3 BAB 2 DATA & ANALISA 2.1 Sumber Data Data Dan Informasi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

3 BAB 2 DATA & ANALISA 2.1 Sumber Data Data Dan Informasi 3 BAB 2 DATA & ANALISA 2.1 Sumber Data Data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber, antara lain : 1. Literatur : buku, artikel elektronik, website, forum. - http://id.wikipedia.org/wiki/Si_Pitung - http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore.php?ac=161&l=si-pitung# - http://zonamobile.net/blogs/index.php?action=viewblog&bid=23095 - http://www.zonamobile.net/blogs/index.php?action=viewblog&bid=23091 - http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4940649 - http://www.kaskus.us/member.php?u=137403 – kisawung - http://alwishahab.wordpress.com/2008/04/15/hari-hari-akhir-si-pitung/ - http://ribastian.wordpress.com/2008/09/25/%E2%80%9Cmelacak-si- pitung%E2%80%9D/ - http://ardiansyah92.multiply.com/journal/item/8 - http://sahabatsilat.com/forum/aliran-pencak-silat/cingkrik/450/ - http://ruangberita.com/makam-si-pitung/ - http://ruangberita.com/pendekar-asli-indonesia-antara-kisah-nyata-dan- mitos-2/ - http://cahayapusaka.blogspot.com/2009/03/benyamin-sueb-benyamin-s- lahir-di.html 2. Film Si Pitung 2.2 Data Umum Animasi 2.2.1 Sejarah Animasi Kata “animasi` sebenarnya adalah penyesuaian dari kata “animation”, yang berasal dari kata dasar “to animate” yang dalam kamus umum Inggris- Indonesia berarti “menghidupkan”. Secara umum, animasi merupakan suatu kegiatan yang membuat benda mati menjadi terkesan hidup. Animasi adalah elemen multimedia yang menarik karena secara umum animasi dibuat dengan merekam gambar-gambar diam misalnya dengan penggambaran di kertas- kertas yang kemudian diputar ulang dengan waktu tersendiri, sehingga kemudian gambar-gambar tersebut jadi terkesan bergerak karena ilusi mata. Animasi merupakan perwujudan dari keinginan manusia yang ingin membuat gambar menjadi hidup dan bergerak. Sebenarnya, sejak zaman dulu, manusia sudah mulai melakukan teknik animasi, yakni dengan mencoba “menganimasi” gerak 3 4 gambar binatang. Hal itu terungkap oleh penemuan para ahli purbakala di gua Lascaux di Spanyol Utara, yang sudah berumur 200.000 tahun lebih, ditemukan gambar binatang dengan jumlah kaki delapan yang posisi badannya bertumpuk-tumpuk, kemudian di Mesir, ada gambar para pegulat sedang bergumul yang susunannya berurutan pada dindingyang diperkirakan dekorasi di dinding itu dibuat pada tahun 2000 sebelum Masehi, di Jepang, para arkeolog menemukan gulungan lukisan kuno yang memperlihatkan suatu alur cerita yang hidup Kerajaan Heian, sekitar tahun 794-1192. Di Eropa pada abad ke-19 sudah muncul mainan yang disebut Thaumatrope oleh Paul Roget (1828) yang berbentuk lembaran cakram tebal yang di permukaannya terdapat gambar burung dalam sangkar. Kedua sisi kiri dan kanan cakram tersebut diikat dengan seutas tali. Bila cakram tebal itu dipilin dengan tangan, maka gambar burung itu akan tampak bergerak. Dengan demikian, mainan ini bisa dikategorikan sebagai animasi klasik. Dan di tahun 1892, Emile Reynauld mengembangkan mainan gambar animasi yang disebut Praxinoscope. Mainan ini berupa rangkaian ratusan gambar yang diputar dan diproyeksikan pada sebuah cermin sehingga tampak menjadi sebuah gerakan seperti layaknya film. Mainan ini selanjutnya dianggap sebagai cikal bakal proyektor pada bioskop. Sekitar empat hingga tiga juta tahun yang lalu dalam peradaban budaya Indonesia sudah ada lukisan animasi. Hal itu dibuktikan dengan lukisan-lukisan yang ada di Gua Leang-Leang (Sulawesi), beberapa gua di Kalimantan Timur, serta gua-gua yang masih murni tersimpan di alam Papua. Di Pulau Jawa, sejak zaman dulu juga sudah ada seni “menghidupkan bayangan”, yakni seni memainkan Wayang Kulit dan beberapa jenis Wayang lainnya yang telah memenuhi semua elemen animasi seperti layar, gambar bergerak, musik dan ilustrasi. Pengembangan kamera gerak dan projector oleh Thomas Alfa Edison serta para penemu lainnya semakin memperjelas praktika dalam membuat animasi. Animasi akhirnya menjadi suatu hal yang lumrah walaupun masih menjadi “barang” mahal pada waktu itu. Bahkan Stuart Blackton, diberitakan telah membuat membuat film animasi pendek tahun 1906 dengan judul “Humourous Phases of Funny Faces”, dimana prosesnya dilakukan dengan cara menggambar kartun diatas papan tulis, lalu difoto, dihapus untuk diganti modus geraknya dan di foto lagi secara berulang-ulang. Inilah film animasi pertama yang menggunakan “stop-motion” yang dihadirkan di dunia. Kemudian pada tahun 1908, Emile Cohl dari Perancis membuat film animasi sederhana menggunakan beberapa figur batang korek api. Rangkaian gambar dengan hitam dibuat di atas kertas putih, dipotret dengan film negative sehingga figur menjadi putih dan latar belakang hitam. Pada awal abad ke dua puluh, popularitas kartun animasi mulai menurun sementara film layar lebar semakin merajai sebagai alternatif media entertainment. Publik mulai bosan dengan pola yang tak pernah berganti pada animasi yang didalamnya tidak terdapat story line dan pengembangan 5 karakter. Apa yang terjadi pada saat itu merupakan kondisi dimana mulai terentang jarak antara film layar lebar dan animasi, kecuali beberapa karya misalnya Winsor McCay yang berjudul Gertie the Dinosaur, 1914. McCay telah memulai sebuah cerita yang mengalir dalam animasinya ditambah dengan beberapa efek yang mulai membuat daya tarik tersendiri. Hal ini juga mulai terlihat pada karya Otto Messmer, Felix the Cat sekitar tahun 1913 sampai 1920. Selain itu juga dilakukan percobaan film animasi potongan dengan figure yang berasal dari potongan kayu. Kemudian pada tahun 1934, George Pal memulai menggunakan boneka sebagai figur. Selanjutnya perkembangan animasi terpenting terjadi pada sekitar tahun 1930, dimana muncul film animasi bersuara yang dirintis oleh Walt Disney melalui film “Mickey Mouse”, “Donald Duck” dan “Silly Symphony” yang diproduksi selama tahun 1928 sampai 1940. Hingga kemudian diproduksinya film animasi berdurasi panjang “Snow White and Seven Dwarf”. Demikian asal mula perkembangan teknik film animasi yang terus berkembang dengan gaya dan ciri khas tiap negara dari barat hingga timur. Terutama di Jepang, film kartun sangat berkembang hingga menguasai pasaran film animasi kartun dengan gayanya yang khas yang kita kenal dengan istilah Anime. 2.2.2 Animasi di Indonesia Dalam hal animasi Indonesia juga sangat berkembang, dari jaman pewayangan hingga jaman 3D sekarang ini. Sejarah Animasi Indonesia mulai diketahui sejak ditemukannya Cave Pinting yang bercerita mengenai binatang buruan atau hal-hal yang berbau mistis. Wayang yang merupakan cikal bakal lahirnya animasi Indonesia. Sejak tahun 1933 di Indonesia banyak koran lokal yang memut iklan Walt Disney. kemudian Pada Tahun 1955 Presiden Soekarno yang sangat menghargai seni mengirim seorang seniman bernama Dukut Hendronoto (pak Ook) untuk belajar animasi di studio Walt Disney, setelah tiga bulan ia kembali ke Indonesia dan membuat film animasi pertama bernama Si Doel Memilih animasi ini awalnya di buat untuk tujuan kampanye politik. Lalu pada tahun 1963 Ook hijrah ke TVRI dan mengembangkan animasi di sana dalam salah satu program namun kemudian program itu dilarang karena dianggap terlalu konsumtif. Pada tahun 70-an terdapat studio animasi di Jakarta bernama Anima Indah yang didirikan oleh seorang warga Amerika. Anima Indah termasuk yang mempelopori animasi di Indonesia karena menyekolahkan krunya di Inggris, Jepang,Amerika dan lain-lain. Anima berkembang dengan baik namun hanya berkembang di bidang periklanan. Di tahun 70-an banyak film yang menggunakan kamera seluloid 8mm, maraknya penggunaan kamera untuk membuat film tersebut, akhirnya menjadi penggagas adanya festival film. di festival film itu juga ada beberapa film animasi Batu Setahun, 6 Trondolo, Timun Mas yang disutradarai Suryadi alias Pak Raden (animator Indonesia Pertama). Tahun Yang ditandai sebagai tahun maraknya animasi Indonesia Ada film animasi rimba si anak angkasa yang disutradarai Wagiono Sunarto dan dibuat atas kolaborasiualangan si Huma yang diproduksi oleh PPFN dan merupakan animasi untuk serial TV. beberapa animator lokal. ada juga film animasi PetEra tahun 1980-1990-an ditandai dengan lahirnya beberapa studio animasi seperti Asiana Wang Animation bekerjasama dengan Wang Fim Animation, Evergreen,Marsa Juwita Indah, Red Rocket Animation Studio di Bandung, Bening Studio di Yogyakarta dan Tegal Kartun di Tegal Di tahun ini bertaburan dengan berbagai film animasi diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang,Satria Nusantara yang kala itu masih menggunakan kamera film seluloid 35mm, kemudian ada serial Hela,Heli,Helo yang merupakan film animasi 3D pertama yang di buat di Surabaya, Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas dan petualangan si Kancil di Era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap animasi terkenal dari jepang seperti Doraemon dan Pocket Monster Diantara sekian banyak studio animasi di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk yang paling produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket memproduksi beberapa serial animasi TV seperti Dongeng Aku dan Kau, Klilip dan Puteri Rembulan, Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek, Si Kurus dan Si Macan, pada masa ini serial animasi cukup populer karena menggabungkan 2D animasi dengan 3D animasi.Pada tahun 2003, serial 3D animasi merambah layar lebar diantaranya Janus Perajurit Terakhir, menyusul kemudian bulan Mei 2004 terdapat film layar lebar 3D animasi berdurasi panjang yaitu Homeland. 2.2.3 Animasi 2D (2 Dimensi) Animasi ini yang paling akrab dengan keseharian kita, merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan yang diruntutkan, sehingga terlihat
Recommended publications
  • The Historical Roots and Identities of Local Strongmen Groups in Indonesia
    The Historical Roots and Identities of Local Strongmen Groups in Indonesia Yanwar Pribadi 1 Abstract This paper deals with the historical roots and identities, nature and characteristics of local strongmen groups in Indonesia, and aspects of violence in Indonesia. In the rural colonial Java, there were rampok-bandits and jago groups; whereas today in Banten there are jawara groups and elsewhere in Indonesia people commonly recognized preman groups. In this paper I will focus on these four groups: rampok-bandits (or bandits), jago, jawara, and preman. These groups are parts of the long-established strongmen groups that have characterized Indonesian history. Among the questions addressed are: what is the origin and what are the characteristics of local strongmen groups in society? How does violence embody in the way of life of local strongmen groups? What is their position in society? How do they characterize local cultures in their place of origin? Keywords: Rampok-bandits, Jago, Jawara, Preman, Violence "Saya seorang jawara" (I am a jawara) -Tubagus Chasan Sochib (Tempo Interaktif, 3 December 2007) A. Introduction Perhaps there is no such bold and outspoken public figure in Banten after the collapse of the Suharto administration besides Tubagus Chasan Sochib. He was a successful tycoon and a legendary figure in the jawara world in Banten, who happened to be the father of Ratu Atut Chosiyah, a former of Banten. This paper deals with the historical roots and identities, nature and characteristics of local strongmen groups in Indonesia, and aspects of violence in Indonesia. Among the questions addressed are: what is the origin and what are the characteristics of local strongmen groups in society? How does violence embody in the way of life of local strongmen groups? Kawalu: Journal of Local Culture Vol 1, No.
    [Show full text]
  • Sejarah Budaya Pencak Silat Melalui Aktivitas Migrasi Pendekar
    SEJARAH BUDAYA PENCAK SILAT MELALUI AKTIVITAS MIGRASI PENDEKAR THE HISTORY OF PENCAK SILAT CULTURE THROUGH PENDEKAR MIGRATION ACTIVITY Suryo Ediyono Faculty of Cultural Science, Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail: [email protected] Sejarah budaya pencak silat pada hakikatnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang diturunkan generasi ke generasi sampai bentuk sekarang ini. Seni beladiri pencak silat digunakan sebagai sarana pendidikan di masyarakat Jawa. Melalui aktivitas pendekar bermigrasi dari pergurunan tradisional ke modern. Pendekar adalah seorang terhormat sebagai pemimpin di pergurua dan masyarakat. Penelitian ini bertujuan menganalisa dan mendiskripsikan sejarah budaya pencak silat melalui aktivitas migrasi di Jawa. Metode penelitian historis faktual, melalui studi pustaka pengkajian pada teks-teks pencak silat dan studi lapangan. Data kemudian dideskripsikan, dianalisis secara refleksi kritis untuk memperoleh gambaran tersebarnya pencak silat melalui aktivitas pendekar, sehingga diperoleh pemahaman secara komprehensif. Pendekar sebagai pemimpin perguruan adalah seorang tagwa, tanggap, tangguh, tanggon dan trengginas dengan sikap bijaksana dan berpengetahuan luas. Budaya pencak silat berisi beladiri, olahraga, seni dan mental spiritual sebagai satu kesatuan, yang berkembang melalui aktivitas pendekar. Kata kunci: sejarah, budaya pencak silat, aktivitas migrasi, pendekar. The history pencak silat culture in essence is effort of Indonesian nation that is developed from generation to generation till reaching current
    [Show full text]
  • Laporan Kemajuan Penelitian Strategis Nasional Institusi
    Kode/Nama Rumpun Ilmu : 512/ Sastra Indonesia Bidang Fokus : Kajian Budaya LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL INSTITUSI PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun TIM PENELITI Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502) Berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Hibah Penelitian Nomor 28/SP2H/DRPM/LPPM-UNJ/III/2019 UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019 ii PRAKATA Setu Babakan adalah suatu lokasi yang dimaksudkan sebagai representasi kebetawian di Jakarta. Pengimplementasian daerah Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (selanjutnya disingkat PBB) merupakan aktualisasi dari cita-cita dan impian masyarakat Betawi melalui organisasi kebetawian serta usaha dari para tokoh Betawi. Namun Setu Babakan sebagai pusat kebetawian yang seharusnya merepresentasikan Kampong Betawi Tempoe Doeloe dan berfungsi sebagai pusat informasi, dokumentasi, komunikasi rekreasi, edukasi yang berkaitan dengan kebetawiane masih jauh dari harapan ideal dari cita-cita dan impian awal. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini meliputi tiga tujuan pokok yang meliputi: (1) merevitalisasi kebudayaan Betawi untuk merepresentasikan identitas masyarakat Betawi, (2) mengetahui pola-pola karakteristik dalam merepresentasikan perkampungan budaya Betawi yangberbasil kearifan lokal, (3) menyusun pengembangan model
    [Show full text]
  • The Practice of Pencak Silat in West Java
    The Politics of Inner Power: The Practice of Pencak Silat in West Java By Ian Douglas Wilson Ph.D. Thesis School of Asian Studies Murdoch University Western Australia 2002 Declaration This is my own account of the research and contains as its main content, work which has not been submitted for a degree at any university Signed, Ian Douglas Wilson Abstract Pencak silat is a form of martial arts indigenous to the Malay derived ethnic groups that populate mainland and island Southeast Asia. Far from being merely a form of self- defense, pencak silat is a pedagogic method that seeks to embody particular cultural and social ideals within the body of the practitioner. The history, culture and practice of pencak in West Java is the subject of this study. As a form of traditional education, a performance art, a component of ritual and community celebrations, a practical form of self-defense, a path to spiritual enlightenment, and more recently as a national and international sport, pencak silat is in many respects unique. It is both an integrative and diverse cultural practice that articulates a holistic perspective on the world centering upon the importance of the body as a psychosomatic whole. Changing socio-cultural conditions in Indonesia have produced new forms of pencak silat. Increasing government intervention in pencak silat throughout the New Order period has led to the development of nationalized versions that seek to inculcate state-approved values within the body of the practitioner. Pencak silat groups have also been mobilized for the purpose of pursuing political aims. Some practitioners have responded by looking inwards, outlining a path to self-realization framed by the powers, flows and desires found within the body itself.
    [Show full text]
  • An Analysis of Symbolic Meanings in Palang Pintu Tradition of the Betawi Wedding Ceremony Rahman1*, Zakaria2, NKD Tristiantari3, Asri Wibawa Sakti1
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 509 4th International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE 2020) An Analysis of Symbolic Meanings in Palang Pintu Tradition of the Betawi Wedding Ceremony Rahman1*, Zakaria2, NKD Tristiantari3, Asri Wibawa Sakti1 1Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia 2Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah STAI, Binamadani Tangerang Indonesia 3Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha Bali Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT Palang Pintu tradition is one of the Betawi ethnic cultural heritage which is performed in the process of a wedding ceremony. Besides enacted as a performance to entertain people, Palang Pintu is loaded with cultural literacy. The purpose of the study is to find out a comprehensive description of symbolic meanings and literary appreciation learning in Palang Pintu tradition of the Betawi wedding ceremony. The performance process of Palang Pintu contains remarkable values namely reading salawat indicating that the Betawi people always obey the Islamic value., The pukul/beklai (a form of martial arts) is a symbol that a man as the head of the family and must be able to protect his household; and lantunan sike (reciting the verses of the Holy Qur’an) implies that a man is a leader in his household. Furthermore, berbalas pantun (pantun speech) in Palang Pintu tradition is one form of the literary appreciation. The method used is the descriptive analysis of literature studies, observation and interviews with experts were done as the triangulation of the data. The study found that Palang Pintu tradition has symbolic values such as leadership, religiosity that can be used as an opportunity for children’s literacy appreciation learning.
    [Show full text]
  • Ethnicized Violence in Indonesia: the Betawi Brotherhood Forum in Jakarta
    David Brown and Ian Wilson Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta Working Paper No.145 July 2007 The views presented in this paper are those of the author(s) and do not necessarily reflect those of the Asia Research Centre or Murdoch University. Working papers are considered draft publications for critical comments by colleagues and will generally be expected to be published elsewhere in a more polished form after a period of critical engagement and revision. Comments on papers should be directed to the author(s) at [email protected] or [email protected] A revised version of this paper is published in Nationalism and Ethnic Politics, 13 (3), July 2007: 367-403 © Copyright is held by the author(s) of each working paper: No part of this publication may be republished, reprinted or reproduced in any form without the permission of the paper’s author(s). National Library of Australia. ISSN: 1037-4612 Abstract Ethnic gang violence is often depicted as a clash between criminals pursuing instrumental advantage, and also as a clash of ideological fanatics pursuing collective nationalist, ethnolinguistic or ethnoreligious rights. However, there is an apparent tension between the conceptualization of such violence as the rational self-interest of deprived individuals, and as the irrational fanaticism of anomic communities. The examination of one particular ethnic gang, the Betawi Brotherhood Forum which operates in Jakarta, Indonesia, indicates how both dimensions of violence coexist and interweave. The apparent analytical tension between individualistic pragmatism and collectivist moral absolutism is resolved by showing how the gang responds to their disillusionment with the state by constructing for themselves a ‘state proxy’ role.
    [Show full text]
  • Mitos Silat Beksi Betawi (Yuzar Purnama) 283 MITOS SILAT BEKSI BETAWI MYTHS in BEKSI SELF-DEFENSE ARTS of BETAWI
    Mitos Silat Beksi Betawi (Yuzar Purnama) 283 MITOS SILAT BEKSI BETAWI MYTHS IN BEKSI SELF-DEFENSE ARTS OF BETAWI Yuzar Purnama Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung-Bandung 42094 Tep/Fax. e-mail: [email protected] Naskah Diterima: 16 April 2018 Naskah Direvisi: 18 Juli 2018 Naskah Disetujui: 10 September 2018 Abstrak Silat beksi adalah penamaan dunia persilatan pada masyarakat Betawi. Silat beksi merupakan ilmu bela diri maen pukulan dengan empat pertahanan tubuh dari serangan lawan. Ilmu bela diri ini merupakan percampuran antara jurus silat Betawi dengan jurus-jurus bela diri dari Negeri Cina. Silat beksi sampai sekarang masih tumbuh dan berkembang pada masyarakat Betawi dibuktikan dengan adanya 120 sanggar silat beksi di Jakarta, hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengkaji apa yang menyebabkan produk budaya ini dapat bertahan bahkan berkembang. Ruang lingkup penulisan mencakup, Apakah yang dimaksud masyarakat Betawi? Apakah silat beksi itu? Adakah mitos silat beksi? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskripsi. Kesimpulan penelitian, silat beksi bagi masyarakat Betawi memiliki nilai keagungan dan keluhuran, sehingga untuk mengungkapkannya munculah mitos-mitos misalnya ilmu ini diajarkan oleh makhluk jelmaan macan putih atau harimau. Kata kunci: mitos, Silat Beksi, dan masyarakat Betawi. Abstract Beksi silat is the name of the martial world in the Betawi community. Beksi silat is a martial arts style with four body defenses against opponents. This martial art is a mixture of Betawi and China martial arts. Beksi silat is still growing and developing in the Betawi community as evidenced by the existence of 120 Beksi silat studios in Jakarta.
    [Show full text]
  • Investment of Self-Confidence in Cingkrik Rawa Belong Pencak Silat for Elementary School Students
    Al-Adzka: Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah p-ISSN: 2088-9801 | e-ISSN: 2597-937X Vol. 11, No. 1 (June 2021), PP. 10 – 18 INVESTMENT OF SELF-CONFIDENCE IN CINGKRIK RAWA BELONG PENCAK SILAT FOR ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS Sa'odah1* and Mamat Supriatna2 1,2Primary Education Department, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia *Email: [email protected] Website: https://jurnal.uinantasari.ac.id/index.php/adzka Received: 2 October 2020; Accepted: 20 April 2021; Published: 23 June 2021 DOI: 10.18952/aladzkapgmi.v11i1.3983 ABSTRACT This article aims to describe thoroughly the value of self-confidence in Pencak Silat activities for elementary school students. The scope includes the value of self-confidence in Pencak Silat Cingkrik Rawa Belong. The research method used is a literature review and field visits that include observation and interviews. The research subjects were the head of the Lengkong Arts and Culture House Foundation and the research object was elementary school students who were active in Pencak Silat activities in elementary schools. The research sites are the Cingkrik Rawa Belong Lengkong Cultural Art House and the Primary School in Tangerang. The instruments used were interviews and observation. The result of this research is that the value of self-confidence in Pencak Silat activities is the value obtained by children from training or Pencak silat activities and then retrained through the experience of the championships that have been followed The use-value contained in the Cingkrik Pencak Silat activity can be used as learning to instill confidence in elementary school students. Keywords: cingkrik pencak silat; self-confidence values; elementary school INTRODUCTION Pencak Silat is the result of the culture of Indonesian people in terms of self-defense, self-defense, and the surrounding environment to achieve harmony in life to increase faith and piety (Pratama, 2018; Gristyutawati, Earrings Dien, 2012; and Mardotillah & Zein, 2017).
    [Show full text]
  • Beyond the City Wall: Society and Economic Development in The
    Beyond the city wall : society and economic development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740 Kanumoyoso, B. Citation Kanumoyoso, B. (2011, June 1). Beyond the city wall : society and economic development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740. Retrieved from https://hdl.handle.net/1887/17679 Version: Not Applicable (or Unknown) Licence agreement concerning inclusion of doctoral thesis in the License: Institutional Repository of the University of Leiden Downloaded from: https://hdl.handle.net/1887/17679 Note: To cite this publication please use the final published version (if applicable). BEYOND THE CITY WALL Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740 Proefschrift ter verkrijging van de graad van Doctor aan de Universiteit Leiden, op gezag van Rector Magnificus prof. mr. P.F. van der Heijden, volgens besluit van het College voor Promoties ter verdedigen op woensdag 1 juni 2011 klokke 13.45 uur door Bondan Kanumoyoso geboren te Madiun, Indonesia in 1972 i Promotiecommissie Promotor: Prof. dr. J.L. Blussé van Oud-Alblas Overige Leden: Prof. dr. H.W. van den Doel Prof. dr. K.J.P.F.M.C. Jeurgens Dr. J.Th. Linblad Dr. H.E. Niemiejer (Universiteit Kampen) Dr. R. Raben (Universiteit Utrecht) ii TABLE OF CONTENTS List of Illustrations vi List of Maps vii List of Tables viii ACKNOWLEDGEMENTS ix CHAPTER ONE : INTRODUCTION 1 CHAPTER TWO: THE LANDSCAPE OF THE OMMELANDEN Introduction 14 1. The geographical features 14 2. Boundary formation 19 3. Water control and irrigation 28 4. The deforestation problem 34 5. Ecological deterioration 40 CHAPTER THREE: LOCAL ADMINISTRATION Introduction 47 1.
    [Show full text]
  • Discourse and Identity in the Indonesian Short Animation
    REVIEW OF INTERNATIONAL GEOGRAPHICAL EDUCATION ISSN: 2146-0353 ● © RIGEO ● 11(5), SPRING, 2021 www.rigeo.org Research Article Discourse and Identity in the Indonesian Short Animation “Si Pitung” Arief Ruslan1 Siti Karlinah2 Faculty of Communication Science, Universitas Faculty of Communication Science, Universitas Padjadjaran Padjadjaran [email protected] [email protected] Dadang Rahmat Hidayat3 Engkus Kuswarno4 Faculty of Communication Science, Universitas Faculty of Communication Science, Universitas Padjadjaran Padjadjaran [email protected] [email protected] Corresponding author: Faculty of Communication Science, Universitas Padjadjaran Email: [email protected] Abstract This article discusses how discourse construction and Betawi identity were formed in the short animation Si Pitung produced by Kastari Sentra. Si Pitung is not only local folklore in Indonesia but also a symbol of the culture and identity of the Betawi people. Kastari Sentra was chosen as the research subject because it was a popular production house that consistently made historical and cultural animations specifically for children. The study used qualitative methods as a unit of interpretivism. Through textual analysis, the texts were employed as a basis for interpretation and correlated with the socio-culture in building discourse and Betawi identity. Laclau & Moufee's (2001) text analysis’s framework was used to examine the nodes between texts as constructs of discourse and identity. The analysis will unravel the idealistic constructions of the resulting cultural figures. The results of this study indicated that Si Pitung was represented as an ideal character of a hero who actedto carry out the values of justice and truth. Character idealism was formed through collective awareness and intensity in identifying local Betawi heroes.
    [Show full text]
  • STRONGMEN and RELIGIOUS LEADERS in JAVA: Their Dynamic Relationship in Search of Power
    STRONGMEN AND RELIGIOUS LEADERS IN JAVA: Their Dynamic Relationship in Search of Power Yanwar Pribadi State Institute for Islamic Studies (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia; PhD Candidate at Leiden University, the Netherlands. Abstract The central purpose of this paper is to explore the dynamic relationship between Javanese strongmen and religious leaders in search of power. Two groups of strongmen—jago in Central and East Java and jawara in Banten—and religious leaders, such as kyai, tarekat teachers and guru ngaji are the subjects of this discussion. I present two groups of strongmen and religious leaders and sketch how both groups, through their socio-political as well as religious roles, preserve the values of the Javanese and Bantenese. Religious leaders and strongmen have been the source of informal traditional leadership, particularly in villages. Religious leaders have represented leadership in knowledge, while strongmen have represented leadership with regard to braveness and physical- magical power. The most visible roles of the strongmen are as power brokers. In the meantime, religious leaders have to be aware of the risk of being alienated and isolated from their horizontal networks within religious circles, but also more importantly, that their high position in society will gradually fade away if they place themselves too close to strongmen and the authorities. Keywords: Jago, jawara, kyai, power relations A. Introduction Rural people in Indonesia are vulnerable. In Java, during the Dutch colonial period, there was enough population pressure to keep incomes Yanwar Pribadi low and underemployment common. People in the countryside were poorly connected with each other. During this time when emigration was difficult and the protection of the central state uncertain, rural inhabitants remained eminently vulnerable.
    [Show full text]
  • Watching Si Doel to Nyak, Babe, and Abang, and in Loving Memory of Encang Ben Van Bronckhorst
    WATCHING SI DOEL To Nyak, Babe, and Abang, and in loving memory of Encang Ben van Bronckhorst Cover illustration: The krismon forced Karnos Film to shoot a scene about Doel in Switzerland on a refuse dump in Jakarta (courtesy of Karnos Film) VERHANDELINGEN VAN HET KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE 242 Klarijn Loven WATCHING SI dOEL Television, language, and cultural identity in contemporary Indonesia KITLV Press Leiden 2008 Published by: KITLV Press Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) PO Box 9515 2300 RA Leiden The Netherlands website: www.kitlv.nl e-mail: [email protected] KITLV is an institute of the Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW) Cover: Creja ontwerpen, Leiderdorp ISBN 978 90 67182-79-6 © 2008 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde No part of this publication may be reproduced or transmitted in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopy, recording, or any information storage and retrieval system, without permission from the copyright owner. Printed in the Netherlands Contents Introduction: Watching Si Doel, studying Indonesian television 1 Si Doel and the New Order 3 Theoretical framework 5 Previous studies on media, discourse, and Indonesian media 9 ‘Unframing’ Si Doel: The DVD 11 Part I Si Doel, a discourse of Indonesian television I From Balai Pustaka to UNICEF The mediatization of ‘Betawi Doel’ 17 Child of Betawi, the movie 22 Child of modernity 27 Educated
    [Show full text]