PERILAKU ANDROGINI TOKOH UTAMA NOVEL KOPLAK KARYA OKA RUSMINI SERTA IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Lisa Fania Aprista NIM 11160130000055

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH 2021

ABSTRAK

Lisa Fania Aprista (NIM: 11160130000055), “Perilaku Androgini Tokoh Utama Novel Koplak Karya Oka Rusmini serta Implikasiya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing Rosida Erowati, M.Hum. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini, 2) mendeskripsikan implikasi pembahasan perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini teradap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori The Measurement of Psychological Androgyny (Pengukuran Androgini secara Psikologis) yang dikemukakan oleh Sandra L. Bem. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 20 adjektiva yang menunjukkan manifestasi perilaku feminin dan maskulin, serta terdapat 10 adjektiva maskulin dan 10 adjektiva feminin yang ditunjukkan oleh tokoh Koplak. Koplak cenderung menunjukkan manifestasi perilaku maskulin di ruang publik pada saat menjalankan perannya sebagai kepala desa, sementara itu manifestasi perilaku feminin cenderung lebih banyak ditunjukkan ketika Koplak bersama dengan anaknya atau orang yang lebih muda darinya. Keseimbangan perilaku maskulin dan feminin inilah yang disebut dengan androgini oleh Sandra L. Bem. Perilaku androgini tersebut telah membentuk Koplak menjadi pribadi yang fleksibel serta menunjukkan bahwa Koplak memiliki pandangan yang tidak konservatif terhadap gender. Analisis ini dapat diimplementasikan pada pembelajaran sastra melalui pemahaman mengenai unsur- unsur pembangun novel serta mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran tersebut, siswa dilatih untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, saling menghargai, dan memahami jati dirinya sebagai manusia. Kata kunci: Androgini, Maskulin, Feminin, Koplak, Oka Rusmini, Pembelajaran Sastra

i

ABSTRACT

Lisa Fania Aprista (NIM: 11160130000055), “Androgynous Behavior of The Main Character of Koplak Novel by Oka Rusmini and Its Implications in Learning and Literature in Senior High School”, Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Traning, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. The Advisor: Rosida Erowati, M.Hum. This study aims to: 1) describe the androgynous behavior of the main character in Oka Rusmini’s novel Koplak, 2) describe the implications of discussing androgynous behavior on the main character in Oka Rusmini’s novel Koplak on learning Indonesian language and literature in Senior High School. The method used in this research os descriptive-qualitative. The analysis in this study used the theory of The Measurement of Psychological Androgyny proposed by Sandra L. Bem. Based on the research that has been done, the results of this study indicate that there are 20 adjectives that show manifestations of feminine and masculine behavior. There are 10 masculine adjectives and 10 feminine adjectives shown by the character of Koplak. Koplak tends to show a manifestation of masculine behavior in the public sphere when carrying out its role as village head, while feminine behavior tends to be more manifest when Koplak is with children or younger people. This balance of masculine and feminine behavior is what Sandra L. Bem calls androgynous. This androgynous behavior has shaped Koplak to be flexible and shows that Koplak has a non-conservative view of gender. This analysis can be implemented in literature learning through understanding the elements of novels builder and relating them to everyday life. Through this learning, students are trained to improve language skills, respect each other, and understand their identity as humans. Keywords: Androgynous, Masculine, Feminine, Koplak, Oka Rusmini, Literature Learning

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah meberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Shallallah ‘Alayhi wa Salam beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi dengan judul “Perilaku Androgini pada Tokoh Utama dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemukan kesulitan dan hambatan. Namun, berkat kerja keras, semangat, dukungan, motivasi, nasihat, serta saran dari berbagai pihak, penulis akhirnya mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini telah sabar membimbing, memberi arahan, serta kritik dan saran yang sangat membangun selama proses penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. 5. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan, khususnya Dosen dan Staf Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama melaksanakan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iii

iv

6. Seluruh Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta Ibu Nurhayati, S.Pd, selaku guru pamong PLP penulis, yang telah membantu penulis dalam penyediaan buku dan referensi yang diperlukan selama proses pengerjaan skripsi ini. 7. Teristimewa untuk keluarga tercinta, Ibunda Juminah, Ayahanda Nurdin, S.E., serta adik-adik penulis, Annisa Zahra Agustami dan Rizky Nurafrizal, dan segenap keluarga besar yang telah mendidik, selalu mendoakan, serta memberikan dukungan, baik dukungan moral maupun finansial. Semoga Allah SWT selalu menjaga, menyayangi, melindungi, memberikan kesehatan serta kebaikan di dunia maupun di akhirat. 8. Teman-teman dan responden lainnya yang telah membantu mengisi kuesioner, sehingga penulis mendapatkan data konkret yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2016, khususnya kelas B, yang selama ini telah menemani suka-duka, memberikan semangat, serta dukungan selama penulis melaksanakan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, terkhusus lagi kepada beberapa teman dekat penulis di kelas B yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menampung keluh kesah penulis selama mengerjakan skripsi, bertukar pikiran dan berdiskusi, serta membantu dalam kelancaran proses penyelesaaian skripsi ini, yang namanya tidak bisa saya sebutkan di sini untuk mengantisipasi rasa iri dan dengki yang mungkin muncul pada mereka yang namanya tidak disebutkan. 10. Sabahat-sahabat tersayang, Ratih Arthanovia, Shofy Fairuz Zahra, Vivi Noer Febdra, Dita Anggun Lestari, Dewi Astari, Kiki Oktaviani, Rizka Mulih Putri, yang selalu memberi semangat dan telah lebih dulu mendapat gelar sarjana, sehingga penulis semakin terpacu untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis hingga skripsi ini selesai. Semoga Allah selalu

v

melimpahkan rahmat serta memberi balasan kebaikan kepada semua pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, baik dari segi isi maupun penyampaiannya. Penulis sangat berbesar hati dan terbuka untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak. Besar harapan, skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi maupun pembaca dan peneliti lain.

Bogor, 22 November 2020

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... vi

DAFTAR TABEL ...... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...... iix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 6 C. Pembatasan Masalah ...... 7 D. Rumusan Masalah ...... 7 E. Tujuan Penelitian ...... 7 F. Manfaat Penelitian ...... 7 G. Metodologi Penelitian ...... 8

BAB II KAJIAN TEORETIS ...... 11

A. Hakikat Novel ...... 12 B. Unsur Intrinsik Novel ...... 13 C. Gender ...... 24 D. Psikologi Androgini Sandra L. Bem ...... 26 E. Pembelajaran Sastra di Sekolah ...... 29 F. Penelitian Relevan ...... 31

BAB III BIOGRAFI PENGARANG ...... 35

A. Biografi Oka Rusmini ...... 35 B. Gagasan Kepengarangan Oka Rusmini ...... 38

vi

vii

BAB IV PEMBAHASAN ...... 41

A. Analisis Unsur Intrinsik ...... 41 1. Tema ...... 41 2. Tokoh dan Penokohan ...... 42 3. Alur ...... 51 4. Latar ...... 56 5. Sudut Pandang ...... 60 6. Gaya Bahasa ...... 61 7. Amanat ...... 63 B. Analisis Perilaku Androgini Tokoh Utama Novel Koplak ...... 64 1. Manifestasi Adjektiva Feminin ...... 64 2. Manifestasi Adjektiva Maskulin ...... 75 C. Implikasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ...... 88

BAB V PENUTUP ...... 92

A. Simpulan ...... 91 B. Saran ...... 93

DAFTAR PUSTAKA ...... 95

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bem Sex Role Inventory (BSRI)...... 28

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sinopsis Lampiran 2 RPP Lampiran 3 Tangkapan Layar Wawancara Daring dengan Oka Rusmini Lampiran 4 Lembar Uji Referensi

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perempuan dan laki-laki merupakan dua istilah yang digunakan untuk membedakan manusia berdasarkan jenis kelaminnya. Perbedaan jenis kelamin tersebut merupakan bawaan sejak lahir yang bersifat biologis dan dapat dilihat perbedaannya secara fisik. Ketika seorang anak mulai menyadari tentang jenis kelaminnya, orang tua biasanya akan mengarahkan anak untuk bersikap sebagaimana “seharusnya” mereka bersikap, yaitu sebagai laki-laki atau perempuan. Misal, anak laki-laki harus memiliki sifat pemberani, tegas, tidak boleh cengeng. Sedangkan perempuan harus memiliki sifat penurut dan pemalu. Hal tersebut sangat berikaitan dengan stereotip yang dibangun oleh masayarakat sejak lama. Hampir dalam setiap kebudayaan, sikap keberanian, agresif, kemandirian diapandang sebagai simbol laki-laki, sedangkan ketaatan, tanggung jawab sosial sebagai simbol perempuan.1 Ciri dan sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, laki-laki bisa saja memiliki sifat pemalu dan perempuan memiliki sifat tegas dan pemberani. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainya, maupun berbeda kelas ke kelas lainnya dikenal dengan konsep gender.2 Lain halnya dengan seks atau jenis kelamin yang merupakan perbedaan secara biologis, komposisi genetis, dan fungsi anatomi reproduksi manusia.3 Jadi, jenis Jenis kelamin tidak dapat dipertukarkan seperti gender. Sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, yaitu agresif dan pemberani biasa disebut dengan ciri-ciri sifat maskulin, sedangkan pemalu dan penurut biasa disebut dengan ciri-ciri sifat feminin. Dalam kehidupan sosial, istilah feminin telah melekat

1 Triyani Pujiastuti, “Peran Orang Tua dalam Pembentukan Identitas Gender Anak”, Jurnal Ilmiah Syi’ar, Vol. 14, No. 1, Februari 2014, h. 57. 2 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 7. 3 Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2016), h. 3.

1

2

pada perempuan, sedangkan maskulin melekat pada laki-laki. Masyarakat yang berpandangan tradisional menganggap bahwa hal tersebut tidak bisa dipertukarkan. Konsep patriarki yang masih berlaku dan sangat mengakar pada masyarakat, khususnya di Indonesia, masih sering memandang bahwa seseorang harus memiliki peran gender yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Misal, pada masyarakat yang tertutup dan masih menjunjung tinggi nilai tradisional, akan mengkondisikan wanita untuk memerankan peran-peran feminin yang telah distandarkan oleh masyarakat.4 Begitu pula sebaliknya, yakni laki-laki tentu harus melakukan peran- peran maskulin. Ketika perempuan melakukan peran-peran feminin sekaligus maskulin atau lelaki melakukan peran-peran maskulin sekaligus feminin, hal tersebut masih dianggap menyimpang karena tidak sesuai dengan “aturan” yang berlaku. Pandangan tersebut yang pada akhirnya membuat seseorang menjadi tidak leluasa untuk mengeksplorasi kemampuannya. Dalam dunia Psikologi, istilah androgini digunakan untuk menggambarkan keseimbangan antara sifat-sifat maskulin dengan feminin. Androgini berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni andro yang berarti pria dan gyne yang berarti wanita. Menurut Sandra L. Bem, androgini adalah suatu istilah yang menggambarkan kesatuan perilaku dan karakteristik kepribadian yang secara tradisional dikenal sebagai feminin dan maskulin. Menurutnya, seseorang (laki-laki atau perempuan) dengan psikologi androgini memiliki kecenderungan feminin dan maskulin yang tinggi. Dia bisa menjadi tegas sekaligus penurut atau rasional sekaligus emosional, tergantung dengan situasi yang mereka hadapi.5 Bem juga menambahkan, bahwa feminin dan maskulin bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi saling melengkapi. Menurut Setyaningsih, dalam Funay, pemikiran bahwa aspek maskulin dan feminin mampu saling melengkapi dan bukan bertentangan memunculkan konsep androgenitas yang memadukan kedua peran gender laki-laki

4 Andi Tenri Pada Agustang, et.al., “Perkembangan Peran Jender dalam Perspektif Teori Androgini”, Seminar Nasional: Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015, Makassar, 28-29 November 2015, h. 120. 5 Sandra L. Bem, The Measurement of Psychological Androgyny, Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 42, No. 2, 1974, h. 155.

3

dan perempuan yang itu maskulin dan feminin dalam diri individu sama tinggi.6 Berdasarkan hal tersebut, maka androgini dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Istilah androgini di Indonesia memang masih terbilang asing di telinga masyarakat. Hanya kalangan tertentu atau orang yang menggeluti bidang tertentu seperi psikologi dan fashion, yang telah cukup familiar dengan istilah androgini. Berdasarkan jawaban dari kuesioner daring yang peneliti sebarkan, ada 35 dari 53 responden yang menyatakan bahwa mereka masih asing dengan istilah androgini. Pernyataan tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai dari siswa hingga ibu rumah tangga dan karyawan.7 Sisanya, sebanyak 18 responden menyatakan bahwa mereka cukup familiar dengan istilah androgini dan cenderung menggambarkan androgini sebagai sosok laki-laki yang berpenampilan atau berpakaian seperti perempuan. Ada pula responden yang menganggap androgini sebagai seseorang yang memiliki dua jenis kelamin sekaligus, bahkan ada yang menyamakannya dengan banci.8 Androgini lebih banyak digunakan dalam istilah fashion dan dipromosikan oleh media untuk menggambarkan sosok lelaki yang berpenampilan feminin. Penelitian dan pembahasan tentang androgini telah banyak dilakukan, tetapi masih sedikit yang membahasnya menggunakan karya sastra. Penelitian sastra yang membahas mengenai androgini yang menggunakan novel sebagai objek penelitiannya masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan pencarian yang telah dilakukan, peneliti hanya menemukan satu penelitian tentang androgini pada seorang tokoh dalam sebuah novel. Penelitian tersebut ditullis oleh Heksa Biopsi Puji Hastuti. Ia menggukanan novel Kleting Kuning sebagai objek penelitiannya.9 Penelitian tentang androgini ini kemudian menjadi sangat menarik untuk dikaji, terutama jika novel atau cerpen yang menjadi objek penelitiannya.

6 Chela Marchela Funay, “Representasi Androgini Jovi Adhiguna di Video Blog YouTube”, Skripsi pada Universitas Diponegoro, Semarang, 2018, h. 1, tidak dipublikasikan. 7 Hasil penjaringan data oleh peneliti berdasarkan kuesioner daring terhadap 53 responden. 8 Ibid. 9 Heksa Biopsi Puji Hastuti, “Androgini Tokoh Tina dalam Novel Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono”, BÉBASAN: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Vol. 1, No. 1, Juni 2014, h. 14-22.

4

Sebab, selama ini lebih banyak penelitian tentang androgini yang menjadikan film, majalah, dan media sosial sebagai objek penelitian mereka. Pembahasan mengenai perbedaan seks dan gender, serta istilah androgini dalam psikologi juga masih jarang dibahas dalam dunia pendidikan. Perlu adanya usaha dari para pendidik (guru), selain orang tua, untuk memberikan pemahaman tentang gender. Salah satu cara yang bisa ditempuh dalam dunia pendidikan, yakni melalui pembelajaran sastra di sekolah, dengan memberikan bacaan (novel) yang tepat kepada siswa, agar mereka dapat memahami istilah androgini bukan hanya dari segi fashion, tetapi juga dari perspektif psikologi. Guru dapat mengajak siswa untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra. Selain itu, guru juga perlu membangun gairah siswa untuk mempelajari sastra. Sebab, selain dapat menghibur, karya sastra (novel) juga mampu memberikan pemahaman-pemahaman akan realitas yang direpresentasikan di dalamnya, sehingga siswa dapat memetik pelajaran dari novel tersebut. Pembelajaran sastra memiliki peran penting dalam memengaruhi watak, kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan siswa dalam bidang sastra.10 Sastrawan Indonesia telah banyak yang membuat karya dengan fokus kesetaraan gender dengan menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang digabarkan sebagai sosok perempuan yang kuat dan berani. Beberapa di antara sastrawan itu, yakni Oka Rusmini, N.H. Dini, dan Ayu Utami. Ketiganya memiliki latar belakang yang sama, yaitu mendunkung penuh gerakan dan pemikiran-pemikiran femininsme. 11 Oka Rusmini menjadi salah satu penulis yang secara konsisten membahas tentang feminisme dan kesetaraan gender dalam karya-karyanya. Selain itu, Oka juga konsisten menggunakan sebagai latar utama ceritanya. Hal tersebut menarik, karena dalam sebagian besar novelnya, Oka Rusmini selalu memunculkan tokoh-tokoh perempuan dengan citra feminin sekaligus maskulin. Pertama, dalam novel Kenanga, Oka menggambarkan tokoh utama perempuannya

10 Warsiman, Sastra dan Pembelajarannya: Sajian, Telaah, dan Analisis Hasil Riset, (Surabaya: Unesa University Press, 2015), h. 119-120. 11 Rianty Rusmalia, “Mengenal 5 Penulis Perempuan Indonesia”, Elle Indonesia diakses melalui https://elle.co.id/urban/mengenal-5-penulis-perempuan-indonesia/ pada 20 Desember 2021, pukul 23.32 WIB.

5

yang berwatak idealis dan berambisi, keras kepala, penyayang, berani, sabar, santun, rendah hati. Kemudian dalam novel Tarian Bumi, Oka menggambarkan tokoh perempuannya sebagai orang yang berwatak berani, sarkastis, apatis, penyayang, lapang dada, santun, cerdik, dan bertanggung jawab. Selain itu, dalam novel Tempurung, tokoh perempuan digabarkan berwatak berani, sarkastis, apatis, rendah hati, ambisius, penyayang, keras, sabar.12 Di antara novel-novel tersebut, yang lebih banyak menggunakan tokoh utama perempuan dengan gambaran watak seperti di atas, justru pada tahun 2019 Oka meluncurkan sebuah novel baru berjudul Koplak yang pemeran utamanya adalah laki-laki. Sebelum Koplak, Oka juga pernah menggunakan tokoh laki-laki dalam karyanya, yaitu pada cerpen Pemahat Abad. Sama seperti tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya Oka yang telah disebutkan di atas, tokoh Koplak dalam novel Koplak juga digambarkan sebagai lelaki yang maskulin sekaligus feminin. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memilih Koplak sebagai objek yang digunakan untuk menjelaskan perilaku androgini, karena masih sangat jarang yang membahas perilaku androgini yang berfokus pada laki-laki. Beberapa penelitian tentang androgini, dalam novel dan film, masih fokus membahas androgini pada tokoh perempuan. Oleh karena itu, novel Koplak karya Oka Rusmini menjadi menarik untuk dibahas. Koplak adalah novel terbaru karya Oka Rusmini yang menonjolkan karakter tokoh utamanya, yakni I Putu Koplak. Novel ini secara garis besar mengisahkan tentang seorang lelaki, bernama I Putu Koplak, seorang duda beranak satu yang juga menjabat sebagai seorang kepala desa. Novel ini dipilih oleh peneliti karena di dalamnya terdapat kutipan yang menyebutkan bahwa Koplak selama ini telah mampu menjadi laki-laki sekaligus perempuan. Oleh karena itu, peneliti menjadi tertarik untuk menjadikan novel Koplak sebagai objek penelitian dan melihat sendiri bagaimana tokoh Koplak yang disebut telah mampu berperan sebagai laki- laki dan perempuan, yang kemungkinan merupakan perilaku yang menunjukkan

12 Sugiyanti Pratiwi Sari dan Agus Nuryatin, “Reperenstasi Perempuan Bali dalam Novel- Novel Karya Oka Rusmini”, JP-BSI: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 2, No. 2, September 2017, h. 46.

6

psikologi androgini. Selain itu, Oka Rusmini juga merupakan salah satu penulis perempuan yang telah banyak meraih penghargaan melalui karya-karya sastra yang ditulisnya, sehingga beliau sangat patut untuk dikenalkan kepada siswa di sekolah sebagai salah satu penulis perempuan yang berprestasi dan memiliki karya-karya yang patut dijadikan sebagai bahan ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, karena bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya mudah dimengerti untuk ukuran Siswa Menengah Atas. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti hendak memaparkan tentang perilaku androgini yang oleh tokoh utama novel Koplak dengan menggunakan teori psikologi androgini yang dikemukaan oleh Sandra L. Bem serta mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini akan diberi judul Perilaku Androgini Tokoh Utama Novel Koplak Karya Oka Rusmini serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis menemukan beberapa masalah dan mengidentifikasikannya sebagai berikut: 1. Stereotip gender masih sangat melekat dalam kebudayan masyarakat Indonesia. 2. Istilah androgini lebih dikenal dalam dunia fashion yang digambarkan oleh media sebagai lelaki yang berpenampilan dan berpakaian seperti perempuan. 3. Penelitian mengenai androgini yang diangkat dari karya sastra (novel) masih sangat jarang ditemukan di Indonesia. 4. Masih banyak masyarakat yang keliru dengan istilah androgini, seks dan gender karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai istilah-istilah tersebut. 5. Kurangnya pemahaman siswa tentang gender karena pembahasan tersebut masih jarang disentuh dalam pembelajaran sastra di sekolah.

7

C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah sangat diperlukan agar penelitian menjadi lebih fokus dan terarah. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis hanya akan berfokus pada perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini yang kemudian diimplikasikan ke dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah penulis lakukan, maka terbentuklah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini? 2. Bagaimana implikasi pembahasan perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. 2. Mendeskripsikan implikasi perilaku androgini pada tokoh Koplak dalam novel Koplak karya Oka Rusmini.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktisnya. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat teoretis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sastra, khususnya dalam analisis unsur intrinsik pada novel serta pengetahuan mengenai androgini secara psikologis

8

kepada pembaca. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya sastra Indonesia di SMA. Selain itu, penulis juga berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis bagi berbagai pihak, baik peneliti, pembaca, maupun penulis lainnya di masa yang akan datang. Adapun manfaat praktis bagi ketiga elemen tersebut, antara lain: 1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang telah dirumuskan oleh peneliti. Peneliti juga berharap agar tulisan ini dapat menjadi motivasi agar terus menyumbangkan hasil karya ilmiah dalam bidang sastra dan pendidikan 2. Bagi Pembaca Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat membantu para pembaca agar dapat lebih mudah dalam memahami isi novel Koplak melalui analisis unsur intrinsik dan penjelasan mengenai perilaku androgini pada tokoh Koplak. Selain itu, peneliti berharap agar pembaca dapat menerapkan nilai-nilai positif yang disampaikan oleh penulis novel Koplak. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini dapat memberikan inspirasi serta dijadikan sebagai salah satu dasar atau pijakan untuk melakukan penelitian serupa maupun penelitian lanjutan yang lebih mendalam.

G. Metodologi Penelitian Hal-hal yang terkait dengan proses dalam penelitian ini dapat diuraikan ke dalam metode penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 1. Metode penelitian Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan

9

untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.13 Jadi, metode penelitian merupakan suatu metode yang dilakukan dalam penelitian dalam rangka memperoleh fakta dan prinsip secara sistematis. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan analisis secara objektif dalam mengungkapkan antarunsur-unsur cerita dalam teks dan dapat mendeskripsikan perilaku androgini pada tokoh Koplak dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. Penulisan laporan penelitian kualitatif berisi kutipan-kutipan data (fakta) yang diungkap di lapangan untuk memberikan dukungan terhadap apa yang disajikan dalam laporannya. 14 Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan dialog yang diucapkan oleh tokoh Koplak yang menggambarkan perilaku androgini tokoh tersebut dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. Data tersebut dianalisis menggunakan pendekatan psikologi sosial. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah perilaku androgini pada tokoh utama novel Koplak karya Oka Rusmini. Objek penelitian merupakan sesuatu yang dijadikan sebagai sasaran dalam penelitian. Pada penelitian sastra, objek yang sering kali dijadikan sebagai objek penelitian, antara lain teks dalam novel, cerpen, dan puisi. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks novel yang berjudul Koplak karya Oka Rusmini. 3. Data dan Sumber Data a. Data Data adalah fakta mentah yang merupakan hasil pengamatan yang didapatkan dari lapangan dalam bentuk angka, huruf, grafik, gambar,

13 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h. 24. 14 Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Sukabumi: Jejak Publisher, 2018), h. 11.

10

dan sebagainya yang dapat diolah lebih lanjut sehingga diperoleh hasil tertentu.15 Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kutipan kata, kalimat, serta dialog yang diucapkan oleh tokoh Koplak dan tokoh lainnya dalam novel Koplak karya Oka Rusmini yang memungkinkan untuk bisa melihat perilaku androgini pada tokoh Koplak. b. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber yang diambil secara lansung tanpa melalui perantara. Pada penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah novel Koplak karya Oka Rusmini yang diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2019, dengan tebal 185 halaman. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang diambil secara tidak langsung atau melalui perantara yang berfungsi untuk melengkapi data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku, artikel, jurnal, dan skripsi yang berkaitan dengan penelitian representasi androgini serta penelitian pada karya- karya Oka Rusmini. 4. Teknik Pengumpulan Data Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam novel Koplak untuk penelitian ini, antara lain: a. Membaca novel Koplak karya Oka Rusmini secara cermat untuk mencari kata, kalimat, data, dan dialog yang mengandung data penelitian, yaitu tentang perilaku androgini tokoh Koplak dalam novel Kopak karya Oka Rusmini. b. Menandai dan mencatat hal-hal yang menggambarkan perilaku tokoh dalam novel Koplak karya Oka Rusmini.

15 Ibid, h. 213

11

c. Mengklasifikasikan data yang meggambarkan perilaku feminin dan maskulin yang membentuk perilaku androgini tokoh Koplak dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. d. Menganalisis dan melakukan pembahasan dengan interpretasi data dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. 5. Teknik Analisis Data Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data dalam penelitian ini, yaitu: a. Menganalisis novel Koplak karya Oka Rusmini menggunakan analisis struktural dan Bem Sex Role Inventory (BSRI) Sandra L. Bem. Analisis dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang telah dikumpulan dengan mencantumkan beberapa kutipan teks. b. Mengklasifikasikan teks-teks yang berkaitan dengan perilaku androgini berdasarkan adjektiva feminin dan maskulin dalam BSRI yang ditunjukkan oleh tokoh utama dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. c. Melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data dalam novel Koplak karya Oka Rusmini. d. Mengimplikasikan hasil pembahasan novel Koplak karya Oka Rusmini pada pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA yang dilakukan dengan cara menghubungkannya dengan materi pelajaran di sekolah. e. Menyimpulkan hasil penelitian.

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Novel Novel berasal dari bahasa Italia, novella, yang berarti ‘sebuah kisah, sepotong berita’. Novel merupakan sebuah prosa naratif fiksional. Bentuknya panjang dan kompleks yang menggambarkan secara imajinatif pengalaman manusia.1 Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‘novelet’, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.2 Dua definisi di atas menjelaskan bahwa novel merupakan cerita yang bersifat fiksi yang disusun dalam paragraf naratif yang tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Cerita dalam novel disebut sebagai fiksi, karena kisah di dalamnya adalah rekaan yang ditulis oleh sang pengarang untuk menyampaikan gagasannya melalui cerita yang disusun secara kronologis (naratif). Selanjutnya, Wellek dan Warren juga menjelaskan bahwa novel yang lebih bersifat filosofis menambahkan struktur sebuah akibat pada kronologi. Novel menampilkan seorang tokoh yang mengalami kemunduran atau kemajuan karena sebab-sebab tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu.3 Dari penjelasan tersebut, kita dapat melihat bahwa dalam membentuk sebuah cerita, novel dibangun dengan struktur yang terdiri dari unsur-unsur tertentu, salah satunya adalah seorang tokoh yang akan mengantarkan kita pada kisah perjalanan hidupnya dalam dunia yang dibentuk oleh sang novelis. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa novel merupakan salah satu bentuk karya sastra berupa prosa fiksi, berisi cerita

1 Warsiman, Pengantar Pembelajaran Sastra, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2017), h. 129. 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2018), h. 9-10. 3 René Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 259.

12

13

rekaan yang dibuat secara kronologis yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang akan mengantarkan pembaca pada kisah kehidupan mereka.

B. Unsur Intrinsik Novel Sebuah novel adalah sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur- unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. 4 Dunia atau kosmos seorang novelis—pola atau struktur organisme yang meliputi plot, tokoh, latar pandangan hidup, dan “nada”— adalah unsur yang perlu kita pelajari, jika kita ingin membandingkan sebuah novel dengan kehidupan, atau jika kita ingin menilai—secara etika atau sosial—karya seorang novelis.5 Novel merupakan karya sastra yang tentunya memilliki unsur-unsur pembangun di dalamnya yang disebut sebagai unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik novel ini terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Sebuah novel dapat berwujud apabila unsur-unsur tersebut dipadukan dalam sebuah cerita. Berikut penjelasan dari masing-masing unsur intrinsik novel. 1. Tema Kata ‘tema’ berasal dari bahasa Latin theme yang berarti pokok pikiran. Scharbach mengartikan tema sebagai tempat meletakkan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan fiksi yang dibuatnya.6 Dari pengertian ini kita dapat memahami bahwa sebelum membuat sebuah karya sastra (novel), pengarang terlebih dahulu harus menentukan tema atau pokok yang akan menjadi sebuah landasan dalam mengembangkan sebuah cerita. Menurut Stanton, tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana.7 Ketika membaca

4 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 22. 5 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 258. 6 Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi,(Yogyakarta: Garudhawaca, 2017) Edisi Revisi, h. 94. 7 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 41.

14

sebuah cerita, kita pasti akan menemukan banyak makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, agar lebih mudah menentukan tema (utama) dalam sebuah cerita, perlu adanya pemahaman dengan membaca cerita secara menyeluruh. Namun, adakalanya dapat juga ditemukan adanya kalimat-kalimat (atau: alinea-alinea, percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok.8 Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema adalah pokok atau dasar sebuah karya sastra (novel) yang di dalamnya terkandung makna yang dapat ditemukan melaui pembacaan karya secara menyeluruh maupun digali melalui kalimat-kalimat tertentu yang mengandung pokok cerita. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan salah satu unsur penting selain alur yang memegang peran penting dalam sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam sebuah cerita bisa terjadi karena ada seorang pelaku atau beberapa pelaku di dalamnya. Secara singkat, pelaku di dalam sebuah cerita itulah yang biasa kita sebut dengan istilah tokoh. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Abrams dalam Nurgiyantoro yang menjelaskan bahwa tokoh cerita adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.9 Pengertian tersebut juga menyebutkan bahwa seorang tokoh digambarkan memiliki kualitas moral, yang artinya selain sebagai pelaku, tokoh juga digambarkan memiliki sifat-sifat, karakter yang selanjutnya dikenal dengan istilah penokohan. Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita. Moh. Thani Ahmad dalam Surastina menyebutkan bahwa perwatakan dan penokohan

8 Ibid, h. 69. 9 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 165.

15

adalah sifat menyeluruh dari manusia, yang disorot termasuk perasaan, keindahan, cara berpikir, cara berntindak, dsb.10 Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi kepribadian, menghidupkan.11 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam sebuah cerita yang memiliki perasaan serta cara berpikir yang digambarkan melalui sifat-sifat, ucapan, perilaku, hingga nama atau sebutan yang disematkan kepadanya. Penokohan atau pemberian karakter pada seorang tokoh tentu saja perlu dipikirkan secara matang oleh pengarang, karena melalui tokoh inilah pengarang bisa saja menyampaikan gagasannya mengenai sesuatu. Ada beberapa jenis tokoh yang dikemukakan oleh para ahli. Wellek dan Warren menyebutkan bahwa ada jenis penokohan statis dan penokohan dinamis atau penokohan berkembang. Selain itu ada pula penokohan “datar” (flat characterization) dan penokohan “bulat” (round characterization).12 Penjelasan mengenai jenis-jenis tokoh tersebut juga dijelaskan dalam Nurgiyantoro bersama dengan jenis-jenis tokoh lainnya, yakni tokoh utama dan tokoh tambahan, serta tokoh statis dan tokoh berkembang. Kedua jenis penokohan tersebut yang akan digunakan pada analisis tokoh dalam penelitian ini. Berikut penjelasan dari masing-masing kategori tersebut. a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan13 Tokoh utama dan tokoh tambahan adalah jenis tokoh yang dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita disebut sebagai tokoh

10 Surastina, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: Elmatera, 2018), h. 77. 11 René Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 264. 12 Ibid., h. 265-266. 13 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 176-177

16

utama cerita (central character, main character). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya di dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamannya tak (selalu) sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh- tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek disebut sebagai tokoh tambahan (peripheral character). Tidak seperti tokoh utama, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. b. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Menurut Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan.14 3. Alur Alur ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik [sic] dan kronologik [sic] saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. 15 Sebuah cerita atau rangkaian peristiwa dirangkai atau disusun dari kejadian-kejadian kecil. Dengan demikian, alur atau plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang disusun secara logis dan kausalitas. 16 Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari

14 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 188. 15 Jan van Luxemburg, et.al., Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 149. 16 Surastina, Op. Cit., h. 76.

17

berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. 17 Urutan kalimat yang membahas peristiwa- peristiwa itu saling bergayutan, sekalipun peristiwa-peristiwa itu tidak disajikan secara kronologik.18 Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya tersusun ke dalam beberapa tahapan. Secara umum, tahapan itu berupa bagian pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Nurgiyantoro menuliskan rincian tahapan yang dikemukakan oleh Tasrif yang membedakan alur (plot) ke dalam lima bagian, yaitu tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, dan tahap penyelesaian.19 Selain memiliki tahapan-tahapan peristiwa, plot juga ada jenisnya. Nurgiyantoro membagi jenis plot berdasarkan kriteria urutan waktu yang terdiri dari plot lurus (progresif), plot sorot balik (flash back), dan plot campuran. Berikut penjelasan dari ketiga jenis plot tersebut.20 a. Plot lurus (progresif) Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara runut, cerita dimulai dari tahap penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks, hingga tahap penyelesaian. b. Plot sorot balik (flashback) Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot sorot balik tidak bersifat kronologis. Karya berplot jenis ini biasanya langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. c. Plot campuran

17 Haslinda, Kajian dan Apresiasi Prosa Fiksi Teori dan Aplikasinya, (Makassar: LPP Unismuh, 2018), h. 59. 18 Jan van Luxemburg, et.al., Op. Cit., h. 149. 19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 149-150. 20 Ibid., h. 153-156.

18

Plot campuran merupakan gabungan dari kedua jenis plot sebelumnya, yaitu gabungan antara plot progresif dan plot sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dilihat bahwa alur merupakan salah satu unsur terpenting dalam cerita karena berfungsi sebagai penghubung antarelemen. Pembaca dapat menyusun rangkaian peristiwa itu ke dalam deret peristiwa yang disajikan oleh pengarang. Plot terdiri dari lima tahapan dan memiliki beberapa jenis, salah satunya jenis plot berdasarkan urutan waktu, yaitu plot progresif, plot sorot balik, dan plot campuran. Plot dalam novel Koplak termasuk ke dalam jenis plot progresif. 4. Latar (Setting) Tokoh dalam karya sastra juga membutuhkan ruang lingkup yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Pada karya sastra, ruang lingkup tersebut dikenal dengan istilah latar (setting). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Stanton, yang menyatakan bahwa latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristoa yang sedang berlangsung.21 Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.22 Selain itu, Wellek dan Warren juga menjelaskan lebih lanjut, bahwa latar adalah lingkungan, dan lingkungan—terutama interior rumah—dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat

21 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 35. 22 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 216.

19

berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu23. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar adalah lingkungan yang menjadi landasan tumpu setiap peristiwa yang terjadi dalam karya sastra, berupa tempat, waktu, dan lingkungan sosial yang juga dapat dianggap sebagai ekspresi dari tokohnya. Latar dalam karya fiksi ada dua jenis, yaitu latar netral dan latar tipikal. Latar netral, yaitu latar yang hanya disebutkan, latar yang sekadar latar hanya untuk kepentingan sebuah cerita agar memiliki landasan tumpu. Sebuah nama tempat yang sekadar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih dari itu. Misal, Yogyakarta, ia sekadar sebagai kota yang mungkin disertai dengan sifat umum sebuah kota, atau sekadar disebut saja.24 Berbeda dengan latar tipikal, yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Latar tipikal biasanya mencerminkan “latar” tertentu di dunia nyata, atau paling tidak, kita dapat menafsirkannya demikian.25 Nurgiyantoro membagi unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Berikut penjelasan dari ketiga unsur tersebut. a. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu

23 René Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 268. 24 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 220. 25 Ibid., h. 221-222.

20

faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. c. Latar sosial, menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.26 5. Sudut Pandang Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebah karya fiksi kepada pembaca. 27 Stanton menjelaskan, bahwa yang disebut dengan sudut pandang adalah pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Ia juga menambahkan, bahwa tempat dan sifat ‘sudut pandang’ tidak muncul serta-merta. Pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas.28 Menurut Nurgiyantoro, sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam, yakni persona pertama, first person, gaya “aku”, dan persona ketiga, third person, gaya “dia”. Jadi, dari sudut pandang “aku” atau “dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan.29 Menyajikan cerita melalui orang pertama (Ich-Erzählung) adalah metode yang perlu dibandingkan dengan metode lainnya. Narator

26 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 227, 230, dan 233. 27 Ibid., h. 248. 28 Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 53. 29 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 249.

21

semacam itu tidak boleh disalahartikan sebagai pengarangnya. 30 Sedangkan ketika pengarang menulis dalam orang ketiga, dengan sudut pandang “mahatau” (omniscient author), novelis dapat menarasikan cerita tanpa menunjukkan keterlibatannya dalam ceritanya. Pengarangnya berada di samping karyanya, seperti seorang penceramah yang menerangkan slide atau film dokumenter.31 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan cara yang digunakan pengarang dalam menyajikan peristiwa yang dialami para tokoh dalam cerita. Ada dua jenis sudut pandang, yaitu sudut pandang persona pertama dan persona ketiga. Pemilihan penggunaan sudut pandang perlu dipilih secara hati-hati oleh pengarang agar cerita yang ditulisnya dapat menimbulkan efek yang pas. Pengarang novel Koplak menggunakan sudut pandang persona ketiga mahatau. 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis (pemakai bahasa). 32 Menurut Stanton, gaya (dalam sastra) adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Menurut Abrams, stile (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.33 Selanjutnya menurut Slamet Muljana, gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.34

30 René Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 269. 31 Ibid., h. 270. 32 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-17 2007), h. 113. 33 Nurgiyantoro, Op. Cit., h.276. 34 Ernawati Waridah, EYD & Seputar Kebahasa-Indonesiaan, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008), h. 322.

22

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa gaya bahasa sangat berkaitan erat dengan pengarang atau penulis. Setiap orang atau pengarang pasti memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda. Melalui bahasa, pembaca dapat mengetahui gaya yang digunakan oleh pengarang dalam mengungkapkan gagasan dalam karya-karyanya. Selain itu, karakter seorang penulis juga dapat ditelusuri oleh para pembaca melalui gaya bahasa yang digunakannya tersebut. Keraf membagi gaya bahasa ke dalam empat jenis, yaitu: a. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Ada tiga jenis gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, yaitu gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.35 b. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.36 c. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat di sini adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, ada kalimat yang bersifat kendur, dan ada jenis kalimat berimbang. Gaya bahasa ini

35 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. ke-17 2007), h. 117-120. 36 Ibid., h. 121.

23

terbagi menjadi jenis, yaitu klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.37 d. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa ini terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris, yaitu aliterasi; asonansi; anastrof; apofasis; apostrof; asindeton; polisindeton; kiasmus; elipsis; eufimismus; litotes; histeron proteron; pelonasme dan tautogi; perifrasis; prolepsis; erotesis; silepsis dan zeugma; koreksio; hiperbol; paradoks; serta oksimoron. Sedangkan gaya bahasa kiasan, terdiri dari simile; metafora; alegori; parabel dan fabel; personifikasi; alusi; eponim; epitet; sinekdoke; metonimia; antonomasia; hipalase; ironi, sisnisme, dan sarkasme; satire; inuedo; atifrasis; serta pun atau paronomasia.38 7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.39 Menurut Ismawati, amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Amanat baru dapat ditemukan setelah pembaca menyelesaikan seluruh cerita yang dibacanya. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita- cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (berterang- terangan) dan dapat juga secara implisit (tersirat).40 Erneste mengatakan, bahwa tema berkaitan dengan amanat atau pesan. Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Erneste juga menambahkan, bahwa amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian,

37 Ibid., h. 124-127. 38 Ibid., h. 130-145. 39 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 162. 40 Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2013), h.20.

24

sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukaan. 41 Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa amanat berkaitan erat dengan tema yang diangkat dalam sebuah cerita dalam novel. Amanat selalu berbanding lurus dengan tema. Amanat merupakan pesan yang disampaikan secara implisit maupun eksplisit yang dapat pembaca temukan setelah membaca keseluruhan cerita.

C. Gender Istilah gender seringkali digunakan secara keliru dengan istilah seks. Padahal, secara definisi, istilah gender dan seks tentu saja tidak sama dan tidak pula dapat dipertukarkan. Robert A. Baron dan Donn Byrne menjelaskan bahwa sex is maleness or femaleness as determined by genetic factors present at conception that result in anatomical and physicolgical differences.42 Seks secara sederhana berarti jenis kelamin. Berdasarkan pada definisi yang lebih kompleks, seks berarti penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Crawford dalam Herdiansyah, mendefinisikan seks sebagai perbedaan secara biologis komposisi genetis dan fungsi anatomi reproduktif manusia.43 Berdasarkan definisi ini, kita dapat mengetahui bahwa seks atau jenis kelamin terdiri atas laki-laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari perbedaan alat reproduksi dan perbedaan genetik yang telah dibawa oleh manusia sejak mereka lahir. Agar dapat memahami perbedaan seks dan gender, perlu juga kita ketahui definisi dari istilah gender. Robert A. Baron dan Donn Byrne menjelaskan, bahwa gender is the attributes, behaviors personality, characteristic, and

41 Pamusuk Erneste, Novel dan Film, (Flores: Nusa Indah, 1991), h. 57. 42 Robert A. Baron dan Donn Byrne, Social Psychology, (8th Edition), (London: Allyn and Bacon, 1997), h.175. 43 Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2016), h. 3.

25

expectancies associated with a person’s biological sex in a given culture: may be based on biology, may be learned, or may represent a combination of biological and cultural determinants.44 McKnight dan Sutton secara singkat mendefinisikan, gender is a term used to denote differences between men and women that are learned not biological in nature.45 Kedua definisi di atas adalah definisi gender dalam perspektif psikologi. Definisi gender dalam perspektif sosiologi juga tidak jauh berbeda dengan definisi gender dari perspektif psikologi. Laura Kramer berpendapat, sociologist define gender as the totally of meanings that are attached to the sexes within a particular social system. More boardly, the gender system is a system of meaning and differentiation, linked to the sexes through social arrangements.46 Definisi gender tersebut sejalan dengan definisi gender yang dikemukakan oleh Crawford, yakni gender adalah serangkaian karakteristik dan sifat yang secara sosiokultural dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan. Blackmore, Berenbaum, dan Liben, dalam Herdiansyah, mendefiniskan gender sebagai karakteristik pembeda antara laki-laki dan perempuan yang bukan berdasarkan pada biologis, dan bukan bersifat kodrati, tetapi berdasarkan pada kebiasaan atau karakteristik sosiokultural masyarakat yang membentuknya.47 Menurut Mansour Fakih dalam Nugroho, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Fakih juga

44 Robert A. Baron dan Donn Byrne, Social Psychology, (8th Edition), (London: Allyn and Bacon, 1997), h.175. 45 Jim McKnight & Jeanna Sutton, Social Psychology, (Sydney: Prentice Hall, 1994), h. 519. 46 Laura Kramer, The Sociology of Gender: A Brief Introduction, (New York: Oxford University Press, 2011), h. 2. 47 Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2016), h. 4.

26

menegaskan, bawa semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda kelas ke kelas lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender.48 Berdasarkan beberapa definisi seks dan gender di atas, ada dua poin penting yang membedakan antara istilah gender dan seks. Seks lebih ditekankan pada kondisi biologis yang dilihat dari perbedaan anatomi alat reproduksi dan perbedaan genetik manusia sejak ia dilahirkan. Sedangkan gender, selain menekankan pada kondisi biologis, juga menekankan pada atribut, kebiasaan, kepribadian, dan karakter (kelaki-lakian atau keperempuanan) yang cenderung dibentuk oleh masyarakat. Selain itu, gender merupakan konstruksi sosial yang dibuat oleh masayarakat dan dapat dipertukarkan, sementara seks merupakan kodrat Tuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipertukarkan.

D. Psikologi Androgini Sandra L. Bem Dalam ilmu psikologi maupun dalam kehidupan masyarakat (sosial), kita telah mengenal istilah feminin dan maskulin. Kedua istilah ini merujuk pada karakter seseorang yang cenderung dikaitkan dengan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Bem menyebutkan bahwa, the process by which a society thus transmutes male and female into masculine and feminine is known as the process of sex typing. 49 Kedua istilah ini tidak dapat diterapkan secara bersamaan kepada satu orang. Jadi, masyarakat tradisional beranggapan jika seseorang hanya mungkin memiliki sifat feminin atau maskulin, dan tidak dapat menjadi keduanya. Menurut Bem, aspek maskulin dan feminin itu sesungguhnya bersifat komplementer, saling melengkapi dan bukan saling bertentangan.50. Menurut

48 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 7. 49 Sandra Lipsitz Bem, Gender Schema Theory: A Cognitive Account of Sex Typing, Psychological Review, Vol. 88, No. 4, 1981, h. 354. 50 Sandra L. Bem, The Measurement of Psychological Androgyny, Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 42, No. 2, 1974, h. 156.

27

pandangan tersebut, tidak hanya laki-laki dan perempuan yang membutuhkan satu sama lain, tetapi setiap individu akan mencapai keutuhan apabila mengadopsi sifat-sifat maskulin dan feminin dalam dirinya. Dua kutub ini saling berkaitan secara kreatif dan saling mendukung satu sama lain. Untuk mencapai keutuhan diri, indovidu harus menyatukan dualitas yang saling bertentangan ini dan mencapai kesatuan dalam dirinya. Kesatuan dualitas yang bertentangan ini disebut dengan androgini. 51 Sandra L. Bem, dalam penelitiannya yang berjudul The Measurement of Psycological Androgini, menyebutkan bahwa bisa saja seseorang menjadi “androgini”, artinya seseorang bisa saja menjadi maskulin sekaligus feminin, tegas sekaligus penurut, ataupun rasional sekaligus emosional, tergantung dengan situasi yang mereka hadapi.52 Istilah “androgini” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata andros artinya lelaki dan gyne artinya perempuan.53 Bem menekankan bahwa orang yang androgini tidaklah moderat, yang berada di antara maskulinitas dan femininitas yang ekstrem. Sebaliknya, orang yang androgini justru memandang dirinya sebagai kombinasi, maskulin yang kuat dan atribut feminin yang kuat.54 Menurut Kagan (1964) dan Kohlberg (1966) dalam Bem, seseorang cenderung termotivasi untuk konsisten dengan perilaku yang berdasarkan peran gender yang diinternalisasi (dalam masyarakat), yaitu maskulin untuk lelaki dan feminin untuk perempuan. Hal tersebut bertujuan agar ia mampu menekan setiap perilaku yang mungkin tidak diinginkan atau dianggap kurang sesuai dengan jenis kelaminnya. Dengan demikian, maka individu dengan konsep diri yang maskulin yang kuat akan cenderung menekan dirinya agar tidak melakukan hal-hal yang memiliki konsepsi feminin, begitu pula sebaliknya bagi individu dengan konsep diri yang feminin akan menekan

51 Hillary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, Seventh Edition (Illinois: Waveland Press, 2020), h. 56. 52 Sandra L. Bem, The Measurement of Psychological Androgyny, Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 42, No. 2, 1974, h. 155. 53 Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 9. 54 David O. Sears, et.al., Social Psychology 7th Edition, (Englewood Cliffs: Prentince Hall Inc, 1991), h. 442.

28

dirinya agar tidak melakukan hal-hal yang memiliki konsepsi maskulin. Hal tersebut berbeda dengan konsep diri androgini yang memperbolehkan dan membebaskan setiap individu untuk menggabungkan perilaku maskulin sekaligus feminin.55 Sandra L. Bem menggunakan Bem Sex Role Inventory (BSRI) untuk mengukur perbedaan individual dalam hubungannya dengan maskulinitas dan femininitas. BSRI adalah ukuran Bem tentang sejauh mana deskripsi diri seseorang melibatkan karakteristik tradisional maskulin, feminin, atau keduanya (androgini), atau tidak keduanya (tidak berdiferensiasi).56 Inventori tersebut berisi 60 kata sifat yang terbagi ke dalam 20 karakter kepribadian maskulin, 20 karakter kepribadian feminin, dan 20 karakter kepribadian netral. Berikut ini akan disajikan tabel deskripsi diri yang memuat kata sifat maskulin, feminin, maupun netral. Tabel 2.1 Bem Sex Role Inventory (BSRI) Masculine items Feminine items Neutral items 49. Act as a leader 11. Affectionate 51. Adaptable 46. Agressive 5. Cheerful 36. Conceited 58. Ambitious 50. Childlike 9. Conscientious 22. Analytical 32. Compassionate 60. Conventional 13. Assertive 53. Does not use harsh languages 45. Friendly 10. Athletic 35. Eager to soothe hurt feelings 15. Happy 55. Competitive 20. Feminine 3. Helpful 4. Defends own beliefs 14. Flatterable 48. Inefficient 37. Dominant 59. Gentle 24. Jealous 19. Forceful 47. Gullible 39. Likable 25. Has leadership abilities 56. Love children 6. Moody 7. Independent 17. Loyal 21. Reliable 52. Individualistic 26. Sensitive to the needs of others 30. Secretive 31. Makes decisions easily 8. Shy 33. Sincere

55 Bem, Op. Cit., h. 155. 56 Robert A. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial: Edisi Kesepuluh, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 187.

29

40. Masculine 38. Soft spoken 42. Solemn 1. Self-reliant 23. Sympathetic 57. Tactful 34. Self-sufficient 44. Tender 12. Theatrical 26. Strong personality 29. Understanding 27. Truthful 43. Willing to take a stand 41. Warm 18. Unpredictable 28. Willing to take risks 2. Yielding 54. Unsystematic Catatan: nomor yang tertera pada setiap item menandakan posisi setiap kata sifat seperti yang sebenarnya muncul pada inventory.

Perilaku androgini seseorang dapat dilihat melalui perlikau sehari-harinya yang mampu mengadaptasi perilaku maskuliln dan feminin sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Melalui adjektiva-adjektiva maskulin dan feminin pada inventori di atas, peneliti akan menganalisis perilaku androgini pada tokoh utama dalam novel Koplak dengan melihat manifestasi adjektiva maskulin dan feminin tersebut.

Menurut Bem, dalam Siregar, secara teoretis orang yang memiliki karakteristik androgini dapat mengadaptasi perilaku maskulin sekaligus feminin dan dapat memecahkan masalah. Bem (dalam Santrock dalam Siregar) juga berpendapat bahwa individu androgini memiliki sifat yang lebih fleksibel, kompeten, dan sehat mental dibandingkan dengan individu yang hanya memiliki sifat maskulin atau feminin. Selain itu, sifat orang androgini menurut Bem (dalam Elqorni dalam Siregar) mencakup lebih bebas, mengenali dirinya, dan suka membantu.57

E. Pembelajaran Sastra di Sekolah Secara sederhana Horace mengatakan bahwa sastra itu dulce et utile, artinya indah dan bermakna. Sastra sebagai sesuatu yang dipelajari atau sebagai pengalaman kemanusiaan dapat berfungsi sebagai bahan renungan dan refleksi kehidupan karena sastra bersifat koekstentif dengan kehidupan, artinya sastra berdiri sejajar dengan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai

57 Mulia Siregar, Perbedaan Perilaku Androgini Ditinjau dari Tempat Kerja, Jurnal Psikologi Konseling, Vol. 10, No. 1, Juni 2017, h. 42.

30

kemanusiaan, nilai-nilai sosial budaya, di antaranya yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama.58 Pada masa lalu, pembelajaran sastra terintegrasi ke dalam empat keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Integrasi materi sastra dalam empat keterampilan berbahasa tersebut tujuannya tiada lain adalah agar para siswa memperoleh dan memiliki pengalaman berapresiasi sastra secara langsung. Pengalaman berapresiasi dan menggauli cipta sastra tersebut, secara langsung diharapkan tumbuh pengalaman penghayatan, penikmatan dan penghargaan siswa terhadap karya sastra.59 Rusyana, dalam Warsiman, mengemukakan bahwa pada hakikatnya pembelajaran sastra itu menunjuk pada dua tujuan. Pertama, memperoleh pengalaman sastra, yakni pengalaman mengapresiasi hasil sastra dan pengalamam berekspresi sastra. Kedua, memperoleh pengetahuan sastra, seperti teori sastra dan sejarah sastra.60 Selain itu, pembelajaran sastra dapat digunakan sebagai jembatan untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan sosial, sebab secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Karya sastra merupakan representasi atau cerminan dari masyarakat sehingga karya sastra dapat memberikan refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.61 Pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan pembelajaran yang sangat penting peranannya untuk membentuk daya nalar siswa dan mengenalkan sastra sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Indonesia kepada para siswa.62 Salah satu genre sastra yang dapat diperkenalkan kepada siswa di sekolah, yaitu novel. Pembelajaran sastra, khususnya apresiasi novel harus diciptakan secara

58 Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 3. 59 Emzir dan Syaifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 255. 60 Warsiman, Sastra dan Pembelajarannya: Sajian, Telaah, dan Analisis Hasil Riset, (Surabaya: Unesa University Press, 2015), h. 116. 61 Emzir dan Syaifur Rohman, Op. Cit., h. 254. 62 Katarina Apriyanti, “Wajah Sastra dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013” dalam Houtman dan Arif Ardiansyah, Dinamika Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 163-164

31

terarah dan menyenangkan. Siswa harus dibawa menyelami pemikiran pengarang dan ide-idenya yang dituangkan melalui karya sastranya. 63 Pembelajaran sastra secara langsung ataupun tidak, akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problematika personal dan masyarakat manusia.64 Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa kehadiran sastra dalam pembelajaran di sekolah memiliki peran yang penting. Pembelajaran sastra bukan hanya melatih keterampilan berbahasa, tetapi lebih dari itu, pembelajaran sastra diharapkan dapat menjadi bahan refleksi realita serta menambah wawasan dan kepekaan para siswa dalam melihat kehidupan melalui apresiasi karya sastra.

F. Penelitian Relevan Penelitian relevan sangat berguna sebagai referensi dan acuan bagi penelitian serupa yang baru. Penelitian relevan juga berguna sebagai tinjauan bagi peneliti selanjutnya untuk mencari dan menciptakan kebaharuan dari segi subjek dan objek penelitian. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, berikut penelitian serupa terkait novel Koplak karya Oka Rusmini: Penelitian pertama, yaitu sebuah jurnal yang ditulis oleh Farah Nabilah dari Universitas Muhammadiyah Malang, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan judul “Aspek Perilaku Tokoh Utama dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini (Kajian Psikologi Sastra)”. Penelitian ini memaparkan tentang perilaku yang dihadirkan oleh tokoh bernama I Putu Koplak. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengemukakan karakter yang melekat pada tokoh utama (I Putu Koplak) berdasarkan teori Psikologi Sastra Mc Dougall. Teori perilaku Mc Dougall mencakup tujuh perilaku yang terdiri dari spontanitas, ketetapan, gerakan yang berketepatan, gerkan yang akan berganti setelah

63 Warsiman, Sastra dan Pembelajarannya: Sajian, Telaah, dan Analisis Hasil Riset, (Surabaya: Unesa University Press, 2015), h. 117. 64 Ibid., h. 119-120.

32

tercapainya tujuan, adaptasi, tingkah laku, dan reaksi organisme. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa karakter tokoh utama (Koplak), antara lain pekerja keras, setia, penyayang, dan berkepribadian unik.65 Penelitian kedua, yaitu jurnal yang ditulis oleh Adinda Faradilla Larasati dari Universias Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan judul “Nilai Moral dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini (Kajian Moralitas Immanuel Kant)”. Penelitian ini membahas tentang nilai moral menggunakan teori nilai moral Immanuel Kant yang berhubungan dengan tiga hal, yakni ketuhanan, sosial dan diri sendiri. Hasil penelitian yang diperoleh, pertama, berdasarkan aspek ketuhanan yang mencakup tiga bentuk nilai moral, yaitu berdoa, bersyukur, dan toleransi beragama. Kedua, berdasarkan aspek sosial yang mencakup sepuluh bentuk nilai moral, yaitu pemimpin yang peduli dengan kemajuan desa, tidak iri dengan kebahagiaan orang lain, demokratis, nasionalisme, tolong menolong, saling menghormati, dan mengucapkan terima kasih. Terakhir, berdasarkan aspek diri sendiri, mencakup tiga belas bentuk nilai moral, yaitu setia, mencintai diri sendiri, kerja keras, berani untuk maju, sayang kepada anak, sayang kepada orang tua, inovatif, anti korupsi, mandiri, cerdas, tidak pamrih, daya juang tinggi, dan tanggung jawab.66 Penelitian ketiga, yaitu sebuah jurnal berjudul “Balinese Daughter and Feminist Father in Koplak by Oka Rusmini”. Jurnal ini ditulis oleh Anindya Kusuma Wardani, Universitas Airlangga, Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya. Penelitian ini menggunakan telaah feminisme dan membahas tentang seorang feminis yang tidak hanya datang dari kaum perempuan, melainkan lelaki pun bisa menjadi seorang feminis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jika patriarki merupakan budaya yang dapat

65 Farah Nabilah, “Aspek Perilaku Tokoh Utama dalam Novel “Koplak” Karya Oka Rusmini Kajian Psikologi Sastra”, Prosiding SENABASA: Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indoensia diunduh pada tanggal 10 Juni 2020, pukul 20.21 WIB, melalui laman http://research- report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA/article/download/3185/2873 66 Adinda Faradilla Larasati, “Nilai Moral dalam Novel “Koplak” Karya Oka Rusmini Kajian Moralitas Immanuel Kant”, Jurnal BAPALA, Vol. 7, No. 1, 2020 diunduh pada tanggal 10 Juni 2020, pukul 21.08 WIB, melalui laman https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/bapala/article/viewFile/33313/29858

33

dinegosiasi. Kemunculan seorang ayah yang juga feminis (Koplak) menunjukkan jika peran orang tua dalam mebebaskan wanita dari budaya patriarki sangatlah penting.67 Penelitian keempat, ditulis oleh Diki Febrianto dan Candra Rahma Wijaya Putra dari Universitas Muhammadiyah Malang, Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Penelitian ini tersebut dimuat dalam Jurnal Kredo dengan judul “Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini: Kajian Sosiologi Sastra.” Tujuan penelitian tersebut, yaitu untuk mendeskripsikan hegemoni kekuasaan yang terdapat dalam novel Kopak karya Oka Rusmini, yang berkaitan dengan kelompok sosial yang mendominasi dan didominasi, supremasi kepemimpinan intelektual dan moral, serta kelompok politik. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kaum yang menduduki jabatan di pemerintahan dapat menjadi yang didominasi dan tidak selalu menjadi yang mendominasi. Selain itu, kepemimpinan intelektual dan moral melalui agama dan pendidikan. Hasil terakhir, yakni adanya konflik politik yang ditunjukkan melalui upaya dari masing-masing kandidat calon kepala desa.68 Penelitian kelima, yaitu penelitian terbaru yang ditulis oleh Aprilia Dwi Sulistyaningsih, Fransiscus Xaverius Samingin, dan Imam Baihaqi. Penelitian ini dimuat dalam jurnal Repetisi: Riset Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan judul “Pola Pikir Koplak dalam Novel Koplak karya Oka Rusmini dan Formulasinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra di SMA”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk pola pikir tokoh Koplak dengan pendekatan psikologi sastra. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu teori kategori wilayah pikir Sigmund Freud. Hasil

67 Anindya Kusuma Wardani, “Balinese Daughter and Feminist Father in Koplak by Oka Rusmini”, Jurnal Lakon: Kajian Sastra dan Budaya, Vol. 8, No. 2 diunduh pada tanggal 19 Agustus 2020, pukul 23.36 WIB melalui laman https://e- journal.unair.ac.id/LAKON/article/download/19774/10808 68 Diki Febrianto dan Candra Rahma Wijaya Putra, “Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini: Kajian Sosiologi Sastra”, KREDO: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Vol. 3, No. 2, April 2020 diunduh pada 19 Agustus 2020, pukul 23.34 WIB melalui laman https://www.jurnal.umk.ac.id/index.php/kredo/article/download/4347/2149

34

yang didapatkan dari penelitian tersebut menemukan adanya 8 data pola pikir tidak logis, 3 data pola pikir tidak realistis, 14 data pola pikir logis, 22 data pola pikir realistis, 4 pola pikir berdasarkan suara hati, dan 6 data pola pikir berdasarkan ego ideal. Hasil penelitian yang berupa deskripsi itu dapat dijadikan sebagai materi ajar apresiasi sastra di SMA.69 Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian relevan yang telah disebutkan di atas, yaitu sama-sama menggunakan novel Koplak sebagai objek penelitian. Persamaan lainnya, yaitu penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas membahas tentang tokoh utama pada novel, yakni tokoh Koplak. Namun, penelitian ini memiliki subjek penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, karena penelitian ini mengambil subjek perilaku androgini tokoh utama novel Koplak yang sebelumnya tidak dibahas oleh penelitian-penelitian di atas. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yakni menggunakan pendekatan psikologi sosial.

69 Aprilia Dwi Sulistyaningsih, et.al., “Pola Pikir Koplak dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini dan Formulasinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra di SMA”, Repetisi: Riset Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 3, No. 2, Oktober 2020 diunduh pada 20 November 2020, pukul 22.40 WIB melalui laman http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/article/view/1026

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG

A. Biografi Oka Rusmini Ida Ayu Oka Rusmini atau yang biasa dikenal dengan Oka Rusmini, ialah seorang penulis puisi, novel, dan cerita pendek yang lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. 1 Selain menjadi penulis, Oka Rusmini juga merupakan seorang wartawan. Ia adalah anak dari pasangan Ida Ayu Made Werdhi dan seorang Kopassus bernama Ida Bagus Made Gede. Masa kanak-kanak Oka Rusmini dihabiskan di Cijantung, Jakarta. Oka Rusmini datang dari keluarga Brahmana dan ia dibesarkan dengan kultur Bali dalam lingkungan kehidupan griya yang menuntut untuk berperilaku tertib, sopan, dan beradab, serta harus pandai membuat perlengkapan upacara agama Hindu dan sebagainya. Kakek dan nenek Oka Rusmini juga merupakan orang-orang yang cukup dikenal. Kakek dari pihak ibunya ialah seorang lurah pada zaman Belanda yang mahir membaca kitab-kitab kuno dan memiliki ilmu gaib. Sedangkan kakek dari pihak ayahnya adalah seorang pembuat pratima (arca-arca sakral). Nenek dari pihak ayahnya sangat hafal dengan sejarah griya dan juga suka bercerita tentang seluk beluk ilmu hitam.2 Namun, Oka Rusmini rela melepaskan statusnya dari kasta Brahmana dengan menikahi seorang penyair muda, yakni Arief B. Prasetya. Sebelum menikah dengan Arief pun, sejak remaja, Oka Rusmini lebih senang berbaur dengan rakyat biasa. Ia lebih suka nongkrong bersama para penyair Bali, bahkan jalan-jalan di pasar dan makan di kaki lima.3 Perjalanannya dalam dunia sastra telah dimulai sejak ia bergabung dan aktif dalam kegiatan sastra di bawah naungan Sanggar Cipta

1 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 184. 2 Ulfah Nurhazizah, “Oka Rusmini”, diakses pada tanggal 10 Mei 2020 pukul 23.11 WIB melalui laman https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/oka-rusmini.htm 3 Ay, “Sajak-Sajak dari Sang Ida Ayu” tanpa identitas penerbitan, Esai dalam Kliping Pusat Dokumentasi H.B Jassin.

35

36

Budayaasuhan penyair sekaligus guru Bahasa Indonesianya saat itu, GM Sukawidana, di SMP 1 . Sejak duduk di bangku SMP dan SMA, Oka Rusmini telah gemar menulis cerpen dan cerbung remaja yang banyak dimuat di Bali Post. Selain menulis cerpen dan cerbung, ia juga sering mengirimkan puisi-puisinya ke ruang sastra Bali Post yang akhirnya perlahan membuat namanya semakin dikenal publik sastra di Bali. Selain itu, salah satu novelnya yang berjudul Kenanga, telah ditulisnya sejak masih duduk di bangku SMA dan kemudian diterbitkan pada tahun 20034. Setelah lulus SMA, Oka Rusmini melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Setelah menuntaskan pendidikannya di perguruan tinggi, ia bekerja sebagai wartawan di harian Bali Post sejak tahun 1990.5 Sebagai seorang jurnalis, kepandaiannya mengangkat sebuah isu serta kepiawaiannya sebagai seorang penulis telah mampu membuatnya menghasilkan sebuah karya yang bukan hanya dapat dinikmati, namun juga dapat mengajak para pembacanya untuk ikut berpikir mengenai berbagai persoalan yang tengah kita hadapi bersama. Terutama terkait dengan feminisme yang memang sering ia tuangkan dalam novel-novelnya, serta yang terbaru juga cukup banyak menyinggung soal kebijakan politik, seperti pada novel Koplak dan Men Coblong. Nama Oka Rusmini semakin dikenal melalui salah satu karyanya, yaitu novel yang berjudul Tarian Bumi. Novel tersebut mengisahkan tentang perempuan Bali yang berasal dari kasta Brahmana yang berani mendobrak aturan-aturan griya dengan menikahi seorang pria yang bukan berasal dari kalangan Brahmana. Novel tersebut juga sarat akan isu-isu feminisme. Novel Tarian Bumi meraih penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional dan telah

4 Endah Sulwesi, “Oka Rusmini: ‘Menulis Itu, Buat Saya Adalah Semacam Terapi Jiwa’” dalam laman http://perca.blogspot.com/2007/11/oka-rusmini-menulis-itu-buat-saya.html diakses pada 17 Mei 2020 pukul 20.00 WIB. 5 PADMagz, “Oka Rusmini: Mendokumentasikan Bali dalam Karya” dalam laman https://padmagz.com/oka-rusmini-mendokumentasikan-bali-dalam-karya/ diakses pada 17 Mei 2020 pukul 20.06 WIB.

37

diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, di antaranya bahasa Jerman dengan judul Erdentanz (2007), bahasa Svenska dengan judul Jordens Dans (2009), bahasa Inggris dengan judul Earth Dance (2011), bahasa Italia dengan judul La danza della terra (2015), dan bahasa Korea (2016).6 Selain Tarian Bumi, karya-karya Oka Rusmini yang lain pun banyak mendapatkan penghargaan. Cerpennya yang berjudul Putu Menolong Tuhan dan noveletnya yang berjudul Sagra, berturut-turut mendapatkan penghargaan sebagai cerpen terbaik tahun 1994 dan cerita bersambung terbaik tahun 1998 dari majalah Femina. Cerpen lainnya yang berjudul Pemahat Abad juga terpilih sebagai cerpen terbaik periode 1990-2000 majalah sastra Horison. 7 Bahkan novelnya yang berjudul Tempurung, mendapatkan tiga penghargaan sekaligus, yaitu Penghargaan Bulan Bahasa dari Badan Bahasa PemerinTah RI (2012), Anugerah Sastra Tantular dari Balai Bahasa Denpasar (2012), dan penghargaan South East Asian (SEA) Write Award di Bangkok, Thailand (2012). Selain cerpen dan novel, kumpulan puisi karya Oka Rusmini, Saiban, juga mendapat penghargaan dari Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014). Ketekunannya dalam menghasilkan karya dan mengulik isu-isu terkini di dalam karya-karyanya, telah mengantarkan Oka Rusmini menjadi seorang penulis dengan segudang prestasi, seperti beberapa yang telah disebutkan di atas. Selain itu, Berkat karya-karya yang dihasilkan serta banyak prestasi yang telah diraih, Oka Rusmini pun sering diundang ke dalam berbagai forum sastra, di dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya yaitu mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1996); mewakili Indonesia dalam program penulis ASEAN (1997); sebagai penyair tamu dalam Festifal Kesenian Yogyakarta IV; tampil dalam Festival Puisi Internasional di Surakarta (2002); Festival

6 Grasindo, “Profil Penulis: Oka Rusmini”, diakses pada tangal 11 Mei 2020 pukul 00.09 WIB melalui laman http://www.grasindo.id/penulis/oka-rusmini/ 7 Ibid.

38

Puisi Internasional di Denpasar, Bali (2003)8. Selain itu, Oka juga pernah diundang ke Festival Sastra Winternachten di Den Haag, Belanda; menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman (2003) dan Universitas Napoli, Italia (2015), serta yang terbaru, Oka Rusmini diundang ke Asian Literature Creative Workshop di Seoul Art Space Yeonhui, Korea Selatan (2017).9 Beberapa buku puisi, novel, dan cerita pendek Oka Rusmini yang telah terbit, yaitu Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (20010, Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Akar Pule (2012), Pandora (2008), Tempurung (2010), dan Saiban (2014). Saat ini, Oka Rusmini masih aktif menjadi wartawan di Bali Post dan tinggal di Bali bersama suami dan anak semata wayangnya, Pasha Renaisans. Selain itu, Oka Rusmini juga masih terus menerbitkan buku berjudul Koplak dan Men Coblong yang diterbitkan secara bersamaan pada April 2019 yang berawal dari serial yang ia tulis di dua media daring di Bali, yakni Men Coblong di balebengong.id dan Pan Koplak di tatkala.co10.

B. Gagasan Kepengarangan Oka Rusmini Berawal dari hobi menulis yang ia tekuni sejak masih duduk di bangku sekolah, lalu menjadi seorang jurnalis yang peka dengan permasalahan sekitar, serta statusnya sebagai orang yang pernah tinggal dan paham akan nilai-nilai yang berlaku dalam griya, membuat Oka Rusmini menghasilkan karya-karya berlatar Bali yang luar biasa. Menurut S. Prasetyo Utomo, karya-karya (novel) yang dihasilkan oleh Oka Rusmini mengandung nilai-nilai feminisme yang berakar pada lingkup

8 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Ensiklopedia Sastra Indonesia: Oka Rusmini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui laman http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Oka_Rusmini 9 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 185. 10 Ibid.

39

sosioantropologis Bali 11 , seperti yang dapat kita baca pada salah satu novelnya yang telah mendunia berjudul Tarian Bumi. Novel-novel Oka Rusmini yang kita kenal sampai saat ini selalu berkaitan erat dengan Bali, baik dari segi tokoh, latar, hingga permasalahan yang diangkat ke dalam cerita-ceritanya. Berbeda dengan penulis-penulis lain yang juga menggunakan Bali sebagai latar cerita dan menunjukkan keindahan alam dan kepopuleran destinasi wisatanya, Oka Rusmini justru mengangkat isu lain yang belum pernah dibahas sebelumnya oleh orang Bali sendiri. Oka Rusmini, sebagai orang Bali asli yang juga berasal dari keluarga keturunan Kasta Brahmana, memiliki pandangan lain mengenai Bali dan segala macam norma yang berlaku di sana (griya). Ia mendokumentasikan Pulau Dewata dalam karya-karyanya dengan mengangkat isu-isu yang selama ini kurang diperhatikan oleh penulis lain dan mungkin jarang sekali diketahui oleh masyarakat luas. Ia mencoba menggugat nilai-nilai yang diciptakan keraton, adat dan sistem religi yang terlalu mengesampingkan perempuan. Hingga saaat ini, novel-novel yang dihasilkan oleh Oka Rusmini pun masih sarat akan kebudayaan Bali, begitu pula dengan tokoh utama yang dipilih, yakni seorang perempuan Bali, meskipun novel terbarunya, Koplak, menggunakan laki-laki sebagai tokoh utamanya. Dua novel terbarunya, yaitu Koplak dan Men Coblong juga masih mengadopsi Bali sebagai latar dan penokohannya. Isu-isu yang diangkat pada novel tersebut terbilang relevan dengan banyak orang, sebab Oka Rusmini banyak sekali menuangkan keresahannya sebagai warga negara melalui tokoh Koplak dan Men Coblong. Kedua novel itu banyak membahas isu-isu sosial dan politik. Feminisme dalam kedua novel tersebut juga tentu masih akan kita rasakan ketika membacanya, karena memang salah satu tujuan Oka Rusmini, yaitu ingin menyadarkan banyak orang, bahwa feminis bukan hanya datang dari

11 S. Prasetyo Utomo “Djenar, Ayu, Oka, dan Eksplorasi Seks Itu”, Esai tanpa identitas penerbitan dalam Kliping Pusat Dokumentasi H.B. Jassin.

40

kalangan perempuan, tapi laki-laki pun bisa menjadi seorang feminis 12 (tokoh Koplak dalam novel Koplak). Bagi Oka Rusmini, Bali merupakan sumber inspirasi yang terus bergejolak untuknya. Beragam kehidupan yang dijalani masyarakatnya menjadi warisan yang bukan hanya mengagumkan, tapi juga luar biasa. Menurutnya, Bali juga seperti sekolah tempat ia belajar banyak hal, terutama yang menjadikan tulisannya semakin matang. Selain itu, ia juga dapat mencatat beragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali.13 Oleh karena itulah, Oka Rusmini selalu menjadikan Bali sebagai kekuatan utama dalam karya-karyanya (novel), karena memang tempat itulah yang menjadi sumber inspirasinya sampai saat ini.

12 Wawancara singkat dengan Oka Rusmini 13 PADMagz, “Oka Rusmini: Mendokumentasikan Bali dalam Karya” dalam laman https://padmagz.com/oka-rusmini-mendokumentasikan-bali-dalam-karya/ diakses pada 17 Mei 2020 pukul 20.06 WIB.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik 1. Tema Koplak mengangkat tema tentang keresahan-keresahan yang dialami oleh seorang lelaki paruh baya menjelang usia 50 tahun. Salah satu keresahan yang dialami Koplak, yaitu mengenai perjalanan hidupnya sebagai lelaki yang memilih untuk terus melajang sepeninggal mendiang istrinya. Koplak lagi-lagi terdiam. Dia sungguh-sungguh merasa tercerabut dari hidupnya. Pada usianya yang menjelang 50 tahun, Koplak justru merasa tidak mengenali lagi kematangannya sebagai manusia. Manusia yang memilih untuk tetap melajang sejak kematian istrinya.1

Keresahannya tersebut kemudian menjadi salah satu permasalahan yang sejak awal hingga akhir cerita terus disinggung. Sebagai seorang kepala desa, statusnya sebagai seorang duda satu anak cukup menjadi perhatian. “Kamu ini sudah terlalu lama hidup sendiri, Koplak.” “Apa hubungannya hidup sendiri dengan penyakit?!” Koplak mendelik. Marah besar. “Hidup sendiri itu membuat pikiran lelaki buntu!” Mendengar komentar itu Koplak pun merasa sesak napas.2

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang di sekitar Koplak menganggap lelaki yang hidup sendiri sebagai hal yang tidak normal, bahkan dianggap memiliki pikiran yang buntu. Anggapan tersebut menjadi salah satu keresahan terbesar yang dirasakan Koplak. Namun, di sisi lain, statusnya sebagai single parent justru telah memupuk sifat-sifat

1 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 37. 2 Ibid., h. 49-50.

41

42

keibuanyang menjadikan Koplak sebagai ayah sekaligus kepala desa yang penuh dengan kasih sayang dan rasa peduli kepada orang lain. 2. Tokoh dan Penokohan Apabila kita lihat dari peran-peran tokoh dalam cerita, Koplak dan Kemitir merupakan tokoh utama dalam Koplak. Selanjutnya, tokoh lain yang muncul silih berganti memiliki peran sebagai tokoh tambahan, seperti Pan Balung, Koplir, Langir, dan masih banyak lagi yang muncul pada tiap bagian cerita. Namun, dalam analisis ini peneliti hanya fokus kepada tokoh Koplak, Kemitir, dan Lindung. Tokoh-tokoh pendukung akan dianalisis secara singkat untuk melihat posisi mereka terhadap tokoh utama dalam cerita. a. I Putu Koplak (Koplak) Koplak merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Tokoh ini tidak banyak digambarkan dari segi fisiknya, baik oleh narator, maupun dari penggambaran tokoh lain. Hanya ada satu penggambaran fisik yang menunjukkan bahwa Koplak merupakan lelaki yang telah berumur. Di depan cermin itu, Koplak menatap seluruh tubuhnya. Perut yang menurutnya mulai sedikit menonjol.3

Koplak sesungguhnya bangga dengan warna kelabu yang mulai melabur rambuntya.4

Penggambaran fisik Koplak oleh narator tersebut menunjukkan bahwa Koplak adalah lelaki yang tak lagi muda. Tanda-tanda tersebut dimunculkan melalui deskripsi tubuh Koplak yang perutnya mulai buncit, seperti ciri khas bapak-bapak lanjut usia serta warna rambutnya yang kelabu (beruban). Narator menggambarkan Koplak secara sosiologis sebagai seorang duda yang memiliki seorang anak perempuan sekaligus sebagai seorang kepala desa.

3 Ibid., h. 26. 4 Ibid., h. 27.

43

Koplak hanya menarik napas dalam-dalam. Sebagai lelaki single parent, dia tidak ingin menyakiti hati anak perempuan satu- satunya itu.5

Sebagai kepala desa di sebuah desa terpencil, keinginannya tidak banyak. Tidak muluk-muluk.6

Koplak, sebagai seorang kepala desa tentu saja memiliki status sosial yang cukup tinggi, karena dialah pejabat nomor 1 di lingkungan desanya. Namun, menjadi pejabat desa tak lantas membuat Koplak menjadi orang yang sombong. Narator menggambarkan secara psikologis bahwa Koplak adalah orang yang dermawan. Lindung terus berpikir. Selama ini Koplak telah menjadi atasan yang baik dan rela mengeluarkan uang untuk biaya Lindung mengikuti program Kejar Paket A, agar Lindung memiliki ijazah SD.7

Selain dermawan, sebagai kepala desa juga Koplak tidak hidup bermewah-mewah. Koplak digambarkan sebagai sosok yang sederhana. Hal itu terlihat salah satunya dari kebiasaannya yang senang berbaur dengan warga desa dengan penampilan sehari-hari yang seadanya. Ah, bagaimana mau dekat dengan masyarakat kalau kau suruh Bape berpakaian seperti pejabat-pejabat yang ada di TV?”8

Kutipan tersebut diambil dari salah satu percakapan Koplak dengan Kemitir. Seperti yang telah diketahui, pejabat-pejabat di TV yang disebut oleh Koplak pada kutipan di atas, selalu terlihat berpakaian rapi, meggunakan kemeja atau jas. Namun, Koplak merasa penampilan sehari- harinya yang sederhana itu justru akan lebih bisa mendekatkannya dengan warga desa.

5 Ibid., h. 15. 6 Ibid., h. 28. 7 Ibid., h. 121. 8 Ibid., h. 33 .

44

Rasanya minder juga Koplak yang berdandan memakai pakaian adat Bali sederhana duduk berdampingan dengan orang-orang seperti itu?9

Pada kutipan kedua juga terlihat Koplak tetap dengan penampilannya yang sederhana ketika ia menghadiri rapat pertemuan dengan Pak Camat serta para pejabat desa lainnya, meskipun terselip sedikit rasa minder dalam hatinya. Berdasarkan penjelasan tentang penokohan Koplak di atas, dapat kita ketahui bahwa Koplak merupakan gambaran seorang ayah dan suami yang sangat menyayangi keluarganya. Kesetiaannya kepada Langir, dibuktikan dengan hidupnya yang ia dedikasikan untuk terus mengurus Kemitir sejak lahir hingga dewasa. Koplak juga merupakan sosok disukai oleh orang-orang di sekitarnya berkat kedermawanan dan kesederhanaannya. Koplak termasuk ke dalam kategori tokoh statis. Sejak awal hingga akhir cerita, ia tetap teguh pendirian dengan pilihan hidupnya, yaitu tetap menjadi seorang single parent meski banyak orang yang mencoba untuk menggoyahkannya. b. Ni Luh Putu Kemitir (Kemitir) Kemitir dalam Koplak merupakan tokoh utama yang memiliki interaksi paling banyak dan paling dekat dengan tokoh utama laki-laki (Koplak). Kemitir adalah putri semata wayang Koplak dari hasil pernikahannya dengan mendiang istrinya. Kemitir digambarkan sebagai sosok yang mandiri, cerdas, berani, dan memiliki gaya hidup yang modern. Gaya hidup modern serta aturan-aturan yang ia terapkan kepada Koplak inilah yang membuatnya menjadi tokoh antagonis bagi tokoh Koplak. Penggambaran Kemitir dideskripsikan dengan baik oleh narator. Mulai dari ciri fisik hingga ciri psikologisnya. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan tokoh Kemitir dari segi fisiologisnya.

9 Ibid., h. 143.

45

Perempuan kecilnya menjelma gadis paling cantik yang pernah dilihat Koplak. Tubuhnya terbentuk bagus. Rambutnya tebal. Tubuhnya bahkan lebih tinggi dari Koplak.10

Narator secara sosiologis menggambarkan Kemitir sebagai seorang yang memiliki latar pendidikan yang tinggi. ... Kemitir tidak perlu lagi pontang-panting mencari pekerjaan setelah tamat kuliah dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.11

Berkat ilmunya dalam bidang ekonomi itu, Kemitir juga mampu menggapai mimpinya membuka kedai kopi dan menjadi seorang pebisnis muda yang sukses. Selama ini dia terlalu disibukkan dengan bisnis kafenya di Denpasar. Bisnis yang makin berkembang melampaui impiannya. Gerai-gerai kopinya dibuka di tempat-tempat pariwisata dan banyak “klien” dari pelbagai daerah juga luar negeri berusaha menawarkan beragam ide dan kerja sama menggiurkan. Pada usianya yang ke-21, Kemitir telah sukses sebagai “pedagang kopi”.12

Kedua kutipan tersebut menggambarkan secara sosiologis, bahwa, Kemitir adalah seseorang yang berpendidikan serta memiliki status sosial yang tinggi, karena pernah menimba ilmu di perguruan tinggi dan telah mampu menjadi seorang pebisnis muda yang sukses di usia 21 tahun. Kutipan di atas juga mampu menggambarkan tokoh Kemitir secara psikologis sebagai seorang perempuan yang mandiri. Bertengkar dengan Kemitir juga percuma. Sejak kecil Kemitir memang dididik Koplak untuk mandiri. Untuk berani mengatakan apa pun tanpa melihat bahwa dirinya seorang perempuan.

Sifat mandiri dan berani tersebut ada pada diri Kemitir berkat didikan Koplak sejak putrinya masih anak-anak. Akhirnya, sifat-sifat

10 Ibid., h. 36. 11 Ibid., h. 106. 12 Rusmini, Loc.Cit.

46

tersebut terbawa hingga Kemitir dewasa dan mampu mengantarkannya meraih kesuksesan di usia muda. Berdasarkan penjelasan mengenai penokohan Kemitir di atas, dapat diketahui bahwa Kemitir merupakan sosok perempuan muda yang cantik, cerdas, dan tangguh. Sejak kecil ia telah dididik oleh Koplak untuk menjadi wanita yang berani dan mandiri. Kecerdasan yang juga diiringi dengan keberanian dan kemandirian itu telah mampu membawa Kemitir menjadi seorang pengusaha muda. Kemitir telah menjadi seorang pengusaha muda sukses di usia 21 tahun. Selain itu, Kemitir tergolong tokoh yang statis. Hal tersebut karena dalam cerita tidak banyak peristiwa tertentu yang berpengaruh langsung pada perubahan sikap Kemitir. Sejak awal ia telah digambarkan sebagai sosok perempuan yang berani dan cerdas. c. I Wayan Lindung Purnama (Lindung) Lindung merupakan satu-satunya tokoh tambahan yang kemunculannya paling banyak diceritakan oleh narator dibanding tokoh tambahan lain yang hanya sekali muncul dalam Koplak. Tokoh Lindung dimunculkan oleh narator ketika Koplak sedang berada di kantor kepada desa dan mengajak Lindung berdiskusi. Selanjutnya, dari sanalah narator juga mulai memperkenalkan tokoh ini dan keterlibatannya dengan Koplak. Narator secara fisiologis menggambarkan Lindung sebagai remaja lelaki yang tampan. Sejak anak perempuan semata wayangnya memilih hidup dan megembangkan diri di kota, Koplak merasa Lindung adalah bagian masa depannya. Lelaki muda yang tampan dan menarik hatinya.13

Selanjutnya, narator juga menggambarkan Lindung secara sosiologis sebagai remaja lelaki yang dari keluarga yang kurang mampu secara finansial.

13 Ibid., h. 124.

47

Lindung terdiam. Sebagai anak lelaki dari keluarga kekurangan, Lindung memiliki banyak mimpi.14

Kutipan di atas menunjukkan bahwa, Lindung memiliki status sosial yang rendah dalam masyarakat, karena ia berasal dari keluarga yang kekurangan dan bahkan tak mampu menyelesaikan pendidikan di tingkat dasar. Lindung terperangah, menatap Koplak dengan bingung. Apa tidak salah Koplak meminta pendapatnya? Pendapat seorang petugas kebersihan yang tidak menamatkan sekolahnya di tingkat dasar?15

Tokoh Lindung juga secara psikologis digambarkan oleh narator sebagai sosok yang cerdas, semangat, pantang menyerah dan menyukai tantangan. ... Sorot matanya menunjukkan kecerdasan, semangat, juga daya juang tinggi. Tidak ada kepasrahan, tidak ada kecengengan. Setiap diberikan pekerjaan baru, mata Lindung yang tajam dan hitam berkelip-kelip seolah memancarkan kata-kata, “Ini tantangan baru, aku harus bisa menundukkannya.”16

Selain cerdas dan pantang menyerah, meski usianya masih muda, Lindung juga mampu bertanggung jawab atas segala pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. ... Dari mana sesungguhnya anak lelaki yang belum genap lima belas tahun itu belajar kesabaran? Belajar ikhlas? Belajar tahu diri? Belajar memahami bahwa apa pun yang dikerjakan dan menjadi tugasnya adalah tanggung jawab?17

Ketiga penggambaran tokoh Lindung di atas menunjukkan bahwa meskipun berasal dari keluarga yang tidak mampu secara finansial, Lindung tetap memiliki mimpi, tidak mudah menyerah pada keadaan, dan tetap bekerja keras.

14 Ibid., h. 161. 15 Ibid., h. 118. 16 Ibid., h. 125. 17 Rusmini, Loc.Cit.

48

Berdasarkan penjelasan tentang penokohan Lindung di atas, dapat dilihat bahwa Lindung merupakan gambaran sosok pemuda yang tangguh. Sifat pekerja keras dan keuletan yang dimiliki oleh Lindung mampu membawanya pada hal-hal baik. Meski berasal dari keluarga miskin, berkat keuletannya, ia mampu menggerakkan hati Koplak untuk membantu Lindung agar bisa melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda. Pada cerita ini, Lindung berperan sebagai pemuda yang telah dianggap sebagai anak sendiri oleh Koplak. Sama seperti Koplak dan Kemitir, Lindung juga termasuk ke dalam tokoh statis, karena tidak ada peristiwa berarti yang mungkin dapat mempengaruhi perubahan dala dirinya. d. Tokoh-Tokoh Pendukung Lain Tokoh-tokoh pendukung dalam novel Koplak ini kehadirannya cukup berpengaruh pada tokoh utama. Peneliti akan mengklasifikasikan tokoh-tokoh tersebut ke dalam dua klaster. Pertama, yaitu tokoh yang mendukung perilaku androgini pada diri Koplak. Kedua, yaitu tokoh yang memandang bahwa Koplak harus berperilaku sebagaimana lelaki “seharusnya” dalam pandangan masyarakat umum. Tokoh yang mendukung perilaku androgini Koplak, yaitu Langir. Langir adalah istri Koplak yang meninggal saat melahirkan anak mereka. Cintanya yang sangat dalam kepada Langir membuat Koplak menjadi sosok yang setia. Bahkan, Koplak memutuskan untuk tidak menikah lagi dan memutuskan untuk mengurus sendiri rumah tangga dan anak semata wayangnya. “Hidup itu harus diisi oleh hal-hal yang berguna. Minimal berguna untuk keluarga,” kata Langir dengan tenang. Wajahnya selalu datar. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Namun anehnya, Koplak jatuh hati. Cinta mati kepada Langir.18 Langir merupakan seorang perempuan yang memiliki pandangan- pandang postif dan berpikiran terbuka. Ia juga merupakan wanita mandiri

18 Ibid., h. 55.

49

dan mampu berpikir kreatif. Sifat-sifat Langir yang seperti itulah yang kemudian membuat Koplak belajar menjadi sosok seperti yang telah dijelaskan pada poin penokohan Koplak sebelumnya.

“Kau lihat, jika seluruh kebun ditanami bunga kemitir, tanah kita bisa dimanfaatkan untuk produksi. Kita bisa jadi produsen. Biasanya kita ini, kan , konsumen. Apa-apa beli. Jika seluruh bungaku sudah berbunga, aku bisa menjual bunga-bunga ini ke pasar. Lumayan untuk tambah-tambah uang dapur. Aku tidak ingin jadi istri yang memaksamu melakukan ini-itu untuk membeli kebutuhan hidupku. Aku bisa mandiri. Tanah berfungsi, aku pun bahagia.”19 Berdasarkan kutipan di atas, sosok Langir digambarkan sebagai wanita mandiri yang berpandangan terbuka pula terhadap peranan gender. Dia berusaha menjadi seseorang yang bisa memenuhi kebutuhannya tanpa harus terus bergantung pada suaminya. Cara pandang Langir yang terbuka itulah yang juga dimiliki oleh Koplak. Selanjutnya, tokoh yang cenderung menentang tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh Koplak. Tokoh tersebut, yakni Pan Balung. Pan Balung adalah seseorang yang telah Koplak anggap sebagai penasihat kepala desa. Pan Balung (dan orang-orang lainnya di sekitar Koplak) berpendapa bahwa Koplak harus menikah lagi. Pendapat tersebut tentu saja bertentangan dengan pendirian Koplak yang tetap memilih untuk melajang dan setia menjaga cinta kasihnya kepada Langir. Selain itu, pengaruh kepercayaan masyarakat Bali tentang pentingnya memiliki anak lelaki dalam keluarga menjadi salah satu alasan paling kuat yang melatarbelakangi Pan Balung mendesak Koplak untuk menikah lagi. “Bagi orang Bali, memiliki anak lelaki itu wajib, Koplak.” “Aku paham, tetapi sebagai lelaki Bali kau tidak boleh egois. Kau harus memiliki anak lelaki. Konon, anak lelakilah yang kelak bisa

19 Ibid., h. 59.

50

menuntunmu ke tempat yang lebih baik. Membuat arwahmu mendapat tempat yang lebih nyaman.20 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa bagi orang Bali, keberadaan anak laki-laki sangat penting untuk membawa kebaikan bagi arwah orang tuanya. Selain itu, Bali merupakan salah satu daerah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, kekerabatan ini ditentukan bahwa garis keturunan hanya dilihat dari garis laki-laki, sehingga hanya anak laki-laki yang dapat menjadi ahli waris. 21 Oleh karena itu, Pan Balung juga terus menerus mendesak Koplak untuk menikah dengan alasan tersebut. Namun, Koplak bersikukuh tetap menganggap bahwa anak perempuan dan laki-laki memilliki kedudukan dan nilai yang sama. Selain itu, jawaban Pan Balung yang santai menjawab pertanyaan Koplak juga tidak sesuai dengan prinsip Koplak untuk tetap setia dan tidak ingin menikah lagi. Bagaimana jika Koplak setuju dengan beragam usul dari orang- orang di desanya, menikah lagi. Lalu, siapa yang bisa menjamin Koplak akan diberikan anak lelaki? bagaimana kalau yang lahir anak perempuan lagi? “Ya, suruh istrimu hamil lagi,” jawab Pan Balung santai. Koplak terdiam, makin merasa tidak masuk akal dengan jawaban Pan Balong.22

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa selain menyuruh Koplak menikah lagi agar mendapatkan anak laki-laki, tercermin pula bahwa Pan Balung menganggap bahwa perempuan atau istri hanya sebagai objek untuk menghasilkan keturunan. Hal tersebut tentu saja sangat bertentangan dengan pandangan dan prinsip Koplak yang selama ini menghormati perempuan, yang tercermin melalui kesetiaannya terhadap istrinya serta cara Koplak mendidik Kemitir.

20 Ibid., h. 158. 21 Sukerti dalam Kadek Ayu Monika dan David Hizkia Tobing, “Gambaran Kecemasan Orangtua yang Hanya Memiliki Anak Perempuan di Kabupaten Tabanan, Bali”, Jurnal Psikologi Udayana, Vol. 5, No. 2, 2018, h. 304. 22 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 159-160.

51

3. Alur a. Penyituasian Novel Koplak menggunakan alur progresif, yakni peristiwa- peristiwa di dalamnya dirangkai secara kronologis. Cerita diawali dengan penggambaran latar belakang Koplak yang merupakan seorang duda yang ditinggal mati oleh mendiang istrinya. Cara mereka memandang Koplak, membuat lelaki berumur itu merasa sedikit meriang. Sudah hampir 21 tahun lebih 21 hari Koplak ditinggal mati oleh istrinya, Ni Luh Wayan Langir. Langir mati karena pendarahan hebat.23 Tidak seperti sebagian besar orang yang akan menikah lagi setelah bercerai atau ditinggal mati oleh pasangannya, Koplak memilih untuk tetap menduda karena cintanya yang tulus kepada Langir. Selain itu, pengarang juga memperkenalkan tokoh Koplak sebagai sosok yang setia kepada pasangannya. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut yang menyatakan bahwa tidak ada wanita lain yang dapat menarik perhatian Koplak, kecuali istrinya. Begitulah, sebagai duda, Koplak sesungguhnya telah kehilangan gairah kepada perempuan. Cintanya pada Langir tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Bagi Koplak, tidak ada perempuan secantik Langir. Tidak ada perempuan yang mampu membangkitkan gairahnya selain Langir. Di otaknya cuma ada Langir, Langir, Langir!24 Narator juga secara lebih lanjut menggambarkan Koplak sebagai duda yang memilih untuk tidak menikah lagi setelah 21 tahun kepergian istrinya. Koplak lebih memilih untuk mengurus anak semata wayangnya sendiri, menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya itu. Koplak hanya menarik napas dalam-dalam. Sebagai lelaki single parent, dia tidak ingin menyakiti hati anak perempuan satu- satunya itu.25

23 Ibid., h. 3. 24 Ibid., h. 4 25 Ibid., h . 15

52

Kata single parent pada kutipan di atas cukup menjelaskan posisi Koplak yang menjadi orang tua tunggal, ayah sekaligus ibu bagi anaknya. Artinya, selain menafkahi anaknya sejak lahir hingga dia dewasa, Koplak juga megasuh serta mendidik anaknya.

b. Pemunculan Konflik Konflik mulai muncul ketika pilihannya untuk tetap menduda dan menjadi orang tua tunggal mulai dijadikan bahan gunjingan oleh orang- orang di sekitarnya. Di antara orang-orang yang bergunjing itu juga bahkan ada yang secara terang-terangan menganggap bahwa Koplak adalah lelaki yang telah kehilangan kejantanan atau kelelakiannya. Mereka menganggap ada yang salah pada diri Koplak hanya karena Koplak betah hidup sendiri untuk mengurus anak dan rumah tangga tanpa didampingi pasangan hidup. Hal tersebut dianggap tidak wajar. Bahkan, ada staf lain di kantor desa juga yang menganggap bahwa hidup sendiri dapat membuat pikiran lelaki menjadi buntu. Dia memang sudah lama kehilangan istrinya. Sudah lama juga tidak lagi merasakan tubuh perempuan. Telinganya juga sudah tidak peka lagi. Sebetulnya, tidak hanya telinga, seluruh pori-pori hidupnya yang berdetak mungkin sudah sedikit korslet. Kalau diibaratkan teknologi kekinian, mungkin seluruh kepekaan tubuhnya perlu di-upgrade. Bahkan, menurut staf perempuan di kantor desa, Koplak sesungguhnya lelaki yang telah hilang kelelakiannya.26 “Hidup seorang diri itu membuat pikiran lelaki buntu!” Suatu hari seorang staf di kantor berbicara dengan staf yag lain. Mendengar komentar itu Koplak pun merasa sesak napas.27

Setelah diam-diam mendengar pernyataan dari dua orang stafnya tersebut, Koplak cukup merasa sakit hati, karena selama ini ia merasa mampu menjalani kehidupannya serta mengurus putri semata wayangnya dengan baik.

26 Ibid., h. 49-50. 27 Ibid., h. 50.

53

c. Peningkatan Konflik Gunjingan-gunjingan yang beberapa kali Koplak dengar dari orang- orang di sekitarnya lama-kelamaan menimbulkan pertanyaan bagi dirinya sendiri. Koplak bertanya-tanya kepada dirinya tentang perannya selama ini. Keresahan itu ditambah pula ketika pertanyaan tentang dirinya itu mendapat jawaban yang dia anggap tidak sesuai dengan keadaan dan hal- hal yang selama ini telah ia lakukan sebagai seorang lelaki yang hidup dan mengurus anaknya seorang diri. Koplak selalu bertanya kepada dirinya sendiri, sudahkah dirinya menjelma jadi lelaki yang baik? “Belum” jawab seorang temannya yang sering diajaknya ngopi bersama sambil menikmati sore menjelang gelap di rumahnya yang sunyi, setelah pulang dari mengurus pekerjaannya sebagai kepala desa di sebuah desa yang kecil, tenang, tidak hiruk pikuk seperti kota-kota yang ada di televisi. “Kenapa kamu mudah sekali menilaiku belum menjadi lelaki yang baik?” Koplak bertanya sambil menurunkan kacamata yang melorot tiba-tiba. Ah, dia merasa wajahnya yang keras menciut. Selama ini Koplak merasa sudah mencoba untuk menjadi lelaki yang baik. Setelah ditinggal istrinya berpulang, Koplak tidak memilliki affair dengan perempuan lain.28 Koplak merasa sangsi dengan pernyataan temannya yang mengatakan bahwa ia belum menjelma menjadi lelaki yang baik. Dalam bantinnya, Koplak merasa bahwa dia telah berhasil menjaga kesetiaannya kepada mendiang istrinya dengan tetap hidup sendiri. Koplak merasa dirinya telah berhasil mengasuh dan mendidik anaknya dengan caranya sendiri. Meski banyak orang yang menghujatnya, Koplak tetap pada pendiriannya dan yakin bahwa hal-hal yang telah dia lakukan untuk anaknya maupun untuk dirinya sendiri telah masuk akal. Sebagai lelaki, Koplak benar-benar merasa sudah melakukan hal- hal yang benar-benar masuk akal untuk kehidupan dirinya dan anak semata wayangnya. Koplak tidak peduli dengan hujatan dari

28 Ibid., h. 74-75.

54

para lelaki di desanya yang menganggapnya sok setia, “sok jadi lelaki ideal”.29 Akan tetapi, pada kenyataannya, meski Koplak tidak peduli dengan hujatan orang lain, batinnya tetap memikirkan tentang totalitasnya dalam menjalankan perannya sebagai seorang ayah bagi anak semata wayangnya.

Sudahkah dia jadi ayah yang baik untuk anak perempuan semata wayangnya?30 d. Klimaks Permasalahan mengenai pilihannya selama lebih dari 20 tahun, yakni sebagai duda dan orang tua tunggal mencapai puncaknya ketika Kemitir, anak semata wayangnya, justru secara langsung menyarankan kepada Koplak agar ia mencari teman hidup. Kemitir merasa ayahnya butuh seseorang di sampingnya agar ayahnya tidak kesepian setelah tidak lagi tinggal bersama Kemitir. Kemitir merasa harus ada yang mengurus ayahnya. Namun, Koplak merasa kecewa dengan pemikiran anaknya itu. Koplak juga tetap merasa mampu mengurus diri sendiri. “Begini, Bape. Tiang nunas iwang, mohon maaf jika kata-kata tiang akan membuat Bape terluka atau membuuat Bape tersinggung. Sudah sejak lama tiang berpikir, ada baiknya Bape mulai saat ini mencari teman hidup. Setidaknya, bisa Bape ajak menemani hari-hari Bape, sehingga Bape tidak kesepian. Ada teman untuk bicara. Ada orang yang setiap pagi bisa membuatkan sarapan untuk Bape ....”31

Tahukah Kemitir, selama ini Koplak sudah membuktikan kesetiaannya sebagai ayah-ibu, juga sebagai lelaki-perempuan sekaligus untuk menjaga cintanya kepada Langir?32

Selain anaknya, temannya juga ikut mendesak Koplak untuk menikah lagi. Koplak semakin merasa kesal dan risih karena terus-

29 Ibid., h. 80. 30 Ibid., h. 82. 31 Ibid., h. 109. 32 Ibid., h. 110.

55

menerus dianggap sebagai lelaki yang aneh, tidak normal, bahkan dianggap sakit jiwa. Pertanyaan soal mencari teman hidup baginya semakin memuakkan. Oleh karena itu, Koplak yang semakin geram menegaskan kepada temannya bahwa ia tidak akan mencari istri lagi. “Apa kamu tidak ingin cari teman hidup?” Pan Balung berkata lagi. Kali ini suaranya disetir lebih pelan. Koplak terdiam. Jenuh dengan sekali dengan teror yang dilakukan para lelaki atau perempuan yang melihat dirinya sebagai lelaki kesepian. Lelaki yang tidak memiliki impian-impian lagi. Lelaki sakit jiwa. Lelaki yang mungkin bagi sebagian orang dianggap buduh33, karena hari begini, zaman begini, ada seorang lelaki yang masih muda dan tidak jelek-jelek amat bisa hidup sendiri puluhan tahun dan merawat seorang bayi merah sampai berumur dua puluh tahun. “Aku tidak akan cari istri!” Koplak berkata keras. pan Balung memelotot.34

e. Penyelesaian Penyelesain permasalahan Koplak di atas kemudian tidak digambarkan secara gamblang oleh pengarang mengenai pilihan Koplak yang sejak awal memilih untuk tidak menikah lagi. Seperti halnya kehidupan yang memiliki banyak kemungkinan, kelanjutan hidup Koplak dengan pilihan hidupnya untuk tetap menduda terus berlanjut menjadi perdebatan. Hal tersebut terutama karena orang Bali menganggap kehadiran anak lelaki dalam sebuah keluarga itu penting. Koplak yang hanya memiliki anak perempuan semata wayang dari hasil pernikahannya dengan Langir merasa bahwa tidak masalah jika ia tidak memiliki anak lelaki. Koplak merasa hidupnya baik-baik saja walau tidak memiliki anak lelaki. Selama ini Koplak merasa hidupnya baik-baik saja. Apa yang mesti ditakutkan? Koplak juga berkorban banyak untuk kemajuan Kemitir. Bahkan, saat ini bagi Koplak, Kemitir itu seperti lelaki sekaligus perempuan. Beragam hal bisa diselesaikannya dengan

33 Gila; sakit jiwa. 34 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 113.

56

cepat. Bisnisnya maju, bahkan menurut Koplak, anak perempuan semata wayangnya itu sudah jauh melesat tinggi. Hidupnya sangat mapan. Tanahnya luas di Denpasar dan terus bertambah. Lalu, apa yang ditakutkan orang-orang di desanya terhadap hidup Koplak?35 Namun, pada akhirnya, meski Koplak tidak setuju jika ia dipaksa untuk menikah lagi, terutama jika hanya untuk mendapatkan anak lelaki, pengarang tetap memberikan pilihan kepada Koplak untuk menentukan jalan hidupnya. Hal tersebut terlihat dari gambaran suara hati dan pikiran Koplak melalui kutipan berikut.

Bagaimana jika Koplak setuju dengan beragam usul dari orang- orang di desanya, menikah lagi. Lalu, siapa yang menjamin Koplak akan diberikan anak lelaki? Bagaimana kalau yang lahir anak perempuan lagi? “Ya, suruh istrimu hamil lagi,” jawab Pan Balong santai. Koplak terdiam, makin merasa tidak masuk akal dengan jawaban Pan Balong. Bagaimana jika istri baru koplak melahirkan lima anak dan semua anaknya perempuan! Apa harus menikah lagi? Koplak terdiam. Mengingat siluet-siluet renungan tentang hidupnya meluncur gamang di depan matanya. Bagi masyarakat di Bali, anak lelaki memiliki kedudukan yang penting karena Bali menganut sistem kekerabatan patrilieal, yaitu melihat garis keturunan dari garis laki-laki. Meski demikian, apabila dilihat dari kutipan tersebut, pengarang seperti ingin memberikan akhir (ending) cerita yang terbuka bagi pembaca, meski secara tersirat terlihat bahwa kemungkinan besar Koplak akan tetap berpegang teguh pada pilihan awalnya.

4. Latar Latar dapat dikatakan sebagai lingkungan atau panggung yang menjadi dasar penceritaan, yang unsur-unsurnya terdiri dari tempat, waktu,

35 Ibid., h. 159.

57

dan suasana. Berikut ini ketiga unsur latar tersebut yang terdapat dalam novel Koplak. a. Latar Tempat Latar tempat berkaitan dengan pertanyaan “di mana”. Latar tempat pada sebuah cerita dapat diketahui melalui penyebutan langsung nama daerah, kota, atau negara; bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam narasi maupun percakapan antartokoh; atau penggambaran secara tersirat melalui peristiwa, tanda-tanda lain yang penulis sajikan dalam cerita. Secara keseluruhan, latar tempat dalam novel Koplak adalah di Bali. Koplak dikisahkan sebagai seorang kelada desa di sebuah desa kecil yang warganya hidup dengan damai dan sejahtera, bernama Desa Sawut. Selama jadi kades di Desa Sawut, Koplak tidak pernah menganjurkan ini-itu kepada warganya.36

Nama “Desa Sawut” pertama kali muncul di awal cerita yang sedang mengisahkan pemilihan kepala desa baru di desa tersebut. Desa Sawut merupakan sebuah desa fiksional37 yang dibuat oleh pengarang. Artinya, tidak ada nama desa tersebut dalam desa-desa di Bali. Desa Sawut menjadi latar tempat yang mendominasi dalam keseluruhan cerita, karena di sana lah tempat tinggal Koplak sejak ia kecil hingga ia memiliki seorang anak. Selain Desa Sawut, latar tempat yang menunjukkan bahwa kisah itu terdapat di Bali, yaitu karena Denpasar juga disebut secara langsung oleh pengarang. Belakangan ini, Kemitir selalu mengutus seorang sopir untuk menjemput Koplak ke Denpasar pada hari libur.38

Pada cerita ini, Denpasar merupakan lokasi tempat tinggal putri semata wayang Koplak. Di tengah-tengah cerita, Koplak dikisahkan berkunjung ke kediaman Kemitir untuk melihat keadaan hidup putri

36 Ibid., h. 17. 37 Anindya Kusuma Wardani, Balinese Daughter and Feminist Father in Koplak By Oka Rusmini, Jurnal Lakon: Kajian Sastra dan Budaya, Vol. 8, No. 2, 2019, h. 62. 38 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 78.

58

semata wayangnya itu. Namun, Denpasar tidak menjadi latar yang yang mendominasi pada novel ini. b. Latar Waktu Waktu merupakan salah satu unsur lain dari latar yang juga penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui kapan berlangsungnya peristiwa atau kejadian-kejadian dalam cerita, pembaca juga dapat ikut terhanyut pada situasi di masa itu. Latar waktu biasanya dapat kita ketahui secara langsung dari pengarang dengan disebutkannya tahun berlangsungnya kisah tersebut ataupun secara tidak langsung melalui potongan-potongan peristiwa yang menggambarkan suatu zaman atau periode tertentu. Pada novel Koplak, pengarang tidak menyebutkan secara langsung mengenai kapan atau tahun berapa tepatnya kisah tersebut berlangsung. Di awal cerita, Oka menggunakan tanda-tanda lain untuk menggambarkan latar waktu, seperti pada kutipan berikut. Pengarang menggambarkan latar waktu “masa kini” dengan berpatokan pada umur dan tahun kelahiran tokoh utamanya, yang tidak lain ialah Koplak. Kemitir menatap Koplak, berusaha meraba, membaca, juga mengeja pikiran ayahnya, lelaki kelahiran 30 September 1971.39

Tahun ini Koplak akan berusia setengah abad. Koplak menyebutnya usia dewasa.40

Setengah abad berarti 50 tahun. Kata “tahun ini” juga merujuk pada rentang waktu yang sedang dialami sang tokoh dalam cerita. Bila Koplak yang lahir pada tahun 1971 pada “tahun ini” akan menginjak usia setengah abad, maka dapat ditentukan bahwa “tahun ini” adalah tahun 2021. c. Latar Sosial Koplak berlatar sosial kehidupan masyarakat desa di Bali yang senantiasa hidup sederhana, damai, dan sejahtera.

39 Ibid., h. 107. 40 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 13.

59

Kehidupan berjalan begitu harmonis. Orang-orang di desanya tidak pernah kalap jika seorang tetangga bisa membeli barang- barang mewah, ...41

Kutipan di atas dengan jelas menggambarkan latar sosial warga Desa Sawut yang hidup secara harmonis tanpa ada rasa iri dan dengki kepada tetangga. Selain itu, Desa Sawut dihuni oleh orang-orang yang bermatapencaharian sebagai buruh dan petani. Pada tradisi di Bali, orang- orang yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruh merupakan orang-orang yang berasal dari kasta Sudra. 42 Penamaan tokoh-tokoh dalam novel ini juga menunjukkan bahwa mereka merupakan golongan kasta Sudra. Salah satunya terlihat dari nama lengkap Kemitir, yaitu Ni Luh Putu Kemitir. Luh adalah penamaan yang menunjukkan seseorang berasal dari kasta Sudra.43 Kemudian, bila berbicara tentang Bali biasanya tidak akan lepas dari budaya patriarki yang sudah sangat mengakar. Oleh karena itu, pengarang juga memberi beberapa gambaran budaya patriarki tersebut melalui warga desa yang selalu mendesak Koplak untuk menikah lagi. Kutipan berikut ialah penggalan percakapan Koplak dengan temannya, Pan Balong. “Bagi orang Bali, memiliki anak lelaki itu wajib, Koplak.” “Aku paham, tetapi sebagai lelaki Bali kau tidak boleh egois. Kau harus meiliki anak lelaki. konon, anak lelakilah yang kelak bisa menuntunmu ke tempat yang lebih baik. Membuat arwahmu mendapat tempat yang lebih nyaman.”44

Pada kutipan tersebut, pengarang menggambarkan latar sosial masyarakat Bali yang masih memegang teguh tradisi patriarki, yaitu seorang lelaki harus memiliki anak lelaki dari pernikahannya. Memiliki anak lelaki bahkan dianggap sebagai sebuah kewajiban, karena mereka

41 Ibid., h. 21. 42 I Gede Bagus Wisnu Bayu Temaja, “Sistem Penamaan Orang Bali”, Jurnal HUMANIKA, Vol. 24, No. 2, 2017, h. 70. 43 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 63. 44 Ibid., h. 27.

60

masih percaya bahwa anak lelaki lah yang mampu menuntun orang tua mereka ke tempat yang lebih baik. Pengarang juga menggambarkan latar sosial melalui budaya Hindu Bali yang rutin melaksanakan upacara keagamaan. Beberapa di antara upacara keagamaan itu yakni seperti terlihat pada kutipan berikut. ...Juga bisa melakukan rerainan, mengadakan upacara untuk menyiratkan dan menabur rasa syukur atas semua berkah yang telah dihibahkan oleh Sang Hyang hidup.45

“Saiban setiap hari itu bukan berarti kamu menyogok Ide Bhatara untuk memenuhi segala keinginanmu, Koplak. Saiban yang kau siapkan itu tanda syukur kita bisa makan hari ini.” Itu kata-kata yang diingat Koplak dari Dadong, neneknya.46

Rerainan bagi umat Hindu di Bali merupakan peringatan hari-hari yang dipandang suci karena hari-hari tersebut dianggap memiliki kekuatan spiritual yang mengalir lebih besar. Upacara ini dilakukan sebagai wujud nyata hubungan langsung dengan Sang Hyang Widhi.47 Sedangkan Saiban, seperti pada kutipan tersebut, dilaksanakan setiap hari oleh umat Hindu di Bali dalam rangka menunjukkan rasa syukur karena dapat menikmati rezeki yang telah didapat pada hari itu.

5. Sudut Pandang Sudut pandang menjadi salah satu unsur yang penting dalam sebuah cerita, sebab pembaca akan bisa melihat cara narator menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Sudut pandang yang digunakan dalam Koplak adalah sudut pandang persona ketiga “dia” mahatau. Koplak pun sudah merasa sangat putus asa karena setiap hari harus keramas. Orang-orang di kantor selalu menyambutnya

45 Ibid., h. 27. 46 Ibid., h. 139. 47 I Nyoman Arya, “Rerahinan dan Hari Raya Agama Hindu”, Kementerian Agama Kabupaten Badung, dalam https://kemenagbadung.weebly.com/makalah/rerahinan-dan-hari-raya- agama-hindu, diakses pada 21 Agustus 2020 pukul 19.00 WIB.

61

dengan senyum dikulum. Namun, Koplak hanya bisa diam. Percuma menjelaskan kepada mereka tentang rambutnya yang selalu basah. Koplak paham, orang-orang di kantor pasti berpikir Koplak “begituan” setiap hari.48

Salah satu ciri yang menunjukkan bahwa sudut pandang cerita menggunakan persona ketiga, yaitu penyebutan nama tokoh yang dilakukan oleh narator. Narator dalam Koplak juga memang lebih banyak melakukan penyebutan persona ketiga dengan nama-nama tokoh di dalamnya.

6. Gaya Bahasa Gaya bahasa sangat berkaitan dengan cara seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya dalam sebuah cerita. Setiap pengarang tentu memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan pengarang lainnya. Gaya bahasa yang digunakan dalam Koplak menggunakan gaya percakapan, bahasa sehari-hari yang populer, sederhana, dan mudah dimengerti oleh pembaca, serta disisipkan istilah atau bahasa Bali pada beberapa kalimat. Penggunaan gaya percakapan tersebut disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Desa Sawut yang tergolong ke dalam kasta Sudra. Warga Desa Sawut merupakan para buruh dan petani, sehingga bahasa yang mereka gunakan pun adalah bahasa yang percakapan yang sederhana antara sesama warga desa lainnya. Gaya bahasa kiasan lainya yang digunakan oleh narator, yaitu majas personifikasi, seperti pada kutipan berikut. Angin pagi menampar wajah Koplak. Bau bunga cempaka, kenanga, dan kamboja menyentuh hidung Koplak.49

Koplak masih membiarkan uap kopi sesekali membasuh indra penciumannya. Dibiarkan wangi kopi itu menjajah seluruh indra penciumannya.50

48 Rusmini, Op.Cit., h. 3. 49 Ibid., h. 16. 50 Ibid., h. 167.

62

Kedua kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa kiasan (personifikasi). Pada kutipan pertama, narator mengibaratkan angin sebagai benda hidup yang dapat menampar pipi orang. Selain itu, narator juga mengibaratkan bau bunga seperti makhluk hidup yang dapat menyentuh. Pada kutipan kedua, pengarang mengibaratkan kopi sebagai makhluk hidup yang dapat membasuh. Uap kopi pun diibaratkan sebagai makhluk hidup yang dapat menjajah. Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan untuk menggambarkan suasana pagi yang damai. Selain itu pengarang juga dengan apik menyelipkan beberapa kalimat yang mengandung gaya bahasa retoris (asonansi), seperti pada kutipan berikut. ... Oleh karena sering cemberut, tubuhnya pun segera dimakan keriput.51

...dijamin, para perempuan akan kepincut sampai berkerut.52

Kedua kutipan di atas memiliki persamaan bunyi “ut” pada kata “cemberut”, “keriput”, “kepincut”, dan “berkerut”. Penggunaan asonansi tersebut dapat memberikan efek penekanan serta kesan estetis. Selanjutnya, pengarang juga cukup sering menggunakan gaya bahasa antitesis seperti yang ditunjukan dalam kutipan berikut. “Hipertensi itu bisa menyerang siapa pun, tidak peduli kaya- miskin. Tua-muda. Saat ini itu satu-satunya penyakit yang paling mematikan. ...”53

Tahukah Kemitir, selama ini Koplak sudah membuktikan kesetiannya sebagai ayah-ibu, juga sebagai lelaki-perempuan sekligus untuk menjaga cintanya kepada Lagir?54

Kutipan pertama merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa antitesis yang digunakan oleh Kemitir ketika sedang menasihati Koplak

51 Ibid., h. 6. 52 Ibid., h. 10. 53 Ibid., h. 35. 54 Ibid., h. 110.

63

untuk selalu menjaga pola makan agar tetap sehat. Kemitir menjelaskan bahaya penyakit hipertensi, kerena bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal status maupun usia. Kemudian, kutipan kedua, yakni ketika narator menggambarkan tokoh Koplak sebagai orang yang fleksibel, karena mampu menjalankan peran ganda untuk Kemitir serta untuk membuktikan kesetiaannya terhadap ibu Kemitir. Penggunaan gaya bahasa percakapan yang sederhana itu secara tidak langsung juga menggambarkan karakter Koplak yang sederhana dan akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Penggunaan bahasa sehari-hari membuat cerita terasa lebih menyenangkan. Meski menggunakan bahasa yang sederhana, pengarang juga banyak menggunakan bahasa-bahasa kiasan. Perpaduan penggunaan gaya bahasa tersebut membuat cerita ini terasa ringan, tetapi perlu kecermatan untuk melihat berbagai pesan dari setiap peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam novel ini.

7. Amanat Pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang dalam Koplak ditunjukkan melalui sikap tokoh utamanya, yaitu Koplak. Di tengah- tengah keresahannya menjelani hidup sebagai lelaki paruh baya yang telah seperempat abad ditinggal mati oleh mendiang istrinya, ia tetap mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Sebagai lelaki single parent pun ia tetap mampu mengurus segala urusan rumah tangga sekaligus mengurus anak satu-satunya sejak dilahirkan hingga berusia 20 tahun. Meskipun terus dianggap “tidak waras” oleh orang-orang sekitarnya, karena telah lama hidup sendiri dan tidak dekat dengan perempuan manapun sepeninggal istrinya, Koplak tetap teguh pada pendiriannya dengan menjaga kesetiaan cinta kepada istrinya. Walaupun mampu menjalani hidup sendiri, hal tersebut tak membuat Koplak lantas meremehkan orang lain. Koplak justru bisa lebih memahami dan menghargai orang lain serta pilihan hidup yang dipilihnya.

64

B. Analisis Perilaku Androgini Tokoh Utama Novel Koplak Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, perilaku androgini yang dikemukakan oleh Sandra L. Bem merupakan gabungan dari perilaku maskulin dan feminin yang tinggi yang ditunjukkan oleh seseorangBem, dalam Siregar, juga menjelaskan bahwa, tipe androgini adalah tipe pria dan wanita yang mampu menggabungkan sifat maskulin dan feminin dalam kepribadian dan dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari dalam kondisi dan situasi yang tepat. 55 . Pada analisis ini, peneliti akan menjabarkan perilaku androgini pada tokoh utama yang dilihat dari manifestasi adjektiva feminin dan maskulin yang ditunjukkan oleh tokoh utama dalam novel Koplak. Setelah melakukan pengamatan terhadap novel Koplak, peneliti menemukan bahwa tokoh utama yang bernama Koplak, menunjukkan beberapa adjektiva maskulin dan feminin seperti yang ada pada BSRI. Kemunculan adjektiva maskulin dan feminin tersebut didasarkan pada perilaku yang digambarkan oleh narator maupun dialog antartokoh. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, peneliti menemukan 20 adjektiva yang sesuai dengan tabel BSRI. Jumlah temuan tersebut terdiri dari 10 adjektiva feminin dan 10 adjektiva maskulin. Analisis perilaku androgini ini akan diawali dengan manifestasi adjektiva feminin dari tokoh utama novel Koplak. Selanjutnya, peneliti akan menjabarkan adjektiva feminin yang muncul berdasarkan hasil yang telah ditemukan. Analisis dilakukan pada setiap adjektiva yang disertai dengan bukti berupa kutipan teks dari novel Koplak. Peneliti juga menerapkan hal yang sama dalam menjelaskan manifestasi adjektiva maskulin. 1. Manifestasi Adjektiva Feminin Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tingkah laku Koplak dan dialog antartokoh dalam novel Koplak, peneliti menemukan 10 adjektiva

55 Mulia Siregar, Perbedaan Perilaku Androgini Ditinjau dari Tempat Kerja, Jurnal Psikologi Konseling, Vol. 10, No. 1, Junis 2017, h. 43.

65

feminin. Adjektiva tersebut antara lain, affectionate, compassionate, does not use harsh languages, loyal, sensitve to the needs of others, shy, sympathetic, understanding, warm, dan yielding. Adjektiva feminin ditunjukkan oleh Koplak ketika ia bercengkrama dengan anaknya, saat mengamati lingkungan sekitar, maupun ketika ia bercengkrama dengan anak buahnya di kantor kepala desa. Berikut ini penjelasan dari masing- masing manifestasi adjektiva feminin tersebut. Adjektiva feminin yang pertama, yaitu affectionate. Affectionate merupakan kasih sayang, kesayangan, cinta, perasaan yang sangat kuat.56 Affectionate adalah perasaan atau keterikatan emosional yang positif antara manusia yang diwujudkan dengan aktivitas seperti tersenyum, bepelukan, dan membelai.57. Singkatnya, affectionate adalah perhatian, yang bentuknya bisa ditunjukkan dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari bahasa tubuh, ekspresi wajah, sentuhan, pertanyaan dan sebagainya. Bentuk perhatian pada diri Koplak memang tidak secara terang-terangan ia tunjukkan di depan orang yang ia khawatirkan. Namun, pada kutipan berikut, tersirat perhatian Koplak kepada anaknya. Koplak makin panas dingin dan kembali memencet nomor telepon anak perempuan. Aneh sekali, sudah hampir dua minggu Kemitir tidak menengoknya. Ke mana anak itu? Sadarkah anak perempuan semata wayangnya itu bahwa semakin hari dunia semakin buas, ganas, dan juga panas.58

Kutipan di atas menunjukkan betapa Koplak khawatir dengan keadaan anak semata wayangnya. Koplak terus berusaha untuk menghubungi anaknya dan mencoba mengetahui keadaannya saat itu. Kekhawatiran akan keadaan anaknya itu tidak akan muncul apabila ia tidak pernah memperhatikan perilaku anaknya. Hal itu terlihat dari sikap Koplak yang bertanya-tanya akan keberadaan Kemitir. Kekhawatiran tersebut

56 J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. dari Dictionary of Psychology oleh Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 13. 57 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 24. 58 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 99-100.

66

ditambah ketika Koplak yang akhir-akhir itu menonton berita tentang seorang gadis seumuran anaknya yang dijadikan sebagai perempuan simpanan. Koplak berpikir bahwa dunia semakin buas dan ganas. Oleh karena itu, Koplak harus selalu memperhatikan anaknya meski jauh dari pengawasannya. Kekhawatiran Koplak terhadap Kemitir tersebut membuat Kemitir merasa tidak enak hati dan bersalah kepada ayahnya. Kemitir merasa selama ini ia terlalu sibuk mengurus bisnis kafenya, seperti terlihat pada kutipan berikut. Tiba-tiba saja Kemitir merasa ada sesuatu yang dipendam Koplak. Ah, Kemitir merasa sangat berdosa. Selama ini dia terlalu disibukkan dengan bisnis kafenya di Denpasar. Bisnis yang makin berkembang melampaui impiannya.59

Kesibukannya di Denpasar untuk mengurus bisnis kafenya membuat kemitir jarang memberi kabar kepada ayahnya, bahkan tidak mengunjungi ayahnya selama dua minggu, sehingga membuat Koplak khawatir. Adjektiva feminin selanjutnya, yaitu does not use harsh languages (tidak menggunakan bahasa/kata-kata yang kasar). Koplak senantiasa menggunakan bahasa yang halus sekalipun ia merasa kesal kepada seseorang atau tidak menyukai sesuatu. Manifestasi adjektiva ini terlihat ketika Koplak tercengang melihat gaya rambut barunya setelah dipotong oleh Kemitir. “Dewa Ratu, ini potongan apa, Kemitir?” Koplak merasa jantungnya hampir berhenti berdetak.60

Pada kutipan tersebut, narator sedang mengisahkan kebersamaan Koplak dengan Kemitir yang sedang memotong rambut Koplak. Setelah selesai, Koplak sangat kaget melihat model rambutnya setelah dipotong oleh Kemitir. Namun, kekagetan serta ketidaksukaan Koplak dengan model rambut barunya itu tidak ia lontarkan dengan kata-kata kasar.

59 Ibid., h. 106. 60 Ibid., h. 38.

67

Koplak lebih memilih melontarkan kata “Dewa Ratu” daripada kata-kata umpatan. Kemudian, pada kutipan selanjutnya, yakni ketika Koplak mengusir Kacong pulang dari rumahnya, karena ocehannya yang semakin membuat hati Koplak resah. Meski sudah kesal kepada Kacong, ia memilih tidak mengeluarkan kata-kata kasar atau meracau, tetapi Koplak memilih untuk mengusirnya dengan bahasa yang sopan tetapi tegas. “Kacong! Bisakah kau pulang?! Aku sedang tidak enak badan.” Koplak berusaha mengusir Kacong yanng melongo dan menatap Koplak dengan tatapan aneh. Koplak menarik napas panjang. Untung tidak keluar kata-kata kasar dan meracau.61

Adjektiva lain yang muncul dan ditunjukkan oleh Koplak, yakni compassionate. Compassionate adalah perasaan simpati yang kuat untuk perasaan orang lain, atau perasaan simpati yang kuat terhadap orang lain dalam penderitaan mereka.62 Sikap ini mirip dengan empati. Ada berbagai cara untuk menunjukkan compassionate, di antaranya menyisihkan waktu untuk membangun ikatan dengan keluarga atau teman, menawarkan bantuan kepada seseorang, memberikan kata-kata yang memotivasi, dan sebagainya. Adjektiva compassionate pada diri Koplak ditunjukkan ketika Koplak yang merasa iba kepada Lindung, remaja dari keluarga miskin tetapi pintar, yang ia biayai kebutuhan sekolahnya. Koplak merasa kasihan kepada Lindung, karena remaja itu pandai, tetapi tidak mampu meneruskan pendidikannya karena terhambat biaya. Jika hidup bisa ditawar, alangkah nikmatnya jika Lindung bisa memilih dari siapa dia akan dilahirkan. Koplak yakin, Lindung pasti akan memilih dilahirkan di dalam sebuah keluarga yang mapan. Namun, realitas yang ada Lindung dilahirkan dalam keluarga miskin. Dan, sebagai kepala desa Koplak tidak ingin Lindung putus sekolah. Setelah lulus Kejar Paket A, Koplak

61 Ibid., h. 102. 62 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 194.

68

berharap Lindung terus mengikuti sistem sehingga bisa masuk universitas. Dari sorot mata Lindung, Koplak tahu, anak itu mengeram semangat sekaligus kecerdasan yang sudah diberi alam dan hidup kepadanya.63

Pada kutipan di atas terlihat bahwa ada perasaan iba Koplak kepada Lindung. Ia juga memahami kondisi keluarga Lindung yang tak mampu menyekolahkan anaknya itu. Oleh karena itulah, hati Koplak tergugah untuk menolong Lindung dengan membiayai sekolahnya, bukan hanya berdiam diri dengan mengasihani Lindung. Adjektiva feminin lainnya, yaitu sensitive to the needs of others (peka terhadap kebuthan orang lain). Sensitive adalah salah satu sifat yang membuat individu sangat responsif terhadap perasaan orang lain.64 Orang yang peka bisa mengetahui sesuatu atau kebutuhan seseorang hanya dengan mengamati orang tersebut (serta lingkungan dan suasana di sekitarnya) tanpa menanyakannya kepada orang yang bersangkutan. Adjektiva sensitive to the needs of others ditunjukkan oleh Koplak yang senantiasa memikirkan kebutuhan dan kesejahteraan masayakat desanya. Tidak muluk-muluk. Bagaimana membuat masyarakat sejahtera? Hasil panen terjual dengan baik. Anak-anak di desanya bisa sekolah dengan riang.65

Kutipan tersebut memperlihatkan kepekaan Koplak terhadap kebutuhan orang lain. Ia sadar, bahwa hal utama yang diharapkan oleh warganya yang sebagian besar bekerja sebagai petani, tidak lain adalah agar hasil penennya bisa laku dijual. Selain kebutuhan para petani, ia juga memikirkan kebutuhan anak-anak akan pendidikan yang layak. Oleh karena itu, sebagai kepala desa, Koplak senantiasa memikirkan jalan keluar agar kebutuhan warganya itu terpenuhi. Kepekaan Koplak terhadap kebutuhan warganya tersebut, karena ia juga seorang warga dan pernah

63 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 127. 64 J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. dari Dictionary of Psychology oleh Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 454. 65 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 28.

69

menjadi petani. Sebagai orang yang pernah merasakan hidup dari bertani, ia paham betul mengenai kebutuhan warganya itu. Adjektiva feminin lainnya yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu loyal (setia). Sikap setia dapat ditunjukkan kepada kekasih atau pasangan, teman, sahabat, dan sebagainya. Kesetiaan menunjukkan bahwa seseorang sanggup mengabdi pada sesuatu atau orang lain yang dianggap penting dalam kehidupannya. Manifestasi adjektiva loyal ditunjukkan oleh Koplak terhadap istri, sahabat, dan juga kepada warga desa yang dipimpin olehnya. Setelah ditinggal istrinya berpulang, Koplak tidak memiliki affair dengan perempuan lain.66

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Koplak setia kepada pasangannya. Meski telah ditinggal wafat oleh istrinya ketika melahirkan Kemitir, Koplak tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan lain. Desakan teman-teman dekat Koplak untuk menikah lagi agar ada yang mengurusnya sekaligus agar memiliki anak lelaki tidak diindahkan olehnya. Bagi masyarakat Bali, memiliki anak lelaki itu sebuah kewajiban. Masyarakat Bali percaya, bahwa jika mereka dikaruniai anak lelaki, konon anak itu bisa menuntun orang tuanya ke tempat yang lebih baik (menyelamatkan orang tuanya dari neraka Put)67. Oleh karena itulah, teman-temannya terus mendesak Koplak untuk menikah lagi agar memiliki anak lelaki. Namun, Koplak tetap pada kesetiaannya kepada mendiang istrinya. “Aku bangga punya anak perempuan. Kemitir tidak pernah membuatku susah. Aku membesarkanya sendiri. Istriku telah mengandung Kemitir delapan bulan sebelas hari. Kelahirannya begitu berat. Bahkan istriku belum menyentuh tubuh bayi yang dikandungnya. Aku bangga memiliki anak perempuan,” jawab Koplak, serius.68

66 Ibid., h. 75. 67 G. Pudja M.A. dalam Putu Maria Ratih Anggraini dan I Wayan Tirta Gunawijaya, “Hukum Kekeluargaan dan Kewarisan di Bali”, Pariksa – Jurnal Hukum Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Vol. 2, No. 1, 2018, h. 97. 68 Oka Rusmini, Koplak, ((Jakarta: Grasido, 2019), h. 158.

70

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa selain sangat mencintai istrinya, Koplak juga sangat menghargai perjuangan istrinya ketika mengandung dan melahirkan anaknya hingga rela kehilangan nyawa. Hal tersebut juga membuktikan kesetiaan Koplak kepada istrinya yang benar- benar tulus. Kebanggannya memiliki anak perempuan juga menjadi salah satu faktor kesetiaannya kepada sang istri dan tidak tergiur untuk memiliki anak lelaki dari perempuan lain. Manifestasi adjektiva loyal juga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan Koplak. Sebagai seorang kepala desa, ia sangat berdedikasi kepada warga. Baginya, menjadi kepala desa adalah sebuah pengabdian kepada warga, bukan semata-mata hanya menduduki jabatan tertinggi di desanya itu. Bentuk kesetiaannya kepada pekerjaannya, yakni dengan terus bekerja keras dan mengabdi agar warga desa menjadi maju. “Ah, jadi kades itu lebih banyak pengabdian. Harus kerja keras agar warga desa maju. ...”69

Selain itu, manifestasi adjektiva loyal pada Koplak juga dapat dilihat dari hubungannya dengan sahabatnya, yaitu Koplir. Koplak dan Koplir sudah bersahabat sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. ... Dan, hidup terasa begitu nikmat ketika Wayan Koplir, sahabatnya sejak SD, rajin berkunjung. Koplir dan Koplak memang sahabat lama.70

Keakraban yang telah Koplak jalin bersama Koplir telah menumbuhkan rasa kepercayaan. Lamanya waktu yang ia lewati bersama Koplir juga menggambarkan kesetiaan Koplak kepada Koplir. Oleh karena itu, ketika banyak desas-desus yang mengatakan bahwa Koplir telah menjadi gila, Koplak tidak langsung percaya. Koplak yakin, bahwa sahabatnya tersebut tidak gila dan memiliki alasan tertentu yang membuatnya menjadi sedih, seperti terlihat pada kutipan berikut.

69 Oka Rusmini, Koplak, ((Jakarta: Grasido, 2019), h. 34. 70 Ibid., h. 41.

71

Sejak itu, puluhan tahun mereka tidak bertemu. Sampai sebuah berita menyedihkan sampai ke desanya. Beragam berita buruk didengar Koplak. Koplir gila! Namun, Koplak sangat percaya, lelaki itu tidak gila. Pasti ada sesuatu yang dia pendam.71

Adjektiva feminin selanjutnya yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu sympathetic. Sympathetic adalah perasaan di mana seseorang dapat merasakan keadaan emosional atau kesedihan orang lain atau kelompok.72 Seseorang yang memiliki rasa simpati biasanya akan lebih mudah larut dalam kesedihan atau penderitaan orang lain. Ia akan ikut merasakan kesedihan itu. Koplak cukup banyak menunjukkan rasa simpatinya terhadap orang-orang di sekitarnya, baik yang ia lihat langsung ataupun dari berita yang ia baca di koran atau ia tonton di televisi. “Bape sedang berduka. Kau baca apa yang dilakukan seorang guru, wali kelas sekolah dasar, yang tega meracuni ketiga orang anaknya? Anak-anaknya sendiri yang dilahirkan dengan susah payah. ...”73

Rasa simpatik Koplak ditujukan kepada anak-anak yang meninggal karena diracuni oleh orang tuanya. Ia turut berduka atas kejadian yang menimpa kedua anak tersebut. Koplak yang juga sebagai orang tua tak habis pikir dengan kelakuan orang tua yang rela meracuni anaknya tersebut. Perilaku feminin selanjutnya, yaitu shy. Shy adalah perasaan malu, atau merasa malu-malu di hadapan orang lain.74. Manifestasi adjektiva shy ditunjukkan oleh Koplak melalui kutipan berikut. Wajah Koplak bersemu merah. Baru kali ini Koplak bertemu dengan Rubak, perempuan yang melahirkan Lindung. Koplak merasa tidak enak hati. Ia meminta maaf, kemudian segera

71 Ibid., h. 44. 72 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 969. 73 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 109. 74 Corsini, Op. Cit., h. 960.

72

mengambil kain sarung dan kaus yang tergeletak serampangan di meja ruang tamu.75

Kutipan di atas adalah kejadian ketika Koplak menyambut tamu yang datang ke rumahnya, tetapi ia tidak mengenakan pakaian lengkap. Koplak hanya menggunakan celana pendek saat itu. Perasaan malunya tergambar melalui wajahnya yang langsung bersemu merah. Adjektiva selanjutnya, yaitu understanding (kemengertian). Understanding adalah kemampuan individu untuk memahami arti. 76 Kemengertian seseorang kepada orang lain dapat dilihat dari sikapnya yang mampu mentolerir sikap seseorang. Seseorang yang memiliki kemengertian biasanya mengetahui hal yang melatarbelakangi orang lain dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Oleh karena itu, ia tidak akan mudah menghakimi perbuatan seseorang, tetapi terlebih dulu berusaha untuk memahami mereka. Manifestasi adjektiva understanding pada diri Koplak ditunjukkan melalui kutipan berikut. Koplak terdiam. Membiarkan tangan-tangan terampil Kemitir memangkas rambutnya. Padahal, Koplak merasa rambutnya belum panjang. Belum layak untuk dipotong. Namun, agaknya Kemitir memiliki pertimbangan lain. Pertimbangan yang dijamin pasti tidak sesuai dengan pemikiran Koplak. Bertengkar dengan Kemitir juga percuma. Sejak kecil Kemitir memang dididik Koplak untuk mandiri. Untuk berani mengatakan apa pun tanpa melihat bahwa dirinya seorang perempuan.77

Pada kutipan di atas, terlihat Koplak yang pasrah dan tidak ingin berdebat dengan Kemitir. Hal itu ia lakukan karena ia mengerti, bahwa Kemitir adalah orang yang keras kepala dan berani. Ia mengerti sikap anaknya yang seperti itu, karena sejak kecil Koplak mengajarkan kepada Kemitir untuk menjadi perempuan yang berani bersuara. Jadi, dia dapat memaklumi sikap anaknya itu.

75 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 153. 76 J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. dari Dictionary of Psychology oleh Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 524. 77 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 35.

73

Selain kepada anaknya, manifestasi adjektiva understanding juga diperlihatkan melalui sikapnya terhadap Koplir. Sebagai sahabat lama sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Koplak tentu saja mengetahui seluk beluk kehidupan Koplir. Oleh karena itulah, ia mengerti bahwa prestasi akademik Koplir yang biasa-biasa saja dilatarbelakangi oleh keadaan hidupnya yang serba terbatas. Kemengertiannya atas keadaan sahabatnya itu membuat Koplak tidak menilai seseorang secara sembarangan. Hidup Koplir yang sulit dan berat menjadikan Koplir tumbuh jadi anak lelaki yang matang, walaupun secara akademik nilainya biasa-biasa saja. Koplak waktu itu berpikir, mungkin karena fasilitas yang dimiliki Koplir serba terbatas, Koplir jadi tidak bisa belajar secara maksimal.78

Adjektiva feminin lain yang ditunjukkan oleh Koplak, yakni warm. Warm adalah perasaan dukungan, pengasuhan, dan kepedulian kepada orang lain. 79 Seseorang yang memiliki sikap hangat, biasanya akan menunjukkan perhatian-perhatian kecil atau sikap ramah kepada orang lain. Sikap hangat tersebut ditunjukkan oleh Koplak ketika ia bercengkrama dengan anak buahnya, Lindung, di kantor kepala desa. Percakapan tersebut dibuka oleh Koplak yang meminta pendapat Lindung perihal wesket oranye yang sering Koplak lihat di televisi dipakai oleh para tersangka korupsi. “Ya, ya, ya, wesket oranye itu mungkin yang membuat mereka berbeda. Terlihat lebih hebat.” Koplak tertawa. Lindung menarik napas, mengisi penuh rongga parunya dengan riang. “tapi, Pak Kades jangan ikut-ikut pakai wesket oranye itu.” Lindung kembali berkata dengan serius. “Tidak akan, aku tidak suka warnanya. Terlalu terang untuk usiaku!” Koplak berkata sungguh-sungguh. Lalu, ia menepuk bahu Lindung. Mereka pun tertawa terpingkal-pingkal.80

78 Ibid., h. 42. 79 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 1064. 80 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 122.

74

Lindung yang awalnya khawatir dengan respons Koplak, akhirnya merasa lega karena Koplak yang ternyata merespons positif jawabannya sambil tertawa. Sikap hangat Koplak terlihat dari bahasa tubuhnya ketika menepuk bahu Lindung sambil tertawa bersama. Bahasa tubuh tersebut menunjukkan adanya sikap ramah dan kehangatan yang ditunjukkan oleh Koplak sebagai seorang pemimpin kepada bawahannya. Adjektiva feminin terakhir yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu yielding (penurut). Orang yang penurut biasanya akan tunduk dengan perintah orng lain. Selain itu, seorang penurut akan menuruti kemauan orang lain dengan alasan untuk menyenangkan hati mereka atau untuk menghindari keributan atau masalah yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. “Angkat tatakannya, Bape. Begini caranya!” Kemitir memeragakan gaya minum kopi. Gaya minum kopi yang aneh dan tidak nyaman bagi Koplak. Koplak mengikuti saran anaknya sambil mengangkat kaki kanannya berlabuh ke atas meja.81

Pada kutipan di atas, Koplak sedang diajarkan cara minum kopi oleh Kemitir. Sebenarnya, menurut Koplak, cara minum kopi yang diajarkannya itu membuatnya tidak nyaman. Namun, karena rasa sayangnya kepada Kemitir, ia pun hanya bisa menuruti dan memeragakannya di depan Kemitir. Hal tersebut juga diperjelas dengan kutipan berikut. “Makanan yang masuk ke mulut harus dikunyah pelan-pelan. Itu bagus bagi kesehatan perut.” Koplak biasanya hanya mengangguk untuk menyenangkan hati Kemitir.82

Mengetahui sikap anaknya yang keras kepala, Koplak hanya bisa mengangguk ketika anaknya mengajarkan cara hidup sehat, yang menurut Koplak membuatnya cukup risih itu. Bagi Koplak, berdebat dengan

81 Ibid., h. 5. 82 Ibid., h. 31.

75

Kemitir justru hanya akan membuang-buang waktu. Jadi, untuk menyenangkan hati anaknya dan menghindari keributan yang tidak perlu, Koplak rela mengalah demi anaknya. Berdasarkan penjabaran manifestasi adjektiva feminin di atas, ternyata adjektiva feminin yang ada pada tokoh Koplak muncul secara seimbang, baik dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik. Manifestasi adjektiva feminin dalam ranah domestik ditunjukkan ketika Koplak berperan sebagai orang tua bagi putri sulungnya. Adanya adjektiva feminin pada diri Koplak membuatnya mampu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anaknya. Koplak mampu menjadi seorang ayah yang lembut dan penuh kasih sayang berkat adanya sisi feminin tersebut. Selain itu, adjektiva feminin pada ranah publik muncul ketika Koplak bercengkrama dengan warganya, baik sebagai kepala desa maupun sebagai seorang teman. Adjektiva feminin yang dimanifestasikan oleh Koplak pada ranah publik telah membentuk citra yang baik pula di depan orang-orang yang berhubungan dengan Koplak. Memiliki sisi feminin membuat Koplak, sebagai kepala desa, mampu memahami keinginan warganya. Ia juga memiliki hubungan yang cukup intim dengan tetangga dan orang-orang di sekitarnya, karena memiliki sifat hangat yang banyak ia tunjukkan ketika berinteraksi dengan orang lain.

2. Manifestasi Adjektiva Maskulin Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tingkah laku Koplak dan dialog antartokoh dalam novel Koplak, peneliti menemukan 10 adjektiva maskulin. Adjektiva tersebut antara lain, act as a leader, ambitious, analytical, assertive, competitive, defends own beliefs, has leadership abilities, independent, self-reliant, dan willing to take risks. Berikut penjelasan keepuluh adjektiva maskulin tersebut. Pertama, adjektiva has leadership abilities yang kemudian akan sangat berkaitan erat dengan adjektiva act as a leader. Leadership ability merupakan kemampuan untuk membangkitkan kerja sama dan komitmen

76

orang lain, serta kemampuan mempengaruhi tindakan dan sikap individu atau kelompok.83 Adjektiva has leadership abilities ditemukan pada diri tokoh utama melalui dialog yang diutarakan oleh tokoh lain kepada Koplak. Tokoh lain itu, yakni teman Koplak semasa SMA yang kemudian bertemu lagi pada momen reuni sekolah. Menurutnya, sejak sekolah Koplak telah memiliki jiwa-jiwa seorang pemimpin. “Hebat kau bisa jadi kades. Tetapi, sejak SMA kau memang sudah memperlihatkan jiwa-jiwa jadi pemimpin,” kata Jagra datar.84

Pernyataan teman Koplak pada kutipan di atas terbukti dengan terpilihnya Koplak sebagai Kepala Desa Sawut. Pernyataan tersebut juga didukung dengan adjektiva maskulin serta kutipan lain yang menunjukkan bahwa Koplak benar-benar memiliki kemampuan memimpin. Adjektiva maskulin yang mendukung pernyataan di atas, yakni act as a leader. Act as a leader merupakan perbuatan tindakan yang menunjukkan seseorang memiliki sifat-sifat kepribadian sebagai pemimpin (membimbing,mengontrol, mengatur, menunjukkan, memerintah).85 Manifestasi adjektiva act as a leader, ditunjukkan oleh Koplak saat ia menjabat sebagai seorang kepala desa. Tindakannya sebagai pemimpin ia tunjukkan melalui kerja keras dan rasa tanggung jawabnya terhadap amanat yang diberikan oleh warga desa kepadanya. Salah satunya, yaitu ketika Koplak berhasil mencegah korupsi yang dilakukan oleh anak buahnya. Calon nomor dua adalah Koplak sendiri. Modalnya Cuma kerja keras. Waktu menjadi kades, kepala desa putaran pertama, banyak programnya yang sudah berhasil. Paling tidak, dia sudah menyelamatkan keuangan desa dari korupsi yang dilakukan oleh bendahara desa. Dia juga mampu mencari bantuan dari warga

83 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 540. 84 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 137. 85 J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Terj. dari Dictionary of Psychology oleh Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 272.

77

desa yang sudah berhasil agar menyumbang perbaikan sekolah desa dan membangun jembatan penghubung antardesa.86

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Koplak telah mampu berperan sebagai pemimpin. Berkat kerja kerasnya sebagai pemimpin, ia juga mampu mendapatkan bantuan dari warga yang mampu untuk membangun jembatan penghubung antardesa. Sebagai seorang pemimpin, dia tidak hanya menyuruh-nyuruh bawahan, tetapi ia juga turut terjun langsung dan menangani permasalah yang terjadi. Pada kesempatan lain, adjektiva act as a leader terlihat dari dialog antartokoh yang ditunjukkan oleh Koplak ketika ia berbincang dengan anak buahnya, Lindung, petugas kebersihan di kantornya. Meski ia adalah orang nomor satu di desanya, tetapi Koplak tidak segan untuk berbincang dengan anak buahnya. Ia malah meminta pendapat anak buahnya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. “Lindung? Apa pendapatmu?” “Serius, Bapak tidak marah?” “Tidak. Aku mencoba belajar menerima beragam pendapat. Aku tidak ingin menjadi pemimpin otoriter. Aku ingin jadi pemimpin demokrat.” Koplak berkata, mengutip kalimat seorang petinggi di sebuah acara perhelatan sebuah partai besar.87

Pada kutipan tersebut, Koplak dengan gamblang berkata bahwa ia tidak ingin menjadi seorang pemimpin yang otoriter, yakni pemimpin yang sewenang-wenang dan bertindak akan kemauannya sendiri. Namun, ia ingin menjadi seorang pemimpin yang demokrat, artinya ia menunjukkan bahwa ia juga akan mempertimbangkan pendapat orang-orang di bawahnya ketika hendak memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa Koplak telah mampu bertindak sebagai pemimpin sesungguhnya, bukan sebagai seorang bos

86 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 9. 87 Ibid., h. 121.

78

yang cenderung lebih senang mengatur dan tidak ingin mendengarkan pendapat orang lain. Selanjutnya, adjektiva maskulin lain yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu ambitious (ambisius). Ambisius yaitu sikap berkeinginan keras untuk mencapai sesuatu. Manifestasi adjektiva ini terlihat pada targetnya sebagai kepala desa untuk memajukan desanya dan membuat desanya jauh dari huru-hara. ... Lelaki itu berharap, pada tahun baru ini banyak hal baru yang bisa diselesaikannya secara tuntas. Banyak targetnya yang belum tercapai. Sebagai kepala desa, Koplak ingin desanya maju. Jauh dari huru-hara seperti yang terjadi di kota.88

Pada kutipan di atas, disebutkan bahwa banyak target Koplak yang belum tercapai. Oleh karena itu, Koplak berambisi untuk mencalonkan diri kembali sebagai kepala desa pada periode selanjutnya untuk mencapai target-targetnya yang belum tercapai itu. Ambisinya untuk menjadi kepada desa dua periode telah terlihat pada kutipan berikut. Calon nomor dua adalah Koplak sendiri. Modalnya Cuma kerja keras. Waktu menjadi kades, kepala desa putaran pertama, banyak programnya yang sudah berhasil.89

Selain karena banyak targetnya yang belum tercapai, ambisi Koplak untuk kembali menjadi kepala desa, yaitu karena dia juga merasa telah berhasil menjalankan program-programnya pada masa kepemimpinannya di putaran pertama. Artinya, ada keinginan yang lebih untuk mencapai target yang lebih tinggi lagi. Selain itu, ambisinya untuk kembali terpilih sebagai kepala desa terlihat pada kutipan berikut, ketika Koplak berharap agar anak semata wayangnya itu memilih nomor urutnya ketika saat pemilihan kades tiba. Koplak hanya bisa meringis. Tabu baginya memaksakan kehendak. Namun, di dalam hati kecilnya, Koplak berdoa.

88 Ibid., h. 16. 89 Ibid., h. 9.

79

Berharap ketika berada di bilik suara, anak perempuan semata wayangnya itu akan memilih nomor urutnya. Semoga saja.90

Mencapai sebuah ambisi biasanya akan dihadapkan dengan berbagai rintangan dan persaingan. Ambisi untuk memajukan Desa Sawut dengan kembali mencalonkan diri sebagai kepala desa perlu dicapai melalui sebuah persaingan. Koplak bukan satu-satunya orang yang mencalonkan diri sebagai kepala desa, melainkan ada dua calon lain yang akan bersaing dengannya. Melalui hal tersebut, terlihat pula perilaku maskulin yang ditandai dengan kemunculan adjektiva competitive. Competitive adalah kapasitas untuk bersaing dengan orang lain, dan mengerahkan upaya untuk menang, tetapi tetap mempertahankan sikap yang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pesaing dalam permainan, olahraga, bisnis, atau kegiatan sosial.91 Manifestasi adjektiva competitive muncul ketika Koplak mempersiapkan diri dengan serius untuk melawan dua pesaing lainnya. Orang yang berjiwa kompetitif biasanya tidak ingin dikalahkan dan akan berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Usaha yang dilakukan tentu saja bukan dengan cara-cara kotor (curang), melainkan dengan cara-cara yang sehat. ... Apalagi saat ini dia harus bersiap untuk mengikuti pemilihan kades. Persiapan harus dibuat matang dan serius karena ada dua calon lain yang terlihat kuat dan cerdas.92

Dua pesaing Koplak yang mencalonkan diri sebagai kepala desa dianggap memiliki kecerdasan dan kekuatan. Menyadari hal tersebut, Koplak merasa tertantang dan tidak ingin kalah dari mereka, sehingga Koplak harus memiliki persiapan yang serius dan matang untuk melawan dua calon kepala desa itu.

90 Ibid., h. 10. 91 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 195. 92 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 7.

80

Adjektiva maskulin lain yang muncul adalah analytical (analitis). Analytical merupakan sifat seseorang yang mampu mendeskripsikan secara lengkap semua bagian dari objek yang nyata.93 Perilaku tersebut yang mengutamakan sikap kritis dan logis. 94 Manifestasi adjektiva analytical pada Koplak terlihat ketika ia mengkritisi para pejabat yang biasa ia lihat di televisi. Koplak memperhatikan dengan seksama penampilan para pejabat yang selalu terlihat rapi, bersih dan halus. Penampilan yang diperlihatkan para pejabat itu membuat Koplak berpikir, apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat. Waduh, benar-benar tidak masuk akal, bagi Koplak. Penampilan mereka begitu cempling, berkilat, bersih, dan wangi. Koplak yakin, sepatu dan kaki mereka juga bersih dan halus. Lalu, apa yang mereka kerjakan? Bagaimana mereka merasakan sulitnya menjadi rakyat?95

Kutipan tersebut menunjukkan sikap analitis Koplak. Menurut logika Koplak, kemewahan penampilan para pejabat tersebut menunjukkan kurangnya rasa empati para pemimpin itu terhadap kesulitan rakyatnya. Manifestasi adjektiva analytical juga muncul ketika Koplak mempertimbangkan sesuatu. Hal tersebut terlihat ketika ia sakit, tetapi ia tidak mengabarkan kondisinya kepada anaknya, Kemitir. Seluruh lukanya pun kering tanpa berbekas. Koplak tidak pernah menceritakan kepada Kemitir tentang peristiwa itu, karena Koplak tidak ingin membuat anak perempuan satu-satunya itu panik. Jika terjadi apa-apa dengan Kemitir, Koplak juga yang susah.96

93 Husamah, A to Z Kamus Psikologi Super Lengkap, (Yogyakarta: Andi Offset, 2015), h. 26. 94 Stuart Sutherland, The Macmillan Dictionary of Psychology 2nd Edition, (United Kingdom: The Macmillan Press Ltd., 1995), h. 24. 95 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 29. 96 Ibid., h. 150.

81

Sikap analitis pada kutipan tersebut menunjukkan bahwa Koplak selalu mempertimbangkan sesuatu dan memikirkannya terlebih dahulu agar tidak timbul permasalahan lain di masa yang akan datang yang mungkin akan menyulitkannya dan orang lain. Selanjutnya, adjektiva maskulin lain yang muncul, yakni assertive (tegas). Manifestasi adjektiva assertive (tegas) pada tokoh Koplak ditunjukkan oleh narator melalui keseharian Koplak, baik ketika bercengkrama dengan tetangga di rumah, maupun ketika dia bekerja di kantor kepala desa. ... Koplak merasa selama ini ia selalu keras, tegas, galak, dan cenderung brutal jika berhadapan dengan segala bentuk penyelewengan, terutama yang menyangkut keuangan. Satu rupiah pun tidak bisa lolos dari pengamatannya. Semua laporan di kantor desanya rapi, terbuka, dan tidak ada rahasia. Tidak ada deal-deal yang membuat jantung, hati, aliran darah bisa berhenti.97

Manifestasi adjektiva assertive pada kutipan di atas ditunjukkan ketika Koplak berada di lingkungan tempat kerjanya. Sebagai kepala desa, dia dengan cekatan dan tegas menindak segala macam penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh para bawahannya. Ketegasannya menindak para bawahannya, terutama dalam hal yang menyangkut keuangan desa mengharuskan para bawahannya untuk membuat laporan secara rapi dan terbuka. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada penyelewengan dalam bentuk apa pun. Selain di lingkungan tempat bekerja, sikap tegas itu juga ditunjukkan Koplak ketika menghadapi tetangganya yang tak henti- hentinya berbicara ketika suasana hati Koplak sedang rusuh memikirkan keadaan anaknya, Kemitir, di Denpasar. Kehadiran dan ocehan yang dilontarkan tetangganya, Kacong, kepada Koplak saat itu sangat tidak tepat waktu, sehingga Koplak merasa semakin risih. Meskipun Kacong

97 Ibid., h. 47-48.

82

adalah sesepuh kampung, tetapi Koplak saat itu juga dengan tegas menyuruh Kacong untuk pergi meninggalkan rumah Koplak. Meski tegas, perintah untuk Kacong itu tetap Koplak sampaikan dengan kalimat yang baik dan sopan. “Kacong! Bisakah kau pulang?! Aku sedang tidak enak badan.” Koplak berusaha mengusir Kacong yang melongo dan menatap Koplak dengan tatapan aneh. Koplak menarik napas panjang. Untung tidak keluar kata-kata kasar dan meracau. Kacong pun beringsut dari kursi, lalu bergegas pergi dengan tatapan penuh tanda tanya.98

Kutipan tersebut menunjukkan, bahwa dengan ketegasannya, Koplak mampu membuat Kacong tidak berkata-kata dan langsung menuruti perintah Koplak. Tanpa harus mengatakan kalimat lain, Kacong dengan sendirinya undur diri dari rumah Koplak. Sikap tegas lain yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu ketika ia menanggapi saran Pan Balung yang menyuruhnya untuk menikah lagi. Selain Pan Balung, teman-teman lain juga kerap kali menyuruhnya untuk menikah lagi. Banyaknya teman yang selalu menyuruhnya untuk menikah lagi, akhirnya membuat Koplak kesal dan dengan tegas berkata bahwa ia tidak akan mencari ibu baru untuk Kemitir. “Aku tidak akan cari istri!” Koplak berkata keras. Pan Balung melotot.99

Selain tegas, Koplak juga menunjukkan sikap maskulin yang ditandai dengan munculnya adjektiva defends on own beliefs (mempertahankan kepercayaan yang dimiliki). Dengan kata lain, Koplak adalah orang yang teguh pendirian. “Ah, bagaimana mau dekat dengan masyarakat kalau kau suruh Bape berpakaian seperti pejabat-pejabat yang ada di TV?” “Bape kan pejabat juga.” “Bape Ini kades, kepala desa. Pejabat kampung. Tidak akan ada wartawan yang mewawancara dan mengambil gambar Bape.”

98 Ibid., h. 102. 99 Ibid., h. 116.

83

“Itu, kan, pejabat juga.” “Pejabat kecil.” “Justru yang kecil itulah yang layak dapat perhatian khusus.” “Ah, jadi kades itu lebih banyak pengabdian. Harus kerja keras agar warga desa maju. Warga desa kita ini hidup dari bertani. Masa petani harus wangi dan pakai jas? Kamu ini aneh-aneh saja!”100

Manifestasi adjektiva defends own beliefs tersebut digambarkan oleh narator melalui percakapan Koplak dengan Kemitir, ketika mereka tengah berbincang tentang penampilan Koplak sebagai seorang pejabat. Kemitir beranggapan bahwa ayahnya harus berpenampilan rapi layaknya seorang pejabat yang sering Koplak lihat di televisi. Akan tetapi, pada kutipan tersebut terlihat Koplak yang bersikukuh untuk tidak mengikuti gaya dan penampilan para pejabat di televisi. Ia sejak awal yakin, bahwa menjadi seorang pejabat tidak dinilai melalui penampilannya yang selalu wangi dan pakai jas, tetapi melalui pengabdiannya terhadap warga yang dipimpinnya. Selain itu, munculnya adjektiva self-reliant (percaya pada kemampuan, kapasitas, dan penilaian pribadi, 101 percaya diri) yang ditunjukkan Koplak melalui percakapannya dengan Kemitir juga mendukung adjektiva defends own belief . Kepercayaan diri terlihat melalui dialog Koplak dengan Kemitir. “Lho, kok diam saja? Kalau mau menang, harus buat program- program yang oke. Minimal bisa memikat hati rakyat desa ini. Atau ... bisa memikat amakmu ini. Bape ngerti, kan? “Apakah masyarakat desa ini tidak bisa melihat kerja Bape?”102

Manifestasi adjektiva self-reliant terlihat dari sikap Koplak yang yakin bahwa masyarakat desa akan tetap memilihnya sebagai kepala desa, meskipun ia tidak membuat program-program yang oke, seperti yang

100 Ibid., h. 33-34. 101 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 1072. 102 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h.23.

84

disarankan oleh Kemitir. Rasa percaya diri itu timbul karena Koplak sangat yakin dengan kerja kerasnya selama ini sebagai kepala desa. Ia yakin, dengan kerja keras yang ia buktikan selama menjabat sebagai kepala desa periode pertama mampu membuatnya terpilih kembali sebagai kepala desa. Adjektiva maskulin lainnya yang ditunjukkan oleh Koplak, yaitu independent (mandiri). Independent merupakan kemampuan untuk melakukan semua atau sebagian besar fungsi sehari (pekerjaan domestik maupun non-domestik) sebagai orang yang mandiri. 103 Manifestasi adjektiva independent digambarkan oleh narator ketika Koplak yang sempat menolak untuk dijemput oleh orang suruhan Kemitir ketika ia hendak berkunjung ke rumah anaknya itu. Koplak merasa masih mampu bepergian sendiri menggunakan kendaraan umum. Koplak juga berkata bahwa ia masih sanggup memesan sendiri kendaran untuk menjemputnya jika ia mau, tanpa perlu dibantu oleh Kemitir. “Kau tidak usah repot-repot menyuruh orang menjemputku, Kemitir. Aku bisa naik kendaraan umum dan turun di terminal. Aku juga bisa dan masih sanggup memesan kendaraan untuk mengantarku ke rumahmu. ...”104

Adjektiva maskulin yang terakhir, yaitu willling to take a risks (bersedia mengambil risiko). Seseorang dengan adjektiva ini memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang berisiko. Keputusan tersebut bisa saja diambil melalui pemikiran yang panjang dan matang, tetapi bisa juga secara spontan. Manifestasi adjektiva willing to take a risks pada tokoh Koplak terlihat pada kutipan berikut.. Tanggung jawab yang diberikan Koplir kepada Koplak cukup mengerikan dan sangat berisiko. Bayangkan saja, Koplir menyerahkan tanah dan rumahnya untuk diurus Koplak. Akan tetapi, entah didorong kekuatan dari mana, Koplak mengangguk.

103 Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (USA: Taylor & Francis Group, 1999), h. 480. 104 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 78.

85

Walaupun banyak desas-desus, Koplak tidak peduli. Koplir percaya kepadanya, itu sudah cukup.105

Pada kutipan di atas, keputusan yang diambil oleh Koplak itu dilandaskan atas dasar kepercayaannya terhadap sahabatnya, Koplir. Koplak menyadari, dengan mengambil tanggung jawab untuk mengurus tanah dan rumah Koplir, kemungkinan besar dia akan menghadapi banyak masalah. Sebab, sebelum Koplir menyerahkan amanat itu kepada Koplak, ia tahu telah banyak desas-desus yang beredar mengenai Koplir. Namun, Koplak yakin dan percaya dengan sahabatnya itu yang membuat Koplak bersedia untuk mengambil risiko. Berdasarkan penjabaran di atas, ternyata manifestasi adjektiva maskulin lebih banyak ditunjukkan oleh Koplak ketika ia berada di ruang publik, terutama ketika ia menjalankan perannya sebagai kepala desa. Sisi maskulin tersebut membuat Koplak menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh warganya. Segan dalam hal ini bukan berarti warga menjadi takut, tetapi lebih kepada makna segan yang menunjukkan rasa hormat warga kepada pemimpinnya. Munculnya adjektiva feminin dan maskulin yang seimbang pada diri Koplak, menunjukkan bahwa ia adalah seorang androgini. Kedua jenis adjektiva tersebut dimanifestasikan secara baik oleh Koplak dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik. Seperti yang telah disebutkan Bem, bahwa individu androgini adalah seseorang yang memiliki sifat lebih fleksibel, kompeten, dan sehat mental dibandingkan dengan individu yang hanya memiliki sifat maskulin atau feminin. Berdasarkan analisis di atas, Koplak memiliki ketiga hal tersebut. Pertama fleksibel, artinya Koplak yang seorang lelaki, tidak merasa harus mengikuti konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat, yang menyatakan bahwa sebagai lelaki harus selalu menunjukkan sisi maskulinnya. Koplak tahu kapan ia harus menunjukkan sisi feminin dan

105 Ibid., h. 43.

86

kapan ia harus menunjukkan sisi maskulinnya. Ia menerapkan kedua sisi tersebut berdasarkan situasi yang sedang dihadapi. Sifat fleksibel ini juga yang kemudian menuntunnya kepada sifat yang kedua, yaitu mental yang sehat. Artinya, sebagai lelaki ia tidak malu dan tidak keberatan menjadi duda selama seperempat abad, sebab Koplak yakin bahwa kesetiaan yang dimilikinya itu bukanlah sesuatu yang buruk. Kesetiannya itu justru mampu membuat Koplak menjadi sosok ayah yang penyayang. Individu yang hanya memiliki sifat maskulin saja kemungkinan besar akan merasa stres ketika ia terlalu lama hidup sendiri, karena dirinya menganggap bahwa pekerjaan domestik, seperti mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, serta sifat-sifat feminin, hanya boleh dilakukan dan dimiliki oleh perempuan. Lain halnya dengan Koplak yang mampu fleksibel menjalankan dan menikmati perannya sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak semata wayangnya. Ketiga, dengan adanya keseimbangan antara sisi maskulin dan feminin pada diri Koplak, ia juga terbentuk menjadi sosok yang kompeten. Kompeten adalah mampu melakukan sesuatu dengan baik. Pada beberapa kutipan di atas, pengarang juga menggambarkan Koplak yang memiliki keterampilan yang baik dalam mengemban tugasnya sebagai seorang kepala desa. Ia mampu bertindak tegas ketika melihat adanya penyimpangan. Namun, di sisi lain, ia juga tidak hanya tegas, tetapi ia juga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan orang lain, sehingga ia mampu membuat keputusan-keputusan yang berimbang yang hasilnya tidak hanya menguntungkan diri sendiri. Berdasarkan analisis di atas, dapat dilihat bahwa tokoh Koplak menunjukkan bahwa dengan sisi feminin yang ia miliki, Koplak justru mampu mengatasi berbagai persoalan dengan cara pandang yang berbeda. Jati dirinya sebagai seseorang yang terlahir sebagai laki-laki, tak membuatnya berpikir bahwa ia harus mengikuti tuntutan budaya dan masyarakat yang menganggap bahwa seorang lelaki harus sepenuhnya maskulin atau perempuan yang harus sepenuhnya feminin.

87

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Oka Rusmini, yang mengatakan bahwa ia memang sengaja menciptakan tokoh Koplak sebagai seorang feminis lelaki.106 Sebagai seseorang yang digambarkan sebagai feminis lelaki, tentu saja Koplak digambarkan sebagai sosok yang memiliki pandangan terbuka terhadap gender. Meskipun ia merupakan seorang warga desa yang hidup di tengah-tengah orang yang masih berpandangan bahwa lelaki harus maskulin dan perempuan harus feminin (pandangan konservatif terhadap gender), tetapi cara pandang Koplak telah melampaui mereka semua. Hal ini juga terlihat dari cara Koplak mendidik anak perempuannya, Kemitir. Bertengkar dengan Kemitir juga percuma. Sejak kecil Kemitir memang dididik Koplak untuk mandiri. Untuk berani mengatakan apa pun tanpa melihat bahwa dirinya seorang perempuan. Koplak juga mengajak Kemitir les karate ketika anak semata wayangnya itu berusia lima tahun. Koplak berharap, Kemitir bisa melindungi dirinya sendiri.107

Kutipan tersebut menunjukkan cara pandang Koplak yang terbuka terhadap gender. Sejak anaknya masih kecil, Koplak mengajarkan bahwa setiap orang berhak untuk berbicara di depan umum tanpa memandang jenis kelamin maupun gender. Didikannya tersebut telah membuat Kemitir menjadi sosok perempuan yang berani dan tegas. Selain itu, Koplak juga menganggap bahwa lelaki dan perempuan adalah setara. Bagi Koplak, keduanya berharga dan berhak untuk dihormati. Selama ini Koplak selalu berpikir semua anak yang dilahirkan itu sama. Tidak ada yang lebih unggul. Tidak ada yang lebih menguntungkan. Tidak juga lebih dari segalanya. Anak perempuan dan lelaki itu sama saja. Memangnya kalau Tuhan memberi anak perempuan, lalu kita menginginkan anak lelaki, anak perempuan yang sudah dilahirkan itu bisa ditukar? Dijual? Digadaikan? Atau, dibuang?108

106 Wawancara via daring dengan Oka Rusmini. 107 Oka Rusmini, Koplak, (Jakarta: Grasindo, 2019), h. 35. 108 Ibid., h. 158.

88

Berdasarkan kutipan tersbut, terlihat Koplak tidak membeda- bedakan antara anak lelaki dengan anak perempuan. Bagi Koplak, keduanya memiliki keistimewaannya masing-masing. Meski banyak yang menyuruh Koplak menikah lagi untuk mendapatkan anak lelaki (yang dalam masyarakat Bali dianggap lebih berharga), Koplak tetap tidak tertarik. Koplak melihat bahwa anak perempuannya itu mampu mengerjakan segala hal dan tidak lebih rendah dari lelaki. Selain itu dengan adanya sifat fleksibel, kompeten, sehat mental, serta pandangannya yang tebuka terhadap gender, menjadikan Koplak sebagai seorang figur kepala desa yang ideal. Keseimbangan antara perilaku maskulin dan feminin tersebut mampu membuatnya menjadi seoang pemimpin yang tegas sekaligus lembut. Sifat-sifat tersebut sesuai dengan sifat-sifat pemimpin yang dikemukakan Ordway Tead di antaranya, memiliki keramahan dan kecintaan (friendliness and affection) serta ketegasan dalam mengambil keputusan. 109 Oleh karena sifat-sifat tersebutlah, maka dalam cerita pun dikisahkan bahwa Koplak mampu dan dipercaya masyarakat Desa Sawut untuk menjabat sebagai kepala desa selama dua periode.

C. Implikasi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, atau yang lebih dikenal dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, memiliki peran yang penting. Mata pelajaran Bahasa Indonesia bukan hanya mempelajari tentang tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Lebih dari itu, peran Bahasa Indonesia di sekolah, selain untuk melatih keterampilan berbahasa, juga diharapkan mampu untuk membentuk karakter yang baik pada diri peserta didik. Oleh karena itu, peran sastra dalam pembelajaran Bahasa Indonesia

109 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, (Depok: Rajawali Pers, 2009), h. 45-46.

89

menjadi penting pula sebagai bahan refleksi dan mengasah kepekaan peserta didik terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Tujuan tersebut dapat tercapai, salah satunya yakni dengan melakukan apresiasi karya sastra. Melalui kegiatan apresiasi karya sastra, peserta didik diajak untuk bersentuhan langsung dengan karya sastra untuk bisa membaca, menikmati, memahami, dan menganalisisnya secara langsung. Memilih karya sastra untuk diapresiasi oleh peserta didik merupakan salah satu langkah utama yang dilakukan oleh seorang guru, agar pembelajaran yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang telah dirancang. Dalam silabus pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA/MA kelas XII semester 1, terdapat pembelajaran apresiasi novel, dengan kompetensi dasar, yaitu peserta didik mampu memahami hakikat novel serta unsur-unsur intrinsik novel. Novel Koplak karya Oka Rusmini ini dapat dijadikan sebagai sumber ajar dan dapat diimplikasikan pada kompetensi dasar tersebut. Penggunaan Novel Koplak sebagai salah satu sumber ajar, yakni untuk menggugah minat baca peserta didik, karena novel ini merupakan novel keluaran terbaru serta bahasa yang digunakan pun sangat mudah dimengerti oleh peserta didik. Jumlah halamannya pun tidak terlalu banyak. Jadi, pemilihan novel Koplak diharapkan mampu menggugah minat baca peserta didik dan mampu meminimalisir kebosanan peserta didik ketika membacanya. Meskipun menggunakan bahasa sehari-hari yang ringan dan mudah dimengerti, novel Koplak tetap kaya dengan pesan-pesan yang hendak disampaikan oleh penulisnya, salah satunya yaitu tentang kesetaraan gender dan psikologi androgini. Berdasarkan hasil penjaringan data peneliti, masalah tentang gender dan androgini ini masih belum banyak dibahas di sekolah. Hasil analisis unsur intrinsik serta analisis utama mengenai perilaku androgini ini dapat dijadikan salah satu pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keterampilan berbahasa dan sastra yang terdapat dalam silabus Bahasa Indonesia, yang telah diintegrasikan ke dalam RPP. Peserta didik diharapkan mampu menentukan unsur instrinsik dan memahami topik pembahasan teks tersebut setelah mereka membacanya secara seksama.

90

Menentukan unsur-unsur intrinsik novel, bertujuan untuk mengasah kepekaan dan ketajaman kemampuan analisis peserta didik, serta diharapkan mampu menangkap pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang di dalam novel tersebut. Selain itu, analisis tentang perilaku androgini ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk mengajak peserta didik untuk lebih peka dengan istilah androgini serta representasinya di dalam masyarakat. Jadi, dengan mempelajari karya sastra melalui novel ini, selain mampu mengasah keterampilan berbahasa dan menambah wawasan tentang sastra dan budaya (khususnya Bali), peserta didik juga mampu memperluas wawasannya dalam bidang keilmuan lain. Hal tersebut diharapkan mampu menggugah minat siswa yang sebelumnya malas membaca atau menganggap sastra membosankan, menjadi tertarik. Caranya, yakni dengan mengajak siswa untuk bersentuhan langsung dengan karya tersebut melalui kegiatan apresiasi karya sastra. Saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, peserta didik diharapkan telah membaca keseluruhan isi novel yang akan dibahas. Indikator pencapaian kompetensi pada pertemuan pertama, yaitu peserta didik mampu menemukan dan menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam novel. Kemampuan analisis peserta didik diasah untuk menemukan fakta teks yang berkaitan dengan unsur- unsur intrinsik novel. Saat diimplikasikan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pertama, guru akan memancing peserta didik dengan beberapa pertanyaan mengenai materi unsur-unsur intrinsik novel. Kedua, peserta didik dipersilakan untuk melakukan tanya jawab dengan guru terkait materi yang telah disampaikan, khususnya terkait penokohan/perwatakan. Ketiga, setiap kelompok berkumpul dan berdiskusi untuk mengidentifikasi dan menganalisis unsur intrinsik pada novel Koplak. Keempat, setiap kelompok menuliskan hasil temuannya tentang unsur-unsur intrinsik dalam novel. Kelima, setiap kelompok yang telah menyelesaikan tugasnya, diminta untuk mempresentasikan hasil temuannya tersebut di depan kelas, kemudian kelompok lainnya akan menanggapi. Hasil presentasi dan tanggapan dari semua kelompok kemudian akan disimpulkan bersama dengan guru. Terakhir, guru akan menanyakan secara lisan kepada

91

peserta didik terkait materi yang telah dijelaskan serta simpulan hasil presentasi semua kelompok. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peserta didik memperhatikan dan memahami penjelasan yang telah dilakukan oleh guru dan presentasi yang dilakukan oleh teman-temannya. Setelah mempelajari materi mengenai novel dan mengapresiasinya langsung dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik, diharapkan dapat membantu mengasah kemampuan berpikir kritis peserta didik dan menambah wawasan. Selain itu, melalui analisis tokoh dan penokohan, peserta didik juga diharapkan mampu memahami karakter dan perilaku androgini yang direpresentasikan oleh tokoh utama. Pemahaman perilaku androgini tersebut dapat dilakukan dengan tuntunan dari guru pada pertemuan selanjutnya, setelah pertemuan pertama menganalisis unsur intrinsik. Tokoh Koplak dengan perilaku maskulin dan feminin yang dimilikinya tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi para siswa untuk menunjukkan bahwa sifat-sifat maskulin dan feminin dapat dipertukarkan dan merupakan hal wajar apabila lelaki memiliki sisi feminin serta perempuan memiliki sisi maskulin. Warsiman mengatakan bahwa pembelajaran sastra ini juga, dapat membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problematika personal dan masyarakat manusia.110

110 Warsiman, Sastra dan Pembelajarannya: Sajian, Telaah, dan Analasis Hasil Riset, (Surabaya: Unesa University Press, 2015), h. 117.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis tentang “Perilaku Androgini Tokoh Utama Novel Koplak Karya Oka Rusmini serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama novel Koplak, yaitu Koplak menunjukkan bermacam-macam manifestasi perilaku feminin dan maskulin. Manifestasi perilaku feminin ditandai dengan munculnya 10 adjektiva feminin, yaitu affectionate, compassionate, does not use harsh languages, loyal, sensitive to the needs of others, shy, sympathetic, understanding, warm, dan yielding. Manifestasi perilaku maskulin juga ditandai dengan munculnya 10 adjektiva maskulin, yaitu act as a leader, ambitious, analytical, assertive, competitive, defends own beliefs, has leadership abilities, independent, self-reliant, dan willing to take risks. Manifestasi perilaku maskulin dan feminin yang muncul secara beriringan itu adalah yang disebut dengan androgini oleh Sandra L. Bem. Koplak menunjukkan sisi femininnya ketika berada di sekitar orang- orang yang lebih muda, yaitu Kemitir dan Lindung. Kemitir adalah anak kandung Koplak sedangkan Lindung adalah pemuda yang bekerja di kantor kepala desa tempat Koplak bekerja. Sisi feminin yang ditunjukkan Koplak kepada mereka cenderung berupa kehangatan, kasih sayang, dan perhatian seorang ayah kepada anaknya. Selain itu, Koplak juga banyak menunjukkan sisi feminin berupa rasa simpati terhadap orang-orang lain di sekitarnya. Sisi feminin tersebut secara seimbang muncul, baik dalam ranah domestik maupun dalam ranah publik. Selanjutnya, Koplak lebih banyak menunjukkan sisi maskulinnya ketika ia berada pada ruang publik, yakni ketika ia menjalankan perannya sebagai seorang kepala desa. Sisi maskulin itu lebih banyak ditampilkan dalam peristiwa yang membutuhkan rasionalitas. Sementara itu, sisi feminin lebih banyak ditampilkan dalam peristiwa yang membutuhkan kepekaan perasaan.Keseimbangan perilaku maskulin dan feminin tersebut

92

93

telah membentuk Koplak menjadi sosok yang fleksibel, kompeten dan lebih sehat secara mental. Artinya, ia mampu menempatkan diri, tahu kapan harus memunculkan sisi maskulin atau feminin tergantung situasi dan kondisi yang menghampirinya. Setiap manusia bebas melakukan hal yang harus mereka lakukan tanpa harus menyesuaikan perilaku dengan jenis kelamin. Lelaki boleh bersikap lembut dan perempuan boleh bersikap tegas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tokoh Koplak memiliki pandangan yang terbuka terhadap gender. Hal tersebut terlihat dari cara Koplak mendidik anak perempuannya serta pandangannya yang menganggap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Begitu pula anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka memiliki nilai yang sama. Tidak ada yang lebih rendah ataupun lebih unggul. Selain itu, sisi maskulin dan feminin pada diri Koplak tersebut menjadikannya sebagai seorang pemimpin ideal yang memiliki keseimbangan perilaku serta fleksibilitas. Implikasi penelitian ini dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA dapat dipraktikkan di kelas XII semester ganjil. Kompetensi Dasar yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran ini, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik. Peserta didik diharapkan mampu mengidentifikasi dan menganalisis struktur teks novel yang dibaca. Penggunaan novel Koplak sebagai bahan bacaan bagi peserta didik diharapkan mampu membuat mereka lebih tertarik dan tidak bosan untuk membacanya, karena bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik diharapkan dapat menguasai materi sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi. Selain itu, diharapkan juga agar peserta didik mampu mengambil nilai-nilai positif dari perilaku androgini yang digambarkan melalui tokoh Koplak dan dapat mengaitkannya dengan nilai-nilai kehidupan sehari-hari.

B. Saran Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraikan, berikut ini beberapa saran yang diajukan penulis, yakni:

94

1. Pendidik harus memilih karya-karya yang relevan dengan perkembangan zaman agar siswa lebih tertarik untuk membaca dan antusias untuk menggali lebih dalam mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. salah satu karya yang dapat dijadikan rujukan dalam pembelajaran adalah novel Koplak. 2. Pendidik harus mampu menuntun peserta didik untuk menggali nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut juga sekaligus dapat membantu pendidik dalam pembentukan karakter peserta didik. 3. Peserta didik diharapkan mampu bersungguh-sungguh agar dapat memahami keseluruhan isi cerita, sehingga dapat mengambil dan menerapkan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya sekaligus menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi: Jejak Publisher, 2018. Baron, Robert A. dan Donn Byrne. Psikologi Sosial: Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga, 2003. ------. Social Psychology (8th Edition). London: Allyn and Bacon, 1997. Chaplin, J. P.. Kamus Lengkap Psikologi, Terj. dari Dictionary of Psychology oleh Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Corsini, Raymond J.. The Dictionary of Psychology. USA: Taylor & Francis Group, 1999. Emzir dan Syaifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers, 2015. Erneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah, 1991. Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa, 2013. Haslinda. Kajian dan Apresiasi Prosa Fiksi Teori dan Aplikasinya. Makassar: LPP Unismuh, 2018. Herdiansyah, Haris. Gender dalam Perspektif Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika, 2016. Houtman dan Arif Ardiansyah. Dinamika Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Deepublish, 2017. Husamah. A to Z Kamus Psikologi Super Lengkap. Yogyakarta: Andi Offset, 2015. Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013. Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan yang Abnormal Itu?. Depok: Rajawali Pers, 2009. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Cet. ke-17. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Kramer, Laura. The Sociology of Gender: A Brief Introduction. New York: Oxford University Press, 2011. Hillary M. Lips. Sex and Gender: An Introduction, Seventh Edition. Illinois: Waveland Press, 2020.

95

96

Luxemburg, Jan van, et.al.. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia, 1986. Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Cet. ke-13. Jakarta: Bumi Aksara, 2014. McKnight, Jim & Jeanna Sutton. Social Psychology. Sydney: Prentince Hall, 1994. Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018. Rusmini, Oka. Koplak. Jakarta: Grasindo, 2019. Sadli, Saparinah. Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Sears, David O. et.al.. Social Psychology (7th Edition). Englewood Cliffs: Prentince Hall Inc., 1991. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Surastina. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Elmatera, 2018. Sutherland, Stuart. The Macmillan Dictionary of Psychology 2nd Edition. United Kingdom: The Macmilan Press Ltd., 1995. Waridah, Ernawati. EYD & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka, 2008. Warsiman. Pengantar Pembelajaran Sastra: Sajian dan Kajian Hasil Riset. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2017. ------. Sastra dan Pembelajarannya: Sajian, Telaah, dan Analisis Hasil Riset. Surabaya: Unesa University Press, 2015. Wellek, René dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016. Wicaksono, Andri. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca, 2017.

Artikel dan Jurnal: Agustang, Andi Tenri Pada, et.al.. “Perkembangan Peran Jender dalam Perspektif Teori Androgini”. Seminar Nasional: Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015. Makassar, 28-29 November 2015.

97

Anggraini, Putu Maria Ratih dan I Wayan Tirta Gunawijaya. “Hukum Kekeluargaan dan Kewarisan di Bali”. Pariksa - Jurnal Hukum Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Vol. 2, No. 1, 2018. Arya, I Nyoman. “Rerahinan dan Hari Raya Agama Hindu”, https://kemenagbadung.weebly.com/makalah/rerahinan-dan-hari-raya- agama-hindu, 21 Agustus 2020. Ay. “Sajak-Sajak dari Sang Ida Ayu”. Esai. Tanpa identitas penerbitan. Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. “Ensiklopedia Sastra Indonesia: Oka Rusmini”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Oka_Rusmini, 11 Mei 2020. Bem, Sandra L.. “Gender Schema Theory: A Cognitive Account of Sex Typing. Psychological Review, Vol. 88, No. 4, 1981. ------. “The Measurement of Psychological Androgyny. Jurnal of Consulting and Clinical Psychology, Vol. 42, No. 2, 1974. Febrianto, Diki dan Candra Rahma Wijaya Putra. “Hegemoni Kekuasaan dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini: Kajian Sosiologi Sastra”, KREDO: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Vol. 3, No. 2, April 2020, https://www.jurnal.umk.ac.id/index.php/kredo/article/download/4347/2149, 19 Agustus 2020. Funay, Chela Marchela. “Representasi Androgini Jovi Adhiguna di Video Blog YouTube”. Skripsi pada Universitas Diponegoro, Semarang, 2018. Tidak dipublikasikan. Grasindo. “Profil Penulis: Oka Rusmini”, http://www.grasindo.id/penulis/oka- rusmini/, 11 Mei 2020. Hastuti, Heksa Biopsi Puji. “Androgini Tokoh Tina dalam Novel Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono”. BÉBASAN: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 1, No. 1, Juni 2014. Larasati, Adinda Faradilla. “Nilai Moral dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini Kajian Moralitas Immanuel Kant”, Jurnal BAPALA, Vol. 7, No. 1, 2020, https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/bapala/article/viewFile/33313 /29858, 10 Juni 2020 Monika, Kadek Ayu dan David Hizkia Tobing. “Gambaran Kecemasan Orangtua yang Hanya Memiliki Anak Perempuan di Kabupaten Tabanan, Bali”. Jurnal Psikologi Udayana, Vol. 5, No. 2, 2018.

98

Nabilah, Farah. “Aspek Perilaku Tokoh Utama dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini Kajian Psikologi Sastra. Prosiding SENABASA: Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 3, No. 2, 2019, http://research- report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA/article/download/3185/2873, 10 Juni 2020. Nurhazizah, Ulfah. “Oka Rusmini”, https://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/oka- rusmini.htm, 10 Mei 2020. PADMagz. “Oka Rusmini: Mendokumentasikan Bali dalam Karya”, https://padmagz.com/oka-rusmini-mendokumentasikan-bali-dalam-karya/, 17 Mei 2020. Pujiastuti, Triyani. “Peran Orang Tua dalam Pembentukan Identitas Gender Anak”. Jurnal Ilmiah Syi’ar, Vol. 14, No. 1, Februari 2014. Rusmalia, Rianty. “Mengenal 5 Penulis Perempuan Indonesia”. Elle Indonesia diakses melalui https://elle.co.id/urban/mengenal-5-penulis-perempuan- indonesia/ pada 20 Desember 2021. Sari, Sugiyanti Pratiwi dan Agus Nuryatin. “Reperenstasi Perempuan Bali dalam Novel-Novel Karya Oka Rusmini”. JP-BSI: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 2, No. 2, September 2017. Siregar, Mulia. “Perbedaan Perilaku Androgini Ditinjau dari Tempat Kerja. Jurnal Psikologi Konseling, Vol. 10, No. 1, Juni 2017. Sulistyaningsih, Aprilia Dwi, et.al., “Pola Pikir Koplak dalam Novel Koplak Karya Oka Rusmini dan Formulasinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra di SMA”, Repetisi: Riset Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 3, No. 2, Oktober 2020 http://jom.untidar.ac.id/index.php/repetisi/article/view/1026, 20 November 2020. Endah Sulwesi. “Oka Rusmini: ‘Menulis Itu, Buat Saya Adalah Semacam Terapi Jiwa’” dalam laman http://perca.blogspot.com/2007/11/oka-rusmini- menulis-itu-buat-saya.html diakses pada 17 Mei 2020. Temaja, I Gede Bagus Wisnu Bayu. “Sistem Penamaan Orang Bali”. Jurnal HUMANIKA, Vol. 24, No. 2, 2017. Utomo, S. Prasetyo. “Djenar, Ayu, Oka, dan Eksplorasi Seks Itu”. Esai. Tanpa identitas penerbitan. Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. Wardani, Anindya Kusuma. “Balinese Daughter and Feminist Father in Koplak by Oka Rusmini”, Jurnal Lakon: Kajian Sastra dan Budaya, Vol. 8, No. 2, https://e-journal.unair.ac.id/LAKON/article/download/19774/10808, 19 Agustus 2020.

99

Wawancara: Rusmini, Oka. Wawancara. Bali-Bogor, 21 April 2020.

LAMPIRAN

SINOPSIS KOPLAK KARYA OKA RUSMINI

I Putu Koplak atau yang biasa disapa Koplak ialah seorang kepala desa yang sangat dicintai oleh warganya. Ia juga merupakan seorang duda beranak satu yang sangat menyangi dan mencintai putri satu-satunya dari pernikahannya dengan istrinya, Langir. Kecintaannya kepada Langir telah membuat Koplak betah menduda hingga usianya menginjak 50-an tahun. Baginya, tak ada wanita lain yang dapat meggantikan posisi Langir di hatinya. Langir meninggal ketika ia melahirkan buah hatinya dengan Koplak yang kini telah tumbuh menjadi seorang wanita mandiri yang bernama Ni Luh Putu Kemitir. Kemitir sendiri memang telah menjalani hidupnya sendiri di kota. Ia tidak lagi tinggal bersama Koplak. Namun, ia sering mengunjungi Bapenya itu untuk menjenguknya. Berkat didikan yang ditanamkan oleh Koplak, sejak kecil Kemitir telah terbiasa hidup mandiri. Koplak, sebagai ayah sekaligus ibu bagi Kemitir juga selalu mendukung anaknya dalam menjalankan kehidupannya sebagai seorang wanita karir. Selain menjadi orang tua tunggal bagi anak semata wayangnya, Koplak juga merupakan seorang “ayah” alias kepala desa bagi warga Desa Sawut. Koplak berhasil menjabat sebagai seorang kepala desa setelah ia mengalahkan dua pesaingnya yang berasal dari kota dan terbilang cukup muda dibandingkan dengan dirinya. Bagi Koplak, untuk bisa membangun Desa Sawut, warga membutuhkan seorang pemimpin yang tahu seluk-beluk desa serta kebutuhan warganya, seperti dirinya. Sedangnya dua kandidat lainnya ia anggap hanya orang kota dengan gaya necis yang tidak tahu menahu kebutuhan warga desa dan hanya ingin mengejar jabatan demi uang. Sebagai seorang kepala desa, Koplak dikenal sebagai seorang pemimpin yang peduli dengan kebutuhan warganya. Ia sering kali berkunjung atau dikunjungi warganya untuk sekadar mengobrol dan memperbincangkan segala permasalahan yang sedang mereka hadapi. Selain terbuka mengenai masalah warga desanya. Sebagai seorang kepala desa, ia tidak hanya memimpin warganya dengan ketegasan, tetapi juga dibarengi dengan rasa kesetiaan dan rasa peduli yang tinggi terhadap kebutuhan warganya.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Sekolah : SMA N …………………………………. Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/I Materi Pokok : Menemukan Unsur Intrinsik dalam Novel Alokasi Waktu : 2 X 45 menit

A. Kompetensi Inti KI Mengahayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. K2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan social dan alam serta menempatkan diri sebagai cermin bangsa dalam pergaulan dunia. K3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. K4 Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) 3.1. Menganalisis isi dan 3.1.1. Menemukan dan menganalisis unsur- kebahasaan novel unsur intrinsik dalam novel 3.1.2. Mempresentasikan unsur-unsur intrinsik yang ditemukan dalam novel 3.1.3. Menyimpulkan hasil temuan terkait unsur-unsur intrinsik

C. Tujuan Pembelajaran Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, peserta didik diharapkan mampu mengidentifikasi informasi dalam novel, yakni menemukan unsur-unsur intrinsik, mempresentasikannya di depan teman- teman sekelasnya, lalu membuat simpulan dari hasil temuannya tersebut.

D. Materi 1. Pengertian Novel 2. Unsur-unsur Intrinsik Novel a. Tema b. Tokoh dan Penokohan c. Latar d. Alur e. Sudut Pandang f. Gaya Bahasa g. Amanat

E. Pendekatan, Metode, dan Model Pembelajaran 1. Pendekatan : Saintifik 2. Model Pembelajaran : Discovery Learning 3. Metode : diskusi kelompok, tanya jawab, penugasan

F. Media Pembelajaran 1. Video animasi, penjelasan tentang unsur-unsur intrinsik dalam novel 2. Laptop 3. Proyektor

G. Sumber Belajar 1. Buku Paket Bahasa Indonesia kelas XII 2. Novel Koplak karya Oka Rusmini 3. Referensi lain yang menunjang materi unsur-unsur intrinsik novel 4. Internet

H. Kegiatan Pembelajaran Nilai Karakter Langkah-langkah Alokasi Tahap (PPK), Literasi, Pembelajaran Waktu 4C, HOTS Kegiatan Orientasi: Religius 10 menit Awal 1. Guru mengucap salam, lalu berdoa bersama murid sebelum memulai Responsif pembelajaran 2. Guru menanyakan kabar dan memeriksa kehadiran peserta didik Apersepsi: 1. Guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran yang akan dilakukan 2. Peserta didik merespons pertanyan yang diajukan oleh guru Motivasi: 1. Peserta didik mendengarkan penjelasan guru mengenai Rasa ingin tahu manfaat pelajaran yang akan dipelajari dalam kaitannya dengan kehidupan sehari- hari. 2. Peserta didik menyimak penjelasan guru tentang kompetensi dan tujuan pembelajaran pada pertemuan tersebut. Pemberian acuan: 1. Peserta didik menerima informasi tentang materi pelajaran dan mekanisme pelaksanaan belajar sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran.

Kegiatan Mengamati: Literasi 70 menit Inti 1. Peserta didik menerima materi unsur-unsur intrinsik dalam novel yang ditampilkan melalui proyektor 2. Peserta didik mencermati unsur-unsur intrinsik dalam novel yang ditampilkan melalui video interaktif pada proyektor Menanya: Berpikir Kreatif 1. Perserta didik membuat (Critical pertanyaan terkait materi thingking) yang telah disampaikan dan melalukan tanya jawab dengan guru Mengumpulkan informasi: 1. Guru membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok dan memberi tugas tentang unsur-unsur intrinsik yang harus ditemukan oleh setiap kelompok Kolaborasi 2. Peserta didik berdiskusi (Collaboration) secara berkelompok untuk menemukan unsur-unsur intrinsik dalam novel Kreatifitas Menalar: (Creativity) 1. Peserta didik berdiskusi untuk menyimpulkan hasil temuan unsur-unsur intrinsik dalam novel 2. Peserta didik menuliskan hasil temuannya Mengomunikasikan : Komunikatif 1. Setiap kelompok peserta (Communicative) didik menyampaikan hasil diskusi secara bergantian

2. Peserta didik dari kelompok lain menyimak dan menanggapi presentasi kelompok yang tampil Kegiatan 1. Guru bersama peserta didik Kreatifitas 10 menit Penutup membuat (Creativity) rangkuman/simpulan 2. Guru dan peserta didik melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan 3. Guru memberikan umpan HOTS balik terhadap proses dan hasil pembelajaran 4. Guru memberikan tugas kepada peserta didik dan menyampaikan rencana pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya 5. Guru mengucapkan terima kasih dan salam penutup sebelum meninggalkan kelas

I. Penilaian Pembelajaran Remedial dan Pengayaan 1. Teknik Penilaian a. Aspek Sikap : Pengamatan guru dan teman sejawat b. Aspek Pengetahuan : Tulis dan lisan c. Aspek Keterampilan : Tulis

2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Sikap Perilaku yang Diamati Selama Proses Pembelajaran Nama No. Tanggung Siswa Jujur Disiplin Peduli Santun Responsif Proaktif Jawab

Pedoman penilaian: skala penilaian dengan rentang dari 1 s.d. 5 (1) Sangat kurang (4) Baik (2) Kurang (5) Sangat baik (3) Cukup

b. Penilaian Pengetahuan Indikator Pencapaian Teknik Bentuk No. Instrumen Kompetnesi (IPK) Penilaian Penilaian 1 Menemukan unsur- Tulis Uraian Temukan unsur-unsur unsur intrinsik dalam intrinsik dalam novel novel Koplak karya Oka Rusmini!

2 Mempresentasikan Lisan Presentasi Presentasikan unsur- unsur-unsur intrinsik unsur intrinsik yang yang ditemukan ditemukan dalam novel Koplak karya Oka Rusmini!

c. Penilaian Keterampilan Indikator Pencapaian Teknik Bentuk No. Instrumen Kompetnesi (IPK) Penilaian Penilaian 1 Menyimpulkan hasil Tulis Uraian Simpulkan hasil temuan terakait unsut- temuan terkait unsur- unsur intrinsik dalam unsur intrinsik dalam novel novel Koplak karya Oka Rusmini!

3. Pedoman Penskoran No. Aspek Penilaian Bobot Nilai 1 Mampu menemukan dan menganalisis unsur-unsur 5 10 intrinsik dalam novel 2 Mampu mempresentasikan unsur-unsur intrinsik 2 10 3 Mampu menyimpulkan hasil temuan unsur-unsur intrinsik 3 10 Total Nilai: (Bobot x nilai) 100

4. Pembelajaran Remedial Kegiatan pembelajaran remedial dilakukan dalam bentuk: a. Melakukan pembelajaran ulang b. Memberikan bimbingan kepada perorangan c. Belajar kelompok d. Pemanfataan tutor sebaya bagi peserta didik yang belum mencapai ketuntasan belajar sesuai hasil analisis penilaian.

5. Pembelajaran Pengayaan Berdasarkan hasil analisis penilaian, peserta didik yang telah mencapai ketuntasan belajar diberi kegiatan pembelajaran pengayaan untuk

perluasan dan/atau pendalaman materi (kompetensi) anatara lain dalam bentuk penugasan dengan mengerjakan soal-soal yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi atau meringkas buku-buku referensi.

…………, ……………………………

Mengetahui, Kepala SMA N, Guru Mata Pelajaran

…………………………. ……………………. NIP/NIK. NIP/NIK.

Tangkapan Layar Izin Wawancara dan Hasil Wawancara Daring dengan Oka Rusmini

RIWAYAT PENULIS

Lisa Fania Aprista, lahir di Bogor pada tanggal 1 April 1998. Gadis yang akrab disapa dengan panggilan “Lisa” ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Nurdin dan Juminah. Lisa mengawali pendidikannya di SD Negeri Durenseribu 04. Pada tahun 2010 ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Depok. Setelah itu pada tahun 2013, ia melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri 1 Tajurhalang dan lulus pada tahun 2016. Cita- citanya yang ingin menjadi seorang guru bahasa telah menuntunnya mendaftarkan diri untuk berkuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia memilih. Selama menjadi mahasiswa, Lisa pernah menjadi panitia dalam kegiatan jurusan, yaitu PESTARAMA #4. Selain itu, ia juga pernah menjadi tutor Bahasa Indonesia untuk persiapan SPMB Mandri UIN Jakarta yang diselenggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi. Gadis dengan motto hidup “Keep Moving Forward” ini telah menyukai dunia sastra sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Lisa sering mengikuti lomba membaca puisi di sekolah maupun di kampus. Selain itu ia juga beberapa kali mengikuti lomba menulis esai. Saat SMA ia pernah menjadi peserta FLS2N sebagai perwakilan sekolah untuk kategori lomba membaca puisi. Lisa dapat dijumpai secara virtual melalui akun instagram @lisafaa_.