PENGARUH PERADABAN DI KABUPATEN DAN DOMPU The Influence of Majapahit Civilization in Bima and

Sukawati Susetyo Pusat Arkeologi Nasional Jl. Raya Condet Pejaten no.4, Jakarta 12510 Email: [email protected]

Naskah diterima: 23-05-2014; direvisi: 09-06-2014; disetujui: 14-07-2014

Abstract Majapahit civilization characterized by archaeological remains such as temple, relief, and statuettes which have distinctive characteristic. Relief stories which was popular at that time were Panji and Garudeya. This research aims to know the influence of Majapahit in Bima and Dompu, based on tangible and intangible remains. Data were collected through literature study, survey, and interview. Decorative patterns of Garudeya, Bima, and lotus petals were regarded to have relation with Majapahit Kingdom. Bima and Dompu people assume that Bima related to Gajah Mada. They believe the myth that Gajah Mada came from Bima, which became one of immaterial culture remains. Some vocabularies in Bima Language resemble Javanese’. This research concludes that there is only a little resemblance of Majapahit’s influence, caused by the strong tradition which has been held by the people since ncuhi era. Keywords: influence, majapahit civilization, bima, dompu.

Abstrak Peradaban Majapahit dicirikan oleh tinggalan arkeologi berupa bangunan candi, relief, dan arca yang mempunyai ciri khusus Majapahit. Relief cerita yang populer pada masa itu misalnya relief cerita Pañji dan cerita Garudeya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu baik pada tinggalan budaya material maupun immaterial. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, survei, dan wawancara. Beberapa artefak di Bima yang mendapat pengaruh Majapahit adalah ragam hias bentuk relief Garudeya, relief tokoh Bima, dan relief kelopak teratai. Dalam masyarakat Bima dan Dompu, tokoh Bima dikaitkan dengan Gajah Mada. Tinggalan budaya tak benda yang ditemukan berupa mitos tokoh Gajah Mada yang dianggap berasal dari Bima dan Dompu. Dalam Bahasa Bima, terdapat beberapa kosakata yang mirip dengan Bahasa Jawa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh Majapahit di Bima dan Dompu sangat sedikit atau tidak terlalu melekat yang disebabkan karena masyarakat Bima sangat kuat dalam menerapkan adat yang ada sejak masa ncuhi. Kata kunci: pengaruh, peradaban majapahit, bima, dompu.

PENDAHULUAN Pengaruh peradaban Majapahit di tercermin dari sumpah palapa yang diucapkan Kabupaten Bima dan Dompu diawali dengan di hadapan raja dan para petinggi Kerajaan kedatangan orang-orang Majapahit ke daerah Majapahit. Dalam sumpah tersebut, Gajah itu. Ada dua sumber yang menyebutkan Mada mengatakan tidak akan amukti palapa mengenai kedatangan orang-orang Majapahit, sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Kitab Nȃgarakŗtâgama dan mitos. Cita- yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, cita Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 121 Sukawati Susetyo (Poesponegoro 1993, 434). Secara etimologi Nusantara tersebut hanya merupakan cita-cita amukti palapa berasal dari bahasa Sanskerta. dan belum pernah masuk wilayah Majapahit Amukti dari kata mukti mendapat awalan (Berg dalam Djafar 2009, 48). Nȃgarakŗtâgama “a” yang artinya bebas, sempurna, terlepas, menyebutkan bahwa akhir hayat Gajah Mada kebahagiaan akhir atau surga, pembebasan, berturutan dalam peristiwa Pasundan-Bubat, mati (Mardiwasito 1978, 194). Adapun palapa lalu Padompo, dan selanjutnya dinyatakan berasal dari kata alap yang artinya mengambil, Gajah Mada menikmati masa istirahat atau merebut, merampas (Mardiwarsito 1978, 7; amukti palapa (Djafar 2009, 49). Amelia dan Inagurasi 2007, 84). Secara bebas Sumber kedua mengenai kedatangan diartikan jika Nusantara kalah, Gadjah Mada orang Majapahit ke Bima berupa mitos yang akan bebas, dalam arti beristirahat. Begitu pula mengisahkan tokoh Sang Bima dan Tasi Sari jika Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Naga yaitu personifikasi dua orang tokoh. Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Karitang, Tokoh laki-laki penguasa dari Jawa disejajarkan Tba, dan Dharmalaya telah dikalahkan, Gadjah dengan Bima, salah seorang tokoh pewayangan Mada akan menikmati bebas atau istirahat Jawa yang beragama Hindu. Tasi Sari Naga (Amelia dan Inagurasi 2007, 84). Jadi amukti adalah putri dari seorang penguasa setempat atau palapa diartikan sebagai pembebasan diri dari ncuhi yang mempunyai kepercayaan totemisme tugas-tugas negara atau pensiun jika Gadjah yang menjadi kepercayaan asli Bima. Mitos Mada sudah menaklukkan daerah-daerah tersebut menceritakan bahwa setelah Sang tersebut. Bima bertemu dengan Sang Naga bersisik emas Kerajaan Majapahit mencapai puncak di Pulau Satonda, Kerajaan Bima mempunyai keemasannya pada masa pemerintahan Raja hubungan dengan Jawa. Sang Bima diduga Hayam Wuruk. Kakawin Nȃgarakŗtâgama sebagai bangsawan Jawa, mungkin Majapahit karangan Prapañca menyebutkan bahwa (Tajib 1995, 31-44). kekuasaan Majapahit sangat luas yang termuat Berdasarkan berita adanya serangan dalam Pupuh XIII: 1 sampai Pupuh XVI: 5 Majapahit ke Dompo dan temuan arca-arca (Robson 1995, 33-35). Daerah kekuasaannya serta prasasti bercirikan kronologi lebih tua meliputi hampir seluruh wilayah , dari zaman Majapahit, mengindikasikan bahwa yaitu Pulau Sumatera di bagian barat dan di Dompo telah berkembang kerajaan yang Maluku di bagian timur, bahkan meluas sampai bercorak Hindu-Budha. Kerajaan itu diduga ke negara tetangga di Asia Tenggara yang telah lama berkembang dan pengaruhnya dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara dirasakan mengganggu armada dagang atau mitrasatata. Tomé Pires menyatakan Majapahit di wilayah Nusantara Timur, bahwa kekuasaan Majapahit sampai awal abad sehingga segera ditaklukkan oleh tentara ke-15 Masehi adalah hampir seluruh Nusantara Majapahit. Pada saat itu, pusat pemerintahan (Pires dalam Djafar 2009, 46-48). Tomé Pires di Bima belum ada karena Kitab Pararaton dan menjelaskan juga bahwa mata uang Jawa Nȃgarakŗtâgama menyatakan bahwa serangan berlaku di Bima, selain itu banyak budak dari diarahkan ke Dompo, bukan Bima. Setelah Bima yang dibawa ke Jawa (Pires dalam Loir Dompo jatuh tentara Majapahit yang dibantu 2012, xvi). oleh penduduk setempat yang masih diketuai Berbeda dengan Tomé Pires, Berg oleh ketua adat mendirikan pemukiman baru menyatakan bahwa daerah kekuasaan Majapahit yang kelak dinamakan Bima (Munandar 2010, hanyalah wilayah Jawa Timur, Bali, dan 101). Madura. Majapahit tidak pernah mempunyai Majapahit adalah sebuah kerajaan yang wilayah seluas Indonesia sekarang. Adapun berpusat di Jawa Timur, mencapai puncak Berg berpendapat bahwa daerah-daerah di luar kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam

122 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) Wuruk tahun 1350-1389 Masehi. Sebagai Budha, karena di Bima banyak tinggalan dari kerajaan berlatar Hindu-Budha, pengaruh masa Prasejarah. Pengolahan atau analisis Majapahit merupakan tinggalan budaya yang terhadap sisa bangunan dan artefak digunakan bercorak Hindu-Budha. Beberapa tinggalan analisis khusus tentang atribut. arkeologi yang berlatar Hindu-Budha di Bima dijumpai di Situs Wadu Pa’a, Tembe, dan Wadu Tunti. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah situs-situs tersebut merupakan situs yang keberadaannya karena pengaruh Majapahit atau sudah ada pada masa sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja pengaruh peradaban Majapahit yang ditemukan di Bima dan Dompu. Untuk mengetahui tinggalan-tinggalan Gambar 1. Peta Kabupaten Bima dan Dompu. arkeologi di lokasi penelitian berupa bangunan (Sumber: www.google.com) peribadatan Hindu-Budha, atau arca dari zaman Majapahit tentunya dengan mengenali Tahap penafsiran data penelitian terlebih dahulu gaya seni pada zaman itu. diarahkan pada kegiatan penarikan kesimpulan, Seperti diketahui bahwa gaya seni arca dan terutama ditujukan pada pengamatan atas bangunan candi di Indonesia diklasifikasikan keseluruhan data yang dapat digunakan sebagai berdasarkan beberapa periode masa Indonesia bahan penafsiran yaitu relief, baik relief cerita kuno yaitu Kuno, Kadiri-Singhāsari, maupun non cerita, dan artefak lain yang dan Majapahit. populer pada masa Majapahit

METODE HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data diawali dengan studi Tinggalan Masa Hindu Budha pustaka terhadap hasil penelitian dan berbagai Pengaruh Hindu-Budha di Bima, hal yang berkaitan dengan situs Hindu Budha menurut Ismail mulai berkembang sekitar abad di Kabupaten Bima dan Dompu (gambar ke-11 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan 1). Pengumpulan data di lapangan dengan Airlangga. Pada saat itu, perairan di Nusantara melakukan penelitian arkeologi di Bima dan bagian timur sudah menjadi jalur perniagaan Dompu oleh Tim Penelitian Pusat Arkeologi yang ramai (Ismail 2004, 31-32). Ali dalam Nasional dan Balai Arkeologi Denpasar pada Ismail menyatakan pada saat itu, terdapat 16-29 September 2013. Penelitian dilakukan suatu perjanjian tidak tertulis bahwa Kerajaan menggunakan dana Pusat Arkeologi Nasional Śriwijaya menguasai jalur perniagaan bagian tahun 2013. Dalam penelitian tersebut dilakukan barat, sedangkan Airlangga menguasai jalur pendokumentasian berupa foto, gambar perniagaan bagian timur. Pada masa itu, dan pemetaan, serta wawancara terhadap pedagang Jawa yang pergi ke Maluku dan narasumber yang dianggap mengetahui sejarah Timor bertujuan untuk mencari rempah-rempah situs-situs yang diteliti. dan kayu cendana. Mereka kemudian singgah Tahap selanjutnya adalah pengolahan di Bima untuk membeli hasil hutan seperti data, yaitu upaya menganalisis temuan hasil kayu soga atau songa untuk bahan pewarna, penelitian baik berupa tinggalan arkeologi sapang, dan rotan serta menambah persediaan maupun hasil wawancara. Data yang dianalisis makan dan minum. Oleh karena itu, kedudukan adalah data yang mempunyai latar Hindu Pelabuhan Bima adalah sebagai tempat transit. Moelyana dalam Ismail menyatakan bahwa

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 123 Sukawati Susetyo hubungan Jawa dengan Bima semakin kuat pada dipahatkan di dinding Situs Wadu Pa’a sektor I. jaman Singhāsari. Para bangsawan Singhāsari Stupa dengan chattra bersusun yang dijumpai dan Kadiri memiliki kuda Bima untuk dijadikan di Wadu Pa’a secara relatif meliputi periode kuda perang. Meskipun hubungan Jawa dan yang panjang. Hal ini dibuktikan oleh temuan Bima sudah berlangsung sejak abad ke-11 serupa di Batu Pait, Kalimantan Barat dari abad Masehi, Agama Hindu tidak menanamkan ke-7 sampai 8 Masehi, relief Candi Borobudur pengaruh yang kuat dalam tatanan politik dan dari abad ke-9 Masehi, dan relief di Goa Gajah sosial budaya Bima (Ismail 2004, 32-33). dari abad ke-12 sampai 13 Masehi. Petunjuk Pengaruh Hindu-Budha di Indonesia lain yang dapat dikemukakan adalah nama dibuktikan dengan adanya bangunan suci yang kampung terdekat, yaitu Kampung Sowa. memiliki unsur bangunan candi, misalnya Nama Sowa dapat dihubungkan dengan Suwal arca dewa-dewi, lingga, yoni, dan lain-lain. yang disebutkan dalam Prasasti Blañjong di Tinggalan arkeologi masa Hindu-Budha Bali dari abad ke-10 Masehi (Soekatno 1990, yang dijumpai di Bima adalah tinggalan yang 211). Prasasti Blañjong, Sanur tahun 917 Śaka terdapat di Situs Wadu Pa’a dan Situs Wadu berisi peringatan kemenangan dari Raja Kȇsari Tunti. Tinggalan lain adalah tinggalan di Desa Warmadewa atas musuh-musuhnya di Gurun Tembe dengan artefak berupa yoni dan nandi dan Suwal (Stutterheim dalam Suantika 1989, yang sekarang disimpan di halaman Museum 45). Goris memperkirakan Gurun terletak di Asi Mbojo, Bima. Lombok, sedangkan Kempers memperkirakan Lokasi situs Wadu Pa’a terletak pada di Nusa Penida. Menurut Goris dan Kempers, koordinat 11°26’517” BT dan 11°43’57” LS, Suwal diperkirakan sebagai suatu tempat secara administratif terletak di Desa Kananta, yang jauh di seberang laut. Dalam hubungan Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Situs ini, tidak terlalu berlebihan jika kekuasaan Wadu Pa’a berupa pahatan pada tebing di Kerajaan Bali diperkirakan sampai ke wilayah pantai barat Teluk Wadu Pa,a yang terbentuk . Kata suwal kemungkinan besar dari batuan jenis breksi vulkanik. Tebing ini adalah Sowa, yaitu tempat Situs Wadu Pa’a membentuk perbukitan yang oleh masyarakat berada. Mahaviranata mensitir kata suwal = setempat disebut Doro Lembo. Tinggalan di sowa, didasarkan pada hukum bahasa Bima Situs Wadu Pa’a terdiri dari dua sektor yaitu yang menghilangkan huruf mati atau konsonan sektor I dan II, jarak antara sektor I dan II pada akhir kata, seperti paha = pahat; lawa = sekitar 500 meter. lawang; umah = rumah; kappa = kapal, dan Pada Wadu Paa sektor I berupa dinding lain-lain (Mahaviranata dalam Suantika 1989, karang yang dipahat relief arca Agastya, relief 45-46). arca Ganeṥa, relief lingga dan yoni, relief stūpa Mengenai pertanggalan Situs Wadu dan chattra bersusun dengan berbagai variasi, Pa’a, Loir berpendapat berdasarkan Prasasti relief gaņa, relief DhyāniBudha dan Prasasti Wadu Pa’a diperkirakan berasal dari abad ke-6 Wadu Pa’a. Situs Wadu Pa’a sektor II berupa sampai 7 Masehi karena mengandung ciri-ciri pahatan 16 stupa yang mengapit sebuah relung prasasti masa Śriwijaya. Kendati demikian, berukuran tinggi 66 cm dan lebar 66 cm. Di terdapat juga unsur yang dapat disamakan dalam relung terdapat lapik berbentuk segi dengan Prasasti Bali dari abad ke-11 Masehi. empat, lapik tersebut berukuran tinggi 19 cm Lebih jauh lagi, sebagian karakter aksaranya dan lebar 42 cm. Deretan stupa di sebelah kiri mirip dengan prasasti masa Jawa Timur sekitar relung berjumlah 7, sedangkan yang di sebelah tahun 1367 Masehi (Loir 2004, 67-69). Berbeda kanan relung berjumlah 9. dengan pendapat lainnya, Suantika mengatakan Pertanggalan Situs Wadu Pa’a ditentukan bahwa Situs Wadu Pa’a merupakan bukti berdasarkan paleografi pada prasasti yang penyebaran Agama Hindu-Budha dari Bali

124 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) ke Bima karena terdapat beberapa kesamaan dengan Situs Goa Gajah di Bali. Keduanya berlatar belakang Agama Hindu dan Budha. Agama Hindu ditunjukkan dengan adanya lingga yoni, Ganeśa, dan Agastya, sedangkan Agama Budha ditandai oleh adanya stūpa. Keduanya menggunakan teknik pembangunan dengan menatah tebing karang dan berasal dari abad ke-10 sampai 11 Masehi (gambar 2 dan 3). Suantika menyimpulkan bahwa penyebaran Gambar 2. Relief arca Dhyanibuddha (kiri) dan relief Agama Hindu-Budha di Bima berasal dari Bali arca Ganeṥa (kanan) di Sektor I Situs Wadu Pa’a. (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) (Suantika 1989, 47). Mengingat lokasi Situs Wadu Pa’a berada di teluk yang berarus tenang, Teluk Wadu Pa’a dapat dipakai sebagai tempat berlindung pada waktu keadaan laut tidak aman untuk dilayari. Oleh karena itu, situs ini diduga sebagai tempat pemujaan yang berada di tempat persinggahan dalam suatu pelayaran jarak jauh. Hal ini ditunjang juga dengan tersedianya air tawar di situs ini. Situs Wadu Pa’a kemungkinan besar dibuat oleh para pendatang atau pedagang asing Gambar 3. Relief stūpa pada Sektor II Situs Wadu Pa’a. yang singgah di tempat itu, bukan penduduk (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) lokal. Menurut Ambary dalam Tajib, tradisi pemahatan prasasti pada batu karang sangat sekitar Borobudur. Kesederhanaan hiasan jarang dijumpai di Indonesia, namun banyak tersebut bertolak belakang dengan yoni yang terdapat di India (Tajib 1995, 19-20). ditemukan di daerah Prambanan dan sekitarnya Tinggalan Hindu-Budha lainnya di Bima yang mempunyai hiasan raya. Yoni merupakan adalah Situs Tembe yang lokasinya berada di lapik tempat diletakkannya lingga yang persawahan, tepatnya berada di Dusun I, Desa sering ditemukan pada candi-candi Hindu. Tembe, Kecamatan Bolo. Tinggalan tersebut Keberadaan yoni umumnya berpasangan berupa struktur bata kuno yang diduga bekas dengan lingga sebagai representasi Dewa Śiwa candi karena di sekitar situs tersebut terdapat yang disimbolkan melalui lingga dan Dewi Uma temuan arca nandi dan yoni yang sekarang yang merupakan Śakti atau istri Śiwa. Yoni juga disimpan di Museum Asi Mbojo. Struktur melambangkan kelamin wanita, sedangkan bata yang masih tersisa tersebut tidak dapat lingga melambangkan kelamin pria. Persatuan direkonstruksi karena hanya berupa puing- antara lingga dan yoni sering dikaitkan dengan puing berserakan di tengah sawah. lambang kesuburan yang sangat populer pada Adapun yoni yang ditemukan di Situs masyarakat agraris Jawa Kuno. Tembe berupa yoni yang dihiasi pelipit-pelipit Secara morfologis, bentuk yoni dapat rata menyerupai panil. Bagian atas lubang dibagi menjadi tiga bagian yakni bagian berbentuk segi empat dan di bagian bawahnya dasar, tengah, dan atas. Bagian dasar biasanya berbentuk cekung, dan terdapat cerat yoni mempunyai pelipit rata. Bagian tengah berupa di salah satu sisinya. Yoni dan nandi tersebut bidang panil yang terkadang diberi hiasan relief terlihat sangat sederhana serta mempunyai motif bunga. Pada bagian atas, permukaannya kesamaan dengan beberapa yoni dari daerah terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 125 Sukawati Susetyo atau lingkaran di tengah-tengahnya untuk beberapa Nandi di sekitar Candi Borobudur, meletakkan lingga atau arca. Sisi-sisinya dibuat seperti Nandi dari Situs Petung Ombo dan sedikit lebih tinggi dibandingkan permukaan Garengan (gambar 5). Oleh karena itu, Situs lainnya. Pada bagian atas, terdapat juga cerat Tembe dimasukkan dalam abad ke-8 sampai 9 pada salah satu sisinya untuk mengalirkan air Masehi, sejaman dengan situs-situs di sekitar pada saat upacara mengalirkan air dari lingga. Candi Borobudur. Pada umumnya, yoni ditemukan di dalam suatu bangunan pemujaan dan digunakan sebagai landasan lingga, seperti yang ditemukan di Candi Sambisari. Selain itu, yoni bisa digunakan sebagai landasan atau lapik arca Śiwa, seperti pada Candi Prambanan. Namun demikian, ada juga yoni yang diletakkan di tengah lapangan yang dikenal sebagai saŋ hyaŋ Gambar 4. Nandi (kiri) dan Yoni (kanan) kulumpaŋ. Pada waktu penetapan sīma, saŋ dari Situs Tembe. hyaŋ kulumpaŋ diletakkan di tengah lapangan (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) upacara dan dikelilingi oleh pejabat yang hadir dalam peresmian tersebut serta berfungsi sebagai tanda sīma. Petunjuk ini didapatkan dari prasasti yang berkenaan dengan penetapan suatu daerah menjadi sīma (Tim Penelitian 2011, 95-97). Ada juga yang berpendapat bahwa temuan yoni di persawahan terkait dengan makna simbolis, yaitu dianggap sebagai lambang kesuburan sehingga dengan menempatkannya di persawahan diharapkan akan meningkatkan kesuburan dan kemakmurannya (Atmosudiro 2008, 122). Atas dasar asumsi ini, yoni diduga Gambar 5. Nandi dan Yoni sebagai indikator­ permukiman yang dikenal dari Situs Petung Ombo, Borobudur. (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) sebagai watak dan wanua untuk jenjang kelompok permukiman terkecil pada masa Pengaruh Peradaban Majapahit di Bima Hindu-Budha. Persebaran temuan yoni juga dan Dompu merepresentasikan persebaran permukiman Pengaruh peradaban Majapahit di Bima masa lalu. dan Dompu berupa tinggalan material dan non Nandi atau Nandiśwara adalah lembu material. Menurut Maryam R. Salahuddin yang yang menjadi kendaraan Dewa Śiwa dalam merupakan keturunan Sultan Bima, beberapa mitologi Hindu. Candi yang mempunyai arca pengaruh peradaban Majapahit di Bima adalah Nandi dikategorikan sebagai candi Hindu tata cara makan yang tertib, sopan, dan halus. untuk pemujaan Śiwa. Nandi yang ditemukan Selain itu, Bahasa Bima juga terdapat tingkatan di Situs Tembe berupa Nandi tanpa hiasan dan atau hierarki yang dalam bahasa daerah disebut kepala. Nandi dan yoni tersebut kemungkinan unggah-ungguh, seperti halnya di Jawa. besar mempunyai pertanggalan yang sama Beberapa kata juga mempunyai kemiripan (gambar 4). Nandi dari Situs Tembe berbentuk antara Jawa dengan Bima. Hal lainnya adalah sederhana, tanpa ragam hias, dan secara relatif adanya kepercayaan bahwa Gajah Mada pertanggalannya dapat dibandingkan dengan merupakan tokoh yang berasal dari Bima dan

126 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) Dompu. Adapun tinggalan non material yang bernama Sri Suhardini, masyarakat Bima dapat dihubungkan dengan pengaruh Majapahit beranggapan setelah peristiwa perang Bubat adalah tinggalan budaya yang dipahat berupa selesai, Gajah Mada pergi ke timur yang diduga ragam hias berbentuk relief Garudeya, relief ke Bima untuk menenangkan hidup hingga akhir Bima, relief pada Prasasti Wadu Tunti, dan hayat. Kuburan Gajah Mada diyakini berada di relief motif hias kelopak bunga. Beberapa Desa Bumi Pajo, Kecamatan Donggo, Bima. pengaruh peradaban Majapahit yang ditemukan Dalam masyarakat Bima, berkembang cerita di Bima sebagai berikut. tentang seorang tokoh bernama Dia Malewa yang berarti laki-laki perkasa yang tugasnya Bahasa berperang. Gajah Mada adalah tokoh yang Bahasa Bima mempunyai banyak bertubuh kekar karena setiap akan berperang dia persamaan dengan Bahasa Jawa Kuno, meminum air suci untuk menambah kesaktian. terutama yang digunakan oleh penduduk asli Pada daerah Bumi Pajo, terdapat mata air yang dan dapat dijumpai di Donggo berupa Bahasa bila diminum menyebabkan orang menjadi kuat Tarlawi dan Kolo. Hanya saja, kadang-kadang untuk berperang. pengucapannya sudah berubah atau tetap Menurut keyakinan masyarakat Bima, dengan arti yang sama. Perubahan tersebut Wadu Nocu merupakan kuburan Patih Gajah terjadi karena hubungan yang terputus dalam Mada yang diungkapkan secara turun temurun. waktu cukup lama. Kata-kata dalam Bahasa Mereka menghubungkannya dengan Kitab Bima banyak memiliki kemiripan bunyi dengan Pāraraton yang menyebutkan bahwa Patih Bahasa Jawa, misal padi yang dalam Bahasa Gajah Mada meninggalkan Keraton Majapahit Bima disebut fare, tebu disebut dobu, nyiur menuju ke arah timur. Dalam Sumpah Palapa, disebut niu, besi disebut besi, umah disebut Patih Gajah Mada menyebutkan bahwa Dompu uma, kebo disebut kembo, manuk disebut harus ditaklukkan. Bima dan Dompu berasal manu, watu disebut wadu, ndadi disebut dari satu suku bangsa dengan adat istiadat dan menjadi, pidu disebut tujuh, kuda disebut jara, bahasa yang sama. Dompu berlokasi di sebelah dan lampa lampa disebut jalan-jalan. Kata-kata baratdaya Desa Padende tempat Prasasti Wadu yang sama antara Bima dengan Jawa Kuno Tunti berada (Tajib 1995, 20-21). Selain di misalnya ama berarti ayah, ina berarti ibu, imba Bima, masyarakat Dompu juga mempercayai berarti meniru, kica berarti kera, kuta berarti bahwa kuburan tokoh Gajah Mada berada pagar, jaga berarti jaga, joli berarti usungan, di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Kabupaten dosa berarti dosa, sawa berarti ular, asu berarti Dompu yang lokasinya dekat dengan jalan anjing, dan lain-lain. Seperti halnya Bahasa raya. Lokasi tersebut sebenarnya akan dipugar Jawa yang mengenal tingkatan, Bahasa Bima sebagai benda cagar budaya, tetapi tidak juga memiliki struktur bahasa, seperti kromo diperbolehkan oleh ahli warisnya. Lebih jauh inggil dan ngoko. Tingkatannya berupa bahasa lagi, situs tersebut bahkan tidak boleh diteliti halus, tengahan, dan kasar (Tajib 1995, 34-36). (komunikasi pribadi dengan Hj. Sri Suzana). Terdapat juga tempat bernama Daha di Bima. Buku Sejarah Bima Dana Mbojo Daha merupakan nama kerajaan di Jawa Timur menerangkan bahwa setelah menaklukkan yang disebut juga Kerajaan Kadiri. Bali, Gajah Mada berkeinginan menaklukkan daerah-daerah di sebelah timur Bali. Ekspedisi Tokoh Gajah Mada Majapahit di bawah pimpinan Senapati Gajah Mada merupakan tokoh yang Sarwajala Nala menyerang Sumbawa. dikenal di seluruh Indonesia, tidak terkecuali Dadelanata yang mempertahankan Sumbawa di Bima dan Dompu. Menurut informasi dapat ditaklukkan. Penyerangan dan kekalahan Kasi Dikpora Kemendikbud Kota Bima yang Dadelanata dibuktikan dengan prasasti

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 127 Sukawati Susetyo perunggu berangka tahun 1357 Masehi, BO, ncuhi dijelaskan sebagai manusia utama dan dikeluarkan oleh Kerajaan Majapahit yang penghulu masyarakat seasal yang diharapkan memuji-muji keberanian Panglima Nala (Tajib dapat mengayomi. Setelah kedatangan Sang 1995, 21). Bima yang menyatukan ncuhi-ncuhi di Bima, Peristiwa Padompo yang disebutkan kekuasaan ncuhi diambil alih oleh Sang Bima. dalam Nāgarakrětāgama diduga berhubungan Wilayah kekuasaan masing-masing ncuhi dengan Gajah Mada. Sesudah peristiwa Bubat, diberi nama Kerajaan Bima. Nama Sang Raja Gajah Mada ditafsirkan sebagai pemimpin dikenal dengan Sangaji Mbojo. Tokoh Bima serangan ke Dompo. Tafsir mengenai peranan sangat populer pada akhir masa Majapahit Gajah Mada dalam Padompo dijumpai dalam yang menunjukkan bahwa Bima menempati karya sastra Cerita Asal Bangsa Jin dan posisi penting dalam ritus agama pada masa itu Segala Dewa-Dewa. Karya sastra tersebut (Munandar 2010, 106-108). tidak menyebut langsung nama Gajah Mada, Loir dalam Munandar 2010, menyatakan tetapi Bima yang merupakan tokoh dalam bahwa penamaan Bima terhadap wilayah di Mahabhārata dan dipandang sebagai cikal timur Dompo, Sumbawa Timur dihubungkan bakal penguasa Kerajaan Bima di Sumbawa dengan kultus tokoh Bima yang berkembang Timur. Sesudah Gajah Mada meninggal, di Jawa Timur pada akhir masa Majapahit pemimpinnya digantikan oleh Laksamana Sang (Munandar 2010, 100). Penamaan Bima Wiramandalika Pu Nala (Munandar 2010, 99). tampaknya diberikan oleh orang asing yang kemungkinan orang Jawa. Pada akhir Tokoh Bima Majapahit, banyak ditemukan arca Bima Tokoh Bima atau Bimasena adalah dalam ukuran yang berbeda, tetapi mempunyai seorang tokoh protagonis dalam wiracarita penggambaran sama. Ciri-ciri arca Bima Mahabharata. Ia adalah putra kedua Dewi adalah mempunyai mahkota supit urang atau Kunti dari lima bersaudara dan dikenal rambutnya yang dibentuk dua lengkungan di sebagai tokoh Pandawa. Tokoh ini dikenal puncak kepala seperti jepitan udang, berkumis kuat, kasar, menakutkan bagi musuh, tetapi melintang, berbadan tegap, memakai kain sebenarnya berhati lembut. Kesaktian Bima loreng hitam-putih, dan lingganya digambarkan disejajarkan dengan kesaktian Hanoman menonjol besar, bahkan menyingkap kain yang dalam epos Ramayana. Bima digambarkan dikenakannya (Munandar 2010, 116). teguh dalam prinsip, setia, dan berintegritas. Menurut Munandar, arca-arca Bima Akhir dari riwayat Bima diceritakan dalam yang banyak ditemukan pada jaman Majapahit Prasthanikaparwa. Bhīma dalam Bahasa identik dengan Gajah Mada yang dalam Sanskerta berarti mengerikan, sedangkan nama Mahabharata, Bima merupakan salah satu lain Bima yaitu Wrekodara yang dalam Bahasa tokoh Pandawa. Bima dipilih karena merupakan Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara berarti perut tokoh berkarakter baik dan bertubuh besar. serigala yang merujuk pada kegemarannya Dalam bidang keagamaan, Kitab Brahmanda makan. Julukan lainnya adalah Bimasena yang Purana menyebutkan Bima sebagai salah satu berarti panglima perang (http://id.wikipedia. aspek dari Śiwa. Mahadewa yang menguasai org/wiki/Bima). arah baratdaya. Jika Raja Majapahit disetarakan Tokoh Bima dalam konstruksi sejarah dengan Śiwa, maka patihnya yang bernama wilayah Bima adalah tokoh yang melakukan Gajah Mada cukup berperan sebagai aspek penaklukkan terhadap kekuasaan lokal para Śiwa. Sebelum diarcakan dalam bentuk Bima, ncuhi. Ncuhi adalah pemimpin yang diangkat Gajah Mada disetarakan dengan tokoh Bajranata oleh anggota masyarakat dengan jalan atau Pañji (Munandar 2010, 120-121). Tokoh musyawarah karena memiliki kharisma. Dalam Bima muncul karena keadaan Majapahit yang

128 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) kacau akibat peperangan sehingga masyarakat di antara istri-istrinya itu bernama Kadru dan mendambakan figur seperti Gajah Mada dan Winata. Kadru memiliki anak berupa ular, Hayam Wuruk. sedangkan Winata memiliki anak berupa Pada abad ke-15, banyak dijumpai Garuda. Suatu hari, Kadru dan Winata bertaruh pengarcaan Bima. Para peneliti mengaitkan mengenai warna kuda yang akan muncul tokoh Bima dengan tokoh keagamaan yang bersama amerta, dan yang salah akan menjadi berperan besar dalam menghubungkan dunia hambanya. Kadru mengatakan bahwa kuda akan manusia dengan kekuatan supranatural. Santiko berwarna biru, sedangkan Winata mengatakan 1995 mengatakan bahwa Bima merupakan bahwa kuda akan berwarna putih. Ternyata tokoh agama yang dianggap mediator bagi kuda yang muncul berwarna putih. Karena tidak manusia dengan Dewa Śiwa. Peranan Bima mau kalah, Kadru menyuruh anak-anaknya untuk menolong manusia dilambangkan oleh yang berwujud ular untuk menggigit kuda phallusnya yang sebenarnya adalah lingga, dan tersebut dengan bisanya sehingga berwarna lingga tersebut merupakan bukti keterkaitan biru. Akhirnya, Winata menjadi hamba Kadru Bima dengan Śiwa (Santiko 1995, 131-132). karena kelicikan Kadru. Anak Winata yang Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila berwujud Garuda lalu berusaha menolong di Candi Sukuh relief Bimastawa dipahatkan ibunya. Para naga bersedia membebaskan pada sebuah panil di depan pintu masuk karena Winata jika Garuda dapat menyerahkan amerta tokoh tersebut berfungsi sebagai mediator dan kepada mereka. Garuda berhasil mendapatkan bukan sebagai arca utama yang dipuja. Relief amerta dengan susah payah dan membebaskan Bimastawa menceritakan tentang Bima yang ibunya. Para dewa juga berhasil merebut menghadap Bhatara Guru untuk membebaskan amerta dari para ular. Bhatara Wisnu dengan arwah orang tuanya dari neraka. Selain sebagai kecerdikannya berhasil mengalahkan Garuda mediator, tokoh Bima dianggap sebagai panutan sehingga menjadi kendaraannya (Zoetmulder pada masa Majapahit akhir. 1985, 81). Cerita Garudeya sangat populer di Relief Cerita Garudeya kalangan masyarakat, hal ini terlihat dari Tokoh Garuda dapat ditelusuri dari beberapa pusaka kerajaan berupa keris naskah India dan Indonesia. Dalam naskah- Samparaja yang pada bagian wadahnya naskah India, nama Garuda berasal dari Bahasa dipahatkan relief Garuda dan ular. Tokoh Sansekrta, yaitu Garutman. Dalam kitab Garuda di warangka Keris Samparaja Regveda, Garuda disebutkan sebagai matahari digambarkan dalam posisi berdiri dengan yang seperti burung surgawi atau garutman kedua kaki mengangkang, sedangkan sayapnya dan dikenal juga sebagai Suparna yang berarti terentang, kepala sedikit terangkat ke atas, dan bersayap kuat. Garuda dipercaya dapat terbang paruh terbuka. Pada bagian kaki digambarkan sampai ke surga, dan ketika Dewa Matahari dua ekor ular yang melilit kaki Garuda. menjadi perwujudan Dewa Wisnu, Garuda Tangan kanan dalam sikap menyiku ke atas menjadi kendaraannya. Dalam mitologi Hindu, dan pergelangan tangan berada dekat dengan Garuda digambarkan sebagai makhluk separuh paruh atas, sedangkan tangan kiri menyiku manusia dan separuh burung, bertubuh emas, ke bawah dan telapak tangan agak mengepal wajah putih, bersayap merah (Majupuria 2000, diletakkan di atas paha kiri. Hiasan di atas 119-120). kepala Garuda menjadi pembeda, tergantung Cerita tentang Garuda atau lebih dikenal pada cerita yang hendak disampaikan. Saat sebagai cerita Garudeya merupakan bagian dari cerita Garuda melayani para ular, hiasan cerita Adiparwa dari Mahabharata. Diceritakan ular dipahatkan di atas kepala Garuda. Saat bahwa Kasyapa memiliki istri 29 orang, dua Garuda berhasil mendapatkan amerta, hiasan

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 129 Sukawati Susetyo guci amerta dipahatkan di atas kepala Garuda. (gambar 6). Cerita Garudeya dianggap dapat Ketika Garuda berhasil menyelamatkan ibunya, melepaskan orang dari dosa yang di dalam seorang wanita dipahatkan di atas kepala cerita Jawa disebut lakon ngruwat atau ruwatan Garuda. (Padmapuspita, tt: 13). Penggambaran Garudeya dalam bentuk relief cerita juga ditemukan di dinding sisi utara dan selatan Candi Sukuh, Candi Kidal, dan Patirtaan Belahan di Jawa Timur (gambar 7).

Motif Hias Kelopak Teratai Motif hias kelopak teratai atau padma yang berjumlah delapan biasanya menghiasi bagian lapik arca sering dijumpai pada bangunan dari masa Hindu-Budha, yang berlanjut hingga masa sesudahnya. Hiasan kelopak teratai dapat dihubungkan dengan istilah astabrata atau delapan kebajikan yang disarikan dari Kitab Gambar 6. Cerita Garudeya yang dipahatkan Ramayana, yaitu nasehat Rama kepada adiknya pada sarung Keris Samparaja. Barata yang berkedudukan di tahta Ayodya (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) untuk mewakilinya selama pengasingan. Astabrata tersebut ditulis ulang dalam Kitab Nitisruti oleh Pangeran Karanggayam dari Pajang tahun 1612, dan dalam Kitab Nitipraja tahun 1641. Dengan demikian, konsep astabrata yang ditentukan bagi seorang raja disamakan dengan kebajikan delapan dewa dalam pantheon Hindu yang dijabarkan sebagai berikut. (1) Sifat dermawan dan dana yang tak terbatas yang menjadi sifat Bhatara , kepala semua dewa bawahannya. (2) Kemampuan untuk menekan semua kejahatan yang menjadi sifat Bhatara atau dewa maut. (3) Sifat yang berusaha membujuk Gambar 7. Relief Garudeya di Candi Sukuh. dengan ramah dan tindakan yang bijaksana (Sumber: Dokumen Pribadi) yang menjadi sifat Bhatara atau dewa matahari. (4) Sifat kasih sayang dari Bhatara Keris Samparaja merupakan simbol bagi Chandra. (5) Pandangan yang teliti dan pikiran penguasa atau sultan dan pejabat kerajaan yang mendalam yang menjadi sifat Bhatara lainnya. Museum Asi Mbojo menyimpan Bayu atau dewa angin. (6) Sifat dermawan beberapa Keris Samparaja yang memiliki dalam memberi harta benda dan hiburan yang tingkatan sesuai dengan jabatan orang yang menjadi sifat Bhatara Kuwera atau dewa memakainya. Setidaknya ada 35 keris yang harta dunia. (7) Kecerdasan yang tajam dan dibuat sesuai dengan urutan kepangkatannya cemerlang dalam menghadapi kesulitan apapun dalam kerajaan. Tingkatan keris ini ditandai yang menjadi sifat Bhatara Baruna atau dewa oleh lapisan emas dan perak yang membalutnya. penguasa lautan. (8) Sifat berani yang berkobar Keris ini dibuat sekitar abad ke-14 Masehi dan tekad bulat dalam melawan setiap musuh

130 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) yang menjadi sifat Bhatara atau dewa api (Moertono 1985, 51-52). Jika dibandingkan dengan nggusu waru atau delapan sendi kepemimpinan yang menjadi pedoman bagi para pemimpin di Kerajaan Bima, tampak bahwa nggusu waru sudah dipengaruhi oleh agama Islam. Kedelapan sendi itu adalah (1) orang yang berilmu, (2) orang yang bertaqwa kepada Allah SWT, (3) orang yang berakhlak baik, (4) dari keturunan terpandang dan disegani oleh rakyat, (5) memperhatikan kepentingan rakyat, (6) orang yang berada, (7) satu kata dengan perbuatan, dan (8) orang yang berani dan tangkas membela rakyat. Relief kelopak bunga yang menghiasi Gambar 8. Hiasan pada kalung Sultan Bima. kalung Sultan Bima memiliki kemiripan (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) dengan lambang Kerajaan Majapahit yang dikenal sebagai Surya Majapahit (gambar 8 dan 9). Surya Majapahit melambangkan keletakan dewa-dewa Astadikpalaka, yaitu di bagian pusat lingkaran ditempatkan dewa utama yang dikelilingi oleh delapan dewa yang mewakili delapan penjuru mata angin. Bagian luar lingkaran terdapat delapan dewa pendamping. Dewa-dewa yang terdapat di bagian lingkaran Gambar 9. Bentuk Surya Majapahit koleksi Museum dalam dikenal sebagai Nawa Sanga dengan Trowulan (kiri) dan Museum Nasional (kanan). susunan sebagai berikut: Dewa Śiwa di pusat (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) lingkaran yang dikelilingi oleh Wisnu di utara, Iśwara di timur, Brahma di selatan, dan Prasasti Wadu Tunti Mahadewa di barat, Sambhu di timurlaut, Situs Wadu Tunti berada di Kampung Mahéśwara di tenggara, di baratdaya, Padende, Desa Doro, Kecamatan Donggo, dan Sangkara di baratlaut. Pada lingkaran Kabupaten Bima. Prasasti ini dipahatkan pada luar, terdapat dewa-dewa pendamping lainnya, batu andesit berbentuk bulat tidak beraturan yaitu Kuwera di utara, Indra di timur, Yama di dengan ukuran panjang 170 cm, lebar 143 cm, selatan, Waruna di barat, Isana atau Chandra di dan tinggi 60 cm (gambar 10). Pada bagian timurlaut, di tenggara, Nrrti atau Surya belakang prasasti, batunya tidak dihaluskan, di baratdaya, dan Wayu di baratlaut. Lambang sedangkan bagian atasnya diberi pelipit. Prasasti semacam ini ditemukan juga di batu sungkup ini berisi sepuluh baris aksara Jawa Kuno Candi Angka Tahun Panataran, Candi Sawentar, dengan bahasa Jawa Kuno yang bercampur dan Candi Jawi, serta di halaman Candi Cetho. dengan bahasa lokal. Selain itu, terdapat juga pada nisan-nisan di Prasasti Wadu Tunti menyebut seorang Trowulan dan Candi Kali Cilik di Blitar sebagai tokoh raja bernama Sang Āji Sapalu yang telah hiasan dinding yang berupa Dewa Surya yang hilang atau moksa setelah terjadi peperangan dikelilingi oleh sinar matahari. bhalang geni atau lempar api. Keterkaitan antara hilang atau moksanya raja ini dengan peristiwa padompo masih dipertanyakan. Berdasarkan

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 131 Sukawati Susetyo KESIMPULAN Pengaruh peradaban Majapahit yang ditemukan di Bima dan Dompu berupa tinggalan material dan non material. Dalam bentuk material, tinggalannya berupa 1) Artefak yang dipahat dengan hiasan relief Garudeya dan Bima pada warangka keris Samparaja. Cerita Garudeya sebagai salah satu cerita bertema kelepasan sangat populer pada masa Majapahit, sedangkan tokoh Bima menempati posisi penting dalam ritus agama pada masa Gambar 10. Prasasti Wadu Tunti. itu. 2) Relief kelopak bunga pada kalung Sultan (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional) Bima. Hiasan kelopak bunga sudah dikenal sejak awal masa Hindu-Budha, jauh sebelum prasasti ini, agama yang dianut oleh raja adalah masa Majapahit, namun bentuk kelopak bunga Hindu karena terdapat kata moksa. Berdasarkan yang berkembang menjadi daun waru sangat aksaranya, prasasti ini diduga berasal dari abad mirip dengan motif Surya Majapahit, yaitu ke-14 Masehi, atau sejaman dengan masa motif yang ditemukan pada tinggalan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Majapahit (Atmodjo 1994: 3). Relief dengan penggambaran seperti Pada sebelah kiri bagian yang bertulis wayang, dengan tokoh mengenakan gelung dari Prasasti Wadu Tunti, terdapat relief yang supit urang serta adanya tokoh punakawan, menggambarkan seorang tokoh laki-laki dipahatkan pada Prasasti Wadu Tunti. berhadapan dengan seorang tokoh wanita. Penggambaran relief dengan bentuk gepeng Keduanya menggunakan gelung supit urang seperti wayang serta hadirnya tokoh punakawan dan kain bermotif di bagian bawah tubuhnya. merupakan suatu hal yang populer pada masa Posisi tokoh wanita berada lebih rendah Majapahit. dibandingkan dengan tokoh laki-laki. Terdapat Pengaruh Majapahit di Bima yang berupa dua punakawan di belakang tokoh laki-laki yang tinggalan immaterial adalah: Tata makan tubuhnya digambarkan kecil. Satu dari kedua yang tertib sopan, halus. Bahasa Bima yang punakawan menyerupai tokoh semar, sedangkan mengenal tingkatan/hierarki (unggah-ungguh) punakawan yang di belakangnya sedang seperti halnya di Jawa, juga ada beberapa memegang tangkai payung untuk memayungi kata yang mempunyai kemiripan antara Jawa tokoh penting tersebut. Tampak bahwa tokoh dengan Bima. Mitos tokoh Gajah Mada juga laki-laki seolah-olah memberi wejangan kepada disinyalir merupakan tokoh yang berasal dari tokoh wanita yang di bagian atas tokoh tersebut Bima dan Dompu. Dalam bentuk tinggalan terdapat hiasan menyerupai pundi atau guci non material, Pemberian nama Bima kepada kecil. Keseluruhan relief digambarkan pipih wilayah Bima di timur Dompo di daerah seperti wayang. Bagian badan digambarkan Sumbawa Timur, dihubungkan dengan kultus dari depan, sedangkan bagian kaki dan kepala tokoh Bima yang berkembang di Jawa Timur dari samping. Penggambaran seperti ini lazim pada akhir masa Majapahit. Pada abad ke- ditemukan pada relief masa Majapahit, seperti 15 banyak dijumpai pengarcaan Bima, para relief di Candi Panataran dan Surowono. peneliti menghubungkan tokoh Bima dengan tokoh keagamaan yang berperanan besar dalam menghubungkan antara dunia manusia dengan kekuatan supranatural. Bima merupakan tokoh

132 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134) agama yang dianggap mediator bagi manusia Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuno- dengan Dewa Śiwa. Adapun tinggalan budaya Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. dari Masa Hindu Budha di Bima berupa Situs Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Wadu Pa’a dan Situs Tembe adalah situs yang Nagarakretagama. Yogyakarta: PT LKIS sudah ada sebelum Majapahit melakukan Pelangi Aksara Yogyakarta. Munandar, Agus Aris. 2010. Gajah Mada Biografi ekspansi ke Dompo. Wilayah yang dahulu Politik. Jakarta: Komunitas Bambu. merupakan Kerajaan Dompo sekarang sudah Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha mengalami pemekaran menjadi menjadi Bima Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi dan Dompu. Tentang Masa Mataram II (Abad VI-XIX). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Padmapuspita. t.t. Candi Sukuh dan Kidung Amelia dan Libra Hari Inagurasi. 2007. “Amukti Sudamala. Jakarta: Ditjen Kebudayaan Palapa dan Kebaharian Masa Majapahit Abad Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. ke-14.” Dalam BERITA IPTEK Nasionalisme Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Berbasis Teknologi E-Win, disunting oleh Notosusanto, eds. 1993. Sejarah Nasional Rusdi Mochtar. Jakarta: Lembaga Ilmu Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Pengetahuan Indonesia. Robson, Stuart. 1995. Deṥawarṇana Atmodjo, M.M. Soekarto K. 1994. “Beberapa (Nȃgarakŗtȃgama) by Mpu Prapañca. Temuan Prasasti Baru di Indonesia.” Edisi Leiden: KITLV. khusus, Berkala Arkeologi XIV:1-5. Samidi. 1988. “Laporan Hasil Survei dan Konservasi Atmosudiro, Sumiati. 2008. Jawa Tengah Sebuah Situs Wadu Pa’a Desa Kananta Kabupaten Potret Warisan Budaya. Yogyakarta: Balai Bima, NTB.” Laporan Penelitian, Direktorat Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Tengah. Sejarah dan Purbakala, Jakarta. Djafar, Hasan. 2009. Masa Akhir Majapahit Santiko, Hariani. 1995. “Tokoh Bima pada Masa Girīndrawarddhana dan Masalahnya. Majapahit.” Dalam Kirana: Persembahan Jakarta: Komunitas Bambu. untuk Prof. Dr. Haryati Sudibyo, disunting Geria, I Made. 2004. “Temuan Struktur Bangunan oleh Hariani Santiko, Rita F. Nurlambang, Masa Hindu Budha Situs Warukali Dompu, Agus Aris Munandar, 123-142. Jakarta: PT. NTB.” Berita Penelitian Arkeologi (Pusat Intermasa. Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Soekatno, Endang Sh. 1990. “Wadu Pa’a Sebuah Nasional). Situs Pemujaan di Tepi Pantai.” Kalpataru ______. 2007. “Tinggalan Arkeologi Nusa Majalah Arkeologi 9:206-217. Tenggara Barat Peradaban Masa Lalu yang Suantika, I Wayan. 1989. “Peninggalan Ciwa-Budha Memaknai Masa Depan.” Forum Arkeologi, Goa Gajah (Bali) dan Wadu Pa’a (Bima).” no. II (Oktober). Forum Arkeologi. Ismail, Hilir. 2004. Peran Kesultanan Bima dalam Susetyo, Sukawati, Agustijanto Indrajaya, dan Perjalanan Sejarah Nusantara. Mataram: Amelia. 2013. “Pengaruh Majapahit di Bima Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford dan Dompu.” Laporan Penelitian Arkeologi, Foundation. Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta. Loir-Henri, Chambert. 2012. Bo Sangaji Kai Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: École Jakarta: PT Harapan Masa (PGRI). Française d’Extreme-Orient Yayasan Pustaka Tim Penelitian. 2011. “Penelitian Pengaruh Obor Indonesia. Kebudayaan India di Daerah Sekitar Majupuria, Thrilok Chandra. 2000. Sacred Animals Borobudur, Kabupaten Magelang.” Laporan of Nepal & India. India: M. Devi, Lalitpur Penelitian Intern, Pusat Penelitian dan Colony, Laskar (Gwalior). Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu 133 Sukawati Susetyo Tim Peneliti. 2012. “Pusat Peradaban di Pulau NARASUMBER Sumbawa: Perkembangan Hunian dan 1. Dr. Maryam R. Salahuddin, Sejarawan, Budaya Penelitian Peradaban Hindu dan Keturunan Sultan Bima. Budha di Situs Wadu Pa’a Bima.” Laporan 2. Dra. Sri Suhartini, staf Bidang Pendidikan Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Non Formal Informan (PNFI) Dikpora Kota Denpasar, Denpasar. Bima. Zoetmulder. 1985. Kalangwan : Sastra Jawa Kuna 3. Dra. Hj. Sri Suzana, MSi, Kepala Dinas Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten http://jamilkusuka. wordpress.com/tag/kerajaan/, Dompu, September 2013. diakses 20 September 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bima, diakses 20 September 2014 www.sumbawa.blogspot.com diunduh tanggal 17/12/2013 http:/id.wikipedia.org/wiki/Bimasena diunduh tanggal 17/12/2013

134 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 2, Agustus 2014 (121 - 134)