan karakter bangsa dan ketahanan tanamana obat. Teknik wawancara dengan

48

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah menggunakan panduan wawancara km, sekitar 1 jam perjalanan, dan dari ibu (interview guide) dalam hal ini pengetahuan kota provinsi juga relatif dekat sekitar 16 lokal masyarakat Tolaki tentang km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. pemanfaatan tanaman obat. Data sekunder, Desa Abelisawah adalah pemekaran yaitu data tertulis yang diperoleh dari dari Desa Sampara pada tahun 1980 dan sumber arsip-arsip lokal yang berguna bagi definitif pada tahun1982. Pada tahun 1996 penelitian seperti, Badan Pusat Statistik, Desa Abelisawah, sebagai desa induk dan sumber kepustakaan, seperti jurnal, dimekarkan dan terbentuklah Desa Galu artikel, makalah, tesis, disertasi, dan sebagai pemekarannya. Nama Desa internet. Data ini meliputi: keadaan Abelisawah dalam bahasa Tolaki berarti: geografis dan luas wilayah, topografi dan “air yang turun dari sawah”. Secara iklim, kondisi demografi, Desa Abelisawah. adminitratif Desa Abelisawah mempunyai Teknik Analisis data dalam penelitian batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah ini digunakan metode analisis deskriftif- utara berbatasan dengan Desa Andobeu kualitatif, yaitu analisis data dilakukan Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan sejak awal penelitian dan selama proses Kota Kendari, sebelah timur berbatasan penelitian dilaksanakan. Data diperoleh, dengan kelurahan Lakomea, dan sebelah kemudian dikumpulkan untuk diolah secara barat berbatasan dengan Desa Puusawah sistematis. Dimulai dari wawancara, Jaya. observasi, mengedit, mengklasifikasi, Desa Abelisawah mempunyai luas ± mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian 122 km² yang terbagi kedalam tiga dusun, data serta menyimpulkan data. Teknis yaitu: Dusun I Kapundepongisi (dua pohon analisis data dalam penelitian ini beringin yang bertemu), Dusun II menggunakan model analisis interaktif. Tentengapu (titiannya dari pohon beringin), Pada penelitian ini, verifikasi data dan Dusun III Andobeu (wilayahnya berada dilakukan secara terus menerus sepanjang diantara dua gunung/bukit). Kondisi proses penelitian dilakukan. Sejak pertama geografis Desa Abelisawah merupakan memasuki lapangan dan selama proses dataran rendah, berawa-rawa dan sebagian pengumpulan data, peneliti berusaha untuk berbukit. Jenis tanahnya berwarna menganalisis dan mencari makna dari data kemerahan yang relatif subur, cocok untuk yang dikumpulkan. Pada akhirnya, data ditanami berbagai jenis tanaman termasuk akan diinterpretasikan dalam kaitannya tanaman obat yang banyak digunakan dengan materi penelitian. Hasil analisis data masyarakat untuk mengobati berbagai merupakan jawaban terhadap masalah yang penyakit. Selain tanaman obat ini tumbuh dikemukakan dalam penelitian ini. subur secara liar dibukit-bukit dan di rawa- rawa, di sekitar wilayah Desa Abelisawah. PEMBAHASAN Sebagian lagi dibudidayakan oleh Profil Desa Abelisawah masyarakat melalui TOGA (Tanaman obat keluarga), yang ditanam di pekarangan Lokasi penelitian adalah masyarakat rumah penduduk sebagai tanaman apotek Tolaki yang bermukim di Desa Abelisawah, hidup. Kecamatan Anggolomoare, Kabupaten Berdasarkan data monografi Desa Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa Abelisawah tahun 2017 tercatat Abelisawah terletak di pinggiran kota keselurahan penduduk berjumlah 480 jiwa Kendari, merupakan jalan poros Kendari– dengan rincian 230 jiwa laki-laki dan 250 Kolaka dengan kondisi jalan cukup baik. jiwa perempuan yang terdiri dari 69 kepala Jarak Desa Abelisawah dari ibu kota keluarga (KK) yang terbagi dalam beberapa Kecamatan Anggolomoare ± 7 km yang suku bangsa, yaitu suku Tolaki yang dapat ditempuh sekitar 15 menit, sedangkan merupakan penduduk asli dan beberapa jarak dari ibu kota Kabupaten Unaaha ± 58 suku pendatang seperti Bugis, Makassar,

49

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Muna, Buton, Toraja, dan etnis Jawa. mengutamakan ilmu pengetahuan dan Walaupun mayoritas penduduk Desa pengalaman yang dimilikinya sehingga Abelisawah adalah suku Tolaki, namun pemilihan dalam pengobatan juga mereka dapat menerima suku lain dan hidup dilakukan sesuai dengan tingkat secara damai. pendidikannya. Masyarakat Desa Berdasarkan kelompok usia balita dan Abelisawah sebagian besar masih memiliki anak-anak 0-5 tahun dan 0–9 tahun pendidikan rendah sehingga pengetahuan merupakan kelompok usia terbanyak, pada mereka tentang pengobatan medis masih tingkatan ini pilihan pengobatan yang minim. Pada tingkatan ini, mereka dilakukan apabila mereka sakit masih cenderung melakukan pengobatan dengan banyak yang menggunakan jasa dukun menggunakan jasa dukun. Bagi mereka utamanya dukun beranak, karena penyakit yang memiliki tingkat pendidikan lebih yang sering diderita oleh balita dan anak- tinggi misalnya SMA dan Sarjana lebih anak adalah panas, kejang-kejang, dan memilih pengobatan medis melalui penyakit cacar. Apabila terjadi hal tersebut Puskesmas karena tingkat pengetahuan biasanya mereka tidak membawanya ke mereka tentang penyebab penyakit dan dokter, karena ada anggapan penyakit pengobatannya telah dipahami berdasarkan tersebut hanya dapat disembuhkan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Akan dukun. tetapi, masih ada di antara mereka masih Pada tingkatan usia 15–25 tahun (usia berobat ke dukun, apabila penyakit yang remaja), mereka masih tergolong sering dideritanya tidak dapat disembuhkan secara melakukan pengobatan dengan medis, misalnya penyakit yang disebabkan menggunakan jasa dukun karena pada usia oleh roh halus dan guna-guna. tersebut masih dikendalikan oleh orang tua. Penduduk Desa Abelisawah memiliki Demikian pula pada usia remaja, mereka beragam mata pencaharian, seperti petani, sangat aktif dan sering mengalami patah pegawai negeri sipil, pensiunan, supir, tulang. Apabila terjadi hal tersebut, mereka wiraswasta, tukang kayu/batu, buruh, dan lebih memelih jasa dukun urut. Kalau sebagainya. Masyarakat Abelisawah mereka menderita penyakit kerasukan roh terbanyak adalah petani, baik petani ladang jahat, pengobatan dilakukan secara maupun petani sawah. Hasil perkebunan tradisional oleh mbu’uwoai. berupa coklat, jambu mete, kelapa, sayur- Untuk tingkatan usia 26–40 tahun (usia sayuran, dan sebagian dari penduduk ada dewasa) pada umumnya menggunakan jasa yang memiliki lahan sagu. Bagi pegawai medis yaitu berobat ke puskesmas negeri dan pensiunan selain mereka Kecamatan Anggalomoare. Akan tetapi, menerima gaji mereka juga mempunyai sebagian dari mereka masih menggunakan usaha tambahan yaitu bertani, berkebun dan jasa dukun dengan alasan keuangan dan usaha perdagangan yang dilakukan selepas jarak puskesmas yang jauh. Pada usia 50– jam kerja. Bagi penduduk yang berprofesi 60 tahun adalah usia manula mereka sebagai tukang, wiraswasta, dan buruh tetap tergolong yang paling sering menggunakan memiliki usaha perkebunan. Hal ini jasa dukun karena berdasarkan pengalaman dimungkinkan karena di sekitar wilayah dan kepercayaan mereka akan kemampuan Desa Abelisawah masih cukup luas untuk dukun yang dapat menyembuhkan berbagai diolah menjadi lahan pertanian dan penyakit sehingga mereka lebih dahulu perkebunan. memilih berobat ke dukun sebelum berobat Kemampuan dalam pemilihan ke medis. pengobatan sangat dipengaruhi oleh tingkat Pola pikir dan prilaku masyarakat pendapatan masyarakat. Bagi masyarakat sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang bermata pencaharian sebagai buruh, yang dimiliki. Dalam hal pemilihan petani, dan tukang, mereka lebih banyak pengobatan, masyarakat senantiasa berobat kedukun daripada ke puskesmas,

50

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah walaupun mereka memiliki kartu dana sehat baik organ-organ tubuh manusia maupun (KDS). Berbeda halnya bagi mereka yang jiwa manusia. Persepsi masyarakat Tolaki bermata pencaharian sebagai PNS dan tentang sehat, dengan demikian bukan pensiunan lebih banyak yang berobat ke hanya terbatas pada kondisi stabil puskesmas karena mereka memiliki kartu berkenaan dengan aspek jasmani, askes, tetapi pada saat tertentu mereka ada melainkan juga meliputi aspek rohani. juga yang berobat ke dukun apabila mereka Dalam konteks pengertian itu, maka merasa bahwa penyakit yang dideritanya seseorang tidak dapat dikatakan sehat adalah guna-guna. kecuali apabila orang tersebut demikian Penduduk Desa Abelisawah semua stabil sehingga ia tidak mengalami bahkan beragama Islam dari jumlah keseluruhan juga tidak merasakan adanya gangguan penduduk, Desa Abelisawah terdapat satu apapun baik terhadap organ-organ tubuhnya bangunan masjid yang digunakan maupun rohani atau kejiwaannya. masyarakat untuk salat berjamaah dan Istilah medidohai waraka (sehat aktivitas keagamaan lainnya. Walaupun walfiat) merupakan pengetahuan budaya mereka penganut agama Islam, tetapi dalam orang Tolaki yang dikenal sebagai konsep kesehariannya mereka masih melakukan kesehatan yang mengacu pada situasi ritual yang terkait dengan kepercayaan ataupun keadaan yang mencerminkan nenek moyangnya. Apabila mereka sakit adanya keseimbangan organ-organ tubuh selain memohon pertolongan dari Allah swt manusia dan jiwa manusia. Selain istilah mereka juga melakukan ritual kepada arwah mendidohai tersebut masyarakat Tolaki leluhurnya. mengenal pula istilah ”iyepoka ku waraka Masyarakat Tolaki di Desa niino meohaki” berarti baik-baik saja (tidak Abelisawah sangat menghormati arwah ada gangguan kesehatan). Dalam bahasa leluhurnya, mereka sering datang ke Tolaki mengacu pada konsep budaya yang makam-makam untuk membersihkan dan mengandung pengertian tentang keadaan membawakan sesajen di letakkan, lalu di seseorang yang sudah sembuh dari penyakit atas kuburan. Perilaku ini mencerminkan yang pernah di deritanya. Pada hakikatnya perhatian mereka kepada arwah leluhur, mencerminkan adanya keadaan seseorang mereka mempunyai kepercayaan apabila yang sudah kuat kembali sesudah menderita tidak memperhatikan kuburan nenek penyakit moyang, maka arwahnya akan marah. Sakit dianggap sebagai suatu keadaan Akibat dari kemarahan itu akan badan yang kurang menyenangkan, bahkan menyebabkan keluarga yang masih hidup dirasakan sebagai siksaan sehingga menjadi sakit. Agar kuburan keluarga menyebabkan seseorang tidak dapat mereka tetap terpelihara dan terawat dengan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti baik, kebiasaan masyarakat Tolaki apabila halnya orang yang sehat. Sedangkan konsep ada anggota keluarganya yang meninggal personalistik menganggap munculnya dunia dikuburkan di belakang atau di penyakit (illness) disebabkan oleh samping rumahnya. intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, Pengetahuan Lokal tentang Kesehatan leluhur atau roh jahat), atau makhluk Pada masyarakat Tolaki belum manusia (tukang sihir, tukang tenung). ditemukan adanya rumusan definitif Pengertian sakit dalam istilah maupun konsep baku tentang persepsi masyarakat Tolaki yang digunakan sehari- masyarakat yang bertalian dengan konsep hari yaitu meohaki. Istilah tersebut mengacu sehat. Menurut pengetahuan budaya orang pada konsep sakit yang berarti kondisi atau Tolaki konsep kesehatan mengacu pada keadaan fisik maupun rohani seseorang pengertian tentang situasi ataupun keadaan yang sedang mengalami ketidakseimbangan. yang mencerminkan adanya keseimbangan Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki,

51

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 terjadinya ketidakseimbangan tersebut unsur panas, sementara apabila tubuh dalam disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu keadaan istirahat, maka yang berperan faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah unsur dingin. Jika terlalu banyak menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan beraktivitas dan kurang istirahat akan dalam diri manusia karena kondisi organ- mendatangkan penyakit. Demikian pula organ tubuh manusia itu sendiri tidak sebaliknya, apabila kita tidak beraktivitas berfungsi sebagaimana mestinya, dan kurang bergerak juga akan disamping adanya faktor keturunan. menimbulkan suatu penyakit Sedangkan faktor luar terdiri atas beberapa Seorang pengobat tradisional unsur masing-masing adalah berupa mbu’uwoai juga menerima pandangan serangan wabah penyakit, perubahan kedokteran modern dan mempunyai keadaan suhu udara, gangguan makluk pengetahuan yang menarik mengenai halus, keracunan, kutukan, dan berbagai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit unsur lingkungan termasuk buatan sesama adalah sebagai berikut; sakit badaniah manusia (guna-guna). berarti ada tanda-tanda penyakit di Menurut konsep masyarakat Tolaki badannya seperti panas tinggi, penglihatan penyakit atau yang dikenal dengan istilah lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur ohaki. Orang Tolaki secara tradisional tidak terganggu, dan badan lemah atau sakit, mengenal bahwa sesuatu penyakit timbul maunya tidur atau istirahat saja. Pada karena disebabkan sesuatu basil atau virus penyakit batin tidak ada tanda-tanda di atau lainnya tetapi semata-mata karena badannya, tetapi bisa diketahui dengan keadaan cuaca, gangguan setan atau karena menanyakan pada yang gaib (wawancara, disebabkan oleh bikinan orang yang iri hati, Jamaluddin Oktober 2017) benci melalui apa yang disebut o doti Pandangan masyarakat Tolaki tentang nilalaeami (ilmu hitam, racun melalui penyakit dikategorikan dari penyakit biasa makanan dan minuman dan dengan cara yang tidak menular dan tidak berbahaya dan apapun). penyakit menular dan berbahaya. Adapun Masyarakat Tolaki di Desa penyakit yang dianggap tidak berbahaya, Abelisawah mengklasifikasikan penyakit misalnya luka ringan seperti luka bakar atau menjadi tiga jenis, yaitu penyakit biasa, luka terkena benda tajam, bisul, kutil, gatal. penyakit karena magis, dan penyakit karena Sedangkan penyakit yang dianggap makanan. Penyakit biasa adalah penyakit berbahaya dan menular menurut masyarakat yang umum diderita oleh penduduk seperti Tolaki memerlukan jangka waktu yang demam, batuk dan flu, sakit badan dan sakit lama dalam pengobatannya, misalnya kepala yang timbul akibat perubahan cuaca penyakit humongo molua o beli (batuk dan yang berubah-ubah. Penyakit karena magis muntah darah), morewiwi (malaria), haki diyakini oleh penduduk timbul akibat te’meako o watu (penyakit pinggang dan pelanggaran tata cara hidup di alam seperti kencing batu), tewuta pe’una (muntah halnya penyakit gila, ayan, atau lumpuh. berak). Penyakit selanjutnya menurut masyarakat Penyakit yang disebabkan oleh disebabkan karena makanan yang tidak makhluk halus maka dukun melakukan sehat. pengobatan dengan cara yang disebut Demikian pula pengetahuan tentang mowea (memisahkan atau melepaskan), terjangkitnya penyakit disebabkan oleh maksudnya memisahkan atau mengeluarkan ketidakseimbangan kondisi tubuh dimana penyakit yang ada dalam tubuh penderita dalam tubuh seseorang terdapat dua unsur dan dikembalikan kepada makhluk halus yang saling mempengaruhi, unsur tersebut penyebab dari suatu penyakit. Pengobatan adalah unsur panas dan unsur dingin. melalui mowea tersebut dilakukan dengan Apabila seseorang melakukan aktivitas menggunakan kalo dalam versinya yang maka yang berperan dalam tubuhnya adalah lain disebut o eno (kalung emas) yang

52

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah dilengkapi dengan kain sarung, wadah untuk mengobati pasien pada umumnya anyaman sebagai pengalas sarung, dan hulo bersumber dari bacaan Al-Qur’an dan taru (lampu lilin). Melalui perantara kalo bercampur dengan bahasa Tolaki. Salah itu dukun memanggil mantera-mantera. satu mantra yang biasa digunakan untuk Kalo dengan mantera-mantera yang mengobati berbagai penyakit berbunyi: dipersembahkan kepada makhluk halus “Bismillahirrahmanirrahim kuonggo yang bersangkutan dapat berdamai dengan wowaii…..(sebut nama pasien yang diobati) si sakit karena pada dasarnya penyakit yang ari-arino ronga taariarino ombulataalah ditimbulkan oleh makhluk halus adalah tumoorike. Mantra ini bermakna akibat dari penyakit atau keluarganya yang kesembuhan suatu penyakit hanya Tuhan menganggu ketentramannya. Atau karena yang menentukan, jadi manusia hanya hubungan antara manusia dengan dunia berusaha dan bermohon kepada Yang Maha gaib tidak harmonis adanya. Ada Kuasa (wawancara, 7 Oktober 2017) pengobatan dukun yang berhasil dan ada Selain itu ada mantra ketahanan Tubuh pula yang tidak berhasil. (tanggawuku) bunyinya: Bismillahirrah- manirrahim Nabihaluru nabihelere Mantra dalam Pengobatan Tradisional Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Suku Tolaki Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona Mantra adalah sesuatu yang lahir dari Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi- masyarakat sebagai perwujudan dari poindi’anggu Nabi Muhammad. Mantra ini keyakinan atau kepercayaan. Dalam merupakan mantra yang digunakan untuk masyarakat tradisional, mantra atau dalam membuat tulang kuat agar tidak mudah bahasa Tolaki disebut o’doano bersatu dan lelah. Mantra ini dilafazkan dalam rangka menyatu dalam kehidupan sehari-hari, untuk meminta kesehatan badan dalam seorang mbu’uwoai (dukun) yang ingin beraktivitas sehari-hari. Seperti pada menghilangkan dan menyembuhkan suatu umumnya, mantra ini pun dimulai dengan penyakit. Masyarakat sangat meyakini basmalah (Fitri, 2011). bahwa pembacaan mantra merupakan Setiap mbu’uwoai memiliki mantra wujud dari sebuah usaha untuk mencapai yang digunakan untuk mengobati keselamatan dan kesuksesan. Kepercayaan pasiennya, sesuai dengan pengetahuan dan tentang adanya suatu kekuatan gaib yang pengalaman yang dimiliki. Pada umumnya mendorong mereka untuk merealisasikan mantra selalu diawali pembacaan basmalah, kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata ini berarti bahwa masyarakat suku Tolaki untuk memenuhi kebutuhan. Pada sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai umumnya, pembacaan mantra selalu Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan mangandung dua unsur pokok. Kedua unsur pulalah yang menentukan sehat dan itu adalah ritual dan magis. Ritual sakitnya manusia. Manusia boleh berusaha, merupakan tindakan atau usaha yang boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap dilakukan oleh manusia untuk “meminta” berada pada kehendak Tuhan. Tampaknya kepada “Sang Penguasa”, sedangkan magis juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan lebih bersifat “memerintah” melihat teks mantra di atas. Kata Allah Dalam ilmu pengobatan tradisional Taala “Allah swt” dan Muhammad “Nabi masyarakat Tolaki, dukun atau mbu’uwoai Muhammad saw” menjadi petunjuk dapat menyembuhkan penyakit karena terhadap paham Islam yang diyakini dalam kemampuan mantra yang dibacakan sebagai lingkup masyarakat itu. Mantra di atas suatu kekuatan sakral dan sakti yang menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk diperoleh melalui proses belajar dan memohon pertolongan dan rahmat dari pewarisan dari para pendahulunya. Tuhan dan Rasulnya. Menurut dukun Jamaluddin (55 tahun), bahwa mantra-mantra yang dipergunakan

53

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Pengetahuan Lokal Tentang Jenis seseorang. Umumnya kepercayaan Tanaman Obat dan Pemanfaatan untuk tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu Mengobati Berbagai Penyakit jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh Seperti halnya masyarakat pedalaman dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan lainnya di Indonesia, masyarakat Tolaki dengan nilai-nilai religius. juga memiliki sistem pengetahuan tentang Berbagai jenis tanaman yang pengelolaan keanekaragaman sumber daya digunakan untuk mengobati berbagai alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu penyakit. Tanaman obat ini banyak tumbuh sistem pengetahuan tersebut adalah disekitar tempat tinggal mereka. pemanfaatan tumbuhan untuk pemenuhan Berdasarkan penuturan dukun Jamaluddin kehidupan sehari-harinya, antara lain (55 tahun), bahwa masyarakat Tolaki telah sebagai bahan obat tradisional. Oleh lama mengenal berbagai jenis-jenis masyarakat, tumbuhan obat dimaksud tanaman dan cara pemanfaatannya untuk adalah semua jenis tumbuhan yang dapat mengobati berbagai jenis penyakit. digunakan sebagai ramuan obat, baik secara Pengetahuan tersebut diperoleh dari nenek tunggal maupun campuran yang dianggap moyang mereka dan berdasarkan dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu pengalaman dan telah digunakan secara penyakit atau dapat memberikan pengaruh turun temurun. Pemanfaatan tanaman obat terhadap kesehatan. Tidak semua dalam pengobatan tradisional masyarakat masyarakat Tolaki memiliki tingkat Tolaki biasanya dilakukan oleh mbu’wuoi pengetahuan yang sama dalam atau diramu sendiri oleh masyarakat. memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut Adapun tanaman yang biasa dijadikan bahan obat, yaitu : sangat terkait dengan ilmu pengetahuan

No Nama Tanaman Manfaat Cara Pengobatan Bentuk Obat Tanaman Tanaman 1 O’bite (Tolaki) daun Mengobati Penyakit Untuk penyakit mimisan sirih (Indonesia), Tenggoro (mimisan) Daun sirih digulung dan Blumea balsamifera dan robande dimasukkan kelobang hidung (latin) (keputihan). Daun sirih Untuk penyakit keputihan sebagai anti septik daun sirih direbus dan airnya untuk infeksi dijadikan obat cebok 2 Sambalu dawa untuk mengobati Air perasan Asam jawa (Tolaki) asam Jawa penyakit dicampur bubuk kopi dalam (Indonesia) humongo/molua o’beli gelas kemudian aduk rata lalu Tamarindus indica (muntah darah), diberi mantra dan (Latin) diminumkan kepada penderita muntah darah Sumber: Tribun.com 3. Takule atau tawa Untuk mengobati Daun belimbing direbus belumbi (Tolaki) penyakit meita beli dengan tiga gelas air daun belimbing sehingga tersisa 2 gelas (hipertensi) wuluh (Indonesia) diminum pada pagi sore

Sumber: Sumber:infobuah com 4. Munde inahu mengobati penyakit untuk penyakit bengkak- (Tolaki) Jeruk nipis kamba-kamba bengkak yaitu :air perasan (Indonesia), Citrus (bengkak-bengkak), jeruk nipis dicampur dengan aurantifolia (Latin) yang terjadi pada bubuk kapur, kemudian

54

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

persendian, dan dimasukkan kedalam ember momole/binala (keram- yang berisi air lalu diaduk keram) dibacakan mantra dan dimandikan kepasien

Sumber: doktersehat.com

5. O’kudu (Tolaki) penyakit, mohida Pengobatan untuk sakit pilek kencur (Indonesia) (pilek), mohaki ulu irisan kencur direbus dengan Kaempferia galanga (sakit kepala), dan 3 gelas air dan tersisa 1 gelas (latin) humongo (sakit batuk) diminum hangat Sedang untuk sakit kepala parut 1 ruas kencur lalu ditempelkan

di kepala. Sumber: Nagaswara fm.com 6. lo’io (Tolaki) jahe mengobati sakit satu ruas jahe diiris-iris (Indonesia) Zingiber tenggerokan, masuk tambah gulajawa direbus officinale (latin) angin dan obat rematik. dengan 3 gelas air dan sisa 1gelas kemudian diminum hangat. Sedang untuk obat rematik campur parutan jahe

dengan merica (marisa) lalu dioleskan pada tempat sakit Sumber: Hellosehat.com

7. O’kuni (Tolaki) mengobati berbagai 3 ruas kunyit dan 3 siung kunyit (Indonesia) penyakit diantaranya o bawang merah ditumbuk, air Curcuma domestica rombo (cacar) perasan ramuan ini Val (Latin) diminumkan si penderita 3 kali sehari.

Sumber: herba Indonesia.com 8. Lasuna momeo mengobati penyakit bawang merah di parut lalu (Tolaki) bawang dimoreo (demam) di tempelkan pada dahi, merah (Indonesia) sebagai kompres dilakukan berulang-ulang Allium ascalonicum penurun panas. Kalau sampai turun panasnya. L.(Latin) bawang putih untuk Bawang putih dibakar lalu Sumber Bawang putih menurunkan tekanan dimakan faktualnews.com Lasuna wila darah tinggi. Allium Sativum 9. Padamalala (Tolaki) untuk mengobati Akar dan batang sereh utuh, Sereh (Indonesia) haki wukua sakit dicuci dan direbus dengan 1 Cymbopogon pinggang dan sakit gigi gelas air selama 15 menit citratus (Latin) mohaki ngisi. diminum 2 kali sehari untuk

sakit gigi air rebusan sereh gunakan untuk kumur- Sumber: budidaya kumur. kita.com

55

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

10. Ta’umo (Tolaki) mengobati penyakit Daun ta’umo direbus lalu daun sembung haki oro (penyakit diminum beberapa kali (Indonesia) Blumea kuning) sampai sembuh balsamifera (latin)

Sumber: Jamu obat.com 11. O’paku (Tolaki) untuk mengobati pucuk daun o’paku yang pakis (Indonesia) penyakit okamba masih menggulung nephrolephis (bisul) dilumatkan dan ditempel di bisserata (Latin) pinggir bisul, tetapi jangan sampai menutupi mata bisul, diamkan selama beberapa menit. Sumber: pixabai.com 12 Tawa Sabandara mengobati penyakit segenggam daun tawa (Tolaki) daun kudis (onggori). sabandara lalu cuci bersih ketepeng cina obat pencahar, dan dihaluskan, dioleskan (Indonesia) cassia parako (sembelit) pada kudis dilakukan alata L (Latin) berulang-ulang hingga kudis mengering. Untuk penderita Sumber: sembelit air rebusan daun bukumedis.com ketepeng diminum pada

malam hari sebelum tidur Salumba watu digunakan akar salumba watu dicuci (Tolaki) Sadagori menyembuhkan mohaki bersih lalu ditumbuk halus atau sidaguri ngisi (sakit gigi). dan ditempelkan pada bagian (Indonesia) sida lubang gigi yang sakit rbombifolia Sumber:Indontwork. L.(latin). co.id 13. Kateba (Tolaki), mengobati penyakit cabut satu batang kateba tapak liman moreowiwi (malaria) beserta akarnya lalu cuci (Indonesia) dan deman (moreo) bersih kemudian rebus elephantopus scaber dengan 3 gelas air dan tersisa (latin) 1 gelas, diminum pagi dan Sumber: Herbalis sore sampai demannya Nusantara.com sembuh. 14 Dama-dama (tolaki) mengobati lidah bayi, getah daun jarak dan oleskan Jarak pagar apabila lidahnya pada bagian lidah bayi yang (Indonesia) Jatropha berwana putih, maka berwarna putih curcas L (Latin) biasanya bayi malas menyusu ke ibunya.

Sumber: id.wikipedia.org 15 Rare/Tulasi dahu Obat luka diantaranya segenggam tawa tulasi cuci (Tolaki) tahi ayam, obat luka iris (moaka bersih kemudian diremas- tembelekan(Indonesi inea) dan luka bakar remas ditempelkan pada a), lantana camara (mohaka mohai) luka. (latin).

Sumber: ms. wikepedia.org

56

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

16 Tawa ngapaea mengobati penyakit meminum rebusan daun (Tolaki) daun moreowiwi (malaria) pepaya sebanyak mungkin Pepaya (Indonesia) carica papaya (Latin) Sumber:novi- biologi. blogspot.com 17. Tawa dambu mengobati penyakit segenggam daun jambu biji (Tolaki), daun jambu teuwuta peua lalu rebus dengan 3 gelas air biji (Indonesia), (muntaber) hingga tersisa 1 gelas, Guava, psidium diminum sampai sembuh guajava linn (Latin). Sumber: manfaat.co.id 18 Balandete (Tolaki), obat untuk pengobatannya menempelkan aka lambuang menghilangkan daun yang sudah dihaluskan (Indonesia) ketombe dan obat luka pada kulit kepala yang merremia paltata (moaka) berketombe dan didiamkan (latin) penyakit hosa (sesak sejenak baru rambut dicuci nafas dan gejala asma) bersih. Untuk penyakit hosa kulit batang yang bergetah Sumber:israhayati.w direbus 3 gelas air dan tersisa ordpress.com 1 gelas, lalu diminum sampai sembuh. 19 Olae (Tolaki) mengencang perut dan segenggam olae direbus lalu kecombrang alat vital pasca airnya diminum, disamping (Indonesia) etlingera melahirkan. mengencangkan juga sp (Latin) berkasiat untuk mengeluarkan darah kotor Sumber:id.wikipedia sehabis melahirkan. .com 20 Puu inea (Tolaki), mengobati penyakit tumbuk halus dan airnya di pohon pinang peulenggora (cacingan) peras diminum satu sendok (Indonesia), Areca makan sebelum tidur. catechu L (latin)

Sumber:detikriau.org 21 Kumis kucing untuk melancarkan daun kumis kucing beserta (Tolaki, Indonesia) kencing dan mengobati batangnya kemudian rebus Orthosiphon sakit pinggang mohakia dengan 3 gelas air dan sisa 1 stamineus Benth gelas, diminum 3 kali sehari (Latin) sampai rasa sakitnya hilang

Sumber:bio.gspot.com

57

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mereka terkadang tidak mau dirawat inap Masyarakat Memilih Pengobatan karena takut akan mengeluarkan biaya Tradisional besar, walaupun rata-rata dari keluarga yang tidak mampu memiliki kartu dana Ada berbagai faktor yang sehat (KDS), akan tetapi masih saja ada mempengaruhi masyarakat dalam memilih obat dan peralatan medis lainnya yang tidak pengobatan tradisional atau modern sesuai mendapat tanggungan pemerintah. Bagi teori Green (1980), perilaku ini dipengaruhi mereka yang mempunyai pendapatan oleh tiga faktor utama, yaitu; a) faktor rendah, baru berobat atau dirawat di rumah predisposisi yang mencakup pengetahuan sakit apabila penyakitnya sudah parah dan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tidak dapat disembuhkan oleh dukun. tradisi dan kepercayaan masyarakat Mata pencaharian penduduk, sangat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan berpengaruh pula pada tingkat ekonomi kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat. Kebanyakan penduduk masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat mempu-nyai mata pencaharian sebagai sosial ekonomi, dan sebagainya; b) faktor petani, buruh, dan pekerja lepas. Menurut pemungkin yang mencakup ketersediaan penuturan ibu Hasna (40 tahun) ”Saya lebih sarana dan prasarana atau fasilitas sering berobat ke mbu’uwoai karena kesehatan bagi masyarakat contohnya biayanya murah, kalau saya tidak punya fasilitas pelayanan kesehatan; dan c) faktor uang biasanya saya memberi hasil kebun penguat pula mencakup pengaruh sikap dan seperti ubi, sagu atau ayam, sesuai perilaku tokoh yang dipandang tinggi oleh kemampuan dan keihlasan kita. Berbeda masyarakat contohnya tokoh masyarakat kalau saya ke dokter yang harus membayar dan tokoh agama, sikap dan perilaku para biaya dokter dan obatnya”. Demikian pula, petugas yang sering berinteraksi dengan pendapat ibu Muti (60 tahun) ”Untuk masyarakat termasuk petugas kesehatan. mengobati penyakit yang tidak terlalu parah Berdasarkan pengamatan dan biasanya saya hanya menggunakan obat keterangan warga masyarakat di Desa tradisional dari tanaman obat sehingga tidak Abelisawah bahwa saat ini kondisi perlu mengeluarkan biaya karena obat yang kesehatan masyarakat sudah tergolong baik. digunakan mudah di peroleh dan lebih Masyarakat telah memanfaat-kan fasilitas murah” (wawancara. 11 Oktober 2017). puskemas untuk berobat dan posyandu Bagi masyarakat yang biasa menggunakan sebagai tempat penimbangan balita dan tanaman obat untuk menyembuhkan pemberian imunisasi. Selain pengobatan berbagai penyakit tidaklah menjadikan medis masyarakat masih melakukan beban ekonomi karena mereka dapat pengobatan tradisional dengan mendatangi meramu atau mengolahnya dalam berbagai dukun dan tokoh masyarakat yang dapat cara tanpa melalui konsultasi dengan dokter menyembuhkan berbagai penyakit. Ada yang memerlukan biaya mahal. Dalam beberapa faktor yang mempengaruhi meramu obat tradisional masyarakat Tolaki masyarakat Tolaki di Desa Abelisawah melakukannya berdasarkan pengalaman untuk memilih pengobatan tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun antara lain: atau menggunakan jasa dukun untuk meramu obat dengan hanya membayar 1. Faktor Ekonomi sesuai kemampuan pasien. Mahalnya biaya perawatan di rumah 2. Faktor pelayanan medis rumit dan sakit sangat berpengaruh terhadap pilihan terbatasnya tenaga medis pengobatan. Bagi masyarakat pedesaan yang memiliki tingkat ekonomi rendah, Berbelit-belitnya birokrasi administrasi mengalami kesulitan keuangan untuk yang dibutuhkan dalam pengurusan untuk membayar jasa pelayanan rumah sakit. mendapatkan pengobatan medis sehingga

58

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah mengakibatkan masyarakat enggan berobat fakta sehingga dengan pengaruh tersebut ke puskesmas. Menurut penuturan warga, individu mempunyai dua sumber informasi kalau berobat ke rumah sakit harus mengenai kenyataan, pengalaman sensorik menunggu berjam-jam hanya untuk pribadi dan laporan serta perilaku orang- mengambil kartu dan mengantre sebelum orang yang berada disekitarnya. pemeriksaan dokter. Berbeda halnya kalau Maraknya informasi penggunaan kita ke dukun, begitu datang langsung tanaman obat (herbal) pada saat ini, baik dilakukan pengobatan. Demikian halnya lewat koran, televisi maupun penyampaian proses pengobatan yang terlalu lama dari orang yang telah menggunakan jenis pengobatan medis menyebabkan si tanaman obat tersebut dan telah merasakan penderita bosan menerima peran sebagai khasiatnya, kemudian diinformasikan pula pasien, dan ingin segera mengakhirinya, kepada orang lain. Demikian pula ada oleh karena itu, dia berusaha mencari beberapa jenis tanaman obat yang tumbuh pengobatan alternatif yang mempercepat di sekitar Desa Abelisawah, tetapi proses penyembuhannya ataupun hanya masyarakat belum diketahui manfaatnya, memperingan rasa sakitnya. Setelah berobat misalnya tanaman mengkudu, daun dewa, ke medis beberapa lama, tapi penyakitnya sambiloto dan beberapa jenis tanaman yang tak kunjung sembuh, maka pengobatan telah dipolulerkan orang Jawa. Berdasarkan selanjutnya dilakukan dengan pengobatan informasi, jenis-jenis tanaman tersebut kini tradisional. digunakan pula masyarakat di Abelisawah Faktor sarana kesehatan seperti untuk menyembuhkan berbagai penyakit. puskemas tidak terdapat di Desa Demikian halnya informasi tentang tempat- Abelisawah, hanya terdapat di ibukota tempat pengobatan tradisional yang ampuh, Kecamatan Anggomero yang berjarak biasanya disampaikan melalui orang yang sekitar 7 km. Dokter puskesmas hanya telah berhasil melakukan pengobatan di berkunjung ke desa Abelisawah hanya tempat tersebut. sekali sebulan. Keterbatasan tenaga medis 4. Faktor Kepercayaan akan kemampuan yang tersedia sehingga masyarakat lebih dukun dalam penyembuhan berbagai memilih berobat ke dukun dari pada ke penyakit puskesmas. Menurut penuturan warga apabila ada anggota keluarga yang sakit dan Kemampuan dukun (o’sando atau harus cepat penanganannya, maka mereka mbu’uwoai) dalam mengantisipasi perkem- lebih memilih membawa ke dukun untuk bangan yang ada seputar masalah mendapat pertolongan pertama. Dukun kesehatan, dipahami pasiennya berbeda selalu bersedia dan siap melayani pasien dengan tenaga medis seperti dokter. Dalam kapan saja dibutuhkan, sedang kalau ke mengobati penyakit, tenaga medis (dokter) puskesmas terbatas jam praktiknya, dan hanya bersumber dan berpedoman pada terkadang dokter tidak ada. pengetahuan ilmu kedokteran. Berbeda dengan dukun yang mengobati pasien tidak

3. Faktor sosial hanya sekadar memberi obat berupa Setiap individu sejak lahir ramuan, tetapi mampu mengatasi kekuatan berada di dalam suatu kelompok, terutama gaib yang merasuki tubuh pasiennya. Ada lingkungan keluarga. Suatu kelompok penyakit yang tidak dapat disembuhkan dalam lingkungan ini akan membuka secara medis, misalnya penyakit guna-guna kemungkinan untuk dipengaruhi dan atau penyakit kerasukan. Apabila mereka mempengaruhi anggota-anggota kelompok terkena penyakit tersebut pemilihan lain (Notoatmodjo, 2007). Faktor sosial pengobatan dilakukan adalah mendatangi disebabkan pula pengaruh informasional dukun dan berusaha memenuhi anjuran dan yaitu pengaruh agar informasi yang pantangan-pantangan yang diperintahkan diperoleh dari orang lain diterima sebagai oleh dukun.

59

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kemampuan dukun dalam genggaman tangan sebagai takaran, atau menyembuhkan berbagai penyakit diyakini helaian yang jumlahnya berdasarkan sebagian masyarakat karena mantra yang hitungan ganjil, 3,5,7 atau 9 lembar. dimilikinya. Ramuan yang diberikan Kelebihan dari pengobatan dengan kepada pasien tidak mujarab apabila tidak menggunakan ramuan tumbuhan secara dimantrai terlebih dahulu. Demikian pula tradisional ialah tidak adanya efek samping kepercayaan tentang kegunaan atau yang ditimbulkan seperti yang terjadi pada kekhasiatan suatu jenis tanaman obat, tidak pengobatan kimiawi (Thomas A.N.S. 1989) hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi Menurut pengetahuan masyarakat sering kali dikaitkan dengan nilai-nilai bahwa mengkonsumsi tanaman obat tidak religius. Masyarakat di Abelisawah sangat memiliki efek samping, kalaupun ada mempercayai kekuatan mantra dari seorang efeknya kecil dibanding obat kimia yang dukun, misalnya mantra dukun beranak diberikan dokter. Menurut ibu Hasna (45 diyakini dapat menyelamatkan ibu dan tahun), “apabila saya meminum obat yang bayinya dari gangguan roh-roh jahat yang diberikan dokter dan merasa tidak cocok sering terjadi pada waktu persalinan. atau pusing setelah meminumnya, maka Kepercayaan masyarakat terhadap saya segera meminum air kelapa untuk kemampuan dukun dalam mengobati dan membuang racun dari obat tersebut”. menyembuhkan berbagai penyakit, sudah menurut pengalaman mereka, bahwa diyakini oleh masyarakat Desa Abelisawah penggunaan obat tradisional seperti air dan sebagian masyarakat yang berpikiran kelapa dapat menetralisir racun-racun modern dan tradisional. Menurut (Agoes, dalam tubuh, sehingga masyarakat 1992). Pada umumnya para ahli menganggap obat tradisional lebih aman berpendapat bahwa pengobatan dan (wawancara, 9 Oktober 2017) penyembuhan tradisional merupakan sektor 6. Faktor Pendidikan dan pengetahuan. usaha pelayanan di dalam masyarakat yang masih banyak digunakan oleh setiap lapisan Pemilihan pengobatan pada masyarakat masyarakat, walaupun secara sepintas lalu Tolaki di dasarkan pada tingkat pendidikan cara pengobatan yang disajikan oleh para yang dimiliki seseorang. Masyarakat yang pengobat tradisonal (dukun) tampak tidak berpendidikan tinggi cenderung memilih logis dan irasional, tetapi fakta pengobatan medis, seperti halnya menunjukkan pengobatan ini dapat masyarakat Abelisawah yang berpendidikan menghasilkan kesembuhan bagi yang SMA dan sarjana rata-rata memilih berobat diobati. ke dokter dari pada pergi ke dukun. Menurut mereka pengobatan medis lebih 5. Faktor keamanan dari penggunaan dipercaya tingkat keberhasilannya karena tanaman obat berdasarkan ilmu kedokteran yang tinggi Masyarakat Tolaki memahami bahwa dan modern. Akan tetapi masyarakat mengkonsumsi tanaman obat lebih baik berpendidikan rendah atau mereka yang karena menganggap tanaman obat lebih tidak pernah bersekolah lebih banyak aman dari obat kimia atau sintetis. Menurut memilih pengobatan tradisional disebabkan mereka tidak memiliki efek samping yang kepercayaan akan kemampuan dukun dapat dapat menimbulkan penyakit baru. menyembuhkan berbagai penyakit. Pengetahuan ini didasarkan pada Menurut mereka, ramuan obat-obatan yang pengalaman yang telah berlangsung lama, digunakan sudah dibuktikan khasiatnya bahwa mengkonsumsi obat herbal sesuai berdasarkan pengalaman yang dapat dengan takaran tidak akan menimbulkan menyembuhkan berbagai penyakit. efek samping. Dosis penggunaan tanaman Pengetahuan merupakan hasil dari obat apabila menggunakan daun, akar atau “tahu” dan ini terjadi setelah orang biji biasanya mereka menggunakan melakukan penginderaan terhadap suatu

60

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan pasiennya dan segera memberi pengobatan manusia diperoleh melalui mata, telinga dengan memberi ramuan dan meminumkan atau kognitif yang merupakan hal yang air yang dibacakan mantra dan tak lama sangat penting untuk terbentuknya tindakan kemudian panas badan anak saya turun. seseorang (Notoatmodjo, 2003). Faktor Berdasarkan keterangan ini, dapat pengetahuan tentang sistem pengobatan dikatakan bahwa waktu pelayanan pengobat tradisional, diwarisi secara turun temurun tradisional lebih baik dibanding waktu dari nenek moyangnya, juga berdasarkan pelayanan medis yang terbatas. pengalaman dan petunjuk dari orang lain yang paham dalam hal pengobatan PENUTUP tradisional. Tidak semua masyarakat tolaki di lokasi penelitian memiliki tingkat Pengetahuan budaya orang Tolaki pengetahuan yang sama dalam mengenai konsep kesehatan mengacu pada memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut pengertian tentang situasi ataupun keadaan sangat terkait dengan ilmu pengetahuan yang mencerminkan adanya keseimbangan seseorang. Oleh karena itu, sebelum mereka organ-organ tubuh manusia maupun jiwa menggunakan tanaman obat, terlebih manusia. Konsep sakit (meohaki) menurut dahulu menanyakan kepada dukun atau masyarakat Tolaki, berarti kondisi atau kepada orang yang paham akan khasiat keadaan fisik maupun rohani seseorang tanaman obat tersebut. yang sedang mengalami ketidakseimbangan. Menurut pengetahuan budaya orang Tolaki, 7. Faktor waktu pelayanan terjadinya ketidakseimbangan tersebut Terbatasnya waktu pelayanan di disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu puskesmas yang melayani pasien hanya dari faktor dalam dan faktor luar. Adapun jam 8.00 pagi sampai 11.00 siang, konsep masyarakat Tolaki tentang penyakit merupakan salah satu faktor masyarakat (ohaki) bahwa orang Tolaki secara mencari pengobatan alternatif. Ketika ada tradisional tidak mengenal bahwa sesuatu warga yang memerlukan pelayanan penyakit timbul karena disebabkan sesuatu pengobatan diluar jam tersebut akan beralih basil atau virus atau lainnya tetapi semata- untuk mendatangi dukun. Menurut mata karena keadaan cuaca, gangguan setan pendapat masyarakat di Abelisawah, kalau atau karena disebabkan oleh bikinan orang kami berobat ke dukun bisa dilakukan yang irihati, benci melalui apa yang disebut kapan saja baik pagi, siang, maupun malam. o doti nilalaeami (ilmu hitam, racun Mereka melayani dengan baik. Pelayanan melalui makanan dan minuman dan dengan jasa dukun boleh dikatakan 24 jam cara apapun). sehingga apabila ada anggota keluarga yang Jenis-jenis tanaman obat yang sakit secara tiba-tiba, maka kami meminta dimanfaatkan masyarakat Tolaki pada pertolongan dukun terlebih dahulu. Apabila umumnya, tumbuh di sekitar lingkungan dukun tidak mampu mengobati baru kami mereka. Tanaman obat ini ada yang bawah ke rumah sakit yang ada di kota dibudidayakan melalui TOGA (tanaman Kendari. obat keluarga) pada pekarangan rumah, di Interaksi antara penderita dan kebun-kebun penduduk, dan ada pula yang pengobat (dukun) berlangsung kapan saja, tumbuh liar di lahan-lahan perbukitan di walaupun pada malam hari, dukun akan sekitar Desa Abelisawah. Tanaman obat ini mendatangi pasiennya yang membutuhkan sejak dahulu telah digunakan masyarakat pertolongan. Seperti yang diungkapkan untuk mengobati berbagai penyakit, bagian salah satu informan bahwa ketika anaknya yang dimanfaatkan seperti daun, batang, sakit panas (deman) pada malam hari, ia dan buah. Pengetahuan tentang memanggil dukun untuk mengobati pemanfaatan tanaman obat di peroleh anaknya dan dukun berusaha mendatangi melalui pengetahuan dan pengalaman orang

61

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 yang ahli dibidang pengobatan tradisional yang hanya terdapat di ibukota kecamatan; dan telah dibuktikan khasiatnya untuk f) Faktor waktu pelayanan yang terbatas, mengobati berbagai penyakit. sehingga masyarakat beralih kepengobatan Ramuan tradisional dari berbagai jenis tradisional; dan g) faktor pendidikan dan tanaman obat, diperoleh dari nenek moyang pengetahuan, dalam hal ini pemilihan mereka dan diwariskan secara turun pengobatan dipengaruhi oleh tingkat temurun. Cara mengolah ramuan tanaman pendidikan masyarakatnya, apakah modern obat dilakukan dengan merebus, atau tradisional. Demikian pula tingkat mengoleskan, atau menempelkan pada pengetahuan yang didapatkan berdasarkan badan pasien. Ramuan yang direbus pengalaman dan pembuktian secara nyata. diminumkan kepada pasien dan ada juga Konsep dasar pengobatan tradisional untuk dimandikan, sedangkan untuk olesan sifatnya manusiawi, oleh sebab itu, sistem dan menempelkan dilakukan dengan pengobatan tersebut perlu dikembangkan terlebih dahulu menumbuk tanaman obat karena telah berakar dan membudaya di tersebut. Ramuan tanaman obat bisanya kalangan masyarakat. Animo masyarakat diramu sendiri oleh si penderita atau diramu tentang pengobatan tradisional tampak pada oleh dukun disertai pembacaan mantra. masyarakat yang bermukim di pedesaan Khasiat tanaman obat yang digunakan yang masih banyak menganut faham-faham masyarakat selama ini telah dibuktikan tradisional yang berorientasi pada dengan kesembuhan berbagai penyakit. pemakaian obat-obat tradisional. Perlu Setelah diidentifikasi, di antaranya penyebaran informasi tentang jenis-jenis ada 21 jenis tanaman yang digunakan tanaman obat yang diketahui masyarakat masyarakat Tolaki di desa Abelisawah dan bermanfaat sebagai ramuan obat untuk untuk mengobati berbagai penyakit. Selain berbagai penyakit. Pemanfaatan tanaman digunakan sebagai obat, ada beberapa jenis obat merupakan salah satu pelayanan tanaman digunakan pula sebagai bumbu kesehatan yang dapat menunjang program dapur, misalnya sereh, kunyit, jahe, kencur pemerintah dalam bidang kesehatan. Pada dan jeruk nipis. Di samping itu, ada perinsipnya masyarakat di pedesaan tanaman obat yang mempunyai manfaat mencari pengobatan yang pelayanannya ganda misalnya tanaman pepaya dan mudah dan dan biayanya murah, oleh kelapa, karena seluruh bagian tanaman ini karena itu, mereka memilih pengobatan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. tradisional. Faktor-faktor mempengaruhi masyarakat Komponen obat tradisional yang memilih pengobatan tradisional misalnya; a) digunakan masyarakat hampir seluruhnya faktor ekonomi terkait dengan kemampuan berasal dari tanaman sehingga dalam pendapatan masyarakat dalam membiayai meneliti manfaat dari obat tradisional dapat pengobatan; b) Faktor sosial, bahwa dilakukan studi komprehensif dalam bentuk informasi pengobatan tradisional diperoleh simposium, seminar, diskusi, penelitian, dari intraksi sesama warga masyarakat; c) dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan akan kemampuan pengobat pemanfaatan obat-obat tradisional tidak tradisional untuk mengobati berbagai menyimpang dari ketentuan dan peraturan penyakit, hal ini terkait dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan demikian konsep ini budaya dan religious; d) faktor keamanan diharapkan menjadi pedoman dasar dalam dari penggunaan tanaman obat yang pengkajian lebih lanjut. cenderung tidak memiliki efek samping dibanding obat-obat kimia; e) faktor kejenuhan akan pelayanan medis dan sarana pengobatan yang tersedia, hal ini terkait dengan berbelit-belitnya birokrasi pelayanan medis dan sarana puskesmas

62

Pengetahuan Lokal tentang Pemanfaatan Tanaman …. Raodah

DAFTAR PUSTAKA Agoes, Aswar.1992. Antropologi Kesehatan Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta. Florentina, et.al.2006. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kacamatan Warakumba Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Jurnal Biodeservitas Vol.7 No.4 Oktober 2006. Bogor. Fitri Yunita Maranai, 2011. Menganalis Mantra Suku Tolaki Tanggawuku (Ketahanan Tubuh) Interpretasi Semiotik Riffaterre, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari. Green, Lawrence, 1980.Health Education Planning a Diagnostik. The John Hopkins University, May field Publishing Company. California. Hafid, Yunus dkk, 1992/1993. Pengobatan Tradisional di Daerah Sulawesi Selatan. Depdikbud. Proyek P2NB Sulawesi Selatan. Kertasapoetra, 1992. Teknologi Penanganan Pasca Panen.Jakarta: Rieneka Cipta. Moeloeng, L. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Siswanto, 1997. Sayuran dataran Tinggi. Jakarta . penebar Swadaya. Supriono, 1997. Kedelai dan Cara Bercocok Tanam. Bogor Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Tariman, Abdul Rauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No.3. Jakarta. Balai Pustaka. Thomas.A. N. S, 1989. Tanaman Obat Tradisional. Peneribit Kanisius Yogyakarta 55281 63

ZIARAH MAKAM SYEKH YUSUF AL-MAKASSARI DI KABUPATEN GOWA, SULAWESI SELATAN (THE PILGRIMAGE TO THE GRAVE OF SHEIKH YUSUF AL-MAKASSARI IN GOWA REGENCY, SOUTH SULAWESI)

Renold 1 , Muh. Zainuddin Badollahi 2 Politeknik Pariwisata Makassar Kota Makassar, Sulawesi-Selatan 90244, Indonesia Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRACT This study focuses on the ritual of the pilgrimage to the grave of Sheikh Yusuf located in the Gowa Regency, in the province of South Sulawesi. The aim of this study was to examine the motives of pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf, the extent of their ritual and religiosity towards Sheikh Yusuf, as well as the visible impact of the pilgrimage on economic life, political legitimacy, and religious tourism. This study employs qualitative research methods for primary and secondary data collection using observation, interview, and literature study techniques. The results of this study demonstrate that a variety of motivations exist among pilgrims visiting the grave of Sheikh Yusuf. Also, the pilgrimage can be used as a political tool for in gathering votes as a method of political imaging. In terms of religious tourism, the pilgrimage can increase revenue in the Gowa Regency due to visitors coming not only from Sulawesi, but also from Java, Kalimantan, Papua, Sumatra and even from abroad. In addition, the presence of the grave of Sheikh Yusuf has a good impact on the economy of the surrounding community. Keywords: Pilgrimage, grave, Sheikh Yusuf.

ABSTRAK Penelitian ini difokuskan pada ziarah makam Syekh Yusuf sebagai seorang wali yang berasal dari Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja motivasi peziarah yang datang ke makam syekh yusuf, sejauh mana ritual dan religiusitas meraka terhadap syekh Yusuf. Selain itu dilihat juga bagiamana ziarah makam berdampak pada kehidupan ekonomi, legitimasi politik dan pariwisata. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data primer dan data sekunder menggunakan teknik observasi, wawancara, dokomentasi dan studi kepustakaan. Adapun hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat motivasi yang berbeda-beda dari setiap peziarah yang datang ke makam syekh Yusuf, ziarah makam dapat dijadikan sebagai legitamsi politik dalam mengumpulkan suara sebagai metode pencitraan politik, dari segi pariwisata ziarah makam dapat meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten Gowa karena pengunjung yang datang bukan saja berasal dari Sulawesi melainkan juga dari Jawa, Kalimantan, Papua, Sumatera bahkan dari luar negeri. Selain itu kehadiran makam Syekh Yusuf memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat sekitar. Kata kunci: Ziarah, makam, Syekh Yusuf. PENDAHULUAN masyarakat Indonesia dan terwariskan sampai sekarang, tidak hanya dilakukan Indonesia sebagai negara yang oleh orang-orang islam saja tradisi ini juga mayoritas penduduknya beragama islam mengakar kuat kepada aliran-aliran memiliki tradisi ziarah ke makam, bahkan kepercayaan Indonesia ataupun masyarakat tradisi ini telah lama dilakukan oleh atau komunitas adat juga sering melakukan 64

Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi ziarah kemakam leluhurnya. dan suku bangsa. Mereka datang dengan Ziarah makam boleh dikatakan sebagai membawa nazar dan kepercayaannya. suatu fenomena yang selalu ada pada setiap Kunjungan yang paling ramai terutama umat manusia sepanjang sejarahnya, dan sebelum dan sesudah bulan puasa dan tidak hanya dilakukan oleh orang muslim sebelum atau sesudah kembali dari tanah namun umat beragama lainnyapun Suci Mekkah (Hamid, 1994:125). melakukannya. Di Indonesia kegiatan Apabila diamati para peziarah ziarah makam terlihat dengan berbagai sekurang-kurangnya sudah mengikatkan bentuk kegiatan yang menyertainya dirinya sebagai: perosesi ziarah tersebut pun sangat beragam 1) Anak cucu dan kerabat yang terjadi dilakukan. karena pertalian perkawinan Pada dasarnya setiap budaya atau 2) Orang yang mempunyai rasa hormat tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat di kepada wali, ulama dan orang yang berbagai daerah nusantara, pasti memiliki berjasa. nilai-nilai positif, tak terkecuali tradisi 3) Orang yang mempunyai hajat tertentu, ziarah kubur dalam masyarakat Bugis agar maksudnya dapat terkabul Makassar. Bagi masyarakat Bugis Makassar 4) Orang yang ingin melepaskan nazar, tradisi ziarah kubur selain untuk memupuk karena hajat sudah terkabul atau sudah persatuan dan kesatuan serta rasa keluar dari malapetaka dan sembuh dari kebersamaan antar sesama warga, juga penyakitnya untuk mendoakan para arwah yang 5) Orang yang datang mengucapkan dimakamkan di tempat tersebut agar diberi syukur atas keberhasilan usahanya, ampunan, kelapangan, dan ditempatkan perbaikan nasibnya sudah tercapai atau pada tempat yang layak di sisi Allah SWT. sudah selamat melakukan perjalanan. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Jika dilihat dari aktivitas ziarah dan ritual adalah pola-pola pikiran yang dokumen-dokumen yang berkaitan dengan dihubungkan dengan gejala yang situs tersebut, para peziarah datang dari mempunyai ciri-ciri mistis yang terbagi berbagai latar belakang sosial, berkumpul kedalam empat bagian, yang salah satunya bersama dan memunajat di depan makam, adalah tindakan religious atau kultus para berdzikir berjama’ah dengan suara jahar leluhur, ziarah bisa disebut sebagai ritual (suara keras). Keunikan-keunikan inilah keagamaan karena didalamnya juga yang menjadi suatu hal yang menarik dan mengkultuskan para leluhur atau nenek perlu untuk dicermati atau diteliti mengapa moyang yang telah meninggal yang hal itu dilakukan, apa motivasi atau niat didalamnya juga mempunyai ciri-ciri yang ada pada peziarah yang barang tentu mistis. sedangkan menurut istilah tidak lepas dari berbagai hal yang Alhamdani memberikan pengertian, memotivasi mereka. mendatangi makam sewaktu-waktu untuk Makam dikunjungi untuk memohon mendoakan dan memohonkan rahmat doa restu (pangestu) kepada nenek moyang, Tuhan bagi orang yang di kubur di terutama bila seseorang menghadapi tugas dalamnya serta mengambil ibarat dan berat, akan bepergian jauh atau bila ada peringatan supaya yang hidup ingat akan keinginan yang sangat besar untuk mati dan nasib dikemudian hari (hari memperoleh suatu hal (Koentjaraningrat, akhirat) (Al-Humaidi, 2003:151). 1984:364). Dengan kata lain berkunjung ke Ziarah makam Tuanta Salamaka atau makam sama halnya dengan tirakatan, yaitu Kobbanga ramai dikunjungi setiap hari sama-sama untuk mencapai sesuatu yang sepanjang tahun, sama halnya dengan diinginkan (agar keinginannya dapat kunjungan Tuan Karamat di Afrika Selatan. terkabul). Peziarah tersebut datang dari segala penjuru Sutardi (dalam Irmasari, 2013) Sulawesi Selatan tanpa perbedaan agama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

65

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 ritual adalah bentuk maupun simbol yang didapatkan melalui proses belajar (Leksono, digunakan oleh masyarakat tertentu untuk 2009:17). mengungkapkan dan menyampaikan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di konsep kebersamaan yang bertjuan untuk salah satu kabupaten di wilayah Provinsi melebur konflik keseharian yang terjadi Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten pada nilai-nilai spiritual Ritual dalam Kabupaen Gowa. Masyarakat Kabupaten ziarah tersebut tidak selalu berupa hal-hal Gowa masih sangat mensakralkan para seperti mantra atau dalam bentuk sesajen, leluhur pendiri Kabupaten Gowa. Inilah tetapi bisa pula dalam bentuk pembacaan yang menjadi sejarah awal munculnya doa-doa, tahlil, selawat yang ditujukan fenomena ziarah yang begitu massif di untuk mendoakan orang yang dikuburkan. kalangan masyarakat Kabupaten Gowa. Hal tersebut diperkuat oleh Yiliyatun Fenomena ziarah yang terjadi pada (2015, hlm. 346) yang mengungkapkan masyarakat Kabupaten Gowa tidak hanya “sebagian besar para peziarah mengakui pada kuburan-kubaran, melainkan pada bahwa tujuannya berziarah adalah untuk tempat-tempat yang dianggap keramat. mengenang kembali dan meneladani Fenomena ini kemudian diamini oleh keshalehan para wali. Di samping itu juga masyarakat setempat yang berfikir bahwa untuk bertawassul melalui berdzikir, ketika seseorang melakukan ziarah maka berdoa, dan membaca Al-Quran sebagai orang tersebut telah mendapat suatu bentuk refleksi keimanannya kepada Allah kekuatan serta mendapat kepercayaan dari SWT”. masyarakat. Fakta tersebut kemudian Ritual yang terdapat dalam ziarah membentuk suatu kesadaran umum dalam makam tersebut yang akan menjadi tujuan masyarakat Kabupaten Gowa. Tentu masyarakat ketika melakukan ziarah. tindakan ritual ziarah bagi sebagian orang Tujuan dalam melakukan ziarah tersebut ialah suatu tindakan yang konyol. Namun merupakan refleksi dalam kegiatan ritual, di penilaian tersebut, terlalu prematur bila kita mana tujuan dari melakukan ritual adalah memandang seperti itu tanpa kita telusuri untuk mendoakan orang yang dikuburkan, apa yang menjadi tujuan aktifitas tersebut. meminta barakah, karamah, dan Apabila suatu tindakan bagi sebagian orang sebagainya. konyol, akan tetapi tidak bagi sebagian Menurut Clifford Geertz, ritual-ritual orang lain yang melakukannya. dalam masyarakat Jawa khususnya, tidak Dalam sebuah hasil kajian Sundawati hanya berfungsi untuk mengingatkan Trisnasari dan Akhmad Supena (2010:160) kembali akan Tuhan, akan tetapi juga mengungkapkan bahwa ziarah adalah suatu sebagai suatu media penghubung atau kunjungan ke tempat yang dianggap jembatan individu manusia terhadap keramat (atau mulia, makam dan sesuatu yang “disana” (Tuhan) (Geertz, sebagainya). Pernyataan tersebut sesuai 2013: xiii). Perilaku masyarakat yang dengan kamus besar bahasa Indonesia demikian kemudian melahirkan pola-pola (2005:1280) yaitu berziarah merupakan perilaku tersendiri dalam kehidupan berkunjung ke tempat yang dianggap masyarakat. Pola-pola perilaku manusia keramat atau mulia (makam dan kemudian akan melahirkan simbol-simbol sebagainya) untuk berkirim doa. Kegiatan sebagai suatu ekspresi akan suatu identitas doa tersebut dilakukan baik individu mapun yang ingin disampaikan (Syaifuddin, 2006: rombongan atau berjamaah. 76). Begitu pula dengan yang terjadi pada Ziarah kubur kini dimaknai secara budaya Ritual ziarah, apakah ritual ziarah kreatif oleh umat islam. Studi yang ialah suatu simbol, simbol keberagamaan dilakukan Sauqi dan Azis menemukan tentunya. Selain itu, perilaku dan kebiasaan bahwa tradisi ziarah kubur mempunyai nilai ritual ziarah tidak lahir dengan sendirinya, didaktis dan sosial. Nilai dan fungsi melainkan diturunkan secara sosial dan tersebut semakin nyata jika praktik ziarah

66

Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi kubur dilakukan dimakam para auliya. wawancara untuk memperoleh data primer Sauqi dan Azis (2017:79-86) melakukan melalui proses tanya-jawab dengan riset dengan mengambil tempat dimakam informan. Syekh Basyaruddin, Syekh Abdul Mursyad, Penentuan informan yaitu informan dan Syekh Mohammad Ageng Besyari. pangkal dan informan kunci. Informan Ketiga auliyah tersebut tergabung dalam pangkal yang sesuai dan di anggap jaringan auliya Mataram, yaitu Kediri untuk mengetahui tentang permasalahan ini Syekh Abdul Mursyad, Tulungangung adalah Pengurus Makam, peziarah makam Syekh Basyaruddin dan Ponorogo untuk dan Juru kunci, yaitu orang yang telah Syekh Mohammad Ageng Besyari. Dalam ditunjuk masyarakat untuk mengurus dan tulisan ini hasil penggalian atas pendidikan memimpin ritual atau doa maupun ziarah kubur dilakukan dengan memaknai mengatur aktivitas keseharian untuk ziarah kubur sekaligus sebagai media membantu masyarakat yang berkunjung ke dakwah islamiah. Dakwah dan pendidikan makam Syekh Yusuf al Makassari. mempunyai orientasi yang sama yakni Data yang telah terkumpul kemudian menyampaikan ajaran agama dan akhalakul dilanjutkan dengan tahapan analisis data karimah kepada sasarnnya. Ketuka suatu secara deskriptif kualitatif. Analisis ini tradisi seperti ziarah makam digunakan merupakan tahapan pengolahan, sebagai suatu sarana dakwah, sebenarnya pengelompokan dan penjabaran data yang pesan yang terkandung didalamnya juga terkumpul sesuai dengan kebutuhan untuk sedang mengkonstruksi nilai pendidikan. menjawab permasalahan penelitian Dalam penelitian Fred W. Clothey (Moleong., 2000:190). dalam Bourideu (2012), legitimasi agama dalam suatu kekuasaan sangat berpengaruh, setidaknya dalam masyarakat Asia Selatan PEMBAHASAN dan Asia Tenggara. Dalam penelitian Syaikh Yusuf Al-Makassari dilahirkan tersebut, Clothey menjelaskan bagaimana di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan pada mitos-mitos dan nilai-nilai keagamaan tanggal 3 Juli 1626 M (Mustafa, 2011: 17). dalam masyarakat India sangat berperan Sejak kecil Syaikh Yusuf Al-Makassari besar dalam pencapaian suatu kekuasaan. diangkat sebagai anak oleh raja Gowa, Bagaimana agama memberikan legitimasi, yakni Sultan Alauddin. Sejak masa kecilnya atau setidaknya kesempatan meraih Syaikh Yusuf Al-Makassari telah kekuasaan, atau dalam hal ini ialah menampakkan kecintaannya pada kesempatan politik. Fakta tersebut juga pengetahuan Keislaman, terlihat dengan terjadi dengan apa yang terjadi pada dimulainya pendidikan agama yang masyarakat Kabupaten Gowa. Bagaimana diperolehnya dari Daeng ri Tassamang, aktifitas ritual ziarah kubur dijadikan guru agama kerajaan Gowa. Syaikh Yusuf sebagai suatu ajang mendapatkan legitimasi Al-Makassari banyakmelakukan perjalanan dan simpati publik dari masyarakat. ke berbagai tempat untuk memperdalam ilmunya. Beliau menuju Aceh setelah METODE cukup menimba ilmu di Banten. Beberapa tempat selain Banten dan Aceh yang Penelitian ini menggunakan metode dikunjungi Syaikh Yusuf Al-Makassari penelitian kualitatif. Untuk memperoleh antara lain Yaman, Mekkah, dan Damaskus data primer dan data sekunder sebelum kembali lagi ke Banten. Pada usia menggunakan teknik observasi, wawancara, 38 tahun, Syaikh Yusuf Al-Makassari dokomentasi dan studi kepustakaan. berangkat dari Mekkah ke Banten pada Observasi menggunakan untuk memperoleh tahun 1664. Didapatinya sahabatnya data primer melalui pengamatan seksama Pangeran Surya, menduduki tahta dari tradisi ziarah kubur di makam Syekh kesultanan Banten dengan nama Sultan Yusuf al Makassari, sedangkan teknik 67

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan pasukan Belanda secara sembunyi- gelar Sultan Ageng Tirtayasa (Hamid, sembunyi. Menurut Syaikh Yusuf, sangat 1994: 95). Syekh Yusuf belajar belajar sulit untuk mengadakan perang terbuka mengaji kepada guru kerajaan Daeng ri melawan Belanda karena persenjataan Tasammang (Lubis, 1996:20). Banten jauh lebih lemah dan banyak Sejak kekalahan dalam Perang kekurangan kalau dibandingkan senjata Makassar banyak bangsawan, saudagar, dan Belanda (Hawash, 1980:72-73). pelaut Makassar yang meninggalkan Syekh Yusuf tidak hanya dipandang kampung halamannya pergi merantau ke sebagai pahlawan bagi masyarakat Bznten seluruh kepulauan Nusantara. (Bruinnessen, tetapi juga sebagai wali oleh masyarakat 1995:268) Para pengungsi Makassar dan Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Bugis generasi awal telah beradaptasi Gowa. Hingga saat ini makam Syekh Yusuf dengan baik di lingkungan barunya. tak pernah sepi pengunjung. Lestarinya Kebanyakan orang Bugis kemudian tradisi ziarah kubur di makam Syekh Yusuf menetap di wilayah kepulauan Riau dan oleh umat Islam tidak terlepas dari Semenanjung Malaya, sementara orang penghormatan terhadap Syekh Yusuf yang Makassar di Jawa dan Madura. Sedangkan diyakini sebagai wali dan leluhur oleh umat dalam jumlah kecil mereka menyebar Islam. ziarah makam dilakukan dengan cara hampir di seluruh wilayah kepulauan menghormati roh para leluhur. Menurut Nusantara. Pejuang Makassar dan Bugis keyakinan Islam, orang yang telah diterima dengan cukup baik oleh meninggal dunia, sesunguhnya rohnya masi Kesultanan Banten. Peranan pejuang tetap hidup dan berada tinggal sementara di Makassar dan Bugis yang anti Kompeni dalam alam kubur atau alam Barzah, Belanda cukup berpengaruh dalam sebelum akhirnya masuk ke alam yang perjuangan untuk membendung penetrasi kekal atau Akhirat. Issatriyadi mengatakan Belanda di Banten. Para pejuang Makassar orang yang telah meninggal, rohnya tetap dan Bugis tersebut juga ingin membalaskan hidup. Kepercayaan tersebut yang telah dendam atas kekalahan yang dialami dalam mewarnai alam pikiran masyrakat Islam perang Makassar. Perjuangan mereka juga Jawa. sehingga manusia yang hidup, bisa dijiwai oleh ideologi anti kafir. Mereka melakukan kontak dengan mereka yang memandang bahwa Jawa merupakan telah meninggal dunia (Issatriyadi., benteng pertahanan terakhir terhadap agresi 1977:7). Belanda, sehingga kesatuan kontingen Berdasarkan kepentingan masing- Makassar dan Bugis berdatangan ke masing peziarah, salah satunya adalah Banten. kegiatan para peziarah yang dilakukan di Banyaknya orang-orang Makassar dan makam Syekh Yusuf, Hal tersebut Bugis yang berdatangan ke Banten berdasarkan kognitif atau pengetahuan dari membuat Syaikh Yusuf Al-Makassari ingin masing-masing peziarah. Ziarah sendiri mengadakan kerja sama dengan mereka. sudah menjadi salah satu tradisi atau Untuk melawan pasukan-pasukan Belanda budaya masyarakat umat Muslim di makam yang berjumlah cukup banyak, maka Syekh Yusuf, mereka melakukan tradisi Banten membutuhkan banyak pasukan juga. tersebut dengan cara melakukan ritual dan Syekh Yusuf tidak mengharuskan hanya menghormati roh leluhur dengan berbagi orang Banten saja yang bisa bertempur, macam motivasi seperti ekonomi, spiritual, namun orang-orang dari berbagai daerah rekreatif, sosial dan kesehatan. bisa ikut berperang melawan penjajah Aktivitas Ritual dan Motivasi Ziarah Belanda. Syaikh Yusuf Al-Makassari mempunyai saran untuk membentuk Bagi peziarah, ziarah bukan saja pasukan khusus baik dari orang Banten, sebuah urgensi honoritas atau Bugis, dan Makassar untuk menyerang penghormatan terhadap perjuangan nenek

68

Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi moyang baik dalam penyebaran agama 2015:54). Seperti seorang peziarah yang Islam ataupun dalam memperjuangakan berprofesi sebagai karyawan, dia kemerdekaan tanah ini saja. Mereka juga menyempatkan ziarah ke makam Syekh merupakan media dialogis antara Yusuf hanya sebagai salah satu instrumen masyarakat dengan otoritas Ketuhanan yang dalam menghadapai masalah. Sebenarnya, tidak terwakili dalam teks besar agama. dia mengetahui cara menyelesaikan Masyarakat yang secara teologis masalah di tempatnya kerja akan tetapi, merasa lemah dalam relasi vertikalnya untuk memperkuat rasa percaya diri dia dengan Tuhan. Karena itu mereka menyempatkan diri untuk berziarah dalam membutuhkan satu ruang kreatif baru yang rangka memperkuat spiritualitasnya sebagai dapat menyambungkan dimensi relasi seorang pekerja. (Wawacara, Dg. Ngalle 20 tersebut. Karena kepercayaan terhadap wali Februari 2019). yang memiliki karomah dan barokah Ziarah Penuturan lain diberikan oleh Juru merupakan salah satunya. Kunci Makam Syekh Yusuf beliau Dalam ziarah tergapai hasrat untuk mengaku; mediumisasi (tawassul) antara manusia “Saya kurang lebih 10 tahun jadi juru dengan Tuhan melalui para wali. Bagi para kunci. Ini pekerjaan dilakukakan secara peziarah, berkah dan karomah yang dimiliki turun termurun mulai dari nenek dulu, oleh para wali merupakan hasil yang ingin sekarang kalau dihitung-hitung saya sudah dicapai lewat prosesi tersebut. Contohnya, generasi ke 7. Profesi sebagai juru kunci ini langsung ji diturunkan dari orang tua ke dengan berziarah dimakam Syekh Yusuf. anak yang dianggap mampu jadi tidak ada Yang selalu membacakan tawasul, di balik sangkut paut dengan kerajaan. Profesi juru pembacaan tawasul dan hadiah bacaan Al- kunci itu dipegang seumur hidup jadi nanti Quran sebenarnya terselip maksud si meninggal juru kunci yang lama baru peziarah datang ketempat ini walaupun para digantikan dengan juru kunci yang baru. peziarah tidak secara terang-terngan Dulu banyak peziarah yang melakukan mengakui maksud dann tujuaanya. ritual-ritual dimakam syekh Yusuf sperti Peziarah merasa bahwa beban dialogis membakar lilin merah dan membawa tersebut akan menjadi lebih kualitatif sesajen tapi selam saya menjadi juru kunci manakala ritualisme di kaitkan dengan hal seperti itu saya larang. Jadi untuk dimensi yang tidak terukur dalam teks sekarang sudah tidak ada lagi praktik seperti itu dilakukan oleh peziarah. agama. Makam-makam itu adalah tempat Peziarah yang datang memjatkan doa mengungkapkan semua dambaan hatinya. kepada Allah SWT tetapi melalui perantara Dibandingkan masjid yang seakan-akan Syekh Yusuf karena dianggap sebagai wali mencekam karena kosong, makam-makam Allah SWT. Waktu yang paling ramai bagi wali menghibur hati karena kehadiran peziarah datang berkunjung itu pada waktu kekeramatannya. Pada dasarnya makam libur akhir pecan, libur nasional, bukanlah tempat suci dimana orang menjelang puasa, idul fitri dan idul adha. bersembahyang kepada Tuhannya, Kalau untuk 1 muharram dan 10 muharram melinkan tempat orang memohon kepada itu rata-rata peziarah tawassyurah (dzikir). seorang manusia suci. Selama menjelang pemilihan politik ada Lazimnya para peziarah ke makam juga beberapa caleg yang datang berziarah. Rata-rata peziarah yang datang adalah orang-orang yang bertujuan untuk telah mengenal sosok Syekh Yusuf dan bagi dapat menyelesaikan masalah. Diantara peziarah yang belum mengenal mereka mereka kebanyakan memiliki pemikiran biasaya ingin melihat foto Syeh Yusuf. yang kritis dalam memecahkan masalah Nilai-nilai yang diteladani, amalan dari yang dihadapi. Artinya, selain Syekh Yusuf, kesabaran, ibadahnya terjaga, memanfaatkan ziarah sebagai media banyak bersalawat dan banyak bersyukur pemecahan masalahnya, mereka juga tidak kepada allah. Tidak ada jam khusus untuk meninggalkan ikhtiar lahiriah (Pakar, kunjungan tergantung dari jadwal bangun

69

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

saya. Kadang juga tengah malam banyak informasi tentang Syekh Yusuf ka ada ji habib-habib yang datang untuk dzikir dari juru kuncinya yang bertugas selama 24 jam. berbagai macam daerah kadang juga ada Kalau saya hanya bertugas dari pagi sampai yang dari luar negeri. Kadang ada juga sore. Kalau orang dari Jawa banyak datang yang datang subuh tergantung dari tengah malam. Jadi orang datang kesini kehendak Allah SWT. Jika dibandingkan bukan hanya karena gampang dijangkau dengan dulu dan searang, masih lebih banyak pengunjung yang datang dulu kerana sejak dari dulu memang sudah ramai daripada sekarang meskipun akses jalanan pengunjung mungkin karena faktor menuju makam terbilang jelek. Jadi kalau ekonomi atau ada keperluan lain. untuk bantuan pengelolaan dari pemerintah Para peziarah makam Syekh Yusuf itu kurang, maka dari itu untuk sebagian besar merupakan penduduk atau pengelolaan makam kami selaku pengurus warga masyarakat yang berasal dari daerah menggunakan uang celengan dari peziarah Sulawesi Selatan. Mereka juga bukan ahli dalam hal renovasi dan mempercantik atau kerabat kesulatan Gowa Tallo. makam. Sebenarnya kami dinaungi oleh Kehadiran mereka, tidak diragukan, ke yayasan hanya saja dalam praktek kompleks makam pada mulanya untuk pengelolaannya masih kurang aktif, berziarah ke makam Syekh sebagai yayasan makam Syekh Yusuf didirikan pada tahun 1980-an jadi sebelum itu kami selaku perwujudan dari rasa khidmah kepada salah juru kunci yang mengelolah makam secara sorang wali dan figur yang menjadi swadaya” (wawancara: Mujibur Bin abdul penyebab masyarakat Sulawesi Selatan Jalil (48 tahun) juru kunci). menjadi hamba Allah yang beriman (mu’min billah), menganut dan Hal ini dibenarkan ula oleh H. menghamalkan ajaran agama-Nya. Secara Muhammad Yunus Dg. Liong (73 tahun) sepontan mereka kemudian mendapatkan pembaca doa kurang lebih menjadi nilai-nilai baru yang sangat berkesan. Nilai- pembaca doa selama 49 tahun. Kalau saya nilai baru itu kemudian menjadi pendorong disini tidak hanya baca doa untuk makam (sugesti) mereka untuk lebih mengetahui, Syekh Yusuf karena disini banyak juga mengenal dan memahami eksistensi dan makam yang lain jadi tergantung esensi yang sebenarnya. Menurut penuturan permintaan peziarah. Peziarah yang datang seorang informan ketika pertama kali ada dari keturunan ada juga dari ana berziarah menemukan hal-hal baru yang gurunya (tarekatnya Halwatiah Yusuf). sebelumnya tidak dijumpainya dalam Kalau disini kompleks makam Syekh Yusuf kehidupan sehari-hari. Dia merasa harus ada 3 orang pembaca doa. Untuk datang kembali untuk berziarah karena pembangunan infrastruktur di makam bermaksud mengetahui dan mengenal lebih Syekh Yusuf ini berdasarkan swadaya jauh nilai-nilai baru di dalam tradisi ziarah masyarakat. Yayasan Makam Syekh Yusuf kubur di kompleks makam Syekh Yusuf ditunjuk sebagai pengelolah makam, (Wawancara: Jamaluddin 15 Februari ketuanya tinggal dijalan Kumala. Yang 2019). mengelolah yayasan itu dari keturunan langsung Syekh Yusuf. Jadi semua Ziarah Makam Sebagai Legitimasi pengurus yayasan itu dari keturunan Politik langsung Syekh Yusuf. Menjelang bulan Fenomena budaya ziarah juga terjadi di puasa ramai peziarah datang dan sesudah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya lebaran haji. Pokoknya musim-musim haji. di Kabupaten Gowa. Masyarakat Kalau tujuannya datang untuk ziarah Kabupaten Gowa masih sangat sebagai bentuk rasa syukur. Ada juga yang mensakralkan ziarah makam Syekh Yusuf. datang minta jodoh dan rejeki tapi kita Sudah menjadi kewajaran ketika seseorang arahkan untuk minta kepada Allah SWT hendak mencalonkan diri dalam pemilihan jadi makam hanya media saja. Jadi kalau Legislatif maupun Eksekutif, maka orang ada peziarah datang kesini kita juga kasi

70

Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi tersebut akan melakukan ritual ziarah dalam kontestasi politik, setidaknya untuk terhadap makam para leluhur. Contoh yang masyarakat Kabupaten Gowa. Modal paling jelas dan masih eksis sampai alternatif yang cukup menjanjikan sekarang ialah dalam kasus pemilihan dikeranakan bekerja dengan cara yang baik kepala desa, dimana setiap calon kepala dalam masyarakat Kabupaten Gowa Ziarah desa seakan berlomba-lomba untuk ziarah kubur bekerja dengan cara kerja teori ke kuburan-kuburan leluhur tersebut. Hal simbol, dimana ia merepresentasikan demikian seakan menjadi alat legitimasi kehidupan sosial keagamaan masyarakat untuk mendapatkan simpati dan kekuatan Kabupaten Gowa. Ziarah kubur dari masyarakat itu sendiri. dipraktekkan masyarakat Kabupaten Gowa Ritual ziarah dalam hal ini dapat secara terus menerus sehingga menjadi disebut sebagai latar dimana yang akan konsep yang dapat diterima secara luas mempengaruhi cara masyarakatnya dalam sehingga mempengaruhi perilaku bertindak politik, khususnya berdemokrasi. masyarakatnya. Selain itu, dengan Hal ini ditegaskan juga dalam antropologi berhasilnya Ziarah kubur dalam politik, dimana pengejawantahan nilai-nilai menciptakan ruang baru dalam mobilisasi dan hakikat demokrasi juga akan sangat politik, dapat dijadikan sebagai modal ditentukan oleh kultur atau budaya setempat berbasis budaya. Jenis modal tersebut oleh ( Jurdi, 2014:126). Pemahaman tersebut Pierre Bourdieu disebut dengan Cultural berimplikasi bahwa dalam demokrasi, jika Capital, yang mana sebagai salah satu seseorang tidak bisa mengikuti cara hidup alternatif modal dalam mewujudkan suatu masyarakatnya, maka dia tidak akan bisa usaha, dalam hal ini karir politik. memenangkan demokrasi. Oleh karena itu, Ziarah Makam dan Dampaknya modal budaya sangat diperlukan dalam Terhadap Ekonomi berdemokrasi, khususnya di Indonesia. Ekspresi politik tersebut, salah satunya Dengan keberadaan tradisi ziarah ialah kesempatan politik berupa medium makam tersebut membawa perubahan mobilisasi politik. Mobilisasi Politik dalam dalam masyarakat sekitar Makam Syekh ziarah kubur telah terjadi pada masyarakat Yusuf yang berada pada. Masyarakat Kabupaten Gowa. Ziarah kubur bukan memanfaatkan keberadaan tradisi ziarah hanya dipandang sebagai ziarah kubur tersebut sebagai tempat untuk mencari sebagaimana orang umum melakukannya, nafkah sehingga terjadilah arus sosial- akan tetapi terdapat unsur-unsur politik di ekonomi pada masyarakat di sekitar dalamnya. Masyarakat Kabupaten Gowa Makam. mendorong para elit untuk pergi dan Sehingga secara umum dapat dikatakan melakukan Ritual ziarah kubur ke tempat- bahwa keadaan social-ekonomi suatu tempat leluhur dan dianggap keramat ketika masyarakat akan saling bersangkutan antara musim pemilu tiba. Dengan demikian, baik satu sama lain. Karena dalam kehidupan disadari maupun tidak muncullah peluang seseorang di mana tidak dapat dipisahkan untuk meraih simpati publik, yaitu dengan antara faktor sosial dan ekonomi, namun cara mengikuti keinginan masyarakat faktor sosial tersebut akan menentukan Kabupaten Gowa. Walaupun memang tidak tingkat ekonomi maupun sebaliknya. semua melakukannya namun banyak elit Terlihat di mana aktivitas sosial masyarakat politik di Kabupaten Gowa yang dalam melakukan tradisi ziarah berdasarkan melakukannya. Oleh karena itu terjadilah kepercayaan yang masyarakat yakini hingga mobilisasi politik oleh para elit politik saat ini menjadikan kebermanfaat bagi Kabupaten Gowa dengan menggunakan masyarakat dalam bidang ekonomi. Ritual ziarah kubur. Namun, tetap saja aktivitas dan Ziarah kubur sebagaimana telah kepercayaan masyarakat akan tradisi ziarah dijelaskan, telah menjadi modal alternatif tersebut tidak mengalami perubahan.

71

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Masyarakat sekitar makam Syekh Yusuf Dalam kegiatan ziarah kubur yang masih tetap mempercayai dampak positif dilakukan oleh masyarakat tidak hanya yang akan dirasakan ketika melakukan melibatkan masyarakat Kabupaten Gowa, ziarah karena ziarah memang merupakan hal ini juga dilakukan oleh peziarah yang sunah Rasul yang tetap dijalankan sampai datang dari daerah- daerah lain. saat ini. Justru dengan adanya tradisi ziarah Keterlibatan pengunjung atau peziarah ini membawa perubahan yang tersebut tidak disia-siakan oleh masyarakat mensejahterakan masyarakat. sekitar yang menjadi pedagang. Sehingga Dampak ekonomi yang ditimbulkan peluang usaha di daerah ini semakin baik bagi peziarah yang datang ke makam dan semakin menguntungkan masyarakat. Syekh Yusuf al Makassari adalah Zainuddin (2008:754) mengungkapkan hubugan timbal-balik atau principle of bahwa di dalam masyarakat maju dan resiprosity antara masyarakat sekitar yang berkembang, perubahan sosial dan berprofesi sebagai penjual dengan peziarah kebudayaan selalu berkaitan dengan dapat membantu penjual untuk pertumbuhan ekonomi”. Lambat-laun mendapatkan maanfaat ekonomi persepsi keberadaan peziarah pun semakin (Koentjaraningrat., 1981:165). Sedangkan meningkat yaitu dianggap sangat positif. keuntungan bagi para peziarah adalah Dengan banyaknya masyarakat atau mendapatkan berkah dan keberuntungan peziarah yang datang ke makam tersebut dari apa yang mereka lakukan dalam akan memberikan peluang kerja kepada berziarah ke makam Syekh Yusuf al masyarakat sekitar makam. Maka secara Makassari. otomatis ekonomi masyarakat setempat Menurut penuturan beberapa infroman mengalami perubahan. Masyarakat kehadiran Makam Syekh Yusuf memanfaatkan keramaian untuk mencari memberikan dampak ekonomi bagi rezeki. Ada saja yang mereka lakukan, masyarakat sekitar. Kehadiran makam misalnya dengan berjualan makanan, syekh Yusuf tidak hanya memberikan minuman, cinderamata, kembang setaman, manfaat dari segi religiusitas tapi juga bahkan ada juga yang membuka tempat berdampak pada kehidupan ekonomi parkir bagi peziarah yang datang ke masyarakat yang tinggal disekitar makam. kompleks makam Syekh Yusuf. Karena kita berdayakan beberapa orang Ziarah Makam Sebagai Aktivitas untuk bersihkan makam baru kita gaji, Pariwisata diluar mkaam juga banyak yang jual bunga dan makanan itu secara tidak langsung Makam dapat dikatakan sebagai cagar membantu kehidupan ekonomi masyarakat. budaya yang memiliki nilai historis yang Jadi meskipun Syekh Yusuf dikatakan telah panjang, kebanyakan para peziarah datang meninggal dunia tetapi beliau masih ke makam raja-raja atau penyiar agama memberikan kemaslahatan untuk ummat. islam. Hal ini dapat dikatkan sebagai sisi Selain itu Tidak ada tarif khusus untuk religiusitas dari para peziarah. Keterkaitan ziarah makam, tergantung dari keikhlasan sejarah antara keduanya sangat berpengaruh mereka kadang Rp 1.000- Rp 5.000. kadang ke intensitas kunjungan. ada juga yang tidak kasih tergangung dari Setiap ada keramaian pada suatu obyek keadaannya itu orang (Wawancara: Mujibur wisata pasti membawa peningkatan Bin abdul Jalil (48 tahun) juru kunci). pendapatan rumah tangga pada masyarakat Makam Syekh yusuf juga memberi dampak sekitarnya, karena dengan banyaknya ekonomi bagi masyarakat karena banyak pengunjung yang datang ke tempat tersebut yang jual kembang, buka warung, jadi dapat memberikan peluang kerja bagi tukang parkir (wawancara; H. Muhammad masyarakat sekitar makam. Hal demikian Yunus Dg. Liong (73 tahun) pembaca doa). dikarenakan tradisi ziarah makam merupakan daya tarik wisata religi yang

72

Ziarah Makam Syekh Yusuf Al-Makassari… Renold & Muh. Zainuddin Badoollahi kuat disamping kharisma seorang Syekh kementrian kebudayaan dan pariwisata Yusuf yang dapat memberikan keberkahan, disebut dengan wisata minat khusus. kedua hal ini memiliki magnet yang sagat Kegiatan ziarah ini tentu saja dapat kuat untuk menarik peziarah yang mencari menghasilkan PAD bagi pemerintah keberkahan maupun wisatawan yang ingin setempat, tidak hanya itu dengan adanya melihat-lihat saja. Menurut penuturan tempat-tempat ziarah ini juga ternyata seorang informan: dimanfaatkan oleh warga setempat untuk Paling banyak peziarah dari Sulawesi mengais keuntungan dengan mendirikan Selatan tapi ada juga dari Jawa, tempat-tempat jualan pernak-pernik ziarah Kalimantan, Sumatera. Kalau menurut dan makanan. sejarah peziarah datang kesini makam dimulai sejak ini syekh Yusuf dimakamkan PENUTUP disini sekitar abad ke-17. Kalau masalah promosi kita tidak pernah lakukan karena Berziarah kemakam sudah menjadi ada pemerintah yang mengurus, jadi kalau tradisi yang sangat umum bagi sebagain ada wisatawan datang tempat pertama yang masyarakat muslim, sehingga siapapaun dia kunjungi makam Syekh Yusuf dulu dapat menjadi peziarah. Mulai dari anak- baru ke Mesjid Katangka, Makam Sultan anak yang di bawa oleh orangtuanya Hasanuddin, Balla Lompoa setelah itu baru remaja, dan orang tua bisa kita temukan di ke benteng Somba Opu. Jadi disini ita kedua makam keramat ini. sediakan mesjid yang dilengkapi toilet dan Ziarah makam bukan hanya sebagai tempat air wudhu jadi gampang kalau suatu kegiatan rohani guna mendoakan peziarah mau beribadah (Wawancara: H. orang-orang yang sudah meninggal. akan Muhammad Yunus Dg. Liong (73 tahun) tetapi juga terdapat tendensi-tendensi atau Pembaca Doa). ekspresi politik didalamnya. Ekspresi Pernyataan diatas juga dibenarkan oleh politik tersebut melahirkan jaminan Juru Kunci Makam Syekh Yusuf ia kesuksesan atau paling tidak kesempatan mengatakan bahwa; Peziarah yang datang politik yang cukup besar dalam dinamika dari jawa, Kalimantan pokoknya semua politik masyarakat Kabupaten Gowa. propinsi sedangkan dari Irian jaya juga Dengan adanya makam Syekh Yusuf pernah datang bupatinya. ada juga peziarah masyarakat sekitar nampaknya diuntungkan dari luar negeri seperti dari Singapura, secara ekonomi, tidak hanya menjadi Filipina, Yaman (Hadramaut), Iran, Irak, pegelola makam, yang kesehariannya India dan . Kalau peziarah dari menemani juru kunci di makam dengan luar negeri Malaysia paling banyak yang membersihkan makam, menyapu kompleks datang. Para peziarah yang datang mungkin makam, yang menunggu pendaftaran ada hubungan keluarga dengan Syekh sampai yang menjadi juru parkir, tetapi juga Yusuf atau mendengar kisah kemahsyuran dengan mengadakan kegiatan berdagang. Syekh Yusuf (Wawancara: Mujibur Bin Peziarah yang datang ke makam Syekh abdul Jalil (48 tahun) juru kunci). Yusuf, Pada hari-hari biasa yang datang Tradisi ziarah ini kemudian juga hanya perorangan, suami istri dan paling melahirkan biro-biro perjalanan yang banyak membawa sanak keluarga, pada menawarkan paket-paket ziarah yang sangat hari-hari tertentu, peziarah yang datang variatif. Misalnya saja tempat ziarah yang mencapai puluhan orang dan barulah kita akan dikunjungi, rute perjalanan yang akan bisa melihat peziarah dari berbagai kelas dilewati, penginapan di hotel serta makan di sosial, dan suku budaya tertentu yang restoran. Sehingga tradisi ziarah ini mencapai ratusan orang. kemudian berkembang menjadi wisata ziarah, yang notabene merupakan salah satu bentuk kegitan pariwisata dalam bahasa

73

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA Pakar, Ibnu Sutejo. 2015. Panduan Ziarah Kubur. Cirebon: CV Aksara Satu. Al-Humaidi, Abdullah Hamid. 2003. Bid'ah-Bid'ah Kubur, Terjemahan oleh Sauqi, Achmad dan Azis, Abd. 2017. Syekh Abdul Rosyad Shiddiq. Jakarta: Basyaruddin dan Jaringan Aulia Pustaka Al-Kautsarm. Mataram. Tulungagung: IAIN Tulungagung Press. Bourdieu, Pierre, Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terj. Saifudin, Ahmad Fedyani. 2006. Yudi Santosa, cet. ke-2, Yogyakarta: Antropologi Kontemporer: Suatu Kreasi Wacana, 2012. Pengantar Kritis Mengenai Paradigma cet. ke-2. Jakarta: Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kencana. Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Yiliyatun, Y. 2015. Ziarah Wali sebagai Bandung: Mizan. Media Layanan Bimbingan Konseling Islam untuk Membangun Geertz, Clifford. 2013. Agama Keseimbangan Psikis Klien. Jurnal Jawa:Abangan, Santri, Priyayi dalam Bimbingan Konseling Islam, 6 (2), Kebudayaan Jawa, terj. Aswab hlm. 335-354. Mahasin dan Bur Rasuanto. Jakarta: Komunitas Bambu. Zainuddin. 2008. Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan. Hamid, Abu. 1994. Syekh Yusuf Makassar: Jurnal Religia, 7 (3), hlm.750-766. Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Hawash Abdullah. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas. Irmasari, M. 2013. Makna Ritual Ziarah Kubur Angku Keramat Junjung Sirih oleh Masyarakat Nagari Paninggahan. E-Journal UNP. Issatriyadi, 1977. Tradisi Ziarah Kubur dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka. Jurdi, Fatullah. 2014. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI-Press. Leksono, Sugeng Puji. 2009. Pengantar Antropologi cet. ke-2. Malang: Umm Press. Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya . Mustafa, Mustari. 2011. Agama dan Bayang-bayang Etis: Syaikh Yusuf Al-Makassari. Yogyakarta: LKiS.

74

ETOS KERJA KOMUNITAS NELAYAN PENDATANG DI SODOHOA KENDARI BARAT (THE WORK ETHOS OF THE IMMIGRANT FISHING COMMUNITY IN SODOHOA, WEST KENDARI)

Masgaba Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawsei Selatan Jalan Sultan Alauddin-Tala Salapang Km 7 Makassar 90221 Telp. (0411) 885119 Fax. (0411) 865166, 883748 Pos-el: [email protected]

ABSTRACT This written work constitutes the results of research conducted among an immigrant fishing community in Sodohoa, West Kendari, in the city of Kendari. The data collection methods used include interviews, focus group discussion, and observation. The research results indicate that the immigrant fishermen in the Sodohoa district originate from the regions of Pangkep, Ulung Lero, and Makassar. Essentially, the primary motive for migration, other than economic and socio-cultural factors, is the variety of fish found in the waters of Kendari, especially the high-selling tuna. The economic factor stems from the fishermen's lack of capital for conducting their seagoing activities, leading to their borrowing money from an employer in Kendari. The socio-cultural factor stems from the fishermen's conscience obligating hard work to generate an income to meet the day-to-day needs of their families. Being fishermen is a legacy that is passed down the generations from their ancestors; they cannot pursue other careers, due to their limited skills and abilities. The enthusiasm for their work is motivated by a sense of shame (siri’) for one who does not produce an income. Keywords: Work ethos, social economy, immigrant fishermen.

ABSTRAK Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada komunitas nelayan pendatang di Sodohoa Kendari Barat, Kota Kendari. Metode pengumpulan data berupa wawancara, focus group discussion, dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nelayan pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa berasal dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan Makassar. Pada dasarnya motif utama mereka melakukan migrasi selain karena faktor ekonomi dan faktor sosial budaya, juga karena di wilayah perairan Kendari terdapat banyak jenis ikan, terutama ikan tongkol yang memiliki nilai jual yang tinggi. Faktor ekonomi timbul akibat nelayan pendatang tidak memiliki modal uang untuk beraktivitas melaut, sehingga mereka meminjam pada bos yang ada di Kendari. Faktor sosial budaya timbul sebagai akibat adanya naluri untuk bekerja agar memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Menjadi nelayan merupakan warisan yang turun temurun dari orang tua mereka, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan karena keterbatasan keterampailan dan keahlian yang dimiliki. Semangat kerja mereka termotivasi adanya perasaan malu (siri’) jika tidak memiliki penghasilan.

Kata kunci: Etos kerja, sosial ekonomi, nelayan pendatang.

PENDAHULUAN nelayan dalam konteks penelitian ini, yaitu Masyarakat nelayan secara geografis masyarakat pendatang yang menetap adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan sementara waktu di daerah pinggir pantai berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu Kendari dan bermata pencaharian sebagai kawasan transisi antara wilayah darat dan nelayan, yakni dengan menangkap ikan di laut (Kusnadi, 2010:27). Masyarakat laut dengan menggunakan alat tangkap seperti jaring (gae), pancing. 75

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Sebagai sebuah entitas sosial, berupa materi dan cara-cara atau strategi masyarakat nelayan memiliki sistem tertentu sebagai wujud dari penerapan ilmu budaya tersendiri dan berbeda dengan pengetahuan yang mereka miliki (Naping, masyarakat lain, seperti masyarakat petani, 2003:2). perkotaan ataupun masyarakat yang hidup Nelayan sebagai masyarakat bahari di dataran tinggi. Masyarakat nelayan ditandai dengan fenomena sosial yang merupakan unsur sosial yang sangat penting mencolok, khususnya di Indonesia. dalam struktur masyarakat pesisir. Sekurangnya ada lima fenomena mencolok, Kebudayaan yang mereka miliki mewarnai seperti (1) kompleksnya kategori atau karakteristik kebudayaan dan perilaku kelompok sosial yang terlibat dalam sosial budaya masyarakat pesisir secara kehidupan kebaharian, (2) tumbuh dan umum. Realitas masyarakat nelayan yang berkembangnya sektor-sektor dan subsektor memiliki pola-pola kebudayaan yang ekonomi dan aktivitas lainnya berkaitan berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dengan laut, (3) keterlibatan secara tidak dari interaksi masyarakat nelayan dengan langsung kategori-kategori dan hirarki lingkungan beserta sumber daya yang ada sosial dalam kebaharian, (4) saling di dalamnya. Pola-pola itu menjadi keterkaitan antar sektor-sektor kehidupan kerangka berpikir atau referensi perilaku dan internal antar unsur-unsur budaya masyarakat nelayan dalam menjalani bahari, (5) sifat homogen dan diversiti kehidupan sehari-hari (Kusnadi, 2003:3,4). unsur-unsur budaya, dan proses dinamika, Sejak berabad-abad lamanya, wilayah perubahan dari unsur-unsur budaya bahari pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan tersebut (Munsi Lampe dalam Salim, beragam sumber daya alamnya telah 2016:67). dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia Etos dalam ilmu antropologi identik sebagai salah satu sumber bahan makanan dengan watak khas. Etos (watak khas) utama, khususnya protein hewani (Dahuri, sering tampak pada gaya tingkah laku dkk, 2008:1). Bangsa Indonesia adalah warga masyarakatnya, kegemaran- bangsa besar yang hadir dari sebuah kegemaran, dan berbagai benda budaya kegiatan migrasi dengan perantara maritim. hasil karya mereka. Berbicara masalah etos Semboyang “nenek moyangku orang kerja tidak terlepas dari sistem budaya suatu pelaut’ bukanlah semata pengangkat masyakarat. Sistem budaya merupakan semangat nasionalisme kemaritiman tingkat yang paling tinggi dan sifatnya (Prasetia, 2016:1). Indonesia dikatakan abstrak dari adat istiadat. Sistem nilai sebagai negara maritim karena 75% dari budaya merupakan konsep-konsep wilayah Indonesia merupakan laut. Dengan mengenai sesuatu yang ada dalam alam demikian, wajar apabila penduduk pikiran sebagian besar dari masyarakat Indonesia banyak yang bermata yang mereka anggap bernilai, berharga, pencaharian berkaitan dengan kelautan. penting dalam hidup, sehingga berfungsi Salah satu kelompok masyarakat yang sebagai suatu pedoman yang memberi arah sangat bergantung pada sumber daya pada kelakuan, dan perbuatan dalam kelautan adalah kaum nelayan (Kinseng, masyarakat (Koentjaraningrat, 2009:153). 2014:3). Menurut Munsi Lampe (dalam Salim, Masyarakat maritim adalah bagian dari 2016:62) wujud budaya bahari nelayan kelompok masyarakat yang memanfaatkan ialah sistem budaya (meliputi sistem-sistem lingkungan alam laut untuk memenuhi pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan kebutuhan hidupnya. Dalam hal daftar kebutuhan, serta cita-cita dalam pemanfaatan lingkungan laut, masyarakat kognitifnya), kelembagaan (meliputi nelayan mengembangkan seperangkat organisasi, kelompok kerja sama nelayan, kebudayaan dalam bentuk idea, gagasan, hak-hak pemilikan/kontrol atas wilayah dan aktivitas atau tindakan, dan teknologi

76

Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba sumber daya laut), dan teknologi (meliputi beragama, bekerja merupakan kewajiban sarana/prasarana transportasi laut). yang harus dijalankan (Alim dalam Salam, Etos kerja, yaitu sikap kehendak yang 2017:17). berpusat pada kata hati manusia, yang Mengacu pada pandangan tersebut di mencakup beberapa hal, yaitu sifat, atas, etos kerja tercermin pada sikap karakter, kualitas hidup, moral, gaya kehendak, yaitu apa yang dikehendaki, estetika, suasana hati seseorang atau secara sukarela, tanpa dipaksa atau karena masyarakat (Geertz, 1992:51). Sedangkan ada keuntungan dan harapan. Secara pengertian etos menurut Bateson (dalam prinsipil, etos kerja itu berpusat pada kata Goo, 2012:65) adalah karakter distingtif hati, namun demikian, etos kerja setiap atau semangat dari suatu kejadian atau orang diwarnai oleh etos sosialnya, yaitu kebudayaan. Selanjutnya, etos kebudayaan persetujuan masyarakat mengenai suatu merupakan sifat, nilai, dan adat istiadat gagasan, nilai-nilai, dan pandangan- khas yang memberi watak kepada pandangan yang menghasilkan kehendak- kebudayaan suatu golongan sosial dalam kehendak sekaligus menjadi ciri khas masyarakat. Etos dapat juga berarti seseorang (Hamid Pananrangi & pandangan hidup yang khas suatu golongan Kaharuddin, 1995:2). sosial (Koentjaraningrat., dkk, 1984:45). Nelayan sebagai masyarakat maritim Pembahasan etos tidak terlepas dari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sistem budaya suatu masyarakat. Sistem mereka rela meninggalkan kampung budaya adalah abstrak, tidak dapat dilihat halamannya dalam waktu tertentu. Mereka dan diraba, ia identik pada orang atau berpindah dari wilayah yang satu ke kelompok, berada di kepala setiap orang, wilayah yang diidentifikasi telah memasuki terdiri atas konsep-konsep, gagasan- waktu musim tangkap. Mencari dan gagasan, pandangan-pandangan, dan nilai- menangkap ikan di laut merupakan masa nilai. Etos adalah sifat, karakter, kualitas depannya. Dengan semangat kerja yang hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana tinggi untuk mencapai sesuatu yang hati seseorang. Etos memberi warna dan diinginkan. Sebagaimana ungkapan leluhur penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, “resopa temmangingngi namalomo naletei apakah suatu pekerjaan itu dianggap baik, pammase dewata (artinya hanya dengan mulia, terpandang, disukai ataukah kerja keras dan tekun akan mudah pekerjaan itu dianggap buruk, dibenci, dan mendapatkan ridho dari Allah ). tidak terpandang, salah atau tidak Bagi sebagian besar etnis di Indonesia, dibanggakan. Etos akan tampil pada saat kecenderungan meninggalkan daerah asal kita melakukan peranan-peranan, misalnya dan pergi bermigrasi telah mengakar dalam sebagai petani, nelayan, guru, pengusaha, tradisi budaya mereka. Sistem nilai budaya pememimpin, dan sebagainya. Berbicara justru menjadi sumber inspirasi dan masalah etos kerja, bisa diartikan sebagai motivasi mereka dalam melakukan suatu sikap kehendak, yaitu apa yang perantauan. Mereka meninggalkan daerah dikehendaki, secara sukarela, tanpa dipaksa asal untuk berinteraksi dengan dunia luar atau karena ada keuntungan dan harapan dan membangun relasi sosial baru di luar (Hamid, 2006:2) komunitas asal. Orientasinya terkait dengan Etos kerja masyarakat nelayan harapan tercapainya keberhasilan, terutama didorong oleh tiga hal pokok. Pertama, di bidang ekonomi. Obsesi tentang kebutuhan dasar hidup (subsistem) perbaikan kehidupan ekonomi tidak hanya masyarakat yang harus dipenuhi untuk untuk memenuhi kebutuhan material, tetapi keberlangsungan hidupnya. Kedua, juga mengangkat derajat atau status sosial keluarga dengan keinginan untuk mereka. Bermigrasi didorong oleh sistem membahagiakan anak dan isteri merupakan atau nilai-nilai budaya yang membentuk faktor penting. Ketiga, sebagai makhluk pandangan hidup mereka demi

77

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mewujudkan harapan meraih kesuksesan budaya yang menjadi alasan mereka, (Malik, 2013: 155). seperti siri, kebiasaan, dan ingin coba-coba Seperti halnya dengan komunitas bermigrasi. Ada perasaan malu (siri) nelayan pendatang dari Pangkep, Ujung terhadap diri sendiri, terhadap keluarga dan Lero, dan Galesong memilih Sodohoa, lingkungan masyarakat jika tidak memiliki Kendari Barat, sebagai tempat tujuan penghasilan. Sementara peluang pekerjaan bermigrasi untuk mencari nafkah. Wilayah di daerah lain cukup tersedia. perairan Kendari memiliki banyak Komunitas nelayan Bugis, Mandar, ketersediaan jenis ikan terutama ikan dan Makassar (Galesong) pada musim tongkol (cakalang) yang memiliki nilai jual barat mereka bermigrasi (assawakung) pada yang tinggi. Hal tersebut merupakan salah wilayah tertentu, dan menetap selama satu daya tarik bagi mereka. Selain itu, di musim tangkap. Apabila tidak melaut, Kendari ada “bos” pemilik modal yang mereka beristirahat di Sodohoa. Komunitas dapat dijadikan tempat meminjam sejumlah nelayan Bugis yang berasal dari daerah uang untuk dipergunakan biaya melaut. Pangkep umumnya tinggal di rumah Begitu pula dalam hal pemasaran ikan hasil kontrakan di Kelurahan Sodohoa. Berbeda tangkap, mereka serahkan kepada “bos” dengan nelayan Mandar dari Ujung Lero, pemilik modal yang terdapat di TPI dan nelayan Makassar dari Galesong, (Tempat Pelelangan Ikan) Sodohoa. mereka tidak mengontrak rumah tetapi Mereka bekerja sebagai nelayan dan mereka tinggal di atas kapal sambil bermigrasi pada musim-musim tertentu menunggu waktu melaut tiba. mengikuti jejak orang tua, atau kerabatnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, Lingkungan wilayah perairan Kendari fokus masalah dalam tulisan ini adalah: menyediakan berbagai jenis biota laut, Apa yang memotivasi nelayan sehingga terutama jenis ikan tongkol, mendorong bermigrasi ke Kelurahan Sodohoa? Nilai- mereka untuk bekerja guna memenuhi nilai budaya apa saja yang berkaitan dengan kebutuhan akan sandang, pangan, dana etos kerja nelayan pendatang di Kelurahan papan keluarga. Tidak ada pekerjaan lain Sodohoa? yang bisa mereka lakukan selain sebagai Berdasarkan latar belakang dan nelayan, sementara tuntutan kebutuhan rumusan masalah, tujuan umum dari tulisan rumah tangga harus terpenuhi. Hal itu ini adalah untuk memetakan etos kerja membakar semangat mereka untuk keluar nelayan pendatang di Kelurahan Sodohoa, dari daerah asal untuk mencari uang guna Kecamatan Kendari Barat. Sasaran yang memenuhi kebutuhan rumah tangganya. hendak dicapai dalam tulisan ini adalah: Mereka bekerja secara berkelompok dalam Untuk mendeskripsikan motivasi nelayan satu unit kapal. Mereka terdiri atas sehingga melakukan migrasi ke Kelurahan kelompok nelayan pa’gae, parengge, dan Sodohoa. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pa’bagang. budaya yang berkaitan dengan etos kerja Faktor ekonomi menjadikan mereka nelayan di Kelurahan Sodohoa. bermigrasi meninggalkan kampung halaman. Walaupun di kampung orang METODE terasa pahit, tetapi karena tuntutan Tulisan ini menggunakan pendekatan kebutuhan hidup yang harus terpenuhi kualitatif deskriptif. Untuk memperoleh sehingga mereka merasa terpaksa menetap data sesuai dengan fokus penelitian, sementara waktu untuk bekerja. digunakan beberapa teknik pengumpulan Sebagaimana dalam ungkapan Bugis mau data, seperti: teknik pengamatan luttu massuwajang uki, dalle siputanre (observasi), teknik wawancara, focus group silolongemuawa (artinya: di mana pun kita discussion, dan dokumentasi. Melalui berada kalau rezeki, jodoh pasti ketemu). observasi alamiah (natural) dan wawancara Selain faktor ekonomi juga faktor sosial mendalam, data yang terkumpul akan

78

Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba semakin lengkap. Data yang diperoleh Kelurahan Sodohoa memiliki luas secara natural akan lebih bermakna wilayah kurang lebih 143 Ha terbagi ke (Endraswara, 2012:208). Wawancara dalam 7 RW dan 18 RT. Dari luas wilayah dengan beberapa orang nelayan pendatang tersebut digunakan untuk permukiman dari daerah Pangkep, Ujung Lero, dan penduduk seluas 22.2 Ha. Jumlah penduduk Makassar (Galesong). FGD dilakukan dalam wilayah Sodohoa sebanyak 2847 bersama dengan kepala Kelurahan jiwa dengan kepadatan penduduk 20 Sodohoa, beberapa nelayan pendatang, dan jiwa/Ha. Kepadatan penduduk yang sangat orang yang ditokohkan oleh masyarakat tinggi berada di RT 10-RW 04 dengan setempat, seperti H. Suega Dg. Parani. tingkat kepadatan 425 jiwa/Ha. Tingkat Pengamatan dilakukan dengan melihat kepadatan yang cukup tinggi dan juga kondisi lingkungan permukiman, aktivitas kondisi penduduk Kelurahan Sodohoa yang nelayan setelah pulang dari melaut. Selain majemuk menyebabkan mata pencaharian itu, penulis mengamati aktivitas nelayan penduduk variatif. Mata pencaharian pendatang, khusus nelayan dari Ujung Lero tersebut seperti, pertanian, perkebunan, yang tinggal di atas kapal mereka. peternakan, nelayan, industri pabrik, Mengamati pada saat mereka beristirahat konstruksi bangunan, tenaga kesehatan, sambil memperbaiki kapal, dan alat tangkap perdagangan, dan pegawai pemerintah. (jaring). Mereka berinteraksi antara sesama Data statistik mengenai jumlah nelayan nelayan pendatang. pendatang tidak tersedia, namun dari informasi ketua RT 011, bahwa jumlah

PEMBAHASAN nelayan pendatang di Sodohoa dapat diketahui dengan melihat jumlah surat Gambaran Umum Lokasi Penelitian keterangan domisili. Keterangan domisili Setiap daerah memiliki nama dan asal dari pemerintah Kelurahan Sodohoa usul nama tersebut, demikian halnya nama diberikan kepada nelayan pendatang, Sodohoa. Menurut tradisi tutur yang khususnya kepada punggawa untuk berkembang pada masyarakat Sodohoa, kepentingan perizinan melaut. Setiap bahwa nama Sodohoa berasal dari kata punggawa memiliki kapal gae atau kapal Sodo yang berarti menjolok, dan hoa berarti bagang yang beranggotakan sekitar 12-15 sejenis burung. Dari kedua kata tersebut ABK. digabung menjadi kata Sodohoa. Konon, pada zaman dahulu wilayah Kelurahan Sodohoa merupakan hutan belukar dan banyak burung hoa yang bertengker pada pohon. Untuk mendapatkan burung, diambil dengan cara dijolok dengan mempergunakan kayu (sodo). Kelurahan Sodohoa merupakan salah satu kelurahan dari sembilan kelurahan yang ada di Kecamatan Kendari Barat, Kota Gambar 1. Permukiman Penduduk. Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber: Dokumen Penulis Secara administratif kelurahan Sodohoa berbatasan dengan: Sebelah Utara Permukiman penduduk menyebar berbatasan dengan hutan Nipa-Nipa, dan berjejer di sepanjang jalan. Rumah Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk penduduk yang dibangun di sepanjang jalan Kendari, sebelah Barat berbatasan dengan utama berhadapan langsung dengan laut Kelurahan Sanua, sebelah Timur berbatasan teluk Kendari. Sedangkan rumah yang dengan Kelurahan Benu-Benua. dibangun di sepanjang jalan setapak posisinya berhadapan dengan rumah

79

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 lainnya. Bentuk rumah penduduk sebagian di Kendari ini ada bos yang bisa membantu besar masih mempergunakan rumah dengan dalam hal permodalan. Selain itu, hasil kategori semi permanen, terutama yang tangkap berupa ikan dapat langsung terjual bermukim di daerah yang berbukit. Hal melalui bos pemilik modal yang ada di tersebut disebabkan selain karena kondisi pelelangan ikan Kendari. ekonomi juga karena topografi yang Informan H. Maudu sebagai punggawa berbukit sehingga menyulitkan distribusi pada kelompok nelayan pa’gae, bahan material untuk menjangkau lokasi menurutnya, hampir sama dengan nelayan areal permukiman tersebut. Lain halnya pendatang lainnya, bahwa daya tarik dengan rumah penduduk yang dibangun di bermigrasi ke Kendari karena adanya bos pinggir jalan utama atau dataran rendah yang bisa memberi modal berupa uang umumnya bangunannya berbentuk yang dipergunakan untuk beraktivas permanen. mencari dan menangkap ikan di perairan Kendari dan sekitarnya. Di kampung Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos halamannya, Pangkep tidak bisa melaut Kerja Nelayan karena tidak memiliki modal yang cukup. a. Faktor Ekonomi Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan selain menjadi nelayan. Melihat Awal mula kedatangan nelayan kerabat sesama nelayan yang memiliki pendatang di Sodohoa menurut penuturan modal cukup berhasil. Bermigrasi ke informan bahwa keberadaan nelayan Kendari bermula ketika ada kerabat juga pendatang yang ada di Kelurahan Sodohoa sebagai nelayan yang lebih dahulu ada di sudah ada sejak dahulu kala. Tidak ada Kendari dan cukup berhasil. Dari informasi catatan secara resmi mengenai tahun kerabat tersebut bahwa ada pemilik modal keberadaan nelayan pendatang di Sodohoa. di Kendari yang bisa memberi dana Pada awalnya nelayan pendatang berasal pinjaman. Selain itu, ada informasi bahwa dari Kalimantan. Nelayan dari Kalimantan wilayah perairan Kendari kondisi iklimnya tersebut bersuku bangsa Bugis bermukim di tidak terlalu ekstrim jika dibandingkan Kalimantan. Bermigrasi ke Kendari untuk dengan wilayah lainnya. (wawancara, mencari dan menangkap ikan dengan alat Maret, 2018). tangkap pancing. Mereka “mattongkol” Bagi nelayan, ketersediaan modal (memancing ikan tongkol) di wilayah usaha merupakan salah satu kebutuhan perairan Kendari. Dari keberhasilan nelayan pokok. Nelayan pendatang di Sodohoa pada Kalimantan dalam mencari dan menangkap umumnya meminjam kepada “bos” yang ikan di Kendari menjadi daya tarik nelayan ada di sekitar mereka. “Bos” sekaligus pendatang lainnya. Nelayan pendatang yang sebagai penampung hasil tangkap para ada di Sodohoa berasal dari Selatan, seperti nelayan bekerja di TPI kota Kendari. Hasil dari Makassar, Pangkep, dan Ujung Lero. tangkap nelayan dijual atau dipasarkan oleh Nelayan pendatang di Sodohoa hanya diberi penampung atau “bos” tempat mereka keterangan domisili oleh pemerintah meminjam uang. Harga ikan hasil tangkap Kelurahan Sodohoa. Biasanya mereka nelayan ditentukan sendiri oleh penampung. menetap di Sodohoa selama musim tangkap Menurut penuturan salah seorang (musim teduh) (hasil wawancara dengan H. informan, bahwa “bos” tempat meminjam Suega, Maret 2018 ). uang di Kendari tidak hanya melayani Selanjutnya informan H. Kamil untuk keperluan melaut, tetapi juga bisa mengungkapkan bahwa datang ke Kendari membantu memberi pinjaman untuk meninggalkan kampung halaman untuk keperluan rumah tangga nelayan, seperti sementara waktu demi untuk memenuhi untuk keperluan biaya sekolah anak mereka kebutuhan ekonomi keluarga. Kendari (wawancara, Sudirman, Maret 2018). merupakan tempat yang menjadi pilihan untuk mencari dan menangkap ikan karena

80

Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

Dari penuturan informan tersebut pekerjaan lain yang bisa dilakukan dan menunjukkan bahwa daya tarik untuk tidak memiliki modal sehingga rela bermigrasi dan bekerja sampai ke Kendari meninggalkan kampung halaman. karena adanya penjamin modal. Di daerah Kalau siri’ merupakan taruhan harga asal tidak bisa menemukan hal tersebut. diri, maka harga diri tersebut harus diangkat Dari hasil kerja sebagai nelayan dapat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa memenuhi kebutuhan ekonomi rumah pelopor, dan senantiasa berorientasi tangganya walaupun dengan menggunakan keberhasilan. Seseorang dapat mengem- modal pinjaman. Lain halnya dengan bangkan etos kerja tinggi, oleh karena informan Roy, seorang ABK pada salah berhadapan dengan tantangan-tantangan, seorang punggawa bagang, bermigrasi ke harapan-harapan, dan hal-hal yang menarik Kendari untuk bekerja dan menghasilkan serta menguntungkan, sehingga mendorong uang agar dapat membantu orang tuanya. munculnya kerajinan, kecermatan yang Setiap kali mendapat hasil dari melaut, Roy lahir dari kepribadian seseorang (Hamid, mengirim atau mentransfer sejumlah uang 2009:3). kepada ibunya yang tinggal di Makassar. Seperti halnya dengan perantau orang Terdapat juga nelayan (ABK) yang bekerja Wajo ke Malaysia, mereka meninggalkan di kampung orang karena alasan untuk kampung halamannya karena siri’, yaitu mengumpulkan uang yang akan digunakan menderita, miskin, sehingga memilih berumah tangga (beristeri). bermigrasi karena ingin hidup lebih baik. Bekerja sebagai nelayan di kampung Sebagaimana pantun dalam bahasa Bugis orang merupakan pilihan sendiri karena berbunyi: de gaga pasaq ri lipuqmu, tidak memiliki keahlian atau keterampilan balanca ri kampong mu, mulanco mabela ? di bidang lainnya. Bekerja sebagai nelayan (artinya apakah tidak ada pasar di merupakan sumber mata pencaharian negerimu, tak ada belanja di kampungmu warisan yang diperoleh dari orang mereka. sehingga bermigrasi jauh ?). Engka pasaq Mereka tidak memiliki pilihan lain. di rili puqku, balanca ri kampongku, Sebagaimana pengertian etos kerja yang ininnawamu kusappa (artinya, ada pasar di dikemukakan oleh Dawam Raharjo, sebagai kampungku, ada belanja di kampungku, pola sikap mendasar yang sudah mendarah- namun aku mencari hati nurani). daging dan memengaruhi perilaku Berkaitan dengan harga diri karena seseorang secara konsisten dan terus bermigrasi, ungkapan bahasa Makassar menerus (dalam Malik, 2013:12). “appaenteng siri’” seseorang bekerja keras, berusaha sekuat-kuatnya untuk memperoleh b. Faktor Sosial Budaya kehidupan yang layak agar tidak terhina Sebagai kepala rumah tangga harus oleh kemiskinan. Sikap yang demikian tercermin pada orang yang suka bekerja mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga ada perasaan malu tidak keras demi kebutuhan hidup. Demikian memiliki penghasilan di kampung sendiri. halnya dengan nelayan pendatang yang ada Mengikuti jejak kerabat atau sesama di Sodohoa, khususnya nelayan pendatang nelayan yang terlebih dahulu bermigrasi dari Makassar. Dengan prinsip appaenteng dan berhasil membuatnya tertarik siri’ mereka meninggalkan kampung melakukan hal yang sama. Sebagaimana halamannya dengan bermigrasi ke Kendari. ungkapan yang berbunyi siri’e paloi, Menurut mereka lebih baik meninggalkan artinya perasaan malu yang membuat kampung dan keluarga untuk sementara meninggalkan kampung halaman untuk waktu demi memenuhi kebutuhan hidup. mencari rezeki. Informan Abd. Ganing juga Tinggal di kampung tanpa penghasilan akan nelayan pendatang dari Selatan, dihina oleh keluarga dan masyarakat. mengatakan “lantaran pahit kita Ungkapan dalam bahasa Mandar yang bermigrasi”, maksudnya, karena tidak ada berkaitan dengan etos kerja: dao pi paule,

81

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mua andian namujama, issangi siri’ mengenai hakikat dari hidup manusia, (2) diwanuanna tau (artinya janganlah ikut masalah mengenai hakikat dari karya kalo tidak ada kerjamu, hendaklah ada siri’ manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari mu di negeri orang). Maksud dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, (4) ungkapan itu bahwa janganlah ikut kepada masalah mengenai hakikat dari hubungan orang lain kalau engkau hanya menjadi manusia dengan alam sekitarnya, dan (5) beban bagi orang yang diikuti karena akan masalah mengenai hakikat dari hubungan sangat memalukan di negeri orang. manusia dengan sesamanya. Dari kelima Ungkapan tersebut merupakan petunjuk masalah pokok dan orientasi nilai budaya bahwa orang harus bekerja untuk hidup tersebut, masalah yang berkaitan dengan (Lopa, 2009:78). Sebagaimana ungkapan hakikat hubungan manusia dengan karya dalam kalingdaqdaq mengatakan bahwa dari manusia merupakan cerminan dari etos tidak akan ada rezeki jika tidak diusahakan, kerja manusia. seperti : Etos kerja dan nilai budaya komunitas Nipameappai dalleq nelayan pendatang di Sodohoa dapat Nileteangngi pai digambarkan sebagai berikut: Andiang dalleq 1. Nilai Kejujuran Napole mettuala Nilai kejujuran tercermin pada Terjemahannya: hubungan antara “bos” dengan punggawa , Rezeki harus dicari antara punggawa dengan ABK. Sebagai Harus diusahakan seorang nelayan pendatang yang hanya Tidak akan ada rezeki menetap sementara waktu di Sodohoa, Yang datang dengan sendirinya kejujuran merupakan modal utama untuk menjaga agar tetap bisa dipercaya oleh Kalindaqdaq tersebut menunjukkan “bos”. Begitupula seorang punggawa harus bahwa sebagaimana seorang manusia yang bersifat jujur terhadap anggotanya/ABK, hidup di dunia ini tidak hanya demikian juga sebaliknya. Seperti yang mengandalkan doa semata, tetapi harus dituturkan oleh salah seorang informan: dibarengi dengan usaha agar bisa meraih “kejujuran merupakan hal yang utama dalam apa yang dicita-citakan. Rezeki tidak datang melakukan suatu pekerjaan. Kalau kita jujur dengan sendirinya tetapi perlu dicari hubungan dengan “bos” akan bertahan lama. dengan bekerja (Abbas, 2000:124). Kalau saya pinjam uang kepada “bos” untuk dijadikan modal melaut, tidak memerlukan Etos Kerja dan Nilai Budaya Nelayan jaminan seperti kalau kita pinjam uang di Nilai budaya adalah aspek vokal yang bank” (wawancara dengan H. Maudu, terwujud sebagai konsepsi-konsepsi abstrak Februari 2018). yang hidup dalam pikiran sebagian besar Dari penuturan informan tersebut suatu masyarakat mengenai apa yang harus menunjukkan bahwa kejujuran merupakan dianggap penting dan berharga dalam hidup modal utama untuk mencapai suatu kerja (Rahmawati, 2008:346). Suatu sistem nilai yang baik. Kejujuran seseorang merupakan budaya merupakan wujud dari kebudayaan unsur yang utama dalam menekuni suatu dan seolah-olah berada di luar dan di atas pekerjaan. para individu sebagai anggota suatu Informan Haruddin salah seorang masyarakat. Semua sistem nilai budaya nelayan yang berposisi sebagai punggawa berkaitan dengan masalah-masalah dasar (nakhoda) mengatakan bahwa: dengan dalam hidup manusia. Menurut kerangka kejujuran, hati merasa tenang dan rezeki Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, akan datang terus. Jujur terhadap diri 2008:28) semua sistem nilai budaya dalam sendiri, terhadap orang lain. Sebagai semua kebudayaan di dunia ini terdapat nelayan yang tidak memiliki modal (uang) lima masalah pokok, yakni (1) masalah untuk melaut, saya harus memiliki sifat 82

Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba yang jujur agar bisa terus dipercaya sama dapat melaksanakan tugasnya karena “bos”. Begitu juga terhadap anak buah kondisinya tidak memungkinkan, maka (ABK) yang ikut bekerja di kapal, saya yang lainnya akan segera mengambil alih harus jujur terutama dalam hasil yang pekerjaan itu. diperoleh ketika melaut (wawancara, Maret Kerja sama di darat, tercermin ketika 2018). tidak melaut mereka secara bersama Dari penuturan tersebut menunjukkan memperbaiki kapal atau peralatan alat bahwa untuk mendapatkan hasil dari suatu tangkap mereka. Ketika penulis di lokasi pekerjaan nilai kejujuran harus tetap penelitian tampak kerja sama sesama terpelihara pada diri seseorang. Walaupun nelayan mengecat kapal mereka. Kerja seseorang itu rajin dan disiplin dalam sama antara punggawa–ABK saling melakukan suatu pekerjaan, tetapi tidak bergantian merawat kapal mereka dengan memiliki sifat yang jujur tidak akan mengecat. Dari sistem kerja sama ini timbul memperoleh hasil yang memuaskan. rasa solidaritas di antara mereka. Pada Sebagaimana sifat-sifat manusia terungkap masyarakat umum, terutama yang tinggal di dalam bentuk nasihat dalam bahasa Bugis perkotaan melakukan pekerjaan mengecat seperti, lempu (jujur) mengandung empat rumah misalnya, akan membutuhkan dana unsur, yaitu lempu ri puangnge (jujur untuk menggaji tukang cat. Komunitas kepada Allah), jujur tehadap diri sendiri, nelayan dengan sukarela saling kerja sama jujur terhadap sesama manusia. Sedangkan mengerjakan mengecat kapalnya dengan dalam bentuk larangan, yaitu jauhkan diri imbalan ketika melaut, ABK diberi dari sifat jekkong (curang). Sebaliknya kebebasan memancing ikan. Kegiatan seseorang hendaknya berbuat baik memancing ikan dilakukan ketika selesai “nakkaresoi lise bolana”, artinya bekerja mengerjakan tugas utama mereka. Hasil untuk isi rumahnya dan sanak keluarganya pancing tersebut menjadi milik ABK itu (PaEni, 2013:101). sendiri.

2. Nilai Kerja Sama Relasi antara punggawa dan ABK, biasanya pemilihan ABK didasarkan pada jalinan kekerabatan. Relasi ini dapat mempermudah munculnya kerja sama saling menguntungkan dalam mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Sistem kerja sama antara punggawa - ABK dan antara sesama ABK dalam suatu organisasi kenelayanan atau dalam satu tim pa’gae, pa’bagang baik di darat, maupun di lautan. Mereka memiliki semangat kerja masing- Gambar 2. Aktivitas nelayan ketika tidak masing. melaut. Dokumen penulis Sistem kerja sama di laut harus lebih diutamakan untuk mendapat hasil yang Pada situasi tertentu kerja sama juga maksimal. Bentuk kerja sama dalam terjadi antara sesama punggawa, seperti beroperasi di laut, mereka bekerja sesuai ketika salah satu kapal gae mengalami dengan tugas yang diberikan kepadanya. musibah di laut. Punggawa kapal lainnya Kelompok nelayan gae atau bagang ada secara sukarela memberi bantuan kepada yang bertugas sebagai juru mesin, juru punggawa kapal gae yang mengalami lampu, juru masak, mereka secara serentak kecelakaan. mengerjakan tugas secara bersama-sama. Apabilah salah seorang ada yang tidak

83

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

PENUTUP untuk bekerja termotivasi adanya tuntutan Keberadaan komunitas nelayan kebutuhan hidup yang harus dipernuhi, pendatang di Sodohoa sudah ada sejak sehingga timbul perasaan malu bila tidak dahulu. Dengan prinsip siri’ palaoi (rasa memiliki pekerjaan di kampung halaman. malu menjadikan bermigrasi) mereka Bagi nelayan yang sudah berkeluarga memiliki etos kerja yang tinggi untuk bekerja merupakan kewajiban untuk mendapatkan hasil. Daya tarik yang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, menyebabkan mereka bermigrasi ke seperti biaya kebutuhan sehari-hari, biaya Kendari, yaitu adanya “bos” sekaligus pendidikan anak-anaknya, dan kebutuhan sebagai penampung yang bisa memberi lainnya. Sedangkan nelayan yang belum pinjaman modal uang dan sekaligus memiliki isteri, bekerja termotivasi selain memasarkan hasil tangkapnya. Selain itu, di untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, wilayah perairan Kendari terdapat banyak juga untuk membantu meringankan beban ikan tongkol yang memiliki nilai jual yang dari orang tuanya. tinggi. Selama musim tangkap mereka menetap di Sodohoa. Nelayan yang datang DAFTAR PUSTAKA dari Pangkep umumnya mengontrak rumah Abbas, Ibrahim. 2000. Pendekatan Budaya di sekitar pantai perairan Kendari, Mandar. Makassar: UD. Hijrah sedangkan nelayan dari Ujung Lero Grafika. bermalam di atas kapal mereka. Nelayan Dahuri, Rokhmin, Jacup Rais, Sapta Putra dari Makassar (Galesong) ada yang tinggal Ginting, Sitepu. 2008. Pengelolaan di atas perahu juga ada yang mengontrak Sumber Daya Wilayah Pesisir dan rumah. Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Faktor-faktor yang menyebabkan Pradnya Paramita. mereka bermigrasi untuk sementara waktu, yaitu faktor ekonomi dan faktor sosial Endraswara, Suwardi. 2012. Metode budaya. Faktor ekonomi merupakan faktor Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: yang utama sehingga mereka bermigrasi. Gadjah Mada University Press. Mereka tidak memiliki keahlian atau Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan keterampilan untuk melakukan suatu Agama. Yogyakarta: Kanisius. pekerjaan lain, hanya bekerja sebagai nelayan yang mereka mampu. Sementara Goo, A. Andreas. 2012. Kamus untuk turun melaut memerlukan biaya yang Antropologi. Makeewaapa-Papua: tidak sedikit, di kampung asal terbatas Lembaga Studi Meelogi. orang yang bisa dijadikan sebagai tempat Hamid, Pananrangi dan Kaharuddin. 1995. meminjam modal. Setelah mereka Persepsi Tentang Etos Kerja mendengar kabar dari teman sesama Kaitannya dengan Nilai Budaya nelayan yang cukup berhasil, akhirnya Masyarakat Daerah Sulawesi Selatan. mereka memutuskan untuk bermigrasi Ujung Pandang: Depdikbud. mengikuti jejak sesama nelayan. Kendari merupakan tempat yang cocok menurut Hamid, Abu. 2006. Etos Kerja dan mereka sebagai tujuan bermigrasi, selain Partisipasi Masyarakat dalam alasan karena lautnya menjanjikan hasil Pembangunan ( Suatu Sorotan dari tangkap yang bagus, juga karena di Kendari Segi Nilai Sosial Budaya). Dalam ada bos yang bisa memberi pinjaman Jurnal Walasuji Vol 1 No. 1. permodalan melaut. Hasil tangkap mereka Makassar: Balai Kajian Sejarah dan dapat dengan cepat dipasarkan melalui bos Nilai Tradisional. pemilik modal. Sedangkan faktor sosial Hamid, Abu. 2009. Siri’ dan Etos Kerja. budaya yang mendorong mereka untuk Dalam Siri’ & Pesse’ Harga Diri bermigrasi, sebagai seorang laki-laki naluri

84

Etos Kerja Komunitas Nelayan Pendatang… Masgaba

Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Rahmawati. 2008. Ungkapan Tradisional Toraja. Makassar: Refleksi. Muna. Dalam Bunga Rampai: Hasil Kinseng, Rilus A. 2014. Konflik Nelayan. Penelitian Kesastraan di Sulawesi Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Indonesia. Provinsi Sulawesi Tenggara. Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Salam, Rahayu. 2017. Parabela dan Etos Yogyakarta: LKiS Kerja Nelayan. Pustaka Sawerigading. Kusnadi. 2010. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir Salim. 2016. Ketahanan Pangan Dari Laut: Yogyakarta: Arruzz Media. Sea Power Perspective My Fish My Life. Yogyakarta: Diandra Pustaka Koentjaraningrat, Budhisantoso, Indonesia. Danandjaya, Parsudi Suparlan, E.K.M. Masinambow, Anrini Sofion. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koentjaraningrat. 2008. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Lopa, Baharuddin. 2009. Siri’ dalam Masyarakat Mandar. Dalam Siri’ & Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.Makassar: Refleksi. Malik, M Luthfi. 2013. Etos Kerja, Pasar, dan Masjid: Transformasi Sosial- Keagamaan dalam Mobilitas Ekonomi Kemasyarakatan. Jakarta: Penerbit LP3ES. Naping, Hamka. 2003. Teknologi dalam Pemanfaatan Lingkungan Laut dan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Maritim. Makalah. Disajikan pada Seminar Budaya Maritim, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. PaEni, Mukhlis. 2013. Mengeja Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Prasetia, Ade. 2016. Ekonomi Maritim Indonesia. Yogyakarta: Diandra Kreatif.

85

REFLEKSI KE-INDONESIAAN: KAJIAN SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN BALANIPA ABAD XVI-XVII (INDONESIAN REFLECTION: STUDY OF THE GOVERNMENT SYSTEM OF BALANIPA KINGDOM IN THE 16TH AND 17TH CENTURIES)

Abd.Karim Universitas Indonesia Email: [email protected]

ABSTRACT The kingdom of Balanipa (Mandar) was "democratic" before Indonesia was born. If one reflection of Indonesia is a democratic government system, then the political identity that we rely on as a Democratic State existed before this country was born. That the soul of Indonesianness existed before the presence of Europeans in the Archipelago. In fact, it was been practiced in the Kingdom of Balanipa (Mandar) in the 16th-17th centuries as a local form of government (mara'dia). This system featured a Kingdom constitution serving to limit the King from wielding absolute power. The traditional institution held the power to dismiss the king as a leader, such as the President who can be removed from his position by the country's People's Consultative Assembly (MPR). The leader is chosen by the will of the people. A reflection of the system of government, that the soul of the age which is now a legacy of the nation's past itself is not a western nation's inheritance as a colonial nation. Furthermore, this article will answer the big question, namely, how are democratic practices applied in Mandar? How was democracy interpreted by the elite and the Mandar community? and how was the system of government run in Mandar in the sixteenth and seventeenth centuries? This article employ historical research methods, using local sources (Lontara’), complemented by sources from the colonial era. The practice of democracy, namely the birth of the concept of Mengga Lenggoq Mengga Belawa, is one of the concepts offered by the system of government. The soul of Democracy is embedded in the following concepts: (1) Manu' Tandi Pessisi'i (a chicken whose scales are not seen), meaning that in daily life, regardless of status or position, customary law is still upheld; (2) Beang Tandi Gati (rice that does not need to be measured), meaning a People-based economy, while also attaching importance to the interests of the lower class; (3) Beluwa' Tandi Biti (combed hair that no longer needs to be held in place), meaning continuous unity; and (4) Ara Ratang Tandi Dappai (rope that does not need to be measured), meaning that the law or judicial system does not discriminate. Keywords: Government, Mara'dia, democracy, Indonesia, Mandar, Balanipa

ABSTRAK Kerajaan Balanipa (Mandar) telah “berdemokrasi” sebelum Indonesia lahir. Apabila salah satu cerminan Indonesia adalah sistem pemerintahan demokratis, maka identitas politik yang kita sandang sebagai Negara Demokratis telah ada sebelum negara ini lahir. Bahwa jiwa keindonesiaan telah ada sebelum kehadiran Bangsa Eropa di Nusantara. Bahkan telah dipraktekkan di Kerajaan Balanipa (Mandar) pada abad XVI-XVII sebagai sistem pemerintahan lokal (mara’dia). Sistem tersebut memiliki perangkat konstitusi kerajaan di mana kedudukan raja tidak mutlak berkuasa. Lembaga hadat memiliki kuasa untuk memberhentikan raja sebagai pemimpin, seperti presiden yang bisa diturunkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) negara ini. Pemimpin dipilih atas kehendak rakyat. Sebuah refleksi sistem pemerintahan, bahwa jiwa zaman yang sekarang merupakan warisan dari masa lalu bangsa ini sendiri bukan warisan bangsa barat sebagai bangsa penjajah. Selanjutnya Artikel ini akan menjawab pertanyaan besar yakni, bagaimana praktek-praktek demokrasi diterapkan di Mandar? Bagaimana demokrasi itu diterjemahkan oleh elit dan masyarakat Mandar?, dan bagaimana sistem pemerintahan itu dijalankan di 86

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Mandar pada abad XVI-XVII? artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah. Dengan menggunakan sumber lokal (Lontara’’) dan dilengkapi dengan sumber-sumber dari zaman kolonial. Kata Kunci: pemerintahan, mara’dia, demokrasi, Indonesia, Mandar, Balanipa

PENDAHULUAN menggunakan sumber-sumber lokal dengan Melihat Indonesia dengan kaca mata menggunakan alat-alat metodologis yang “barat” merupakan sebuah kekeliruan. Oleh secara ilmiah akan mengungkap peristiwa Harry J. Benda menegaskan itu dalam tersebut. Dengan kata lain, Sejarah tulisannya yang berjudul Democracy in Indonesia tidak lagi dibaca dari sudut Indonesia, merupakan Review buku Tulisan pandang Bangsa Barat tetapi dari sudut pandang kita sendiri. Herbert Feith yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Di Salah satu cara membaca Sejarah mana Benda mengangkat sebuah argumen Indonesia yakni melalui mitos, mengingat bahwa kesalahan terbesar kami adalah dalam sumber-sumber lokal banyak melihat Indonesia dengan kacamata barat berkisah tentang mitos. Roland Barthes (Benda, 1964: 450). Lebih jauh lagi Benda dalam tulisannya yang berjudul menyebut bahwa tulisan tersebut “cacat”. Mythologies mengajukan sebuah gagasan Bernada tajam namun Benda berangkat dari bahwa mitos merupakan sebuah sistem argumen, kita tidak boleh menggeneralisir komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan pandangan barat kepada budaya yang lain. (Barthes, 1983: 151). Artinya, sebuah mitos Artinya, perspektif yang kita pahami dapat menggiring kita kepada sebuah sebelumnya tidak boleh “dipaksakan” peristiwa di masa lalu di mana peran mitos dalam membaca kondisi yang berbeda sebagai tanda dari satu gejala dalam dengan kita (Sutherland, 1995). Benda pun peristiwa tertentu. Salah satu contohnya ragu terhadap budaya barat yang beragam yakni tentang asal-usul masyarakat untuk membaca budaya lain. Dengan kata Sulawesi secara umum. Tomanurung lain bahwa apa yang menjadi produk barat merupakan sebuah konsep yang ditawarkan tidak serta-merta dapat diadopsi oleh semua dalam Lontara’ untuk membaca leluhur bangsa lain, karena bisa saja apa yang masyarakat Sulawesi. Terkhusus pada dialami oleh sebuah bangsa dalam Masyarakat Mandar, dalam Lontara’ perjalanan zamannya merupakan sebuah dijelaskan bahwa leluhur orang Mandar warisan yang tidak dijangkau oleh sudut dikenal dengan tonipanurung di langiq pandang lain. (manusia yang diturunkan dari langit) dan Sartono Kartodirdjo juga mengungkap bermukim di daerah pegunungan dan perkembangan historiografi sejarah memperistri tokombong di Bura (manusia yang muncul di atas busa air) (Yasil, 1985: Indonesia Di mana usaha penulisan sejarah disebarkan dengan berbagai cakrawala 204). Tidak dinafikan bahwa asal usul salah satunya adalah cakrawala religio- orang Mandar dikisahkan dengan unsur magis serta kosmologi (Kartodirdjo, 2014: mitologi namun mitos tersebut bisa saja 2). Dalam pandangan ini, penulisan sejarah membawa kita pada sebuah argumen bahwa kritis telah menyediakan alat-alat Orang Mandar adalah masyarakat yang metodologis yang secara ilmiah akan bercorak agraris dan maritim. Diperkuat mengungkapkan fakta-fakta dari sumber- pula dengan bukti bahwa salah satu leluhur sumber sejarah lanjut Sartono. Artinya Orang Mandar bernama Torije’ne bertemu untuk menangkap peristiwa masa lalu yang dengan Pongkapadang di pesisir laut tidak terekam oleh bangsa barat (arsip karena perahu Torije’ne rusak (Leyds, Bangsa Eropa) dapat kita lakukan dengan 2006). Sebuah sistem kepercayaan yang

87

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 tertuang dalam Lontara’ sebagai sumber tokoh demokrasi mulai dari generasi klasik tradisional Masyarakat Mandar. Solon (638-558SM), Chleisthences (C.508 Membaca Mandar melalui sumber SM) Pericles (490-429 SM) Demosthenes lokalnya menjadi fair, bukan berarti (385-322) sampai ke generasi selanjutnya sepenuhnya mempercayai mitos yang Plato, Aristotle, John Milton, John Locke digambarkan dalam Lontara’, namun apa dan masih banyak lagi filsuf-filusuf yang yang kemudian tergambar dalam Lontara’ mendukung dan mengkritik demokrasi merupakan representasi dari gejala sebagai dasar konstitusional sebuah negara. masyarakat di Masa lalu. Bahwa orang Tidak dapat dinafikan bahwa Mandar merupakan representasi dari perkembangan gagasan demokrasi sangat masyarakat agraris dan maritim. Pada pesat terutama di Eropa pada abad konteks yang demikian, kita tidak pertengahan beriringan dengan per- menafikan apa yang kemudian ditulis oleh kembangan kapitalisme. Selanjutnya bangsa Eropa (Belanda) tentang Mandar. perkembangan tersebut merembes ke Timur karena beberapa sumber-sumber Belanda beriringan dengan ekspansi bangsa barat ke juga mengacu pada Lontara’. Salah satunya Timur termasuk ke Asia Tenggara. adalah Memorie Van Overgave yang ditulis Argumen tersebut tentu saja dengan W.J. Leyds, tulisan tersebut berbicara menggunakan Perspektif bangsa barat Mandar dan menggunakan sudut pandang bahwa apa yang terjadi di Asia Tenggara Mandar dengan mangacu pada Lontara’. bahkan di Indonesia merupakan hasil dari Oleh karenanya dalam studi ini, Pengaruh Bangsa Eropa. penulis akan banyak menggunakan sumber- Perspektif di atas tentu saja akan sumber Lontara’ dalam mengidentifikasi bertentang dengan perspektif Indonesia nilai-nilai demokrasi masyarakat Mandar sendiri. Bahwa, dalam penerapan dan asas- yang telah tertanam jauh sebelum negara ini asas demokrasi telah ada sebelum bangsa lahir. Bahwa jiwa ke-Indonesiaan yang kita barat menginjakkan kakinya bahkan rasakan sekarang merupakan warisan dari membentangkan layar pertama mereka leluhur kita bukan warisan dari Bangsa menuju Asia Tenggara ataupun Indonesia. Eropa. Pernyataan Benda dalam Democracy Oleh karena itu, studi ini akan menjawab in Indonesia, Apa yang terjadi kepada sebuah keresahan penulis bahwa apa yang Indonesia? jawabannya adalah karena menjadi masa lalu kita bukanlah produk Belanda. Benda tidak membenarkan bahwa barat, melainkan sebuah produk yang apa yang terjadi di Indonesia adalah semua diproduksi dari masyarakat kita sendiri. karena Belanda, namun justru ia ingin Dengan kata lain demokrasi kita adalah mengungkap bahwa apa yang menjadi hasil pemikiran kita sendiri. pemahaman kita terhadap Indonesia sebagai Pada kasus Mandar Darmawan Mas’ud negara jajahan tidak sepenuhnya mewarisi Rahman dengan karya disertasinya yang apa yang dibawa oleh Bangsa Barat. Salah berjudul Puang dan Daeng Kajian Sistem satunya adalah jiwa demokrasi. Nilai Budaya Orang Balanipa Mandar Meski demokrasi merupakan produk (Rahman, 1988) yang diterbitkan menjadi dari barat dan dalam studi ini tetap sebuah buku yang berjudul Puang dan menggunakan istilah tersebut bukan berarti Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang demokrasi yang saya ungkap dalam Balanipa Mandar telah mengkaji Sistem masyarakat Mandar adalah warisan dari Nilai Budaya Orang Mandar terutama pada Barat. Seperti kita ketahui bersama bahwa kajian kepemimpinan (Rahman, 2015). demokrasi produk barat berasal dari Athena Darmawan memaparkan struktur-struktur yang membentuk polis (negara kota) dan dalam pemerintahan Kerajaan Balanipa menyebut polis mereka sebagai demokrasi Mandar dengan menawarkan konsep Puang (Ball, 2013: 18). Selanjutnya demokrasi dan Daeng yang lahir dari nilai Budaya terus berkembang dan melahirkan tokoh- Kerajaan Balanipa Mandar. Selanjutnya

88

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Mattulada dalam tulisannya yang berjudul Pemerintah Hindia Belanda akan sangat Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat berbeda dengan sumber sejarah yang ditulis Indonesia (Mattulada, 1986). Mengungkap oleh masyarakat lokal dalam bentuk tulisan bahwa konsep Demokrasi yang kita anut lontara’. juga bukan sebuah warisan dari barat. Selanjutnya yakni interpretasi, proses Bahwa asas kerakyatan,musyawarah, ini sangat penting untuk menarik sebuah mufakat, gotong-royong dsb telah kita fakta yang ditemukan setelah melalui terapkan jauh sebelum pengaruh bangsa proses kritik. Pada tahap ini penulis Eropa (Mattulada, 1986: 14). menjawab seluruh permasalahan yang telah Berpedoman pada dua tulisan di atas, diajukan terutama menyangkut pemerintahan studi ini akan mengkaji nilai-nilai di Mandar. Membaca proses demokrasi yang Demokrasi dalam masyarakat Mandar telah ada di Mandar adalah tujuan utama melalui sistem pemerintahan Kerajaan dari proses ini. Lebih dalam lagi, penulis Balanipa yang Darmawan Mas’ud dan mengungkap nilai demokrasi yang telah ada Mattulada belum kaji secara mendalam. di Mandar pada Abad XVI-XVII. Selanjutnya studi ini akan menjawab Selanjutnya proses historiografi merupakan pertanyaan-pertanyaan bagaimana praktek- proses terakhir, di mana sejarah dituliskan praktek demokrasi diterapkan di Mandar? dalam tulisan ilmiah. Sudut pandang Bagaimana demokrasi itu di terjemahkan Indonesiasentris merupakan tuntutan utama oleh elit dan masyarakat Mandar? dan proses ini. tujuannya adalah untuk bagaimana sistem pemerintahan itu menghasilkan tulisan sejarah yang dijalankan di Mandar pada abad XVI- memandarkan Sejarah Mandar. XVII? PEMBAHASAN METODE Orang Mandar Studi ini menggunakan metode Orang Mandar dikisahkan dalam penulisan sejarah yang terdiri dari heuristik, Lontara’’ berasal dari Tomanurung. kritik, interpretasi dan historiografi. Pongkapadang merupakan keturunan Pengumpulan sumber (Heuristik) dilakukan tomanurung di langi’. Dikisahkan bahwa oleh penulis di Arsip Nasional Republik Pongkapadang yang berasal dari Ulu Indonesia (ANRI). Penulis menemukan Sa’dang yang merupakan daerah beberapa sumber berupa laporan Belanda pegunungan dan menetap di aliran Sungai terkait dengan Kerajaan Balanipa. Penulis Sa’dang. Ia melakukan perjalanan juga menemukan catatan-catatan Belanda di menyusuri aliran Sungai dan sampai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Bulu Mappa, ia melihat asap yang (PNRI). Selain itu, Penulis juga menelusuri membumbung tinggi dan menghampiri sumber-sumber berupa Lontara’ di Balai sumber asap tersebut, ia mengira seseorang Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. berada di tempat itu. setelah sampai pada Sumber tersebut merupakan sumber lokal sumber asap tersebut, ia pun bertemu Mandar yang memberikan kondisi Kerajaan dengan Torije’ne dan kakaknya yang Balanipa pada abad XVI-XVII. sedang menempuh perjalanan jauh, namun Proses selanjutnya yakni kritik, penulis berlabuh di daerah itu karena perahunya memberikan kritik terhadap sumber yang rusak akibat terjangan ombak. Singkat telah ditemukan. Proses ini penting untuk cerita Pongkapadang dan Torije’ne menikah menyeleksi dan menarik benang merah dari melahirkan 7 anak. Dan keturunan- sumber-sumber yang kontradiktif. keturunan Pongkapadang inilah yang Kontradiktifnya sumber tersebut menjadi raja-raja di Mandar (Leyds, 1940: disebabkan oleh sudut pandang yang 11). berbeda saat penulisan sebuah dokumen. Sumber yang ditulis oleh VOC ataupun

89

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Berdasarkan pemaparan diatas, yang luas, apabila direfleksikan dengan Pongkapadang sebagai bapak dari zaman sekarang, wilayah kerajaan ini keturunan raja-raja di Mandar berasal dari meliputi seluruh wilayah Sulawesi Barat wilayah yang dikenal dengan nama Toraja bahkan sebagian Sulawesi Tengah. Dengan sekarang, di mana Sungai Sa’dang terletak Persekutuannya yang terkenal dengan nama di daerah Toraja, indikasi bahwa keturunan Pitu Ba’bana Binangan (Tujuh Kerajaan orang Mandar adalah Orang Toraja itu kuat, Pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (Tujuh namun dalam kisah tersebut, dikatakan Kerajaan Gunung). Dalam perkembangan- Pongkapadang hidup di aliran Sungai nya, Di Mandar ada dua periode bukan berarti hidup di Sungai Sa’dang, bisa kepemimpinan yakni kepemimpinan saja hidup di wilayah lain di mana air dari Tomakaka dan Mara’dia. Setiap periode sungai tersebut mengalir. Argumen bahwa kepemimpinan, memiliki sistem pemerintahan keturunan orang Mandar dari orang Toraja tersendiri. Untuk mengidentifikasi nilai-nilai pun bisa diruntuhkan dengan melihat jarak demokrasi yang tertanam dalam sistem antara Toraja dan Mandar di mana jaraknya pemerintahan orang Mandar, maka menjadi yang sangat jauh meski wilayah tersebut penting studi ini melakukan perbandingan terhubung. antara dua periode kepemimpinan tersebut. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Pongkapadang bertemu dengan Periode Kepemimpinan Tomakaka Torije’ne di suatu tempat di mana perahu Tomakaka terbagi atas dua suku kata Torije’ne rusak. Adanya perahu, jelas tau dan kaka. Tau berarti orang dan kaka bermakna bahwa tempat pertemuan itu berarti kakak apabila kedua kata ini adalah di daerah pantai, dengan penegasan digabung maka akan mengandung arti bahwa perahunya rusak akibat ombak yang kakak atau orang terdahulu. Dalam konotasi besar. Berdasarkan mitos tersebut bahwa bahasa Mandar apabila kata kaka mendapat orang Mandar ataupun keturunan- awalan “ma” menjadi Makaka dan akhirnya kerturunan dari raja-raja berasal dari dua menjadi Tomakaka (orang yang dituakan tempat yang berbeda yakni Pongkapadang atau orang yang diangkat menjadi dari pegunungan dan Torije’ne dari Lautan. pemimpin). (Syah, 1998: 58). Seperti yang Seperti yang telah dikatakan sebelumnya telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahwa mitos menggambarkan sebuah Tomanurunglah yang mewariskan peristiwa namun perlu penafsiran dalam, keturunan raja-raja di Mandar, termasuk sehingga dapat diterima oleh logika. Kisah Tomakaka juga merupakan keturunan dari yang dipaparkan dapat bermakna bahwa Tomanurung. Dalam seminar kebudayaan keturunan para raja-raja di Mandar berasal yang dilakukan di Majene tercapai sebuah dari “air” dalam artian hidupnya tidak kesepakatan dan berdasar pada Lontara’ terlepas dari air, entah itu air yang Muhamma’ bahwa Tomakaka pertama yang bersumber dari pegunungan (sungai) muncul dalam bertempat tinggal di Ulu’ ataupun dari lautan. Kisah tersebut juga Saddang. Tomakaka pertama bernama menggambarkan bahwa masyarakat Mandar Pullaomesa. (Anonim, 1984: 109; Syah, adalah masyarakat bercorak agraris dan 1998: 58-59) Ditegaskan pula dalam Leyds maritim. bahwa Pullaomesa adalah Tomakaka yang Meski interpretasi ini sifatnya masih pertama (Leyds, 1940). subyektif, namun sumber-sumber sejarah Tomakaka Pullaomesa diberi gelar menunjukkan bahwa Masyarakat Mandar Tomakaka Ulu Sa’dang karena memerintah adalah suku bangsa yang besar meski dalam di Ulu Sa’dang. Meski data ini bersumber penulisan sejarah di Sulawesi Selatan, dari Lontara’ di mana “aroma” mitos dalam Mandar sering kali disebut sebagai bagian Lontara’ sangat kental, namun memberikan dari Bugis ataupun Makassar. Kerajaan data sejarah yang menarik. Dalam Balanipa (Mandar) Menguasai wilayah historiografi sejarah Mandar, wilayah

90

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim pesisir selalu diagung-agungkan dan beberapa kerajaan lain adalah dengan mengesampingkan wilayah pegunungan, melakukan kerja sama, semakin banyak seakan melupakan bahwa kerajaan pertama “kawan” maka lawan akan semakin takut. yang ada di Mandar bermula dari Bagaikan semboyan yang kita kenal pegunungan bahkan “bapak” dari orang- “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. orang Mandar bersal dari pegunungan. Konsep pemersatu ini sebenarnya telah ada Menyebut itu hanya sebuah mitos atau sejak dulu, kerajaan-kerajaan di Mandar, sesuatu yang tidak masuk akal adalah bahwa dengan bekerja sama maka kerajaan pandangan yang keliru karena apabila lain dapat ditaklukkan. dirunut kejadiannya, Orang Mandar dimulai Kedua, adalah politik kawin mawin dari daerah Pegunungan Ulu Sa’dang. yang dilakukan oleh Kerajaan Rante- Ulu Sa’dang (kepala Sa’dang), di mana bulawan dengan Kerajaan Bone, kisah ini Sa’dang itu sendiri adalah nama dari cukup menarik. Dalam kisah tersebut sungai. Ulu yang berarti kepala itu diceritakan bahwa anak dari Kerajaan mereprentasikan hulu makan Ulu Sa’dang Rantebulawan (perempuan) mandi di itu bermakana Hulu Sungai Sa’dang. inilah sungai, hanyutlah rambutnya yang yang ditolak baru-baru ini oleh pemakalah panjangnya 7 depa. Sampai ke wilayah yang tidak perlu disebutkan namanya dalam Kerajaan Bone, rambut tersebut ditemukan Konfrensi Nasional Sejarah X di Jakarta, oleh anak Raja Bone. Dan anak raja mengatakan bahwa itu tidak dapat tersebut berniat untuk mencari pemilik dipercaya. Meski dengan argumen yang rambut itu dan pada akhirnya menemukan kuat namun Lontara’ sebagai sumber pemilik rambut dan menikahinya. Menikahi sejarah lokal Sulawesi Barat tidak boleh I Lando Beluak dengan izin raja tentunya dikesampingkan. Terlepas dari argumen di (Syah, 1991: 25-27). Yang menarik adalah atas, perkembangan kepemimpinan pada poin rambut tersebut sampai ke Tomakaka di Mandar semakin berpengaruh Kerajaan Bone dan dengan mudahnya anak ditandai dengan digunakannya gelar ini di dari Kerajaan Bone menikahi anak Raja seluruh wilayah Mandar sebagai gelar Rantebulawang. seorang raja. Cara penyebarannya pun Pertanyaan yang kemudian muncul dilakukan dengan cara ekspansi dan politik adalah bagaimana rambut tersebut bisa kawin-mawin sampai ke Kerjaan Bone? di mana jarak Dalam Lontara’ dikisahkan pernikahan antara Mandar dan Bone sangat jauh. Dan antara anak-anak raja, di mana kisah anak mengapa dengan mudahnya anak dari Raja dari Banua (kerajaan) Rantebulawan Bone dengan mudah menikahi putri raja? menikah dengan anak Raja Bone (Syah, nampaknya Kerajaan Bone saat itu 1991: 25-27). Dalam Lontara’ tersebut merupakan kerajaan besar, ditunjukkan dikisahkan pula beberapa anak raja yang dengan mudahnya pangeran dari Bone menikah dengan anak raja dari kerajaan menikahi putri raja, tanpa diadakan sebuah lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pertarungan ataupun pengajuan syarat- strategi politik. Jelas bahwa menikahkan syarat tertentu. Kekuasaan Bone boleh jadi keturunan antar kerajaan adalah salah satu satu modal utama yang bisa digunakan oleh cara yang digunakan untuk mempererat Kerajaan Rantebulawan untuk mengaman- hubungan darah. Berdasarkan analisis di kan dirinya dalam arena persaingan antar atas, ada dua sintesa yang dapat ditarik di kerjaan saat itu. tentu cerita ini tidak masuk antaranya adalah sebagai berikut. akal apabila dihadapkan dengan perspektif Pertama, politik kawin mawin yang kekinian. Pada tahap inilah pembacaan dilakukan oleh beberapa banua (kerajaan) sistem dalam mitos itu diperlukan. Bahwa mengindikasikan persaingan antara kera- dalam mitos tersebut menggambarkan kerja jaan di Mandar saat itu sangat keras. Mau sama politik antar dua kerajaan untuk tidak mau untuk menjadi yang terkuat dari

91

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mempertahankan eksistensinya dalam tahun pada periode kepemimpinan persaingan antar kerajaan. Tomakaka memang tidak sejelas dengan Politik kawin mawin yang dikisahkan periode kepemimpinan Mara’dia, sumber- merupakan representasi dari kondisi daerah sumber terkait masih belum banyak pada saat itu, jelas peperangan sering menjelaskan tentang angka tahun itu. terjadi, perebutan wilayah sering terjadi, namun, untuk masa keemasan pemerintahan dengan strategi kawin mawin kemudian Tomakaka, seperti yang telah disebutkan memudahkan dan membuka jalur politik. sebelumnya berada pada periode Kerajaan Namun, satu hal yang cukup menarik Passokkorang Raja Lareang perkiraan abad adalah kisah tentang keturunan raja-raja XV diperoleh dari tahun di mana Balanipa yang saling bersaudara dalam artian lahir sebagai kerajaan yang meletakkan dengan luluhur yang sama. Pongkapadang pemerintahan Mara’dia pertama ada pada yang telah disebutkan di atas sebagai awal abad XVI. Dengan tolak ukur leluhur dari raja-raja di Mandar. Namun, kelahiran anak I Manyambungi yang seiring berjalannya waktu kerajaan-kerajaan diperkirakan lahir pada tahun +1550 yang dikatakan satu darah ini,saling (Leyds, 1940: 26). bermusuhan satu sama lain. Justru ini Periode kepemimpinan ini menjadi memberikan informasi bahwa dari masa bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Pongkapadang sampai pada masa pepe- perjalanan sejarah pemerintahan di Mandar. rangan antar kerajaan memiliki jarak waktu Karena Periode ini merupakan awal yang sangat jauh sehingga tali persaudaraan kelahiran demokrasi di Mandar. Presistensi yang dulu ada menjadi luntur akibat yang terjadi ketika Kerajaan Passokkorang perkembangan zaman. Dan pada akhirnya berkuasa di Mandar memicu segala dibangun kembali dengan politik kawin aktivitas politik yang terjadi pada periode mawin tersebut. tersebut. Masyarakat yang pada mulanya Tentu, dengan kondisi politik yang sangat tunduk kepada Tomakaka dengan digambarkan menunjukkan bahwa corak pemerintahan Totalitariannya perkembangan kerajaan-kerajaan di Mandar akhirnya melakukan perlawanan. Kehadiran secara politik sangat pesat, hingga I Manyambungi sebagai seorang tokoh melahirkan satu kerajaan yang mempunyai merepresentasikan perlawanan tersebut. pengaruh besar yakni Kerajaan Passo- Dan setelah I Manyambungi berhasil kkorang. Kerajaan yang berhasil berkuasa menaklukkan Kerajaan Passokkorang dan dan membawa pengaruh yang cukup besar meredam dominasi Kerajaan Tersebut, terutama pada masa pemerintahan Raja Kerajaan Balanipa pun lahir dengan Lareang Tepatnya Pada abad XV (Leyds, gagasan konsep kepemimpinan Mara’dia. 1940: 22-23). Namun dalam sumber- sumber sejarah bahkan literatur sejarah Periode Kepemimpinan Mara’dia Mandar, Kerajaan Passokkorang dianggap Benih demokrasi pun tumbuh, apabila sebagai kerajaan yang kejam, menindas demokrasi itu sebuah pohon, maka kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk pemerintahan mara’dia adalah akarnya. I kerajaan Napo di mana Kerajaan ini yang Manyambungi sebagai Mara’dia Pertama di menjemput I Manyambungi (todilaling) di Mandar sekaligus sebagai Raja Pertama Gowa untuk meminta bantuan mengatasi Kerajaan Balanipa. Gelar mara’dia juga Kerajaan Passokkorang yang menindas lahir ketika kerajaan ini terbentuk. Kerajaan kerajaan tersebut (Syah,1991: 35-37). yang dalam perkembangannya menjadi Kisah dijemputnya I Manyambungi kerajaan terbesar yang pernah ada di merupakan awal dari terbentuknya kerajaan Mandar. Periode kepemimpinan Mara’dia Balanipa dan dimulainya periode berawal ketika I Manyambungi dijemput di kepemimpinan Mara’dia di Mandar. Kerajaan Gowa oleh Orang-orang Napo Terlepas dari kisah-kisah tersebut, angka yang merasa tertindas oleh Kerajaan

92

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Passokkorang (Syah, 1991: 10 dan 37). Terlepas dari hubungan Balanipa dan Kisah yang dituangkan dalam Lontara’’ ini Gowa, lahirnya Kerajaan Balanipa menunjukkan bahwa masa kekuasaan merupakan awal dari lahirnya sistem Passokkorang mencapai puncaknya namun pemerintahan Mara’dia. Raja-raja di tercapainya puncak dari kekuasaan ini Mandar tidak lagi bergelar Tomakaka berdampak pada kesemena-menaan namun berganti menjadi Mara’dia. Di mana terhadap kerajaan lain. Selanjutnya I Mara’dia pertama adalah I Manyambungi. Manyambungi sebagai agensi yang Ia Tidak hanya berperan sebagai agensi mengubah struktur dalam hal ini dalam kisah ini namun juga sebagai “hero”. Pemerintahan, di mana sistem pemerintahan Sidney Hook dengan konsep heronya, tomakaka menjadi struktur yang berhasil yakini sebagai orang yang lahir di tengah- diubah. tengah kekacauan dan menyelesaikan Power yang dimiliki oleh agen di masalah yang terjadi (Hook, 1969: 12). atas cukup kuat karena mampu mengganti Berdasarkan kisah sebelumnya bahwa I struktur yang ada, bukan hanya mengubah Manyambungi hadir di tengah kekacauan dan mengganti sistem itu namun yang terjadi di Mandar. Menjadi Hero bagi membangun sebuah kerajaan yang orang-orang Napo dan menjadi agensi pengaruhnya sangat besar bagi tatanan dalam perubahan struktur pemerintahan kehidupan politik di Mandar. Hadirnya I Tomakaka di Mandar bahkan membentuk Manyambungi pada akhirnya mengalahkan kerajaan baru dengan sistem yang baru Kerajaan Passokkorang dengan pula. Dengan kerajaan baru dan sistem menggunakan sebuah tombak yang yang baru ini menjadikan Kerajaan bernama I Naga, membawa gong kebesaran Balanipa sebagai Kerajaan terbesar di Kerajaan Gowa dan sebuah bedil (Syah, Mandar saat itu. 1991: 10). Menarik, yang kemudian menjadi perhatian besar adalah Kerajaan Membaca Nilai-Nilai Demokrasi di Gowa yang sering disebut-sebut dalam Mandar Lontara’’ Mandar bahkan sangat diagung- Terbentuknya Kerajaan Balanipa agungkan, dan apabila dilihat dari kisahya, memberikan dampak yang sangat signifikan Gowa mempunyai peran yang sangat di wilayah Mandar. salah satu langkah penting dalam perkembangan politik pembaharuan yang dilakukan oleh I pemerintahan di Mandar saat itu. jelas, I Manyambungi Sebagai Raja Pertama Manyambungi menjadi agen dan membentuk Sistem pemerintahan. Sebagai mempunya power yang kuat tak lepas dari seorang raja ia membentuk banua kaeang. pengaruh Kerajaan Gowa. Ini bermakna terdiri dari dua kata yakni banua berarti bahwa Kerajaan Gowa memiliki kuasa rumah dan kaeang berarti besar jadi apabila dalam meligitimasi Mandar. Terlihat dari kedua kata ini berada dalam satu frase maka hanya satu orang yang dibimbing oleh akan memiliki arti rumah besar. Rumah Kerajaan Gowa dalam hal ini I besar yang dimaksudkan disini bukanlah Manyambungi. Hanya satu orang yang rumah secara harfiah namun merupakan mewakili Kerajaan Gowa, meski I suatu wilayah di mana wilayah ini Manyambungi sendiri berdarah Orang merupakan wilayah Kerajaan Balanipa yang Mandar. Ia bisa mengalahkan dominasi memiliki pengaruh dan legitimasi kuat. Passokkorang bahkan membentuk Wilayah-wilayah yang dimaksud yakni, hegemoni baru dalam tatanan masyarakat banua kaeang Napo, banua kaeang Mandar saat itu. Kisah itu juga Samasundu, banua kaeang Mosso dan menunjukkan bahwa Pertalian antara banua kaeang Todang-todang. Keempat Kerajaan Gowa dan Mandar memang tidak Banua tersebut dikenal dengan istilah pernah putus dalam Lontara’’ terutama sebagai Appe’ Banua Kaiyyang (empat dengan Kerajaan Balanipa. wilayah besar) (Mandra, 1991: 108).

93

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Ke-Empat Banua inilah yang 4. Terbaik diantara sekian diantara sekian kemudian menjadi penentu dari segala orang pilihan yang di calonkan (yang kebijakan yang dikeluarkan oleh Kerajaan paling baik). Balanipa (Raja Balanipa) salah satunya 5. Idealisme rakyat (amanah penderitaan adalah pengangkatan seorang raja rakyat) yang sepanjang saat tidak (Mara’dia). Appe’ Banua Kaiyyang jugalah kunjung bisa terobati harus jadi yang melantik semua perangkat konsepsi utama untuk membanahinya. pemerintahan mulai dari Mara’dia Matoa 6. Memperjuangkan kepentingan rakyat (perdana menteri), Mara’dia Malolo kecil dan demi memperjuangkan (panglima perang), dua orang Pa’bicara kepentingan rakyat kecil, segala daya (penasehat) dan 8 Pappuangan. Adapun upaya hendaknya secara maksimal dua orang pa’bicara dan 8 papuangan dikerahkan, meski jiwa akan jadi dikenal sebagai “Ada Sappulo Sokko’“ taruhannya (Mandra, 2008: 13-14). (Anonim, 1984: 191). Apabila ditinjau Syarat-syarat di atas harus dimiliki secara struktural, sistem pemerintahan di oleh seorang calon Mara’dia dan di antara atas merupakan sebuah sistem beberapa syarat yang disebutkan di atas, pemerintahan yang merepresentasikan secara keseluruhan menyangkut budi sebuah Negara. Banua sebagai Lembaga pekerti luhur, tidak ada yang menyinggung tertinggi kerajaan dikenal juga dengan masalah fisik, pangkat dan kedudukan sebutan Lembaga Hadat. Apabila di semua orang berhak untuk menjadi refleksikan dengan sistem pemerintahan Mara’dia setelah dipilih oleh lembaga Republik Indonesia maka posisi Hadat hadat sebelumnya. Jadi siapa pun yang sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat memenuhi syarat tersebut dan terpilih oleh (MPR). dewan hadat, maka dia berhak untuk Sebagaimana tugas dari MPR sebagai menjadi Mara’dia (raja) di Kerajaan lembaga negara mempunyai tugas untuk Balanipa. Selanjutnya melalui proses melantik bahkan menurunkan seorang pemilihan oleh dewan-dewan yang pemimpin. Hadat sebagai lembaga kerajaan mewakili rakyat. pada tahap ini, pemilihan juga memiliki wewenang yang sama raja tidak dipilih langsung oleh rakyat dengan MPR bahkan segala kebijakan yang seperti konsep demokrasi yang bersama kita berhubungan dengan kerajaan, harus pahami namun dalam syarat-syarat di atas, melalui persetujuan dari lembaga ini. menunjukkan bahwa seorang raja haruslah Begitu pula ketika seorang raja ingin tetap melindungi kesejahtraan rakyatnya diangkat dan diturunkan dari jabatannya. dan siapa saja boleh mencalonkan/menjadi Seorang mara’dia sebagai seorang raja raja apabila memenuhi syarat-syarat harus memiliki kecakapan sebagai seorang tersebut. pemimpin dengan kata lain bahwa seorang Dalam Lontara’ dikenal dengan O raja yang diangkat harus memenuhi syarat- Diadaq O Dibiasa (sesuai ketentuan adat syarat tertentu diantaranya yakni: dan kebiasaan). Pedoman tersebut tertuang 1. Seorang pemimpin harus memiliki dalam pesan I Manyambungi yang keberanian, ketegasan dan berbunyi: kebijaksanaan. Madondong duang bongi anna mateaq, da 2. Memiliki/ ilmu keahlian untuk mupajari mara’dia, mau anaqu mua’ memimpin dan memiliki ilmu agama tania, tonamaq asayangngi Litaq muaq islam yang cukup (tamat) mengaji. masuangi pulu-pulunna, matoqdori 3. Memiliki tanda jasa yang terbukti kedona, apaq yamo tuqu ditingo, dalam hidupnya (bukti kebaikan dan namarrupuq-ruppuq banua. usaha yang bermanfaat untuk masyarakat yang terfakta lewat Artinya: besok lusa bila saya meninggal, pengalaman dalam hidupnya. jangan engkau mengangkat seorang raja kendatipun anakku atau cucuku, kalau 94

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

bukan orang yang akan menyayangi negeri dengan menyerang kerajaan tersebut namun kalau tutur katanya tidak senonoh, kalau pasukan yang ikut serta dengan Daeng tingkah lakunya kaku dan kasar sebab Rioso hanya pengawal Pribadinya, orang orang seperti itulah yang akan Balanipa tidak ikut serta (Syah, 1992: 11). menghancurkan negeri (Yasil, 2012: 25- Sikap tegas dari rakyat Balanipa tidak 26) ingin mendukung Raja yang ingin merebut

istri seseorang. Di mana tindakan tersebut Pesan ini kemudian menguatkan bahwa merupakan tindakan yang tidak terpuji. seorang pemimpin di Kerajaan Balanipa Rakyat tidak mendapat tekanan dari bisa siapa saja yang memenuhi kriteria yang mara’dia bahkan ia hanya berangkat telah dijabarkan sebelumnya. Artinya setiap bersama pengawal pribadinya. Dan pada warga masyarakat berhak untuk menjadi akhirnya mara’dia Daeng Rioso diturunkan seorang pemimpin. Jiwa demokrasi juga dari jabatannya oleh Hadat Balanipa atas nampak dalam sistem pemerintahan persetujuan rakyat Kerajaan Balanipa Kerajaan Balanipa dengan melihat kondisi karena telah melakukan tindakan yang tidak Kerajaan. Kondisi tersebut sebagai berikut: terpuji (Syah, 1992: 10-13). 1. Hasil laut tidak ada lagi atau jarang Selain syarat-syarat untuk mengangkat 2. Hasil pangan tidak ada lagi atau jarang ataupun menurunkan jabatan seorang raja, 3. Tidak ada lagi orang yang berani jiwa Demokrasi yang terpenting dalam berbicara tentang kebenaran, karena sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa dilarang bicara oleh penguasa walaupun yakni adanya Lembaga Hadat. Seperti yang berbicara tentang kebenaran telah disebutkan sebelumnya bahwa Appe’ 4. Buah-buahan tidak jadi atau jarang Banua Kaiyyang merupakan representasi ditemukan. Lembaga Hadat yang mempunyai 5. Gunung-gunung tandus dan tidak legitimasi tertentu namun Perlu diketahui membuahkan hasil bahwa Banua yang dimaksud disini adalah 6. Terjadi kemarau panjang wilayah yang dulunya merupakan wilayah 7. Rakyat terancam kelaparan (Mandra, yang memakai sistem pemerintahan 1990: 116; Yasil, 2012: 17-18). Tomakaka. Pembentukan lembaga baru Poin ke tiga merupakan jiwa yang dilakukan oleh Tomepayung (Raja demokrasi berupa penekanan terhadap Ke-2 Kerajaan Balanipa), agaknya posisi seorang pemimpin dan bagaimana merupakan usaha untuk menghilangkan pemerintahan itu dijalankan dengan kata “aroma” Tomakaka di Mandar ataupun lain bahwa seorang penguasa tidak lagi merupakan usaha untuk merangkul keempat memiliki kuasa untuk bersikap otoriter wilayah ini menjadi dalam satu kesatuan terhadap rakyatnya. Apabila seorang raja politik dalam wadah Kerajaan Balanipa. memberikan batasan kepada rakyatnya Dengan kata lain memberikan jabatan untuk menyuarakan kebenaran maka raja sebagai badan lembaga yang berhak tersebut patut untuk diturunkan dari mengangkat Mara’dia (raja) Tomakaka jabatannya. Secara keseluruhan, gambaran tidak serta merta hilang setelah munculnya kondisi kerajaan di atas merepresentasikan Mara’dia, namun direproduksi menjadi kondisi rakyat yang tidak sejahtera dan bentuk yang baru tanpa melepaskan pemerintahan yang bersifat otoriter. Seperti statusnya sebagai bangsawan. yang di ungkap oleh Aristoteles bahwa Tidak hanya sampai disitu, setiap warga negara harus mempunyai Tomepayung menjadi pelopor dari kesamaan (Diane, 2005: 13). terbentuknya persekutuan antar kerajaan- Sebuah kisah dalam Lontar kerajaan besar di Mandar, Pitu Ba’bana Patodioloang seorang mara’dia yakni Binanga. Persekutuan ini sangat berdampak Daeng Riosok ingin memperistri permaisuri pada kerjasama antar anggotanya yakni Raja Kerajaan Pamboang. Ia memaksa Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang,

95

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Mamuju, Tappalang dan Binuang. Pada kapal dagang Belanda (Arsip Nasional, masa ini, gelar Mara’dia tidak hanya 1850). menjadi sebuah gelar yang disematkan pada Terlepas dari kedatangan pemerintah Kerajaan Balanipa namun seluruh kerajaan- Kolonial Belanda di Mandar, secara kerajaan termasuk 7 kerjaan besar ini wajib struktural dalam hal ini pemerintahan menggunakan gelar ini, menggantikan gelar Belanda tidak membawa dampak yang sebelumnya yakni Tomakaka. Nampak signifikan kecuali pada abad XIX setelah bahwa dominasi kuasa dari Kerajaan penandatanganan kontrak antara Kerajaan Balanipa pada masa ini sangat kuat, Semua Balanipa dan Pemerintah Kolonial Belanda. kerajaan harus tunduk pada pemerintahan Meskipun seiring berjlannya waktu, sistem Balanipa. terlebih lagi dalam konfederasi pemerintahan Kerajaan Balanipa (Mandar) tersebut yang menjadi “bapak” (pemimpin) diganti oleh sistem pemerintahan Kolonial. adalah Balanipa. Dengan kata lain bahwa pemerintah Balanipa sebagai pemimpin (wakil) Kolonialah yang “meredupkan” jiwa dari seluruh kerjaan-kerajaan di Mandar demokrasi yang ada di Mandar. tidak hanya dibuktikan dengan sumber- Jiwa Demokrasi yang dimaksud dalam sumber berupa Lontara’’ namun sumber- sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa Sumber Belanda kolek Arsip Nasional yakni musyawarah untuk mencapai senada dengan hal tersebut. Nampak pada mufakat. Bahwa poin ini menjadi sangat salah satu dokumen penandatanganan penting dalam berdemokrasi. Seperti yang kontrak antara Balanipa (wakil Mandar) kita ketahui bersama bahwa Asas terpenting dengan pihak Belanda pada tanggal 30 Mei dari Demokrasi adalah kebebasan 1850 (Arsip Nasional, 1850). Berdasarkan berpendapat. Seperti yang telah dipaparkan pembacaan arsip yang dilakukan, perjanjian sebelumnya bahwa seorang pemimpin tidak ini adalah kontrak pertama yang dilakukan mempunyai legitimasi untuk memberikan oleh Kerajaan Balanipa sebagai wakil larangan kepada rakyat yang ingin berkata Mandar dengan pihak pemerintah kolonial kebenaran. Selain itu, dalam pengambilan Belanda. Beberapa isi dari perjanjian keputusan di Kerajaan Balanipa, selalu tersebut menyatakan bahwa kerajaan menggunakan musyawarah sebagai cara Balanipa adalah bagian dari Pemerintah untuk mengambil keputusan terutama Kolonial Hindia Belanda. Kalimat ini bisa keputusan yang menyangkut kepentingan saja mengindikasikan bahwa Belanda telah Federasi Kerajaan Mandar yang terkenal menguasai Mandar, karena Balanipa telah dengan nama Pitu Ba’bana Binanga. merupakan bagian dari pemerintah kolonial Belanda. Pitu Ba’bana Binanga: Simbol Demokrasi Namun berdasarkan sumber-sumber Mandar Pemerintah Kolonial Belanda memang Apabila Edward Poelinggomang sering kali menggunakan kalimat ini dalam menyebut periode Kemandaran sebagai kontrak-kontraknya tetapi tidak bermakna periode bangkitnya mandar dengan bahwa Belanda telah merebut kekuasaan terbentuknya Kerajaan Balanipa, maka pada pada daerah itu. Pada tahun tersebut periode terbentuknya Konfederasi Pitu memang Belanda sudah mulai memperluas Ba’bana Binanga disebut sebagai Periode wilayah perdagangannya sehingga yang Amara’diang (Darmawan Mas’ud). dipermasalahkan dalam kontrak ini adalah Konfederasi Tujuh Kerajaan Pesisir (pitu seringkalinya kapal dagang Belanda dibajak ba’bana binanga) merupakan nama federasi oleh perompak disekitar wilayah Kerajaan ini. Dibentuk oleh Tomepayung (raja ke-2 Balanipa (Mandar) oleh karena itu Balanipa Kerajaan Balanipa). Konfederasi ini sebagai wakil Mandar diberikan hadiah dibentuk setelah serangan yang dilakukan sebagai imbalan atas pengamanan kapal- oleh Tomepayung atas Kerajaan Passokkorang, dikisahkan dalam Lontara’

96

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim bahwa orang-orang berkumpul di keluar masuk dan memungut bea keluar Tammajarra, maka Raja Balanipa mengirim masuk terhadap perahu dan barang utusannya menuju Sendana, Banggae dan dagangan dan Sakka Manarang yang Pamboang. Berkatalah Raja Sendana: bertugas untuk melaksanakan pemba- duluanlah kembali hai utusan. Akan saya ngunan fisik (Anonim, 1984: 90). Struktur ajak karib kerabatku yakni Raja Mamuju ini secara umum dipakai oleh Kerajaan dan Raja Tappalang begitupun dengan Raja Balanipa namun untuk masalah gelar raja- Pamboang yang kemudian diajak oleh Raja raja yang termasuk dalam konfederasi Sendana, Mamuju dan Tappalang (Yasil, memakai gelar mara’dia. Gelar Tomakaka 1985:209). Dan pada akhirnya berkumpullah tidak dipakai lagi. enam kerajaan yang merupakan cikal bakal Ketentuan pemakaian gelar ini dari persekutuan Kerajaan-Kerajaan Pesisir. menunjukkan legitimasi dari Kerajaan Enam Kerajaan ini kemudian Balanipa karena yang pertama kali melakukan musyawarah untuk membentuk menggunakan gelar ini adalah Raja sebuah persekutuan dan berjanji akan saling Balanipa. Dan apabila dilihat dari struktur melindungi serta bekerja sama satu sama konfederasi ini, Kerajaan Balanipa menjadi lain di berbagai bidang demi kepentingan Ketua dari Konfederasi. Kerajaan Balanipa bersama (muktamar tammejarra I). dengan sebagai Bapak, Kerajaan Sendana sebagai prakarsa Kerajaan Balanipa sebagai Ibu dan Kerajaan Banggae, Pamboang, kerajaan yang pada periode itu memiliki Tappalang, Mamuju sebagai anak (Yasil, pengaruh yang sangat besar dari segala 1985: 211). Jumlah Kerajaan yang pertama aspek. Dari sudut pandang hubungan kali ikut dalam perundingan pembentukan diplomatik lima kerajaan yang diajak untuk konfederasi hanya ada enam namun membentuk konfederasi mau tidak mau berikutnya Kerajaan Binuang dimasukkan setuju dengan inisiatif Kerajaan Balanipa. sebagai anggota ke ketujuh. Pada kasus Terlebih lagi pada periode pemerintahan Kerajaan Binuang, Kerajaan ini merupakan Tomepayung, Kerajaan Balanipa memiliki Kerajaan Hadiah dari Kerajaan Gowa. Di sistem pemerintahan yang sangat baik mana sebelumnya Binuang merupakan terbukti pada tahun 1580-1610 laju Kerajaan Taklukkan Kerajaan Passokorang perkembangan di Mandar sangat pesat, dan Kerajaan Batulappa’ yang dijual ke meliputi segala aspek (leyds, 1940: 26, Kerajaan Gowa (Syah, 1992: 13-17). lotara’ pattodioloang, 1991: 41; Naskah Dengan kata lain, Kerajaan Binuang Mandar : 109 dan Naskah Awal Sejarah ikut serta dalam Konfedarasi setelah Mandar, 2010 :58). diadakannya Muktamar Tammejarra II Pada periode Tomepayung, dibentuk (Yasil, 2012: 67). Dengan masuknya pula angkatan militer yang disebut sebagai Binuang sebagai anggota ke-7 maka “Appe’ Jannangan” yang terdiri dari ; 1). Mandar sebagai satu kesatuan administratif Andongguru pakkawusu’, 2). Andongguru telah terbentuk. Menjadi sebuah kekuatan Passinapa’, 3). Andongguru Pa’burasang politik yang cukup disegani pada periode dan 4). Andongguru Jowa’ Matoa. Dan dari ini. Sebuah bentuk negara pada masa klasik. ke-empat angkatan perang ini dibawahi Megaskan bahwa pencapaian lokalitas pada lansung oleh seorang Mara’dia yang masa klasik merupakan hasil pemikiran bergelar Mara’dia Malolo (panglima masyarakat kita sendiri bukan produk perang. Dalam Bidang ekonomi dan Bangsa Barat. Leonard Andaya juga pembangunan kerajaan juga dibentuk mempertegas dalam tulisannya yang sebuah badan yang bertugas untuk menyatakan bahwa kekuatan dan kesatuan mengontrol jalannya roda perekonomian masyarakat membentuk unit-unit politik dan pembangunan. Masing-masing dari dasar di daerah ini (Andaya, 2004: 14). kedua badan ini diketuai oleh Sawwanara Andaya mengakui bahwa Pitu Ba’bana bertugas untuk mengawasi perahu yang

97

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Binanga adalah sekutu terkuat Kerajaan Konsep tersebut lahir ketika Gowa. Tomepayung mengadakan perjanjian Kebesaran Konfedarasi ini tidak dengan Palilik (negara vasal) bahwa palilik diragukan lagi keberadaannya, bentuk tidak dituntut untuk memperoleh kebesaran negara yang ditawarkan pada periode klasik bahkan tidak akan dikecilkan ini menggambarkan sebuah tawaran negara (ditelantarkan) oleh Balanipa dengan federalis. Bahwa perpecahan yang terjadi menjunjung tinggi konsep mengga Lenggoq sebelumnya dapat disatukan melalui Mengga Belawa. Dan sebagai gantinya konfederasi lantas kenapa negara ini masih Balanipa juga memperoleh perlakuan yang berbentuk republik Di mana pemerintahannya baik ketika orang-orang Balanipa berada di terpusat? Dengan pembangunannya yang wilayah vasal tersebut (Syah, 1992: 58; tidak merata. Menjadi kasus tersendiri dari Yasil, 1985: 109; Mandra, 2015: 32). polemik bentuk negara. Namun Agaknya Lahirnya konsep ini agaknya menginspirasi gagasan bentuk federalis/konfederasi pemikiran politik Tomepayung selanjutnya. menjadi tawaran yang cukup menarik Dengan kata lain Konsep ini menjadi dasar apabila kita melihat kondisi geografis dari periode Pemerintahan Tomepayung maupun kultural negara ini. Meski wujud dalam menjalankan pemerintahannya. dari negara federalis sebahagian telah Terbukti setiap Tomepayung terwujud dalam otonomi daerah. menyelesaikan masalah di Kerajaan Balanipa Terlepas dari gagasan tersebut, bahkan dalam Konfedarasi ia selalu konfederasi Pitu Ba’bana Binanga menjadi menggunakan musyawarah mufakat. Salah turning point Mandar sebagai kekuatan satunya ketika Tomepayung mengadakan besar yang berbentuk Negara Demokrasi. perundingan untuk menyelesaikan masalah Lahirnya Periode Amara’diang, dan antara Puang di Alu dan Puang di Pussuq digunakannya gelar mara’dia sebagai (Mandra, 1991: 97). Terlebih lagi ketika sebuah identitas seorang raja merupakan Konfederasi Pitu Ba’bana Binanga pencapaian Tomepayung dalam membentuk dibentuk, semua lahir dari hasil masyarakat yang berdemokrasi. Ia berhasil musyawarah. Ditambah dengan cara membangun sebuah gagasan musyawarah Kerajaan Memperlakukan Negara Vasalnya mufakat dalam setiap permasalahan yang yang tentu saja jiwa Demokrasi tertanam terjadi di Mandar. gagasannya ini tertuang dalam konsep Mengga Lenggoq Mengga dalam nilai-nilai budaya Mandar yang Belawa. tercatat dalam Lontara’’ yakni (1) manu’ Konsep Mengga Lenggoq Mengga Tandi pessisi’i (ayam yang tidak dilihat Belawa yang kemudian diterjemahkan oleh warnanya) bermakna dalam kehidupan masyarakat Mandar terutama pemimpin- sehari-hari tidak pandang bulu baik status pemimpin Mandar selanjutnya. Maka maupun jabatannya, hukum adat tetap dengan konsep inilah pemerintahan di dijunjung tinggi. (2) Beang Tandi Gati Mandar dijalankan oleh Kerajaan Balanipa (Beras yang tidak perlu ditakar) bermakna maupun kerajaan yang termasuk dalam ekonomi berbasis Kerakyatan, tetap Konfederasi Pitu Ba’bana Binanga. mementingkan kepentingan rakyat kecil. (3) Kerajaan yang berasaskan pada pencapaian Suwa Tandi Biti (rambut bersisir tanpa kesejahteraan dan keadilan kepada setiap perlu di patut-patut lagi) bermakna warga kerajaan, Tidak memandang bulu Persatuan yang berkesinambungan (4) Ara- dalam perlakuan hukum dan yang ratang Tandi Dappai (tali yang tak perlu di terpenting adalah selalu mengedepankan ukur) bermakna bahwa hukum/keadalian musyawarah dalam mencapai mufakat. tidak ada ukuran membeda-bedakan. Konsep inilah yang dipegang teguh oleh Konsep inilah yang kemudian dikenal Kerajaan Balanipa bahkan seluruh Kerajaan dengan Mengga Lenggoq Mengga Belawa yang menjadi Anggota Persekutuan Pitu (Yasil, 1985: 208). Ba’bana Binanga. Entah terjadi perubahan

98

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim setelah Belanda melakukan ekspansi ke dikenal sebagai “Ada Sappulo Sokko’“. Mandar dalam rangka menaklukkan Selain itu, beberapa lembaga tersebut Sulawesi secara keseluruhan setelah memiliki divisi-divisi tersendiri. Sebuah Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda. gambaran sistem pemerintahan yang sudah Kajian tersebut menjadi studi tersendiri sangat restruktur pada abad XVI. kedepannya. Sebuah Bentuk Negara merupakan gagasan dari sistem ini. Konfederasi Tujuh PENUTUP Kerajaan di Mandar (Pitu Ba’bana Perubahan sistem kepemimpinan di Biananga) merupakan satu pencapaian Mandar yakni dari Tomakaka menjadi terbesar yang dilakukan oleh Tomepayung Mara’dia berpengaruh pada sistem karena konfederasi inilah yang menjadi pemerintahan yang pada akhirnya simbol lahirnya sebuah Kerajaan-kerajaan membentuk sistem pemerintahan baru. besar dan berpengaruh di Sulawesi pada Dengan kata lain perubahan kepemimpinan periode Abad VII. Sebuah simbol yang mengubah sistem yang ada. Tokoh melambangkan persatuan dan kesatuan Di perubahan tersebut yakni I Manyambungi. mana musyawarah dan penyetaraan Ia merupakan keturunan Orang Mandar dijunjung tinggi diantara tujuh kerajaan ini. yang belajar ke Kerajaan Gowa pada rentan Tidak ada pembeda dalam menjalankan periode tersebut. Tokoh inilah yang pemerintahan. Apabila seseorang bersalah Mengalahkan Kerajaan Passokkorang dan maka ia akan dihukum sesuai dengan Mengganti sistem kepemimpinan aturan. Kebenaran sangat dijunjung tinggi. Tomakaka menjadi Mara’dia sekaligus Mengga Lenggoq Mengga Belawa mengganti sistem pemerintahannya. Di merupakan salah satu konsep yang mana sebelumnya posisi raja adalah mutlak ditawarkan oleh sistem ini. Bahwa jiwa (otoriter) dan saat diubah, posisi raja tidak Demokrasi tertanam dalam konsep tersebut. (1) manu’ Tandi pessisi’i (ayam yang tidak lagi mutlak (demokratis). Jabatan seorang raja bisa diduduki oleh siapa saja tanpa dilihat sisiknya) bermakna dalam kehidupan pandang bulu selama ia memenuhi syarat- sehari-hari tidak pandang bulu baik status syarat yang telah ditentukan. Bahkan maupun jabatannya, hukum adat tetap seorang raja bisa diturunkan apabila ia dijunjung tinggi. (2) Beang Tandi Gati sudah tidak memenuhi kriteria sebagai (Beras yang tidak perlu ditakar) bermakna seorang pemimpin yang baik. ekonomi berbasis Kerakyatan, tetap Pada perkembangan selanjutnya, Raja mementingkan kepentingan rakyat kecil. (3) Ke-2 Tomepayung Menjabat. Sebagai Suwa Tandi Biti (rambut bersisir tanpa perlu di patut-patut lagi) bermakna Mara’dia ke-2 setelah ayahnya, Tomepayung Membawa dampak yang sangat signifikan Persatuan yang berkesinambungan (4) Ara- ratang Tandi Dappai (tali yang tak perlu di terhadap Kerajaan Balanipa Bahkan Mandar pada periode Abad XVI. Apabila I ukur) bermakna bahwa hukum/keadalian Manyambungi merubah sistem kepemimpinan tidak ada ukuran membeda-bedakan. dan sistem pemerintahan, maka Tomepayung Aplikasi konsep tersebut dijalankan menyempurnakan perubahan tersebut. Dengan oleh masyarakat Mandar dengan membentuk lembaga-lembaga dalam struktur menjunjung tinggi kebenaran, setiap orang pemerintahan. Diantara lembaga-lembaga bisa mengajukan sebuah kebenaran. Raja tersebut adalah Appe’ Banua Kaiyyang tidak mempunyai legitimasi dan bersikap jugalah yang melantik semua perangkat represif terhadap rakyat. suara dan kondisi pemerintahan mulai dari Mara’dia Matoa rakyat adalah penentu dari langgengnya (perdana menteri), Mara’dia Malolo kekuasaan sang raja. apabila rakyat (panglima perang), dua orang Pa’bicara mengalami sengketa maka yang dilakukan (penasehat) dan 8 Pappuangan. Adapun adalah dengan bermusyawarah untuk dua orang pa’bicara dan 8 papuangan mencapai mufakat.

99

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA Penulisan Latar Belakang Isi Naskah Kuno/Lontara Mandar Daerah Arsip dan Lontara’ Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Anonim, Laoran Hasil Seminar Pendidikan dan Kebudayaan. Kebudayaan Mandar I Tanggal 31 Juli S/D 2 Agustus 1984 di Majene. Buku-buku Arsip Nasional, bb.28 1756. Acte Van Abidin Andi Zainal. 1999. Sejarah Renovatie den Vorstan Van Mandhar, Sulawesi Selatan. Ujung Pandang : Contract mit Mandhar Balanipa 30 Hasanuddin University Press. Mei 1850. Abbas Ibarahim. 1999. Pendekatan Budaya C Noote Boom. 1994/1995. Laporan Mandar. Makassar: UD Hijrah Penelitan dan Nilai Tradisional Grafika. Sulawesi Selatan Kerajaan Balanipa - Ahmad dkk. 2007. Sejarah Mandar dan Mandar. Ujung Pandang : Departemen Sejarah Perjuangan Bangsa Di Pendidikan Dan Kebudayaan Kab.Majene. Dinas Pendidikan dan Direktorat Jendral Kebudayaan Balai Kebudayaan Majene Binmudorabud Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Seksi Kebudayaan. Ujung Pandang. Andaya, L. Y., 2004. Warisan Arung Hanoch, Luhukay dkk. 2006. Memori Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Asisten Residen W.J.Leyds Selama Abad 17. Makassar: INNINAWA. Bertugas di Mandar. Yayasan Kaitupa. Asdy Ahmad dkk. 2003. Mandar Dalam Mandra. A.M. 2015. Transliterasi dan Kenangan tentang Latar Belakang Terjemahan Lontara Balanipa Keberadaan Arajang Balanipa. Mandar. Makassar: Kretakupa. Yayasan Mahaputra Mandar. Mandra, A. & dkk, 1991. Lontar Mandar. Asdy Ahmad dan Anwar Sewang. 2010. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Etika Dalam Kehidupan Orang Kebudayaan. Mandar. Yayasan Mahaputra Mandar. Muthalib Abdul dkk. 1988. Transelisasi Ball, T., Dagger, R. & O'neil, D., 2013. dan Terjemahan O Diadaq O Dibiasa Political Ideologies and Democratic (Naskah Lontarak Mandar). Ideal. New York: Pearson. Depertemen Pendidikan dan Barthes Roland, Mythologies, 1983. New Kebudayaan Direktorat Jendral York : Hill and Wang, diterjemahkan Kebudayaan Sulawesi Selatan 1988. oleh Nurhadi. A. Sihabul Millah. Syah, Tanawali Aziz. 1992. Lontarak 1 Mitologi. 2015. Bantul:Kreasi Wacana Pattodioloang di Mandar. Ujung Diane Revitch, A. T., 2005. Demokrasi Pandang: Taruna Remaja. Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Syah, Tanawali Aziz. 1992. Lontarak 2 Obor. Pattodioloang di Mandar. Ujung Giddens Athony. The Constitution of Pandang: Taruna Remaja. Society: Outline of The Theory of Yasil, Suardi dkk. 2012. Naskah Awal Strukturation.1984. USA: University Sejarah Polewali Mandar. Polewali of California Press. Diterjemahkan Mandar: Dinas Perhubungan, oleh Maufur dan Darmayanto. 2010. Komunikasi dan Informatika Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Kabupaten Polewali Mandar. Pembentukan Struktur Sosial Yasil, S. et al., 1985. Inventarisasi, Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Transkripsi, Penerjemahan dan Pelajar.

100

Refleksi Keindonesiaan: Kajian Sistem Pemerintahan… Abd.Karim

Hook Sidney. The Hero in History, 1969. 1949) .Ujung Pandang : Yayasan Boston: Beacon Pers. Kebudayaan Mandar Rewata Rio. Idham dkk. 2010. Sejarah Perjuangan Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Sekilas Lintas. Group “Tipalayo” Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Polemaju Mandar. Sulawesi Barat. Priyadi Sugeng. 2015. Historiografi Kartodirdjo, S., 2014. Pemikiran Dan Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Perkembangan Historiografi Syah, Tanawali Aziz. 1980/1981. I Calo Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Ammana I Wewang Topole di Balitung Madjid, M. Saleh dan Abd. Rahman Hamid. Pahlawan Daerah Mandar Sulawesi 2007. Pengantar Ilmu Sejarah. Selatan. Ujung Pandang: Pemda T.K. Makassar: Jurusan Pendidikan Sejarah I. Prop. Sulsel. Fakultas Ekonomi Dan Ilmu Sosial Syah, Tanawali Aziz. 1997. Sejarah Universitas Negeri Makassar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid Mandra A M. 1990. Mandar dan Bone I, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang : dalam Lontar Mandar. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang. Mandra A M. 2002. Sejarah Perjuangan Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah Kemerdekaan Bangsa di Mandar. Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid Majene: Pemerintah Daerah II, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang : Kab.Majene. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang. Mappangara Suardi. 2004. Ensiklopedia Syah, Tanawali Aziz. 1998. Sejarah Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Mandar Polmas-Majene-Mamuju jilid Tahun 1905. Dinas Kebudayaan dan III, yayasan”Al-Azis”. Ujung Pandang: Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. yayasan “Al-Aziz” Ujung Pandang. Mattulada, 1986. Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Indonesia. Dalam: Jurnal Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: Benda, H. J., 1964. Democracy in LP3ES, pp. 3-15. Indonesia. The Journal of Asian Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Studies, pp. 449-456. Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Feith, H., 1965. History, Theory, and Pandang : Universitas Hasanuddin Indonesian Politics: A Reply to Harry Press. J. Benda. The Journal of Asian Studies, Munoz Paul Michel. Kerajaan-Kerajaan pp. 305-312. Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta : Mitra Abadi. Palenggomang Edwar L. 2012. Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat. Makassar: De La Macca. Sahuding. 2004. Pitu Ulunna Salu dalam Imperium Sejarah. Makassar: Selatan Jaya. Sinrang Syaiful. 1994. Mengenal Mandar Sekilas Lintas ”Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Belanda (1667-

101

PEMANFAATAN SUMBER DAYA HAYATI PERAIRAN: PROSPEKTIF BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BANTAENG (STUDI KASUS DESA BONTO JAI, KECAMATAN BISSAPU)

THE UTILIZATION OF AQUATIC BIOLOGICAL RESOURCES: PROSPECTIVE OF SEAWEED DEVELOPMENT IN THE COASTAL AREA OF BANTAENG REGENCY (CASE STUDY IN THE TOWNSHIP OF BONTO JAI, BISSAPU DISTRCT)

Nur Alam Saleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin Km. 7 Makassar Email: [email protected]

ABSTRACT This research examines social structural change, both in the forms of production, technology, and organization, along with the accompanying impact on the socio-economic lives of the population. The development of the seaweed industry has also affected an aspect of the socio-cultural and economic lives of the community. The research took place in the regency of Bantaeng, in the township of Bonto Jai in the Bissapu district. The research method employed is field research, including observation, documentation, and interviews, along with the data analysis technique of data reduction, presentation, and conclusion. In its development, seaweed farmers have come to dominate the scene of community activity on the beaches of the Bantaeng regency in general, and especially in the Bonto Jai township. The development of the seaweed industry carries the potential to improve the economic standing of farmers in the Bonto Jai township. The seaweed industry is more profitable than the previous profession of these workers, namely as fishermen. One very interesting element in the development of the seaweed industry is the inclusion of women in the labor force. Key words: Fishermen, Seaweed, social, Resource development.

ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang perubahan struktur sosial baik itu bentuk-bentuk produksi, teknologi dan kelembagaan serta dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Budi daya rumput laut juga telah mengubah salah satu aspek sosial-budaya dan ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Bantaeng, tepatnya di Desa Bonto Jai Kecamatan Bissappu. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan penelitian lapangan yang mencakup observasi, dokumentasi, dan wawancara, Adapun teknik analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dalam perkembangannya pembudi daya rumput laut telah menjadi primadona bagi aktivitas masyarakat pesisir pantai Kabupaten Bantaeng pada umumnya dan Desa Bonto Jai pada khususnya. Budi daya rumput laut mempunyai peluang untuk meningkatkan pendapatan petani di Desa Bonto Jai. Budi daya rumput laut lebih menguntungkan dibanding dengan pendapatan profesi sebelumnya yakni sebagai nelayan. Satu hal yang sangat menarik dari kegiatan budi daya rumput laut ini, dengan keterlibatan kaum wanita yang turut mengambil bagian sebagai tenaga kerja. Kata Kunci: Nelayan, Rumput laut, sosial, Pembudidayaan.

PENDAHULUAN potensi berbagai jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki Potensi perikanan Sulawesi Selatan untuk perairan laut dengan panjang pantai sekitar daerah penangkapan 12 mil dari pantai 2.500 km dengan potensi sumber daya sebesar 620.480 ton/tahun dan 80.072 perikanan tangkap yang besar dengan ton/tahun untuk zona ekonomi eksklusif

102

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

(ZEE), daerah penangkapan 12-200 mil dari (Fachry, 2009). pantai. Potensi perikanan laut ini baru Secara ekonomis usaha pertanian termanfaatkan sekitar 56% yaitu 14.468 ton rumput laut, pada awalnya dianggap sangat setiap tahunnya (Dinas Kelautan dan menguntungkan bagi masyarakat pesisir. Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2007). Untuk memperoleh panen hanya Potensi alam ini diharapkan dapat dibutuhkan waktu sekitar 40 sampai 45 hari mendukung kegiatan perekonomian untuk ditambah lima hari pengeringan. Dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. sebuah artikel yang dimuat pada Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut (www.rumputlaut.org) dikatakan bahwa, secara tepat diyakini dapat menyelamatkan harga yang bagus disertai masa masyarakat Sulawesi Selatan dari berbagai pembudidayaan yang pendek membuat dampak krisis ekonomi. Sayangnya, pada sebagian masyarakat pesisir di Sulawesi beberapa daerah, ada indikasi terjadi Selatan juga tidak lagi bergairah pemanfaatan sumber daya yang melebihi menangkap ikan, sebab potensi ikan di laut daya dukung lingkungan. semakin terbatas, sedangkan perahu Demikian pula halnya dengan penangkapan bertambah banyak dan Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu menggunakan alat tangkap yang canggih. daearah tingkat II yang berada di jazirah Akibatnya, volume ikan yang ditangkap pantai selatan Pulau Sulawesi dengan luas terus berkurang. Hal itu otomatis wilayahnya mencapai 395,83 km² dan berdampak terhadap jumlah pendapatan memiliki pantai sepanjang 27,5 kilometer, setiap nelayan sehingga budidaya rumput yang terbentang dari timur sampai ke barat. laut dianggap sebagai pilihan yang baik Di sepanjang pantai itulah terdapat potensi bagi masa depannya. kelautan dan perikanan laut yang cukup Hasil penelusuran awal besar, di antaranya pengembangan rumput menggambarkan bahwa Melepaskan diri laut. Secara keseluruhan luas areal budidaya dari keterbelakangan masyarakat nelayan, rumput laut mencapai 875 hektar, yang menyebabkan sebagian besar nelayan di tersebar dari pantai hingga kearah laut Kabupaten Bantaeng beralih dari nelayan Flores. Kabupaten Bantaeng merupakan ke sektor pertanian rumput laut. Daya tarik salah satu kabupaten yang memiliki potensi terhadap sektor pertanian rumput laut dalam menghasilkan bahan baku rumput memiliki kekuatan seiring meningkatnya laut untuk industri. Berdasarkan data permintaan internasional atas komoditas statistik Dinas Perikanan dan Kelautan rumput laut. Masyarakat pesisir Kabupaten Kabupaten Bantaeng tahun 2011 tercatat Bantaeng yang selama ini menekuni jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) aktivitas nelayan tangkap merespon dengan pembudidaya rumput laut sebesar 3.197 mengubah aktivitas mereka, begitupula orang, yang memanfaatkan areal laut ± berbagai kelompok masyarakat menjadi 2.888,8 ha, atau sekitar 50,7% dari total terdorong untuk ikut serta mengambil peran luas daerah yang bisa ditanami rumput laut baik sebagai penyedia bibit, penyedia (± 5.375 ha). Karena itu, Kabupaten modal, berbagai prasarana dan sarana Bantaeng ditetapkan sebagai Sentra permodalan yang mendukung peningkatan Pengolahan Rumput Laut melalui surat produksi pertanian rumput laut. keputusan Direktur Jenderal Pengolahan Fenomena yang terjadi pada aktivitas dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: pertanian rumput laut tersebut tidak jauh KEP.08/DJP2HP/2009, dimana Kabupaten berbeda yang dihadapi ketika mereka Bantaeng menjadi lokasi pengembangan menjadi nelayan tangkap dengan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan rumput karakteristik sangat bergantung pada alam, larut sehingga Kabupaten Bantaeng menjadi harga dan pasar. Faktor-faktor sturktural salah satu dari 15 sentra pengembangan yang dihadapi kelompok nelayan industri perikanan di Indonesia sebagaimana dikatakan sebelumnya

103

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 diasumsikan terproduksi kembali pada sehingga mendapatkan gambaran yang luas petani rumput laut. Akan terjadi dan lengkap dari objek yang diteliti (Daniel, sebagaimana apa yang disebut Nugroho dan 2002: 103). Sifat khas studi kasus adalah Dahuri (2004:251) yaitu pola hubungan suatu pendekatan yang bertujuan untuk yang asimetris dan sangat mudah berubah mempertahankan keutuhan (wholeness) dari menjadi alat dominasi dan eksploitasi. objek. Tujuannya adalah untuk Pengembangan sektor pertanian memperkembangkan pengetahuan yang rumput laut yang menimbulkan fenomena mendalam mengenai objek yang perubahan pekerjaan sebagian besar bersangkutan (Vredenbregt, 1983:38). masyarakat nelayan belum banyak Penelitian ini dilakukan di Kabupaten dilakukan pengkajian tentang sejauhmana Bantaeng tepatnya di Desa Bonto Jai, terjadi perubahan struktur sosial dan Kecamatan Bissapu. Lokasi ini dipilih berdampak terhadap kehidupan sosial secara sengaja dengan pertimbangan bahwa ekonomi masyarakat. Dengan demikian Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu menarik dikaji lebih jauh tentang bentuk- dari empat kabupaten yang menjadi daerah bentuk produksi, teknologi dan sasaran Program Revitalisasi Perikanan di kelembagaan tersebut, serta kemungkinan Propinsi Sulawesi Selatan. terjadinya reproduksi stratifikasi dalam Metode pengumpulan data merupakan masyarakat petani rumput laut atau langkah penting dalam melakukan umumnya pada masyarakat pesisir penelitian karena data yang terkumpul akan Kabupaten Bantaeng khususnya di Desa dijadikan bahan analisis dalam penelitian. Bonto Jai. Metode yang digunakan dalam penelitian Berdasarkan uraian tersebut di atas, kualitatif ini adalah dengan teknik maka dianggap penting untuk melakukan triangulasi (Moleong, 2004: 135), yaitu: penelitian dengan judul ”Pemanfaatan 1. Wawancara Sumber daya Hayati Perairan di Wilayah Pesisir Kabupaten Bantaeng (Studi Kasus Wawancara adalah suatau proses Desa Bonto Jai Kecamatan Bissapu). tanya jawab lisan, dimana dua orang atau Berdasarkan latar belakang tersebut, lebih saling berhadapan secara fisik, yang masalah dalam penelitian ini dapat satu dapat melihat muka lain dan dirumuskan sebagai berikut; Bagaimana mendengar dengan telinga sendiri dari komunitas nelayan pesisir dalam suaranya (Sukandarrumidi, 2006: 89). memanfaatan sumber daya hayati perairan Wawancara dapat dilakukan oleh peneliti laut di Kabupaten Bantaeng, dan untuk mengetahui keadaan seseorang, Bagaimana prospektif kehidupan sosial wawancara sendiri dapat dilakukan secara ekonomi nelayan dengan budi daya rumput individu atau kelompok guna mendapatkan laut di Kabupaten Bantaeng. Dengan tujuan informasi yang tepat dan otentik. Pada penelitian ini untuk mengetahui penelitian ini wawancara dilakukan pada pengelolaan sumber daya hayati perairan beberapa nelayan rumput laut yang oleh komunitas nelayan laut di Kabupaten sebelumnya hanya nelayan tangkap dan Bantaeng dan untuk menjelaskan prospektif beberapa perempuan yang bekerja dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat proses kerja rumput laut. nelayan setelah membudidayakan rumput 2. Observasi laut di Kabupaten Bantaeng. Observasi atau pengamatan METODE merupakan suatu cara mengumpulkan data Jenis penelitian yang digunakan dengan jalan mengadakan pengamatan adalah studi kasus (case study) yaitu suatu terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. penelitian yang lebih terarah dan terfokus Kegiatan tersebut bisa berkenaan dengan pada sifat tertentu yang tidak berlaku umum cara guru mengajar, siswa belajar, kepala

104

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh sekolah sedang memberikan pengarahan petani rumput laut) atau dalam suatu (Nana S, 2009: 220). Jadi, observasi kelompok (dalam hal ini kelompok petani merupakan penelitian yang dilakukan rumput laut, pemerintah, dan lembaga secara sistematis dan sengaja dilakukan swadaya masyarakat), yang mungkin sangat dengan menggunakan indra penglihatan berarti untuk memahami dinamika sosial untuk melihat kejadian yang berlangsung dari kelompoknya, demikian pula faktor- serta langsung menganalisis kejadian faktor penyebab integrasi (Vredenbregt, tersebut langsung pada waktu kejadian itu 1983:42). berlangsung di Desa Bonto Jai Kecamatan Metode analisis utama yang Bissappu, Bantaeng. digunakan dalam penelitian ini adalah 3. Dokumentasi analisis data kualitatif yang analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman. Dokumentasi adalah setiap bahan Pengertiaan kualitatif di sini bermakna tertulis ataupun film, sedangkan record bahwa data yang disajikan berwujud kata- adalah setiap pernyataan tertulis yang kata ke dalam bentuk teks yang diperluas disusun oleh seseorang atau lembaga untuk bukan angka-angka (Miles dan Huberman, keperluan pengujian suatu peristiwa atau 1992). menyajikan akunting (Moleong, 2011: 216). Teknik dokumentasi adalah teknik PEMBAHASAN pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik Lokasi dan Keadaan Geografis tertulis, gambar, maupun elekronik. Kabupaten Bantaeng terdiri dari Peran peneliti dalam melakukan daratan seluas 395,83 Km2 dan lautan observasi bersifat sebagai “orang dalam” seluas 144 Km2, terbagi menjadi 8 wilayah (an insider‟s perspective), di mana peneliti kecamatan, 67 kelurahan dan desa. Tiga melakukan observasi dan berinteraksi kecamatan di antaranya terletak di wilayah secara cukup dekat dengan para anggota pesisir pantai, yakni Kecamatan Bissapu, kelompok untuk menciptakan identitas baru Kecamatan Bantaeng, dan Kecamatan sebagai “orang dalam” (insider‟s identity), Pakjukukang dengan panjang garis pantai tanpa perlu berpartisipasi dalam aktivitas kurang lebih 21,5 Km. Dalam penelitian ini, utama kelompok karena sudah menjadi wilayah yang menjadi kajian adalah anggota penuh kelompok masyarakatnya wilayah pesisir di Kecamatan Bissapu sendiri. Dalam hal peneliti bisa mengambil tepatnya di Desa Bonto Jai. sikap, baik terbuka maupun tertutup (Adler Desa Bonto Jai yang berlokasi di dan Adler, 2009:526-527). daerah tepi pantai, secara geografis jarak Berdasarkan tujuan penelitian yang dari ibukota Pemerintahan Kecamatan dikemukakan sebelumnya, teknik utama Bissapu sekitar 3 km dan jarak dari ibukota yang digunakan dalam pengumpulan kabupaten kurang lebih 8 Km. Jika informasi di lapangan ialah wawancara menggunakan kendaraan bermotor, jarak mendalam (indepth interview) atau tempuh ke kota kecamatan sekitar 10 menit, wawancara tak terstruktur (unstructured dan sekitar 20 menit menuju ibu kota interview). Dengan wawancara tak kabupaten. Luas wilayah Desa Bonto Jai terstruktur maka peneliti dapat memahami kurang lebih 363 Ha2 dengan batas wilayah kompleksitas perilaku anggota masyarakat sebagai berikut; sebelah baratnya tanpa adanya kageori a priori yang dapat berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto membatasi kekayaan data yang dapat kita dan Kelurahan Bonto Langkasa, pada peroleh (Fontana dan Frey, 2009:508), sebelah selatannya berbatasan dengan Laut dengan kata lain dapat menyoroti kejadian- Flores, sebelah utaranya berbatasan dengan kejadian dalam kehidupan seorang Kelurahan Bonto Manai dan Kelurahan responden (dalam hal ini rumah tangga Bonto Lebang, dan sebelah timurnya

105

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 berbatasan dengan Laut Flores. yang berdiam di Desa Bonto Jai Pusat pemerintahan Desa Bonto Jai berdasarkan Dokumen RPJMDes Desa terletak di Kampung Ti’no Toa dan secara Bonto Jai Tahun 2012 – 2016 terdapat administratif Desa Bonto Jai terbagi atas 4 sekitar 1.605 jiwa terdiri atas laki-laki 799 kampung dan 2 dusun, yakni Dusun Ti’no jiwa dan perempuan 806 jiwa dan 439 Toa terdiri atas Kampung Tino Toa dan kepala keluarga (KK). Pa’ranga terdiri atas 4 RW dengan masing- Kondisi Sosial Budaya masing RW membawahi 2 RT. Dusun Mattoanging terdiri atas Kampung Bungung Pendidikan di lokasi penelitian Doring dan Mattoanging terdiri atas 3 RW mempunyai tingkat keragaman yang mana dengan masing-masing RW membawahi 2 mulai dari buta akasara sampai dengan RT. perguruan tinggi. Di Desa Bonto Jai sampai Prasarana penghubung dan sarana dengan Tahun 2012 masih terdapat yang transportasi yang tersedia cukup memadai buta huruf atau tidak pernah mengenyam untuk mencapai Desa Bonto Jai. Jalan yang bangku sekolah/tidak sekolah yakni sekitar menghubungkan antar desa/kelurahan ini 14,40 % dan yang berpendidikkan dengan ibukota kecamatan, ibukota perguruan tinggi sekitar 6,56 persen. kabupaten dan ibukota provinsi telah Sedang tingkat pendidikan Sekolah Dasar beraspal sampai ke desa ini. Demikian pula (SD)/Sederajat masih mendominasi di Desa dengan sarana transportasi yang Bonto Jai yakni terdapat sekitar 47,07 menjangkau dan menghubungkan dengan persen. Penduduk Desa Bonto Jai desa tersebut, secara keseluruhan relatif mempunyai jenis mata pencaharian yang cukup tersedia. cukup bervariasi, seperti sebagai nelayan, Data curah hujan yang akurat, penting petani, pedagang, dan ada juga yang dan sangat dibutuhkan oleh nelayan rumput berprofessi sebagai pegawai negeri sipil laut untuk menentukan jadwal tanam. Curah maupun anggota TNI dan Kepolisian. hujan terkait erat dengan salinitas perairan, Berdasarkan data yang ada bahwa di khususnya di perairan Bantaeng yang Desa Bonto Jai sebagian besar bermata menjadi muara banyak sungai. Curah hujan pencaharian sebagai petani rumput laut dan yang tinggi akan menyebabkan salinitas nelayan, yakni sekitar 154 orang. perairan turun ke level yang tidak sesuai Selebihnya yang berprofessi sebagai petani untuk pertumbuhan rumput laut. baik sebagai petani sawah, petani kebun Apabila nelayan menanam pada bulan maupun petani penggarap terdapat 66 yang curah hujannya relatif tinggi, maka orang, wiraswasta 43 orang, pegawai produksinya akan cenderung lebih rendah negeri dan anggota TNI/Kepolisian dibandingkan ketika menanam pada bulan sebanyak 26 orang. Sedang yang bergelut di yang curah hujannya lebih rendah. Selain bidang perdagangan 11 orang, pertukangan itu, musim hujan menyebabkan peningkatan dan jasa masing-masing terdapat 4 orang dinamika laut yang ditujukan oleh arus kuat dan buruh sebanyak 15 orang. dan gelombang tinggi yang dapat Sejarah Budidaya Rumput Laut di Desa menghambat pertumbuhan rumput laut. Bonto Jai Nelayan rumput laut akan menyesuaikan jadwal tanam dengan kondisi alam sehingga Secara umum sumber mata tidak akan mengalami kegagalan dalam pencaharian masyarakat selain bertani kegiatan budidaya rumput laut. adalah nelayan, mereka menggantungkan Berdasarkan catatan kependudukan hidup dari hasil tangkapan ikan. Aktivitas Kecamatan Bissapu dalam Angka 2013, budidaya rumput laut di Kabupaten berjumlah sekitar 31.242 Jiwa yang terdiri Bantaeng dan khususnya di Desa Bonto Jai dari laki-laki 15.214 jiwa dan perempuan berkembang seiring dengan semakin 16.028 Jiwa. Sedangkan jumlah penduduk menurunnya hasil tangkapan dan semakin

106

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh mahalnya harga bahan bakar minyak semakin baik dan berkembang di Bonto Jai (BBM) yang digunakan untuk mencari hasil maka banyak masyarakat pesisir pantai laut. mulai tertarik untuk membudidayakan Desa yang pertama kali rumput laut dengan mengambil bibit di membudidayakan rumput laut adalah Desa daerah sekitarnya. Salah satu faktor yang Bonto Jai, Kecamatan Bissapu yang mendorong komunitas nelayan di Desa kemudian diikuti oleh desa-desa lainnya ini Bonto Jai beralih menjadi petani pembudi dijelaskan oleh salah satu tokoh masyarakat daya rumput laut sampai saat ini adalah; (1) yang ada di Desa Bonto Jai ini. Hal ihwal harga hasil panen rumput laut relatif baik; asal mula budidaya rumput laut di (2) rumput laut mudah dibudidayakan; (3) Kabupaten Bantaeng tepat di Desa Bonto rumput laut mudah dijual dan komoditi Jai, yakni dari seorang yang bernama Amir ekspor; (3) waktu tanam yang hanya 35-45 A Mappawali salah seorang staf pegawai hari; (4) lahan yang akan dipakai tersedia; Bappeda, yang memberikan penyuluhan (5) memiliki daya jual yang tinggi; dan (6) dan informasi sekaligus melakukan uji coba jiwa tidak terlalu terancam dan bisa budi daya. Selain itu beralihnya masyarakat menghabiskan banyak waktu dengan nelayan ke petani rumput laut adalah keluarga. dengan cara memperoleh informasi dari Disamping itu, tidak terlalu terikat sesama pembudidaya rumput laut itu lagi dengan bentuk-bentuk ritual yang harus sendiri, di samping ada juga yang dilakukan seperti ketika masih sebagai mendapatkan informasi melalui penyuluh nelayan dimana ketika hendak mencari ikan dinas perikanan dan kelautan Kabupaten di laut atau hendak berlayar. Karena Bantaeng. Pada awalnya, bibit rumput laut semuanya sudah logis dengan melihat diambil dari daerah Nazarah Kabupaten kondisi alam. Bagaimana perkiraan cuaca Jeneponto, namun selanjutnya dilakukan serta bibit yang digunakan, Ujar Malik pembibitan di desa Bonto Jai atau di desa- salah seorang pembudi daya. desa tetangga sekitarnya. Aktivitas Budi Daya Rumput Laut Kehadiran rumput laut di Kabupaten Nelayan Pesisir Bantaeng disambut baik oleh masyarakat setempat dengan mengikuti penyuluhan dan Produktivitas seseorang dapat dilihat informasi mengenai budidaya rumput laut. dari beberapa faktor, di antaranya adalah Hal inilah yang memberikan banyak umur, tingkat pendidikan, tanggungan perubahan dalam banyak hal terhadap keluarga, dan pengalaman. Umur sangat masyarakat terutama yang ada di Desa mempengaruhi kemampuan fisik seseorang, Bonto Jai. Karena dalam membudidayakan kesehatan mental, dan spiritual dalam rumput laut tidak terlalu membutuhkan melakukan aktivitas. Bagi seorang nelayan waktu yang lama seperti baik ketika bertani yang masih dapat digolongkan usia ladang atau sawah maupun sebagai nelayan produktif, yaitu antara usia 15 sampai tangkap karena dalam jangka waktu tanam dengan 64 tahun. Pada umur-umur seperti rumput laut sampai panennya tidak terlalu ini, selain kemampuan produktivitasnya lama, hanya membutuhkan waktu sekitar 40 masih tinggi, juga lebih mudah untuk sampai dengan 45 hari sudah dapat dipanen menerima inovasi baru. Sebaliknya, bagi dan dikeringkan selama 5 hari kemudian nelayan yang telah berusia 65 tahun ke atas dijual. merupakan usia tidak produktif lagi, Demikian pula dengan sistem kemampuan kerjanya sudah semakin pemasarannya juga tidak terlalu merepotkan menurun. karena pedagang sendiri yang mendatangi Adapun tingkat usia nelayan alam petani untuk membeli hasil panen para usaha pembudidayaan rumput laut di Desa petani rumput laut dengan harga yang Bonto Jai mempunyai komposisi yang bersaing. Ketika budi daya rumput laut bervariasi merentang dari usia 20 sampai

107

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 dengan 59 tahun. Demikian pula dengan Pengelolaan Wilayah Budi Daya Rumput tingkat pendidikan petani rumput laut, Laut Desa Bonto Jai dimana keberadaan pendidikan adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada faktor Keberhasilan budi daya rumput laut kemampuan sikap dan perilaku dengan pemilihan lokasi yang tepat nelayan/petani dalam memahami program, merupakan salah satu faktor penentu. tingkat penyerapan teknologi dan dan hal- (Mubarak, 1991). Pemilihan lokasi budi hal yang sifatnya baru, sangat daya rumput laut merupakan salah satu hal mempengaruhi oleh tingkat pendidikan. yang perlu diperhatikan. Pemilihan lokasi Pendidikan juga merupakan salah satu pesisir pantai yang tidak tercemar sampah sarana yang tepat bagi masyarakat untuk industri, limbah rumah tangga dan lainnya mendapatkan bekal berupa ilmu yang dapat meningkatkan kekeruhan air pengetahuan dan keterampilan yang karena kondisi tersebut dikhawatirkan dapat dibutuhkan dalam dunia kerja. Dengan menurunkan kualitas air laut, yang pada menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya akan menurunkan daya dukung (keterampilan) maka masyarakat akan lingkungan terhadap perkembangan rumput mampu mengaktualisasikan seluruh daya laut yang dikembangkan. budi yang terdapat dalam dirinya agar lebih Wilayah perairan pesisir Desa Bonto produktif. Sehingga setiap anggota Jai, berdasarkan hasil pengamatan secara masyarakat akan ikut ambil bagian dalam umum dapat dikatakan cukup memenuhi upaya meningkatkan taraf kehidupannya, syarat untuk pertumbuhan rumput laut, baik secara individual maupun kelompok meskipun berhadapan langsung dengan masyarakatnya secara umum. Laut Flores, sehingga pada bulan Desember Berdasarkan tanggungan anggota sampai dengan Februari ombak cukup keluarga, keberadaan anggota keluarga besar. Hal tersebut terbukti semakin merupakan semua orang-orang yang berkembangnya usaha budi daya rumput terdapat dalam sebuah rumah tangga yang laut di desa tersebut. terdiri atas suami, isteri, dan anak-anaknya, Selain itu kondisi pesisir pantai yang serta ditambah lagi kerabat atau keluarga ada di Desa Bonto Jai masih bersih dan jauh dekat lainnya yang tinggal di dalam satu dari pencemaran sehingga mendukung rumah dan menjadi tanggungan kepala untuk berkembangnya pembudidayaan rumah tangga. Jumlah anggota keluarga rumput laut. Selain itu, lokasi harus sangat berpengaruh terhadap aktivitas sosial terhindar dari angin kencang dan dan ekonomis sebuah keluarga. Karena gelombang besar, karena dapat merusak semakin besar jumlah tanggungan, berarti rumput laut yang dibudidayakan. semakin besar pula pengeluaran. Mengingat makanan rumput laut berasal Pengalaman pembudi daya dalam dari aliran air yang melewatinya, gerakan mengelola usaha rumput laut merupakan air yang cukup harus diperhatikan karena salah satu faktor yang dapat menentukan selain dapat membawa nutrisi juga dapat keberhasilan mereka dalam mengelola mencuci kotoran yang menempel, usahanya. Hal ini terkait dengan banyaknya membantu pengudaraan, dan mencegah fluktuasi suhu air yang besar. pengalaman yang dialami pembudi daya, o sehingga ia dapat melakukan upaya-upaya Suhu yang baik sekitar 20-28 C, atau menerapkan cara/metode budi daya besarnya kecepatan arus antara 20-40 yang lebih baik untuk mendapatkan hasil cm/detik dan kecerahan perairan lebih dari yang lebih menguntungkan. 1 meter di atas permukaan air. Persyaratan tersebut sangat penting diperhatikan, agar rumput laut masih mendapat panetrasi sinar matahari yang sangat berguna untuk sumber energi dalam proses fotosintesis.

108

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

Faktor lain yang harus dengan sesama nalayan rumput laut. dipertimbangkan dalam memilih lokasi Mereka bisa melakukan hal-hal yang benar adalah sebaiknya tidak terlalu jauh dari untuk menyelamatkan kegiatan budi daya tempat tinggal, supaya mudah melakukan mereka. Misalnya pada saat musim hujan pengawasan. Lokasi juga harus ada sarana mereka akan menenggelamkan bentangan jalan untuk pengangkutan bahan, sarana rumput laut mereka dengan cara mengisi air budi daya bibit, tempat penjemuran, dan pada botol-botol pelampungnya. Namun, mudah dalam pemasaran hasil. untuk masalah yang lebih rumit dan pengetahun masih baru mereka memerlukan Sistem Pengetahuan dan Metode Budi penyuluh budi daya rumput laut untuk Daya Rumput Laut membantu mereka akan tetapi sampai saat Dalam teknik budi daya rumput laut ini pemerintah belum menyediakan tenaga ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh kerja penyuluh yang khusus untuk budi pembudi daya, yaitu pemilihan bibit dan daya rumput laut, seperti halnya dengan metode budi daya. Ada lima metode budi penyuluh di bidang pertanian. daya rumput laut yang dikenal, yaitu Seperti halnya dalam penggunaan metode lepas dasar, metode rakit apung, botol plastik sebagai pembantu dalam metode long line, metode jalur dan metode menggantung tali, di samping botol plastik keranjang (kantung) (Direktorat Produksi bekas juga dapat dijadikan penanda untuk Dirjen Perikanan Budidaya, 2006). Menurut wilayah atau areal budi daya rumput laut. Mubarak (1991), Aslan (1998), dan Zatnika Penggunan botol plastik membantu dalam (2009), secara garis besarnya terdapat mengurangi sampah plastik karena beberapa metode budi daya rumput laut, dimanfaatkan para petani rumput laut yaitu metode dasar, metode rakit apung, dan digunakan sebagai tomba, yang terpenting metode long line. adalah botol plastik bekas tersebut tidak Tingkat penguasaan nelayan rumput bocor. laut terhadap teknologi kegiatan budi daya rumput laut yang terbilang cukup lumayan. Sistem Produksi Rumput Laut di Desa Pembudi daya atau petani rumput laut di Bonto Jai Desa Bonto Jai maupun di Kabupaten Kegiatan produksi dalam budi daya Bantaeng menggunakan metode long line rumput laut meliputi meyiapkan areal budi karena dianggap cocok dengan kondisi daya dan modal, penyediaan bibit, membuat biofisik perairan serta biaya konstruksinya bentangan mengikat bibit dan pelampung lebih murah bila dibandingkan dengan pada bentangan, pemasangan bibit, metode lainnya. Metode long line ini perawatan, panen, penjemuran, sortir dan menggunakan tali panjang yang pemasaran. dibentangkan pada kedua ujungnya yang Informasi tentang cara budi daya diberi jangkar dan pelampung besar. Setiap rumput laut merupakan salah satu aspek 25 meter diberi pelampung utama berupa yang sangat penting dalam menghasilkan drum plastik. Metode ini sangat baik produksi rumput laut yang berkulitas. dipakai disemua jenis substrat perairan dan Sebagaimana diketahui bahwa lemahnya hasil produksinya pun tinggi. jaringan komunikasi pembudi daya dengan Kekurangannya adalah rumput laut harus sumber informasi formal seperti dari sering di cek kebersihannya dari kotoran- penyuluh atau Dinas Kementerian Kelautan kotoran yang menempel. dan Perikanan (DKP) setempat disebabkan Demikian pula tanpa mengurangi oleh terbatasnya jumlah penyuluh lapangan. peran pemerintah dalam membantu nelayan Berdasarkan informasi DKP rumput laut untuk mengelolah kegiatan Kabupaten Bantaeng diketahui untuk satu budi daya rumput lautnya, nelayan lebih kecamatan dengan jumlah desa sekitar 5 banyak belajar secara otodidak dan belajar sampai 12 desa, hanya ada satu orang

109

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 penyuluh. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil keterlibatan perempuan sangatlah berperan penelitian diketahui bahwa umumnya besar. pembudi daya mendapatkan informasi cara Dalam proses mengikat pelampung membudidayakan rumput laut dari sesama pada bentangan yang merupakan salah satu pembudi daya. Sebagaian besar petani proses produksi di Desa Bonto Jai terlihat pembudi daya mengetahui cara-cara budi bahwa semua anggota keluarga ikut terlibat daya rumput laut dari petambak lainnya dan dalam proses ini yang biasanya dikerjakan yang lainnya mendapatkan informasi dari secara berkelompok dibawah rumah kelompok dan penyuluh dinas kelautan dan panggung pemilik lahan atau di tempat- perikanan. Hal ini menunjukkan rendahnya tempat lainnya. intensitas kunjungan penyuluh untuk Adanya responden perempuan yang memberikan pengetahuan kepada pembudi terlibat dalam proses mengikat pelampung daya terkait pengelolaan usaha rumput laut. karena didasarkan pada keahlian mereka Selain pemilihan lokasi yang tepat dalam mengikat pelampung pada tali untuk pembudidayaan rumput laut maka bentangan. Dalam hal mengikat bibit keberadaan kualitas bibit juga sangat keterlibatan perempuan justru sangat menentukan kwalitas rumput laut. Bibit dominan. Peran perempuan dalam hal ini dapat diukur dari beberapa indiaktor yaitu sangat sentral. Hampir pada umumnya memiliki kandungan karaginan yang cukup tenaga kerja yang terlibat dalam dan kebersihan hasil rumput laut. Menurut mempersiapkan bibit rumput laut dan Ditjen Budidaya Tahun 2005, Kualitas bibit mengikat bibit rumput laut pada tali yang baik apabila bentuk thallus besar, bentangan yang dihargai sebesar Rp1.500,- memiliki kandungan karaginan diatas 70% (seribu lima ratus rupiah).-perbentangan dan kotoran maksimal 5 %. dilakukan sepenuhnya oleh tenaga kerja Awal mula keberadaan perempuan dan anak anak. Bahkan ada pembudidayaan rumput laut di Desa Bonto persepsi yang mengatakan bahwa Jai dengan cara masing-masing nelayan perempuan lebih teliti, rapih, dan lebih mengkapling lahan dan sebagiannya lagi cepat dibandingkan dengan laki laki yang terpaksa harus membeli lahan yang terlebih ceroboh dalam hal bekerja. dahulu telah dikapling nelayan sebelumnya. Jumlah bentangan adalah banyaknya Sementara, untuk modal penanaman dan jumlah bibit yang diikat pada tali bentangan pembuatan peralatan usaha dan pembibitan yang dikerjakan perempuan pembudi daya budi daya rumput laut masing-masing dari rumput laut. Dimana jumlah bentangan pembudi daya sendiri. sangat ditentukan oleh kemampuan para Jenis bibit yang dikembangkan di perempuan pembudi daya, baik itu dari segi Desa Bonto Jai adalah Eucheuma cottonii. finansial, waktu, maupun dari kemampuan Pada umumnya pembudi daya rumput laut fisik untuk mencapai jumlah bentangan di Desa Bonto Jai memproduksi sendiri yang diikat. Semakin banyak jumlah bibit rumput lautnya yang akan ditanam, bentangan yang diikat, semakin besar kecuali pada saat awal kegiatan rumput tenaga kerja dan tenaga yang digunakan. laut. Pada awal kegiatan budi daya rumput Umumnya pembudi daya yang laut diperoleh dan didatangkan dari terdapat di Desa Bonto Jai memiliki beberapa daerah yang menjadi setral bentangan antara 200 sampai dengan 300 produksi rumput laut di Sulawesi Selatan bentangan bahkan bias lebih. Hal tersebut dan biasanya bibit yang digunakan berumur selain dipengaruhi oleh luas lahan yang kurang lebih 30 hari. Demikian halnya pada dimilikinya juga ada kaitannya dengan proses membuat bentangan biasa dilakukan kegiatan pascapanen. sepenuhnya oleh tenaga kerja perempuan Berdasarkan keterangan diatas, dapat dan anak-anak. Hal ini menggambarkan ditarik kesimpulan bahwa proses kegiatan bahwa pada proses pembuatan bentangan mengikat bibit pada tali bentangan di Desa

110

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh

Bonto Jai didominasi kaum perempuan dan 25m ditempatkan pelampung besar dan anak-anak. Hal ini dapat disimpulkan pada jarak 5 meter 5 meter ditetapkan bahwa kaum perempuan lebih berperan pelampung botol aqua atau sejenisnya pada proses mengikat bibit dan biasa untuk mempermudah pergerakan tanaman dikerjakan secara berkelompok di bawah setiap saat. Metode ini termasuk yang rumah panggung atau pekarangan rumah paling banyak digunakan karena biaya yang disediakan oleh pemilik lahan murah dan dapat diatur luasan area budi (pembudi daya). kegiatan ini biasanya dayanya. dilakukan oleh kaum perempuan bersama Budi daya rumput laut dapat anak-anaknya dalam suasana penuh dikatakan sebagai usaha budi daya yang kekerabatan. sebagian besar pemeliharaannya diserahkan Meskipun kaum perempuan telah oleh alam. Oleh karena itu, kerusakan atau mengambil kedudukan dan peranan yang kegagalan yang terjadi pada budi daya cukup strategis dalam kelangsungan rumput laut sebagian besar disebabkan oleh aktivitas budi daya rumput laut di Desa kekuatan alam yang tidak terduga. Untuk Bonto Jai, hal yang harus mendapatkan menjamin kebersihan budi daya harus perhatian bahwa kapasitas dari pengetahuan dilakukan perawatan selama masa mereka untuk mengikat bibit tidak pertumbuhannya. Apabila ada kerusakan sepenuhnya dapat menunjang akan kualitas patok, ris, dan tali ris utama harus segera hasil budi daya produksi rumput laut. diperbaiki dan perawatan dilakukan baik Kondisi ini disebabkan oleh karena pada ombak besar maupun pada aliran laut pengetahuan mengikat bibit hanya tenang. Kotoran atau sampah yang melekat diperoleh dari pengetahuan lokal pada tanaman harus segera dibersihkan. berdasarkan pengalaman yang dilakukan Menurut Subhan dalam usaha budi selama ini. Berikut penuturan seorang daya rumput laut ini, yang harus informan sebagai berikut; diperhatikan pembudi daya adalah hama „‟...Kita disini Cuma mengikat bibit saja, dan penyakit. Berdasarkan hasil informasi tidak tahu melihat bibit yang layak....hanya bahwa penyakit yang sering muncul adalah berdasarkan pengalaman saja, dan melihat ice-ice sehingga menyebabkan tanaman dari warnanya, apabila terdapat warna tampak memutih. Hal tersebut disebabkan yang sudah kuning kita tidak ikat...... ” terjadinya perubahan lingkungan yang ekstrim dimana arus, suhu, dan kecerahan Fakta ini tentunya akan sehingga memudahkan bakteri hidup. mempengaruhi proses budi daya rumput Organisme pengganggu lainnya yang laut dari segi pertumbuhan maupun kualitas harus diantisipasi pembudi daya tanaman produksi. Menurut Anggadireja (2006) baik rumput laut, adalah seperti bulu babi, ikan- kuantitas maupun kualitas hasil produksi ikan herbivor, binatang laut, dan penyu rumput laut sangat ditentukan dari aktivitas hijau. Salah satu cara untuk mengatasinya pra produksi khususnya pada pengikatan dengan pemagaran di sekeliling tanaman dan pemilihan bibit yang diikatkan pada tali dengan jaring (Aslan, 1998) bentangan dan durasi waktu yang Lama masa pemeliharaan pada diperhitungkan ketika harus umumnya sudah diketahui pembudi daya. membentangkan di area budi daya. Hal ini disebabkan pengalaman sebelumnya Metode budi daya rumput laut yang saat petambak panen lebih awal atau kurang telah umum dikenal di Desa Bonto Jai dari 40 hari hasilnya kurang baik dan adalah menggunakan dengan metode long dikhawatirkan tidak akan dibeli dengan line (tali panjang), digunakan tali panjang harga yang berlaku secara umum. (dapat mencapai 50-100 M). Dimana pada Pengetahuan petambak tentang masa panen kedua ujungnya dikaitkan dengan juga telah disosialisasikan ke petambak pelampung besar dan jangkar. Pada jarak melalui petugas penyuluh. Bahkan saat ini

111

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 petambak akan mendapatkan bantuan standar kadar air yang dianjurkan. apabila dketahui telah menerapkan pola Sebagaimana diungkapkan pembudidaya pemeliharaan diatas 40 hari dan maksimal sebagai berikut “manna kualloi sanggenna 45 hari. tallungallo niballi tonji, situruji ballinna Adapun cara panen dan pascapanen punna niallo patangallo iyareka hasil budi daya rumput laut yang limangallo. Jari apa matu-matunna sallo- seharusnya dilakukan pada penjemuran sallo dialloi” Artinya;“ saya keringkan rumput laut, yaitu 1) proses perontokan cukup tiga hari saja sudah bisa dibeli juga rumput laut dapat dilakukan dengan dan harganya juga sama saja kalau dijemur memotong setiap tali pengikat rumput laut, sampai empat atau lima hari. Jadi untuk apa 2) penjemuran rumput laut dilakukan berlama-lama dikeringka...” sekaligus dengan tali tanpa dirontokkan. Penjelasan pembudi daya ini Setelah hari kedua rumput laut tersebut merupakan penggambaran bahwa dapat dirontokkan dengan jala memotong penerapan sistem agribinis pascapanen tempat mengikat rumput laut tersebut, 3) tidak dipahami oleh pembudid aya dan juga penjemuran harus dilakukan di atas wadah pedagang pengumpul, yang secara tidak penjemuran agar terhindar dari kotoran, 4) langsung mempengaruhi kualitas bahan penjemuran sebaiknya dilakukan selama 3- baku rumput laut yang dibawa ke industri 4 hari pada cuaca cerah, dan 5) hindari pengolahan rumput laut. Sebagaimana rumput laut yang dijemur dari air hujan dikatakan bahwa rumput laut umur 45 hari dengan cara menyiapkan plastik atau terpal adalah rumput laut kualitas terbaik karena dibawah rumput laut yang dijemur. telah mencapai kadar maksimum berupa Kegiatan pascapanen adalah cara kadar karaginan yang dibutuhkan industri pemanenan dan cara pengeringan produksi. pengolahan rumput laut. Kotoran pada Cara pengeringan yang baik apabila rumput laut ini sangat terkait dengan wadah dilakukan sampai lima hari pada kondisi yang digunakan. suhu normal serta dilakukan di tempat atau Berdasarkan hasil analisis diketahui wadah pengeringan. Pengeringan di para- bahwa masih ada pembudi daya yang para dan digantung lebih baik daripada mengeringkan di lantai, aspal atau terpal dijemur di terpal atau di pinggiran jalan. disekitar pinggir pantai atau di badan Karena kotoran lebih mudah bercampur jalanan. Persentase pembudi daya yang dengan rumput laut yang dijemur. menggunakan wadah penjemuran terpal Persentase pembudi daya yang mengetahui atau dijemur dengan menggunakan alas cara pengeringan yang baik (lama tikar seadanya. Hal ini dapat mempengaruhi pengeringan dan wadah pengeringan). kualitas rumput laut kering, khususnya Berdasarkan hasil pengamatan dan dalam hal banyaknya kotoran yang melekat wawancara di lapangan ternyata masih ada pada rumput laut setelah kering. pembudi daya yang kurang mengetahui cara Akhir dari suatu kegiatan produksi pengeringan yang baik. Kurangnya adalah pasar. Untuk produksi rumput laut pengetahuan ini karena pembudi daya pemasaran bukanlah masalah, karena menilai bahwa bila dijemur di terpal akan produk rumput laut merupakan bahan baku lebih mudah untuk dipindah-pindahkan utama dari industri pengolahan untuk sesuai kebutuhan, sedangkan para-para pembuatan obat-obatan, kosmetik, dan membutuhkan tempat yang permanen. berbagai jenis makanan dan minuman. Lama pengeringan juga menjadi Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dilema bagi pembudi daya karena bahwa permintaan akan rumput laut masih berdasarkan pengalaman, harga jual tidak oleh industri olahan belum mampu dipenuhi berpengaruh pada lama pengeringan. sehingga diperkirakan 70% bahan baku Pedagang pengumpul pada umumnya rumput laut masih diimpor. Karena itu membeli rumput laut tanpa menetapkan pembudi daya tidak mengalami kesulitan

112

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh untuk menjual produknya. Permasalahan pengeringan. Ada dua sistem yang belum hanya pada kualitas rumput laut yang berjalan, yaitu subsistem input (bibit) dan dihasilkan. subsistem pascapanen (cara pengeringan) Ukuran keberhasilan usaha rumput dimana masih sebagian besar pembudi daya laut adalah pasar, secara umum dikatakan yang belum menerapkan cara budi daya bahwa permintaan hasil rumput laut selalu yang dianjurkan. tersedia sepanjang tahun. Hasil yang Prospektif Budi Daya Rumput Laut diproduksi pembudi daya umumnya dibeli dalam Meningkatkan Kesejahteraan oleh pedagang pengumpul desa. Sebagian Petani/Nelayan Desa Bonto Jai besar pembudi daya menjual hasilnya ke pedagang pengumpul desa atau memang Peningkatan kesejahteraan pada telah ada pedagang pengumpul langsung ke masyarakat Desa Bonto Jai tampak jelas pembudi daya. Ada beberapa alasan yang semenjak masyarakat beralih mata dikemukakan antara lain; (a) sudah pencaharian pokok dari nelayan penangkap merupakan pembeli tetap; (b) Pembudi ikan menjadi petani rumput laut. Hal ini daya tidak memiliki jaringan dengan tampak dari keadaan perumahan dan aset - perusahaan industri rumput laut (kolektor); aset berharga yang mereka miliki terlihat (c) lebih mudah dan lebih cepat proses dengan kasat mata. Banyak di antara petani penjualannya; dan (d) harga sesuai dengan rumput laut ketika panen bisa menghasilkan kualitas rumput laut yang dihasilkan. minimal satu jutaan rupiah persatu kali Harga jual rumput laut mengalami panen. Bagi yang punya modal besar bisa fluktuasi sepanjang musim. Berfluktuasinya menghasilkan sampai puluhan juta rupiah harga disebabkan oleh beberapa faktor, tergantung dari harga rumput laut antara lain (a).harga rumput laut tergantung perkilogramnya. Hasil panen ini mereka pada nilai dolar, (b) permintaan pasar dunia bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang ada kaitannya dengan jumlah suplai yang lebih tinggi, membeli kendaraan secara keseluruhan. Bila suplai berlebihan bermotor, memperbaiki rumah bahkan bisa harga akan jatuh, (c) kondisi cuaca kurang membeli rumah baru. baik sekitar bulan Oktober sampai bulan Berdasarkan hasil penelitian Yusuf, fFbruari, produksi rumput laut kurang baik, Dkk (T.Th) mengemukakan keuntungan namun permintaan rumput laut tetap kegiatan budi daya rumput laut merupakan meningkat, yang berakibat pada harga jual atribut yang paling sensitif dari dimensi lebih baik. ekonomi, dimana hasil perhitungan Pembudi daya mendapatkan harga diperoleh pendapatan rata-rata responden yang sesuai dengan harga yang berlaku dalam sekali produksi adalah secara umum. Dimana pada saat penelitian Rp8.903.792,00. Hal tersebut berkisar antara Rp7.500 sampai Rp9.800/kg menggambarkan bahwa rata-rata petani kering pada bulan Mei sampai September pembudi daya rumput laut telah memiliki harga bisa mencapai Rp11.000/kg kering. pendapatan yang sudah di atas ketentuan Adapun pembudi daya yang menjual harga UMR (Upah Minimum Regional) sebesar produksi lebih rendah karena produksinya Rp2.250.000,00. sampai Rp2.435.000,00. kurang baik kualitasnya. Harga yang dibeli Kegiatan budi daya rumput laut di adalah Rp4.000 sampai 5000/kg kering. Kabupaten Bantaeng pada umumnya telah Produk yang dijual dalam kondisi basah menjadi mata pencaharian utama ribuan bernilai antara Rp2000 sampai Rp2.300. Rumah Tangga Pertanian (RTP), termasuk Biasanya yang basah dijual untuk bibit. di Desa Bonto Jai pada khususnya sehingga Penerapan sistem agribisnis pada budi daya mampu menyerap banyak tenaga kerja. rumput laut belum sepenuhnya dilakukan Kegiatan budi daya juga sangat baik pembudi daya. Utamanya dalam hal ditinjau dari aspek sosial karena mampu penggunaan bibit unggul dan cara mengurangi pengangguran, meningkatkan

113

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya PENUTUP nelayan rumput laut dan berkontribusi Kesimpulan terhadap PAD walaupun masih kecil nilai nominalnya. Hal yang tatkala pentingnya, Kegiatan budi daya rumput laut di kegiatan budi daya rumput laut mampu Kabupaten Bantaeng tepatnya di Desa diandalkan dalam upaya konservasi sumber Bonto Jai telah digeluti sejak lama dan daya laut tersebut. sampai sekarang ini masih diminati. Dalam Sebagai mata pencahrian utama, perkembangannya, pembudi daya rumput tingkat ketergantungan masyarakat wilayah laut telah menjadi primadona bagi aktivitas pesisir khususnya nelayan rumput laut masyarakat pesisir pantai Kabupaten terhadap kegiatan budi daya rumput laut Bantaeng pada umumnya dan Desa Bonto cukup tinggi. Hal ini di sebabkan relatif Jai pada khususnya. masih kurangnya pekerjaan alternatif di Fenomena ini tertampilkan melalui wilayah pesisir. Selain itu, saat ini kegiatan banyaknya nelayan tangkap yang beralih budi daya rumput laut merupakan mata menjadi petani rumput laut bahkan telah pencaharian yang paling menguntungkan menjadikannya sebagai pekerjaan utama. dan menjadi harapan untuk peningkatan Sementara pekerjaan nelayan maupun pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai petani, hanya merupakan pekerjaan pesisir khususnya nelayan rumput laut di sampingan saja. Hal tersebut sangat masa depan. memungkinkan karena usaha budi daya Budi daya rumput laut juga telah rumput laut tidak terlalu membutuhkan mengubah salah satu aspek sosial-budaya keterampilan khusus dan mudah dilakukan. dan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang Risiko lebih rendah dan dapat diprediksi selama ini terpinggirkan dari kegiatan hasilnya dibandingkan sebagai nelayan. penangkapan ikan yang menjadi mata Usaha budi daya rumput laut dapat pencaharian utama, seperti perempuan, dilakukan sepanjang tahun, artinya anak-anak, dan orang tua. Kini bisa terlibat kehidupan rumah tangga pembudi daya dan mendapatkan manfaat langsung dalam lebih terjamin dibanding sebagai nelayan, kegiatan budi daya rumput laut. Mereka dan ada waktu luang bagi pembudi daya mengerjakan pengikatan bibit rumput laut setelah masa tanam sehingga dapat mencari pada bentangan yang akan ditanam. pekerjaan sambilan seperti mencari ikan Meskipun upah memang terbilang masih untuk konsumsi keluarga. relatif masih kecil namun bagi mereka yang Dalam usaha budi daya rumput laut selama ini tidak berpendapatan, sudah ada beberapa hal yang fokus perhatian, di sangat berarti untuk membantu pemenuhan antaranya kesesuai lahan, pembibitan, kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, sistem teknologi, dan produksi yang mereka juga memungut sisa panen yang meliputi permodalan, pengikatan bibit, banyak tercecer pada saat pemindahan pemeliharaan, penjemuran, dan pemasaran. rumput laut dari perahu ke tempat Satu hal yang sangat menarik dari kegiatan penjemuran, kemudian dijual ke pedagang budi daya rumput laut ini, dengan pengumpul. Waktu mereka terisi dengan keterlibatan kaum wanita yang turut sesuatu yang produktif. Selama mereka mau mengambil bagian sebagai tenaga kerja bekerja tidak ada lagi waktu yang terbuang dalam pengikatan bibit (annyikko bibi) percuma yang sebelumnya hanya diisi sebelum ditanam atau dibenamkan ke dengan duduk-duduk saja tanpa permukaan laut. penghasilan. Budi daya rumput laut mempunyai peluang untuk meningkatkan pendapatan petani di Desa Bonto Jai. Budi daya rumput laut lebih menguntungkan dibanding dengan pendapatan profesi sebelumnya

114

Pemanfaatan Sumber Daya Hati Perairan: …. Nuralam Saleh yakni sebagai nelayan. Petani rumput laut Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi mendapatkan peningkatan pendapatan Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. sekitar dua hingga delapan kali lipat dari Remaja Rosdakarya. pekerjaan sebelumnya. Mubarak H. Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja Saran WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Seiring dengan banyaknya Rumput Laut. Jakarta; Pusat Penelitian masyarakat Bonto Jai yang beralih profesi dan Pengembangan Pertanian. dari nelayan ke petani penggarap menjadi Puslitbangkan. IDRC-INFIS. pembudi daya rumput laut, yang Nana Syaodih Sukmadinata (2009). Metode dikhawatirkan tidak lagi memperhitungkan Penelitian Pendidikan. Bandung: azas kesesuain lahan dan daya dukung Remaja Rosdakarya lingkungan sehingga apabila hal tersebut Vredenbregt, J. 1983. Metode Dan Teknik berlanjut dapat mengakibatkan terjadinya Penelitian Masyarakat. Cetakan V. degradasi lingkungan dan dapat Jakarta: Gramedia. menurunkan produktivitas ataupun kualitas rumput laut yang dihasilkan. Karena itu Zatnika. A dan Angkasa, WI. 1994. perlu disusun kriteria persyaratan lokasi Teknologi Budidaya Rumput laut. budi daya rumput laut pada kawasan Makalah pada Seminar Pekan perairan terbuka. Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Perlu adanya peraturan daerah yang Teknologi Jakarta. Jakarta. mengatur zonasi, tata letak unit budi daya Yusuf, NR, Dkk. T.Th. Keberlanjutan dan harga dasar rumput laut, serta pihak Budidaya Rumput Laut Di Kecamatan pemerintah untuk mengadakan bibit Binamu, Kabupaten Jeneponto. bermutu dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan produktivitas rumput laut di Desa Bonto Jai.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadirejen, T.J,.A.Zatnika, H. Purwoto, S. Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Aslan, LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Dahuri 2004, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2001, Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT. Pradnya Paramita. Daniel, Moehar Ir. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Fachry, Mardiana, E, 2009. Analisis Profil Keluarga Pembudidaya Rumput laut Ditinjau Dari Aspek Peran Gender di Kabupaten Jeneponto. Proceding. Konas Ambon.

115

NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN DI MUSEUM LA GALIGO LA GALIGO MANUSCRIPT: THE CULTURAL IDENTITY OF SOUTH SULAWESI IN THE LA GALIGO MUSEUM

Andini Perdana Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan Jalan Ujung Pandang No. 1 Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, 90111 Telepon: (0411) 3621701 – 3631117, Faksimili : (0411) 3621702 Pos-el : [email protected]

ABSTRACT The bestowal of the name La Galigo upon the Provincial State Museum of South Sulawesi is based on the La Galigo manuscript, which is famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, and Massenrempulu regions. For them, La Galigo is their unifier. As part of its collection, the La Galigo Museum features a La Galigo manuscript, which is registered as a UNESCO Memory of the World. The manuscript is currently on display in the permanent exhibition room of the La Galigo museum; however, the representation of the cultural identity of South Sulawesi has been not reflected in the exhibit. This has encouraged the author to identify the significance of the La Galigo manuscript, analyze the concept of the current exhibits of the La Galigo Museum, and recommend the addition of the La Galigo storyline to the museum. The research employed a case study method, with a museology approach, especially examining new museums, cultural identity, and exhibits. The conclusion in this research was the lack of information in the La Galigo exhibition due to the lack of research of the significance of the La Galigo for various ethnic groups, the unity between them, the collective memory of the society, and the relevance of the La Galigo story to the present. The development of the La Galigo storyline, which not only describes the La Galigo manuscript itself, but links it to other collections and represents the cultural identity of South Sulawesi, is needed.

Keywords : La Galigo, museum, the cultural identity

ABSTRAK Pemberian nama La Galigo pada Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan didasari atas makna La Galigo yang dikenal di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar dan Massenrempulu. La Galigo merupakan pemersatu bagi mereka. Museum La Galigo memiliki koleksi naskah La Galigo yang teregistrasi dalam Memory of the World UNESCO. Naskah tersebut terdisplay di ruang pameran tetap, namun representasi identitas budaya Sulawesi Selatan belum tercermin dalam ekshibisi tersebut. Belum direpresentasikan itulah yang mendorong penulis untuk mengidentifikasi nilai penting makna La Galigo, menganalisis konsep ekshibisi Museum La Galigo saat ini, dan merekomendasikan storyline ekshibisi museum. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan museology, khususnya teori new museum, identitas budaya, dan ekshibisi. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa minimnya informasi dalam ekshibisi naskah La Galigo dikarenakan kurangnya penggalian nilai penting La Galigo bagi berbagai suku bangsa, pemersatu di antara mereka, memori kolektif masyarakat, dan relevansi cerita itu dengan saat ini. Perbaikan storyline cerita La Galigo yang bukan hanya mendeskripsikan naskah La Galigo itu sendiri, melainkan mengaitkannya dengan koleksi lain dan merepresentasikan identitas budaya Sulawesi Selatan diperlukan.

Kata kunci : La Galigo, museum, identitas budaya

116

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

PENDAHULUAN diperkirakan ditulis pada awal abad 19. La Galigo merupakan tradisi lisan Naskah terinventarisasi dengan nomor masyarakat Sulawesi Selatan yang 2610/07.114, kondisi naskah relatif diturunkan dari generasi ke generasi bagus namun sangat memerlukan sebelum dikenalnya aksara. Cerita perawatan.

La Galigo kemudian dituliskan oleh suku 2. Naskah La Galigo di Perpustakaan Bugis (Ideanto, 2005: 93) dengan maksud Universitas Leiden di Leiden, Belanda, untuk mengabadikan cerita tersebut dari dengan judul ”La Galigo”, terdiri dari kepunahan. Cerita tersebut disalin dengan 12 episode, 2851 halaman yang menggunakan aksara Bugis kuno (huruf menjadikannya sebagai naskah La lontarak) yang ditulis di atas daun lontar Galigo terpanjang. Naskah (Ideanto, 2005: 93). Meskipun La Galigo terinventarisasi dengan nomor NBG- dituliskan, namun fungsinya tetap untuk Boeg 188, ditulis pada pertengahan diekspresikan secara lisan sampai saat ini, abad ke-19 dan disalin oleh Colliq sehingga dikenal oleh berbagai suku bangsa Pujie, Ratu Pancana (sebuah kerajaan di Sulawesi Selatan (Rahman, 2003: xxi-i ). Bugis di Sulawesi Selatan). La Galigo merupakan rujukan bagi Kedua naskah La Galigo tersebut telah suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja dipublikasikan dalam Bahasa Indonesia dan di Sulawesi Selatan untuk merasakan Bugis pada tahun 1995 dan 2000. kesatuan diantara mereka (Mattulada, 2003: La Galigo disusun dengan puisi indah 447). Cerita La Galigo yang tersebar di yang mengandung narasi petualangan, Sulawesi Selatan didominasi oleh tokoh pertempuran, dan cerita imaginatif dalam bernama Sawerigading, manusia keturunan idiom bahasa Bugis. Meskipun di Sulawesi Dewa sekaligus ayah dari I La Galigo. Selatan terdapat manuskrip La Galigo yang Sawerigading dianggap sebagai peletak menjadi koleksi pribadi, namun pemiliknya dasar munculnya kerajaan di Sulawesi kurang memahami arti penting naskah Selatan sehingga selain dilisankan, Ia juga tersebut dan beranggapan naskah tersebut dikaitkan dengan simbol-simbol mitologis sakral dan magis. Menurut mereka di dalam setiap kerajaan (Enre, 1983: 12). Oleh naskah tersebut bersemayam para roh tokoh karenanya Sawerigading dianggap sebagai suci yang terdapat dalam cerita La Galigo, tokoh pemersatu di Sulawesi Selatan baik buruknya kehidupan manusia (Sakka, 2008: 29). tergantung bagaimana sang pemilik Pada tahun 2011, dua naskah La memperlakukan-nya (Rahman, 1998: 397- Galigo terdaftar dalam Memory of the 8). Sudah saatnya mereka mengetahui World (MoW) register yang dinominasikan tentang arti penting makna La Galigo dan oleh Indonesia (diwakilkan oleh Mukhlis upaya perawatannya. PaEni) dan Belanda (diwakilkan oleh Selain itu, pengetahuan masyarakat Rogert Tol). Memory of the world Sulawesi Selatan terhadap La Galigo merupakan program dari United Nations semakin berkurang. Agar diingat sebagai Educational Scientific and Cultural identitas budaya masyarakat Bugis Organizations (UNESCO) sejak tahun khususnya dan Sulawesi Selatan umumnya, 1992. Program ini bertujuan untuk La Galigo bahkan dijadikan sebagai nama melestarikan dan mengkomunikasikan jalan, universitas, dan museum. Museum warisan dokumenter di berbagai belahan Negeri Provinsi Sulawesi Selatan, La dunia. Kedua naskah tersebut adalah sbb : Galigo didirikan pada tanggal 1 Mei 1970 1. Naskah La Galigo di Museum La oleh pemerintah (Depdikbud, 1986: 26-7). Galigo di Makassar, Indonesia, dengan Museum ini menyimpan salah satu naskah judul “Sawerigading dan La Galigo ke La Galigo. Senrijawa”, terdiri dari 217 halaman, La Galigo merupakan identitas tidak berangka tahun tetapi bersama dan intangible heritage yang dapat

117

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 digolongkan sebagai tradisi lisan atau cerita Sulawesi Selatan dan belum maksimalnya rakyat yang menjadi memori kolektif cara penyampaian informasi melalui masyarakat Sulawesi Selatan. Peran ekshibisi di MLG seperti yang dijelaskan di Museum La Galigo (MLG) sebagai atas, maka tulisan ini difokuskan tentang museum Provinsi Sulawesi Selatan untuk beberapa makna La Galigo yang dapat menyajikan memori kolektif dan identitas dikomunikasikan oleh MLG melalui masyarakat Sulawesi Selatan. pameran tetapnya. Tulisan ini tidak MLG telah memiliki koleksi yang membahas tentang bagaimana cara merefleksikan identitas dan memori kolektif mengkomunikasikan makna tersebut, masyarakat Sulawesi Selatan. ICOM code karena memerlukan kajian tersendiri. ethics for museum juga menyatakan bahwa koleksi museum harus merefleksikan METODE warisan budaya dan alam komunitas yang Komunikasi di MLG berkisar tentang dilayaninya. Koleksi tersebut dapat informasi apa yang ingin disampaikan dan memperkuat identitas nasional, regional, bagaimana cara menyampaikannya. lokal, etnik, religi, politik (ICOM, 2006: 9), Informasi yang ingin disampaikan adalah dan memiliki nilai bagi memori kolektif identitas budaya Sulawesi Selatan masyarakat Travail, 1984 :3, dalam sedangkan cara menyampaikannya dengan Hauenschild, 1988: 8). Koleksi tersebut menyelenggarakan ekshibisi di museum. adalah naskah La Galigo dan berbagai jenis Akan tetapi, terdapat perbedaan antara koleksi yang berhubungan dengan cerita La kondisi ekshibisi di MLG saat ini dengan Galigo seperti berbagai koleksi perahu dan teori museum, baik new museum, identitas, miniaturnya, berbagai miniatur rumah adat, maupun ekshibisi. berbagai teknologi mata pencaharian, Penelitian ini menggunakan metode berbagai naskah lontarak, dan berbagai studi kasus, dengan pendekatan bersifat benda kerajaan. Koleksi-koleksi tersebut filosofis dalam museology. Sebuah merupakan living heritage yang menjadi pendekatan yang menyatakan bahwa memori kolektif masyarakat Sulawesi museum harus lebih berperan dalam Selatan sampai saat ini. masyarakat. Penerapan pendekatan ini Akan tetapi, ekshibisi koleksi La berpengaruh pada ekshibisi di museum, Galigo belum dinarasikan dan belum karena ekshibisi merupakan proses disesuaikan dengan living heritage dan komunikasi untuk menyampaikan makna kondisi masyarakat masa kini. Bahkan pesan dari museum kepada pengunjungnya beberapa koleksi tersebut belum memiliki (Magetsari, 2009: 2-5). informasi, sehingga jelas bahwa masalah Pendekatan filosofis ini ditekankan MLG dalam menyajikan informasi La pada proses komunikasi, yaitu makna apa Galigo terletak pada proses komunikasi yang akan disampaikan. Pendekatan pada melalui ekshibisi di ruang pameran tulisan ini akan memakai konsep new tetapnya. Eilean Hooper-Greenhill museum, identitas, dan memori kolektif menyatakan bahwa selain ekshibisi, untuk mendeskripsikan data penelitian. komunikasi di museum juga dapat Tahapan penelitian terdiri dari empat tahap, dilakukan melalui edukasi yaitu dengan yaitu penentuan permasalahan penelitian, menyelenggarakan program publik yang pengumpulan data, analisis data, dan berhubungan dengan ekshibisi. Komunikasi pemberian kesimpulan. sendiri merupakan salahsatu fungsi museum, selain preservasi dan penelitian PEMBAHASAN (Van Mensch, 2003, dalam Magetsari, 2008: 13). Konsep Identitas di Museum Mengetahui arti penting La Galigo Secara etimologis, kata identitas sebagai identitas budaya masyarakat berasal dari kata identity yang berarti ciri-

118

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat Ekshibisi identitas di museum adalah pada seseorang atau sesuatu yang sebuah konsep yang kompleks karena membedakannya dengan yang lain identitas dapat dilihat dari perspektif (Liliweri, 2002: 69). Definisi lain psikologi, budaya, dan politik yang dinyatakan oleh Gary Edson, bahwa signifikan untuk individu, budaya, etnik, identitas adalah pembeda karakter setiap dan negara. Secara psikologis, identitas individu dengan individu lainnya. Identitas meliputi pemahaman pribadi, penghargaan, bersifat psikologis yang terdiri dari dan pemberdayaan bagi individu; secara persepsi, definisi, dan proyeksi diri dalam budaya, identitas memberikan pembedaan hubungannya dengan yang lain. Sementara dan terkadang tendensi terhadap perasaan dalam konteks keberadaan, identitas superioritas pada etnik tertentu; secara memunculkan keberagaman budaya atau politik, identitas dapat menciptakan rasa pluralitas (Edson, 2005: 124-5). Senada patriotisme dan kebanggaan nasional dengan definisi tersebut Corsane (Edson, 2005: 126). menyatakan bahwa representasi identitas Salah satu cara untuk memberikan masyarakat di museum selalu berkaitan pemahaman kepada pengunjung akan dengan gambaran self and other. Keduanya identitasnya adalah melalui memori signifikan untuk mengkonstruksi individu, kolektif. Penyajian identitas melalui komunitas, nasional, dan internasional memori kolektif tersebut selalu (Corsane, 2005: 9). Salah satu bentuk menimbulkan pertanyaan mengenai identitas adalah identitas budaya (Liliweri, identitas siapakah yang akan didengarkan, 2007: 95). bagaimana menyajikan identitas yang Identitas budaya bukanlah sesuatu beragam (Corsane, 2005: 9), identitas yang statis, sehingga diproduksi dan siapakah yang akan disajikan, dilestarikan, direproduksi dalam tingkah laku dan diinformasikan oleh museum (Edson, keseharian; melalui edukasi; media; 2005: 124). museum dan sektor budaya; seni; serta Pertanyaan tersebut dijawab dengan sejarah dan literatur (Weedon, 2004: 155). pemilihan identitas budaya Sulawesi Bahkan bagi negara berkembang, identitas Selatan yang menjadi memori kolektif dan budaya adalah sesuatu yang dibutuhkan wujud budaya masyarakat Sulawesi (setelah pemenuhan makanan dan tempat Selatan. Salah satu identitas budaya tersebut tinggal) dan museum memiliki tanggung adalah La Galigo yang masih terdapat jawab untuk melayani komunitas dengan dalam keseharian masyarakat Sulawesi identitas budayanya (Roman, 1992: 31). Selatan. La Galigo merupakan tradisi lisan Pada umumnya tradisi dipelajari dalam (intangible) yang didukung oleh keluarga, media, dan sekolah. Sementara kebudayaan materi (tangible) hampir di museum membantu untuk menciptakan dan seluruh wilayah Sulawesi Selatan. menunjang narasi tentang siapa diri mereka Ekshibisi Museum La Galigo dan dari mana mereka berasal. Hal ini dikarenakan tradisi dan sejarah tidak hanya Pada awalnya MLG bernama Celebes dapat dipelajari melalui buku sejarah, tetapi Museum yang didirikan pada tahun 1938 juga melalui museum (Weedon, 2004: 25). oleh pemerintah Nederlands Indie (Hindia Pada penelitian ini, identitas adalah Belanda) di Kota Makassar sebagai ibukota perbedaan dan persamaan, sehingga jika Gouvermenent Celebes Onderhoorighden perbedaan muncul akan terjadi multikultur (Pemerintahan Sulawesi dan daerah pada identitas tersebut yang menuntut taklukannya). Pada masa pendudukan adanya persamaan atau benang merah. Jepang kegiatan Celebes Museum terhenti. Identitas merupakan sesuatu yang dapat Setelah pengakuan kedaulatan, kalangan berubah tergantung dilihat dari sudut budayawan merintis kembali pendirian pandangnya. sebuah museum dan terealisasi pada tahun

119

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

1966 meskipun belum resmi. Museum ini Kompleks Benteng Rotterdam, jl Ujung baru pada tahap persiapan dan Pandang no. 1, Makassar, Sulawesi Selatan. pengumpulan koleksi dari budayawan. Pada Benteng Rotterdam merupakan salah satu tanggal 1 Mei 1970 museum ini dinyatakan benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo berdiri secara resmi dengan Surat yang pada masa pemerintahan Belanda Keputusan Gubernur Kepala Daerah dijadikan sebagai tempat tinggal dan pusat Tingkat I Sulawesi Selatan No.182/V/1970 administrasi. Dalam benteng ini terdapat 15 dengan nama MLG. gedung berarsitektur kolonial. Pemberian nama La Galigo pada MLG menyelenggarakan tiga jenis museum ini didasari pada suatu pemikiran eskhibisi, yaitu pameran tetap, temporer, dan pertimbangan atas makna yang dan keliling. Ruang pameran tetap terdapat terkandung di dalamnya. Cerita yang di gedung nomor 2 (sebelah utara) dan terkandung dalam La Galigo dikenal di gedung no.10 (terletak di sebelah selatan) di daerah Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, dalam Kompleks Benteng Rotterdam. Massenrempulu, Sulawesi Tenggara, dan La Galigo sebagai Identitas Budaya Sulawesi Tengah. La Galigo juga dianggap Sulawesi Selatan sebagai warisan dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, sehingga Seperti yang telah dijelaskan dijadikan sebagai nama sebuah museum. I sebelumnya bahwa identitas merupakan La Galigo sendiri merupakan: nama sesuatu yang cair dan berubah merespon seorang putera dari pernikahan kondisi sosial saat ini. Sejalan dengan itu, Sawerigading Opunna Ware dengan puteri memori kolektif juga bersifat dinamis yang We Cudai Daeng ri Sompa. Setelah dewasa, tergantung pada kondisi sosial. Memori La Galigo dinobatkan menjadi Raja di kolektif tidak hanya terbatas pada masa lalu Kerajaan Luwu pada abad ke-14. La Galigo yang dibagi bersama, melainkan juga sama sebuah karya sastra klasik dalam representasi dari masa lalu yang bentuk naskah tertulis Bahasa Bugis, yang diwujudkan dalam berbagai praktek dikenal dengan nama Naskah I La Galigo. budaya, khususnya commemorative simbol. Fungsi naskah La Galigo dalam masyarakat Oleh karena itu, pemilihan identitas Sulawesi Selatan adalah: budaya Sulawesi Selatan juga haruslah 1. Penawar keresahan menghadapi merupakan memori kolektif yang berupa ancaman penyakit, bencana alam, dan sistem budaya yang terlihat dari prilaku kematian serta sebagai pelindung (sistem sosial) dan hasil kebudayaan fisik terhadap ancaman kebahagiaan hidup. manusia (commemorative symbol). Identitas 2. Pendorong terciptanya integritas sosial budaya yang dipilih pada penelitian ini dan pranata sosial budaya. adalah La Galigo tersebut diturunkan 3. Penggugah emosi dan imajinasi serta melalui prilaku dan hasil budayanya terlihat pembina kompetensi dan apresiasi pada kehidupan sehari-hari. sastra di kalangan masyarakat. La Galigo dipilih sebagai identitas budaya Sulawesi Selatan karena La Galigo Pada tanggal 28 Mei 1979, museum ini merupakan rujukan bagi suku Bugis, resmi menjadi MLG Provinsi Sulawesi Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan yang merupakan Unit Pelaksana Selatan untuk merasakan kesatuan diantara Teknis di bidang Permuseuman mereka (Mattulada, 2003: 447). La Galigo (Depdikbud, 1986: 26-9). Berdasarkan sebagai perekat suku bangsa di Sulawesi Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan dikarenakan lima alasan. Selatan Nomor 166 tanggal 28 Juni 2001, 1. I La Galigo adalah anak seorang MLG berubah nama menjadi Unit manusia keturunan Dewa bernama Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) MLG Sawerigading. Dalam berbagai cerita La Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Galigo, Sawerigading menjadi tokoh Sulawesi Selatan. MLG ini terletak di

120

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

utama dan menjadi perekat atau naskah La Galigo yang dipandang penghubung suku bangsa di Sulawesi sebagai rekaman nilai-nilai luhur dan Selatan (Sakka, 2008: 29). Cerita pedoman ideal dalam masyarakat. Bagi tentang Sawerigading tidak hanya masyarakat Sulawesi Selatan yang tidak dikenal di suku Bugis, melainkan di memiliki alat perekam tulisan, maka semua suku di Sulawesi Selatan cerita rakyat Sawerigading tetap berada (Depdikbud, 1986: 25). dalam kenyataan tradisi lisan yang 2. Di beberapa di daerah di Sulawesi dipelihara dari generasi ke generasi Selatan, Sawerigading memiliki simbol (Mattulada, 2003: 437-438). Implikasi mitologis berupa kebudayaan materi terhadap nilai-nilai yang terkandung yang bersifat sakral. Dalam tradisi lisan dalam La Galigo terlihat pada prilaku La Galigo, terdapat tokoh Sawerigading masyarakat Sulawesi Selatan. yang dianggap sebagai pelaut ulung, 5. Naskah La Galigo dianggap sebagai yang pelayarannya sampai ke negeri sesuatu yang disakralkan dan dipercayai Cina. Dalam pengembaraannya tersebut, dapat menyembuhkan penyakit, Ia digambarkan singgah di suatu tempat membuat kebahagiaan dalam hidup, dan yang memunculkan cerita-cerita yang mencegah bencana alam (Depdikbud, berkaitan dengannya. Kehadirannya 1986: 26). Hal ini terlihat pada naskah- tersebut selalu dikaitkan dengan asal naskah tempat menuliskan La Galigo usul raja setempat dan berdirinya daerah dianggap sebagai benda yang tersebut, bahkan di daerah tersebut mempunyai kekuatan magis. Di selalu terdapat benda-benda yang dalamnya dianggap bersemayam para berhubungan dengan Sawerigading. roh tokoh suci yang terdapat dalam Contohnya di dekat Malili, terdapat cerita La Galigo, baik buruknya Gunung Belah (bulupulo) yang terbelah kehidupan manusia adalah tergantung akibat tertimpa pohon Welenreng yang bagamana manusia memperlakukannya ditebang oleh Sawerigading untuk (Rahman, 1998: 397-8). dijadikan perahu; di Cerekang Penjelasan La Galigo sebagai memori

3. Salah satu alasan La Galigo merupakan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial Memory of the World karena naskahnya dikarenakan tiga hal. Pertama; memori diperkirakan dua kali lebih panjang kolektif ada dikarenakan hubungan yang dibandingkan naskah mahabarata dan dibagi bersama dengan yang lainnya, Ramayana. Naskahnya tersebar di seperti bahasa, simbol, peristiwa, serta beberapa negara, yaitu Indonesia konteks budaya dan konteks sosial. Kedua, (Jakarta dan makassar), Belanda memori kolektif karena diturunkan dari (Leiden), United Kingdom (London dan generasi ke generasi, sehingga memori Manchester), Jerman (Berlin), dan harus diartikulasikan. Ketiga; memori Amerika Serikat (Washington DC) baik kolektif tidak terbentuk dalam kondisi sebagai koleksi pribadi maupun publik. sosial yang statis. Selain itu, La Galigo beberapa kali dipentaskan. Analisis Konsep Ekshibisi Museum 4. La Galigo berisi tentang peraturan La Galigo normatif yang berisi tentang etik, Analisis dilakukan terhadap konsep tingkah laku (PaEni dan Tol, 2010: 6), ekshibisi terkait La Galigo sebagai identitas dan tata cara kehidupan sehari-hari budaya Sulawesi Selatan di ruang pameran (peristiwa kelahiran, perkawinan, tetap MLG. Beberapa permasalahan kematian, dll). Penyebaran legenda La ekshibisi yang ditemukan adalah sebagai Galigo atau Sawerigading terjadi berikut : melalui tradisi lisan. Tradisi lisan 1. Subjek MLG adalah koleksi museum tersebut kemudian direkam dalam yang disajikan baik di ruang pameran

121

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tetap maupun di ruang pameran dengan koleksi alat batu (maros point, temporer. Koleksi merupakan bagian kapak penetak, dll), fosil (kerang, kayu, terpenting di museum ini, seperti yang vertebrata), perhiasan (kalung dan terlihat pada misi, tujuan, kebijakan, dan gelang manik), kapak upacara dari program di museum. Sementara itu, perunggu, bekal kubur masa megalitik, pengunjung atau masyarakat belum miniatur rumah adat Mamasa, dan mendapatkan prioritas. Koleksi tersebut miniatur erong. Ruang keempat adalah terdapat di ruang pamer sebanyak 60 gudang. Ruang kelima masih merupakan persen dan di ruang atau tempat ruang arkeologi, disajikan kebudayaan penyimpanan sebanyak 40 persen. materi dari masa Hindu dan Budha Prioritas terhadap koleksi juga tercermin (klasik), seperti replika arca Budha melalui pendekatan ekshibisinya; Sempaga, arca garuda, dewa Wisnu, 2. Pendekatan ekshibisi MLG adalah miniatur Candi Prambanan, miniatur kronologi, taksonomik, dan tematik. Candi Borobudur, bentuk-bentuk nisan, Konsep ekshibisi kronologi dan mata uang. Ruang keenam diaplikasikan dengan menyajikan koleksi merupakan ruang etnografi. Ruang berdasarkan kerangka waktu yang ketujuh merupakan ruang Kerajaan dimulai dari masa Prasejarah, Hindu Sulawesi Selatan dan pahlawan disajikan Budha, Islam, dan setelah kemerdekaan. koleksi peninggalan kerajaan Palili Konsep ekshibisi taksonomi (kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi diaplikasikan dengan menyajikan koleksi Selatan, seperti Kerajaan Sawitto, berdasarkan sepuluh jenis koleksi, yaitu Kerajaan Mandar, Kerajaan Tana koleksi numismatik di ruang Toraja), perabot kerajaan, dan foto-foto numismatik, koleksi historika di ruang pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan. sejarah, Kerajaan Sulawesi Selatan dan Ruang kedelapan merupakan ruang pahlawan. Konsep ekshibisi tematik kerajaan Luwu disajikan benda-benda diaplikasikan di ruang sejarah yang melambangkan kebesaran kerajaan kebudayaan dan lintas peradaban, Luwu termasuk naskah La Galigo. budaya pedalaman perkampungan, Ruang kesembilan merupakan ruang budaya pedalaman agraris, dan budaya kerajaan Bone disajikan benda-benda pesisir. Ketiga pendekatan ini dapat yang melambangkan kebesaran kerajaan dilihat pada gedung nomor 2 dan gedung Bone. Ruang kesepuluh merupakan nomor 10. ruang Kerajaan Gowa, disajikan benda- Gedung nomor 2 terdiri dari dua lantai benda yang melambangkan kebesaran dan sebelas ruang. Pada saat memasuki kerajaan Gowa. Ruang kesebelas gedung ini, pengunjung dapat melihat 2 merupakan merupakan ruang keramik (dua) naskah La Galigo, dengan asing, disajikan dengan koleksi keramik informasi yang minim. Ruang pertama asing dari Cina, Jepang, , Eropa, merupakan ruang sejarah kebudayaan dan Thailand, serta peta lokasi dan lintas peradaban yang disajikan penemuan keramik asing di Sulawesi dengan koleksi maket Benteng Selatan. Rotterdam,benda-benda/bahan bangunan Gedung nomor 10 terdiri dari dua lantai benteng, peta lokasi benteng Kerajaan dan tujuh ruang. Ruang pertama Gowa, dan foto-foto gedung Benteng merupakan ruang pengenalan dan lobby Rotterdam. Ruang kedua dan ketiga museum. Ruang kedua merupakan ruang adalah ruang prasejarah, mulai dari masa sejarah kebudayaan dan lintas peradaban paleolitik sampai neolitik yang disajikan yang memamerkan tentang kebudayaan dengan diorama kehidupan masa manusia. Ruang ketiga yaitu budaya prasejarah sampai masa tradisi pemujaan pedalaman perkampungan yang terhadap nenek moyang yang dilengkapi memerkan tentang penempaan besi dan

122

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

tenun tradisional yang disajikan koleksi yang replikanya juga dipamerkan di tenun tradisional dari Sulawesi Selatan, museum ini, sehingga untuk mengisi sarung sutra, alat pembuatan benang, kekosongan tinggalan masa klasik, MLG tombak. Ruang keempat yaitu ruang menyajikan arca dan miniatur candi yang budaya pedalaman agraris yang berasal dari luar Sulawesi Selatan. memamerkan tentang peralatan Koleksi dari luar Sulawesi Selatan dapat pertanian, teknologi tradisional dijadikan sebagai pembanding, namun pembuatan minyak kelapa, gula merah, tidak dijadikan sebagai materi inti sagu, gerabah, tombak, dan emas. Ruang ekshibisi; kelima adalah ruang budaya pesisir yang 5. Belum dikomunikasikannya cerita La memerkan alat-alat penangkap ikan di Galigo. Padahal hampir keseluruhan Sulawesi Selatan, dan berbagai jenis koleksi dari berbagai kerajaan dan perahu. kehidupan masyarakat terkait dengan Ekshibisi di ruang pamer gedung nomor cerita La Galigo. Bahkan naskah La 2 belum menunjukkan kronologi. Hal ini Galigo tidak dijadikan sebagai koleksi terlihat dari alur cerita kronologisnya, masterpiece. MLG memiliki enam yaitu koleksi masa prasejarah dan masa koleksi masterpiece, yaitu salokoa, klasik, yang dilanjutkan dengan koleksi phallus, lontara meong palo’E, songko mata uang, koleksi keramik asing, pamiring ulaweng, dan perahu phinisi. koleksi ruang kerajaan dan pahlawan Naskah La Galigo saat ini dapat dilihat Sulawesi Selatan. Sementara itu, pada lobby gedung 2, yang belum ekshibisi di ruang pamer gedung 10 ternarasikan dengan baik; menunjukkan bahwa pemaknaan tentang 6. Informasi dan koleksi yang disajikan teknologi tradisional belum dikaitkan dalam ekshibisi yang lebih cenderung dengan relevansi dengan teknologi saat pada suku bangsa atau kerajaan tertentu. ini. Padahal beberapa teknologi Sementara suku bangsa dan kerajaan tradisional seperti pembuatan minyak kecil belum atau hanya sedikit kelapa, sagu dan tenun; teknologi direpresentasikan. Contohnya di ruang penangkapan ikan; teknologi pembuatan Kerajaan Sulawesi Selatan, ekshibisinya logam masih dikerjakan oleh masyarakat difokuskan pada kerajaan besar, yaitu Sulawesi Selatan saat ini. Kerajaan Luwu, Sawitto, Gowa, dan 3. Informasi (narasi) ekshibisi yang Bone sedangkan kerajaan kecil belum dijelaskan pada poin 2 di atas belum banyak direpresentasikan. Contoh dikaitkan dengan masa kini; lainnya adalah ekshibisi di ruang tradisi 4. Baik di ruang pamer gedung 2 maupun perkawinan yang difokuskan pada gedung 10, beberapa koleksi tidak pakaian adat dan proses peralatan berasal dari kebudayaan Sulawesi upacara perkawinan Suku Bugis. Selatan. Contohnya display koleksi arca Padahal terdapat suku lain di Sulawesi Garuda, arca dewa Wisnu dan beberapa Selatan, yaitu suku Bentong, Duri, arca perwujudan lainnya; miniatur Candi Luwu, Makassar, Mandar, Selayar, Prambanan dan Candi Borobudur; serta Toala, Toraja, dan Towala (M. Junus mata uang Ma dan uang Gobog dari Melalatoa, 1995), hanya sedikit atau Jawa Timur, serta uang koin dan kertas tidak sama sekali direpresentasikan. dari Eropa. Berbeda dengan tinggalan Ekshibisi ini nampaknya belum banyak masa Hindu-Budha di Pulau Jawa, perubahan dari ekshibisi sebelumnya tinggalan Hindu-Budha di Sulawesi yang dinyatakan oleh Paul Michael Selatan sangatlah minim ditemukan. Taylor ketika mengunjungi MLG pada Peninggalan berupa arca yang ditemukan tahun 1987, yaitu: adalah arca perunggu Budha (arca La Galigo provincial museum sempaga) di dekat muara Sungai Karama emphasizes South Sulawesi’s

123

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

maritime culture drawing on museum masih dapat digunakan. Pendekatan buildings architecture and history as a kronologi ini disajikan dengan tema coastal fort. This also has the effect of dan subtema, sehingga informasi lebih emphasizing the predominant local banyak diberikan dibandingkan objek ethnic group, the traditionally tanpa konteks. Pendekatan ekshibisi maritime Bugis. In fact, despite large- MLG dapat menggunakan pendekatan scale foreign tourism to the Toraja areas of the province, the Toraja are kronologi yang disampaikan secara virtually unpresented at La Galigo tematik, misalnya museum museums (Taylor, 1994: 80). menceritakan tentang tradisi lisan kedatangan Tomanurung atau Taylor menyatakan bahwa MLG pada Sawerigading yang menjadi tokoh tahun 1994, menceritakan tentang utama dalam cerita La Galigo. kebudayaan maritim Bugis, sementara Kronologi waktu dalam cerita suku Toraja belum direpresentasikan. La Galigo dapat dibagi menjadi Adapun rekomendasi pemecahan beberapa tema, yaitu tema kehidupan masalah bagi MLG sesuai dengan konsep masyarakat Sulawesi Selatan sebelum new museum dalam museologi. kedatangan Tomanurung, kedatangan 1. Subjek pada konsep new museum Tomanurung, munculnya kerajaan- bukan koleksi yang ditempatkan di kerajaan, dan kehidupan masyarakat museum melainkan complex reality saat ini. dari masyarakat. Complex reality 3. Relevansi pemaknaan koleksi museum dalam masyarakat Sulawesi Selatan untuk masa kini. Salah satu aspek yang adalah nilai-nilai budaya masa lalu ditekankan dalan new museum adalah yang masih digunakan sampai saat ini. relevansi museum dengan masyarakat, Nilai-nilai tersebut merupakan cerita agar pengunjung (masyarakat) La Galigo sebagai identitas budaya dan mengetahui posisinya sekarang dalam memori kolektif masyarakat Sulawesi kehidupan yang sedang mereka jalani. Selatan. Nilai yang terkandung dalam MLG dapat membuat ekshibisi yang koleksi semestinya lebih ditonjolkan pemaknaannya memiliki relevansi melalui ekshibisi museum. dengan masa kini karena beberapa 2. Pendekatan ekshibisi di MLG belum koleksi yang dimilikinya telah menggunakan sepenuhnya pendekatan merefleksikan kehidupan masyarakat taksonomik, tematik, dan kronologis. Sulawesi Selatan saat ini, seperti Jika MLG memutuskan untuk koleksi alat-alat pembuat tenun, sagu, menggunakan pendekatan tematik atau logam, dll. kronologis dalam satu ruang, maka 4. Penempatan koleksi museum yang pendekatan tersebut harus digunakan bukan merupakan hasil kebudayaan sepenuhnya. Sebagai contoh di ruang Sulawesi Selatan sebaiknya budaya pesisir, ruangan ini disajikan dipertimbangkan untuk disajikan. New secara tematik, namun belum museum bersifat territory, sehingga mempresentasikan storyline, teks, koleksi harus memperlihatkan grafik, dan label koleksi serta objek kebudayaan lokal, dalam hal ini pendukung secara tematik, melainkan Sulawesi Selatan. Koleksi yang disajikan taksonomik. disajikan bukan hanya benda yang Selain itu, terdapat permasalahan pada dipergunakan pada masa lalu pendekatan kronologinya yang tidak melainkan benda yang dipergunakan menunjukkan urutan waktu. Meskipun oleh masyarakat masa kini. Benda new museum lebih menekankan tersebut haruslah dapat memunculkan pendekatannya pada pendekatan kembali memori kolektif. Benda tanpa tematik, namun pendekatan kronologi memori kolektif tidak akan bernilai di

124

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

mata masyarakat yang Sementara tradisi lisan La Galigo menyebar menggunakannya. Dengan kata lain, hampir di berbagai etnik yang ada di sumber primer tentang informasi Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan koleksi yang disajikan berdasarkan Semenanjung Melayu (Rahman, 2003: pendapat masyarakat Sulawesi Selatan, xxi-i). La Galigo merupakan cerita bukan berdasarkan pendapat para ahli mitologis yang didalamnya mengandung ataupun museum khususnya dari berbagai nilai-nilai sosial terdiri dari bidang koleksi. Koleksi yang bukan berbagai rangkaian cerita diberbagai daerah merupakan benda hasil kebudayaan (Mattulada, 1985: 65, dalam Fauziah, 2001: Sulawesi Selatan dapat ditempatkan di 1). ruang wawasan nusantara. Menurut Mukhlis PaEni dan Roger Tol 5. Museum dapat mengaitkan cerita dalam La Galigo MoW register, La Galigo La Galigo pada koleksi lainnya untuk berisi tentang aturan normatif, etik, dan memunculkan memori kolektif berbagai jenis upacara (PaEni dan Tol, masyarakat Sulawesi Selatan. Ekshibisi 2010: 6). Fauziah kemudian merinci isi La La Galigo juga dapat difokuskan pada Galigo. Pertama; pola-pola tingkah laku tradisi lisan karena tradisi tersebut yang baik dan buruk serta petunjuk tentang merupakan identitas budaya Sulawesi yang boleh dilakukan dan tidak boleh Selatan, sedangkan La Galigo sebagai dilakukan. Kedua; berbagai tata cara tradisi tulis merupakan hasil budaya kehidupan sehari-hari seperti upacara yang suku Bugis. berkaitan dengan daur hidup. Ketiga; 6. Museum dapat menyajikan semua petualangan, percintaan, dan peperangan. informasi tentang masyarakat sebuah Keempat cikal bakal manusia Sulawesi daerah tanpa memandang apakah Selatan yang disegani dan dimuliakan komunitas yang direpresentasikan (Fauziah, 2001: 8). tersebut termasuk komunitas mayoritas La Galigo dalam Keseharian Masyarakat dan minoritas. Oleh karenanya, MLG Sulawesi Selatan Masa Lalu harus mengkomunikasikan semua suku yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo berperan dalam keseharian masyarakat Sulawesi Selatan Storyline La Galigo Sebagai Identitas yang terlihat pada hubungan antara Budaya Sulawesi Selatan La Galigo dengan manusia, kepercayaan, dan lingkungannya. Cerita La Galigo Penyajian La Galigo sebagai identitas terlihat pada munculnya cerita kedatangan budaya Sulawesi Selatan didahului dengan Tomanurung, sistem kepercayaan, pengumpulan informasi. Informasi ini akan pelapisan sosial, cerita rakyat, arsitektur dijadikan sebagai storyline dalam ekshibisi rumah, simbol-simbol mitologis La Galigo. Adapun storyline tersebut Sawerigading, pelayaran dan perantauan, terkait dengan cerita La Galigo, La Galigo serta kehidupan Bissu. dalam keseharian masyarakat Sulawesi Selatan, dan nilai-nilai budaya pada La 1. Kedatangan Tomanurung Galigo. Dalam cerita La Galigo dijelaskan Cerita La Galigo tentang asal usul kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang dimulai dengan Meskipun La Galigo dituliskan namun kedatangan Tomanurung. Tomanurung fungsinya tetap untuk dilisankan, sehingga merupakan manusia keturunan Dewa dapat dikatakan bahwa penyebaran La yang dianggap sebagai pendiri berbagai Galigo diturunkan melalui tradisi lisan dan kerajaan di Sulawesi Selatan (Johan tradisi tulis. Kedua tradisi ini ditemukan Nyompa, dkk, 1979, dalam Direktorat pada masyarakat Sulawesi Selatan dan Jenderal Kebudayaan, 1982: 5). menjadi baku karena ketertulisannya.

125

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kedatangan Tomanurung melalui tiga golongan saya atau ata, adalah golongan fase, pada fase ketiga merupakan awal yang berasal dari menjual diri, kalah munculnya kerajaan-kerajaan di perang, tawanan perang, serta berbuat Sulawesi Selatan. Cerita Tomanurung salah pada aturan adat. Ata bukan suatu terdapat dalam riwayat-riwayat lapisan yang fundamentil karena muncul masyarakat Sulawesi Selatan. akibat peperangan, perampasan dan 2. Sistem Kepercayaan peradilan. Ata dipandang sebagai salahsatu aspek untuk mencegah Sistem kepercayaan seperti yang masyarakat Sulawesi Selatan menerima digambarkan dalam cerita La Galigo atau menyerah kepada nasib karena ini sebagai tradisi lisan dan didukung oleh akan menimbulkan siri’ (Mattulada, tradisi tulis masih digunakan pada 2007: 20). beberapa kelompok masyarakat. Pada dasarnya setiap pelapisan sosial di Kepercayaan tersebut mengarah kepada Sulawesi Selatan memiliki kesamaan Dewa Tunggal, yang bernama Patoto’E meskipun saat ini terjadi perubahan. (Dia yang menentukan nasib), Persamaan pelapisan sosial kelima suku TopalonroE (Dia yang menciptakan), tersebut, yaitu: 1) Lapisan Raja dan Dewata SeuaE (Dewa yang tunggal), Tu- kerabatnya: Orang Bugis menyebutnya riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi), Anakarung, Orang Makassar dan Puang Matua (Tuhan yang tertinggi) menyebutnya Ana’ Karaeng, Orang (Mattulada, 1974: 35). Mandar menyebutnya Daeng, Orang 3. Pelapisan Sosial Toraja meneyebutnya Tana Bulaan, dan Orang Bajo menyebutnya Lolo same; 2) Pelapisan sosial di Sulawesi Selatan Lapisan rakyat biasa atau orang muncul sejak kedatangan Tomanurung. kebanyakan: Orang Bugis menyebutnya Setiap suku bangsa di Sulawesi Selatan Maradeka, Orang Makassar memiliki pelapisan sosialnya masing- menyebutnya To Maradeka, Orang masing, misalnya pada Suku Makassar, Mandar menyebutnya Tau Maradeka, dibagi menjadi empat. Pertama; ana’ Orang Toraja menyebutnya Tana karaeng ri gowa (anak raja-raja gowa) Karurung, dan Orang Bajo menyebutnya dibagi menjadi ana’ ti’no (anak Gallareng; dan 3) Lapisan sahaya: bangsawan penuh), ana’ sipuwe (anak Orang Bugis dan Makassar menyebutnya separuh bangsawan), ana’ cera’ (anak Ata, Orang Mandar menyebutnya bangsawan berdarah campuran), dan Batuwa, Orang Toraja menyebutnya ana’ karaeng sala (anak bangsawan Tana Kua-Kua, dan Orang Bajo keliru). Kedua; ana’ karaeng menyebutnya Ate. Kesamaan tersebut maraengannaya (bangsawan atau anak disebabkan adanya pandangan raja-raja yang termasuk dalam golongan makrokosmos, bahwa dunia terbagi asal Tomanurung). Ketiga; to maradeka menjadi tiga yaitu dunia langit (botting (orang merdeka) terdiri dari tu-baji’ langiq), dunia tengah (bumi), dan dunia (orang merdeka) dan tu-samara (orang bawah (peretiwi). Pandangan ini juga kebanyakan). Keempat; ata (sahaya) terdapat pada pelapisan sosial yang terdiri dari ata sossorang (sahaya terbagi menjadi tiga (Rahman, 1998: warisan) dan ata nibuwang (sahaya 379-380). Pelapisan sosial tersebut pun baru). Hubungan antar golongan tersebut mengalami perubahan. berdasarkan anggapan bahwa golongan satu adalah lebih tinggi dari golongan 4. Cerita Rakyat yang lain, karena golongan satu berasal La Galigo merupakan tradisi lisan dari langit dan golongan yang satu masyarakat Sulawesi Selatan sehingga berasal dari dunia bawah. Sementara penyebarannya berpindah dari satu

126

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

tempat ke tampat lain dan beradaptasi 6. Simbol Mitologis dengan kebudayaan setempat, sehingga Sawerigading sebagai tokoh dalam La muncul berbagai versi (Rahman, 1998: Galigo dikaitkan dengan berbagai 395). Berbagai versi cerita tersebut simbol-simbol mitologis pada beberapa masih menunjukkan beberapa kesamaan tempat di Sulawesi Selatan. Beberapa cerita. Beberapa cerita tersebut adalah simbol tersebut ditemukan di dekat sbb: Malili, terdapat Gunung Belah

1) Cerita Sawerigading sebagai tokoh (bulupulo) yang terbelah akibat tertimpa utama pohon Welenreng, ditebang oleh Cerita Sawerigading sebagai tokoh Sawerigading untuk dijadikan perahu; di utama terdapat diberbagai cerita kerajaan Cerekang terdapat batu cadas yang di Sulawesi selatan. Beberapa cerita banyak diambil untuk dijadikan sebagai tersebut memiliki persamaan dan batu asah karena dianggap telah tertimpa perbedaan. kulit bekas pohon Welenreng

2) Possi tana atau pocci tana atau possi Sawerigading; di gunung Kandora Tana butta Toraja terdapat batu yang dianggap Pada umumnya setiap daerah di sebagai penjelmaan We Pindakati, isteri Sulawesi Selatan memiliki cerita tentang Sawerigading; di Enrekang terdapat possi tana atau pusat bumi yang menurut gunung batu yang terlihat seperti tradisi lisan adalah tempat turunnya anjungan perahu, dianggap sebagai Tomanurung di bumi. perahu Sawerigading yang karam

3) Dewi Padi (Sangiang Serri) kemudian membatu; di Selayar terdapat Cerita Sangiang atau Sangeng Serri atau gong besar (nekara) dianggap sebagai Dewi Padi yang dipercaya sebagai gadis gong Sawerigading yang dibunyikan muda dan cantik, yang memiliki setiap memasuki pelabuhan; di berbagai versi. Bontotekne terdapat kepingan perahu,

4) Pemmali atau kasipalli dianggap berasal dari perahu Kasipalli yaitu larangan atau pantangan Sawerigading; di utara Majene terdapat untuk berbuat atau melakukan sesuatu batu berbentuk kaki kiri manusia, yang bersifat sakral (keramat) dan dianggap sebagai kaki Sawerigading; di berfungsi melindungi. Parigi terdapat sebuah tempat yang tidak 5. Arsitektur Rumah ditumbuhi tanaman apapun kecuali Pandangan kosmologi dalam naskah La sebuah pohon beringin dianggap sebagai Galigo menyatakan bahwa alam raya tempat Sawerigading mengadakan (makrokosmos) terdiri atas tiga bagian sabung ayam (Enre, 1983: 12-3, Sakka, (lapisan), yaitu benua atas, benua tengah, 2008: 33-4); di Banawa Sulawesi dan benua bawah. Pusat ketiga benua Tengah, terdapat perahu yang membatu, tersebut adalah benua atas, tampat gunung yang menyerupai layar, sumur bersemayamnya Dewa PatotoE. Salah air tawar di dasar laut yang dianggap satu cerminan dari pandangan sebagai peninggalan Sawerigading; dan makrokosmos tersebut adalah bentuk di Sulawesi Tenggara kehadiran rumah panggung (rumah di atas tiang) Sawerigading dikaitkan dengan yang terdiri atas tiga tingkat, yaitu keturunan raja-raja Tolaki, Buton, dan tingkat atas, tengah, dan bawah (Hamid, Muna (Rahman, 1998: 395-6). 2008: 59) dengan fungsinya masing- 7. Pelayaran dan Perantauan masing. Cerita tentang orang Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai perantau dan pelaut ulung karena berlayar dengan perahu-perahu tradisional, seperti ,

127

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

tanjak, dan paddewakkang (Rahman, Pesse’ muncul secara spontan ketika 1998: 392) telah ada dalam cerita La harga diri kelompok atau keluarga Galigo. Cerita tersebut berhubungan merasa dihina atau direndahkan oleh dengan pelayaran dan perantauan orang lain (Rahman, 1998: 374). Konsep Sawerigading menuju Cina. pesse tidak dapat dipisahkan dari siri’ 8. Kehidupan Bissu seperti yang tercermin dari pribahasa ia sempugikku rekkua de’ na siri’na, engka Bissu atau pendeta, dukun, dan ahli messa pesse’na artinya mereka sesama ritual trance (kemasukan oleh roh) orang Bugis jika tidak memiliki siri’ merupakan penghubung antara umat maka masih memiliki pesse, atau manusia dengan Dewata (Pelras, 2006: pribahasa ikambe mangkasaraka punna 97-8). Pada masa pemerintahan kerajaan tasiri’, pacce seng ni pabbulo artinya sebelum masuknya Islam di Sulawesi kalau bukan siri’ maka pacce-lah yang Selatan, peran Bissu sangat penting. Saat membuat kita satu (Mattulada, 1974: Islam masuk pun peran Bissu masih 38). Siri’ dianggap sebagai pandangan dibutuhkan oleh kerajaan dan hidup yang mengandung etik pembedaan masyarakat pendukungnya. Namun, antara manusia dan binatang karena sejalan dengan semakin kuatnya adanya rasa harga diri dan kehormatan pengaruh ajaran Islam peran Bissu yang melekat pada manusia, sehingga menurun. Selain itu, Bissu bertugas siri’ berbeda dengan kejahatan. Adanya memelihara berbagai benda pusaka dan pendapat yang menyatakan siri’ sama tradisi karena diyakini sebagai dengan kejahatan karena rasa malu penghubung manusia dan Dewa identik dengan siri’ sehingga (Hamonic, 2003: 487). mewajibkan adanya tindakan terhadap penyebab timbulnya rasa malu tersebut. Nilai-Nilai Budaya pada La Galigo Bentuk-bentuk tindakan tersebutlah yang terkadang menyebabkan kejahatan Beberapa nilai-nilai La Galigo masih (Budidarmo, 1977: 16-18, dalam Farid, relevan dengan kehidupan saat ini dan 2007:22). terkadang terdapat nilai yang telah berubah dan tidak sesuai dengan nilai aslinya. 2. Sumangeq dan Inninawa 1. Siri’ dan Pesse Semangat atau sumangeq atau sungek adalah suatu spirit yang memberi Konsep siri’ dan pesse di Sulawesi manusia kekuatan untuk hidup. Segala Selatan pada dasarnya adalah sama, baik sesuatu yang ada pada manusia, masyarakat suku Bugis, Makassar, tubuhnya, dan senjatanya selalu Mandar, maupun Toraja (Lopa, 2007: diperkuat oleh sumangeqnya 65-6). Siri’ diartikan sebagai rasa malu (Gonggong, 2003: xiv-v). Masyarakat yang menyangkut martabat atau harga Sulawesi Selatan percaya sumangeq diri, reputasi, dan kehormatan yang telah ada sejak manusia dilahirkan., harus dipelihara dan ditegakkan. Siri’ sehinga harus terus dijaga agar tidak juga diartikan keteguhan hati dalam menjauh dari tubuh (Lathief, 2004: 9). kehidupan bermasyarakat (Mattulada, Sementara ininnawa adalah hati nurani 2007: 59-60). Sementara passe’ atau manusia. Sumangeq-inninawa adalah pacce’ adalah perasaan simpati, sakit, dua hal yang menjadi kekuatan manusia dan pedih apabila sesama warga untuk memanusiakan dirinya dan masyarakat Sulawesi Selatan ditimpa merupakan dua pengikat untuk kemalangan yang menimbulkan suatu mempertahankan hidup bersama sebagai pendorongan ke arah solidaritas dalam manusia. Jika keduanya dilapisi oleh berbagai bentuk terhadap mereka yang siri’ dan pesse menjadi kekuatan utama ditimpa kemalangan (Farid, 2007: 28).

128

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

bertahan hidup, baik individual maupun Lempuk adalah sikap jujur pada sesama bersama seperti yang dilukiskan dalam manusia, diri sendiri, dan pencipta La Galigo (Gonggong, 2003: xiv-v). (Rahman, 1998: 331). Lempuk sebagai 3. Pemeliharaan Lingkungan nilai budaya masyarakat Sulawesi Selatan terdapat dalam karya sastra Pada cerita La Galigo dijelaskan tentang paseng yang terlihat pada ungkapan pentingnya manusia melestarikan alam. teppugauk gauuk maceko (tidak boleh Kehadiran Tomanurung dalam cerita La berbuat curang). Galigo bertujuan untuk menyampaikan

perintah Dewa agar menjaga lingkungan 6. Getteng (keteguhan pada prinsip) dan mengetahui tanda-tanda alam. Getteng diartikan sebagai keteguhan Lingkungan dijaga untuk menjaga pada prinsip yang benar dan tidak kestabilan dan keharmonisan hidup memihak pada yang salah. Contoh menusia. Perintah dan ajaran itulah yang getteng diantaranya dalam pau-pau harus dipahami oleh manusia agar rikadong arung masala ulik-e hidupnya tentram dan harmonis diceritakan bahwa raja Luwu diminta (Rahman, 1998:372). Dalam cerita La untuk mempertahankan puterinya yang Galigo diungkapkan mengenai tata cara memiliki penyakit menular di istana atau pengelolaan alam dan lingkungan sekitar mengeluarkan puterinya dari istana agar melalui tanda-tanda alam. Tanpa penyakit tersebut tidak menular pada pemahaman tersebut, manusia akan rakyatnya (Ibrahim, 2003: 139-140). mudah tertimpa bencana alam, sehingga 7. Saling menghargai tanda alam merupakan pedoman bagi manusia dalam beradaptasi dengan alam. Sipakatau (Bugis-Makassar), sipamandar Pemahaman tersebut dibukukan oleh (Mandar), Sipakaele (Toraja) berarti orang Sulawesi Selatan yang disebut saling menghargai sesama manusia. lontarak kutika (Bugis dan Makassar), Dalam interaksi sosial nilai sipakatau berisi tentang tanda-tanda alam, cara- mengharuskan seseorang untuk cara memahami tanda dan cara memperlakukan orang lain sebagai mengatasinya (Rahman, 1998:372). manusia dan menghargai hak-haknya. Perilaku sipakatau yang paling tinggi 4. Ide Demokrasi adalah berupaya memanusiakan orang Ide demokrasi terlihat pada masyarakat yang telah terjerumus menjadi rapang- Sulawesi Selatan sejak kedatangan rapang tau (bukan manusia). Tomanurung. Hal ini terlihat pada Perwujudan nilai dasar sipakatau dikenal perjanjian antara Tomanurung dengan dengan sipakaingek, siparengerangi para pemimpin kaum di berbagai daerah, (saling mengingatkan), sipangajari misalnya di Bone, Soppeng, Gowa, dll. (saling menasehati), dan sipaitai (saling Dalam perjanjian antara Tomanurung memberikan petunjuk). Selain itu dalam dengan pemimpin kaum terdapat interaksi sosial dikenal istilah ungkapan yang menyatakan bahwa sipakalebbi (saling memuliakan) dan kepatuhan rakyat kepada raja adalah siamasei (saling mengasihi) (Ibrahim, bersyarat, yaitu tergantung pada 2003: 140-1). komimen raja pada kepentingan dan hak-

hak rakyat. Rakyat akan patuh dan setia PENUTUP kepada raja yang memberikan pengayoman dan menghargai hak milik La Galigo merupakan intangible rakyat. heritage yang menjadi identitas masyarakat Sulawesi Selatan dan saat ini masih 5. Lempuk (kejujuran) bertahan di tengah arus globalisasi. Salah satu cara untuk melestarikan cerita La

129

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Galigo adalah melalui MLG karena tahap fungsional, dan tahap penilaian. museum ini menyimpan berbagai koleksi Penelitian ini dibatasi pada tahap yang terkait dengan cerita La Galigo, konseptual, yaitu pengumpulan ide termasuk naskah La Galigo itu sendiri. tentang La Galigo yang akan Koleksi yang berhubungan dengan cerita La dikomunikasikan kepada pengunjung; Galigo tersebut disimpan di ruang 3. Ekshibisi La Galigo harus penyimpanan maupun diekshibisi di ruang merepresentasikan masyarakat Sulawesi pameran tetap. Akan tetapi, informasi yang Selatan, sehingga evaluasi atau studi disajikan kepada pengunjung tentang cerita pengunjung untuk menjaring pendapat La Galigo masih minim, bahkan beberapa masyarakat Sulawesi Selatan tentang La alur cerita tidak dikaitkan dengan cerita La Galigo harus dilakukan; Galigo. 4. Perekaman cerita La Galigo sebagai Informasi tentang MLG tersebut memori kolekif diperlukan, untuk tentunya dijadikan dasar untuk perencanaan membuat storyline ekshibisi; desain ekshibisi. Desain media ekshibisi ini 5. Ekshibisi La Galigo ini didukung oleh memanfaatkan memori kolektif masyarakat program publik; Sulawesi Selatan. Memori kolektif tersebut 6. Tradisi lisan La Galigo menyebar dapat muncul karena adanya kesamaan hampir di berbagai suku bangsa yang antar individu dalam setiap atau antar ada di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, kelompok dalam cerita La Galigo. dan Semenanjung Melayu. Oleh karena Contohnya kesamaan pengalaman sejarah itu, pada penyelenggaraan ekshibisinya, dan budaya, kesamaan pengetahuan harus merepresentasikan semua pihak; tertentu, kesamaan demografi atau wilayah, 7. Salah satu kendala yang akan dihadapi dan kesamaan kondisi sosial ekonomi pada dalam penyelenggaraan ekshibisi La cerita La Galigo dan kehidupan saat ini. Galigo ini adalah perasaan etnosentrisme Beberapa saran yang sebaiknya dan prasangka dari setiap suku bangsa dilakukan oleh MLG untuk tentang kepemilikian La Galigo sebagai penyelenggaraan ekshibisi La Galigo, yaitu identitasnya masing-masing. Pemunculan sebagai berikut: sikap etnosentrisme dan prasangka ini 1. Ekshibisi La Galigo seperti yang telah harus dihindari dengan memberikan dijelaskan pada tulisan ini dapat pemahaman melalui ekshibisi bahwa La diselenggarakan di dua tempat. Galigo adalah warisan bersama dan Pertama, di ruang atau gedung baru milik masyarakat Sulawesi Selatan yang berbeda dengan gedung pameran khususnya dan milik Indonesia tetap saat ini. Ekshibisi La Galigo ini umumnya. dapat dikaitkan dengan ekshibisi di ruang pameran tetap saat ini dengan DAFTAR PUSTAKA menempatkannya sebagai informasi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional awal di ruang pengenalan. Kedua, di Ujung Pandang. 1994. Laporan ruang pameran tetap yang menyimpan Penelitian Sejarah dan Nilai berbagai koleksi yang mendukung Tradisional. Makassar: BKSNT Ujung pameran La Galigo sebagai identitas Pandang. budaya Sulawesi Selatan. Berbagai jenis koleksi tersebut terdapat di ruang Corsane, Gerard. 2005. “Issues in Heritage, pameran tetap gedung nomor 2 dan Museums, and Galleries” dalam nomor 10; Heritage, Museums, and Galleries. Ed. 2. Ekshibisi La Galigo sebagai identitas Gerard Corsane. New York: budaya Sulawesi Selatan harus Routledge. dilaksanakan melalui empat tahap, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. tahap konseptual, tahap pengembangan, 1985/1986. Petunjuk Museum Negeri

130

Naskah La Galigo: Identitas Budaya….. Andini Perdana

La Galigo Ujung Pandang. Sulawesi Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesena Kumpulan Selatan: Proyek Pengembangan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Permuseuman Direktorat Jenderal Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Kebudayaan. Universitas Hasanuddin. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Lopa, Baharuddin. 2007. “Siri dalam 1981/1982. Upacara Tradisional Masyarakat Mandar”. Siri’ dan Pesse Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: Departemen Kebudayaan dan Pustaka Refleksi. Pariwisata. Mattulada. 1974. Bugis-Makassar: Manusia Edson, Gary, ed. 2005. Museum Ethics. dan Kebudayaannya. Jakarta: FS UI. London and New York: Taylor and ______. 2003. “Sawerigading dalam Francis e-Library. Identifikasi dan Analisis” dalam La Edson, Gary dan David Dean. 1996. The Galigo Menelusuri Jejak Warisan Handbook for Museums. New York: Sastra Dunia. Makassar: PS La Galigo Routledge. Unhas. Enre, Fachrudin Ambo. 1983. “Ritumpanna ______. 2007. “Siri dalam Masyarakat Welenrengge, Telaah Filologis Sebuah Makassar” dalam Siri’ dan Pesse Episoda Sastera Bugis Klasik Galigo”. Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: (Disertasi). Universitas Indonesia. Pustaka Refleksi. Farid Andi Zainal Abidin. 2007. “Siri, Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Pesse’ dan Were Pandangan Hidup Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Orang Bugis” dalam Siri’ dan Pesse Departemen Pendidikan dan Harga Diri Manusia Bugis. Makassar: Kebudayaan. Pustaka Refleksi. PaEni, Mukhlis dan Roger Tol. “Memory of Fauziah. 2001. “Analisis Nilai-Nilai the World Register, La Galigo Kehidupan Batara Guru dalam Naskah (Indonesia)”, diunduh 23 Januari Mula Tau” dalam Laporan Penelitian 2019, pukul 13.26 WIB Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan. Makassar: BKSNT. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Gonggong, Anhar. 2003. “Interpretasi Jakarta: Nalar. Kelampauan” dalam La Galigo Perdana, Andini. ”Museum La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra sebagai Media Komunikasi Identitas Dunia. Makassar: Pusat Studi La Budaya Sulawesi Selatan”. (Tesis). Galigo Unhas. Universitas Indonesia. Hamid, Abu. 2008. “Sawerigading Sebagai Rahim, Rahman. 1998. Nilai-Nilai Utama Pahlawan Budaya; Simbol Budaya Kebudayaan Bugis. Makassar: Maritim di Sulawesi Selatan” dalam Lembaga Penerbitan Universitas Walasui Jurnal Kebudayaan Sulselra Hasanuddin. dan Barat Juli-Desember. Rahman, Nurhayati. 2003. “Pendahuluan” Hamonic, Gilbert Albert. 2003. dalam La Galigo Menelusuri Jejak “Kepercayaan dan Upacara dari Warisan Sastra Dunia. Makassar: Budaya Bugis Kuno” dalam La Galigo Pusat Studi La Galigo Unhas. Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Roman, Lorena San. 1992. “Politics and the Galigo Unhas. Role of Museums in the Rescue of

131

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

identity” dalam Museums 2000. Ed. Patrick J. Boylan. London: Routledge. Sakka, A.Rasyid A. 2008. “Pelayaran Sawerigading” dalam Sulesana, Jurnal Sejarah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat. BKSNT Makassar, Taylor, Paul Michael, ed. 1994. “The Nusantara Concept of Culture: Local Traditions and National Identity as Expressed in Indonesian’s Museums” dalam Fragile Tradition, Indonesian Arts in Jeopardy. Honolulu : Univ of Press. Weedon, Chris. 2004. Identity and Culture, Narratives of Difference and Belonging. England: Open University Press.

132

STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN KARAMPUANG DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP (THE SURVIVAL STRATEGY OF KARAMPUANG FISHERMEN IN MAKING A LIVING TO MEET DAILY NEEDS)

Abdul Asis Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Pos-el: [email protected]

ABSTRACT This research aims to discover and understand the survival strategy of fishermen in Karampuang in meeting daily needs. The research method used is descriptive-qualitative, employing the data- gathering techniques of interviews, observation, and documentation. The results of this research show that fishermen in the islands of Karampuang continue to use simple fishing equipment and generate a meager income. In the off season, the fishermen experience difficulty in meeting daily needs, to the point that they pursue side jobs by planting gardens and cultivating crops such as corn, cassava, and vegetables. Opportunities for side jobs are numerous for the fishing community there, due to the convenient access to the Mamuju regency. Other side work available aside from fishing is becoming a small-goods trader, a construction worker, a port laborer, market laborer, or motorcycle-taxi driver. As for the wives of these fishermen, many work at stores, work as cleaners in the city, or open up shops at home to sell basic products. By generating supplementary income, the needs of the family are able to be met. Keywords: side work, Karampuang fishermen, daily needs.

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami strategi bertahan hidup nelayan Karampuang dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan di Pulau Karampuang masih menggunakan alat tangkap sederhana dan penghasilannya masih tergolong rendah. Pada musim paceklik, nelayan merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga mereka beralih ke pekerjaan lain dengan mengolah kebun dengan menanam tanaman hortikultura seperti jagung, ubi kayu, dan sayur-sayuran. Peluang untuk melakukan pekerjaan sampingan terbuka luas bagi masyarakat nelayan di sana karena akses ke kota Kabupaten Mamuju tergolong cukup dekat. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan di luar bidang kenelayanan adalah menjadi pedagang, buruh bangunan, kuli angkut pelabuhan, kuli angkut pasar, dan jasa ojek. Sedangkan istri-istri nelayan banyak yang bekerja menjadi penjaga toko, buruh cuci di kota, dan membuka kedai-kedai di rumah dengan menjual barang kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan melakukan pekerjaan sampingan, kebutuhan hidup keluarganya dapat terpenuhi. Kata Kunci: pekerjaan sampingan, nelayan Karampuang, kebutuhan hidup.

PENDAHULUAN kategori rural dengan sedikit permukiman Pulau Karampuang merupakan pulau dan pemanfaatan lahan yang berskala yang terpisah dengan daratan Kabupaten rumah tangga. Mayoritas penduduk bermata Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Pulau pencaharian rangkap yaitu nelayan dan Karampuang ini yang masuk dalam petani. Hal tersebut dilakukan sebagai

133

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 bentuk adaptasi dalam menghadapi musim mencari alternatif lain, dan kadang istri dan paceklik di laut jika terjadinya angin anaknya ikut terlibat membantu dalam kencang. Sehingga nelayan sulit pemenuhan kebutuhan hidup bagi memperoleh hasil tangkapan ikan maka keluarganya. banyak di antara mereka beralih profesi Pendapatan dan sumber mata dengan bercocok tanam, begitu pula pencaharian merupakan aspek penting sebaliknya. Kadang mereka melakukan dalam kehidupan rumah tangga karena kedua-duanya dengan membagi waktu dan pendapatan menentukan kemampuan rumah berbagi dengan anggota keluarga lainnya. tangga dalam memenuhi kebutuhan Namun itupun kebutuhan hidupnya masih hidupnya. Pendapatan rumah tangga adalah jauh dari kecukupan. pendapatan yang diterima oleh rumah Untuk bertahan dapat hidup, maka tangga yang berasal dari kepala keluarga istri-istri nelayan turut berperan dengan maupun anggota rumah tangga (Ngadi, bekerja di kota sebagai pelayan toko, buruh 2016:209-210). Untuk memperoleh cuci dan pengasuh anak. Sedangkan para pendapatan tambahan, maka anggota rumah suami ada yang bekerja sebagai kuli angkut tangganya ikut bekerja dalam berbagai bangunan, kuli angkut pelanuhan, tukang sumber mata pencaharian. Namun, daya ojek, bahkan ada yang memutuskan tampung sumber penghasilan bersifat merantau jauh ke daerah Kalimantan atau terbatas sehingga tidak semua anggota ke Kota Makassar. Sedang istri-istri nelayan rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang yang tergolong sudah tidak mampu bekerja layak. Keterbatasan tersebut memaksa di kota maka mereka membuka kedai-kedai sebagian anggota rumah tangga bekerja kecil di rumah dengan berjualan barang- dengan pendapatan yang rendah dan barang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. sebagian yang lain menjadi pengangguran Berprofesi sebagai nelayan lebih sulit, sehingga tidak mampu memenuhi jika dibandingkan dengan profesi yang kebutuhan hidupnya. Sebagian yang lain lainnya, menurut Acheson (dalam Lampe, harus mencari penghasilan ke luar daerah 1989:7) bahwa nelayan merupakan suatu karena keterbatasan daya tampung dunia pekerjaan yang penuh dengan resiko bahaya kerja di wilayahnya. Rendahnya daya dan ketidakmenentuan. Bahaya dan tampung sumber penghasilan dan ketidakmentuan itu bukan hanya pendapatan rumah tangga masih terus disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan terjadi di Indonesia termasuk nelayan di biota laut serta terjadinya perubahan- Pulau Karampuang Kabupaten Mamuju perubahan lingkungan fisik tersebut, tetapi Provinsi Sulawesi Barat, sehingga upaya juga kondisi-kondisi lingkungan sosial menciptakan sumber penghasilan dan ekonomi di mana aktivitas penangkapan meningkatkan pendapatan harus terus berlangsung. Lebih jauh diungkapkan dilakukan. bahwa walaupun memiliki tingkat resiko Melakukan usaha pekerjaan yang lebih tinggi, pekerjaan sebagai sampingan di beberapa wilayah pesisir nelayan merupakan pekerjaan yang banyak terpaksa mereka lakukan dan tidak hanya digeluti oleh masyarakat terutama terfokus pada usaha penangkapan ikan masyarakat pesisir dan pulau-pulau. Selain semata tetapi dapat diarahkan pada usaha- rendahnya tingkat pendidikan dan usaha lain di luar bidang penangkapan. penguasaan teknologi oleh para nelayan, Pekerjaan sampingan ini diharapkan dapat juga kondisi cuaca yang fluktuatif sehingga memberikan nilai tambah bagi keluarga terkadang nelayan sulit untuk mendapatkan nelayan. Dengan melakukan usaha-usaha hasil tangkapan yang maksimal bahkan lainnya untuk mendapatkan peluang guna mereka harus beristirahat melaut untuk meningkatkan pendapatan mereka ketika beberapa bulan. Oleh karena itu, sebagian tidak melaut, atau dapat mengisi besar nelayan di Pulau Karampuang harus kekosongan demi menutupi kebutuhan

134

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis hidup sehari-hari dalam kehidupan rumah menekankan pada kemiskinan dan tangga para keluarga nelayan. ketidakpastian perekonomian, karena Seperti halnya pada masyarakat kesulitan kehidupan yang dihadapi nelayan nelayan di Pulau Karampuang sebagian dan keluarganya (Acheson, 1981; Emerson, besar menggantungkan hidupnya sebagai 1980). Smith misalnya (1981:30) nelayan dan mengandalkan keadaan cuaca menggambarkan bahwa tingkat kehidupan pada saat melakukan penangkapan ikan. mereka sedikit di atas migran atau setaraf Jika cuaca tidak bersahabat maka kadang dengan petani kecil. Bahkan Winahyu dan tidak mendapatkan hasil. Kalaupun mereka Santiasih (1993:137) mengemukakan mendapatkan hasil hanya cukup untuk bahwa jika dibandingkan secara seksama bahan konsumsi rumah tangga saja, dengan kelompok masyarakat lain di sektor sehingga penghasilan dan pendapatannya pertanian, nelayan (khususnya nelayan tidak stabil. Seiring berjalannya waktu buruh dan nelayan tradisional) dapat barang-barang kebutuhan rumah tangga pun digolongkan sebagai lapisan sosial yang semakin mahal. Hal inilah yang mendorong paling miskin. Sementara menurut (Satria, mereka melakukan sebuah tindakan atau 2002; Suyatno, 2003) bahwa tekanan usaha lain yang bertujuan untuk memenuhi kemiskinan yang melanda kehidupan pendapatan dalam rumah tangganya. nelayan tradisional, yang disebabkan oleh Tulisan ini bermaksud menelaah faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tentang pekerjaan sampingan yang tersebut tidak hanya berkaitan dengan dilakukan oleh keluarga nelayan di Pulau fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan Karampuang sebagai salah satu bentuk sumber daya manusia, modal serta akses, kebertahanan dalam memenuhi kebutuhan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif hidup rumah tangganya. Karena setiap desa terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi memiliki karakteristik sosial ekonomi juga disebabkan oleh dampak negatif berbeda dengan desa nelayan lainnya, modernisasi perikanan yang mendorong termasuk sumber daya manusia yang terjadinya pengurasan sumber daya laut dimiliki setiap desa, baik antarindividu secara berlebihan. maupun antarmasyarakat satu dengan Prosesnya masih terus berlangsung masyarakat yang lain berbeda pula. hingga sekarang dan dampak yang Mengacu pada uraian latar belakang dirasakan adalah semakin menurunnya di atas, maka yang menjadi rumusan tingkat pendapatan mereka dan sulitnya masalah, adalah: 1) bagaimana gambaran memperoleh hasil tangkapan. Hasil-hasil masyarakat nelayan di Pulau Karampuang; studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di 2) bagaimana kehidupan sosial ekonomi kalangan nelayan, telah menunjukkan masyarakat nelayan di Pulau Karampuang, bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial- dan 3) bagaimana strategi bertahan hidup ekonomi atau ketimpangan pendapatan nelayan Karampuang dalam pemenuhan merupakan persoalan krusial yang dihadapi kebutuhan hidup. dan tidak mudah untuk diatasi (Kusnadi, Adapun penelitian ini bertujuan 2002:26-27). sebagai berikut: 1) untuk mengetahui Pulau Karampuang merupakan salah gambaran masyarakat nelayan di Pulau satu desa yang berada di pulau dan terpisah Karampuang; 2) untuk mengetahui dari dataran Kabupaten Mamuju. Menurut kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kusnadi (2009:17) secara geografis nelayan di Pulau Karampuang, dan 3) untuk masyarakat nelayan adalah masyarakat mengetahui strategi bertahan hidup nelayan yang hidup tumbuh dan berkembang di Karampuang dalam pemenuhan kebutuhan wilayah pesisir, yaitu suatu kawasan transisi hidup. antara wilayah darat dan laut. Sedangkan Berbagai penelitian mengenai menurut Imron (2003:7) nelayan adalah kehidupan nelayan umumnya yang suatu kelompok masyarakat yang

135

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 kehidupannya tergantung langsung pada teluk ini Pulau Karampuang berada. Wajar hasil laut, baik dengan cara melakukan saja jika kita melihat pesisir pantai penangkapan ataupun budidaya. Pada Manakarra di Kota Mamuju memiliki umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah perairan yang tenang. Karena keberadaan lingkungan permukiman yang dekat dengan Pulau Karampuang yang hanya berjarak lokasi kegiatannya. kurang lebih 3 km arah barat laut yang berperan menjaga dan melindungi Kota METODE Mamuju dari terjangan gelombang tinggi. Penelitian ini menggunakan metode Berkunjung ke Pulau Karampuang ini deskriptif kualitatif yakni sebuah tipe dapat menggunakan traportasi perahu penelitian yang berusaha menggambarkan tradisional jenis Jolloro, (orang-orang kondisi sosial di lapangan. Dalam Karampuang menyebutnya taksi atau perspektik Bogdan & Taylor, (1993:5) jenis perahu montor). Perahu montor yang akan penelitian ini menghasilkan data deskriptif berangkat menunggu penumpang di sekitar berupa kata-kata tertulis atau lisan dari Dermaga TPI Kota Mamuju. Lama orang-orang atau perilaku yang dapat perjalanan dapat di tempuh dalam waktu diamati. Sementara itu, Sugiono (2008:1) kurang lebih 20-30 menit. Kapasitas perahu memandangnya sebagai penelitian dapat memuat 20 orang penumpang sekali naturalistik karena penelitiannya dilakukan jalan dengan biaya Rp 10.000,-. Secara geografis pulau ini terletak pada kondisi yang alamiah (natural setting), 0 yakni suatu metode penelitian yang meneliti padat titik koordinat 02 38’ 10,8” LS dan 1180 53’ 14,85” BT. Pulau dengan luas kondisi objek secara alami. Penelitian ini 2 juga berupaya untuk menjelaskan, wilayah 6,21 km , memiliki batas-batas mendeskripsikan, dan memahami mengenai wilayah, yaitu di bagian selatan, utara, pekerjaan sampingan keluarga nelayan barat, dan timur semuanya berbatasan dengan laut, dan terbagi ke dalam atas 11 dalam melakukan usaha lainnya di luar bidang kenelayanan dalam memenuhi (sebelas) dusun, sebagai berikut: Dusun kebutuhan sehari saat terjadi musim Karampuang I, Dusun Karampuang II, paceklik. Metode penelitian ini Dusun Joli, Dusun Gembira, Dusun , menggunakan teknik pengumpulan data Dusun Batu Bira, Dusun Karaeng, Dusun melalui wawancara, observasi dan Ujung Bulo, Dusun Wisata, Dusun Nangka, dokumentasi. Teknis analisis data adalah dan Dusun Sepang. Penduduk sekitar 3.135 mendeskripsikan secara objektif data yang jiwa, yang terdiri 1.564 jiwa penduduk laki- telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan laki dan 1.571 jiwa penduduk perempuan, analisis terhadap data yang telah dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak dideskripsikan, sehingga data yang ada 560 KK sehingga kepadatannya mencapai 461,07 jiwa/km2. (Papan Potensi Desa dapat divalidasikan keabsahannya. Karampuang, 2016).

Terkait dengan kondisi alam Pulau PEMBAHASAN Karampuang, maka pola penggunaan lahan Gambaran Nelayan di Pulau pada umumnya dapat dikelompokkan Karampuang menjadi dua bagian, yaitu kelompok Pulau Karampuang adalah pulau yang kawasan yang terbangun dan kelompok dipenuhi dengan batu karang, bahkan dapat kawasan tidak terbangun. Kawasan tidak dikatakan bahwa pulau ini adalah Pulau terbangun didominasi oleh hutan dan lahan Karang, karena hampir semua sudutnya kosong yang kering. Sedangkan kawasan adalah karang, dan di atas karanglah yang terbangun adalah pola permukiman masyarakat menyandarkan hidupnya. Pulau menyebar di sepanjang pulau mengikuti yang berada di tengah-tengah teluk garis pantai. Topografi pulau ini berbukit- Mamuju, cerukan dalam yang dibentuk bukit dan merupakan daerah yang

136

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis dikelilingi pantai dengan ketinggian 120 waktu bilamana ada kebutuhan yang lebih meter dpl, dengan tubir mengelilingi pulau mendesak baru mereka mengambilnya dengan lebar 200 meter (Kec. Mamuju kembali, seperti mengadakan pesta Dalam Angka, 2016). perkawinan, hajatan, aqiqah dan lain-lain.

Keterlibatan istri-istri nelayan tidak ada lagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat pendapatkan karena suaminya istirahat Nelayan di Pulau Karampuang melaut karena kondisi laut sulit Penduduk di Pulau Karampuang mendapatkan ikan (Hasil wawancara: ibu sebagaian besar bermata pencaharian KS: 18-02-2017). ganda, yakni bekerja sebagai nelayan dan Menurut Kepala Desa Karampuang petani kebun. Hal ini dilakukan sebagai bahwa kondisi ekonomi masyarakat bentuk adaptasi atau penyesuaian dalam Karampuang 80 % bergantung pada hasil menghadapi perubahan iklim. Karena laut, selebihnya adalah berkebun/bertani. sulitnya mendapatkan hasil tangkapan ikan Para nelayan di Pulau Karampuang maka nelayan biasanya beralih mengelolah umumnya masih menggunakan alat tangkap kebun dengan memanfaatkan lahan-lahan yang sangat sederhana, seperti: pancing, yang kosong di sekitar pekarangan rumah, pukat mini, jala, tombak, bubu dan lain- begitu pula sebaliknya. Terkadang pula lain. Jenis-jenis ikan yang ditangkap adalah mereka melakukan kedua-duanya dengan ikan-ikan pelagis, masyarakat Karampuang membagi waktu, serta berbagi tugas dengan menyebutnya “Ikan campuran”. Selain itu, anggota keluarganya. Selain itu, mereka juga menangkap ikan-ikan karang penduduknya ada pula berprofesi PNS, seperti: ikan kakap, ikan sunu, ikan merah, wiraswasta, usaha angkutan perahu, ikan batu, napoleon dan kerapu dan ikan- pertukangan kayu, membuka warung/kedai- ikan jenis lainnya. Aktifitas melaut kedai di rumah, membuat kue-kue/jajanan biasanya berangkat sore hari dan kembali tradisional, kuli angkut pelabuhan, dan pada pagi hari (Hasil wawancara: Supriadi: penjaga toko dan bekerja sebagai buruh tanggal 16 Februari 2017). cuci di Kota Mamuju. Lebih jauh diungkapkan oleh Bapak Dalam pengamatan kami di lapangan Supriadi bahwa pekerjaan sebagai nelayan selama pengumpulan data berlangsung, dianggap sebagai pekerjaan yang dilakukan kondisi ekonomi masyarakat di Pulau secara turun temurun. Ditinaju dari segi Karampuang, sangat bergantung pada hasil kepemilikan alat tangkap, nelayan di Pulau laut sedangkan bertani/berkebun hanyalah Karampuang dapat dibedakan menjadi tiga sebagai pekerjaan sampingan, dan kelompok nelayan, yaitu (1) nelayan dilakukan pada saat tidak beraktivitas di perorangan, (2) nelayan juragan, dan (3) laut. Itupun tidak semua nelayan memiliki nelayan buruh. Nelayan perorangan adalah lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan untuk nelayan yang memiliki peralatan tangkap berkebun/bertani. sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak Menurut salah seorang informan melibatkan orang lain. Nelayan juragan bahwa penduduk di pulau ini banyak adalah nelayan pemilik perahu lengkap melakukan pekerjaan sampingan, sebagai dengan peralatan tangkap yang bentuk usaha-usaha lainnya, khususnya dioperasikan oleh orang lain. Mereka istri-istri nelayan yang ikut bekerja di kota mencari ikan dengan cara berkelompok sebagai penjaga toko, buruh cuci, membuat yang berjumlah 5-8 orang dalam sebuah jajanan tradisional, dengan tujuan dapat perahu. Sedangkan nelayan buruh adalah menyambung kebutuhan hidupnya, nelayan yang bekerja kepada nelayan membantu pendapatan rumah tangga dan juragan dan semua alat tangkap milik orang dapat menyekolahkan anak-anaknya. lain. Dari ketiga kelompok nelayan Kalaupun ada kelebihan dari hasil yang ia tersebut, yang terbanyak jumlahnya adalah dapat mereka simpan di bank. Sewaktu- nelayan perorangan, kemudian nelayan

137

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 buruh, sedangkan nelayan juragan (pemilik Perahu lopi-lopi adalah jenis perahu perahu) hanya berjumlah sekitar 20 orang. yang menggunakan dayung tanpa Dilihat dari teknologi peralatan dilengkapi mesin. Perahu lopi adalah tangkap yang digunakan nelayan di Pulau perahu memiliki lambung yang sempit dan Karampuang dapat dibedakan dalam dua menggunakan sayap namun sudah kategori, yakni nelayan modern dan nelayan dilengkapi mesin. Wilayah tangkapan tradisional. Nelayan modern menggunakan nelayan yang menggunakan perahu lopi- teknologi penangkapan yang lebih modern lopi di pesisir Pulau Karampuang, dibandingkan dengan nelayan tradisional. sementara yang menggunakan perahu lopi Menurut (Imron, 2004:68) bahwa ukuran di pesisir Karampuang hingga ke Tanjung modernitas bukan semata-mata karena Rangas Kabupaten Mamuju. Sedangkan penggunaan motor untuk menggerakkan nelayan yang menggunakan perahu montor perahu, melainkan juga besar kecilnya wilayah tangkapannya sampai ke perairan motor yang digunakan serta tingkat Sulawesi Tengah, Minahasa dan perairan eksploitasi dari alat tangkap yang Kalimantan Timur. Perahu montor adalah digunakan. Perbedaan modernitas teknologi perahu yang digunakan menangkap ikan, alat tangkap juga berpengaruh pada teripang, lola, japing-japing dengan cara kemampuan jelajah operasionalnya. berkelompok. Jumlah perahu montor di Teknologi penangkapan yang modern akan Pulau Karampuang sebanyak 20 buah. cenderung memiliki kemampuan jelajah Setiap perahu montor diawaki sekitar 5-8 sampai lepas pantai, sebaliknya teknologi orang. Mereka melaut selama 2 bulan baru yang tradisional wilayah tangkapnya hanya kembali ke Karampuang. terbatas pada perairan pantai. Baik itu perahu lopi-lopi atau perahu Menurut sumber di lapangan bahwa di lopi hanya dapat diawaki oleh 1 sampai 2 Pulau Karampuang, dapat digolongkan orang saja, biasanya pemilik perahu itu sebagai nelayan yang relatif modern sendiri dan dibantu oleh anaknya. jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan Sedangkan perahu montor (perahu yang nelayan dengan kategori tradisional. besar), biasa diawaki 5 sampai 8 orang. Dengan alat tangkap yang sederhana, Nelayan-nelayan buruh yang dipekerjakan wilayah operasionalnya terbatas hanya di adalah dari keluarga dekat dan tetangga. sekitar Tanjung Rangas dan pesisir Pulau Dari tiga jenis perahu yang digunakan Karampuang. Selain itu ketergantungan mencari ikan, jenis perahu lopi-lopi yang terhadap alam (musim) juga sangat tinggi, paling banyak digunakan oleh sehingga tidak setiap saat nelayan dapat masyarakatnya. melaut, terutama pada musim ombak. Masyarakat di Pulau Karampuang Akibatnya selain hasil tangkapan yang yang tidak memiliki perahu lopi-lopi dan terbatas dengan kesederhanaan teknologi perahu lopi, tidak ada alternatif lain kecuali alat tangkap yang dimiliki, pada musim harus bekerja pada orang lain yang tertentu tidak ada hasil tangkapan yang membutuhkan tenaga seperti ikut dengan diperoleh (Hasil wawancara, LND: 18 nelayan juragan (yang memiliki perahu Februari 2017). montor). Dan terkadang mencari pekerjaan Ada beberapa jenis-jenis perahu yang lain di luar aktivitas nelayan, seperti kuli digunakan masyarakat nelayan di Pulau bangunan, kuli angkut pelabuhan, penjaga Karampuang, pada dasarnya dibedakan toko atau memilih untuk merantau dan dalam tiga kategori, yaitu lopi-lopi (perahu meninggalkan kampung halaman, seperti sampan), lopi (perahu yang memiliki Kalimantan Timur dan ke Kota Makassar sayap), dan perahu montor (perahu yang bekerja sebagai buruh bangunan/kuli lebih besar) (Hasil wawancara: SPRD, 25 bangunan. Februari 2017). Nelayan buruh yang ikut melaut dengan cara berkelompok 5 sampai 8 orang

138

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis memiliki keseragaman aturan dalam hal pepaya, pisang, jahe, kunyit, lengkuas, sistem bagi hasil. Ini berlaku pada nelayan mengkudu, dan tanaman apotek hidup yang juragan (pemilik perahu montor). Hasil banyak di tanam di sekitar pekarangan dari tangkapan selama kurang lebih 1-2 rumah. bulan melaut tidak selama mendapatkan Pekerjaan sampingan lainnya adalah hasil yang banyak. Hasil tangkapan ikannya beternak ayam kampung dan kambing. selama mereka melaut langsung di jual di Hasilnya dari memelihara ternak untuk tempat di mana perahu itu singgah. menambah keperluan rumah tangga dan Sedangkan tangkapan berupa lola, teripang, kebutuhan sehari-hari. Potensi wisata pantai dan japing-japing biasanya di bawa pulang yang terdapat di Dusun Ujung Bulo yang di jual di Kota Mamuju setelah kembali dari banyak dikunjungi wisatawan di hari-hari melaut. Bilamana mereka mendapatkan libur. Dimanfaatkan oleh warga masyarakat hasil Rp 18.000.000 s.d Rp 27.000.000 juta di sekitarnya dengan membuka bahkan lebih dari itu dalam sekali melaut warung/kedai kecil dengan menjual maka hasilnya tetap di bagi rata. Misalnya minuman dan mie rebus. Menyiapkan orang yang ikut di montor berjumlah 7 souvenir-souvenir yang terbuat dari kerang- orang, maka dihasilnya dibagi sembilan + kerang laut, seperti membuat gantungan (montor + mesin). Dari 7 orang tersebut kunci, asbak, tempat tissu dan lainnya. termasuk pemilik perahu/juragan, maka Dengan memanfaatkan potensi yang ada mereka pun dapat bagian. Jadi semuanya maka masyarakatnya dapat menambah masing-masing mendapat Rp 2.000.000 penghasilan dalam rumah tangga. Karena jika hasil penjualannya Rp 18.000.000. mencari ikan di laut tidak sepenuhnya Kalau hasil tangkapannya dihargai Rp dilakukan selama setahun karena kondisi 27.000.000 maka masing-masing cuaca yang fluktuatif. mendapatkan Rp. 3.000.000. Adapun biaya Hubungan antara pemilik perahu operasional selama mereka melaut maka montor dengan buruh nelayan yang ikut dikeluarkan dengan nilai yang sama untuk menangkap ikan saling membutuhkan. Jadi (perahu + mesin). dalam hal bagi hasil tidak ada ketimpangan Pekerjaan bertani dan berkebun maupun kecemburuan antara sesama buruh sekitar 20 % penduduknya mengolah dan nelayan maupun selama pemilik perahu lahan-lahan yang kurang produktif karena montor karena mereka mendapatkan hasil tanahnya kurang subur dan bercampur yang sama. Ketika terjadi musim paceklik karang. Kondisi topografi Pulau biasanya nelayan-nelayan buruh tidak lagi Karampuang ini hampir tidak dijumpai melaut karena kondisi cuaca tidak tanah datar. Adapun lahan-lahan yang tanah memungkinkan seperti kerasnya ombak, datar letaknya dipinggir-pinggir pantai angin kencang maka terpaksa mereka harus difungsikan untuk membangun rumah. beristirahat. Terkadang mereka mencari Lahan-lahan kering yang terlihat kosong pekerjaan sampingan seperti menjadi kuli merupakan tutupan batu karang. bangunan atau kerja sebagai pelayan toko Pemanfaatan lahan hanya untuk menanam sama orang Cina, menjadi kuli angkut di tanaman tegalan dan tanaman perkebunan, pelabuhan pekerjaan serabutan di Kota seperti singkong, jagung, dan kakao, itupun Mamuju demi pemenuhan kebutuhan hidup hasilnya produksinya kurang maksimal. keluarganya. Sedangkan nelayan buruh Umumnya tutupan lahan yang dominan yang tidak lagi bekerja, terkadang mereka adalah ditumbuhi semak belukar dan meminjam uang kepada pemilik perahu pohon-pohon keras. Para petani susah (juragan) atau pada keluarga. Karena mengembangkan tanaman-tanaman biasanya dalam satu dusun merupakan tahunan. Jenis tanaman-tanaman yang suatu rumpun keluarga dan tidak ada orang dikembangkan adalah tanaman hortikultura lain. Ketika butuh pertolongan mereka tanaman jagung, ubi kayu, jeruk nipis, saling membantu. Tetapi berbeda saat

139

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mereka memimjam kepada juragan nelayan nelayan tradisonal, dengan teknologi alat tempat mereka bekerja atau bergabung di tangkap yang masih sederhana. Para perahu montor sang juragan. Walaupun nelayan yang ada di pulau ini sangat istilahnya kerabat dekat dengan pemilik tergantung terhadap kondisi alam, kadang perahu montor. Memberikan pinjaman cuaca yang tidak menentu. Hal ini kepada anak buahnya merupakan cara mengakibatkan masa melaut mereka tidak mengikat mengikat nelayan buruh tersebut dilakukan sepanjang tahun menurut agar tidak lari atau berpindah kepada perhitungannya. Musim “panen ikan”, pemilik perahu montor lainnya. dalam arti musim di mana mereka dapat Jenis perahu montor tersebut, selain memperoleh hasil tangkapan yang “banyak” digunakan mencari ikan, teripang, lola, dan itu hanya berlangsung sekitar tujuh japing-japing. Penduduk di Pulau hingga delapan bulan. Selebihnya Karampuang menjadikan alat transportasi merupakan masa-masa yang penuh untuk berbelaja di Kota Mamuju, begitupun spekulasi saat melaut. Bahkan beberapa sebaliknya dari Kota Mamuju ke nelayan kecil mengungkapkan bahwa ada Karampuang, baik penduduk lokal maupun saat-saat tertentu, yang kadang berlangsung wisatan dari luar, dengan sekali jalan dapat hingga tiga atau empat bulan, terjadi angin memuat sekitar 20 orang penumpang. kencang dan ombak besar sehingga mereka Setiap penumpang dikenakan biaya Rp. terpaksa tidak melaut. 10.000 per kepala. Dalam kondisi semacam inilah nelayan seringkali menghadapi kesulitan Strategi Bertahan Hidup Nelayan ekonomi. Karena itu, melakukan pekerjaan Karampuang dalam Pemenuhan sampingan di saat mereka tidak melaut Kebutuhan Hidup merupakan suatu pilihan dan itu harus Salah satu strategi yang dilakukan dilakukan. Tentu saja dibutuhkan keluarga nelayan dalam mempertahankan kemampuan dan kemauan untuk melakukan kelangsungan hidupnya adalah melakukan pekerjaan sampingan guna memenuhi alternatif pilihan dengan mencari pekerjaan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. sampingan di luar bidang kenelayanan Karakter nelayan pun cukup bervariasi, ada untuk menambah pendapatan. Pekerjaan nelayan yang telah terbiasa melakukan sampingan maupun bentuk strategi yang kerja sampingan saat ia tidak melaut. umum dilakukan oleh komunitas nelayan Namun tidak sedikit jumlah nelayan yang sifatnya masih tradisional. Berbagai mengaku kesulitan bahkan enggan untuk peluang kerja yang dapat dimasuki oleh mencari pekerjaan sampingan, karena mereka sangat tergantung pada sumber- merasa tidak terbiasa melakukannya dan sumber daya yang tersedia di desa-desa ada nelayan yang sama sekali tidak pernah nelayan tersebut. Karena setiap desa mencoba. nelayan memiliki karakteristik lingkungan Ketidakmampuan sebagian nelayan alam dan sosial ekonomi tersendiri, yang untuk melakukan pekerjaan sampingan berbeda antara satu desa dengan desa yang karena secara sosiokultural ada keterikatan lain. Ada desa nelayan yang tersedia yang kuat dalam dirinya dengan peluang cukup besar untuk melakukan aktivitasnya sebagai penangkap ikan. pekerjaan sampingan, sementara ada desa Karena laut sudah dianggap sebagai bagian nelayan lain yang hampir tidak memiliki dari kehidupannya sehingga tidak mudah peluang untuk melakukan pekerjaan ditinggalkan. Oleh karena itu, sekalipun sampingan, karena jauhnya akses menuju pekerjaan nelayan tidak memberikan hasil kota sehingga hanya bergantung pada hasil yang stabil dan teratur, tetapi mereka laut. merasa enggan terlibat dalam pekerjaan Masyarakat nelayan di Pulau lain. Karampuang masih tergolong sebagai

140

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Keputusan untuk melakukan pengalaman hidup di daerah rantauan. pekerjaan sampingan di kalangan nelayan Namun ketika kondisi laut memungkinkan merupakan upaya dan pilihan rasional dan untuk melakukan aktivitas seperti biasa, ini terkait dengan upaya untuk menjamin mereka segera meninggalkan pekerjaan kelangsungan hidup rumah tangganya. sampingan tersebut untuk datang Sekalipun demikian, kendala-kendala berkumpul dengan keluarga dan kembali sosiokultural seringkali dihadapi nelayan, melaut. sehingga sebagian nelayan ada yang tetap Keterlibatan anggota keluarga dalam memilih untuk selalu menggantungkan membantu ekonomi rumah tangga, terutama kehidupan rumah tangganya dari hasil laut. ketika nelayan (suaminya) tidak melaut. Salah seorang informan menuturkan Biasanya yang ikut membantu adalah istri bahwa dirinya mengaku bingung dan nelayan dan anak-anak mereka yang kesulitan mendapatkan atau melakukan dianggap mampu bekerja dalam upaya kerja sampingan karena sejak kecil untuk mendapatkan tambahan penghasilan. hidupnya selalu berhubungan dengan laut Hal tersebut tentunya disesuaikan dengan (mencari ikan) dan tidak pernah melakukan kondisi dan kemampuan masing-masing pekerjaan yang lain selain melaut, sehingga anggota keluarganya. meskipun kondisi laut sedang tidak Diketahui ketika nelayan tidak menguntungkan untuk melaut (musim melaut, maka sebagai kepala keluarga peceklik ikan misalnya), ia tetap berusaha mereka berusaha mencari pekerjaan lain mencari sesuatu dari laut yang dapat sebagai bagian dari tanggung jawabnya menghasilkan uang, misalnya mencari untuk menutupi kebutuhan hidup tiram, kepiting atau kerang di pinggir pantai keluarganya. Sebagian besar nelayan- (Hasil wawancara, HDS: 1 Maret 2017). nelayan di Pulau Karampuang, baik Peluang bagi masyarakat nelayan di perorangan maupun nelayan buruh mencari Pulau Karampuang untuk melakukan pekerjaan sampingan, seperti bekerja pekerjaan sampingan sebenarnya cukup sebagai tukang batu (kuli bangunan), kuli terbuka, karena jarak tempuh dari kota angkut pelabuhan, kuli angkut di pasar, jadi Mamuju cukup dekat walaupun terpisah tukang ojek atau melakukan pekerjaan dengan daratan. Banyak pekerjaan- serabutan yang penting halal dan dapat pekerjaan di kota yang dapat dilakukan memenuhi kebutuhan dapur setiap harinya. yang penting punya kemauan dan semangat Namun demikian, tidak sedikit pula nelayan kerja, tanpa harus memiliki keahlian yang mengaku kesulitan untuk khusus. Pekerjaan-pekerjaan tersebut antara mendapatkan pekerjaan sampingan. lain melalui sektor jasa, seperti menjadi Sehingga keadaan laut yang tidak penjaga toko, buruh cuci, kuli bangunan, menguntungkan seringkali mereka kuli angkut pelabuhan, dan kuli angkut di memaksakan diri untuk melaut atau pasar dan lain-lain. mencari hasil laut lainnya di pinggir pantai Bagi masyarakat nelayan di Pulau seperti memancing di dermaga pada malam karampuang yang melakukan pekerjaan hari, baik memancing ikan maupun cumi- sampingan biasanya di saat-saat mereka cumi, atau kepiting. Dengan memaksakan tidak melaut, yang diperkirakan diri melaut merupakan tindakan penuh berlangsung tiga hingga empat bulan, resiko, yaitu selain kemungkinan tidak misalnya dengan menjadi kuli bangunan, memperoleh ikan, juga dengan ombak yang menjadi buruh angkut pelabuhan, kuli besar mengakibatkan ancaman terhadap angkut di pasar. Ada pula yang jiwanya jauh lebih besar. memutuskan merantau ke luar seperti ke Seorang informan mengungkapkan Kalimantan Timur atau ke Kota Makassar. bahwa karena tidak ada pekerjaan lain yang Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan bisa ia lakukan, ia berusaha tetap melaut kebutuhan hidup sehari-hari dan mencari meskipun tidak sedang musim ikan. Ia

141

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mengaku sering mengalami kerugian di rumah dengan membuka kios-kios kecil (tekor) saat melaut. Ia menceritakan dengan memanfaatkan ruangan dan kejadian sehari sebelum wawancara ini pekarangan rumah, dengan berjualan dilakukan, bahwa untuk melaut ia butuh barang-barang kebutuhan hidup sehari- bahan bakar berupa bensin dua liter seharga hari, seperti: menjual gula, terigu, biscuit, Rp 15.000,- . Ketika pulang ia hanya minyak, susu, kopi, teh, rokok, garam, indo mendapatkan beberapa ekor ikan yang bila mie, obat nyamuk, dan lain-lain. dijual tidak laku Rp 12.500,- sehingga ia Bentuk-bentuk usaha sampingan yang terpaksa rugi Rp 2.500,-. Kejadian tersebut dilakukan oleh keluarga nelayan khususnya bukan sekali ini saja, namun sering terjadi istri-istri para nelayan dengan bekerja di (Hasil wawancara, ARF: 28 Februari 2017). Kota Mamuju sebagai buruh cuci. Setelah Kertlibatan istri-istri nelayan untuk pekerjaan mereka selesai pada sore hari membantu panghasilan rumah tangganya, adalah mereka membeli bahan-bahan untuk mereka rela dan pasrah untuk menjadi membuat jajanan (kue-kue tradisonal). Pada buruh cuci maupun penjaga toko di Kota malam hari mereka membuat adonan kue, Mamuju. Mereka memutuskan untuk dan pada subuh hari mereka memasaknya bekerja di kota dengan penghasilan gaji hingga menjelang pagi. Sebelum mereka pas-pasan Rp 800.000,- s.d Rp 1.000.000 berangkat kerja ke Kota Mamuju, jajanan per bulannya. Gaji yang ia terima harus yang telah dibuat dititipkan kepada anak dikeluarkan Rp 300.000,- sebagai perempuannya yang masih duduk dibangku ongkos/biaya perahu motor tiap bulannya. SD untuk dijual. Anak-anak tersebut Kemudian sisanya itu mereka simpan untuk menjual di atas tanggul yang dekat dermaga kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. tempat di mana banyak penumpang akan Bekerja sebagai buruh cuci dan penjaga berangkat ke Kota Mamuju. Walaupun toko di kota, berangkat jam 07.00 pagi hasilnya tidak seberapa tetapi dapat menggunakan perahu montor (sebutan bagi memberikan pendapatan tambahan untuk orang Karampuang) dan kembali ke rumah keluarga. jam 05.00 sore. Adapun ongkos perahu Selain itu, ada pula ibu-ibu yang montor mereka bayar per bulan setelah berdagang ikan, sebagai pedagang mereka gajian dari majikannya. Para buruh pengumpul. Ikan hasil tangkapan nelayan cuci tersebut merupakan penumpang tetap mereka kumpul atau langsung mereka beli setiap harinya dan setiap selesai gajian baru walaupun jumlahnya hanya beberapa ekor membayar Rp. 300.000 ribu kepada pemilik tetapi mereka tetap membelinya kemudian perahu montor (sopir/juru kemudi). mereka langsung menjualnya ke pasar. Di antara para nelayan di Pulau Setelah mereka kembali pasar biasanya Karampuang ada pula yang melibatkan membeli sayuran sesuai pesanan kemudian anak-anak mereka dalam berbagi kegiatan dijual ke tetangga yang penting ada mencari nafkah. Hal tersebut tidak lepas keuntungan sedikit. Pada kenyataannya dari kondisi keterbatasan ekonomi rumah memang telah dilakukan oleh sebagian tangga mereka. Keterlibatan anak nelayan warga di pulau ini. ada yang terkait dengan kegiatan Hal menarik yang banyak kami kenelayanan. Anak laki-laki akan mengikuti ditemukan di Pulau Karampuang yaitu orang tua atau kerabatnya mencari ikan ke sebagian nelayan ketika tidak melaut laut atau membersihkan perahu yang baru mereka mencari kerja sampingan dengan tiba dari melaut. Sementara anak-anak menjadi kuli bangunan, kuli angkut pasar, perempuan biasanya membantu pekerjaan kuli angkut pelabuhan. Beralih mengolah domestik orang tuanya atau membantu kebun, memelihara unggas dengan beternak mengangkat air dari sumur. ayam kampung, juga membuat souvenir Istri-istri nelayan yang sudah berumur dari kerang-kerang laut untuk dijual di 40 tahun ke atas lebih memilih untuk tetap lokasi tempat wisata.

142

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Menurut informan bahwa tidak semua bekerja toko-toko orang Cina dan bekerja nelayan-nelayan di pulau ini pada saat sebagai buruh cuci maupun menjual jajanan mereka tidak melaut, mereka ikut bekerja tradisional. mencari pekerjaan sampingan atau pergi Menurut seorang nelayan di Pulau merantau. Menurutnya mereka merasa lebih Karampuang bahwa saat terjadi musim nyaman tinggal di kampung berkumpul paceklik tiba, maka untuk menutupi dengan keluarga, daripada meninggalkan kebutuhan hidupnya hidup mereka sehari- keluarga. Yang penting masih bisa melaut hari. Mau tidak mau, kita terpaksa bekerja walaupun hasilnya hanya untuk makan sebagai kuli bangunan, kuli angkut pasar, sehari saja, karena kondisi cuaca cuaca kuli angkut pelabuhan di Kota Mamuju. yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap Walaupun pendapatannya memang lebih melakukannya, walaupun jarak kecil dibandingkan dengan hasil melaut, pencariannya tidak jauh dari pandangan yaitu sekitar Rp. 50.000 s/d Rp 100.000,- mata yakni di pinggir-pinggir pantai atau per hari. Namun dengan penghasilan sekitar pulau. Atau mencari lokasi tersebut sekurang-kurangnya dapat pemancingan yang dianggap aman seperti menutupi rumah tangga keluarganya (Hasil berdiri di atas dermaga dengan wawancara: AHD, 23 Februari 2017). melemparkan mata kailnya. Serta hanya Salah seorang informan menuturkan sekedar memasang bubu dipinggir-pinggir bahwa istrinya bekerja sebagai buruh cuci pantai yang banyak karangnya (Hasil penghasilan sekitar Rp 800.000 – Rp wawancara, ACD: 20 Februari 2017). 1.000.000 per bulannya. Setiap buruh cuci Melakukan pekerjaan sampingan bagi mendapat gaji yang berbeda tergantung dari keluarga nelayan di Pulau Karampuang majikan tempat mereka bekerja. Setelah sangat penting untuk dilakukan guna mereka gajian harus membayar ongkos menopang kehidupan rumah tangga. Hal ini atau perahu montor/taksi sekitar Rp terkait dengan musim paceklik, karena 300.000,- per bulan. dengan istrinya ikut umumnya masyarakat nelayan hanya bekerja sebagai buruh cuci maka menyandarkan kehidupannya dari hasil laut kebutuhan hidup keluarganya yang pokok saja. Di saat hasil tangkapan stabil (musim dapat terpenuhi, sehingga tidak perlu ikan), penghasilan yang diperoleh cukup berhutang kepada juragan atau tengkulak lumayan sehingga dapat menutupi (Hasil wawancara, HRS: 27 Februari 2017). kebutuhan hidup sehari-sehari. Bahkan Bagi keluarga nelayan di Pulau hasilnya setiap hari dapat disisihkan atau Karampuang melakukan pekerjaan disimpan. Ketika mereka ada kesempatan sampingan, memiliki makna yang sangat pergi ke Kota Mamuju mereka ke Bank berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah BRI untuk menabung. Jika terjadi musim tangganya. Hal ini terkait dengan dalam paceklik ikan, maka tabungan tersebut kegiatan menangkap ikan yang berakibat biasanya diambil untuk menutupi panghasilan semakin kurang stabil, kebutuhan hidup sehari-hari mereka sehingga para nelayan menganggap saat maupun untuk keperluan anak sekolah. tidak melaut, merupakan masa-masa yang Adapun tabungan yang mereka miliki sangat sulit untuk menambah atau menutupi jumlahnya tidak seberapa besar, sehingga kebutuhan mereka sehari-hari, jadi harus tidak bisa menutupi kebutuhan hidup untuk melakukan pekerjaan apa saja yang penting satu tahun. Oleh karena itu untuk menutupi halal. kebutuhan hidup selama musim paceklik, mereka harus melakukan pekerjaan PENUTUP sampingan di luar aktivitas kegiatan melaut misalnya menjadi kuli bangunan, kuli Kota Mamuju menuju Pulau angkut pelabuhan, kuli angkut pasar. Dan Karampuang tergolong cukup dekat, dapat tukang ojek. Sedangkan istri-istri nelayan ditempuh selama kurang lebih 20 menit dengan perahu jolloro atau sebutan montor 143

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 atau taksi oleh orang Karampuang. ke Kota Makassar untuk mencari Nelayan-nelayan di Pulau Karampuang pekerjaan sampingan seperti menjadi umumnya memiliki tingkat pendidikan tukang batu dan kuli bangunan. yang masih rendah, banyak di antara 3. Istri-istri nelayan yang masih muda mereka pendidikan hanya tamat SD dan banyak yang bekerja di kota sebagai SLTP. Perahu-perahu yang digunakan buruh cuci dan penjaga toko sama orang- untuk menangkap ikan adalah lopi-lopi orang Cina, adapula jadi pedagang ikan yaitu perahu tanpa dilengkapi mesin dan dan pedagang sayur mayur di Kota masih menggunakan dayung, sedangkan Mamuju. perahu dengan sebutan lopi adalah perahu 4. Istri-istri nelayan yang sudah tidak kuat yang sudah menggunakan mesin. dan berumur di atas 40 tahun mereka Sementara perahu yang agak besar, dan lebih memilih membuka kios-kios kecil sama jenisnya alat transportasi untuk di rumahnya dengan menjual barang- penumpang yang digunakan oleh barang campuran untuk keperluan hidup masyarakatnya untuk ke Kota Mamuju. sehari-hari. Selain itu digunakan untuk Dengan melakukan pekerjaan mencari/menangkap ikan nelayan di Pulau sampingan maka keluarga nelayan seperti Karampuang dengan berkolompok 6-8 yang telah kami sebutkan, maka mereka orang. Dengan jangkauannya cukup jauh sangat terbantu untuk kelangsungan hidup hingga Kalimantan dan Sulawesi Tengah ekonomi rumah tangganya. Hal ini terkait dan Sulawesi Utara selama 1-2 bulan baru dengan ketidakstabilan penghasilan mereka mereka kembali. Peralatan-peralatan alat dari hasil melaut, akibat kondisi cuaca yang tangkap yang masih tergolong sederhana tidak menentu. dan ramah lingkungan, seperti pancing, Perlu adanya perhatian yang lebih panah, jaring dan lain-lain. Peluang untuk besar dari pemerintah atau berbagai pihak- melakukan pekerjaan sampingan saat pihak yang terkait, karena selama ini terjadinya musim paceklik cukup terbuka kehidupan nelayan tradisional secara umum karena akses menuju Kota Mamuju cukup identik dengan tingkat penghasilan yang dekat. Walaupun pekerjaa-pekerjaan yang tergolong rendah. Perlunya wawasan mereka dapatkan tidak memerlukan pengetahuan dan memiliki skill/ketrampilan pemikiran atau keterampilan khusus dengan mengenai kegiatan di luar sektor mendapatkan upah pas-pasan dan hanya kenelayanan, sehingga di saat-saat tidak sekedar untuk menutupi kebutuhan rumah melaut mereka dapat memanfaatkan tangganya saat terjadi paceklik atau mereka waktunya untuk melakukan aktivitas lain tidak melaut. Usaha-usaha pekerjaan yang dapat menambah pendapatan. sampingan yang dilakukan oleh keluarga nelayan antara lain: DAFTAR PUSTAKA 1. Pada umumnya nelayan yang memiliki lahan-lahan perkebunan mereka Acheson, James M. 1981. “Antrhopology of bercocok tanam dengan menanam Fishing”, Annual Review jagung, ubi kayu, dan sayur-sayuran Anthoropology. Inc. Vol. 10 P 275- dengan memanfaatkan lahan di sekitar 316. pekarangan rumahnya. Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. 2. Ketika tidak melalui karena kondisi Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. cuaca yang flutuatif maka sebagian Surabaya: Usaha Nasional. nelayan mencari pekerjaan di Kota Mamuju dengan menjadi kuli bangunan, BPS. 2016. Kabupaten Mamuju Dalam kulia angkut dan tukang ojek. Namun, Angka, 2016. adapula para nelayan yang memutuskan Emerson, Donald K. 1980. Rethingking ikut merantau ke Kalimantan Timur dan Artisanal Fisheries Development

144

Strategi Bertahan Hidup Nelayan Karampuang …. Abd. Asis

Western Concept, Asian Experiences Winahyu, Retno dan Santiasih. 1993. Work Bank Staff Working Paper. “Pengembangan Desa Pantai” dalam Ihromi, T.O. 2004. Bunga Rampai Mubyarto (eds.) Dua Puluh Tahun Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Obor Indonesia. Aditya Medya. Imron, Masyhuri. 2003 “Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan” dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya. PMB – LIPI. Vol. V No. 1/2003. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-RUZZ Media. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumber- daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS. Lampe, Munsi. 1989. “Strategi-strategi Adaftif yang Digunakan Nelayan Madura dalam Kehidupan Ekonomi Lautnya”. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.

Ngadi. 2016. “Diversifikasi Mata Pencaharian dan Pendapatan Rumah Tangga di Kawasan Pesisir Wakatobi Sulawesi Tenggara”, dalam “Jurnal Sosek KP”, Volume 11 No. 2 Desember 2016 Papan Potensi Desa Karampuang, 2016. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. Sugiono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatifi. Bandung: Alfabeta. Suyanto, Bagong. 2003. Kajian Model Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Desa Pantai Madura dan Kawasan Selatan Jawa Timur. Surabaya: Lemlit Unair dengan Balitbang Provinsi Jatim. Smith, Nigel JH. 1981. Man, Fisher, and The Amazon. New York: Colombia University Press.

145

BERRE’ RI SULAWESI MANIANG: DARI PRODUKSI, PERDAGANGAN, PELAYARAN, HINGGA PENYELUNDUPAN BERAS (1946-1956) BERRE’ (RICE) IN THE SOUTH SULAWESI: FROM PRODUCTION, TRADING, SHIPPING, TO RICE SMUGGLING (1946-1956)

Adil Akbar Program Pascasarjana UNM, Prodi IPS Konsentrasi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar, Kampus Gunung Sari, 90222 Telp (0411) 830366, Faksmile (0411) 855288 Pos-el: [email protected] Handphone : 085298443202

ABSTRACT Three primary objects of discussion are presented in this research: first, rice production in South Sulawesi during the years 1946-1950; second, the trade network and shipping of rice as a commodity in South Sulawesi during the years 1946-1950; third, the smuggling of rice in South Sulawesi during the years 1950-1956. The method employed in this research is a historical approach consisting of the following stages: data collection (especially in study of archives and records), critical, interpretation, and historiography (compiling the history). The results of this research demonstrate, first of all, a healthy level of production of rice in South Sulawesi, due to the quality and quantity of arable land suitable for rice planting; also, the presence of ports on both the east and west sides of the peninsula motivated the creation of rice trade network in East Indonesia during the years 1946-1950. Nevertheless, it is undeniable that the political upheaval that took place in South Sulawesi in the 1950s affected the production and trade of rice in the area, with one of the results being the emergence of rice smuggling. It may be generally concluded that in addition to contributing to the economy, the creation of a trade network also carries a political aspect. Keywords: South Sulawesi, rice, ports, smuggling, trade

ABSTRAK Terdapat tiga hal pokok yang dibahas dalam penelitian ini: pertama, Produksi Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; kedua, Jaringan Perdagangan dan Pelayaran Komoditas Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1946-1950; ketiga Penyelundupan Beras di Sulawesi Selatan kurun tahun 1950-1956. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Sejarah dengan tahapan, Heuristik (pengumpulan data, terutama studi kearsipan dan kepustakaan) kritik, Interpertasi (penafsiran) dan histiografi (penulisan sejarah). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: hasil produksi beras di Sulawesi Selatan memuaskan. Hal ini dikarenakan potensi alam dan luasnya lahan produktif untuk ditanami padi, selain itu kehadiran pelabuhan – pelabuhan di pesisir barat dan timur Sulawesi Selatan mendorong terciptanya jejaring perdagangan beras di kawasan timur Indonesia pada kurun tahun 1946-1950. Walaupun demikian, tidak dapat dinafikan gejolak politik yang terjadi di Sulawesi Selatan kurun tahun 1950-an mempengaruhi produksi dan perdagangan beras di daerah tersebut, salah satunya ialah praktek-praktek penyulundupan beras. Secara umum dapat disimpulkan selain bernilai ekonomis, menciptakan jejaring ekonomi juga memiliki nilai politik. Kata Kunci: Sulawesi Selatan, beras, pelabuhan, penyelundupan, perdagangan. PENDAHULUAN merupakan headline atau tajuk utama rilis “5.000 Ton Beras di Teluk Bintan Gagal berita tempo.co, dalam rilis berita tersebut Diselundupkan”. disebutkan bahwa Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Yudo Apa yang Anda baca di atas

146

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Margono melaksanakan inspeksi dan tahun 1954. peninjauan ke kapal MV Alkar Trust dan Disebutkan sebanyak 4.000 ton beras MV Kar Turst yang berusaha diselundupkan ke Kalimantan, terutama menyelundupkan 5.000 ton beras di daerah-daerah yang berbatasan dengan perairan Teluk Sebong Bintan. Lebih lanjut Tawau Malaysia, dalam berita kawat diceritakan bahwa dua kapal kargo asing tersebut menyatakan bahwa beras tersebut tertangkap oleh tim gabungan diselundupkan dari Sigeri (Barru) kemudian Western Fleet Quikc Responese Lantamal dimuat dengan perahu-perahu kecil ke IV Tanjung Pinang serta Lanal Batam pada Pulau Salemo dan pulau-pulau sekitarnya hari Selasa, 8 Mei 2018 (bisnis.tempo.co yang selanjutnya diangkut ke Kalimantan diakses hari Selasa 05 Februari 2019). dengan menggunakan perahu layar Masih dalam laman yang sama, bertonase besar (Arsip Barru, No. Reg. tempo.co—pada tajuk Tiga Negara 179). Tetangga Siap Serap Beras Bulog—juga Senada dengan penyelundupan beras, menguritakan mengenai rencana Perum ihwal ekspor beras pun juga terekam dalam Bulog untuk mengekspor beras—yang akan catatan sejarah. Disebutkan pada tahun dilaksanakan pada kisaran pertengahan 1946 Indonesia sebagai suatu negara yang tahun 2019. Setidaknya tiga negara di baru merdeka pernah mengekspor beras ke kawasan ASEAN siap menyerap beras dari India—yang kala itu ditimpa bencana Perum Bulog tersebut (bisnis.tempo.co kelaparan. Pengiriman atau ekspor beras diakses hari Selasa 05 Februari 2019). dari Indonesia ke India pada bulan April Tajuk berita pertama yang disebutkan 1946 bukan hanya bertujuan untuk sebelumnya memberikan gambaran upaya membantu bencana kelaparan yang dialami negara dalam melindungi komoditas beras India, melainkan mengirim sebuah pesan dari praktik-praktik penyelundupan, selain bahwa Indonesia mampu menembus itu memberikan gambaran bahwa beras blokade ekonomi yang dijalankan oleh memiliki satu nilai lebih sebagai suatu Belanda di masa-masa awal kemerdekaan. barang dagangan atau komoditas. Diplomasi beras yang dilakukan Sjahrir Sederhananya, sebuah barang yang akan sedikit banyak membantu pihak Republik diselundupkan pastinya memiliki nilai yang Indonesia untuk mendapat bantuan tinggi di pasar selundupan (daerah tujuan pengakuan kedaulatan dari luar negeri dan selundupan). Agak berbeda ditemukan memberikan pesan ke dunia luar untuk dalam tajuk ke dua; laporan bulog mengakui eksistensi kehadiran negara yang mengenai rencana pemerintah untuk baru merdeka bernama : Indonesia. mengekspor beras ke luar negeri Dua peristiwa yang memiliki kesamaan memberikan gambaran bahwa produktifitas namun berbeda ruang dan waktu itu beras di Indonesia meningkat, walaupun setidaknya memberikan gambaran bahwa sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah komoditas beras memiliki andil tersendiri akan melaksanakan impor beras. dalam jalannya satu narasi sejarah di Dua peristiwa faktual yang telah Indonesia, dan tentunya menguatkan sebuah disebutkan sebelumnya, yakni perihal pernyataan bahwa sejarah itu tidak hanya penyelundupan beras dan ekspor beras berdimensi kelampauan, ilmu tersebut juga sesunggunya bukanlah hal yang baru di berdimensi kekinian dan yang akan datang. Indonesia, jika mereduksi pada ingatan Jika berbicara tentang beras, maka masa lalu; perihal penyelundupan beras salah satu daerah yang menjadi perbincangan pernah terjadi dan terekam dalam catatan adalah Sulawesi Selatan. Daerah tersebut sejarah, sebagaimana yang tercatat dalam sejak dahulu dikenal sebagai daerah berita harian Kopal MKS dan kawat dari penghasil beras. Tercatat, kurun tahun panglima Territorium VII Wirabuana; 1946-1948 daerah Sulawesi Selatan telah mengenai berita penyelundupan beras di memproduksi beras sebanyak 982,15

147

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 kuintal per hektar (qt/Ha) dengan luas areal Dengan ini kami memohon dengan amat persawahan di kurun tahun tersebut sangat, agar bapak suka membukakan mencapai angka 372.864 hektar (Anonim, kesempatan kepada kami untuk 1953 : 410). mengirimnja ke Kalimantan dengan Produksi beras yang melimpah di tahun perahu/kapal. tersebut selain untuk dikonsumsi juga untuk Kesempatan ini kami anggap sebagai suatu diperdagangkan, beberapa catatan banntuan jang bermutu tinggi terhadap menyebutkan bahwa sebanyak 1.000 – kelantjaran/kemadjuan perusahaan kami. 5.000 ton beras—pada paruh awal abad ke- Sebelumnja kami aturkan banjak terima- 20—di kirim dari Pelabuhan Makassar ke kasih.-“ (Arsip Muhammad Saleh Lahade, wilayah Ambon, selain itu terdapat pula No. Reg. 273 : Surat Keluar N.V. Batu 2.000 ton beras dikirim ke Ternate (Asba, Putih) 2007) (Nur, 2003) (Najamuddin, 2000). Informasi tersebut di atas memberikan Setidaknya ihwal tersebut di atas dapat pada kita suatu fakta bahwa; Pertama di dibuktikan dengan kegiatan bongkar muat tahun 1955-1956 daerah Pare-Pare di Pelabuhan Makassar kurun tahun 1946- setidaknya telah menghasilkan beras 1949, tercatat sebanyak 1.118 kapal dengan sebanyak seratus ton. Kedua, telah terjalin beban tonase 9.394.620,23 kubik dan 2.652 kontak perdagangan antara Sulawesi perahu tradisional dengan total tonase Selatan dengan Kalimantan. Ketiga, 97.944,85 kubik hilir mudik di pelabuhan jaringan pelayaran dan perdagangan beras Makassar. Angka-angka tersebut setidaknya dikontrol langsung oleh militer. Keempat, memberikan indikasi bahwa kegiatan perdagangan beras dilaksanakan melalui perekonomian di sektor pelayaran laut, di samping melalui darat. menggeliat terutama kegiatan ekspor-impor Fakta-fakta tersebut menunjukkan komoditi perdagangan di mana salah bahwa komoditi beras merupakan salah satu satunya ialah beras (Najamuddin, 2000 : komoditi dagang yang seksi dan memiliki 128). Selain itu, kehadiran-kehadiran nilai penting, tidak hanya sebagai satu perusahaan asing dan lokal sepeti komoditi yang diperdagangkan dan Mandeers, Seeman & Co, Perusahaan dikonsumsi, bahkan komoditi beras pada Insulinde Makassar, Moreoux & Co, fase tertentu menjelma menjadi alat tukar Coprafounds dan lain sebagainya turut yang menopang logitik perang Gerakan membangkitkan gairah geliat ekonomi di DI/TII di Sulawesi Selatan kurun tahun Indonesia Timur terutama pengangkutan 1950-1965. komoditi beras, kopra, kayu, melalui Olehnya itu beras sebagai komoditas pelabuhan Makassar baik menggunakan dagang dan beras sebagai bahan konsumsi jasa KPM maupun perahu tradisional milik utama masyarakat, telah menempatkan masyarakat setempat (Evita, 2018). komoditas ini diperebutkan dan dicari oleh Lebih lanjut, dalam catatan arsip banyak orang. Dalam konteks inilah perlu koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan diketahui bagaimana beras dikelola, Provinsi Sulawesi Selatan disebutkan diproduksi, dikembangkan dan dipasarkan. bahwa kurun tahun 1955-1956 terjadi Melalui proses tersebut, maka komoditi transaksi perdagangan beras dari Sulawesi beras dalam konteks ini menjadi menarik Selatan ke berbagai daerah seperti untuk dijelaskan dalam konteks historis. Kalimantan dan Ambon, sebagaimana nukilan berikut ini: METODE “Dengan segala hormat. Secara umum penelitian ilmiah terbagi Bersama ini kami dari N.V. Batu-Putih menjadi dua bagian, yaitu penelitian pusat Makassar, menjampaikan bahwa : kualitatif dan penelitian kuantitatif. Untuk kini kami ada mempunjai persediaan beras penelitian ini menggunakan penelitian di Pare-Pare sebanjak 100 (seratus) ton.

148

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar kualitatif dengan pendekatan analytic Sakka. Selain itu terdapat beberapa history (analisis sejarah) yaitu penulisan makalah-makalah yang patut dijadikan sejarah yang memanfaatkan teori dan acuan dalam menulis penelitian ini, semisal metodologi. Metodologi sejarah tersendiri makalah-makalah yang termaktub dalam terbagi atas heuristik, kritik, interpretasi, risalah prosiding IKAJIS I (Saransi dan dan historiografi. Penelitian ini adalah Nur, 2018). penelitian sejarah yang bersifat deskriptif Langkah yang kedua ialah kritik. Kritik analitis, menggunakan sumber-sumber dalam metode sejarah terbagi atas dua, sejarah berupa sumber tertulis dari kritik interen dan eksteren. Kritik intern dokumen-dokumen sebagai sumber utama dilakukan untuk menilai kelayakan atau penulisan—dengan menekankan pada aspek kredibilitas sumber. Kredibilitas sumber kronologis sebuah peristiwa. biasanya mengacu pada kemampuan Langkah yang pertama dilakukan sumber untuk mengungkap kebenaran suatu dalam menulis penelitian ini ialah: peristiwa sejarah, kemampuan sejarah Heuristik. Heurisik secara sederhananya meliputi kompetensi, kedekatan atau memiliki pengertian mengumpulkan kehadiran sumber dalam peristiwa sejarah. sumber-sumber sejarah, mengumpulkan Selain itu kepentingan dan subjektivitas data-data sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 86). sumber dan ketersediaan untuk Untuk mengumpulkan data-data tersebut mengungkapkan kebenaran. Konsistensi setidaknya dapat dilakukan dengan dua sumber terhadap isi atau sumber (Madjid cara; pertama studi arsip. Kedua, studi dan Wahyudi 2004: 224). Kritik ekstern kepustakaan. dilakukan untuk mengetahui sejauh mana Pertama, studi arsip. Penulusuran arsip kebebasan dan autentifikasi sumber. Kritik dilakukan di Dinas Perpustakaan dan terhadap autentitas sumber tersebut Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan yang misalnya dengan melakukan pengecekan beralamatkan di: Jalan Perintis bahan berupa kertas atau tinta apakah cocok Kemerdekaan KM. 12 Nomor 146, dengan di masa di mana bahan semacam itu Tamalanrea, Kota Makassar. Arsip yang biasa digunakan atau di produksi, membantu dalam penelitian ini ialah : (1) memastikan suatu sumber apakah termasuk Arsip pribadi Muhammad Saleh Lahade sumber asli atau salinan. 1937-1973; (2) Arsip Pemda Barru; (3) Langkah berikutnya adalah Arsip Pemda Selayar. interpretasi, yakni menafsirkan data dan Kedua. Studi kepustakaan (library fakta sejarah kemudian disusun menjadi research). Studi kepustakaan bertujuan satu jalinan peristiwa yang kronologis. untuk mencari dan menemukan data-data Setelah melalui tahapan sebelumnya, maka berupa dokumen dan literatur yang tahap berikutnya adalah: Historiografi. berhubungan dengan penelitian ini, seperti Historiografi dalam penulisan sejarah, karya ilmiah, buku, majalah, artikel, skripsi, wujud dari penulisan (historiografi) itu tesis, disertasi, dan sebagainya. Dalam studi merupakan paparan, penyajian, presentasi kepustakaan ini, terdapat beberapa karya atau penampilan (eksposisi) yang sampai yang menjadi entry point atau pintu masuk kepada dan dibaca oleh para pembaca atau dalam mengulas permasalahan produksi, pemerhati sejarah (Sjamsuddin, 2007:236). perdagangan, pelayaran, hingga penyelundupan beras. Karya tersebut PEMBAHASAN berupa penelitian ilmiah tingkat skripsi, Produksi Beras Di Sulawesi Selatan tesis, dan disertasi. Seperti skripsi: Sitti Kurun Tahun 1946-1950 Maryam, Muhammad Vibrant Anwar, Muhammad Rafiuddin. Kemudian Tesis Dalam berbagai catatan disebutkan dari Najamuddin, Rasyid Asba, dan Nahdia bahwa pada kisaran tahun 1906 penduduk Nur serta disertasi dari Abdul Rasyid Ambo yang bergiat di bidang pertanian berkisar

149

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 pada angka 69,8 persen, kemudian di tahun pertanian. Ihwal tersebut dapat 1930 meningkat menjadi 71,38 persen dihubungkan dengan luas areal persawahan (Maryam, 1999 : 2). Lalu dikurun tahun di Sulawesi Selatan. Tercatat tahun 1938 1947-1948 mencapai angka 85 persen atau luas areal persawaan di Sulawesi Selatan 3.297.302 jiwa (Najamuddin, 2000 : 23) mencapai angka 334.581 hektar (Maryam, (Anonim, 1953 : 25). 1999 : 10) kemudian meningkat menjadi Jika melihat angka di atas, 346.879 hektar di kurun tahun 1943-1951 menunjukkan bahwa ada peningkatan (Anonim, 1953 : 410). Agar lebih jelasnya, jumlah masyarakat yang terjun dalam dunia dapat disimak dari tabel-1.1 berikut ini:

Tabel 1.1: Luas Areal Sawah Pada Tahun 1938 di Sulawesi Selatan Luas Sawah Afdeling Onderafdeling (Ha) Makassar Pangkajene 18.860 Maros 20.554 Gowa 24.148 Jeneponto-Takalar 21.947 Bonthain Bonthain 1.646 Bulukumba 6.629 Sinjai 7.635 Seleier (Selayar) - Bone Bone 40.000 Soppeng 12.535 Wajo 47.172 Pare-Pare Barru 8.396 Pare-Pare 4.176 Pinrang 13.056 Sidenreng- 31.635 Rappang Enrekang - Mandar Polewali 3.500 Majene 200 Mamuju - Mamasa 6.000 Luwu Makale-Rantepao 3.500 Palopo 16.400 Masamba 10.070 Malili - Kolaka 1.000 Kota Besar Makassar 4.022 Makassar Total Keseluruhan Sulawesi Selatan 334.581 Sumber: diolah dari Siti Maryam 1999. Perdagangan Beras Di Sulawesi Selatan Tahun 1930- 1940. Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.Hlm. 10 Dari tabel 1.1 di atas dapat dilihat areal sawah produksi 3.700 Ha. Adapun bahwa tahun 1938 luas areal persawahan di untuk Kota Besar Makassar memiliki lahan Sulawesi Selatan mencapai angka 334.581 seluas 4.022 Ha yang ditanami padi. Ha. Di mana Afdeling Bone—yang meliputi Luasnya areal persawahan di Sulawesi Onderafdeling Bone, Soppeng, Wajo— Selatan dan adanya pembangunan irigasi merupakan daerah penghasil beras terbesar, secara besar-besaran diawal Abad XX dengan luas sawah produksi 99.707 Ha. berpengaruh langsung pada meningkatnya Sedangkan Afdeling Mandar yang terdiri produksi beras di Sulawesi Selatan. Nilai dari Onderafdeling Polewali, Majene, ekspor beras Sulawesi Selatan pada tahun Mamuju dan Mamasa hanya memiliki luas 1920 hanya berjumlah f.300.000 naik

150

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar menjadi f.3.300.000 pada tahun 1936 Selatan diperdagangkan ke hampir seluruh (Sakka, 2003). Meningkatnya produksi wilayah Hindia – Belanda, seperti yang beras di Sulawesi Selatan tentunya juga diuraikan pada tabel-1.2 di bawah ini: berdampak pada meningkatnya perdagangan beras antar pulau. Produksi beras di Sulawesi Tabel 1.2: Ekspor Beras Sulawesi Selatan Ke Berbagai Pulau di Hindia Belanda Pada Tahun 1934-1935 (dalam Ribuan Ton) Bali/ Tahun Jawa Maluku Manado Kalimantan Total Lombok 1934 16.44 58,19 12.28 12,24 154,98 289,03 1935 26,34 66.84 10,10 22,28 146,23 321,55

Sumber: Abdul Rasyid A. Sakka 2003. Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1888- 1958. Disertasi. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hlm. 69

Secara umum menunjukkan bahwa terbagi menjadi musim barat dan musim hampir seluruh wilayah di Sulawesi Selatan timur. Secara umum kedua musim ini adalah daerah penghasil beras, yang membawa hujan bagi wilayah Sulawesi meliputi: Afdeling Makassar, Bonthain, Selatan. Parepare, Mandar, Luwu, dan Kota Besar Wilayah Sulawesi Selatan juga dialiri Makassar. Besarnya produksi beras tersebut beberapa sungai-sungai yang cukup besar, dikarenakan bentang alam Sulawesi Selatan bisa disebutkan di sini ialah Sungai yang begitu baik dalam mendukung Jeneberang di selatan Sulawesi Selatan produktifitas pertanian. yang membelah daratan Gowa. Sungai Jika dilihat dalam peta atau atlas, Walane yang membelah daratan Soppeng Sulawesi pada masa akhir kolonial (1941) dan Wajo, Sungai Cenrana yang membelah (lihat lampiran peta Ammarel, 2016) Bone. Selain itu terdapat beberapa danau dengan jelas memperlihatkan wilayah yang yang berada di Sulawesi Selatan, bisa terdiri atas dataran tinggi dan dataran disebutkan di sini ialah Danau Matano di rendah. Dataran tinggi tersebut berupa Luwu, Danau Sidenreng di wilayah pegunungan lipatan yang membentang dari Sidenreng-Rappang, dan Danau Tempe di selatan ke utara Sulawesi Selatan. Wajo. Aliran sungai dan danau tersebut Pegunungan lipatan tersebut membelah menjadi sumber pengairan untuk areal daerah ujung atas Afdeling Bonthain yang persawahan di Sulawesi Selatan (Mattulada, berbatasan dengan Afdeling Makassar dkk., 1977 dalam Najamuddin, 2000 : 19). (dalam hal ini Onderafdeling/Swapraja Selain itu, Sulawesi Selatan dikelilingi oleh Gowa, wilayah yang dimaksud ialah Ulu laut pada tiga arah penjuru mata angin. Ere Bantaeng dengan batas Sebelah barat daratan Sulawesi Selatan Bontolempangan, Biringbulu, dan Kaki terhubung oleh Selat Makassar, di sebelah Gunung Bawakaraeng) kemudian naik ke selatan daratan Sulawesi Selatan terhubung atas membelah wilayah Onderafdeling dengan Laut Flores, sedangkan daratan Maros, Afdeling Bone (Batas Bone-Gowa), Sulawesi Selatan di penjuru timur Onderafdeling / Swapraja Soppeng, berhadapan langsung dengan Teluk Bone. Onderafdeling / Swapraja Wajo, Olehnya itu Sulawesi Selatan dapat Onderafdeling / Swapraja Sidenreng- dikatakan memiliki posisi maritim, Rappang, Onderafdeling Enrekang, hingga sehingga terbuka kemungkinan bagi Onderafdeling Makale-Rantepao atau masyarakatnya yang tinggal di daerah Toraja. Hal inilah yang memisahkan musim pesisir untuk menjadi pelaut, nelayan, bagi wilayah pesisir pantai barat dan pesisir pelayar, dan nahkoda sebagai pilihan mata pantai timur, dan berakibat bagi iklim yang pencahariannya, mengarungi samudera dan

151

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 mengembara mencari nafkah di seberang hujan yang intensitasnya ringan hingga laut. lebat. Sedangkan daerah penghasil beras Pada penjelasan sebelumnya telah lainnya, yakni Sidenreng-Rappang dan dikemukakan bahwa bagian tengah Wajo mendapat hujan pada bulan Apri, Sulawesi Selatan membentang daerah Mei, Juni, Juli, Agustus, Desember, Januari. pegunungan lipatan dari selatan ke utara. Lalu ketika memasuki musim timur, daerah Pegunungan lipatan tersebut membelah yang mndapat guyuran hujan ialah daerah bentangan alam di daerah Bantaeng, Gowa, sepanjang pesisir Teluk Bone, yakni Maros, Bone, Soppeng, hingga ke Enrekang meliputi Bulukumba, Sinjai, Bone, hingga dan Tana Toraja serta Toraja Utara. Luwu. Daerah tersebut diguyur hujan pada Olehnya itu berpengaruh pada kondisi bulan: Januari, Februari, Maret, April, Mei, cuaca terutama permasalahan musim hujan. Juni, Juli, Agustus, dan bulan Desember Ketika memasuki musim barat, daerah (Najamuddin, 2000 : 21). sepanjang pesisir barat Sulawesi Selatan Perbedaan curah hujan ini disebabkan yang meliputi Gowa, Makassar, Maros, oleh perbedaan ketinggian tanah dan Pangkep, Barru, dan Parepare, struktur topografi, yaitu di bagian tengah mendapatkan guyuran hujan pada buan Sulawesi Selatan melintang dari selatan ke Oktober, Nopember, Desember, Januari, utara suatu pegunungan dan hanya diputus Februari, dan Maret. Daerah tersebut oleh dataran rendah di wilayah Sidenreng diuguyur hujan dengan intensitas dari Rappang dan Wajo. Olehnya itu, hampir ringan hingga lebat. Daerah Pinrang agak sepanjang tahun produktifitas komoditas ke utara—yang merupakan penghasil beras terus tumbuh dan berkembang. Untuk beras—mendapatkan hujan pada bulan lebih jelasnya, dapat disimak dalam tabel Desember, Januari, Februari, Maret, April, 1.3 berikut ini: Mei, Juni, Juli, dan Agustus dengan curah

Tabel 1.3: Frekuensi dan Daerah Jatuhnya Hujan di Sulawesi Selatan serta Musim Tanam dan Musim Panen di Sulawesi Selatan Kurun Tahun 1946-1950 Musim Timur Musim Barat Jatuhnya Jatuhnya Musim Musim Musim Musim Daerah Hujan Daerah Hujan di Tanam Panen Tanam Panen di Bulan Bulan Bulukumba Desember Gowa Oktober Sinjai Januari Makassar Nopember Bone Februari Maros Desember Luwu Maret Pangkep Januari April Barru Februari Mei Parepare Maret Juni Juli Januari/ April/ Mei April/ Agustus Februari September/ November/ Mei Soppeng April Maret / Oktober Pinrang Desember Desember Juni/ Wajo Mei April dan Januari Juli Sidrap Juni daerah Februari Juli sebelah April Agustus utara Mei Desember Pinrang Juni Januari Juli Agustus Sumber: diolah dari Memorie van Overgave den Controuler H.R. Rookmaaker. Betreffende de Onderafdeling Boni-Riattang, Afdeling Boni. Jaar 1915. Hlm. 247-248; Economische Breichten Oost Indonesie Jaar 1949; Economische Berichten Oost Indonesie Jaar 1950; Arsip Pemda Bone Nomor Register 1520; Leon A. Mears. 1957. Rice Marketing in The Republic of Indonesia. Jakarta : The Institute for Economics and Social

152

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Research and School of Economics University of Indonesia. Hlm 27: Najamuddin 2000. Sulawesi Selatan: Pergumulan Antara Negara Federal dan Negara Kesatuan 1946-1949, Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hlm. 20-21; Nahdia Nur. 2003. Produksi dan Pemasaran Beras di Sulawesi Selatan 1900-1943. Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana UGM. Hlm. 70.

Sebelumnya, kurun tahun 1936-1937 1938-1939. Dan di kurun tahun 1939-1940 produksi beras di Sulawesi Selatan berkisar di angka 71.000 ton. Tiga daerah mencapai angka kurang lebih 42.000 ton, penghasil beras yang melimpah kala itu kemudian menurun menjadi 40.500 ton di adalah Parepare, Wajo, dan Soppeng. kisaran tahun 1937-1938. Lalu merangkak Selengkapnya dapat disimak dalam tabel naik ke angka 60.000 ton pada kurun tahun 1.4 berikut ini:

Tabel 1.4: Perkembangan Produksi Beras dari Penghasil Beras di Sulawesi Selatan Kurun Tahun 1936-1940

Wilayah 1936-1937 1937-1938 1938-1939 1939-1940 Parepare 25.000 ton 27.000 ton 41.400 ton 46.000 ton Wajo 10.000 ton 11.000 ton 11.000 ton 15.000 ton Soppeng 4.500 ton 5.600 ton 5.600 ton 7.000 ton Daerah Lain 2.500 ton 3.000 ton 2.000 ton 3.000 ton Jumlah 42.000 ton 40.500 ton 60.000 ton 71.000 ton

Sumber : Nahdia Nur, Bambang Purwanto, dan Djoko Suryo, Perdaganagn dan Ekonomi di Sulawesi Selatan pada Tahun 1900-an sampai dengan 1930-an. Jurnal Ilmu Budaya Vol. 4. No. 1. Edisi Juni, 2016. Hlm. 617 Sebagaimana yang telah dijelaskan memproduksi beras dengan hasil yang pada tabel 1.3 yang memaparkan bahwa melimpah, maka tidak salah jika predikat hampir sepanjang tahun di pesisir timur dan lumbung pangan nasional disematkan pada barat Sulawesi Selatan diguyur hujan dan daerah Sulawesi Selatan. Agar lebih jelas memepengaruhi pola tanam dan pola panen, ada baiknya menyimak tabel 1.5 berikut ini: maka tidak mengherankan jika Sulawesi tabel mengenai produksi beras di Sulawesi Selatan di masa tersebut mampu Selatan kurun tahun 1946-1948:

Tabel 1.5: Rata-Rata Penghasilan / Produksi Hasil Padi Kering Beberapa Daerah di Sulawesi Selatan Tahun 1946-1948

Rata-rata penghasilan padi Luas No Afdeling kering/gabah (qt/Ha) Sawah (Ha) 1946 1947 1948 1 Gementee Makassar 111 16,64 6,96 23,72 2 Makassar Gowa 23.742 23,74 24,51 29,23 Maros 22.148 13,45 10,14 21,72 Pangkajene 19.608 17,16 9,26 22,03 Takalar 27.035 19,60 15,07 23,16 Jeneponto 12.773 14,21 17,62 15,04 3 Bone Bone 57.428 13,80 18,66 19,45 Soppeng 20.554 22,52 20,75 23,26

153

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Wajo 54.920 17,35 21,58 21,08 4 Bonthain Bonthain 2.917 32,30 23,64 24,68 Bulukumba 10.000 29,97 31,03 25,56 Sinjai 8.430 18,48 18,19 15,86 5 Pare-pare Pare-pare 4.272 23,49 15,26 21,80 Barru 9.217 24,54 22,81 28,00 Pinrang 33.420 21,33 18,44 23,69 Sidrap 40.034 19,80 21,47 20,10

Sumber: Anonim, 1953. Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi. Hlm. 410. Jaringan Pelayaran Dan Perdagangan dan berkembang kota-kota pelabuhan di Beras Kurun Tahun 1946-1950 pesisir Sulawesi Selatan, mulai dari Munculnya jejaring perdagangan di Makassar dengan Pelabuhan Somba Opu Sulawesi Selatan tidak terlepas dari nya, Parepare dengan bandar niaganya, kehadiran pelabuhan-pelabuhan di Bone dengan Pelabuhan Pallime dan sepanjang pesisir barat dan pesisir timur Pelabuhan Bajoe. Pelabuhan-pelabuhan Sulawesi Selatan. Berkembangnya tersebut telah mendorong dan merangsang pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat dilacak masyarakat untuk turun ke laut guna ketika para pedagang-pedagang pribumi melakukan aktifitas pelayaran dan Nusantara di abad-16 mengalihkan perdagangan. (Ahmad dan Kila, 2015) perdagangannya ke Timur Nusantara. (Nur, 2017). Musabab dari perkara itu dikarenakan Memasuki abad ke-18, abad ke-19, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada hingga abad ke-20 kegiatan perdagangan tahun 1511, para saudagar kala itu semakin semarak dengan hilir mudiknya menjadikan pelabuhan di Sulawesi Selatan, kapal-kapal laut yang melego jangkar di dalam hal ini Somba Opu sebagai Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Parepare, pelabuhan transito, pelabuhan singgah Pelabuhan Bajoe, Pelabuhan Pallime, dan sebelum ke Maluku (Umar, 1990) (Anwar, pelabuhan-pelabuhan lainnya telah turut 1996) (Paeni, 1995 : 44 dalam Rafiuddin, andil menguatkan perekonomian Sulawesi 2011 : 36). Selatan. Salah satu komoditas yang kerak Uniknya, pola perdagangan Makassar kali dijumpai dalam aktifitas perdagangan memiliki karakteristik tersendiri, wilayah tersebut ialah beras. Sulawesi Selatan pada umumnya tidak Para pedagang tersebut, baik dari menghasilkan produk ekspor, kecuali Bugis, Makassar, Selayar, Mandar, Melayu, tumbuhan padi atau beras, yang menurut dan bahkan dari luar—seperti Portugis— berbagai sumber dikatakan sebagai beras telah menjadikan Makassar dan Sulawesi Selatan sebagai pelabuhan serta pasar dengan kualitas baik serta murah. Beras tersebutlah yang dimanfaatkan para produksi. Lebih lanjut, di Pelabuhan pedagang dan pelaut sebagai perbekalan Makassar sendiri, kurun tahun 1946-1949 untuk melanjutkan perjalan. Di satu sisi, telah tercatat sebanyak 1.118 kapal dengan menjadikan Makassar dan Sulawesi Selatan beban tonase 9.394.620,23 melakukan sebagai satu mata rantai jejaring aktifitas bongkar-muat dengan mengangkut perdagangan (Poelinggomang, 2011 : 50). berbagai komoditias yang laku di pasaran Terciptanya jejaring perdagangan kala itu, seperti kopra dan beras. Selain komoditas beras tidak dapat dinafikan kapal-kapal bertonase berat, juga sebanyak karena pada masa tersebut, yakni kisaran 2.652 perahu tradisional dengan total tonase abad ke-16 dan abad ke-17 telah muncul 97.944,85 kubik keluar masuk di Pelabuhan Makassar. Angka-angka tersebut memberikan

154

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar indikasi bahwa kegiatan perekonomian di Secara umum, angin muson barat laut sektor pelayaran menggeliat terutama biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang kegiatan ekspor-impor komoditas berasal dari barat, seperti: Malaka, Riau, perdagangan di mana salah satunya ialah Johor, dan Batavia (Jakarta). Para pedagang beras (Najamuddin, 2000 : 128) (Nur, 2003) dari daerah tersebut memanfaatkan (Asba, 2007) (Nur, Purwanto, & Suryo, hembusan angin muson barat laut untuk 2016). Daerah yang cukup ramai ini telah mengarahkan layar dan haluan kapal ke membentuk pola-pola perdagangan yang arah timur, tepatnya ke Makassar dan berhubungan dengan daerah-darah lainnya selanjutnya ke Maluku. Setelah kapal-kapal di kepulauan maupun di luar Indonesia / dari lokasi-lokasi tersebut (Malaka, Riau, Nusantara. Johor, dan Jakarta/Batavia) lego jangkar di Kehadiran pelabuhan di Makassar— Makassar, maka para pelaut tersebut dapat baik langsung maupun tidak langsung— melanjutkan perjalanan ke Maluku dengan telah merangsang kegiatan produksi beras menyusur ke selatan lalu berbelok ke-kiri di daerah pedalaman dalam hal ini daerah melayari pesisir selatan hingga ke pulau penghasil beras di wilayah selatan Sulawesi Buton dan selanjutnya berlayar ke Maluku. Selatan yang meliputi Afdeling Bonthain Sederhananya—gamabarannya— dan Afdeling Makassar. Demikian pula begini, setelah nahkoda mendapatkan izin dengan Pelabuhan Parepare—baik langsung dari syahbandar, maka juru mudi akan maupun tidak langsung—telah merangsang mengarahkan haluan kapalnya ke arah kegiatan produksi beras di wilayah selatan dan menyusuri lepas pantai Afdeling Parepare yang meliputi: Galesong, lalu berbelok ke kiri dan Onderafdeling Parepare, Barru, Pinrang, menyusuri lepas pantai Jeneponto, Sidenreng-Rappang, dan Enrekang. Daerah- Bantaeng, dan Bulukumba serta Selayar dan daerah tersebut—minus Enrekang—telah berlayar menuju Buton lalu akhirnya lama dikenal sebagai daerah penghasil berlabuh di Maluku atau Papua, rute beras di bagian tengah-utara Sulawesi tersebut biasanya digunakan dalam Selatan. Tidak hanya Pelabuhan Makassar mengirim berbagai komoditas, salah dan Pelabuhan Parepare, di pesisir timur satunya beras. Sulawesi Selatan, geliat ekonomi Selain itu terdapat pula rute jarak perberasan juga nampak begitu nyata pendek dalam pengirimman beras, seperti terutama di Afdeling Bone—yang meliputi Makassar – Parepare dengan menyisir Onderafdeling Bone, Wajo, dan Soppeng— pesisir barat Sulawesi Selatan; selain itu melalui kegiatan bongkar muat komoditas terdapat jalur rintisan jarak dekat rute beras di Pelabuhan Bajoe dan Pallime Palopo – Bone – Bira dengan menyisir (Ahmad & Kila, 2015 : 3) pesisir timur Sulawesi dalam hal ini Teluk Selain karena banyaknya pelabuhan- Bone. Kemudian jalur pelayaran dengan pelabuhan di Sulawesi Selatan, terciptanya jarak yang jauh ialah Jalur Makassar – jejaring perdagangan tersebut lebih Baubau – Wakatobi (Kepulauan Tukang dikarenakan para saudagar dan nahkoda Besi) – Buru – Ambon – Banda; terdapat (pelaut) memanfaatkan hembusan angin pula jalur pelayaran Makassar – Selayar – muson seperti angin muson barat laut, angin Kabaena – Baubau – Pasarwajo – Tamperan muson tenggara, angin muson timur laut, – Bala – Raha dan kembali ke Makassar dan angin muson utara serta angin muson (Malihu, 1998 : 21) (Demmalino, 2018 : tenggara. Kiranya demikian maklum 12-15) (Hamid, 2018) (Poelinggomang et mengingat kala itu kapal-kapal yang al., 2004 : 301). bertonase ringan dan berat memanfaatkan Pelayaran balik dari Maluku dan Papua hembusan angin sebagai tenaga penggerak ke arah barat umumnya menggunakan kapal (Poelinggomang, 2016 : 14-16). angin muson timurlaut, yang bertiup dari Mei hingga September, dalam pelayaran ini

155

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 umumnya kapal dan perahu membutuhkan (Eropa, Gujarat, India Selatan, pelabuhan singgah. Ihwal tersebut karena Semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa, dan tiupan angin muson melemah di perairan Pesisir Timur Kalimantan – Makassar, Laut Flores dan Laut Jawa. Olehnya itu Maluku, serta Papua) maupun jalur posisi Makassar teramat penting sebagai pelayaran utara (Tiongkok, Filipina, pelabuhan singgah bagi pedagang yang Kalimantan pesisir timur-utara [batas datang dari arah timur. Lebih lanjut, perahu Tawau dan Serawak] dan Jepang – yang hendak meneruskan pelayaran ke arah Makassar, Nusa Tenggara, dan Australia). barat harus menunggu angin muson Jalur-jalur itulah yang dimanfaatkan para tenggara melemah dan angin muson pelaut dan pedagang untuk menghantarkan timurlaut menguat pada bulan Agustus, komoditas beras (selain komoditas lainnya). keadaan ini juga disebabkan oleh arah arus Penyelundupan Beras Di Sulawesi laut yang biasanya mengikuti arah angin Selatan Kurun Tahun 1950-1956 (Poelinggomang, 2016). Hembusan angin muson ini selain Peristiwa tentang penyelundupan beras membawa dampak positif, tidak dielakkan di Sulawesi Selatan sebenarnya tidak dapat juga membawa hal yang negatif, terutama dipisahkan dari kondisi politik Sulawesi pada persoalan lanun atau perompak. Pada Selatan pada masa tersebut. Di dasawarsa umumnya para lanun ini memanfaatkan 1950-an hingga 1960-an, Sulawesi Selatan hembusan angin timur laut untuk ditimpa satu gerakan yang bernama DI/TII melaksanakan operandinya, beberapa lanun pimpinan Kahar. Guna melancarkan yang cukup terkenal pada masa tersebut gerakan tersebut maka perlu menyediakan berasal dari Tobelo, Mangindanai, logistik perang, salah satu jalan ialah aksi- Balangngingi, dan sebagainya. Bahkan aksi penyelundupan yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di pesisir Contact Post (disingkat CP). Pantai Serawak menyebut angin timurlaut Contact Post bisa dikatakan satu badan sebagai ―lanun, the pirate wind‖(Rafiuddin, yang bertugas untuk urusan niaga, mengatur 2011 : 65). perdagangan antara daerah-daerah Angin muson utara dan muson penghasil bumi yang dikuasai DI/TII dan tenggara juga memungkinkan terciptanya juga termasuk daerah yang dikuasai TNI, jalur pelayaran utara – selatan, yakni rute pada dasarnya akan sulit mengetahui siapa Amoy dan Kanton – Makassar – saja yang bertugas di Contac Post kala itu Kepualauan Timur Nusantara. Pedagang (Subair, 2018 : 84). dari Tiongkok dan Spanyol yang bermukim Mengenai Contac Post, dalam disertasi di Pulau Luzon, Filipina, bertandang ke Anhar Gonggong disebutkan bahwa Makassar dengan memanfaatkan angin peranan badan tersebut ialah mengusahakan muson utara melalui pesisir barat pembelian senjata melalui sistem barter, Kalimantan dan Selat Makkassar. baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Sementara itu pedagang dan pelaut dari Selain pada tugas dan fungsinya, Anhar Sulawesi memanfaatkan angin muson Gonggong juga menyebutkan wilayah kerja tersebut untuk berlayar ke selatan dengan Contact Post, yakni meliputi: CP-I, berpusat melintasi Laut Flores kemudian menuju di Mamuju, CP-II yang berpusat di Pulau Sumbawa, lalu menyusuri perairan Bulukumba, dan CP-III yang berpusat di Kepulauan Nusa Tenggara Timur (Sunda Lapuse Danau Towoti (Gonggong, 1990 : Ketjil), bahkan hingga mencapai pesisir 408). utara Benua Australia (Macknight, 2017 : Sekadar catatan, terdapat perbedaan 27) (Poelinggomang, 2016 : 16) data yang dikemukakan Anhar Gonggong Siklus muson di wilayah Sulawesi dengan apa yang ditulis oleh Bahar menjadikan Makassar sebagai pusat Mattalioe, perbedaan tersebut terletak pada perdagangan, baik jalur perdagangan barat wilayah tugas CP-III yang beroperasi di

156

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar sekitar Danau Towoti. Dalam tulisan Bahar berhasil menangkap atau menggagalkan Mattalioe disebutkan bahwa wilayah kerja aksi penyelundupan beras (Arsip Pemda CP-III terletak di daerah Sinjai dan Barru, No. Reg. 179). Bulukumba di bawah komandan Ali AT. Selain di daerah Parepare indikasi (Bahar Mattalio, 1994 : 164, 166 dalam praktek-praktek penyulundupan beras juga Subair, 2018 : 87). Walaupun demikian, dikabarkan terjadi di daerah Selayar, kurun terlepas dari perbedaan data tersebut, tahun 1953-1954 terjalin kontak surat- peranan Contac Post dapat dikatakan menyurat antara Kepala Daerah Swantara istimewa, hal tersebut dikarenakan wilayah Bonthain Alimuddin Dg. Mattiro yang kerja dari Contac Post menguasai simpul- membawahi Kawedana Selayar, Bonthain, simpul perdagangan strategis di perairan Jeneponto-Takalar, dengan Kepala Sulawesi Selatan : Selat Makassar, Selat Pemerintahan Negeri Kawedana di Selayar. Selayar, dan Teluk Bone. Dalam surat tertanggal 27 Oktober 1953 Salah satu daerah target nomor 166/DB/XV Perihal: Penjeludupan penyelundupan beras yang dilakukan oleh beras keluar dari pulau Djampea, Contact Post ialah Kalimantan, terutama dikabarkan terdapat suatu indikasi wilayah yang berbatasan langsung dengan penyelundupan beras ke daerah Flores, Tawau Malaysia (Sakka, 2003 : 273). hampir selama sebulan surat tersebut belum Selain daerah yang berbatasan langsung mendapat balasan, hal ini dilihat dari dengan Tawau Malaysia, daerah seperti; dikirimkannya kembali surat tertanggal 26 Kota Baru, Balikpapan, dan termasuk Nopember 1953 nomor. 166a/DB/XV Banjarmasin juga dilaporkan sebagai daerah Perihal: Penjeludupan beras keluar dari tujuan penyelundupan beras. pulau Djampea, yang berisi permintaan Sebagaimana yang dilaporkan Berita suatu kabar atau informasi terhadap maksud Harian Kopal MKS dan kawat dari surat tertanggal 27 Oktober 1953 nomor Panglima Territoriun VII Wirabuana, 166/DB/XV. Balasan kedua surat tersebut diceritakan bahwa pada tahun 1954 baru dikeluarkan tertanggal 18 Maret 1954 sebanyak 4.000 ton beras diselundupkan ke melalui surat yang ditandatangani kota-kota tersebut (Kota Baru, Balikpapan, Djamaluddin selaku Kepala Pemerintahan dan Banjarmasin). Lebih lanjut diberitakan Negeri Kawedana Selayar dengan nomor bahwa beras yang diselundupkan berasal surat 22/DB/XV. dari Sigeri, Barru, kemudian beras-beras Balasan surat kepala Kawedana tersebut dimuat dengan perahu-perahu Selayar kepada kepala Swantara Bonthain, bertonase kecil lalu dilayarkan (dibawa) ke setidaknya berisi tiga informasi penting, Pulau Salemo dan pulau-pulau sekitarnya— pertama luas tanah persawahan di pulau yang selanjutnya diangkut ke Kalimantan Djampea yang ditaksir kurang lebih 900 Ha dengan menggunakan perahu layar dengan hasil rata-rata penghasilan beras bertonase besar (Arsip Pemda Barru, No. sebanyak 900 Ton, kedua menampik kabar Reg. 179). mengenai adanya penyelundupan beras, Untuk menghindari atau meminimalisir ketiga melakukan penyelidikan, pencegahan aksi-aksi penyelundupan beras maka dan tindakan yang dianggap perlu dalam Panglima Territorium VII Wirabuana mencegah aksi-aksi penyelundupan beras mengeluarkan kawat yang ditujukan kepada dikemudian hari. Balasan surat dari Kepala Koordinator Keamanan Pare pare, Kepala Negeri Kawedana Selayar memberikan Kejaksaan Pare pare, Kepala Kepolosian gambaran bahwa informasi yang didapatkan Kabupaten Pare pare, dan para kepala kepala Swantara Bonthain mengenai Pemerintahan Negeri dalam daerah praktek penyelundupan beras di pulau Parepare untuk mengambil tindakan Djampea keliru. Walaupun demikian, pencegahan penyelundupan beras, dengan Kepala Negeri Kawedana Selayar imbalan Special Premi bagi mereka yang mengambil langkah pencegahan dengan

157

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 melakukan penyelidikan-penyelidikan lebih perizinan dikeluarkan langsung melalui lanjut mengenai adanya ―indikasi‖ staf khusus OPI.X. TT-VII penyelundupan beras di pulau tersebut. 5. Usaha-usaha staff khusus ini, jika Secara umum daerah-daerah mengalami kesulitan dapat dibantu oleh penyelundupan DI/TII Sulawesi Selatan resimen dari Angkatan Darat, Angkatan adalah Kalimantan, Gresik, Singapura, Laut, Angkatan Udara dan Jawatan Surabaya bahkan ke Mindanau. Dengan Sipil. barter beras mereka memperoleh jenis 6. Tiap-tiap minggu OPI.X. TT-VII senjata tertentu dan alat-alat pertanian melaporkan segala laporan (Arsip Pemda Selayar, No. Reg. 1471) perkembangan perdagangan hasil bumi (Sakka, 2003 : 274). (termasuk didalamnya Beras) kepada Salah satu jalan untuk mengimbangi Panglima TT.VII Wirabuana (Arsip aksi-aksi penyelundupan beras yang Muhammad Saleh Lahade, No. Reg. dilakukan oleh Contac Post, maka Panglima 325). Terriotrium VII Wirabuana membentuk Dilihat dari tugas-tugas OPI.X. TT-VII satu badan yang bernama Opsir Pekerdja maka dapat dijelaskan sebagai berikut, Istimewa ―X‖ Territorium VII Wirabuana pertama, menguasai ekonmi guna (disingkat OPI.X. TT-VII). Tujuan utama kepentingan strategis militer dikemudian didirikan OPI.X. TT-VII adalah untuk hari, yang dimaksud dari penguasaam meningkatkan produksi dan perdagangan ekonomi disini adalah tata niaga hasil bumi hasil bumi di Sulawesi Selatan seperti dimana salah satunya komoditi beras, kopra, beras, Jagung dan berbagai komoditi perihal strategis militer ialah berkaitan lainnya, walaupun demikian fokus utama dengan pengadaan logistik perang dalam dari lembaga ini ialah komoditi Kopra dan menghadapi pemberontakan DI/TII. kedua, Beras (Arsip Muhammad Saleh Lahade, OPI.X. TT-VII diberikan kuasa untuk No. Reg. 325). mengeluarkan perizinan perdagangan Selain pada peningkatan produksi komoditi beras, kuasa ini bertujuan beras lembaga ini juga mengatur jalannya mengawasi jalannya perdagangan beras ekspor-impor beras, baik melalui pelabuhan mengingat banyaknya praktek-praktek Makassar maupun Pare-Pare. Selain itu penyelundupan beras terutama yang OPI.X. TT-VII Wirabuana juga mengatur dilakukan oleh kalangan Militer dan DI/TII distribusi dan perdagngan beras antar yang terindikasi ―bermain mata‖ dengan wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum memanfaatkan situasi chaos dan ketiga, kegiatan ekspor-impor beras, para setiap minggu OPI.X. TT-VII memberikan pengusaha terlebih dahulu harus meminta laporan perkembangan perdagangan beras surat izin istimewa dari pihak OPI.X. TT- kepada panglima TT.VII Wirabuana. VII agar diberikan izin melakukan Tercatat, sejak bulan Maret hingga perniagaan beras (Arsip Muhammad Saleh Oktober 1955, OPI.X. TT-VII Wirabuana Lahade, No. Reg. 273). Adapun tugas-tugas dibawa komando Mayor Saleh Lahade telah dari OPI.X. TT-VII ialah sebagai berikut: mengeluarkan izin ekspor-impor beras yang

1. O.P.I.X. ini diadakan untuk mengetahui dikirim ke luar wilayah Sulawesi Selatan dan menguasai ekonomi guna (Kalimantan, Ambon, Manado) baik kepentingan Strategis Militer melalui Pelabuhan Parepare maupun dikemudian hari Pelabuhan Makassar. Tercatat 23.545 ton

2. O.P.I.X. di dalam TT VII mendapat beras didistribusikan melalui kedua instruksi/perintah langsung dari peabuhan tersebut. (Arsip Muhammad panglima Saleh Lahade, No. Reg. 273). Perdagangan

3. O.P.I.X ini dibantu oleh suatu staf antar wilayah ini tentunya memberikan khusus dampak pada perputaran uang di Sulawesi

4. Segala soal-soal ekonomi seperti Selatan dan juga berpengaruh terhadap

158

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar harga komoditi beras, lebih jelasnya disimak melalui tabel 1.6 berikut: mengenai harga beras tersebut dapat

Tabel 1.6: Perkembangan Harga Beras Di Indonesia Tahun 1955-1956 Harga Beras 1955 (Dalam Harga Beras 1956 (Dalam Rupiah/Kg) Rupiah/Kg) Januari 2.76 Januari 3.84 Februari 3.09 Februari 3.92 Maret 3.10 Maret 3.89 April 2.91 April 3.26 Mei 2.98 Mei 3.18 Juni 3.04 Juni 3.19 Juli 3.26 Juli 3.01 Agustus 3.53 Agustus 3.20 September 3.46 September 3.37 Oktober 3.42 Oktober 3.51 Nopember 3.74 Nopember 3.44 Desember 3.67 Desember 3.50 Rata-rata pertahun 3.41 Rata-rata pertahun 3.61

Sumber: Bulog. 1970 Seperempat Abad Bergelut Dengan Butir-Butir Beras Jakarta: Badan Urusan Logistik. Hlm : Lampiran I

PENUTUP ialah intervensi militer dalam dunia Dengan memerhatikan bentang alam perdagangan melalui O.P.I. X. TT-VI Sulawesi Selatan dan potensi lahan Wirabuana. Jadi secara umum dapat produktif untuk ditanami padi, maka tidak dikonklusikan bahwa beras selain bernilai dapat dinafikan bahwa daerah Sulawesi ekonomis, beras juga mampu menciptakan Selatan merupakan daerah penghasil beras, jejaring ekonomi, pun beras memiliki nilai dengan luas areal persawahan di kurun politik. tahun 1946-1950 yang mencapai angka 372.864 hektar telah mampu memproduksi DAFTAR PUSTAKA beras lebih dari 71.000 ton. Selain itu, dengan kehadiran pelabuhan-pelabuhan di Buku pesisir barat Sulawesi Selatan, yakni Anonim. 1953. Republik Indonesia : Makassar dan Parepare, serta di pesisr timur Propinsi Sulawesi. Makassar : Sulawesi Selatan yakni, Pallime dan Bajoe Djawatan Penerangan Propinsi telah memunculkan aktivitas perdagangan Sulawesi. di mana salah satu komoditas dagangnya adalah beras. Selain itu, adanya pelabuhan Ammarell, G., 2016. Navigasi Bugis. tersebut juga telah menciptakan satu Makassar : Penerbit Ininnawa jaringan perdagangan dari Makassar ke Ahmad, Taufik & Syahril Killa. 2015. Awal wilayah timur – barat demikian pula Kebangkitan dan Keruntuhan sebaliknya. Walaupun demikian, tidak Pelabuhan Pallime di Bone. Makassar: dapat dinafikan bahwa pada satu masa Pustaka Refleksi kegiatan perdagangan beras di Sulawesi Asba, Rasyid. 2007. Kopra Makassar Selatan sempat terganggu dengan adanya Perebutan Pusat dan Daerah : Kajian gerakan DI/TII Sulawesi Selatan yang salah Sejarah Ekonomi Politik Regional di satu muaranya adalah tindakan-tindakan Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor penyelundupan beras, salah satu upaya yang Indonesia. dilakukan saat itu untuk meredam aksi ini

159

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

BULOG. 1970. Seperempat Abad Bergulat dan Pembangunan Propinsi Sulawesi‖ Denga Butir-Butir Beras. Jakarta: (Panitia DKP Prosul). Salinan. April- Badan Urusan Logistik. Mei 1955. Macknight, C. C., 1976. Voyage to Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Marege’: Macassan trepangers in Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip northern Australia. Diterjemahkan Pemda Barru. No.,Reg. 179. Surat- oleh Anwar Jimpe Rahman, Ihsan surat dari Pemerintah Swapraja Tanete Natsir., dan Abd. Rahman Abu (Ed). yang berhubungan dengan masalah 2018. The Voyage to Marege : Pencari penyelundupan beras dari daerah Teripang dari Makassar di Australia. Barru, antara lain ke Kalimantan. Makassar: Penribit Inninawa Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Mears, Leon A. 1982. Era Baru Ekonomi Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip Perberasan Indonesia. Yogyakarta: Pemda Selayar. Volume I 1823-1973. Gadjah Mada University Press. No.,Reg. 1471. Surat-surat KPN Poelinggomang, E.L., 2016. Makassar Selayar menyangkut masalah kopra, Abad XIX Studi Tentang Kebijakan antara lain perdagangan gelap kopra, Perdagangan Maritim. Jakarta: izin pengangkutan kopra, stock kopra Kepustakaan Populer Gramedia eks yayasan kopra 1950-1958. bekerjasama dengan yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Makalah / Skripsi / Tesis / Disertasi / ------, et.,al. 2004. Jurnal Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Cet. Ambo Sakka, Abdul Rasyid A. 2003. 1. ed. Badan Penelitian dan ―Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Pengembangan Daerah, Provinsi Makassar 1888-1958‖. Disetrasi. Sulawesi Selatan : Makassar. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Universitas Indonesia. Sejarah. Jogjakarta: Ombak. Anwar, Muhammad Vibrant. 1996. ―Terbentuknya Kota Pelabuhan Arsip / Dokumen / Lembaran Negara : Makassar Studi kasus Tonggak Awal Pembentukan Kota Makassar Pada Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Masa Kerajaan Gowa Tahun 1510- Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip 1653‖. Skripsi. Jakarta: Fakultas Sastra Pribadi Muhammad Saleh Lahade Universitas Indonesia. 1937-1973. No.,Reg. 273. Berkas mengenai kegiatan perdagangan beras Evita, A. Lili. 2018. Sianre Bale : Pasang di daerah Territerium VII Indonesia Surut Ekonomi Maritim di Indonesia Timur, antara lain: kegiatan Jajasan Timur 1946-1950 dalam Prosiding Beras dan Jajasan Urusan Bahan Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10 Makanan. Februari 2018-Memorial Lecture Dr. Edward L. Poelinggomang. Makassar : Dinas Perpustakaan dan Arsip Propinsi Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan. Inventaris Arsip Pribadi Muhammad Saleh Lahade Demmalino, Eymal Basyhaar. 2018. 1937-1973.No.,Reg. 325. Surat Pa’lopian : Kepanritaan dalam Keputusan Bersama Gubernur Pemanfaatan Sumberdaya Anugerah Sulawesi dan Panglima TT-VII dan Kiprahnya dalam Percaturan Wirabuana mengenai pembentukan Ekonomi Nasional dalam Prosiding ―Panitia Pembentuk Dana Keamanan Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10 Februari 2018-Memorial Lecture Dr.

160

Berre ri Sulawesi Maniang …. Adil Akbar

Edward L. Poelinggomang. Makassar : Poelinggomang, Edward L. 2011. Universitas Hasanuddin. dan Pinisi: Kajian Rahman, Hamid Abd. 2018. Jaringan Kemaritiman Sulawesi Selatan, dalam Pelayaran Mandar Akhir 1940-an : Jurnal IKAHIMSI Edisi I, No.2, Juli- Antara Monopoli dan Perdagangan Desember Palu: Ikatan Himpunan Bebas dalam Prosiding Seminar Mahasiswa Sejarah Se Indonesia Nasional IKAJIS 1 edisi 10 Februari bekerja sama dengan Penerbit Ombak. 2018-Memorial Lecture Dr. Edward L. Rafiuddin, Muhammad. 2011. Poelinggomang. Makassar : ―Perdagangan Budak di Makassar pada Universitas Hasanuddin. Abad XVII‖. Skripsi. Makassar: ------.2018. Pelayaran Fakultas Ilmu Sosial Universitas Lintas Selat Makassar : Perkembangan Negeri Makassar. Jaringan Maritim Mandar dalam Era Saransi, Ahmad & Nahdia Nur. 2018. Revolusi dalam Jurnal Abad Jurnal Sulawesi dalam Jaringan Dunia Sejarah Volume 02 Nomor 1 Edisi Juni Maritim Abad 17-20. Prosiding 2018. Jakarta : Abad Jurnal Sejarah Seminar Nasional IKAJIS 1 edisi 10 Malihu, L., 1998. ―Buton dan Tradisi Februari 2018-Memorial Lecture Dr. Maritim : Kajian Sejarah tentang Edward L. Poelinggomang. Makassar : Pelayaran Tradisional di Buton Timur Universitas Hasanuddin. (1957-1995)‖. Tesis. Jakarta : Program Subair, Ahmad. 2018. ―Jaringan Pascasarjana Universitas Indonesia Perdagangan Senjata pada Masa Maryam, Siti. 1999. ―Perdagangan Beras Di Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Tahun 1930-1940‖. Tahun 1950-1965‖. Tesis. Makassar : Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra Program Pascasarjana UNM. Universitas Hasanuddin. Umar, Yuliani. 1990. ―Bandar Somba Opu Najamuddin. 2000. ―Sulawesi Selatan: Sebagai Sumber Penghasilan Kerajaan Pergumulan Antara Negara Federal Gowa Sampai Tahun 1667‖. Skripsi. Dan Negara Kesatuan 1946-1949‖. Jakarta: Fakults Sastra Universitas Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Indonesia. Universitas Indonesia. Nur, Nahdia. 2003. ―Produksi dan Pemasaran Beras di Sulawesi Selatan 1900-1943‖. Tesis. Yogyarta : Program Pascasarjana UGM. ------. 2017. ―Jejaring Perdagangan dan Integrasi Ekonomi : Sejarah Ekonomi Sulawesi Bagian Selatan 1902-1930-an‖. Disertasi : Program Pascasarjana UGM. Nur, Nahdia, Bambang Purwanto, dan Djoko Suryo, Perdaganagn dan Ekonomi di Sulawesi Selatan pada Tahun 1900-an sampai dengan 1930- an. Jurnal Ilmu Budaya Vol. 4. No. 1. Edisi Juni, 2016

161

PENGUATAN KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI KOTA PAREPARE (REINFORCEMENT OF FOOD SECURITY INSTITUTIONAL IN THE CITY OF PAREPARE)

Ansar Arifin dan Syamsul Bahri Departemen Antropologi FISIP UNHAS Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Sur-el: [email protected] Sur-el: [email protected]

ABSTRACT The article explains two important things, i.e. the problem of food security institutional in the poor households in the city of Parepare; alternative models of food security institutional for poor fishermen households that are in accordance with the demands of development. This study uses the Cluster Porpose Sampling method. The samples are social groups, service social institutions, and community organizations that are purposively selected, and analyzed using sociometric and descriptive analysis models. Data collection techniques use survey methods and in-depth interviews, as well as focus- group discustion (FGD) methods. The result of this study indicates that traditional food security institutional is already exist for a long time in poor fishing communities in the city of Parepare as a form of adaptation to the problem of poverty. Nevertheless, population growth and food needs are increased, it is necessary to manage more complex food security. Therefore, local food institutional needs to be supported by modern organizational system in order to strengthen local food security institutional. Vice versa, modern institutional needs to be supported by local institutional that have been practiced for a long time by the poor in the city of Parepare. Keywords: food security; institutional strengthening; poorness.

ABSTRAK Artikel ini menjelaskan dua hal penting, yakni soal kelembagaan ketahanan pangan dalam rumah tangga miskin di Kota Parepare dan model alternatif kelembagaan ketahanan pangan rumah tangga nelayan miskin yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. Penelitian ini menggunakan metode Cluster Porpose Sampling. Sampelnya adalah kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial kenelayanan, dan organisasi kemasyarakatan yang dipilih secara purposif dan dianalisis dengan model analisa sosiometrik dan deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei dan in- depth interview (wawancara mendalam) serta metode focus-group discustion (FGD). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan ketahanan pangan tradisonal telah ada sejak dahulu dalam masyarakat nelayan miskin di Kota Parepare sebagai bentuk adaptasi terhadap persoalan kemiskinan. Tetapi, karena pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan meningkat sehingga dibutuhkan manajemen ketahanan pangan yang lebih kompleks. Oleh sebab itu, kelembagaan pangan lokal perlu ditopang oleh sistem organisasi modern demi memperkuat kelembagaan ketahanan pangan lokal. Demikian pula sebaliknya, kelembagaan modern perlu ditopang oleh kelembagaan lokal yang sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat miskin di Kota Parepare. Kata Kunci: ketahanan pangan; penguatan kelembagaan; kemiskinan. PENDAHULUAN kemiskinan (Sallatang, 2002). Masalah Kelaparan tidak memiliki tempat kemiskinan sudah merupakan isu global tinggal, bila sakit tidak memiliki dana untuk yang berkaitan langsung dengan berobat merupakan beberapa ciri yang kemanusiaan dan telah banyak menguras dikaitkan dengan suatu kondisi para ahli untuk merumuskan konsep ketidakcukupan yang disebut sebagai penyelesaiannya. Salah satu pendapat yang 162

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri muncul adalah pendapat Ickis (dalam bagian dari sistem sosial masyarakat Kota Supriatna, 2000) bahwa kemiskinan itu Parepare. terkait erat dengan strategi pembangunan Belakangan ini, permasalahan pedesaan. Dengan demikian, Ickis pemantapan ketahanan pangan terkait mengajukan empat strategi penanggulangan dengan berbagai aspek, terutama isu-isu kemiskinan, salah satunya adalah the tentang meningkatnya jumlah penduduk, welfare strategy yang berkaitan dengan keterbatasan sumber daya alam dan sumber persoalan ketahanan pangan (Supriatna, daya manusia, meningkatnya kasus kurang 2000). gizi, kemiskinan, bencana alam, instabilitas Ketahanan pangan pada tataran sosial ekonomi politik, tuntutan mutu dan nasional merupakan kemampuan suatu liberalisasi perdagangan internasional, bangsa untuk menjamin seluruh pemenuhan hak asasi manusia, dan penduduknya memperoleh pangan dalam sebagainya. Isu-isu ini mendorong perlunya jumlah yang cukup, mutu yang layak, menciptakan ketahanan pangan secara aman, dan juga halal yang didasarkan pada nasional, provinsi, kabupaten/kota, optimasi pemanfaatan dan berbasis pada kecamatan, sampai pada ketahanan pangan keragaman sumber daya domestik. Salah pada tingkat rumah tangga. Hal ini menjadi satu indikator untuk mengukur ketahanan lebih penting karena terbukti bahwa selama pangan adalah soal ketergantungan dan ini ketahanan pangan belum sepenuhnya ketersediaan pangan nasional terhadap dapat memenuhi kebutuhan penduduk. import. Mewujudkan ketahanan pangan yang Ketahanan pangan telah menjadi isu berkelanjutan sebagai upaya untuk sentral dalam kerangka pembangunan membangun integrasi nasional yang nasional. Namun, persediaan pangan yang mantap, diperlukan perubahan sosial, yaitu cukup secara nasional tidak serta-merta percepatan proses perubahan dan menjamin ketahanan pangan, baik di tingkat pertepatannya secara berencana, ke arah regional maupun rumah tangga dan yang lebih baik atau lebih tinggi individu. Meskipun secara nasional tingkatannya dari waktu ke waktu, tahap persediaan pangan mencukupi, namun demi tahap secara berkelanjutan. Lebih baik munculnya kasus kerawanan pangan dan atau lebih tinggi tingkatannya, berdasarkan ditemukannya bayi dan anak balita atas atau sesuai dengan nilai-nilai (values) berstatus gizi buruk di berbagai daerah di yang dianut oleh masyarakat yang Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat bersangkutan. Oleh karena itu, perlu dipungkiri. melakukan pembangunan lembaga Peningkatan kebutuhan pangan harus ketahanan pangan secara reformatif. berbanding lurus dengan peningkatan Artinya, melakukan improvisasi jumlah penduduk dan kesempatan kerja. (pengembangan/ penyempurnaan) lembaga Ketahanan pangan terkait dengan kondisi ketahanan pangan yang telah ada sekarang. terpenuhinya pangan bagi rumah tangga Perwujudan ketahanan pangan tanpa yang tercermin bagi tersedianya pangan memperhatikan kelembagaan masyarakat yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, relatif tidak menunjang keberlanjutan aman, merata, dan terjangkau. Hal ini tentu ketahanan pangan, baik pada tingkat saja berkaitan dengan banyak faktor, di nasional maupun pada tingkat rumah antaranya; jenis pangan, produksi, dan tangga. Ketahanan pangan dapat distribusinya. Namun, yang lebih penting, berkelanjutan apabila memanfaatkan ialah norma-norma sosial yang beroperasi kelembagaan ketahanan pangan masyarakat mengatur sehingga ketahanan pangan tidak yang menjadi lingkungan sosial budayanya. hanya terwujud, tetapi juga terpelihara. Untuk mengidentifikasi kelembagaan Singkatnya, ketahanan pangan menjadi masyarakat yang menunjang ketahanan pangan rumah tangga masyarakat, perlu

163

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 dikaji tentang kelembagaan ketahanan Lembaga kemasyarakatan senantiasa pangan dalam rumah tangga miskin di Kota terbentuk atas dasar corak daerah tertentu Parepare dan model alternatif kelembagaan sesuai dengan ciri masyarakat yang ketahanan pangan rumah tangga miskin mendiami daerah tersebut. Meskipun yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. semua lembaga mempunyai sifat saling Berkaitan dengan kelembagaan ketergantungan dalam masyarakat, masyarakat Robert MacIver (1931) namun masing-masimg lembaga disusun mengemukan bahwa kelembagaan dan diorganisasi secara sempurna di sekitar masyarakat menyangkut tata cara atau rangkaian-rangkaian pola-pola norma, nilai prosedur yang telah diciptakan untuk perilaku yang diharapkan. Ide-ide lembaga mengatur hubungan antara manusia yang pada umumnya diterima oleh mayoritas berkelompok dalam suatu kelompok anggota masyarakat, tidak peduli apakah kemasyarakatan yang dinamakan asosiasi. mereka turut berpartisipasi atau tidak Horton dan Hunt (1993) menyatakan bahwa dalam lembaga tersebut. kelembagaan adalah suatu sistem hubungan Pembangunan lembaga adalah suatu sosial yang terorganisasi yang perspektif tentang perubahan sosial yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur direncanakan dan dibina. Hal itu bersama dan yang memenuhi kebutuhan menyangkut inovasi-inovasi yang dasar tertentu masyarakat. Adapun Berger menyiratkan perubahan-perubahan & Luckman (1991) mendefinisikan sebagai kualitatif dalam norma-norma, pola-pola pola yang sudah pasti mengenai tingkah kelakuan, hubungan-hubungan perorangan laku manusia. dan hubungan-hubungan kelompok, dan Paul B. Horton dan Chester L. Hunt persepsi-persepsi baru mengenai tujuan- (1993) mendefinisikan institusi sebagai tujuan maupun cara-cara. Temanya yang sistem hubungan sosial yang terorganisasi dominan adalah inovasi. yang mewujudkan nilai-nilai dan tata Titik tolak untuk pembangunan cara umum tertentu dan memenuhi lembaga adalah definisi mengenai kebutuhan dari masyarakat tertentu. pembangunan lembaga yang dirumuskan, Suatu kelembagaan yang berkembang dan sebagai; perencanaan, penataan, dan dipertahankan dalam suatu masyarakat, bimbingan dari organisasi-organisasi baru sedikitnya mempunyai tiga fungsi, yaitu; 1) atau yang disusun kembali yang; (a) memberikan pedoman kepada anggota- mewujudkan perubahan-perubahan dalam anggota masyarakat bagaimana mereka nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi- harus bertingkah laku atau bersikap dalam teknologi fisik, dan/atau sosial; (b) menghadapi berbagai masalah dalam menetapkan, mengembangkan, dan masyarakat, utamanya yang menyangkut melindungi hubungan-hubungan normatif kebutuhan-kebutuhannya; 2) menjaga dan pola-pola tindakan yang baru; dan (3) keutuhan masyarakat yang bersangkutan; memperoleh dukungan dan kelengkapan dan 3) memberikan pegangan kepada dalam lingkungan tersebut. masyarakat untuk keperluan dalam sistem Kerangka konseptual ini memberikan pengendalian atau pengawasan sosial suatu cara untuk mengidentifikasi metode- (social control). metode operasional dan strategi tindakan Lembaga kemasyarakatan atau yang dapat membantu orang-orang praktik lembaga sosial (social institusion) adalah dan mereka secara aktif berkecimpung keseluruhan norma dari semua jenis dan sebagai pengantar-pengantar perubahan, tingkatan untuk keperluan pokok di dalam khususnya dalam keadaan-keadaan lintas kehidupan masyarakat, untuk budaya. Mac.Iver (1931), mengemukakan mempertahankan nilai-nilai penting syarat-syarat kelompok sosial antar lain; (1) (pattrened norm integrated around a setiap anggota kelompok harus sadar principal a function of society). bahwa dia merupakan sebagian dari

164

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri kelompok yang bersangkutan; (2) ada nasib yang sama, kepentingan yang sama, hubungan timbal balik antara anggota yang tujuan yang sama, idiologi politik yang satu dengan anggota yang lain; (3) ada sama dan lain-lain; dan (4) berstruktur, suatu faktor yang dimiliki bersama, berkaidah dan mempunyai pola perilaku; sehingga hubungan antara mereka dan bersistem dan berproses. bertambah erat. Faktor ini dapat berupa

Gambar 1. Universum Pembangunan Lembaga.

Gambar di atas memperlihatkan lima yang merupakan keluaran dari lembaga kelompok variabel lembaga yang tersebut. Dengan demikian, maka program dirumuskan dengan cara sebagai berikut: adalah terjemahan dari doktorin ke dalam Pertama; Kepemimpinan menunjuk pada pola-pola tindakan yang nyata, dan alokasi „kelompok orang yang secara aktif energi-energi dan sumber daya-sumber berkecimpung dalam perumusan Doktorin daya lainnya di dalam lembaga itu sendiri dan program dari lembaga tersebut dan dan yang berhubungan dengan lingkungan yang mengarahkan operasi-operasi dan ekstern. Keempat, sumber daya adalah hubungan-hubungannya dengan lingkungan masukan-masukan keuangan, fisik, tersebut. Kepemimpinan dipandang sebagai manusia, teknologi, dan penerangan dari satu-satunya unsur yang paling kritis dalam lembaga tersebut. Jelaslah bahwa pembangunan lembaga karena proses- persoalan-persoalan yang tercakup dalam proses perubahan yang dilakukan dengan pengerahan dan dalam menjamin sengaja itu, memerlukan manajemen yang tersedianya sumber daya tersebut secara intensif, terampil, dan yang telah mantap dan yang dapat diandalkan mengikatkan dirinya secara mendalam, mempengaruhi tiap segi dari kegiatan- baik dalam hubungan-hubungan intern kegiatan lembaga dan merupakan kesibukan maupun lingkungan. Kedua, Doktorin yang penting dari semua kepemimpinan dirumuskan sebagai: „spesifikasi dari nilai- lembaga. Kelima, struktur intern nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode dirumuskan sebagai struktur dan proses operasional yang mendasari tindakan yang diadakan untuk bekerjanya lembaga sosial‟. Doktorin dipandang sebagai tersebut dan bagi pemeliharaannya. sederetan tema yang memproyeksi, baik di Untuk memudahkan analisa, dalam organisasi itu sendiri maupun dalam dibedakan empat jenis kaitan: (1) Kaitan- lingkungan eksternnya, seperangkat citra kaitan yang memungkinkan (enabling), dan harapan-harapan mengenai tujuan- yakni „dengan organisasi-organisasi dan tujuan lembaga dan gaya-gaya tindakan. kelompok-kelompok sosial yang Ketiga, Program menunjuk pada „tindakan- mengendalikan alokasi wewenang dan tindakan tertentu yang berhubungan dengan sumber-sumber daya yang diperlukan oleh pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa lembaga tersebut untuk berfungsi‟. (2)

165

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Kaitan-kaitan fungsional yakni „dengan yang ditarik secara purposif, dan dianalisa organisasi-organisasi yang menjalankan dengan model analisa sosiometrik dan fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan deskriptif. Teknik pengumpulan data, yaitu pelengkap dalam arti produksi, yang survei, in-depth interview dan focus-group menyediakan masukan-masukan dan yang disussion (FGD). menggunakan keluaran-keluaran dari lembaga tersebut. (3) Kaitan-kaitan PEMBAHASAN normatif, yakni „dengan lembaga-lembaga yang mencakup norma-norma dan nilai- Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal nilai lokal (positif dan negatif) yang relevan di Kota Parepare bagi doktrin dan program dari lembaga tersebut‟. (4) Kaitan-kaitan tersebar, yakni Masyarakat di daerah penelitian, baik „dengan unsur-unsur dalam masyarakat pada tipe agroekosistem pantai, sawah yang tidak dapat dengan jelas diidentifikasi maupun pada tipe agroekosistem lahan oleh keanggotaan dalam organisasi formal‟. kering, bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, hampir semua pekerjaan

yang dilakukan selalu berhubungan dengan METODE kelompok. Hampir tidak ada pekerjaan Penelitian ini dilakukan di seluruh yang dapat dilakukan dengan sendiri- wilayah Kota Parepare, meliputi: sendiri. Anggota kelompok ini saling Kecamatan Bacukiki, Bacukiki Barat bekerja sama satu sama lain. Dalam kerja Kecamatan Soreang, dan Kecamatan Ujung. sama tersebut untuk melakukan pekerjaan Pada dasarnya ada beberapa jenis studi dan diterapkan aturan-aturan atau norma-norma teknik pengumpulan data yang diterapkan yang telah lama mereka yakini dan untuk kajian ini adalah: (1) Community pertahankan. Karena itu hampir seluruh Studies, dengan maksud untuk masyarakat (juga responden) mengatakan mendapatkan data mengenai profil bahwa dalam urusan ketersediaan bahan masyarakat miskin terutama yang makanan terdapat aturan-aturan atau norma- berhubungan dengan kelembagaan norma yang berkaitan dengan pekerjaan ketahanan pangan. (2) Stakeholders studies, mereka sehari-hari. Hal ini dapat dimaksudkan untuk mendapatkan data dan dikategorikan sebagai modal sosial di mana informasi mengenai pandangan/penilaian masyarakat memiliki nilai-nilai yang para pemangku kepentingan atau diyakini bersama sebagai perekat sosial ke stakeholders (Pemerintah, DPRD, kalangan arah yang positif (Fukuyama, 2005; 2006). Lembaga non-pemerintah, pakar/akademisi Khususnya di tipe agroekosistem pantai, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya kelompok yang berkembang adalah tentang berbagai regulasi, kebijakan kelompok kerja sama nelayan yang maupun implementasi dari kebijakan yang beranggotakan 5-7 orang, antara lain berhubungan dengan berbagai aspek kelompok pa’bagang yang beranggotakan kelembagaan yang distudi. (3) Policy 12-15 orang dan kelompok nelayan pancing Impact Studies (PIS). (4) Studi literatur. (pa’tongkol) yang beranggotakan 2-5 orang. Sebelum penelitian lapangan dilakukan, tim Dari penuturan masyarakat (melalui peneliti terlebih dahulu melakukan kajian responden dan informan) kerja sama ini terhadap laporan-laporan studi mengenai berfungsi untuk meningkatkan keberanian kelembagaan pangan. (5) Kajian historis dan meningkatkan semangat kerja, bukan mengenai kelembagaan pangan. sebaliknya munculnya rasa takut dan kesepian. Selain itu, kerja sama ini Metode yang digunakan dalam berfungsi sebagai sarana peningkatan penelitian ini adalah metode Cluster kerukunan dan kekompakan antarsesama Porpose Sampling. Sampelnya adalah yang bukan hanya anggota kelompok, kelompok-kelompok/lembaga/ organisasi melainkan juga seluruh anggota keluarga.

166

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri

Kelembagaan nelayan di Kota mereka. Aturan-aturan tersebut Parepare terdapat beberapa kelompok kerja dilaksanakan tanpa paksaan berjalan seiring nelayan, antara lain: (1) Pa’roppong adalah dengan kehidupan mereka. Dalam kelompok nelayan yang menggunakan memperoleh (produksi) bahan makanan di perahu sande’ dengan alat pemikat rumpon, Kota Parepare, berdasarkan keterangan yaitu rangkaian bambu yang dibentuk informan dan responden terdapat menyerupai rakit dan diberi batu labuh keterangan tentang aturan-aturan atau sebagai jangkar agar tidak mudah hanyut norma-norma yang dianut masyarakat. serta di bahagian bawahnya diikatkan Selanjutnya, terdapat pula aturan-aturan beberapa pelepah daun kelapa tempat ikan atau norma-norma yang mereka yakini dan berkerumun. Daun kelapa dan bambu pada senantiasa masih dilaksanakan. Selain itu, alat rumpon mengeluarkan bau yang aturan-aturan ini relatif masih disampaikan disukai oleh ikan-ikan kecil sehingga pada anak-anak mereka untuk tetap berkumpul disekitar alat rumpon. diperhatikan dan dilaksanakan. Aturan- Kemudian, ikan-ikan kecil yang berkumpul aturan itu antara lain; pada saat akan menjadi santapan bagi ikan-ikan besar. (2) berangkat melaut (menangkap ikan) tidak Pangoli adalah kelompok nelayan yang boleh ada alat-alat yang akan digunakan sifatnya “liar” karena mereka menangkap jatuh ke tanah, tidak boleh ada anak-anak ikan pada rumpon milik orang lain yang kecil yang menangis apabila menjelang sedang tidak digunakan pemiliknya. (3) keberangkatan, tidak boleh berselisih Pajjala adalah kelompok nelayan yang dengan anggota keluarga (terutama istri), menggunakan perahu jenis ba’go’. (4) selalu berkata jujur dan bertutur kata yang Pappuka’ adalah kelompok nelayan yang baik, dilarang duduk-duduk di pintu, menggunakan jaring insang (puka’) untuk dilarang mencari kutu di tangga khususnya menangkap ikan terbang. (5) Palladung kaum wanita, dilarang menyapu ketika akan adalah nelayan yang menangkap ikan pergi melaut, apabila ada yang meminta merah/bambangan dengan menggunakan pinjaman, baik itu berupa uang maupun pancing ladung. (6) Potangga adalah barang, sebaiknya ditunda hingga kelompok nelayan yang lebih terfokus pada suami/anggota keluarga telah kembali dari penangkapan ikan terbang dengan telurnya. laut. Sebaliknya, pada saat hendak Nelayan ini menggunakan bubu yang melaut/berlayar untuk mencari ikan, ada terbuat dari bambu (buaro). Bubu itu diberi beberapa syarat (norma) yang harus rumput-rumput agar ikan terbang senang dipenuhi antara lain; hati yang tenang, berkerumun dan bertelur di tempat itu. keadaan/situasi yang tenang, dan alam yang Mereka biasanya menggunakan 12 sampai tenang. 25 buah bubu. Bubu-bubu ini sengaja Tingkah laku yang umumnya dihamparkan ke laut dan diberi tali pengikat dilakukan oleh para nelayan sebelum yang dikaitkan pada perahu. berangkat untuk berlayar mencari ikan, Bagi masyarakat Kota Parepare, yaitu; hati yang tenang sebelum makanan dalam kehidupan mereka meningalkan rumah untuk berlayar; merupakan hal yang sakral untuk keadaan tenang, tidak ada masalah dalam diberlakukan karena itu dalam memperoleh, rumah tangga; alam tenang, tidak ada mengelolah, dan menghidangkannya tanda-tanda yang mengkhawatirkan ketika terdapat aturan-aturan yang dianut. Aturan- di tengah laut nantinya; tidak boleh ada aturan ini diyakini dapat mendatangkan teguran yang menanyakan tujuan pada saat rezeki untuk kelangsungan pangan dalam hendak berangkat melaut/berlayar; dan cuci rumah tangga. Aturan atau norma ini telah kaki sebelum naik ke perahu atau kapal. menjadi kebiasaan masyarakat yang Dalam agroekosistem pantai diperoleh secara tak tertulis (secara turun terutama usaha tani tambak, terdapat pula temurun) dari orang tua dan tetangga unsur-unsur budaya (norma, nilai,

167

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 kepercayaan, pengetahuan, dan simbolisasi) buang nafas akan berarti kosong. Demikian antara lain: Bibit ikan (nener) dan udang pula dengan padi yang ditanam akan (benur) dilemparkan dalam sebuah baskom dipercaya berisi untuk dinikmati hasilnya. pada saat ada transaksi antara pedagang Makan-makan dahulu sebelum menabur bibit dengan petani tambak. Petani tambak benih/bibit (nasi/songkolo). Diadakan akan mengamati bibit, jika bibit berputar dengan sederhana dan memohon dalam baskom ke arah kanan, akan keselamatan agar padi yang ditanam dipercaya bahwa bibit tersebut akan terhindar dari segala macam gangguan serta menguntungkan untuk dipelihara. Ke arah bisa dinikmati dalam waktu yang tidak kanan adalah arah yang berlawanan dengan terlalu lama. arah jarum jam. Pada saat penebaran bibit Menyambut kembali bibit yang akan dilakukan keadaan harus tenang ditabur dengan cara memercikkan ramuan (konsentrasi dalam niat), air dalam baskom air tertentu dengan maksud mengusir segala bibit harus tenang, dan alam pun harus bala yang mungkin akan menimpa. tenang. Selanjutnya, untuk tipe agroekosistem Berpakaian lengkap (celana, baju, lahan kering, sektor perkebunan sarung, kopiah) dan bersih (baru). Sebelum merupakan lahan yang sangat potensial penebaran benih duduk berjongkok di untuk mengembangkan berbagai komoditi. pinggir/tepi tambak menghadap ke arah Dicatat bahwa kemampuan komoditi tertentu dan mengucapkan mantra kepada tertentu untuk membantu kesejahteraan malaikat yang menguasai tambak sebagai rumah tangga pada umumnya berhubungan ungkapan pemberitahuan. Sebelum panen, dengan penyesuaian antara tanaman, lahan petani tambak mengamati ikan di dalam dan iklim. Pada lahan kering dapat tambak lebih dahulu untuk mengamati dikembangkan berbagai komoditi seperti gerakannya, yaitu apabila serupa seperti cengkeh, kakao(coklat), kopi, lada, vanili, pada saat menabur benih. Jika ikan dan banyak lagi. Komoditi-komoditi bergerak ke kanan dinyatakan telah siap tersebut merupakan komoditi ekspor yang panen. Gerakan ke kanan melambangkan memiliki prospek pasar cukup tinggi. arti/makna yang baik, rezeki masuk – ini Tanaman-tanaman ini memerlukan dianalogikan gerak melingkar tangan kanan pengelolaan dan perawatan yang efektif ke arah kiri dan masuk ke bagian tubuh. agar dapat dinikmati hasilnya secara Ketenangan dianalogikan bahwa tidak optimal. ada gangguan baik pada ikan dan tambak, Petani kebun atau lahan kering maupun petani tambak serta seluruh sebagian besar memercayai dan meyakini keluarganya. Adapun gerak ikan ke kanan adanya norma-norma dan nilai-nilai budaya pada saat hendak dipanen melambangkan dalam bercocok tanam. Ada beberapa cara keuntungan dan rezeki yang diperoleh. Pada yang biasa mereka lakukan, misalnya pada masyarakat tipe agroekosistem sawah saat akan menanam atau memanen tanaman berkembang pula norma-norma atau aturan- jangka panjang mereka, seperti berikut: aturan yang berkenaan dengan padi. Padi Disediakan terlebih dahulu tanaman- merupakan salah satu hasil produksi pada tanaman yang hendak mereka tanam yang usaha tani sawah dan merupakan bahan bisa dinikmati. Dinikmati berarti bahwa makanan pokok. Dalam proses produksinya mereka (petani) akan bisa menikmati terdapat juga unsur-unsur budaya yang langsung hasil usahanya sebelum diyakini/dipercaya oleh masyarakat seperti meninggal. Pada saat bibit akan berikut; ketika hendak menabur benih dimasukkan ke dalam lubang/tanah, harus petani membaca mantra; pada saat menarik nafas agar apa yang ditanam bisa melempar/menabur benih padi diharuskan berhasil. Menarik nafas diartikan tanaman mengisap nafas panjang, maknanya yaitu akan berisi, adapun buang nafas berarti mengisap nafas artinya berisi, adapun akan kosong. Cara menanam pisang, yakni

168

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri tanaman yang akan ditanam disimpan mengakibatkan kesengsaraan dunia dan sejauh sembilan langkah dari lubang dalam akhirat. beberapa saat. Pisang tersebut dipikul Sekalipun kearifan lokal mengenai hingga sampai ke lubang dan ketahanan pangan sudah ada dalam detak mengembungkan mulut/pipi ketika hendak dalam jantung kebudayaan masyarakat memasukkannya ke dalam lubang tersebut. miskin Kota Parepare seperti yang sudah Sembilan langkah dianalogikan bahwa pada dipaparkan di atas. Namun, pertumbuhan saat pisang berbuah kelak bisa jumlah penduduk menjadikan masalah menghasilkan sembilan sisir, adapun ketahanan pangan ini semakin kompleks. dipikul artinya agar pisang yang berbuah Kebutuhan pangan ini berbanding lurus kelak akan membuat pemiliknya mendapat dengan jumlah populasi dan berbanding beban yang berat untuk mengangkutnya lurus pula dengan tingkat eksploitasi (jumlah/hasilnya besar). Menggembungkan lingkungan; semakin tinggi jumlah populasi mulut/pipi artinya buah yang dihasilkan semakin tinggi pula kebutuhan pangan dan kelak akan berukuran besar (membuat semakin tinggi kebutuhan pangan, semakin mulut/pipi menggembung jika tinggi pula daya eksploitasi demi produksi memakannya). pangan secara besar-besaran (Diamond, Keyakinan masyarakat terhadap 2015). Oleh karena itu, masyarakat unsur-unsur budaya (nilai, norma, membutuhkan negara sebagai manifestasi kepercayaan, teknologi, dan simbolisasi) kekuasaan yang mengatur dan memenuhi menjadi kebiasaan dan sudah menjadi kebutuhan populasi yang jumlahnya tradisi yang turun temurun. Adapula cara banyak, termasuk dalam hal pemenuhan atau unsur budaya yang terkandung dalam pangan (Diamond, 2015). hal menyimpan hasil produksi, mengambil Lingkup kota seperti Parepare tak bahan makanan, mengolah bahan makanan dapat lagi disamakan dengan bentuk dan sikap ketika menghadapi makanan, komunitas yang memenuhi kebutuhannya antara lain: Menyimpan padi di tempat yang secara subsistem. Lingkup kota adalah patut/semestinya (lumbung). Menyimpan lingkup kekuasaan negara yang secara padi dan mengambil dari lumbung langsung bersentuhan dengan masalah dilakukan dengan khidmat, sekurang- peningkatan jumlah populasi dan kurangnya mencuci kaki terlebih dahulu, peningkatan kebutuhan pangan. Oleh sebab memakai baju serta sarung ikat. Pada waktu itu, manajemen ketahanan pangan lokal menjemur dan menumbuk padi, harus harus beradaptasi dengan peningkatan dijaga jangan sampai terburai dan dilarikan kebutuhan pangan ini. Dibutuhkan ayam. Ketika makan tidak boleh bercakap- manajemen kelembagaan ketahanan pangan cakap atau berjalan-jalan, sehingga jangan yang lebih kompleks yang diatur menurut sampai nasi terburai dan ada tersisa di pola-pola modern tanpa mengabaikan piring sesudah kenyang. Api di dapur tidak manajemen ketahanan pangan lokal yang boleh padam. Tempayan tempat sudah ada. Berikut akan dijelaskan model- menyimpan air (gusi) tidak boleh kering model alternatif kelembagaan. dan tempat menyimpan beras Alternatif Model Pelembagaan (pabbarasang) harus ditutup dan tidak boleh kosong. Perempuan tidak boleh Berbicara tentang kelembagaan atau bertengkar di depan dapur. Semua aturan- institusi, umumnya pandangan orang lebih aturan atau norma-norma ini kalau tidak diarahkan kepada organisasi, wadah atau dilaksanakan dan diyakini akan pranata. Organisasi hanyalah wadahnya mendatangkan kesialan atau malapetaka saja, adapun pengertian lembaga mencakup serta rendahnya atau tidak adanya rezeki juga aturan main, etika, kode etik, sikap, dalam berusaha. Hal ini akan dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Bayangkan

169

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019 apa yang akan terjadi di dalam suatu tim yang dibentuk. Mulai dari kelembagaan kerja, kelompok masyarakat atau tim yang menangani produsen pangan, olahraga tertentu ada organisasi tetapi tidak pemasaran dan distribusi pangan, ada aturan mainnya? permodalan untuk kegiatan terkait pangan, Kebijakan adalah intervensi keamanan pangan, industri pangan, dan pemerintah (dan publik) untuk mencari cara berbagai aspek pangan lainnya. pemecahan masalah dalam pembangunan Kelembagaan ini ada yang merupakan dan mendukung proses pembangunan yang kelembagaan resmi pemerintah, murni lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara, swadaya masyarakat, atau yang merupakan dan pendekatan pemerintah untuk mencapai kolaborasi formal atau non-formal antara tujuan pembangunan yang sudah pemerintah dan masyarakat. dirumuskan. Kebijakan bisa juga Kinerja kelembagaan pangan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk masih belum memenuhi harapan berbagai memperkenalkan model pembangunan baru pihak. Hal ini sering disebabkan karena berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga pengelola kelembagaan tersebut tidak adalah upaya untuk mengatasi kegagalan berasal dari populasi individu yang dalam proses pembangunan. Kegagalan itu memang secara langsung menggeluti bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, masalah pangan. Sebagai contoh, pengurus kegagalan pemerintah dan negara, organisasi petani sering bukan dari kegagalan dalam bidang kelembagaan, kalangan petani sehingga sulit untuk kegagalan dalam ketahanan pangan, diharapkan dapat memahami masalah- perdagangan dan pemasaran dan masalah aktual dalam kegiatan usaha tani sebagainya. dan sulit untuk diharapkan akan Kelembagaan dan kebijakan selalu memperjuangkan secara tepat kepentingan- menjadi isu penting dalam pengelolaan kepentingan petani. Pada dasarnya memang pesisir, pertanian atau pembangunan kelembagaan petani tersebut (koperasi, umumnya. Sejarah menunjukkan bahwa di kelompok tani) dibentuk terutama negara-negara maju kelembagaan yang baik membantu tugas pemerintah, bukan untuk merupakan kunci dari keberhasilan meningkatkan marjin keuntungan usaha pengelolaan negara, pembangunan, pasar, tani. perdagangan atau bisnis. Selama ini Kelembagaan non-pemerintah yang pemerintah cenderung lebih menekankan memayungi petani, nelayan, peternak, atau pada pembangunan ketahanan pangan kelompok masyarakat pangan lainnya dengan mengutamakan pembangunan sering memanfaatkan besarnya populasi infrastruktur fisik, teknologi, ketahanan kelompok ini untuk kepentingan politik, pangan dan politik. Sangat sedikit sehingga warna kelembagaan yang diperhatikan pembangunan infrastruktur seharusnya lebih berbasis profesi menjadi kelembagaan (institusi). Di lain pihak kabur. Kegiatan pertanian, peternakan, kebijakan pemerintah cenderung tidak perkebunan, perikanan, industri pangan, konsisten, selalu berubah dan sulit dan lainnya sering hanya digunakan sebagai dilaksanakan secara utuh. „kendaraan‟ untuk mencapai tujuan politik. Ini memerlukan perhatian yang serius Kondisi ini sangat berbeda dengan karena pada dasarnya hampir semua organisasi serupa di negara-negara maju. kegagalan pembangunan bersumber dari Kelembagaan pemerintah yang dua persoalan fundamental, yaitu kegagalan ditugasi untuk menjaga stabilitas harga dan kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Hal ketersediaan komoditas pangan telah lama ini karena perlu model optimalisasi terbentuk, tetapi baru menjamah komoditas pembangunan lembaga. Dalam rangka ikut beras saja. Adapun komoditas pangan menangani masalah penyediaan pangan lainnya belum ditangani sehingga baik bagi masyarakat telah banyak kelembagaan stabilitas harga, maupun ketersediaannya

170

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri masih jauh dari kondisi terkendali. dengan institusi negara. Hal ini penting Pengendalian ketersediaan dan harga beras sebab ketika demokrasi terlembaga dalam masih sering menghadapi kendala, baik pemerintahan perwakilan, mereka yang disebabkan oleh fluktuasi produksi dan memegang peran cenderung membangun keragaman mutu beras yang dihasilkan oleh jarak dengan konstituen sehingga warga petani, maupun terkendala oleh membangun solidaritas mengekspresikan keterbatasan kapasitas finansial dan sarana interest dalam sebuah institusi untuk penyimpanan yang dimiliki oleh pemenuhan hak-hak mereka dalam berbagai kelembagaan tersebut. Perubahan status bidang. kelembagaan ini menjadi perusahaan umum Aktualisasi konsep tersebut terlihat (perum) yang akan membatasi perannya ketika rakyat yang selama ini hanya dalam pengendalian ketersediaan dan harga menjadi silent majority dan banyak di beras. manupulasi kepentingannya, secara drastis Dalam hal pelembagaan ketahanan memiliki akses yang luas untuk terlibat pangan rumah tangga miskin, ada dua dominan dalam arena perumusan kebijakan. model pendekatan yang relevan dalam Ruang kekuasaan pemerintah menjadi pengambilan kebijakan, yaitu: Pertama; menyempit dan mengakibatkan nilai tawar Model zero-sum, merupakan hasil adaptasi organisasi masyarakat sipil menjadi dari fenomena pengalihan kekuasaan dalam meningkat. Model ini efisien dari segi biaya kajian ilmu politik. Teori ini mendasarkan sebab kewenangan yang dilimpahkan diri pada konstanta bahwa sedemokratis menjadi tanggung jawab mandiri pihak apapun sebuah tata pemerintahan, selalu yang mengelola kewenangan tersebut. ada konflik dalam pengelolaan Dalam konteks pelembagaan ketahanan kewenangan, sebab besaran kewenangan pangan sebagai institusi masyarakat lokal yang dimiliki lebih didasarkan pada (sipil), lahirlah kebijakan-kebijakan preferensi politik kaum elit. Apabila pemberdayaan yang bersifat pragmatis dan penguasa melimpahkan kewenangannya berusaha memberikan kewenangan yang secara luas kepada masyarakat, pemerintah luas kepada masyarakat untuk melakukan akan kehilangan daya untuk mengatur dan perencanaan, pelaksanaan hingga menciptakan social order. Teori zero sum monitoring & evaluasi kebijakan. game merefleksikan adanya pengambil- Institusi partisipasi ini kemudian alihan peran secara drastis dari penguasa dibekali sistem dan dibebankan program kepada pihak yang sebelumnya tidak yang bersifat blue print, dimana memiliki kekuasaan. Transfer otoritas ini kelengkapan alat, metode pelaksanaan, mengakibatkan pemerintah menjadi anggaran dan sumber daya manusia harus kehabisan energi sehingga tidak mampu diupayakan sendiri oleh institusi yang berperan dominan dalam manajemen sektor bersangkutan. Kelembagaan ketahanan publik. Implikasi dari pendekatan zero-sum pangan secara independen memfasilitasi adalah pemerintah enggan melakukan pembentukan struktur kerja sama pemberdayaan kepada masyarakat atau antarinstistusi dan melakukan pembinaan institusi masyarakat sipil. intensif dengan simpul-simpul jaringan Terdapat garis demarkasi yang jelas lembaga. Harapannya adalah perluasan antara pemerintah vis a vis warga sipil peran yang terjadi di puncak stuktur akan dalam relasi negara dan masyarakat. Model merembes ke unit-unit terkecil dalam ini banyak ditemukan pada pengalaman insitusi. Hubungan kemitraan dibangun pemberdayaan civil society dalam tradisi secara struktural dengan pemerintah daerah Anglo-Amerika yang melihat asosiasi atau dan pembagian kewenangan yang detail di lembaga pemberdayaan sebagai elemen antara kedua belah pihak dan diatur secara dalam masyarakat yang menjadi legal-formal. intermediator antara individu dan keluarga

171

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Prinsipnya bahwa pemerintah daerah Model positive-sum lebih fokus pada tidak memiliki wewenang dan peran yang pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu cukup untuk mengintervensi setiap usulan secara kolektif, lebih menekankan pada program yang ditawarkan oleh warga. penilaian (appraisal) terhadap lingkungan Tingkat akomodasi usulan program ekternal dan internal, dan berorientasi pada ditentukan dengan kemampuan jejaring tindakan. Model ini mensyaratkan organisasi masyarakat untuk membangun pengumpulan informasi secara luas, kekuatan dalam arena pengambilan ekplorasi alternatif, dan menekankan keputusan. Dalam konteks upaya implikasi masa depan. Kewenangan pelembagaan ketahanan pangan, level startegis pemerintahan tidak mengalami individu disentuh dengan melakukan difracted (pemencaran) secara drastis, tetapi pembenahan drastis melalui pelimpahan lebih kepada hal-hal yang bersifat teknis wewenang untuk peningkatan pengetahuan, dan operasional. pelaksanaan kewenangan keahlian, kompetensi, dan pemberian yang dilimpahkan didasarkan pada aspek motivasi personal yang diupayakan secara efektivitas out-come yang diperoleh. Dalam internal oleh anggota organisasi hal pelembagaan ketahanan pangan rumah petani/nelayan miskin. tangga miskin, pemerintah membangun Pada level organisasi, intervensi kemitraan yang sejajar dengan pihak pemerintah dalam pola rekruitmen, anggota masyarakat dalam menggerakkan penataan struktur kerja, distribusi perluasan partisipasi secara gradual dan wewenang dan penguatan jejaring relatif memberikan asistensi teknis pada menjadi tanggung jawab mandiri pihak operasionalisasi kegiatan pemberdayaan organisasi petani/nelayan miskin. kelembagaan. Kelompok-kelompok tani/ Pemerintah hanya berperan dalam nelayan miskin berupaya memanfaatkan membangun sistem melalui perangkat fasilitas dan anggaran yang disediakan hukum, kebijakan pendukung dan pemerintah untuk melakukan peningkatan lingkungan yang kondusif guna mengontrol kapasitas individual dan penataan aktivitas institusi dalam kegiatan ketahanan organisasi. Tingkatan sistem dibenahi pangan masyarakat. Model ini dengan melalukan penyesuian terhadap membutuhkan prakondisi berupa kapasitas tuntutan dan aspirasi masyarakat yang individu yang memadai dan kapasitas berkembang. organisasi yag adaptif sehingga mampu Pemerintah menyiapkan strategi bernegosiasi dan berkompetisi dengan kebijakan dalam skala waktu opersional pihak pemerintah dalam memobilisasi tertentu hingga pengembangan sumber daya pembangunan. Kedua; Model kelembagaan ketahanan pangan telah Positive-Sum. Model yang kedua mengarah pada kemandirian yang merupakan antitesis dari model yang terbangun dari hasil sinergi antar stake- pertama. Jika pada proses pelimpahan holders pembangunan. Pola pembinaan kewenangan model zero-sum yang dilakukan secara menyebar di seluruh mengakibatkan berkurangnya power and unit terkecil kelompok sehingga dapat authority bagi pihak penguasa, model memperkuat basis legitimasi dalam positive-sum mencerminkan prinsip yang mengambil tindakan yang berdimensi luas berlawanan. Ketika terjadi proses bagi masyarakat. pengembangan kapasitas dan pemberdayaan Model positive-sum ini memiliki dari pihak yang berkuasa atau pemerintah prasyarat yang harus disiapkan untuk kepada pihak yang lemah, justru akan keberlanjutan opersionalnya. Faktor utama semakin memperkuat power dan otoritas adalah ruang dan waktu yang cukup, oleh pihak yang pertama. Selain itu, keyakinan sebab tindakan manajemen model ini diusung model ini adalah penekanan aspek dilakukan secara demokratis dan generatif. melibatkan para stake-holder kebijakan

172

Penguatan Kelembagaan Ketahanan Pangan … Ansar Arifin & Syamsul Bahri yang lain. Tahapan-tahapan yang Di sini terdapat dua model alternatif ditempuhnya pun harus diasistensi dan kelembagaan ketahanan pangan yang dikontrol secara ketat oleh kedua belah ditawarkan, yakni: Pertama, Model zero- pihak guna meminimalkan inkonsistensi sum, merupakan model yang merefleksikan tindakan dalam operasionalisasi kebijakan. adanya pengambilalihan peran secara Tindakan intervensi yang dilakukan drastis dari penguasa kepada pihak yang pemerintah lebih pada bersifat teknis dan sebelumnya tidak memiliki kekuasaan. pengelolaan kewenangan strategis dan Dengan demikian, model ini menekankan oprasional menjadi otoritas internal pada pengalaman pemberdayaan civil kelompok-kelompok masyarakat. society dalam tradisi Anglo-Amerika yang Pendekatan ini dapat memfasilitasi melihat assosiasi atau lembaga terjadinya proses pemberdayaan pemberdayaan sebagai elemen dalam kelembagaan yang berkelanjutan dengan masyarakat yang menjadi intermediator diikuti adanya iktikad baik untuk mengubah antara individu dan keluarga dengan keadaan, dari tidak berdaya maupun institusi negara. Kedua, Model positive-sum menjadi penuh daya. Pengalihan energi ini yang lebih fokus pada pengidentifikasian tidak melalui medium konflik melainkan dan pemecahan isu-isu secara kolektif, lebih lahir dari suatu sinergi yang egaliter dengan menekankan pada penilaian (appraisal) kesadaran akan pentingnya aspek generatif terhadap lingkungan ekternal dan internal, untuk terus berlangsung. dan berorientasi pada tindakan. Kekuatan dan kapasitas yang meningkat dalam lembaga ketahanan DAFTAR PUSTAKA pangan akan memberikan kontribusi yang positif bagi pemerintah, bukan sebaliknya Berger, Peter. L. & Luckman Thomas. mengambilalih kewenangan dan peran 1991. The Social Construction of pemerintah. Kapasitas individu, organisasi Reality. Penguin Books: London. dan sistem yang meningkat pada institusi Diamond, Jared. 2015. The World Until masyarakat sipil akan menjadi Yesterday: Apa yang Dapat Kita penyeimbang bagi public sector dan private Pelajari dari Masyarakat sector dalam menjalin kemitraan yang lebih Tradisional?. Kepustakaan Populer bermakna. Gramedia (KPG): Jakarta.

Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan PENUTUP Besar: Kodrat Manusia dan Tata Salah satu unsur pokok yang harus Sosial Baru. PT. Gramedia Pustaka ditekankan dalam model pelembagaan Utama: Jakarta. ketahanan pangan adalah nilai-nilai lokal Fukuyama, Francis. 2002. Trust Kebajikan (modal sosial) yang sudah lama dianut oleh Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. suatu masyarakat. Secanggih apapun Yogyakarta: Penerbit Qalam. konsep kelembagaan yang dirumuskan dari luar, mustahil dapat bekerja lebih baik jika Hobsbawn, D. J. Poverty, Dalam mengabaikan nilai-nilai budaya lokal yang International Encyclopedia Of The ada. Oleh sebab itu, demi membangun suatu Social Sciences, Editor David L. Sill, kelembagaan yang kuat dan utuh adalah Vol. XII, Macmillan and Free Press, tetap penting untuk memahami secara hal. 398. mendalam nilai-nilai yang bermakna modal Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, (1993). sosial (social capital) yang dianut oleh Sosiologi. Penerbit Erlangga: Jakarta. suatu masyarakat dan mengorganisirnya atau menyandingkannya dengan pola-pola Kerlingger, Fred N, 2005. Asas-asas dan manajemen kelembagaan modern. Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

173

Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni 2019

Klijn Eric-Hans and Joop Koppenjan, 2000). ‘Public Management And Policy Network Foundation Of a Network Approach to Governance’, Public Management, Vol. 2 Issue 2, 2000. MacIver, Robert Morrison. 1931. Society: Its Structure and Changes. R. Long & R. R. Smith, Incorporated: New York. Sallatang, M. Arifin. 2002. Krisis multidimensional di Indonesia. Universitas Hasanuddin, Makassar. Supriana, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

174