1

Penelusuran Keberadaan Kerajaan Di Kabupaten Sawah Lunto Sumatera Barat

(Penelitian Unggulan Udayana)

Oleh :

Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, S.S.M.Si Rochtri Agung Bawono, S.S.M.Si Zuraidah, S.S.M.Si Kristiawan, S.S.

Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana 2011

2

Kata Pengantar

Berkat Rahmat TuhanYang Maha Esa dan dodorong oleh keinginan yang tinggi, maka penulis dapat menyusun Laporan Penelitian dengan judul Penelusuran Kerajaan Dharmasraya di

Kabupaten Sawah Lunto Barat. Dikarenakan kepentingan publikasi penulis merampungkan hasul penelitian ini. Penelitian ini tidaklah sempurna, menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri penulis, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun melengkapi tulisan ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu penulis, melalui tulisan ini mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Bapak Prof Dr. I Wayan Cika, M.S., Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana

yang telah membantu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesempatan

membuat tulisan ini.

2. Bapak Drs. I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi fakultas

Sastra Universitas Udayana.

3. Kepada Panitia Seminar Nasional Seri Sastra, sosial, dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Udayana yang telah menyediakan fasilitas ruang seminar untuk

mempublikasikan hasil karya tulis ini.

4. Lembaga Penelitian Universitas Udayana yang memberikan fasilitas menyusun

laporan penelitian Unggulan Universitas Udayana.

5. Staf Dosen Jurusan Arkeologi yang banyak memberikan masukan dan kritisi

dalam penyusunan karya buku ajar ini. 3

6. Para ahli arkeologi dan sejarah, khususnya penyusun sejarah kerajaan

Dharmasraya.

Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan

Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya sesuai dengan amal perbuatannya.

Akhirnya semoga karya tulis yang sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca sebagai sumbangan kecil dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu

Arkeologi pada khususnya.

Penulis

Denpasar, 20 September 2011

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………….1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..5

LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN……………………………………………5

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………………….7

TUJUAN PENELITIAN……………………………………………………………………….9

MANFAAT PENELITIAN…………………………………………………………………….10

METODE PENELITIAN………………………………………………………………………11

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………13

SEJARAH KERAJAAN DHARMASRAYA………………………………………………….13

UPAYA PELESTARIAN KERAJAN DHARMASRAYA……………………………………17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………….....19

DAFTAR PUSTAKA

5

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang dan Permasalahan

Peninggalan benda-benda purbakala, merupakan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan purbakala dapat dijadikan sebagai panduan kehidupan di masa sekarang dan di masa-masa yang akan dating. Warisan budaya tersebut dapat digunakan sebagai salah satu penunjang untuk merekontruksi sejarah kehidupan manusia di masa lampau, didalamnya terkandung tingkat kehidupan dari masyarakat pendukungnya (Uka Tjandrasasmita, 1980 : 95).

Studi arkeologi berusaha mengungkap sejarah kebudayaan masa lampau melalui benda- benda yang ditinggalkan. Pernyataan singkat ini sebenarnya mengandung pengertian yang cukup luas dan dapat diambil dari dua unsure pokoknya yaitu : sasaran atau tujuan studi arkeologi yaitu kehidupan atau kebudayaan masa lampau. Sedangkan sumber data untuk mengetahui sejarah kebudayaan melalui benda-benda yang ditinggalkan (Timbul Haryono, 1984 : 5). Telah disepakati oleh para ahli bahwa ada tiga gejala kebudayaan melalui benda-benda yang meliputi wujud ide, aktifitas dan wujud hasil karya (Koentjaraningrat, 1980 : 200-201). Ilmu arkeologi berusaha merekontruksi kebudayaan manusia dimasa lampau melalui wujud-wujud hasil karyanya. Artefak yang merupakan hasil kegiatan manusia di masa lampau tidak pernah sampai kepada kita secara keseluruhannya, oleh sebab itu tidak semua jenis kegiatan manusia dapat terekam dengan dalam bentuk benda. Dari semua rekaman yang berupa benda hanya sebagian saja yang dapat diamati, dan pada akhirnya sedikit diketahui serta dipahami. Dalam penelitian ini 6 hanya sebagian kecil dari aspek masa lalu yang dapat diungkap mengingat unsure-unsur kebudayaan manusia itu sangat luas.

Dalam usaha merekontruksi sejarah kuna, kita sering dihadapakan dengan berbagai masalah, yang pada pokoknya muncul akibat adanya data yang berupa peninggalan- peninggalan purbakala yang kurang lengkap. Keberadaan data arkeologi yang serba terbatas, baik kualitas, kuantitas, dan validitasnya, disebabkan oleh adanya jumlah dan mutu data yang sampai pada kita cukup sedikit dibandingkan peninggalan purbakala yang semestinya ada. Inilah sebab utama mengapa pemahaman mengenai kebudayaan masa lampau tersebut juga sangat terbatas (Timbul Haryono, 1984 : 16).

Latar belakang usaha merekontruksi sejarah Indonesia masa kuna, dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks, terutama data-data yang serba terbatas dan hilang ditelan zaman masa lalu. Permasalahan yang paling utama peninggalan purbakala tersebut sering rusak diakibatkan bencana alam, ulah manusia seperti misalanya pencurian, penjarahan, pelelangan, komersialisasi, pemalsuan benda-benda kuna. Permasalahan yang beragam inilah menyebabkan para ahli purbakala pemahamannya sagat terbatas sehingga diperlukanya mengadakan penelitian peninggalan purbakala untuk dapat merekontrusi dan menyusun sejarah kuna. Peninggalan purbakala yang diteliti yaitu Peninggalan Kerajaan Dharmasraya di

Kabupaten Sawah Lunto Sumatera Barat. Peninggalan kerajaan ini seperti yang dilansir di media internet mengalami permasalahan yaitu peninggalan purbakala kerajaan ini banyak yang dijarah, dicuri, dan dikomersialisasikan untuk kepentingan ekonomi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itulah diperlukannya diadakan penelitian di daerah ini. 7

Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelusuran keberadaan Kerajaan Dharmasraya adalah :

1. Bagaimanakah sejarah dan latar belakang keagamaan Kerajaan Malayu Dharmasraya

di Kabupaten Sawah Lunto, Sumatera Barat ?

2. Upaya-upaya apa yang harus ditempuh untuk melestarikan peninggalan kerajaan

Dharmasraya tersebut ?

III.Tinjauan Pustaka

Ayatrohaedi, dkk 1978, dalam buku “Kamus Istilah Arkeologi”, menjelaskan istilah umum candi digunakan untuk menamakan semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan

Budha di Indonesia. Jadi baik bangunan itu berupa pemandian kuna, gapura atau gerbang kuna, maupun bangunan suci keagamaan, semuanya disebut candi. Dalam bahasa Jawa Kuna istilah

“cinandi” berarti dimakamkan padahal arti harfiahnya adalah pemakaman, ada pula yang menafsirkan bahwa kata candi itu berasal dari bahasa Sanskerta Candika, yaitu nama Dewi

Durga dalam kedudukannya sebagai dewa maut (Ayatrohaedi, 1978 : 19-20). Dalam arkeologi pengertian istilah candi adalah berupa bangunan, baik untuk pemakaman menurut teori lama maupun pemujaan menurut teori baru. Bahkan lebih luas lagi kata candi dipakai untuk menyebut bangunan Petirtaan seperti misalnya Jalatunda, Belahan, candi Tikus, candi Padas Gunung Kawi, serta Gapura-gapura antara lain Bajang Ratu, Wringin, dan lain sebagainya.

Slamet Mulyana, 1979, dalam bukunya “ dan Tafsir Sejarahya”, menjelaskan tentang arca perwujudan. Duraikan dalam membahas arca perwujudan perlu juga diketahui kapan pengarcaan terhadaptokoh-tokoh itu sudah ada sehingga sampai menjadi tradisi. 8

Adanya suatu tradisi pada lingkungan keluarga raja untuk membuatkan tokoh penting itu dalam wujud arca adalah akibat dari adanya akuloturasi antara kepercayaan asli Indonesia di dalam aspek kepercayaan dengan agama Hindu (Slamet Mulyana, 1979 : 222).

Konsepsi yang mendasari pemujaan arca perwujudan ialah adanya kepercayaan terhadap roh leluhur. Pemujaan maupun penghormatan terhadap roh leluhur ini sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yang dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan sarana pemujaan berupa menhir, punden berundak-undak dan arca-arca yang bentuknya sederhana. Arca termasuk salah satu benda peninggalan purbakala adalah benda warisan budaya nenek moyang yang memungkinkan untuk mengetahui tingkat kebudayaan masyarakat pendukungnya. Berhadap dengan peninggalan purbakala khususnya yang berwujud arca, kita akan berusaha mengetahui kembali kebiasaan kehidupan pendukungnya, sehingga dapat diketahui latar belakang serta fungsi dari arca tersebut dahulunya di masyarakat. Sedangkan peninggalan yang berhubungan dengan kerajaan

Dharmasraya yaitu ditemukannya arca Amoghapasa dan arca Bhairawa yang dinalisis periodesasi dari arcanya.

Uka Tjandrasasmita, 1980 tulisannya mengenai “Fungsi Peninggalan Sejarah Dan

Purbakala Dalam Pengembangan Kebudayaan Nasional”, disajikan dalam Majalah Analisis

Kebudayaan menjelaskan peninggalan benda-benda purbakala, merupakan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan purbakala dapat dijadikan sebagai panduan kehidupan dimasa sekarang di masa-masa yang akan dating. Warisan budaya tersebut dapat digunakan sebagai salah satu penunjang merekontruksi sejarah kehidupan manusia di masa lampau, didalamnya terkandung tingkat kehidupan dari masyarakat pendukungnya (Uka Tjandrasasmita, 1980 : 95). Pengertian yang luas dan kompleks dari pentingnya melestarikan peninggalan purbakala sepatutnya peninggalan purbakala itu tidaklah 9 dirusak, dicuri, dilelang, dijual, dipalsukan dan kasus kerusakan lainnya yang disebabkan dengan sengaja oleh ulah manusia dapat dicegah dengan menyadari arti penting peninggalan purbakala.

Seperti penelitian Kerajaaan Dharmasraya di Kabupaten Sawah Lunto Sumatra Barat seperti yang dilansir di media Internet peninggalan ini dirusak, dijarah dan dikomersialisasikan untuk kepentingan ekonomi manusia yang tidak bertanggung jawab. Latar belakang inilah diperlukannya penelitian di daerah ini.

IV. Tujuan Penelitian

4.1. Tujuan Penelitian

Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia mempunyai tujuan tertentu, terlebih lagi usaha-usaha yang mengarah pada usaha yang bersifat ilmiah. Selaras dengan hal itu, tujuan yang dicapai melalui penelitian terhadap Kerajaan Malayu Dharmasraya, pada dasarnya untuk memecahkan ketiga permasalahan di atas. Adapun yang diharapkan yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. a.Tujuan Teoritis

Tujuan Teoritis penelitian ini adalah untuk menerapkan teori-teori serta konserp-konsep yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Dengan pengamatan langsung dan melalui informasi dari masyarakat tentang peninggalan kerajaan Kerajaan Malayu

Dharmasraya yang dimaksud, diharapkan diketahui tentang sejarah kerajaannya, latar belakang keagamaannya, dan usaha pelestariannya. Dengan demikian kalau dikaitkan dengan tujuan arkeologi, maka akan dapat merekontruksi tentang proses budaya, mempelajari tentang sejarah budaya serta dapat merekontruksi pola sikap dan tingkah laku manusia masa lampau. 10 b.Tujuan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan suatu sumbangan pada masyarakat

Sumatera Barat khususnya Kabupaten Sawah Lunto dengan tujuan masyarakat dapat memahami nilai-nilai penting dalam melestarikan dan melindungi peninggalan purbakala agar jangan lagi dijarah dan dikomersialisasikan untuk kepentingan merekontruksi sejarah kebudayaan masa lalu.

V. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Memberikan informasi tentang sejarah Kerajaan Malayu Dharmasraya pada masa

lampau, dan usaha pelestariannya pada masa kini dan masa yang akan datang.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sumbangan data dalam rangka

penelitiatarian sejarah daerah dan sejarah nasional lebih lanjut.

VI. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam memperoleh data sebagai bahan penulisan yang mendekati kebenaran yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka penelitian perlu dibatasi karena penelitian yang terlalu luas akan memperoleh hasil yang kurang memadai. Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis ruang lingkup yang terdiri dari ruang lingkup obyek penelitian dan ruang lingkup permasalahan yang dibahas. Mengenai ruang lingkup penelitian ini adalah memahami sejarah Kerajaan Malayu

Dharmasraya, keagamaannya, dan upaya pelestarian dan perlindungan kerajaan Dharmasraya dengan jalan menganalisis peninggalan arkeologis kerajaaan ini dan mengkaji upaya pelestarian kerajaan Dharmasraya.

11

VII. Metode Penelitian

Dalam usaha untuk merealisasikan tujuan yang telah dirumuskan, dan dalam usaha untuk memecahkan permasalahan di atas, maka diperlukan adanya suatu cara atau metode. Pengertian metode dalam suatu penelitian adalah suatu cara atau jalan dengan jalan upaya ilmiah untuk memahami obyek-obyek penelitian (Koentjaraningrat, 1981 : 7). Dalam upaya untuk memecahkan masalah ditempuh dengan dua tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan Data dilakukan dengan dua cara :

a. Observasi yaitu suatu metode yang digunakan dengan cara pengamatan langsung yang

cermat. Observasi ini disertai dengan pencatatan, pengukuran, pengambilan foto dan

penggambaran dengan teliti.

b. Wawancara (Interview) yaitu untuk melengkapi data yang diperoleh dari sumber

pustaka dan observasi, maka dilakukan pengumpulan data dengan mewawancarai pihak-

pihak yang dianggap mengetahui tentang obyek penelitian. Wawancara yang diterapkan

dalam penelitian ini adalah wawancara tanpa struktur dalam artian bahwa dalam

melakukan wawancara tidak disiapkan daftar pertanyaan (Koentjaraningrat, 1981 : 139).

c. Studi Pustaka yaitu dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang dengan teratur dan

sistematis menyelenggarakan pengumpulan data yang berupa keterangan-keterangan

yang berhubungan dengan masalaha yang diangkat dalam suatu karya ilmiah. Sebagai

landasan teoritis untuk memecahkan masalah maka dicari konsep-konsep yang berkenaan 12

dengan obyek yang diteliti. Sumber yang didapat dari berbagai buku, laporan ilmiah,

maupun transkrip prasasti, maupun melalui media internet. Studi pustaka ini tujuannya

disamping untuk memperoleh sumber atau data yang berupa pendapat dan konsep yang

berkenaan dengan permasalahannya yang diangkat juga juga untuk mengetahui sampai

sejauh mana obyek ini pernah diteliti. d. Tahap Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Dalam

Analisis data lebih ditekankan pada analisis Kualitatif, maksudnya tinjauan analisis lebih

dititik beratkan pada segi kualitas atau mutu data (Koentjaraningrat, 1981 : 254) seperti

keadaan artefak, bentuk, bahan, dan dikorasinya.

13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Sejarah dan Latar Belakang Keagamaan Kerajaan Dharmasraya

Seperti yang dijabarkan pada lata belakang dipahami bahwa studi arkeologi berusaha mengungkapkan sejarah kebudayaan masa lampau melalui benda-benda yang ditinggalkan.

Benda-benda peninggalan masa lampau tersebut pada dasarnya mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi, disamping juga nilai informasi, nilai seni dan nilai religius. Warisan kebudayaan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu penunjang untuk merekontruksi sejarah manusia di masa lampau, dimana didalamnya terkandung tingkat kehidupan masyarakat pendukungnya.

Karena benda-benda yang ditinggalkan adalah merupakan wujud ide, aktifitas dan hasil karyanya. Latar belakang pentingnya peninggalan arkeologi tersebut maka peninggalan purbakala seharusnya dilestarikan dan dilindungi dengan baik dengan tujuan dapat difungsikan untuk merekontruksi sejarah kebudayaan di masa lampau.

Penelitian difokuskan dengan menganalisis Penelusuran keberadaan Kerajaan

Dharmasraya di Kabupaten Sawah Lunto Sumatera Barat. Penelitian diarahkan dengan latar belakang permasalahan peninggalan kerajaan ini bekas-bekas peninggalannya dijarah dan dikomersialkan oleh masyarakat untuk kepentingan ekonomi. Seperti yang dilansir di media internet dengan judul “Peninggalan Kerajaan di Dharmasraya, Sejarah yang dijarah” dipahami kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya untuk melestarikan peninggalan purbakala.

Seperti latar belakang studi arkeologi di atas peninggalan purbakala memiliki nilai yang tinggi untuk nilai informasi, seni dan nilai religiusitas. Oleh sebab itu maka diperlukannya melakukan 14 penelitian Kerajaan Dharmasraya untuk menjaga pelestarian peninggalan kerajaan yang dijarah guna dapat dikaji untuk menyusun keberadaan kerajaan Dharmasraya.

Permasalahan penjarahan dan komersialisasi peninggalan kerajaan Dharmasraya pada dasarnya tidak boleh dilakukan mengingat pentingnya peninggala arkeologi. Disamping itu benda-benda cagar budaya ini dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya dengan sangsi pidana dan denda material yang merusak maupun menjarahnya. Penjelasan mengenai pasal

Perlindungan dan Pemeliharaan khususnya yang menguraikan larangan bagi semua pihak untuk merusaknya dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.

(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. (2) Tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang : a. membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia; b. memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya ; c. mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keaadaan darurat ; d. mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya ; e. Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuanya ; f. Memperdagangkan atau memperjual belikan atau memperniagakan benda cagar budaya. (Undang-Undang RI, no. 5 Tahun 1997 : 11-12, BAB IV, Pasal 13, butir 1-2)

Penjelasan Undang-Undang Cagar Budaya di atas menegaskan setiap orang dilarang merusak, memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

Penelitian Kerajaan Dharmasraya menarik untuk diteliti mengingat terjadi penjarahan dan komersialisasi benda-benda cagar budaya bekas peninggalan kerajaan ini. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dan kontekstual.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengetahui sejarah kerajaan

Dharmasraya, keagamaan, dan upaya pelestarian dan perlindungan bekas bekas peninggalan kerajaan Dharmasraya. 15

Hasil penelitian diketahui sejarah kerajaan Dharmasraya berdiri sekitar tahun 1088

(sekitar abad XI) dengan latar belakang keagamaan Hindhu dan Budha aliran Tantrayana.

Peninggalan lain yang berkaitan dengan kerajaan ini adalah diketemukannya arca Amoghapasan arca Bhairawa. Kerajaan Dharmasraya terletak di kawasan kepurakalaan daerah aliran sungai

(DAS) Batanghari meliputi wilayah administrasi pemerintahan kerajaan Dharmasraya. Secara geomarfologis termasuk daerah perbukitan bagian Barat Sumatera yang dikenal dengan bukit barisan. Dalam catatan sejarah, wilayah sepanjang DAS Batanghari di pedalaman dikuasai kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memerintah hampir bersamaan. Kerajaan Melayu dianggap penting masa itu karena eksistensinya diakui oleh beberapa kerajaan termasuk . Di dalam naskah kuno Nagarakartagama pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan, Dharmasraaya sebagai salah satu kawasan Majapahit. Pada masa raja Kertanegara pusat pemerintahan kerajaan Melayu sudah berada di Dharmasraya dan lokasinya di bagian hulu Batanghari tepatnya di daerah rambahan, Jorong Lubuk Bulang, IV Koto Pulaupunjung Dharmasraya.

Perubahan pusat pemerintahan ini dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti

Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik atau alas kaki Arca Amoghapassa yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta. Di bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim Kertanegara tercatat tahun 1347 M, raja yang memerintah adalah Sri Maharajadiraja

Adityawarman yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman.

Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri, yaitu Dara

Jingga dan Dara Petak. Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya 16

Brahman dan Senopati Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, menikah dengan Adwaya Brahman dari Kerajaan Singasari tersebut.

Mereka memiliki putra yang bernama , yang di kemudian hari mendirikan

Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya. Jadi Sri Maharajadiraja Adityawarman yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman adalah merupakan cucu dari raja yang terkenal di kerajaan Dharmasraya yaitu Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa.

2.1.Upaya-upaya untuk melestarikan peninggalan kerajaan Dharmasraya

Penelusuran sejarah Kerajaan Dharmasraya lebih mendalam sampai hasil penelitian ini ditulis tidaklah lengkap memgingat sebagian peninggalan kerajaan ini hilang dan dijarah oleh masyarakat dan dikomersialisasikan untuk diperjualbelikan dengan jalan mengambil batu-batu situs untuk membangun rumah-rumah mereka. Para ahli purbakala dan sejarah menilai sikap tak peduli masyarakat terhadap situs dan sejarah sudah berlangsung dari dulu. Kondisi ini terjadi karena kurangnya informasi dan penghargaan sekaligus bentuk sikap penolakan masyarakat terhadap hal-hal yang berbau Hinduisme. (sumber, internet Peninggalan Kerajaan di

Dharmasraya, Sejarah yang Dijarah).

Paradigma fanatisme sebagian masyarakat yang tidak menghargai warisan sejarah

Kerajaan Dharmasraya ini mengakibatkan peninggalan ini banyak yang tidak lengkap dan hilang maupun rusak. Antisipasi sikap tidak peduli ini seyogyanya dapat dicegah dengan mengetahui sejarah keberadaan peninggalan masa lalu, di daerah mereka (di Kabupaten Dharmasraya) dan memahami peninggalan itu adalah warisan leluhur mereka pada masa lalu. Selain itu masyarakat yang merusak peninggalan purbakala harus mengetahui keberadaan Undang-Undang Cagar 17

Budaya yang mengatur sangsi hukuman dan pidana dan denda material bagi siapa saja yang melakukan perusakan, penjarahan, pelelangan maupun memperjual-belikan tanpa seijin pemerintah.

Penjelasan mengenai sangsi hukuman pidana diuraikan dalam Undang-Undang Cagar

Budaya Pasal, 26, dan 27

Penjelasan mengenai Ketentuan Pidana diuraikan pada pembahasan di bawah ini.

Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Undang-undang RI, no. 5 Tahun 1992 : 16, BAB VIII, Pasal 26).

Barangsiapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000.,00 (lima puluh juta rupiah). (Undang-Undang RI, no. 5 Tahun 1992 : 16-17, BAB VIII, Pasal 27).

Ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda material 100 juta dengan penekanan sangsi denda bagi yang merusak maupun memperjual-belikan tanpa seijin pemerintah dapat memberikan peringatan bagi siapa saja yang melanggar akan dikenai sangsi yang tegas. Kasus kerusakan dan kehilangan sebagian besar peninggalan kerajaan Dharmasraya diakibatkan banyaknya peninggalan kerajaan ini dijarah dan diperjual-belikan untuk bahan bangunan rumah.

Sebaiknya masyarakat di wilayah ini tidak lagi mengambil bekas-bekas bangunan peninggalan kerajaan Dharmasraya untuk kepentingan melestarikan peninggalan masa lalu. Peninggalan 18 kerajaan masa lalu dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai warisan leluhur kita. Studi ilmu Arkeologi menitikberatkan kajiannya dari segi peninggalan artefaktualnya untuk penyusuna sejarah masa lalu, sehingga kehilangan data artefak dikarenanan dijarah dan diperjual-belikan mengakibatkan minimnya data untuk penyusunan sejarah kerajaan kuna.

Upaya lainnya yaitu masyarakat diberikan kesadaran akan pentingnya melestaraikan peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan menghilangkan sikap kurang menghargai dengan merusak maupun menjarah peninggalan masa lalu, dinilai sikap yang kurang bijakasana untuk menghargai warisan budaya masa lalu. Selain itu faktor perusakan dapat dikenai sangsi pidana seperti yang dijabarkan di atas. Sedangkan pihak yang peduli akan warisan peninggalan kerajaan

Dharmasra ini menginginkan peninggalan kerajaan Dharmasraya dibuatkan tempat untuk meletakan bekas-bekas peninggalan kerajaan seperti museum dan dikelola sebagai daya tarik wisata peninggalan masa lalu di Kabupaten Sawah Lunto Sumatera Barat.

19

BAB III. Kesimpulan Dan Saran

Sebagai akhir dari tulisan ini yang berjudul Penelusuran Keberadaan Kerajaan

Dharmasraya Di Kabupaten Sawah Lunto Sumatera Baratdapat sementara disimpulkan sebagai berikut :

1. Hasil penelitian diketahui sejarah kerajaan Dharmasraya berdiri sekitar tahun 1088

(sekitar abad XI) dengan latar belakang keagamaan Hindhu dan Budha aliran Tantrayana.

Peninggalan lain yang berkaitan dengan kerajaan ini adalah diketemukannya arca

Amoghapasan arca Bhairawa. Arca Amoghapassa yang sekarang berada di Museum

Nasional, Jakarta. Di bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim

Kertanegara tercatat tahun 1347 M, raja yang memerintah adalah Sri Maharajadiraja

Adityawarman yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman.

2. Upaya-Upaya pelestarian peninggalan kerajaan Dharmasraya adalah memberikan

penjelasan kepada masyarakat akan pentingnya melestarikan peninggalan masa lalu

untuk tujuan merekontruksi sejarah kebudayaan masa lalu melalui peninggalan

artefaktualnya (benda-benda bekas-bekas peninggalan masa lalu). Apabila

peninggalannya dijarah, diperjual-belikan akan menyulitkan kita untuk menyusun

sejarahnya dan tercermin tidak menghormati warisan budaya masa lalu. Disamping itu

perusakan, penjarahan, memperjual-belikan peninggalan purbakala akan dikenai sangsi

pidana dan material seperti yang dijabarkan di dalam Undang-Undang Cagar Budaya.

20

Daftar Pustaka

1. Azwar, Saifuddin, 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2. Bosch, F.D.K, 1975. Criwijaya, Cailendra dan Sanjayavanca. (Terjemahan Poerbatjaraka, R.Ng), Jakarta, Bharata. 3. Clark, Grahamme, 1960. Archaelogy and Society. London : University Paperbacks. 4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1992 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Penjelasannya, Biro Hukum Dan Hubungan Masyarakat. 5. Gopinatha Rao, 1916. Elemen of Hindu Ikonography. Mount Road, Madras. 6. Gupte, MA.PH, Rs. 1972. Iconography of the Hindus Buddhis and Jains. Bombay : Taravolevala Sous & Co Privated Ltd. 7. Liebert, Gosta, 1977. Iconographic Dictionary of The Indian Religion Buddhis Jainism. Leiden : EJ. Brill. 8. Kern, J.H.C, W.H. 1982. Civa Dan Budha. Dua Karangan Tentang Civaisme Dan Budhisme Di Indonesia. (Terjemahan) Jakarta, Djambatan. 9. Koentjaraningrat, 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. 10. Sapta Jaya, Ida Bagus, 2007. Pendekatan Ekologi Dalam Meinterpretasikan Data Arkeologi. Disajikan dalam Seminar Nasional Seri Sastra, Sosial, Budaya yang dilaksanakan pada hari Jumat 28 Desember 2007 di Fakultas Sastra Universitas Udayana 11. Timbul Haryono, 1984. Artefak Kwalitas Dan Validitasnya Sebagai Data Arkeologi. Dalam Majalah Artefak Nomor 1. Jogjakarta. 12. Uka Candrasasmita, 1980. “Fungsi Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Dalam PengembanganKebudayaan Nasional”, Majalah Analisis Kebudayaan, th. No.I Jakarta. 13. Zimmer, Heinrich, 1962. Myth and Symbols in Indian Art and Cicilization Joseph Campbell (ed), Harper & Brother, New York. Sumber Internet “Peninggalan Kerajaan di Dharmasraya, Sejarah yang Dijarah”, (http : //wisata melayu. Com).

http://amoghapace.blogspot.com/2008/06/ssejarah-kerajaan-dharmasraya-dari.html). 21