ISSN 1693-0339

Jurnal Iktiologi Indonesia (Indonesian Journal of Ichthyology) Volume 17 Nomor 1 Februari 2017

Diterbitkan oleh: Masyarakat Iktiologi Indonesia ()The Indonesian Ichthyological Society Volume 17 Nomor 1 Februari 2017

Ikan seriding,Ambassis nalua (Hamilton, 1822) (Foto oleh Eda Putri Santi) Prakata

Jurnal Iktiologi Indonesia menjumpai anda Barat dimuat pada edisi Februari ini. Yang per- kembali pada awal tahun 2017 ini guna menyajikan tama, kajian tentang makanan ikan seriding yang sepuluh artikel dengan beragam topik. Lukmini et dikerjakan oleh Santi el al. Yang kedua, artikel al. mengawali dengan hasil penelitian mereka ten- yang mempertelakan perkembangan sel telur ikan tang toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap seriding yang diamati oleh Arianti et al. baik secara hematologi dan pertumbuhan ikan nila. Sementara makroskopik maupun mikroskopik. itu Putri et al. menganalisis pertumbuhan ikan mas Tiga artikel yang lain dengan kajian berbeda yang diberi pakan mengandung tepung kunyit. Ba- ditulis oleh Bastiar et al., Nasmi et al., dan Pera- gaimana pertumbuhan dan sintasan pascalarva ikan ngin Angin et al. Penulis pertama melaporkan hasil lalawak yang dipelihara dengan kepadatan berbeda upaya mereka untuk menginduksi perkembangan dikemukakan oleh Kusmini et al. Nisbah kelamin gonad ikan ringau dengan menggunakan serotonin jantan dan betina yang berbeda berefek terhadap dalam formulasi hormon pregnant mare serum go- kinerja pertumbuhan yuwana ikan nila biru. Hal ini nadotropin dan antidopamin. Nasmi et al. mem- diulas oleh Robisalmi et al. berdasarkan hasil pene- pelajari pengangkutan juvenil ikan gabus dengan litian mereka. Masih berkaitan dengan topik per- kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt. tumbuhan, Djumanto et al. menguraikan tentang Penulis yang disebut terakhir, Perangin Angin et al. pertumbuhan dan makanan ikan bandeng yang di- menjelaskan tentang komunitas ikan demersal di tebar di Waduk Sermo, Yogyakarta. perairan Laut Cina Selatan. Dua artikel yang menyampaikan hasil kajian Penyunting tentang ikan seriding penghuni Teluk Pabean, Jawa

, 17(1):1-9 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.20

Toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap hematologi dan pertumbuhan ikan nila, Oreochromiss niloticus (Linnaeus, 1758) [Toxicity of fentin acetate molluscicide on haematological and growth of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758)] 1Aisyah Lukmini , 2Eddy Supriyono, 2Tatag Budiardi 1 Sekolah Pascasarjana, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor 2 Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor 16680

Diterima: 26 Januari 2016; Disetujui: 29 November 2016 Abstrak

Fentin asetat (C20H18O2Sn) digunakan sebagai pestisida di sawah secara intensif untuk mematikan keong mas (Pomacea sp.). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh toksisitas subletal moluskisida fentin asetat terhadap ka- rakteristik hematologi (eritrosit, hemoglobin, hematokrit, dan leukosit) dan pertumbuhan yuwana ikan nila (Oreo- chromis niloticus). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2015 di Laboratorium Lingkungan Departemen Akuakultur, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan 12 akuarium berukuran 100x50x50 cm3. Ikan nila berukuran 8,90±0,13 g dipelihara dengan kepadatan 30 ekor dalam volume air 160 L. Ikan uji diberi pakan secara at satiation serta dilakukan penggantian air setiap 24 jam dengan konsentrasi bahan uji yang sama. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan tiga ulangan dengan konsentrasi fentin asetat, yaitu: 0,00 (kontrol); 0,003; 0,008; dan 0,015 mg.L-1 selama 21 hari. Analisis terhadap karakteristik hematologi dan pertumbuhan ikan nila menggunakan anova. Konsentrasi sublethal moluskisida fentin asetat berpengaruh nyata terhadap penurunan karakteristik hematologi dan pertumbuhan ikan nila.

Kata penting: hematologi, Oreochromis niloticus, fentin asetat, pertumbuhan, sublethal

Abstract

Fentin acetate (C20H18O2Sn) as pesticide is extensively used for killing golden apple snail (Pomacea sp.) in paddy field. This study was aimed to determine effect of sublethal molluscicide fentin acetate toxicity on the haematological charac- teristics (erythrocyte, hemoglobin, hematocrit, and leucocyte) and growth of juvenile Oreochromis niloticus. This re- search was conducted from May to July 2015 in Environment Laboratory of Aquaculture Department, Bogor Agricul- tural University. The research used twelve glass aquariums of 100x50x50 cm3 filled with 160 L water and put 30 juve- niles per aquarium. Fish were fed at satiation during the treatment and water exchange for every 24 hour. Research design was complete experimental randomized with four treatments and three replications of different fentin acetate concentrations i.e. 0.00; 0.003; 0.008; 0.015 mg L-1 for 21 days. The haematological characteristics and growth of fish were compared with ANOVA. The result indicates that sublethal concentration of 0.003 mg.L-1fentin acetate was significantly (p< 0.05) decrease the haematological characteristics and growth of tilapia.

Keywords: haematology, Oreochromis niloticus, fentin acetat, growth, sublethal

Pendahuluan Pencemaran air saat ini sudah menjadi et al. 2008). Senyawa organotin adalah senyawa masalah global. Salah satu bahan yang diketahui organometalik yang disusun oleh satu atau lebih menyebabkan pencemaran air adalah pestisida. ikatan stannum-karbon (Sn-C). Salah satu pestisida yang diketahui bersifat tok- Penggunaan senyawa organotin sudah di- sik terhadap organisme akuatik adalah fentin larang di beberapa negara di Eropa dan Amerika, asetat dengan nama kimia trifeniltin asetat (ber- sedangkan di beberapa negara di Asia, seperti dasarkan International Union Pure and Applied Indonesia, Malaysia, dan India penggunaannya Chemistry atau IUPAC). Fentin asetat merupakan masih diizinkan. Di Indonesia, senyawa ini digu- senyawa organotin yang banyak digunakan seba- nakan untuk mengendalikan siput murbei (Poma- gai pestisida dalam bidang pertanian (Watermann cea canaliculata Lamarck) di padi sawah, siput ______Penulis korespondensi trisipan (Cheritidea sp.) di tambak udang windu Alamat surel: [email protected]

Toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap hematologi dan pertumbuhan ikan nila dan bandeng, dan siput Parmarion pupilaris di sar antara < 0,1-19 µg kg-1 , 0,1 µg kg-1, dan <0,1 tanaman kubis bunga (Ditjen PSP 2014). Menu- 7,1 µg kg-1. rut Cima et al. (1996), fentin asetat dengan dosis Tingginya kandungan fentin asetat baik di 0,6-1,2 kg ha-1 merupakan moluskisida yang pa- sedimen maupun di perairan, akan membahaya- ling efektif untuk mengendalikan populasi siput kan organisme akuatik yang hidup di dalamnya. murbei di sawah. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa air sungai Senyawa organotin memiliki toksisitas dan waduk sering dimanfaatkan sebagai sumber yang sangat tinggi terhadap organisme akuatik. air pasok budi daya ikan, sehingga akan mengan- Senyawa ini bersifat lipofilik atau mudah larut cam kegiatan budi daya ikan yang sedang giat di- dalam lemak yang dapat terserap dan terakumu- kembangkan oleh masyarakat Indonesia, misal- lasi di dalam tubuh organisme sehingga merupa- nya ikan nila (Oreochromis niloticus). Komodi- kan masalah dalam kegiatan budi daya (Cima et tas ini dibudidayakan dengan memanfaatkan air al. 1996). Dua jenis senyawa organotin yang di- sungai dan waduk sebagai sumber air pasok se- ketahui bersifat sangat toksik bagi organisme hingga sangat berpotensi terpapar fentin asetat akuatik adalah tributiltin dan trifeniltin. Beberapa yang ada di air. hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua se- Ikan yang terpapar bahan pencemar, nyawa ini mampu mengganggu pertumbuhan dan akan mengalami perubahan pada karakteristik menurunkan tingkat kelangsungan hidup Mytilus hematologinya. Penelitian Saravanan et al. edulis (Haggera et al. 2005), mampu menurun- (2011) menunjukkan adanya penurunan jumlah kan frekuensi pemijahan, kualitas telur, dan per- sel darah merah, konsentrasi hemoglobin, dan kembangan gonad medaka (Oryzias latipes) konsentrasi hematokrit pada ikan mas (Cyprinus (Zhang et al. 2008), dan mampu menghambat carpio) yang dipapar insektisida organoklorin pertumbuhan dan respon enzim antioksidan pada lindan. Penelitian Nirmala et al. (2012) menun- mikroalga hijau (Scenedesmus quadricauda) (Xu jukkan adanya penurunan jumlah sel darah me- et al. 2011). rah, hemoglobin, dan hematokrit pada ikan nila Kannan & Lee (1996) melaporkan bahwa (Oreochromis niloticus) yang dipapar logam tripheniltin (TPT) yang digunakan sebagai pesti- berat merkuri (Hg). sida dan kemudian lepas ke perairan akan me- Penelitian ini bertujuan untuk mengana- numpuk di sedimen. Hasil penelitian Harino et lisis dampak pemaparan fentin asetat dengan al. (2012) di tiga lokasi perairan di Indonesia konsentrasi berbeda terhadap karakteristik hema- yaitu Bitung, Manado, dan Teluk Jakarta mene- tologi yang meliputi eritrosit, hemoglobin, hema- mukan bahwa sedimen di tiga lokasi tersebut tokrit, dan leukosit pada ikan nila Oreochromis mengandung tributiltin dan tripheniltin dengan niloticus. Selain itu juga dilakukan pengamatan konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi se- terhadap laju pertumbuhannya. nyawa tributiltin yang terdeteksi di tiga lokasi tersebut masing- masing berkisar antara 160-350 Bahan dan metode µg kg-1 berat kering (Bitung), 89 µg kg-1 (Mana- Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei do), dan 0,4-52 µg kg-1 (teluk Jakarta). Senyawa hingga Juli 2015 di Laboratorium Lingkungan tripheniltin (TPT) yang ditemukan di Bitung, dan Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Manado, dan teluk Jakarta masing-masing berki- Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

2 Lukmini et al.

Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wa- isi bulir bewarna merah sampai skala 1, kemudi- dah uji yang digunakan adalah akuarium ukuran 100x50x50 cm3 sebanyak 12 buah. Bahan yang 101, lalu dilakukan pengadukan dengan menggo- digunakan untuk penelitian ini adalah fentin yangkan pipet yang sama selama 3-5 menit hing- asetat (C20H18O2Sn) dalam bentuk serbuk. Biota uji yang digunakan adalah ikan nila Tetesan pertama dibuang dan tetesan berikutnya dengan bobot rata-rata 8,90±0,13 g. Ikan uji di- diteteskan pada hemasitometer, kemudian ditutup masukkan pada tiap akuarium perlakuan yang dengan gelas penutup dan diamati dengan mi- bervolume 160 L dan padat tebar 30 ekor per kroskop pembesaran 400x. Penghitungan TE di- akuarium. Ikan tersebut dipelihara selama 21 hari lakukan pada lima kotak kecil dalam hemasito- dengan pemberian pakan berupa pelet secara ad meter dengan persamaan sebagai berikut: satiation. Kualitas air media pemeliharaan diper- pengenceran tahankan dengan mengganti air sebanyak 50% dari volume air total tiap harinya dengan air stok Prosedur pengukuran kadar Hb adalah se- yang mengandung konsentrasi fentin asetat yang bagai berikut. Sampel darah dihisap mengguna- 3 sesuai dengan masing-masing perlakuan. kan pipet Sahli hingga skala 20 mm atau 0,2 ml, Rancangan yang digunakan dalam peneli- kemudian dimasukkan ke dalam tabung Hb-me- tian ini adalah rancangan acak lengkap, dengan ter yang telah diisi dengan HCl 0,1 N sampai empat perlakuan dan tiga ulangan, yaitu kontrol skala 10 (merah), lalu dilakukan pengadukan dan (tanpa fentin asetat atau 0 ppm), A (fentin asetat didiamkan selama 3-5 menit. Selanjutnya, akua- 0,003 ppm), B (fentin asetat 0,008 ppm), dan C des dimasukkan ke dalam tabung Hb-meter hing- (fentin asetat 0,015 ppm). Penentuan konsentrasi ga terjadi perubahan warna seperti warna larutan standar pada Hb-meter. Skala dibaca dengan me- didasarkan pada hasil uji akut (LC50) selama 96 jam. lihat permukaan cairan dan dicocokkan dengan Penimbangan bobot ikan uji untuk meng- skala tabung Sahli yang dilihat pada skala jalur hitung laju pertumbuhan spesifik dilakukan pada g% (kuning) yang berarti banyaknya Hb per 100 setiap unit percobaan pada awal dan akhir peneli- ml darah. tian. Sampling gambaran darah dilakukan setiap Kadar Hc diukur dengan mengambil sam- tujuh hari, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, dan 21. pel darah menggunakan tabung mikrohematokrit Sebelum diambil darahnya, ikan dibius terlebih dan disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm sela- dahulu menggunakan MS222, kemudian darah ma 5 menit. Kadar hematokrit diketahui dengan diambil dari bagian ekor sebanyak 0,6 ml dari membandingkan panjang sel darah yang meng- dua ekor ikan menggunakan syringe steril beru- endap dengan panjang total volume darah pada kuran 1 ml yang sebelumnya dicuci dengan anti- tabung mikrohematokrit koagulan (Na sitrat 3,8%). Sampel darah diguna- Hematokrit =(volume sel darah merah )/(total volume darah) x 100 kan untuk pengukuran total eritrosit (TE), kadar Prosedur pengukuran TL adalah sebagai hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Hc) dan to- tal leukosit (TL). berikut. Sampel darah diambil menggunakan pi- pet yang berisi bulir bewarna putih sampai skala Pengukuran TE diawali dengan pengam- - bilan sampel darah menggunakan pipet yang ber- pai skala 11, lalu dilakukan pengadukan dengan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 3 Toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap hematologi dan pertumbuhan ikan nila menggoyangkan pipet selama 3-5 menit hingga Hasil rata. Tetesan Karakteristik hematologi pertama dibuang dan tetesan berikutnya ditetes- Total eritrosit kan pada hemasitometer, kemudian ditutup de- Total eritrosit pada perlakuan A (0,003 ngan gelas penutup dan diamati di bawah mi- ppm), B (0,008 ppm), dan C (0,015 ppm) cende- kroskop dengan pembesaran 400x. Penghitungan rung mengalami penurunan dari awal sampai TL dilakukan pada empat kotak besar dalam he- akhir penelitian (Gambar 1). Uji statistik menun- masitometer menggunakan persamaan sebagai jukkan kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan berikut: ketiga perlakuan. Rata-rata total eritrosit pada awal penelitian adalah 1,80 x 106 sel mm-3. Pada pengenceran hari ketujuh total eritrosit tertinggi terlihat pada Pengukuran laju pertumbuhan spesifik perlakuan kontrol (1,83 x 106 sel mm-3) sedang- menggunakan persamaan (Giri et al. 2013) seba- kan yang terendah pada perlakuan C (0,57 x 106 gai berikut: sel mm-3). Pada hari ke-14 total eritrosit tertinggi masih pada kontrol (1,89 x 106 sel mm-3) diikuti Keterangan: LPS= laju pertumbuhan spesifik (%), perlakuan A (0,88 x 106 sel mm-3), dan B (0,73 x We= rata-rata bobot ikan pada akhir penelitian (g), Ws= rata-rata bobot ikan pada awal penelitian (g), t= 106 sel mm-3). Sementara pada hari ke-21, jumlah waktu pemeliharaan (hari) eritrosit pada perlakuan kontrol sebesar 1,90 x Data yang telah diperoleh kemudian dita- 106 sel mm-3, sedangkan pada perlakuan A sebe- bulasi dan dianalisis menggunakan Microsoft sar 0,82 x 106 sel mm-3, dan total eritrosit teren- Excel dan SPSS 17. Analisis ragam (ANOVA) dah pada perlakuan B yaitu 0,56 x 106 sel mm-3. dengan uji F pada selang kepercayaan 95% digu- Dari hari ke-14 sampai akhir penelitian, tidak di- nakan untuk menentukan pengaruh perlakuan peroleh data total eritrosit pada perlakuan C dise- terhadap perubahan karakteristik hematologi dan babkan semua ikan perlakuan pada konsentrasi pertumbuhan. Apabila berpengaruh nyata, maka ini mengalami kematian setelah hari ketujuh pe- dilanjutkan dengan uji Duncan. nelitian.

a a a a a ) ) a a -3

b K (0 ppm)

sel sel mm c b

6 A (0,003 ppm) b b d c B (0,008 ppm) Total Total Eritrosit (x10 C (0,015 ppm)

0 7 14 21 Waktu (hari ke-)

Gambar 1. Jumlah eritrosit (x106 sel/mm3) ikan nila selama penelitian. Huruf tika atas yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

4 Lukmini et al.

. 12

10 a a a 8 a a a a K (0 ppm) 6 b bc b A (0,003 ppm) c 4 b B (0,008 ppm) b b Hemoglobin (g%) C (0,015 ppm) 2

0 0 7 14 21 Waktu (hari ke-)

Gambar 2. Kadar hemoglobin (g%) ikan nila selama penelitian. Huruf tika atas yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Hemoglobin ada pada kontrol (30%) sedangkan yang terendah Selama penelitian, nilai hemoglobin pada pada perlakuan B (12,68%). Pada pengamatan perlakuan A, B, dan C menunjukkan kecende- hari ke-14, kontrol berbeda nyata (p<0,05) terha- rungan menurun (Gambar 2). Rata-rata kadar he- dap perlakuan A dan B. Nilai hematokrit perlaku- moglobin pada awal penelitian adalah 7,26 g%. an kontrol, A, dan B masing-masing sebesar Pada hari ketujuh, nilai hemoglobin tertinggi ter- 31,83%, 18,53%, dan 12,34%. Pada pengamatan dapat pada perlakuan K(0 ppm) sebesar 7,8 g%, hari ke-21 kadar hematokrit pada kontrol dan berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan A (32,27%) berbeda nyata (p<0,05) dengan perla- (0,003 ppm) yang sebesar 4,4 g% , B (0,008 kuan A (12,75%) dan B (5,85%). ppm) yang sebesar 3,7 g%, dan C (0,015 ppm) yang sebesar 5,4 g%. Pada hari ke-14 kontrol Leukosit (8,36 g%) berbeda nyata (p<0,05) dengan perla- Total leukosit ikan nila pada perlakuan A, kuan A (4,5 g%) dan B (3,1 g%). Demikian juga B, dan C cenderung terus meningkat hingga akhir pada pengamatan hari ke-21, perlakuan A (2,65 penelitian (Gambar 4). Rata-rata total leukosit g%) dan B (2,7 g%) menunjukkan beda nyata pada awal penelitian adalah 7,10 x 104 sel mm-3. (p<0,05) terhadap kontrol (9,365 g%). Pada hari ketujuh, total leukosit terendah ada pa- da kontrol (7,52 x 104 sel mm-3) sedangkan yang Hematokrit tertinggi pada perlakuan C (8,81 x 104 sel mm-3). Pada Gambar 3 terlihat bahwa selama pe- Pada pengamatan hari ke-14, kontrol (7,49 x 104 nelitian terjadi kecenderungan penurunan nilai sel mm-3) menunjukkan beda nyata (p<0,05) ter- hematokrit ikan uji. Rata-rata kadar hematokrit hadap perlakuan A (8,42 x 104 sel mm-3) dan B pada awal penelitian adalah 27,79 %. Pada peng- (9,35 x 104 sel mm-3). amatan hari ketujuh, nilai hematokrit tertinggi

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 5 Toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap hematologi dan pertumbuhan ikan nila

40 a a 35 a a a 30 a a b 25 b 20 K (0 ppm) bc b 15 c c A (0,003 ppm)

Hematokrit (%) 10 c B (0,008 ppm) 5 C (0,015 ppm) 0 0 7 14 21 Hari ke-

Gambar 3. Kadar hematokrit (%) ikan nila (Oreochromis sp.) selama penelitian. Huruf tika atas yang ber- beda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

12.00 c 10.00 b ab b ab b ) )

-3 ab 8.00 a a a K (0 ppm) 6.00

sel sel mm A (0,003 ppm) 4 4.00 B (0,008 ppm) Total Total Leukosit (x10 2.00 C (0,015 ppm)

0.00 0 7 14 21 Waktu (hari ke-)

Gambar 4. Jumlah leukosit (x105 sel mm-3) ikan nila selama penelitian. Huruf tika atas yang berbeda pada hari yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Tabel 1 Laju pertumbuhan spesifik pada akhir penelitian Konsentrasi fentin asetat (ppm) LPS (%) 0 (K) 1,03±1,13a 0,003 (A) 0,08±0,17a 0,008 (B) -1,70±0,96b 0,015 (C) - * huruf tika atas yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)

Laju pertumbuhan spesifik yaitu -1,70 %. Hasil analisis statistik menunjuk- Data laju pertumbuhan spesifik (LPS) pa- kan bahwa perlakuan B berbeda nyata dengan da akhir penelitian disajikan pada Tabel 1. Hasil kontrol (p<0,05). Pemberian fentin asetat dengan penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan B konsentrasi 0,008 ppm terbukti mampu menurun- memiliki laju pertumbuhan yang paling rendah kan laju pertumbuhan spesifik juvenil ikan nila.

6 Lukmini et al.

Pembahasan dan infiltrasi lemak, sedangkan di ginjal ditemu- Parameter darah merupakan suatu indika- kan adanya hiperemia dan hemorage. tor adanya perubahan kondisi kesehatan ikan, Terjadinya anemia juga terkait dengan baik karena faktor infeksi (mikroorganisme) adanya gangguan dalam penyerapan zat besi maupun karena faktor non infeksi oleh lingkung- (Fe). Senyawa organotin mampu menghambat an, genetik, dan nutrisi. Hasil penelitian ini me- sintesis Hb dengan cara mengganggu penyerapan nunjukkan terjadinya penurunan total eritrosit, zat besi (Fe) (Boyer 1989). Mineral Fe merupa- kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit seiring kan unsur esensial yang berperan dalam sintesis dengan bertambahnya konsentrasi fentin asetat hemoglobin (Setiawati et al. 2007). Berkurang- pada media pemeliharaan. Hasil pemeriksaan nya zat besi di dalam darah akan menyebabkan gambaran darah pada hari ke-7, ke-14 dan ke-21 berkurangnya konsentrasi hemoglobin di dalam menunjukkan adanya penurunan jumlah total darah. Penurunan kadar hemoglobin menandakan eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit bahwa kemampuan ikan untuk menyediakan ok- pada semua perlakuan yang diberi penambahan sigen yang cukup bagi jaringan tubuh mengalami fentin asetat. Menurut Da Cuna et al. (2011), per- keterbatasan sehingga terjadi penurunan aktivitas ubahan kondisi hematologi yang meliputi penu- fisik (Wepener et al. 1992). runan total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hematokrit merupakan ciri anemia. jumlah leukosit meningkat seiring dengan pe- Anemia bisa disebabkan berkurangnya pe- ningkatan konsentrasi fentin asetat pada media lepasan eritrosit di dalam sirkulasi darah. Salah pemeliharaan (Gambar 4). Hal ini selaras dengan satu organ yang berperan dalam produksi eritrosit hasil penelitian Harabawy & Ibrahim (2014) adalah ginjal. Ginjal merupakan organ hematoge- yang menunjukkan terjadinya peningkatan total nik paling penting pada ikan. Ginjal bagian ante- leukosit secara signifikan pada ikan lele (Clarias rior adalah organ utama pembentuk darah pada gariepinus) yang dipapar pestisida carbofuran teleostei. Terjadinya gangguan pada ginjal me- selama 35 hari. Peningkatan ini mungkin dikare- nyebabkan produksi darah juga terganggu yang nakan respon protektif dari tubuh ikan selama selanjutnya menyebabkan penurunan terhadap kondisi stres yang diakibatkan oleh paparan fen- produksi eritrosit. Hasil penelitian Lukas (2010) tin asetat. Kenaikan leukosit mengindikasikan menunjukkan terjadinya mineralisasi, hemorage, terjadinya kerusakan akibat infeksi jaringan tu- dan edema pada ginjal ikan nila yang dipelihara buh, stres fisik yang parah, dan leukositosis. Leu- pada media yang mengandung 0,3 mg L-1 Cu. kositosis adalah keadaan dengan jumlah sel darah Kerusakan ini diikuti dengan adanya penurunan putih dalam darah meningkat melebihi nilai nor- total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar he- mal. Peningkatan leukosit juga bisa menjadi matokrit yang disebabkan kerusakan jaringan gambaran bahwa tubuh ikan mampu menghadapi ginjal dan insang ikan akibat akumulasi Cu. stres dengan cara membentuk lebih banyak leu- Benli & Ozkul (2010) menemukan terjadinya kosit (Abhijith et al. 2012). perubahan histologi pada organ hati ikan nila Hasil penelitian menunjukkan semakin yang dipapar insektisida fenitrothion selama 96 tinggi konsentrasi fentin asetat, maka laju per- jam. Kerusakan tersebut berupa degenerasi hi- tumbuhan ikan nila semakin rendah (Tabel 1). drophyl (cloudy swelling), degenerasi hidropik, Laju pertumbuhan paling tinggi ada pada kontrol

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 7 Toksisitas moluskisida fentin asetat terhadap hematologi dan pertumbuhan ikan nila sedangkan yang terendah ada pada perlakuan B. Daftar pustaka Rendahnya laju pertumbuhan pada penelitian ini Abhijith BD, Ramesh M, Poopal RK. 2012. Sub- lethal toxicological evaluation of methyl diduga karena menurunnya jumlah eritrosit dan parathion on some haematological and hemoglobin (Gambar 1 dan 2). Hemoglobin berf- biochemical parameters in an Indian major carp Catla catla. Comparative Clinical ungsi mengikat oksigen yang digunakan dalam Pathology, 21(1): 55 61. proses katabolisme untuk menghasilkan energi. Bastami K, Darvish, Moradlou AH, Zaragabadi Kemampuan mengikat oksigen dalam darah ber- AM, Salehi MSV, Shakiba MM. 2009. Measurement of some haematological gantung kepada jumlah hemoglobin dalam sel characteristics of the wild carp. Compara- darah merah. Kadar hemoglobin yang rendah pa- tive Clinical Pathology, 18 (9): 321 323 da perlakuan penambahan fentin asetat menye- Benli ACK, Özkul A. 2010. Acute toxicity and histopathological effects of sublethal feni- babkan metabolisme menjadi terhambat dan trothion on Nile tilapia, Oreochromis nilo- energi yang dihasilkan menjadi sedikit. Hal ini ticus. Pesticide Biochemistry and Physio- logy, 97(1): 32 35. berdampak pada pertumbuhan ikan menjadi ren- Boyer I. 1989. Toxicity of dibutyltin, tributyltin dah. Penurunan total eritrosit akan mengakibat- and other organotin compounds to humans kan suplai makanan ke sel, jaringan dan organ and to experimental . Toxicology, 55(3): 253-298. akan berkurang sehingga metabolisme akan ter- hambat (Bastami et al. 2009) Cima F, Ballarin L, Bressa G, Martinucci G, Bu- righel P. 1996. Toxicity of organotin com- Penurunan laju pertumbuhan juga terjadi pounds on embryos of a marine inverte- pada ikan yang dipaparkan dengan berbagai jenis brate (Styela plicata; Tunicata). Ecoto- xicology and Environmental Safety, 35(2): pestisida. Ikan mas setelah dipaparkan moluski- 174 182. sida niklosamida pada konsentrasi sublethal 0,01; Da Cuna RH ,Va´zquez GR, Piol MN, Guerrero 0,03 dan 0,05 ppm selama 12 minggu memperli- NV, Maggese MC Lo Nostro FL. 2011. Assessment of the acute toxicity of the hatkan penurunan laju pertumbuhan spesifik pa- organochlorine pesticide endosulfan in da semua perlakuan (Supriyono et al. 2013). Ikan Cichlasoma dimerus (Teleostei, Percifor- mes). Ecotoxicology and Environmental nila yang dipapar dua jenis pestisida yaitu dime- Safety, 74(4):1065-1073. -1 thoate (20, 10 dan 5 mg L ) dan malathion (2,0; Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Perta- 1,0 dan 0,5 mg L-1) mengalami penurunan laju nian (Ditjen PSP). 2014. Pestisida pertani- an dan kehutanan terdaftar 2014 [Internet]. pertumbuhan dan perubahan kondisi hematologi [diunduh 24 Januari 2015]. Tersedia pada berupa penurunan jumlah eritrosit, kadar hemo- http://psp.pertanian.go.id/ globin, dan kadar hematokrit (Sweilum 2006). Giri SS, Sukumaran V, Oviya M. 2013. Potential probiotic Lactobacillus plantarum VSG3 improves the growth, immunity, and di- Simpulan sease resistance of tropical freshwater fish, Labeo rohita. Fish and Shellfish Immuno- Ikan nila yang dipapar moluskisida fentin logy, 34(2): 660-666. as ppm menunjuk- Haggera JA, Depledge MH, Galloway TS. 2005. kan penurunan laju pertumbuhan yang disebab- Toxicity of tributyltin in the marine mol- lusk Mytilus edulis. Marine Pollution kan oleh penurunan total eritrosit, kadar hemo- Bulletin, 51(8-12): 811 816. globin, kadar hematokrit, dan peningkatan total Harabawy ASA, Ibrahim ATA. 2014. Sublethal leukosit. toxicity of carbofuran pesticide on the African catfish Clarias gariepinus (Burc- hell,1822) : Hematological, biochemical and cytogenetic response. Ecotoxicology and Environmental Safety, 103: 61 67.

8 Lukmini et al.

Harino H, Arifin Z, Rumengan IFM, Arai T, Ohji sehatan ikan kerapu bebek (Cromileptes M, Miyazaki N. 2012. Distribution of An- altivelis). Jurnal Perikanan dan Kelautan, tifouling Biocides and Perfluoroalkyl 12(1): 55-63. Compounds in Sediments From Selected Supriyono E, Yosmaniar, Nirmala K, Sukenda. Locations in Indonesian Coastal Waters. 2013. Toksisitas moluskisida niklosamida Archives of Environmental Contamination terhadap pertumbuhan dan kondisi histo- and Toxicology, 63(1): 13 21. patologi juwana ikan mas (Cyprinus Kannan K, Lee RF. 1996. Triphenyltin and its carpio). Jurnal Iktiologi Indonesia, 13(1): degradation products in foliage and soils 77-84 from sprayed pecan orchards and in fish Sweilum MA. 2006. Effect of sub-lethal toxicity from adjacent ponds. Environmental of some pesticides on growth parameters, Toxicolology and Chemistry, 15(9): 1492 haematological properties and total pro- 1499. duction of Nile tilapia (Oreochromis nilo- [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. ticus L) and water quality of ponds. Aqua- 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Ang- culture Research, 37(11): 1079-1089. ka 2014 [Internet]. [diunduh 24 Januari Watermann B, Grote K, Gnass K, Kolodzey H, 2015]. http://sidatik.kkp.go.id. Thomsen A, Appel KE, Carnevali DC, Lukas. 2010. Toksisitas logam berat Cu pada Oehlmann US. 2008. Histological altera- berbagai pH terhadap konsumsi oksigen tions in ovaries of pubertal female rats dan respon hematologi ikan nila gift (Ore- induced by triphenyltin. Experimental and ochromis sp.). Tesis. Institut Pertanian Toxicologic Pathology, 60(4-5):313-321. Bogor. 63 hlm. Wepener W, van Vuren JHJ, du Preez HH. 1992. Nirmala K, Hastuti YP, Yuniar V. 2012. Toksisi- Effect of manganese and iron at neutral tas merkuri (Hg) dan tingkat kelangsungan pH values on the haematology of the ban- hidup, pertumbuhan, gambaran darah, dan ded tilapia, Tilapia sparrmanii. Environ- kerusakan organ pada ikan nila Oreochro- mental Contamination and Toxicology, 49: mis niloticus. Jurnal Akuakultur Indone- 613-619. sia, 11(1): 34-48. Xu J, Li M, Mak NK, Chen F, Jiang Y. 2011. Saravanan M, Kumar KP, Ramesh M. 2011. Triphenyltin induced growth inhibition Haematological and biochemical res- and antioxidative responses in the green ponses of freshwater teleost fish Cyprinus microalga Scenedesmus quadricauda. carpio (: ) Ecotoxicology, 20(1): 73-80. during acute and chronic sublethal expo- Zhang Z, Hu J, Zhen H, Wu X, Huang C. 2008. sure to lindane. Pesticide Biochemistry Reproductive Inhibition and Transgenera- and Physiology, 100 (11): 206 211. tional Toxicity of Triphenyltin on Medaka Setiawati M, Mokoginta I, Suprayudi MA, Man- (Oryzias latipes) at Environmentally Rele- alu W. 2007. Pengaruh penambahan mine- vant Levels. Environmental Science & ral Fe pada pakan ikan terhadap status ke- Technology, 42(21): 8133-8139.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 9 , 17(1): 11-20 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.21

Enzim pencernaan dan kinerja pertumbuhan ikan mas, Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) yang diberi pakan dengan penambahan tepung kunyit Curcuma longa Linn. [Digestive enzymes and growth performance of common carp, Cyprinus carpio Linnaeus, 1758 with additional of turmeric meal, Curcuma longa Linn. in the diet]

Ika Wahyuni Putri1 , Mia Setiawati2, Dedi Jusadi2 1Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2 Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB Jl. Agatis, Kampus IPB, Dramaga, Bogor 16680 Email: Diterima: 08 April 2016; Disetujui: 29 November 2016

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan tepung kunyit (Curcuma longa Linn.) dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap aktivitas enzim pencernaan dan kinerja pertumbuhan ikan mas. Tepung kunyit dengan dosis 0, 1, 2, dan 3% dicampurkan ke dalam pakan. Pakan yang digunakan adalah pakan buatan dengan kandungan iso-protein sebesar 29,51±0,93% dan isoenergi 3948,10±68,38 kkal kg-1 pakan. Ikan uji yang digunakan adalah ikan mas dengan bobot sebesar 2,82±0,04 g, dipelihara dalam akuarium berukuran 60x40x35 cm3 dengan padat tebar 10 ekor pa-da setiap akuarium selama 60 hari. Ikan diberi pakan uji dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB secara at satiation. Penyiponan dilakukan setiap hari. Air untuk budi daya diganti setiap tiga hari sekali sebanyak 25% dari volume media pemeliharaan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembe- rian tepung kunyit dengan dosis 2% meningkatkan aktivitas enzim amilase dan protease yaitu 7,012 U mg-1 dan 0,032 U mg-1. Pemberian tepung kunyit dengan dosis 2% juga meningkatkan laju pertumbuhan harian yaitu 2,22±0,13%. Disimpulkan bahwa pemberian tepung kunyit dosis 2% pada pakan dapat meningkatkan enzim amilase, protease dan kinerja pertumbuhan ikan mas.

Kata penting: ikan mas, Curcuma longa Linn, enzim pencernaan, kinerja pertumbuhan,

Abstract This study aimed to evaluate the additional of turmeric meal (Curcuma longa Linn.) with different doses in feed to digestion enzyme activities and growth performance of common carp. The turmeric meal doses i.e 0, 1, 2 and 3% were mixed into fish diet. The diet was formulated diet that contain isoprotein as much as 29.51±0.93% and isoenergy 3948.10±68.38 kcal kg-1 diet. Common carp as sample test with initial body weight 2.82±0.04 g were reared in 60×40×35 cm3 aquarium with density of 10 fish/aquaria entire 60 days. Fishes were given diet three times daily at 08:00 am, 12:00 am, and 16:00 pm by at satiation level. Syphonization was performed every day. Water exchange was applied once every 3 days as much as 25% from rearing media volume. Experimental design was set according to com- pletely randomized design with 4 treatments and 3 replications. The results showed that the turmeric meal with dose 2% could increased amylase and protease activities were 7.012 U mg-1 and 0.032 U mg-1. Turmeric meal with dose 2% also increased daily growth rate of common carp 2.22±0.13%. Therefore, the conclusion of this study was the addition of turmeric meal with dose 2% in the diet could increased digestive enzyme activities amylase, protease and improved growth performance of common carp.

Keywords: common carp, Curcuma longa Linn, digestive enzymes, growth performance

Pendahuluan pada tahun 2010 menjadi 484,110 pada tahun Salah satu ikan budi daya yang digemari 2014 (KKP 2015). Hal ini menunjukkan budi oleh masyarakat Indonesia adalah ikan mas (Cy- daya ikan mas mempunyai prospek yang tinggi prinus carpio). Di Indonesia, permintaan pasar untuk dikembangkan. Ikan mas merupakan salah akan ikan mas terus meningkat dari 282,695 ton satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis ______Penulis korespondensi tinggi dan diproduksi dalam sistem budi daya in- Alamat surel: [email protected] tensif. Sistem ini memerlukan pemberian pakan

Pertumbuhan ikan mas dengan pakan tambahan tepung kunyit buatan dalam jumlah cukup dan kualitas seim- kantung empedu mengeluarkan cairan empedu ke bang untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. dalam usus halus untuk meningkatkan pencer- Namun budi daya ikan mas memerlukan waktu naan lemak, protein, dan karbohidrat sehingga lebih dari empat bulan untuk mencapai ukuran aktivitas penyerapan zat-zat makanan meningkat, konsumsi (±200 g). dan minyak atsiri pada kunyit berfungsi mence- Upaya meningkatkan pertumbuhan ikan gah keluarnya asam lambung yang berlebihan mas dapat memberikan banyak manfaat seperti sehingga kondisi lambung tidak terlalu asam dan memperpendek waktu produksi, meningkatkan memudahkan penyerapan zat makanan oleh usus efisiensi pakan, dan meningkatkan produksi. Sa- halus (Darwis et al. 1991). lah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan Penggunaan kunyit pada bahan pakan te- ikan mas yaitu dengan mengoptimalkan fungsi lah diuji oleh beberapa peneliti. Arifin (2015) fisiologis organ tubuh ikan mas yaitu saluran melaporkan bahwa penambahan dosis ekstrak pencernaan. Organ penting yang berperan dalam kunyit 0,15% pada pakan ikan gurame (Osphro- saluran pencernaan adalah usus karena sangat nemus gouramy) mampu meningkatkan aktivitas berkaitan dengan aktivitas enzim pencernaan di enzim pencernaan amilase 0,974 U mg-1 dan pro- dalam tubuh ikan (Rojtinnakorn et al. 2012). Me- tease 10,170 U mg-1. Penelitian Rojtinnakorn et nurut Handayani (2006), enzim-enzim pencerna- al. (2012) pada ikan sand goby (Oxyeleotris mar- an memiliki peranan penting dalam proses pen- moratus) melaporkan bahwa pemberian ekstrak cernaan nutrien pakan. Ketersediaan enzim pen- kunyit dengan dosis 3% dapat meningkatkan cernaan akan memengaruhi efektivitas enzim aktivitas enzim amilase 27 U mg-1, lipase 2,01 U dalam mencerna pakan yang diberikan, dan se- mg-1, dan tripsin 32 U mg-1. Selanjutnya Dewi lanjutnya berpengaruh pada pertumbuhan. Salah (2015) melaporkan bahwa penambahan tepung satu cara untuk menstimulasi enzim pencernaan kunyit pada pakan ikan patin siam (Pangasiano- dapat lebih optimal yaitu melalui pemberian don hypopthalmus) dengan dosis pemberian (480 bahan alami (feed additive) kunyit (Curcuma mg kunyit/100 g pakan) mampu meningkatkan longa Linn.). laju pertumbuhan harian ikan patin siam. Berda- Bahan alami merupakan bahan yang di- sarkan hasil penelitian di atas yang memberikan tambahkan dalam jumlah kecil pada formulasi peningkatan pada pertumbuhan, maka perlu dila- pakan atau pada pakan yang sudah jadi. Bahan kukan penelitian penggunaan kunyit dalam pakan ini memiliki fungsi untuk mempertahankan ka- ikan mas. rakteristik gizi pakan, sebagai bahan pengawet, Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pe- perekat atau binder, dan dapat meningkatkan manfaatan tepung kunyit dengan dosis berbeda nafsu makan (FAO 2006). dalam pakan terhadap aktivitas enzim pencerna- Kunyit (Curcuma longa Linn.) mengan- an dan kinerja pertumbuhan ikan mas. dung kurkumin dan minyak atsiri. Kurkumin me- rupakan senyawa polifenol yang terdapat pada Bahan dan metode kunyit berkisar antara 3-6%. Menurut Sinurat et Tempat dan waktu penelitian al. (2009), tepung kunyit mengandung kurkumin Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 9,61% dan minyak atsiri 3,18%. Kurkumin me- April-Juni 2015. Pemeliharaan hewan uji dilaku- miliki fungsi yang dapat merangsang dinding

12 Putri et al. kan di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Perikanan Pakan uji dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pakan percobaan yang digunakan adalah

Pembuatan tepung kunyit pakan buatan dengan kandungan isoprotein Rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.) 29,51±0,93% dan isoenergi 3948,10±68,38 kkal diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat kg-1 pakan. Tepung kunyit dengan dosis 0, 1, 2 dan Aromatika (BALITRO) Cimanggu, Bogor. dan 3% dicampurkan ke dalam pakan. Selanjut- Kunyit dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran nya bahan baku pakan ditimbang sesuai dengan menggunakan air. Kunyit dikeringkan dalam formulasi yang sudah ditentukan seperti yang di- oven dengan suhu 40oC. Setelah kering, kunyit sajikan pada Tabel 1. Pakan dicetak dengan me- dihaluskan dengan menggunakan mesin penggi- sin pencetak pelet berdiameter 1-2 mm dan ling, kemudian diayak hingga menghasilkan te- dioven pada suhu 40 oC selama 24 jam. Pakan uji pung kunyit. Selanjutnya tepung kunyit dianalisis yang sudah berbentuk pelet dianalisis proksimat kandungan bahan aktifnya yaitu kurkumin dan untuk memastikan kandungannya sesuai dengan minyak atsiri. Hasil yang diperoleh kandungan formulasi yang sudah dibuat (Tabel 2). kurkumin 5,50% dan minyak atsiri 3,28%.

Tabel 1. Komposisi formulasi pakan uji Penambahan tepung kunyit Bahan baku (%) 0% 1% 2% 3% Tepung ikan 15 15 15 15 Tepung daging dan tulang 10 10 10 10 Tepung kedelai 25 25 25 25 Minyak ikan 1 1 1 1 Minyak jagung 1 1 1 1 Dedak gandum 41 40 39 38 Tapioka 4 4 4 4 Vitamin dan mineral 3 3 3 3 Tepung kunyit 0 1 2 3 Total 100 100 100 100

Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji yang ditambahkan tepung kunyit dengan dosis yang berbeda (% bobot kering) Penambahan tepung kunyit Kandungan nutrient 0% 1% 2% 3% Protein 29,17 30,48 30,01 28,38 Lemak 3,61 3,67 3,59 3,77 Abu 13,71 13,46 13,70 13,01 Serat kasar 7,25 4,06 6,12 5,60 BETN 46,26 48,33 46,57 49,24 GE (kkal kg-1) 3869,53 4033,12 3927,47 3962,30 C/P 13,27 13,23 13,09 13,96 Keterangan: BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, GE : Gross Energy 1 g protein = 5,6 kkal GE, 1 g karbohidrat/BETN = 4,1 kkal GE, 1 g lemak = 9,4 kkal GE (Watanabe 1988). C/P: nisbah energi protein

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 13 Pertumbuhan ikan mas dengan pakan tambahan tepung kunyit

Persiapan wadah dan pemeliharaan ikan Pada akhir uji pertumbuhan, 5 ekor ikan dari se- Wadah pemeliharaan yang digunakan be- tiap akuarium diambil secara acak untuk dilaku- rupa akuarium berukuran 60x40x35 cm3 seba- kan analisis proksimat tubuh. nyak 12 buah. Akuarium dibersihkan terlebih Pengamatan biokimia darah yang terdiri dahulu sebelum digunakan dengan cara dicuci, atas glukosa dilakukan pada hari ke-60 pemeliha- dibilas, dan dikeringkan. Pada masing-masing raan. Pengambilan sampel darah dilakukan de- akuarium dilengkapi dengan top filter untuk ngan mengambil 5 ekor ikan secara acak pada menjaga kualitas air, thermostat untuk menjaga setiap perlakuan. Sebelumnya ikan dibius dengan suhu tetap stabil dan aerator untuk menyuplai menggunakan stabilizer sebanyak 0,6 ppm. Sam- oksi-gen. pel darah diambil dari pembuluh vena di pangkal Ikan uji yang digunakan adalah ikan mas sirip ekor menggunakan syringe yang telah dibi- (Cyprinus carpio) dengan bobot rata-rata ikan las dengan antikoagulan dan dimasukkan ke da- awal sebesar 2,82±0,04 g sebanyak 120 ekor. lam tabung mikro. Pemisahan plasma dilakukan Ikan uji yang digunakan diadaptasikan terlebih dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 5-20 dahulu dengan diberi pakan komersial selama menit dan plasma dapat langsung dianalisis atau tujuh hari. Kemudian ikan dipuasakan selama disimpan pada suhu -20 oC hingga digunakan. satu hari sebelum ditimbang dan dimasukkan ke Setelah darah ikan mas diambil, kemudian dalam akurium dengan padat penebaran seba- ikan mas dibedah dan diambil organ hatinya nyak 10 ekor per akuarium. yang digunakan untuk pengamatan indeks hepa- Ikan dipelihara selama 60 hari dan diberi tosomatik (IHS), kadar air, dan kadar lemak. pakan uji dengan frekuensi pemberian pakan se- Pada saat pembedahan organ, usus juga diambil banyak tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul untuk dianalisis enzim pencernaan meliputi en- 08.00, 12.00, dan 16.00 dengan cara at satiation. zim protease, lipase, dan amilase. Analisis enzim Penyiponan dilakukan setiap hari, kemudian air pencernaan dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke- diisi kembali hingga ketinggian 25 cm. Air di- 60 pemeliharaan. ganti setiap tiga hari sekali sebanyak 25% dari volume media pemeliharaan. Selama masa pe- Parameter penelitian meliharaan, kualitas air dijaga dalam kisaran Aktivitas enzim pencernaan yang diukur yang layak untuk pertumbuhan ikan mas. meliputi enzim protease metode Bergemeyer et Oksigen terlarut diukur menggunakan alat al. (1983), enzim amilase metode Worthington dissolved oxygen meter (DO meter), pH diukur (1993), dan enzim lipase metode Borlongan dengan menggunakan pH meter, dan suhu diukur (1990). Rumus yang digunakan adalah sebagai secara in situ dengan menggunakan termometer. berikut:

Total amonium nitrogen (TAN) diukur menggu- U/ml = x fp x T nakan spektrofotometer dengan panjang gelom- Keterangan: U= aktivitas dalam international unit per bang 630 nm. Pembacaan skala di Laboratorium menit, OD= absorbansi, fp= aktor pengencer, T= wak- tu inkubasi Lingkungan, IPB. Jumlah konsumsi pakan merupakan jum- Penimbangan biomassa ikan mas dilaku- lah pakan yang dikonsumsi oleh ikan selama pe- kan pada hari ke-0, ke-30, dan ke-60. Sebelum meliharaan. Jumlah konsumsi pakan dihitung de- penimbangan ikan dipuasakan selama 24 jam. ngan cara menimbang jumlah pakan yang dikon-

14 Putri et al. sumsi ikan setiap harinya selama masa peme- Keterangan: LS= laju sintasan (%), Nt= jumlah ikan pada akhir pemeliharaan, No= jumlah ikan pada awal liharaan. pemeliharaan Laju pertumbuhan harian ikan dihitung Analisis indeks hepatosomatik (IHS) dila- berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh kukan pada akhir pemeliharaan. IHS diukur Huisman (1987), yaitu: dengan menimbang bobot hati (g) dibandingkan dengan bobot tubuh ikan uji (g). Penimbangan dilakukan dalam keadaan bobot basah. IHS dihi- tung berdasarkan persamaan yang dikemukakan Keterangan: LPH= laju pertumbuhan harian (%), Wt= oleh Kiriratnikom & Kiriratnikom (2012), yaitu: bobot rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan (g), Wo= bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan (g), t= periode pengamatan Efisiensi pakan dihitung menggunakan persamaan Takeuchi (1988), yaitu: Kadar lemak hati didapatkan melalui ana- lisis proksimat dengan metode Folch pada akhir penelitian AOAC (1999).

Keterangan: EP= efisiensi pakan (%), Wt= biomassa Pengukuran kadar glukosa darah dilaku- ikan pada akhir pemeliharaan (g), Wo= biomassa ikan kan menggunakan metode GLUCOSE liquicolor pada awal pemeliharaan (g), Wd= biomassa ikan yang mati selama pemeliharaan (g), F= jumlah pakan yang (Human mbH Jerman) dengan rumus sebagai diberikan selama pemeliharaan (g) berikut: Retensi protein di hitung melalui analisis proksimat protein tubuh ikan uji pada awal dan akhir penelitian. Rumus perhitungan retensi pro- -1 tein adalah sebagai berikut Guo et al. (2012): Keterangan: G= glukosa darah (mg dL ), As= absor- bansi sampel, Ksg= konsentrasi standar glukosa, Asg= absorbansi standar glukosa

Analisis data Keterangan: RP= retensi protein (%), Pt= jumlah pro- tein tubuh ikan pada akhir pemeliharaan (g), Po= jum- Rancangan yang digunakan adalah ran- lah protein tubuh ikan pada awal pemeliharaan (g), Pp= jumlah protein pakan yang dikonsumsi ikan (g) cangan acak lengkap dengan empat perlakuan Retensi lemak di hitung melalui analisis dan tiga ulangan. Parameter bobot tubuh akhir, proksimat lemak tubuh ikan uji pada awal dan jumlah konsumsi pakan, retensi protein, retensi akhir penelitian. Rumus perhitungan retensi le- lemak, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, mak adalah sebagai berikut Guo et al. (2012): laju sintasan, aktivitas enzim pencernaan (ami- lase, protease, lipase), lemak hati, kadar air hati, indeks hepatosomatik, glukosa darah, kadar pro- tein tubuh, kadar lemak tubuh, dianalisis meng- Keterangan: RL= retensi lemak (%), Lt = jumlah le- mak tubuh ikan pada akhir pemeliharaan (g), Lo= jum- gunakan Microsoft Excel 2013 dan dilakukan lah lemak tubuh ikan pada awal pemeliharaan (g), Ll= jumlah lemak pakan yang dikonsumsi ikan (g) analisis sidik ragam (ANOVA) dengan taraf ke- Sintasan ikan uji dihitung menggunakan percayaan 95% menggunakan SPSS 16. Apabila rumus Asdari et al. (2011), yaitu: hasil menunjukkan perbedaan yang nyata antar- perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 15 Pertumbuhan ikan mas dengan pakan tambahan tepung kunyit

Hasil nyata dan menghasilkan biomassa akhir tertinggi Penambahan tepung kunyit pada pakan yaitu sebesar 106,11 g, jumlah konsumsi pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terha- tertinggi yaitu 187,55 g dan laju pertumbuhan dap aktivitas enzim amilase dan protease, namun harian tertinggi yaitu 2,22%. Namun tidak mem- terhadap enzim lipase tidak berbeda nyata (Tabel berikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap 3). Aktivitas enzim amilase tertinggi terdapat pa- retensi protein, retensi lemak, efisiensi pakan, da perlakuan 2% sebesar 7,012 U mg-1 substrat dan laju sintasan (Tabel 5). dan terendah pada perlakuan 0% sebesar 2,945 U Penambahan tepung kunyit memberikan mg-1 substrat, sedangkan aktivitas enzim protease pengaruh yang berbeda nyata terhadap komposisi tertinggi terdapat pada perlakuan 2% sebesar kimiawi tubuh meliputi kandungan protein dan 0,032 U mg-1 substrat dan terendah pada perla- lemak tubuh ikan mas. Kandungan protein ter- kuan 0% sebesar 0,018 U mg-1 substrat. tinggi diperoleh pada perlakuan tepung kunyit Penambahan tepung kunyit pada peneliti- dengan dosis 2% yaitu sebesar 58,13% dan kadar an ini terlihat memberikan pengaruh yang berbe- lemak terendah diperoleh pada perlakuan dengan da nyata terhadap kadar air hati dan indeks hepa- dosis 2% yaitu sebesar 22,11% (Tabel 6). tosomatik (IHS). Pengaruh terhadap kadar lemak hati dan glukosa darah tidak berbeda nyata (Ta- Kualitas air bel 4). Selama penelitian dilakukan, parameter Penambahan tepung kunyit pada ikan mas kualitas air berada dalam kisaran layak untuk ke- menghasilkan peningkatan biomassa ikan akhir, giatan budi daya ikan mas meliputi suhu berkisar jumlah konsumsi pakan dan laju pertumbuhan 28-31oC, oksigen terlarut 5,1-6,7 mg L-1, pH harian. Hasil penelitian menunjukkan pada akhir 6,97-7,72 dan total amonium nitrogen 0,03-0,38 pemeliharaan perlakuan tepung kunyit dengan mg L-1. dosis 2% memberikan pengaruh yang berbeda

Tabel 3. Aktivitas enzim pencernaan ikan mas yang diberi pakan perlakuan tepung kunyit dengan dosis yang berbeda selama 60 hari pemeliharaan Parameter Penambahan tepung kunyit Awal (U/mg substrat) 0% 1% 2% 3% Enzim amilase 6,32 2,945±0,090a 5,509±0,367b 7,012±0,787c 4,572±0,756b Enzim protease 0,03 0,018±0,001a 0,024±0,003a 0,032±0,005b 0,022±0,004a Enzim lipase 1,77 1,628±0,025a 1,562±0,059a 1,552±0,024a 1,510±0,114a Keterangan: Huruf tika atas di belakang nilai simpangan baku yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 4. Kadar air hati, lemak hati, indeks hepatosomatik (IHS) dan glukosa darah ikan mas yang diberi pakan perlakuan tepung kunyit dengan dosis yang berbeda selama 60 hari pemeliharaan Parameter Penambahan tepung kunyit (%) 0% 1% 2% 3% Kadar air hati 61,77±3,20a 69,99±5,57b 68,73±1,21b 68,41±1,81b Lemak hati 11,79±0,90a 10,69±2,13a 10,21±1,74a 8,88±1,59a IHS 0,70±0,13a 0,89±0,10ab 1,07±0,25b 1,02±0,19ab Glukosa 104,38±12,31a 111,92±14,66a 131,51±11,92a 124,33±19,84a Keterangan: Huruf tika atas di belakang nilai simpangan baku yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).

16 Putri et al.

Tabel 5. Biomassa awal (W0), biomassa akhir (Wt), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), efisiensi pakan (EP), laju pertumbuhan harian (LPH), dan laju sintasan (TKH) ikan mas yang diberi pakan perlakuan tepung kunyit dengan dosis yang berbeda selama 60 hari pemeliharaan Penambahan tepung kunyit Parameter 0% 1% 2% 3% a a a a W0 (g) 28,18±0,55 28,15±0,87 28,40±0,13 28,11±0,87 Wt (g) 81,31±4,97a 93,25±3,80b 106,11±8,22c 98,75±4,97bc JKP (g) 138,50±1,15a 162,60±1,93b 187,55±11,39c 175,75±9,32bc RP (%) 18,97±1,70a 20,97±1,37a 21,13±1,99a 19,95±0,81a RL (%) 73,80±11,81a 73,78±14,89a 58,21±10,54a 59,24±10,67a LPH (%) 1,78±0,07a 2,02±0,02b 2,22±0,13c 2,12±0,10bc EP (%) 38,35±2,88a 40,03±1,41a 41,37±2,08a 40,17± 0,76a TKH (%) 100±0a 100±0a 100±0a 100±0a Keterangan: Huruf tika atas di belakang nilai simpangan baku yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 6. Kadar protein dan lemak tubuh ikan mas yang diberi pakan perlakuan tepung kunyit dengan dosis yang berbeda selama 60 hari pemeliharaan Parameter Penambahan tepung kunyit Awal (%) 0% 1% 2% 3% Protein 52,23 54,23±0,65a 57,15±3,06ab 58,13±1,77b 55,00±1,26ab Lemak 27,08 26,79±1,38b 25,73±3,01ab 22,11±1,90a 23,72±1,63ab Keterangan: Kadar air pada awal pemeliharaan 73,46%, dan akhir percobaan 0%: 75,30%, 1%: 75,05%, 2%: 76,10, dan 3%: 76,41%. Huruf tika atas di belakang nilai simpangan baku yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).

Pembahasan pencernaan lebih ditentukan oleh banyaknya pa- Penambahan tepung kunyit pada pakan kan yang dikonsumsi sebagai substrat cerna. Hal memengaruhi aktivitas enzim pencernaan (Tabel ini sesuai dengan penelitian Arifin (2015) bahwa 3). Aktivitas enzim amilase dan protease mening- penambahan dosis ekstrak kunyit 0,15% pada pa- kat pada ikan yang diberi tepung kunyit dosis 2% kan mampu meningkatkan aktivitas enzim amila- yaitu 7,012 U mg-1 substrat dan 0,032 U mg-1 se 0,974 U mg-1 dan protease 10,170 U mg-1 pada substrat. Hal ini diduga akibat zat aktif kurkumin ikan gurame. Rojtinnakorn et al. (2012) juga me- yang terdapat pada kunyit yang dapat meningkat- laporkan bahwa penambahan ekstrak kunyit de- kan jumlah konsumsi pakan. Semakin tinggi pa- ngan dosis 3% dapat meningkatkan aktivitas en- kan yang dikonsumsi dapat meningkatkan jumlah zim amilase 27 U mg-1, lipase 2,01 U mg-1, dan substrat untuk enzim, sehingga aktivitas enzim tripsin 32 U mg-1 pada ikan sand goby (Oxyeleo- meningkat (Rojtinnakorn et al. 2012). Menurut tris marmoratus). Rungruangsak-Torrissen et al. (2009), tingginya Nutrien yang telah dicerna kemudian aktivitas enzim pencernaan dapat dihubungkan akan dialirkan oleh pembuluh darah menuju hati dengan tingginya pakan yang dikonsumsi atau dan digunakan untuk proses metabolisme. Kadar tingginya pemanfaatan pakan yang berpengaruh glukosa darah menunjukkan hasil yang tidak ber- pada pertumbuhan somatik. Rust (2002) juga beda nyata. Arifin (2015) melaporkan bahwa menyatakan bahwa level aktivitas spesifik enzim penambahan dosis ekstrak kunyit sebesar 0,15%

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 17 Pertumbuhan ikan mas dengan pakan tambahan tepung kunyit meningkatkan kadar glukosa darah ikan gurame. Penambahan tepung kunyit 1, 2 dan 3% Nilai IHS yang diperoleh pada akhir penelitian tidak berpengaruh terhadap laju sintasan ikan meningkat seiring dengan meningkatnya dosis mas yaitu 100% untuk semua perlakuan. Namun pakan tepung kunyit. Peningkatan IHS tersebut penambahan tepung kunyit pada pakan mening- diduga karena meningkatnya jumlah sel hepatosit katkan nafsu makan ikan yang ditandai dengan lebih banyak, sehingga ukuran hati yang lebih peningkatan jumlah konsumsi pakan (Tabel 5). besar sebagai kompensasi pertumbuhan yang ce- Peningkatan jumlah konsumsi pakan diikuti de- pat dibandingkan dengan ikan yang mengonsum- ngan meningkatnya bobot tubuh akhir dan laju si pakan tanpa tepung kunyit. Peningkatan IHS pertumbuhan harian ikan mas, namun tidak di- juga dilaporkan pada ikan gurame sebesar 1,15% ikuti dengan efisiensi pakan yang menunjukkan lebih tinggi dibandingkan kontrol (Arifin 2015). tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan per- Retensi nutrien tertentu pada tubuh ikan tambahan bobot tubuh masing-masing perlakuan selama periode tertentu biasanya digunakan un- diimbangi oleh jumlah konsumsi pakan. Moko- tuk mengevaluasi ketersediaan dan keseimbang- ginta et al. (2004) menyatakan bahwa nilai efi- an asam amino dan ketersediaan beberapa ele- siensi pakan yang sama antarperlakuan disebab- men esensial nutrisi lainnya (Affandi et al. kan oleh pertambahan bobot tubuh masing- 2009). Nilai retensi protein menunjukkan tidak masing perlakuan juga diimbangi oleh jumlah berbeda nyata yaitu berkisar 18,97-21,13%. Hal konsumsi pakan. Penambahan tepung kunyit 2% ini diduga oleh keseimbangan asam amino pada menghasilkan bobot tubuh akhir ikan dan laju pakan yang diberikan kepada ikan. Menurut Ali pertumbuhan harian tertinggi pada ikan. Hal ini et al. (2008), retensi protein dipengaruhi oleh disebabkan oleh zat aktif kurkumin yang terdapat berbagai faktor termasuk kandungan protein pa- di dalam tepung kunyit bekerja secara efektif se- kan, keseimbangan asam amino, dan nisbah hingga penyerapan nutrien lebih tinggi. Menurut energi pakan. Darwis et al. (1991), kurkumin memiliki fungsi Penambahan tepung kunyit memengaruhi yang dapat merangsang dinding kantung empedu komposisi kimiawi tubuh akhir ikan mas yang untuk mengeluarkan cairan empedu ke dalam meliputi kandungan protein dan lemak tubuh. Pe- usus halus sehingga meningkatkan pencernaan nambahan tepung kunyit sebesar 2% meningkat- lemak, protein dan karbohidrat sehingga aktivitas kan kandungan protein tubuh ikan uji hingga penyerapan zat-zat makanan meningkat. Hal ini 58,13% dan menurunkan lemak tubuh hingga sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2015), bah- 22,11% (Tabel 6). Kandungan protein tubuh di- wa penambahan tepung kunyit pada pakan ikan pengaruhi oleh pengambilan protein pakan dan patin siam (Pangasianodon hypopthalmus) de- timbunan protein yang berkorelasi positif dengan ngan dosis pemberian (480 mg kunyit/100 g pa- kadar protein pakan (Phumee et al. 2008). Penu- kan) mampu meningkatkan laju pertumbuhan runan kandungan lemak tubuh disebabkan oleh harian ikan patin siam. zat aktif kurkumin yang merangsang sekresi Peningkatan penambahan tepung kunyit cairan empedu menjadi lebih cepat sehingga ter- hingga 3% pada pakan menghasilkan laju per- jadi peningkatan cairan empedu yang menye- tumbuhan ikan menurun (Tabel 5). Hal ini dise- babkan kadar lemak menurun (Bintang & Nata- babkan oleh kandungan zat anti nutrisi pada pa- amijaya). kan. Kunyit mengandung zat antinutrisi berupa

18 Putri et al. tannin, sehingga peningkatan persentase kunyit fatty acid composition. Aquaculture Nu- trition, 17(1): 44 53. mengakibatkan peningkatan tannin pada pakan. Bergemeyer HU, Grossl M, Walter HE. 1983. Tannin dapat mengganggu proses pencernaan Reagents for enzymatic analysis. In: Ber- dengan mengikat enzim pencernaan atau kom- gemeyer HU(ed.). Methods in Enzymatic Analysis. 3rd edition. Verlag Chemie, pleks komponen pakan seperti protein atau mine- Weiheim. pp. 274-275. ral, sehingga penyerapan nutrien terganggu dan Bintang IAK, Nataamijaya AG. 2006. Karkas pertumbuhan terhambat (NRC 2011). Hal sama dan lemak subkutan broiler yang menda- pat pakan dengan suplementasi tepung ku- juga dilaporkan oleh Rahmat & Kusnadi (2008) nyit (Curcuma domestica Val) dan tepung bahwa penambahan tepung kunyit dengan dosis lempuyang (Zingiber aromaticum Val). In: Saif YM. Prosiding Seminar Nasional 0,1% menghasilkan penurunan pertumbuhan pa- Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pu- da ayam yang disebabkan adanya zat antinutrisi sat Penelitian dan Pengembangan Peter- nakan. p. 623-628. berupa tannin. Borlongan LG. 1990. Studies on the digestive

lipases of milkfish, Chanos chanos. Aqua- Simpulan culture, 89(1-3): 315-325. Pemberian tepung kunyit dengan dosis 2% Darwis SN, Modjo Indo ABD, Hasiyah S. 1991. pada pakan ikan mas Cyprinus carpio me- Tanaman Obat Familia Zingiberaccae. Badan Penelitian dan Pengembangan Per- ningkatkan enzim amilase 7,012 U/mg, protease tanian Industri. Bogor. 103 hlm. 0,032 U/mg dan kinerja pertumbuhan ikan mas Dewi CD. 2015. Khasiat tepung kunyit (Curcu- 2,22% . ma longa) dalam pakan untuk meningkat- kan performan reproduksi ikan patin siam (Pangasianodon hypopthalmus). Tesis. Daftar pustaka Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 42 hlm. Affandi R, Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan: Pencernaan dan FAO (Food and Agriculture Organization)/OIE/ Penyerapan Makanan. IPB Press. Bogor. WHO. 2006. Joint report FAO/OIE/WHO/ 240 hlm. Expert consultation on antimicrobial use in aquaculture and antimicrobial resist- Ali A, Al-Ogaily SM, Al-Asgah NA, Goddard ance. Food and Agriculture Organization JS, Ahmed SI. 2008. Effect of different of the United Nations. Seoul, Republic of protein to energy (P/E) ratios on growth South Korea, June 13-16. performance and body composition of Oreochromis niloticus fingerlings. Journal Guo ZQ, Zhu XM, Liu JS, Han D, Yang YX, of Applied Ichtyology, 24(1): 31-37. Lan ZQ, Xie SQ. 2012. Effects of dietary protein level on growth performance, [AOAC] Association of Official Analytical Che- nitrogen and energy budget of juvenile mists. 1999. Official methods of analysis hybrid sturgeon ( × A. of AOAC Intl. 16th ed. Association of ). Aquaculture. 338 341: Official Analytical Chemists. Maryland 89 95. (US). p. 112-115 Handayani S. 2006. Studi efisiensi pemanfaatan Arifin PP. 2015. Evaluasi pemberian ekstrak karbohidrat pakan bagi pertumbuhan ikan kunyit Curcuma longa Linn. pada pakan gurame (Osphronemus gouramy Lac.) se- terhadap enzim pencernaan dan kinerja jalan dengan perubahan enzim pencernaan pertumbuhan ikan gurame Osphronemus dan insulin. Tesis. Program Pascasarjana gouramy. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hlm. Institut Pertanian Bogor. 39 hlm Huisman EA. 1987. Principle of Fish Product- Asdari R, Aliyu M, Hashim R, Ramachandran. ion. Department of Fish Culture and 2011. Effect of different dietary protein Fisheries. Wageningen Agricultural and lipid source in the diet for Pangasius University, The Netherland. 187 p. hypophthalmus (Sauvage, 1878) juvenile on growth performance, nutrient utiliza- Kiriratnikom S, Kiriratnikom A. 2012. Growth, tion, body indices and muscle and liver feed utilization, survival and body compo-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 19 Pertumbuhan ikan mas dengan pakan tambahan tepung kunyit

sition of fingerlings of slender walking moratus). 2nd International Conference catfish, Clarias nieuhofii, fed diets con- on Chemical, Biological and Environment taining different protein levels. Songkla- Sciences, 41-42. nakarin Journal of Science and Techno- Rungruangsak-Torrissen K, Stien LH, Daae BS, logy, 34(1) Vågseth T, Thorsheim GB, Tobin D, Ri- KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). tola O. 2009. Different dietary levels of 2015. Pelepasan ikan mas mantap sebagai protein to lipid ratio affected digestive pendukung produksi perikanan budidaya efficiency, skeletal growth, and muscle yang berkelanjutan. www.djpb.kkp.go.id. protein in rainbow trout families. Scho- [diunduh 26 Mei 2016]. larly Research Exchange, vol. 2009: 1-13. Mokoginta I, Hapsyari F, Suprayudi MA. 2004. Rust MB. 2002. Nutritional physiology In: Hal- Peningkatan retensi protein melalui pe- ver JE, Hardy RW (eds). 2002. Fish Nu- ningkatan efisiensi karbohidrat pakan trition, Third Edition. Academic Press. yang diberi chromium pada ikan mas London. p. 367-452 Cyprinus carpio Linn Jurnal Akuakultur Sinurat AP, Purwadaria T, Bintang IAK, Ketaren Indonesia, 3(2): 37-41. PP, Bermawie N, Raharjo M, Rizal M. NRC (National Research Council). 2011. Nutri- 2009. The utilization of turmeric and Cur- ent requirement of fish and shrimp. Nati- cuma xanthorrhiza as feed additive for onal Academic Press. Washington DC broilers. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner, (USA). p 376 14(2):90-96. Phumee P, Hashim R, Paiko MA, Chien ACS. Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical 2008. Effects of dietary and lipid content evaluation of dietary nutrients. In: Wata- on growth performance and biological nabe T (ed). Fish Nutrition and Maricul- indices of iridescent shark (Pangasius ture, Department of Aquatic Bioscience, hypophthalamus, Sauvage 1878) fry. Tokyo University of Fisheries. p 179-225. Aquaculture Research, 40(4): 456-463. Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Maricul- Rahmat A, Kusnadi E. 2008. Pengaruh penam- ture. JICA. Textbook. Department of bahan tepung kunyit (Curcuma domestica Aquatic Bioscience. Tokyo University of Val.) dalam ransum yang diberi minyak Fisheries, Japan. 233 p. jelantah terhadap performan ayam broiler. Worthington V. 1993. Worthington Enzyme Ma- Jurnal Ilmu Ternak, 8(1): 25-30. nual. Enzymes and Related Biochemicals. Rojtinnakorn J, Rittiplang S, Tongsiri S, Chaibu Worthington Chemical Corp., New Jersey, P. 2012. Tumeric extract inducing growth US. 399 p. biomarker in sand goby (Oxyeleotris mar-

20 , 17(1): 21-27 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.301

Pertumbuhan dan sintasan pascalarva ikan lalawak, balleroides (Valenciennes, 1842) di akuarium dengan kepadatan berbeda [The growth and survival rate of red tailed tinfoil, Barbonymus balleroides (Valenciennes, 1842) post-larvae in aquariums with different densities] Irin Iriana Kusmini, Fera Permata Putri, Deni Radona Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1, Bogor 16151

Diterima: 17 Juni 2016; Disetujui: 10 Januari 2017

Abstrak Ikan lalawak Barbonymus balleroides (Valenciennes, 1842) merupakan ikan lokal air tawar yang memiliki potensi un- tuk dibudidayakan sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan hias. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pertum- buhan dan sintasan pascalarva ikan lalawak berdasarkan padat tebar (3 ekor L-1, 4 ekor L-1 dan 5 ekor L-1). Penelitian dilakukan di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar Cijeruk, Bogor dan dilaksanakan secara eksperi- mental menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Pascalarva yang digunakan berukuran 0,37 cm dan merupakan hasil pemijahan secara induksi hormon. Pemeliharaan dilakukan dalam akuarium berukuran 60x30x30 cm3 dengan volume air 34 L. Selama 90 hari pemeliharaan pascalarva diberi pakan komersial ber- bentuk remah yang mengandung protein 40 % secara at-satiasi dengan frekuensi tiga kali per hari (pagi, siang, dan sore). Hasil penelitian menunjukkan nilai panjang, bobot, dan laju pertumbuhan spesifik tertinggi (P<0,05) pada perla- kuan padat tebar 5 ekor L-1 dengan nilai 1,8 cm, 0,24 g dan 2,72% sedangkan sintasan tertinggi pada perlakuan 3 ekor L-1 dengan nilai 86,76%.

Kata penting: lalawak, pertumbuhan, padat tebar, sintasan

Abstract Tinfoil barb Barbonymus balleroides (Valenciennes, 1842) is one of the local freshwater fish that have the potential to be cultured as fish consumption as well as ornamental fish. This study aimed to determine of the growth and survival rate of red tailed tinfoil post-larvae based stocking density (3 individualL-1, 4 individualL-1 and 5 individualL-1). This study was conducted in plasma nutfah research station, Bogor and experimentally used completely randomized design (CRD) with three treatments and three replications for each treatment. The post-larvae used in the experiment were sized 0.37 cm from induced breeding spawning. The post-larvae were reared in the aquarium (dimension= 60x30x30 cm) with a volume of 34 liters water. During reared (90 days) post-larvae were given commercial feed (protein content =40%) at-satiation with frequency of three times per day. The result showed the value of length, weight and the highest specific growth rate (P<0.05) in the treatment of stocking density 5 individualL-1 with value of 1.8 cm, 0.24 g and 2.72%, while the highest survival rate of 3 individualL-1 with a value of 86.76%.

Keywords: red tailed tinfoil, growth, stocking densities, survival rate

Pendahuluan Dalam manajemen kegiatan budi daya, sa- Ikan lalawak Barbonymus balleroides lah satu kegiatannya adalah pendederan. Pende- (Valenciennes, 1842) atau yang bisa disebut juga deran merupakan kegiatan lanjutan setelah pemi- dengan ikan balar atau ceceperan merupakan jahan ketika larva ikan akan dipisahkan dengan ikan asli perairan Indonesia yang bernilai ekono- induknya. Menurut Pawartining et al. (2003), mis. Ikan lalawak banyak tersebar di Jawa Barat pendederan perlu dilakukan untuk mendapatkan (Sumedang, Cianjur dan Kuningan) dan hidup di benih yang berkualitas sebelum ditebar di kolam sungai berarus cukup deras. pembesaran. Pada tahap pendederan diperlukan

______penentuan padat tebar agar sintasan dan pertum- Penulis korespondensi buhan ikan yang ditebar tetap optimal. Pening- Alamat surel: [email protected] katan padat tebar sampai batas tertentu dapat

Pertumbuhan dan sintasan pascalarva ikan lalawak

mengganggu proses fisiologis, menurunkan meliharaan pascalarva diberi pakan komersial pertumbuhan, dan sintasan (Wedemeyer 2001). berbentuk remah yang mengandung protein 40% Pengaturan padat tebar dapat meningkatkan nilai secara at-satiasi dengan frekuensi tiga kali sehari produksi berbagai komoditas, seperti ikan hias (pagi, siang, dan sore). Kondisi kualitas air dalam silver dollar Metynnis hypsauchen (Kadarini et akuarium dijaga dengan penyiponan dan peng- al. 2010), ikan tambakan Helostoma temminckii gantian air sebanyak 30-50% setiap tiga hari. (Joko et al. 2013), ikan mas rajadanu Cyprinus Pertumbuhan panjang, bobot, dan laju per- carpio (Radona et al. 2012), ikan nila BEST tumbuhan harian diamati setiap 30 hari dengan Oreochromis niloticus dan nilem Osteochilus mengukur panjang dan menimbang bobot indivi- vittatus (Radona et al. 2011), ikan lele Clarias du sebanyak 30 ekor per akuarium. Pengamatan gariepinus (Hermawan et al. 2012), dan jenis biomassa, nisbah konversi pakan, dan sintasan krustase seperti lobster Cherax quadricarinatus dilakukan pada akhir penelitian. Parameter yang (Budiardi et al. 2008). diamati dihitung berdasarkan rumus menurut Pada ikan lalawak diperlukan pengaturan Effendie (2002). padat tebar karena data dan informasi tentang pa- Pertumbuhan dat penebarannya masih belum ada dan akan P = Pt Po Keterangan: P= pertumbuhan panjang (cm), P = pan- menjadi penting dalam mendukung upaya pe- t jang akhir ikan hari ke-t (cm), Po= panjang awal ikan ningkatan produksi. Penelitian ini bertujuan (cm) untuk mengevaluasi pertumbuhan dan sintasan W = Wt Wo pascalarva ikan lalawak yang dipelihara pada Keterangan: W= pertumbuhan bobot (g), Wt= bobot akhir ikan hari ke-t (g), Wo= bobot awal ikan (g) akuarium dengan kepadatan berbeda. Laju pertumbuhan harian

LnWt LnWo Bahan dan metode LPH = X100 t Penelitian dilakukan pada bulan Januari- Keterangan: April 2016 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah LPH= laju pertumbuhan harian (%), Wt= bobot rata- Perikanan Air Tawar Cijeruk, Bogor. Penelitian rata ikan pada saat akhir (gram), Wo= bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram), t= lama perlakuan (hari) dilakukan secara eksperimental menggunakan Sintasan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan Nt kepadatan tebar ikan per liter air, (A) 3 ekor L-1 SR= X100 No (102 ekor per akuarium), (B) 4 ekor L-1 (136 ekor Keterangan: SR= sintasan, Nt= jumlah pascalarva awal -1 per akuarium) dan (C) 5 ekor L (170 ekor per pemeliharaan (ekor), No= jumlah pascalarva akhir pe- meliharaan (ekor) akuarium) dan masing-masing dengan tiga Nisbah konversi pakan ulangan. F Ikan lalawak yang digunakan berumur tiga NKP = (Wt D) Wo hari atau pascalarva (kandungan kuning telur ha- Keterangan: NKP= nisbah konversi pakan, F= bobot bis) yang berukuran 0,37 cm dan merupakan ha- pakan yang diberikan (g), Wt= bobot ikan pada akhir sil pemijahan secara induksi hormon. Pemeliha- penelitian (g), D= bobot ikan yang mati (g), Wo= bo- bot ikan pada awal penelitian (g) raan pascalarva dilakukan pada sembilan akua- Biomassa rium berukuran 60x30x30 cm3 dengan volume BMt BMd BM = air sebanyak 34 L. Setiap akuarium diberi aerasi BMo dengan intensitas yang sama. Selama 90 hari pe-

22 Kusmini et al.

Keterangan: BM= biomassa (g), BMt= biomassa ikan Nilai laju pertumbuhan harian selama pe- pada akhir penelitian (g), BMd= biomassa ikan mati selama penelitian (g), BMo= biomassa ikan pada awal nelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian penelitian (g) menunjukkan nilai laju pertumbuhan bobot hari- an yang diperoleh dari ketiga perlakuan menun- Sebagai data pendukung dilakukan penga- jukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Laju matan kondisi air di akuarium pada hari ke-2 pe- pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada meliharaan (sehari sebelum penyiponan) dengan perlakuan tebar 5 ekor L-1 dengan nilai panjang selang tiga jam selama 24 jam. Parameter suhu (1,01±0,145%) dan bobot (2,72±0,32 %); dan ( C), pH, dan oksigen terlarut (mg L-1) diukur yang terendah pada perlakuan padat tebar 3 ekor langsung saat pengamatan menggunakan Multi L-1 dengan nilai panjang (1,16±0,03%) dan bo- Parameter Water Quality Meter EC 900. Alkali- bot (2,43±0,02%). nitas (mg L-1), nitrat (mg L-1), dan nitrit (mg L-1) Sintasan pascalarva ikan lalawak pada diamati di laboratorium Uji Balai Penelitian dan akhir penelitian dari masing-masing perlakuan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Bogor yang disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menun- sudah terakreditasi (LP-711 IDN). jukkan perlakuan padat tebar 3 ekor L-1 memiliki Data yang diperoleh kemudian ditabulasi sintasan tertinggi dengan nilai 86,76 ± 18,38% dan dianalisis keragaman pertumbuhan dan sin- dan menunjukkan perbedaan secara nyata tasan dengan analisis varian (ANOVA). Perbeda- (P<0,05) dengan perlakuan padat tebar 4 ekor L-1 an antarperlakuan dianalisis lanjut dengan uji dengan nilai 54,90 ±18,38% dan perlakuan padat lanjut Duncan menggunakan bantuan program tebar 5 ekorL-1 dengan nilai 48,04±20,65%. SPSS versi 18. Biomassa dan nisbah konversi pakan yang

diperoleh selama selama penelitian disajikan pa- Hasil da Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan nilai Pertambahan panjang dan bobot rata-rata biomassa yang diperoleh dari ketiga perlakuan individu pascalarva ikan lalawak selama peneli- menunjukkan perbedaan yang tidak nyata tian disajikan pada Tabel 1 dan 2. Pertumbuhan (P>0,05). Nilai biomassa tertinggi diperoleh pada yang diperoleh dari ketiga perlakuan padat tebar perlakuan padat tebar 5 ekor L-1 sebesar 9,37± pascalarva ikan lalawak menunjukkan perbedaan 2,35 g dengan nilai nisbah konversi pakan 1,25. yang nyata (P<0,05). Nilai pertumbuhan panjang Hasil pengukuran kualitas air selama pe- dan bobot tertinggi pada perlakuan 5 ekor L-1 nelitian disajikan pada Tabel 6. dengan nilai 2,64±0,27 cm dan 0,26 ± 0,08 g.

Tabel 1. Pertumbuhan panjang ikan lalawak di akuarium selama 90 hari pemeliharaan Waktu pemeliharaan Pertumbuhan panjang (cm) (hari) 3 ekor L-1 4 ekor L-1 5 ekor L-1 30 1,36 ± 0,03 1,37 ± 0,01 1,46 ± 0,12 60 1,96 ± 0,03 2,06 ± 0,04 2,11 ± 0,25 90 2,37 ± 0,04a 2,38 ± 0,08a 2,64 ± 0,27b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata menurut Uji Duncan ( P>0,05).

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 23 Pertumbuhan dan sintasan pascalarva ikan lalawak

Tabel 2. Pertumbuhan bobot ikan lalawak di akuarium selama 90 hari pemeliharaan Waktu pemeliharaan Pertumbuhan bobot (g) (hari) 3 ekor L-1 4 ekor L-1 5 ekor L-1 30 0,03 ± 0,02 0,03 ± 0,01 0,04 ± 0,02 60 0,10 ± 0,04 0,12 ± 0,02 0,15 ± 0,07 90 0,20 ± 0,04a 0,22 ± 0,03a 0,26 ± 0,08b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata menurut Uji Duncan ( P>0,05).

Tabel 3. Laju pertumbuhan harian pascalarva ikan lalawak di akuarium selama 90 hari pemeliharaan Perlakuan Pertumbuhan panjang harian (%) Pertumbuhan bobot harian (%) 3 ekor L-1 1,16 ± 0,03a 2,43 ± 0,02a 4 ekor L-1 0,93 ± 0,04a 2,54 ± 0,13a 5 ekor L-1 1,01 ± 0,14a 2,72 ± 0,32b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata menurut Uji Duncan ( P>0,05)

Tabel 4. Sintasan pascalarva ikan lalawak selama 90 hari pemeliharaan Perlakuan Sintasan (%) 3 ekorL-1 86,76 ± 18,38a 4 ekorL-1 54,90 ± 18,38b 5 ekorL-1 48,04 ± 20,65c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata menurut Uji Duncan ( P>0,05).

Tabel 5. Biomassa dan nisbah konversi pakan pascalarva ikan lalawak selama 90 hari pemeliharaan Perlakuan Biomassa (g) Nisbah konversi pakan 3 ekorL-1 8,03 ± 0,82a 0,61 4 ekorL-1 6,82 ± 0,54a 0,84 5 ekorL-1 9,37 ± 2,35a 1,25 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata menurut Uji Duncan ( P>0,05).

Tabel 6. Nilai kualitas air di akuarium selama 90 hari pemeliharaan Variabel (Kualitas Air) Kisaran nilai Suhu (oC) 24-28 pH 6-7 Oksigen terlarut (mg L-1) 5,1-6,0 Alkalinitas (mg L-1) 88,4-91,1 Nitrit (mg L-1) 0,016-0,020 Nitrat (mg L-1) 0,71-1,62

Pembahasan tebar 5 ekorL-1 memiliki bobot tubuh lebih besar Perlakuan padat tebar memiliki pengaruh 30,27% daripada perlakuan padat tebar 4 ekorL-1 yang kuat pada pertumbuhan ikan. Nilai pertum- dan 37,71% daripada perlakuan padat tebar 3 buhan ikan yang diperoleh pada perlakuan padat ekorL-1, sedangkan panjang ikan pada perlakuan

24 Kusmini et al.

padat tebar 5 ekorL-1 lebih besar 14,87 % daripa- sehingga memiliki peluang yang lebih besar da- da perlakuan padat tebar 4 ekorL-1 dan lebih be- lam memperoleh pakan yang diberikan. Selain sar 16,13% daripada perlakuan padat tebar 3 ekor itu menurut Kholifah et al. (2008), padat tebar L-1. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, yang tinggi akan menyebabkan tingkat persaing- diduga kepadatan yang tinggi (5 ekor L-1) mam- an ruang gerak yang dapat menurunkan sintasan pu memanfaatkan ruang dan makanan dengan suatu organisme. Suhu yang relatif turun pada lebih baik sehingga berdampak positif pada per- malam hari (24 C) bisa juga mengakibatkan ikan tumbuhan ikan, sedangkan rendahnya nilai per- menjadi lebih mudah stres sehingga energi yang tumbuhan yang diperoleh pada kepadatan (3 ekor dihasilkan dari proses metabolisme yang diguna- L-1) diduga karena besarnya ruang gerak ikan se- kan untuk pertumbuhan dialihkan untuk memper- hingga semakin banyak energi yang digunakan tahankan diri (Diansari et al. 2013; Pawartining hanya untuk mobilitas bukan untuk pertumbuhan et al. 2003). (Rowland et al. 2006, Nurlaela et al. 2010). Parameter biomassa memperlihatkan hasil Pada parameter laju pertumbuhan harian yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Diperoleh ni- diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan padat lai biomassa dan nisbah konversi pakan tertinggi tebar 5 ekorL-1 dengan nilai 1,01±0,14 cm dan pada perlakuan padat tebar 5 ekorL-1 dengan nilai 2,72±0,32 g. Nilai laju pertumbuhan harian yang 9,37±2,35 g dan 1,25 (Tabel 5). Nilai nisbah kon- diperoleh berbanding lurus dengan nilai pertum- versi pakan dipengaruhi oleh daya serap dan efi- buhan (panjang dan bobot) yang didapatkan, se- siensi pakan (Allen 1974). Efisiensi pakan dipe- makin tinggi nilai pertumbuhan maka semakin ngaruhi oleh kemampuan ikan dalam memanfa- besar nilai laju pertumbuhan harian yang diha- atkan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi silkan. Studi pada beberapa spesies menunjukkan (Mulyadi et al. 2010). Berdasarkan pengamatan hal yang sama, ikan mas Cyprinus carpio (Rado- yang dilakukan bahwa pemanfaatan energi pakan na et al. 2012), ikan nilem Osteochilus vittatus pada ikan dengan kepadatan 5 ekorL-1 lebih efek- dan ikan nila BEST Oreochromis niloticus (Ra- tif dengan nilai pertumbuhan yang tertinggi. Bio- dona et al. 2011), dan ikan lele Clarias garie- massa merupakan bobot semua pascalarva yang pinus (Hermawan et al. 2012). masih hidup selama akhir pemeliharaan. Biomas- Pada parameter sintasan diperoleh hasil sa sangat dipengaruhi oleh nilai sintasan popula- yang berbanding terbalik dengan nilai pertum- si. Biomassa pada umumnya berbanding lurus buhan. Semakin tinggi kepadatan semakin rendah dengan sintasan pascalarva ikan (Ath-thar et al. nilai sintasan yang diperoleh. Rendahnya sintas- 2011). an pada perlakuan padat tebar 4 dan 5 ekorL-1 di- Pengukuran kondisi air pada akuarium di- duga berkaitan dengan jumlah kepadatan di atas lakukan untuk menunjang kegiatan pemeliharaan batas toleransi. Kepadatan yang tinggi cenderung karena lingkungan memengaruhi keberhasilan akan membuat ikan mudah menjadi stres (Jia et dalam proses budi daya terutama pertumbuhan. al. 2016, Rezeki et al. 2013). Padat tebar yang le- Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, bih banyak dapat mengakibatkan terjadinya kom- oksigen terlarut, dan alkalinitas (Oliveira et al. petisi baik dalam hal pakan maupun pemanfaatan 2012). Menurut Madinawati & Yoel (2011), suhu oksigen terlarut. Ikan-ikan yang memiliki fisik air yang optimal akan meningkatkan aktifitas yang lebih kuat akan dominan dalam bersaing makan ikan sehingga mempercepat pertumbuhan.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 25 Pertumbuhan dan sintasan pascalarva ikan lalawak

Secara umum nilai parameter kualitas air yang Hermawan AT, Iskandar, Subhan U. 2012. Pe- ngaruh padat tebar terhadap kelangsungan terukur (Tabel 6) dapat mendukung sintasan dan hidup pertumbuhan lele dumbo (Clarias proses pertumbuhan ikan yang dipelihara. Tidak gariepinus burch) di kolam Kali Menir Indramayu. Jurnal Perikanan Kelautan, ada perbedaan yang signifikan antara nilai kua- 3(3): 85-93 litas air pada setiap perlakuan kepadatan. Hal ini Jia R, Liu BL, Feng WR, Han C, Huang B, Lei dikarenakan penelitian dilakukan secara terkon- JL. 2016. Stress and immune responses in skin of turbot (Scophthalmus maximus) trol di panti benih. Berdasarkan kajian ekologi under different stocking densities. Fish menurut Yulfiperius (2006b) dan Kotellat (1993), and Shellfish Immunology, 55: 131-139. ikan lalawak dapat hidup pada suhu 25-28 oC, pH Joko, Muslim, Taqwa F. 2013. Pendederan larva -1 ikan tambakan (Helostoma temmincki) de- 6-7, oksigen terlarut 3,43-6,61 mg L , dan kadar ngan padat tebar berbeda. Jurnal Perikan- amonia 0,095-0,19 mg L-1. Lebih lanjut menurut an dan Kelautan, 18(2): 59-67. Yulfiperius et al. (2006a), nilai alkalinitas yang Kadarini T, Sholichah L, Gladiyakti M. 2010. -1 Pengaruh padat penebaran terhadap sin- diperoleh (> 78 mg L ) merupakan nilai yang tasan dan pertumbuhan ikan hias silver optimal untuk proses pertumbuhan serta laju sin- dollar (Metynnis hypsauchen) dalam sis- tasan pascalarva ikan lalawak. tem resirkulasi. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, Bandar Lampung, Indonesia. Jakarta, P4B. p. 409-416. Simpulan Kholifah U, Trisyani N, Yuniar I. 2008. Penga- Pada ikan lalawak stadia pascalarva yang ruh padat tebar yang berbeda terhadap ke- dipelihara selama 90 hari dengan padat tebar langsungan hidup dan pertumbuhan pada polikultur udang windu (Penaeus mono- yang tinggi (5 ekor L-1) dapat menurunkan nilai don) dan ikan bandeng (Chanos chanos) sintasan dan meningkatkan pertumbuhan panjang pada hapa di tambak Brebes-Jawa Tengah. Neptunus, 14(2): 152-158. dan bobot. Kotellat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoat- modjo S. 1993. Freshwater fishes of Daftar pustaka western Indonesia and Sulawesi: Ikan Air Allen KO. 1974. Effects of stocking density and Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sula- water exchange rate on growth and survi- wesi. Periplus, Jakarta. 344 p. val of channel catfish Ictalurus punctatus Madinawati NS, Yoel. 2011. Pemberian pakan in circular tanks. Aquaculture, 4: 29-39. yang berbeda terhadap pertumbuhan dan Ath-thar MHF, Prakoso VA, Gustiano R. 2011. kelangsungan hidup benih ikan lele dumbo Keragaan pertumbuhan hibridisasi empat (Clarias gariepinus). Media Litbang Sul- strain ikan mas. Berita Biologi, 10(5): teng, 4(2): 83-87. 613-620. Mulyadi, Usman MT, Suryani. 2010. Pengaruh Budiardi T, Irawan D, Wahjuningrum D. 2008. frekuensi pemberian pakan yang berbeda Pertumbuhan dan kelangsungan hidup terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan lobster capit merah (Cherax quadricari- benih silais (Ompok hypophthalmus). Te- natus) dipelihara pada sistem resirkulasi rubuk, 38 (2): 21-40. dengan kepadatan berbeda. Jurnal Akua- Nurlaela I, Evi T, Sulatro. 2010. Pertumbuhan kultur Indonesia, 7(2): 109-114. ikan patin nasutus (Pangasius nasutus) Diansari RRVR, Arini E, Elfitasari T. 2013. Pe- pada padat tebar yang berberda. In: Har- ngaruh kepadatan yang berbeda terhadap yanti, Imron, Rachmansyah, Sunarto A, kelulushidupan dan pertumbuhan ikan nila Sugama K, Sumiarsa GS, Parenrengi A, (Oreochromis niloticus) pada sistem resir- Azwar ZI, Sudrajat A, Kristianto AH, kulasi dengan filter zeolit. Journal of (editor). Prosiding Forum Inovasi Tekno- Aquaculture Management and Techno- logi Akuakultur. Bandar Lampung, Indo- logy. 2(3): 37-45. nesia. Jakarta, P4B. 31-36 p. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Oliveira EG, Pinheiro AB, Oliveira VQ, Junior Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm. AR, Moraes MG, Rocha IR, Sousa RR,

26 Kusmini et al.

Costa FH. 2012. Effect of stocking density pendederan di kolam air tenang. Berita on the performance of juvenile pirarucu Biologi, 11(2): 161-166. (Arapaima gigas) in cages. Aquaculture, Rezeki S, Hastuti S, Elfitasari T. 2013. Uji coba 370: 96-101. budidaya nila Larasati di keramba jaring Pawartining Y, Kadarini T, Rusmaedi, Subandi- apung dengan padat tebar berbeda. Jurnal yah S. 2003. Pengaruh padat penebaran Saintek Perikanan, 9(1): 29-39. terhadap pertumbuhan dan sintasan deder- Rowland SJ, Mifsud C, Nixon M, Boyd P. 2006. an ikan nila Gift (Oreochromis niloticus) Effect of stocking density on the perform- di kolam. Jurnal Iktiologi Indonesia, 3(2): ance of the Australian freshwater silver 63-66. perch (Bidyanus bidyanus). Aquaculture, Radona D, Prakoso VA, Ath-thar MFH. 2011. 253: 301-308. Padat tebar ikan nila (Oreochromis niloti- Wedemeyer G. 2001. Fish Hatchery Manage- cus) yang dipelihara secara polikultur de- ment. second edition. American Fisheries ngan ikan nilem (Osteochilus vittatus) di Society. New York. 751 p. kolam air tenang. In: Sudrajat A, Nainggo- lan C, Sondita F (editor). Prosiding Semi- Yulfiperius, Toelihere MR, Affandi R, Sjafei DS. nar Nasional Hasil Penelitian Perikanan 2006a. Pengaruh alkalinitas terhadap ke- dan Kelautan. Sekolah Tinggi Perikanan, langsungan hidup dan pertumbuhan ikan Jakarta, Indonesia. p.107-113. lalawak. Biosfera, 23(1): 38-43. Radona D, Asih S, Huwoyon GH. 2012. Opti- Yulfiperius. 2006b. Domestikasi dan pengem- malisasi kepadatan benih ikan mas bangbiakan dalam upaya pelestarian ikan (Cyprinus carpio) strain rajadanu pada lalawak (Barbodes sp.). Disertasi, Institut Pertanian Bogor. 156 p.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 27 , 17(1): 29-43 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.302

Penggunaan serotonin dalam formulasi hormon pregnant mare serum gonadotropin dan antidopamin untuk menginduksi perkembangan gonad ikan ringau, Datnioides microlepis Bleeker, 1854 [Serotonin application in pregnant mare serum gonadotropin hormone and dopamin antagonist formulation to induce gonadal development of Indonesian tigerfish (Datnioides microlepis Bleeker, 1854)] Bastiar1 , Agus Oman Sudrajat2, Melta Rini Fahmi1 1Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas, Depok 16436

2Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Jalan Agatis 1, kampus IPB Dramaga 16680

Diterima: 12 Mei 2017; Disetujui: 17 Januari 2017

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan serotonin (5-hydroxytryptamine atau 5-HT) dalam formulasi hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan antidopamin (AD) terhadap perkembangan gonad ikan ringau. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan (dosis.kg-1 bobot tubuh ikan): (P1) 1 ml NaCl 0,9% (kontrol); (P2) 20 IU PMSG+10 mg AD; (P3) 20 IU PMSG+10 mg AD+0,2 mg 5-HT; (P4) 20 IU PMSG+10 mg AD+2 mg 5-HT; dan (P5) 20 IU PMSG+10 mg AD+4 mg 5-HT. Setiap perlakuan diujikan pada lima ekor ikan sebagai ulangan individu. Penyuntikan hormon dilakukan setiap 10 hari dengan lama penelitian 60 hari. Hor- mon disuntikkan secara intramuskular pada bagian bawah sirip punggung ikan uji. Ikan yang digunakan merupakan hasil tangkapan alam dengan ukuran panjang total 17,5-33,0 cm dan bobot tubuh 118-926 g. Selama penelitian, ikan uji diberi pakan berupa udang dan ikan-ikan kecil (hidup) dua kali sehari secara satiasi. Parameter yang diamati adalah in- deks kematangan gonad, indeks hepatosomatik, konsentrasi estradiol- plasma dan tingkat kematangan gonad berda- sarkan morfologi dan histologi gonad. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan 2 mg 5-HT dalam 20 IU PMSG dan 10 mg AD (perlakuan P4) menghasilkan perkembangan gonad yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai indeks kematangan gonad, indeks hepatosomatik, dan konsentrasi E2 plasma tertinggi diperoleh pada perlakuan P4 dengan nilai masing-masing sebesar 2,38±0,06%; 3,09±0,12% dan 37,14±2,99 -1. Nilai tersebut berbeda nyata p<0.05) dengan perlakuan lainnya. Perlakuan P4 meningkatkan konsentrasi E2 plasma dua kali lebih besar dibanding- kan sebelum penyuntikan serta menghasilkan perkembangan gonad yang mencapai tingkat kematangan gonad tahap III.

Kata penting: ikan ringau, perkembangan gonad, PMSG, serotonin

Abstract The objective of study was to analyze the effect of serotonin (5-HT) in the formulation of hormones Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) and dopamin antagonist (AD) hormones to gonad development of tigerfish. This study used completely randomized design (CRD) with five treatments of hormone namely: (P1) 1 ml of 0.9% NaCl (control); (P2) 20 IU PMSG+10 mg AD; (P3) 20 IU PMSG AD+10 mg+0.2 mg 5-HT; (P4) 20 IU PMSG+10 mg AD+2 mg 5- HT; and (P5) 20 IU PMSG+10 mg AD+4 mg 5-HT. Each treatment was tested on five fish as individual replications. Hormone injected intramuscularly at the lower part of the of fish every 10 days. The fish were reared for 60 days. Fish that were used at this study were originate from natural catches as much as 25 fishes with 17.5 33.0 cm of total length and 118 926 g of body weight. During the study, fish fed using shrimp and small fish (live) twice daily at -estradiol (E2) plasma concentration and gonad maturity level based on morphology and histology examination. The results showed that the use of 2 mg of 5-HT are added to 20 IU PMSG and 10 mg AD (treatment P4) has stimulated the fish to had the highest GSI (2.38 ± 0.06%) and HSI (3,09±0,12%) which was significantly different to other treatment. The treatment (P4) -1) two fold compared with the concentration before injection and stimulated the gonadal development to stage III.

Keywords: Indonesian tigerfish, gonadal development, PMSG, serotonin

______Penulis korespondensi Alamat surel: [email protected] Perkembangan gonad ikan ringau

Pendahuluan secara alami maupun buatan. Permasalahan lain Ikan ringau atau Indonesian tiger fish yang dihadapi dalam upaya pemijahan ikan ri- (Datnioides microlepis) merupakan salah satu ngau adalah keterbatasan ukuran induk serta ku- spesies ikan hias air tawar dari famili Datnioidi- rangnya informasi tentang daur reproduksinya. dae yang hidup di perairan sungai dan danau di Kemampuan ikan ringau untuk memijah daerah Sumatera dan Kalimantan (Kottelat et al. di alam dipengaruhi oleh berbagai faktor ling- 1993). Ikan ringau sangat potensial untuk dikem- kungan diantaranya suhu perairan, fotoperiode, bangkan karena termasuk salah satu ikan hias ko- curah hujan, substrat, pH, alkalinitas, arus su- moditas ekspor yang memiliki harga dan permin- ngai, dan kedalaman perairan (Mananos et al. taan yang relatif cukup tinggi namun pemenuh- 2009, Podhorec & Kouril 2009). Dalam wadah annya masih mengandalkan hasil tangkapan dari budi daya, beberapa faktor lingkungan yang me- alam. Tingginya permintaan pasar menyebabkan mengaruhi fungsi reproduksi tidak tersedia se- aktifitas penangkapannya semakin tinggi pada hingga ikan tidak dapat melangsungkan aktifitas berbagai ukuran sehingga mengancam kelestari- reproduksinya dengan baik (Keys & Crocos annya. Disamping itu kerusakan habitat akibat 2006, Mylonas et al. 2010, Lorenzen et al. 2012). perubahan fungsi lahan menjadi area pertam- Beberapa faktor lingkungan yang berperan dalam bangan, perkebunan, dan permukiman menye- reproduksi seperti suhu, fotoperiode, salinitas, babkan terjadinya penurunan populasinya bahkan dan substrat pemijahan dapat dimanipulasi, na- menjurus kepada kepunahan. Oleh karena itu, mun ada juga faktor lingkungan yang sulit dima- kegiatan budi daya menjadi salah satu upaya nipulasi seperti alur ruaya pemijahan, kedalaman, konservasi ex situ untuk mencegah kepunahan, dan tekanan air sehingga memengaruhi stimulasi mengurangi tekanan populasi di alam, dan untuk reproduksi ikan (Gallego et al. 2012). Oleh kare- memenuhi kebutuhan pasar ikan hias. na itu, penggunaan hormon eksogen merupakan Keberhasilan pemijahan ikan ringau dalam salah satu cara yang efektif untuk merangsang lingkungan budi daya sangat bergantung pada pematangan gonad pada ikan (Mylonas et al. ketersediaan induk matang gonad, namun pema- 2010). Salah satu hormon yang dapat diterapkan tangan gonad ikan ringau dalam wadah budi daya dalam pematangan gonad ikan adalah Pregnant masih mengalami berbagai permasalahan. Upaya Mare Serum Gonadotropin (PMSG) (Nagahama pematangan gonad ikan ringau dalam lingkungan et al. 1991, Gallego et al. 2012). terkontrol telah dilakukan baik melalui pendekat- Hormon PMSG merupakan glikoprotein an lingkungan dengan merekayasa wadah peme- kompleks yang diperoleh dari serum kuda hamil liharaan (Sholichah et al. 2010), pemeliharaan yang memiliki sifat aktivitas biologis ganda se- berdasarkan kelompok ukuran yang sama (Roh- bagai hormon gonadotropin (GtH), yaitu berefek my et al. 2012), pemeliharaan dalam media air Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berpe- bersalinitas rendah (Rohmy et al. 2014), maupun ran pada proses perkembangan gonad (viteloge- melalui pendekatan pakan dengan pemberian nesis) dan Luteinizing Hormone (LH) yang ber- kombinasi berbagai jenis pakan alami (Rohmy et peran pada proses pematangan akhir (Gallego et al. 2011) belum mampu merangsang perkem- al. 2012). PMSG merangsang terjadinya lonjakan bangan gonadnya yang dapat dipijahkan baik kadar GtH sehingga mempercepat terjadinya per-

30 Bastiar et al. kembangan gonad dan ovulasi (Bolamba et al. di Laboratorium Biologi Perkembangan dan Re- 1992). Sintesis dan sekresi hormon gonadotropin produksi, Fakultas MIPA Universitas Indonesia. (GtH) dari kelenjar hipofisis dipengaruhi oleh neurotransmitter yang diproduksi di hipotalamus Bahan penelitian dan daerah preoptik otak ikan, yaitu dopamin. Bahan penelitian yang digunakan yaitu Dopamin menghambat sekresi Gonadotropin ikan ringau (Datniodes microlepis) berukuran Releasing Hormon (GnRH) dari hipotalamus panjang total 17,5-33,0 cm dan bobot tubuh 118- (Kreke & Dietrich 2008). Kerja dopamin dapat 926 g yang diperoleh dari pengumpul dan meru- dihambat dengan pemberian antidopamin (AD) pakan hasil tangkapan alam di daerah Palembang sehingga sekresi gonadotropin akan meningkat. (Sumatera Selatan), hormon Pregnant Mare Se- Neurotransmitter lain yang berperan dalam pro- rum Gonadotropin (PMSG) dan antidopamin ses perkembangan gonad adalah serotonin atau (AD) serta serotonin atau 5-hydroxytryptamine 5-hydroxytryptamine (5-HT) (Iwamatsu et al. (5-HT) produksi Sigma. Sebelum ditebar, ma- 1992, Khan & Thomas 1992, Iwamatsu et al. sing-masing ikan uji diberi penanda (microchip 1993, Cerda et al.1998a). Serotonin berperan implant) yang dipasangkan di bawah permukaan memodulasi fungsi reproduksi ikan melalui kulit bagian punggung ikan menggunakan jarum beberapa jalur termasuk melalui area preoptic- tagging. hipotalamus, hipofisis maupun langsung bekerja pada gonad, serta bertindak dalam memberi Rancangan percobaan pengaruh stimulasi pada sel gonadotropin dan Penelitian ini menggunakan rancangan menghambat sekresi dopamin sehingga mening- acak lengkap dengan lima perlakuan dan lima katkan kadar hormon gonadotropin (Somoza et ulangan individu ikan. Perlakuan yang diujikan al. 1988, Prazad et al. 2015). Penyuntikan hor- adalah penambahan serotonin (5-HT) dengan mon PMSG dan AD yang dikombinasikan de- dosis berbeda yaitu 0; 0,2; 2; dan 4 mg ke dalam ngan 5-HT diharapkan dapat memicu proses formulasi hormon 20 IU PMSG dan 10 mg AD vitellogenesis dan maturasi gonad ikan ringau. (PMSG-AD). Kombinasi hormon perlakuan di- Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pe- buat dalam bentuk larutan dan dosis penyuntikan ngaruh penggunaan serotonin (5-HT) dalam for- sebesar 1 ml.kg-1 bobot tubuh ikan uji. Perlakuan mulasi hormon Pregnant Mare Serum Gonado- uji terdiri atas: (P1) larutan fisiologis (NaCl tropin (PMSG) dan antidopamin (AD) terhadap 0,9%) sebagai kontrol, (P2) PMSG-AD, (P3) perkembangan gonad ikan ringau. PMSG-AD+0,2 mg 5-HT, (P4) PMSG-AD+2 mg 5-HT, dan (P5) PMSG-AD+4 mg 5-HT. Bahan dan metode Waktu dan tempat penelitian Pemeliharaan ikan uji dan penyuntikan hormon Penelitian dilaksanakan bulan Mei-Agus- Ikan dipelihara dalam bak semen berukur- tus 2014 di Laboratorium Reproduksi, Balai Pe- an 200 x 150 x 100 cm3 dengan ketinggian air 85 nelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias cm dilengkapi dengan sistem sirkulasi. Selama (BPPBIH) Depok. Analisis konsentrasi hormon pemeliharaan, ikan uji diberi pakan berupa udang estradiol- dan ikan kecil secara satiasi. Kondisi air media BPPBIH dan analisis histologi gonad dilakukan pemeliharaan selama penelitian relatif stabil de-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 31 Perkembangan gonad ikan ringau ngan suhu berkisar 26,3-29,9 oC, pH air berkisar histologis diamati menggunakan mikroskop bi- 5,4-6,5; dan oksigen terlarut 7,41-7,53 mg.L-1. nokuler dengan pembesaran 100 dan 400 kali. Penyuntikan dilakukan setiap 10 hari de- ngan lama pemeliharaan 60 hari. Sebelum pe- Penentuan nilai indeks kematangan gonad, indeks hepatosomatik, dan tingkat kematangan nyuntikan, ikan terlebih dahulu dibius menggu- gonad nakan ethylene glycol monophenyl ether dengan dosis 0,3 ml.L-1 air. Kemudian dilakukan pe- Pada akhir penelitian dilakukan pembe- nimbangan untuk menentukan jumlah hormon dahan ikan uji untuk pengamatan struktur mor- yang diberikan. Penyuntikan hormon dilakukan fologis gonad, penghitungan nilai indeks kema- secara intramuskular pada bagian bawah sirip tangan gonad (IKG) dan indeks hepatosomatik punggung. (IHS) serta tingkat kematangan gonad (TKG). Bobot gonad dan hati ikan ditimbang mengguna- Analisis estradiol dalam plasma darah kan timbangan digital dengan tingkat ketelitian Pengambilan sampel darah untuk mengu- 0,01 g. Selanjutnya dilakukan analisis IKG, IHS, kur konsentrasi estradiol- dilaku- dan TKG. kan setiap 10 hari sebelum penyuntikan hormon. IKG dihitung berdasarkan perbandingan Darah diambil dari dorsal aorta melalui pangkal bobot gonad dengan bobot ikan uji dengan meng- ekor sebanyak 0,8-1 ml menggunakan syringe acu kepada rumus Effendie (2002): yang telah diberi heparin. Sampel darah yang di- peroleh dimasukkan kedalam mikrotube 1,5 ml selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 10.000 IHS dihitung berdasarkan perbandingan bobot rpm selama 10 menit pada suhu 5oC. Plasma da- hati dan bobot tubuh ikan uji dengan mengacu kepada rumus Magalhaes et al. (2012): rah dimasukkan kedalam mikrotube baru kemu- dian disimpan dalam freezer (-20oC) untuk selan- jutnya dilakukan pengukuran konsentrasi E2 TKG ikan ringau setelah perlakuan injeksi plasma. Pengukuran konsentrasi E2 dalam plas- hormon dianalisis berdasarkan hasil pengamatan ma darah dilakukan menggunakan metode struktur morfologis dan histologis gonad yang ELISA kit komersial (Catalog No. EIA 2693) mengacu pada ikan Perca fluviatilis (Treasurer & yang diproduksi oleh Sigma. Holliday 1981) seperti disajikan pada Tabel 3.

Preparasi dan pengamatan histologi gonad Analisis data Preparasi histologi gonad dilakukan seba- Nilai IKG, IHS, konsentrasi E2 plasma, dan gai berikut: gonad dimasukkan dalam wadah ber- pertumbuhan bobot dianalisis secara statistik isi larutan bouin (campuran antara asam asetat menggunakan analisis ragam (ANOVA), dan jika glasial 5 ml ditambah dengan formalin 40% se- terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji banyak 25 ml dan asam pikrat jenuh 75 ml). Duncan dengan selang kepercayaan 95% meng- Selanjutnya gonad dicuci dengan air bersih dan gunakan program SPSS versi 22. Hasil penga- dilakukan proses pembuatan preparat histologis matan struktur morfologis dan histologis gonad mengacu pada metode Gunarso (1989). Struktur dianalisis secara deskriptif.

32 Bastiar et al.

Tabel 3. Ciri-ciri perkembangan gonad ikan Perca fluviatilis (Treasurer & Holliday 1981) TKG Nama periode Deskripsi I Oogonoia Dua ovarium primordial dipisahkan oleh lapisan epitel; ovarium mengandung sel primer (3,3-6,7 µm), oogonia (13,3-20,0 µm), dan oosit primer (13,3-60,0 µm) II Pre-vitellogenesis Ovarium lebih berkembang: ovarium diselimuti lamella ovigerous; diameter oosit primer telah meningkat menjadi 20,0-116,6 µm III Perkembangan awal Oosit berkembang dan berukuran 162-346 µm; folikel terdiri atas lapisan (vitellogenesis awal) teka dan granulosa; chorion yang terdiri tunica propria, zona radiata dan jaringan terlihat longgar; terjadi pembentukan vesikel kuning telur IV Perkembangan akhir Struktur oosit (bagian-bagian oosit) lebih jelas, diameter oosit mencapai (vitellogenesis) 773 µm; ooplasma hampir terisi penuh dengan granula kuning telur; chorion lebih luas.

Hasil nunjukkan IHS pada perlakuan P4 berbeda nyata Indeks kematangan gonad (p<0,05) dengan perlakuan lainnya. Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan uji sebelum dan setelah perlakuan penyun- Tingkat kematangan gonad tikan disajikan pada Gambar 1. Nilai IKG pada Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan awal penelitian adalah 0,12, setelah dilakukan uji dianalisis berdasarkan hasil pengamatan penyuntikan hormon terjadi peningkatan IKG struktur morfologis dan histologis gonad. Berda- pada semua perlakuan. IKG tertinggi pada akhir sarkan hasil pengamatan struktur morfologis penelitian yaitu 2,38±0,06 terdapat pada perlaku- gonad (Gambar 3) dan struktur histologis gonad an P4, diikuti oleh perlakuan P5 (1,70±0,09), P3 (Gambar 4 dan 5) terlihat bahwa perkembangan (1,59±0,02), P2 (1,41±0,06), dan terendah pada gonad ikan uji paling baik diperoleh pada perla- perlakuan P1/kontrol (0,77±0,09). Hal ini didu- kuan P4 (PMSG-AD + 2 mg 5-HT). kung oleh hasil analisis statistik yang menun- Hasil pengamatan struktur morfologis go- jukkan IKG pada perlakuan P4 berbeda nyata nad menunjukkan bahwa perlakuan P4 mengha- (p<0,05) dengan perlakuan lainnya. silkan perkembangan gonad ikan uji yang lebih baik dengan ukuran yang lebih besar dibanding- Indeks hepatosomatik kan dengan perlakuan lainnya. Gonad ikan uji Nilai indeks hepatosomatik (IHS) selama pada perlakuan P4 mengandung oosit yang ter- penelitian juga mengalami peningkatan setelah lihat dari permukaan gonad. Pada perlakuan P1 penyuntikan hormon yang disajikan pada Gam- (kontrol), gonad ikan uji belum berkembang dan bar 2. Nilai IHS pada awal penelitian adalah terlihat masih sangat tipis. Pada perlakuan P2, 1,16% dan meningkat setelah penyuntikan hor- P3, dan P5 gonad ikan uji terlihat sudah ber- mon (Gambar 2). IHS tertinggi pada akhir pene- kembang dibandingkan dengan gonad ikan uji litian sebesar 3,09±0,12% diperoleh pada perla- pada perlakuan P1 namun ukurannya lebih kecil kuan P4, diikuti perlakuan P3 (2,15±0,08%), P2 dibandingkan gonad ikan uji pada perlakuan P4 (1,77±0,11%), P5 (1,63±0,15 %) dan terendah (Gambar 3). pada perlakuan P1/kontrol (1,51±0,09 %). Hal ini Struktur histologis gonad juga memperli- didukung oleh hasil analisis statistik yang me- hatkan bahwa perlakuan P4 memiliki struktur dan ukuran oosit yang berbeda dengan perlakuan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 33 Perkembangan gonad ikan ringau lainnya. Oosit pada perlakuan P4 terlihat paling llogenesis. Ukuran oosit terbesar yang didapat- berkembang, dalam hal ini inti telur (nukleus) su- kan pada perlakuan ini mencapai ± 250 µm dan dah terlihat dan terdapat nukleoli di sekitar nu- didominasi oleh ukuran ±70-100 µm. Berdasar- kleus oosit (Gambar 4). Selain itu, terlihat ada- kan ciri-ciri tersebut maka perkembangan gonad nya butiran lemak dan granula kuning telur pada ikan uji pada perlakuan P4 termasuk dalam tahap lapisan ooplasma sebagai hasil dari proses vite- TKG III.

d

c c b

a

Gambar 1. Indeks kematangan gonad ikan ringau pada awal (n=1) dan akhir penelitian (n=3) dari semua perlakuan. P1: larutan NaCl 0,9% (kontrol); P2: PMSG-AD; P3: PMSG-AD+0.2 mg 5-HT; P4: PMSG-AD+2 mg 5-HT; dan P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT. Notasi huruf yang berbeda pada masing-masing perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

d

c b ab a

Gambar 2. Indeks hepatosomatik ikan ringau pada awal (n=1) dan akhir penelitian (n=3) semua perlakuan. P1: larutan NaCl 0,9% (kontrol); P2: PMSG-AD; P3: PMSG-AD+0.2 mg 5-HT; P4: PMSG- AD+2 mg 5-HT; dan P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT. Notasi huruf yang berbeda pada masing- masing perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05).

34 Bastiar et al.

A P3

L G L G

P1 P4

G L L G

P2 P5

L G L G

Gambar 3. Struktur morfologis gonad ikan ringau sebelum perlakuan induksi hormon (A) dan se- mua perlakuan (P1, P2, P3, P4 & P5) pada akhir penelitian (hari ke-60). P1: larutan NaCl 0,9%; P2: PMSG-AD; P3: PMSG-AD+0,2 mg 5-HT; P4: PMSG-AD+2 mg 5-HT; P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT; G: gonad; dan L: lemak.

P4-a P4-b

Ld N

N Ni

N Yg

400 µm 100 µm Ld

Gambar 4. Struktur histologis gonad ikan ringau perlakuan P4 dengan perbesaran 100X (P4-a) dan perbe- saran 400X (P4-b). Ni= nukleoli; N= Nukleus; Ld=butiran lemak Yg=granula kuning telur

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 35 Perkembangan gonad ikan ringau

P1

P2 P3

P4 P5

Gambar 5. Struktur histologis gonad ikan ringau semua perlakuan pada akhir penelitian (HE perbesaran 400X (P1, P2, P3 dan P5), skala bar 50 µm dan perbesaran 100X (P4), skala bar 200 µm). P1: larutan NaCl 0,9%; P2: PMSG-AD; P3: PMSG-AD+0.2 mg 5-HT; P4: PMSG-AD+2 mg 5-HT; dan P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT. Tanda panah: lamella ovigerous

Pada perlakuan P1 (kontrol), gonad dan 4 mg (P5), tingkat kematangan gonad ikan mengandung oosit (oogonia dan oosit primer) uji yang didapatkan berada pada tahap TKG II. dengan ukuran ±10-40 µm dan didominasi oleh Pada tahap ini, ukuran oosit sudah lebih berkem- ukuran ± 25 µm. Pada perlakuan ini, tingkat ke- bang (diameter ±20-65µm) dibandingkan dengan matangan gonad masih berada pada tahap TKG I. perlakuan P1. Ukuran terbesar diameter oosit Pada perlakuan penyuntikan hormon lainnya baik yang teramati pada ketiga perlakuan tersebut (P2, dengan PMSG-AD (P2) maupun yang dikombi- P3 dan P5) sebesar ±65 µm, namun inti telur be- nasikan dengan 5-HT dengan dosis 0,2 mg (P3) lum terlihat dengan jelas (Gambar 5).

36 Bastiar et al.

hari ke-40 kecuali pada perlakuan P1. Pada hari Konsentrasi estradiol- ke-50 dan ke-60, secara umum konsentrasi E2 Pada awal penelitian (sebelum perlakuan semakin meningkat pada semua perlakuan mes- penyuntikan), konsentrasi E2 rata-rata didapat- kipun terjadi fluktuasi pada hari ke-60. Konsen- -1. Pada hari ke-10 trasi E2 tertinggi pada hari ke-60 diperoleh pada hingga ke-20, secara umum terjadi penurunan -1), diikuti perla- konsentrasi E2 pada semua perlakuan. Konsen- -1), kemudian perla- trasi E2 tertinggi pada hari ke-10 terjadi pada -1), P1 (28,48±2,74 perlakuan P1 (1 -1) dan terendah -1), dan terendah perlakuan P3 (22,25±3,22 -1). Pada hari -1). Berdasarkan analisis statistik, konsen- ke-20, konsentrasi E2 tertinggi terjadi pada perla- trasi E2 perlakuan P4 pada akhir penelitian ber- -1) dan terendah pada beda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan perla- -1). Pada hari ke- kuan lainnya (Gambar 6). 30, konsentrasi E2 sudah mulai meningkat diban- Pertumbuhan bobot dingkan hasil pengamatan sebelumnya. Namun Hasil pengamatan pertumbuhan bobot pa- nilainya masih lebih kecil bila dibandingkan de- da semua perlakuan selama penelitian disajikan ngan sebelum perlakuan penyuntikan (awal) ke- pada Gambar 7. Pertumbuhan bobot ikan uji cuali pada perlakuan P4. Peningkatan konsentrasi yang diberi perlakuan hormon (P2, P3, P4 dan E2 dengan nilai yang relatif lebih tinggi diban- P5) lebih baik dibandingkan dengan tanpa perla- dingkan sebelum penyuntikan mulai terjadi pada

c

b b b b bb b c b a b ab c ab b b a bc a b a a b abc a ab a a a

Gambar 6. Pola konsentrasi estradiol- -0) dan sesudah induksi hormon (hari ke-10 sampai 60). P1: larutan NaCl 0,9%; P2: PMSG-AD; P3: PMSG- AD+0.2 mg 5-HT; P4: PMSG-AD+2 mg 5-HT; dan P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT. Notasi huruf yang berbeda pada setiap waktu pengamatan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05)

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 37 Perkembangan gonad ikan ringau

Gambar 7. Pertumbuhan bobot ikan ringau setiap perlakuan selama penelitian (n=3). P1: larutan NaCl 0,9%; P2: PMSG-AD; P3: PMSG-AD+0.2 mg 5-HT; P4: PMSG-AD+2 mg 5-HT; dan P5: PMSG-AD+4 mg 5-HT. Notasi huruf yang berbeda menunjukkan nilai pertumbuhan bobot berbeda nyata (p<0.05) pada pengamatan hari ke-60.

kuan hormon/kontrol (P1). Nilai pertumbuhan gunaan kombinasi hormon perlakuan P4 mening- bobot tertinggi pada akhir penelitian diperoleh katkan nilai IKG dari 0,76 (kontrol) menjadi 2,38 pada perlakuan P5 (61,87±10,30 g) dan diikuti (Gambar 1) dan nilai IHS dari 1,51% (kontrol) oleh perlakuan P4 (59,67±1,48 g), P3 (53,57± menjadi 3,09% (Gambar 2). Peningkatan konsen- 13,61 g), P2 (47,00±15,44 g) dan terendah pada trasi E2 pada perlakuan P4 yaitu sebesar 19,44 perlakuan P1 kontrol (39,77±7,13 g). Secara -1 (109,83%) lebih tinggi dibandingkan de- statistik, pertumbuhan bobot pada perlakuan P5 ngan perlakuan P1 (kontrol) yaitu sebesar 10,78 berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan P1 -1 (60,90%) (Gambar 6) sehingga perlakuan (kontrol) namun tidak berbeda nyata (p>0,05) P4 menghasilkan perkembangan gonad paling dengan perlakuan induksi hormon lainnya (P2, baik hingga mencapai TKG III (Gambar 4). P3. dan P4). Penggunaan hormon PMSG dan AD dapat meningkatkan kinerja reproduksi beberapa spesi- Pembahasan es ikan. FSH yang terdapat dalam hormon PMSG Berdasarkan hasil pengamatan parameter bekerja pada lapisan teka oosit untuk merang- indeks kematangan gonad, indeks hepatosomatik, sang terjadinya sintesis testosteron. Dalam lapis- konsentrasi estradiol- an granulosa, testosteron diubah oleh enzim aro- dan histologis gonad, perlakuan penyuntikan matase menjadi E2 yang selanjutnya diangkut ke PMSG-AD yang dikombinasikan dengan 2 mg hati dan merangsang hati untuk mensintesis vite- serotonin (5-HT) (perlakuan P4) merupakan per- llogenin (Yaron & Levavi-Sivan 2011). Antido- lakuan terbaik pada penelitian ini. Pada perlaku- pamin (AD) merupakan bahan kimiawi yang an P4, nilai masing-masing parameter perkem- berfungsi menghambat kerja dopamin. Dopamin bangan gonad yang didapatkan merupakan nilai merupakan neurotransmitter yang bekerja meng- tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Peng- hambat sekresi GnRH (FSHRH) dari hipotala-

38 Bastiar et al. mus (Cerda-Reverter & Canosa 2009, Kah 2009, Serotonin (5-HT) telah digunakan pada Van der Kraak 2009), menghambat sekresi FSH beberapa spesies organisme akuatik untuk me- dari pituitari dan dari sel gonadotropin melalui rangsang perkembangan gonadnya. Serotonin (5- reseptor dopamin D2 (Vacher et al. 2000, Vacher HT) dapat menginduksi pematangan oosit kerang et al. 2002) serta menghambat pematangan go- zebra Dreissena polymorpha (Fong et al. 1994), nad melalui aksinya sebagai faktor penghambat meningkatkan indeks ovarium dan ukuran oosit pelepasan gonadotropin (Gonadotropin release lobster merah Procambarus clarckii (Kulkarni et inhibiting factor/GRIF) (Dufour et al. 2005). al., 1992), merangsang perkembangan ovarium Dengan penambahan antidopamin maka sekresi dan testis kepiting rawa Uca pugilator (Richard- FSHRH dapat meningkat dan memengaruhi ter- son et al., 1991), merangsang sekresi GtH pada jadinya proses vitellogenesis. ikan Croaker Atlantik Micropogonias undulates Hormon PMSG dan AD telah digunakan (Khan & Thomas 1992), ikan komet Carassius pada beberapa spesies ikan untuk merangsang auratus (Somoza et al. 1988) dan ikan mas Pru- perkembangan gonadnya. Penggunaan PMSG 5 sia Carassius gibelio Bloch (Sokolowska-Miko- IU.kg-1 bobot tubuh melalui penyuntikan mampu lajczyk et al. 2015), menginduksi sekresi GnRH mempercepat proses pematangan gonad dan me- pada ikan mas Ciprinus carpio (Yu et al. 1991) ningkatkan indeks kematangan gonad ikan lele dan ikan Pagrus major (Senthilkumaran et al. dumbo Clarias sp. (Mayasari 2012); memacu 2001), serta meningkatkan produksi estradiol- pembentukan oosit dan pematangan gonad ikan 17 pada ikan medaka Oryzias latipes (Iwamatsu Tor soro muda dengan dosis pemberian 4 IU.kg-1 et al. 1993). bobot tubuh (Wahyuningsih 2012); dan mening- Penambahan serotonin (5-HT) dengan do- katkan kadar E2, IGS, IHS, diameter telur serta sis tertentu dalam kombinasi hormon perlakuan meningkatkan perkembangan gonad hingga TKG pada penelitian ini tampaknya memberikan efek IV belut (Monopterus albus) dengan pemberian positif terhadap perkembangan gonad ikan ringau 20 IU PMSG dan 0,01 mg antidopamin per kg dengan memengaruhi kinerja sel gonadotropin bobot tubuhnya (Putra 2013). Pada penelitian ini, dalam melepaskan GnRH. Pada penelitian ini, penggunaan 20 IU PMSG dan 10 mg AD (perla- penambahan 2 mg 5-HT per-kg bobot tubuh ikan kuan P2) pada ikan ringau (Datnioides microle- ringau merupakan dosis terbaik dalam kombina- pis) melalui penyuntikan secara intramuskular sinya dengan 20 IU PMSG dan 10 mg AD (perla- dapat meningkatkan nilai IKG dan IHS diban- kuan P4). Penambahan 0,2 mg 5-HT dalam kom- dingkan tanpa pemberian hormon (kontrol/P1). binasi hormon perlakuan P3 belum memberikan Namun demikian, penambahan serotonin (5-HT) hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari ke dalam formulasi hormon tersebut (perlakuan nilai IKG, IHS, konsentrasi E2, dan tingkat per- P3, P4 dan P5) dapat menghasilkan nilai IKG, kembangan gonadnya yang masih rendah. Nilai IHS, konsentrasi E2, dan tingkat kematangan IKG (1,59±0,02%), IHS (2,15±0,08%), dan gonad yang relatif lebih tinggi. Hal ini menun- .ml-1) pada perla- jukkan bahwa serotonin (5-HT) memiliki peran- kuan P3 lebih rendah dibandingkan IKG (2,38 an dalam merangsang proses perkembangan go- ±0,06%), IHS (3,09±0,12%), dan konsentrasi E2 nad ikan ringau pada penelitian ini. .ml-1) pada perlakuan P4. Demi- kian pula dengan tingkat perkembangan gonad-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 39 Perkembangan gonad ikan ringau nya. Pada perlakuan P3 perkembangan gonad heteroclitus 5-HT yang diberikan secara in vitro ikan uji masih dalam tahap pre-vitellogenesis dengan dosis 10-4 M (~0,213 mg) dapat meng- (TKG II), sedangkan pada perlakuan P4 gonad hambat pematangan oosit (Cerda et al. 1998b). ikan uji sudah memasuki TKG III yang ditandai Pada ikan ringau yang diamati pada penelitian dengan terdapatnya butiran lemak dan granula ini, efek negatif 5-HT diduga terjadi pada dosis kuning telur dalam ooplasma (Gambar 5). Hal ini yang lebih tinggi yaitu 4 mg (perlakuan P5). Na- menunjukkan bahwa proses vitellogenesis telah mun berbeda halnya pada ikan kakap Atlantik terjadi pada ikan uji perlakuan P4. Vitellogenesis (Micropogonias undulatus); dosis 5-HT yang merupakan proses pembentukan bakal kuning te- lebih besar yaitu 20 µg.g-1 (~20 mg.kg-1) yang lur (vitellogenin) yang terjadi di hati kemudian diberikan bersamaan dengan LHRHa 20 ng.g-1 dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan (~0,02 mg.kg-1) melalui penyuntikan intraperito- secara selektif terjadi penyerapan oleh lapisan neal tidak memberikan reaksi negatif, pada dosis folikel oosit (Lubzens et al. 2010). tersebut 5-HT dapat meningkatkan kadar gona- Pada penambahan dosis 5-HT yang lebih dotropinnya (Khan & Thomas 1992). Adanya besar (4 mg.kg-1 bobot tubuh) dalam kombinasi perbedaan perkembangan gonad yang didapatkan hormon pada perlakuan P5 ternyata tidak mem- dari penggunaan serotonin pada beberapa spesies berikan hasil yang lebih baik dibandingkan pada ikan tampaknya berhubungan dengan tingkat ke- perlakuan P4. Pada perlakuan ini, gonad ikan uji matangan individu ikan tersebut serta kebutuhan masih dalam periode pre-vitellogenesis (TKG II) 5-HT pada masing-masing spesies ikan yang ber- dengan nilai IKG sebesar 1,70±0,09; nilai IHS beda-beda. Kreke & Dietrich (2008) menyatakan sebesar 1,63±0,15% serta konsentrasi E2 sebesar bahwa 5-HT memberikan pengaruh pada organ .ml-1 pada akhir penelitian. Nilai target serta jalur yang berbeda dan tampaknya parameter perkembangan gonad tersebut lebih spesifik berdasarkan spesies dan mungkin juga rendah dibandingkan dengan hasil yang dipero- bergantung pada jenis kelamin dan atau tingkat leh pada perlakuan P4. Hal ini kemungkinan di- perkembangan dan reproduksi individu ikan. sebabkan oleh jumlah 5-HT dalam kombinasi Pada pengamatan pertumbuhan bobot hormon yang digunakan pada perlakuan ini me- ikan uji, diperoleh nilai tertinggi pada akhir pe- lebihi kebutuhan ikan sehingga diduga memberi- nelitian pada perlakuan P5 (PMSG-AD + 4 mg kan efek negatif terhadap kinerja sel gonadotro- 5-HT) yaitu sebesar 61,87±10,30 g. Nilai ini re- pin dalam tubuh ikan ringau. Kelebihan serotonin latif lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dalam tubuh ikan dikurangin melalui oksidase P4 (PMSG-AD + 2 mg 5-HT) yaitu sebesar monoamine (Kreke & Dietrich 2008) dan dikelu- 59,67±1,48 g, namun secara statistik kedua nilai arkan oleh tubuh melalui sistem ekskresi (Mylo- tersebut tidak berbeda nyata (p>0,05). Secara nas et al. 2010). Menurut Cerda et al. (1998a), umum, pertumbuhan bobot ikan uji pada perla- efek negatif 5-HT terhadap pematangan oosit kuan P5 tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan se- terutama pada pembelahan miosis sangat bergan- mua perlakuan injeksi menggunakan hormon tung pada masuknya tahap akhir pertumbuhan baik PMSG dan AD (P2) maupun yang ditam- oosit menuju pematangan yang diaktifkan oleh bahkan dengan serotonin (5-HT) sebesar 0,2g steroid yang menginduksi pematangan (Matura- (P3) dan 2 g (P4), namun berbeda nyata (p<0,05) tion-inducing Steroid/MIS). Pada ikan Fundulus dengan perlakuan kontrol. Hal ini berhubungan

40 Bastiar et al. dengan perkembangan gonad ikan ringau yang maturasi ikan ringau diberi perlakuan penyuntikan hormon (P2, P3, (Datnioides microlepis) secara hormonal . P4, dan P5) yang lebih baik dibandingkan de- Daftar pustaka ngan perlakuan kontrol (P1). Effendie (2002) Bolamba D, Mattont P, Estrada R, Dufour JJ. menyatakan bahwa bobot tubuh induk ikan beti- 1992. Effects of pregnant mare's serum na akan meningkat seiring dengan perkembangan gonadotropin treatment on follicular po- pulations and ovulation rates in prepuber- gonadnya. Perkembangan gonad pada perlakuan tal gilts with two morphologically diffe- penyuntikan hormon (P2, P3 P4 dan P5) lebih rent ovarian types. Journal of Science, 70(6): 1916-1922. baik dengan kematangan gonad berada pada Cerda J, Reich G, Wallace RA, Selman K. TKG II-III dibandingkan perlakuan kontrol (P1) 1998a. Serotonin inhibition of steroid- dengan gonadnya yang masih belum berkembang induced meiotic maturation in the teleost Fundulus heteroclitus: Role of cyclic dan berada pada TKG I (Gambar 4). AMP and protein kinases. Molecular Re- production and Development, 49(3): 333 341. Simpulan Cerda J, Subhedar N, Reich G, Wallace RA, Sel- Penyuntikan ikan ringau dengan serotonin man K. 1998b. Oocyte sensitivity to sero- (5-HT) sebanyak 2 mg yang dtambahkan ke da- tonergic regulation during the follicular cycle of the teleost Fundulus heteroclitus. lam hormon Pregnant Mare Serum Gonadotro- Biology of Reproduction, 59(1): 53 61. pin sebanyak 20 IU dan antidopamin 10 mg un- Cerda-Reverter JM, Canosa LF. 2009. Neuroen- tuk setiap 1 kg bobot tubuhnya dapat mening- docrine systems of the fish brain. In: Bernier NJ, Van der Kraak G, Farrell AP, katkan nilai indeks kematangan gonad, indeks Brauner CJ (eds.). Fish Physiology vo- hepatosomatik, konsentrasi estradiol- lume 28: Fish Neuroendocrinology. dan menghasilkan perkembangan gonad paling Academic Press. Burlington. p 3 74. baik hingga mencapai TKG III. Peningkatan do- Dufour S, Weltzien F-A, Sebert M-E, Le Belle N, Vidal B, Vernier P, Pasqualini C. sis serotonin menjadi 4 mg dalam kombinasi 2005. Dopaminergic inhibition of repro- hormon tersebut dapat memberikan efek negatif duction in teleost fishes, ecophysiological and evolutionary implications. Annals terhadap kinerja sel gonadotropin dalam mele- NewYork Academy Science, 1040: 9 21. paskan GnRH sehingga perkembangan gonad Effendie MI. 2002. Biologi perikanan. Yayasan ikan tidak maksimal. Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm. Fong PP, Kyozuka K, Abdelghani H, Hardege JD, Ram JL. 1994. In vivo and in vitro Persantunan induction of germinal vesicle breakdown Ucapan terima kasih penulis sampaikan in a freshwater bivalve, the zebra mussel Dreissena polymorpha (Pallas). The Jour- kepada pimpinan Balai Penelitian dan Pengem- nal of Experimental Zoology, 269(5): 467- bangan Budidaya Ikan Hias, Depok yang telah 474. menyediakan sarana dan prasarana serta dukung- Gallego V, Mazzeo I, Vílchez MC, Peñaranda DS, Carneiro PCF, Pérez L, Asturiano JF. an sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. 2012. Study of the effects of thermal re- Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ba- gime and alternative hormonal treatments on the reproductive performance of pak Sawung Cindelaras, Bapak Acep Sutisna, European eel males (Anguilla anguilla) Ibu Dinar Tri Agustina beserta rekan yang lain during induced sexual maturation. Aqua- culture, 354 355: 7 16. yang telah membantu dalam pelaksanaan peneli- Gunarso W. 1989. Mikroteknik. Pusat Antar Uni- tian ini. Makalah ini merupakan bagian dari tesis versitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bo- gor. Bogor. 117 hlm.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 41 Perkembangan gonad ikan ringau

Iwamatsu T, Toya Y, Ouchi H, Aoyama T, Magalhaes T, Mossolin EC, Mantelatto FL. Yoneima J, Kondo T, Imai K, Hattori H, 2012. Gonadosomatic and hepatosomatic Ikegami S, Onda M. 1992. Characteriza- indexes of the freshwater shrimp Macro- tion of a low molecular weight factor in brachium olfersii (Decapoda, Palaemon- chicken serum with oocyte maturation- idae) from São Sebastião Island, South- inducing activity. Biomedical Research, eastern Brazil. Pan-American Journal of 13(6): 429 437. Aquatic Sciences, 7(1): 1-9. Iwamatsu T, Toya Y, Sakai N, Terada Y, Nagata Mananos E, Duncan N, Mylonas C. 2009. Repro- R, Nagahama Y. 1993. Effect of 5-hydro- duction and control of ovulation, spermia- xytryptamine on steroidogenesis and tion and spawning in cultured fish. In: oocyte maturation in preovulatory folli- Cabrita E, Robles V, Herraez P (eds.). cles of the medaka, Oryzias latipes. Deve- Methods in Reproductive Aquaculture: lopment, Growth & Differentiation 35(6): Marine and Freshwater Species. CRC 625 630. Press, Florida. p 3-80. Kah O. 2009. Endocrine targets of the hypothala- Mayasari N. 2012. Pemacuan kematangan gonad mus and pituitary. In: Bernier NJ, Van der ikan lele dumbo (Clarias sp.) betina de- Kraak G, Farrell AP, Brauner CJ (eds.). ngan kombinasi hormon pmsg dan Spiru- Fish Physiology volume 28: Fish Neuro- lina. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut endocrinology. Academic Press. Burlin- Pertanian Bogor. Bogor. 85 hlm. gton. pp 75 112. Mylonas CC, Fostier A, Zanuy S. 2010. Brood- Keys SJ, Crocos PJ. 2006. Domestication, stock management and hormonal manipu- growth and reproductive performance of lations of fish reproduction. General and wild, pond and tank-reared brown tiger Comparative Endocrinology, 165(3): shrimp Penaeus esculentus. Aquaculture, 516 534. 257(1-4): 232 240. Nagahama Y, Matsuhisa A, Iwamatsu T, Sakai Khan IA, Thomas P. 1992. Stimulatory effects of N, Fukada S. 1991. A mechanism for the serotonin on maturational gonadotropin action of pregnant mare serum gonadotro- release in the Atlantic croaker, Micropo- pin on aromatase activity in the ovarian gonias undulatus. General and Compara- follicle of the medaka, Oryzias latipes. tive Endocrinology, 88(3): 388 396. The Journal of Experimental Zoology, 259(1): 53-58. Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoat- modjo S. 1993. Freshwater Fishes of Podhorec P, Kouril J. 2009. Induction of final Western Indonesia and Sulawesi. Periplus oocyte maturation in fish by Editions. Jakarta 158 p. hypothalamic factors: A review. Veteri- narni Medicina, 54(3): 97-110. Kreke N, Dietrich DR. 2008. Physiological end- points for potential SSRI interactions in Prazad P, Ogawa S, Parhar IS. 2015. Review: fish. Critical Reviews in Toxicology, Role of serotonin in fish reproduction. 37(3): 215-247. Frontiers in Neuroscience 195(9): 1-9. Kulkarni GK, Nagabhushanam R, Amaldoss G, Putra WKA. 2013. Induksi maturasi belut sawah Jaiswal RG, Fingerman M. 1992. In vivo (Monopterus albus) secara hormonal. Te- stimulation of ovarian development in the sis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertani- red swamp crayfish, Procambarus clarkii an Bogor. Bogor. 54 hlm. (Girard), by 5-hydroxytryptamine. Inver- Richardson HG, Deecaraman M, Fingerman M. tebrate Reproduction and Development, 1991. The effect of biogenic amines on 21(3): 231-239. ovarian development in the fiddler crab, Lorenzen K, Beveridge MCM, Mangel M. 2012. Uca pugilator. Comparative Biochemistry Cultured fish: integrative biology and and Physiology, 99(1/2): 53-56. management of domestication and inter- Rohmy S, Solichah L, Satyani D. 2011. Perkem- actions with wild fish. Cambridge Philo- bangan reproduksi dan stimulasi hormo- sophical Society. Biological Reviews, nal ikan hias tigerfish (Datnioides micro- 87(3): 639 660. lepis) di lingkungan budidaya. In: Naing- Lubzens E, Young G, Bobe J, Cerda J. 2010. golan C, Sondita FM, Sudrajat A, Mase- Oogenesis in teleost: how fish eggs are ngi S. Sipahutar YH. Saifurridal (ed.). formed. General and Comparative Endo- Prosiding Seminar Nasional Perikanan crinology, 165(3): 367-389. Indonesia 2011. Sekolah Tinggi Perikan- an. Jakarta. p. 316-322.

42 Bastiar et al.

Rohmy S, Satyani D, Cindelaras S, Himawan Y. Somoza GM, Yu KL, Peter RE. 1988. Serotonin 2012. Perkembangan gonad ikan hias stimulates gonadotropin release in female tigerfish (Datnioides microlepis) pada tiga and male goldfish, Carassius auratus L. kelompok ukuran berbeda. In: Haryanti, General and Comparative Endocrinology, Rachmansyah, Sugama K, Parenrengi A, 72(3): 374-382. Sudrajat A, Imron, Sunarto A, Sumiarsa Treasurer JW, Holliday FGT. 1981. Some as- GS, Azwar ZI, Kristanto AH (ed.). Indo- pects of the reproductive biology of perch aqua-Forum inovasi teknologi akuakultur Perca fluviatilis L. A histological descrip- 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan tion of the reproductive cycle. Journal of Perikanan Budidaya, BRKP-KKP. Jakar- Fish Biology, 18(3): 359-376. ta. p. 369-379. Vacher C, Mananos E, Breton B, Marmignon M- Rohmy S, Satyani D, Cindelaras S, Himawan Y. H, Saligaut C. 2000. Modulation of pitui- 2014. Perkembangan gonad ikan ringau tary dopamine D1 or D2 receptors and (Datnioides microlepis) pada salinitas secretion of both FSH and LH during the berbeda. In: Sugama K, Kusnendar E, annual reproductive cycle of female rain- Rachmansyah, Giri NA, Yuhana M, Kris- bow trout. Journal of Neuroendocrino- tanto AH, Imron, Radiarta IN, Dewi logy, 12(12): 1219 1226. RRSPS (ed.). Forum inovasi teknologi akuakultur 2014. Pusat Penelitian dan Vacher C, Ferriere F, Marmignon M-H, Pellegri- Pengembangan Perikanan Budidaya, ni E, Saligaut C. 2002. Dopamine D2 BRKP-KKP. Jakarta. p. 253-259. receptors and secretion of FSH and LH: role of sexual steroids on the pituitary of Senthilkumaran B, Okuzawa K, Gen K, Kagawa the female rainbow trout. General and H. 2001. Effects of serotonin, GABA and Comparative Endocrinology, 127(2): neuropeptide Y on seabream gonadotro- 198 206. pin releasing hormone release in vitro from preoptic-anterior hypothalamus and Van der Kraak G. 2009. The GnRH system and pituitary of red seabream, Pagrus major. the neuroendocrine regulation of repro- Journal of Neuroendocrinology 13(5): duction. In: Bernier NJ, Van der Kraak G, 395-400. Farrell AP, Brauner CJ (eds.). Fish Physi- ology volume 28: Fish Neuroendocrino- Sholichah L, Subandiyah S, Satyani D. 2010. Si- logy. Academic Press. Burlington. pp. klus reproduksi tahunan ikan ringau, tiger 115 149. fish (Datnioides quadrifasciatus) di ling- kungan budidaya akuarium dan bak. In: Wahyuningsih H. 2012. Induksi buatan pada per- Sudrajat A, Rachmansyah, Hanafi A, Az- kembangan gonad ikan Tor soro. Diserta- war ZI, Imron, Kristanto AH, Chumaidi, si. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Insan I (ed.). Forum Inovasi Teknologi Bogor. Bogor. 94 hlm. Akuakultur 2010. Pusat Penelitian dan Yu KL, Rosenblum PM, Peter RE. 1991. In vitro Pengembangan Perikanan Budidaya, BRKP-KKP. Jakarta. p 417-424. release of gonadotropin-releasing hor- mone from the brain p-anterior hypothala- Sokolowska-Mikolajczyk M, Gajdzinski D, mic region and pituitary of female gold- Gosiewski G, Socha M. 2015. Serotonin, fish. General and Comparative Endocri- GnRH-A, and dopamin interaction in the nology, 81(2): 256-267. kontrol of in vivo luteinizing hormon re- lease in Prussian carp (Carassius gibelio Yaron Z, Levavi-Sivan B. 2011. Endocrine regu- Bloch) at the time of gonad recrudes- lation of fish reproduction. In: Farrell AP (ed.). Encyclopedia of Fish Physiology: cence. Czech Journal of Animal Science, from genome to environment. San Diego, 60(2): 45 51. Academic Press 2: 1500-1508.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 43 , 17(1): 45-53 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.303

Makanan ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Teluk Pabean, Jawa Barat [Diet of scalloped perchlet, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) in Pabean Bay, West Java] Eda Putri Santi , M. F. Rahardjo, Sulistiono Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Jalan Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680

Diterima: 03 Oktober 2016; Disetujui: 10 Januari 2017

surel: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jenis makanan ikan seriding (Ambassis nalua) menurut waktu dan ukuran panjang ikan. Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Pabean, Indramayu dari bulan Juli hingga Desember 2015. Pe- nangkapan ikan dilakukan pada tiga zona, yaitu bagian dalam yang berupa muara sungai, bagian tengah, dan bagian luar estuari dengan interval satu bulan. Alat tangkap yang digunakan adalah sero dan jaring. Analisis makanan menggu- nakan Indeks Bagian Terbesar. Jumlah ikan seriding yang diamati saluran pencernaannya adalah 407 ekor dengan kom- posisi betina 283 ekor, jantan 118 ekor, dan yuwana 6 ekor. Ikan seriding merupakan ikan karnivora dengan menu ma- kanan terdiri atas empat kelompok organisme yaitu krustase, yuwana ikan, amfipoda, dan isopoda. Ikan seriding me- nunjukkan menu makanan utama yang sama yaitu krustase baik berdasarkan waktu maupun ukuran ikan.

Kata penting: Ambassis nalua, indeks bagian terbesar, menu makanan

Abstract The objective of the present study was to describes the diet of scalloped perchlet (Ambassis nalua) based on the time and fish length. This study was conducted from July to December 2015 in Pabean Bay, Indramayu. The fish were collected monthly in three zones i.e. at the mouth of river, midle and out of estuarine. Fish samples were collected using trammelnet and trapnet. The index of preponderance was used to analysis the diet composition of the fish. The stomach content of a total of 407 fish samples of 283 females, 118 males, and 6 juveniles were analyzed. The analysis showed the scalloped perchlet fed on , juvenile of fish, isopod, and amphipod, indicate a carnivorous feeding habit. The crustaceans was the main for item of scalloped perchlet.

Keywords: Ambassis nalua, index of preponderance, diet of fish

Pendahuluan Ikan seriding (Ambassis nalua) memiliki Teluk Pabean adalah muara sungai Cima- bentuk tubuh pipih dengan potongan lintang dor- nuk yang merupakan salah satu dari tiga sungai so-ventral berbentuk elips . Ikan seriding terma- besar yang ada di Jawa Barat yang bermuara di suk ikan demersal yang mendiami perairan tropis Laut Jawa dan termasuk dalam Kabupaten Indra- (Riede 2004). Ikan ini merupakan ikan estuari mayu (Sjafei et al. 2001; Herawati et al. 2012). sejati yaitu spesies ikan yang seluruh daur hidup- Sebagai ekosistem estuari teluk ini produktif nya secara lengkap berlangsung di estuari (Elliot mendukung berbagai aspek kehidupan ikan se- et al. 2007). Makanan ikan seriding antara lain bagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan tempat mikrokrustase, polikaeta, amfipoda, gastropoda, mencari makan (Chaves & Bouchereau 2000, annelida, insekta, dan ikan kecil (Zahid et al. Huijbers et al. 2008, Nagelkerken et al. 2008, 2011, Simanjuntak et al. 2011, Haywood et al. Kimirei et al. 2011). 1998). Ikan seriding bersifat nokturnal yaitu aktif

______mencari makan saat malam hari. Ikan ini sering Penulis korespondensi berkelompok dalam jumlah besar bahkan hingga Alamat surel: [email protected] Makanan ikan seriding di Teluk Pabean ratusan pada siang hari namun akan berpencar airan Teluk Pabean, Indramayu. Penelitian ini di- saat malam hari (Allen & Burgess 1990). harapkan sebagai dasar dalam menyusun strategi Ikan seriding bukan merupakan target uta- pengelolaan sumber daya ikan khususnya dalam ma penangkapan dan bukan tergolong ikan de- bidang pemetaan jejaring makanan di Teluk Pa- ngan nilai ekonomis yang tinggi. Masyarakat se- bean. tempat memanfaatkan ikan ini sebagai bahan konsumsi dan bahan untuk membuat terasi. Ke- Bahan dan metode lompok ikan seriding juga ada yang dimanfaat- Pengambilan ikan contoh dilakukan setiap kan sebagai ikan hias. bulan dari bulan Juli hingga Desember 2015 di Sejauh ini belum ada informasi yang me- Teluk Pabean, Jawa Barat. Alat tangkap yang di- madai terkait ikan seriding (Ambassis nalua) baik gunakan adalah jaring dengan mata jaring beru- populasi, maupun potensi pemanfaatannya. Inter- kuran 1,5 inci, ketinggian 1,5 m, serta panjang 72 national Union for Conservation of Nature m, dan sero dengan ukuran mata jaring 1 mm dan (IUCN) Red List menetapkan ikan seriding (Am- tinggi 1 m. Perahu nelayan digunakan sebagai bassis nalua) masuk kategori belum teperhatikan alat transportasi. (least concern) (Dahanukar 2012). Salah satu Penangkapan ikan dilakukan pada tiga zo- upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ke- na yang ditentukan berdasarkan karakteristik area beradaan ikan seriding adalah dengan mengupa- untuk mendapatkan contoh yang representatif yakan ikan tumbuh hingga berhasil bereproduksi (Gambar 1). Zona I merupakan muara sungai dengan menjaga ketersediaan makanannya. yang ditumbuhi mangrove, Zona II merupakan Penelitian aspek makanan ikan seriding di bagian tengah estuari yang berdekatan dengan perairan Indonesia pernah dilakukan di Segara tambak ikan bandeng, dan Zona III merupakan Menyan, Jawa Barat (Zahid et al. 2011) dan be- bagian luar estuari yang berbatasan dengan laut. berapa penelitian lain juga memberikan informa- Ikan hasil tangkapan dipreservasi dalam larutan si tentang gambaran umum makanan ikan seri- formalin 10% kemudian dipindahkan ke larutan ding antara lain di Teluk Bintuni (Simanjuntak et alkohol 70% untuk dianalisis di laboratorium Bi- al. 2011), di muara sungai Embley, Queensland ologi Makro I, Departemen Manajemen Sumber (Haywood et al. 1998), akan tetapi belum pernah Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke- dilakukan di Teluk Pabean. Di Teluk Pabean sen- lautan, Institut Pertanian Bogor. diri telah dilakukan penelitian tentang aspek ma- Analisis di laboratorium meliputi identifi- kanan ikan antara lain ikan lidah, Cynoglossus kasi ikan contoh, pengukuran panjang dan pe- cynoglossus) (Simamora et al. 2016) dan ikan nimbangan bobot ikan, pembedahan ikan, serta baji-baji, Plathycephalus indicus (Sihombing et analisis isi saluran pencernaan ikan. Identifikasi al. 2016, ikan contoh menggunakan buku identifikasi khu- Penelitian ini bertujuan untuk menganali- sus untuk perairan Pasifik bagian barat dan te- sis jenis makanan ikan seriding (Ambassis nalua) ngah termasuk Indonesia yang diterbitkan oleh menurut waktu dan ukuran panjang ikan di per-

46 Putri et al.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian makanan ikan seriding (Ambassis nalua) di Teluk Pabean, Indramayu. I, II, III : zona penangkapan ikan

FAO (Carpenter & Niem 1999). Ikan contoh di- Luas relung dievaluasi berdasarkan ma- ukur panjang total mulai ujung terdepan dari ke- kanan yang dikonsumsi oleh ikan dan dihitung pala sampai ujung sirip ekor paling belakang dan dengan menggunakan indeks Levin (Krebs panjang baku dari kepala hingga pelipatan sirip 1989): kaudal dengan menggunakan kaliper digital ber- ketelitian 0,1 mm. Bobot tubuh ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berke- Keterangan: Bij= luas relung makanan, Pij= proporsi telitian 0,01 g. Ikan dibedah dengan mengguna- organisme makanan ke-i yang termakan ke-j. kan satu set alat bedah. Kemudian organ pencer- Tumpang tindih relung makanan dihitung naan dikeluarkan untuk diamati. Analisis ma- untuk menentukan adanya kesamaan jenis ma- kanan meliputi jenis, frekuensi kejadian, dan kanan yang dimanfaatkan oleh dua kelompok volume organisme makanan yang terdapat dalam ukuran ikan atau lebih. Besarnya tumpang tindih saluran pencernaan (lambung dan usus). Identifi- dihitung dengan indeks Morisita yang telah dise- kasi organisme makanan menggunakan buku derhanakan oleh Horn (Krebs 1989). identifikasi Yamaji (1979). Analisis komposisi makanan mengguna- kan indeks bagian terbesar (Natarajan & Jhingran

1961): Keterangan: CH= Indeks Morisita-Horn kelompok ikan ke-i dan ke-k, Pij= proporsi makanan ke-j yang diman- faatkan oleh kelompok ikan ke-I, Pkj= proporsi makan- an ke-j yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan ke-k,

n= jumlah jenis organisme makanan, m= jumlah ke- Keterangan: Ii= indeks bagian terbesar, Vi= persentase lompok ukuran ikan. volume makanan jenis ke-I, Oi= persentase frekuensi kejadian makanan ke-i

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 47 Makanan ikan seriding di Teluk Pabean

Hasil 2). Krustase merupakan makanan terbanyak yang Komposisi makanan ikan seriding dimakan oleh ikan seriding di Teluk Pabean. Ada Jumlah ikan yang tertangkap selama pene- dua jenis krustase yang dimakan oleh ikan seri- litian di perairan Teluk Pabean adalah 407 ekor ding yaitu sergestid dan mysid dengan indeks dengan komposisi betina 283 ekor, jantan 118 bagian terbesar (Ii) masing-masing 51,66 dan ekor, dan yuwana 6 ekor. Panjang baku ikan seri- 26,29. Ada beberapa jenis yuwana ikan yang di- ding yang diamati berkisar 30,4-86,78 mm de- temukan termasuk dalam famili Clupeidae, Eng- ngan bobot 0,37-25,44 gram (Tabel 1). Ikan con- raulidae, dan Scianidae namun karena kesulitan toh dibagi dalam empat kelas ukuran (Tabel 2). identifikasi maka kelompok ini dijadikan satu de-

Jumlah saluran pencernaan ikan yang beri- ngan Ii = 22,01. Sementara dua kelompok lainnya si makanan adalah 260 dari 407 saluran pencer- (isopoda dan amfipoda) hanya terdiri atas satu naan yang diamati. Makanan yang ditemukan ter- jenis yang dimakan dalam jumlah yang sedikit diri atas empat kelompok organisme yaitu krusta- dengan Ii masing-masing 0,02 dan 0,01. se, yuwana ikan, isopoda, dan amfipoda (Gambar

Tabel 1. Jumlah, panjang baku, dan bobot ikan seriding pada bulan Juli-Desember 2015 di Teluk Pabean Bulan Jumlah (ekor) PB±sb B±sb Jantan Betina Yuwana Total (min.-maks.) (min.-maks.) Juli 20 38 0 58 61,08±10,7 8,59±3,96 (41,35-81,06) (2,35-16,76) Agustus 19 89 2 110 62,00±10,75 10,48±4,75 (33,18-86,63) (1,18-19,70) September 66 99 0 165 65,15±10,52 10,36±4,86 (30,04-84,94) (0,37-22,63) Oktober 8 38 0 46 62,39±9,88 9,32±5,27 (48,59-86,78) (4,03-25,44) November 3 7 4 14 45,88±10,98 3,73±3,33 (35,34-71,49) (1,22-11,72) Desember 2 12 0 14 55,65±10,02 5,51±2,10 (42,24-77,94) (2,8-8,87) Keterangan: PB: panjang baku (mm); BT: bobot tubuh (gram); sb: simpangan baku

Tabel 2. Kelas ukuran ikan seriding pada bulan Juli-Desember 2015 di Teluk Pabean Kelas ukuran Jumlah sampel PB±sb BT±sb (mm) (ekor) (min.-maks.) (min.-maks.) 30-44,99 38 40,97±3,52 2,36±0,98 (30,4-44,9) (0,37-6,6) 45-59,99 107 53,19±4,21 5,57±2,3 (45,21-59,95) (2,14-16,13) 60-74,99 212 67,00±3,61 11,15±2,60 (60-74,44) (5,61-18,04) 75-89,99 50 79,03±3,16 17,29±2,94 (72,5-86,78) (7,7-25,44) Keterangan: PB: panjang baku (mm), BT: bobot tubuh (gram), sb: simpangan baku

48 Putri et al.

0.02 0.01

22.01

Sergestid Mysid Yuwana Ikan Isopoda 26.29 Amfipoda 51.66

Gambar 2. Komposisi makanan ikan seriding berdasarkan indeks bagian terbesar

Variasi makanan dan sedikit memakan yuwana ikan dan krustase Makanan ikan seriding berdasarkan waktu jenis sergestid. Pada kelas panjang 45-60 mm, pengamatan menunjukkan kecenderungan yang ikan seriding mulai meningkatkan jumlah serge- sama tetapi proporsi setiap kelompok berfluktua- stid yang dikonsumsi. Selanjutnya pada kelas 60- si (Gambar 3). Selama empat bulan pertama 75 mm iktervan seriding memakan lebih banyak pengamatan ikan seriding lebih banyak memakan jenis makanan, yaitu isopoda dan amfipoda tetapi krustase (sergestid dan mysid), yuwana ikan dan tetap bagian terbesar menunya adalah krustase. sebagian kecil isopoda dan amfipoda. Namun pa- Pada kelas 75-90 mm, yuwana ikan lebih banyak da dua bulan terakhir pengamatan ikan seriding dikonsumsi dibandingkan jenis makanan lainnya. cenderung lebih banyak memakan yuwana ikan Luas dan tumpang tindih relung makanan dan krustase daripada kelompok mysid. ikan seriding disajikan pada Tabel 3. Ikan seri- Setiap kelompok ukuran ikan seriding se- ding cenderung mengalami kenaikan luas relung cara umum memanfaatkan jenis makanan yang seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Luas sama (Gambar 4). Ikan seriding memiliki kecen- relung terbesar terjadi pada kelompok ukuran 60- derungan memakan krustase pada setiap kelas 75 mm. Antarukuran ikan selalu terjadi tumpang ukuran. Pada kelas ukuran 30-45 mm, ikan seri- tindih relung makanan. ding lebih banyak memakan krustase jenis mysid

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 49 Makanan ikan seriding di Teluk Pabean

100 90 80 70

Terbesar 60 50 Isopoda 40 Amfipoda 30 20 Yuwana Ikan 10 Indeks Bagian Indeks Bagian Mysid 0 Sergestid

Bulan

Gambar 3 Makanan ikan seriding setiap bulan di Teluk Pabean pada bulan Juli sampai Desember 2015

100 90 80 70 60 50 Isopoda 40 Amfipoda 30 Yuwana Ikan 20 Mysid Indeks Bagian Bagian Indeks Terbesar 10 Sergestid 0

Selang Kelas (mm)

Gambar 4 Makanan ikan seriding menurut kelas ukuran di Teluk Pabean

Tabel 1 Luas dan tumpang tindih relung makanan ikan seriding Kelas ukuran (mm) 30,00-44,99 45,00-59,99 60,00-74,99 75,00-89,00 30,00-44,99 1 0,9738 0,5556 0,5009 45,00-59,99 1 0,6664 0,5147 60,00-74,99 1 0,8754 75,00-89,00 1 Luas relung 1,9962 2,1172 2,5108 2,4189 Pembakuan 0,4981 0,5586 0,3777 0,7095

50 Putri et al.

Pembahasan sim peralihan kedua dengan cuaca panas dan Hasil penelitian yang diperoleh menun- hampir tidak ada curah hujan sehingga ikan con- jukkan bahwa makanan ikan seriding di perairan toh yang diperoleh memiliki ukuran yang bera- Teluk Pabean terdiri atas krustase, yuwana ikan, gam. Dua bulan terakhir yaitu bulan November amfipoda, dan isopoda. Diantara kelompok ma- dan Desember merupakan akhir musim peralih- kanan tersebut, krustase merupakan makanan an kedua dan memasuki awal musim barat diser- yang paling banyak dimakan oleh ikan seriding, tai curah hujan yang mulai meningkat dan ikan selanjutnya yuwana ikan, sedangkan amfipoda seriding banyak ditemukan dalam ukuran kecil dan isopoda dimakan dalam jumlah yang sangat pada pengamatan dua bulan terakhir (Tabel 2). sedikit. Ikan seriding secara umum memanfaat- Kelimpahan organisme makanan di per- kan krustase sebagai makanan utamanya namun airan juga memengaruhi jenis makanan yang di- terdapat variasi jenis krustase yang dimakan di makan oleh ikan. Sergestid dan mysid yang di- tempat yang berbeda. Kelompok krustase yang makan dalam jumlah besar oleh ikan seriding paling banyak dimakan oleh ikan seriding di Se- merupakan krustase pelagis yang melimpah di gara Menyan adalah Calanus dan Acartia (Zahid estuari, perairan pantai hingga laut yang lebih da- et al. 2011), di Teluk Bintuni makanan terba- lam (Carpenter & Niem 1998, Karuppasamy et nyaknya adalah Cladocera dan Copepoda (Si- al. 2006). Sergestid dan mysid selalu tersedia se- manjuntak et al. 2011), sedangkan di muara su- panjang tahun dan kelimpahan tertingginya bera- ngai Embley, Queensland seriding lebih banyak da ketika bulan gelap (Mantiri et al. 2012, Subi- memakan krustase kelompok penaeid, dan sedikit yanto et al. 2014). dari jenis isopoda, sergestid dan amfipoda (Hay- Ikan seriding mengalami perubahan kom- wood et al. 1998). Hal ini menunjukkan bahwa posisi makanan mengikuti pertambahan ukuran ikan seriding spesifik dalam memilih jenis ma- panjang. Hal serupa juga terjadi pada Engraulis kanan namun fleksibel terhadap ketersediaan encrasicolus, sesuai dengan perubahan ukuran sumber daya makanan di habitatnya (Blaber tubuh maka makanan utamanya krustase kecil 2000). Hal yang sama juga ditunjukkan Ambassis yang berupa copepoda secara gradual disubstitusi jacksoniensis yang mengubah makanannya oleh krustase dengan ukuran yang lebih besar se- berdasarkan kelimpahan organisme mangsa perti decapoda dan amfipoda (Bacha & Amara (McPhee et al. 2015). 2009). Perubahan makanan ikan seriding juga Komposisi jenis makanan ikan seriding ti- didukung pertambahan luas relung makanan (Ta- dak mengalami perubahan secara temporal, na- bel 3). Ikan balak (Saurida tumbil) dan ikan baji- mun persentase setiap jenis makanan mengalami baji (Grammoplites scaber) di perairan Pantai fluktuasi (Gambar 3). Hal yang sama juga ditun- Mayangan juga mengalami perubahan menu ma- jukkan oleh ikan japuh (Dussumieria acuta) di kanan seiring dengan bertambahnya ukuran tu- perairan Teluk Kendari (Asriyana et al. 2010). buh (Rahardjo et al. 2009, Simanjuntak & Zahid Hal ini diduga karena ukuran ikan contoh yang 2009). Perubahan jenis makanan juga berhubung- tidak merata setiap bulannya akibat berbedanya an dengan kondisi lingkungan, penggunaan habi- musim penangkapan. Empat bulan pertama peng- tat, dan ruaya (Moriniere et al. 2003). amatan yaitu bulan Juli hingga Oktober merupa- Tumpang tindih relung makanan meng- kan akhir musim timur dan memasuki awal mu- gambarkan adanya kesamaan jenis makanan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 51 Makanan ikan seriding di Teluk Pabean yang dimanfaatkan oleh dua kelompok ikan atau Coastal and Shelf Science, 85(2): 257- 264. lebih. Ikan seriding memiliki tumpang tindih re- Blaber SJM. 2000. Tropical Estuarine Fishes: lung untuk setiap kelompok ukurannya. Nilai Ecology, Exploitation and Conservation. tumpang tindih relung ikan seriding menunjuk- Fish and Aquatic Resources Series 7. Blackwell Science, Oxford. 372 p. kan pola yang beraturan karena dua kelompok Carpenter KE. Niem VH (eds).1998. FAO spe- ukuran yang berdekatan akan memiliki nilai tum- cies identification guide for fishery -.The pang tindih yang lebih besar sedangkan kelom- living marine resources of the Western Central Pacific. Volume 2. Cephalopods, pok ukuran dengan jarak yang lebih besar memi- Crustaceans, Holothurians and Sharks. liki nilai tumpang tindih yang lebih kecil. Hal ini Rome, FAO. Pp 687-1396 memperlihat bahwa ikan seriding mengalami Carpenter KE, Niem VH (eds). 1999. FAO spe- perubahan komposisi dalam diet makanannya cies identification guide for fishery pur- poses. The living marine resources of the secara gradual. Hal ini juga memungkinkan ter- Western Central Pacific. Volume 4 Bony fishes part 2 (Mugilidae to Carangidae). jadinya persaingan intraspesies karena ikan seri- Rome, FAO. pp.2069-2790. ding hidup bergerombol di area manggrove Chaves P, Bouchereau J. 2000. Use of mangrove (Zahid et al. 2011). habitat for reproductive activity by the fish assemblage in the Guaratuba Bay, Brazil. Oceanologica Acta, 23(3): 273- Simpulan 280. Ikan seriding merupakan ikan karnivora Dahanukar N. 2012. Ambassis nalua. The IUCN dengan menu makanan terdiri atas empat kelom- Red List of Threatened Species 2012: e.T172359A1340093 [Internet]. [diunduh pok organisme yaitu krustase, yuwana ikan, Am- 08 November 2015]. Tersedia dari: fipoda, dan Isopoda. Ikan ini memiliki kecende- http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012. RLTS.T172359A1340093.en. rungan makanan yang sama pada setiap bulan. Elliott M, Whitfield AK, Potter IC, Blaber SJM, Seiring dengan pertambahan ukuran tubuhnya, Cyrus DP, Nordlie FG, Harrison TD. makanan dan luas relung makanan ikan seriding 2007. The guild approach to categorizing estuarine fish assemblages: a global re- berubah. Tingkat kesamaan jenis makanan ikan view. Fish and Fisheries, 8(3): 241-268. seriding menunjukkan pola perubahan makanan Haywood MDE, Heales DS, Kenyon RA, Lone- secara gradual yang memungkinkan terjadinya ragan NR, Vance DJ. 1998. Predation of juvenile tiger prawns in a tropical Austra- persaingan intraspesies. lian estuary. Marine Ecology Progress Series, 162: 201-214. Daftar pustaka Herawati T, Tresna LK, Dhahiyat Y. 2012. Ke- biasaan makanan dan luas relung ikan di Allen GR, Burgess WE. 1990. A review of the hulu Sungai Cimanuk Kabupaten Garut, glassfishes (Chandidae) of Australia and Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan Kelaut- New Guinea. Records of the Western Aus- an. 3(3): 163-173. tralian Museum Supplement 34: 139-206. Huijbers CM, Molle EM, Nagelkerken I. 2008. Asriyana, Rahardjo MF, Kartamihardja ES, Lum- Post-larva French grunts (Haemulon fla- banbatu DF. 2010. Makanan ikan japuh, volineatum) distinguish between seagrass, Dussumieria acuta Valenciennes,1847 mangrove and coral reef water: Implica- (Famili: Clupeidae) di perairan Teluk tions for recognition of potential nursery Kendari. Jurnal Iktiologi Indonesia, 10(1): habitats. Journal of Experimental Marine 93-99. Biology and Ecology, 357(2): 134-139. Bacha M, Amara R. 2009. Spatial, temporal and Karuppasamy PK, Menon NG, Nair KKC, Achu- ontogenetik variation in diet of anchovy thankutty CT. 2006. Distribution and (Engraulis encrasicolus) on the Algerian abundance of pelagic shrimps from the coast (SW Mediterranean). Estuarine, deep scattering layer of the Eastrern

52 Putri et al.

Arabian Sea. Journal of Shellfish Re- 081. Federal Agency for Nature Conserva- search. 25(3): 1013 1019 tion, Bonn, Germany. 329 p. Kimirei IA, Nagelkerken I, Griffioen B, Wagner Sihombing DP, Rahardjo MF, Affandi R. 2016. C, Mgaya YD. 2011. Ontogenetic habitat Analisis makanan ikan lidah (Cynoglos- use by mangrove/seagrass-associated coral sus cynoglossus, Hamilton 1822) di Teluk reef fishes shows flexibility in time and Pabean, Indramayu. In: Zahid A, Siman- space. Estuarine, Coast and Shelf Science, juntak CPH, Lusiastuti AM, Rahardjo MF, 92(1): 47-58. Hadiaty RK, Hadie W, Hadie LE (eds). Prosiding Seminar Nasional Ikan ke-9, Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper Jakarta 24 Mei 2016. Masyarakat Iktiologi Collins Publisher Inc. New York. 654 p. Indonesia, Cibinong. pp. 329-334. Mantiri ROSE, Ohtsuka S, Sawamoto S. 2012. Simamora DS, Rahardjo MF, Affandi R. 2016. Fisheries on Mesopodopsis (: My- Analisis makanan ikan baji-baji (Plathy- sidae) and Acetes (Decapoda: Sergestidae) cephalus indicus Linnaeus, 1785) di pera-- in Indonesia. Kuroshio Science, 5(2): 137- iran Teluk Pabean Indramayu, Jawa Ba- 146 rat. In: Zahid A, simanjuntak CPH, Lusi- McPhee JJ, Platell ME, Schreider MJ. 2015. Tro- astuti AM, Rahardjo MF, Hadiaty RK, phic relay and prey switching - A stomach Hadie W, Hadie LE (eds). Prosiding contents and calorimetric investigation of Seminar Nasional Ikan ke-9, Jakarta 24 an ambassid fish and their saltmarsh prey. Mei 2016. Masyarakat Iktiologi Indonesia, Estuarine, Coastal and Shelf Science, Cibinong. pp. 335-348. 167(A): 67-74. Simanjuntak CPH, Sulistiono, Rahardjo MF, Moriniere EC, Pollux BJA, Nagelkerken I, Hem- Zahid A. 2011. Iktiodiversitas di Perairan minga MA, Huiskes AHL, Velde GVD. Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktio- 2003. Ontogenetic dietary changes of co- logi Indonesia, 11(2): 107-126 ral reef fishes in the mangrove seagrass- Simanjuntak CPH, Zahid A. 2009. Kebiasaan reef continuum: stable isotopes and gut- makanan dan perubahan ontogenetik ma- content analysis. Marine Ecology Pro- kanan ikan baji-baji (Grammoplites sca- gress Series, 246: 279 289 ber) di Pantai Mayangan, Jawa Barat. Jur- Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, nal Iktiologi Indonesia, 9(1):63-73. Haywood M, Kirton LG, Meynecke JO, Sjafei DS, Wirjoatmojo S, Rahardjo MF, Susilo Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, SB. 2001. Fauna ikan di Sungai Cimanuk, Somerfield PJ. 2008. The habitat function Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. of mangroves for terrestrial and marine 1(1): 1-6. fauna: A review. Aquatic Botany, 89(2): 155 185. Subiyanto WPA, Muskananfola MR. 2014. Ke- limpahan zooplankton krustasea berdasar- Natarajan AV, Jhingran AG. 1961. Index of pre- kan fase bulan di perairan Pantai Jepara, ponderance- a method of grading the food Kabupaten Jepara. Diponegoro Journal of elements in the stomach analysis of fishes. Maquares, 3(3):188-196. Indian Journal of Fisheries, 8(1): 54-59 Yamaji I. 1979. Illustration of the Marine Plank- Rahardjo MF, Simanjuntak CPH, Zahid A. 2009. ton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Perubahan ontogenetik dan musiman ma- Ltd. Japan. 561 p. kanan ikan balak, Saurida tumbil Bloch 1795 di perairan Pantai Mayangan, Jawa Zahid A, Rahardjo MF, Nurhakim S, Sulistiono. Barat. Jurnal Kelautan Nasional 2, (Spe- 2011. Variasi makanan ikan seriding, Am- cial edition): 68-76. bassis nalua (Hammilton, 1822) di eko- sistem estuari Segara Menyan, Jawa Barat. Riede K. 2004. Global register of migratory Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(2): 159- species - from global to regional scales. 168. Final Report of the R&D-Projekt 808 05

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 53 , 17(1): 55-65 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.304

Efek nisbah kelamin jantan dan betina yang berbeda terhadap kinerja pertumbuhan yuwana ikan nila biru, Oreochromis aureus (Steindachner1864) [Effect of different male and female sex ratio on growth of juvenile blue tilapia Oreochromis aureus (Steindachner 1864)] Adam Robisalmi , Priadi Setyawan, Bambang Gunadi Balai Penelitian Pemulian Ikan Jl. Raya 2 Sukamandi Subang Jawa Barat 41263

Diterima: 13 Juni 2016; Disetujui: 17 Januari 2017

Abstrak Ikan nila biru (Oreochromis aureus) merupakan satu jenis ikan yang potensial untuk dikembangkan. Ikan ini memiliki keunggulan toleran terhadap suhu rendah dan salinitas tinggi. Dalam perkembangan budi daya, populasi ikan nila tung- gal kelamin jantan diyakini memberikan hasil produksi lebih baik dibandingkan kelamin campuran. Kegiatan ini bertu- juan untuk mengevaluasi performa pertumbuhan yuwana ikan nila biru yang dipelihara dengan nisbah kelamin jantan dan betina berbeda. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi selama 90 hari. Ikan yang di- gunakan adalah ikan nila biru dengan bobot awal tebar 32,32±2,34 g. Yuwana nila biru dipelihara di hapa berukuran 2x1 m2 dengan padat tebar 30 ekor per hapa. Perlakuan adalah perbedaan nisbah kelamin jantan dan betina yaitu A (100% jantan), B (75% jantan : 25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D (25% jantan : 75% betina) dan E (100% betina). Selama pemeliharaan ikan diberi pakan berkadar protein 32% dengan frekuensi dua kali sehari sebanyak 5% dari bobot ikan. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan harian, nisbah konversi pakan, dan sintasan. Hasil penelitian menunjukkan populasi ikan nila biru yang dipelihara 100% jantan mempunyai performa pertumbuhan panjang dan bobot tertinggi sebesar 8,33±0,67cm dan 136,50±11,92 g de- ngan laju pertumbuhan spesifik yang tinggi sebesar 1,76±0,05% bobot hari-1, konversi pakan 1,52±0,20 dan sintasan 96,66%, sedangkan pertumbuhan terendah pada populasi ikan nila biru campuran (25% jantan : 75% betina). Pengguna- an ikan nila biru monoseks jantan 100% dianjurkan untuk digunakan dalam kegiatan budi daya karena mempunyai per- tumbuhan tertinggi dengan konversi pakan yang rendah.

Kata penting: ikan nila biru, nisbah kelamin, pertumbuhan, yuwana,

Abstract Blue tilapia is one strain of tilapia potential to be developed. This fish has highly tolerant of low temperatures and sali- nity. In the development of aquaculture of tilapia, male monosex give higher production than mix male-female culture. This activity aims to determine the growth performance of juvenile blue tilapia reared by different ratio of male and fe- male. The study was conducted for 90 days at the Research Institute for Fish Breeding Sukamandi. The fish used are blue tilapia stocking with the initial weight 32.32±2.34 g. Rearing juvenile of blue tilapia using net 2x1 m2 with stock- ing density 30 fish per net. The treatment is a difference in the ratio of male and female i.e A (100% male), B (75% male: 25% female), C (50% male: 50% female), D (25% male: 75% female), and E (100% female). The fish were fed with formulated food (32% protein) twice daily as much as 5 % of the biomass. The parameters observed were absolute growth, specific growth rate, daily growth rate, feed conversion ratio and survival rate. The results showed A, blue tila- pia with 100% male had highest growth performance, longest and the highest weight i.e 8.33±0.67cm and 136.50± 11.92g; with highest specific growth rate, food conversion and survival rate, i,e 1.76±0.05 weight day-1, 1.52±0,20 and 96.66%. While the lowest growth and feed conversion was D, fish mix culture of blue tilapia (25% male: 75% female). Blue tilapia male 100% monosex is recommended to use in aquaculture because it showed the highest growth with lower feed conversion.

Keywords: blue tilapia, growth, sex ratio, juvenile

Pendahuluan bat karena adanya pengalihan energi yang digu- Ikan nila (Oreochromis niloticus) jantan nakan untuk tumbuh menjadi untuk bereproduk- secara umum cenderung lebih cepat tumbuh dari- si. Fenomena ini terjadi baik pada pemeliharaan pada ikan betina. Ikan betina tumbuh lebih lam- di alam bebas maupun pada pemeliharaan ter- ______kontrol dengan berbagai sistem budi daya (Pon- Penulis korespondensi Alamat surel: [email protected] zoni et al. 2005, Bwanika et al. 2007, Bentsen et al. 2012). Selain tingkat pertumbuhan ikan nila

Pertumbuhan yuwana ikan nila biru jantan yang lebih cepat dan ukuran yang lebih berikan hasil produksi lebih baik dibandingkan besar dibanding ikan betina, ikan nila jantan juga kelamin campuran, walaupun bergantung kepada diketahui mempunyai ukuran yang lebih seragam waktu pematangan gonad dan umur saat panen. dan penggunaan energi yang lebih efisien selama Selain itu dalam penggunaan metode budi daya kegiatan budi daya berlangsung. Oleh karena itu secara monokultur dan polikultur serta dengan penggunaan ikan nila jantan dalam budi daya da- pemeliharaan populasi monoseks hal ini dipenga- pat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk me- ruhi oleh permintaan pasar dan biaya untuk budi ningkatkan produktivitas dan mengontrol repro- daya (De Graaf et al. 2005). Menurut Little & duksi. (Beardmore et al. 2001). Edwards (2004), pemeliharaan monoseks ikan Selama ini pengembangan budi daya ikan nila banyak dilakukan karena mempunyai per- nila masih banyak menggunakan strain ikan nila tumbuhan yang tinggi. Adanya perbedaan per- hitam (Oreochromis niloticus) dan nila merah tumbuhan ikan nila antara populasi monoseks (Oreochromis sp.). Kegiatan budi daya kedua dan campuran dipengaruhi oleh tingkat kema- strain ikan nila tersebut telah banyak dilakukan tangan seksual, umur waktu panen, dan strain dengan menggunakan berbagai sistem budi daya yang digunakan. Hasil pembesaran tiga strain termasuk sistem pemeliharaan menggunakan po- ikan nila (Thailand, GIFT, dan Vietnam) yang pulasi tunggal kelamin jantan maupun campuran. dipelihara selama 26 minggu mempunyai per- Selain kedua strain tersebut, ada strain lain yang tumbuhan yang lebih tinggi pada populasi mo- potensial untuk dikembangkan yaitu ikan nila bi- noseks jantan dengan bobot 380 g, sedangkan ru (Oreochromis aureus). Ikan ini memiliki ke- populasi campuran 340 g (Dan & Little 2000). unggulan yaitu toleran terhadap suhu rendah dan Selama ini belum banyak informasi mengenai salinitas tinggi. Ikan nila biru merupakan spesies penelitian tentang pemeliharaan ikan nila biru ikan nila yang berasal dari Afrika dan Timur Te- baik secara monoseks maupun campuran. Oleh ngah. Ikan nila biru pada umumnya ditemukan di karena itu perlu dilakukan eksplorasi pengamatan air tawar, namun dapat juga dipelihara di perair- terhadap spesies lain ikan nila yaitu nila biru. an payau dan laut (Shafland & Pesytrak 1982, Dalam rangka peningkatan produksi ikan Spataru & Zorn 1978). Selain itu diketahui bah- nila diperlukan upaya budi daya ikan nila meng- wa hasil persilangan antara ikan nila (O. niloti- gunakan strain baru yaitu ikan nila biru. Kegiatan cus) betina strain jepang dengan nila biru jantan ini merupakan tahap awal budi daya ikan nila bi- mampu menghasilkan 91% jantan, sedangkan ru dengan pemeliharaan secara tunggal kelamin persilangan ikan nila (O. niloticus) betina strain jantan dan betina maupun campuan. Penelitian stirling menghasilkan anakan hampir 100% jan- ini bertujuan untuk mengevaluasi performa per- tan (Marengoni & Onoue 1998). Ditambahkan tumbuhan yuwana ikan nila biru yang dipelihara oleh Siddiqui & Al-Harbi (1997) bahwa hasil pe- dengan nisbah kelamin jantan dan betina berbe- mijahan hybrid tilapia ( Oreochromis niloticus x da. O. aureus ) dengan perbandingan induk jantan dan betina 1:2 atau 1:3 mampu menghasilkan Bahan dan metode jumlah larva yang lebih banyak. Kegiatan penelitian dilakukan di kolam air Dalam perkembangan budi daya, populasi tawar Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukaman- ikan nila tunggal kelamin jantan diyakini mem- di selama tiga bulan pada Agustus-Oktober 2014.

56 Robisalmi et al.

Ikan uji yang digunakan adalah yuwana ikan nila biru dengan bobot awal rata-rata 32,32 ± 2,34 g. Analisis Data Ikan diperoleh dari hasil pemijahan secara mas- Analisis data menggunakan uji ANOVA sal pada kolam tembok berukuran 25 m2 volume dengan program SPSS 17. Berikut adalah bebe- air 20.000 liter dengan perbandingan induk jan- rapa rumus yang digunakan. tan dan betina 10 : 30. Pemanenan larva dilaku- t-L0 kan pada hari ke 12-15 setelah masa pemijahan. t-W0

Larva yang dikoleksi selanjutnya dimasukkan ke SGR = (lnWt- lnW0) / t dalam kolam pendederan menggunakan wadah GR = (Wt-W0)/ t berupa hapa berukuran 2 m x 2 m x1 m yang di- FCR = F/ (Wt - W0) 2 tempatkan di kolam tanah seluas 400 m bervo- SR = (Nt / N0) lume 400.000 liter. Padat tebar yang digunakan Keterangan: 0= panjang awal, Lt , untuk pendederan adalah 125 ekor m2. Setelah W0= bobot awal, Wt= bobot pada waktu t, SGR= laju masa pemeliharaan 90 hari ikan dipanen dan di- pertumbuhan spesifik, t= waktu pemeliharaan, GR= la- ju pertumbuhan harian, FCR= nisbah konversi pakan, lakukan seleksi kelamin jantan dan betina sebe- F= jumlah pakan, SR= sintasan, Nt= jumlah ikan pada akhir pemeliharaan, N0= jumlah ikan pada awal peme- lum dimasukkan kedalam wadah penelitian. Se- liharaan lanjutnya ikan dimasukkan pada kolam tembok 2 yang disekat hapa berukuran 2x1 m dengan pa- Hasil dat tebar 30 ekor per hapa pada masing-masing Pertumbuhan merupakan salah satu faktor perlakuan. yang menjadi indikator keberhasilan dalam kegi- Penelitian ini menggunakan metode eks- atan budi daya ikan. Ikan yang dipelihara dengan perimental dengan Rancangan Acak Lengkap de- nisbah kelamin berbeda mempunyai pertumbuh- ngan perlakuan perbedaan nisbah kelamin jantan an yang meningkat setiap bulannya. Pertambahan dan betina yaitu A (100% jantan), B (75% jantan panjang pada semua perlakuan memiliki nilai :25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D yang relatif sama. Hal ini berbeda dengan per- (25% jantan : 75% betina), dan E (100% betina). tambahan bobot yang terlihat signifikan berbeda Selama pemeliharaan tiga bulan ikan nila biru di- terutama pada masa pemeliharaan bulan ke-3. beri pakan komersial berprotein 30-40% seba- Berdasarkan Gambar 1 ikan nila biru yang dipe- nyak 5% dari bobot ikan dengan frekuensi pem- lihara dengan perlakuan 100% jantan terlihat berian pakan dua kali sehari. Kegiatan sampling mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi di- dilakukan setiap satu bulan sekali meliputi peng- bandingkan populasi lainnya sejak pemeliharaan ukuran panjang dan penimbangan bobot ikan. Pa- hari ke-30 sampai akhir masa pemeliharaan. Pada rameter yang diamati dalam penelitian ini meli- akhir pemeliharaan, ikan nila biru pada perlakuan puti pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spe- A mempunyai bobot tubuh lebih tinggi 15-37% sifik, laju pertumbuhan harian, konversi pakan, dibanding perlakuan lainnya. Hal ini terlihat pada dan sintasan. Jumlah sampel yang diamati seba- bertambahnya panjang dan bobot ikan selama pe- nyak 10% dari jumlah ikan. meliharaan, seiring dengan bertambahnya umur.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 57 Pertumbuhan yuwana ikan nila biru

25.00 A B C D E

20.00

15.00

10.00 Panjang (cm) (cm) Panjang

5.00

0.00 0 1 2 3 Waktu pemeliharaan (Bulan ke-)

(a)

200.00 180.00 160.00 A B C D E 140.00 120.00 100.00

Bobot (g) (g) Bobot 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0 1 2 3 Waktu pemeliharaan (Bulan ke-)

(b) Gambar 1. Pertumbuhan panjang (a) dan bobot (b) ikan nila biru selama pemeliharaan. A (100% jantan), B (75% jantan :25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D (25% jantan : 75% betina), dan E (100% betina)

Pada Tabel 1 nilai pertumbuhan panjang Berdasarkan hasil uji statistik pada nilai pertum- dan bobot ikan nila biru selama 90 hari pemeli- buhan panjang, perlakuan A mempunyai nilai haraan. Nilai pertumbuhan panjang tertinggi di- yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap perlakuan tunjukkan populasi ikan nila biru perlakuan A C dan E, namun tidak berbeda nyata dengan per- (100% jantan) sedangkan nilai terendah pada lakuan B dan D. Hasil ini berlaku juga pada nilai perlakuan C yaitu populasi ikan nila biru dengan pertambahan bobot perlakuan A yang menunjuk- perbandingan 50% jantan dan 50% betina. Per- kan hasil berbeda nyata terhadap perlakuan D na- tumbuhan panjang yang tinggi pada perlakuan A mun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain- selaras dengan pertumbuhan bobot tertinggi, se- nya (P>0,05). dangkan bobot terendah diperoleh perlakuan D.

58 Robisalmi et al.

Tabel 1. Rerata panjang, bobot, dan pertumbuhan mutlak ikan nila biru yang dipelihara dengan nisbah kelamin berbeda Perlakuan Panjang awal Panjang akhir Pertumbuhan Bobot awal Bobot akhir Pertumbuhan (cm) (cm) panjang (cm) (g) (g) bobot (g) A 12,92±0,52 21,25±0,14 8,33±0,67a 35,26±6,21 171,76±11,92 136,50±11,92a B 12,69±0,01 20,76±0,77 8,07±0,76ab 35,26±6,22 148,83±10,55 116,57±10,55ab C 12,43±1,18 19,62±0,99 7,19±0,11b 35,26±6,23 135,93±27,24 103,67±27,24ab D 12,21±0,31 20,42±1,95 8,21±1,65a 35,26±6,24 124,56±0,60 92,30±0,60b E 11,87±0.04 19,17±0,04 7,29±0,08b 29,15±5,63 131,19±6,39 102,04±6,39ab * nilai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). A (100 % jantan), B (75% jantan: 25% betina), C (50% jantan: 50% betina), D (25% jantan: 75% betina), E (100% betina)

2.00 ) 1

- a 1.80 ab ab b 1.60 b 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20

Laju Pertumbuhan (%ghari Spesifik LajuPertumbuhan 0.00 A B C D E Perlakuan

(a) 1.80 1.60 a 1.40 a a 1.20 a a ) 1 1.00 0.80 (ghari- 0.60 0.40 Laju Pertumbuhan Harian Pertumbuhan Laju 0.20 0.00 A B C D E Perlakuan

(b)

Gambar 2. Laju pertumbuhan spesifik (a) dan laju pertumbuhan harian (b) ikan nila biru selama pemeli- haraan. A (100% jantan), B (75% jantan :25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D (25% jantan : 75% betina), dan E (100% betina)

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 59 Pertumbuhan yuwana ikan nila biru

Parameter pertumbuhan lainnya yaitu laju an menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan harian. antar semua perlakuan (P>0,05). Pada perlakuan A (100 % jantan) nilai laju per- Nilai pertumbuhan yang tinggi pada perla- tumbuhan spesisfik lebih tinggi yaitu sebesar kuan A disertai dengan nilai konversi pakan yang 1,76±0,05 % ghari-1 dengan pertumbuhan harian rendah yaitu sebesar 1,91 (Gambar 3). Adapun 1,52±0,09 ghari-1 dibandingkan keempat popula- nilai konversi pakan tertinggi ditunjukkan perla- si; sedangkan nilai terendah pada populasi cam- kuan D sebesar 2,46. Berdasarkan hasil uji statis- puran ikan nila biru yaitu perlakuan D (25% jan- tik diketahui bahwa adanya perbedaan nyata an- tan : 75% betina) dengan nilai pertumbuahan tara nilai konversi pakan perlakuan A dengan spesifik dan pertumbuhan harian masing-masing perlakuan D sedangkan tidak ada perbedaaan sebesar 1,50± 0,03 % ghari-1 dan 1,03 ±0,04 yang nyata dengan perlakuan B,C, dan E. ghari-1 (Gambar 2). Berdasarkan hasil uji statis- Selama masa pemeliharaan 90 hari terjadi tik, perlakuan A menunjukkan hasil yang berbe- kematian pada ikan nila biru namun relatif kecil da nyata (P<0,05) terhadap perlakuan C dan D, (Gambar 4). Nilai sintasan ikan nila biru antara namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan populasi monoseks dan campuran memiliki nilai lainnya (P>0,05) pada parameter laju pertumbuh- yang hampir sama berkisar dari 95-98% dan se- an spesifik, namun pada nilai pertumbuhan hari- cara statistik pun menunjukkan nilai tidak berbe- da nyata (P>0,05).

3.00 b 2.50 ab ab ab a 2.00

1.50

Konversi pakan pakan Konversi 1.00

0.50

0.00 A B C D E Perlakuan

Gambar 3. Nisbah konversi pakan ikan nila biru selama pemeliharaan. A (100% jantan), B (75% jantan: 25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D (25% jantan : 75% betina), dan E (100% betina)

60 Robisalmi et al.

100 a a a a a

80

60

40 Sintasan (%) (%) Sintasan

20

0 A B C D E Perlakuan

Gambar 4. Sintasan ikan nila biru selama pemeliharaan. A (100% jantan), B (75% jantan : 25% betina), C (50% jantan : 50% betina), D (25% jantan : 75% betina), dan E (100% betina)

Pembahasan haraan ikan nila biru dengan monoseks jantan Berdasarkan data pertumbuhan diketahui mampu tumbuh lebih cepat dibanding populasi bahwa populasi ikan nila biru pada dasarnya monoseks betina dan campuran. Hal ini dise- mampu memanfaatkan pakan dengan baik se- babkan energi yang dihasilkan dari pakan pada hingga pertumbuhan bisa berjalan maksimal. ikan jantan bisa sepenuhnya dimanfaatkan untuk Perbedaan performa antarperlakuan terjadi akibat pertumbuhan sedangkan pada ikan betina seba- respons pakan yang berbeda antara ikan jantan gian energi dari pakan selain untuk tumbuh digu- dan betina, yang menunjukkan bahwa ikan nila nakan untuk reproduksi, perkembangan gonad, biru jantan cenderung lebih aktif dalam meres- dan produksi telur. Selain itu diketahui pula ba- pons pakan dibanding ikan betina sehingga pe- nyak ikan betina yang sudah matang gonad yang meliharaan ikan nila biru dengan perlakuan kela- ditunjukkan dengan organ kelamin yang bewarna min tunggal jantan saja yang mempunyai perfor- merah dan adanya telur bewarna kuning yang ke- ma lebih baik dibanding pemeliharaan secara luar dari organ reproduksi ketika dilakukan peng- campuran antara ikan jantan dan betina. Mair & urutan serta adanya sejumlah telur yang dierami Little (1991) melaporkan bahwa ikan nila yang oleh induk betina. Ditambahkan oleh Popma & dipelihara secara monoseks mempunyai pertum- Masser (1999), secara biologis laju pertumbuhan buhan yang lebih cepat 10% dibanding pemeli- ikan nila jantan lebih cepat karena tidak mem- haraan campuran (jantan dan betina) baik pada persiapkan pembentukan kuning telur, viteloge- kolam maupun keramba jaring. Ditambahkan nesis, pematangan telur dibandingkan dengan Effendie (1995), salah satu faktor yang meme- ikan nila betina. Selain itu pertumbuhan tilapia ngaruhi pertumbuhan antara lain keturunan, seks, dipengaruhi oleh jenis kelamin ikan yang ber- dan umur yang umumnya sulit untuk dikontrol. gantung pula pada suhu lingkungan (Baroiller et Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pemeli- al. 1995). Berdasarkan hasil penelitian diketahui

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 61 Pertumbuhan yuwana ikan nila biru nilai pertumbuhan panjang dan bobot pada popu- jantan : 7% betina) yang mempunyai nilai laju lasi monoseks jantan (perlakuan A) lebih tinggi pertumbuhan spesifik terendah. Namun bila di- dibandingkan dengan perlakuan campuran dan bandingkan dengan populasi tunggal kelamin monoseks betina yaitu dengan panjang 21,25± betina (perlakuan E) nilainya hanya lebih tinggi 0,14 cm dan bobot 171,76±11,92. Nilai ini sela- 3%. Menurut Ariyanto et al. (2010), bobot indi- ras dengan hasil penelitian Dan & Little (2000) vidu ikan nila genotipe XY (jantan) mempunyai yang melaporkan bahwa populasi monoseks jan- bobot yang lebih besar yaitu lebih tinggi 18,99%; tan ikan nila GIFT yang dipelihara selama 180 69%; dan 36,82% dibanding populasi XX, YY, hari mempunyai bobot yang lebih tinggi yaitu se- dan campuran XX-XY. Namun hasil penelitian besar 400 ± 26 g sedangkan pada populasi cam- Norhidayat et al. (2009) melaporkan tidak ada puran sebesar 375,30 ± 35,70 g (Dan & Little perbedaan nyata nilai pertumbuhan harian popu- 2000). Chakraborty et al. (2011) menambahkan lasi ikan nila monoseks dan campuran pada pe- bahwa pertumbuhan bobot ikan nila pada popu- meliharaan di keramba dan kolam. lasi 95% jantan lebih tinggi dibanding populasi Nilai laju pertumbuhan spesifik dan laju campuran yang dipelihara pada berbagai sistem pertumbuhan harian ikan nila biru yang dipeliha- budi daya. Namun hasil pemeliharaan ikan nila ra dengan nisbah kelamin jantan adalah1,76 (laju biru monoseks betina dan populasi campuran pertumbuhan spesifik) dan 1,52 (laju pertumbuh- (50% jantan: 50% betina) mempunyai bobot an harian). Hasil ini selaras dengan laporan yang lebih tinggi dibanding dengan populasi ikan Githukia et al. (2015) bahwa ikan nila monoseks nila biru (25% jantan : 75% betina). Menurut mempunyai pertumbuhan panjang dan bobot Toguyeni et al. (2002), pertumbuhan ikan nila yang lebih tinggi dibanding ikan nila campuran yang dipelihara dengan perbandingan jantan 50% dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1,83±0,15 : betina 50% mempunyai pertumbuhan yang le- sedangkan populasi campuran sebesar 1,47±0,14. bih tinggi dibanding pemeliharaan 25% jantan : Namun nilai ini lebih rendah bila dibandingkan 75 % betina. Perbedaan antara pola pertumbuhan penelitian Dan & Little (2000) yang melaporkan dalam dua populasi tersebut bisa mencerminkan bahwa ikan nila monoseks jantan mempunyai jenis atau intensitas interaksi sosial yang berbe- nilai laju pertumbuhan tertinggi dibanding popu- da. Baroiller et al. (1997) menyatakan pertum- lasi nila campuran dengan nilai laju pertumbuhan buhan individu dalam populasi seks campuran spesifik yaitu 2,30±0,15 dan pertumbuhan harian erat kaitannya dengan nisbah jenis kelamin yang sebesar 0,80±0,09. Perbedaan pertumbuhan ini digunakan, di mana banyak sedikitnya nisbah terjadi karena adanya persaingan dalam mencari jenis kelamin jantan dan betina dalam suatu pakan. Pada populasi monoseks persaingan da- populasi memengaruhi kinerja pertumbuhan lam mencari makan bisa dikurangi sehingga ti- semua individu. dak terjadi kekurangan asupan energi dari pakan Pada Gambar 2 terlihat bahwa yuwana untuk tumbuh . Tingkah laku ikan dalam mencari ikan nila biru yang dipelihara dengan populasi makan merupakan salah satu bentuk tingkah laku tunggal kelamin jantan menunjukkan nilai ter- sosial. Menurut Krause & Ruxton (2002), ting- tinggi. Populasi tersebut mempunyai nilai laju kah laku sosial merupakan fenomena yang umum pertumbuhan spesifik 14,67% lebih tinggi diban- terjadi terutama pada hewan vertebrata contoh- ding populasi campuran yaitu perlakuan D (25% nya ikan untuk mencari makan, menghindari pre-

62 Robisalmi et al. dator, dan memelihara tubuh. Ditambahkan oleh berdasarkan bobot ikan. Nilai ini menunjukkan Aksungur et al. (2007) bahwa ada indikasi yang bahwa pemanfaatan pakan yang efisien terjadi berhubungan dengan interaksi sosial ikan, di pada individu-individu ikan nila biru monoseks. mana kompetisi pakan yang tinggi dan ruang Menurut Mair et al. (1995) dan Toguyeni et al. gerak yang kecil dapat memberikan pengaruh (1997), ikan nila populasi 95% jantan mempu- negatif terhadap pertumbuhan ikan. nyai nilai nisbah konversi pakan dan total daging Pertumbuhan ikan nila biru yang dipeliha- yang lebih baik dibandingkan dengan populasi ra dengan nisbah kelamin berbeda mempunyai campuran. Selain itu pada populasi monoseks nisbah konversi pakan yang beragam berkisar tidak terjadi persaingan makan sehingga pakan antara 1,91-2,46. Berdasarkan Gambar 3 diketa- terdistribusi merata untuk seluruh ikan yang di- hui ikan nila biru monoseks jantan dapat me- pelihara (Macintosh & Little 1995, Kuparinen et manfaatkan pakan lebih baik dan efisien karena al. 2012). memiliki nisbah konversi pakan yang rendah se- Nilai sintasan ikan nila biru selama pe- hingga akan meningkatkan nisbah efisiensi pro- meliharaan tergolong tinggi karena mencapai le- tein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pechsiri & bih dari 90%. Kematian terjadi lebih dikarenakan Yakupitiyage (2005) bahwa populasi ikan mono- faktor penanganan ketika dilakukan sampling. seks mempunyai nilai nisbah konversi pakan Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa ikan yang rendah dan nilai nisbah efisiensi protein nila biru yang dipelihara dengan perbedaan nis- yang tinggi dibanding populasi ikan campuran. bah kelamin tidak memengaruhi nilai sintasan. Menurut Mugo-Bundi et al.(2013), konversi pa- Nilai sintasan tertinggi ditunjukkan populasi kan merupakan indikator penting kualitas pakan campuran dengan nisbah kelamin 50% jantan yang diberikan dan konversi pakan yang rendah dan 50% betina. Hasil ini sesuai dengan laporan mengindikasikan pemanfaatan pakan yang baik Hernandez et al. (2014) yang menyatakan bahwa oleh ikan. Nilai konversi pakan pada penelitian sintasan populasi ikan nila monoseks dan cam- ini tergolong lebih tinggi apabila dibandingkan puran berkisar dari 98-99%. Hal ini diduga kare- dengan hasil penelitian Hernandez et al. (2014). na adanya persaingan ruang gerak antara ikan Nisbah konversi pakan ikan nila populasi jantan jantan dan betina. Hasil penelitian lainnya mela- dan campuran berkisar dari 1,43-1,47, sedangkan porkan sintasan ikan nila populasi monoseks dan Siddik et al. (2014) melaporkan nilai konversi campuran yang dipelihara di kolam mempunyai pakan ikan monoseks jantan dan campuran ma- sintasan berkisar dari 65-86% sedangkan pada sing-masing sebesar 1,71±0,07 dan 1,78±0,03. keramba 94% (Diana et al. 1994), sedangkan Perbedaan ini terjadi dikarenakan adanya Kohinoor et al.(2007) melaporkan sintasan ikan persaingan makan yang berbeda-beda antara po- nila monosek jantan berkisar dari 79-92%. pulasi monoseks dan campuran. Ikan jantan me- miliki kebiasaan yang lebih aktif dalam mencari Simpulan makan. Populasi monoseks (perlakuan A dan E) Pemeliharaan yuwana ikan nila biru cenderung mempunyai nilai nisbah konversi pa- menggunakan populasi monoseks jantan 100% kan yang lebih rendah dibanding populasi cam- mempunyai performa pertumbuhan yang lebih puran, padahal jumlah pakan yang diberikan se- baik dengan nilai nisbah konversi pakan yang suai dengan persentase pemberian pakan harian rendah dibanding populasi campuran dan mono-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 63 Pertumbuhan yuwana ikan nila biru seks betina. Selama pemeliharaan 90 hari yuwa- Bwanika GN, Murie DJ, Chapman LJ. 2007. Comparative age and growth of Nile tila- na ikan nila biru populasi campuran (50% jantan pia (Oreochromis niloticus L.) in Lakes : 50% betina) menunjukkan sintasan tertinggi Nabugabo and Wamala, Uganda. Hydro- biologia, 589(1): 287 301. dibanding populasi lainnya. Chakraborty SB, Mazumdar D, Chatterji U, Be-

nerjee S. 2011. Growth of mixed-sex and Daftar pustaka monosex Nile tilapia in different culture systems. Turkish Journal of Fisheries and Aksungur N, Aksungur M, Akbulut B, Kutlu I. Aquatic Sicences, 11(1): 131 138. 2007. Effects of stocking density on growth performance, survival and food Dan, NC, Little, DC. 2000. The culture perform- conversion ratio of Turbot (Psetta maxima) ance of monoseks and mixed-sexnew-sea- in the net cages on the southeastern coast son and overwintered fry in three strains of of the Black Sea. Turkish Journal of Nile tilapia Oreochromis niloticus in Fisheries and Aquatic Sciences, 7(2): 147- northernVietnam. Aquaculture, 184(3-4): 152. 221-231. Ariyanto D, Sumantadinata K, Sudrajat AO. De Graaf GJ, Dekker PJ, Huisman B, Verreth 2010. Evaluasi pertumbuhan dan perkem- JAJ. 2005. Simulation of Nile tilapia (Ore- bangan organ reproduksi tiga genotipe ikan ochromis niloticus L.) culture in ponds, nila (Oreochromis niloticus). In: Achmad through individual-based modeling, using Sudrajat (ed). Prosiding Forum Inovasi a population dynamic approach. Aquacul- Teknologi Akuakultur 2010. Pusat Riset ture Research, 36(5): 455 471. Perikanan Budidaya. Jakarta. April 2010. Diana JS, Lin CK, Jaiyen K. 1994. Supplemental 1: 565-572. feeding of tilapia in fertilized ponds. Jour- Baroiller JF, Chourrout D, Fostier A, Jalabert B. nal of World Aquaculture Society, 25(4): 1995. Temperature and sex chromosomes 497 506. govern sex-ratios of the mouthbrooding Effendie MI. 1995. Biologi Perikanan. Yayasan cichlid fish Oreochromis niloticus. Journal Pustaka Nusatama. Yogyakarta.163 hlm. of Experimental Zoologi, 273(3): 216 223. Githukia M, Ogello EO, Kembenya EM, Achi- eng AO, Obiero KO, Munguti JM. 2015. Baroiller JF, Desprez D, Carteret , Tacon P, Hoareau, MC, Me ´lard C, Jalabert, B. Comparative growth performance of male 1997. Influence of environmental and so- monosex and mixed sex nile tilapia (Oreo- chromis niloticus L.) reared in earthen cial factors on the reproductive efficiency ponds Cecilia. Croatian Journal of in three tilapia species, Oreochromis Fisheries, 73(1): 20-25 niloticus, O. aureus and the red tilapia (Red Florida strain). In: Fitzsimmons, K. Hernandez M, Eucario GL, Milstein A. 2014. (Ed.), Proceedings of the Fourth Interna- Polyculture of mixed-sex and male popu- tional Symposium on Tilapia in Aquacul- lations of Nile tilapia (Oreochromis niloti- ture. Northeast Regional Agricultural cus) with the Mayan cichlid (Cichlasoma Engineering Service, New York. 106: 238 urophthalmus). Aquaculture, 419: 26-31. 252. Kohinoor AHM, Islam AKMS, Jahan DA, Zaher Bentsen HB, Gjerde B, Nguyen NH, Rye M., M, Hussain MG. 2007. Monoculture of Ponzoni RW, Palada de Vera MS, Boliva, climbing perch, Thai koi, Anabas testudi- HL, Velasco RR, Danting JC, Dionisio EE, neus (Bloch) under different stocking den- Longalong FM, Reyes RA, Abella TA, sities at on-farm. Bangladesh Journal of Tayamen MM, Eknath AE. 2012. Genetic Fisheries Research, 11(2): 173-180. improvement of farmed tilapias: genetic parameters for body weight at harvest in Kuparinen A. Hardie DC, Hutching JA. 2012. Nile tilapia (Oreochromis niloticus) during Evolutionary and ecological feedbacks of five generations of testing in multiple envi- the survival cost of reproduction. Aquacul- ronments. Aquaculture, (338 341): 56 65. ture Research, 5(3): 245-255. Beardmore JA, Mair GC, Lewis RI. 2001. Mo- Krause J, Ruxton G. 2002. Living in Groups. Ox- - ford University Press. New York. 228 p. Little DC, Edwards P. 2004. Impact of nutrition and prospects. Aquaculture, 197(1-4) : and season on pond culture performance of 283 301.

64 Robisalmi et al.

mono-sex and mixed sex Nile tilapia (Ore- Ponzoni RW, Hamzah A, Tan S, Kamaruzzaman ochromis niloticus). Aquaculture, 232(1 N. 2005. Genetic parameters and response 4): 279-292 to selection for live weight in the GIFT strain of Nile tilapia (Oreochromis niloti- Macintosh DJ, Little DC. 1995. Nile tilapia cus). Aquaculture, 247(1-4): 203 210. Oreochromis niloticus. In: Bromage NR, Roberts RJ (Eds.). Broodstock Manage- Popma T, Masser M. 1999. Tilapia: Life history ment and Egg and Larval Quantity. Insti- and biology. Southern Regional Aquacul- tute of Aquaculture and BlackwellScience, ture Center Pub. 283: 4. pp. 277 320. Shafland PL, Pestrak JM.1982. Lower lethal tem- Mair GC, Little DC. 1991. Population control in peratures for fourteen nonnative fishes in farmed tilapias. NAGA, The ICLARM Florida. Environmental Biology of Fishes, Quarterly, 4(3): 8 13. 7(2): 149-156 Mair GC, Abucay JS, Beardmore JA, Skibinski Siddik MAB, Nahar A, Ahamed F, Hossain MY. DOF. 1995. Growth performance trials of 2014. Over-wintering growth performance genetically male tilapia (GMT) derived of mixed-sex and mono-sex Nile tilapia from YY-males in Oreochromis niloticus Oreochromis niloticus in Northeastern L. on station comparisons with mixed sex Bangladesh. Croatian Journal of and reversed male populations. Aquacul- Fisheries, 72(2): 70-76. ture, 137(3-4): 313 322. Siddiqui AQ, Al-Harbi AH. 1997. Effects of sex Marengoni NG, Onoue Y. 1998. Ultraviolet in- ratio, stocking density and age of hybrid ti- duced androgenesis in Nile tilapia, Oreo- lapia on seed production in concrete tanks chromis niloticus (L.) and hybrid Nile × in Saudi Arabia. Aquaculture Internati- blue tilapia, O. aureus (Steindachner). onal, 5(3): 207-216 Aquaculture Research, 29(5): 359 366 Spataru P, Zorn M. 1978. Food and feeding ha- Mugo-Bundi J, Oyoo-Okoth E, Ngugi CC, bits of Tilapia aurea (Steindachner) (Ci- Manguya-Lusega D, Rasowo J, Chepkirui chlidae) in Lake Kinneret (Israel). Aqua- BV. 2013. Utilization of Caridina nilotica culture, 13(1): 67-79. (Roux) meal as a protein ingredient in Toguyeni A, Fauconneau B, Boujard T, Fostier feeds for Nile tilapia (Oreochromis niloti- A, Kuhn ER, Mol KA, Baroiller JF. 1997. cus). Aquaculture Research, 46(2): 1-12. Feeding behavior and food utilization in Norhidayat K, Nguyen HN, Hamzah A, Ponzoni tilapia, Oreochromis niloticus: effect of RW. 2009. Growth performance of mixed sex ratio and relationship with endocrine sex, hormonally sex reversed and progeny status. Physiology & Behavior, 62(2): 273 of YYmale tilapia of the GIFT strain 279. (Oreochromis niloticus). Aquaculture Re- Toguyeni A, Fauconneau B, Fostier A, Abucay J, search, 40(6): 720 728. Mair G, Baroiller JF. 2002. Influence of Pechsiri J, Yakupitiyage A. 2005. A comparative sexual phenotype and genotype, and sex study of growth and feed utilization effici- ratio on growth performances in tilapia, ency of sex reversed diploid and triploid Oreochromis niloticus. Aquaculture, Nile tilapia, Oreochromis niloticus L. 207(3-4): 249 261. Aquaculture Research, 36(1): 45-51

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 65 , 17(1): 67-82 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.305

Struktur komunitas sumber daya ikan demersal berdasarkan kedalaman perairan di Laut Cina Selatan (WPP NRI 711) [Community structure of demersal fish resources based on the depth of the waters in the South China Sea (Indonesia Fisheries Management Zone 711)] Robet Perangin-angin1 , Sulistiono2, Rahmat Kurnia2, Achmad Fahrudin2, Ali Suman3 1) Mahasiswa PS Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB Jl. Raya Dramaga Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 2) PS Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB Jl. Raya Dramaga Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 3) Balai Penelitian Perikanan Laut - Jakarta Jl. Muara Baru Ujung Komp Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Penjaringan - Jakarta Utara 14440

Diterima: 1 Juni 2016; Disetujui: 24 Januari 2017

Abstrak Informasi mengenai persebaran dan struktur komunitas sumber daya ikan demersal penting sebagai bahan masukan un- tuk pengelolaan perikanan demersal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keanekaragaman dan persebar- an sumber daya ikan demersal berdasarkan perbedaan kedalaman perairan, serta keterkaitannya dengan lingkungan. Penelitian dilaksanakan di Laut Cina Selatan pada bulan Mei sampai Juni 2015 dengan mengoperasikan alat tangkap pukat ikan di stasiun yang telah ditetapkan. Metode analisis keanekaragaman hayati ikan demersal menggunakan bebe- rapa indeks ekologi yaitu indeks kekayaan jenis Margalef, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragam- an Pielou, dan indeks dominansi Simpson. Nilai indeks ekologi tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi lingkung- an, menggunakan analisis komponen utama. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kestabilan komunitas sumber daya ikan demersal semakin baik seiring dengan meningkatnya kedalaman. Kedalaman, suhu, dan salinitas merupakan para- meter yang paling memengaruhi tingkat kekayaan jenis serta persebaran sumber daya ikan demersal, sedangkan perse- baran kelimpahan ikan sangat terkait dengan oksigen terlarut dan kecerahan perairan. Implikasinya, kondisi lingkungan perairan sangat memengaruhi persebaran dan kelimpahan ikan demersal.

Kata penting: indeks ekologi, keanekaragaman, kelimpahan, persebaran.

Abstract Information on distribution and community structure of demersal fish resources are important to be known as an input to the management of demersal fisheries. This study aimed to analyze the diversity and distribution of demersal fish resources based on the differences in the depth of the waters and the linkages to the environment. Research conducted in the South China Sea in May to June 2015 by operating a trawl gear in the station preset. The method of analysis of demersal fish diversity use some ecological indices i.e Margalef species richness index, Shannon-Wiener diversity in- dex, Pielou evenness index, and Simpson dominance index. The ecological index value then associated with environ- mental conditions, using principal component analysis. Distribution of the ecological index indicated the stability of communities demersal fish resources getting better with the increase of depth. The most affected to the level of species richness and distribution of demersal fish were the parameters of depth, temperature and salinity, while the abundance distribution of fishes were associated with dissolved oxygen, and water transparency. The implication, that the water environmental conditions greatly affected the distribution and abundance of demersal fish.

Keywords diversity, abundance, distribution. : ecological indices,

Pendahuluan limpahan sumber daya ikan demersal (Badrudin Tingginya tekanan penangkapan ikan et al. 2011). Informasi mengenai persebaran dan demersal di perairan pantai sampai kedalaman struktur komunitas ikan demersal penting sebagai 40-an meter telah menyebabkan menurunnya ke- bahan masukan untuk pengelolaan perikanan

______(Blaber et al. 1994). Pengelolaan perikanan di Penulis korespondensi masa depan harus berdasarkan pendekatan eko- Alamat surel: [email protected] sistem (Laevastu & Hayes 1981).

Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Pengetahuan tingkat keanekaragaman ikan ber daya ikan demersal berdasarkan kedalaman, diperlukan dalam kajian biologi dan konservasi serta keterkaitannya dengan lingkungan. biodiversitas. Beberapa cara yang digunakan un- tuk menduga tingkat keanekaragaman adalah Bahan dan metode berdasarkan data keberadaan dan kelimpahan Penelitian ini dilakukan di Laut Cina Sela- spesies (Magurran 1988). Kehadiran spesies pen- tan dengan menggunakan Kapal Penelitian Madi- ciri dalam suatu perairan akan memberikan nilai dihang 02 pada bulan Mei sampai Juni 2015 se- lebih pada tingkat keanekaragaman, dibanding- perti disajikan pada Gambar 1. kan perairan lain yang jumlah spesiesnya relatif Pengumpulan data hasil tangkapan dilaku- umum dan sama (Wagner & Edwards 2001). kan menggunakan alat tangkap pukat ikan de- Laut Cina Selatan bagian selatan merupa- ngan spesifikasi pada Gambar 2 yang dioperasi- kan bagian dari Paparan Sunda dan tergolong kan dengan Kapal Penelitian Madidihang 02 laut dangkal dengan kedalaman <200 m. Sumber yang berukuran 163 GT, di dasar perairan dari daya ikan demersal yang terkandung di dalamnya masing-masing stasiun yang telah ditentukan sangat potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan (Tabel 1). Stasiun pukat ikan yang ada diupaya- (Widodo et al. 1998). Dalam upaya pengelolaan kan mewakili perebaran seluruh spesies ikan de- dan pemanfaatan sumber daya ikan, wilayah laut mersal, baik secara geografis maupun kedalam- ini dikelompokkan dalam Wilayah Pengelolaan an. Sementara data oseanografi seperti suhu, sa- Perikanan (WPP) 711 bersama dengan Selat Ka- linitas, pH, dan oksigen terlarut diperoleh dengan rimata, Laut Natuna dan sekitarnya dengan luas menggunakan CTD (conductivity, temperature, wilayah diperkirakan sekitar 58.270.098 Ha atau and depth) dan kecerahan diukur dengan cakram 582.700,98 km2 (KKP 2014). Untuk itu kajian Secchi yang diturunkan di stasiun yang telah di- mendalam terkait kondisi sumber daya ikan de- tentukan, sesaat sebelum dilakukan pengoperasi- mersal dan keterkaitannya terhadap lingkungan an alat tangkap pukat ikan. Pada penelitian ini, perairan ini menjadi suatu keharusan. alat tangkap pukat ikan dioperasikan di dasar Penelitian sebelumnya tentang keterkaitan perairan dengan lama tarikan (towing) ± 1 jam persebaran sumber daya ikan demersal dan faktor pada kecepatan kapal ± 3 knots. Ikan-ikan de- lingkungannya, antara lain Rainer & Munro mersal yang tertangkap jaring pukat dipisah dan (1982) menemukan adanya hubungan antara per- dikelompokkan menurut jenisnya. Ikan yang sebaran jenis dan faktor-faktor fisik seperti keda- tertangkap diidentifikasi dengan bantuan buku laman perairan, salinitas, dan tipe sedimen, se- identifikasi Kailola & Tarp (1984), Allen et al. dangkan Blaber et al. (1994) menyatakan bahwa (1999), FAO (2001), Fishbase (Froese & Pauly, persebaran ikan demersal berhubungan dengan 2000) dan dipisahkan menurut jenisnya, kemu- kedalaman perairan tetapi tidak berhubungan de- dian dihitung jumlahnya dan dilakukan penim- ngan tipe sedimen, salinitas, suhu, dan turbiditas. bangan untuk mengetahui jumlah individu dan Penelitian ini bertujuan untuk menganali- bobot setiap jenisnya. sis tingkat keanekaragaman dan persebaran sum-

68 Perangin Angin et al.

Sumber: Base map Argis Gambar 1. Peta lokasi dan posisi stasiun penelitian pukat ikan di Laut Cina Selatan (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia / WPP- NRI 711), pada bulan Mei sampai Juni 2015. 1- 12 : stasiun

Pengumpulan data hasil tangkapan dilaku- dan dikelompokkan menurut jenisnya. Ikan yang kan menggunakan alat tangkap pukat ikan de- tertangkap diidentifikasi dengan bantuan buku ngan spesifikasi pada Gambar 2 yang dioperasi- identifikasi identifikasi Kailola & Tarp (1984), kan dengan Kapal Penelitian Madidihang 02 Allen et al (1999), FAO (2001), Fishbase (Froese yang berukuran 163 GT, di dasar perairan dari & Pauly 2000) dan dipisahkan menurut jenisnya, masing-masing stasiun yang telah ditentukan kemudian dihitung jumlahnya dan dilakukan pe- (Tabel 1). Stasiun pukat ikan yang ada diupaya- nimbangan untuk mengetahui jumlah individu kan mewakili persebaran seluruh spesies ikan dan bobot setiap jenisnya. demersal, baik secara geografis maupun keda- laman. Sementara data oseanografi seperti suhu, Tabel 1. Stasiun pengamatan pengoperasian pukat ikan salinitas, pH, dan oksigen terlarut diperoleh de- Stasiun pukat Kedalaman dasar ngan menggunakan CTD (conductivity, tempe- ikan perairan (m) rature, and depth) dan kecerahan diukur dengan Sta. 1 21,1 Sta. 2 35,3 cakram Secchi yang diturunkan di stasiun yang Sta. 3 45,0 telah ditentukan, sesaat sebelum dilakukan peng- Sta. 4 18,6 Sta. 5 25,0 operasian alat tangkap pukat ikan. Pada peneliti- Sta. 6 33,0 an ini, alat tangkap pukat ikan dioperasikan di Sta. 7 42,0 Sta. 8 25,0 dasar perairan dengan lama tarikan (towing) ± 1 Sta. 9 36,0 jam pada kecepatan kapal ± 3 knots. Ikan-ikan Sta. 10 50,0 Sta. 11 42,0 demersal yang tertangkap jaring pukat dipisah Sta. 12 65,0

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 69 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Alat Tangkap : Pukat Ikan Head Rope : 36 meter Ground Rope : 41 meter

Gambar 2. Spesifikasi alat tangkap pukat ikan di KM. Madidihang 02 yang digunakan pada penelitian

Analisis keanekaragaman hayati ikan de- Indeks Margalef : R = (S 1)/ln(N) mersal menggunakan beberapa indeks ekologi, Indeks Shannon-Wiener: yaitu indeks kekayaan jenis Margalef, indeks ke- Indeks Pielou anekaragaman Shannon (Listopad et al. 2015, Indeks Simpson:

Chen et al. 2016, Fattorini et al. 2016, Loiseau et Ds = al. 2016, Suratissa & Rathnayake 2016), indeks K i= keseragaman Pielou (Ricotta & Avena 2003, perbandingan antara jumlah individu jenis ke i dan jumlah total individu (ni/N), S= jumlah spesies, N= Gosselin 2006), dan indeks dominansi Simpson jumlah individu, ni= jumlah individu ke-i. (Gregorius & Gillet 2008, Subburayalu & Sydnor Nilai indeks ekologi tersebut kemudian di- 2012) sebagai berikut. kaitkan dengan kondisi lingkungan, dan dianali-

70 Perangin Angin et al. sis dengan menggunakan analisis komponen uta- 136 ekor. Kedalaman 50-60 meter didominasi ma (principle component analysis PCA) agar da- oleh Arothron immaculatus, Upeneus luzonius, pat diketahui tingkatan pengaruh faktor-faktor dan Chaerodon sp. masing-masing sebanyak 31 lingkungan terhadap kondisi struktur komunitas ekor, 13 ekor, dan 8 ekor. Sebaran ikan demersal yang ada. di kedalaman 60-70 meter lebih merata yang di- dominasi Pseudorhombus spinosus, Upeneus Hasil luzonius, Pentaprion longimanus, Nemipterus Persebaran jenis ikan demersal berdasarkan ke- hexodon, dan Epinephelus areolatus masing- dalaman masing sebanyak 69 ekor, 59 ekor, 39 ekor, 22 Penelitian ini menyajikan persebaran ko- ekor, dan 16 ekor (Gambar 3). munitas ikan demersal di WPP-NRI 711 Laut Cina Selatan (Tabel 2). Analisis kelompok dan indeks keanekaragaman Kedalaman 20-30 meter didominasi oleh sumber daya ikan demersal ikan-ikan berukuran kecil seperti Eubleekeria Gambar 4 menyajikan dendrogram perse- splendens dan stercorarius masing- baran komposisi jenis ikan demersal berdasarkan masing sebanyak 19.929 ekor dan 5.026 ekor. indeks kemiripan Bray Curtis untuk tiap interval Kedua jenis ikan ini hanya ditemukan di keda- kedalaman. Dendrogram menunjukkan indeks laman tersebut. Arothron immaculatus, Lutjanus kemiripan Bray Curtis ikan demersal pada stasi- vitta, dan Upeneus luzonius mendominasi keda- un dengan kedalaman 30-40 m cenderung serupa laman 30-40 meter masing-masing sebanyak 524 dengan kedalaman 40-50 m, sedangkan stasiun ekor, 246 ekor, dan 119 ekor. Pentaprion longi- pada kedalaman 20-30 m cenderung memiliki manus, Upeneus luzonius, dan Arothron immacu- nilai indeks yang sangat berbeda dibanding keda- latus mendominasi kedalaman 40-50 meter ma- laman lainnya. sing-masing sebanyak 484 ekor, 247 ekor, dan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 71 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Tabel 2. Famili dan spesies sumber daya ikan demersal di Laut Cina Selatan No. Famili No. Spesies 1 APOGONIDAE 1 Apogon sp. 2 ARIIDAE 1 Arius sp. 3 BALISTIDAE 1 Abalistes stellatus 4 BOTHIDAE 1 Arnoglossus sp. 2 Crossorhombus azureus 3 Engyprosopon grandisquama 5 CAESIONIDAE 1 Pterocaesio digramma 6 CALLIONYMIDAE 1 Dactylopus dactylopus 7 CARANGIDAE 1 Carangoides chrysophys 2 Carangoides malabaricus 3 Carangoides plagiotaenia 4 Carangoides sp. 8 CENTRISCIDAE 1 Centriscus sp. 9 CEPOLIDAE 1 Acanthocepola sp. 10 CHAETODONTIDAE 1 Chelmon rostratus 2 Coradion chrysozonus 3 Parachaetodon ocellatus 11 CYNOGLOSSIDAE 1 Cynoglossus arel 12 DIODONTIDAE 1 Chilomycterus reticulatus 2 Diodon holocanthus 3 Torquigener pallimaculatus 4 Tragulichthys jaculiferus 13 ECHENEIDIDAE 1 Remora remora 14 EPHIPPIDAE 1 Ephippus orbis 15 FISTULARIIDAE 1 Fistularia petimba 16 GERREIDAE 1 Gerres filamentosus 2 Gerres kapas 3 Pentaprion longimanus 17 HAEMULIDAE 1 Diagramma punctatum 2 Plectorhinchus chaetodonoides 3 Plectorhinchus sp. 4 Pomadasys argyreus 18 HALOCENTRIDAE 1 Sargocentron rubrum 19 HARPODONTIDAE 1 Saurida longimanus 2 Saurida micropectoralis 3 Saurida undosquamis 20 LABRIDAE 1 Chaerodon sp. 2 Xiphocheilus typus 3 Iniistius jacksonensis 4 Xyrichthys sp.

72 Perangin Angin et al.

Tabel 2 (lanjutan). Famili dan spesies sumber daya ikan demersal di Laut Cina Selatan No. Famili No. Spesies 21 1 Photopectoralis bindus 2 Nuchequula gerreoides 3 Equulites elongatus 4 Eubleekeria splendens 5 Equulites stercorarius 6 Secutor ruconius 22 LETHRINIDAE 1 Gymnocranius sp. 2 Lethrinus lentjan 3 Lethrinus microdon 23 LUTJANIDAE 1 Lutjanus malabaricus 2 Lutjanus sebae 3 Lutjanus vitta 24 MONACANTHIDAE 1 Acreichthys tomentosus 2 Aluterus sp. 3 Anacanthus barbatus 4 Cantherines fronticinctus 5 Chaetodermis penicilligerus 6 Acreichthys hajam 7 Monachantus sp. 8 Paramonachantus sp. 9 Pseudomonachantus elongatus 25 MUGILODIDAE 1 Parapercis sp. 26 MULLIDAE 1 Parupeneus heptacanthus 2 Upeneus luzonius 3 Upeneus sp. 4 Upeneus sulphureus 5 Upeneus sundaicus 27 MURAENESOCIDAE 1 Oxyconger sp. 28 NEMIPTERIDAE 1 Nemipterus baliensis 2 Nemipterus bathybius 3 Nemipterus furcosus 4 Nemipterus hexodon 5 Nemipterus isacanthus 6 Nemipterus japonicus 7 Nemipterus marginatus 8 Nemipterus mesoprion 9 Nemipterus nematophorus 10 Nemipterus peroni 11 Nemipterus sp. 12 Nemipterus tambuloides 13 Pentapodus setosus 14 Scolopsis taenoptera 15 Scolopsis vosmeri

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 73 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Tabel 2 (lanjutan). Famili dan spesies sumber daya ikan demersal di Laut Cina Selatan No. Famili No. Spesies 29 OPHICTHIDAE 1 Ophichtus sp. 30 OSTRACIIDAE 1 Rhyncostracion nasus 31 PARALICHTHYIDAE 1 Pseudorhombus javanicus 2 Pseudorhombus trocellatus 3 Pseudorhombus spinosus 4 Pseudorhombus elevatus 5 Pseudorhombus sp. 32 PEGASIDAE 1 Euripegasus draconis 33 PERCOPHIDAE 1 Bembrops sp. 34 PLATYCEPHALIDAE 1 Cociella crocodilus 2 Platycephalus sp. 35 PLEURONECTIDAE 1 Poecilopsetta sp. 36 PLOTOSIDAE 1 Plotosus sp. 37 POLYNEMIDAE 1 sextarius 38 POMACENTRIDAE 1 Abudefduf sp. 2 Pristotis obtusirostris 3 Pristotis sp, 39 PRIACANTHIDAE 1 Priacanthus macracanthus 2 Priacanthus tayenus 41 PSETODIDAE 1 Psettodes erumei 40 RACHYCENTRIDAE 1 Rachycentron canadum 42 SAMARIDAE 1 Samaris sp. 2 Samaris cristatus 43 SCIANIDAE 1 Pennahia pawak 44 SCORPAENIDAE 1 Apistops caloundra 2 Apistus carinatus 3 Brachypterois serrulata 4 Dendrochirus sp. 5 Inimicus sinensis 6 Minous sp. 7 Neomerinthe sp. 8 Pterois russelii 9 Pterois sp, 10 Scorpaenopsis neglecta 11 Scorpaenopsis oxycephala 45 SERRANIDAE 1 Cephalopolis boenack 2 Epinephelus areolatus 3 Epinephelus heniochus 4 Epinephelus sexfasciatus 5 Plectropomus pessuliferus 46 SIGANIDAE 1 Siganus canaliculatus

74 Perangin Angin et al.

Tabel 2 (lanjutan). Famili dan spesies sumber daya ikan demersal di Laut Cina Selatan No. Famili No. Spesies 47 SOLEIDAE 1 Dexillus muelleri 2 Pardachirus pavoninus 3 Zebrias cancellatus 48 SYGNATHIDAE 1 Hippocampus kuda 49 SYNODONTIDAE 1 Synodus hoshinonis 2 Synodus sp. 3 Synodus myops 50 TERAPONIDAE 1 Terapon jarbua 2 Terapon theraps 51 TETRAODONTIDAE 1 Arothron immaculatus 2 Lagocephalus inermis 3 Lagocephalus lagocephalus 4 Lagocephalus guentheri 5 Lagocephalus lunaris 6 Lagocephalus sp. 7 Torquigener pallimaculatus 52 TETRAROGIDAE 1 Cottapisus cottoides 2 Neocentropogon sp. 53 TRIACANTHIDAE 1 Triachantus nieuhofii 2 Trixipichthys sp. 54 TRIGLIDAE 1 Lepidotrigla sp. 55 URANOSCOPIDAE 1 Uranoscopus cognatus 2 Uranoscopus sp.

Analisis kelompok dan indeks keanekaragaman indeks dominan simpson (Ds) 0,49. Kedalaman sumber daya ikan demersal 30 40 meter dan 40 50 meter masing masing Gambar 4 menyajikan dendrogram perse- terdapat 71 spesies dan 74 spesies dari 36 famili baran komposisi jenis ikan demersal berdasarkan dan 35 famili dengan nilai indeks kekayaan jenis indeks kemiripan Bray Curtis untuk tiap interval kedalaman. Dendrogram menunjukkan indeks kemiripan Bray Curtis ikan demersal pada stasi- 0,56 dan 0,67; serta indeks dominansi Simpson un dengan kedalaman 30-40 m cenderung serupa (Ds) 0,21 dan 0,12. Kedalaman 50 60 meter dan dengan kedalaman 40-50 m, sedangkan stasiun 60 70 meter masing masing terdapat 17 spesies pada kedalaman 20-30 m cenderung memiliki dan 43 spesies dari 12 famili dan 27 famili de- nilai indeks yang sangat berbeda dibanding keda- ngan nilai indeks kekayaan jenis (R) 3,62 dan laman lainnya. Pada kedalaman 20 30 meter, terdapat 79 indeks kemerataan Pielou 0,77 dan 0,72; serta spesies dari 38 famili dengan nilai indeks keka- indeks dominansi Simpson (Ds) 0,18 dan 0,12 (Gambar 5). 1,30; indeks keseragaman

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 75 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Arothron Leiognatus immaculatus a splendens b 20000 600 15000 Cociella Leiognatus Pseudorhom 400 Lutjanus 10000 bus spinosus vittus crocodila starcorarius 200 5000 0 0

Pomadasys Secutor Scolopsis Upeneus argyreus ruconius taenopterus luzonius

Upeneus Diagramma sulphureus punctatum

c Pentaprion d Arothron longimanus immaculatus 500 40 Upeneus 400 Upeneus Scolopsis 30 Upeneus sulphureus 300 luzonius taenopterus 20 luzonius 200 100 10 Nemipterus 0 0 Arothron Nemipterus Chaetodon nematophor immaculatus tumboides sp us Saurida Epinephelus Scolopsis Synodus micropectora sexfasciatus taenopterus hoshinonis lis

Pseudorhomb e us spinosus 80 Epinephelus 60 Upeneus sexfasciatus 40 luzonius 20 0 Pentaprion Lepidotrigla sp longimanus

Epinephelus Nemipterus aerolatus hexodon

Gambar 3. Komposisi jenis ikan dominan (dalam ekor) untuk tiap kedalaman : (a). kedalaman 20-30 m, (b). kedalaman 30-40 m, (c). kedalaman 40-50 m, (d). kedalaman 50-60 m, dan (e). kedalaman 60-70 m.

Pengaruh kondisi lingkungan terhadap value = 3,13) dan 2 (PC 2, eigen value = 1,76), kelimpahan ikan demersal menjelaskan masing-masing 39,1% dan 22,0% Analisis komponen utama digunakan un- dari variabel total yang ada (Tabel 3). Kelim- tuk menganalisis pengaruh lingkungan (Tabel 2) pahan ikan demersal, oksigen terlarut, dan kece- terhadap tingkat kelimpahan dan kekayaan jenis rahan dicirikan oleh PC 2. Sementara PC 1 diciri- ikan demersal. Komponen utama 1 (PC 1, eigen kan oleh indeks Margalef, kedalaman, suhu, sali-

76 Perangin Angin et al. nitas, dan pH (Gambar 6). Gambar 6 menunjuk- kan indeks kekayaan jenis (indeks Margalef) kan kelimpahan ikan demersal sangat dipenga- dipengaruhi kedalaman, suhu, salinitas, dan pH ruhi oleh oksigen terlarut dan kecerahan, sedang- perairan.

Gambar 4. Dendrogram pengelompokan kedalaman berdasarkan persebaran komposisi jenis ikan demersal

Gambar 5. Nilai indeks ekologi berdasarkan kedalaman perairan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 77 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Tabel 2. Data oseanografi tiap stasiun pengamatan Stasiun Kedalaman Kecerahan Suhu Salinitas pH Oksigen terlarut (meter) (meter) (0C) (mg L-1) 1 21,1 8,0 29,4 31,7 7,6 4,4 2 35,3 12,0 29,6 33,3 7,8 4,6 3 45,0 12,0 29,6 32,8 7,8 4,6 4 18,6 6,5 30,7 31,4 7,7 4,4 5 25,0 n/a 29,9 32,4 7,8 4,2 6 33,0 6,0 30,3 32,6 8,2 4,6 7 42,0 8,5 29,8 32,9 8,2 4,6 8 25,0 n/a 29,2 32,8 8,0 3,6 9 36,0 n/a 30,0 33,1 7,9 4,4 10 50,0 n/a 29,7 33,2 8,0 4,7 11 42,0 9,0 29,4 33,4 8,0 4,5 12 65,0 10,0 28,6 33,4 8,1 4,6

Tabel 3. Analisis komponen utama kelimpahan ikan demersal, indeks kekayaan jenis (indeks Margalef), dan faktor lingkungan Analisis Komponen Utama PC1 PC2 Persentase variasi kumulatif Nilai Eigen 3,13 1,76 % Variasi 39,1 22,0 %Variasi kumulatif 39,1 61,1 Kedalaman 0,525 0,102 Kecerahan 0,201 0,524 Suhu -0,386 0,164 Salinitas 0,461 0,013 pH 0,376 -0,204 Oksigen terlarut 0,204 0,558 Kelimpahan ikan demersal -0,118 0,539 Indeks Margalef 0,354 -0,211

78 Perangin Angin et al.

Gambar 6. Analisis komponen utama kelimpahan ikan demersal, indeks kekayaan jenis (Indeks Margalef), dan faktor lingkungan

Pembahasan dan biasanya membentuk gerombolan yang be- Penelitian sebelumnya menggunakan MV. sar. Nemipterus hexodon, dan Epinephelus aero- SEAFDEC 2, menemukan persebaran ikan de- latus tersebar merata di kedalaman > 40 meter, mersal pada wilayah perairan Indonesia di Laut tetapi lebih dominan ditemukan di kedalaman Cina Selatan didominasi oleh Lutjanidae, Arii- 60-70 meter. Ini menjelaskan bahwa ikan-ikan dae, Nemipteridae, Synodontidae, Priacanthidae, kecil menyukai daerah dangkal sebagai tempat dan Mullidae (Wudianto & Sumiono 2008). Do- hidupnya (Chang et al. 2012, Badrudin 2004), minansi jenis ikan demersal di suatu perairan, dan ikan-ikan berukuran lebih besar banyak dite- dapat dipengaruhi oleh faktor waktu penelitian, mukan di perairan dalam (Atmaja et al. 2003). lokasi, dan jumlah pengambilan contoh menurut Secara umum kesehatan habitat sumber strata kedalamannya. Penelitian ini menyajikan daya ikan demersal di lokasi penelitian kurang persebaran ikan demersal di perairan dangkal pa- baik. Indeks keanekaragaman untuk tiap-tiap in- da kedalaman < 30 m, didominasi oleh Leiogna- terval kedalaman dibawah nilai 3, interval nilai thus splendens dan Leiognathus starcorarius indeks di bawah atau sama dengan 2,30 masuk yang termasuk ikan demersal kecil serta memi- liki sifat suka bergerombol, tersebar di perairan 96). Kedalaman 30- sepanjang pesisir barat Kalimantan (Gambar 1). 40 m dan 40-50 m memiliki tingkat kestabilan Nontji (1993) mengungkapkan bahwa spesies komunitas yang lebih baik dibanding kedalaman Leiognathus splendens banyak ditemukan di lainnya. Kedalaman 20-30 m memiliki tingkat Indonesia bagian barat, hidup di perairan dangkal kestabilan komunitas yang rendah dibanding ke-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 79 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan dalaman lainnya, dengan nilai indeks dominansi (Edrus & Setyawan 2013). Penelitian ini menya- jikan tingkat kekayaan jenis di perairan dangkal dan indeks dominansi Simpson (Ds) bekerja ber- dengan kedalaman kurang dari 50 m lebih tinggi lawanan dalam menghasilkan perhitungan indeks dibandingkan dengan kekayaan jenis di perairan keanekaragaman. Indeks kemerataan mengukur dalam dengan kedalaman lebih besar dari 50 m. tingkat kemerataan kelimpahan populasi didalam Kekayaan jenis ikan demersal mengalami penu- suatu komunitas, nilai maksimum indeks keme- runan dengan bertambahnya kedalaman perairan rataan adalah satu, mengindikasikan kelimpahan (Labropoulou & Papaconstantinou 2004). Secara tiap-tiap populasi berimbang didalam komunitas geografis, stasiun-stasiun pengamatan dengan ke- (Ricotta 2003, Gosselin 2006). Semakin tinggi dalaman 20-30 m terdistribusi di perairan sepan- nilai indeks kemerataan di suatu perairan meng- jang pesisir barat Kalimantan. Pulau Kalimantan indikasikan semakin baik lingkungan hidup di memiliki banyak daerah aliran sungai yang ter- perairan tersebut. Lingkungan hidup yang baik hubung sampai sepanjang pesisir barat Kaliman- akan meningkatkan keanekaragaman dalam ko- tan. Limpasan air sungai ini memengaruhi kon- munitas. Sebaliknya, semakin tinggi indeks do- disi oseanografi di perairan pesisir barat Kali- minansi mengindikasikan kondisi lingkungan mantan (Murdiyanto 2004), dan memengaruhi hidup yang memburuk dan hanya populasi ter- persebaran ikan demersal di perairan tersebut tentu yang bertahan dan berkembang, kemudian (Kusumastanto et al. 2006). populasi ini akan mendominasi dalam komunitas (Loiseau et al. 2016). Menurut Chang et al. Simpulan (2012), indeks biologi termasuk indeks keaneka- Persebaran indeks ekologi sumber daya ikan demersal menunjukkan tingkat kestabilan kecenderungan semakin komunitas yang semakin baik seiring dengan meningkat bila mengarah ke wilayah laut. bertambahnya kedalaman. Kedalaman, suhu, dan Menurut Brown et al. (1994), persebaran salinitas merupakan parameter yang paling me- sumber daya ikan sangat dipengaruhi oleh kondi- mengaruhi tingkat kekayaan jenis serta per- si faktor oseanografis, seperti suhu (Laevastu & sebaran sumber daya ikan demersal, sedangkan Hayes 1981, Valiela 1984, Parson et al. 1984), persebaran kelimpahan ikan sangat dipengaruhi salinitas (Nybakken 1988, Tomascik et al. 1997), oleh oksigen terlarut, dan kecerahan perairan. kecepatan arus, oksigen terlarut (Sumiono et al. 2011), dan faktor-faktor oseanografi lainnya. Pe- Persantunan nelitian sebelumnya di Laut Cina Selatan bagian Tulisan ini merupakan kontribusi dari ke- selatan juga menemukan bahwa persebaran sum- giatan hasil riset pengkajian stok di Laut Cina ber daya ikan demersal sangat dipengaruhi oleh Selatan (WPP-NRI 711) dengan menggunakan kedalaman, salinitas, dan suhu (Ridho 2004). Ha- KM. Madidihang 02, T.A. 2015 di Balai Peneli- sil analisis komponen utama menyajikan kekaya- tian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta. an jenis memiliki korelasi kuat terhadap keda- laman, perubahan suhu, salinitas dan pH di lokasi Daftar pustaka penelitian. Kelimpahan ikan demersal sangat Allen G, Swainston R, Ruse J. 1999. Marine fishes of South-east Asia: a field guide for terkait dengan oksigen terlarut dan kecerahan

80 Perangin Angin et al.

anglers and divers. Periplus ed. Ltd., Si- of the Western Central Pacific. Fisheries ngapore. 292 p. and aquaculture department, Rome. pp 2791-3380. Atmadja SB, Nugroho D, Suwarso, Hariati T, Mahisworo. 2003. Pengkajian stok ikan di Froese R, Pauly D. 2000. FishBase 2000: con- WPP Laut Jawa. In: Widodo J, Wiadnyana cepts, design and data sources. ICLARM, NN, Nugroho D (ed.). Prosiding Forum Los Baños, Laguna, Philippines. 344 p. Pengkajian Stok Ikan Laut 2003 (WPP: http://www.fishbase.org. [Retrieved on Samudera Hindia, Laut Arafura, Laut April 2015]. Cina Selatan dan Laut Jawa). Pusat Riset Gosselin F. 2006. An assessment of the depen- Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dence of evenness indices on species rich- dan Perikanan. Departemen Kelautan dan ness. Journal of Theoretical Biology, Perikanan. Jakarta. pp. 67-88. 242(3): 591-597. Badrudin. 2004. Penelitian Sumber daya Ikan Gregorius HR, Gillet EM. 2008. Generalized Demersal. Departemen Kelautan dan Peri- Simpson-diversity. Ecological Modelling, kanan, Jakarta. 36 p. 211: 90-96. Badrudin, Aisyah, Ernawati T. 2011. Kelimpah- Kailola PJ, Tarp TG. 1984. Trawled fishes of an stok sumber daya ikan demersal di per- Southern Indonesia and Northwestern airan sub area Laut Jawa. Jurnal Peneli- Australia. Australian Development Assist- tian Perikanan Indonesia, 17(1): 11-21. ance Bureau, Australia; Directorate Gene- Blaber SJM, Brewer DT, Harris AN. 1994. Dis- ral of Fisheries, Indonesia; German Agen- tribution, biomass, and community struc- cy for Technical Cooperation, German. ture of demersal fishes of the Gulf of Car- 406 p. pentaria, Australia. Australian Journal of Kusumastanto T, Adrianto L, Damar A. 2006. Marine and Freshwater Research, 45(3): Materi Pokok Pengelolaan Wilayah Pesisir 375-396. dan Laut. Universitas Terbuka, Jakarta. 6 Brown J, Colling A, Park D, Philips J, Rothery modul. D, Wright J. 1994. Ocean Chemistry and KKP. 2014. Permen KP No. 18/Permen-KP/2014 Deep Sea Sediment. The Open University/ tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Pergamon Eds. Oxford, Great Britain. 133 Republik Indonesia. Kementerian Kelaut- p. an dan Perikanan. Jakarta. Chang NN, Shiao JC, Gong GC. 2012. Diversity Labropoulou M, Papaconstantinou C. 2004. of demersal fish in the East China Sea: Community structure and diversity of Implication of eutrophication and fishery. demersal fish assemblages: the role of Continental Shelf Research, 47: 42-54. fishery. Scientia Marina, 68(Suppl. 1): Chen X, Zhang X,Zhu X, Zhang H, Liang X, Lei 215-226. Y, He C. 2016. Exotic plant Alnus trabe- Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries Oceano- culosa alters the composition and diversity graphy and Ecology. Fishing News Books of native rhizosphere bacterial communi- Ltd., England. 199 p. ties of Phragmites australis. Pedosphere, 26(1): 108-119. Listopad CMCS, Masters RE, Drake J, Weis- hampel J, Branquinho C. 2015. Structural Edrus IN, Setyawan IE. 2013. Pengaruh kecerah- diversity indices based on airborne an air laut terhadap struktur komunitas LiDAR as ecological indicators for mana- ikan karang di perairan pulau Belitung. ging highly dynamic landscapes. Ecolo- Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, gical Indicators, 57: 268-279. 19(2): 55-64. Loiseau N, Gaertner JC, Kulbicki M, Merigot B, Fattorini S, Rigal F, Cardoso P, Borges PAV. Legras G, Taquet M, Gaertner-Mazouni 2016. Using species abundance distribu- N. 2016. Assessing the multicomponent tion models and diversity indices for bio- aspect of coral fish diversity: The impact geographical analyses. Acta Oecologica, of sampling unit dimensions. Ecological 70: 21-28. Indicators, 60: 815-823. Food And Agriculture Organization (FAO) spe- Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its cies identification guide for fishery pur- Measurement. Princeton University Press, poses. 2001. Volume 5 Bony fishes part 3 New Jersey. 179 p. (Menidae to Pomacentridae). In: Carpen- ter KE, Niem VH (eds.). The living marine

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 81 Komunitas ikan demersal di Laut Cina Selatan

Mason CF. 1996. Biology of Freshwater Pollu- nities using the weighted Simpson index. tion. 3rd Ed. Longman Scientific and Tech- Landscape and Urban Planning, 106(1): nical. Longman Singapore Publisher (Pte). 44-50. Ltd., Singapore. 1748 p. Sumiono B, Ernawati T, Suprapto. 2011. Kepa- Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya datan stok ikan demersal dan beberapa Perikanan Pantai. Direktorat Jenderal parameter kualitas air di perairan Tegal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Peri- dan Perikanan, Jakarta. 200 p. kanan Indonesia, 17(2): 95-103. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Suratissa DM, Rathnayake US. 2016. Diversity Djambatan, Jakarta. 367 hlm. and distribution of fauna of the Nasese Shore, Suva, Fiji Island with reference to Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pende- exixting threats to the biota. Journal of katan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eid- Asia-Pacific Biodiversity, 9(1): 11-16. man M, Koesoebiono, Bengen DG, Huto- mo M, Sukardjo S. PT. Gramedia, Jakarta. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 480 p. 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesia Se- Parson TR, Takahashi M, Hargrave B. 1984. Bio- ries. Periplus Editions (HK) Ltd., Singa- logical Oceanographic Processes. Third pore. 1388 p. Edition. Pergamon Press, UK. 330 p. Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. Rainer SF, Munro ISR. 1982. Demersal fish and Library of Congress Ocean Catalogy in cephalopod communities of an unexploi- Publication. Data, New York, USA. 642 p. ted coastal environment in Northern Aus- tralia. Australian Journal of Marine and Wagner HH, Edwards PJ. 2001. Quantifying ha- Freshwater Research, 33(6): 1039-1055. bitat specificity to assess the contribution of a patch to species richness at a land- Ricotta C, Avena G. 2003. On the relationship scape scale. Landscape Ecology, 16(2): 121-131. diversity profiles. Ecological Indicator, Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon 2(4): 361-365. GA, Naamin N, Djamali A. 1998. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut di Perairan Ricotta C. 2003. On parametric evenness mea- Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian sures. Journal of Theoretical Biology, Stok Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengeta- 222(2): 189-197. huan Indonesia, Jakarta, Indonesia. 251 p. Ridho MR. 2004. Distribusi, Kepadatan biomas- Wudianto, Sumiono B. 2008. Demersal fish re- sa dan struktur komunitas ikan demersal di sources result of MV SEAFDEC 2 survey Perairan Laut Cina Selatan. Disertasi. Ins- in the South China Sea of Indonesia. Indo- titut Pertanian Bogor, Bogor. 135 p. nesia Fisheries Research Journal, 14(2): Subburayalu S, Sydnor TD. 2012. Assessing 67-74. street tree diversity in four Ohio commu-

82 , 17(1): 83-100 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.306

Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng, Chanos chanos (Forsskål, 1775) tebaran di Waduk Sermo, Kulon Progo [Food and the growth of introduced milkfish, Chanos chanos (Forsskål, 1775) in Sermo Reservoir, Kulon Progo] Djumanto , Bayu Eko Pranoto, Vinta Seta Diani, Eko Setyobudi Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian, UGM. Jl. Flora No1, Bulaksumur, Yogyakarta.55281

Diterima: 08 Februari 2016; Disetujui: 24 Januari 2017

Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji makanan dan pertumbuhan ikan bandeng tebaran di waduk Sermo Kabupaten Kulon Progo. Penelitian dilakukan dengan menebar yuwana ikan bandeng yang panjang tubuh berkisar 5-7 cm dan bo- bot 0,6-1,0 g ke perairan Waduk Sermo sebanyak 10.000 ekor. Sampling ikan bandeng menggunakan jaring insang di- lakukan tiap bulan sekali dari Mei sampai Oktober 2015. Ikan bandeng yang terjerat jaring dibawa ke laboratorium un- tuk diukur panjang, ditimbang bobot individu, dan dilakukan pembedahan untuk diambil saluran pencernaannya. Sam- pling plankton dilakukan dengan mengambil air permukaan menggunakan ember dan menyaring dengan plankton net, kemudian diawetkan dalam larutan formalin hingga identifikasi dan penghitungan jenisnya. Data dianalisis untuk me- nentukan jenis makanan dan pemilihan makanan, laju pertumbuhan, panjang usus relatif, dan hubungan panjang bobot. Hasil penelitian menunjukkan panjang usus relatif ikan bandeng sebesar 5,4-6,4 yang dikategorikan sebagai ikan herbi- vora. Jenis makanan yang ditemukan pada ikan berukuran <14 cm hanya fitoplankton, sedangkan zooplankton ditemu- kan pada ikan yang berukuran >15 cm. Proporsi zooplankton pada usus ikan semakin banyak seiring ukuran ikan ban- deng. Jenis fitoplankton yang ditemukan dominan pada saluran pencernaan adalah Nitzschia sp., sedangkan zooplank- ton adalah Cyclop sp. dan Diaptomus sp. Yuwana ikan bandeng dapat tumbuh baik di kawasan Waduk Sermo. Laju pertumbuhan panjang harian berkisar 0,0084 0,2056 cm, sedangkan laju pertumbuhan bobot harian berkisar 0,0630- 1,1182 g. Hubungan panjang bobot ikan bandeng membentuk persamaan W=0,0069 L 3,0186 dengan indeks regresi R2=0,98, sehingga ikan bandeng cenderung memiliki pola pertumbuhan isometrik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dampak introduksi ikan bandeng pada komunitas ikan di Waduk Sermo.

Kata penting: bandeng, makanan, pertumbuhan, tebaran, Waduk Sermo

Abstract The purpose of the research was to study feeding preferences and the growth of milkfish introduction into Sermo reser- voir Kulon Progo regency. Research was carried out by introduction of milkfish juvenile which body length was ranges of 5-7 cm and weight of 0.6-1.0 g at a number of 10,000 individual fish. Fish sampling using gill nets was conducted monthly from May to October 2015. The captured milkfish brought to the laboratory for some measurements i.e length and weight of an individual fish, intestine length, and gut content investigation. The surface water plankton sample collected by a plankton net, then preserved in formaldehyde, identified and counted the number each plankton species. Data were analyzed to determine relative gut length, food type and feeding preferences, growth rate and length weight relationships. The results showed that relative intestinal length was 5.4 to 6.4, so milkfish categorized as herbivores. Phytoplankton was the only food found in the intestine fish size <14 cm, while zooplankton was found in fish size >15 cm. Zooplankton proportion in digestive tract increased as well as the size of milkfish. The dominant species of phyto- plankton found in the digestive tract was Nitzschia sp., whereas zooplankton was Cyclop sp. and Diaptomus sp. The juvenile milkfish growth well in Sermo reservoir. The growth rate of daily length was ranged from 0.0084 to 0.2056 cm, while the growth rate of daily weight ranged from 0.0630 to 1.1182 g. The length weight relationship of milkfish formed an equation W = 0.0069 L 3.0186 with the regression index R2 = 0.98, so the growth of milkfish showed an iso- metric growth pattern. Further research is needed to determine the impact of the introduction of milkfish to the fish communities in the Sermo reservoir area.

Keywords: milkfish, food, growth, introduction, Sermo Reservoir

Pendahuluan Kabupaten Kulon Progo, diresmikan oleh presi- Bendungan Waduk Sermo terletak di Du- den RI tanggal 20 November 1996. Waduk Ser- sun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, mo memiliki luas genangan ± 157 ha dengan da- ______ya tampung air sebanyak 25 juta m3 yang diguna- Penulis korespondensi Alamat surel: [email protected] kan sebagai sumber baku air minum, irigasi, wi- Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo sata, dan untuk penggunaan lainnya. Ikan yang nya ikan tersebut tidak ditemukan. Salah satu tu- ditemukan pada awal penggenangan waduk Ser- juan introduksi ikan adalah untuk meningkatkan mo adalah ikan tawes (Barbonymus gonionotus), jenis ikan yang ada, sehingga biomassa ikan dan karper (Cyprinus carpio), lele (Clarias sp.), ga- hasil tangkapan nelayan meningkat. Tujuan yang bus (Chana striata), nila (Oreochromis niloti- lain adalah untuk mengendalikan pertumbuhan cus), mujair (Oreochromis mossambicus), wader gulma atau tumbuhan air, mengendalikan organ- cakul (Barbodes binotatus), wader pari ( isme penyebar penyakit atau hama tanaman, me- lateristriata), uceng (Nemacheilus fasciatus), dan manfaatkan relung makanan yang kosong, me- cethul (Poeciliata reticulata) (Triyatmo et al. nyediakan jenis ikan untuk kegiatan olahraga 1997, Djumanto et al. 2008). (sport fishing), mengembalikan atau memulihkan Pada awal penggenangan air waduk hing- jenis ikan yang terancam kepunahan dan tujuan ga tahun 2000-an, beberapa instansi pemerintah lainnya (Rahardjo 2011, Umar & Sulaiman melakukan penebaran ikan di Waduk Sermo un- 2013). Introduksi ikan ke perairan umum darat di tuk meningkatkan populasi ikan dan hasil tang- Indonesia sebagian besar dilakukan pada perairan kapan nelayan, misalnya nila hitam (Oreochro- tawar lentik (rawa, waduk, danau, embung, dan mis niloticus), nila merah (Oreochromis sp.), dan genangan lainnya) dengan berbagai jenis ikan air karper (Cyprinus carpio). Pada saat penebaran tawar yang ditujukan untuk meningkatkan pro- benih ikan nila merah, benih tersebut diduga ter- duksi biomassa ikan. campur dengan benih ikan red devil (Ampilophus Populasi ikan red devil di Waduk Sermo labiatus), karena benih ikan nila merah dan red sejak tahun 2010 semakin melimpah, tidak ter- devil memiliki kemiripan warna dan bentuk. Se- kendali dan mendominasi hasil tangkapan, serta lain itu, beberapa pembudidaya ikan melakukan secara perlahan menggantikan populasi ikan asli pembesaran beberapa jenis ikan untuk kebutuhan terutama yang memiliki nilai jual di masyarakat konsumsi maupun sebagai ikan hias, misalnya ni- sekitar waduk relatif tinggi (Supardjo & Djuman- la merah, karper, bawal (Colossoma macropo- to 2014; Habibie et al. 2015). Ikan red devil me- mum), red devil, dan managuin (Nandopsis ma- miliki postur tubuh yang tipis, rerata bobot tubuh naguense). Pada saat pemeliharaan ikan budi da- individu lebih kecil daripada nila hitam, tulang ya tersebut, beberapa jaring keramba pemeliha- sirip yang keras dan tajam, harga yang sangat raan mengalami kerusakan karena bencana alam, murah (± Rp 4000,00 per kg). Meningkatnya po- umur jaring, dan faktor lainnya sehingga sebagi- pulasi ikan red devil menyebabkan hasil tangkap- an ikan peliharaan termasuk ikan red devil terle- an dan penghasilan nelayan menurun (Supardjo pas ke perairan waduk. Ikan red devil mampu & Djumanto 2014). Upaya untuk meningkatkan beradaptasi terhadap lingkungan Waduk Sermo, jenis ikan di perairan Waduk Sermo adalah de- mampu berkembang biak dan predator alami re- ngan melakukan penebaran ikan. Salah satu jenis latif tidak ada, sehingga populasi ikan red devil ikan yang belum pernah ditebar di perairan Wa- semakin banyak (Setyobudi & Subagja 2004, duk Sermo adalah ikan bandeng (Chanos cha- Habibie et al. 2015). nos). Ikan bandeng merupakan ikan air payau Introduksi ikan di perairan umum daratan yang memiliki toleransi salinitas sangat luas, merupakan upaya memasukkan jenis ikan baru mulai dikenalkan sebagai ikan introduksi perair- (asing) dari luar kawasan perairan yang sebelum-

84 Djumanto et al. an tawar oleh Tjahjo & Purnamaningtyas (2009) keragaman ikan dan sebagai pengendali populasi di perairan Waduk Ir. H. Djuanda. fitoplankton. Penebaran ikan bandeng di perairan Ikan bandeng merupakan salah satu jenis Waduk Ir.H Djuanda telah terbukti mampu ikan pemakan plankton yang cenderung genera- mengendalikan populasi plankton, namun infor- lis, makanan utamanya adalah diatom, alga hijau masi penebaran ikan bandeng di perairan Waduk berfilamen dan detritus (Rao & Sivani 1996, Sermo hingga saat ini belum pernah ada. Oleh Franklin et al. 2006, Prayitno et al. 2015). Intro- karena itu perlu dilakukan penelitian tentang ikan duksi ikan bandeng untuk mengendalikan popu- bandeng introduksi di Waduk Sermo, terutama lasi plankton dan meningkatkan hasil tangkapan kemampuannya memanfaatkan sumber makanan nelayan pertama kali dilakukan di perairan Wa- dan pertumbuhannya. Adanya data tentang ma- duk Ir.H Djuanda pada bulan Juli sampai Agus- kanan dan pertumbuhan ikan bandeng introduksi tus 2008 sebanyak 2.116.000 ekor (Tjahjo & di Waduk Sermo dapat dijadikan acuan dalam Purnamaningtyas 2009). Ikan bandeng yang di- pengambilan kebijakan pengelolaan stok ikan. introduksi di perairan tersebut mampu memanfa- Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji ma- atkan kelimpahan plankton dan memiliki laju kanan dan pertumbuhan ikan bandeng tebaran di pertumbuhan yang sangat cepat (K=3,381; de- Waduk Sermo Kabupaten Kulon Progo. ngan Ikan bandeng memiliki toleransi salinitas Bahan dan metode yang sangat luas, mulai dari asin (35 ppt) hingga Sumber benih yuwana ikan bandeng tawar (0 ppt), sehingga dapat dipelihara pada Benih yuwana ikan bandeng diperoleh da- perairan asin hingga tawar (Coad 2015). Ikan ri Balai Benih Ikan (BBI) di Sundak, Kabupaten bandeng banyak ditemukan di perairan laut, mu- Gunungkidul. Induk ikan bandeng dipijahkan pa- ara sungai, dan perairan pantai (Coad 2015). Ikan da minggu pertama bulan Februari 2015. Telur bandeng sebagai komoditas budi daya di air pa- hasil pemijahan ditetaskan pada bak penetasan yau dan asin telah banyak dikenal masyarakat se- yang diaerasi terus menerus, dan selanjutnya di- jak lama (Chong et al. 1984). Ikan ini telah di- tebar pada kolam pendederan hingga menjadi manfaatkan untuk sumber protein hewani bagi benih yuwana dengan ukuran panjang berkisar 5- masyarakat pesisir maupun komoditas perda- 7 cm dan bobot 0,6-1,0 g. Kondisi air media gangan dengan harga yang cukup tinggi. Ikan pemeliharaan larva, yaitu suhu 27-310C, salinitas bandeng sebagai sumber protein hewani di Asia ± 30 , pH 7-8, dan oksigen 5-7 mg L-1. Bebera- Tenggara yang sangat penting, banyak dibudi- pa hari menjelang pemanenan ikan untuk pene- dayakan pada kawasan tambak di Filipina, Indo- baran di Waduk Sermo, salinitas air pada bak nesia, dan Taiwan. Di Filipina nama ikan ban- pendederan ± diturunkan secara bertahap deng dikenal dengan nama lokal sebagai bangos, hingga 0 bangus, atau Sabalo. Panjang ikan bandeng di Benih yuwana ikan bandeng yang sudah perairan laut ± 100 cm dan dapat mencapai pan- diaklimatisasikan pada perairan tawar selanjut- jang maksimum 180 cm ( Nelson et al. 2016). nya dipanen dan ditampung sementara pada bak Penebaran ikan bandeng di perairan wa- penampungan yang dilengkapi aerator. Pengang- duk mempunyai prospek yang baik sebagai pe- kutan dengan sistem tertutup menggunakan kan- nyedia sumber protein masyarakat, sumber tong plastik yang diberi oksigen. Pada tiap kan-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 85 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo tong plastik volume 30 liter dimasukkan yuwana Alat dan bahan ikan bandeng sebanyak ± 500 ekor, kemudian Alat yang digunakan dalam penelitian be- ditambahkan gas oksigen murni dengan perban- rupa jaring insang dengan ukuran mata jaring dingan air: udara sebanyak 1:2. Yuwana ikan 1,25; 1,5; 1,75; 2,0 inci, penggaris (ketelitian 0,1 bandeng diangkut menggunakan kendaraan darat cm), timbangan (ketelitian 0,1 dan 0,01 mg), ja- yang dilakukan pada pagi hari. Setibanya di Wa- ring plankton dan mikroskop untuk pengamatan duk Sermo, kantong plastik yang berisi yuwana jenis plankton. Bahan yang diperlukan yaitu ikan bandeng diaklimatisasi pada perairan waduk sampel ikan bandeng hasil tangkapan jaring di selama 2-3 jam. Yuwana ikan bandeng ditebar Waduk Sermo. pada lima stasiun, yaitu di outlet (dekat dam), inlet (muara sungai, dua stasiun) dan di tengah Tatalaksana penelitian waduk (dua stasiun). Lokasi penebaran yuwana Pengambilan sampel plankton dilakukan ikan bandeng dan penangkapannya pada tiap dengan cara menyaring air menggunakan jaring sampling disajikan pada Gambar 1. Tiap stasiun plankton bukaan mata 86 µm. Air diambil meng- ditebar sebanyak 4 kantong, sehingga jumlah gunakan ember bervolume 5 liter sebanyak enam yuwana ikan bandeng yang ditebar seluruhnya kali sehingga total air yang disaring 30 liter, ke- sekitar 10.000 ekor. Penebaran yuwana ikan mudian air tersaring sebanyak 30 ml ditambah- bandeng di Waduk Sermo dilakukan pada tang- kan formalin hingga kadar 4% dan disimpan gal 4 April 2015, sehingga rerata umur saat pe- dalam botol plastik. Lokasi sampling plankton nebaran berkisar 3 bulan. sama dengan lokasi pemasangan jaring insang.

Gambar 1. Lokasi penebaran yuwana (tanda lingkaran) dan stasiun sampling ikan bandeng (tanda kotak persegi) di Waduk Sermo

86 Djumanto et al.

Sampel ikan bandeng diperoleh dengan ring plankton dan dengan asumsi efisiensi peng- melakukan penangkapan tiap bulan sekali dari ambilan sampel 100%. Kelimpahan total plank- Mei hingga Oktober 2015, menggunakan jaring ton dihitung dengan formula: insang berukuran 1,25; 1,5; 1,75; 2,0 inci, yang dioperasikan nelayan setempat. Setiap sampel Keterangan: N= Jumlah total individu (sel, ind) plank- ikan bandeng yang tertangkap kemudian disim- -3 ton m , ni = Jumlah sel atau individu yang teramati pan dalam kotak penyimpan ikan dan dibawa ke spesies ke-i, vr= volume air tersaring (30 ml), vo= volume air diamati pada Sedgwick-Rafter (1 ml), vs = laboratorium untuk diukur panjang total dan di- volume air yang disaring (30 liter), 1000 = konversi 3 timbang bobot individu, serta dianalisis isi alat liter kedalam satuan m . pencernaannya. Panjang total diukur dari ujung rahang atas hingga ujung ekor menggunakan Makanan mistar logam hingga milimeter terdekat. Bobot Proporsi panjang usus relatif terhadap individu ditimbang menggunakan timbangan panjang tubuh digunakan untuk menetapkan tingkat trofik ikan. Berdasarkan panjang usus elektrik ketelitian 0,1 gram. Jenis makanan ikan bandeng diamati dengan membuka perut, menge- relatif, ikan dibedakan menjadi karnivora (< 1), luarkan isi usus, kemudian mengidentifikasi je- omnivora (1 3), dan herbivora (> 3) (Biswas nisnya di bawah mikroskop menggunakan buku 1993) panduan identifikasi plankton (Shirota 1996, Panjang usus relatif = Verlencar 2004, Barsanti & Gualtieri 2006). Frekuensi kejadian ditentukan dengan mencatat keberadaan masing-masing organisme Analisis hasil yang terdapat dalam sejumlah alat pencernaan Kemelimpahan plankton ikan yang berisi bahan makanannya dan dinya- Setiap botol sampel plankton awetan di- takan dalam persen. Frekuensi kejadian makanan kocok dengan membalik-balik botol kemudian dihitung dengan rumus : diambil 1 ml menggunakan pipet, dan kemudian FK = dengan lembut dituangkan secara merata ke Sedgwick-Rafter Counting Cell. Sampel plank- Keterangan: FK = frekuensi kejadian, Ni = jumlah total satu jenis organisme yang ditemukan dalam lambung ton diamati dibawah mikroskop cahaya pada ikan, I = total lambung ikan berisi makanan. pembesaran 100, 200 atau 400. Plankton diiden- Indeks bagian terbesar digunakan untuk tifikasi hingga tingkat spesies atau genera meng- menganalisis jenis makanan ikan dan menilai gunakan kunci taksonomi dan dihitung (Shirota jenis makanan yang paling banyak dimakan ikan. 1996, Verlencar 2004, Barsanti & Gualtieri Analisis indeks bagian terbesar dihitung dengan 2006). Penghitungan individu plankton dilakukan rumus: pada seluruh kolom bidang pandang Sedgwick-

Rafter Counting Cell, dimulai dari sudut kanan Keterangan: I = indeks bagian terbesar, V = persentase atas hingga kiri bawah dan dari yang paling me- i i volume makanan ikan jenis ke-i, Oi = persentase fre- limpah kemudian diikuti yang jarang. Kepadatan kuensi kejadian makanan jenis ke-i, n = jumlah organ- isme makanan ikan (i = 1,2,3,...n). populasi fitoplankton dan zooplankton diperkira- Tiap jenis ikan memiliki kesukaan terha- kan dari jumlah sel m-3 dan individu m-3, berda- dap jenis makanan tertentu, sehingga proporsi sarkan volume air sampel yang tersaring oleh ja- tiap jenis makanan yang terdapat di dalam alat

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 87 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo pencernaan ikan bervariasi. Indeks pilihan me- Hasil rupakan perbandingan antara organisme makan- Penebaran yuwana ikan bandeng an ikan yang terdapat dalam lambung dengan Sumber yuwana ikan bandeng yang dite- organisme makanan ikan yang terdapat dalam bar di Waduk Sermo diperoleh dari Balai Benih perairan. Indeks pilihan mempunyai rentang nilai Ikan (BBI) Sundak, Kabupaten Gunungkidul. -1 sampai +1, digunakan untuk menentukan Penebaran dilakukan pada pagi hari sekitar pukul kesukaan ikan terhadap jenis makanan tertentu 09.00-10.00, di beberapa lokasi stasiun yang su- (Effendie 2002), dengan formula berikut : dah ditentukan. Pada saat penebaran terdapat be-

berapa ekor yuwana yang mati karena proses pe- nanganan dan pengangkutan dari tempat pembe- Keterangan: r = jumlah relatif macam-macam organis- i nihan hingga penebaran di Waduk Sermo. Ting- me yang dimakan, pi = jumlah relatif macam organis- me dalam perairan. kat kematian saat pengangkutan yuwana ikan bandeng diperkirakan mencapai sekitar 0,6% Pertumbuhan panjang dan bobot yang terdiri atas berbagai ukuran. Rerata panjang ikan bandeng yang ter- Penebaran ikan bandeng stadia yuwana tangkap pada setiap sampling dihitung dengan berlangsung pada tanggal 4 April 2015. Jumlah formula: ikan yang ditebar sebanyak 10.000 ekor. Ikan

bandeng berukuran kisaran panjang total 3,5-5,0 cm dengan rerata 4,21±0,45 cm dan bobot indivi- Keterangan: Lt= rerata panjang (cm) ikan pada umur t (waktu sampling), Li= panjang ikan ke i, n= jumlah du 0,3-1,0 g dengan rerata 0,55±0,20 g. Panjang ikan yang diukur panjangnya. dan bobot yuwana ikan bandeng introduksi sa- Rerata bobot ikan bandeng yang tertang- ngat bervariasi meskipun berasal dari kelompok kap pada saat sampling dihitung dengan formula: umur (kohort tetasan) yang sama. Ikan bandeng mulai tertangkap oleh jaring

insang dengan bukaan mata 1,25 inci pada perte- Keterangan: Wt= rerata bobot ikan pada umur t (g), Wi= bobot ikan ke i, n= jumlah ikan yang ditimbang. ngahan bulan Mei. Ikan bandeng yang tertangkap jaring insang dikelompokkan menjadi empat ke- Laju pertumbuhan harian dihitung dengan las dengan selang ukuran 5 cm, yakni kelompok formula: terkecil <15 cm, 16-20 cm, 21-25 cm, dan terbe- sar >26 cm.

Keterangan: LPH= laju pertumbuhan harin, Lt= rerata panjang saat sampling, =rerata panjang pada sam- Jenis plankton di perairan Waduk Sermo pling periode berikutnya. Komposisi jenis plankton di perairan Wa- Hubungan panjang-bobot diperoleh de- duk Sermo disajikan pada Tabel 1. Jenis fito- ngan menggunakan korelasi dan regresi linier, plankton yang terdapat di Perairan Waduk Sermo dengan persamaan (Effendie 2002): sebanyak sembilan spesies terdiri atas Diatom

elongatum, Ephitemia sp., Mallomonas sp., Keterangan: W= bobot ikan (g), L= panjang ikan (cm), a dan b= parameter Nitzschia sp., Spirogyra sp., Surirella elegana, Synedra ulna, Tabellaria fenestrate, dan Tribo- nema sp. Zooplankton yang terdapat di perairan

88 Djumanto et al.

Waduk Sermo terdiri atas delapan spesies, yaitu jang <15 cm dan semakin menurun seiring per- Aapidiaca sp., Arcella sp., Cyclop sp., Daphnia tumbuhan ikan. Jenis fitoplankton yang dominan sp., Diaptomus sp., Euglypha sp., Halocypris adalah Nitzschia sp. dan zooplankton yang domi- globusa, dan Phyllirrhoe bucepalua. Pada setiap nan adalah Cyclop sp. sampling spesies fitoplankton yang paling ba- nyak ditemukan adalah Nitzschia sp., sedangkan Kehadiran jenis makanan zooplankton adalah Cyclop sp. Frekuensi jenis makanan menggambarkan jumlah atau persentase jenis makanan yang dite- Komposisi jenis makanan mukan pada saluran pencernaan ikan terhadap Komposisi jenis makanan yang dikonsum- jumlah ikan yang berisi makanan. Frekuensi jenis si ikan bandeng terdiri atas fitoplankton dan makanan disajikan pada Tabel 3. Kehadiran jenis zooplankton (Tabel 2). Komposisi makanan ikan makanan sangat bervariasi antarindividu ikan bandeng didominasi oleh fitoplankton. Komposi- yang diamati. si fitoplankton mencapai 100% pada ukuran pan-

Tabel 1. Kelimpahan rerata fitoplankton (sel m-3) dan zooplankton (ind m-3) di Waduk Sermo Spesies Mei Jul Agu Sep Rerata %

FITOPLANKTON Diatom elongatum 56.818 80.300 18.150 154.963 77.558 14,7 Ephitemia sp. 0 0 4.091 49.088 13.295 2,5 Mallomonas sp. 0 0 5.000 60.638 16.409 3,1 Nitzschia sp. 89.091 145.750 19.800 190.575 111.304 21,0 Spirogyra sp. 46.364 70.950 11.550 107.800 59.166 11,2 Surirella elegana 52.727 68.750 15.950 142.450 69.969 13,2 Synedra sp. 63.636 81.950 18.150 165.550 82.322 15,6 Tabellaria fenestrata 18.182 29.700 7.150 55.825 27.714 5,2 Tribonema sp. 50.455 74.250 17.050 143.413 71.292 13,5 Total 377.273 551.650 116.891 1.070.300 529.028

ZOOPLANKTON Aapidiaca sp. 0 0 30.250 43.313 18.391 2,8 Arcella sp. 75.000 107.250 77.000 140.525 99.944 15,4 Cyclop sp. 79.545 123.750 145.750 263.725 153.193 23,6 Daphnia sp. 69.545 88.000 115.500 212.713 121.439 18,7 Diaptomus sp. 68.182 99.550 117.700 223.300 127.183 19,6 Euglypha sp. 65.909 83.600 86.900 153.038 97.362 15,0 Halocypris globusa 0 0 14.300 30.800 11.275 1,7 Phyllirrhoe bucepalua 0 0 27.500 55.825 20.831 3,2 Total 358.181 502.150 614.900 1123.238 649.617

Tabel 2. Komposisi makanan ikan bandeng di Waduk Sermo berdasarkan kelompok ukuran panjang Kelas ukuran Jumlah sampel Rerata Kelompok makanan Jenis makanan panjang (cm) (ekor) bobot (g) dominan (%) dominan (%) <15 9 17,4 Fitoplankton (100) Nitzschia sp. (56) 16-20 6 50,2 Fitoplankton (86) Nitzschia sp. (76) 21-25 30 95,6 Zooplanton (65) Cyclop sp. (36) >26 19 150,0 Zooplankton (55) Cyclop sp. (37)

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 89 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo

Tabel 3. Frekuensi jenis makanan yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng (n=114 ekor) Kelompok Jenis makanan Frekuensi (%) Fitoplankton Diatom elongatum 29,31 Nitzschia sp. 67,24 Spirogyra sp. 31,03 Surirella elegana 34,48 Synedra sp. 35,34 Tribonema sp. 50,86 Zooplankton Arcella sp. 46,55 Cyclop sp. 69,83 Daphnia sp. 48,28 Diaptomus sp. 69,83 Euglypha sp. 55,17

Jenis fitoplankton yang ditemukan pada makin banyak dan makanan yang dominan ada- saluran pencernaan ikan bandeng terdiri atas lah Cyclop sp., Diaptomus sp., dan Euglypha sp. Diatom elongatum, Nitzschia sp., Spirogyra sp., Surirella elegana, Synedra sp., Tribonema sp. Komposisi dan pemilihan makanan Jenis zooplankton yang ditemukan adalah Daph- Komposisi jenis plankton di perairan wa- nia sp., Diaptomus sp., Euglypha sp. Kehadiran duk dan jenis makanan ikan bandeng disajikan jenis makanan dari kelompok fitoplankton berki- pada Gambar 2. Jenis fitoplankton yang ada di sar 31,31%-67,24% dan yang paling banyak perairan waduk sebanyak 9 spesies, sedangkan adalah Nitzschia sp. Pada kelompok zooplankton, jenis fitoplankton yang ditemukan dalam usus kehadiran jenis makanan zooplankton berkisar ikan bandeng sebanyak 6 spesies. Demikian hal- 46,55-69,83%. Variasi kehadiran jenis makanan nya jenis zooplankton yang ada di perairan seba- pada kelompok fitoplakton lebih besar daripada nyak 8 spesies, sedangkan yang ditemukan dalam kelompok zooplankton. usus ikan bandeng sebanyak 5 spesies. Fitoplank- ton yang tidak ditemukan dalam usus ikan ban- Indeks bagian terbesar deng adalah Ephitemia sp., Mallomonas sp. dan Indeks bagian terbesar menggambarkan Tabellaria fenestrata. Zooplankton yang tidak makanan ikan (Tabel 4). Berdasarkan indeks ba- ditemukan dalam usus ikan Aapidiaca sp., Halo- gian terbesar, ikan bandeng yang berukuran <14 cypris globusa, dan Phyllirrhoe bucepalua. cm memiliki makanan utama Nitzschia sp. dan Berdasarkan kuantitasnya, besaran per- makanan lainnya adalah Diatom elongatum, sentase fitoplankton jenis Nitzschia sp. dan Tri- Surirella elegana, dan Synedra sp. Ikan bandeng bonema sp. dalam usus ikan bandeng masing- ukuran >15 cm mulai mengonsumsi zooplankton masing mencapai dua kali dan satu setengah kali dalam menunya, sebaliknya proporsi fitoplankton lebih banyak daripada persentase jenis fitoplank- mulai berkurang. Jenis fitoplankton yang domi- ton yang sama di perairan waduk. Pada zoo- nan menjadi makanan ikan bandeng pada ukuran plankton, persentase Cyclop sp. di dalam usus 15-25 cm adalah Nitzschia sp. dan Tribonema ikan satu setengah kali lebih banyak daripada sp. Pada ukuran >26 cm proporsi zooplankton se- persentase jenisnya di perairan waduk.

90 Djumanto et al.

Tabel 4. Indeks bagian terbesar makanan ikan bandeng di Waduk Sermo pada bulan Mei - Oktober 2015 Kelompok makanan Jenis makanan Kelompok panjang ikan (cm) <14 15-19 20-25 >26 Fitoplankton Diatom elongatum 10,9 0,0 2,0 5,6 Nitzschia sp. 64,0 31,9 15,3 6,3 Spirogyra sp. 0,0 6,8 4,0 1,7 Surirella elegana 12,0 7,4 2,3 6,1 Synedra sp. 13,1 2,4 3,6 3,2 Tribonema sp. 0,0 19,3 10,4 4,0 Zooplankton Arcella sp. 1,8 6,2 9,0 Cyclop sp. 0,0 18,1 24,7 21,9 Daphnia sp. 0,0 1,5 10,8 5,3 Diaptomus sp. 0,0 4,1 13,4 24,0 Euglypha sp. 0,0 6,7 7,1 11,4

25

20 Perairan Isi Usus 15

10

Komposisi Komposisi (%) 5

0 Cyclop sp. Cyclop Arcella Arcella sp. Synedra sp. Synedra Daphnia Daphnia sp. Spesies Spesies Nitzschia Nitzschia sp. Euglypha Euglypha sp. Spirogyra sp. Spirogyra Aapidiaca sp. Aapidiaca Ephitemia sp. Ephitemia Tribonema sp. Tribonema Diaptomus sp. Diaptomus Mallomonas sp. Mallomonas Surirella elegana Surirella Diatom elongatum Diatom Halocypris globusa Halocypris Tabellaria fenestrata Tabellaria Phyllirrhoe bucepalua Phyllirrhoe Fitoplankton Zooplankton

Gambar 2. Proporsi jenis plankton di perairan Waduk Sermo dan makanan dalam usus ikan bandeng

Pemilihan jenis makanan yang tersedia di Bandeng pada ukuran 15-25 cm melaku- perairan Waduk Sermo disajikan pada Tabel 5. kan pemilihan positip terhadap fitoplankton jenis Berdasarkan jenis makanan, ikan bandeng ber- Nitzschia sp., Spirogyra sp. dan Tribonema sp. bagai ukuran melakukan pemilihan positip terha- Bandeng ukuran >15 cm melakukan pemilihan dap Tribonema sp. Ikan bandeng yang berukuran positip terhadap zooplankton jenis Cyclop sp., <14 cm melakukan pemilihan positip terhadap fi- Diaptomus sp. dan Euglypha sp. toplakton, kecuali Diatom elongatum, dan negatif terhadap zooplankton.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 91 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo

Panjang usus relatif Pertumbuhan panjang dan bobot ikan Panjang usus relatif menunjukkan jenis Jumlah total ikan bandeng yang tertang- makanan yang dikonsumsi oleh ikan bandeng di kap selama penelitian sebanyak 114 ekor. Jumlah Waduk Sermo. Panjang usus relatif ikan ban- sampel yang tertangkap tiap bulan sampling dari deng disajikan pada Tabel 6. Panjang usus ikan Mei hingga November masing-masing adalah 3, bandeng berkisar antara 61-200 cm dengan rerata 4, 6, 24, 29, 31, 17 ekor, dengan kisaran panjang 70,4-174,0 cm. Panjang usus relatif ikan bandeng 3,5-29,5 cm dan bobot 0,9-197,5 g. Pertumbuhan berkisar 4,4-6,9 dengan rerata panjang usus rela- panjang dan bobot mutlak ikan bandeng setiap tif 5,4-6,4. Berdasarkan rerata panjang usus rela- bulan disajikan pada Gambar 3. Secara umum tif, ikan bandeng dikelompokkan sebagai ikan panjang dan bobot ikan bandeng tiap bulan herbivora. Semakin besar ukuran panjang ikan mengalami perubahan panjang dan bobot yang bandeng, maka rerata panjang usus relatif sema- pesat sejak saat penebaran (April) hingga No- kin besar. vember. Pada saat awal musim kemarau (Juli) ikan mengalami perlambatan pertumbuhan pan- jang dan bobot.

Tabel 5. Pilihan ikan bandeng terhadap jenis makanan yang tersedia di Waduk Sermo Konsentrasi relatif (%) Indeks Pilihan Jenis makanan Ukuran ikan (cm) <14 15-19 20-25 >26 Perairan <14 15-19 20-25 >26 Fitoplankton Diatom elongatum 0 1,33 3,73 8,85 6,52 -1,00 -0,66 -0,27 0,15 Nitzschia sp. 21,43 10,67 11,19 7,81 9,36 0,39 0,07 0,09 -0,09 Spirogyra sp. 14,29 6,67 6,72 2,60 4,97 0,48 0,15 0,15 -0,31 Surirella elegana 21,43 5,33 5,22 7,29 5,88 0,57 -0,05 -0,06 0,11 Synedra sp. 7,14 5,33 5,22 7,29 6,92 0,02 -0,13 -0,14 0,03 Tribonema sp. 7,14 16,00 11,19 8,33 5,99 0,09 0,45 0,30 0,16 Zooplankton Arcella sp. 7,14 9,33 5,22 9,38 8,40 -0,08 0,05 -0,23 0,05 Cyclop sp. 7,14 16,00 14,18 13,54 12,88 -0,29 0,11 0,05 0,03 Daphnia sp. 7,14 4,00 10,45 5,21 10,21 -0,18 -0,44 0,01 -0,32 Diaptomus sp. 0,00 12,00 15,67 15,10 10,69 -1,00 0,06 0,19 0,17 Euglypha sp. 7,14 13,33 9,70 9,90 8,19 -0,07 0,24 0,08 0,09

Tabel 6. Panjang usus relatif ikan bandeng berdasarkan kelompok ukuran panjang di Waduk Sermo Kelas ukuran Jumlah Panjang usus Rerata panjang Panjang usus Rerata Keterangan (cm) sampel (cm) usus (cm) relatif panjang usus (ekor) relatif <15 7 61-84 70,4 4,4-5,7 5,4 Herbivora 16-20 22 82-136 104,5 4,3-6,8 5,5 Herbivora 21-25 70 93-85 137,7 4,1-8,7 5,8 Herbivora >26 17 151-200 174,0 5,7-6,9 6,4 Herbivora

92 Djumanto et al.

Gambar 3. Rerata panjang (segi tiga isi) dan bobot (lingkaran kosong) serta masing-masing simpangan baku (garis bar) ikan bandeng di Waduk Sermo pada April-Oktober 2015 tahun 2015

Rerata panjang ikan bandeng pada setiap dan pada September-Oktober meningkat pesat. sampling menunjukkan perubahan panjang yang Laju pertumbuhan bobot harian juga berfluktu- sangat pesat pada awal penebaran, kemudian asi, pada periode bulan April-Mei meningkat, mengalami perlambatan seiring waktu sampling selanjutnya pada periode bulan Mei-Juli menurun hingga sampling pada bulan November. Sebalik- relatif curam, kemudian pada periode Juli-Agus- nya, rerata bobot ikan pada awal penebaran tus meningkat relatif curam, sedangkan pada pe- mengalami perubahan bobot yang relatif lambat, riode Agustus-September menurun agak landai, kemudian bertambah sangat pesat. pada periode September Oktober meningkat Laju pertumbuhan relatif disajikan pada agak tajam. Gambar 4. Laju pertumbuhan panjang harian berkisar 0,0084 0,2056 cm, sedangkan laju Hubungan panjang bobot ikan pertumbuhan bobot harian berkisar 0,0630- Jumlah sampel ikan bandeng yang digu- 1,1182 gram. Laju pertumbuhan panjang dan nakan untuk analisis hubungan panjang bobot se- bobot cenderung menurun dari bulan April ke banyak 114 ekor, merupakan total hasil tangkap- Juli dan meningkat dari bulan Juli ke Oktober. an selama sampling pada bulan Juni-November. Laju pertumbuhan terendah terjadi pada bulan Bentuk hubungan panjang bobot ikan bandeng Juli yang bertepatan awal musim kemarau. Laju disajikan pada Gambar 5. pertumbuhan panjang harian ikan antarbulan Hubungan panjang bobot ikan bandeng sampling berfluktuasi, selama bulan April membentuk persamaan W=0,0069 L 3,0186 dengan meningkat sangat pesat, bulan Mei stabil dan indek regresi R2=0,98. Uji t terhadap nilai b = 3 bulan Juni-Juli menurun agak curam. Pada pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan periode Juli-Agustus meningkat sangat tajam, ikan bandeng yang ditebar di Waduk Sermo pada Agustus-September menurun agak curam cenderung memiliki pola pertumbuhan isometrik.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 93 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo

Gambar 4. Laju pertumbuhan panjang (segitiga) dan bobot relatif (lingkaran) ikan bandeng di Waduk Sermo April-Oktober 2015

Gambar 5. Hubungan panjang bobot ikan bandeng tebaran di Waduk Sermo

Pembahasan sengaja sejak tahun 2004 menyebabkan berge- Introduksi ikan di perairan Waduk Sermo sernya dominansi dan struktur komunitas ikan. telah dilakukan sejak awal penggenangan air wa- Hasil tangkapan jaring insang di Waduk Sermo duk oleh berbagai instansi dengan berbagai jenis pada tahun 1998 didominasi oleh ikan nila hitam ikan air tawar, yang bertujuan untuk meningkat- sebesar 69%, selanjutnya pada tahun 2009 dido- kan keragaman jenis ikan dan hasil tangkapan minasi oleh mujair sebesar 85%, dan pada tahun nelayan. Dampak tebaran tersebut menyebabkan 2013 didominasi oleh red devil sebesar 72,7%, hasil tangkapan nelayan dan keragaman ikan serta tahun 2014 red devil sebesar 52,4% (Setyo- hingga tahun 2004 cukup tinggi. Masuknya ikan budi & Subagja 2004, Djumanto et al. 2008, red devil ke perairan Waduk Sermo secara tidak Supardjo & Djumanto 2014). Populasi ikan red

94 Djumanto et al. devil yang sangat melimpah menyebabkan kera- 14,8 % (Tabel 3), sehingga menyebabkan ke- gaman ikan di perairan Waduk Sermo menurun rapatan fitoplankton relatif sangat rendah. sehingga hasil tangkapan nelayan mengalami Pertumbuhan fitoplankton membutuhkan penurunan (Oldfield et al. 2006). Upaya untuk kecukupan nutrien yang digunakan untuk meta- meningkatkan hasil tangkapan dilakukan dengan bolisme. Nutrien di peraira yang paling dibutuh- introduksi ikan yang sesuai dengan lingkungan kan oleh fitoplankton adalah karbon, nitrogen, Waduk Sermo. Introduksi ikan nila telah dilaku- dan fosfor. Tiap sel fitoplankton mengandung kan oleh Pokwasmas dan kelompok nelayan protein sekitar 50% dan nitrogen sekitar 7-10% yang tergabung dalam Paguyuban Warga Hargo- (Barsanti & Gualtieri 2006). Fitoplankton mem- wilis Pencari Ikan di Waduk Sermo (Pagar butuhkan nitrogen untuk pembentukan dinding Rindu) secara tidak terjadwal. Menurut Basari sel, metabolisme sel, pembentukan asam amino. (2016, komunikasi pribadi), salah satu nelayan Nitrat adalah bentuk senyawa stabil dari nitrogen yang menjadi ketua paguyuban tersebut, jenis yang merupakan zat hara penting bagi organisme ikan yang diintroduksi pada Maret 2016 adalah autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas nila hitam dengan bobot rerata 10 g sebanyak pertumbuhan. Fosfat berfungsi dalam penyim- sekitar 20.000 ekor. panan dan transfer energi dalam sel. Kadar fosfat Jumlah fitoplankton yang ditemukan di di perairan alami relatif kecil, dan lebih sedikit perairan Waduk Sermo sebanyak sembilan jenis bila dibandingkan dengan kadar nitrogen. Kadar dan zooplankton sebanyak delapan jenis, sedang- nutrien dan perbandingan antara nitrogen dan kan kerapatan fitoplankton berkisar 117-1070 fosfor dapat digunakan sebagai indikator kesu- sel L-1 dan zooplankton berkisar 358-1153 ind buran perairan dan untuk menentukan nutrien L-1. Jenis dan kerapatan fitoplankton yang dite- yang menjadi faktor pembatas. Kadar nitrogen mukan di Waduk Sermo lebih rendah daripada dan fosfor menjadi faktor pembatas jika kadar jenis dan kerapatan fitoplankton yang ditemukan nitrogen < 0,02 mg L-1 dan kadar fosfor < 0,005 di perairan Waduk Ir. H. Juanda, sedangkan zoo- mg L-1. Perbandingan kadar nitrogen dan fosfor plankton pada kondisi sebaliknya. Sampling bila < 12, maka nitrogen merupakan faktor pem- yang dilakukan pada Juni-Agustus di Waduk H. batas pertumbuhan fitoplankton, sedangkan bila Juanda oleh Aqil et al. (2013) ditemukan fito- > 12, maka fosfor merupakan faktor pembatas plankton sebanyak 22 jenis dengan kerapatan pertumbuhan fitoplankton (Geider & MacIntyre 2571-13902 sel L-1, sedangkan zooplankton yang 2004). Kadar nitrat dan fosfat tiap bulan di Wa- ditemukan sebanyak lima jenis dengan kerapatan duk Sermo berkisar 0 - 0,902 (0,071) mg L-1 dan 5-54 ind L-1. Kerapatan populasi fitoplankton di 0 - 1,916 (1,45) mg L-1 dengan N/P rasio sebesar perairan Waduk Sermo yang rendah diduga dise- 10,54 (Rustadi 2009). Kadar senyawa nitrogen babkan oleh dua faktor, yaitu dimangsa oleh ikan dan fosfat di perairan Waduk Sermo tidak men- bandeng dan sumber nutrien untuk pertumbuhan jadi pembatas, namun perbandingan konsentrasi fitoplankton di Waduk Sermo sangat terbatas. N dan P menjadi pembatas pertumbuhan. Sungai Pemangsaan fitoplankton oleh ikan bandeng Ngrancah yang berhulu di lereng Gunung Merapi sangat tinggi ditunjukkan oleh rerata frekuensi merupakan sumber utama pemasukan air dan nu- jenis makanan yang ditemukan pada saluran pen- trien ke Waduk Sermo. Aliran sungai Ngrancah cernaan 114 ekor ikan bandeng sebesar 41,4± bagian hulu tidak banyak melewati daerah perta-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 95 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo nian, perikanan, dan peternakan yang umumnya pencernaan ikan bandeng berbeda dengan ikan menjadi sumber nitrogen. Sejak tahun 2006 oto- herbivora lainnya, karena ikan bandeng memiliki ritas Waduk Sermo mengeluarkan larangan kegi- lambung yang berfungsi untuk menyimpan se- atan budi daya ikan dalam karamba jaring apung mentara makanan, untuk mengaduk atau men- (Rustadi 2009), sehingga kadar nitrogen rendah campur makanan dengan getah lambung, dan dan kerapatan populasi fitoplankton juga relatif menyalurkan makanan ke dalam usus, sehingga sangat rendah. ikan bandeng mampu secara efisien mencerna Ikan bandeng merupakan ikan pemakan plankton. Seluruh permukaan lambung ditutupi plankton yang memperoleh makanannya dengan oleh sel mukus yang mengandung mukopolisa- cara menyaring air dari lingkungannya dengan karida yang agak asam, berfungsi sebagai pe- menggunakan tapis insang yang berukuran pan- lindung dinding lambung dari kerja asam klorida jang dan rapat (Coad 2015). Pada penelitian ini, (Coad 2015). ikan bandeng yang diintroduksi di Waduk Sermo Ikan bandeng di Waduk Sermo memang- dapat memanfaatkan sebagian besar fitoplankton sa fitoplankton dan zooplankton, meskipun pro- dan zooplankton yang ada di perairan Waduk porsi zooplankton sedikit. Makanan ikan ban- Sermo sebagai makanan dan sumber energinya, deng bervariasi, bergantung kepada jenis makan- sehingga panjang dan bobot individu bertambah an yang tersedia di perairan. Jenis fitoplankton seiring waktu. Ikan bandeng dapat mengonsumsi yang banyak dikonsumsi adalah Nitzschia sp. dan beberapa jenis fitoplankton dan zooplankton Tribonema sp., sedangkan jenis zooplankton ada- yang terdapat di perairan Waduk Sermo sesuai lah Cyclop sp. Nitzschia sp. merupakan salah sa- dengan stadia dan umurnya. Berdasarkan indeks tu jenis organisme penghasil lipid dan mempu- bagian terbesar, fitoplankton yang paling banyak nyai kandungan lipid yang tinggi mencapai seki- dimanfaatkan adalah Nitzschia sp. dengan kisar- tar 71,5% (Geider & MacIntyre 2004), sehingga an 6,3-64,0, sedangkan kelompok zooplankton dapat memenuhi kebutuhan energi ikan bandeng. adalah Cyclop sp. dengan kisaran 0-24,7. Hasil Rao & Sivani (1996) melaporkan komposisi ma- yang hampir sama ditemukan pada ikan bandeng kanan ikan bandeng terdiri atas diatom (39,18%), yang diintroduksi di Waduk Ir.H. Juanda. Anali- alga (39,14%), detritus (17,94%), larva krustasea sis isi saluran pencernaan makanan yang dilaku- (1,78%), cacing (0,68%), tidak teridentifikasi kan oleh Triyanto et al. (2014), pada sampling (1,31%). Peneliti lain (Coad 2015) menyatakan bulan Desember 2009 hingga Februari 2010 me- ikan bandeng akan menyaring plankton, mema- nunjukkan, bahwa makanan utama ikan bandeng kan organisme bentik, cyanobacteria, diatom, fo- adalah fitoplankton dan zooplankton. Makanan raminifera, ganggang hijau berfilamen, detritus, lainnya terdiri atas detritus, serasah tumbuhan, kerang, siput, cacing, beberapa krustasea. Din- cacing dan insekta. Peneliti lain (Aqil et al. ding sel fitoplankton tersusun oleh selulosa, 2013) yang melakukan sampling pada Juni- sedangkan dinding sel zooplankton tersusun oleh Agustus 2010 di Waduk Ir.H. Juanda juga men- membran sel. Selulosa lebih sulit dicerna daripa- dapatkan hasil yang hampir sama, yaitu makanan da membran sel, sehingga untuk mencerna fito- ikan bandeng terdiri atas fitoplakton, zooplank- plankton membutuhkan waktu yang lebih lama. ton, detritus, dan sisa tumbuhan, masing-masing Ikan bandeng dengan kisaran panjang total 15-25 dengan persentase 43%, 46%, dan 11%. Sistem cm minimal memiliki panjang usus sebesar 5,4

96 Djumanto et al. kali panjang total tubuhnya (Tabel 6), sehinggga men, diatoms, copepoda, nematoda dan detritus makanan dapat dicerna sempurna. Selain itu, me- (Coad 2015). nurut Bagarinao (1994) ikan bandeng memiliki Penebaran ikan bandeng di perairan Wa- mulut yang kecil tanpa gigi, tapis insang yang duk Sermo dapat menambah keragaman jenis lembut dan rapat sebagai alat penyaring makan- ikan yang ada dan meningkatkan hasil tangkapan an, dan sepasang otot mirip organ epibranchial nelayan serta untuk memanfaatkan sumber ma- raker. Kerongkongan panjang dan berdinding kanan alami berupa fitoplankton. Nilai laju per- tebal, dengan 20-22 lipatan spiral dan memiliki tumbuhan panjang harian berkisar 0,084-2,056 banyak sel lendir. Perut besar, pilorus berdinding mm hari-1. Bila dibandingkan dengan laju per- sangat tebal dan selaput lendir. Lambung memi- tumbuhan panjang harian ikan bandeng tebaran liki kelenjar yang berfungsi dalam mencerna di Waduk H. Juanda oleh Triyanto et al. (2014), bahan makanan. Usus berbelit-belit dan sangat pertumbuhan panjang harian ikan bandeng di panjang. Seluruh saluran pencernaan melingkar- Waduk H. Juanda lebih tinggi, yaitu mencapai lingkar dan membentuk massa kompak dalam 0,2-2,1 mm hari-1. Perbedaan ini disebabkan pada rongga perut (Bagarinao 1994). kawasan perairan Waduk H. Juanda tersedia kon- Seiring dengan pertumbuhan ikan, makan- sentrasi nutrien dan kerapatan plankton lebih an ikan bandeng di Waduk Sermo mengalami tinggi, sehingga makanan alami tersedia lebih pergeseran. Pada ukuran kecil dengan panjang melimpah. Kawasan Waduk H. Juanda menda- total < 14 cm atau umur muda makanan utama patkan nutrien dari sisa makanan dan limbah bu- adalah fitoplankton yang didominasi oleh Nitz- di daya ikan dalam jaring karamba apung, dan chia sp., sedangkan setelah tumbuh besar atau masukan aliran sungai yang subur berasal dari ukuran >15 cm maka zooplankton menjadi ma- hulu dan lingkungan sekitarnya (Triyanto et al. kanan pelengkap yang didominasi oleh Cyclop 2014). Sumber utama nutrien di Waduk Sermo sp. Pemilihan makanan ikan bandeng terhadap adalah semata-mata berupa aliran Sungai Serang jenis plankton tertentu dipengaruhi oleh kebutuh- yang berhulu di lereng Gunung Merapi, sedang- an dan ketersediaannya di perairan. Pada umur kan aktivitas budi daya ikan dalam karamba ja- muda kebutuhan energi untuk pertumbuhan sa- ring apung tidak ada, sehingga kandungan nu- ngat tinggi, sehingga konsumsi Nitzchia sp. Sa- trien relatif sedikit menyebabkan tingkat kesu- ngat tinggi bahkan mencapai 1,5 kali konsentra- burannya rendah. Kontribusi nutrien dari aktivi- sinya di perairan. Jenis makanan ikan bandeng tas budi daya ikan dalam keramba jaring apung bervariasi bergantung kepada stadia hidup dan ditaksir setiap kg ikan nila membuang amonia habitatnya (Bagarinao 1994). Ontogeni makanan total berkisar 0,3 - 0,8 g hr-1, nitrat berkisar 0,13 ikan yang terjadi pada ikan bandeng di Waduk - 0,21 g hr-1 dan fosfat berkisar 4,067 - 0,17 g hr-1 Sermo disebabkan oleh terjadinya pergeseran (Rustadi 2009). ketersediaan jenis makanan dan tuntutan untuk Hubungan panjang bobot ikan bandeng di memenuhi kebutuhaan nutrisinya. Makanan uta- perairan Waduk Sermo memiliki pola partum- ma ikan bandeng dewasa terdiri atas organisme buhan isometrik, yang menunjukkan bahwa per- benthik dan planktonik yang mencakup gastro- tambahan panjang dan bobot tubuh ikan bandeng poda, lamellibranchia, foraminifera, alga fila- sebanding. Nilai b ikan bandeng berkisar 2,78- 3,46 (Froese & Pauly 2015), umumnya dipenga-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 97 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo ruhi oleh ketersediaan makanan, tingkah laku, Sermo sangat baik dan dapat mencapai ukuran dan habitatnya. Korelasi antara hubungan pan- konsumsi dalam kurun waktu enam bulan sejak jang bobot ikan bandeng menunjukkan hubungan penebaran. yang sangat kuat (r=0,96), sedangkan nilai koefi- sien determinasi (R2=0,98) sangat tinggi yang Persantunan menunjukkan, bahwa pertumbuhan panjang ikan Penulis mengucapkan terima kasih kepada bandeng sebanding dengan pertumbuhan bobot- Fakultas Pertanian UGM yang telah mengucur- nya. Hubungan panjang bobot ikan bandeng yang kan dana hibah penelitian kolaborasi dosen ma- dibudidayakan di tambak menunjukkan pola hasiswa periode 2015. Tulisan ini merupakan ba- pertumbuhan isometrik dengan nilai 2,89-3,15 gian dari kegiatan penelitian mengenai iktiofauna (Biswas et al. 2011). Nilai b yang menunjukkan di DIY yang dibiayai dari berbagai sumber (Hi- pola pertumbuhan isometrik mengindikasikan bah Faperta UGM, Hibah LPPM UGM, Mandi- bahwa ikan mampu mempertahankan bentuk tu- ri). Terimakasih disampaikan kepada Bapak Wa- buh konstan dengan peningkatan panjang dan bo- sidi yang telah membantu dalam pengambilan bot yang proporsional. Pola hubungan panjang contoh ikan di Waduk Sermo dan semua pihak bobot menunjukkan pertumbuhan yang bersifat yang telah membantu sejak awal hingga selesai- relatif , yang berarti pola hubungan panjang bo- nya penelitian. Ucapan terimaksih juga disam- bot dapat dimungkinkan berubah menurut waktu paikan kepada kedua mitra bestari yang telah (Wahyudewantoro & Haryono 2013). memberi saran dan masukan yang sangat kons- Penebaran ikan bandeng di Waduk Sermo truktif untuk kesempurnaan tulisan ini. secara ekologis sangat bermanfaat untuk mengisi relung yang kosong. Secara ekologis ikan ban- Daftar pustaka deng dapat memanfaatkan sebagian besar jenis Aqil DI, Putri LS, Lukman. 2013. Pemanfaatan plankton sebagai sumber makanan ikan plankton yang ada untuk pertumbuhannya. Na- bandeng di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa mun, berbagai dampak penebaran ikan bandeng Barat. Al-Kauniyah Jurnal Biologi, 6(1): 13-25 belum banyak diungkap, sehingga perlu kajian Bagarinao T. 1994. Systematics, distribution, ge- lebih lanjut. netics and life history of milkfish, Chanos chanos. Environmental Biology of Fishes, 39(1): 23-41 Simpulan Ikan bandeng yang ditebar di perairan Barsanti L, Gualtieri P. 2006. Algae: Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology. Taylor Waduk Sermo dapat memanfaatkan sebagian & Francis Group. New York. 301 p. besar jenis plankton yang tersedia sebagai sum- Biswas SP. 1993. Manual of method in Fish Bio- ber makanannya. Jenis fitoplankton yang paling logy. South Asian Publishers Pvt Ltd, New Dehli. 157 p. banyak dikonsumsi adalah Nitzchia sp., dan Tri- Biswas G, Sundaray JK, Thirunavukkarasu AR, bonema sp., sedangkan zooplankton yang paling Kailasam M. 2011. Length-weight relati- banyak dikonsumsi adalah Cyclop sp. Proporsi onship and variation in condition of Cha- nos chanos (Forsskål, 1775) from tide-fed zooplankton semakin besar seiring ukuran ikan brackishwater ponds of the Sunderbans bandeng dan ditemukan pada saluran pencernaan India. Indian Journal Geo-Marine Science 40(3): 386-390 ikan pada panjang >15 cm. Pertumbuhan dan laju Chong KC, Poemomo A, Kasryno F. 1984. Eco- pertumbuhan harian ikan bandeng di Waduk nomic and technological aspects of the In- donesian milkfish industry. In: Juario JV,

98 Djumanto et al.

Daya Ikan III. Kementerian Kelautan dan Ferraris RP, Benitez LV (Eds.) Advances Perikanan, Badan Penelitian Kelautan dan in Milkfish Biology and Culture. Proceed- Perikanan, Pusat Penelitian Pengelolaan ings of the Second International Milkfish Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Aquaculture Conference, 4-8 October Ikan, Balai Penelitian Pemulihan dan Kon- 1983, Iloilo City, Philippines. (pp. 199- servasi Sumber Daya Ikan. 18 Oktober 213). 2011. KSI 31:1-7 Coad BW. 2015. Review of the milkfishes of Rao LM, Sivani G. 1996. The food preferences Iran (Family Chanidae). Iranian Journal of five commercially important fishes of of Ichthyology, 2(2): 65 70. Gosthani estuary. Indian Journal Fishe- Djumanto, Setyobudi E. Sentosa AA, Budi R, ries, 43(2): 199-202, Nirwati N. 2008. Reproductive biology of Rustadi. 2009. Eutrofikasi nitrogen dan fosfor the yellow rasbora (Rasbora lateristiata) serta pengendaliannya dengan perikanan inhabitat of the Ngrancah River, Kulon di Waduk Sermo. Jurnal Manusia dan Progo. Jurnal Perikanan, 10(2): 261-275. Lingkungan, 16(3): 176-186 Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pus- Setyobudi E, Subagja J. 2004. Struktur populasi taka Nusatama, Yogyakarta. 163 hlm. dan potensi reproduksi nila (Oreochromis Franklin SM, Mei-Chen T, Sin-Ping Y. 2006. sp.) di Waduk Sermo Daerah Istimewa Milkfish (Chanos chanos ) culture: situa- Yogyakarta. In: Isnansetyo A et al.(Ed). tions and trends. Journal of the Fisheries Prosiding Seminar Nasional Hasil Pene- Society of Taiwan, 33(3): 229-244 litian Pertanian, Perikanan dan Kelautan. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, 25 Froese R, Pauly D (Editors). 2015. FishBase. September 2004. 370-378 World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org (10/2015) Shirota A. 1996. The Plankton of South Vietnam: Freshwater and Marine Plankton. Over- Geider RJ, MacIntyre HL. 2004. Physiology and seas Technology Cooperative Agency. biochemistry of photosynthesis and algal Tokyo. Japan. 463 p carbon acquisition. In : Williams PJ, Thomas DN, Reynolds CS (Eds). Phyto- Supardjo SD, Djumanto. 2014. Komposisi ikan plankton Productivity Carbon Asimilation hasil tangkapan jaring insang pada berba- in Marine and Freshwater Ecosystem, gai shortening di Waduk Sermo. Jurnal Blackwell Science Ltd, Oxford. pp. 44-77 Perikanan, 16(1): 35-42. Habibie SA, Djumanto, Rustadi. 2015. Penggun- Tjahjo DWH, Purnamaningtyas SE. 2009. Evalu- aan otolit untuk penentuan umur dan wak- asi kemampuan ikan bandeng dan nila tu pemijahan ikan red devil Amphilophus tebaran dalam memanfaatkan kelimpahan labiatus [Günther, 1864] di Waduk Ser- fitoplanktondi waduk ir H Djuanda. In : mo, Yogyakarta. Jurnal Iktiologi Indone- Kartamihardja ES et al. (Ed). Prosiding sia, 15(2): 87-98 Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II. Kementerian Kelautan dan Peri- Nelson JS, Grande TC, Wilson MVH. 2016. The kanan, Badan Penelitian Kelautan dan Fishes of the World, Fifth edition. John Perikanan, Pusat Penelitian Pengelolaan Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jer- Perikanan dan Konservasi Sumberdaya sey.707 p Ikan, Balai Penelitian Pemulihan dan Kon- Oldfield RG, Mccrary J, Mckaye KR. 2006. Ha- servasi Sumber Daya Ikan. PI 02: 1-11 bitat use, social behavior, and female and Triyatmo B, Rustadi, Djumanto, Priyono SB, male size distributions of juvenile midas Krismono, Sehenda N, Kartamihardja ES. cichlids, Amphilophus cf. citrinellus, in 1997. Studi Perikanan di Waduk Sermo: Lake Apoyo, Nicaragua. Caribbean Jour- Studi Biolimnologi. Lembaga Penelitian nal of Science, 42(2): 197-207. UGM bekerjasama dengan Agricultural Prayitno SB, Sarwan, Sarjito. 2015. The diversity Research Management Project, Balai Pe- of gut bacteria associated with milkfish latihan Pengembangan Pertanian. 65 hlm (Chanos chanos Forskal) from northern Triyanto, Kamal MM, Pratiwi NTM. 2014. Pe- coast of Central Java, Indonesia. Procedia manfaatan makanan dan pertumbuhan Environmental Sciences, 2 (1): 375-384 ikan bandeng (Chanos chanos) yang diin- Rahardjo MF. 2011. Spesies akuatik asing inva- troduksi di Waduk Ir.H. Djuanda, Jawa sif. In: Kartamihardja ES et al. (Ed). Pro- Barat. Limnotek, 21(1): 64-73 siding Forum Nasional Pemacuan Sumber

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 99 Makanan dan pertumbuhan ikan bandeng di Waduk Sermo

Umar C, Sulaiman PS. 2013. Status introduksi Wahyudewantoro G, Haryono. 2013. Hubungan ikan dan strategi pelaksanaan secara ber- panjang berat dan faktor kondisi ikan bela- kelanjutan di perairan umum daratan di nak Liza Subviridis di perairan Taman Na- Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan sional Ujung Kulon-Pandeglang, Banten. Indonesia, 5(2): 113-120 Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 15(3): 175-178 Verlencar XN. 2004. Phytoplankton Identifica- tion Manual. National Institute of Oce- anography, Dona Paula, Goa. 35 p

100 , 17(1): 101-114 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.307

Pengangkutan juvenil ikan gabus Channa striata (Bloch 1793) dengan kepadatan berbeda pada media bersalinitas 3 ppt [Transportation of juvenile striped snakehead (Bloch 1793) with different densities in 3 ppt salinity media] Jannesa Nasmi1 , Kukuh Nirmala1 dan Ridwan Affandi2 1Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor 2Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor Jalan Agatis Kampus IPB Dramaga 16680

Diterima: 08 April 2016; Disetujui: 31 Januari 2017

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemberian garam 3 ppt dalam media pengangkutan terhadap perubahan kualitas air dan laju sintasan selama pengangkutan, laju pertumbuhan harian, glukosa darah, dan pH darah pascapengangkutan. Penelitian ini terdiri atas dua tahap kegiatan, yaitu tahap satu adalah pengangkutan selama 24 jam dan tahap dua adalah pemeliharaan pascapengangkutan selama 21 hari. Pada tahap satu kantong plastik diisi air 1 L dan dilakukan pengepakan sesuai dengan perlakuan, yaitu perlakuan kontrol tanpa garam (kepadatan 30 ekor L-1) dan perla- kuan penambahan garam 3 ppt (kepadatan 30, 45, 60, dan 75 ekor L-1). Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan dengan penambahan garam dalam media pengangkutan dapat mempertahankan kondisi kualitas air dan menghasilkan laju sintasan yang le- bih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa garam. Tahap dua adalah pemeliharaan pascapengangkutan selama 21 hari. Setelah masa pengangkutan juvenil dari setiap perlakuan dan ulangan dipelihara 30 ekor per akuarium pada media bersalinitas 0 ppt. Hasil penelitian menunjukkan laju sintasan dan laju pertumbuhan pascapengangkutan tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Glukosa darah dan pH darah perlahan kembali normal hingga pemeliharaan hari ke-21.

Kata penting: Channa striata, garam, glukosa darah, kepadatan, pengangkutan, sintasan

Abstract The present study aimed to ensure the effect 3 ppt of salt addition into the transportation media water to the water quality, suvival rate, daily growth rate, and stress level after transportation. This study was consisted of two phase, the first phase was fish transportation for 24 hours and the second phase was 21 days rearing after-transportation. Snake-

L-1 as the control, and four transportation media with 3 ppt salt addition at different densities (30, 45, 60, and 75 larvae L-1). During the transportation, the water quality and survival rate were determined. The first phase experiment showed that salt addition in transportation media maintained the water quality and higher survival rate than control. After 24 hours, 30 larvae of each treatment were stocked into tank with 0 ppt salinity media. The results showed no significant differences in the survival rate and growth rate at the different densities without salt addition. The pH and blood glucose levels were slowly back to normal in day 21.

Keywords: Channa striata, salt, blood glucose, density, transportation, survival rate

Pendahuluan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Ke- Ikan gabus (Channa striata) merupakan giatan pembesaran juvenil ikan gabus telah ba- komoditas budi daya ekonomis. Selain sebagai nyak dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa ikan konsumsi, dalam dunia medis daging ikan Timur. Pengangkutan ikan dalam jumlah yang gabus dipercaya berkhasiat untuk mempercepat banyak, jarak yang jauh, dan waktu yang relatif pengeringan luka pascaoperasi dan meningkatkan lama dilakukan dengan sistem tertutup. Pada daya tahan tubuh (Rahmawanty et al. 2014). pengangkutan sistem tertutup, ikan dimasukkan Pasokan benih ikan gabus (stadia juvenil) dalam wadah yang tertutup dengan pemberian umumnya berasal dari hasil tangkapan alam di gas O2 dalam jumlah terbatas yang telah diperhi- ______tungkan sesuai dengan kebutuhan selama peng- Penulis korespondensi Alamat surel: [email protected] angkutan.

Pengangkutan juvenil ikan gabus

Salah satu upaya untuk mengefisiensikan penggunaan energi untuk osmoregulasi, karena biaya pengangkutan adalah dengan menambah apabila salinitas lingkungan mendekati salinitas kepadatan ikan dalam media pengangkutan. Ke- cairan tubuh ikan, maka energi hasil metabolisme padatan ikan yang tinggi dalam media menjadi hanya sedikit yang digunakan untuk penyesuaian masalah karena kebutuhan oksigen (O2) juga se- diri dengan tekanan osmotik lingkungan (Affandi makin meningkat. Kebutuhan O2 yang meningkat & Tang 2002). Ketika ikan membutuhkan energi menyebabkan karbondioksida (CO2) di dalam untuk proses osmoregulasi, maka ikan akan me- media semakin meningkat karena proses respi- manfaatkan sumber energi yang ada di dalam tu- rasi. Tingginya kadar CO2 menyebabkan pH air buhnya, yakni glukosa dan oksigen untuk oksida- menurun, karena CO2 yang bereaksi dengan air sinya. Gradien osmotik yang rendah akan meng- menghasilkan asam karbonat (H2CO3). hemat energi, begitu pula konsumsi oksigen Perubahan kualitas air di dalam media (Marlina 2011). pengangkutan menyebabkan ikan mengalami Konsentrasi salinitas yang digunakan pada stress sehingga ikan mengalami perubahan fisio- penelitian ini mengacu pada penelitian Purnama- logis di dalam tubuhnya, yaitu perubahan bioki- wati (2016) yang menyatakan bahwa salinitas air mia darah. Perubahan biokimia darah yang terja- yang baik untuk pertumbuhan ikan gabus adalah di seperti perubahan gambaran darah (Witeska sebesar 3 ppt. Tujuan penelitian ini untuk menga- 2005, Supriyono et al. 2010, Supriyono et al. nalisis pengaruh penambahan garam ke dalam 2011, Witeska 2013). Dari penelitian Wahyu media pengangkutan dengan kepadatan ikan (2015), pengangkutan ikan gabus selama 24 jam yang berbeda terhadap perubahan kondisi kuali- dengan kepadatan 75 ekor L-1 menghasilkan laju tas air, sintasan ikan gabus, dan dan tingkat stres sintasan sebesar 69% dan mengalami kematian selama 21 hari pemeliharaan pascapengangkutan. total pada pemeliharaan hari ke-21. Kegagalan ikan dalam beradaptasi dan mengatasi kondisi Bahan dan metode stres yang dialami dapat menyebabkan terjadinya Penelitian ini terdiri atas dua tahap kegiat- kematian (Humairani 2015). an. Pada tahap 1 dilakukan kegiatan pengangkut- Perlu adanya teknologi untuk mengurangi an ikan gabus dan tahap 2 dilakukan pemelihara- tingkat stres tersebut agar mampu mengangkut an ikan gabus pascapengangkutan. ikan gabus sebanyak mungkin dengan kematian sekecil mungkin dalam waktu yang dicapai sela- Tahap 1 ma mungkin, serta tidak mengganggu fisiologis Kegiatan penelitian pengangkutan dilaku- ikan pascapengangkutan. Pada penelitian Emu kan selama 24 jam pada tanggal 15 16 Novem- (2010) penambahan garam di dalam media ber 2015. Rancangan percobaan yang digunakan pengangkutan ikan patin (Pangasius sp.) dapat adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima mempertahankan kondisi kualitas air, mengu- perlakuan dan empat ulangan, yaitu : rangi tingkat stres, mempertahankan laju sintasan K = 30 ekor juvenil ikan gabus (tanpa garam) dan laju pertumbuhan tetap tinggi setelah dilaku- A = 30 ekor juvenil ikan gabus + 3 ppt garam kannya pengangkutan. B = 45 ekor juvenil ikan gabus + 3 ppt garam Teknologi penambahan garam di dalam C = 60 ekor juvenil ikan gabus + 3 ppt garam media dapat membantu ikan dalam mengurangi D = 75 ekor juvenil ikan gabus + 3 ppt garam

102 Nasmi et al.

Biota uji yang digunakan adalah ikan ga- litian, didapat dengan melakukan pengenceran. bus dengan ukuran bobot rata-rata 2,6±0,2 g dan Setelah itu, larutan tersebut dihitung kembali panjang 6,6±0,2 cm. Ikan gabus berasal dari hasil menggunakan spektrofotometer agar konsentrasi budi daya pembenihan - yang digunakan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan. digunakan adalah juvenil yang sehat, bugar, dan Pengukuran karbondioksida dilakukan de- tidak cacat fisik. Sebelum diangkut ikan gabus ngan metode titrasi. Perhitungan dengan rumus: dipuasakan selama dua hari, hal ini bertujuan mengurangi pembuangan feses dan mengurangi Pengamatan laju sintasan dilakukan pada kebutuhan konsumsi oksigen. Kantong plastik di- jam ke 24 pengangkutan. Laju sintasan dihitung isi air 1 L dan diisi ikan dengan kepadatan sesuai berdasarkan Ricker (1975): dengan rancangan penelitian dan diberi penam- bahan garam dengan dosis 3 ppt. Setiap kantong diinjeksi oksigen murni dengan perbandingan 1:3 Keterangan: LS= laju sintasan (%), Nt = jumlah ikan (air:oksigen). Kantong diikat dengan karet lalu pada akhir pengangkutan (ekor), N0 = jumlah ikan pa- dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Pada se- da awal pengangkutan (ekor) Data kualitas air (suhu, oksigen terlarut, tiap styrofoam diberi es batu dan ditutup rapat. NH karbondioksida, dan pH) dianalisis secara Proses pengangkutan dilakukan dari tempat 3, deskriptif. Data laju sintasan selama pengangkut- - an ditabulasi dengan Microsoft Excel 2010 ke- karta ke stasiun kota Yogyakarta dengan meng- mudian dianalisis ragam (ANOVA) pada selang gunakan mobil. Lalu dari stasiun Yogyakarta kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lu- menuju stasiun Senen Jakarta dengan mengguna- nak SPSS 17.0. Apabila data berbeda nyata maka kan kereta api. Dari stasiun Senen Jakarta menu- dilanjutkan dengan uji Duncan. ju kampus IPB Dramaga dengan menggunakan Pengamatan laju pertumbuhan harian dihi- mobil. Pengangkutan dilakukan selama 24 jam tung dengan menggunakan rumus Ricker (1975): dengan pengamatan kualitas air (suhu, oksigen terlarut, NH3, karbondioksida, dan pH). Sampel air diambil sebanyak 30 mL per kantong pada LPH = jam ke-0, 6, 12, 18, dan 24 selama pengangkutan. Keterangan: LPH= laju pertumbuhan harian (%), Wt= Pengukuran suhu pada media air menggu- berat rata-rata pada akhir pemeliharaan, W0= berat rata-rata pada awal pemeliharaan, t= periode penelitian nakan termometer air raksa (Hg) dengan satuan (hari) °C. Parameter oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO-meter. Nilai pH diukur dengan Tahap 2 menggunakan pH-meter. Setelah diangkut ikan dibongkar dan dipe- Perhitungan amonia dilakukan dengan lihara untuk mengetahui adanya efek pengang- mencampurkan 1 tetes amonia cair dengan kon- kutan. Masing-masing kantong pengangkutan sentrasi 70% ke dalam 1 L air (amonia induk). yang berisi ikan dipindahkan ke dalam 20 akua- Kemudian, air tersebut diukur nilai amonia rium pemeliharaan. Dari setiap perlakuan dipeli- menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi- hara 30 ekor per akuarium. Akuarium yang digu- konsentrasi yang ingin digunakan selama pene- nakan berukuran 1,0x0,5x0,5 m3 dengan padat

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 103 Pengangkutan juvenil ikan gabus tebar awal 30 ekor ikan per akuarium dan salini- Uji statistik dilakukan terhadap beberapa tas media air pemeliharaan sebesar 0 ppt. Peme- parameter, yaitu: laju sintasan, laju pertumbuhan liharaan ini dilakukan selama 21 hari. Juvenil harian, gradien osmotik, glukosa darah dan pH ikan gabus dipelihara dan diberi pakan berupa darah. Data yang diperoleh ditabulasi dan diana- pelet dengan metode at satiation. lisis secara statistik menggunakan analisis ragam Selama 21 hari pemeliharaan dilakukan (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan pengamatan parameter performa ikan (laju sin- 95% menggunakan MS. Excel dan SPSS 17 un- tasan dan laju pertumbuhan harian), tingkat stres tuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh (gradien osmotik, glukosa darah, pH darah, he- terhadap parameter yang diamati. Apabila berpe- matologi dan aktivitas lisozim) dan fisika-kimia ngaruh nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan air (suhu, oksigen terlarut, NH3, CO2 dan pH air). uji Duncan untuk melihat perbedaan antarperla- Pengukuran gradien osmotik dilakukan kuan yang diuji. dengan mengukur cairan osmolaritas darah dan air media, lalu dilakukan pengukuran mengguna- Hasil kan alat Osmometer Automatik Roebling dengan Tahap 1 (pengangkutan) menggunakan rumus menurut Anggoro (1992), Kualitas air yaitu : Pengamatan terhadap parameter kualitas

GO (Osmol kg-1) = OP OM air pada pengangkutan selama 24 jam disajikan Keterangan: GO= gradient osmotik, OP= nilai tekanan pada Gambar 1. osmotik plasma, OM= nilai tekanan osmotik media Suhu pada jam ke-6 menurun akibat pe- Glukosa darah diukur dengan metode We- nambahan es batu dan pada jam berikutnya perla- demeyer & Yasutake (1977). Plasma sebanyak han mengalami kenaikan. Suhu dalam media pengepakan selama 24 jam berkisar 22-27oC. ortho-toluidin dalam asam asetat glasial. Cairan Oksigen terlarut pada jam ke-6 naik kare- tersebut dimasukkan ke dalam tabung yang berisi na terjadi difusi oksigen akibat goncangan saat air mendidih dan didiamkan selama 10 menit. Se- pengangkutan dan pada jam berikutnya mulai telah didinginkan dalam suhu ruang, nilai absorb- menurun. Konsentrasi nilai oksigen terlarut per- sinya diukur dengan spektrofotometer pada pan- lakuan 30 ekor (tanpa garam) pada jam ke-24 jang gelombang 635 nm. Kadar glukosa darah di- memiliki nilai terkecil sebesar 4,70±0,19 mg L-1. hitung dengan rumus sebegai berikut : Menurunnya nilai oksigen terlarut juga seiring

GD = x GSt semakin tingginya kepadatan pada suatu media pengangkutan, yaitu pada perlakuan 75 ekor se- Keterangan: GD= konsentrasi glukosa darah (mg dL-1) besar 5,4±0,1 mg L-1, perlakuan 60 ekor sebesar AbsSp= absorbansi sampel, AbsSt= absorbansi baku, -1 GSt= konsentrasi glukosa baku (mg dL-1) 6,30±0,14 mg L , perlakuan 45 ekor sebesar 6,80±0,13 mg L-1 dan perlakuan 30 ekor (3 ppt Pengamatan glukosa darah dan performa garam) sebesar 6,80±0,06 mg L-1. ikan dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke- Nilai pH dalam media pengangkutan sela- 4, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21. Parameter ma 24 jam berkisar antara 6,8-7,1. gradien osmotik dilakukan pascapengangkutan (hari ke-0).

104 Nasmi et al.

10

28 ) -1 8 21 6 14 4 7 2 Oksigen (mgL Oksigen 0 0 0 6 12 18 24 0 6 12 18 24 Jam ke- Jam ke- (a) (b) 0.04 40 ) ) )

-1 30 -1 0.03 20

0.02 L (mg (mg L (mg 2 3

0.01 CO 10 NH

0.00 0 0 6 12 18 24 0 6 12 18 24 Jam ke- Jam ke- (c) (d) 10 8 6

pH pH 4 2

0 0 6 12 18 24 Jam ke-

(e)

Gambar 1. Parameter kualitas air selama pengangkutan juvenil ikan gabus; (a) suhu ; (b) oksigen terlarut; (c) NH3; (d) CO2; (e) pH air

Konsentasi NH3 setiap perlakuan mening- Konsentrasi karbondioksida dalam media kat seiring dengan semakin lamanya waktu peng- air pengangkutan terus mengalami peningkatan angkutan. Pada jam ke-24 dapat dilihat bahwa dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Pada jam ke-24 konsentrasi NH3 terendah pada perlakuan 30 ekor konsentrasi karbondioksida tertinggi terdapat (3 ppt garam) sebesar 0,025±0,001 mg L-1 diikuti pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar -1 oleh perlakuan 45 ekor sebesar 0,026±0,001 mg 37,40±0,02 mg L . Konsentrasi karbondioksida L-1, perlakuan 60 ekor sebesar 0,028±0,000 mg tertinggi pada perlakuan 75 ekor sebesar 31,24± L-1, perlakuan 75 ekor sebesar 0,031±0,001 mg 0,03 mg L-1, perlakuan 60 ekor sebesar 25,30± L-1, dan perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memi- 0,03 mg L-1, perlakuan 45 ekor sebesar 21,78± -1 liki konsentrasi NH3 tertinggi yaitu sebesar 0,031 0,03 mg L dan terkecil pada perlakuan 30 ekor ±0,001 mg L-1. sebesar 15,40±0,02 mg L-1.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 105 Pengangkutan juvenil ikan gabus

Tahap 2 (pemeliharaan pascapengangkutan) Laju sintasan juvenil ikan selama pengangkutan Parameter yang diamati pada tahap 2 ada- Laju sintasan ikan gabus selama pengang- lah laju sintasan pascapengangkutan, laju per- kutan dapat dilihat pada Gambar 2. Laju sintasan tumbuhan, gradien osmotik, dan glukosa darah. pengangkutan tertinggi pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) dan 45 ekor sebesar 100%, kemu- Laju sintasan pascapengangkutan dian laju sintasan pada perlakuan 60 ekor dan 75 Laju sintasan selama 21 hari pemeliharaan ekor sebesar 99,58±0,83% dan 97,67±2,00% dan pascapengangkutan dapat dilihat pada Gambar 3. laju sintasan terendah pada perlakuan 30 ekor Pada pemeliharaan ikan gabus pascapengangkut- (tanpa garam) sebesar 92,50±4,19%. Pengamatan an terdapat kematian yang tinggi pada perlakuan nilai laju sintasan pada perlakuan yang diberi ga- 30 ekor (tanpa garam) dengan laju sintasan sebe- ram 3 ppt dengan kepadatan yang berbeda tidak sar 82,00±8,49%, selanjutnya pada perlakuan 45 beda nyata (p>0,05), namun beda nyata (p<0,05) ekor sebesar 90,00±2,83%, perlakuan 30 ekor (3 pada perlakuan tanpa pemberian garam. ppt garam) (3 ppt garam) sebesar 92,00±5,66%

b b b b 100 a

80

60

40

Laju sintasan (%) (%) sintasan Laju 20

0 K A B C D Perlakuan

Gambar 2. Laju sintasan juvenil ikan gabus selama pengangkutan. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

a a 100 a a a 80

60

40 ausnaa (%) sintasan Laju 20

0 K A B C D Perlakuan Gambar 3. Laju sintasan juvenil ikan gabus pascapengangkutan. Huruf kecil yang sama dalam grafik menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).

106 Nasmi et al.

30 25 20 15 (ekor) 10 5 Ikan gabus yang hidupgabus yang Ikan 0 0 1 4 7 14 21 Hari ke- Gambar 4. Juvenil ikan gabus yang hidup selama 21 hari pemeliharaan pascapengangkutan dan perlakuan 60 ekor sebesar 92,00±0,00% dan ekor, 30 ekor (tanpa garam) dan 60 ekor sebesar nilai laju sintasan tertinggi pada perlakuan 75 1,91±0,07%, 1,78±0,11%, 1,64±0,26% dan 1,62 ekor sebesar 94,00±8,49%. Hasil analisis statistik ±0,19%. Hasil analisis statistik menunjukkan laju menunjukkan laju sintasan pengangkutan pada pertumbuhan harian pada setiap perlakuan tidak setiap perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05), beda nyata (p>0,05). namun jika dilihat pada grafik (Gambar 4) terda- pat jumlah kematian yang tinggi pada hari perta- Gradien osmotik ma pascapengangkutan. Kematian tertinggi pada Hasil pengukuran gradien osmotik pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebanyak 7 ikan gabus normal (sebelum perlakuan) dan pas- ekor, selanjutnya pada perlakuan 75 ekor seba- capengangkutan dapat dilihat pada Gambar 6. nyak 3 ekor. Pada perlakuan 60 ekor, 45 ekor, Nilai gradien osmotik pada ikan gabus normal dan 30 ekor (3 ppt garam) terdapat jumlah kema- sebesar 0,301±0,002 osmol kg-1. Nilai gradien tian yang sama sebanyak 2 ekor. Pada hari ke-4 osmotik tertinggi pada perlakuan 30 ekor (tanpa hing-ga hari ke-21 tidak terdapat banyak kemati- garam) sebesar 0,335±0,002 osmol kg-1, sedang- an ka-rena ikan telah beradaptasi terhadap kon- kan perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar disi lingkungan pemeliharaan. 0,240±0,014 osmol kg-1, perlakuan 45 ekor sebe- sar 0,242±0,020 osmol kg-1, perlakuan 60 ekor Laju pertumbuhan harian sebesar 0,246±0,020 osmol kg-1 dan perlakuan 75 Laju pertumbuhan harian juvenil ikan ga- ekor sebesar 0,233±0,030 osmol kg-1. Perlakuan bus selama 21 hari pemeliharaan pascapengang- (30 ekor) tanpa garam berbeda nyata (p<0,05) kutan dapat dilihat pada Gambar 5. Laju partum- dibandingkan dengan perlakuan menggunakan buhan harian tertinggi pada perlakuan 30 ekor (3 garam 3 ppt yaitu pada perlakuan 30, 45, 60 dan ppt garam) sebesar 1,99±0,15%, kemudian secara 75 ekor. berturut-turut diikuti oleh perlakuan 75 ekor, 45

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 107 Pengangkutan juvenil ikan gabus

a a a 2.0 a a

1.5

1.0 (%)

0.5 Laju pertumbuhan harian harian pertumbuhanLaju 0.0 K A B C D Perlakuan

Gambar 5. Laju pertumbuhan harian juvenil ikan gabus pada pemeliharaan 21 hari pascapeng-angkutan. Huruf kecil yang sama dalam grafik menunjukkan tidak beda nyata (p>0,05).

0.4 ) )

-1 a

0.3 b b b b

0.2

0.1

Gradien osmotik (osmol kg (osmol osmotik Gradien 0.0 Ikan K A B C D normal Perlakuan

Gambar 6. Gradien osmotik juvenil ikan gabus pada semua perlakuan selama penelitian. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Respons glukosa darah menunjukkan nilai glukosa darah hari ke-0 pada Hasil pengukuran konsentrasi glukosa da- setiap perlakuan berbeda nyata (p<0,05). Pada rah ikan gabus normal, pascapengangkutan dan hari ke-4 hingga hari ke-21 nilai glukosa darah pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7. Nilai telah mendekati normal, hal ini berarti ikan sudah glukosa darah pada ikan gabus normal sebesar tidak mengalami stres. 28,048±0,230 mg dL-1. Nilai glukosa darah ter- tinggi pada hari ke-0 pascapengangkutan terdapat Respons pH darah pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar Hasil pengukuran nilai pH darah ikan ga- -1 66,806±1,310 mg dL , kemudian perlakuan 75 bus normal, pascapengangkutan dan pemelihara- -1 ekor sebesar 60,414±2,170 mg dL , perlakuan 60 an dapat dilihat pada Gambar 8. Pengamatan -1 ekor sebesar 58,491±0,490 mg dL , perlakuan 45 pada hari ke-0 pascapengangkutan menunjukkan -1 ekor sebesar 56,357±0,840 mg dL dan terendah nilai pH darah semua perlakuan mengalami pe- pada perlakuan 30 ekor (3 ppt garam) sebesar nurunan dibandingkan nilai pH darah ikan gabus 54,412±2,640 mg dL-1. Hasil analisis statistik

108 Nasmi et al.

80 ) )

-1 c 70 abb 60 aab 50 a a a a a 40 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a 30 20 10 Glukosa darah (mg dL (mgdarah Glukosa 0 Ikan 0 1 4 7 14 21 Normal Hari ke-

Gambar 7. Kadar glukosa darah juvenil ikan gabus pada semua perlakuan selama penelitian. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).

9 b a a a a a a a a a a 8 cdc b b b b ab aba ab a a a a a a d b a 7

h

a 6 r a

D 5

H 4 p 3 2 1 0 Ikan 0 1 4 7 14 21 Normal Hari ke-

Gambar 8. Kadar pH darah juvenil ikan gabus selama 21 hari pemeliharaan pascapengangkutan. Huruf kecil yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).

normal. Nilai pH darah pada ikan gabus normal Pembahasan sebesar 7,75±0,007. Nilai pH darah terendah pa- Suhu merupakan parameter penting dalam da hari ke-0 pascapengangkutan terdapat pada kegiatan pengangkutan ikan karena memengaruhi perlakuan 30 ekor (tanpa garam) sebesar 6,65± laju metabolisme ikan, proses biologis, proses ki- 0,07, kemudian perlakuan 75 ekor sebesar 6,85± miawi, dan parameter kualitas air lainnya. Fluk- 0,07, perlakuan 60 ekor sebesar 7,05±0,07, perla- tuasi suhu selama pengangkutan ikan gabus sebe- kuan 45 ekor sebesar 7,15±0,07 dan perlakuan 30 sar 0,2 oC selama satu jam. Fluktuasi suhu terse- ekor (3 ppt garam) sebesar 7,30±0,00. Hasil ana- but masih dalam kondisi yang normal dan tidak lisis statistik menunjukkan nilai pH darah hari membahayakan bagi sintasan juvenil ikan gabus. ke-0 pada setiap perlakuan beda nyata (p<0,05). Menurut Boyd (2012), fluktuasi suhu yang mem- Pada hari ke-7 hingga hari ke-21 nilai pH darah bahayakan bagi ikan adalah 5oC dalam satu jam. telah mendekati normal, yang berarti ikan sudah Nilai oksigen terlarut mengalami kenaikan tidak mengalami stres. pada jam ke-6 pengangkutan. Hal ini dikarena- kan kerasnya goncangan yang mengakibatkan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 109 Pengangkutan juvenil ikan gabus terjadinya difusi oksigen antara air dan udara di atan ion yang dapat menurunkan toksisitas amo- dalam media pengepakan (Humairani 2015). nia. Tingginya konsentrasi amonia di dalam air Konsentrasi oksigen terlarut perlakuan tanpa menyebabkan ekskresi amonia di insang terham- garam (30 ekor) pada jam ke-24 memiliki nilai bat. Hambatan tersebut membuat amonia teraku- terkecil. Menurunnya nilai oksigen terlarut sei- mulasi sehingga mengurangi afinitas hemoglobin ring dengan tingginya jumlah kepadatan ikan ga- mengikat oksigen. Kondisi tersebut dapat memi- bus dalam suatu media pengangkutan. Nilai oksi- cu kematian ikan saat pengangkutan. Tersedianya gen terlarut selama pengangkutan berkisar 4,7- ion Na+ di media berfungsi untuk pertukaran ion -1 8,3 mg L . Nilai oksigen terlarut dalam kisaran NH3 dari dalam darah ikan melintasi sel-sel bran- yang baik yaitu >5 mg L-1 (Boyd 2012). Pada kial (Maetz 1973). Selain itu kondisi ikan gabus jam ke 24 pengangkutan perlakuan 30 ekor (tan- dengan penambahan garam 3 ppt menjadi lebih pa garam) memiliki nilai oksigen terlarut sebesar tenang dikarenakan menurunnya gradien osmotik 4,7 mg L-1. Rendahnya nilai oksigen terlarut pa- yang berdampak pada menurunnya penggunaan da perlakuan 30 ekor (tanpa garam) dikarenakan energi ikan, sehingga laju metabolisme lebih ren- media pengangkutan tanpa penambahan garam. dah dan bahan buangan metabolisme yang diha- Garam berfungsi untuk menjaga keseimbangan silkan pun menjadi lebih sedikit. konsentrasi cairan tubuh dan konsentrasi ling- Konsentrasi CO2 dalam media air peng- kungan, sehingga penggunaan energi dapat di- angkutan terus meningkat dari jam ke-0 hingga mat. Jika kebutuhan energi meningkat maka jam ke-24. Konsentrasi CO2 yang baik untuk ju- penggunaan oksigen meningkat, yang berarti venil ikan, yaitu < 0,02 mg L-1 (Boyd 1982). berkurangnya ketersediaan oksigen di dalam Konsentrasi CO2 pada setiap perlakuan di luar media. Ikan gabus memiliki alat pernapasan ambang batas yang direkomendasikan untuk tambahan berupa sepasang ruang suprabrankial ikan. Kadar CO2 yang tinggi (hipercapnia) me- yang terbaring pada bagian faring dorsal hingga nyebabkan pH darah menjadi lebih asam (acido- lengkungan insang (Banerjee 2007). Keberadaan sis) sehingga kadar O2 darah menurun melalui organ tersebut menyebabkan oksigen bukan me- mekanisme efek Root. Kedua kondisi ini menye- rupakan faktor pembatas keberhasilan pengang- babkan ikan meningkatkan laju ventilasi insang. kutan juvenil ikan. Selanjutnya ikan akan mati karena kekurangan

Konsentrasi NH3 pada setiap perlakuan O2, meskipun kandungan O2 di air media peng- mengalami kenaikan seiring dengan tingginya angkutan tinggi. Tersedianya ion Cl- di dalam - kepadatan dalam media pengangkutan. Wahyu media berfungsi untuk pertukaran ion HCO3 dari

(2015) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 me- dalam darah ikan melintasi insang (Smith 1982). ningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan Hal ini berarti penggunaan garam 3 ppt dalam ikan yang digunakan. Konsentrasi NH3 yang baik media pengangkutan dapat mengurangi kandung- -1 untuk juvenil ikan, yaitu <0,02 mg L (Boyd an CO2 di dalam darah. 1982). Perlakuan 30 ekor (tanpa garam) memiliki Nilai pH air selama pengangkutan masih nilai NH3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan dalam pada kisaran yang baik untuk ikan gabus perlakuan dengan penambahan garam 3 ppt. Se- yaitu 6-8,6 (Boyd 1982). Penurunan nilai pH dis- suai dengan penelitian Nirmala et al. (2012) bah- ebabkan peningkatan konsentrasi CO2 pada me- wa penambahan garam akan meningkatkan keku- dia pengangkutan. Senyawa CO2 selama respirasi

110 Nasmi et al. akan bereaksi dengan air sehingga menghasilkan daptasi pada kondisi lingkungan. Hal ini dibuk- asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan tikan dari hasil pengukuran nilai glukosa darah pH air (William & Robert 1992). juvenil yang mendekati nilai glukosa darah ikan Kematian ikan yang terjadi pada kegiatan gabus normal. pengangkutan tertutup salah satunya disebabkan Kepadatan ikan saat pengangkutan tidak oleh kandungan NH3 dan CO2 yang melebihi ba- berpengaruh terhadap laju pertumbuhan harian. tas toleransi ikan. Dari hasil data fisik-kimiawi Hal tersebut disebabkan ikan yang bertahan hi- air tersebut di atas, perlakuan 30 ekor (tanpa ga- dup telah mampu mengatasi stres saat pengang- ram) memiliki nilai NH3 dan CO2 lebih tinggi di- kutan dan beradaptasi dengan kondisi wadah bandingkan dengan perlakuan dengan penambah- pemeliharaan. Hasil penelitian Procarione et al. an garam 3 ppt. Kandungan amonia yang tinggi (1999) pada ikan rainbow trout (Salmo gairdneri) akan memengaruhi permeabilitas ikan terhadap juga menunjukkan kondisi stres tidak selalu me- air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, nyebabkan laju pertumbuhan ikan menurun. Me- sehingga meningkatkan konsumsi oksigen jaring- nurunnya laju pertumbuhan akibat stres dan te- an dan menyebabkan kerusakan insang serta kanan lainnya tidak berlaku secara umum pada mengurangi kemampuan darah dalam transpor seluruh ikan (McCormick et al.1998). oksigen (Boyd 1990). Tingginya kandungan CO2 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam air menyebabkan ekskresi CO2 di in- kepadatan ikan gabus dalam media pengangkutan sang terhambat. Kandungan CO2 yang tinggi (hi- tidak memengaruhi nilai gradien osmotik. Perla- percapnia) yang menyebabkan pH darah menjadi kuan 30 ekor, 45 ekor, 60 ekor, dan 75 ekor de- lebih asam (acidosis) sehingga kadar O2 darah ngan menggunakan garam 3 ppt merupakan kon- menurun melalui mekanisme efek Root. disi isosmotik (nilai osmolaritas cairan tubuh Kematian saat pengangkutan disebabkan mendekati nilai osmolaritas cairan media). Gradi- ikan gagal mengatasi dan beradaptasi terhadap en osmotik yang semakin rendah membuat energi stres akibat memburuknya kualitas air. Kematian yang digunakan untuk proses osmoregulasi ma- saat pascapengangkutan merupakan pengaruh kin sedikit, sehingga penggunaan energi dapat di- lanjutan dari stres saat pengangkutan. Stres yang alihkan untuk pertumbuhan dan juga dapat me- terlalu tinggi menyebabkan ikan sulit memulih- ningkatkan sintasan (Setiyoningsih 2014). Seba- kan keseimbangan fisiologis di dalam tubuhnya, liknya perlakuan tanpa garam (30 ekor) menun- kemudian berakibat kematian saat pemeliharaan jukkan bahwa juvenil ikan gabus bersifat hiper- pascapengangkutan. Kematian pada pascapeng- osmotik, yang berarti semakin besarnya energi angkutan disebut juga dengan delayed mortality yang digunakan untuk proses osmoregulasi (Cor- atau hauling loss (Wedemeyer 1996). Kematian rion et al. 2005). Hal yang sama dikemukakan tertinggi terdapat pada pemeliharaan pascapeng- oleh Arjona et al. (2009) bahwa gradien osmotik angkutan hari ke-1. Tingginya kematian juvenil yang semakin tinggi, dapat menyebabkan peng- ikan gabus ini diakibatkan tingginya tingkat stres gunaan energi untuk osmoregulasi akan semakin pascapengangkutan dan juvenil yang tidak dapat tinggi pula. Ketika ikan membutuhkan energi un- beradaptasi dengan lingkungan baru (Humairani tuk proses osmoregulasi, maka ikan akan me- 2015). Pada hari ke-4 hingga hari ke-21 tidak ter- manfaatkan sumber energi yang ada di dalam tu- dapat banyak kematian, karena ikan telah bera- buhnya, yakni oksigen untuk oksidasinya (Marli-

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 111 Pengangkutan juvenil ikan gabus na 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan gra- Selanjutnya pada saat yang bersamaan hipotala- dien osmotik yang rendah akan menghemat mus otak mensekresikan CRF (corticoid releas- energi dan mengurangi konsumsi oksigen. Hal ing factor) yang mengatur kelenjar pituitari untuk ini sesuai dengan perlakuan 30 ekor (tanpa ga- mensekresikan ACTH (adrenocorticotropic hor- ram) memiliki nilai oksigen terlarut lebih rendah mone), MSH (melanophore-stimulating hor- dibandingkan perlakuan dengan penambahan ga- mone) dan p-End (p-endorphin). Hormon terse- ram 3 ppt, artinya ikan lebih banyak mengon- but akan mengatur sekresi hormon kortisol dari sumsi oksigen untuk proses osmoregulasi. sel internal. Diketahui bahwa kortisol akan Ikan yang bersifat hiperosmotik harus mengaktifkan enzim-enzim yang terlibat dalam mengembangkan mekanisme fisiologisnya untuk glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan mencegah kelebihan aliran air yang masuk ke da- glukosa darah yang bersumber dari non karbohi- lam tubuh dan juga mengembangkan mekanisme drat. untuk mencegah kehilangan zat terlarut sebagai Penurunan nilai pH darah menunjukkan kelebihan air yang diekskresikan melalui proses ikan mengalami stres saat pengangkutan (Wood osmoregulasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Evans et al. 1997). Tingginya nilai gradien osmotik pa- (2008) yaitu pada ikan air tawar yang memiliki da pada perlakuan 30 ekor (tanpa garam) menye- tekanan osmotik cairan tubuh yang lebih tinggi babkan ikan lebih banyak membutuhkan energi daripada tekanan osmotik medianya aliran air untuk osmoregulasi sehingga ikan menjadi hiper- akan meningkat ke dalam tubuh dan menyebab- aktif dan aktivitasnya meningkat. Energi yang kan kehilangan NaCl secara difusi melalui epi- dihasilkan dari pemecahan glikogen melalui jalur thel insang permeabel. Untuk mencegah kon- metabolisme anaerob menyebabkan produksi sentrasi cairan tubuh internal menjadi terlalu en- asam laktat meningkat dan lepasnya CO2 ke da- cer maka ikan mengekskresikan urin hipotonik lam darah (Wahyu 2015). Keberadaan asam lak- dalam volume yang relatif besar dan menyerap tat dan CO2 menyebabkan pH darah menurun se- NaCl secara aktif melintasi epitel insang. hingga terjadi asidosis. Asidosis menyebabkan Peningkatan glukosa darah pada setiap afinitas hemoglobin mengikat oksigen menjadi perlakuan hari ke-0 pascapengangkutan menun- berkurang (Bohr effect) dan menurunnya kapa- jukkan ikan mengalami stres saat pengangkutan sitas darah dalam mengangkut oksigen (Root (Abreu et al. 2008). Mekanisme terjadinya peru- effect) (Delince et al. 1987). Nilai pH darah ikan bahan performa glukosa darah selama stres yaitu normal pada umumnya berkisar 7,6-7,8 (Wede- adanya perubahan lingkungan yang akan diteri- meyer 1996). Saat nilai pH darah berada pada ma oleh organ reseptor. Informasi tersebut di- kisaran 6,5-7,5 kandungan oksigen di dalam da- sampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui rah menurun dengan cepat seiring terjadinya asi- sistem saraf, dan selanjutnya sel kromaffin mene- dosis (Berenbrink 2011). Penurunan nilai pH da- rima perintah melalui serabut saraf simfatik un- rah sebesar satu unit menyebabkan afinitas he- tuk mensekresikan hormon katekolamin. Hormon moglobin mengikat oksigen tereduksi hampir ini akan mengaktifkan enzim-enzim yang terlibat sebesar 50% (Wedemeyer 1996). Kondisi terse- dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan but menyebabkan ikan mengalami kekurangan otot serta menekan sekresi hormon insulin, se- oksigen di dalam tubuh atau hipoksia, yang me- hingga glukosa darah mengalami peningkatan.

112 Nasmi et al. nyebabkan suplai oksigen untuk proses metabo- ion. (UK): John Wiley & Sons. Oxford. pp. 52-82. lisme energi berkurang. Corrion RL, Alvarellos

Simpulan 2005. Growth performance of gilthead sea bream conditions : Implication for osmore- Penambahan garam 3 ppt ke dalam media gulation and energy metabolism. Aquacu- pengangkutan dengan kepadatan berbeda mampu lture, 250(3-4): 849-861. mempertahankan kualitas air dan menekan ting- Delince GA, Campbell D, Janssen JAL, Kutty MN. 1987. Seed Production. African Regi- kat stres dibandingkan dengan perlakuan tanpa onal Aquaculture Centre. Port Harcourt, garam. Nigeria. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome 118 p.

Emu S. 2010. Pemanfaatan garam pada pengang- Daftar pustaka kutan sistem tertutup benih ikan patin Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Pangasius sp. berkepadatan tinggi dalam Air. UNRI Press, Pekanbaru. 217 hlm. media yang mengandung zeolite dan arang aktif. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Anggoro S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat Pertanian Bogor. 82 hlm. salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus Evans DH. 2008. Teleost fish osmoregulation: monodon Fabricius Disertasi. Institut Perta- What have we learned since August Krogh, nian Bogor. Bogor, 128 hlm. Homer Smith, and Ancel Keys. American Journal of Physiology- Regulatory Com- Abreu JS, Sanabaria-Ochoa AI, Goncalves FD, parative Integrative and Physiology, Urbinati EC. 2008. Stress responses of 295(1):704-713. juvenile matrinxã (Brycon amazonicus) after transport in a closed system under Humairani. 2015. Respon stres benih udang ga- different loading densities. Ciencia Rural, lah Macrobrachium rosenbergii terhadap 38(5): 1413-1417. penambahan zeolit, karbon aktif, minyak cengkeh dan garam pada transportasi tertu- Arjona JF, Chacoff LV, Jarabo IR, Gonçalves O, tup. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Páscoa I, María P, Río MD, Mancera JM. Pertanian Bogor. 42 hlm. 2009. Tertiary stress responses in Senegal- + + + + ese sole (Solea senegalensis Kamp.1858) to Maetz J. 1973. Na /NH4 , Na /H exchanges and osmotic challenge: implication for osmore- NH3 movement across the gill of Carassius gulation, energy metabolism and growth. auratus. Journal of Experimental Biology, Aquaculture, 287(2): 419-426. 58(4): 255-275. Banerjee TK. 2007. Histopathology of respira- Marlina E. 2011. Optimasi osmolaritas media tory organs of certain air-breathing fishes dan hubungannya dengan respon fisiologis of India. Fish Physiology and Biochemistry, benih ikan baung (Hemibagrus nemurus). 33(4): 441-454. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Perta- nian Bogor. 107 hlm. Berenbrink M. 2011. Evolution of root effect. In: Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish McCormick SD, Shrimpton JM, Carey JB, O'dea Physiology: From Genome to Environ- MF, Sloan KE, Moriyama S, Björnsson BT. ment. London (UK): Academic Press. pp. 1998. Repeated acute stress reduces growth 921-928. rate of Atlantic salmon parr and alters plas- ma levels of growth hormone, insulin-like Boyd CE. 1982. Water Quality Management for growth factor I and cortisol. Aquaculture, Pond Fish Culture. Elsevier Science Pu- 168(1): 221-235. blishing Company Inc. New York. 318 p. Nirmala K, Hadiroseyani Y, Widiasto RP. 2012. Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Penambahan garam dalam air media yang Aquaculture. Alabama Agriculture Experi- berisi zeolit dan arang aktif pada transpor- ment Station, Auburn University. Birming- tasi sistem tertutup benih ikan gurami ham Publishing Co. Alabama. 482 p. Osphronemus goramy Lac. Jurnal Akua- Boyd CE. 2012. Water quality. In: Lucas JS, kultur Indonesia, 11(2): 190-201. Southgate PC (Editor). Aquaculture: Farm- Procarione LS, Barry TP, Malison JA. 1999. Ef- ing Aquatic Animals and Plants. 2nd edit- fects of high rearing densities and loading

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 113 Pengangkutan juvenil ikan gabus

rates on the growth and stress responses of pada pengangkutan dengan kepadatan juvenile rainbow trout. North American tinggi. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(1): Journal of Aquaculture, 61(2): 91 96. 67-75. Purnamawati. 2016. Respon kelangsungan hidup Wahyu. 2015. Respons fisiologis juvenil ikan ga- dan pertumbuhan benih ikan gabus (Chan- bus Channa striata pada transportasi sistem na striata Blkr.) pada berbagai tingkat sa- tertutup. Tesis. Sekolah Pascasarjana Insti- linitas media air sulfat masam Disertasi. tut Pertanian Bogor. 58 hlm. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1978. Prevention Bogor. 95 hlm. and treatment of nitrite toxicity in juvenile Rahmawanty D, Anwar E, Bahtiar A. 2014. For- steelhead trout (Salmo gairdneri). Journal mulasi gel menggunakan daging ikan haru- of Fisheries Research Board of Canada. an (Channa striata) sebagai penyembuh lu- 35(6): 822-827 ka. Media Farmasi, 11(1) : 29-40. Wedemeyer GA. 1996. Transportation and hand- Ricker WE. 1975. Computation and interpreta- ling. In: Pennel W, Barton BA (ed). Princi- tion of biological statistics of fish populati- ples of Salmonid Culture. Development in ons. Canada (CAN): Bulletin of the Fishe- Aquaculture and Fisheries Science 29. ries Research Board of Canada, 191: 382 p Elsevier. Amsterdam. pp. 727-755. Setiyoningsih PR. 2014. Respon gelondongan Wendelaar BSE. 1997. The stress response in ikan bandeng (Chanos chanos) akibat peru- fish. Physiological Reviews, 77(1): 591- bahan salinitas dengan penambahan kalsi- 625. um klorida (CaCl2) pada durasi yang berbe- da. Jurnal Penelitian UNISLA, 5(2): 6-17 William AW, Robert MD. 1992. Interaction of pH, carbon dioxide, alkalinity and hardnes Smith LS. 1982. Introduction to Fish Physiology. in fish ponds. J. SRAC Publication, 464: 1- Neptune City, New Jersey, Publications 4. Inc. 320 p. Witeska M. 2005. Stress in fish: hematological Supriyono E, Budiyanti, Budiardi T. 2010. Res- and immunological effects of heavy metals. pon fisiologi benih ikan kerapu macan Electronic Journal of Ichthyology, 15(1): Ephinephelus fuscoguttatus terhadap peng- 35-41. gunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. Jurnal Witeska M. 2013. Erythrocytes in teleost fishes: Kelautan, 15(2): 103-112. a review. Zoology and Ecology, 23(4): 275-281. Supriyono E, Syahputra R, Ghozali MFR, Wah- juningrum D, Nirmala K, Kristanto AH. Wood CM, McMahon BR, McDonald DG. 1977. 2011. Efektivitas pemberian zeolit, arang An analysis of changes in blood pH aktif, dan minyak cengkeh terhadap hor- following exhausting activity in the starry mone kortisol dan gambaran darah benih flounder, Platichthys stellatus. Journal of ikan patin Pangasionodon hypopthalmus Experimental Biology, 69(1):173-185.

114 , 17(1): 115-123 DOI: https://doi.org/10.32491/jii.v17i1.308

Perkembangan sel telur ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton 1822) [Oocyte development of scalloped perchlet, Ambassis nalua (Hamilton 1822)] Nisha Desfi Arianti1 , M.F. Rahardjo2,4, Ahmad Zahid3,4 1 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB 2Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 3Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB 4Masyarakat Iktiologi Indonesia (MII)

Diterima: 27 Oktober 2016; Disetujui: 31 Januari 2017

Abstrak Ikan seriding (Ambassis nalua) merupakan salah satu jenis ikan di perairan Teluk Pabean, Indramayu yang berukuran ke-cil, transparan dan tersedia dalam jumlah melimpah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan sel telur secara histologis dan menentukan tipe pemijahan ikan seriding. Ikan seriding didapatkan dari hasil tangkapan nelayan di Teluk Pabean, kemudian gonad contoh diawetkan dengan menggunakan larutan BNF (Buffer Neutral Formalin). Preparat histo-logis sel telur dibuat dengan metode pewarnaan HE, kemudian diamati dibawah mikroskop berkamera. Tahapan perkem-bangan oosit pada ikan seriding yaitu kromatin nukleus dan perinuklear (tahap pertumbuhan awal), kortikal alveoli, vitelo-genesis, dan pematangan. Tahapan tersebut menunjukkan bahwa ikan seriding merupakan tipe ikan yang memijah secara bertahap.

Kata penting: gonad, histologi, pemijah bertahap, seriding

Abstract Scalloped perchlet (Ambassis nalua) is a small, transparent, and abundant species inhabit in Pabean Bay, Indramayu. The present study aims to describes oosit development stages histologically and determine the spawning type of the Scalloped perchlet. Scalloped perchlet obtained from fishermen in Pabean bay, then gonads preserved by using a solution of BNF (Buffer Neutral Formalin). The gonadal histology of oosit made by HE staining method, then observed in microscope ca-mera. The development of the oocytes was classified into four stages i.e initial growth stage (the chromatin of the nucleus and perinuclear), cortical alveoli, vitellogenesis, and ripe. Based on the stages of oocytes, scalloped perchlet categorized as partial spawner.

Keywords: gonads, histology, partial spawner, scalloped perchlet

Pendahuluan Perkembangan oosit terdiri atas beberapa Reproduksi merupakan upaya untuk tahapan; yaitu tahap perkembangan awal (ditan- menghasilkan individu baru melalui proses pemi- dai dengan terbentuknya nukleus kromatin dan jahan. Siklus reproduksi masing-masing ikan perinuklear), tahap kortikal alveoli, tahap vitelo- bervariasi, dilihat dari perkembangan oosit dan genesis, dan tahap pematangan (pematangan musim pemijahan. Beberapa jenis ikan melaku- awal dan pematangan akhir) (McMillan 2007). kan pemijahan dalam jangka panjang, jangka Perkembangan oosit yang terjadi juga tidak harus pendek, dan ada ikan yang memijah sepanjang mengikuti tahapan yang sudah ada, dapat dise- tahun dengan pelepasan telur secara bertahap. suaikan dengan periode perkembangan oosit Tipe pemijahan ikan dapat ditentukan dengan ikan. melihat perkembangan oosit pada histologi ova- Menurut Selman & Wallace (1989), ova- rium ikan betina. rium ikan dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe berdasarkan bentuk perkembangan oositnya yaitu ______Penulis korespondensi tipe berkembang bersamaan (asynchronic), ber- Alamat surel: [email protected] kembang bersamaan secara berkelompok (group synchronic), dan berkembang tidak bersamaan Perkembangan sel telur ikan seriding

(asynchronic). Tipe perkembangan oosit tidak yang berbeda secara morfologi kemudian dipi- bersamaan (asynchronic) dapat ditemukan dalam sahkan kedalam plastik klip, diawetkan menggu- ovarium yang memiliki beberapa kelompok oosit nakan larutan BNF (Neutral Buffered Formalin). dengan tingkat perkembangan kematangan yang Penen-tuan tingkatan kematangan gonad pada berbeda-beda (Nagahama 1983; Nejedli et al. ikan seriding secara morfologi dilakukan dengan 2004). memperhatikan ukuran, warna, dan butiran telur Selama ini masih sedikit penelitian terkait yang terlihat secara kasat mata. dengan biologi ikan seriding. Zahid et al. (2011) Preparat histologis gonad dibuat dengan mengungkap tentang makanan ikan seriding di metode pewarnaan hematoxylin dan eosin de- perairan Segara Menyan, Jawa Barat. Tahapan ngan ketebalan pengirisan 3-5 µm pada posisi perkembangan sel telur secara histologis merupa- melintang. Pengamatan gonad dilakukan di La- kan dasar untuk kajian reproduksi terkait strategi boratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran reproduksi. Marques et al. (2000) menjelaskan Hewan IPB. Preparat gonad diamati di bawah bahwa kajian mengenai reproduksi ikan dapat mikroskop berkamera (perbesaran 40x) di Labo- digunakan untuk mendukung manajemen dan ratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu program konservasi ikan yang dirancang untuk Kelautan IPB. Data yang diperoleh dianalisis mempertahankan atau meningkatkan stok ikan. secara deskriptif mengacu kepada Murua & Rey Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memper- (2003), McMillan (2007), dan Genten et al. telakan tahapan perkembangan sel telur (oosit) (2009). dan tipe pemijahan ikan seriding. Hasil Bahan dan metode Dalam satu penampang oosit ikan seriding Contoh ikan diambil pada bulan April betina terdapat dua hingga tiga perkembangan te- hingga Oktober 2015 di Teluk Pabean, Kabupa- lur. Pada Gambar 1 terlihat adanya tahap pertum- ten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Ikan seri- buhan awal (kromatin nukleus dan perinuklear), ding ditangkap menggunakan alat tangkap sero kortikal alveoli, dan vitelogenesis. Ukuran oosit (panjang sayap 60 m; tinggi 1,2 m; mata jaring 2 pada setiap tahap perkembangannya sangat ber- mm). Sero dipasang pada malam hari dan diang- variasi. Hal ini terlihat dari diameter telur yang kat pada pagi hari oleh nelayan. Ikan seriding teramati melalui preparat histologis perkem- yang tertangkap kemudian dibedah dan dike- bangan oosit (Tabel 1). lompokkan berdasarkan jenis kelamin.

Gonad dipisahkan dari isi perut lainnya. Gonad yang mewakili tingkat kematangan gonad Tabel 1. Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding Tahapan Perkembangan Oosit Ukuran (µm) Pembentukan kromatin nukleus 30 500 Pembentukan perinuklear 600 1300 Kortikal alveoli 1000 2500 Vitelogenesis 1500 7300 Matang 3700 5000

116 Arianti et al.

Gambar 1. Penampang histologi oosit ikan seriding. KA, kortikal alveoli; N, nukleus; VTL, vitelogenesis; n, nukleolus; PA, pertumbuhan awal (primer) (a, kromatin nukleus dan b, perinuklear); bl, butiran lemak; bkt, butiran kuning telur; z, zona radiata.

Tahap kromatin nukleus lemak di sitoplasma. Hal ini menunjukkan oosit Kromatin nukleus merupakan tahapan akan menuju ke tahapan kortikal alveolus. Ham- awal ketika oogonia mengalami pembelahan pir rata-rata pada tahap ini oosit belum menga- meiosis profase. Dari pembelahan tersebut ke- lami matang gonad (Gambar 2, perinuklear). mudian muncul oosit di lumen ovarium. Oosit dikelilingi bebe-rapa sel folikel skuamosa dan Tahap kortikal alveoli memiliki inti yang dikelilingi lapisan sitoplasma Pada tahap ini ovarium mengalami per- yang tipis, disebut dengan nukleus (Gambar 2, kembangan sitoplasma, disebabkan oleh adanya kromatin nukleus). pembentukan butiran lemak dan butiran kuning telur di sekeliling nukleus. Nukleus masih bera- Tahap perinuklear da di posisi inti dengan beberapa nukleolus yang Bersamaan dengan berkembangnya oosit, melekat di membran (Gambar 2, kortikal alve- nukleolus tumbuh di dalam nukleus dengan oli). Kortikal alveoli (yolk vesicle) terbentuk de- jumlah yang berbeda pada setiap masing-masing ngan ukuran yang bervariasi dan memiliki ben- oosit, umumnya berjumlah lebih dari dua nukle- tuk yang tidak beraturan. Pada tahap ini zona ulus yang berada di pinggiran lapisan inti. Ke- radiata terlihat lebih jelas. Memasuki tahap vite- mudian terbentuk cincin putih yang mengeli-lingi logenesis, kortikal alveoli akan bermigrasi ke nukleus. Pada akhir tahap ini akan terlihat pinggiran oosit. beberapa pembentukan butiran kuning telur dan

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 117 Perkembangan sel telur ikan seriding

Gambar 2. Tahap perkembangan oosit ikan seriding (Ambassis nalua) secara makroskopik dan mikros- kopik (skala: 500 µm) / (400 x)

Tahap vitelogenesis vitellogenesis) terjadi pengendapan butiran ku- Setelah kortikal alveoli, terjadi pertam- ning telur pada sisi tepi oosit yang matang dan bahan ukuran serta jumlah butiran kuning telur kemudian menyebar ke seluruh sitoplasma dan lemak mengisi sitoplasma. Tahap ini dise-but mendekati nukleus (Gambar 2, vitelogenesis). awal vitelogenesis (early vitellogenesis). Proses ini membuat ukuran nukleus semakin Selanjutnya pada tahap akhir vitelogenesis (late mengecil dengan bentuk yang tidak beraturan.

118 Arianti et al.

Butiran kuning telur mulai mengalami pencairan tus (Santos et al. 2005) dan Danio rerio (Ucun- sejalan dengan berkembangnya sitoplasma. Se- cu 2009). Ikan-ikan dengan tipe pemijahan tidak lain itu zona radiata terlihat lebih tebal dan jelas ber-samaan (asynchronous spawner) memiliki antara teka internal dan teka eksternal. musim pemijahan yang panjang dan biasanya pemijahan terjadi sepanjang tahun terlepas dari Tahap matang pengaruh kondisi lingkungan (Durham & Wilde Pada tahap ini nukleus menghilang dan 2008). nukleolus keluar ke sitoplasma, sehingga oosit Jumlah tahapan perkembangan gonad dan sulit diidentifikasi. Butiran kuning telur menga- sub-tahap pada ikan dapat bervariasi sesuai lami pencairan dan terlepas ke lumen ovarium. dengan perkembangan ovarium untuk setiap Zona radiata (teka internal dan teka eksternal) spesies dan juga sesuai dengan kriteria berbeda menga-lami penipisan karena peningkatan yang di-gunakan oleh masing-masing penulis ukuran sel sehingga epitel folikular menjadi (Santos et al. 2005). Dari hasil pengamatan yang pecah dan ini disebut dengan tahap matang telah dilakukan ditemukan lima tahapan (Gambar 2, matang). perkembangan oosit pada ikan seriding yaitu 1. kromatin nukleus; 2. perinuklear; 3. kortikal Pembahasan alveoli; 4. vitelogenesis; dan 5. matang. Karak- Ikan yang mengeluarkan telurnya secara ter morfologis dan histologis tahapan perkem- bersamaan (synchronous spawner) hanya ada bangan oosit terangkum pada Tabel 2. satu tahap perkembangan oosit dalam penam- Simon et al. (2012) menggolongkan ta- pang ovarium seperti pada Mallotus villosus hap kromatin nukleus dan perinuklear sebagai (Forberg 1982) dan Anguilla rostrata (Krueger & tahap pertumbuhan awal. Menurut Begovac & Oliveira 1997). Ikan yang mengeluarkan telur Wallace (1988), tahapan perinuklear pada seba- secara berkelompok (group-synchronous gian ikan ditandai dengan adanya cincin (peri- spawner) memiliki dua tahapan perkembangan nuclear ring) seperti pada ikan Tilapia nilotica dalam penampang ovarium, yaitu oosit berukur- dan Sygnathus scovelli. Pada tahap pertumbuh-an an besar (homogen) dan oosit berukuran kecil awal, ukuran oosit pada ikan seriding sema-kin (heterogen) seperti pada ikan Sardina pilchar- meningkat, mulai dari munculnya oosit de-ngan dus sardina (Ganias et al. 2004). Berbeda de- nukleus hing-ga awal terbentuknya butiran ngan ikan seriding, tahapan perkembangan oosit kuning telur dan lemak di sitoplasma. Ukuran menunjukkan keunikan yaitu dalam satu per- oosit meningkat sejalan dengan meningkatnya kembangan ovarium terdapat dua hingga tiga ta- ukuran nukleus dengan jumlah nukleolus men- hap perkembangan oosit dalam penampang ova- jadi lebih banyak (Ünver & Saraydin 2004, Honji rium. Hal ini menunjukkan bahwa perkembang- et al. 2006, Santos et al. 2006). Tahap an oosit ikan seriding tergolong kedalam ber- pertumbuhan awal ini merupakan tahapan awal kembang tidak bersamaan (asynchronous yang sering dijumpai pada setiap perkembangan spawner), seperti pada ikan Oligosarcus hepse- sel telur ikan.

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 119 Perkembangan sel telur ikan seriding

Tabel 2. Karakteristik morfologi gonad ikan seriding Tahapan Karakter morfologis Karakter histologis Kromatin Ukuran ovarium kecil, tipis, ber- Sel kecil dengan inti sel (nukleus) ditengah dan nukleus warna jingga dan terlihat seperti bentuk tidak beraturan. mi-nyak. Perinuklear Ukuran ovarium membesar, war- Sel lebih besar sejalan dengan perkembangan na kekuningan tetapi butiran telur sitoplasma, nukleus semakin membesar disertai be-lum terlihat. dengan munculnya nukleolus. Ditemukan seperti cincin putih yang mengelilingi nukleus. Kortikal alveoli Ukuran ovarium semakin membe- Ditandai dengan munculnya pembentukan butiran sar, bewarna kuning dan mulai ter- kuning telur dan butiran lemak di sitoplasma. Zona lihat adanya butiran telur. radiata dan lapisan folikel mulai terlihat jelas. Vitelogenesis Butiran telur terlihat dengan jelas Nukleus mulai terdesak dengan semakin mening- dan rongga ovarium rapat dengan katnya jumlah dan ukuran butiran kuning telur di telur. Pembuluh darah terlihat sa- sitoplasma. Zona radiata semakin tebal dan ter- ngat jelas. lihat jelas. Matang Butiran telur terlihat dan rongga Pada tahap ini, nukleus menghilang dan nekleolus ovarium mulai merenggang, ter- keluar ke sitoplasma. Pembentukan butiran ku- dapat bagian yang transparan. ning telur telah berhenti dan sitoplasma didomi- nasi oleh butiran kuning telur.

Pada tahap kortikal alveoli, butiran ku- pada ikan agar ikan tumbuh lebih cepat dan ning telur dan lemak mulai muncul memenuhi mengalami matang gonad. sitoplasma. Kortikal alveoli memiliki peranan Pada beberapa ikan, perpaduan butiran penting dalam menuju tahap vitelogenesis kare- kuning telur dan lemak menjadi sulit dibedakan na peningkatan ukuran kortikal alveoli (butiran pada saat proses pematangan dan oosit menjadi kuning telur dan lemak) akan bergeser ke ping- sulit ditemukan saat akan pembubaran inti. Hal giran sitoplasma dan menguatkan dinding sito- ini disebabkan oleh penyusutan dan distorsi dari plasma. Ravaglia & Maggese (2002) mengung- oosit selama pemrosesan kembali normal. Yön et kapkan bahwa perpindahan kortikal alveoli ke al. 2008 mengungkapkan bahwa pada tahap pinggiran sitoplasma disebabkan oleh akumulasi matang, nukleus tidak dapat diamati karena bu- butiran kuning telur yang meningkat. tiran kuning telur dan lemak mengisi seluruh Selanjutnya pada tahap vitelogenesis, sitoplasma secara homogen dengan ukuran yang hormon gonadotropin (GTH) seperti LH (lutei- lebih besar. nizing hormone) dan FSH (follicle stimulating Tahapan perkembangan oosit juga dapat hormone) berperan dalam pertumbuhan dan dihubungkan dengan tingkat kematangan gonad pematangan oosit pada ikan seperti pada ikan pada ikan. Butiran kuning telur tersebut akan Carassius auratus, Trichogaster trichopterus, terlihat bewarna jingga karena adanya pigmen dan Gasterosteus aculeatus yang juga memiliki karotenoid. Ikan yang belum matang gonad de- tahapan perkem-bangan oosit yang tidak bersa- ngan warna kuning muda disebabkan pada tahap maan (Shi et al. 2015). Meskipun ada beberapa pertumbuhan awal (kromatin nukleus dan peri- hormon yang tidak bekerja secara langsung da- nuklear) butiran kuning telur dan lemak belum lam perkembangan oosit, seperti hormon per- muncul. Warna jingga dapat terlihat pada ikan tumbuhan yang memacu pertumbuhan tubuh yang telah matang gonad.

120 Arianti et al.

Tumpang tindih ukuran antara tahap vite- Ganias K, Somarakis S, Machias A, Theodorou A. 2004. Pattern of oocyte development logenesis dan tahap matang disebabkan perbe- and batch fecundity in the Mediterranean daan ukuran tubuh dan bobot tubuh pada ikan sar-dine. Fisheries Research, 67(1): 13- 23. seriding. West (1990) menegaskan bahwa bias Genten F, Terwinghe E, Danguy, A. 2009. Atlas pada ukuran oosit mungkin terjadi karena sam- of Fish Histology. Science Publishers. pel yang digunakan dari ukuran tubuh yang ber- Enfield, NH, United States of America. 215 p. beda. Assem et al. (2015) juga menjelaskan Honji RM, Vaz-dos-Santos AM, Rossi-Wong- bahwa pada habitat yang berbeda (perairan laut tschowski CLDB. 2006. Identification of dan payau) ikan Mugil cephalus memiliki tum- the stages of ovarian maturation of the Argentine hake Merluccius hubbsi Marini, pang tindih ukuran diameter oosit antara tahap 1933 (Teleostei: Merlucciidae): advan- matang dan tahap penyerapan. Tumpang tindih tages and disadvantages of the use of the macroscopic and microscopic scales. Neo- ukuran oosit juga dijumpai pada ikan Gerres tropical Ichthyology, 4(3): 329-337. equulus (Iqbal et al. 2007). Iqbal KM, Ohtomi J, Suzuki H. 2007. Repro- ductive biology of the Japanese silver- biddy, Gerres equulus, in western Kyushu, Simpulan Japan. Fisheries Research, 83(2-3): 145- Ikan seriding memiliki tiga tahapan per- 150. kembangan oosit dalam ovarium. Tipe ovarium Krueger WH, Oliveira K. 1997. Sex, size, and demikian digolongkan kedalam tipe ovarium go-nad morphology of Silver American eels Anguilla rostrata. Copeia, 1997(2): yang memiliki perkembangan oosit berkembang 415-420. tidak bersamaan. Adapun tahapan perkembang- Marques DKS, Rosa IL, Gurgel HCB. 2000. an oosit pada ikan seriding yaitu 1. kromatin nu- Descrição histológica de gônadas de traíra Hoplias malabaricus (Bloch) (Os- kleus; 2. perinuklear; 3. kortikal alveoli; 4. vite- teichthyes, Erythrinidae) da barragem do logenesis; dan 5. matang. rio Gramame, Alhandra, Paraíba, Brasil. Revista Brasile-ira de Zoologia, 17(3): 573-582. Daftar pustaka McMillan DB. 2007. Fish Histology: Female Assem SS, Rahman SHA, AlAbsawey MA, Reproductive Systems. Springer Nether- Mourad MM. 2015. Biological, histolo- lands. Netherlands 598 p. gical and ultra-structural studies of fe- Murua H & Rey FS. 2003. Female reproductive male mullet, Mugil cephalus, ovaries strategies of marine fish species of the collected from dif-ferent habitats during North Atlantic. Journal of the Northwest annual reproduction cycle. African Jour- Atlantic Fishery Science, 33 :23-31. nal of Biotecnology, 14(3): 2400-2414. Nagahama Y. 1983. The functional morphology Begovac PC, Wallace RA. 1988. Stage of oocyte of teleost gonads. In: Hoar WS, Randall development in the pipefish, Syn-gnathus DJ, Donaldson EM. (eds.). Fish Physio- scovelli. Journal of Morphology, 197(3): logy. Vol. IX Reproduction, Part A (En- 353-369. docrine Tissues and Hormones). Acade- Durham BW, Wilde GR. 2008. Asynchronous mic Press. New York. pp. 223-275. and synchronous spawning by smalleye Nejedli S, Petrinec Z, Ku Ir S, Srebocan E. 2004. shiner Notropis buccula from the Brazos Annual oscillation of ovarian morphology River, Texas. Ecology of Freshwater Fish, in European pilchard (Sar-dina pilchardus 17(4): 528-541. Walbaum) in the North-ern Adriatic Sea. Forberg KG. 1982. A histological study of deve- Veterinarski Arhiv, 74(2): 97-106. lopment of oocytes in capelin, Mallotus Ravaglia MA, Maggese MC. 2002. Oogenesis in villosus (Muller). Journal of Fish Biolo- the swamp eel Synbranchus marmora-tus gy, 20(2):143-154. (Bloch, 1795) (Teleostei; Synbranchi- dae). Ovarian anatomy, stages of oocyte

Volume 17 Nomor 1, Februari 2017 121 Perkembangan sel telur ikan seriding

deve-lopment and mocropyle structure. Toxotes jaculatrix (Pallas 1767). Envi- Biocell, 26(3): 325-337. ronmental Biology of Fishes, 93(4):491- 503. Santos RN, Andrade CC, Santos AF, Santos LN, Araujo FG. 2005. Histological analy-sis of Ucuncu SI, Ozlem C. 2009. Atresia and apop- ovarian development of the characi-form tosis in preovulatory follicles in the ovary Oligosarcus hepsetus (Cuvier, 1829) in a of Da-nio rerio (Zebrafish). Turkish Jour- Brazilian Reservoir. Brazilian Journal of nal of Fisheries and Aquatic Sciences, 9(2): Biology, 65(1): 169-177. 215-221. Santos JE, Padilha GEV, Junior OB, Santos GB, Ünver B, Saraydin SU. 2004. Histological Rizzo E, Bazzoli N. 2006. Ovarian follicle examination of ovarium development of growth in the catfish Iheringichthys labro- shemaya Chalcalburnus chalcoides living sus (Siluriformes: Pimelodidae). Tissue and in Lake Tödürge (Sivas/Turkey). Folia Cell 38(5): 303 310. Zoologica, 53(1): 99-106. Selman K, Wallace RA. 1989. Cellular aspects of West G. 1990. Methods of assessing ovarian oocyte growth in Teleosts. Zoological development in Fishes: a Review. Aus- Science, 6: 211-231. tralian Journal of Marine and Fresh- water Research, 41(2):199-222. Shi B, Liu X, Xu Y, Wang S. 2015. Molecular characterization of three gonadotropin sub- Yön NDK, Aytekin Y, Yüce R. 2008. Ovary units and their expression patterns du-ring maturation stages and histological inves- ovarian maturation in Cynoglossus tigation of ovary of the zebrafish (Danio semilaevis. International Journal of Mole- rerio). Brazilian Archives of Biology and cular Sciences, 16(2): 2767-2793. Technology, 51(3): 513-522. Simon KD, Bakar Y, Mazlan AG, Zaidi CC, Sa- Zahid A. 2011. Variasi makanan ikan Seriding, mat A, Arshad A, Temple SE, Brown-Pe- Ambassis nalua (Hammilton, 1822) di terson NJ. 2012. Aspects of the repro- ekosistem estuari Segara Menyan, Jawa ductive biology of two archer fishes To- Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(2): xotes chatareus, (Hamilton 1822) and 159 168.

122 Jurnal Iktiologi Indonesia 17(1) Februari 2017

Persantunan Kami berterima kasih kepada para mitra bebestari yang telah berkenan meluangkan waktu serta mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menelaah dan menilai kelayakan artikel yang diterbitkan pada Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 17 Nomor 1 Bulan Februari Tahun 2017, yaitu: Alexander Rantetondok, Prof. Dr. (Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin) Eddy Supriyono (Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor) Endi S. Kartamihardja, Prof. Dr. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan) G. Nugroho Susanto, Dr. (Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung) Gunawan Pratama Yoga, Dr. (Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Haryati, Prof. Dr. (Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin) Laksmi Sulmartiwi, Dr, (Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga) Muchlisin Z.A, Prof. Dr. (Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala) Nur Bambang Priyo Utomo, Dr. (Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor) Ridwan Affandi, Prof. Dr. (Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor) Senny Helmiati, M.Sc. (Laboratorium. Ilmu Makanan Ikan Departemen Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Siti Aslamyah, Dr. (Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin) Sukendi, Prof. Dr. (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau) Wudianto, Prof. Dr. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan)

Masyarakat Iktiologi Indonesia

Jurnal Iktiologi Indonesia 17(1) Februari 2017

PANDUAN bagi PENULIS Naskah yang diterima penyunting akan dite- laah oleh dua mitra bebestari anonim yang kompe- Jurnal Iktiologi Indonesia (JII) menyaji- ten untuk memperoleh penilaian konstruktif agar kan artikel yang berkenaan dengan segala aspek mendapatkan suatu baku publikasi yang tinggi. kehidupan ikan (Pisces) di perairan tawar, pa- Panduan berikut membantu anda dalam pe- yau, dan laut. Aspek yang dicakup antara lain nyiapan naskah yang akan dikirim ke JII. Panduan biologi, fisiologi, taksonomi dan sistematika, lengkap dapat anda lihat pada laman Masyarakat genetika, dan ekologi, serta terapannya dalam Iktiologi Indonesia (www.iktiologi-indonesia.org). bidang penangkapan, akuakultur, pengelolaan Naskah yang ditulis sesuai dengan ketentuan pada perikanan, dan konservasi. Artikel yang dimuat panduan akan mempercepat waktu pemeriksaan merupakan hasil lengkap suatu penelitian. Re- dan penyuntingan. sensi buku yang berkaitan dengan aspek-aspek di atas dapat dimuat asalkan tidak melebihi dua Penyiapan naskah halaman. Ulas balik (review) suatu topik yang Pastikan bahwa naskah cukup jelas untuk dipandang penting dimuat hanya atas perminta- disunting, dengan mengikuti hal berikut: an dewan penyunting. • Ukuran kertas: A4 dengan batas pinggir 3 cm JII diterbitkan tiga kali setahun (Februari, seluruhnya, bernomor halaman yang dituliskan Juni, dan Oktober). Pada nomor terakhir tiap pada ujung kanan bawah. volume dimuat daftar isi, indeks penulis, indeks • Naskah diketik menggunakan Microsoft Word subyek, dan persantunan bagi mitra bebestari. for Windows dalam spasi 1,5 baris, tipe huruf Artikel dapat ditulis dalam Bahasa Indo- Times New Roman ukuran 12. Karakter huruf nesia atau Bahasa Inggris. Artikel belum pernah pada Gambar dapat berbeda dari ketentuan ini. diterbitkan pada media manapun. Penyunting • Teks dituliskan hanya rata kiri. berhak menerima atau menolak artikel berda- • Gunakan spasi tunggal (bukan ganda) sesudah sarkan kesesuaian materi dengan ruang lingkup tanda baca (titik, koma, titik dua, titik koma). JII, dan meringkas atau menyunting artikel bila • Gunakan satuan Sistem Internasional (SI) untuk diperlukan untuk menyesuaikan dengan hala- pengukuran dan penimbangan. man yang tersedia tanpa mengaburkan substan- • Nama ilmiah organisme disesuaikan dengan si. Opini yang tertuang dalam tulisan artikel ti- kode nomenklatur internasional (e.g. Inter- dak menggambarkan kebijakan penyunting. national Code of Zoological Nomenclature). Untuk semua keperluan, penulis pertama Nama genus dan spesies ditulis dalam huruf mi- dianggap sebagai penulis korespondensi artikel, ring (italik). kecuali ada keterangan lain. Penulis, yang arti- • Angka yang lebih kecil dari 10 dieja, misal tu- kelnya disetujui untuk diterbitkan, bersedia juh spesies ikan, tetapi tidak dieja bila diikuti mengalihkan hak cipta naskah kepada penerbit oleh satuan baku, misal 3 kg. Nilai di atas sem- (Masyarakat Iktiologi Indonesia). Cetakan awal bilan ditulis dalam angka, kecuali pada awal akan dikirimkan kepada penulis korespondensi kalimat. melalui surat elektronik untuk mendapatkan • Tidak menggunakan garis miring (sebagai ganti tanggapan. Tanggapan penulis dan surat perse- kata per), tetapi menggunakan tika atas indeks -1 tujuan pengalihan hak cipta segera dikirim ke minus, contoh 9 m/det dituliskan 9 m det . penyunting dalam waktu satu minggu. • Jangan menggunakan singkatan tanpa kete- Dalam hal penemuan baru, disarankan rangan sebelumnya. Kata yang disingkat seba- kepada penulis untuk mengurus hak patennya iknya ditulis lengkap pada penyebutan pertama sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini. diikuti singkatan dalam tanda kurung. • Tanggal ditulis sebagai „hari bulan tahun‟, mi- Pengajuan naskah sal 12 September 2010. Singkatan bulan pada Pengajuan naskah dilakukan dengan me- tabel dan gambar menggunakan tiga kata per- ngirimkan satu salinan lunak (soft copy) melalui tama nama bulan, misal Jan, Apr, Agu. surat elektronik kepada dewan penyunting JII. • Peta memuat petunjuk garis lintang dan garis Pengajuan naskah dapat dilakukan kapan pun bujur, serta menyebutkan sumber data. kepada: • Gambar atau foto organisme atau bagian or- ganisme harus diberi keterangan skala. Dewan Penyunting Jurnal Iktiologi Indonesia • Periksa untuk memastikan bahwa gambar telah Gd. Widyasatwaloka, Bidang Zoologi, diberi nomor secara benar seperti yang dikutip Pusat Penelitian Biologi LIPI dalam teks. Nomor dan judul gambar terletak di Jln. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong bagian bawah gambar. 16911 • Pastikan bahwa tabel telah diberi nomor de-  [email protected] ngan benar dan berurutan sesuai dengan nomor Telp. (021) 8765056/64, Fax. (021) 8765068 yang dikutip dalam teks. Posisi nomor dan judul tabel terletak di atas tabel. Judul seba-

Masyarakat Iktiologi Indonesia Jurnal Iktiologi Indonesia 17(1) Februari 2017

iknya jelas, lengkap dan informatif. Letakkan Pembahasan. Nilai suatu naskah ditentukan oleh sumber data dan catatan tepat di bawah tabel. suatu pembahasan yang baik. Di sini hasil studi Jangan memuat garis vertikal pada tabel. Hi- anda dihubungkan dengan hasil studi sebelumnya. langkan garis horisontal dari tabel, kecuali Hasil diinterpretasikan dengan dukungan kejadian garis atas dan bawah judul kolom dan garis atau pustaka yang memadai. Hasil yang tidak di- akhir dasar tabel. harapkan atau anomali perlu dijelaskan. Penggu- • Ketepatan pengutipan pustaka sepenuhnya naan pustaka primer mutakhir (10 tahun terakhir) menjadi tanggung jawab penulis. JII menga- sangat dianjurkan. Jika dimungkinkan, sitir ide nut sistem nama-tahun dalam pengutipan. atau gagasan yang dimuat pada JII terbitan terda- Nama keluarga dan tahun publikasi dican- hulu terkait dengan topik anda. tumkan dalam teks eg. Rahardjo & Siman- Simpulan dinyatakan secara jelas dan ringkas, juntak (2007) atau (Rahardjo & Simanjuntak serta menjawab tujuan peneltian. 2007) untuk satu dan dua penulis; Sjafei et Persantunan (bila perlu) memuat lembaga atau al. (2008) atau (Sjafei et al. 2008) untuk pe- orang yang mendukung secara langsung penelitian nulis lebih dari dua. Penulisan banyak pusta- atau penulisan naskah anda. ka kutipan dalam teks diurutkan dari yang tertua eg. (Gonzales et al. 2000, Stergiou & Daftar pustaka disusun menurut abjad nama pe- Moutopoulos 2001, Khaironizam & Norma- nulis pertama. Pastikan semua pustaka yang diku- Rashid 2002, Abdurahiman et al. 2004, Frota tip dalam teks tertera di daftar pustaka, dan demi- et al. 2004; dan Tarkan et al. 2006). Pustaka kian pula sebaliknya. bertahun sama disusun berurut menurut abjad • Judul terbitan berkala dikutip lengkap (ditulis penulis. Pustaka dari penulis yang sama dan dalam huruf italik), yang diikuti oleh volume dipublikasikan pada tahun yang sama dibeda- dan nomor terbitan, serta nomor halaman dalam kan oleh huruf kecil (a, b, c dan seterusnya) huruf roman (tegak). Contoh: yang ditambahkan pada tahun publikasi. Lauer TE, Doll JC, Allen PJ, Breidert B, Palla J. 2008. Changes in yellow perch Bagian-bagian naskah length frequencies and sex ratios following Judul ditulis di tengah dengan huruf tebal beru- closure of the commercial fishery and kuran 13 dan terjemahan ditulis dengan huruf reduction in sport bag limits in southern biasa berukuran 11. Judul hendaknya singkat, Lake Michigan. Fisheries Management and tepat, dan informatif yang mencerminkan isi Ecology, 15(1): 39-47 artikel. • Judul buku ditulis dalam huruf italik. Gunakan Nama penulis ditulis dengan huruf biasa beru- huruf kapital pada awal kata, kecuali kata depan kuran 12. Alamat ditulis dengan huruf biasa dan kata sambung. Nama dan lokasi penerbit, berukuran 9, yang memuat nama dan alamat serta total halaman dicantumkan. Contoh: lembaga disertai kode pos. Khusus penulis un- Berra TB. 2001. Freshwater Fish Dis- tuk berkorespondensi disertai alamat surat elek- tribution. Academic Press, San Francisco. tronik. 640 p. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan • Buku terjemahan ditambahkan nama pener- Inggris tidak melebihi 250 kata. Abstrak memu- jemahnya. Contoh: at tujuan, apa yang dilakukan (metode), apa yang ditemukan (hasil), dan simpulan. Hindari Nikolsky GV. 1963. The ecology of fishes. singkatan dan kutipan pustaka. Abstrak terdiri Translated from Russian by L. Birkett. atas satu alinea. Academic Press, London and New York. 352 p. Kata penting ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris tidak melebihi tujuh kata yang disu- Steel GD, Torrie JH. 1981. Prinsip-prinsip sun menurut abjad. dan Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pendahuluan menjelaskan secara utuh dan je- Pustaka Utama. Jakarta. 747 p. las alasan mengapa studi dilakukan. Hasil-hasil sebelumnya yang terkait dengan studi anda di- • Artikel yang termuat dalam kumpulan mono- rangkum dalam suatu acuan yang padat. Nyata- graf (buku, prosiding) dituliskan: penulis-tahun, kan tujuan penelitian anda. judul artikel. In: nama penyunting, judul mono- graf (ditulis dengan huruf italik), nama penerbit Bahan dan metode dituliskan secara jelas. dan lokasinya, serta halaman artikel. Contoh: Teknik statistik diuraikan secara lengkap (jika baru) atau diacu. Bleckmann H. 1993. Role of lateral line in fish behaviour. In: Pitcher TJ (ed.). Beha- Hasil. Di sini anda kemukakan informasi dan viour of Teleost Fishes. Chapman and Hall, hasil yang diperoleh berdasarkan metode yang London. pp. 201-246. digunakan. Jangan mengutip pustaka apapun pada bab ini.

Masyarakat Iktiologi Indonesia Jurnal Iktiologi Indonesia 17(1) Februari 2017

Simanjuntak CPH, Zahid A, Rahardjo nikasi pribadi hanya dibuat dalam teks, di luar MF, Hadiaty RK, Krismono, Haryono, Daftar Pustaka. Tjakrawidjaja AT (Editor). 2011. Prosi- • Artikel dan buku yang belum dipublikasikan ding Seminar Nasional Ikan VI. Bogor 8- dan sedang dalam proses pencetakan diberi 9 Juni 2010. Masyarakat Iktiologi Indo- tambahan “in press”. nesia. Cibinong. 612 p. Khusus artikel ulas balik suatu topik dan resensi • Kutipan terbatas hasil yang tak dipublika- buku tidak perlu mengikuti sistematika penulisan sikan, pekerjaan yang dalam penyiapan, pe- di atas. kerjaan yang baru diusulkan, atau komu-

Masyarakat Iktiologi Indonesia Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 17 Nomor 1 Februari 2017

9 771693 033002