Kode/Nama Rumpun Ilmu : 512/ Sastra Bidang Fokus : Kajian Budaya

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL INSTITUSI

PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

Berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Hibah Penelitian Nomor 28/SP2H/DRPM/LPPM-UNJ/III/2019

UNIVERSITAS NEGERI AGUSTUS 2019

ii

PRAKATA

Setu Babakan adalah suatu lokasi yang dimaksudkan sebagai representasi kebetawian di Jakarta. Pengimplementasian daerah Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (selanjutnya disingkat PBB) merupakan aktualisasi dari cita-cita dan impian masyarakat Betawi melalui organisasi kebetawian serta usaha dari para tokoh Betawi. Namun Setu Babakan sebagai pusat kebetawian yang seharusnya merepresentasikan Kampong Betawi Tempoe Doeloe dan berfungsi sebagai pusat informasi, dokumentasi, komunikasi rekreasi, edukasi yang berkaitan dengan kebetawiane masih jauh dari harapan ideal dari cita-cita dan impian awal. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini meliputi tiga tujuan pokok yang meliputi: (1) merevitalisasi kebudayaan Betawi untuk merepresentasikan identitas masyarakat Betawi, (2) mengetahui pola-pola karakteristik dalam merepresentasikan perkampungan budaya Betawi yangberbasil kearifan lokal, (3) menyusun pengembangan model berkarakteristik perkampungan budaya Betawi berbasis lokalitas dan industri kreatif untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Betawi. Untuk itu, komponen-komponen indikator untuk menjaring formula dari bentuk pengembangan harus terus dilakukan sebagai arahan dalam meningkatkan potensi dan kemampuan sumber-sumber yang dimiliki agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai persoalan kebudayaan, karakteristik penelitian revitalisasi budaya Betawi menarik untuk diteliti secara etnografis dengan memusatkan perhatian pada sistem pengetahuan yang dimiliki subjek dan bagaimana pengetahuan itu diorganisasikan untuk menentukan tindakan. Selain itu, metode etnografi digunakan untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupannya. Pendekatan ini lebih bersifat holistik-integratif dan analisis deskriptif kualitatif dalam rangka mendapatkan native’s point of view. Hasil yang ditargetkan buku ajar berupa model karakteristik perkampungan budaya Betawi berbasis lokalitas dan industri kreatif. Luaran yang ditargetkan tahap III terdiri atas dua jenis, yaitu luaran wajib dan luaran tambahan.Luaran wajibnya adalah Feasibility Study (studi kelayakan). Adapun luaran tambahan adalah 1) Publikasi Ilmiah Jurnal Nasional Terakreditasi, yang rencana akan diterbitkan di jurnal LITERA UNY, 2) buku Ajar ber-ISBN yang terbit pada badan penerbit yang sudah terdaftar di IKAPI, 3) Hak Cipta, dan 4) Artikel dipublikasikan di Prosiding Internasional HISKI XXVIII di Aceh 2019, serta sebagaibagian penutup sekaligus uji coba dan pelaksanaan buku model industri kreatif PBB dan media dokumenter sebagai bentuk keberadaan karakter Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yang diberikan oleh tokoh dan ahli Budaya Betawi.

Adapun Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) dari penelitian tahun III ini telah ditunjang oleh kemampuan teknologi tahun I dan II, tujuannya untuk mengembangkan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sebagai trend setter, yaitu sebagai perkampungan budaya yang memperkenalkan dan menjual hal yang berbeda bagi para pengunjungnya. Termasuk sebagai pusat kajian atau tempat untuk mengapresiasi pertunjukan seni budaya Betawi yang berkarakter. Hal ini sesuai para tokoh Betawi bersinergi dengan pemerintah untuk mewujudkan satu pusat informasi, komunikasi, rekreasi, edukasi yang terkait dengan kebetawian. Bersama Setu Babakan adalah suatu lokasi yang dimaksudkan sebagai representasi kebudayaan Betawi di Jakarta. Pengimplementasian daerah Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (PBB).

Jakarta, 25 Agustus 2019

Ketua Peneliti,

Dr. Siti Gomo Attas, M.Hum.

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...... i Halaman Pengesahan ...... ii Prakata ...... iii Daftar Isi ...... v

BAB I Pendahuluan ...... 1 A. Latar Belakang Penelitian ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 2 C. Tujuan Penelitian ...... 2 D. Manfaat/Urgensi Penelitian ...... 2

BAB II Tinjauan Pustaka ...... 3 A. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ...... 3 B. Karateristik Budaya Betawi ...... 4 C. Kearifan Lokal Etnik Betawi ...... 4 D. Industri Kreatif ...... 5

BAB III Metode Penelitian ...... 7 A. Metode Penelitian ...... 7 B. Waktu Penelitian ...... 10

BAB IV Laporan Hasil Penelitian ...... 12 A. Profil Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ...... 12 B. Pengelolaan Industri Kreatif Pertunjukan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ...... 14 C. Pengelolaan Industri Kreatif Kuliner Betawi di PBB Setu Babakan ...... 46 D. Pengelolaan Industri Kreatif Batik Betawi PBB Batik Betawi Setu Babakan ...... 54 E. Nilai Karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sebagai Nilai Kearifan Lokal ...... 62

BAB V Kesimpulan dan Saran ...... 78 A. Kesimpulan ...... 78 B. Saran ...... 78

Daftar Pustaka Lampiran

v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan sebagai cermin budaya lokal Betawi yang berfungsi sebagai pusat budaya, keberadaannya dapat menjadi media apresiasi para wisatawan, peneliti, dan masyarakatnya terhadap potensi yang ada. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) harus menjadi tempat rekreasi sekaligus sebagai pusat informasi untuk menambah pengetahuan tentang karakteristik kebetawian. Laporan penelitian tahun I dan II dari penelitian ini yang berjudul ―Pengembangan Model karakteristik Perkampungan Budaya Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal Berbasis Industri Kreatif‖ telah memetakan bagaimana karakteristik budaya Betawi di PPB ini dapat mempersembahkan pengelolaan pertunjukan dan berbagai kerajinan dan kuliner dalam pertunjukan prosesi budaya Lebaran Betawi sesudah hari raya Idul Fitri (Attas dkk, 2017). Kehadiran Setu Babakan juga dianggap sebagai simbol identitas, adanya upaya bertahan dari gempuran modernisasi dan globalisasi. Begitulah, Setu Babakan telah dilihat sebagai wilayah yang masih memelihara keaslian budaya Betawi, ketika di tempat-tempat lain di Jakarta sudah tidak ada lagi. Setu Babakan seperti membayar kembali kerinduan orang akan kawasan konservasi budaya Betawi yang sebelumnya ada di Condet, Jakarta Timur. Menurut Yuwono dkk. (2010), bahwa kondisi inilah yang membuat para tokoh Betawi bersinergi dengan pemerintah untuk mewujudkan satu pusat informasi, komunikasi rekreasi, edukasi yang terkait dengan kebetawian. Penelitian pengembangan model karakteristik Perkampungan Budaya Betawi PBB melalui industri kreatif telah dilakukan penelitian pada tahun I dan II. Selanjutnya tahun III pengembangan model karakter yang telah dioptimalkan dalam industri kreatif perlu didesiminasikan, yaitu pertangungjawaban peneliti berupa hasil penelitian yang harus diketahui oleh stakeholder dan masyarakat luas. Bentuk dari hasil penelitian tahun III ini berupa desiminasi dengan menghasilkan media dokumenter karakter PBB akan dinilai oleh tokoh budaya dan tokoh masyarakat. Termasuk publikasi hasil penelitian ini dalam makalah Prosiding Internasional HISKI XXVIII di Aceh 2019 dan artikel Jurnal Litera terbitan 2019.

1

B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokok dalam penelitian ini dioperasionalkan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk model bahan ajar karakteristik PBB Setu Babakan sebagai wujud untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Setu Babakan dan dapat dijadikan model perkampungan budaya di seluruh Indonesia? 2. Bagaimana model media dokumenter dalam menggambarkan karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan melalui industri kreatif?

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk model bahan ajar karakteristik PBB Setu Babakan sebagai wujud untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Setu Babakan dan dapat dijadikan model perkampungan budaya di seluruh Indonesia; 2. Untuk mengetahui model media dokumenter dalam menggambarkan karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang memiliki karakteristik

D. Manfaat/Urgensi Penelitian Adapun urgensi penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis dapat bermanfaat terhadap pengembangan model karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, khususnya dan umumnya perkampungan budaya di wilayah lain di Indonesia termasuk pengelolaan wujud karakteristik pertunjukan dan prosesi budaya yang ditampilkan di PBB Setu Babakan. Secara praktis dapat bermanfaat sebagai upaya pengembangan dan pemeliharaan kearifan lokal. Terhadap pengembangan model karakteristik dan untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda khususnya generasi muda masyarakat Betawi serta bagaimana memajukan ekonomi masyarakat melalui industri kreatif di wilayah Setu Babakan dan perkampungan budaya di wilayah lain di seluruh Indonesia.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Penelitian mengenai Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sudah dilakukan oleh Rahmad Hidayat (2010) bahwa pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dari Condet ke Srenseng Sawah, dengan perspektif perubahan sosial. Condet dianggap sebagai cagar budaya yang padat penduduk tidak dapat lagi dapat dikembangkan sebagai pusat budaya sedangkan Setu Babakan masih luas untuk bisa dikembangkan untuk mengangkat karakteristik budaya Betawi. Lebih lanjut bahwa pola pemukiman Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan menggunakan pola permukiman mengelompok dengan bentuk melingkar mengikuti Setu/Danau Babakan dan memiliki karakteristik pola distribusi penyebaran berkelompok. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nirata Samadhi (2003) bahwa keberhasilan suatu model perancangan ruang kota ditentukan oleh karakterisrik interaksi antara sosial kultural dengan lingkungan fisik. Keberadaan Pusat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang terletak di Kampung Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Kampung Setu Babakan seluas 289 hektar didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 9 tahun 2000. Prapto Yuwono dkk. (2010) membahas peran dan fungsi kampung Setu Babakan dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian Betawi. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peran dan fungsi Setu Babakan belum maksimal. Setu Babakan diharapkan dapat dijadikan pusat perkampungan budaya Betawi sebagai trend setter sehingga wisatawan dan peneliti atau orang yang datang ke Setu Babakan dapat mengapresiasi pertunjukan yang dibutuhkan. Perlu ada upaya untuk membuat model karakteristik pertunjukan di PBB Setu Babakan. Peneliti mengenai pemetaan seni budaya Betawi dilanjutkan oleh Fahrurodji dkk. (2010) bahwa temuan seni budaya Betawi yang dikumpulkan yaitu seni sastra, seni suara, seni musik, seni tari, seni teater, dan seni rupa yang awalnya berpusat di tengah kota kini beralih ke pinggiran Kota Jakarta. Penelitian ini juga sebagai informasi kantong-kantong komunitas seniman Betawi yang kini berdomisili di luar Kota Jakarta. Penelitian ini penting sebagai pemetaan awal penelitian.

3

B. Karateristik Budaya Betawi Penelitian mengenai karakteristik pertunjukan budaya telah ditulis oleh D. Dloyana Kusumah (2014) berjudul ―Pendidikan Karakter dalam Pertunjukan Dalang Jemblung: Kajian Peran dan Fungsi Kesenian Dalang Jemblung di Masyarakat Jawa Tengah‖. Jurnal Jantra Vol. 9, No.2, Desember 2014 ISSN 1907 – 9605, bahwa dalam pertunjukan Dalang Jemblung sebagai media untuk menyampaikan pendidikan karakter. Selanjutnya menurut Setiyadi (2000) bahwa pengembangan model ke arah pariwisata yang tidak memperhatikan nilai-nilai kebudayaan yang di dalamnya dijiwai oleh satu cita-cita akan adanya hubungan timbul balik antara pariwisata dengan kebudayaan sangat penting perannya bagi pariwisata. Kebudayaan tidak sekedar dinikmati, tetapi sekaligus sebagai media untuk membina sikap saling pengertian, toleransi, dan hormat menghormati antarbangsa. Termasuk penelitian mengenai Topeng Betawi dengan berbagai persoalannya di masyarakat, pertarungan para pemain agar bisa eksis digambarkan secara antropologi oleh peneliti, hal ini dapat membantu bagaimana kondisi topeng Betawi di era tahun 70-80-an saat itu selanjutnya dapat dilihat perkembangan topeng Betawi sebagai model karakteristik pertunjukan di masyarakatnya (Kleden, 1987 dan Kiftiawati, 2011). Termasuk penelitian yang dapat menunjukkan karakteristik PBB Betawi Setu Babakan, seperti penelitian Atik Sopandi dkk. (1992) mengenai pertunjukkan Gambang Rancag, Teather Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik, Sahibul Hikayat dan Hikayat (Memlahatun dan R. Djumala, 2010).

C. Kearifan Lokal Etnik Betawi Lelly Qodaria dan Laely Armiyati (2013) bahwa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat Kampung Naga sebagai alternatif sumber belajar, yaitu kepemimpinan, interaksi sosial dan tata cara hidup, kepedulian lingkungan dapat dijadikan sumber belajar di kelas VII dan Kelas VIII. Hal mengenai kearifan lokal di sebuah perkampungan adat juga dilakukan di Bogor, menurut Asep Dewantara (2013) bahwa peran elit masyarakat di Kampung Adat Urug Bogor dapat menjaga keberlangsungan adat sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Nilai kearifan lokal paketan masyarakat Betawi Bekasi juga dapat dijadikan nilai kearifan lokal, tulisan Yudho Pratomo (2017) bahwa budaya paketan bagi orang Betawi Bekasi masih terus dijalankan, namun kendala keberlangsungannya disebabkan masyarakat Betawi Bekasi semakin berkurang dan tergusur ke pinggir. Selanjutnya tulisan Magdalia Alfian (2013) mengenai potensi kearifan lokal

4 dalam pembentukan jati diri sebagai karakter bangsa, menurutnya dapat bertahan jika dihidupkan kembali di dalam konteks sekarang, seperti nilai disiplin, budaya tepat waktu, budaya demokrasi, saling menghormati toleransi. Tulisan Suswandari (2017) bahwa kearifan lokal etnik Betawi sebuah mapping sosio kultural di masyarakat Asli Jakarta, dapat dijabarkan meliputi kearifan lokal sebagai kekayaan intelektual etnik, termasuk bentuk kearifan lokal etnik Betawi, nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi, dan nilai kearifan lokal etnik Betawi sebagai sumber Belajar.

D. Industri Kreatif Tulisan mengenai karakristik budaya Betawi yang dapat transformasi dalam budaya berupa industri kreatif yang dapat menciptakan daya saing seperti tulisan Ema Bisri (2012) dalam Jurnal Makara Universitas Indonesia telah berhasil dalam merekonstruksi dan mendekonstruksi budaya batik Betawi yang telah mulai hilang. Upaya yang konsisten dan berkelanjutan ini menjadi alasan Universitas Indonesia memberikan penghargaan Makara Utama Bidang Sosial Budaya UI pada tanggal 12 Februari 2012. Perlunya pengembangan pariwisata juga sudah banyak dikembang di wilayah yang telah memiliki karakter. Misalnya Perkampungan Njayengan sebagai perkampungan budaya pembuatan dan perdagangan Intan di Surakarta sudah dikenal sejak 1746 M. Namun seiring dengan banyaknya persaingan dan semakin sulitnya bahan baku Intan, sedikit demi sedikit mengalami gulung tikar. Namun ada upaya untuk mengembangkan Njayengan mengembalikan masa kejayaan industri permata kampung Banjar di Kelurahan Njayengan melalui suatu usaha pengembangan kawasan berbasis industri kreatif berdasar potensi budaya dan pemberdayaan masyarakat setempat. Industri kreatif juga perlu ada upaya inovasi menurut Adi Ankafia dkk. (2016) bahwa untuk mengembangkan industri batik, berdasarkan sejarah tidak lepas dari letak strategis yang dimiliki oleh kampung budaya yang memilikinya. Semua rancangan teori dan konsep yang telah diuraikan di atas sebagai studi pendahuluan penelitian yang akan mengembangkan model karakteristik perkampungan budaya Betawi di Setu Babakan berbasis industri kreatif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat perkampungan budaya terutama untuk dapat diakselerasikan dan ditingkatkan kualitasnya bila terdapat pedoman yang jelas, holistik, dan komprehensif untuk membawa Pusat Perkampungan Budaya Betawi menjadi trend setter kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang dicita-citakan.

5

Bagan dan road map penelitian dapat dilihat sebagai berikut.

Bagan 1. Bagan dan Road Map Penelitian Stranas Institusi Tahun 2019

6

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah etnografi dengan menggunakan R&D. Penelitian yang dikembangkan dengan model bahan ajar yang berisikan tentang materi-materi perkampungan Setu Babakan yang telah dipertunjukan di Perkampungan Setu Babakan. Penelitian ini menggunakan model pengembangan Research & Development (R&D) yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji kevalidan produk tersebut. Dalam Setyosari (2012:34) langkah-langkah pengembangan ini menggunakan model yang dicetuskan oleh Borg and Gall (1983) yang memiliki sepuluh langkah kerja meliputi; 1) Pengumpulan informasi awal 2) Perencanaan 3) Pengembangan bentuk awal 4) Uji coba skal kecil 5) Revisi Produk 6) Uji coba terbatas 7) Revisi Produk 8) Uji Kelayakan 9) Revisi Produk 10) Desiminasi dan Implementasi.

Bagan 2. Model R&D Borg and Gall (Setyosari, 2012)

7

Pemilihan peneliti menggunakan karena dengan model Borg and Gall memiliki validasi tinggi yang telah diuji oleh beberapa ahli. Tujuan model itu sendiri adalah untuk mengembangkan model atau produk yang efektif guna memenuhi kepentingan kegiatan program tertentu pada instansi tertentu pula yang pada penelitian ini menekankan pada analisis kebutuhan masyarakat di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian ini direncanakan pelaksanaannya dalam tiga tahun. Tahun pertama (2017), yaitu bulan 1-4 merancang bahan ajar, yang dimulai dari kajian sejarah dan struktur pertunjukan seni budaya Betawi di Setu Babakan dengan analisis teks, konteks, dan konteksnya. Bulan 4-8 pemaknaan terhadap isi dan fungsi pertunjukan seni budaya Betawi di Setu Babakan. Selanjutnya bulan 8-12 merancang model bahan ajar dan hasilnya akan dibuat artikel berupa publikasi ilmiah di dalam seminar internasional. Tahun kedua (2018), yaitu bulan 1-4 akan membuat bahan ajar karakteristik pada bagian pembuka. Bulan 4-8 penyusunan buku model pengelolaan industri kreatif tahap II, yaitu bagian isi, dan bulan 8-12 penyusunan penutup buku model pengelolaan tahap III, bagian penutup sekaligus uji coba dan pelaksanaan buku model industry kreatif. Tahun ketiga (2019), yaitu diseminasi bahan ajar dan sosialisasi model berupa pembuatan poster, dan buku model karakteristik pertunjukan PBB di Setu Babakan. Langkah-langkah tersebut di atas kemudian dijabarkan kedalam tahapan-tahapan kegiatan penelitian, waktu pelaksanaan, dan luaran penelitian setiap tahun sebagaimana dijelaskan di bawah ini: Adapun diagram alir yang menggambarkan metode penelitian ini sebagai berikut.

8

Bagan 3. Diagram alir penelitian

Adapun tahapan penelitian tahun III dan capaian yang ditargetkan adalah sebagai berikut: TAHAPAN CAPAIAN YANG DITARGETKAN PENELITIAN TAHUN III Bulan 1-4 Bahan ajar yang telah diperbaiki dicetak jadi bahan ajar dan siap diimplementasikan kepada pengunjung PBB Setu Babakan. Bulan 4-8 Mensosialisasikan bahan ajar hasil terbitan ke beberapa perguruan tinggi, instansi pemerintah, dan beberapa sanggardisesuaikan dengan etnik masyarakat komunitas masyarakat Betawi, termasuk dalam dan luar Pekampungan Betawi. Bulan 8-12 Melakukan diseminasi bahan ajar karakteristik PBB Setu Babakan dan penyebaran kepada berbagai pihak dengan media documenter dan publikasi maupun cara-cara difusi lainnya.

9

Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

Instansi No Nama/NIDN Bidang Ilmu Uraian Tugas Asal 1 Dr. Siti Gomo Universitas Sastra Ketua, bertugas mengorganisir semua Attas, M.Hum Negeri Indonesia kegiatan mulai dari publikasi dan Jakarta documenter, serta percetakan bahan 0028087002 ajar yang siap diimplementasikan kepada pengunjung PBB Setu Babakan. Selain itu, ketua juga bertanggung jawab pada pengusulan HAKI. 2 Dr. Gres Grasia Universitas Sastra Anggota 1, bertugas mensosialisasikan Azmin, M.Si Negeri Indonesia bahan ajar ke beberapa perguruan Jakarta tinggi, instansi pemerintah DKI, dan 0001068003 beberapa sanggar disesuaikan dengan etnik masyarakat Betawi di PPB Setu Babakan. 3 Dr. Marwiah, Universitas Pendidikan Anggota 2, bertugas sebagai pelaksana S.Pd., M.Pd. Muhamma Bahasa proses diseminasi bahan ajar melalui 0904026502 diyah Indonesia media dokumenter dan publikasi di Makassar jurnal nasional terakreditasi dan prosiding internasional.

4 2 Orang Asisten Universitas Tenaga Membantu penyiapan bahan, Negeri Administrasi percetakan, alat dan pelaksanaan media Jakarta dokumenter, serta administrasi.

B. Waktu Penelitian

Tahun ke-1 Bulan No Nama Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Analisis kebutuhan, dan analisis kondisi pembelajaran 2 Studi Pustaka 3 Merancang Model 4 Seminar Tahun I 5 Artikel Jurnal Nasional Terakreditasi

10

6 Makalah Seminar Nasional 7 Poster dan brosur 8 Kajian kebijakan seni budaya 9 Penyusunan laporan Tahun I

Tahun ke-2 Bulan No Nama Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Perencanaan penelitian tahun II 2 Pelaksanaan penelitian tahun II 3 Draf model bahan ajar 4 Uji model bahan ajar 5 Revisi 6 Produksi bahan ajar 7 Makalah seminar internasional 8 Artikel jurnal nasional terakreditasi 9 HAKI

Tahun ke-3 No Bulan Nama Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Perencanaan penelitian tahun III 2 Pelaksanaan penelitian tahun III 3 Produk akhir dan diseminasi 4 Feasibility Study (studi kelayakan) 5 Publikasi Ilmiah Jurnal Nasional Terakreditasi 6 Publikasi buku Ajar model industri kreatif PBB ber-ISBN 7 Hak Cipta 8 Prosiding Internasional 9 Model media dokumenter UPK- PBB Setu Babakan

11

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Profil Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan media apresiasi para wisatawan, peneliti, dan masyarakatnya terhadap potensi yang ada. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) harus menjadi tempat rekreasi sekaligus sebagai pusat informasi untuk menambah pengetahuan tentang karakteristik kebetawian. Keberadaan Pusat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang terletak di Kampung Srengseng Sawa, Kecamatan Jaga Karsa Jakarta Selatan. Perkampungan Setu Babakan seluas 289 hektar didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 9 tahun 2000. Gapura masuk dengan ukiran kayu yang unik sebagai pintu utama, Ketika memasuka area pertunjukan terdapat bangunan rumah kayu berarsitektur kebetawian. Selain bangunan rumah dengan hiasan pagar kayu berukir, juga terdapat panggung besar di areal tengah. Panggung dikitari oleh tempat duduk penoton yang berbentuk U bersusun dan dibelakang tempat penonton dibatasi oleh bangunan arsitektur klasik yang tinggi, disitulah sebagai bangunan perkantoran UPK yang dipimpin oleh seorang Kepala, Wakil Kepala, dan staf. Acara pertunjukan dijadwalkan oleh UPK yang bekerja sama dengan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Bamus DKI Jakarta, LKB. Penjadwalan pertunjukan disesuaikan dengan hari libur atau hari penting lainnya, seperti pada hari Sasbtu dan Minggu diadakan pementasan bagi sanggar-sanggar seni dari manapun di wilayah DKI, pementasan itu berupa pertunjukan musik gambang kromong, gambang rancag, lenong, sahibul hikayat, topeng, dan beberapa prosesi upacara pernikahan, sunatan, akikah, khatam quran dan nujuh bulan ala Betawi. Peran dan fungsi perkampungan Setu Babakan dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian Betawi menunjukkan, bahwa masih jauh api dari pangganya, peran dan fungsi Setu Babakan belum maksimal. Setu Babakan diharapkan dapat dijadikan pusat perkampungan budaya Betawi sebagai trend setter sehingga wisatawan dan peneliti atau orang yang datang ke Setu Babakan dapat mengapresiasi pertunjukan yang dibutuhkan. Perlu ada upaya untuk membuat model karakteristik pertunjukan di PBB Setu Babakan. Adanya atraksi upacara maupun prosesi budaya, seperti pada acara Lebaran Betawi, yangbeberapa tahun bekangan ini sudah rutin dilakukan, termasuk peringatan HUT DKI Jakarta,

12 dan acara kemeriahan yang dijadwalkan oleh UPK Setu Babakan dijadikan sebagai identitas keberadaan Setu Babakan sebagai cagar budya Betawi. Adanya upaya bertahan dari gempuran modernisasi dan globalisasi. Begitulah, Setu Babakan telah dilihat sebagai wilayah yang masih memelihara keaslian budaya Betawi, ketika tempat-tempat lain di Jakarta hal tersebut sudah tidak ada lagi. Kampung-kampung orang Betawi telah digusur demi pembangunan metropolitan Jakarta. Kantong-kantong budaya Betawi ikut lenyap karenanya. Setu Babakan seperti membayar kembali kerinduan orang akan kawasan konservasi budaya Betawi yang sebelumnya sudah jarang ditemui (Cicih dkk., 2013). Tentu kehadiran PBB dibutuhkan adanya sikap kreatif dari seniman-seniman Betawi untuk melakukan rekonstruksi terhadap kesenian budaya Betawi yang kurang mendapat sambutan. Kondisi memprihatinkan ini membawa kekhawatiran dalam pengembangan seni budaya Betawi terutama peran dan fungsi perkampungan Setu Babakan dalam upaya pelestarian dan pengembangan kesenian Betawi harus disikapi dengan arif. Mulai dari demografi Setu Babakan yang sedari awal telah terjadi dan mempertanyakan pilihan pada wilayah Setu Babakan. Keberadaan Setu Setu Babakan diharapkan tidak berlaku, seperti Taman Mini Indonesia yang kini telah berubah fungsi hanya sebagai tempat rekreasi. Perkampungan Setu Babakan harus menjual hal yang berbeda bagi para pengunjungnya, setidaknya kedatangan pengunjung Setu Babakan dapat memperoleh berbagai hal, sehingga nantinya Setu Babakan dapat menjadi Trend Setter sebagai pusat kajian atau tempat untuk mengapresiasi pertunjukan seni budaya Betawi yang berkarakter. Pengimplementasian daerah Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (PBB) merupakan aktualisasi cita-cita dan impian masyarakat Betawi melalui organisasi-organisasi kebetawian serta usaha dari para tokoh Betawi dan pemerintah melalui Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Pengelolaan Industri Kreatif Pertunjukan di PBB Setu Babakan Latar belakang data di atas melahirkan upaya untuk melanjutkan model karakteristik Perkampungan Budaya Betawi yang selanjutnya disebut PBB di Setu Babakan, dengan cara meningkatkan industry kreatif berdasarkan karkarakter budaya yang telah dikaji dalam tahun I penelitian, Selanjutnya luaran penelitian tahun I yaitu rancangan bahan ajar model karakteristik PBB di Setu Babakan berupa pertunjukan gambang rancag, lenong, topeng, gambang kromong, dan berbagai tarian dan musik Betawi, termasuk kuliner dan arsitektur rumah Betawi, Pada tahun II ini selanjutnya dioptimalkan semua modal karakter tersebut agar dapat memberi manfaat bagi

13 masyarakat perkampungan budaya PBB khususnya dan umumnya menjadi model pengembangan melalui industry kreatif di wilayah lain di seluruh Indonesia. Kemudian dibuatlah model industry kretif darikarakter PBB Setu Babakan dan perkampungan budaya di wilayah lain dalam bentuk bahan ajar yang akan disosialisasikan dengan tujuan kegiatan ini dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat sekitar perkampungan Setu Babakan juga wilayah lain melalui pengembangan industri kreatif yang mendukung keberlangsungan ekonomi masyarakat.Adapun hal yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) bentuk pengelolaan industry kreatif PBB Setu Babakan sebagai wujud untuk meningkatakan ekonomi masyarakat Setu Babakan dan dapat dijadikan model perkampungan budaya di seluruh Indonesia, (2) bentuk atau pola industry kreatif dioptimalkan dalam mengelola PBB sebagai bentuk karakteristik budaya, dan (3) model bahan ajarnya sebagai indistri Budaya Betawi Setu Babakan.

B. Pengelolaan Industri Kreatif Pertunjukan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 1. Pertunjukan Gambang Rancag Pengelolaan pertunjukan gambang rancag telah dilakukan oleh komunitas Putra Jali dengan berkolaborasi dengan pemain mudah yunior. Mewariskan ilmu merancag dengan ara merancag bareng adalah sebuah bentuk pengelolaan yang membuka pewarisan pada orang lain di luar keluarga inti yang selama ini tertutup. Tujaun kolaborasi ini sebagai bentuk penelitian untuk mendapatkan model karakter perkampungan budaya Betawi berupa bentuk pengelolaan pertunjukan yang mampu berkolaborasi dengan bintang komunitas tradisi yang telah memiliki jam terbang, tujuannya saling memberi pengalaman dan pengetahuan, termasuk penurunan atau pewarisan pertunjukan yang yang berkarakter dengan cara bertukar ilmu dalam pertunjukan antara pemain muda dengan senior. Pengelolaan pertunjukan gambang rancag adalah salah satu bentuk sastra lisan Betawi. Saputra (2009, hlm. 8) mengemukakan bahwa ―gambang rancag adalah seni sastra yang memiliki dua kata, yaitu gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakan dalam bentuk pantun berkait dan syair.‖

14

Gambar 1. Gambang Rancag (Dok. Pribadi 23 Mei 2018)

Istilah ngerancag menurut Kamus Dialek Jakarta (dalam Chaer, 2009, hlm. 372) berarti (1) menetak-netak, memenggal-menggal, memotong-motong; (2) penuturan cerita dengan diiringi musik gambang kromong. Istilah tersebut juga dipaparkan oleh Kunst (1934, hlm. 308) dalam bukunya yang berjudul Do Toonkunst van yang menyatakan bahwa: gambang rancag yang hidup di Batavia dan daerah sekitarnya yang memperoleh pengaruh Cina, digunakan untuk mengiringi cerita-cerita yang dinyanyikan (apa yang disebut syair) tentang kejadian mengesankan yang terjadi pada tahun-tahun silam, misalnya cerita Pitung Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi, cerita Delep Kelebu di Laut, dan biasanya sebagai pembuka diiringi dengan lagu-lagu seperti Jali-Jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Keramet Kerem, dan sebaginya, serta diiringi alat musik yang terdiri dari gambang kayu, kenong, dan gendang.

Selain itu, Sopandi dkk. (1999, hlm. 76−77) dalam buku Gambang Rancag oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mengemukakan bahwa

Gambang Rancag berasal dari dua kata, yaitu kata gambang dan rancag. Istilah gambang diartikan sebagai instrumen pokok dalam orkes gambang kromong yang digunakan untuk mengiringi nyanyian sebagai sarana penampilan cerita dalam bentuk pantun berkait.Selanjutnya, kata rancag adalah cerita-cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun atau syair yang dinyanyikan oleh dua orang penyanyi pria, dengan irama dan melodi yang cepat.

Sejarah gambangrancag dimulai sekitar awal abad XVIII, berawal ketika proses pembauran antara orang pribumi dengan orang-orang Cina terjadi. Disebutkan oleh Thomas Ataladdjar (dalam Widodo, 2010, hlm.10) bahwa

15

―pada tahun 1740 pasukan kaum Cina—yang merasa ditekan oleh beberapa pejabat VOC dengan sistem pajak untuk memperkaya diri melakukan pembalasan dengan cara membunuh beberapa pejabat VOC. Selanjutnya pihak VOC juga membalas dengan kembali melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang Cina, yaitu sekitar 1000 orang Cina terbunuh, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit. Peristiwa itu terjadi pada 9 Oktober 1740.‖

Akibat peristiwa itu, sebagian besar masyarakat Cina, khususnya orang-orang yang berada pada kelas bawah, lebih memilih keluar dari Batavia.Sementara, mereka yang berada di kelas atas tetap meneruskan kehidupan dengan berdagang di dalam area Batavia. Orang-orang Cina yang keluar Batavia menyebar dan banyak melarikan diri ke pinggiran Batavia, seperti daerah Babelan, Tambun, Bekasi, Lemahabang, Tangerang, Ciampea, Lewiliyang, Jonggol, Cileungsi, Cibarusa dan beberapa daerah di sekitar Jakarta. Berikut digambarkan dalam peta wilayah penyebaran masyarakat Cina dan pribumi dari sumber Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke Verceni ging ―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg, (1933, hlm.8) sebagai berikut.

Gambar 2. Peta wilayah Batavia dan sekitarnya sebagai wilayah penyebaran orang-orang Cina ke daerah pinggiran kota Batavia (sumber: Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke Verceni ging ―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg, 1933, hlm.8).

16

Data pada Mededeelingen No. 5 van het Encyclopaedish Bereau van de Kononklijke Verceni ging ―Koloniaal Instituut‖, Do Bevolking va de Regentsscheppen Batavia, Mester Cornelis en Buitenzorg menjelaskan bahwa di wilayah tempat pelarian saat itu banyak orang- orang Cina yang melakukan perkawinan campur dengan orang-orang pribumi. Pembauran orang- orang Cina dengan pribumi juga ditandai dengan masih ditemukannya sampai sekarang beberapa peninggalan klenteng (tempat ibadah) di wilayah tersebut. Contohnya klenteng tua di Cibinong yaitu Klenteng Tanjung Kuit yang terletak 7 km dari Mauk.Klenteng ini dikenal dengan sebutan Klenteng Couw Su Kong.Tidak jauh dari klenteng ini terdapat makam Dewi Neng yang merupakan makam keramat.Menurut tradisi setempat Dewi Neng adalah seorang wanita pribumi yang banyak jasanya terhadap pembangunan Klenteng Couw Su Kong.Hal itulah yang menjadikan makam ini sering diziarahi oleh orang-orang Cina peranakan yang banyak bekerja sebagai petani, terutama di daerah Cibinong. Dalam penyebaran dan pembauran itu, banyak orang Cina yang bekerja sebagai petani, terutama di daerah Cibinong.Orang-orang Cina ini dikenal dengan istilah ―Cina Teko‖, yakni orang-orang Cina peranakan yang diusir oleh kompeni Belanda dari Batavia. Ada juga istilah ―Cina Robek‖, yakni orang keturunan Cina yang masuk agama Islam bukan karena keimanan, tetapi untuk menghidarkan diri dari pajak kepala dan hal lain agar mereka mendapat perlindungan. Akibat pembauran antara orang-orang Cina dan pribumi juga berimbas pada adanya saling pengaruh-mempengaruhi antara mereka.Sebut saja—pembauran kesenian pribumi dengan kesenian orang Cina.Orang Cina turut mengembangkan seni musik gambang kromong. Mereka memasukkan unsur musik tehyan, kongahyan, dan sukong dalam musik gambang kromong. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi pendukung aktif sebagai senimannya. Dari kaum orang Cina inilah, musik gambang kromong memperoleh sentuhan unsur pribumi seperti musik gambang, kenong, kecrek, gendang, dan sebagainya. Demikian pula dengan cerita-cerita rancagan yang dibawakan dalam pertunjukan gambang rancag. Secara perlahan tampak kadar pengaruh Cina dalam lagu dan lirik rancag serta orkes gambang kromong semakin hari semakin berkurang. Kejadian ini sama seperti musik tanjidor yang dikembangkan oleh orang Eropa yang lama kelamaan menjadi musik pribumi dan dikenal sebagai musik tradisi Betawi. Semakin melemahnya pengaruh Cina terhadap perkembangan orkes gambang kromong yang mengiringi gambang rancag juga ditopang oleh hadirnya seniman pribumi seperti penyanyi

17 legenda Benyamin Sueb, Ida Royani, Lilis Suryani, Ritta Zahra, Herlina Efendi dan sebagainya. Keadaan ini membuat lagu-lagu dan iringan musik gambangkromong semakin dekat di telinga orang-orang pribumi sehingga musik gambang kromong lama kelamaan menjadi ciri musik orang pribumi, terutama masyarakat Betawi. Hal penunjang lainnya—dari perubahan tersebut adalah sentuhan cerita-cerita yang dahulu berbau cerita dari kalangan orang Cina, seperti Sam Pek Eng Tai, yakni roman Cina klasik yang sangat digemari pada saat itu, termasuk cerita Pho Sie Lie Tan, yaitu cerita tentang suka duka seorang putra raja Cina zaman dahulu. Kaitan antara kesenian gambang rancag dengan orkes gambangkromong menurut Japp Kunst (1934, hlm. 308; dalam Ruchiat 1981, hlm.1) ditandai oleh peranan orang-orang Cina yang berhasil memasukkan unsur musik mereka yang diselaraskan dengan musik kaum pribumi.Perpaduan lainnya yang juga dilakukan dengan memasukkan lagu-lagu Cina, seperti Sipatmo, Kongjilok, Phopantaw, Citnosa, Macutay, Cutaypan dan sebaginya. Sementara lagu- lagu pribumi yang biasa turut dimainkan dalam musik gambangkromong untuk selingan dalam pertunjukan gambangrancag, seperti lagu-lagu Jali-jali, Persi, Surilang, Bale-Bale, Lenggang Kangkung, Gelatik Nguknguk, Onde-Onde dan sebaginya. Menurut data dari Yayah Andi Saputra (2009) bahwa:

sejak tahun 1911, di Toko Djin Vich dan Co (Loa Yoe Djin) di daerah Pancoran, Batavia, menjual macam-macam versi atau judul rancag, antara lain: (1) Rancag Roemah Angoes Besar di Maoek, (2) Rancag Sie Mioen, (3) Rancag Nona Boedjang, (4) Rancag Orang Maen Kartoe, (5) Rancag Pak Baira di Tambun, (6) Rancag Si Pitoeng, (7) Rancag Entjek A Kiong Mati Dibunuh, (8) Rancag Orang Bersobat dengan Komedi Bangsawan, (9) Rancag Orang Dimadu, (10) Rancag Orang Derep Kelaboe, (11) Rancag Patima Mati Diboenoe, (12) Rancag Tukang Ketjot di Betawi, (13) Rancag Anak Ajem, (14) Rancag Sang Kodok, (15) Rancag Roepa-Roepa Burung, (16) Rancag Djago Si Angkrik, (17) Rancag Pak Tjenteng Soekain Mantoenya, (18) Rancag Di Buih Ponya Sengsara, (19) Rancag Tukang Sado Ditjela-tjelain.

Dari ke-19 lagu rancag tersebut sampai sekarang yang masih biasa dibawakan adalah Rancag Si Pitoeng dan Rancag Djago Si Angkrik, sementara rancag lainnya setelah tahun 1970- an sudah jarang dibawakan. Menurut sejarah dan catatan Japp Kunst (1934, hlm. 308) diungkapkan bahwa ―sekitar abad ke XIX dan awal abad XX rombongan-rombongan orkes gambangkromong biasanya dimiliki oleh cukong-cukong golongan Cina peranakan.‖Di kalangan seniman gambang kromong, para cukong dikenal dengan istilah ―tauke‖.Para cukong itulah yang menanggung

18 segala biaya, termasuk berbagai kebutuhan anggota-anggotanya.Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan khusus bagi anak buahnya, istilah ini biasa disebut ―bapak angkat‖ seniman-seniman gambang kromong.Budaya kepemilikan anak buah atau anak angkat grup musik adalah salah satu peninggalan sistem perbudakan yang pernah berlaku di Indonesia.Sistem perbudakan ini berkahir pada pertengahan abad XIX.Sistem perbudakan pada masa itu dianggap dapat mengangkat status keluarga dengan pemikiran semakin banyak budak semakin tinggi status sosial seseorang—ditentukan oleh jumlah kepemilikan budak. Para pemilik rombongan biasanya menerima ―uang tanggapan‖, yaitu pembayaran dari yang menanggap kesenian mereka.Pada umumnya orkes gambangkromong disajikan oleh golongan masyarakat Cina peranakan dalam rangka memeriahkan berbagai pesta, misalnya pesta perkawinan. Pada kesempatan-kesempatan demikian orkes gambangkromong digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang biasa disebut Cokek.Rombongan gambang kromong dengan cokek-cokeknya biasa disebut Cokek. Para undangan ikut menari berpasangan dengan Cokek yang dalam istilah setempat disebut ngibing. Informan dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun), menegaskan bahwa acara demikian merupakan atraksi utama dari para buaya-buaya ngibing pada masa itu, bahkan sampai dewasa ini. Budaya ngibing ini pada akhir tahuan 1990-an dan awal 2000-an masih bisa kita saksikan di sekitar wilayah Cileungsi dan sekitarnya, terutama di Jalan Raya Narogong—di daerah Pangkalan 5, Pangkalan 9, dan Pangkalan 12. Pada acara-acara tertentu, misalnya pada pesta keluarga dengan undangan terbatas tanpa diadakan tarian, orkes gambang kromong biasanya digunakan untuk mengiringi cerita yang dinyanyikan. Ceritanya dibawakan dalam bentuk syair atau pantun. Kebanyakan cerita yang dibawakan adalah dalam bahasa Melayu yang umumnya berupa cerita-cerita tentang berbagai perisitiwa yang pernah terjadi dan mengesankan seperti cerita Angkri, Pitung, Keramat Karem dan sebaginya. Dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun) menegaskan bahwa ―cara penyajian rancagan disertai dengan acting teater yang cukup memikat hati para penggemarnya. Pertunjukan demikian itu, yakni hadirnya orkes gambang kromong megiringi nyanyian syair atau pantun cerita disebut gambang rancag. Syair atau pantun yang dinyanyikan disebut rancagan. Menyanyikan atau berpantunnya disebut ngerancag. Sebagai salah satu bentuk teater bertutur (istilah yang dilansir pada akhir tahun 1980), pertunjukan gambang rancag dititikberatkan pada cara pembawaan cerita dan pada musiknya.

19

Ada pendapat yang menyatakan tidak mustahil bila Lenong, salah satu teater Betawi, merupakan kelanjutan dari teaterisasi gambang rancag. Hal ini tentunya perlu mendapat penilitian yang lebih lanjut. Menurut Japp Kunst—seorang etnomusikolog Belanda, pada tahun 1930-an abad ini kehidupan gambang rancag sebagai pertunjukan terbilang masih cukup baik, dalam arti masih cukup banyak dipagelarkan sebagai pertunjukan panggilan. Hal ini didukung oleh tulisan Japp Kunst yang banyak menulis tentang musik dari berbagai suku di Indonesia.Dalam salah satu bukunya De Toonkunst van Java yang diterbitkan pada tahun 1934 mengenai musik khas Betawi, bentuk pertunjukan gambang digambarkan sebagai salah satu waditranya. Lebih jelas lagi Japp Kunst (1934, hlm. 308) mengatatakan bahwa:

orkes gambang kromong, terutama di Batavia dan daerah sekitarnya yang memperoleh pengaruh Cina, digunakan untuk mengiringi cerita-cerita yang dinyanyikan (apa yang disebut syair) tentang kejadian-kejadian mengesankan yang terjadi pada tahun-tahun silam, misalnya cerita Si Pitung Rampok Betawi, cerita Angkri Digantung di Betawi, cerita Delep Kelebu di Laut, dengan lagu-lagu seperti Jali-Jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Kramat Karem dan sebagainya, dengan diiringi alat musik yang terdiri dari gambang kayu, kenong, dan gendang.

Selanjutnya pengungkapan musik spesifik Betawi yang berikutnya adalah seperti yang terdapat dalam wayang cokek, yaitu

Nyanyian dan tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita (berasal dari budak-budak). Pada kesempatan demikian rambut mereka dikepang serta mengenakan baju kurung, Orkesnya terdiri dari gambang kayu, rebab, suling, dan kempul, kadang-kadang ditambah dengan kenong, ketuk, kecrek, dan gendang. Dalam nyanyian sering terdengar kata-kata: Si nona disayang dan Si Baba disayang, artinya Nyonya kusayang, Tuanku sayang.

Dari tulisan Kunst (1934, hlm. 308) dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan gambang rancag pada waktu itu tidak tertinggal popoularitasnya dengan wayang cokek. Dengan kata lain, kalaupun tidak lebih menonjol maka sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh kedudukannya dari wayang cokek di kalangan penggemarnya. Entong Dele (55 tahun) mengungkapkan bahwa :jururancag Cina peranakan yang terkenal sektiar tahun 1930-an antara lain Kho Cin Pek, seorang tunanetra dari Petak Sembilan, dan Kucai dari Cileungsi. Pada zaman dahulu, kedua orang itu dianggap paling mahir membawakan syair Pho Sio Lio Tan, Sam Pek Eng Tay, dan cerita-cerita lainnya.Sementara perancag pribumi yang paling terkneal Pa Ji‘an dan Pa Ji‘in dari Bojong Gede.Pa Ji‘an dan Pa

20

Ji‘in mahir dalam memikat hati penontonnya. Dalam wawancara tanggal 12 Oktober 2013, Ruchiat (86 tahun) menegaskan bahwa:

Menurut Tanu TRH yang berulang kali pernah menonton pertunjukan gambang rancag oleh perancag Pa Ji‘an dan Pa Ji‘in, jika kedua perancag tersebut sedang membawakan nyanyian rancag—atau menceritakan hal ihwal Si Pitung, Si Angkri, atau tentang Keramat Karem dan kisah-kisah yang lain dengan suara serak-serak basah, para penonton seakan-akan terkesima. Mereka akan menahan nafas karena khawatir ada kata- kata yang luput dari pendengaran mereka.

Sementara itu mengenai kemunduruan popularitas kesenian gambang rancag, Japp Kunst (1934, hlm. 308) mengungkapkan bahwa:

Ketika kesenian gambang rancag mulai menurun popularitasnya dan kedudukannya di tengah masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal, baik yang bersifat internal maupun eksternal, penyebab kemundurannya dimungkinkan karena gambangrancag dianggap musik jalanan murahan karena pada waktu itu sudah banyak gambang, yaitu rombongan yang megadakan pertunjukan keliling sepanjang jalan dari rumah ke rumah atau dikenal dengan istilah ngamen.

Keadaan ini rupanya sebagai salah satu akibat berantai dari krisis ekonomi yang pada saat itu melanda seluruh dunia akibat Perang Dunia I yang dilanjutkan dengan mengganasnya ―Zaman Malayse‖ atau ―Zaman Meleset‖, menurut lidah rakyat pribumi.Pada zaman itu, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan rakyat atau kaum pribumi untuk menghemat keuangan. Mereka bahkan menakar biaya hidup satu orang bangsa Indonesia cukup dengan segobang (dua setengah sen) per hari.Dalam situasi perekonomian yang sulit itu tidak ada lagi cukong-cukong Cina yang bersedia menjamin penghidupan rombongan gambang kromong sebagai bapak angkat, ditambah dengan semakin jarangnya orang yang menanggap. Peristiwa kedua yang berimbahaas pada eksodus besar-besaran orang Cina dan keturunan untuk kembali ke Cina, disebabkan oleh keluarnya Peraturan No. 10 Tahun 1959 yang berisi larangan orang asing termasuk orang Cina untuk memiliki usaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga Negara Indonesia. Peraturan ini menjadi kontroversial sehingga memakan korban jiwa orang-orang Cina—yang dikenal dengan peristiwa ―kerusuhan rasial Cibadak‖. Sebagian besar orang Cina dan keturunan menjadi ketakutan dan pergi meninggalkan Indonesia.Akibat peristiwa itu, banyak peralatan kesenian milik Tauke atau orang tua angkat yang menjamin hidup seniman pribumi, berpindah tangan.Pada saat itu peralatan musik orang-orang Cina umumnya diserahkan

21 kepada pembantu atau anak angkat mereka.Dalam wawancara tanggal 11 Januari 2014, Rojali (78 tahun) menegaskan bahwa ―salah satu contohnya adalah Engkong Samad—mertua Rojali, yang pada peristiwa itu juga mendapat limpahan peralatan musik gambangkromong dari tuannya karena terpaksa harus pergi ke negara asal mereka di Tiongkok untuk menyelematkan diri.‖ Sepeninggal tuan-tuan seniman itu, keadaan kehidupan serba sulit menghinggapi berbagai kesenian rakyat, termasuk rombongan gambang rancag dalam kelompok gambang kromong sehingga harus menjelajahi pelosok-pelosok kota Jakarta dan sekitarnya untuk megadakan pertunjukan dari rumah ke rumah—ngamen. ―Hal ini dilakukan untuk mendapatkan Congin-Nongin‖, menurut Amshar (55 tahun), salah satu seniman gambangrancag yang pernah mengalaminya. Pengaruh gambang rancag pada lenong tampak pada kebiasaan adanya rancagan pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu sebelum cerita atau tontonan inti dimulai dalam pertunjukan lenong.Maksudnya, lenong yang masih mengikuti tradisi, memiliki kebiasaan atau konvensi bahwa sebelum cerita dimulai biasa didahului dengan ucapan perkenalan yang dinyanyikan, dengan diiringi lagu Persi. Dalam penyampaian alur cerita pada pertunjukan lenong sering pula terdengar pantun- pantunan, bahkan tidak jarang pada saat-saat yang tegang.Misalnya pada waktu seorang tokoh jagoan berhadapan dengan lawannya.Sebagai contoh di sini diambilkan dari pementasan Lenong Setia Kawan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tanggal 5 maret 1978.

Di situ kentang di sini kentang; Kentang sepikul dibagi dua; Di situ nantang di sini nantang; Lu mukul gua sedia.

Pantunan tersebut kemudian dijawab oleh lawannya juga dengan pantunan. Seperti Samad Modo, Entong Dale, Amsar, Romo Root yang merupakan survival kesenian Betawi, dewasa ini mereka berkecimpung dalam lenong dan wayang cokek. Panggilan untuk ngerancag sudah sangat jarang, bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak ada. Sedangkan ngamen, sejak adanya larangan dari yang berwajib mulai tahun 1950-an memang sudah tidak dilakukan lagi. Tanpa pembinaan intensif dan terarah, dikhawatirkan gambangrancag, salah satu bentuk pertunjukan khas Betawi, dalam waktu yang tidak lagi lama akan punah. Oleh karena itu, harus ada upaya aktif dari masyarakat dan pemerintah untuk terus melakukan pertunjukan dan penelitian terhadap bagiamana upaya mengembangkan pertunjukan gambang rancag. Hal yang

22 paling utama jika ingin gambang rancag tetap eksis harus ada apresiasi masyarakat. Dalam wawancara 12 Desember 2013, Ruchiat (86 tahun)—Tokoh seni tari Betawi menyatakan bahwa ―bagaimanapun kuatnya bantuan pemerintah dalam pengembangan dan pemberdayaaan kesenian gambangrancag, tidak berarti apa-apa jika sudah tidak ada apresiasi msyarakat terhadap keberlanjutan kesenian gambangrancag.”Penjelasan Ruchiat tersebut menunjukkan bahwa keadaan gambangrancag di masyarakat sudah hampir punah.Hal ini terlihat dari berkurangnya tanggapan hajatan yang diperoleh langsung dari masyarakat. Saat ini masyarakat cenderung lebih memilih untuk menanggap orgen tunggal daripada kesenian gambang rancag atau kesenian Betawi lainnya. Alasan mereka sederhana, selain lahan untuk panggung di masyarakat hampir habis, juga faktor biaya menanggap gambang rancag lebih mahal dari orgen tunggal. Gambaran di atas adalah selayang pandang gambang rancag di masa lalu. Untuk lebih jelas bagaimana ihwal gambang rancag sekarang berikut akan diuraikan beberapa pertunjukan gambangrancag di DKI Jakarta dan sekitarnya yang telah diamati oleh penulis sejak tahun 2010 sampai tahun 2014.

Ciri dan Fungsi Ciri gambang rancag Menurut Ruchiat dkk., (2003, hlm.150) bahwa bercirikan nyanyian yang dipantunkan, disebut cerita rancagan, atau cukup disebut rancag atau rancak berbentuk pantun berkait.‖ Jadi, bisa dikatakan gambang rancag adalah musik gambang kromong disertai nyanyian yang menuturkan cerita-cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun atau syair dan dibumbui oleh lawakan atau humor. Cerita yang dibawakan dengan dipantunkan disebut cerita rancag, yang berbentuk pantun berkait dan syair. Berikut adalah contoh rancagan yang berbentuk pantun berkait, yaitu RancagSi Ankri, Jago Pasar Ikan, yang pernah dibawakan Rojali alias Jali Jalut (78 Tahun) dan Samad kelompok Jali Putra Pekayon Gandaria pada tahun 1980.

1.a Ketik kenari cabang patah; pasang kuping biar terang; rancag si Angkri punya cerita; belum lama jadi jago, satu peti mencuri barang. 1.b Ketik kenari cabang patah; ambil papaya di petuakan; si Angkri punya cerita; buayanya di pasar ikan.

23

Pantun pada rancag disusun secara improvisasi mengikuti jalur cerita yang sudah tetap. Suatu cerita dapat dipanjangkan penyajiannya dengan berbagai tambahan. Sebagai contoh penyajiannya yaitu dengan lawakan yang sering kali menyimpang dari cerita, tetapi tetap disenangi penontonnya. Rancag juga biasa disajikan dengan iringan orkes gambang kromong atau dengan sebutan gambang rancag. Kemudian, pagelaran atau pertunjukan gambang rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan dinyanyikan dan diiringi orkes gambangkromong. Sejak awal gambang rancag dipentaskan tanpa panggung.Tempat pementasan sejajar dengan penonton yang berada di sekelilingnya. Jadi, gambang rancag ini bentuk penyajiannya meliputi pertunjukan yang lengkap dengan iringan orkes dan nyanyian. Saputra (2009, hlm. 8) mengemukakan bahwa ―gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukan musik sekaligus teater, bahkan sastra. Pertunjukannya terdiri dari dua unsur, yaitu gambang dan rancag, gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk pantun berkait. Tokoh dalam pantun berkait itu pada umumnya berupa lakon-lakon jagoan, seperti Si Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri. Pantun berkait ini dinyanyikan oleh dua orang bergantian seperti berbalas pantun, sehinggga pertunjukan gambang rancag menyerupai pertunjukan musik yang dilengkapi dengan teater dan unsur sastra dalam menyajikannya. Pada pagelaran atau pertunjukan gambang rancag selalu terbagi atas tiga bagian, bagian pembukaan yang diisi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton. Bagian kedua diisi dengan penampilan lagu-lagu hiburan atau lagu sayur yang berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag dimulai. Lagu pada bagian kedua ini sama dengan lagu yang dibawakan dalam orkes gambang kromong. Bagian ketiga diisi dengan lagu rancak atau rancag, sementara irama musiknya adalah instrument dendang Surabaya, Gelatik, Ngaknguk, Persi, Phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado. Sebagai pemain rancag bukan saja harus bisa bernyanyi, tetapi juga dapat menyusun pantun secara improvisasi, ingat jalan cerita yang akan dibawakan, dan harus ingat lakon-lakon yang dimainkan. Berikut adalah cuplikan rancag Si Pitung.

Ambil simping alasnya kerang; Pasang pelita terang digantung; Pasang kuping nyatalah biar terang; Di gambang rancag buka rancag jago Bang Pitung.

24

Pada tahun dua puluhan ada seorang juru rancag yang terkenal bernama Jian, seorang tuna netra yang memiliki suara serak-serak basah. Menurut informasi orang Betawi, apabila ia sedang berpantun menceritakan tokoh Si Pitung atau tentang Keramat Dalem dengan iringan musik gambang kromong irama lagu Parsi, umumnya para penonton seakan-akan menahan nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengarannya (Ruchiat, 2003, hlm. 166). Tokoh rancag yang pernah ada, misalnya: Samad Modo bersama Rojalialias Jali Jalut di Pekayon, Entong Dale bersama Bedeh di Cijantung Jakarta Timur, dan Amsar bersama Ali di Bendungan Jago Jakarta Pusat. Sama halnya dengan sebuah pertunjukan, gambang rancag memiliki unsur-unsur pertunjukan. Unsur-unsur dalam pertunjukan gambang rancag meliputi pemain, pemusik, musik, cerita, dan penonton. Pemain adalah orang yang merancag atau menyanyikan pantun berupa cerita yang diiringi oleh musik gambang—musik tersebut dimainkan oleh pemusik, terdiri dari gambang, gong, kecrek, tehyan, kongayan, dan lain-lain. Pertunjukan ditonton oleh penonton dalam suasana yang sesuai konteks acara. Fungsi gambang rancag yang ditentukan oleh masyarakatnya tentu perlu ditanamkan kepada masyarakat pendukungnya agar tradisi ini tetap hidup di tengah masyarakat Betawi. Dengan demikian, baik pemain maupun unsur lainnya sama- sama berpengaruh besar bagi pertunjukan gambang rancag. Dari pendapat di atas dapat dibedakan pengertian gambang rancag dengan gambang kromong.Gambang rancag, menurut Ruchiat (2003, hlm. 156) adalah ―pertunjukan lagu rancag (berupa cerita Si Pitung, Si Angkri, Si Jampang, Si Conatdan sebagainya) yang diringi musik gambang (gambang kromong).‖Hal ini seperti yang telah diuraikan di atas.Sementara Kleden (1996, hlm. 51) mengemukakan bahwa ―orkes gambang kromong merupakan jenis musik untuk mengiringi pertunjukan lagu-lagu kombinasi yang tidak hanya terdiri dari gambang dan kromong saja tetapi juga disertai orkes Melayu dan orkes dangdut.‖ Kedua pendapat di atas jelas telah membedakan batasan dari jenis seni Betawi ini.Gambang rancag lebih kuat pada unsur sastranya, sedangkan gambang kromong lebih kuat unsur seni musiknya. Oleh karena itu, untuk lebih mengetahui unsur pembentuk tradisi lisan gambang rancag, perlu digambarkan bagian-bagian dalam pertunjukan tradisi lisan gambang rancag. Menurut Sopandi dkk. (1999, hlm. 28) gambang rancag memiliki aspek-aspek seni, yaitu: 1) musik, 2) sastra, 3) seni rupa, 4) teater (senggakan), 5) bodor, dan 6) pemanggungan.

25

Berikut akan diuraikan beberapa aspek penting dalam tradisi lisan gambang rancag tersebut. Musik, yaitu meliputi: a) tangga nada, b) irama/birama, c) fungsi iringan, d) instrumen, dan e) lagu-lagu.Tangga nada adalah susunan nada yang disusun berurutan, baik naik maupun turun dimulai dari suatu nada hingga ulangannya, baik pada oktaf kecil maupun oktaf besar dengan jumlah nada dan interval tertentu.Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pentatonik, meliputi tangga nada mayor dan tangga nada minor, serta tangga nada grigorian.Irama/birama/maat dalam aspek gambang rancag dapat didefinisikan sebagai berikut.Pertama, istilah maat adalah ukuran waktu yang digunakan untuk menyajikan bar/mistura dari suatu lagu. Kedua, maat adalah pergantian antara tekanan ringan dan tekanan berat secara teratur dalam tiap-tiap bar/gatra. Selanjutnya gambang rancag dapat dimaknai sebagai sebuah representasi identitas, seperti dalam bentuk kearifan lokal dan mitos masyarakat Betawi. Dari segi kearifan lokal tampak dari bentuk pertunjukan sebagai wadah untuk bersilaturahmi keluarga. Selain itu bentuk kearifan lokal juga didapat dari rumah yang digambarkan dalam cerita sebagai tempat si Pitung merampok, yaitu rumah juragan Haji Syamsudin. Rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh sebagai cagar budaya Betawi yang mewujudkan sebuah kearifan lokal masyarakat Betawi.Berdasarakan cagar budaya tersebut, masyarakat Betawi dapat memaknainya sebagai sebuah bentuk yang menandai perlawanan orang Betawi terhadap kezaliman kekuasaan Belanda pada awal tahun 1800-an. Tokoh Pitung dianggap oleh masyarakat Betawi sebagai pahlawan sebab telah membantu rakyat Betawi dari kekejaman pihak Belanda dan tuan-tuan tanah sebagai kaki tangan Belanda. Selanjutnya gambang rancag juga dimaknai sebagai simbol mitos, hal ini digambarkan dalam teks rancag bahwa Pitung hanya bisa mati jika ditembak dengan peluru emas. Teks ini dibuat sebagai bentuk representasi identitas oleh masyarakat Betawi kalau Pitung memiliki ilmu yang tinggi, karena hanya bisa mati jika ditembak menggunakan peluru emas hinga membuat Sekot Hena mempersiapkan segala bentuk untuk bisa menangkap si Pitung. Mitos Pitung hanya bisa mati ditembak peluru emas adalah bentuk representasi identitas masyarakat Betawi yang diproduksi oleh orang Betawi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai masyarakat yang dianggap terbelakang, pendidikan rendah, terusir dari tanahnya sendiri yaitu Batavia, maka kehadiran Pitung merupakan bentuk perlawanan dengan penggambaran sosoknya yang memiliki berbagai

26 kekuatan ilmu yang tidak tertandingi. Bahkan meskipun lawannya adalah Sekot Hena (Kepala Polisi di Batavia), ternyata Sekot Hena juga gentar menghadapi Pitung. Fungsi dari penulisan ini juga dapatMemberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan secara teoretis dalam memecahkan masalah penelitian.Di samping itu, dapat memberikan kontribusi praktis dari aspek manajemen dengan menyajikan berbagai kebijakan dari temuan yang dihasilkan.Kedua kontribusi tersebut berimplikasi secara langsung terhadap perkembangan gambang rancag dari segi kuantitas dan kualitas. Perkembangan dari segi kuantitas berimplikasi terhadap meningkatnya jumlah perancag di DKI Jakarta melalui kegiatan pelatihan gambang rancag yang dilakukan, di lima wialayah DKI Jakarta, misalnya Balai Latihan Kesenian (BLK ) Jakarta Timur, BLK Jakarta Utara, BLK Jakarta Pusat, BLK Jakarta Selatan. Materi yang diberikan dalam pelatihan adalah materi pengenalan pertunjukan gambang rancag, materi pemahaman lagu-lagu rancag, dan materi penguasaan musik yang mengiringi perancag ketika sedang melakukan pertunjukan gambang rancag. Setelah itu mereka diarahkan oleh para panitia dan narasumber pelatihan gambang rancag yang berasal dari ahli atau pemain gambang rancag yang selama ini mahir memainkan pertunjukan gambang rancag sebagai seniman gambang rancag tujuan dari pelatihan gambang rancag agar semua peserta dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan bagaimana cara melakukan pertunjukan gambang rancag agar dapat dimasukan dalam kegiatan pelatihan.

2. Pertunjukan Gambang Kromong Gambang kromong diambil dari nama dua alat musik, yaitu dua jenis alat perkusi, yakni gambang dan kromong. Gambang terbuat dari sejumlah bilah 18 buah yang terbuat dari kayu suangking, huru batu atau jenis kayu lain ang empuk bunyinya jika dipukul. Sementara kromong dibuat dariperunggu atau besi, berjumlah 10 buah (10 ―10 pencon‖). Jenis musik ini adalah perbaduan dari unsur pribumi dan Cina. Pada alat musik gesek didominasi dari Cina, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong. Sedangkan alat musik yang lainnya, yaitu, gambang, kromong, gendang, dan kecrek berasal dari musik pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tanpak pula pada perbedaharaan lagu-lagu yang dibawakan dalam pertunjukan musik gambang kromong. Lagu-lagu gambang krong yang diadaptasi dari budaya pribumi seperti, Jali- Jali, Surilang, Persi, Balo-Balo, Lengggang-Lenggang Kangkung, Onde-Onde, Gelatik

27

Nguknguk dan sebagainya. Sedangkan lagu-lagu yang bercorak Cina seperti, Kong Jilck, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.

Gambar 3. Penyanyi Gambang Kromong, Kamis, 29 Juni 2017 Dok. Pribadi

Sejarah gambang kromong menurut tulisan Phoa Kian Sie dalam Ruchiat (2013:20) bahwa orkes gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes Yang Khim yang terdiri atas Yang-Khim, Sukong, Hosiang, Thehian, Kongahian, Sambian, Suling, Pan, (kecrek) dan Ningnong. Karena Yang-Khim sulit dipeoleh, ada inisiatip menggantimnya dengan gambang yang larasnya diseseuaikan dengan asalanya dari Hokkian. Sementara untuk Sukong, Tehian, dan Kongahian tetap dipakai sebab dapat dibuat di sini. Alat yang dihilangkan adalah Sambian dan Hosiang karena tidak terlalu mengurangi nilai penyajian musiknya. Adanya pembauran musik pribumi dan Cina menyebabkan musik gambang kromong digemari oleh masyarakat, baik pribumi maupun keturunan. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh adanya proses inkulturasi budaya yang begitu serasi antara pribumi dan Cina. Tak heran jika komunitas atau grup-grup pertunjukan gambang kromong sering mengisi acara kearamaian di masyarakat kampung atau orang pribumi maupun di acara-acara masyarakat Cina, misalnya pada perayaan Cap Gomeh di beberapa wilayah di DKI Jakarta dan Sekitarnya, grup gambang kromong sering diundang atau ditanggap.

28

Musik Gambang krong sejak tahun 1880 menurut Ruchiat (2013:20) bahwa atas usaha TanWangwe dengan dukungan Bek (Wijk Meester) Pasar Senen Tang Tjoe, orkes gambang mulai dilengkapi dengan Kromong, Kempul, Gendang dan Gong. Lagu-lagu yang dipilih lagu— lagu Sunda popular, seabagaimana ditulis oleh Phe Kian Sio sebagai berikut: “Pertjobaan Wijk Meester Teng Tjoe telah berhasil lagoelagoe gambang ditaboeh dengan tambahan alat tersebut diatas membikin tambah goembira Tjo Kek dan pendengar-pendengarnya . Dan Moelai itoe waktoe lagoe-lagoe Soenda banyak dipake oleh orkes gambang. Djoega orang moelai brani pasang slendang boeat “mengibing” . Gambaran sejarah di atas dapat dikatakan bahwa awal mulainya musik gambang kromong dikenal oleh masyarakat pribumi. Adanya keberanian untuk mengkolaborasikan dua budaya musik pribumi dan dan Cina. Dulunya musik orkes gambang kromong hanya dimainkan dalam lingkungan keluarga Cina, sejak saat itu jenis musik ini mulai sering diminati dan ditanggap oleh orang pribumi apalagi jika ada keramaian untuk mengiringi pertunjukan musik gambang kromong. Dan mencapai puncaknya setelah masa tahun 70-an, dengan ada beberapa penyanyi Indonesia yang masuk dalam kelompok gambang kromong seperti, Benyamin S., Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina effendi, dan lain-lain. Penyebaran gambang kromong di dki Jakarta dansekitarnya adalah jenis musik yg paling merata. Menurut Data Penelitian lapangan bahwa perkembangan musik Gambang Kromong FIB 2010 sampai sekarang menunjukkan bahwa hampir masyarakat yg komunitasnya banyak Orang Cina maka perkembangan Gambang kromong akan banyak grup yg tumbuh,seperti di daerah Jakarts Utara dan Jakarta Barat, daripada daerah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Pada perkembangan gambang kromong berdasarkan asli dan kombinasi juga menjadi hal yang menarik. Jika gambang kromong yang asli yaitu gambang kromong yang menggunakan alat musik yg sesuai pakem, misalnya penggunaan alat musik yang sesuai dengan awal terbentuknya istilah musik ini tahun 1880-an bahwa harus ada musik gambang, kromong, gendang, kecrek, tehiyan, kongahyan, sukong. Sementara, musik gambang kromong yang kombinasi yaitu musik yang sudah mendapat sentuhan alat-alat musik modern yang kadang- kadang elektronik, seperti gitar melodi, organ, saxopone drum dan sebagainya. Adanya perubahan dari laras pentatonis menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu. Adanya penambahan kombinasi ini tidak menjadikan warna musik ini berubah justru dapat lebih mudah diterima oleh telinga anak muda sekarang, masuknya musik kombinasi ini juga diikuti oleh

29 masuknya lagu-lagu pop Betawi secara wajar, tidak dipaksakan, terutama bagi generasi muda tampaknya gambang kromong kombinasi ini ebih komunikatif sekalipun kadang-kadang kecenderungannya tersisihnya suara alat-alat gambang kromong asli oleh alat musik elektronis yang semakin dominan. Rombongan komunitas gambang kromong di DKI Jakarta dan sekitarnya masih eksis, misalnya dimiliki oleh kelompok yang dipimpin oleh orang pribumi ekonomi lemah, seperti Rombongan Setia Hati pimpinan Amsar di Bendu gan Jago, Rombongan Putra Cijantung pimpinan Marta (yang dulu dipimpin oleh Nyaat), rombongan Haruda putih Pimpinan Samad Modo di Pekayon Gandaria yang sekarang dipimpin oleh Jali Jalut (84 tahun) yang sekarang juga diterusksn oleh Putranya Burhan (46 tahun) dan Firman (36 tahun). Sedang gambang kromong kombinasi biasanya lebih dimiliki oleh grup yang memiliki ekonomi lebih kuat, umumnya didominasi oleh grup Cina, seperti Rombongan Naga Mas pimpinan Bhu Thian Hay (Almarhum), Naga Mustika pimpinan Suryahanda, Selendang Delima "Pimpinan Liem Thian Pi dan sebagainya. dan informasi terakhir bahwa keberadaan grup ini hampir sudah meninggal semua. Gambang kromong di Setu Babakan pada perayaan Lebaran 2017 lalu yaitu dipertunjukan grup Bang Andi dengan musik gambang kromong kombinasi. Pada saat itu dinyanyikan beberapa lagu seperti jail-jali.

3. Pertunjukan Sahibul Hikayat Sahibul hikayat adalah cerita-cerita yang berasal dari Timur tengah, antara lain bersumber pada cerita Seribu Satu Malam, Alfu Lail Wal lail. Istilah Sahibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam Arab : Shohibul Hikayat yang berarti yang empunya cerita. Dalam membawakan cerita sahibul hikayat juru hikayat sering mengucapkan kata-kata: ―Menurut sohibul hikayat‖, atau kata ―sahibul hikayat‖. Oleh karena itu, cerita-cerita kelompok ini biasa disebut sahibul hakiyat. Ucapan demikian itu digunakan untuk memberikan tekanan kepada yang akan diceritakan selanjutnya, yang kadang-kadang merupakan hal yang tidak masuk akal, contohnya sebagai cuplikan berikut. ―Jin itu menaroh anaknya di ayunan, Sembari nyanyi di ayun, maksudnya supaya anaknya tidur. Kata Sohibul hikayat, ayunan itu baru balik sembilan taon kemudian…‖ (Diambil dari salah satu mata acara radio swaasta). Dengan kata-kata sahibul hikayat itu pertanggungjawaban diserahkan kepada yang empunya cerita, yang entah siapa.

30

Sahibul hikayat terdapat di daerah tengah wilayah Budaya Betawi atau Betawi kota, antara Tanah Abang dengan Salemba, antara Mampang Prapatan sampai Taman Sari.

Gambar 4. Pertun. Sahibul Hikayat, Kamis, 29 Juni 2017 Dok. Pribadi

Pembawa cerita sahibul hikayat, biasa disebut tukang cerita, atau juru hikayat. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu, antara lain haji Ja‘far, Haji Ma‘ruf kemudian Mohammad Zahid, yang terkenal dengan sebutan ‖ wak Jait‖. Pekaian sehari-hari wak jait selalu mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah, berpeci hitam. Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memengku bantal, ada pula yang sekali-kali memukul gendang kecil yang diletakkan disampingnya, untuk memberikan aksentuasi pada jalan cerita. Sampai jaman Mohammad Zahid yang meninggal dalam usia 63 tahun, pada tahun 1993, cerita-cerita yang biasa dibaawakan antara lain Hasan Husin, Malakarma, Indra sakti, Ahmad Muhamad, sahrul Indra Laila bangsawan. Sahibul hikayat digemari oleh masyarakat golongan santri. Dewasa ini biasa digunakan sebagai salah satu media dakwah. Dengan demikian, sahibul hikayat menjadi panjang, karena banyak ditambah bumbu-bumbu. Humor yang diselipkan disana-sini biasanya bersifat improvisatoristis. Kadang-kadang menyinggung-nyinggung suasana masa kini. Setiap celah-celah dalam jalur cerita diselipakan dakwah agama Islam. Seperti cerita rakyat lainnya, sahibul hikayat bertema pokok klasik, yaitu kejahatan melawan kebajikan. Sudah barang tentu kebajikan yang menang, sekalipun pada mulanya nampak sengaja dibuat menderita kekalahan. Sahibul hikayat yang berfungsi sebagai media dakwah seperti yang dulu dipertunjukan oleh Mohammad Zaid, kini muncul kembali. Pada perayaan lebaran Betawi di Setu Babaka, kata

31

Zainuddin kepada CNNIndonesia.com. Biasanya sahibul hikayat hanya digelar sewaktu hajatan. Dalam pertunjukan ini, penonton akan menikmati dongeng mengenai perjuangan agama, kisah para nabi, sampai kisah mistis dari seorang penderita, yang disajikan dengan jenaka. ―Orang Betawi kan terkenal jenaka. Lewat perayaan Lebaran Betawi inilah, kami coba sampaikan semangat untuk memelihara seni dan budaya Betawi asli seperti sahibul hikayat kepada masyarakat,‖ katanya. Penayangan sahibul hikayat pada Perayaan Lebaran Betawi 28 Juli 2017 lalu adalah bentuk kepedulian masyarakat Betawi melalui Bamus Betawi untuk lebih dapat mengetahui bagaimana revitalisasi di lakukan di Perkampungan Budaya Betawi, termasuk untuk lebih mengetahui sahibul hikayat sebagai kebudayaan hibriditas, dan untuk lebih mengenal bagaimana identitas budaya Betawi dalam tradisi sahibul hikayat. Melalui cerita yang disampaikan secara bedakwa diharapkan dapat menanamkan semangat cinta pada budaya lokal Betawi. Pertunjukan sahibul Hikayat yang digelar pada ―Perayaan Lebaran Betawi‖ tanggal 28 Juli 2017 lalu merupakan betuk revitalisasi sahibul hikayat, yaitu mengangkat kembali kesenian yang mulai punah kepada keluarga besar Betawi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Revitalisasi sahibul hikayat yang dilakukan oleh BAMUS Betawi sebagai upaya untuk mengingatkan kembali bahwa di Betawi pernah ada kesenian yang digemari dan hidup di msyarakat kini ada di hadapan mereka. Adapun cerita yang dipilih ketika perayaan lebaran Betawi adalah lakon Hakim Siti Zulfah yang kini dibawakan kembali Ustad Miptah. Adapun masyarakat yang menonton pertunjukan Sahibul Hikayat malam itu, terdiri dari para panitia Lebaran Betawi 2017 dari Bamus Betawi dibantu oleh UPK Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan serta para penonton dari lima wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Pertunjukan sahibul hikayat sebagaimana layaknya atraksi kesenian lainnya, dibawakan oleh pencerita, dalam hal ini sahibul hikayat atau tukang cerita, sang pencerita harus mampu membawakan cerita dengan kepiyawaian dalam menciptakan cerita dengan cara mengingat, apa yang diingat, diulang, diseru, dan ditegaskan oleh penutur cerita, yaitu tradisi Betawi yang bermacam-macam bentuk pengetahuannya yang tentu bisa diterima oleh masyarakatnya. Adapun kutipan awal cerita yang dituturkan oleh sahibul hikayat.

32

Hakim Siti Zulfah “Alkisah, ada Tuan saudagar kaya namanya Tuan saudagar Rosyad, biar dia kaya tapi pelit alias buntut gasiran.Orang kalo pelit, boro-boro surga, baunya aja kagak dapet. Uangnya banyak bukan dikasih ke Lebaran Betawi, bukan dia sumbang ke jalan Allah, tapi dia buang-buang ke jalan maksiat ke bar-bar, dan WTS WTS untuk menghibur diri. Mobilnya 7 paling jelek CRV, setirnya racing, AC nya anyep (dingin), kalo meludah 5 menit jadi es. Bininya namanya Siti Zaenab, lagi hamil 3 bulan : Zaenab : “bang kemane aje sih bang, udah lebaran Betawi abang ngelayap mulu, saya takut anak kita jadi keturunan yang ga bener bang” sambil menangis….Tuan Rosyad : “ Zaenab, ngomong sekali lagi gue tabok berdarah, abang banyak temen dimana-mana, bangsat!” jawab suami marah-marah sembari merokok. Zaenab (manangis makin jadi): “guwe nyesel kawin ama lu bang”.Suami (Tuan saudagar Rosyad) : “udah diem!!” lalu ambil kunci mobil dan pergi ngelayap .------Ditengah jalan dekat situ babakan ada tukang ke serabi, namanya Mpok Minah ------Mpok Minah : “Tuan saudagar Rosyad mau kemana? Penglarisin serabi saya donk”Tuan Rosyad : “serabinya berapa duit Minah?”Mpok Minah : “ah murah, telentang seribu, tengkurap dua ribu”. Tuan Rosyad mabuk-mabukan pulang kerumah teler … (Transkrip Hakim Siti Zulfah, Ustad Miftah, 2017)

Sahibul hikayat sebagai penutur cerita memasukan berbagai inprovisasi dalam cerita dengan arif sesuai apa yang dipahami oleh masyarakat, tujuannya agar cerita yang dibawakan dapat diterima oleh pendengar sahibul hikayat malam itu, misalnya isi cerita yang menceritakan tokoh cerita Tuan Rosyad yang kikir, ditambahkan oleh penutur Uangnya banyak bukan dikasih ke Lebaran Betawi, tujuannya agar pencerita dapat lebih dekat dengan konteks. Termasuk dengan menyebut kekayaaan Tuan Rosyad dengan konteks yang lebih dikenal oleh penonton. Termasuk mengaitkan dengan unsur agama Islam bagimana Tuan Rosyad yang kaya raya tapi tidak menggunakan uangnya di jalan Allah, termasuk digambarkan oleh penutur dengan menyebut perbuatan maksyiat, berpoyapoyah, melupakan anak dan istri dan akhirnya jatuh miskin dan tidak berdaya. Selanjutnya diceritakan bahwa istri dan anak Tuan Rosyad yang dulu disi-siakan akhirnya menjadi besar dan menajdi seorang hakim dan pada akhirnya mengadili ayahnya yang jatuh miskin dan diadili oleh anaknya sendiri karena mencuri. Unsur dakwah diangkat dalam sahibul hikayat yang dibawakan, ada ganjaran bagi orang jahat dalam pesan yang umumnya disampaikan dalam cerita sahibul hikayat termasuk cerita Hakim Siti Zulfah. Pencerita menggunakan perumpamaan-perumpamaan pada sebuah tindakan yang menyimpang dari jalan agama, yaitu nilai agama Islam. Hal itu diingat oleh pencerita dengan cara menambahkan di sani-sini perumpamaan dengan cara memberi contoh penyimpangannya.

33

Pencerita sebagai tukang sahibul hikayat tidak hanya berusaha mengingat jalan cerita Hakim Siti Zulfah, tetapi mengingat perbuatan-perbuatan maksyiat yang biasa dilakukan oleh orang kaya yang kikir ketika sedang mengalami kejayaan. Ingatan pencerita itu tentu saja tidak hadir begitu saja dalam mengolah cerita tapi ingatan itu sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari pencerita dengan kebudayaan yang membesarkan pencerita. Menurut Koster (2008:39) bahwa tindakan mengingat dari seorang pencerita, seperti sahibul hikayat Ustad Miftah (50 tahun) adalah adalah cara pencerita mendapatkan bahan- bahan yang tersedia dan yang sah untuk dituturkan, yaitu untuk menghubungkannya dengan suara tradisi. Termasuk bagaimana agar pencerita terhindar dari kepakuman dia bertindak seabagai sahibul hikayat dengan melakukan ingatan pada perbuatan-perbuatan yang hitam putih agar cerita yang dibawakan lebih hidup dalam suasana yang ―geer‖ untuk menghadirkan interaksi dengan penonton atau pendengar. Pada Teks cerita Hakim Siti Zulfah tidak hanya terbatas pada lakon atau jalan cerita Hakim Siti Zulfah, tetapi menurut Koster (2008:40) bahwa teks dalam sahibul Hikayat melingkupi unsur-unsur seperti bunyi suara pencerita, gerak-geriknya, atau alat media, seperti mikrofon yang digunakan, termasuk baca-bacaan mantra atau doa yang dibaca ketika akan memulai membawakan ceritanya. Hal yang selalu menajubkan dari teks lisan yang dituturkan oleh pencerita adalah bagaimana tukang cerita atau sahibul hikayat mampu mebina teks yang dihasilkan olehnya tanpa wujud tulisan apa pun yang boleh digunakan sebagai dasar proses penciptaan atau sutradara yang memberi bimbingan. Untuk bisa mengerti mengapa pencerita dapat melakukan tersebut, maka kita harus kembali pada konsep mengingat seperti apa yang dikemukakan oleh Lord (1960) tentang bagaimana seorang Guslar menciptakan puisi-puisi epik yang panjang, bahwa cerita-cerita yang panjang dari penciptaan pencipta bukan hadir dari hafalan tetapi merupakan hasil suatu proses yang disebut composition in performance, yaitu penggubahan kata-kata cerita berimprovisasi pada waktu disampaikan. Penonton atau pendengar dapat dikatakan juga sebagai pencipta atau pembetuk pertunjukan. Bahwa penonton tidak pasif, karena latar belakang, penafsiran dan pewarnaan penonton akan sedikit banyak menentukan panjang pendeknya cerita sahibul hikayat dibawakan. Bahwa peran penonton dalam pertunjukan sahibul hikayat harus diperhatikan keberadaannya. Sebagai pencipta cerita yang dipertunjukkan bukan saja diciptakan oleh pencerita tetapi penonton juga memiliki andil dalam menciptakan pertunjukan sahibul hikayat apakah akan

34 menarik atau tidak cerita dibawakan oleh pencerita, maka harus diciptakan interaksi itu. Jika dilihat dari bentuk pertunjukan tradisi lisan sahibul hikayat keunggulannya terletak pada komunikasi yang terjadi antara pencerita, teks dan penonton harus dilakukan. Bahwa konsep mengingat dalam sebuah pertunjukan harus menjadi amunisi pencerita untuk tidak hanya mengingat lakon cerita tetapi harus mengingat konteks cerita termasuk apa yang diingat oleh penonton dan ada hubungannnya dengan ingatan pada teks cerita. Jadi revitalisasi pertunjukan sahibul hikayat tidak saja mengupayakan adanya peran masyarakat melalui BAMUS Betawi tetapi dalam hal ini bantuan pemerintah juga diharapkan dalam upaya menghadirkan kembali kesenian sahibul hikayat juga dibutuhkan peran apresiasi pencerita, penonton dan cerita untuk diolah sedemikian rupa sehingga cerita hadir sebagai sebuah pertunjukan yang masih dirindukan dan dipelajari bentuknya masyarakat Betawi. Sahibul hikayat di Betawi sejak awal juga selalu membawakan cerita-cerita dari Timur Tengah. Bagi masyarakat Betawi wilayah tengah yang sering menyajikan pertunjukan sahibul hikayat. Budaya Arab sebagai budaya yang dominan sudah dimulai sejak awal, hal ini tampak dalam pergaulan identitas masyarakat Betawi tengah telah melakukan hubungan kultural yang sangat kuat dengan kebudayaan Arab misalnya melalui perkawinan. Penggambaran budaya Arab dengan Betawi ini juga tanpak dalam kehidupan masyarakat Betawi Tengah terutama yang hidup di wilayah Tanah Abang, Pekojan dan daerah sekitar Jakarta Pusat. Tradisi hibriditas misalnya terlihat dalam pembawaan sahibul hikayat Ustad Miftah (50 tahun) layaknya seorang dai, Ustad Miftah membawakan cerita dengan lakon Hakim Siti Zufah dengan gaya seorang mubalik. Pencerita menuturkan bagaimana nilai agama Islam digunakan oleh Siti zaenab sebagai orang tua mendidik anaknya Siti Zulfah. Jika anak sejak dini diajarkan agama maka keselamatan akan didapat seperti dalam contoh hidup Hakim Siti Zulfah. Namun apabila anak sejak kecil tidak diberi pendidikan agama akan mendapat kesengsaraan, seperti yang dialami oleh tokoh Tuan Rosyad hal ini dapat dilihat pada pesan sahibul hikayat yang di bawakan dalam perayaan Lebaran Betawi malam itu di Setu Babakan. Kebudayaan yang saling mempengaruhi dalam interaksi hidup masyarakat Betawi dan arab tanpak dalam lakon sahibul hikayat. Masyarakat betawi yang mayoritas beragama Islam tentu dapat menjadi kekuatan identitas bagi masyarakat Betawi sebagai masyarakat kuat dalam meyakini agama Islam. Pertunjukan sahibul hikayat sebagai pertunjukan yang hybrid tidak saja untuk menunjukkan bahwa pertunjukan sahibul hikayat adalah pertunjukan yang lentur ―fleksible‖, hal

35 ini juga dapat ditunjukan dengan kebudayaan Betawi yang egaliter, terbuka bahwa masyarakat Betawi adalah masyaraat yang terbuka pada semua pendatang yang masuk dan datang ke DKI Jakarta. Sahibul hikayat dapat menjadi penanda identitas, seperti apa yang dikemukakan Barker bahwa Identitas kultural dibentuk oleh diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan permainan kekuasaan melalui transformasi dan pembedaan (difference). Identitas Betawi diawali dengan terbentuknya kota Jakarta yang bernama Batavia oleh Jan Pieterzoon, Ia merebut Jayakarta yang pada saat itu dipimpin oleh seorang bupati yang bernama Pangeran Jayawikarta dari Kerajaan Banten. Pasukan Belanda yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen berhasil merebut Jayakarta dan mengubah namanya dari Jayakarta menjadi Batavia. Jayakarta dihancurkan dan diubah menjadi Batavia. Pada saat itu hampir semua pendudukanya meninggalkan wilayah itu dan mereka mengungsi ke Banten atau ke kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Setelah kejadian itu Batavia dihuni oleh pendatang, maka kota ini pun disebut sebagai city of migrants. Pendatang yang menghuni Batavia ketika itu terdiri atas, (1) budak belian, (2) para pedagang Cina dan Moor, serta chetti (pedagang Arab dan India), (3) kelompok etnik dari luar Jawa, dan (4) orang Jawa. Berdasarkan informasi Raffles pada tahun 1815 sebagian penduduk Batavia itu adalah budak yang berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data itu, jelas menunjukkan bahwa suku Betawi terbentuk dari berbagai suku dan etnis Nusantara yang mayoritas berasal dari Indonesia Timur. Di pihak lain, kebudayaan yang turut membentuk suku baru itu, yaitu Islam dan bahasa Melayu yang berasal dari Indonesia Barat. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa terbentuknya suku Betawi di Batavia saat itu melalui proses peleburan atau melting pot. Sebagai masyarakat yang hadir dari proses peleburan tentu muncul rasa senasib sepenanggungan dari masyarakat yang tertekan dan diekploitasi oleh oleh kolonialisme dan tuan tanah. Penanda identitas melalui sahibul hikayat dapat terlihat dari hubungan dengan sang pencipta, bahwa orang Betawi tidak bisa dipisahkan dari keyakinan mereka yang kuat meyakini agama, terutama agama Islam. Wlayah masyarakat Betawi Tengah yang tinggal di Jakarta Pusat, seperti Tanah Abang, Pekojan dan daerah sekitarnya yang kuat dengan penanda Islamnya. Penanda identitas ini juga tergambar dalam cerita sahibul hikayat lakon Hakim Siti Zulfah, bahwa pesan dari cerita yang ingin disampaikan kalau ingin selamat dunia akhirat maka harus belajar agama sejak kecil. Hubungan dengan sang pencipta sebagai identitas orang Betawi, hal ini sesuai dengan filosofi hidup orang Betawi adalah ―masih kecil belajar ngaji, remaja belajar

36 silat, (bela diri) dan sudah tua naik haji‖. Keyakinan inilah juga dapat menjadi nilai kearifan lolal masyarakat Betawi bahwa bagaimana seseorang dapat mencapai kesempurnaan itu haruslah dengan ikhtiar dan kerja keras yang tinggi agar selamat dunia kahirat. Penanda lainnya dalam lakon Hakim siti Zulfah juga terlihat pada hubungan sesama manusia, misalnya saja kejujuran dalam cara berinteraksi. Ibu Hakim Siti Zulfah mau mengakui suaminya meskipun sudah menenlatarkan dia dan ibunya beberapa tahun ketika ia sedang mengandung anaknya. Fakta bahwa Tuan Rosyad yang kini hidup miskin dan akan menjadi narapidana tetap diakui sebagai suami dan diperkenalkan kepada anaknya Hakim Siti Zulfah. Orang betawi lebih suka berterus terang, tidak ada yang disembunyikan, meski sakit sekali pun akibatnya. Penanda identitas lain yang berhubungan sesama manusia juga diperlihatkan dalam cara bertoleransi. Gambaran ini terlihat dalam cerita sahibul hikayat Hakim Siti Zulfah bagaimana kakek tua yang menemukan Siti Zaenab sedang membutuhkan pertolongan ketika diusir oleh suaminya dari rumah besarnya lalu ditolong dan dibantu untuk bisa melanjutkan hidupnya bersama anaknya yang masih dikandung. Orang Betawi yang selalu terbuka terhadap orang lain juga tergambar dalam siatuasi Jakarta yang begitu terbuka menerima para urbanisasi yang memenuhi kota Jakartai sampai mereka sendiri tergusur ke pinggir kota Jakarta. Jika kita pantau sekarang wilayah Jakarta Pusat yang dulu dihuni oleh orang-orang Betawi kini perlahan tapi pasti tidak lagi menempati wilayah tanah mereka. Gambaran inilah yang dapat menunjukkan betapa Orang Betawi adalah orang mau bertoleransi antarsesama atau mau menjual tanahnya atas nama pembangunan. Penanda lain adalah masyarakat Betawi adalah masyarakat yang egaliter, hal ini tampak benar dalam cerita sahibul hikayat bahwa pencerita begitu dekat dengan penonton tidak ada perbedaaan antara penonton yang hadir. Semua bebas tertawa, bebas ―nyeletuk‖. Termasuk yang menonton acara sahibul hikayat adalah masyarakat yang datang dari berbagai lokasi dan tempat dari 5 wilayah di DKI Jakarata. Ketika mereka tahu ada perayaan Lebaran Betawi mereka semua tumpah dalam acara yang dapat diikuti oleh semua kalangan. Gambaran ini juga menunjukan bahwa orang Betawi yang egaliter karena mereka tidak membedakan ras, suku, agama maupun golongan. Nonton sahibul hikayat secara gratis bersama juga menjadi simbol kebersamaan keterikatan menggambarkan suka dan duka akan dihadapi bersama. Penanda lain yang tak kalah pentingnya bagi masyarakat Betawi adalah sifat humoris. Orang Betawi mudah bercanda

37 dengan siapapun. Hal ini juga tergambar dalam pembawaan pencerita sahibul hikayat Ustad Miftah, improvisasi dari lakon cerita Hakim siti Zulfah dibuka dengan lelucon yang dibawakan dengan lucu. Keahlian pencerita dalam sahibul hikayat adalah ketika si pencerita mampu mengocok perut penonton yang hadir dari berbagai istilah dan bunyi yang disampaikan dalam cerita. Misalnya dengan menyebut perumpamaan ketika Tuan Rosyad pulang dari luar rumah diumpamakan oleh tukang cerita bunyi pintu orang kaya ―Kereeeeen Who‖ sedang pintu orang miskin dengan bunyi ―melaraaaat‖ perumpamaan seperti itu, tentu membuat penonton geer tertawa. Sikap humoris ini juga memang dimunculkan dalam setiap kesenian Betawi termasuk sahibul hikayat tujuannya agar terjadi interaksi yang baik antara pencerita dengan penonton.

4. Pertunjukan Lenong Lenong adalah teater tradisional Betawi. Seni ini diiringi oleh seni musik tradisional gambang kromong disertai dengan alat musik seperti gambang, kromong, gong, drum, kempor, seruling, dan kecrekan, serta unsur alat musik Cina seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Memutar atau skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yang membantu keserakahan, lemah dibenci dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Gambar 5. Pertunjukan Lenong 2013 Dok. Pribadi

38

Sejarah lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi seni yang sama seperti ―komedi bangsawan‖ dan ―teater opera‖ yang sudah ada pada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyatakan bahwa berevolusi dari proses teater lenong musik Gambang Kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak 1920. Para pemain Lenong berevolusi dari lelucon-lelucon tanpa plot-tali digantung pada sebuah pertunjukan dengan bermain sepanjang malam dan utuh. Pada seni pertama dipamerkan dengan menyanyikan dari desa ke desa. Acara ini diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Sebagai acara berlangsung, salah satu aktor atau aktris di sekitar penonton sementara meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, mulai Lenong dilakukan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru pada awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi spectac panggung.

Gambar 6. Artis Betawi

Setelah mengalami masa sulit, dalam seni lenong yang dimodifikasi tahun 1970-an mulai rutin dilakukan di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam tahap plot dan tata letak, Lenong yang direvitalisasi ke dalam dua atau tiga jam

39 dan tidak lagi sepanjang malam Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan di televisi, yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia dimulai pada 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan aneh. Ada dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Lenong preman.Dalam Lenong Denes (dari Denes dalam dialek Betawi yang berarti, Äúdinas, Äù atau, Äúresmi, Äù), aktor dan aktris biasanya memakai pakaian formal dan kisahnya sedang menyiapkan kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam pakaian sipil dikenakan Lenong tidak ditentukan oleh sutradara dan cerita umum kehidupan sehari-hari.Selain itu, kedua jenis tersebut dibedakan juga Lenong dari bahasa yang digunakan, Denes Lenong umumnya menggunakan bahasa halus (tinggi Melayu), sementara Lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Kisah dimainkan dalam contoh preman lenong adalah cerita tentang orang-orang yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pejuang doa taat yang membela rakyat dan melawan tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh adalah kisah Lenong Denes 1001 Cerita malam. Dalam perkembangannya, Lenong preman dan berkembang lebih populer daripada Lenong Denes.

5. Pertunjukan Topeng Betawi Kesenian teater masyarakat Betawi, yang pertunjukannya hampir sama dengan lenong dan tumbuh di lingkungan masyarakat pinggiran Kota Jakarta. Kesenian Topeng Betawi ini terdiri atas Topeng Blantek dan Topeng Jantuk. Pertunjukkan topeng biasanya dimaksudkan sebagai kritik sosial atau untuk menyampaikan nasehat-nasehat tertentu kepada masyarakat lewat banyolan-banyolan yang halus dan lucu, agar tidak dirasakan sebagai suatu ejekan atau sindiran.Teater Topeng Betawi mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Karena tumbuhnya di daerah pinggiran Jakarta sehingga dipengaruhi oleh kesenian Sunda.Saat itu masyarakat Betawi mengenal topeng melalui pertunjukan ngamen keliling kampung.

40

Gambar 7. Penari Topeng, Kamis, 29 Juni 2017 Dok. Pribadi

Pada awalnya pementasan atau pertunjukan topeng tidak menggunakan panggung tetapi hanya tanah biasa dengan properti lampu minyak bercabang tiga dan gerobak kostum yang diletakkan ditengah arena. Tahun 1970-an baru dilakukan di atas panggung dengan properti sebuah meja dan dua buah kursi. Pertunjukkannya diiringi dengan tabuhan seperti, rebab, kromong tiga, gendang besar, kulanter, kempul, kecrek dan gong buyung.Lagu yang dimainkan lagu Sunda Gunung namun khas daerah pinggir Jakarta seperti; Kang Aji, Enjat-enjatan, Ngelantang, atau Lipet Gandes. Dahulu terdapat sebutan bagi pecandu-pecandu Topeng Betawi yang ikut menari (ngibing) bersama Kembang Topeng, ―buaya ngibing‖. Para pemain Topeng Betawi sebagian memakai pakaian khusus sesuai dengan peranannya dan sebagian lainnya memakai pakaian biasa yang dipakai sehari-hari. Bagi para pemain laki-laki unsur pakaian yang harus ada biasanya, kemeja putih, baju hitam, kaos oblong, celana, sarung, peci atau tutup kepala, serta kedok. Sedangkan untuk wanita unsur yang ada biasanya kain panjang atau kain batik, kebaya, selendang, "mahkota" warna-warni yang terletak di kepala yang biasanya disebut "kembang topeng". Selain itu, ada bagian hiasan yang disebut ampak-ampak, andung, taka-taka, selendang (ampreng) yaitu semacam lidah pada bagian depan pinggang yang terbuat dari kain yang dihias, bagian ini biasanya di pakai oleh Topeng Kembang atau Ronggeng Topeng sebagai primadona tokoh yang menonjol. Sesuai dengan perannya, para pemain menggunakan pakaian yang khas. Pertunjukan topeng Betawi dengan tarian lazim disebut tari topeng Betawi. Merupakan salah satu jenis tarian tradisional masyarakat Betawi yang disebut juga Ronggeng Topeng. Tari

41

Topeng sendiri terdiri dari beberapa jenis tari, yaitu Tari Lipet Gandes (merupakan sebuah tari yang dijalin dengan nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi lucu), Tari Topeng Tunggal, Tari Enjot-enjotan, Tari Gregot, Tari Topeng Cantik, Tari Topeng putri, Tari Topeng Ekspresi, Tari Kang Aji, dll. Pada perkembangannya, muncul Tari Topeng kreasi baru seperri Tari Ngarojeng, Tari Dagor Amprok, dan Tari Gitek Balen. Alat musik pengiring yang dipergunakan dalam pertunjukan ini adalah gendang besar, kulanter, rebab, keromong berpencon tiga, kecrek, kempul, dan Gong Buyung. Pada pertunjukannya, didahului dengan lagu-lagu instrumental, kemudian menyusul Tari Kedok, yaitu Tari Ronggeng Topeng yang menggunakan tiga buah kedok secara bergantian. Dahulu tarian ini dilakukan pada penutup acara, tetapi sekarang dijadikan acara pertama. Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan Tari Kembang Topeng yang selanjutnya dibarengi bodor dengan diiringi lagu Aileu, Lipet Gandes, Enjot-enjotan, dan lain sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan lakon pendek yang bersifat banyolan. Di antara banyolan-banyolan ini terdapat cerita Bapak Jantuk. Lakon-lakon pendek ini antara lain Benguk, Pucung, Lurah Karsih, Mursidin dari Pondok Pinang, Samiun Buang Anak, Murtasik, dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya rombongan topeng juga membawakan lakon panjang untuk dimainkan semalam suntuk. Lakon panjang ini antara lain Jurjana, Dul Salam, Lurah Barni dari Rawa Katong, Asan Usin, Lurah Murja, Rojali Anemer Kodok, Waru Doyong Daan Dain, Kucing Item, Aki-aki Ganjen, dan sebagainya. Sebelum memulai pertunjukan Topeng, biasanya didahului dengan pembakaran kemenyan dan disediakan sesajen lengkap yang terdiri dari beras, kelapa muda, berbagai minuman, rujak tujuh macam, panggang ayam, telur ayam mentah, nasi dengan lauk-pauk, dan cerutu atau rokok.

6. Pertunjukan Palang Pintu Acara palang pintu bermaksud untuk menahan laju dari rombongan pengantin pria yang hendak menuju ke kediaman pengantin wanita untuk melamar sang wanita. Untuk bisa memasuki ke kediaman atau daerah pengantin wanita tinggal, rombongan pria harus bisa memenuhi persyaratan yang diajukan oleh palang pintu dari pengantin wanita.

42

Gambar 8. Pertunjukan palang pintu, Kamis, 29 Juni 2017 Dok. Pribadi

Berawal dari iring-iringan atau biasa disebut arak-arakan besan calon pengantin laki-laki menuju rumah calon pengantin perempuan. Di antara rombongan besan calon mempelai laki- laki biasanya membawa hadroh atau marawis,namun lebih sering marawis karena lebih keras terdengar dan banyak lagu pilihan yang enak didengar. Ada orang yang membawa seserahan atau maskawin, nah untuk yang ini bukan remaja yang melakukan namun, biasanya Ibu-ibu. Dalam membawakan maskawin dan lainnya yang pasti ada dalam bawaan adalah "Roti Buaya" ini juga merupakan budaya Betawi yang ada saat pernikahan. Lalu ada jagoan silatnya, jagoan ini yang nantinya bertugas untuk membuka Palang Pintu yang dipersiapkan calon pengantin wanita. Bersamaan dengan datangnya rombongan besan pengantin pria, rombongan pihak pengantin wanita pun sudah menunggu yang pastinya ada orang-orang yang berpenampilan seperti jagoan, nah mereka inilah yang biasa disebut dengan Palang Pintu. Saat rombongan pengantin pria menuju tempat mempelai wanita untuk menikahinya, mereka harus melewati hadangan dari palang pintu yang sudah berjaga-jaga. Ketika rombongan pengantin pria sudah berhadapan dengan palang pintu, mereka harus memenuhi persyaratan yang diajukan oleh palang pintu. Jika tidak terpenuhi maka Mempelalai pria tidak diperbolehkan masuk tempat wanita atau daerah dimana tempat tinggalnya sebelum memenuhi persyaratan yang diminta oleh mempelai wanita. Adapun persyaratan tersebut diawali dengan berbalas pantun dan adu silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan menjadi pelindung bagi

43 mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap petarungan silat, jago dari pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan mempelai pria. Berikut penggalan pantun seperti yang kerap dilakukan dalam prosesi Buka Palang Pintu berlangsung diwakili oleh pihak pengantin Perempuan (P) dan pihak pengantin Laki (L): P: Eh,Bang-bang berenti, bang budeg ape luh. Eh, bang nih ape maksudnye nih, selonong- selonong di kampung orang. Emangnye lu kagak tahu kalo nih kampung ade yang punye? Eh…. Bang, rumah gedongan rumah belande, pagarnya kawat tiangnya besi, gue kaga mao tau nih rombongan datengnye dari mane mau kemane, tapi lewat kampung gue kudu permisi. L : Oh…jadi lewat kampung sini kudu permisi, bang? P: Iye, emangnye lu kate nih tegalan. L: Maafin aye bang, kalo kedatangan aye ama rombongan kage berkenan di ati sudare-sudare. Sebelomnye aye pengen ucapin dulu nih Bang. Assalamu‘alaikum.. P: Alaikum salam.. L: Begini bang. Makan sekuteng di Pasar Jum‘at, mampir dulu di Kramat Jati, aye dateng ama rombongan dengan segala hormat, mohon diterime dengan senang hati. P: Oh, jadi lu uda niat dateng kemari. Eh Bang, kalo makan buah kenari, jangan ditelen biji- bijinye. Kalo ku udeh niat dateng kemari. Gue pengen tahu ape hajatnye?… L : Oh..jadi Abang pengen tahu ape hajatnye. Emang Abang kage dikasih tau ame tuan rumehnye. Bang, ade siang ade malam, ade bulan ade matahari, kalo bukan lantaran perawan yang di dalam, kaga bakalan nih laki gue anterin ke mari. P: Oh..jadi lantaran perawan Abang kemari?… Eh.. Bang, kage salah Abang beli lemari, tapi sayang kage ade kuncinye, kage salah abang datang kemari, tapi sayang tuh, perawan ude ade yang punye. L: Oh..jadi tuh perawan ude ade yang punye. Eh.. Bang crukcuk kuburan cine, kuburan Islam aye nyang ngajiin, biar kate tuh perawan udeh ade yang punye, tetep aje nih laki bakal jadiin. P: Jadi elu kaga ngerti pengen jadiin. Eh, Bang kalo jalan lewat Kemayoran, ati-ati jalannye licin, dari pada niat lu kage kesampaian, lu pilih mati ape lu batalin. L : Oh..jadi abang bekeras nih. Eh Bang ibarat baju udah kepalang basah, masak nasi udah jadi bubur, biar kate aye mati berkalang tanah, setapak kage nantinye aye bakal mundur.

44

P: Oh..jadi lu sangke kage mau mundur, ikan belut mati di tusuk, dalam kuali kudu masaknye, eh. Nih palang pintu kage ijinin lu masuk, sebelum lu penuin persaratannye. L: Oh..Jadi kalo mao dapet perawan sini ade saratnye, Bang? P: Ade, jadi pelayan aje ada saratnye, apa lagi perawan. L: Kalo begitu, sebutin saratnye. Bang. P: Lu pengen tau ape saratnye. Kude lumping dari tangerang, kedipin mate cari menantu, pasang kuping lu terang-terang, adepin dulu jago gue satu-persatu. L: Oh..jadi kalo mao dapet perawan sini saratnye bekelai Bang. P: Iye. Kalo lu takut, lu pulang. L: Bintang seawan-awan, aye itungin beribu satu, berape banyak Abang punya jagoan, aye bakal adepin satu-persatu….

Setelah adegan perkelahian, pemain palang pintu biasanya melanjutkan dengan kembangan. Berikut adalah petikannya. Acara Palang Pintu merupakan hasil produk umat manusia dimana dalam acara tersebut adanya nilai-nilai universal. Dengan kata lain acara Palang Pintu termasuk dalam salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia. Dan kearifan lokal sendiri secara garis umum merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan local merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan- aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Dalam salah satu Hadis yang َما َراَهُ ا ْل ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ :diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas‘ud disebutkan Artinya : ―Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik‖. Hadits َح َس ٌنه tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‘at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam Artinya: ―Suatu اَ ْل َ ا َا ُ ُم َ َّك َم ٌن :menetapkan hukum Islam (fiqh). Dari hadis tersebut lahir kaidah fiqh adat kebiasaan bisa dijadikan pedoman hukum‖. Apabila suatu ‗urf bertentangan dengan Kitab atau Sunnah seperti kebiasaan masyarakat melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal meminum arak atau memakan riba, maka ‗urf mereka tersebut ditolak (mardud)[9]. ‗Urf

45 yang dimaksud di sini adalah ‗urf khas, yaitu ‗urf yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu, seperti ‗urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain sebagainya. Pentingnya posisi urf atau adat kebiasaan dalam teori hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama‘ ushul. Posisi urf ini menjadi penting karena dalam kenyataannya urf itulah yang menjadi the living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat. Membiarkan dalil- dalil hukum Islam menjauh dari kenyataan social sama maknanaya dengan mengebiri hukum Islam itu sendiri. Karena itulah makna teks dan konteks dipertemukan, dalil hukum dan ‗illat hukum diteliti, serta kebiasaan yang berjalan baik diakomodasi sebagai bagian dari hukum. Itulah makna kaidah al-‘Adah muhakkamah. Oleh karena acara Palang Pintu merupakan termasuk kearifan lokal, maka ada banyak manfaat yang terkandung dalam acara tersebut sebagai nilai-nilai sosiologi. Seperti disebutkan di atas, bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh mempelai laki-laki ada dua syarat. Pertama dituntut punya kemampuan dalam bidang silat dengan tujuan agar dapat melindungi calon istrinya dari orang-orang yang ingin berbuat jahat. Dan yang kedua juga penganten laki-laki dituntut bisa mengaji agar nantinya bisa menjadi imam yang baik dalam segi agama Islam dan mencontohkan hal-hal baik kepada anak dan istrinya. Di lain pihak tradisi ini juga merupakan sebuah atraksi untuk mempererat tali persaudaraan antara keluarga mempelai pria maupun wanita. Selain itu juga, sebagai ujian bagi sang lelaki untuk membuktikan kehebatannya kepada mempelai wanita bahwa dia pantas meminang sang wanita. Oleh karenanya, wanita betawi itu tidak boleh sembarangan menerima pria untuk menjadi pasangan hidupnya, wanita tersebut harus jeli dalam menetukan apakah pria tersebut pantas atau tidak, bagaimana asal-usulnya, pekerjaan, hingga ke keluarganya.

C. Pengelolaan Industri Kreatif Kuliner Betawi di PBB Setu Babakan Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah mendapatkan model karakter perkampungan budaya Betawi berupa bentuk pengelolaan kuliner Betawi sudah dapat melakukan eksplorasi bentuk dan rasa makanan Betawi yang berkarakter Betawi, terutama yang baru membuka atau bergabung dengan kelompok kuliner di Setu Babakan. Cita rasa kuliner juga telah menghasilkan suatu cipta bentuk dan rasa yang dapat diterima oleh semua kalangan pengunjung Setu Babakan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Model pengelolaan yang dilakukan harus terus

46 menerus guna menembangkan karakter Perkampungan Budaya Setu Babakan agar mampu bersaing dengan cagar desa budaya yang ada di wilayah lain di Indonesia. Untuk itu perlu kiranya dalam penelitian lanjutan perlu menuntaskan model bahan ajar karakter Perkampungan Budaya Betawi ini dengan dengan melakukan desiminasi penelitian berupa adanya pengakuan para pakar, tokoh masyarakat betawi terhadap hasil penelitian ini berupa model dokumenter yang mampu dijangkau oleh semua pihak dalam rangka mewujudkan Model karakateristik perkampungan Budaya Betawi sebagai model yang mendapakan pengakuan oleh stake holder dan masyarakat Betawi. Termasuk mengadakan publikasi nasional dan internasional guna menggaungkan hasil penelitian ini sebagai wujud memperkenalkan karakteristik Perkampungan Budaya Betawi sebagai perkampungan budaya Betawi yang mampu bersaing dan bermanfaat bagi masyarakat Betawi pada khususnya masyarakat Setu Babakan dan umumnya masyarakat Betawi di DKI Jakarta maupun di luar DKI Jakarta bahwa mereka memiliki peradapan budaya dengan karakter dan identitas sendiri. Karakteristik budaya Betawi berupa kuliner merupakan hasil kreatif masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh daerah lain. Interaksi dengan berbagai suku dan etnik membuat keaneakaragaman kuliner Betawi semakin hari semakin bervariasi. Namun ada yang khas dalam kuliner Betawi, misalnya kerak telor, soto Betawi dan gado-gado Betawi hingga bir pletok.

1. Kerak Telor Kerak telor adalah satu diantara makanan khas masyarakat Betawi yangmemiliki bentuk menyerupai martabak, tetapi isinya yang beda. Kerak telor adalah gulungan telur yang dimasak di atas tungku dengan cetakan wajan berisi ketan serta ubi. Isinya inilah yang membedakan kerak telor dengan martabak telor.

47

Gambar 9. Foto Kuliner Bir Pletok di pamerkan dalam acara Menyambut Tamu Asean Games 26 Agustus 2018

Saat Anda berkunjung ke Perkampungan Budaya Setu Babakan janganlah segan untuk jajan kerak telor dengan harga yang cukup terjangkau. Bahkan juga di festival seperti Pekan Raya Jakarta kerak telor tentu dengan mudah ditemukan jika ingin mencicipi kelezatan dari makanan khas masyarakat Betawi ini. Sebagai makanan khas, kerak telor tentu memiliki sejarah.Makanan ini kabarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Orang Betawi, awalnya iseng mengolah campuran kelapa parut, ketan, serta berbagai macam bumbu. Keisengan ini juga didasari dengan banyaknya pohon kelapa di wilayah Jakarta yang saat itu namanya masih Batavia. Melimpahnya hasil panen kelapa, membuat orang Betawi berinovasi untuk membuat makanan lain dari kelapa tersebut. Hasilnya, makanan ini banyak disukai. Sehingga, makanan tersebut kemudian dijadikan jajanan di sekitar Monas. Ciri khas dari pembuatan kerak telor sendiri ada pada penggunaan bara api untuk memasaknya. Bagi Anda belum sempat datang ke Jakarta atau belum pernah makan dan penasaran dengan rasa kerak telor tersebut, Anda bisa membuatnya di rumah. Membuat kerak telor tergolong cepat dan mudah.Anda bisa menjadikannya sebagai teman santai di rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Untuk membuat kuliner kerak telor ada bebeapa bahan yang harus disiapkan, yaitu: (1) beras ketan putih 100 gram dengan kualitas baik, (2) air 250 ml, (3) kelapa parut yang disangrai

48 sebanyak 100 gram, (4) ebi atau udang kecil 15 gram, (5) telur bebek 5 butir, (6) bawang goring merah sebanyak 30 gram, (7) minyak goring 1 sendok makan, (8) garam, (9) gula pasir, (10) bumbu meliputi, cabe, merica, kencur, dan jahe semua dihaluskan. Resep kerak telor sederhana dimulai dari: (1) Rendam beras ketan putih di dalam air selama satu malam, tiriskan, (2) Panaskan minyak, tumis bumbu halus hingga harum., (3) Bubuhkan 1 1/2 sendok makan beras ketan putih pada wajan cekung yang sudah panas. Siram dengan 3 sendok makan air redaman beras, biarkan hingga agak kering, (4) Pada satu tempat, kocok 1 butir telur bebek, 1/2 sendok teh bumbu halus yang sudah ditumis, 1/2 sendok teh ebi, 1/2 sendok makan bawang merah goreng, 1/8 sendok teh gula pasir, dan 1/8 sendok teh garam bubuk, (4) Siram campuran tersebut ke atas ketan pada wajan, aduk sambil ratakan dan atur ketebalannya dengan mengira-ngira. Tutup wajan hingga matang. Balik wajan cekung di atas bara api, biarkan sampai benar-benar matang, dan (4) Terakhir, taburi kelapa sangrai dan bawang goreng sebelum disajikan. Kerak telor ini memang sebaiknya dimasak tidak menggunakan kompor agar rasa dan aroma khasnya bisa Anda dapatkan. Namun, untuk coba-coba di rumah, menggunakan kompor pun tidak masalah.Hasilnya tetap enak. Kuliner kerak telor sebagai karakteristik hasil kreasi masyarakat Betawi yang sejak dulu ketika masa kolonial menjadi kuliner pilihan yang telah dikenal. Kuliner ini tidak bisa dilepaskan dari ingatan masyarakat Betawi sebagai makanan wajib di temapat dan acara penting kebetawian seperti di Perkampungan Setu Babakan.

2. Soto Betawi Kuliner Betawi yang satu ini adalah makanan khas yang terkenal sebagai jenis makanan yang memiliki kuah yang segar ini ternyata banyak sekali resepnya, dan cara pembuatannya juga berbeda-beda, ada soto bening, soto makasar, soto betawi, dan masih banyak soto-soto yang tersebar luas di setiap daerah di Indonesia. Pembuatan soto yang akan kami jelaskan adalah soto Betawi, yang merupakan soto paling gurih dan enak bagaimana tidak perpaduan antara santan kental dan susu sapi yang enak serta ditambah dengan potongan daging dan jeroan sapi yang sangat gurih dan enak, menghasilkan soto Betawi ini sebagai makanan yang sangat special dan enak.

49

Gambar 10. Soto Betawi, Dok.https://www.kompasiana.com/sotobetawi/resep-rahasia-soto betawi-enak-di-jakarta_54f7a64ba33311b41f8b45b0#&gid=1&pid=1

Soto Betawi ini merupakan makanan khas yang berasal dari Betawi asli, yang kebanyakan memang orang asli Betawi pasti suka dan sudah mengenalnya, dan sekarang sudah banyak juga dijual di beberapa daerah di Jakarta, seperti di Perkampungan Setu Babakan. Tidak banyak yang tahu bahwa makanan khas soto Betawi ini dipopulerkan oleh Li Boen Po (ada juga yang menyebut namanya Lie Boen Po). Dialah yang 45 tahun lalu, pertama kali menggabungkan dua kata ―soto‖ dan ―Betawi‖, yaitu untuk kuliner yang berkuah santan dengan campuran rempah dan isi daging dan jeroan. Ia adalah pedagang soto Betawi yang berjualan di sejak tahun 1971 di daerah Prinsen Park atau di Wilayah Jakarta Kota. Soto Betawi ini juga telah menjadi warisan tak benda, telah dilakukan penilaian dan verifikasi langsung ke lapangan. Termasuk menanyakan kepada para ahli atau pihak yang terkait dengan keberadaan karya budaya tersebut Soto Betawi menjadi salah satu dari 150 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Takbenda Indonesia tahun 2016, yang perayaan dan penyerahan sertifikatnya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Penilaian dilakukan juga kepada para ahli atau pihak-pihak yang terkait dengan keberadaan karya budaya tersebut, dari segala aspek pengertian, ciri dan fungsi serta nilai budaya yang ada dalam makanan ini. Untuk membuat soto Betawi tidak terlalu sulit terutama dalam menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan karena bahan-bahan soto Betawi hampir mudah didapatkan. Bahan-bahan yang harus disipakan, yaitu daging sapi segar dan jeroan terpilih sebanyak 500 gram, dipotong-potong seperti dadu 1 cm. santan segar 200 ml, yang kental dan cair, susu sapi segar/susu ultra 250 ml, air bersih secukupnya, lengkuas dipotong 4 cm 2 cm, sereh/serai 2 batang, daun 2 lembar,

50 mentega/minyak samin 1 sendok makan, selanjutnya ada bumbu yang harus dihaluskan, seperti 1 sdm lada, ½ sdt ketumbar, ½ biji pala, 3 butir kemiri, 5 butir bawang putih, garam secukupnya. Cara memasak soto Betawi adalah (1) didihkan air kemudian masukkan daging dan jeroan bersama potongan jahe dan lengkuas. Rebus hingga empuk. Angkat daging dan jeroan lalu tiriskan. Jadikan air rebusan sebagai kaldu daging, (2) goring daging dan jeroan dengan minyak panas hingga berwarna sedikit kecoklatan angkat dan sisihkan, (3) tumis bumbu-bumbu yang dihaluskan hingga wangi, masukkan santan cair, 125 ml susu cair dan mentega biarkan hingga meletup-letup. Angkat. (4) Masukkan tumisan bumbu beserta daun salam dan batang serai ke dalam air kaldu daging dan jeroannya, (5) Panaskan selama kurang lebih 10 menit. Angkat dan sajikan bersama sambal dan bahan, (6) Sajikan bersama irisan daun bawang, tomat, kentang goreng, teteskan jeruk limau dan kecap secukupnya, tambahkan emping melinjo, acar dan sambal. Kenikmatan soto Betawi ini sudah diakui oleh orang banyak, baik orang asli Betawi maupun oleh orang luar Betawi. Hal ini disebabkan soto Betawi bisa diterima oleh semua lidah darimana pun. Seperti yang diakui oleh Andi Aksan (55 tahun) dalam wawancara 28 Juli 2017 lalu di Setu Babakan bahwa soto Betawi di daerah sini sudah menjadi langganannya jika sedang ada keramaian di Setu Babakan. Ada beberapa penjual soto Betawi yang berderet dari Zona embrio sampai Zona A, B, C di sepanjang Danau Setu Babakan.

3. Gado-Gado Betawi Kuliner khas Betawi menjadi incaran parapengunjung Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada hari kedua Pekan Lebaran Betawi 28-30 Juli 2017. ―Paling begini-begini aja. Mereka datang kebanyakan buat makan, kumpul ramai-ramai sama keluarga atau teman, lalu pulang,‖ kata Bang Amri (52 Tahun), salah satu staf pengelola di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Menurut dia, banyak yang bisa dinikmati di area pelestarian warisan budaya asli Betawi tersebut. Hampir semua kuliner khas Betawi, seperti bir pletok, dodol betawi, soto betawi, kerak telor, ketoprak, nasi uduk, es potong, dan es selendang mayang dijual di tempat ini.

51

Gambar 11. Kuliner Gado-Gado Tamu Asean Games 26 Agustus 2018

Selain memburu kuliner khas Betawi, pengunjung danau buatan seluas 30 hektare ini, terutama pengunjung cilik, ramai menyerbu permainan yang disediakan di sana. ―Sepeda air jadi favorit. Kalau pas ramai-ramainya pengunjung, biasanya pada H+1 Lebaran, itu bisa antre panjang sampai di sepanjang trotoar buat naik bebek-bebekan (sepeda air berbentuk bebek),‖ kata Bang Amri. Untuk resep gado-gado di Setu Babakan menurut salah seorang penjual gado-gado, Marni katakanlah (25 tahun) bahwa di wilayah ini resep antara gado-gado Jakarta atau Betawi dengan gado-gado Kampung Tugu. Pertama, gado-gado resep Kampung Tugu bumbunya menggunakan tambahan santan, kencur, dan kemiri. Santan dan kemiri digunakan agar lebih gurih. Adapun sayuran yang digunakan juga unik, lazimnya gado-gado menggunakan kangkung, tetapi ini menggunakan bayam. Selain bayam, sayuran lainnya, seperti kacang panjang, tauge, wortel, dan yang lainnya direbus. Namun, hanya sayur kol yang dibiarkan mentah untuk menimbulkan tekstur renyah. Berbagai sayuran itu pun diberi cuka masak agar menghasilkan rasa asam yang meresap. Namun, bukan seperti sayur basi karena tidak mengeluarkan bau. Gado-gado sendiri pada umumnya hanya menggunakan jeruk nipis atau limo. Menurut Marni, jeruk tersebut hanya kuat di aromanya, tetapi asamnya masih kalah dengan cuka. ―Nenek moyang kami memang suka dengan perpaduan pedas, manis, dan asam dari cuka,‖ ujar Rosalia. Untuk penyajiannya, sayuran dengan saus kacangnya tidak diaduk menjadi satu. Saus kacang disiram di atas sayuran yang sudah tertata, lalu diberikan potongan-potongan telur rebus,

52 tahu, dan kentang. Hidangan tersebut wajib disajikan saat perayaan pernikahan, syukuran adat, dan yang lainnya bersama pindang serani.

4. Bir Pletok Bir pletok merupakan salah satu warisan kuliner Betawi. Hingga kini, bir pletok masih eksis di banyak perayaan Betawi salah satunya pernikahan. Dalam momen-momen tersebut bir pletok wajib hadir di pesta-pesta rakyat Betawi. Rasa manis, pedas, dan hangatnya yang khas menjadikan bir ini digemari masyarakat Betawi hingga turis asing. Perpaduan rasa khas bir pletok lahir dari 11 macam rempah yang ada di dalamnya. Resep asli bir pletok ada 11 macam rempah, yang pastinya ada di Betawi, atau Jakarta. Semua rempahnya punya peranan dan menghasilkan cita rasa berbeda-beda.

Gambar 12. Foto Peneliti (Hijab Krem, Tengah) Bersama Pedagang Kuliner Bir Pletok dalam acara Menyambut Tamu Asean Games 26 Agustus 2018

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat bir pletok, yaitu jahe 250 gram, kemudian cengkeh, biji pala, lada, sereh, dan kapulaga masing-masing tiga gram. Lalu kayu manis 30 gram, daun pandan tujuh lembar, daun jeruk enam lembar, serta gula manis satu kilogram. Semuanya untuk membuat bir pletok sebanyak enam liter, sehingga sediakan air enam liter. Untuk warnanya sediakan kayu secang secukupnya. Selanjutnya jahe, biji pala, lada, kapulaga, dan sereh digeprek hingga pecah atau hancur. Masukkan ke panci yang sudah berisikan air dan dipanaskan menggunakan api sedang. Selanjutnya masukkan rempah lainnya mulai dari daun

53 pandan, daun jeruk, cengkeh, dan kayu manis. Sambil diaduk, masukkan juga gula sesuai selera manisnya. Satu rempah yang belum dimasukan ialah kayu secang. Kayu secang sendiri berfungsi untuk pewarnaan. Semakin banyak semakin merah, tentu dengan kualitas secang yang bagus. Kayu secang harus dimasukkan sendiri di akhir, dan dia sangat bergantung sama panasnya air supaya keluar warnanya. Jadi usahakan air sudah mendidih. Setelah mendidih, tutup panci dan diamkan selama 20-25 menit dalam keadaan kompor menyala. Taufiq menjelaskan ini berfungsi menyempurnakan warna dan rasa, mengeluarkan sari-sari rempahnya ketika suhu air mendidih. Setelah itu tiriskan dan siap dihidangkan. Penyajian bir pletok bisa dalam keadaan hangat maupun dingin bergantung keinginan peminatnya. Kini bir pletok sendiri sudah bertransformasi dengan tersedianya dalam wujud sachet ataupun bubuk di pasaran. Bir pletok yang dijual di pasaran selain ukuran botol 500 ml dengan harga Rp 20.000, juga dijual kering dalam kemasan sachet. Adapun di Perkampungan Budaya Setu Babakan, bir pletok disajikan dalam bentuk botol dengan beragam ukuran, serta disajikan pula di gelas yang bisa diminum langsung oleh para pengunjung.

Gambar 13. Foto Kuliner Bir Pletok dalam kemasan botol di pamerkan dalam acara Menyambut Tamu Asean Games 2018

D. Pengelolaan Industri Kreatif Batik Betawi PBB Batik Betawi Setu Babakan Pengelolaan batik Betawi adalah melakukan pemeliharaan dan pemasaran terhadap batik Betawi yang dapat mendatangkan sumber pengahasilan bagi kelompok masyarakat pemilik

54 tradisi. Pada zaman dulu, konon tempat usaha pembuatan batik berkembang sangat pesat dan subur di tanah Betawi seperti di daerah kawasan; Karet Tengsin, Palmerah, Kebon Kacang, dan Bendungan Hillir yang merupakan daerah-daerah produksi batik yang populer dan terkenal. Proses pembuatan batik pada dulunya dilakukan di rumah-rumah penduduk. Karena industri batik yang berkembang pesat, maka pada waktu itu di daerah Jakarta pernah didirikan Koperasi Batik. Namun sayangnya, setelah masa berjalanan cukup lama, produksi kain batik Betawi kian hari semakin menyurut. Hal ini disebabkan oleh pengembangkan tata kota Jakarta pada saat itu yang mebuat semakin tingginya nilai harga tanah di Jakarta. Dan membuat daerah produksi batik ini tergusur oleh gedung-gedung perkantoran serta pusat perbelanjaan, sehingga membuat para pelaku produsen batik Betawi rumahan harus memindahkan proses produksinya ke daerah Tangerang.

Gambar 14. Foto Motif Batik Betawi di UPK-PBB Setu Babakan

Pengelolaan batik Betawi pada komunitas Batik Setu Babakan yang dilaporkan oleh Syaiful Amri (53 Tahun) pengurus yayasan keluaga batik Betawi Setu Babakan dengan bantuan

55 laporan dari K.H. Wahiuddin Sakam, H. Tatang Hudayat S.H., Sumiati Adi Susilo, Pengurus, Ketua: Yahya Andi Saputra, Sekretaris: Rudi Haryanto bahwa pengelolaan batik Betawi di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK-PBB) Setu Babakan terlihat sudah mulai berjalan. Pihak pengelola menggandeng para pengrajin batik Betawi agar mereka dapat berpartisipasi dan berperan aktif menghidupkan batik Betawi di UPK-PBB Setu Babakan. Hal tersebut berdasarkan wawancara peneliti dengan pengelola UPK-PBB Setu Babakan, Bapak Syaiful Amri pada 06 Juni 2018. Adapun transkrip wawancaranya adalah sebagai berikut. Batik atau seni batik, di Betawi telah berkembang sejak abad 19. Sejak itu hingga masuk abad ke-20, semua batik yang dihasilkan ialah batik tulis. Sementara batik cap – orang Betawi menyebutnya batik ceplok – dikenal setelah perang dunia I sekitar tahun 1920. Batik Betawi berkembang sejak abad ke 19. Motifnya mengikuti gaya batik pesisiran (Gresik, Surabaya, Madura, Banyumas, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon). Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar di dekat Tanah Abang yaitu: Karet Tengsin, Karet Semanggi, Bendungan Ilir, Bendungan Udik, Sukabumi Ilir, Pelmerah, Petunduan, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet. Salah satu nama motif batik Betawi yang cukup masyhur adalah Bambu Kuning, Sèsèr Gerimis, Elèr Kebang-Kembang, Iket Buketan, dan lain-lain. Sayang memang, generasi terakhir pembatik batik itu, batik Bambu Kuning misalnya, meninggal tahun 1990-an. Semula motif yg dipakai adalah motif flora khas pesisir. Pewarnaan pun secara alamiah. Batik Betawi tidak digunakan oleh kelas sosial tertentu. Fungsi batik terutama di komunitas dan masyarakat Betawi utamanya orang Setu Babakan sangat penting. Batik dipakai sebagai pakaian harian maupun khusus. Yang khusus tentu bahannya kualitas bagus. Di masyarakat Betawi, batik tentu memiliki fungsi sesuai status sosial pemakainya. Meski motifnya sama, tapi kualitas bahannya berbeda. Umumnya motif tumpal menjadi kekhasan batik Betawi. Motif ini melambangkan keseimbangan hidup. Masyarakat Betawi, khususnya yang tinggal di Setu Babakan memanfaatkan batik untuk tujuannya yang sama, keindahan dan kesopanan berpakaian. Lebih lanjut bahwa nilai pada motif batik Betawi secara universal sama aja. Nilai memelihara lingkungan, nilai silaturrahim, nilai gotong royong, nilai keteguhan, nilai kebenaran, nilai identitas, dan sebagainya. Saat ini tercatat sudah lebih dari 100 corak batik Betawi dan tentu sesuai dengan pakem dan sesuai dengan karakter hidup orang Betawi. Misalnya kebersamaan, keterbukaan, agamis, cinta lingkungan, dan sebagainya.

56

Melihat potensi yang besar batik Betawi, maka produk budaya ini wajib menjadi perhatian serius dengan program-program yang sistematis dan berkelanjutan. Program batik Betawi di setu babakan bertujuan pemberdayaan masyarakat. Jika kesadaran masyarakat sudah kuat dan baik dengan proses ini, tentu akan melahirkan UKM-UKM mandiri. Sampai saat ini kami masih membina masyarakat agar memiliki ketetapan hati bergiat di perbatikan. Namun sayangnya, binaan dari dinas UKM belum ada. Para pegiat batik Betawi saat ini berbuat dari mereka dan untuk mereka. Tentu mereka ingin mengelola secara modern. Salah satu langkah yang mereka lakukan adalah dengan membuat struktur organisasi, sudah legal secara hukum, artinya sudah berakta notaris, sudah terdaftar di Kemenkumham, dan sudah melengkapinya dengan ketentuan administratif lainnya. Pemasarannya ditempuh dengan berbagi cara, baik cara modern seperti online dan media sosial; juga dengan cara tradisional, seperti getok tular. Tapi umumnya masih terkendala dengan ketiadaan galeri dan tempat pamer atau kios. Selain itu, masalah pemasaran yang peneliti temukan adalah belum tersedianya informasi melalui website yang secara khusus menginformasikan produk batik Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Galeri yang representatif dan ketersediaan media website dapat menjawab keingintahun masyarakat tentang batik Betawi dan untuk menjawab permintaan pasar cukup tinggi dan tentu disesuaikan dengan pasar kelas menengah bawah. Proses pengelolaan batik Betawi di rumah Yayasan Batik Setu Babakan hampir sama dengan batik lainnya. Dimulai dari menggambar motif pada kertas yang kemudian dijiplak ke kain untuk batik tulis, atau dicetak motifnya pada tembaga untuk batik cap. Bicara soal batik Betawi, tepat rasanya untuk langsung belajar dari Keluarga Batik Betawi (KBB) yang berlokasi di Kampung Budaya Betawi, Setu Babakan, Jakarta Selatan. Ditemui di sela-sela kerja, Ade selaku pemimpin KBB menceritakan proses, ragam motif, hingga pemasaran Batik Betawi. Hampir sama dengan batik lainnya, batik Betawi juga memiliki batik tulis dan batik cap. Proses pembuatan keduanya hanya berbeda di pengerjaan setelah motif selesai digambar. Untuk batik tulis sendiri, nantinya motif akan dijiplak ke kain sepanjang 2 hingga 2,5 meter. Sedangkan untuk batik cap, motif akan dibuat dari bahan tembaga.

57

Gambar 15. Foto Pengelolaan proses menggambar corak Batik Betawi pada 29 Mei 2018 di Rumah Yayasan Batik Setu Babakan

Motif Batik Betawi sendiri memiliki keunikan karena banyak terinspirasi dari lingkungan Jakarta dan kekayaan budaya Betawi. Seperti Pantai Ancol, ondel-ondel hingga makanan khas Kembang Goyang dan Akar Kelapa. Ade (34 tahun) menjelaskan, motif Batik Betawi lebih dinamis dan modern dibandingkan motif batik dari kebudayaan lain. Selain itu, banyak motif yang tidak memiliki arti filosofis tertentu. ―Paling ondel-ondel yang dianggap bisa mencegah hal negatif, atau warna cerah sesuai dengan orang Betawi yang ceria,‖ tambahnya. Ade juga menyebut bahwa ondel-ondel menjadi motif yang paling digemari pembeli. Untuk pembuatan motif, batik tulis dan batik cap memiliki perbedaan ukuran. Motif batik tulis dapat berukuran 60 cm hingga 70 cm. Sedangkan untuk motif batik cap, hanya berukuran 18 cm x 18 cm. Oleh karena itu, pemindahan motif untuk batik tulis dapat memakan waktu hingga 3 bulan, dibandingkan batik cap yang hanya butuh sekitar 3 hari. Setelah motif dipindahkan ke kain, proses selanjutnya yakni pewarnaan. Di Perkampungan Budaya Betawi, Ade mengaku hanya memakai pewarna alami yang didapat dari secang untuk warna merah, tingi untuk warna merah pekat, tegeran untuk warna kuning cerah, jelaweh untuk warna kuning pekat, dan indigo untuk warna biru. Untuk bagian kain yang ingin dipertahankan warna merahnya, pengrajin batik menutup bagian tersebut dengan lilin. Setelah tertutup, bagian yang terbuka dapat diwarnai kembali. Kemudian, kain siap untuk proses pelepasan lilin dengan cara direbus.

58

Gambar 16. Foto Pengelolaan proses membatik Batik Betawi 29 Mei 2018 di Rumah Yayasan Batik Setu Babakan

Gambar 17. Foto Pengelolaan proses membatik Batik Betawi 29 Mei 2018 di Rumah Yayasan Batik Setu Babakan

Gambar di atas perajin menyelesaikan pembuatan batik khas Betawi di rumah produksi Keluarga Batik Betawi, kawasan budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan. Kain batik usaha rumahan dengan motif khas Betawi seperti ondel-ondel, bunga manggar dan Monumen Nasional (Monas) tersebut dijual dengan harga mulai dari Rp 120.000 hingga Rp 350.000 perhelai. Usaha ini juga untuk melestarikan keberlangsungan perajin batik tradisional yang keberadaannya mulai sulit ditemukan akibat banyaknya usaha sejenis dengan pola produksi lebih modern.

59

Gambar 18. Foto Pendataan jumlah batikk Betawi di Produksi 29 Mei 2018 di Rumah Yayasan Batik Setu Babakan

Gambar 19. Foto Pengelompokan jumlah dan jenis batikk Betawi di Produksi 29 mei 2018 di Rumah Yayasan Batik Setu Babakan

Kain-kain batik yang sudah jadi, siap untuk dipasarkan. Di KBB sendiri, batik cap dihargai Rp 135 ribu hingga Rp 230 ribu. Sedangkan untuk batik tulis, dapat mencapai Rp 10 juta, tergantung kepadatan motif dan waktu pengerjaan.

60

Gambar 20. Foto Peneliti (Hijab krem, kanan) mengunjungi sebuah stand Industri Kreatif Batik Betawi yang di pamerkan dalam acara Pertunjukan 26 Mei 2018 di PBB Setu Babakan

Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah mendapatkan model karakter perkampungan budaya Betawi berupa bentuk pengelolaan pertunjukan yang mampu berkolaborasi dengan bintang komunitas tradisi yang telah memeliki jam terbang, tujuannya saling memberi pengalaman dan pengetahuan, termasuk penurunan atau pewarisan pertunjukan yang yang berkarakter dengan cara bertukar ilmu dalam pertunjukan antara pemain muda dengan senior. Selanjutnya untuk pengelolaan kuliner sudah dapat melakukan eksplorasi bentuk dan rasa makanan Betawi yang berkarakter Betawi, terutama yang baru membuka atau bergabung dengan kelompok kuliner di Setu Babakan. Cita rasa kuliner juga telah menghasilkan suatu cipta bentuk dan rasa yang dapat diterima oleh semua kalangan pengunjung Setu Babakan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sementara untuk pengelolaan batik Betawi sudah mengusahakan batik yang dikelola secara modern. Pencapaian ini diharapkan tidak cepat puas dengan pencapaian yang ada. Model pengelolaan yang dilakukan harus terus menerus guna menembangkan karakter Perkampungan Budaya Setu Babakan agar mampu bersaing dengan cagar desa budaya yang ada di wilayah lain di Indonesia. Untuk itu perlu kiranya dalam penelitian lanjutan perlu menuntaskan model bahan ajar karakter Perkampungan Budaya Betawi ini dengan dengan melakukan desiminasi penelitian berupa adanya pengakuan para pakar, tokoh masyarakat betawi terhadap hasil penelitian ini berupa model dokumenter yang mampu dijangkau oleh semua pihak dalam rangka mewujudkan Model karakateristik perkampungan Budaya Betawi sebagai model yang mendapakan pengakuan

61 oleh stake holder dan masyarakat Betawi. Termasuk mengadakan publikasi nasional dan internasional guna menggaungkan hasil penelitian ini sebagai wujud memperkenalkan karakteristik Perkampungan Budaya Betawi sebagai perkampungan budaya Betawi yang mampu bersaing dan bermanfaat bagi masyarakat Betawi pada khususnya masyarakat Setu Babakan dan umumnya masyarakat Betawi di DKI Jakarta maupun di luar DKI Jakarta bahwa mereka memiliki peradapan budaya dengan karakter dan identitas sendiri.

E. Nilai Karakteristik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sebagai Nilai Kearifan Lokal

Mengacu pada hasil penelitian sebagaimana yang disampaikan dalam laporan akhir tahun II, maka tahapan penelitian tahun III adalah berupa tanggapan nilai karakteristik perkampungan budaya betawi setu babakan sebagai nilai kearifan lokal. Menurut salah satu informan yang mengatakan bahwa karakter budaya betawi adalah kompleks seperti karakter religius, jawara, karakter menerima semua suku bangsa (egaliter), karakter menghibur, karakter pendidikan, karakter kuliner, dan karakter religius. Kearifan lokal yang berhubungan dengan keyakinan kesamaan keadilan kerjasama dan integritas 1 kebebasan menganut agama merupakan salah satu hak asasi yang dijamin keberadaannya di Indonesia bila dirunut dari kearifan lokal yang ada bangsa Indonesia termasuk bangsa yang religius sejak zaman dahulu Hal ini dapat dicermati pada aktivitas ritual-ritual tertentu pada masyarakat tertentu yang tujuannya adalah perlindungan berkah dan luapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen di tahun sebelumnya juga permohonan berkah dan perlindungan di tahun yang akan datang salah satu contohnya adalah upacara upacara bersih desa pada masyarakat Kat Provinsi Jawa Timur. Rasa keadilan integritas dan kerjasama sebagai makhluk sosial kita tidak mungkin untuk hidup sendiri keberadaan Kita sebagai manusia akan memiliki arti bila dihadapkan dengan keberadaan orang lain oleh karenanya di dalam masyarakat berkembang pengetahuan lokal tentang Bagaimana menjaga hubungan kerjasama dengan penuh rasa keadilan dan memiliki integritas tinggi antar sesama sebagai contoh ilustrasi berikut dibawah ini siang itu kebanyakan masyarakat Cigugur sibuk dengan tugas masing-masing tidak ada pembalasan antara tugas laki- laki dan perempuan banyak laki-laki mengerjakan pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan

62 sementara perempuan memasak laki-laki yang mencuci piring membersihkan saluran yang akan dimasak juga mengantarkan makanan dan minuman bagi tamu yang mendatangi Paseban mereka baik perempuan ataupun laki-laki bahkan anak-anak entah mereka penghayat Sunda Wiwitan Islam Katolik ataupun keyakinan lain terlibat menghias dan merangkai janur yang mereka arah ke gedung Paseban Tri Panca tunggal pada puncak Seren Taun jurnal perempuan 2008 tersebut menggambarkan rasa keadilan integritas dan kerjasama yang sangat baik dalam kehidupan bermasyarakat tanpa sekat yang membedakan semua warga di dekatkan dengan satu aktivitas kebudayaan yang diagungkan selama ini kita sudah dibiasakan bila laki-laki dan perempuan itu memiliki perbedaan dalam peran-peran sosial di masyarakat orang yang berbeda agama mengelola Empok dalam komunitasnya sendiri ternyata hal ini tidak tergambar pada apa yang diungkapkan dalam kutipan diatas kondisi ini menggambarkan suasana kehidupan yang damai dalam harmoni di tengah masyarakat semuanya merasa memiliki dari apa yang menjadi ketentuan dalam organisasi kemasyarakatan jenis kelamin agama tua muda tidak menjadi persoalan yang mengganggu pelaksanaan gotong royong contoh lain kearifan lokal yang berkaitan dengan rasa keadilan integritas dan kerjasama adalah adat Pela Gandong pada masyarakat Maluku selama ini adat Pela Gandong dimanfaatkan sebagai media untuk membangun komunitas antara penganut agama yang berbeda pada masyarakat Maluku untuk menyelesaikan benih konflik secara umum telah menggambarkan deklarasi seluruh kesadaran kemanusiaan termasuk kesadaran kebahagiaan mereka yang terikat dalam terlihat dalam kewajiban untuk saling membantu pekerjaan yang menjadi tanggung jawab masyarakat baik secara moril maupun materiil Aini bisa menembus batasan agama Marga ataupun suku ketika Bella ini terkait dengan mata pencaharian maka bila suatu kelompok nelayan akan melaut mereka akan mengajak anggota 1 pelajar untuk bahu membahu menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri. Pemenuhan kebutuhan dicontohkan pada koperasi wanita Setia Bhakti kwsg di Jawa Timur yang mengusung konsep tanggung renteng Koperasi ini dirintis oleh Pharrell Williams tokoh koperasi dan pencetus tanggung renteng pada tahun 1950 hadirnya Koperasi ini didorong nilai kearifan lokal yaitu Gotong Royong dan tepa selira kini koperasi tersebut telah berkembang dengan sejumlah anggota ribuan dan omzet miliaran rupiah menurut Maria terkadang munculnya social enterprise sebagai kawin SD akibat adanya masalah sosial koperasi tersebut didirikan karena banyaknya masyarakat miskin terutama di Malang Jawa Timur contoh lain lebih pada

63 masyarakat Bali sistem subak dalam pola irigasi pada masyarakat pulau Bali di samping untuk mengatur pengairan bagi aktivitas pertanian sebagai sumber penghidupan juga terkait dengan nilai-nilai keagamaan di wilayah itu sistem subak mengandung nilai menjaga keseimbangan yaitu di satu sisi masyarakat menghendaki pangan untuk berproduksi tetapi di sisi lain mereka tidak ingin alam menjadi rusak dalam sistem subak terdapat nilai kerjasama dalam masyarakat seperti siapa yang mendapat lahan atas dan siapa yang dapat lahan di bawah lalu airnya mengalir kemana sistem subak yang mengaturnya hak-hak. Hak-hak politik di Pulau Lombok banyak dijumpai kearifan lokal dalam mengatur sistem sosial politik kemasyarakatan seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat perusahaan keamanan ekonomi dan begitu pula kearifan lokal yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam seperti Embung sebagai lumbung sebagai penyimpan air pengaturan sistem tanam Penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama seperti misalnya sistem tanam padi gogo Rancah sekitar 1978 orang karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan perkembangan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparan pada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar maka secara tiba-tiba timbul upaya yang Brilian dari masyarakat untuk mengatasi hal tersebut. Hak pelestarian lingkungan hidup lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati manusia bersama makhluk hidup lainnya mereka saling berinteraksi dan membutuhkan satu sama lainnya kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara teratur merupakan ekosistem yang didalamnya mengandung esensi penting lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang dibicarakan secara parsial lingkungan hidup harus dipandang secara holistik dan mempunyai sistem teratur serta diletakkan semua unsur di dalamnya secara setara lingkungan hidup sebagai sebuah sistem tentu saja tunduk pada sistem hukum alam yang ditakdirkan nya sistem tersebut dapat berlangsung dengan seimbang Jika kualitas komponen di dalamnya tetap berjalan. Kearifan lokal Betawi kepercayaan religi sebagai bangsa yang beradab Indonesia menjadikan agama kepercayaan sebagai dasar dan Seluruh aktivitas kehidupan yang dijalaninya diawali dengan munculnya kepercayaan animisme dan dinamisme disusul dengan tumbuh kembangnya agama Hindu yang dapat beberapa dekade kemudian muncul agama Budha masuk dan berkembangnya agama Islam dan kemudian bersamaan dengan kolonialisasi Indonesia berkembang agama Nasrani setiap periode agama kepercayaan yang ada di Indonesia tumbuh

64 dan berkembang di ikuti peradaban khas dalam waktu yang tidak Sebentar Hal inilah yang kemudian menjadi dasar tumbuh dan berkembangnya multikultural atau pluralisme di Indonesia persoalan kepercayaan agama bagi etnik Betawi di Jakarta menggambarkan masa perkembangan yang sama diawali dengan animisme dinamisme pengaruh Hindu Budha Islam dan Nasrani telah menjadi petunjuk dalam masyarakat Betawi dalam masyarakat yang religius Meskipun demikian dalam perjalanan sejarahnya Islam menjadi identitas bagi kepercayaan etnik Betawi Islam sebagai identitas utama yang dimiliki etnik Betawi menjadi pembeda dengan komunitas lain yang ada di Jakarta berikut tata cara dan nilai yang melekat pada mereka etika Islam tidak hanya menyangkut persoalan nilai-nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari tetapi Islam juga gambaran solidaritas dan pengayoman sebagai identitas khas Betawi penguatan identitas keislaman komunitas Betawi dilalui melalui proses isolasi pada nilai budaya modern yang dibawa Belanda pada masa itu melalui dunia pendidikan modern dan dijauhi oleh masyarakat Betawi etnik Betawi lebih memiliki sekolah agama di pondok pesantren dibandingkan menempuh pendidikan di yang didirikan oleh pemerintah kolonial pada saat ini perilaku ini membawa sampai era modern Indonesia meski semakin berkurang seiring dengan semakin sempitnya ruang hidup etnik Betawi di Jakarta Oleh karena itu dalam pencaturan politik pemimpin daerah di Jakarta mulai dari tingkat kelurahan kecamatan dan sampai provinsi persoalan agama seringkali menjadi isu panas dalam proses penentuan nya orang Betawi selalu mengutamakan ajaran agama dalam kehidupannya filosofi hidup orang Betawi adalah masih kecil belajar ngaji remaja belajar silat beladiri dan sudah tua naik haji sejak kecil anak-anak sudah dikenalkan dengan Alquran agar mereka memahami bahwa peran Alquran adalah sebagai pedoman dalam berperilaku dan bertutur tanda setelah beranjak dewasa mereka mulai diajari ilmu silat Salah satu bentuk bela diri. Silat diajarkan kepada remaja Betawi terutama pria agar mereka dapat melindungi keluarga dan lingkungannya dari segala macam gangguan menginjak usia tua orang Betawi beranggapan bahwa mereka harus bisa melaksanakan ibadah haji dalam pemahaman Islam haji adalah rukun Islam yang kelima yang hukumnya wajib bagi yang mampu dan sunnah bagi yang tidak mampu namun bagi orang Betawi naik haji seolah menjadi kewajiban yang harus mereka lakukan meskipun harus menjual tanah atau rumah mereka. Berikut ini adalah adat istiadat daur hidup kehidupan manusia melalui tiga tahapan yaitu lahir menikah dan mati yang kemudian sering kali disebut dengan daur hidup manusia etnik

65

Betawi memiliki sistem budaya dengan norma dan nilai yang berkaitan dengan daur kehidupan ini yang tentu saja besarkan segala aktivitasnya sesuai syariat Islam dimulai sejak kelahiran mereka menjalankan prosesi aqiqah yang merupakan kewajiban orang tua untuk mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas kelahiran putra putrinya Selain itu mereka memiliki tradisi nyempal yaitu pemberian uang yang diberikan kepada si Ibu bayi dengan menyelipkan di bawah pundak si bayi hal ini merupakan wujud kebahagiaan para tetangga atas kelahiran bayi tersebut Sedangkan sang ayah si bayi pun menyumbangkan uang pemberian emas sesuai dengan berat rambut bayi yang dipotong kepada anaknya tim piatu dan orang miskin sebagai simbol rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa para tamu yang datang di acara Aqiqah tidak makan dengan cara prasmanan tetapi makan dengan nampan yang berisi nasi kebuli satu nampan nasi kebuli berisi daging kambing 4 potong samping atau kerupuk udang dan sepiring sayur unik satu nampan untuk 4 orang dan mereka harus makan dengan menggunakan tangan ini merupakan wujud penanaman sikap egaliter dalam hal ini orang Betawi tidak membedakan ras suku agama maupun golongan makan satu nampan bersama juga menjadi simbol kebersamaan dan keterikatan suka dan duka akan dihadapi bersama. Penghormatan terhadap hewan nilai kearifan lokal dalam masyarakat Betawi tidak sedikit hewan yang di ikuti manusia tidak saja karena secara fisik menyeramkan garang dan buas namun secara adat dipercaya sebagai pembawa kabar baik dan buruk Yahya Andi Saputra menjelaskan bahwa legenda-legenda kehewanan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kedalam manusia termasuk juga bagi orang Betawi Itulah sebabnya dalam banyak perilaku budaya masyarakat tradisional ke modern yang memuliakan hewan dalam kehidupan sehari-hari bahkan hewan dijadikan sebagai simbol yang penuh makna pada organisasi pemerintah maupun masyarakat bahkan sebagai lambang negara misalnya Indonesia menggunakan lambang burung garuda misalnya menggunakan lambang singa dan sebagainya sementara itu Provinsi DKI Jakarta meski tidak mencantumkan hewan pada logo menetapkan burung elang bondol sebagai maskot DKI Jakarta hewan yang dipilih biasanya untuk diselaraskan dengan sikap dan sifat tertentu Apakah keuletan kegesitan ketangkasan keperkasaan kelincahan kekuatan keberanian dan melintasinya sementara tumbuh-tumbuhan mengandung artis kesuburan keadilan dan kemakmuran gemah ripah lohjinawi sedangkan penggunaan warna merah putih hitam biru hijau kuning coklat dan lendir disinkronkan dengan makna berani Suci Luhur sederhana cinta tegas Agung Mulia terhormat dan sebagai tanda pemaknaan negatif terkait dengan warna bagi

66 masyarakat Betawi di sisi lain masih dalam pandangan Yandi Saputra bahwa hewan pun sering dijadikan objek pemaknaan negatif dalam masyarakat tradisional khususnya pada masyarakat Betawi amat banyak sifat hewan dijadikan peribahasa atau ungkapan yang artinya negatif sebagaimana berlaku di dalam jam tanggal di bawah ini. Tempat seni Betawi seni kesenian etnik budaya menjadi bagian penting untuk dapat memahami budaya kebudayaan secara utuh dan menyeluruh Seni merupakan salah satu bentuk pengetahuan masyarakat Betawi untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam perilaku sehari- hari dalam suatu lakon atau pertunjukan secara umum kesenian etnik Betawi dibagi dalam tiga kelompok yaitu seni musik seni tari dengan teater. Seni seni Betawi menjadi bagian penting untuk dapat memahami budaya kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh Seni merupakan salah satu bentuk pengaturan masyarakat Betawi untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam perilaku sehari-hari dalam suatu lakon atau pertunjukan secara umum kesenian Betawi dibagi dalam tiga kelompok yaitu seni musik seni tari teater dengan penjelasannya sebagai berikut seni musik seni musik Betawi terdiri dari gambang kromong nama musik gambang kromong diambil dari nama alat musik gambang kromong selain gambang kromong alat musik lainnya tehyan sukong gendang kempul Gong 6 kecrek dan ningnong umumnya gambang kromong menjadi pengiring pertunjukan lenong dan Tari Cokek sebenarnya gambar kromong dapat tampil secara mandiri artinya tampil membawakan membawakan lagu-lagu instrumental dan vokal gambang rancag terdiri dari dua unsur yaitu gambang dan rancak gambang berarti musik pengiringnya dan rancak adalah cerita yang dibawakannya lakon jago atau jagoan seperti Si Pitung Si Jampang si angkri dan lain-lain istimewanya lakon-lakon itu diubah menjadi pantun berkait lakon jago yang diubah menjadi pantun berkait dibawakan atau dinyanyikan oleh orang bergantian sama dengan berbalas pantun. Berikut adalah bentuk-bentuk karakter berdasarkan nilai kearifan lokal:

1. Karakter Jawara Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah

67

Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah ―potong letter‖ lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri ―maenpukulan‖ atau . Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar ―jago‖ yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Jogo yang artinya ―champion‖ atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43).

Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan ―tukang pukul‖ dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.

2. Karakter Menerima Semua Suku Bangsa (Egaliter) Betawi, salah satu etnis di Indonesia yang dipercaya sebagai etnis penduduk asli kota Jakarta. Agak unik membicarakan etnis Betawi, secara geografis terletak di pulau Jawa, namun

68 secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam. Etnis Betawi juga agak sulit untuk dilacak asal muasalnya karena minimnya literatur dan peninggalan bersejarah yang ada. Beda dengan etnis-etnis lain di Indonesia yang dapat dengan mudah dilacak sejarah perkembangan budaya mereka. Apa yang disebut dengan etnis atau orang Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis lain yang sudah hidup lebih dulu di Jakarta adalah orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon dan Melayu. Sekian banyak keunikan dari masyarakat Betawi salah satu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah keegaliteran masyarakat Betawi. Bagi orang Betawi maupun orang luar yang mengenal Betawi tidak mengakui adanya strata pada masyarakat Betawi seperti halnya strata pada masyarakat Jawa. Hampir seluruh literatur mengatakan bahwa masyarakat Betawi adalah masyarakat yang egaliter yakni seperti yang dikatakan diatas bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal adanya strata.

Apakah masyarakat betawi merupakan masyarakat egaliter? Ya masyarakat Betawi merupakan masyarakat egaliter. Alasan yang menjadi dasar pernyataan kami ini adalah a. Tidak ada stratifikasi bahasa dalam masyarakat Betawi seperti halnya stratifikasi bahasa yang dikenal dalam masyarakat Jawa.

69 b. Penolakan ‖Busana Abang‖ sebagai busana Betawi. Busana ini dipopulerkan oleh Pemda DKI sebagai lambang identitas kebetawian. Penolakan ini terjadi karena masyarakat Betawi menganggap bahwa busana tersebut jelas merefleksikan busana lapisan masyarakat. c. Tidak Ada Stratifikasi Bahasa. Semua masyarakat pasti memiliki Bahasa. Bahasa merupakan sistem simbolik untuk mengatur adat istiadat suatu masyarakat. Bahasa juga merupakan alat untuk berinteraksi sehingga tidak mungkin ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki bahasa. Begitu pula halnya dengan masyarakat Betawi yang memiliki keunikan tersendiri dalam pemakaian bahasa. Bahasanya cenderung lugas dan tidak terpaut dengan aturan-aturan yang rumit. Keegaliteran bahasa Betawi ini dibuktikan dengan terdapat kesenian-kesenian Betawi seperti, lenong, lagu, film, sampai puisi. Contohnya lagu Bioskop dari Benyamin S yang menggunakan kata nginjek gituan. Sajak Chairil Anwar tak ketinggalan menampakan keegaliteran masyarakat Betawi. Dalam sajaknya yang berjudul Hukum, dibuka dengan kalimat Saban sore ia lalu depan rumahku. Padahal dalam otoritas bahasa mengharamkan untuk memakai kata saban, gantilah dengan kata tiap. Walaupun kebanyakan orang mengatakan kata mampus itu kasar, tapi Chairil A. menggunakannya dalam sajak yang berjudul Sia-sia, Mampus kau dikoyak- koyak sepi. Egalitarianisme dalam bahasa Betawi adalah tidak dikenalnya pelapisan (stratifikasi) dalam penggunaan bahasa seperti dalam bahasa Jawa. Semua kata-kata dapat digunakan kepada siapa saja, tidak ada perkataan halus dan kasar. Penghormatan kepada lawan bicara bukan terletak padapenggunaan kata-kata tertentu, tetapi pada lagu dan lagam bicara, cara pengucapan kata-kata. Orang Betawi akan menghaluskan suaranya jika berbicara kepada orang yang dihormatinya. Temuan baru oleh seorang peneliti dari Departemen Antropologi Fisip UI, Yasmine Zaki Shahab pada tahun 1992 menantang keegaliteran masyarakat Betawi. Ada sekelompok masyarakat di Jakarta yang menamakan dirinya sebagai bangsawan Betawi. Kelompok ini sering disebut-sebut walaupun dalam bentuk sinisme. Karena kedudukan mereka sebagai keturunan Bangsawan Betawi pun masih diragukan. Walaupun termuan ini sedikit mendobrak tahta egaliter yang selama ini telah disematkan kepada masyarakat betawi, tapi kami tetap berpegang pada jawaban diawal bahwasanya masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang egaliter. Temuan ini masih butuh banya

70 pemikiran-pemikiran kritis serta kajian secara mendalam. Sehingga masih dapat dimungkinkan pendapat masyarakat Betawi yang egaliter dapat terbantahkan.

3. Karakter Menghibur Dengan humor setidaknya sikap jujur mereka terhadap perbuatan seseorang yang buruk hanya akan ditanggapi main-main atau hanya bercanda oleh orang itu, walaupun maksudnya menyindir perbuatan orang itu. Kelucuan masyarakat Betawi umumnya juga terjadi karena keluguan dan kepolosan sikap mereka terhadap situasi yang mereka hadapi. Bahkan jika kita memperhatikan dunia hiburan saat ini, kita bisa mendapati jika model lawakan masyarakat Betawi banyak dimanfaatkan para komedian Indonesia, misalnya bentuk lawakan yang mengajak penontot terlibat seperti pada lenong yang dibawakan oleh Bolot, Malih dan teman-teman yang lainnya. Hal ini bukan hanya karena masyarakat Betawi memiliki sense of humor yang tinggi, tetapi juga karena model humor masyarakat Betawi hadir karena kejujuran mereka, bukan dibuat-buat.

Selain itu, model humor Betawi juga mengajak penonton untuk aktif dan terlibat langsung dalam pertunjukkan mereka, seperti terlihat pada pertunjukkan lenong. Hal lain yang juga menunjukkan gambaran orang Betawi adalah rasa cinta mereka terhadap bangsa dan negara. Kecintaan terhadap negara pada masa kolonial dahulu ditampilkan dengan tidak bersekutu

71 dengan pemerintah kolonial. Sementara kecintaan pada masa kemerdekaan mereka tampilkan dengan sikap yang mendukung pemerintahan yang sah Republik Indonesia. Walaupun masyarakat Betawi bersikap terbuka dan bisa dikatakan jika bahasa Betawi itu bersifat egaliter dan tidak memiliki tingkatan bahasa, seperti bahasa Jawa, orang Betawi tetap mengahargai orang yang lebih tua. Dalam keseharian, penghormatan terhadap orang yang lebih tua ini dihadirkan dalam sikap untuk memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada orang tua, sebelum yang muda-muda. Dalam bahasa atau omongan hal ini hadir dalam penyebutan diri mereka ketika berbicara pada orang yang lebih tua dengan tidak memakai kata ganti diri gue, tetapi kata ganti diri saye, aye atau menggunakan nama mereka sendiri.

4. Karakter Nilai Pendidikan Nilai kebetawian merupakan gagasan ideal masyarakat Betawi terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, nilai kebetawian ini dapat pula dimanfaatkan masyarakat Betawi untuk menghadapi derasnya arus budaya global yang membanjiri masyarakat Jakarta melalui berbagai macam media. Dalam kondisi apa pun etnis Betawi ini tetap kukuh terhadap keyakinan dan pandangan hidup yang mereka anut. Nilai-nilai kebetawian yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Betawi melahirkan karakter yang tegas dan sabar pada diri orang Betawi. Walaupun hidup dalam kesusahan, orang Betawi tidak akan menjual keyakinan mereka. Sesuatu yang telah mereka anut sejak kecil tidak akan mudah pudar begitu saja hanya karena kesusahan atau iming-iming harta-benda. Kehidupan bagi orang Betawi adalah sebuah perjuangan dan kerja keras yang terus berlanjut hingga kematian tiba. Oleh karena itu, karakter pantang menyerah dan selalu mencari jalan keluar adalah ciri dari orang betawi asli. Dalam mengatasi masalah hidup menjadi kekuatan tersendiri masyarakat Betawi. Karakter ini juga melahirkan sifat berani menghadapi tantangan apa pun pada diri orang Betawi selama mereka meyakini apa yang mereka pilih itu benar.

72

Gambaran lain orang Betawi adalah sebuah penggambaran watak seorang manusia yang menghargai kejujuran dan keterbukaan. Kejujuran dan keterbukaan dalam masyarakat Betawi merupakan hal yang sangat esensial dan tampak dalam keseharian mereka, seperti terlihat dalam komunikasi mereka sehari-hari. Kejujuran masyarakat Betawi ini terlihat menonjol pada pola komunikasi mereka yang apa adanya, hampir jarang ditemui kata-kata untuk memperhalus maksud pembicaraan. Jika mereka mengatakan Hitam, maka akan dikatakan hitam, putih dikatakan putih, tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Keterbukaan masyarakat Betawi menghadirkan rasa toleransi yang tinggi mereka terhadap kaum pendatang. Hal ini sudah terjadi sejak beratus-ratus tahun yang lalu hingga kini. Keterbukaan ini pun membuat kebudayaan Betawi menjadi semakin semarak dengan masuknya unsur-unsur budaya kaum pendatang yang berasimilasi dengan kebudayaan Betawi sendiri. Keterbukaan ini membuat masyarakat Betawi tidak menutup diri terhadap kemajuan dan perkembangan kebudayaan dunia. Akan tetapi, tentunya hal ini bukan berarti mereka menerima begitu saja kebudayaan yang dibawa para pendatang itu. Mereka juga mengkritisi kebudayaan itu sebelum mereka terima dalam keseharian mereka. Keterbukaan dan kejujuran masyarakat Betawi dalam keseharian ini pun melahirkan sikap orang Betawi humoris. Hal ini mungkin terjadi untuk menghindari pertengkaran karena sikap terbuka dan jujur mereka yang mungkin akan melukai hati orang lain.

73

5. Karakter Religius Terakhir, dalam penggambaran saya, orang Betawi adalah orang yang menghormati adat istiadat mereka dan sangat religius. Masyarakat Betawi sangat mementingkan sholat ditambah lagi keinginan terbesar mereka adalah naik haji. Dalam masyarakat Betawi, adat istiadat mereka jalani secara konsekuen. Hampir seluruh adat istiadat masyarakat Betawi diwarnai oleh agama Islam. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Betawi sangat taat terhadap ajaran agama yang mereka anut. Kereligiusan masyarakat Betawi ini tampak dalam adat istiadat mereka yang tidak pernah melepaskan unsur-unsur agama Islam dan sikap hidup sehari-hari mereka. Bahkan kereligiusan ini pun melahirkan sikap hidup masyarakat Betawi yang jujur dan sangat toleran. Ketoleranan inilah yang membuat mereka terbuka terhadap para pendatang dan hal inilah yang membuat para pendatang betah hidup di Jakarta karena keramahan penduduk aslinya.

Jadi, berdasarkan nilai-nilai kebetawian yang terlihat pada lingkungan sekitar, tergambarlah bahwa orang Betawi adalah sosok manusia Indonesia yang sangat mencintai negaranya, menghormati orang yang lebih tua, mengharagai adat istiadat, jujur, sabar, berani, humoris, terbuka, dan religius. Bisa disimpulkan bahwa orang Betawi adalah orang yang teguh dan taat pada keyakinan, adat istiadat dan agama mereka, bersikap jujur dan menghormati orang tua, sabar dan berani dalam menghadapi tantangan hidup, berwatak humoris dan terbuka terhadap kemajuan, dan sangat teguh menjalankan agama Islam. Jadi jika banyak yang

74 beranggapan orang betawi itu kasar dan jahat, maka saya harus mencari tahu apakah ia benar- benar orang betawi asli atau memang para pendatang yang mengaku-ngaku orang betawi. Semoga budaya betawi masih bisa dilestarikan, tetapi tidak sebatas dilestarikan secara ceremonial saja seperti pada acara abang-none Jakarta yang selalu diadakan setiap tahun itu.

6. Karakter Kuliner Suku Betawi merupakan penduduk asli yang bermukim dan mendiami sebagian besar wilayah Jakarta, ibu kota Indonesia tercinta. Selain kultur budaya, adat istiadat dan keseniannya, orang-orang dari suku Betawi juga mewariskan aneka jenis kuliner mereka yang khas secara turun temurun. Meskipun Jakarta sebagai ibukota negara telah lama dirasuki arus modernisasi di segala bidang, budaya lokal yang lebih dulu ada, masih terjaga kelestariannya. Salah satunya adalah kuliner khas Betawi yang nikmat dan lezatnya tak terbantahkan. a) Soto Betawi Kuliner legendaris ini merupakan salah satu kuliner yag banyak diburu oleh pembeli, terutama oleh mereka yang mempunyai hobi wisata kuliner di seputaran Kota Jakarta. Istilah soto Betawi sendiri mulai hadir pada medio 1977 dan 1978. Adalah seorang Lie Boen Po yang merupakan seorang keturunan tionghoa yang pertama kali memakai merk soto Betawi pada soto yang dijualnya di wilayah THR Lokasari/Prinsen dengan rasanya yang khas. Soto Betawi sendiri merupakan jenis kuliner berkuah santan kental yang gurih yang biasa disajikan dengan campuran tauge, bihun maupun kubis. Selain menggunakan daging ayam, soto tersebut juga disajikan dengan jeroan seperti hati, paru dan torpedo. b) Nasi Kebuli Hidangan berbahan dasar nasi yang mempunyai rasa yang gurih nan lezat ini merupakan salah satu jenis kuliner yang populer di kalangan masyarakat Betawi. Kuliner khas ini biasa disajikan pada saat perayaan keagamaan Islam seperti lebaran, Qurban maupun Maulid Nabi. Tidak hanya populer di kalangan masyarakat Betawi, Nasi Kebuli juga disukai oleh warga keturunan Arab yang ada di Indonesia. Citarasa gurih dari kuliner ini berasal dari Nasi yang diolah dengan kaldu daging kambing, susu kambing dan minyak samin. Ketika matang, biasa disajikan dengan daging kambing goreng beserta taburan irisan kurma maupun kismis.

75 c) Nasi Ulam Salah satu jenis kuliner khas Betawi yang sangat lezat adalah nasi ulam. Kuliner yang dipengaruhi budaya Melayu ini, kerap disajikan dengan ditemani berbagai macam lauk pauk. Nasi ulam merupakan makanan khas Betawi, berupa nasi biasa yang disajikan dengan campuran daun kemangi, sambal dan ditaburi oleh kacang tanah yang ditumbuk maupun serundeng. Sebagai tambahan, biasanya disertai dengan lauk perkedel, tahu tempe goreng, dendeng dan telur dadar plus kerupuk. d) Nasi Uduk Betawi Hampir semua masyarakat Jakarta mengenal nasi uduk. Nasi uduk sangat familiar sebagai sarapan di Jakarta. Nasi uduk yang terbuat dari beras putih dimasak dengan bumbu- bumbu seperti garam, santan, daun serai, daun salam, dan daun jeruk. Rasa nasi uduk sangat lezat dan gurih. Nasi uduk biasa dimakan dengan telur dadar yang diiris, orek tempe, semur jengkol, kentang balado, dan sambal kacang. e) Kerak Telor Kerak telor adalah makanan asli daerah Betawi dengan bahan-bahan beras ketan putih, telur ayam atau telur bebek, ebi (udang kering yang diasinkan) yang disangrai kering ditambah bawang goreng, lalu diberi bumbu yang dihaluskan berupa kelapa sangrai,cabai merah, kencur, jahe, merica, garam dan gula pasir. Perpaduan rasa manis dan gurih menjadikan makanan ini terasa unik dan lezat. Kerak telor banyak dijumpai pada saat acara Pekan Raya Jakarta. f) Ketoprak Ketoprak terbuat dari ketupat atau lontong yang berisi bihun, toge, dan tahu. Ketoprak Betawi dengan rasa yang lezat ini disiram dan diaduk dengan sambal kacang. Ketoprak juga ditaburi dengan kerupuk merah. Makanan khas Betawi ini termasuk makanan yang masih mudah ditemui di setiap sudut kota Jakarta. g) Semur Jengkol Semur jengkol merupakan satu-satunya makanan khas Betawi yang tak terbantahkan lagi keasliannya. Masakan khas Betawi yang lain mungkin ada kembarannya di daerah lain tetapi semur jengkol hanya ada di daerah Betawi. Orang Betawi mampu membuat jengkol menjadi hidangan semur yang lezat. Untuk menghilangkan baunya, jengkol biasa di rendam di air kapur

76 atau air dari rebusan tangkai padi. Dahulu, daerah Pondok Gede dan Lubang Buaya merupakan daerah di Jakarta yang banyak terdapat pohon jengkol. h) Laksa Betawi Laksa berasal dari daerah Cibinong yang kemudian merambah ke Jakarta dengan sebutan Laksa Betawi. Pengusaha Laksa Betawi biasanya orang Cina Betawi. Laksa merupakan jenis makanan sepinggan yang berkuah. Laksa berisi bihun, telur, perkedel, daun kemangi, dan daun kucai. Kuliner yang mendapat pengaruh dari Cina ini memiliki citarasa yang gurih dan manis. i) Pindang Bandeng Pindang bandeng hampir menyerupai semur tetapi ada penambahan belimbing wuluh. Rasa pindang bandeng sangat lezat dan segar. Sama dengan nasi uduk, biasanya pindang bandeng disantap saat sarapan dan dimasak pada sore hari sebelumnya. j) Soto Tangkar Makanan khas yang satu ini lahir pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, orang Betawi hanya mampu membeli iga sapi yang sedikit dagingnya (tangkar). Kemudian, orang Betawi menyulapnya menjadi soto yang enak. Kini, soto tangkar ditambah dengan daging dan jeroan. Soto tangkar berkuah santan tetapi rasanya tidak terlalu ‗berat‘.

77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Produk budaya Betawi yang berbasis industri kreatif sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK-PBB) Setu Babakan. Namun demikian, selama ini upaya-upaya yang dilakukan belum cukup sistematis dan berkelanjutan. Hasilnya adalah budaya Betawi yang ada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan belum maksimal dikelola yang kemudian berdampak pada kearifan-kearifan lokal tersebut, seperti pertunjukan seni budaya Betawi, kuliner Betawi, hingga batik Betawi dalam dunia industri kreatif itu sendiri masih kurang menopang ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk mengatasi problem-problem tersebut.

B. Saran Laporan akhir ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami selaku peneliti membuka diri dari kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak demi perbaikan dan maksimalnya penelitian ini.

78

DAFTAR PUSTAKA

1. Attas, Siti Gomo. 2017. ―Seni Pertunjukan si Pitung Pertarungan Indentitas dan Representasi Masyarakat Betawi‖. Dalam Prosiding Seminar nasional 2017 Komisariat UNY. 2. Hidayat, Rahmat. 2010. Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Dari Condet ke Srengseng Sawah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5, hlm. 560-572. 3. Yuwono, Prapto, et.al. 2010. ―Peran dan Fungsi Kampung Setu Babakan dalam Upaya Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Betawi‖, dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian Budaya Betawi 14-15 Desember 2010. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. 4. Samadhi, T. Nirata. 2003. Merevitalisasi Tradisi: Mengadopsi Desa Adat di Bali sebagai Unit Perancangan Kota. Antropologi Indonesia: Indonesia Journal of Social and Cultural Antroplogy. Th.XXVII, No.70 Jan-Spr 2003 ISSN 1693-167X. 5. Fahruroji, Ahmad. 2010. ―Pemetaan Seni Betawi di Jakarta Pusat Penelitian Awal‖ Prosding Seminar Internasional Hasil Pengkajian Budaya Betawi 14-15 Desember. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 6. Kusumah, D. Dloyana. 2014. ―Pendidikan Karakter dalam Pertunjukan Dalang Jemblung: Kajian Peran dan Fungsi Kesenian Dalang Jemblung di Masyarakat Jawa Tengah‖. Jurnal Jantra Vol.9, No.2, Desember 2014 ISSN 1907 – 9605. 7. Setyadi, Yulianto Bambang. 2000. ―Persepsi dan Partisipasi dalam Mendukung Usaha Pariwisata Berdasarkan Lingkungan Tradisi pada Masyarakat Bali‖ dalam Jurnal Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Surakarta. 8. Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1987. ―Topeng Betawi Sebagai Teks dan Maknanya: Suatu Tafsiran Antropologi‖ Disertasi Universitas Indonesia. 9. Kiftiawati. 2011. ―Bertahan dalam Teriknya Zaman Nyi Meh, Kembang Topeng Betawi‖. http://langgambudaya.ui.ac.id/betawi/artikel/detail/14/bertahan-dalam-teriknya-zaman/. (5 Maret 2013). 10. Sopandi, Atik, dkk. (1992). Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayan DKI Jakarta. 11. Mamlahatun dan Djumala. 2010. Sahibul Hikayat dan Hikayat: Prosding Seminar Internasional Hasil Pengkajian Budaya Betawi 14-15 Desember. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 12. Lelly Qodariah dan Laely Armiayati (2013). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga sebagai Alternatif Sumber Belajar. Dalam Jurnal Sosial, Vol. 10 No. 1 Hlm. 10-20. 13. Dewantara, Asep. 2013. Studi Kebertahanan dat Istiadat di Kampung Adat ogor. Dalam Jurnal Al-Tuas, Vol. IX No. 1 Januari 2013 Hlm .89-96. 14. Pratomo, Yudho. 2017. ―Kebertahanan Paketan sebagai Kearifan Lokal Etnis Betawi Bekasi‖. Dalam Indonesian Jurnal of Sosiologi and Education Policy. Vol. 2, No. 2. Hlm 26-53. 15. Alfian, Magdalia. 2013. ―Potensi Kearifan Lokal dalam Pembentukan Jati diri Karakter Bangsa‖. Dalam Prosidinng Internasional Conference an Indonesian Studies. 16. Suswandari. 2017. Kearifan Lokal Etnik Betawi: Mapping Sosio Kultural Masyarakat Asli. Jakarta: Pustaka Pelajar. 17. Bisri, Emma. 2012. ―Abdikan Hidup untuk Budaya Betawi‖. Dalam Jurnal Update Edisi 2/TahunIV/2012.

79

18. Adi Ankafia, dkk. 2016. “Inovasi Produk dan Motif Seni Batik Pesisiran sebagai Basis Pengembangan Industri Kreatif di Kota Pekalongan‖. Dalam Proceeding Seminar Nasional Peningkatan Kapabilitas UMKM dalam Mewujudkan UMKM Naik Kelas adi_adkafia_industri Batik Banyuwangi_adobad acrobat DC. Setyosari. 2012. Penelitian R&D Model Borg and Gall. Diakses pada https://www.google.com/search?client=firefox-b- ab&q=Setyosari+%282012%3A34%29+langkah- langkah+pengembangan+ini+menggunakan+model+yang+dicetuskan+oleh+Borg+and+Gall

80

ARTIKEL JURNAL LITERA

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

STRUCTURE, FUNCTION, AND INHERITANCE SYSTEM OF THE GAMBANG RANCAG ORAL TRADITION IN THE BETAWI COMMUNITY

Siti Gomo Attas Universitas Negeri Jakarta email: [email protected]

Abstract Jakarta is inhabited by people formed from a melting plot process, namely the mixing of various ethnicities and regions, both from within and outside Indonesia. From the melting-plot process, the position of the changed to a new identity called the Betawi tribe or the Betawi people. This aim of study is to describe the structure, function, and inheritance system of the gambang rancag about the story of Pitung, Angkri, and Conat oral tradition in the Betawi community. This study was conducted in four areas of DKI Jakartaand another area in West Java, namely Depok. The choice of location was based on the reasons that these areas were objectively the population bases of the Betawi community. Data collection was conducted by observation, interview, and documentation. Data analysis was carried out using the interdisciplinary approach, structural theory in Abrams and G. L. Koster Malay poetry, Albert Lord’s formula theory, and inheritance system and functions by Alan Dundes and Teeuw. The results of this study are as follows. First, describing the existence of communication between the creator, the text, the audience, and the community can be considered through the text structure of (1) the flow scheme, (2) the theme, and (3) the character’s actions. Second, the functions were (1) affirmation function, (2) negation function, and (3) restoration function. Third, the inheritance systemincludes: (1) giving the model, (2) modeling the model, and (3) showing the model.

Keywords: oral tradition, gambang rancag, structure, function, inheritance, Betawi community

STRUKTUR, FUNGSI, DAN SISTEM PEWARISAN TRADISI LISAN GAMBANG RANCAG PADA MASYARAKAT BETAWI

Abstrak Jakarta didiami oleh masyarakat yang terbentuk dari proses melting plot, yaitu percampuran dari berbagai etnik dan wilayah, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Dari proses melting plot, kedudukan orang Betawi berubah menjadi identitas baru yang dinamakan suku Betawi atau orang Betawi. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan struktur, fungsi, dan sistem pewarisan tradisi lisan gambang rancag cerita Si Pitung, Si Angkri, dan Si Conat pada masyarakat Betawi. Penelitian ini dilaksanakan di empat wilayah DKI Jakarta dan satu daerah di Jawa Barat, yaitu Depok. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan karena secara objektif daerah-daerah tersebut merupakan

118 basis penduduk masyarakat Betawi. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan pendekatan interdisiplin, teori struktur puitika Melayu Abrams dan Koster, teori formula dan sistem pewarisan oleh Lord, dan fungsi oleh Dundes dan Teeuw. Adapun hasil penelitian ini, yaitu pertama, menggambarkan adanya komunikasi antara pencipta, teks, penonton, dan masyarakat yang dapat diperhatikan melalui struktur teks (1) skema alur, (2) tema, dan (3) lakuan tokoh. Kedua, fungsi, yaitu (1) fungsi afirmasi, (2) fungsi negasi, dan (3) fungsi restorasi.Ketiga, yaitu sistem pewarisan, meliputi: (1) memberikan model, (2) mencontoh model, dan (3) mempertunjukan model.

Kata kunci: tradisi lisan, gambang rancag, struktur, fungsi, pewarisan, masyarakat Betawi

PENDAHULUAN bentuk dari proses asimilasi antaretnis Jakarta merupakan pintu gerbang yang diimpor oleh pemerintah kolonial ma­suknya­ berbagai jenis suku bangsa Belanda dalam kepentingan politik dan yang ingin mengadu nasib dan mencari ekonomi (Suswandari, 2017). berbagai pekerjaan. Sebagai daerah Kedudukan orang Betawi yang sejak persinggahan, Jakarta dikenal memi- dulu tertekan yang teridentifikasi da- liki masyarakat yang multikultur. Ja- lam ke­lompok orang pribumi yang me- karta didiami oleh masyarakat yang namakan diri sebagai orang atau suku terbentuk dari proses melting plot, yaitu Betawi. Hampir se­mua orang Betawi percampuran dari berbagai etnik dan pada saat itu mendu­duki tanah par- wila­yah, baik dari dalam maupun luar tikelir. Kehidupan sulit harus mereka­ Indonesia. Proses melting plot ini sudah hadapi berupa penjajahan ganda, baik terjadi sejak akhir abad ke-19 (Castle, dari penjajahan kolonial maupun dari 1967). penja­jahan tuan-tuan tanah. Jadi, se- Dari proses melting plot,kedudukan bagian besar masyarakat yang tinggal orang Betawi berubah menjadi identi- di wilayah Batavia kala itu telah men- tas baru yang dinamakan suku Betawi jadi tawanan para penjajah. atau orang Betawi. Hal ini dapat dike- Semua beban penindasan itu harus tahui dengan berbagai­ ciri penanda, di­tanggung oleh sebagian besar orang seperti, kekerabatan, ke­per­ca­yaan, ba- Betawi. Kondisi tersebut menyebabkan hasa, dan kesukuannya. Oleh karena ketegangan-kete­gangan (depresi), yaitu itu, kedudukan orang Betawi menga­ perasaan tertekan, karena mereka tidak lami perubahan yang tidak terlepas dari berdaya untuk mengha­dapi kejahatan ciri-ciri penanda tersebut.Ciri penanda penguasa (Heuken, 1997: 138). Aki- orang Betawi berlangsung dan diberi- batnya, mereka tertekan dan merasa kan serta dilekatkan­ oleh berbagai sum- rendah diri. Dampak penderitaan ini ber, baik dari sistemkolonialisme,­ pen- menimbulkan terjadinya tindakan­ pem- datang, atau dari berba­ ­gai media sesuai berontakan dan perlawanan terhadap­ dengan kekuasaan yang berlaku. Da- kesewenangan pemerintah kolonial Be­ lam konteks sejarah lokal Jakarta, etnis lan­da dan para tuan tanah. Betawi sebagai etnis asal Jakarta ter-

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 119 Bentuk perlawanan rakyat Betawi tetapi sebuah kelisanan yang memiliki diung­kapkan dalam bentuk cerita bentuk berpola, hidup sebagai pengeta- rakyat. Cerita rakyat umumnya meng- huan bersama sebuah komunitas, ditu- angkat tokoh hero atau pahlawan yang runkan secara turun-temurun dengan siap membela rakyat. Tokoh hero terse- berbagai versi (Sibarani, 2012:11). but melakukan perlawanan terhadap Tradisi lisan merupakan salah satu kolonial Belanda dan para tuan ta­nah bagian yang tidak terpisahkan masya- dengan cara melakukan kekacauan. rakat tradisional yang begitu menjaga Pe­nyam­paian cerita rakyat dilakukan dan memilihara Indonesia dari berbagai secara lisan dalam berbagai bentuk per- aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan tunjukan, misalnya tradisi lisan gam- adanya pesan moral, kepercayaan, nor- bang rancag de­ngan lakon Si Pitung, si ma yang dipatuhi masyarakat demi ke- Angkri, dan cerita jagoan lainnya me- teraturan sistem sosial, serta nilai pen- rupakan cerita rakyat yang sering di- didikan yang dapat dijumpai di dalam bawakan dalam lakon-lakon kesenian­ tradisi lisan. Sebagai hasil budaya masa di masyarakat Betawi. lampau yang ikut membentuk peradab- Dalam perspektif yang lebih luas, an nusantara sekaligus menjadi identi- bagi masyarakat Indonesia pada um- tas Indonesia, terabainya tradisi lisan umnya, keberadaan tradisi lisan men- sudah sepantasnya menjadi kekhawa- jadi bagian yang tidak terpisahkan dari tiran bersama. kehidupan masyarakat. Indonesia yang Pentingnya tradisi lisan dalam dalam dikenal sebagai negara yang multietnik dinamika perkembangan masyarakat memiliki keragama suku bangsa dan bu- menarik para peneliti melakukan ka- daya bisa menjadi ciri khas.Keberadaan jian. Apalagi jika dikaitkan dengan ciri khas bangsa yang sudah dikenal modernisasi dalam berbagai bidang. oleh masyarakat dunia membuat bang- Bagaimanakah eksistensi tradisi lisan di sa kita memiliki keistimewaan dan tengah-tengah perkembangan teknologi daya tarik tersendiri. Hal tersebut akan informasi dan kemajuan di berbagai as- menjadikan ketahanan nasional bangsa pek kehidupan (Ramakrishnan, 2016). Indonesia khususnya warisan budaya Gazali (2016:189) meneliti tentang yang harus dilestarikan. Keberadaan struktur, fungsi, dan nilai dalam nyanyi- suku bangsa tersebut akan melahirkan an rakyat Kaili di Provinsi Sulawesi tradisi, salah satunya tradisi lisan atau Tengah. Hasil penelitian menunjukkan sastra lisan. bahwa struktur nyanyian rakyat Kaili Salah satu fungsi tradisi yang men- meliputi struktur makro, superstruktur, jadi ciri khas bagi suatu budaya karena dan struktur mikro yang merepresen- merupakan bagian dari alat komunika- tasikan ideologi kultural masyarakat si ialah tradisi lisan. Perjalanan tradisi Kaili. Nyanyian rakyat Kaili memi- lisan telah hampir sama tuanya dengan liki fungsi ritual, sosial, mendidik, ko- kehidupan manusia. Sejak manusia munikasi dan informasi, dan hiburan. ada, mereka sudah memiliki tradisi Nilai yang terdapat dalam nyanyian lisan.Tradisi lisan tentu tidak hanya rakyat Kaili adalah religius, filsafat, menyangkut kelisanan belaka seperti etika, dan estetika. Struktur cerita yang tuturan yang dibedakan dengan tulisan, menggam­barkan bentuk pemikiran se-

120 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 bagai landasan perilaku masyarakat galami kepunahan, sebab semakin yang kehadirannya ma­sih dapat dipa- diwariskan tradisi ini semakin diting­ ­ hami. Sementara fungsi cerita rakyat galkan oleh generasinya.Salah satu bagi masyarakat Kaili adalah sebagai strategi pewarisan cerita-cerita lisan ke­per­cayaan, agama, politik, pendidik- “Yong Dollah” yang membuat penye- an dan eko­nomi. barannya meluas dan menjadi populer Selaras dengan penelitian Gazali adalah dengan menuturkannya di de- (2016), Ridwan & Wahdian (2017) me- pan kawan-kawannya di kedai kopi, neliti struktur, fungsi, dan nilai tradisi di waktu senggang. Aktivitas minum lisan di Sumenep Madura. Studi struk- kopi di waktu senggang ini kemudian tur, fungsi dan nilai dalam tradisi sas- kerap disebut kahwe. Hal ini juga yang tra lisan di Sumenep Madura adalah kemudian membedakan sistem pewa- salah satu bukti dan komitmen untuk risan cerita lisan pada umumnya, yang memelihara, merawat dan melestari- biasanya diwariskan melalui keluarga. kan keanekaragaman budaya lokal di Selain itu, penelitian ini juga hendak kepulauan. Tradisi sastra lisan memili- menunjukkan bahwa sistem pewarisan ki makna dan secara estetika kaya akan melalui tradisi kahwe ini terkait dengan nilai-nilai luhur seperti pendidikan upaya resistensi budaya orang Melayu karakter, relegius, doktrin, moral, etika, Bengkalis melalui cerita-cerita lisan kepemimpinan, keteladanan sosial, Yong Dollah terhadap kolonialisme kepedulian, persahabatan, toleransi dan globalisasi. Hal ini juga menunjuk- dan silaturah­mi. Tradisi sastra lisan kan bahwa tradisi lisan masih diper- juga berfungsi sebagai penghubung sil- caya memiliki kekuatan dalam mengo- aturrahim dan berfungsi sebagai sarana perasikan fungsi-fungsi transformatif- hiburan. nya dalam kehidupan masyarakat. Cerita rakyat sebagai salah satu Berdasarkan uraian hasil-hasil pe- bentuk tradisi lisan juga dapat diman- nelitian di atas, tampak bahwa per- faatkan sebagai model pembelajaran. masalahan yang perlu mendapatkan Setiartin (2015) meneliti tentang po- perhatian adalah menjaga keberadaan tensi transformasi teks cerita rakyat ke tradisi lisan dan upaya untuk meles- dalambentuk cerita bergambar sebagai tarikan melalui kegiatan pewarisan model pembelajaran membaca apre- kepada generasi-generasi mendatang. siatif. Cerita rakyat dapat ditransfor­ Permasalahan pewa­risan ini juga dia- masikan ke dalam bentuk komik, yaitu lami oleh hampir semua tradisi lisan ta­hapan modifikasi yang didahului oleh di semua tempat. Meskipun ada upaya ana­lisis struktur cerita rakyat melalui untuk mewariskan dari penuturnya, na- pembe­ ­lajaran sastra. Model pembe- mun semakin jarang orang yang mau lajaran transformasi teks cerita yang belajar tentang tradisi lisan.Adanya dikembangkan mampu meningkatkan perkem­bangan seni global yang se- kemam­puan membaca apresiatif. makin gencar dan masif mengalahkan Zaini (2014:1-15) meneliti tentang tradisi lisan yang menga­lami kemun- cerita lisan “Yong Dollah” yang hidup duran karena sedikit sekali men­dapat di masyarakat Melayu Bengkalis.Tra­ sentuhan kreatif. disi lisan “Yong Dollah”, kini men-

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 121 Sastra lisan tidak hanya merujuk rapkan, dan ditegaskan olehnya—ialah pada tuturan yang bersifat verbal, tetapi tradisi yang bermacam-ma­cam bentuk mencakup semua aspek baik teks, pengetahuannya dan sudah diterima­ koteks, maupun konteks.Teks me­miliki sebagai sesuatu yang dianggap sah oleh struktur, koteks memiliki elemen, dan masyarakatnya” (Koster, 2008:38). konteks memiliki kondisi, yang formu­ Kedua, teks, yaitu konsep teks tidak lanya dapat diungkapkan dari kajian dibatasi pada konsep cerita atau lakon tradisi lisan. yang disampaikan saja atau dituturkan. Tradisi lisan tidak hanya­ dipahami Konsep teks melingkupi unsur-unsur secara sempit pada pengertian cerita penyampaian tutur­an pencerita, musik do­ngeng, mitologi, dan legenda dengan yang mengiringi, pe­nyam­paiannya, ge- berba­gai pesan di dalamnya. Tradisi rak-geriknya, topeng atau peralatan lain lisan juga mencakup sistem kognitif yang digunakan, upacara-upa­cara yang masyarakat, sumber identitas, sarana mengiringi persembahan cerita atau la- ekspresi, sistem religi dan keperca­ kon, dan sebagainya (Salleh, 1992:18). yaan, pembentukan dan peneguhan Semua unsur itu memberi sumbangan adat istiadat, sejarah, hukum, pengo- kepada makna penyam­paian sebagai batan, keindah­ ­an, kreativitas, asal- keseluruhan, sehingga teks dalam sastra usul masyarakat, dan kearifan lokal lisan merupakan sebuah gesam­tkunswerk dalam komunitas dan ling­kung­annya. atau hasil penggabungan beberapa ben- Pengungkapan kelisanan terse­but di- tuk. sampaikan terutama dengan mengan­ Ketiga, penonton, bahwa “cerita- dalkan faktor ingatan karena penutur cerita akan mene­mui versinya diper- atau tukang cerita memang mengingat, sembahan yang akan berubah dalam tidak menghafalkan­ apa yang disampai- mengikuti sifat khalayaknya/penon- kan (Lord, 2000; Ong, 1982; Sweeney, ton. Walaupun penonton menerima, 1980). tetapi mereka tidak pasif, karena latar Selanjutnya, proses penciptaan teks bela­kang, penafsiran, dan pewarnaan tradisi lisan berdasarkan pendekatan mereka akan sedikit banyak menentu- model Puitika mencakup empat aspek, kan panjang pendeknya cerita suasana yaitu (1) pencipta, (2) teks, (3) pe- panggung (Koster, 2008:49; Salleh, nonton, dan (4) dunia nyata (Koster, 1992). Dengan­ kata lain, variasi tetap 2008:38). Pertama, pencipta, yakni yang disaks­ikan dalam sastra lisan da- sebuah tradisi lisan terjadi ketika ber- pat dihubungkan dengan keperluan un- langsungnya interaksi sosial antara tuk pencerita untuk memer­hatikan se- penu­tur yang satu dan yang lain dengan lera suasanan khalayaknya. Teks li­san menggu­nakan objek ragam lisan yang bukan saja dibentuk oleh khalayak—ia telah diturun­kan secara lisan dari ge- juga dibentuk oleh pencerita (secara nerasi ke generasi. Konsep utama dari timbal-balik). Popularitas pencerita penciptaan tradisi lisan ialah konsep dikembangkan dengan dialog antara mengingat. Konsep mengingat adalah pencerita dan kha­layaknya. Itulah se- “proses menciptakan teks-teks melalui babnya pencerita selalu menyebut kata tindakan yang diingat olehnya—dan de- kita, sebuah kata yang meng­asaskan ngan begitu diulang, disesuaikan, dite- suasana ramah-tamah dan solidaritas

122 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 antara saya atau pencerita dan anda Merujuk pada eksistensi dan konsep atau pendengar. tradisi lisan sebagaimana diuraikan di Keempat, dunia nyata, menjelaskan atas, menarik untuk dikaji bagaimana bah­wa tugas utama pencerita terletak keberadaan tradisi lisan gambag rancag dalam tindakan mengingat, tampaknya yang hidup di masyarakat Betawi. Ba- ia meng­ang­gap cerita atau lakonnya gaimanakah struktur, fungsi, dan sistem sebagai benar-benar telah berlaku dan pewarisan tradisi lisan gambang ran- bukan sebagai fiksi (Koster (2008:47; cang yang hidup di masyarakat Betawi. Sweeney, 1980:258). Da­lam sastra lisan Hal itu menjadi penting, mengingat unsur fiksi tidak mempu­nyai status masyarakat Betawi berada di wilayah yang diakui sebagai sah—status seba­ Jakarta sebagai kota yang penuh de- gai suatu kebenaran kesusastraan— ngan gerak modernisasi. sehingga ia cenderung disamakan dengan pembohong­an belaka. Dalam METODE budaya mela­wak yang dibawakan pada Penelitian ini menggunakan me- cerita, dikenal istilah tindakan­ “mem- tode etnografi.­ Penelitian ini bertujuan badut” yang dalam budaya Ke­lantan mendeskripsikan struktur, fungsi, dan bermakna berbohong. Ter­ma­suk da­lam sistem pewarisan tradisi lisan gambang pandangan Islam bahwa sastra lisan se­ rancag pada masyarakat Betawi. Peneli- ringkali dikritik sebagai struktur unsur­ tian ini dilaksanakan di empat wilayah takha­yul dan pembohongan belaka.Na­ DKI Jakarta dan satu daerah di Jawa mun, perlu juga diingat bahwa teks-teks Barat, yaitu Depok. Pemilihan lokasi lisan merupakan suatu khazanah kaya penelitian ini dilakukan karena secara raya yang di dalamnya masih banyak objektif daerah-daerah tersebut meru- tersimpan rekaman-rekaman realitas pakan basis penduduk masyarakat Be- kehidupan orang Melayu pada masa tawi. dahulu kala. Sumber data penelitian adalah teks Salah satu tradisi lisan yang sam- lisan gambang rancang dan aktivitas per- pai saat ini masih eksis di tengah-te- tunjukkan yang melingkupinya. Teks ngah arus modernisasi adalah tradisi lisan yang dijadikan sumber data pe- lisan gambang rancang yang hidup di nelitian adalah gambang rancag Si Pi- masyarakat Betawi. Pertunjukan gam­ tung dan Si Angkri. Penentuan data bang rancag merupakan pertunjukan menggunakan konsep Puitika Melayu tradisi lisan yang diwariskan secara dengan empat elemen, yaitu: pencipta, lisan oleh ma­syarakat Betawi. Cara per- teks, penonton, dan kenya­taan. Pen- tunjukan gam­bang rancag, dengan me- gumpulan data menggunakan teknik nyanyikan cerita yang disu­ ­ dalam observasi, wawanca­ra, dan dan studi bentuk pantun dan syair selanjutnya­ di- dokumentasi. tuturkan dihadapan penonton oleh dua Analisis data mencakup tiga hal, orang perancag yang berhadapan seba- yaitu struktur, fungsi, dan sistem pewa- gai seteru dengan iringan musik gam­ risan. Pertama, teori struktur tradisi lisan bang kro­mong sebagai pengiring pertun­ dari teks dilihat sebagai skema-skema jukan­ (Ruchiat, 2003:34; Sopandi, dkk., yang dapat ditemui di semua tingkat 1999:75). cerita, meliputi (1) skema alur,(2) ske-

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 123 ma te­ma, (3) skema perwatakan, dan hamonis.Keharmonisan cerita dalam (4) bahasa formulaik. Kedua, analisis pertunjukan gambang rancag tersusun fungsi seperti yang dikemukan oleh dalam struktur tradisi lisan yang hidup Teeuw, ada tiga,yaitu (1) afirmasi (me- di masyarakat. netapkan norma-norma sosial budaya Kedua, fungsi tradisi lisan telah yang ada pada waktu-waktu tertentu), dibahas oleh Teuw dalam karya sastra, (2) restorasi (pengungkap keinginan seperti afirmasi, negasi dan restorasi. atau kerinduan pada norma yang sudah Fungsi yang dikemukakan Teeuw hilang), dan (3) negasi (untuk membe­ (1994:20-21), khususnya­ restorasi yaitu rontak dan mengubah norma-norma pengungkap keinginan atau kerinduan yang sudah berlaku). Ketiga, untuk pada norma yang sudah hi­lang. Tujuan analisis sis­tem pewarisan mengguna- dari fungsi ini adalah untuk menunju- kan konsep Lord dan Vansina, dengan kan bahwa teks-teks tradisi lisan Betawi beberapa tahapan, yaitu: (1) yaitu dim- berfungsi untuk mengungkap kem­bali ulai dengan nyantri atau cantrik, peran- legenda masa lalu sebagai bentuk pe- cag pemula akan mengamati dengan nyemangat dan penanda nostalgia/ cara mendengar dan mengulang cerita/ kerinduan­ bahwa masa lalu munculnya model de­ngan ingatan, (2) mencontoh tokoh jago­ ­an di tanah Betawi. model yang didengar dengan mempe- Ketiga, sistem pewarisan yang dike- ragakan dalam ben­tuk yang sesuai de- mukakan oleh Lord (2000), bahwa ngan bentuk utuh tradisi yang didengar, sistem mengingat dengan for­mula pada dan (3) tahapan mengoperasikan mo- tradisi yang diwarisi. Sistem pewarisan del utuh tadi dalam dalam pertunjukan dilakukan dengan tiga cara, yakni (1) yang sebenarnya. nyantrik, (2) mencontoh model yang didengar, dan (3) mempraktikan model HASIL DAN PEMBAHASAN dalam pertunjukan yang sebenarnya. Hasil Hasil penelitian disajikan dalam Tabel Hasil penelitian ini mencakup tiga 1. aspek, yaitu: struktur, fungis, dan sistem pewarisan. Pertama, bentuk atau struk- Tabel 1. Struktur, Fungsi, dan Sistem tur pertunjukan gambang rancag yakni Pewarisan Tradisi Lisan saling berba­las dari perancag dengan No. Aspek Deskripsi cara dinyanyikan dengan­ iringan musik 1. Struktur teks a. Skema alur gambang kromong. Bentuknya yang unik tradisi lisan b. Tema ditunjukan dengan ada­nya inte­raksi c. Lakuan tokoh penutur dengan penonton yang berada 2. Fungsi tradisi a. Afirmasi dalam satu konteks pertunjukan, ter­jadi lisan b. Negasi interaksi­ dan cairnya suasana antara pe- c. Restorasi nutur dan penonton selanjutnya terda- 3. Sistem a. Memberikan pat ke­lihaian dan kepiawaian perancag pewarisan model dalam menyusun tuturan­ yang sesuai tradisi lisan b. Mencontoh model c. Mempertunjukkan lakon yang me­reka bawakan­ dengan model tindakan yang tidak melupakan kese- larasan irama musik yang selaras dan

124 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 Dalam perkembangannya, kelom- atau pen­cipta tidak menghafal dalam pok etnis Betawi terus menguat dan ber- mengha­silkan teks lisan tanpa ada kon- hasil membangun identitas khas mereka sep atau wujud tulis­an untuk dibaca se- sendiri yang berbeda dengan kelompok bagai sebuah keahlian un­tuk menyiap- etnis lain di Indonesia. Perkembangan kan bahan-bahan yang siap dira­jut da- saat ini keberadaannya semakin menu- lam sebuah tuturan teks lisan.Teks lisan run karena dinamika pembangunan memiliki struktur, yaitu skema-skema yang tidak mampu membuka ruang atau pola-pola yang sudah diakrabinya. lebar bagai etnis Betawi. Kelompok Ske­ma-skema dalam mengingat teks etnis Betawi memiliki identitas yang lisan meli­puti skema alur, tema dan kuat mengenai warisan budaya Betawi karakter (Ridwan& Wahdian, 2017). seperti jiwa religius yang kuat, meng- hormati perbedaan, ramah, humoris, Skema Alur Tradisi Lisan Gambang suka menolong, terbuka, toleran ter- Rancag hadap perbedaan dan sebagainya. Se- Untuk skema alur dalam gambang bagai bagian dari Jakarta, sejarah etnik rancag Si Pitung umumnya dimulai Betawi dapat digali sebagai sumber dengan musik­ pengiring dibunyikan, inspirasi dan sumber kesadaran dalam yaitu lagu phobin,­ lagu sayur dan lagu menanamkan multikultural di Jakarta, rancag. Lagu phobin umumnya dalah sebagai kota metropolitan dengan etnis musik instrumentalia, selain untuk me- yang semakin beragam menuju kehi- manggil dan menunggu penonton yang dupan sosial dalam kerangka perdamai- sedang menuju tempat pertunjukan, an dan harmoni (Suswandari, 2017). juga diiringi lagu sayur seperti lagu Siri Tradisi lisan, termasuk gambang rancag, Kuning. Umumnya dalam membawa- menjadi bagian tidak terpisahkan dari kan lagu pembuka sebagai bentuk untuk dinamika kehiduapan masyarakat Be- memanggil penonton, biasanya disertai tawai sampai saat ini. dengan improve­sasi dengan menambah nama tempat pertunjukan­ atau menye- Pembahasan but siapa yang mengundang hajatan Struktur Tradisi Lisan Gambang Ran- atau menanggap gambang rancag. Selan- cag jutnya masuk pada acara inti yaitu lagu Teks dalam pengertian tradisi lisan rancag. Perancag harus mengoptimal- gam­bang rancag tidak hanya terbatas kan ingat­an pola alur yang sudah tetap, pada lakon atau cerita yang disam- seperti yang dilakukan oleh perancag paikan oleh penutur. Struktur teks da- Rojali (79 tahun) (2015) ketika menu- pat melingkupi unsur pe­nyam­paian turkan rancag Si Pitung, bahwa: bunyi suara dari pencerita, terma­suk musik yang mengiringi penyampai­ 1.a.Kepiting menjepit kerang; annya,gerak-geriknya, dan peralatan. kalo pasang pelita boleh kenapa kerang Semua unsur itu memberi sumbang- digantung; an kepada makna penyampaian­ se- dengar aja bapak yang ada tetamu, biar bagai “gesamkunstwerk” atau hasil terang; penggabungan beberapa bentuk seni mau dibawa rancag nya dulu yang na- dan bukan hasil kata saja. Perancag manya abang Pitung.

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 125 …… Perancag menciptakan ranca-nya dimu­lai dengan mengingat cerita Si Pi- 7.a. Kalo metik mangkudu dibilang tung yang diawali dari mengingat alur pake tangga; cerita bahwa ce­ri­ta dimulai dari infor- kalo kita nongton gambar jauh banget masi bahwa cerita yang dibawakan di gang Selang; yaitu rancag Bang Pitung, nge­ram­pok di dipanggilin serdadu dua tambur disu- Wetan Marunde,di rumah Haji Syam- ruh jaga; suddin, ngondol barang, mas inten, ba­ kapan kagak lama Si Pitung udah il- tik semua dibawa Pitung, tongtong titir ang. bunyi rame sekali, tuan demang datang, bang Pitung uda lari, Pitung kena tang- b. Lagi bang Pitung pinter elmunye dia kap masuk buy Mester, Pitung dijaga, dandan cara ateng; Pitung lari dari bui. Dia kena tembak dia merambat ke atas jalan dibongkar tiga lubang oleh Schout Hena, kuburan itu genteng; pitung digadangin, orang pada pesta, namenye bang Pitung itu waktu me- cerita ditambah oleh perancag dengan mang di atas loteng; nasehat kepada penonton agar tidak liat temennye bang Jiih itu waktu lagi coba-coba masuk bui, menderita,auh nangis die getar, die dari anak istri maka jangan tiru Si Pi- seret, die tenteng. tung cerita sudah tamat. Lakon cerita di atas adalah skema 9.a. Kebayoran Pitung asal dari Tanah alur yang harus diingat oleh pencerita, Abang; misalnya kata dengar biar terang bahwa orangnye mude bagus pake kumis pake lakon yang akan dibawakan adalah cabang; abang Pitung. Kata terang dan abang Pi- waktu die buron bang Pitung pikirnye tung harus diingat dalam skema cerita jadi bimbang; selanjutnya si perancag meneruskan­ kalo ditembak tuan Sekaut Tena dar- dengan mencari padanan rima kata der-dor kena tiga lubang. terang dan kata Pitung. Maka perancag lang­sung memulai isi rancag nya den- Pola bait rancag Si Pitung umumnya gan mengisi skema alur cerita dengan sudah tetap, perancag ketika membuka mencari pasangan kata untuk sampiran rancag harus melakukan penghormatan pada pantun. dan informasi kepada penonton bahwa Selanjutnya cerita dilanjutkan oleh cerita yang akan dibawakan adalah ran- pe­rancag kedua juga harus mengingat cag Bang Pitung. Untuk bisa “ngerancag skema alur cerita yang telah dituturkan “ seorang pence­ ­rita atau perancag harus oleh si pe­rancag I bahwa informasi ce- bisa mencipta kembali ceritanya ketika rita harus diingat,­ keterampilan meng- ceritah itu diper­sem­­bahkan, harus bisa ingat skema alur juga disertai dengan “ngaleter”, yaitu mem­­buat pantun bebas keterampilan perancag II untuk meng- Betawi secara impro­visasi ketika sedang ingat formula apa yang harus diulang merancag di pen­tas, caranya apa yang sesuai dengan konsep pantun berkait diingat mula-mula “kita tuturin” di be- bahwa apa yang dituturkan pada bait lakang lalu dicari pasangan katanya. perancag I harus diulang pada bait

126 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 berikutnya­ oleh perancag II hal itu jukan baik verbal mau­pun nonverbal. dapat terlihat dalam tuturan rancag Bentuk humor da­lam skema alur juga bahwa terjadi pengu­langan teks pantun dikaitkan dengan gerak-gerik perancag tujuannya untuk menyelaraskan­ irama dalam membawakan tari si perancag lagu yang diiringi musik. harus mengatur dan menjaga hubungan Dalam skema alur pada umumnya dengan pasangan rancag nya termasuk cerita berakhir dengan bahagia (happy de­ngan penonton serta menyesuaikan ending), na­mun dalam cerita Si Pitung skema alur dengan irama lagu rancag tokoh utama berakhir tragis sebuah dan musik yang mengiringi pertunjuk- nyawa tokoh utama mati diujung sena- an gambang rancag. pan Scout Hena oleh tiga peluru emas. Ada unsur hero dan mitos dalam teks Skema Tema Tradisi Lisan Gambang lisan yang disampaikan oleh perancag Rancag ketika menuturkan rancag Si Pitung. Selanjutnya skema tema yaitu ade- Penyusun­ an­ teks rancag tidak hanya gan-adegan kecil yang selalu berulang mengingat skema alur cerita Si Pitung sering di­munculkan dalam penuturan tapi perancag ha­rus mengingat formula teks lisan lagu rancag Si Pitung dan si dari konsep pantun, yaitu pengulangan Angkri, misalnya dalam teks rancag Si sebagian atau seluruh kata, frase, atau Pitung dan si Angkri penutur rancag klausa dari dari teks sebelumnya.­ Kete- Firman (35 tahun) dengan pasangan rampilan ini terus diingat oleh perancag rancag nya Jafar (48 tahun) mengu­lang- dalam menyusun tuturan teks yang di- ulang koor (lagu bersama penonton­ jika nyanyikan dengan menggunaka ingat- lagu rancag dibawakan di depan pe- an ske­ma alur dan bantuan formula nonton teks/emang-emang/beberapa untuk me­nyusun sistem formulaik teks kali diulang dalam rangka untuk men- sehingga cerita teks dapat diselesaikan jaga keselarsan musik dengan lagu, dengan baik. termasuk untuk menjaga hubungan pe- Jadi dalam menghadirkan teks lisan nonton dengan perancag, agar konsen- rancag Si Pitung tidak hanya mengingat trasi penonton tetap terpusat pada lagu skema alur sebagai media yang dipakai rancag yang dituturkan. oleh penutur rancag tetapi konsep pan- tun berkait atau syair yang juga harus 1.a. Ketik kenari cabang patah; disesuaikan dengan musik pengiring pasang kuping biar terang; agar iramanya sesuai. Selain itu da­lam rancag si Angkri punya cerita menghadirkan teks rencag Si Pitung pencerita­ atau perancag juga harus Ketik kenari cabang patah; mampu mem­buat inprovisasi yang da- ambil papaya di petuakan; pat berguna dalam sebuah sastra lisan si Angkri punya cerita; yang disampaikan.Humor yang dicip- buaya nya di pasar ikan. takan perancag dalam teks rancag ada- lah ciri karakter orang Betawi, bahwa Selain skema tema/emang-emang- semua kesenian ada bentuk humor­ emang/dalam setiap bait pantun dalam nya.Bentuk­ humor ini dalam teks lisan rancag Si Pitung juga mengulang kata Si gam­bang rancag berulang dipertun- Pitung sebagai kata yang sering muncul

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 127 dalam rancag Si Pitung. Begitu pula de- oleh perancag dengan iringan musik- ngan tokoh Angkri berulang nama ke- gambang kromong dengan cara mengi- dua tokoh utama itu disebut dalam teks ngat alur cerita, tema, dan tokoh yang rancag. Tujuannya­ untuk mengingat- diikat oleh formula yang digunakan kan si perancag dan penonton bahwa oleh perancag untuk, mengaitkan dan cerita yang dibawakan pada saat ini me­nya­tukan sebuah rancag dalam tra- adalah cerita Si Pitung dan si Angkri disi lisan gambang rancag. bukan cerita yang lain. Nama Bang Pi- Temuan penelitian berkaitan dengan tung adalah tokoh yang didukung oleh aspek struktur tradisi sejalan dengan tokoh Haji Syamsuddin, sebagai tokoh penelktian Rhett (1987). Tradisi lisan antagonis yang dicuri hartanya oleh yang telah mampu menyesuaikan diri Bang Pitung, termasuk tokoh Schout dengan perubahan di lingkungan mere- Hena sering diulang sebagai tokoh ka telah mampu bertahan sampai hari yang mengejar Bang Pitung ketika lari ini dalam hidup berdampingan dengan dari Buy Mester, selanjutnya disebut bentuk-bentuk asal melek huruf, mes- ketika me­nembak Pitung dengan pelor kipun sebagian besar diturunkan ke emas, ter­masuk ketika Schout Hena da- kelompok sosial marjinal. pat bintang setelah berhasil. Fungsi Tradisi Lisan Gambang Rancag Skema Tokoh Tradisi Lisan Gambang Fungsi Afirmasi Rancag Fungsi afirmasi pada teks gambang Skema tokoh Si Pitung sebagai to­ rancag untuk menetapkan norma-nor- koh legenda Betawi selama dua abad ma sosial budaya yang ada pada waktu seka­rang ini membuktikan bahwa tertentu. Pe­nger­tian fungsi tersebut nama Si Pitung menjadi magnet bagi dapat digambarkan dalam teks per- masyarakat Betawi untuk tetap meng- tunjukan gambang rancag, misalnya ke- ingat tokoh legenda ini, termasuk sifat- tika perancag menuturkan lagu rancag sifat Si Pitung juga menjadi skema da- Si Pitung mengenai nilai-nilai untuk lam cerita rancag Si Pitung, yaitu suka menolong orang lemah, tampak dalam merampok dan baik kepada masyarakat, teks rancag yang dinyanyikan dalam dan yang terpenting dalam teks rancag pertunjukan gambang rancag, bahwa Pi- sifat-sifat Si Pitung yang baik kepada tung dijadikan pah­lawan karena Pitung masyarakat. banyak menolong orang susah. Da- Berdasarkan skema alur, tema dan lam cerita legenda lain, pe­ngungkapan tokoh dalam rancag Si Pitung menun- rancag Si Pitung yang lahir dari cerita jukkan bahwa rancag Si Pitung diba- rakyat yang masih hidup di masyarakat ngun dengan sistem kelisanan, skema Betawi, sejak kecil Pitung belajar men- alur ditunjukkan dengan cara perancag gaji di langgar (mushala) di kampung membuka lagu rancag, peris­tiwa yang Rawa Be­long, dia menurut istilah Be- dilakoni oleh Si Pitung sebagai tokoh tawi, ‘orang denger kate’. Dia juga yang dituturkan, dan tema sebagai ske- ‘terang hati’, cakep menangkep pela- ma yang harus dikuti sebagai benang jaran agama yang diberikan ustadnya, me­rah untuk mengantarkan cerita. sampai mampu membaca (tilawat) Keseluruhan­ unsur cerita dibawakan alquran. Selain belajar agama, dengan

128 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 Haji Naipin, Pitung—seperti warga Be- yang terbuka, mereka tidak menutup tawi lain­nya, juga belajar ilmu silat. Haji diri dengan bangsa mana pun di muka Naipin, juga tarekat ahli maen pukulan. bumi ini. Berdasarkan gam­baran cerita tersebut sifat dan karakter Si Pitung dapat di- Fungsi Negasi jadikan sebagai contoh pena­naman Fungsi negasi pada teks gambang nilai norma yang harus ditanamkan rancag untuk menunjukkan perlawan- pada generasi muda masyarakat Be- an atau mem­berontak atau mengubah tawi, bahwa selain belajar ilmu dunia norma yang berlaku.­ Dalam teks ran- juga harus belajar ilmu agama sebagai cag si Angkri bahwa tokoh jagoan bekal dalam kehidupan yang lebih baik seharusnya merepresentasikan tokoh di masa akan datang. yang dapat memberi nilai-nilai norma Selain itu, teks rancag lain yang yang baik, namun istilah jagoan yang meng­gambarkan penanaman norma ter­dapat dalam teks rancag si Angkri sosial budaya Betawi juga tampak bertolak belakang dari teks rancag Si pada teks rancag Si Pitung si Conat ba- Pitung. Pada teks rancag Si Pitung Is- gaimana tokoh Marjan ada­lah sosok tilah jagoan yang di­lekatkan pada to- tokoh anak orang Betawi yang sejak kohnya mengacu pada tokoh pahla- kecil sudah diserahi tanggung jawab wan. Sedangkan istilah jagoan yang un­tuk mengangon kerbau milik ke- dilekatkan pada tokoh jagoan si Conat luarga, namun karena ia harus meng- adalah seorang tokoh yang melakukan hadapi seorang pencuri jagoan seperti kejahatan mulai ketika Angkri digam- Conat, Marjan tak mampu melawan barkan terbiasa melakukan kejahatan, Conat.Pada saat itu Marjan melakukan mulai dari mencuri, termasuk bagian perlawanan dengan memper­tahankan dari kelompok jagoan yang sering kerbau milik keluarga, namun kare­na melakukan pencurian di di daerah pa­ Conat yang sudah terbiasa melakukan sar ikan dan sekitarnya. Dari kedua kejahatan sekali timpuk batu pada Mar- teks tersebut ada yang berfungsi sebagi jan akhirnya roboh bersimbah darah. negasi bagi masyarakatnya tetapi ada Dan akhir­nya jatuh tak bernyawa lagi. juga teks yang digu­nakan sebagai afir- Penanaman norma membatu keluarga masi bagi masyarakatnya.­ Teks rancag dengan meng­angon kerbau adalah nilai si Angkri juga dapat dijadi­kan negasi budaya masyarakat Betawi yang sesuai bagi masyarakatnya. Teks Si Angkri di- ajaran islam bahwa wajib­ bagi anak un- tuturkan melakukan operasi kejahat­ ­an tuk membantu pekerjaan orang tua ter- di daerah Tanjung Priok. Jika keingi- masuk mengangon kerbau yang dilaku- nannnya tidak dikabulkan, tokoh Angri kan setelah pulang dari sekolah atau dan kelompoknya tidak segan mengha- selesai mengaji, gambaran penanaman bisi nyawa lawannya. norma pada anak-anak sebagai bagian Teks rancag Si Pitung adalah jenis dari pen­didikan karakter. Hal menge- teks rancag yang juga berfungsi seba- nai pena­nam­an norma dalam teks gi negasi ba­gi masyarakatnya bahwa rancag yang dituturkan dalam sebuah gambaran kehidup­ ­an centeng adalah pertunjukan untuk menunjukan bahwa kehidupan jagoan yang ju­ga mengarah masyarakat Betawi adalah masyarakat pada istilah jagoan yang yang sering

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 129 berbuat kejahatan untuk menunjukan nyaksikan pertunjukan tersebut. Justru keangkeran diri centeng dengan cara di situlah kekuatan sebuah pertunjukan meng­gunakan simbol-simbol yang ang- yang menurut Teeuw (1982:20) ketika ker. Meng­gunakan pakaian serba hitam, sebuah per­tunjukan di zaman modern golok tajam, gelang bahar yang besar, ini masih bisa bertahan pada komu- dan kumis tebal yang membawa keang- nitasnya karena memiliki nilai-nilai keran bagi siapa saja yang melihat. yang luhur bagi masyarakatnya. Untuk­ itu agar lebih terfokus bagaimana me­ Fungsi Restorasi nge­tahui jika rancag Si Pitung masih Fungsi restorasi pada teks gambang ber­tahan di komunitasnya, perlu di- rancag untuk mengungkapkan keingin- tunjukkan kekuatan dari cerita ini di an, kerinduan­ pada norma yang sudah masyarakat, khususnya­ masyarakat Be- lama hilang atau tidak berlaku lagi. Teks tawi. rancag yang berfungsi sebagai restorasi Rancag Si Pitung tentunya memiliki adalah teks rancag yang sering diper- kekuatan di masyarakatnya, kekuatan tunjukan. Berdasarkan pe­nga­­matan pe- itu da­pat ditunjukan lewat makna dan neliti sejak 2010 s.d. 2015, bahwa­ teks fungsi. Struk­tur yang saling mendu- rancag yang sering dipertunjukan ada- kung dan membe­rikan kontribusi bagi lah teks rancag Si Pitung. Teks gambang keutuhan dan kebulatan teks ini. Se- rancag Si Pitung adalah teks rancag bagai pembaca yang berbeda latar be- yang selalu dipesan jika ada tanggapan lakang budaya termasuk berbeda asal dalm per­ge­laran gambang rancag. Se- mula teks, tentu saja memerlukan upa- lain teks rancag Si Pitung yang sampai ya keras untuk bisa memperoleh makna sekarang masih diper­tunjukkan adalah dan fungsi yang sesuai dengan tradisi teks rancag si Angkri. Terakhir teks ran- itu. Untuk meng­gali nilai-nilai yang ter- cag si Angkri ini diper­tunjukan pada kandung dalam rancag Si Pitung, tentu- acara Pameran Sastra Pece­nongan pad nya merujuk pada struktur teks cerita. atanggal 18 Juli 2013. Selebih­ nya­ per- Bahwa tokoh Si Pitung adalah tokoh mintaan rancag yang diminta adalah sentral dalam cerita yang mengambar­ teks rancag Si Pitung. kan ‘tokoh jagoan” atau pahlawan. To- Fungsi restorasi dalam teks ran- koh tersebut dianggap sebagai sosok cag Si Pitung disebabkan oleh adanya ideal oleh masyarakatnya, tokoh Si Pi- keinginan masyarakat untuk sekedar tung dianggap ideal untuk menjadi sim- mengingat kembali­ keberadaan para bol jagoan atau hero Betawi. Melalui jagoan masa lalu yang turut memberi rancag Si Pitung, digambar­kan dalam semangat heroik bagi masya­rakatnya. bait 1.b, /pasang kuping nyatalah terang;/ Fungsi restorasi dalam teks rancag se- /di gambang rancag buka rancag jago bang bagai sebuah pertunjukan berhubungan Pitung./. Rancag dibuka dengan infor- de­ngan tegangan antara norma sastra masi bahwa tokoh yang akan dirancag dengan norma sosial budaya, bahwa kin, bukan tokoh biasa tapi tokoh jago- sebuah bentuk sastra yang tidak lagi an, yaitu Si Pitung. dipertunjukan, tiba suatu ketika diper- Menurut Yahya Andi Saputra “Sa- tunjukan, maka penonton merasakan ban kali rancag Si Pitung dimainkan, kerinduan untuk terus dan terus me- orang terkesan­ dengan kehebatan Pi-

130 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 tung membobol bui Mester, lantas digadangin/, /Yang gadangin kuburannya dengan kekuatan ilmunye die bisa hi- Pitung dari sore ampe pagi/ .... lang dan menjadi buronan serdadu Makna dan fungsi pahlawan pada Belande”. Hal itu tergambar dalam masa lalu, rancag Si Pitungdapat mem- rancag Si Pitung, /Kalo mau kenal Si Pi- beri semangat dan ke­per­cayaan rakyat, tung dari Rawa Belong;/ /Orangnye pan- terutama masyarakat Betawi yang ha- dai merampok, pandai menipu, pandailah rus menjadi jongos di negeri­nya sen- menyolong;/ /Orangnye pinter bisa terbang diri. Kehebatan Si Pitung, melalui per­ kayak kalong;/ Saking jagonya bui Mester tunjukan rancag Si Pitung yang dikenal bisa kena kena bolong./. sebagai tokoh yang mampu membebas- Lebih lanjut dituturkan oleh Yahya kan rakyat dari eksploitasi, disintegra- Andi Saputra, “Pertunjukan rancag si, dan kecaman para tuan-tuan tanah Si Pitung sebagai simbol perlawanan beserta para begundalnya. Semangat tukang rancag kepada Belanda, se- itulah yang membuat rasa bangga dan bab dengan keberanian tukang rancag takjub terhadap tokoh jagoan mereka mengisahkan Si Pitung nota bene ada- Si Pitung, walau hanya lewat tontonan,­ lah musuh Belanda patut dipuji sebagai rancag Si Pitung. Ruchiat (2003:166) suatu heroisme tukang rancag “ (2009). menjelaskan bahwa pada tahun dua pu- Gambaran kondisi pada saat itu, menu- luhan ada seorang perancag bernama rut Abah Jali (78 tahun), “Suasana Jian, seorang tuna netra jika ia sedang mencekam, rakyat tidak berkutik, Be- membawakan rancag Si Pitung, semua landa berkuping lintah, mata-matanya penonton seakan-akan mena­han nafas berada di mana-mana, tukang rancag karena khwatir ada kata-kata yang lu- tidak berani ambil­ risiko, mereka hanya put dari pendengarannya. mengetengahkan cerita Si Pitung se- Kehadiran rancag Si Pitung yang bagai jagoan buron yang kerjanya ber­fungsi dan bermakna sebagai pe- merampok dan melawan pemerin­tah nyemangat patriotisme masa sekarang Belanda”. Makna kepahlawanan dalam lebih kepada pemberi rasa percaya diri rancag Si Pitung juga digambarkan se- untuk berdiri sama tinggi dalam kema- sudah kematian Si Pitung, makamnya juan mengisi pemba­ngunan di DKI dikawal oleh tentara, karena beberapa Jakarta ini. Menurut Yasmin Shahab masyarakat percaya Si Pitung akan (2004), kalau orang Betawi tidak bang- bangkit dari kematian. Dalam rekaman ga terhadap budaya Betawi, nantinya kaset rancag Si Pitung tahun 1911, yang budaya Betawi, hanya tinggal diong- berasal dari Toko Djin Vich & Co (Loa gok-onggok musium atau hilang sama Yoe Djin), Pancoran Batavia, Sumber sekali, karena orang Betawi termasuk Yahya Andi Saputra (2009). /Si Pitung generasi mu­da­nya malu menjadi orang sudah mati dibilangin sama sanak su- Betawi. Namun dengan semangat dan daranya/, /Digotong di Kerekot Penjaring- kemauan orang Betawi melestarikan an kuburannya/, /Saya tau orang rumah budaya Betawi termasuk rancag Si Pi- sakit nyang bilangin/, /Aer keras ucusnya tung dengan cara kemampuan mereka dikeringin/, /Waktu dikubur pulisi pade beradaptasi dan berkontestasi dengan iringin/, /Jago nama Pitung kuburannya berbagai proses budaya yang melanda ma­sya­rakat Betawi sekarang ini. Dalam

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 131 konteks ini, keberadaan tradisi lisan, kelisanan dari tradisi lisan gambang ran- termasuk gambang rancag menjadi cag . bagian dari kebijakan dan praktik pem- Model pewarisan oleh Lord (2000) belajaran kesadaran mulikultural pada terse­but dapat dilakukan di keluarga anak-anak dan generasi muda (Hasan dan lem­baga pelatihan atau sanggar- & Suwarni, 2012). sanggar melalui mo­del pelatihan gam- bang rancag dalam proses penciptaan Sistem Pewarisan seperti yang telah dilakukan oleh Rojali Konsep Lord (2000:37) menekan- (78 tahun) kepada anak dan cucunya kan bahwa “betapa tidak terlalu berpe- selama tiga generasi. Pewarisan tradisi rannya unsur­ menghafal dalam tradisi lisan gambang rancag tidak hanya di- (puisi) lisan.” Faktor penentu dalam lakukan di sekolah atau secara formal, menguasai nyanyian (puisi) rakyat ada- namun dapat pula dilakukan di di luar lah memahami formula dan membia- sekolah atau nonformal. Sistem pewa- sakan diri untuk mendengar nyanyian­ risan formal ialah secara sengaja men- (puisi). Karena kebiasaan, formula da- didik generasi muda untuk menjadi pe­ lam puisi (nyanyian) dengan sendirinya ma­in yang lebih profesional, sedangkan dapat di­kuasai oleh penyaji sehingga sistem­ pewarisan nonformal melalui pada waktu per­tunjukan, nyanyian pema­gangan (Udu, Kusuma, & Alifu- itu muncul ibarat air yang mengalir. din, 2016). Pendapat Lord telah mengubah ang-ga- Pewarisan gambang rancag selama pan yang menempatkan unsur hafalan ini juga masih berlangsung, baik for- sebagai faktor dominan dalam proses mal maupun informal. Firman (dalam me­ngua­sai nyanyian. Formula yang wawancara pada Januari 2013, di ke- dikemu­kakan Lord (2000:38) yaitu diamannya, Beji Depok) mengatakan bahwa “proses penciptaan terjadi pada bahwa di tempat ia mengajar, yaitu epik rakyat di Yugoslavia­ dengan meng- SMA 105 Jakarta dan SMK Karawitan gunakan formula.” Peneli­ti­an itulah Jakarta, ia juga memperkenalkan kes- yang kemudian menjadi da­sar analisis enian gambang rancag kepada murid- formula. Proses penciptaan yang meng- muridnya melalui musik gambangk- gunakan unsur formula juga terjadi romong. Menurut Firman antusiasme pada puisi lirik rakyat Latvia, Dainas murid-muridnya besar untuk mempela- (Lord, 2000:29). Dua contoh yang dike- jari musik tradisi lisan gambangkromong. mukakan tersebut menempatkan bah- Proses belajar-mengajar musik dan lagu wa formula meru­pakan kunci utama Betawi di sekolah tentu harus berpedo- yang harus dikuasai oleh penyaji dalam man pada kurikulum sekolah yang di- proses penciptaan puisi lisan, baik epik susun sesuai kompentensi musik dan maupun lirik. Formula adalah kelom- lagu Betawi, metodenya bisa dengan pok kata yang secara teratur dipakai cara pemo­delan, mencontoh model oleh penutur untuk mengungkapkan lalu mempresen­tasikan. suatu ide yang esensial­ atau pokok. Un- Mengenai pewarisan gambang ran- tuk bisa menggunakan formula dalam cag di keluarga secara khusus, Rojali struktur cerita, perlu melihat bentuk (dalam wawan­cara 22 Juni 2013, di ru- mahnya, Jl. Gan­da­ria Pekayon Jakarta

132 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 Timur) mengatakan bahwa dia menga- umnya. Pewarisan ini bisa melalui jarkan kepada anak dan cucunya— keluarga, dapat juga melalui pelatih­ yang sekarang sudah mahir ngerancag an oleh lembaga-lembaga pelatihan —tentangcara bermain gambang ran- milik pemerintah. Pewarisan keluarga cag adalah dengan sistem pemodelan dilakukan dengan mengajarkan atau dan pemagangan. Anak dan cucunya memberi pemodel­an di lingkungan diajak meli­hat proses Rojali latihan keluarga inti. Sementara itu, pewaris- bersama grupnya jika akan tampil. Se- an lewat pelatihan digambarkan seba­ lanjutnya, Rojali membe­ri kesempatan gai bentuk pemberdayaan masyarakat kepada anak-cucunya untuk main di melalui pelatihan gambang rancag yang latihan dan pertunjukan dimulai dari diadakan dengan cara pelatihan mela- mendampingi terlebih dahulu, kemudi- lui pemodelan di lembaga Balai Latih- an se­te­lah dirasa cakap, akhirnya diberi an Kesenian (BLK), Jakarta Timur. kesem­patan untuk menggantikan posis- inya bermain atau manjag. SIMPULAN Selanjutnya mengenai model pe- Dari hasil analisis yang dilakukan warisan melalui pelatihan, Dodo Su- terha­dap Rancag Si Pitung dan Si Ang- karda (dalam wawancara pada Jumat, kri disim­pulkan sebagai berikut. Perta- 27 Juni 2014, di BLK Pondok Kelapa ma struktur tradisi lisan gambang rancag Jakarta Timur) menga­takan bahwa Si Pitung dan Si Angkri, baik melalui “BLK berperan sebagai pusat pelatihan strutur skema alur, tema dan tokoh, yang bertugas melaksanakan pela­tihan serta formula ditunjukkan bahwa unsur kesenian dan evaluasi pelatihan keseni­ ingatan bagi perancag penting dalam an, serta penyediaan fasilitas pelatihan menciptakan teks, melalui ingatan se- kese­nian.” Maksud dan tujuan pelatih- gala hal tentang kehidupan dan budaya an gambang rancag pada tahun 2013 ini Betawi, kehidupan tokoh jagoan Si Pi- adalah untuk menumbuhkan minat tungyang memberontak pada kolonial ge-nerasi muda terhadap seni tradisi sebagai bentuk perlawanan, patut di- Betawi berupa gambang rancag. Hal ini ingat dan dinikmati oleh penonton se- dimaksudkan agar seni gambang rancag orang pahlawan orang Betawi. Semen- dapat bertahan hidup, tumbuh, dan tara Angkri diikat de­ngan tokoh jagoan berkembang sesuai dengan harapan sebagai pengacau. dunia seni dan masyarakat pendukung- Kedua, fungsi dari cerita ditunjukan nya. Terma­suk agar seni gambang ran- dengan fungsi afirmasi sebagai bentuk cag kembali men­dapat tempat di hati untuk melekatkan nilai budaya Betawi masyarakat Jakarta yang heterogen. dalam kedua cerita bahwa gambang ran- Di dalam pewarisan gambang rancag cag sebagai sastra tutur memi­liki fungsi merupakan proses pemberian penge­ egaliter, tampak dari pengisahan cerita tahuan atau pemindahan ilmu (transfer yang dilagukan dengan gaya kocak knowledge­ ) tentang gambang rancag yang dari kedua perancag. Fungsi restorasi menca­kup musik gambang kromong dan menun­jukan semangat kepahlawanan terutama tuturan rancag, baik kepada dari cerita Si Pitung, guna mengingat keluarga terde­kat khususnya maupun tokoh Robinhood yang pernah dimiliki kepada masyarakat Betawi pada um- oleh Betawi masa lalu. Fungsi negasi

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 133 ada oposisi biner antara tokoh jagoan Castle, L. (1967). The Etnnic Profile of di Betawi, ada tokoh pahlawan yang Jakarta, Indonesia. (Volume III, kolonial melindungi masyarakat dari April 1967). Ithaca-New-York: Cor- tekanan tuan tanah dan kolonial, se- nel University. mentara dari tokoh jagoan yang lain Gazali. (2016). Struktur, Fungsi, dan adalah pengacau yang tidak memberi Nilai Nyanyian Rakyat Kaili. rasa aman bagi sesamanya pribumi. Litera: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, Ketiga, sistem pewarisan di komu- dan Pengajarannya. 15(1), 189-199. nitas gambang rancag di Pekayon, yaitu DOI: https://doi.org/10.21831/ltr. Sanggar Jali Jalut melakukan sistem v15i1.9778. pewarisan rancag dengan cara pemo- Hasan, ABP. & Suwarni, E. (2012). delan, yang dimulai daripengamatan Policies and Practice for Promoting model, mencontoh modelrancag, dan Multicultural Awarennes of Indi- mempertunjukkan model rancag, baik genous Early Chilhood Education melalui formal maupun informal. in Indonesia. Internasional Journal of Child Care and Education Policy, UCAPAN TERIMA KASIH 6 (1), 63-94. DOI: https://doi. Artikel ini disarikan dari disertasi org/10.1007/2288-6729-6-1-63 saya yang berjudul “Proses Penciptaan Heuken, SJ. (1997). Historical Sites of Ja- Teks Gambang Rancag dalam Konteks, karta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Fungsi, Makna, dan Model Pelatihan Koster, G. L. (2008). Roaming Through- di Masyarakat” pada Program Pasca- Seductive Gardens. Leiden: KITLV sarjana Universitas Pen­di­dikan Indone- Press. sia (UPI). Ucapan terima ka­sih diucap- Lord, A. B. (2000). The Singer of Tales. kan kepada DP2M DIKTI yang telah London: Harvard University Press. mendanai penelitian ini melalui Hibah Ong, W. J. (1982). Orality and Literacy: Doktor.Ucapan terima kasih disampai- The Technologizing of the word. Lon- kan kepada para informan yang telah don: Methuen. membantu proses pengumpulan, veri- Ramakrishnan, M. (2016). Relevance fikasi, dan analisis data. Kepada Prof. and Significance of Oral Tradition Syihabuddin, M.Pd. selaku Promotor and Cultural Heritage. In Oral Tradi- I dan Dr. Sumiyadi, M.Hum. selaku tion and Cultural Heritage of Punjab. Promotor II, dan Dr. Pudentia, MPSS. Singh Surjeet. Punjab: Publication selaku Penguji diucapkan terima kasih Bureau Punjabi University. atas saran dan masukan untuk perbai- Rhett, M. B. (1987). The Structure and kan tulisan ini. Changing Function of Oral Tradi- tions. Oral Tradition. 2 (2-3), 645- DAFTAR PUSTAKA 655. Abrams, M.H. (1976). The Mirror and Ridwan, M. & Wahdian, A. (2017). the Lamp: Romantic Theory and the Structure, Function, and Value Ctritikal Tradition. London, Ox- The Tradition of Oral Literature in ford, New York: Oxford University Sumenep Madura. Journal of Lit- Press. erature Studies on Language, Art, and Culture, 1(1), 252-273. DOI: http//

134 | LITERA, Volume 18, Nomor 1, Maret 2019 dx.doi.org/10.17977/um006- Sweeney, A. (1980). Authors and Audi- v1i12017p252. ences in Traditional Malay Literature. Ruchiat, R. (1981). Proyek Konservasi Berkley: University of California Kesenian Tradisional Betawi: Pendekat- Press. an Sejarahdan Latar Belakang Sosial Suswandari. (2017). Lokal History of Budaya Gambang Rancag. Jakarta: Jakarta and Multicultural Attitude Dinas Kebudayaan Provinsi DKI (Hitorical Local Study of Betawi Jakarta. Ethnic. Journal of Education, Teach- Ruchiat, dkk. (2003). Ikhtisar Kesenian ing And Learning. 2(1), 93-100. DOI: Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan http//dx.doi.org/10.26737/jetl. dan Permusiuman Provinsi DKI Ja- v2i1.142. karta. Teeuw, A. (1994). Indonesia Antara Salleh, M.H. (1992). Sajak-Sajak Sejarah kelisanan dan Keberaksaran. Jakarta: Melayu. Malaysia: Dewan Bahasa Pustaka Jaya. dan Pustaka. Udu, H., Kusuma, INW., & Alifudin, Setiartin, T. R. (2015). Transformasi M. (2016). Inheretance Strategy for Teks Cerita Rakyat ke dalam Ben- Endangered Oral Tradition in The tuk Cerita Bergambar sebagai Archipelago (Case Study in Inheri- Model Pembelajaran Membaca tence of Kangkilo Oral Tradition. Apresiatif.Litera: Jurnal Penelitian International Journal of Linguistic, Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Language and Culture. 2(3), 56-62. 15(2), 389-401. DOI: https://doi. DOI: http://dx.doi.org/10.21744/ org/10.21831/ltr.v15i2.11837. ijllc.v2i3.215. Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Zaini, M. (2014). Cerita Lisan “Yong Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Dollah”: Pewarisan dan Resistensi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradis- Budaya Orang Melayu Bengka- iLisan (ATL). lis. Jurnal Madah. 5(1), 1-14. DOI: Sopandi, A., dkk. (1999). Gambang http://dx.doi.org/10.31503/ma- Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan dah.v5i1.520. DKI Jakarta.

Structure, Function, and Inheritance System of the Gambang Rancag Oral Tradition ... | 135

KONFERENSI INTERNASIONAL KESUSASTRAAN

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

REINTERPRETING THE GAMBANG RANCAG ORAL TRADITION

1Siti Gomo Attas, 2Gres Grasia Azmin & 2Marwiah

1Department of Indonesian Literature, Faculty of Language and Arts, Jakarta State University, Jakarta, Indonesia 2Department of Indonesian Education, Faculty of Teacher Training and Education, Makassar Muhammadiyah University, Makassar, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

DOI: 10.24815/.v1i1.14440

Abstract

This research aims to describe (a) gambang rancag orality, (b) gambang rancag function, and (c) form of inheritance of gambang rancag as acculturation of Betawi culture with other cultures in Indonesia. The sources of data are from various essays of academics about the gambang rancag and Betawi and the transcription text of gambang rancag the play of Pitung and Angkri. The data collection is done by: (a) literature study, (b) observation, (c) interview. The data analysis with transcription of oral data, (b) data grouping , (c) analyzing data with the concept of Parry Lord formula, A Teeuw Functionalism, and Vansina Transmission. The results showed that (a) the success of gambang rancag performance was supported by various aspects of performance, (b) the gambang rancag has various functions (entertainment, education, social, economic) and there are various ways to inherit the gambang rancag, but it has not been effective due to its implementation is not maximaI yet.

Keywords: Formula, orality, staging, inheritance system.

1. Introduction

According to Kunst (1934, p.308) Gambang Rancag that lived in Batavia and the surrounding area that gained Chinese influence was used to accompany the stories sung (what is called poetry) about impressive events that happened in the past years, for example the story of Pitung Rampok Betawi, Angkri Hung story in Betawi, the story of Delep Kelebu in the Sea, and usually as an opening accompanied by songs such as Jali-Jali, Persi, Surilang, Lenggang Kangkung, Keramet Kerem , and so on, and accompanied by a musical instrument consisting of wooden xylophone, kenong, and drum. The term of gambang rancag according to Sopandi et al. (1999: 76−77) in the Gambang Rancag book by the DKI Jakarta Office of Culture is interpreted as the principal instrument in the gambang kromong orchestra which is used to accompany singing as a means of performing the story in the form of hooked poems. Furthermore, the word rancag is Betawi folklore in the form of rhymes or poems sung by two male singers, with fast rhythms and

277

Siti Gomo Attas, Gres Grasia Azmin & Marwiah

melodies. So, it can be said that gambang rancag is gambang kromong music accompanied by songs that tell Betawi folktales in the form of rhymes or poems and are put in jokes or humor. The story sung by the song is called the story of rancag, which is in the form of hooked poems and poetry. The following is an example of a form of hooked pantun, namely Rancag Si Ankri, Jago Pasar Ikan, which was once performed by Rojali alias Jali Jalut (78 years) and Samad Jali Putra Pekayon Gandaria in 1980. Unfortunately, the gambang rancag who has complete literary art is on the verge of extinction. Kiftiawati (2011) and Sopandi et al. (1999) inform that that some Betawi oral literature including the gambang rancag are in alarming conditions. The gambang rancag tradition has rarely been performed. Whereas in the 1930s, the life of the gambang rancag as a live performance was quite good, in the sense that it was still quite widely performed as a performance call. The efforts to prevent oral traditions from extinction in accordance with the Regulation of the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia No. 106 of 2013 concerning Cultural Heritage in the context of the preservation of Indonesia’s non-objects culture, namely considering that in the framework of preservation of the government it is obligatory to record and determine non object cultural heritage that exist in the territory of the Republic of Indonesia. Furthermore, in Chapter I Article 6 that what is meant by preservation is an effort to maintain the existence of Indonesia’s intangible cultural heritage and its value through protection, development and utilization. To overcome the gaps that occur at this time, namely the lack of professional equipment that now lives in one community, it is necessary to conduct gambang rancag training through a system of inheritance. The gap does not have an impact on the loss of one local art that has the value of local wisdom and economic value that should be used as well as possible by the government for the welfare of its people. This is in accordance with the decision of the Head of the Jakarta Department of Culture and Museums No. 1 of 2006 Article 1 and 2 concerning Guidelines for Organizing Art Training Activities at the Jakarta Provincial Art Training Center stating that in order to realize efficient and effective arts training to achieve quality training results, it is necessary to stipulate guidelines for organizing training activities at the Art Training Center. A relevant study conducted by Muhadjir et al. (1986, p. 119) mapped the art of Betawi culture in Pasar Rebo Subdistrict since 1985. The study shows that there is only one group of scabbard gambang left, namely the gambang group Sedap Malam led by Samad Modo Pekayon RT 009 / RW 003 Pekayon Village, Pasar Rebo Subdistrict (which has now been handed down to his children and grandchildren and changed his name to the Betawi Jali Putra Art Group). Protection, development and utilization efforts should be visible through the presence of professional figures such as the gambang rancag group owned by the Jali Putra Gambang Kromong Group. Based on the gambang rancag performance data from 2010–2014, it shows that figures of rancag artists in DKI Jakarta have not increased. This picture shows a gap between the number of professional rancag artists available and the efforts and roles of the government that is stagnant. This study aims to examine the existence of an extinct gambang rancag as an oral tradition that has a unique need to be maintained since its function is so important. In addition, another goal is to find out how the function and the use of oral traditions as an effort to protect, develop, and utilize the art of gambang oral tradition by the community. This research needs to be done in order to save the Betawi oral tradition by the government and the community as an effort and participation in the efforts to protect and develop the existing gambang rancag. Therefore, it is proper that research in this direction needs to be

278

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

done immediately to accommodate the problem of the extinction of the Betawi oral tradition that lives in the communities of DKI and surrounding areas.

2. Literature Review

In connection with the object of the gambang rancag oral tradition research, this study needs to use several interdisciplinary approaches and theories. The approach in this study uses an oral tradition approach, namely the Malay poetic model G.L. Koster is in the form of the process of creating oral texts with Albert B. Lord’s theory of formulas to see the subtlety of an oral literary work. Then, researchers will also pay attention to the function of the gambang rancag oral tradition for the Betawi community in DKI Jakarta. The approach also refers to the meaning of the gambang rancag oral tradition so that with this approach it will be known the process of creating text in the context of the show by means of the gambang rancag as a process of creation, gambang rancag as negation, restoration, and representation of identity. Then this research will be utilized through training the oral tradition of the gambang rancag so that the preservation of the oral tradition of the gambang rancag, especially in the Betawi community in DKI Jakarta, can continue to be realized. Inheritance theory which must be done immediately is observation, namely the observation of the process of creating the gambang rancag oral tradition that still exists - both in terms of text structure, creator, audience, mimetic process, function, meaning of the gambang rancag in the legality of Betawi society, process negation and restoration, and how the gambang rancag inheritance system as a representation of identity that has taken place in the Betawi community. Furthermore, this research will be used as a model of gambang rancag training in the community. In expressing the functions and meanings of the gambang rancag oral tradition, this study uses a variety of functional approaches, including those related to sociology, customs and living procedures (anthropology), as well as representation of society and culture as the final goal of this research. Therefore, researchers are expected to contribute to designing the gambang rancag training model in an effort to preserve oral traditions through protection, development and utilization as a form of responsibility from the scientific community to utilize oral traditions as cultural capital that must be preserved. While the role of the community and government is also very much expected not only to help in terms of material, but the most important thing is efforts to protect and develop and use this tradition in the future.

3. Research Method

This study uses ethnographic methods which include observation, interviews, and group discussions. Data analysis was carried out by examining the oral text of gambang rancag of Pitung and Angkri , through creators, texts, audiences, and reality as Malay poetic concepts by the theory of M.H. Abrams modified by Koster, Lord, and Sweeney. Theory the structure of oral tradition of texts is seen as schemes that can be found at all levels of the story, including (1) plot schemes, (2) theme schemes, (3) character schemes, and (4) formulaic languages. While for the analysis of functions such as those presented by Teeuw (1994), there are three, namely (1) affirmations (establishing socio-cultural norms that exist at certain times), (2) restoration (expressing desires or longing for norms that have been lost), and (3) negation (to rebel and change existing norms). While for inheritance system analysis according to Lord and Vansina. Lord (2000, p. 25) that inheritance has several stages, namely: (1) that is starting with a beginner, beginner scanners will observe by

279

Siti Gomo Attas, Gres Grasia Azmin & Marwiah

listening and repeating stories/models with memories, (2) modeled on the model that was heard by demonstrating it in a form that was in accordance with the full form of the tradition that was heard, (3) the stage of operating the whole model was in the actual performance. Once again the aid of formulas as stated by Albert Lord and Milman Parry after examining the creation process of the work of a Greek poet named Homerer, entitled Ilias and Odyssea.

4. Results and Discussion

4.1 Orality of Gambang Rancag Text in the sense of oral gambang rancag is not only limited to the play or story delivered by the speaker. The structure of the text can encompass the element of conveying the sound of the narrator’s voice, including the music that accompanies the delivery, the movements, and the equipment. According to Koster (2008: 38) that all these elements give an element of contribution to the meaning of delivery as "gesamkunstwerk" or the result of combining several forms of art and not the results of words alone. The designer or creator does not memorize in producing oral texts without any concept or form of writing to be read as a skill to prepare materials that are ready to be woven in an oral text. Oral texts have structures, namely schemes or familiar patterns. Schemes in remembering oral texts include plot schemes, themes and characters. For the scheme of the groove in the gambang rancag the Pitung, the performance generally starts with accompaniment music, namely phobin songs, vegetable songs and drama songs. Phobin songs are generally instrumental music, in addition to calling and waiting for the audience who are heading to the venue, also accompanied by vegetable songs such as the song Siri Kuning. Generally in the opening song as a form to call the audience, it is usually accompanied by improvisation by adding the name of the venue or mentioning who invited the celebration or responding to the gambang rancag. Subsequently entered at the core event, which was a song. The Ministry of Religion must optimize the memory of a fixed flow pattern, such as what was done by Rojali (79 years) (2015) when telling Si Pitung’s plan, that:

1.a. Clamping clamps; if putting the lamp is allowed, why are the shells hanging; just listen to the father who has a guest, let it clear; want to take the rancag called brother Pitung. …… 7.a. If picking mangkudu is said to use stairs; if we stick to the far picture in the Selang alley; called soldier two drums ordered to guard; when not a long time Pitung disappears b. Again, Pitung, a smart person, is grooming him in a handsome way; he spreads up the road to be dismantled, the tile; He is bang Pitung that time is indeed in the attic; Look at the friend, Jiih when he cries then he shakes, he drags, he brings.

9.a. Kebayoran Pitung come from Tanah Abang; The person is nice using a mustache, using a branch;

280

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

when he is fugitive , Pitung thought he was confused; if shot by the lord Sekaut Tena bang – bang – bang hit three holes.

The pattern of the master plan for the Pitung is generally fixed, the organizer when opening the plan must pay homage and information to the audience that the story that will be presented is planned, Pitung. To be able to "buzz" a storyteller or designer must be able to recreate the story when the story is presented, it must be "ngaleter", which is to make Betawi free rhymes improvised while on the stage, how to remember, "we say" at back then the couple searched for him. The rancag artist created the plan, starting with remembering the story of Pitung which starts from remembering the storyline that the story begins with information that the story was delivered, that is, Bang Pitung, raiding at Wetan Marunde, at Haji Syamsuddin’s house, hanging things, inten, batik all taken Pitung, the siren is very loud, Mr. Demang is coming, Bang Pitung has run away, Pitung has been caught in the buy mester, Pitung is guarded, Pitung runs away from jail, He was hit by three holes by Schout Hena, Pitung grave is predicted, people at parties, stories added by the scaffolders with advice to the audience so as not to try to enter jail, suffer from the wife’s children, then don’t copy the Pitung story, it’s over. In the plot scheme in general the story ends happily (happy ending), but in the story of the Pitung the main character ends tragically, the life of the main character dies at the end of the Hena Scout shot by three golden bullets. There are elements of heroes and myths in the oral texts conveyed by the rancag artist when they tell the Pitung program. The drafting of the text is not only given the Pitung storyline scheme but the artist must remember the formula from the pantun concept, namely repetition of some or all words, phrases or clauses from from the previous text. These skills are kept in mind by designers in compiling the chanting of the texts sung by using the plot scheme memories and the help of formulas to compile a text formulation system so that the text stories can be completed properly. In presenting oral texts, the Pitung program does not only remember the plot scheme as a medium used by narrative speakers, but also the concept of hooked poetry or poetry which must also be adapted to accompanying music so that the rhythm is appropriate. In addition to presenting the text rancag the Pitung storyteller or designer must also be able to make improvisations that can be useful in an oral literature delivered. The humor created by the scans in the rancag text is a characteristic feature of the Betawi people, that all art has a form of humor. This form of humor in the oral texts of the gambang rancag is repeatedly performed both verbally and nonverbally. The form of humor in the plot scheme is also associated with the movements of the scaffolders in bringing dance, the designer must arrange and maintain relations with his partner, including the audience and adjust the plot scheme with the rhythm of the song and music accompanying the gambang rancag. Furthermore, the theme scheme, which is small scenes that are always repetitive, are often raised in the narrative of the oral texts of the Pitung and Angkri songs, for example in the text of Pitung and the Angkri narrator Firman (35 years old with his partner, Jafar (48 years old) repeating repeat the choir (song with the audience if the song is performed in front of the audience of texts / emang-emang / repeated several times in order to keep the music together with the song, including to maintain the audience’s relationship with the scaffold, so that the audience’s concentration is centered on the song narrated

1.a. Pick the broken walnuts branch; Listen carefully so it’s clear; the drama of Angkri has a story

281

Siti Gomo Attas, Gres Grasia Azmin & Marwiah

Pick the broken branch walnuts; take papaya in petuakan; the Angkri has a story; the crocodile is on the fish market.

In addition to the theme scheme / emang-emang-emang / in each pantun verse in the Pitung schedule, it also repeats the word Pitung as a word that often appears in the Pitung series, as well as the repeated Angkri figures the names of the two main characters are referred to in the text. The aim is to remind the designer and the audience that the story that is being delivered at this time is the story of Pitung and the Angkri is not another story. The name of Bang Pitung is a figure supported by the figure of Haji Syamsuddin, as an antagonist who was stolen from his property by Bang Pitung, including the schout figure Hena often repeated as a figure who chases Bang Pitung when running from buy Mester, hereinafter referred to as shooting Pitung with gold bullets, including when SchoutHena can star after it works. Based on the flow scheme, the themes and figures in the Pitung schedule show that the Pitung plan was built with a system of kelisanan, the plot scheme was shown by the way the scanners opened the track, the events carried out by Si Pitung as the narrated characters, and themes as schemes that must be followed as a red thread to deliver the story. The whole element of the story is presented by the designer with the accompaniment of gambang kromong music by remembering the storyline, themes, and figures bound by formulas used by designers to, link and unite a plan in the oral tradition of the gambang rancag.

4.2 Function of Gambang Rancag Oral Tradition Text 4.2.1 Affirmation function The affirmative function in the gambang rancag text is to establish socio-cultural norms that exist at a certain time. The definition of the function can be described in the gambang rancag show text, for example when the scribe tells the song of Pitung about values to help weak people, without in the rancag text sung in the gambang rancag show, that Pitung is used as a hero because Pitung helps a lot of difficult people. In another legend, the disclosure of the Pitung series that was born from folklore that still lives in the Betawi community, since childhood Pitung learned to recite in langgar (mushala) in the village of Rawa belong, he said in Betawi terms, "people listen to kate". He is also bright hearted, handsome menepep religious studies given by his cleric, to be able to read (tilawat) the Koran. In addition to studying religion, with Haji Naipin, Pitung — like other Betawi citizens, they also learn martial arts. Haji Naipin, also a congregation expert in playing punches. Based on the description of the story, the nature and character of the person can be used as an example of planting norama values that must be instilled in the younger generation of Betawi people, that in addition to learning world science they must also study religious knowledge as a provision in a better life in the future. In addition, another text that illustrates the cultivation of Betawi cultural social norms is also missing in the text of the Pitung si Conat rancag, how the figure of Marjan is a child figure of the Betawi people who has been given responsibility for carrying out a family buffalo, but because he has to face a heroic thief like Conat, Marjan was unable to fight Conat, at that time Marjan resisted by maintaining a family-owned buffalo, but because Conat, who had been accustomed to committing a crime once a stone fell on marjan, finally collapsed in blood. And finally fell lifeless again. The normalization of petrification of families by calling on buffaloes is the cultural value of the Betawi community that is in

282

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

accordance with Islamic teachings that it is mandatory for children to help with the work of parents including buffalo carried after returning from school or completing the study, description of normative cultivation in children as part of character education . The matter of the planting of norms in the text of the rancag which is spoken in a show to show that the Betawi community is an open society, they do not close themselves to any nation on this .

4.2.2 Negation function The negation function in the gambang rancag text is to show resistance or rebellion or change the prevailing norms in the Angkri text that the heroine should represent a character who can give good norms, but the heroic terms contained in the Angkri’s text are contrary to the text text of the Pitung. In the text text of the Pitung, the term hero attached to the character refers to the hero character. While the term hero attached to the hero of the Conat is a figure who commits a crime starting when Angkri is described as accustomed to committing crimes, ranging from stealing, including part of a group of heroes who often commit theft in the fish market area and its surroundings. Of the two texts there are those that function as negations for the community, but there are also texts that are used as affirmations for the community. The Angkri’s text can also be used as a negation for the community. Teks Si Angkri is said to have conducted a crime operation in the Tanjung Priok area. If the desire is not granted, Angri’s character and his group are not reluctant to kill the lives of their opponents. The text of the SiPitung script is a kind of transparent text. It has functions as a negation for the people whose life was described as the hero. The term of hero was seen as a person who often commits crimes to show the self-awkward awesomeness using haunted symbols,. black clothes, sharp machetes, large bahar bracelets, and thick mustaches.

4.2.3 Restoration function The function of restoration in the gambang rancag text is to expose desires, longing for norms that are gone or no longer valid. The messianic text that functions as a restoration is a text that is often performed. Based on the researcher’s observations since 2010, d. 2015, the draft text that is often shown is the text of the Pitung script. The text of the gambang route of Pitung is the text that is always ordered if there is a response in the performance of the gambang rancag. In addition to the text of the pitung, which until now is still being shown, the text is the Angkri’s plan. Finally, the haunting rancag text is shown at the Pecenongan Literature Exhibition at the date of July 18, 2013. The rest of the request are the Pitung text plan. The function of restoration in the text of the Rancag si Pitung is caused by the desire of the people to simply recall the existence of past heroes who helped to give a heroic spirit to their people. The function of restoration in the text of rancag as a show is related to the tension between literary norms and socio-cultural norms, that a literary form that is no longer displayed, arrives at a time when shown, the audience feels longing to continue and watch the show. It is precisely here that the power of a show which according to Teeuw (1982, p. 20) when a show in modern times can still survive in its community because it has noble values for its people. Therefore, to be more focused on how to know if the Si Pitung scheme still survives in its community, it is necessary to show the strength of this story in the community, especially the Betawi community. Rancag Si Pitung certainly has strength in its community, that power can be shown through meaning and function. Structure that supports each other and contributes to the integrity and roundness of this text. As readers of different cultural backgrounds including

283

Siti Gomo Attas, Gres Grasia Azmin & Marwiah

different origins of the text, of course it requires a lot of effort to be able to obtain meaning and function in accordance with that tradition. To explore the values contained in the Si Pitung plan, it certainly refers to the structure of the story text. That the Si Pitung figure is the central figure in the story that portrays “hero character” or hero. According to Ikram (1993, p. 7-8) that the meaning of heroism, namely someone who is considered ideal by the community, the figure of Si Pitung is considered ideal to become a symbol of the Betawi hero or hero. Through the Si Pitung plan, depicted in verse 1.b, / pairs of ears are clearly bright; / / in the gambang route open the master plan, bang Pitung. The plan was opened with information that the character who was going to be planned was not an ordinary figure but a hero, Si Pitung.

4.3 Gambang Rancag Oral Tradition Inheritance System Lord’s (2000) inheritance model can be carried out in families and training institutions or studios through the gambang rancag training model in the process of creation as Rojali (78 years) has done to his children and grandchildren for three generations. The inheritance of the gambang rancag oral tradition is not only done at school or formally, but can also be done outside of school or non-formal. The formal inheritance system is to deliberately educate the younger generation to become more professional players, while the non-formal inheritance system through apprenticeship. Pewarisan gambang rancag is still ongoing, both formal and informal. Firman (in an interview in January 2013, at his office, Beji Depok) said that at the place where he taught, namely Jakarta 105 High School and Karawitan Vocational School Jakarta, he also introduced gambang rancag art to his students through gambang kromong music. According to the Word, the enthusiasm of his students was great for learning the oral tradition music of gambang kromong. The teaching and learning process of Betawi music and songs, of course, must be guided by the school curriculum compiled according to the competence of Betawi music and songs, the method can be by modeling, imitating the model then presenting. Regarding the inheritance of the gambang rancag in the family specifically, Rojali (in a June 22, 2013 interview at his house, Jl. Gandaria Pekayon East Jakarta) said that he taught his children and grandchildren — those who are now proficient in thinking — the way to play gambang rancag is a modeling system and apprenticeship. His children and grandchildren are invited to see the process of Rojali training with his group if they will perform. Furthermore, Rojali gave his grandchildren the opportunity to play in the exercises and performances starting from accompanying them first, then after being able to be competent, they were finally given the opportunity to replace their positions in playing or managing. Furthermore, regarding the inheritance model through training, Dodo Sukarda (in an interview on Friday, June 27, 2014, at Pondok Kelapa BLK, East Jakarta) said that "BLK acts as a training center tasked with conducting arts training and evaluating arts training, as well as providing art training facilities. "The purpose and objective of the gambang rancag training in 2013 was to foster the interest of the younger generation in Betawi traditional arts in the form of gambang rancag. This is so that the art of gambang rancag can survive, grow and develop in accordance with the expectations of the art world and its supporting communities. Including so that the art of gambang rancag again gets a place in the hearts of heterogeneous people of Jakarta. In gambang rancag inheritance is the process of giving knowledge or transfer of knowledge (transfer knowledge) about gambang rancag which includes gambang kromong music and especially recitation, both to the immediate family especially and to the Betawi community in general. This inheritance can be through the family, it can also be through training by government-owned training institutions. Family

284

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

inheritance is done by teaching or giving modeling in the nuclear family environment. Meanwhile, inheritance through training is described as a form of community empowerment through gambang rancag training conducted by means of training through modeling at the Institute of Arts Training Center (BLK), East Jakarta

5. Conclusions

From the basis of the analysis carried out on the Rancag of Pitung and Si Angkri, it was concluded as follows. The first is the structure of the oral tradition of gambang rancag the Pitung and the Angkri, both through the structure of the plot scheme, themes and figures, and formulas. It is shown that the element of memory for the scaffolding is very important in creating texts, through the memory of all Betawi life and culture, The function of the story is shown by the function of affirmation as a form of attaching Betawi cultural values in both stories that the gambang rancag as speech literature has an egalitarian function, it appears from the storytelling of the story in the hilarious style of the two models, the restoration function shows the heroic spirit of the Pitung story In order to remember the character of Robinhood that was once owned by the Betawi of the past, the function of negation is binary opposition between hero figures in Betawi, there are colonial heroes who protect the public from pressure from landlords and colonialists, while other hero figures are vandals who do not give security for his native people. While the inheritance system in the gambang rancag community in Pekayon, namely Sanggar Jali Jalut, carried out a traditional inheritance system by modeling, which began from observing the model, modeled on the model of the model, and demonstrated the model of planning, both through formal and informal.

Acknowledgments

This article is part of the grant research of the DKTI "Development of a Characteristic Model of Cultural Settlements through Local Wisdom Values Based on Creative Industries" Year II 2018. Thank you to PD Dikti for funding this research. Including the Committee of the XXVIII International Conference on Literacy (KIK) which has reviewed and provided an opportunity for the author to be presented on July 12 and included in the Proceedings of the International Literature "Literature as a Source of Wisdom", July 11-13 2019 at Syiah Kuala University, Banda Aceh Indonesia.

References

Abrams, M.H. (1976). The mirror and the lamp: Romantic theory and the ctritikal tradition. London: Oxford University Press. Albert B. L. (2000). The Singers of Tales. Cambridge: Harvard University Press. Attas, S. G. (2013). Restorasi kultural terhadap cerita rakyat mengenang si Pitung sebagai kearifan lokal Betawi. Seminar Foklor Asia. Yogyakarta: Panitia Kongres Internasional Folklor Asia III. Budiaman dkk. (1979). Foklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. Castle, L. (1967). The etnnic profile of Jakarta, Indonesia (volume III, April). Ithaca-New-York: Cornel Chaer, A. (2009). Kamus dialek Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Chaer, A. (2012). Folklor Betawi: Kebudayaan dan kehidupan orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta.

285

Siti Gomo Attas, Gres Grasia Azmin & Marwiah

Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Gajali. (2016). Struktur, Fungsi, dan Nilai Nyanyian Rakyat Kaili. Jurnal Litera, 15(1), 189- 199. Heuken, S. J. (2000). Historical sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Hutomo, S. S. (1991). Cerita kentrung sarahwulan di Tuban. Jakarta: P2B. Kiftiawati. (2010). Bertahan dalam teriknya zaman: Sebuah catatan lapangan tentang Nyi Meh, kembang topeng Betawi. Dalam prosiding seminar nasional hasil pengkajian budaya Betawi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Kleden, N. (1987). Teater topeng Betawi sebagai teks dan maknanya: Suatu terapan antropologi. (Dissertation). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Koesasi, B.(1992). Lenong dan si Pitung. (Dissertation). Australia: Centre of Southeast Studies, Australian National University. Koster, G. L. (2008). Roaming through seductive gardens. Leiden: KITLV Press. Kunst, J. (1934). Music in Java: Its history, its theory, its tecnique. The Hague: Martinus Nij hoff. Lord, A. B. (2000). The singer of tales. London: Harvard University Press. Ong, W. J. (1988). Orality and literacy: The technologizing of the word. London: Methuen. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian kebudayaan. Jakarta: Depdiknas. Pudentia & Effedi. (1996, 11 Maret). Sekitar penelitian tradisi lisan.Warta ATL. Ruchiat, R. (1981). Proyek konservasi kesenian tradisional Betawi: Pendekatan sejarahdan latar belakang sosial budaya gambang rancag.Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Ruchiat,et al. (2003). Ikhtisar kesenian Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI Jakarta. Saputra, Y. A. (2009). Profil seni budaya Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Sedyawati, E. (1996, 11 Maret). Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya. WartaAsosiasi Tradisi Lisan. Shahab, Y. Z. (2004). Reproduksi dan revalitas kebudayaan Betawi: Tantangan dan kesempatan dalam era nasionalisasi dan globalisasi. Dalam Festival Seni Budaya Betawi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Minggu 2 Desember 2012, Setu Babakan. Sopandi, A., et al. (1999).Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sweeney, A. (1980). Authors and audiences in traditional Malay literature. Berkley: University of California Press. Teeuw, A. (1994). Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaran. Jakarta: Pustaka Jaya. Till, M. V. (1996). In search of Si Pitung: the history of an Indonesian legend. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 152, No: 3, Leiden, 461-482.

286

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

LOCAL WISDOM VALUES IN DULMULUK ORAL TRADITION OF PALEMBANG: AN ETHNOGRAPHIC STUDY

Margareta Andriani, Zuriyati & Siti Gomo Attas

Department of and Literature, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

DOI: 10.24815/.v1i1.14398

Abstract

Dulmuluk is a traditional theater of South Province which first emerged and was performed in Palembang. This oral tradition has been performed with distinctive music, pantoum, songs, and jokes that can entertain the audience. Dulmuluk show does not merely function to entertain, but to deliver moral values that can be benefited as this oral tradition is rich of philosophical values for the people of Palembang. Through an ethnographic study, this paper will reveal the values of wisdom in the oral tradition of Dulmuluk. From this study, the writer concluded that the structure of the performance of Dulmuluk contains local wisdom values that reflect the culture of Palembang society.

Keywords: Oral tradition, Dulmuluk, Palembang, ethnography.

1. Introduction

Indonesia is an archipelagic country and is known for its diversity, ethnicity, local languages and culture. This diversity is a characteristic that colors the lives of its people. With this variety, Indonesia becomes a unique country. Indonesia is famous its slogan Bhinneka Tunggal Ika or ‘Unity in Diversity’ which means that although its people have different ethnic, language, and culture, yet they can still live in harmony. Palembang is the capital of the Province. This city has two major areas which are separated by the Musi River but connected by the Ampera Bridge. Palembang is rich in its oral traditions. One of the well-known oral tradition and have long been owned by the people of Palembang is Dulmuluk oral tradition. Dulmuluk is a traditional theater that was born and developed in the community Palembang which is formed from a combination of various elements of the story, dance, song, rhyme, comedy, as well as music. Besides being as entertainment for Palembang people, Dulmuluk also contains local wisdom values as a reflection of the community. This is why Dulmuluk becomes important and should be preserved. Based on the illustration above, studies on the values of local wisdom in Dulmuluk’s oral tradition is very important. One of the similar studies on the values of local wisdom of

25

Margareta Andriani, Zuriyati & Siti Gomo Attas

kinds of literature in South Sumatra was conducted by Ery and Ravico entitled Local Wisdom Values in the Tradition of the Waragong War and the Ringgok-Ringgok of the South Sumatra Komering Tribe (Kurnianto, 2017). Another is Ravico and Mei’s Local Wisdom Values of Lubuk Linggau in the Folklore of “Bujang Ringworm” (Ravico & Mei, 2016). However, these two studies focused more on describing the values of local wisdom in the literary work not the values of local wisdom in the show or the performance of the literary work. The values of local wisdom in the structure of the form of theater performances Dulmuluk of Siti Zubaidah’s story has never been studied by other researchers. For this reason, this paper will discuss the values of local wisdom in the structures of Dulmuluk’s theater performance in Palembang society i.e. pre-performance, performance, and post- performance as well as its benefits and functions to the people of Palembang.

2. Literature Review

2.1 Local Wisdom Values The word ‘value’ come from Latin ‘vale’re’ which means ‘useful’, ‘able to’, or ‘applicable’. Therefore, values are interpreted as something that is considered good, useful and true according to the beliefs of a person or group of people. Values will always be associated with kindness, virtue, and nobility and will be something that is appreciated, upheld and pursued by individuals until they reach a sense of satisfaction in becoming a real human being (Adisusilo, 2012, p. 56). In line with the opinion of Adisusilo, Sartini (2009, p. 30) states that values mean something that concerns both good and bad things. This statement reveals that value is not only related to something good but also related to bad things. For example, a person’s actions and behavior can be assessed and measured from the good side and the bad side as well. Linda and Richard Eyre in (Adisusilo, 2012, p.57) stated that values are standards of actions and attitudes that define who we are, how we live and how we treat others. The values in the attitudes and the behavior can be assessed within the relationships with (1) God, (2) own self, (3) family, (4) the community and the nation, and (5) universe (Adisusilo: 2012, p.55, Edi Setyawati in Suparno). Local Wisdom is a national identity formed from all regions in a country which reflect the characteristics of the people. Local wisdom spread in various regions throughout the country should be considered as one of the values and norms to overcome the various problems faced by the Indonesian people today and in the future. Fajarini (2014, p.123-124) interpreted Local Wisdom as a view of life and science and various life strategies that are reflected in the daily activities of local people in answering various problems in meeting their needs. It means that your wisdom will remain and live in the community if this local wisdom has useful values and can be used as a guideline for the community for the sake of creating a better society.

2.2 Oral Tradition 2.2.1 The concepts of oral tradition Oral tradition contains cultural values or local wisdom in a community where this tradition exists (Irwanto, 2012, p.126). This statement means that all traditions belonging to a particular community certainly cannot be separated from the values of local wisdom where this tradition exists and develops. In line with Irwanto, Sibarani (2012, p.123) states that oral tradition is a traditional cultural activity of a society that is inherited from generation to generation through oral media from one generation to another in the form of verbal or nonverbal tradition.

26

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

Oral traditions of a particular community are not merely spoken in words, but also be confirmed through expressions, gestures, or symbols in order to strengthen the message so it can be easily understood. It can be concluded that oral tradition is a culture belonging to a particular community that contains local wisdom values which are inherited from generation to generation both verbally and nonverbally.

2.2.2 The characteristics of oral tradition Oral traditions certainly have certain characteristics. Emzir and Rohman (2016, p.229) mentioned three types of characteristics of oral traditions. They are pure oral traditions which consist of (1) folk speech (2) saying; (3) questions, 2) Mixed oral traditions which consist of (1) traditional beliefs, folk games; (2) customs; (3) ceremony; (4) folk theater; (5) folk dance; and (6) folk parties. 3) Nonverbal tradition (Danandjaya, 2002, p.21). Based on the characteristics of the oral tradition, the theater of Dulmuluk in the Palembang community belongs to the oral tradition in the form of a mixture of verbal and non-verbal elements.

2.3 Dulmuluk Palembang 2.3.1 The history of Dulmuluk Palembang Dulmuluk is a traditional theater developed in the city of Palembang. The word ‘Dulmuluk’ comes from “Abdoel Moeloek”, which is the name of the main character in the story of Syair (poetry) which is entitled “The Glory of the Malay Kingdom”. Formerly, when the people of Palembang wanted to watch the show that was originally Abdul Muluk poetry readings, they called it “DulMuluk”. Over time, the term “DulMuluk” became popular as the reading of the poetry about the story of Abdul Muluk (Lintani, 2014, p.1). This poem was published in 1847. In the 1854’s, Wan Bakar, an Arab merchant from Palembang who frequently traveled to Malay kingdoms, read the poetry to the crowd Tangga Takat area in Palembang. Along with its development, Dulmuluk did not only tell about Sultan Abdul Muluk but also began to develop the story of Siti Zubaidah (Hanafiah, et al., 2006, p. 106).

2.3.2 The structure of Dulmuluk Theatre The structure of the theatre is the arrangement or order of a theatre performance parts which are closely related and contribute meaning to the theatre, for examples are those in preparation such as stage, theme, fashion, makeup, characterization, music and so on (Dhony,2015, p. 113). The structure of Dulmuluk’s performances is composed of elements ranging from the pre-performance beginning with ritual activities, the performances which consist of opening, story scenes, and closing. Dulmuluk oral tradition has two stories, namely Sultan Abdul Muluk and Siti Zubaidah.

3. Research Method

The method used in the study is the Spradley ethnographic method with observatory participant’s technique which means that the researcher is directly involved in the community and becomes a participant observation as an observer, note-taker, and recorder in various activities. The goal is that the data obtained by researchers will be more accurate without engineering. This is based on ethnographic study main objective according to Bronislaw Malinowski i.e. “to understand the viewpoint of the indigenous people, their relationship with life, to get a hit of their world view”. Therefore, an ethnographer does not only study the community but also becomes a disciple of a society (Spradley, 2007, p.4). In

27

Margareta Andriani, Zuriyati & Siti Gomo Attas

conducting field work, the ethnographer works with informants to obtain data as a source of information (Spradley, 2007, p.39). The ethnographer will then draw conclusions from three sources, namely (1) from what people say, (2) from the way people act, and (3) from various artifacts that people use (Spradley, 2007, p.11). The research was carried out in the city of Palembang. This is because Dulmuluk Theater was originated from Palembang. The data were collected by means of observation, interviews, and documentation. The data of this study are the description of local wisdom values in the structure of Dulmuluk theatre in Palembang society ranging from beginning with ritual activities (opening beremas), the performances which consist of story scenes of Siti Zubaidah, and closing (closing beremas).

4. Results and Discussion

The structure of the Dulmuluk theatre consists of three parts, namely pre-performance, whilst performance, and post-performance. The followings are discussions of local wisdom values in the structure of the performance of Dulmuluk oral tradition in Palembang society (Data are in the form of Dulmuluk theatre recordings entitled Syair Siti Zubaidah performed by Karya Muda Daerah Musi Dua Palembang group on June 24, 2018, at Kertapati, Palembang, and interviews with Informants namely Mr. Jonhar Saat, Mr. Ibnu Rahman, Mr. Kiagus Wahab, Mr. Musa, and Randi).

4.1 Exploring Local Wisdom Values in the Ritual Process The values of local wisdom in this ritual activity can be concluded as follows. 1. Religious values This ritual activity is the activity of praying together. This symbolizes that everything done should always begin with a prayer i.e. asking God for salvation and to be hindered from undesirable things. This reflects that Palembang people still adhere to the values of religion and belief, that there is no force greater than Allah. 2. Trust values When the ritual is performed there will be a burning process of incense. This is believed to summon the spirits of previous Dulmuluk performers. Besides praying, this ritual also intends to request permission from the late performers/ancestors of Dulmuluk and assistance to the performers for better performance. This illustrates that the people of Palembang still believe in superstitions. During the show, there should be turmeric rice with grilled chicken. Previously, along with this kind of dish, there were also opak (a kind of crackers) and lempeng (a type of dessert wrapped in banana leaves). Both are in nine numbers. This symbolizes the numbers of Wali Songo (revered saints in Islam). Another thing in the ritual process is rice and turmeric. The mixture of rice and turmeric is believed and considered by the people of Palembang as a ward off misfortune. The mixture of rice and turmeric is eaten a little by all performers and the rest is spread over to the performers and spectators before and after the Dulmuluk is performed. Scattering this mixture symbolizes that all the evil ones will be kept away or thrown away. 3. Gratitude values Turmeric rice with grilled chicken is considered a blessing for the people of Palembang. The gratitude is expressed by enjoying this kind of dish together. This reflects that Palembang people always ask for blessings from God. Everything that God gives should be thanked of.

28

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

4. Togetherness values The ritual also contains the values of togetherness among the performers of Dulmuluk. This can be seen when the performers are a scramble for the grilled chicken. Some get bigger chickens or vice versa. However, that is not a problem. The performers always keep the togetherness so there will not be any conflicts among them. Negotiation for consensus is used for solving a dispute. This reflects that the people of Palembang practice negotiation for consensus to maintain and create togetherness.

Figure 1.The ritual.

4.2 Exploring the Values of Local Wisdom in Opening Beremas After the pre-performance, the theatre proceeds to the scenes of the story. The performance begins with an opening Beremas. Beremas means preparing and packing. Beremas in the opening in the form of greetings to the host who holds a celebration and to the audience. This opening Bermas is also intended to tell the audience that the show will begin soon. In this part, the performers will come out on stage while singing and dancing. They sing the poems or pantoum, usually, the song is as the following.

Tabiklah Encik tabiklah Tuan Satu, dua, tiga, dan empat Tabiklah kepada laki-laki dan perempuan Anaklah tiung dapat menari Kami bermain berkawan-kawan Wahai penonton segera cepat Salah dan khilaf mohon dimaafkan Pentas Dulmuluk akan dimulai (Pak Jonhar’s version in Syair Siti Zubaidah).

Tabiklah Encik tabiklah Tuan 1,2,3, dan empat... Tabik laki-laki dan perempuan Anaklah tiung pandai melompat Kami bermain berkawan-kawan Para penonton segera cepat Zubaidah Siti kami pentaskan Kalau terlambat tidak mendapat (kemudian diulang lagi oleh tempat pemain Dulmuluk yang lain) (kemudian diulang lagi oleh pemain Dulmuluk yang lain)

Apabila salah jika kemunculan kami Punya Tabiklah Encik tabiklah Tuan permainan Tabiklah kepada laki-laki dan perempuan Mohon dimaafkan Kami bermain berkawan-kawan Salah dan khilaf mohon dimaafkan

29

Margareta Andriani, Zuriyati & Siti Gomo Attas

Kami hanya manusia biasa tidak luput dari kata salah dan khilaf ataupun kejanggalan

After the opening beremas, the performers saluted the audience once again by bowing and crossing their arms over their stomach. They all then return to the backstage waiting for their turn. Essentially, the opening beremas is more of greetings or a symbol that Dulmuluk will be performed soon and a tribute to the host and audience. However behind these symbols surely there are values to be conveyed. The local wisdom values in this opening Beremas are as follows. 1. Values of appreciation These values are reflected in the greetings during the opening Beremas that before starting an activity people should give a salutation to the host and to the audience. This greeting is intended to pray for the host to always be healthy and prosperous. This reflects the Palembang people who respect others. 2. Values of humility This value of humility is reflected in the gratitude of Dulmuluk performers to the host and to the audience. It can be seen from the way how the performers bow with crossed when giving a salutation. This attitude shows that people should not need to be arrogant. By showing a polite attitude and not showing an arrogant attitude towards others, people will feel happy toward us.

Figure 2. Beremas.

4.3 Exploring the Values of Local Wisdom in the Lyrics of Siti Zubaidah Story Scenes Values of local wisdom which are reflected in the lyrics are summarized as follows. 1. Values of determination The values of determination must be instilled in one’s own self. With a strong belief, one can distinguish between the good and the bad. This story is about Abidin Syah who was a husband that really loved his wife, Siti Zubaidah. Although Siti Zubaidah was ousted by King Abidin Syah’s parents), but with his determination, he still loved his wife. This reflects the values of a husband’s determination in loving a wife. 2. Values of respect The value of mutual respect among religious fellows must be instilled in every religious community. We must not discriminate one religion against another. People must live in harmony so that peace can be achieved in religious communities. This reflects the values of mutual respect among religious fellows.

30

Proceedings of the 28th International Conference on Literature: “Literature as a Source of Wisdom”, July 11-13, 2019, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia ISBN: 978-623-7086-21-5

3. Religious values Religious values must be acknowledged by people. Religion is the guidance of every community. Without religion, people have no direction in life. Therefore, religion is important for all humans living on this earth. The religious values are reflected in the story i.e. Siti Zubaidah was so diligent in studying the Koran. Besides being religious, Siti Zubaidah also has good manners. 4. Values against arrogance Every guilty person will surely get punishment and the right one will surely reap the rewards. The act of the King ousting Abidin Syah’s wife, Siti Zubaidah since she was not dressed in luxury and since her father was only a teacher, was a mistake. In any religion, the distinction between rich and poor is a despicable act. God does not like arrogant humans and arrogant deeds will surely get wrath from Allah. 5. Values of humility The values of humility are very noble. Humble people are those who are not arrogant. Even though she was ousted by the King and his wife, Siti Zubaidah never took revenge for all of these actions. 6. Values of trustworthiness The values of trustworthiness are indispensable in establishing a relationship. If someone has the value of loyalty, then he/she has strong beliefs, strengths, and inner bonds. With loyalty, love will grow. Like the values of a wife’s loyalty to her husband and husband to his wife. The story scenes illustrated how high the value of trustworthiness is.

4.4 Exploring the Local Wisdom Values in the Closing Beremas Dulmuluk theatre is ended with a post-performance which is marked by a closing Beremas. Closing Beremas is not much different from the opening Beremas. Closing Beremas is the notification to the audience and the host that the performance is reaching its end. All performers and crew of Dulmuluk come out to the stage while singing songs and dancing. In the closing Beremas, the performers apologize for any mistakes during the performance. They also say farewell. This reflects that the people of Palembang always want to keep polite and respectful manners towards others.

5. Conclusions

Based on the results of research, observations, and interviews in the field, it turns out that Dulmuluk’s oral tradition has local wisdom values. It turns out that there are a lot of wisdom values that can be explored in each of its elements. Good values in attitude and behavior towards God, own self, with family, and towards the community. Local wisdom values are useful to control the relationships of people within the community. The implementation of the values of local wisdom functions to organize social life. It is important to use this kind of values. These values are passed on to address various problems. In line with this is the statement of Didipu and Salam (in Indrawati, 2016, p.182) that stated that local wisdom can reflect the old people’s lives that can be imitated by the present community in the area and can be used as the basis for forming the character of the nation. This means that the values of local wisdom in an oral tradition can also be implemented in forming the character of a nation.

31

Margareta Andriani, Zuriyati & Siti Gomo Attas

References

Adisusilo, S. (2012). Pembelajaran nilai-karakter kontruktivisme dan VCT sebagai inovasi pendekatan pembelajaran afektif [The learning of constructivism and VCT character values as an innovative affective learning approach]. Jakarta: Rajawali Pers. Dhony, N. N. A. (2015). Struktur pertunjukan teater Dulmuluk dalam lakon Abdulmuluk Jauhari di Palembang [The structures of Dulmuluk Theatre]. Jurnal Seni dan Budaya, 13- 2. Emzir, & Rohman, S. (2016). Teori dan pengajaran sastra [Theories and the teaching of literature] Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Fajarini, U. (2014). Peranan kearifan lokal dalam pendidikan karakter [The roles of local wisdom in character education]. Jurnal Sosio Didaktik, 1-12. Hanafiah, et al. (2006). Direktori kesenian Sumatera Selatan [Art directory of South Sumatera]. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan. Indrawati, S. (2016). Nilai-nilai kearifan dalam sastra lisan Lematang: Sebuah kajian untuk pendidikan karakter [Wisdom values in Lematang oral tradition for character education]. The Proceedings of Language and Literature Seminar of Balai Bahasa Sumatera Selatan. Irwanto, D. (2012). Kendala dan alternatif penggunaan tradisi lisan dalam penulisan sejarah lokal di Sumatera Selatan [Constraints and alternatives to the use of oral traditions in local historical writing in Southern Sumatera]. E-Jurnal Forum Sosial, V(02). Kurnianto, A. E. (2017). Nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi lisan Warag-Warah dan Ringgok-Ringgok suku Komering, Sumatera Selatan [Values of local wisdom in oral tradition of Warah and Ringgok-Ringgok of Komering tribe, South Sumatra]. Jurnal Alayasastra, 13(1), 73-82. Lintani, V. (2014). Dulmuluk warisan budaya Indonesia [Dulmuluk: The heritage of Indonesian culture]. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Lintani, V. (2014). Dulmuluk sejarah dan pengadegan [Dulmuluk history and pengadegan]. Palembang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang dan Dewan Kesenian Palembang, Ravico, & Mei, U. (2016). Menggali nilai kearifan lokal masyrakat Lubuk Linggau melalui cerita rakyat “Bujang Kurap” (Exploring the values of the Lubuk Linggau community’s local wisdom through the folklore “Bujang Kurap”). Jurnal Criksetra, 5(10), 139-146. Sartini, N. (2009). Menggali nilai kearifan lokal budaya Jawa lewat ungkapan: Bebasan, Saloka, dan Paribasa (Exploring the value of local wisdom of Javanese Culture through Expressions: Bebasan, Saloka, and Paribasa). Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, V(1). Sibarani, R. (2012). Kearifan lokal, hakikat, peran, dan metode tradisi lisan (Local wisdom, roles and methods of oral tradition). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Spradley, J. P. (2007). Metode etnografi (Ethnography method). Yogyakarta: Tiara Wacana.

32

THE ICELS 2019

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

Floor Plan: Parallel Sessions

8th Floor

1

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

Table of Contents

Floor Plan: Parallel Sessions 1

The Conference Committee 3

Morning Session Schedule 5

Parallel Sessions 6

2

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

The Conference Committee

Director:

Prof. Dr. Endry Boeriswati, M.Pd.

Vice Director:

Eva Leiliyanti, M.Hum., Ph.D

Conference manager:

Dr. Miftahulkhairah Anwar, M.Hum.

Otto Fajarianto, M.Kom., MTA.

Fernandes Arung, M.Pd.

Venus Khasanah, M.Pd.

Reviewers:

Prof. A. Rasyid Jamian (Universiti Putra Malaysia)

Assoc. Prof. Dr. Yusri Kamin (Universiti Teknologi Malaysia)

Dr. Zaliza Mohamad Nasir (Universiti Teknologi Malaysia)

Dr. Razie Alishvandi (University of Arak, Iran)

Prof. Nancy K. Florida (University of Michigan)

Assoc. Prof. Salah Mohammed Salih, Ph.D (Koya University, Iraq)

Dr.Mohammad Ali Nasrollahi (Technical and Vocational University, Iran)

Dr. Justin L. Wejak (The University of Melbourne, Australia)

Editor in Chief:

Usep Suhud, Ph.D

Payment issue:

M. Nur Hakim, M.Pd.

Marlina Bakri, M.Pd.

Budiarto, M.Hum.

3

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

LoA:

Syarfuni, M.Pd. Fatmawati, M.Pd

Rika Ningsih, M.Pd Siswana, M.Pd.

Rhani Febria, M.Pd. Jumadil, M.Pd.

Secretariat:

Maulizan Z.A, M.Pd. Efrianto, M.Pd.

Ria Saraswati, M.Hum. Ni Wayan Ayu Permata Sari, M.Pd.

Imamah, M.Pd. Hilma Safitri, M.Hum.

Mira Ermita, M.Pd Sri Kusuma Winahyu, M.Hum

Andestend, M.Pd

Head of Committee:

Prof. Dr. Endry Boeriswati, M.Pd.

Vice:

Eva Leiliyanti, M.Hum., Ph.D

Secretary:

Dr. Ninuk Lustyantie, M.Pd.

Vera Yulianti, M.A

Treasurer:

Dr. Fathiaty Murtadho, M.Pd.

Graphic Designer:

Bima Dewanto S.

4

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

Morning Session Schedule 8:15 – 12:00

NO TIME VENUE SESSION SPEAKER 08.15- 1 Registration 08.50 OPENING CEREMONY 2 08.50-09.00 Singing Indonesian National Anthem 09.00-09.10 Video Presentation: ICELS 2019 Opening Speech: Acting Prof. Intan Ahmad, Ph.D 3 09.10-09.30 Rector of (Acting Rector of Universitas Universitas Negeri Jakarta) Negeri Jakarta Opening Prof. Dr. Ismunandar and (Directorate Generale of Keynote Learning and Student Afairs, 4 09.30-09.50 Speech Ministry of Research, ICLES 2019 Technology and Higher Postgraduate Education) Building, 1. Prof. Intan Ahmad, Ph.D Bung Hatta (Acting Rector of Hall, 2nd Universitas Negeri Jakarta) Keynote Floor, UNJ 2. Prof. Dr. Ilza Mayuni, M.A. 6 09.50-10.40 Speech (Acting Director of Session Postgraduate School, Universitas Negeri Jakarta) Moderator: Usep Suhud, PhD 1. Prof. Dr. Sukree Langputeh (Fatoni University, Thailand) 2. Dr. Mohd Aidil Subhan Bin Mohd Sulor (National Institute of Plenary Education, Nanyang 7. 10.40-12.00 Session Technological University Singapore) 3. Prof. James. T. Collins (University Kebangsaan Malaysia) Moderator: Ati Sumiati, M.Hum 8. 12.00-13.00 Lunch Break

5

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

Afternoon Session 13:00 – 17:00 PARALLEL SESSIONS

A. Language and Literature Teaching 6 sessions B. Linguistics and Applied Linguistics 5 sessions C. Art, Literature, and Society 7 sessions D. Science and Technology in Education 2 sessions

PARALEL SESSIONS 8th Floor 8th Floor 8th Floor 8th Floor 8th Floor Time Session Room 801 Room 802 Room 803 Room 804 Room 805 A1. A2. A3. A4. A5. Language Language Language Language Language 13.00- Parallel and and and and and 14.00 Session 1 Literature Literature Literature Literature Literature Teaching Teaching Teaching Teaching Teaching

. A6 B1. B2. B3. B4. Language Linguistics Linguistics Linguistics Linguistics 14.00- Parallel and and Applied and Applied and Applied and Applied 15.00 Session 2 Literature Linguistics Linguistics Linguistics Linguistics Teaching B5. C1. C2. C3. C4 Linguistics Art, Art, Art, Art, 15.00- Parallel and Applied Literature, Literature, Literature, Literature, 16.00 Session 3 Linguistics and Society and Society and Society and Society.

C5 C6 C7 D1. D2. Art, Art, Art, Science and Science and 16.00- Parallel Literature, Literature, Literature, Technology Technology 17.00 Session 4 and Society and Society and Society in in Education Education

6

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

No PRESENTER TITLE Parallel Session 1, 13.00-14.00 A1. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 801 Moderator: Imamah, M.Pd; Note taker: Salsabila, M.Pd 1 Merri Silvia Basri, Zainal Rafli, The Effect of Motivation, Concentration and Fathiaty Murtadho Vocabulary Mastery on Students’ Listening Skill in Japanese Classroom (Correlational Study of First Year’s Students Majoring in Japanese Language at Riau University) 2 Armilia Sari Developing Teaching Materials of Listening Test Book Based on Palembang Local Cultures 3 Raden Ahmad Barnabas, Implementation of Cognitive Strategy Zainal Rafli, Yumna Rasyid in Arabic Listening Class 4 Fridolini, Alia Afiyati Factors Influencing The Pronunciation of Adult Speakers of A Foreign Language 5 Cut Erra Rismorlita, Emzir, Creating Linguistic Environment in Japanese Yumna Rasyid Speaking Classroom 6 Budiarto, Yumna Rasyid, Combined Techniques for Increasing English Ninuk Lustyantie Speaking Skill through Think-pair-share and Role- Play

No PRESENTER TITLE Parallel Session 1, 13.00-14.00 A2. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 802 Moderator: Erna Megawati, M.Pd; Note taker: Ajeng Tina Mulyana, M.Pd 1 Indah Nurmahanani, Munir, Sociocognitif Model to Improve the Early Reading Yeti Mulyati, Andoyo of Elementary School Students Sastromiharjo 2 Zulfitriyani, Meli Afrodita Reading and Analyzing Short Stories as Appreciation of Language and Literature in Humanizing Students in Understanding Cultural Diversity 3 Tustiana Windiyani, Endry Improve Indonesian Language Writing Skills using Boerieswati, Mohamad Syarif Educational Multimedia Games for Elementary Sumantri School Students 4 Erdhita Oktrifianty, Endry The Effect of Self Regulation on Narrative Writing Boeriswati, Zulela Skill 5 Helvy Tiana Rosa The Creative Process in Writing Short Stories of Indonesian Female Domestic Workers 6 Indriani Nisja, Lira Hayu Afdetis Learning Text Writing Reports of Observation Mana, Titiek Fujita Yusandra, Results Using Web-Based Student Teams Sefna Rismen Achievement Division (Stad) Model

7

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

No PRESENTER TITLE Parallel session 1, 13.00-14.00 A3. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 803 Moderator: Mira Ermita, M.Pd; Note taker: Sri Kusuma Winahyu, M.Pd 1 Didik Hariyadi Raharjo, Ilza A Need Analysis on English Teaching Materials for Mayuni, Emzir Secretarial Students 2 Maria Botifar Descriptive Syllabus Analysis and Local Teaching Materials of : Reflective Efforts Against Retention of Local Language 3 Wisma Yunita, Emzir, Ilza A Need Analysis for a Grammar Learning Model: Mayuni The Teacher Current Practices and Expectations 4 Ines Nur Irawan, Eva A Need Analysis of Language Learning Model Nurrohmah, Ninuk Lustyantie Based on Multimedia Intelligent Mobile Learning Tool (I-Mol) on Bahasa Indonesia Speaking Skill of Special Needs Children at SLB Dian Kahuripan 5 Herlina Usman, Ika Lestari, Research by Design Based on Direct Method in Riska Chairunisa Elementary School Students 6 Ninuk Lustyantie, Evi Rosyani French Teaching-Learning Interaction as a Foreign Dewi, Fathurrahman Nur Isnan, Language in 4.0 Industry Era Annisa Noviera Intan

No PRESENTER TITLE Parallel session 1, 13.00-14.00 A4. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 804 Moderator: Noni Agustina, M.Pd; Note taker: Tri Astuti, M.Pd 1 Inayatul Ummah, Endry Specific Performance Ability of Elementary Boeriswati, Dede Rahmat School Teacher Hidayat 2 Firman Parlindungan Arts and the Negotiation of Religious Identity in an American Islamic School 3 Asnawi, Sri Wahyuni, Oki Development of Pictorial Anecdotal Text Rasdana Materials as an Alternative Language Learning 4 Wiyatmi Ecofeminism Pedagogy and its Implementation in Literature Learning 5 Silvia Marni, Muhammad Aliman, Minangkabau Proverb: Stimulating High School Emil Septia, Ninit Alfianika Students’ Critical Thinking and Spatial Thinking 6 Mohamad Zaelani, Zuriyati, The Teachings of Sufism in the Suluk Pesisiran Saifur Rohman

8

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTER TITLE Parallel session 1, 13.00-14.00 A5. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 805 Moderator : Halimah, M.Pd; Note taker :Prima Dwi Yuliani, M.Pd 1 Ninit Alfianika, Dadang Sunendar, Writing Scientific Work For Indonesia Language Andoyo Sastromiharjo, Vismaia S and Literature Education Study Program Damaianti Students at University 2 Chakam Failasuf, Yumna Rasyid, Enhancement of Translating Arabic Text to Emzir Indonesian through Collaborative Learning Approach (Action Research in the Department of Arabic Language Education, Faculty of Language and Art, Jakarta State University) 3 Syamsi Setiadi, Silvi Lamsirani Character Building of Integrity in Arabic Language Instruction at Islamic Senior High School 4 Yumna Rasyid, Puti Zulharby Developing Syllabus of Arabic Receptive Skill Based on Scientific Learning 5 Astri Widyaruli Anggraeni, Ecky Communication Strategies Employed by Lutfikayanti Teachers of Students with Autism 6 Hilma Safitri, Zainal Rafli, Ratna Developing Students’ Speaking Skills Through Dewanti Task-Based Learning at English Department of Pamulang University

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 2, 14.00-1.00 A6. Language and Literature Teaching 8th Floor Room 801 Moderator: Imamah, M.Pd; Note taker: Salsabila, M.Pd 1 Ifan Iskandar, Ratna Dewanti Embedding Digital Literacy in English Education Study Programme Syllabuses through Authentic Academic Digital Practices 2 Ventje Jany Kalukar, Syamdianita, The Effect of Task-Based Reading Activity on Rohmad Kurniawan Vocabulary Achievement of the Second Grade Learners at Smpn 24 Samarinda 3 Sri Sulastini, Endry Boeriswati, Ilza Instructional Alignment in Indonesian EFL Mayuni Textbooks for Secondary School Students: A Content Analysis 4 Imamah, Endry Boeriswati, Saifur Syllabus Design of Madura Language as a Rohman Local Content Curriculum in Elementary School (Analysis Descriptive) 5 Fathiaty Murtadho, , Endry Implementation of Intellectual and Practical Boeriswati, Asep Supriyatna, Skills in Scientific Writing Miftahulkhaerah Anwar, Reni Nur Eriyani 6 M. Nur Hakim, Zuriyati, Saifur Increasing Students’Story Telling Skill Rohman through Hand Puppets Media in Elementary School

9

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTER TITLE Parallel session 2, 14.00-15.00 B1. Linguistics and Applied Linguistics 8th Floor Room 802 Moderator: Erna Megawati, M.Pd; Note taker: Ajeng Tina Mulyana, M.Pd 1 Syarifudin Yunus, Maguna The Taking Turning Strategy Used by Jokowi and Eliastuti Prabowo in the 2019 Presidential Election Debate 2 Hesti Raisa Rahardi, Lia Maulia Jokowi and Prabowo’s Image in Online News Indrayani, Ypsi Soeria Soemantri Articles: A Critical Discourse Analysis 3 Benedictus Sudiyana, Emzir, Emotional Language by Candidates of Sabarti Akhadiah Presidents in Online News Text in Indonesia: Appraisal Analysis in the Protagonism Perspective 4 Salliyanti, Hariadi Susilo Study on Semantics in the Headlines of Waspada Newspaper, Medan North Sumatera 5 Miftahulkhairah Anwar, Fachrur Language Game Perspective in Understanding Razi Amir the Hate Speech on Facebook 6 Ni Wayan Ayu Permata Sari, Quantity Maxim in the Speech Acts of the Zuriyati, Yumna Rasyid Integrated Police Service Center in Depok Police Station (Ethnographic Study)

NO PRESENTER TITLE Parallel session 2, 14.00-15.00 B2. Linguistics and Applied Linguistics 8th Floor Room 803 Moderator: Mira Ermita, M.Pd; Note taker: Sri Kusuma Winahyu, M.Pd 1 Agus Saripudin, Mulyadi Eko Syntactic Deviations in the Novels Published in Purnomo, Didi Suhendi, Suhardi 2000s Mukmin 2 Kusen, Zainal Rafli, Emzir Strategies of Rhetoric in the Qur'an: Qur'an Translation Contents Analysis 3 Yusi Asnidar, Ninuk Lustyantie, Metaphor Translation From the French Novel Emzir Vingt-Mille Lieues Sous Les Mers of Jules Verne into Indonesian 4 Ade Ismail, Ninuk Lustyantie, Students’ Strategies in Translating English Text Emzir into Bahasa Indonesia 5 Eli Ningsih, Emzir, Rahayu S. Dynamic Equivalance in Manga (Japanese Hidayat Comics):Translation into Indonesian from the Cultural Context 6 Ria Saraswati, Zuriyati, Ratna Foreignization or Domestication: The Ideology Dewanti of Translating Balinese Cultural Words in the Novel Sukreni Gadis Bali Translated into English

10

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTER TITLE Parallel session 2, 14.00-15.00 B3. Linguistics and Applied Linguistics 8th Floor Room 804 Moderator: Noni Agustina, M.Pd; Note taker: Tri Astuti, M.Pd 1 Atikah Solihah, Yumna Rasyid, Combined Affixed Vocabulary in the Text Book Siti Gommo Attas of Indonesian Languange in Junior High School 2 Aceng Rahmat Model of Arabic Syntax Teaching Materials with Etnolinguistics Approaches and Online Games Based 3 Ari Khairurrijal Fahmi, Puti 8 Year Old Arabic Grammatical Acquisition (A Zulharby Longitudinal Study Using MLU’s Method) 4 Elsa Maulita Siahaan, Rosaria The Lexical Cohesive Devices in the Conceptual Mita Amalia, Elvi Ctraresmana, Meaning of ‘Hero’ on The Third Grade Cahaya Eko Wahyu Koeshandoyo, Lia Bangsa Classical School Students’ Descriptive Maulia Indrayani, Ypsi Soeria Writing: A Pragmatic Discourse Analysis Soemantri, Sutiono Mahdi 5 Siti Salamah, Fathiaty Argumentation Strategies of the Early Childhood Murtadho, Emzir Language in the Gender Perspective 6 Andestend Acquisition of Indonesian Language Vocabulary Child of 2.5 Years

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 2, 14.00-15.00 B4. Linguistics and Applied Linguistics 8th Floor Room 805 Moderator : Halimah, M.Pd; Note taker :Prima Dwi Yuliani, M.Pd 1 Akhmad Marhadi, La Ino, Survive the Lexicon Medicinal Plants of ,Maliudin Culambacu Language 2 Noke Dwi Ardiansah The Roles of Pragmatic Competence in Facing Simanjuntak the Challenge of Industrial Revolution 4.0 3 Desy Riana Pratiwi, Lia Maulia Myth Analysis of Makeover Brand Indrayani, Ypsi Soeria Advertisement : A Semiotic Study Soemantri, Sutiono Mahdi 4 Rika Ningsih, Endry Boeriswati, Language Politeness: Pragmatic-Sociocultural Liliana Muliastuti Perspective 5 Sintowati Rini Utami, Emzir, Dimensions of Language and Grammar Ninuk Lustyantie Components in Text Books 6 Fatmawati, Endry Boeriswati, Why Grice's Cooperation Principle Violated? - Zuriyati An Indonesian Sociocultural Context

11

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 3, 15.00-16.00 B5. Linguistics and Applied Linguistics 8th Floor Room 801 Moderator: Imamah, M.Pd; Note taker: Salsabila, M.Pd 1 Andayani, Makruf Akbar, Evaluation of the Implementation of Class- Robinson Situmorang based Strengthening Chacarcter Education Program Using CIPP Model in Elementary School 2 Dairi Sapta Rindu Simanjuntak, The Understanding of Urug Gedang Village Dwi Widayati, Tengku Silvana Community Toward ‘Kayu’ Lexicon of Pakpak Sinar Dairi Language 3 Unpris Yastanti, Emzir, Aceng Translation Strategies in Harry Potter and the Rahmat Cursed Child Novel 4 Hesti Nurhidayati, Hanna, Lely The Prediction of Extinction at Suhartini Punggaluku Village, Laeya Sub District, South Konawe Regency 5 Sheira Ayu Indrayani, Aceng Language Usage in the Comments Section of Ruhendi Saifullah, Dadang Sexual Harassment News Sudana 6 Endry Boeriswati, Fathiaty Syntactic Disorder in Children with Intellectual Murtadho, Silfia Rahman Disability

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 3, 15.00-16.00 C1. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 802 Moderator: Erna Megawati, M.Pd; Note taker: Ajeng Tina Mulyana, M.Pd 1 Zuriyati Metaphors In Mutanabbi’s Poetry as a Description of the Ecological Community of the Arabic 2 Ikin Syamsudin Adeani, R. Bunga Criticism Pragmatic of Lingkar Tanah Lingkar Air Febriani a Novel by Ahmad Tohari 3 Trie Utari Dewi, Rr.Sulistywati Study of Religious Aspect in Ghulam Hicays: Hermeneutic Perspective 4 Wahid Khoirul Ikhwan Form of Power and Sexuality in the “Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur!” Novel by Muhidin M Dahlan 5 Prawidi Wisnu Subroto, The Teachers’ Professional Development Burhanuddin Tola, A. Suhaenah Program: A Descriptive Quantitative with an Suparno Importance-Performance Analysis 6 Irfan Rifai Thinking within, beyond, and about texts through drama: A case of a Reluctant and an enthusiastic readers

12

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 3, 15.00-16.00 C2. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 804 Moderator: Mira Ermita, M.Pd; Note taker: Sri Kusuma Winahyu, M.Pd 1 Heru S.P. Saputra, Titik Using Ethnic Literature: the Existence of Locality Maslikatin, Edy Hariyadi Values of Literature in Eastern Tip of Java in the Context of Industrial Revolution Era 2 Prita Setya Maharani, Tommy Seren Taun: Between The Cultural Strategies Christomy And Hegemony- Case Study of Kampung Urug, Bogor, West Java 3 Asri Sundari A Classic Texts in Tembang Macapat. A Legacy, Identity, Social Control, Radicalism, Corruption In Social Community 4 Dewi Hartanti, Myrnawati Crie, Character of Children Ages 7-8 Years in Silat Elindra Yetti Betawi Beksi Game 5 Ida Basaria, Namsyah Hot Goar Sihadakdanahon in the Ethnic of Batak Hasibuan, Parlindungan Purba Mandailing 6 Hariadi Susilo, S. Salliyanti, Asni Implementation of Traditional Games as the Barus Representation of Character Building

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 3, 15.00-16.00 C3. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 804 Moderator: Noni Agustina, M.Pd; Note taker: Tri Astuti, M.Pd 1 Gaudensia Diana Kurnia The Effect of Organizational Culture, Fitriyani, Bedjo Sujanto, Matin Personality, and Work Motivation on the Performance of Soldiers in Dinas Pembinaan Mental TNI AD ( The Army Mental Development Service of the Indonesian National Armed Forces) in 2019 2 Rahayu Pristiwati, Rustono, Meaning Variations in Metaphorical Expression Dyah Prabaningrum of Oral Literature on Tegalan Javanese Ethnicity 3 Fachrur Razi Amir, Berliana Communication Skills of Educational Leader: An Kartakusumah, Miftahulkhairah Islamic Educational Leadership Perspective Anwar 4 Leriwarti Sutarna The Relationship among the Leadership Style, Supervision, Self-Regulation Against the Ability of Teachers to Teach Indonesian Language Grade 1 Primary School Students at District Area in Cirebon 5 Thera Widyastuti Marginality in Novel Tempurung by Oka Rusmini 6 Novi Anoegrajekti, Sudartomo Banyuwangi Festival, Oral, Ritual and Culinary Macaryus, Latifatul Izzah, Tradition Art: Revitalization and Muhammad Zamroni, Bambang Commodification of Locality-Based Culture Aris Kartika

13

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 3, 15.00-16.00 C4. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 805 Moderator : Halimah, M.Pd; Note taker :Prima Dwi Yuliani, M.Pd 1 Rahmat Taufik Rangkuti, Protest Against Misogyny Portrayed in Meena Tommy Christomy Kandasamy’s When I Hit You: Or, a Portrait of the Writer as a Young Wife (2017) 2 Greta Kharisma Ardiyanti, Mythology and Mental Imagery: The Myth in Tommy Christomy Sultan Ngarum Manuscript and Analysis of Plot and Characters 3 Nurhayati Harahap, Siti Norma Kuling-Kuling Anca as Traditional Games in Nasution Angkola Mandailing Ethnic Based on Local Wisdom to Sharpen Intelligence 4 Nazaruddin, Emzir, Yumna Women in Novel Setegar Ebony Works Asih Rasyid Karina (Semiotic Structural Study) 5 Ade Ahmad Kosasih, Bedjo The Effectiveness of in-On Service Training in Sujanto, Wibowo Improving Teacher Competency in Banten Province 6 Yose Fajar Pratama, Evaluation of Teaching Pedagogy Material Muhammad Giatman, Nurhasan Program PPG SM-3T in Civil Engineering Syah, Rusnardi Rahmat Putra Education Department Study Case: Padang State University

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 4, 16.00-17.00 C5. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 801 Moderator: Imamah, M.Pd; Note taker: Salsabila, M.Pd 1 Aji Septiaji, Zuriyati, Aceng Women’s Experiences in Kompas Selected Short Rahmat Stories: Transformative Ecofeminism Review 2 Refni Yulia, Zulfa, Kaksim, Desa Sioban Tato Tradition Policy in Hendra Naldi Preservation in Mentawai 3 Henita Rahmayanti, Gaudensia Environmental Leadership Models, Cultural Diana Kurnia Fitriyani, Diana Values, and Work Motivation on Vivanti Sigit Environmentally Friendly Community Performance in Kebon Manggis Village, Matraman East Jakarta, 2019 4 Agus Joko Susanto, Amos The Influence of Behavior, Personality, and Neolaka, Hafid Abbas Cultural Values on Green Hospital Performance Model 5 Andri Wicaksono, Emzir, Zainal History of Indonesia's War Independence in Rafli Novel Larasati by Pramoedya Ananta Toer: New Historicism Approach 6 Sunyoto, Robinson Situmorang, The Combination of Instructional Models in a Etin Sulihati Model of Technical Guidance Training of the Auditor's Energy in Cement Industry

14

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 4, 1h6.00-17.00 C6. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 802 Moderator: Erna Megawati, M.Pd; Note taker: Ajeng Tina Mulyana, M.Pd 1 Muhammad Giatman, Syaiful Evaluation on Teacher Professional Programs of Haq, Azwar Inra, Nurhasan Syah Indonesia’s Underdeveloped Region (PPG SM- 3T) for The Building Engineering Education Study Program (PTB) Universitas Negeri Padang 2 Muhammad Abdullah, Moh. Esoteric Aspect of Traditionnal Oral Mocoan Muzakka, Nur Fauzan Ahmad Lontar Yusup in Java Coastal Community (Mocoan Case Lontar Yusup, Desa Using, Banyuwangi) 3 Isah Cahyani, Vismaia S. Character Education in the First Grade of Damaianti, Yeti Mulyati Elementary School Textbook With the Theme “Pengalamanku” 4 Lily Yuntina Early Childhood Education Management at the Kindergarten School 5 Margareta Andriani, Zuriyati, Local Wisdom Values in Dulmuluk Oral Tradition Siti Gomo Attas of Palembang: An Ethnographic Study 6 Mari Okatini Armandari, Perception of Indonesian Chinese Peranakan on Neneng Siti Silfi Ambarwati, the Chinese Wedding Tradition in South Anna Prawitasari Tangerang, Banten: A Case Study

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 4, 16.00-17.00 C7. Art, Literature, and Society 8th Floor Room 803 Moderator: Mira Ermita, M.Pd; Note taker: Sri Kusuma Winahyu, M.Pd 1 Yeni Nuraeni, Zulela, Endry The Implementation of Curriculum 2013 in Boeriswati The Industrial Revolution 4.0: A Case Study of Elementary School in Tangerang 2 Budi Tjahjono, Mukhneri Muhtar, The Effect of Transformational Leadership, Thamrin Abdullah Organizational Culture, and Innovation on Lecturers Performance at Esa Unggul University, 2019 3 Umasih Indonesian Politics of Education in Post Independence: A Torn Idealism 4 Hapidin, Nurbiana Dhieni, Sofia Perspective of Marine Culture Literacy: Hartati Learning Transformation about Marine Culture Literacy In Society the Thousand Islands District, Indonesia 5 Fadliah The Influence of Leadership Style, Self Learning and Pedagogical Competence to the Professional Commitment of Kindergarten Teachers in South Jakarta 6 Deddy Sofyan, Endry Boerieswati, The Effect of Teacher Certification on Moch. Asmawi Teaching Ability in Indonesian Language Subjects in Elementary Schools 15

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 4, 16.00-17.00 D1. Science and Technology in Education 8th Floor Room 804 Moderator: Noni Agustina, M.Pd; Note taker: Tri Astuti, M.Pd 1 Elindra Yetti Creative Dance : Can It Improve The Self-Confidence of Early Childhood ? 2 Yoga Pratama, Nurul Fitriani The Use of Adobe Flash as a New Technology in Teaching Essay Writing 3 Ade Tutty Rokhayati Rosa Teaching Factory Model for Productive Teacher Competence in Planning And Installing Digital Audio Systems in the Disruption and Revolution Industry 4.0 Era: A Research And Development 4 Khoe Yao Tung, Alissa Application of Flipperentiated Learning in Biology Class to Improve Cognitive Learning Outcomes, Problem-Solving Skill, and Motivation 5 Makmum Raharjo, Diana Nomida The Role of Graphic Design Elements and Musnir, Suriani Cloud Computing in Designing Online Learning Media Based on Moodle CSM 6 Rhani Febria., Liliana Muliastuti,. Cultural Identity Representation in Short Emzir Story Collection on Media

NO PRESENTERS TITLE Parallel session 4, 16.00-17.00 D2. Science and Technology in Education 8th Floor Room 805 Moderator : Halimah, M.Pd; Note taker :Prima Dwi Yuliani, M.Pd 1 A.R.J. Sengkey The Influence of Critical Thinking and Self Confidence in the Motor Skills of Elementary School Students 3 Dwi Bambang Putut Setiyadi, Digital Media Literacy for Improving Junior Hersulastuti, Ria Sulistiyono, Gito High School Students Ability in Comprehending Reading Text 4 Muhammad Giatman, Sukardi, Development of Mobile-Based Project Based Dedy Irfan, Sarwandi Learning Module for Project Management Courses in Vocational Education 5 Mujiono, Siane Herawati The Effectiveness of E-Learning Based on Self-Directed Learning on Sociolinguistic Competence of EFL University Students Jumadil, Emzir, Ninuk Lustyantie English Language Acquisition as Foreign Language on Coachman in Gilitrawangan Lombok 6 Venus Khasanah Deconstruction of Patrirchal Power to Nature, Environment, and Women in the Dwilogy Novel Bekisar Merah by Ahmad Tohari 16

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NOTES

17

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NOTES

18

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NOTES

19

August 6th, 2019, The ICELS 2019, Universitas Negeri Jakarta

NOTES

20

Jl. Rawamangun Muka Jakarta Timur – 13220 [email protected] The 1st International Conference on Education, Language, and Society 2019 (ICELS)

Letter of Acceptance (LoA)

Ref: ICELS-PRE-132-6-2019

DearMargareta Andriani, Date: 28June2019

Weare pleased to inform you that your abstract entitled Local Wisdom Values in Dulmuluk Oral Tradition of Palembang: An Ethnographic Studyhas been formally accepted forthe1stInternational Conference on Education, Language, and Society 2019 (ICELS)after a peer review by the editorial board. Please note that the conference will be held on 6-7August 2019 at the Aula Latif,Gedung Dewi Sartika, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta Timur, Indonesia.

Congratulation!

Please be reminded to note the following items in order to facilitate your preparation to participate in the1st International Conference on Education, Language, and Society (ICELS). 1. You should make payment of the registration. The payment should be transfered to our virtual account: BTN Cab. Kelapa Gading Square, ICELS 2019, Acc. No: 9 3941 000926319006, Swift code: BTANIDJA. 2. The payment proof and invoice (scanned image or pdf) should state your invoice number + full name when you send them via WA. Example: ICELS-PRE-001-5-2019_fernandesarung. 3. You should upload a full paper before 30May 2019 (early bird) and before 20 July 2019 (regular registration) by your own account at the conference website. 4. All papers will go through a double blind peer review process done by the appointed reveiwers. 5. The selected papers will be published in the Sitepress and Atlantispress for the proceeding(we have the contract) and Scopus or WoS for the journals.

Should you have any question, please let us know by addressing it to [email protected] or WA +6285260528199 (Syarfuni), +6282388531057 (Fatmawati), +6281268958625 (Rika Ningsih). For future correspondence, use your LoA Ref. Number(ex: ICELS-PRE-132-6-2019) as reference. We thank you very much and be seeing you in JakartainAugust6-7, 2019.

Chief editor Director of Operation

Usep Suhud, Ph.D Prof. Dr. Endry Boeriswati, M.Pd.

Jl. Rawamangun Muka Jakarta Timur – 13220 [email protected]

Local Wisdom Values in Dulmuluk Oral Tradition of Palembang: An Ethnographic Study

Margareta Andriani1, Zuriyati2, SitiGomo Attas3. 1,Doctorate Student of Jakarta State University, Indonesia 2,3Post Graduate Program of Jakarta State University, Indonesia *Corresponding author: [email protected]. [email protected], [email protected]

Keywords: oral tradition, Dulmuluk of Palembang, ethnography, poetry reading, local wisdom

Abstract: Dulmuluk is a traditional theater of South Sumatra Province which was first emerged and performed in Palembang. This oral tradition has been performed with distinctive music, pantoum, songs, and jokes that can entertain the audience. Dulmuluk show does not merely function to entertain, but to deliver moral values that can be benefited as this oral tradition is rich of philosophical values for the people of Palembang. Through an ethnographic study, this research revealed the values of wisdom in the oral tradition of Dulmuluk. From this study, the writer concluded that the structure of the Dulmuluk performance contains local wisdom values that reflect the culture of Palembang society.

1 INTRODUCTION particular community certainly cannot be separated from the values of local wisdom where this tradition Indonesia is an archipelagic country and is known exists and develops. for its diversity, ethnicity, local languages and Local Wisdom itself is a national identity formed culture. This diversity is a characteristic that colours from all regions in a country which reflect the the lives of its people. With this variety, Indonesia characteristics of the people. Local wisdom becomes a unique country. Indonesia is famous its spread in various regions throughout the country slogan Bhinneka Tunggal Ika or „Unity in Diversity‟ should be considered as one of the values and norms which means that although its people have different to overcome the various problems faced by the ethnic, language, and culture, yet they can still live Indonesian people today and in the future. Fajarini in harmony. (2014) interpreted Local Wisdom as a view of life Oral tradition is one thing that varies a lot in and science and various life strategies that are Indonesia as every region has its own oral tradition. reflected in daily activities of local people in Oral tradition contains cultural values or local answering various problems in meeting their wisdom in a community where this tradition exists needs. Sartini (2009) states that values mean (Irwanto, 2012). Sibarani (2012: 123) states that oral something that concerns both good and bad tradition is a traditional cultural activity of a society things. This statement reveals that value is not that is inherited from generation to generation only related to something good, but also related through oral media from one generation to another to bad things. For example, a in the form of verbal or nonverbal tradition.This person's actions and behavior can be assessed and statement means that all traditions belonging to a measured from the good side and the bad side as

well.It means that your wisdom will remain and Waragong War and the Ringgok-Ringgok of the live in the community if this local wisdom has useful South Sumatra Komering Tribe (Kurnianto: 2017). values and can be used as a guideline for the Another is Ravico and May Upita Sari‟s Local community for the sake of creating a better society. Wisdom Values of Lubuk Linggau in the Folklore of It can be concluded that oral tradition is "Bujang Ringworm" (Ravico and May Upita Sari, a culture belonging to a particular community that 2016). However, these two studies focused more on contains local wisdom values which are inherited describing the values of local wisdom in the literary from generation to generation both verbally and work not the values of local wisdom in the show or nonverbally the performance of the literary work. Palembang is the capital of the South Sumatra The values of local wisdom in the structure of Province. As one of big cities in Indonesia, the form of theater performances Dulmuluk of Siti Palembang is also rich of its oral traditions. Zubaidah's story has never been studied by other One of the well-known oral tradition and have researchers. For this reason, this paper will discuss long been owned by the people of Palembang is the values of local wisdom in the structures of Dulmuluk oral tradition. Dulmuluk is a traditional Dulmuluk'stheater performance in Palembang theater that was born and developed in the society i.e. pre-performance, performance, and post- community Palembang which is formed from a performance as well as its benefits and functions to combination of various elements of story, dance, the people of Palembang. song, rhyme, comedy, as well as music. The word „Dulmuluk‟ comes from "Abdoel Moeloek", which is the name of a main character in 2 METHODOLOGY the story of Syair (poetry) which is entitled "The Glory of the Malay Kingdom". Formerly, when the The method used in the study is the Spradley people of Palembang wanted to watch the show that ethnographic method with observatory participant‟s was originally Abdul Muluk poetry readings, they technique which means that the researcher is directly called it "DulMuluk". Over time, the term " involved in the community and becomes a DulMuluk" became popular as the reading of the participant observation as an observer, note-taker, poetry about the story of Abdul Muluk (Lintani, and recorder in various activities. The goal is that 2014). the data obtained by researchers will be more This poem was published in 1847. In the 1854's, accurate without engineering. This is based on Wan Bakar, an Arab merchant from Palembang who ethnographic study main objective according to frequently travelled to Malay kingdoms, read the Bronislaw Malinowski i.e. "to understand the poetry to the crowd Tangga Takat area in viewpoint of the indigenous people, their Palembang. Along with its development, Dulmuluk relationship with life, to get a hit of their world did not only tell about Sultan Abdul Muluk, but also view". Therefore, an ethnographer does not only began to develop the story of Siti Zubaidah study the community, but also becomes a disciple of (Hanafiah and friends, 2006).Besides being as an a society (Spradley, 2007: 4). In conducting a field entertainment for Palembang people, Dulmuluk also work, the ethnographer works with informants to contains local wisdom values as a reflection of the obtain data as a source of information (Spradley, community. This is why Dulmuluk becomes 2007: 39). The ethnographer will then draw important and should be preserved. conclusions from three sources, namely (1) from Based on the illustration above, studies on the what people say , (2) from the way people act, and values of local wisdom in Dulmuluk's oral tradition (3) from various artifacts that people use (Spradley, is very important. One of similar studies on the 2007: 11). values of local wisdom of literatures in South The research was carried out in the city of Sumatra was conducted by Ery and Ravico entitled Palembang. This is because Dulmuluk theater was Local Wisdom Values in the Tradition of the originated from Palembang. The data were collected

by means of observation, interviews, and The values of local wisdom in this ritual activity can documentation. The data of this study are the be concluded as follows. description of local wisdom values in the structure of Dulmuluk theatre in Palembang society. The structure of the theatre is the 4.1.1 Religious values arrangement or order of a theatre performance parts which are closely related and contribute meaning to This ritual activity is the activity of praying together. the theatre, for examples are those in preparation This symbolizes that everything done should always such as stage, theme, fashion, makeup, begin with a prayer i.e asking God for a salvation characterization, music and so on (Dhony, 2016). and to be hindered from undesirable things. This The structure of Dulmuluk's performances are reflects that Palembang people still adhere to the composed of elements ranging from pre- values of religion and belief, that there is no force performance beginning with ritual activities, the greater than Allah. performances which consists of opening, story scenes, and closing. Dulmuluk oral tradition has two 4.1.2 Trust Values stories, namely Sultan Abdul Muluk and SitiZubaidah . Then, in analyzing the values of locan When the ritual is performed there will be a burning wisdom, the researchers refer to Linda and Richard process of incense. This is believed to summon the Eyre in (Adisusilo, 2012) that values are standards spirits of previous Dulmuluk performers. Besides of actions and attitudes that define who we are, how praying, this ritual also intends to request permission we live and how we treat others. The values in the from the late performers/ ancestors of Dulmuluk and attitudes and the behavior can be assesed within the assistance to the performers for a better relationships with: (1) God, (2) ownself, (3) family, performance. This illustrates that the people of (4) the community and the nation, and (5) universe Palembang still believe in superstitions. (Adisusilo: 2012). The details are discussed as During the show, there should be turmeric follows. rice with grilled chicken. Previously, along with this kind of dish, there were also opak (a kind of crackers) and lempeng (a type of dessert wrapped in 3 RESULTS banana leaves). Both are in nine numbers. This symbolizes the numbers of Wali Songo (revered The structure of the Dulmuluk theatre consists of saints in Islam). Another thing in the ritual process is three parts, namely pre-performance, whilst rice and turmeric. The mixture of rice and turmeric performance, and post-performance. The followings is believed and considered by the people of are discussions of local wisdom values in the Palembang as a ward off misfortune. The mixture of structure of the performance of Dulmuluk oral rice and turmeric is eaten a little by all performers tradition in Palembang society (Data are in the form and the rest is spread over to the performers and of Dulmuluk theatre recordings entitled Syair Siti spectators before and after the Dulmuluk is Zubaidah performed by Karya Muda Daerah Musi performed. Scattering this mixture symbolizes that Dua Palembang group on June 24, 2018 at Kertapati, all the evil ones will be kept away or thrown away. Palembang and interviews with Informants namely Mr Jonhar Saad, Mr. Ibnu Rahman, Mr. Kiagus 4.1.3 Gratitude values Wahab, Mr. Musa, and Randi ). Turmeric rice with grilled chicken is considered a 4.1 Exploring Local Wisdom Values in blessing for the people of Palembang. The gratitude the Ritual Process is expressed by enjoying this kind of dish together. This reflects that Palembang people always ask for

blessings from God. Everything that God gives laki dan perempuan dapat menari should be thanked of. Kami bermain Wahai penonton berkawan-kawan segera cepat Salah dan khilaf Pentas Dulmuluk

mohon dimaafkan akan dimulai

(Versi Pak Jonhar di 4.1.4 Togetherness Values Syai Siti Zubaidah). Tabiklah Encik 1,2,3, dan empat... tabiklah Tuan Anaklah tiung The ritual also contains the values of togetherness Tabik laki-laki dan pandai melompat among the performers of Dulmuluk. This can be perempuan Para penonton seen when the performers are scramble for the Kami bermain segera cepat grilled chicken. Some get bigger chickens or vice berkawan-kawan Kalau terlambat Zubaidah Siti kami tidak mendapat versa. However, that is not a problem. The pentaskan tempat performers always keep the togetherness so there (kemudian diulang (kemudian will not be any conflicts among them. Negotiation lagi oleh diulang lagi oleh for consensus is used for solving dispute. This Pemain Dulmuluk Pemain Dulmuluk reflects that the people of Palembang practice yang lain) yang lain) Apabila salah jika Tabiklah Encik negotiation for consensus to maintain and create kemunculan kami tabiklah Tuan togetherness. Punyap ermainan Tabiklah kepada Mohon dimaafkan laki-laki dan Kami hanya manusia perempuan biasa tidak luput dari Kami bermain kata salah dan khilaf berkawan-kawan ataupun kejanggalan Salah dan khilaf mohon dimaafkan

After the opening beremas, the performers saluted the audience once again by bowing and crossing their arms over their stomach. They all Figure 1: The ritual then return to the backstage waiting for their turn. Essentially, the opening beremas is more of 4.2 Exploring the values of local greetings or a symbol that Dulmuluk will be wisdom in opening Beremas performed soon and a tribute to the host and audience. However behind these symbols surely After the pre-performance, the theatre there are values to be conveyed. The local proceeds to the scenes of the story. The performance wisdom values in this opening Beremas are as begins with an opening Beremas. Beremas means follows. preparing and packing. Beremas in the opening is the form of greetings to the host who holds a 4.2.1 Values of Appreciation celebration and to the audience. This opening beremas is also intended to tell the audience that the These values are reflected in the greetings during show will begin soon. In this part, the performers the opening Beremas that before starting an will come out on stage while singing and dancing. activity people should give a salutation to the They sing the poems or pantoum, usually the song host and to the audience. This greeting is will look like the following. intended to pray for the host to always be healthy and prosperous. This reflects the Palembang Tabiklah Encik Satu, dua, tiga, people who respect others. tabiklah Tuan dan empat Tabiklah kepada laki- Anaklah tiung 4.2.2 Values of Humility

4.3.3 Religious values This value of humility is reflected in the Religious values must be acknowledged by people. gratitude of Dulmuluk performers to the host and Religion is the guidance of every community. to audience. It can be seen from the the way how Without religion, people have no direction in life. the performers bow with crossed when giving Therefore, the religion is important for all humans salutation. This attitude show that people should living on this earth. The religious values are not need be arrogant. By showing a polite reflected in the story i.e Siti Zubaidah was so attitude and not showing an arrogant attitude diligent in studying the Koran. Besides being towards others, people will feel happy toward us. religious, Siti Zubaidah also has good manners.

4.3.4 Values againts Arrogance Every guilty person will surely get a punishment and the right one will surely reap the rewards. The act of the King ousting Abidin Syah's wife , Siti Zubaidah since she was not dressed in luxury and since her father was only a teaches, was a mistake. In any religion, the distinction between rich and poor is a Figure 2: Beremas despicable act. God does not like arrogant humans (Dokumentasi Margareta) and arrogant deeds will surely get wrath from Allah.

4.3 Exploring the Values of Local 4.3.5 Values of Humility Wisdom in the Lyrics of Siti Zubaidah The values of humility are very noble. Humble Story Scenes people are those who are not arrogant. Even though Values of local wisdom which are reflected in the that she was ousted by the King and his wife, Siti lyrics are summarized as follows. Zubaidah never took revenge for all of these actions.

4.3.1 Values of Determination 4.3.6 Values of Trustworthiness The values of determination must be instilled in The values of trustworthiness is indispensable in one‟s own self. With a strong belief, one can establishing a relationship. If someone has the value distinguish between the good and the bad. This story of loyalty, then he/she has strong beliefs, strengths, is about Abidin Syah who was a husband that really and inner bonds. With loyalty, love will grow. Like loved his wife, Siti Zubaidah. Although Siti the values of a wife's loyalty to her husband and Zubaidah was ousted by the King ( Abidin Syah's husband to his wife. The story scenes illustrated how parents ) , but with his determination, he still loved high the value of trustworthiness is. his wife. This reflects the values of a husband's determination in loving a wife. 4.3.7 Exploring the Local Wisdon Values in the Closing Beremas 4.3.2 Values of Respect The value of mutual respect among religious fellows Dulmuluk theatre is ended with a post-performance must be instilled in every religious community. We which is marked by a closing Beremas. Closing must not discriminate one religion againts another. Beremas is not much different from the opening People must live in harmony, so that peace can be Beremas. Closing Beremas is the notification to the achieved in religious communities. This reflects the audience and the host that the performance is values of mutual respect among religious fellows. reaching its end. All performers and crew of Dulmuluk come out to the stage while singing songs

and dancing. In the closing Beremas, the performers Fajarini, Ulfa. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam apologize for any mistakes during the performance. Pendidikan Karakter. (The Roles of Local They also say farewell. This reflects that the people Wisdom in Character Education)Jurnal Sosio of Palembang always want to keep a polite and Didaktik, 1-12. respectful manners towards others. Hanafiah et all. 2006. Direktori Kesenian Sumatera Selatan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan. 4 CONCLUSIONS Indrawati, S. 2016. Nilai-nilai Kearifan dalam Sastra Lisan Lematang: Sebuah Kajian untuk Based on the results of research, observations, and Pendidikan Karakter (Wisdom Values in interviews in the field, it turns out that Dulmuluk's Lematang Oral Tradition fo Character oral tradition has local wisdom values. It turns out Education. The Proceedings of Language and that there are a lot of wisdom values that can be Literature Seminar of Balai Bahasa Sumatera explored in each of its elements. Good values in Selatan. attitude and behaviour towards God, own self, with Irwanto, Dedi. 2012. Kendala dan Alternatif family, and towards the community. Penggunaan Tradisi Lisan dalam Penulisan Local wisdom values are useful to control the Sejarah Lokal di Sumatera Selatan. Jurnal relationships of people within the community. The Forum Sosial, Volume V. No.02. September implementation of the values of local wisdom 2012. functions to organize the social life. It is important Kurnianto, A.E. 2017. Jurnal Alayasastra.1 (13), to use this kind of values. These values are passed Semarang, Jawa Tengah. on to address various kinds of problems. In line with Lintani, V. 2014. Dulmuluk Warisan Budaya this is the statement Didipu and Salam (in Indrawati, Indonesia (Dulmuluk: The Heritage of 2016) that stated that local wisdom can reflect the Indonesian Culture). Pemerintah Provinsi old people's lives that can be imitated by the present Sumatera Selatan. community in the area and can be used as the basis Lintani, V. 2014. Dulmuluk Sejarah dan for forming the character of the nation. This means Pengadegan. Palembang: Dinas Kebudayaan that the values of local wisdom in an oral tradition dan Pariwisata Kota Palembang dan Dewan can also be implemented in forming of the character Kesenian Palembang, of a nation. Ravico and Mei, U. 2016. Menggali Nilai Kearifan Lokal Masyrakat Lubuk Linggau Melalui Cerita Rakyat “Bujang Kurap”. Jurnal Criksetra, Volume 5 Nomor 10. Agustus 2016. Hlm 139-146. Ejournal Unsri.ac.id. REFERENCES Sartini, N. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Adisusilo, S. 2012. Pembelajaran Nilai-Karakter Saloka, Dan Paribasa), Google Cendikia: Kontruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Volume V, Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Nomor 1, April 2009. Rajawali Pers. Sibarani, R. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat, Peran, Dhony, N. N. A. 2015. Struktur Pertunjukan Teater dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Dulmuluk dalam Lakon Abdulmuluk Jauhari Tradisi Lisan. di Palembang (The Structures of Dulmuluk Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Theatre). Jurnal Seni dan Budaya, 13-2. Yogyakarta: Tiara Wacana. Emzir and Rohman, S. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra (Theories and the Teaching of Literature) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

PENENDATANGANAN KONTRAK

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

CATATAN HARIAN

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019 CATATAN HARIAN PENELITIAN TERAPAN TAHUN III Oleh:

Ketua Peneliti: Siti Gomo attas, M.Hum (NIDN. 00028087002) Anggota 1 : Gres Grasia , A. S.S, M, Hum. (NIDN. 0001068003) Anggota 2 : Dr. Marwiyah, S.Pd. M.Pd. (NIDN. 0904026502)

No. Hari/Tanggal Uraian Kegiatan Prosentase Berkas/Foto Kegiatan Keterangan Berkas Kegiatan 1 6 Maret, 2019 Menerima surat penandatangan kontrak 100 % Undangan Upload/Unggah: Penelitian Karakter Setu Babakan 2019 1. Rencana kegiatan 2. Foto 2 19 Maret 2019 Penandatangan Kontrak Penelitian 100 % Kontrak yang ditandatangani 1. Upload/unggah surat kontrak penelitian 2. Foto 3 21 Maret 2019 Rapat koordinasi dengan Tim Peniliti : Dr. 100% Rekaman dan Foto Upload/Unggah: Siti Gomo Attas, M.Hum. 3. Rencana kegiatan Dr. Gres Grasia Azmin, M.Si. 4. Foto Dr, Marwiah, S. Pd, M.Pd Membahasa memilih pertunjukan dengan karakter yang dominan. Akan dimulai dengan mengamati pertunjukan Kombed pimpinan Syaiful Amri dengan pemusik Andi dengan Tim Gambang kromong, termasuk kolaborasi dengan gambang rancag, Lagu Betawi, tari betawi, pantun, Silat betawi dan lakon Kalau Jodoh tak kemana 4 28 Maret 2019 Silaturahmi ke rumah Pimpinan Komedi 100% Foto dan hasil wawacara Upload/Unggah: Betawi dengan pihak pmpinan 5. Teks wawancara komedi Betawi syaiful 6. Foto Amri 5. 4/5/2019 Menonton Pertunjukan Komedi Betawi: 100% Rekaman dan foto Upload/Unggah: dengan Lakon kalua Jodoh asti Ketemu Pertunjukan 7. Rec Pertunjukan 8. Foto 6, 22 Juni 2019 Halal Bihalal Keluarga Besar Aosiasi Tradisi 100% Rekaman dan Foto halal Upload/Unggah: Lisan sekaligus nonton pertunjukan Komedi Bihalal dan Nonton 9. Rec Pertunjukan betawi dengan menyantap kuliner Betawi1 Pertunjukan 10. Foto 7. 28 Juni 2019 Menerima Surat dari Litera bahwa Artikel 110% Dokumen surat bahwa Upload Jurnal Litera yang diajukan mengenai karakter pertunjukan Artikel Pertunjukan 11. Foto Jurnal Litera gambang rancag di terima untuk diterbitkan gambang rancag di muat 12. Artikel yang dimuat Maret 2019 di Jurnal terakreditasi dengan linknya Nasional DIKTI Sinta 2 10 11/07/2019 Menyajikan makalah di Konferensi 11% Makalah dipresentasikan Upload Himpunan sarjanan Kesusastraan Indonesia dan dimuat di Prosiding 13. Foto Konferensi XXVIII Internasional HISKI HISKI XXVIII di Syah Kuala 14. Artikel yang dimuat di Aceh prosing Internasional 11 6 Agustus 2019 Menyajikan Makalah di Icel 2019 100% Makalah, LoA yang Upload Internasional Conference on Education dipresentasikan di acara 15. Foto ICEL Language and Sciety di UNJ ICEL dan masuk dalam 16. Artikel yang dimuat di prod=siding schopus prosing Internasional

HAK CIPTA

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

BAHAN AJAR

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019

MODEL PENERAPAN DESAIN

PEGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR KARAKTERISTIK PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN MELALUI NILAI KEARIFAN LOKAL BERBASIS INDUSTRI KREATIF

Tahun ke 3 dari Rencana 3 Tahun

TIM PENELITI

Dr. Siti Gomo Attas, S.S., M.Hum. (NIDN. 0028087002) Dr. Gres Grasia A., S.S, M.Si. (NIDN. 0001068003) Dr. Marwiah, S.Pd., M.Pd. (NIDN. 0904026502)

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA AGUSTUS 2019