Pers Tionghoa Dan Dinamika Pergerakan Nasional Di Indonesia, 1900 – 1942

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pers Tionghoa Dan Dinamika Pergerakan Nasional Di Indonesia, 1900 – 1942 SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013 Pers Tionghoa dan Dinamika Pergerakan Nasional di Indonesia, 1900 – 1942 Ahmad Kosasih Ikhtisar: Bisa dikatakan bahwa pers membentuk sejarah dan sejarah juga membentuk pers itu sendiri. Pers berperan dalam menyampaikan berbagai informasi tentang peristiwa di sebuah negara-bangsa. Ia sebagai alat komunikasi, penyampai ide, dan buah pikiran seseorang atau kelompok tertentu kepada orang atau kelompok lain. Pers, khususnya surat kabar, merupakan fenomena penting pada masa pergerakan nasional di Indonesia. Pers pergerakan terdiri dari pers Belanda, pers Tionghoa, dan pers Bumiputera. Khusus tentang pers Tionghoa, secara umum dipandang mampu memberi inspirasi bagi perkembangan kesadaran berbangsa di kalangan warga keturunan Tionghoa di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Pers Tionghoa pun berpotensi membangkitkan kesadaran kolektif, yang menjurus kepada upaya membangkitkan kesadaran kaum Tionghoa tentang arti pentingnya “nasionalisme”. Karenanya melalui pers, keterlibatan etnis Tionghoa kedalam dinamika pergerakan nasional Indonesia secara sadar telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terus bergerak dalam mencari dan menemukan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Kata kunci: Pers, surat kabar, etnik Tionghoa, nasionalisme Indonesia, dan sejarah pergerakan nasional. Abstract: It can be said that press creates the history and, vice versa, history creates the press. Press has a role in delivering various informations about the events in a nation-state. It is as communication tool, the conveyor of one’s or particular group’s idea or thought to other. Press, especially newspaper, is an important phenomenon in the period of national movement in Indonesia. The press concerned with national movement in that era was that of Dutch, Chinese, and “Bumiputera” (Indonesian people). Specifically for Chinese press, it is generally assumed to be able to give inspiration for the development of national awareness among Chinese descendants in Dutch East Indies (Indonesia nowadays). The Chinese press is also potential in inspiring collective awareness that leads to the effort of generating Chinese people awareness about the importance meaning of “nationalism”. Therefore, by press, the involvement of Chinese ethnic in Indonesia national movement dynamic has consciously been a part of Indonesia society that continually moves in searching and finding its identity as Indonesia nation. Key word: Press, newspaper, Chinese ethnic, Indonesia nationalism, and the history of national movement. Pendahuluan sejarah membentuk pers itu sendiri. Pers mempunyai pengaruh besar Pers berperan dalam menyampaikan dalam sejarah pergerakan nasional berbagai informasi tentang peristiwa di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa yang terjadi di sebuah negara-bangsa. pers membentuk sejarah dan sekaligus Ia sebagai alat komunikasi, penyampai Ahmad Kosasih, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas IPPS (Ilmu Pendidikan Pengetahuan Sosial), Universitas Indraprasta PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), Jalan Nangka No.58C Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530, Indonesia. Alamat e-mail: [email protected] 41 AHMAD KOSASIH, Pers Tionghoa dan Dinamika Pergerakan Nasional ide, dan buah pikiran seseorang atau 1910) mulai bermunculan. kelompok tertentu kepada orang atau Dalam hal ini, komunitas Tionghoa kelompok lain, baik dalam jumlah yang di Hindia Belanda dianggap paling terbatas maupun dalam jangkauan mampu dalam mengembangkan tidak terbatas. industri persuratkabaran. Ini dengan Karenanya, pers di masa pergerakan alasan bahwa kondisi keuangan nasional Indonesia tidak lepas mereka lebih baik ketimbang kondisi dari kondisi sosial-politik yang yang dihadapi orang-orang pribumi menempatkan pers pada sub-sistem Indonesia. Bahkan, beberapa surat masyarakat kolonial, yang berfungsi kabar terbitan orang China ini oplahnya memberikan penggambaran tentang melampaui oplah surat kabar Belanda. realitas kehidupan masyarakat dari Patut dicatat bahwa dalam struktur berbagai aspek kehidupan. Pers di masyarakat Hindia Belanda terdiri dari sini, dengan demikian, telah membuka orang-orang Belanda, orang-orang Indo, pikiran rakyat dan sekaligus sebagai China, dan Bumiputra (Suryadinata, alat propaganda dalam arus pergerakan 1986). Jadi, wajar jika surat kabar yang (Rahzen, 2007). Semuanya itu secara diterbitkan sesuai dengan pangsa pasar bersamaan mendukung gerakan rakyat dari kelompok ini jauh lebih luas. untuk berpartisipasi dalam pergerakan Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa nasional (Surjomihardjo & Suryadinata, peranakan di Indonesia menerbitkan 1980). sejumlah surat kabar lagi, antara lain: Sejarah persuratkabaran di Bing Seng (Jakarta, 1922); Keng Po Hindia Belanda (sekarang Indonesia), (Jakarta, 1923); Sin Jit Po (Surabaya, berdasarkan penerbitan dan 1924); Soeara Poebliek (Soerabaya, kepemilikannya, dibagi menjadi: (1) 1925); dan Sin Bin (Bandung, 1925). surat kabar Hindia Belanda, yang Pada dekade 1930-an, surat kabar umumnya berbahasa Belanda dan Tionghoa makin bertambah banyak diterbitkan serta dikelola oleh orang- akibat pengaruh perang anti Jepang. orang Belanda; (2) surat kabar Tionghoa Namun, surat kabar Tionghoa yang berbahasa Cina-Mandarin atau peranakan tidak semuanya anti-Jepang, Melayu-Tionghoa, yang dikelola orang- seperti yang ditunjukkan oleh surat orang China, baik peranakan maupun kabar Mata Hari di Semarang dan Hong totok; serta (3) surat kabar Bumiputra, Po di Jakarta (Suryadinata, 1986). termasuk surat kabar daerah, yang Berbeda dengan surat kabar Belanda, berbahasa Melayu, Arab, Daerah, kelahiran surat kabar Tionghoa dan belakangan berbahasa Indonesia yang dimotori oleh orang-orang (Soebagio, 1977; dan Taufik, 1977). China itu pada awal penerbitannya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sosial Mengenai Surat Kabar Tionghoa dan ekonomi (Budiharto, 2005). Secara Dengan mengikuti jejak orang-orang sosial, sebagaimana diketahui, bahwa Indo-Eropa, komunitas Tionghoa juga pemerintah Hindia Belanda mengatur menerbitkan beberapa surat kabar, masyarakatnya berdasarkan ras, yang diawali dengan diterbitkannya keturunan, dan status hukum Belanda. surat kabar Li Po di Sukabumi, Orang Eropa atau orang-orang yang Jawa Barat (Jusuf, 2000). Tak lama dipersamakan status hukumnya dengan kemudian, sejumlah surat kabar orang Eropa menduduki posisi sosial lainnya seperti Pewarta Soerabaia istimewa. Sedangkan ras Tionghoa (Surabaya, 1902); Warna Warta (China) pada mulanya dipersamakan (Semarang, 1902); Chabar Perniagaan kedudukannya dengan orang Pribumi (Jakarta, 1903); Djawa Tengah (Indonesia). Hak-hak dari tiap golongan (Semarang, 1909); dan Sin Po (Jakarta, tersebut dibedakan berdasarkan 42 SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013 ketetapan undang-undang yang dibuat Jit Po (Soebagio, 1981). oleh pemerintah kolonial Belanda Namun, jika dilihat dari dimensi (Suryadinata, 1986). politis yang dipantulkan oleh surat Orang Tionghoa, dengan kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi demikian, dianggap lebih rendah dalam tiga aliran, yakni: kelompok kedudukannya dari orang Eropa Sin Po, kelompok Chung Hwa Hui, dan mendapat perlakukan yang dan kelompok Indonesiers atau orang tidak adil, sehingga menyinggung Indonesia. Kelompok Sin Po menolak perasaan mereka. Kekecewaan orang kewarganegaraan Belanda dan Tionghoa itu diperkuat lagi oleh politik menghendaki tumbuhnya nasionalisme pendidikan kolonial Belanda yang Tiongkok. Sementara kelompok Chung tidak memberikan kesempatan bagi Hwa Hui cenderung pro-Belanda anak-anak Tionghoa untuk masuk tapi masih ingin mempertahankan sekolah Belanda. Hal ini mendorong identitas etnis Chinanya. Sedang golongan Tionghoa berupaya untuk kelompok Indonesiers tetap ingin mendirikan sekolah swasta untuk mempertahankan identitas etnik China, anak-anak mereka. Semangat ini tapi secara politik ingin berasimilasi terutama didorong oleh sebuah dengan masyarakat lokal dan bersedia perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta). (Thiam Tjing, 2008). Berdasarkan catatan, pendirian Berangkat dari penggambaran di organisasi ini memang bertujuan untuk atas, fenomena tentang sejarah pers mengenalkan kembali adat-istiadat Tionghoa, dalam konteks dinamika orang-orang Tionghoa sesuai dengan pergerakan nasional di Indonesia, ajaran Khonghucu, serta memperluas menimbulkan pertanyaan lebih pengenalan budaya, huruf, dan bahasa jauh tentang kedekatan hubungan Tionghoa di kalangan anak-anak pers Tionghoa dalam memberikan mereka (PPB, 1952; dan THHK, 1953). sumbangan bagi perkembangan dan Selain pengembangan dalam bidang kebangkitan nasionalisme dan dinamika pendidikan, orang-orang China di pergerakan yang domotori oleh para Hindia Belanda, sejak awal abad ke- jurnalis keturunan Tionghoa. Dalam 20 banyak memberikan perhatian tulisan ini, penulis bermaksud untuk pada perkembangan percetakan surat mengungkap kejelasan peran pers kabar, termasuk upaya mereka dalam Tionghoa itu sendiri di tengah arus mengedepankan semangat jurnalistik pergerakan nasional di Indonesia. di kalangan kaum terdidik China. Dari segi redaksional dan susunan staf Tinjauan Teoritis: Mengenai perusahaan, surat kabar Tionghoa Fungsi dan Kedudukan Pers dalam semula menggunakan tenaga dari Masyarakat orang-orang Indo-Eropa, seperti Menurut UU (Undang-Undang) Nomor yang dilakukan surat kabar Chabar 40 tahun 1999 mengenai “Ketentuan Perniagaan dan Sin Po pada awal tentang Pers”, terutama pada pasal terbitnya.
Recommended publications
  • Bangsawan Prampoewan Enlightened Peranakan Chinese Women from Early Twentieth Century Java
    422 WacanaWacana Vol. Vol.18 No. 18 2No. (2017): 2 (2017) 422-454 Bangsawan prampoewan Enlightened Peranakan Chinese women from early twentieth century Java Didi Kwartanada ABSTRACT The end of the nineteenth century witnessed paradox among the Chinese in colonial Java. On one hand, they were prospering economically, but were nonetheless held in contempt by the Dutch, encountered legal discrimination and faced challenges if they wanted to educate their children in European schools. Their marginal position motivated them do their utmost to become “civilized subjects”, on a par with Europeans, but they were also inspired to reinvent their Chinese identity. This contribution will highlight role played by “enlightened” Chinese, the kaoem moeda bangsa Tjina. Central to this movement were the Chinese girls known to the public as bangsawan prampoewan (the noblewomen), who wrote letters the newspaper and creating a gendered public sphere. They also performed western classical music in public. Considering the inspirational impact of bangsawan prampoewan’s enlightening achievements on non-Chinese women, it is appropriate to include them into the narrative of the history of the nation’s women’s movements. KEYWORDS Chinese; women; modernity; progress; newspapers; Semarang; Surabaya; western classical music; Kartini. Didi Kwartanada studies history of the ethnic Chinese in Indonesia, especially Java. He is currently the Director of the Nation Building Foundation (NABIL) in Jakarta and is preparing a book on the history of Chinese identity cards in Indonesia. His publications include The encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: Brill, 2009) as co-editor and contributor, and the most recent work Tionghoa dalam keindonesiaan; Peran dan kontribusi bagi pembangunan bangsa (3 vols; Jakarta: Yayasan Nabil, 2016) as managing editor cum contributor.
    [Show full text]
  • List of Entries
    List of Entries 1. Aik Htun 3 34. Chan Wai Chang, Rose 82 2. Aing Khun 5 35. Chao Tzee Cheng 83 3. Alim, Markus 7 36. Charoen Siriwatthanaphakdi 4. Amphon Bulaphakdi 9 85 5. Ang Kiukok 11 37. Châu Traàn Taïo 87 6. Ang Peng Siong 14 38. Châu Vaên Xöông 90 7. Ang, Samuel Dee 16 39. Cheah Fook Ling, Jeffrey 92 8. Ang-See, Teresita 18 40. Chee Soon Juan 95 9. Aquino, Corazon Cojuangco 21 41. Chee Swee Lee 97 10. Aung Twin 24 42. Chen Chong Swee 99 11. Aw Boon Haw 26 43. Chen, David 101 12. Bai Yao 28 44. Chen, Georgette 103 13. Bangayan, Teofilo Tan 30 45. Chen Huiming 105 14. Banharn Silpa-archa 33 46. Chen Lieh Fu 107 15. Benedicto, Francisco 35 47. Chen Su Lan 109 16. Botan 38 48. Chen Wen Hsi 111 17. Budianta, Melani 40 49. Cheng Ching Chuan, Johnny 18. Budiman, Arief 43 113 19. Bunchu Rotchanasathian 45 50. Cheng Heng Jem, William 116 20. Cabangon Chua, Antonio 49 51. Cheong Soo Pieng 119 21. Cao Hoàng Laõnh 51 52. Chia Boon Leong 121 22. Cao Trieàu Phát 54 53. Chiam See Tong 123 23. Cham Tao Soon 57 54. Chiang See Ngoh, Claire 126 24. Chamlong Srimuang 59 55. Chien Ho 128 25. Chan Ah Kow 62 56. Chiew Chee Phoong 130 26. Chan, Carlos 64 57. Chin Fung Kee 132 27. Chan Choy Siong 67 58. Chin Peng 135 28. Chan Heng Chee 69 59. Chin Poy Wu, Henry 138 29. Chan, Jose Mari 71 60.
    [Show full text]
  • Komunitas Tionghoa Di Solo: Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)
    Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sejarah Disusun Oleh : CHANDRA HALIM 024314004 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 2 3 4 MOTTO Keinginan tanpa disertai dengan tindakan adalah sia-sia. Sebaliknya ketekunan dan kerja keras akan mendatangkan keberhasilan yang melimpah. (Amsal 13:4) 5 HALAMAN PERSEMBAHAN Tiada kebahagiaan yang terindah selain mempersembahkan skripsi ini kepada : Thian Yang Maha Kuasa serta Para Buddha Boddhisattva dan dewa dewi semuanya yang berkenan membukakan jalan bagi kelancaran studiku. Papa dan Mama tercinta, serta adik-adikku tersayang yang selalu mendoakan aku untuk keberhasilanku. Om Frananto Hidayat dan keluarga yang berkenan memberikan doa restunya demi keberhasilan studi dan skripsiku. 6 ABSTRAK Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959) Chandra Halim 024314004 Skripsi ini berjudul “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan yang diungkapkan, yaitu sejarah masuknya Etnik Tionghoa di Solo, kehidupan berorganisasi Etnik Tionghoa di Solo dan pembentukan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) hingga berubah menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Selain itu juga menggunakan metode wawancara sebagai sumber utama, dan studi pustaka sebagai sumber sekunder dengan mencari sumber yang berasal dari buku-buku, koran, dan majalah. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Tionghoa di Solo sudah ada sejak 1740, tepatnya ketika Solo dalam kekuasaan Mataram Islam.
    [Show full text]
  • Kwee Kek Beng (Guo Keming)
    Denken over de peranakan identiteit: Kwee Kek Beng (Guo Keming) Que Soei Keng (gepubliceerd in het Hua Yi blad van Maart 2009) seudoniemen: Garem (zout); Thio Boen Hiok. Geboren te Jakarta op 16 P nov 1900 en overleden te Jakarta 31 mei 1975. Gehuwd met Tee Lim Nio. Kwee was publicist en hoofdredacteur van het dagblad Sin Po (1925- 1947). Prominent intellectueel leider van de Chinese gemeenschap in Indonesië en filosoof van de Chinese stroming binnen de Indonesische filosofie. Vader van architect Kwee Hin Goan (Jakarta 4 juni 1932) en journalist-schrijver Xing-hu Kuo (Kwee Hin Houw , Jakarta 12 mei 1938). Opleiding Hollands-Chinese School (HCS) en Hollands- Chinese Kweekschool (HCK) te Jakarta. In 1922 werd hij onderwijzer aan de HCS Tanjakan Empang te Bogor, trad na vier maanden in dienst van Bin Seng (een locaal dagblad van Batavia dat net was opgericht door Tjoe Bou San) en de redactie van het Maleis-Chinese blad Sin Po. Na de dood van Tjoe Bou San in 1925 werd hij hoofdredacteur, een functie die hij tot 1947 zou behouden. Hij vertegenwoordigde evenals zijn voorganger de Chinees nationalistische stroming binnen de Chinese gemeenschap Indonesia Raya en Sin Po (Een bewerking uit de autobiografie “BLOEIENDE BRON, Een architectenleven” door Kwee Hin Goan). In oktober 1910, aan de vooravond van de Chinese revolutie tegen het Manchu- regime, verscheen in toenmalig Batavia een weekblad, “Sin Po” of “Nieuw Blad”. Een jaar later werd het omgezet in een dagblad met Razoux Kuhr, een gewezen Indo ambtenaar (Binnenlands Bestuur), als hoofdredacteur. Sin Po was vervuld van jeugdig enthousiasme en vol vuur voor de revolutionaire beweging in China onder Dr.
    [Show full text]
  • 1942 Skripsi
    DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember PERANAN PERS TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA DALAM PERGERAKAN NASIONAL 1902 – 1942 SKRIPSI Oleh Saripa Haini Jumita Asmadi NIM. 090110301002 JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER 2015 DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember PERANAN PERS TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA DALAM PERGERAKAN NASIONAL 1902 – 1942 SKRIPSI Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan program Studi pada Jurusan Sejarah (S1) dan mencapai gelar Sarjana Sastra. Oleh Saripa Haini Jumita Asmadi NIM. 090110301002 JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER 2015 DigitalDigital RepositoryRepository UniversitasUniversitas JemberJember PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Saripa Haini Jumita Asmadi NIM : 090110301002 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Peranan Pers Tionghoan Peranakan di Surabaya dalam Pergerakan Nasional 1902-1942” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi mana pun dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik apabila ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar. Jember, 12 Februari 2015 Yang menyatakan, Saripa Haini
    [Show full text]
  • Liem Thian Joe's Unpublished History of Kian Gwan
    Southeast Asian Studies, Vol. 27, No.2, September 1989 Liem Thian Joe's Unpublished History of Kian Gwan Charles A. COPPEL* Studies on the role of the overseas Chinese sue the talent for writing which was already in the economies of Southeast Asia are rare evident in his schoolwork. A short ex­ enough, despite their generally acknowledged perience as a trader in Ngadiredjo soon con­ importance. This has been particularly true vinced him, however, that he should seek his of Indonesia, and consequently it is a matter livelihood as a writer. of some interest to discover an unpublished His career in journalism seems to have history of Kian Gwan (Oei Tiong Ham Con­ begun in the 1920's when he joined the staff of cern), the biggest and longest-lasting Chinese the Semarang peranakan Chinese daily, Warna business of all in Indonesia. Further interest Warla (although there is some suggestion that is aroused by the fact that the manuscript was he also contributed to the Jakarta daily, Per­ written by the late Liem Thian Joe, the well­ niagaan, at this time). In the early 1930's, he known Semarang journalist and historian. moved from Warna Warta to edit the Semarang This combination gives us promise of insights daily, Djawa Tengah (and its sister monthly into the firm itself, the Oei family which Djawa Tengah Review). In later years he established it and built it up, and the history of was also a regular contributor to the weekly the Chinese of Semarang where its original edition of the Jakarta newspaper, Sin PO.2) office was founded.
    [Show full text]
  • Denys Lombard and Claudine Salmon
    Is l a m a n d C h in e s e n e s s Denys Lombard and Claudine Salmon It is worth pausing for a moment to consider the relationships that were able to exist between the expansion of Islam in the East Indies and the simultaneous formation of "Chinese" communities. These two phenomena are usually presented in opposition to one another and it is pointless here to insist on the numerous conflicting accounts, past and present.* 1 Nevertheless, properly considered, it quickly becomes apparent that this is a question of two parallel developments which had their origins in the urban environment, and which contributed to a large extent to the creation of "middle class" merchants, all driven by the same spirit of enterprise even though they were in lively competition with one another. Rather than insisting once more on the divergences which some would maintain are fundamental—going as far as to assert, against all the evidence, that the Chinese "could not imagine marrying outside their own nation," and that they remain unassimilable—we would like here to draw the reader's attention to a certain number of long-standing facts which allow a reversal of perspective. Chinese Muslims and the Local Urban Mutation of the 14th-15th Centuries No doubt the problem arose along with the first signs of the great urban transformation of the 15th century. The fundamental text is that of the Chinese (Muslim) Ma Huan, who accompanied the famous Admiral Zheng He on his fourth expedition in the South Seas (1413-1415), and reported at the time of their passage through East Java that the population was made up of natives, Muslims (Huihui), as well as Chinese (Tangren) many of whom were Muslims.
    [Show full text]
  • Perkembangan Pendidikan Anak-Anak Tionghoa Pada Abad 19 Hingga Akhir Orde Baru Di Indonesia
    Perkembangan Pendidikan Anak-Anak Tionghoa Pada Abad 19 Hingga Akhir Orde Baru Di Indonesia Noor Isnaeni ABA BSI Jl. Salemba Tengah No.45 Jakarta Pusat [email protected] ABSTRACT - In the 19th century the Dutch East Indies government did not care about education for Chinese children. When the clothing, food and shelter were fulfilled, Chinese people began to think about their children's education. Finally, Chinese people made an association named THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) on March 17, 1900. The purpose of this scientific writing is to find out how the development of the educational of Chinese children in the 19th century until the collapse of new era and what the Chinese people doing for the education of their children at that time. The research method used is the method of historical research, that is: heuristics, source criticism, interpretation and historiography. The main purpose of the establishment of schools THHK is to spread the religion of Confucius. By coming out Chinese schools established by the Chinese people, it caused that the Dutch East Indies government worried of the Chinese people and their offspring’s nationalism growing up. Therefore, the Dutch East Indies government found Holandsch Chineesche School (HCS) – it was built up for Chinese people with Dutch language as the main language. Key Words: development, education, childrens of chinese, in Indonesia. 1. PENDAHULUAN berusaha meningkatkan perdagangan antar Sejarah Indonesia mencatat bahwa sejak pulau dan mulailah terjadi perdagangan besar- abad ke-5 sudah ada orang Tionghoa yang besaran di Nusantara. Potensi dagang orang mengunjungi Nusantara. Salah satu orang Tionghoa sangat meresahkan pemerintah VOC Tionghoa yang mengunjungi Nusantara adalah yang pada saat itu mulai menjajah Nusantara.
    [Show full text]
  • Prominent Chinese During the Rise of a Colonial City Medan 1890-1942
    PROMINENT CHINESE DURING THE RISE OF A COLONIAL CITY MEDAN 1890-1942 ISBN: 978-94-6375-447-7 Lay-out & Printing: Ridderprint B.V. © 2019 D.A. Buiskool All rights reserved. No part of this thesis may be reproduced,stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means without prior written permission of the author. Cover photo: Chinese festive gate in Kesawan, Medan 1923, on the occasion of the 25th coronation jubilee of Queen Wilhelmina of the Netherlands. Photo collection D.A. Buiskool PROMINENT CHINESE DURING THE RISE OF A COLONIAL CITY MEDAN 1890-1942 PROMINENTE CHINEZEN TIJDENS DE OPKOMST VAN EEN KOLONIALE STAD MEDAN 1890-1942 (met een samenvatting in het Nederlands) Proefschrift ter verkrijging van de graad van doctor aan de Universiteit Utrecht op gezag van de rector magnificus, prof. dr. H.R.B.M. Kummeling, ingevolge het besluit van het college voor promoties in het openbaar te verdedigen op maandag 11 november 2019 des middags te 4.15 uur door Dirk Aedsge Buiskool geboren op 8 februari 1957 te Hoogezand Sappemeer 3 Promotor: Prof. Dr. G.J. Knaap 4 Believe me, it is so. The beginning, and not the middle, is the right starting point. ’T is with a kopeck, and with a kopeck only, that a man must begin.1 1 Gogol, Nikol ai Dead Souls Translated by C. J. Hogarth, University of Adelaide: 2014: Chapter III. 5 6 TABLE OF CONTENTS ACKNOWLEDGMENTS 13 INTRODUCTION 15 CHAPTER 1 EAST SUMATRA. THE FORMATION OF A PLANTATION ECONOMY. 29 1. East Sumatra: Historical Overview 32 1.1 East Sumatra until circa 1870 32 1.2 From Tobacco to Oil and Rubber 34 1.3 Migrant workers 38 1.4 Frontier society 43 1.5 Labour conditions on the plantations 44 1.6 Van den Brand’s manifesto 47 1.7 Labour inspection 48 Summary 50 CHAPTER 2 THE CITY OF MEDAN.
    [Show full text]
  • The Chinese Community of Surabaya, from Its Origins to the 1930S Crisis
    Chinese Southern Diaspora Studies , Volume 3, 2009 南方华裔研究杂志, 第第第三第三三三卷卷卷卷, 2009 The Chinese Community of Surabaya, from its Origins to the 1930s Crisis 1 Claudine SALMON Abstract: This article traces the history of the Chinese community in Surabaya, a major port-city on the East Coast of Java, over several centuries. It uses evidence gathered from numerous sources, including Chinese epigraphy and genealogical records collected locally by the author, early European travel accounts, Dutch colonial records and memoirs, and Chinese and Malay language newspapers. The essay unravels, for the first time, the history of a handful of influential entrepreneurial of families who pioneered local cash-crop production, the sugar industry especially, during the Dutch colonial era. It concludes by tracing the waves of resinicisation that swept the community in the later nineteenth and early twentieth centuries, the new associations that arose as a result and the gradually fracturing of communal life that followed. Introduction Anyone who has studied the history of the Chinese community in Jakarta is aware that this city has a remarkable number of ancient temples. Five date back to the seventeenth century and seven to the second half of the eighteenth, including two ancestral and two guild temples.2 What is most striking in regard to the Chinese community of Surabaya is how rare these temples are and, moreover, how generally unimportant they are in community life there. According to oral tradition the oldest one (situated in Jl. Coklat) is the Hok An Kiong 福安宫, or “Temple of Happiness and Peace”. It is dedicated to Tianhou 天后, the protective goddess of sailors and travelling merchants, and dates from the second half of the eighteenth century.
    [Show full text]
  • Indo 92 0 1319755155 157
    W omen an d M odernity: Reading the Femme Fatale in Early Twentieth-Century Indies Novels Elizabeth Chandra1 In colonial Indonesia, literary works written in Malay by Chinese authors were commonly denigrated as pulp fiction, and therefore deemed "un-literary," due to their affinity with stories of secrecy, scandal, sex, and crime.2 The sinister sensibilities of these novels supposedly ran counter to the ideal notion of literature as "beautiful writings," which the colonial government had attempted to introduce in the Netherlands Indies beginning in the second decade of the twentieth century.3 This article offers a close examination of one such novel, Si Riboet atawa Boenga Mengandoeng Ratjoen: Soeatoe Tjerita jang Betoel Terdjadi di Soerabaja Koetika di Pertengahan Taon 1916, jaitoe Politie Opziener Coenraad Boenoe Actrice Constantinopel jang Mendjadi Katjinta'annja (Riboet, or the Venomous Flower: A True Story which Occurred in Soerabaja in Mid- 11 thank those who read and commented on this essay at different stages: Tamara Loos, John Wolff, Sylvia Tiwon, Benedict Anderson, and Indonesia's editors and anonymous reviewer. Any remaining errors are, of course, my own. 2 Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography (Paris: Editions de la Maison des Sciences de l'Homme, 1981). See also Elizabeth Chandra, "National Fictions: Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting" (PhD dissertation, University of California- Berkeley, 2006). 3 Balai Pustaka, Balai Pustaka Sewadjarnja, 1908-1942 (Djakarta: Balai Pustaka, 1948); Bureau voor de Volkslectuur, The Bureau of Popular Literature of Netherlands India: What It is and What It Does (Batavia: Bureau voor de Volkslectuur, 1930); D.
    [Show full text]
  • Dari Nasionalisme Cina Hingga Indonesierschap: Pemikiran Liem Koen Hian Tentang Kedudukan Orang Tionghoa Di Indonesia (1919 – 1951)
    UNIVERSITAS INDONESIA DARI NASIONALISME CINA HINGGA INDONESIERSCHAP: PEMIKIRAN LIEM KOEN HIAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG TIONGHOA DI INDONESIA (1919 – 1951) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana MICHAEL AGUSTINUS 0706279875 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JULI 2012 i Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 ii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iii Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 iv Dari nasionalisme..., Michael Agustinus, FIB UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat kasih sayangnya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang sarjana di Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang begitu dalam kep ada keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materil demi rampungnya masa studi penulis. Rasa terima kasih ini khususnya kepada kedua kakak penulis, Aileen, dan Aime, yang dengan penuh kasih sayang terus memberi semangat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dari sisi akademis, penulis banyak ucapkan terima kasih kepada para dosen Program Studi Ilmu Sejarah yang telah membimbing hingga rampungnya skripsi ini. Kepada Tri Wahyuning Mudaryanti, M.Si. sebagai dosen pembimbing, penulis banyak mengucapkan terima kasih atas kesediaan waktu dan juga arahannya selama pengerjaan tugas akhir ini, mulai dari kelas Bimbingan Bacaan hingga skripsi. Dosen-dosen lain juga sangat berjasa melalui perkuliahan dan diskusi yang mereka berikan selama sepuluh semester ini. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada semua dosen di Program Studi Ilmu Sejarah. Dalam menjalankan penelitian lapangan, penulis sangat berterima kasih kepada para pengurus Perpustakaan FIB UI dan Perpustakaan Nasional atas pelayanannya yang sangat baik. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian lapangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, penulis ucapkan banyak terima kasih.
    [Show full text]