Quick viewing(Text Mode)

Oleh: Putri Cellia

Oleh: Putri Cellia

PERAN TEATER LENONG BETAWI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA MASYARAKAT BETAWI (STUDI KULTURAL HISTORIS: TEATER LENONG MARONG GROUP DI CIATER, TANGERANG SELATAN)

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Putri Cellia NIM: 1110015000099

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

ABSTRAK

Putri Cellia (1110015000099). Peran Teater Lenong Marong dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater Lenong Marong Group di Ciater). Skripsi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran teater lenong Marong dalam pembentukan identitas Betawi di Kelurahan Ciater. Penelitian ini dilaksanakan di perkumpulan teater lenong Marong yang berlokasi di kelurahan Ciater. Penelitian ini merupakan suatu studi yang menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka terhadap masyarakat Betawi pada umumnya dan perkumpulan teater lenong Marong pada khususnya untuk mengungkapkan aspek historis dan fungsional teater lenong. Hasil analisis atas temuan di lapangan menunjukan bahwa perkumpulan teater lenong Marong berperan dalam pembentukan identitas Betawi dengan cara menunjukan bahwa masyarakat Betawi sangat mencintai Islam dan sangat memegang teguh pedoman hidup tersebut, penggunaan dialek Betawi dalam pementasan, menampilkan karakter-karakter masyarakat Betawi, pakaian khas Betawi, alat tradisional Betawi yaitu golok, dan kesenian Betawi lainnya seperti silat, gambang kromong, tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi.

Kata kunci : Teater Lenong, Identitas Budaya, Masyarakat Betawi

i

ABSTRACT

Putri Cellia (1110015000099). The Role of Marong Lenong Theater in Identity Formation Of Betawinesse (Study Analsis: Bevy Marong Lenong Theater Group in Ciater, South Tanggerang). Essay. Jakarta : Department of Education Social Science The Faculty of Tarbiyah and Teaching Science The State Islamic of Syarifhidayatullah University.

This study aims to determine how the role of theater lenong Marong in identity formation in the village of Btawinesse in Ciater, South Tangerang. The research was conducted in association Marong lenong theater located in Ciater, South Tangerang. This research is a study using a qualitative approach. The methods used include observation, interviews, and literature on society in general and associations Betawi, lenong Marong theater in particular. The result of analysis of the findings in the field showed that the association of theater lenong Marong role in the formation of identity in a way shows that Betawi communities loves Islam and so uphold the rule of life, Betawi dialec use in staging, typical clothing, Betawi traditional tools are machetes, and other Betawi arts such a martial arts, xylophone kromong, Betawi dance and songs of Betawi.

Keywords : Lenong Theater, Cultural Identity, Betawi Communities

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat Iman, Islam, serta nikmat sehat wal’afiat sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Teater Lenong Marong dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater Lenong Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan)”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasullah SAW, keluarga dan sahabatnya.

Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’I, MA, Ph.D serta para pembantu dekan. 2. Ketua jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta seluruh staf. 3. Dosen pebimbing, Ibu Dr. Ulfah Fajarini, M.Si dan Ibu Cut Dhien Nourwahida, MA yang telah sabar mebimbing dan memberikan ilmu dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada peneliti, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat di kemudian hari. 5. Bapak Marong dan para pemain lenong Marong Group yang telah memberikan izin dan membantu peneliti dalam proses penelitian skripsi ini. Semoga sukses selalu untuk Bapak Marong da para pemain Marong Group. 6. Staf kelurahan Ciater yang telah memberikan bantuan pada peneliti 7. Kedua Orangtua Ayah dan Mamah ( Maman Permana dan Almh. Atikah Abdulah, Spd) yang selalu ada disaat peneliti membutuhkan dukungan baik moril, materil maupun spiritual. Semoga Mamah bisa tersenyum

iii

bangga melihat Ananda dapat menyelesaikan kuliah keguruan sesuai harapan Mamah. 8. Keluarga tercinta Kakak dan Adik ( Kak Resa dan Ian), Nenek tersayang, embah, om, tante, sepupu dan seluruh anggota yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Keluarga besar SosioAntro 2010 terimakasih untuk semua pengalaman yang tak terlupakan semoga kita selalu dilindungi oleh Allah SWT 10. Sahabat-sahabat di kampus (Ines, Rya, Cabi, Ninna, Tuti, Nesa, Dara, Deli, Epi, Nadia, Embong, Putri) 11. Terimakasih untuk sahabat sosialita (Ewin, Lita, Ajeng, Anggi, Dicha dan Gabo) yang telah memberikan peneliti semangat untuk menyelesaikan skripsi ini

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan bahan referensi khususnya dibidang pendidikan sosiologi- antropologi. Namun, pada akhirnya peneliti ingin mengingatkan bahwa penelitian yang tersaji ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun peneliti butuhkan dan akan ditindaklanjuti demi kesempurnaan penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua yang telah membacanya.

Jakarta, Desember 2014

Putri Cellia

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ABSTRAK ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR TABEL ...... vii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Pembatasan Masalah ...... 8 D. Perumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan Penelitian ...... 9 F. Manfaat Penelitian ...... 9

BAB II: KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik ...... 12 1. Teater Rakyat Lenong Betawi ...... 12 a. Teater ...... 13 b. Lenong Betawi ...... 15 2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi ...... 21 a. Identitas ...... 21 b. Budaya ...... 25

v

c. Masyarakat Betawi ...... 27 B. Hasil Penelitian yang Relevan ...... 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 35 B. Metode Penelitian ...... 35 C. Populasi dan Sampling ...... 36 D. Teknik Sampling ...... 36 E. Teknik Pengumpulan Data ...... 37 F. Instrumen Penelitian ...... 39 G. Teknik Analisis Data ...... 40 H. Pemeriksaan Keabsahan Data ...... 41 I. Refleksi Penelitian ...... 43

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data ...... 45 1. Struktur Sosial Kelurahan Ciater ...... 45 2. Konteks Sejarah Teater Lenong Betawi Marong Group ...... 49 B. Pembahasan Hasil Penelitian ...... 70 1. Peran Teater Lenong Marong Sebagai Arena Pembentukan Identitas Kultural Masyarakat Betawi ...... 70 2. Teater Lenong dalam Semangat Kultural ...... 87 3. Langkah Strategis Revitalisasi Budaya Betawi ...... 89

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...... 91 B. Saran ...... 93

DAFTAR PUSTAKA ...... 95

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Sejenis

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan

Tabel 4.3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Ciater

Tabel 4.4 Daftar anggota perkumpulan teater lenong Marong Group

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Uji Referensi

Lampiran 2 Pedoman Observasi

Lampiran 3 Pedoman Wawancara

Lampiran 4 Transkip Hasil Wawancara

Lampiran 5 Dokumentasi

Lampiran 6 Data Responden

Lampiran 7 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 8 Surat Permohonan Izin Penelitian

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semesta serta mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban. Beradab atau tidaknya sebuah bangsa bisa diukur dari sini, ketika kita membicarakan budaya cakupannya sangat luas dimulai dari ilmu pengetahuan sampai kesenian yang merupakan simbol dari bentuk pengungkapan atau pesan. Bila seseorang melihat kesenian ada yang menganggap sebagai hiburan dan ada pula yang menjadikan sebagai instrumen untuk melakukan pencerahan pada masyarakat seperti penggunaan oleh para wali untuk melakukan syi’ar. Pada konteks masyarakat Betawi banyak lahir seni kerakyatan dan jika kita telusuri garis sejarah terciptanya kesenian-kesenian tersebut tidak terlepas dari proses akulturasi. Menurut Kusumohamidjojo, “akulturasi merupakan proses penerimaan dan pengolahan unsur-unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari kebudayaan suatu kelompok, tanpa meninggalkan unsur kebudayaan asli”.1

Sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran masyarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar, sebab masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah tejadi penyerapan budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan

1 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia, (Jakarta: Jalasutra,2009), h. 188

1

2

kesenian, ini terjadi pada masyarakat secara umum khususnya Betawi.

Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam.2 Dilihat dari segi kesukubangsaan, orang Betawi yang berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang telah melewati rentang waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti yang dikenal sekarang merupakan hasil dari suatu proses asimilasi. Masyarakat Betawi dengan budayanya merupakan hasil pembauran berbagai bangsa dan suku-suku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Jakarta sebagai satu tempat yang terletak di pinggir pantai, dalam proses perjalanan sejarahnya, menjadi kota pelabuhan dan kota dagang. Kota ini kemudian menjadi pusat kota administrasi, politik, dan bahkan menjadi salah satu pusat untuk memperoleh pendidikan di Indonesia. Sifat dan ciri kota Jakarta yang demikian itu telah memungkinkan menjadi arena pembauran berbagai etnik yang ada di Indonesia, dan bahkan berbagai bangsa yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Mereka datang dengan beragam kepentingan dan dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda pula. Pembauran itu telah melahirkan suatu masyarakat dan kebudayaan baru bagi penghuni kota Jakarta tadi, yang kemudian dikenal sebagai Orang Betawi.

Faktor lain yang menyebabkan terbentuknya kelompok itu adalah karena adanya perkawinan campuran antara anggota berbagai suku bangsa tadi. Akhirnya kelompok ini memiliki suatu identitas sendiri. Identitas ini diperkuat misalnya adanya kesatuan kesenian, yang bisa dinikmati oleh

2 Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, ( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009), h. 4. 3

keseluruhan anggota kelompok baru ini, seperti kesenian lenong,topeng, gambang kromong, qasidah, rebana, dan lain-lain. Kesenian-kesenian itu merupakan kesenian baru yang berkembang atau diramu dari kesenian berbagai suku bangsa tadi.

Pembauran dengan kawin campur antar golongan atau suku bangsa tadi diikat pula oleh adanya kesatuan agama. Orang Betawi dapat dikatakan hampir semuanya memeluk agama Islam. mereka juga umumnya merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma agama Islam3.

Salah satu kesenian masyarakat Betawi adalah lenong. lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi, dan merupakan salah satu kesenian rakyat yang mengalami akulturasi pada dasarnya dari sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang , namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata. Lenong termasuk folklor karena ia bersifat tradisional dalam arti keberadaanya beberapa turunan. Ciri lain yang juga penting dari folklor yang dimiliki oleh seni lenong adalah sudah tidak diketahaui lagi siapa penciptanya (anonim), karena ia sudah menjadi milik suatu kolektif, yakni suku bangsa Betawi. Sehingga jika salah satu lakonnya mau dipertunjukan tidak perlu membayar hak ciptanya.

Lenong sebagai hiburan orang Betawi, yang pada umumnya adalah petani pedesaan atau perkampungan, sehingga bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu Betawi, yang dipergunakan oleh orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehubungan dengan itu maka kata-kata yang dipergunakan pun bersifat blak-blakan jika tidak mau dikatakan kasar. Sebagai salah satu pertunjukan rakyat, skenario pertunjukan lenong

3 Rosyadi, Profil Budaya Betawi,(Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006),h.212-216 4

juga bersifat garis besarnya saja. Detailnya diserahkan kepada para pemain (panjak) untuk mengimprovisasikannya sendiri dengan seleranya masing- masing serta kondisi yang dihadapi pada waktu pementasan.

Seperti yang telah diuraikan di awal kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dan ini terjadi pada masyarakat Betawi di Ciater pada umumnya dan komunitas teater lenong Betawi Marong pada khususnya yang terkenal dengan kemampuan ngelenong. Lenong pernah merajai jagad panggung hiburan pada tahun 1970-an sampai 1980-an akhir, meski akhirnya harus rela tersingkir dengan berbagai alasan baik secara kultural maupun ekonomi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan masyarakat Betawi Ciater untuk terus berusaha melestarikan warisan kesenian leluhurnya dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan identitas mereka. Lenong seperti halnya upacara adat Betawi lainnya seperti ’nujuh bulanan’ tetap dijalankan. Ada nilai tersendiri yang dilihat sebagai ukuran perwujudan kecintaan dan keaslian orang Betawi terhadap teater lenong.

Teater lenong tidak hanya mengajarkan seseorang untuk belajar bermain peran atau lakon (bersandiwara) didalamnya juga terdapat berbagai macam instrumen musik yang mengiringi yang berasal dari akulturasi budaya yang berbaur di Jakarta yakni gambang kromong. Dari susunan alat musiknya terlihat, bahwa orkes gambang kromong merupakan perpaduan antara unsur musik pribumi ditambah dengan unsur Cina. Unsur pribumi terdiri dari alat-alat perkusi: gambang, kromong, gendang, kecrek, dan gong. Unsur Cinanya terdiri dari alat perkusi: ningnong dan alat musik gesek berdawai dua. Alat musik gesek ini berbeda-beda, yang kecil disebut kongahyan, yang pertengahan disebut tehyan dan yang terbesar disebut sukong. Pada awal 5

perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan gambang kromong adalah lagu-lagu Cina.4

Perkembangan masyarakat Jakarta yang semakin bergaya hidup global secara langsung berdampak pada gaya hidup masyarakat Betawi yang notabene berada di wilayah megapolitan Jakarta dan sekitarnya. Banyak hal dari aspek kehidupan masyarakat Betawi tidak lagi dapat ditemukan saat ini, terutama dalam hal kesenian salah satunya yaitu lenong. Faktor utama hilangnya kesenian tradisional Betawi adalah hadirnya kompetitor kesenian yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat modern.

Masyarakat Betawi pun mulai terkikis identitas Betawi mereka. Sebenarnya pemodernan terhadap kesenian tradisioanal bukan suatu usaha yang haram, justru dengan pemodernan itu terkandung suatu upaya mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan kebutuhan masyarakat Betawi yang semakin modern.

Kompetensi kesenian tradisional dengan kesenian modern yang datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri dari masyarakat modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan inovasi-inovasi yang berorientasi pasar, tetapi ketika masyarakat dan lingkungan perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas seniman tradisional harus pula mempertimbangkannya.

Produk-produk budaya modern (budaya popular) dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam situasi demam secara terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang disesuaikan dengan target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas masyarakat dapat menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera pasar terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya popular yang dikemas, tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi.

4 Muhadjir, dkk, Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1986), hlm. 31-32 6

Kesenian yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi didalamnya terkandung berbagai kegunaan adalah representasi dan mendapat salurannya melalui kesenian, artinya, kesenian akan hidup dan berkembang manakala masyarakatnya memelihara, mengembangkan, melakukan secara aktif, dan mengapresiasi.

Dalam konteks itulah, secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian tradisional Betawi pada era globalisasi ini. Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculannya jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal itu, boleh jadi sebagai upaya pemeliharaan terhadap kekayaan budaya tradisi dan menjaga identitas adat istiadat Betawi. Persoalan identitas bagi Indonesia memang semakin perlu untuk mendapat perhatian lebih di era reformasi sekarang ini. Di era globalisasi sekarang ini tidak mungkin lagi bisa dibendung masuknya berbagai produk budaya luar negeri ke Indonesia. Kiat-kiat yang jitu seharusnya dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mempertahankan berbagai budaya asli karya leluhur kita agar tetap lestari. Pembelajaran terhadap situasi zaman oleh masyarakat Betawi perlu dijadikan sebagai sebuah kesadaran untuk menguatkan identitas budaya mereka di tengah-tengah budaya megapolitan. Pralokakarya pelestarian kebudayaan Betawi yang diadakan pada tahun 1975 di Jakarta dapat dikatakan merupakan titik baik kebetawian di Jakarta. Ada dua hal penting yang menjadi pemicu kebetawian dalam peristiwa ini. Pertama, pernyataan Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu bahwa kebanggan bagi gubernur untuk dapat menyebut dirinya Betawi. Kedua dibentuknya Lembaga Kebudayaan Betawi yang merupakan saah satu butir hasil Pralokakarya, 7

yaitu dirasakan adanya kebutuhan akan adanya satu badan yang menangani masalah keseniaan Betawi.5

Dengan adanya dua hal penting tersebut, kini orang-orang Betawi telah kembali bangkit mengenai identitas budaya mereka dengan berusaha menunjukkan kembali eksistensi dan identitas orang Betawi. Salah satunya yaitu dapat dilihat dari peran para pemuda, dan organisasi yang kini berlabel masyarakat Betawi dalam membangun ikatan eksistensinya agar identitas yang sudah ada tidak pudar. Sebelumnya organisasi tersebut menyandang kata Jakarta daripada kata Betawi. Bergantinya label Jakarta dengan Betawi secara perlahan-lahan mengangkat Betawi kembali ke permukaan.6

Dampak dari dibentuknya Lembaga Kebudayaan Betawi, yaitu memiliki wadah komunikasi berupa macam-macam organisasi, adalah terorganisirnya usaha-usaha dan perhatian yang diberikan kepada kebudayaan Betawi, khususnya kesenian Betawi dalam arti penggalian, pengembangan, dan pelestarian. Pada periode ini munculah banyak hasil rekacipta tradisi Betawi, seperti busana, upacara, teater rakyat, musik, dan seterusnya yang berhasil memuculkan Betawi dengan wajah baru, wajah dengan tradisi asli dan tradisi rekacipta.7 Dengan teroganisirnya usaha- usaha tersebut tak heran bila kini mulai bermunculan sanggar kesenian Betawi. Salah satunya yaitu sanggar kesenian Marong Group yang didirikan dan dipimpin oleh Bapak Mochtar atau yang lebih dikenal masyarakat yaitu bang Marong.

Penonjolan kembali dengan bangkitnya identitas budaya Betawi yaitu salah satunya dengan berusaha menunjukkan kembali eksistensi dan

5 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas : Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok: Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004) h 22-23

6 Ibid,. h. 23

7 Ibid,. h 24 8

identitas orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya. Sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya mengenai seni pertunjukan teater lenong dan masyarakat Betawi. Penjelasan bahwa teater lenong tidak hanya sekedar perwujudan dari pelestarian budaya Betawi namun juga pembentukan identitas etnis Betawi maka penulis mengambil judul penelitian ini yaitu “Peran Teater Lenong Marong dalam Pembentukan Identitas Betawi (Studi Analisis: Perkumpulan Teater Lenong Marong Group di Ciater”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Masyarakat Betawi krisis kesadaran untuk menguatkan identitas budaya Betawi di tengah-tengah budaya megapolitan hal ini berdasarkan dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang berjudul Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi). 2. Tranformasi budaya asing mempunyai dampak yang luar biasa sehingga mempengaruhi kecintaan pada kebudayaan daerah, sehingga masyarakat enggan mempelajari budayanya sendiri hal ini berdasarkan dengan buku yang ditulis oleh Yasmine Zaki Shahab yang berjudul Identitas dan otoritas (rekonstruksi Tradisi Betawi). 3. Jumlah masyarakat yang menaruh perhatian dan memberikan apresiasinya terhadap Lenong Betawi sangat sedikit hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan. 4. Kerjasama yang kurang baik antara Pemerintah daerah, lembaga Betawi, dan masyarakat Betawi terhadap pelestarian kebudayaannya sendiri. Hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan. 9

5. Intensitas pembinaan Pemerintah daerah terhadap sanggar-sanggar kesenian Betawi masih sangat minim. Hal ini merupakan asumsi peneliti berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar pengkajian masalah dalam penelitian ini dapat lebih terfokus dan terarah. Karena keterbatasan yang dimiliki peneliti baik dalam hal kemampuan, dana, waktu dan tenaga maka penelitian ini hanya membatasi masalah pada upaya yang dilakukan lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di dalam penelitian ini, maka hal yang dapat dijadikan permasalahan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah bagaimana peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan rumusan masalah di dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Betawi.

F. Manfaat Penelitian

1. Untuk Pendidikan atau Akademis Penelitian ini memberikan kontribusi dalam bidang akademik yang sekiranya dapat bermanfaat bagi para peneliti yang hendak melakukan 10

penelitian sejenis pada waktu dan lokasi yang berbeda. Penelitian ini diharpakan bermanfaat untuk menjadi bahan bacaan atau sumber referensi ilmiah khususnya mengenai lenong betawi dan identitas budaya. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk memperluas pengetahuan masyarakat tentang lenong Betawi dan identias budaya Betawi. 2. Untuk Masyarakat Memberikan informasi tentang berbagai potensi yang dimiliki generasi muda terlatih dan kemungkinan besar dapat meningkatkan kemampuan mereka bersaing dan mempertinggi posisi teater lenong di tengah- tengah budaya popular di Tangerang. Dapat pula dijumpai informasi tentang pelaku kesenian lenong yang dapat menyumbang revitalisasi budaya Betawi. 3. Untuk Peneliti

Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan di UIN Syarifhidayatullah dengan membuat skripsi ini secara ilmiah dan sistematis. Selain itu penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai kesenian Betawi yaitu teater lenong

4. Untuk pembangunan

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pembangunan dalam bidang sosial budaya, penelitian ini bermanfaat untuk memperkuat kepribadian bangsa, karena melalui penataan seni pertunjukan teater lenong sebagai identitas budaya dapat dimunculkan nilai-nilai yang apresiatif dan positif untuk meningkatkan kualitas hidup. Selain itu, sebagai suatu bentuk kesenian yang bersifat multikultural, teater lenong dapat bermanfaat sebagai media komunikasi dan integrasi sosial, sehingga dapat menunjang rasa kebersamaan, persatuan, dan kesatuan bangsa. 11

Dalam bidang sosial ekonomi, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Teater lenong dapat membuka lapangan pekerjaan bagi seniman dan seluruh pihak terkait. Kekhasan teater lenong memiliki potensi ekonomi dalam bidang pariwisata, karena dapat menjadi salah satu suguhan wisata budaya daerah yang menarik. Untuk mewujudkan hal ini perlu adanya kerja sama antara berbagai pihak yang berkompeten, yaitu Dinas Pariwisata Kota (pemerintah), pelaku bisnis pariwisata (swasta), seniman, budayawan, dan masyarakat pemerhati kesenian teater lenong Betawi.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik 1. Teater Rakyat Lenong Betawi

Kebudayaan Betawi dapat dikatakan sebagai potret miniatur kebudayaan Indonesia. Percampuran antar suku, proses akulturasi kebudayaan, penduduk asli Batavia dan daerah-daerah sekitarnya merupakan prototipe bangsa Indonesia dewasa ini. Percampuran antar suku tersebut, terbentuklah suatu tipe masyrakat baru yang kemudian dikenal sebagai kaum Betawi. Kesenian dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Meskipun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur- unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil jika kesenian Betawi itu sering menunjukan persamaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain. Bagi masyarakat Betawi sendiri segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu.

Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu unsur kebudayaan yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri adat istiadat Betawi, terutama pada seni pertunjukannya. Berbeda dengan kesenian kraton yang merupakan hasil karya para seniman di lingkungan istana dengan penuh pengabdian terhadap seni, kesenian Betawi justru tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. Sebelum mengenal terlalu jauh mengenai teater lenong, penulis akan membahas apa yang dimaksud dengan kesenian teater.

12

13

a. Teater

Teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, kata teater memiliki arti yang lebih luas dan diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukan di depan orang banyak. Karena luasnya cakupan arti teater, orang ingin kembali memberi batasan. Dalam batasan yang lebih sempit, teater diartikan sebagai drama, yaitu lakon atau kisah hidup manusia yang dipertunjukan di atas pentas dan disaksikan orang banyak. Kata drama sendiri sesungguhnya berasal dari kata Yunanai, dran, yang artinya berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena itulah, tindak-tanduk para pemain drama di atas pentas biasanya disebut akting. Adapun para pemainnya disebut aktor dan khusus pemain wanita dikenal sebagai aktris. Media ungkap yang utama dalam seni teater memang gerak laku para pemain yang disebut akting. Di samping itu, didukung oleh unsur percakapan atau dialog. Unsur pendukung lainnya yang bisa ada bisa pula tidak ada adalah dekor, kostum, rias, musik pengiring, nyanyian, dan tarian.1

Dengan mempelajari teater, kita bisa bereksplorasi dengan ruang gerak kita secara bebas dan bisa memahami karakter orang lain dengan cara memerankan karakter yang berbeda dengan diri kita sendiri. Teater merupakan bagian kehidupan masyarakat Indonesia, dan hampir seluruh kegiatan masyarakat diikuti dengan pertunjukan teater. Teater memiliki banyak fungsi, seperti pengungkapan sejarah, keindahan, kesenangan, pendidikan, dan hiburan. Untungnya, sampai sekarang masih bisa dijumpai contoh dari teater daerah di Indonesia yang berkembang dari zaman yang berbeda-beda. Ada kemungkinan bentuk asli teater Indonsia berasal

1 I Made Banden & Sal Murgiyanto, Teater Daerah Indonesia, (Denpasar, Bali: Kanisius, 1996), h 9 14

dari zaman pra-Hindu, ketika kebudayaan bangsa Indonesia masih dipelihara dari mulut ke mulut dan disebarkan secara lisan. Mangidung atau menyanyi adalah salah satu cara untuk menyebarluaskan kebudayaan Indonesia saat itu. 2

Teater rakyat bukan semata-mata merupakan hiburan masyarakat. Dengan mudah masih bisa ditemukan bagaimana teater memiliki fungsi yang amat penting dalam upacara, seperti Topeng Pajegan di Bali misalnya, dipentaskan siang maupun malam hari, dikaitkan dengan upacara keagamaan, dan berlangsung antara satu sampai dua jam. Selama itu, penonton tidak menyaksikan pertunjukan secara menyeluruh dan terkonsentrasi, tetapi melihatnya sepotong-sepotong, serta hanya memusatkan perhatian pada bagian-bagian yang disukai saja. Mereka menonton sambil mengobrol ataupun menikmati kue. Masyarakat memandang Indonesia (Bali dalam contoh ini) sudah menyadari bahwa Topeng Pajegan adalah persembahan ritual. Teater ini dipersembahkan untuk leluhur, dan sepanjang ada minat, orang diperbolehkan menontonnya.

Media peraga seni teater pada umumnya manusia namun dapat juga benda-benda yang dibentuk dalam wujud tertentu sehingga dapat diragakan dengan cara tertentu. Unsur utama seni teater adalah manusia itu sendiri, manusia mempunyai kesanggupan untuk berekspresi. Dalam kegiatan berperan di samping harus cakap di dalam perannya, pemeran juga harus mampu menguasai medan ruang panggung sebagai permainan dan tidak boleh canggung memanfaatkan setiap pelososk ruang dalam membentuk karakteristik.

2 Ibid., h. 19

15

Dalam masyarakat Betawi ditemukan tiga golongan teater. Pertama, teater tanpa tutur, seperti pertunjukan ondel-ondel dan gemblokan. Kedua, teater tutur yang ceritanya dibawakan dengan tutur kata sebagai media utamanya, seperti sahibulhikayat, buleng, dan rancak. Sedang yang ketiga, teater peran yang ceritanya dilakonkan oleh para pemegang peran. Dan pemeran yang menggambarkan tokoh-tokoh cerita, bisa manusia, seperti teater topeng atau lenong.3 Teater lenong sendiri dalam berbagai segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul. Lenong adalah teater tradisional rakyat Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong. Lakon dan skenario lenong umumnya mengandung pesan moral.

b. Lenong Betawi

Teater lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai berkembang di akhir abad ke-19. Sebelumnya masyarakat Betawi mengenal komedi stambul dan tetaer bangsawan. Komedi stambul dan teater bangsawan dimainkan oleh bermacam suku bangsa dengan menggunakan bahasa melayu. Orang Betawi meniru perunjukan itu dan hasil pertunjukan mereka kemudian disebut lenong.4 Lenong lahir dan berkembang di Betawi Tengah. Menurut Shahab dalam Ragam Seni Budaya Betawi :

Lenong baru muncul sekitar tahun 1930-an. Pada dasarnya dari sudut pandang seni pertunjukan, lenong sangat mirip dengan wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Perbedaan terbesar terlihat pada tema yang diangkat dalam

3 Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta) h.161 4 Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,),hlm.71 16

pertunjukan. Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat jelata.5

Lenong merupakan teater rakyat yang mencampurkan berbagai cabang seni lain, yakni musik dan lawakan. “Pertunjukan biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong yang membawakan lagu-lagu khas gambang kromong. Setelah itu, dilanjutkan dengan semacam upacara pembukaan yang disebut spik. Spik adalah penjelasan lakon yang akan dimainkan dalam pertunjukan”.6

Asal mula kehadiran lenong memiliki dua versi. Pertama, Soemantri yang menyebutkan bahwa lenong berasal dari teater rakyat yang lebih tua, yakni wayang dermuluk, wayang senggol, dan wayang sumedar. Pendapat ini didasarkan pada sejumlah argument bahwa pementasan lenong sama dan sebangun dengan pementasan ketiga teater tersebut, baik dalam hal kostum, cerita, dekorasi, maupun musik. Kedua, Halim Nasir dalam seminar penggalian kesenian dan kebudayaan Betawi menyebutkan bahwa asal-mula teater lenong hanyalah kebetulan dan tidak ada persiapan khusus. Lenong berasal dari kumpulan para pedagang yang melewatkan malam yang sepi dan membosankan dengan saling bercerita mengenai pengalaman sehari-hari ataupun kejadian yang sedang booming saat itu. Pesertanya terdiri atas orang-orang multietnis. Lama-kelamaan cerita tersebut dibawa ke atas pentas agar para pedagang tersebut terhibur7. Pada awal tahun 1960-an, keberadaan lenong sebagai sebuah seni pertunjukan tradisional Betawi nyaris punah. Akan tetapi, tahun 1968 Soemantri menghadirkan modifikasi lenong. Pada tahun 1970- an. Lenong dibangkitkan kembali oleh tokoh-tokoh lenong, antara lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM. Ardan. Grup-grup lenong mulai bangkit kembali dengan binaan

5 Dina Nawangningrum (ed.), Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,2012), hlm. 91 6 Muhadjir, dkk., Peta Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta) h.168 7 Ibid., h.90 17

tokoh-tokoh lenong tersebut. Selain itu, ada pula dukungan dari pemerintah melalui kesempatan yang diberikan Taman Ismail Marzuki (TIM) seluas-luasnya untuk mengadakan pementasan lenong. Cerita yang dipilih adalah cerita Nyai Dasima. Hal itu dimaksudkan agar lenong dapat diterima di ranah Nasional. Di luar TIM sendiri, lenong pada tahun 1960-an dan 1970-an itu berkembang semakin baik. Selain di TIM, lenong ditanggap juga di TVRI dan radio siaran swasta. Setelah itu banyak pemain atau seniman lenong menjadi terkenal. Ada yang menjadi bintang film, misalnya, Bu Siti, H. Tile, H. Nasir T, H. Bokir, Nirin, Naserin, Markum, Anen, dan M. Toha.8

Pada akhir 1973, hasil evaluasi menunjukan bahwa banyak unsur lenong seperti tari, nyanyian, dan pantun hampir hilang dari pementasan lenong, terutama di TIM. Hal ini sangat disayangkan mengingat unsur tersebut justru pengikat yang kuat dan merupakan satu kesatuan. Akhirnya, pada 3-4 Mei 1974 dipersiapkan sebuah pementasan yang berpijak pada bentuk dan cara pementasan lenong pada periode transisi (dari wayang sumedar ke lenong denes). Pada 27 April 1975 dipentaskan modifikasi baru lagi sebagai hasil evaluasi tersebut. Pementasan yang mengangkat kisah Mat Pelor mendapat sambutan yang luar biasa dari publik. Untuk melengkapi tuntutan evaluasi tahun 1973, kendala tari, nyanyi, dan pantun disiasati dengan menggandeng kelompok dari Radio Republik Indonesia Jakarta dan kelompok tari Institut Kesenian Jakarta untuk pementasan lenong. Yulianti Parani yang masuk dalam kelompok tari bahkan melakukan riset mengenai tari Betawi untuk pementasan lenong. Pakar lain yang dilibatkan adalah Azhar, penyusun lagu. Hasilnya, pementasan ulang lakon Mat Pelor pada 26 juni 1975

8 Ibid., h. 91 18

tidak hanya sukses besar, tetapi juga memanggil kembali penonton kalangan menengah ke atas untuk menonton lenong.9

Jenis lenong terdapat dua jenis yaitu lenong denes dan lenong preman. Untuk lebih jelasnya penulis menunjukan lewat bagan di bawah ini.

Bagan 2.1

Jenis Lenong Betawi

Lenong Denes

Teater Lenong

Lenong Preman Berkembang di Ciater

Sumber: penelusuran penulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan kajian pustaka

1) Lenong Denes

Lenong denes merupakan kesenian yang berkembang dari kalangan bangsawan. Oleh karena itu, pesebarannya terpusat di tengah kota. Jenis lenong ini dapat ditemukan di wilayah Cakung, Pekayon, Ceger, dan Babelan. Namun lenong denes kini dianggap sebagai perkembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini sudah punah, seperti Wayang Sumedar, Wayang

9 Ibid,. h.92 19

Senggol, Wayang Dermuluk. Lenong denes mementaskan cerita- cerita kerajaan seperti Indra Bangsawan, Danur Wulan, dan sebagainya, yang diambil dari khazanah cerita klasik Seribu Satu Malam. Karena memainkan cerita kerajaan, maka busana yang dipakai oleh tokoh-tokohnya sangat gemerlapan, seperti halnya raja, bangsawan, pangeran, dan putrid. Maka kata denes (dinas) melekat pada cerita dan busana yang dipakai. Maksudnya untuk menyebut orang-orang yang berkedudukan tinggi, orang berpangkat-pangkat atau orang yang dinas.

Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong denes adalah bahasa melayu tinggi. Contohnya kata-kata yang sering digunakan antara lain: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau, daulat tuanku,hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian dinyanyikan. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa melayu tinggi, para pemain lenong denes tidak leluasa melakukan humor. Agar pertunjukan bisa lucu, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam (pembantu) yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat, dan main anggar (pedang).

Lenong denes biasa bermain di atas panggung berukuran 5 X 7 meter. Tempat itu dibagi dua: di belakang untuk pemain berhias, ganti pakaian, atau menunggu giliran main. Bagian depan untuk pentas. Alat musik diletakan di kanan dan kiri pentas, sebagaimana dalam lenong preman. Dekor digunakan untuk menyatakan susunan adegan, meski kadang-kadang tidak pas sama sekali alias bertabrakan dengan jalan cerita yang sedang berlangsung. Perkelahian dalam pentas diusahakan dengan gerak yang sungguh- sungguh, ditambah dengan pedang, dan gerakan akrobatik yang mengesankan. Sebelum pertunjukan berlangsung diadakan acara 20

ngungkup dengan menyediakan sesajen lengkap dan membakar kemenyan.10

Tokoh utama yang dikenal mengembangkan lenong adalah Jali Jalut alias Rojali. Di samping itu tokoh yang pernah mengembangkan lenong denes adalah Rais pimpinan lenong denes di Cakung, Samad Modo di Pekayon, Tohir di Ceger, dan Mis Bulet di Babelan. Adapun LKB (2012) mendata bahwa yang masih mengembangkan lenong denes adalah Minin (pimpinan Grup Baru di Jakarta Utara), Agus Aseni (pimpinan Grup Bang Pitung di Jakarta Barat), Abd. Rachman (pimpinan Grup Jayakarta di Jakarta Barat), Jamaludin ( pimpinan Grup Naga Putih di Jakarta Selatan), Mamit (pimpinan Harapan Jaya di Jakarta Timur), Hj. Tonah (pimpinan Sinar Jaya), Yamin (pimpinan Theater Pangkeng), Hj. Norry (pimpinan Sinar Norray), dan Burhanudin (pimpinan Grup Jali Putra).11

2) Lenong Preman

Berbeda dari lenong denes, lenong preman berkembang di kalangan rakyat miskin. Pesebarannya terpusat di pinggiran kota Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Cerita yang dibawakan oleh lenong preman yaitu cerita- cerita dari kehidupan sehari-hari, yaitu dunia jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dan sebagainya. lenong preman biasa juga disebut sebagai lenong jago. Disebut demikian karena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, seperti Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, dan Sabeni Jago Tenabang. Karena cerita yang dibawakan

10 Yahya Andi Saputra,Profil Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,2009), hlm.73-74 11 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Ragam Seni Budaya Betawi,(Jakarta:2012),hlm. 92-93 21

adalah cerita sehari-hari maka kostum atau pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.

Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam pementasannya. Dengan menggunankan bahasa Betawi, terjadi keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang member respon spontan dan pemain menanggapi. Terjadilah komuniksi yang akrab antara pemain dan penonton. Dialog dalam lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Sehingga menimbulkan kesan kasar, terlalu spontan dan bahkan porno.

Beberapa rombongan lenong yang pernah ada dan masih ada sekarang ini adalah rombongan Gaya Baru yang dipimpn oleh Liem Kim Song alias Bapak Sarkim dari Gunung Sindur, Bogor, Setia Kawan dipimpin oleh Nio Hok San dari Teluk Gong,Tiga Saudara dipimpin oleh Pak Ayon dari Mauk, Tangerang, dan Sinar Subur yang dipimpin oleh Bapak Asmin dari Bojongsari. Sanggar-sanggar lenong yang didata oleh LKB (2012) antara lain adalah Grup Baru Jaya pimpinan Minin di Jakarta Pusat, Grup Bang Pitung pimpinan Agus Aseni di Jakarta Barat, Grup Jayakarta pimpinan Abd. Rachman di Jakarta Barta, Grup Naga Putih pimpinan Jamaludin di Jakarta Selatan, di Jakarta Timur ada Harapan Jaya pimpinan Mamit.12 2. Identitas Budaya Masyarakat Betawi a. Identitas Budaya

Konsepsi lenong mencerminkan bahwa lenong menjadi sebuah kesenian teater yang berasal dari rakyat dan dekat dengan kehidupan rakyat pada umumnya. Sebuah kesenian teater yang bukan hanya sekedar tradisi, melainkan untuk mempersentasikan identitas budaya Betawi. Dalam praktik komunikasi, identitas acapkali tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang,

12 Ibid. ,h.75 22

tetapi lebih jauh dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya.13

Mengacu kepada pengertian identitas sendiri yang mengandung pengertian sebagai kondisi yang subjektif dan objektif. Menurut Liliweri “konsep identitas terbagi kedalam tiga bentuk, yakni: identitas sosial, identitas kultural dan identitas personal”.14 Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebudayaan (umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, tempat, dan sebagainya) maupun berbentuk pengakuan yang berasal dari ego (misalnya saya seorang muslim, saya orang Betawi). Dalam konteks ini proses identifikasi dibentuk melalui konsepsi mengenai diri yang berhubungan dengan keanggotaan individu terhadap kelompok atau kategori sosialnya tersebut. Di dalam skripsi ini akan dilihat bagaimana identitas budaya direpresentasikan di dalam konteks seni pertunjukan kesenian, sekaligus keanggotaan individu ke dalam sebuah kelompok etnis tertentu yang meliputi tradisi, bahasa, dan sifat bawaan dari suatu kebudayaan.

Identitas pribadi atau personal seperti yang dikatakan Ritzer didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seorang individu. Hal ini disebabkan oleh faktor biografi dan pengalaman hidup masing- masing orang yang berbeda-beda. Individu dapat menolak identitas sosialnya, ketika ia merasa bahwa peran atau kategori sosial yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan konsepsi diri individu.15 Komitmen tertinggi individu terhadap suatu identitas menggambarkan bahwa identitas itulah yang menempati posisi paling penting bagi dirinya.

13 Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 68 14 Ibid., h.96 15 George Ritzer (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 (London: SAGE Publication, 2002), h. 385-387 23

Menurut Ensiklopedia Sosiologi yang ditulis oleh Ritzer:

Identitas terpenting selain identitas personal dan identitas sosial, adalah identitas kolektif. Identitas kolektif disini dimaksudkan adalah identitas kultural. Identitas kultural ini timbul dari perasaan ke-kami-an ataupun menjadi satu kelompok, yang berasal dari hubungan sosial, kepemilikan status dan atribut yang sama. Misalnya kesamaan menjadi etnis minoritas, memiliki kelompok tandingan, atau terdapat keadaan yang mengancam, sehingga timbul solidaritas kolektif pada akhirnya membentuk identitas kultural.16 Dalam hal ini faktor kebudayaan megambil peran penting karena kebudayaan dipandang sebagai suatu faktor yang paling penting untuk menujukan identitas masyarakat. Sehingga suatu masyarakat agar dapat mempertahankan identitasnya harus dapat pula mempertahankan kebudayaannya, yaitu dengan cara mewariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses yang disebut dengan proses sosialisasi. Tanpa melalui proses sosialisasi maka kebudayaan suatu masyarakat akan hilang sehingga identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu akan hilang pula. Kenneth Burke menjelaskan bahwa untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa (bahasa sebagai unsur kebudayaan nonmaterial), bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan.17

Identitas dapat diperoleh melalui proses sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Identitas yang diperoleh dari sosialisasi primer disebut identitas primer, sedangkan identitas yang diperoleh dari sosialisasi sekunder disebut identitas sekunder.18 Identitas primer bersifat sejak lahir, misalnya gender, etnisitas, nama keluarga.

16 Ibid,. hlm. 390 17 Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 72 18 George Ritzer (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1 (London: SAGE Publication, 2002), hlm. 392 24

Identitas keluarga diperoleh seorang anak sejak kecil ketika dibesarkan oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Identitas etnis dibentuk melalui proses pembelajaran seorang anak terhadap kebiasaan, sistem kepercayaan dan nilai-nilai kelompok sosialnya.

Identitas sekunder diperoleh ketika individu mengalami proses sosialisasi sekunder. Misalnya, status pekerjaan, kelompok penggemar dan lain sebagainya. Identitas primer dan sekunder individu selalu mengalami proses perubahan sepanjang hayat guna menghasilkan keseimbangan berdasarkan hidup yang dimilikinya.

Dari konsep-konsep yang telah diuraikan mengenai arti identitas penulis dapat mengatakan bahwa identitas sebagai suatu fenomena sosial dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada realitas subyektif yang mempunyai hubungan yang bersifat dialektik antara individu dengan masyarakat. Hubungan yang dialektik antara individu dan masyarakat dapat merupakan hubungan yang tidak ada ujung pangkalnya, suatu hubungan yang terus berlanjut dan tidak ada habisnya selama masyarakat itu tetap ada. Artinya identitas dibentuk oleh suatu proses sosial yang dipertahankan dan identitas juga merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh kesadaran individu yang merupakan reaksi terhadap struktur sosial yang ada.

Pada dasarnya identitas dapat dipahami suatu pemahaman yang keluar dari dalam diri individu tentang dirinya yang berkaitan dengan penempatan dirinya dalam suatu lingkungan sebagai suatu hasil dari interaksi dengan lingkungan diluar kelompoknya. Identitas merupakan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai konteks relasi sosial ataupun interaksi sosial, peran-peran yang kita jalankan merupakan representasi identitas sosial.

25

b. Budaya

“Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.”19 Kebudayaan merupakan posisi penting dalam kehidupan manusia. Dengan begitu, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitupun sebaliknya, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dimana masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, sehingga fungsi kebudayaan itu sendiri dapat dijadikan sebagai faktor pendorong dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau masyarakat dapat menentukan sikapnya sendiri terhadap dunia berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada kebudayaan. Budaya atau kebudayaan menurut para tokoh antara lain:

1) E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2) Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. 3) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat20

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu:

1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, dan peraturan.

19 Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008) h. 27 20 Ibid,. h. 27 26

Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang, ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut wujud fisik. Di mana wujud budaya ini hampir seluruhnya merupakan hasil fisik (aktivitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat)21

Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:

1) Bahasa 2) Sistem pengetahuan 3) Organisasi sosial 4) Sistem peralatan hidup dan teknologi 5) Sistem mata pencaharian hidup 6) Sistem religi 7) Kesenian22

Masing-masing unsur kebudayaan sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayan terurai di atas, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa

21 Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Kencana, 2008), H. 28-30 22 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983) cet . 4, h. 206 27

unsur-unsur kebudayaan fisik. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti salah satu unsur kebudayaan Betawi yaitu kesenian lenong Betawi yang merupakan teater peran yang cukup menjadi primadona masyarakat Betawi.

c. Masyarakat Betawi

“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.”23 Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka Cultural Sociology yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative.24

Ketika kota Jakarta secara resmi dinyatakan sebagai ibukota negara, konon mulai muncul dan mengemukakan berbagai komunitas yang menamakan diri sebagai komunitas yang menamakan diri sebagai masyarakat Betawi. Diduga masyarakat Betawi sudah cukup lama bermukim di Jakarta, dan mereka diperkirakan sudah tinggal di Jakarta semenjak zaman prasejarah, yaitu zaman batu bara atau neolitikum. Diperkirakan mereka mulai tinggal di Jakarta tahun 2500 SM.25

“Suku Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yag dikenal sebagai penduduk asli kota Jakarta. Secara geografis suku Betawi tinggal di pulau Jawa, namun secara sosiokultural, mereka kelihatannya lebih dekat dengan budaya Melayu Islam”.26 Terdapat beberapa pendapat seputar suku Betawi ini. Pertama yaitu Dr.

23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983) cet . 4, h. 149 24 Ibid,. h. 150 25 Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta 6, ( Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009), h. 4. 26 Ibid., h. 7 28

Yasmine Zaki Shahab, M.A., seorang antropolog Universitas Indonesia, beliau memperkirakan bahwa etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893.

Kedua yaitu Prof. Dr. Parsudi Suparlan mengemukakan bahwa kesadaran mereka itu sebagai orang Betawi pada awal pembentukan etnis ini tampaknya belum mengakar. Ketiga yaitu Ridwan Saidi seorang sejarawan, budayawan, dan sekaligus seorang politikus asal Betawi beliau membantah pendapat kedua antropolog tersebut. Ia mengatakan bahwa orang-orang Betawi sudah ada jauh sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan menjadikan Jayakarta menjadi Batavia. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan menunjukan keberadaan orang-orang Betawi secara geografis, arkeologis serta sejarah perkembangan bahasa dan budayanya.

Ada berbagai anggapan mengenai seseorang layak disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi. Pertama seseorang layak disebut orang Betawi atau masyarakat Betawi kalau orang tersebut merupakan keturunan generasi ke-3, yang semuanya hidup di Jakarta. Kedua, yang dapat disebut sebaga orang Betawi atau masyarakat Betawi adalah orang yang lahir di Jakarta dan hidup persis seperti orang Betawi asli, entah bahasa maupun budayanya. Ada juga yang mengatakan bahwa seseorang itu lahir di Jakarta, tinggal di Jakarta, makan dan minum di bumi Jakarta.

Bagi orang Betawi, polemik semacam itu tidak penting. Yang penting bagi mereka ialah memikirkan bagaimana mengisi kehidupan sebelum mereka meninggal. Ini dapat terjadi karena mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap agama Islam sebagai nafas hidup dan budaya mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka toleran terhadap para imigran dari etniss lain yang masuk ke Jakarta. 29

Bagi mereka, kualitas manusia tidak ditentukan oleh keturunan siapa, tetapi oleh isi hati, da perilakunya. Itulah sebabnya walaupun secara geografis mayoritas wilayahnya telah diambil orang lain sehingga mereka semakin tergsur, namun orang Betawi masih tetap eksis. Mereka tidak pernah merasa diri tergusur dari Jakarta sebagai kampong halaman mereka. Mereka beranggapan bahwa selama Jakarta masih ada, maka selama itu pula akan muncul orang- orang Betawi.27

Masyarakat Betawi dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Kelompok Betawi Tengah adalah penduduk Betawi yang bermukim daerah kota. Kebanyakan dari mereka tinggal secara berkelompok berdasarkan keturunan. Ada dua kelompok besar orang yang tinggal di kota, yaitu Betawi gedong dan Betawi Kampung. Betawi gedong adalah mereka yang secara ekonomi tergolong mampu atau orang kaya dan tinggal di rumah-rumah mewah yang disebut gedong. Sedangkan Betawi kampung adalah mereka yang hidup sederhana dan tidak memiliki kekayaan yang dapat dibanggkan.

Betawi Pinggir memiliki nilai Islami yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua kelompok Betawi lainnya, cara pandang mereka adalah cara pandang Islam. Orang Betawi Pinggir menolak bila mereka dianggap tertinggal dalam bidang pendidikan, sebab mereka mempunyai prioritas pendidikan tersendiri, yaitu pesantren.

Terakhir yaitu Betawi Udik, kelompok Betawi Udik terbagi dalam dua kelompok, yaitu orang Betawi yang tinggal di Jakarta bagian utara, bagian barat Jakarta, dan Tangerang. Budaya mereka sangat dipengaruhi oleh budaya tionghoa. Kelompok kedua yaitu

27 Ibid,. h. 8 30

mereka yang tinggal di sebelah timur dan selatan Jakarta yang terpengaruhi oleh budaya Jawa Barat.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti melakukan penelitian pada suatu kajian ilmiah yang memiliki fokus pembahasan penelitian serupa atau juga memiliki sebuah kesamaan dalam konsep penelitiannya. Studi lain sejenis telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penelitian skripsi dari Purwosanti yang berjudul Eksistensi Lenong Betawi di Era Globalisasi. Skripsi ini menjelaskan mengenai keberadaan lenong Betawi di era globalisasi saat ini masih sangat diperlukan oleh sebagian masyarakat Betawi di pinggir kota Jakarta seperti Condet, Jagakarsa, Bekasi dan Setu Babakan, namun keberadaanya tidak lagi sebagai bagian integral dari kehidupan masyrakat Betawi seperti tahun 1980-an. Latar belakang penelitian ini karena adanya fakta bahwa lenong Betawi saat ini kurang diminati oleh masyarakat dan hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam acara perkawinan dan sunatan oleh sebagian kecil kelompok. Keberadaan lenong Betawi bagi masyarakat Betawi adalah untuk memeriahkan acara hajatan. Sedangkan bagi sebagian seniman, lenong Betawi sebagai mata pencaharian walaupun hanya mata pencaharian sampingan. 28 Menurut Purwosanti, dari 2 jenis lenong Betawi, masyarakat cenderung memilih lenong preman sebagai hiburan karena dari segi kostum lenong ini lebih sederhana, bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi sehari-hari dan ceritanya pun tentang kehidupan masyrakat sehari-hari. Sedangkan untuk lenong dines diperlukan biaya yang cukup mahal hanya untuk memenuhi kostum pemainnya karena pemainnya harus seragam sesuai dengan tuntutan cerita.29

Selanjutnya yaitu penelitian dari Ninuk Klenden yang berjudul Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik. Skripsi yang

28 Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada Universitas Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan 29 Ibid,. 31

dibukukan ini membandingkan 5 perkumpulan tetaer lenong dalam hal hubungan antara lenong dengan komunitasnya dalam hal ini adalah orang Betawi. Penelitian ini menunjukan adanya perbedaan di 5 perkumpulan teater lenong (perkumpulan tater lenong Setia Kawan, Sinar Subur, Subur Jaya, Bolot, dan perkumpulan teater lenong Bintang Berlian dalam hal hubungan antara seniman teater lenong dengan orang Betawi pada umumnya. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan suatu bentuk deskripsi utuh dari teater lenong yang memperhatikan baik teater lenong itu sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong termasuk seniman, penonton, dan penanggapnya.30

Yudho Winiarto yang berjudul Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi. Skiripsi ini mendeskripsikan penafsiran terhadap tari kreasi yaitu tari tambeng sebagai sebuah identitas budaya, yang dalam proses pembentukannya tidak dapat dilepaskan dari konteks pertunjukannya. Tari tambeng muncul sebagai hasil kreasi tari Betawi dengan wajah dan fungsi yang baru, melalui penafsiran terhadap tanda budaya Betawi yang melekat dan membentuk tari tersebut. Tari tambeng pada konteks perlombaan diterima sebagai suatu identitas Betawi. Namun, penafsiran terhadap tanda budaya Betawi dalam tari Tambeng akan berbeda pada konteks yang lainnya. Setiap konteks pertunjukan terdapat sistem tandanya sendiri yang digunakan sebagai acuan menandai sebuah identitas. Oleh karena itu, hal ini yang kemudian melatarbelakangi tari tambeng untuk dikembalikan pada konteks masyarakat pendukungnya. Penelitian ini mendeskripsikan pemahaman kreator (koreografer) terhadap sistem tanda budaya Betawi yang diwujudkan dalam karya tarinya dan pemahaman ini terlihat melalui proses dan bentuk karya tari tersebut (tambeng). Selain itu, pada skripsi ini juga mendeskripsikan mengenai

30 Ninuk Klenden, Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996) 32

apresiasi dan pandangan orang Betawi terhadap tari tambeng sebagai hasil kreasi tari Betawi.31 Penelitian lainnya yang menjadi bahan bagi peneliti yaitu penelitian dari Nina Farlina yang berjudul Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR). Konteks penelitiannya berupa organisasi FBR sebagai pergerakan masyarakat Betawi. Alasan utama ketertarikan anggotanya adalah ingin mempertahankan wilayahnya yang selama ini mereka tinggal agar tidak tergusur oleh para pendatang. Identitas Betawi yang dipersentasikan dalam organisasi ini merupakan identitas Betawi yang shaleh atau beragama Islam. Di dalam penelitian ini ditemukan mengenani identitas Betawi yang shaleh yang terpengruh oleh ideologi Islam yang mengedepankan ketaatan. Representasi identitas jawara dan jagoan yang pernah dipopulerkan oleh si pitung, juga ditemukan dalam penelitian ini. Representasi jawara adalah ketika mereka mnegenakan pakaian khas Betawi untuk mengungkapkan identitas Betawi.32 Dari rujukan penelitian sejenis di atas tentang identitas budaya yang telah dipaparkan maka dapat ditarik benang merah yang dapat mengikat kesemuanya sebagai pendukung dari penelitian peneliti mengenai Teater Lenong Sebagai Penanda Identitas Kebetawian. Di mana rujukan skripsi di atas merujuk pada eksistensi seni Betawi yang masing- masing mereka teliti mengacu terhadap tema yang peneliti angkat. Adapun tulisan mereka mengenai seni budaya Betawi menjadi bahan acuan dan pembelajaran dalam penelitian ini. Selain itu terdapat poin-poin penting dari temuan mereka menjadi bahan perbandingan dengan skripsi yang peneliti kerjakan. Sedangkan untuk rujukan dari beberapa buku untuk mendukung tulisan ini sebagai wawasan tambahan untuk menunjang dan memperkaya penelitian sebagai

31 Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan 32 Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR)”, tesis pada Universitas Indonesia, Depok, tidak dipublikasikan 33

bahan tambahan penelitian. Adapun buku tersebut erat kaitanya dengan penelitian ini. Oleh karena itu, kesemuanya terkait satu sama lain untuk menjadi bahan pendukung dalam penelitian ini. Di bawah ini adalah tabel penelitian sejenis yang sesuai dengan peneliti. Tabel 2.1 Penelitian Sejenis No. Penelitian Sejenis Tinjauan persamaan perbedaan Pustaka Jenis 1. Eksistensi Lenong Betawi di Skripsi Penelitian ini Penelitian ini lebih Era Globalisasi mengkaji adanya mengarah kepada fakta bahwa lenong keuntungan Betawi saat ini komersil dalam Oleh : Purwosanti, kurang diminati oleh setiap Universitas Negeri Jakarta, masyarakat dan pertunjukkannya 2010. hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam acara perkawinan dan Sunatan.

2. Teater Lenong Betawi Studi Skripsi Penelitian ini Penelitian ini lebih Perbandingan Diakronik mengkaji deskripsi mengarah kepada utuh dari teater membandingkan lenong yang beberapa Oleh : Ninuk Klenden, memperhatikan baik perkumpulan Yayasan Obor Indonesia, teater lenong itu teater lenong 1996. sendiri, organisasi dalam teater lenong, dan komunitas teater lenong termasuk 34

seniman, dan penonton.

3. Tambeng: Proses Penafsiran skripsi Penelitian ini Penelitian ini lebih Kembali Tanda budaya mendeskripsikan mengarah kepada Betawi penafsiran terhadap pemahaman tari kreasi yaitu tari kreator tambeng sebagai (koreografer) Oleh : Yudho Winiarto, sebuah identitas terhadap sistem Universitas Indonesia, budaya. tanda budaya Jakarta, 2008. Betawi

4. Representasi Identitas Tesis Penelitian ini Dalam penelitian Betawi dalam Forum Betawi mengkaji adanya ini yang menjadi Rempug (FBR) usaha suatu objek penelitian organisasi untuk adalah sebuah mempertahankan organisasi kebudayaan Betawi Oleh : Nina Farlina, dan mempersentasikan Universitas Indonesia, 2012 identitas Betawi

Sumber: Hasil olah data peneliti, 2014

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek dan Waktu Penlitian 1. Subjek Penelitian : Perkumpulan teater lenong pimpinan Bapak Marong di Kelurahan Ciater RT 06/10 Kecamatan Serpong 2. Waktu Penelitian : 30 Desember 2013 – 28 November 2014

Agar penelitian ini sesuai dengan target yang telah ditetapkan, maka peneliti membuat jadwal sebagai berikut:

No. Kegiatan BULAN DES MEI JUNI JULI SEPT OKT NOV 2013 2014 2014 2014 2014 2014 2014 1. Penyusunan √ proposal 2. Observasi √ √ 3. Menentukan √ dan menyusun instrument penelitian 4. Pengumpulan √ √ data 5. Analisis data √ √ dan pengolahan data 6. Penyusunan √ laporan

35 36

7. Bimbingan √ akhir skripsi

B. Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yang dimaksud mengacu kepada prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deksriptif.

Menurut Suparlan “pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang digunakan untuk memahami prinsip-prinsip umum yang mendasari suatu gejala yang menjadi pusat perhatian penulis dan hubungan antara gejala-gejala yang terlibat di dalamnya”.1 Menurut Natzir “metode penelitian deskriptif yang dipergunakan adalah metode studi kasus yang berarti penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas, subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat”.2

Penelitian deskriptif dilakukan peneliti dengan mempelajari masalah- masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, pandangan, proses-proses yang sedang berlangsung beserta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

C. Populasi

“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

1 Parsudi Suparlan, Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1996),hlm.41 2 Mohammad Natzir, metode penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 66 37

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.3 Sedangkan “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”.4 Yang menjadi populasi dalam penelitan ini yaitu perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan.

D. Sampel

“Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”. Telah dijelaskan bahwa yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah perkumpulan teater lenong Betawi Marong Group di Ciater, Tangerang Selatan. Oleh karena itu, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah ketua pimpinan dan 9 anggota lenong Betawi Marong Group.

E. Teknik Sampling

“Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel”.5 Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah “teknik pengambilan sampel sumber data dngan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan”.6 Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran teater lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas Budaya Betawi maka yang menjadi sampel adalah Bapak Marong selaku pimpinan teater lenong Betawi Marong Group dan 9 pemain teater lenong Betawi Marong Group.

Pertimbangan peneliti memilih Bapak Marong sebagai sampel adalah karna beliau merupakan pimpinan perkumpulan tersebut sehingga penulis meyakini bahwa beliau dapat memberikan jawaban yang dapat dipercaya.

3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2008) cet, 4 h. 80 4 Ibid,. h.80 5 Ibid,.h. 81 6 Ibid,. h.219 38

Responden kedua yaitu Bapak Ita, pertimbangan peneliti memilih Bapak Ita sebagai responden adalah karena beliau merupakan penasehat perkumpulan tersebut, responden ketiga dan keempat adalah Bapak Katong dan Bapak Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah yaitu karena mereka adalah pemain atau bodor utama dalam perkumpulan lenong Betawi Marong Group.

Responden kelima yaitu bapak Agus. Pertimbangan peneliti memilih Bapak Agus sebagai sampel adalah karna beliau merupakan pemain gambang kromong yang paling lama ikut dalam perkumpulan lenong Betawi Marong Group. Responden selanjutnya adalah Bapak Rudi, Ibu Ati, Dini. Ongkih, dan Maceng. Pertimbangan peneliti memilih mereka sebagai sampel adalah saran dari beberapa responden lainnya.

F. Teknik Pengumpulan Data

Keingintahuan peneliti terhadap teater lenong mengantarkan penulis melakukan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Dalam pendekatan kualitatif pengukuran makna dari gejala tidak hanya dilihat dalam satu konteks saja, tetapi juga dapat dilihat dari banyak konteks yang tidak terkontrol. Pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran penelitan, adalah kehidupan sosial atau masyarakat sebagai sebuah sistem, atau sebuah kesatuan yang menyeluruh.7 Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam pendekatan kualitatif adalah dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka.

1. Observasi Observasi dilakukan untuk melihat gambaran perilaku dan kejadian dengan cara peneliti mengamati langsung ke lapangan. Ini dilakukan agar peneliti mengerti perilaku orang-orang setempat, dan peneliti bisa mengukur

7 Parsudi Suparlan, Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1996),h.17

39

aspek tertentu sebagai acuan dari apa yang ingin diteliti. Dengan melakukan observasi peneliti akan lebih mudah dalam mendapatkan data dari informan, karena dengan melakukan observasi peneliti akan mudah mengenal karakter dan perilaku informan. Obeservasi yang dilakukan peneliti yaitu obeservasi partisipasi pasif. Dalam hal ini peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.8 Observasi pertama dilakukan peneliti pada bulan Januari 2014 di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Setelah sampai di objek lokasi penelitian dan bertanya kepada pengelola, peneliti mendapat informasi ternyata di Setu Babakan sanggar teater lenong sudah tidak ada. Kemudian peneliti akhirnya mencoba observasi di teater lenong yang berlokasi di Kelurahan Ciater, observasi dilakukan pada bulan Mei 2014, ketika sampai di objek lokasi penelitian, peneliti mulai mengamati hal-hal dan seluk beluk yang terkait dengan kebutuhan penelitian. 2. Wawancara “Wawancara adalah cara memperoleh informasi atau keterangan dengan menanyakan masalah yang diteliti kepada narasumber atau informan”.9 Teknik wawancara yang digunakan pada penelitian kualitatif ini adalah wawancara secara mendalam. Proses dalam wawancara mendalam ini dilakukan secara tatap muka, antara pewawancara dengan informan. Dalam wawancara mendalam ini digunakan pula pedoman wawancara, recorder, alat tulis, dan kamera. Dalam melakukan wawancara peneliti harus mengetahui etika dalam penelitian kualitatif.

3. Studi pustaka

Studi kepustakaan dengan teknik ini segala usaha yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang lebih khusus tentang masalah yang sedang diteliti. Memanfaatkan informasi yang

8 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2008) cet, 4 h. 227 9 Ibid,. h. 233 40

ada kaitannya dengan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Mengumpulkan dan memanfaatkan informasi-informasi yang berkaitan dengan materi dan metodologi penelitian tersebut serta menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang berkaitan dengan teater lenong. Informasi tersebut diperoleh dari buku-buku ilmiah, jurnal, skripsi, tesis dan buku-buku Dinas Kebudyaan DKI Jakarta, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.

4. Dokumentasi

“Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya”.10 Hasil penelitian dari observasi, wawancara akan lebih kredibel atau dapat dipercaya kalau didukung oleh dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian yaitu data-data pemain lenong Betawi Marong Group, video ketika lenong Betawi mengadakan pementasan dan juga foto-foto yang berhubungan dengan penelitian.

G. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument penelitian utamanya adalah peneliti. Alasannya ialah bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, data yang akan dikumpulkan, dan hasil yang diharapkan. Itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tak pasti dan jelas itu tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri satu-satunya alat yang dapat menghadapinya.11

Oleh karena itu instrument penelitian ini yaitu peneliti sendiri. Peneliti bertugas untuk menetapkan fokus penelitian, peneliti juga akan memilih

10 Ibid,. h. 240 11 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: PT. Tarsito, 2003), cet. III,h.55 41

informan untuk mendapatkan sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah peran lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya Betawi. Untuk mendapatkan data peran lenong Betawi Marong Group dalam pembentukan identitas budaya Betawi yaitu dengan melihat upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh lenong Betawi Marong Group. Setelah mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan maka peneliti dapat menilai apakah lenong Betawi Marong Group berperan dalam pembentukan identitas budaya Betawi. Untuk mendapat sumber data yang diperlukan peneliti memilih beberapa informan yaitu Bapak Marong selaku pimpinan Marong Group, para pemain lenong Betawi Marong Group, serta petugas kelurahan Ciater untuk mendapatkan struktur sosial kelurahan Ciater. Setelah menentukan informan untuk mendapat sumber data yang diperlukan maka selanjutnya hal yang dilakukan adalah mengumpulkan data. Setelah data sudah terkumpul peneliti melakukan analisis data dan terakhir adalah penarikan kesimpulan dari penelitian. H. Teknik Analisis Data Untuk menjawab permasalahan penelitian, maka penulis akan mengumpulkan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer atau data utama didapatkan dengan melakukan wawancara dan observasi/pengamatan. Sedangkan data sekunder, yaitu data-data dari sumber tertulis yang sudah ada, diperoleh dari studi kepustakaan. Data ini meliputi laporan-laporan budaya Betawi, kesenian Betawi, identitas budaya dan buku- buku yang relevan dengan pokok bahasan. Sedangkan analisis data dilakukan sejak sebelum, sedang dan setelah selesai di lapangan. Seperti pernyataan Nasution dalam buku Sugiyono yaitu: “Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. 42

Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data”12

Analasis dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai diperoleh data yang kredibel. Pada penelitian ini peneliti menganalisis data menggunakan model Miles and Huberman, yaitu:

1. Data reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambara yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Data Display (penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007),h. 245 43

3. Conclusion Drawing/verification

Langkah ketiga yaitu penarikan kesimpulan. Setelah data yang diperoleh peneliti direduksi dan sudah data sudah didisplay dengan bentuk teks naratif, maka langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, jika kesimpulan tersebut didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.13

I. Pemerikasaan Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungghnya terjadi pada obyek yang diteliti. Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas).14

Uji kredibilitas data antara lain dapat dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negative, membercheck.15 Dalam penelitian ini peneliti melakukan uji kredibilitas data dengan cara tringulasi. Tringulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.

Tringaluasi data yaitu bertujuan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Data-data dalam penelitian ini diperoleh oleh peneliti melalui berbagai prosedur, mengingat data-data tersebut sangat dibutuhkan sebagai rangkaian penopang hasil penelitian. Data-

13 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007),h. 247 14 Ibid,. h. 270 15 Ibid., h.272 44

data terkait dengan monografi kependudukan diperoleh melalui badan-badan kemasyarakatn yang resmi seperti kantor kelurahan. Kemudian peneliti meminta data administrasi kependudukan yang terdapat di wilayah RT 06/10, yang selanjutnya data-data tersebut diolah oleh peneliti. Sedangkan data-data yang lebih mendalam terkait kegiatan teater lenong didapatkan dari teater lenong milik Bapak. Marong. Selain itu, peneliti mengunjungi para tokoh Betawi dalam rangka kejelasan tentang seni pertunjukan teater yang ada di wilayah penelitian. Berdasarkan data tersebut selanjutnya peneliti mengkroscek informasi tersebut dengan mengunjungi para panjak.

Peneliti melakukan triangulasi dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Pada metode triangulasi dapat diperoleh dengan cara:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara b. Membandingkan apa yang dikatakan narasumber yang satu dan yang lainnya

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data 1. Struktur Sosial Kelurahan Ciater

Kelurahan Ciater merupakan bagian wilayah Kecamatan Serpong Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten, terletak dibagian timur wilayah Kecamatan Serpong dan memiliki luas wilayah 426,00 Ha atau 16,64% dari wilayah kecamatan Serpong lainnya. Batas wilayah kelurahan Ciater yaitu : Utara : berbatasan dengan kelurahan Rawa Mekar Jaya, Timur : berbatasan dengan keamatan Ciputat, Barat : berbatasan dengan kelurahan Rawa Buntu, dan Selatan : berbatasan dengan kelurahan Buaran.

Kelurahan Ciater merupakan wilayah daratan yang memiliki ketinggian 48 meter di atas permukaan laut (dpl), karena letak geografis kelurahan Ciater cukup strategis maka sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah permukiman. Ciater secara administrasi terdiri dari 13 RW dan 70 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 19.200 Jiwa terhitung sejak akhir 2012.1

a. Struktur Sosial Penduduk

Dalam melihat struktur sosial kelurahan Ciater penulis melihatnya dengan memahami kondisi fisik daerah kelurahan Ciater dengan karakteristik di daerah tersebut. Penjelasan akan struktur sosial kelurahan Ciater diawali dengan struktur sosial penduduk berdasarkan jenis kelamin, komposisi menurut tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.

1 Data kependudukan kelurahan Ciater tahun 2013

45 46

1) Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data kantor Kelurahan Ciater, jumlah penduduk adalah 19.200 jiwa dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 5.492 jiwa dengan jumlah rata-rata kepadatan penduduk 45 jiwa per Km². Terdiri dari 9.758 orang berjenis kelamin laki-laki dan 9.442 orang berjenis perempuan.2 Untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci dan jelas di bawah ini terdapat table yang menggambarkan kependudukan penduduk Ciater.

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Kelurahan Ciater berdasarkan jenis kelamin

N Jenis Kelamin Jumlah Satuan No 1 Laki-laki 9.758 Jiwa 1 2 Perempuan 9.442 Jiwa 2 TOTAL 19.200 Jiwa Sumber: Profil kelurahan Ciater

2) Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Penduduk Ciater saat ini di dominasi oleh para pendatang baik dari daerah pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa, mereka umumnya datang ke Tangerang karena tertarik dengan harapan hidup yang lebih baik daripada tempat asalnya. Kawasan yang mereka tuju memang banyak memberikan banyak kesempatan kerja dan tak jarang mereka membawa sanak keluarga lainnya dari kampung halaman untuk ikut tinggal bersama dan bekerja di Ciater. Para buruh pabrik dan calon

2 Data kependudukan kelurahan Ciater tahun 2013 47

buruh pabrik ini sebagian besar tamatan SMP dan SMA. Hal ini yang menyebabkan penduduk di tempat ini mayoritas berpendidikan menengah.

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Ciater Menurut Tingkat Pendidikan

N No Tingkat Pendidikan Jumlah satuan 1 Tidak atau belum 1.639 Jiwa 1 2 Belum tamat SD 1.938 Jiwa 2 3 Tamat SD 3.680 Jiwa 3 4 SMP 4. 165 Jiwa 4 5 SMA 5.743 Jiwa 5 6 D III 1080 Jiwa 6 7 D IV / S1 730 Jiwa 7 8 S2 168 Jiwa 8 9 S3 57 Jiwa 9 Sumber: Profil kelurahan Ciater

Berdasarkan tabel di atas terihat bahwa penduduk Ciater tingkat pendidikan menengah pertama dan menengah atas sangat mendominasi. 48

3) Jenis Mata Pencaharian Penduduk

Setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat pendidikan seseorang seringkali memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan mata pencaharian orang tersebut. Masyarakat Ciater yang berpendidikan rendah seperti tamatan SD mereka bekerja sebagai kuli bangunan, tukang sayur, tukang ojek. Sementara lulusan SMP dan SMA umumnya bekerja di sektor informal sebagai buruh pabrik, makelar tanah sebagian juga ada yang bekerja seperti berwiraswata dan berdagang.

Spesialisasi pekerjaan sepertinya terjadi karena mereka tidak mampu bersaing dengan penduduk lain yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi di bidang akademik dan keterampilan. Untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor forml dengan gaji dan tunjangan yang mencukupi mereka diwajibkan mampu bersaing dengan perkembangan zaman dan kebtuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Guna memasuki persaingan memperoleh lapangan pekerjaan mreka dituntut membekali diri dengan tingkat pendidikan dan tentunya memiliki ijazah pendidikan jenjang perguruan tinggi serta kemampuan dan keterampilan yang apik di dunia kerja. Karena beberapa pekerjaan mereka yang bergerak di sektor informal seperti kuli bangunan, tukang sayur dan tukang ojek tidak memiliki penghasilan yang tetap dan tergolong berpenghasilan rendah. Penghasilan ini berdampak pada kehidupan keluarga mereka sehari-hari. Penghasilan mereka yang terbilang rendah dan tergolong pas-pasan mengakibatkan mereka seringkali mangalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup primer sehari-hari hingga memenuhi kebutuhan guna pendidikan ataupun urusan sekolah anak-anak mereka.

Buruh pabrik sendiri masih tergolong beruntung karena memiliki penghasilan tetap meskipun penghasilan mereka tidak banyak dan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah. Penduduk lain yang bekerja di 49

sektor formal seperti guru, dokter, karyawan BUMN/BUMD/Swasta, TNI- POLRI, PNS dapat hidup layak dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder maupun tersier. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, penulis menggambarkan jenis mata pencaharian masyarakat Ciater dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.3

Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Ciater

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Satuan 1 Pensiunan 74 Jiwa 2 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 112 Jiwa 3 Tentara Nasional Indonesia (TNI) 44 Jiwa 4 Polisi Republik Indonesia (POLRI) 43 Jiwa 5 Pedagang 1.879 Jiwa 6 Petani 17 Jiwa 7 Peternak 9 Jiwa 8 karyawan BUMN/BUMD/Swasta 4.164 Jiwa 9 Buruh 1.499 Jiwa 10 Guru 199 Jiwa 11 Dosen 2 Jiwa 12 Dokter 24 Jiwa 13 Perawat 23 Jiwa 14 Bidan 25 Jiwa Sumber: Profil kelurahan Ciater

2. Konteks Sejarah Teater Lenong Betawi Marong Group

Pada bab ini penulis akan memaparkan gambaran dan karakteristik masyarakat dan kondisi fisik lokasi penelitian, yaitu teater lenong Marong yang berdomisili Kelurahan Ciater Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan. Sebagai gambaran awal penulis menjelaskan sejarah 50

perkembangan teater lenong Marong Group serta posisi teater lenong dalam masyarakat Betawi di Ciater tersebut. Penulis mengkaji keistemewaan teater lenong yang memiliki ketertarikan khusus dibanding kesenian Betawi lainnya di Ciater.

a. Sejarah Perkembangan Teater Lenong Betawi

Sebagai suatu bentuk teater, tentunya teater lenong mempunyai sejarah perkembangan sendiri hingga pada akhirnya terwujud apa yang dinamakan teater lenong. Uraian tentang sejarah perkembangan teater lenong ini lebih ditunjukan untuk mengetahui proses perkembangan teater tersebut, sampai dikenal bentuk teater lenong seperti yang sekarang ini. “Lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai berkembang di akhir abad ke- 19”.3

Teater ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Cina. Hal ini jelas terlihat pada musik pengiringnya yaitu gambang kromong. Gambang kromong merupakan alat musik yang dibawa ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Tiong Hoa yang merantau sampai ke Indonesia secara khusus menetap di Betawi.

Gambang kromong sendiri sebuah orkes tradisional Betawi yang merupakan orkes perpaduan antara gamelan, dengan nada pentatonis bercorak Cina. Orkes ini memang erat hubungannya dengan masyarakat Cina Betawi. Pada awal perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iring-iringan gambang kromong adalah lagu-lagu Cina. Menurut istilah setempat lagu semacam itu biasa disebut gambang Cina. Gambang Cina itu berupa lagu-lagu instrumentalia dan lagu-lagu bersyair.4 Di samping untuk mengiri lagu, Gambang kromong biasa dipergunakan untuk pengiring tarian yakni tari Cokek, tari pertunjukan kreasi baru dan teater Lenong. Biasanya musik gambang kromong

3 Eni Setiati, Pofil Kota Jakarta Doeloe, Kini, Dan Esok, (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009) h.63 4 Muhadjir,dkk, Peta Seni Budaya Betawi,(Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1986), hlm 31 51

digunakan untuk menyambut tamu, demikian juga halnya dengan teater lenong, dipertunjukan untuk menghibur tamu suatu pesta hajat. Dalam perkembangannya gambang kromong memperlihatkan berbagai variasinya. Misalnya ada yang disebut gambang cokek yang dikenal juga dengan gambang plesir. Jenis musik ini digunakan untuk mengiringi cokek, yaitu penari wanita yang menari dengan pasangannya yang merupakan tamu-tamu yang diundang dalam suatu pesta hajat orang Tiong Hoa.

Bapak Marong sendiri mulai belajar menabuh dari rombongan gambang plesir ini. Baru kemudian setelah mulai bisa, ia pindah ke rombongan musik gambang kromong, yang pada gilirannya digunakan untuk mengiringi pertunjukan teater lenong. Dengan demikian uraian di atas memperlihatkan bahwa teater lenong memang mempunyai hubungan erat dengan orang Tiong Hoa.

Gambar 4.1

Alat musik gambang kromong milik Marong group

Menurut cerita Bapak Marong pada masa kecilnya pertunjukan teater lenong tidak mempunyai batas waktu. Kalau dikehendaki penonton, 52

pertunjukan yang diadakan setelah sembahyang Isya dapat berlangsung sampai pukul enam pagi atau bahkan lebih siang lagi. Pertunjukan semacam ini biasanya menggunakan dua macam cerita. Sampai pukul dua pagi pertunjukan mengemukakan cerita bangsawan, dan kemudian dilanjutkan dengan cerita preman yang menceritakan kehidupan pada masa tuan tanah masih bercokol di daerah Betawi.

Tema cerita lenong preman mengenai kesengsaraan rakyat miskin di pinggiran kota Jakarta, di bawah kekuasaan para tuan tanah yang ceritanya didasarkan atas kisah nyata kehidupan sehari-hari atau karangan.5 Kisah nyata didasarkan pada cerita dari para penjahat yang masih diingat penduduk setempat sedangkan cerita karangan diciptakan sendiri oleh pemain lenong khususnya, yang ceritanya diperoleh dari buku, film, atau menonton pertunjukan lenong dari kelompok lain. Terkadang tema cerita juga di adopsi dari kehidupan sehari-hari dengan menggambarkan keadaan ekonomi rumah tangga yang semerawut, cinta segitiga para pemuda-pemudi desa yang bergenre drama. Busana lenong preman adalah pakaian sehari-hari orang Betawi.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari penduduk lokal di pinggiran kota Jakarta yang dinilai kasar oleh golongan kelas menengah atas di Jakarta. Teater jenis inilah yang justru digemari oleh banyak penonton karena di nilai lebih ekspresif dan jalan ceritanya yang terkadang sulit ditebak dibandingkan dengan cerita-cerita kebangsawanan yang mengawang di atas jangkauan.

5 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok: Laboratorium Anropologi, FISIP UI, 2004), h.28 53

Gambar 4.2

Bang Marong ketika main lenong preman dengan Mak Nori6

Menurut Bapak Marong pada masa kecilnya ia mengenal adanya dua macam pertunjukan teater lenong yang dibawakan suatu perkumpulan, Bapak Marong juga bercerita bahwa pada tahun 1950-an teater lenong dapat dipertunjukan dengan hanya menggunakan enam atau tujuh orang seniman saja (pertunjukan sekarang dilakukan 25 sampai 30 orang seniman). Keenam atau ketujuh orang seniman itu bukan anggota tetap suatu perkumpulan teater lenong. Jika pemilik (yaitu orang yang mempunyai peralatan teater lenong) ingin mengadakan pertunjukan teater lenong maka ia mengumpulkan teman-temannya untuk diajak main bersama. Mereka melakukan tugas serabutan. Selain berperan sebagai tokoh-tokoh yang digambarkan dalam cerita, mereka juga harus berperan sebagai tukang angkut, yaitu orang yang mengangkat peralatan ke tempat pertunjukan, mereka juga harus dapat mengatur pentas dan mereka juga berperan sebagai tukang tabuh atau pemain musik.

Dalam hal ini seorang seniman teater lenong harus dapat membawakan peran sebagai dua atau tiga tokoh sekaligus, namun seiring

6 Rajakamar Admin, Lenong, Seni Peran Penerus Gambang Kromong, 2014 (http://content.rajakamar.com/lenong-seni-peran-penerus-gambang-kromong/) Diakses tamuJ, ‎17 Oktober 2014 54

dengan perkembangan peran-peran ini juga terspesialisasi sesuai dengan kemampuan para pemain. Pertunjukan teater lenong pada saat itu boleh dikatakan mempunyai sifat opera, sebab dialog dan monolog yang digunakan banyak dilakukan dengan bernyanyi. Nyanyian itu juga digunakan untuk mengungkapakan perasaan sedih, gembira, dan menyatakan suatu maksud. Misalnya maksud untuk melakukan perjalanan atau maksud untuk melamar seorang wanita. Pementasan teater lenong juga dapat digunakan sebagai tempat pertemuan para pendekar silat, karena pendekar silat juga banyak yang merangkap sebagai seniman teater lenong.

Seniman teater lenong memperoleh uang dari hasil pertunjukan yang dilakukannya, baik itu merupakan pertunjukan yang diselenggarakan karena suatu pesta hajat maupun pertunjukan yang dilakukan dengan cara ngamen. Pada tahun 1960-an pementasan lenong yang diselenggrakan pada suatu hajat seharga Rp. 500,00. Dan pemain mendapat bagian sebesar Rp.75,00. Sekarang lenong setiap pementasan di suatu pesta hajat paling kecil yaitu Rp. 30.000.000,00 dan pemain mendapat Rp. 200.000, - Rp. 300.000,00.

Jenis pertunjukan yang dilakukan dengan cara ngamne tidak berhubungan dengan suatu hajat apapun, tetapi semata-mata dilakukan untuk memperoleh uang. Dengan ngamen, biasanya terisi dengan sawer, yaitu hadiah-hadiah yang diberikan penonton kepada seniman karena ia puas dengan pertunjukan yang dapat mengunggah perasaannya atau karena penonton secara pribadi menyenangi seniman yang dipujanya.

Dalam pertunjukan lenong tidak ada batas yang jelas antara pemain dan penonton. Para penonton dapat duduk di pinggir tempat pertunjukan, sedangkan para pemain dapat berlari dan saling mengejar di antara para penonton. Sering ada pertunjukan dengan adegan seorang dikejar dan berlari di antara para penonton. Keakraban dengan penonton 55

sangat menonjol. Penonton dapat turut ambil bagian dalam dialog. Kadang-kadang penonton ikut terlibat secara emosi dan ikut memukul pemain yang membawa peran orang jahat. Untuk itu pimpinan lenong sering harus merubah jalan cerita ketika pemain peran jahat harus kalah, padahal tidak terdapat dalam rencana cerita. Hal ini terpaksa dilakukan untuk menghindari keributan dengan para penonton.

Menurut tradisi, ada upacara sebelum permainan teater lenong dimulai, yaitu upacara yang dinamakan ungkup yang ditunjukan untuk roh halus penjaga alat musik supaya pertunjukan berjalan lancar.

Sebelum mulai main, saya melakukan tradisi yang selalu dilakuin kalau ngelenong yaitu ngungkup atau ungkup. Kita percaya kalau alat-alat ngelenong kita ada roh yang nempatin tuh alat. Saya nyajiin sesajen yang terdiri dari tujuh makanan dan minuman, rokok, telur serta nyalahin kemenyan, baca doa, nyiprat bunga dan air pada alat-alat permainan tujuannya agar pertunjukan berjalan dengan selamat.7 Teater tradisional ini berjalan sampai tahun 1960-an8 yang cukup subur di daerah perbatasan kota Jakarta seperti Tangerang. Sesudah beberapa waktu teater lenong mulai menghilang di perbatasan kota Jakarta. Teater lenong nyaris punah dari Tangerang perkumpulan demi perkumpulan lenong yang pernah ada gulung tikar. Semakin meningkatnya urbanisasi di Tangerang menyebabkan semakin berkurangnya area terbuka di Tangerang sehingga seiring dengan ini teater lenong secara perlahan-lahan juga mulai menghilang.

Panggilan untuk mentas di pesta-pesta semakin jarang. Si Pitung yang perkasa, Nyai Dasima yang malang, untuk sementara istirahat dalam ruangan lain dari imaji para aktor dan aktris lenong yang pernah memainkannya. Cerita Si Pitung dan para jagoan Betawi lainnya juga tragedi Nyai Dasima, adalah kisah-kisah Betawi yang cukup lama

7 Wawancara dengan Bapak Marong tanggal 19 September 2014 8 Dina Nawangningrum (ed.), Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,2012), h. 91 56

mengoperasikan narasi Betawi sebagai kebudayaan. Hingga, membiarkan kisah-kisah itu raib boleh jadi sama dengan menutup mata atas memudarnya nilai-nilai Betawi. Di samping itu, masuknya hiburan modern, seperti film dan radio yang biaya pertunjukannya lebih murah daripada lenong, menyebabkan orang cenderung meninggalkan teater lenong sebagai kesenian hiburan.

Umumnya orang di daerah ini lebih memilih menyewa video untuk menghibur tamu-tamunya dalam pesta keluarga seperti khitanan dan perkawinan. Latar belakang dimunculkannya kembali lenong adalah ide Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu untuk menggalakkan Betawi di Jakarta. Akhirnya pada tahun 1970 para pembesar Taman Ismail Marzuki (TIM) seperti Sumantri Sastrosuwondi, Daduk Jayakusumah, Ardan dan Ali Shahab, mengangkat lenong ke tempat terhormat.9 Hal ini berpengaruh juga pada kota Tangerang, teater lenong Betawi di Ciater sangat merasakan pengaruh tersebut, mereka mulai kebanjiran order untuk tampil di acara-acara penting seperti khitanan, pernikahan, dan dalam pertunjukan seni-seni lainnya.

b. Sejarah Terbentuknya Lenong Marong Group

Kecintaan terhadap kesenian Betawi telah mengiringi Bapak Marong untuk menjadi seoarang pemain lenong. Di awal karirnya dia menjadi salah satu pemain lenong di perkumpulan teater lenong Gaya Baru pimpinan Almarhum Bapak Sarkim. Perkumpulan teater lenong Gaya Baru merupakan salah satu perkumpulan yang memiliki banyak penggemar. Banyak para pelawak yang memulai karirnya di Gaya Baru ini, contohnya yaitu Almarhum Bokir, H. Mandra, H. Bolot dan tentunya Marong.

9 Yasmine Zaki Shahab, Identitas dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi, (Depok: Laboratorium Anropologi, FISIP UI, 2004), h. 40 57

Ketika Bapak Sarkim meninggal akhirnya perkumpulan teater lenong Gaya Baru dipimpin oleh anaknya dan itu membuat perkumpulan lenong Gaya Baru ini menjadi hilang pamor. Panggilan untuk manggung mengurang sehingga membuat beberapa pemain membuat perkumpulan lenong sendiri. Salah satunya yaitu Bapak Marong.

Kecintaan terhadap kesenian Betawi memang tak cukup baginya jika hanya menjadi pemain lenong di perkumpulan milik orang. Beliaupun akhirnya memutuskan untuk membentuk perkumpulan lenong pada tahun 2004 yang ia namakan Marong group. Berdirinya perkumpulan lenong tesebut didasari oleh pemikiran untuk melestarikan budaya Betawi. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” itulah jawaban dari Bapak Marong ketika penulis bertanya apa alasan beliau mendirikan perkumpulan lenong tersebut.

Marong sudah cukup mempunyai nama di masyarakat Betawi khususnya di Tangerang Selatan. Banyak penggemar yang menunggu kehadirannya di setiap kali ada lenong tampil. Lelaki yang memiliki jargon “Marong namanya, baru keluar dari sarangnya” ini tentu tidak kesulitan baginya untuk membuat perkumpulan lenongnya menjadi terkenal.

Marong yang berawal hanya menjadi bintang tamu di perkumpulan lenong milik orang kini mampu memberikan sumber rezeki untuk para anggotanya. Marong group kurang lebih memiliki 30 anggota yang terdiri dari panjak dan pemain musik.

Selain membentuk perkumpulan lenong, Marong mendirikan sanggar kesenian yang baru terbentuk tahun 2014. Sanggar ini dibentuk oleh Bapak Marong dengan tujuan untuk mencari penerus kesenian Betawi. Berikut adalah jawaban dari Bapak Marong ketika penulis menanyakan tujuan mendirikan sanggar kesenian Betawi:

“Tujuan saya ya buat nyari penerus Neng, Kesenian Betawi gak akan punah kalau ada penerusnya, lenong sampai sekarang masih 58

ada ya itu karna ada penerusnya. Cukuplah ubrug, jinong, jipeng dan yang lainnya punah karna tidak ada penerusnya. Jangan sampai ada lagi kesenian Betawi yang punah. Kasian cucu Eneng, nanti tau kesenian Betawi cuma dari cerita aja”.10 c. Posisi Teater Lenong Betawi dalam Masyarakat Betawi Setempat

“Keberadaan kesenian Betawi yang merupakan kesenian tuan rumah di DKI Jakarta, mempunyai berbagai keanekaragaman, karena paling tidak terdapat 72 jenis, kesenian Betawi dari seluruh disiplin seni termasuk ragam hias yang pernah dan masih berkembang di DKI Jakarta”.11 Keanekaragaman kesenian Betawi yang sering tampil di masyarakat wilayah Ciater Tangerang Selatan adalah lenong, , samrah, ubrug, jipeng, jinong, wayang (Sumedar, Senggol dan ).12 Seni pertunjukan inilah yang sering dinikmati masyarakat Ciater, Tangerang Selatan Keempat kesenian terakhir yang disebutkan di atas telah dinyatakan hilang oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta (2002).13 Penulis akan menjelaskan keempat kesenian-kesenian yang hilang guna memberikan gambaran dan mengingatkan kembali bentuk dari kesenian- kesenian yang pernah menjadi tontonan masyarakat Ciater khususnya.

Pertama, kesenian ubrug kesenian ini sudah dikenal rakyat Betawi pada awal abad ke-20 dengan masa keemasan tahun 1930-an. Ubrug berasal dari daerah Banten Selatan. Untuk membedakan dengan ubrug lain, di Betawi menjadi ubrug Betawi. Ubrug adalah teater rakyat yang melakukan pentas di tanah lapang. Ubrug berpentas ngamen keliling kampung. Dahulu ubrug menjadi suguhan tontonan yang popular. Jika masyarakat mendengar tabuhan musik ubrug, mereka segera keluar rumah

10 Hasil Wawancara dengan Bapak Marong, Jumat, 19 September 20 14 11 Budiaman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000), hlm. 18 12 Hasil Wawancara dengan Bapak Marong, Jumat, 19 September 20 14 13 Ridwan Saidi, Maman S. Mahayana, Yahya Andi Saputra, Rizal SS, Ragam Budaya Betawi Pendidikan Mulok Untuk Kelas 6 SD, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2002), Hlm. 26 59

memastikan di tanah lapang mana ubrug akan melakukan pertunjukan. Ubrug mengumpulkan penonton dengan cara berkeliling kampung mencari tempat pentas.

Sepanjang perjalanan keliling, musik ubrug (terompet, rebana biang, gendang dan lanter) tidak henti dimainkan. Suara musik pengiring ubrug itu akan menarik perhatian masyarakat untuk datang menonton. Pementasan ubrug tidak lain dari menunjukan sulap yang dilengkapi peran pendek penuh banyolan (lawakan). Gerak sulap didasarkan pada keahlian tangan dan ilmu gaib. Sulap yang didasarkan ilmu gaib di sebut sulap gedebus. ubrug tidak mementingkan alur cerita yang terpenting banyolan- banyolannya yang tetap menghibur. Walaupun begitu kritik sosial dan sindiran tetap diselipkan di antara banyolan itu. ubrug kini sudah punah, tidak ada tokoh yang mencoba menghidupkan kembali.

Kedua jipeng, ada seniman kreatif yang mencoba menggabungkan dua jenis kesenian menjadi satu. Sebagai contoh kesenian yang disebut Jipeng. Jipeng adalah singkatan dari kata tanji dan topeng. Sebagai kesenian perpaduan, tata cara pertunjukan Jipeng tidak berbeda dengan tata cara pertunjukan topeng. Perbedaanya terletak pada awal pertunjukan dan kostum.

Kostum yang digunakan pemain Jipeng lebih sederhana. Untuk penarinya, Jipeng cukup memakai kebaya, kain panjang dan selendang panjang yang diikatkan ke pinggang. Topeng diawali dengan lagu arang- arangan atau enjot-enjotan. Jipeng diawali dengan lagu-lagu khas tanjidor. Lagu-lagu Jipeng antara lain Kramton, Bataliyon, dan Was Katak. Tema dan cerita yang dibawakan Jipeng tidak banyak berbeda dengan topeng. Cerita berkisar pada kebaikan dan kebenaran pasti mengalahkan kejahatan, dalam pertunjukan Jipeng sering ditampilkan tokoh-tokoh ksatria, yang melawan kewenang-wenangan penjajah atau tuan tanah, cerita-cerita legenda seperti Raja Majapahit, Prabu Siliwangi. 60

Ketiga, jinong proses terbentuknya kesenian jinong sama dengan jipeng. Jinong singkatan dari kata tanji dan lenong. Pertunjukan lenong preman dengan iringan musik tanjidor disebut jinong. Jinong, pada masanya berdiri sendiri sebagai teater rakyat. Sama seperti lenong, jinong sering digunakakn untuk memeriahkan hajatan, peran yang ditampilkan dalam pertunjukan seperti Si Jampang, Si Pitung, Si Angkri Jago Pasar Ikan. Biasanya jinong sudah mulai memainkan musiknya pada jam 9 pagi sampai menjelang magrib. Musik ini berfungsi sebagai pemberitahuan aka nada pertunjukan jinong. Pertunjukan jinong dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama penyajian musik dan nyanyian, tahap kedua penyajian musik dan tarian, tahap ketiga penyajian peran.

Keempat, wayang (sumedar, senggol, si ronda) penggunaan kata wayang dalam wayang sumedar, wayang senggol dan wayang si ronda, tidak mengacu pada arti yang sebenarnya. Wayang disini berarti sama dengan teater rakyat. Ketiga wayang yang disebutkan terdahulu sebenarnya bentuk lain dari lenong, hanya saja wayang sumedar dan wayang senggol ini cenderung seperti lenong denes sedangkan si ronda menyerupai lenong preman.

Wayang sumedar pernah popular sebelum perang dunia ke-2. Wayang sumedar biasanya membawakan peran komedi bangsawan. Peran yang sering dibawakan antara lain: Jula Juli Bintang Tujuh, Saiful Muluk dan Indra Bangsawan. Wayang senggol pada tahun 1930-an pernah menjadi tontonan yang sangat dinanti-nantikan. Wayang senggol mirip dengan lenong denes terlihat dari cerita dan teknik perkelahian.

Wayang senggol membawakan cerita-cerita panji, seperti: Candakirana dan Jaka Sembung. Gerak dan perkelahian dalam wayang senggol lebih memperlihatkan gerak tari, tentu kontak badan terjadi dengan senggol-senggolan. Adegan action dilakukan dengan senggol- enggolan maka orang lebih mengenal dengan wayang senggol. Wayang 61

ronda lebih menyerupai lenong preman. Perbedaan paling menonjol terletak pada tempat pertunjukan.

Wayang si ronda melakukan pertunjukan di atas tanah. Sedangkan lenong mengadakan pertunjukan di atas panggung. Dalam pertunjukan wayang si ronda menampilakn peran sehari-hari seperti peran jagoan, yang dilengkapi dengan humor dan nyanyian. Keempat kesenian yang telah disebutkan di atas kini sudah tiada hanya sejarah yang mampu mengenangnya karena tidak ada generasi yang mengembangkan. Teater rakyat betawi mempunyai kegunaan sebagai alat hiburan dan pendidikan. Teater itu dapat hilang jika masyarakatnya sudah tidak membutuhkannya lagi. Berbeda dengan teater lenong meskipun sulit upaya untuk menggiatkannya kembali, namun para pecinta lenong di Ciater masih memiliki semangat untuk membangkitkan kembali teater lenong yang dahulunya sempat merajai panggung hiburan rakyat di wilayah Tangerang.

Lenong yang sebagai teater rakyat Betawi bagi pendukungnya berfungsi antara lain sebagai media kritik sosial atau alat untuk menyampaikan protes terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Sebagai alat untuk memberi teguran kepada anggota masyarakat yang menyeleweng dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, di samping sebagai sarana hiburan. Teater lenong juga sebagai sarana untuk melepaskan diri sementara dari kenyataan hidup yang penuh ketegangan dan membosankan, ke dunia khayalan yang menyenangkan.

Lenong juga hampir mengalami masa kepunahan tetapi kemudian dimuncukan kembali. Latar belakang di munculkannya lenong kembali setelah mengalami masa-masa sulit pada tahun 1960-an adalah ide Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu (Ali Sadikin) untuk menggalakan Betawi di Jakarta. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang menyebabakan diberikan prioritas pada lenong dalam rangka menggalakan Betawi dalam proyek yang dinamakan: Penggalian dan Pelestarian 62

Kesenian Betawi. Pertama, lenong adalah salah satu kesenian Betawi yang tersebar luas di seluruh wilayah Jabotabek. Kedua, Lenong cukup popular di antara orang Betawi dibandingkan dengan kesenian Betawi lainnya di Jakarta. Ketiga, Soemantri, salah seorang promotor dalam menghidupkan kembali lenong di Jakarta telah memberikan perhatian yang amat besar pada lenong sejak tahun 1960-an.14

Ia adalah salah satu seorang bukan Betawi yang amat prihatin akan kematian lenong dibawah pengaruh kebudayaan yang melanda negeri ini. Oleh karena itu, ia memulai usaha kerjanya dalam rangka menyelamatkan lenong dengan menggunakan dana dari uangnya sendiri, dengan melakukan penelitian dari satu kampong ke kampong lainnya di seluruh Jabotabek. Dengan empat bulan ia berhasil mengumpulkan sejumlah besar data mengenai teater lenong. Dari data yang diperoleh menunjukan bahwa lenong mempunyai kompetensi komunikasi yang sangat besar bukan hanya dengan orang Betawi tetapi juga dengan non Betawi. Sayangnya, ambisinya terhalang oleh masalah keuangan. Tetapi, akhirnya keinginan bertemu dengan kebijaksanaan pemerintah pada akhir tahun 1967, bersama Dinas Kebudayaan, Soemantri memulai proyeknya dalam menangani penyelamatan teater rakyat Betawi ini.

Soemantri menuangkan ide-idenya ini ke dalam proposal dan tim penelitian lenong segera dibentuk dengan tenaga intinya adalah Soemantri dan Djajakususma, dan dua orang Betawi S.M. Ardan dan Ali Shahan. Keduanya berasal dari Kwitang, salah satu daerah Betawi Tengah (Jakarta Kota). S.M Ardan adalah seorang penulis yang tinggal di daerah Rawabelong, daerah Betawi udik. Tim inilah yang kemudian berhasil mengangkat lenong ke tempat terhormat dan dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan berimplikasi terhadap komunitas-komunitas Betawi di daerah pinggiran Jakarta dan juga daerah perbatasan Jakarta.

14 H. Widjaya (Peny) Seni Budaya Betawi, Pralokakarya, Penggalian, Dan Pengembangan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), Hlm. 41 63

d. Organisasi Teater Lenong Marong Group 1) Pimpinan

Dalam struktur organisasi perkumpulan teater lenong dikenal adanya pimpinan tertinggi yang bertindak pula sebagai ketua umum, di samping pemimpin-pemimpin lainnya seperti pimpinan panggung atau sutradara. Pimpinan perkumpulan teater lenong bertanggung jawab terhadap perkumpulan dan anggota-anggotanya, baik pada waktu sedang diadakan pertunjukan maupun bila sedang tidak ada pertunjukan.

Sedapat mungkin pimpinan juga diharapkan untuk membantu kesejahteraan anggota keluarganya, misalnya memberikan hadiah-hadiah pada hari raya Idul Fitri yang biasa disebut Tunjangan Hari Raya atau menolong dalam hal meringankan biaya anggota keluarganya yang sakit atau terkena musibah. Sebenarnya ada beberapa syarat yang tidak tertulis agar seseorang dapat menjadi pimpinan pada perkumpulan teater lenong.

Pertama, sebaiknya seorang pemimpin teater lenong mempunyai warisan memimpin, yaitu bakat memimpin yang biasanya diperoleh karena ia adalah keturunan pemimpin suatu kesenian tradisional (Betawi), khususnya perkumpulan teater lenong. Kedua, seorang peimimpin juga harus jujur terhadap para anggota perkumpulan yang dipimpinnya, terutama dalam hal keuangan. Hal ini disebabkan keuangan perkumpulan dipegang oleh pimpinan perkumpulan. Meskipun demikian, seorang pemimpin tidak boleh mengambil bagian terlalu besar bagi dirinya, tetapi juga jangan mengambil terlalu kecil.

Bagian yang terlalu besar akan menurunkan wibawa karena menimbulkan kesan serakah dan jatah kecil juga akan menurunkan wibawa karena jatah kecil menunjukan bahwa pimpinan lebih kecil daripada anggota yang dipimpinnya. Tidak adanya rumus yang menetapkan berapa persen jatah yang sebaiknya diambil oleh seorang pimpinan teater lenong, justru memperlihatkan sifat kepemimpinannya. 64

Ketiga, seorang pemimpin perkumpulan teater lenong juga harus mempunyai tanggung jawab terhadap seni. Misalnya, seorang pemimpin perkumpulan yang baik tidak akan menolak permintaan kalau diminta untuk mengadakan pertunjukan di sebuah panti asuhan yang ingin menghibur anak-anak asuhannya. Mengadakan pertunjukan di panti asuhan memang tidak membawa keuntungan, tetapi pemimpin yang bertanggung jawab tidak akan menolaknya.

Syarat-syarat tersebut di atas apabila dipenuhi dapat membuat seseorang menjadi pemimpin perkumpulan teater lenong yang baik. Setelah diteliti, ternyata Bapak Marong dapat dikatakan pemimpin perkumpulan lenong yang baik. Pernyataan ini diperkuat oleh para anggota yang diwawancarai oleh penulis yang menanyakan bagaimana sosok Bapak Marong yang mereka biasa panggil Ayah Marong.

“Ayah Marong merupakan sosok pemimpin yang bisa kita pegang, bisa di teladani lah istilahnya. Kalo ada anggotanya yang salah pasti dinasehatinnya gak di depan orang banyak. Masalah keuangan dia mah terbuka, gak ada yang ditutup-tutupin. Ayah marong juga sosok yang tegas nah makanya anggotanya pada disiplin”.15 2) Keanggotaan

Semua seniman yang aktif dalam pertunjukan teater lenong adalah anggota dari suatu perkumpulan teater lenong. Pada masa lalu pemain lenong biasa disebut dengan panjak. Panjak adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang aktif dalam kegiatan seni. Dengan demikian, orang mengenal misalnya panjak topeng, panjak tanji, dan panjak teater lenong.

Ada dua bentuk panjak dalam perkumpulan teater lenong, yaitu seniman yang menjadi anggota tetap perkumpulan dan seniman yang menjadi anggota tidak tetap. Baik panjak yang menjadi anggota tetap

15 Hasil wawancara dengan salah satu aggota pemain lenong Marong yaitu Bapak Ongkih. Kamis, 13 November 2014 65

maupun yang tidak menjadi anggota tetap, keduanya dapat bekerja sama untuk menyelenggarakan suatu pertunujukan. Suatu perkumpulan teater lenong mempunyai anggota tetap yang tidak dapat ditentukan tetapi biasanya 25 sampai 40 orang. Perkumpulan teater lenong Marong mempunyai anggota tetap sebanyak 35 orang.

Anggota tetap perkumpulan teater lenong adalah mereka yang mengutamakan kegiatan dimana ia menjadi anggota tetapnya. Seorang anggota tetap dilarang turut aktif untuk mengadakan pertunjukan pada perkumpulan lain apabila perkumpulan di mana ia menjadi anggota tetapnya sedang mengadakan pertunjukan. Anggota tidak tetap biasanya disebut sebagai panjak bonan, karena mereka akan mengadakan pertunjukan setelah di-bon yaitu ikut main dalam suatu perkumpulan karena pesanan atau diajak teman-teman.

Panjak teater lenong yang sudah memiliki nama sering di-bon oleh perkumpulan lenong, baik itu atas permintaan pemilik hajat yang ingin pesta hajatnya kelihatan lebih semarak dengan tampilan tokoh-tokoh teater lenong itu, maupun atas permintaan ketua perkumpulan yang ingin perkumpulannya mendapat nama tampilnya tokoh-tokoh tersebut. Panjak bonan, biasanya menerima upah yang lebih banyak dari pada panjak tetap.

Hak yang diperoleh kedua jenis panjak tersebut di atas, berbeda- beda. Seorang panjak anggota tetap akan mendapat bantuan moril dan materil dari ketua atau teman-teman sekumpulannya. Kemudahan seperti itu tidak akan diterima oleh panjak yang aktif sewaktu-waktu saja. Anggota tetap juga wajib menjaga kelangsungan hidup perkumpulannya antara lain dengan mengikutsertakan suara mereka di dalam rapat anggota yang diadakan sekali waktu, dan ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak menjadi anggota tetap.

Ada dua alasan pokok yang menyebabkan seseorang terikat untuk menjadi anggota tetap suatu perkumpulan teater lenong, yaitu kebutuhan 66

ekonomi dan kekerabatan. Dengan menjadi anggota tetap, seorang panjak teater akan lebih mudah memperoleh pinjaman uang yang sewaktu-waktu diperlukannya, karena hutang dapat dibayar dengan memotong upah yang diterima karena ia aktif mengadakan pertunjukan.

Selain itu, menjadi anggota tetap suatu perkumpulan tetaer lenong sering juga disebabkan pimpinan perkumpulan masih kerabatnya; orang tua, suami, istri, paman, keponakan, dan sebagainya. Seperti halnya Rudi salah satu anggota tetap perkumpulan Teater lenong Marong yang merupakan keponakan dari Bapak Marong.

Walau menjadi anggota tetap, Bapak Marong membebaskan anggotanya untuk mengikuti perkumpulan lenong lain namun harus mengutamakan perkumpulan lenong Marong. Oleh karena itu, Beberapa dari mereka ada yang menjadi pemain di perkumpulan lenong lain dan ada juga yang bekerja di luar lingkup kesenian Betawi. Berikut daftar anggota perkumpulan lenong Marong dan mata pencarian para anggota selain main lenong di Marong Group.

Tabel 4.4

Daftar anggota perkumpulan teater lenong Marong Group

No. Nama Umur Jabatan Jabatan Mata pencarian dalam dalam diluar main lenong Perkumpulan kesenian

1. Marong 56 th Pimpinan Pemain/ bodor Siaran di radio utama pribumi 2. Ustadz Ita 60 th Penasehat Pemain/sutradara Ceramah

3. Ishak 60 th Pelindung Pemain - 67

4. Diki 42 th Penanggung Pemain Polisi Jawab 5. Madi 52 th Anggota Pemain/bodor Main lenong di utama perkumpulan lain 6. Robert 58 th Anggota Pemain/bodor - 7. Katong 53 th Anggota Pemain/bodor Main lenong di perkumpulan lain 8. Adnani 53 th Anggota Juru Gambang Tukang service 9. Agus 42 th Anggota Juru Gendang Main musik di dangdut 10. Dono 49 th Anggota Juru Kecrek Kuli bangunan 11. Mursan 39 th Anggota Juru kemong - 12. Aca 48 th Anggota Juru tehyan Petani 14. Marup 43 th Anggota Juru gong Petani 15. Tata 40 th Anggota Pemain Pelatih silat 16. Ongkih 37 th Anggota MC/Pemain MC dangdut/main lenong di perkumpulan lain/ Siaran di radio pribumi 17. Pingku 49 th Anggota Pemain Calo 18. Bule 36 th Anggota Pemain Tukang ojek 19. RT Ateng 53 th Anggota Pemain - 20. Ihak 44 th Anggota Pemain main lenong di perkumpulan lain 21. Rudi 37 th Anggota Pemain Satpam, main lenong di perkumpulan lain 22. Maceng 49 th Anggota Pemain Palang pintu/ main lenong di 68

perkumpulan lain 23. Ade 24 th Anggota Pemain/Penyanyi Wiraswasta 24. Yani 35 th Anggota Pemain/Penyanyi Wiraswasta 25. Heni 28 th Anggota Penyanyi Penyanyi dangdut 26. Anday 27 th Anggota Penyanyi Penyanyi dangdut 27. Dini 18 th Anggota Penyanyi Sekolah 28. Ayu 22 th Anggota Pemain/Penyanyi Karyawan 29. Tania 17 th Anggota Penyanyi Sekolah 31. Een 40 th Anggota Penyanyi Wiraswasta 32. Wanda 42 th Anggota Pemain Tukang service 33. Ati 40 th Anggota Pemain Wiraswasta

3) Keuangan

Seperti telah disebutkan sebelumnya, ketua perkumpulan teater lenong adalah juga pemilik perabot teater lenong. Perabot teater lenong yang merupakan modal suatu perkumpulan teater lenong, dapat diperoleh dengan berbagai cara. Perabotan dapat diperoleh baik dengan cara dibeli maupun dengan cara diwariskan dari generasi terdahulu, perabotan yang dimiliki oleh Marong Group diperoleh dengan cara dibeli. Pembelian perabot teater lenong diharapkan oleh Marong dapat mendatangkan penghasilan bagi perkumpulan yang didirikan, dan dalam kenyataannya memang keuangan perkumpulan teater lenong diperoleh dari hasil pertunjukan.

Perkumpulan teater lenong Marong tidak memiliki harga pasti untuk suatu pertunjukan yang diselenggarakan. Karena harga yang ditetapkan juga dipengaruhi oleh hubungan antara pihak penyelenggara hajat dengan pimpinan perkumpulan dan tempat pertunjukan itu dilakukan. Misalnya, jika pihak penyelenggara hajat masih kerabat atau kenalan pemilik perabot teater lenong Marong, maka harga akan lebih 69

murah dibandingkan bila si pihak penyelenggara hajat tidak mempunyai hubungan sosial dengan pemimpin teater lenong Marong.

Pertimbangan harga yang telah disebutkan itu masih dipengaruhi oleh tempat pertunjukan. Jika pertunjukan diadakan di wilayah Ciater dan sekitarnya, harga pertunjukan menjadi lebih murah bila dibandingkan dengan petunjukan yang diselenggarkan di luar daereah Ciater dan sekitarnya. Untuk penyelenggara hajat yang tidak mempunyai hubungan sosial dengan pimpinan teater lenong dan tempat pertunjukan bukan di wilayah Ciater maka dikenakan tarif Rp. 30.000.000,00.

Dari tarif pertunjukan yang telah disepakati, biasanya perkumpulan teater lenong Marong tidak menerima seluruh jumlah uang yang telah disepakati itu, karena uang yang diterima masih harus diberikan pada perantara yang menghubungkan perkumpulan teater lenong dengan orang yang mempunyai hajat. Para perantara disebut calo biasanya paling sedikit mendapat dua setengah persen dari harga jadi. Hal tersebut merupakan salah satu faktor suatu perkumpulan lenong dapat mengalami kerugian kerugian.

Selain itu, kerugian dapat dialami karena pertunjukan dilakukan di wilayah sendiri, atau karena penyelenggara hajat adalah kenalan atau kerabat. Perkumpulan teater lenong Marong ini pun tidak mempunyai organisasi yang baik, tidak ada administrasi pembukuan sama sekali, panjak yang mengadakan pertunjukan kebanyakan bukan anggota tetap, sehingga tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu berapa kira-kira biaya yang akan dikeluarkan untuk memberi upah panjak. Selain itu, cara membayar pajak yang diterapkan oleh perkumpulan ini, juga memegang andil yang cukup besar bagi kerugian yang dialami perkumpulan.

70

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Peran Teater Lenong Marong Sebagai Arena Pembentukan Identitas Kultural Masyarakat Betawi

a. Pembentukan Identitas Kultural Betawi

Hal yang ingin ditegaskan di dalam penelitian ini adalah selama ini masyarakat Betawi pada umumnya mengalami krisis identitas Betawi sehingga memerlukan penegasan kembali tentang identitasnya. Termasuk masyarakat Betawi yang ada di lingkungan masyarakat Tangerang, khususnya Ciater.

Selama ini masyarakat Betawi yang ada di lingkungan Ciater hampir melupakan identitas sebagai masyarakat Betawi yang berbudaya. Tingginya tingkat migrasi dari berbagai latar belakang etnis menyebabkan munculnya krisis identitas etnis. Disaat proses migrasi inilah turut menyurutkan tradisi dan kesenian tradisional masyarakat Betawi. Dengan adanya fenomena tersebut pemuda Betawi tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk mempertegas identitas Betawi agar budaya Betawi terus terjaga. Perkumpulan teater lenong Marong Group salah satu perkumpulan yang berupaya untuk pembentukan identitas Betawi.

Menurut Bapak Marong selaku pimpinan teater lenong Marong Group, peran teater lenongnya dalam membentuk identitas Betawi yaitu dengan cara menampilkan bahwa orang Betawi adalah orang yang cinta Islam. Tujuan bapak Marong menampilkan unsur Islam di pementasannya yaitu untuk anak-anak yang tidak diajarkan oleh orangtuanya tentang Islam. Kedua yaitu dengan menggunakan bahasa Betawi. Para pemain lenong Marong Group diwajibkan menggunakan bahasa Betawi saat berbicara di panggung. Selain dengan menjunjung tinggi agama Islam dan bahasa Betawi, lenong Marong juga 71

menampilkan beberapa gerakan silat. Bahkan hampir seluruh pemain teater lenong Marong Group menguasai jurus-jurus silat Betawi.

“Paling utama ya nunjukin kalo Betawi itu orang Islam, di dalam cerita dimasukin unsur-unsur Islam. Tujuannya sih ya buat bocah-bocah yang dirumahnya orangtuanya kaga peduli, banyak bener sekarang yang kaya begitu. Orangtuanya sibuk nyari duit anak kaga diperhatiin. Makanya sekarang jarang bener bocah kalo abis magrib pada ngaji di mushola. Nah selain buat bocah juga ya buat pemuda Betawi yang sekarang mulai pada demen minum-minum yang kaga bener, dicerita kita nampilin kalo Islam itu kaga ngebolehin minum begituan terus dampaknya gimana juga ada di cerita. Selaen dengan nunjukin kalo Betawi itu cinta Islam, lenong Marong juga nunjukinnya dengan bahasa, kita nunjukin bahasa Betawi itu kaya gimana. Nah lenong saya ini juga mamerin ke penonton yang bukan orang Betawi kalo orang Betawi ntuh pade jago silat. Sambil silat sambil nunjukin golok dah”.16 Menurut Bapak Ita atau yang biasa dipanggil Ustadz Ita peran teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi ini dengan cara para pemain menggunakan pakaian khas Betawi. Selain itu, menurutnya di dalam teater lenong Marong sangat menjunjung agama Islam. Beliau juga menjelaskan bahwa selain menampilkan lawakan, lenong Marong Group juga menampilkan tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi. Semua upaya tersebut dirasa cukup mampu untuk pembentukan identitas Betawi.

Banyak ya sebenernya, misalnya kaya pemaen make baju khas Betawi. Selain itu, di dalem teater lenong Marong juga sangat menjunjung agama Islam. kalo giliran yang cerita-cerita Islam, saya dah yang keluar. Bisa dikata mah ceramah sambil ngelawak gitu. Disini tuh selaen nampilin lawakan, lenong Marong Group juga nampilin tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi. 17 Menurut Bapak Agus yang mulai ikut perkumpulan teater lenong Marong Group sekitar 2 tahun lalu upaya yang dilakukan lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi adalah

16 Wawancara dengan Bapak Marong pada tanggal 19 September 20 14 17 Wawancara dengan Bapak Ita pada tanggal 23 November 2014 72

dengan cara menampilkan alat musik gambang kromong. Menurutnya masih banyak orang Betawi asli yang tidak tahu nama-nama alat musik gambang kromong. Beliau menjelaskan macam-macam alat musik yang biasa digunakan dalam teater lenong Marong, yaitu: Tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang. Menurutnya lenong dan gambang kromong adalah dua kesenian yang tidak dapat dipisahkan.

Yaa dengan cara nampilin alat musik gambang kromong secara lengkap. Gambang kromong kan alat musik Betawi. Kan banyak yang kaga tau kalo gambang kromong punya Betawi. Banyak juga yang kaga tau gambang kromong itu alat musiknya macem-macem, ada tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang. Lenong itu sama gambang kromong dua kesenian yang gak bisa dipisahin.18 Menurut bu Ati, upaya yang dilakukan lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yang beliau sangat setuju yaitu memasukan unsur-unsur Islam didalam cerita yang dibawakan. Beliau menambahkan didalam lenong Marong Group mencoba menampilkan orang Betawi memiliki sifat yang terbuka dan jujur. Selain itu juga didalam cerita selalu diselipkan beberapa pantun Betawi.

Yang paling saya setuju sih cara marong nyelipin unsur-unsur Islam. Supaya bocah-bocah yang masih muda yang orangtuanya ga ngajarin jadi tau ajaran Islam kaya gimana. Marong juga disini kaya semacem ngasih tau kalo orang Betawi tuh orangnya jujur, gak ada yang ditutupin. Kalo ga demen ama sifat orang yaa langsung bilang gitu.19 Menurut bapak Katong, upaya yang dilakukan lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan cara menampilkan identitas Betawi itu dengan karakter yang diperankan oleh para panjak. Karakter-karakter yang ditampilkan mewakili orang Betawi seperti apa. Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur.

18 Wawancara dengan Bapak Agus pada tanggal 23 November 2014 19 Wawancara dengan Ibu Ati pada tanggal 23 November 2014 73

Beliau menambahkan bahwa silat juga ditampilkan di setiap para panjak memperkenalkan diri ke penonton.

Lenong Marong nunjukin ke orang-orang identitas kebudayaan Betawi itu dengan karakter yang dimaenin sama panjak. Karakter itu ngewakilin orang Betawi tuh kaya gimana. Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur. Silat juga ditampilin mulu tiap para jago keluar. Selaen ntuh ya nunjukin juga baju khas punye Betawi kaya gimane.20 Menurut panjak termuda yaitu Dini upaya yang dilakukan lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan mengalunkan gambang kromong di setiap pementasan. Selain itu juga menurutnya penggunaan bahasa , pantun, dan pakaian khas Betawi merupakan upaya yang dilakukan teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas budaya Betawi. “Banyak. nih ya misalnya sebelum lenong main itu musik gambang ngalun terus, terus bahasa sama baju”.21

Menurut bapak ongkih, upaya teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan menampilkan gambang kromong yang merupakan alat musik Betawi. Serta dengan busana khas yang dipakai oleh para pemain. Selain itu ceritayang dimainkan kental dengan agama dirasa beliau sangat menunjukan identitas Betawi.

Wah banyak, misalnya dengan nampilin gambang kromong yang merupakan alat musik Betawi, dibarengin ame lagu-lagu khas Betawi. Misalnya tuh kaya jali-jali, ondel-ondel, sang bango, kicir-kicir ama yang laennya dah. Terus dengan baju yang dipake pemain, pemaen kan kalo nampil pada pake baju khas Betawi nah terakhir tuh maenin cerita-cerita yang kentel agama.22 Bapak Maceng rupanya sependapat dengan Bapak Ongkih, “Setuju sama ongkih, tapi saya tambahin yaa dikit. Group Marong

20 Wawancara dengan Bapak Katong pada tanggal 23 November 2014 21 Wawancara dengan Dini pada tanggal 23 November 2014 22 Wawancara dengan Bapak Ongkih pada tanggal 13 November 20 14 74

nunjukin identitas Betawi itu kalo lagi manggung wajib buat pemaen ngomong pake bahasa Betawi. Yaa itu mah ga susah dah, emang udah kebiasaan kita”.23

Menurut bapak Robert, upaya teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan cara mewajibkan pemain berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Betawi. Para pemain memakai busana khas Betawi lengkap dengan golok di pinggang. Selain itu, dalam pementasan selalu menampilkan keahlian silat para pemain. Menurutnya main lenong kalau tidak bisa silat bahaya, karena golok yang dipakai adalah golok asli.

Caranya itu kalo lagi manggung pemaen wajib ngomong pake bahasa Betawi, terus pemaen pake baju khas Betawi lengkap dengan golok di pinggang. Selain itu juga nampilin keahlian silat jadinya orang pada tau kalo orang Betawi itu jago silat. Maen lenong kalo gak bisa silat bahaya, golok yang dipake kan golok beneran kalo gak bisa silat bisa pala kebelah.24 Terakhir menurut bapak Rudi atau biasa dipanggil Jambrong. Menurutnya upaya teater lenong Marong Group dalam pembentukan identitas Betawi yaitu dengan cara menampilkan busana-busana khas Betawi yang dipakai oleh pemain serta senjata-senjata khas milik masyarakat Betawi. “Kalo lenong Marong sih nunjukin identitas betawinya dengan nampilin busana- busana khas Betawi sama senjata-senjata khasnya”.25

Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan peran teater lenong Marong Group dalam pembentukan Identitas Betawi yaitu pertama, dengan menunjukan kalau orang Betawi adalah orang Islam, orang Betawi adalah orang yang cinta islam. Hal ini sejalan dengan pengamatan yang peneliti lakukan, peneliti melihat Islam dijadikan sebagai simbol pemersatu untuk merekat elemen masyarakat Betawi, selain itu, tradisi dan kebudayaan yang dikembangkan komunitas etnis

23 Wawancara dengan Bapak Maceng pada tanggal 13 November 20 14 24 Wawancara dengan Bapak Robert pada tanggal 23 November 2014 25 Wawancara dengan Bapak Rudi pada tanggal 26 Oktober 20 14 75

Betawi selalu didasari atas nilai-nilai keislaman. Sehingga banyak orang menilai, masyarakat Betawi adalah masyarakat yang religius.

Kedua, lenong Marong Group menggunakan bahasa Betawi di setiap pementasannya. Hal ini dirasa sangat perlu dalam pembentukan identitas suatu budaya. Seperti yang dikatakan oleh Burke, menurutnya “untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa”.26 Krisis identitas seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat Betawi merasa bangga dengan identitas bahasa dan budaya yang dimiliki, Karena bahasa Betawi yang sederhana, akrab,dan egaliter berpengaruh di seluruh antero Indonesia. Bahasa Betawi yang sering dipergunakan dalam sinetron, dan tayangan lainnya di media elektronik, dijadikan sebagai bahasa gaul sehari-hari masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak muda. Mereka sangat terbiasa dengan gaya bahasa dan logat Betawi.

Ketiga, para pemain memakai pakaian khas Betawi. Para pemain laki-laki yang sudah tua memakai ujung serong. Pakaian ini berupa setelan jas tutup warna gelap, celana pantolan, dan dilengkapi kain batik yang dikenakan di sekitar pinggang dan ujungnya serong di atas lutut. Untuk laki-laki yang masih muda menggenakan baju koko atau disebut juga sadariah dengan celana batik, peci, dan kain pelekat. Kain pelekat ini bentuknya seperti selendang yang ditempatkan sebelah pundak atau diselempengkan pada leher. Untuk wanita yang berusia lanjut menggenakan kebaya panjang Nyak berwarna gelap. Sedangkan untuk yang masih muda menggenakan warna terang. Sebagaimana ditegaskan John Berger dalam karyanya Signs in Contemporary Culture, “Pakaian kita, model rambut, dan seterusnya

26 Alo Liliwei M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 72 76

adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas kita”27

Keempat, perkumpulan teater lenong Marong Group dalam pementasannya menampilkan senjata tradisional Betawi. Senjata tradisional Betawi yang digunakan dalam pementasan teater lenong Marong Group adalah golok. Ada banyak macam-macam golok yang digunakan dalam pementasan, diantaranya adalah: Golok si Betok, golok cangkringan, dan golok sorean.

Kelima dan keenam yaitu memasukan kesenian-kesenian Betawi lainnya seperti silat, gambang kromong, lagu-lagu Betawi, dan tarian Betawi. Silat yang sering ditampilkan dalam pementasan yaitu silat beksi dan dapat dipastikan bahwa seluruh pemain teater lenong Marong laki-laki menguasai jurus silat beksi. Peralatan gambang kromong yang dimiliki oleh perkumpulan inipun lengkap, yaitu: Tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang.

Jika kita melihat tujuh unsur kebudayan menurut Koentjaraningrat, upaya-upaya yang dilakukan oleh perkumpulan teater lenong Marong dapat dikatakan cukup mewakili kebudayaan Betawi. Menurut Koentjaraningrat unsur kebudayaan yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.28 Dalam setiap pementasan, teater lenong Marong selalu menggunakan bahasa Betawi dalam berkomunikasi, sistem pengetahuan tidak terlalu ditampilkan dalam pementasan, organisasi sosial ditampilkan dengan cara menunjukan kekerabatan diantara para pemain, menampilkan sistem peralatan hidup masyarakat Betawi yaitu golok, sistem mata

27 Idi Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) h. 135 28 Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi, (Jakarta: Fa. Aksara baru, 1983) cet. 4, h. 206 77

pencaharian ditampilkan dengan para pemain yang bekerja di bidang perdagangan dan ada juga yang bertani, sistem religi dalam pementasan yaitu menunjukan bahwa masyarakat Betawi sangat menjunjung tinggi agama Islam, dan terakhir yaitu kesenian, teater lenong sendiri merupakan salah satu kesenian masyarakat Betawi. Di dalam lenong, kesenian-kesenian Betawi lainnya juga ditampilkan seperti silat, gambang kromong, lagu-lagu Betawi, dan tarian Betawi.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teater lenong bisa dijadikan wujud identitas Betawi dan dapat juga disimpulkan bahwa perkumpulan teater lenong Marong Group di Ciater berperan dalam pembentukan Identitas Betawi. Budaya masyarakat Betawi akan terus ada terjaga manakala semua masyarakat Betawi mau memelihara, menjaga, dan mengembangkan terus budaya tersebut. Proses pembelajaran, penjagaan, dan pengembangan budaya Betawi akan sangat tepat apabila dilaksanakan melalui proses pendidikan sejak dini, yaitu saat anak mulai menduduki dunia pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Melalui pendidikanlah citra Betawi yang negatif akan terkikis. Anak-anak akan semakin menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap melalui sekolah dan lingkungan mereka. b. Teater Lenong Marong: Pembentukan Nilai Betawi sebagai Identitas Kultural Masyarakat Betawi

Nilai Betawi ini merupakan gagasan ideal masyarakat Betawi terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, nilai Betawi ini dapat pula dimanfaatkan masyarakat Betawi untuk menghadapi derasnya arus budaya global yang membanjiri masyarakat kota Tangerang melalui berbagai macam media. Sehingga hanya unsur- unsur budaya global yang berguna dan bermanfaat saja yang dapat kita kembangkan dalam kebudayaan. 78

Keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi yang tinggi terhadap kaum pendatang. Keterbukaan ini membuat masyarakat Betawi tidak menutup diri terhadap kemajuan dan perkembangan kebudayaan dunia. Islam tidak hanya dijadikan sebagai sebuah simbol ritual keagamaan, juga telah menjadi identitas diri dan budaya masyarakat Betawi hingga kini. Islam memainkan peranan yang cukup penting di dalam proses pembentukan identitas dan kebudayaan komunitas etnis Betawi.

Dalam usahanya teater lenong Marong berupaya dapat mengangkat citra masyarakat Betawi dengan nilai-nilai Betawi. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa teater lenong adalah seni pertunjukan yang menggambarkan keseharian masyarakat Betawi yang diangkat menjadi tontonan publik. Dengan menepis stereotip etnis Betawi yang cenderung negative dalam pandangan masyarakat di luar etnis Betawi.

Dalam sketsa-sketsa teater lenong, gambaran karakter terlihat pada watak tokoh-tokoh dalam sketsa-sketsa yang tegas pendiriannya terhadap perbuatan curang dan merugikan masyarakat, seperti korupsi. Sementara itu kesabaran tampil dalam ketabahan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam pertunjukan teater lenong dalam menghadapi cobaan hidup, seperti kemiskinan dan kesusahan. Walaupun hidup dalam kesusahan, orang Betawi tidak akan menjual keyakinan mereka. Sesuatu yang telah mereka anut sejak kecil tidak akan pudar begitu saja hanya karena kesusahan atau iming-iming harta-benda.

Karakter-karekater yang dimainkan oleh para panjak menonjolkan nilai-nilai Betawi yang ideal bagi masyarakat Betawi. Selain itu penggambaran watak seorang manusia yang menghargai kejujuran dan keterbukaan juga ditampilkan dalam teater lenong Marong. Kejujuran dan keterbukaan dalam masyarakat Betawi 79

merupakan hal yang sangat esensial dan tampak dalam keseharian mereka, seperti terlihat dalam komunikasi mereka sehari-hari.

Kejujuran masyarakat Betawi ini terlihat menonjol pada pola komunikasi mereka yang apa adanya, hampir jarang ditemui kata-kata untuk memperhalus maksud pembicaran. Hitam dikatakan hitam, putih dikatakan putih, tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Keterbukaan dan kejujuran masyarakat Betawi dalam keseharian ini pun melahirkan sikap orang Betawi humoris. Hal ini mungkin terjadi untuk menghindri pertengkaran karena sikap terbuka dan jujur mereka yang mungkin akan melukai hati orang lain. Dengan humor setidaknya sikap jujur mereka terhadap perbuatan seseorang yang buruk hanya akan ditanggapi main-main atau hanya bercanda oleh orang itu, walaupun maksudnya menyindir perbuatan orang itu. Kelucuan masyarakat Betawi umumnya juga terjadi karena keluguan dan kepolosan sikap mereka terhadap situasi yang mereka hadapi.

Sketsa-sketsa seperti inilah yang kemudian diadopsi dalam pertunjukan lenong Marong yang dilandasi dengan kearifan masyarakat Betawi. Walaupun masyarakat Betawi bersikap terbuka dan bisa dikatakan jika bahasa Betawi itu bersifat egaliter dan tidak memiliki tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa, orang Betawi tetap menghargai orang yang lebih tua. Dalam keseharian, penghormatan terhadap orang yang lebih tua ini dihadirkan dalam sikap untuk memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada orang tua, sebelum yang muda-muda. Dalam bahasa hal ini hadir dalam penyebutan diri mereka dengan tidak memakai kata ganti diri gue, tetapi kata ganti diri saye, aye atau menggunakan nama mereka sendiri.

Terakhir, dalam setiap pertunjukan lenong Betawi, penggambaran orang Betawi digambarkan sebagai orang yang menghormati adat istiadat mereka dan sangat religius. Dalam 80

masyarakat Betawi, adat istiadat mereka jalani secara konsekuen. Hampir seluruh adat istiadat masyarakat Betawi diwarnai oleh agama Islam. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Betawi sangat taat terhadap ajaran yang mereka anut.

Kereligiusan masyarakat Betawi ini tampak dalam adat istiadat mereka yang tidak pernah melepaskan unsur-unsur agama Islam. Bahkan kereligiusan ini pun melahirkan sikap hidup masyarakat Betawi yang jujur dan sangat toleran. Ketoleran inilah yang membuat mereka terbuka terhadap para pendatang. Hal inilah yang membuat para pendatang betah hidup di Tangerang karena keramahan penduduk aslinya.

Teater lenong dijadikan salah satu ajang penanaman nilai-nilai Betawi yang dalam prosesnya nilai tersebut dapat diaktualisasikan melalui pertunjukan teater. Selain itu, teater lenong juga dijadikan sebagai sarana internalisasi nilai-nilai BetawI yang mengarah kepada pembentukan identitas kultural secara utuh.

Para calon peserta didik secara langsung mendapat kesempatan untuk merevitalisasi budaya melalui pertunjukan teater lenong Betawi yang diaktualisasikan melalui karakter-karakter panjak dalam setiap pertunjukannya. Karakter-karaker yang ditampilkan diharapkan mampu menjadi model atau contoh karakter yang sesungguhnya mayarakat Betawi baik dari sisi positif maupun negatifnya. Tidak hanya dalam pementasan di kehidupan sehari-hari perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Betawi juga diterapkan dengan terbuka, lugas dengan ciri khasnya Betawinya.

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa nilai-nilai Betawi merupakan inti yang diaktualisasikan dalam peran-peran atau karakter para panjak teater yang dipentaskan dan dipertunjukan dalam setiap lakon dalam wadah kesenian teater lenong. 81

Jadi, berdasarkan nilai-nilai Betawi yang terlihat pada pertunjukan teater lenong, karakter-karakter yang dimainkan oleh para panjak digambarkan bahwa orang Betawi adalah sosok masyarakat Indonesia yang sangat mencintai negaranya, menghormati orang yang lebih tua, menghargai adat-istiadat, jujur, sabar, berani, humoris, dan religius.

Bisa disimpulkan bahwa orang Betawi adalah orang yang teguh dan taat pada keyakinan, adat istiadat dan agama mereka, bersikap jujur dan menghormati orangtua, sabar dan berani dalam menghadapi tantangan hidup, berwatak humoris dan terbuka terhadap kemajuan, dan sangat teguh menjalankan agama Islam.

1) Nilai Betawi dan Identitas Kultural Betawi

Dalam sejarahnya, budaya Betawi telah mengalami berbagai dan berulang kali proses asimilasi dan adaptasi. Proses yang terjadi pada masa lampau tersebut membuktikan bahwa masyarakat Betawi mampu menyaring dan menyesuaikan unsur-unsur budaya lain itu ke dalam kehidupan mereka dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok, serta tidak terlihat dipaksakan. Itu semua bisa dilakukan karena masyarakat Betawi memiliki identitas budaya yang kuat, yang mampu beradaptasi dengan budaya baru tanpa meninggalkan akar tradisi mereka. Akan tetapi, jika melihat situasi Tangerang saat ini, kita akan melihat sebuah fenomena dari budaya baru, yaitu budaya kota atau metropoloitan.

Budaya kota sebagai hasil industrialisme ini biasanya disebut budaya popular. Budaya popular yang terlihat dalam segi kehidupan masyarakat Tangerang, tidak hanya terlihat dalam musik, lagu, film, novel, tetapi bisa juga dalam wujud penampilan, dan gaya hidup. Kebudayaan jenis ini sering kali dipersepsikan sebagai atribut modernitas oleh sekelompok masyarakat tertentu. 82

Musik barat dianggap modern sedangkan gambang kromong atau keroncong dianggap tradisional.

Di sinilah diperlukan pemantapan identitas atau jati diri masyarakat Betawi dengan kembali menengok nilai-nilai tradisi yang bahkan mungkin lebih baik daripada nilai-nilai yang dibawa oleh arus budaya baru tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi krisis identitas kultural pada masyarakat Tangerang di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pemupukan nilai-nilai Betawi yang merupakan penggambaran yang khas terhadap identitas budaya masyarakat Betawi perlu diingatkan, agar masyarakat Betawi bisa tetap memiliki dan mengenal identitas budaya mereka sendiri.

Ada beberapa hal yang menyebabkan nilai-nilai Betawi dapat dikembangkan untuk memperkuat identitas kultural masyarakat Betawi. Pertama, karena budaya Betawi dengan nilai- nilainya ini merupakan budaya yang lahir karena proses asimilasi yang cukup lama dan beberapa kali terjadi dengan berbagai macam budaya masyarakat pendatang, tetapi tetap bisa ditampilkan dalam keseharian masyarakat pendukungnya. Kedua, karena fakta yang menunjukan bahwa budaya Betawi dapat diterima banyak kalangan dan lapisan apapun di masyarakat kita, hal ini bisa dilihat dengan banyakanya stasiun televisi yang menayangkan sinetron-sinetron yang berlatar budaya Betawi.

Dalam hal ini, seperti yang telah dilakukan oleh Marong dalam perkumpulan teater lenong pimpinannya, nilai-nilai Betawi ini merupakan sebuah identitas masyarakat Betawi yang hingga kini masih kukuh dipertahankan para pendukung budaya tersebut. Akan tetapi, masih ada satu hal lagi yang diperlukan agar nilai- 83

nilai Betawi ini tidak pudar dan tetap dipegang masyarakat Betawi sebagai identitas mereka, yaitu sebuah dukungan pemerintah.

2) Nilai Betawi Dalam Realitas Global

Dalam konteks realitas globalisasi pada saat ini, ketika batas-batas ruang dan waktu hampir tidak ada lagi dan arus kebudayaan luar bisa masuk dengan mudah ke negara ini, tentu diperlukan ketahanan budaya yang cukup kuat dari masyarakat Indonesia. Hal ini diperlukan karena budaya yang masuk ke Indonesia itu tidak selamanya baik dalam kehidupan budaya masyarakat, tetapi ada juga beberapa yang tidak baik.

Penghargaan terhadap masyarakat budaya asing jangan sampai membuat masyarakat lupa akan tradisi yang sudah terbentuk sekian lama. Tradisi harus tetap menjadi idenitas lokal, sedangkan nilai-nilai baru dari budaya-budaya asing harus kita adaptasi lagi dan kita sesuaikan dengan nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu, diperlukan kontrol yang kuat terhadap serbuan budaya yang mungkin akan merusak tatanan kebudayaan dan identitas budaya bangsa. Fungsi kontrol ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga harus dijalani oleh individu- individu yang merasa memiliki negeri ini.

Sementara itu, individu itu sendiri memiliki dua sisi sikap terhadap budaya yang dianutnya. Disatu sisi, pemahaman budaya cenderung bertahan dalam diri individu, di sisi lain, ia dapat berubah-ubah melalui berbagai upaya mereka dalam menghadapi kondisi lingkungan mereka yang juga selalu berubah. Setiap individu memiliki identitas sendiri yang membedakannya dengan individu lain. Akan tetapi, setiap individu juga memiliki identitas sosial dan kultural yang membatasinya dan mengharuskannya beradaptasi dengan lingkungan budaya yang didiaminya. Selama 84

ini pada masyarkat Betawi, nilai-nilai Betawian inilah yang berperan sebagai kontrol terhadap serbuan budaya luar yang cenderung mengabaikan persoalan moralitas.

Kebudayaan memang dinamis atau mengalami perubahan terus-menerus dalam dimensi ruang dan waktu. Akan tetapi, perubahan budaya yang amat cepat dan tanpa melalui proses penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya sebelumnya akan menimbulkan masalah terhadap generasi muda bangsa, yaitu krisi identitas budaya pada generasi muda. Karena itu perlu dikembangkan identitas budaya yang timbul dari perasaan ke- kami-an (we-ness) ataupun menjadi satu kelompok yang berskala dari hubungan sosial masyarakat. Pada kota Tangerang yang dihuni banyak etnis dan ragam budaya, kondisi ini pun akan menimbulkan ketercabutan generasi muda dari akar budaya asal mereka.

Oleh karena itu, pada masyarakat yang majemuk seperti di Tangerang ini, penanaman nilai-nilai budaya daerah perlu dilakukan sejak dini, agar mereka bisa menjadi generasi yang kukuh dalam mempertahankan tradisi menghadapi derasnya arus budaya asing. Selain itu, penyesuaian dan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal juga perlu dilakukan, agar masyarakat Betawi bisa tetap eksis di era global ini dan terhindar dari krisis identitas.

Di sinilah nilai-nilai Betawi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter masyarakat Betawi, terutama generasi mudanya. Nilai-nilai Betawi yang ditanamkan Marong dalam teater lenong ini sangat membantu masyarakat Ciater pada umumnya dan masyarakat RT 06/10 Kelurahan Ciater pada khususnya, dalam memupuk semangat untuk mengembangkan budaya Betawi dan meningkatkan karakter etnis Betawi yang tahan banting terhadap perubahan dan perkembangan pemikiran yang 85

amat cepat di era global saat ini. Dengan demikian, etnis Betawi tidak mudah diombang-ambingkan arus budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai luhur yang telah lama mengakar pada budaya lokal. Identitas memberikan kita gambaran mengenai tanah leluhur dimana kita berada, sebuah sejarah yang dimiliki oleh masyarakat Betawi, serta memiliki akses istimewa ke luas warisan budaya dan kreativitas.

3) Penataan Kesenian Teater Lenong

Di era globaliasi sekarang ini tidak mungkin lagi bisa dibendung masuknya berbagai produk budaya luar negeri ke Indonesia. Perlu adanya kiat-kiat yang seharusnya dilakukan untuk mempertahankan berbagai budaya asli karya leluhur lokal agar tetap lestari. Salah satu karya yang dibanggakan masyarakat Ciater hingga saat ini adalah seni pertunjukan teater lenong. Berbagai usaha melestarikan seni budaya Betawi agar digemari generasi muda di Tangerang khususnya Ciater terus diupayakan. Caranya, dengan menggali kembali khasanah budaya lokal tersebut, kemudian memodifikasinya hingga melahirkan kreasi baru. Dan itu bisa dilakukan melalui eksperimentasi oleh para ahlinya. Ini dimaksudkan agar kesenian tersebut mudah diterima dan digemarin generasi muda sehingga di masa mendatang tetap eksis.

Teater lenong merupakan kesenian tradisi milik masyarakat Betawi yang kini sedang dipikirkan oleh berbagai pihak untuk dikembangkan. kesenian ini terdiri atas unsur seni musik (gambang kromong), seni peran atau acting, lawak dan tari silat. Beberapa diskusi ilmiah pernah dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian ini yang diharapkan dapat menjadi salah satu identitas kultural masyarakat Betawi. Namun, hasil yang 86

dicapai dalam forum-forum itu belum memuaskan. Oleh karena itu, sanggar kesenian pimpinan Marong sebagai tempat dimana teater lenong yang komprehensif dilakukan, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan untuk pengembangannya.

Teater lenong sebagai kesenian yang memiliki akar historis yang kuat, konsep estetis dan urutan penyajian tertentu perlu dikembangkan. Untuk mewujudkanyya, tidak berlebihan apabila seni pertunjukan teater lenong perlu mendapatkan penanganan dengan membuat suatu model penataan kesenian teater lenong sebagai identitas kultural masyarakat Betawi.

Penataan kesenian teater lenong sebagai identitas kultural masyarakat Betawi meliputi penataan musik (gambang kromong), seni peran atau acting, lawak dari tari silat. Dengan demikian, adanya upaya untuk mereaktualisasi kesenian teater lenong tidak terlepas dari peralatan gambang kromong, pelatih, dan membentuk kelompok kesenian dilandasi oleh suatu pertimbangan historis. Adanya akar historis itu diperkuat oleh fakta bahwa dalam perjalanan sejarah, kesenian ini juga didukung oleh masyarakat Betawi termasuk orang-orang Tangerang. Dari perjalanan sejarah itu, tampak bahwa teater lenong dan gambang kromong merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan. Penataan musik gambang kromong dan lagu dilakukan dengan cara membuat aransemen, menambahkan beberapa instrument modern, mengembangkan teknik permainan instrument, serta menampilkan lagu-lagu yang bertema dan bernuansa Betawi, yaitu: Kincir-kincir, Jali-jali, Keroncong Kemayoran, Kawin Paksa, Ondel-ondel, Main Panjat-panjatan, Asal Mogok Genjot, Kompor Mleduk, Cintaku Berat di Ongkos. 87

Penataan seni peran atau acting dalam teater lenong dilakukan dengan menampilkan tokoh-tokoh masyarakat Betawi yang akrab, jujur tidak melebih-lebihkan baik dalam dialog maupun tindakan. Tokoh-tokoh yang diperankan ditampilkan secara natural dan lebih mengedepankan pesan moral yang ingin disampaikan dalam setiap pertunjukan. Penataan peran ditujukan agar dalam setiap pementasan para panjak dapat melakukannya dengan memperhatikan teknik bermainan drama.

Penataan seni silat merupakan komponen yang tidak terlepas dari setiap pertunjukan teater lenong. Tari silat adalah tarian yang keseluruhan gerakannya diambil dari gerak . Tari silat cukup menarik gerakannya apalagi bila ditarikan dengan iringan musik Betawi. Iringan pencak silat Betawi diikuti oleh samprah dan kroncong yang memang lekat di teater lenong. Sementara gaya dalam tari silat yang paling terkenal disebut gaya seray, gaya pecut, gaya rompas serta gaya bandul. Tari silat Betawi sendiri menunjukan aliran atau gaya yang diikuti oleh masing-masing penari. Selain tari silat, Betawi juga memiliki banyak tari-tarian lain. Tari-tari silat inilah yang kemudian salah satu model dalam penataan seni pertunjukan teater lenong sebagai identitas budaya Betawi.

Penataan lawak dilakukan dengan mengacu pada bentuk- bentuk lawakan teater lenong, yaitu lawakan verbal, nonverbal, dan musikal. Penggarapan lawak dilakukan dengan mengubah cerita Betawi yang diadopsi dari film-film Benyamin Sueb seperti Samson Betawi, Biang Kerok, Cukong Bloon, Abu Nawas. Seni lawak disini mendapat penggarapan yang cukup penting dalam rangka pengembangan teater lenong sebagai salah satu identitas budaya Betawi. Salah satu unsur budaya Betawi yang dapat diidentifikasi secara mudah adalah dialek. Oleh karena itu, dalam 88

bagian lawak dimasukan dialek Betawi dengan harapan bahwa hal tersebut dapat menampilkan identitas etnis Betawi.

Media komunikasi yang digunakan dalam penataan lawak ini adalah bahasa Betawi yang jenaka. Busana sebagai unsur pendukung dalam pertunjukan musik, tari, dan lawak teater lenong ditata dengan memanfaatkan khasanah busana tradisonal Betawi. Untuk merealisasikan konsep-konsep penataan kesenian teater lenong sebagai identitas budaya Betawi dilakukan pelatihan terhadap kelompok teater lenong di perkumpulan teater Marong RT 06/10 Ciater Tangerang Selatan.

2. Teater Lenong Dalam Semangat Kultral

Seni pertunjukan teater lenong sebagai wujud ekspresi eksistensi dalam tantangan multikulturalisme di Tangerang khususnya di Ciater. Pada perkembangannya seni pertunjukan ini mengalami dinamika. Seperti yang kita ketahui bahwa penolakan satu kesenian oleh suatu kelompok sosial karena kesenian tersebut dianggap tidak sesuai dengan status sosial dari kelompok tersebut merupakan gejala yang umum di negeri ini. Demikianlah mudahnya dapat dimengerti bila kesenian merupakan indikator status sosial dari eksistensi suatu kelompok. Demikian pula bertahannya satu kesenian atau punahnya kesenian merupakan cermin eksistensi dari pendukungnya.

Penetrasi budaya global memberikan pengaruh yang berperan dalam menyingkirkan budaya lokal. Masyarakat Betawi mengupayakan gaya hidup yang sesuai dipertahankan dan dikembangkan, untuk menghadapi tuntutan perkembangan baru di tengah globalisasi. Dan di antara bentuk- bentuk kesenian yang dihadirkan dan ternyata diminati di tengah mereka, lenong sempat menjadi primadona. Namun kesenian tersebut dalam perkembangannya juga mengalami pasang surut. Sebagai kelanjutan dari 89

proses penetrasi tersebut masyarakat Betawi yang tidak mampu bertahan dan bersaing di Tangerang akhirnya menempati wilayah sub-urban. Hasil dari menempati wilayah sub-urban tersebut jelas secara tidak langsung mereka tercabut dari akar budaya yang telah mereka tinggali bertahun- tahun lamanya. Warga Betawi seperti inilah yang mengalami krisis identitas kultural baik dalam segi ekonomi, sosial, dan budaya. Sedangkan masyarakat yang mampu bertahan, secara bertahap mereka beradaptasi dengan berbagai sarana perdagangan, industri, pemerintahan, komunikasi, yang terus bertumbuh semakin canggih. Di tengah situasi ini, gaya hidup urban menjadi fenomena kemasyarakatan baru. Nilai-nilai lama (daerah) semakin diseleksi, nilai-nilai baru terus diadopsi.

Kembali kepersoalan mengenai dampak perubahan yang terjadi dalam dunia seni, khususnya seni pertunjukan teater lenong Betawi. Baik perubahan itu terjadi secara alamiah maupun terjadi karena direncanakan, hanya terbatas kepada kehidupan seni. Banyaknya organisasi masa yang mengatasnamakan Betawi, namun secara praktis ormas-ormas tersebut tidak berpengaruh dalam perkembangan seni budaya Betawi itu sendiri. Secara substansi ormas-ormas tersebut mempunyai visi dan misi yang menguntungkan bagi mereka sendiri. Hilangnya semangat kebudayaan menjadi sorotan beberapa pihak seperti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan Badan Musyawarah Betawi (BAMUS Betawi) sebagai organisasi yang konsen terhadap seni kebudayaan dan tradisi Betawi.

Kedua organisasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri jika tanpa adanya dukungan dari masyarakat Betawi itu sendiri. Dilandasi dengan semangat revitalisasi terhadap kesenian yang mengalami degradasi, tanggung jawab sebagai generasi penerus keberlagsungan seni pertunjukan serta motvasi yang timbul untuk mereposisi seni pertunjukan teater lenong, yaitu penempatan kembali ke posisi semula, dengan penataan kembali. Seni pertunjukan teater lenong diharapkan mampu menjadi ikon baru 90

masyarakat Betawi yang memiliki posisi tawar yang tinggi di antara seni- seni lainnya yang ada di Tangerang dan sekitarnya.

Masyarakat Betawi seharusnya peka terhadap tantangan global yang ada di sekitarnya. Dengan wadah swadaya di masyarakat yang berupaya menghidupkan kembali budaya Betawi di tengah masyarakat dan pendukungnya. Tentu peran serta pemerintah juga diharapkan seperti dalam internalisasi budaya Betawi di sekolah-sekolah. Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam paket pengenalan budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi, kesenian rabana, gambang kromong, dan kesenian yang bersifat kontemprorer.

3. Langkah Strategis Revitalisasi Budaya Betawi

Pelestarian nilai-nilai budaya Betawi melalui jalur pendidikan, dapat dilaksanakan dengan beberapa strategi, seperti melalui mata pelajaran muatan lokal. Melalui mata pelajaran ini bisa dimasukan materi tentang kesenian, bahasa, dan adat istiadat Betawi. Dalam materi ini juga seharusnya diberikan nilai-nilai tradisional masyarakat Betawi sebagai bagaian dari unsur kebudayaan Betawi. Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam paket pengenalan budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi, kesenian rabana, gambang kromong, dan kesenian yang bersifat kontemprorer. Penciptaan suasana Betawi di sekolah juga bisa dilakukan dengan penggunaan baju Betawi oleh siswa setiap seminggu sekali, misalnya hari jum’at atau peringatan hari besar keagamaan. Pada hari-hari tertentu juga perlu dilaksanakan pemakaian bahasa Betawi. Bangunan sekolah yang berciri khas arsitektur Betawi juga bisa dilakukan termasuk penerbitan buku-buku tentang budaya Betawi. Buku-buku ini bisa ditempatkan di perpustakaan sekolah. Penerbiatan kamus bahasa Betawi akan memperkaya khasanah pengetahuan tentang Betawi. 91

Budaya masyarakat Betawi akan terus ada dan terjaga manakala semua masyarakat Betawi mau memelihara, menjaga, dan mengembangkan terus budaya tersebut. Proses pemeliharaan, penjagaan, dan penembangan budaya Betawi akan sangat tepat apabila dilaksanakan melalui proses pendidikan sejak dini, yaitu saat akan mulai menduduki dunia pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Melalui pendidikanlah citra Betawi yang negatif akan terkikis. Anak-anak yang tinggal di tanah Betawi akan semkin menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap melalui sekolah dan lingkungan mereka. Bagi orang Betawi sendiri, terus tekun sekolah mengejar jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mendapatkan kehidupan yang lebih baik, akan mengubah citra negatif. Perlahan jika hal tersebut konsisten dilakukan, maka akan mengangkat citra masyarakat Betawi, dan orang Betawi tak lagi dicap kampungan.

Sejumlah langkah strategis juga dapat dilakukan oleh komponen masyarakat Betawi maupun para pemerhati budaya Betawi untuk merevitalissi budaya Betawi, antara lain: menumbuhkan kesadaran pentingnya memelihara kekayaan budaya Betawi, membentuk kerja sama dengan berbagai pihak di luar masyarakat Betawi yang berbasi teknologi informasi yang menghasilkan informasi tentang budaya Betawi (website, televise, radio, festival kesenian tradisional, penelitian dan penulisan buku), melakukan pemberdayaan masyarakat dengan mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki (SDM, kondisi geografis) untuk penigkatan kualitas kehidupan melalui potensi kesenian, pariwisata, pemerintah dan lembaga swadaya sebagai fasilitator dan rekan sekerja dalam revitalisasi budaya Betawi. Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian tradisional, berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk melakukan revitalisasi terhadap kehidupan kesenian kesenian yang dianggap kehidupannya dalam keadaan bahaya. Kesenian yang mulai 92

kehilangan masyarakatnya karena kesenian tersebut telah kehilangan fungsinya di masyarakat. BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Di tengah situasi zaman yang enggan bertoleransi terhadap budaya lokal berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak keberlangsungan seni pertunjukan ini. Krisis identitas yang mereka alamai merupakan hasil dari ketidakmampuan bertahan di era globalisasi dan modernisasi ini. Penataan kesenian yang berkaitan dengan seni pertunjukan ini dilakukan sebagai cara pembentukan identitas kultural masyarakat Betawi. Dengan menggali informasi dan mengikuti perkembangan zaman yang dijadikan acuan dalam penataan yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Teater lenong tidak dapat berdiri sendiri tanpa masyarakat pendukung baik di dalam etnis maupun di luar etnis. Penggemar kesenian ini ternyata cukup mumpuni terlihat dari jumlah penonton yang cukup ramai di setiap pertunjukannya.

Jika teater lenong tetap memiliki penggemar adalah suatu hal yang dapat dipahami. Kesenian tersebut sangat berpotensi sebagai entertainment, karena masing-masing unsur seninya yaitu musik (gambang kromong), seni peran, lawak, silat mengandung unsur artistic yang khas serta bersifat menghibur. Masyarakat Tangerang Selatan tentu saja membutuhkan seni pertunjukan sebagai sarana relax untuk melepas keegangan kesibukan sehari-hari. Suatu hal yang juga perlu dicatat adalah bahwa seni pertunjukan teater lenong telah menjadi arena pembentukan identitas kultural masyarakat Betawi.

Berdasarkan keseluruhan pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, peneliti membuat kesimpulan penelitian ini dalam garis besar sebagai berikut: Peran teater lenong Marong Group dalam

93

94

pembentukan Identitas Betawi yaitu pertama, dengan menunjukan kalau orang Betawi adalah orang Islam, orang Betawi adalah orang yang cinta islam. Kedua, lenong Marong Group menggunakan bahasa Betawi di setiap pementasannya. Hal ini dirasa sangat perlu dalam pembentukan identitas suatu budaya. Seperti yang dikatakan oleh Burke, menurutnya “untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada bahasa”.1 Ketiga, para pemain memakai pakaian khas Betawi. Sebagaimana ditegaskan John Berger dalam karyanya Signs in Contemporary Culture, “Pakaian kita, model rambut, dan seterusnya adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas kita”.2 Keempat, perkumpulan teater lenong Marong Group dalam pementasannya menampilkan senjata tradisional Betawi. Kelima yaitu memasukan kesenian-kesenian Betawi lainnya seperti silat, gambang kromong, lagu-lagu Betawi, dan tarian Betawi.

B. Saran

Setelah melakukan kajian mendalam mengenai peran teater lenong Marong dalam mempertegas identitas kultural Betawi, penelitian ini perlu memberikan saran yang dapat bermanfaat terkait dengan teater lenong dan identitas kultural Betawi. Saran ini diharapkan dapat memajukan lagi kesenian teater lenong Betawi. Adapun saran yang dapat peneliti sampaikan, ialah:

1. Secara bersama-sama pemerintah dan masyarakat dapat membentuk management untuk mengelola modal, sumber daya manusia, ruang, waktu, promosi, dan pemasaran seni pertunjukan teater lenong. Kualitas dan kuantitas pementasan kesenian ini dapat digarap sedemekian rupa agar tetap mendapat apresiasi masyarakat.

1 Alo Liliweri M.S, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 72 2 Idi Subandi, Budaya Populer sebagai Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) h. 135 95

2. Masyarakat pendukung dalam hal ini etnis Betawi harus ditimbulkan rasa kepedulian dan memiliki terhadap warisan budaya yang mereka punya dan patut dibanggakan. 3. Pemerintah atau lembaga kebudayaan Betawi harus memperhatikan potensi-potensi masyarakat Betawi di sekitar Jabodetabek guna mempercepat langkah revitalisasi budaya Betawi.

DAFTAR PUSTAKA

Banden, I Made dan Sal Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia. Denpasar, Bali: Kanisius, 1996.

Budiaman. Folklore Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: 2012.

Klenden, Ninuk. Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Fa. Aksara baru, 1983.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia. Jakarta: Jalasutra, 2009 .

Liliweri, Alo M.S. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Lkis, 2007.

Muhadjir, dkk. Peta Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1986.

Natzir, Mohammad. metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Nawangningrum, Dina. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012.

Nina Farlina, “Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug (FBR)”, tesis pada Universitas Indonesia, Depok, tidak dipublikasikan

Purwosanti, “Eksistensi Lenong Betawi di era globalisasi”, skripsi pada Universitas Negeri Jakarta,Jakarta 2010, tidak dipublikasikan

95

96

Ritzer, George (Ed), Encyclopedia Of Sosial Theory, Vol 1. London: SAGE Publication, 2002.

Rosyadi. Profil Budaya Betawi. Bandung : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006.

Saidi, Ridwan, dkk. Ragam Budaya Betawi Pendidikan Mulok Untuk Kelas 6 SD. Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2002.

Saputra, Yahya Andi. Profil Seni Budaya Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, 2009.

Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2008a.

Setiati, Eni dkk,. Ensiklopedia Jakarta 6. Jakarta: PT. Lentera Abadi, 2009.

------. Pofil Kota Jakarta Doeloe, Kini, Dan Esok. Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009b.

Shahab, Z Yasmine. Identitas dan Otoritas : Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok: Laboratorium Antropologi FISIP UI, 2004.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta. Cet. 4, 2008.

Suparlan, Parsudi. Pengantar Metode Penulisan: Pendekatan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Widjaya. Seni Budaya Betawi, Pralokakarya, Penggalian, Dan Pengembangan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976

Yudho Winiarto, Tambeng : Proses Penafsiran Kembali Tanda budaya Betawi, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2008. tidak dipublikasikan http: //content.rajakamar.com/lenong-seni-peran-peran-penerus-gambang- kromong/

Pedoman Observasi

Identifikasi dan pahami variabel penelitian, adapun beberapa variabel penelitian yang akan diteliti adalah : 1). Teater Lenong Marong Group, 2). Identitas Budaya, 3). Masyarakat Betawi.

Dalam observasi, semua indera peneliti harus menjadi alat peneliti yang peka dan terintegrasi secara massif. Rasakan, amati, dan dengarkan lah secara mendalam.

Beberapa variabel dan sub variabel yang akan diamati, yaitu :

1. Teater Lenong Marong Group Amatilah secara mendalam teater lenong Marong Group! a. Identifikasi teater lenong b. Macam-macam teater lenong c. Sejarah teater lenong Marong Group d. Organisasi dalam teater lenong Marong Group e. Sebutkan upaya yang dilakukan oleh Marong Group untuk pembentukan identitas Betawi 2. 2. Identitas Budaya Amatilah secara mendalam identitas Budaya! a. Identifikasi Identitas Budaya b. Sebutkan cara untuk menunjukan identitas suatu budaya

3. Masyarakat Betawi Amatilah masyarakat Betawi! a. Identifikasi bagaimana identitas budaya di masyarakat Betawi

PEDOMAN WAWANCARA

NO. Informan Komponen Data Pertanyaan 1. RW, RT dan Petugas Struktur Sosial 1. Berapa luas wilayah kelurahan Kelurahan Ciater Ciater? 2. Bagaimana komposisi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin? 3. Bagaimana komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan? 4. Bagaimana jenis mata pencaharian penduduk? 5. Bagaimana tingkat perekonomian penduduk?

2. Pendiri Perkumpulan 1.Konteks Sejarah 1. Bagaimana sejarah Teater Lenong perkembangan teater lenong di tempat ini? 2. Bagaimana posisi teater lenong dalam masyarakat betawi setempat? 3. Bagaimana cara pembagian honor waktu itu? 4. Hal apa saja yang membuat terjadinya perbedaan honor tersebut? 5. Berapa harga nanggap lenong waktu itu? 6. Kapan perkumpulan ini terbentuk? 7. Bagaimana awal terbentuknya perkumpulan ini?

2. Revitalisasi 1. Apa pandangan anda mengenai Budaya revitalisasi seni pertunjukan ini? 2. Menurut anda, apakah revitalisasi budaya itu penting? 3. Seberapa penting seni pertunjukan ini bagi kehidupan anda? 4. Apa sja usaha yang anda lakukan untuk revitalisasi budaya? 5. Apa harapan yang hendak anda capai dalam upaya revitalisasi ini? 3. Pembentukan 1. Apa pandangan anda terhadap Identitas identitas kultural Betawi? 2. Bagaimana cara perkumpulan anda untuk dapat mempertegas identitas kultural? 3. Apakah mempertegas identitas kultural melalui teater lenong itu efektif? 4. Adakah nilai-nilai kebetawain itu meresap dalam diri anda? 5. Bagaiaman implementasi nilai- nilai kebetawian dalam kehidupan sehari-hari anda? 6. Apa harapan yang hendak anda capai dari proses pembentukan identitas ini? 7. Apakah anda pernah mendapatkan bantuan dari pihak tetentu terkait dengan pembiayaan perkumpulan teater lenong ini?

4. Faktor penghambat 1. Adakah faktor penghambat revitalisasi budaya dalam upaya revitalisasi budaya? 2. Faktor apa sajakah itu? 3. Faktor apa saja terkait dengan masyarakat pendukung kebudayaan ini? 4. Faktor apa saja terkait dengan di luar masyarakat pendukung kebudayaan ini? 5. Apa tindakan anda dalam menghadapi dan menyiasati faktor penghambat tersebut? 3. Panjak 1. Orientasi 1. Apa motivasi anda dalam pembelajaran keikutsertaan teater lenong? 2. Seberapa besar motivasi anda

dalam keikutsertaan teater

lenong?

3. Bagaimana sistem pembelajaran teater di tempat ini? 4. Menurut anda, apakah melestarikan budaya itu penting? 5. Seberapa pentingkah pendidikan budaya ini? 6. Apa tujuan anda ikut serta dalam teater ini? 7. Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

2. Pembentukan 1. Apa pandangan anda terhadap identitas identitas kultural Betawi? 2. Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural? 3. Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif? 4. Adakah nilai-nilai kebetawain itu meresap dalam diri anda? 5. Bagaiamana implementasi nilai-nilai kebetawian dalam kehidupan sehari-hari anda?

TRANSKIP WAWANCARA

Pendiri Teater lenong Marong Group

1. Bagaimana sejarah lenong di wilayah ini? 2. Bagaimana posisi lenong dalam masyarakat Betawi di Ciater? 3. Apa saja kesenian Betawi yang ada di Ciater? 4. Mengapa kesenian-kesenian tersebut sudah tidak ada? 5. Bagaimana awal terbentuknya perkumpulan teater lenong Marong? 6. Kapan perkumpulan teater lenong ini terbentuk? 7. Apa alasan anda membentuk perkumpulan teater lenong ini? 8. Apa teater lenong Marong terdaftar di Pemerintah? 9. Apa teater lenong Marong memiliki administrasi yang baik? 10. Berapa anggota pemain teater lenong Marong? 11. Apa pandangan anda terhadap budaya Betawi? 12. Apa pandangan anda terhadap perkembangan budaya Betawi saat ini? 13. Apa saja usaha yang anda lakukan untuk mempertahankan budaya Betawi? 14. Sanggarnya ada kesenian apa aja ? 15. Sudah ada berapa murid? 16. Hambatan apa saja yang anda alami dalam usaha untuk mempertahankan kebudayaan Betawi? 17. Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi? 18. Bagaimana cara perkumpulan teater lenong anda dapat mempertegas identitas Betawi? 19. Apakah cara tersebut efektif? 20. Apa harapan yang hendak anda capai dari proses pertegasan identitas ini? 21. Apa pandangan anda mengenai revitalisasi seni? 22. Revitalisasi seni itu proses atau cara menghidupkan kembali kesenian yang perlahan menghilang. Menurut anda apa itu penting? 23. adakah faktor penghambat dalam upaya revitalisasi seni? 24. Contoh faktor penghambat upaya revitalisasi seni? 25. Apa tindakan anda dalam menghadapi dan menyiasati faktor penghambat tersebut? . 26. Seberapa penting kesenian lenong bagi kehidupan anda? 27. Bagaimana implementasi nilai-nilai budaya Betawi dalam dalam kehidupan sehari-hari anda? 28. bagaimana peranan nilai-nilai Betawi di masyarakat Ciater?

Pemain Teater lenong Marong Group

1. Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong? 2. Apakah anda hanya bermain di lenong Marong? 3. Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda? 4. Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong? 5. Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting? 6. Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini? 7. Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong? 8. Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda? 9. Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi? 10. Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural? 11. Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif? 12. Adakah nilai-nilai Betawi itu meresap dalam diri anda? 13. Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

TRANSKIP WAWANCARA

(Pendiri Lenong Marong Group)

Nama : Mochtar Marong

Umur : 56 Tahun

Hari/Tanggal : Jum’at, 19 September 2014

Lokasi : Kp. Pondok Sentul, RT 06/ 10 Ciater

1. T : Bagaimana sejarah lenong di wilayah ini?

J : Lenong udah lama ya di Ciater, dari jaman kakek saya lenong tuh udah ada. Jaman dulu lenong gak ada panggungnya kaya sekarang. Dulu lenong keliling kampung nyari saweran nampilnya di lapangan.

2. T : Bagaimana posisi lenong dalam masyarakat Betawi di Ciater?

J : Kalau bagi penonton sih untuk hiburan dan kalau bagi pemain lenong untuk menyampaikan hal-hal yang menyeleweng dari nilai-nilai yang ada di masyarakat melalui cerita yang ditampilkan.

3. T : Apa saja kesenian Betawi yang ada di Ciater?

J : Yaa kalo sekarang mah tinggal lenong, silat, gambang kromong sama tari-tarian. Itu juga udah jarang tari-tarian. Dulu mah ada ubrug,jipeng,jinong yaa banyak pokonya.

4. T : Mengapa kesenian-kesenian tersebut sudah tidak ada?

J : Tidak ada penerusnya, makanya saya berusaha mempertahankan kesenian yang masih ada.

5. T : Bagaimana awal terbentuknya perkumpulan teater lenong Marong? J : Awal kan saya ikut di perkumpulan lenong orang, saya berfikir untuk mendirikan perkumpulan sendiri. Akhirnya berkat dukungan temen, saya dapat mendirikan perkumpulan ini yang bernama lenong Marong Group.

6. T : Kapan perkumpulan teater lenong ini terbentuk?

J : Tahun 2004

7. T : Apa alasan anda membentuk perkumpulan teater lenong ini?

J : Untuk ngelestariin budaya, Kalau bukan kita siapa lagi.

8. T : Apa teater lenong Marong terdaftar di Pemerintah?

J : Belom, lagi diurusin syarat-syaratnya.

9. T : Apa teater lenong Marong memiliki administrasi yang baik?

J : Catetan? Gak ada. Lenong selesai main dibayar sama yang punya hajat, para pemain langsung dibayar. Gak ada catetan-catetan jadinya.

10. T : Berapa anggota pemain teater lenong Marong?

J : 30 lebih, tapi dicampur sama pemain musik

11. T : Apa pandangan anda terhadap budaya Betawi?

J : Budaya Betawi itu kaya nilai-nilai luhur, karena di dalamnya ada nilai kesopanan, hormat-menghormati, dan yang paling penting kaya nilai-nilai agama. Contoh, setiap lebaran, yang muda selalu datang ke yang lebih tua. Kalau dulu malah sambil bawa makanan. Jadi, jangan ngaku Betawi kalau belum menerapkan budaya Betawi dalam kehidupan sehari-hari.

12. T : Apa pandangan anda terhadap perkembangan budaya Betawi saat ini?

J : Kebudayaan Betawi mengalami pasang surut, apalagi jaman orde baru, kebudayaan Betawi mengalami kemerosotan yang lumayan. Banyak seniman-seniman yang tidak terekspos. Alhamduillah, setelah reformasi semuanya membaik. Sekarang mah gimana masyarakat Betawinya bisa atau tidak pertahanin kebudayaan.

13. T : Apa saja usaha yang anda lakukan untuk mempertahankan budaya Betawi?

T : Ya salah satunya dengan mendirikan perkumpulan teater lenong dan sekarang saya sedang mencoba membangun sanggar kesenian untuk mencari penerus agar tidak punah kesenian-kesenian Betawi.

14. T : Sanggarnya ada kesenian apa aja ?

J : Lenong, Silat, musik gambang dan tari-tarian Betawi.

15. T : Sudah ada berapa murid?

J : Baru 8an, itu juga baru silat aja .

16. T : Hambatan apa saja yang anda alami dalam usaha untuk mempertahankan kebudayaan Betawi?

J : Dukungan pemerintah dan dukungan masyarakat Betawi.

17. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Yaa identitas itu ciri khas kita yang bisa ngebedain diri kita dengan orang lain.

18. T : Bagaimana cara perkumpulan teater lenong anda dapat mempertegas identitas Betawi?

J : Paling utama ya nunjukin kalo Betawi itu orang Islam, di dalam cerita dimasukin unsur-unsur Islam. Tujuannya sih ya buat bocah-bocah yang dirumahnya orangtuanya kaga peduli, banyak bener sekarang yang kaya begitu. Orangtuanya sibuk nyari duit anak kaga diperhatiin. Makanya sekarang jarang bener bocah kalo abis magrib pada ngaji di mushola. Nah selain buat bocah juga ya buat pemuda Betawi yang sekarang mulai pada demen minum-minum yang kaga bener, dicerita kita nampilin kalo Islam itu kaga ngebolehin minum begituan terus dampaknya gimana juga ada di cerita. Selaen dengan nunjukin kalo Betawi itu cinta Islam, lenong Marong juga nunjukinnya dengan bahasa, kita nunjukin bahasa Betawi itu kaya gimana. Nah lenong saya ini juga mamerin ke penonton yang bukan orang Betawi kalo orang Betawi ntuh pade jago silat. Sambil silat sambil nunjukin golok dah.

19. T : Apakah cara tersebut efektif?

J : Sejauh ini sih dengan cara itu efektif.

20. T : Apa harapan yang hendak anda capai dari proses pertegasan identitas ini?

J : Setidaknya masyarakat Betawi dapat percaya diri dan mampu bersaing dengan pendatang baik dalam segi pendidikan atau keterampilan. Selain itu, masyarakat dari kebudayaan lain tidak menganggap Betawi itu rendah

21. T : Apa pandangan anda mengenai revitalisasi seni?

J : Waduh saya gak ngerti bahasanya.

22. T : Revitalisasi seni itu proses atau cara menghidupkan kembali kesenian yang perlahan menghilang. Menurut anda apa itu penting?

J : Sangat penting dong, tanpa revitalisasi budaya manapun akan punah dimakan waktu, kesenian tidak akan bertahan tanpa adanya pemberdayaan masyarakat pendukungnya sendiri.

23. T : adakah faktor penghambat dalam upaya revitalisasi seni?

J : Faktor penghambat mah ada pasti.

24. T : Contoh faktor penghambat upaya revitalisasi seni?

J : Yaa masyarakat pendukungnya, kita pihak orang seni mencoba untuk ngehidupin kesenian dan pertahanin tapi kalo masyarakat pendukungnya gak ngedukung? Yaa gak bisa kan. Nih misalnya saya ngehidupin lenong yang hampir punah tapi gak ada yang nonton gimana? Atau gak ada yang mau jadi pemain lenong gimana. Masyarakat harus mendukung segala upaya revitalisasi guna pertahanin kebudayaan Betawi. Selain itu juga kesenian modern salah satu penghambat upaya revitalisasi. 25. T : Apa tindakan anda dalam menghadapi dan menyiasati faktor penghambat tersebut?

J : Membuat lenong lebih indah dan bermakna, mudah-mudahan lenong makin memiliki fungsi memberi hiburan dan mampu memberi kebanggan masyarakat. Karna lenong mampu nampilin sifat masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang bermutu.

26. T : Seberapa penting kesenian lenong bagi kehidupan anda?

J : Lenong ngajarin saya kalo memiliki warisan budaya lebih penting ketimbang warisan kekayaan, warisan budaya bisa dinikmati beratus-ratus tahun soalnya.

27. T : Bagaimana implementasi nilai-nilai budaya Betawi dalam dalam kehidupan sehari- hari anda?

J : Dari logat bicara, cara berpakaian dan nyajiin makanan khas Betawi pada momen- momen tertentu.

28. T : bagaimana peranan nilai-nilai Betawi di masyarakat Ciater?

J : Disini kesetiakawanan tinggi, terlihat dalam sikap mental masyarakat Betawi yang suka menolong terhadap sesama. Nilai ini terlihat kalau ada yang hajat nikahan, sunatan, dan acara-acara keagamaan. Kalau ada sodara atau tetangga yang mau ada hajatan, semua kumpul. Apalagi kalo mau bikin dodol, wah.. pokonya rame. Demikian juga kalo ada kerabat yang meninggal, semuanya membantu yang kena musibah. TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Gambang Kromong di Lenong Marong Group)

Nama : Agus

Umur : 42 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Namanya juga orang cari duit, selama halal mah hajar terus

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Engga, saya nabuh gendang di dangdut-dangdut

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Kalo gambang kromong mah sebulan paling dikit 2 kali latihan. Yaa belajar aja gitu gimana nyatuin suara sama alat yang laen dan kadang juga cari instrument musik baru

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : ya penting banget itu mah

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Nambahin pemasukan kantong

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Marong Group kan cukup punya nama yaa, saya sih berharap saya nabuh gendang di Marong orang-orang jadi kenal gitu sama saya.

7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda? J : Perduli banget sama pemaen-pemaennya.

8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : kebiasaan yang beda sama yang laen

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Yaa dengan cara nampilin alat musik gambang kromong secara lengkap. Gambang kromong kan alat musik Betawi. Kan banyak yang kaga tau kalo gambang kromong punya Betawi. Banyak juga yang kaga tau gambang kromong itu alat musiknya macem-macem, ada tehyan, gamelan, kongahyan, kecrek, gong, gambang, kromong, dan gendang. Lenong itu sama gambang kromong dua kesenian yang gak bisa dipisahin.

T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : iya ko

10. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Ada

11. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Yaa paling bahasa sama makanan saya mah

TRANSKIP WAWANCARA

(Penasehat di Lenong Marong Group)

Nama : Ita

Umur : 60 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Saya sama Marong itu udaha sahabatn lama, dulu kita emang punya kepengenan buat bikin perkumpulan teater. Alhamdulillah salah satu dari kami ada yang kesampean punya perkumpulan.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Iya.

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : sebenernya mah disini gak ada belajar, apalagi naskah. Gak ada itu mah.

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Penting banget itu mah pasti.

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Tujuan mau bikin lenong Marong makin banyak yang kenal. Saya sebagai penasehat selalu membantu segala usaha buat kemajuan nih lenong.

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong? J : Kalau ditanya masalah harapan, saya berharap banget lenong nih gak punah. Saya pengennya orang-orang Betawi tuh pada cinta sama keseniannya sendiri. jangan kerjaannya pada nonton dangdut aja.

7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Marong di mata saya mah baik ya. Dia cukup teges buat jadi pemimpin

8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Identitas itu yang bisa ngebedain kita sama orang lain

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Banyak ya sebenernya, misalnya kaya pemaen make baju khas Betawi. Selain itu, di dalam teater lenong Marong juga sangat menjunjung agama Islam. kalo giliran yang cerita-cerita Islam, saya dah yang keluar. Bisa dikata mah ceramah sambil ngelawak gitu. Disini tuh selaen nampilin lawakan, lenong Marong Group juga nenampilin tarian Betawi dan lagu-lagu Betawi.

10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Alhamdulillah kalo menurut saya sih Efektif.

11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Ada pasti mah, kita hidup di lingkungan Betawi kalo masalah nilai Betawi pasti udah darah daging banget

12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Yaa saya lahir di tanah Betawi, tinggal di tanah Betawi pasti saya juga ngejalanin hidup dengan nilai-nilai Betawi.

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Ati

Umur : 40 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Saya emang seneng sama lenong sih

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Iya

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : belajar resmi mah gak ada, paling saya sering nanya ke ayah ngelenong yang bener tuh gimana, supaya lucu gimana. Pribadi aja sih belajarnya

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Jelas penting banget itu mah

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Tujuan biar jadi panjak yang terkenal

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Harapan semoga lenong umurnya panjang dah

7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Ayah mah sabar banget. Tapi kalo lagi tegas yaa tegas banget dia mah 8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Bedanya orang Betawi sama budaya laen gitu.

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Yang paling saya setuju sih cara marong nyelipin unsur-unsur Islam. Supaya bocah- bocah yang masih muda yang orangtuanya ga ngajarin jadi tau ajaran Islam kaya gimana. Marong juga disini kaya semacem ngasih tau kalo orang Betawi tuh orangnya jujur, gak ada yang ditutupin. Kalo ga demen ama sifat orang yaa langsung bilang gitu.

10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : InsyaAllah iya

11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Ada itu mah

12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Saya kalo dirumah masak makanan Betawi jadi anak-anak saya jadi tau makanan Betawi gimana. Saya juga ngajarin kalo magrib gak boleh diluar rumah, ngajarin anak harus sopan sama orangtua.

TRANSKIP WAWANCARA

(Penyanyi di Lenong Marong Group)

Nama : Dini

Umur : 17 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Saya kan anaknya, masa gak ikutan

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Iya, soalnya saya masih sekolah

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak ada, tapi seminggu sekali suka ngumpul-ngumpul sih dirumah tapi gaktau ngapain, ngobrolin lenong kayanya mah. Mungkin itu kali yaa belajarnya

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Penting banget, nanti pada punah kalo gak dilestariin. Saya cuma tau dari cerita aja kalo zaman dulu ada jipeng sama jinong. Jangan sampe deh kesenian yang sekarang masih ada punah juga.

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Tujuannya saya mau semakin pinter ngelenong, mau nerusin ayah. Kalo ayah udah gak ada siapa yang nerusin kalo saya gak bisa ngelenong

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Sama sih kaya tadi, harapannya supaya makin pinter ngelenong. 7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Ayah tuh sayang banget sama pemaennya, makanya banyak pemaen yang betah gabung di group ayah

8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Cirinya orang Betawi, yang punya Cuma orang Betawi gitu.

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Banyak. nih ya misalnya sebelum lenong main itu musik gambang ngalun terus, terus bahasa sama baju

10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Efektif kayanya mah

11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Adalah.

12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : kalo makanan sih jujur saya gak terlalu suka. Paling dari bahasa sama sholat yang rajin. Kalo gak sholat pas doa atau mohon apa-apa sama Allah malu rasanya. Laah orang gak pernah sholat mau minta. Allah juga gakmau ngasih kalo gitu mah. Ayah ngajarinnya gitu soalnya

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Katong

Umur : 53 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Saya sama group yang sebelumnya kurang nyabung, eh Marong ngajakin maen di groupnya yaudah jadinya gabung dah.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Iya

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak ada pembelajaran

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Pentinglah, cucu saya nanti gaktau silat beksi kaya gimana kalo gak dilestariin budayanya

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Supaya lenong gak punah

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Harapan semoga lenong tetep eksis walau sekarang udah jarang yang nanggep lenong

7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda? J : Baik banget dia mah. Kalo maen di Marong Group jangan coba-coba bawa minuman haram, bisa abis kena semprot sama dia.

8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Identitas Betawi itu yang ngebedai Betawi sama yang laen

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Lenong Marong nunjukin ke orang-orang identitas kebudayaan Betawi itu dengan karakter yang dimaenin sama panjak. Karakter itu ngewakilin orang Betawi tuh kaya gimana. Misalnya orang Betawi yang berani atau jujur. Silat juga ditampilin mulu tiap para jago keluar. Selaen ntuh ya nunjukin juga baju khas punye Betawi kaya gimane.

10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Efektif kayanya mah

11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Pasti ada kalo itu mah

12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Saya nerapin nilai Betawi itu dengan cara ngajarin anak-anak saya kalo sama orang yang lebih tua harus hormat. Misal kaya kemaren anak saya baru nikahan, dia mah gak tau kalo di Betawi selesai 3 harian nikah itu harus nganterin makanan ke rumah enya, babeh, atau ke encang encingnya.

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Maceng

Umur : 49 Tahun

Hari/Tanggal : Kamis, 13 November 2014

Lokasi : Kp. Setu RT 02/05

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Kecintaan terhadap kesenian Betawi.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Kaga, saya selain ngelenong juga sering diundang buat palang pintu.

3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?

J : gak munafik yaa, fungsi ngelenong bagi saya buat jadi mata pencarian.

4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak ada belajar disinia mah

5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Pentinglah

6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Kalo ditanya tujuan sih sebenernya buat salah satu usaha saya mertahanin budaya Betawi.

7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Semoga aja orang-orang makin cinta sama kesenian Betawi. 8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Baik sih yaa dia.

9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Yaa ciri khas yang beda sama budaya laen.

10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Setuju sama ongkih, tapi saya tambahin yaa dikit. Group Marong nunjukin identitas Betawi itu kalo lagi manggung wajib buat pemaen ngomong pake bahasa Betawi. Yaa itu mah ga susah dah, emang udah kebiasaan kita.

11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Efektif InsyaAllah

12. T : Adakah nilai-nilai betawai itu meresap dalam diri anda?

J : Adalah masa gak ada

13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Taat sama yang nyiptain saya.

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Ongkih

Umur : 37 Tahun

Hari/Tanggal : Kamis, 13 November 2014

Lokasi : Kp. Setu RT 02/05

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Saya kan sebenernya MC dangdut yaa, tapi kan kalo dangdut makin tua jarang yang mau sekarang mah, kalo di lenong kan masalah umur gak masalah.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Engga, saya masih lumayan aktif jadi MC dangdut. Selain itu juga saya main di beberapa perkumpulan teater lenong lainnya tapi kalo waktu manggung bentrok saya akan manggung di lenong Marong. Group sendiri diduluin dah pokonya.

3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?

J : Fungsi lenong bagi hidup saya yaitu saya bisa menambah ilmu tentang kesenian Betawi

4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak belajar, langsung aja gitu natural. Misalnya saya dapet peran jadi centeng, ya saya gak akan nanya saya harus ngapain aja. Yang penting tau cerita yang akan ditampilin.

5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Penting bangetlah, biar jadi warisan ke generasi mendatang.

6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini? J : Saya orang seni, nyambung hidup dari seni. Tujuan ikut yaa untuk nambahin pemasukan keuangan.

7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Harapan sih supaya bisa pertahanain lenong supaya gak punah. Dan saya juga berharap bisa nambah ilmu. Kalo abis main lenong pasti ada aja ilmu yang didapet.

8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Ayah Marong merupakan sosok pemimpin yang bisa kita pegang, bisa di teladani lah istilahnya. Kalo ada anggotanya yang salah pasti dinasehatinnya gak di depan orang banyak. Masalah keuangan dia mah terbuka, gak ada yang ditutup-tutupin. Ayah marong juga sosok yang tegas nah makanya anggotanya pada disiplin

9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Identitas Betawi tuh yang bisa ngebuat orang lain kalo liat kita udah paham kalo kita orang Betawi, cirinya lah gitu

10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Wah banyak, misalnya dengan nampilin gambang kromong yang merupakan alat musik Betawi, dibarengin ame lagu-lagu khas Betawi. Misalnya tuh kaya jali-jali, ondel-ondel, sang bango, kicir-kicir ama yang laennya dah. Terus dengan baju yang dipake pemain, pemaen kan kalo nampil pada pake baju khas Betawi nah terakhir tuh maenin cerita-cerita yang kentel agama.

11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Ya efektif.

12. T : Adakah nilai-nilai betawai itu meresap dalam diri anda?

J : Pasti ada itu mah.

13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda? J : Misal kalo ada tetangga selametan, saya pasti dateng. Udah wajib banget itu mah hukumnya

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Robert

Umur : 58 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 23 November 2014

Lokasi : Lapangan BSD

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Marong itu udah kaya sodara sendiri, saya gabung ya mau bantuin Marong buat ngejaga kebudayaa Betawi.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : ya paling jadi bintang tamu di group laen, gak netep gitu. Tapi itu juga jarang

3. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak pake belajar

4. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : yaa pasti penting dong

5. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : tujuannya agar makin banyak yang cinta sama kesenian lenong

6. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Harapannya semoga aja lenong bisa bertahan walau banyak saingannya

7. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : yaa baik dia mah, kalo ama temen gak perhitungan. Gak pelit intinya mah. 8. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Yang ngebedain sama kebudayaan lain.

9. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Caranya itu kalo lagi manggung pemaen wajib ngomong pake bahasa Betawi, terus pemaen pake baju khas Betawi lengkap dengan golok di pinggang. Selain itu juga nampilin keahlian silat jadinya orang pada tau kalo orang Betawi itu jago silat. Maen lenong kalo gak bisa silat bahaya, golok yang dipake kan golok beneran kalo gak bisa silat bisa pala kebelah.

10. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Iya

11. T : Adakah nilai-nilai betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Ada itu mah

12. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Betawi kan Islam banget yaa, yaa saya taat sama yang nyiptain saya. Selaen itu saya kalo ngomong pasti pake bahasa Betawi, ya bisa diliat sendiri dah itu mah. Selaen bahasa saya juga demen banget sama makanan khas Betawi pecak jengkol.

TRANSKIP WAWANCARA

(Pemain Lenong Marong Group)

Nama : Rudi Jambrong

Umur : 37 Tahun

Hari/Tanggal : Minggu, 26 Oktober 2014

Lokasi : Kp. Pondok Sentul, RT 06/ 10 Ciater

1. T : Apa alasan terkuat anda memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan teater lenong Marong?

J : Awal saya itu gabung sama perkumpulan teater lenong Gaya Baru, pas Marong bentuk perkumpulan yaa saya ikut ke Marong. Marong kan paman saya, masa paman sendiri bentuk perkumpulan saya malah jadi anggota group lain.

2. T : Apakah anda hanya bermain di lenong Marong?

J : Engga, saya masih suka nampil di Gaya Baru tapi saya mengutamakan lenong Marong.

3. T : Bagaimana fungsi lenong dalam hidup anda?

J : Saya lahir di keluarga seni, Alhamdulillahnya saya memiliki darah seni yang kentel. Jadi funsgi lenong dalam hidup saya yaa untuk nyalurin kecintaan sama seni.

4. T : Bagaimana sistem pembelajaran teater lenong di lenong Marong?

J : Gak ada belajar-belajar. Misalnya mau tampil nih, pas di belakang panggung dikasih tau cerita dan perannya masing-masing. Gak ada catetan dialog, makanya kalo gak ada bakat seni mah pas nampil jadi gak lucu.

5. T : Menurut anda apakah melestarikan budaya itu penting?

J : Ya penting lah. Kalo gak dilestariin ilang nanti. 6. T : Apa tujuan anda ikut serta dalam perkumpulan teater lenong ini?

J : Ya gimana ya, buat ngelestariin budaya kaya yang tadi ditanya. Selain itu juga buat nyalurin kecintaan saya sama seni.

7. T : Apa harapan yang hendak anda capai dalam keikutsertaan teater lenong?

J : Pengen jadi pelawak yang bisa masuk tv, siapa tau bisa kaya Mang Marong

8. T : Bagaimana sosok Bapak Marong menurut anda?

J : Perhatian banget dia mah, kalo ada keluarga pemainnya sakit pasti ditengokin..

9. T : Apa pandangan anda terhadap identitas kultural Betawi?

J : Identitas Betawi itu yang menandakan siapa kita, dari mana kita, dan ciri-ciri kita yang bedain sama masyarakat lainnya.

10. T : Bagaimana cara teater lenong Marong dapat mempertegas identitas kultural?

J : Kalo lenong Marong sih nunjukin identitas betawinya dengan nampilin busana- busana khas Betawi sama senjata-senjata khasnya.

11. T : Apakah proses pembentukan identitas kultural melalui teater lenong itu efektif?

J : Efektif ko.

12. T : Adakah nilai-nilai Betawi itu meresap dalam diri anda?

J : Adalah, gak liat nih dialek abang kan Betawi banget.

13. T : Bagaiamana implementasi nilai-nilai betawi dalam kehidupan sehari-hari anda?

J : Yaa kalo komunikasi sama orang pake bahasa Betawi. Saya mah bangga sama bahasa Betawi walau banyak yang bilang norak

DATA RESPONDEN

1. Nama : Mochtar Marong

Umur : 63 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Pimpinan

Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor utama

2. Nama : Ita

Umur : 64 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Penasehat

Jabatan dalam kesenian : Pemaian dan sutradara

3. Nama : Robert

Umur : 42 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor

4. Nama : Katong

Umur : 53 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Pemain atau bodor

5. Nama : Agus

Umur : 42 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Juru Gendang

6. Nama : Ongkih

Umur : 37 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : MC dan pemain

7. Nama : Rudi

Umur : 37 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Pemain

8. Nama : Maceng

Umur : 58 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Pemain

9. Nama : Dini

Umur : 18 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Penyanyi

10. Nama : Ati

Umur : 40 tahun

Jabatan dalam perkumpulan : Anggota

Jabatan dalam kesenian : Pemain

LAMPIRAN DOKUMENTASI

Ketika wawancara dengan Bapak Marong Ketika wawancara dengan Bapak Rudi

Ketika wawancara dengan Bapak Katong Ketika wawancara dengan Bapak Robert

Salah satu alat musik gambang kromong milik Marong Group

Para pemain berganti busana khas Betawi

Beberapa pemain Marong Group

Para penonton lenong Marong Group