Jurnal Sastra Indonesia 10(1) (2021) 1-8

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Jurnal Sastra Indonesia 10(1) (2021) 1-8 Jurnal Sastra Indonesia 10(1) (2021) 1-8 Jurnal Sastra Indonesia https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi Transformasi Kehebatan Tokoh Salya dalam Teks Cerita Pewayangan di Internet Saroni*1 Teguh Supriyanto2, dan M. Doyin3 1,2,3 Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Kelud Utara III, Kota Semarang 50237, Indonesia Info Artikel Abstrak Article History Tokoh Salya dalam wiracarita Mahabharata (MBh) merupakan salah seorang tokoh yang Disubmit 3 Maret 2020 mengalami transformasi di dalam teks cerita pewayangan. Salah satu aspek yang mengalami Diterima 20 Februari 2021 perubahan adalah kehebatannya di dalam peperangan. Penelitian ini mengungkap transfor- Diterbitkan 25 Maret 2021 masi kehebatan tokoh Salya ke dalam teks cerita pewayangan yang dipublikasikan di situs- situs internet. Hasil penelitian menunjukkan (1) gambaran kehebatan Salya dalam peper- angan dalam teks transformasi merupakan penerusan konvensi dari teks MBh, akan tetapi Kata Kunci detail dan motifnya merupakan penyimpangan; (2) senjata yang dikuasai Salya di dalam teks transformasi; salya; transformasi merupakan penyimpangan dari teks MBh, akan tetapi merupakan penerusan mahabharata; cerita pewayangan konvensi dari teks kakawin; dan (3) kehebatan Salya sebagai kusir kereta (sarathy) dalam teks tranformasi merupakan penerusan konvensi dari teks MBh, tetapi motif pemanfaatan kemampuannya merupakan penyimpangan. Abstract One of Salya’s tranformation from the Mahabharata (MBh) to the wayang texts is his power. This research is held to reveal such transformations as published in the websites as wayang stories. The result show that (1) Salya’s power in the warfare described in the transformastion texts is a conventional continuation from the MBh text, but its detail and motif show some deviations; (2) weapons belongs to Salya in the transformation texts is a deviation from MBh text, but a continuation from kakawin text; and (3) Salya as powerful sarathy in the trans- formation texts is a conventional continuation from the MBh text, but the motif of its usage show a deviation. © 2021 The Authors. Published by UNNES. This is an open access article under the CC BY license (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) PENDAHULUAN Menurut Boonstra (2014:16) dari semua teks yang berasal dari India, wiracarita Mahabharata dan Ramayana menja- Teks cerita pewayangan di Indonesia secara umum di teks yang paling banyak ditransformasi pada sepanjang bersumber dari teks-teks yang ada di India. Hal itu tidak sejarahnya, bahkan hingga ke zaman milenial. Zoetmulder terlepas dari keikutsertaan kaum terpelajar, baik yang be- (1983:80) dengan tegas mengatakan bahwa pengaruh Sans- ragama Hindu maupun Buddha, dalam penjelajahan para kerta terhadap sejumlah karya sastra Jawa tidak diragukan pengelana dan pedagang dari India ke wilayah-wilayah di lagi, terutama sastra parwa yang berbentuk prosa. Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Orang-orang terpelajar Di Jawa, teks-teks cerita yang bersumber pada kedua itulah yang menjadi agen utama persemaian kebudayaan wiracarita selanjutnya dikenal sebagai cerita wayang ver- Sanskerta atau India sejak sekitar Abad ke-3 M. Bersama si Jawa. Poerbatjaraka (1964:ix-x) menyebutnya wayang mereka pula, teks-teks cerita dari dua epik atau wiracari- purwa yang menunjukkan berbagai perubahan dari teks ta legendaris, yaitu Mahabharata dan Ramayana, beserta sumbernya. Perubaan-perubahan tersebut memunculkan teks-teks Purana disebarkan (Soepomo dalam Bellwood beragam variasi teks. Bandyopadhyay (2007) mencatat va- et.al 2006:309-310). riasi-variasi Mahabharata di Indonesia tak hanya dalam hal Teks-teks dari India tersebut pada akhirnya menjadi nama-nama tokoh dan tempat tapi juga narasinya. Sebagai inspirasi bagi suatu tradisi yang selanjutnya dikenal sebagai contoh, dalam tradisi pewayangan Jawa tokoh Nakula dan tradisi pewayangan, khususnya pewayangan Jawa dan Bali. Sahadewa dikenal juga dengan nama kecil Pinten dan Tang- sen; kerajaan milik Salya yang bernama Madra lebih dike- * E-mail: [email protected] nal sebagai Mandaraka. Dari sisi narasi, ada penyimpangan Address: Gunungpati, Semarang, Indonesia, 50229 mengenai status Drupadi, yaitu dari istri lima Pandawa di DOI 10.15294/jsi.v10i1.45399 P ISSN : 2252-6315 E-ISSN : 2685-9599 2 Saroni, Teguh Supriyanto, & M. Doyin, Transformasi Kehebatan Tokoh Salya dalam Teks Cerita Pewayangan di Internet India menjadi istri satu orang, yaitu sulung Pandawa yang adalah menantu Salya karena menikahi kedua anak perem- bernama Yudistira. puannya, Surtikanthi dan Banowati. Salya merupakan salah tokoh Mahabharata (selan- Kehebatan tokoh Salya juga mengalami transforma- jutnya disebut MBh)yang mengalami perubahan. Gamba- si. Kehebatannya yang bersifat fisikal di dalam teksMBh ran tentang dirinya bersifat lebih dinamis di dalam teks bertransformasi menjadi sosok yang sangat sakti atau sosok transformasinya. Dia digambarkan sebagai seorang lelaki manusia super. Kesaktiannya karena memiliki ajian Can- romantis, bukan lelaki tegas dan cenderung kaku seperti drabirawa yang dikenal di dalam teks pewayangan tidak yang ada dalam teks MBh. Selain itu, hubungan kekeluar- dijumpai di dalam teks India. gaannya juga mengalami transformasi yang sangat besar. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap Teks MBh sama sekali tidak menyebut nama istri Salya, transformasi tokoh Salya yang merupakan salah seorang tetapi teks transformasinya menyebutkan nama Satyawati tokoh penting di dalam teks MBh, terutama karena keter- sebagai istrinya. Nama itu kali pertama muncul dalam teks libatannya di dalam perang besar antara Kurawa dan Pan- Kakawin Bharatayuddha karya Empu Sedah dan Empu Pa- dawa beserta sekutu mereka masing-masing. Akan tetapi, nuluh pada tahun 1157 yang berbahasa Jawa Kuno, yaitu aspek yang berkaitan dengan transformasi terhadap tokoh pada Pupuh XXXVIII.1 melalui ucapan Salya, seperti da- tersebut tidak akan diungkap semuanya. Penelitian hanya lam kutipan berikut ini. akan berfokus kepada transformasi mengenai kehebatan tokoh Salya di dalam peperangan. “Hebat” menurut KBBI ling dewi mayat angrêgêp curiga Çalya mam- versi aplikasi luring adalah “terlampau, amat sangat (dah- rih amékul./ddûh dyan Satyawatingku mâsku syat, ramai, kuat, seru, bagus, menakutkan, dsb). Dengan jiwitangku hinaris./hâh ndi n tuhwa wuwusk- demikian, yang dimaksud kehebatan Salya adalah kekuatan wi sang Nakula jâyaningwang asêgêh./kintwi- yang dimiliki dan dipergunakan olehnya dalam suatu kon- kin wênangângluddânga ri huripkwasambha- flik, pertarungan, adu fisik, atau peperangan; peperangan wa dahat. (Demikianlah kata sang permaisuri yang dimaksud adalah perang besar di antara orang-orang jang telah memegang keris jang telah diarah- satu keturunan, yaitu Kurawa dan Pandawa. Udyoga Par- kan (kedadanja), tetapi radja Çalya mentjoba wa, parwa kelima Mahabharata menyebutkan bahwa pada untuk memeluknja : “Aduhai, Satyawatiku, peperangan tersebut Salya berpihak ke kubu Kurawa akibat adinda ; kamu adalah djiwaku: tenanglah ! tipu daya Duryudana karena sebenarnya dia dan seluruh Ah, benarkah saja telah memberitahukan se- pasukannya akan berpihak ke kubu Pandawa. gaala rahasia kepada Nakula ? Itulah hanja Variasi teks cerita yang menjadi karakteristik trans- sekedar djamuan sadja. Begitu pula, bagai- formasi tidak dapat dikatakan sebagai perusakan terhadap manakah saja dapat mengachiri hidup saja ? teks sumber. Dalam teori kesusastraan, variasi atau perbe- Itulah tidak masuk akal sama sekali !)(Wir- daan-perbedaan antara teks lama dan teks baru tersebut josuparto, 1968:144). biasa terjadi yang dikenal dengan sebutan resepsi sastra. Pada hakikatnya, sebuah karya sastra selalu berubah ber- Transformasi mengenai tokoh Salya memang me- dasarkan kondisi waktu, tempat, masyarakat, atau bahkan narik bila dilihat pada adanya perubahan mengenai di- individu karena ia memang tidak lahir dari kekosongan bu- rinya yang berkelanjutan. Disebut berkelanjutkan karena daya. Riffaterre (dalam Nurgiyantoro, 2002:50) mengata- muncul lagi perubahan mengenai jumlah anak Salya dan kan bahwa setiap teks adalah mozaik kutipan;, sebuah teks hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. MBh menyebut merupakan hasil penyerapan dan transformasi dari teks- Salya mempunyai dua anak lelaki, yaitu Rukmangada dan teks lain yang ada sebelumnya. Dengan demikian, variasi Rukmarata, sedangkan Kakawin Bharatayuddha hanya me- yang ada merupakan resepsi atas teks yang telah ada lebih nyebut nama Rukmarata yang tewas dalam pertempuran dahulu dan diwujudkan di dalam penciptaan teks baru. Re- melawan Çweta; di dalam MBh Rukmarata tewas oleh se- sepsi sastra adalah aliran yang meneliti teks sastra dengan pupunya sendiri, Sahadewa. bertitik tolak kepada pembaca yang menanggapi teks yang Perubahan berlanjut dalam teks-teks yang lahir se- telah ada. Dengan begitu, pembaca yang menjadi pembe- telah Kakawin Bharatayuddha, terutama yang diciptakan ri makna merupakan variabel menurut ruang, waktu, dan dengan bahasa Jawa Baru. Di dalam teks-teks yang lebih golongan sosial-budaya. Hal tersebut berarti bahwa seo- baru itu, pasangan Salya-Setyawati memiliki lima anak. rang pembaca karya sastra tidak memiliki kesamaan dalam Rukmarata, satu-satunya anak yang disebut dalam kakawin pembacaan, pemahaman, dan penilaian (Abdullah dalam merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Empat ka- Jabrohim, 2003: 108-109). kaknya adalah Erawati, Surtikanthi, Banowati, dan Burisra- Hans Robert Jauss yang diakui sebagai orang per- wa. Tidak hanya itu, dari kelima anak tersebut, dua di an- tama yang membuat sistematisasi terhadap teori
Recommended publications
  • Concise Ancient History of Indonesia.Pdf
    CONCISE ANCIENT HISTORY OF INDONESIA CONCISE ANCIENT HISTORY O F INDONESIA BY SATYAWATI SULEIMAN THE ARCHAEOLOGICAL FOUNDATION JAKARTA Copyright by The Archaeological Foundation ]or The National Archaeological Institute 1974 Sponsored by The Ford Foundation Printed by Djambatan — Jakarta Percetakan Endang CONTENTS Preface • • VI I. The Prehistory of Indonesia 1 Early man ; The Foodgathering Stage or Palaeolithic ; The Developed Stage of Foodgathering or Epi-Palaeo- lithic ; The Foodproducing Stage or Neolithic ; The Stage of Craftsmanship or The Early Metal Stage. II. The first contacts with Hinduism and Buddhism 10 III. The first inscriptions 14 IV. Sumatra — The rise of Srivijaya 16 V. Sanjayas and Shailendras 19 VI. Shailendras in Sumatra • •.. 23 VII. Java from 860 A.D. to the 12th century • • 27 VIII. Singhasari • • 30 IX. Majapahit 33 X. The Nusantara : The other islands 38 West Java ; Bali ; Sumatra ; Kalimantan. Bibliography 52 V PREFACE This book is intended to serve as a framework for the ancient history of Indonesia in a concise form. Published for the first time more than a decade ago as a booklet in a modest cyclostyled shape by the Cultural Department of the Indonesian Embassy in India, it has been revised several times in Jakarta in the same form to keep up to date with new discoveries and current theories. Since it seemed to have filled a need felt by foreigners as well as Indonesians to obtain an elementary knowledge of Indonesia's past, it has been thought wise to publish it now in a printed form with the aim to reach a larger public than before.
    [Show full text]
  • Kakawin Ramayana
    KAKAWIN RAMAYANA Oleh I Ketut Nuarca PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA APRIL 2017 Pengantar Peninggalan naskah-naskah lontar (manuscript) baik yang berbahasa Jawa Kuna maupun Bali yang ada di masyarakat Bali telah lama menjadi perhatian para peneliti baik peneliti nusantara maupun asing. Mereka utamanya peneliti asing bukan secara kebetulan tertarik pada naskah-naskah ini tetapi mereka sudah lama menjadikan naskah-naskah tersebut sebagai fokus garapan di beberapa pusat studi kawasan Asia Tenggara utamanya di eropa. Publikasi-publikasi yang ada selama ini telah membuktikan tingginya kepedulian mereka pada bidang yang satu ini. Hal ini berbeda keadaannya dibandingkan dengan di Indonesia. Luasnya garapan tentang bidang ini menuntut adanya komitmen pentingnya digagas upaya-upaya antisipasi untuk menghindari punahnya naskah-naskah dimaksud. Hal ini penting mengingat masyarakat khususnya di Bali sampai sekarang masih mempercayai bahwa naskah- naskah tersebut adalah sebagai bagian dari khasanah budaya bangsa yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya yang adi luhung. Di Bali keberadaan naskah-naskah klasik ini sudah dianggap sebagai miliknya sendiri yang pelajari, ditekuni serta dihayati isinya baik secara perorangan maupun secara berkelompok seperti sering dilakukan melalui suatu tradisi sastra yang sangat luhur yang selama ini dikenal sebagai tradisi mabebasan. Dalam tradisi ini teks-teks klasik yang tergolong sastra Jawa Kuna dan Bali dibaca, ditafsirkan serta diberikan ulasan isinya sehingga terjadi diskusi budaya yang cukup menarik banyak kalangan. Tradisi seperti ini dapat dianggap sebagai salah satu upaya bagaimana masyarakat Bali melestarikan warisan kebudayaan nenek moyangnya, serta sedapat mungkin berusaha menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah tersebut. Dalam tradisi ini teks-teks sastra Jawa Kuna menempati posisi paling unggul yang paling banyak dijadikan bahan diskusi.
    [Show full text]
  • Provisional Reel List
    Manuscripts of the National Library of Indonesia Reel no. Title MS call no. 1.01 Lokapala CS 1 1.02 Sajarah Pari Sawuli CS 2 1.03 Babad Tanah Jawi CS 3 2.01 Pratelan Warni-warni Bab Sajarah Tanah Jawa CS 4 2.02 Damarwulan CS 5 2.03 Menak Cina CS 6 3.01 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 7 3.02 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 9 3.03 Ambiya CS 10 4.01 Kakawin Bharatayuddha CS 11a 4.02 Menak Lare CS 13 4.03 Babad Tanah Jawi CS 14a 5.01 Babad Tanah Jawi CS 14b 5.02 Babad Tanah Jawi CS 14c 6.01 Babad Tanah Jawi CS 14d 6.02 Babad Tanah Jawi CS 14e 7.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 17 7.02 Tedhak Dalem PB IX Dhateng Tegalganda CS 18 7.03 Serat Warni-warni CS 19 7.04 Babad Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja KBG 5 8.01 Platuk Bawang, Serat CS 20 8.02 Wulang Reh CS 21 8.03 Cabolek, Serat CS 22 8.04 Kancil CS25 8.05 Carakabasa CS 27 8.06 Manuhara, Serat CS 29 8.07 Pawulang Ing Budi, Serat CS 30 8.08 Babad Dipanegara CS 31a 8.09 Dalil, Serat CS 28 9.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 32 9.02 Primbon Matan Sitin CS 33 9.03 Harun ar-Rasyid, Cerita CS 34 9.04 Suluk Sukarsa CS 35 9.05 Murtasiyah CS 36 9.06 Salokantara CS 37 9.07 Panitipraja lsp CS 38 9.08 Babasan Saloka Paribasan CS 39 9.09 Babad Siliwangi CS 40 9.10 Dasanama Kawi Jarwa (Cirebonan) CS 42 9.11 Primbon Br 139 9.12 Pantitipraja lap KBG 343 10.01 Babad Dipanegara CS 31b 10.02 Babad Tanah Jawi (Adam - Jaka Tingkir) KBG 7a 11.01 Babad Tanah Jawi KBG 7c 11.02 Babad Tanah Jawi KBG 7d 11.03 Babad Tanah Jawi KBG 7e 11.04 Purwakanda Br 103a 12.01 Purwakanda Br 103b 12.02 Purwakandha Br 103c 12.03 Purwakandha Br 103d Reel no.
    [Show full text]
  • Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance Using Thick Description Approach
    Understanding the Meaning of Wayang Kulit Performance using Thick Description Approach Mario Nugroho Willyarto1, Krismarliyanti2 and Ulani Yunus3 1 Language Center, Primary Teacher Education Department, Faculty of Humanities, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 2Independent Writer 3 Marketing Communication Program, Communication Department, Faculty of Economics & Communication, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia 11480 Keywords: Wayang Kulit, Thick Description, Cultural Heritage Abstract: This paper described the meaning of Wayang Kulit in Javanese philosophy, a brief description of the figures represented by the puppets. Wayang is one of the cultural heritages of Java which is very deep understanding of the culture and character of the people of Indonesia. The meaning of symbols of wayang is the focus of this paper. The symbols are represented by character of Semar, Bagong, Petruk and Gareng. What is the role wayang in daily life, especially for Indonesian people, is becoming the main discussion as well. There are a lot of wayang performances that have a deep meaning of the life itself. Although there are some scholars who say that wayang is originally from India but it is not proved and, in the end, people accepted that wayang came from Java. Opinion about wayang originated from India was because the story in the puppet was adapted from the Mahabharata story originating from India. Using the concept of thick description by Clifford Geertz, the author tries to explain about the history and character of the puppet figures according to Javanese philosophy. Prominent figures such as Semar, Gareng, Petruk and Bagong were the reflection of the ideal human being depicted with an imperfect physical form.
    [Show full text]
  • Of Manuscripts and Charters Which Are Mentioned In
    INDEX OF MANUSCRIPTS AND CHARTERS WHICH ARE MENTIONED IN TABLES A AND B 1 Page Page Adip. - Adiparwa . 94 Dj.pur. - Jayapural}.a . 106 Ag. - Agastyaparwa . 103 Dpt. - VangQang petak . 106 A.N. - Afiang Nilartha . 1(}3 A.P. - Arjuna Pralabda 103 E46 91 A.W. - Arjunawijaya 100 Gh. - Ghatotkaca.\;raya 97 Babi Ch. A . 94 G.O. - GeQangan Ch. 90 BarabuQur (inscription) 90 Gob1eg Ch. (Pura Batur) B . 95 Batuan Ch.. 94 Batunya Ch. A I . 93 H. - Hari\;raya Kakawin 106 Batur P. Abang Ch. A 94 Hr. - Hariwijaya 106 B.B. - Babad Bla-Batuh 103 Hrsw. - Kidung Har~awijaya . 107 Bebetin Ch. A I . 91 H.W. - Hariwang\;a 95 B.K. - Bhoma.lcawya . 104 J.D. - Mausalaparwa . 110 B.P. - Bhi~maparwa . 104 Br. I pp. 607 ff. 95 K.A. - Kembang Arum Ch. 92 pp. 613 ff.. 95 Kid. Adip. - Kidung Adiparwa 106 pp. 619 ff.. 95 K.K. - KufijarakarQ.a . 108 Br. II pp. 49 if. 95 K.O. I . 92 Brh. - Brahmal}.Qa-pural}.a . 105 II 90 Bs. - Bhimaswarga 104 V 94 B.T. - Bagus Turunan 104 VII . 93 Bulihan Ch.. 97 VIII 92 Buwahan Ch. A 93 XI 91 Buwahan Ch. E 97 XIV 91 B.Y. - Bharatayuddha 96 XV. 91 XVII 92 C. - Cupak 106 XXII 93 c.A. - Calon Arang 105 Kor. - Korawa\;rama . 108 Campaga Ch. A 97 Kr. - Krtabasa 108 Campaga Ch. C 99 Kr.B. - Chronicle of Bayu . 106 Catur. - Caturyuga 106 Krsn. - Kr~l}.iintaka 108 Charter Frankfurt N.S. K.S. - Kidung Sunda . 101 No.
    [Show full text]
  • Wayang Kulit in Bali and Wayang Listrik in America
    Wesleyan University The Honors College A Sense of Place: Wayang kulit in Bali and wayang listrik in America by Tessa Charlotte Prada Young Class of 2013 A thesis submitted to the faculty of Wesleyan University in partial fulfillment of the requirements for the Degree of Bachelor of Arts with Departmental Honors in Theater and the East Asian Studies Program Middletown, CT April, 2013 Young 2 TABLE OF CONTENTS LIST OF FIGURES …………………………………………………………………… 3 ACKNOWLEDGEMENTS ……………………………………………………………… 4 INTRODUCTION ……………………………………………………………………… 5 WAYANG KULIT IN BALI……………………………………………………………… 6 WAYANG KULIT AS A CHANGING RITUAL …………………………………………… 14 SHADOWLIGHT PRODUCTIONS ……………………………………………………… 19 DREAMSHADOWS…………………………………………………………… 22 IN XANADU ………………………………………………………………… 26 SIDHA KARYA ……………………………………………………………… 29 MAYADENAWA ……………………………………………………………… 32 ELECTRIC SHADOWS OF BALI: AMBROSIA OF IMMORTALITY ………………… 33 COYOTE’S JOURNEY AND AFTERWARD ……………………………………… 35 TRANSLATING RITUAL ACROSS CULTURAL BOUNDARIES ………………………… 38 CONCLUSION ……………………………………………………………………… 44 APPENDIX I: DEFINITIONS ………………………………………………………… 47 WORKS CITED ……………………………………………………………………… 49 Young 3 LIST OF FIGURES FIGURE 1. Balinese wayang of Arjuna ……………………………………………… 10 Balinese Puppet, Arjuna. N.d. Australian Museum, Sydney, Austrialia. Australian Museum. 28 July 2011. Web. 11 Apr. 2013. <http://australianmuseum.net.au/image/Balinese-Puppet-Arjuna-E79061>. FIGURE 2. Balinese wayang of Durasasana ………………………………………… 11 Wayang Kulit Figure, Representing Dursasana. Before 1933. Tropenmuseum,
    [Show full text]
  • H. Creese Ultimate Loyalties. the Self-Immolation of Women in Java and Bali
    H. Creese Ultimate loyalties. The self-immolation of women in Java and Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 131-166 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl HELEN CREESE Ultimate Loyalties The Self-immolation of Women in Java and Bali Her deep sorrow became intolerable) and as there seemed nothing else to wait for, she. hurriedly prepared herself for death. She drew the dagger she had been holding all the while, which sparkled now taken from its sheath. She then threw herself fearlessly on it,.and her blood gushed forth like red mineral. (Bharatayuddha.45.1-45.2, Supomo 1993:242.1) With this, Satyawati, the wife of the hero Salya, cruelly slain in the battle between the Pandawas and Korawas, ends her life in the ultimate display of love and fidelity, choosing to follow her husband to the next world rather • than remain in this one without him. On hearing the news of Salya's death, Satyawati sets out to join him, firm in the knowledge that 'her life began to end the moment she fell asleep the night before', when &alya slipped from her bed and left her, and although she 'still had a body [...] it was just like a casket, for her spirit had gone when the king went into battle' {Bharatayuddha 42.4). Accompanied by her maid, Sugandhika, she wanders the battlefield, slip- ping in its 'river of blood' and stumbling over 'stinking corpses' as she search- es in vain for Salyas body.
    [Show full text]
  • The Wajang. There Are, in Particular, Collections of Short Resumes of Wajang Lakon, That Is, of Plots Or Scenarios of Wajang Perform­ Ances
    THE WAJANG AS A PHILOSOPHICAL THEME* P. J. Zoetmulder, S.J. There exist large numbers of modern Javanese texts relating to the wajang. There are, in particular, collections of short resumes of wajang lakon, that is, of plots or scenarios of wajang perform­ ances. These collections, called ipakem, are more or less manuals for dalang and may contain, apart from the stories themselves in bare outline, technical instructions concerning the music which is to accompany the various scenes, the chants sung by the dalang, etc. A good dalang would, however, consider it beneath his dignity to use these'pakem, as he is the bearer of a tradition transmitted orally from father to son or from guru to pupil. That is why there are so few "librettos" of these Javanese "operas" written down just as the dalang speaks them in his eight-to-nine-hour-long performance. Those that exist were written down in the nineteenth century for the benefit of those westerners whose interest in the wajang was aroused and who wanted to read and to study at their leisure what they had heard in those fleeting moments when the wajang was performed, or to study the peculiarities of the dalang's language. Indeed, these pakem (as manuals) can hardly be called literature at all. The complete lakon texts are only to be thought of as literature in a rather general way. But during the literary revival at the court of Surakarta in the early nineteenth century the wajang stories also became a source of inspiration for important works of considerable literary merit.
    [Show full text]
  • Downloaded From
    H. Creese Old Javanese studies; A review of the field In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Old Javanese texts and culture 157 (2001), no: 1, Leiden, 3-33 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/27/2021 04:40:52AM via free access HELEN CREESE Old Javanese Studies A Review of the Field For nearly two hundred years the academic study of the languages and liter- atures of ancient Java has attracted the attention of scholars. Interest in Old Javanese had its genesis in the Orientalist traditions of early nineteenth-cen- tury European scholarship. Until the end of the colonial period, the study of Old Javanese was dominated by Dutch scholars whose main interest was philology. Not surprisingly, the number of researchers working in this field has never been large, but as the field has expanded from its original philo- logical focus to encompass research in a variety of disciplines, it has remain1 ed a small but viable research area in the wider field of Indonesian studies. As a number of recent review articles have shown (Andaya and Andaya 1995; Aung-Thwin 1995; McVey 1995; Reynolds 1995), in the field of South- east Asian studies as a whole, issues of modern state formation and devel- opment have dominated the interest of scholars and commentators. Within this academic framework, interest in the Indonesian archipelago in the period since independence has also focused largely on issues relating to the modern Indonesian state; This focus on national concerns has not lent itself well to a .rich ongoing scholarship on regional cultures, whether ancient or modern.
    [Show full text]
  • The Goddess Durga in the East-Javanese Period
    H a r ia n i Sa n t i k o Universitas Indonesia, Jakarta The Goddess Durga in the East-Javanese Period Abstract This article assesses the changing perceptions of the goddess Durga in Java in the tenth to the fifteenth centuries C.E. From an early perception of her as a beneficent goddess, slayer of the demon Mahisa and protector of welfare and fertility, we see later portrayals of her with a frightful countenance and a predilection for graveyards. This change is traced through the mythology to poorly understood Tantric practices that deteriorated into black magic and the coercion of the goddess’s power for evil purposes, causing her image in Java to become tarnished and turning her into an evil demon. Keywords: Durga— Mahisas"ura— Tantrism— Javanese mythology— antiquities Asian Folklore Studies, Volume 56,1997: 209—226 RCHAEOLOGICAL REMAINS in the form of statues of the goddess {bhatarl) Durga, Durga the destroyer of Mahisas'ura, are quite numer­ ous in Java. The oldest of these statues is estimated to date from around the eighth century C.E.,while the most recent is from about the fifteenth century. On the basis of their characteristics and of the area where they were found, these Durga MahisasuramardinI statues can be divided into two large groups: those from the Central Javanese era, dating to between the eighth century and the beginning of the tenth century, and those of the East Javanese period, which date between the middle of the tenth century and the fifteenth century C.E. The Central Javanese period is very rich in archaeological remains (especially from early Hindu-Buddhist times), though relatively lacking in written data.
    [Show full text]
  • A STUDY of the SUTASOMA KAKAWIN.Pdf (PDF, 8.03MB)
    l The University of Sydney Copyright in relation to this thesis* Under the Copyright Act 1968 (several provisions of which are referred to below), this thesis must be used only under the normal conditions of scholarly fa1r dealing for the purposes of research, criticism or review. In particular no results or conclusions should be extracted from it, nor should it be copied or closely paraphrased in whole or in part without the written consent of the author. Proper written acknowledgement should be made for any assistance obtained from this thesis. Under Section 35(2) of the Copyright Act 1968 'the author of a literary, dramatic, musical or artistic work is the owner of any copyright subsisting in the work·. By virtue of Section 32(1 ) copyright 1Subsists in an original literary, dramatic, musical or artistic work that is unpublished' and of which the author was an Australian citizen, an Australian protected person or a person resident in Australia. The Act, by Section 36(1) provides: 'Subject to this Act, the copyright in a literary, dramatic, musical or artistic work is infringed by a person who, not being the owner of the copyright and without the licence of the owner of the copyright, does in Australia, or authorises the doing in Australia of, any act comprised in the copyright'. Section 31 (1 )(a)(i) provides that copyright includes the exclusive right to 'reproduce the work in a material form'. Thus, copyright is infringed by a person who, not being the owner of the copyright and without the licence of the owner of the copyright, reproduces or authorises the reproduction of a work, or of more than a reasonable part of the v.
    [Show full text]
  • Komunikasi Militer Ii~ Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi ~Iii~
    Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi ~i~ Komunikasi Militer ii~ Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi ~iii~ Komunikasi Militer Diterbitkan atas kerjasama: ASPIK M iv~ Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi KOMUNIKASI MILITER © Penulis Penulis: Tim Penulis Editor: Dr. Puji Lestari, M.Si., Agung Prabowo, M.Si., Aswad Ishak, M.Si., Fajar Junaedi, M. Si., Drs. Setio Budi HH, M. Si., Y. Widodo. M.A. Perancang sampul: Mapa Gambar Cover: Istimewa Penata Letak: Mapa Pertama kali diterbitkan oleh Bekerja sama dengan Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Cetakan Pertama, Juli 2012 xxviii+662 hlm.; 15.5x23.5cm ISBN: 978-602-7636-10-1 Dicetak Oleh: Mata Padi Pressindo 08179407446, 081227837806 [email protected], [email protected] KATA PENGANTAR KEMENTERIAN PERTAHANAN RI SEKRETARIAT JENDERAL Eris Herryanto, M.A. Marsekal Madya TNI Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era globalisasi telah membawa implikasi munculnya tantangan baru dalam konteks ketahanan nasional. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, perang asimentris semakin mengemuka dalam percaturan global. Kita bisa melihat bagaimana, Amerika Serikat yang notabene merupakan satu-satunya negara adidaya, berhasil ditembus sistem pertahanannya oleh kelompok teroris Al Qaeda melalui aksi pembajakan pesawat yang diakhiri dengan menabrakan pesawat yang mereka bajak ke menara kembar gedung World Trade Center (WTC) pada tanggal 11 September 2001. Selain serangan pada tanggal 11 September ini, kelompok Al Qaeda juga melakukan serangkaian aksi terror yang mereka tujukan pada fasilitas yang berhubungan dengan kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara.
    [Show full text]