PROSIDING SEMINAR NASIONAL SASTRA DAN BUDAYA III

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA MEMBANGUN DEMOKRASI YANG SEHAT

Penyunting Ahli Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum

Penyunting Pelaksana Drs. I Wayan Teguh, M.Hum

DENPASAR, 28 – 29 MARET 2018

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

i

KATA PENGANTAR

Prosiding ini merupakan kompilasi makalah-makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB) III yang diselenggarakan pada 28 – 29 Maret 2018 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Seminar tahun ini mengangkat tema Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang Sehat. SNSB III menghadirkan pembicara kunci Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dari Universitas Negeri Yogyakarta. Selain pembicara kunci, pada SNSB III juga menghadirkan pemakalah utama Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum., dari Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dan Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. dari Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Pemakalah pendamping pada SNSB III berasal dari Universitas Sumatera Utara, IKIP Saraswati, UNIKOM, Universitas Mulawarman, IKIP PGRI Bali, Balai Bahasa Bali, dan tentunya dari Universitas Udayana. Prosiding ini disusun untuk memudahkan para peserta seminar atau siapapun yang tertarik kepada masalah sastra dan budaya untuk memperoleh informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Besar harapan kami bahwa SNSB III dapat berkontribusi terhadap kegiatan akademik yang dirancang oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.

Panitia

ii

SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka Buku Kumpulan Abstrak untuk Seminar Nasional Sastra dan Budaya III (SNSB III) yang mengusung tema ‘Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang Sehat' dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tema ini menjadi sangat penting karena kita dapat memahami hubungan yang sangat erat antara Sastra dan Budaya sehingga Sastra dan Budaya. merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melalui karya sastra yang penulisnya memiliki latar belakang budaya berbeda akan mampu memperindah karya-karya sastra yang dihasilkan baik kebutuhan sebagai bahan ajar maupun untuk dihayati. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu-ilmu Sastra dan Budaya. Dengan mengungkap hasil karya sastra yang berisikan kandungan budaya diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dapat terwujud dengan baik. SNSB III dilaksanakan untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan hubungan yang begitu erat antara Sastra dan Budaya sehingga muncul pemahaman, dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan persamaan budaya untuk mewujudkan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu maupun budaya. Perbedaan dan persamaan Sastra dan Budaya dipandang sebagai landasan dalam multikulturalisme, yaitu peradaban manusia melalui rentang waktu dan tempat untuk ikut berkontribusi dalam membangun demokrasi yang sehat. Berkaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan hubungan Sastra dan Budaya untuk pendidikan multikulturalisme yang terdiri atas: 1. Menginterpretasikan perbedaan Sastra dan budaya berdasarkan persamaan; 2. Membuat hubungan dan perbandingan secara lintas budaya (cross Cultural Connections and Comparisons); 3. Menunjukkan konteksnya; dan 4. Menyeimbangkan antara konteks (ecology) dan komparasi (cross-culture) dalam Sastra dan Budaya. Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

iii

1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga SNSB III bisa dilaksanakan secara berkesinambungan. 2. Bapak Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dari Universitas Negeri Yogyakarta sebagai pembicara kunci, pemakalah utama, dan para pemakalah pendamping lainnya yang terdiri atas dosen bahasa, pengamat sastra, budayawan, dll. 3. Peserta SNSB III, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, guru, mahasiswa, pekerja dan pengamat media, sastra dan budaya, yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya. 4. Panitia SNSB III Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang telah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya. Semoga SNSB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dapat memberikan pencerahan tentang hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Sastra dan Budaya, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya, Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang berlandaskan kebudayaan. Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan SNSB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dan semoga Buku ini bermanfaat untuk kita semua. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dekan,

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

SAMBUTAN ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

PEMAKALAH KUNCI

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA MEMBANGUN DEMOKRASI YANG SEHAT Suwardi Endraswara ...... 1

PEMAKALAH UTAMA

MEMAKNAI DEMOKRASI SPIRITUAL DALAM TAHUN POLITIK 2018 ...... 22 I Ketut Ardhana

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA TUTUR BAGAWAN KAMANDAKA: ANALISIS PERCAKAPAN ...... 37 I Nyoman Suarka

PEMAKALAH PENDAMPING

PRAKTEK SEJARAH LISAN SEBAGAI PENGALAMAN PRIBADI ...... 47 Anak Agung Inten Asmariati

PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA .. 53 Bambang Dharwiyanto Putro

BUDAYA DUAN LOLAT DI TENGAH ARUS JAMAN IBU KOTA JAKARTA ...... 63 Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo

RENDAH HATI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ORANG BALI MELALUI PUPUH ...... 71 I Gede Budiasa

KESEMESTAAN BAHASA: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK ...... 78 I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa

MULTIKULTURAL DALAM MEDIA KAMPANYE CAGUB BALI KAJIAN WACANA ...... 84 I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri

v

MAKNA BAHASA FIGURATIF PADA LIRIK LAGU KISS FROM A ROSE OLEH SEAL ...... 90 I Gusti Ayu Agung Nila Wijayanti

BAHASA KIAS DAN PENGGUNAANNYA DALAM TUTURAN RESMI ...... 95 I Ketut Darma Laksana

RESI WISWAMITRA MENGUJI KEBIJAKAN SANG DASARARTHA SEBAGAI PEMIMPIN ...... 103 I Ketut Jirnaya

KALIMAT DIREKTIF DALAM KARANGAN ILMIAH SISWA SMA WISATA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN ...... 111 I Ketut Nama

IKONISITAS SEKSUAL DALAM KUMPULAN CERPEN CALONARANG KARYA MADE SUARSA ...... 118 I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika, Luh Putu Puspawati

BEBERAPA FENOMENA FONOLOGIS PADA TATARAN SINTAKSIS DI DALAM BAHASA BALI ...... 128 I Made Madia

“BERAGAM” DAN “SERAGAM” DALAM CERPEN MEONG-MEONG KARYA MADE SANGGRA ...... 141 I Made Suarsa

KURSI PEMILU: SASTRA DAN BUDAYA DEMOKRASI PRA REFORMASI ..... 148 I Nyoman Suaka

ESTETIKA SEBAGAI YOGA SANG KAWI DALAM KAKAWIN SUTASOMA .. 157 I Nyoman Sukartha

KEKOHESIFAN DALAM WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI ...... 164 I Nyoman Suparwa

WACANA “KERAJAAN BALI”: DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER...... 172 I Putu Gede Suwitha

MAKNA KOLOFON GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA ...... 180 I Wayan Cika

GANESHA: DEWA BERKEPALA GAJAH, SEBUAH TARINGNYA PATAH ...... 187 I Wayan Redig, Kadek Dedy Prawirajaya R

vi

EKSISTENSI UANG KEPENG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT BALI ...... 195 I Wayan Srijaya dan Kadek Dedy Prawirajaya R

BUDAYA DEMOKRASI DALAM SENI MAGEGITAN INTERAKTIF DI RADIO DAN TV ...... 204 I Wayan Suardiana

WACANA PULUNG (JABATAN) DALAM KONTEKS PEMILIHAN PEMIMPIN BERKARISMA ...... 211 I Wayan Suwena

PENGGUNAAN BAHASA DI RUANG PUBLIK: KAJIAN PEMAKAIAN BAHASA DI KAWASAN HERITAGE KOTA DENPASAR ...... 217 I Wayan Teguh, I Wayan Simpen

DINAMIKA PENGGUNAAN RAGAM BAHASA DIALEK JAWA BARAT: ANTARA POLITIK DAN DEMOKRASI ...... 224 Juanda

PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS PILKADA DI BALI ...... 229 Ketut Darmana

NILAI DEMOKRASI DALAM CERPEN “SUKRENI DI LOVINA” KARYA I.B.W WIDIASA KENITEN ...... 238 Ketut Yarsama

KEINDAHAN YANG TERPANTUL DALAM KIDUNG TANTRI RAGA WINASA SEBUAH KAJIAN EKOSEMIOTIK ...... 250 Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha

GEGURITAN ARJUNA WIWAHA: ANALISIS STRUKTUR DAN KARAKTER TOKOHNYA ...... 257 Luh Putu Puspawati, Made Suastika

MEMORI BUDAYA DAN PENULISAN KARYA SASTRA DALAM PEMBERDAYAAN BAHASA IBU ...... 264 Maria Matilidis Banda

TUTURAN BERSIPUNG SUKU PASER PEMATANG KABUPATEN PASER KALIMANTAN TIMUR DITINJAU DARI ASPEK PUISI LAMA DAN NILAI BUDAYA ...... 271 Mursalim

vii

NILAI-NILAI KARAKTERISTIK DALAM TEKS SASTRA THE HISTORY OF THE LIFE OF AJAMILA ...... 279 Ni Ketut Dewi Yulianti

IMPLEMENTASI BAHASA JAWA KUNA PADA NAMA-NAMA ORGANISASI KEPEMUDAAN DI KOTA DENPASAR ...... 287 Ni Ketut Ratna Erawati, I Made Wijaya, Komang Paramartha, I Ketut Nuarca

ASPEK BUDAYA POPULER JEPANG DALAM NOVEL TEENLIT INDONESIA: KAJIAN TERHADAP NOVEL WINTER IN TOKYO KARYA ILANA TAN ...... 297 Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi

IDEOLOGI MULTIKULTURALISME SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN YANG HARMONIS ANTARA ORANG BALI DAN CINA DI DESA PAKRAMAN DI BALI ...... 303 Ni Luh Sutjiati Beratha

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG DALAM MERESPON PUJIAN ...... 314 Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti

DAKSINA: SALAH SATU UPAKARA PENTING PADA MASA BALI KUNO YANG DIPERJUALBELIKAN PADA MASA SEKARANG (STUDI KASUS DI DESA BUDUK) ...... 325 Ni Made Rustini, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi

KECANTIKAN PEREMPUAN BALI: SUATU SIMBOLISASI ...... 336 Ni Made Wiasti

OMOTENASHI, SPIRIT KERAMAHAN MASYARAKAT JEPANG MENYAMBUT TOKYO OLYMPIC 2020 ...... 351 Ni Putu Luhur Wedayanti

NEGASI DALAM KUMPULAN CERPEN 1 PEREMPUAN 14 LAKI-LAKI KARYA DJENAR MAESA AYU ...... 357 Ni Putu N Widarsini

CAMPUR KODE PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA OLEH PENGGUNA LAYANAN INTERNET INDOSAT OOREDOO ...... 365 Ni Wayan Arnati

TEKS LAGU POP BALI BILINGUAL: ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL ...... 373 Putu Sutama, Tjokorda Istri Agung Mulyawati, I Nyoman Darsana

viii

“NA LI YOU TAI YANG, NA LI JIU YOU ZHONG GUO REN”: ORANG CINA DI BUMI MOA-CIAPPAH-I ...... 388 Rochtri Agung Bawono

LAGU, KAUM MUDA DAN BUDAYA DEMOKRASI ...... 399 Roma Ayuni A Loebis

ALIH BAHASA FIGURATIF PADA TERJEMAHAN KARYA SASTRA PUISI .... 406 Sang Ayu Intan Maharani, I Nyoman Tri Ediwan

TAHAP PERANCANGAN METODE PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING PADA MATA KULIAH SHOKYUU HYOUKI DI PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG UNIVERSITAS UDAYANA ...... 414 Silvia Damayanti, Ni Luh Putu Ari Sulatri

ALIH WAHANA NOVEL PADA SEBUAH KAPAL KARYA NH DINI KE DALAM PUISI “PADA SEBUAH KAPAL” KARYA MARIA MATILIDIS BANDA ...... 421 Sri Jumadiah

PENGADANG-NGADANG PADA RUMAH TUSUK SATE SUATU KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI ...... 427 Tjok Istri Agung Mulyawati R

DIMENSI POLITIS DALAM SASTRA LISAN PADA MASYARAKAT MELAYU DI BANJARAN SUNGAI TANAH DELI ...... 435 Wan Syaifuddin

MITOS NAWASANAK: SEMBILAN BOCAH PENJAGA “DUNIA PIDADA” ...... 445 Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada

ix

MENGKAJI SASTRA DAN BUDAYA MEMBANGUN DEMOKRASI YANG SEHAT

Oleh Suwardi Endraswara Ketua Umum HISKI Pusat

A. Sastra Perut, Bawah Perut, dan Atas Perut “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai” (Pramoedya Ananta Toer). Sastra dan budaya itu bersentuhan dengan manusia. Sebuah quote penting dari sang maestro sastra. Dia yang melahirkan Bumi dan Manusia, Arok Dedes, dan lain-lain. Namun harus diingat, kalau sudah urusan tiga hal, yaitu (1) perut, (2) bawah perut, dan (3) atas perut sastra dan budaya menjadi heboh. Saat ide ide-ide mengalir. Ketiga urusan ini membangun ideology berbeda. Semua manusia, tak terkecuali demokrasi, akan terkait tiga hal itu. Pram dikenal dengan sebutan ideology “kiri” oleh ihak penguasa. Urusan Pram lebih banyak menyentuh urusan ideology atas perut. Sastra dan budaya itu secara pragmatic akan membangkitkan berbagai kebutuhan manusia. Kebutuhan ideology akan terbantu oleh karya sastra. Bila ideologinya masih perut, bawah perut, dan atas perut tentu berbeda. Tanggal 26 Agustus 2016 saya pernah bicara tentang sastra dan ideologi di Untidar Magelang. Ternyata, ideology itu urusannya banyak di atas perut. Ideologi juga mendasari demokrasi. Sastra ideology sering memancing politikus yang berdemokrasi. Saat itulah para penguasa banyak mengurus perut. Bila sastra kurang bernuansa dengan urusan perut (gastrologi), akan dibabat habis. Sastra menjadi pemanis kebutuhan dasar manusia, bila berkiblat dari E. M. Forster dalam bukunya Aspect of the Novel (1956). Mausia memang butuh rasa cinta, aman, damai, dan makan minum. Tanjung Perak Tanjung Perak topi laut Siapa suka boleh ikut Ini rambut ini janggut ini perut Bawah perut

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 1 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 2 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Lagu itu puisi. Puisi andragogi, artinya sastra dewasa. Para penguasa demokrasi itu orang dewasa, karena itu dalam konteks sastra andragogi, artinya sastra yag mendidik kedewasaan, sering berbalut dengan sastra bawah perut. Banyak penguasa yang kurang dewasa. Mereka selain mengurus perut, atas perut, banyak dililit bawah perut. Bila para penguasa membaca tanpa andragogi, terjadilah selisih paham. Akibatnya ada sastrawan yang kena “pukul.” Banyak penyair yang dibungkam karena kata-katanya dianggap melukai demokrasi. Sastra andragogi itu dari sisi pragmatic, akan mendewasakan manusia. Sastra akan memberikan acuan, dalam urusan atas perut, perut, dan bawah perut. Merriam (2001:5) menyatakan ada lima asumsi penting dalam konteks sastra andragogi, yaitu: (1) has an independent self-concept and who can direct his or her own learning, (2) has accumulated a reservoir of life experiences that is a rich resource for learning, (3) has learning needs closely related to changing social roles. (4) is problem-centered and interested in immediate application of knowledge, and (5) is motivated to learn by internal rather than external factors. Dari konteks ini, seringkali para penguasa mengikuti sastra andragogi yang salah tafsir. Kadang-kadang urusan perut, ditafsir atas perut, dan bawah perut, sehingga memunculkan friksi. Negatif thinking sering muncul dalam benak para penguasa. Sebab mereka belajar sepotong-potong dengan pembacaan dewasa, akibatnya ada penyair dan pengarang yang terdepak, dianggap merongrong pemerintah. Sastra itu harus mendewasakan, membangun peradaban. Bukan sebaliknya membiadabkan manusia. Yang menarik asumsi sastra andragogi yang (2), bahwa karya sastra akan mengubah peran seseorang. Peran social, budaya, dan politik sering berkelindan dengan sastra. Kunci belajar sastra, memang ada perubahan. Sayangnya bila penguasa demokrasi membaca sastra andragogi sering berat sebelah. Akibatnya pernah Wiji Thukul terkena getah puisinya sendiri. Peringatan Jika rakyat pergi Ketika penguasa pidato Kita harus hati-hati Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi Dan berbisik-bisik Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 3 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh Itu artinya sudah gawat Dan bila omongan penguasa Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan!. (Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, 2004)

Lewat puisi itu, dapat dijadikan kacamata bahwa demokrasi memang sakit keras. Pembacaan sastra andragogi oleh penguasa, telah “mengusir” pengarang yang satu ini dari kancah estetis. Ketika rekan-rekan senimannya masih diliputi kegamangan untuk terlibat dalam perjuangan politik, Thukul lantang berseru bahwa seniman adalah korban dari sistem antidemokrasi dan wajib merebut kemerdekaannya sendiri. Menurut dia, kita belum merdeka. Demokrasi sedang sakit, butuh obat. Tak sedikit yang menyayangkan bergabungnya Thukul dalam politik praktis, termasuk guru Thukul di Teater Jagat. Menurut sang guru, seniman tak seharusnya terlibat politik praktis karena karena dengan begitu akan membahayakan keselamatan diri Thukul sendiri. Lawu, sang guru berpesan pada Thukul: Thukul, hati-hati memilih kalau sudah di politik praktis. Ada kemungkinan kamu ditangkap, dibunuh, dibuang, dan dikejar-kejar. Ternyata, terbukti realitas itu. Kita belum demokratis. Orang berdemokrasi, sering latah untuk urusan bawah perut, perut, dan atas perut. Atas perut untuk melanggengkan kekuasaan, bawah perut untuk bumbu kekuasaan, dan perut untuk menjaga kekuasaan. Saya pernah membahas hal senada bahwa sastra itu terkait darma, artha, dan kama (Endraswara, 2016:2). Dari getaran puisi tersebut, Thukul sudah siap menanggung segala risikonya, harus terkena getah artha. Baginya, sastra merupakan salah satu alat perjuangan. Sastra menjadi pilihan. Meski tubuhnya kurus kerempeng, keberanian Thukul bisa diumpamakan dengan keberanian seekor singa. Ia menjadi penggerak demokrasi besar di Kedungomba, Sritex. Selalu berada di garda barisan terdepan, Thukul menjadi serangan aparat yang secara membabi-buta menyerbu para demonstran. Thukul dipukuli, disiksa

4 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 hingga tuli dan nyaris buta, meninggalkan cacat di mata kanannya. Semenjak saat itu, Thukul dicurigai sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dianggap sebagai penggerak rakyat kecil menyuarakan protes mereka. Ia pun menjadi salah satu aktivis yang paling diincar saat itu. Itulah derap demokrasi yang belum dewasa. Sastra andragogi belum dipahami secara arif. Puncak kerusuhan terjadi pada 27 Juli 1996. PRD yang juga didirikan Thukul dibubarkan secara paksa dan anggotanya menjadi buronan. Demi menyelamatkan diri, Thukul pun harus rela meninggalkan anak serta istri dengan berpindah dari satu kota ke kota lain, dan dari satu persembunyian ke persembunyian lain. Dalam persembunyiannya, Thukul masih sempat menulis Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa! Namun, ketika akhirnya pemerintahan Soeharto berhasil dilengserkan, ia tak juga keluar dari persembunyiannya dan hingga kini tak tentu di mana rimbanya. Puisi Wiji Thukul, oleh kalangan intelek seringkali dianggap mendobrak nilai-nilai sastra. Akan tetapi ketika seni diartikan sebagai suatu hal yang indah, ia memberikan penafsiran yang berbeda. Puisi terkait dengan ihwal “wadah dan isi”, antara bentuk (form) dan isi (meaning), yang kadang-kadang mengundang tafsir berbeda (Endraswara, 2016:3). Itulah sebabnya pemahaman meaning oleh penguasa sering berbeda dengan gagasan sastrawan. Akibat prbedaan tafsir itu yang mendorong terjadinya kekacauan demokrasi. Penyair yang mengkritik urusan atas perut saja sudah ditampar, apalagi kalau sampai berani ihwal perut dan bawah perut. Pemerintah non demokratis tentu tidak mau mawas diri. Berbeda ketika demokrasi sehat, tentu bersuara apa saja penyair merdeka. Memang sastra itu tugas menjadi penyeimbang. Penguasa melindungi sastra. Sastra local biasanya yang kurang mendapat angin penguasa.

B. Sastra di Tengah Demokrasi Sakit Gigi Demokrasi kita memang sedang sakit gigi. Sakit gigi itu sakit. Namun sering diremehkan, tidak ada orang bezuk. Jika tidak segera diobati, tentu akan gagal. Cerpen berjudul Horn karya Krisna Mihardja, berkisah tentang tokoh bernama Pak De Markasi meninggal. Nama tokoh ini merupakan ironi pada perjuangan demokrasi. Maksudnya De Makarsi menjadi Demokrasi, telah habis. Demokrasi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 5 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kita sudah atau sedang sekarat. Cerpen ini sebenarnya memiliki daya pragmatic untuk menyembuhkan demokrasi yang sudah oleng, seperti pesawat akan jatuh. Sastrawan adalah pengamat jitu pada perkembangan demokrasi. Menurut Trotsky (2005:22) budaya tidak akan berkembang tanpa campur tangan manusia. Budaya butuh perjuangan. Budaya demokrasi tanpa perjuangan dan pengembangan akan menjadi “buaya demokrasi”. Gagasan ini, juga mewarnai demokrasi kita.Bila sastrawan tidak berjuang, budaya demokrasi akan mati. Yang akan langgeng budaya otokrasi, bila demokrasi sakit-sakitan. Hal ini dapat saya saksikan pada kisah wayang. Kisahnya, Arjuna pernah sakit, begitulah kisah sastra wayang. Saya menyaksikan itu ketika tetangga mempunyai hajatan “nadzar” dengan lakon Arjuna Sakit. Sastra ternyata memiliki pragmatika khusus, yang bersifat gaib. Tetangga yang sakit keras, hampir meninggal, sehingga orang tuanya berjanji. Bila sembuh akan menanggap wayang kulit. Benar. Otokrasi Arjuna, dalam wayang bisa “disanggit” (kreasi) menjadi demokrasi, manakala ada campur tangan manusia yang kreatif. Wayang itu sastra drama. Drama tradisional. Secara pragmatic wayang memiliki nilai (1) tontonan (hiburan), (2) tuntunan (mendidik), (3) selamatan (doa, harapan). Yang terakhir ini sebagai pragmatic luar biasa. Buktinya lakon Arjuna Sakit itu, menggugah demokratisasi. Semula Arjuna itu otoriter, semena-mena pada abdinya bernama Semar. Setelah dicoba sakit oleh Hyang Widhi, Arjuna baru sadar kosmis. Kesadaran kosmis itu menunjukkan perjuangan hidup. Wayang tersebut sastra drama yang memberi petunjuk bahwa demokrasi sedang sakit gigi. Orang sakit gigi itu sengsara. Saya menjadi ingat kisah Mukidi, ada cowok yang sakit gigi, dituntut pacarnya. Kemarahan yang akan muncul paa saat orang sedang sakit gigi. Sepertinya, demokrasi kita sedang sakit gigi. Sakit keras. Bahkan Emha Ainun Nadjib menyebut sedang “ngengleng nasional.” Maka sastra mulai geram. Sastra mulai berbisik, lewat kata. Inilah budi baik sastra. Keyakinan kita memang teguh bahwa bentuk pemerintahan demokrasi itu mimpi indah. Sastra pun dunia mimpi. Yang diinginkan agar bentuk pemerintahan yang diimpikan akan membawa keberhasilan dalam pemerintahannya. Maka kalau membaca Kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa dan Arjuna Mencari Cinta dari Yudistira, di sana ada tawaran harga demokratisasi.

6 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dewa pun melakukan demokrasi ketika harus mencari jago, yang dapat membasmi musuh Kahyangan. Demokrasi diawali dengan musyawarah. Hingga akhirnya tawaran dewa ketika Arjuna sedang bertapa, digodda tujuh bidadari, dan ketika menang menjadi jago dewa, mampu mengalahkan Niwatakawaca, sungguh awal demokrasi. Berikut kutipan Kakawin Arjunawiwaha yang memukau itu.

Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah Ambek sang paramārthapaṇḍita mengatasi segalanya karena menghayati huwus limpad sakèng ūnyatā, Kehampaan Tan sangkèng wiṣaya Bukanlah terdorong nafsu indria tujuannya, prayojñananira lwir sanggrahèng seolah-olah saja menyambut yang duniawi, lokika, Sempurnanya jasa dan kebajikan tujuannya. Siddhāning yaawīrya donira Kebahagiaan alam semesta sukhāning rāt kininkinira, diperihatinkannya. santoṣâheletan kelir sira sakèng Damai bahagia, selagi tersekat layar sang hyang Jagatkāraṇa. pewayangan dia dari Sang Penjadi Dunia.

Sang Arjuna termasuk sukses dalam bertapa. Yang dimaksud berhasil, adalah bila pemerintahan tidak terjebak ke otokrasi dan monokrasi. Bentuk demokrasi yang dimana kekuasaan tertinggi berada pada rakyat dan dipilih wakil rakyat untuk memimpin pemerintahan negara tersebut. Kalau otokrasi sering diputuskan satu orang, yang kadang-kadang adda baik dan jeleknya. Monokrasi adalah pemerintahan dipimpin oleh rakyat. Namun rakyat tidak tahu apa-apa tentang pemerintahan. Sastra pernah jaya di era otokrasi. Di era otokrasi, Serat Mahabarata dan Serat Ramayana jaya. Otokrasi juga tidak selalu jelek. Penyalinan dan penggubahan sampai ke pakem wayang, baik bali maupun Jawa menglami kejayaan. Waktu itu raja tinggal memerintahkan pada pujangga, sastra sudah berkembang. Dahulu di istana pujangga “digaji” biarpun tidak banyak, ternyata cukup. Kapitalis waktu itu raja. Sekarang di era yang dikenal demokrasi, justru sastra semakin terabaikan. Sastra baru mendapat tempat di lomba- lomba, bukan menjadi sebuah tradisi bergengsi. Kalau membaca Adiparwa (Juyinboll, 1906) akan terlintas sebuah adegan menarik. Menurut hemat saya berikut ini merupakan sebuah jalan menuju demokrasi yang perlu dipertimbangkan. Setidaknya apa dan bagaimana ketika

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 7 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 seseorang hendak berkuasa. Untuk menguasai 3 dunia, memang tidak mudah. Berikut kisahnya. Pada suatu ketika ada dua asura bersaudara bernama Sunda dan Upasunda yang saling menyayangi satu sama lain. Mereka mempunyai hasrat yang kuat sebagai penguasa tiga dunia. Mereka melakukan tapa yoga yang keras. akhirnya datang dan mengabulkan permintaan mereka. Mereka ingin menjadi yang paling kuat di tiga dunia dan tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh diri mereka sendiri. “Power tends to corrupts”, sifat keserakahan asura telah mendarah daging bagi mereka, sehingga mereka berperang untuk menguasai tiga dunia yang membuat kekacauan tak habis-habisnya. Perang disebabkan oleh keserakahan. Selama manusia masih serakah, perang tidak dapat dihindari. Anda boleh saja bicara tentang kedamaian. Anda boleh saja mengukuhkan undang-undang untuk kerukunan antar kelompok, tetapi selama keserakahan masih ada, persaingan akan selalu ada. Selama itu pula perang dan kerusuhan tidak dapat dihindari. (Krishna, Anand, (2002). Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) Brahma berpikir bagaimana caranya agar mereka saling berkelahi satu sama lain, sehingga akhirnya Brahma menciptakan bidadari Tilottamma yang sangat cantik yang merupakan akumulasi dari semua kecantikan di seluruh dunia. Kemudian Brahma berencana memanggil Kamadeva dan memberikan instruksi bagaimana caranya memanahkan anak panah asmaranya kepada Sunda dan Upasunda agar mereka berkelahi memperebutkan Tilottama. Kamadeva, dewa muda tampan dengan senjata andalan panah asmara, mempunyai keinginan untuk mencoba keampuhan senjatanya. Pada saat datang ke tempat Brahma dia melihat Brahma sedang berdua dengan Tilottama. Kamadeva kemudian memanahkan anak panah dengan lima bunganya kepada Brahma. Brahma terpengaruh panah asmara dan mengejar Tilottama. Tilottama lari dan mengubah dirinya sebagai rusa dan Brahma tetap mengejarnya dengan mengubah wujudnya sebagai rusa jantan. Para dewa geger melihat kejadian itu. kemudian mendatangi Brahma dalam wujud pemburu. Brahma dalam wujud rusa jantan sangat takut kepada Shiva dan tidak lagi mengejar Tilottama. Cinta sang rusa jantan kepada hidupnya melebihi cinta terhadap lawan jenis impiannya. Dan masalah pun terselesaikan, Brahma minta maaf dan para dewa tenang kembali. Tilottama kemudian diminta mendatangi asura Sunda dan Upasunda serta Kamadeva mendampinginya. Dengan panah asmara akhirnya Sunda dan Upasunda berkelahi memperebutkan Tilottama sampai kedua-duanya mati. Tilottama kemudian diangkat menjadi bidadari di Surga.

Dari cerita itu, konteks kekuasaan berupaya untuk menakhlukkan orang lain. Kekuasaan Brahma bisa memiliki strategi pada dua raksasa, Sunda dan Upasunda. Sayangnya keduanya menjadi tergoda dengan wanita. Sastra itu urusan

8 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 keindahan dan kebermaknaan. Sastra itu seni. Sastra itu bagian ekspresi budaya. Lewat sastra dapat membangun budaya yang humanis. Yang humanis itu kuncinya damai. Nah, kalau sastra sering melirik kekuasaan itu karena ingin menghumaniskan kekuasaan. Jika sastra menengok demokrasi dan otokrasi bangsa, itu karena ada niat baik. Sastra ingin berbaik hati, agar demokrasi kita tidak sakit. Menurut hemat saya, buaya demokrasi kita sedang sakit. Sakit keras. Mungkin “sakit gula”, hingga merembet ke mana-mana. Pada titikini sastra ingin mengambilperan, mengobati. Sastra ingin berbaik hati menjadi “kapsul” penawar sakit. Kita masih sering terjebak ke demokrasi semu (palsu). Berikut adalah puisi yang kritik keadaan serba palsu, termasuk demokrasi. Sajak Palsu; Agus R Sarjana Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.

Demokrasi palsu, berarti memang sedang sakit. Demokrasi sakit gigi. Hingga penyair senior kita mas Taufiq Ismail sering mempertanyakan ihwal demokrasi ini melalui puisi sebagai berikut. Puisi Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail) Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 9 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Kembalikan Indonesia padaku Paris, 1971

Dari puisi itu, tampak bahwa realitas Indonesia, termasuk demokrasi semakin memprihatinkan. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. Ini sudah betul. Sudah iddealis.Namun, demokrasi kita di mata sastra belum sepenuhnya ideal. Dalam pandangan Soyinka (1988:27) demokrasi partisan itu sering mewarnai hidup manusia. Demokrasi pastisan ideologinya sering hanya milik kelompok tertentu. Hanya terbatas pada segmen tertentu saja. Namun ideology partisan itu tetap bisa menjamur. Dari prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan (equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme) di Indonesia terkesan gagal dan implementasi yang belum dimaksimalkan demi terciptanya demokrasi yang diharapkan bangsa ini. Disebut gagal, karena seang sakit. Demokrasi menjadi semu,karena wakil-wakil rakyat belum sepenuhnya menjadi negarawan sejati. Tiak sedikit keputusan yang iambil untuk kepentingan iri dan kelompok atau partainya. Biarpun hal itu sah-sah saja, namun ini jelas menoai demokrasi.

10 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

C. Budaya Demokrasi Topeng Sadar atau tidak, kini bangsa ini sedang memasuki demokrasi topeng. Artinya, yang nampak di luar (wajah) demokrsi, belum tentu sma dengan dibatin. Topeng penguasa, selalu ingin kaya sendiri,sehinggal mental korupsi terjadi. Maka Wapres Jusuf Kalla (Sabriah, 2014:495-496), menyarankan agar pembelajaran di sekolah bisa mengubah mental, yang disebut revolusi mental. Cerita Kancil yang licik, perlu diganti cerita lain, yang mampu merevolusi mental bangsa. Revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa, yaitu berkarakter, santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong dan dapat membuat rakyat sejahtera. Realitas memang sulit dihindari, kalau bangsa ini gemar menggunakan topeng. Topeng raksasa, sebagian besar. Ciri raksasa, tangan mengepal, menggenggam, seperti bayi ketika lahir. Topeng Karya Sapardi Djoko Damono untuk Danarto /1/ Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya wajahnya sendiri satu demi satu dan digantungkannya di dinding. “Aku ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng- topeng yang mendesah, yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/ “Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah pipi, dan bedak berceceran di mana-mana; dan tak ada topeng. “Di mana topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang rendah, sarang laba-laba di langit-langit, dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 11 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

/3/ Tapi topeng tak boleh menjelma manusia; ia, tentu saja, hafal sabda raja dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara, tak menerima upah, dan digantung saja di dinding jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya. (Hujan Bulan Juni, 1994)

Begitulah puisi topeng. Wajah demokrasi kita tampaknya sedang bertopeng. Anusia sedang bingung, ingin menemukan topeng mana yang cocok, seperti dalam puisi itu. Stefanovici (2016:143-144) menyatakan bahwa budaya dalam karya sastra tiak akan terpahami utuh, tanpa mengkaitkan dengan konteks dan pemikiran holistik. Budaya itu juga bukan fenomena pasif, melainkan dinamik, untuk melukiskan pengalaman dunia. Pernyataan ini juga seirama dengan demokrasi topeng, dalam puisi di atas. Demokrasi topeng biasanya serba fantastis, penuh kepura-puraan. Bahkan sahabatku seorang cerpenis pernah memenangkan lomba penulisan cerpen. Judul cerpen itu Patine Sura Topeng karya Turiyo Ragilputra, artinya meninggalnya tokoh Sura yang bertopeng. Ini merupakan kisah kepahitan di orde baru. Ternyata, topeng-topeng itu masih ada hingga era reformasi ini. Reformasi demokrasi masih gagal. Kalau tidak diamputasi, tetap merembet ke mana-mana. Saya sebut demokrasi topeng. Banyak pelaku demokrasi yang bertopeng. Maka karya-karya sastra ingin membuka topeng itu. Budaya topeng memang idah, tetapi berbahaya. Topeng itu semu. Sastra dan budaya sering bertegur sapa. Sastra dan politik sering berhadap-hadapan. Dengan budaya, local wisdom, penulis dapat mempercantik sastra. Sastra menjadi semakin indah, penuh makna, karena geliat budaya. Ketika membaca Bhagawad Gita, sastra ikut menerangi politik dan kekuasaan. 2.33 Akan tetapi, apabila engkau tidak melaksanakan kewajiban dharmamu, yaitu bertempur, engkau pasti menerima dosa akibat melalaikan kewajibanmu, dan dengan demikian kemasyuranmu sebagai kesatria akan hilang. Bhagavad-gita 2.34

12 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.34 Orang akan selalu membicarakan engkau sebagai orang yang hina, dan bagi orang yang terhormat; penghinaan lebih buruk daripada kematian. 2.47 Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajibanmu. Bhagavad-gita 2.48 2.48 Wahai Arjuna, lakukanlah kewajibanmu dengan sikap seimbang, lepaskanlah segala ikatan terhadap sukses maupun kegagalan. Sikap seimbang seperti itu disebut yoga.

Di situ ada demokrasi dan otokrasi seorang tokoh Kresna kepada Arjuna. Percaturan demokrasi alam sastra wayang, sering berbaur dengan otokrasi. Saya memandang otokrasi tidak jelek amat. Sebaliknya demokrasi juga tidak terlalu bagus. Sebab, sastra kadang lebih hidup, banyak menawarkan nilai yang top di era otokrasi. Di era demokrasi sastra sering gagal mengejar embun jernih kekuasaan. Penyair KH. Mustofa Bisri melukiskan keadaan Indonesia, termasuk demokrasi tentunya, penuh teka-teki. Meskipun penyair ini tidak menyebut topeng, namun demokrasi ini sedang berwajah topeng. “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

Kau ini bagaimana Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 13 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Aku harus bagaimana Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana Aku bilang terserah kau, kau tidak mau Aku bilang terserah kita, kau tak suka Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana Atau aku harus bagaimana

14 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

-1987-

Realitas demokrasi memang sering membingungkan. Oleh karena di jagad demokrasi kita semakin membingungkan. Saya menjadi ingat buku tebal Cliffod Geetz berjudul Negara Teater, yang berkisah tentang Bali. Negara teater mirip dengan banyaknya topeng sndiwara. Agaknya, sakitnya demokrasi karena ada gaya okhlokrasi. Yakni pemerintahan dipegang oleh rakyat demi kepentingan sebagian orang. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh seorang raja atau kaisar. Ada dua jenis bentuk pemerintahan monarki yaitu monarki absolut, monarki konstitusional, dan monarki parlementer. Monarki absolut adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh raja, syah, ratu atau kaisar. Kekuasaan penguasa tidak terbatas. Ada beberapa contoh negara yang menganut sistem ini yaitu Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan Swaziland. Monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja, tapi kekuasaannya dibatasi oleh UUD atau konstitusi tertentu. Contoh negara yang pernah menganut sistem ini adalah Jepang, Spanyol dan Denmark. Yang terakhir, monarki parlmenter adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja, tapi kekuasaan tertinggi ada di tangan parlemen. Contoh negara yang pernah menganut sistem ini adalah Belanda dan Inggris. Indonesia mencanangkan negara demokrasi. Namun sering sakit-sakitan. Di era ini, sebut saja orde baru, sastra sering menjadi subyek yang dicemooh sekaligus ditakuti. Pada masa Orde Baru, rezim Suharto sangat sering melakukan pelarangan dan penarikan buku-buku karya sastra yang dianggap mendiskreditkan pemerintah. Di Jawa ada penyair Wiji Tukul yang raib hingga sekrang. Emha pernah dicekal. Tidak mengherankan apabila pada masa itu mustahil bagi orang awam membaca dengan bebas karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan para penulis ‘kiri’ lain. Karya Jawa berjudul Serat Darmagandhul dan Suluk Gatholoco pernah dicekal, tidak boleh beredar. Yang terakhir ini, dilarang karena dianggap berseberangan dengan religi tertentu. Setuju atau tidak, sastra itu sebuh mata air jernih. Mata air yang menyehatkan demokrasi. Oleh sebab itu, tidak tepat bila semua kegiatan berkesusastraan yang dianggap tidak sejalan dengan selera, sikap dan ideologi penguasa kemudian “dipasifkan” secara sistematis dengan cara “dimarjinalkan,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 15 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dilarang, dibredel, dihantam, dilibas, dihancurkan, dipenjarakan, di-PKI-kan dan kalau perlu dihabisi. Sastra adalah tambang emas demokrasi yang sehat. Kalau dibungkam di era demokrasi yang sudah carut marut ini,akan muncul Semar Gugat karya dramawan N Riantiarno dan Semar Gugat karya Sidhunata. Bahkan Sindhunata juga menciptkan penembak celeng, yang terispirasi dari lukisan Joko Pekik. Di era orde baru pernah muncul “sastra yang membebaskan”. Pelopornya mas Ariel Heryanta. Dengan gegap gempita saat itu, menganggp sastra itu masih tertindas. Waktu itu, sudah disebut era demokrasi,namun semu. Banyak konteks “mohon petunjuk” dalam tokoh-tokoh yang raib bila mengkritik pemerintah. Di era reformasi ini, sastra masih belum mencapai demokrasi yang sehat. Sekarang isu multikulturalisme justru sering “digoreng” untuk menghangatkan suasana. Multikultural sastra pun sebenarnya ada,namun belum memenuhi harapan.

D. Memahami “Signal” dan “Sinyal” Demokrasi Dalam sastra dan budaya memang butuh pemahaman (verstehen). Kunci paham dalam padangan Weber (Geertz, 1989) adalah tafsir. Tafsir itu cair. Konsep tafsir itu mengajari budaya “demokrasi” dalam pemaknaan. Makna tidak selamanya tunggal, itu hakikat proses tafsir sastra dan budaya. Hal ini mengingat fenomena sastra dan budaya itu penuh dengan “signal” dan “sinyal”. Sastra memang penuh signal dan sinyal. Hanya orang cerdas yang mampu memahami. Renungkan sejenak coba di kisah Adiparwa (Juyinboll, 1906) ini, sepertinya ada demokrasi yang berkelinan dengan otokrasi. Kisahnya, sang Arunika diuji dengan cara bersawah, sebelum diberi anugerah ilmu Dharma. Ketika biji yang ditanamnya sedang tumbuh, hujan turun tiada henti lalu datanglah air bah yang dapat menghancurkan pematang sawah. Arunika khawatir padinya tergenang air. Diupayakannya berbagai cara untuk menahan air, tetapi berkali-kali jebol kembali. Akhirnya dia menggunakan tubuhnya untuk menahan air. Direbahkannya tubuhnya untuk menahan air, siang malam tidak bergerak dari tempatnya. Upaya kerasnya membuahkan hasil. Dia dianugerahi kebahagiaan dan segala perkataan serta kehendaknya akan terlaksana.

16 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kekuasaan dewa, di era masa lalu memang otokrasi. Tanpa ada tawar- menawar dengan bawahan (siswa). Namun, ternyata Arunika lolos ddari ujian itu. Konteks ini merupakan sebuah signal dan sinyal penting. Signal itu tanda penting, sinyal sebagai petunjuk makna. Sinyal itu ruang makna. Dari sini dapat dipetik sinyal, antara lain: (1) orang akan ditingkatkan derajatnya perlu diuji, (2) ujian kadang-kaang tidak bersifat demokratis, (3) usaha itu perlu, tidak harus menyerah. Ada lagi kisah yang tiak kalah menarik alam Adiparwa (Juyinboll, 1906), pada episode Utamanyu dan Domya. Dalam konteks ini ada hal penting yang terkait dengan demokrasi. Coba perhatikan sebagai berikut. Sang Utamanyu diuji oleh sang guru dengan cara menggembalakan lembu. Utamanyu menggembalakan lembu dengan sangat hati-hati. Dia menderita lapar selama menggembala, karena itu ia meminta-minta. Hasil pintaannya tidak diserahkan kepada B Domya tetapi dimakan sendiri. Domya menegur dan mengatakan bahwa tindakan itu tidak patut. Murid yang baik dan berbakti seharusnya akan menyerahkan seluruh hasil memintanya kepada gurunya, karena tidak patut menjadi makanannya. Utamanyu meminta maaf lalu keesokan harinya hasil meminta-minta diserahkan kepada sang guru. Dia meminta-minta lagi untuk makan. Domya menegurnya karena tindakan itu dianggap loba (meminta-minta sebanyak dua kali). Keesokan harinya Utamanyu tidak meminta-minta lagi. Dia meminum sisa air susu induk lembu yang tengah menyusui anaknya. Tindakan itu juga tidak dibenarkan oleh Domya karena air susu tersebut (meskipun hanya sisa-sisa) merupakan milik sang guru. Tidak patut seorang murid mengambil milik gurunya. Utamanyu lalu hanya mengambil buih air susu yang keluar dari mulut anak lembu saat menyusu. Itu juga dianggap tidak patut menjadi makanan. Namun, anak-anak lembu itu merasa kasihan sehingga dengan sengaja memuntahkan air susu yang sudah diminumnya. Itu akan menyebabkan anak-anak lembu menjadi kurus. Utamanyu akhirnya tidak memakan apa pun. Untuk mengatasi rasa laparnya dia menghisap getah daun waduri yang panas hingga menembus matanya. Akibatnya, dia menjadi buta. Karena buta, dia tidak dapat melihat lembu yang digembalakannya. Dia mencari-cari hingga akhirnya terjerumus ke dalam sumur mati. Pada sore hari lembu-lembu yang digembalakannya kembali tanpa Utamanyu. Domya ribut mencari muridnya hingga keesokan harinya Utamanyu ditemukan di dalam sumur mati. Utamanyu menceritakan penyebab dia terjerumus ke dalam sumur. Domya merasa kasihan sehingga Utamanyu dianugerahi mantra dewa Açwino, yaitu dokter para dewa. Mantra yang diucapkan dapat menyembuhkan kebutaan Utamanyu. Utamanyu lalu dihadiahi ilmu yang sempurna, tambahan lagi Utamanyu dianugerahi tidak akan mengalami tua.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 17 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kisah di atas, menurut saya sang guru menggunakan kekuasaan otokrasi. Siswa tiak boleh menawar apa saja. Guru lebih banyak menyalahkan, biarpun itu sebuah ujian. Pragmatika dari kisah ini memang mengngiring untuk mendidik karakter siswa harus: (1) berbakti pada guru dan (2) berusaha keras. Di era sekarang, tentu akan dikritik apabila demokrasi buntu. Yang menarik, tentu otokrasi itu belum tentu jelek. Sastra mewujudkan sebuah komunikasi estetis untuk membangkitkan kemauan manusia agar lebih beradab. Guru yang memiliki otoritas sering member signal-signal dan sinyal tergantung kemampuan siswa menebaknya. Jika siswa suah patah semangat, tentu akan gagal. Belajar dari Leach (1976:23) budaya itu sebuah komunikasi, begitu juga sastra. Komunikasi dibangun dengan menyajikan signal-signal dan sinyal. Signal itu tanda yang otomatis membawa pesan. Signal membutuhkan sinyal (petunjuk) untuk memaknainya. Di negeri ini, lagu Balonku masih terdengar. Lagu ini, dapat ditafsirkkan bebas, itu signal demokratis. Makna bukan monopoli segelintir orang. Sinyal pada puisi anak-anak itu ada sejumlah warna, ternyata itu juga dapat ditafsirkan secara politik. Dalam puisi anak-anak itu, terbersit budaya demokrasi juga. Sebagai sastra hiburan, lagu ini ternyata menarik. Di jagad demokrasi, ternyata banyak memanfaatkan lagu ini. Konteks warna selalu menjadi andalan bagi pemegang kekuasaan. Belum lagi puisi Menanam Jagung, pernah menjadi sastra politik sejenak di era 1998. Saat itu ada demo besar-besaran. Lagu ini yang dijadikan mascot demo yang penuh signal, yaitu tanda-tanda untuk pelengseran rezim. Lalu di era reformasi ketika banyak politikus yang berpakaian orange, lagu itu mencuat kembali. Koteks signal “jagung” bisa diubah (diaransemen), diresepsi, dan ditafsirkan.Dalam istilah Leach (1976:25) komunikasi budaya itu mengalami transformasi. Transformasi melahirkan sinyal-sinyal baru, seperti halnya sinyalsebuah HP. Sastra dan lagu sering hadir di negera ini. Sastra yang memperhalus demokrasi dengan cara kritis,memang banyak dianggap membahayakan. Di banyak negara, khususnya Uni Sovyet pernah terjadi pelarangan karya-karya sastra karena berseberangan dengan kepentingan dan kebijakan pemerintah. Namun demikian pasca kematian Stalin, Uni Sovyet melahirkan penulis yang dianugerahi Nobel pada tahun 1958, Boris Pasternak. Pada awalnya karya Pasternak berjudul Doctor

18 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Zhivago dapat dengan leluasa dibaca namun kemudian dilarang karena ia mengkritik pemerintah dengan tajam. Hal ini menandai bahwa signal dan sinyal antara sastra, budaya, dan pemerintah belum sejalan. Pemerintah sebagai penguasa, sering berbeda tafsir, sehingga bisa “melarang” sastra beraksi lewat kata. Hal senaa jelas sudah terjadi ddi Indonesia, di masa orde baru. Di era reformasi, pelarangan hampir belum terdengar, kecuali bila bersentuhan dengan agama tertentu. Signal memang kadang pelik, butuh sinyal. Signal itu tanda-tanda yang sudah secara otomatik, misalnya lalu lintas ditandai dengan “lurus jalan terus.” Sinyal itu petunjuk beraksi. Sinyal itu suasana yang mengijinkan. Bila memang sinyal lengang, biarpun ada signal tanda berhenti, kadang orang mengendarai motor jalan terus. Ada juga lampu merah, bukan lampu hijau dan lampu kuning yang banyak dikenal. Yang sering dimaknai berbeda satu dengan yang lain. Mari kita ingat pada kisah Mahabarata, khususnya Adiparwa (Juyinboll, 1906) ketika guru Drona, adalah guru yang khusus mengajar untuk putra-putra Kuru. Di dalamnya ada signal dan sinyal yang perlu diserap dan ditindaklanjuti oleh tokoh. Suatu ketika, datanglah seorang pemuda bernama Ekalavya. Pemuda tersebut memohon agar Drona menerimanya sebagai murid. Karena Ekalavya berasal dari golongan Nishada, golongan yang dianggap rendah, maka Drona pun menolak menerimanya sebagai murid. Lagipula, Drona memang mengkhususkan diri untuk mengajari ilmu perang dan persenjataan kepada para pangeran dinasti Kuru saja. Di sinilah otokrasi yang bermain. Guru menentukan segalanya. Merasa kecewa, sang pemuda pulang ke dalam sebuah hutan. Dibuatnyalah patung yang menyerupai Drona dan menganggap patung itu sebagai gurunya dalam berlatih ilmu panah memanah. Penghargaannya yang begitu tinggi kepada ilmu panah memanah dan latihan yang tak pernah henti membuat dia menjadi seorang pemanah yang sangat mumpuni, tiada banding. Signal yang dapat dipetik dari sini ada dua hal, yaitu (1) belajar tidak kenal menyerah, (2) belajar mandiri itu penting, (3) belajar memanah butuh suri tauladan. Ekalwya, adalah signal siswa yang tekun, biarpun menghaapi otokrasi guru, tetap tidak mau menyerah. Ternyata ada hikmah di balik sinyal-sinyal itu. Kalau menyimak gagasan Anadon (1989:1-2) yang menyatakan bahwa karya sastra itu merupakan pantuan kekuasaan (power), kisah Drona dan Ekalawya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 19 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ini juga demikian. Menurut dia, karya sastra sering mengkombinasikan berbagai unsure, antara lain fantasi, sejarah, politik, social, dan mitos. Menurut hemat saya, gagasan ini ada benarnya. Dalam kisah Drona ini, bercampur antara realitas imajinatif dengan mitos serta kekuasaan. Kisah lanjutannya, suatu ketika, Drona mengajak para muridnya ke hutan untuk berburu. Ketika sedang asyik berburu, seekor anjing datang ke mereka dengan mulut yang tertusuk beberapa anak panah sehingga dia tidak bisa menggonggong. Melihat kejadian itu, semua orang termasuk Drona sangat terkejut. Menurut Drona, hal itu adalah sesuatu yang sangat jarang dijumpai dalam ketrampilan memanah. Karena biasanya ketika memanah binatang yang dijadikan sasaran adalah bagian jantungnya, tapi yang dijumpai kali ini seekor anjing dikunci moncongnya dengan beberapa anak panah tanpa dibunuh. Akhirnya, mereka mengikuti jejak anjing tersebut berasal, dan sampailah mereka berjumpa dengan Ekalavya yang sedang belajar memanah. Arjuna adalah orang yang paling kecewa melihat kenyataan bahwa ilmu memanah yang dimilikinya telah dikalahkan oleh seseorang yang tidak pernah dilatih oleh Guru yang mumpuni seperti Drona. Impiannya sebagai seorang pemanah paling handal di kolong langit tampaknya masih jauh dari harapan. Dia menyadari bahwa ketrampilan panah Ekalavya sangat jauh di atasnya. Resepsi estetis tokoh Arjuna ini memang dihantui rasa iri. Rasa itu menghaddirkan kekuasaan, yang apabila meluncur dapat berupa otokrasi dan demokrasi. Drona kemudian mendatangi Ekalavya dan menanyakan bagaimana caranya Ekalavya berlatih memanah sampai begitu hebat. Ekalavya yang menyadari bahwa Drona sendiri yang datang kepadanya, menaruh hormat dengan menyentuh kaki Drona dan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya bertemu dengan Guru yang dikaguminya itu. Dengan senang hati, Ekalavya menceritakan bagaimana dia berlatih keras di hadapan patung Guru Drona dan kembali meminta Drona untuk menerima dirinya sebagai murid. Permintaan ini merujuk pada signal “hormat” dan “kagum” pada guru, biarpun gurunya otokratis. Memang kalau menganut Guru Drona melihat kesungguhan hati Ekalavya tetap tidak bergeming, bahkan dia mulai mengatur siasat kepada Ekalavya karena dia menyadari selama masih ada Ekalavya, dia tidak bisa memenuhi janjinya kepada Arjuna untuk

20 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 menjadikannya seorang ahli panah paling handal sejagad raya. Maka, Drona pun berpura-pura mau menjadi Guru bagi Ekalavya. Sebagai syaratnya Drona akan mengisyaratkan Guru Dakshina-nya (semacam pemberian wajib kepada Guru sebelum pengajaran dimulai atau sebelum pengajaran diakhiri), yang harus diberikan oleh Ekalavya kepadanya. Ekalavya yang memang mengidolakan Guru Drona segera menyanggupi permintaan tersebut tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang harus diberikan kepada Guru Drona. Bahkan Ekalavya mendesak Guru Drona agar cepat menjatuhkan titah permintaan apa yang harus diberikan olehnya kepada Guru Drona. Drona meminta Ekalavya memberikan jempol kanannya. Ekalavya, tanpa berpikir panjang segera memotong jempol kanannya. Padahal hal ini mengakibatkan Ekalavya kehilangan kemampuan memanahnya. Setelah Ekalavya memberikan jempol kanan, Guru Drona dan murid-muridnya kembali ke tenda mereka. Demokrasi seorang guru rona memang pantas dipertanyakan. Mungkin lebih tepat disebut otokrasi. Ideologi guru Drona memang unik. Dia ingin menguji, mencelakakan, dan atau guru yang berat sebelah. Dalam konteks disiplin ilmu, ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra. Dalam kamus A Glossary of Literary Term (1999) yang ditulis oleh M.H Abrams, tidak terdapat tema “ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan definisi istilah sastra. Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan kekuasaan. Pertemuan antara sastra dan ideologi terjadi pada saat ilmu lain masuk dalam analisis sastra dan konsekuensinya banyak istilah nonsastra yang diadopsi, salah satunya adalah kata ideologi. Menangkap makna karya sastra memang boleh beragam. Begitu juga demokrasi dan otokrasi, sering tergantung wawasan masing-masing. Karya sastra adalah sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas” kemanusiaan penulis. Ruang itu sendiri bukan alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa. Bila pembaca arif menyikapi makna, tentu demokrasi akan sehat. Bila demokrasi sehat, tidak batuk, dan masuk angin, tentu negara semakin sehat.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 21 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anadón, José. 1989. “Power” In Literature and Society The “Double” in Gabriel García Márquez’s The Autumn of the Patriarch”. Amerika: Paper di The Helen Kellogg Institute for International Studies.

Damono, Sapardi Djoko. 1994. “Topeng” dalam Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo

Endraswara, Suwardi. 2016. “Ideologi, Cinta, Andragogi, dan Ekologi Sastra.” Magelang: Makalah Seminar Nasional, 27 Agustus di Untidar.

Forster, E.M. 1956. Aspect of the Novel. Jakarta: Balai Pustaka.

Leach, Edmund. 1976. Culture and Communication. London dan New York Melbourne: Cambridge University Press.

Merriam, Sharan B. 2001. Andragogy and Self-Directed Learning: Pillars of Adult Learning Theory. Spring 2001 Jossey-Boss. A Publishing tnit of John Wiley & Sons, Inc

Sabriah. 2014. “Karya Sastra sebagai Media Revolusi Mental” (Literature Work as Mental Revolution Media). Sawerigading, jurnal Ilmiah Balai Bahasa Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat.

Soyinka, Wole. 1988. “Ethics, Ideology and the Critic” Edited by with an lin "Coductory essay by Kii-sten B-olst Peitersen Per W&stbei- Afrika: Scandinavian Institute of African Studies, Uppsala.

Stefanovici, Smaranda. 2016. “Literature and Cultural Anthropology”. Rumania: University of Tirgu Mures.

Thukul, Wiji.2004. “Peringatan” dalam antologi Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Tera.

Trotsky, Lion. Literature and Revolution. Edited by William Keach. Translated by Rose Strunsky. New York: Haymarketbooks.

MEMAKNAI DEMOKRASI SPIRITUAL DALAM TAHUN POLITIK 20181

I Ketut Ardhana2 Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana

Abstrak

Setiap kebudayaan dari masyarakat memiliki caranya sendiri dalam mengatur tatanan kehidupannya. Ini artinya setiap masyarakat sudah memiliki kemampuannya berdasarkan kearifan lokalnya dalam mengelola persoalan yang berkaitan dengan masalah harmoni maupun konflik yang ada di sekitarnya. Dalam kaitan ini masyarakat yang sudah memiliki nilai-nilai kehidupannya dapat dikatakan sebagai sebuah suku bangsa atau bangsa (nation). Akan tetapi, ketika pengaruh Barat mulai menyentuh dunia Timur, dengan berbagai pahamnya tampaknya dunia Timur mengadopsi pengaruh Barat itu yang bersamaan dengan timbulnya negara (state) yang kemudian mengambil alih peran suku bangsa yang dilakukan oleh negara modern itu. Namun demikian, bukan berarti permasalahannya selesai, karena ketika negara modern itu menjadi pilihan, maka tidak semua komunitas masyarakat dapat mencapai apa yang diinginkan dalam konteks kehidupan masyarakat yang demokratis. Pertanyaan utama yang diajukan dalam makalah ini adalah pertama, bagaimana mereka memandang kehidupan yang demokratis ini? Pilihan-pilihan interpretasi apa yang dikedepankan, ketika berhadapan dengan masalah riak-riak sosial, konflik, dan masalah disintegrasi bangsa? Ketiga pelajaran apa yang dapat dipetik dalam upaya memahami dinamika masyarakat di era modern dan postmodern ini? Inilah beberapa pertanyaan yang dibahas dalam makalah ini, dalam upaya untuk memahami secara lebih baik tentang kehidupan multikulturalisme dalam sastra dan budaya demokrasi masyarakat.

Kata kunci: multikulturalisme, bangunan negara-bangsa, sastra, budaya, dan demokrasi

I. Pendahuluan Kata sastra pada umumnya sering dikaitkan dengan sebuah teks atau tulisan. Namun, di era postmodern sekarang ini, kata sastra tidak selalu pada teks atau tulisan itu, dimana di masa lalu banyak teks tersebut terdapat pada prasasti (inscription), dimana dapat ditemui di semua lembaga penyimpanan kekayaan peninggalan masa lalu seperti pada kesempatan untuk meninjau pada peninggaan situs-situs masa lalu. Jadi nilai-nilai yang ada sangat inherent dengan kekayaan pusaka budaya itu. Akan tetapi, karena perkembangan zaman, tampaknya tidak

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 22 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 23 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 banyak masyarakat memiliki lagi nilai-nilai yang dianggap sebagai kekayaan local genius-nya. Karena adanya perkembangan zaman modern yang sudah dimulai tahun 1500 yang bersamaan dengan perkembangan westernisasi, modernisasi, Islamisasi, dan Kristenisasi dan sebagainya yang telah berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang sudah memiliki nilai-nilai atau tatanan kehidupan yang terbentuk pada masa sebelumnya. Akan tetapi, tampaknya karena dinamika kehidupan baru masyarakat yang dipengaruhi oleh modernisasi, dan bahkan westernisasi, tampak seolah-olah nilai- nilai apa yang ada sebelumnya itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah kuna (out of date), yang seringkali tidak dianggap sesuai dengan perkembangan zaman (tijdgeest atau tijdgeist). Tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah-masalah perdebatan ini sangat berkaitan dengan persoalan politisasi agama misalnya, sehingga masyarakat dihadapi pada kebingungan-kebingunan untuk memilih, sementara pada saat itu, tidak banyak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi akibat ketertinggalan dalam masalah pendidikan, tentang apa yang di dunia Barat dikatakan sebagai nilai-nilai demokrasi. Dalam kaitan ini, tampak apa yang dikatakan sebagai nilai-nilai adiluhung ketimuran (Asian values), dibenturkan dengan nilai-nilai Barat (Western values) yang belum tentu lebih baik dari apa yang diharapkan oleh masyarakat lokal, karena mereka sendiri sudah memiliki pola panutan yang sudah dimilikinya secara turun temurun (Eriksen, 2002: 9). Nilai-nilai ketimuran yang sering dianggap sebagai local genius sebenarnya merupakan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang dimiliki oleh masyarakat atau komunitas Indonesia. Akan tetapi, dengan datangnya nilai- nilai baru atau dari luar tampaknya perlu diantisipasi dengan baik karena di satu

______1Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Sastra dan Budaya III tentang “Mengkaji Sastra dan Budaya Membangun Demokrasi yang Sehat”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana pada tanggal 28 sampai dengan tanggal 29 Maret 2018. 2 Guru Besar Sejarah Asia pada Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Udayana Denpasar. pihak, ada yang menguntungkan, dan di pihak yang lainnya ada yang merugikan. Ini dapat dilihat bagaimana dengan masuknya semua agama yang “diimpor” masuk

24 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ke Indonesia dalam konteks dinamika sejarah Indonesia di masa lalu dan masa kini. Perkembangan ini dibawa sekelompok masyarakat tertentu atau etnis tertentu yang kemudian memasuki relasi yang kompetitif dalam dinamika politik dan pasaran kerja (Ardhana, 2010: 160—163, lihat juga: Eriksen, 2002: 9). Dengan kata lain, tidak ada satu pun agama yang dianut dan dipeluk oleh masyarakat di Asia Tenggara pada umumnya, dan di Indonesia pada umumnya berasal dari daerah asli Indonesia pada khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya. Ini misalnya dapat dilihat mulai dari agama Hindu, Islam, Katholik dan Protestan, tampak diserap dan disesuaikan dengan kondisi tanah air dan budaya Indonesia. Tidaklah mengherankan jika, Presiden Indonesia yang pertama Indonesia Soekarno pada saat itu mengatakan, bahwa kalau menjadi Hindu di Indonesia jangan menjadi orang India, kalau menjadi Muslim di Indonesia, janganlah menjadi orang Arab, atau menjadi Kristen di Indonesia tidak menjadi orang Barat di Indonesia. Ungkapan yang dikatakan oleh Soekarno itu, tampaknya memberi semangat akan arti pentingnya menjadi orang Indonesia. Dalam teori terbentuknya bangsa dikatakan, bahwa sebuah bangsa atau negara bangsa muncul ketika kesadaran tertinggi individunya diserahkan kepada paham kebangsaan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah memang ada jaminan, bahwa ketika negara-bangsa terbentuk, nilai-nilai individu mereka dapat dijamin kebertahannya atau tidak? Di sinilah muncul masalah akan kekhawatiran akan peran negara-bangsa (nation-state building), karena berdasarkan pengalaman ketika berkecamuknya Perang Dunia II, tampak konsep negara-bangsa tidak menjamin hak-hak individu seseorang yang telah dikebiri oleh kekuasaan otoriter negara sebagaimana yang telah terjadi di Perancis pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte, di Italia dengan Muzzolininya, dan di Jerman dengan Hitlernya. Kebijakan pemimpin besar dari negara-bangsa itu menjurus kepada keditaktoran absolut, yang membawa masyarakatnya ke jurang penderitaan yang telah berbekas dalam konteks perkembangan demokrasi di negara-negara Barat yang lebih menekankan aspe-aspek chauvinismenya. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, sangatlah perlu mengontrol dan mengantisipasi jalannya sebuah pemerintahan agar sesuai dengan rel atau bangunan negara demokratis, dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan pemimpin masa lalu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 25 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang “abuse of power”, yang tidak hanya menyengsarakan kelompok pemimpinnya, tetapi juga pada akhirnya kehidupan masyarakat di akar rumput (grass roots). Bagaimana misalnya dalam historiografi nasional Indonesia yang masih berkiblat pada Javwanisme yaitu banyaknya generasi muda yang belajar ke Jawa, dan banyak pula guru-guru Jawa yang mengajar di luar Jawa, sehingga sejarah misalnya semakin sulit terlepas dari perspektif Jawanisme misalnya (Kurniawan, 2017: 209—210). Dengan demikian, pertanyaannya adalah adakah masih nilai-nilai demokrasi yang sudah berakar di masa lalu pada masyarakat asli kita atau memang sudah lapuk atau usang dimakan zaman, sehingga masyarakat kita kehilangan fondasi peradaban dan kebudayaannya. Berbicara tentang keaslian nilai-nilai (genuine), seringkali pula kurang laku di mata orang awam, dengan pengertian, apakah ketika kita berbicara tentang nilai-nilai keaslian ini, hanya berkaitan dengan aspek sosial budaya, atau tidak bersinggungan dengan masalah nilai-nilai yang fundamental dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu tampaknya tidak, karena di samping masalah sosial budaya, tampak aspek kehidupan demokrasi yang lebih dikenal dengan “spiritual democracy” yang diharapkan akan mampu merekat komunitas atau masyarakat yang telah menjadi terbelah-belah sebagai akibat dampak westernisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, Stiglitz (2007: 171) berpendapat: “with full global economic integration, the world will become like a single country, and the wages of unskilled workers will be the same everywhere in the world, no matter where they live. Namun demikian yang perlu dicermati sebagai dampak adalah jika tidak diantisipasi secara cerdas, maka di satu pihak dapat mengintegrasikan kepentingan global, namun di pihak yang lainnya, ternyata menyebabkan terkikisnya fondasi kebudayaan dan peradaban masyarakat di Nusantara ini. Di sinilah signifikannya makna pendidikan bagi generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dalam memelihara dan mempertahankan bangunan negara-bangsa yang sudah terbentuk itu (Sulistyani, 2011, 77-103).

II. Kosmologi, Lokal Genius, dan Nilai-nilai Demokrasi Aspek sosial budaya dan politik masyarakat di Nusantara pada khususnya dan bahkan di belahan dunia yang lain yang disebut memiliki masing-masing

26 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

“ancient culture”-nya sejak masa prasejarah (prehistoric time), tampaknya memiliki aspek kesamaan dalam pengertian bagaimana mereka menginterpretasikan tentang adanya nilai-nilai demokrasi yang paling awal yang sudah berakar di masyararakatnya. Simbul tentang matahari yang dianggap sebagai Dewa Surya atau setelah masuknya agama Hindu disebut dengan Sanghyang Surya dianggap memiliki nilai-nilai yang dapat memberikan rasa keadilan kepada umat manusia. Makna yang terkandung di dalamnya adalah rasa kesamaan atau keadilan, dimana Sang Surya menyinari semua yang ada di bumi tanpa pengecualian, baik terhadap yang kaya dan miskin, dan sebagainya. Bahkan, ketika menyebarnya kebudayaan Hindu dari daratan India di Asia Selatan, seperti di Jepang yang dikenal sebagai “Negeri Matahari Terbit”, dikaitkanlah bagaimana nama etnis Sinto yang dikaitkan dengan adanya pengaruh dari aspek budaya India yaitu dengan kata “Sinta”. Nama Sinta pada kata Dewi Sinta yang berpasangan pada tokoh Rama sebagaimana diketahui adalah nama tokoh penting dalam cerita epik India yang dikarang oleh Valmiki yaitu, Ramayana yang menjadi cerita epos penting selain karya Bagawan Wyasa, Mahabharata. Menurut catatan kesejarahan disebutkan, bahwa Ramayana lebih tua dibandingkan dengan Mahabharata (1400 SM sampai 1000 SM) yang kedua epos tersebut mengandung uraian tentang adat istiadat kebiasaan masyarakat dan pemerintahan, peradaban dan kebudayaan manusia di masa lalu (Pendit, 1965: xi). Nilai-nilai keunggulan tersebut tampak banyak berpengaruh pada tatanan politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Konsep kosmologi dan kosmogoni tampaknya sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat yang sudah dipengaruhi oleh budaya Hindu atau India ini, dimana berdasarkan konsep ruang tidak hanya ruang dikelompokkan menjadi tempat para dewa, tetapi juga ruang juga diberikan kepada mahluk-mahluk yang berada di dunia bawah. Dalam kaitan ini adanya konsep gunung-laut (sacred and unsacred places), dimana gunung tempat bersemayamnya para dewa dan di laut tempat mahluk yang dianggap sebagai oposisi dari peranan yang dimainkan oleh para dewa. Di sini dapat dilihat adanya pemberian rasa kesamaan dan keadilan dalam kaitannya dengan kosmologi ini. Dalam masa-masa selanjutnya konsep ini yang kemudian dikenal dengan rwabhineda seperti utara-selatan, baik-buruk, skala

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 27 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan niskala, dan sebagainya. Di sini tampak adanya perkembangan kepercayaan masa tradisi prasejarah dengan adanya pengaruh agama Hindu sebagaimana yang terjadi pada masa selanjutnya. Dalam kaitan ini penting melihat selain aspek kosmologi dan kosmogoni yang ada dengan melihat pada aspek mitos yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa mitos itu bersifat nyata dan tidak nyata atau skala dan niskala (real dan unreal). Artinya ada mitos yang tidak dipercayai makanya disebut sebagaitahayul, sementara ada mitos yang bersifat nyata (real), dimana masyarakat meyakini akan kebenarannya. Untuk itu nilai-nilai demokrasi yang dikaitkan dengan lokal genius atau kearifan lokal dapat dilihat pada cerita tentang Men Brayut, yang memiliki 18 anak, dimana Men Brayut dapat berlaku adil terhadap anak-anaknya. Di siini ditekankan nilai-nilai keadilan yang hendaknya dapat dicermati oleh masyarakat dimana patung tentang Men Brayut itu dipuja terutama di kawasan Kabupaten Gianyar. Ini artinya masyarakat Bali, jauh sebelum masuknya nilai-nilai Barat tentang demokrasi, konsep tentang nilai-nilai keadilan sudah ada di Bali yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai lokal dengan ajaran agama Budha yang berkaitan dengan kepercayaan pada pemujaan kepada Dewi Hariti. Di sini tampak adanya perpaduan antara kepercayaan lokal antara kepercayaan masa tradisi prasejarah dengan adanya pengaruh agama Budha. Di sini dapat dilihat, bahwa tradisi kepercayaan kepada Sang Surya yang hampir terdapat di sebagian besar belahan dunia menjadi sebuah kekayaan atau kearifan lokal (local genius) yang tampaknya berkembang dari dahulu hingga sekarang. Demikianlah dari contoh-contoh di atas dapat dilihat adanya nilai-nilai demokrasi itu yang tersurat dalam berbagai peninggalan pusaka budaya masyarakat Indonesia sebagaimana yang terdapat pada lontar-lontar yang berkaitan dengan filsafat kehidupan yang memberikan penjelasan tentang makna matahari atau dewa surya, cerita Men Brayut sebagaimana masih dapat dilihat pada patung-patung Men Brayut di kawasan cagar budaya dan sebagainya. Pertanyaannya adalah bagaimana peran negara dapat berkontribusi terhadap nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya sudah ada di komunitas lokal tersebut? Bagaimana pula dapat memanfaatkan situs-situs yang sarat dengan kesucian sebuah agama tertentu – yang secara dikategorikan sebagai sebuah situs cara

28 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 budaya atau (cultural heritage sites) -- untuk dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Di sinilah tantangan yang dihadapi oleh umat agama tertentu seperti penganut agama Hindu yang berada di luar Bali seperti di Jawa misalnya, untuk megharapak kepada pemerintah daerah dan pengusaha agar memikirkan keefektifan terhadap penanganan masalah-masalah keagamaan untuk tidak menimbulkan “social and political tension” di kalangan masyarakat.

III. Kearifan Lokal dalam Konteks Bangunan Negara-Bangsa Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, bahwa sejak kedatangan pengaruh luar ke wilayah Nusantara seperti perkembangan agama-agama, pengaruh Barat melalui kolonialisme dan imperialisme tampaknya telah membawa pengaruh pada perkembangan komunitas lokal di Indonesia. Terjadinya pergeseran atau cara pandang tentang kehidupan (way of life) dari masyarakat, karena dinamika sosial budaya, politik dan ekonomi yang terjadi. Masyarakat lokal diberikan alternatif atau pilihan-pilihan yang di satu pihak, tampaknya mengintegrasikan dengan tradisi dan budaya lokal, namun di pihak yang lainnya, komunitas lokal mulai dipengaruhi yang secara sadar atau tidak telah berpengaruh terhadap prilaku dan nilai-nilai kearifan yang sebenarnya sudah dimilikinya sejak lama. Dalam hal ini termasuk tatanan atau nilai demokrasi yang dimiliki sejak dahulu tampaknya mulai dilupakan. Terdapat ruang bagi pengaruh Barat untuk mengisi dan mempengaruhi dinamika yang ada di masyarakat lokal. Dalam ruang yang terbuka inilah terjadinya proses pengikisan nilai-nilai budaya atau demokrasi yang pernah ada di masyarakat, sehingga secara sadar atau tidak masyarakat mulai melupakan secara perlahan- lahan kearifan yang dimilikinya itu, dan mulai menerima pengaruh-pengaruh budaya dan nilai-nilai demokrasi dari luar. Diskursus yang berkembang bahwa sejak era kolonial secara intrinsik masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Bahkan, gambaran Belanda mengenai orang Jawa sebagai “manusia yang paling lembut di muka bumi” (het zachste volk ter aarde) yang dianggap ada pada akbad ke-18, padahal penuh bersimbah darah akibat peperangan, dan juga masyarakat Bali sebagaimana dituangkan dalam lukisan-lukisan yang berkaitan dengan masalah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 29 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kepariwisataan yang mengesankan bahwa kekerasan dan konflik dapat terjadi di Indonesia hanya sebagai akibat intervensi dari luar (Cribb, 2005: 47). Inilah yang digambarkan oleh Henk Schulte Nordholt terhadap perkembangan Bali yang dianggapnya sebagai sebuah “benteng yang terbuka”. Di sini tampak, masyarakat lokal sulit mengendalikan pngaruh-pengaruh luar yang dianggapnya sebagai pengaruh global yang membawa polusi kebudayaan (Picard, 1999: 15, cf. Sulanjari dan Ardhana, 2017a), sementara di pihak yang lainnya, yaitu peran negara tampak belum secara maksimal memainkan perannya. Sejak dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945, memang masyarakat secara teoretis menurut konsep nasionalisme negara-bangsa sudah menyerahkan sebagian besar kesadaran tertingginya kepada negara. Negara seolah- olah memiliki kekuasaan autonomi tentang masalah demokrasi sejak dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia itu, dan tampaknya masyarakat tidak sepenuhnya menyadari akan hak-hak yang pernah dimilikinya itu. Padahal menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terdapat beberapa pasal di antaranya pasal 27 yang menyangkut masalah hak-hak kewargangaraan itu. Akan tetapi, hal berkaitan dengan kewarganegaraan ini tampaknya tidak berjalan mulus, karena sejak kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun (1968—1998) yang dimulai dengan era reformasi tampaknya kekuasaan otonomi yang ada itu melekat di pemerintah pusat, sementara masyarakat di pinggiran seperti di wilayah perbatasan (remote and underdeveloped region) yang jauh dari pusat perkotaan, merasa terabaikan oleh kebijakan pemerintah pusat. Ketika begitu kuatnya pemerintah pusat yang berorientasi pada stabilitas, pembangunan, dan modernisasi (Wiener, 1999: 62), pertanyaannya adalah bagaimana dengan kehidupan masyarakat di daerah yang terpinggirkan, terisolasi dan termiskinkan itu? Di sinilah pentingnya memahami tentang bagaimana sastra itu tidak dimaksudkan hanya berkaitan dengan masalah-masalah budaya tulis (written sources), tetapi juga berkaitan dengan masalah budaya lisan atau tradisi lisan (oral tradition atau unwritten sources) yang masih hidup dan melekat di kalangan masyarakat pendukungnya. Contoh menarik yang perlu diungkapkan di sini adalah dengan melihat tentang apa yang terjadi di masyarakat perbatasan, dimana lokasinya yang jauh letaknya dari perkotaan dan hingar-bingarnya kehidupan masyarakat

30 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 perkotaan yaitu pada kehidupan masyarakat lokal di kawasan Long Pasia di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di Pulau Kalimantan. Ketika ada riak-riak atau konflik di wilayah perbatasan Indonesia di Pulau Sipadan, Pulau Ligitan dan Blok Ambalat tampak hubungan Indonesia dan Malaysia yang terjadi di akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an, menjadi tidak harmonis. Ini terjadi karena berbeda halnya dengan wilayah yang dijajah oleh pemerintah Inggris untuk pulau-pulau yang menjadi daerah koloninya dibangun sebuah mercusuar. Sementara bagi Belanda untuk daerah koloninya tidak dibangun mercusuar sehingga ketika ada gejolak perbatasan seperti ini, Indonesia memiliki kelemahan karena tidak adanya bukti bangunan mercusuar tersebut. Akan tetapi, apa akibatnya kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan yang sudah ribuan tahun sejak masa prasejarah, sejarah klasik, hingga sejarah modern menjadi tercerai-berai akibat persoalan-persoalan antar negara yang mau tidak mau menyentuh kehidupan masyarakat lokal di wilayah perbatasan? Dari gambaran tersebut di atas dapat dicermati, bahwa meskipun terjadi persoalan di tingkat negara antara dua negara Malaysia dan Indonesia, akan tetapi kehidupan masyarakat di akar rumput tampaknya harmonis. Di Long Pasia yang berada di wilayah perbatasan sangat percaya akan adanya kekuatan spiritual yang berada pada sebuah batu peninggalan situs purbakala yang berada di wilayah pegunungan. Batu besar yang ada di wilayah perbatasan itu, diyakini memiliki kekuatan sehingga banyak penduduk datang mengadakan acara ritual yang dikunjungi tidak hanya oleh komunitas yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia, tetapi juga dari mereka yang berasal dari perbatasan Indonesia. Batu ini bukan merupakan “teks”, akan tetapi di kalangan Ilmu Kajian Budaya (Cultural Studies), batu ini yang dianggap sebagai teks yang memiliki atau menyimpan pesan yang dapat disejajarkan dengan sebuah teks. Batu itu merepresentasikan sebuah pesan yang memiliki makna adiluhung bagi masyarakat sekitarnya, dimana mampu mengintegrasikan rasa persatuan di antara komunitas yang ada. Dengan adanya indikator budaya yang merupakan asset perekat (social cohesion) di antara mereka, sangat memungkinkan mereka hidup merasa aman, jauh dari pertikaian antara dua negara yang berkaitan dengan masalah perbatasan, di antaranya illegal logging,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 31 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 penguatan persoalan hukum, hubungan bilateral, persoalan-persoalan sosial politik (Pongtuluran, 2013: 544). Bagaimana misalnya mereka dalam sebuah acara adat saling kunjung mengunjungi, menjadi pemersatu dalam setiap kegiatan merupakan sebuah kekuatan yang menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mempertahankan dan melakukan aktifitas keidupannya secara berkelanjutan. Pertanyaannya mengapa demikian? Ini terjadi karena tampaknya masyarakat di perbatasan sudah memiliki relasi sosial yang kuat yang berbasis pada landasan kehidupan yang sudah terbentuk pada masa prasejarah, sejarah klasik, hingga sejarah modern yang berdasarkan kearifan lokal yang sudah mengakar sejak masa nenek moyangnya. Dengan adanya relasi sosial dan masyarakat menganggap, bahwa dengan sebuah batu besar yang ada di sekitar mereka antara dua wilayah yang memiliki batas negara yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia (Ardhana, 2017). Dengan pemahaman ini maka dapat dikatakan, bahwa batu yang bukan merupakan teks, namun dapat dianggap sebagai teks yang mampu menyatukan di antara kedua etnis yang berbeda maka ini merupakan suatu yang perlu dipertahankan dalam konteks pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable development). Dari pengalaman ini dapat dikatakan, bahwa masyarakat atau komunitas setempat tidaklah terlalu masalah dengan berbagai riak-riak politik yang terjadi di tataran kehidupan bernegara (state building). Akan tetapi, apa yang dilakukan kelompok komunitas dengan adanya pembuatan representasi hal-hal yang dapat menyatukan mereka dalam konteks bangunan suku bangsa (nation building), meskipun mereka berbeda warga kenegaraan, tampaknya memiliki makna yang penting yang melampaui batas-batas wilayah negara (border linkage).

Dengan demikian, betapa perlunya penguatan budaya dan identitas lokal yang dimiliki oleh penduduk yang menghuni wilayah perbatasan Indonesia yang berada di sepanjang perbatasan dengan negara-negara di Asia Tenggara, terutama dalam kaitannya dengan bangunan negara-bangsa (nation-state building). Ini dimaksudkan dengan melihat sitem nilai yang dijadikan pedoman, pola-pola hubungan antar etnis, bentuk ketergantungan satu dengan yang lainnya, sehingga apabila terjadi beberapa riak kecil di perbatasan akan dapat diantisipasi dengan baik, dan dapat diberikan alternatif penyelesain permasalahannya.

32 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

IV. Kearifan Lokal, Demokrasi Spiritual di Kawasan Regional ASEAN Pemikiran ke arah menemukan nilai-nilai demokrasi spiritual tampaknya sangat signifikan dalam keberlanjutan komunitas di Indonesia, mengingat akhir- akhir ini karena berkembangnya arus modernisasi dan globalisasi tampaknya berpengaruh kuat dalam konteks penguatan jati diri suku bangsa di Indonesia. Banyak daerah yang mulai sadar untuk menemukan kembali jati diri mereka setelah cukup lama kehilangan arah dalam keberlanjutan kehidupan mereka. Ini menjadi masalah karena hampir sebagian masyarakat Indonesia pada khususnya, dan masyarakat Asia Tenggara pada umumnya yang memiliki budaya multikultur. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya mengarah pada pembangunan masyarakat yang monokultur, akan tetapi kenyataan sejarah berbicara lain. Inilh sebabnya pula mengapa dalam konteks hubungan negara dengan negara mengantispasi persoalan yang berkaitan dengan monokulturalisme dan berusaha mengembangkan kehidupan yang multikultur. Namun demikian, pemahaman tentang multikultur ini hendaknya jangan di masyarakat bawah saja, tetapi penguasa dalam hal ini pemerintahan hendaknya memahami makna dari kehidupan yang multikultur itu. Dalam hal ini, hendaknya dipahami dan diberi ruang gerak bagi keberagaman atau kebhinekaan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila ruang ini tidak tersedia, bagaimana pun baiknya sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dibuat, maka gangguan-gangguan stabilitas dalam bentuk resistensi akan muncul. Tidak hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat regional, keinginan atau desakan membuat kerjasama regional dalam kaitannya dengan keberagaman, hak azasi manusia telah dikedepankan. Seperti organisasi di tingkat regional ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) misalnya yang dibentuk pada tahun 1967, tampaknya ketika didirikan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan- permasalahan sosial budaya, ekonomi, dan politik yang belum memberikan jawaban yang optimal terkait berbagai dinamika yang terjadi di tingkat kawasan regional. Sementara itu, berbagai permasalahan berkaitan dengan kasus-kasus intoleransi banyak terjadi sebagaimana yang terjadi dengan masalah pengungsi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 33 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Rohingya akhir-akhir ini. Bagaimanapun juga ASEAN harus memainkan perannya dalam mencarikan solusi sebagaimana yang terjadi itu. Di sinilah pentingnya pemahaman akan upaya menyatukan persepsi tentang bagaimana kita memaknai keberagaman masyarakat di kawasan ASEAN. Seringkali terjadi pertemuan antar negara tingkat pemerintahan, namun pembahasan yang dilakukan oleh kelompok ahli, ilmuwan, akademisi seringkali jarang dilakukan dibandingkan dengan apa yang dibahas di tingkat pemerintahan antar negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, perlu melibatkan secara optimal, tidak hanya hubungan antara pemerintah dengan pemerintah atau government to government (G to G) saja, apabila pertemuan di tingkat ASEAN itu dilsanakan, akan tetapi, peran komunitas dengan komunitas (community to community) yang lain dalam kaitannya dengan masalah keberagaman di kawasan ASEAN perlu dimantapkan. Sebagaimana dinyatakan pada awal berdirinya ASEAN (Dewi Fortuna Anwar, 1994: 45): “Indonesia has also had to refurbish its image abroad and convince the West that the new government was really worth supporting. Participation in regional co-operation was, therefore, also intended by the New Order leaders to convince the Western countries that their assistance to Indonesia would not be wasted. Indonesia’s involvement in a regional association was intended to show that the country would no longer be a source of conflict in the region and a threat to neighbouring countries. Regional co-operation could be seen as a further proof that the Indonesian Government would devote its energies and resources to internal development rather than to the pursuit of an adventurous foreign policy.”

Hingga saat ini, hubungan komunitas dengan komunitas apakah itu komunitas di bidang keilmuan tertentu dilakukan oleh komunitas itu sendiri yang bersifat lintas negara atau wilayah. Misalkan dalam kaitannya dengan masalah pembahasan kebudayaan kuno (ancient culture), hak azasi manusia, gender, kearifan lokal dan sebagainya. Ini penting untuk dicermati, bahwa sebelum masuknya agama-agama besar ke sebuah wilayah di dunia, penduduk lokal sudah memiliki pola pengelolaan sumber alam mereka seperti bagaimana mereka menghargai sinar matahari, air, api, sebagai sesuatu yang melekat dengan kehidupan keseharian mereka (cf. Hezri, 2016: 65—71, Ardhana, 2016). Berbagai kegiatan yang menghormati kekayaan alam semesta ini perlu dilakukan, sehingga mereka memahami bagaimana sebenarnya memiliki kesamaan-kesamaan dalam

34 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 menjaga kelestarian alam secara berkelanjutan (cf. Ardhana et al., 2017b; Falyey, 2015: 121—137). Pembahasan-pembahasan masalah ini sering ditangani oleh komunitas di bidang tersebut. Akan tetapi, apa yang dilakukan itu sering tidak korelatif dengan apa yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah antar negara di tingkat ASEAN. Contoh yang lain misalnya pembahasan masalah demokrasi spiritual (spiritual democracy) yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan demokrasi politik juga tidak banyak dilakukan. Padahal pembahasan demokrasi spiritual jauh lebih penting, ketimbang membahas demokrasi politik. Apakah yang dimaksudkan dengan demokrasi spiritual itu? Demokrasi spiritual adalah dirumuskan sebagai berikut: “Grounded in the reality that we all inhabit a living conscious Universe, we can all take the journey to find inner knowledge, attain the goal of that knowledge, come back and transform ourselves, and then take action for the benefit of our own lives, the life of our species, and the life of the Earth.” https://www.planetaryphilosophy.com/wp-content/uploads/2017/05/ SPIRITUAL-DEMOCRACY.pdf. Diakses 11 Februari 2018, pkl 16.42.

Demokrasi spiritual didasari pada pemahaman, bahwa kita hidup di bumi yang sama memiliki kesadaran akan pentingnya hidup bersahabat dengan alam dan semua mahluk yang ada di sekitarnya. Untuk itu, sesuai dengan tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri adalah hendaknya kita mampu mentransformasikan diri kita dan mengambil tindakan untuk kepentingan kehidupan semua mahluk dan keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini. Dalam konteks pelaksanaan pemilihan kepala daerah (PILKADA) sebagaimana terjadi di tahun 2018 yang dianggap sebagai “Tahun Politik”, tampaknya kaitan antara demokrasi politik tidak terlepas dari demokrasi spiritual. Untuk itu, betapa pentingnya para figur politik yang bertarung di tahun politik ini tidak hanya mengedepankan demokrai politiknya semata, tetapi lebih memberikan apresiasi pada bagaimana demokrasi spiritual hendaknya diaplikasikan.

Kearifan-kearifan lokal masyarakat yang bersifat universal perlu dikedepankan, sehingga di tahun politik ini riak-rial social politik, dengan berbagai dinamikanya hendaknya dapat diantisipasi dengan baik. Terlebih-lebih dalam kehidupan masyarakat yang sangat kental dengan ideologi primordialismenya tampaknya pemahaman dan pembahasan masalah demokrasi spiritual agar

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 35 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dilakukan lebih komprehensif dan komparatif. Ini tentu perlu disesuaikan dengan etika politik yang berkembang di masyarakat kita (Suseno, 2003; 12).

V. Simpulan Dengan pembahasan ini diharapkan, bahwa pelaksanaan kegiatan pesta demokrasi di tahun politik ini, hendaknya menekankan pula bagaimana demokrasi spiritual hendaknya dapat dilaksanakan dengan baik. Ini sangat penting dalam konteks mengingatkan masyarakat atau komunitas tertentu tentang arti pentingnya keberagaman, adanya konektifitas atau relasi sosial yang sudah terjalin di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang.

Berbagai potensi budaya lokal merupakan modal sosial dan modal budaya yang sama pentingnya dengan modal politik, dimana masyarakat harus mampu secara cerdas dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi. Dengan bekal kualitas pemahaman yang dimilikinya, diharapkan bahwa kita hendaknya mampu mengurangi riak-riak di akar rumput masyarakat dalam konteks pelaksanaan PILKADA yang sehat, bersih, dan transparan menuju pembangunan masyarakat yang harmonis dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut. 2018. “The Feminism Deities in the Balinese Society: Local Genious, Indian Influences, and Its Worship. Makalah dipresentasikan pada Konferensi Internasional tentang Exploring Devinity through the Feminine in Ancient Cultures, Mumbai-India, January 31th to February 4.

Ardhana, I Ketut. 2017a. “Border Area between Nunukan Regency and Tawau- Sabah”, Makalah dipresentasikan pada Konvension Internasional ke-10, The Tenth International Convention of Asia Scholars, July 20-23, Chiang Mai University, Thailand. Ardhana, I Ketut. Sulanjari, I Ketut Setiawan, A.A. Rai Wahyuni. 2017b. Pura Besakih, Candi Sukuh, dan Candi Cetho: Persamaan, Perbedaan Arsitektur, dan Indigenisasi Budaya di Bali dan Jawa Tengah. Denpasar: Universitas Udayana.

Ardhana, I Ketut. 2016. “Religious Teachings on Sustainability in the Context of Hinduism in Bali”, paper presented at the Asian Conference, A Call to Dialogue on the Sustainabilty of Life in the Asian Context, held by the JCAP (Jesuit Conference of Asia Pasific) at the University Sanata Dharma Yogyakarta, from August 8 to 10.

36 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ardhana, I Ketut dan Yekti Maunati (et al.). 2010. Kontestasi Identitas dan Diaspora Bugis di Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur-Sabah. Jakarta: LIPI Press.

Cribb, Robert. 2005. “Pluralisme Hukum, Desentralisasi, dan Akar Kekerasan di Indonesia”, dalam Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glenn Smith dan Roger tol (eds.). Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: LIPI, LASEMA CNRS, KITLV. Dewi Fortuna Anwar, 1994. Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism. New York dan Singapore: St. Martin’s Press and Institute of Southeast Asian Studies. Falyey, Lindsay. 2015. Understanding Southeast Asia: Syncretism in Commonalities. Thailand: Thaksin University Press.

Pongtuluran, Yonathan. 2013. “Developing Economy in the Border of East Kalimantan”, dalam Academic Research International, Volume: 4, Number: 4, July 2013. Eriksen, Thomas Hylland. 2002. Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspectives. London: Pluto Press.

Hezri, Adnan A. 2016. The Sustainability Shift: Refashioning Malaysia’s Future. Kuala Lumpur-Malaysia: Institute of Strategic and International Studies. https://www.planetaryphilosophy.com/wp-content/uploads/2017/05/SPIRITUAL- DEMOCRACY.pdf. Diakses 11 Februari 2018, pkl 16.42.

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA TUTUR BAGAWAN KAMANDAKA: ANALISIS PERCAKAPAN

Oleh I Nyoman Suarka Program Studi Sastra Jawa Kuna, FIB, Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Penulisan artikel ini bertujuan mengangkat topik pemimpin dan kepemimpinan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka sebagai sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya dalam memilih calon pemimpin, baik dalam Pilkada serentak kabupaten/kota dan provinsi 2018 maupun Pilres dan Pileg 2019. Artikel ini menggunakan sumber data berupa teks tutur Bagawan Kamandaka. Karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode simak, yakni dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam teks tutur Bagawan Kamandaka. Penerapan metode simak dalam upaya pengumpulan data dibantu dengan teknik sadap dan teknik catat. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan teknik catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar mudah diklasifikasi dan tidak hilang. Analisis data menggunakan metode deskriptif-analitik berlandaskan teori analisis percakapan (AP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan wacana percakapan yang terdiri atas unsur-unsur pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik, serta penerimaan informasi. Topik pemimpin dan kepemimpinan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka layak dijadikan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat dalam memilih calon pemimpin.

Kata kunci: pemimpin, kepemimpinan, analisis percakapan

Pendahuluan Prihěn těměn dharma dhumāranang sarāt, sarāga sang sādhu sireka tūtana, tan-artha tan kāma pidonya tan yaa, ya akti sang sajjana dharma rāksaka

Sakā nikang rāt kita yan wěnang manūt, manûpadea prihatah rumāksa ya, ksayā nikang pāpa nahan prayojana, janânurāgâdi tuwin kapangguha (Kakawin Rāmâyana, Sargah ke-40, Wirāma Wangasta)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 37 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 38 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahannya:

Usahakanlah kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dalam memimpin pemerintahan, Orang berbudi luhur pantas dijadikan tauladan, Bukan harta, bukan nafsu menjadi tujuannya, bukan pula mengejar jasa, Kekuatan seorang cendekiawan karena memegang teguh prinsip kebenaran.

Kau akan menjadi saka dunia jika mampu menuruti ajaran Manu yang wajib diusahakan untuk menjaganya, mengenyahkan penderitaan rakyat itulah menjadi tujuan, menjadi tauladan utama masyarakat, itulah sejatinya kau aktualkan.

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik bagi bangsa dan Negara Indonesia. Pilkada serentak dilakukan di sejumlah daerah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Pada tahun 2019 bangsa Indonesia melakukan Pilpres dan Pileg. Rakyat Indonesia dituntut memilih pemimpinnya yang mampu membawa rakyat kepada kehidupan yang lebih baik. Para kandidat pun ramai-ramai unjuk gigi berkampanye, menarik simpati rakyat dengan berbagai cara. Bahkan adakalanya dengan menghalalkan segala cara (kasus ijazah palsu, politik uang, menebar ujaran kebencian, berita bohong, dan bentuk-bentuk kampanye hitam lainnya). Bait-bait Kakawin Rāmâyana di atas yang kerapkali dilantunkan para Sekaa Pasantian manakala melakukan mabebasan, pantas dijadikan sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia dalam memilih seorang pemimpin. Jika diresitasikan, alunan Wirama Wangsasta/Swandewi itu akan memberikan vibrasi dan inspirasi bagi para penikmatnya. Seorang pemimpin ideal diharapkan mampu memegang teguh prinsip dharma. Dharma memiliki arti, antara lain kebenaran, keadilan, kebajikan, sopan santun, norma, hukum (Zoetmulder dkk., 1995:197). Dharma merupakan harga mati bagi seorang pemimpin ideal. Lebih jauh, seorang pemimpin yang baik tidak perlu merasa sungkan meneladani sikap dan perilaku orang sadhu dan bahkan wajib menjadikan dirinya sebagai orang sadhu. Orang sadhu adalah orang yang memiliki budi luhur dan berpikiran suci (Zoetmulder dkk., 1995:974). Keluhuran budi dan kesucian hati menjadi landasan mulia bagi seorang pemimpin sehingga harta, nafsu asmara, ataupun jasa bukan menjadi tujuannya. Sekali lagi ditegaskan bahwa seorang pemimpin akan memiliki kekuatan dan kompetensi kepemimpinan jika memegang teguh prinsip dharma. Meminimalisasi kemiskinan dan penderitaan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 39 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 rakyat (ksayā nikang pāpa nahan prayojana) itulah menjadi tujuan utama seorang pemimpin, bukan memperkaya diri (tan artha), bukan mengumbar nafsu asmara, bermain wanita (tan kāma), bukan mengejar jasa berkedok bantuan hibah (tan yaa). Sungguh mulia dan amat menginspirasi pesan-pesan kepemimpinan yang diamanatkan Kakawin Rāmâyana. Jika pesan itu benar-benar dapat diejawantahkan dalam praktik kepemimpinan di Indonesia, maka bangsa dan Negara Indonesia ini akan menjadi contoh negara madani yang akan diteladani dunia (janânurāgâdi tuwin kapangguha). Di samping Kakawin Rāmâyana, dalam khazanah sastra tradisional masih bertebaran sastra bernuansa ajaran kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang pantas digali dan dijadikan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat Indonesia dalam melakukan pesta demokrasi. Salah satu di antaranya adalah sastra tutur Bagawan Kamandaka. Konsep pemimpin dan kepemimpinan yang dimuat dalam sastra tutur Bagawan Kamandaka masih luput dari perhatian masyarakat luas ataupun para peneliti yang memokuskan perhatian pada persoalan pemimpin dan kepemimpinan tradisional. Karya sastra yang seringkali diangkat para peneliti terdahulu (Mahendra, 2001; Darma, 2017) berkisar di antara Kakawin Ramayana, Geguritan Rajasasana /Rajanithi, dan Nitisastra/Nitisara. Karena itu, pada artikel ini sastra tutur Bagawan Kamandaka dipandang layak dijadikan bahan diskusi dan sumber informasi berkelindan persoalan memilih pemimpin dan kepemimpinan ideal dalam rangka menyambut Pilkada serentak ataupun Pilpres dan Pileg mendatang. Permasalahan analisis percakapan teks tutur Bagawan Kamandaka dalam artikel ini dibatasi pada masalah pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik, serta penerimaan informasi (setuju atau tidak setuju).

Metodologi Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini bersumber pada teks tutur Bagawan Kamandaka, sebuah karya sastra Jawa Kuna. Data dikumpulkan melalui metode simak dibantu teknik sadap dan teknik catat. Teknik sadap maksudnya penyadapan penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92), yakni bahasa Jawa Kuna secara tertulis dalam tutur Bagawan Kamandaka sebagai media penyampaian

40 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pesan/isi pemimpin dan kepemimpinan. Penerapan teknik sadap dilengkapi dengan teknik catat, yakni data yang telah terkumpul dicatat dalam kartu data agar mudah diklasifikasi dan tidak hilang. Analisis data menggunakan metode deskriptif- analitik, yakni mendeskripsikan data dan menginterpretasi data dilandasi teori analisis percakapan. Analisis percakapan (AP) menitikberatkan problem aturan sosial dan bagaimana bahasa mampu menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial. Analisis percakapan mementingkan pengetahuan manusia dan berkeyakinan bahwa tidak ada detail percakapan ataupun interaksi yang dapat diabaikan secara apriori sebagai hal yang tidak penting. Meskipun analisis percakapan merupakan sebuah ancangan pada wacana yang menekankan konteks, akan tetapi relevansi konteks tetap berdasarkan teks. Lagi pula, analisis percakapan menghindari penempatan beberapa katagori (baik sosial maupun linguistik) yang memiliki relevansi terhadap partisipan sendiri yang tidak ditunjukkan dalam pembicaraan nyata (Schiffrin, 2007:337—343), dalam hal ini teks tutur Bagawan Kamandaka.

Pembahasan Teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan karya sastra Jawa Kuna yang bentuk bahasanya tidak terikat oleh kaidah tertentu, seperti kaidah metrum dalam sastra kakawin. Karena itu, sastra tutur Bagawan Kamandaka dapat dikatagorikan ke dalam genre prosa. Konsep pemimpin dan kepemimpinan dalam sastra tutur Bagawan Kamandaka disampaikan dalam bentuk dialog antartokoh cerita, yakni dialog tokoh Bagawan Kamandaka kepada murid-muridnya (Bhagawan Kamandaka sira mawarah ring sisyanira kabeh). Setiap cerita memiliki struktur narasi (Eriyanto, 2015:48). Demikian halnya, teks tutur Bagawan Kamandaka memiliki struktur narasi terdiri atas bagian pembukaan, batang tubuh, dan epilog. Bagian pembukaan teks tutur Bagawan Kamandaka, pertama, memperkenalkan seorang tokoh bernama Bagawan Kamandaka. Tokoh Bagawan Kamandaka melakukan percakapan dengan (Bhagawan Kamandaka sira mawarah ring sisya nira kabeh). Kedua, memperkenalkan sebuah ajaran kepemimpinan yang dinamakan Sanghyang Aji Rajaniti. Ajaran Sanghyang Aji Rajaniti juga disebut Aji Kamandaka. Ajaran inilah yang diperbincangkan Bagawan Kamandaka bersama murid-muridnya (sanghyang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 41 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 aji rajaniti pawarahani nghulun i ri kita). Di India, dikenal seorang tokoh bernama Kamandaki sebagai penulis Nitisara (Shastri dalam Darmayasa, 1995:xiv). Istilah Nitisara kerapkali dikaburkan dengan Rajaniti akibat interpretasi arti kata niti mengalami perkembangan makna. Pada awalnya, kata niti berarti membimbing, mendidik, menuntun orang dari jalan yang tidak benar ke jalan yang benar, dan akhirnya juga diartikan sebagai ilmu politik (Darmayasa, 1995:xx). Sementara itu, teks tutur Bagawan Kamandaka justru menjelaskan bahwa Aji Kamandaka sama dengan Aji Rajaniti, yakni ajaran tentang niti dalam arti ilmu politik. Ajaran pemimpin dan kepemimpinan merupakan bagian dari niti. Bagian batah tubuh teks tutur Bagawan Kamandaka memuat struktur ajaran Aji Rajaniti atau Aji Kamandaka, terdiri atas satuan-satuan naratif berupa (1) hakikat seorang pemimpin ideal; (2) cara dan strategi seorang pemimpin dalam menjalankan pemerintahan; serta (3) mereka yang layak dijadikan mitra untuk diajak bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan dan siapa saja yang perlu dijauhi oleh seorang pemimpin. Pembukaan pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka teridentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk bahasa Jawa Kuna, antara lain “ling nira” ‘katanya’; “pawarah ni nghulun i ri kita” ‘pemberitahuanku kepadamu’; “pajarakna ni nghulun ri kita” ‘pembelajaranku kepadamu’; “nihan waneh pawarahani nghulun ri rahadyan sanghulun” ‘ada lagi pembelajaranku kepadamu’; “muwah pajarakni nghulun” ‘dan lagi pembelajaranku’; “inajarakěn mami” ‘yang aku ajarkan’. Penutup pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka teridentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk bahasa Jawa Kuna, seperti “nahan lwiring” ‘demikian berbagai jenis’, “nahan tang upaya” ‘adalah upaya, dan “mangkana ta” ‘demikianlah’. Pengambilan giliran pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka menggunakan bentuk tanya seperti “mapa” ‘mengapa’, “mapa ta” ‘bagaimanakah’, “mapa kari” ‘bagaimanakah’, “ndya ta” ‘bagaimana mungkin’, dan “aparan ta” ‘di manakah’. Penerimaan informasi lebih menunjukkan persetujuan yang dapat diidentifikasi melalui penggunaan bentuk-bentuk “sajña pukulun” ‘benar tuanku’; “tuhu-tuhu sojar rahadyan sang hulun” ‘benar kata tuanku’.

42 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengaturan topik pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka dilakukan dengan menggunakan bentuk-bentuk “nihan waneh” ‘dan lagi’, “nihan kang ratu” ‘demikian pemimpin itu’; “nihan kalah ning ratu” ‘demikian kelemahan pemimpin’; “nihan kadiwya ning wwang dharma” ‘ demikian keutamaan orang yang memegang kebenaran’; “nihan ta muwah” ‘dan ada lagi’; serta “telas ika” ‘setelah itu’. Pokok pembicaraan yang diperincangkan adalah persoalan pemimpin dan kepemimpinan. Teks tutur Bagawan Kamandaka menyatakan bahwa seorang pemimpin ideal adalah pemimpin yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. Seorang pemimpin harus mengedepankan pemujaan kepada Tuhan (hyang stutin rumuhun denta) agar mampu meraih kebahagiaan dalam kepemimpinannya (narapwan kitâmanggih suka wirya). Kepercayaan kepada Tuhan itu dilandasi keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi Tuhan (lumrā prabhāwa nira ring rāt). Sementara itu, pemimpin diyakini sebagai perwujudan Tuhan (hyang pinaka mūrti sang prabhu). Tentu saja, keyakinan akan pemimpin merupakan perwujudan Tuhan harus dimaknai bahwa seorang pemimpin wajib mengikuti dan menjalankan perintah Tuhan (ajaran agama), bukan sebaliknya, pemimpin yang mengaku-aku diri sebagai perwujudan Tuhan, lalu dapat bertindak arogan ataupun sewenang-wenang. Seorang pemimpin wajib mengejawantahkan sifat-sifat mulia Tuhan dalam melindungi rakyat. Keutamaan seorang pemimpin adalah pertama, merupakan jiwa atau daya hidup rakyatnya (yan mawaa pramana ning rāt). Rakyat akan hidup menderita dan tidak mampu menjaga dirinya dari serangan, ancaman, gangguan ataupun hambatan (hana kari duhka ning rāt yan tan paratu, yatanyan tan wěnang ikang rāt rumaksâwaknya). Kedua, seorang pemimpin bertugas menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya (apan sira gumawayakěn ri kawrěddhya ning jagat). Ketiga, seorang pemimpin harus mampu menciptakan kebahagiaan rakyat (sira wenang gumawayaken anglokahita). Keempat, seorang pemimpin wajib mengedepankan dan memegang teguh prinsip dharma (sang ratu mahyun ing dharma). Kelima, seorang pemimpin harus mampu melindungi negara dan rakyatnya dari serangan musuh (akti rinaksa ning bhuwana, sira wěnang umalahakěnang sarwa atru). Cara-cara ataupun langkah-langkah yang patut dilakukan seorang pemimpin ideal dalam menjalankan kepemimpinan antara lain:

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 43 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(1) melakukan penegakan hukum guna menegakkan keadilan bagi rakyat. Jika ada yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan kesalahannya (ri sěděnganyan dosa danda ri kadurilanya); (2) membentuk dewan penasihat, terdiri atas para rohaniwan, cendekiawan, serta pakar berbudi luhur (mangonakěna sira purohita, brāhmana dang acarya kuněng, sang dewa paraga, ikang wang wihikan ing dharma satwika); (3) menjalin kerjasama atau membangun persekutuan (kuněng deya sang prabhu, magawe ya sira mitra). Adapun mitra yang baik bagi seorang pemimpin adalah sekutu yang memiliki keunggulan dan kekuatan (mitra wisesa), terdiri atas (a) satya: orang yang benar-benar menunjukkan kesetiaan dan kejujuran. Orang yang satya tidak suka berbohong; (b) ārya: orang-orang yang berperilaku sopan dan berbudi luhur. Orang yang ārya tidak suka berdusta; (c) dharma: orang- orang yang berpegang teguh pada kebenaran dan cinta kedamaian. Orang yang dharma akan bertindak tegas dan selalu melindungi jika terjadi ancaman; (d) ānārya: orang-orang anti kedustaan atau anti kebohongan. Orang yang ānārya tidak suka pada kedustaan atau kebohongan, tidak suka kepada ujaran kebencian; (e) bratha sanggata: orang-orang yang memiliki banyak kerabat atau sekutunya. Orang yang bratha sanggata memiliki banyak kerabat sehingga musuh takut menyerangnya; (f) bali: orang-orang yang memiliki kekuatan unggul. Orang yang bali memiliki kekuatan yang mampu menaklukkan musuh tanpa bantuan pihak lain; serta (g) aneka yudha wijaya: orang-orang yang memiliki kewaspadaan dan ketelitian. Orang yang aneka yudha wijaya tidak suka bertindak sembarangan ataupun ceroboh sehingga layak dijadikan mitra oleh seorang pemimpin. Sebaliknya, pemimpin yang tidak layak dijadikan mitra adalah (a) wala: pemimpin yang berusia muda tidak layak dijadikan sekutu karena rakyatnya tidak tanggap perang, kurang ditakuti rakyat, serta sikap dan perilakunya kekanak-kanakan; (b) wrědha: pemimpin berusia lanjut dan kurang mendapat kepercayaan rakyat, perintahnya tidak dipedulikan oleh rakyat; (c) dirgha rohi: pemimpin yang mengidap penyakit menahun; (d) jña tiba i krěti: pemimpin yang acuh tak acuh dan kejam kepada kerabat; (e) nirukah: pemimpin pengecut; (f) nirujaba: pemimpin takut istri; (g) samalona lubda jaba: pemimpin rakus; (h) wirakta prakrěti: pemimpin yang dibenci rakyat; (i)

44 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

wisayewanti aktiman: pemimpin yang suka mengumbar nafsu indria; (j) ānekā citta mātracah: pemimpin yang suka melecehkan Tuhan dan tidak mampu mengendalikan diri; (k) dewopakatakācewa: pemimpin yang terkena kutukan dewata; (l) dewa citta tahewaccha: pemimpin yang suka mengingkari sabda dewata; (m) dūrbhiksa nopetā: pemimpin yang suka mengandu domba rakyat; (n) balāwyāsana sangkulah: pemimpin yang suka berbohong kepada rakyat, suka melakukan kebohongan publik; (o) ādestakā: pemimpin yang suka bepergian meninggalkan wilayahnya tanpa mengenal waktu; (p) bawuripuh: pemimpin yang memiliki banyak musuh; (q) lokeyukta kaleyasca: pemimpin yang tidak mengindahkan suara atau pendapat rakyat; (r) satyâdharmâbhyapetaca: pemimpin yang tidak memegang teguh kesetiaan dan kurang pengendalian diri; (4) membangun strategi yang mampu menalukkan lawan, melalui (a) membaca kelemahan musuh (ikang musuh kawruhakna wisayanya), seperti ada lawan yang memiliki kelemahan suka pada perempuan; ada yang doyan makanan enak dan minuman keras; ada yang suka binatang buruan atau hewan piaraan; ada yang suka berjudi. Kelemahan lawan itu dapat dijadikan senjata menaklukan lawan; (b) melakukan provokasi terhadap lawan yang sedang bermusuhan dan berupaya menarik simpatinya (upaya dwenadibhawa); (c) membangun koalisi dan mencari sekutu (pasang raya) bersama komunitas yang memiliki visi dan misi yang sejalan; (d) menerapkan strategi jitu, terdiri atas sandi (bermitra); wigraha (berperang); sthana (memilih tempat yang tepat); dwibhawa (mengadu domba musuh); yana (mendatangi musuh); serta sangsraya (bersekutu dengan pemimpin yang memiliki kekuatan unggul); serta (e) membentuk utusan dan intelijen yang bertugas mengintai keberadaan lawan (magawaya ta sang prabhu dutha mwang ciri); (5) menunjukkan kasih sayang, bersikap bijak, ramah, dan simpati kepada rakyat dengan cara mengadopsi pikiran dan harapan rakyat, berlaku adil, disertai dengan pemberian bantuan kemanusiaan secara merata; (6) senantiasa tampil dengan kecerdasan dan kepandaian (widagdha), baik kecerdasan yang dibawa dari kelahiran (prawrěti), kecerdasan yang diperoleh dari hasil belajar (sastra camutcawah), kecerdasan yang diperoleh dari

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 45 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pergaulan dengan orang-orang pandai (sang sagini), maupun kecerdasan yang diperoleh dari pertumbuhan batin (parinamiti). Seorang pemimpin ideal tidak boleh menunjukkan kebodohannya di depan umum (haywa dina citta). Pesan/isi wacana sebagai pokok permasalahan (Darma, 2014:7) atau aspek pembicaraan teks tutur Bagawan Kamandaka adalah persoalan pemimpin dan kepemimpinan ideal. Sebagaimana dideskripsikan di atas, persoalan pemimpin dan kepemimpinan ideal dituangkan dalam struktur kalimat bahasa Jawa Kuna dan relevan terhadap pengelolaan percakapan yang sedang terjadi. Partisipan (Bagawan Kamandaka dan murid-muridnya) dalam pembicaraan tersebut membangun solusi sistematis pada masalah organisasional secara teratur, melalui penggunaan bentuk- bentuk pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik, serta penerimaan informasi (cf. Schiffrin, 2007:342). Wacana terjadi dalam konteks makro (wacana pemimpin dan kepemimpinan) dan dalam konteks mikro wacana terjadi dalam bentuk percakapan dengan partisipan Bagawan Kamandaka bersama murid-muridnya pada waktu tertentu dan di tempat tertentu (cf. Titscher dkk., 2009:45).

Simpulan Teks tutur Bagawan Kamandaka merupakan wacana percakapan berbahasa Jawa Kuna yang menyimpan pesan pemimpin dan kepemimpinan ideal. Pesan pemimpin dan kepemimpinan itu disampaikan melalui konstruksi linguistik yang mengidentifikasikan adanya bentuk pembuka dan penutup pembicaraan, pengambilan giliran, pengaturan topik, dan penerimaan informasi. Persoalan pemimpin dan kepemimpinan ideal yang dijadikan topik pembicaraan dalam teks tutur Bagawan Kamandaka layak dijadikan sumber inspirasi dan informasi bagi masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya dalam memilih calon pemimpin pada pesta demokrasi Pilkada serentak 2018 ataupun Pilres dan Pileg 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Darma, I Wayan. 2017. “Teologi Wiku dan Nātha pada Kakawin Rāmāyana serta Implementasinya di Kabupaten Karangasem”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana, IHDN Denpasar.

46 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung: Refika Aditama.

Eriyanto. 2015. Analisis Naratif Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Prenadamedia Group.

Mahendra, Oka. 2001. Ajaran Hindu tentang Kepemimpinan, Konsep Negara dan Wiweka. Denpasar: Manikgeni.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shastri, Satya Vrat. 1991. Canakya Nitisastra. Diterjemahkan oleh I Made Darmayasa. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia I, II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

PRAKTEK SEJARAH LISAN SEBAGAI PENGALAMAN PRIBADI

Oleh: Anak Agung Inten Asmariati

Abstrak

Sulit untuk dibantah, bahwa sejarah dalam pengertian sebagaimana ia terjadi adalah suatu peristiwa unik, sekali terjadi dan takkan pernah berulang kembali. Untuk mendapatkan gambaran utuh dari peristiwa itu atau sejarah sebagaimana dikisahkan hanyalah dapat dilacak dengan mempergunakan bahan dokumen . Pada masa sekarang ini dalam penulisan sejarah kontemporer kita tidak hanya dihadapkan pada tantangan harus bergelut dengan sumber-sumber tulisan yang ada di perpustakaan atau museum juga diperlukan sumber lain yang harus digali pada sejumlah tokoh yang masih hidup. Peristiwa yang masih tersimpan dalam pengalaman masa lalu dari tokoh tersebut. Pengungkapan sumber tersebut hanya bisa dibantu dengan menggunakan metode sejarah lisan yang diperoleh melalui teknik wawancara. Dalam tulisan ini penulis ingin berbagi pengalaman terkait dengan penggunaan metode sejarah lisan, pada waktu penulis menyelesaikan pendidikan S2. Diharapkan dengan menambahkan sumber lisan dalam tulisan keakuratan penulisan lebih terjamin dan mampu mendekat tulisan yang seobjektif mungkin.

Keyword : metode, sejarah lisan, obyektif.

I. Pendahuluan Pada dasarnya metode sejarah lisan bukan suatu metode yang baru. Penulis- penulis sejarah di masa lampau pun telah menggunakan pengumpulan data melalui jalan lisan. Misalnya hetodotus, sejarawan yunani yang pertama, telah melakukan kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan secara lisan bahan-bahan sejarahnya. Begitu pula penulis-penulis hikayat dan sejarah tradisional telah menggunakan metode lisan untuk memperoleh data (A.B. Lapian, 1979:18). Metode “oral history” lahir di Amerika Serikat di kalangan para sejarawan yang mulai sadar bahwa orang-orang tua yang pernah mengalami jaman “pioneer” semakin berkurang. Sedangkan di antara orang yang masih hidup tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan mencatat pengalaman mereka secara tertulis, seperti dalam bentuk memoirs atau autobiografi. Di lain pihak, banyak di antara

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 47 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 48 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 mereka yang masih hidup itu bersedia mengisahkan pengalaman-pengalaman mereka secara lisan. Pertimbangan lain yang menyebabkan lahirnya “oral history” ialah bahwa dalam dunia modern banyak hal yang penting lolos dari pencatatan tertulis, misalnya keputusan-keputusan atau instruksi-instruksi penting yang diberikan melalui telpon saja sehingga tidak dapat diketemukan dalam suatu dokumen. Teknik komunikasi yang semakin maju pada waktu sekarang memungkinkan orang saling bertemu sehingga surat menyurat semakin berkurang. Dengan demikian semakin banyak data yang diperlukan tidak lagi dapat diketemukan dalam bentuk tertulis. Di samping itu, perhatian sejarah pada waktu ini tidak hanya ditujukan kepada suatu kelompok tertentu saja, yaitu kelompok pemimpin dan penguasa. Sekarang ini perhatian sejarawan semakin bertambah terhadap kelompok-kelompok lain dari pada masyarakat, termasuk pula golongan yang buta huruf dan golongan yang tidak pernah meninggalkan bahan-bahan tertulis (AB Lapian, 1979 : 20). Jelaslah dari uraian diatas ini bahwa metode “oral history” seperti yang diperkembangkan di Amerika Serikat, dapat diharapkan pula di sini mengingat sebagian besar dari masyarakat kita tidak pernah dan tidak akan meninggalkan bekas-bekasnya dalam bentuk karya tulis. Melalui tulisan ini penulis ingin berbagi pengalaman dalam menerapkan metode sejarah tulisan dalam praktek penelitian.

2.1 Persiapan dan Wawancara dalam Sejarah Lisan Persiapan memang alat utama bagi penulis untuk melaksanakan wawancara dengan baik dan berhasil. Oleh karena itu selain penulis menyiapkan persiapan teknis seperti kaset, alat perekam untuk merekam suara pengkisah, yang tak kalah pentingnya adalah mempersiapkan diri untuk mengetahui gambaran umum dari topik yang akan dipelajari, seperti mengetahui latar belakang pengkisah dari berbagai sumber. Supaya wawancara teratur dan sistematis, maka perlu dibagi beberapa tingkatan dari kegiatan pengkisah yang agak menonjol atau mana dari kegiatan yang harus lebih diperdalam.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 49 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Selain mengetahui gambaran umum dan kemudian memperinci kegiatan pengkisah, maka perlu juga mencari informasi sikap/pribadi pengkisah dari orang- orang yang mengenalnya atau dari teman-teman dekat yang sudah diwawancarai, apa sedang formil atau tidak. Pengetahuan tentang sikap dan gaya si pengkisah bisa diperkirakan ketika kontak diadakan melalui telpon, apakah kontak itu hanya boleh lewat asisten pribadi atau kita dapat langsung berbicara dengan pengkisah. Saat inilah melalui pembicaraan, nada suara, kalimat-kalimat yang diucapkan, penulis dapat membayangkan cara pendekatan yang akan dipakai ketika pertemuan untuk pertama kali akan diadakan. Dalam hal ini bagi penulis perlu menguasai teknik- teknik yang bisa menghidupkan suasana senang bagi pengkisah, sehingga sikap formal akan dapat mencair seketika. Dengan berbekal pengetahuan tentang pengkisah dan punya imajinasi bagaimana sikap dan ciri khas pengkisah, perlu segera menanyakan kapan kesediaannya untuk diwawancarai. Ini sangat perlu membuat perjanjian yang tepat, mengingat tokoh-tokoh yang penulis temui sampai kini rata-rata pengusaha dan jarang ada di rumah karena keperluan bisnis. Selama wawancara berlangsung ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan: 1) Tujuan wawancara, sebelum wawancara dimulai penulis perlu menjelaskan tujuan wawancara diadakan. Hal ini disebabkan karena pengkisah merasa tak perlu diwawancarai lagi berhubung biografinya sudah ada atau banyak tulisan tentang kehidupannya sudah terbit diberbagai media massa. 2) Waktu, lamanya wawancara sebenarnya tak dapat ditetapkan secara mutlak, karena hal ini tergantung pada kemampuan, kesediaan, dan personality tiap- tiap pengkisah. Rata-rata kapasitas maksimal pengkisah untuk memberikan informasi data berkisar selama 2 ½ jam, jadi melebihi taraf biasanya yaitu 1 ½ jam. Berdasarkan pengalaman penulis, terjadi pula pemborosan waktu dalam wawancara yang lebih kurang memakan waktu 3 jam namun hanya m menghabiskan 1 ½ kaset. Hal ini disebabkan di sela-sela ceritanya pengkisah merasa perlu memperlihatkan beberapa foto dokumentasi di selengi lagi dengan istirahat dan cerita-cerita nostalgia pengkisah yang harus mendapat saluran.

50 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3) Profesi, profesi pengkisah sangat berpengaruh terhadap kelancaran wawancara. Sebagian besar narasumber penulis seorang pengusaha sehingga penulis merasa perlu terus membuntutinya dengan pertanyaan-pertanyaan. Harus disadari profesi individu akan tercermin pula dalam tingkah laku tertentu. Dalam hal ini juga sering terjadi pencampur adukan kegiatan pengkisah masa kini dengan pengalaman masa lalunya, sehingga bagi penulis perlu membuat catatan tertulis. 4) Outline, sangat penting sebagai persiapan penulis dalam mewawancarai pengkisah. Mengingat pengkisah sangat sulit ditemui sehingga melalui outline ini bisa memaksimalkan tujuan penelitian penulis di dalam mencari sumber lisan dari pengkisah sendiri.

2.2 Praktek Sejarah Lisan sebagai Pengalaman Pribadi Pada saat penulis mengerjakan tesis guna menyelesaikan studi magister dengan mengambil tema “komodifikasi puri dalam perkembangan pariwisata di Bali” dengan study kasus diangkatnya Puri Ubud sebagai topik utama penelitian. Sesuai dengan uraian diatas segala persiapan sudah dipersiapkan penulis. Sebagaimana kegiatan penelitian sebelumnya setelah menemukan rumusan masalah terkait dengan topik yang sudah ditentukan, penulisan lalu melakukan langkah pertama dengan melakukan observasi ke lapangan. Melalui observasi ini penulis juga melakukan pencarian sumber lisan yang akan diwawancarai. Dalam penentuan sumber penulis menggunakan teknik mengkrucut untuk mencari sumber kunci. Teknik ini diterapkan penulis untuk mendapat hasil yang maksimal sesuai dengan sumber pustaka yang sudah penulis milik selain itu melaui teknik ini tulisan akan menjadi lebih akurat. Bahkan mungkin akan mendapat tambahan yang tidak terungkap dalam sumber pustaka. Setelah wawancara sumber pendukung puncak pencarian sumber lisan ini dengan mewawancarai key informan. Dalam menentukan key informan dilakukan dengan cara menentukan keluarga dari Puri Ubud yang kompeten seperti Putra dari Cokorde Gde Agung yaitu: Cokorda Gde Putra yang merupakan putra pertama dari Cokorda Gde Agung dan adiknya Cokorda Gde Oka Ardhana Sukawati yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 51 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 lebih di kenal dengan sebutan Cok Ace. Keinginan penulis untuk bertemu dengan Putra-Putri dari Cokorde Raka Sukawati tidak terpenuhi karena mereka sebagian besar tinggal di luar Bali. Seperti diketahui Cokorde Raka Sukawati adalah Pemrakarsa membuka Ubud sebagai daerah wisata dan mengalami perkembangan yang pesat seperti sekarang ini. Dan beliau adalah tokoh utama dalam mengenalkan Bali menjadi daerah periwisata. Cokorde Gde Putra sebagai Key informan penulisan merupakan seorang pengusaha, sehingga waktu bagi beliau sangat berarti. Melalui janji pertemuan dengan beliau untuk sedianya diwawancarai maka pada saat itu penulis benar-benar memanfaatkan waktu tersebut. Sehingga bagi penulis dengan membuat outline yaitu berupa daftar pertanyaan sangat penting dalam menerapkan metode sejarah lisan. Walaupun nantinya pasti akan menjadi berkembang mewawancarainya dari apa yang sudah dipersiapkan. Pada saat kemudian penulis tidak hanya mewawancarai Cokorda Putra saja juga mewawancarai saudara beliau yaitu Cok Ace. Diwaktu tersebut Cok Ace menjabat sebagai Bupati Gianyar. Kesulitan yang penulis alami yaitu meminta waktu beliau untuk dapat diwawancarai. Dengan kesabaran yang penulis miliki maka berhasil mewanwancarai beliau. Berbekal data yang diberikan oleh putra- putra Cokorda Gde Agung maka data tersebut digunakan sebagai penyempurnaan dari penelitian penulis.

3. Penutup Metode sejarah lisan mengingatkan kita sebagai sejarawan daripada kemurnian sejarah itu sendiri dan fungsi kita sebagai sejarawan dalam mengarahkan menjadi sesuatu yang obyektif untuk dinikmati setiap khalayak. Bersyukurlah kita telah mengalami kemajuan tradisi lisan dapat kita teruskan dengan lebih mudah karena adanya alat yang disebut tape recorder dengan kaset atau CD sebagai penyimpannya, sehingga dalam penilaian kita akan lebih kritis lagi dalam menelaah fakta. Tugas kita sebagai sejarawan telah dipermudah dengan adanya kemampuan kita untuk menulis sejarah dengan seobjektif mungkin.

52 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Budiawan {ed.}, 2013. Sejarah dan memori. Titik Simpang dan Titik Temu. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kate and Paula Hamilton {ed.}, 1994. Memory and History in Twientieth-Century Australia Oxford University Press.

P. Lim Pui Huen, dkk (ed.), 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara. Teori dan Metode. LP3ES.

Paul Thompson. The Voice of The Past Oral History. Oxford University Press.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 53 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PUBLIC STIGMA DAN SELF STIGMA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (Sebuah Praktik Realitas Kebuntuan Hak Asasi Manusia)

Oleh: Dr. Bambang Dharwiyanto Putro Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Undang-Undang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin setiap orang mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa; memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa berdasarkan hak asasi manusia; memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa; dan memberikan kesempatan untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia. Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari UU. No. 3 Tahun 1966, UU. No. 36 Tahun 2009, UU No. 12 tahun 2014, dan yang terbaru UU No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum banyak membantu dalam peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada orang dengan gangguan jiwa dan seringkali menjadi korban dari ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya juga berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk- bentuk stigma penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dan sekaligus kebuntuan praktik HAM, dapat disebutkan adanya dua hal, yakni public stigma (stigma dari masyarakat) dan self stigma (stigma dari penderita dan keluarganya). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan.

Kata Kunci: Undang-Undang Kesehatan Jiwa, HAM, Public Stigma dan Self Stigma

54 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

I. Pendahuluan Masalah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan “Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis” (Depkes RI. KMK No. 406, 2009: 1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan termasuk Upaya Kesehatan Jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya Kesehatan Jiwa harus diselenggarakan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa dimaksudkan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa; dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa berdasarkan hak asasi manusia (Undang-Undang No 18, 2014: 43). Studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa sebesar 8,1%. Angka ini jauh lebih tinggi dari pada dampak yang disebabkan penyakit tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2007 menunjukkan pula adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 55 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5-14 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk (Depkes RI, 2009, 1-2). Sementara itu lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan terhadap peningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Sementara itu Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil, artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Riskedas, 2013: XI dan Depkes RI, 2010:2). Dewasa ini banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia, karena itu masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar. Oleh sikap yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang umumnya belum mengenai sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya serta belum mendapatkan tanggapan yang baik. Para penderita sendiri banyak yang takut dan tidak suka menjalani pemeriksaan oleh dokter atau seorang psikiater dan psikolog. Mereka menjadi marah, sangat tersinggung jika diperiksa atau menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono, 1989: 25). Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari UU. No. 3 Tahun 1966, UU. No. 36 Tahun 2009, UU No. 12 tahun 2014, dan yang terbaru UU No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Orang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi yang merupakan cermin praktik kebuntuan HAM akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidaktahuan publik. Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat. Data tahun 2014 sekitar 1.274 kasus pasung dilaporkan di 21 Provinsi (http://kemsos.go.id/).

56 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Demikian juga yang terjadi di Bali, dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, Provinsi Bali masuk dalam daftar 5 besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yang masing-masing antara lain terdiri dari: D.I. Yogyakarta (2,7%), D.I Aceh (2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%). Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebagai satu-satunya rumah sakit jiwa di Bali yang berlokasi di Kabupaten Bangli, sudah menangani lebih dari 38 pasien penderita gangguan jiwa yang dipasung. Jumlah itu kemungkinan besar masih akan terus meningkat seiring dengan masih tingginya stigma buruk terhadap penderita gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat (http://www.halocities.com/7948). Stigma telah menjadi penanda untuk pengalaman buruk penderita. Stigma berhubungan dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat, dan juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari yang mengakibatkan terjadinya penolakan social yang dihadapi penderita gangguan jiwa (Irmansyah, 2009: 45-46).

II. Pengaturan Dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa Kesehatan Jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sementara itu gangguan jiwa merupakan penyakit yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi emosi, pikiran atau tingkahlaku mereka, diluar kepercayaan budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan efek yang negative bagi kehidupan mereka atau kehidupan keluarga mereka (Maramis, 2005: 3). Undang-Undang Kesehatan jiwa dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, negara menjamin setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan yang merupakan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak Orang Dengan Gangguan Jiwa belum dapat diwujudkan secara optimal; ketiga, bahwa belum optimalnya pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan belum terjaminnya hak orang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 57 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dengan gangguan jiwa mengakibatkan rendahnya produktivitas sumber daya manusia. Upaya Kesehatan Jiwa berasaskan keadilan; perikemanusiaan; manfaat; transparansi; akuntabilitas; komprehensif; pelindungan; dan nondiskriminasi. Undang- Undang Kesehatan Jiwa juga ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa; menjamin setiap orang agar dapat mengembangkan potensi kecerdasan, memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa berdasarkan hak asasi manusia; serta memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dan berkesinambungan.

III. Masalah Kesehatan Jiwa Di Indonesia dalam Balutan Praktik Kebuntuan HAM Pelayanan Kesehatan Jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa, belum dapat diwujudkan secara optimal. Hak mereka sering terabaikan, baik secara sosial maupun hukum. Secara sosial masih terdapat stigma di masyarakat sehingga keluarga menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Hal ini menyebabkan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan. Sedangkan secara hukum, peraturan perundang-undangan yang ada belum komprehensif sehingga menghambat pemenuhan hak-hak mereka. Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran Pemerintahan dan juga seluruh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering dialami oleh orang dengan gangguan jiwa, antara lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, ditelantarkan oleh keluarga bahkan dipasung. Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi sosial. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan

58 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Berdasarkan atas fakta lapangan serta studi pustaka yang dilakukan, bentuk-bentuk stigma pada penderita gangguan jiwa yang masih terjadi dan secara tidak langsung merupakan bukti belum berjalannya undang-undang no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dapat di lihat dalam dua hal, yakni public stigma (stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara lain penolakan, pengucilan, kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan serta kemarahan.

IV. Bentuk Praktik Kebuntuan HAM: Public Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Penolakan. Penilaian yang negatif terhadap para penderita gangguan jiwa akan mengarah pada penolakan, sehingga individu maupun masyarakat akan cenderung mengembangkan perasaan tidak suka. Disamping itu pula individu/masyarakat akan mengembangkan rasa tidak percaya ketika harus terlibat dalam aktivitas sosial ataupun dalam melakukan hubungan interaksi dengan yang ditolak tersebut. Penolakan ini bisa atau dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku negatif terhadap orang dengan masalah kejiwaan tersebut. Ruang-ruang gerak orang dengan masalah kejiwaan sangat terbatas, ini terlihat dari sikap masyarakat/lingkungan sekitar yang terkesan “memusuhi” dengan cara melalukan penolakan secara halus dengan tidak melibatkan mereka (secara sengaja) dalam proses interaksi. Sikap penolakan terhadap penderita gangguan jiwa juga terlihat dari adanya kecenderungan keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien. Konsekuensinya, ditemukan adanya pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi warga disana lebih dari lima sampai sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan siapa keluarganya. Keluarga bahkan masyarakat menilai Rumah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 59 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sakit Jiwa memiliki reputasi buruk di masyarakat. Stereotip sebagai tempat pembuangan, pengumpul, dan kurungan bagi pasien gangguan jiwa melekat padanya. Akibatnya label sakit dan status identitas pasien berpengaruh kuat dalam stigmatisasi di masyarakat. Terlihat bahwasannya golongan yang berkuasa (dalam hal ini Rumah Sakit Jiwa dan masyarakat) cenderung memberi label kepada golongan yang lemah (penderita gangguan jiwa) sebagai yang menyimpang (deviant). Pelabelan mempunyai akibat positif bagi pihak yang memberikan label, yaitu memperkuat tata sosial dan stabilitas sosial. Hal tersebut benar hanya terbatas pada dua alasan, yaitu (a) karena pihak yang mencap ada pada posisi yang kuat sedang yang dicap pada posisi yang lemah, (b) dengan menghukum yang lemah maka pihak yang kuat tidak akan melakukan deviasi seperti pihak yang lemah. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pihak yang berkuasa tidak akan melakukan deviasi. Mereka melakukan deviasi yang lebih canggih dan tersamar. Hal ini disebabkan karena perhatian masyarakat tertuju kepada deviasi dari golongan yang lemah (penderita gangguan jiwa). Pengucilan. Stigma terhadap gangguan jiwa tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya, tetapi juga anggota keluarganya. Beban stigma gangguan jiwa membuat penderita dan keluarganya memilih untuk menyembunyikan kondisinya daripada mencari pertolongan bahkan stigma membuat pihak keluarga juga tak memahami karakter anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Anggota keluarga yang distigmatisasi seperti halnya individu yang menderita masalah gangguan jiwa itu sendiri, sering memiliki pengalaman bertambahnya tekanan emosional dan pengucilan sosial. Pengucilan sosial pada orang yang memiliki masalah gangguan jiwa memberi dampak bagi perilaku, kesembuhan dan partisipasi dalam masyarakat. Mereka juga memiliki pengalaman isolasi sosial yang berakibat pada semua jenis hubungan, baik dengan teman atau keluarga. Pengucilan ini menyebabkan juga mereka tidak mendapatkan keseimbangan akses informasi, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan peluang sosial lainnya. Kekerasan. Minimnya pengetahuan keluarga dan masyarakat dalam penanganan masalah gangguan jiwa, terlebih stigma yang masih melekat kuat

60 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dalam ranah masyarakat, menyebabkan para penderita gangguan jiwa yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya, seperti selalu harus berdiam diri di dalam kamar yang terkunci, tidak boleh keluar rumah, tangan atau kaki yang dirantai, bahkan dilakukan “pembalokan” di sepasang kakinya dengan alasan pembenaran supaya tidak mencederai dirinya ataupun menyakiti/melukai orang lain di sekitarnya. Implikasinya terhadap kondisi penderita justru semakin memperparah penyakitnya. Kondisi penderita korban pemasungan dalam situasi yang benar-benar memprihatinkan. Keluarga ataupun masyarakat yang secara sengaja ataupun tidak secara sengaja melakukan tindakan ini dianggap telah melakukan pembiaran atas apa yang terjadi pada korban kekerasan ini.

V. Bentuk Praktik Kebuntuan HAM: Self Stigma Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa Prasangka Buruk. Adanya pandangan bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan dihinakan, implikasinya menyebabkan penderita tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Terlihat juga bagaimana munculnya stigma pada diri penderita yakni antara lain berupa pertama, prasangka negatif yakni anggapan negatif terhadap dirinya sendiri karena dianggap dirinya inkompeten dan mempunyai karakter yang lemah; kedua, pada aspek emosi yang ditimbulkan antara lain merasa tidak percaya diri atau menganggap dirinya tidak mampu; dan ketiga, aspek diskriminasi yang terjadi dimana terlihat dari gagalnya melanjutkan pekerjaan dan terhambatnya program pengobatan. Merasa Bersalah. Keluarga mengalami krisis dan tekanan saat mendapati bahwa salah satu atau lebih anggota keluarganya menderita gangguan jiwa. Tekanan ini akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam keluarga tersebut. Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan mengganggu peran mereka sebagai system support yang berujung pada semakin tidak stabilnya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 61 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan. Salah satu beban psikologis yang berat bagi keluarga penderita gangguan jiwa adalah stigmatisasi. Dampak merugikan dari stigmatisasi termasuk salah satunya perasaan merasa bersalah dari pihak keluarga yang akhirnya menyebabkan perilaku pencarian bantuan terhadap penderita menjadi tertunda. Dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa membuat keluarga seolah olah memiliki bibit yang buruk, sehingga keluarga merasa bersalah, merasa malu ‐ secara sosial dan kehilangan harga diri. Keluarga dalam hal ini sering menyalahkan diri sendiri atas sakit yang diderita anggota keluarganya. Ketakutan dan Kemarahan. Stigma terhadap gangguan jiwa semakin memperparah keadaan penderita gangguan jiwa. Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan karena para penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi dan terhina. Hal yang sangat menyakitkan bagi kondisi kejiwaan pasien adalah ketika bayangan ketakutan akan dihakimi, dihina dan dikucilkan secara sosial menyebabkan penderita tidak mau mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Stigma yang bersifat internal ini sangat merugikan kondisi kejiwaan para penderita. Selain itu penderita juga cenderung menganggap bahwa dirinya memang tidak berharga, tidak mampu, tidak mau bersosialisasi dan mengalami rasa rendah diri yang sangat parah. Masalah lain yang sering muncul pada penderita gangguan jiwa khususnya dengan kasus pada penderita gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan salah satunya adalah rasa marah/kemarahan yang berlebihan. Pengungkapan amarah atau kemarahan penderita gangguan jiwa merupakan suatu luapan perasaan emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan penderita sebagai ancaman, sekaligus dapat membuat perasaan lega. VI. Kesimpulan Dalam implementasinya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Stigma masih melekat erat pada penderita gangguan jiwa dan seringkali menjadi korban ketidakadilan serta perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. Mesin tubuh sosial masyarakatpun mengembangkan stigma sosialnya (public stigma) yang terdiri atas penolakan, pengucilan, serta kekerasan dan kuasa

62 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 disiplin tubuhpun atas stigma membayangi penderita (self stigma) yang terdiri atas prasangka buruk, merasa bersalah, dan ketakutan serta kemarahan, yang semuanya melanggengkan proses reproduksi gangguan jiwa (kegilaan) yang merupakan konsekuensi berlakunya strategi kuasa dan regulasi sosial di masyarakat. Dalam hal ini pemberdayaan keberlanjutan menjadi hal yang sangat penting bagi para penderita gangguan jiwa saat sudah dinyatakan sembuh secara klinis oleh dokter, dengan tujuan agar dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, bebas dari stigma (destigmatisasi), diskriminasi atau rasa takut, malu serta ragu-ragu. Semua daya upaya ini sangat ditentukan oleh sikap kepedulian anggota keluarga, masyarakat, pihak swasta (LSM), dan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 406, 2009. Tentang Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010. Tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Irmansyah, 2009. “Pemberdayaan Masyarakat Berperan Penting Dalam Pemulihan Penderita Skizofrenia”, dalam Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly. Tahun XLII No. 1. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.

Kartono, Kartini, 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Maramis, w.f., 2005. Catatan Ilmu Kdokteran Jiwa. Edisi IX, Penerbit Airlangga Press.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72 tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.

Riskedas, 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI

Sheewangisaw, Z., 2012. Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patient with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital. Congress on Public Health, 1(1).

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014. Tentang Kesehatan Jiwa. Jakarta: Republik Indonesia.

BUDAYA DUAN LOLAT DI TENGAH ARUS JAMAN IBU KOTA JAKARTA

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, [email protected]

Abstrak

Ibu Kota Jakarta adalah salah satu tempat yang ingin dikunjungi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia termasuk masyarakat asal Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Tidak sedikit migran asal Maluku Tenggara Barat yang tinggal di Jakarta ketika pulang ke kampung halamannya mengajak kerabatnya untuk mengadu nasib di Ibu kota Jakarta. Mereka datang untuk menetap dengan tetap melestarikan adat dan budaya dari masyarakat Maluku Tenggara Barat atau yang lebih dikenal dengan Kepulauan Tanimbar. Salah satunya adalah nilai kekerabatan yang disebut dengan Duan Lolat. Duan dan Lolat merupakan status sosial yang berasal dari hubungan perkawinan, dan perkawinan merupakan dasar untuk menentukan status sosial Duan dan Lolat. Dalam perkawinan, pihak yang memberikan anak perempuan pada gilirannya akan menjadi Duan, sedangkan pihak yang menerima anak perempuan akan menjadi Lolat. Setelah menikah pihak keluarga perempuan menjadi Duan sedangkan pihak keluarga laki-laki, yaitu keturunan dari pasangan yang menikah menjadi Lolat dari pihak keluarga perempuan. Pelembagaan nilai Duan Lolat terjadi pada sepanjang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengungkap tentang budaya Duan Lolat yang masih dilestarikan oleh masyarakat migran asal kepulauan Tanimbar meskipun mereka telah merantau ke Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sejarah. Sumber-sumber yang digunakan yaitu sumber tertulis seperti studi pustaka, dokumen dan melakukan wawancara dengan tokoh adat dan masyarakat Tanimbar yang ada di Jakarta.

Kata Kunci : Budaya, Duan Lolat, Migran.

PENDAHULUAN Kedatangan masyarakat dari kepulauan Tanimbar ke Jakarta pada tahun 1950 di awali oleh seorang penduduk dari salah satu desa yang ada di Kepulauan Tanimbar yang bernama Yosias Naflalia dan Abe Dulanlebit dari Desa Romean. Desa Romean berada di Kecamatan Yaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. (Drabbe, P, 1989 :2). Kedatangan Yosias Naflalia pada awalnya ingin merantau keluar dari desa Romean untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan di

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 63 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 64 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kota Ambon pada tahun 1950 kemudian karena kapal yang ia tumpangi hanya singgah sebentar di Kota Ambon maka ia mencoba mencari peruntungan untuk mengikuti kapal ke Surabaya. Sulitnya mencari pekerjaan disana membuat Yosias melanjutkan perjalanannya ke Jakarta untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan, lalu pada tahun 1952 dibuka kantor DEPERLLA yang saat ini namanya adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sebagai Opsir dan pegawai.( Mathias, wawancara, 14 Januari 2018) Pada tahun 1952 kehidupannya mulai berubah karena mendapatkan fasilitas Gaji bulanan serta Perumahan Pegawai di Asrama DEPERLLA Kota Pelabuhan Tajung Priuk . Di tahun tersebut mulai banyak orang dari Desa Romean yang mendengar keberhasilan ia mendapatkan pekerjaan sehingga mulailah gelombang kedatangan orang Romean yang ingin merantau dari Desa Romean ke Jakarta. Karena mereka tidak punya tempat tinggal maka tinggalah mereka di rumah bapak Yosias Naflalia di daerah Tanjung Priok Jakarta. Dengan adanya tujuan dan tempat tinggal di perantauan maka mulailah berdatangan masyarakat romean yang ingin merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dengan kedatangan sebagian masyarakat romean yang merantau di Jakarta lambat laun menimbulkan kerinduan bagi sebagian keluarga untuk berkumpul mengadakan pertemuan seperti doa bersama dan natalan bersama untuk bersilahturahmi dengan sesama keluarga dari romean. Keinginan untuk berkumpul bersama merupakan cikal bakal terbentuknya perkumpulan anak - anak Romean di Jakarta.(Mathias, wawancara, 12 Februari 2018) Dengan demikian budaya yang ada di Romeanpun terbawa dan tetap dilestarikan oleh masyarakat romean di Jakarta. Salah satunya adalah budaya Duan Lolat. Budaya Duan Lolat tetap dilestarikan di Jakarta karena budaya ini mempererat tali persaudaraan meskipun mereka telah merantau dan menetap di ibukota Jakarta.

1.2. Permasalahan Makalah ini dibatasi dengan scope temporal dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2017. Mengapa diawali tahun 1950 karena pada tahun itu seorang putra asal Desa Romean tiba di Jakarta untuk merantau dan mencari nafkah, dan diakhiri tahun 2017 karena penulis telah melihat perkembangan budaya duan lolat yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 65 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tetap dilestarikan oleh penduduk migran asal Kepulauan Tanimbar meskipun telah marantau dan menetap di Ibukota Jakarta. Skope spasial dibatasi di daerah Jakarta dan sekitarnya termasuk Bekasi, Bogor, dan Depok, karena sebagian besar masyarakat dari Kepulauan Tanimbar tinggal di sana. Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain: 1.Apa itu budaya duan lolat, 2. Mengapa budaya duan lolat tetap dipertahankan oleh masyarakat migran asal Kepulauan Tanimbar di Jakarta, 3. Bagaimana melestarikan budaya duan lolat sehingga dapat terus bertahan di tengah arus jaman di Ibu kota Jakarta.

METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi ( Koentjaraningrat. 1997:12).

Melalui penelitian kualitatif budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian kualitatif ini akan membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru.

PEMBAHASAN

3.1 Budaya Duan Lolat Budaya Duan Lolat dalam masyarakat Tanimbar dapat diartikan duan berarti tuan atau pemilik suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai pelindung terhadap barang itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses perkawinan adat, dimana duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok keluarga yang bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah predikat bagi

66 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan. Hubungan kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang pemberian, baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung secara makanik dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar.( Koritelu, Paulus, 2009: 20) Budaya adat istiadat di desa Romean yang berasal dari kepulauan Tanimbar sangat di pegang teguh oleh tiap anak-anak desa romean yang hidup dalam perantauan. Sehingga dalam setiap kegiatan pernikahan atau acara lamaran dalam keluarga besar masyarakat Romean atau dengan masyarakat adat istiadat lainnya tetap dijalankan sebagai suatu tradisi atau kearifan lokal tersendiri dan dalam rangka juga menghormati adat istiadat dari daerah lain. Dalam setiap penyelesaian perselisihan keluarga besar antar Soa dan keluarga juga tetap berdasarkan atas adat Duan Lolat. Budaya duan lolat perlu dilakukan dalam setiap kegiatan karena disitu juga diundang Tua-tua adat untuk sebagai resminya adat tersebut dijalankan.( Lerebulan, Aloysius, 2011:25) Dalam setiap menjalankan adat Duan Lolat ada berbagai macam persembahan atau barang yang dipergunakan sebagai penghormatan atau pemberian dibedakan menurut acaranya seperti : 1. Acara lamaran atau masuk minta untuk pernikahan pada masyarakat Desa Romean biasanya membawa atau memberikan kain Tenun khas Tanimbar (Bakan), Sopi atau sejenis minuman beralkohol dengan disumbat atau ditutup sejumlah uang , uang tersebut biasanya digunakan sebagai persembahan untuk Gereja atau sebagai balas air susu ibu, dan Loran (mas kawin) khas Tanimbar yang berasal dari nenek moyang dan sudah dipergunakan secara turun -temurun. Serta dilakukan prosesi adat masuk minta dengan juru bicara adat meminta kepada Tuan rumah mempelai untuk dilakukan peresmian acara pernikahan. Kemudian diakhiri dengan minum bersama atau makan bersama. 2. Pada saat penyelesaian perselisihan keluarga baik keluarga besar atau keluarga antar Soa biasanya dipergunakan Sopi atau sejenis minuman beralkohol dengan disumbat atau ditutup sejumlah uang. Uang tersebut biasanya digunakan sebagai persembahan untuk gereja dan didoakan sebagai Natsar agar perselisihan tersebut dapat selesai sejalan dengan keinginan Tuhan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 67 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pada saat acara kematian biasanya keluarga besar memberikan kain tenun khas Tanimbar di kaki jenazah sebagai tanda berkabung dan penghormatan keluarga besar. 4. Pada saat penyambutan tamu atau keluarga dari adat daerah lain biasanya diberikan segelas kecil minuman sopi dan pengalungan kain tenun khas Tanimbar atau bakan (Naflalia, Wawancara, 14 Januari 2018). Pada dasarnya adat istiadat duan lolat dilaksanakan untuk penghormatan terhadap masyarakat Desa Romean itu sendiri apabila tidak dilaksanakan akan membawa dampak positif dan negatif bagi masyarakat Romean itu sendiri. Dampak positif adalah nenek moyang masyarakat Romean mempunyai alasan tersendiri untuk membuat adat Duan Lolat di lain pihak sebagai alat perekat antar Soa atau keluarga besar dan di sisi lain adalah penghormatan atas asal usul dan penghargaan atas pemberian dari Tuhan. Dampak negatifnya adalah apabila masyarakat Romean tidak menjalankan budaya duan lolat maka anak anak Romean di perantauan seakan-akan tidak punya adat dan terasa akan kehilangan arah dan identitas mereka apalagi dalam pernikahan sesama masyarakat Desa Romean. Disamping itu mereka akan dikucilkan bahkan akan tetap menjadi janji atau hutang keluarga sehingga mereka akan berat mengarungi hidup berkeluarga. Beda halnya dengan perkawinan campur biasanya hanya sebagai simbol untuk penghormatan terhadap adat istiadat mempelainya. Juga ada sangsi apabila dalam perselisihan keluarga besar tersebut tidak dilakukan sesuai adat maka dianggap Tuhan tidak akan menyelesaikan masalah tersebut dan masalah tersebut tetap berkepanjangan bahkan dapat dibawa sampai ke anak dan cucu (Naflalia,Wawancara, 14 Januari 2018).

3.2 Tetap Memegang Teguh Budaya Duan Lolat di Tengah Arus Jaman di Ibukota Dalam kurun waktu 1955 – 1960 begitu banyak masyarakat Desa Romean yang mendengar keberhasilan Yosias Naflalia di Jakarta dari mulut kemulut maka berdatanganlah masyarakat dari Desa Romean yang ingin merantau dan mencari kerja di Jakarta. Mereka datang ada yang mencoba bekerja sebagai buruh pelabuhan, buruh kapal, bahkan sampai tukang bangunan di Jakarta. Untuk mempererat rasa solidaritas dan persaudaraan serta rasa ingin membangun

68 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kampung halaman maka di bentuklah perkumpulan “Kerukunan Anak – Anak Romean Sejawa” di Jakarta. Kerukunan ini terdiri atas empat soa /Marga Besar. Empat soa besar yang ada di Desa Romean yaitu Soa Arun Roal, Soa Selaru,Soa Ivnur dan Soa Rahan Ra yang ada di Desa Romean. Secara filosofis dan harafiah artinya mereka hidup di Jakarta bagaikan berada di dalam perahu yang membawa 4 Soa yang ada di Desa Romean agar hidup selalu dalam kerukunan dan kebersamaan.(Cundraat, Wawancara, 14 Januari 2018) Yosias Naflalialah yang memprakarsai untuk membentuk kerukunan anak- anak Romean di Jakarta dalam nama” Kerukunan Anak-anak Romean Sejawa”. Atas dasar untuk mempererat rasa persaudaraan dan kebersamaan serta atas dasar rasa ingin membangun negeri atau kampung halaman. Perkumpulan kerukunan anak-anak Romean beranggotakan seluruh masyarakat Desa Romean yang ada di perantauan bahkan istri serta anak – anak mereka di perantauan.Mereka masuk tanpa syarat apapun dan dapat diterima sesuai dengan darimana Soa mereka berasal dan tentunya memang berasal dari Desa Romean. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain adalah antara lain beribadah kerukunan atau kebaktian setiap satu bulan sekali dengan memberikan persembahan berupa uang untuk kemudian dikumpulkan agar dapat membiayai perkumpulan dan membangun kampung halaman. Acara arisan keluarga tiap-tiap Soa setiap 1 bulan sekali agar mempererat hubungan sesama Soa. Selain itu acara kebaktian Natal kerukunan setiap satu tahun sekali. Serta membentuk dana kedukaan untuk adanya rasa saling membantu pada saat anggota kerukunan tertimpa kedukaan atau musibah.(Cundraat, wawancara, 12 Februari 2018) Sejak Kerukunan Anak- anak Romean di bentuk sampai saat ini sudah lebih 300 KK yang berasal dari Desa Romean yang tergabung dalam perkumpulan kerukunan anak – anak romean yang tersebar di JABODETABEK. Mereka saat ini bekerja di berbagai bidang sebagai karyawan atau buruh perusahaan swasta. Sebagai pegawai negeri sipil atau Guru, di bidang jasa pengamanan atau security, berwiraswasta dan lain sebagainya. Jumlah Orang Romean yang tinggal di Jabodetabek sampai tahun 2017 sekitar 600 orang. (Mathias, Wawancara, 13 Februari 2018)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 69 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dengan aktifitas yang rutin dari kerukunan anak- anak Romean di Jakarta ini maka budaya Duan lolat masih tetap terpelihara sampai sekarang. Hubungan kekerabatan meskipun telah merantau sampai ke Ibukota masih tetap dilaksanakan mengingat begitu banyaknya jumlah migran asal Kepulauan Tanimbar yang tinggal di Ibukota.

SIMPULAN Budaya Duan Lolat di Ibukota Jakarta sampai saat ini tetap dapat terpelihara dengan baik, meskipun telah mengalami pergeseran karena penduduk telah bermigrasi di kota Jakarta. Mereka tetap menjalankan budayanya meskipun telah banyak terjadi pernikahan campur dengan etnis lain seperti Jawa, Bali, Sunda, Batak ataupun Menado. Menjalankan budaya duan lolat merupakan suatu kehormatan bagi penganutnya. Mereka tidak mudah melupakan asal usul nenek moyangnya, karean bagaimanapun mereka akan pulang kekampung halamannya dan akan berjumpa dengan sanak saudaranya disana. Kekerabatan orang Tanimbar tetap terjaga dengan baik dengan adanya perkumpulan Kerukunan Anak-anak Romean . Apapun nama perkumpulan yang mereka dirikan semata-mata tujuannya untuk mempersatukan masyarakat dari kepulauan Tanimbar yang merantau di ibukota Jakarta dan sekitarnya. Dengan harapan tetap dapat melestarikan adat dan budaya leluhurnya sehingga tidak punah di tengah arus jaman yang mulai bersifat individualistis.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1997.Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia

De Jonge, Nico dan Toos van Dijk. 2011. Kepulauan yang Terlupakan di Indonesia: Seni dan Budaya Maluku Tenggara, diterjemahkan oleh Marlon Ririmasse. Ambon: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Maluku Utara.

Drabbe, P. 1989. Etnografi Tanimbar, diterjemahkan dan disunting oleh Karel Mouw.

70 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Koritelu, Paulus. 2009. “Perubahan Hubungan Sosial Duan dan Lolat di Olilit, Tanimbar, MTB, dalam Kurun Waktu 1995-2004”. Disertasi pada Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia (Tidak dipublikasikan).

Lerebulan, Aloysius. 2011. Tanimbar, Maluku Tenggara Barat: antara Tradisi dan Kehidupan Modern. Yogyakarta: Kanisius.

INTERNET https://www.kompasiana.com/npreressy/duan-lolat-sebuah-kearifan lokal_54f7cc00a333112a1f8b4a2d https://stpakambon.wordpress.com/2009/09/04/pengaruh-budaya-duan-dan-lolat- dalam-kehidupan-masyarakat-tanimbar/ https://klasistanut.wordpress.com/2015/02/06/duan-lolat-eklesiologi-berbasis- budaya-lokal-tanimbar/

RENDAH HATI SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ORANG BALI MELALUI PUPUH

I Gede Budiasa Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Kearifan lokal menurut Keraf (2002) merupakan nilai yang dianggap baik dan benar secara turun temurun dan kini digunakan sebagai pendekatan strategis yang telah dikedepankan dalam pembangunan fisik dan mental spritual di Bali. Dalam pembangunan fisik proses penyelengaraan penataan ruang mengedepankan keseimbangan antara alam, manusia dan penciptanya sebagai wujud konsep tri angga dengan roh filsafat keseimbangan Tri Hita Karana tiga penyebab kebahagian dalam upaya merajut hubungan yang serasi selaras dan seimbang secara vertikal antara manusia dengan Tuhan (Pahrayangan) dan horizontal antara manusia dengan lingukungannya (Palemahan) dan dengan sesama (Pawongan). Dalam pembangunan mental spiritual diharapkan pengembangan tipe kepribadian flegmatis yakni seseorang yang mempunyai sifat alamiah pendamai tidak suka kekerasan termasuk rendah hati dan mudah bersyukur (http/app.facebook.com/kuistemperamen 2018). Kerendahan hati dan rasa syukur tercermin dalam beberapa Pupuh baik macepat maupun kidung dalam Pamurrwa atau bagian pendahuluan yang menjadi korpus data makalah ini melalui pemakaian paribasa Bali berupa Sesawangan (Perumpamaan). Paribase ini mengumpamakan budi pekerti, gerakan, keadaan anggota badan dsb yang biasanya diwali dengan kata-kata seperti buka, kadi, tan pendah, waluya dan yang sejenisnya seperti dalam kalimat kadi telaga tanpa warih 'bagaikan kolam tak berair' saksat lembu tanpa tanduk 'seperti sapi tak bertanduk'; tan pamantra tan pasuguh 'tanpa mantra tanpa sasaji' ; Mogi tan kacakrabawa 'Semoga Amba tidak lancang'. Korpus data ini dikumpulkan melalui studi pustaka dari Gaguritan Jaya Prana dan Kidung Yadnya tersebar dalam berbagai pupuh yakni Pupuh Sinom, Ginada, Bremara Ngisep Sari dan Megatruh.

Kata kunci: kearifan lokal, pupuh, flegmatis.

PENDAHULUAN

Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri yang biasanya diwariskan secara turun tumurun dan biasanya terdapat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 71 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 72 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu dan permainan rakyat. Kearifan lokal mempunyai kemampuan mengendalikan dan memberi arah perkembangan budaya. Selain itu kearifan lokal tercermin dalam karakter yang merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat (internet).

Budaya ekspresif merupakan identitas Budaya Bali dan termanifestasikan secara konfiguratif melalui nilai-nilai dasar yang dominan, seperti nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmonis, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000). Inilah yang mejadi latar belakang makalh ini untuk mengupas kerendahan hati dan rasa syukur yang tercermin dalam beberapa Pupuh baik macepat maupun kidung. Salah satu Pupuh Ginada, yaitu ” Ede Ngaden Awak Bisa”, yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Bali yang banyak mengandung spirit moral untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat Hindu (Bali). Pupuh tersebut banyak mengandung makna yang dalam serta ajaran-ajaran keagamaan, seperti makna pencegahan ”nyapa kadi aku”; dan malajahang raga untuk mencari kesempurnaan hidup tiada batasnya long life education atau life long education. (Suwardani 2015)

KONSEP DASAR 1. Kearifan Lokal Kearifan Lokal menurut beberapa ahli adalah segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun tumurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Jadi kearifan lokal adalah sesuatu yang telah melekat pada masyarakat dan telah menjadi ciri khas di daerah tertentu secara turun tumurun dan telah diakui oleh masyarakat luas. Hal ini terwujud dalam beberapa bentuk antara lain i. Pola pikir masyarakat yang berbudi pekerti baik; ii. Perangai atau tabiat masyarakat kebanyakan pada daerah tertentu yang akan tetap melekat dan iii. Filosofi hidup masyarakat tertentu yang mendarah daging dan berfungsi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 73 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 salah satunya sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. Di Indonesia sebagai contoh kearifan lokal adalah Tradisi Bau Nyale di Lombok NTB, merupakan upacara perburuan cacing laut untuk menyambut Pasola dan di Bali Tradisi Penduduk Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli yang disebut Mepasah. (simak Keraf 2002, Sartini 2004, Soenaryo, et al 2003 dalam (http://www.pengertianmenurut)

2. Tipe Kepribadian Orang Flegmatis. Menurut tayangan video yang diproduksi oleh Yudha (2018) tipe kepribadian flegmatis merupakan salah satu dari empat) tipe kepribadian orang yaitu i. Sanguinis (Populer, Pembicara) ii. Melankolis (Sempurna, Pemikir) iii. Koleris (Kuat, Pelaku) iv. Flegmatis (Damai, Pengamat). Felegmatis memiliki sifat alamiah, pendamai tidak suka kekerasan, mudah diajak bergaul, ramah, dan menyenangkan, rendah hati, tenang dan sabar, simpatik, pendiam, mampu mengendalikan emosi, mudah bersyukur, mudah bahagia, menghindari konflik, kuat dalam tekanan, berhat-hati, tidak suka menyinggung orang lain, pendengar yg baik punya banyak teman, mudah bergaul, menyenangkan dan rileks.

3. Rendah hati Rendah hati merupakan karakter yang mengakui bahwa pencapaian merupakan berkat dari Tuhan bukan atas usaha sendiri. Banyak orang yang mengangap jika seseorang rendah hati maka orang itu akan mudah dikalahkan. Tapi rendah hati merupakan permulaan dari kesuksesan. Akan tetapi bangga dan sombong merupakan suatu hal yg berbeda . Bangga berarti mensyukuri apa yang sudah diberikan dalam hidup kita. Tetapi sombong berarti menganggap bahwa yang kita miliki merupakan jerih payah sendiri sehingga patut untuk dipamerkan. Berubahlah sebelum terlambat jangan sampai karena sombong hidup kita menjadi hancur (video play 2018).

4. Pupuh dan Kidung Pupuh dan Kidung termasuk Kesusastraan Bali Purwa berupa Puisi (sastra tembang) yang merupakan bagian dari keempat wangun tembang di Bali yaitu Sekar Rare (Tembang Rare), Sekar Alit (Gaguritan), Sekar Madia (Kidung) dan Sekar Agung (Kakawin atau Wirama). Sekar Alit sering disebut juga geguritan,

74 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pupuh atau tembang. Isinya mengandung pengetahuan, kesusilaan, kerohanian, ataupun yang bersifat romantis. Sekar Alit dapat dibedakan atas beberapa bentuk, seperti Pupuh Ginada, Pupuh Sinom , Pupuh Durma. Akan tetapi Sekar Madya disebut juga tembang tengahan atau kidung (jumlah dan jenis-jenisnya sangat banyak), adalah lagu-lagu yang dipakai untuk mengiringi upacara agama, isi lagu sesuai dengan acara pelaksanaan upacara agama Hindu (simak Admob by Google dalam Dharma Gita Beserta Jenis dan Dampaknya).

5. Sasawangan dan Papindan Sasawangan dan Papindan merupakan Paribase Bali atau gaya tuturan yang terdapat pada setiap individu dan tidak ada perjanjian pemakaian paribasa tersebut antara pemakainya (simak Widiana, 2000:17). Sesawangan (Perumpamaan) berasal dari kata sawang 'mirip' kemudian didwipurwakan serta mendapatakhiran {-an}sehingga menjadi sesawangan. Paribase ini merupakan perumpamaan yang mengumpamakan budi pekerti, gerakan, keadaan anggota badan dsb yang biasanya diwali dengan kata-kata seperti buka, kadi, tan pendah, kadi, waluya dan yang sejenisnya seperti contoh Alisne nyurarit kadi don intaran 'Alisnya melengkung seperti daun intaran'; Buka bulane kalemahan 'Seperti bulan kesiangan'; Seledetanne kadi tatit 'lirikan matanya seperti kilat atau tajam'. Akan tetapi Pepindan merupakan perumpamaan implisit atau Metaphor yang berbeda dengan Sesawangan (perumpamaan eksplisit). Perbedaannya terletak pada pemakaian kata-kata seperti buka, kadi, tan pendah, kadi, waluya pada awal Sesawangan sedangkan Papindan tidak diawali oleh kata-kata tersebut tetapi mendapat 'anusuara' atau bunyi nasal sebelum kata yang dipakai perumpamaan seperti contoh 'Bulane nglemahang'Seperti bulan kesiangan'; Alisne madon intaran 'Alisnya seperti daun intaran' Cecingakane natit 'lirikan matanya tajam'

METODOLOGI Data bersumber dari studi pustaka melaui dunia maya atau internet sejumlah teks Pupuh dan Kidung dikumpulkan secara acak dan dipakai sebagai objek kajian dengan judul Gaguritan Jaya Prana Pupuh Sinom, Ginada, “De Ngaden Awak Bise”, dan dua kidung yakni Bremare Ngisep Sari dan Megatruh.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 75 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan metode pengamatan (observasi) yakni mengamati secara langsung objek kajian berupa teks lirik Pupuh dan Kidung yang terdapat di dunia maya melalui internet dan metode dokumentasi dengan cara mendengar secara intensif. Data yang diperoleh ditabulasikan kemudian dianalisis serta disajikan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

PEMBAHASAN Dalam pembahasan perilaku rendah hati orang Bali sebagai kearifan lokal sesuai tipe kepribadian flegmatis memiliki sifat alamiah, pendamai tidak suka kekerasan, mudah diajak bergaul, menyenangkan, rendah hati, tenang dan sabar tercermin dalam Paribasa Bali berbentuk Sasawangan dan Pepindan serta ungkapan lain yang mengungkapkan kerendahan hati dan rasa besyukur kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa melaui Gaguritan dan Kidung dalam Pamurwa (Pangaksama) atau bagian pendahuluan.

Sesawangan (Perumpamaan) diawali dengan kata kadi, maka atau satmaka, saksat ditemukan sebagai pengungkap kerendahan hati orang Bali melalui Pangaksama "Gaguritan Jaya Prana" dalam Pupuh Sinom seperti Kadi telaga tanpa warih 'Sperti kolam tanpa air', Maka pedang tan parai 'Bagaikan pedang tanpa mata (pisau)' Saksat lembu tanpa tanduk 'Seperti banteng tanpa tanduk'. Bentuk Pepindan terungkap sebagai perumpamaan secara implisit diawali oleh kata-kata yang mendapat 'anusuara' atau bunyi nasal sebelum kata yang dipakai perumpamaan dalam Pupuh Ginada seperti I Bongkok manyujuh langit 'Si Bongkok mencapai langit', Awak buta mabet kedat 'Diri buta layaknya bisa melihat'.

Ungkapan rendah hati lainnya juga ditemukan dalam Gaguritan Jaya Prana seperti Titiang wantah tanpa dasar 'Saya hanyalah orang tak berilmu' Merune tinggal lawangan 'Merunya tersisa hanya pintunya', Para sisya lintang jugul 'Para pangabdi sangat bodoh'. Tan pamantra tan pasuguh 'Tanpa mantra tanpa sasaji (Kidung Pupuh Megatruh), Titiang I katunan sami 'Hamba orang nestapa' Nista kaya wak lan manah 'Kurang dalam hal bertindak, berbicara dan berpikir' (Kidung Pupuh Bremara Ngisep Sari). Ungkapan

76 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Rasa Syukur ditemukan dalam Kidung Pupuh Bremara Ngisep Sari seperti Mogi tan kacakra bhawa 'Semoga tidak kena tulah pamidi, Langgeng ngulami Hyang Widhi 'Tak henti-hentinya bersujud kepada Hyang Widhi. Ajaran pesan etik-moral-spiritual sebagai petuah agar jangan nyapa kadi aku dan merupakan konsep malajahang raga atau long life education terdapat dalam Pupuh Ginada, yaitu” Ede Ngaden Awak Bisa”. Pupuh ini tumbuh dan berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Bali yang banyak mengandung spirit moral untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat Hindu (Bali). Adapun kalimat-kalimat yang mencerminkan proposisi ini sebagai berikut De ngaden awak bisa 'Jangan merasa diri sudah pintar' yang menyiratkan pesan normatif, bahwa manusia hendaknya jangan menganggap diri paling pintar di atas langit masih ada langit dan kalimat terakhir Yadin ririh enu liu palajahin 'Meski pintar masih banyak yang perlu dipelajari' yang mengandung pesan moral jangan henti-hentinya malajahang raga sebagai konsep life long education.

SIMPULAN Kerendahan hati merupan kearifan lokal orang Bali tercermin dalam Budaya ekspresif sebagai identitas Budaya Bali dan termanifestasikan secara konfiguratif melalui Gaguritan dan Kidung dirajut dalam Paribasa Bali berbentuk Sesawangan dan Pepindan atau perumpamaan secara eksplisit dan implisit yang mengungkapkan perilaku rendah hati dan rasa syukur serta pesan etik-moral-spiritual agar jangan jumbawan jadi orang dan terus belajar selama hayat dikandung badan.

DAFTAR PUSTAKA

Geriya. I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Perusahaan Daerah Propinsi Bali, Unit Percetakan Bali.

Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat: Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Soenaryo dan Yoshi. L 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF)

Suwardani, Ni Putu 2015. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untukMemproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. JURNAL KAJIAN

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 77 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

BALI Volume 05, Nomor 02, Oktober 2015. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

Yudha (http/app.facebook.com/kuistemperamen 2018)

Widiana, I Made. 2000 Fungsi Paribasa Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana

KESEMESTAAN BAHASA: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa Prodi Sastra Indonesia, FIB Unud

Abstrak

Tiap-tiap bahasa di dunia memiliki ciri-ciri kesemestaan (universal) tertentu. Kesemestaan bahasa itu mencakup tiga hal: (1) kesemestaan dalam bentuk dan makna, (20) tiap-tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil, yaitu fonem dan morfem, dan (3)tiap-tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, dan kata bilangan. Selanjutnya, bahasa juga bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1) manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan istilah “Language Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, dan (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa.

Kata kunci: kesemestaan, psikolinguistik

PENDAHULUAN Manusia di dalam hidupnya senantiasa mendambakan komunikasi. Komunikasi ini terjadi, baik antarsesamanya maupun dengan makhluk lain. Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sifatnya komunikatif. Artinya, antara seseorang sebagai pemberi informasi dengan orang lain sebagai penerima informasi tadi dapat saling mengerti. Akibatnya, di antara orang tadi dapat terjadi saling memberi respons yang bisa berupa tindakan. Salah satu alat yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa. Bahasa itu sendiri adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana,1982:2). Tiap-tiap bahasa di dunia memiliki ciri-ciri kesemestaan (universal) tertentu. Kesemestaan bahasa itu mencakup tiga hal: (1) kesemestaan dalam bentuk dan makna, (20) tiap-tiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil, yaitu fonem dan morfem, dan (3) tiap-tiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, dan kata

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 78 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 79 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bilangan. Pemerolehan bahasa bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1) manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan istilah “Language Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, dan (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa.

METODOLOGI Sumber data penelitian ini adalah bahasa tulis yang diambil dari pustaka yang relevan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode pengamatan terhadap pustaka (studi pustaka) yang ada hubungannya dengan topik penelitian ini. Selanjutnya, dalam pengoperasiannya metode tersebut dibantu dengan teknik catat. Kemudian, dalam analisis data dan penyajiannya digunakan metode informal dan metode formal. Metode informal digunakan dalam menyajikan analisis berupa uraian dengan kata- kata biasa (naratif). Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga digunakan metode formal (yakni pemakaian tabel).

PEMBAHASAN 1. Kesemestaan Bahasa Kesemestaan bahasa (language universal) merupakan konsep kontroversial, baik di kalangan bahasawan maupun filosof. Penganut aliran rasionalis beranggapan bahwa bahasa-bahasa di dunia ini pada dasarnya sama (Chomsky, 1965;1976;1981), sedangkan kaum behavioris menyatakan bahwa bahasa berbeda satu sama lain tanpa batas dan cara-cara yang teramalkan (Joos, 1958:96). Perbedaan ini memang berakar pada pandangan filosofis yang sangat mendasar, tetapi sebenarnya kedua kubu ini tidak jauh berbeda satu sama lain, bahkan kedua-duanya mau mangakui bahwa pada kenyataannya mereka berbicara mengenai satu hal yang sama, tetapi dari dari titik tolak yang berlainan. Golongan behavioris bertitik tolak dari pandangan bahwa bahasa itu hanya mempunyai satu macam struktur, yang oleh golongan rasionalis dinamakan “struktur lahir”. Sebaliknya, golongan rasionalis menganggap bahasa terdiri atas

80 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dua struktur yang berbeda, yakni “struktur lahir” dan “struktur batin”. Dengan demikian, maka konsep kesemestaan adalah konsep yang berkaitan dengan struktur batin dan yang hakiki pada manusia, sedangkan keanekaragaman berhubungan dengan struktur lahir yang kita lihat atau dengar sehari-hari. Bahwa bahasa berbeda satu sama lain tidaklah dapat dibantah, tetapi perbedaan ini terletak pada manifestasi lahiriah saja. Apakah suatu istrumen dapat befungsi sebagai pelaku pebuatan dalam suatu kalimat atau tidak, misalnya ditentukan oleh masing-masing bahasa. Konsep kesemestaan bahasa ini pada umumnya dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu (1) kesemestaan substantif dan (2) kesemestaan formal (Chomsky, 1965:27). Kesemestaan substantif merujuk pada kenyataan bahwa elemen-elemen dalam suatu bahasa diambil dari suatu kelompok elemen yang jumlahnya terbatas, sedangkan kesemestaan formal merujuk pada adanya kaidah pengaturan elemen- elemen tersebut. Dalam bidang fonologi ada sejumlah fitur distingtif yang pasti ada pada bahasa manusia (Jakobson, Fant, dan Halle, 1973). Namun, suatu bahasa tertentu “memilih” sebagian saja dari jumlah ini, sedangkan suatu bahasa yang lain memilih sejumlah yang lain pula sehingga kedua bahasa ini menjadi berbeda. Tentu saja terjadi tumpang tindih tetapi pasti tidak penuh. Pada bahasa mana pun jumlah fonem tidak akan kurang dari sepuluh dan tidak lebih dari tujuh puluh, dan pada tiap-tiap bahasa paling tidak ada dua vokal. Demikian juga, bahasa di dunia ini tidak ada memiliki bunyi apiko-uvular karena secara fisiologis bunyi ini tidak mungkin dapat dibuat oleh manusia.

2. Kesemestaan dalam Pemerolehan Bahasa Kesemestaan bahasa tampaknya berkaitan pula dengan pemerolehan bahasa. Dari kehidupan sehari-hari dapat diketahui bahwa seorang anak yang baru saja lahir akan dapat menguasai bahasa mana pun yang disuguhkan kepadanya dengan keakuratan seperti penutur asli. “Keajaiban” seperti ini bertalian dengan berbagai aspek filosofis kebahasaan yang menyatakan, yaitu bahwa (1) manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal istilah “Language Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 81 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 memiliki unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, dan (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam proses pemerolehan bahasa ini. Ketiga syarat di atas membawa kita dalam kenyataan bahwa pemerolehan bahasa ini sendiri bersifat universal. Dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan orang (Lenneberg, 1976; Brown, 1973; Ingram, 1979) tampak bahwa anak di mana pun memperoleh bahasanya melalui langkah-langkah yang sama dan elemen- elemen bahasa yang dikuasainya pun tidak berbeda dari satu anak ke anak yang lain. Di samping landasan kesemestaan, kesamaan ini dilandasi pula oleh kesamaan biologis dan neurologis pada manusia yang membimbing anak untuk melewati tahapan-tahapan tertentu pada jadwal biologis yang sifatnya kodrati. Pada saat gerak motoris mencapai taraf tertentu, pada saat itu pulalah muncul kemampuan berbahasa tertentu pula. Kemampuan ini bermula pada saat indeks kematangan fisik telah mencapai 65% dari nilai kedewasaan. Jadwal perkembangan ini berjalan secara berurutan sehingga seorang anak tidak dapat dipaksa untukk berbuat lain kecuali mengikuti jadwal ini secara patuh. Tabel berikut ini menunjukkan tahapan-tahapan kebahasaan sesuai dengan gerak motoris dan umur seorang anak (Lenneberg, 1967; 1969).

TABEL KORELASI GERAK MOTORIS DAN PERKEMBANGAN BAHASA (LENNEBERG, 1969)

Umur Gerak Motoris Kemampuan Kebahasaan 0.5 Duduk ditopang tangan Bunyi menjadi ocehan “keranggehan” konsonantal 1.0 Berdiri; jalan dipapah satu tangan Reduplikasi silabik; tanda-tanda mengerti kata; pemakaian bunyi untuk orang atau barang

1.5 Genggam-lepas jadi kuat; cara Pengertian 3-50 kata secara non- berjalan seperti robot; turun terap frasa; deret bunyi dan pola mundur intonasi 2.0 Lari-jatuh; naik terap satu kaki di Mengerti 50 kata lebih; frasa dua muka kata; banyak omong; tidak ngoceh lagi 2.5 Loncat dengan dua kaki berdiri Tambahan kata tiap hari; ujaran dengan satu kaki; membuat tiga kata; mengerti hampir semua; tumpukan enam dadu masih banyak salah gramatikal 3.0 Jingkat tiga meter; naik terap Kosa kata sekitar 100; tata bahasa bergantian kaki; loncat 0.9 meter dekat dewasa; kesalahan sintaksis

82 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

berkurang, sistematik, dan dapat diduga 4.5 Loncat tali; loncat satu kaki; dapat Bahasa terbentuk; anomali berjalan di garis gramatikal terbatas ada yang tak- lumrah

Dari tabel tersebut tampak adanya korelasi positif antara perkembangan motoris seorang anak dan kemampuannya berbahasa. Pada saat baru mulai dapat menggenggam dengan baik, dia tidak akan dapat memakai bentuk bahasa yang berupa frasa. Sebaliknya, pada saat dia sudah dapat naik terap dengan kaki silih berganti, dia sudah pasti tidak ngoceh lagi dan seterusnya. Perlu kiranya dicatat bahwa yang menjadi tolok ukur di sini bukalah umur anak, tetapi kemampuan gerak fisiknya. Umur hanyalah merupakan ancar-ancar kapan gerak motoris itu umumnya muncul, dan dalam hal ini pun tidak seratus persen mutlak.

PENUTUP Konsep bahasa ini pada umumnya dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu (1) kesemestaan substantif dan (2 kesemestaan formal. Dalam bidang fonologi ada sejumlah fitur distingtif yang pasti ada pada bahasa manusia. Pada bahasa mana pun jumlah fonem tidak kurang dari sepuluh dan tidak akan lebih dari tujuh puluh, pada tiap-tiap bahasa paling tidak pasti ada dua vokal, dan bahasa di dunia ini tidak ada memiliki bunyi apiko-uvular karena secara fisiologis bunyi iu tidak mungkin dapat dibuat oleh manusia. Pemerolehan bahasa bersifat universal. Hal ini berhubungan dengan (1) manusia dilahirkan dengan apa yang kini dikenal dengan “Language Acquisition Device” (LAD) yang memungkinkan seorang bayi menguasai bahasa mana pun, (2) bahasa memiliki unsur-unsur universal yang mengakibatkan manusia bisa menguasainya, (3) lingkungan ikut memberikan andil dalam prose pemerolehan bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Chauchard, Paul. 1983. Bahasa dan Pikiran. Terjamahan A. Widyamartaya. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 83 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dardjowidjojo, Soenjono (Penyuntingan). 1991. Linguistik Neologi. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. “Apakah Bahasa Itu” dalam Dasar-Dasar Linguistik Umum. Djoko Kentjono (Ed.). Jakarta: FS UI.

Lyons, John. 1981. Language and Linguistics an Introduction. London, New York, New Rochelle, Melbourn, Sydney: Cambridge University Press.

Parera, Jos. DAnil. 1987. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga.

Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

MULTIKULTURAL DALAM MEDIA KAMPANYE CAGUB BALI: KAJIAN WACANA

I Gusti Ngurah Parthama Prodi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [email protected]

Ni Luh Kade Yuliani Giri Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Abstrak

Paper ini bertujuan untuk membahas multikulturalisme dalam media kampanye calon gubernur (cagub) Bali 2018. Tahun ini Bali memasuki tahun politik dengan pelaksanaan pemilihan gubernur. Dalam upaya menyampaikan informasi kepada para calon pemilih, kandidat calon gubernur menggunakan berbagai media kampanye. Salah satunya adalah media kampanye luar ruang. Media kampanye luar ruang umumnya ditempatkan di ruang – ruang publik yang mudah dilihat oleh para pengguna jalan maupun masyarakat umum. Bagian yang menarik dari media kampanye tersebut adalah penggunaan teks verbal dan teks visual yang bervariasi antar kandidat. Adapun sumber data yang digunakan adalah media kampanye luar ruang yaitu baliho para kandidat cagub. Metode pengumpulan data berupa metode observasi dengan teknik perekaman, pencatatan, dan pemilahan. Sedangkan metode analisa data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan analisa pada pendekatan teks verbal maupun teks visual. Simpulan yang diperoleh adalah model multikulturalisme terdapat pada media kampanye para cagub Bali. Model multikultural itu dapat diperhatikan pada teks – teks verbal yang mengkombinasikan teks berbahasa Bali dan berbahasa Indonesia. Sedangkan teks visual lebih cenderung memunculkan budaya Bali dengan penekanan pada penggunaan pakaian adat Bali dan pewarnaan pada media baliho.

Kata kunci: multikultural, media kampanye, teks tulis, teks visual

PENDAHULUAN Tahun 2018 merupakan tahun politik bagi masyarakat Bali. Pada tahun tersebut mereka akan memilih pemimpin daerah atau gubernur. Seperti halnya pemilihan – pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif sebelumnya, pada pemilihan gubernur kali ini juga menggunakan sistem pemilihan langsung yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Tentunya untuk memperoleh kepercayaan yang selanjutnya menjadi pilihan tidak mudah. Apalagi mengelola sejumlah pemilih

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 84 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 85 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang tersebar di delapan kabupaten/kota di Bali. Sehingga menjadi menarik saat mendeskripsikan analisa terhadap teks – teks baik verbal maupun visual yang digunakan oleh tim kampanye untuk menyampaikan informasi, gagasan, maupun ajakan kepada para pemilih. Penggunaan teks pada media kampanye sesungguhnya merupakan hal yang paling lumrah dilakukan. Hal tersebut merupakan bagian dari bentuk promosi. Yang membedakan hanyalah pada sesuatu yang dipromosikan. Jika pada media promosi, umumnya yang dipromosikan adalah barang maupun jasa. Namun, pada media kampanye yang menjadi titik fokus promosi adalah orang atau kandidat tertentu. Dalam hal ini seseorang dapat mempromosikan dirinya sebagai calon kepala negara, kepala daerah, kepala desa, anggota legislatif, maupun lainnya. Pada titik promosi seperti itulah teks verbal dan teks visual menjadi media yang menjembatani kandidat dengan para pemilihnya. Dalam kaitannya sebagai media promosi, media kampanye luar ruang menjadi efektif saat penyampaiannya menggabungkan dua teks, teks verbal dan teks visual. Hal tersebut mempunyai keterikatan yang erat dengan intensitas waktu. Harus dimaklumi bahwa media kampanye luar ruang merupakan media yang ditempatkan atau diposisikan pada ruang – ruang publik. Ruang – ruang publik itu seperti jalan, perempatan jalan, lokasi strategis tertentu, maupun lokasi – lokasi lain yang dianggap efektif untuk menempatkan media – media tersebut. Selain penempatan pada ruang publik, yang turut menjadi pertimbangan adalah waktu. Seorang pembaca hanya memiliki waktu yang sangat terbatas ketika memperoleh informasi dari media kampanye luar ruang. Seorang pembaca hanya sekilas memperhatikan gambar serta kata – kata tertentu. Hal itu tentunya berkaitan dengan kapasitas mereka sebagai pengendara atau seseorang yang kebetulan melewati tempat tertentu. Untuk itulah secara verbal dalam media kampanye luar ruang para cagub di Bali dapat dilihat melalui mekanisme kajian tindak tutur. Dengan kajian tindak tutur yang sesuai maka dapat diperoleh penafsiran yang sesuai dan memadai terhadap bahasa verbal yang ada. Searle (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 20) membagi kajian tindak tutur menjadi tiga yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.

86 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Secara lebih mendetail, Searle (dalam Leech, 1983: 327) membagi daya atau efek (illocutionary force) suatu tindak tutur ilokusi. Tindak ilokusi tidak hanya semata – mata sebagai tindak tutur yang memiliki daya atau efek pada pendengarnya. Namun tindak tutur ilokusi justru memiliki daya atau efek yang bervariasi terhadap penutur lainnya. Terdapat lima kategori dalam hal tindak tutur ilokusi menurut Searle yaitu representatif atau asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. Representatif atau asertif lebih menekankan pada kebenaran yang disampaikan melalui suatu tindak tutur yang mengikat penuturnya dan hal itu tercermin dari penggunaan kata – kata seperti menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan. Sedangkan direktif lebih mengkhusus pada tindak tutur yang berhubungan dengan tindakan dan kata – kata yang mewakilinya antara lain menyuruh, memohon, menyarankan, dan menantang. Ekspresif adalah bentuk tindak tutur evaluatif terhadap hal – hal disebutkan dalam ujaran dan bentuk evaluatif tersebut tercermin melalui kata – kata memuji, mengkritik, dan mengeluhkan. Sementara kategori komisif lebih memfokuskan pada pelaksanaan terhadap apa yang telah disebutkan dalam suatu ujaran dan hal itu terwakili melalui kata – kata mengancam, berjanji, dan bersumpah. Kategori berikutnya adalah deklaratif yang cenderung menekankan pada penciptaan sesuatu yang baru melalui tuturannya dan tuturan deklaratif tercermin melalui kata – kata memutuskan, membatalkan, dan mengizinkan. Sedangkan secara bahasa nonverbal atau visual, Dyer (1993: 97) memaparkan tiga elemen penting untuk mengkajinya. Ketiga elemen tersebut adalah tampilan (appearance), sikap (manner), dan aktivitas atau kegiatan (activity). Lebih lanjut Dyer membagi ketiga elemen itu ke dalam faktor – faktor yang lebih rinci. Perincian tersebut untuk mengkaji secara lebih mendalam dan mendetail bahasa nonverbal atau visual suatu media iklan. Elemen tampilan (appearance) dibagi lagi menjadi faktor – faktor detail seperti usia (age), gender, kewarganegaraan dan etnis (nationality and racial), rambut (hair), tubuh (body), ukuran (size), dan penampilan (looks). METODELOGI

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 87 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sumber data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah media kampanye luar ruang selama masa kampanye pemilihan gubernur (pilgub) Bali. Media kampanye luar ruang yang akan digunakan adalah baliho. Metode yang akan digunakan pada pengumpulan data penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi nantinya akan ditunjang dengan sejumlah teknik untuk memperoleh data yang komprehensif. Adapun teknik – teknik yang akan diaplikasikan antara lain teknik perekaman data berupa pemotretan media kampanye luar ruang. Metode yang akan digunakan pada analisa data adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang memaparkan atau mendeskripsikan suatu data secara kualitatif berdasarkan teori – teori terkait. Dalam hal ini, penelitian ini akan mengaplikasikan analisa deskriptif kualitatif terhadap data berdasarkan konsep teori daya (force) pada teks verbal dan konsep teori yang berhubungan dengan teks visual.

PEMBAHASAN Pada bagian ini dibahas dua model baliho sebagai media kampanye luar ruang dari para calon gubernur (cagub) Bali 2018. Kedua data ditampilkan sebagai representasi multikulturalisme atau perpaduan budaya. Kedua baliho tersebut merupakan media kampanye yang digunakan oleh masing – masing kandidat di seluruh wilayah Bali. Dalam hal ini, kedua baliho adalah media kampanye luar ruang yang resmi. Masing – masing dari baliho tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

88 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Secara umum, kedua baliho lebih banyak mencirikan budaya Bali. Hal itu dapat dilihat pada penampilan setiap kandidat. Secara visual, setiap kandidat menunjukkan ciri khas Bali dengan menggunakan pakaian adat Bali. Dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah penggunaan udeng (penghias kepala) yang menjadi ciri pakaian adat Bali. Secara visual juga, baliho sebelah kiri menunjukkan warna pakaian Bali yang berkombinasi antara putih dan hitam. Sedangkan baliho sebelah kanan memperlihatkan warna putih. Pemaknaan putih dan hitam sesungguhnya lebih dekat dengan konsep dua hal yang selalu berbeda dalam budaya Bali atau yang dikenal dengan rwa bhineda. Dalam kehidupan segalanya mempunyai dua hal atau sisi seperti hidup dan mati, baik dan buruk, sehat dan sakit, serta lainnya. Sedangkan pemilihan warna putih mempunyai kecenderungan refleksi kesucian. Apalagi warna putih selama ini memang identik dengan arti suci. Sementara itu, dominasi warna kedua baliho hampir sama. Pada baliho kiri, warna merah dan putih hampir seimbang dengan identitas serupa bendera merah putih di bagian atas baliho. Baliho kanan lebih dominan warna putih yang memenuhi hampir ¾ ruang baliho dengan merah lebih dominan di sisi bawah. Secara verbal atau teks tertulis dapat disimak model akulturasi pada teks masing – masing. Kombinasi teks berbahasa Indonesia dan berbahasa Bali terdapat pada baliho sebelah kiri. Bagian penting yang berisikan ajakan untuk memilih kandidat justru dimunculkan dengan bahasa Bali bertuliskan ngiring sareng sami coblos no 1. Pada kandidat yang lain lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia dengan bertuliskan pilihan rakyat Bali. Dari kedua hal itu dapat dilihat jika penekanan yang diberikan oleh masing – masing kandidat berbeda. Pemakaian bahasa Bali dan bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan upaya untuk mendekatkan para kandidat kepada para pemilihnya. Mengingat pelaksanaan pemilhan gubernur (pilgub) kali ini di wilayah Bali, penggunaan bahasa Bali menjadi pertimbangan kedekatan kandidat dan para pemilihnya. Pemakaian bahasa Indonesia tentu saja mengingat pengguna bahasa nasional di Bali juga sangat signifikan. Sehingga penggunaannya dapat menjangkau komunikasi dengan masyarakat dengan latar belakang bahasa yang beragam. Selain itu, baliho sebelah kiri juga memunculkan semboyan dalam bahasa Bali dengan ekspresi nangun sat kerthi loka Bali dengan sejumlah penjelasan dalam

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 89 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasa Indonesia. Setidaknya kandidat tersebut memberikan pemahaman dasar tentang semboyan berbahasa Bali yang mereka gunakan. Sedangkan pada baliho sebelah kanan justru lebih sederhana. Slogan yang digunakan berbunyi Nawacandra terwujudnya Bali Shanti dan Jagadhita. Slogan tersebut sangat singkat dan sudah memiliki tujuan yang pasti. Penggunaan Nawacandra lebih mengacu pada program pemerintah pusat yang mendeklarasikan program pembangunan yang dikenal dengan Nawacita. Secara umum, program pemerintah pusat Nawacita adalah program untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang berdaulat, mandiri, dan berbudaya. Hal itu juga yang menjadi pertimbangan kandidat nomor 2 mengambil model pembangunan serupa dengan penggunaan istilah Nawacandra.

SIMPULAN Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa model multikultural terdapat pada media kampanye luar ruang para calon gubernur (cagub) Bali. Multikultural yang paling mudah diperhatikan tentunya dapat disimak pada penggunaan informasi tertulis atau teks verbal. Penggunaan teks berbahasa Bali menjadi pilihan selain juga teks berbahasa Indonesia. Dalam hal ini penggunaan teks berbahasa Bali memiliki kedekatan dengan para pemilih yaitu masyarakat Bali. Sedangkan teks berbahasa Indonesia lebih banyak memberikan keleluasaan pemahaman terhadap masyarakat dengan latar belakang bahasa berbeda. Multikultural pada teks visual lebih banyak menekankan pada budaya Bali dengan konsep pemaknaan tentang dua hal berbeda dalam kehidupan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Dyer, Gillian. 1993. Advertising as Communication. New York: Routledge.

Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman.

Nunan, David. 1993. Discourse Analysis. London: Penguin English.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

MAKNA BAHASA FIGURATIF PADA LIRIK LAGU KISS FROM A ROSE OLEH SEAL

I Gusti Ayu Nila Wijayanti [email protected] Sekolah Tinggi Desain Bali

Abstract

Figurative language is language that uses words or expressions with a meaning that is different from literal interpretation. When a writer uses literal language, he or she is simply stating the facts as they are. Figurative language is very common in poetry, but is also used in prose and non fiction writing. The aims of this research are to find out the figurative language used in Kiss From a Rose song which is very popular in the era 90’s and sang by Seal and to analyze the contextual meaning of figurative language used in that song. This research used descriptive qualitative research method. The theory used in this research is theory figurative language.

Keywords: figurative language, types of figurative language, lyrics, contextual meaning.

I. PENDAHULUAN

Dalam mempelajari dan memahami bahasa, manusia tidak hanya mempelajari bentuk bahasanya saja namun harus juga dapat mengerti makna dari bahasa tersebut. Banyak cara yang dilakukan manusia untuk menyampaikan pesan dan ide kepada orang lain sehingga memudahkan orang lain untuk memahami maksud dan tujuan yang disampaikan. Dalam perkembangan bahasa, manusia juga menggunakan lagu sebagai media untuk menyampaikan pesan, perasaan, kritik sosial dan lain sebagainya kepada khalayak pendengar dan penikmat lagu tersebut. Hingga saat ini, lagu banyak digunakan sebagai alat untuk mengekpresikan rasa dan dituliskan dengan tema yang berbeda – beda mengacu kepada siapa pesan tersebut hendak disampaikan, sehingga tidak jarang sebuah lagu bisa dianggap sebagai propaganda untuk tujuan politik tertentu.

II. PEMBAHASAN

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 90 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 91 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sejauh yang kita ketahui, lagu merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Terkadang banyak orang gagal mengerti dan susah untuk memahami arti dari lirik yang diciptakan para pengarang lagu karena seorang pengarang lagu tentu menyampaikan isi hatinya tidak dengan cara konvensional melainkan kata kata yang digunakan sebagai syair lagu terkadang tersembunyi secara implisit dan menggunakan perumpamaan perumpamaan.

Sebuah lagu juga merupakan bagian dari karya sastra. Hatch (1995) berpendapat bahwa bahasa figuratif terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu; simile, metafora, hiperbola, personifikasi dan lain sebagainya. Simile digunakan untuk memberi perbandingan sesuatu hal dengan hal lainnya dengan menggunakan kata penghubung contohnya seperti, bagaikan, bak, layaknya, laksana, dll. Metafora didefinisikan sebagai pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Personifikasi adalah majas yang membandingkan sesuatu dari benda mati seolah-olah menjadi benda hidup. Hiperbola adalah majas perbandingan yang melukiskan sesuatu dengan kata kata yang lebih hebat. Kemudian yang terakhir yaitu paradoks, yaitu gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta yang ada. Berdasarkan uraian diatas maka, penulis ingin memaparkan tentang tipe bahasa figuratif dan makna kontekstual apakah yang digunakan pada lagu tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Nyoman (2009;47-48) bagian terpenting dari pendekatan kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi cultural. 2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berub. 3. Tidak ada jarak antara subjek penelitian dengan objek penelitian, subjek penelitiian sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya. 4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.

92 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing- masing.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode catat dan simak. Selanjutnya peneliti akan mencari kata yang mengandung makna kiasan dalam lagu tersebut. Kemudian data dianalisis untuk menentukan tipe bahasa figuratif yang digunakan seperti misalnya hiperbola, sinekdok, repetisi, simile dan sebagainya.

Lagu Kiss From a Rose oleh Seal 1. There used to be a graying tower alone on the sea, You personifikasi became the light on the dark side of me 2. Love remained a drug that’s the high and not the pill metafora 3. But did you know, that when it snows hiperbola My eyes became large and the light that you shine can be seen 4. Baby, i compare you to a kiss from a rose on the gray simile 5. Ooh, the more i get of you the stranger it feels, yeah paradoks 6. And now that your rose is in bloom, personifikasi A light hits the gloom on the gray

7. There is so much a man can tell you, so much he can say metafora You remain my power, my pleasure, my pain, baby

8. To me you’re like growing addiction that i can’t deny, simile Won’t you tell me is that healthy, baby?

Urutan lirik pada tabel diatas menjelaskan klasifikasi bahasa figuratif yang digunakan pada lagu Kiss from a rose. Terdapat 2 lirik menggunakan personifikasi, 2 lirik menggunakan metafora, 2 lirik menggunakan simile, 1 lirik menggunakan paradoks, dan 1 lirik menggunakan hiperbola. Analisis makna sangat diperlukan untuk memudahkan pendengar memahami isi dari lagu tersebut.

Lirik 1, there used to be a graying tower alone on the sea, you became the light on the dark side of me yang bisa diartikan bahwa dahulu ada menara kelabu sendiri di lautan, kau menjadi cahaya di dalam sisi gelapku. Pencipta lagu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 93 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 mengandaikan dirinya sebagai menara yang terapung ditengah lautan artinya seseorang yang kesepian kemudian hadir seseorang yang menjadi cahaya dalam hidupya, jadi sangat jelas bahwa penulis menggunakan personifasi pada lirik pertama tersebut.

Kemudian di lirik 2 berbunyi, love remained a drug that’s the high and not the pill. Dalam lirik kedua ini bisa diartikan bahwa cinta merupakan satu- satunya candu yang bisa membuat orang sakit menjadi sehat, bukan hanya obat yang bisa menyembuhkan, karena cinta memiliki dosis penyembuh yang sangat tinggi. Pada lirik kedua majas yang digunakan adalah majas metafora.

Di lirik 3, berbunyi but did you know, that when it snows, my eyes become a large and the light that you shine can be seen. Arti dari lirik ini adalah, tahukah kamu saat turun salju, mataku terbuka lebar dan cahaya yang kau pancarkan bisa terlihat. Pengertian dari lagu ini bahwa di saat sulit pun cinta bisa membuat si penulis lagu tersebut merasakan hangat dihatinya dan cinta membuat dia menjadi semangat dalam menjalani setiap kesulitan yang dialami, dan tampak jelas penggunaan majas hiperbola pada lirik ketiga ini.

Pada lirik ke 4 berbunyi, baby, i compare you to a kiss from a rose on the gray, artinya: kasih, aku mengumpamakanmu bagaikan kecupan dari mawar pengusir duka lara. Sangat jelas disana bahwa majas yang digunakan adalah majas simile karena ada penggunaan kata “compare” atau membandingkan sesuatu. Jadi makna lirik ke empat ini berarti kecupanmu bagaikan mawar yang bisa menghilangkan rasa duka lara. Karena mawar adalah bunga dari segala bunga dan bisa mewakilkan rasa bahagia.

Yang terakhir adalah lirik ke 7, yang berbunyi; there is so much a man can tell you, so much he can say. You remain my power, my pleasure, my pain. Arti dari lirik ini adalah, banyak yang bisa dikatakan seorang pria padamu, begitu banyak. Kau tetap kekuatanku, kebahagiaanku, dan sakitku. Metafora berarti ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis. Jadi makna yang bukan menggunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan. Dalam lirik ini dijelaskan bahwa cinta diibaratkan sebagai sumber kekuatan, bisa

94 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 juga sebagai sumber kebahagiaan namun juga bisa menjadi sumber malapetaka atau kesedihan bisa disebabkan oleh cinta itu sendiri.

III. KESIMPULAN Dari semua penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu yang terdapat pada lagu Kiss From a Rose mengandung bahasa figuratif. Lirik yang dibahas juga sangat terbatas karena tidak semua dapat diuraikan mengingat keterbatasan halaman. Terdapat beberapa penggunaan majas personifikasi, simile, hiperbola, paradoks, metafora. Makna kontekstual lirik lagu tersebut telah diuraikan pada pembahasan dan dapat juga disimpulkan bahwa banyak makna yang tidak mudah untuk dimengerti oleh para pendengar karena rumitnya kalimat kalimat yang digunakan pada lirik lagu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Imro’atul Husna. 2014. An Analysis on Figurative Language in Michael Jackson’s Song Lyric Heal the World. Banyuwangi: Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

Arifah, Khadijah. 2016. Thesis: Figurative Language Analysis in Five John Legend’s Song. Malang: Maulana Malik Ibrahim State University.

Hatch, Evelyn. M/ 1995. Vocabulary, Semantic and Language Education. Cambridge: University Press.

Kutha Ratna, Nyoman. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. https://www.azlyrics.com/lyric/seal/kissfromarose.html

BAHASA KIAS DAN PENGGUNAANNYA DALAM TUTURAN RESMI

I Ketut Darma Laksana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Penggunaan kiasan dalam sejumlah budaya di Indonesia dapat ditelusuri pada budaya suku bangsa Melayu yang tetap hidup hingga sekarang. Perhatikan misalnya adat-kebiasaan masyarakat Minang atau masyarakat Betawi (Jakarta) dalam acara peminangan mempelai perempuan selalu ditampilkan kiasan yang berupa pantun. Penggunaan bahasa kias memang menarik dan menghibur khalayak karena fungsinya yang dapat mengurangi ketegangan dan mengandung kesantunan. Dewasa ini, penggunaan kiasan ternyata telah merambah pada tuturan resmi yang berkonteks akademik ataupun non-akademik. Penggunaan kiasan pada konteks akademik ataupun nonakademik tidak terlepas dari unsur humoris penutur. Jadi, tidak setiap penutur akan menyelipkan kiasan dalam tuturannya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada upacara pembukaan dan/atau penutupan sebuah acara resmi atau event lainnya. Ada penutur yang bersikap lugu, tanpa “basa-basi”—jadi tampak serius--, namun ada yang selalu menampilkan sifat humorisnya.Untuk menyingkap ihwal penggunaan kiasan dalam tuturan resmi tersebut digunakan metode penelitian lapangan, penyimakan atas beberapa narasumber yang berhasil diwawancarai. Kemudian, analisis data dilakukan dengan memperbandingkan frekuensi kemunculan kiasan pada beberapa narasumber, bentuk kiasan yang digunakan, serta alasan penggunaannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui/mengukur “kepribadian” (personality) narasumber yang berasal dari budaya yang berbeda.

Kata kunci: kiasan, budaya, kepribadian

1. PENDAHULUAN Penggunaan bahasa kias ibarat peribahasa “Tak lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan”. Artinya, tetap tak berubah selamanya bahwa hampir sepanjang sejarah kehidupan manusia kiasan selalu menghiasi pertuturan. Lihat misalnya kehidupan masyarakat Minangkabau ataupun masyarakat Betawi (Jakarta), dalam perhelatan budaya masyarakatnya, seperti dalam acara peminangan/pernikahan, kiasan selalu mengiringi pelaksanaannya. Sesungguhnya, dalam budaya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 95 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 96 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masyarakat lainnya pun kiasan tampak diberdayakan karena fungsinya untuk mengurangi “ketegangan” suasana pertuturan. Dalam budaya Bali dikenal istilah sesenggakan yang juga hidup sampai sekarang. Pertanyaan yang sulit dijawab ialah mana yang memengaruhi penutur dalam penggunaan kiasan: bahasa daerah ataukah bahasa Indonesia. Jawaban atas pertanyaan ini harus dihubungkan, terutama, dengan dasar bahasa Indonesia, yakni bahasa Melayu. Seperti diketahui, peran Poejangga Baroe dan Balai Poestaka di masyarakat dan di bidang pendidikan ataupun persuratkabaran sangat memengaruhi penggunaan bahasa Indonesia (Masinambow dan Haenan, ed., 2002:34). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kiasan yang berasal dari pengarang (sastrawan) ataupun wartawan dari daerah asal mereka, yakni Minangkabau, Sumatra Barat, memengaruhi penggunaan kiasan dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam bidang kebahasaan, yaitu Politik Bahasa Nasional, khususnya dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara, kegiatan resmi, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik harus menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, dalam pertuturan resmi, kiasan yang muncul adalah kiasan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu (Sumatra Barat) itu, yang sudah disesuaikan dengan perkembangannya menjadi bahasa Indonesia modern.

1.1 Konsep Kiasan Kiasan atau disebut juga majas (figure of speech) adalah bentuk bahasa yang digunakan sebagai alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasikan dua hal (Kridalaksana, 1982:85). Dalam pertuturan, penggunaan kiasan (majas) mampu mengimbau pembaca karena sering lebih konkret daripada ungkapan yang harfiah (literal). Selain itu, kiasan (majas) sering lebih ringkas daripada padanannya yang terungkap dalam kata biasa (Moelono, 1989:175). Kiasan dalam makalah ini dibatasi bentuknya seperti peribahasa, pantun, dan ungkapan (idiom). Pembatasan ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman konsepsinya, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, Cetakan Ketiga,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 97 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Edisi IV, 2012), konsep “peribahasa”, “pantun”, dan “kiasan” memperlihatkan ketumpangtindihan dengan konsep “kiasan” yang diterapkan dalam makalah ini.

1.1.1 Peribahasa Peribahasa adalah sejenis kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu. Dalam KBBI tersebut di atas, contoh peribahasa diikuti oleh label singkatan pr. Sementara itu, contoh kiasan diikuti oleh label ki. Bandingkan kedua contoh di bawah ini: (1) Pucuk dicinta ulam tiba, pr. Artinya, ‘mendapat sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang diharapkan’. (2) Sebagai bumi dan langit, ki. Artinya, ‘banyak sekali bedanya’.

1.1.2 Pantun Pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap baris biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak a-b-a-b, tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk sampiran dan baris ketiga dan keempat merupakan isi, seperti contoh berikut: (3) Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi

Selain pantun yang terdiri atas empat baris, ada pula pantun kilat yang terdiri atas dua baris, bersajak a-a, masing-masing merupakan sampiran dan isi. Bahkan, ada pantun yang hanya satu baris. Bandingkan contoh kedua jenis pantun di bawah ini: (a) Pantun kilat (4) Di mana bumi dipijak Di sana langit dijunjung Artinya: ‘harus menyesuaikan diri dengan adat dan keadaan tempat tinggal’ (b) Pantun satu baris (5) Lain padang lain belalang Artinya: ‘Tiap-tiap negeri berlainan aturan dan adatnya’

1.1.3 Ungkapan (Idiom)

98 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur). Perhatikan contoh berikut: (6) Bumiku, istanaku Artinya: ‘tanah tumpah darah’ (7) Lempar handuk Artinya: ‘menyerah’

1.2 Konsep Mitigasi Bahasa kias yang terkandung dalam peribahasa, pantun, ataupun ungkapan berfungsi untuk menunjukkan kerendahan hati. Penggunaannya dapat meringankan/mengurangi ketegangan dalam situasi pertuturan. Dengan demikian, bahasa kias atau kiasan mengandung konsep mitigasi, fungsinya penting lebih-lebih dalam kegiatan yang “mengancam” pertemuan tatap muka. Selain itu, kiasan juga mengandung konsep “kesantunan” (lihat juga Gyasi-Obeng, 1996).

2. METODOLOGI 2.1 Pendekatan Pragmatik Penelitian ini membahas bahasa dengan maknanya yang tidak literal (figuratif). Sehubungan dengan itu, pemahaman atas tuturan yang muncul didasarkan atas “pendekatan pragmatik”. Kiasan yang digunakan oleh penutur sesungguhnya harus dipahami bahwa kata-kata di dalamnya mengandung makna yang “menyimpang” dari makna harfiah. Oleh karena itu, unsur bahasa dalam kiasan dikatakan sebagai “improper collocation of lexical item”. Misalnya, dalam bahasa Inggris ada kiasan yang berbunyi “Green ideas sleep furiously”, dikiaskan kepada seseorang yang memiliki ide cemerlang tetapi tidak diekspos (Levin, 1979:4). Secara semantis, kata, kelompok kata, atau kalimat yang bermakna literal (harfiah) mengandung “nilai kebenaran” (truth value). Sementara itu, secara pragmatis, kata, kelompok kata, atau kalimat mengandung makna yang tidak bernilai kebenaran. Dengan demikian, pragmatik dapat diartikan sebagai “Semantik minus Nilai Kebenaran” (Soemarmo, 1987:9). Karena pemaknaan pragmatik seperti itu, para ahli pragmatik menyebutnya sebagai sebuah kajian bahasa dalam konteks.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 99 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Selanjutnya, pemahaman karakter dan/atau kepribadian para penutur yang menggunakan kiasan dapat diukur dari kesamaan dan/atau perbedaan pandangan/alasan penutur. Caranya ialah dengan melihat kesamaan atau perbedaan apakah penutur sama-sama memiliki “struktur dasar kepribadian” (basic structure of personality). Jika ya, maka terwujud apa yang dinamakan “karakter”. Jika karakter penutur itu lingkupnya luas, misalnya bangsa, maka lahirlah “karakter nasional”.

2.2. Data Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara menyimak tuturan yang mengandung kiasan yang disampaikan oleh penutur pada saat acara resmi, seperti acara pembukaan atau penutupan seminar, acara penerimaan mahasiswa baru (terutama mahasiswa pascasarjana yang berasal dari luar Bali), acara wisuda, dan sejenisnya. Selain itu, data penelitian juga diperoleh dari tulisan berupa buku, terutama dalam bagian pengantarnya.

3. PEMBAHASAN Kiasan yang ditemukan dalam penelitian ini berturut-turut dapat disajikn dibawah ini. 3.1 Bentuk, Makna, dan Fungsi Kiasan 3.1.1 Peribahasa (8) Tak ada gading yang tak retak Artinya: ‘Tak ada sesuatu yang tidak ada cacatnya’

Melalui peribahasa di atas penutur/penulis berharap ada masukan dari para pendengar/pembaca dalam upaya perbaikan dan penyempurnaan apa telah dikerjakan saat ini. Harapan penutur/penulis ialah bahwa pada masa yang akan datang dapat diperoleh hasil yang lebih baik. (9) Tak lekang disengat panas, dan tak lapuk dimakan hujan (Catatan: pilihan kata peribahasa ini hasil bentukan penutur/penulis yang berbeda dari peribahasa yang ada di buku/kamus). Penutur/penulis ingin menyampaikan tentang kandungan sebuah kitab suci (Alquran) yang tidak akan pernah pudar atau ketinggalan zaman. Oleh karena itu, generasi muda (muslim) harus peka akan perubahan zaman.

100 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.1.2 Pantun 3.1.2.1 Pantun Empat Baris Pantun empat baris yang ditemukan adalah sebagai berikut: (10) Jika ada jarum yang patah Jangan disimpan di dalam peti Jika ada kata-kata yang salah Jangan disimpan di dalam hati (11) Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi

Pantun (10) di atas penuh dengan makna merendah atas kemungkinan kesalahan yang diperbuat. Pendengar merasa terangkat/tersanjung akan kesantunan yang ditunjukkan oleh pembicara. Sementara itu, pantun (11) penutur dengan penuh harapan dapat berjumpa lagi pada kesempatan lain.

3.1.2.2 Pantun Dua Baris Pantun dua baris juga dituturkan oleh seseorang, seperti contoh di bawah ini. (12) Lain ladang lain belalang Lain lubuk lain ikannya Artinya: ‘Tiap-tiap negeri ada adat istiadatnya sendiri’

Pantun dua baris di atas dimaksudkan oleh penutur untuk menyampaikan pesan bahwa bangsa kita, Indonesia, bersifat bineka. Oleh karena itu, masing- masing warga bangsa harus saling untuk menjaga kebinekaan itu.

3.1.2.3 Pantun Satu Baris Selain kedua jenis pantun tersebut di atas ditemukan pula jenis pantun satu baris seperti contoh di bawah ini. (13) Lain padang lain belalang Artinya: ‘Tiap-tiap negeri berlainan aturan dan adatnya’ Pantun satu baris ini maknanya sama dengan pantun dua baris tersebut di atas.

3.1.3 Ungkapan (Idiom) Ungkapan yang ditemukan dalam tuturan resmi adalah sebagai berikut: (14) Sebagai bumi dan langit Artinya; ‘Banyak sekali bedanya’

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 101 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(15) gigit jari Artinya: ‘kecewa’ (karena yang diharapkan tidak dapat)’

Ungkapan (14) dituturkan untuk maksud membandingkan dua hal yang banyak sekali bedanya’, sedangkan ungkapan (15) dituturkan untuk maksud kekecewaan yang dialami karena tidak berhasil dalam suatu usaha. Hal lain yang perlu diungkap di sini ialah perkembangan kiasan yang mengambil/meniru bunyi iklan seperti di bawah ini. (16) Apa pun makannya minumnya …

Ungkapan ini dituturkan oleh pengamat politik pada acara debat tentang Pilpres 2019 (Kompas Tv, medio Maret, 2018). Ungkapan ini dikaitkan dengan pilihan seseorang pada tokoh idolanya. Dampak dari ungkapan tersebut benar-benar “memecah” suasana yang tegang dalam diskusi. Inilah bukti bahwa kiasan berfungsi untuk mengurangi ketegangan yang terjadi di antara penutur.

3.2 Karakter Penutur Para penutur yang menyelipkan kiasan (peribahasa, pantun, dan kiasan) dalam tuturannya memperlihatkan kesamaan struktur kepribadian dasar. Berdasarkan data yang terkumpul yang berasal dari berbagai profesi, seperti dosen, ahli hukum, ahli politik, dan tokoh agama, semuanya mempunyai alasan yang sama, yakni suasana tegang/serius perlu diselingi dengan “humor”agar terjadi keimbangan antara hati dan perkataan. Sehubungan dengan itu, dapat ditarik pemahaman bahwa orang Indonesia memperlihatkan karakter yang sama, yaitu karakter nasional/bangsa, yang tetap menjaga hubungan sosial yang harmonis. Banyak hal yang digunakan dalam upaya menjaga karakter bangsa itu, salah satu di antaranya adalah penggunaan kiasan.

4. SIMPULAN Kiasan tidak saja berfungsi mitigasi, mengurangi ketegangan dalam pertuturan, tetapi juga mengandung fungsi kesantunan. Fungsi penggunaan kiasan seperti itu berkaitan dengan kesepakatan bersama penutur agar persaudaraan yang terbentuk dari kebinekaan bangsa tetap terjaga.

102 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi IV. Jakarta: PT Gamedia.

Gyasi-Obeng, S. 1996. “The Proverb as a Mitigating and Politeness Strategy in Akan Discourse”. Anthropological Linguistics, Vol. 38, No. 3. Bloomington-Indiana: American Indian Studies Research Institute, Departement of Anthropology.

Hanafi, Muchlis M. 2012. “Kata Pengantar Ketua Tim Penyusun Tafsir Tematik Kementerian Agama RI”. Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Quran Tematik. Seri 4. Jakarta: Lajnah Pentastihan Mushaf Al-Quran, hlm. xix— xxviii.

Harris, M. 1991. Cultural Anthropology. Edisi Ketiga. New York: Harfer Collins Publisher.

Kridalaksana, H. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Levin, Samuel R. 1979. The Semantics of Metaphor. Baltimore dan London: The John Hopkins University Press.

Moeliono, A.M. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: PT Gramedia.

Soemarno, Marmo. 1987. “Pragmatik dan Perkembangan Mutahirnya”. Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. PELBA I 1-2 September.

Wallace, A.F.C. 1970. Culture and Personality. New York: Random House.

RESI WISWAMITRA MENGUJI KEBIJAKAN SANG DASARARTHA SEBAGAI PEMIMPIN

Oleh: I Ketut Jirnaya Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Kakawin Ramayana merupakan salah satu karya sastra Jawa Kuno yang terkenal karena kisahnya panjang, penuh keindahan, dan padat nilai filofi. Bannyak sarjana telah mengkajinya untuk mengungkap nilai yang dikandungnya. Walaupun demikian, masih banyak ruang untuk mengkajinya kembali. Salah satu masalah yang belum pernah dikaji, yaitu dialog antara raja Dasaratha dengan Resi Wiswamitra. Apa isi dialognya, kenapa terjadi dialog, bagaimana raja Dasaratha bersikap? Hal ini akan dikaji dengan memakai teori estetika resepsi. Data yang dikaji diperoleh dari bacaan teks kemudian dipilih bait-bait yang mendukung untuk dikaji. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa walaupun raja Dasaratha terkenal bijak, namun masih kurang sempurna. Kesempurnaannya diperoleh berkat penyadaran dari Resi Wiswamitra.

Kata kunci: pemimpin, bijak, demokratis, terbuka.

1. Pendahuluan

Kisah Rama (Ramayana) merupakan kisah dua tokoh dalam epos besar Ramayana, yakni Rama dan Dewi Sita. Perjalanan cinta dua sejoli itu penuh liku- liku, suka dan duka, yang kemudian berakhir pilu. Dewi Sita disangsikan kesuciannya setelah dibekap oleh Rahwana, akhirnya Dewi Sita dijemput oleh Ibu Pertiwi dengan masuk ke perut bumi selamanya. Kisah ini sudah dikenal ribuan tahun dan sampai saat ini masih eksis, disenangi, dan digali terus nilai-nilai humanis yang terdapat di dalamnya.

Para sarjana sastra di berbagai belahan dunia tidak pernah bosan mengkaji bait-demi bait kisah Rama secara ilmiah dari sudut pandang ilmu sastra tentunya. Walaupun demikian, masih banyak celah yang dapat dikaji untuk menemukan nilai

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 103 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 104 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang terkandung di dalamnya dan diaplikasikan di dalam kehidupan. Pada kesempatan ini akan dikaji episode pertemuan yang sarat dengan dialog antara Sang Dasaratha dengan Resi Wiswamitra. Ada sejumlah masalah yang akan dikaji, yaitu: bagaimana dialog kedua tokoh tersebut? Kenapa Resi Wiswamitra ngotot dan berani kepada Sang Dasaratha, sedangkan Sang Dasaratha diketahui sebagai raja diraja? Bagaimana Sikap Sang Dasaratha menghadapi Resi Wiswamitra? Semua permasalahan itu akan dikompilasi secara deskriptif, artinya tidak dimunculkan sebagai masalah tersebdiri yang berupa bab, seperti penelitian yang cakupannya luas untuk memperoleh hasil yang maksimal, kajian ini akan memakai teori estetika resepsi (Fokkema, 1977; Jauss, 1983;Teeuw, 1984; Isser, 1987). Pengadaan data yang dikaji diperoleh dengan membaca teks berulang-ulang secara cermat. Semakin dalam teks dibaca semakin muncul makna yang ada dalam teks tersebut (Riffaterre, 1978).

2. Pembahasan

Kakawin Ramayana (setelah diadaptif) di Indonesia merupakan karya sastra Jawa Kuno dalam bentuk kakawin yang paling tua, panjang, dan populer. Hooykaas (1955, 1957) mengakui kakawin Ramayana sebagai “adikakawin” ‘kakawin pertama dan teladan’. Di hati penikmat sastra tradisional selalu menduduki tempat terhormat (Zoetmulder, 1983: 277). Jika dilihat dari persepsi masyarakat, khususnya di Bali, kakawin Ramayana telah mengalami penulisan kembali berulang-ulang dengan media yang bermacam-macam pula. Penyalinan kakawin Ramayana dengan media daun lontar jumlahnya ratusan buah naskah. Demikian pula penyalinan dengan media kertas atau buku, juga jumlahnya ratusan buku, seperti yang diterbitkan Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah tingkat I Bali (1986). Terakhir terbitan Perpustakaan Nasional RI (2010).

Walau telah menarik minat para peneliti sastra tradisional, dalam estetika resepsi Jauss (1983) bahwa kakawin Ramayana tidak ubahnya bagaikan orchestra yang selalu menyuarakan suara terbaru kepada pembacanya setiap periode dari generasi ke generasi untuk member tanggapan dan pemaknaan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 105 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sang Dasaratha terkenal sebagai seorang raja yang bijak (divya). Beliau tidak gegabah mengambil keputusan ketika ada hal penting harus diputuskan. Beliau harus mendalami persoalan dengan seksama. Hal ini ditunjukkan ketika ada seorang Pendeta (Resi) bernama Resi Wiswamitra datang untuk meminta pertolongan agar Pasraman tempat beliau bertapa dijaga dari gangguan para raksasa.

Patapan nira ya manaņa, Dening rakṣasa krura karma, Mahyun ta sira rinakṣa, Patapan nira de nirang Rāma. (KRY, I. 39).

Terjemahannya:

Pertapaan beliau ya dibencanai, Oleh raksasa yang buas dan jahat, Berkeinginanlah beliau dijaga, Pertapaan beliau oleh beliau sang Rama.

Naratha sang Daaratha, Sira pinaran de nirang mahṛsi wara, Ghorawa sang prabhu pinaran, Pranatha manĕmbah sirānungsung. (KRY, I. 40)

Terjemahannya:

Sang prabu Dasaratha, Beliau didatangi dan dipilh oleh sang Pendeta, Sangat hormat sang prabu dihadap, Tunduk dan menyembah beliau menyongsong.

Di dalam hubungan hirarki, seorang pendeta termasuk rakyat atau bawahan raja, namun mendapat tugas dalam pengembangan agama di dalam sebuah kerajaan. Sang Dasaratha sadar yang datang menghadap adalah tamu lebih-lebih lagi di-tuakan. Itu sebabnya beliau sang Dasaratha sangat hormat sampai menunduk menyongsong tamu suci yang datang menghadap. Tidak ada sifat arogansi sebagai penguasa terhadap bawahannya. Sifat dan sikap ini perlu ditauladani di dalam kehidupan nyata.

106 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Apa don i sang mahaṛsi, Kita jaya ring mantra, siddha sakahyun, Tattwa linolyan ta lana, Yatita mulya ri ṛsi kadi kita. (KRY, I. 41)

Terjemahannya:

Apa tujuan sang pendeta, Engkau ahli dalam mantra, berhasil apa yang diinginkan, Filsapat selalu menjadi kesenangan, Itu yang mulia bagi pendeta sepertimu.

Demikian sang raja Dasaratha mengawali dialog dengan menanyakan tujuan kedatangan pendeta tersebut. Di samping itu, sang raja memuji sang pendeta. Sang Resi Wiswamitra lalu menyampaikan tujuan kedatangannya.

He natha sang Daaratha, Mojarku rĕngönta yatna pituhunya, Yan tan yogya kṣama ya, Jatining aswi maminta kāsih. (KRY, I. 46)

Terjemahannya:

He raja sang Dasaratha, Dengarkan kataku dan percaya akan kebenarannya, Jika tidak benar maafkan itu, Sesungguhnya dengan memaksa meminta kasih.

Resi Wiswamitra sebagai tamu yang dihormati dan merasa posisi sebagai orang tua berkata dengan bijak. Walaupun sesungguhnya dengan memaksa memohon kasih, tetapi tetap merendah. Selanjutnya Resi Wiswamitra mengutarakan kebijakan seorang raja yang salah satunya harus melindungi semua rakyatnya. Bagi Resi Wiswamitra belum merasakan keadilan dari raja Dasaratha. Beliau tidak sungkan-sungkan menyampaikan hal itu pada raja. Artinya ketika rakyat memiliki masalah, wajib menyampaikan kepada raja atau pemimpin.

Nya dharmaning kadi kita, Pinaka araṇa de nirang tapaswi kabeh, Salwiraning katakuta, Kita tang rakṣa ri duhka kabeh. (KRY, I. 47)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 107 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahannya:

Inilah kewajiban bagi tuanku, Dipakai sarana oleh para pertapa semua, Segala hal yang ditakutkan, Engkaulah yang patut menjaga dari semua kedukaan.

Nya dharmaning kadi mami, Mawaraha kita ring sinanggwan dharma, Punya lawan papa kunang, Kami mawaraha kadi kiteng yukti. (KRY, I. 48)

Terjemahannya:

Inilah kewajiban kami, Memberitahu tuan yang hal yang wajib, Hal yang baik maupun yang buruk, Kami menyampaikan dengan sebenarnya.

Pada bait di atas dengan jelas Resi Wiswamitra menjelaskan kewajiban raja sebagai pelindung dan kewajiban rakyat menyampaikan masalah yang menimpa, namun didasari atas kejujuran. Brahmana Kṣatryan madulur, Jatinya parasparopasarpanaya, Wiku tanpa natha ya ilang, Tanpa wiku kunang ratwa irṇa. (KRY, I. 49)

Terjemahannya:

Brahmana dan Ksatria beriringan, Sesungguhnya saling isi dan melengkapi, Pendeta tanpa adanya raja sama dengan hilang, Raja tanpa pendeta konon kerajaan itu punah.

Penjelasan Resi Wiswamitra terkait hubungan hirarki raja dengan pendeta maupun Ksatria. Di dalam kepercayaan Hindu ada yang disebut dengan Catur Warna, yaitu empat golongan yang memiliki fungsi masing-masing. 1. Brahmana, bertugas mensejahterakan rakyat melalui ilmu pengetahuan rohani dan mengembangkan agama; 2. Ksatria, bertugas menjalankan pemerintahan; 3. Wesya, bertugas menjalankan perekonomian;

108 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. Kawula (Sudra?) sebagai rakyat kebanyakan bertugas pada semua bidang dalam wujud kerjasama untuk membina kesejahteraan masyarakat, Negara, dan umat manusia (Upadesa, 1968: 55). Hal ini ditegaskan kembali oleh Resi Wiswamitra terutama posisi pendeta di dalam kerajaan. Pendeta merupakan pendamping raja yang akan bertugas membangun mental spiritual negara sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan. Bukan seorang pendeta dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mengacaukan negara demi uang dan kedudukan. Kedatangan Resi Wiswamitra sesungguhnya meminta putra raja Dasaratha, yakni sang Rama untuk menjaga pertapaan dan memerangi raksasa jahat tersebut. Pendeta Wiswamitra mendengar kesaktian dan kemampuan sang Rama walau beliau sang Rama masih tergolong anak-anak. Alangkah terkejutnya raja Dasaratha ketika Resi Wiswamitra menyampaikan hal itu karena raja Dasaratha masih sangat sayang kepada putra beliau yang masih anak-anak. Na ling mahaṛsi mojar, Humĕnĕng atah narendra mangĕn-angĕn, Dolaya manacitta, Kepwan sira tar wĕnang sumahur. (KRY, I. 52)

Terjemahannya:

Demikian sang pendeta berkata, Diam membisu sang raja berpikir-pikir, Diam dan bersedih hatinya, Beliau bingung tidak kuasa menjawab.

Di dalam kebisuan sang raja Dasaratha, terbersit pikiran tentang putranya yang masih anak-anak akan menanggung resiko amat besar, yakni berperang melawan raksasa buas dan jahat. Tentu keselamatan putra beliau yang sangat dikhawatirkan. Ndan lakweki sirāma Lumage musuh mahaṛsi ring patapan, Pĕjah hawas ya kĕsambya, Apan rare tan wruhing bisama. (KRY, I. 53).

Terjemahannya:

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 109 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Jika sang Rama jadi berangkat, Memerangi musuh pendeta di pertapaan, Tentu putraku akan mati tersambit, Karena masih anak-anak tidak tahu akan bahaya.

Tuhu yan wĕruh ya ri āstra, Ndatan tahu manglage musuh bisama, Rakṣasa maya ya kabeh, Lawan para cidra yan paprang. (KRY, I. 54)

Terjemahannya:

Sungguh dia tahu dengan ilmu senjata, Tetapi belum tahu memerangi musuh yang berbahaya, Musuhnya semua raksasa siluman (bisa tampak dan bisa tidak), Lagi pula curang di dalam peperangan.

Demikian alur aliran pikiran raja Dasartha. Di satu sisi berat hati melepas putranya karena masih sangat saying. Pada sisi lain takut jika tidak mengindahkan permintaan sang pendeta. Beliau Resi Wiswamitra dikhawatirkan akan marah krodha siran salahasan ‘marah salah terima”. Tentu beliau akan mengutuk kita semua byakta kami kabeh cinapa nira . Akhirnya diputuskan oleh raja Dasaratha mengijinkan putranya dipakai pelindung oleh para pendeta pertapa. Dadi tusta sang maharsi ‘Jadi senanglah sang pendeta’.

3. Simpulan

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Raja Dasaratha terkenal sakti dan bijak, terbuka untuk rakyatnya ketika ingin menyampaikan sesuatu atau berdialog. 2. Kesempurnaan seorang raja Dasaratha setelah diisi oleh Resi Wiswamitra tentang kewajiban seorang pemimpin dan mau mendengarkan dan menerimanya. 3. Seorang raja atau pemimpin harus mengedepankan keselamatan rakyat dan bukan mengedepankan kebahagiaan keluarga.

110 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1968. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Parisada Hindu Dharma.

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Tweentieth Century , Structuralism, Marxism, Aesthetics of Reception, Semiotics. London: C. Hurst & Company.

Hooykaas. C. 1955. “The Old Javanese Ramayana Kakawin”. VKI 15. Isser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading, a theory of Aesthetic Response. Baltimore and London: The Jhons Hopkins University Press.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teory Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Warna, I Wayan. dkk. 1986. Ramayana I. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

KALIMAT EFEKTIF DALAM KARANGAN ILMIAH SISWA SMA SURYA WISATA KEDIRI, KECAMATAN KEDIRI, KABUPATEN TABANAN

Oleh: I Ketut Nama [email protected] PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

Abstrak

Kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat efektif lebih mengutamakan keefektifan kalimat tersebut sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin (Arifin dan Amran Tasai, 1987:114). Dalam menyusun karangan ilmiah, wajib hukumnya bagi penulis untuk menyusunnya dengan kalimat efektif selain menerapkan kaidah tata tulis ilmiah lainnya, seperti tata bahasa, kosakata, dan ejaan. Dalam tulisan ini akan dianalisis pemakaian kalimat efektif dalam karangan ilmiah siswa SMA Surya Wisata Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah field research, yakni terjun langsung ke lapangan, ke SMA Surya Wisata Kediri dengan menugaskan para siswa, khususnya para siswa yang memilih kegiatan ekstrakurikuler penulisan karya ilmiah, untuk menyusun karangan ilmiah yang berupa karangan deskripsi. Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi dan klasifikasi, kemudian ditentukan korelasinya sesuai dengan maksud penelitian. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa secara umum para siswa sudah mampu menyusun kalimat efektif. Namun dalam beberapa hal, masih ditemukan adanya kekurangan atau kesalahan, yakni di antaranya : a) kalimat yang tidak sepadan, b) kalimat yang tidak padu, c) kalimat yang tidak hemat, dan d) kalimat yang tidak logis.

Kata kunci: karangan ilmiah, karangan deskripsi, kalimat efektif

1. Pendahuluan

Karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar. Karangan ilmiah harus ditulis secara jujur dan akurat berdasarkan kebenaran tanpa mengingat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 111 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 112 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 akibatnya (Brotowijoyo dalam Arifin, 1987:1). Kebenaran dalam sebuah karya ilmiah bukan merupakan kebenaran normatif, melainkan kebenaran objektif dan positif sesuai dengan data dan fakta di lapangan. Karangan (karya tulis) ilmiah merupakan karangan yang berisi gagasan yang disajikan dengan menggunakan bentuk dan bahasa ilmiah. Selain karangan ilmiah (nonfiksi), ada pula karangan fiksi (nonilmiah). Kedua jenis tulisan ini dibedakan oleh sistematika dan pemakaian bahasanya. Tulisan nonilmiah (fiksi) cenderung menggunakan bahasa nonbaku karena lebih mementingkan “kebebasan” dalam menuangkan ide. Sedangkan tulisan ilmiah tidak hanya mementingkan kekomunikatifan, tetapi juga kebenarannya. Tulisan jenis ini berlaku di kalangan ilmuwan yang menjunjung tinggi nilai dan kaidah yang baku dan tulisan jenis ini harus menggunakan bahasa Indonesia baku (standar) (Sukartha dkk., 2017:83). Beranjak dari pemaparan di atas dapat disebutkan bahwa dalam tulisan (karangan) ilmiah tersebut wajib diterapkan kaidah penulisan yang baku, di antaranya kosakata yang baku, tata bahasa, dan tata kalimat, termasuk pembentukan kalimat efektif. Dalam tulisan singkat ini akan dianalisis pemakaian kalimat efektif dalam karangan ilmiah siswa SMA Surya Wisata Kediri, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, khususnya dalam karangan ilmiah yang bersifat deskriptif. Dipilihnya karangan siswa SMA Surya Wisata Kediri dijadikan sebagai objek penelitian adalah karena siswa tersebut mendapat pendidikan plus di bidang pariwisata. Pelajaran tentang memandu wisata terkait erat dengan cara-cara mendeskripsikan tentang suatu objek wisata dan hal ini gayut dengan karangan deskripsi. Apakah mereka sudah bisa menerapkan kaidah kalimat efektif dalam karangannya? Hal inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah field research, yakni terjun langsung ke lapangan, ke SMA Surya Wisata Kediri dengan menugaskan para siswa, khususnya para siswa yang memilih kegiatan ekstrakurikuler di bidang penulisan ilmiah, untuk menyusun karangan ilmiah yang berupa karangan deskripsi. Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi dan klasifikasi, kemudian ditentukan korelasinya sesuai dengan maksud penelitian.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 113 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2. Pembahasan

Sebelum menganalisis pemakaian kalimat efektif dalam karangan deskriptif siswa SMA Surya Wisata, akan dipaparkan tentang konsep kalimat efektif. Keraf (1989:35) menyebutkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan atau tenaga untuk menimbukan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca identik dengan apa yang dipikirkan pembicara atau penulis. Sejalan dengan Keraf, Arifin dan Amran Tasai (1987:11) mengungkapkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat efektif lebih mengutamakan keefektifan kalimat tersebut sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin. Terkait dengan pemakaian kalimat efektif dalam bahasa tulis, Suparno dan Muhamad Yunus (2007:2.1) menyebutkan sebagai berikut. Dalam penggunaan bahasa tulis, kalimat efektif menjadi unsur pengungkap gagasan yang penting dan strategis. Kalimat efektif menjadi unsur yang berguna untuk menghindari kesalahan pemahaman pembaca. Kesalahan pemahaman itu tidak dapat dikendalikan karena pembaca tidak berhadapan dengan penulis. Pembaca hanya dihadapkan dengan teks tulis. Kehadiran pembaca hanya diwakili oleh teks tulis itu. Hal ini sangat berbeda dengan penggunaan bahasa lisan. Dalam penggunaan bahasa lisan, kesalahan pemahaman pendengar dapat dikendalikan karena sangat mungkin pembicara mengetahui segera adanya kesalahan itu. Dengan demikian, pembicara dapat memberikan koreksi kesalahan pemahaman itu dengan mengungkapkan kembali gagasannya dengan kalimat yang lebih jelas, atau dengan memberikan penjelasan tambahan.

Agar kalimat yang dibuat dapat memberi informasi kepada pembaca secara tepat seperti yang diharapkan oleh penulis (efektif) perlu diperhatikan beberapa persyaratan, di antaranya: (1) kesatuan gagasan (kesepadanan); (2) kepaduan; (3) keparalelan (kesejajaran); (4) ketegasan; (5) kehematan; (6) penekanan; dan (7) kelogisan. Sehubungan dengan persyaratan kalimat efektif seperti di atas, dalam karangan deskripsi para siswa SMA Surya Wisata Kediri ditemukan beberapa ketidaksesuaian dengan persyaratan di atas, di antaranya : (1) kalimat yang tidak

114 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sepadan; (2) kalimat yang tidak padu; (3) kalimat yang tidak hemat; dan (4) kalimat yang tidak logis. Hal ini akan dianalisis di bawah ini. Kalimat tidak sepadan dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “Taman Ayun”. Pada paragraf I, kalimat ke-3 tertulis sebagai berikut. 1. Di pura ini merupakan tempat untuk memuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi. Yang dimaksud dengan kesepanan adalah keseimbangan antara pikiran (gagasan) dengan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan suatu kalimat dicirikan oleh kehadiran subjek dan predikat secara jelas. Kejelasan subjek dan predikat suatu kalimat antara lain dapat dilakukan dengan menghindarkan pemakaian kata depan di, dalam, bagi, untuk, dan sebagainya di depan subjek (Arifin dan Amran Tasai, 1987: 114). Kalimat (1) di atas tidak menunjukkan kejelasan hubungan antara subjek dan predikat. Kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat efektif yang menunjukkan unsur kesepadanan dengan menghilangkan kata depan di di depan subjek, sehingga kalimat tersebut menjadi kalimat seperti di bawah ini. 1a. Pura ini merupakan tempat untuk memuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi. Atau diubah bentuknya menjadi kalimat pasif, seperti 1b di bawah ini. 1b. Di pura ini dipuja roh-roh leluhur raja-raja Mengwi. Berikutnya, pemakaian kalimat yang tidak padu dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “Pantai Pandawa”. Pada awal paragraf ketiga (terkhir) tertulis kalimat sebagai berikut. 2. Selain itu tujuan wisata dan olahraga air, pantai ini juga dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut….

Yang dimaksud dengan kepaduan pada kalimat efektif adalah hubungan timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang membentuk kalimat itu. Bagaimana hubungan antara subjek dan predikat, hubungan antara predikat dan objek, serta keterangan-keterangan lain yang menjelaskan tiap-tiap unsur tersebut (Keraf, 1989:38). Lebih lanjut disebutkan bahwa yang dapat merusak koherensi (kepaduan) kalimat antara lain adalah pemakaian kata, baik karena merangkaikan dua kata yang maknanya tidak tumpang tindih, atau hakikatnya mengandung kontradiksi.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 115 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada kalimat 2 di atas terdapat pemakaian kata itu yang maknanya tumpang tindih dengan keterangan tujuan wisata dan olah raga air. Dengan demikian, kalimat tersebut dapat diubah atau diperbaiki menjadi kalimat 2a atau 2b di bawah ini. 2a. Selain tujuan wisata dan olahraga air, pantai ini juga dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut…

2b. Selain itu, pantai ini juga dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut….

Kalimat tidak hemat dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “Alas Kedaton” dan “ Berlibur ke Pantai”. Adapun kalimat tersebut adalah sebagai berikut. 3. Tetapi, meskipun monyetnya ramah, mereka terlihat sangat galak…. 4. Setelah aku sampai di Pantai Kedungu, akupun langsung berenang di pantai…. 5. Sebelum masuk ke daerah pura atau hutan kera, pengunjung akan melihat banyak pedagang-pedagang yang menjual souvenir atau cendera mata.

Kehematan dalam kalimat efektif ialah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat menambah kejelasan kalimat. Penghematan yang dimaksud adalah penghematan terhadap kata yang tidak diperlukan, sejauh tidak menyalahi kaidah tata bahasa (Arifin dan Amran Tasai, 1987: 118). Lebih lanjut disebutkan bahwa beberapa kriteria yang dapat dilakukan, antara lain dengan cara menghilangkan pengulangan subjek dan tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak. Pada kalimat 3 dan 4 karangan siswa di atas terdapat pengulangan subjek. Ada ketentuan bahwa pada kalimat majemuk bertingkat, apabila subjek anak kalimat sama dengan subjek induk kalimat, maka subjek pada anak kalimat bisa dilesapkan atau tidak dimunculkan agar tidak terjadi pengulangan subjek. Kalimat 3 dan 4 tersebut akan menjadi efektif atau perbaikannya menjadi kalimat 3a dan 4a di bawah ini. 3a. Tetapi meskipun ramah, mereka terlihat sangat galak…. 4a. Setelah sampai di Pantai Kedungu, aku pun langsung berenang di pantai ….

116 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kalimat 5 di atas dapat dihemat dengan tidak menggunakan bentuk ulang pada kata pedagang-pedagang sebab sudah didahului oleh kata banyak, sehingga perbaikannya menjadi kalimat 5a di bawah ini. 5a. Sebelum masuk ke daerah pura atau hutan kera, pengunjung akan melihat banyak pedagang yang menjual souvenir atau cendera mata.

Selanjutnya, kalimat tidak logis dijumpai pada karangan siswa yang berjudul “SMA Surya Wisata”. Kalimatnya seperti berikut ini. 6. SMA Surya Wisata adalah sekolah swasta dan satu-satunya SMA yang memiliki pelajaran pariwisata selain itu di sini juga mendapat dua ijazah yaitu ijazah umum dan sertifikat pariwisata.

Yang dimaksud kelogisan ialah ide kalimat tersebut dapat diterima oleh akal. Kalimat 6 di atas kurang logis dan dapat diperbaiki seperti di bawah ini. 6a. SMA Surya Wisata adalah sekolah swasta dan satu-satunya sekolah yang memberikan pelajaran plus di bidang pariwisata. Selain itu, tamatannya mendapat dua ijazah, yaitu ijazah umum dan sertifikat pariwisata.

3. Penutup

Beranjak dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa pada karangan ilmiah siswa SMA Surya Wisata yang bersifat deskripsi tersebut sebagian besar sudah sesuai dengan kaidah penulisan karangan ilmiah. Akan tetapi, dalam beberapa hal masih dijumpai pemakaian kaidah yang kurang benar, misalnya pemakaian ejaannya, pilihan kata, dan penerapan kaidah kalimat efektif. Adapun kekurangan dalam menerapkan kaidah kalimat efektif, di antaranya masih dijumpai: (1) kalimat yang tidak sepadan, (2) kalimat yang tidak padu, (3) kalimat yang tidak hemat, dan (4) kalimat yang tidak logis.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E. Zaenal. 1987. Penulisan Karangan Ilmiah dengan Bahasa Indonesia yang Benar: Pedoman Praktis untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Melton Putra. Arifin,E. Zaenal dan Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Melton Putra. Bawa, I Wayan. 1989. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surabaya: Himsa Jaya. Keraf, Gorys. 1989. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa (Cet. VIII). Ende Flores: Nusa Indah.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 117 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sukartha, I Nengah dkk..2017. Bahasa Indonesia Akademik untuk Perguruan Tinggi.Denpasar: Udayana University Press. Suparno dan Mohamad Yunus. 2007. Keterampilan Dasar Menulis (Cet. XIV). Jakarta: Universitas Terbuka.

IKONISITAS SEKSUAL DALAM KUMPULAN CERPEN CAONARANG KARYA MADE SUARSA

Oleh I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika, Luh Putu Puspawati Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Kumpulan cerpen Calonarang merupakan salah satu kumpulan cerpen berbahasa Bali yang berisikan enam belas buah cerpen. Keenam belas cerpen itu semuanya menggunakan judul Calonarang. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kekhasan cerpen tersebut dari segi bahasa dengan cara pengungkapan yang khas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan kemiripan bentuk fonologis sebagai diksi yang khas, estetis literer sehingga makna teks dapat dipahami secara komprehensif. Ada tiga tahapan yang dilakukan, yakni penyediaan data, analisis data, dan hasil penyajian hasil analisis data. Adapun teori yang digunakan adalah teori semiotika yang memadang bahasa sebagai simbol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kumpulan cerpen Calonarang banyak sekali digunakan bentuk-bentuk bahasa yang mirip untuk mengungkapkan aspek seks terutama aspek bunyi yang bertujuan menunjukkan atau menambah kesan estetis. Seks dimaknai sebagai sesuatu yang realistis, yang dibutuhkan dan hadir di tengah kehidupan masyarakat sebagai suatu kebutuhan biologis.

Kata kunci: ikonisitas, seks, calonarang, khas, estetis

1. Pendahuluan Nurgiyantoro (1995:10) menyatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang tidak dapat diukur panjang atau pendeknya. Para kritikus sastra dan pengarang juga tidak satu pendapat mengenai hal tersebut, tidak ada aturan pasti mengenai ha itu. Nurgiyantoro (1995:10) setuju dengan pendapat Poe yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah jam sampai dua jam. Cerpen dapat diartikan sebagai kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh di satu situasi (KBBI 2005: 210). Cerpen merupakan bentuk prosa rekaan yang pendek bukan asal sedikit halaman

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 118 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 119 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 melainkan masih mempersyaratkan adanya keutuhan cerita serta permasalahan yang digarap tidak begitu rumit (Siswanto, 2008: 142). Putra (2000: 15-16) mengatakan bahwa perkembangan kesusastraan Bali modern diperkirakan muncul sekitar tahun 1910-an dan 1920-an dengan sejumlah cerpen-cerpen Bali moderen hasil karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro yang terbit saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kesusastraan Bali modern sudah ada dan tumbuh jauh sebelum roman Nemoe Karma (Ketemu Jodoh) karya I Wayan Gobyah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1931. Dengan demikian, penelitian Putra mematahkan anggapan Agastia (1988: 6) dan Bagus dan Ginarsa (ed.) (1978; ii-iii) yang mengatakan bahwa awal munculnya perkembangan kesusastraan Bali modern saat lahirnya sebuah roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobyah tahun 1931 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Jadi, kelahiran sastra Bali modern ditandai oleh munculnya cerpen dan bukan puisi atau pun roman (novel). Sejak kemunculannya sampai saat ini belum bisa dipastikan jumlah cerpen yang berhasil diterbitkan. Beberapa pengarang muda seperti Gita Purnama, Citrawati, dan yang lainnya telah menerbitkan kumpulan cerpennya. Tak kalah produktif, penulis senior I Made Suarsa juga menerbitkan karya-karyanya, salah satu di antaranya kumpulan cerpen berbahasa Bali yang berjudul Calonarang (2015). Disebut cerpen bahasa Bali karena dari sudut bahasa menggunakan bahasa Bali dan dari sudut setting juga kesusastraan Bali (cerita Bali klasik). Ada enam belas buah cerpen yang disajikan dengan bahasa (Bali) yang dengan bahasa Bali yang khas, estetis, stilistis, dan pengungkapan simbolik yang khas. Berdasarkan kekhasan Kumpulan Cerpen Calonarang tersebut, maka dalam kesempatan ini akan dikaji bentuk-bentuk ikonik tentang seksualitas serta makna/pesan umum ekspresi seksualitas sebagai sarana estetis literer.

2. Metodologi Beberapa penelitian yang gayut dengan tulisan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) Yogi (2014) yang berjudul “A Semiotic Analysis upon Advertisement Entitled ‘Save Our Generation From Free Sex”. Teori yang digunakannya adalah teori Semiotika dari Peirce. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa makna

120 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

iklan saling terkait dengan aspek verbal yang berupa kata hingga kalimat dan aspek nonverbal yakni dari sisi warna latar belakang serta duah buah silhouette tangan yang menggenggam lambang laki-laki dan perempuan.

(2) Hardiningtyas (2015) yang berjudul “Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Bali dalam Kumpulan Cerpen Mandi Api: Antara Tradisi dan Modernisasi”. Teori yang digunakannya adalah teori sosilogi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerpen Mandi Api merepresentasikan stratifikasi sosial vertikal dan horizontalnya yang didasarkan pada catur wangsa. Selain itu, sistem kemasyarakatan terlihat pada dinamika sosial budaya dengan hadirnya relasi gender yang didominasi oleh kekuatan patriarkat, perempuan masih ditempatkan pada posisi yang inferior, objek dari kekuatan laki-laki dan tradisi.

(3) Sulibra (2016) dengan judul “Ikonisitas Lingual Novel-Novel Berbahasa Bali DjelantikSantha: Aspek Estetis Stilistis”. Hasil penelitiannya menunjukkan bawa ikonisitas satuan lingual dapat dilihat dari sudut fonologis, baik permainan vokal maupun konsonan. Ikonisitas satuan lingual itu sengaja dilakukan secara terstruktur dan juga dilakukan dalam bentuk pengulangan kata/leksem. Ikonisitas juga terjadi dalam penggunaan bentuk-bentuk sepadan, baik dari segi bentuk atau pun dari segi makna (terutama aspek sosiolinguistik). Ikonisitas dalam karya sastra seringkali digunakan untuk menambah daya estetis sekaligus gaya dari seorang pengarang.

Ada dua teori yang digunakan dalam tulisan ini, yakni teori teks dan semiotika. Untuk teori teks ada tiga konsep yang patut dipahami, yakni teks, konteks, dan koteks. Untuk ketiga istilah ini akan dikutipkan dari rangkuman (dalam Sulibra, 2017, 53-56) sebagai berikut. Brown dan Yule berpendapat bahwa sebuah wacana adalah teks, baik lisan maupun tulis. Oleh sebab itu, Schiffrin (2007: 570) memberikan pengertian teks sebagai isi linguistik dari tuturan-tuturan; arti semantik tetapnya pada kata-kata, ekspresi dan kalimat, tetapi bukan inferensi (pemahamannya) yang tersedia pada mitra tutur yang bergantung pada konteks tempat kata-kata, eskpresi, dan kalimat digunakan. Sebuah teks haruslah bermakna

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 121 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 atau memiliki fungsi (Halliday dan Hasan, 1994: 13), yakni ungkapan linearitas bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk atau sarana. Sebuah teks tampak seakan-akan terdiri dari kata-kata dan kalimat-kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari makna-makna. Salah satu cara untuk memerikan teks adalah dengan penafsiran yang terinci atau explication de text (Halliday dan Hasan, 199: 14).

Konteks menurut Brown dan Yule (1996: 25) mengacu pada ‘lingkungan’, ‘keadaan’. Menurut mereka, ada beberapa hal yang yang perlu diperhatikan dalam analisis, yakni (i) referensi (reference), praanggapan (ii) presupposition, (iii) inferens atau penarikan kesimpulan (inference), (iv) implikatur (implicature). Selain konteks berkaitan dengan ‘situasi’seperti tersebut di atas, konteks berperan untuk memperkecil distorsi dalam menafsirkan jarak perbedaan makna-makna. Menurut Aaron Cicourel (dalam Titscher, dkk., 2009: 45) bahwa ada dua jenis konteks, yaitu konteks luas dan konteks lokal. Konteks luas untuk konteks tataran makro sebaliknya konteks lokal untuk tataran mikro. Kedua konteks ini harus dipersatukan untuk memperoleh deskripsi yang lengkap berikut dengan berbagai kompleksitasnya. Secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa (Darma, 2014: 65). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang bukan unsur bahasa. Penggunaan bahasa atau teks selalu bersama-sama dengan konteks, tidak dapat dipisahkan.

Ko-teks adalah teks yang berhubungan dengan teks lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam bisa berupa kalimat, paragraf, wacana, bahkan seperti ideologi. Brown dan Yule (1996: 49) makin banyak adanya koteks pada umumnya tafsirannya makin kuat. Teks menciptakan koteksnya sendiri.

Pengguunaan teori semiotika digunakan trikotomi dari Peirce, yakni ikon, indeks, dan simbol. Bahasa sebagai sistem tanda (sebagian besar bersifat simbol) di dalamnya juga tersembunyi sifat ikonis. Selain itu, ada pula perkembangan dalam bahasa.Oleh Zoest (1990: 8) dikatakan bahwa jika ada sesuatu yang berlaku satu kali saja, ada pergeseran dari ikonisitas ke simbolitas. Akan tetapi, dalam simbolitas

122 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 juga memungkinkan adanya nuansa perubahan karena “simbol” memiliki derajat kecanggihan paling tinggi dibandingkan dengan tanda ikonis yang bersifat sederhana (mendasar, primitif).

Mengutip pendapat Nöth (1990 dalam Erfiani, 2015: 104-105) bahwa sistem tanda dapat ditafsirkan dengan tiga cara yang berbeda, tergantung pada hubungannya dengan objek yang diwakilinya. Pertama, penafsir berasumsi bahwa tanda tidak memiliki hubungan fisik dengan objek yang diacunya, tanda seperti ini disebut dengan simbol yang hanya dapat dipahami dengan mengaitkan maknanya. Kedua, penafsir dapat menempatkan tanda sebagai indeks, dalam beberapa hal secara fisik terhubung dengan objek yang diwakilinya. Ketiga, penafsir dapat percaya bahwa tanda adalah ikon dari objek yang digambarkan. Ikon hampir sepenuhnya mewakili sifat objek yang diwakilinya.

Secara metodologis, ada tiga tahapan dilakukan, yakni mulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah-naskah cerpen berbahasa Bali di berbagai pusat toko buku, perpustakaan, atau pun milik pribadi. Selain itu juga digunakan metode simak karena berkaitan dengan penggunaan bahasa teks. Penyadapan penggunaan bahasa terjadi karena teks cerpen berbahasa Bali yang bersifat naratif (Mahsun, 2005: 90-93).Metode ini juga dilengkapi dengan teknik klasifikasi, catat, dan terjemahan. Metode analisis data dilakukan dengan metode hermeneutik dan kualitatif. Metode hermeneutik dilakukan untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks cerpen yang telah disimak. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk semiotik dalam cerpen. Metode kualitatif digunakan karena bukan angka-angka atau perhitungan matematis. Metode-metode ini dibantu dengan teknik deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci dan jelas (Ratna, 2011: 49). Hasil analisis data disajikan dengan metode formal dan informal. Metode formal dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan rangkaian kata-kata biasa. Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 123 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan Kumpulan cerpen Calonarang berisi enam belas buah cerpen, yang semuanya menggunakan judul Calonarang (Calonarang 1-Calonarang 16). Setiap judul dilengkapi dengan lukisan Calonarang dan musuhnya Taskara Maguna. Demikian juga untuk setiap judul selalu menampilkan adegan pertemuan Calonarang dengan Taskara Maguna. Kalau dalam cerita Calonarang sebagaimana yang ada dalam teks lama (tradisional) dan dalam pementasan terjadi pertarungan sengit untuk saling mengalahkan dan saling membunuh, maka tidak demikian halnya dalam cerpennya. Pertarungan yang dimaksudkan dalam cerpen adalah bukan pertarungan sungguhan melainkan terjadinya hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa karya Made Suarsa adalah khas khususnya pilihan kata yang menunjukkan bentuk- bentuk yang mirip untuk menggambarkan situasi keerotisan terjadinya hubungan seksual itu yang diibaratkan pertarungan Ni Calonarang dengan Taskara Maguna. Berikut ini disajikan beberapa cuplikan adegan (dengan terjemahan harfiah disesuaikan) yang dikutip dari Calonarang 3. “Ngatonang Luh Ratna kadi Rangdaning Dirah ngereh masuang layah nyelép ka tangkah ancang anadah, Komang ‘Taskara Maguna’ Madri gelis ngunus keris besi wayah, nincapang riin tutuknyanve ring tanah, ngurek nebek ipah Mpu Bradah saking tangkah tedun ka sombah mapageh samah” “Ni Rangda sayan mamungkah Ki Patih sayan jengah. Ni Calonarang rumasa karecah kacacah, Ki Taskara Maguna sayan pangkah ngrereh selah. Rangda mulisah, Patih gresuah, Calonarang nadah, Patih nampah. Pirang molah kunang galah, “yudane’ nepék agrah, sad rasa nyusup kantos ka akah, arah-arah punyah. Yudane ngawit dangsah, rah maliah-liah Calonarange muputang pakem nelasang abah, sapih samplah, tan wénten menang kalah, mapuara Rangda Pandung tusta lila awijah-wijah kantos lemah” (Calonarang 3: 18). ‘Melihat Luh Ratna seperti Rangda Dirah menjulurkan lidah hingga ke dada hendak memangsa, Komang Madri (Taskara Maguna) segera mengeluarkan keris, (sebelumnya) menusukkannya ke tanah, (akan) menusuk Rangda Dirah (ipar Mpu Bradah) mulai dari dada sampai ke lubang berumput tebal” ‘Rangda Dirah semakin membuka (dan) Ki Patih Taskara semakin bernafsu. Calonarang (Rangda Dirah) merasa dibelah, Ki Taskara mencari celah. Si Rangda bergoyang si patih semakin bernafsu, Calonarang memangsa patih membelah. Entah beberapa lama ‘pertarungan’ sengit terjadi, rasa nikmat menyusup sampai ke tulang sumsum, berkata tidak karuan.

124 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pertarungan yang mulanya biasa, sampai berdarah-darah semua posisi sudah dilakukan, keduanya seri, tidak ada menang kalah, akhirnya Rangda (Dirah) dan Pandung (Taskara) sangat puas sampai subuh’

Kutipan teks Calonarang 3 di atas menunjukkan adanya kemiripan bentuk, yakni dominasi penggunaan bunyi /h/ atau /ah/ pada akhir kata. Semua bunyi /h/ atau /ah/ digunakan dipasangkan sedemikian rupa sehingga semakin menambah daya estetis teks. Selain itu, pengulangan/pemakaian bunyi /h/ atau /ah/ tersebut justru semakin memperkuat makna teks. Selain mengambil kata-kata dari Bahasa Bali, juga diperkaya dengan ambilan kosa kata Jawa Kuna (Kawi), bahkan ada juga kosa kata bahasa Indonesia (seperti dalam contoh kutipan di bawah). Kata-kata yang digunakan dalam teks tersebut di atas bersifat konotatif. Diksi yang digunakan untuk mendeskripsikan situasi perang yang tidak sesungguhnya, melainkan deskripsi atau adegan dua insan yang sedang melakukan persetubuhan. Luh Ratna (perempuan) diibaratkan Rangdeng Dirah sedangkan prianya Komang Madri diibaratkan Taskara Maguna. Kedahsyatan persetubuhan itu diibaratkan sedahsyat perang antara Rangda Dirah dengan Taskara Maguna, saling serang dan ingin saling mengalahkan atau saling membunuh. Tidak jauh berbeda kedahsyatan pertarungan antara lelaki dengan perempuan dalam hal seksualitas, berikut disajikan cuplikan dari Calonarang 12. “Ring taksu Calonarang sareng kaih mabongbong, ngadu katong, ngadu brondong, ngadu jempong, ngadu bokong, kong kali kong. Wong katemu song, singkong katemu bolong, canglong katemu coblong, panyong katemu gorong. Rangda ngulayak kadi legong, patih ngragas kadi songgokong. Tuwung terong nyrongcong, madia léngkang-léngkong tunggak kenceng kayu sotong, ngranjing ring rong tiing santong. Saling pondong, saling gosong, saling dorong, munyi ngacuh tidong-tidong, ngongnyong senengé tan sandang omong, tan sida engsap kantos dadi dadong” (Calonarang 12: 93) ‘Di Taksu Calonarang berdua bertarung, beradu kekuatan, beradu kemudaan, beradu jambul, beradu bokong, kong kali kong (setali tiga uang). Jamur ketemu gua, singkong ketemu lubang, cangklong ketemu coblong, pancong ketemu gorong. Rangda menengadah seperti legong, patih memanjat seperti Sun Go Kong.Terong menyembul, pinggang bergoyang potongan kayu jambu biji, masuk ke dalam lubang bambu. Saling pikul, saling angkat, saling dorong, suara tidak karuan, senang tak terkatakan, tidak akan lupa sampai menjadi nenek’.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 125 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kutipan teks Calonarang 12 di atas menunjukkan adanya kemiripan bentuk yang menggunakan bunyi /o/ atau /ong/. Sama dengan teks Calonarang 3 di atas, penggunaan bunyi o/ atau /ong/ pada akhir suku kata sangat mendukung makna teks. Oleh pengarang, kata-kata yang mengandung bunyi /o/ atau /ong/ saling mendukung baik dengan kata yang sebelumnya maupun dengan kata di belakangnya, makna teks saling mendukung antarfrasa sampai pada teks secara keseluruhan. Hubungan sintagmatik teks sedemikian rupa, sangat rapat sehingga kohesivitas teks terjalin dengan baik. Pasangan biner disajikan dengan akurat: mabongbong ‘bertarung’ dengan katong ‘kekuatan’; ngadu brondong dalam konteks muda penuh semangat, ngadu bokong ‘pinggul’; ngadu jambul dalam konteks kemaluan laki-laki dan perempuan; jamur dengan song ‘gua’; cangklong (rokok ) dengan coblong ‘asbak’, pancong dengan gorong; dan sebagainya.

Penggunaan kemiripan bentuk-bentuk kata secara fonologis tersebut di atas ditujukan dalam konteks situasi intimitas dua orang dewasa berbeda jenis, laki-laki dengan perempuan. Sebagaimana diakui oleh pengarang bahwa istilah atau kata ‘calonarang’ merujuk pada hubungan intimitas tadi. Intinya adalah adanya kesamaan antara ‘calonarang’ pertunjukan dengan ‘calonarang’ hubungan seksualitas, yakni membutuhkan suatu tempat sebagai arena pertarungan. Jika dalam ‘calonarang’ pementasan terjadi adegan ketika Patih Taskara Maguna berkali-kali ingin membunuh Rangda Dirah dengan sebilah keris, maka ‘calonarang’ cerpen diinterpretasikan terjdinya hubungan intimitas itu. Keris menunjukan lambang laki-laki dan sombah mapageh samah ‘lorong berpagar tebal’ memiliki konotasi lambang perempuan. Demikian juga terhadap kepasrahan Rangda Dirah karena kesaktiannya, keyakinannya dengan kesaktiannya, dengan kekuatannya yang tak terkalahkan malah menantang Taskara Maguna untuk datang dan minta untuk segera menusukkan kerisnya. Hal itu pun dilakukan Taskara Maguna, tetapi karena kekuatan Rangda Dirah akhirnya Taskara Maguna tidak berdaya, tidak ada yang memenangkan. Agresivitas Rangda Dirah (sebagai repesentasi perempuan) tidak mampu ditandingi oleh keperkasaan seorang Patih Taskara Maguna (sebagai representasi laki-laki). Dengan kata lain pesan yang mau disampaikan pengarang adalah bahwa dalam hal intimitas seksual sesungguhnya perempuan memiliki daya tahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-

126 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 laki dan pihak perempuan tidak perlu ragu dalam hal agresivitas, saling memberi dan menerima karena tujuan akhirnya adalah kebahagiaan kebersamaan.

4. Simpulan Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa simpulan sebagai berikut. (1) Cerita Calonarang telah memberi inspirasi kepada pengarang untuk disajikan dalam bentuk yang berbeda. (2) Penggunaan diksi atau pilihan kata yang mengandung kemiripan fonologis (ikonisitas) memberi kesan lebih pada aspek estetik literer sehingga teks menjadi lebih menarik untuk dibaca khususnya dalam eksplorasi seksual. (3) Diksi ikonisitas bersifat konotatif interpretatif. (4) Dalam hal intimitas seksual saling meminta dan memberi bagi kedua belah pihak bukanlah hal tabu karena muaranya adalah kebahagiaan bersama.

5. Saran Penelitian ini terlaksana atas bantuan dari Fakultas Ilmu Budaya Unud dan kerja sama tim peneliti. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sedalamnya-dalamnya kepada Dekan FIB beserta jajaranya. Penyajian penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran konstruktif sangat diperlukan demi penyempurnaan selanjutnya. Masih banyak yang perlu digali dari kumpulan cerpen ini khususnya dari perspektif makna sebuah hubungan, positif maupun negatifnya, baik bagi yang sudah berkeluarga, lebih-lebih bagi bujangan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: CV IKIP Semarang Press.

Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Christomy, T dan Untung Yuwono (ed). 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Edi Subroto, D, Sumarlam, Soenardji, Slamet Raharjo. 1999. Telaah Stilistisa Novel Berbahasa Jawa tahun 1980-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 127 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Erfiani, Ni Made Diana. (Editor). 2015. Ragam Wacana: Bahasa, Sastra, dan Budaya.(Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr Nyoman Kutha Ratna). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya.Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.

Jorgensen, Marianne W dan Louise J Philips. (Editor: Abdul Syukur Ibrahim). Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Putra, I Nyoman Darma.2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern.Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1986. “Ikonisitas, Bentuk Ikonis, dan Pemanfaatannya”. (Makalah dalam Seminar Bahasa, Sastra, dan Budaya Malaysia-Indonesia yang diselenggarakan di UGM 17-18 November 1996).

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sulibra, I Ketut Ngurah. 2016. “Ikonisitas Lingual Novel-Novel Berbahasa Bali Djelantik Santha:Aspek Estetis Stilistis”. (Prosiding Seminar Nasional bahasa Ibu, Februari 2016 di Denpasar).

Titscher, Stefan, dkk. 2009. (Editor: Abdul Syukur Ibrahim). Metode Analisis Teks dan Wacana.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yogi, I Made. 2014. “A Semiotic Analysis uupon Advertisement Entitled ‘Save Our Generation From Free Sex” dalam Cahaya Bahasa. Denpasar: Swastanulus.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya (edisi terjemahan oleh Toeti Heraty Noerhadi). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

BEBERAPA FENOMENA FONOLOGIS PADA TATARAN SINTAKSIS DI DALAM BAHASA BALI

I Made Madia [email protected] Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Abstrak

Pembahasan fenomena fonologis pada tataran morfologi seperti pelesapan, penyisipan, penggantian, penyesuaian (asimilasi), pemanjangan, atau pemendekan sudah jamak dilakukan pemerhati atau peneliti bahasa. Pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis belum banyak mengusik perhatian para ahli bahasa. Pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali terinspirasi dari tulisan Inbelas (1990 ed.), The Phonology-Syntax Connection, yang memelopori pembahasan fenomena fonologis pada tataran sintaksis. Di dalam bahasa Bali ternyata fenomena fonologis pada tataran sintaksis (frasa) juga ditemukan. Di dalam bahasa Bali ditemukan fenomena fonologis pada tataran sintaksis yang berupa perangkapan konsonan/geminasi, ligatur, pemendekan vokal, penggantian konsonan, dan penghilangan kata.

Kata kunci: perangkapan konsonan/geminasi, ligatur, pemendekan vokal, penggantian konsonan, dan penghilangan kata.

1. Pendahuluan Fenomena fonologis merupakan proses perubahan bunyi yang dapat berupa pelesapan, penyisipan, penggantian, penyesuaian (asimilasi), pemanjangan, atau pemendekan. Berbagai fenomena itu dapat terjadi pada tataran morfem, kata, frasa, atau klausa. Fenomena fonologis pada dua tataran pertama sudah jamak dilakukan oleh peneliti bahasa. Oleh karena itu, tulisan ini berkonsentrasi pada beberapa fenomena fonologis pada dua tataran sintaksis, khususnya frasa. Mengapa bahasa Bali? Alasan pemilihan bahasa Bali sebagai objek material studi adalah pertimbangan praktis. Artinya, bahasa Bali adalah bahasa ibu penulis sehingga data yang dikemukakan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Mengapa frasa? Alasan pemilihan tataran frasa dalam kajian (awal) ini adalah karena potensi keberadaan data terdapat pada tataran frasa. Kajian ini terinspirasi dari munculnya buku yang bertajuk The Phonology-Syntax Connection yang ditulis Inbelas (1990 ed.). Di dalam buku itu ditunjukkan kekayaan fenomena fonologis

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 128 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 129 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pada tataran sintaksis seperti yang terdapat pada bahasa Korea, bahasa Yunani, dan bahasa Italia. Berdasarkan uraian singkat di atas, ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan di dalam artikel ini. (1) Menunjukkan bukti-bukti adanya fonomena fonologis pada tataran sintaksis pada bahasa Bali. (2) Mengidentifikasi berbagai fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali.

2. Studi Pustaka dan Kerangka Teoretis Tulisan yang membicarakan fenomena fonologis pada tataran morfem dan kata di dalam bahasa Bali cukup berlimpah adanya. Hampir setiap tulisan atau buku yang berhubungan dengan tata bahasa Bali tidak pernah meluputkan pembahasan berbagai fenomena fonologis pada tataran morfem dan kata. Rumusan kaidah morfofonemik (alomorf), selain perubahan bunyi karena posisi bunyi pada lingkungan bunyi tertentu (alofon), pada bahasa Bali merupakan bahasan yang cukup mengesankan bagi para peneliti bahasa. Hal serupa juga sering dilakukan pada kajian bahasa-bahasa di kawasan nusantara. Tulisan yang membicarakan fenomena fonologis pada tataran sintaksis, khususnya frasa di dalam bahasa Bali relatif sedikit. Tulisan tentang fenomena fonologis pada tataran sintaksis pada bahasa Bali dikemukakan Pastika (2004b) di dalam makalahnya yang bertajuk “Proses Perubahan Bunyi Bahasa-Bahasa Austronesia”. Di dalam tulisan ini hanya dikemukakan munculnya bunyi nasal [n] di antara konstruksi posesif bahasa Bali yang berfungsi sebagai perangkai antarkata atau ligatur (2004b:8--9) seperti dicontohkan kelompok data (1) berikut ini. (1)[batu] ‘biji’ + [pOh] ‘mangga’ → [batUn pOh] ‘biji mangga’ [meme] ‘ibu’ + [icaŋ] ‘saya’ → [memεn icaŋ] ‘ibu saya’ [selә] ‘ketela’ + [caine] ‘kamu’ → [selan caine] ‘ketelamu’ [umә] ‘sawah’ + [iane] ‘dia’ → [uman iane] ‘sawahnya’

Walaupun tidak berkaitan langsung dengan contoh dalam bahasa Bali, dua tulisan Pastika juga layak disebutkan karena berkaitan dengan pembicaraan fenomena fonologis pada tataran sintaksis: (1) “Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon” (2004a) dan (2) “Sinfonologi: Interaksi Sintaksis dan Fonologi” (2004c).

130 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada tulisan pertama diberikan beberapa contoh proses fonologis pada tataran frasa di dalam bahasa Inggris dan beberapa contoh proses fonologis pada tataran klausa di dalam bahasa Kolana di Pulau Alor (penyelarasan vokal), di dalam bahasa Dawan di Pulau Timor (pelesapan vokal), dan di dalam bahasa Mauta dan Kolana di Pulau Alor (perangkapan bunyi/geminasi). Pada tulisan kedua dibicarakan kerangka teoretis interaksi sintaksis dan fonologi yang dikutip dari tulisan Vogel & Kenesei (1999:340). Dengan kerangka teoretis ini, Pastika (2004c) mencoba membahas interaksi tak langsung unsur supresegmental yang menyangkut tekanan kata dalam konstruksi frasa atau klausa di dalam bahasa Bali. Menurut Vogel & Kenesei (1999: 340), hubungan antara fonologi dan sintaksis memunculkan tiga pertanyaan: (a) terdapat interaksi apa saja; (b) jika ada interaksi, apakah bersifat langsung atau tak langsung; (c) jika ada interaksi, apakah bersifat dua arah atau hanya satu komponen memengaruhi yang lain. Vogel & Kenesei (1999: 340), sebagaimana tiga pertanyaan yang dikemukakan di atas, memformulasikan keterkaitan fonologi dan sintaksis sebagai berikut (lihat juga Pastika, 2004: 53). keterkaitan fonologi – sintaksis

arah : sintaksis  fonologi fonologi  sintaksis

keterkaitan: langsung tak langsung langsung tak langsung a b c d

Interaksi dari sintaksis ke fonologi akan menyebabkan perubahan bunyi yang dibawa oleh frasa atau klausa fonologis. Sebaliknya, interaksi dari fonologi ke sintaksis, kondisi fonologis menyebabkan adanya perubahan pada sturktur kata, frasa, atau klausa. Arah interaksi dari sintaksis ke fonologi atau dari fonologi ke sintaksis dapat bersifat langsung dan tak langsung. Di dalam penemuan Kaisse (1985) hanya dicontohkan keterkaitan yang bersifat langsung dan tak langsung dengan arah interaksi dari sintaksis ke fonologi dalam bahasa Italia. Interaksi langsung dalam bahasa Italia ditunjukkan dengan dua contoh berikut.

(2)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 131 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(3)

Contoh (2) memperlihatkan fenomena pemanjangan bunyi [g] pertama menjadi [g:] pada gru dan gallegianti karena mengikuti bunyi vokal bertekanan [e] pada akhir kata sebelumnya. Atau tre melakukan c-command pada kata gru dan gallegianti karena kedua kata itu merupakan unsur langsung (satu cabang) dari tre. Contoh (3) menunjukkan bahwa gru menyisip di antara dua kata berurutan (grandi dan gallegianti) dan diblok (/) di antara gru dan gallegianti sehingga tidak terjadi pemanjangan [g] pada kedua kata itu walaupun kata sebelumnya diakhiri vokal bertekanan. Pemanjangan [g] menjadi [g:] hanya terjadi pada kata grandi karena posisinya di-c-command oleh kata bilangan tre yang diakhiri oleh vokal bertekanan. Interaksi tak langsung dari sintaksis ke fonologi terjadi karena kata-kata berada dalam posisi berdampingan. Dalam posisi berdampingan itu batas antarkata secara leksikal tidak jelas lagi karena menjadi satu kesatuan fonologis. Kondisi seperti itu menimbulkan perubahan bunyi pada kata-kata yang tampak berbeda kalau kata-kata

132 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 itu diucapkan tersendiri. Contoh interaksi tak langsung ini dikemukanan dengan contoh konteks liaison dalam bahasa Perancis: les][#animaux ‘binatang’ dan un petit][#animal ‘binatang kecil’. Di dalam struktur sintaksis setiap kata sesungguhnya memiliki batas kata (#). Konfigurasi dasar batas antarkata adalah ...P#][#Q.... Konfiguirasi dasar itu akan berubah menjadi ...P][#Q... (liaison) seperti tampak pada kedua contoh di atas. Pastika (2004: 56--60) menunjukkan contoh interaksi tak langsung dalam bahasa Inggris dan bahasa Bali. Contoh dalam bahasa Inggris dikutip dari data Ladefoged (2001: CD ROM). Contoh dalam bahasa Bali merupakan karya eksperimen yang dilakukannya sendiri untuk membuktikan adanya interaksi (suprasegmental) dari sintaksis ke fonologi di dalam bahasa Bali. Contoh dalam bahasa Inggris berikut memperlihatkan bagaimana kata-kata yang tersendiri di dalam bahasa Inggris diucapkan dan bagaimana pengucapan kata- kata di dalam klausa fonologis. No. Pengucapan Kata Tersendiri Pengucapan Kata dalam Klausa (lihat Collins Cobuild English Fonologis (Ladefoged, 2001) Language Dictionary, 1987) (4) what [wāt] are [ā:] you [ju:] doing What are you doing? [duiŋ] →[`wādz`duiŋ] (5) can [kæn] inquire [inŋ`kwaiә] can inquire → [kŋ:kwaiә] (6) don’t [dount] believe [bi`li:v] him don’t believe him → [him] [doombe`livim]

Eksperimen Pastika (2004c) menunjukkan bahwa di dalam bahasa Bali, klausa fonologis dapat berupa ”kata suku”, yakni suku yang berfungsi sebagai kata. Suku yang berfungsi sebagai kata itu berasal dari suku yang bertekanan keras di dalam kata lengkap. Misalnya, kata bersuku satu joh ‘jauh’ dalam klausa fonologis tetap menjadi joh ‘jauh’ (bertekanan keras) dan kata bersuku dua jemak ‘ambil’ dalam klausa fonologis menjadi mak ‘ambil’ karena suku itu bertekanan keras. Asumsi Pastika bahwa tekanan kata suku di dalam klausa fonologis akan mengikuti pola tekanan suku kata lengkap ternyata tidak terbukti. Artinya, pola tekanan pada kata suku tetap atau tidak berubah, yakni tetap bertekanan keras. Contoh berikut memperlihatkan hasil eksperimen Pastika (2004c) itu.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 133 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

No. Data Informan (Kata Transkripsi Kata Pola Tekanan Kata Suku) Lengkap Suku yang Ditolak (7) lih si dik ŋalih nasi bәdik *lihsidik 1 1 1 2 1 2 1 2 1 3 2 1 makan nasi sedikit makan nasi sedikit makan nasi sedikit ‘Saya mau makan.’ ‘Saya mau makan.’ ‘Saya mau makan.’

3. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-induktif dan eksplanatif. Kajian ini berusaha mengidentifikasi objek kajian (deskriptif), dalam hal ini fenomena fonologis pada tataran sintaksis bahasa Bali, yang bermula dari pemahaman data (induktif) dan dilanjutkan dengan penjelasan berdasarkan kerangka teoretis yang relevan (eksplanatif) (periksa Keraf, 1981: 94 dan Singarimbun, 1989: 24). Secara operasional data dikumpulkan dengan metode simak-partisipatif dengan teknik catat. Pada tahapan analisis diterapkan metode padan intralingual. Metode ini bekerja dengan membandingkan data bahasa Bali yang mengandung fenomena fonologis dan yang tidak mengandung fenomena fonologis pada tataran sintaksis. Hasil pembandingan ini dijadikan dasar rumusan munculnya fenomena fonologis pada tataran sintaksis bahasa Bali. Dalam penyajian hasil analisis digunakan metode formal dan informal. Pemakaian tanda-tanda atau lambang- lambang teknis fonologis (metode formal) dan ekspresi verbal (metode informal) digunakan sesuai dengan kebutuhan (periksa Mashun, 2005: 90--117).

4. Hasil dan Pembahasan Ada lima fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali: (1) perangkapan konsonan/geminasi, (2) ligatur, (3) pemendekan vokal, (4) penggantian konsonan, dan (5) penghilangan kata. Kelima fenomena ini akan didiskusikan lebih lanjut dengan contoh pendukung seperlunya.

4.1 Perangkapan Konsonan/Geminasi Di dalam bahasa Bali terjadi perangkapan konsonan/geminasi dengan kondisi apabila unsur frasa yang pertama diakhiri konsonan dan unsur frasa yang kedua berawal dengan vokal. Setelah terjadi perangkapan konsonan, ada kecenderungan juga terjadinya pelemahan tekanan pada konsonan pertama dan

134 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 penguatan tekanan pada konsonan kedua apabila unsur frasa yang kedua terdiri atas dua suku kata. Apabila unsur frasa yang kedua terdiri atas lebih dari dua suku kata, perbedaan tekanan tidak terjadi pada perangkapan konsonan. Hal ini dapat dipahami karena tekanan kata di dalam bahasa Bali sebagaimana juga di dalam bahasa Indonesia, jatuh pada suku kata sebelum yang terakhir (penultima) (Alwi dkk., 1993: 87). Ini berarti bahwa pola tekanan frasa di dalam bahasa Bali mengikuti pola tekanan kata. Perangkapan konsonan pada tataran frasa di dalam bahasa Bali dapat diformulasikan dengan kaidah umum sebagai berikut. K → KK ______#V

Contoh perangkapan konsonan dengan unsur frasa yang kedua terdiri atas dua suku kata ditunjukkan oleh kelompok data (8) berikut. (8) /dagaŋ/ ‘penjual’ + /andUk/ ‘handuk’ → /dagaŋŋandUk/ ‘penjual handuk’ /rab/ ‘atap’ + /umah/ ‘rumah → /rabbumah/ ‘atap rumah’ /bOk/ ‘rambut’ + /uban/ ‘uban’ → /bOkkuban/ ‘rambut ubanan’ /kain/ ‘kain’ + /udәŋ/ ‘destar’ → /kainnudәŋ/ ‘kain/bahan destar’ /dOn/ ‘daun’ + /ubi/ ‘ubi’ → /dOnnubi/ ‘daun ubi’ /nunas/ ‘mohon’ + /icә/ ‘doa’ → /nunassicә/ ‘berdoa’

Contoh perangkapan konsonan dengan unsur frasa yang kedua terdiri atas lebih dari dua suku kata ditunjukkan oleh kelompok data (9) berikut. (9) /tutUr/ ‘ajaran’ + /agamә/ ‘agama’ → /tutUrragamә/ ‘ajaran agama’ /catUr/ ‘empat’ + /asrama/ ‘tahapan hidup’ → /catUrrasrama/ ‘empat tahapan hidup’ /rIŋ/ ‘di’ + /indrakila/ ‘indrakila (nama) → /rIŋŋindrakila/ ‘di (Gunung) Indrakila’ /nunas/ ‘minta’ + /ampurә/ ‘maaf’ → /nunassampurә/ ‘minta maaf’

4.2 Ligatur Ligatur adalah munculnya bunyi tertentu yang berfungsi sebagai perangkai antarkata. Sebagaimana telah dikemukan Pastika (2004b:9), ligatur di dalam bahasa Bali berupa munculnya bunyi nasal-dental [n] di dalam konstruksi posesif. Bunyi nasal itu muncul di antara kata benda termilik (possesed noun) yang berakhir dengan vokal dan kata benda pemilik (possesor) seperti tampak pada beberapa data

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 135 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

kelompok (10). Jika kata benda termilik berakhir dengan konsonan, bunyi nasal- dental itu tidak muncul seperti tampak pada beberapa data kelompok (11). Walaupun kata pertama berakhir dengan vokal dalam konstruksi frasa, tetapi bukan konstruksi posesif, ligatur [n] juga tidak muncul seperti tampak pada beberapa data kelompok (12). (10) A. /inә/ ‘ibu’ + /batis/ ‘jari → /inan batis/ ’ibu jari’ /matә/ ‘mata’ + /be/ ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’ B. /bo/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOnnawak/ ‘bau badan’ /roko/ ‘rokok’ + /icaŋ/ ‘saya’ → /rokOnnicaŋ/ ‘rokok saya’ C. /matә/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matannai/ ‘matahari’ /basә/ ‘bumbu’ + /urutan/ ‘sosis’ → /basannurutan/ ‘bumbu sosis’ D. /muñi/ ‘suara’ + /kәdIs/ ‘burung’ → /muñIn kәdIs/ ‘suara burung’ /tai/ ‘kotoran’ + /sampi/ ‘sapi’ → /taIn sampi/ ‘kotoran sapi’ /kuku/ ‘kuku’ + /jaran/ ‘kuda’ → /kukUn jaran/ ‘kuku kuda’ /bulu/ ‘bulu’ + /siap/ ‘ayam’ → /bulUn siap/ ‘bulu ayam’ /sate/ ‘sate’ + /bantәn/ ‘upakara’ → /satEn bantәn/ ‘sate untuk upakara’ /be/ ‘daging’ + /bantәn/ ‘upakara’ → /bEn bantәn/ ‘daging untuk upakara’ (11) /buŋut/ ‘paruh’ + /kәdis/ ‘burung’ → /buŋut kәdis/ ‘paruh burung’ /tәŋgәk/ ‘kepala’ + /celeŋ/ ‘babi’ → /tәŋgәk celEŋ/ ‘kepala babi’ (12) /batis/ ‘kaki’ + /kambiŋ/ ‘kambing’ → /batis kambiŋ/ ‘kaki kambing’ /tai/ ‘tai’ + /bәŋu/ ‘busuk’ → /tai bәŋu/ ‘tai busuk’ /kuku/ ‘kuku’ + /lantaŋ/ ‘panjang’ → /kuku lantaŋ/ ‘kuku yang panjang’ /sate/ ‘sate’ + /jaәn/ ‘enak’ → /sate jaәn/ ‘sate enak’ /roko/ ‘rokok’ + /maәl/ ‘mahal’ → /roko maәl/ ‘rokok mahal’

Dua contoh konstruksi posesif pada data kelompok (10A), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n], juga memperlihatkan perubahanan /ә/ menjadi /a/. Dua contoh konstruksi posesif pada data kelompok (10B), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n], juga memperlihatkan fenomena perangkapan ligatur. Dua contoh konstruksi posesif pada data kelompok (10C), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n], juga memperlihatkan perubahanan /ә/ menjadi /a/ dan fenomena perangkapan ligatur. Sementara contoh yang lain (data kelompok 10D), selain memperlihatkan fenomena munculnya ligatur [n] juga memperlihatkan perubahan dari vokal yang lebih tinggi menjadi lebih rendah. Perubahan dari tinggi ke rendah bukan karena faktor konstruksi posesif, tetapi karena vokal itu berada pada suku terbuka (tinggi) dan suku tertutup (rendah).

136 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Perlu dicermati lebih lanjut apa yang mendasari perubahan /ә/ menjadi /a/. Cukup banyak bukti /ә/ pada suku tertutup (khususnya suku yang berakhir dengan -әn) tidak berubah menjadi /a/ seperti diperlihatkan beberapa data kelompok (13) berikut. (13) /bantәn/ ‘upakara’ → */bantan/ /taәn/ ‘tekan’ → */taan/ /kәbәn/ ‘bakul bertutup’ → */kәban/

Jika yang mendasari perubahan /ә/ menjadi /a/ adalah konstruksi posesif, perlu dicarikan rumusan yang tepat. Asumsi penulis, konstruksi posesif itulah yang memicu perubahan /ә/ menjadi /a/ karena secara historis /a/-lah yang lebih dasariah daripada /ә/. Artinya, konstruksi posesif itu mengembalikan /ә/ terlebih dahulu kepada bentuk aslinya /a/, barulah terjadi penambahan ligatur [n]. Dengan demikian, pada dua contoh konstruksi posesif kelompok (10A) terjadi kaidah berurutan sebagai berikut (dengan mengambil satu contoh kasus). I. /matә/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /mata/ + /be/ ’mata ikan’ II. /mata/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’

Fenomena munculnya ligatur dan perangkapan ligatur pada contoh (10B) kaidah berurutannya dapat dijelaskan sebagai berikut. I. /bo/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOn/ + /awak/ ‘bau badan’ II. /bOn/ ‘bau’ + /awak/ ‘badan’ → /bOnnawak/ ‘bau badan’

Fenomena munculnya ligatur, perubahanan /ә/ menjadi /a/, dan perangkapan ligatur pada contoh (1C) kaidah berurutannya dapat dijelaskan sebagai berikut. I. /matә/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /mata/ +/ai/ ‘matahari’ II. /mata/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matan/ + /ai/ ‘matahari’ III. /matan/ ‘mata’ + /ai/ ‘hari’ → /matannai/ ‘matahari’

Tampaknya fenomena ligatur di dalam bahasa Bali tidak hanya muncul di dalam konstruksi posesif seperti yang diutarakan di atas. Fenomena ligatur juga muncul di dalam konstruksi yang menyatakan arah. Satu-satunya jenis contoh yang memunculkan ligatur pada konstruksi ini apabila kata pertama frasa adalah kata /dajә/ ‘di (sebelah) utara’ seperti tampak pada beberapa data kelompok (14) berikut.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 137 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Fenomena perubahan /ә/ menjadi /a/ pada kelompok ini juga muncul seperti data kelompok (10A). (14) /dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tukad/ ‘sungai’ → /dajan tukad/ ‘di (sebelah) utara sungai’ /dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tembok/ ‘tembok’ → /dajan tembok/ ‘di (sebelah) utara tembok’ /dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /carik/ ‘sawah’ → /dajan carik/ ‘di (sebelah) utara sawah’

4.3 Pemendekan Vokal Fenomena fonologis berupa pemendekan vokal terjadi apabila sebuah kata yang mengandung vokal panjang dan vokal panjang itu akan menujukkan kecenderungan berubah menjadi vokal pendek apabila bergabung dengan kata lain menjadi konstruksi frasa. Beberapa data kelompok (15) berikut memperlihatkan fenomena pemendekan vokal itu. (15) /ba:s/ ‘beras’ + /barak/ ‘merah’ → /bas barak/ ‘beras merah’ /ŋa:d/ ‘sembilu’ + /maŋan/ ‘tajam’ → /ŋad maŋan/ ‘sembilu yang tajam’ /ŋәma:ŋ/ ‘memberi’ + /ŋamah/ ‘makan’ → /ŋәmaŋ ŋamah/ ‘memberi makan’ /tusiŋ/ ‘tidak’ + /ŋә:h/ ‘memperhatikan’ → /tusiŋ ŋәh/ ‘tidak memperhatikan’ /ñә:h/ ‘takut’ + /sajan/ ‘sekali’ → /ñәh sajan/ ‘takut sekali’ /pi:s/ ‘uang’ + /boloŋ/ ‘berlubang’ → /pis boloŋ/ ‘uang kepeng’ /ji:t/ ‘alas’ + /payuk/ ‘periuk’ → /jit payuk/ ‘alas periuk’ /bәte:n/ ‘di bawah’ + /umah/ ‘balai’ → /bәten umah/ ‘di bawah kolong’ /be:l/ ‘bel’ + /montor/ ‘mobil’ → /bel montor/ ‘bel mobil’ /de:l/ ‘lambat’ + /pәsan/ ‘sekali’ → /del pәsan/ ‘lambat sekali’ /pa:s/ ‘tepat’ + /sajan/ ‘sekali’ → /pas sajan/ ‘tepat sekali’ /do:n/ ‘daun’ + /biyu/ ‘pisang’ → /don biyu/ ‘daun pisang’ /ra:b/ ‘atap’ + /se:ŋ/ ‘seng’ → /rab seŋ/ ‘atap seng’ /bo:k/ ‘rambut’ + /raŋdә/ ‘rangda’ → /bok raŋdә/ ‘rambut rangda’

4.4 Penggantian Konsonan Fenomena fonologis yang berupa penggantian konsonan pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali merupakan fenomena khusus karena berhubungan dengan sejumlah kata yang menyatakan arah mata angin (data kelompok (16)) dan tempat berada yang berhubungan dengan mata angin (data kelompok (17)). (16) /kajә/ ‘utara’ /kaŋin/ ‘timur’ /kәlod/ ‘selatan’ /kauh/ ‘barat’ (17) /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kajә/ ‘utara’ → /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’

138 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

/bә/ ‘di (sebelah)’ + /kaŋin/ ‘timur’ → /bә daŋin/ ‘di (sebelah) timur’ /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kәlod/ ‘selatan’ → /bә dәlod / ‘di (sebelah) selatan’ /bә/ ‘di (sebelah)’ + /kauh/ ‘barat’ → /bә dauh/ ‘di (sebelah) barat’

Preposisi /bә/ ‘di’ pada data kelompok (17) beralternasi pemakaiannya dengan preposisi /mә/ ‘di’ di beberapa daerah pemakaian di Bali. Hal ini tidak menjadi pokok diskusi lebih lanjut karena /mә/ ‘di’ tidak terdaftar sebagai preposisi di dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Bali (1996: 285) dan Kamus Bali- Indonesia (2008). Dengan mencermati data pada kelompok (16) dan (17), tampak terjadi penggantian konsonan /k/ dengan konsonan /d/ setelah kata yang menyatakan arah bergabung dengan preposisi /bә/ ‘di’. Walaupun fenomena penggantian ini tidak dapat dijadikan kaidah umum, perubahan konsonan /k/ menjadi konsonan /d/ tampaknya cukup beralasan karena konsonan /d/ [bersuara, dental] memiliki kedekatan dengan konsonan /b/ [bersuara, bilabial] pada preposisi dibandingkan dengan konsonan /k/ [takbersuara, velar] pada bentuk dasar.

4.5 Penghilangan Kata Fenomena penghilangan kata (preposisi) /bә/ berkenaan dengan data kelompok (17) di atas. Fenomena ini terjadi apabila konstruksi frasa itu mendapat unsur penjelas seperti tampak pada data kelompok (18) berikut ini. (18) /bә dajә/ + /tembOk/ → /dajan tembOk/ ‘di (sebelah) utara’ ‘tembok’ ‘di (sebelah) utara tembok’ /bә daŋin/ + /gunUŋ/ → /daŋin gunUŋ/ ‘di (sebelah) timur’ ‘gunung’ ‘di (sebelah) timur gunung’ /bә dәlod/ + /rurUŋ/ → /dәlod rurUŋ/ ‘di (sebelah) ‘gang’ ‘di (sebelah) selatan gang’ selatan’ /bә dauh/ + /tukad/ → /dauh tukad/ ‘di (sebelah) barat’ ‘sungai’ ‘di (sebelah) barat sungai’

5. Temuan Ditemukan lima fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali: (i) perangkapan konsonan/geminasi: /dagaŋ/ ‘penjual’ + /andUk/ ‘handuk’ → /dagaŋŋandUk/ ‘penjual handuk’

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 139 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(ii) ligatur: /matә/ ‘mata’ + /be/ ‘ikan’ → /matan be/ ’mata ikan’ (iii) pemendekan vokal: /ba:s/ ‘beras’ + /barak/ ‘merah’ → /bas barak/ ‘beras merah’ (iv) penggantian konsonan: /bә/ ‘di (sebelah) + /kajә/ ‘utara’ → /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’ (v) penghilangan kata: /bә dajә/ ‘di (sebelah) utara’ + /tembOk/ ‘tembok’ → /dajan tembOk/ ‘di (sebelah) utara tembok’

6. Penutup Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan kembali sebagai catatan penting atau kesimpulan tulisan ini. (1) Fenomena fonologis pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali merupakan interaksi tak langsung dari sintaksis ke fonologi. (2) Fenomena fonologis yang terjadi pada tataran sintaksis di dalam bahasa Bali hanya terjadi pada tataran frasa. (3) Dua catatan penting di atas belumlah bersifat final karena masih memungkinkan dilakukan pencermatan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan adanya fenomena lain atau fenomena yang terjadi pada tataran klausa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Guesmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: Cambridge University Press.

Inbelas, Sharon dan Draga Zec (ed.). 1990. The Phonology-Syntax Connection. Chicago & London: The University of Chicago Press.

Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Ende-Flores: Nusa Indah.

Mashun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Greasindo Persada.

140 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pastika, I Wayan. 2004a. “Proses Fonologis Melampaui Batas Leksikon”. Dalam Linguistika Vol. II, No. 20. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Linguistik, Universitas Udayana.

Pastika, I Wayan. 2004b. “Proses Perubahan Bunyi Bahasa-Bahasa Austronesia”. Makalah pada Simposium Internasional Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya. Denpasar.

Pastika, I Wayan. 2004c. “Sinfonologi: Interaksi Sintaksis dan Fonologi”. Dalam Wibawa Bahasa. Denpasar: Bali Mangsi.

Ruddyanto, Caesarius dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Yayasan Pustaka Nusatama dan Balai Bahasa Denpasar.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi ed. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Spencer, Andrew. 1992. Morphologycal Theory: an Introduction to Word Structure in Generative Grammar. Oxford & Cambridge, USA: Blackwell.

Sulaga, I Nyoman dkk. (Penyunting). 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Singkatan dan Lambang #V = kata berwal dengan vokal A = adjektiva Det = determinator dkk. = dan kawan-kawan ed. = editor K = konsonan N = nomina V = vokal → = menjadi + = ditambah/digabung /.../ = tanda pengapit bunyi fonemis [...] = tanda pengapit bunyi fonetis * = bentuk tidak berterima

“BERAGAM” DAN “SERAGAM” DALAM CERPEN MÉONG-MÉONG KARYA MADÉ SANGGRA

Oleh I Made Suarsa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Masyarakat Bali yang dibangun dari unsur catur warna (brahmana, ksatria, wesia, dan sudra) melahirkan struktur masyarakat yang “beragam” sekaligus “seragam”. “Beragam”, karena ada sekat-sekat yang membatasi keempat unsur tadi. “Seragam”, karena keberagaman masyarakat Bali itu, pada hakikatnya adalah salah satu unsur dari struktur yang lebih besar, masyarakat Indonesia yang multikultur. Keberagaman dan keseragaman itu banyak mengilhami Made Sanggra dalam proses kreatifnya. Salah satu di antaranya terdapat dalam cerita pendeknya Méong-Méong. Dalam Méong-Méong diceritakan tokoh nenek Da Niang, memilih hidup sederhana menyendiri di sebuah rumah terpencil, dibandingkan hidup dalam kemewahan bersama anak dan menantunya yang terjun dalam bisnis pariwisata. Di dalam kesendiriannya itu Da Niang hanya ditemani seekor kucing (méong) bernama Ni Manis. Kucing betina itulah satu-satunya hiburan Da Niang ketika teringat kepahitan masa lalunya. Dengan analisis unsur penokohan terlihat keberagaman itu. Da Niang yang masa mudanya bernama Désak Nyoman, sering dipanggil Sak Oman, hampir pernah menjadi istri ketiga Jero Mekel di Désa Pupuan ketika mengikuti ibunya bekerja sebagai buruh di desa itu. Pada akhirnya Sak Oman juga menjadi istri seorang Pembantu Polisi NICA, Ida Bagus Nyitadana dari Geria Sunia Giri Tampaksiring. Karena selalu mengalami KDRT, akhirnya Sak Oman memilih bercerai, dan hidup menyendiri sebagai seorang nenek. Desak, Jero Mekel, Ida Bagus adalah salah satu ciri keberagaman itu.

Kata Kunci: beragam, seragam, multikultur

1. Pendahuluan Méong-Méong adalah salah satu dari sepuluh cerpen dan tujuh puisi dalam Pupulan Cerpén lan Puisi Bali Anyar “Bir Bali”, diterbitkan oleh Yayasan Dharma Budhaya Sukawati Gianyar (2017), karya Madé Sanggra. Madé Sanggra lahir 1926 di Banjar Gelulung, Desa dan Kecamatan Sukawati, Gianyar. Salah seorang pelopor Sastra Bali Modern ini, meninggal pada Rabu Pon Sungsang 20 Juni 2007. Sebagian terbesar masa hidup (71 tahun) peraih Penghargaan Nasional Rancagé

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 141 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 142 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

1998 ini, dihabiskan untuk berjuang dan bersastra. Berjuang dalam bersastra, dan bersastra dalam berjuang. Jasanya besar. Banyak yang pantas dikagumi dan diteladani dari sastrawan rendah hati ini. Made Sanggra adalah sastrawan serba bisa. Selain menulis sastra Bali tradisional seperti geguritan, dia juga menulis sastra Bali modern seperti puisi dan cerita pendek. Tahun 1950-an, dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia (Putra, 2010:146, Suarsa, 2017:99). Kepiawaian Madé Sanggra nyastra (bersastra) mendapat titisan darah dari ayahandanya, seorang pegiat Sastra Bali Klasik (geguritan, kidung, dan kekawin). Madé Sanggra berhasil memadukan jiwa kejuangannya/kesetiaannya terhadap NKRI dengan jiwa kesastraannya, sehingga berhasil melahirkan karya-karya, baik berbahasa Bali maupun Indonesia, bernuansa kesetiaaan kepada NKRI yang multikultur dan menganut motto Bhineka Tunggal Ika, seperti yang tersirat dan tersurat dalam cerpen Méong-Méong. Méong-Méong dijadikan objek kajian dalam penelitian ini, di samping posisinya pada urutan pertama Bir Bali, juga mengisahkan kamajemukan atau keberagaman yang terjadi dalam struktur masyarakat Bali dengan konsep catur warna. Keberagaman itu sendiri pada hakikatnya sekaligus merupakan keseragaman (masyarakat Bali) sebagai salah satu unsur yang membangun mozaik keberagaman/multikultur dari struktur masyarakat yang lebih besar, masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat global. Tarik-menarik antara keberagaman-keseragaman-keberagaman dalam cerpen Méong-Méong inilah yang diangkat sebagai permasalahan yang dicoba dicari jawabannya dalam penelitian ini.

2. Metodologi Metodologi penelitian ini terdiri atas tiga tahapan yakni: metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik pengolahan data, dan metode dan teknik penyajian hasil pengolahan data. Pada tahapan pengumpulan data digunakan metode kepustakaan, didukung teknik baca dan catat. Menurut Ratna (2004:39), metode kepustakaan adalah dengan mengandalkan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 143 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Teknik baca adalah membaca dengan cermat, dan teknik catat sebagai kelanjutan teknik baca dengan mencatat dalam catatan khusus, data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pada tahapan pengolahan atau analisis data digunakan metode deskriptif analitik, dengan mendeskripsikan fakta-fakta disusul dengan analisis (Ratna, 2004:53). Pada tahapan ini didukung teknik simak (sebagai kelanjutan teknik baca) dan teknik catat. Pada tahapan penyajian hasil pengolahan data, digunakan metode formal. Menurut Ratna (2004:49), metode formal dalam konteks penyajian hasil pengolahan data, pada hakikatnya adalah menyajikan kaidah-kaidah sebagai hasil dari proses pengolahan data dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Tentang konsep “beragam” dan “seragam” yang ditekankan dalam penelitian ini adalah sebagai pengejawantahan konsep multikultural sebagaimana dikemukakan Taufiq (Beranda, Malang:2017) dalam bukunya Sastra Multikultural: Konstruksi Identitas dan Praktik Diskursif Negara dalam perkembangan Sastra Indonesia. Menurut Taufiq (2017:10), sastra kuktural merupakan hasil konstruksi atas gambaran realitas kuktural yang beragam. Muktikultural itu muncul dan berkembang sejak dimulainya proses migrasi manusia ke daerah lain, yang kemudian mengakibatkan terjadinya interaksi sosiokultural. Interaksi itulah yang kemudian melahirkan hubungan multikultural antara dua atau lebih entitas masyarakat yang memiliki kebiasaan yang berbeda-beda yang terrepresentasikan dalam teks sastra. Lebih lanjut Ratna dalam Taufiq (2017:11) mengungkapkan bahwa, Indonesia merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat-istiadat dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang beragam; maka karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural. Oleh karena itu, sastra warna lokal sebagai bagian dari sastra multikultural jelas memegang peranan penting dalam memperkenalkan khazanah kebudayaan.

Pada akhirnya Taufiq (2017:13) menyimpulkan bahwa, multikultural Indonesia dapat diposisikan dalam tiga hal yakni : (1) multikultural diposisikan

144 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sebagai ruang budaya yang dinamis dan beragam, (2) multikultural sebagai ruas horizontal/kelompok kultural yang ada saling berhubungan, dan (3) multikultural secara vertikal/negara sebagai puncak nalar dari sebuah bangunan struktural. Fenomena-fenomena seperti point-point pandangan Taufiq itulah yang muncul dalam struktur Méong-Méong.

3. Pembahasan Sub ini diawali dengan sinopsis singkat cerpen Méong-Méong, dilanjutkan dengan mendata fenomena struktur masyarakat Bali yang majemuk/multikuktur dengan mengambil tolok ukur konsep catur warna. Selanjutnya melihat hubungan sosiokuktural antarwarna yang terdapat dalam Méong-Méong dengan berbagai akibat yang ditimbulkan, kemudian menekankan bahwa kamajemukan/mutikultur itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu unsur dari struktur yang lebih besar, yakni masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat global. Da Niang (Ida Niang), tokoh utama dalam Méong-Méong hidup menyendiri dalam sebuah pondok, tidak mau lagi tinggal bersama anak satu-satunya dan menantunya karena terlibat konflik. Da Niang hanya ditemani oleh seekor kucing atau méong dalam bahasa Bali. Da Niang menjadi marah kalau kucing yang dinamakan Ni Manis itu tidak mau menuruti kata-katanya. Sebaliknya orang tua itu menjadi senang, kalau Ni Manis mau menuruti kata-katanya. Keberadaan Ni Manis itu menjadi satu-satunya hiburan Da Niang. Orang tua ketika masih remaja itu bernama Désak Nyoman dan sering dipanggil Sak Oman, teringat kembali masa-masa silamnya yang kelam. Dua kali menikah, keduanya berakhir dengan perceraian. Keberadaan tokoh Da Niang dalam tatanan masyarajat Hindu termasuk golongan Tri Wangsa dalam struktur Catur Warna. Catur Warna adalah empat golongan masyarakat Hindu sesuai dengan fungsi-fungsinya yakni: Brahmana (golongan yang bertugas memberikan pendidikan dan penerangan serta memimpin upacara agama); Ksatrya (golongan yang bertugas membela negara dan menjadi pemimpin; Wesya (golongan yang mengatur masalah perekonomian); dan Sudra (golongan yang membantu ketiga golongan di atas sebagai pekerja (Bali Aga, 2006:47). Tiga golongan teratas yakni: Brahmana, Ksatrya, dan Wesya, disebut Tri Wangsa.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 145 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ke-tri wangsa-an Da Niang, sesungguhnya sudah melekat pada kata “Da” itu, yang merupakan singkatan dari kata “Ida” yang dalam Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali, 1990:259) yang dimaknai “beliau” atau “nama gelar bangsawan”. Kutipan berikut mempertegas kebangsawanan Da Niang. Ping kuda-kuda oka lan mantun idané sané maka kalih makaria ring hotel “Nusa Dua” ngajakin budal, mangda wénten ngijengin jroné, Da Niang nénten kayun. Kocap ida lek tan kayun ngidih ring mantu, yadiapin mantu sametonan. Da Niang kari rumasa kereng tur bajang (Sanggra, 2017:1).

Kata-kata oka, budal, mangda, makaria, nénten, ring sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, adalah sebutan atau acuan untuk seorang tri wangsa di Bali, seperti tokoh Da Niang, yang berarti anak, pulang, agar, bekerja, tidak, dan di. Demikian juga kata-kata seperti telas, taler, bénjang, raris, ical, punika, gelis, makaon, manawita, duka, magenah, sampun, santukan, akemur, masanekan, sinambi, mirengang, pinih, ngrereh, ngaturang, nanging, yang terdapat dalam Méong-Méong yang berarti habis, juga, besok, lalu, hilang, itu, cepat, pergi, mungkin, marah, bertempat, sudah, karena, berkumur, mengaso, sambil, mendengarkan, paling, mencari, memberikan, tetapi. Ada juga golongan lain dalam Méong-Méong di luar tri wangsa, ditandai dengan kosa kata yang digunakan di dalam membangun bahasa di dalam berkomunikasi seperti kutipan di bawah ini. “Béh…, yén monto té suba tua ruyud, rambut, kumis, jénggot, suba putih cara kapuk, nyidaang ngantén ajak anak bajang cenik?” Sapunika pakaengan pengangoné ring tegalé. “Wih, nyén oraang cai kéto?” pitakén pengangoné kelihan sada acreng. “Nyén koné…, lénan tekén Mekelé Gedé men nyén biin?” pengangoné cerikan nyaurin sada kenyem guyu. “Ah…, eda ja mokak cai, awaké bani-bani nyambat Mekelé Gedé, yén uning dané sengkala cai!” “Suung ja dini, sing ada nyén”. “Apin suung…, Mekelé Gedé nak sakti, bétél tingal tur bisa maya-maya, tawang nani?” “Kéné…” “Kéné kénkén?” (hlm.6).

Tokoh dua orang pengangon (pengembala sapi) dalam kutipan dialog di atas adalah simbul dari golongan masyarakat di luar tri wangsa. Sementara itu, isitilah-

146 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 istilah seperti Ida Niang (hlm.1), Désak Nyoman (hlm.5), Mekelé Gedé (hlm.7), Ida Bagus Nyitadana (hlm.8), Geria Sunia Giri (hlm.8), Déwagung (hlm.8), jelas menunjukkan golongan tri wangsa. Adanya golongan di luar tri wangsa sebagaimana terlihat dalam dialog dalam kutipan di atas, dan golongan tri wangsa seperti dikemukakan dalam data di atas, jelas mencerminkan kemajemukan/multikulktur tatanan masyarakat Hindu di Bali dalam Méong-Méong yang menunjukkan sesuatau yang beragam. Keberagaman tatanan masyarakat Hindu di Bali itu, sekaligus merupakan keseragaman, ketika tatanan masyarakat itu menjadi salah satu unsur dari keberagaman yang lebih besar, yaitu tatanan masyarakat global antarbangsa sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut. Daweg ngawit Révolusi Perang Kemerdékaan tahun 1945 dumun, jagaté ngeb, riyet. Toko-toko Cina sami matutup. Ring pasar suung tan wénten anak madolan. Dagangé mengkeb-mengkeb ring rurung-rurungé, utawi madolan ring umahnyané padidi. (hlm.8) Yadiapin asapunika, jagaté kantun taler kabaos genting, santukan Pemuda Pejuang sané kabaos PRI katah berjuang ninggal désa, nénten mawali budal. Nyabran dina wénten patrol Polisi NICA rauh saking Gianyar. Wénten HP mapeséngan Ida Bagus Nyitadana saking Tampaksiring, ida kasub kasumbung gemes tur ames nigtig tahanan,… (hlm.8)

Cina, sebagaimana tertera dalam kutipan di atas, jelas merupakan kelompok atau golongan masyarakat lain di luar masyarakat Hindu di Bali. Jadi masyarakat Hindu di Bali itu adalah beragam, dan menjadi seragam ketika menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Kembali menjadi seragam, ketika menjadi bagian dari masyarakat lain di luar Indonesia, seperti Cina misalnya. Demikian juga dengan munculnya istilah PRI (Pemuda Republik Indonesia), NICA (Netherland Indisch Civiel Administration), dan HP (Halp Politie/Pembantu Polisi), menjadikan tatanan masyarakat Bali dalam Méong- Méong ini yang semula beragam, menjadi seragam ketika menjadi bagian dari keberagaman masyarakat Indonesia. Keberagaman sebagai masyarakat Indonesia ini, kembali menjadi seragam dalam keberagaman masyarakat global (yang ditandai dengan Cina dan Netherland dalam kutipan di atas).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 147 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. Simpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan telah terjadi tarik-menarik antara keberagaman-keseragaman-keberagaman dalam cerpen Méong-Méong. Artinya, ketika ada sebuah keberagaman dalam sebuah komunitas, keberagaman itu menjadi sebuah keseragaman dalam keberagaman komunitas yang lebih besar. Keberagaman yang lebih besar itu tadi, kemudian juga menjadi keseragaman dalam keberagaman komunitas yang jauh lebih besar lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Bali Aga. 2006. Ragam Istilah Hindu. Denpasar

Dinas Pendidikan Dasar Prop.Bali. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar.

Putra, I Nyoman Darma. 2010. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sanggra, Made. 2017. Bir Bali (Pupulan Cerpen lan Puisi Bali Anyar). Sukawati: Gianyar. Yayasan Dharmam Budhaya.

Suarsa, I Made. 2016. Trauma Kekuasaan dalam Cerpen-Cerpen Terakhir Made Sanggra dalam Prosiding SNSB FIB Universitas Udayana. Denpasar.

Taufiq, Akhmad. 2017. Sastra Multikultural. Malang : Beranda.

KURSI PEMILU: SASTRA DAN BUDAYA DEMOKRASI PRA REFORMASI

I Nyoman Suaka Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Saraswati E-mail: [email protected] Nomor Handphone: 081337231805

Abstrak

Tulisan ini membahas novel Kursi Pemilu (1982) karya Sinansari Ecip, yang berlatar politik tentang pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Waktu itu tahun 1970-an, politik negara berlangsung dalam pengaruh kekuasaan Orde Baru. Pemasalahannya adalah bagaimana pelaksanaan pilkades sebagai perwujudan demokrasi di tingkat bawah, dan bagaimana kekuasaan politik itu dijalankan sebagai realitas politik pada zamannya? Teori yang digunakan adalah teori hegemoni dari Antonio Gramsci dengan menggunakan pendekatan hermeneutika (interpretatif) untuk mengungkapkan kekuatan teks sastra. Hasil analisis menunjukkan bahwa kekuasaan politik orde baru sangat kuat mengakar di masyarakat. Kontestan Pemilu yang dilukiskan dalam novel Kursi Pemilu seperti Goljo, Golning, dan Golrah tiada lain adalah akronim dari Golongan hijau (Goljo), Golongan kuning (Golning), dan Golongan merah (Golrah). Goljo identik dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golning serupa dengan Golkar dan Golrah adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tafsir itu semakin akurat kalau dihubungkan dengan basis pendukung masing-masing golongan. Goljo dalam novel itu didukung oleh alim ulama, pesantren, dan golongan tua yang taat beribadah. Golning tiada lain adalah barisan aparat pemerintah dari tingkat desa, camat, bupati, dan seterusnya. Golrah mendapat simpati dari sebagian besar generasi muda yang sangat mendambakan perubahan dan antikemapanan. Menjelang reformasi kondisi ini banyak digugat karena model demokrasi seperti itu lebih bersifat sentralistik untuk melanggengkaan kekuasaan golongan tertentu.

Kata Kunci: novel, demokrasi, pemilu.

1. Pendahuluan Sebuah novel yang secara utuh mengambil latar tentang Pemilu adalah karya Sinansari Ecip yang berjudul Kursi Pemilu. Novel ini diterbitkan tahun 1982, mengisahkan pergolakan masyarakat di sebuah desa saat menghadapi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Alur ceritanya mengisahkan suasana masyarakat Desa Gondomayi, dekat kota Malang, Jawa Timur dalam menentukan aspirasi politiknya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 148 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 149 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 memilih kepala desa baru. Suasana kasak-kusuk, kecurangan Pilkades, ketidakjujuran penghitungan suara, serta pemilu susulan dilukiskan oleh pengarang. Pemilu tingkat desa dalam novel itu tidak kalah serunya dengan pemililhan bupati, gubernur dan presiden yang dialami langsung oleh masyarakat era reformasi. Terlebih lagi suasana desa saat kampanye penuh dengan desas-desus dan intimidasi. Tiga orang yang mewakili tiga dusun di Desa Gondomayi bersaing dalam merebutkan kursi kepala desa. Jabatan Kades merupakan jabatan terhormat di desa-desa di Jawa, baik dan segi pribadi, keluarga, kekuasaan, maupun material sebab seorang kades secara otomatis berhak mengelola tanah bengkok seluas empat puluh hektar. Hasil sekali panen saja sudah bisa membeli satu mobil mewah, demikian pandangan masyarakat. Pengarang Sinansari Ecip mampu mengangkat realitas pemilihan kades pada zamannya. Cerita novel ini mampu menjadi nosatalgia politik kalau dikaitkan dengan budaya politik sebagai bentuk hegemoni dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Konsep hegemoni memainkan peranan penting dalam perkembangan kajian budaya dan merupakan salah satu konsep kunci yang paling ramai diperdebatkan selama tahun 1970 dan 1980-an. Kajian budaya mengambil dan mengembangkan konsep hegemoni dari Antonio Gramsci. Menurut teori ini, ada seikat makna dalam budaya manapun yang bisa disebut sebagai makna-makna yang memerintah (governing). Proses membuat, menjaga dan mempertahankan serta memproduksi seperangkat makna. Ideologi dan paktek yang bersifat otoritatif inilah yang disebut hegemoni (Barker, 2015 : 119) Bagi Gramsci (2015:119), hegemoni mengimplikasikan sebuah situasi dimana “block historis” dari kelas yang berkuasa melakukan otoritas sosial dan kepemimpinannya terhadap kelas-kelas yang berada di bawahnya (sub ordinat) lewat sebuah kombinasi kekuatan, dan lebih penting lagi persetujuan. Sebagai akibatnya, Gramsci membuat perjuangan dan konflik ideologis dalam masyarakat sipil sebagai arena sentral politik budaya, dimana analisis yang menyingkap hegemoni sebagai cara melihat kekuatan relevan. Istilah hegemoni terkait budaya politik berkembang luas di Indonesai. Melalui bahasa yang sederhana, Gaffar (1983:81) menyebutkan kebudayaan politik mengatur siapa yang berbicara dengan siapa, dan siapa yang mempengaruhi.

150 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kebudayaan politik juga menentukan apa yang dibicarakan dalam hubungan politik, dan bagaimana pengaruh-pengaruh hubungan itu. Tetapi peru diingat, kebudayaan politik juga menata mekanisme lembaga-lembaga formal yang ada.

2. Metode Teks sastra tidak bisa berdiri sendiri. Makna teks ditentukan oleh konteksnya yang menyangkut situasi dan kondisi jaman. Sebuah novel tidak bisa memberikan makna secara maksimal kalau dibaca teksnya saja. Novel sebagai karya sastra perlu ditafsirkan maknanya. Dalam kajian ilmiah, analisis teks dapat menggunakan metode interpretative (hermeneutika). Menurut antropolog Geertz (1999), pendekatan interpretative adalah menyahihkan diri, atau sebagai sesuatu yang disahkan dengan kepekaan-kepekaan yang dianggap maju dari orang lain yang menjelaskannya. Interpretasi sangat penting dilakukan dalam analisis novel sebab metode itu memberikan pemahaman antara khayalan pengarang dengan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Seberapa jauh karya itu berfungsi sebagai cermin masyarakat dan sebaliknya seberapa jauh unsur-unsur masyarakat diserap ke dalam karya sastra. Pendekatan interpretative ini sering disebut dengan istilah hermeneutic. Pada dasarnya hermeneutic berhubungan dengan bahasa. Oleh karena itu, metode interpretative sangat membantu, memahami novel lebih mendalam karena novel menggunakan media bahasa sebagai alat pengungkapannya Isu sentral bagi hermeneutika adalah terciptanya makna dan sejauhmana makna ini memang terdapat dalam teks atau/ dan diciptakan oleh pembaca (penafsir). Menurut Bekker (2003:121) dalam hermeneutika kontemporer, pemahaman dan makna diwujudkan oleh pembaca actual dalam sebuah proses penafsiran teks yang tergantung pada gugus makna yang memang tersurat dalam teks sekaligus aktivitas pembaca itu sendiri. Mengacu pada pendapat Bakker tersebut maka dilakukan pembacaan teks terlebih dahulu, novel Kursi Pemilu, kemudian dipahami dan ditafsirkan makna teks ke dalam konteksnya.

2. Pembahasan 2.1 Ringkasan Cerita

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 151 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kisah Kursi Pemilu bermain di Desa Gondomayi, sebuah wilayah kecil di dataran tinggi yang subur dekat Kota Malang. Kepala desa (kades) yang populer disebut Pak Petinggi itu diceritakan sudah tua dan sakit-sakitan. Desa ini didukung oleh tiga dusun/dukuh, yakni dusun Grinhil, Kramtung, dan Gondomayi. Kades, seperti layaknya struktur pemerintahan desa, didampingi seorang sekretaris desa (Pak Carik) yang merangkap sebagai bendahara desa. Dalam soal pemerintahan. Pak Carik tampak lebih mampu, lincah, dan cekatan dibandingkan dengan Pak Kades. Walaupun demikian, setiap keputusan selalu ada di tangan Kades. Tiba-tiba Pak Kades meninggal. Masyarakat kaget sebab siang harinya Pak Kades masih sempat ke kantor. Hal itu dimanfaatkan oleh Pak Carik untuk menyusun strategi agar dapat menggantikan posisi Pak Petinggi. Meninggalnya Pak Kades segera dilaporkan ke Pak Camat. Sebagai sekretaris desa, Pak Camat menunjuk Pak Carik menjadi panitia pemilihan kades sarnpai tugas-tugasnya selesai dan kades definitif dilantik. Dalam bursa pencalonan kades, terdaftar tiga orang calon yang siap bertarung dalam Pemilu Desa Gondomayi. Mereka adalah Kamituwo Grinhil wakil Goljo, Pak Carik dari Golning, dan Kamituwo Kramtung dari dusun Kramtung mewakili Golrah. Peta kekuatan masing-masing calon itu berbeda dan memiliki pendukung fanatik. Goljo didukung oleh alim ulama, pesantren dan masyarakat yang taat beribadah. Golning didukung oleh aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan Golrah memiliki basis anak muda dan generasi muda lainnya yang memperjuangka perubahan. Ketiga calon itu berusaha sekuat tenaga memengaruhi massa, termasuk mendekati calon pemilih yang jelas-jelas berseberangan dengan dirinya. Caranya, dengan trik-trik politik, permainan uang dan rayuan, serla intimidasi untuk menjatuhkan kepribadian lawan poiitiknya. Pernah suatu ketika. Pak Carik calon dari Golning memanfaatkan kemolekan seorang janda di Desa Gondomayi untuk menjatuhkan calon Goljo. Janda yang cantik dan pintar merayu itu. menyelinap di malam hari masuk ke kamar Kamituwo Grinhil (Goljo). Saat itu seperti biasanya, calon kades itu tidur terpisah dengan istrinya sehingga mereka berdua leluasa mengisi malam itu.

152 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Keesokan harinya masyarakat Gondomayi ribut, penuh dengan gosip membicarakan Kamituwo dengan janda tadi. Maka tidak bisa dibendung lagi, istrinya marah-marah dan mengadukan permasalahannya kepada istri-istri pejabat desa. Kondisi ini jelas sangat menguntungkan Pak Carik karena pendukungnya kian bertambah. Posisi Pak Carik semakin kuat. Saat kampanye, ia berjanji kepada masyarakat Grinhil akan segera membangun mesjid dan gereja di dusun itu yang diklaim sebagai terbesar di Asia Tenggara. Segala keperluan upacara keagamaan akan ditanggung oleh desa melalui kas desa. Tentu saja janji-janji kampanye itu disambut dengan gembira. Di Dusun Kramtung, Pak Carik berjanji akan membangun balai pertemuan yang megah dengan kaca jendela tembus pandang untuk menampung kegiatan kesenian dan olah raga bagi generasi muda. Selain itu juga dibuka kursus kecantikan, jalan becek akan diaspal dengan beton. Demikian kampanye Pak Carik yang mendapat sambutan meriah karena visi dan misinya itu sesuai dengan keinginan generasi muda di Dusun Kramtung. Pada hari pencoblosoan, dukungan yang tampak lebih besar justru kepada Goljo dan Golrah. Masyarakat banyak menilai, wakil dari Goljo akan memenangkan Pemilu Kades itu, menyusul Golrah dan Golning. Argumentasi itu terlihat dari suara yang dimasukkan ke kotak Goljo. Pemungutan suara menggunakan besi paku, setiap pemilih memasukkan satu besi paku. Di sisi lain, sekitar seratus orang pemilih jelas-jelas menyatakan diri Golput, tidak memilih karena tidak percaya dengan kemampuan dan komitmen para calon. Anehnya azas Pemilu Desa Gondomayi tidak menggunakan azas luber, tetapi Lubetira yaitu kependekan dari langsung, umum, bebas, dan tidak rahasia. Berdasarkan hasil perhitungan suara, Calon Goljo yang dipastikan menang mutlak, ternyata dikalahkan oleh Pak Carik dari Golning dengan suara tipis. Perolehan suara Pak Carik 2367 suara, Goljo 2364 suara, dan Golrah 611 suara. Hasil itu diprotes oleh massa Goljo yang menilai Pemilu curang, tidak jujur, dan penuh rekayasa. Protes itu ditujukan kepada Golning karena Pak Carik selain sebagai calon Golning juga sebagai sekretaris dan merangkap panitia pemilihan Kades. Suasana berubah menjadi unjuk rasa karena pendukung Goljo tidak puas. Tiba-tiba Pak Camat yang menyaksikan langsung pemilihan itu berusaha mengendalikan emosi massa. Untuk meredam suasana panas, Pak Camat mengajak

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 153 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 massa untuk menyanyikan lagu kebangsaan Desa Gondomayi yaitu "Satu Desa Satu Sungai". Pemilu Kades tidak sah, beberapa hari lagi akan diadakan Pemilu ulang. Pak Carik kembali menghubungi Pak Camat dan istrinya agar dapat mcmbantu menyukseskan dirinya supaya tetap terpilih sebagai kades. Secara moral, Pak Camat juga harus menyukseskan Pak Carik sebab kalau tidak demikian, jabatan sebagai camat akan dicopot. Intervensi seperti itu sangat dirasakan oleh masyarakat. Terlebih lagi Pemilu itu bukan lagi ditentukan oleh jumlah suara terbesar, tetapi keputusan tertinggi ada di tangan wedana atau bupati. Bisa saja suara yang jumlahnya lebih kecil dilantik menjadi kades, asal sehaluan dan segolongan dengan bupati. Hal ini dibenarkau oleh Pak Camat. Mendengar hal itu, salah seorang massa berteriak, tidak ada gunanya Pemilu. Pak Camat disuruh mengirim saja ketiga calon tanpa jumlah suara. Toh bupati yang akan memilihnya. Massa Goljo mendesak agar Pemilu diganti dengan Pemibu yaitu pemilihan oleh bupati. Hasil Pemilu kedua juga dimenangkan oleh Pak Carik, namun tidak berhasil disahkan. Tiba-tiba wakil dari Goljo angkat bicara tentang kematian Pak Petinggi, ternyata pelakunya adalah Pak Carik. Calon yang ambisius itu, sengaja membubuhi arcenicum, suatu zat yang mematikan, ke dalam minuman kopi yang diminum Pak Petinggi. Saksi mata dan pembuktiannya diperkuat oleh anggota Pagarpraja (Hansip desa) dan seorang cucu Pak Petinggi. Pimpinan Golrah memperkuat protes Goljo tentang kematian Pak Petinggi. Pak Carik tersentak, segala usahanya tidak menghasilkan. Jabatan sebagai penguasa tunggal di desa Gondomayi dan harapan menguasai tanah bengkok lenyap dari tangannya. Bupati segera mengumumkan keadaan desa melalui radio setempat. Bupati mengatakan telah terjadi penyelewengan jumlah paku sebagai tanda suara. Kedua peristiwa itu berhubungan erat. Untuk itu, Pak Carik ditangkap dan diadili. Sebagai Kades baru Desa Gondomayi, ditunjuk Pak Wedana untuk menjaga stabilitas desa. Wedana adalah pejabat lebih tinggi dari camat, lebih rendah dari bupati.

2.2 Sastra dan Citra Demokrasi Pengarang Sinansari Ecip dalam Kursi Pemilu, tampaknya berusaha secara maksimal mengangkat realitas masyarakat sekitar tahun 1970-1980. Waktu itu,

154 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dalam politik negara, pengaruh kekuasaan Orde Baru sangat kuat mengakar di masyarakat. Kontestan Pemilu yang dilukiskan dalam novel seperti Goljo, Golning, dan Golrah tiada lain merupakan akronim dari Golongan hijau (Goljo), Golongan kuning (Golning), dan Golongan merah (Golrah). Goljo identik dengan Partai Pcrsatuan Pembangunan (PPP), Golning serupa dengan Golkar dan Golrah adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga golongan ini dalam masa Orde Baru sebagai kontestan Pemilu. Penafsiran itu semakin jelas lagi kalau dihubungkan dengan basis pendukung masing-masing golongan. Goljo dalam novel itu didukung oleh alim ulama, pesantren, dan golongan tua yang taat beribadah. Golning tiada lain adalah barisan aparat pemerintah dari tingkat bawah. desa, camat, bupati, PNS dan seterusnya. Golrah dapat simpati dari sebagian besar generasi muda yang sangat mendambakan perubahan. Dengan cermat, pengarang Sinansari Ecip juga mengungkapkan tentang Golput (golongan putih). Jumlahnya mencapai ratusan orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Suatu jumlah cukup besar untuk Pemilu tingkat desa. Secara realitas. istilah Golput itu juga populer di tahun 1980- an karena mereka tidak puas dengan tiga partai tadi. Dua partai lain, yaitu PPP dan PDI yang semestinya lebih berani mengoreksi pemerintah yang berkuasa saat itu, ternyata lebih sering menyelarnatkan diri untuk bergabung dengan Golkar dalam setiap keputusan politik. Pengaruh Pak Camat dan Bupati seperti dikisahkan pengarang Sinansari Ecip sangat kuat dalam menentukan arah kebijakan di desa. Bahkan sejarah mencatat, sering kali terjadi dalam pemilihan kades di tanah air, calon yang memperoleh jumlah suara terbanyak belum jaminan dilantik sebagai kades. Diperlukan penelitian ulang yang distilahkan dengan litsus (penelitian khusus). Hasil litsus ini dapat menggagalkan calon yang hampir jadi. Calon lain, asal sehaluan dan segolongan serta seideologi dengan penguasa akhimya dilantik dengan tanpa menghadapi kendala. Situasi seperti itu berhasil direkam oleh pengarang Sinansari Ecip yang nama sebenamya adalah Sutiono, pengarang kelahiran Malang. Politik demokrasi dalam Kursi Pemilu mencerminkan peta perpolitikan nasional di tahun 1970-an. Ketika itu pemilu dilaksanakan berdasarkan Undang-

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 155 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, di mana dilakukan fusi partai-partai politik menjadi hanya dua partai (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Pesta demokrasi ketika itu sebagian besar dimenangkan oleh Golongan Karya. Pada saat itu meskipun pemilu terlaksana secara teratur setiap lima tahun, tetapi demokrasi belum berjalan sepenuhnya. Pemilu justru dipenuhi oleh kecurangan dan bersifat seolah-olah hanya sebagai formalitas dan sebagai informasi kepada dunia luar bahwa Indonesia telah melaksanakan pemilu dan praktik demokrasi dengan benar. Kejayaan Orde Baru mengalami puncaknya saat pemilu tahun 1997 yang ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar. Golkar satu-satunya peserta pemilu yang didukung secara finansial maupun secara politik oleh pemerintah untuk memenangkan pemilu dengan meraih suara terbanyak. Secara nasonal, berbagai cara dilakukan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya dengan memenangkan Golkar dalam setiap pemilu, salah satunya dengan cara intimidasi. Lembaga-lembaga penyelenggaraan pemilu didominasi oleh pemerintah dan Golkar. Pegawai Negeri Sipil diharuskan memilih Golkar dengan cara menempatkan tempat pemungutan suara di kantor-kantor pemerintah (http://kompasiana.com). Menjelang reformasi kondisi ini banyak digugat karena budaya demokrasi seperti itu hanya untuk melanggengkaan kekuasaan golongan tertentu. Kini hampir tidak ada lagi ciri-ciri politik otoriter seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Setelah Pemilu 1999 praktik demokrasi sudah mulai berjalan sebagaimana mestinya. Pemilu dilakukan dengan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil). Indonesia sudah memasuki era Reformasi, politiknya berbeda secara struktural dengan politik Orde Baru. Proses politik pemerintah sudah memasuki rezim demokratis dengan partisipasi rakyatnya secara aktif untuk menentukan pilihan. Pemerintah tidak lagi sebagai penyelenggara Pemilu yang rawan dengan kecurangan, tetapi telah ditangani oleh lembaaga independen yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

156 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Simpulan Proses Pilkades dalam Kursi Pemilu merupakan cermin kondisi masyarakat yang telah dihegemoni oleh kekuasaan Orde Baru. Di sisi lain masyarakat menginginkan kebebasan dalam menemukan pemimpinnya sesuai dengan hati nurani. Akan tetapi, keputusan terakhir ada di tangan birokrasi pemerintah. Dalam novel dikisahkan terjadi kecurangan Pemilu yang menyebabkan desa dalam keadaan tidak aman sebagai bentuk resistensi masyarakat, yang tidak puas dengan pelaksaaan demokrasi Orde Baru Pengarang Sinansari Ecip berhasil menggarap novel itu dengan meramu fakta ke dalam dunia fiksi. Kursi Pemilu memberikan makna mencari kedudukan atau kekuasaan, sebab kata ‘kursi’ disini tidak terbatas berarti tempat duduk tetapi sebuah tahta jabatan/kedudukan. Walaupun berkisah di tingkat desa, akan tetapi novel ini identik dengan peta perpolitikan nasional pra reformasi. dengan dua partai (PPP, PDI) dan Golongan Karya (Golkar).

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2003. The Sage Dictionary of Cultural Studies. London : Sage Publication Ltd

Encip, Sinansari. 1982. Kursi Pemilu. Jakarta : Sinar Harapan. http:/kompasiana.com. “Budaya Demokrasi dan Partiipasi Politik Indonesia Pada Masa Orde Baru,” Diunduh 14 Maret 2018. https://guruppkn.com/demokras-era reformasi. Diunduh 15 Maret 2018.

Fuller, Andy. 20011. Sastra dan Politik Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Yogajakarta : Insist Press.

Gaffar, Affan. 1983. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Jakarta : Rajawali.

Geertz, Clifford. 1999. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Budi Hermawan). Yogjakarta : Kanisius.

Suaka, I.N. 2013. “Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dalam Novel: Refleksi Budaya Politik Era Orde Baru.” Makalah dalam Seminar KKL di Universitas Muhamadyah Malang, 19 Juni.

ESTETIKA SEBAGAI YOGA SANG KAWI DALAM KAKAWIN SUTASOMA

Oleh: I Nyoman Sukartha Prodi Sastra Jawa Kuno FIB UNUD E-mail: [email protected]

Abstrak

Kakawin Sutasoma merupakan karya dari Mpu Tantular. Karya itu mengisahkan perjalanan hidup seorang putra raja Mahaketu di kerajaan Hastinapura. Sebagai putra raja beliau tidak mau hidup begelimang harta. Beliau ke luar dari istananya untuk mencari jati diri. Dalam pencaharian itu berbagai rintangan dihadapinya. Namun beliau tetap teguh memegang keyakinannya. Godaan demi godaan, derita demi derita, dan berbagai ancaman mara bahaya mampu beliau lalui. Metode pencarian beliau adalah yoga/ hubungan atau penyatuan diri dengan sang Khalik. Setidaknya ada enam tahapan yoga dalam Kakawin Sutasoma. Keenam tahapan itu disebut Saḍanggayoga. Demensi ruang dan waktu mampu dilewatinya. Itulah estetika yang merupakan wujud yoga sang kawi. Manunggal dalam kebinekaan sebagai ciri khusus kakawin menarik untuk diteliti. Namun, tulisan tentang estetika dalam kakawin tersebut belum ada. Pentingnya makna dan manfaat uraian estetika seperti yoga sang kawi perlu diungkap untuk bisa dijadikan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Yoga berarti penyatuan, kebersatuan dari keberanekaan.

Kata Kunci: Bhineka, Yoga, dan estetika.

1. Pendahuluan Kata estetika yang dikenal di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan harafiah dari bahasa Inggris aesthetics (Echols dan Hassan Shadily, 1989: 15). Kata ini berasal dari bahasaYunani aesthesis yang berarti ‘perasaan’. Kata ini pertama kali digunakan oleh filsuf Jerman Baumgarten (1714-1762) untuk menyebut ilmu yang berhubungan dengan filsafat keindahan. Sebelum kemunculan filsuf Baumgarten, sebenarnya masalah seni dan keindahan telah digunakan oleh filsuf lain walaupun dengan sebutan yang berbeda. Aristoteles misalnya, seorang filsuf Yunani yang hidup antara tahun 384-322 SM, menyebut masalah yang berhubungan dengan seni (keindahan) dengan istilah poetika. Istilah poetika sebenarnya adalah judul sebuah buku yang ditulis

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 157 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 158 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Aristoteles sekitar tahun 340 SM di Athena. Buku ini memuat sejumlah teori mengenai jenis-jenis tertentu wacana sastra dalam ruang lingkup yang cukup luas, seperti sastra jenis puisi, tragedy serta cerita kepahlawanan seperti epos. Teori-teori yang dikemukakan Aristoteles sangat penting dan berpengaruh sangat besar di kalangan dunia Barat serta pada umumnya diterima dan menjadi dasar estetika dan filsafat seni dalam sejarah kebudayaan Barat (Susanto,2014:222). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata estetika diartikan: (1) cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan masyarakat terhadapnya; (2) kepekaan terhadap seni dan keindahan ( Moeliono dkk, 2008: 382) Filsafat adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua gejala yang ada dari segi sebab akibat dengan menggunakan akal budi. Penelitian tentang Kakawin Sutasoma telah banyak dilakukan. Namun, estetika dalam Kakawin Sutasoma belum pernah dibahas sebagai karya tulis. Untuk itu dicoba mengungkapnya.

2. Metodologi. Tulisan ini bersifat kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskripsi kritis dengan pola berpikir induktif. Metode yang digunakan metode kepustakaan, pengumpulan data, analisis data dan metode penyajian hasil analisis data. Semiotika merupakan teori yang melandasinya.

3. Estetika dan Seni Estetika dan seni masing-masing memiliki makna yang berdekatan dan berkait dengan sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra (Panuti Sudjiman, 1984) estetika diartikan sebagai telaah emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan rasa keindahan dalam sastra. Estetika berurusan dengan konsep-konsep tentang keindahan. Sastra diartikan karya, baik lisan maupun tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam menelaah masalah yang berkait dengan keindahan, estetika tidak membatasi diri pada masalah keindahan sebagaimana yang terlihat secara konkret (lahiriah) pada karya-karya seni, misalnya pada karya-karya lukisan, patung dan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 159 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 lain-lain, tetapi ingin melihat dan membahas apa yang tersembunyi di balik gejala tersebut. Mutu sebuah karya sastra tidak dapat hanya dilihat dari aspek verbal melalui penggunaan bahasa yang indah, seperti dalam sistem persajakan atau pilihan kata, tetapi ia perlu dilihat secara menyeluruh, misalnya tema atau amanat serta struktur pada tataran sistem sastra secara menyeluruh termasuk di dalamnya aspek nilai (value). Masalah keindahan (estetika) tidak dapat dilepaskan dari masalah seni (arts) karena keduanya berkait. Secara umum, kata seni berpadanan dengan kata indah walaupun pada batas-batas tetentu apabila dilakukan pengkajian secara lebih jauh kedua istilah itu berbeda. Pandangan masyarakat umum cenderung mengatakan bahwa seorang seniman (artist) adalah penghasil karya seni yang indah. Di dalam kenyataannya, tidak selamanya karya seni yang dihasilkan seniman mendapat tanggapan luas dari masyarakat akibat karya seni yang dihasilkannya kurang menyentuh batin atau perasaan masyarakat. Jadi, karya seni itu berhubungan dengan kepekaan ”rasa” seseorang. Anggapan masyarakat bahwa setiap karya seni yang dihasilkan para seniman itu indah merupakan akibat dari pengertian yang ditanamkan pada istilah seni: bahwa ciri seni adalah keidahan. Di dalam karya sastra tradisional, seperti dalam sastra Jawa Kuna jenis kakawin, para pujangga zaman dahulu (sang kawi) sering menggunakan isitilah lango atau kalangwan untuk mengacu pada makna keindahan setiap karya kakawin yang digubahnya. Dalam beberapa karya kakawin sang kawi secara sadar menyebut tujuan penggubahan kakawin untuk mengejar keindahan (lango). Untuk mencapai tujuan dimaksud sang kawi melakukan perjalanan ke segara wukir, melakukan aktivitas-aktivitas ritual tertentu yang berkait dengan perbuatan keagamaan (yoga dan semadhi). Dalam aktivitas inilah sang kawi berharap agar dewata yang dipuja (istadewata) berkenan turun memberikan inspirasi agar berhasil menggubah karya kakawin. Selama perjalanan sang kawi ke segara wukir berbagai hal telah dialami dan semua menjadi ”pengalaman estetik” yang berharga bagi sang kawi dalam rangka mewujudkan karya yang digubahnya agar dapat menjadi karya yang susastra. Menurut pengakuan Zoetmulder (1983) kata kalangwan atau lango dalam bahasa Jawa Kuna sulit dicarikan padanannya dalam bahasa-bahasa nusantara

160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 terutama dalam hal konsep yang dikandungnya untuk mengungkapkan pengalaman estetik bagi seorang kawi selama proses perjalanannya menggubah kakawin sampai berujud karya yang disebutnya sebagai ”candi pustaka”. Zoetmulder secara lebih jauh mengatakan bahwa tidak ada satu bahasa pun yang dapat menyamai kekayaan akan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pengalaman estetik seperti dalam bahasa Jawa Kuna. Pengalaman estetik serta keindahan di kalangan para penyair (Jawa Kuna) dianggap sesuatu yang berasal dari ”surga” yang disambut dengan rasa religius. Menggubah suatu karya kakawin dianggap sebagai suatu perbuatan keagamaan (Dick Hartoko, 1990: 16). Oleh karena itu, bagi masyarakat : membaca, mempelajari, apalagi mengaktualisasikan nilai-nilai yang dikandung pada karya-karya sastra kakawin dapat diartikan sudah mengikuti perbuatan para kawi jaman dahulu. Hal inilah yang perlu dipahamai masyarakat. Dalam ilmu sastra hal-hal yang berkait dengan masalah seni atau keindahan serta bagaimana tanggapan masyarakat terhadapnya dikenal dengan istilah estetika resepsi atau estetika tanggapan, yaitu estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau penerimaan masyarakat atau pembaca terhadap sebuah karya sastra.

4. Kaidah Estetik Karya Sastra Nilai estetik dalam karya sastra tradisional/klasik terutama jenis kakawin menurut Zoetmulder (l983: 204-217) erat kaitannya dengan perbuatan yoga. Mengarang kakawin dapat dianggap sebagai perbuatan yoga atau melakukan latihan-latihan rohani tertentu. Dalam konteks ini, puisi bagi seorang penyair kakawin (kawi) adalah semacam ”yoga”, sedangkan sang kawi adalah seorang ”yogi”. Maksudnya, orang yang melakukan latihan rohani tertentu (melakukan hubungan dengan Tuhan atau manunggaling kawula dengan Gusti). Dalam pandangan agama Hindu konsep yoga mengacu kepada; suatu usaha setiap orang untuk mencapai kesatuan dengan sang pencipta (sang Chalik). Dengan cara seperti itu, setiap orang yang melakukannya akan dapat mencapai kelepasan, bebas dari rantai ikatan reinkarnasi yang disamakan dengan ”moksa” (suka tan pawali duhka). Bagi pujangga klasik (sang kawi) puisilah yang mejadi sarana utama untuk mencapai tujuan akhir. Puisi adalah agamanya. Sang Dewa yang ingin

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 161 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ditemukannya menjelma selaku dewa keindahan. Dewa yang selalu diharapkan hadir melalui yoga yang dilakukannya agar sang kawi berhasil dalam mengerjakan karya yang digubahnya. Bagi sang kawi persatuan dengan dewa keindahan sekaligus menjadi jalan atau sarana dan tujuan. Maksudnya, jalan untuk mencipta karya keindahan, yaitu kakawin-nya dalam rangka mencapai kebebasan ikatan kehidupan. Kakawin juga merupakan wadah bagi diciptakannya kaidah-kaidah estetika. Wadah yang dengan kata atau bahasa menjelmakan keindahan agar dapat menjadi wadah bagi Sang Dewa dan sekaligus sebagai objek pemusatan pikiran, baik bagi sang penciptanya maupun untuk orang yang membaca atau mendengar kakawin tersebut. Dengan mencipta suatu karya kakawin serta menikmatinya, orang larut di dalam pesona keindahan yang disebut lango. Kaidah-kaidah estetik seperti ini dalam karya jenis kakawin dinyatakan di dalam bait-bait pembuka (manggala). Bagi seorang pujangga kakawin (sang kawi) menggubah karya kakawin merupakan petunjuk tentang proses pembacaan serta pemahaman nilai-nilai budaya termasuk pemahaman pada kaidah-kaidah estetiknya. Demikian pula dengan membaca teks kakawin dapat telah mengikuti serta mengulangi usaha sang kawi dalam rangka menyatukan pikiran dengan alam semesta (skala) ke alam niskala untuk mencapai kesatuan dengan dewa. Dalam Kakawin Sutasomapengarang mengetengahkan konsep yoga yang diperkenalkan dengan istilah Saḍanggayoga. Sad berarti ’enam’, sedang yoga diartikan sebagai ’hubungan’. Jadi, Saḍanggayoga berarti ’enam tahapan yoga (Zoutmulder, 2006: 972) atau enam jalan dalam melakukan penyatuan dengan Tuhan’. Keenam yoga yang dimaksud adalah: Prathyȃhȃra (penyaluran atau pengendalian panca indra), Pranayama (penguasaan nafas), Tarka (pengheningan pikiran), Dharana (pemusatan pikiran), Dhyana (kontemplasi), Samadhi (keadaan supra sadar). Dharana, Dhyana, dan Yoga Samadhi diistilahkan dengan Samyama (ko-konsiliasiatau penyelarasan) (bandingkan: Soegriwa, tt ;26-37 dan Polak, 1996: 146-257). Konsep yoga dalam Kakawin Sutasoma mengajarkan penyatuan dalam keberbinekaan; penyatuan antara buana alit dengan buana agung (manunggaling kawula gusti) dengan dilandasi cinta kasih dalam arti luas. Pengarang melalui tokoh

162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sutasoma menganjurkan konsep yoga dengan kepasrahan dan kesadaran yang sejati/ hakiki. Apapun jalan (paham, agama) yang digunakan, hal itu mengacu kepada tujuan yang sama. Sebab semua hanyalah cara yoga atau cara menghubungkan diri dengan Tuhan. Bencana, godaan, derita, hingga ancaman pada nyawa bukan merupakan rintangan dalam melaksanakan yoga.Tindak (Kriya Yogaatau yoga permulaan) dan batin (Jnyana Yoga) hanyalah cara atau jalan untuk pencapaian kebahagiaan atau moksa. Sutasoma menolak hadiah kesaktian yang diberikan oleh dewa kuburan sebab kesaktian hanyalah akan membuat manusia sombong, jumawa dan lupa diri.Kesaktian semacam itu tidaklah penting bagi penekun yoga. Pada kesempatan lain, Sutasoma menyerahkan diri ketika macan lapar mau memangsa anaknya yang masih kecil. Sutasoma melarang si indiuk macan memangsa anaknya. Sebagai gantinya, ia rela menyerahkan diri untuk dimangsa. Akhirnya si macan memangsanya. Namun, akhirnya Sutasoma dihidupkan kembali oleh dewa junjungannya dan si macan menyesali diri. Si Macan akhirnya menjadi murid Sutasoma. Sutasoma juga pasrah ketika Gajah Waktra mau membunuhnya. Tiada ketakutan sedikitpun dalam diri Sutasoma. Namun, kembali Gajah Waktra harus menyerah dan menjadi muridnya. Pada bagian akhir cerita, Sutasoma tidak melawan ketika Raksasa Porusadha mau menangkap Sutasoma untuk diserahkan kepada Dewa Kala. Sutasoma pasrah diri ketika diserahkan kepada Dewa Kala. Dewa Kala berubah wujud menjadi seekor naga besar (Ngagendra). Sutasoma dimasukkan ke dalam mulut si naga, namun sang naga atau Dewa Kala tidak mampu menelannya. Hal itu terjadi berkat keteguhan yoga Sutasoma, berkat pasrah dirinya, atau Samyama Sutasoma yang mampu mengatasi indriya (Porusadha), demensi”ruang” (ular, macan dan Gajah Waktra) dan mengatasi demensi ”waktu” (Sang Kala dalam perwujudan ular naga). Akhirnya, Sutasoma memperoleh pencerahan (moksa) atau suka tan pawali duka (kebahagiaan abadi). Itulah konsep yoga yang indah bagi Sang Kawi yang diuntai dalam balutan ceritera Kakawin Sutasoma.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 163 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

5. Kesimpulan Estetika dalam Kakawin Sutasoma adalah yoga sang Kawi. Yoga adalah penyatuan diri/ moksa/ suka tan pawali duhka.

DAFTAR PUSTAKA

Echols dan Hassan Shadily, 1989: Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta’ Jambatan.

Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.

Polak, Maijor. J.B.A.F (Penerjemah).1996.Pȃtaňjali Rȃja Yoga.Surabaya; Paramita.

Soegriwa, I GustiBagus. 1959. “Kakawin Sutasoma Jilid VI”. Denpasar; Pustaka Balimas.

Sukartha, I Nyoman. 2015. “Kelisanan Dalam Mabebasan Di Bali” (Disertasi). Denpasar; Program Pasca Sarjana Linguistik (S3) Universitas Udayana.

Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha.I Nyoman. 2017. “Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana” dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.

Sukartha I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka Prakarana”. Denpasar. Program Studi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Zoutmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick. Hartoko. Jakarta. Jambatan.

KEKOHESIFAN DALAM WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI

Oleh I Nyoman Suparwa Prodi Sastra Indonesia FIB Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Kekohesifan dalam wacana merupakan hal penting dalam pemakaian bahasa karena menyangkut kepaduan bentuk yang secara struktural menghasilkan ikatan sintaktikal. Sementara itu, wacana itu sendiri adalah satuan kebahasaan yang berada pada posisi tertinggi dan merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Dalam ceritra naratif, kekohesifan wacana akan menjamin keapikan dan kerapian susunan kalimat dalam paragraf/wacana/dialog, sehingga tercipta rangkaian ceritra yang serasi dan mudah dipahami serta menarik. Dalam kajian ini dibahas, “Bagaimana kekohesifan dalam wacana naratif bahasa Melayu Bali?” Bahasa ini dipakai oleh masyarakat Melayu di Desa Loloan, Negara, Kabupaten Jembrana, Bali yang dominan digunakan secara lisan. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah Teori Wacana, khususnya teori Kohesi yang dikembangkan oleh Halliday dan Hassan (1976) dengan metode penelitian deskriptif yang gayut. Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana naratif bahasa Melayu Bali dominan ditemukan tanpa alat kohesi dalam pembentukan kekohesifan wacana tersebut. Hal itu bisa terjadi karena wacana yang ada dominan berbentuk dari dialog yang cenderung tidak secara eksplisit dengan alat kebahasaan dalam membangun kekohesifannya. Pemakaian alat kohesi yang ditemukan dapat berupa repetisi, kata ganti, dan pemakaian konjungsi.

Kata kunci: kekohesifan, wacana naratif, bahasa Melayu Bali

PENDAHULUAN Kekohesifan dalam wacana merupakan hal penting dalam pemakaian bahasa karena menyangkut kepaduan bentuk yang secara struktural menghasilkan ikatan sintaktikal. Kohesi merupakan hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik melalui strata gramatikal maupun leksikal (Gutwinsky, 1976:26). Sementara itu, wacana itu sendiri adalah satuan kebahasaan yang berada pada posisi tertinggi dan merupakan unsure kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Wacana yang utuh dibangun oleh dua unsur, yaitu kohesi dan koherensi (Mulyana, 2005:26). Kohesi termasuk hubungan bentuk dan keherensi termasuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 164 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 165 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 hubungan semantik/makna, sehingga kedua hubungan tersebut dapat membentuk satu kesatuan pemakaian bahasa yang utuh. Wacana naratif adalah bentuk wacana yang digunakan untuk menceritrakan suatu kisah (Mulyana, 2005:48). Uraian wacana jenis ini cenderung ringkas; bagian-bagian yang dianggap penting sering diberikan tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri dengan alinea penutup. Wacana jenis ini banyak dijumpai dalam pemakaian bahasa yang terkait dengan tradisi berceritra dalam masyarakat tertentu, baik ceritra lisan. Wacana naratif dalam masyarakat Melayu Bali ditemukan dalam bentuk lisan. Ceritra ini disampaikan dari “mulut ke mulut” oleh penuturnya karena bahasa ini belum memiliki tradisi tulis. Ceritra jenis ini disebut juga ceritra lisan atau ceritra rakyat yang masih hidup dan dipelihara oleh masyarakatnya karena merupakan tradisi turun- temurun dan dipandang sebagai kekayaan budaya yang harus dipelihara dan dikembangkan. Tradisi lisan ini disampaikan dalam bahasa Melayu yang mereka sebut bahasa Melayu Loloan atau bahasa Melayu Loloan Bali atau bisa juga disebut bahasa Melayu Bali karena bahasa Melayu ini hanya ditemukan di daerah Desa Loloan (Loloan Timur dan Loloan Barat), Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Walaupun belakangan penutur bahasa ini berpindah tempat tinggal, seperti karena perkawinan atau pekerjaan, Desa Loloan tetap dipandang sebagai daerah pakai bahasa Melayu tersebut. Secara historis dasar atau asal bahasa Indonesia yang pada 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa Nasional dan tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan sebagai bahasa Negara (Indonesia) adalah bahasa Melayu (Arifin dan Amran Tansai, 1987:3—4). Bukti historis yang mendukung kehidupan bahasa Melayu pada zaman lampau di Indonesia adalah bukti tertulis dan bukti lisan. Bukti tertulis adalah berberapa prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu, seperti Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Prasasti Talang Tuo (684 M), dan Prasasti Kota Kapur (686 M) di daerah Sumatra. Sementara itu, bukti lisan adalah berbagai dialek bahasa Melayu dan tersebar di seluruh Nusantara, seperti dialek Melayu Jakarta, Melayu Menado, dan Melayu Loloan Bali (Suparwa, 2006). Bahasa Melayu Loloan Bali memilki kekhasan kebahasaan (mikrolinguistik) dan luar bahasa (makolinguistik). Fenomena kebahasaan yang menonjol dalam

166 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bahasa tersebut terkait dengan kewacanaan terlihat pada contoh wacana tuturan (dialog) berikut ini. Kate Sang Kue: “Sang Darek, mintak le aku.” ‘Sang Darek (kera) minta (lah) aku’ Sang Darek : ”manjet le kau”. ‘Memanjat (lah) kau’ Sang Kue : “Aku dak bise manjet, mintak le aku dami-daminye!”. ‘Aku tidak bisa memanjat. Minta(lah) aku dami-daminya’

Ilustrasi di atas memperlihatkan kekhasan bahasa Melayu Bali jika dilihat dari perbandingan dengan bahasa Indonesia yang merupakan perkembangannya. Perbandingan mikrolinguistik memperlihatkan adanya kekhasan fonologis berupa bunyi monoftong pada kata kalo, juga dilafalkan kalok, yang dalam bahasa Indonesia diftong kalau. Selain itu, dalam bidang morfologi diperlihatkan dengan kemunculan prefiks nasal ny- seperti pada kata manjet dan mintak yang dalam bahasa Indonesia prefiks meng- seperti memanjat dan meminta. Dalam bidang sintaksis, terlihat kekhasan dalam pemakaian penanda kalimat seperti le yang tidak memiliki arti leksikal, tetapi berfungsi secara sintaksis. Fenomena tersebut perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut secara linguistik, termasuk kajian kewacanaan. Pada Masyarakat Loloan, terutama generasi muda, gerakan pelestarian dan pengembangan tradisi budaya, termasuk bahasa, terus digalakkan. Perkumpulan pemuda Loloan yang menamakan diri sebagai komunitas Pemuda Loloan menginisiasi gerakan 30M di Rumah Baca (Bali Post, 2018:10). Gerakan itu berupa kegiatan membaca selama 30 menit setiap hari. Hal itu dilakukan guna meningkatkan budaya baca (literasi) masyarakat Loloan karena ditengarai akhir- akhir ini kegiatan membaca generasi muda mulai tergerus oleh derasnya pengaruh memainkan gadget, gosipin orang, atau yang sejenis lainnnya. Dengan literasi mereka bisa mencari informasi dan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, kajian wacana naratif bahasa Melayu (Loloan) Bali menjadi penting karena terkait juga dengan budaya leterasi tersebut yang dalam hal ini dapat menambah khazanah kajian ceritra rakyat Melayu Bali. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, terlihat bahwa masalah yang dibahas dalam kajian ini adalah wacana naratif dalam bahasa Melayu Bali. Dalam kaitan ini, tidak semua maslah yang berhubungan dengan kewacanaan dibicarakan; kajian difokuskan pada kajian kohesinya saja karena kajian ini lebih menekankan pada kepaduan wanaca dalam hal bentuk satuan lingual kebahasaan. Untuk itu,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 167 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masalah yang dikaji adalah “Bagaimana pemakaian kebahasaan dalam membangun kekohesifat wacana naratif bahasa Melayu Bali?” Dalam hal ini, masalah terkait dengan hal itu, terutama kekoherensian tidak dibahas karena hal itu terkait dengan keterhubungan makna/arti. Selain itu, seperti disebut di depan bahwa objek kajian penelitian ini adalah bahasa lisan sehingga menjadi penting untuk dikaji unsur kebahasaan dalam membangun keterhubungan satuan bahasa dalam membangun keutuhan wacana. Teori yang digunakan dalam kajian bentuk kohesi tersebut adalah teori wacana, khususnya yang terkait langsung dengan kekohesifan dalam satuan wacana. Teori tersebut adalah teori Kohesi yang dikembangkan oleh Halliday dan Hassan dalam bukunya Cohesion in English (1976). Dalam kaitan itu, kohesi diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara structural membentuk ikatan sintaktikal. Gutwinsky (1976:26) memperjelasnya dengan menyebutkan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun leksikal. Kohesi wacana terbagi atas dua aspek, yaitu kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Kohesi leksikal meliputi sinonim, antonym, repetisi, kolokasi, dan ekuivalensi, sedangkan kohesi gramatikal meliputi referensi, substitusi, ellipsis, dan konjungsi (halliday, 1976:21).

METODOLOGI Sumber data kajian ini adalah wacana naratif berupa dongeng berbahasa Melayu (Loloan) Bali. Dongeng tersebut umumnya menceritrakan kisah tentang binatang dengan judul masing-masing (1) Sang Darek ajak Sang Kue, (2) Empat Ekor Sampi (3) Pesen Mak, (4) Alkisah (Cerita Nenek Rate), (5) Kancil Nyuri Ketemun, (6) Kerbo yang Belog, (7) Tekos ajak Singe, dan (8) Kancil jak Bekecot. Cerita tersebut dikaji dengan metode pengumpulan data adalah metode simak untuk menemukan sistem kekohesifan wacana; kemudian, metode analisisnya berupa deskriptif eksplanatori, yaitu berupa penggambaran dengan kata-kata dan disertai penjelasannya.

KEKOHESIFAN WACANA NARATIF BAHASA MELAYU BALI

168 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ceritra naratif adalah sebuah teks. Halliday dan R. Hassan (1976:6) mengatakan bahwa teks adalah pemakian bahasa, baik lisan maupun tulisan, baik dalam bentuk prosa, puisi, dialog, maupun monolog, yang membentuk satu kesatuan gagasan. Teks tersebutlah yang disebut dengan wacana. Kohesi muncul apabila penafsiran tertentu di dalam sebuah teks bergantung kepada penafsiran unsur lain yang ada di dalam teks yang sama. Kekohesifan dalam ceritra naratif bahasa Melayu Bali diperlihatkan oleh adanya kesinambungan ceritra dan dapat dipahami dengan baik oleh lawan bicaranya. Dalam realisainya, kekohesifan tersebut dicapai dengan alat kohesi dan/atau tanpa alat kohesi. Contoh berikut ini memperlihatkan kekohesifan yang dicapai dengan tanpa alat kohesi. (1) Sang Kue : “Sang Darek, mintak le aku” ‘Sang Darek (kera) minta (lah) aku’ Sang Darek : “Manjet le kau!” ‘Memanjat (lah) kamu!’ Sang Kue : “Aku dak bise manjet, mintak le aku dami-daminye!” ‘Aku tidak bisa memanjat, minta (lah) aku dami- daminya!’

Dialog di atas memperlihatkan bahwa antara kalimat (1) dengan kalimat (2) tidak memperlihatkan secara tersurat (tertulis) kekohesifannya. Komunikasi itu bisa berlangsung karena adanya saling pemahaman antara pembicara dan pendengar tentang topik yang dibicarakan bahwa Sang Kue meminta buah pisang di dekat Sang Darek di pohon pisang (di atas). Dalam hal ini, Sang Kue berada di bawah, sehingga Sang Darek meminta Sang Kue untuk naik (memanjat). Umumnya, wacana yang ditemukan dalam ceritra naratif bahasa Melayu Bali berupa dialog yang tidak secara eksplisit menggunakan alat kohesi walaupun semua wacananya tergolong kohesif karena tertata apik dan dapat dipahami oleh pendengarnya. Hal yang berbeda terdapat pada wacana yang lain seperti di bawah ini. (2) “Aku tetep di sini, kau pasti pangenan kalok nemui singe.” Kate sampi ketiga ‘aku tetap di sini, kamu pasti menyesal jika bertemu dengan singa; kata sapi ketiga’ “Aku dak takut jak singe,” kate sampi keempat’ ‘aku tidak takut dengan singa, kata sapi keempat’

Wacana (2) itu memperlihatkan pemakaian alat kohesi dalam menghubungkan kalimat (1) dengan (2). Alat kohesi yang dimaksud adalah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 169 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pengulangan kata singe ‘singa’. Pemakaian alat kohesi seperti itu disebut dengan istilah pengulangan kata kunci. Alat kohesi lain adalah pemakaian kata ganti. Kata ganti ada bermacam- macam, seperti kata ganti orang (Orang I, Orang II, Orang III) atau kata ganti tunjuk, seperti ini dan itu. Dalam wacana naratif bahasa Melayu Bali, pemakaian alat kohesi berupa kata ganti ditemukan pada wacana berikut ini. (3) Ade seorang pemude bername Abdul, di Dusun Kombading. Die mekerje mancing ikan di sunge/nyale. ‘Ada seorang pemuda bernama Abdul, di Dusun Kombading. Dia bekerja memancing ikan di sungai/nyale’

Dalam wacana (3) ditemukan kata die ‘dia’ pada kalimat (2) yang berfungsi menghubungkan kalimat (1) dengan kalimat (2). Kata ganti die ‘dia’ merupakan pengganti orang yang bernama Abdul pada kalimat (1). Selain kata ganti dia, dalam wacana naratif bahasa Melayu Bali ditemukan juga pemakaian kata ganti nye ‘nya’, seperti pada wacana berikut ini. (4) Tibe-tibe muncul anak dare dengel. Rambutnye ikel mayang, idungnye mancung, kulitnye kuning langsat. ‘Tiba-tiba muncul anak gadis cantik. Rambutnya ikal mayang, hidungnya mancung, Kulitnya kuning langsat’

Alat kohesi berupa konjungsi ditemukan pada wacana berikut ini. (4) Abis lari jauh, si kancil berenti, die lempe, teros die manggil bekecot; “bekecooooot!” “Iye, aku di sini,” bekecot mesaut. Begitu teros sampek si kancil dak kuat lari kerane lempe. Akhirnye, si kancil nyerah. ‘Sehabis lari jauh, si kancil berhenti, dia lelah, lalu dia memanggil bekecot; “bekecooot!” “Iya aku di sini” bekecot menjawab. Begitu seterusnya sampai si kancil tidak kuat berlari karena lelah. Akhirnya, si kancil menyerah’

Pemakaian konjungsi pada wacana di atas terlihat dalam kalimat (1) dan kalimat terakhir. Pada kalimat (1) ditemukan pemakaian konjungsi teros ‘terus’ dan pada kalimat terakhir ditemukan pemakaian konjungsi akhirnye ‘akhirnya’. Konjungsi teros ‘terus’ dipakai untuk menghubungkan pernyataan yang berupa lanjutan; dalam bahasa Indonesia biasanya dipakai konjungsi lalu, kemudia, terus,

170 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan yang sejenisnya. Konjungsi akhirnye ‘akhirnya’ dipakai untuk menghubungkan pernyataan yang berupa penyelesaian peristiwa. Dalam beberapa wacana, tidak selalu pemakaian alat kohesi tunggal, seperti dipaparkan di atas, yaitu repetisi, kata ganti, atau konjungsi. Alat kohesi juga ditemukan dalam pemakaian campuran di dalam sebuah wacana. Artinya, dalam wacana tersebut ditemukan beberapa alat kohesi yang dipakai secara bersamaan. Berikut ini adalah wacana yang memakai alat kohesi yang ganda. (5) Tak lame, die nemui lobang di bawah pager, tempat si kancil masuk kebonan dia. Pak Tani lekes nyoncong lobang yang same di sampeng lobang yang buatnye jak kancil. Tapi lobang tu totopinye ajak kayu-kayu kecik jak daun-daunan. ‘Tidak lama, dia menemukan lubang di bawah pagar, tempat si kancil masuk kebun dia. Pak Tani cepat-cepat menggali lubang yang sama di samping lubang yang dibuat oleh Kancil. Akan tetapi, lubang itu ditutupnye dengan kayu-kayu kecil dan daun-daunan.’

Alat kohesi campuran ditemukan pada kalimat terakhir, yaitu konjungsi tapi ‘akan tetapi’, kata ganti tunjuk tu ‘itu’, dan –nye ‘nya’ mengganti kata Pak Tani. Dengan demikian, alat kohesi konjungsi bisa dicampur penggunaannya dengan alat kohesi yang lain, yaitu kata ganti tunjuk dan kata ganti orang. Umumnya, alat kohesi konjungsi ditemukan dominan dalam wacana monolog, sedangkan alat kohesi kata ganti dominan ditemukan dalam wacana monolog.

SIMPULAN Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa wacana naratif bahasa Melayu Bali dominan ditemukan tanpa alat kohesi dalam pembentukan kekohesifannya. Hal itu bisa terjadi karena wacana yang ada dominan berbentuk dari dialog yang cenderung tidak secara eksplisit dengan alat kebahasaan dalam membangun kekohesifannya. Pemakaian alat kohesi yang ditemukan dapat berupa repetisi, seperti kata singe ‘singa’; pemakaian kata ganti, seperti die ‘dia’ atau kata ganti tunjuk, seperti tu ‘itu’, dan pemakaian konjungsi, seperti teros ‘terus’ atau akhirnye ‘akhirnya, serta pemakaian alat kohesi campuran/ganda, seperti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 171 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pemakaian konjungsi tapi ‘tetapi’ digabung dengan pemakaian kata ganti tunjuk tu ‘itu’ dan kata ganti orang ketiga –nye ‘nya’.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E Zaenal dan Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: MSP.

Bali Post. 2018. “Bangkitkan Budaya Literasi Pemuda Loloan Inisiasi Gerakan30MB di Rumah Baca”. Denpasar. Bradan, Arifin. 1995. Loloan: Sejumlah Potret Ummat Islam di Bali. Jakarta: Yyasan Festival Istiqlal II. Brown, Gillian dan Yule, George. 1983. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press. Eggins S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. Pinter Publishers: London. Halliday, M.A.K. 1975. Language as Social Semiotic. New York: Routledge, Chapman and Hall, Inc. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya, Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press.

Suparwa, I Nyoman. 2007. “Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal”. Disertasi Program Doktor Linguistik Unud. Denpasar: PPs Unud

WACANA “KERAJAAN MAJAPAHIT BALI” : DINAMIKA PURI DALAM PUSARAN POLITIK IDENTITAS KONTEMPORER

I Putu Gede Suwitha Jurusan Sejarah Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Studi ini akan membahas perubahan identitas masyarakat Bali Kontemporer, khususnya dinamika Puri dalam pusaran politik dengan mengikuti perkembangan wacana “Kerajaan Majapahit Bali”. Wacana ini dapat diamati lewat media pers di Bali khususnya Koran Bali Post, Koran Tokoh, majalah Bali Post, dan beberapa koran lainnya. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, sesungguhnya mengambil kerajaan Majapahit sebagai inspirasi untuk pencitraan. Metode bersifat historis-kualitatif dengan mengumpulkan data kepustakaan khususnya koran. Dalam analisis data dipergunakan analisis sejarah. Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif-kualitatif. Hasil studi didapat bahwa munculnya wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, merupakan wacana yang dilemparkan oleh tokoh sentralnya Aryawedakarna untuk kepentingan politik. Wedakarna dengan cerdas mengambil kerajaan Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai inspirasi dalam membangun citra diri sebagai tokoh puri. Wedakarna sesungguhnya melakukan politik identitas dan berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan dukungan suara kurang lebih 200.000 suara dalam pemili 2014.

Kata kunci: Politik Identitas, Dinamika Puri, Politik Pencitraan.

I. Pendahuluan Masyarakat Bali bergerak dinamis jika dilihat dari perjalanan sejarahnya. Pada mulanya Bali mengalami ketertinggalan dibandingkan daerah tetangganya – Jawa. Pada 1908 di Jawa berdiri Budi Utomo, sedangkan di Bali masih terjadi Perang Puputan. Tahun 1965, masyarakat Bali saling bunuh karena perbedaan partai. Pada permulaan Orde Baru, 1971, terjadi Golkarisasi, banyak rumah dari pendukung PNI dibakar (Suryawan, 1988). Pada awal abad 20, perkembangan masyarakat Bali berubah secara drastic akibat berkembangnya pariwisata. Raja Ubud, Cokorda Sukawati tampil sebagai pelopor pariwisata, pada tahun 1934 mengundang tamu-tamu asing untuk datang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 172 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 173 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ke Puri Ubud. Puri Ubud dijadikan tempat peristirahatan dan kemudian menjadi cakal-bakal berdirinya akomodasi pariwisata (Darma Putra, 2012) Berbagai wacana muncul pada awal abad 20 seperti Balinesering (1934) dan Wacana Negara Federal (1945-1946 yang dipelopori oleh Ida Anak Agung Gde Agung, putra Raja Gianyar). Setelah Reformasi muncul pula wacana “Bali Merdeka”, menyusul “Ajeg Bali” (Bali Post, 1989). Kemudian menyusul wacana “Kerajaan Majapahit Bali”, disertai dengan kebangkitan puri-puri di Bali yang mendapat momentum dari peristiwa lahirnya Persatuan Raja-raja Nusantara.

II. Metodologi Metode penelitian dan penulisan ini bersifat historis-kualitatif, dengan teknik pengumpulan data mempergunakan metode kepustakaan. Oleh karena studi wacana, bertumpu pada wacana yang muncul pada koran-koran lokal Bali, khususnya koran Bali Post Group, seperti Bali Post, Majalah Bali Post, Majalah Tokoh, dan koran-koran lainnya yang terbit antara 2009-2016.

III. Pembahasan 1. Kebangkitan Puri Di Bali Puri (Istana, Keraton), berasal dari kata Pur, yang artinya benteng pertahanan. Berdirinya sebuah kota biasanya diawali dengan Puri sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat pemerintahan (Sartono, 1977). Keberadaan Puri di Bali bermula dari ekspedisi Majapahit pada tahun 1343. Setelah Bali dikuasai oleh Majapahit, diangkatlah penguasa Bali, Sri Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Puri Samprangan, dekat Gianyar sekarang. Dipilihnya Samprangan menjadi pusat pemerintahan yang baru karena Samprangan bekas markas tentara Gajah Mada ketika menaklukkan Bali (Mirsha, 1986:123., Rai Putra, 1991: 14). Pada masa pemerintahan raja III, Dalem Ketut Ngelesir, Puri Samprangan pindah ke Gelgel pada tahun 1383. Puri baru di Gelgel disebut Swecapura atau Lingarsapura (Munandar, 2005 : 138). Selanjutnya Puri Gelgel berperan sentral sebagai penguasa tunggal di Bali. Namun sejak 1686 terjadi kemelut di Puri Gelgel karena pemberontakan I Gusti Agung Maruti. Hampir 12 tahun Maruti menjadi Raja Gelgel. Raja dan para bangsawan tinggi kerajaan sebelumnya mengungsi ke

174 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 luar Gelgel. Oleh karena pemberontakan Maruti, Bali kemudian terpecah menjadi beberapa kerajaan. Muncul Puri-puri dan Kerajaan baru yang lepas dari Gelgel seperti, Karangasem, Buleleng, Sidemen, Badung, Tabanan, Taman Bali, Payangan, dan Singarsa (Gianyar) (Munandar, 2005: 140). Secara umum pendirian Puri-puri baru ini didasari oleh sejarah yang sama yaitu mempertahankan kesinambungan pengaruh Majapahit. Bahkan pembangunan Puri-puri selalu merujuk pada Keraton Majapahit. Puri Agung Klungkung adalah Puri yang tertua dibangun sesuai dengan apa yang diuraikan dalam Kitab Nagara Kertagama. Dari aspek sosial, Puri merupakan tempat tinggal raja yang berkuasa atas seluruh wilayah, sedangkan dari aspek politik, Puri adalah pusat pemerintahan dan simbol kekuasaan politik raja. Kehidupan sosial-politik dengan ikon Puri (Istana), rupanya gejala yang umum di Asia Tenggara pada jaman itu (Gelderen, 1982: 29-30) Setelah desintegrasi Gelgel, sering disebut zaman raja-raja dan seterusnya sampai abad 20, Puri makin berkembang dengan sistem piodalisme sebagai ikutannya. Kerajaan Bali bersifat sentrifugal, raja mempunyai kekuasaan sendiri (independen). Hellen Creese (1993: 30), menyebut struktur Pemerintahan Galaksi (Galatic Polity). Klungkung sebagai pusat, dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan lain. Klungkung dianggap sebagai kerjaan yang secara simbolis sebagai pemersatu karena keturunan langsung dari Majapahit.

2. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali” Kerajaan Majapahit memang sudah tidak ada lagi sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya sejak tahun 1478. Namun semangat kebangkitan dan identitas Majapahit masih ada dan gejala ini adalah bagian dari politik identitas kontemporer Bali, yang menandai era baru dan kebangkitan baru. Politik identitas adalah politik dengan memanfaatkan identitas-identitas primordial dan membangun citra lewat aktivitas-aktivitas artificial untuk memperoleh kekuasaan. Era baru ini dipelopori oleh seorang anak muda terpelajar dan cerdas yang sudah bergelar doctor dalam usia muda (27 tahun) yang bernama Dr. Arya Wedakarna, M.Si.. Wedakarna berhasil “membius” masyarakat Bali dengan simbol-simbol agama dan identitas yang beragam seperti sebagai tokoh Hindu dengan mendirikan The Hindu Center,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 175 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tokok nasionalis dengan mendirikan The Soekarno Center dan ketua PNI Marhaenisme Bali. Identitas yang lain adalah tokoh Puri dan “Raja Majapahit Bali” dengan gelar: Abhiseka Raja Majapahit Bali-Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Istana raja bernama Istana Mancawarna yang terletak di Tampak Siring. Keberhasilan Wedakarna sebagai “Raja Majapahit Bali” merupakan sejarah berulang yaitu melaui legitemasi penguasa Majapahit seperti yang diperoleh Dalem dan para Arya 500 yang silam ketika Gajah Mada menempatkan Kresna Kepakisan sebagai Raja Bali di bawah Majapahit. Legitemasi sebagai warisan Majapahit sebenarnya tidak asing dalam sejarah Indonesia. Raden Fatah dari Demak, juga Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram masih memposisikan dirinya sebagai pewaris Kerajaan Majapahit (Supomo, 1983). Pada zaman pergerakan, inspirasi Majapahit muncul dalam gagasan-gagasan nasionalis Jawa yang sesungguhnya mengingatkan kecemerlangan zaman Majapahit. Gagasan ini kemudian mengilhami para elite modern Indonesia untuk lebih percaya diri melawan penjajah Belanda. Dr. Wedakarna adalah sosok anak muda yang menjadi anggota DPD periode 2014-2019, dari daerah pemilihan Bali. Dengan ketokohannya Wedakarna mendapat suara terbanyak pada pemilu legislatif tahun 2014 yang lalu dengan perolehan suara hamper 200.000. Ia berhasil memanfaatkan kepopulerannya sebagai identitas tokoh Puri keturunan Majapahit maupun sebagai tokoh Hindu Indonesia. Wedakarna sangat memahami konsepsi kepemimpinan Hindu yang disebut Rajarsi. Menurut konsepsi Rajarsi sesungguhnya tugas seorang kesatria adalah mulia. Oleh karena seorang kesatria dapat memimpin dan dapat menentukan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, kekuasaan itu sesungguhnya mulia, sehingga harus direbut untuk dapat mengelola nasib masyarakat. Kebanyakan tokoh puri di Bali sengaja mengkotak-kotakkan diri dan bersifat eksklusif. Hal ini pengaruh dari jaman lampau, dimana sampai abad ke 19 di Bali masih terjadi perang antar Puri. Pada masa sekarang pun pengaruh politik pilkada langsung dimana tokoh-tokoh Puri sering bersaing dan berebut kekuasaan. Wedakarna dengan ketokohannya berhasil menghilangkan sekat-sekat perbedaan antarpuri.

176 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Wedakarna terus menggalang solidaritas antar warih (keturunan) kstrya sejumlah Puri di Bali. Peran Puri sebagai pusat kebudayaan agar tetap didukung dan dipelihara. Sebelum Indonesia merdeka, Puri-puri sudah ada berjuang menegakkan Hindu. Puri adalah benteng Hindu dan benteng kebudayaan. Wedakarna menggalang Puri-puri di Bali untuk solidaritas kebangsaan. Puri juga membantu masyarakat dalam melaksanakan upacara yadnya. Peran Puri bukan untuk mengembalikan piodalisme, tetapi simbol kebangkitan agama, dan juga budaya. Masyarakat memberikan penghormatan kepada Gusti (Manunggaling Kawulo Gusti), karena sudah membantu masyarakat dan menjalankan konsep ajaran Hindu yang disebut Karma Wasana (Bali Post, 19-11-2015). Aktivitas Wedakarna bukan hanya mempersatukan Puri-puri, tetapi juga berbagai golongan dan elemen di masyarakat. Hal ini terekam dari padatnya acara permintaan dari berbagai soroh dan treh di Bali yang mengharapkan kehadiran Wedakarna untuk memberikan semangat bagi umat Hindu. Undangan datang dari golongan Brahmana, Pasek, Kebayan, Bujangga, Mahagotra, Arya Kenceng, dan yang lainnya (Majalah Bali Post, Juni-Juli 2015: 37). Keraton (Puri) di Bali memang dibangun dengan tata letak seperti di Majapahit. Silsilah raja-raja Bali dicarikan asal-usulnya di Majapahit dan Jawa. Asal-usul Brahmana juga berasal dari Jawa. Apabila kita lacak lebih kebelakang, memang terjadi perpindahan dalam proses yang panjang dari Jawa ke Bali antara abad ke-9 sampai ke-11. Dengan demikian sejarah kebesaran Majapahit selalu menjadi rujukan, referensi, dan bahkan impian yang dibanggakan sebagai identitas baru.

3. Identitas Hindu Wedakarna ditetapkan sebagai raja “Majapahit Bali” pada tanggal 31 Desember 2009 dan dilantik di Pura Besakit oleh beberapa pendeta Hindu. Usianya pada waktu dilantik 29 tahun dan sudah bergelar doctor (Bali Post, 29-07-2015). Wilayah perjuangan Wedakarna adalah seluruh Nusantara, bukan hanya Bali saja. Majapahit menurut senator termuda ini harus bangkit dan yang bisa membangkitkan adalah warihnya yang masih setia beragama Hindu. Sulit mencari

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 177 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tokoh Bali yang sepantaran dengan Wedakarna. Ini yang disebut dengan wahyu keprabon dalam filosofi Jawa. Untuk mewujudkan cita-citanya menegakkan Majapahit dan Hindu di Nusantara, Wedakarna berupaya untuk berkomunikasi dan berusaha mempersatukan Puri-puri yang tersebar di Bali. Puri yang jumlahnya ratusan dikontak dengan cara yang santun, salah satunya memberikan hadiah cindramata yang berupa lampu kristal yang merupakan simbol sinar atau cahaya. Puri adalah benteng budaya Bali, Hindu, jika Puri hancur maka Hindu akan hancur. Dalam konsep Hindu, Istana harus terang-benderang sebagai simbol kemakmuran dan cahaya Dewi Sri (Laksmi). Menurut Wedakarna ciri-ciri kebangkitan Hindu-Nusantara sesuai dengan ramalan Sabdo Palon Nayogenggong, adalah dengan menyucikan sejarah leluhur. Pada tahun 2012, Wedakarna menyucikan atma leluhur Majapahit di Trowulan. Pada tahun 2013 Wedakarna juga menyucikan leluhur Pajajaran di Candi Cangkung-Jawa Barat. Pada tahun 2014, diadakan upacara atma wedana leluhur Mataram di Keraton Mangku Negaran-Solo. Pada tahun 2015, tepatnya 4 Agustus, dilakukan upacara sedekah bumi dan entas-entas (Pitra Yadnya) untuk menyucikan arwah leluhur di kerajaan Sriwijaya di Candi Bumi Ayu-Sumatera Selatan. Di Sumatera bermunculan candi-candi Hindu seperti, Candi Bahal di Sumatera Utara, Candi Muara Takus di Riau, dan Candi Muaro Jambi di Jambi (Bali Post, 5-8-2015). Wedakarna dapat memanfaatkan jaringan Puri-puri Nusantara. Berbagai kalangan kelompok datang menemui Wedakarna menyampaikan harapan terutama bagaimana Puri menjadi simbol persatuan umat Hindu. Oleh karena itu secara rutin Wedakarna mendatangi Puri-puri di Bali dan kelompok-kelompok lainnya. Sebelum terbentuknya Parisadha, Puri-puri di Bali memang sudah berfungsi sebagai pengayom umat Hindu. Fungsi pengayom umat Hindu kemudian kembali digaungkan oleh Wedakarna.

IV. Simpulan Kerajaan Majapahit yang berbasis agama Hindu telah lama runtuh. Namun kejayaan Majapahit memberikan kebanggaan, inspirasi, dan simbol perjuangan untuk menegakkan kebangkitan Hindu-Nusantara. Kebangkitan identitas

178 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pembangunan citra Hindu sudah ada sejak keruntuhan Majapahit. Beberapa pejuang seperti Trunojoyo (abad ke-17) mengumandangkan keagungan Majapahit. Peran Majapahit sebagai inspirasi juga berlangsung pada zaman Pergerakan Nasional awal abad 20. Wacana “Kerajaan Majapahit Bali” dan kebangkitan Puri-puri tidak terlepas dari inspirasi yang digaungkan oleh tokoh Bali, Arya Wedakarna. Wedakarna tidak saja menjadikan Majapahit dan kebangkitan Hindu sebagai inspirasi, tetapi juga melakukan politik identitas dan membangun citra diri untuk memperoleh kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Darma Putra, Nyoman. 2012. Ida Bagus Kompyang - A.A. Mirah Astuti, Pasangan Pioner Pariwisata Bali. Denpasar: Jagat Press.

Munandar, Agus Aris. 2009. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri di Bali Abad 14-19. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sartono Kartodirdjo. 1977. Masyarakat Kuno. Jakarta: Bhratara.

Slamet Mulyana. 1979. Nagara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bhratara.

Suryawan, I Ngurah. 1988. Kesaksian Air Mata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Supomo R.. 1983. “Citra Majapahit dalam Tulisan Jawa dan Indonesia Kemudian” dalam A. Reid dan D. Marr ed. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Press.

Bali Post 5 Juni 2015.

Bali Post 1 Juli 2015.

Bali Post 27 Juli 2015.

Bali Post 5 Agustus 2015.

Bali Post 19 November 2015.

Bali Post 31 Desember 2015.

Bali Post 11 Juli 2016.

Bali Post 22 Juli 2016.

Bali Post 25 Juli 2017.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 179 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali Post 31 Desember 2017.

Bali Post 19 Maret 2018.

Majalah Bali Post, Juni-Juli 2015.

Majalah Bali Post, 21-27 Agustus 2017.

Koran Tokoh 14-20 November 2016.

MAKNA KOLOFON GEGURITAN WIRA CARITA PUPUTAN MARGARANA

Oleh I Wayan Cika Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM) adalah salah satu karya sastra geguritan yang cukup menarik. Selain isinya yang memuat tentang sastra dan sejarah, juga kolofonnya sangat penting. Kolofon geguritan itu terletak diawal sebagai manggala dan terletak di bagian akhir sebagai epilog. Jumlah bait yang digunakan pun cukup banyak, tidak seperti geguritan pada umumnya. Itulah sebabnya, kolofon GWCPM cukup unik dan menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, masalah yang ingin dipecahkan adalah apa makna kolofon tersebut. Untuk memecahkan masalah tersseut, digunakan teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif hermeneutik. Tujuannya adalah untuk mengungkap makna yang tersirat dan tersurat dalam kolofon GWCPM. Hasil analisis menunjukkan bahwa di bagian awal kolofon geguritan itu diungkapkan tentang puja puji atas keagungan dan kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa (Dewi Saraswati), ungkapan kerendahan hati, dan permohonan maaf. Bagian akhir kolofon, menguraikan tentang tempat, waktu terjadinya peristiwa sejarah puputan Margarana, dan pesan-pesan moral yang ditujukan kepada generasi muda penerus bangsa.

Kata kunci: makna, kolofon, geguritan, manggala, epilog.

1. PENDAHULUAN Genre sastra geguritan sungguh berlimpah ruah dan tersebar luas di kalangan masyarakat Bali. Genre sastra itu tidak hanya disimpan oleh perseorangan sebagai koleksi pribadi, tetapi juga disimpan di tempat-tempat formal oleh lembaga pemerintah dan suasta. Selain itu, kualitas isinya pun beraneka ragam, mulai dari geguritan yang berisi nilai sastra rendah sampai dengan geguritan yang bernilai sastra tinggi, yang berisi ajaran agama yang berupa tuntunan-tuntunan yang dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Atmazaki, (1990:24) mengatakan, bahwa sastra dapat memberi peluang kepada manusia untuk mempermasalahkan kehidupan sehingga dapat memunculkan gagasan yang bermakna dan dapat memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi. Itulah sebabnya, sampai saat ini

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 180 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 181 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 genre sastra geguritan masih tetap eksis dan berkembang terus di tengah-tengah kehidupan masyarakat meskipun selalu dibayang-bayangi oleh arus sejagat yang sangat deras. Dalam tulisan kecil ini, tidak mngkin semuanya itu dapat dibicarakan. Namun, dalam tulisan ini akan difokuskan kepada salah satu aspek yaitu aspek kolofon Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (selanjutnya disingkat GWCPM). Aspek kolofon geguritan itu sangat menarik itu dikaji karena memiliki keunikan tersendiri, yakni dilukiskan secara lengkap dan agak panjang, baik di bagian awal (pembuka atau dalam sastra kakawin disebut manggala) maupun di bagian akhir cerita yang disebut epilog (bagian penutup Oleh karena itu, kolofon GWCPM mengandung makna yang cukup penting untuk dikaji. Alasan mengangkat aspek kolofon GWCPM dalam tulisan adalah sebagai berikut. (1) Kolofon dilukiskan secara lengkap, baik di bagian awal (pembuka, manggala) maupun di bagian akhir (penutup, epilog). (2) Kolofon ini tidak hanya menguraikan puja puji kepada Tuhan, tetapi juga menguraikan angka tahun, tempat ditulisnya cerita, nama pengarang, dan amanat (pesan-pesan khusus) pengarang kepada generasi penerus bangsa.

2. METODOLOGI Teori yang digunakan untuk memahami makna yang tersirat dalam kolofon GWCPM adalah teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif dan hemeneutik. Teks kolofon dibaca berulang-ulang untuk mengetahui maknanya.Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui apa makna kolofon tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Deskrisi Naskah Seperti telah disinggung di atas, bahwa naskah yang digunakan dalam tulisan ini adalah naskah GWCPM. GWCPM ini disusun oleh I Wayan Narji dan diterbitkan oleh Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Daerah Tingkat II Tabanan.Bagian depan naskah (sampul naskah) berisi gambar candi Margarana dan di bawah gambar candi adat ulisan berbunyi “Geguritan Wiracarita

182 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Puputan Margarana. Di bawahnya lagi bertuliskan “Diterbitkan oleh Markas Cabang Legiun Veteran RI Daerah Tk. II Tabanan”. Selanjutnya, pada halaman Romawi kecil i ada “Kata Pengantar”, halaman Romawi kecil iii berisi sambutan Bupati Kepala Daerah Selaku Komandan/Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia Tabanan”. Pada halaman Romawi kecil vii berisi “Pendahuluan”.Selanjutnya, halaman 1 sampai dengan halaman 50 berisi bait-bait pupuh. Pengarang menggunakan sembilan jenis pupuh, yaitu pupuh Durma, Sinom, Pangkur, Semarandana, Ginada, Pucung, Maskumambang, Ginanti, dan Dandang Gula, dengan 16 kali pergantian. Kesembilan jenis pupuh, keenam belas kali pergantian pupuh serta jumlah bait yang digunakan dalam GWCPM dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. No. Nama Pupuh Prekuensi Pemakaian Pupuh Jmlh. Bait 1 Sinom Dipakai tiga kali: pada pupuh II, V, dan X 20 2 Durma Dipakai dua kali: pada pupuh I dan IV 13 3 Pangkur Dipakai dua kali pada pupuh III dan XII 14 4 Semarandana Dipakai dua kali pada VI dan XIV 20 5 Ginada Dipakai dua kali pada pupuh VII, XI dan XIII 21 6 Pucung Dipakai hanya satu kali pada pupuh VIII 12 7 Maskumambang Dipakai hanya satu kali pada pupuh IX 3 8 Ginanti Dipakai hanya satu kali pada pupuh XV 8 9 Dandang Gula Dipakai hanya satu kali pada pupuh XVI 5 J u m l a h b a i t s e l u r u h n y a: 127

3.2 Kolofon Pembuka (Manggala) Kolofon sebagai aspek pembuka (manggala) dalam GWCPM disampaikan pengarang dengan cukup panjang yaitu melalui pupuh I dan sebagian pupuh II. Aspek pembuka (manggala) pada pupuh II pengarang menyampaikan puja puji kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, menyatakan kerendahan hatinya, mohon petunjuk agar bisa menyelesaikan geguritan yang disusunnya itu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Mahakuasa agar tidak terkena kutuk atas kedurhakaannya berani menulis dan menyebut-nyebut nama para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa dan sekarang sudah sebagai bhatara-bhatari. Hal itu terlukis jelas dalam kutipan berikut. Om Sang Hyang Jagat Karana (ya Tuhan Yang Mahakuasa), Hyang Rumaga Saraswati, (dalammanisfestasi sebagai Dewi Saraswati),

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 183 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

cingak sembahnya inista (lihatlah sembahku si dungu), alpa gunatan pahbudi (yang bodoh tak berilmu), mughi sredha maweh trepti,( semoga dikau memberikan keselamatan), lantur ledang ica nuntun (lanjutberkenan memberikan tuntunan), mangda sidhi nyurat (agar hamba mampu menyelesaikan sebuah nyanyian), nartayang Pahlawan gumi (menceritakan hal hikwal para pahlawan bangsa), kala dan,gu (pada zaman yang lampau) duk nindih kamahardhikan (ketika membela kemerdekaan (Bangsa dan Negara) (II. 1)

Lantur ring ida bhatara, (Selanjutnya kehadapan paduka Bhatara), sane rumaga licin, (yang telah berbadan gaib) wus pahlawan wangsa, (telah maskur disebut pahlawan bangsa). singgih bhatara bhatari, (ya bhatara bhatari semua), mugi ledang ngampurain, (semoga berkenan mengampuni), raja panulah tan pangguh, (tidak terkena kutukan darimu),

wetning titian jagi langah (karena hamba sungguh durhaka), nyabat ngojahRatu sam (berani menyebut-nyebut namamu), ica nerus (sekali lagi) tan amaweh upadrawa (hamba mohon ampun dari segala dosa) (II. 2).

Selain puja puji kepada Tuhan dan permohonan maaf kepada para pahlawan yang sudah menjadi bhatara bhatari, pengarang juga mengingatkan kepada para generasi muda untuk mendengarkan, menghayati, dan menghargai para pahlawan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia khususnya di daerah Bali. Pada pupuh I pengarang melukiskan tentang rasa hormatnya kepada para pujangga zaman dulu yang berhasil membuahkan karya-karya agung tentang kepahlawanan. Kewajiban (swadarma) para ksatria yang gagah perkasa melakukan korban suci di medan perang karena setia membela Negara (pupuh I bait 1). Keberanian para pejuang kemerdekaan amat luar biasa. Jiwa dan raganya diumpamakan sebagai daksina(tempat bersemayam para dewa), semboyan tidak kenal menyerah diumpamakan sebagai genta,tetesan darahmusuh yang gugur di medan perang yang ditorehkan sebagai sebuah titik di tengag-tengah dahinya diumpamakan sebagai bhasma, kerelaan hati berkorban dan tidak kenal mundur dalam peperangan diumpamakan sebagai dupa dan api suci. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

184 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Ikang jiwa lawan sarira daksina (jiwa dan raganya sebagai daksina), gentan ika waksutindi, (genta itu adalah semboyan tak kenal menyerah), paka Bhasma ika (sebagai bhasmanya itu), aswanitaning sastru brasta (adalah darah musuh yang binasa), dhupa lawan dhipa suci (dupa dan api sucinya), nirmalang manah (ialah kerelaan hati berkorban), tan surud ring rane bumi (yang tak mengenal mundur dalam pertempuran) (I. 2)

Pengarang juga menjelaskan bahwa para pahlawan bangsa yang telah gugur di medan perang seperti disebutkan di atas akan mendapatkan pahala berupa kesenangan duniawi dan di dunia maya, roh dan jiwanya akan mencapai moksa (nirwana) dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi (I. 4). Selanjutnya, pada bait terakhir (5) pupuh I, pengarang melukiskan angka tahun ditulisnya GWCPM, yang meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat. Untuk angka tahun, pengarang menggunakan tahun candrasangkala. Untuk jelasnya perhatikan kutipan di bawah ini. Bhuda kliwon wara Pahang saka-kala (Pada hari rabu kliwon wuku Pahang tahun saka), kuda muka liman bhumi (1897 (1975 M), pake doning gita (nyanyian ini ditulis), sahaning putra-potrake (tujuannya ialah hanya sebagai cermin bagi generasi muda), pinipil de moha budhi (disusun oleh orang yang berhati sombong), wesman ika (rumahnya atau tempat tinggalnya ring tuduh desa pinuji di Desa Tuduh (Tunjuk) (I. 5).

3.3 Epilog (penutup) Epilog atau bagian penutup GWCPM dilukiskan pada pupuh XVI sebanyak 5 bait. Isinya menceritakan tentang tempat dan waktu terjadinya pertempuran dahsyat, yaitu di Desa Umakahang pada tanggal 20 November 1946. Di situlah para pahlawan bangsa gugur, membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa. Bagian ini juga berisi amanat pengarang, bahwa peristiwa bersejarah itu dapat dijadikan cermin dan seri tauladan oleh para putra-putri yang merupakan generasi penerus bangsa dan negara ini. Uraian epilog itu terlihat jelas dalam kutipan berikut. Puput yudha sangang dasa nem diri (Selesailah pertempuran, 96 orang), kweh pasukan lina ringpayudhan (jumlah pasukan Ciung Wanara yang gugur dalam pertempuran), tanggal rong dasa nemonin (tanggal 20 bertepatan),

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 185 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nopember bulanya tuhu (bulan November ), petang dasa nemeng warsi (1946) yudhane ring umakahang pertempuran di subak Umakahang (Marga), pahlawan wangsane mantuk (di situlah para pahlawan bangsa gugur), mintenang susrameng laga (membuktikan dharma baktinya kepada Nusa dan Bangsa, weh darsana tiniraning putra-putri (sebagai cermin yang harus dipakai seri tauladan oleh para putra-putri), satyeng wangsa lan negara (yang merupakan generasi penerus yang setia kepadabangsa dan negara (XVI. 1)

Selain itu, dalam epilog juga dijelaskan jumlah pahlawan yang gugur, yaitu sebanyak 1.371 orang yang diabadikan dalam bentuk tugu. Rinciannya adalah 11 orang bekas tentara Jepang, 64 orang ALARI, 644 orang pejuang taruna, 652 orang pejuang yang telah berkeluarga. Terakhir, berisi penjelasan tentang tinggi bangunan candi 17 meter, sebagai lambang tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut terpancang lukisan padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon beringin sebagai lambang Pancasila (XVI. 2 - 3). Tugu candi pahlawan Margarana yang menggambarkan hal tersebut adalah sebagai berikut. Bait terakhir dari epilog itu berisi permakluman kepada pemuda dan pemudi tentang kegagahperkasaan para pahlawan pejuang kemerdekaan membela Nusa dan Bangsa. Selain itu, pengarang juga menyarankan kepada kita agar giat bekerja membangun Negara, mengisi kemerdekaan dan melanjutkan cita-cita kejayaan bangsa dan Negara.(XVI. 5).

Foto Tugu Candi Pahlawan Margarana: tinggi tugu 17 meter, sebagai lambang tanggal 17, bertingkat 8 sebagai lambang bulan Agustus, tangganya 4 dan sudutnya 5 sebagai lambang tahun 1945. Pada tiap-tiap sudut terpancang lukisan padi kapas, rantai, bintang, kepala banteng, pohon beringin sebagai lambang Pancasila

186 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

4. SIMPULAN Kolofon GWCM Geguritan Wira Carita Puputan Margarana (GWCPM) adalah salah satu karya sastra geguritan yang cukup menarik. Selain isinya yang memuat tentang sastra dan sejarah, juga kolofonnya sangat bermakna. Kolofon geguritan itu terletak diawal sebagai manggala juga terletak di akhir bagian sebagai epilog. Jumlah bait yang digunakan pun juga cukup banyak, tidak seperti geguritan pada umumnya. Itulah sebabnya, kolofon GWCPM cukup unik sehingga menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, masalah yang ingin dipecahkan adalah apa makna kolofon tersebut. Teori yang paling tepat digunakan untuk memecahkan masalah itu adalah teori struktural-semiotik, ditunjang metode kualitatif hermeneutik. Tujuannya adalah untuk mengungkap makna yang tersirat dan tersurat dalam kolofon GWCPM. Hasil analisis menunjukkan bahwa bagian awal kolofon geguritan itu mengungkapkan tentang puja puji atas keagungan dan kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa (Dewi Saraswati), mengungkapkan kerendahan hati, permohonan maaf. Bagian akhir kolofon, menguraikan tentang tempat, waktu terjadinya peristiwa sejarah puputan Margarana, dan pesan-pesan moral yang ditujukan kepada generasi muda penerus bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Narji, I Wayan. 1975. Geguritan Wira Carita Puputan Margarana. Diterbitkan oleh Markas Cabang Legiun Veteran Daerah Tingkat II Tabanan.

GANESHA: DEWA BERKEPALA GAJAH, SEBUAH TARINGNYA PATAH

Oleh: I Wayan Redig, Kadek Dedy Prawirajaya R.

Abstrak

Ganesha berkepala gajah, satu gadingnya patah. Demikian salah satu dewa Hinduisme diwujudkan dalam bentuk arca dan juga bentuk verbal dalam mitologinya. Persoalannya, ada apa dengan kepalah gajah dan megapa satu gadingnya patah? Inilah permasalahan, dicari pemecahannya dalam artikel ini Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Karena itu penelitian sederhana ini dirancang dengan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan studi pustaka. Artinya penulis mencatat secara sistematis, informasi yang diperoleh dari pustaka yang dikaji. Hasil analisis menyimpulkan bahwa Ganesha adalah awalnya Dewa Non- Arya. Statusnya berubah menjadi dewa kaum Brahmana (golongan Arya) diinisiasi dengan sebuah ritual. Kepalanya dipotong dan diganti dengan kepala gajah adalah Simbolisasi dari ritual tersebut. Gadingnya patah adalah simbolisasi sebagai dewa kebijaksanaan.

Kata Kunci: Ritual, gajah, Ganesha

1. Pendahuluan

Ganesha, salah satu Dewa Hinduisme, berkepala gajah, Siwa sebagai ayahnya dan Parwati sebagai ibunya. Keberadaannya diceritakan dalam banyak kitab. Kitab Brahmanda Purana, Matsya Purana, Amsumabhedagama, Utarakamigama, Suprabhedagama, Rupamandana (Banerjea, 1985), kitab Saradatila Kagama Tantra (Bhattasali, 1972), banyak bercerita nama julukan dan karakteristik dewa Ganesha. Beberapa diantaranya, bercerita tentang geneologi atau kelahirannya. Semua kitab tersebut berasal dari India, negeri asal Ganesha mendapat pemujaan. Dalam perkembangannya, dia juga mendapat pemujaan di negeri Asia lainnya termasuk Indonesia. Kehadiran Ganesh di negeri ini juga mendapat dalam kitab-kitab yang berasal dari negeri tersebut. Kitab-kitab yang dimaksud antara lain Semaradahana, Semanasantaka, Bhomakawya, Bharatayuddha, Arjuna wijaya, Siwaratrikalpa, Tantupanggelaran dan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 187 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 188 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Korawasrama (Sedyawati, 1985). Kebanyakan kitab dari Indonesia ini kecuali Samaradahana bercerita sekilas karakteristik Ganesha. Kitab Samaradahana bercerita agak panjang disekitar keberadaan Ganesha. Diceritakan asal-usul kelahirannya sampai akhirnya menjadi pahlawan perang yang dapat menghancurkan raksasa sakti, Nilarudraka, musuh para dewa. Mengamati asal-usul kelahiran atau keberadaan Ganesha, kitab-kitab India, yang satu dengan yang lain, menampilkan versi berbeda-beda. Sedangkan kitab-kitab Indonesia, khusus tentang kelahiran Ganesha, karena hanya ada dalam kitab Samaradahana, maka di Indonesia hanya ada satu versi kelahiran Ganesha, yaitu Ganesha berkepala gajah telah terjadi pada saat dalam kandungan Parwati, walaupun pada saat berupa embrio, ia berkepala gajah tetapi karena suatu hal kepalanya berubah berbentuk kepala gajah. Berbeda dengan versi India, walaupun versinya bermacam-macam, tetapi Ganesha berkepala gajah setelah dilahirkan. Apapun versinya, yang pasti Ganesha ditakdirkan sebagai dewa berkepala gajah, baik bentuknya secara ikonografis maupun penggambarannya secara verbal dalam mitos. Menarik untuk dipertanyakan: ada apa dengan gajah, kepalanya dipakai model untuk kepala Ganesha. Lebih menarik lagi, salah satu gading atau taringnya patah. Ini juga menimbulkan pertanyaan: mengapa sesosok dewa berkepala gajah? mengapa gadingnya patah? Ada simbolisasi apa dari fenomena ini? Jawabannya bisa didapatkan dalam artikel ini.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif dengan melakukan studi pustaka. Artinya dalam pengumpulan data peneliti secara sistematis mencatat secara deskriptif, kemudian memilah-milah informasi-informasi yang diperoleh dari pustaka yang dikaji. Kajiannya tentunnya berkenaan dengan permasalah yang akan dijawab. Adapun variabel yang menjadi satuan pengamatan adalah berkenaan dengan arti penting binatang gajah bagi manusia, arti sebuah gading yang patah, dan aspek kemanusiaan sebagai penyembah Ganesha. Berkenaan dengan studi pustaka, ada satu artikel sebagai salah satanya, penulis perlu sampaikan, yang sangat erat kaitannya dengan judul penelitian ini. Artikel yang dimaksud berjudul “Mengapa Ganesha Berkepala Gajah” oleh I Wayan Redig. Artikel tersebut

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 189 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 disampaikan dalam seminar PPIS, VI tanggal 13-14 Januari 1986 di di Fakultas Sastra (sekarang: FIB) Unud. Dilihat dari segi judul ada kemiripan tetapi isinnya berbeda dengan artikel yang ditulis sekarang. Memang banyak informasi yang dikutip dari artikel tersebut tetapi dalam artikel yang ditulis sekarang ada informasi lain yang berasal dari sumber lain yang lebih luas dan valid. Karena itu kesimpulannya berbeda, artikel sekarang menyempurnakan artikel yang terdahulu.

3. Pembahasan 3.1 Simbolisasi Kepala Gajah Gajah tanpa kepala pasti mati. Gajah mati tidak bermakna bagi manusia. Makna gajah bagi manusia, terungkap dalam sebuah artikel, sudah disinggung sebelumnya, berjudul Mengapa Ganesha Berkepala Gajah? Dengan mengutip informasi dari sebuah kitab Encyclopedia Americana (Sanderson, 1977), disebutkan dalam artikel tersebut dikemukakan bahwa keberadaan gajah sangat unik. Sekalipun ia memiliki tubuh yang tinggi dan besar, tak dapat diduga ia dapat berjalan dengan cepat tanpa kedengaran gerak langkahnya. Dengan jalan biasa ia dapat menempuh 64 km per jam. Dan bila perlu 40 km dapat ditembuh dalam satu jam. Juga unik gajah yang tinggi dan besar sanggup berenang menyeberangi sungai yang lebar dan dalam, terutama bila ia memerlukan atau mencari tempat tinggal yang baru bila tempatnya yang lama tidak lagi menyediakan makanan. Dalam hal pemeliharaan anaknya, ia pelihara anak-anaknya sampai betul-betul dewasa, sehingga diperlukan waktu lebih lama dibanding dengan binatang lainnya. Lima atau enam tahun lamanya ia memelihara anaknya, baru kemudian disapih (berpisah dengan induknya). Dengan demikian cukup lama induk gajah dapat menurunkan pengetahuan naluriah kepada anak-anaknya dari aspek ini, gajah diaanggap binatang berkarakter bijaksana. Karakteristik lainnya, gajah tidak pernah berbuat sewenang-wenang kepada binatang-binatang lainnya. Ia tidak buas bila tidak merasa terganggu. Binatang-binatang lain yang ketakutan karena terancam, gajah berusaha memberi perlindungan yang baik. Gajah juga dianggap sebagai binatang yang cerdik dan emosional. Ia sedih, menangis bahkan frustasi bila diantara kawannya mendapat musibah. Ada yang

190 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sakit misalnya, akan dibawa ketempat yang aman, yang bebas dari gangguan, baik gangguan alam maupun binatang lain dan manusia. Dengan kecerdasannya ini, gajah disebut sebagi binatang yang bertingkah laku seperti manusia, berbuat berdasarkan perhitungan akal. Ada cerita unik, gajah sebagai binatang tunggangan dalam peperangan. Bila para penunggannya terbunuh dalam peperangan, diantara mereka, walaupun berupa sesosok binatang, bisa membagi tugas: yang satu bertugas mengubur yang lain menjaga yang belum terkubur. Karena karakternya mencengangkan, menyebabkan gajah dipakai lambing keperkasaan, kecerdikan dan kebijaksanaan. Berbagai mitos bermunculan yang mengangkat martabat gajah sebagai binatang yang bersifat kedewataan. Demikian asumsi yang mengemuka sebagai terungkap dalam artikel terdahulu (Redig, 1986). Selanjutnya dengan mengutip pendapat Zimmer (1946), dikemukakan lebih lanjut bahwa gajah yang ada di dunia ini adalah keturuanan gajah-gajah kedewataan yang ada di sorga, yang diciptakan oleh Brahma. Airawata, nama gajah tunggangan dewa Indra, adalah gajah pertama kali ciptaan Brahma. Ciptaan yang pertama ini adalah gajah jantan dan ciptaan yang kedua berupa betina. Gajah-gajah lainnya, terutama gajah-gajah sorgawi sebagai penjaga istana para dewa di sorga, adalah keturunan bersama gajah pertama dan kedua. Gajah-gajah sorgawi ini jumlahnya delapan pasang (jantan dan betina). Delapan pasang gajah sorgawi ini menjadi penjaga arah mata angina. Namanya secara kolektif disebut Dig-Gajas “gajah-gajah penjaga penjuru mata angina” mereka dianggap nenek moyang gajah-gajah yang ada di dunia kasat mata. Demikianlah binatang gajah ini diriwayatkan dalam artikel terdahulu. Bagian kesimpulan artikel tersebut dinyatakan bahwa binatang gajah adalah perlambang keperkasaan dan kebijaksanaan. Perlambang yang agung ini perlu dihormati, dipuja dan disembah. Sementara itu, seekor binatang tidak selazimnya mendapat penghormatan dan pemujaan. Lebih-lebih, ada anggapan kedudukan binatang lebih rendah dari manusia. Para dewalah lazimnya mendapat penghormatan dan penyembahan. Oleh karenannya terwujudlah dewa berkepala gajah (Ganesha) sebagai simbolisasi kebijaksanaan. Bertahun-tahun setelah artikel tersebut dipresentasikan dalam sebuah seminar, penulis mendapat tugas belajar dan berkesempatan membaca tulisan seorang pakar namanya: Yadawa. Ia menyatakan bahwa ‘the worship of elephant

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 191 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 paved the way to the rise of Ganesha’ (Redig, 1996:6). Jadi kesimpulan artikel terdahulu mendapat pembenaran oleh Yadawa. Namun demmikian simpulan tersebut perlu disempurnakan setelah membaca lagi tulisan para pakar lainnya. Seperti Sivaramamurti dan Sampurnanan misalnya, mereka mengatakan “many scholars believe that Ganesha was originally a non arya deity. His origin must have been associated with the elephant cult, for his apparence has much in common with an elephant. The rope for binding an elephant, I.e pasa, and the instrument for goading the animal, i.e angkusa, which are usually held by Ganesha, are also related to elephants and their controlers” (Redig, 1996: 6). Ganesha pada mulanya bukan dewa orang arya. Asal-usulnya berawal dari adanya pemujaan terhadap gajah, demikian kurang lebih dinyatakan dalam kutipan diatas. Rupanya dahulu di India ada kelompok suku orang India non-Arya, disebut Dravida, pemuja binatang gajah yang nampak angker. Mereka biasanya penganut tradisi totemisme, yang menganggap bahwa binatang adalah asal-usul keturunannya. Kalau demikian halnya, memang betul dewa mereka bukan dewa orang Arya. Namun demikian, dalam kitab-kitab weda yang tertulis jauh jaman kemudian, nama Ganesha muncul bahkan harus dipuja terlebih dahulu sebelum memuja dewa-dewa lain. Bagaimana mungkin, dewa non-Arya bisa mendominasi dewa Arya. Berkenaan dengan masalah ini Courtright menghubungkan dengan mitos-mitos kelahiran Ganesha. Sebagai sudah disinggung didepan, pada mulanya Ganesha lahir normal seperti biasa, namun kemudian kepalanya dipenggal diganti dengan kepala gajah. Pemenggalan kepala Ganesha, menurut Courtright, adalah sebuah proses ritual untuk menjadikan Ganesha, yang non-Arya menjadi orangnya dewa Arya. Courtright menyatakan sebagai berikut “The beheading represents a Significant ritual so that Ganesha who was originally non-Arya deity, aequires his devine status, or attains his admission to the Brahmanical pantheon” (Redig, 1996: 8). Jadi Ganesha berkepala gajah adalah simbolisasi proses ritual untuk menjadikan Ganesha mendapat pengakuan sebagai Dewa Arya (kaum Brahmana).

3.2 Makna Simbolik Taring Patah Ada paling tidak dua cerita dengan versinya masing-masing mengapa salah satu gading Ganesha patah. Inia da satu cerita, Ganesha dan Skanda sedang bertugas

192 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 menjaga istana Siwa. Mereka berjaga-jaga didepan pintu istana bersama dengan Skanda. Saat itu muncul Parasurama di depan mereka, menyatakan keinginannya masuk istana untuk memberi penghormatan kepada Siwa. Karena Siwa sedang tidur, Ganesha tidak mengijinkan. Parasurama bersikeras agar diijinkan masuk. Ganesha tetap tidak mengijinkan. Diawali dengan perang kata-kata, kemudian saling dorong. Skanda berusaha melerai tetapi tidak mempan. Karena sangat marah, Parasurama mengangkat senjatanya berupa kapak untuk dilemparkan kepada Ganesha. Senjata kapak itu adalah hadiah yang diberikan oleh Siwa kepada Parasurama. Merasa kasian kapak tersebut tidak mengenai sasaran, Ganesha menyerahkan taringnya untuk dikenai lemparan kapak sang ayah. Hancurlah satu taring Ganesha berkeping-keping jatuh ke tanah. Sejak itu, Ganesha hanya memiliki satu taring. Ini salah satu versi cerita, termuat dalam kitab Brahmanda dan Brahmavaivarta. Berikut versi yang lain, sebagai terungkap dalam kitab Garuda Purana diceritakan ada raksasa sakti bernama Gajamukha. Karena melakukan semadi yang sangat ketat, raksasa ini mendapat hadiah dari Brahma berupa bahwa ia tidak bisa mati terbunuh oleh makhluk apapun, kecuali makhluk aneh setengah manusia setengah binatang. Makhluk aneh ini adalah Ganesha. Dalam satu peperangan, Ganesha mematahkan taringnya untuk ditusukkan kepada tubuh Gajamukha. Dengan demikian, raksasa tersebut mati terbunuh (Redig, 1996: 28- 29). Cerita patah taring juga terjadi pada Dewa Kala. Diceritakan dewa Siwa bersama Dewi Uma sedang menyebrangi samudra. Angin laut yang begitu kencang menyingkap kain bawah Dewi Umah. Terlihat paha dewi Umah putih mulus menyebabkan nafsu dewa Siwa begejolak. Jatuh spermanya ke laut, tertelan oleh seekor ikan besar. Ikan itu bunting, kemudian lahir Bhatara Kala. Sangat ingin mengetahui ayahnya, Bhatara pergi tanpa arah melanglang buana untuk menjumpai ayah. Dalam perantauannya bertemu dengan Indra. Dalam pertemuan tersebut, Bhatara Kala mendapat penjelasan bahwa ayahnya berada di sorga. Untuk bisa masuk ke sorga, ia diharuskan mematahkan taringnya (Swastika, 2014: 59-60). Taring sebagai tersebut dalam cerita di atas, dapat dimaknai sebagai simbolis sifat-sifat manusia yang tidak baik seperti egois, serakah, takabur dan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 193 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sebagainya. Memasuki alam sorga tidak bisa disertai sifat-sifat tidak baik. Alam neraka adalah tempatnya sifat-sifat yang tidak baik. Dalam Hinduisme ada enam sifat tidak baik manusia: (1) Kama/ Raga, hanya mencari kesenangan saja; (2) Lobha, merasa kekurangan saja; (3) Moha, ingin mendapat penghormatan hingga menjadi bingung; (4) Murkha, pemarah, cepat benci; (5) Matsarya/ issya, iri hati; Sifat-sifat tersebut musuh dalam diri manusia harus dilenyapkan. Bagi orang-orang bijaksana musuh-musuh tersebut tidak ada lagi dalam dirinya. Upacara potong gigi di Bali adalah simbolisasi ritual melenyapkan keenam musuh tersebut (Kusuma, 2009: 38-39). Dalam konteks Ganesha taringnya patah dapat dimaknai sebagai simbolisasi dewa kebijaksanaan, dewa pengetahuan yang memberi pencerahan.

4. Simpulan Ganesha, pada mulanya dewa non-Arya, disembah oleh kelompok suku kuna di India, penganut tradisi totemisme. Tradisi ini beranggapan, binatang adalah asal-usul leluhurnya. Untuk mendapat tempat dikalangan kaum Brahmana (kelompok Arya), dewa pujaan non-Arya ini dinisiasi dengan sebuah ritual. Pemotongan kepala Ganesha, diganti dengan kepala gajah, adalah simbolisasi ritual tersebut. Gading Ganesha patah adalah simbolisasi kebijaksanaan, atau ia yang sudah dapat melenyapkan Sad-ripu: enam sifat tidak baik manusia. Dengan demikian jadilah Ganesha dewa kebijaksanaan, dewa yang dapat melenyapkan segala halangan yang dihadapi manusia (vignavinasana).

DAFTAR PUSTAKA

Banerjea, Jitendra Nath. 1985(rpt). The Development of Hindu Iconography. New Delhi.

Battsali, Nalini Kanta. 1972 (rpt). Iconography of the Buddhist and Brahmanical Sculpture in the Deccan Museum Delhi.

194 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sanderson, I Van T. 1977. “Elephant” Encyclopedia Americana Vol 10 pp 210-213. New York: Americana Corporation.

Sedyawati, Edi. 1985. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi. Universitas Indonesia.

Swastika, Drs. Ketut Pasek. 2014. Sangging, Tatah-Pati-Undagi. Surabaya: Paramita.

Redig, I Wayan. 1986. “Mengapa Ganesa Berkepala Gajah”makalah disampaikan dalam seminar PPIS, tanggal 13-14 Januari 1986 di Fakulatas Sastra Unud.

______. 1996. Ganesa Images from India and Indonesia. Delhi: Sundeep Prakashan.

Kusuma, Sri Reshi Ananda. 2009. AUM Upacara Manusa Yadnya. Tabanan: CV Kayumas Agung.

Zimmer, H. 1946. Myths and Symbols in Indian Art and Civilization. Edited by Yoseph Cambell, New York.

EKSISTENSI UANG KEPENG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT BALI

Oleh: I Wayan Srijaya dan Kadek Dedy Prawirajaya R E-mail: [email protected]

Abstrak

Uang kepeng merupakan salah satu artefak arkeologi yang sering ditemukan dalam suatu ekskavasi maupun kegiatan survey. Mendengar kata uang, orang hanya akan mengasosiasikan dengan benda yang berfungsi sebagai alat tukar atau alat pembayaran. Namun demikian sebagai bukti arkeologis, uang kepeng dapat memberikan banyak informasi tentang kehidupan manusia masa lalu yang meliputi aspek social, ekonomi, dan aspek relegi. Oleh karena banyaknya temuan uang kepeng dalam kegiatan penelitian sehingga member peluang untuk dapat menelusuri keberadaannya baik mengenai asalnya, kapan dibuat, atau dari dinasti apa serta apa bahannya. Dengan penemuan uang kepeng dalam berbagai kegiatan penelitian memberikan ruang untuk dapat menjelaskan hubungan politik satu pusat kekuasaan dengan kerajaan lainnya. Itulah sebabnya setiap kali mendapatkan temuan yang berbentuk uang kepeng dapat membantu pekerjaan arkeolog dalam upaya mengungkap sejarah politik masa lalu. Peranan itu sama pentingnya dengan penemuan artefak keramik karena keduanya dapat mengungkap berbagai aspek kehidupan masyarakat dimasa lalu.

Kata kunci: uang kepeng, alat tukar, bukti arkeologi

1. PENDAHULUAN

Dalam kegiatan penelitian arkeologis, baik yang berbentuk survey maupun ekskavasi sering peneliti menemukan artefak yang berbentuk uang kepeng. Penemuan uang kepeng biasanya bersama-sama dengan artefak lainnya. Disamping melalui kegiatan survey dan ekskavasi, uang kepeng juga diperoleh dari warga yang menyerahkannya kepada pihak yang berwenang. Kehadiran uang kepeng di Indonesia di duga sudah berllangsung sejak abad VII M, bersamaan dengan munculnya pusat kekuasaan di Nusantara. Oleh karena itu, penemuan uang kepeng ini akan member kesempatan untuk membuka aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya termasuk relegi. Semua aspek ini akan dapat dijelaskan oleh penemuan uang kepeng disamping sumber-sumber lainnya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 195 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 196 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengetahuan masyarakat tentang uang kepeng terbatas pada uang kepeng yang bersal dari satu pusat kekuasaan yang dalam hal ini adalah para dinasti yang pernah berkuasa di daratan Cina. Padahal dari hasil analisis yang dilakukan terhadap penemuan uang kepeng ini diketahui tidak saja dari negeri Cina, tapi ada pula dari Vietnam, Tailand, Korea, Jepang, Eropa, bahkan tidak jarang kerajaan- kerajaan yang berkembang di Nusantara pun membuat uang kepeng. Tapi dalam ingatan masyarakat, yang diketahui adalah uang kepeng yang berasal dari Cina tanpa memperhatikan kebenarrannya.

Di Bali yang sebagian besar masyarakatnya sebagai penganut agama Hindu, memiliki suatu keyakinan yang begitu kuat terhadap uang kepeng ini untuk kelengkapan sarana uapacara keagamaan. Begitu banyaknya permintaan uang kepeng untuk keperluan upacara adat mendorong pemerintah bersama-sama dengan suasta untuk membuat uang kepeng yahg diproduksi sendiri. Untuk membuat uang kepeng dengan label lokal ini, haruslah mendapat masukan dari banyak pihak diantaranya sulinggih, pemuka agama parisada danlain sebagainya. Melalui kajian yang mendalam untuk dapat memenuhi tuntutan umat sebagai sarana upacara diantaranya harus memuat lima unsure logam (emas, perak, tembaga, perunggu, dan besi).Setelah itu semua mendapat pengakuan kemudian dilakukan peruses produksi. Kerajinan uang kepeng yang diproduksi oleh UD Kamasan yang terletak di desa Kamasan Klungkung ini sudah merambah keberbagai wilayah di Nusantara terutama daerah-daerah tranmigrasi yang adaumat Hindunya. Pada umumnya mereka sangat membutuhkan uang kepeng untuk kelengkapan sarana upacara yang tidak dapt diperoleh di desanya. Dengan uraian di atas, masalah yang ingin dibahas pada kesempatan ini adalah mengapa masyarakat masih menganggap uang kepeng Cina sebagai sarana upacara yang penting di Bali?

2. TUJUAN PENULISAN

Penulisan ini bertujuan untuk memahami kehadiran uang kepeng di nusantara umumnya dan Bali khususnya. Kehadirannya tentu tidak dapat dipisahkan dengan hubungan yang dijalin oleh pra penguasa di Nusantara dengan para dinasti yang ada di negeri Cina ataupun ditempat lainnya. Di Bali, uang kepeng

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 197 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tidak saja berfungsi sebagai alat tukar tetapi sekaligus menjadi sarana upacara keagaan. Oleh karena itu dalam upacara tertentu seperti upacara ngaben uang kepeng yang dalam pandangan masyarakt menyebut sebagai uang kepeng asli ini harus ada.Sedangkan uang kepeng yang diproduksi di Bali dapat digunakan untuk kelengkapan lainnya. Ini sebuah fenomena yang masih ada disejumlah desa di Bali khususnya di dusun Pesangkan Desa Duda Karangasem.

3. METODOLOGI

Untuk mendapatkan informasi tentang uang kepeng yang pernah ditemukan di Bali , penulis berusaha menelusuri melalui studi pustaka. Penggunaan cara ini didasari oleh pertimbangan bahwa uang kepeng ini sudah cukup banyak diinventarisasi oleh instansi terkait baik yang ditemukan dalam kegiatan ekskavasi maupun survey. Itu artinya, bahwa uang kepeng yang menjadi kajian dalam kesempatan ini merupakan koleksi yang kini tersimpan dibeberapa instansi pemerintah seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Balai Arkeologi Denpasar, maupun koleksi Museum Bali. Selain itu, untuk melengkapi informasi yang diperlukan terkait dengan industry kreatif Uang kepeng yang ada di desa Kamasan Klungkung penulis juga mencoba menggali informasi dengan mendatangi pemilik usaha tersebut untuk melakukan wawancara. Setelah semuan data yang diperlukan terkumpul, kemudian dilakukan analisis. Analisis yang diterapkan dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif.

4. KEDUDUKAN DAN FUNGSI UANG KEPENG DI BALI

Sebelum membicarakan tentang riwayat kehadiran uang kepeng dalam kehidupan masyarakat di Bali, kiranya perlu diberikan penjelasan mengenai kedudukan uang sebagai alat tukar. Sejak masa lampau sekurang-kurangnya setelah masyarakat kita mengenal peradaban Hindu dan Budha yang dibawa oleh para pedagang India mengindikasikan pentingnya uang sebagai alat tukar. Dalam hal ini, uang memiliki fungsi utama sebagai alat tukar dengan standar nilai terhadap suatu benda/barang. Itu berarti bahwa keberadaan mata uang disuatu tempat dapat mengindikasikan adanya kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi muncul sebagai

198 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 akibat hukum pasar yaitu hukum permintaan dan penawaran.Hukum ini berlaku pada setiap tingkatan masyarakat yang sudah mengenal kegiatan perdagangan.Adanya permintaan atas benda tertentu oleh suatu kelompok masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya penawaran oleh kelompok yang lain. Setelah ditemukan kesepakatan harga maka terjadilah transaksi yang menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Bukti-bukti arkeologis yang berupa uang kepeng atau disebut pis bolong oleh masyarakat Bali, membuktikan bahwa kehadiran uang kepeng tidak bisa dipisahkan dengan terjalinnya hubungan kerajaan Bali Kuno dengan penguasa-penguasa di Cina.

Bila dikaji secara mendalam diketahui bahwa ada yang berasal dari berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Cina seperti Dinasti Han (Kaisar Han tahun 118 SM)namun temuannya tidak signifikan. Adapula dari periode Dinasti T”ANG (621 M), kemudian disusul temuan dari masa Dinasti Song Utara, lalu dari Dinasti Chin/Jin. Selanjutnya dari Dinasti Yuan, disusl Dinasti Ming, dan yang paling banyak uang kepeng yang sudah menjadi koleksi instansi pemerintah adalah dari masa Dinasti Ching (Wardi dkk, 2009 : 125-126). Namun demikian uang kepeng (pis bolong) sesungguhnya bukan menjadi monopoli para dinasti di Cina, tetapi bukti-bukti arkeologi juga menunjukkan bahwa uang kepeng (pis bolong) ada yang berasal dari para dinasti yang ada di Vietnam dengan karakteristik berbeda.

Foto 4.1 Uang Kepeng Dinasti Song (1101 M)

Disamping itu, uang kepeng juga dibuat dan digunakan oleh beberapa kerajaan yang pernah berkembang di Nusantara seperti kerajaan Majapahit. Mata uang dari Majapahit ini disebut ‘GOBOG” Majapahit; Kemudian Kesultanan Banten juga mengeluarkan mata uang yang oleh masyarakat disebut “gobog Banten”. Uang kepeng masa Majapahit maupun Banten, memiliki karakteristik

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 199 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang berbeda dengan uang kepeng Cina, Vietnam, Jepang, maupun Korea. Dilihat dari ukurannya, uang Gobog dibuat cukup besar sehingga dapat dikatakan bahwa uang itu mempunyai makna tertentu. Oleh sebab itu, uang jenis ini kemungkinan tidak banyak dicetak oleh penguasa-penguasa dari kerajaan Majapahit dan Banten. Walaupun Bali pernah ditaklukkan oleh Majapahit, tetapi bukti-bukti arkeologi yang berbentuk uang kepeng belum pernah ditemukan dalam kegiatan ekskavasi, kecuali yang sudah menjadi milik para kolektor.

Menurut Polanyi sebagaimana dikutif oleh Wardi dkk (2009), menyebutkan perdagangan jarak jauh (long distance trade) sebagai pertukaran eksternal bertanggungjawab bagi munculnya uang. Ditegaskan bahwa munculnya pembagian kerja antar kelompok masyarakat dianggap stimulant munculnya pertukaran dengan pihak luar dan pada akhirnya uang kemudian mulai diperkenalkan.

Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ditemukan di Bali, bahwa kondisi social masyarakat Bali Kuno yang berkembang abad VIII-XIV M. menunjukkan adanya aktifitas perdagangan. Hal itu ditandai dengan adanya penyebutan hari-hari pasaran dalam beberapa prasasti seperti hari pasaran Wijayamanggala, Wijayakranta, dan Wijayapura yang dalam kehidupan masyarakat Bali di dasarkan pada perhitungan triwara yaitu pasah, beteng, dan kajeng. Penyebutan hari-hari pasaran ini mengindikasinya kegiatan perdagangan dalam bentuk yang sederhana sudah dijalankan oleh masyarakat. Terlebih lagi dalam prasasti Bebetin AI (896M), menyebut tentang para banyaga (saudagar dari seberang laut) yang merapat dipelabuhan Julah, Manasa atau tempat lainnya. Dalam prasasti Bebetin AI lembar IIb disebutkan “…anada tua banyaga turun ditu…paniken dihyangapi…” artinya: jika ada para saudagar (seberang pulau) yang baru datang disana (kota pelabuhan Julah) didaftar dan dikenakan kewajiban (pajak) untuk bangunan suci Hyang Api.

Agar para banyaga ini dapat memenuhi hak dan kewajibannya, kemudian pemerintah kerajaan menunjuk petugas yang khusus mengurusi para pedagang asing yang disebut Juru Wanyaga atau Juru Banyaga sebagaibana disebutkan dalam prasasti Pengotan AI (924 M) (Goris, 1954:67).Kemudian dalam prasasti Sembiran B (955M) menyebut nama banigrama yang artinya saudagar atau pedagang timah (Ardika dkk, 2013:213).Kehadiran para pedagang asing pada masa

200 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali Kuono, tersurat dalam prasasti Sembiran AIV(1065M) lembar IXb.1 sebagai berikut :”…mangkana yan hana banyaga sakeng sabrang jong, bahitra, camunduk I manasa hatpani katkananya, wanyanga ikanang karaman patrakasihana,wlyana hatep mulyan ma1 anglipahana sargha mahajana…”. Artinya “… jika ada ada saudagar dari seberang laut datang merapat dengan perahu dan bahitra di pelabuhan, agar warga sekiatar memberikan belas kasih kepadanya,biaya merapat maksimal 1 masaka, dan harganya dilebihkan bagi orang terkemuka terpandang, tidak dikenai sumbangan pengawasan (pacaksu) dan tidak ada pemaksaan…” (Ardika dkk: 213).Penyebutan banyaga ini memperkuat dugaan bahwa aktivas perdagangan tidak hanya berlangsung diantara masyarakat lokal, melainkan terdapat pula para pedagang yang datang dari tempat yang jauh.

Sumber-sumber prasasti yang ditemukan di Bali,selain memberikan informasi tentang hari-hari pasaran, juga menyebut mengenai pemakaian mata uang serta standar nilai tukar mata uang tersebut. Prasasti Sukawana AI Caka 818 atau 886M menyebutkan jenis mata uang yang digunakan yaitu mas dengan satuan suarna (su), masaka (ma), dan kupang (ku) (Goris, 1954:53-54).Walaupun dalam prasasti-prasasasti Bali sudah disebutkan mengenai penggunaan mata uang mas dengan satuan nilainya, tetapi belum pernah secara eksplisit menyebut uang kepeng. Belum disebutnya uang kepeng sebagai alat tukar saat itu mungkin para penguasa dan masyarakat sudah terbiasa dengan alat tukar mas dengan standar nilai yang sudah ditentukan. Ketika hubungan politik, ekonomi, social, dan budaya terjalin baik dengan penguasa-penguasa negeri Cina, barulah kemudian diperkenalkan uang kepeng tersebut.

Uang kepeng atau pis bolong, yang pada awalnya merupakan alat transaksi (uang kartal) yang sah, tapi sejak dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 20 tahun 1951 yang menetapkan berkakunya uang ORI (Oeang Republik Indonesia) dan uang RIS (Republik Indinesia Serikat) Serta menarik semua jenis uang dari peredarannya berimplikasi luas terhadap penggunaan uang kepeng sebagai alat tukar resmi. Sejak itu uang kepeng yangberedar luas di Republik ini tidak dapat lagi memenuhi fungsinya sebagai alat tukar (uang kartal) yang sah. Demikian pula keberadaan uang kepeng yang banyak beredar dikalangan masyarakat di Bali, tidak

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 201 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 lagi dapat digunakan sebagai alat transaksi. Walaupun demikian, uang kepeng masih benda budaya yang masih berkembang sampai kini. Sidemen (2002) mengidentifikasi perubahan fungsi uang kepeng ini sebagai barang komoditi,benda budaya (alat judi dan jimat), sebagai sarana upakara (sesari, praraga, dan dekorasi).

Foto 4.2 Uang Kepeng Dinasti Ming (1408 M)

Sebagai barang komoditas banyak pedagang yang menjajakan dagangan berupa uang kepeng (pis bolong) ini di pasar-pasar tradisonal yang menjadi buruan para pengepul uang kepeng. Uang kepeng asli ini menjadi begitu penting pada saat- saat upakara. Upakara yang banyak memerlukan uang ini adalah upakara pitra yadnya (ngaben) terutama saat ngaben masa atau ngerit (Sidemen,2002:93). Uang kepeng yang digunakan sebagai alat judi misalnya dalam bentuk pinceran atau tokekan, kelesan ataukobokan,matogtog,matembng,materi, macontok dan malekenting. Sementara uang kepeng yang digunakan sebagai jimat misalnya pis pratima,pis paica,pis rerajahan.

Foto 4.3 Uang Kepeng Majapahit Uang kepeng yang digunakan sebagai sarana upakara misalnya sesari. Sesari dalam bentuk singgel ada yang dapat diganti dengan uang kartal tapi singgel dalam kaitannya dengan upakara uang kepeng ini tidak dapat diganti. Sesari dalam

202 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bentuk singgel terdiri pis bolong berjumlah satak (200 biji) atau samas (400 biji) yang diikat dengan benang tukelan. Fungsi singgel baik yang satak maupun samas atau yang penuh sebagai sesari dan karenanya dapat diganti dengan uang kartal yang sedang berlaku, tetapi ada pula yang penuh sebagai upakara karenanya tudak dapat diganti.Misalnya singgel yang digunakan oleh sangging saat metatah (potong gigi) lebih berfungsi sebagai upakara sehingga tidak bisa diganti(Sidemen, 2002:152).Demikian pula singgel yang terbuat dari pohon dadap saat pertunjukan wayang lemah maka uang kepeng satak ataupun samasan tidak dapat digantikan. Kemudian sebagai praraga, banyak uang kepeng diubah wujudnya menjadi wujud orang-orangan misalnya patung rambut sedana; sementara sebagai dekorasi dalam diubah menjadi lamak, salang cili,tamiyang,dan payung pagut. Banyaknya kebutuhan uang kepeng asli untuk keperluan upakara, belakangan menyebabkan uang kepeng mempunayai nilai ekonomis yang sangat tinggi.

5. SIMPULAN

Uang kepeng telah hadir di bumi Nusantara dan Bali khususnya sejak abad VI M, sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya temuan uang kepeng. Dilihat dari asalnya sebagian besar uang kepeng yang ditemuakn di Bali berasal dari negeri Cina. Namun demikian harus diakui bahwa selain uang kepeng Cina, terdapat juga uang kepeng Vietnam, Jepang, Korea, walaupun jumlahnya tidak signifikan.Fungsi uang kepeng saat awal kehadirannya, diyakini sebagai alat tukar yang mempunyai nilai standar tertentu.Namun sejak keluarnya UUDarurat No.20 tahun 1951, semua jenis alat tukar yang ada tidak lagi dapat digunakan sebagai alat tukar dan digantikan oleh Oeang Republik Indonesia. Sejak itu pula uang kepeng mengalami perubahan fungsi dari uang kartal menjadi barang komoditi, bendata budaya, dan sarana upakara.

DAFTAR PUSTAKA

Adika, I Wayan, I Gde Paramartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 12013, Sejarah Bali dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana Press;

Goris, R.1954, Prasasti Bali Bandung:nv Masa Baru.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 203 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sidemen, Ida Bagus, 2002 Nilai Historis Uang Kepeng.Yogyakarta: Larasan- Sejarah.

Wardi, I Nyoman, I Dewa Nyoman Hartawan, I Wayan Srijaya, dan I Gusti Made Suarbhawa, 2009: Identifikasi dan Inventarisasi Pis Bolong (Uang Kepeng).Denpasar:Dinas Kebudayaan Prov.Bali.

BUDAYA DEMOKRASI DALAM SENI MAGEGITAN INTERAKTIF DI RADIO DAN TV1

Oleh: I Wayan Suardiana2 Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya-Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Demokrasi sangatlah dibutuhkan dalam negara yang multi entis, ras, suku, lingual, pulau dan agama, seperti Indonesia ini. Agar itu dapat terwujud, budaya berdemokrasi mesti dilakukan dalam setiap langkah kehidupan manusia di Republik Indonesia agar bangsa yang besar ini dapat bertahan lama. Salah satu budaya demokrasi yang dilakukan masyarakat Bali dalam menopang masifnya kehidupan berdemokrasi adalah berdemokrasi dalam dunia seni tarik suara tradisi yang dikenal dengan nama magegitan. Dalam pelaksanaannya, seni magegitan ini umumnya melibatkan banyak peserta sehingga agar seluruh peserta dapat giliran untuk melantunkan tembang maka diaturlah waktu dan urutannya sesuai kesepakatan dan kesepahaman di antara pelibat dalam acara magegitan dimaksud. Hal yang sama juga dilakukan dalam menyanyi di ranah modern, seperti ketika interaktif di radio maupun TV. Data penelitian ini merupakan data kualitatif yang diperoleh dari studi lapangan dengan merekam setiap acara magegitan interaktif baik di radio maupun TV.

Kata kunci: Budaya demokrasi, magegitan, dan interaktif.

1. Pendahuluan Budaya demokrasi adalah pola pikir, dan sikap warga masyarakat berdasarkan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan, dan persaudaran antar manusia dengan kerjasama, saling percaya, toleransi, dan kompromi. Budaya demokrasi merupakan bentuk penerapan atau aplikasi nilai-nilai dalam prinsip demokrasi (https://www.slideshare.net/lusianadiyan03/pengertian-budaya-demokrasi). Pentingnya demokrasi dalam menata kehidupan di muka bumi ini, lebih- lebih bagi bangsa Indonesia yang majemuk adalah untuk menjaga keutuhan bangsa ______Paper dibawakan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya III FIB Unud, 28-29 Maret 2018

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 204 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 205 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2 Dosen Prodi Sastra Bali, FIB Unud. di tengah-tengah gempuran arus global. Sudah banyak contoh di dunia yang menunjukkan kehancuran sebuah negara bahkan peradaban ketika anak bangsa yang bermukim di wilayah negara bersangkutan kurang atau bahkan tidak mengindahkan budaya hidup berdemokrasi. Sebagai salah satu contoh konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah, misalnya adalah cukup bukti bahwa susahnya mereka menerapkan kehidupan berdemokrasi. Dilar Dirik dalam artikelnya yang berjudul, “Building Democracy without the State” misalnya, mengungkapkan bagaimana masyarakat Rojava di Timur Tengah sana mengatur kehidupannya atas kehendaknya sendiri-sendiri (http://anarkis.org/membangun-demokrasi-tanpa- negara/). Akibatnya, tentu kita sudah dapat saksikan bersama, kehancuran hidup bernegara. Bali, sebagai salah satu pulau kecil di Nusantara ini memiliki beragam tradisi yang menunjukkan nilai-nilai demokratis. Salah satu bentuk seni tradisi yang memiliki nilai demokratis dalam pelaksanaanya adalah seni magegitan. Sebagai seni komunal, ia dilantunkan oleh lebih dari seorang bahkan sampai berpuluh-puluh orang tergantung besar kecilnya anggota yang dimiliki. Agar pelaksanaan seni bernyanyi ini dapat berjalan dengan baik maka personel yang akan terlibat perlu diatur dalam penampilannya.

2. Metodologi Data artikel ini merupakan data kualitatif. Dalam menjaring data, artikel ini diawali dengan melakukan wawancara terhadap penyiar yang mengasuh acara magegitan interaktif di TV maupun radio. Selanjutnya dilakukan pengamatan langsung lewat mendengarkan siaran TV maupun radio yang melakukan acara magegitan interaktif dimaksud. Data dicatat, dan beberapa acara siaran itu juga direkam seperlunya untuk memperkuat argumentasi. Teori hermeneutik diterapkan dalam menginterpretasikan data-data yang tersedia. Hasil interpretasi disajikan dengan metode deskriptik-analitik dengan teknik deduktif-induktif.

*) Data ini diperoleh dari pengakuan salah seorang penggemar acara Dagang Gantal RRI yang bernama Kak Gus Kok dari Jl. Gunung Agung, Denpasar. Beliau merupakan penggemar setia acara itu dari awal hingga saat ini. Pengakuan ini disampaikannya dalam acara Dagang Gantal Kamis, 3 Februari 2011.

206 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan 3.1 Seni Magegitan di Bali Magegitan (bernyanyi tradisi dengan menggunakan teks geguritan atau parikan sebagai acuan saat melantunkannya. Teks ini umumnya memakai bahasa Bali kapara/lumrah. Dalam hubungannya dengan upacara yadnya di Bali, magegitan juga dimaknai sebagai seni melantunkan tembang untuk mengiringi upacara dengan memakai aneka ragam genre tembang (pupuh, kidung, wirama). Sedangkan dalam konteks ini hanya dipakai genre tembang yang digolongkan ke dalam pupuh saja. Magegitan, dalam pembahasan ini ditujukan pada seni menembang Bali tradisional di ranah tradisi maupun modern. Dalam ranah tradisi, dimaksudkan menelisik model pelaksanaan nilai-nilai demokrasi yang ditampilkan dalam menyanyi saat "sekaa shanti" melaksanakan tugasnya sebagai penghibur maupun sebagai pengiring upacara. Sedangkan pada seni magegitan secara interaktif di radio maupun TV di Bali dilacak model penyiar dalam mengatur peserta yang terlibat dalam menembang agar memperoleh kesempatan yang sama mengingat terbatasnya waktu dan banyaknya jumlah penggemar. Acara interaktif di stasiun radio muncul pertama kali pada stasiun RRI Denpasar pada tanggal 14 Agustus 1991*) dengan nama mata siaran Dagang Gantal. Acara ini berlangsung setiap hari, kecuali hari Minggu*), selama satu jam pkl. 11.00 -- 12.00 Wita, dengan mata acara pembacaan surat, penyajian tembang (gegitaan) dan interpretasinya baik oleh penyiar atau pun pendengar secara interaktif lewat telepon dengan menggunakan bahasa Bali (Darma Putra, 1998: 20). Acara ini identik dengan kegiatan nyastra atau mabebasan (apresiasi sastra Bali tradisional). Bedanya, hanya dilakukan lewat media elektronik (radio) memakai saluran telepon kabel maupun HP, tidak dilakukan di rumah secara tradisional untuk hiburan atau pengiring ritual. Pendengar yang ingin berpartisipasi bisa datang ke studio atau menghubungi studio melalui pesawat telepon, seperti dalam acara talk show pada media TV. Sampai saat ini, penggemar acara Dagang Gantal hampir seantero Bali, Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan, bahkan hingga ke Lombok dan Sumbawa. Dengan demikian, pendengar acara ini diperkirakan mencapai ratusan ribu.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 207 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Wilayah jangkaun siaran acara Dagang Gantal itu kemudian disingkat oleh penyiarnya dengan akronim: “Batan Sinar Bagi Rasa rauh ke Lomba Plecing”, yang artinya: Badung, Tabanan, Singaraja, Negara, Bangli, Gianyar, Amlapura (Karangasem), Semarapura (Klungkung), Lombok, Sumbawa, Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan. Penggemar acara Dagang Gantal telah bergabung dalam suatu ikatan yang disebut dengan Pasuwitran Dagang Gantal (persaudaraan Dagang Gantal alias PDG). Anggota PDG berasal dari golongan petani, karyawan pemerintah dan swasta (industri pariwisata), serta pengusaha. Sebagian besar mereka memiliki telepon, karena untuk mengikuti acara dan berpartisipasi secara interaktif mereka harus menelepon. Ketika telepon umum masih ada di Bali, bagi peminat yang belum memiliki telepon, mereka bisa mengontak RRI melalui telepon umum. Selain RRI Denpasar, acara magegitan secara interaktif juga dilakukan oleh Radio Global dan Radio Meganada di Tabanan. Radio Global menyebutkan acara itu dengan nama Dharmagita (nyanyian tentang keagamaan) dengan mengambil motto “Magending sambilang Malajah, Malajah sambilang Magending” ‘Bernyanyi sambil belajar, Belajar sambil Bernyanyi’. Acara ini dilaksanakan setiap hari dari hari Senin sampai Sabtu pada pkl. 18.10 -- 19.00 Wita dan hari Minggu ditiadakan. Acara yang disponsori oleh usahawan terkenal di Tabanan, “Toko Nyoman” ini mendapat perhatian yang luas pula dari penggemarnya. Karena keterbatasan frekwensi, penggemarnya kebanyakan dari daerah Tabanan sendiri, Badung, Kodya dan Gianyar. Bahkan, kadang-kadang ada yang nimbrung dari Kintamani (Bangli), Nusa Penida (Klungkung), dan Karangasem (Suardiana, 2012: 6). Acara kidung interaktif pada Radio Meganada dilaksanakan mulai dari hari Senin sampai Jumat pada pkl. 17.30 -- 19.00 Wita. Sama seperti acara di Radio Global, acara kidung interaktif pada Radio Meganada juga diikuti oleh penggemar dari kalangan terbatas seperti Tabanan, Badung, dan Kodya. Yang menarik dari kedua stasiun radio yang disebutkan belakangan bahwa penggemar baru hampir pasti tiap bulan ada yang masuk mengikuti acara bertembang secara interaktif. Selain itu, di Gianyar, Karangasem, dan Singaraja juga ada radio-radio yang melakukan interaktif pada seni magegitan ini.

208 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.2. Budaya Demokrasi dalam Seni Magegitan Interaktif di Radio dan TV Sumbangan Bali terhadap kehidupan berdemokrasi layak untuk diapresiasi, khususnya yang ditunjukkan dalam seni magegitan baik dalam acara biasa maupun di TV dan radio. Kelompok seni magegitan yang disebut "sekaa shanti" ini dalam mengapresiasi teks-teks yang dilantunkan penembang dan penerjemah atau pengapresiasi dilakukan secara bergiliran, tanpa ada rasa di kedepankan atau di kebelakangkan. Mereka secara tertib melantunkan tembang-tembang yang dinyanyikan sesuai dengan kemampuannya. Dalam menembangkan teks-teks yang dipilih itu pada dasarnya tidak menyimpang dari tema pokok yang telah ditentukan oleh kelompok mereka sendiri. Namun, kadang-kadang karena keterbatasan kemampuan seorang peserta dalam menguasai pupuh-pupuh yang dilagukan, ada kemungkinan yang memiliki lebih banyak kemampuan menguasai pupuh tersebut lebih banyak dapat bagian menembang. Jadi, di sini tidak ada rasa malu bagi mereka yang kemampuan menembangkan pupuh lebih sedikit dari pada yang banyak menguasai pupuh. Demikian pula sebaliknya, bagi yang kemampuan menembangnya di atas teman-temannya, tidak akan merasa jumawa. Mereka secara bersahaja saling isi-mengisi dalam menembangkan pupuh-pupuh yang ada seperti sinom, semarandana, pangkur, ginada, ginanti, durma, dangdang, mijil, dll. Dalam seni magegitan di panggung elektronik, khususnya yang dilakukan oleh RRI Denpasar, mengingat banyaknya penggemar, untuk mencegah kroditnya sambungan telepon, pengasuh acara menjadwalkan hari tertentu untuk daerah tertentu, seperti hari Senin (untuk penggemar Tabanan dan Singaraja). Selasa (Badung), Rabu (Gianyar, Klungkung, dan Karangasem). Kamis (Kodya dan Telepon Umum), Sabtu (rebutan). Penggemar baru dipersilakan ikut menelepon kapan saja, namun hanya sekadar memperkenalkan diri. Apabila mereka ingin menyanyi (matembang) dipersilakan hari lain sesuai jadwal daerahnya. Melihat jadwal yang demikian ketat untuk masing-masing daerah seperti itu, umumnya penyiar tidak akan memberikan para peserta yang ikut interaktif yang bukan pada giliran waktu sesuai hari yang telah ditentukan. Seperti peserta yang ingin ikut interaktif hari Kamis. Mengingat untuk hari Kamis, giliran peserta dari wilayah Kota Madya Denpasar dan yang menggunakan telepon umum maka peserta

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 209 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang dari luar Kodya tidak dibolehkan untuk ikut interaktif dengan alasan apa pun. Interaktif di TV biasanya tidak ada pembatasan peserta atas dasar wilayah sebagaimana yang dilakukan oleh RRI Denpasar. Para penggemar umumnya 'tarung bebas' dalam mengikuti acara interaktif di TV tergantung kejelian mereka dalam memencet telepon di rumah masing-masing.

4. Simpulan Budaya demokrasi dalam seni magegitan di Bali sesungguhnya telah dimulai ketika seni menembang tradisi itu ada di Bali. Selanjutnya, dalam ranah modern, ketika interaktif di radio dan TV di Bali, agar terjadi keadilan antar peserta yang ingin menembang maka diaturlah jadwal peserta yang mau tampil berinteraktif. Dalam ranah tradisi, menembang dengan model magegitan yang melibatkan kelompok, yang dikenal dengan nama "sekaa shanti” itu umumnya pesertanya lebih dari dua bahkan sampai puluhan. Agar semua anggota kelompok itu dapat bernyanyi maka diaturlah sesuai dengan kemampuan peserta dalam menguasai pakem-pakem tembang atau pupuh yang akan dilagukan. Dengan demikian, minat para peserta untuk menguasai pakem-pakem tembang selain yang dikuasainya akan bertumbuh dengan teknik saling mendengarkan seperti itu. Sedangkan dalam ranah modern, khususnya dengan media radio, mengingat antusiasme masyarakat untuk ikut menembang maka penyiar mengaturnya per wilayah kabupaten/kota di seluruh Bali. Sedangkan berinteraktif lewat media TV, tidak ada pembatasan peserta interaktif berdasarkan wilayah sebagaimana yang diberlakukan pada radio RRI Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

Darma Putra, Nyoman. 1998. “Kesenian Bali di Panggung Elektronik: Perbandingan Acara Apresiasi Budaya RRI dan TVRI Denpasar” Dimuat dalam Mudra No.6 Tahun VI Maret 1998.

Suardiana, I Wayan. 2012. "“Kidung Interaktif” sebagai Salah Satu Media Pemertahanan Bahasa Bali lewat Ranah Modern." Paper dibawakan dalam Seminar Internasional ”Bali Global in Asia: Between Modernization and Heritage Formation”, 16-18 Juli 2012 di Universitas Udayana.

210 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 https://www.slideshare.net/lusianadiyan03/pengertian-budaya-demokrasi (diunduh tanggal 11 Maret 2018 pukul 08.04 Wita). http://anarkis.org/membangun-demokrasi-tanpa-negara/ (diunduh tanggal 11 Maret 2018 pukul 08.22 Wita).

WACANA PULUNG (JABATAN) DALAM KONTEKS PEMILIHAN PEMIMPIN BERKARISMA

Oleh I Wayan Suwena Prodi Antropologi FIB Unud [email protected]

Abstrak

Masyarakat Kecamatan Karangmojo di sebuah kabupaten di Jawa mewarisi suatu tradisi yang berkaitan dengan ritual dalam proses pemilihan pemimpin. Dalam konteks ini, tiga hari menjelang akan diadakannya pemilihan kepala desa secara langsung, warga masyarakat dan tim suksesnya berkunjung ke rumah jago (calon kepala desa) yang didukungnya. Pada masing-masing jago biasanya mengundang paranormal untuk meng-adakan tirakatan serta memimpin doa agar si jago tersebut ketiban (kejatuhan) pulung. Sehari menjelang hari “H” pemilihan kepala desa, sejak siang harinya tampak tim suksesnya dan warga setempat berkunjung ke rumah-rumah jago-nya. Pada malam harinya, warga terlebih dahulu berkunjung ke rumah jago yang didukungnya. Menjelang pukul 24.00 (WIB) sebagian warga dan tim suksesnya menuju ke tempat-tempat yang strategis untuk melihat penampakan pulung. Sementara itu, paranormal tersebut tetap berada di rumah jago mengadakan tirakatan dan berdoa agar pulung yang diharapkan kehadirannya masuk ke rumah jago yang didukungnya. Menurut wacana, pulung ter-sebut biasanya muncul setelah pukul 24.00 (WIB). Pulung ini, bentuknya seperti bintang besar berwarna putih terang, biru, atau kuning keemasan yang biasanya muncul dari rumah pemimpin lama, yaitu meluncur sedemikian rupa ke udara secara tiba-tiba. Keberadaan pulung ini, menurut kesaksian warga diwacanakan melayang-layang di udara dan berpindah-pindah menuju tempat-tempat kediaman jago yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Di sinilah peranan paranormal supaya pulung tersebut turun dan masuk ke rumah jago-nya dan tidak pindah ke rumah jago yang lain. Menurut ke-percayaan warga, jago yang mendapat ketiban (kejatuhan) pulung akan terpilih menjadi pemimpin berkarisma.

Kata kunci: wacana, pulung, ketiban, dan jago.

I. PENDAHULUAN Sistem pemilihan pemimpin formal di era modern ini di Indonesia yang menganut Demokasi Pancasila ditetapkan dalam suatu perundang-undangan, baik pemilihan pemimpin di level pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa. Berdasarkan atas kenyataan, ujung tombak kepemimpinan yang terbawah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 211 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 212 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 terletak di pundak kepala desa. Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya diban- tu oleh seperangkat desa, antara lain sekretaris desa; kaur. keuangan; kaur. umum; kasi. pemerintahan; kasi. kesejahteraan; kasi. perencanaan; dan kepala dusun. Kepala desa sebagai pimpinan formal di tingkat desa secara struktural berada di bawah pemerintahan kecamatan, memegang peranan penting untuk memajukan perkembangan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Peranan kepala desa menjadi bagian integral dalam berbagai aspek pembangunan di desa. Dalam hal inilah kepala desa berperan meng- integrasikan antara kepribadian dan kebutuhan masyarakat dengan struktur dan sasaran pemerintahan desa, sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkannya. Dengan demikian, warga masyarakat menjadi hati-hati memilih calon pemimpin yang diharapkan nantinya menjadi pemimpin yang mampu menangkap aspirasinya. Seorang pemimpin yang berkarisma dipercayai akan mampu merea- lisasikan aspirasi yang bersumber dari masyarakat dalam konteks mempercepat pencapaian derajat kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya, warga desa di lingkungan Kecamatan Karangmojo di Gunungkidul mengharapkan agar mereka berhasil memilih pemimpin secara langsung untuk menjabat kepala desa yang berkarismatik. Masyarakat masih mempercayai, bagi jago (calon kepala desa) yang mendapat ketiban (kejatuhan) pulung akan menjadi pemimpin berkarisma. Oleh karena itu, muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut. Pertama, bagai-manakah wacana yang berembus berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala desa? Kedua, bagaimanakah ritual yang dilaksanakan oleh jago agar terpilih menjadi kepala desa berkarisma? Kedua pertanyaan tersebut menjadi rumusan masalah penelitian ini yang dijawab melalui penelitian lapangan dan dibahas de-ngan menggunakan teori interpretif (lihat Geertz, 1973). Dalam hubungan ini, ritual pemilihan kepala desa dipandang sebagai teks, mempunyai konteks pada pulung sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual (lihat Ahimsa-Putra, 1999: 413--413). Dalam hal ini, suatu kajian mengenai pulung dalam konteks pemilihan pemimpin menjadi penting dan unik.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 213 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan serangkaian teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data utama yang dimaksud, antara lain observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam proses pemilihan informan, pada awalnya dipilih informan pang-kal (basic informant) (Koentjaraningrat, 2012). Selanjutnya, dari dirinya terpilih sejumlah informan kunci (key informant) yang diwawancarai secara mendalam. Implikasi metodologi penelitian yang bersifat kualitatif ini, instrumen penelitian utamanya adalah peneliti sendiri (Moleong, 2012: 9). Selain itu, ditunjang dengan penggunaan pedoman wawancara, voice recorder, dan alat tulis.

III. PEMBAHASAN 3.1 Pengetahuan Beberapa Jenis Cahaya Berdasarkan atas pengalaman subjektif warga masyarakat yang mengakui pernah melihat penampakan beberapa cahaya di udara, ada yang menyebut cahaya itu dengan nama bintang kemukus, pulung, ndaru, dan teluh brojo. Warga masyarakat memandang kemunculan atau penampakan bintang kemukus, pulung, ndaru, dan teluh brojo itu merupakan suatu fenomena yang mempunyai kekuatan supranatural sehingga penampakannya tidak setiap saat atau hari dapat diamati. Setiap penampakannya ditafsirkan oleh warga sebagai tanda akan terjadi sesuatu di masyarakat. Secara garis besarnya, warga di Kecamatan Karangmojo membedakan karakter pulung itu berdasarkan atas wujud dan warna cahaya yang dipancarkan- nya menjadi dua jenis, yaitu pulung pembawa musibah (pageblug) yang bernama pulung gantung, dan pulung pembawa kemuliaan atau keberuntungan. Menurut pengetahuan warga, pulung yang dikategorikan pembawa musibah, bentuknya menyerupai bola api pijar berekor relatif panjang memancarkan cahaya merah. Itulah sebabnya, istilah pulung sangat populer di daerah ini. Mereka lebih sering bercerita tentang pulung daripada bintang kemukus, teluh brojo, dan benda-benda angkasa lainnya yang bercahaya pada malam hari. Dalam percakapan sehari-hari, pulung yang membawa berkah (kemuliaan atau keberuntungan) ini lebih populer disebut dengan nama pulung wahyu. Pulung

214 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 wahyu ini sering pula disebut pulung (tanpa ada kata yang disisipkan, baik di belakang maupun di depannya). Pulung (pembawa berkah) ini berwujud bintang, cahayanya berwarna putih terang, biru, atau kuning keemasan sehingga ada yang menganalogikan bentuknya seperti bintang kejora. Apabila pulung (pembawa berkah) ini sedang berjalan, wujudnya menyerupai sinar laser.

3.2 Wacana Penampakan Pulung Pada umumnya warga di sini mengharapkan mendapat pulung yang membawa keberuntungan, kemuliaan, atau rejeki. Oleh karena itu, bila ada orang berhasil menjalani usahanya atau bisnisnya seringkali pula dijuluki orang yang bersangkutan ketiban (kejatuhan) pulung. Menurut Sumodiningrat dan Wulandari (2014: 207), ketiban pulung ini lebih kurang sama artinya dengan ketiban ndaru, yaitu seseorang yang mendapatkan kebahagiaan sangat besar. Dalam konteks ini, ada suatu momen di mana warga secara sengaja ingin melihat atau menyaksikan secara langsung kemunculan dan penampakan pulung di udara sebagai tanda bagi orang yang ketiban pulung tersebut akan mendapat kemuliaan atau berkah. Kemunculan pulung ini yang disebut-sebut bernama pulung jabatan ditunggu-tunggu warga dan tim suksesnya menjelang akan dilak-sanakan pemilihan pemimpin. Sementara itu, kemunculan dan penampakan pulung jabatan yang ditunggu-tunggu warga dan tim suksesnya dalam pelak-sanaan pemilihan kepala desa, sangat populer disebut dengan nama pulung lurah. Menjelang dua atau tiga hari akan diselenggarakan pemilihan kepala desa, warga sudah mulai membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pulung. Mereka pada umumnya ingin mengamati kemunculan dan penampakan pulung. Menurut wacana yang berkembang, pulung itu biasanya muncul dari rumah pemimpin yang lama menjelang dua atau tiga hari akan dilakukan pemilihan pemimpin. Namun, orang baru beramai-ramai menunggu penampakan pulung itu pada waktu dini hari “H” pemilihan pemimpin. Pulung itu biasanya muncul pada waktu dini hari, yaitu sekitar pukul 00.00—03.00 (WIB). Ketika berada di udara, posisi atau keberadaannya berpindah-pindah di sekitar wilayah rumah jago yang akan dipilih secara langsung oleh warga pada hari “H”. Bagi jago yang rumahnya memang betul-betul mendapat ketiban pulung, diyakini akan terpilih menjadi pemimpin.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 215 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3 Pelaksanaan Ritual Agar Ketiban Pulung Pelaksanaan ritual ini berkaitan erat dengan proses pemilihan kepala desa secara langsung yang melibatkan warga masyarakat desa setempat, biasanya para jago (calon kepala desa) mengundang kiyai atau dukun untuk mengadakan tirakatan (begadang semalam suntuk) di rumah jago-nya. Kiyai atau dukun ini bertugas untuk memimpin doa dan memohon supaya pulung yang “ditunggu- tunggu” segera datang dan jatuh di rumah jago-nya, serta tidak pindah lagi dari rumahnya sampai pagi hari. Dengan demikian, pada dini hari “H” akan di- selenggarakan pemilihan kepala desa, warga akan keluar rumah dan berada di tempat-tempat yang strategis untuk mengamati kemunculan dan penampakan pulung, serta siapa yang akan kejatuhan (ketiban) pulung tersebut. Bagi jago yang rumahnya ketiban pulung, diyakininya akan terpilih menjadi kepala desa dan akan mempunyai kewibawaan dan kesuksesan memimpin rakyatnya. Demikian pula, calon pemimpin (jago) secara individu mengadakan suatu ritual sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh kiyai atau dukun yang ber- sangkutan. Misalnya, berpuasa beberapa hari. Menurut informasi dari beberapa mantan jago, sehari menjelang hari pemilihan pemimpin secara langsung, si jago berada di dalam kamar rumah dan membuka beberapa genting atap rumahnya. Tujuannya membuka genting adalah supaya pulung yang “diundang” dapat masuk ke dalam kamar rumahnya. Menurut wacana, apabila pulung jatuh di rumah jago tersebut, tugas kiyai atau dukun yang berusaha menahan pulung itu agar tidak pergi dan pindah ke rumah jago yang lain. Berdasarkan atas kesaksian warga yang pernah menyaksikan kemunculan pulung menjelang pemilihan kepala desa menjelaskan, antara lain (1) pulung yang ditunggu-tunggu itu berbentuk bulat seperti bintang, tetapi tidak berekor atau berasap, dan wujudnya lebih besar daripada bintang biasa, berwarna putih terang, biru, atau kuning keemasan; (2) kemunculannya kadang-kadang dari rumah pemimpin yang lama, meluncur sedemikian rupa ke atas, dan setelah keberada- annya di udara, kemudian posisinya berpindah-pindah di sekitar rumah-rumah jago; dan (3) menjelang pagi harinya pulung itu biasanya jatuh di rumah salah satu jago yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Jago yang terpilih di mana rumahnya

216 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ketiban pulung diyakininya akan terpilih menjadi kepala desa yang ber-karismatik sebagaimana yang didambakan oleh warga masyarakat. Calon pemimpin (jago) yang mendapat ketiban pulung dan terpilih men- jadi pemimpin berarti mendapat wahyu keprabon, yang dimaknainya mendapat restu dari keraton. Konon, pada zaman dahulu jabatan bupati, lurah, dan kepala dukuh di wilayah ini dianugrahi oleh keraton. Oleh karena itu, istilah dan wacana pulung tetap populer di kalangan masyarakat setempat sampai di era modern ini.

IV. SIMPULAN Ritual yang dilaksanakan oleh calon kepala desa (jago) menjelang akan dilaksanakan pemilihan kepala desa secara langsung merupakan suatu tindakan simbolik dari suatu proses komunikasi. Si jago menghendaki supaya warga mera- sa mantap memilih dirinya pada hari “H” pemilihan kepala desa. Melalui pelaksa- naan ritual itu diwacanakan kehadiran dan keberadaan pulung jabatan. Oleh karena itu, untuk lebih meyakinkannya, si jago mengundang kiyai atau dukun untuk mengadakan tirakatan dan berdoa di rumahnya. Atas peran kiyai atau dukun itu, si jago mengajak warga dan tim suksesnya memanjatkan doa supaya ia berhasil memenangkan pertarungan dalam pemilihan kepala desa secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Ahinsa-Putra, Heddy Shri. 1999. “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya”, da- lam Ketika Orang Jawa Nyeni. Pengantar Sjafri Sairin. Yogyakarta: Galang Printika.

Geert, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc, Publisbers.

Koentjaraningrat. 2009. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia- Pustaka.

Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari. 2014. Pitutur Luhur Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi.

PENGGUNAAN BAHASA DI RUANG PUBLIK: KAJIAN PEMAKAIAN BAHASA DI KAWASAN HERITAGE KOTA DENPASAR

I Wayan Teguh I Wayan Simpen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan bahasa di ruang publik, khususnya di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Masalah yang dianalisis adalah kondisi riil pemakaian bahasa di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar, bahasa-bahasa yang digunakan di kawasan tersebut, dan langkah- langkah yang perlu dilakukan agar penggunaan bahasa di kawasan itu mencerminkan tinggalan budaya. Data dikumpulkan dengan metode observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Metode observasi dibantu dengan teknik catat dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Di samping itu, data dipilah dan dipilih sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab setiap permasalahan. Hasil analisis data lebih banyak disajikan dengan metode informal, yaitu deskripsi dalam bentuk satuan verbal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi riil di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar digunakan beberapa bahasa. Adapun bahasa-bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bahasa Bali (dalam hal ini aksara Bali), dan bahasa asing (Inggris). Langkah-langkah yang perlu dilakukan, misalnya diadakan penataan penggunaan bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing di kawasan publik, termasuk di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar.

Kata kunci: penggunaan bahasa, ruang publik, tinggalan budaya

1. Pendahuluan Penggunaan bahasa di Indonesia diatur dalam satu kebijakan nasional yang disebut Politik Bahasa Nasional. Kebijakan ini memuat aturan tentang fungsi dan kedudukan bahasa nasional, fungsi dan kedudukan bahasa daerah, serta fungsi dan kedudukan bahasa asing. Berdasarkan kebijakan itu, pemakaian bahasa di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia semestinya sesuai dengan aturan tersebut. Dalam hal ini pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus menjadi tuan di negeri sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa pemakaian

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 217 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 218 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bahasa lain (baik bahasa daerah maupun bahasa asing) tidak boleh sama sekali. Artinya, pemakaian bahasa tersebut harus tetap terkendali. Menurut pasal 36—39 Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia, menjaga, merawat, dan memartabatkan bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia merupakan suatu kewajiban dan amanat. Sesuai dengan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik dan fasilitas pelayanan umum. Pada pasal 36—39 disebutkan bahwa nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang (kecuali merek dagang internasional yang sudah dipatenkan), lembaga usaha, lembaga pendidikan, produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum wajib menggunakan bahasa Indonesia. Kota Denpasar memiliki kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan tinggalan budaya nasional (national heritage city) dengan sejarah yang kaya nilai budaya. Di samping itu, juga tidak terlepas dari warisan budaya tak benda yang masih lestari, seperti seni tari, adat istiadat, kearifan lokal, dan kerajinan tangan (Pos Bali Online, 4/5/2016). Dengan ditetapkannya hal tersebut, dimungkinkan masuknya bahasa selain bahasa Indonesia di ruang publik sangat besar, seperti bahasa Bali yang diangkat sebagai warisan budaya, bahasa asing yang dicantumkan, bahkan mengganti bahasa Indonesia di ruang publik untuk memudahkan wisatawan mancanegara.

2. Metodologi Populasi penelitian ini adalah seluruh penggunaan bahasa di ruang publik kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Faktor di luar linguistik bisa memperkuat fakta bahwa adanya pengaruh di luar sejarah kebudayaan dapat mengaburkan makna yang seharusnya dirujuk. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistem purposif area sampel sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini (Hadi, 183:83). Dalam pengumpulan data digunakan metode observasi, yaitu diadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian. Metode observasi dibantu dengan teknik catat dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 219 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 metode deskriptif kualitatif. Hasil analisis lebih banyak disajikan dengan metode informal, yaitu deskripsi dalam bentuk satuan verbal. Penyajian hasil analisis dijabarkan dengan pola penalaran secara induktif dan deduktif. Artinya, di satu sisi analisis dimulai dengan penyodoran fakta dilanjutkan dengan generalisasi. Di sisi lain, penyajian diawali dengan generalisasi dan selanjutnya dibuktikan dengan fakta.

3. Pembahasan Diketahui bahwa kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar telah ditetapkan menjadi kawasan tinggalan budaya. Hal itu sejalan dengan visi misi Kota Denpasar, yaitu menjadi kota yang berwawasan budaya. Penetapan tersebut menjadi pencapaian yang berharga dan terus dilestarikan, seperti memelihara lingkungannya. Dalam hal ini menjaga agar tetap bersih dan indah, parkir kendaraan dikhususkan untuk mengurangi kemacetan, menambahkan tanda seperti batu yang bertuliskan kawasan heritage sebagai penanda. Satu hal yang memiliki daya tarik sehingga topik ini diangkat menjadi sebuah penelitian adalah penggunaan bahasa di sepanjang kawasan heritage tersebut mengingat kawasan tersebut sudah ditetapkan menjadi kawasan tinggalan budaya. Di samping itu, juga banyak dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara karena menjadi salah satu tujuan wisata di Kota Denpasar. Pembahasan pertama tentang kondisi riil penggunaan bahasa di kawasan tinggalan budaya di Kota Denpasar dijelaskan dengan bantuan beberapa foto dan mencakup pembahasan kedua tentang macam bahasa yang digunakan di sepanjang kawasan tersebut. Adapun uraiannya adalah seperti berikut.

Gambar 1

220 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada gambar 1 terlihat batu bertuliskan “kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar” sebagai penanda wilayah tersebut dan seputarnya merupakan kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Fungsinya sebagai penanda sudah sesuai, tetapi kata heritage dalam tulisan tersebut dianggap tidak sesuai karena kata tersebut dalam bahasa Inggris pada pernyataan bahasa Indonesia. Pengamatan atas kondisi riil melalui gambar yang diambil, menunjukkan bahwa kawasan ini sangat istimewa sehingga dibuatkan tempat khusus dengan pemilihan batu dan desain yang mewakili keistimewaannya. Akan tetapi, penggunaan bahasa pada batu tersebut kurang tepat karena menggunakan kata heritage dibandingkan dengan menggunakan padanan kata tersebut dalam bahasa Indonesia seperti tinggalan budaya atau warisan budaya. Menurut Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia, menjaga, merawat, dan memartabatkan bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia merupakan suatu kewajiban dan amanat. Sesuai dengan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik dan fasilitas pelayanan umum. Pasal 36—39 menyebutkan bahwa nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang (kecuali merek dagang internasional yang sudah dipatenkan), lembaga usaha, lembaga pendidikan, produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum wajib menggunakan bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, hal tersebut penting dikaji kembali walaupun hanya satu kata bahasa Inggris heritage. Hal tersebut penting karena dapat memengaruhi aspek penting lainnya seperti terwakilkan atau tidaknya suatu kawasan budaya dilihat dari nama kawasannya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 221 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Gambar 2

Pada gambar 2 terlihat dalam foto terpasang nama toko dengan aksara Bali dan bahasa Indonesia dalam satu tempat di sepanjang kawasan tinggalan budaya Jalan Gajah Mada Denpasar. Hal ini patut diapresiasi karena ada upaya Pemerintah Kota Denpasar mengangkat kearifan lokal berupa aksara Bali dan memperkenalkannya pada wisatawan sehingga nilai budayanya juga tercermin selain keindahan yang dimunculkan aksara itu sendiri. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 24, Tahun 2009 pasal 36—39 yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik termasuk nama toko, pada gambar terlihat nama-nama toko sudah berbahasa Indonesia. Dengan begitu diketahui penamaan toko sudah sesuai dengan undang-undang sekaligus mengangkat budaya melalui aksara Bali yang dicantumkan pada papan nama toko yang terpasang apik dengan pemilihan tiang yang tidak kalah etnik secara fisik.

Gambar 3

Berbeda dengan gambar sebelumnya yang memperlihatkan keseragaman nama toko berbahasa Indonesia, ada beberapa toko seperti toko “Bhineka Djaja”

222 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(Gambar 3) yang berbahasa Indonesia, tetapi dengan ejaan lama (ejaan van Ophuijsen). Toko kopi ini sudah dikenal sejak 1935 dan diminati sampai sekarang. Nama tersebut sudah dipatenkan sehingga upaya penyeragaman tidak dapat dilakukan secara maksimal. Apabila diseragamkan, ditakutkan terjadi pengurangan minat pembeli karena dianggap toko yang berbeda dengan yang dikunjungi sebelumnya. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menambah cerminan kota budaya pada kawasan ini. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain (1) menata dan mengatur pemakaian bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing di kawasan tinggalan budaya kota Denpasar; (2) menertibkan pemakaian bahasa yang tidak mencerminkan bahwa kota Denpasar adalah kota budaya; (3) menambahkan dan melengkapi istilah/ungkapan serta semboyan di kawasan ini sehingga mencerminkan kota budaya; dan (4) memberikan pemahaman dan pengertian semua pihak yang berkepentingan di kawasan ini tentang pentingnya pemakaian bahasa yang tepat.

4. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar bukan hanya bahasa Indonesia, melainkan juga bahasa Bali dalam hal ini aksara Bali dan bahasa Inggris pada papan nama toko. Selain ejaan baku bahasa Indonesia, penggunaan ejaan lama (ejaan van Ophuijsen) untuk nama toko masih ditemukan. Hal itu terjadi karena sudah dipatenkan atau nama itu sudah digunakan sejak lama sehingga tidak diubah untuk menghindari kebingungan pelanggan. Dari data dan pembahasan juga diperoleh simpulan bahwa undang-undang penggunaan bahasa di ruang publik yang bertujuan memartabatkan bahasa Indonesia juga tidak terimplementasi dengan baik dan benar di kawasan tinggalan budaya Kota Denpasar. Di kawasan itu ditemukan penamaan kawasan tinggalan budaya yang menggunakan kata heritage pada “Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar”.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 223 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Dazuki, Sholeh dkk. 2015. “Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Ruang Publik di Kota Surakarta”.ISSN: 2477‐636X.

Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research I. Yogyakarta: UGM Press.

Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

DINAMIKA PENGGUNAAN RAGAM BAHASA DIALEK JAWA BARAT: ANTARA POLITIK DAN DEMOKRASI

Juanda Fakultas Sastra Unikom E-mail: [email protected]

Abstrak

Bahasa Sunda merupakan bahasa dialek yang ada di Jawa Barat. Bahasa Sunda saat ini masih digunakan oleh para penuturnya untuk komunikasi sehari-hari, Namun, dalam penggunaannya, bahasa Sunda di perkotaan sudah mulai tergeser oleh bahasa asing atau bahasa Indonesia walaupun sebenarnya pemerintah sudah ada upaya memasukkan mata pelajaran bahasa Sunda pada pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai tingkat menengah. Program pemerintah ini nampaknya belum begitu memberikan hasil yang menggembirakan dalam peningkatan kompetensi berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Salah satu hal yang menjadi fenomena dalam penggunaan bahasa Sunda adalah penerapan ”undak usuk basa”. Faktor penyebab semakin menurunnya kemampuan penggunaan ragam bahasa ini adalah tidak pernah dibiasakannya penggunaan ragam bahasa tersebut baik di lingkungan formal maupun di lingkungan nonformal seperti lingkungan keluarga atau masyarakat Beberapa kosakata yang mulai tidak dikenali masyarakat terutama kalangan pelajar atau mahasiswa seperti penggunaan kata astana, pasarean, pajaratan. Kata ini memiliki arti yang sama artinya makam. Namun, Kata ini sering diganti dengan kata makam atau kuburan dalam komunikasi sehari- hari, seharusnya kata tersebut digunakan sesuai dengan ragamnya. Astana untuk loma , pasarean untuk bahasa halus buat diri sendiri, sedangkan pajaratan bahasa halus untuk orang lain. Contoh :“Luhureun pasir eta teh aya astana”, “Pasarean pun adi teh tacan ditembok da taneuhna tacan padet”, “pajaratan pun aki mah dicirian ku hanjuang beureum”. Tulisan ini mencoba mengangkat beberapa kosakata bahasa Sunda yang masih dirasakan asing oleh penutur aslinya dan belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, Tujuannya untuk lebih memperkenalkan lagi atau mengingatkan lagi bentuk-bentuk kosakata yang seharusnya dipilih. Dari sudut pandang politik berbahasa bahwa penerapan ragam bahasa atau undak-usuk bahasa ini merupakan bagian berbudaya bahasa lokal yang harus dilestarikan sementara sisi demokrasi bahwa setiap penutur memiliki kebabasan untuk menggunakan ataupun tidak.

Kata kunci: dialek, ragam bahasa, bahasa halus, bahasa loma

1. PENDAHULUAN Ragam bahasa atau dikenal dengan undak-usuk basa dalam bahasa Sunda merupakan sebuah penerapan penggunaan bahasa atau pragmatik yang di dalamnya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 224 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 225 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 terdapat tatakrama berbahasa. Tatakrama bahasa merupakan sebuah cara berkomunikasi untuk menghargai orang lain oleh perbedaan struktur sosial, yang hakikatnya merupakan sebuah bentuk penghargaan pada diri sendiri. Munculnya ragam hormat dan loma salah satunya disebabkan adanya struktur sosial (Yudibrata, 1990: 43). Tujuan diterapkannya undak usuk basa bukan untuk membeda-bedakan strata sosial tertentu melainkan untuk saling menghargai di antara penutur. Seperti halnya seorang mahasiswa ketika berkomunikasi dengan dosen akan berbeda undak usuknya ketika berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Kalau kita melihat sejarah munculnya undak usuk basa sebetulnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Mataram (Faturohman, 1982: 49). Ketika masyarakat tatar Sunda datang ke Mataram untuk membayar upeti, mereka mempelajari budaya salah satunya bahasa yang ada tingkatan berbahasanya, Saat kembali ke tatar Sunda penggunaaan undak-usuk berbahasa tersebut diterapkan dalam bahasa Sunda. Oleh karena itu muncullah yang disebut dengan undak-usuk basa tersebut yang sekarang dikenal dengan ragam bahasa yakni ragam hormat dan ragam loma. Ragam hormat dibagi dua yakni, ragam hormat untuk diri sendiri dan orang lain (Hadi, 1991:12). Sementara masyarakat Filosofi ragam bahasa sebenarnya berbeda saat dulu dan sekarang. Zaman dulu lebih cenderung untuk membedakan strata sosial, tetapi saat ini paradigmanya sudah ke arah bentuk sebuah penghormatan kepada diri sendiri dengan cara menghormati orang lain. Kita bisa membandingkan kalimat-kalimat berikut: Bapak sasuran palay dipanggaleuhkeub raksukan. Abdi nyarios hoyong dipangmeserkeun anggoan. Kuring nyarita hayang dipangmeserkeun pakean. (Yudibrata, 1990: 42)

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan sebuah penerapan ragam bahasa hormat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Bentuk yang satunya lagi merupakan bahasa loma. Masyarakat di perkotaan Jawa Barat saaat ini sterutama kalangan remaja atau usia sekolah sudah mulai kurang memahami penerapan ragam bahasa hal ini terlihat dalam obrolan sehari-hari ketika mereka berada di rumah makan, di terminal, atau di tempat-tempat umum. Bahasa Sunda yang mereka gunakan cenderung bahasa Sunda kasar. Terkait dengan fenomena ini pemerintah pun

226 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 melakukan upaya salah satunya memasukkan mata pelajaran bahasa Sunda bagi siswa tingkat pendidikan dasar dan selanjutnya pada tingkat menengah. Hal ini merupakan sebuah alternatif untuk mempertahankan bahasa daerah yang merupakan sebagai pemerkaya bahasa nasional.

2. METODOLOGI a. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa Sastra Inggris Unikom semester I tahun akademik 2017/2018 sejumlah 25 mahasiswa dan beberapa masyarakat Kota Bandung secara random sedangkan objek peneliian adalah penggunaan ragam bahasa Sunda. b. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif melalui survei lapangan dan kuesioner. Survei dengan cara dengar dan catat yang dilakukan di lokasi-lokasi perbelanjaan, tempat-tempat mangkal seperti cafe/rumah makan, dan beberapa kuesionar yang berkaitan dengan ragam bahasa Sunda. c. Instrumen Penelitian Pendokumentasian data-data yang diperoleh disimpan dalam bank data ragam bahasa. e. Metode Analisis Data Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan cara menggambarkan dan mendeskripsikan data temuan ragam bahasa Sunda dengan cara mengaitkan teori dan hasil temuan.

3. PEMBAHASAN Penggunaan ragam bahasa masyarakat Kota Bandung baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan masyarakat umum pada umumnya belum sepenuhnya digunakan secara menyeluruh. Banyak sekali pilihan kata yang tidak sesuai dengan ragam bahasa. Hasil temuan di antaranya penggunaan: No. Loma Lemes Buat Lemes Buat Orang Lain

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 227 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sendiri 1 asup lebet lebet 2 keur kangge haturan 3 alus sae sae 4 pamit permios permios 5 anggeus rengse parantos 6 arang Awis-awis Awis-awis 7 arek bade bade 8 asal kawit kawit 9 ngaso ngaso leleson 10 maca maca maos 11 bangga sesah sesah 12 bawa bantun candak 13 kuru begang langsip 14 mere masihan ngahaturkeun 15 meuli meser ngagaleuh

Berdasarkan hasil kuesionar terhadap mahasiswa ditemukan 85% mahasiswa menggunakan kosakata yang penerapannya masih belum tepat. Hampir 90 % mahasiswa kesulitan menggunakan bahasa halus untuk orang lain. Mayoritas mahasiswa hampir tidak mengenal kosakata leleson dan langsip. Kata-kata tersebut seolah-olah merupakan kosakata terbaru bagi mereka yang belum sama sekali mereka kenal. Permasalahan yang muncul bagaimana sebuah politik bahasa dapat menyokong kelestarian bahasa. Politik bahasa (language politics) merupakan sebuah keadaan baik persamaan maupun perbedaan bahasa dituangkan dalam ungkapan kebahasaan, sedangkan bahasa politik merupakan kecenderungan bahasa partisipan politik yang menentukan orientasi dan kecenderungan politik masyarakat. Pada saat Ridwan Kamil menjadi Walikota Bandung banyak istilah- istilah Sunda dipajankan seperti di taman-taman atau trotoar-totoar. Ini berarti keberadaan bahasa Sunda diperpolitikkan oleh warga dalam bentuk ungkapan atau idiom. Ketika kehadiran bahasa Sunda sebagai objek maka bahasa sunda termasuk pada politik kehadiran berbahasa yang akan mendukung politik bahasa nasional.

228 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Politik bahasa cenderung berurusan dan penanganan persoalan kehadiran bahasa dan ranah penggunaan bahasa. Dengan munculnya politik bahasa bisa terkait dengan perencanaan, pembakuan dan pembinaan. Sisi positif peran sebuah politik bahasa untuk menentukan sebuah kebijakan perencanaan, pembakuan, maupun pembinaan dirasakan perlu kehadirannya, tetapi sisi lain sebuah demokrasi kebebasan berbahasa merupakan sebuah tatatanan yang tidak bersifat baku dan kaku yang jadi tolok ukur pegangan masyarakat.

4. SIMPULAN Politik bahasa dan demokrasi berbahasa merupakan dua sudut pandang yang masing-masing memiliki proyeksi tersendiri. Keduanya bisa berjalan berdampingan, bisa juga masing-masing memiliki alur tersendiri. Setiap negara memiliki politik berbahasa untuk mempertahankan bahasa tersebut dari kepunahan dan politik bahasa itu bisa dijadikan sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi bahasa tersebut. Namun demikian, sisi lain dalam demokrasi berbahasa kita tidak bisa menghakimi bahwa seseorang itu salah dalam berbahasa apalagi dalam bahasa nonformal. Demokrasi berbahasa dapat terjadi karena alasan latar belakang pendidikan, latar belakang sosial, atau latar belakang yang lainnya. Dalam demokrasi berbahasa tentu saja akan tercermin sebuah keragaman sebuah tingkat atau tataran kemampuan penerapan sebuah bahasa. Setiap kelompok masyarakat akan terlihat bagaimana mereka mengekplorasi sebuah bahasa tanpa adanya norma-norma yang terlalu mengikat penggunaan bahasa masyarakat bahasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Faturohman, Taufik. 1992. Tatabasa Sunda. Bandung: Djatnika.

Hadi, Ahmad. 1991. Peperenian. Bandung: Geger Sunten.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan.Bandung: Diponegoro.

Sumarsono, Tatang. 1984. Pedaran Sastra Sunda. Bandung: Medal Agung.

Yudibrata, Karna, Agus Suriamihara, Iskandarwassid. 1990. Bagbagan Makena Basa Sunda. Bandung: Rahmat Cijulang.

PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS PILKADA DI BALI1

Oleh: Ketut Darmana2 E-mail: [email protected] Nomor Handphone: 081328781144

Abstrak

Pilkada serentak 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah di tanah air untuk memilih gubernur dan bupati/walikota. Konsekuensi Pilkada serentak 2018 ini sebagai penghelatan demokrasi yang dilangsungkan secara periodik setiap 5 tahun sekali. Rakyat maupun masyarakat yang mempunyai hak suara dapat menentukan pilihannya untuk memilih pimpinannya sebagai gubernur dan bupati/walikota dengan cara demokratis. Artinya memilih pemimpin yang visi dan misinya beripihak kepada rakyat yang mewujudkan kesejahteraan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konstitusi dasar negera RI berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas diamanatkan terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penghelatan pesta demokrasi di Bali pada tahun 2018, adalah Pemilihan Gubernur (PILGUB) Provinsi Bali, dan Pemilihan Bupati (PILBUP) Tabanan, Gianyar, dan Klungkung. Dalam mendulang suara sebanyak-banyak masing- masing Paslon mendapat dukungan partai politik yang mengusung Paslon tersebut. Kemudian partai pengusung ini, berkualisi dengan mesin politik partai dari tingkat pusat sampai tingkat desa saling bahu-membahu untuk memenangkan jagonya sebagai pucuk pimpinan daerah untuk berkuasa nantinya setelah menang dalam pertarungan tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka beberapa pokok permasalahan yang ingin digali lebih mendalam adalah sebagai berikut: (1) Mengapa praktik pilkada serentak di Bali melahirkan bentuk-bentuk politik kebudayaan yang kurang selaras dengan praktik budaya berdemokrasi khusus di Bali? (2) Apakah faktor-faktor budaya yang berpengaruh terhadap munculnya praktik berdemokrasi yang kurang selaras dan (3) Bagaimana bentuk strategi politik ______1Disampaikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya, Unud,28--29 Maret 2018.

*) Hari Minggu diisi dengan siaran arja, program yang berlanjut sejak lebih dari empat dekade.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 229 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 230 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2Staf Pengajar Program Studi Antrologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Denpasar-Bali. kebudayaan yang dibutuhkan untuk mewujudkan bentuk demokrasi yang relevan budaya berdemokrasi di Bali. Selanjutnya, untuk membedah masalah tersebut, dengan menggunakan kerangka teori wacana yang dikembangkan Foucoult berdasarkan analisis data kualitatif yang bersumber dari data lapangan. Metode yang digunakan adalah pengamatan (observasi) dan studi pustaka atau dokumen.

Kata kunci: Pilkada, Budaya Politik, dan Budaya Demokrasi.

I. PENDAHULUAN Pilkada serentak 2018 adalah memilih Gubernur dan Bupati secara demokratis sesuai dengan kehendak keinginan masyarakat. Rakyat yang mempunyai hak memilih untuk dapat menjatuhkan pilihannya melalui pencoblosan kertas suara pada saat pemungutan suara itu dilakukan oleh panitia pemungutan suara (PPS) masing-masing desa atau banjar dijadikan sebagai tempat pemungatan suara (TPS). Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu No.: Tahun 2017, maka PPS sebagai ujung tombak pelaksana yang paling depan yang ditugaskan dalam pemungutan suara bagi warga masyarakatnya menggunakan hak suara untuk memilih kandidat pasangan calon (paslon) yang diusung oleh partai politik atan gabungan partai politik (koalisi). Kemudian, secara organisatoris struktural, PPS pada tingkat desa Dalam konteks budaya politik pada kehidupan sosio-kultural masayarakat di Bali, tidak berbeda jauh dengan kondisi kultur budaya politik di daerah lain di seluruh nusantara. Selalu masing-masing partai politik dan gabungan partai politik yang diejawantahkan dalam pola kualisi berusaha untuk memenangkan pasangan calon (Paslon) yang diusung dalam pertarungan terseebut. Oleh karena itu, pasangan calon Gubernur dan pasangan calon Bupati yang sah dinyatakan menang dalam pertarungan, bila mendulang suara sebanyak-banyaknya atau minimal 50 persen plus 1. Agar suara rakyat dapat didulang setinggi-tinggi mungkin, maka strategi yang diupayakan dengan beberapa cara, diantaranya sebagai berikut: (1) Mesin partai harus bergerak mulain dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Di tingkat pusat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) berkedudukan di Jakarta. Berikutnya, di tingkat provinsi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi, di tingkat kabupaten Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kabupaten Kabupaten. Selanjutnya, disusul oleh

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 231 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pengurus Anak Cabang (PAC) yang berkedudukan pada tingkat kecamatan. Begitu pula, pembentukan pengurus ditingkat desa, bahkan sampai ke tingkat dusun/banjar/kampong/RT yang tersebar diberbagai daerah di Bali. Bilamana mesin partai dapat digerakkan secara efektif dan efesien, maka mobilitas mesin politik untuk terwujudnya kemungkinan pemenangan dalam meraup suara terbanyak tersebut, (2) Pasangan calon (PASLON) yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik (koalisi) memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan kepercayaan publik yang ditunjukkan dari hasil survy dari lembaga independen. Selain itu, menunjukkan treckrecord yang baik dari hasil beberapa kajian yang dilihat dari sudut karier politiknya yang pernah dijabat pada masa itu, dan memiliki ketaksuan dalam menejerial sebagai seorang pimpinan kepala dearah (Gubernur dan Bupati), serta bebas korupsi sepanjang kariernya sebagai pejabat publik, dan (3) Seleksi bakal calon kepala daerah (Gubernur dan Bupati) dilakukan sangat ketat oleh pengurus partai mulai dari DPC, DPD, dan DPP. Namun, keputusan bagi pasangan calon (PASLON) tetap berada ditangan DPP sebagai bentuk keputusan final. Bagi pasangan calon (PASLON) yang mendapat restu, maka langkah berikutnya tugas dan tanggung jawabnya memenangkan kebijakan tersebut dalam Pemilukada yang berlangsung nanti. Dalam makalah ini hanya mengeksplorasi “Bagaimana Pengaruh Pilkada Serentah dalam Pengembangan Budaya Berdemokrasi di Indosena: Sebuah Refleksi Kasus Pilkada di Bali”. Pendekatan yang digunakan untuk menelaah masalah tersebut, dengan teori wacana (diskursus). Relevansi pengimplementasian teori wacana dalam Pilkada ini kerena dikemas oleh aroma nuansa politik bagi kaum elit politik untuk memenangkan jago yang diusung dalam Pilkada tersebut. Oleh karena itu, slogan yang selalu didengungkan setiap penghelatan demokrasi (Pilkada maupun Pilpres) adalah tidak kawan dan lawan yang abadi, namun sesungguhnya yang abadi itu adalah kepentingan politik untuk merebut kekuasaan. Adapun metode yang digunakan untuk mengalisa data tersebut, lebih menekankan pada pengamatan (observasi) berdasarkan peristiwa realitas empiris di lapangan. Di samping itu, kajian makalah lebih banyak ditunjang pada studi pustaka maupun harian koran lokal yang terbit di Bali.

232 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. PENGARUH PILKADA SERENTAK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA BERDEMOKRASI DI INDONESIA: REFLEKSI KASUS PILKADA DI BALI Permasalahan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Bali ini sangat terkait dengan budaya politik masyarakat. Begitu pula, budaya politik tersebut sangat berhubungan dengan keadaan pendidikan politik masyarakat. Oleh sebab itu, budaya politik juga sangat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan pollitik yang dimiliki oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi event dan agenda peristiwa perpolitikan yang terjadi di masa yang lalu pernah dialami. Hal ini menjadi memori (ingatan) untuk menyongsong penghelatan demokrasi yang datang setiap 5 tahun sekali. Kepercayaan politik itu, sering juga dikatakan nilai-nilai yang melekat pada diri individu maupun masyarakat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia, maka dalam menentukan pilihannya, nilai dan kepercayaan ini memberikan pengaruh signifikan untuk melakukan pencoblosan terhadap aspirasi yang diinginkan (Suka Arjawa, 2018). Budaya politik lokal pada masyarakat pedesaan yang kehidupannya sektor agraris yang didominasi oleh orang tua sekarang ini sudah memasuki lanjut usia (lansia) rupanya masih menggeluti pekerjaan ini. Laporan dari statistik penduduk menyatakan bahwa pelikada pada periode tahun 2018 ini hampir 40% dari penduduk usia muda. Lebih popular dengan sebutan generasi milineal atau generasi now. Kondisi ini secara signifikan berdampak pada kontelasi politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan pada tahun ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Generasi muda sebagai pendatang baru atau pemilih pemula memilih calon pemimpinnya lebih cerdas dan lebih cermat dalam menentukan pilihannya. Pengaruh mass media, baik elektronik maupun surat kabar, serta pemasangan baliho (iklan) berukuran besar dan kecil diberbagai sudut kota, bahkan sampai ke lorong-lorong kecil di daerah pedesaan. Sebagai salah satu bentuk kampanye terbuka sekaligus sosialisasi memperkenalkan kandidat calon pemimpin kepada masyarakat dalam menjatuhkan pilihan diwaktu melakukan pemungutan suara.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 233 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berkaitan dengan pengaruh Pilkada Serentah dalam Pengembangan Budaya Berdemokrasi di Indosena: Sebuah Refleksi Kasus Pilkada di Bali, adapun pokok- pokok bahasan dalam makalah ini lebih difokuskan hanya pada aspek-aspek sebegai berikut.

2.1. Pilkada Serentak dan Bentuk Politik Kebudayaan. Pilkada serentak sudah dilaksanak pada periode I, beberapa tahun yang lalu, kali ini sudah memasuki periode II, tepatnya Pilkada tahun 2018. Pada tahun ini penghelatan pesta demokrasi di daerah memilih Gubernur/Wakil Gubernur Bali, dan memilih Bupati/ Wakil Bupati Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung. Apa dampak terhadap Pilkada serentak tersebut, antara lain sebagai berikut: (1) Aspek pengelolaan daripada penyelenggaraan Pilkade lebih efektif dan efesien yang berkaitan dengan biaya, tenaga, waktu, (2) Aspek pengawasan lebih mudah dikontrol, karena steakholder yang terlibat dalam kegiatan ini dari berbagai pihak institusi/lembaga. Walaupun ujung tombak berada di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang. KPU sebagi lembaga pelaksana penyelenggara pemilihan umum bersifat independen, netral, kredibel, akuntabel, dan mampu melaksanakan pemilihan umum secara bebas, umum, dan rahasia. Di samping KPU, juga dibentuk Badan Pengawan Pemilu (BAPILU) di tingkat pusat, dan Panitia Pengawas Pemilu pada tingkat daerah. Tugas yang diemban oleh masing-masing lembaga ini untuk mensukseskan pemilu dari tahap awal sampai dilatiknya kepada daerah yang legimit dari hasil pemilu tersebut, dan (3) Aspek pemilih hanya datang sekali saja ke TPS bisa mencoblos paslon Gubernur atau Bupati sekaligus. Bentuk politik budaya yang dapat ditanamkan kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran perpolitikan itu sendiri. Keterlibatan masyarakat dalam area kancah politik perlu dibangun dan dibangkitkan, sehingga berpartisipasi dalam menentukan pilihannya karena hal ini berpengaruh langsung terhadap pemimpin yang berkuasa nanti dalam menentukan nasib rakyat 5 tahun ke depan (Ari Dwipayana, 2004).

234 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.2. Politik Kebudayaan dan Budaya Berdemokrasi. Politik berbudaya dan budaya berdemokrasi, dalam realitas empiris di lapangan, sesungguhnya bagaikan dua sisi mata uang sangat sulit dipisahkan satu sama lainnya. Begitu pula halnya politik berbudaya dan budaya berdemokrasi dapat saling melengkapi dari masing-masing kekurangan atau kelemahan tataran ideologi maupun implementasi praktik penerapannya di lapangan. Kadang-kadang antara teori di atas kerta sangat berbeda jauh dalam praktiknya di kalangan grassroot. Bagaimanapun baiknya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, sepanjang masih ada celah maka hal itu tetap dimanfaatkan dengan berbagai argumentasi yang masuk akal. Sebagai contoh: politik budaya mahar ini sangat mencederai budaya berdemokrasi dalam mencari peminpin yang jujur, kredibel, dan akuntabel pada ujungnya nanti meligitimasi pemimpin yang korup. Namun, bukan memperjuangkan keadilan sosial bagi rakyat untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya (Geertz, 1992).

2.3. Strategi Budaya dalam Politik Kebudayaan a. Strategi yang dibutuhkan dalam berdemokrasi berlandaskan budaya Bali. Pengejawantahan dimensi nilai-nilai dalam pendidikan politik masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi budaya politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat yang terbentuk dari beranekaragam suku, agama, ras, dan aliran (SARA) mudah tersegmentasi dari akar integritas kerena timbul kepentingan politik secara internal yang bersifat temporer untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan yang sudah pernah dinikmati saat ini. Oleh karena itu, perlu mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam pendidikan dan budaya politik, bahwa demokrasi sebagai pilihan politik bagi rakyat Indonesia dalam kerangka menegakkan kedaulatan rakyat guna mewujudkan keadilan soasial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di bumi pertiwi ini. Begitu pula, strategi pengembangan demokrasi berlandaskan budaya Bali yang basisnya budaya petani dan agama Hindu. Perpaduan yang bersifat integratif antara adat-istiadat dengan agama Hindu perlu disenirgikan untuk memperkokoh kedua lembaga tersebut. Sekaligus sebagi filter masuknya anasir-anasir politik yang berkamuplase negatif dapat terhindarkan. Slogan seguluk-segilik sebayangtake

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 235 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 merupakan ekspresi dalam hidup kebersamaan dalam kultur masyarakat Bali (Sudibawa, 2018). b. Strategi yang dibutuhkan untuk pembenahan praktik berdemokrasi Partai politik sebagai pilar utama dalam demokrasi di negara dunia manapun termasuk Negara Indonesia. Partai politik dalam pembentukan pendiriannya harus memiliki flatform visi, misi, dan tujuannya harus jelas. Di samping itu, dasar ideologi politiknya juga jelas, apakah berorientasi nasionalis, agama, kedaerahan (local) dan lain sebagainya. Partai politik, selain memiliki landasan ideologi politik, juga dalam pengamalan praktik tindakan kehidupan politik sehari harus dibingkai oleh Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Keanekaragaman (Masyarakat majemuk/plural) bangsa Indonesia. Partai politik sabagai satu tugas negara ikut bersama-sama menjaga keutuhan dan integritas kesatuan-persatuan dari berbagai rorongan internal maupun eksternal. Partai politik dalam pendiriannya maupun dalam menjalankan kiprah perpolitikannya juga berpedoman yang diatur dalam Undang-undang Partai Politik (UU Parpol). Semua aktivitas politik yang dijalankan itu harus mengikuti rambu- rambu yang telah disepakati bersama. Oleh sebab itu, rekrutmen menjadi anggota partai politik, termasuk pembinaan melalui pendidikan politik merupakan aspek penting dalam rangka pengkader karier politik bagi setiap warga negara. Hal ini kewajiban bagi partai politik menumbuhkembangkan potensi kemimpinan secara vertikal maupun horisontal mulai dari level lokal (daerah) sampai ke jenjang tingkat pusat. Seorang yang dikatakan sebagai tokoh pemimpin bangsa di masa depan rekam jejak (treak record) sudah diketahui dan dikenal secara umum oleh publik. Ini sebagai salah satu pembernahan budaya berdemokrasi untuk mencari dan menemukan pemimpin akan datang sebagai harapan kita bersama (Koentjaraningrat, 1985).

III. PENUTUP Berdasarkan uraian pemaparan tersebut di atas, dalam makalah ini disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Demokrasi Pancasila sebagai suatu ideologi yang paling cocok diterapkan di negara Republik Indonesia, hanya itu masih merupakan gagasan ideal pada

236 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tataran teori saja. Namun, praktiknya dalam realitas politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata masih perlu pembenahan pada sistem perpolitikan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di samping itu, alam demokrasi di Indonesia hanya baru berjalan puluhan, karena mengawali gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998, ternyata banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi. Justru hal ini terjadi dikalangan elit partai itu sendiri (Berger, 1986). 2. Marwah demokrasi hanya bisa dijaga dengan penegakan hukum. Partai politik sebagai pilar demokrasi yang merepresentasikan aspirasi masyarakat, dan sekaligus rakyat memegang kedaulatan tertinggi. Oleh karena itu, partai politik yang diberi mandat oleh konsituennya untuk memperjuangkan aspirasinya tersebut harus berkomitmen mengedepankan budaya politik dalam budaya berdemokrasi itu menjunjung nilai-nilai kesantunan, arif-bijaksana, jujur, transparan, kredibel, akuntabel dan lain sebagainya. Bila hal ini dapat diwujudkan oleh semua partai politik termasuk elit didalam, niscaya setiap penghelatan demokrasi berkaitan Pilkada, Pilpres, dan pemilihan DPR/DPRD serta DPD dipastikan berjalan damai.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Dwipayana, AAGN., 2004. “Genealogi Politik: Desa Adat Bali dan Ruang Demokrasi” dalam Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif (Darma Putra, I N, Editor). Denpasar: Bali Post.

Berger, Peter L., 1986. “Demokrasi Dunia Dewasa Ini” dalam Ideologi, Pembangunan, dan Demokrasi (Suasta, Putu Editor). Denpasar: : Kelompok Diskusi Merah Putih.

Geertz, Clifford. 1992. Politik kebudayaan. Yogjakarta: Kanisius.

------2000. Negara teater. Yogjakarta: Bentang

Jones, Tod., 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era reformasi. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 237 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sariasa, I W., 2018. “Demokrasiku Sedang Mati Suri” dalam Bali Post, No.: 185, Tahun Ke-70, Hal. 6, Kolom 2—5. Denpasar: Bali Post.

Sudibawa, I P., 2018. “Menghadirkan Nilai Demokrasi dalam Pendidikan”, dalam Bali Post, No. 184, Tahun Ke-70, Hal. 4, Kolom 1—5. Denpasar: Bali Post.

Suka Arjawa, GPB., 2018. “Poros Ketiga dan Budaya Politik Indonesia” dalam Bali Post, No. 193, Tahun Ke-70, Hal. 6, Kolom 2—5. Denpasar: Bali Post.

NILAI DEMOKRASI DALAM CERPEN “SUKRENI DI LOVINA” KARYA I.B.W WIDIASA KENITEN

Oleh Ketut Yarsama FPBS, IKIP PGRI Bali E-mail: [email protected]

Abstrak

Cerpen yang berjudul Sukreni di Lovina mengandung nilai pendidikan yang sangat urgen dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai – nilai demokratis yang terkandung dalam cerpen “ Sukreni di Lovina”. Sumber data penelitian ini adalah cerpen yang berjudul Sukreni di Lovina Karya I.B.W. Widiasa Keniten yang diterbitkan Denpost. Data dikumpulkan dengan metode Kepustakaan.Data dianalisis dengan metode hermeneutik. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai demokratis yang terkandung dalam cerpen “Sukreni di Lovina ”, yaitu kebebasan individu dalam menyalurkan hak, menjamin tegaknya keadilan, kehidupan masyarakat yang damai dan religius.

Kata kunci: Nilai demokrasi, Cerpen

Abstract

The short story entitled Sukreni in Lovina contains a very urgent value of education understood, lived, and practiced in the life of society. The purpose of this study is to analyze the democratic values contained in the short story "Sukreni in Lovina". Sources of research data is a short story entitled Sukreni in Lovina Karya I.B.W. Widiasa Keniten published by Denpost. Data collected by bibliography method. Data were analyzed by hermeneutic method. The results show that the democratic values contained in the short story "Sukreni in Lovina", namely the freedom of individuals in channeling rights, ensuring the upright of justice, the peaceful and religious life of society.

Keywords: Value of democracy, Short story

I. PENDAHULUAN Karya sastra merupakan karya imajinatif pengarang dalam mengekspresikan gagasan atau ide yang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada dalam masyarakat. Karya sastra merupakan refleksi kehidupan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 238 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 239 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masyarakat yang didasari daya kreasi dan imajinasi pengarang.Karya sastra itu tidak lahir dari kekosongan. Karya sastra mengandung nilai-nilai edukasi yang bias mengubah perilaku manusia .Karya sastra mampu membentuk dan membina karakter anak bangsa. Karmini (2011: 102) mengemukan bahwa cerpen adalah suatu cerita yang menggambarkan sebagaian kecil dari keadaan, peristiwa kejiwaan, dan kehidupannya.Cerita yang disajikan tidak menggambarkan secara komprehensif dari suatu keadaan atau peristiwa dialami oleh tokoh. Nurgiyantoro (2007: 165) mengatakan bahwa tokoh adalah orang-oang yang ditampilkan dalam suatu cerita yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Oleh karena itu, cerpen memiliki nilai-nilai kehidupan yang bermakna sehingga sangat urgen untuk diapresiasi nilai- nilai pendidikan yang terkandung dalam cerpen dapat memengaruhi karakter anak.Dengan membaca karya sastra berupa cerpen diharapkan karakter anak semakin berkualitas (Yarsama, 2017: 5).Hal ini berarti semakin intensif dan apresiatif seseorang membaca karya sastra berupa cerpen maka semakin bermartabatlah perilaku orang itu. Cerpen pada hakikatnya dibentuk dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.Kedua unsur tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Esten (1989:21) membagi unsur-unsur intrinsik cerpen menjadi dua, yaitu isi dan struktur. Isi yang dimaksud termasuk tema dan amanat, sedangkan struktur termasuk di dalamnya, yakni : alur, latar, pusat pengisahan, penokohan, dan gaya bahasa. Tahun 2018 dikenal dengan tahun poltik.Pada tahun ini, beberapa daerah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.Provinsi Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga menyelenggarakan, pemilhan gubernur.Pada pemilihan gubernur, masayarakat Bali memiliki hak untuk menyalurkan, aspirasi ketika memilih pemimpin.Hak demokrasi masyarakat Bali dijamin Undang-Undang dalam memilih gubernur.Gubernur yang terpilih adalah sosok pemimpin yang jujur, kerja keras, bertanggung jawab, dan mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat Bali.

240 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penulis berharap ketika masyarakat Bali menyalurkan hak pilihnya bisa berjalan lancar dan damai.Dengan demikian pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang berkulitas pemimpin yang mampu membuat masyrakatnya hidup tenang, aman, sejahtera, dan damai.Jadikan pesta demokrasi ini kegiatan yang menyenangkan, bagi masayarakat, bukan masyarakat dibuat resah, tertekan, dan takut dalam pesta demokrasi ini. Salah satu karya sastra yang perlu diapresiasi pembaca adalah cerpen. Cerpen merupakan karya imajinasi pengarang yang diinspirasi dari kenyataan yang terjadi di masyarakat. Cerpen mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat urgen diapresiasi.Salah satu cerpen yang memiliki kualitas sastra yang baik adalah Sukreni di Lovina.Cerpen ini diciptakan I.B.W. Keniten sebagai wujud kepedulian atau partisipasi dalam merayakan ulang tahun Kota Singaraja.Keniten termasuk pengarang yang produktif dalam menciptakan karya sastra.Di samping sebagai sastrawan, Keniten juga sebagai pendidik.Karen itu, karya sastra yang diproduksi tidak bisa lepas dari masalah-masalah kependidikan. Cerpen “Sukreni di Lovina” karya I.B.W. Keniten mengandung nilai demokrasi yang layak dikaji.Nilai demokrasi yang digambarkan dalam cerpen tersebut bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan di masyarakat. Di samping nilai demokrasi, ada juga nilai edukasi yang lain yang terkandung dalam cerpen tersebut. Nilai demokrasi apa saja yang direfleksikan dalam cerpen, “Sukreni di Lovina?” Untuk memecahkan masalah tersebut perlu dikaji lewat penelitian ini. Menurut Abraham Lincoln dalam Artikelsiana (2018) demokarsi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Demokrasi berperanan sangat penting dalam keikutsertaan rakyat yang disebabkan rakyat memiliki hak ikut serta dalam jalannya pemerintahan, karena pada nilai-nilai demokrasi sangat terlihat jelas bahwa demokrasi merupakan bagian dari rakyat yang sangat dominan. Demokarsi merupakan bentuk pemerintahan yang seluruh warga negara atau rakyat memiliki hak-hak dalam jalannya pemerintahan serta memiliki hak dalam mengambil keputusan dalam mengubah hidupnya sendiri.Paham demokarsi sangat disukai oleh masyarakt, karena rakyar diberikan hak-hak yang dijaga yang sering disebut kedaulatan rakyat.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 241 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nilai-nilai demokrasi, yaitu (1) menjamin tegaknya keadilan, (2) menekan penggunaan kebebasan seminimal mungkin, (3) menyelenggarakan pergantian kepemimpinan secara teratur, (4) menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga, (5) menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai/ tanpa gejolak, dan (6) mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman. Keenam nilai demokrasi tersebut sangat cocok diterapkan di negara Indonesia yang sangat majemuk ini. Jika nilai-nilai demokrasi mampu diterapkan secara konsisten dan objektif maka negara Indonesia bisa menajadi negera yang maju, adil, dan makmur.

II. METODE PENELITIAN Adapun metode-metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah 1) jenis penelitian, 2) sumber data penelitian, 3) metode dan teknik pengumpulan data, 4) instrument penelitian, 5) metode analisis data, 6) metode penyajian analisis data.

(1) Jenis penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bersifat naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah atau natural setting (Sugiyono, 2015:14). Digunakannya jenis penelitian kualitatif karena data yang dikumpilkan dalam penelitian ini berupa kata- kata bukan angka-angka dan disajikan apa adanya tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.

(2) Sumber data penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah cerpen dengan judul Sukreni di Lovina. Cerpen tersebut terbit pada hari Minggu,11 Februari 2018 yang dimuat pada koran Denpost.

(3) Metode dan teknik pengumpulan data Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan.Metode dan teknik pegumpulan data merupakan salah satu langkah utama dalam penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data. Metode pengumpulan data

242 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan dan wawancara. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah teknik pengkartuan dan pencatatan.

(4) Instrument Instrumen penelitian merupakan sarana atau alat yang digunakan dalam penelitian. Penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dari pengamatan sehingga peneliti berperan dalam menentukan keseluruhan skenario penelitian (Moleong, 2014:163). Kedudukan peneliti dalam penelitian cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitian. Peneliti termasuk dalam instrumen utama penelitian karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian.

(5) Metode Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh peneliti atau orang lain (Sugiyono, 2015:335).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data dengan analisis heuristik dan hermeneutik.Analisis heuristik merupakan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama.Metode ini berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan (Nurgiantoro. 2015:46).Sedangkan analisis hermeneutik diartikan sebagai penafsiran atau interprestasi (Bungin, 2014:189). Metode analisis data ini diawali dengan langkah-langkah dalam menganalisis adalah sebagai berikut. 1) Membaca secara heuristik, yakni pembacaan cerpen dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. 2) Membaca secara hermeneutik, yakni pembacaan ulang setelah pembacaan heuristik. Dengan langkah sebagai berikut. a. Memberian kode pada kartu data nilai demokarsi yang terdapat dalam cerpen terbitan Denpost pada tanggal 11 Februari 2018. b. Mencatat nilai-nilai demokrasi dalam kartu data.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 243 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Memaparkan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam cerpen tersebut. 3) Menarik kesimpulan

(6) Metode Penyajian Analisis Data Metode pemyajian hasil analisis data ada dua macam,yaitu metode formal dan informal. Menurut Sudaryanto (dalam Muhammad 2014:288) metode formal adalah penyajian data dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang berupa tabel atau grafik sedangkan metode informal adalah cara penyajian melalui kata-kata biasa yang memudahkan untuk dipahami. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode informal,karena data disajikan dalam bentuk kata-kata.

III. PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengkajian secara mendalam cerpen,”Sukreni di Lovina” yang selanjutnya disingkat SL ditemukan nilai-nilai demokrasi baik secara tersirat maupun tersurat yang terkandung dalam cerpen tersebut. Pembahasan hasil penelitian ini didasarkan pada teori nilai-nilai demokrasi yang sudah diuraikan pada pendahuluan. Nilai demokrasi yang ditemukan pada cerpen tersebut sebagai berikut Nilai menjamin tegaknya keadilan dilukiskan dalam cerpen SL yakni Pandji Tisna dikisahkan sebagai putra dari Kerajaan Buleleng rela pergi ke Lovina untuk mendekatkan diri dengan rakyat jelata. Beliau sangat dekat dengan masyarakat. Nama Lovina yang sampai saat ini terkenal sebagai destinasi pariwisata di Singaraja diberikan oleh Pandji Tisna. Beliau menetap di Lovina yang menyatu dengan kehidupan para nelayan. Pandji Tisna memilih profesi sebagai sastrawan. Beliau menciptakan karya sastra yang sangat terkenal seperti Sukreni Gadis Bali. Kehidupan Pandji Tisna yang sangat dekat dengan rakyat khususnya para nelayan dilukiskan dalam kutipan di bawah ini. “Aku lihat luasnya laut. Kuliat para nelayan mencari penghidupan.Mata pencahariannya memetik kehidupan di dasar laut.Sempat aku dekati seorang nelayan.” (SL, 2018;6)

Raja Buleleng digambarkan sosok seorang raja yang sangat demokratis.Beliau menghormati keinginan putranya. Pandji Tisna ingin hidup mandiri dan ingin mencari jati dirinya sendiri, seperti yang terungkap pada kutipan di bawah ini.

244 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

….Aku merasakan ketegaran jiwanya untuk memilih jalan hidupnya.Aku berpikir jika sekarang jabatan dan kekuasaan nomor 1, tapi Pandji Tisna memilih jalan sepinya sendiri.Menyepi mengurati kata, mengurai kehidupan dalam kalimat-kalimat, dalam paragraf-paragraf menyatukannya dalam sebuah novel.Betapa bahagianya orang yang bisa menentukan sebuah jalan hidup (SL, 2018;6).

Kutipan itu mengandung makna bahwa manusia dalam kehidupannya perlu hidup mandiri dan mampu mencari dan menemukan jati diri kita masing-masing dengan mengenal dan menemukan jati diri maka kita lebih merasa bersyukur apapun karunia dari Sang Pencipta. Manusi perlu mawas diri, introspeksi diri sehingga dalam berperilaku selalu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kutipan itu mengandung makna bahwa jabatan itu adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Karena itu, ketika sesorang mempunyai jabatan maka pergunakanlah jabatan itu sebaik-baiknya. Jangan salah menggunakan kekuasaan, karena kekuasan itu hanya titipan Tuhan. Oleh karena itu, ketika kita berkuasa pergunkanlah kekuasaan itu dengan bijaksana dan konsisten menjunjung tinggi norma-norma kebenaran. Nilai menekan penggunaan kebebasan seminimal mungkin dalam demokrasi tampak juga dalam cerpen SL. Dalam cerpen tersebut digambarkan tokoh Aku ingin menyaksikan dolpin di laut.Ia minta kepada tokoh Bapa yang berprofesi sebagai nelayan untuk mengantar ke laut melihat dolpin. Tokoh Bapa pun menyanggupi permintaan tokoh Aku. Pada hari yang cerah dan gelombang laut tidak membahayakan maka tokoh Aku menagih janji kepada Bapauntuk mengantarkan melihat dolpin. Hal ini tampak dalam kutipan sebagai berikut. ….Janji harus ditepati jika tidak nitya wacana namanya.Pantang bagi Bapa mengingkari janji.Iya sudah, gimana sudah siap? Oh. Sudah.Kami pun disuruh memakai jaket pelampung sebagai penjaga jika terjadi sesuatu.Aku pun berdoa pada Dewa Laut agar bisa melihat dolpin (SL, 2018;6). Kutipan di atas mengandung makna bahwa tokoh Bapa Gede walaupun kehidupan ekonominya sederhana tetapi tidak berpikir hanya mengejar keuntungan dari pekerjaanya mencari ikan di laut.Bapa Gede terikat dengan janjinya mengantrakan tokoh Aku melihat dolpin.Bapa Gede adalah sosok tokoh yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 245 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dilukiskan satya wacana yang sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu Tri Kaya Parisudha. Jika ajaran Tri Kaya Parisudha ini diamalkan dengan harmonis di masyarakat maka penulis yakin kehidupan manusia akan tentram, aman, bahagia, dan damai. Tokoh aku dilukiskan sebagai sosok tokoh yang relegius.Dia tidak lupa berdoa dan memohon kepada Tuhan agar cita-citanya melihat dolpin dikabulkan.Kutipan tersebut juga mengandung amanat bahwa kemanapun kita pergi seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya dengan lengkap.Sikap hati-hati dan waspada dalam suatu pekerjaan sangat perlu dilaksanakan.Dengan demikian pekerjaan yang dilakukan bisa berhasil dengan baik.Hal ini tersurat dalam percakapan tokoh Bapa Gede dengan tokoh Aku agar menggunakan jaket pelampung ketika di laut. Nilai menyelesaikan permasalahan secara damai sebagai salah satu nilai demokrasi ternyata tampak dalam cerpen SL. Dalam cerpen tersebut diceritakan tokoh Bapa Gede pada awalnya menolak diajak ke laut oleh tokoh Aku, karena pada saat itu muatan cuaca lagi tidak bersahabat.Bapa Gede menawarkan hari lain agar cuacanya cerah dan bersabat. Tokoh Aku pun setuju dengan usul yang disampaikan Bapa Gede.Begitu cuaca cerah dan gelombang laut sudah bersahabat barulah mereka bersepakat untuk berlayar ke laut nelihat dolpin.Ternyata permasalahan yang diselesaikan dengan damai membawa hasil yang maksimal.Tokoh Aku akhirnya bisa menyaksikan dolpin dengan baik dan mengabadikan dolpin dengan beragam ukuran melompat-lompat di depan mereka. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut. Kecerahan pagi itu membuka hati kami. Semburat merah memancar di timur. Jukung Bapa Gede menerobos gelombang yang bersahabat hari itu. Bapa Gede turut mengajak kami ke tengah laut…. Keberuntungan berpihak pada kami. Dolpin dengan beragam ukuran melompat-lompat di depan kami. Aku dan temanku mengabadikannya. Aku ingat dolpin memberi kasih pada manusia. Ia dikenal sebagai binatang laut yang memberi pertolongan pada manusia (SL, 2018;6).

Kutipan di atas mengandung makna bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan harus mencari waktu yang tepat. Ketidaktepatan dalam menentukan waktu bisa membahayakan kehidupan kita.Kedisiplinan memanfaatkan waktu sangat penting dalam melaksanakan pekerjaan.Manfaatkan waktu dengan sebaik-

246 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 baiknya sehingga berguna dalam kehidupan di masyarakat.Manusia bukan hanya membutuhkan kehidupan jasmani, tetapi juga rohani.Kedua kebutuhan itu harus harmonis. Apabila kedua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan baik, maka manusia akan hidup sehat jasmani dan rohani. Nilai menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai ditemukan dalam cerpen SL. Di dalam cerpen tersebut dituliskan kehidupan masyarakat yang masih tradisional.Karena penduduknya sebagian besar sebagai nelayan.Hal ini disebabkan wilayah Lovina sangat dekat dengan laut.Mata pencaharian penduduk di Lovina awalnya sebagain besar mencari ikan.Dengan berkembangnya dunia pariwisata wilayah Lovina sekarang berubah menjadi daerah pariwisata. Oleh karena itu, di wilayah Lovina banyak berdiri bangunan hotel, restoran, bar, kafe, vila, dsb. Mata pencaharian penduduk di Lovina bukan lagi mengandalkan hasil laut, tetapi ada juga yang memilih profesi sebagai pemandu wisata, pegawai hotel, restoran, dan yang lainnya.Kehidupan masyarakat di Lovina sudah berubah dari awalnya sebagai daerah agraris berubah menjadi daerah pariwisata.Perubahan tersebut ternyata tidak menimbulkan gejolak. Dengan kata lain perubahan yang terjadi di wilyah Lovina berjalan dengan damai. Hatiku terus saja ingin ke rumah Bapa Gede.Iakatakan tidak terlalu jauh dari tempat menginap kami. Aku mengajak temanku.Ia menunjukkan keceriannya. Ia ingin melihat kehidupan masyarakat Bali….Kurasakan vibarsi kedamaian memancar di rumah Bapa Gede (SL, 2018: 6).

Kutipan di atas menunjukkan adanya kedamaian di rumah Bapa Gede yang ada di Lovina.Keadaan rumah Bapa Gede yang sederhana ternyata mampu menggugah rasa nyaman dan damai para tamu yang singgah ke rumah tersebut.Suasana yang damai itu ditunjukkan juga dengan sikap dan perilaku Bapa Gede dan anaknya, yang bernama Sukreni sangat ramah dan sopan santun menerima tamu. Sikap sopan santun yang ditunjukkan Bapa Gede dan Sukreni ketika menerima tamu dapat dibuktikan pada kutipan berikut “Om Swastiastu”, sapaku. “Om Swastiastu.”Bapa mempersilakan kami duduk di balai daja rumahnya….Anak gadisnya membawakan kami kopi hangat dengan ubi rebus.“Silakan!”“Terima kasih” (SL, 2018: 6)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 247 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tokoh aku dan tamu dari Swis sangat prihatin dengan keadaan Bapa Gede.Kehidupan Bapa Gede ternyata tidak didampingi istri. Istrinya Bapa Gede sudah meninggal dunia.Bapa Gede dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sukreni. Nama anak Bapa Gede ternyata diambil dari nama tokoh novel yang dikarang Pandji Tisna dengan judul “Sukreni Gadis Bali.” Hal ini dibuktikan dengan kutipan. “Inilah tempat tinggal kami.Ini anakku satu-satunya.Ibunya terlalu lama meninggalkan kami.“Semoga damai di alam keabadian, Pa.”“Terima kasih.”Terus siapa nama anak Bapa?”“Sukreni”, “Sukreni?” Kok sama dengan nama novel Pandji Tisna? (SL, 2018: 6).

Kutipan di atas mengandung makna bahwa kehidupan tokoh Bapa Gede dan putrinya Sukreni sangat bahagia. Bapa Gede sangat bangga memiliki anak yang sangat cantik dan berprilaku mulia. Bapa Gede memberikan nama anaknya Sukreni, karena ingin mengabadikan jasa Pandji Tisna yang menamai wilayah ini dengan Lovina. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut: “Benar!Bapa ingin mengabadikannya lewat nama anak Bapa, karena berkat Pandji Tisnalah Lovina ini dikenal”.Aku hanya berdecak kagum.Ternyata masih ada yang menuliskan namanya pada seorang gadis cantik (SL, 2018: 6).

Lovina sebagai salah satu destinasi pariwisata yang ada di Kabupaten Buleleng sampai saat ini masih banyak dikunjungi para tamu domistik maupun luar negeri.Para tamu sangat kagum dengan panorama pantai yang indah dan kehidupan masyarakat damai, para tamu yang berkunjung ke Singaraja tidak merasa lengkap, apabila belum mengunjungi Lovina. Oleh karena itu, nama Lovina sangat terkenal di Singaraja sebagai objek wiasata. Nilai mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman ditemukan juga dalam cerpen SL. Di dalam cerpen tersebut dilukiskan tokoh aku sangat akrab bersahabat dengan tokoh dari Swis.Tokoh dari Swis sangat tertarik dengan objek wisata Lovina.Tokoh aku dengan tulus ikhlas menolong tokoh dari Swis untuk pergi ke Lovina.Hal ini ditemukan dalam kutipan sebagai berikut. ….Aku bersam temanku dari Swis.Ia jatuh hati pada Lovina. Ia dengar di Lovina, dolpin bisa dinikmati keindahannya. “Tiang, mau ke Lovina, apa bias dibantu?” Oh, kebetulan tiang bisa antar ke

248 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Lovina. Ini mobil bungalo bias ditumpangi.“Baiklah!”Kamipun diantar ileh teman baru kami. (SL. 2018:6).

Kutipan tersebut mengandung makna bahwa tokoh Aku sangat ramah dan sopan santun terhadap tokoh dari Swis, walaupun tokoh dari Swis itu baru saja dikenalnya, tokoh Aku digambarkan sebagai sosok seorang tokoh yang menghormati dan menghargai keberagaman. Tokoh aku dimaknai seorang tokoh yang beragama Hindu ternyata menjalin persahabatan yang sangat baik dengan tokoh dari Swis yang beragama Kristen.Perbedaan keyakinan dan warna kulit ternyata tidak menjadi penghambat dalamkehidupan masyarakat yang damai dan indah.Fakta di lapangan membuktikan bahwa di wilayah Lovina dihuni oleh penduduk yang beranekaragam.Adapenduduk yang beragama Hindu, Islam, Budha, Kristen, dan Katolik.Kelima agama itu sampai saat ini hidup rukun dan damai.Tidak ada gesekan atau tidak ada gejolak dalam kehidupan dalam kehidupan beragama di Lovina. Semoga keadaan yang kondusif sekarang ini tetap bertahan dan lebih baik lagi pada kehidupan yang akandatang. Dalam menghadapi era disrupsi atau era revolusi industri 4.0 maka diperlukan sikap persatuan, persaudaraan, kerjasama, toleransi, persahabatan yang baik dengan semua bangsa di dunia.

IV. SIMPULAN Berdasarkan analisis data yang diuraikan dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa ditemukan lima nilai demokrasi yang terkandung dalam cerpen SL, yaitu nilai menjamin tegaknya keadilan, nilai menekan penggunaan kebebasan seminimal mungkin, nilai menyelesaikan permasalahan secara damai, nilai mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan nilai menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai. Di samping itu, ditemukan juga nilai pendidikan karakter yang meliputi nilai religius, nilai etika, nilai toleransi, dan kesetiakawanan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 249 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bungin, Burham. 2014. Penelitian Kualitatif. Jakarta :Prenada Media Group.

Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama.Denpasar : Pustaka Larsan.

Keniten, I.B.W. 2018. “Sukreni di Lovina.” dalam harian Denpost, Minggu, 11 Februari 2018

Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhammad, Djorin. 2014. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burham. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Tindakan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Yarsama, Ketut. 2017. Konflik Batin Tokoh Utama dalam Cerpen Harian Bali Post Tahun 2015 dan Relevansinya pada Pembelajaran Sastra di SMA. Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni Stilistetika Tahun VI Volume 11, November 2017 dengan ISSN 2089-8460.

KEINDAHAN YANG TERPANTUL DALAM KIDUNG TANTRI RĂGA WNAṠA SEBUAH KAJIAN EKOSEMIOTIK

Oleh: Komang Paramartha. E-mail: [email protected] I Nyoman Sukartha. E-mail: [email protected] Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udyana

Abstrak

Ekosimiotik merupakan studi dalam bidang semiotik yang membicarakan tentang hubungan antara alam dengan lingkungan atau kebudayaan. Studi itu mempersoalkan tentang manfaat dan makna alam dalam kehidupan manusia. Hal yang utama adalah cara berkomunikaso antara manusia dengan alam. Ekosemiotik sering disamakan dengan ekologi sastra. Dalam Kidung Rȃga Wĭnaṡa, ekosemiotik terkandung dalam bait-bait yang ada di dalamnya dan membangun estetika. Estetika seperti itu belum pernah diteliti, karenanya akan dicoba diungkap sebagai penelitian. Penelitian ini akan bersandar kepada teori ekosemiotik dengan bantuan metode kepustakaan dan deskreptip kritis. Hasilnya berupa uraian tentang kandungan estetika dan keindahan alam yang terpantul di dalam kidung tersebut. Kidung tersebut banyak mengungkap tentang estetika atau keindahan alam yang tentunya berkaitan erat dengan budaya atau pun manusia.

Kata kunci: ekosemiotik, estetika dan kidung.

1. Pendahuluan Karya sastra adalah suatu bentuk komunikasi yang menggunakan sarana bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia (Sudjiman 1993: 6-7). Karya sastra, khususnya fiksi, sering disebut sebagai dunia dalam kemungkinan dan dunia dalam kata. "Dunia" yang diciptakan pengarang dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa menjadi alat bagi pengarang untuk mengungkapkan perasaan, gagasan; dan angan-angannya (Nurgiyantoro 1995: 272). Karya sastra sebagai sebuah bentuk komunikas, merupakan bentuk komunikasi yang khas karena "pesapa" dapat hadir, tetapi dapat juga tidak hadir. Pada karya sastra tulis, karya sastra dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya (Sudjiman

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 250 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 251 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

1993: 7). Begitu pula halnya dengan karya sastra klasik yang berbahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi atau berbahasa Bali seperti kakawin, kidung, dan karya geguritan. Karya sastra klasik seperti karya sastra kidung, dewasa ini boleh dibilang sangat sedikit mendapat perhatian dari para peneliti. Pada hal sastra kidung tidak kalah jauh dari kakawin bila dilihat dari nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya, serta kandungan makna dan keindahan bahasanya. Dalam dua tahun belakangan ini (2016-2017) penelitian yang mengambil objek sastra kalsik seperti sastra kidung boleh dibilang ”bak kerakap tumbuh di batu, mati segan hidup takmau”. Buktinya hanya 5 tulisan yang dijumpai dan tulisan itu pun oleh satu orang saja yaitu olehI Nyoman Sukartha yang meneliti tentang kidung Tantri Rȃga Wĭnasa atau Kidung Manduka Prakarana. Penelitiannya itu antara lain: ”Pendidikan Karakter Dalam Kidung Manduka Prakarana” (2016); ”Epilog Kidung Rȃga Wĭnasa Atau Tantri Manduka Prakarana” (2016); ”Kepengarangan Kidung Manduka Prakarana”; ”Nilai Moralitas Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa” (2017); penelitian bersama); ”Pendidikan Kharakter Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa Episode Si Lutung dan Si Keker” (2016); ”Pendidikan Karakter Kidung Raga Wĭnasa Episode Si Katak dan Si Tetani” (2017); dan ”Epilog Kidung Rȃga Wĭnasa” (2017).

Semua penelitian yang disebut di atas mengungkap makna, nilai pendidikan moral. Hal itu tidaklah mengherankan karena dalam sastra kidung tersebut, nilai pendidikan moral yang dikandungnya sangat dominan. Namun, belum ditemukan uraian mengenai faktor intrinksiknya seperti keindahan bahasa dan keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk itu dalam uraian ini akan dibahas mengenai stilistika yang terkandung dalam Kidung Rȃga Wĭnasa.

2. Stilistika Stilistika berarti ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Moliono, 2008; 1340). Pembahasan gaya bahasa pada tulisan ini berdasarkan pilihan leksikal dan pilihan wacana (ujaran dan kiasan). Pandangan lain menyebuttkan bahwa; stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispliner antara linguistik

252 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan kesusastraan; penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Hasanuddin, 2014;901). Stilistika digunakan dalam suatu karya sastra tidak bisa dilepaskan dari tujuan untuk menciptakan atau menambah keindahan/estetika dalam karya tersebut. Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa banyak ditemukan unsur keindahan seperti yang disebutkan di atas. Untuk itu akan dicoba untuk menjelaskannya.

2.1 Stilistika yang Berkaitan Dengan Kata/Frasa Diksi atau pilihan leksikal dan pilihan frasa sangat menentukan dalam penyampaian makna suatu karya sastra. Pilihan leksikal yang dilakukan dengan baik dapat menimbulkan efek tertentu bagi pembaca seperti menggugah simpati pembaca, menonjolkan Kidung Rȃga Wĭnasa juga menimbulkan kesan yang kuat pada kata atau pasangan kata, memberikan gambaran yang kongkrit, dan memudahkan pemahaman pembacanya. Pilihan leksikal yang akan dibahas di bagian ini adalah pemanfaatan kata-kata yang berkaitan dengan alam. Kata-kata yang berkaitan dengan alam seperti mrega taru artinya ’harimau pohon’ yang maksudnya adalah ’lutung’, tuban, wirada maksudnya ’perdu tumbuhan racun tikus’. wirada artinya ”bambu yang lebat’, ”wana” artinya ’hutan’,lila artinya ’senang/gembira’, ’kidul”artinya ”selatan”, warsa mandala artinya ’daerah selatan’, ” dan botrawi”artinya ’pancuran air’. Kata- kata tersebut tidak hanya dikaitkan dengan fenomena alam, tetapi juga dengan pikiran dan perasaan untuk mendapatkan kesan indah. Perhatikan kutipan di bawah ini: a) Hênêngakêna iriki wuwusên punang mrêga taru sāh saking tuban wirada adoh denya lumaris līla tan angrasa durgati ring agamya wana among swecchāning kāpti pintên lawasing amanggih ayu,

b) Baryan amilih bhukti salwaning wana kāhasan amrih karaśmining wwah-wwahan padha rāmyȃmukti lêpas lakune angidul kāmpir i warṣa maṇdhala dadya pun amênangi botrawi ri sampaning gunung (KRW, episode Bacin Lembu Dadi Anggo Ubad Tatu, bait 11 a dan b)

Terjemahan: a) Sampai disini ceritanya dihentikan. Kini dikisahkan si Lutung yang sedang meninggalkan rumpun bambu. Ia sudah berjalan jauh. Senang tiada merasa kesulitan walau di dalam hutan lebat. Ia menikmati kegembiraan rasa hatinya yang lama menimati kebahagiaan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 253 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

b) Senantiasa makan makanan yang terpilih. Menyusup di dalam hutan belantara yang luas. Memilih buah-buahan yang baik. Hanya yang segar-segar saja yang dimakannya. Kini ia perjalanannya telah lewat di sebelah selatan, sampai di daerah Warsa, lalu ia menjumpai telaga di lereng gunung.

Menurut Kamus bahasa Jawa Kuna , mrêga taru berasal dari kata dasar mrega yang berarti ‘macan’ dan kata taru yang berarti ‘pohon’. Dalam wacana Kidung Rȃga Wĭnasa kata tersebut digabungkan menjadi kata majemuk yaitu mrega taru. Kata itu diartikan dengan ’binatang kera hitam atau lutung’. Dalam bahasa Jawa Kuna kata tersebut bersinonim dengan kata plawanggi, lutung, dan wre. Frasa tuban wirada berasal dari kata Tuban, berupa kada dasar tub (lebat) yang mendapat sufik –an, menjadi kata tuban. Kata wirada artinya ’bambu’. Frasa tuban wirada berarti ’rumpun bambu’. Wana berupa kata dasar yang berarti ’hutan’. Lila berupa kata sifat yang artinya ’senang’. Kidul berupa keterangan tepat yang artinya ’selatan’. Warsa mandala berupa kata ganti nama yaitu nama wilayah/daerah/kerajaan Warsa. Sedangkan kata botrawi berupa gabungan kata yang berarti pancuran air. Melihat uraian di atas, terdapat pemilihan kata atau frasa yang dirangkai berupa kalimat untuk menciptakan keindahan. Pengarang mencoba merangkai kata-kata tersebut agar karyanya menjadi indah. Rangkaian kata tersebut digunakan untuk menceritakan keindahan alam oleh pengarang. Si Lutung yang mewakili si pengarang merasakan keindahan alam yang membuatnya terpesona dan kagum akan keindahan alam di sepanjang jalan di dalam hutan belantara. Hal itu mengakibatkan ia tidak sadar bahwa dirinya sudah berada sangat jauh dari rumpun bambu (tempat si Macan yang terbunuh oleh tipu daya si Lelasan) hinga sampai di wilayah kerajaan Warsa.

2.2 Keindahan Alam Yang Terpantul Dalam Kidung Rȃga Wĭnasa Keindahan alam yang terpantul di dalam Kidung Rȃga Wĭnasa yang dimaksud adalah untaian kata/frasa/kalimat yang digunakan untuk mengungkap/menceritakan keindahan alam di dalam kidung tersebut dan

254 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 mampu menimbulkan kesan indah atau estetik. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. 1) Hênêngakêna iriki wuwusên punang mrêga taru sāh saking tuban wirada adoh denya lumaris līla tan angrasa durgati ring agamya wana among swecchāning kāpti pintên lawasing amanggih ayu,

2) Baryan amilih bhukti salwaning wana kāhasan amrih karamining wwah-wwahan padha rāmyȃmukti lêpas lakune angidul kāmpir i warṣa maṇdhala dadya pun amênangi botrawi ri samī panang gunung (KRW, episode Bacin Lembu Dadi Anggo Ubad Tatu, bait 11 a dan b)

3) Kweh tuñjungnya aneka sāri uddha nīla rakta lumrā haneng bañu ganggêng awrā sêlutdara awor irim-irim mīnanyāliwêran mijah angijinging bañu sawanyāpupul-pupul lyan amaranting lumut sing grong-sing grong awwad rantuning matsya silurup,

4) Sêk tang sarwa sari têpinyātantunan rāmyȃsêhên santun ri padūnya anêmbur – makarȃuci sama kasongan wyāla puṣpa bhramitang kumbang angrubung darpāngisêp sêkar rurū anibeng warih bangun rāmyaning hyang sura wadhū sukā sibwana ing raṇu.

5) Wasāna mangun rawit pañjrah aṣana sêdhêng rūm sabhūṣaṇa mās tatur apipiting pring gadhing hatur madhya kesisan wastranyāneng posiking sêkar yaya angure weṇi sanggȃkaa mur yȃngol ing bañu,

6) Pudhak anawang wêtising dyah añar winingkisan rupiting payodhara kataṇdhês ing sêpêt gadhing mêmbat ing asta anawung – larisning sinwaming aoka molah lung ning ikari angalaya sapangluking gulū.

7) Imbanyāngrakêting alis alungid ramining wadanānuju pañjahing padmārūm nīlotpala angayon tan seng ñêñêring nayana rājasa mêmbang anusup ing gisi-gisi akusābhramarāngisêp sȃri bangun waja raṇdhi anūkṣmeng wuwusnya ri pangliking cucur,

8) Langö tan pasiring hatur tāladwaja rāmyȃngdani syuh ewuh twasing kawy anglangut kapêgan mārkepon kerangan atinggal karas waānikêl tanah garu lêng-lêng kapênêtan twasing wānara angakṣi yaya tan asalah tinghal tan wikan ri têkaning wiyung.

Terjemahan 1. Sampai disini ceritanya dihentikan. Kini dikisahkan si Lutung yang sedang meninggalkan rumpun bambu yang subur. Ia sudah jauh berjalan. Lega tiada merasa kesulitan walau di dalam hutan yang lebat. Menikmati kegembiraan rasa hatinya yang telah lama menimati kebahagiaan.

Senantiasa makan makanan yang terpilih. Menyusup di dalam hutan belantara yang luas. Memilih buah-buahan yang baik. Hanya yang segar-

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 255 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

segar saja yang dimakannya. Kini ia perjalanannya telah lewat di sebelah selatan, sampai di daerah Warsa, lalu ia menjumpai telaga di lereng gunung.

2. Banyak bunga tunjung yang beraneka ragam. Ada yang berwarna putih, biru, dan merah, bertebaran di atas air. Tumbuhan ganggang dan lumut banyak merambah, bercampur dengan pohon biah-biah. Ikan-ikannya dengan gesit berseliweran di dalam air. Ada yang lain yang bergerombol- gerombol. Ada juga yang bersembunyi pada lumut di lubang yang ada di sela-sela akar pohon, Sebagai tempat persembunyian ikan-ikan.

Penuh bunga-bunga di tepi jalan berderet-deret. Indah, sedang berbunga mekar dan lebat. Di pojoknya terdapat air mengucur jernih ke luar daripancurannya. Semua itu dinaungi oleh bunga nagasari yang dikelilingi dan dirubung kumbang yang dengan rajin menghisap sari bunga. Bunganya layu lalu jatuh menimpa air. Bagai keindahan para dewa dan bidadari yang senang mandi di air.

3. Kemudian menciptakan keindahan, yang dipenuhi oleh kembang angsana yang sedang mekar. Segala perhiasannya bagai disepuh, yang diapit bambu gading. Bagaikan pinggang gadis yang kainnya tersingkap. Begitu keindahan bunganya manakala bergoyang. Bagai mennebar rambut keadaan batang pohon sanggalangit menjulur-julur meraih air.

Batang bunga pudak bagai betis seorang gadis yang kainnya baru terbuka. Keindahan payudaranya mengalahkan keindahan kelapa gading. Gemulai tangannya bagai melawan goyangan daun muda pohon angsoka. Goyangan si bunga gadung yang membelit bagai liku-liku lehernya.

4. Bagai daun mimba tempelan alis nan lancip meruncing. Kecantikan wajahnya bagai melawan si bunga teratai yang sedang mekar. Keharuman si bunga tunjung biru yang indah bagai tatapan matanya. Si kembang rijasa merasuk pada bibir. Kumbang-kumbang menempel menghisap madu bagai giginya memerah. Dengung suaranya hilang oleh suara si burung kedasih.

5. Mempesona tanpa ada yang menyamai keindahan dagunya dewa Kama dan Ratih. Indah membikin hati hancur kebingungan pikiran si pujangga yang kasmaran. Terpana, lunglai, dan bingung. Malu menaruh karas (batu tulis) lalu mematahkan anak batu tulisnya. Terpana dan terpesona perasaan si Lutung melihatnya, bagai tidak akan mengubah pandangan sehingga ia tidak sadar akan kedatangan si Katak.

Dalam petikan bait-bait kidung di atas sangat jelas terkandung adanya ungkapan keindahan alam beserta isinya. Ungkapan seperti itu masih banyak bisa ditemukan dalam Kidung Rȃga Wĭnasa. Namun kutipan di atas dirasa sudah cukup mewakilinya. Untuk itu, dalam tulisan ini tidak dicantumkan lagi.

256 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Kesimpulan. Untaian tentang keindahan alam banyak terdapat dalam Kidung Rȃga Wĭnasa. Hal itu menandakan bahwa Kidung Rȃga Wĭnasa kaya akan kandungan keindahan alam.

DAFTAR PUSTAKA

Hasanuddin, W.S. dkk. 2014. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Ujungberung Bandung; Titian Ilmu Bandung

Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Istilah Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra. Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1983. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sudiana,T.Made.2013. Kidung Rȃga Winȃṡa (beraksara Bali). Denpasar; Percetakan Bali.

Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha. I Nyoman. 2017. “Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana” dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.

Sukartha I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka Prakarana”. Denpasar. Program Stodi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.Zoutmulder.P.J dan S.O. Robson. 2008. Kamus Jawa Kuna- Indonesia. (Terjemahan Daru Suprapta dan Sumantri Suprayitna). Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

GEGURITAN ARJUNA WIWAHA: ANALISIS STRUKTUR DAN KARAKTER TOKOHNYA

Luh Putu Puspawati Made Suastika FIB Unud

Abstrak

Teks Geguritan Arjuna Wiwaha adalah teks pem-Balian dari sumbernya Kakawin Wiwaha. Meskipun judulnya sama, namun secara mendasar terdapat perbedaan, yaitu Geguritan Arjuna Wiwaha berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuno dan Geguritan Arjuna Wiwaha berbentuk tembang macepat dan menggunakan bahasa Bali. Secara alur ada persamaan, yaitu teks dimulai dari Sang Arjuna bertapa di Gunung Indrakila sampai pergi ke sorga. Sorga minta bantuan Arjuna untuk membunuh raksasa Niwatakwaca yang ingin menguasai sorga. Secara jelas akan diuraikan struktur teks dan karakter tokohnya pada makalah ini.

Kata kunci: kakawin, Arjuna Wiwaha, Geguritan, Karakter, Niwatakwaca

I. Pendahuluan Geguritan Arjuna Wiwaha perkawinan Arjuna adalah sebuah teks sastra geguritan yang merupakan proses pem-Balian. Pem-Balian adalah sebuah teks yang disadur dari sumberya yang telah ada sebelumnya disesuaikan dengan dunia Bali. Di sini terjadi perubahan dari objek sastra, bahasa dan budaya dari teks sumbernya. Adanya proses pem-Balian bertujuan untuk memudahkan pemahaman karya sastra yang ada sebelumnya yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha, kemudian disadur ke dalam bahasa Bali, berbentuk geguritan dan diberi nama yang sama yatu Geguritan Arjuna Wiwaha, namun bentuknya berbeda. Tampak adanya kemiripan dari alur cerita, mengisahkan perkawinan Arjuna dengan para bidadari. Sorga merasa khawatir atas ulah raksasa sakti Niwatakwaca karena menyerbu sorga. Akhirya para dewa minta bantuan tokoh Arjuna untuk mengalahkan Niwatakwaca, para dewa tahu Arjua akan dapat mengalahka rahasia raksasasa itu, dengan hadiah para bidadari menjadi istrinya. Dari segi bahasa, kedua teks itu terjadi perubahan yaitu bahasa dalam Kakawin Arjuna Wiwaha adalah bahasa Jawa Kuna dan Geguritan Arjuna Wiwaha

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 257 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 258 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 digunakan Bahasa Bali, meskipun tampak jawa kuna masih ada mewarnai teks yang muncul dari Geguritan Arjuna Wiwaha. Dari segi budaya masih ada kesejajaran dalam konteks kebudayaan Bali seperti teks Kakawin Arjuna Wiwaha adalah salah satu kakawin yang sangat populer dan digemari dalam masyarakat Bali, disamping teks kakawin Ramayana, Kakawin Bharatayudha, Kakawin Nitisastra. Teks itu dibacaan dalam seni mebebasan. Teks Geguritan Arjuna Wiwaha merupakan teks pem-Balian (saduran) atau transpormasi dari teks sumberya (babonnya) Kakawin Arjuna Wiwaha. Hal itu dapat dijelaskan dengan kutipan pengantar teks sebagai berikut: “wenten sane kedeh ngaturang ayah antuk mageguritan ngangge sekar alit medaging pupuh macepat, napi malih rikala megending wenten sane negesin, lan kaenter tur kairigang tabuh geguntangan. Ring nagingin pengarsane puniki, sane mangkin titiang ngaturag “Geguritan Arjuna Wiwaha” sane kaketus saking daging kakawin indik caritane”

Dari kutipan di atas penulis Ni Made Sri Arwati telah menyusun (disusun olih) teks Geguritan Arjuna Wiwaha yang bersumber dari sebuah kakawin, yang dimaksudkan di sini adalah Kakawin Arjuna Wiwaha. Dalam Geguritan Arjuna Wiwaha penulispun menyebutkan sebagai berikut: 1. Gung Ampura hatur titiang Terjemahannya Majeng ring Ida Rakawi 1. Mohon maaf saya sampaikan Kakawin Arjuna Wiwaha Kehadapan para rakawi (Mpu Kanwa) Lungsur kanggen pupuh hatur Kakawin Arjuna Wiwaha Mlarapan antuk ginada Mohon dijadikan tembang Kanggen gending dipersembahkan Dasar hatur pengaksama Dengan tembang Ginada 2. Mabuat pisan manah titiang Sebagai awal permakluman. Ngripta dagingnye puniki 2. Terpenuhi pikiran saya Mlarapan dar pinunas Menyusun isinya seperti ini Para ummat mgama Hindu Berdasarkan dasar mohon Side pacang kaanggeang Kepada para umat Hindu Sareng ngiring Agar dapat dipakai Maring galah pesantian Bersama-sama ikut 3. Hatur sukmaning manah Ke tempat pesantian Saking titiyang ring rakawi 3. Ucapan terima kasih dalam pikiran Sampun mapica tuntunan Dari saya kepada para rakawi Nika anggen titiang suluh Sudah memberikan tuntunan Kirang langkungne Itu saya pakai penerang (suluh) druweyang Lebih kurang milikilah Mrupa gending Berupa nyanyian Kaanggen dasar mayadnya Dipakai dasar berkorban (menyadnya)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 259 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan kutipan teks diatas, bahwa pengarang mohon/minta ijin kepada pengawi Kakawin Arjuna Wiwaha, yaitu Mpu Kanwa untuk digunakan sebagai dasar membuat Geguritan Arjuna Wiwaha. Di samping itu, tujuan lain adalah sebagai persembahkan kepada masyarakat Umat Hindu untuk dapat memahami isi teks dalam aktivitas pesantian, yaitu dibacakan dan diartikan disertai iringan geguntangan, juga persembahan teks geguritan ini sebagai suluh penerangan dan digunakan sebagai dasar meyadnya (korban atas persembahan tulus).

II. Metode Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data terdiri atas primer dan skunder, data primer adalah teks Geguritan Arjuna Wiwaha dilanjutkan dengan translitrasi dan terjemahan. Data skunder terdiri atas wawancara dan kepustakaan. Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode non formal (uraian).

III. Geguritan Arjuna Wiwaha 3.1 Alur Geguritan Arjuna Wiwaha Alur Geguritan Arjuna Wiwaha dapat disampaikan menurut adegan cerita sebagai berikut: 1. Berisikan pengantar pengarang kepada para rakawi dan mohon izin menyadur 2. Berisi kebesaran Raja Erlangga ketika memerintah, karena memuja Siwa 3. Betara Indra menerka bahwa Sang Arjuna tidak kuat bertapa dengan melakukan godaan/ujian dalam tapanya oleh para bidadari 4. Bidadari kalah 5. Tempat sang Arjuna bertapa di gua dan sangat indah 6. Rupa (kecantikan) bidadari menggoda 7. Bidadari mencari tempat sang Arjuna bertapa 8. Para bidadari tidak berhasil menggoda 9. Pendeta sebagai perwujudan (siluman) Dewa Indra 10. Nasihat pendeta kepada sang Arjuna

260 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

11. Sang Arjuna melanjutkan semadi/tapa 12. Kedatangan celeng/babi menggoda sang Arjuna 13. Betara Siwa berubah wujud menjadi pemburu 14. Perebutan babi antara sang Arjuan dan pemburu 15. Kepandaian (kewisesaan) sama dengan mayuda (berperang) 16. Lanjutan berperang 17. Sang Arjuna menyembah kepada Batara Siwa 18. Sang Arjuna dianugerahi panah pasupati, batara Siwa kembali ke Sorga 19. Sang Hyang Sakra minta tolong sang Arjuna 20. Sang Arjuna ke sorga 21. Sang Arjuna disambut oleh para bidadari 22. Sang Arjuna menghadap Sang Sakra 23. Pesan Bhagawan Wrehspati kepada Sang Arjuna 24. Kepergian Sang Arjuna dan Supraba 25. Tempat yang tidak dilewati dalam perjalanan 26. Keduanya (sang Arjuna) dan Supraba dalam perjalanan 27. Dewi Supraba jejeh (takut) 28. Sang Arjuna menasihati Dewi Supraba agar mendengar Niwatakwaca 29. Keduanya tiba di taman 30. Dewi Supraba akan menyerahkan diri (kepada Niwatakwaca) 31. Dewi Supraba bertemu Niwatakwaca 32. Permintaan Dewi Supraba kepada Niwatakwaca 33. Rakyat siaga akan menyerang/berperang 34. Tata cara dalam peperangan 35. Perjalanan raksasa pengikut Niwatakwaca 36. Rapat dalam mengahdapi perang 37. Pergi berperang 38. Perjalanan menuju peperangan 39. Keadaan peperangan 40. Kelanjutan peperangan 41. Sang Arjuna melawan Niwatakwaca 42. Para bidadari bingung mengganggu sang Arjuna

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 261 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

43. Rapat menerima sang Arjuna setelah Niwatakwaca mati 44. Kesenangan sang Arjuna dilanjutkan dengan penglila cita dengan bidadari Supraba 45. Sang Arjuna bersenang-senang 46. Pesan sang Arjuna kepada istrinya (Supraba) 47. Sang Arjuna minta diri pulang 48. Tentang gosip para bidadari (ingin mengikuti sang Arjuna)

3.2 Struktur Cerita Struktur Cerita Geguritan Arjuna Wiwaha adalah dibentuk dengan alur lurus karena peristiwa atau adegan berurutan dan berkesinambungan hingga air cerita. Awalnya Arjuna bertapa di gunung Indrakila, kemudian datang pemburu dan serangan babi, akhirnya babi diperebutkan antara Betara Siwa (pemburu) dan Arjuna dihadiahi panah pasupati. Terjadi dialog yang panjang tujuan Arjuna bertapa apakah ia menjadi wiku utama, atau mencari kesaktian karena dalam bertapa lengkap membawa senjata. Akhirnya terjawab bahwa Arjuna menginginkan kesaktian agar dirinya dapat membebaskan diri dari saudaranya dari pihak musuh, khususnya pihak korawa. Sorga tahu Arjuna manusia sakti harus dimintai bantuan atas kedatangan raksasa Niwatakwaca yang ingin menguasai sorga. Dewa Sakra mengundang Arjuna ke Sorga, lalu disambut oleh para bidadari dan disampaikan tujuan mengundang Arjuna ke sorga. Arjuna dengan pesan para dewa, agar berangkat menemui raksasa itu, upacara dilakukan bidadari Supraba pura-pura mau menerima Niwatakwaca. Akhirnya Niwatakwaca mau membuka rahasia kesaktiannya berada di ujung lidah, akhirnya ketika ia berteriak karena senangnya, ketika itu Arjuna memanahnya. Niwatakwaca mati, Arjuna dan bidadari Supraba menjalin cinta kasih dan pada akhirnya Arjuna kembali ke dunia. Tempat kejadian peristiwa di hutan/Gunung Indrakila, sorga, di sungai dan tempat perjalanan Arjuna dan Bidadari Supraba. Tokoh cerita meliputi Arjuna, para dewa, para bidadari, raksasa Niwatakwaca dan raksasa lainnya.

262 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3 Karakter Para Tokoh Tokoh dalam Geguritan Arjuna Wiwaha berdasarkan nama pelakunya dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Tokoh ksatria, meliputi tokoh Arjuna sebagai tokoh Pandawa yang pada saat itu sedang bertapa di Gunung Indrakila dengan tujuan mencari kesatian agar dapat mengalahkan musuhnya ketika berperang dengan korawa nanti. Dalam bertapa, dewa Siwa khawatir apakah sebenarnya yang dicari apakah kedyatmikan (keluhuran budi) atau kesatian sebagai seorang ksatria. Akhirnya Betara Siwa berubah menjadi pemburu dan berebut babi dalam waktu yang bersamaan memanahnya. Akhirnya, ketahuan tujuan Arjuna bertapa adalah mencari kesaktian. Arjuna dianugerahi panah Pasupati, Arjuna akhirya diundang ke sorga untuk membantu mengalahkan raksasa Niwatakwaca, hanya Arjunalah yang dapat membunuh raksasa sakti itu. Diawali dengan tujuan bidadari Supraba agar mau mengalahkan kelemahan di ujung lidah, ketika ia berteriak maka dipanah oleh Arjuna yang pada saat itu sedang mengintip dari kejauhan. 2. Tokoh sorga, meliputi Dewa Siwa, Indra, Dewa Sakra. Tokoh ini semuanya tokoh supranatural dan tokoh penghuni sorga. 3. Tokoh para bidadari, yaitu Suprabra, Tilotama yang memiliki paras cantik untuk menggoda raksasa Niwatakwaca, akhirnya para Bidadari, khususnya Supraba menjadi istri Sang Arjuna dapat membunuh raksasa Niwatakwaca. 4. Raksasa Niwatakwaca tokoh raksasa sakti dan jahat, menyerbu sorga serta menginginkan bidadari di sorga 5. Tokoh pemburu sebagai penjelmaan (siluman) Dewa Siwa ketika berperang dengan Arjuna memperebutkan seekor babi.

4. Simpulan Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Teks Geguritan Arjuna Wiwaha sebagai saduran (transformasi) teks Kakawin Arjuna Wiwaha 2. Alur cerita masih mengikuti adegan cerita kakawin Arjuna Wiwaha sebagai sumbernya, termasuk pula nama tokoh-tokoh Arjuna, dewa-dewa, bidadari dan pemburu.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 263 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Karakter tokoh Arjuna sebagai tokoh kesatria yang menginginkan kesaktian untuk mengalahkan musuhnya. Tokoh dewa sebagai tokoh sorga, para bidadari adalah tokoh sorga yang berparas cantik dapat menggoda hati Niwatakwaca. Tokoh raksasa memiliki watak jahat seperti Niwatakwaca ingin menguasai sorga.

DAFTAR PUSTAKA

Arwati, Ni Made Sri, 2011, Geguritan Arjuna Wiwaha.

Puspawati, Luh Putu, 2017, Geguritan Kecake : Analisis Struktur Translitrasi dan Terjemahan, Fakultas Ilmu Budaya; Jurusan Sastra Bali

Suastika, I Made Jirnaya, Ketut, Sukersa, Wayan, Puspawati, Luh Putu, 2017, Proses Pem-Balian Geguritan Kapiparwa yang Bersumber pada Kakawin Ramayana” Penelitian Hibah Grup Riset Udayana.

Teeuw, A, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta; Pustaka Jaya

MEMORI BUDAYA DAN PENULISAN KARYA SASTRA DALAM PEMBERDAYAAN BAHASA IBU

Oleh Maria Matilidis Banda FIB Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Pemberdayaan bahasa ibu berkaitan dengan sikap bahasa. Bahasa bukan hanya sebuah sistem tanda tetapi juga sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia (Gadamer). Hakikat "ada" tampak dalam bahasa sebagai bagian dari pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Bahasa sebagai kehidupan itu sendiri dengan segenap pemahaman dan penghayatan. Tujuan penulisan makalah ini untuk mendapatkan pemahaman tentang memori budaya dan penulisan karya sastra dalam pemberdayaan hakikat "ada" pada manusia dalam bahasa tulis maupun lisan. Memori budaya (Liliweri, 2005) adalah sebuah sistem dalam diri manusia (cultural memory system) yang memiliki kemampuan menyimpan dan mentransmisikan. Metode yang digunakan adalah metode desktiptif analitik dengan pemahaman teori fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk bekerja sama dalam suatu kelompok sosial (Simpen, 2011). Hasilnya menjelaskan bahwa kosa kata dan diksi yang termuat dalam memori budaya adalah bagian integral dalam penulisan karya sastra pragmatik yang penting untuk pemberdayaan bahasa ibu.

Kata Kunci: Memori Budaya, Penulisan Karya Sastra, dan Pemberdayaan Bahasa.

I. Pendahuluan Makalah ini ditulis setelah mengikuti International Conference on Local Language (ICLL) I yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana bekerja sama dengan Asosiasi Pemerhati Bahasa Lokal (APBL), 23 - 24 Februari 2018. ICLL diselenggarakan dengan tema "empowerment and preservation of local language "(pemberdayaan dan pelestarian bahasa lokal). Tema tersebut mengisyaratkan pentingnya pemberdayaan dan pelestarian bahasa lokal dan (bahasa ibu) yang disinyalir mengalami "ancaman kepunahan" dari aspek eksternal dan internal. Pertumbuhan ekonomi, pasar bebas, dan perkembangan teknologi komunikasi secara eksternal mengancam keberadaan bahasa ibu. Sementara itu keberadaan bahasa ibu secara internal belum (atau tidak)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 264 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 265 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dapat menyaingi derasnya arus pertumbuhan teknologi komunikasi. Kedua aspek ini berpengaruh pada menurunnya tingkat penguasaan dan penggunaan (pemberdayaan) bahasa ibu, terutama pada anak-anak dan generasi muda (Purnama, 2018). Pemberdayaan bahasa ibu berkaitan dengan sikap bahasa yaitu posisi mental terhadap bahasa sendiri atau bahasa yang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sikap mental - salah satunya- berhubungan dengan memori budaya dan fungsi bahasa dalam komunikasi lisan maupun tertulis. Tingkat penguasaan kosa kata bahasa ibu yang ada dalam memori seorang anak hanya 20% misalnya, jika tidak digunakan, maka selanjutnya berkurang dan cenderung menjadi hilang. Akan tetapi apabila kosa kata dalam memori digunakan secara aktif, jumlah kosa kata dalam memori akan cenderung bertambah secara jernih, aktif, dan kreatif. Makalah ini akan menjelaskan bagaimana memori budaya dan penulisan karya sastra berkaitan dengan pemberdayaan bahasa. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran tentang memori budaya serta pemberdayaan bahasa ibu dalam penulisan karya sastra. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Teorinya adalah teori fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat untuk bekerja sama dalam suatu kelompok sosial (Simpen, 2011:7).

II. Pembahasan Memori Budaya dan Penulisan Karya Sastra Teks tentang bahasa ibu mesti direncanakan untuk menjadi bagian dari proses belajar dan proses komunikasi. Sebagaimana dijelaskan oleh I Putu Sutama (2018) dalam satu teks pelajaran bahasa pada level yang sama di tingkat Sekolah Dasar, masing-masing kosa kata untuk Bahasa Bali (bahasa ibu) 300, Bahasa Indonesia 1.500, dan Bahasa Inggris 2.500. Kondisi ini menjelaskan bahwa pada level-level berikutnya bahasa ibu kurang memiliki ruang untuk bertumbuh sebab posisinya "kalah bersaing" dangan bahasa lain. Berkurangnya dan bahkan kepunahan kosa kata dapat terjadi lebih cepat jika rangsangan dari luar (aspek eksternal) lebih memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh. Dengan demikian langkah-langkah praktis dan akademis mesti dilakukan

266 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 agar memori tentang kosa kata (klausa, frase, dan kalimat) bahasa ibu tetap tersimpan, bertambah, dan diberdayakan. Manusia adalah pemberdaya kata yang hebat dalam memori dan dalam kreasi. Sastrawan yang menulis dengan bahasa ibu memiliki peluang lebih besar dalam menyimpan memori secara tertulis dan peluang untuk mentransmisikan secara lisan. Artinya, bahasa itu hidup kalau digunakan secara aktif dan terekam secara pasti dalam memory budaya seseorang dengan kepastian transmisi (Banda, 2018). Memori budaya adalah sebuah sistem dalam diri manusia (cultural memory system) yang memiliki kemampuan menyimpan dan mentransmisikan. Sistem tersebut berguna untuk mengelaborasi rangsangan (termasuk pola dan prilaku budaya) dari luar melalui pola-pola budaya. (Liliweri, 2005:374). Rangsangan tersebut memiliki potensi menggerakkan dan membangkitkan imajinasi yang dipelajari melalui pola-pola budaya tertentu dan diwujudkan dalam bentuk karya sastra. I Gede Gita Purnama A.P (2018) melakukannya melalui alih wahana cerita rakyat Bali ke dalam cerita bergambar (komik) Bali. Sebuah upaya pemberdayaan bahasa dimana rangsangan, gerakkan, dan imajinasi dalam kosa kata dan gambar yang dihasilkan lahir dari memorinya akan bahasa dan cerita rakyat Bali. Kemampuan membawa, menerima, dan menyimpan rangsangan dari cerita rakyat dan bagaimana proses transmisinya menjadi cerita bergambar (komik) dengan kosa kata dan diksi bahasa ibunya menjelaskan bagaimana efektifitas pola- pola budaya ditransmisi (Liliweri, 2005:374). Proses transmisi (secara lisan maupun tertulis) itu didukung oleh: 1) kerja samanya dengan Made Taro (penulis cerita rakyat Bali) memberdayakan penggunaan unsur-unsur bahasa seperti kosa kata, klausa, frase, dan kalimat secara aktif dalam teks sastra (cerita rakyat); 2) Komunitas Dasa Studio yaitu seniman muda yang memiliki perhatian pada usaha- usaha pengembangan dan pelestarian bahasa Bali (Purnama, 2018). Penulisan karya sastra -termasuk di dalamnya cerita rakyat bergambar (komik)- adalah salah satu jalan yang ditempuh untuk itu. Dalam hal ini fungsi bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat kerja sama sebagaimana dijelaskan Simpen (2011) untuk memperkaya ke"ada"an manusia. Fungsi dan hakikat bahasa bukan hanya sebagai sebuah sistem tanda tetapi juga

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 267 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia (Gadamer, melalui Kaelan, 2017:210-211). "Ada" sebagai manusia artinya bahasa adalah bagian dari pikiran, perasaan, perkataan, bahkan perbuatan. "Ada" sebagai manusia artinya bahasa adalah kehidupan sastrawan (sebagai penulis kreatif) dan memiliki potensi untuk menulis dalam bahasa ibu dengan segenap pemahamannya tentang estetika sastra prosa (alur, latar, dan perwatakan tokoh), diksi (pilihan kata), dialog dan konflik (penggerak serta penguat alur dan karakter), kosa kata, diksi, dan lain-lain. Pemahaman tentang "ada" manusia dalam bahasa penting baik dari sudut pandang sastra sebagai dokumen sosial budaya (mimetik), pembaca (resepsi), karya (obyektif), maupun pengarang (ekspresif) yang tersimpan dalam memori budaya dan ditransmisi melalui karya sastra.

Pemberdayaan Bahasa Ibu Pemahaman tentang bahasa sebagai hakikat dari "ada" manusia ini berpangkal dari asal mula bahasa yang pertama adalah bahasa sebagai bahasa tutur (lisan). Ada pun bahasa tulis adalah sebagai yang datang kemudian demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur (lisan). Oleh karena itu diwujudkannya bahasa menjadi bahasa tulis terdapat berbagai kelemahan, antara lain bahasa terlepas dari konteks peristiwa kebahasaannya, kehilangan daya ekspresif sehingga bahasa akan menjadi lemah (Kaelan, 2017:210). Kondisi ini mesti disadari oleh penulis karya sastra dan pemerhati bahasa pada umumnya. Langkah-langkah strategis perlu diambil agar daya ekspresif bahasa dapat dipertahankan dalam karya sastra, diapresiasi oleh pembaca, dan selanjutnya pemertahanan bahasa dilakukan dengan mengimplementasikannya. Pemertahanan bahasa ibu pada prinsipnya lebih mudah dilakukan apabila tradisi sastranya diberdayakan. Karena bahasa ibu memiliki "daya tahan" tersendiri yang disebut sistem formula (Lord, 1976: 34) yaitu unsur-unsur bahasa yang tersedia (stock in trade), disiapkan untuk tersimpan dalam memori budaya dan digunakan secara aktif. Penulis melalui karya-karya sastra berupaya semaksimal mungkin untuk mengungkapkan daya ekspresif dan pragmatik bahasa. Dengan demikian pembaca dalam memahami karya sastra sebenarnya, terjadi proses pembacaan, pemahaman,

268 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan penghayatan makna karya sastra tersebut (Poespoprojo, 1987:10 melalui Kaelan, 2017:210). Penghayatan akan mempengaruhi proses implementasi dan transmisi dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis yang menjelaskan "ada" nya manusia. Karenanya langah-langkah strategis dilakukan melalui penulisan karya sasta yang -menurut Horace- indah (dulce) dan berguna (utile) dengan bahasa ibu (bahasa lokal) sebagai media. Beberapa contoh di antaranya sebagai berikut. 1. Penulisan karya sastra modern (cerpen, puisi, novel, drama, dll) dalam bahasa ibu seluruhnya. Misalnya kumpulan cerpen Gedeh Ombak Gedeh Angin tahun 2007, Calon Arang tahun 2015, dan Luh Luh tahun 2016 (I Made Suarsa); kumpulan puisi Pukeng Moe Lamalera (Bruno Dasion, ) dalam bahasa Lamaholot dan bahasa Indonesia. 2. Penulisan karya sastra modern (sastra etnografi, sastra antropologi, sastra ekologi, dll) dengan menggunakan kosa kata bahasa lokal sesuai latar. Misalnya novel Liontin Sakura Patah tahun 2000 dengan latar daerah Bajawa, Ngadha Flores dan Suara Samudra tahun 2017 dengan latar daerah Lamalera Lembata (Maria Matildis Banda). 3. Penulisan cerita rakyat Bali dengan model alih wahana dari cerita rakyat ke cerita bergambar (komik) yang dilakukan Purnama bersama Komunitas Dasa Studio. Misalnya I Durma, Ni Ketimun Mas, I Lutung, dan Siap Selem.

Ketiga contoh tersebut adalah sebagian kecil dari banyak hal yang sudah dilakukan sebagai upaya pemberdayaan bahasa ibu (dan bahasa lokal lainnya). Kosa kata, tradisi sastra, serta tradisi budaya pada umumnya mesti ada dan terjaga dalam memori budaya, untuk diberdayakan melalui penulisan karya sastra.

II. Penutup Demikianlah makalah "Memori budaya dan Penulisan Kreatif dalam Perdayaan Bahasa Ibu." Beberapa catatan penting yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut. Memori budaya ada dalam diri setiap manusia. Kosa kata dalam memori budaya seseorang perlu diberdayakan karena pada prinsipnya bahasa bukan hanya sebuah sistem tanda, tetapi juga sebagai penampakan hakikat "ada" pada manusia (Gadamer). Tradisi sastra dan penulisan karya sastra adalah ruang untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 269 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 penampakan "ada" dengan menggarisbawahi daya ekspresif dan pragmatik bahasa. Dengan demikian kosa kata yang tersimpan dalam memori budaya seseorang akan bertambah dan tidak terlupakan (atau hilang) jika diimplementasikan secara terstruktur dalam komunikasi lisan maupun tertulis. Langkah-langkah praktis yang perlu dilakukan adalah penulisan karya sastra dengan menggunakan bahasa ibu (atau bahasa lokal lainnya), kosa kata bahasa lokal dalam karya sastra berbahasa Indonesia dengan latar tertentu. Demikian pula alih wahana (misalnya dari cerita rakyat ke komik) dengan memperhatikan perkembangan teknologi komunikasi dan kemampuan adaptif dari bahasa dalam menghadapi tantangan eksternal maupun internal.

DAFTAR PUSTAKA

Banda, Maria Matildis. 2018. "Cultural Memory in Su'i Uvi Substainability at Ngadha Flores," dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Banda, Maria Matildis. 2017. "Wacana Kekuasaan dan Kebenaran dalam Puisi Lisan Sa Ngaza." dalam Jurnal Mozaik Humaniora (Vol. 17 No. 1 Januari - Juni 2017). Surabaya: Universtitas Airlangga.

Dillistone, F.W. 2002. The Power of Simbol. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS (Lembaga Pengkajian Islam dan Sosial).

Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press.

Kaelan, M.S. 2017. Filsafat Bahasa Hakikat dan Realitas Bahasa.Yogyakarta: Penerbit Paradigma

Purnama, I Gede Gita. 2018. "Balinese Comics: an Effort to Sustain and Enforce the Balinese Language among Children in Bali"dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Simpen, I Wayan. 2011. "Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat" Orasi

Ilmiah Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Sastra Unud.Denpasar: Unud.

Sutama, I Putu. 2018. "Sthrengthening and Developing Local Language Literation

270 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Through Local Content Curriculum of Primary School: Systemic-Functional Linguistic Perspective" dalam Prosiding ICLL. Denpasar: FIB Universitas Udayana.

Wiyatmi, dkk.2016. Pendidikan Lingkungan Melalui Sastra.Yogyakarta: Jurusan PBSI Fakultas Bahasa dan Seni UNS.

______

Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S. Dosen Prodi Sasindo dan Program S2 dan S3 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud. Penulis novel Suara Samudara Catatan dari Lamalera (2017).

TUTURAN BESIPUNG SUKU PASER PEMATANG KABUPATEN PASER KALIMANTAN TIMUR DITINJAU DARI ASPEK PUISI LAMA DAN NILAI BUDAYA

Oleh Mursalim Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Jalan Pulau Flores 1 Samarinda 75112 E-mail: [email protected]

Abstrak

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu ditandai dengan kehidupan sosial budaya yang khas dari setiap suku. Kekhasan inilah yang meliputi semua aspek kehidupan latar belakang kebudayaan. Seperti suku bangsa lainnya di daerah Paser juga memiliki kekayaan budaya adat istiadat, dan seni. Namun, kekayaan yang dimiliki oleh suku Paser tersebut tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas, sehingga dikuatirkan akan tergeserkan dengan budaya modern, terutama upacara budaya pengobatan besipung. Itulah sebabnya peneliti mencoba meneliti penelitian yang berjudul “Tuturan Besipung Suku Paser Pematang Kabupaten Paser Kalimantan Timur Ditinjau dari Aspek Puisi Lama dan Nilai Budaya. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca mengenai tuturan besipung Suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama dan nilai budaya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara besipung suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama dan nilai budaya. Selanjutnya aspek-aspek materi yang akan dipaparkan dari hasil penelitian dalam penulisan makalah ini adalah seperti berikut: (1) pendahuluan, (2) pembahasan dan uraian yang meliputi; bentuk tuturan Besipung Suku Paser ditinjau dari aspek puisi lama; hubungan upacara Besipung Suku Paser dengan nilai-nilai budaya, (3) penutup.

Kata Kunci: Tuturan Besipung, Suku Paser, Puisi Lama, Nilai Budaya

A. PENDAHULUAN Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu ditandai dengan kehidupan sosial budaya yang khas setiap suku. Kekhasan inilah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 271 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 272 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang meliputi semua aspek kehidupan latar belakang kebudayaan, seperti suku bangsa lainnya, di daerah juga memiliki kebudayaan, budaya adat istiadat, dan seni. Selanjutnya, Dananjaya,(1986;2) menjelaskan bahwa,”Tuturan adalah sebagian kebudayaan yang kolektif terbesar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Sastra lisan dianggap sebagai bentuk sastra pertama, hal ini tidak hanya diakui oleh ahli kesusastraan Indonesia saja tapi juga di dunia. Karya sastra telah tercipta jauh sebelum nenek moyang kita mengenal aksara untuk menuliskan kembali apa yang telah mereka ceritakan, sehingga penyebarannya dilakukan secara lisan atau oral. Kemudian, ditambahkan oleh Koentjaraningrat (1984:3) bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan nilai budaya tersebut. Satra lisan jika dikaitkan dengan puisi lama, maka dalam puisi lama terdapat beberapa jenis seperti pantun, talibun, gurindam, syair, seloka, dan mantra. Selanjutnya, dilihat dari segi ciri-cirinya tuturan Besipung dapat dikategorikan dalam puisi lama jenis mantra. Mantra merupakan puisi yang berupa gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan akan dunia gaib. Irama bahasa sangatlah dipentingkan dengan maksud menciptakan nuansa magis. Mantra timbul dari hasil imajinasi atas dasar kepercayaan animisme. Untuk mempetajam pemahaman perihal mantra, Danandjaya dalam Lisana,(2015:22) menambahkan bahwa ciri-ciri mantra, (1) terdiri dari beberapa rangkaian kata berirama, (2) bersifat lisan, (3) lebih bebas dibandingkan dengan puisi rakyat lainnya dalam hal suku kata, baris, dan persajakan, (4) mantra diamalkan dengan memiliki tujuan tetentu, yaitu untuk mendapatkan kekuatan dari dewa, Tuhan (bagi yang beragama), dan makhluk lainnya, serta untuk membujuk atau mengusir roh jahat dan mengobati orang sakit.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 273 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Upacara Besipung adalah bentuk upacara dan budaya Suku Paser Kalimantan Timur khususnya Suku Paser Pematang untuk menyembuhkan penyakit berat seperti orang sakit yang dikirim melalui makhluk halus, dan mengusir roh-roh jahat. Besipung juga termasuk pengobatan tradisional yang sudah jarang digunakan yang mungkin terhadap penyakit-penyakit fatal. Upacara Besipung ini dilakukan pada malam hari dan hanya dilaksanakan pada malam hari saja. Dengan mengacu kepada makna uraian tersebut, maka peneliti melaksanakan penelitian yang berjudul, “Tuturan Besipung Suku Paser Pematang Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Ditinjau dari Aspek Puisi Lama dan Nilai Budaya. Kemudian, mengenai aspek materi yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah (1) pendahuluan, (2) metodologi, (3) pembahasan, yang meliputi; bentuk tuturan Besipung ditinjau dari aspek puisi lama, dan hubungan Upacara Besipung dengan nilai-nilai budaya, (3) simpulan.

B. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses- proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Selanjutnya, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian diskriptif yaitu mendeskripsikan dan mendokumentasikan upacara Besipung Suku Paser, ditinjau dari bentuk puisi lama dan nilai-nilai budaya. Selanjutnya, teknik pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data upacara Besipung melalui observasi, wawancara, rekaman, dan foto pendokumentasian.

C. TEMUAN PENELITIAN / PEMBASAHAN A. Bentuk Tuturan Besipung Ditinjau dari Aspek Puisi Lama

1. Tuturan upacara Besipung terdiri rangkaian kata yang berirama dan memiliki tujuan tertentu. Jumlah bait dalam tuturan tersebut memang tidak terbatas dan

274 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

tidak terikat seperti puisi rakyat lainnya. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh seperti berikut. Jum kemikun na kun setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Sumber: Iswahyudi

Dalam kutipan tuturan tersebut, menunjukkan satu bait terdiri 6 baris, dalam setiap baris berirama akhir yang sama seperti berikut. Baris pertama berakhiran |a| setana Baris kedua berirama |u| siku-siku Baris ketiga berirama |a| setana Baris keempat berirama |u| siku-siku Baris kelima berirama |a| setana Baris keenam berirama |u| siku-siku

Dari beberapa baris dalam satu bait dalam tuturan di atas mengalami perulangan pada baris pertama akan diulang pada baris ketiga, kelima, sedangkan pada baris kedua akan diulang pada baris keempat dan baris keenam. Semuanya berirama sama yaitu a-u-a-u-a-u. Selanjutnya, pada tuturan lain ada yang terdiri dari tiga baris. Contoh : Siru muli kesisik daring dayang Ruko langa nyolis diang Bulan sayang Sumber: Iswahyudi

Tuturan di atas menunjukkan satu bait terdiri dari tiga baris, dan berirama akhir sama seperti berikut. Baris pertama berakhiran |ang| (dayang) Baris kedua berakhiran |ang| (diyang) Baris ketiga berakhiran |ang| (sayang)

Dari beberapa baris dalam satu bait tuturan di atas semuanya berirama ang- ang-ang. 2. Tuturan Besipung Bersifat Lisan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 275 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tuturan atau mantra umumnya bersifat lisan. Begitu juga tuturan upacara Besipung bersifat lisan karena diucapkan atau dituturkan secara langsung oleh datu atau dukun pada saat upacara Besipung. Selanjutnya, tuturan Besipung yang dilisankan oleh datu dituturkan secara turun-temurun hingga sekarang sebagai warisan milik bersama yang harus dijaga dan dilestarikan. Berikut contoh mantra Besipung yang sifatnya diturunkan oleh datu atau dukun. Tuturan Pertama

Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Jum kemikun na kum setana Ingat-ingat saudara siku-siku Sumber: Iswahyudi

Makna tuturan di atas: Penyakit seperti saudara Bagaimana saudara tidak Saling mengganggu Datang tak diundang dan Pulang tak diantar

Tuturan Kedua Siru muli karisik daring dayang Ruko langa nyolis diang Bulau saying Sumber: Iswahyudi

Makna tuturan tersebut adalah orang yang tidak mengganggu kembali jika masih seperti emas karena aku seperti emas. Selain makna tuturan tersebut juga memiliki tujuan yaitu agar makhluk gaib tersebut tidak mengganggu makhluk hidup seperti manusia. Jadi, jika ditinjau dari aspek fungsi tuturan Besipung adalah untuk mengobati orang sakit sekaligus mengusir roh-roh jahat yang mengganggu makhluk hidup seperti manusia.

3. Upacara Besipung sebagai Sarana Tolong Menolong Sebagai tujuan utama pelaksanaan upacara Tuturan Besipung adalah untuk memberikan pertolongan kepada orang yang ingin berobat. Upacara Besipung

276 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dapat terlaksana jika segala sesuatu yang menjadi syarat dalam upacara tersebut sudah dapat terpenuhi. Syarat-syarat upacara Tuturan Besipung Paser Pematang disebut soyong dan berupa tuturan yang diciptakan oleh masyarakat Suku Paser dengan menggunakan Bahasa Paser. Selanjutnya, bahan-bahan sesajen yang digunakan seperti bahan makanan yang berupa benda-benda seperti daun sirih, kapur, kelapa, gula merah, benang, jarum, gambir, dan tembakau, serta menggunakan dupa yang disebut karembulu. Karembulu berasal dari kayu keras yang mengeluarkan aroma wangi-wangian tajam. Jika tidak terpenuhi hal-hal tersebut di atas, tidak jadilah upacara dan tidak tercapailah tujuan upacara tersebut, dan jika upacara Besipung diadakan, maka dilaksanakan di ruangan tanpa sedikit pun cahaya.

B. Nilai-nilai Budaya pada Upacara Besipung Nilai budaya dalam hubungan manusia dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat. Ada pun nilai- nilai budaya yang dapat diperoleh pada pelaksanaan upacara Tuturan Besipung Suku Paser adalah nilai budaya yang mengacu kepada nilai moralitas seperti berikut. a. Kerukunan Masyarakat Suku Paser terdapat berbagai macam etnis, salah satunya suku Paser Pematang. Upacara Besipung adalah kebiasaan yang melekat pada jiwa masyarakat Suku Paser Pematang, sehingga mereka akan saling membantu satu sama lain pada saat keluarga ataupun tetangga yang terkena penyakit nonmedis akan disembuhkan oleh upacara Besipung yang akan dipimpin oleh datu. Di situlah mereka menjalin erat tali persaudaraan dan menambah kerukunan untuk sesama lainnya. b. Kepatuhan Upacara Besipung diyakini oleh Suku Paser Pematang sejak zaman nenek moyang mereka terdahulu. Mereka mematuhi apa yang telah diperintahkan oleh adat dan budaya baik dalam diri maupun dalam lingkungan mereka. c. Menghormati Sesama

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 277 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Upacara Besipung adalah upacara yang dilaksanakan oleh banyak orang dan berfungsi sebagai pengobatan. Diketahui bahwa seseorang yang melakukan upacara Besipung, mereka saling menghormati kepada sesama yang mempunyai hajat. Dengan adanya kebiasaan, mereka saling menghormati kepada siapapun di sekeliling mereka.

D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan/pembahasan pada makalah ini, maka hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut. 1. Upacara Besipung hanya dapat dilaksanakan oleh datu yang memang berprofesi sebagai pembawa upacara Besipung. 2. Pola Tuturan Upacara Besipung terdapat penggunaan kata terdiri dari 3 - 15 kata, dan kata-kata yang terdapat dalam upacara Besipung adalah kata yang menasehati, tidak mengganggu manusia atau pasien. 3. Isi Tuturan Upacara Besipung dapat berupa bentuk mantra, dan didukung berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan bersifat lisan serta bertujuan tertentu yang berhubungan dengan kekuatan gaib. 4. Fungsi Upacara Besipung untuk mengobati orang sakit, mengusir roh jahat, dalam penyembuhan masyarakat setempat. 5. Nilai budaya pada upacara Besipung adalah bernilai moralitas yang meliputi menghormati sesama, kepatuhan, dan kerukunan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfan, (Editor). 1985. Kritik Sastra : Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia

Bakry, Y. Sastri. 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung : Penerbit Titian Ilmu.

Danandjaja, James. 1991. Tentang Sastra. Terj. Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transfirmasi Budaya. Bandung: Angkasa.

278 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT. Publishing.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Metodologi Research Sosial. Yogyakarta: Media Pressindo.

Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV. Vyrama Widya.

Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Rizal, Yoce. 2010. Apresiasi Puisi dan Sastra Indonesia. Jakarta: Grafika Mulia.

Soermardjan, Selo. 1984. Budaya Sastra Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.

Teeuw, A. 1995. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

NILAI-NILAI KARAKTERISTIK DALAM TEKS SASTRA THE HISTORY OF THE LIFE OF AJAMILA

Ni Ketut Dewi Yulianti Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar E-mail: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini mengulas tentang teks sastra yang berjudul The History of The Life of Ajamiladengan fokus analisis pada nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Tulisan ini dapat menjadi referensi bagi anak didik dan tenaga pengajar baik di tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Selain nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks, dibahas pula hubungan nilai-nilai karakter tersebut dengan pendidikan nasional. Hal ini sangat signifikan dan perlu untuk diteliti, mengingat saat ini banyak terjadi kemerosotan karakter anak bangsa dan juga permasalahan kebangsaan, seperti bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekalipun telah ditetapkan bahwa pendidikan karakter adalah bagian utama dari pendidikan nasional. Dengan analisis nilai-nilai karakter dalam teks tersebut serta hubungannya dengan pendidikan nasional, maka nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat ditingkatkan, karena nilai-nilai karakter yang ada dalam teks tersebut dapat dengan mudah dijelaskan dan dipahami. Secara teoritis, tulisan ini dapat memberikan pemahaman tentang teks sastra yang bertema religi, terutama mengenai amanat yang terkandung di dalamnya. Secara praktis, tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan sehingga dapat membantu dalam meningkatkan keberhasilan pendidikan nasional, mengingat pendidikan karakter sudah menjadi bagian dari pendidikan nasional di Indonesia.

Kata kunci: Nilai-nilai karakter, pendidikan nasional,teks religi

PENDAHULUAN Pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang sangat signifikan dewasa ini mengingat pendidikan karakter merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan saat ini, seperti bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat relevan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, seperti yang dijabarkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Di sini disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional/UUSPN

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 279 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 280 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (cf. Dewi Yulianti, 2016:6). Teks sastra The History of The Life of Ajamila terdapat dalam kitab Srimad Bhagavatam skanda 6 Bab 1. Teks ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran dalam pendidikan karakter, karena teks ini mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam pendidikan karakter. Dengan analisis nilai-nilai karakter dalam teks tersebut serta hubungannya dengan pendidikan nasional, maka nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat ditingkatkan, karena nilai-nilai karakter yang ada dalam teks tersebut dapat dengan mudah dijelaskan dan dipahami. Berdasarkan uraian di atas, ada dua pokok bahasan yang diulas dalam paper ini, yaitu (a) nila-nilai karakter apakah yang terdapat dalam teks The History of The Life of Ajamila dan (b) bagaimanakah hubungan nilai-nilai karakter tersebut dengan pendidikan nasional.

METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang mencakuptiga tahapan, yakni (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis.Objek penelitian ini berupa teksberbahasa Inggris “The History of the Life of Ajamila”.Data yang berupa nilai-nilai karakter baik positif dan negatif dalam teks dikumpulkan dan dianalisis untuk menentukan hubungannya dengan pendidikan nasional. Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Penelitian ini lebih menekankan pada kegiatan mengumpulkan dan mendeskripsikan data kualitatif, sehingga penelitian ini dapat disebut penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif yang menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan analisis kualitatifnya (Sutopo, 2004:48). PEMBAHASAN

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 281 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Nilai-Nilai Karakter dalam Teks The History of The Life of Ajamila Teks sastra The History of The Life of Ajamilaterdapat dalam kitab Srimad Bhagavatam skanda 6Bab 1. Teks ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran dalam pendidikan karakter. Sebelum mengulas nilai-nilai karakter yang terdapat di dalamnya, maka perlu dijelaskan alur cerita dari teks tersebut. Adapun alur cerita dari teks tersebut adalah sebagai berikut. Teks ini menceritakan tentang Ajamila seorang laki-laki yang dilahirkan disebuah kota yang dikenal sebagai Kanyakubja dan menikah dengan seorang prostitusi sehingga dia kehilangan sifat-sifat kebrahmanaannya karena pergaulannya dengan wanita tersebut. Ajamila selalu membuat masalah dengan orang lain. Merampok, menipu dan mencuri milik mereka. Dengan cara demikian dia menghidupi dan memelihara anak-anak dan istrinya. Walaupun Ajamila lahir dari ayah seorang brahmana yang sangat ketat mengikuti prinsip-prinsip darma seperti tidak makan daging (daya), tidak melakukan hubungan sex yang menyimpang (saucam), tidak mabuk-mabukan (tapa), dan tidak berjudi (satya), namun demikian dia jatuh cinta dengan seorang prostitusi, sehingga dia kehilangan kualitas yang baik dalam dirinya. Tatkala seseorang meninggalkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kitab suci, dia akan menyibukkan dirinya dalam kegiatan yang penuh dosa. Prinsip-prinsip aturan kitab suci menempatkan seseorang dalam standar kehidupan manusia yang sesungguhnya. Tetapi, jika prinsip-prinsip aturan tersebut ditinggalkan, maka manusia akan jatuh kedalam kehidupan yang penuh dengan hayalan atau maya. Jika ingin maju dalam kehidupan spiritual, manusia harus mengikuti prinsip-prinsip aturan dan membebaskan diri dari kesalahan kehidupan masa lampau dan masa sekarang. Hanya orang yang bebas dari segala jenis reaksi kegiatan yang berdosa dan menyibukkan dirinya dalam kegiatan yang saleh akan sepenuhnya bisa mengerti tentang Tuhan. Mereka yang bertindak dalam kegiatan yang penuh dosa dan begitu terikat akan kenyamanan secara badan tidak akan bisa berada dalam keinsafan diri yang rohani. Kesalahan dari hubungan yang tidak benar dengan lingkungan akan menghancurkan kualitas dari sifat-sifat baik dalam diri seseorang. Ajamila meninggalkan segala jenis prinsip-prinsip aturan akibat pergaulannya dengan

282 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 seorang prostitusi. Dia menjadi seorang penipu dan pencuri. Seseorang yang bertidak tanpa dilandasi dengan kejujuran akan mendapat hukuman. Dia boleh lepas dari hukum raja atau pemerintah, tapi dia tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Kitab suci menyatakan bahwa orang yang seperti itu sedang menipu kebahagiaannya sendiri. Ajamila menjadi orang yang sangat berdosa dalam hidupnya. Dia menghidupi keluarganya dengan cara yang penuh dosa. Ajamila memiliki sepuluh anak dan anak yang paling kecil diberi nama Narayana (nama lain Sri Wisnu).Dia sangat menyayangi putra bungsunya dan bahkan sangat terikat dengannya. Dia tidak bisa berpisah sesaatpun dari anaknya yang paling kecil ini. Pada saat kematiaan menjemputnya dia selalu memanggil nama Narayana sehingga para Wisnu-duta yang cemerlang datang menjemputnya. Semestinya orang yang dalam hidup yang penuh dosa selalu ditangani oleh para -duta yang sangat menyeramkan dan menakutkan. Karena Ajamila selalu memanggil nama Narayana, yang datang menjemputnya adalah para Wisnu-duta. Itulah kekuatan pengucapan nama suci Tuhan, yang bisa membebaskan orang yang sangat berdosa sekalipun dari kehidupan neraka

Nilai-nilai karakter Nilai-nilai karakter yang ditemukan dalam teks The History of the Life of Ajamila yaitu adalah sebagai berikut. Pergaulan Pergaulan sangat penting dalam membentuk karakter mental yang baiksehingga dengan mental yang baik seseorang akan berpikir, berkata dan bertindak dengan baik. Jika seseorang mendapatkan pergaulan yang buruk dia akan kehilangan kualitas baik dalam dirinya dan mewujudkan tindakan yang buruk, karena dalam diri seseorang selalu ada sifat baik dan sifat buruk. Disiplin Berdisiplin diri sangat penting dalam kehidupan untuk bisa belajar tunduk hati dalam mematuhi dan menghormati aturan dan peraturan.Mematuhi aturan dan peraturan yang ada dalam kitab suci sangat penting agar dapat terhindar untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 283 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bertindak dalam kegiatan yang berdosa, karena kitab suci merupakan sumber kebenaran dari hukum Tuhan. Kejujuran (satya) Kejujuran sangat diperlukan untuk menuju sifat-sifat kebaikan dalam kehidupan ini. Tanpa ada kejujuran, manusia selalu menjauh dari sifat-sifat kebaikan, dan dekat dengan sifat-sifat menipu, mencuri, merampok, korupsi dan dengan menghalalkan segala cara diluar etika dan moral. Kasih sayang (daya) Kasih sayang sangat diperlukan dalam menuju sifat yang harmonis.Tanpa ada kasih sayang tidak akan ada kesimbangan. Karena dengan adanya kasih sayang seseorang tidak akan mengeluarkan kata-kata kebencian, fitnah dan penghinaan, tidak akan ada pembunuhan dan menyakiti mahluk lain sehingga terwujud dalam bentuk tri hita karana, yaitu hubungan harmonis dengan mahluk hidup, dengan lingkungan dan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Karena dengan kasih sayang keserasian dan keharmonisan akan terwujud. Kesederhanaan(tapa) Kesederhanaan sangat diperlukan untuk mencapai kedamaian dalam hidup, karena tanpa kesederhanaan seseorang akan selalu mengejar keinginannya yang tidak ada batasnya. Karena pengertian kesederhanaan(tapa) adalah kita membatasi keinginan didalam mencapai kenikmatan indria-indria material. Kesucian (saucam) Segala tindakan dan kegiatan yang dilandasi oleh aturan kitab suci disebut kesucian. Bertindak untuk mengejar kenikmatan material sudah tidak dilandasi dengan aturan kitab suci, sehingga mengejar kenikmatan material tanpa batas. Dalam kitab SrimadBhagavatam dijelaskan bahwa kenikmatan tertinggi dalam kehidupan material adalah hubungan sexual. Dan hubungan sexual yang tidak sah (ellicit sex) akan menghancurkan nilai kesucian tersebut. Pelayanan Bhakti Sebelum diuraikan mengenai bakti, perlu dipahami tentang keinsafan diri.Keinsafan diri artinya memahami bahwa kita bukanlah badan material ini, kita adalah jiwa kehidupan (spirit soul) dan kita adalah bagian dan percikan dari Tuhan yang bersifat kekal, yang mana kedudukan dasar kita adalah pelayan Tuhan yang

284 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kekal. Jadi hubungan antara Tuhan dan jiwa ini disebut dengan bakti. Karena kita tahu bahwa kita adalah jiwa yang merupakan bagian dan percikan dari Tuhan, kedudukan dasar kita yang sesungguhnya adalah pelayan Tuhan yang kekal, sehingga tujuan hidup kita yang sesungguhnya adalah kembali kepada Tuhan. Setiap orang seharusnya memiliki kewajiban untuk bertindak melayani dan mencintai Tuhan, dengan demikian akan mencapai kedamaian hidup yang akan bermuara dalam kebahagiaan. Karena tidak mungkin orang mencapai kebahagiaan tanpa ada kedamaian dalam hidupnya.

Hubungan Nilai-Nilai Karakter dalam Teks dengan Pendidikan Nasional Dengan memberikan pergaulan atau pengajaran yang baik terhadap anak didik maka akan terwujud sifat-sifat baik dalam diri mereka. Untuk bisa mengembangkan kualitas yang baik, sehingga tidak ada kesempatan sifat-sifat buruk tumbuh dan berkembang dalam diri mereka, merupakan hal yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdisiplin diri adalah sangat penting bagi seseorang karena mulai belajar untuk mencintai dirinya, karena jika sesorang mulai disiplin dalam hidupnya berarti dia mulai mencintai dirinya. Karena dari mulai mencintai dirinya seseorang akan mengembangkan cintanya terhadap keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan Tuhan. Wujud cinta terhadap masyarakat, bangsa, negara dan Tuhan adalah dengan menghormati dan mentaati aturan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh negara dan kitab suci. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk watak yang mulia. Kejujuran (satya), kasih sayang (daya), kesederhanaan (tapa) dan kesucian (saucam) mewujudkan seseorang dalam sifat-sifat rohani sehingga bisa membangun hubungan menuju pelayanan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi anak didik yang menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 285 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pelayanan bakti merupakan hubungan antara Tuhan dengan jiwa yang dilandasi dengan cinta kasih, karena hubungan ini tidak terkontaminasi oleh sifat- sifat alam material dan kedudukannya murni, sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan yang rohani. Fondasi dari pendidikan karakter yang sesungguhnya adalah self-realization (keinsafan diri). Apabila seseorang tidak memiliki self-realization (keinsafan diri), ia akan berada dalam keinsafan material yang artinya bahwa ia menganggap dirinya adalah badan material, yang sepenuhnya berada di bawah kendali sifat keakuan palsu (false ego). Sifat keakuan palsu ini cendrung mengarahkan seseorang menuju pada kepuasan indria material, yang mana dirinya akan dikuasai oleh sifat-sifat nafsu, loba, dan kemarahan dan menjauhkannya dari sifat rendah hati. Hal ini merupakan pemicu awal kemerosotan moral, yang akan menjauhkannya dari sifat kejujuran dan rasa tunduk hati, sehingga tidak akan bisa mengembangkan karakter yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (Dewi Yulianti & Putra Yadnya, 2016:354). Pendidikan nasional dimaksudkan untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Hubungan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks dengan pendidikan nasional adalah sangat erat, bahwa nilai- nilai karakter yang dimiliki Ajamilayang karena pergaulan dengan karakter kurang baik, membuat sifat-sifat buruk menguasainya. Namun, walaupun telah terlanjur dipengaruhi oleh sifat buruk, ketika Ajamila menyerukan nama Tuhan (Narayana), Tuhan mengampuninya, dan memberikan kesempatan kedua untuk kembali menjadi karakter mulia yang sesuai dengan ajaran Tuhan.

SIMPULAN Dari uraian pada bagian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut.

286 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(1) Nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks The History of The Life of Ajamilabahwa pergaulan adalah sangat penting untuk diperhatikan karena untuk bisa mengembangkan karakter yang baik maka diperlukan pergaulan yang baik. Berdisiplin diri akan membentuk keyakinan diri sehingga kita bisa menghormati aturan dan peraturan kitab suci, untuk dapat mengembangkan sikap- sikap yang tidak melanggar norma-norma sehingga terhindar dari prilaku yang berdosa. Kejujuran, kasih sayang, kesederhanaan dan kesucian adalah sifat-sifat mulia yang mewujudkan seseorang dalam keinsafan diri, sehingga dapat mengenali siapa dirinya, siapa Tuhan dan bagaimana hubungan antara jiwa dengan Tuhan, dan bagaimana seharusnya bertindak menurut kedudukannya. Pelayanan bakti merupakan hubungan cinta kasih dengan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat alam material seperti satvam, rajas dan tamas (3) Hubungan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam teks dengan pendidikan nasional sangatlah erat, karena semua karakter dalam teks seperti pergaulan yang baik, disiplin diri, kejujuran, kasih sayang, kesederhanaan, kesucian dan pelayanan bakti semuanya sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi Yulianti, N.K.& Putra Yadnya, IB. 2016. Self-Realization sebagai Fondasi Pendidikan Nasional.Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Denpasar: 29-30 Juli.

Dewi Yulianti, N.K.2016. “Aspek Stilistika dalam Teks Srimad Bhagavatam: Kajian Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.

Kemendiknas. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta.

Prabhupada, A.C.1993. Srimad Bhagavatam. Sixth Canto(English). Los Angeles: The Baktivedanta Book Trust.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press

IMPLEMENTASI BAHASA JAWA KUNA PADA NAMA-NAMA ORGANISASI KEPEMUDAAN DI KOTA DENPASAR

Oleh: Ni Ketut Ratna Erawati, I Made Wijaya, Komang Paramartha, I Ketut Nuarca Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Secara historis, bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang umum digunakan selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuna diperkirakan berkembang dari abad IX-XV. Kedatangan agama Islam memecahkan kesatuan kultural itu menjadi dua bagian yang berbeda dan tercermin dalam bidang linguistik. Sejak saat itu bahasa Jawa Kuna mengalami divergensi, di satu pihak menumbuhkan bahasa Jawa Pertengahan dan di pihak lain menumbuhkan bahasa Jawa Modern. Ekspedisi Majapahit melawan Bali menyebabkan keraton-keraton di Bali mengalami proses “jawanisasi” yang sistematis. Di satu sisi proses “balinisasi” semakin meningkat di kalangan keraton-keraton itu sendiri. Terbaurnya dua aliran yang sama-sama berkembang, yakni “jawanisasi dan balinisasi” menyebabkan kontak bahasa di antara masyarakatnya tidak terhindarkan. Akulturasi budaya dan bahasa tersebut didukung oleh sikap bahasa masyarakat Bali waktu itu. Masyarakat Bali yang memiliki sifat permisif sangat menghargai bahasa pendatang saat itu. Perkembangan bahasa Bali yang begitu cepat tidak semata-mata bahasa yang lama akan tergerus begitu saja. Namun, masyarakat Bali masih menggunakan bahasa Jawa Kuna hingga saat ini dalam ranah terbatas. Secara kasat mata, leksikon bahasa Jawa Kuna banyak ditemukan dalam penamaan organisai sosial, misalnya, kelompok pesantian, sekaa taruna-taruni, dan sebagainya. Hasil yang didapatkan, yaitu bentuk dan struktur bahasa Jawa Kuna dalam penamaan organisasi kepemudaan, yaitu berpola utuh bahasa Jawa Kuna dan berpola campuran.

Kata Kunci: implementasi, warisan, leksikon, struktur

PENDAHULUAN Bahasa Jawa Kuna (selanjutnya disingkat BJK) termasuk salah satu bahasa- bahasa Nusantara dan merupakan suatu subbagian dari kelompok bahasa Austronesia. Zoetmulder (1985) mengatakan bahwa BJK menduduki tempat teristimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad IX dan X jika

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 287 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 288 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dibandingkan dengan karya sastra Melayu yang tertulis dan tertua sekitar tahun 1600. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa titik awal BJK adalah abad IX dan melampaui suatu perkembangan berabad-abad serta memperlihatkan segala sifat pokok yang merupakan ciri khas bagi BJK sampai abad XV. Berdasarkan hasil karya sastra tersebut, BJK diperkirakan berkembang dari abad IX--XV. Pada saat itu BJK digunakan sebagai alat komunikasi secara aktif oleh masyarakat Jawa dan dipakai sebagai bahasa pengantar dalam bidang administrasi negara. Uhlenbeck (1964: 108) mengatakan bahwa BJK berkembang pesat sebelum masuknya agama Islam. Secara historis, BJK merupakan bahasa yang umum digunakan selama periode Hindu-Jawa sampai runtuhnya kerajaan Majapahit. Kedatangan agama Islam memecahkan kesatuan kultural itu menjadi dua bagian yang berbeda dan tercermin dalam bidang linguistik. Sejak saat itu BJK mengalami divergensi, di satu pihak menumbuhkan bahasa Jawa Pertengahan dan di pihak lain menumbuhkan bahasa Jawa Modern. Secara geografis, kedua bahasa itu terpisah dan hanya di sana-sini terikat satu sama lain, masing-masing dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda pula. Divergensi tersebut semakin jelas karena terdapat suatu perbedaan khas dalam iklim religius dan kultural, yaitu (1) antara dunia Jawa-Bali dengan pengaruh India yang tetap terasa dan bidang religius di Jawa sendiri, khususnya di Jawa Tengah, sebagai tempat agama/orang-orang Islam memperkenalkan ide-ide yang baru, dan (2) gejala ini sering terungkapkan dalam istilah-istilah yang dipinjam dari suatu bahasa baru. Pada saat itu bahasa Arab menggantikan kedudukan bahasa Sanskerta sebagai pengaruh utama terhadap bahasa pribumi (Zoetmulder, 1985: 35). Berdasarkan ekspedisi Majapahit melawan Bali pada tahun 1343 menyebabkan kekalahan raja utama di Bali, sehingga kerajaan itu harus tunduk kepada Majapahit. Sejak pemerintahan Raja Erlangga, Bali semakin dipengaruhi dan menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Suatu wangsa Jawa mendirikan keratonnya di Samprangan di wilayah Bali Selatan bagian tengah. Keraton tersebut kemudian dipindahkan ke Gelgel dan keluarga-keluarga berikutnya memerintah di kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Mereka membanggakan diri bahwa mereka adalah bangsawan-bangsawan Jawa yang turut dalam ekspedisi itu. Sejak itulah keraton-

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 289 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 keraton di Bali mengalami proses “jawanisasi” yang sistematis. Demikian pula sebagian masyarakat Bali berhubungan dengan kehidupan di keraton-keraton itu. Di sisi lain proses “balinisasi” semakin meningkat di kalangan keraton-keraton itu sendiri. Ketika keadaan di Jawa sendiri berubah dan pengaruh Jawa semakin pudar dan terputus pula, Terputus dan pudarnya pengaruh Jawa melahirkan keanekaan bentuk kebudayaan yang meriah seperti yang diwarisi hingga kini (Zoetmulder, 1985: 23-24). Terbaurnya dua aliran yang sama-sama berkembang, yakni “jawanisasi dan balinisasi” menyebabkan kontak bahasa di antara masyarakatnya tidak terhindarkan. Bahasa yang diwarisi saat ini hanyalah bahasa karya sastra, yaitu karya sastra Jawa Kuna. Karya sastra itu dipelajari dan dipahami oleh masyarakat Bali. Dengan pelajaran dan pemahaman bahasa Jawa Kuna, bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat Bali saat ini. Beberapa pakar seni dan budaya mengatakan bahwa BJK ini masih digunakan secara aktif pada ranah seni pertunjukan, ranah agama, ranah formal, seperti rapat adat di masyarakat, dan lain sebagainya (lihat juga Dibia, 2012; Duija, 2012). Akulturasi dua budaya dan bahasa tersebut sangat didukung oleh sikap bahasa masyarakat waktu itu. Sikap bahasa adalah keadaan jiwa perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain. Masyarakat Bali yang memiliki sifat permisif sangat menghargaai bahasa pendatang saat itu. Perkembangan bahasa Bali yang begitu cepat tidak semata-mata bahasa yang lama akan tergerus begitu saja. Namun, masyarakat Bali masih menghargai dan menggunakan bahasa Jawa Kuna hingga saat ini. Secara kasat mata, leksikon bahasa Jawa Kuna dapat di amati penggunaannya di masyarakat Bali dalam ranah- ranah tertentu. Salah satu ranah penggunaan BJK tampak dalam penggunaan kelompok organisasi sosial di masyarakat Bali. Oleh karena itu, sangat penting dibahas leksikon-leksikon BJK yang digunakan sebagai nama-nama organisasi kepemudaan di Kota Denpasar. Uraian di atas mengindikasikan bahwa ada masalah yang perlu mendapat klarifikasinya. Masalah yang dibahas diformulasikan dalam bentuk pertanyaan yaitu; Bagaimanakah struktur dan makna leksikon BJK dalam nama-nama oragnisasi kepemudaan di Kota Denpasar?

290 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan, yaitu: Mendeskripsikan struktur dan makna leksikon-leksikon BJK pada organisasi kepemudaan di Kota Denpasar. Selanjutnya, manfaat penelitian ini secara umum adalah untuk menata, mengembangkan, dan melestarikan warisan budaya yang direalisasikan dalam bentuk-bentuk BJK yang digunakan oleh masyarakat Bali saat ini. Sementara, manfaat khusus penelitian ini adalah merestorasi warisan BJK menjadi milik masyarakat Bali. Penulisan makalah ini didukung oleh beberapa artikel yang mengkaji tentang bahasa Jawa Kuna di Bali. Artikel yang dimaksudkan, yaitu: (1) Bandana (2012) dalam tulisannya berjudul ‘Bahasa Jawa Kuna dan Saskerta dalam Wacana pembakaran dan Penguburan Jenazah di Bali’(2012). (2) Budiasa (2012) dalam artikelnya ‘Kalangwan Ungkapan bahasa Jawa Kuna dalam Lakon Wayang Kulit Bali’ (2012). (3) Erawati (2012) dalam artikelnya ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Karya sastra Bali Klasik: Sekadar Contoh dalam Parikan Bubuksah Gagangaking. (2012). (4) Erawati (2015) menulis artikel pada jurnal nasional terakreditasi Pusat Kajian Bali (UNUD) yang berjudul “Eksistensi dan Dinamika Kosa Kata Bahasa Jawa Kuna pada Masyarakat Bali Masa Kini”. (5) Mastuti (2012) dalam artikel berjudul ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Diplomasi Kebudayaan Pra-Indonesia’ (2012). Penulisan artikel ini didukung oleh konsep-konsep, yaitu: leksikal, warisan dan pelestarian budaya. Istilah leksikal berkaitan dengan leksem, kata-kata, dan leksikon. Leksem merupakan satuan leksikal dasar yang abstark yang mendasari pelbagai bentuk inflektif suatu kata. Kata-kata atau frasa merupakan satu kesatuan bermakna. Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaiakan kata dalam bahasa; perbendaharaan kata yang dimiliki seorang pembicara; daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan khusus (Kridalaksana, 1984). Warisan dan pelestarian budaya adalah benda atau atribut tak berbenda yang merupakan jati diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya, yang dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang. Warisan budaya dapat berupa benda, seperti monumen, artefak, dan kawasan, atau tak benda. Warisan budaya Bali masih banyak yang belum mendapat perhatian, salah satunya adalah warisan budaya yang berupa naskah dari daun lontar. Seperti yang diungkapkan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 291 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO. Warisan budaya yang telah diwariskan oleh generasi tertua kita merupakan warisan yang tak ternilai. Oleh karena itu, pelestarian budaya sangatlah penting khususnya budaya lokal. Warisan yang telah kita miliki tetap diupayakan untuk dilestarikan agar nilai-nilai yang sudah tertanam pada masyarakat sejak lama dipergunakan sebagai pembelajaran generasi berikutnya. Dengan pelestarian budaya warisan budaya tersebut tetap ada ditengah era zaman modern.

METODOLOGI Metode penelitian merupakan cara dan proses melakukan penelitian. Di dalamnya tercakup bahan atau materi penelitian, variabel, dan data yang harus disediakan sebagai bahan analisis. Untuk itu, secara operasional pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi subbab, yaitu sumber data, metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis. Sumber data merupakan tempat di mana data-data penelitian dapat diperolehnya. Dengan demikian, sumber data dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sumber data lisan dan tulis. Sumber data tertulis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan data yang secara langsung diambil dari sumber asli atau teks (Nazir, 1988:111; Sarwono, 2006: 129). Sebaliknya, data sekunder diambil dari penelitian-penelitian yang telah ada dan hanya digunakan sebagai tambahan variasi sehingga dapat menunjang sempurnanya penelitian ini. Terkait dengan penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer. Di dalam penyediaan data digunakan metode simak. Metode simak diartikan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini berkaitan dengan penggunaan bahasa secara tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap (Mahsun, 2005: 90--93). Metode tersebut dibantu dengan teknik catat,teknik pengartuan, transkripsi, sehingga didapatkan data yang sahih (Sudaryanto, 1993, Mahsun, 1995; 2005). Sarwono (2006); Creswell (2009) menyebutnya dengan istilah koleksi data. Metode yang digunakan dalam analisis data, yakni metode padan intralingual. Konsep padan mengandung makna adanya keterhubungan, sebagai

292 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 hal menghubung-bandingkan sedangkan intralingual mengacu pada unsur-unsur yang berada dalam bahasa (bersifat lingual). Dengan demikian, metode padan intralingual merupakan cara analisis yang diterapkan dengan menghubung- bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Metode tersebut dibantu dengan teknik, HBS, HBB, dan teknik hubung-banding menyamakan hal pokok (Mahsun, 2005: 111--113; bandingkan dengan Djajasudarma (1993); Sudaryanto (1993). Teknik lainnya, yaitu permutasi, substitusi, delisi, ekspansi. Penggunaan teknik- teknik ini bertujuan untuk mengetes kegramatikalan suatu konstruksi. Hasil analisis disajikan dalam dua cara, yaitu (a) perumusan dengan kata- kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis dan (b) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang tertentu. Kedua cara itu disebut dengan metode informal dan metode formal (Mahsun, 2005: 116, lihat juga Sudaryanto, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Contoh Penggunaan BJK pada organisasi Kepemudaan Data 1

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 293 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Data 2

Kedua contoh di atas menampilkan kata dharma ‘kebenaran, kebajikan’. Kata dharma merupakan leksikon asli BJK. Dalam pembentukan istilah kata-kata itu sering digabungkan sehingga membentuk kelompok kata, baik yang berupa kata majemuk, aneksi, atau pun sebuah frasa. Misalnya, yowana dharma laksana ‘remaja berperilaku baik’, dharma puspita ‘berkembang baik’. Bentuk-bentuk tersebut adalah frasa-frasa bahasa Jawa Kuna. Jadi leksikon-leksikon tersebut digunakan secara utuh dalam pembentukan suatu nama organisasi kepemudaan. Dalam kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, kata dharma tidak diserap secara utuh, melainkan diserap dengan penyesuaian ejaan bahasa Bali, yaitu darma. Seperti, darma wacana, darmatula, darmaputra, darmagita, dan sebagainya.

Data 3

Data 3 di atas menunjukkan kelompok kata yowana kajana loka ‘remaja termasyur’. Kelompok kata tersebut adalah kelompok kata berpa frasa. Kata

294 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yowana ’remaja’, jana ‘orang/manusia’, loka ‘bumi/dunia’. Sesungguhnya, kata kajanaloka dalam kamus Jawa Kuna-Indonesia tidak ditemukan. Artinya, secara morfologis bentuk kajanaloka tidak gramatikal. Bentuk yang gramatikal dalam bahasa Jawa Kuna adalah kata kajanalokan ‘perihal orang-orang dunia’, yang dibentuk oleh konfiks ka-an + jana loka, Prefiks ka- dalam BJK adalah pasif impersonal yang hanya dapat berdistribusi dengan kata-kata verbal. Sementara, dalam bahasa Bali kata janaloka ‘orang dunia/orang banyak’ dibubuhkan bentuk ka- sehingga terbentuk kajanaloka ‘terkenal’. Kalau ditelusuri kata kajanaloka, sesungguhnya mengandung makna lokatif (menuju orang-orang dunia/masyarakat luas). Orang yang sering bertemu masyarakat luas niscaya akan menjadi dikenali oleh orang-orang/masyarakat. Dengan demikian, kata kajanaloka merupakan bentuk trasposisi dari nomina menjadi kategori verba, yaitu verba pasif impersonal dalam masyarakat penutur bahasa Bali dan mengandung makna terkenal atau termasyur.

Data 4

Contoh selanjutnya pada data 4, nama organisasi kepemudaan Wirasantana. Secara bentuk linguistik, bentuk wirasantana terdiri atas bentuk wira ‘lelaki yang bernai, pahlawan, pejuang, prajurit yang gagah berani’ dan santana ‘keturunan’. Kedua bentuk itu memiliki kepaduan yang sangat rapat, sehingga bentuk tersebut tidak bisa dipertukarkan. Bentuk tersebut adalah sebuah aneksi. Jadi bentuk wirasantana bermakna generasi pemberani. Dalam penggunaan oleh masyarakat Bali, kata-kata/leksikon bahasa Jawa kuna tersebut digunakan secara utuh, baik

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 295 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bentuk maupun maknanya. Berdasarkan wawancara beberapa pemuda di kota Denpasar dikatakannya bahwa penggunaan kata-kata tersebut lebih berkharisma, enak didengar dan dilihat karena mengandung nilai kesantunan jika dibandingkan dengan kata-kata yang lainnya. Contoh lainya, yaitu: ST. Yowana Werdhi ‘generasi penerus’ Br. Batan Buah; ST. Dharma Bakti Yowana ‘remaja taat kebenaran’ Br. Kertalangu; ST. Yowana Dharma Putra ‘Remaja putra yang baik’ Br. Kertagraha; ST. Putra Kencana ‘anak emas’ Br. Dauh Tangluk; ST. Yowana Dharma ‘kewajiban remaja’ Br. Buaji Anyar; ST. Dharma Sattwika ‘ kebaikan(yang) unggul’ Br. Kebonkuri; ST. Dharma Kanti ‘teman baik’ Br. Kebonkuri Kelod; ST. Dharma Shanti ‘benar (itu) damai’ Br. Biaung; ST. Yowana Dharma Kertih ‘remaja yang terpuji’ Br. Biaung Asri.

SIMPULAN Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan BJK pada pembentukan nama-nama organisasi kepemudaan /sekaa Teruna di Denpasar sangat banyak, baik dalam bentuk utuh mau pun bentuk yang mengalami proses gramatik pada bahasa Bali. Kata-kata BJK yang paling sering muncul adalah kata yowana dan dharma. Hal tersebut menandakan bahwa BJK masih dihormati dan dihargai oleh masyarakat Bali dan terbukti dalam penggunaannya walaupun dalam ranah yang terbatas. Dengan demikian, dalam bahasa Bali banyak terdapat exo- glossia. Tulisan kecil ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik, saran, dan masukkan sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Sebagai akhir kata penulis diharapkan makalah kecil ini dapat bermanfaat bagi pencinta bahasa Jawa Kuna dan masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Bandana, I Gede Wayan Soken.2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dan Sanskerta dalam Wacana Pembakaran dan Penguburan Jenazah: Kajian Struktur dan makna’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

296 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Budiasa, I Made. 2012. ‘Kalangwan Ungkapan Bahasa Jawa Kuna dalam Lakon Wayang Kulit Bali’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: SAGE.

Duija, I Nengah. 2012. ‘Prestise Bahasa Jawa Kuna dalam Adat dan Agama Hindu di Bali’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Erawati, Ni Ketut Ratna. 2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Karya Sastra Bali Klasik: Sekadar Contoh dalam Parikan Bubuksah Gagangaking’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Erawati, Ni Ketut Ratna. 2015. “Eksistensi dan Dinamika Kosa Kata bahasa Jawa Kuna pada Masyarakat Bali Masa Kini. Denpasar: Jurnal terakreditasi Pusat Kajian Bali Universitas Udayana.

Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.

Mastuti, Dwi Woro R. 2012. ‘Bahasa Jawa Kuna dalam Diplomasi Kebudayaan Pra-Indonesia’ dalam Sastra Jawa Kuna Refleksi Dulu, Kini, dan Tantangan ke Depan. Denpasar: Cakra Press.

Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java. Vol. I. Lieden: The Hague.

Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

ASPEK BUDAYA POPULER JEPANG DALAM NOVEL TEENLIT INDONESIA: KAJIAN TERHADAP NOVEL WINTER IN TOKYO KARYA ILANA TAN

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected], [email protected]

Abstrak

Dewasa ini teenlit (teenager literature) sebagai salah satu genre dalam novel populer mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Tema yang diangkat dalam novel teenlit di Indonesia semakin beragam, termasuk novel teenlit yang mengangkat aspek budaya asing, salah satunya budaya Jepang. Hingga saat ini telah banyak diterbitkan novel teenlit yang mengangkat aspek budaya Jepang yang ditulis pengarang Indonesia, salah satunya novel Winter in Tokyo (2008) karya Ilana Tan. Penelitian ini membahas mengenai aspek budaya populer Jepang dalam novel teenlit Winter in Tokyo. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan metode studi pustaka dan untuk metode analisis data digunakan metode analisis tekstual. Selanjutnya hasil penelitian akan disajikan dalam metode informal. Hasil penelitian menunjukan aspek budaya populer yang terkandung dalam novel Winter in Tokyo adalah 1) Tokyo sebagai aspek budaya populer Jepang; 2) makanan sebagai aspek budaya populer Jepang; 3) karaoke sebagai aspek budaya populer Jepang; dan 4) onsen sebagai aspek budaya populer Jepang.

Kata Kunci: budaya populer, novel populer, teenlit, budaya Jepang

PENDAHULUAN Sejak tahun 2000-an, teenlit sebagai salah satu genre dalam novel populer mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Secara etimologi, teenlit berasal dari akronim bahasa Inggris, yaitu teenager ‘remaja’ dan literature ‘kesusastraan’. Jadi dapat dikatakan bahwa teenlit merupakan bahan bacaan yang diperuntukan bagi remaja. Dengan segmen pasar remaja, novel teenlit menyajikan struktur cerita yang sederhana sehingga tidak membutuhkan perenungan yang mendalam ketika membaca (Dewojati, 2010:12). Salah satu tonggak awal kesuksesan dan berkembangnya novel teenlit di Indonesia adalah novel Dealova (2004) karya Dyan Nuranindya yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia. Menyusul kesuksesan Dealova, genre dan tema yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 297 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 298 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 diangkat dalam novel teenlit di Indonesia semakin beragam, termasuk novel teenlit yang mengangkat aspek budaya asing, salah satunya budaya Jepang. Hingga saat ini telah banyak diterbitkan novel teenlit yang mengangkat aspek budaya Jepang yang ditulis pengarang Indonesia, salah satunya novel berjudul Winter in Tokyo karya Ilana Tan.

Novel Winter in Tokyo sesuai dengan judulnya berlatarkan Tokyo dan distrik di sekitarnya pada musim dingin dengan mengisahkan pencarian cinta gadis bernama Ishida Keiko yang memiliki darah Indonesia dari kakek pihak Ibu. Meskipun novel ini ditulis oleh pengarang Indonesia namun di dalamnya memuat banyak unsur budaya Jepang, khususnya budaya populer Jepang. Budaya populer sendiri mengacu kepada objek yang disukai oleh banyak orang. Oleh karena itu, budaya populer disebut juga sebagai mass culture atau budaya massa (Edensor, 2002:13). Di dalam penelitian ini akan dibahas secara lebih mendalam aspek budaya populer Jepang yang ditampilkan Ilana Tan dalam novel teenlit Winter in Tokyo.

METODOLOGI Dalam penelitian ini, metode yang diterapkan pada tahap pengumpulan data adalah metode kajian pustaka. Metode ini diterapkan untuk mengumpulkan data dari berbagai bahan cetak, termasuk novel yang menjadi sumber data dalam penelitian ini. Pada tahap analisis data metodei yang diterapkan adalah analisis tekstual. Metode ini digunakan untuk menganalisis teks yang didalamnya terdapat tanda-tanda yang mempunyai makna sehingga akan menghasilkan interpretasi (Ida, 2014:64-71). Untuk penyajian hasil analisis data dilaksanakan dengan metode informal. Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata yang dibahasakan dengan kata-kata sendiri (Ratna, 2004:50).

PEMBAHASAN 1. Sinopsis Novel Winter in Tokyo Novel Winter in Tokyo pertama kali diterbitkan pada tahun 2008 dan hingga November 2017 telah dicetak ulang sebanyak tiga puluh satu kali oleh P.T.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 299 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Gramedia Pustaka Utama. Novel setebal 320 halaman ini juga telah dialihwahanakan menjadi film dengan judul yang sama, Winter in Tokyo, dan dirilis pada 11 Agustus 2016. Seperti halnya novel dengan genre teenlit lainnya, Winter in Tokyo juga mengangkat kisah cinta yang romantis dengan alur cerita yang sederhana. Novel ini menceritakan kisah pencarian cinta seorang gadis bernama Ishida Keiko yang berprofesi sebagai pegawai perpustakaan. Ishida Keiko merupakan gadis Jepang yang memiliki darah keturunan Indonesia dari kakek pihak Ibu. Di dalam novel diceritakan bahwa Ishida Keiko sangat ingin untuk dapat bertemu kembali dengan cinta pertama yang ditemuinya saat Sekolah Dasar, yaitu Kitano Akira. Akan tetapi, ketika akhirnya dapat bertemu dan menjalin kedekatan dengan cinta pertamanya, Ishida Keiko justru menyadari bahwa dia lebih mencintai laki- laki lain, yaitu Nishimura Kazuto.

2. Aspek Budaya Populer Jepang dalam Novel Winter in Tokyo Berikut akan dibahas mengenai aspek budaya populer Jepang yang ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo sebagai berikut. a. Tokyo Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang Novel Winter in Tokyo sebagian besar mengambil latar di Tokyo serta distrik di sekitarnya. Tokyo yang secara harfiah bermakna ibu kota yang terletak di timur selain merupakan pusat ekonomi dan politik juga menjadi pusat perkembangan budaya, termasuk budaya populer Jepang. Beberapa distrik yang berada di Tokyo, seperti Shinjuku dan Shibuya menjadi ikon budaya populer Jepang. Berikut akan ditampilkan data dalam novel Winter in Tokyo yang menunjukan Tokyo dan wilayah di sekitarnya sebagai latar tempat utama dalam novel ini. (1) Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di Shinjuku dan ia sangat menyukai pekerjaannya (Winter in Tokyo, 2017:10).

(2) Sato Haruka berumur 28 tahun – tiga tahun lebih tua daripada Keiko – dan bekerja sebagai piñata rambut di Harajuku (Winter in Tokyo, 2017:11).

(3) “Kenapa kau kembali ke Jepang?” Tanya Keiko ketika mereka berdiri dalam kerumuman pejalan kaki di pinggir persimpangan Shibuya yang

300 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terkenal ramai, menunggu lampu lalu lintas berubah warna (Winter in Tokyo, 2017:47).

Data (1) menunjukan latar tempat, yaitu Shinjuku, sebagai salah satu distrik di Tokyo. Shinjuku menjadi lokasi tempat perpustakaan tokoh Ishida Keiko bekerja. Shinjuku merupakan pusat hiburan, bisnis, dan area perbelanjaan. Daerah hiburan malam yang terkenal di Jepang, yaitu Kabukicho, juga berlokasi di Shinjuku. Daerah lain di Tokyo yang menjadi latar dalam novel ini adalah Harajuku, data (2). Harajuku mengacu kepada area di sekitar stasiun Harajuku. Area ini menjadi pusat budaya populer karena memiliki banyak toko-toko pakaian dengan gaya khas Jepang, bahkan menimbulkan istilah gaya berpakaian Harajuku style. Pada data (3) ditampilkan distrik lainnya di Tokyo, yaitu Shibuya. Shibuya merupakan pusat perbelanjaan yang memiliki banyak department store besar serta beragam restoran dan pusat wisata kuliner. Shibuya juga merupakan pusat mode dan budaya anak muda Jepang yang identik dengan budaya populer Jepang. Salah satu landmark yang menonjol dari Shibuya adalah persimpangan besar yang ditampilan dalam data (3). Persimpangan ini dihiasi oleh iklan neon dan layar video raksasa dan dibanjiri oleh pejalan kaki . b. Makanan Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang Makanan Jepang dewasa ini semakin memperoleh popularitas di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Meskipun ditulis oleh pengarang yang merupakan orang Indonesia, dalam novel Winter in Tokyo juga menampilkan beragam produk makanan Jepang, seperti data berikut.

(4) “Hari ini kita tidak jadi makan gado-gado”, kata Keiko sambil berputar kea rah Kazuto. Tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, “Tadi aku ketemu nenek Ozawa di bawah. Beliau masak shabushabu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomong-ngomong, kau punya sake? Persediaan sake kakek sudah habis. Aku disuruh minta padamu, makanya langsung kesini begitu pulang (Winter in Tokyo, 2017:76).

(5) “Kurasa udon nya yang paling terkenal di sini”, sahut Akira, lalu mengulurkan tangan ke seberang meja untuk menunjuk salah satu jenis udon yang tertulis di menu Keiko (Winter in Tokyo, 2017:213).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 301 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Salah satu makanan Jepang yang ditampilkan adalah shabushabu, data (4). Shabushabu merupakan irisan daging sapi yang sangat tipis yang dicelupkan ke dalam kuah panas selama tiga hingga empat menit hingga warna daging berubah dan dimakan dengan saus yang disebut gomadare (Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008: 127). Selain shabushabu pada data (5) menampilkan makanan Jepang lainnya, yaitu udon. Udon merupakan jenis mie yang terbuat dari tepung gandum dan pada mulanya populer di Jepang bagian barat, termasuk Kyoto dan Osaka (Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008: 124). Selain makanan, minuman beralkohol Jepang yang dibuat dari fermentasi beras, yaitu sake juga ditampilkan pada data (4). c. Karaoke Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang Karaoke merupakan salah satu produk budaya populer Jepang yang dewasa ini tidak hanya populer di Jepang tetapi telah menyebar ke berbagai belahan dunia. Karaoke pada mulanya bentuk hiburan yang populer di kalangan salarymen ‘karyawan perusahaan di Jepang’. Bernyanyi sambil memegang microphone memberikan fantasi bernyanyi layaknya penyanyi profesional di atas panggung (Sugimoto, 2004:252). Karaoke sebagai aspek budaya populer Jepang juga ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo sebagai berikut.

(6) “Malam ini tidak bisa”, kata Keiko setelah berpikir sesaat. “Seorang rekan kerjaku berulang tahun dan dia mengajak kami pergi makan dan karaoke. Aku sudah janji akan ikut” (Winter in Tokyo, 2017:24)

Data (6) menunjukan bahwa karaoke menjadi aktifitas hiburan yang populer di kalangan para pekerja di Jepang selepas mereka bekerja maupun untuk merayakan suatu hal. d. Onsen Sebagai Aspek Budaya Populer Jepang Onsen merupakan pemandian air panas yang menjadi salah satu bentuk hiburan dan relaksasi yang populer dalam budaya Jepang. Dewasa ini onsen dengan lokasi yang terpencil dan berlokasi di tempat yang memiliki pemandangan alam yang indah menjadi hal yang sangat populer di Jepang (Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008: 220). Onsen sebagai salah satu aspek budaya populer Jepang juga ditampilkan dalam novel Winter in Tokyo, sebagai berikut.

302 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(7) “ Akhir pekan ini kami akan pergi ke resor ski. Sudah lama aku tidak main ski dan mereka juga bilang mau pergi ke onsen.” Suara Yuri yang riang terdengar dari pengeras suara di ponsel Kazuto. (Winter in Tokyo, 2017: 207).

SIMPULAN Novel teenlit Indonesia yang berjudul Winter in Tokyo karya Ilana Tan yang berlatarkan budaya Jepang menampilkan aspek budaya populer Jepang, diantaranya adalah Tokyo sebagai latar utama dalam novel ini merupakan representasi dari budaya populer Jepang karena Tokyo dan distrik di sekitarnya menjadi pusat dan ikon perkembangan budaya populer Jepang. Selain itu, dalam novel ini juga menampilkan aspek budaya populer Jepang lainnya, yaitu makanan, karaoke, dan onsen.

DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Wacana Hedonisme dalam Sastra Populer Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Edensor, Tim. 2002. National Identity, Popular Culture, and Everyday Life. Oxford: Berg. Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada Media Group. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduction to Japanese Society. Cambridge: Cambridge University Press. Sugiura, Y. dan Gillespie, J.K. 2008. A Bilingual Handbook of Japanese Culture. Tokyo: Natsume Sha

IDEOLOGI MULTIKULTURALISME SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN YANG HARMONIS ANTARA ORANG BALI DAN CINA DI DESA PAKRAMAN DI BALI

Ni Luh Sutjiati Beratha Email: [email protected]

Abstrak

Indonesia sebagai negara yang berazaskan Bhinneka Tunggal Ika telah memberlakukan hukum yang menempatkan semua warga negara pada posisi yang sejajar. Dengan demikian, di negeri ini semestinya dapat diwujudkan kehidupan masyarakat yang multikultural dengan baik berdasarkan ideologi multikulturalisme. Hubungan orang Bali dengan orang Cina di Bali telah lama berlangsung tanpa persoalan (konplik), atau menunjukkan hubungan yang relatif harmonis. Perkawinan campuran antara mereka telah terjadi, orang Cina di Bali yang menjadi anggota Desa Pakraman. Di berbagai daerah di Indonesia orang Cina sering menjadi sasaran berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang bukan Cina. Makalah ini akan menguraikan tentang kebersamaan orang Bali dan Cina di Bali di Desa Pakraman. Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode kualitatif, karena metode ini memberikan penekanan pada aspek pemahaman. Penerapan metode ini diwujudkan melalui penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, penentuan teknik pengumpulan data, dan penentuan model analisis data. Kebersamaan orang Bali dan Cina di Desa Pakraman dilatari oleh orang Bali di satu pihak berkepentingan untuk memperoleh dukungan dari orang Cina untuk menguatkan Desa Pakraman sebagai modal budaya sekaligus simbol identitas mereka. Di pihak lain, orang Cina ingin memperoleh dukungan dari orang Bali untuk memperoleh rasa aman serta lahan untuk tempat tinggal, pemakaman, dan tempat ibadah sebagai modal budaya sekaligus sebagai simbol identitas mereka. Dalam konteks ini, tampak orang Bali memaknai Desa Pakraman sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari orang Cina, sedangkan orang Cina memaknainya sebagai modal sosial sekaligus modal budaya yang hendak diperoleh dengan menggunakan modal ekonomi berupa uang dan barang yang disumbangkan kepada Desa Pakraman.

Kata Kunci: multikulturalisme, orang, Desa Pakraman

1. Pendahuluan Indonesia sebagai negara yang berazaskan bhinneka tunggal ika telah memberlakukan hukum yang menempatkan semua warga negara pada posisi yang sejajar. Dengan demikian, di negeri ini semestinya dapat diwujudkan kehidupan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 303 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 304 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masyarakat yang multikultural dengan baik berdasarkan ideologi multikulturalisme. Namun sebagaimana dikemukakan Suryadinata (dalam Poerwanto, 2005 : 1) orang Cina di Indonesia belum dapat sepenuhnya diterima sebagai warga bangsa meskipun mereka telah menjadi warga Negara Indonesia serta meninggalkan identitas dan mengidentifikasi diri mereka sebagai golongan peranakan. Sejalan dengan itu, di berbagai daerah di Indonesia orang Cina sering menjadi sasaran berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang bukan Cina (Habib, 2006; Suparlan, 2006, Lestariana, 2006). Sebaliknya, hubungan orang Bali dengan orang Cina di Bali telah lama berlangsung tanpa persoalan, bahkan menunjukkan hubungan yang relatif harmonis. Selain terjadi perkawinan campuran antara mereka, banyak juga orang Cina yang menjadi anggota Desa Pakraman (Wirata, 2000; Ardika, 2006). Desa Pakraman dikenal sebagai simbol identitas orang Bali, sedangkan orang Cina tentu memiliki kebudayaan tersendiri sebagai simbol identitasnya. Dengan demikian kebersamaan orang Cina di Bali serta mereka di Desa Pakraman akan dibahas pada makalah ini. Kebersamaan orang Bali dan orang Cina di Desa Pakraman menunjukkan pluralitas masyarakat Indonesia, di satu sisi sering dibanggakan, namun di sisi lain juga memprihatinkan. Dibanggakan karena pluralitas masyarakat Indonesia melahirkan mozaik kebudayaan yang sangat indah, yakni beragam kebudayaan suku-suku bangsa dari Sabang sampai Meraoke. Sebaliknya diprihatinkan bukan hanya karena berpotensi menimbulkan beragam masalah yang mengganggu upaya pencapaian integrasi nasional secara optimal. Oleh karena itu perlu adanya usaha terus menerus untuk mempersatukan suku-suku bangsa yang beragam itu agar ada rasa bersatu, dan rasa nasionalisme. Khusus dalam konteks masuknya orang Cina sebagai anggota Desa Pakraman, merupakan hubungan warga masyarakat dengan kelompok sosial. Menurut Susanto (1985:37-38), suatu kelompok terbentuk karena adanya harapan pada setiap anggotanya, dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan psikologi untuk mempunyai dan digolongkan pada suatu kelompok, tempat mereka ‘berlindung’ dan merasa aman. Menurut Anderson dan Parker sebagaimana dibahas oleh Susanto (1985:52), suatu kelompok merupakan kesatuan ekologi (ecological

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 305 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 entities) yang terbentuk karena melalui penghimpunan orang-orang yang menempati suatu daerah tertentu, untuk jangka waktu yang cukup lama, dan kerenanya mengalami integrasi sebagai akibat dari adanya hubungan ekonomi dan sosial. Warga negara Indonesia yang berasal dari golongan yang berbeda, bisa hidup bersama dengan sikap saling bertoleransi yang timbul secara spontan atau tanpa paksaan, saling menghormati menunjukkan bahwa mereka telah memahami ideologi multikulturalisme. Ideologi ini sebagai landasan hubungan yang harmonis atas keberadaan orang Cina sebagai anggota Desa Pakraman di Bali tampak sangat penting untuk dibahas pada makalah ini. Sebab pengambilan keputusan untuk menjadi anggota Desa Pakraman biasanya dilakukan atas kehendak para pelakunya yang tentu saja memiliki pandangan tertentu tentang sikap dan perilaku para pihak terkait.

2. Metodologi Metode yang digunakan untuk memperoleh data makalah ini adalah metode kualitatif, karena sebagaimana dikemukakan oleh Atmadja (2005), metode kualitatif paling tepat digunakan karena memberi penekanan pada aspek pemahaman. Penerapan metode ini diwujudkan melalui penentuan informan yang berasal dari Desa Carang Sari, Kabupaten Badung. Informan yang dipilih sebagai narasumber atau pemberi informasi meliputi kaum laki-laki dan perempuan, baik dari kalangan orang Cina maupun orang Bali. Keberagaman ini dimaksudkan, selain untuk memperoleh data dan fakta yang banyak dan bermutu, juga agar diperoleh informasi penting untuk dianalisis. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposif, yakni dengan memilih para Kepala Desa Dinas dan Kepala Desa Pakraman. Selanjutnya, dengan memposisikan para tokoh desa tersebut sebagai informan kunci maka dilakukan teknik menggelinding (snowball). Teknik wawancara dan observasi telah digunakan, selanjutnya analisis data/informasi dilakukan dengan analisis interpretatif. Proses analisis ini sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. 3. Pembahasan

306 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.1 Keberagaman Orang Cina di Bali pada umumnya, dan khususnya di Desa Carangsari menganut agama Budha. Agama Budha adalah salah satu agama yang dianut oleh orang Cina di Indonesia. Ajaran ini adalah agama ardhi yang disebarkan oleh Sidharta Gautama (Suryananda, 1995:39). Ajaran Budha sangat menekankan hubungan yang harmonis sesama manusia. Nilai yang ada pada ajaran Budha juga ada dalam agama Hindu, yaitu kepercayaan yang dianut oleh orang Bali, yaitu Tat Twam Asi (yang artinya saya adalah kamu, kamu adalah saya). Filsafat yang terkandung dari ungkapan ini adalah baik dari Budha maupun Hindu adalah membina persahabatan sesama manusia. Ajaran Budha juga mengandung filosofi bahwa semua alam adalah satu dan nirwana ada di mana-mana. Hindu juga memiliki filosofi seperti ini, yaitu Wiapi Wiyapaka (Tuhan ada di mana-mana), dan percaya terhadap pemujaan kepada leluhur. Budha merupakan kepercayaan orang Cina karena mereka tidak mau tercabut dari akar budayanya. Di rumah orang Cina di Carangsari selalu ada bangunan suci untuk kepercayaan Hindu dan sekaligus Budha. Mereka merasa sangat aman dan nyaman dengan keadaan seperti ini, walaupun dari faktor ekonomi tampak pengeluaran menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan jika menganut satu kepercayaan. Semua orang Cina di desa ini mengikuti semua kegiatan upacara agama Hindu, seperti upacara di pura Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem), serta kegiatan yang terkait dengan upacara keagamaan lainnya. Orang Cina di Desa Carangsari mengikuti upacara Hindu seperti upacara tiga bulanan, otonan, dan lain- lain untuk anak-anaknya, dan bahkan anak perempuan orang Cina sebelum menikah harus mengikuti upacara potong gigi seperti halnya orang Hindu. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sifat keduniawiannya. Prosesi yang wajib dilakukan oleh anak perempuan dari orang Cina adalah mohon diri ke luar dari keluarga (mapamit) di Sanggah Kemulan sebelum menikah, baik untuk mereka yang akan menikah dengan sesama orang Cina maupun dengan orang lain (etnis lain). Orang Cina dan Bali selalu hidup berdampingan dan rukun dalam semua aktivitas keagamaan. Di mata orang Bali, kumunitas Cina dianggap sangat fleksibel dan toleran dalam kehidupan beragama. Hasil wawancara dengan sejumlah informan dan pengamatan langsung di Desa Carangsari menunjukkan bahwa orang Cina secara

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 307 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 keseluruhan menghormati agama Hindu dan melaksanakan dengan taat agama yang dianut oleh nenek moyang/leluhurnya. Hampir di setiap rumah komunitas Cina di tiga lokasi penelitian memiliki dua jenis bangunan suci yaitu sanggah kamulan (pura/bangunan suci untuk keluarga Hindu) dan konco atau bangunan suci untuk setiap keluarga orang Cina. Kedua jenis bangunan suci tersebut kadang-kadang letaknya terpisah atau dibangunan dalam satu bangunan dan hanya dipisahkan oleh dinding atau tembok penyekat saja. Komunitas Cina di Desa Carangsari menjadi anggota pamaksan Pura Dalem di desa setempat Komunitas Cina di Desa Carangsari mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat Hindu Bali di desa tersebut. Hak dan kewajiban yang sama bagi komunitas Cina dan etnik Bali di Desa Carangsari karena masing-masing memiliki kuburan yang berasal dari lahan milik Desa Pakraman Carangsari. Masyarakat Hindu Bali di Desa Carangsari menilai komunitas Cina di desa tersebut sangat toleran. Komunitas Cina senantiasa memberikan sumbangan yang lebih besar dibandingkan dengan warga Hindu Bali, terutama dalam pembangunan sarana publik seperti bale banjar, wantilan dan pura ataupun sarana peribadatan lainnya.

3.2 Sikap Dasar Manusia dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari lingkungan sekitarnya. Dalam interaksi sosial, dua orang atau lebih akan hidup berdampingan dalam suatu masyarakat. Di Desa Carangsari misalnya, orang Cina, Bali, dan lainnya hidup saling berdapingan dan keharmonisan hubungan antarorang berjalan dengan lancar. Ini yang menjadi sikap dasar dari orang Cina bahwa tidak ada suatu budaya yang tidak dipengaruhi oleh budaya lain. Mereka menyadari sebagai kelompok minoritas akan mendapat pengaruh dari yang mayoritas sehingga terjadi kontak, pembauran, dan pertukaran informasi hingga proses sosial. Dari proses ini, ditemukan hubungan sosial yang mantap, karena adanya baik penyatuan ataupun pemisahan sehingga perbedaan dapat dipertahankan. Hubungan sosial dalam suatu masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian rupa pada masyarakat yang multietnik seperti Bali, umum disebabkan oleh adanya status orang. Masing-masing kelompok etnis yang berbeda akan memiliki sistem sosial dalam masyarakat untuk pengembangan dan penyesuaian diri dalam

308 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masyarakat. Misalnya, etinis Cina di tiga desa penelitian ini memiliki asosiasi yang disebut dengan ’Paguyuban Orang Cina’. Ini yang menjadi ciri kelompok orang tersebut yang bertujuan untuk menjalin komunikasi, dan interaksi di antara mereka. Sikap dasar yang dimiliki oleh orang Cina adalah sanggup beradaptasi (dengan mudah dapat menyesuaikan diri) dan berkembang dengan masyarakat setempat. Sikap ini muncul karena latar belakang budaya (khususnya ideologi: agama) yang dianut oleh orang Cina. Seperti diuraikan di atas bahwa agama Bhuda menanamkan kebaikan, kemurahan, dan ketulusan hati melalui kesadaran diri kepada sesama. Ajaran ini bertujuan agar sistem kekerabatan di antara umat manusia tetap terjalin baik. Orang Cina selalu mengutamakan keseimbangan, kelayakan, dan kebaikan hati untuk sesama. Ajaran Bhuda selalu mengingatkan agar setiap individu berbuat benar (menjalankan dharmanya). Di samping itu, ajaran ini juga melihat hubungan manusia dengan keluarga, seperti hubungan antara ayah dengan anak. Dalam budaya Cina, anak laki-laki memiliki peran yang sangat penting untuk meneruskan keturunan, dan sebagai sumber materi. Seorang ayah adalah tulang punggung keluarga, anak-anak harus menghormati dan patuh kepada orang tua. Seorang ayah juga harus menjadi ayah yang baik di samping juga sebagai suami yang memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji, demikian juga halnya untuk seorang isteri harus menghormati suami, patuh, dan selalu setia kepada suami. Kehidupan keagamaan orang Cina terlihat setiap: tanggal 1 dan 15 bulan lunar Cina, ketika mereka mengadakan sembahyang ke Vihara. Di samping itu, pada setiap hari Raya Imlek mereka mengadakan persembahyangan baik siang maupun malam. Sebagaimana halnya orang Cina di Bali dan Indonesia pada umumnya, orang Cina telah hidup dan berkembang ratusan tahun, atau mungkin ribuan tahun. Mereka keturunan Cina dan semua keluarganya tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia. Identitas mereka adalah sebagai orang Indonesia. Ini tercermin dari bahasa yang digunakan apabila mereka berkomunikasi dengan orang lain selain orang Cina, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia, atau bahasa daerah. Di samping itu, mereka menggunakan dan memiliki nama nasional dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan mereka juga memiliki nama Cina (nama yang diberikan oleh keluarga mereka dan mencantumkan nama marga pada akhir nama

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 309 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 mereka). Identitas lokal tercermin dari gaya bahasa atau dialek yang mereka pakai, dan berprilaku budaya lokal (mengadopsi budaya lokal). Identitas nasional dan lokal merupakan suatu identitas yang disandang oleh orang Cina dengan tujuan agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat setempat. Oleh sebab itu, orang Cina tidak mengalami kendala dalam menjalani kehidupan di masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh dipatuhinya semua norma atau ketentuan-ketentuan yang berlaku di masyarakat, sehingga mereka dapat hidup nyaman dalam budaya daerah yang majemuk. Orang Cina di Desa Carangsari memiliki identitas ganda, yaitu lokal (sekaligus nasional Indonesia) dan identitas budaya mereka. Ikatan dan jaringan antarorang Cina bertujuan untuk membentuk persahabatan dan dapat membina hubungan di antara mereka. Mereka sangat menjaga azas kebersamaan dan sikap saling tolong menolong, mereka biasanya dengan sukarela melakukan apa yang diwajibkan oleh masyarakat setempat. Contoh, di Desa Carangsari pernah dibangun balai desa, karena keterbatasan dana yang dimilki, anggota masyarakat dihimbau dan diminta untuk menyumbang secara suka rela. Orang Cina di desa ini dengan tidak tanggung-tanggung menyumbang keseluruhan atap untuk gedung itu. Solidaritas sosial dari orang Cina patut dipuji dan ditiru. Sikap membantu dan memberi, solider terhadap sesama identik dengan orang Cina. Ideologi multikulturalisme telah melekat pada diri orang Bali dan Cina, menurut Leliweri (2005: 70) multikulturalisme “bertautan dengan ideologi atau ‘isme’ tentang penyadaran individu atau kelompok atas keragaman kebudayaan, yang pada gilirannya mempunyai kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap toleransi, dialog, kerja sama di antara beragam etnik dan ras”. Multikulturalisme merupakan ideologi yang mempromosikan keberagaman antaretnik maupun antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai, egaliter, toleran, saling menghargai, dan saling menghormati. Khusus dalam konteks masuknya orang Cina ke dalam keanggotaan Desa Pakraman, fenomena ini jelas merupakan hubungan warga masyarakat dengan kelompok sosial. Berkenaan dengan fenomena kelompok sosial, Susanto (1985: 37- 38), mengatakan bahwa suatu kelompok terbentuk karena adanya harapan pada

310 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 setiap anggotanya; dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan psikologik untuk mempunyai dan digolongkan pada suatu kelompok, tempat ia ‘berlindung’ dan merasa aman. Menurut Anderson dan Parker (dalam Susanto, 1985:52), suatu kelompok merupakan kesatuan ekologi (ecological entities) yang terbentuk karena melalui penghimpunan orang-orang yang menempati suatu daerah tertentu, untuk jangka waktu yang cukup lama, dan kerenanya mengalami integrasi sebagai akibat dari adanya hubungan ekonomi dan sosial. Berpegang pada teori tentang kelompok sosial, maka ada tiga asumsi yang menarik untuk dibuktikan kebenarannya melalui makalah ini. Ketiga asumsi tersebut adalah 1) bahwa terjadi perkawinan campuran antara orang Bali dan orang Cina karena orang Bali memiliki pandangan tertentu mengenai orang Cina, dan begitu juga orang Cina memiliki pandangan tertentu mengenai orang Bali, 2) kebersamaan mereka dalam Desa Pakraman karena sama- sama memiliki kepentingan atau kebutuhan tertentu yang hendak dipenuhi melalui bekersamaannya dalam Desa Pakraman, dan 3) kebersamaan mereka dalam Desa Pakraman berimplikasi tertentu, baik dalam kehidupan orang Bali maupun orang Cina bersangkutan. Berpegang pada ke tiga hal tersebut, maka terjadinya kebersamaan orang Bali dengan orang Cina dalam Desa Pakraman dapat diduga bahwa orang Cina dan orang Bali sama-sama memiliki kepentingan yang hendak dipenuhi melalui kelompok sosial, yakni Desa Pakraman. Tanpa itu, sulit dibayangkan orang Cina mau menjadi anggota Desa Pakraman, karena tentu saja mereka mendapat kewajiban sebagai anggota, termasuk kewajiban memberikan sumbangan, baik berupa materi (uang dan barang) maupun tenaga untuk Desa Pakraman. Begitu juga sebaliknya bahwa sulit dibayangkan orang Bali mau mengajak orang Cina menjadi anggota Desa Pakraman jika mereka tidak mempunyai harapan-harapan tertentu kepada orang Cina.

4. Simpulan Kebersamaan orang Bali dengan orang Cina dalam Desa Pakraman dilatari oleh keinginan dari keduabelah pihak untuk melestarikan tradisi para leluhur mereka yang sudah sejak dahulu telah melakukan perkawinan campuran dan kebersamaan dalam Desa Pakraman. Namun selain itu masing-masing pihak juga

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 311 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 memiliki kepentingan. Orang Bali di satu pihak berkepentingan untuk memperoleh dukungan dari orang Cina untuk menguatkan Desa Pakraman sebagai modal budaya sekaligus simbol identitas mereka. Di pihak lain, orang Cina ingin memperoleh dukungan dari orang Bali untuk memperoleh rasa aman serta lahan untuk tempat tinggal, pemakaman, dan tempat ibadah sebagai modal budaya sekaligus sebagai simbol identitas mereka. Dalam hal dukung-mendukung itu, tampak orang Bali memaknai Desa Pakraman sebagai alat untuk memperoleh dukungan dari orang Cina, sedangkan orang Cina memaknainya sebagai modal sosial sekaligus modal budaya yang hendak diperoleh dengan menggunakan modal ekonomi berupa uang dan barang yang disumbangkan kepada Desa Pakraman.

DAFTAR PUSTAKA

Aliffiati dan I Nyoman Dhana. 2008. Studi tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Desa batungsel, Kecamatan Pupuan, Tasbanan, Bali. Laporan Penelitian Universitas Udayana.

Ardika, I Wayan. 2006. ‘Komunitas Tionghoa dalam Konteks Multikulturalisme di Bali’. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Sinologi, diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Muhamadiya, Malang, 3-4 Maret 2006.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif. Makalah pada Dosen Muda Pola 90 Jam. Diselenggarakan oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri, Singaraja, 22 Agustus-5 September 2005.

Atmadja, Nengah Bawa. 2005a. Bali pada Ewra Globalisaiisi Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya. Singaraja.

Atmadja, Nengah Bawa. 2008. “Identitas Agama, Etnik, dan Nasional dalam Perspektif Pendidikan Multikultural”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Poestaka. Denpasar : Yayasan Widya Guna, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Halaman 16-33.

Bennett, MJ,1990. “Mengatasi Kaedah Emas : Simpati dan Empati”, dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rachamat, ed.), Komunikasi Antarbudaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Halaman 76-100.

Beratha, Ni Luh Sutjiati, I Wayan Ardika, I Nyoman Dhana. Dari Tatapan Mata ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman: Studi tentang Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina. Denpasar: Udayana University Press.

312 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berry, J.W. (ed.). Psikologi Lintas Budaya. : Riset dan Aplikasi (Edi Suharsono, penerjemah). Jhakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Dayakisni, T. dan S. Yuniardi, 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang : Universitas Muhamaddiyah Press.

Brian Fay ,2002. Filsafat Ilmu SosialKontemporer. Yogyakarta, Penerbit Jendela.

Budianta, M., 2003. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural : Sebuah Gambaran Umum”, dalam Burhanuddin (ed.) Mencari Akar Kultural Sivil Society di Indonesia. Jakarta : INVIS. Halaman 88-101.

Burhanuddin, 2003. “Pendahuluan”, dalam Burhanuddin (ed.), Mencari Akar Kultural Sivil Society di Indonesia. Jakarta : INVIS. Halaman 85-87.

Dayakisni, T. dan S. Yuniardi, 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang : Universitas Muhamaddiyah Press.

Fukuyama, F. 2002. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. (Ruslani, penerjemah). Yogyakarta : CV Qalam.

Hadi, dkk, 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik, dan Dinamika Lokal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Leliweri, A. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta : LkiS.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern : Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.

Mandowen, W. 2006. “Papua Barat dan Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri : Sebuah Tantangan Hak Asasi Manusia”, dalam Theodore Ratgeber (ed.), Hak-hak Sosia, Ekonomi, dan Budaya di Papua Kerangka Hukum dan Politik untuk Dialog. Jakarta Pustaka Sinar Harapan.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman, 1992. Analisis data Kualitatif Buku Sumber tentang metode-metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok : Komunitas Bambu.

Popper, KR. 2002. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya (Usair Pausan, penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pringle, R. 2004. A Short History of Bali. Crows Nest : Allen and Unwin.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 313 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Shastri, S.Y dan Y.S. Shastri. 2005. ”Ahimsa dan Kesatuan Segala Sesuatu Pandangan Hindu tentang Antikekerasan”. Dalam D.L Smith-Christopher (ed.) Lebih Tajam dari Pedang Refleksi Agama-Agama tentang Paradoks Kekerasan. Diterjermahkan oleh A Widyamartaya. Yogyakarta : Kanisius.

Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Orang Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta : ISAI.

Suparlan, Parsudi. 2006.Perspektif Baru Masyarakat Multikultural dan Posisi Warga Keturunan Cina di Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional Sinologi, diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Muhamadiyah Malang, 3-4 Maret 2006.

Susanto, Astrid S.1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : Binacipta.

Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi : Pengantar kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra.

Taylor, Steven dan Bogdan Robet, 1984.Introduction to Qualitative Research Methods. New York, John Wiley & Sons.

Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. (Haqqul Yaqin, penerjemah). Yogyakarta : IRCiSoD.

Vasanty, Puspa. 1984. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indoinesia. Jakartas : Penerbit Djambatan. Halaman 346-366.

Wirata, I Ketut, 2000. Integrasi Orang Tionghoa di Desa Adat Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Tesis Magister (S2) Program Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Zolner, S. 2006. “Budaya Papua dalam Transisi : Ancaman Akibat Modernisasi- Jawanisasi dan Diskriminasi”, dalam, T. Rathgeber (ed.), Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua barat. Jakarta : Sinar Harapan.

STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG DALAM MERESPON PUJIAN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected], [email protected]

Abstrak

Pujian merupakan salah satu bagian dari komunikasi sehari-hari yang digunakan untuk mempererat hubungan antar anggota masyarakat di Indonesia maupun Jepang. Hubungan antar individu maupun kelompok tersebut sangat penting untuk menjaga keakraban itu sendiri. Respon terhadap pujian merupakan salah satu topik dalam bidang pragmatik dan sosiolinguistik yang cukup menarik untuk diteliti. Dalam memberikan respon terhadap pujian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti: konteks tuturan, usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan status sosial. Di samping itu pula, latar belakang pembelajaran bahasa asing juga sangat mempengaruhi sikap-sikap penutur dalam merespon pujian. Berdasarkan fenomena tersebut, maka diadakan penelitian mengenai strategi merespon pujian dan pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa Jepang pada mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, mahasiswa non pembelajar bahasa Jepang (penutur asli bahasa Indonesia), dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang.

Kata kunci: pujian, respon terhadap pujian, lintas budaya

PENDAHULUAN Jepang merupakan salah satu negara yang masyarakatnya masih menjunjung nilai-nilai budaya dan sosial yang cukup kuat. Salah satunya adalah nilai-nilai sosial untuk menjaga hubungan dengan sesama anggota masyarakatnya itu sendiri. Mulai dari komunitas terkecil seperti keluarga atau tetangga, hingga komunitas lebih besar seperti teman satu universitas atau teman satu perusahaan. Untuk memelihara hubungan baik antara anggota masyarakat tersebut maka diciptakan berbagai upaya kontak sosial yang dapat diterima dalam nilai budaya dan sosial masyarakat Jepang. Salah satunya adalah penggunaan pujian. Pujian merupakan suatu ujaran yang diucapkan seseorang mengenai kelebihan atau keistimewaan lawan tuturnya (Homma &Yukawa, 2008:16).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 314 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 315 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Namun, pujian tersebut pada akhirnya tidak hanya terbatas pada kelebihan ataupun keistimewaan lawan tutur saja, melainkan juga mengenai barang-barang atau apapun yang dimiliki oleh lawan tutur. Homma dan Yukawa juga menyatakan bahwa pujian diperlukan untuk meningkatkan motivasi seseorang, selain juga untuk menjaga hubungan baik. Yang dimaksudkan dengan menjaga hubungan baik adalah lawan tutur yang menerima pujian akan senang mendengarnya dan penutur dianggap mengakui keberadaan lawan tuturnya. Melalui situasi tersebut, secara otomatis hubungan antara penutur dan lawan tutur akan tetap terjaga. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jepang yang berupa pujian dalam bahasa Jepang cukup bervariasi adanya. Beberapa diantaranya merupakan pujian dalam bentuk salam seperti: arigatou ‘terima kasih’, otsukaresamadeshita ‘terima kasih atas kerja kerasmu’ dan lain sebagainya. Contoh lain yang dapat disebut sebagai ungkapan pujian adalah kyou mo kirei desu ne ‘hari ini pun kamu cantik ya’ dengan konteks situasi bahwa penutur memandang lawan tutur selalu tampil cantik setiap harinya. Ungkapan-ungkapan pujian ini juga akan menimbulkan berbagai respon pujian dari lawan tutur. Respon pujian pun beragam adanya, seperti misalnya berupa respon penerimaan, penolakan, penghindaran, pujian terbalik, dan lain sebagainya. Beragamnya respon pujian yang dapat muncul dalam tuturan seseorang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Strategi dan pengaruh penggunaan respon pujian tertentu dapat diteliti pula dari latar belakang peserta tutur. Latar belakang peserta tutur yang dimaksud adalah diantaranya jarak kedekatan hubungan antar peserta tutur, posisi peserta tutur, gender, dan usia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk menganalisis strategi yang digunakan mahasiswa pembelajar bahasa Jepang dalam merespon pujian dibandingkan dengan mahasiswa bukan pembelajar bahasa Jepang dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang. Selain itu, penelitian ini juga membahas pengaruh pembelajaran bahasa dan budaya Jepang terhadap penggunaan respon pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang.

316 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

METODOLOGI Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, mahasiswa bukan pembelajar bahasa Jepang (penutur asli bahasa Indonesia), dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan taksonomi Herbert (1990) mengenai respon pujian, serta teori fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Leech (1997:51-52). Leech mengklasifikasikan fungsi bahasa dalam lima kelompok yaitu: fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetis dan fatik. Fungsi fatik berorientasi untuk memelihara hubungan yang baik dalam kelompok masyarakat atau sosial. Penggunaan pujian merupakan salah satu bagian dari fungsi fatik tersebut.

PEMBAHASAN Strategi yang Digunakan Mahasiswa Pembelajar Bahasa Jepang dalam Merespon Pujian Klasifikasi mengenai respon pujian diklasifikasikan oleh Herbert (1990) diuraikan sebagai berikut. (1) Appreciation Token merupakan kategori respon yang menunjukkan penerimaan atas pujian yang diberikan. Respon pujian tersebut dapat berupa respon verbal maupun nonverbal. (2) Comment Acceptance merupakan kategori respon yang ditunjukkan penutur dengan menerima pujian yang diberikan serta memberikan komentar akan pujian tersebut. (3) Praise Upgrade merupakan kategori respon yang ditunjukkan penutur dengan menyetujui respon pujian yang diterima serta menambahkan komentar bahwa pujian yang ditujukan terhadap penutur memang sewajarnya diterima. (4) Common History merupakan respon pujian yang digunakan penutur untuk mengalihkan pujian terhadap sesuatu dengan menceritakan kisah dari sesuatu yang dipuji tersebut.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 317 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(5) Re-assigment merupakan respon pujian yang diterima oleh penutur, namun kemudian dialihkan pada orang ketiga untuk menghindari pujian lebih lanjut. (6) Return merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara menerima pujian yang diterima, lalu balik memuji lawan tuturnya dengan cara memuji yang sama. (7) Scale down merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara menolak pujian yang diterima disertai komentar untuk merendahkan diri (bahwa tidak pantas menerima pujian). (8) Question merupakan respon pujian dengan cara mengkonfirmasi kembali kebenaran pujian yang diterima. (9) Disagreement merupakan respon pujian yang diterima dengan cara menolak pujian disertai dengan komentar yang menunjukkan bahwa pujian tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. (10) Qualification merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara menolak pujian dengan menggunakan pengecualian. (11) Non-acknowlegment (silence) merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara diam tanpa memberikan respon baik secara verbal maupun nonverbal. (12) Request interpretation merupakan respon pujian yang digunakan penutur dengan cara menganggap bentuk pujian yang diterima merupakan sebuah permintaan.

Berikut merupakan delapan pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk memperoleh strategi respon pujian yang digunakan. Tabel 1 Pertanyaan dalam Kuesioner Respon Pujian Respon Pujian Respon Pembelajar Non Pembelajar Pujian Bahasa Jepang Bahasa Jepang Penutur Asli Bahasa Jepang

318 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Anda menggunakan tas baru. Yupss! Ah, enggak kok! Iya, iya! Kemudian, Anda bertemu Ya iyalah! Keren, Udah lama, kok! Arigatou! dengan teman sekelas dan kan? Gak branded! Demo memuji tas baru yang Anda Ah, enggak juga! daibu mae kenakan serta berkata, “Wuih, Hadiah kok! Mana katta yo! tas baru ya? Branded lagi! bisa kubeli? Kekko furui Wow!”. yo!

Setelah melakukan presentasi Makasi, tapi masih Ah, enggak biasa Sou demo dalam sebuah mata kuliah, teman berantakan! saja! nai yo! sekelas Anda mengomentari Aku gugup Aduh, aku kurang Chigau, penampilan Anda dengan banget! persiapan! chigau! berkata, “Hebat, presentasimu!” Gak mungkin Aku gak belajar Sonna koto sebagus kamu! kemarin! nai yo! Ya, lumayanlah! Bagusan kamu Iya, iya! lagi! Motto benkyou shinai to ne! Iya, iya arigatou! Hontou? Iya, demo sore wa Nihongo Indonesiago dakara yo! Seorang teman mengomentari Makasi! Kamu ada-ada aja! Sou demo penampilan baru Anda yang Masa sih? Ngejek ya? nai yo! mengenakan kacamata minus Yang bener? Mumpung ada Chigau, dengan berkata,”Kacamatamu diskon lho di toko chigau! baru, ya? Tambah cantik! Kayak X... Sonna koto dokter!”. nai yo! Joudan desho! Setelah beberapa lama tidak Bener ? Enggak, lagi stres Iya, iya! bertemu dengan teman sekelas Udah kelihatan mau ujian nih! Futtoteru karena liburan kampus, seorang (hasilnya) ya? Langsingan kamu yo, teman mengomentari Makasi! Perlu 2 deh! aikawarazu! penampilan Anda yang berbeda bulanan untuk ini! Kamu juga! dan berkata,”Kamu tambah Berapa kilo langsing! Tambah cantik! Kamu turunnya? diet ya?”

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 319 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Seorang teman memberikan Gak nyangka sih! Ah, enggak! Chigau, ucapan selamat karena Anda Kamu juga bisa Kebetulan aja! chigau! berhasil lulus dalam ujian kok! Lagi beruntung Sonna koto kemampuan berbahasa Jepang Nilainya masih aja! nai yo! level 2 yang sebenarnya cukup pas-pasan! Gak nyangka juga Iya, iya! sulit untuk dicapai. Teman Anda sih! Giri giri berkata,”Selamat ya! Kamu datta yo! hebat sekali bisa lulus level 2! Gimana caranya belajar? Bagi- bagi ilmu, dong?”. (Untuk pembelajar bahasa Jepang) Seorang teman memberikan ucapan selamat karena Anda berhasil lulus dalam ujian kemampuan berbahasa Inggris yang sebenarnya cukup sulit untuk dicapai. Teman Anda berkata,”Selamat ya! Kamu hebat sekali bisa lulus level advanced! Gimana caranya belajar? Bagi-bagi ilmu, dong?”. (Untuk pembelajar non bahasa Jepang dan penutur asli bahasa Jepang) Dalam mata kuliah menulis Mau kuajarin? Lama banget aku Sou demo (hyouki), Anda dipuji oleh Iya dong! nulisnya! nai yo! seorang teman karena melihat Keren kan? Banyak kali aku Sonna koto aksara kanji Anda lebih baik ngulang nulisnya! nai yo! darinya. Teman Anda Biasa saja kali! Iya, iya! berkata,”Kanjimu bagus banget! Lebay banget sih Keren!” kamu!

Pada awal semester, setelah lama Makasi ya! Makasi! Arigatou! tidak berjumpa dengan teman- Cocok kan? Ah, biasa aja! Sou demo teman sekelas, Anda Masa sih? Lagi nyoba salon nai yo! berpenampilan rambut baru. Bener ya? baru! Kapan- Chigau, Seorang teman Anda kapan kuajak deh chigau! mengomentari gaya rambut baru kamu ke sana Sonna koto Anda dan berkata,”Rambutmu Bohong ah! nai yo! bagus! Potong di mana?” Iya, iya!

Anda berhasil lulus dalam Makasi ya! Makasi! Arigatou! seleksi ujian bergengsi. Anda Kamu juga nanti Tapi, ke depannya Sou demo dipuji oleh teman sekelas Anda pasti bisa! gimana, aku juga nai yo! seperti ini,”Kamu hebat banget, Memang perlu jadi gugup! Chigau, bisa lulus beasiswa itu! Selamat kerja keras Kebetulan saja! chigau! ya!”. Sonna koto nai yo! Iya, iya!

320 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Strategi respon pujian yang digunakan oleh pembelajar non bahasa Jepang memenuhi klasifikasi Herbert pada jenis respon agreement (appreciation token, comment acceptance, praise upgrade, re-assigment, return), nonagreement (scale down, question, qualification) maupun other (request interpretation). Akan tetapi, pembelajar bahasa Jepang dan penutur asli bahasa Jepang merespon pujian dengan menggunakan jenis respon nonagreement (scale down & question) dan agreement (appreciation token, comment acceptance, re-assigment, return) dan other (request interpretation). Dengan demikian dapat diketahui bahwa strategi respon pujian yang digunakan pembelajar non bahasa Jepang lebih bervariasi dibandingkan respon pujian yang digunakan pembelajar bahasa Jepang maupun penutur asli bahasa Jepang. Hal ini terjadi karena salah satu konsep budaya Jepang uchi dan soto mempengaruhi pembelajar bahasa Jepang, sehingga sebagian besar tidak menerima pujian yang diterima, melainkan cenderung menolak pujian tersebut antara lain melalui strategi scale down dan question. Selain itu, mereka juga tidak menggunakan strategi prise upgrade untuk merespon pujian. Konsep uchi soto ini berkaitan dengan pembagian anggota kelompok baik dalam komunitas besar maupun kecil. Jika dalam satu komunitas (uchi), penutur asli Jepang cenderung akan lebih mampu mengekspresikan perasaannya termasuk melalui respon pujian. Akan tetapi, apabila dalam komunitas yang berbeda (soto), penutur asli Jepang cenderung lebih menutup diri terhadap lawan tutur yang bukan dalam komunitasnya. Pembedaan komunitas inilah yang melatarbelakangi para penutur asli bahasa Jepang tidak memilih strategi praise upgrade dalam merespon pujian. Pembelajaran bahasa dan budaya Jepang terhadap penggunaan respon pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang diyakini sangat berpengaruh. Hal ini disebabkan karena secara sadar maupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung, pembelajaran bahasa dan budaya Jepang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan kampus maupun luar kampus. Akan tetapi, sebagian kecil responden menyatakan bahwa pembelajar bahasa dan budaya Jepang tidak berpengaruh dalam merespon pujian. Hal ini dikarenakan responden

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 321 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 menganggap budaya Jepang dan Indonesia memiliki kemiripan dalam memuji maupun merespon pujian. Tabel 2

No Jenis Respon Strategi Respon Penutur 1 AGREEMENT Acceptance Appreciation Token Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang Comment Pembelajar Non Bahasa Acceptance Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Praise Upgrade Pembelajar Non Bahasa Jepang Common History - Transfer Re-assigment Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Return Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang 2 NONAGREEMENT Scale down Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang Question Pembelajar Non Bahasa Jepang Pembelajar Bahasa Jepang Penutur Asli Jepang Nonacceptance Disagreement - Qualification Pembelajar Non Bahasa Jepang Non- - acknowlegment (silence) 3 Other Request Pembelajar Non Bahasa interpretation Jepang Pembelajar Bahasa Jepang

Pengaruh Pembelajaran Bahasa dan Budaya Jepang terhadap Penggunaan Respon Pujian oleh Mahasiswa Pembelajar Bahasa Jepang Dalam kuesioner yang disebarkan maupun wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa pembelajaran bahasa dan budaya Jepang sangat berpengaruh terhadap respon pujian oleh mahasiswa pembelajar bahasa Jepang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

322 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

 Dalam mata kuliah kaiwa (percakapan) ada beberapa bab yang menyebabkan penutur berbicara sesuai dengan cara orang Jepang bertutur  Terbiasa menyaksikan orang Jepang bersikap merendah dan kembali memuji lawan tutur ketika menerima pujian  Budaya Jepang sangat kental akan sopan santun dan rendah hati. Cenderung tidak berbangga secara berlebihan tentang pencapaian diri sendiri kepada orang lain, kecuali orang-orang terdekat.  Di luar sadar responden menerapkan bahasa dan budaya Jepang dalam kehidupan sehari-hari Responden juga menyatakan bahwa pujian merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan kepedulian terhadap orang lain. Tingkat pujian dipengaruhi oleh faktor usia, sehingga semakin tua atau tinggi usia orang yang kita puji maka pemilihan bahasa ketika mengungkapkan pujian pun semakin halus. Oleh karena itu, respon terhadap pujian pun perlu dipertimbangkan sesuai dengan situasi. Respon pujian yang dipengaruhi pembelajaran bahasa dan budaya Jepang ini, dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang serta cara berkomunikasi. Misalnya, merespon pujian dengan keinginan lebih untuk merendahkan diri dihadapan mitra tutur serta selalu memperhatikan posisi dan perasaan lawan bicara. Sebagian kecil responden, menyatakan bahwa pembelajaran bahasa dan budaya Jepang ternyata tidak berpengaruh pada respon pujian. Responden menganggap bahwa pada dasarnya budaya Jepang dan Indonesia memiliki kemiripan dalam merespon pujian.

SIMPULAN Strategi yang digunakan mahasiswa bukan pembelajar bahasa Jepang dalam merespon pujian memiliki variasi yang lebih banyak dalam memenuhi klasifikasi Herbert (1990), dibandingkan dengan mahasiswa pembelajar bahasa Jepang dan mahasiswa penutur asli bahasa Jepang. Hal ini terjadi karena adanya konsep uchi soto dalam budaya Jepang yang masih dianut dan diterapkan dalam masyarakat Jepang dan memengaruhi sikap berbahasa pembelajar bahasa Indonesia. Konsep uchi soto tersebut juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada responden pembelajar bahasa Jepang dalam memberikan respon pujian. Hal

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 323 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ini dikarenakan, unsur budaya melalui materi kuliah mereka pahami dalam perkuliahan serta pergaulan dengan penutur asli bahasa Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Djadjasudarma,F. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco.

Daniel, Long dan Ohashi, Rie.2013.Nihongo kara Tadoru Bunka.Hosho Daigaku Kyoiku Shinkokai:Tokyo.

Hendry, Joy.1987.Understanding Japanese Society.Routledge:London and New York.

Homma, Masato&Yukawa, Kyoko.2008.Home hotoba waakubukku.PHP:Tokyo.

Homma, Masato&Yukawa, Kyoko.2013.(Keiteipan) Home hotoba waakubukku. PHP:Tokyo.

Imai, Tomoko.2009. Keigo Sura Sura Benri Cho. Tokyo: Nihon Noritsu Kyokai Manejimento Senta.

Leech, Geoffrey N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

Mizutani, Osamu & Nobuko. 1987. How To Be Polite In Japanese. Tokyo: The Japan Times.

Mahsun,M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.

Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Ratna, Nyoman Kutha.2010.Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya.Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

Sudaryanto. 1993.Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jakarta: Duta Wacana University Press.

Sibarani, Robert.2004.Antropolinguistik:Antropolinguistik.Penerbit Poda: Medan.

Suzuki, Takao.2013.Kotoba to Bunka.Iwanami:Tokyo.

Taniguchi, Yoshiko.2010.Homekata ruuru.Asuka:Tokyo.

Toda, Kumi. 2012. Zero Kara Oshiete : Sekkyaku-Setsuguu. Tokyo: Kanki Shuppan.

Yoshioka, Yasuo.2011. Komyunikeeshon no Shakai Gengogaku.Taishukan:Tokyo.

324 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

WEBSITE

Limei, Huang dan Kawamoto, Nobuyoshi. 1997.” Comparative Study on the Difference between Chinese and Japanese Greetings-In View of the Education of Japanese Language in the People’s Republic of China” dalam jurnal Nihon Taiiku Daigaku Volume 26 Nomor 2.

Ikeda, Makiko. 2008. ほめに関する研究―日本語学習者のほめの返答―dalam jurnal Studies in Language and Culture Volume 17 halaman 1-15.

Veinberg, Nadezhda. 2016. Compliments in Japanese Bussines Communication- From Japanese-Russian Point of View- dalam jurnal 日本語・日本学研究 第6号.

DAKSINA: SALAH SATU UPAKARA PENTING PADA MASA BALI KUNO YANG DIPERJUALBELIKAN PADA MASA SEKARANG (STUDI KASUS DI DESA BUDUK)

Ni Made Rustini (Manajemen) [email protected]

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi (Arkeologi) [email protected]

Abstrak

Daksina merupakan salah satu unsur penting dalam upakara atau bebantenan baik dalam tingkatan yang sederhana hingga yang rumit. Prasasti Bwahan E (1103 aka /1181 Masehi) dikeluarkan oleh Raja Jayapangus merupakan salah satu prasasti yang menyebut banten Daksina. Persembahan (banten) di kalangan masyarakat Hindu Bali pada masa lampau adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga bahan-bahan harus dibuat sendiri oleh kaum ibu atau anggota keluarga. Tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat Hindu Bali yang membeli daksina disebabkan oleh aktivitas masyarakat sehari-hari dalam bidang bisnis maupun perkantoran meningkat, sehingga tidak ada waktu untuk membuat daksina. Penelitian ini mengkaji fenomena perdagangan daksina khususnya di pasar Buduk, Kec Mengwi, Kabupaten Badung. Masyarakat cenderung membeli daksina yang banyak di jual di pasar, dengan alasan lebih praktis, lebih irit biaya, dan lebih hemat waktu. Fenomena ini dimanfaatkan oleh para pedagang daksina untuk meraup rejeki karena adanya prospek menjanjikan dan dapat menambah penghasilan keluarga.

Kata Kunci: Daksina, Jual-beli, Masa Bali Kuno, Masa Sekarang

I. Pendahuluan Secara simbolis daksina adalah sthana/linggih (tempat duduk) Ida Sang Hyang Widhi. Daksina merupakan salah satu unsur penting dalam setiap upakara atau bebantenan baik dalam tingkatan yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Daksina terdiri dari: (1) satu buah pangi yang berwarna hitam sebagai lambang petala yaitu dunia bawah yang dikuasai oleh Dewa Wisnu dan juga simbol air; (2) satu buah kelapa yang melambangkan janapada yaitu dunia tengah yang dikuasai oleh Dewa Brahma dan juga simbol api; (3) sebutir telor yang berwarna

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 325 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 326 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 putih lambang swah loka dibawah kekuasaan Iswara.; (4) sejumput beras (bija) yang merupakan lambang kemakmuran. Simbol-simbol atau pratima melambangkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud yang dibayangkan sendiri, serta dapat membawa pikiran manusia pada persatuan dengan Hyang Widhi. Oleh karena itu, maka simbol- simbol itu adalah penolong menuju ke arah penyatuan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi. Simbol-simbol tersebut memiliki makna yakni tirtha (air suci) adalah alat untuk membersihkan jiwa, api (pedupaan) merupakan saksi serta pengantar persembahan, bunga serta banten-banten lainnya adalah simbol dari sarinya bumi yang kita persembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi untuk menyampaikan kecintaan dan kebahagiaan hati serta terima kasih yang tulus dan suci. Ungkapan- ungkapan rasa bakti kepada Tuhan dan segala manifestasinya serta para leluhur pada masyarakat Bali Kuno abad IX-XIV Masehi telah melahirkan berbagai bentuk persembahan atau bebantenan sebagai wujud rasa bakti. Bebantenan merupakan bentuk jamak dari kata banten yaitu salah satu bentuk yantra (simbol-simbol yang penuh arti). Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno disebut dengan istilah mahabanten (saji-sajian besar) terutama pada masa pemerintahan Raja Jayapangus. Banten memiliki arti yang demikian dalam dan universal namun di sisi lain wujud banten sangat lokal. Ada beberapa nama banten yang ditemukan dalam prasasti-prasasti masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi salah satunya adalah Daksina. Daksina di kalangan masyarakat Hindu Bali pada masa lampau adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga bahan-bahan harus dibuat sendiri oleh kaum ibu atau anggota keluarga. Tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat Hindu Bali yang membeli daksina disebabkan oleh aktivitas masyarakat sehari-hari dalam bidang bisnis maupun perkantoran meningkat, sehingga tidak ada waktu untuk membuat daksina. Penelitian ini mengkaji tentang awal mula keberadaan banten daksina di desa Buduk dan fenomena perdagangan daksina khususnya di pasar Buduk, Kec Mengwi, Kabupaten Badung.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 327 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

II. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data primer bersumber dari prasasti disamping diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan interview terhadap responden. Prasasti yang dimaksud adalah prasasti Dalung yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus Arkaja Cihna. Responden adalah wanita pedagang daksina di pasar Buduk. Teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur yang memuat daftar pertanyaan sesuai dengan data yang diinginkan. Objek penelitian ini antara lain aktivitas ekonomi dan karakteristik pedagang daksina di pasar Buduk, kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina di pasar Buduk, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang daksina di pasar Buduk, dan kontribusi pedagang daksina dalam perekonomian rumah tangga mereka. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a) variabel karakteristik pedagang daksina di pasar Buduk, meliputi daerah asal, umur, tingkat pendidikan, status, jumlah anggota keluarga di rumah, jumlah saudara lain yang tinggal satu rumah, jarak rumah dengan pasar Buduk, pekerjaan suami/istri. b) variabel aktivitas pedagang daksina di pasar Buduk, meliputi lama berjualan, mulai berjualan, pembatasan waktu dan tempat berjualan, biaya lokasi berjualan, aturan dan tata tertib berjualan, tingkat kebersihan, model berjualan, proses pembuatan daksina, bahan baku membuat daksina ketika hari biasa/hari rerahinan/hari raya, penentuan harga, cara berjualan daksina. c) variabel tingkat kelayakan pendapatan pedagang daksina yang meliputi modal awal ketika hari biasa / hari rerahinan / hari raya, pendapatan berdagang daksina, jumlah daksina yang dibuat, harga satu soroh daksina, jumlah daksina yang laku terjual, laba penjualan daksina, pendapatan keseluruhan anggota keluarga, kerugian yang ditanggung, yang dilakukan untuk menutup kerugian. d) variabel faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang daksina di Pasar Buduk meliputi lokasi berjualan strategis, tingkat keamanan tinggi, aturan dan tata tertib jelas, tegas, peluang usaha besar, ketegasan pengelola pasar, dekat dengan tempat tinggal, meneruskan usaha keluarga, mengikuti teman, tidak ada pilihan pekerjaan lain, laba penjualan besar, modal usaha sedikit, minimnya

328 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

pungutan liar, penataan lokasi berjualan adil, mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. e) variabel kontribusi pendapatan berdagang daksina meliputi ada/tidaknya perbedaan laba berjualan daksina pada hari biasa dibandingkan hari rahinan/hari raya, kecukupan laba dari berjualan untuk konsumsi rumah tangga, tingkat konsumsi rata-rata keluarga per bulan, kepemilikan tabungan dari hasil berjualan daksina, jangka waktu peminjaman uang, intensitas peminjaman uang, aktivitas lain untuk memenuhi pendapatan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis prasasti di samping teknik analisis statistik deskriptif, yaitu salah satu bentuk analisis kegiatan dengan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Mengelompokkan atau memisahkan komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data. Pengaturan, pengurutan, sehingga memberikan informasi deskriptif yang akan menjawab pertanyaan- pertanyaan dalam definisi masalah (Kuncoro, 2003:172).

III. Pembahasan Keterangan mengenai persembahan (lebih dikenal dengan istilah banten oleh masyarakat Bali pada masa sekarang) yang paling sederhana ditemukan di dalam Kitab Bhagawadgita, dengan kutipan sebagai berikut. “patram pushpam phalam toyam yo me bhaktya prayacchatitadaham bhakty upahritam ashnami prayatatmanah “ (Bhagawadgita IX 26). Artinya: siapapun yang sujud kepadaku dengan mempersembahkan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, akan aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci. Berdasarkan kutipan tersebut, maka ketulusan hatilah yang menjadi sumber keberhasilan suatu persembahan atau yadnya (korban suci). Demikian juga di dalam Kitab Manu Smerti diperoleh kutip sebagai berikut, ”nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhih” (Manawa Dharmasastra III.97). Artinya : persembahan kepada Dewa dan leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peraturannya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohannya memberikan bagiannya kepada brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 329 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan kutipan sloka tersebut dinyatakan bahwa seseorang yang hendak membuat suatu yadnya ataupun persembahan, maka tujuan dan maknanya wajib diketahui. Jika tidak diketahui, maka yadnya tersebut menjadi sia-sia dan tentunya tanpa pahala. Di dalam lontar Yadnya Prakerti “banten” disebutkan sebagai bahasa agama dalam bentuk simbol. Kutipannya sebagai berikut. “sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning ida bhatara, pinaka andha buwana,…sekare pinaka kasucian katulusan kayunta mayadnya, reringgitan tatuwasan pinaka kelanggengan kayunta mayadnya, raka-raka pinaka widyadhara widyadhari”

Artinya :

‘semua banten lambang diri kita (manusia), lambang kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta’…‘bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan yadnya, reringgitan tetuasan (ukir-ukiran pada banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan yadnya, raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuwan-ilmuwan sorga’.

Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan yang dijadikan rakan banten, disebut dalam lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang widyadhara widyadari. Kata widya berarti ilmu pengetahuan dan dhara artinya merangkul, sehingga widyadhara artinya mereka yang mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu pengetahuan diwujudkan dalam perbuatan nyata, artinya buah-buahan dan berbagai jenis jajan dihasilkan sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya buah hasil kebun sendiri atau hasil kreasi sendiri. Itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten. Banten bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan, tetapi merupakan simbol yang mona (diam) sama dengan aksara.

2.1 Daksina Sebagai Salah Satu Upakara Penting Pada Masa Bali Kuno Prasasti Dalung (1103 aka/1181 Masehi) merupakan salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus menyebut Daksina, seperti tertulis pada lempeng IVb baris 1-2 sebagai berikut. ”mangkana yan hana wastwasambhawotpata ti thāninya, kna ya carwa prayacitta nekadewasa rahina wengi dakṣina ma 1,” (Machi Suhadi,1979:137)

Artinya:

330 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hendaknya apabila ada waswasambhawotpata di desanya, mereka dikenakan upakara caru prayascitta (upacara/saji-sajian penyucian) sehari penuh yaitu siang- malam, daksina (seharga) 1 masaka.

Keterangan tentang upakara daksina juga ditemukan di dalam prasasti- prasasti lain yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus salah satunya prasasti Bwahan E (1103 aka /1181 Masehi) seperti yang tertulis pada lempeng IVb baris 4-5 sebagai berikut. ”lāwan yan hana wastwasambhawotpata ti thāninya maweha ya patikêl tanah mā 1 yan ahala puharanya, manghanakna ya caru prayacitta ekadiwaa rahina wngi, tan kna dakṣina mwang matan hyang, tan kna sakwaih sajisaji saprakara” (Callenfels,1926:40)

Artinya:

Dan apabila ada waswasambhawotpata di desanya, supaya mereka memberikan patikel tanah 1 masaka, apabila buruk akibatnya, supaya mereka mengadakan caru prayascitta (upacara/saji-sajian penyucian) sehari penuh yaitu siang-malam, tidak kena daksina dan matan hyang, tidak kena segala saji-sajian selengkapnya.

Keterangan di dalam prasasti tersebut menunjukan bahwa daksina adalah salah satu bentuk persembahan atau banten pada masyarakat Bali Kuno khususnya abad IX-XIV Masehi selain banten caru dan prayacitta. Desa Buduk merupakan salah satu desa dari puluhan hunian kuno yang terdapat di Bumi Banten (Bali). Pada tahun Saka 1103 (1181 Masehi) Raja Jayapangus menetapkan desa Buduk dan Munggu menjadi satu karaman (desa pakraman). Pada waktu itu. Sebagian besar wilayah desa pakraman Buduk diduga tertutup hutan terutama dari jenis hutan enau (hduk) dan berada di bawah pengawasan hulu kayu dan caksu hduk.

2.2 Aktivitas Jual Beli Daksina di Pasar Buduk Pada Masa Sekarang Aktivitas jual beli daksina di pasar Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung sangat sulit ditelusuri awal mula nya. Walaupun demikian berdasarkan hasil analisis karakteristik pedagang daksina di pasar Buduk pada masa sekarang, maka dapat diketahui hal-hal sebagai berikut. Berdasarkan pada 30 responden yang hingga sekarang berjualan daksina di pasar Buduk, maka dapat diketahui bahwa daerah asal pedagang daksina tersebut 25 orang berasal dari Desa Buduk dan 5 orang berasal dari luar desa Buduk. Menurut jenis kelamin perempuan sebanyak 28 responden dan laki-laki 2 responden. Menurut umur, pedagang yang memiliki usia

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 331 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 antara 15-35 tahun sebanyak 10 responden dan lebih dari 35 tahun sebanyak 20 responden. Menurut tingkat pendidikan tidak tamat SD sebanyak 5 responden, tamat SMP sebanyak 17 responden, tamat SMU sebanyak 8 responden. Menurut status perkawinan belum menikah sebanyak 2 responden, menikah sebanyak 28 responden. Menurut jumlah anggota keluarga kurang dari 5 orang sebanyak 15 responden, jumlah anggota keluarga 5 – 10 orang sebanyak 15 responden. Menurut jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk kurang dari 500 meter sebanyak 10 orang, jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk kurang dari 1000 meter sebanyak 12 orang, jarak tempuh ke lokasi berjualan ke pasar Buduk lebih dari 1000 meter sebanyak 8 orang. Menurut pasangan yang bekerja, responden sebanyak 25 orang mengatakan pasangan hidupnya bekerja sedangkan 5 responden mengatakan tidak bekerja. Hasil analisis aktivitas ekonomi pedagang daksina di pasar Buduk berdasarkan 30 responden, menurut lama berjualan menunjukkan bahwa responden sebanyak 15 orang mengatakan berjualan kurang dari 5 tahun, responden sebanyak 10 orang mengatakan berjualan selama 5-10 tahun dan responden sebanyak 5 orang mengatakan berjualan selama lebih dari 10 tahun. Menurut waktu mulainya berjualan, responden sebanyak 30 orang mengatakan berjualan hanya di pagi hari. Menurut dikenakannya biaya lokasi berjualan sebanyak 30 orang responden mengatakan dikenakan biaya selama berjualan daksina. Menurut aturan dan tata tertib berjualan di pasar Buduk sebanyak 30 orang responden mengatakan ada aturan dan tata tertib. Menurut lokasi berjualan, responden sebanyak 30 orang mengatakan lokasi berjualan diatur oleh petugas. Menurut tingkat kebersihan lokasi berjualan sebanyak 30 orang responden mengatakan menjaga kebersihan. Menurut tipe berjualan sebanyak 10 orang responden mengatakan tipe berjualan dengan cara sendiri, 7 orang responden mengatakan tipe berjualan ditemani suami/istri, 13 orang responden mengatakan tipe berjualan ditemani anak kandung. Menurut proses pembuatan daksina, 16 orang responden mengatakan proses pembuatan daksina membuat sendiri, 14 orang responden mengatakan proses pembuatan daksina membuat sendiri serta dibantu oleh orang lain. Menurut bahan baku membuat daksina pada hari biasa sebanyak 30 orang responden mengatakan ketersediaan bahan baku untuk membuat daksina jumlahnya sedikit. Pada hari

332 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 rerahinan sebanyak 30 orang responden mengatakan ketersediaan bahan baku untuk membuat daksina jumlahnya banyak, dan pada hari raya sebanyak 30 orang responden mengatakan ketersediaan bahan baku untuk membuat daksina pada hari raya jumlahnya banyak. Menurut tipe berjualan daksina, sebanyak 16 orang responden mengatakan tidak memiliki langganan saat menjual daksina dan 14 orang responden mengatakan memiliki langganan saat menjual daksina. Menurut penentuan harga jual daksina, sebanyak 14 orang responden mengatakan penentuan harga jual daksina ditentukan dan 16 orang responden mengatakan penentuan harga jual daksina menentukan sendiri. Menurut biaya berjualan daksina sebanyak 17 orang responden mengatakan biaya mereka berjualan daksina kurang dari Rp 20.000,- dan 13 orang responden mengatakan biaya berjualan daksina antara Rp20.000,- sampai dengan Rp25.000,- Hasil analisis kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina. Menurut modal awal yang dikeluarkan pedagang daksina untuk berjualan di pasar Buduk pada hari biasa sebanyak 20 orang responden mengatakan Rp100.000, sebanyak 10 orang responden mengatakan antara Rp100.000,-Rp150.000,. Pada hari rerahinan, sebanyak 15 orang responden mengatakan modal awal antara Rp100.000,- Rp300.000, dan 15 orang responden mengatakan antara Rp250.000,-Rp500.000,- Pada hari raya 25 orang responden mengatakan antara Rp250.000,-Rp500.000, dan 5 orang responden mengatakan lebih dari Rp500.000,-. Pendapatan responden ketika berjualan daksina pada hari raya sebanyak 12 orang responden mengatakan berkisar antara Rp100.000,- sampai Rp500.000,- dan 18 orang responden mengatakan lebih dari Rp500.000,-.Jumlah daksina yang dijual oleh responden pada hari biasa sebanyak 10 orang responden mengatakan 10 dan 20 orang responden mengatakan lebih dari 10. Jumlah daksina yang dijual oleh responden pada hari rahinan sebanyak 12 orang responden mengatakan kurang dari 30 daksina, 18 orang responden mengatakan jumlah daksina yang dijual pada hari rerahinan berkisar antara 30-50 daksina dan 12 orang responden mengatakan lebih dari 50 daksina. Jumlah daksina yang dijual pada hari raya sebanyak 10 orang responden mengatakan kurang dari 50 daksina, 16 orang responden mengatakan menjual daksina pada hari raya berkisar antara 50-75 daksina dan 4 orang responden mengatakan menjual daksina pada hari raya lebih dari 75 daksina.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 333 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Harga daksina yang dijual 30 orang responden pada hari biasa Rp 30.000,- pada hari rerahinan sebanyak 30 orang responden mengatakan Rp40.000,- pada hari raya sebanyak 30 orang responden mengatakan antara Rp40.000,- – Rp50.000,- . Laba penjualan yang diterima 30 responden ketika hari biasa kurang dari Rp50.000,-, ketika hari rerahinan Rp kurang dari Rp100.000,- dan ketika hari raya antara Rp100.000,- Rp500.000,- Hasil analisis perangkingan alasan pedagang daksina memilih berjualan di pasar Buduk secara berurutan yaitu lokasi berjualan strategis, modal usaha sedikit, tidak ada pilihan pekerjaan lain, tingkat keamanan tinggi, meneruskan usaha keluarga, ketegasan pengelola pasar, dekat dengan tempat tinggal, aturan dan tata tertib jelas, mengikuti teman. Laba berjualan daksina untuk konsumsi sebanyak 18 orang responden mengatakan cukup, 12 orang responden mengatakan kurang. Tingkat konsumsi rata-rata yang dikeluarkan responden sebanyak 8 orang mengatakan tinggi, 12 orang responden mengatakan sedang dan 10 orang responden mengatakan rendah. Persentase pendapatan untuk kebutuhan sebanyak 10 orang responden mengatakan kurang dari 50%, 12 orang responden mengatakan 50% dan 8 orang responden mengatakan lebih dari 50%. Kepemilikan tabungan dari pendapatan berjualan daksina sebanyak 6 orang responden mengatakan tidak terpenuhi, 13 orang responden mengatakan terpenuhi dan 11 orang responden mengatakan kurang terpenuhi. Alternatif memenuhi kebutuhan sebanyak 7 orang responden meminjam dari keluarga, 11 orang responden mengatakan pinjam teman, 12 orang responden mengatakan pinjam koperasi.

IV. Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Istilah daksina sebagai salah satu upakara/banten penting pada masa Bali Kuno khususnya oleh masyarakat Buduk telah diketahui sejak tahun 1103 aka (1181 Masehi) berdasarkan keterangan yang termuat di dalam Prasasti Dalung yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus. 2. Hasil analisis karakteristik responden menunjukan bahwa daerah asal pedagang daksina mayoritas dari Desa Buduk, jenis kelamin mayoritas perempuan, umur pedagang antara 15-35 tahun, tingkat pendidikan tamat SMP, status menikah,

334 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

jumlah anggota keluarga kurang dari 5 orang. Jarak tempuh ke lokasi berjualan di pasar Buduk lebih dari 1000 meter, mayoritas pedagang daksina memiliki pasangan yang bekerja. 3. Hasil analisis aktivitas ekonomi pedagang daksina di pasar Buduk berjualan kurang dari 5 tahun, waktu berjualan pada pagi hari, dikenakan biaya, ada aturan dan tata tertib berjualan, proses pembuatan daksina dengan cara membuat sendiri, harga daksina yang mereka jual di pasar Buduk ditentukan, cara berjulaan daksina dengan cara sendiri. 4. Hasil analisis kelayakan tingkat pendapatan pedagang daksina: modal awal antara Rp 100.000,- - Rp500.000,-, dengan jumlah daksina 50-75 daksina pendapatan kurang dari Rp 100.000,- pada hari biasa sedangkan pada hari rerahinan dan hari raya bisa diperoleh pendapatan antara Rp100.000,- - Rp500.000,-, konsumsi kebutuhan pokok rata-rata keluarga per bulan antara Rp250.000,- sampai dengan lebih dari Rp500.000,-, laba penjualan pada hari biasa Rp50.000,-, pada hari rerahinan dan hari raya lebih dari Rp50.000,-, laba rata-rata berdagang daksina mulai dari Rp100.000,- sampai dengan lebih dari Rp500.000,-, pendapatan seluruh anggota keluarga mulai dari Rp300.000,- sampai dengan lebih dari Rp500.000,-, kerugian yang ditanggung pedagang daksina pada hari biasa dan hari rerahinan kurang dari Rp50.000,-, pada hari raya kadang tidak mengalami kerugian namun kadang kurang dari Rp50.000,-, cara menutup kerugian dengan mengurangi jumlah daksina yang dijual. 5. Hasil analisis perangkingan alasan pedagang daksina memilih berjualan di pasar Buduk paling utama adalah lokasi berjualan strategis dan dekat dari rumah. 6. Hasil analisis kontribusi pedagang daksina dalam perekonomian rumah tangga mengatakan bahwa tidak ada perbedaan laba dari berjualan daksina pada hari biasa jika dibandingkan dengan pada hari rerahinan/hari raya, laba yang diperoleh cukup untuk konsumsi rumah tangga dengan tingkat konsumsi rata- rata sedang, sebesar 50% mengatakan pendapatan berjualan daksina untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga namun demikian para pedagang daksina di Pasar Buduk bisa memiliki tabungan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 335 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

7. Masyarakat cenderung membeli daksina yang banyak di jual di pasar, dengan alasan lebih praktis, lebih irit biaya dan lebih hemat waktu. Fenomena ini dimanfaatkan para pedagang daksina untuk meraup rejeki karena adanya prospek menjanjikan dan dapat menambah penghasilan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Callenfels, P.V. van Stein. 1926. “Epigraphia Balica I”. VBG. LXVI Dirde Stuk, G. Kolff & Co.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2004. Himpunan Prasasti-Prasasti Bali Masa Pemerintahan Raja Jayapangus. Denpasar.

Dwiyanto, Djoko. 1993 “Metode Penelitian Epigrafi dalam Arkeologi” Artefak No. 13 Yogyakarta : Bulletin Himpunan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada.

Mankiw, N.G. (2001) Pengantar Ekonomi, Jilid 2, Erlangga Jakarta

Meydianawathi, L.G. (2009) Analisis Tingkat Pendapatan Buruh Junjung Perempuan Di Pasar Badung Denpasar, Laporan Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Nilakusmawati, D.P.E. (2007) “Berdagang Canang Sari (Sebagai Alternatif Usaha Di Sektor Informal Dalam Mengatasi Keterdesakan Ekonomi Rumah Tangga)”, Piramida Jurnal Kependudukan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Volume 3 Nomor 2 Desember 2007, Universitas Udayana

Sardiana, I.K. (2004) “Studi Penggunaan Tanaman Dalam Ritual (Upakara) Umat Hindu Di Bali”, Dinamika Kebudayaan Volume VI Nomor 2 2004, Universitas Udayana

Suatini, I.A. dan Kompiang Oka, S.A.A. (2007) ”Sistem Informasi Bebantenan Ditinjau Dari Jenis-Jenis Banten dan Perlengkapannya”, Jurnal Teknologi Elektro Universitas Udayana, Vol. 6 No. 3, Juli-Desember 2007

KECANTIKAN PEREMPUAN BALI: SUATU SIMBOLISASI

Ni Made Wiasti

Abstrak

Citra kecantikan seringkali dibangun dalam bentuk perumpamaan- perumpamaan dengan meminjam citra kebendaan alam yang telah dimuliakan dalam bentuk mitos-mitos dan bahasa. Kondisi semacam ini tampaknya merupakan ciri umum dari masyarakat Indonesia, termasuk budaya Bali yang memiliki kebiasaan berfikir secara simbolis. Pada budaya Bali, konsep tentang kecantikan tubuh perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lonta-lontar, dan ceritera-ceritera rakyat yang hidup dalam tradisi lisan. Dalam ritual atau upacara keagamaan, terutama pada upacara lingkaran hidup (life cycle), sangat banyak ditemukan penggunaan simbol-simbol yang mengacu kepada definisi tubuh dan kecantikan. Pada rangkaian upacara Nyiramang Layon (memandikan mayat) misalnya, terdapat prosesi yang menggunakan material atau bahan-bahan dan mantera-mantera, atau upacara potong gigi (metatah), yang secara simbolik merupakan bentuk dan harapan supaya arwah yang meninggal saat reinkarnasi nanti memiliki organ tubuh yang lengkap dan sempurna. Sumber-sumber lain seperti ceritera-ceritera rakyat (mitos), juga berperan dalam pembentukan kesan melalui karakter tokoh utama perempuan yang mempunyai citra cantik. Ceritera Ramayana dalam versi Bali misalnya, sangat mengagungkan kesempurnaan kecantikan Dewi Sita, ceritera Arjuna Wiwaha begitu menjunjung kecantikan Dewi Supraba, demikian pula ceritera Rajapala sangat menonjolkan kecantikan seorang bidadari yang bernama Ken Sulasih. Begitu juga dalam drama tari Arja, yang selalu mengoposisikan nilai baik dan buruk, dengan tokoh putri (perempuan) sebagai salah satu tokoh sentral selalu memberikan kesan bahwa putri yang baik adalah puteri yang cantik dan berkarakter atau berkepribadian baik, sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat dicitrakan berwajah buruk. Dalam drama tari Arja ini selalu mengambil pengibaratan pada mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai simbol kecantikan tokoh puteri. Kecantikan perempuan, sebagai bagian dari system budaya Bali, sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya nilai estetika yang mengandung unsur etika dan logika.

Kata Kunci: kecantikan, perempuan Bali, dan simbolisasi

I. Latar Belakang Keragaman yang ada dalam suatu budaya, seperti mata pencaharian, pola hidup dan aspek-aspek budaya lainnya, termasuk budaya fisik sampai pada ideologi masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor alam atau lingkungan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah strategi manusia di dalam melakukan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 336 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 337 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 adaptasi terhadap lingkungan mereka. Dengan kondisi akam yang berbeda-beda, maka sangat potensial bagi terbentuknya keanekaragaman budaya masyarakat yang menempatinya. Karenyanya, menurut Poerwanto (2000), kebudayaan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat komunitas masyarakat itu berada. Keadaan geografis, iklim, potensi alam dan tantangan- tantangan alam sangat menentukan wujud kebudayaan. Konsep-konsep tentang keindahan yang dianut, menjadi berbeda antara satu masyarakat yang mendiami suatu daerah dengan masyarakat lain yang berada di daerah lain. Termasuk juga tentang kecantikan perempuan yang sering dianalogikan dengan sesuatu yang ada pada alam. Citra kecantikan itu seringkali dibangun dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan dengan meminjam citra kebendaan alam yang telah dimuliakan dalam bentuk mitos-mitos dan bahasa. Kondisi semacam ini tampaknya merupakan ciri umum dari masyarakat Indonesia, termasuk budaya Bali yang memiliki kebiasaan berfikir secara simbolis. Mereka selalu memakai benda-benda alamiah sebagai tanda atau symbol untuk mengungkapkan suatu maksud atau konsep tertentu (Fernandes, 1990: !08). Ketersediaan benda-benda alam sebagai materi simbolisasi pada daerah yang berbeda kondisi geografis dan geologisnya, memang cukup potensial menimbulkan variasi simbolisasi terhadap hal-hal yang serupa pada komunitas budaya yang berbeda. Ungkapan tentang kesempurnaan ukuran-ukuran tubuh seorang perempuan dari budaya yang berbeda tentu akan banyak juga memiliki perbedaan. Ungkapan untuk keindahan salah satu organ tubuh perempuan disebabkan oleh adanya gagasan tentang bentuk organ tubuh yang diidealkan. Selain itu tidak jarang pula kecantikan seorang perempuan dikonstruksi oleh status sosialnya di dalam masyarakat. Di dalam tradisi suku bangsa Dayak misalnya, seorang perempuan dianggapam semakin cantik, apabila dia memiliki lobang tindik yang besar di telinganya. Oleh karena lobang besar di telinga merupakan petanda bahwa subang yangdigunakan oleh perempuan tersebut cukup berat, dan hal itu menunjukkan bahwa dia memiliki status social yang tinggi. Berbeda dengan suku Naga yang hidup di pedalaman Thailand. Ukuran cantik bagi suku Naga ini adalah leher panjang yang diisi dengan gelang leher. Semakin banyak gelang yang bisa masuk

338 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 di dalam lehernya, maka semakin cantiklah perempuan tersebut (Sudiarta, 2006: 2). Sedangkan di China, kaum perempuan tidak dianggap cantik jika berkaki lebar, karena itu kaki mereka ditekan erat-erat dengan sepatu kayu berukuran sempit (Abdullah, 2006:1). Sedangkan di dalam budaya Bali, konsep tentang kecantikan tubuh perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lonta-lontar atau ceritera-ceritera rakyat yang hidup dalam tradisi lisan. Misalnya, untuk mengungkapkan bentuk alis yang sempurna (ideal) diumpamakan seperti daun intaran, susu atau payudara yang bagus diumpamakan seperti nyuh gading kembar atau kelapa gading kembar. Dalam ritual atau upacara keagamaan, terutama pada upacara lingkaran hidup (life cycle) sangat banyak ditemukan penggunaan simbol-simbol yang mengacu kepada definisi tubuh dan kecantikan. Pada rangkaian upacara Nyiramang Layon (memandikan mayat) misalnya, terdapat prosesi yang menggunakan material atau bahan-bahan dan mantera-mantera, atau upacara potong gigi (metatah), yang secara simbolik merupakan bentuk dan harapan supaya arwah yang meninggal saat reinkarnasi nanti memiliki organ tubuh yang lengkap dan sempurna. Sumber-sumber lain seperti ceritera-ceritera rakyat (mitos), juga berperan dalam pembentukan kesan melalui karkter tokoh utama perempuan yang mempunyai citra cantik. Alur ceritera yang dibuat seringkali menimbulkan interpretasi tentang citra perempuan yang ditokohkan dalam ceritera tersebut. Teks- teks dalam ceritera juga secara eksplisit memuja kecantikan tokoh utama perempuan. Ceritera Ramayana dalam versi Bali misalnya, sangat mengagungkan kesempurnaan kecantikan Dewi Sita, ceritera Arjuna Wiwaha begitu menjunjung kecantikan Dewi Supraba, demikian pula ceritera Rajapala sangat menonjolkan kecantikan seorang bidadari yang bernama Ken Sulasih. Begitu juga dalam drama tari Arja, yang selalu mengoposisikan nilai baik dan buruk, dengan tokoh putri (perempuan) sebagai salah satu tokoh sentral selalu memberikan kesan bahwa putri yang baik adalah puteri yang cantik dan berkarakter atau berkepribadian baik, sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat dicitrakan berwajah buruk.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 339 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dalam drama tari Arja ini selalu mengambil pengibaratan pada mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai simbol kecantikan tokoh puteri. Tulisan ini memfocuskan pada permasalahan bagaimana makna symbol Dewi Ratih atau Dewi Bulan pada kecantikan perempuan pada budaya Bali. Pembahasan akan di bagi ke dalam tiga bidang pembahasan. Pertama, akan diawali dengan pembahasan tentang pengertian estetika dan kecantikan. Hal ini berisi tentang konsep-konsep estetika dan kaitannya dengan kecantikan . Kedua, akan diceriterakan mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai symbol kecantikan yang sangat populer dan menjadi sumber inspirasi bagi kecantikan perempuan Bali. Dalam hal ini juga berisi pembahasan tentang symbol-simbol yang terkandung dalam mitos Dewi Ratih atau Dewi Bulan, seerta makna nya dalam kehidupan masyarakat Bali. Ketiga, akan diakhiri dengan uraian yang berisi kesimpulan atau rangkuman.

II. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih mengandalkan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami dokumen trkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis interpretatif, secara emik dan juga secara etik.

III Pembahasan 3.1 Estetika dan Kecantikan Pandangan umum mengartikan estetika sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Secara etimologi estetika (aesthetic) berasal dari kata aesthesis dalam bahasa Yunani (Dickie, 1076), yang diartikan sebagai rasa nikmat, indah yang timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik, 1995: 5; Dibia, 2003: 94-95). Senada dengan hal tersebut, Hartoko (1983: 15), menyebutkan bahwa estetika berarti kemampuan melihat lewat penginderaan atau pencerapan, pesepsi perasaan,

340 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pengalaman, dan pemandangan. Selanjutnya, konsep estetika tidak saja dihubungkan dengan pengertian seni yang sempit, tetapi harus dimaknai sebagai keindahan yang dapat merangsang dan mendorong manusia untuk berkreasi dan bersikap dinamis untuk mencapai kepuasan batin dan mempertajam intuisinya (Mantra, 2002: 23; Dibia, 2003: 95). Oleh karena estetika berarti perasaan atau sensitivitas, maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan, atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran filusuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersamaan dengan etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filasafat. Dikatakan oleh Hegel bahwa filsafat seni membentuk bagian yang terpenting, di dalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz, 1985: 10; Sony Kartika, 2004: 16). Keindahan tidak hnya disamakan arinya dengan nilai estetika pada umumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam nilai estetika. Konsep keindahan bisa juga digunakan unuk menyebut sesuatu yang lebih terperinci, sperti: beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), atrtactif (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit, keindahan biasanya dapat digunakan untuk menunjuk suatu nilai yang derajatnya tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu katagori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetika tidak seluruhnya terdiri dari keindahan. Sebenarnya masih banyak definisi-definisi lainnya yang dapat dikemukakan dalam konteks ini. Tetapi pada dasarnya semua pakar mendefinisikan estetika mengarah kepada satu diskursus yang menyangkut rasa keindahan yang membuat kita senang, masgul, terkesima, terpesona, bergairah, dan bersemangat (Dibia, 2003: 95). Jika dikaitkan dengan masalah kebutuhan manusia, maka estetika atau keindahan termasuk dalam katagori kebutuhan dasar (basic needs), seperti halnya sandang, pangan, papan dan yang lainnya. Oleh karena itulah maka dalam kehidupannya, manusia disadari atau tidak, mereka selalu menata kehidupannya agar bisa merasakan keindahan. Kebutuhan akan keindahan atau estetika inibersifat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 341 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 universal dan terjadi pada masyarakat sangat sederhana sampai pada masyarakat modern, bahkan posmoderen sekali pun. Di dalam mengekspresikan keindahannya, manusia memilih cara-cara yang berbeda, misalnya melalui bentuk-bentuk kesenian (seni pertunjukan, seni lukis, seni patung, seni kerajinan). Mereka juga mengatur atau menata lingkungannya supaya kelihatan asri, rapi dengan cara membuat taman, menciptakan pola menetap, mengatur tata letak bangunan tempat tinggal, bahkan sampai mengatur atau membentuk tubuhnya supaya kelihtan estetis atau indah, dan mereka katagorikan sebagai tubuh yang cantik. Di dalam menghadirkan keindahan ini manusia atau masyarakat mempunyai dua cara yaitu dengan sengaja membuat/menciptakan karya-karya seninya untuk dinikmati keindahnnya, dan tidak sedikit yang semula untuk barang/benda pakai baru kemudian dijadikan benda seni. Menutut Jacgues, seorang Antropolog, bahwa tiap-tiap obyek keindahan memang bertujuan untuk art by destination dan art bay metamorphosis (1986:18; Dibia, 2003: 96). Memberi pengertian tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena dia bersifat komulatif, mencakup ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal, misalnya kulit putih, rambut hitam, badan kurus, pinggang ramping, dan sebagainya. Semua ini mencerminkan bahwa kecantikan adalah total, mencakup ukuran-ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian dengan ukuran standar pula (inner beauty), sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati (Ashad Kusuma Djaya, 2007: X). Kondisi ini sudah menyangkut estetika yang mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan juga merupakan bagian dari system budaya yang direpresentasikan melalui symbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).

3.2 Dewi Ratih atau Dewi Bulan sebagai Simbol Kecantikan Perempuan Bali 3.2.1 Simbol Keindahan atau Kecantikan Pada umumnya ceritera rakyat mengandung unsur dualisme atau rwa bhineda yakni nilai baik dan dan buruk atau jahat. Di dalam berbagai bentuk kesenian, terutama kesenian drama tari arja misalnya, selalu ditampilkan tokoh

342 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sentral seorang puteri (perempuan) yang berwajah cantik, baik hati dan berkepribadian menarik. Sebaliknya tokoh perempuan yang berwatak jahat dicitrakan dengan wajah buruk. Di dalam drama tari ini tampaknya masalah keindahan atau kecantikan memang mendapat penekanan yang begitu besar, sehingga dia muncul dalam berbagai dialog, seperti yang diulas oleh Sudiarta (2006) berikut.

Dialog 1. “…yening buat keliayuan idane nenten menten nyamen pade … wantah sekadi Sanghyang Ratih nyalantara driki ring jagate .… artinya, … kecantikan beliau sungguh tak tertandingi …laksana Sanghyang Ratih/Dewi Ratih turun ke bumi…”.

Dialog 2. “…angob titiyang nyantenang plungguh I Ratu…ritatkala mesanding sareng I Rake, tang bina sekadi Sanghyang Semara lan Dewi Ratih… artinya,… kagum saya menyaksikan Tuan Putri saat hadir bersama Kakanda, tak ubahnya seperti Sanghyang Semara dan Dewi Ratih …”.

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa Dewi Ratih atau Dewi Bulan adalah tokoh yang paling populer dan banyak digunakan di dalam menganalogikan kecantikan perempuan pada budaya Bali. Dewi Ratih merupakan salah satu mitologi dari masyarakat Hindu Bali yang digambarkan dalam berbagai aktivitas. Salah satunya digambarkan sebagai perempuan cantik yang sedang ngantih atau memutar jantra (alat pemintal benang), duduk bersimpuh di tengan bulan purnama. Citra Dewi Ratih dan bulan purnama (bulan penuh) yang tampak bulat bersinar di langit yang cerah, yang kemudian disebut Dewi Bulan, di dalam kenyatannya dijadikan dua symbol atau ikon yang mempunyai kesamaan dan kesatuan bahkan keduanya dianggap sama atau identik. Kedua Dewi ini adalah symbol kecantikan perempuan yang ideal dan sempurna secara fisik dan kepribadian/watak (inner beauty). Visualisasi seperti ini banyak dimunculkan oleh para seniman dan seniwati dalam berbagai bentuk seni, seperti lukisan tradisional gaya Ubud, dan lukisan gaya Kamasan. Selain itu, visualisasi ini juga dapat dijumpai dalam ceritera Ramayana dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit yang mengungkapkan kecantikan dengan menggunakan bulan purnama sebagai perumpamaan terdapat saat adegan di dalam hutan beberapa asaat setelah Dewi Sita istri Sri Rama berhasil diculik oleh Prabu Rahwana. Rasa duka yang amat dalam di hati Sri Rama akibat kehilangan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 343 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 istri tercinta yang membuatnya selalu berhalusianasi. Dialog pada penggalan kisah ini diceriterakan Sri Rama selalu teringat kepada wajah istrinya manakala Sri Rama menatap kearah bulan yang sedang bersinar. Penggunaan simbol Dewi Bulan dan Dewi Ratih, pada kondisi tertentu mengalami persamaan, tetapi tidak jarang pula terjadi perbedaan. Misalnya, ketika penggunaan kata bulan sebagai perumpamaan kecantikan, cenderung lebih bersifat bersifat fisik semata, sedangkan penggunaan gambaran Dewi Ratih memiliki dimensi yang melebihi sekedar fisik, karena Dewi Ratih dicitrakan sebagai seorang Dewi yang merupakan pasangan Dewa yang hidup dalam mitologi Hindu Bali. Dewi Ratih digambarkan seperti manusia dengan keutamaan-keutamaan seorang Dewa yang dipuja oleh umat Hindu di Bali. Dewi Ratih merupakan gambaran utuh satu tubuh dengan idealisasi sifat dan wataknya. Ada berbagai umgkapan yang dijumpai pada masyarakat Bali untuk menyebutkan keindahan wajah seorang perempuan. Salah satu di antaranya, adalah “preraine sekadi bulan purnama” (wajahnya seperti bulan purnama). Ungkapan ini menunjukkan bahwa keindahan bulan purnama hanya digunakan untuk menunjukkan wajah yang cantik, wajah seorang perempuan yang bentuknya cenderung bulat dan memancarkan wibawa (aura) yang menimbulkan rasa senang, kagum dan terpesona pada orang yang memandangnya. Pesona kecantikan yang menimbulkan rasa senang, tenteram, teduh, relax, sebagaimana bulan purnama yang selalu menjadi momentum penting spiritualitas masyarakat Hindu Bali. Sebenarnya ungkapan kecantikan wajah perempuan dengan menggunakan bulan sebagai anasirnya hanyalah sebuah analogi atau methapora saja, karena kanyataannya kulit wajah perempuan Bali tidak ada yang mencapai kualitas seperti cahaya putih rembulan purnama sekalipun mereka berasal dari kalangan bangsawan. Bahkan perumpamaan bagi kulit yang mulus dan putih menggunakan benda alam yang berwarna “nyuh gading” atau “ampel gading” atau “langsat”. Bahkan bedak sebagai benda untuk mempercantik diri dalam kecantikan tradisional dan jamu lulur yang digunakan perempuan Bali untuk merawat kulit wajah dan kulit tubuhnya, hanya mampu memberi efek bersih dan warna kekuning-kuningan pada kulit.

344 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Perlu dijelaskan bahwa, pengibaratan wajah perempuan Bali dengan bulan bukan dalam hal warna karena kulit wajah perempuan Bali yang tidak mencapai kualitas warna putih seperti bulan purnama. Tidak pula dalam bentuk yang bulat karena wajah bulat pada umumnya dimiliki oleh orang yang gemuk. Badan gemuk dengan wajah bulat bukan merupakan idealisasi kecantikan perempuan masyarakat Bali tentang bentuk tubuh dan yang bagus. Yang membuat bulan sering dijadikan perumpamaan bagi wajah cantik karena kualitas estetika bulan purnama baik sebagai sebuah benda yang berdiri sendiri atau sebuah benda dalam hubungan kesatuannya dengan alam. Perumpaman semacama ini juga bisa dijumpai dalam ceritera-ceritera karya sastra yang menghadirkan bulan sebagai suatu entitas keindahan.

3.2.2 Simbol Kebaikan dan Kelembutan Bagi umat Hindu, bulan adalah symbol dari ketua Dewatanya pikiran (candrama manaso jatah)., yang memungkinkan hati dan pikiran manusia mampu menyamai sifat-sifat kedewataan. Di India misalnya, bulan purnama diperingati sebagai hari Guru Purnima, yang perayaannya dimaksudkan untuk menghormati seorang guru rohani yang membimbing umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan. Upacara pada hari purnama ditujukan sebagai syukur kepada semua guru dan guru utama yaitu veda vyasa (Raras, 3004: 12-13; Sudiarta, 2006: 56). Ada keyakinan pada umat Hindu di Bali bahwa pada hari bulan purnama adalah dauh (saat, waktu) untuk para Dewa. Saat ini dikatakan para Dewa berkumpul bersama di Kahyangan, sehingga leluasa dapat menyaksikan aktifitas manusia di bumi. Oleh karena itu, setiap bulan purnama masyarakat selalu melakukan ritual di tempat-tempat suci mulai dari tempat suci di tingkat keluarga (pemerajan), sampai di tempat suci yang lebih besar (pura), dengan membawa banten persembahan khusus. Sedangkan untuk upacara Manusa Yadnya, terutama upacara perkawinan, bagi sebagian orang, saat bulan purnama sangat dihindari karena diyakini akan mengalami banyak hambatan, sehingga perkawinan menjadi tidak langgeng. Saat bulan purnama juga banyak dimanfaatkan untuk melaksanakan upacara yadnya, terutama yang berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya atau meayu-ayu.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 345 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Dahulu sebelum alat penerangn listrik ditemukan, saat bulan purnama tiba adalah waktu yang dinanti-nanti oleh anak-anak kecil, karena saat itu mereka bisa bermain sampai larut malam. Begitu senangnya gembiranya anak-anak menyambut datangnya bulan purnama, sampai-sampai mereka membuat lagu-lagu, yang syairnya seperti berikut. “galang bulan mangentak-entak, terompong selonding saron, rebab dadua suling papat, kempur gonge mecandetan, endih-endih api tulukin saang gedebong, sedih-sedih api nepukin anak moglong” .

Begitulah cara anak-anak mengekspresikan kegembiraannya sambil mereka berlari-lari, berteriak, saling kejar-kejaran. Malam hari yang penuh gelak tawa dan sesekali juga menangis karena terjatuh atau berbenturan, tetapi segera bangkit kembali, membuat suasana seperti saat siang hari. Ceritera ini mengilusterasikan begitu istimewanya memontum bulan purnama bagi masyarakat Bali. Kehadiran bulan purnama pada malam hari ketika orang-orang sudah beristirahat dari kerja, membuat alam menjadi tenang, bebas dari suasana bising dari aktivitas keseharian. Bulan purnama yang memancarkan cahaya keperakan di puncak pohon dan atap rumah maemberikan keindahan dan kedamaian bagi setiap hati manusia, dan seolah-olah mereka bersatu dengan alam. Cahaya bulan purnama yang terang, tetapi tidak menyilaukan dan tidak menyebabkan cuaca menjadi panas sebagaimana efek yang ditimbulakan oleh matahari. sering menjadi inspirasi bagi para sastrawan saat menggambarkan suasana malam yang romantis, temaram dan indah.

3.2.3 Simbol Kekuatan Filosofi Hindu mengidentikkan bulan sebagai symbol perdana dan matahari sebagai unsur purusha. Purusha dan predana merupakan konsep yang mengandung filisofi mendalam dan sangat prinsipil dalam budaya Bali. Konsep ini bersifat oposisi binier (berbeda atau bertentangan), dan selanjutnya dimaknai sebagai unsur laki-laki dan perempuan, melahirkan kekuatan positif dan negatif, dan jika bertemu akan menimbulkan kehidupan. Konsep purusa predana yang sering juga disebut rwa-bhineda inilah akhirnya yang mengkonstruksi secara sosial budaya tentang laki-laki dan perempuan (gender) dalam budaya Bali. Laki-laki diberi fungsi dan

346 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 peran yang berbeda dengan perempuan, berdasarkan kepantasan-kepantasan yang dibentuk oleh masyarakat, sehingga melahirkan hak dan kewajiban yang berbeda pula. Simbol Dewi Ratih, di samping memiliki kecantikan fisik, dia juga digambarkan sebagai Dewi atau saktinya Dewa yang yang hidup dalam mitologi Hindu. Dewi Ratih digambarkan seperti manusia yang mempunyai keutamaan- keutamaan seperti seorang Dewa yang dipuja oleh umat Hindu di Bali. Dewi Ratih merupakan sosok atau gambaran utuh suatu tubuh dengan idealisasi sifat dan wataknya. Gambaran viasualnya kecantikannya ada pada lukisan-lukisan yang bertemakan pewayangan. Sedangkan pencitraan sifat dan wataknya digambarkan di dalam ceritera, terutama dalam kisah tetang “Pemutaran Mandara Giri” , di mana Dewi Ratih diceriterakan mempunyai peran sangat besar untuk menyelamatkan dunia dan kahyangan dengan jalan membongkar penyamaran seorang raksasa yang hampir memperoleh keabadian karena berhasil meminum Tirta Amerta yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi para Dewa. Inti dari ceritera ini, bahwa perempuan dengan fisik dan kecerdasan yang dimilikinya mempunyai kekuatan atau kemampuan yang besar untuk menjadi seorang pemimpin. Selanjutnya, jika dikaitkan dengan masalah kepemimpinan, menurut ajaran Agama Hindu, kepimpinan yang baik harus berpedoman kepada Astha Bratha. Salah satu unsurnya adalah yang disebut Chandra Bratha, yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin hendaknya selalu berusaha untuk menyenangkan hati masyarakat yang dipimpinnya dengan jalan memberikan rasa senang, rasa damai, sebagaimana bulan purnama yang kehadirannya di langit pada malam hari selalu menimbulkan rasa senang, kesejukan di hati setiap insan yang menatapnya dengan penuh perasaan damai. Ajaran Asta Bratha sebagai pengetahuan, bagi kalangan intelektual tradisional Bali merupakan sesuatu yang sangat kental pada pribadi orang Bali. Sedangkan Candra Bratha adalah salah satu ajaran kepemimpinan yang mengajaran agar pemimpin mampu menghibur perasaan rakyatnya, mengupayakan kesenangan dan menenangkan hati pada saat sesuatu yang mengkhawatirkan sedang dialami. Pemahaman ini menjadikan bulan sebagai salah satu patron yang identik dengan keindahan, kesenangan atau sesuatu yang menghibur. Keindahan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 347 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 atau sesuatu yang dianggap indah bagi masyarakat Bali mengandung konsep harmoni atau kesesuaian antar unsur-unsur penyusunnya..Sesuatu yang indah bagi masyarakat Bali, biasanya diungkapkan dengan pujian berupa kata-kata , seperti: cocok/sesuai (pangus), serasi (adung), tidak janggal (pangid), bagus (luung), mempesona (ngelangenin), dan istilah-istilah lainnya, termasuk juga di dalam mengungkapkan kecantikan perempuan. Pada dasarnya pernyataan-pernyataan pujian tersebut memperlihatkan suatu kondisi yang harmoni dan selaras. Sesuatu yang mengandung kondisi sebagai suatu tampilan atau penampakan yang di dalamnya terkandung unsur yang kontras dari sesuatu yang dianggap ideal atau diedialisasikan oleh pandangan estetika tradisional. Terhadap kondisi disharmonis ini sering disebut dengan istilah (soleh). Begitu kompleks dan mendalamnya simbol Dewi Ratih dan Dewi Bulan dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan Bali, akhirnya melahirkan definisi kecantikan yang tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga keperibadian (inner beauty. Selain ukuran-ukuran tubuh yang ideal, juga harus diikuti oleh solah (perilaku) yang baik. Dalam budaya Bali dikenal pula istilah-istilah tertentu untuk menyebut perempuan cantik secara fisik sekaligus mempunyai sifat watak yang baik. Misalnya untuk menyebut perempuan yang cantik, baik hati, tidak emosional dan tidak suka berkata kasar disebut dengan istilah Dewi Sampad, sebaliknya perempuan yang berwatak tidak baik, disebut Asuri Sampad. Istilah-istilah ini akhirnya melahirkan konsep yang lebih luas dan kompleks yang menyangkut tentang perempuan, yaitu yang disebut luh luih (perempuan baik), dan luh luu (perempuan tidak baik) (Wiasti, 1998: 148). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa di dalam kecantikan, terkandung nilai estetika yang bersifat sebagai obyektivtas dan sekaligus pula sebagai subyektivitas. Di dalam kenyataan, kecantikan perempuan dihadirkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya dalam melakukan kegiatan adat dan agama, yang termasuk dalam art by destination, yaitu untuk mengiringi ritual.

VI Penutup Kecantikan perempuan, sebagai bagian dari sistem budaya Bali, sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya nilai estetika yang mengandung

348 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 unsur etika dan logika. Mitilogi tentang Dewi Ratih atau Dewi Bulan misalnya, sangat besar perannya dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan Bali. Tokoh ini menjadi inspirasi besar bagi para seniman untuk memvisualisasikan kecantikan perempuan Bali yang ideal ke dalam berbagai bentuk kesenian. Seperti diuraikan di atas bahwa kecantikan perempuan Bali yang ideal adalah yang mengandung simbol-simbol seperti yang dimililki oleh Dewi Ratih atau Dewi Bulan. Dijelaskan bahwa ada tiga symbol penting yang harus dimiliki oleh perempuan Bali. Pertama, symbol keindahan atau estetika, yang lebih menekankan kepada keindahan fisik, termasuk ukuran-ukuran tubuh, seperti bentuk muka yang tidak bulat warna kulit seperi cahaya bulan, bukan putih, tetapi bersih dan kekuning-kuningan, dan sebagainya. Kedua, simbol kebaikan karena dia mampu menciptakan suasana tenang, damai, seperti cahaya bulan purnama yang terang tetapi tetap menyejukkan. Cahaya bulan juga mampu memunculkan pikiran- pikiran positif yang memungkinkan manusia mampu mangikuti cara berfikirnya para Dewa. Ketiga, simbol kekuatan, meski memiliki fisik yang dikatakan lebih lemah daripada laki-laki, tetapi tetap harus memiliki kekuatan atau kemampuan untuk menguasai suatu kondisi tertentu. Dalam hal ini diharapkan perempuan memiliki kecerdasan akal dan pikiran untuk membuat strategi-strategi tertentu, sehingga memungkinkan mereka menjadi seorang pemimpin, seperti ajaran kepemimpinan yang bersifat candra bratha. Simbol-simbol inilah yang harus dimiliki oleh perempuan Bali, apabila dia ingin memiliki kecantikan yang ideal, yang dikonstruksi oleh nilai-nilai budaya Bali. Simbolisasi kecantikan perempuan Bali dalam Dewi Bulan atau Dewi Ratih tampaknya bukan hanya ada di tataran ideal saja tetapi juga terimplementasi di dalam realitas kehidupan. Akan tetapi di tataran praksis hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai ideologi. Di era globalisasi ini bagi perempuan Bali kecantikan adalah subyektif dan demokratis, di mana kecantikan dianggap sebagai suatu pilihan yang pada akhirnya melahirkan beragam bentuk kecantikan sesuai dengan kepentingan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 349 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2006. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Tici Press.

Dibia, I Wayan, 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam Estetika Hindu Dan Pembangunan, I.B.G Triguna (Ed.). Denpasar: Program magister Ilu Agama dan Kebudayaan UNHI Bekerja sama dengan Penerbit Widya Dharma.

______, 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia – Art Line.

Fernandes, Sthepanus Ozias, 1990. Citra Manusia Budaya Barat dan Timur. Flores, NTT: Nusa Indah.

Foucault, Michel, 2000. Seks dan Kekuasaan (Sejarah Seksualitas). Bandung: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Haviland, William A., 1993. Anthropologi Jilid 2. Jakarta: penerbit Erlangga.

Liang Gie, The, 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Mertami, Made, 2003. Tata Rias Pengantin Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Nala, Ngurah, 2001. Upacara Nyiramang Layon. Surabaya: Penerbit Paramita.

Poerwanto, Hari, 200. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Raras, Niken Tambang, 2004. Purnama Tilem: Kasih Rwa Bhineda. Surabaya: Penerbit Paramita.

Sudiarta, I Wayan, 2006. Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan Tradisional Wanita Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini. Tesis S-2, Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak Diterbitkan.

Wiasti, Ni Made, 1998. Konstruksi Gender pada Masyarakat Balai: Kasus Wanita Pekerja Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar. Tesis S-2, Program Studi Antropologi UniversitasGadjah Mada. Tidak Diterbitkan.

Wiasti, Ni Made, 2010. Konstruksi Kecantikan Perempuan Bali Yang Berkarir di Kota Denpasar, Bali. Desertasi, Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak Diterbitkan.

350 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Titib, I Made, 1998. Citra Wanita dalam Kekawin Ramayana: Cermin Masyarakat Hindu tentang Wanita. Surabaya: Penerbit Paramita.

OMOTENASHI, SPIRIT KERAMAHAN MASYARAKAT JEPANG MENYAMBUT TOKYO OLYMPIC 2020

Ni Putu Luhur Wedayanti Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Alamat surel: [email protected]

Abstrak

Dewasa ini dengan berbagai kemajuan teknologi informasi, memicu arus migrasi semakin deras. Hal ini menyadarkan masyarakat Jepang untuk lebih membuka diri terhadap budaya asing. Hal tersebut juga dikarenakan harapan yang besar terhadap perhelatan akbar olimpiade 2020 di Tokyo mampu memberi tambahan devisa negara Jepang secara signifikan. Jepang yang sebelumnya dikenal sebagai masyarakat dengan karakter umum pekerja keras, dingin dan sulit didekati, mulai mempropagandakan diri sebagai masyarakat yang paham cara melayani konsumen dengan tulus (omotenashi). Revitalisasi spirit omotenashi ini telah meluas di sebagian besar bisnis jasa di Jepang sebagai bentuk dukungan mensukseskan Olimpiade Tokyo 2020.

Kata kunci: Omotenashi, pelayanan jasa

PENDAHULUAN Jepang akan menyambut Tokyo Olympic pada tahun 2020 mendatang. Segenap warganya tengah sibuk mempersiapkan diri memperlihatkan sisi terbaik dari negara mereka, bahkan stiker-stiker yang bertuliskan slogan penyemangat tertempel di banyak tempat umum di Jepang. Bagi orang yang pernah berkunjung ke Jepang, berbagai kesan tertinggal dalam benak mereka sesuai dengan pengalaman yang mereka dapat dalam kunjungan mereka di negara tersebut. Pengunjung ataupun wisatawan yang memperoleh kesan baik, mengapresiasi negara Jepang sebagai negara yang indah dan penuh keramahatamahan. Hanya saja, bagi mereka yang kebetulan memperoleh pengalaman yang tidak sesuai harapan, kemungkinan akan meninggalkan kesan yang kurang baik, yang secara tidak langsung dikawatirkan dapat membuat pengaruh buruk terhadap bisnis jasa di Jepang.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 351 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 352 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Jepang sebagai sebuah negara telah diteliti oleh banyak antropolog dan telah ditulis dalam banyak buku mengenai karakter masyarakatnya secara umum. Jika dicoba untuk dicari istilah mengenai Japanologi di mesin pencari google, dalam sekian detik belasan ribu entri mengenai hal tersebut akan muncul di hasil pencarian. Hal tersebut membuktikan kajian mengenai Jepang telah diteliti dengan mendetail dan dalam kuantitas yang berlebih. Hal tersebut membawa banyak dampak, baik positif maupun negatif. Bagi mereka yang berkepentingan melakukan studi mengenai negara Jepang, banyaknya referensi sangat membantu dalam hal mencapai tujuan yang diharapkan. Hanya saja, sayangnya beberapa kalangan kerap hanya membaca satu atau dua referensi tetapi telah menilai negara tersebut dengan begitu kaku, sehingga menghalanginya untuk melihat Jepang dengan lebih objektif. Salah satu hal, dari sekian banyak penjelasan mengenai karakter orang Jepang secara umum adalah istilah Honne dan Tatemae. Terminologi mengenai honne dan tatemae memberikan stereotipe bagi masyarakat Jepang bahwa mereka tidak tulus. Hal tersebut kurang menyenangkan bagi orang Jepang karena bagi orang yang telah memiliki pedapat mengenai orang Jepang, komunikasi akan sulit dilakukan karena kedua belah pihak telah menaruh prasangka sebelumnya. Istilah honne dan tatemae sendiri merupakan istilah yang mengacu pada sikap orang Jepang yang berbeda di depan dan di belakang. Maksudnya adalah, orang Jepang dikatakan bahwa apa yang dihati mereka berbeda dengan apa yang mereka ucapkan ataupun tunjukkan di depan orang lain. Sikap ini sebenarnya didasari pada ketidaksukaan orang Jepang untuk berkonfrontasi secara langsung jika terjadi konflik, sehingga untuk menghindari hal tersebut mereka memilih untuk memperlihatkan (menunjukkan) hal yang baik di depan kawan bicara. Yang menjadi permasalahan adalah terkadang apa yang ada di hati yaitu honne (apa yang dimaksudkan atau diinginkan sesungguhnya) berbeda dengan apa yang disampaikan atau ditunjukkan sebagai tatemae (Davis dan Ikeno, 2002). Perbedaan ini tidak menimbulkan masalah yang rumit antara orang Jepang karena mereka tumbuh besar dengan terbiasa mengenai pandangan tersebut. Hanya saja, perihal ini menyebabkan banyak orang asing yang ragu untuk menjalin persahabatan dengan orang Jepang. Mereka sulit untuk mempercayai bahwa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 353 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 keramahan yang orang Jepang berikan adalah tulus tanpa maksud apapun di baliknya. Ketika Tokyo disetujui sebagai tuan rumah pada olimpiade tahun 2020 dua tahun mendatang, masyarakat Jepang secara umum bersemangat untuk memberikan kesan yang terbaik bagi para pengunjung yang akan datang ke Jepang. Christel Takigawa sebagai bid ambassador yang mempresentasikan mengenai omotenashi sebagai keramahan orang Jepang yang tulus tanpa pretensi apapun, sebagai daya tarik baru pariwisata Jepang.

Olimpiade Tokyo 2020 Sebagai Potensi Ekonomi Gempita euforia mengenai Olimpiade Tokyo seakan tiada habisnya menjadi topik di Jepang. Tidak hanya menjadi bahan berita di media massa, perihal tersebut juga kerap menjadi perbincangan dikalangan masyarakat sendiri, baik mengenai pro maupun kontra. 2Olimpiade Tokyo sendiri dikatakan menjadi harapan perbaikan ekonomi Jepang kedepannya dengan prediksi membawa sebanyak 180 ribu pekerjaan baru dalam event tersebut. Pekerjaan tersebut bukan hanya berpusat di Tokyo, akan tetapi juga setengahnya dikatakan akan tersebar ke daerah lain di Jepang. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat Jepang bersemangat untuk meninggalkan kesan yang baik bagi masyarakat asing sehingga mereka juga berkeinginan untuk memperlihatkan negara mereka yang mengejutkan kepada dunia asing. Kunjungan wisatawan asing ke Jepang untuk perhelatan akbar tersebut mulai menunjukkan kenaikan yang signifikan sejak awal Tokyo diputuskan sebagai tuan rumah olimpiade di tahun 2013. Meskipun kunjungan wisatawan turun drastis di tahun 2011 saat terjadi bencana tsunami, akan tetapi kedatangan wisatawan asing dikatakan naik dua kali lipat di tahun 2013, dan terus meningkat hingga mencapai 24 juta wisatawan di tahun 2016. Grafik ini meningkatkan optimisme pemerintah untuk mencanangkan target kunjugan mencapai 40 juta di tahun 2020 (Kankouhakusho dalam Williams, 2017). Target tersebut tentu memancing banyak pendapat di kalangan masyarakat Jepang, baik akademisi maupun praktisi bisnis jasa yang terkait. Banyak pihak yang

2https://www.insidethegames.biz/articles/17217/a-tokyo-win-qwould-create-more-than-150000-jobsq-says-new-research

354 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 menyangsikan kesiapan Jepang untuk menerima serbuan wisatawan asing karena sarana dan prasarana yang tersedia di Jepang mengalami stagnansi. Kritik tersebut dijawab oleh pemerintah dan panitia olimpiade dan praktisi bisnis jasa terkait dengan bergegas melakukan perbaikan maupun penambahan fasilitas umum yang dapat digunakan mendukung target kunjungan wisatawan asing yang dicanangkan pemerintah Jepang. Hanya saja, masalah tidak berhenti di sana. Masyarakat Jepang yang dikatakan sulit membuka diri terhadap pihak asing, diragukan mampu memberikan kesan yang positif dalam layanan mereka. Pemikiran ini kemudian merevitalisasi nilai omotenashi tersebut sebagai motivasi keramahan masyarakat Jepang dalam memberikan jasa mereka kepada konsumen.

Omotenashi Sebagai Spirit Keramahan yang Tulus Seperti yang telah disampaikan di awal makalah, istilah omotenashi mengemuka kembali saat Jepang mempromosikan negaranya dalam upaya menjadi tuan rumah olimpiade di tahun 2020 di Buenos Aires, Brasil. Jepang menyampaikan bahwa masyarakat Jepang memiliki karakter yang mampu melayani para turis asing secara maksimal yang berorientasi kepada kepuasan konsumen. Salah satu bentuk keramahan omotenashi dapat ditemui di penginapan-penginapan tradisional Jepang atau yang disebut ryokan. Para staf ryokan tersebut jarang bertanya mengenai kebutuhan konsumen, akan tetapi mereka berusaha memenuhi keinginan konsumen dengan mendetail. Konsumen benar-benar dilayani seperti raja dan dimanjakan seperti anak kecil yang tidak perlu melakukan apapun. Omotenashi merupakan kata yang berasal dari kata motenasu ‘melayani’, penambahan prefiks {o-} diawal kata sebagai penanda honorifik dalam bahasa Jepang, sehingga verba motenasu yang berganti menjadi nomina yaitu motenashi mendapat prefiks {o-} menjadi omotenashi. Kata ini sering digunakan pada frase hito wo motenasu yang berarti ‘melayani atau menyambut seseorang’. Kata motenasu ini juga sering dimaknai sebagai ‘tidak membawa (memiliki) apapun’ oleh masyarakat Jepang. Nakao dan Umeshitsu (dalam Terasaka dan Inaba, 2014) menyebutkan bahwa omotenashi ini berarti menyenangkan kawan bicara dengan memilih mengambil sudut pandang kawan bicara tersebut, sehingga mampu memahami kebutuhan ataupun kondisi orang tersebut. Dengan melakukan hal

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 355 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tersebut, orang pertama mampu memenuhi kebutuhan kawan bicara tanpa perlu bertanya terlebih dahulu.Orientasi dari omotenashi ini adalah kesempurnaan dalam pelayanan, usaha yang dilakukan sangat mendetail dan tanpa cela. Bahkan dikatakan bahwa tidak ada permintaan yang tidak dapat dikabulkan, kesempurnaan pelayanan yang diberikan bahkan diusahakan agar diluar ekspektasi konsumen (Terasaka dan Inaba, 2014). Keraguan mengenai propaganda omotenashi sebagai salah satu jurus jitu menarik wisatawan dikarenakan adanya kesadaran perbedaan kebutuhan wisatawan dari negara yang berbeda dengan Jepang. Pelayanan omotenashi yang mengusahakan kepuasan konsumen didasarkan pada penilaian kebutuhan masyarakat Jepang. Hal ini yang menjadi kekhawatiran bahwa keramahan yang tulus dan menyeluruh tidak selalu tepat disasar kepada siapapun. Tidak semua wisatawan kemungkinan nyaman dilayani dengan dimanjakan secara berlebihan. Hal tersebut yang menyebabkan perihal omotenashi sebagai spirit jasa di Jepang diharapkan untuk dikoreksi kembali. Akan tetapi, pengembangan sikap hospitaliti yang berasaskan omotenashi merupakan turunan dari kebutuhan pelaku bisnis jasa untuk menarik konsumen. Pemahaman akan istilah tersebut pun tergantung dari tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing individu. Hanya saja, pada dasarnya pemahaman awal mengenai hal ini berdasar pada semangat untuk menujukkan ketulusan karena omotenashi pada dasarnya bermakna ‘tidak membawa (maksud) apapun; tidak ada apa-apa’. Jadi, apa yang disampaikan di depan, itulah juga yang ada di hati. Jika itu berupa keramahan ataupun wajah yang bahagia saat melayani konsumen, itu pula lah yang ada di hati para staf tersebut. Sehingga konsumen akan merasa nyaman dilayani dari hati.

SIMPULAN Omotenashi pada dasarnya istilah yang tidak baru di Jepang, hanya saja dalam upaya mempropagandakan negaranya untuk menjadi tuan rumah Olimpiade di tahun 2020, Jepang menyatakan bahwa karakter umum masyarakat Jepang adalah omotenashi atau ’tulus tidak menyimpan maksud apapun’. Sikap tulus ini diharapkan mempermudah para wisatawan atau siapapun pihak asing yang akan

356 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 berkunjung ke Jepang ataupun memulai komunikasi dengan orang Jepang, karena mereka (orang Jepang) tidak memiliki maksud apapun saat menunjukkan keramahan mereka selain apa yang memang mereka tunjukkan. Keramahan tersebut juga merupakan keramahan yang merupakan budaya Jepang turun temurun dengan mengambil sudut pandang konsumen, sehingga pelayanan dapat dilakukan semaksimal mungkin berdasarkan kebutuhan konsumen tersebut Dengan penerimaan yang hangat seperti itu, perhelatan olimpiade di Tokyo sebagai ajang perlombaan tingkat dunia dapat meningkatkan potensi ekonomi Jepang secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Davis, Roger J. Dan Ikeno, Osamu. (Ed.) 2002. The Japanese Mind : Understanding Contemporary Culture. Tuttle Publishing, Japan.

Terasaka, Kiyoko dan Inaba, Yuuyuki. 2014. Hospitaliti to omotenashi, sabisu no hikaku bunseki. The Journal of Social Science, pp. 85-120

Williams, David. 2017. Tokyo 2020: a Legacy or lethargy for tourism. https://www.jiu.ac.jp/files/user/education/books/pdf/839-45.pdf. (diakses 13 Februari 2018) https://www.insidethegames.biz/articles/17217/a-tokyo-win-qwould-create-more- than-150000-jobsq-says-new-research (diakses 21 Maret 2018)

NEGASI DALAM KUMPULAN CERPEN 1 PEREMPUAN 14 LAKI-LAKI KARYA DJENAR MAESA AYU

Ni Putu N. Widarsini Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk negasi dan fungsi / kegunaannya dalam buku kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki karya Djenar Maesa Ayu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dibantu dengan teknik catat ; analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif ; dan hasil analisis disajikan dengan metode informal. Selanjutnya, berdasarkan pandangan Chaer dan Ramlan tentang negasi, hasil yang didapatkan adalah pada kumpulan cerpen tersebut ditemukan bentuk-bentuk negasi berupa jangan, bukan, tanpa, tiada, belum, gak, dan nggak. Kata-kata negasi yang ditemukan itu berfungsi untuk menyangkal kategori yang didampinginya.

Kata kunci: negasi, kata, fungsi negasi

1. PENDAHULUAN Sesuai dengan topik Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 2018, tulisan ini ingin mengungkapkan topik sastra, khususnya karya sastra. Melalui karya sastra, penulis dapat memanfaatkan bahasa untuk menuangkan idenya ke dalam bentuk tulisan. Sudah tentu bahasa yang digunakan penulis karya sastra satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Dengan kata lain, setiap penulis karya sastra memiliki cara tertentu untuk mengemas idenya dalam karya yang dihasilkannya walaupun ditulis dalam bahasa yang sama. Sebagai guru bahasa perlu tidak hanya mempelajari rahasia dan teknik profesi, tetapi juga mesti menjadi peneliti pemakaian bahasa dalam situasi sehari- hari. Demikian tulis Anderson (1996:323). Penulis sendiri seorang pengajar bahasa Indonesia . Oleh karena itu , Anderson menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian pemakaian bahasa dalam karya sastra saat ini. Karena karya sastra itu banyak jenisnya, pada kesempatan ini penulis hanya mengambil salah satu jenis karya sastra itu. Adapun jenisnya adalah cerpen.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 357 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 358 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Cerpen yang diambil adalah sebuah kumpulan cerpen yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu yang terbit tahun 2011 dengan judul 1 Perempuan 14 Laki-Laki. Sesuai dengan judul kumpulan cerpen tersebut, dalam kumpulan cerpen itu Djenar Maesa Ayu sebagai seorang perempuan menulis 14 cerpen berkolaborasi dengan 14 orang laki-laki. Keempat belas judul cerpen itu adalah sebagai berikut. 1. Kunang-Kunang dalam Bir (KKDB) ditulis bersama Agus Noor. 2. Cat Hitam Berjari Enam (CHBE) ditulis bersama Enrico Soekarno. 3. Menyeruput Kopi di Wajah Tampan (MKWT) ditulis bersama Indra Herlambang 4. Ramaraib (RR) ditulis bersama Sardono W. Kusumo. 5. Kupunyakupa (KPK) ditulis bersama Totot Indrarto. 6. Kulkas.dari.Langit (KDL) ditulis bersama JRX. 7. Matahari di Klab Malam (MDKM) ditulis bersama Arya Yudistira Syuman. 8. Rembulan Ungu Kuru Setra (RUKS) ditulis bersama Sujiwo Rejo. 9. Napas dalam Balon Karet (NDBK) ditulis bersama Richard Oh. 10. Bukumuka (BM) ditulis bersama Nugoroho Suksmanto. 11. Ra Kuadrat (RK) ditulas bersama Lukman Sardi. 12. Dijerat Saklar (DS) ditulis bersama Robertus Robet. 13. Polos (PL) ditulis bersama Mudji Sutrisno, Sj. 14. Balsem Lavender (BL) ditulis bersama Butet Kartaredjasa. Buku kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu ini dipilih atas dasar bahwa yang bersangkutan adalah seorang sastrawan yang telah banyak menciptakan cerpen dan juga novel. Untuk karya sastra Djenar MaesaAyu yang berupa buku kumpulan cerpen dimasukkan dalam kategori sepuluh buku terbaik Kathulistiwa Literary Award 2003. Buku kumpulan cerpennya itu adalah buku pertama dengan judul Mereka Bilang, Saya Monyet ! Bukunya itu sudah dicetak ulang sebanyak delapan kali ( lih. Octarini, 2017:1). Akan tetapi, penulis kini hanya memilih buku kumpulan cerpen yang diterbitkan setelah Djenar Maesa Ayu mendapatkan penghargaan. Dalam karya sastra cerpen ada banyak hal yang dapat dibahas. Namun pada kesempatan ini, penulis hanya membahas segi pemakaian bahasa dalam karya sastra. Pemakaian bahasa dalam karya sastra juga meliputi banyak hal. Pada tulisan ini tidak memungkinkan untuk mebahas banyak hal itu. Oleh karena itu, tulisan ini

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 359 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 hanya membahas salah satu segi dari pembahasan yang banyak bisa dilakukan. Adapun masalah yang ingin diungkapkan pada tulisan ini adalah apa sajakah bentuk-bentuk negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki karya Djenar Maesa Ayu? Berdasarkan kedua masalah yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan penulisan saat ini adalah yang pertama untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki. Kedua, untuk mendeskripsikan fungsi/kegunaan bentuk-bentuk negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki. Sumber data tulisan ini adalah buku kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki- Laki, cetakan keempat 2011 yang memuat 14 buah cerpen. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak. Penyimakan dilakukan pada sumber data dimulai dari halaman depan sampai halaman belakang tentang bentuk- bentuk negasi yang ada dan dilanjutkan dengan teknik mencatat. Setelah data terkumpul dilakukan pemilahan. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Selanjutnya, hasil analisis disajikan dengan metode informal.

2. PEMBAHASAN Sebelum menyajikan bentuk-bentuk negasi dan fungsi/kegunaan negasi dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki terlebih dahulu dijelaskan pengertian negasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua cetakan keempat (1995:686), negasi memiliki pengertian penyangkalan; peniadaan; kata sangkalan (msl kata tidak, bukan). Selain KBBI, beberapa ahli Indonesia juga memberikan pengertian negasi seperti dipaparkan di bawah ini. Ramlan menyatakan negasi dengan negatif sebagai dasar penggolongan klausa dengan menegatifkan predikatnya. Berdasarkan hal itu, Ramlan menggolongkan ada klausa negatif, yaitu klausa yang memiliki kata-kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat. Kata-kata negatif itu ialah tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan (1981:109). Chaer (2015:206) juga menyatakan negasi dengan negatif sebagai dasar penggolongan kalimat. Dinyatakannya bahwa kalimat negatif dibentuk kalimat (klausa) positif dengan cara menambahkan kata-kata negasi atau kata sangkalan ke

360 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dalam klausa (kalimat) dasar. Kata-kata sangkalan itu adalah kata tidak atau tak, bukan, tiada, dan tanpa. Secara garis besarnya ketiga pengertian negasi di atas memiliki kesamaan, tetapi Ramlan memakai istilah negatif dan Chaer menggunakan istilah negasi dan negatif. Juga ada perbedaan dalam hal kata-kata negasi. Pada tulisan ini digunakan kata-kata negasi dari ketiganya yang telah disebutkan di atas sebagai referensi. Berikut ini adalah bentuk negasi yang ditemukan dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki karya Djenar Maesa Ayu. 1) Kata Negasi tak Kata negasi tak ini ditemukan sangat banyak mulai dari halaman depan sampai halaman belakang. Perhatikan data berikut. 1. Ia tahu segalanya tak pernah lagi sama (KKDB) 2. Aku tetap tak berani mengangkat wajah (RR). 3. Saya diliputi rasa yang tak pernah bisa diterjemahkan (KPK) 4. Saya tak ingin dibohongi . . . (MDKM).

2) Kata negasi tidak Kata negasi tidak ditemukan pada data berikut. 1. Dia tidak tahu . . . (CHBE). 2. Ketika itu saya tidak menjawab (MKWT). 3. Aku tidak punya pilihan (RR). 4. Gitar tidak pernah bertanya (RUKS).

3) Kata negasi jangan Kata negasi jangan ditemukan pada data berikut. 1. Jangan hubungi aku (KKDB). 2. Jangan berbohonglah kamu (RUKS).

4) Kata negasi bukan Kata negasi bukan ditemukan pada data berikut. 1. Bila ia bukan pelanggan . . ., pasti pelayan itu sudah mengusirnya (KKDB). 2. Walaupun bukan merah darah warnanya, . . .(CHBE).

5) Kata negasi tanpa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 361 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kata negasi tanpa ditemukan pada data berikut. 1. Ia terlihat bingung . . . tanpa hilang senyum (MKWT). 2. Beginikah selesainya? Tanpa penjelasan. Tanpa pertukaran kata (NDBK).

6) Kata negasi tiada Kata negasi tiada ditemukan pada data berikut. 1. Dia ingat betul kampungnya yang sudah tiada (CHBE). 2. Bagaimana mencari rasa, jika satu-satunya hati yang ia punya telah tiada (NDBK).

7) Kata negasi belum Kata negasi belum hanya ditemukan pada satu data berikut. 1. Mah, kamu belum tidur? (RK).

8) Kata negasi gak Kata negasi gak ini ditemukan bervariasi dengan kata negasi nggak. Perhatikan pada data berikut. 1. Aku hari ini gak bawa balsem (BL) 2. Sama sekali nggak masuk akal (RUKS). Berdasarkan penemuan bentuk-bentuk negasi di atas, fungsi/kegunaannya dalam kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki ini dapatlah diketahui bahwa bentuk-bentuk negasi tersebut berfungsi/berguna untuk menyangkal kategori yang didampinginya. Di bawah ini dipaparkan secara terperinci. 1. Fungsi kata negasi tak, tidak, dan gak/nggak. Kata negasi tak merupakan bentuk singkat kata negasi tidak dan kata negasi gak yang bervariasi dengan nggak merupakan variasi dari sudut ragam bahasa dari kata negasi tidak juga. Keempat bentuk kata negasi tersebut berfungsi untuk menyangkal sesuatu baik berupa tindakan atau perbuatan maupun kejadian. Untuk menyatakan fungsi tersebut, keempat bentuk kata negasi itu berada pada tempat sebelum kategori verba atau adjektiva. Lihat data berikut. 1. Aku tetap tak berani mengangkat wajah (RR). 2. Gelas birnya sudah tidak berbusa (KKDB). 3. Aku hari ini gak bawa balsem (BL). 4. Sama sekali nggak masuk akal (RUKS).

362 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada data 1 di atas tempat kata negasi tak sebelum kategori adjektiva berfungsi untuk menyangkal keadaan. Pada data 2 tempat kata negasi tidak sebelum kategori verba berfungsi untuk menyangkal keadaan. Pada data 3 tempat kata negasi gak juga sebelum kategori verba berfungsi untuk menyangkal perbuatan dan pada data 4 kata negasi nggak berposisi sebelum kategori verba juga dengan fungsi untuk menyangkal keadaan.

2. Fungsi kata negasi jangan Kata negasi jangan berfungsi untuk menyangkal perbuatan. Adapun tempatnya adalah sebelum kategori verba atau adjektiva seperti pada data 1 dan 2 di bawah ini. 1. Jangan hubungi aku (KKDB). 2. Jangan bohonglah kamu (RUKS). 3. Fungsi kata negasi bukan

Kata negasi bukan berfungsi untuk menyangkal keberadaan nomina. Untuk mencapai fungsi itu, kata negasi tersebut ditempatkan sebelum kategori nomina seperti pada data di bawah. 1. Wajah di depan saya bukan lelaki tampan . . . (MKWT). 4. Fungsi kata negasi tanpa

Kata negasi tanpa berfungsi sama halnya dengan kata negasi bukan, yakni berfungsi untuk menyangkal nomina juga. Kata negasi tanpa juga berfungsi untuk menyangkal tindakan atau perbuatan. Untuk hal itu, kata negasi tanpa ditempatkan sebelum kategori nomina dan verba. Perhatikan data 1 (sebelum kategori nomina) dan data 2 (sebelum kategori verba) berikut ini. 1. Mata-mata tanpa bola mata hitam . . . (CHBE) 2. Ia terlihat bingung . . . tanpa hilang senyum (MKWT).

5. Fungsi kata negasi tiada Kata negasi tiada berfungsi untuk menyangkal sesuatu dengan menempatkannya di akhir kalimat. Kata negasi tiada ini bermakna ‘tidak ada’. Oleh karena itu, Djenar Maesa Ayu mengemas idenya yang bermakna ‘tidak ada’ dalam

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 363 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kalimat negatif dengan kontsruksi menaruhnya di akhir kalimat. Perhatikan data di bawah ini. 1. Bagaiman mencari rasa, jika satu-satunya hati yang ia punya telah tiada? (NDBK). 2. Dia ingat betul kampungnya yang sudah tiada (CHBE).

6. Kata negasi belum Kata negasi belum sudah disebutkan sebelumnya hanya ditemukan pada satu data. Fungsinya untuk menyangkal perbuatan ; sama dengan kata negasi tidak. Akan tetapi, ada perbedaanya. Penggunaan kata negasi belum menyatakan sesuatu akan dilakukan. Lihat satu data berikut. 1. Mah, kamu belum tidur? (RK).

3. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk- bentuk negasi yang ditemukan pada kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-Laki berupa kata-kata negasi yang berfungsi untuk menyangkal kategori yang didampinginya. Kata-kata negasi yang ditemukan itu adalah kata negasi tak, tidak, jangan, bukan, tanpa, tiada, belum, gak, dan nggak. Kata negasi tak merupakan bentuk singkat kata negasi tidak dan kata negasi gak yang bervariasi dengan nggak merupakan variasi berdasarkan ragam bahasa dari kata negasi tidak juga. Untuk mencapai fungsi penyangkalan kata-kata negasi itu, Djenar Maesa Ayu menempatkannya sebelum kategori yang didampinginya kecuali kata negasi tiada yang bermakna ‘tidak ada’. Kata negasi tiada ditempatkannya di posisi akhir kalimat.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Djenar Maesa. 2011. 1 Perempuan 14 Laki-laki. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anderson, Edmund A. 1996. “Pengetahuan Linnguistik dan Proses Belajar- Mengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing Beberapa Masalah Masa Kini” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing . 1996. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

364 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Chaer, Abdul . 2015. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.

Octarini, Eighty Risa. 2017. “Proses Pembentukan Kata dalam Kumpulan Cerpen 1 Perempuan 14 Laki-laki Karya Djenar Maesa Ayu. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar.

Ramlan, Prof. Drs. M. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis Yogyakarta: UP.Karyono.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. KamusBesar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Cetakan keempat. Jakarta: Balai Pustaka.

CAMPUR KODE PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA OLEH PENGGUNA LAYANAN INTERNET INDOSAT OOREDOO

Oleh Ni Wayan Arnati

Abstrak

Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan dan fungsi penting dalam masyarakat, seperti, baik untuk penggunaan dan pengguna layanan internet Indosat Ooredoo. Indosat Ooredoo sebagai salah satu pelayanan telekomunikasi digital dengan menggunakan bahasa Indonesia mempunyai jaringan di Indonesia dari tahun berdiri 1967 sampai sekarang. Dalam usia setengah abad (51 tahun) pelayanan telekomunikasi tersebut belum memadai sesuai keinginan pengguna layanan, sehingga pengguna layanan tersebut melontarkan komunikasi dengan memakai campur kode dalam situasi tidak resmi. Campur kode sebagai media komunikasi yang digunakan oleh pengguna layanan internet dengan motif-motif (tujuan) tertentu. Di sisi lain juga sebagai kreativitas berbahasa bagi para pengguna layanan internet. Tujuan kajian ini untuk mengangkat data dan keterangan tentang jenis-jenis, kelas kata, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada pemakai bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet. Di samping itu, memberikan sumbangan terhadap ilmu bahasa khususnya di bidang sosiolinguistik. Dalam kajian ini, penulis menggunakan metode dan teknik perolehan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik menyajikan hasil analisis. Teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan campur kode yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1972). Hasil kajian diperoleh berupa jenis-jenis campur kode ke dalam dan campur kode ke luar, kelas kata benda, kata kerja, dan kata sifat, serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode (faktor penutur, faktor bahasa, dan tujuan pembicaraan).

1. Pendahuluan Bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki peranan (kedudukan) dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masyarakat. Kehidupan manusia sehari-hari dalam masyarakat memang selalu berkaitan dengan masalah bahasa, karena bahasa sebagai alat ekspresi, alat komunikasi, baik untuk mengadakan integrasi maupun adaptasi sosial, dan untuk mengadakan kontrol sosial dalam masyarakat (Keraf,1984: 3). Fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 365 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 366 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pendidikan dan Kebudayaan, 1980: 21). Sedangkan, kedudukan bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980: 21). Dalam kedudukan dan fungsi penting yang dimiliki bahasa Indonesia, layanan internet Indosat Ooredoo memilih menggunakan bahasa Indonesia. Peranan (kedudukan) dan fungsi penting bahasa Indonesia itu tercantum, baik berkedudukan sebagai bahasa nasional maupun bahasa negara. Berkedudukan sebagai bahasa nasional (28 Oktober 1928) yang salah satu fungsinya adalah sebgai alat (media) prhubungan antardaerah dan antarbudaya. Demikian pula, salah satu fungsi bahasa Indonesia dalam berkedudukan sebagai bahasa negara (UUD 1945, Bab XV, Pasal 36) adalah sebagi alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kedua fungsi bahasa Indonesia tersebut digunakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi digital di Indonesia. Salah satu perusahaan pelayanan telekomunikasi digital di Indonesia adalah Indosat Ooredoo. Indosat sebagai salah satu pelayanan telekomunikasi digital dengan menggunakan Bahasa Indonesia mempunyai jaringan di Indonesia yang mulai berdiri tahun 1967. Indosat didirikan sebagai perusahaan penanaman modal asing pertama di Indonesia yang menjadikan layanan telekomunikasi internasional melalui satelit internasional. Indosat berkembang pada tahun 1980 menjadi perusahaan telekomunikasi pertama dibeli dan dimiliki 100% oleh pemerintah Indonesia. Dalam perkembangannya tahun 1994 Indosat menjadi perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia di New York Stock Exchange, pemerintah dan publik masing-masing memiliki 65% dan 35% saham. Pada tahun 2008 Indosat dimiliki oleh Qatar Tekcom dengan kepemilikan saham (65%)pemerintah Indonesia (14,29%), dan publik (20,71%). Kemudian tahun 2014 Indosat resmi berganti nama menjadi Indosat Ooredoo. Dalam usia setengah abad lebih (51 tahun) pelayanan telekomunikasi digital Indosat Ooredoo belum memadai sesuai keinginan pengguna layanan, sehingga pengguna layanan tersebut melontarkan komunikasi dengan pemakaian campur kode. Pemakaian campur kode dalam berkomunikasi digunakan oleh pengguna

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 367 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 layanan kepada perusahaan Indosat Ooredoo dalam situasi tidak resmi. Penggunaan campur kode dalam pemakaian bahasa tersebut sebagai salah satu kreativitas berbahasa dengan motif-motif tertentu. Campur kode pemakaian Bahasa oleh pengguna layanan internet itu sebagai media komunikasi. Menurut Webster New Collegiate Dictionary (1981) komunikasi adalah suatu proses yakni informasi antarindividual ditukarkan melalui sistem simbol, tanda atau tingkah laku umum (Al Wasilah, 1985: 9). Berdasarkan latar belakang di atas,masalah yang dibahas dalam kajian ini adalah sebagai berikut. 1) Jenis campur kode yang terdapat dalam pemakaian bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo, jika dilihat dari asal usul serapan bahasa. 2) Kelas kata apa saja yang ada (dominan) dalam campur kode. 3) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya campur kode. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perbendaharaan penelitian ilmu bahasa, dan sebagai pedoman (petunjuk) bagi penulis yang ingin mengkaji tentang sosiolinguistik yang berguna bagi perkembangan kelinguistikan. Di sisi lain, pengkajian ini untuk mengetahui jenis campur kode dan untuk mengetahui kelas kata, serta faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada pemakaian bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo. Pengkajian masalah ini bermanfaat sebagai acuan dalam pengkajian berikutnya dan memberikan sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Metode dan teknik digunakan dalam tulisan ini mencakup metode dan teknik perolehan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil pengkajian. Metode perolehan data menggunakan metode observasi secara tidak langsung karena data diperoleh melalui bahasa tulis yang telah direkam dalam internet dengan menggunakan teknik catat (Sudaryanto, 1986: 33). Analisis data secara deskriptif sinkronik menggunakan metode padan. Metode padan yaitu metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa bersangkutan. Metode padan dalam penelitian ini menggunakan alat penentu pengawet bahasa, yaitu bahasa tulis (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik yang digunakan

368 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dalam menganalisis penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu. Teknik ini dipakai untuk menentukan kelas kata-kata yang mengalami campur kode. Penyajian hasil analisis menggunakan metode informal dengan teknik penyajian induktif. Populasi penelitian ini mencakup keseluruhan pemakaian campur kode yang digunakan oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo. Sampel penelitian adalah beberapa pemakaian bahasa yang ada campur kode selama tahun 2017. Campur kode merupakan percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi kebahasaan yang menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1984: 32). B.B.Kachru memberikan definisi campur kode yaitu pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Batasan campur kode oleh Fasold (1984) diberikan lebih sempit hanya pada tataran kata dan frasa karena jika hingga klausa sudah termasuk alih kode (Suwito, 1983: 76). Kajian ini menggunakan teori sosiolinguistik yang dikemukakan oleh Dell Hymes (1972) bahwa bahasa berhubungan pula dengan gejala sosial (Nababan, 1984). Setiap gejala sosial yang berbeda akan menghasilkan ragam bahasa yang berbeda dalam komunikasinya. Teori tersebut menjelaskan mengenai unsur-unsur yang mempengaruhi suatu tindak bahasa. Unsur-unsur tersebut ditulis dalam bentuk singkatan SPEAKING (setting dan scene, participant, ends, actsequencis, key, instrumentalities, norms, dan genres) (Jendra, 2007: 68).

2. Pembahasan Masalah yang dibahas dalam kajian ini menyangkut tiga hal yaitu 1) jenis campur kode ke dalam dan campur kode ke luar, 2) kelas kata dalam campur kode, 3) faktor-faktor yang menyebabkan terjadi campur kode pengguna layanan internet Indosat Ooredoo. Uraian ndan kajian lebih jelas dijabarkan seperti berikut.

2.1 Jenis Campur Kode ke Dalam dan Campur Kode ke Luar Campur kode seperti dijelaskan di atas bahwa percampuran dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi kebahasaan itu yang menuntut percampuran bahasa itu (Nababan, 1984: 32).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 369 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pada peristiwa campur kode, ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Fungsi kebahasaan merupakan kehendak yang ingin dicapai oleh penutur dalam tuturannya bercampur kode. Sedangkan, peranan adalah penutur yang menggunakan bahasa tersebut (Suwito, 1983: 75). Campur kode berdasarkan jenis dibedakan menjadi dua yaitu campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam adalah percampuran bahasa (kode) terjadi dalam berkomunikasi yang berasal dari bahasa serumpun. Begitu pula, campur kode ke luar adalah campur kode terjadi dengan menyerap unsur-unsur bahasa asing. Berkut dijabarkan campur kode ke dalam dan campur kode ke luar dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo.

A. Campur kode ke dalam 1) Telkomsel, Indosat, 3 registrasi kartu baru bikin ribet. 2) @ indosatcare min udh dpt sms dr indosat tpi tetap aja blm bisa akses internet masih GSM jaringannya. 3) Min Indosat di tempatku biasa bermasalah … lemot banget.

Berdasarkan data di atas, penggunaan bahasa Indonesia oleh pengguna layanan internet Indosat Ooredoo terjadi penyusupan bahasa daerah dan bahasa gaul. Hal ini dapat dilihat pada data (1) bikin ribet yang berarti “membuat rumit”. Data (2) … Indosatcare min udh dpt sms dr indosat tpi tetap aja blm … menggunakan singkatan kata yang artinya: min (administrasi) pelayanan Indosat sudah dapat sms dari Indosat tetapi tetap saja belum bisa akses …. Data (3) lemot banget “lambat sekali”. Kelompok kata (bikin ribet, lemot banget) yang dipakai itu adalah variasi bahasa gaul.

B. Campur kode ke luar (4) @ Indosatcare, kenapa sekarang Indosat sulit banget buat nelpon sering trouble. Malah sekarang trouble gak selesai-selesai. (5) @ Indosatcare ok tq admin semoga kualitas signal Indosat di desa-desa lebih bagus dr yang sekarang, sukses selalu Indosat.

370 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Berdasarkan data (4) Indosatcare berarti ”pelayanan Indosat” … trouble berarti bermasalah. Pada data (5) ok tq dan dr adalah singkatan kata (kelompok kata) bahasa asing (Inggris) yaitu okey dan thank you dan dari. Kesemua data campur kode ini merupakan campur kode ke luar.

2.2 Kelas Kata dalam Campur Kode Kata merupakan satuan bahasa yang paling kecil atau dengan kata lain setiap satuan bebas (dalam bahasa) merupakan kata (Ramlan, 1987:33). Penggolongan kata menurut Keraf (1969) dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi empat jenis yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas berdasarkan kesamaan morfem-morfem yang membentuk kata (Kridalaksana, 1986: 25). Berikut disajikan dan dikaji data campur kode berdasarkan kelas kata.

A. Campur kode kata benda (6) @ Indosat Ooredoo halo min, apakah indosat ooredoo bersedia menjadi sponsorship di acara sekolah? (7) … trus lampu indikator lossnya nyala, kenapa tuh min? (8) Bener banget di rumah gua indosat lelet banget. Berdasarkan data (6) kata sponsorship berarti “penyokong” , pada data (7) kata min berarti “administrasi”, dan pada data (8) kata gua berarti “saya”. Ketiga data di atas (sponsorship, min, dan gua) sebagai kata benda.

B. Campur kode kata kerja (9) @ Indosatcare yups bener itu iklan cipika bukanya dari Indosat itu nganggu banget. (10) Asyik bisa menangin dari Indosat. (11) Kok tiba-tiba ilang signal, sdh 2x restart. Berdasarkan data (9), (10), dan (11) (nganggu, menangin, restart) yang berarti “mengganggu”, “memenangkan”, “menghidupkan ulang” adalah campur kode kata kerja dari bahasa daerah dan bahasa asing.

C. Campur kode kata sifat (12) Terima kasih aja deh buat Indosat Ooredoo pemberitahuanmu kami terima, feeling sad.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 371 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(13) @Indosatcare ada apa ini signal internet jelek banget. Berdasarkan data (12) dan (13) yakni feeling sad berarti “perasaan sedih” dan jelek banget adalah kelompok kata dalam campur kode kata sifat.

2.3 Faktor-faktor Penyebab Campur Kode Faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada pengguna layanan internet Indosat Ooredoo adalah peserta bicara (penyedia internet dan pemakai internet), media bahasa yang digunakan, dan tujuan pembicaraan. Penyedia internet Indosat Ooredoo memberikan pelayanan kurang memadai kepada para pengguna sehingga para pengguna memakai bahasa campur atau campur kode. Media bahasa yang digunakan oleh pengguna layanan internet beragam karena mereka menguasai khasanah kosa kata bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing (bahasa Inggris), serta ragam bahasa gaul. Pembicaraan pengguna layanan internet Indosat Ooredoo menggunakan campur kode. Tujuan penggunaan campur kode agar perusahaan tersebut cepat tersentuh oleh informasi yang disampaikan dan cepat tanggap terhadap pelayanannya.

3. Simpulan Berdasarkan uraian dan kajian masalah di atas dapat disimpulkan bahwa ditemukan campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Ditemukan juga kelas kata (kata benda, kata kerja, dan kata sifat) dalam campur kode, dan faktor-faktor yang menyebabkan campur kode. Penggunaan bahasa campur (campur kode) ditemukan dalam bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, bahasa Inggris, dan ragam bahasa gaul.

DAFTAR PUSTAKA

Bloomfield, Leonard. 1939. Linguistics Aspects of Science, International Encyclopedia of Unifield Science. Chicago: The University.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

372 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981a. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981b. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Balckwell.

Jendra, I Wayan. 2007. Ssosiolinguistik, Teori dn Penerapannya.: Yogyakarta: SABDA.

Keraf, Gorys. 1994. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Nababan, PWJ. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Nababan, PWJ. Dan Sri Utari Subyakto. 1992. Sosiolinguitik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Duta WacanaUniversity Press.

Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik, Cetakan II. Yogyakarta: SABDA.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Weinrich, U. 1979. Language in Contact Findings and Problem. The Ha: Mouton Publisher.

TEKS LAGU POP BALI BILINGUAL: ANALISIS LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL

Oleh: Putu Sutama Tjokorda Istri Agung Mulyawati I Nyoman Darsana

PRODI SASTRA BALI, FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA E-mail: [email protected]

Abstrak

Bahasa Bali adalah bahasa ibu bagi masyarakat etnis Bali. Kedudukan dan fungsi bahasa Bali sangat penting dalam kehidupan social budaya. Salah satu fungsi bahasa bali adalah dalam ranah seni. Salah satu seni yang dimaksud adalah seni tarik suara, khususnya seni dalam lagu pop bali. Lagu pop Bali umumnya menggunakan bahasa Bali secara utuh. Namun demikian, dalam perkembangan muncul istilah lagu pop Bali Modern atau disebut juga lagu pop Bali Bilingual. Pada lagu pop Bali bilingual ini ternyata lirik-liriknya menggunakan dua bahasa atau lebih. Lagu pop Bali Bilingual secara tekmatis bernuansa budaya Bali padahal bahasa yang digunakan baik pada judul maupun isinya menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Asing.

Kata Kunci: bilingual, leksikogramatikal, sistemik fungsional.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Bali untuk selanjutnya disingkat dengan BB, adalah bahasa ibu bagi masyarakat suku Bali. BB memiliki keduudkan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali, seperti dalam bidang Adat- istiadat, Agama dan kesenian. Dalam bidang Adat-istiadat, BB digunakan sebagai media komunikasi secara utuh dan murni namun demikian, dalam bidang Agama, BB terlihat digunakan dalam bentuknya yang sudah mengalami akulturasi dengan bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Sanskerta; terutama dalam teks Saa, Kidung, dan Mantra. Pada teks Saa dan Kidung, bentuk bahasanya disebut sebagai bahasa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 373 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 374 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bali-Kawi, sedangkan pada teks Mantra, bentuk bahasanya berupa campuran antara BB dengan bahasa Sanskerta.

Fenomena yang menarik tentang penggunaan BB juga terjadi pada bidang Kesenian. Pada seni Pedalangan (wayang) misalnya, penggunaan bahasa dalam pementasannya menggunakan dua bahasa atau lebih yaitu bahasa Kawi (Jawa Kuna), BB, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Pada kesenian lainnya, seperti Drama Gong, selain BB sebagai media utama, juga digunakan bahasa campuran; terutama dalam dialog lawakan oleh para punakawan. Dan pada bidang seni suara khususnya seni lagu Pop Bali, muncul fenomena yang sama yaitu adanya penggunaan bahasa campuran antara BB dengan bahasa lainnya.

Fakta adanya dinamika dan varian penggunaan BB bercampur dengan bahasa lain terutama pada teks lagu Pop Bali, sangat menarik untuk dicermati. Bila secara tradisi, penulisan teks lagu Pop Bali tradisional sepenuhnya menggunakan BB murni, kini pada teks lagu Pop Bali modern sudah mulai menggunakan BB yang tidak murni atau tidak utuh, karena sudah dicampur dengan bahasa lain, terutama bahasa Indonesia.

Secara turn-temurun, lagu Pop Bali tradisional sangat disenangi oleh masyarakat Bali, selain karena bahasanya murni BB, juga karena iringan musiknya mayoritas menggunakan iringan musik selendro atau keroncong. Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, kini muncul istilah lagu Pop Bali modern dengan berbagai genre serta menggunakan media BB bercampur dengan bahasa lain (multibahasa).

Lagu Pop Bali dengan bahasa campuran disebut juga sebagai lagu Pop Bali Bilingual atau menggunakan dua bahasa atua lebih, lagu Pop Bali jenis ini, juga sangat diminati oleh berbagai kalangan usia, baik internal suku Bali dan juga digemari oleh suku lainnya (Meita Sari, 2016).

Berdasarkan uraian di atas, fenomena dan fakta adanya lagu Pop Bali Bilingual ini snagat menarik untuk diteliti. Terutama dari sudut pandang Ilmu Bahasa Bali. Hasil penelitian ini akan mampu menjelaskan berbagai latar belakang,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 375 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 alasan, serta faktor-faktor sosial budaya yang menyebabkan terjadinya fakta tersebut. Oleh sebab itu penelitian ini snagat penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dari dimensi ilmu teks (tekstologi), ada sejumlah masalah yang perlu dikaji. Namun demikian, pada rencana penelitian ini, difokuskan 3 buah masalah dengan rumusan pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual? 2) Bagaimanakah struktur teks lagu Pop Bali Bilingual? 3) Bagaimanakah komposisi leksiko-gramatikal teks lagu Pop Bali Bilingual.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui fenomena dan kecenderungan adanya perubahan secara sosio-budaya tentang penggunaan bahasa campuran pada teks lagu Pop Bali modern. Fenomena tersebut melahirkan fakta adanya lagu Pop Bali Bilingual yang menggunakan BB dan bahasa Indonesia serta bahasa lainnya. Adanya fakta tersebut perlu dikaji dengan dijelaskan secara linguistik. Kajian secara lebih spesifik bertujuan memahami teks lagu Pop Bali Bilingual, sesuai permasalahan-permasalahan yang diajukan pada rumusan masalah di atas.

1.4 Urgensi Penelitian Penelitian ini sangat penting untuk pengembangan Ilmu Bahasa, khususnya dalam bidang ilmu tekstologi. Teks lagu sebagai bentuk penggunaan BB merefleksikan cara berpikir penuturnya serta sebagai wujud sikap bahasa berkaitan dengan pemertahanan bahasa atau disebut sebagai loyalitas berbahasa atau dalam dimensi lain, kehadiran bahasa lain dalam satu teks lagu hanya semata-mata tuntutan estetika ataukah stilistika. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan adanya informasi yang terukur berkaitan dengan lagu Pop Bali Bilingual.

Secara praktis, penelitian ini akan bermanfaat bagi penutur BB, karena hasil penelitian ini menyajikan deskripsi objektif tentang penggunaan BB yang tidak utuh lagi. Bagi pengarang lagu dan penyaji lagu Pop Bali, juga akan disadarkan tentang apresiasi penggunaan bahasa mereka secara realistis, dan hasil penelitian

376 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ini dapat dijadikan pengetahuan berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana caranya menajdi loyal dan cinta terhadap bahasa ibu orang Bali yaitu BB, sehingga BB tetap tumbuh, berkembang dan lestari.

II. METODOLOGI 2.1 Sumber Data Data penelitian ini adalah teks lagu bilingual yang dinyanyikan oleh Kiss Band, Leeyong Sinatra, Mercy Band, Nanoe Biru, XXX Band, dan Raja Band. Adapun korpus data dari penelitian ini adalah 2 lagu yang berjudul : Suba Peteng Yang (Kiss Band) dan Penghianat Cinta (Mercy Band).

2.2 Teori Acuan Kajian pustaka sangat penting manfaatnya dalam suatu penelitian. Kedudukan serta relevansi penelitian menjadi lebih terukur dan dapat diketahui oleh peneliti lain dari dimensi keilmuan (Chaer, 2007). Penelitian mengenai lagu Pop Bali sudah banyak dilakuakn sebelumnya. Berikut ini disajikan tema penelitian yang telah ada. 1. Antari (2004) meneliti lagu Pop Bali dengan judul “Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna Teks Lagu Pop Bali”. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa lagu Pop Bali berbentuk puisi, yang dimusikalisasi dengan paduan nada pentatonik dan diatonik, dengan paduan komposisi laras pelog dan selendro yang harmonis. Penyelipan bentuk-bentuk majas tradisional (seperti wewangsalan, sesonggan, tetingkesan, parikan, sesimbung dan sesenggakan) cukup efektif untuk menajamkan kekhasan citra budaya Bali dan juga realitas sosial masyarakat Bali. Sedangkan dari segi fungsi, secara umum sebagai sarana hiburan sehari- hari dalam masyarakat dan dari segi maknanya, lagu Pop Bali mengandung makna denotatif, konotatif, makna budaya dan makna spiritual. Penelitian ini menggunakan pendekatan dari sudut pandang kajian Budaya. 2. Manuaba (2011) meneliti lagu Pop Bali dengan judul “Campur Kode Pemakaian Bahasa Bali Pada Teks Lagu Pop Bali”. Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang bentuk-bentuk campur kode yang ada, meliputi ciri- ciri campur kode, komposisi cmapur kode, asal bahasa campur kode, wujud

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 377 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

campur kode, dan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode. Penelitian ini menggunakan landasan teori Sosiolinguistik. 3. Meita Sari (2016) melakukan penelitian lagu Pop Bali dengan judul “Alih Kode Pada TeksLagu Pop Bali Bilingual”, dengan landasan teori Sosiolinguistik. Hasil penelitian mendeskripsikan tentang macam dan ciri alih kode, bentuk alih kode dan arah alih kode, serta faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode. Ketiga penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu mengambil objek yang sama atau mirip yaitu lagu Pop Bali atau Teks Lagu Pop Bali Bilingual. Sedangkan perbedaannya terletak pada dimensi teoritis yaitu, penelitian sebelumnya mengkaji objek dengan teori sosiolinguistik dan pendekatan kajian Budaya, sedangkan penelitian ini berlandaskan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Dengan sudut pandang Teori Linguistik Sistemik, hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi terhadap model kajian bahasa pada tataran teks secara linguistik. Penelitian ini akan melengkapi penelitian sebelumnya yang bertemakan dimensi budaya, dan sosial dalam konteks ancaman dan kemerosotannya. Penelitian ini merupakan upaya berkelanjutan untuk mengevaluasi terjadinya degradasi BB dalam berbagai ranah kehidupan penutur BB.

2.2.1 Konsep Konsep merupakan penegasan tentang definisi sehingga tidak menjadi bias dan tidak keliru menempatkannya pada konteks tematis. Konsep dapat berupa generalisasi yang spesifik sehingga dapat diukur dan dimaknai (Efendi, 1995, Mardalis, 1995). Pada penelitian ini, konsep yang perlu ditegaskan adalah:

2.2.2 Teks Teks merupakan rekaman penggunaan bahasa. Kata teks berasal dari bahasa lain “textus” yang berarti sesuatu yang dijalin secara bersamaan (Hodge dan Kress, 1988). Teks adalah bahasa yang berfungsi dalam konteks tertentu (Halliday dan Hasan, 1976, 1992). Teks dapat berbentuk lisan, tulisan, dan juga berupa prosa, sajak, dialog dan monolog. Teks lagu berarti penggunaan bahasa untuk menuliskan syair lagu.

378 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2.2.3 Lagu Pop Bali Lagu Pop bali adalah lagu berbahasa Bali dengan genre pop yang menggunakan iringan musik dengan paduan nada pentatonik dan diatonik, dengan komposisi laras-pelog dan selendro (band. Antari, 2004). Lagu Pop Bali dijumpai dalam bentuk teks tertulis, ada yang menggunakan BB murni, dan ada juga menggunakan BB bercampur dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bhasa Jepang dan Bhasa Jawa (Meita Sari, 2016).

2.2.4 Lagu Pop Bali Bilingual Bilingual artinya dua bahasa. Kata Bilingual berkaitan dengan istilah bilingualisme (bilingualism). Dalam Sosiolinguistik bermakna kedwibahasaan yaitu penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian (Fishman, 1975, Mackey, 1972). Lagu Pop Bali Bilingual berarti teks tulis lagu Pop Bali yang menggunakan dua bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa komposisi BB sebagai urutan pertama, kemudian diikuti penggunaan bahasa lainnya. Dapat juga terjadi bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sebagai posisi pertama, kemudian diikuti dengan BB. Atau dapat juga saling bertukar urutan posisi secara bergantian.

2.2.5 Landasan Teori Kajian ini menggunakan acuan teori Linguistik Seistemik Fungsional (LSF) yang dikembangkan oleh Hallday tahun 1925 (Hallday, 1985). Ada 4 gagasan utama teori ini yaitu unit, sistem, struktur dan kelas. Setiap pemakaian bahasa yang fungsional dapat dipahami dari sudut pandang LSF (Saragih, 2002, Alwassilah, 1985). LSF memfokuskan kajian terhadap bahasa dalam unit teks. Teks merupakan wujud bahasa yaitu sebagai realitas, sebagai realitas sosial dan juga sebagai realitas semiotik. Hallday dan Hasan (1992) menjelaskan teks sebagai bahasa yang berfungsi. Dalam teks ada konteks sosial dan budaya (Martin, 1992, Saragih, 2003). LSF juga menaruh perhatian dalam pembelajaran bahasa dengan fokus pada kompetensi berbahasa atau kompetensi komunikasi dan juga disebut sebagai kompetensi memproduksi teks (Sutama, 2012).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 379 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

III. PEMBAHASAN 3.1 Teks Lagu Pop Bilingual Linguistik sistemik fungsional memfokuskan diri pada kajian teks dalam konteks sosial. Teks dipahami sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks tertentu (Halliday, 1994, Dijk, 1986, Hodge an Kress, 1998). Bahasa yang fungsional memberikan makna bagi penggunanya. Itulah sebabnya teks dapat mengikat pemakai bahasa secara alamiah. Teks memiliki fungsi tertentu, seperti: 1) Fungsi informasi 2) Fungsi peringatan 3) Fungsi petunjuk

Teks Lagu Pop Bali Bilingual, juga seperti konsep diatas. Selain terikat konteks juga memiliki fungsi-fungsi seperti diatas. Dan secara keseluruhan bermakna bagi pendengarnya. Ada ciri khusus tentang teks ini yaitu (a) berbentuk lagu, yakni syair yang dinyanyikan secara berirama, (b) berjenis pop atau populer, diperuntukkan bagi orang banyak, (c) Bali yang bermakna daerah yang mengacu kepada budaya Bali, dan (d) Bilingual yaitu menggunakan dua bahasa atau lebih (Yasin, 1997. Meita Sari, 2016).

3.2 Bentuk Teks Teks Lagu Pop Bali Bilingual, dilihat dari bentuk susunan penyajiannya adalah berbentuk puitif yaitu seperti susunan karya sastra puisi secara umum. Syair- syairnya merupakan kombinasi yakni ada yang seperti susunan pantun yaitu setiap bait terdiri atas empat baris, dan ada juga yang merupakan bentuk puisi yang bait- baitnya terdiri atas susunan delapan baris, tujuh baris, dua baris, lima baris, enam baris, sembilan baris, sepuluh baris, dan juga lebih dari sepuluh baris. Dengan kata lain, bentuk teks lagu pop Bali Bilingual, tidak memiliki aturan yang pasti atau ketat terkait dengan jumlah bait maupun jumlah barisnya, suku kata setiap baris, maupun ikatan lainnya. Di bawah ini disajikan teks lagu pop Bali Bilingual.

1) Judul lagu ‘Suba Peteng Yang’. Artis : Kiss Band Suba Peteng Yang Suba Peteng Yang mulih mih Cukup untuk hari ini

380 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Baby you have got to bilieve me

Suba Peteng Yang balik mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani

Apang tusing kenyel buin mani Cukup untuk hari ini Cukup untuk hari ini

Suba Peteng Yang cabut mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani

Baby you have got to believe me Baby you have got to believe me Baby you have got to believe me

2) Judul lagu ‘Penghianat Cinta’ Artis : Mercy Band Penghianat Cinta Beli mula tusing enu majalan jak iluh Beli mula tusing enu buin percaya jak iluh Feeling Beline merasakan, Adi suba sing jujur jak beli Feeling Beline merasakan Adi menyimpan sesuatu jak beli Nanging sing makelo majalan Curiga beli dadi mabukti Ternyata adi suba bani bermain api di belakang beli Semua ini baru kusadari Ternyata janji adi imitasi Tusing peduli dengan harga diri Dimata adi tuah materi Reff: Kamu wanita memang penghianat Kamu wanita memang licik pintar berdusta Kamu wanita memang penghianat Cinta Kamu wanita pintar bersandiwara

Teks Lagu Pop Bali bilingual ini memiliki fungsi yang sangat lengkap sehingga keberadaannya setara dengan teks lagu pop Bali yang monolingual. Dalam pandangan linguistik sistemik, kedudukan lagu Pop Bali ini, dengan berbagai aliran musik yang ada adalah sama yaitu sebagai penggunaan bahasa yang fungsional; berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja segmen pasarnya mungkin

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 381 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang membedakan. Seperti mislanya kelompok umur, latar belakang budaya dan lingkungan sosialnya. Apabila teks Lagu Pop Bali monolingual berciri khas ‘sangat kedaerahan’ seperti: idiom musiknya visi-misi, nada khasnya yaitu pelog-selendro, pada teks Lagu Pop Bali Bilingual, ciri khasnya sudah agak dinamis yaitu syairnya atau liriknya menggunakan bahasa campuran dan nadanya pun sudah agak nasionalis. Sepintas secara samar-samar mirip dengan nada musik pop Indonesia.

Pada teks (1), dilihat dari judul lagu, menggunakan kalimat judul bahasa Bali: Suba Peteng Yang. Syair lagu terdiri atas 2 bait yaitu bait I terdiri atas 6 baris dan bait II terdiri atas 9 baris.

Pada bait I, kalimat baris no. 1 menggunakan BB. Kalimat no.2 bahasa Indonesia dan kaliamt no.3 bahasa Inggris. Dua baris berikutnya menggunakan BB dan baris terakhir adalah Bahasa Inggris. Bait II juga mirip. Bedanya hanya pada baris terakhir, kalimatnya yang menggunakan Bahasa Inggris diulang lagi tiga kali dengan bentuk kalimat yang persis sama. Syair teks lagu ini tidak ada tanda Reff sebagai puncak lagu.

Selanjutnya pada teks (2), judul lagu menggunakan Bahasa Indonesia: ‘Penghianat Cinta’. Teks lagu ini terdiri atas 3 bait, dengan urutan, bait I terdiri atas 4 baris, bait II 7 baris dan bait III 4 baris. Komposisi bahasa teks lagu ini adalah: keempat baris syair lagu pada bait I semuanya kalimat BB, kemudian pada bait II, komposisi bahasanya sudah mulai bercampur antara BB dan Bahasa Indonesia. Sedangkan bait III, syairnya semua menggunakan kalimat Bahasa Indonesia. Untuk teks lagu ini, bait III adalah puncak lagu atau Reff.

Kedua contoh bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual ini merupakan proto-tipe dasar bagi teks lagu Pop Bilingual yang ada. Bentuk-bentuk teks lainnya merupakan varian dan dinamikanya. Adapun ciri bentuk yang ada meliputi:

1) Judul Lagu Judul lagu memiliki bentuk alternatif: a. Bahasa Bali b. Bahasa Bali bercampur Bahasa Indonesia atau Inggris

382 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Bahasa Indonesia d. Bahasa Inggris e. Singkatan f. Simbol angka 2) Bentuk lingual judul lagu a. Kalimat lengkap (S-P-O/S-P-O-Ket) b. Kalimat tidak lengkap (S-P/P-O/SP-Ket). c. Frase d. Kata e. Kalimat slogan 3) Komposisi Lingual Secara keseluruhan, syair teks Lgu Pop Bali Bilingual terdiri atas gabungan antara BB dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Komposisi antar ketiga bahasa tersebut, dapat berbentuk campur kode yaitu pencampuran antar bentuk- bentuk tataran kata dan frase, dan bentuk alih kode yaitu pada tataran klausa dan kalimat.

3.3 Struktur Teks Teks Lagu Pop Bali Bilingual sebagai suatu entitas dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dari dimensi Linguistik, teks merupakan suatu pola atau rangkaian unsur-unsur bahasa secara sintagmatik. Dari dimensi horizontal, teks merupakan deretan sintaksis yang diatur secara berkesinambungan sehingga membentuk rangkaian gramatika. Selanjutnya, ketika rangkaian gramatika tersebut telah tersusun rapi, maka dari dimensi vertikal, teks dapat dipahami sebagai satu kesatuan makna. Hubungan antar satu makana dan makna berikutnya membangun sebuah tekstur, sehingga secara keseluruhan merupakan pola bermakna (Kridalaksana, 1984).

Setiap penggunaan bahasa dalam konsep baik dan indah yang identik dengan ‘susastra’ atau karangan yang baik, yang dikategorikan sebagai bentuk (a) naratif, (b) puitif dan (c) drama. Ketiganya memiliki pola-pola yang bersifat estetik. Walaupun sepintas tampak berbeda, namun secara struktural setiap unsur yang membangun teks tersebut memiliki hubungan yang bersifat kohesif dan kohere.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 383 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3.3.1 Struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual Analisis struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual ini mengacu pada model yang diterapkan oleh (Halliday dan Hasan, 1992, dan Martin, 1997). Teks menurut ketiga ahli tersebut, memiliki tiga unsur struktur yaitu unsur awal, tengah, dan akhir. Teks sebagai suatu genre, memiliki dua tipe struktur yaitu orbital dan serial dengan susunan:mcidut interpretation-coda.

Dengan kata lain, struktur teks dapat diinterpretasikan secara vertikal, horizontal, dan orbital. Untuk teks Lagu Pop Bali Bilingual ini, strukturnya bersifat vertikal atau dinamakan struktur segmentatif, setiap segmen disusun bait per-bait. Teks (1) dengan judul “Suba Petneg Yank”. Teks ini secara segmentatif terdiri atas 2 bait, masing-masing berisi 6 baris dan 9 baris kalimat. Namun secara semantik terdiri atas 5 bait, masing-masing 3 kalimat, dengan makna yang sama atau mirip. Untuk memahami struktur tersebut, tahap analisis pertama adalah melihat struktur Makro yaitu Medan teks (Fields), pelibat teks (tennor) dan sarana teks (mode).

Medan teks untuk teks (1) adalah: Suba Peteng Yang. Nama lain untuk medan teks adalah struktur tematik; yang menggambarkan konteks situasi tertentu. Selanjutnya, ada pelibat teks (tennor) yang terdiri atas 2 pelibat yaitu Yang atau Baby dan Me. Teks ini disampaikan dengan mode tertentu yakni kalimat deklaratif secara keseluruhan dengan kata kunci pilihan sinonimi yaitu mulih, balik, dan cabut. Secara skematik, ke-5 bait teks disusun dengan urutan: pernyataan dan penegasan. Kemudian teks dituutp dengan bait terkahir yang terdiri atas satu baris kalimat yang diulang 3 kali.

Teks (1) ini memiliki struktur makro yang lengkap yaitu ada medan teks, pelibat teks dan mode teks. Tetapi secara skematik atau super struktur, tidak ada rumus pembuka atau bagian pendahuluan. Tampaknya, bagian pendahuluan (opening) diisi oleh bait musik sebagai awal masuknya, atau pembukaan. Berikut disajikan gambaran struktur Teks Lagu Pop Bali Bilingual no (1).

384 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Judul/Medan Teks Suba Peteng Yang

Pembukaan (Opening) Segmen Musikal Suba Peteng Yang mulih mih Cukup untuk hari ini Baby you have got to bilieve me Suba Peteng Yang balik mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani Isi (Body) Apang tusing kenyel buin mani Cukup untuk hari ini Cukup untuk hari ini Suba Peteng Yang cabut mih Apang tusing kenyel buin mani Apang tusing kenyel buin mani

Baby you have got to bilive me Penutup (closing) Baby you have got to bilive me Baby you have got to bilive me

Teks (2) adalah teks dengan judul: “Penghianat Cinta”. Struktur makro teks terdiri atas Medan teks, pelibat teks 2 partisipan (beli dan iluh atau adi, atau kamu). Mode teks disampaikan dengan kalimat deklaratif. Struktur skematik teks (2) ini terdiri atas bagian judul, bagian pembuka (diisi oleh iringan musik), dan bagian isi terdiri atas orientasi dan puncak lagu (Reff). Orientasi berupa pernytaan tentang tema dan bagian Reff merupakan penegasan tentang tema teks. Teks ini tidak dilengkapi oleh bagian penutup berupa teks (bait) tetapi diisi oleh bait musik penutup,berikut gambaran struktur teks no (2).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 385 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Judul/Medan Teks Penghianat Cinta Pembuka(opening) segmen musikal Beli mula tusing enu majalan jak iluh Beli mula tusing enu buin percaya jak iluh Feeling Beline merasakan, Adi suba sing jujur jak beli Feeling Beline merasakan Adi menyimpan sesuatu jak beli Nanging sing makelo majalan

Curiga beli dadi mabukti Isi (Body) Ternyata adi suba bani bermain api di belakang beli Semua ini baru kusadari Ternyata janji adi imitasi Tusing peduli dengan harga diri Dimata adi tuah materi

Reff Kamu wanita memang penghianat Kamu wanita memang licik pintar berdusta Kamu wanita memang penghianat Cinta Kamu wanita pintar bersandiwara

Penutup (Clossing) Segmen Musik

IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1) Teks Lagu Pop Bali Bilingual adalah teks lagu Pop Bali yang menggunakan dua bahasa atau lebih yaitu BB, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

386 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

2) Bentuk teks lagu Pop Bali Bilingual bersfat puitif. Tersusun secara segmentattif yaitu ada judul lagu dan bait isi. Setiap bait dibentuk oleh baris kalimat dengan jumlah kalimat yang bervariasi. Jumlah bait dan baris kalimatnya tidak memiliki standar. 3) Pada setiap bagian teks, dapat menggunakan bahasa yang berbeda sebagai satu kesatuan teks. 4) Judul teks dapat berbentuk kalimat lengkap, kalimat tidak lengkap, frase, kata atau kalimat slogan. 5) Struktur teks terdiri atas struktur makro: Medan, pelibat dan Mode. Struktur skematik terdiri atas: Tema, bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup.

4.2 Saran Penelitian ini adalah penelitian awal berdasarkan pendekatan linguistik sistemik fungsional. Pada penelitian awal ini terungkap bahwa ada banyak persoalan yang perlu dikaji secara linguistik dalam berbagai aspek tentang teks. Ternyata banyak sekali Group Band yang melahirkan teks Lagu Pop Bali Bilingual seperti Kiss BAND, Leeyong Sinatra, Mercy Band, Nanoe Biroe, XXX Band, Raja Band dan masih ada lagi yang belum terobservasi. Oleh sebab itu penelitian tentang teks Lagu Pop Bali Bilingual masih perlu diteruskan dalam konteks dinamika dan kebudayaan Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Alwassilah, A. Chaedar, 1985. Beberapa Mazhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung:Angkasa.

Antari, Ni Made Suwari. 2004. “Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Teks Lagu Pop Bali” (Tesis Program Magister Linguistik, Universitas Udayana).

Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi; Ekonomi; Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Fishman, Joshua. A. (Editor). 1982. Sociolinguistic Selected Reading. England: Pinguin Books, Ltd.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 387 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London. Wing King Tong Co. Ltd.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hassan. 1992. Bahasa Konteks dan Teks: Aspek- Aspek dalam Pandangan Semiotik Sosial (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hassan. 1976. Cohession In English. England: Longman Group, Ltd.

Hodge, Robert dan Gunter Kress. 1988. Social Semiotics. Cambridge: Polity Press.

Manuaba, Ida Ayu Swasrina. 2011. “Campur Kode Pemakaian Bahasa Bali Pada Teks Lagu Pop Bali” (Skripsi Jurusan Sastra Bali, Universitas Udayana).

Martin. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

Meita Sari, Ni Putu Diah. 2016. “Alih Kode Pada Teks Lagu Pop Bali Bilingual” (Skripsi Jurusan Sastra Bali, Universitas Bali)

Saragih, Amrin. 2002. Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Sutama, Putu. 2012. “Linguistik Sistemik: Aplikasinya dalam Pengajaran Bahasa” Bahasa,Sastra, dan Pengajarannya. Singaraja: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha.

“NA LI YOU TAI YANG, NA LI JIU YOU ZHONG GUO REN2”: ORANG CINA DI BUMI MOA-CIA-PAH-I3

Rochtri Agung Bawono Prodi Arkeologi FIB Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Keberadaan Kerajaan Majapahit sebagai imperium Nusantara pada masa lalu didukung oleh kekuatan keluarga raja dan kerajaan-kerajaan vassalnya. Kedatangan utusan kerajaan-kerajaan sahabat juga memperkokoh posisinya dalam politik Asia Tenggara. Kekuatan dan kemajuan ini menjadikan Kerajaan Majapahit sebagai magnet dalam dunia perekonomian sehingga banyak suku bangsa yang bermigrasi dan menetap di Tanah Jawa, salah satunya yaitu orang-orang Cina. Keberadaan orang Cina di Kerajaan Majapahit banyak disinggung dalam catatan Ma Huan pada sejarah pelayaran ke Nusantara bersama Cheng Ho, baik yang membentuk komunitas di pelabuhan Lasem, Tuban, Cecun, Jiao-tung, Surabaya, dan Zhang-gu serta ibukota Majapahit. Sebagian besar orang Cina di Majapahit adalah muslim. Bukti keberadaan makam Islam kuno di Troloyo (berangka 1319 hingga 1611 M) memperkuat dugaan adanya komunitas Cina Muslim yang dijelaskan oleh Ma Huan. Komunitas Cina di Majapahit inilah yang akhirnya mendirikan Kesultanan Demak di Bintoro.

Kata Kunci: Orang Cina, Majapahit, Makam Islam, Demak.

1. Pendahuluan Kelahiran Kerajaan Majapahit bermula atas tragedi berdarah peperangan segitiga antara Jayakatwang (Raja Gelang-gelang penakluk Daha-Kediri), pasukan Tartar (dipimpin oleh Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing,) dan Nararya Sanggramawijaya (Raden Wijaya yang dibantu oleh Arya Wiraraja). Berdasarkan berita Cina, pasukan Tartar sampai di Majapahit pada 1 Maret 1293 dan meminta Raden Wijaya untuk mengakui Kekaisaran Kubilai Khan. Raden Wijaya memohon bantuan pasukan Tartar untuk menyerang Raja Jayakatwang karena telah menghancurkan Singhasari di bawah kekuasaan Raja Kertanegara. Setelah pasukan Tartar berhasil membantu menghancurkan Kerajaan Daha-Kediri, Raden Wijaya bersiasat menyerang balik pasukan Tartar sehingga mereka banyak yang terbunuh,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 388 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 389 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sebagian melarikan diri, dan sebagian lainnya menuju kapal dan berlayar kembali pada 24 April 1293 (Muljana, 2006; Groeneveldt, 2009; Boechari, 2012).

Akhirnya Kerajaan Majapahit diresmikan berdiri oleh Raden Wijaya pada tahun 12943 dengan nama abhiseka Kertarajasa Jayawardhana. Semenjak diresmikan sebagai kerajaan penerus Kerajaan Singasari, Kerajaan Majapahit semakin besar dan berkembang sehingga menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara.

Berdasarkan data arkeologi dan cakupan pengaruhnya, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara. Berdasarkan Kitab Negarakrtagama (Desawarnnana) wilayah kekuasaan Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dicatat hingga Lemuri (Aceh) hingga Wanin (Papua), termasuk Buruneng (Brunei), Hujung Medini, Pahang, Kelantan, Trengganu, Johor, Kedah (Malaya), Tumasik (Singapura), dan Uda (Mindanau-Philipina) (Muljana, 2006; Riana, 2009). Data susastra lain yang mendukung pernyataan tersebut antara lain Kitab Pararaton, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Kidung Sunda, Silsilah Kutei, Hikayat Banjar, dan Babad Tanah Jawi.

Kebesaran dan kemegahan Majapahit sangat mungkin didukung oleh eksistensi keluarga inti (keluarga raja) yang menguasai Tanah Jawa meliputi Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Paguhan, Kahuripan, Singasari, Mataram, Wirabhumi, dan Pawanuhan (Muljana, 2006). Selain faktor dukungan keluarga, faktor dukungan pihak luar juga menjadikan kebesarannya jauh melebihi wilayah sesungguhnya yang dikuasai oleh Majapahit. Kerajaan-kerajaan vassal (bawahan) di Nusantara juga mengakui dan tunduk kepada Majapahit dibuktikan dengan penarikan upeti setiap tahun ke daerah seberang. Demikian juga dalam Negarakrtagama Pupuh 83 disebutkan bahwa kemasyuran Majapahit juga didukung oleh kehadiran perwakilan kerajaan sahabat yang datang pada bulan Palguna setiap tahun antara lain Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, Kamataka, Goda

3 Berdasarkan Kitab Negarakrtagama Pupuh 45/1 dan Prasasti Kudadu, tetapi berdasarkan Kidung Harsa Wijaya penobatannya bertepatan dengan “purneng kartikamasa panca dasi sukleng catur” atau tanggal 15 bulan Kartika (Oktober-November) 1293 Masehi. Catatan penulis: Majapahit berdiri sebelum tahun 1293 sebagai sebuah desa yang dibuka bersama Arya Wiraraja dan ditetapkan sebagai kerajaan merdeka pada tahun 1294 sesuai Kitab Negarakrtagama dan Prasasti Kudadu.

390 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan Siam. Prasasti Balawi (1305 M) yang ditemukan di Trowulan juga menyebutkan orang asing di Majapahit antara lain Keling, Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikara, Renin, Khmer, Bebel, dan Mamban (Priswanto, 2012).

Keberadaan kaum minoritas khususnya orang asing dari negara-negara sahabat menjadikan Majapahit dikenal luas dan semakin berkembang pesat, sehingga sejak dahulu Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang multikultur dengan penduduk heterogen dari berbagai suku dan bangsa. Salah satu suku bangsa asing yang memiliki peranan dalam kemajuan Kerajaan Majapahit ialah Cina yang disebutkan dalam beberapa catatan dan terdapat bukti artefaktual, sehingga tulisan ini berusaha menjelaskan keberadaan orang-orang Cina di Kerajaan Majapahit.

2. Metodologi Keberadaan individu atau kaum lain dalam sebuah masyarakat turut menentukan kedudukan dan keberadaan kelompok mayoritas atau penguasa. Konsep “Sang Lain” (the Other) yang diusung oleh G.W.F. Hegel menjelaskan bahwa kesadaran manusia tidak sanggup memahami dirinya sendiri tanpa pengenalan dengan Sang Lain. Julia Kristeva lebih menjelaskan pemahaman tentang alteritas secara tidak langsung menyatakan pemahaman tentang konsep perbedaan. Keberadaan Sang Lain bukanlah sebagai ancaman atau subjek ketakutan sehingga tidak mudah terjerumus dalam kebencian. Namun menyatukan Sang Lain dalam struktur budaya dominan akan mengingkari perbedaan itu sendiri. Kristeva bermaksud merayakan dan menghargai perbedaan Sang Lain (Cavallaro, 2004).

Dalam definisi susastra dan artefak, banyak pengelompokan yang disebut “sesuatu yang berbeda” dalam sebuah ruang pameran yang sudah terhegemoni oleh seni/keberadaan penguasa. Keberadaan orang Cina di Kerajaan Majapahit yang mayoritas Jawa menjadikannya sebagai Sang Lain. Seluruh data tersebut ditelusuri melalui kajian susastra dan data artefaktual yang ditemukan melalui studi pustaka dan observasi.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 391 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Pembahasan Cina sebagai bangsa dengan penduduk yang besar dan menjadi imperium di Asia Tengah telah menjalin hubungan dagang melalui Jalur Sutra dengan dunia luar jauh sebelum Masehi dengan silih ganti penguasa yang memerintahnya. Sebagai akibat hubungan tersebut, maka sebagian masyarakat Cina banyak tersebar di berbagai daerah. Demikian juga pergantian kekuasaan yang menimbulkan konflik sosial maka banyak penguasa yang kalah atau penduduknya melarikan diri ke luar Cina untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan ketenangan.

Wilayah Samudra Selatan merupakan istilah yang digunakan penguasa dan penulis catatan dari Cina untuk menyebut wilayah Asia Tenggara atau Nusantara. Hal ini diketahui dari catatan-catatan Cina dari berbagai dinasti terkait utusan- utusan yang datang membawa upeti ke Negeri Cina. Catatan tertua tentang orang Cina di Jawa4 terekam dalam catatan perjalanan seorang bhiksu bernama Faxian yang mengunjungi Jawa pada 414 M dalam perjalanannya dari Sri Langka menuju Cina mendapat musibah badai (Groeneveldt, 2009).

Catatan kedatangan orang Cina pertama yang mencapai Majapahit5 berdasarkan buku Sejarah Dinasti Yuan (buku 210) dalam catatan Shi Bi (buku 162), catatan Gao Xing (buku 162), dan catatan Ike Mese (buku 131) yaitu Gao Xing6 bersama Shi Bi dan Iki Mese7 beserta pasukannya melakukan perjalanan darat dari Tuban menuju Majapahit untuk menghancurkan pasukan dan istana Raja Jayakatwang di Daha bersama pasukan Raden Wijaya yang sudah menyatakan

4 Disebut dengan nama Ya-va-di kemungkinan penyebutan Yava Dwipa, sama halnya Ptolemaeus menyebutnya Jabadiu. Bhiksu Faxian diperkirakan tinggal di Jawa selama 5 bulan untuk menunggu perubahan musim (arah angin). 5 Hari ke-8 Bulan ke-3 tahun 1293 membantu Raden Wijaya di Majapahit karena diserang pasukan Raja Kalang (Raja Gelang-gelang-Jayakatwang). Raden Wijaya menengok Desa Majapahit (daerah hutan Tarik) pertama kali pada hari Mertamasa tahun 1214 Saka (1292). 6 Memiliki alias Gongqi, berasal dari Caizhou (nama lain Distrik Xincia Provinsi Henan). Sebagian besar hidupnya dihabiskan sebagai prajurit militer hingga mencapai jabatan komandan pasukan yang dikirim ke Jawa untuk menghancurkan Raja Kertanegara karena telah melukai utusan bernama Meng Qi. 7 Shi Bi berasal dari Lizhou Provinsi Hebei tengah, Iki Mese bersal dari Wei-wu-er kawasan Uighur- Xinjiang. Keduanya tokoh ini juga diidentifikasi sebagai seorang muslim. Ike Mese datang bersama 3 pejabat Xuan wei si atau Xuan fu si (agen luar negeri) sering diartikan Kantor urusan Penghiburan untuk kerajaan-kerajaan asing.

392 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 tunduk dan memohon bantuan. Pada 24 April 1293 menuju kapal dan berlayar kembali ke Cina karena Raden Wijaya menggempur sisa-sisa pasukan yang sudah membantunya. Tartar kehilangan 3.000 prajurit8 (Mulyana, 2006; Groeneveldt, 2009). Dalam buku Yingya Shenglan9 dan Xingcha Shenglan10 dijelaskan bahwa kedua penulis catatan tersebut pernah mengunjungi Majapahit dalam perjalanan bersama Panglima Cheng Ho. Pada 1416 Ma Huan telah mendarat di Tuban, Cecun (Gresik) dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan akhirnya berlabuh di Majapahit. Daerah Tuban dan Cecun banyak orang Cina dari Guangdong dan Zhangzhou yang sudah menetap. Tuban oleh perantau Cina disebut sebagai Xin Cun (Kampung Baru) karena perantau tersebut membentuk perkampungan baru. Bahkan awalnya Cecun merupakan pantai kosong dan pendatang Cina yang pertama menetap hingga menjadi desa perdagangan dengan barang dagangan utama emas, batu mulia, rempah-rempah, dan barang-barang impor (porselin dan kain sutra). Pemimpin Desa Cecun adalah seorang perantau Cina dari Guangdong. Orang-orang Cecun yang kaya berasal dari Guangdong. Daerah Surabaya juga ditemukan banyak orang Cina kaya yang sudah menetap. Ma Huan mencapai Ibukota Majapahit setelah melakukan perjalanan darat selama satu setengah dari dari Zhang-gu (Canggu) dan mencatat terdapat 3 golongan penduduk yaitu a) orang muslim Huihui11 yang datang dari barat dan menetap, berpakaian dan makanan bersih dan layak, b) orang Cina dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan menetap. Mereka banyak yang muslim dan menjalankan ajarannya, pakaian dan makanan mereka sangat layak dan bagus, dan

8 Sebagian prajurit tidak kembali ke Cina dan memilih menetap di Jawa, sehingga saat catatan ekspedisi Cheng Ho, di Jawa telah banyak ditemukan kelompok Cina MUslimketurunan etnis Huihui 9 Catata Uu Patai-patai Saudra dibuat oleh Ma Hua seorag Cia Musli, pegawal Laksamana Zheng He/Cheng Ho) pada 1416 M. 10 Catata Uu Perjalaa Uu di Lauta dibuat oleh Fei Xi seorag Cia Musli pada 1436 yang selama 20 tahun mengikuti Cheng Ho dalam 4 kali pelayaran. 11 Huihui Ren merupakan muslim dari Cina bagian barat. Beberapa penulis menulis/ menterjemahkan sebagai Ta Shih yang berarti Arab, padahal keduanya memiliki aksara dan pengertian yang berbeda.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 393 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c) penduduk pribumi. Masyarakatnya kotor dan memakan makanan yang tidak layak. Banyak pribumi kaya yang menyukai porselin dari Cina (Lombard, 2000; Widodo: 2007; Kong, 2007; Qurtuby: 2007; Groeneveldt, 2009; Perkasa, 2012).

Hal ini disinggung juga dalam Catatan Tahunan Melayu12 bahwa antara tahun 1411-1416 dibentuk Komunitas Cina Muslim Hanafi di Lasem, Tuban, Cecun, Jiao-tung, dan Zhang-gu. Setiap daerah tersebut diperkirakan komunitas Cina sudah membentuk pemukiman sendiri/pecinan. Dijelaskan juga bahwa utusan- utusan Cina dari dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit beragama Islam (de Draff, dkk, 2004).

Desa-desa pelabuhan tersebut dalam perkembangannya menjadi pelabuhan penting Masa Majapahit dan masa-masa sesudahnya baik Kerajaan Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga masa VOC. Terbentuk jaringan bisnis dan perkawinan antara orang kaya/pedagang Cina dengan keluarga raja (istana) sehingga banyak yang menjadi syahbandar dan pemilik lahan perkebunan di pedalaman Jawa Timur. Pada akhir abad XV hampir seluruh penguasa pelabuhan tersebut telah memeluk Islam dan meruntuhkan Kerajaan Majapahit (Muljana, 2005; Winarni, 2009; Tjandrasasmita, 2009).

Keberadaan komunitas muslim Cina di Majapahit dibuktikan adanya makam Putri Campa yang nisannya berangka tahun 1370 Saka (1448 M). Dalam Catatan Tahunan Melayu, Putri Campa meninggal pada 1449 M merupakan istri Ma Hong Fu (putra Panglima Yunnan dan menantu Bong Tak Keng) seorang Duta Besar Tiongkok Dinasti Ming (pejabat Xuan wei si?) di Majapahit. Versi Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, Putri Campa bergelar Puteri Dwarawati merupakan istri Raja Brawijaya Penguasa Majapahit (de Graff dan Pigeaud, 2003; de Graff dkk, 2004; Muljana, 2006). Jaringan Jawa dan Campa sudah terjalin sebelum

12 Catatan ini diinfokan berasal dari klenteng Cina di Semarang dan Talang Cirebon tetapi hanya diperoleh translitasinya saja oleh M.O. Parlindungan dari Resident Poortman. Teks aslinya tidak ditemukan.

394 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Zaman Majapahit13 bahkan menjadi poros pelayaran dengan pantai Selatan Cina. Hal tersebut dibuktikan adanya temuan nisan Fatimah binti Maemun bin Hibadullah bergaya kufi di Leran yang meninggal pada 475 H (1082 M) yang memiliki kesamaan dengan nisan Ahmad bin Abu Ibrahim bin Abu Arradah Rahdar berangka 431 H (1039 M) di Phanrang Campa14 (Dharma, 1999; Lombard, 2000; Guillot dan Kalus, 2008; Tjandrasasmita, 2009). Putri Campa tersebut hidup pada pemerintahan Majapahit Ratu Suhita (1406-1447 M) atau tepatnya pada masa penggantinya yaitu Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya alias Wijayaparakramawardhana (1447-1451 M) (Munandar, dkk, 2014).

Bukti lain adanya komunitas Islam di ibukota Majapahit yaitu kompleks Makam Troloyo15 yang berkembang sejak awal pemerintahan Jayanegara hingga abad XVII. Ada indikasi beberapa nisan Troloyo yang memiliki kesalahan tulis dan kesamaan dimensi memiliki kesamaan dengan nisan di Brunei dan Quanzhou sehingga kemungkinan perajinnya adalah Cina Muslim yang bermazhab Hanafi (Perkasa, 2012; Chawari, 2012; Masyudio, 2012; Bawono, 2013; 2017). Keberadaan makam Islam di Trowulan dan Troloyo perlu diteliti lebih lanjut terkait dengan hubungannya dengan komunitas muslim Cina di Majapahit.

Lebih mengejutkan dalam Catatan Tahunan Melayu disebutkan bahwa tahun 1430 M, Laksamana Cheng Ho merebut daerah Tu-ma-pan (Tumapel) dan diserahkan kepada Raja Su-king-ta (Suhita) sehingga Gan Eng Wan diangkat menjadi Gubernur Tu-ma-pan sebagai bawahan Kerajaan Majapahit. Gan Eng Wan disebut sebagai bupati beragama Islam pertama di Kerajaan Majapahit. Saudara Gan Eng Wan yaitu Gan Eng Cu disebutkan telah datang lebih dulu ke Majapahit tepatnya Tuban pada 1423 sebagai konsulat jendral dari Dinasti Ming yang menangani Cina Muslim Hanafi di Jawa, Kukang dan Sambas, sekaligus sebagai

13 Hubungan ini sudah ada sejak abad VII – IX M baik peperangan atau persahabatan (Dharma, 1999) 14 Guillot dan Kalus (2008) menduga nisan itu bukan sebagai makam, tetapi lebih pemberat kapal. 15 Terdapat lebih dari 30 nisan tua dan yang berangka tahun berjumlah 21 buah, nisan tertua berangka tahun 1241 saka (1319 M) dan yang termuda 1533 Saka (1611 M), terdapat juga batu berangka 1204 Saka (1282 M) tetapi diragukan sebagai nisan yang dibuat tahun tersebut. Beberapa nisan menggunakan hiasan surya Majapahit mengindikasikan bahwa mereka berasal dari keluarga istana atau pejabat kerajaan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 395 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kapten Cina Muslim di Tuban. Raja Su-King-Ta memberikan gelar “a-lu-ya” (arya?). Tahun 1445 muncul tokoh bernama Bong Swi Hoo yang ditunjuk sebagai Kapten Cina Muslim setelah menikahi putri Gan Eng Cu. Tahun 1451 Bong Swi Hoo bersama muslim Jawa menetap dan membentuk komunitas di Ngampel sehingga dikenal sebagai Sunan Ngampel (atau Raden Rahmat)16. Pada akhir pemerintahan Majapahit muncul tokoh bernama Jin Bun17 seorang Cina peranakan yang diberi kekuasaan atas daerah Bintoro dan melakukan penyerangan terhadap Keraton Majapahit pada tahun 1478 dan 1517. Kedudukan Giri-Gresik yang yang dipimpin oleh Sunan Giri (Prabu Satmata) juga penting yaitu sebagai wilayah swatantra dan Demak selalu meminta restu kepada sunan sebagai “raja-pandita”. Masa Sultan Trenggana, Keraton Majapahit kembali diserang dan dikuasai pada 1527 (Qurtuby, 2003; de Graff,dkk, 2004). Kebenaran catatan ini perlu diteliti lebih lanjut karena banyak ahli yang meragukannya.

Pada akhir kemunduran Kerajaan Majapahit bersumber pada catatan Dinasti Ming disebutkan bahwa terjadi perang saudara antara penguasa Barat (Wikramawarddhana) dan penguasa Timur (Wirabhumi). Pada tahun 1406 atau setahun setelah Cheng Ho mengunjungi Jawa, Raja Majapahit Barat berhasil menyerbu dan mengelahkan Raja Majapahit Timur tetapi terdapat 170 tentara utusan Cina menjadi korban penyerangan juga sehingga Kaisar Cina memberikan sanksi membayar 60.000 tahil (380 kg) emas. Pada 1408 Cheng Ho kembali berlayar dan Raja Majapahit Barat menyerahkan 10.000 tahil emas, Kaisar mengembalikan denda dan menghapus seluruh sanksi (Groeneveldt, 2006; Perkasa, 2012). Bukti artefaktual adanya pemukim Cina di Majapahit antara lain:

16 Raden Rahmat diduga berasal dari Cempa. Hikayat Hasanuddin disebut bahwa ia diangkat sebagai pecat tandha di Terung oleh penguasa Majapahit. 17 Jin Bun disebut Raden Patah sebagai pendiri Kerajaan/Kesultanan Demak yang sebelumnya sebagai penguasa lokal di Bintoro sebagai vassal Majapahit. Pada 1478 Jin Bun menyerbu Kraton Majapahit dan berhasil menawan Raja Kung-ta-bu-mi, sehingga Kerajaan Majapahit menjadi vassal Kesultanan Demak. Dalam Sejarah Banten disebut sebagai Raja Patih Cina (tanpa menyebut nama). Tradisi Mataram Jawa Timur disebutkan bahwa Raden Patah adalah seorang putra Raja Majapahit yang berasal dari selir seorang Putri Cina.

396 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

a. Arca Siwamahadewa (abad XIII-XIV)18 memiliki bentuk muka cina, wajah persegi, rahang lebar, alis tipis, dagu persegi, bermata sipit, sudut mata luar lebih tinggi, dan bentuk tulang pipi meninggi. b. arca terakota menggambarkan tokoh pria dan wanita Cina yang banyak ditemukan di Trowulan, Ibukota Majapahit. Sebagian besar dikoleksi oleh Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan) dan kolektor- kolektor lainnya. Arca terakota tersebut antara lain arca prajurit Tartar, arca bocah, dan arca bertopi. Ciri utamanya bermata sipit atau menggunakan atribut pendukung, kumis dan jenggot ditata rapi, mengggunakan pakaian dengan bagian leher tertutup disebut Cheongsam (Priswanto, 2012)

Banyaknya pemukim Cina juga mempengaruhi seni hias dan arsitektur yang berkembang di Majapahit. Salah satu seni hias yang diadaptasi yaitu sulur meander atau pita Majapahit merupakan adopsi dari meander Cina/Patra Mesir yang sangat banyak berkembang di Cina (Bawono dan Zuraidah, 2016).

4. Simpulan Orang Cina di Desa Majapahit diawali oleh kedatangan Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing pada 1 Maret 1293 saat Majapahit masih berupa desa di bawah pemerintahan Jayakatwang dari Daha-Kediri. Orang Cina juga membentuk pemukiman di Tuban, Gresik, dan Surabaya sebagai pelabuhan penting di Majapahit. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Majapahit maka komunitas Cina banyak yang menetap di ibukota Majapahit. Sebagian besar orang Cina di Majapahit beragama Islam. Peran orang Cina di Kerajaan Majapahit antara lain prajurit, pedagang, pejabat pemerintah, duta kerajaan, dan ulama/penyebar agama.

DAFTAR PUSTAKA

Bawono, RA dan Zuraidah. 2016. “Ragam Seni Hias Majapahit: Penciri Hasil Budaya Majapahit” disampaikan dalam Seminar Nasional Seri Bahasa,

18 Dua arca Siwamahadewa (no.5621 dan no.38) Gaya berdiri, dan terdapat praba dibelakang arca tersebut. Koleksi museum Nasional yang ditemukan di Rejoagung-Kediri dan Trowulan- Mojokerto. Satu arca di bagian stelanya terdapat praba mengelilingi tubuh.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 397 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sastra, dan Budaya di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tanggal Senin, 29 Februari 2016.

Bawono, Rochtri Agung. 2013. “Sejarah Situs dan Riwayat Penelitian di Trowulan”. Presentasi Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu (PATI) II pada 16 Maret 2013 di Trowulan Mojokerto-BPCB Jawa Timur.

Bawono, Rochtri Agung. 2017. “Makam Troloyo: Bukti Komunitas Muslim dalam Kerajaan Majapahit” dalam Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar, 26-27 Mei 2017.

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Penerbit Niagara.

Chawari, M. 2012. “Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit” dalam Majapahit, Batas dan Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. de Graff, H.J dan Th. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. de Graff, H.J, dkk. 2004. Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: antara Historisitas dan Mitos. Terjemahan: Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centures: The Cetakan ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Dharma, Po. 1999. “Kepulauan Indonesia dan Campa”, dalam Panggung sejarah Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Groeneveldt, W.P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Guillot, Claude dan Ludvik Kalus. 2008. Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Kong Yuangzhi. 2007. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya. Buku 2: Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Masyudio.. 2012. “Komunitas Muslim di Tengah Kota Majapahit” dalam Majapahit, Batas dan Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

398 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnyanegara- negara Islam di Nusantara. Jakarta: LKiS Yogyakarta.

Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Jakarta: LKiS Yogyakarta.

Munandar, Agus Aris, dkk. 2014. Air dan Kosmologi di Situs Majapahit. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Perkasa, Adrian. 2012. Orang-orang Tionghoa & Islam di Majapahit. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Priswanto, Hery. 2012. “Orang-orang Asing di Majapahit” dalam Majapahit, Batas Kota dan Jejak-jejak Kejayaan. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI. Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.

Qurtuby, Sumanto Al. 2007. “Sino-Javanese Muslim Cultures, Menelusuri Jejak Cheng Ho di Indonesia” dalam Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama, Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas.

Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Wang, Andri. 2016. The Ancient Chinese Wisdom. Jakarta: PT. Gramedia.

Widodo, Johannes. 2007. “Admiral Cheng Ho dan Kota-Kota Pesisir di Asia Tenggara” dalam Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Winarni, Retno. 2009. Cina Pesisir, Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Utara jawa Timur Sekitar abad XVIII. Denpasar: Pustaka Larasan.

LAGU, KAUM MUDA DAN BUDAYA DEMOKRASI

Dra. Roma Ayuni A. Loebis, M.A* Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara [email protected]

Abstrak

Lagu (nyanyian) merupakan hasil karya seni yang terbangun dari bahasa, sastra, dan musik serta penyanyi. Setiap lirik lagu mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengar/khalayaknya. Kaum muda umumnya akrab dengan lagu dikarenakan lagu merupakan salah satu sarana hiburan ataupun menyalurkan hobi menyanyi, sekaligus dapat mewarnai karakter. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah lagu dapat dijadikan sarana dalam penyampaian tentang buadaya demokrasi. Tujuan penelitian, melihat peran lagu sebagai sarana dalam memberikan pengajaran tentang budaya demokrasi. Penelitian menggunakan metode analisis konten dan menggunakan pendekatan pragmatik, yakni pemakaian bahasa dalam komunikasi. Penelitian menunjukkan lagu memiliki peran dalam memahamkan budaya demokrasi kepada kaum muda dan membentuk cara fikir dalam berpolitik bagi pemilih pemula. Pendidikan politik kepada pemilih pemula adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, teks bahasa dan sastra pada lagu yang dinyanyikan oleh para pemuda dapat memainkan peranannya sebagai pendidikan politik dan membentuk budaya demokrasi.

Kata kunci: Lagu, kaum muda, demokrasi

PENDAHULUAN Sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia karena sastra merupakan bentuk ungkapan pengarang atas kehidupan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan bentuk atau wujudnya karya sastra terdiri dari aspek isi dan aspek bentuk. Aspek isi merupakan pengalaman tentang hidup manusia. Aspek bentuk merupakan hal-hal yang terkait cara pemakaian, cara pengarang memanfaatkan bahasa untuk mewadahi isi dari karya sastra tersebut. Dari dari aspek bentuk atau wujudnya, sastra dapat disampaikan secara lisan dan tulisan. Penyampaian sastra secara lisan, langsung diungkapkan dari mulut ke mulut sedangkan penyampaian sastra secara tulisan diungkapkan melalui bahasa tulis. Sastra lisan merupakan bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 399 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 400 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 masyarakat. Sastra lisan lebih dominan merupakan milik bersama, bersifat anonim pada suatu daerah tertentu. Sastra lisan adalah salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan yang belum terpelajar. Ragamnya pun sangat banyak dan masing-masing ragam mempunyai variasi yang banyak pula. Isinya mungkin mengenai berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut (Finnegan, 1998). Kehidupan sastra lisan di masyarakat mengalami perubahan sesuai dinamika kehidupan masyarakat pemiliknya. Ada sebagian sastra lisan di Indonesia yang telah hilang sebab tidak sempat didokumentasikan. Sastra lisan yang masih ada, baik yang diselamatkan melalui penelitian masa dahulu dan masa kini maupun yang belum diteliti, ada yang masih bertahan tetapi ada pula yang mengalami perubahan. Ada contoh bentuk sastra lisan yang masih dipertahankan terus tanpa perubahan, tetapi tidak kurang contoh yang membuktikan bahwa sastra lisan yang telah berubah karena pengaruh sastra asing (Teeuw, 1984:330). Telah dikatakan pula bahwa di Indonesia sastra lisan pun dari dahulu terus berubah walaupun beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Perubahan itu bisa terjadi karena pengaruh perkembangan masyarakat dalam berbagai segi seperti pendidikan, ekonomi, politik, soial, dan kepercayaan. Keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan dan agama, serta semua aspek kebudayaan lain (Finnegan,1998 ). Sastra lisan merupakan salah satu bentuk kreativitas masyarakat. Berbagai nilai kehidupan seperti nilai kemanusiaan, keindahan, moral, budaya, pendidikan, sejarah, ekonomi, dan politik dapat diungkapkan melalui sastra lisan sehingga penting untuk dilakukan penelitian yang terkait dengan sastra lisan tersebut. Teks pada sastra lisan umumnya disalin dengan tujuan tertentu. Proses penyalinan naskah atau teks adalah merupakan rangkaian turun- temurun yang disalin karena beberapa alasan, yaitu: a) ingin memiliki naskah; b) karena teks asli sudah rusak; c) karena kekhawatiran akan terjadi sesuatu terhadap naskah. Rangkaian penurunan yang dilewati oleh suatu teks yang turun-temurun disebut tradisi. Naskah diperbanyak karena orang ingin memiliki sendiri naskah itu, mungkin karena naskah asli sudah rusak dimakan zaman; atau karena kekhawatiran terjadi sesuatu dengan naskah asli, misalnya hilang, terbakar, ketumpahan benda cair; karena perang, atau hanya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 401 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 karena terlantar saja. Mungkin pula naskah disalin dengan tujuan magis; dengan menyalin suatu naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis dari yang disalinnya itu. Naskah yang dianggap penting disalin dengan berbagai tujuan, misalnya tujuan politik, agama, pendidikan, dan sebagainya (Baried, 1985:59).

Lagu Lagu merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk lisan. Lagu terdiri dari rangkaian kata-kata yang disebut lirik. Menurut Muliono (Ed) (2007: 678) lirik mempunyai dua pengertian yaitu (1) karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian. Dalam menggunakan lirik seorang penyair/pencipta lagu itu harus benar-benar pandai dalam mengolah kata. Menurut Noor (2004: 24) lirik adalah ungkapan perasaan pengarang. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Sedangkan kesenian, khususnya lagu, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui lagu, manusia mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang merepresentasikan pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatanzaman bersangkutan. Lagu (nyanyian) merupakan hasil karya seni hubungan dari seni suara dan seni bahasa, sebagai karya seni suara melibatkan melodi dan warna suara penyanyi. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu merupakan ekspresi seorang penyair dari dalam batinnya tentang sesuatu yang sudah dilihat, didengar maupun dialami. Lirik lagu mempunyai kesamaan dengan sajak hanya saja dalam lirik lagu juga mempunyai kekhususan tersendiri karena penuangan ide lewat lirik lagu diperkuat dengan melodi dan jenis irama yang disesuaikan dengan lirik lagu dan warna suara penyanyinya. Tidak hanya mementingkan melodi dan suara vokal, lirik lagu ini juga sarat dengan makna. Setiap lirik lagu mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya. Seperti tujuan lirik lagu pada umumnya, beberapa lagu ada yang bertujuan memahamkan budaya demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu bentuk politik. Salah satu bentuk demokrasi tergambar dalam ajang pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara

402 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 langsung. Dalam media massa, ajang pemilihan ini kerap diberitakan keadaan daerah yang menghangat dari biasanya, pendukung para konstituen menjalankan berbagai strategi agar calon yang di dukungnya dapat memenangkan pemilihan. Para calon pun mulai menunjukkan aksinya dalam usaha mendapatkan jabatan sebagai Kepala Daerah. Dari aksi positif, seperti menyatakan program-program yang pro rakyat , mengumbar janji-janji politik yang selalu kedengaran ‘manis’ dalam beberapa acara debat. Tetapi tak urung juga terkadang terdengar aksi negatif, seperti mencari-cari kesalahan dan kelemahan lawan. Maka, tak heran jika ajang ini terkadang menuai aksi saling hujat, saling serang sehingga masyarakat mulai kerap dengan kata-kata negatif seperti hina, nista, marah, hoax (berita bohong), propaganda, bahkan fitnah. Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia, baik saat ini maupun nanti yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, WHO menyebut sebagai” young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda. Pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Sedangkan menurut UU Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35 tahun. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa perkembangan secara biologis dan psikologis. Oleh karenanya pemuda selalu memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat pembaharu. Pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda dan kaum muda. Dalam ranah Pilkada, keberadaan pemuda ini kerap disebut swing voters (pemilih mengambang). Massa pemilih pemula yang belum menentukan pilihannya adalah sebuah keniscayaan. Kelompok pemilih ini belum memiliki pilihan atau preferensi terhadap kandidat tertentu. Budaya Demokrasi adalah pola pikir, pola sikap, dan pola tindak warga masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 403 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 persaudaraan antar manusia yang berintikan kerjasama, saling percaya, menghargai keanekaragaman, toleransi, kesamaderajatan, dan kompromi. Unsur-unsur budaya demokrasi antara lain: Kebebasan, adalah keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermamfaat untuk kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa tekanan dari pihak manapun. Bukan kebebasan untuk melakukan hal tanpa batas. Kebebasan harus digunakan untukhal yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan cara tidak melanggar aturan yang berlaku. Persamaan, adalah Tuhan menciptakan manusia dengan harkat dan martabat yang sama. Di dalam masyarakat manusia memiliki kedudukan yang sama di depan hukum,politik, mengembangkan kepribadiannya masing-masing, sama haknya untuk menduduki jabatan pemerintahan. Solidaritas, adalah kesediaan untuk memperhatikan kepentingan dan bekerjasama dengan orang lain. Solidaritas sebagai perekat bagi pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke dalam perpecahan. Toleransi, adalah sikap atau sifat toleran. Toleran artinya bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dll) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri. Menghormati Kejujuran, adalah keterbukaan untuk menyatakan kebenaran, agar hubungan antar pihak berjalan baik dan tidak menimbulkan benih- benih konflik di masa depan. Menghormati penalaran, adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi penalaran akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak cara untuk mencapai tujuan. Keadaban, adalah ketinggian tingkat kecerdasan lahir-batin atau kebaikan budi pekerti. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain yang tercermin dalam sopan santun, dan beradab.

METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian content analysis (analisis konten). Analisis konten merupakan teori yang dikemukakan Harold D. Lasswell dengan 5 unsur komunikasi yakni who (siapa), says what (mengatakan apa), to whom (kepada siapa), in what channel (melalui apa), with what effect (apa akibatnya). Dengan

404 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 pendekatan pragmatik, yakni penggunaan bahasa dalam komunikasi. Konten yang dilihat dalam penelitian ini adalah lirik lagu yang mengajarkan budaya demokrasi.

PEMBAHASAN Pembahasan realitas sosial memusatkan pikiran pada pandangan Durkheim (dalam Bungin, 2007: 85) tentang fakta sosial atau struktur dan institusi berskala luas. Paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini, tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Kaum muda merupakan kaum yang akrab dengan lagu. Lagu yang bertema demokrasi seperti lagu Bongkar (Iwan Fals), 135 juta Rhoma Irama, Solidaritas (Slank), Bersabar (Sykoji). Berbagai upaya yang bisa dilakukan melalui pembelajaran sastra yang disertakan pula pendidikan budaya demokrasi didalam penyampaiannya, baik puisi, lagu, cerpen, novel, drama, dan cerita rakyat.

Iwan Fals- Bongkar: /Kalau cinta sudah di buangJangan harap keadilan akan dating. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang di perbudak jabatan/ /Penindasan serta kesewenang- wenangan/Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan/Hoi hentikan/Hentikan jangan di teruskan./Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan/. /O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar/

135 juta-Rhoma Irama /Janganlah saling menghina/. Satu suku-bangsa dengan lainnya/ /Karena kita satu bangsa/./Dan satu bahasa Indonesia/ Bhinneka Tunggal Ika lambang Negara kita Indonesia/. /Walaupun bermacam-macam aliran tetapi satu tujuan/

Solidaritas- Slank /Mengapa nggak setiap hari berbuat seperti ini/ /aku menangis lihat hari ini/ .../tapi tersenyum tatap masa depan/ ..../apa harus tunggu bencana ?/ baru dunia bisa bersatu !!/

Bersabar-Sykoji /Aku hormati toleransi tenggang rasa serasa ikut dalam semaraknya puasa dimana nafsu kalah, iman berkuasa hari kemenangan akan indah aku rasa/

Penggalan lirik ke empat lagu diatas mengajak pendengarnya untuk mengamalkan sikap toleransi, solidaritas, kebersamaa dan keadaban. Sikap yang sejatinya melekat dalam diri kaum muda. Apalagi kaum muda akrab dengan lagu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 405 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 atau nyanyian. Oleh sebab itu lirik yang dinyanyikan oleh penyanyi (apalagi penyanyi tersebut merupakan penyanyi favorit si pendengar ) yang mengandung pengajaran demokrasi akan mudah sampai dan diresapi oleh kaum muda sehingga dapat diaplikasikan dalam bermasyarakat.

SIMPULAN Lagu merupakan sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan tertentu kepada pendengarnya. Lagu yang penyanyinya disenangi para kaum muda juga dapat menjadi sarana dalam mengajarkan budaya demokrasi. Kaum muda yang masih Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga perlu adanya arahan dan pengajaran bagi mereka untuk faham akan perilaku yang beradab. Maka lagu dapat dijadikan salah satu sarana dalam pengajaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

Dali Gulo. 1982. Kamus Psikologi. Bandung:Penerbit Tonis

Kartono, Kartini. 1996. Politik- Studi dan Pengajaran. Bandung: Mandar Maju

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. United States of America: Bantam Books

Ruth, Finnegan. Literacy and Orality. 1998. USA: Callender Press

Suyanto. 2009. Strategi Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Gema Insani Press

Wan Syaifuddin. Pemikiran Kreatif dan Sastra Melayu Tradisi. 2016. Yogyakarta: Penerbit Gading

ALIH BAHASA FIGURATIF PADA TERJEMAHAN KARYA SASTRA PUISI

Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan Program Studi Sastra Inggris [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi”. Penerjemahan puisi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding teks terjemahan pada umumnya. Penerjemah biasanya menghadapi masalah dalam menerjemahkan bahasa kiasan oleh karena penting untuk menghasilkan kesepadanan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) terutama dari aspek sosio budaya. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi bahasa figuratif serta pergeseran pada terjemahan karya sastra puisi. Penelitian ini menggunakan sumber data yaitu antalogi puisi yang berjudul ‘Serpihan Sajak Dari Australia’. Sumber data yang ditelaah adalah puisi berbahasa Inggris (BSu) ‘The Death of the Bird’ dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia (BSa) ‘Ajal si Burung Betina’. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode dokumentasi dengan teknik simak dan catat. Analisa mencakup bahasa figuratif dan juga pergeseran terjemahan pada karya sastra puisi tersebut. Adapun pendekatan atau teori yang diaplikasikan untuk penelitian ini adalah teori terjemahan (Larson), teori pergeseran penerjemahan (Catford dan Simatupang) Hasil penelitian menunjukkan Terjemahan Estetik Puitis pada puisi ‘The Death of The Bird_Ajal Si Burung Betina’ menemukan berbagai jenis bahasa figuratif; diantaranya adalah metafora, personifikasi, hiperbola, imajeri, simbolisme dan oxymoron. Pergeseran terjemahan yang dapat ditemukan pada data puisi di atas, diantaranya adalah pergeseran kategori dalam tataran struktur dan kelas kata, juga pergeseran pada tataran semantik yang memiliki perbedaan sudut pandang.

Kata kunci: alih bahasa, bahasa figuratif, pergeseran, strategi, karya sastra puisi

I. PENDAHULUAN Alih Bahasa atau yang lebih dikenal dengan istilah terjemahan merupakan bagian ilmu linguistik terapan yang kebermanfaatannya diperlukan pada berbagai ranah; dalam berbagai disiplin ilmu untuk menjembatani informasi yang belum ditransfer pada bahasa sasaran atau bahasa target. Terjemahan pada era global merupakan keniscayaan sebagai salah satu bentuk komunikasi dunia. Terjemahan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 406 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 407 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 bisa mengacu pada ‘Proses’ dan juga bisa juga dimaknai sebagai ‘Produk’. Acuan ‘Proses’ adalah kegiatan berlangsungnya penerjemahan dari bahasa sumber (BSu) menjadi bahasa sasaran (BSa) oleh seorang penerjemah. Sedangkan ‘Produk’ mengacu pada hasil karya terjemahan seorang penerjemah. Secara etimologi terjemahan didefinisikan sebagai perubahan bentuk dari satu ke bentuk yang lainnya, dari bahasa yang satu atau ke bahasa lainnya (Kamus Merriam Webster, 1974). Terjemahan juga dimaknai sebagai kegiatan mempelajari leksikon, struktur gramatika, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber, menganalisanya untuk kemudian menentukan maknanya, lalu merekonstruksinya pada makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatika yang sesuai pada bahasa sasaran dan juga konteks budayanya (Larson, 1984:3) Berangkat dari uraian sederhana mengenai terjemahan di atas maka menerjemahkan buku atau karya tulis baik fiksi ataupun nonfiksi dari satu bahasa ke bahasa lainnya adalah suatu pekerjaan yang tidak hanya sekedar mengalihbahasakan suatu karya saja. Namun, lebih dari itu, penerjemah juga dituntut untuk menyalurkan gagasan penulis ke pembaca dalam bahasa sasaran. (Pustaloka Kompas, Mei 2003).

Jenis karya terjemahan beragam, disampaikan dari linguis yang berbeda. Menurut Larson (1984:15) terjemahan dibagi atas dua jenis yaitu terjemahan berbasis bentuk (form based translation) dan terjemahan berbasis makna (meaning based translation). Sedangkan Catford (1978:21) menyebutkan pembagian terjemahan berdasarkan eksten yaitu terjemahan penuh (full translation) dan terjemahan yang tidak penuh (partial translation). Dalam tataran level, jenis terjemahan terdiri atas terjemahan total (total translation) dan restricted translation. Dalam tataran ranking, terjemahan dibagi atas rank-bound translation dan unbounded translation. Lain halnya dengah Jacobson (2000) yang membagi jenis terjemahan menjadi terjemahan intralingual, interlingual dan intersemiotik. Selanjutnya, jenis terjemahan yang disampaikan menurut Brislin di Choliludin (2007:26-30) adalah berdasarkan tujuan terjemahannya yaitu Terjemahan Pragmatis, terjemahan Estetik Puitis, terjemahan Etnografi, dan terjemahan Lingustik. Terjemahan Pragmatis mengacu pada terjemahan dari pesan yang berkepentingan dengan keakuratan informasi yang dimaksudkan untuk disampaikan dalam bentuk dalam aspek-aspek lain dari versi bahasa aslinya.

408 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Terjemahan Estetik memperhitungkan pengaruh, emosi dan perasaan versi asli serta informasi dalam pesan. Terjemahan Etnografi tujuannya adalah untuk menjelaskan konteks budaya bahasa sumber dan versi bahasa target. Sedangkan terjemahan Linguistik berfokus pada kesetaraan makna dengan morfem konstituen dari bahasa sumber dan bentuk gramatikal.

Penelitian ini akan membahas lebih detail mengenai jenis terjemahan yang disampaikan oleh Brislin yaitu terjemahan Estetik Puitis. Jenis terjemahan ini merupakan bagian dari jenis terjemahan karya sastra. Terjemahan karya sastra terdiri atas dua yaitu terjemahan karya sastra kreatif seperti novel, cerpen, puisi dan drama. Terjemahan karya sastra deskriptif, seperti essay, karya sastra ilmiah, teori sastra dan kritik sastra. (Arin Purwo dkk, 2012). Terjemahan Estetik Puitis merupakan terjemahan dengan tingkat kesulitan yang tinggi; berbeda dengan jenis terjemahan lainnya. Menerjemahkan karya sastra khususnya puisi membutuhkan strategi ataupun ketrampilan khusus; penerjemah harus mahir dengan bahasa sumber dan sasaran serta setidaknya memiliki pemahaman tentang stilistika, karya sastra dan budaya. Tingkat kesulitannya ada pada kemampuan penerjemah untuk bisa memahami serta mengapresiasikan suatu karya sastra melalui proses kreatifnya. Untuk menghasilkan terjemahan puisi yang berterima dalam BSa tentunya bisa terjadi pergeseran dalam proses menerjemahkan tersebut. Pergeseran yang terjadi bisa berupa pergeseran bentuk ataupun pergeseran makna oleh karena puisi mengandung banyak bahasa figuratif. Berangkat dari uraian latar belakang di atas maka penelitian ini merumuskan dua masalah untuk di analisa, yaitu: (1) Apa saja bahasa figuratif yang ditemukan pada puisi ‘The Death of the Bird’ dan juga terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’? (2) Bagaimana pergeseran yang terjadi pada puisi The Death of the Bird’ dan juga terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’?

II. METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan dalam melaksanakan penelitian merupakan alat prosedur dan teknik yang digunakan dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 1993:3). Sumber Data penelitian ini dipilih secara acak dari antologi puisi yang berjudul MENDORONG JACK KUNTIKUNTI Serpihan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 409 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Sajak dari Australia. Edisi Bilingual Inggris-Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di Jakarta tahun 1991. Buku ini dipilih oleh karena buku ini merangkum puisi-puisi dari penyair-penyair terbaik yang dimiliki oleh Australia. Sumber data dipilih secara acak dan merupakan puisi terjemahan dari Bahasa Inggris (BSu) ke Bahasa Indonesia (BSa). Puisi yang digunakan untuk penelitian ini berjudul ‘The Death of the Birth’ karya A.D Hope dengan versi terjemahannya ‘Ajal si Burung Betina’ Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, yaitu menyimak (membaca) secara teliti semua baris-baris dari bait-bait yang ada dalam puisi tersebut. Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah teknik catat. Setiap baris dari sumber data dituliskan beserta terjemahannya, kemudian ditelaah. Hasil terjemahan kemudian dianalisa untuk mengidentifikasikan bahasa figuratifnya dan juga pergeseran terjemahan Metode dan teknik analisa data yaitu deskriptif kualitatif. Metode ini menerapkan teknik deskripsi pada saat dilakukan analisa mengenai bahasa figuratif dan pergeseran terjemahan. Hasil analisa data diuraikan dengan kalimat-kalimat, namun dibatasi hanya dua data yang diuraikan mengingat keterbatasan halaman yang disyarakatkan.

III. PEMBAHASAN DAN SIMPULAN 3.1 Bahasa Figuratif Pada bagian ini diuraikan hasil identifikasi dari bahasa figuratif yang dapat ditemui pada sumber data penelitian ini. Bahasa figuratif yang ditemukan diuraikan secara berturut turut dalam bahasa Inggris-bahasa Indonesia Bahasa Figuratif yang ditemukan dalam puisi ‘THE DEATH OF THE BIRD’ –‘AJAL SI BURUNG BETINA’ diantaranya adalah sebagai berikut: a. Metafora For every bird there is this last migration Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan b. Hiperbola By a whole hemisphere, summons her to come Terpisah oleh belahan bumi, mengundangnya datang

410 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

c. Personifikasi And the winds buffet her with their hungry breath Dan angin memukulnya dengan hembusan dahaga d. Simbolisme The invisible thread is broken as she flies Benang gaib itu putus ketika ia terbang e. Imajeri The sands are green with a mirage of valleys Pasir hijau pada lembah khayalan f. Oximoron The delicate voice, more urgent with despair Suara lembut itu yang seperti mendesak oleh putus asa

3.2 Pergeseran Terjemahan Pada Bahasa Figuratif Melalui identifikasi beberapa bahasa figuratif yang ditemukan pada uraian di atas maka berikut akan dianalisa secara acak mengenai pergeseran terjemahan yang terjadi pada bahasa figuratif terjemahan puisi tersebut. Data 1 Metafora: For every bird there is this last migration (BSu) Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan (Bsa)

Metafora merupakan salah satu bahasa figuratif yang mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis. Makna yang terkandung dalam jenis bahasa ini adalah peletakan kedua dari makna asalnya, yaitu makna yang bukan menggunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Data di atas dapat dikategorikan sebagai metafora karena mengacu pada kata ‘last migration’ yang jika secara literal dapa diterjemahkan menjadi ‘migrasi terakhir’. Ketika pembaca membaca judul puisi yang bercerita tentang ‘burung’ maka secara tidak langsung pikiran pembaca akan dibawa pada asumsi tentang ‘migrasi’ yang sedianya dilakukan oleh kawanan burung. Kata ‘last migration’ yang diterjemahkan menjadi ‘perjalanan penghabisan’ mengalami pergeseran terjemahan pada tataran semantik, yaitu perbedaan sudut pandang budaya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 411 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Last migration (Bsu) Perjalanan penghabisan (Bsa) For every bird there is this last migration (Bsu) Bagi setiap burung ada perjalanan penghabisan (Bsa)

Jika ditinjau secara lebih spesifik dan literal maka dapat kita temui adanya penghilangan kata ‘this’ yang berarti ‘disini’ pada terjemahan bahasa sasaran. Selain itu pada bahasa figuratif Bsu kita bisa mengkategorikan kalimat tersebut menjadi metafora sedangkan pada bahasa figuratif Bsa kalimat tersebut dapat dikategorikan menjadi bahasa figuratif hiperbola. Hal ini bisa terjadi oleh karena kata ‘last migration’ diterjemahkan secara berlebihan menjadi ‘perjalanan penghabisan’. Kata ‘last’ berarti terakhir. Pada terjemahan Bsa kata ‘last’ diterjemahkan menjadi ‘penghabisan’, padahal yang kita pahami tidak ada penghabisan dari sebuah migrasi; itulah sebabnya hasil terjemahan Bsa pada data di atas menjadi bahasa figuratif hiperbola. Data 2 Hiperbola: By a whole hemisphere, summons her to come (Bsu) Terpisah oleh belahan bumi, mengundangnya datang (Bsa)

Data BSu di atas dapat dikategorikan menjadi bahasa figuratif mengacu pada kata ‘by a whole hemisphere’ yang secara literal berarti ‘oleh seluruh lapisan bumi’. Secara lebih spesifik kata ‘whole’ yang berarti ‘seluruh’ memberikan kesan berlebihan pada kalimat yang dibentuknya. Akan tetapi sebaliknya, dalam Bsa kata ‘seluruh’ justru tidak muncul; digantikan oleh kata ‘terpisah’. Ini menunjukkan bahwa bahasa figuratif yang diciptakan pada Bsu belum tentu memiliki kesepadanan bahasa figuratif yang sama pada Bsa. Pergeseran yang terjadi pada terjemahan data di atas adalah terjemahan pada tataran kategori yaitu pada tataran struktur dan kelas kata. Seperti diuraikan lebih detail berikut: Divided by a whole hemisphere (Bsu) terpisah oleh belahan bumi (Bsa) Kata kerja + kata hubung + pemarkah+kata benda+kata kerja+kata hubung+kata benda

Secara struktur Bsu memulai kalimatnya dengan kata kerja yaitu ‘divided’, diikuti oleh kata hubung ‘by’ sedangkan pada Bsa kata ‘oleh’ didahului dengan kata kerja intransitif ‘terpisah’. Pergeseran dimaksud adalah untuk memberikan nilai bahasa puitis yang elok tanpa mengurangi makna yang ingin disampaikan.

412 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Demikian halnya dengan pergeseran kelas kata, baris puisi di atas memiliki kelas kata yang berbeda oleh karena terjemahan baris pada Bsa tidak diterjemahkan secara literal. Secara semantik, baris puisi di atas juga mengalami pergeseran makna yang dapat ditemui pada kata ‘by a whole’ yang diterjemahkan menjadi ‘terpisah’ By a whole……(Bsu) terpisah……(Bsa) Kata keterangan Kata kerja intransitif

IV. KESIMPULAN Alih Bahasa yang lebih dikenal dengan istilah terjemahan merupakan sebuah aktifitas bahasa yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai wujud aktualisasi dunia global. Terdapat berbagai jenis terjemahan yang dapat ditemui dalam berbagai jenis teks atau genre. Salah satu jenis terjemahan yang dapat ditemukan pada karya sastra adalah terjemahan estetik puitis; terjemahahan ini adalah terjemahan yang memperhitungkan pengaruh, emosi dan perasaan versi asli serta informasi dalam pesan. Terjemahan Estetik Puitis pada puisi ‘The Death of The Bird_Ajal Si Burung Betina’ menemukan berbagai jenis bahasa figuratif; diantaranya adalah metafora, personifikasi, hiperbola, simbolisme, oxymoron serta asosiasi. Pergeseran terjemahan yang dapat ditemukan pada data puisi di atas, diantaranya adalah pergeseran kategori dalam tataran struktur dan kelas kata, juga pergeseran pada tataran semantik yang memiliki perbedaan sudut pandang.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Mona (ed). 2000. Routledge Encyclopedia of Translation Studies. London: Routledge

Basnett, S. 2002. Translation Studies. 3rd.ed. New York: Routledge

Chiaro, Delia. 1992. The Language of Jokes: Analyzing verbal play. London: Routledge

Delabatista, D. 1993. There’s a Double Tongue: An Investigation into the translation of Shakespeare’s wordplay with special reference to Hamlet. Amsterdam: Rodopi

Firmin, M. 2008. Data Collection. In L.M Given (eds). The Sage Encyclopedia of Qualitative Reasearch Methods. California: Sage

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 413 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hatim, B & Munday, J.2004. Translation : An Advanced Resource Book. New York: Routledge

Larson, M. 1998. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. 2nd.ed. New York: University Press of America

Nida. E.A. 1975. Language Structure and Translation. Standford: Standford Univ Press

TAHAP PERANCANGAN METODE PEMBELAJARAN BLENDED LEARNING PADA MATA KULIAH SHOKYUU HYOUKI DI PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG UNIVERSITAS UDAYANA

Silvia Damayanti, Ni Luh Putu Ari Sulatri Program Studi Sastra Jepang, Universitas Udayana [email protected], [email protected]

Abstrak

Artikel ini dipaparkan tahap perencangan metode blended learning pada Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Udayana yang dilaksanakan pada semester ganjil 2017/2018. Model pembelajaran Blended Learning dirancang berdasarkan model disain sistem pembelajaran PEDATI oleh Chaeruman (2017). Artikel ini diharapkan dapat membantu para pengajar bahasa asing, khususnya bahasa Jepang dalam mengembangkan metode pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi Informasi.

Kata kunci: blended learning, shokyuu hyouki, kanji

PENDAHULUAN Mata kuliah “Shoukyuu Hyoki” adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi Sastra Jepang di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan program studi sejenis yang ada di Indonesia. Mata kuliah “Shokyuu Hyoki” (2 SKS) merupakan mata kuliah pengantar bagi mahasiswa semester satu dalam mempelajari Huruf Jepang di tingkat dasar. Pada tahun ajaran ganjil 2017/2018 mata kuliah “Shokyuu Hyouki” ini menggunakan metode pembelajaran blanded learning. Suatu keniiscayaan bila kita merancang atau mendisain suatu model atau posedur kerja karena tanpa perecanaan yang baik bila tidak ada tindakan yang berhasil optimal. Oleh sebab itu, artikel ini membahas perancangan model pembelajaran blended learning pada mata kuliah Shokyuu Hyouki agar capaian pembelajaran mata kuliah dapat diraih dengan baik. Penelitian sejenis pernah dilakukan sebelumnya oleh Amin (2017) dalam jurnal berjudul “Kajian Konseptual Model Pembelajaran Blended Learning berbasis Web untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Motivasi Belajar” mengkaji

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 414 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 415 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 konsep-konsep pembelajaran dan model pembelajaran blended learning berbasis web. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat dan membantu para pengajar bahasa asing, khususnya bahasa Jepang dalam mengembangkan metode pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi Informasi.

METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode kepustakaan dan metode deskritif analitik. Cara kerja metode deskriptif analisis tidak semata menggambarkan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2009:53). Teori yang digunakan dalam penyusunan model pembelajaran Blended Learning Shokyuu Hyouki dirancang berdasarkan model disain sistem pembelajaran PEDATI oleh Chaeruman (2017).

PEMBAHASAN Pembelajaran blended learning dalam konteks SPADA Indonesia, yaitu suatu bentuk sistem pembelajaran yang mengkombinasikan sedemikian rupa antara strategi pembelajaran sinkron dan asinkron dalam rangka menciptakan pengalaman belajar untuk mencapai capaian pembelajaran yang telah ditentukan secara optimal (Chaeruman, 2017:12). Model desain pembelajaran blended yang dihasilkan diberinama PEDATI. PEDATI adalah kependekan dari Pembelajaran Daring Pendidikan Tinggi dapat pula merupakan akronim dari PElajari-DAlami-Terapkan, dan evaluasi). Sesuai dengan model disain PEDATI pembelajaran blended learning Chaeruman (2017) di atas maka tahap perancangan Mata Kuliah Shokyuu Hyouki, dibagi ke dalam lima tahapan sebagai berikut: 1. Merumuskan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Langkah awal dalam merancang sistem pembelajaran blended adalah merumuskan capaian pembelajaran (learning outcome). Capaian pembelajaran yang dimakasud adalah capaian pembelajaran mata kuliah. Capaian pembelajaran mata kuliah harus disusun dengan baik sesuai dengan kreteria yang baik dan benar. Dalam konteks PEDATI, kreteria capaian pembelajaran

416 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang dianjurkan adalah memenuhi unsure A (audience), B (Nehavior), C(Condition), dan D (Degree) (Chaeruman, 2017:20-22). Capaian pembelajaran mata kuliah Shokyuu Hyouki adalah mahasiswa mampu menguasai cara baca tulis huruf Jepang (huruf Hiragana, Katakana, dan Kanji) dan memahami makna dan penggunaan 250 Kanji dasar dalam kalimat sederhana degan baik. Untuk mencapai capaian pembelajaran tersebut kemudian dirinci ke dalam sub-sub capaian pembelajaran. 2. Memetakan dan Mengorganisasikan Materi Pembelajaran Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Langkah selanjutnya adalah memetakan dan mengorganisasikan materi pembelajaran sebagai upaya untuk menentukan dan mengelompokkan materi pebelajaran ke dalam pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan pokok materi sesuai dengan capaian pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan cara seperti itu pengorganisasian materi akan lebih mengacu kepada kompetensi, bukan kepada materi, selain itu pemenggalan materi pembelajaran ke dalam beberapa pokok materi yang sangat relevan sangat penting sebab dalam konteks pendidikan blended, khususnya belajar mandiri dalam aktivitas pembelajaran asinkron setiap materi harus dibahas, dijelaskan, dan disajikan dengan tuntas dan mendalam. Untuk mencapai capaian pembelajaran yang ditetapkan maka pada mata kuliah Shokyuu Hyouki terdapat tiga pokok bahasan utama yaitu: Huruf hiragana, Huruf Katakana, dan Huruf Kanji. Ketiga pokok bahasan tersebut dibagi ke dalam 16 kali pertemuan. Berikut contoh salah satu pokok bahasan Huruf Hiragana, sub pokok materi, dan pokok materi yang disusun berdasarkan capaian pembelajaran. Pokok Subpokok Bahasan Pokok-pokok Materi Bahasan Huruf 1. Sejarah Huruf 1.1 Menjelaskan Sejarah huruf Kana Hiragana Kana dan 1.2 Menjelaskan Fungsi Huruf Hiragana Kanji 1.3 Menjelaskan dan memberikan contoh 2. Fungsi Huruf cara menulis, membaca dan Hiragana: Hiragana 1.3.1 50 Onjun 3. Huruf 1.3.2 Dakuon & Handakuon Hiragana 1.3.3 Youon 1.3.4 Chouon 1.3.5 Zokuon (っ) 1.3.6 Joshi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 417 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. Memilih dan Menentukan Strategi Pembelajaran Asinkron dan Sinkron Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Langkah ketiga adalah memilih dan menentukan setting belajar Mata Kuliah Shokyuu Hyouki untuk menentukan apakah capaian dan pokok atau subpokok bahasan tertentu dapat dicapai melalui ativitas pembelajaran asinkron atau sinkron. Berikut pertimbangan yang dilakukan dalam menentukan materi mata kuliah Shokyuu Hyouki ke dalam sinkron atau asinkron. a. Untuk mencapai capaian pembelajaran dan pokok atau sub pokok bahasan yang telah disusun bila memerlukan penerapan dan praktek langsung maka pembelajaran tersebut dapat dicapai dengan aktivitas pembelajaran sinkron langsung atau tatap muka. b. Untuk mencapai capaian pebelajaran atau sub pokok bahasan yang telah disusun bila diperlukan partisipasi aktif, mencoba demonstrasi dan memainkan peran maka pembelajaran tersebut dapat dicapai dengan aktivitas sinkron langsung. c. Apabila mahasiswa cukup membaca, mendengar, melihat, memperhatikan, menyaksikan, dan berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran tertentu maka pembelajaran dapat dicapai melalui aktivitas pembelajatan asinkron. 4. Menyusun Aktivitas Pembelajaran Asinkron Mata Kuliah Shokyuu Hyouki Merancang aktivitas pembelajaran asinkron terdiri atas dua langkah, yaitu: a. Menyusun rancangan pembalajaran asinkron sebagai garis besar rancangan untuk merancang aktivitas pembelajaran asinkron dalam mata kuliah Shokyuu Hyouki maka perlu memahami alur pembelajaran daring, objek belajar, kriteria pemilihan media yang relevan, asesmen dalam pembelajaran asinkron. Dalam mata kuliah Shokyuu Hyouki digunakan model pembelajaran PEDATI. Alur pembelajaran asinkron PEDATI terdiri atas empat siklus, yaitu: 1) pelajari (learning); 2) dalami (deepening); 3) terapkan (applaying); dan evaluasi (measuring). Pada mata kuliah Shokyuu Hyouki proses 1) pelajari dan 3) evaluasi termasuk dalam asinkron mandiri mahasiswa dapat belajar sendiri dimana saja dan kapan saja, sedangkan 2) dalami dan 3)

418 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

terapkan termasuk dalam asinkron kolaboratif yang dapat dipelajari mahasiswa bersama-sama secara aktif kapan dan dimana saja. Kriteria pemilihan media digital pada Mata kuliah Shokyuu Hyouki mengacu pada ragam pengetahuan Merril (1998) dan Smaldino (1999) ragam dan media yang digunakan. Misalnya, untuk agar lebih memahami prinsip pemaknaan kanji dari bushu (bagian dari kanji) maka dipilihlah video yang didalamnya terdapat teks dan audio dibandingkan hanya menggunakan teks atau audio saja. Asesmen atau evaluasi yang digunakan untuk mengatehui tingkat capaian pembelajaran mahasiswa dalam pembelajaran asinkron pada Mata kuliah Shokyuu Hyouki digunakan dua jenis instrumen yaitu, tes non objektif dan tes objektif. Tes non-objektif yang dilakukan melalui forum diskusi (discussion forum) dan penugasan daring (assignment), sedangkan tes objektif dilakukan melalui pilihan ganda. b. Meragkai alur pembelajaran asinkron sebagai alur pembelajaran yang lebih rinci untuk setiap pokok materi sebagai objek belajar. Setelah ditemukan rancangan pembalajaran asinkron yang baik maka tahap selanjutnya adalah merangkainya ke dalam sebuah alur pembelajaran. Alur pembelajaran asinkron dalam mata kuliah Shokyuu Hyouki dirancang perpeggalan materi (sub pokok bahasan) yang didalamnya meliputi intruksi (arahan belajar), deskripsi (penjelasan), serangkaian aktivitas asinkron mandiri (media digital dan kuis/tes), dan serangkaian aktivitas asinkron kolaboratif (forum diskusi dan tugas daring) baik disajikan secara induktif, maupun secara deduktif. 5. Merancang aktivitas Pembelajaran Sinkron Aktivitas pembelajaran sinkron terdiri atas sinkron langsung dan sinkron maya. Sinkron langsung adalah pembelajaran yang terjadi dalam situasi antara yang belajar dan pembelajar berada di ruang dan waktu yang sama, sedangkan pada sinkron maya antara yang belajar dan pembelajar di waktu yang sama berada di ruang yang berbeda. Sinkron langsung sama persis dengan tatap muka. Unsur-unsur pembelajaran meliputi capaian pembelajaran, pokok

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 419 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

bahasan. Sub pokok bahasan, pokok materi, dan strategi pembelajaran yang meliputu metode, media, watu, referensi, dan asasmen. Pada mata kuliah Shokyuu Hyouki aktivitas sinkron langsung digunakan untuk praktek membaca dan menulis baik huruf Hiragana, Katakana, maupun Kanji. Oleh sebab itu, pada rancangan pada pembelajaran sinkron langsung dititikberatkan pada aktivitas dengan metode demonstrasi dan praktek bak membaca dan menulis, media yang sering digunakan adalah silde, dan asesmen menggunakan tes non objektif. Pembelajaran sinkron maya dimediasi oleh teknologi komunikasi yang dikenal sebagai konfernsi jarak jauh. Bentuk konfrensi jarak jauh dapat dilakukan melalui audio-confernece atau audio- conference. Pada dasarnya rancangan pembelajaran sinkron maya sama dengan rancangan pembelajaran sinkron langsung, namun yang berbeda adalah tempatnya. Pada mata kuliah Shokyuu Hyouki sinkron maya dirancang dengan metode talkshow dan tanya jawab menggunakan narasumber dan assesmen menggunakan tes-non objektif dan keaktivan.

SIMPULAN Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap persiapan metode pembelajaran blended learning pada mata Kuliah Shokyuu Hyouki di Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya dengan menggunakan model PEDATI (Pelajari, Dalami, Terapkan, dan Evaluasi) dilakukan dengan lima tahapan, yaitu merumuskan capaian pembelajaran, memetakan dan mengorganisasikan materi pembelajaran, memilih dan menentukan strategi pembelajaran asinkron dan sinkron, menyusun aktivitas pembelajaran asinkron dan merangkai alur pembelajaran menjadi suatu objek pembelajaran, dan merancang aktivitas pembelajaran sinkron. Model PEDATI sangat memudahkan dan cocok digunakan dalam pembuatan disain metode pembelajaran blended learning mata Kuliah Shokyuu Hyouki di Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang terorganisir.

420 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad Kholiqul. 2017. “Kajian Konseptual Model Pembelajaran Blended Learning berbasis Web untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Motivasi Belajar”. Jurnal Pendidikan Edutama, Vol 4, No2 Juli 2017 (halaman 51- 54).

Chaeuman, Uwes Anis. 2017. PEDATI Model, Desain Sistem Pembelajaran Blended: Panduan Merancang Mata Kuliah Daring SPADA Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembelajaran, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Srukturslisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogkarta: Pustaka Pelajar

ALIH WAHANA NOVEL PADA SEBUAH KAPAL KARYA NH. DINI KE DALAM PUISI “PADA SEBUAH KAPAL” KARYA MARIA MATILIDIS BANDA

Oleh Sri Jumadiah FIB UNUD Denpasar Bali

Abstrak

Alih Wahana berkaitan dengan hubungan antarmedia: media sebagai tempat dan media sebagai alat. Makalah ini membahas alih wahana dari novel Pada Sebuah Kapal ke puisi "Pada Sebuah Kapal". Bentuk novel dan puisi adalah tempat yang dimanfaatkan, sedangkan isinya adalah alat yang dipakai untuk menjelaskan makna novel dan makna puisi setelah proses alih wahana. Fokus makalah ini adalah pada "Pada Sebuah Kapal" dalam versi puisi karya Maria Matildis Banda (MMB) yang termuat dalam Ratapan Laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT (2014). Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekspresif untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban MMB mengalihkan novel tersebut dari sisi alur, penokohan, dan diksi. Hasil kajian menjelaskan bahwa dalam proses alih wahana puisi "Pada Sebuah Kapal" berlangsung secara serius. Puisi mengungkapkan isi novel Pada Sebuah Kapal secara padat dengan penggunaan kata-kata antara penari dan pelaut yang mendominasi perkembangan alur dalam novel dan diksi dalam puisi.

Kata Kunci: Alih Wahana, Pada Sebuah Kapal, Novel, dan Puisi.

Pendahuluan "Pada Sebuah Kapal" (2010) adalah salah satu puisi Maria Matildis Banda (MMB) yang diadaptasi dari novel terbaik dengan judul Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini. Novel ini berkisah tentang penari dan pelaut dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang penari dan sudut pandang pelaut. Penari mengungkapkan segenap isi hatinya kepada pelaut. Pelaut pun demikian, mengekspresikan segenap kedalaman perasaannya terhadap penari dari sudut pandang dirinya sebagai laki- laki pelaut. Hubungan pelaut dan penari ini terjadi pada sebuah kapal. Bagaimana MMB mengadaptasikan novel ini menjadi puisi? Apa saja kekuatan yang diungkapkan MMB dalam puisi tersebut? Apakah sama maknanya dengan novel? Bagaimana perbedaannya serta tanggung jawab untuk menjadikan puisi memiliki kekuatan yang sama dengan novel? Bagaimana proses adaptasi itu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 421 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 422 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 terjadi. Pertanyaan tersebut akan dijelaskan melalui berturut-turut dalam: 1) alih wahana novel Pada Sebuah Kapal ke dalam puisi "Pada Sebuah Kapal"; 2) bagaimana pertanggungjawaban MMB dalam proses alih wahana. Jawabannya dijelaskan bersamaan pada bagian hasil dan pembahasan. Penjelasan dilakukan berdasarkan dua pertanyaan estetika novel yang berpusat pada alur, latar, dan perwatakan; serta estetika puisi yang berpusat pada diksi atau pilihan kata. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik berdasarkan data pustaka dan data wawancana.

Hasil dan Pembahasan Dalam tulisan dan presentasinya tentang "Alih Wahana dari Cerpen ke Drama Panggung refleksi dari Lomba Drama Modern Bali" yang disampaikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Budaya (SNSB, 2016), MMB menjelaskan bahwa secara keseluruhan alih wahana cerpen ke drama memberi harapan masa depan kajian alih wahana sebagaimana dijelaskan berikut ini. Ada ruang kreatif yang disediakan khusus sebagai media pembelajaran sekaligus pencapaian hasil optimal bagi seni drama modern di Bali. LDM ini juga membuktikan kreativitas seni menembus batas eksklusivitas cerpen, drama, musik, dan lainnya di dalam rumah masing-masing. Alihwahana telah membuka pintu dan jendela bagi berbagai jenis kesenian untuk bertukar tempat, bertemu, berdiskusi, syering, dalam kajian alih wahana yang multi disiplin maupun interdisiplin (Banda, 2016).

Alih wahana pada hakikatnya dapat terjadi sama panjang waktunya dengan keberadaan karya sastra. Sesuatu yang dapat dialihkan bisa berwujud gagasan, amanat, perasaan, atau ‘sekadar’ suasana (Djoko Damono, 2014:13). Novel Pada Sebuah Kapal dialihkan ke dalam puisi "Pada Sebuah Kapal". Novel menggarisbawahi alur (jalan cerita), karakter tokoh-tokoh terutama tokoh Pelaut dan Penari yang dilukiskan dalam latar sebuah kapal. Apa yang dilukiskan dalam novel dapat diungkapkan melalui puisi. Meskipun karakter tokoh dilukiskan dengan jelas dalam novel, namun dapat dikatakan aspek gagasan, amanat, perasaan tampak dilukiskan secara padat dalam puisi. Perhatikan puisi "Pada Sebuah Kapal" karya MMB berikut ini.

Pada Sebuah Kapal

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 423 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

(diadaptasi dari Novel Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini)

Penari... Kudengar suaramu mendesah melalui lekuk tubuhmu Kulihat resahmu menetes lewat lirikan matamu Kurasakan duka hatimu dalam denting gamelan menyapa Kukecap jeritan derita dalam hentakan kaki dan irama Kucium bau tubuhmu ketika lentur gerakanmu Menyentuh tanya Wahai, Penari... Adakah duka yang membuatmu luka?

Pelaut... Kucium bau tubuhmu angin aroma samudra Dimana kebebasan menggelora bagai debur pantai selatan Kukecap setiap lekuk jangkar yang membuatmu bertahan Di mana getar sukmamu menyusup ke dalam dada Kurasakan rindumu pada camar di puncak bahtera Di mana tujuan memberi tanda cinta Kulihat duka hatimu melalui debar air di belah haluan Di mana cahya mercusuar memencar menggapai panggilan Wahai, Pelaut... Adakah duka membuatmu luka?

Wahai Penari... Kapal berlayar jauh Angin berhembus kencang mendendangkan sunyi Di tengah samudra denting gamelan menggapai Tarianmu menggetarkan kalbu yang sedang mencari Tarianmu menyusupkan suka yang hendak berhenti Tarianmu membekaskan rindu bagi sukma yang merintih Tarianmu menggetarkan kalbu yang selalu merindu Wahai, Penari... Kepada siapakah cintamu menuju?

Wahai Pelaut... Kapal berlayar jauh Angin berhembus kencang mendendangkan sunyi Di tengah samudra debar jantungku menikmati sepi Jangkarmu menggetarkan kalbu yang sedang mencari Jangkarmu menyusupkan suka yang hendak berhenti Jangkarmu membekaskan rindu bagi sukma yang merintih Wahai Pelaut... Kepada siapakah cintamu menuju?

Wahai Pelaut... Engkaulah gelora samudra yang menghempas Kapal kita menembus cakrawala

424 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Betapa nyaman bertekuk dalam dekapmu

Wahai Penari... Engkaulah lekuk liku tarian yang gemulai Dentang denting musik pengiring mendesah Betapa lelap tanganku membekap tubuhmu

(Maria Matildis Banda, 2014 dalam Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT).

Puisi di atas melukiskan gelora asmara yang terjadi antara Penari (Sri) dan Pelaut (Michel Dubanton). Dalam novel kisah 'percintaan' yang dilakukan Sri (istri orang lain) dan Michel (suami orang lain) dijelaskan lebih rinci dibandingkan dengan kisah hidup Sri dan suaminya (Diplomat Prancis) yang kasar Charles Vincent. Setting cerita yang sebagian besar terjadi di atas kapal serta hubungan asmara antara Sri dan Michel menunjukkan bahwa alih wahana "perasaan dan amanat" adalah tema yang menonjol dalam puisi. Dalam bagian ini dapat dikatakan bahwa: 1) alih wahana tampaknya dapat diwujudkan dengan bebas; 2) tidak perlu sama antara novel dan puisi karena keduanya memiliki estetikanya masing-masing. MMB hanya mengambil bagian asmara antara Sri selaku tokoh utama yang berprofesi sebagai penari, dan Michel salah satu tokoh dalam cerita yang berprofesi sebagai pelaut. Sementara itu bagian lainnya seperti keseharian hidup Sri, kematian calon suaminya, perjalanannya ketika mencari pekerjaan sebagai pramugari tetapi gagal, pekerjaannya sebagai penyiar radio, kehidupannya sebagai istri seorang diplomat, perjalanan di Semarang, Jakarta, Jepang, dan Prancis, tidak dijelaskan. Menurut penjelasan MMB, dirinya memilih fokus Pelaut dan Penari dengan alasan sebagai berikut. Kekuatan novel Pada Sebuah Kapal ada pada sosok Sri sebagai Penari dan Michel sebagai Pelaut. Novel ini jusru memiliki isi yang memikat dan mengikat imajinasi karena sosok dua insan manusia. Perselingkuhan yang "manis" seakan-akan mendobrak 'kemapanan' hidup suami-istri yang terlihat rukun, terpuji, tampak nyata kesejoliannya, kelihatan saling mencintai dan rela berkorban satu sama lain, namun kenyataannya justru terbalik. Hidup bersama karena harus begitu, penuh kemunafikan, kepura- puraan, keterpaksaan, dan upaya menyembunyikan berbagai kegagalan hubungan yang sudah terjadi. Ekspresi dari kegagalan keluarga Sri dan suaminya Charles Vincent berbanding terbalik dengan begitu intens dan dalamnya hubungan Sri dan Michel (yang juga memiliki problem ketidakcocokan dengan istrinya). Sri dan Michel bagai sumbu bertemu api

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 425 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

yang membakar gelora asmara yang terpendam dan mencari jalan untuk pemenuhannya. Hal itu terungkap dalam puisi "Pada Sebuah Kapal" (wawancara dengan Maria Matildis Banda, 01 Maret 2018).

Penjelasan MMB di atas menunjukkan bahwa alih wahana tidak harus sama antara teks sebelumnya sebagai sumber, dan teks sesudahnya sebagai hasil. MMB menulis puisi tersebut untuk keperluan Dramatisasi Puisi yang dipentaskan di Fakultas Sastra tahun 2010, oleh mahasiswa/i Jurusan Sastra Indonesia. Pada waktu itu NH. Dini sebagai penulis novel Pada Sebuah Kapal juga hadir dan menikmati jalannya pementasan dramatisasi puisi tersebut. "Saya memang berniat menyampaikan kepada NH. Dini dengan segenap rasa terima kasih. Pada Sebuah Kapal itu menggetarkan justru pada proses hubungan yang berlangsung sampai kepada moment percintaan antara Sri dan Michel. Simbolisme apa sebetulnya yang ada di baliknya? Mudah-mudahan ada waktu untuk menulisnya" (wawancara dengan MMB, 01 Maret 2018). Apa yang dijelaskan MMB dapat ditemukan dalam ungkapan perasaan Penari kepada Pelaut dan sebaliknya. Seluruhnya secara lengkap dalam dua bait terakhir: "Wahai Pelaut/Engkaulah gelora samudra yang menghempas/Kapal kita menembus cakrawala/Betapa nyaman bertekuk dalam dekapmu," yang diucapkan Penari kepada Pelaut, dan sebaliknya "Wahai Penari.../Engkaulah lekuk liku tarian yang gemulai/Dentang denting musik pengiring menyesah/Betapa lelap tanganku membekap tubuhmu." MMB menjelaskan bahwa sebagai penulis puisi (MMB tidak bersedia disebutkan sebagai penyair karena lebih banyak menulis novel) itu dirinya berterima kasih kepada NH. Dini. Ucapan terima kasih juga ditampilkan melalui puisi yang ditulisnya dan ditampilkan pada waktu Dramatisasi Puisi berlangsung. Puisi berjudul "Pada Sebuah Kapal Kita Bertemu: untuk NH Dini." Puisi dan Novel adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa puisi dan novel memiliki makna yang sama. Yang penting disadari adalah novel memiliki estetika yang berbeda dengan puisi.

426 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Penutup Alih wahana adalah sebuah lahan kerja yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Hal ini dikatakan setelah mencermati bagaimana alih wahana dari novel Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini menjadi puisi "Pada Sebuah Kapal" karya Maria Matildis Banda. Mengadaptasi salah satu karya sastra menjadi karya sastra yang lain (alih wahana) akan mengalami kegagalan jika karya baru tidak dapat mensejajarkan dirinya dengan karya asli yang dijadikan sumber alih wahana. Puisi "Pada Sebuah Kapal" karya MMB ini menurut pandangan penulis, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, mempunyai kekuatan diksi atau pilihan kata,yang menjadikan puisi tersebut dapat menjelaskan bagian terdalam dari novel Pada Sebuah Kapal. Dalam hal ini proses alih wahana berhasil dilakukan MMB; untuk memenuhi semangat apreasiasi dalam pentas Dramatisasi Puisi "Pada Sebuah Kapal."

DAFTAR PUSTAKA

Banda, Maria Matildis. 2014. "Pada Sebuah Kapal" dalam Ratapan Laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Banda, Maria Matildis. 2016. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi Lomba Drama Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya Unud..

Djoko Damono, Sapardi. 2014. Alih Wahana. Jakarta: Editum.

Dini, NH. 1974. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yapi Taum, Joseph (ed). 2014. Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

PENGADANG-NGADANG PADA RUMAH TUSUK SATE SUATU KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI

Oleh Tjok Istri Agung Mulyawati R. Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan tentang pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate dari sudut bentuk dan fungsinya. Dalam penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan data/informasi dari informan dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung kerumah-rumah yang memiliki posisi tusuk sate/ di lajur T. Teknik yang dipakai adalah dengan mencatat, merekam dan memotret. Setelah data terkumpul barulah dianalisis dengan metode deskriptis analisis. Hasil analisis disajikan dengan metode informal. Dari hasil kajian, rumah tusuk sate tersebut merupakan rumah yang posisinya berada tepat di tengah lajur T, rumah yang memotong lajur pertigaan sehingga jalan tersebut menjadi buntu. Rumah yang berada pada posisi inilah disebut rumah tusuk sate, yang di Bali biasa disebut dengan rumah numbak jalan. Rumah tusuk sate ini sebenarnya bukan nama rumah melainkan tentang keadaan posisi rumahnya. Rumah tusuk sate ini oleh masyarakat Bali dipercayai akan banyak menimbulkan masalah atau musibah bagi pemiliknya. Maka itu dibuatlah pengadang-ngadang yang bentuknya bisa berupa pelinggih, pohon besar atau batu besar, yang diletakkan/ dibangun di depan rumah yang berhadapan langsung dengan lajur jalan. Fungsi dari pengadang-ngadang ini secara niskala dipercayai dapat menetralisir dan menolak hal-hal yang berpengaruh negatif. Secara sekala dapat berfungsi sebagai tameng, agar rumah itu terhindar dari kecelakaan atau ditabrak oleh kendaraan yang melaju cepat dari arah depan rumah.

Kata kunci: pengadang-ngadang, pelinggih, rumah tusuk sate

1 Pendahuluan Di dalam suatu budaya tradisional suatu daerah pasti terdapat sebuah folklor yang berkembang dan diyakini oleh masyarakat penganutnya. Folklor ialah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 427 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 428 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerakan isyarat di dalam suatu masyarakat yang berbeda (Danandjaja, 1984:1). Folklor memiliki empat bentuk, yakni folklor berbentuk lisan, yang terdiri dari bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat,dan nyanyian rakyat. Yang kedua ialah folklor sebagian lisan, yang terdiri dari kepercayaan rakyat dan permainan rakyat. Ketiga ialah folklor bukan lisan (material), contohnya arsitektur, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan adat, masakan dan minuman rakyat serta obat-obatan yang biasa disebut usada. Dan yang terakhir ialah folklor bukan lisan (bukan material), yang terdiri dari gerak (isyarat tradisional), bunyi (isyarat komunikasi untuk rakyat) dan musik rakyat. Di Bali berkembang berbagai folklor baik yang lisan, sebagian lisan, maupun yang bukan lisan. Folklore yang berkembang di dalam masyarakat Bali sangat beraneka ragam. Berbagai folklor ini telah menjadi suatu kebudayaan yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat Bali. Seperti berbagai kepercayaan rakyat yang tak lepas dengan hal-hal yang bersifat niskala. Yakni segala hal yang berhubungan dengan upacara keagamaan. yang berbentuk yadnya. Kepercayaan rakyat pada masyarakat Bali sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut, seperti contohnya kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali khususnya mengenai pelinggih yang didirikan oleh masyarakat Bali pada setiap pertigaan maupun perempatan juga pada rumah tusuk sate. Hal ini membuat sebagian orang tertarik untuk mengetahui mengapa pelinggih pada rumah tusuk sate tersebut dibangun oleh masyarakat Bali. Maka dari itu kepercayaan rakyat yang di teliti pada kesempatan ini ialah mengenai bentuk dan fungsi pengadang-ngadang yang didirikan pada rumah tusuk sate. Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang muncul ialah 1. Bagaimanakah bentuk dari pengadang-ngadang yang didirikan/dibangun pada rumah tusuk sate di dalam masyarakat? 2. Bagaimanakah fungsi Pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate?

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 429 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Tujuan umum dari penelitian ini ialah ingin memperkaya khasanah dalam bidang budaya terutama mengenai folklor, serta memberikan sedikit pengetahuan mengenai folklor kepada pembaca. Tujuan khusus dari penelitian ini ialah untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari Pengadang- ngadang yang khususnya berbentuk pelinggih yang didirikan di rumah sate di dalam lingkungan masyarakat. Dengan mengetahui fungsi pengadang-ngadang ini di dalam masyarakat, maka kita juga dapat mengetahui bahwa pengadang-ngadang tersebut memiliki manfaat yang besar dan memegang peranan penting dalam lingkungan masyarakat Bali. Kepercayaan rakyat merupakan salah satu bagian dari folklor yang berbentuk sebagian lisan. Teori yang digunakan dalam pembuatan paper ini ialah teori Fungsi oleh Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa, ada hubungan antara sesuatu hal dengan tujuan tertentu (Koentjaraningrat, 1980:87).

2 Metodologi Metode yang digunakan pada saat pengumpulan data ialah metode wawancara. Dengan mencari seorang narasumber yang mengetahui mengenai kepercaaan rakyat ini. Serta menggunakan buku dan artikel penunjang yang dapat membantu kelancaran pembuatan makalah ini. Teknik yang digunakan ialah dengan mencatat, merekam dan memotret beberapa pelinggih yang merupakan pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate. Dalam proses pengolahan data ini digunakan metode deskriptif-analitik, yakni dengan mendeskripsikan atau memaparkan data-data tersebut kemudian disertai dengan interpretasi. Hasil yang diperoleh dari basil penelitian tersebut , akan disajikan dengan menggunakan metode informal. Yakni akan dideskriptifkan atau dipaparkan dalam bentuk kata-kata.

430 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

3. PEMBAHASAN 3.1 Rumah Tusuk Sate Rumah tusuk sate yang dimaksud bukanlah nama rumah, melainkan posisi dari rumah tersebut. Rumah yang disebut dengan rumah tusuk sate adalah rumah yang letaknya berhadapan langsung denga lajur jalan atau gang atau rumah yang posisinya tepat di tengah lajur T, rumah yang memotong lajur pertigaan sehingga jalan tersebut menjadi buntu. Rumah yang berada pada posisi inilah disebut rumah tusuk sate yang di Bali biasa disebut rumah numbak jalan atau numbak rurung. Jadi letaknya pada pertigaan jalan. Rumah yang posisinya seperti ini seperti ditusuk jalan , makanya disebut rumah tusuk sate. Posisi rumah tusuk sate bisa dilihat seperti gambar di bawah ini :

jalan jalan

jalan jalan jalan jalan Rumah tusuk sate

3.2 Pengadang-ngadang Pengadang-ngadang di sini maksudnya suatu media yang dipakai sebagai pembatas atau penghalang antara lajur jalan dengan rumah tusuk sate. 3.3 Bentuk Pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate Kepercayaan masyarakat Bali tentang keberadaan rumah tusuk sate yang dinyatakan akan banyak menimbulkan masalah atau musibah bagi pemilik atau penghuninya maka dibuatlah pengadang-ngadang yaitu sarana pembatas antara rumah tusuk sate dengan lajur jalan. Bentuk pengadang-ngadang pada rumah tusuk sate yang dimiliki oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu biasanya berbentuk pelinggih yaitu suatu bangunan suci menyerupai candi yang tidak beratap. Bangunan pelinggih ini bisa terbuat dari batu bata, batu paras, batu karang, beton, dan sebagainya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 431 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Contoh bentuk pelinggih pada rumah tusuk sate dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

jalan

Rumah tusuk sate jalan jalan Pelinggih

3.4 Fungsi Pengadang-ngadang Pada Rumah Tusuk Sate Bali merupakan suatu pulau yang kuat akan nuansa religinya. Kepercayaan rakyat terhadap Sang Pencipta, berbagai manifestasi Tuhan serta terhadap makhluk halus yang dikenal dengan Bhuta Kala, sangat dipercaya keberadaannya oleh masyarakat Bali. Berbagai upacara keagamaan digelar dan berbagai benda

432 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 disakralkan, inilah suatu kebudayaan masyarakat Bali yang juga menjadi suatu kepercayaan masyarakat yang dianggap memberi efek tertentu kerhadap kehidupan sehari-hari. Kepercayaan Dinamisme masih berkembang dan dilestarikan di pulau Bali ini. Seperti pohon bringin yang dianggap suci dan dibanteni (diberi sesajen) setiap harinya. Selain pohon bringin, batu besar juga terkadang dianggap sakral oleh masyarakat. Kini banyak pelinggih yang juga disakralkan. Dalam menjalani kehidupan, masyarakat Bali menerapkan konsep Tri Hita Karana, yakni mengenai parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan). Untuk melakukan hubungan dengan Tuhan, manusia memerlukan suatu prasarana. Sehingga dibangunlah pelinggih sebagai tempat pemujaan. Yang menarik bagi penulis adalah pelinggih ini juga dibangun di pertigaan rumah warga, yang disebut rumah tusuk sate tersebut. Dengan lokasi rumah tusuk sate, biasanya pelinggih dibangun di samping atau di depan rumah tersebut atau ditanam pohon besar seperti pohon beringin di depan rumah tersebut. Pelinggih yang dibangun di lokasi ini biasanya disebut pengadang-ngandang atau penumbangrurung. Menurut pendapat seorang pemangku yang saya tanya, beliau mengutarakan bahwa, pengadang-ngadang memegang peranan yang penting, terhadap keadaan rumah yang menjadi rumah tusuk sate tersebut. Yakni sebagai penetralisir hal-hal negatif yang datang dari ketiga arah tersebut, terutama yang datang dari arah depan rumah. Hal-hal negatif yang dimaksud disini ialah hal-hal yang bersifat magis. Konon katanya, rumah tusuk sate ini merupakan rumah yang sangat strategis untuk dijadikan tempat tinggal oleh makhluk halus. Rumah tusuk sate sering dikatakan rumah angker, karena rumah pada lokasi tersebut sangat disenangi oleh para makhluk halus, sehingga pemilik atau penghuni rumah tusuk sate tersebut bisa mendapat musibah. Maka dari itu untuk mencegah bersarangnya makhluk halus di dalam rumah itu, dibangunlah pengadang-ngadang berbentuk pelinggih yang berfungsi sebagai penangkal bahaya penetralisir secara niskala atau tidak nyata. dan yang dipuja pada pelinggih ini adalah Sanghyang Indra Belaka. Sanghyang Indra Belaka ini dipercayai sebagai Dewa penolak bala dan penetralisir energi negatif. Selain dibangun pelinggih, bisa juga menggunakan pohon besar sebagai penumbangrurung atau batu besar. Pelinggih, pohon ataupun batu besar memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai penolak bahaya dan sebagai penetralisir

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 433 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 lingkungan. Jadi dengan adanya bangunan pelinggih pengadang-ngadang ini, keharmonisan dalam lingkungan sekitarnya akan tetap terjaga. Oleh masyarakat Bali, pengadang-ngadang ini sangat dipercaya dapat menolak bahaya dan sebagai penetralisir, sehingga kehidupan manusia dapat berjalan dengan aman dan tentram tanpa terusik oleh mahkluk halus yang berniat jahat. Maka karena itulah di Bali khususnya masyarakat Bali yang beragama Hindu yang tinggal di rumah tusuk sate sering dibangun pelinggih sebagai pengadang-ngadang baik pada setiap pertigaan jalan atau pertigaan di gang-gang rumah warga. Jika di atas dijelaskan mengenai fungsi pengadang-ngadang di rumah tusuk sate secara niskala. Secara sekala, pelinggih, pohon besar maupun batu besar yang ada di depan rumah tusuk sate tersebut berfungsi sebagai tameng bagi rumah itu, agar rumah tersebut terhindar dari ancaman kendaraan yang melaju kencang dari arah depan rumah itu sehinga penghuni rumah menjadi aman. Agar tidak silau dengan sinar lampu dari arah depan rumah, bisa juga ditanam pohon besar di depan rumah itu. Selain masyarakat Bali kepercayaan terhadap rumah tusuk sate itu juga ada antara lain Adat Jawa, Fengshui, juga pada Islam.

4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah pengadang-ngadang yang dibangun dilokasi rumah tusuk sate memiliki fungsi yang besar, yang dapat memberikan pengaruh terhadap rumah, pemilik ataupun penghuni rumah tusuk sate tersebut. Pengadang-ngadang yang dibangun oleh masyarakat Bali yang memiliki rumah dengan posisi tusuk sate adalah berupa pelinggih. Pengadang-ngadang ini merupakan salah satu kepercayaan yang dipercaya oleh masyarakat Bali berfungsi sebagai penetralisir dan penolak hal-hal yang bersifat negatif, yang dapat mencelakai penghuni rumah tusuk sate tersebut. Karena sebagian orang percaya secara niskala (tidak nyata) bahwa rumah tusuk sate merupakan rumah angker yang disenangi oleh para makhluk halus. Pengadang-ngadang ini juga sering disebut dengan penumbagrurung. Selain pelingggih, pohon besar atau batu besar juga dapat digunakan sebagai pengadang-ngadang. Secara sekala, penumbagrurung ini berfungsi sebagai tameng, agar rumah

434 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 itu terhindar dari kecelakaan atau tabrakan dari kendaraan yang melaju kencang dari arah depan rumah.

4.2 Saran Untuk menambah pengetahuan mengenai fungsi-fungsi folklor, khususnya mengenai kepercayaan rakyat, dan untuk menambah kesempurnaan makalah ini maka diperlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaya.1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dal lain-lain. Jakarta:Grafitipress

Kuncaraningrat.1980. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia.

Artikel di Internet:

“ Rumah Tusuk Sate Menurut Adat Jawa, Islam dan Fengshui http:/www.masrukhan.net”

Ika Septi. “ Ada Apa dengan Rumah Tusuk Sate” 26 Oktober 2017. http:/www.compasiana.com

DIMENSI POLITIS DALAM SASTRA LISAN PADA MASYARAKAT MELAYU DI BANJARAN SUNGAI TANAH DELI

Oleh Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph.D. (Progran Doktor (S-3) Linguistik, Konsentrasi Sastra FIB USU, Ketua HISKI Sumatera Utara) E-mail: [email protected]

Abstrak

Orientasi ruang orang Melayu, pada dasarnya merujuk pada kawasan perairan [sungai dan laut]. Oleh karena itu, masyarakat Melayu dalam studi-studi sosial, selalu disebut sebagai masyarakat aquatik. Peranan buana sungai sebagai konsep kreatif sastra lisan menjadi sendi dalam kehidupan. Nilai dan norma pada karya-karya sastra lisan masyarakat Melayu di banjaran sungai di Tanah Deli Sumatera Utara menjangkau hingga dimensi politis di Tanah Deli, Sumatra Utara memimpin masyarakat yang berbilang etnik. Masalah penelitian ini mengungkapkan bukti keistimewaan dan keagungan peradaban masyarakat dan kesultanannya di Tanah Deli melalui dimensi politis pada sastra lisan masyarakatnya. Tujuan penelitian agar nilai dan norma-norma pada dimensi politis sastra lisan Melayu melekat erat dalam diri dan perilaku masyarakat. Penelitian menggunakan metode kualitatif-diskriptif dengan pendekatan sosio dan resepsi sastra. Penelitian menunjukkan bahwa nilai dan norma dimensi politis yang terkandung dalam sastra lisan pada masyarakat mempunyai hubungan erat dengan perilaku karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap adat dan istiadat serta keyakinan masyarakat terhadap Islam. Nilai dan normanya, terlibat dalam pencegahan konflik penguasa dengan masyarakat dan sesama masyarakat.

Kata kunci : Sastra lisan, Dimensi Politis, dan Demokrasi

PENDAHULUAN Latar Belakang Pemikiran Bila dicermati sungai besar yang mengalir di tanah Deli Sumatera Timur berawal dari belahan Barat, yaitu sungai Tamiang, Sungai Wampu, Sungai Deli, Sungai Denai, Sungai Belumai, Sungai Ular, Sungai Padang, Sungai Asahan, dan sungai Billah serta sungai Berombang. Dataran rendah dan tinggi yang merangkai antara masing-masing sungai adalah kawasan rawa, berbukit rendah dan di hulu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 435 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 436 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 berbatasan dengan Bukit Barisan. Dataran rendah dan berbukit tempat mengalir sungai-sungai ini dibungkus oleh hutan yang luas dengan sifat ekosistemik. Dilihat dari keragaman hayati kandungan hutan-hutan diantara lembah- lembah sungai ini, amat kaya dan beragam. Yusmar ( Syaifuddin, 2017) menyatakan bahwa menempatkannya sebagai satu entitas budaya dengan gemuruh gerakan kebudayaan Melayu di satu sisi, dan eksploitasi bumi berbasis hutan di sisi yang lain telah membuat perubahan- perubahan geo-morfologis kosmos pada buana sungai. Ia juga menyatakan bahwa hutan dan penyusutan perilaku terhadap ekologinya berdampak pada penyusutan pemahaman makna petuah adat dan istiadat Melayu yang dirupa berbagai genre sastra serta konsep kreatif yang menjadikannya tercitra dalam kearifan-kearifan lokal yang menjadi peneraju hidup dan penuntun berperilaku, sekaligus petuah dalam ikhtiar bagi masyarakatnya. Sesungguhnya buana sungai menjadi kawasan orientasi ruang, karena di kawasan perairan tersedia ragam fungsi; komunikasi, transportasi, hiburan, pencaharian, sistem pasar, lalu lintas peradaban, dan gerbang untuk berkenalan dengan dunia asing yang jauh. Maka, orang Melayu memiliki tabiat dasar membangun perkampungan dan kota, termasuk wilayah pusat kekuasaan dalam pola pemukiman yang mengikut garis tebing sungai. Begitu pula halnya dengan kawasan ladang dan huma merujuk pada garis sungai. Musim ikan banyak di laut dan sungai pun merujuk pada peradaran bulan dalam sistem galaksi air. Umpamanya; bulan ‘kecil’gelap, penanda ikan sedang banyak, karena biota laut termasuk makhluk nocturnal. Sebaliknya, pada masa bulan ‘besar’, ikan di laut amat langka. Sejatinya, petuah yang menjadi sandaran dan sendi ikhtiar kehidupan bagi orang Melayu sangat tergantung dari ekosistem buana sungai yang terawat dan terpelihara. Sebaliknya, gerak pembangunan yang tidak linier, sungai-sungai di Sumatera Timur-tanah Deli menjalani masa eksploitasi yang menjenuhkan. Walaupun, kelelahan yang menerpa buana sungai-sungai ini, bakal ikut menggerus mutu atau kualitas petuah dan ikhtiar yang merujuk kepada istiadat serta makna sastra lisan Melayu. Hukum adat dan karya sastra yang selama ini terekam dan tersimpan secara lisan, juga akan mengalami penyusutan makna dan konteksnya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 437 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Makalah ini akan mengutarakan tentang nilai dimensi politis dari sastra lisan yang wujud pada masyarakat di banjaran sungai di Tanah Deli, Sumatera Timur. Secara umum, menurut Setiadi dan Kolip (2013 : 4) berdasarkan upaya penggabungan antar berbagai difinisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik bahwa politik dapat dipahami sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat antara lain berwujud proses pembuatan keputusan. Dapat juga ia dipahami sebagai proses interaksi antara pihak pihak penguasa dan pihak yang dikuasai, yaitu masyarakat. Manakala perihal nilai dimensi politis, secara khusus Suseno (2016 :17) berpandangan bahwa dalam dimensi-dimensi kesosialan manusia, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara serta sistem–sistem nilai dan ideologi-ideologi yang sekaligus memberikan legitimasi kepadanya. Apa yang menjadi ciri khas dimensi politis manusia itu ?. Dimensi politis manusia, adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan.

Masalah Berdasarkan huraian di atas yang bermuara pada kepiawaian local dan bersumber dari ketersediaan segala bentuk plasma nutfah buana sungai di dalam sebuah ruang ekologi sungai yang prinsipnya menjadi alat penuntun, tata nilai, dan penyelamat hidup, sekaligus penyelamat lingkungan itu sendiri. Maka, masalah penelitian ini mengungkapkan bagaimanakah nilai dimensi politis dalam sastra lisan masyarakat pada banjaran sungai di Tanah Deli agar kehidupan itu berakal menghadapinya ?.

METODE DAN PENDEKATAN Metode Pada penelitian ini, peneliti bertindak sebagai penganalisis, sekaligus pengamat pada apa yang terjadi pada objek yang diteliti. Kemudian memaparkan nilai dan norma apa yang ada pada teks karya sastra lisan yang melingkupi dimensi politis, sedangkan pada tahap kemudian dipaparkan realitasnya. Oleh karena itu penelitian bersifat diskriftif kualitatif. Data penelitian ini dibatasi pada teks lisan berupa ungkapan atau petuah adat yang digolongkan dalam puisi tradisi Melayu.

438 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Kemudian, peneliti sebagai instrumen penelitian adalah melakukan inventarisasi terhadap teks lisan dan penafsiran nilai-nilai dimensi politis.

Pendekatan Adelbert von Chamissio (1781-1838) meyatakan bahwa kajian-kajian mengenai petuah-petuah adat yang terkemas, seperti berupa ungkapan atau petuah adat serta genre lain, selain memperlihat cerminan akal budi manusia Melayu juga merupakan ekspresi dari kemantapan daya kreativitas dan pemikiran orang-orang Melayu. Francois-Rene Daillie ( Yusmar : 2010) juga menyatakan bahwa sejak pertama kali mengenal puisi tradisi Melayu yang berkonsep kreatif buana sungai dan hutan, telah menunjukkan minat yang mendalam tentang keindahannya. Oleh karena, ia menjadi salah satu cara penyampai dan pewarisan nilai dan pengetahuan orang Melayu kepada generasinya. Sejatinya tradisi ekspresif itu, seperti bidal, pepatah, ungkapan adat, gurindam, dan syair yang memiliki kekuatan mencerminkan dan membentuk hukum-hukum komunal yang menjadi acuan berperilaku. Sesungguhnya, buana sungai menjadi elemen utama bagi keberadaan Melayu dan adatnya. Tradisi yang meletakkan kearifan pada sungai yang membuat hukum-hukum petuah Melayu selalu merujuk pada ikhtiar menjaga keseimbangan lingkungan. Suseno (2016 :17) berpandangan bahwa Apa yang menjadi ciri khas dimensi politis manusia itu dalam karya sastra, khususnya sastra lisan?. Dimensi politis manusia, adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut politis adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Kemudian sebuah keputusan yang politis pun, apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, sedangkan suatu tindakan atau kebijakan disebut juga politis, apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Berdasarkan masing-masing uraian tersebut penafsiran/pemaknaan teks sastra lisan dilakukan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 439 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

PEMBAHASAN bila duduk, duduk berguru; bila tegak, tegak bertanya; bila merantau mencari ilmu; bila berjalan mencari teladan," bila berkayuh mencari contoh; bila ke darat mencari ibarat; bila ke laut mencari yang patut‘; bila ke tengah mencari yang semenggah; bila ke tepi mencari yang berbudi, bila ke hulu mencari yang tahu ”. Masing –masing karya sastra lisan yang berbentuk ungkapan atau petuah adat yang digolongkan dalam puisi tradisi Melayu di atas, hidup dan berkembang secara lisan di masyarakat yang berada pada banjaran sungai di Tanah Deli Sumatera Timur. Ia juga kerap dikaitkan oleh masyarakat terhadap pembicaraan tentang kekuasaan dan siasyah dalam masyarakat.

Dimensi Awal yang Estetis Memahami ungkapan atau petuah-petuah adat tersebut menunjukkan bahwa makna yang menjadi bagian dari tradisi ekspresif Masyarakat Melayu itu, membentuk hukum keseimbangan alam dan keseimbangan hidup antara sesama manusia, masyarakat, dan penguasa. Ihwal konvensi sosial di dalam komunitas Melayu, sebagaimana tercermin dari bagian buana sungai adalah yang memiliki faedah untuk pengendali atau peneraju dalam kehidupan yang ia tersedia di hutan rimba buana sungai-sungai Melayu. Konsep petuah dari ungkapan itu dalam seluruh alam atau sebagai buana sungai Melayu ternyata luas, mencakup segala aspek kehidupan kepercayaan, hubungan sosial, perundangan, dan bernegara serta berbangsa. Oleh karena itu, melalui pilihan kata-katanya pun menunjukkan bahwa fungsi makna dari petuah adat atau ungkapan dalam kehidupan adalah seperangkat prinsip dasar yang diperlukan untuk mengatur kehidupan demi menuju pada sebuah kerukunan dan keserasian hidup. Untuk itu, maknanya diharapkan agar setiap anggota masyarakat mematuhi segala bentuk aturan bersama yang selanjutnya dikenal sebagai konvensi yang berasal dari sistem nilai yang diatur dalam adat untuk masyarakatnya. Termasuk perilaku yang arif dari masyarakat dalam membangun dan aktivitasnya. , “bila berkayuh mencari contoh; bila ke darat mencari ibarat; bila ke laut mencari yang patut‘ Maka, secara khusus guna menjaga keasrian, keaslian dan merawat segala jenis ekosistem buana sungai, sesungguhnya melibatkan tokoh-tokoh yang terkait

440 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dengan adat. Sejalan dengan pentingnya posisi para tokoh itu di kalangan masyarakat, ia telah membentuk pola perilaku dan konvensi yang harus juga menjaga keselarasan alam dan lingkungannya. Umpamanya dalam membangun, seperti pembangunan perumahan atau rumah kediaman juga untuk komersial harus bertumpu dan berpaksi pada kaidah petuah adat yang menekankan pentingnya keseimbangan dan tidak memusnah hutan dan tanah dengan makhluk yang hidup didalamnya, ia menjadi pertimbangan utama. Ia manifestasi cara pandang: “adat berumah tak merusak tanah dan sungai ”.

Dimensi Konflik dan Politis Secara umum masing masing ungkapan yang bercerita tentang keberadaan, wujudnya potensi dan keberagaman masyarakat di Tanah Deli Sumatera Timur yang teksnya dikemas sedemikian rupa dengan memahami pemikiran Baumgarten (Kartini, 2009) tentang estetika/filsafat keindahan, isi teks lisan ungkapan tidak tidak hanya melingkupi ranah estetika sastra dan budaya, tetapi menjangkau hingga dimensi politik masyarakat Melayu. Oleh karena itu, maknanya mengurai beberapa siasat dan ikhtiar masyarakatnya dan penguasa Melayu di Tanah Deli, dalam berhadapan dengan masyarakatnya yang berbilang etnik. Hal ini menunjukkan sejalan dengan pandangan Setiadi dan Kolip yang menyatakan bahwa dalam karya-karya sastra, konflik dan integrasi dipahami sebagai gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren. Artinya, konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu. Mereka juga menyatakan bahwa dalam karya dimana saja dan kapan saja selama kehidupan sosial masih ada, maka konflik dan integrasi akan selalu menyertainya. Oleh karena itu, dalam padangan ilmu sosial pun, masyarakat dilihat sebagai arena konfik (pertentangan) dan arena integrasi yang akan senantiasa ada sejalan dengan perjalanan kehidupan sosial itu sendiri. Sementara itu, hal – hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Bahkan dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki unsur-unsur kesamaan keinginan, tujuan hidup, ideologi, dan pandangan satu sama lainnya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 441 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Persamaan dan perbedaan tersebut tercermin dalam bentuk deferensiasi antar kelompok yang di dasarkan pada unsur etnis, kepentingan, juga beberapa kemauan, kehendak, dan tujuan. Dari setiap konflik tersebut ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga beberapa diantaranya yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala dimana gejala yang menyebabkan timbulnya konflik tidak dapat teratasi sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan. Hadiluwih (2008) dalam penelitiannya tentang Konflik Etnik di Indonesia: Satu Kajian Kes di Bandaranya Medan/ Tanah Deli juga menemukan bahwa masyarakat di Tanah Deli terdiri dari keturunan, bangsa, etnik, ras maupun agama serta golongan yang berbeda- beda. Perbedaan di Tanah Deli Sumatera Timur ini sesungguhnya tidak senantiasa terjadinya konflik, namun perbedaan bisa menjadi sumber laten bagi cultural politik yang besar kemungkinan awal pada pertembungan antar etnik. Lebih jauh Sumanindio (2008) menyatakan pada umumnya yang mungkin menjadi sumber konflik di Tanah Deli ada dua macam. Pertama, sumber konflik yang bersifat vertikal, sedangkan yang kedua bersifat horizontal. Secara sosio- politik kedua – dua sumber konflik tersebut bisa digunakan sebagai alat analisis untuk melihat kekerasan dan pertelingkahan atau konflik. Manakala konflik horizontal merentang bermacam alasan yang bisa memicunya. Mulai dari tindak kekerasan, ketaksamarataan, kekejaman, bahkan pembersihan melalui pengabaian hak-hak suatu etnik. Menganalisis satu demi satu makna petuah adat atau ungkapan tersebut, menunjukkan bahwa makna isi teksnya adalah hasil kristalisasi yang berakar pada fenomena yang ada pada sosial masyarakat dan adat-istiadatnya, bahkan syariat Islam yang di Tanah Deli Sumatera Timur. Mencerminkan bahwa makna dan petuah adat itu tumbuh sebagai pohon rindang yang mengayomi masyarakat Melayu di Tanah Deli. Keadaan ini mengikut filsafat Comte (Tabrani, 1986), makna teks ungkapan dan manusia Melayu adalah suatu keakraban yang hidup sepanjang zaman. Sementara nilai-nilai di dalam teksnya membangun kreatifitas sehingga ia bukan merupakan suatu karya kreatif-dogmatis. Dalam Teks ungkapan

442 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 diungkapkan; “bila ke tepi mencari yang berbudi, bila ke hulu mencari yang tahu ”. Walaupun masing-masing teks petuah atau ungkapan adat itu tidak dikemas, dalam peristiwa peperangan dan perjuangan hidup, seperti fiksi, namun bila disimak secara cermat dan teliti, ia dapat ditafsirkan, diantaranya mengungkap pandangan dan anggapan yang dilontarkan kepada masyarakatnya di tanah Deli agar menjaga keserasian antar sesama masyarakat walaupun berbeda-beda demi keharmonisan. Daud (2005) menyatakan; rangka isi petuah adat Melayu ada kesamaan dengan isi buku Fenomena Melayu (Mahatir Mohammad, 1985), hanya saja ihktiar dalam teksnya diutarakan lebih bersifat imajinatif. Dalam penyampaiannya ia dibingkai dengan genre yang akrab dengan masyarakat Melayu, yaitu petuah adat atau ungkapan. Selain itu, berdasarkan uraian keberadaan makna teks ungkapan dan konflik di atas menunjukkan wujud dimensi bahwa manusia dan masyarakat yang berbudaya dan terdidik serta berbudi pekerti dalam teksnya. Oleh karena, pada hakikatnya manusia yang berbudaya, terdidik, dan berbudi pekerti merupakan bekal dirinya untuk menatap kehidupan pada masa hadapan. Maka, isi teks petuah atau ungkapan adat dapat dikatakan sebagai impian kolektif – masyarakatnya, tentu dapat pula ia sebagai pelerai konflik masyarakat di Tanah Deli.

PENITUP Berdasarkan pemahaman makna teks itu, menunjukkan bahwa penglaman masyarakat Melayu, khusus yang berada pada banjaran sungai di Tanah Deli Sumatera Timur berinteraksi dengan puak/etnik dan bangsa yang beragam. Dalam berinteraksi masyarakat Melayu di Tanah Deli telah mendapat tantangan, bahkan tekanan-tekanan dari keadaan itu, tetapi karena keteguhan jiwa masyarakat Melayu kepada budaya dan adat-istiadatnya sehingga mampu diatasi. Kemudian dari sisi manfaatnya bagi masyarakat dan penguasa Melayu pula, menunjukkan bahwa masyarakat untuk bersiasat dan berikhtiar. Bahkan, menjadi kearifan dalam menerima dan mengatur keberagaman di masyarakatnya, sekaligus menjadi kearifan bagi masyarakat/penguasanya. Kesemuanya ini, tentu demi memperkukuh kewibawaan marwah dan martabat masyarakat. Tidak hanya itu saja,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 443 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 yang lebih penting siasat dan ikhtiar ini menjadikan masyarakat dan sistem kekuasaan tradisi Melayu di Tanah Deli Sumatera Timur lebih agung daripada yang lain. Keadaan inilah dalam pandangan Alexander Gottlieb Baumgarten dapat dikatakan sebagai kekuatan dimensi politis estetika teks atau sastra lisan berupa ungkapan dalam masyarakat Melayu di wilyah banjaran sungai. Akhirnya membaca dan memahami serta memaknai makna petuah adat atau ungkapan sebagai estetika teksnya sebagaimana dihuraikan di atas, dapat dimaknai bahwa khalayaknya diarahkan untuk mencari faedah dari pesan-pesannya. Dalam konteks kekinian, apalagi menjelang pesta demokrasi dapat menghayati dan mengapresiasi estetika Melayu, khususnya perihal kebertautan dan rasa sepenanggungan sesama masyarakat Melayu. Walaupun pandangan, anggapan, dan siasat ini dikemas bersifat sastra, namun pada konteks pendekatan esetetika sastra, setiap peristiwa mempunyai kebajikan bagi kehidupan dimana dan kapan saja. Kiranya, jiwa manusia Melayu di Tanah Deli Sumatera Timur yang ekspresif akan lebih subur, apabila mampu melogikan perasaannya baik di ranah budaya maupun politik.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 2010, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Refresentasi. Yogyakarta: Jalasutra

Budiarjo, Prof.Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Kompas Gramedia.

Dahlan, Ahmad. 2015. Sejarah Melayu. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metode Penelitian Psikologi sastra,Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Haji Salleh, Muhammad. 2000. Puitika Sastra Melayu. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pustaka

Hadilewih, Sumandiyo, 2008. Konflik Etnik di Indonesia Satu Kajian Kes di Bandaraya Medan/Tanah Deli. Medan: USU Press.

444 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Hasan, Muhammad Yusof 2004, Pembinaan Paradigma Pemikiran Peradaban Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Pendidikan Sultan Idris.

Kartini, Parmono, 2009. Horizon Estetika. Yogyakarta : Badan Penerbit Filsafat UGM & Lima.

Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme hingga Postrukturalime Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Rahyono, FX, 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widta Sastra.

Setiadi, Elly M. Dan Kolip Usman. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kharisma Putera Utama.

Syaifuddin, Wan. 2016. Pemikiran Kreatif dan Sastra Melayu Tradisi. Yogyakarta : Penerbit Gading.

Syaifuddin, Wan, Dkk. 2008. Taat Ajar dan Taat Hukum Orang Melayu. Medan: USU Press.

Suseno, Franz Magnis. 2016. Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern. Jakarta : Pustaka Gramedia.

MITOS NAWASANAK: SEMBILAN BOCAH PENJAGA “DUNIA PIDADA”

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Denpasar [email protected]

Abstrak

Mitos berkaitan dengan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat tradisional (Segal, 2004: 61). Berbagai jenis ritual yang praktekkan oleh masyarakat berkaitan dengan mitos tertentu, diceritakan dari mulut ke mulut dalam kurun waktu yang panjang. Sesuai pandangan itu, di balik mitos yang berkaitan dengan ritual itu terdapat suatu penjelasan untuk menjelaskan ritual itu sendiri (Graf, 1993: 40). Di Kota Amlapura, tepatnya pada sebuah tempat yang disebut Griya Pidada, terdapat mitos yang berkaitan dengan suatu ritual. Mitos yang disebut nawasanak tersebut menceritakan adanya sembilan bocah yang menjaga Griya Pidada. Keterkaitan mitos nawasanak ini dengan suatu ritual dipraktekkan oleh keluarga besar yang tinggal di Griya Pidada maupun oleh masyarakat sekitarnya dengan tujuan memperoleh keselamatan dan karunia yang melimpah. Keterkaitan mitos nawasanak dengan ritual yang dilaksanakan tersebut menjelaskan mengapa ritual itu dilakukan. Di dalam hal ini, ritual yang dilaksanakan selain ada hubungannya dengan mitos nawasanak juga mengenang kejadian yang pernah terjadi pada masa lalu pada lingkungan tempat ritual itu diselenggarakan secara rutin dari waktu ke waktu. Analisis ini bertumpu pada teori yang menghubungkan mitos dengan ritual yang awalnya dikembangkan oleh Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen ahli bahasa Semit, teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan Skotlandia dan Antropolog James Frazer yang juga berkebangsaan Skotlandia. Keduanya meyakini bahwa ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat tradisional berhubungan dengan mitos yang diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya untuk mengukuhkan bahwa ritual yang dilaksanakan sesungguhnya untuk mengenang kejadian pada masa lalu.

Kata Kunci: mitos, ritual

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan lisan merupakan bentuk kesusastraan purba yang selalu hidup sepanjang waktu di seluruh dunia. Bentuk kesusastraan lisan menjadi bentuk formal karena tradisi kesusastraan lisan dilembagakan dalam bentuk-bentuk bercerita yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 445 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 446 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 beragam. Ada yang yang disampaikan dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Kesusastraan lisan dalam bentuk puisi maupun prosa ada yang dilantunkan sebagai nyanyian rakyat (folksong), seringkali diiringi dengan alat musik. Di samping itu, ada juga kesusastraan lisan yang disampaikan untuk mengiringi sendratari. Sebagai bentuk seni, kesusastraan lisan merupakan seni verbal, seni yang diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (by mouth to mouth) (Propp, 1984: 5). Sebagai bentuk kesenian, kesusastraan dengan sendirinya merupakan aktifitas kebudayaan (cultural activities) (lihat Wissler, 1923: 256; Kluchon, 1953: 507-- 523; Linton, 1964: 387-389). Oleh karena itu, kesusastraan lisan merupakan bentuk aktifitas kebudayaan yang merefleksikan kehidupan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kesusastraan lisan dengan sendirinya juga mengandung unsur-unsur kebudayaan sistem mata pencarian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem relegi. Salah satu bentuk kesusastraan lisan yang populer sebagai media yang merefleksikan aktifitas kebudayaan tersebut ada yang disebut mitos. Menurut William Robertson Smith (1846-1894), seorang pendeta kristen ahli bahasa Semit, teolog, dan ahli agama-agama timur (oriental) berkebangsaan Skotlandia, pada saat masyarakat mulai melaksanakan suatu ritual, sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan mitos. Namun demikian, setelah melupakan alasan sebenarnya untuk melaksanakan suatu ritual, mereka (masyarakat) mencoba melestarikannya dengan menciptakan suatu mitos. Tujuannya ialah untuk melegitimasi (mengukuhkan) bahwa ritual yang dilaksanakan sesungguhnya untuk mengenang kejadian yang diceritakan melalui mitos tersebut (Meletinsky, 2000: 19-20). Seiring pandangan Smith, antropolog Skotlandia James Frazer (1922: 711), berpendapat bahwa masyarakat primitif mempercayai hukum-hukum gaib. Kemudian, pada saat mulai kehilangan keyakinannya mengenai sihir, mitos tentang dewa-dewa diciptakan dan mengklaim bahwa ritual magis kuna adalah ritual yang dilakukan untuk menyenangkan hati para dewa. Seiring pandangan tersebut di atas, Roland Barthes menyatakan bahwa dalam konteks mitologi lama, mitos bertalian dengan sejarah bentukan masyarakat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 447 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 itu sendiri pada masanya sebagai bentuk pesan kepada generasi berikutnya. Bentuk pesan atau tuturan kepada generasi berikutnya yang disampaikan harus diyakini kebenarannya walaupun tidak dapat dibuktikan (1972). Berdasarkan perspektif tersebut, analisis ini dilakukan terhadap sebuah mitos yang dituturkan oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali. Mitos tersebut lazim disebut nawasanak. Latar cerita kisah nawasanak ialah sebuah rumah adat Bali (balinesse compound) yang disebut Griya Pidada Karangasem. Kisah nawasanak, tidak saja diceritakan oleh keluarga besar penghuni Griya Pidada Karangasem, tetapi juga oleh masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali. Sebagai suatu pesan, mitos nawasanak tidak saja mengandung pesan bagi penghuni latar ceritanya, tetapi juga merupakan pesan bagi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena bentuk mitos yang digunakan sebagai sarana mengirim pesan itu berupa teks kesusastraan, maka untuk mengetahuinya perlu diselenggarakan analisis yang komprehensif atas teks mitos nawasanak.

1.2 Masalah Sesuai latar belakang analisis ini, maka masalahnya dapat dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimanakah teks mitos nawasanak yang terdapat di Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali? 2. Apakah pesan yang disampaikan oleh teks mitos nawasanak?

II METODOLOGI Penelitian ini Metodologi 2.1 Rancangan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah terdahulu, permasalahan mitos nawasanak yang hendak dieksplanasi pada penelitian ini terlebih dahulu diinventarisasi dari informan. Upaya tersebut bersifat deskriptif dan eksploratif (penjajagan) (Singarimbun, 1995: 4). Pengkajian yang komprehensif mengenai permasalahan tersebut secara ilmiah menggunakan pendekatan kualitatif karena menyangkut objek nilai yang parameternya tidak nyata, namun dapat diketahui jejaknya melalui eksplanasi

448 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang bersifat menguraikan atau pendekatan yang tidak memberikan pengukuran berupa angka-angka (Mely G. Tan, 1977: 6). Secara operasional, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan metode deskriptif (Moleong, 2004: 131). Oleh karena itu, penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dan eksploratif yang digerakkan dengan pendekatan keilmuan perspektif ilmu sastra.

2.2 Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data Penelitian ini diusahakan menggali jenis data kualitatif dengan sumber data yang berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil penggalian terhadap teks yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara, informasi yang terdapat di perpustakaan formal maupun perpustakaan pribadi. Teks yang mengandung data primer tersebut ditemukan melalui wawancara langsung dengan beberapa tokoh dan masyarakat yang mengetahui keberadaan mitos Nawasanak. Teks mitos nawasanak ini diperoleh dari informan dengan cara teknik sampling bola salju (snow ball sampling). Artinya, teks yang diperoleh itu pada mulanya berasal dari satu orang informan kunci, dan jika teks itu belum cukup, maka diwawancarai informan yang lain, yang ditunjuk oleh informan sebelumnya; sehingga teks mitos nawasanak yang diperlukan akan berkembang pada saat penelitian dilakukan di lapangan (bdk. Sudikan, 2001: 107—112). Data sekunder digali dari sumber literatur, hasil penelitian, dan referensi-referensi lainnya yang terkait dengan masalah yang dibahas.

III PEMBAHASAN 3.1 Teks Mitos Nawasanak Ada cerita tentang sembilan anak kecil, penunggu Griya Pidada. Suatu kompleks rumah di Kota Amlapura tempat tinggal para pendeta beserta keluarganya yang secara turun-temurun menjadi Bagawanta (pendeta kerajaan) kerajaan Karangasem. Tugas pendeta kerajaan sangatlah tinggi, selain sebagai penasihat raja dalam menjalankan pemerintahannya, pendeta kerajaan diberikan kewenangan untuk menetapkan hukuman bagi warga masyarakat kerajaan yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 449 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 ditetapkan bersalah atas suatu perbuatan oleh lembaga pengadilan (raad van kertha). Keputusan akhir penetapan hukuman bagi orang yang ditetapkan bersalah karena perbuatannya ditetapkan oleh bhagawanta karena dipandang mengetahui aturan kehidupan di dunia nyata maupun di dunia akhirat. Sembilan anak kecil yang disebut dengan nama Nawasanak. Masing- masing bernama I Jangitan yang selalu berpakaian serba putih setiap hari. Bersemayam di sebelah timur dari bagian Griya Pidada. Bila pagi hari matahari terbit, ia selalu melaksanakan puja surya sewana setelah melakukan yoga namaskara. Setiap hari membawa senjata bajra (genta) yang siap digunakan untuk menaklukkan roh jahat maupun manusia yang hendak berbuat jahat di lingkungan Griya Pidada. Apabila terdengar seperti ada gajah lewat sehingga menimbulkan suara jejak kaki besar menimpa tanah, itu tandanya I Jangitan sedang mengelilingi halaman Griya Pidada menaiki Gajah kesayangannya. Akibatnya sering kali terasa ada gempa kecil maupun besar di Griya Pidada. Anak yang kedua bernama I Langkir yang bersemayam di selatan halaman rumah Griya Pidada. Ia berpakaian serba merah dengan menghunus senjata gada (penggada) setiap hari. Siap memukul orang yang berniat jahat memasuki halaman rumah Griya Pidada. Banyak bebek putih yang dipeliharanya, yang terbesar seekor angsa selalu menemaninya kemapun ia pergi. Apabila ada suara bebek dan angsa terdengar di siang hari maupun malam hari, itu tandanya I Langkir sedang berjalan- jalan mengelilingi halaman Griya Pidada sambil mengawasi keadaan. Ditengah suara riuh bunyi bebek, kadang-kadang ada suara "kir...kir...kir...", itu tandanya I Langkir sedang memanggil bebek piaraannya. I Lembu Kanya namanya, anak yang ketiga. Ia bersemayam di sebelah barat halaman rumah Griya Pidada. Entah apa sebabnya disebut kanya, padahal sebutan itu untuk perempuan dewasa yang belum kawin. Pada sisi lainnya ia juga disebut 'lembu' yang asosiasinya bertubuh besar. Mungkin ia laki-laki yang perilakunya keperempuan-perempuanan (kedi). Sehari-hari I Lembu Kanya berpakaian serba kuning. Sekali-kali ia mengambil bebek milik I Langkir untuk diberikan kepada ular piaraannya. Salah satu ular piaraanya cukup besar, dihiasi mahkota dan anting- anting sehingga seperti seekor naga. Kalau sedang memeriksa keadaan Griya

450 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Pidada, I Lembu Kanya membawa senjata yang disebut nagapasa. Semua binatang tidak ada yang berani mendekat kalau I Lembu Kanya sedang melintas. Sekarang diceritakan tentang I Taruna yang menghuni bagian utara Griya Pidada. I Taruna, berpakaian serba hitam, setiap hari membawa senjata cakra yang siap digunakan apabila ada orang jahat memasuki pekarangan Griya Pidada. Tiada satupun yang lolos dari senjatanya apabila bermaksud berbuat jahat di Griya Pidada, entah mau mencuri, merampok, ataupun berniat melakukan kejahatan lainnya. I Taruna gemar sekali memelihara burung. Itulah sebabnya, berbagai jenis burung bersarang di pohon yang ada di lingkungan Griya Pidada sampai sekarang. Dari burung pipit yang kecil-kecil sampai burung Garuda bertengger di pohon- pohon yang ada di halaman Griya Pidada. Terutama di pohon bunga soka yang besar dan rimbun daunnya. Pada tempatnya bersemayam di bagian utara Griya Pidada, banyak sekali sarang burung Manyar ditemukan bergelantungan di pohon Belingbing sampai sekarang. Setelah I Taruna yang gemar memelihara burung diceritakan, sekarang satu lagi nawasanak berperawakan gemuk bernama I Tiga Sakti diceritakan juga. I Tiga Sakti setiap hari duduk bersila di tengah-tengah halaman rumah Griya Pidada. Selalu berpakaian warna-warni (lima warna) setiap hari. Tidak pernah pergi jauh dari tempatnya duduk. Hanya sekali-sekali pergi menaiki lembu piaraanya yang selalu menyerahkan pundaknya sebagai tempat duduk dari I Tiga Sakti. Ia adalah nawasanak yang paling sakti dan berwibawa di antara saudara-saudara yang lain. Walaupun jarang bepergian ke tempat lain, I Tiga Sakti selalu lebih dahulu mengetahui apa yang terjadi di Griya Pidada dibandingkan saudaranya yang lain. Semua saudaranya menghormati I Tiga Sakti yang bersenjatakan padma anglayang karena paling pintar, sakti, dan berwibawa di antara yang lainnya. Ada lagi yang diceritakan seorang bocah bernama I Pelung atau Si Biru yang berdiam di sebelah timur laut dari halaman rumah Griya Pidada. Diberi nama I Pelung atau Si Biru karena selalu berpakaian serba biru. Ia bertubuh tinggi besar dan bersenjatakan trisula atau senjata dengan tiga mata pisau yang tajam. Oleh karena wajahnya menyeramkan seperti raksasa, apabila memperlihatkan diri, orang akan ketakutan dan lari tunggang langgang. Pernah ada seorang pencuri yang lari tunggang langgang sambil ketakutan mengelilingi halaman rumah Griya Pidada

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 451 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 sampai pagi hari sehingga kentara hendak berbuat jahat. Apabila ada suara babi mendengus didengar, itu tandanya I Pelung sedang ada disekitar suara babi piaraanya. Demikian juga apabila ada sesuatu yang hilang tanpa ada yang mengambilnya, sebagai pertanda I Pelung ada disekitar perkakas yang hilang tiba- tiba itu. Konon katanya, sesungguhnya perkakas (sapu, pisau, piring, sendok makan, dan lain-lain) yang hilang tiba-tiba itu sesungguhnya diambil oleh raksasa dan jin yang menjadi sahabat I Pelung. Nawasanak selanjutnya bernama I Dadu yang berpakaian serba merah muda yang berwajah tampan. Ia membawa senjata berbentuk wadah dupa menyala. Seperti nawasanak lainnya, I Dadu mengabdikan dirinya untuk menjaga lingkungan Griya Pidada dan melindungi orang-orang yang menghuninya. Ia berdiam di arah tenggara halaman rumah Griya Pidada. Selalu ditemani oleh seekor harimau yang setia menjaganya. Kadang-kadang dari arah tenggara halaman rumah Griya Pidada terdengar auman seekor harimau yang menandakan keberadaan I Dadu. Diceritakan sekarang nawasanak berwujud seorang bocah yang selalu berdiam di sebelah barat daya dari halaman rumah Griya Pidada. Ia bernama I Jingga yang selalu berpakaian berwarna jingga. Bocah kecil yang lincah bernama I Jingga itu selalu membawa senjata unik yang disebut Moksala. I Jingga memiliki seekor sapi jinak yang ditungganginya kalau bepergian ke mana ia mau. Kalau ada suara kalung sapi yang disebut gronongan, itu tandanya I Jingga sedang bepergian. Di mana suara geronongan itu terdengar, di sanalah ia berada. I Jingga sangat kejam kepada orang yang berbuat jahat, tetapi baik hati kepada orang yang baik. Ia suka memberikaan mainan dan perhiasan kepada anak-anak yang sedang bermainan. Nawasanak yang termuda bernama I Gadang yang selalu berpakaian serba hijau. Sehari-hari membawa senjata yang disebut angkus berupa sejenis panah yang bisa mengejar sasaran yang bergerak. Banyak kucing dipelihara oleh I Jingga sehingga setiap malam suara kucing itu terdengar gaduh. Selain itu, I Jingga juga memiliki seekor Singa yang selalu menemaninya kemanapun bepergian. Oleh karena itu, apabila ada terdengar auman Singa atau suara kucing yang sedang bertengkar, maka di sekitar itulah I Jingga berada. Seperti bocah lainnya, I Jingga

452 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 begitu taat menjaga lingkungan dan penghuni Griya Pidada. Itulah sebabnya, Griya Pidada selalu dalam keadaan aman setiap hari, baik siang maupun malam hari. Keberadaan bocah kecil yang menjaga lingkungan dan penghuni Griya Pidada berkaitan dangan seorang pendeta wanita bernama Ida Padanda Istri Mayun. Adapun ceritanya begini. Pada suatu hari Ida Ayu Mas, termenung menyesali nasib usai menguburkan putranya yang kesembilan di halaman rumah bersama suaminya. Putranya yang kesembilan meninggal karena lahir muda menyusul kakak-kakaknya sebelumnya yang bernasib sama. Ida Bagus Jelantik, suaminya yang tidak lain sepupunya sendiri berusaha menghiburnya dengan mendendangkan beberapa bait Kakawin Arjunawiwaha yang menceritakan kisah keberhasilan Arjuna menyelesaikan tapanya. Seusai menguburkan putranya yang kesembilan itu, Ida Ayu Mas jarang ke luar kamar pada bangunan yang disebut Gunung Rata, bangunan utama yang ada di pekerangan rumahnya, Griya Pidada. Sejak itu, pekerjaannya setiap hari membaca lontar koleksi keluarganya turun-temurun. Lontar weda, tutur, tattwa, kakawin, gaguritan, gancaran, babad, bancangah, purana, plutuk, sasana, dan lain-lain dibacannya dengan serius. Merasa sudah menguasai begitu banyak pengetahuan yang tersurat dalam lontar yang dibacanya, Ida Ayu Mas mengajak suaminya untuk melakukan upacara diksa. Sesuai tradisi keluarganya yang turun temurun menjadi pendeta, suami dan keluarga besarnya menyambutnya dengan baik. Jelang beberapa lama setelah kesepakatan untuk melakukan upacara diksa, ternyata Ida Ayu Mas hamil. Walaupun secara naluriah, Ida Ayu Mas merasakan kebahagiaan karena hamil lagi, namun pengelaman buruknya sembilan kali melahirkan janin muda yang begitu lahir meninggal dunia menyebabkannya cemas. Setelah kehamilannya memasuki bulan ketiga, ritual panekek manik pun dilakukan oleh suaminya seperti dilakukan pada kehamilan sebelumnya. Setelah itu, diam- diam Ida Ayu Mas melakukan ritual sendiri di tengah pekarangan di atas sebuah batu pipih tempat sembilan putranya yang meninggal terdahulu dikuburkan. Upacara itu dilakukan secara diam-diam pada malam hari dengan cara berdiri di atas satu kaki (nengkleng). Begitu dilakukan pada malam hari pada saat bulan mati

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 453 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 dan pada saat terjadi gerhana bulan atau gerhana matahari. Upacara rahasia tersebut, disebut puja. Suatu upacara untuk memohon keselamatan dari Tuhan. Sementara itu, upacara diksa untuk menjadi pendeta bersama suaminya urung dilakukan karena Ida Ayu Mas mengandung. Setelah usia kandungannya berumur sekitar sembilan bulan, maka lahirlah dari rahimnya seorang bayi perempuan. Ida Ayu Mas bahagia sekali karena sekarang telah memiliki seorang bayi perempuan. Setelah putri pertama dilahirkan, menyusul kemudian putra kedua dan ketiga. Kehadiran putra-putrinya, menyebabkan Ida Ayu Mas melupakan upacara atau ritual rahasia yang dilakukannya setiap bulan mati (tilem) dan pada saat gerhana bulan (dhandra graha) maupun gerhana matahari (surya graha). Akibatnya, putra bungsunya sakit tidak kunjung sembuh. Ayahandanya mengingatkan kewajiban Ida Ayu Mas untuk melakukan upacara durga puja. Setelah kembali melakukan upacara durga puja, segera putranya sembuh. Sejak saat itu, tidak sekalipun Ida Ayu Mas meninggalkan upacara itu. Sekarang diceritakan sudah saatnya Ida Ayu Mas melakukan upacara diksa (menjadi pendeta) sesuai tradisi keluarga. Singkat cerita, upacara diksapun dilakukan pada hari yang tepat (dewasa ayu). Ida Ayu Mas berganti nama menjadi Ida Padanda Istri Mas. Walaupun sudah menjadi padanda (pendeta), upacara durga puja selalu dilakukannya pada saat bulan mati dan gerhana bulan maupun gerhana matahari. Akibat ketaatannya menjalankan upacara tersebut, putranya yang berjumlah sembilan orang hidup abadi dengan kekuatannya masing-masing. Kesembilan bocah itu disebut nawasanak yang dengan setia menjaga lingkungan dan penghuni Griya Pidada sampai sekarang walaupun beliau sudah tiada.

3.2 Pesan Teks Mitos Nawasanak Mitos Nawasanak, sepintas seperti menceritakan keberadaan sembilan tokoh supra natural yang jumlahnya sembilan orang dengan pakaian masing-masing berwarna berbeda. Tokoh bocah atau anak-anak tersebut diceritakan menduduki tempat sesuai arah mata angin. Ada yang tinggal di sebelah utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, dan di tengah. Masing-masing bocah tersebut membawa senjata berbeda yang digunakan untuk menjaga diri dan

454 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 mencederai orang atau makhluk lain yang hendak berbiat jahat kepada penghuni Griya Pidada. Selain diceritakan membawa senjatanya masing-masing, sembilan bocah yang disebut Nawasanak tersebut memiliki binatang piaraanya masing- masing. I Taruna, tinggal di sebelah utara. berpakaian serba Hitam, membawa senjata Cakra, dan suka memelihara burung. Burung Garuda, adalah burung peliharaan terbesar miliknya. I Pelung, tinggal di sebelah timur laut. Berpakaian serba biru, membawa senjata Trisula, memiliki binatang piaraan beberapa ekor babi. Babi terbesar yang dimilikinya adalah babi hutan besar dengan taring yang panjang. Ia juga diceritakan berteman dengan makhluk makhluk halus dan jin. I Jangitan, tinggal di sebelah timur. Berpakaian serba putih, membawa senjata Bajra (genta). Ia memiliki gajah sebagai binatang piaraannya. I Dadu, tinggal di arah tenggara. Berpakaian serba merah muda, membawa senjata Padipan (dupa). Memiliki seekor harimau sebagai binatang piaraan. I Langkir, tinggal di sebelah selatan. Berpakaian serba merah, membawa senjata Gada (penggada). Memiliki banyak bebek putih sebagai binatang piaraan, yang paling besar seekor angsa. I Jingga, tinggal di sebelah barat daya. Berpakaian serba jingga, membawa senjata yang disebut Moksala. Memiliki seekor sapi sebagai binatang piaraan. I Lembu Kanya, tinggal di barat. Berpakaian serba kuning, membawa senjata yang disebut Nagapasa. Memiliki beberapa ekor ular sebagai binatang piaraan, dan yang terbesar seekor Naga. I Gadang, tinggal di barat laut. Berpakaian serba hijau, membawa senjata yang disebut Angkus. Ia memiliki beberapa kucing dan seekor Singa sebagai binatang piaraan. Terakhir, I Tiga Sakti yang tinggal di tengah-tengah halaman rumah Griya Pidada. Berpakaian berwarna-warni (lima warna), membawa senjata yang disebut Padma Anglayang. Memiliki seekor Lembu sebagai binatang piaraan. Teks mitos Nawasanak, secara eksplisit menceritakan bahwa Griya Pidada dan penghuninya dijaga oleh sembilan bocah dari segala mara bahaya. Baik mara bahaya berupa kekuatan supranatural maupun fisik (pencuri, perampok, dan kejahatan lainnya). Mitos ini menceritakan tentang eksistensi sembilan bocah yang disebut Nawasanak sebagai pelindung "dunia pidada". Di mana yang dimaksud "dunia pidada" sesungguhnya berkaitan dengan tempat yang disebut Griya Pidada dan klan brahmana dalam struktur sosial masyarakat Bali yang disebut pidada.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 455 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Bocah Nawasanak sesungguhnya dilahirkan oleh seorang wanita bernama Ida Ayu Mas, salah seorang penghuni Griya Pidada. Bocah tersebut dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia. Setiap kali melahirkan putranya yang meninggal dunia, Ida Ayu Mas sangat bersedih hati. Sampai pada saat bayi yang kesembilan yang dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, Ida Ayu Mas melakukan kegiatan religius berupa pelaksanaan upacara durga puja dan memutuskan untuk segera melakukan upacara diksa (upacara menjadi seorang pendeta). Namun, sebelum upacara diksa tersebut dilaksanakan, ternyata Ida Ayu Mas hamil. Oleh karena itu, upacara diksa dimaksud ditunda pelaksanaannya sembari menunggu kelahiran bayinya. Kalau bayi yang dilahirkan meninggal dunia, maka segera akan dilakukan upacara diksa itu. Ternyata, bayi berjenis kelamin perempuan yang dilahirkan untuk kesepuluh kalinya oleh Ida Ayu Mas, lahir normal dan bertahan hidup. Berselang dua tahun kemudian lahir bayi laki-laki yang kedua dalam keadaan hidup. Demikian selanjutnya bayi yang ketiga berhasil dilahirkan oleh Ida Ayu Mas. Kehadiran bayi-bayi itu menyebabkan Ida Ayu Mas melupakan upacara durga puja yang dilakukannya sebelum memiliki bayi. Kejadian aneh pun akhirnya melanda keluarga kecil berbahagia itu. Putranya yang ketiga mengalami sakit keras tidak kunjung sembuh. Oleh mertuanya, Ida Ayu Mas diingatkan karena telah melupakan upacara durga puja yang dahulu pernah dilakukannya. Ida Ayu Mas mengikuti nasihat mertuanya untuk segera melakukan upacara durga puja. Segera setelah melakukan upacara durga puja, putranya yang ketiga sembuh. Sejak saat itu, Ida Ayu Mas tidak pernah lupa melakukan upacara durga puja sampai akhir hayatnya. Seperti dinyatakan oleh Robertson Smith (1846-1894), mitos Nawasanak sesungguhnya melegitimasi (mengukuhkan) ritual (durga puja) yang dilaksanakan oleh keturunan Ida Ayu Mas. Upacara atau ritual itu sesungguhnya untuk mengenang kejadian yang pernah terjadi di Griya Pidada. Terlepas apakah unsur sejarah, yaitu terjadinya melahirkan sembilan orang bayi dalam keadaan meninggal oleh Ida Ayu Mas dan kejadian lainnya dalam mitologi Nawasanak merupakan sejarah bentukan masyarakat Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali diyakini kebenarannya. Di mana mitos tersebut

456 Seminar Nasional Sastra dan Budaya III Denpasar, 28 – 29 Maret 2018 merupakan sebuah pesan kepada generasi berikutnya, bahwa di Griya Pidada pernah terjadi kejadian dramatik menimpa seorang perempuan. Kejadian tersebut menyebabkan adanya upacara yang disebut rudra puja. Akhirnya dengan mitos Nawasanak masyarakat diingatkan bahwa Griya Pidada merupakan lembaga agama. Bentuk pesan atau tuturan kepada generasi berikutnya itu harus diyakini kebenarannya walaupun tidak dapat dibuktikan (1972).

IV SIMPULAN Jalinan eksplanasi dalam pembahasan di atas merefleksikan bahwa: 1. Nawasanak melindungi lingkungan dan penghuni Griya Pidada. Dengan kata lain, Nawasanak yang berupa bocah dengan pakaian warna-warni tertentu melindungi “dunia pidada” dengan senjata dan kekuatan supranaturalnya; 2. Adanya upacara rudra puja setiap bulan mati, gerhana bulan, dan gerhana matahari oleh seorang pendeta. Upacara tersebut diselenggarakan pada waktu dan tempat tertentu (naimitika karma); 3. Mitos Nawasanak mengingatkan (mengenang) bahwa di Griya Pidada pernah terjadi kejadian yang menimpa seorang wanita melahirkan sembilan orang putra dalam keadaan meninggal dunia. 4. Kehadiran mitos Nawasanak di Kota Amlapura Kabupaten Karangasem Bali melegitimasi kedudukan Griya Pidada sebagai lembaga agama di tengah masyarakat.

Demikian simpulan penelitian kecil ini. Masih banyak lapisan makna teks mitos Nawasanak yang belum terungkap. Semoga pada penelitian berikutnya, keseluruhan makna teksnya dapat diungkapkan lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, R. 1972. Mythologies. New York: Noondy Press.

Frazer, James. 1992. The Golden Bough. New York: Macmillan.

Graf, Fritz (1993). Greek Mythology. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Meletinsky, Elea. 2000. The Poetics of Myth. New York: Routledge.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya III 457 Denpasar, 28 – 29 Maret 2018

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Segal, Robert. 2004. Myth: A Very Short Introduction. London: Oxford University Press.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Unipress bekerjasama dengan Citra Wacana.

Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore. Minneapolis: University of Minneapolis.