58 Bab Iii Peran Maria Ullfah Pada Masa Kolonial Tahun

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

58 Bab Iii Peran Maria Ullfah Pada Masa Kolonial Tahun BAB III PERAN MARIA ULLFAH PADA MASA KOLONIAL TAHUN 1935-1945 A. Peran Maria Ullfah dalam masa Kolonial Belanda Maria Ullfah kembali ke Hindia Belanda pada Desember 1933, setelah sebelumnya ia melakukan perjalanan keliling Eropa. Maria Ullfah pulang ke Hindia Belanda dengan menumpang kapal laut Johan van Olderbarndveld milik perusahaan pelayaran Stoomvaart Maatschappy, Nederland.1 Setelah menempuh perjalanan laut, akhirnya kapal yang ditumpangi Maria Ullfah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Bukan hanya keluarga dan kawan yang datang menyambut kedatangan Maria Ullfah, tetapi para peminat pergerakan kebangsaan dan pergerakan perempuan khususnya datang menyambutnya. Reputasi sebagai perempuan pertama Indonesia yang mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr) membuat nama Maria Ullfah dikenal masyarakat. Para peminat dari pergerakan kebangsaan dan pergerakan perempuan datang ke Tanjung Priok untuk mengenal sosok Maria Ullfah yang cerdas dan mempunyai minat terhadap nasib kaum perempuan. Sebagai perempuan Indonesia yang mumpuni dalam bidang hukum, Maria Ullfah diharapkan dapat memajukan nasib kaum perempuan di Hindia Belanda yang masih sangat memprihatinkan. Maria Ullfah dikenal sebagai sosok perempuan yang rendah diri dan sederhana. Seorang wartawan dari majalah wanita Indonesia mengadakan wawancara dengan Maria Ullfah dan menulis, “sikapnya yang rendah diri dan pembawaannya yang sederhana. Ia berbusana kebaya dan kainnya bercorak 1 Gadis Rasid, Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya. (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1982), hlm. 35. 58 59 sederhana pula”.2 Sejak kembali dari Belanda Maria Ullfah lebih memilih menggunakan baju kebaya dan berkain, dari pada menggunakan pakaian Barat yang sering ia gunakan sewaktu di Belanda. Baru pada masa kependudukan Jepang dan masa revolusi Maria Ullfah dituntut kembali menggunakan pakaian yang bergaya Barat, karena keadaan yang menghendakinya untuk dapat bergerak lebih cepat dan gesit. Pada saat kembali ke Hindia Belanda Maria Ullfah memutuskan untuk istirahat sejenak di Kuningan. Maria Ullfah memilih untuk menemani ayahnya yang seorang Bupati Kuningan sekaligus melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu dengan ayahnya. Untuk mengisi waktu luang sembari mengurus ayahnya, Maria Ullfah memutuskan untuk menerima tawaran bekerja sebagai tenaga honorer selama enam bulan di kantor Kabupaten Cirebon.3 Sebagai tenaga honorer Maria Ullfah bertugas untuk menyusun naskah wegverkeersordonatie (peraturan lalu lintas). Pada saat Maria Ullfah bekerja di Cirebon bulan Februari 1934, ia kedatangan seorang tamu. “Sjahrir menengok saya dan bersama-sama berjalan- jalan di Pasuketan daerah pertokoan Cirebon”, kenang Maria Ullfah dalam buku Mengenang Sjahrir.4 Maria Ullfah kehilangan kontak dengan Sjahrir pada tahun 1931, ketika Sjahrir tiba-tiba pulang ke Hindia Belanda tanpa menyelesaikan studi 2 Ibid., 3 Mohamad Cholid, dkk, “Maria Ulfah Kekasih Abadi Soebadio”, Tempo, 23 April, 1988, hlm. 109. 4 Maria Ullfah Subadio, “Bung Sjahrir”, Mengenang Sjahrir. (Jakarta: PT Gramedia, 1980), hlm. 93. 60 Hukumnya di Amsterdam. Kondisi perjuangan politik bangsa Indonesia yang lumpuh akibat ditangkapnya Ir. Soekarno dan dibubarkannya PNI membuat Sjahrir harus kembali ke Indonesia dan melanjutkan perjuangan sekaligus mengisi kekosongan kepemimpinan pergerakan nasional. Pertemuan antara keduanya membuat Maria Ullfah bahagia, karena sudah lama ia tidak melihat dan mendengar kabar dari sahabatnya. Mereka bercakap-cakap dan saling bertukar pengalaman ketika kembali ke Hindia Belanda. Sjahrir bertanya kepada Maria Ullfah tentang perasaannya bekerja sebagai tenaga honorer di Kabupaten Cirebon. Maria Ullfah menjawab dengan jujur bahwa ia kurang nyaman dengan pekerjaannya sekarang, tetapi Maria Ullfah ingin memenuhi permintaan ayahnya untuk mendampinginya beberapa bulan. Setelah permintaan ayahnya terpenuhi maka Maria Ullfah akan melakukan apa yang ia cita-citakan, yaitu untuk memajukan rakyat Indonesia, khususnya kaum perempuan Indonesia yang masih tertinggal. Maria Ullfah pun mengundang Sjahrir untuk berkunjung ke Kuningan dan berkenalan dengan Raden Mohammad Achmad. Karena sedang ada urusan lain, maka Sjahrir berjanji kepada Maria Ullfah untuk pergi bersama ke Kuningan setelah Maria Ullfah pulang bekerja. Sepulang bekerja Sjahrir tidak kunjung datang dan akhirnya Maria Ullfah pulang sendiri ke Kuningan. Menghilangnya Sjahrir dari Cirebon dikarenakan sejak datang Sjahrir telah menjadi buronan polisi. Sjahrir menjadi buronan polisi rahasia Belanda (PID atau Politieke 61 Inlichtingen Dienst)5 karena kegiatan politiknya. Kegiatan Sjahrir dipartai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) menjadikannya sebagai sasaran PID. Sjahrir yang telah mengetahui bahwa dirinya sudah diincar polisi Belanda segera meninggalkan Cirebon dan pergi ke Semarang. Pada tanggal 26 Februari 1934, secara mendadak pemerintah menangkap beberapa anggota PNI Baru, yaitu Hatta, Sjahrir, Maskun, Burhanuddin, Marwoto, dan Bondan.6 Kabar ditangkapnya Sjahrir akhirnya terdengar oleh Maria Ullfah, dalam buku Mengenang Sjahrir Maria Ullfah menuliskan bahwa Sjahrir ditangkap dan dimasukkan dalam penjara Cipinang. Bertahun-tahun Maria Ullfah kembali kehilangan kontak dengan Sjahrir, dan baru pada masa pendudukan Jepang mereka bertemu kembali. Bersama dengan Moh. Hatta dan beberapa kawannya, Sjahrir akhirnya dibuang ke Tanah Merah (Boven Digoel) sebuah tempat pengasingan yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Boven Digoel pada awalnya dimaksudkan sebagai tempat pengasingan bagi orang-orang komunis yang 5 PID atau Politiek Inlichtingen Diensti adalah polisi yang ditugaskan untuk mengawasi gerakan-gerakan nasional, PID disebar dan diberi kekuasaan untuk menghadiri setiap rapat baik yang bersifat politik maupun tidak, serta diberi wewenang untuk menghentikan pembicaraan yang mengecam politik pemerintah, membubarkan rapat, dan menangkap peserta yang dicurigai. PID dapat dikatakan sebagai badan penyelidik yang merupakan momok bagi gerakan nasional Indonesia dan merupakan alat kolonial yang ampuh untuk melumpuhkan gerakan nasional. PID merupakan wujud balas dendam dari De Jonge (Gubernur Jenderal pengganti De Graeff) yang dikalahkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam oronisasi pemerintah mengenai sekolah liar, lihat Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid I. (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2008), hlm. 221. 6 Ibid., hlm. 225. 62 membahayakan pemerintahan Hindia Belanda, tetapi dalam perkembangannya Boven Digoel-pun digunakan untuk kaum nasionalis yang dianggap berbahaya. Digoel sebagai tempat pengasingan memang terkenal sebagai tempat pengasingan yang paling kejam dan menyedihkan. Pemerintah Hindia Belanda berharap ketika seseorang diasingkan ke Boven Digoel mereka akan bertobat dan mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Namun sebagian dari para buangan tersebut lebih memilih tetap melawan pemerintah. Setelah menyelesaikan tugasnya di kantor Kabupaten Cirebon dan melepas rindu kepada ayahnya, Maria Ullfah memutuskan untuk pindah ke Batavia. Di Batavia Maria Ullfah memutuskan untuk terjun ke kancah pergerakan nasional Indonesia.7 Batavia dipilih oleh Maria Ullfah sebagai tempat mewujudkan cita-citanya karena Batavia merupakan tempat berkumpulnya semua cendikiawan Indonesia. Selain itu, Batavia juga merupakan pusat aktivitas pergerakan kebangsaan selain di Surabaya dan Bandung. Pada bulan Agustus 1934 Maria Ullfah mendapat surat dari Batavia. Kawan lamanya yang bernama Soegiati mengajaknya untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada suatu lembaga pendidikan yang diadakan oleh perkumpulan Muhammadiyah. “Soegiarti kirim surat kepada saya. Dia menawari saya jadi guru di sekolah Muhammadiyah. Dia sudah kenal saya, sudah tahu sifat- sifat saya”, kata Maria Ullfah dalam wawancaranya dengan Dewi Fortuna 7 Bonnie Triyana, dkk, “Luka Bibi di Hati Maria”, Historia, Nomor I, 2012, hlm. 26. 63 Anwar.8 Pada saat itu Soegiarti menjadi pengajar pada sekolah menengah Muhammadiyah di Batavia. Tawaran Soegiarti tersebut diterima Maria Ullfah dengan senang hati dan dengan restu Raden Mohammad Achamad akhirnya Maria Ullfah berangkat ke Batavia. Di Jakarta Maria Ullfah tinggal menumpang di rumah saudaranya, yaitu keluarga Suria Santoso di Bilangan Tenabang II. Nyonya Santoso adalah bibi Maria Ullfah adik dari ayahnya, sedangkan pamannya yang bernama Suria Santoso adalah seorang perwira didikan Belanda dari Akademi Militer Belanda di Breda. Paman Maria Ullfah adalah seorang perwira pada tentara kolonial Belanda yang dikenal dengan nama KNIL (Koniklijk Nederlands Indisch Leger).9 Jabatan paman Maria Ullfah sangat bertentangan dengan kegiatan-kegiatannya di dalam pergerakan nasional. Paman Maria Ullfah yang seorang perwira pemerintahan Belanda sering menegur kegiatan Maria Ullfah. Hal tersebut membuat Maria Ullfah dilanda rasa tidak enak, sehingga ia memutuskan untuk pindah dari rumah pamannya. Bersama kawan lamanya di Leiden yang bernama Siti Soendari, Maria Ullfah menyewa rumah di jalan Salemba Tengah (Struiswijkstraat). Siti Soendari lulus dari Fakultas Hukum Leiden tahun 1934, satu tahun setelah Maria Ullfah pulang ke Hindia Belanda. Setelah kembali ke Hindia Belanda Siti Soendari bekerja di Departemen Kesehatan Umum di Batavia, merangkap sebagai guru 8 ANRI, Sejarah Lisan Tahun 1973-1994 No. 154, Maria Ulfah- Dewi Fortuna Anwar Jalan Guntur 49, 1983, kaset 1. 9 Gadis Rasid, op.cit., hlm. 38. 64 sekolah menengah.10 Sejak di Leiden Maria Ullfah tinggal bersama Siti Soendari di Witte Singel 25, sehingga ketika kembali hidup bersama di Batavia keduanya
Recommended publications
  • 37 Correspondence Analysis of Indonesian Retail
    Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship, Vol. 4 No. 1, January 2018 Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.17358/IJBE.4.1.37 Accredited by Ministry of Available online at http://journal.ipb.ac.id/index.php/ijbe RTHE Number 32a/E/KPT/2017 CORRESPONDENCE ANALYSIS OF INDONESIAN RETAIL BANKING PERSONAL LOANS TOP UP Andrie Agustino*)1, Ujang Sumarwan**), and Bagus Sartono***) *) Bank Mandiri Jl. Jend. Sudirman Kav. 54-55, South Jakarta, 12190 **) Department of Family and Consumer Sciences, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University IPB Darmaga Campus, Bogor 16680 ***) Department of Statistics, Faculty of Mathematics and Natural Science, Bogor Agricultural University Jl. Meranti Wing 22 level 4-5, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Abstract: Customer experience can be developed through good database management, and this is an important thing to do in the era of tough retail banking competition especially in the personal loan market competition. Through good database management, banks can understand the transaction pattern and customer behavior in each bank service’s contact point. This research aimed at identifying the personal loans correspondence between socioeconomic variables and top up transaction by using the secondary data from one of Indonesian retail banking. The research method used the correspondence analysis and regression. The result of the research showed that the socioeconomic factors that influenced the debtors to top up personal loans at the confidence level of 5% (0.05) included Age, Marital Status, Dependent Number, Living Status, Education, Region, Job Type, Work Length, Salary, Debt Burdened Ratio (DBR), Credit Tenure, and Credit Limit, and only Gender had no effect on personal loan top up.
    [Show full text]
  • Understanding Principal Values of Minangkabau's Outmigration In
    REVIEW OF INTERNATIONAL GEOGRAPHICAL EDUCATION ISSN: 2146-0353 ● © RIGEO ● 11(4), WINTER, 2021 www.rigeo.org Research Article Understanding Principal Values of Minangkabau’s Outmigration in Indonesia Misnal Munir1 Moses Glorino Rumambo Pandin2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia [email protected] [email protected] 1Corresponding Author: E-mail: [email protected] Abstract Outmigration is a unique characteristic of the Minangkabau people who can be found in almost all regions of Indonesia. Historically, the Minangkabau migrants have coexisted peacefully with local communities in which they settle, and there is no record of conflict between the Minangkabau migrants and local inhabitants. This study attempted to determine the values espoused by this nomadic community. The study was grounded in literature study approach of philosophical hermeneutics and utilized methodical elements, such as description, induction deduction, synthesis analysis, and heuristics. The study also applied observation, and interviews with the Minangkabau migrants. The findings revealed that the culture of this ethnic group explicitly encourages young people to venture abroad. The ethical values that form the basis of the outmigration’s of the Minangkabau community are affirmed by the adat (local) proverbs that prescribe strong work ethics, mutual respect, and an understanding of the local culture to which they outmigrate. Keywords outmigration, principle, outmigration-values, Minangkabau To cite this article: Munir, M; Pandin, M, G, R. (2021) Understanding Principal Values of Minangkabau’s Outmigration In Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(4), 127-137. doi: 10.48047/rigeo.11.04.10 Submitted: 02-02-2021 ● Revised: 16-04-2021 ● Accepted: 26-05-2021 © RIGEO ● Review of International Geographical Education 11(4), WINTER, 2021 Introduction The cultural traditions of the Minangkabau people are rich in values derived from indigenous wisdom.
    [Show full text]
  • Anthropological Science 110(2), 165-177, 2002 Preliminary
    Anthropological Science 110(2), 165-177, 2002 Preliminary Observation of a New Cranium of •ôNH•ôHomoerectus•ôNS•ô (Tjg-1993.05) from Sangiran, Central Jawa Johan Arif1, Yousuke Kaifu2, Hisao Baba2, Made Emmy Suparka1, Yahdi Zaim1, and Takeshi Setoguchi3 1 Department of Geology, Institute of Technology Bandung, Indonesia 2 Department of Anthropology , National Science Museum, Tokyo 3 Department of Geology and Mineralogy , Faculty of Science, Kyoto University, Kyoto (Received October 5, 2001; accepted February 13, 2002) Abstract In May of 1993, a new well-preserved hominid skull was recovered from the Bapang (Kabuh) Formation of the Sangiran region, Central Jawa. In this paper, we provisionally describe the skull and compare it with •ôNH•ôHomo erectus•ôNS•ô.crania from Jawa and China. The new skull possesses a series of characteristic features of Asian •ôNH•ôH.erectus•ôNS•ô in overall size and shape of the vault, the expression of various ectocranial structures, and other details. Among three geographical and chronolog icalsubgroups of Asian •ôNH•ôH.erectus•ôNS•ô, the new skull shows affinities with the Jawanese Early Pleistocene subgroup (specimens from the Sangiran and Trinil regions), as expected from its provenance. •ôGH•ô Keywords•ôGS•ô: •ôNH•ôHomo erectus•ôNS•ô,human evolution, Indonesia, paleoanthropology Introduction In May of 1993, a new hominid skull of an adult individual was recovered from the Sangiran area, Central Jawa (Figs. 1 and 2). There is no formal specimen number for this skull. Sartono called it Skull IX, and Larick et al. (2001) provisionally la beledit as Tjg-1993.05. The discovery of the skull was first announced in academic meetings in the Netherlands (Sartono et al, 1995), Indonesia (Sartono and Tyler, 1993), and America (Tyler et al., 1994).
    [Show full text]
  • Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945
    Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945 R. E. Elson* On the morning of August 18, 1945, three days after the Japanese surrender and just a day after Indonesia's proclamation of independence, Mohammad Hatta, soon to be elected as vice-president of the infant republic, prevailed upon delegates at the first meeting of the Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Committee for the Preparation of Indonesian Independence) to adjust key aspects of the republic's draft constitution, notably its preamble. The changes enjoined by Hatta on members of the Preparation Committee, charged with finalizing and promulgating the constitution, were made quickly and with little dispute. Their effect, however, particularly the removal of seven words stipulating that all Muslims should observe Islamic law, was significantly to reduce the proposed formal role of Islam in Indonesian political and social life. Episodically thereafter, the actions of the PPKI that day came to be castigated by some Muslims as catastrophic for Islam in Indonesia—indeed, as an act of treason* 1—and efforts were put in train to restore the seven words to the constitution.2 In retracing the history of the drafting of the Jakarta Charter in June 1945, * This research was supported under the Australian Research Council's Discovery Projects funding scheme. I am grateful for the helpful comments on and assistance with an earlier draft of this article that I received from John Butcher, Ananda B. Kusuma, Gerry van Klinken, Tomoko Aoyama, Akh Muzakki, and especially an anonymous reviewer. 1 Anonymous, "Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?," Suara Hidayatullah 13,5 (2000): 13-14.
    [Show full text]
  • The Pesantren in Banten: Local Wisdom and Challenges of Modernity
    The Pesantren in Banten: Local Wisdom and Challenges of Modernity Mohamad Hudaeri1, Atu Karomah2, and Sholahuddin Al Ayubi3 {[email protected], [email protected], [email protected]} Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University SMH Banten, Jl. Jend. Sudirman No. 30, Serang, Indonesia1 Faculty of Syariah, State Islamic University SMH Banten, Jl. Jend. Sudirman No. 30, Serang, Indonesia2 Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University SMH Banten, Jl. Jend. Sudirman No. 30, Serang, Indonesia3 Abstract. Pesantrens (Islamic Boarding School) are Islamic educational institutions in Indonesia that are timeless, because of their adaptability to the development of society. These educational institutions develop because they have the wisdom to face changes and the ability to adapt to the challenges of modernity. During the colonial period, pesantren adapted to local culture so that Islam could be accepted by the Banten people, as well as a center of resistance to colonialism. Whereas in contemporary times, pesantren adapted to the demands of modern life. Although due to the challenges of modernity there are various variants of the pesantren model, it is related to the emergence of religious ideology in responding to modernity. The ability of pesantren in adapting to facing challenges can‘t be separated from the discursive tradition in Islam so that the scholars can negotiate between past practices as a reference with the demands of the age faced and their future. Keywords: pesantren, madrasa, Banten, a discursive tradition. 1. Introduction Although Islamic educational institutions (madrasa and pesantren) have an important role in the Muslim community in Indonesia and in other Muslim countries, academic studies that discuss them are still relatively few.
    [Show full text]
  • Teuku Mohammad Hasan (Sumatra), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), R
    GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA GUBERNUR PERTAMA DI INDONESIA PENGARAH Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan) Triana Wulandari (Direktur Sejarah) NARASUMBER Suharja, Mohammad Iskandar, Mirwan Andan EDITOR Mukhlis PaEni, Kasijanto Sastrodinomo PEMBACA UTAMA Anhar Gonggong, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari PENULIS Andi Lili Evita, Helen, Hendi Johari, I Gusti Agung Ayu Ratih Linda Sunarti, Martin Sitompul, Raisa Kamila, Taufik Ahmad SEKRETARIAT DAN PRODUKSI Tirmizi, Isak Purba, Bariyo, Haryanto Maemunah, Dwi Artiningsih Budi Harjo Sayoga, Esti Warastika, Martina Safitry, Dirga Fawakih TATA LETAK DAN GRAFIS Rawan Kurniawan, M Abduh Husain PENERBIT: Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270 Tlp/Fax: 021-572504 2017 ISBN: 978-602-1289-72-3 SAMBUTAN Direktur Sejarah Dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia telah melahirkan banyak tokoh yang kiprah dan pemikirannya tetap hidup, menginspirasi dan relevan hingga kini. Mereka adalah para tokoh yang dengan gigih berjuang menegakkan kedaulatan bangsa. Kisah perjuangan mereka penting untuk dicatat dan diabadikan sebagai bahan inspirasi generasi bangsa kini, dan akan datang, agar generasi bangsa yang tumbuh kelak tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter. Oleh karena itu, dalam upaya mengabadikan nilai-nilai inspiratif para tokoh pahlawan tersebut Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan penulisan sejarah pahlawan nasional. Kisah pahlawan nasional secara umum telah banyak ditulis. Namun penulisan kisah pahlawan nasional kali ini akan menekankan peranan tokoh gubernur pertama Republik Indonesia yang menjabat pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Para tokoh tersebut adalah Teuku Mohammad Hasan (Sumatra), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), R. Pandji Soeroso (Jawa Tengah), R.
    [Show full text]
  • Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia
    DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Asal Daerah / NO Nama SK Presiden Daerah Ket Pengusul Abdul Muis 218 Tahun 1959 1. Sumatera Barat 1883 – 1959 30 – 8 – 1959 Ki Hadjar Dewantoro 305 Tahun 1959 2. D.I. Yogyakarta 1889 – 1959 28 – 11 – 1959 Surjopranoto 310 Tahun 1959 3. D.I. Yogyakarta 1871 – 1959 30 – 11 – 1959 Mohammad Hoesni Thamrin 175 Tahun 1960 4. DKI Jakarta 1894 – 1941 28 – 7 – 1960 K.H. Samanhudi 590 Tahun 1961 5. Jawa Tengah 1878 – 1956 9 – 11 – 1961 H.O.S. Tjokroaminoto 590 Tahun 1961 6. Jawa Timur 1883 – 1934 9 – 11 – 1961 Setyabudi 590 Tahun 1961 7. Jawa Timur 1897 – 1950 9 – 11 – 1961 Si Singamangaradja XII 590 Tahun 1961 8. Sumatera Utara 1849 – 1907 9 – 11 – 1961 Dr.G.S.S.J.Ratulangi 590 Tahun 1961 9. Sulawesi Utara 1890 – 1949 9 – 11 – 1961 Dr. Sutomo 657 Tahun 1961 10. Jawa Timur 1888 – 1938 27 – 12 – 1961 K.H. Ahmad Dahlan 657 Tahun 1961 11. D.I. Yogyakarta 1868 – 1934 27 – 12 – 1961 K.H. Agus Salim 657 Tahun 1961 12. Sumatera Barat 1884 – 1954 27 – 12 – 1961 Jenderal Gatot Subroto 222 Tahun 1962 13. Jawa Tengah 1907 – 1962 18 – 6 1962 Sukardjo Wirjopranoto 342 Tahun 1962 14. Jawa Tengah 11903 – 1962 29 – 10 – 1962 Dr. Ferdinand Lumban Tobing 361 Tahun 1962 15. Sumatera Utara 1899 – 1962 17 – 11 – 1962 K.H. Zainul Arifin 35 Tahun 1963 16. Sumatera Utara 1909 – 1963 4 – 3 – 1963 Tan Malaka 53 Tahun 1963 17. Sumatera Utara 1884-1949 28 – 3 – 1963 MGR A.Sugiopranoto, S.J.
    [Show full text]
  • KEPUSTAKAAN Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991
    KAJIAN VOKALISASI DAN ORNAMENTASI SENI BACA AL-QURAN DALAM MUSABAQAH TILAWATIL QURAN (MTQ) 1 TINGKAT NASIONAL TAHUN 2014 SURYATI, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A., Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed. Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ KEPUSTAKAAN Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni dalam Pandangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Aley, Ririe. 2010. Intisari Pintar Olah Vokal. Yogyakarta: FlashBook. Al-Faruqi, Isma’il Raji. 1999. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. Yogyakarta: Bentang. Al-Faruqi, Ismail and Louis-Lamya. 1986. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company. Al-Faruqi, Ismail and Louis-Lamya. 1996. Atlas Budaya Islam. Kuala Lumpur, Malaysia. Al-Ghazali, Syaikh muhammad. 2008.Al-Qur-an Kitab Zaman Kita. Bandung: PT Mizan Pustaka. Alifudin, Muhammad. 2014 “Etika Berbusana dalam Perspektif Agama dan Budaya”, dalam Jurnal Shautut Tarbiyah, Vol. 1 No. 1 November. Anwaar, Salman Rusydie. 2012. 29 Sandi Al-Qur’an. Yogyakarta: Najah. Arafat, M. Yasir. 2013. “Tarekat Tilawatiyah: Melantukan Al-Qur’an, Aspek Memakrifati Diri, Melakonkan Islam” Tesis Program Magister Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. AR, Sirojuddin. 2008. Sejarah Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Provinsi DKI Jakarta, “Dari Jakarta untuk Jakarta”. Jakarta: LPTQ Provinsi DKI Jakarta. Asy-Syarif, Syaikh Muhammad 2013. “ Bicara di Depan Laki-laki Nonmahram Tanpa Keperluan” dalam 40 Hadits Wanita, Bunga Rampai Hadits Fikih & Akhlak. Jakarta: UMMUL QURA. Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni “Wacana Apresiasi dan Kreasi” Yogyakarta: Pustaka Pelajar. KAJIAN VOKALISASI DAN ORNAMENTASI SENI BACA AL-QURAN DALAM MUSABAQAH TILAWATIL QURAN (MTQ) 2 TINGKAT NASIONAL TAHUN 2014 SURYATI, Dr.
    [Show full text]
  • Bab Ii Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Sidang Bpupki A
    BAB II KONDISI BANGSA INDONESIA SEBELUM SIDANG BPUPKI A.Masa Sebelum Sidang BPUPKI Setiap negara memiliki konstitusi. Demikian halnya bangsa Indonesia sebagai suatu negara juga memiliki konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan atau perumusan Undang-Undang Dasar 1945 ini menjadi konstitusi Indonesia melalui beberapa tahap.Pembuatan konstitusi ini diawali dengan proses perumusan Pancasila. Pancasila adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila berasal dari kata panca yang berarti lima, dan sila yang berarti dasar. Jadi, Pancasila memiliki arti lima dasar. Maksudnya, Pancasila memuat lima hal pokok yang diwujudkan dalam kelima silanya.1 Menjelang kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh pendiri bangsa merumuskan dasar negara untuk pijakan dalam penyelenggaraan negara. Awal kelahiran Pancasila dimulai pada saat penjajahan Jepang di Indonesia hampir berakhir.Jepang yang mulai terdesak saat Perang Pasifik menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Untuk memenuhi janji tersebut, maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945. Badan ini beranggotakan 63 orang dan diketuai oleh dr. Radjiman Widyodiningrat. BPUPKI bertugas untuk mempersiapkan dan merumuskan hal-hal mengenai tata pemerintahan Indonesia jika merdeka. Untuk memperlancar tugasnya, BPUPKI membentuk beberapa panitia kerja, di antaranya sebagai berikut: 1. Panitia sembilan yang diketuai oleh Ir. Sukarno. Tugas panitia ini adalah merumuskan naskah rancangan pembukaan undang-undang dasar. 2. Panitia perancang UUD, juga diketuai oleh Ir. Sukarno. Di dalam panitia tersebut dibentuk lagi panitia kecil yang diketuai Prof. Dr. Supomo. 3. Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Moh. Hatta. 4. Panitia Pembela Tanah Air, yang diketuai Abikusno Tjokrosuyoso. BPUPKI mengadakan sidang sebanyak dua kali. Sidang pertama BPUPKI terselenggara pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
    [Show full text]
  • Perdebatan Tentang Dasar Negara Pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (Bpupk) 29 Mei—17 Juli 1945
    PERDEBATAN TENTANG DASAR NEGARA PADA SIDANG BADAN PENYELIDIK USAHA-USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN (BPUPK) 29 MEI—17 JULI 1945 WIDY ROSSANI RAHAYU NPM 0702040354 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2008 Perdebatan dasar..., Widy Rossani Rahayu, FIB UI, 2008 1 PERDEBATAN TENTANG DASAR NEGARA PADA SIDANG BADAN PENYELIDIK USAHA-USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN (BPUPK) 29 MEI–17 JULI 1945 Skripsi diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Humaniora Oleh WIDY ROSSANI RAHAYU NPM 0702040354 Program Studi Ilmu Sejarah FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2008 Perdebatan dasar..., Widy Rossani Rahayu, FIB UI, 2008 2 KATA PENGANTAR Puji serta syukur tiada terkira penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang sungguh hanya karena rahmat dan kasih sayang-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini ditengah berbagai kendala yang dihadapi. Ucapan terima kasih dan salam takzim penulis haturkan kepada kedua orang tua, yang telah dengan sabar tetap mendukung putrinya, walaupun putrinya ini sempat melalaikan amanah yang diberikan dalam menyelesaikan masa studinya. Semoga Allah membalas dengan balasan yang jauh lebih baik. Kepada bapak Abdurrakhman M. Hum selaku pembimbing, yang tetap sabar membimbing penulis dan memberikan semangat di saat penulis mendapatkan kendala dalam penulisan. Kepada Ibu Dwi Mulyatari M. A., sebagai pembaca yang telah memberikan banyak saran untuk penulis, sehingga kekurangan-kekurangan dalam penulisan dapat diperbaiki. Kepada Ibu Siswantari M. Hum selaku koordinator skripsi dan bapak Muhammad Iskandar M. Hum selaku ketua Program Studi Sejarah yang juga telah memberikan banyak saran untuk penulisan skripsi ini. Kepada seluruh pengajar Program Studi Sejarah, penulis ucapakan terima kasih untuk bimbingan dan ilmu-ilmu yang telah diberikan. Kepada Bapak RM. A. B.
    [Show full text]
  • Plagiat Merupakan Tindakan Tidak Terpuji
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERANAN SUDIRO DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1945 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: Fransiska Ernawati NIM: 031314006 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO “Biarlah tanganmu menjadi penolongku, sebab aku memilih titah-titahmu” (MAZMUR 119 : 173) “Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala perbuatanmu” (AMSAL 16 : 3) “Jangan ingatkan ketakutan anda, tetaplah ingat harapan dan impian anda. Jangan fikirkan frustasi anda, tetapi fikirkan potensi yang belum anda penuhi. Jangan khwatirkan diri anda sendiri dengan apa yang telah anda coba tapi gagal, tapi dengan apa yang masih mungkin anda lakukan ” (Paus Yohanes XXIII) iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERSEMBAHAN Karya kecil ini kupersembahkan teruntuk : Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa mendampingi, melindungi dan selalu memberikan segala hal yang terbaik dalam setiap langkah hidupku Bunda Maria yang sungguh baik hati Kedua orang tuaku yang tercinta, (Bapak Sugito Markus dan Ibu Senti Sihombing) Dan adik-adikku yang tersayang, (Sisilia Yuni Diliana dan Yulius Tri Setianto) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Fransiska Ernawati : Peranan Sudiro Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: (1) latar belakang pendidikan dan pengalaman politik (partai) dari Sudiro, (2) usaha-usaha Sudiro dalam suatu pergerakan kebangsaan sebelum perjuangan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, (3) peranan dari Sudiro dalam pelaksanaan perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
    [Show full text]
  • The Qur'ã¢N in Indonesian Daily Life
    W&M ScholarWorks Articles Winter 2001 The Qur'ân in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory Anne K. Rasmussen College of William and Mary, [email protected] Follow this and additional works at: https://scholarworks.wm.edu/articles Part of the Ethnomusicology Commons Recommended Citation Rasmussen, Anne K. "The Qur'ân in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory." Ethnomusicology 45, no. 1 (2001): 30-57. This Article is brought to you for free and open access by W&M ScholarWorks. It has been accepted for inclusion in Articles by an authorized administrator of W&M ScholarWorks. For more information, please contact [email protected]. VOL. 45, No. 1 ETHNOMUSICOLOGY WINTER 2001 The Qur'an in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory ANNE K. RASMUSSEN / College of William and Mary n Indonesia, amidst a plethora of unique Southeast Asian popular and folk music, Western music, and traditional gamelan styles, the recitation of the Qur' n pervades daily life as an archetype of Muslim authenticity. Removed by thousands of miles and hundreds of years from the source of Islam, Indonesians perform and experience the Qur'an in allegedly the same way as Muslims did during the time of the prophet, Muhammad. This arti- cle distills eight months of research as a student of professional male and female reciters of the Qur'an in Jakarta, Indonesia, the capital city of the country that is home to more Muslims than any other in the world. It is a work in progress that foregrounds issues pertaining to:
    [Show full text]