Studi Tentang Tatacara Penulisan Dan Layout Mushhaf Al-Qur An

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Studi Tentang Tatacara Penulisan Dan Layout Mushhaf Al-Qur An KONTROVERSI MUSHHAF AL-QURAN BERWAJAH PUISI KARYA HB. YASSIN (Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushhaf Al-Quran) Dr. Islah Gusmian IAIN Surakarta Jl. Pandawa, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah Abstrak HB. Yassin yang dikenal sebagai Paus sastra di Indonesia membuat terjemah Al- Quran dengan wajah puitis, yang disebut Mushhaf Al-Quran Berwajah Puisi. Gagasan ini kemudian melahirkan kontroversi di kalangan umat Islam Indonesia karena hasil kerja Yassin tersebut dianggap berbeda dengan mushhaf standar yang dipegangi umat Islam. Tulisan ini mencoba mengkaji tatacara penulisan dan layout Mushhaf Al-Quran Berwajah Puisi. Key word: HB. Yassin, puitisasi Al-Quran, tatacara penulisan, lay out. A. Pendahuluan ini muncul ketika dia memeriksa kembali karyanya, Al-Quranul Karim Bacaan 1. Latar Belakang Masalah Mulia cetakan ketiga saat hendak dicetak Pada awal tahun 1990-an, muncul ulang. Sejak semula, HB. Jassin memang gagasan mengenai puitisasi Al-Quran dari menerjemahkan Al-Quran dengan HB. Jassin, seorang sastrawan besar di menggunakan bahasa Indonesia yang baik; Indonesia.73 Yang dia maksud dengan dalam hal ini dia telah melahirkan puitisasi Al-Quran adalah cara terjemahan dengan bahasa yang puitis, 74 menampilkan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang dia beri nama Bacaan Mulia. dalam wajah yang puitis. Kreasi HB. Jassin Dalam proses pemeriksaan ulang terhadap karyanya itu, HB. Jassin melihat 73HB. (Hans Bague) Jassin, dikenal sebagai berbagai mushhaf Al-Quran baik Paus Sastra Indonesia. Lahir, di Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli 1917. Di samping dikenal terbitan Indonesia, Turki, Mesir maupun sebagai kritikus sastra, Jassin juga pengarang ulung. Beberapa karyanya, di antaranya: Gema Tanah Air, 74HB. Jassin, et al. Kontroversi Al-Quran Tifa Penyair dan Daerahnya, Kesusastraan Berwajah Puisi H.B. Jassin Penyusun (Jakarta: Indonesia Baru Masa Jepang. Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. viii. 41 Volume 1, No. 1, Februari - Juli 2015 Arab Saudi. Semua susunannya, menurut karena dianggapnya mempermainkan kitab dia, berbentuk prosa. Belum ada mushhaf suci Al-Quran.76 Bahkan, dalam acara yang susunan tulisan ayat-ayatnya studium general di Fakultas Ushuluddin ditampilkan dalam bentuk puisi.75 Bentuk IAIN Jakarta bersama HB. Jassin, pada 17 prosa yang dia maksud adalah dalam Mei 1993, Dr. H. Fuad Moh. Fachruddin model penulisan ayat-ayat Al-Quran menghubungkan penulisan Al-Quran terpaku pada kepentingan memenuhi ruang berwajah Puisi ini dengan perilaku orang bidang halaman yang telah ditentukan dan Syiah.77 disediakan. Ayat-ayat yang satu kesatuan Disamping beberapa tokoh yang pikiran, kadang kala dan ini biasa menyerang HB. Jassin dengan nada terjadi disambung begitu saja untuk emosional tersebut, ada juga beberapa kepentingan memenuhi ruang kosong yang tokoh Muslim yang mengungkapkan ada di belakangnya, meskipun hanya kekurangsetujuannya dengan pertimbangan sedikit, kemudian disambungkan dengan demi ketenangan umat Islam, seperti yang baris berikutnya. Model penulisan diungkapkan Ali Yafie, atau dengan alasan semacam ini, menurut HB. Jassin, bisa bahwa cara penulisan Al-Quran itu mengganggu konsentrasi pembaca dalam merupakan petunjuk langsung dari Tuhan merenungi isi dan arti suatu ayat. (tauqîfi), sehingga tidak bisa diubah, Kreasi HB. Jassin tersebut memang seperti yang disampaikan oleh Dr. K.H. menarik, tetapi pada akhirnya melahirkan Ma`ruf Amin, Katib Am Syuriah PBNU, kontroversi di kalangan umat Islam waktu itu.78 Indonesia. Sebelum mengetahui bagaimana Namun, dalam kasus ini, bukan sesungguhnya model Al-Quran Berwajah berarti HB. Jassin tanpa pendukung. Prof. Puisi yang dia gagas tersebut, masyarakat H. Chatibul Umam (Guru Besar pada Muslim telah terjebak pada isu Al-Quran Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah yang dipuisikan, sehingga yang muncul Jakarta), Ali Audah (satrawan dan adalah prasangka dan tuduhan yang tidak penerjemah sejumlah literatur Arab), dan sehat. KH. Hassan Basri, Ketua MUI waktu itu, misalnya, menolak 76 Pernyataan ini sebagaimana dikutip Media Indonesia Minggu, 29 Agustus 1993. diterbitkannya Al-Quran berwajah Puisi, 77 Sebagaiman diuraikan D. Sirajuddin AR. Lihat, D. Sirajuddin. AR., Al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui dalam Ulumul 75Proyek H.B. Jassin: Al-Quran Berbentuk Quran, No. 5, Vol. IV Th. 1993, hlm. 61. Puisi, Suara Karya, 4 Desember 1992, dan Singgalang, 21 Desember 1992. 78 Wawasan, 26 Januari 1993. 42 Volume 1, No. 1, Februari - Juli 2015 Abdurrahman Wahid (ketua PBNU waktu Quran versi Jassin tersebut dinilai lebih itu) adalah di antara intelektual Muslim besar mudaratnya ketimbang manfaatnya.80 yang secara tegas mendukung kreasinya Akhirnya, Mushhaf Berwajah Puisi tersebut. Sejauh tidak ada tanda baca yang hasil kreasi Jassin tersebut, meskipun telah diubah dan kedudukan ayat juga tidak dicetak dan diterbitkan oleh penerbit diubah, mereka ini tidak mempermasalah- Djambatan Jakarta, akhirnya tidak bisa 79 kan upaya Jassin tersebut. beredar luas di tengah masyarakat Muslim. Kontroversi semakin tajam setelah Reaksi penolakan yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia dan Lajnah Departemen Agama dan Majelis Ulama Pentashihan Mushaf Al-Quran Indonesia tersebut, telah membentuk suatu Departemen Agama, menolak format Al- wacana dan opini bahwa Mushhaf Al- Quran versi Jassin tersebut. MUI lewat Quran Berwajah Puisi kreasi Jassin suratnya No. U-1061/MUI/XII/1992 yang terlarang dan bertentangan dengan ditandatangani oleh K.H. Hasan Basri dan mushhaf Utsmani. Umat Islam pun Sekretaris Umum, Prodjokusumo, serta akhirnya mengklaim sesat dan salah Departemen Agama lewat surat terhadap mushhaf kreasi Jassin tersebut. No..P.III/TL.02/1/242/1179/1992 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Litbang 2. Rumusan Masalah Agama Puslitbang Lektur Agama Lajnah Dari latar belakang di atas, maka Pentashih Mushaf Al-Quran Depag, H.A. masalah yang diteliti dalam kajian ini Hafizh Dasuki, yang ditujukan kepada HB. adalah: Jassin, dengan tegas menolak permintaan rekomendasi Jassin sehubungan dengan a. Bagaimana tatacara penulisan dan tata penerbitan Al-Quran Berwajah Puisi layout Mushhaf Al-Quran Berwajah tersebut. Alasannya, menurut Hasan Basri, Puisi karya HB. Jassin? karena susunan naskahnya tidak sesuai b. Apakah tatacara penulisan dan tata dengan mushhaf Al-Imam (Mushhaf layout Mushhaf Al-Quran Berwajah `Utsmâni). Berdasarkan rapat pleno Lajnah Puisi karya HB. Jassin tidak sesuai Pentashih Mushhaf Al-Quran, pada 17 dengan Pedoman Pentashih Mushaf Al- September 1992, memutuskan bahwa Al- 80 Harian Terbit, 21 Januari 1993, Media Indonesia, 21 Januari 1993, Pelita, 21 Januari 1993, dikutip kembali dalam HB. Jassin, ibid., hlm. 17- 79 Republika, 28 Januari 1993. 22. 43 Volume 1, No. 1, Februari - Juli 2015 Quran tentang Penulisan dan Tanda prosa Arab yang berbeda dari prosa Baca yang disusun Puslitbang Lektur sebelum dan sesudah kedatangannya. Agama Departemen Agama RI 1976? Mushthafa Anani menyebut Al-Quran c. Mengapa Mushhaf Al-Quran tergolong prosa dengan perbedaan dari Berwajah Puisi kreasi HB. Jassin kelaziman prosa mursal dan kata bersajak dilarang beredar di masyarakat? Arab biasa: kadang berwajah prosa, tapi di bagian lain berwajah sajak, dan bahkan kombinasi antarkeduanya. Sedangkan Al- B. Sejarah Penyusunan Mushhaf Al- Baqillani menolak wajah sajak dalam Al- Quran Al-Karim Berwajah Puisi Quran. Alasannya, dalam puisi harus ada Kreasi HB. Jassin minimal 4 bait dengan penyeragaman ujung-ujung qafiyah-nya, sedangkan Al- 1. Al-Quran, Puisi dan Prosa Quran tidak demikian.81 Perdebatan tentang apakah Al-Quran Beberapa contoh bisa diuraikan. cenderung pada garis puitis atau prosa, Misalnya, dalam surah Al-Ikhlâsh, keempat dalam literatur Islam telah muncul jauh ayatnya berirama ad dengan sebelum H.B. Jassin memuitisasikan ayat- mengesampingkan bunyi-bunyi nada, ayat Al-Quran. Mayoritas ulama, surah Al-Fîl, ayat-ayatnya berirama il menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan, dengan mengesampingkan vokal-vokal sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran telah akhir dan membolehkan -ul pada salah satu mengandung nilai puisi yang sangat agung. akhir ayat. Begitu juga yang terjadi pada Tapi, ia sendiri bukanlah puisi. Thaha surah Al-Dluhâ. Fakta ini mendeskripsikan Husein, sastrawan Mesir, membagi bahwa Al-Quran sebenarnya bukan puisi perkataan pada: puisi, prosa, dan Al- dan juga bukan prosa secara total. Struktur Quran, sehingga dalam kategori ini dia bahasa Al-Quran dengan perubahan rima memisahkan bahasa Al-Quran sebagai yang tiba-tiba; pengulangan kata rima yang bahasa yang khas: bukan puisi dan juga sama dengan penggandengan ayat; bukan prosa. Sebab, Al-Quran tidak pencampuran pokok bahasa asing ke dalam tunduk pada aturan puisi maupun prosa. suatu bagian Al-Quran yang homogen, Zaki Mubarak, berpendapat keterputusan dalam konstruksi gramatikal, sebaliknya. Dalam kitab al-Nashr al-Fanni 81 Lihat, D. Sirajuddin. AR., Al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui sebagaimana dikutip Sirajuddin, dia dalam Ulumul Quran, No. 5, Vol. IV Th. 1993, mengatakan bahwa Al-Quran sebagai hlm. 62. 44 Volume 1, No. 1, Februari - Juli 2015 perubahan yang tiba-tiba dalam panjang HB. Jassin adalah laki-laki kelahiran ayat; peralihan mendadak dalam suasana Gorontalo pada 31 Juli 1917. Sejarah dramatis dari kata ganti tunggal ke jamak pendidikannya adalah sekuler. Tamat dari adalah diantara beberapa keunikan dan Gouverment H.I.S. Gorontalo pada 1932. kekhasan Al-Quran.82 Kemudian ia melanjutkan ke H.B.S. di Lepas dari beragam pandangan Medan, dan lulus pada 1939. Delapan tersebut, Hans Bague Jassin, seorang empu
Recommended publications
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama Di Indonesia Dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
    Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi M. Syafi’ie Pusat Studi HAM UII Jeruk Legi RT 13, RW 35, Gang Bakung No 157A, Bangutapan, Bantul Email: syafi[email protected] Naskah diterima: 9/9/2011 revisi: 12/9/2011 disetujui: 14/9/2011 Abstrak Hak beragama merupakan salah satu hak yang dijamin dalam UUD 1945 dan beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia. Pada pasal 28I ayat 1 dinyatakan bahwa hak beragama dinyataNan seEagai haN yang tidaN dapat diNurang dalam keadaan apapun, sama halnya dengan hak hidup, hak untuk tidak disiNsa, haN NemerdeNaan piNiran dan hati nurani, haN untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan huNum, dan haN untuN tidaN dituntut atas dasar huNum yang berlaku surut. Sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi, maNa haN Eeragama semestinya EerlaNu secara universal dan non disNriminasi.TerEelahnya Maminan terhadap haN NeEeEasan beragama di tengah maraknya kekerasan yang atas nama agama mendorong beberapa /60 dan tokoh demokrasi untuk melakukan judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan 3enyalahgunaan dan atau 3enodaan Agama. 8ndang-8ndang terseEut dianggap Eertentangan dengan Maminan haN Eeragama yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam konteks tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya permohonan judicial review 88 terseEut, walaupun terdapat disenting opinion dari salah satu hakim konstitusi. Pasca putusan Mahkamah Konsitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011 ISSN 1829-7706 identitas hak beragama di Indonesia menjadi lebih terang, yaitu bisa dikurangi dan dibatasi. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjadi kabar gembira bagi para pemohon, karena UU. No. 1/ PNPS/1965 bagi mereka adalah salah alat kelompok tertentu untuk membenarkan kekerasan atas nama agama kontemporer.
    [Show full text]
  • Epistemologi Intuitif Dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin Terhadap Al-Qur'an
    Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur’an Fadhli Lukman1 Abstract This article discusses two projects of well-known literary critic H.B. Jassin on the Qur’an. Jassin’s great career in literary criticism brought him to the domain of al-Qur’an, with his translation of the Qur’an Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia and his rearrangement of the writing of the Qur’an into poetic makeup. Using descriptive and analytical methods, this article concludes that the two works of H.B. Jassin came out of his aesthetic reception of the Qur’an. Epistemologically, these two kinds of reception are the result of Jassin intuitive senses, which he nourished for a long period. Abstrak Artikel ini membincang dua proyek sastrawan kenamaan Indonesia, H.B. Jassin, seputar Al-Qur’an. Karir besar Jassin dalam sastra mengantarkannya kepada ranah al-Qur’an, dengan karya terjemahan berjudul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan penulisan mushaf berwajah puisi. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, artikel ini berakhir pada kesimpulan bahwa kedua karya H.B Jassin merupakan resepsi estetisnya terhadap Al-Qur’an. Berkaitan dengan epistemologi, kedua bentuk resepsi ini merupakan hasil dari pengetahuan intuitif Jassin yang ia asah dalam waktu yang panjang. Keywords: resepsi estetis, epistemologi intuitif, sastra, shi‘r 1Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Alumnus Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek. E-mail: [email protected] Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies – Vol. 4, No. 1, (2015): 37-55 Fadhli Lukman Pendahuluan Sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an mendapatkan resepsi yang luar biasa besar dari penganutnya.
    [Show full text]
  • Al-Qur'a>N Al-Kari>M Bacaan Mulia Karya H.B. Jassin)
    KUTUB ARTISTIK DAN ESTETIK AL-QUR’A>N (Kajian Resepsi atas Terjemahan Surat al-Rah}ma>n dalam Al-Qur’a>n Al-Kari>m Bacaan Mulia Karya H.B. Jassin) Oleh: Muhammad Aswar NIM. 1420510081 TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi Qur’an Hadis YOGYAKARTA 2018 ii iii iv v vi MOTTO “Musik muncul dalam masyarakat bersamaan dengan munculnya peradaban; dan akan hilang dari tengah masyarakat ketika peradaban mundur.” ~ Ibn Khaldun ~ vii Untuk istriku, Hilya Rifqi dan Najma, anak-anakku tercinta Dari mana tanganmu belajar menggenggam? viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi adalah kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543b/U/1987. I. Konsonan Tunggal Huruf Nama Huruf Latin Nama Arab Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا ba‘ b be ة ta' t te ت (s\a s\ es (dengan titik di atas ث Jim j je ج (h}a‘ h{ ha (dengan titik di bawah ح kha’ kh ka dan ha خ Dal d de د (z\al z\ zet (dengan titik di atas ذ ra‘ r er ر Zai z zet ز Sin s es ش Syin sy es dan ye ش (s}ad s} es (dengan titik di bawah ص (d{ad d{ de (dengan titik di bawah ض (t}a'> t} te (dengan titik di bawah ط (z}a' z} zet (dengan titik di bawah ظ (ain ‘ koma terbalik ( di atas‘ ع Gain g ge غ ix fa‘ f ef ف Qaf q qi ق Kaf k ka ك Lam l el ه Mim m em ً Nun n en ُ Wawu w we و ha’ h H هـ Hamzah ’ apostrof ء ya' y Ye ي II.
    [Show full text]
  • A National Mental Revolution
    A NATIONAL MENTAL REVOLUTION THROUGH THE RESTORATION OF CITIES OF COLONIAL LEGACY: TOWARDS BUILDING A STRONG NATION’S CHARACTER An Urban Cultural Historical and Bio Psychosocial Overview By Martono Yuwono and Krishnahari S. Pribadi, MD *) “We shape our buildings; thereafter they shape us” --- (Sir Winston Churchill). “The young generation does not realize how hard and difficult it was when Indonesia struggled for our independence throughout three hundred years of colonization. They have to learn thoroughly from our history and to use the experiences and leadership of the older generations, as guidance and role models. They have to understand about our national identity. When they do not know their national’s identity, where would they go?” (Ali Sadikin’s statement as interviewed by Express Magazine, June 1, 1973, and several times discussions with Martono Yuwono) “Majapahit", a strong maritime nation in the 14th century The history of Indonesia as a maritime nation dates back to the 14th century when this South East Asian region was subjected under the reign of the great “Majapahit” Empire. The Empire ruled a region which is geographically located between two great continents namely Asia and Australia, and at the same time between two great oceans namely the Pacific and the Indian oceans. This region consisted of mainly the archipelagic group of islands (which is now referred to as Indonesia), and some portion of the coastal region at the south eastern tip of the Asian continent. “Majapahit” was already the largest archipelagic state in the world at that time, in control of the strategic cross roads (sea lanes) between those two great continents and two great oceans.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    14 The capital of pulp fiction and other capitals Cultural life in Medan, 1950-1958 Marije Plomp The general picture of cultural activities in Indonesia during the 1950s emanating from available studies is based on data pertain- ing to the nation’s political and cultural centre,1 Jakarta, and two or three other main cities in Java (Foulcher 1986; Rhoma Dwi Aria Yuliantri and Muhidin M. Dahlan 2008). Other regions are often mentioned only in the framework of the highly politicized debate on the outlook of an Indonesian national culture that had its origins in the 1930s (Foulcher 1986:32-3). Before the war, the discussions on culture in relation to a nation were anti-colonial and nationalistic in nature, but after Independence the focus shifted. Now the questions were whether or not the regional cul- tures could contribute to a modern Indonesian national culture, and how they were to be valued vis-à-vis that national culture. What cultural life in one of the cities in the outer regions actually looked like, and what kind of cultural networks – national, trans- national and transborder – existed in the various regions has yet to be researched. With this essay I aim to contribute to a more differentiated view on the cultural activities in Indonesia in the 1950s by charting a part of the cultural world of Medan and two of its (trans)national and transborder cultural exchange networks in the period 1950- 1958. This time span covers the first eight years of Indonesia as an independent nation until the start of the insurrection against the central army and government leaders by North Sumatran army commander Colonel Maludin Simbolon on 22 December 1958 (Conboy 2003:37-51).
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • The Original Documents Are Located in Box 20, Folder “11/29/75-12/8/75 - Indonesia (2)” of the Sheila Weidenfeld Files at the Gerald R
    The original documents are located in Box 20, folder “11/29/75-12/8/75 - Indonesia (2)” of the Sheila Weidenfeld Files at the Gerald R. Ford Presidential Library. Copyright Notice The copyright law of the United States (Title 17, United States Code) governs the making of photocopies or other reproductions of copyrighted material. Gerald Ford donated to the United States of America his copyrights in all of his unpublished writings in National Archives collections. Works prepared by U.S. Government employees as part of their official duties are in the public domain. The copyrights to materials written by other individuals or organizations are presumed to remain with them. If you think any of the information displayed in the PDF is subject to a valid copyright claim, please contact the Gerald R. Ford Presidential Library. O<i !O { Y\V'Y\(.11 ch""r y Vi rt -p--) r; rr Cf """ ..-<1:'. f61 s (:, ?nrrf:J ~~?t cl ~ 01?-<J ~~ .5~-> ) ~ y~ I~ -!"j4 °t <rYi_ ti ~~~& ~1/11 ~ ~ff f.r(J V'YJ-9 ~4 ~r'r"1r\1. 1""1\i-.Q- "'01l<J Of .J/q ~vri-r,.1...n cvrud ....uv Si:& NO.L8NIHS'v'M-- 3SnOH 3.LI HM 3H.L • Digitized from Box 20 of the Sheila Weidenfeld Files at the Gerald R. Ford Presidential Library 1 - -..r~ '-'/\ ~ ~fj- f '2 NO.L8N I HS'v'M 3SnOH 3.Ll HM 3H.L • '-6'V 'rf} 1f2cl~ ~ ~ "Vlt1> ~I h .._,,~I a-<l'Nv'V -...(,,J h ~ VV1 ~t-i ~ ..p~ ~ - ~~"}~ o?.:L ~ a..t- ~o·' n ~.J.
    [Show full text]
  • Hans Bague Jassin
    HANS BAGUE JASSIN HANS BAGUE JASSIN was born in 1917 in the small port city of Gorontalo on the northeastern coast of Sulawesi ( Celebes), in what was then the Netherlands East Indies. Sulawesi's population consisted pri­ marily of farmers and fishermen.JASSIN's family was an exception. Bague MantuJassin,JASSIN'sfather, was a Gorontalese of modern leanings. Having taught himself Dutch, he had obtained a position as customs clerk with the local Dutch colonial administration. However, at the time his son HAMZAH (later changed to HANS) was born, he was unemployed. For this reason he left his wife, Habibah, the followingyear and went to Borneo to work for Bataviaasch Petroleum Maatschappij (BPM), the large Dutch oil conglomerate. Young JASSIN was thus entrusted to the care of his gentle mother. Mother and son lived with her parents and extended familyin her parents' home. Her fatherwas a teacher in Malay schoois and Habibah was educated, probably through secondary school. She spoke Malay, which is the basis of, and almost interchangeable with, Indonesian, and Gorontalese, the local language spoken in her home. JASSIN'sfondest memories of his childhood are of his mother's bedtime folktales and lullabies. She also spoke to him often of his father who would one day come for them. Bague Jassin came home in 1924 after six years of absence. JASSIN remembers well the appearance ·one day of a fine gentleman in white who came up to him as he played in the village. "I ran away but he caught me," he relates, "and we went together to the house of my mother." Reunited, the familymoved to Balikpapan, a company town on the coast of East Borneo, and settled into new lodgings in the BPM compound.
    [Show full text]
  • 115 Bab Iv Analisis Prinsip Kewartawanan Mochtar
    BAB IV ANALISIS PRINSIP KEWARTAWANAN MOCHTAR LUBIS DALAM BUKU MOCHTAR LUBIS WARTAWAN JIHAD DITINJAU DARI PERSPEKTIF KOMUNIKASI ISLAM A. Seleksi Teks Peneliti memilih buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad karena menurut penulis buku tersebut memuat pandangan banyak orang tentang kewartawanan Mochtar Lubis ketika menjadi pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya. Peneliti menyeleksi teks yang menggambarkan prinsip kewartawanan Mochtar Lubis dari bagian 3, bagian 1 dan 2 buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Bagian 3 berisi tulisan Mochtar Lubis sendiri (yang kemudian dikutip dalam buku ini), yang lebih tepat dianalisis pertama kali, diikuti dengan bagian 1 dan bagian 2 buku, karena kedua bagian tersebut berisi pendapat orang lain tentang Mochtar Lubis. Bagian 1 dan bagian 2 buku dapat menjadi bukti apakah Mochtar Lubis menjalankan sendiri prinsip kewartawanan yang ia tulis. 115 116 B. Unit Analisis dan Kategori Isi Peneliti membaca seluruh isi buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad dan menjadikan kalimat/paragraf yang menggambarkan prinsip kewartawanan Mochtar Lubis sebagai unit analisis. Tabel 3. Analisis Prinsip Kewartawanan Mochtar Lubis N Kategori Unit Analisis o a B c d e f 1. Etos pers Indonesia bersumber pada perjuangan Bangsa Indonesia untuk V memajukan bangsa dan memerdekaan bangsa dari telapak kaki penjajah (hlm. 460) 2. Mengangkat pena melawan V penyelewengan kekuasaan (hlm. 467) 3. Memberitakan penyelewengan, meskipun pelakunya V teman sendiri. (hlm. 468) 4. Kritik dalam pers adalah sumbangan pikiran V untuk membangun bangsa (hlm. 473) 5. Wartawan jihad, V wartawan yang 117 membongkar hal bobrok dalam pemerintahan. (hlm. 11) 6. Lebih baik mati daripada tidak bisa V menjadi pers bebas (hlm. 17) 7. Surat kabar jihad, menentang korupsi, penyalahgunaan wewenang, V ketidakadilan, dan feodalisme dalam sikap manusia (hlm.
    [Show full text]
  • Some Reconsiderations. with Comments by Taufik Abdullah In
    H. Aveling ýSitti Nurbaja'; Some reconsiderations. With comments by Taufik Abdullah In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 126 (1970), no: 2, Leiden, 228-245 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/24/2021 12:18:45PM via free access "SITTI NURBAJA": SOME RECONSIDERATIONS arah Rusli's novel Sitti Nurbaja was published first by Balai Pustaka in. 1922.1 It was by far the most popular of Indonesian novels prior to the second world war and still retained a great deal of popularity after it. This is common knowledge. That it is also a novel which has, as yet, not had its fair critica! due, is rather less obvious. Most critics refer to it, after all, at one stage or another in their studies, even if, upon closer examination, rather briefly. (Drs H. B. Jassin refers to the novel nine times in his four volumes of Kruik dan Esei; none of the references are longer than one sentence.) Further, there seems to be a remarkably high degree of concensus as to the position, the themes, and the significance of the book within the structure of modern Indonesian literature.2 Conventionally it seems the following comments are considered necessary from the critic of Sitti Nurbaja. Firstly, a passing reference to the primacy, or the pioneering position, of the novel in the historica! development of Indonesian literature. To choose three examples: Takdir Alisjahbana's reference to "Marah 1 Marah Rusli was born in Padang, central Sumatra, 1889: son of Sutan Abu Bakar gelar Sutan Pangeran and a commoner, hence his title.
    [Show full text]
  • MEDIA, COMMUNICATION and SOCIETY EMPOWERMENT
    MEDIA, COMMUNICATION and SOCIETY EMPOWERMENT Foreword: Dr. Heri Budianto M.Si (The Chair of International Conference Committee) Edited by : Didik Haryadi Santoso|Agustinus Hary Setyawan|Elysa Hartati|Noor Aeni Supported by: MEDIA, COMMUNICATION AND SOCIETY EMPOWERMENT Copyright: Mercu Buana University of Yogyakarta, Universiti Sains Malaysia, ASPIKOM Author : Sika Nur Indah, Herlina Agustin, Dadang Rahmat Hidayat, Renata Anisa, Heri Budianto, Ellen Meianzi Yasak, Muhamad Sulhan, Muhammad Nastain, Anom Erman, Ibrahim Faridah, Rosada Dede, Didik Haryadi Santoso, Rani Dwi Lestari, Dian Marhaeni K, Mubarok, Zulhefi, Ruslan Hurasan, Veranus Sidharta, Dian Wardiana Sjuhro, Eka Yusuf, Yoki Yusanto, Heri Ruslan, Bachtiar Wahab, Irmawanti, Rachmaniar, Ikhsan Fuady, Meria Octavianti, Detta Rahmawan, Slamet Mulyana, Rd. Funny , Rizky Imania, Dahniarny Maulina Bahar, Muhammad Arif Syuhada, Dadang Sugiana, Saputra Malik, Aurelius Teluma, Muhammad Annas Triwibowo, Atwar Bajari, Rully Khairul Anwar, Evi Novianti, Moch. Dulkiah, M. Taufiq Rahman, Yuli Setyowati, Widodo Muktiyo, Mahendra Wijaya, Sarah RumHandayani, Siti Komsiah, Eli Jamilah, Dian Harmaningsih, Lasmery RM Girsang, Agus Setiaman, Dadang Sugiana, Betty Tresnawaty, Samson Halomoan Novan, Robertus Romrome, Rahimin, Pir Owners, Ditha Prasanti, Kismiyati El Karimah, Elysa Hartati, Iskak Ismuwidarto, Mohammad Ibnur khalid, Idin Saidin Foreword: Dr. Heri Budianto M.Si The Chair of International Conference Committee Edited by: Didik Haryadi Santoso, Agustinus Hary Setyawan, Elysa Hartati, Noor Aeni Design Cover & Lay out: Ibnu Teguh W Published by: Buku Litera Yogyakarta Minggiran MJ II/1378, RT 63/17 Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta Telp. 0274-388895, 08179407446 [email protected] Supported by: Mercu Buana University of Yogyakarta Universiti Sains Malaysia ASPIKOM Special Copies, November 2016 Printed on Matapadi Yogyakarta viii+ 408 page; 155 x 235 mm ISBN: 978-602-6751-39-3 FOREWORD Alhamdulillahirobil ‘alamiin, we are the committee would like to express our gratitude for finishing this book.
    [Show full text]