CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI: SUATU TINJAUAN MIMETIK DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

oleh FITRIAN EKA PARAMITA NIM 208013000040

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2015 LENTBAR PENGESAHAN SKRIPSI

CITRA PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL TARIA|V BUMI KARYA OKA RUSMINI: SUATU TINJAUAN MIMETIK DAN IMPLIKASINYA BAGI PBMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan I(eguruan untuk Memenuhi

Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

oleh Fitrian Eka Paramita NrM 208013000040

)

/ tr,lengetahui. /O Dosen Pembimbing Ii\ /r \ 'a*--' '\ l' ".-,'------I.i-- -' 1 i,i r" Jamal D. Rahman. M.Hum.

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERT SYARTF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

Skripsi berjudul "Cttra Perempuan Bali Dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Suatu Tinjauan Mimetik dan Implikasinya Bagi Pembelajaran Sastra di SMA"" diajukan kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah lakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 2 Desember 2014 di hadapan dewan penguji, karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ciputat, 2 Desember 2014

Panitia lJjian Munaqasah

Ketua Sidang (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal TandaTan

i Dra. Hindun. M.Pd \.3 't r,{nr;mri ffflS I NIP. 19701215 2009 12 2 00r

S ekretaris (S ekretaris Jurusan/Prodi)

Dona Aji Karunia Putra. M.A NIF?"'1 9840409 201 101 1 0i5

Penguji I f, Dra. Hindun. M.Pd {.. {!ir***e.t*T ?illli NIP. 197012t5 200912 2 001 I

Penguji II '* r%rrtt Novi Diah Harlranti. M. Hum Ii,,t-,,r;r:,r1, 2iili t,z*-1_*

Mengetahui:

NurlenfRifa'i. M,A.. Ph. D.

NIP. 195901020 i98603 2 001 ABSTRAK

Fitrian Eka Paramita 208013000040 “Citra Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi KaryaOka Rusmini: Suatu Tinjauan Mimetik dan Implikasinya bagi Pembelajaran Sastra di SMA” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana citra perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan citra perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan data penelitian ini merupakan pernyataan kalimat yang mengandung aspek citra diri dan citra sosial perempuan dalam novel Tarian Bumi. Adapun Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mimetik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa gambaran fisik yang melekat dalam Tarian Bumi adalah berparas cantik, memiliki tubuh yang indah, kulit yang tidak terlalu putih tetapi memikat, dan berambut panjang. Sedangkan, citra psikis perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi didominasi oleh sifat keras hati. Dalam kehidupan sosial, citra perempuan dalam keluarga didominasi oleh gambaran perempuan yang mendapatkan tentangan dan citra perempuan dalam masyarakat didominasi oleh gambaran perempuan yang menentang tradisi. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi alternatif pembelajaran sastra di SMA. Dengan mengkaji citra perempuan dalam novel Tarian Bumi siswa dapat mengetahui baik dan buruknya sistem perkastaan yang ada di Bali dan bagaimana sistem tersebut membentuk kaum perempuannya.

Kata Kunci : Tarian Bumi, Oka Rusmini, Citra Perempuan, Pendekatan Mimetik, Implikasi bagi Pembelajaran Sastra.

i

ABSTRACT

Fitrian Eka Paramita 208013000040 “Balinese Women Image in The Novel Tarian Bumi by Oka Rusmini: A Mimetic’s Review and The Implications for Literature Teaching in High School” Departement of Education and Literature Fakulty of Tarbiyah and Teacher Training Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) Jakarta. The problems on this foster research is how the Balinese women image in Tarian Bumi by Oka Rusmini and the implications for literature teaching in high school. This research aims to describe the Balinese women image on Tarian Bumi and its implication for literature teaching in Indonesia. The methods which is used in this research is qualitative descriptive. Data source for this research is the novel Tarian Bumi by Oka Rusmini, published on July by PT. Gramedia Pustaka Utama. These data in the form of statements that contain aspects of self-image and social image Balinese women in Tarian Bumi. As for the approach wich used in this research is a mimetic’s approach. Based on the research that has been done, it’s known that the physical features inherent in Tarian Bumi is flawless, has a beautiful body, the skin is not very white but alluring, long-haired, and has a very high sensuality. Meanwhile, the psychic image of Balinese women in Tarian Bumi dominated by perseverance. In social life, the image of women in a family dominated by women who hindered and the image of women in society is dominated by images of women that opposes tradition. The results of this study can be used as an alternative learning literature in high school. By examining the image of women in the novel Tarian Bumi, students can find the goodness and deterioration of caste system in Bali and how such a system forming the women.

Key Words : Tarian Bumi, Oka Rusmini, Women’s Image, Mimetic’s Review, Implications for Teaching Literature.

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tiada terkira penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “CITRA PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI: SUATU TINJAUAN MIMETIK DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah mendidik umatnya dengan tarbiyah keimanan, ilmu pengetahuan dan akhlak yang mulia. Skripsi ini tidak lepas dari banyak kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu, dibutuhkan masukan dari berbagai pihak khususnya dosen pembimbing untuk dapat membantu memperbaiki dan merevisi kesalahan dalam skripsi ini agar penulis dapat menyempurnakan kekurangan tersebut. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari beberapa pihakyang telah membantu sehingga dalam kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; 2. Dra. Hindun, M.Pd Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI); 3. Bapak Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga kesabaran dan ilmu yang beliau berikan kepada penulis menjadi berkah dan bermanfaat; 4. Bapak Suherman dan Ibu Saptaningsih, orang tuaku tercinta yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran dan pengertian yang kalian berikan padaku, semoga Allah menyayangi kalian lebih dari apa pun; 5. Navis Abdul Aziz, laki-laki yang selalu mendampingiku pada saat-saat tersulit selama sepuluh tahun terakhir dalam hidupku. Semoga Allah senantiasa mempersatukan kita di dunia dan akhirat kelak;

iii iv

6. Hera Dwi Paramita dan Brilliant Ramadhan, adik-adikku tersayang yang telah membantu menghibur kegundahan hatiku dan telah bersedia menjadi proof reader skripsi ini. Semoga Allah melindungi dan mengabulkan segala cita-cita kalian; 7. Kepada pihak BUMN yang telah memberikan beasiswa dan pembinaan selama tiga tahun. Semoga apa yang kalian berikan menjadi bekal yang bermanfaat dalam kehidupanku; 8. Kepada keluarga besar KAHFI MOTIVATOR SCHOOL yang telah menjadi oase dalam kehidupanku; 9. Kepada keluarga besar asrama putri, khususnya Maro Chan, Nila, dan Rini yang telah menjadi penyemangat dan teman terbaikku; 10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak yang dapat memberikan kontribusi dalam dunia sastra dan pendidikan.

Depok, Mei 2014

Penulis Fitrian Eka Paramita

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Pembatasan Masalah ...... 3 C. Perumusan Masalah ...... 4 D. Tujuan Penelitian ...... 4 E. Manfaat Penelitian ...... 4 F. Metode Penelitian ...... 5 G. Penelitian yang Relevan ...... 8 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Novel ...... 10 B. Unsur Intrinsik Novel ...... 12 C. Citra Perempuan ...... 17 D. Pendekatan Mimetik ...... 19 E. Pembelajaran Sastra ...... 20 BAB III PROFIL PENGARANG A. Biografi Pengarang ...... 23 B. Sinopsis Novel Tarian Bumi ...... 25 BAB IV CITRA PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL TARIAN BUMI A. Citra Perempuan Bali ...... 28 B. Pendekatan Intrinsik Novel Tarian Bumi ...... 32 C. Deskripsi Data ...... 42 1. Deskripsi Citra Diri Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi ...... 43 2. Deskripsi Citra Sosial Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi ...... 52

v vi

D. Analisis dan Interpretasi Citra Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi ...... 60 1. Citra Diri Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi ..... 60 2. Citra Sosial Perempuan Bali dalam NovelTarian Bumi ... 65 E. Implikasi Penelitian terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ... 69 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ...... 75 B. Saran ...... 76 LAMPIRAN ...... 79

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Karya sastra adalah hasil budi daya manusia yang menarik. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang dilihat dan dialami sesuai dengan visinya. Dengan kata lain, sastrawan memotret kenyataan yang diketahuinya dan kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Sastra dan pendidikan adalah dua hal yang saling melengkapi dalam mewujudkan tugas kemanusiaan. Dengan demikian, harapan agar karya sastra menjadi katarsis atau pecuci jiwa (cathartic), semangat juang (morale), solidaritas (solidarity), dan pembelaan (advocatory) kemanusiaan akan menjadi kenyataan. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran bahasa (sastra), diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan perasaan dan gagasan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya. Terdapat korelasi positif antara pembelajaran sastra dan pembelajaran bidang studi lain apabila pembelajaran sastra dilaksanakan dengan kreatif dan dengan pilihan bahan yang mampu merangsang daya kritis siswa. Untuk mencapai korelasi positif, karya sastra sebagai salah satu materi ajar kesusastraan dapat disajikan secara terpadu dengan bidang kebahasaan maupun disiplin ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, dan sejarah. Dengan demikian, tiga paradigma penting yang menjadi sasaran dalam pembelajaran sastra dapat tercapai yaitu: (1) siswa dapat berpikir kritis (critical thinking), (2) siswa memiliki keterampilan hidup (life skill), (3) siswa dapat belajar dengan perasaan senang dan tidak terbebani (joyfull learning). Sastra sebagai salah satu potret sosial dalam mayarakat tidak langsung dapat menumbuhkan critical thinking siswa. Untuk mewujudkan daya kritis siswa maka peneliti mencoba mengintegrasikan pelajaran sastra dengan pengetahuan

1 2

sosial dan budaya siswa, mengingat karya sastra merupakan cerminan dari masyarakat tempatnya dilahirkan. Oleh karena itu, peneliti memilih novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yang sarat akan nilai sosial dan budaya untuk menjadi bahan penelitian. Berdasarkan tingkat keterbacaan siswa terhadap novel Tarian Bumi maka penelitian ini akan diimplikasikan bagi pembelajaran sastra pada tingkat SMA. Daya Kritis siswa dapat dirangsang dengan mengajak mereka untuk mencermati perubahan-perubahan yang muncul akibat derasnya arus globalisasi, salah satunya dalam bidang sosial dan budaya. Kemajuan zaman telah banyak mengubah tata kehidupan manusia. Akibatnya banyak pula kultur atau budaya yang tertanam pada suatu bangsa sedikit demi sedikit bergeser. Bahkan mungkin yang semula hanya pergeseran, lama kelamaan menjadi hilang. Salah satu perubahan atau pergeseran itu dapat dilihat pada sikap kaum perempuan, baik dalam menerima sesuatu, menafsirkan kebebasan, mengambil keputusan, maupun sikap lainnya. Internalisasi nilai dan peran perempuan dapat dilihat sebagai bentuk penyesuaian diri dalam sistem sosial yang patriarkal. Aspirasi dan harapan tinggi dapat mengarah pada kekecewaan besar bila keberanian mengambil sikap berlawanan dengan norma sosial yang menuntut kesiapan mengahadapi berbagai hambatan dan penilaian negatif tidak tercapai. Peran seorang perempuan tidak hanya sebagai istri, melainkan sebagai ibu, warga masyarakat, warga sebuah negara dan terlebih dari itu semua perempuan adalah umat Tuhan. Jadi, perempuan tidak hanya berperan dalam keluarga, dia dapat berkarya di mana pun dengan status yang ada padanya. Baik dalam keluarga, masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya itu semua adalah sebagai hal yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Seorang perempuan ideal, seharusnya dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks kondisi sosial budayanya. Namun, pada kenyataannya masih terdapat sistem dalam masyarakat yang justru mendeskriminasikan kaum perempuan. 3

Dalam mengarang suatu novel, seorang sastrawan menggunakan pengalaman sosialnya dalam karya yang akan dibuat. Berdasarkan pengalaman membaca penulis, secara umum dapat digambarkan bahwa seorang sastrawan perempuan akan cenderung menampilkan tokoh utamanya sebagai seorang perempuan, dan begitu pula sebaliknya, seorang sastrawan laki-laki akan cenderung menampilkan tokoh utamanya sebagai seorang laki-laki. Dengan begitu, mereka dapat merefleksikan tokoh rekaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini juga berpengaruh terhadap pembacanya sebagai sasaran ditunjukkannya amanat dari sebuah novel. Dengan penentuan jenis kelamin tokoh utama dalam novel tersebut seorang pembaca akan mengharapkan kesamaan dirinya dengan tokoh dalam novel yang dibacanya. Citra perempuan memiliki pengertian sebagai semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini sebagai novel yang ditulis oleh seorang sastrawan peremuan Bali merupakan karya sastra yang sarat akan pencitraan perempuan Bali di tengah kehidupan masyarakatnya. Citra perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini sebagai sastrawan perempuan Bali diharapkan mampu mempresentasikan sudut pandang dan pemikiran perempuan Bali. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha menampilkan berbagai citra perempuan Bali dalam memperjuangkan eksistensi dan hak-haknya sebagai manusia yang utuh dan termarginalkan oleh kesetaraan gender dan budaya patriarki Bali yang tercermin dalam novel tersebut.

B. Pembatasan Masalah Pembatasan suatu masalah dalam penelitian sangat penting agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah serta tidak menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penelitian ini hanya dibatasi pada citra perempuan Bali yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, serta implikasinya bagi pembelajaran sastra di SMA.

4

C. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan tersebut, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana citra perempuan Bali digambarkan dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini? 2. Bagaimana implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran sastra di SMA?

D. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan citra perempuan Bali yang terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. 2. Mendeskripsikan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran sastra di SMA.

E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi: 1. Peneliti sendiri, untuk mengetahui berbagai macam citra perempuan Bali yang ada di Indonesia, terutama citra perempuan yang tergambar dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan bagaimana sistem budaya dalam masyarakat membentuk pencitraan tersebut. 2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, penelitian ini dapat memberikan masukan dan upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis teks sastra (novel). Dengan menggunakan pendekatan mimetik, siswa akan lebih mampu melakukan pemaknaan yang utuh dan dapat berpikir lebih kritis. Teks novel Tarian Bumi yang memaparkan dampak langsung adat istiadat masyarakat Bali terhadap pencitraan kaum perempuannya dapat menjadi alternatif bahan ajar yang dapat menambah wawasan budaya siswa. 5

3. Siswa SMA, dengan membaca novel Tarian Bumi siswa dapat lebih menghargai eksistensi perempuan dan mampu menambah kesadaran budaya serta dapat berpikir kritis dalam menganalisis teks sastra (novel) dengan mengaitkannya pada fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat. 4. Diharapkan penelitian ini berguna bagi para peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis.

F. Metode penelitian 1. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini memanfaatkan sumber-sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian, artikel dan dokumen tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan judul penelitian yang telah ditetapkan. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Novel tersebut diterbitkan pada Juli 2007 oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan sebelumnya pernah diterbitkan pula oleh penerbit INDONESIATERA. Adapun novel yang digunakan dalam penelitian ini adalah terbitan PT Gramedia Pustaka Utama. 3. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah pencitraan perempuan Bali seperti gaya hidup, identitas bentukan sistem adat yang dianut oleh masyarakat Bali, pilihan-pilihan mengenai cara menajalani kehidupan, dan relasi antara adat istiadat masyarakat Bali dengan kepribadian dan karakter para tokoh perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi. 4. Kriteria Analisis Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Membaca novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan menetapkannya debagai objek penelitian. 6

b. Membaca secara teliti dan berulangkali novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, kemudian menetapkan fokus penelitian berupa citra perempuan Bali. c. Membaca ulang novel tersebut untuk menemukan pencitraan perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi, melalui proses penemuan gaya hidup, pola pikir, identitas, dan kepribadian atau karakter para tokoh perempuan dalam novel tersebut. 5. Teknik Analisis Data (1) Tabel Analisis Citra Diri Citra Diri No. Data Kalmat Citra Fisik Citra Psikis Jumlah Tf Gkf Tm C Cd Kh Bd

Keterangan: Citra Fisik Tf : Tampil feminism Gkf : Gambaran kondisi fisik Tm : Tampil maskulin

Citra Diri C : Cerdas Cd : Cerdik Kh : Keras hati Bd : Beorientasi ke depan

Citra diri perempuan terbentuk dari citra fisik dan citra diri. Citra fisik pada tokoh perempuan berkaitan dengan keadaan fisik seperti gambaran kondisi fisik, tampil feminim, atau tampil maskulin. Sedangkan citra psikis tokoh perempuan meliputi gambaran keadaan psikis berkaitan dengan kecakapan- 7

kecakapannya dan kebutuhan untuk mewujudkan cita-cita serta pilihan hidup seperti kecerdasan, kecerdikan, keras hati, dan berorientasi ke depan.

(2) Tabel Analisis Citra Sosial Citra Diri No. Data Kalmat Cpdk Cpdm Jumlah Mt Tmk Pst Mts Ps

Keterangan: Cpdk : Citra perempuan dalam keluarga Mt : Mendapat tentangan Tmk : Tidak melupakan kodrat

Cpdm : Citra perempuan dalam masyarakat Ps : Perlakuan Stereotip Mts : Menentang tradisi Ps : Pengakuan sosial

Citra sosial perempuan terbentuk dari citra perempuan dalam keluarga dan citra perempuan dalam masyarakat. Citra perempuan dalam keluarga menggambarkan hubungan interaksi perempuan dengan keluarga dan konflik yang dialaminya sebagai akibat dari kebutuhan untuk mewujudkan cita-cita dan kebebasan menentukan pilihan, seperti tidak melupakan dan mendapatkan tentangan dari keluarga. Citra perempuan dalam masyarakat menggambarkan hubungan intraksi perempuan dengan masyarakat, seperti perlakuan stereotip, menentang tradisi, dan mendapatkan pengakuan sosial.

8

G. Penelitian yang Relevan Penelitian terhadap novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini pernah dilakukan oleh Sayekti Hidayah Rahayu, dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2008. Skripsi Sayekti Hidayah Rahayu berjudul ”Analisis Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Kesimpulan penelitian yaitu: (1). unsur intrinsik dalam novel Tarian Bumi mengangkat tema mengenai kedudukan perempuan dalam adat Bali, latar tempat secara umum terjadi di Bali, latar suasana yaitu menggambarkan suasana hati para tokoh, dan amanat bahwa dalam menghadapi hidup seseorang harus memiliki pegangan yang kuat dan keyakinan dalam hatinya, (2). Latar belakang penciptaan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini yaitu pengarang ingin menunjukan bahwa perempuan Bali mempunyai hak yang sama dengan laki- laki terutama dalam sistem perkawinan, (3). Tanggapan komunitas pembaca mengenai isi novel Tarian Bumi yaitu mereka pada umumnya tertarik dengan cerita yang bagus mengenai kritik kondisi sosial budaya Bali yan dipandang lemah. Penelitian mengenai citra perempuan dengan menggunakan pendekatan feminisme dan analisis struktural pernah dilakukan oleh Indriyani dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia , Universitas Sebelas Maret pada tahun 2006, dengan skripsi berjudul “Analisis novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini Berdasarkan Pendekatan Struktural dan Feminisme”. Kesimpulan skripsi ini yaitu: (1). Unsur- unsur struktural dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, meliputi alur, setting, tema, amanat, penokohan, (2). Figur tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini dapat dilihat dari sisi kehidupan tokoh perempuan di dalam novel tersebut, (3). Perjuangan tokoh perempuan Bali dalam mewujudkan feminisme di dalam novel Tarian bumi karya Oka Rusmini. Penelitian mengenai citra perempuan juga pernah dilakukan oleh Intan Nuraini dari Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dengan judul “Potret Perempuan dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini”. Kesimpulan skripsi ini antara lain meliputi : (1) Hampir semua tokoh perempuan dalam novel Tarian Bumi menderita karena kasta. (2) Dalam hal naik/turun kasta, 9

terlihat bahwa laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang sama, pada intinya, laki-laki harus berada di atas perempuan. (3) Dari tokoh Sekar dan Telaga dapat terlihat bahwa adanya sistem kasta di Bali membuat kaum perempuan tersiksa. Perempuan bangsawan dan perempuan sudra akan tetap menjadi pihak yang kalah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Hakikat Novel Istilah novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman.1 Pengertian Novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.2 Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat Burhan yang memberikan pengertian bahwa “novel adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek”.3 Novel merupakan jenis karya sastra yang tentunya menyuguhkan nilai yang berguna bagi masyarakat pembaca. Hal ini telah diungkapkan oleh Goldmann yang mendefinisikan novel merupakan cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik.4 Ciri tematik tampak pada istilah nilai-nilai otentik yang menurut Goldmann merupakan totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasika sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas.

1 Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, (Salatiga: Widya Sari Press, 2002), h. 36. 2 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Bandung: Angkasa, 2003), h. 16. 3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 9. 4 Ekarini Saraswati, Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal, (Malang: Bayu Media dan UMM Press, 2003), h.87.

10

11

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain itu, tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain. Novel hadir layaknya karya sastra lain bukan tanpa arti. Novel disajikan di tengah-tengah masyarakat mempunyai fungsi dan peranan sentral dengan memberikan kepuasan batin bagi pembacanya lewat nilai-nilai edukasi yang terdapat di dalamnya. Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Novel merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup. Dari permasalahan hidup manusia yang kompleks dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Melalui novel pengarang dapat menceritakan tentang aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk berbagai perilaku manusia. Novel memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup, novel dapat berfungsi untuk mempelajari tentang kehidupan manusia pada zaman tertentu. Herman J. Waluyo mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, bahwa dalam novel terdapat : a) Perubahan nasib dari tokoh cerita; b) beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; c) Biasanya tokoh utama tidak sampai mati.5 Abrams menyatakan bahwa novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih komplek.6 Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu. Menurut Herman J. Waluyo terdapat lima unsur fundamental dalam cerita rekaan yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, sudut pandang, setting, adegan

5 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 37. 6 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 11.

12

dan latar belakang, sedangkan unsur-unsur yang lain adalah unsur sampingan (tidak fundamental) dalam cerita rekaan.7 Lima unsur fundamental dalam cerita rekaan tersebut adalah tema, penokohan dan perwatakan, latar (setting), alur cerita (plot), dan amanat.

B. Unsur Intrinsik Novel 1. Tema Tema adalah hasil pemikiran pengarang berdasarkan hati, perasaan, dan jiwa. Tema yang baik akan menghasilkan cerita baik pula. Tema suatu cerita dapat dinyatakan secara implisit maupun eksplisit. Tema sering disebut sebagai dasar cerita, karena pengembangan cerita harus sesuai dengan dasar cerita, sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Meskipun tema hanya salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita lain, tetapi tetap menjadi unsur terpenting dalam membentuk suatu karya fiksi. Zulfahnur, dkk., mengemukakan bahwa istilah tema berasal dari bahasa Inggris “thema” yang berarti ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan.8 Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita. Tema mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai pedoman pengarang dalam membuat cerita, sasaran tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu alur.9 Adapun menurut Burhan Nurgiyantoro tema adalah ide pokok atau gagasan yang mendasari karya sastra. Tema sebagai makna pokok karya fiksi tidak sengaja.10 Namun tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.

7 Herman J. Waluyo, Op. Cit., h. 141. 8 Zulfahnur, Firdaus, Sayuti Kurnia, dan Yuniar Z. Adji, Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka, 1996), h. 25. 9 Ibid. 10 Burhan Nurgiyantoro. Op. Cit., h. 68.

13

2. Penokohan dan Perwatakan Ada hubungan erat antara penokohan dan perwatakan. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh itu. Perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu. Istilah penokohan disini berarti cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan cerita yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan watak tokoh- tokoh itu. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro membedakan tokoh dalam beberapa jenis penanaman berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.11 Berdasarkan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan dalam beberapa jenis penamaan sekaligus. Dalam hal ini, penulis hanya akan menganalisis tokoh berdasarkan segi peranan yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak dipentingkan dalam cerita, dalam keseluruhan cerita pemunculan lebih sedikit. Pembedaan tersebut berdasarkan segi peranan.

3. Latar (setting) Kehadiran latar dalam sebuah karya fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang, tempat, dan waktu. Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Lebih lanjut Jakob Soemardjo dan Saini K.M. mendefinisikan latar bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari satu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegiatan mereka dan lain sebagainya.12

11 Burhan Nurgiyantoro, Ibid., h. 176-198. 12 Jakob Soemarjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 76.

14

Unsur latar dalam karya fiksi dibedakan atas tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial/ suasana. Ketiga unsur ini pada kenyataannya saling berkaitan dan mempengaruhi. Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, sedangkan latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, dan latar sosial/ suasana berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Sebuah karya fiksi biasanya menceritakan tentang permasalahan yang terjadi di dalam hidup. Wellek dan Warren menyebutkan bahwa fiksi merupakan sebuah cerita dan karenanya terkandung juga sebuah tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Begitu juga dengan novel.

4. Alur Cerita (Plot) Plot merupakan unsur fiksi yang penting, karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier akan mempermudah pemahaman pembaca tentang cerita yang ditampilkan. Atar Semi mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian- bagian dalam keseluruhan fiksi.13 Alur mengatur jalinan peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam hubungan kausalitas, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Atar Semi menyebutkan bahwa alur cerita rekaan berdasarkan urutan kelompok kejadian terdiri dari: a) Alur buka yaitu situasi awal akan dimulainya cerita yang kemudian dilanjutkan dengan cerita berikutnya.

13 Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa Raya, 1993), h. 43.

15

b) Alur tengah yaitu cerita mulai bergerak dengan adanya permasalahan antar tokoh dan kondisi mulai memuncak. c) Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa. d) Alur tutup yaitu permasalahan yang terjadi sudah bisa diselesaikan.14 Secara garis besar tahapan plot ada tiga yaitu tahap awal, tahap tengah, tahap akhir.15 Tahap awal disebut juga tahap perkenalan. Tahap tengah, dimulai dengan pertikaian yang dialami tokoh, dalam tahap ini ada dua unsur penting yaitu konflik dan klimaks. Tahap akhir, dapat disebut juga sebagai tahap penyelesaian. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah suatu bagian dari karya sastra yang sangat penting karena berisi tentang kronologis peristiwa, usaha-usaha pemecahan konflik yang terjadi antar unsur karya sastra yang dihadirkan oleh pelaku, dalam suatu cerita sehingga menjadi bermakna. Jadi alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan- tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa, yang terikat dalam kesatuan waktu.

5. Sudut Pandang Pengarang/Point of View Sudut pandang adalah cara pandang pengarang dalam sebuah karya fiksi. Menurut Abrams, sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi.16 Sudut pandang, dapat diartikan pula sebagai pusat pengisahan. Pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya atau “dari mana” ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya.17 Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:

14 Ibid., h. 4. 15 Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 42. 16 Ibid.,h. 248. 17 Atar Semi, Op.Cit., h. 57.

16

1) Pengarang sebagai tokoh cerita Pengarang sebagai tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa, terutama yang menyangkut diri tokoh. 2) Pengarang sebagai tokoh sampingan Pengarang sebagai tokoh sampingan bercerita sebagai tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. 3) Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat) Pengarang sebagai orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narrator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. 4) Pengarang sebagai pemain dan narrator Pengarang sebagai pemain dan narrator bertindak sebagai pelaku utama cerita sekaligus sebagai narrator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah strategi atau teknik yang digunakan pengarang untuk menempatkan dirinya dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat pula diartikan sebagai pusat pengisahan. Berdasarkan pandangan ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami tema dari cerita tersebut.

6. Amanat Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Amanat atau pesan yang dalam bahasa inggris message adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau pendengar. Pada sastra lama kebanyakan amanat yang disampaikan tersurat, sedangkan dalam karya sastra modern pesan yang disampaikan biasanya dikemukakan secara tersirat. Amanat dalam suatu karya fiksi bersifat kias, subjektif dan umum. Penafsiran setiap pembaca berbeda-beda tentang apa amanat dari sebuah karya sastra. Dapat

17

disimpulkan bahwa amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca dan biasanya bersifat tersirat, sehingga penafsiran pembaca berbeda-beda mengenai amanat. Amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Amanat biasanya bersifat tersirat. Sehingga penafsiran setiap pembaca berbedabeda.

C. Citra Perempuan Citra perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi perempuan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Altenbernd mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau pilkiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji.18 Berdasarkan pengertian tersebut maka citra berarti rupa atau gambaran. Gambaran yang dimaksud dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi tertentu atau dapat berupa kesan mental visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat. Dalam penelitian ini, citra perempuan dalam novel Tarian Bumi yaitu berupa semua wujud gambaran mental dan tingkah laku yang diekspresikan oleh tokoh perempuan. Wujud citra perempuan ini dapat digabungkan dengan aspek fisik, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra perempuan.

1. Citra Diri Perempuan dalam Aspek Fisik Dalam sebuah novel, citra fisik Perempuan bisa direpresentasikan dengan gambaran fisik perempuan tersebut yang memiliki hubungan terhadap pengembangan tingkah lakunya. Penggambaran fisik ini tidak lepas dari penggambaran fisik laki-laki dalam novel. Perbedaan fisik antara laki-laki dengan perempuan sering dijadikan dasar begi penentuan sesuatu yang pantas bagi masing-masing individu. Realitas fisik ini mengundang respon khusus dari lingkungan sosialnya, berdasarkan kenyataan

18 Sugihastuti dan Sugarto, Wanita di Mata Wanita, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 43.

18

bahwa seseorang lahir sebagai perempuan atau laki-laki.19 Dengan demikian, pengarang dapat menjadikan realitas fisik ini sebagai sumber informasi yang kemudian dapat dimanfaatkannya menjadi sebuah cerita.

2. Citra Diri Perempuan dalam Aspek Psikis Selain aspek fisik, Perempuan juga dapat direpresentasikan melalui aspek psikisnya. Karena Perempuan termasuk mahluk yang psikologis yaitu mahluk yang memiliki perasaan, pemikiran, aspirasi, dan keinginan. Dari citra psikis ini dapat tergambar kekuatan emosional yang dimiliki oleh perempuan dalam sebuah cerita. Citra perempuan juga tidak terlepas dari unsur feminitas. Prinsip feminitas sebagai sesuatu yang merupakan kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness, receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasi komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.20 Melalui pencitraan perempuan secara psikis, bisa dilihat bagaimana rasa emosi yang dimiliki perempuan tersebut, rasa penerimaan terhadap hal-hal disekitar, cinta kasih yang dimiliki dan yang diberikan terhadap sesama atau orang lain, serta bagaimana menjaga potensinya untuk dapat eksis dalam sebuah komunitas.21

3. Citra Sosial Perempuan Citra sosial Perempuan merupakan perwujudan dari citra Perempuan dalam keluarga serta citranya dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan Sugihastuti citra sosial ini memiliki hubungan dengan norma-norma dan system nilai yang berlaku dimasyarakat, tempat dimana perempuan menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antarmanusia.22 Kelompok masyarakat tersebut diatas termasuk kelompok dalam keluarga dan masyarakat luas. Melalui hubungannya dengan masyarakat sosial, dapat terlihat

19 Ibid., h. 89 20 Ibid., h. 96 21 Ibid., h. 97 22 Ibid., h. 98.

19

bagaimana cara perempuan tersebut menyikapi sesuatu dan menjalin hubungannya dengan sesama, serta disisi lain perempuan selalu membutuhkan orang lain untuk melangsungkan kehidupannya.23 Disisi lain keterkaitan antara citra perempuan dengan karya sastra baik itu novel, fiksi maupun pengarangnya terutama perempuan adalah ketika sebuah karya sastra seperti novel dibuat terutama cerita novel tersebut mengisahkan tentang seorang perempuan, maka unsur cerita atau pencitraan selalu melekat pada tokoh tersebut. Sementara citra atau pencitraan sendiri yaitu gambaran mengenai setiap individu pada diri perempuan. Citra selalu tergambar dari setiap pemikiran atau tingkah laku tokoh. Citra tersebut dapat berupa citra perempuan secara fisik, psikis, citra perempuan di masyarakat dan keluarga. Sebuah citra dapat dilihat dari sudut pandang perempuan itu sendiri, laki-laki dan masyarakat. Untuk menganalisis bagaimana pencitraan perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi, peneliti menggunakan pendekatan mimetik sebagai alat penelitian.

D. Pendekatan Mimetik Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani: Mimesis yang sejak dulu dipakai sebagai istilah untuk menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan. Secara umum, pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas.menurut Aristoteles, mimesis bukan sekedar tiruan, bukan sekedar potret dan realitas, melainkan telaah melalui kesadaran personal batin pengarangnya.

23 Ibid.

20

Dalam mengimplementasikan pendekatan mimetik, peneliti harus melakukan pemahaman suatu karya atas dasar teks tertulis. Kemudian, dia harus memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Setelah itu barulah peneliti menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya. Dalam proses kepengarangan, sang pengarang tentu tidak asal mengarang atau menulis karya sastra, dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan kontemplasi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan kontemplasi penulis melakukan pengimajinasian dalam rangka menciptakan karya sastra (berkreasi). Melalu proses-proses itulah muncul sebuah karya sastra. Hal inilah yang akan peneliti kaji untuk mengatahui citra perempuan Bali yang tersirat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

E. Pembelajaran Sastra Dalam standar isi mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMA Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), salah satu tujuan pembelajaran sastra adalah “Siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia”. Secara umum Boen S. Oemarjati dalam Purwo menjelaskan pengajaran bertujuan mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya, serta karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya.24 Lebih lanjut secara khusus ia menjelaskan pengajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, keagamaan, dan nilai social sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Tidak hanya itu, tujuan pengajaran sastra adalah agar siswa atau mahasiswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra, sehingga mereka terdorang untuk

24 Bambang Kaswanti Purwo (ed), Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 59.

21

membacanya. Dengan membaca karya sastra siswa memiliki pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenali nilai, dan mendapatkan ide-ide baru. Maka dapat disimpulkan tujuan pokok pengajaran sastra adalah mencapai apresiasi kreatif.25 Apresiasi sastra adalah suatu kegiatan memahami, menghayati, dan menikmati suatu karya sastra. Menurut Tjahjono, secara garis besar kegiatan apresiasi sastra dibagi menjadi empat macam kegiatan: (1) kegiatan langsung, (2) kegiatan tak langsung, yaitu studi tentang sastra itu sendiri yang meliputi kegiatan mempelajari teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, (3) kegiatan kreatif, yaitu mencipta atau mengarang karya sastra, (4) kegiatan dokumentatif, yaitu mnegumpulkan dan menyusun majalah da buku-buku sastra atau guntingan koran yang berisi kritik atau esai budaya dan sastra.26 Pembelajaran sastra di SMA khususnya untuk siswa kelas XI semester I menghendaki pembelajaran yang lebih komprehensif. Hal ini termuat dalam Standar Kompetensi nomor 7 yaitu “Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan” dan Kompetensi Dasar nomor 7.2 yaitu “Menganalisis unsure intrinsic dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan” . Untuk mengukur tingkat apresiasi siswa, maka indikator yang tepat berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tersebut adalah sebagai berikut: • Pertama adalah siswa tersebut mampu menginterpretasikan watak dan latar yang ditemuinya dalam karya sastra yang dibaca. • Kedua, memiliki sensitivitas terhadap bentuk dan gaya bahasa. • Ketiga, menangkap ide atau tema. • Keempat, menunjukkan perkembangan, kemajuan selera personal terhadap sastra.

25 Atar Semi, Op. Cit., h. 194. 26 Tjahjono, Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi (Flores: Nusa Indah, 1998), h. 17-21.

22

Jika pengajaran sastra dilakukan dengan tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat.27 Dari berbagai teori tersebut, dapat disimpulkan pembelajaran sastra bertujuan untuk mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, akali, afektif, sosial, atau gabungan keseluruhannya. Siswa diharapkan mampu memperoleh pengalaman batin sehingga dapat mengembangkan pemahaman bacaan yang utuh dan memperlebar dimensi kontak emosi sehingga mampu menunjukkan perkembangan kemajuan selera personal terhadap karya sastra

27 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra: Pegangan Guru Pengajar Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 15

BAB III PROFIL PENGARANG

A. Biografi Pengarang Oka Rusmini yang memiliki nama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini adalah seorang perempuan Bali yang lahir pada tanggal 11 Juli 1967. Ia melewati masa kanak-kanaknya di Jakarta, menginjak remaja ia baru menetap di Bali. Oka telah aktif dalam berbagai kegiatan sastra di sekolahnya sejak duduk di bangku kelas 1 SMP. Saat itu, ia belajar di bawah naungan sanggar Cipta Budaya asuhan penyair G.M. Sukawidana yang juga merupakan guru Bahasa Indonesianya di sekolah. Novelnya, Kenanga yang terbit tahun 2003 ditulisnya saat ia masih duduk di bangku SMA. Oka kemudian memustuskan untuk melanjutkan pendidikannya di jururan Sastra Indonesia Universitas Udayana. Karya-karya Oka Rusmini sangat kental akan unsur budaya Bali. Ia tidak saja dikenal sebagai seorang penyair, tetapi juga penulis dan wartawan yang konsisten mengkritisi berbagai ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat, terutama ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Karena berbagai perlawanan yang dilakukannya, Oka harus menerima pengucilan oleh keluarga dan teman-temannya, terlebih setelah ia memutuskan untuk menikah dengan laki- laki dari luar Bali. Sistem sosial yang tidak adil, khususnya bagi kaum perempuan, membuatnya merasa perlu melakukan pergerakan dan perlawanan. Perlawanannya tersebut dituangkan ke dalam bentuk puisi, cerpen, dan novel. Buku-bukunya yang telah diterbitkan antara lain, Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) dan Erdentanz (novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman, 2007). Setiap orang di dalam kehidupan sosial masyarakat Bali tentu ingin berasal dari keturunan bangsawan. Namun, lain halnya dengan Oka Rusmini, gelar kebangsawanan justru membuat dirinya gelisah. Adat dan budaya Bali yang selalu mengedepankan laki-laki membuatnya resah dan mulai mengkritisi fenomena tersebut. Pemikirannya yang kritis mengenai budaya patriarki dengan

23

24

berani ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Pemikiran-pemikirannya tersebut dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap adat istiadat. Akibatnya, ia harus menerima pengusiran dan pengucilan dari masyarakat Bali. Gelar kebangsawanannya pun akhirnya dicabut. Pengucilan yang diterima Oka, tidak lantas membuatnya patah semangat untuk menyuarakan jiwa feminismenya. Oka mengatakan bahwa ia tidak takut disingkirkan karena semua yang ditulisnya adalah suatu kebenaran bahwa perempuan-perempuan Indonesia mengalami terror yang mengerikan baik secara fisik dan terlebih secara psikis. 1 Meskipun banyak muncul pro dan kontra terhadap kritik Oka Rusmini dalam Tarian Bumi, sebagian masyarakat Bali menganggap novel tersebut sebagai wacana kebebasan dan pembebasan perempuan. Ciri khas setiap cerita Oka Rusmini terlihat dari kekonsistenannya untuk selalu menggambarkan budaya Bali baik melalui tokoh maupun istilah-istilah dalam bahasa Bali seperti menyebut ibu dengan sebutan meme, ayah dengan sebutan aji, saya dengan sebutan tiang, taksu (kekuatan yang biasanya dianugrahkan kepada penari dan tidak dapat dilihat dengan kasat mata), griya (tempat tinggal kaum brahmana), dan banyak lagi istilah-istilah yang lain. Tokoh- tokoh dalam setiap cerita Oka juga menggunakan nama-nama khas Bali, seperti dalam Tarian Bumi ia menamai tokohnya dengan nama Sekar, Kenanga, Telaga, Wayan, Kambren, dan sebagainya. Selain menulis puisi, cerpen, dan novel, Oka Rusmini sehari-hari juga bekerja di media cetak harian terbesar di Bali, Bali Post. Ia tinggal bersama suaminya, Arif B. Prasetyo dan putranya yang bernama Pasha Reinasan di salah satu Perumnas di , Bali. Pemikiran dan produktivitasnya dalam berkarya membuat Oka mendapatkan berbagai penghargaan diantaranya “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” untuk novel Tarian Bumi dari Pusat Bahasa Indonesia dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia ke VIII di Jakarta, 14 Oktober 2003. Cerpennya, “Putu Menolong Tuhan”, terpilih sebagai cerpen

28 Eko Bambang S., “Oka Rusmini; Melawan Tradisi Patriakhi”, Jurnal Perempuan, Volume 35 (2003) h. 18. 25

terbaik lomba menulis cerpen majalah Femina (1994). Cerpen yang masuk dalam buku kumpulan cerpen “Sagra” ini kemudian diterjemahkan oleh Vern Cork, , 1996, dalam buku Bali Behind The Seen”. Majalah sastra Horison juga pernah memilih cerpennya, “Pemahat Abad” sebagai cerpen terbaik 1999-2000. Karena kiprahnya dalam dunia sastra, Oka seringkali diundang dan menjadi pembicara dalam berbagai acara kesusastraan. Pada 1992, ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogya IV. Ia pernah mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tahun 1996. Oka juga pernah mewakili Indonesia dalam temu penulis se-ASEAN pada bulan Oktober 1997 yang bertajuk “Bengkel Kerja Penulisan Kreatif ASEAN" di Jakarta. Pada tahun 2002 dan 2003 ia diundang dalam Festival Puisi International di Surabaya dan Denpasar serta pada tahun 2003, Oka menjadi tamu undangan Festival Winternachten yang diadakan di Hague dan . Ia juga pernah menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman pada tahun 2003. Melihat profil seorang Oka Rusmini, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang perempuan yang gigih dan peduli terhadap nasib kaum perempuan. Tulisannya dalam novel Tarian Bumi mewakili perasaan dan perjuangannya sebagai seorang perempuan Bali.

B. Sinopsis Novel Tarian Bumi Tarian Bumi bercerita tentang seorang perempuan yang berasal dari kalangan brahmana bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Telaga adalah seorang penari yang memiliki paras yang sangat cantik. Ia dipercaya memiliki taksu, semacam bakat bawaan yang diturunkan dari roh penari sebelumnya. Pesona Telaga yang terpancar ketika menari dapat membuat seluruh laki-laki dari semua golongan masyarakat terpikat olehnya. Pembentukan Telaga sebagai manusia yang utuh dipengaruhi oleh perempuan-perempuan yang ada di dalam kehidupannya. Perempuan pertama adalah ibunya, Luh Sekar (Jero Kenanga). Sekar adalah perempuan dari golongan sudra yang memiliki paras serta tubuh yang indah. Namun, kehidupan Sekar tidak seindah tubuh dan parasnya, kemiskinan telah membelit keluarganya sehingga 26

membuat kehidupannya begitu menderita. Untuk merubah nasibnya, Sekar berambisi untuk menjadi seorang penari sekehe jogged. Ambisinya pun tercapai, Sekar berhasil menjadi penari dan diidolakan banyak kaum lelaki. Sampai suatu saat seorang laki-laki bangsawan terpikat olehnya dan menjadikannya sebagai seorang istri. Dengan demikIan, Sekar telah menjadi seorang bangsawan dan harus membuang segala hal yang berkaitan dengan kesudraannya. Perempuan kedua adalah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada. Ia adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat cantik. Karena kecantikannya, banyak laki-laki yang menginginkan Sagra sebagai pendamping hidupnya. Namun, tidak satu pun laki-laki yang dapat menarik hati Sagra. Sampai akhirnya orang tuanya menjodohkan Sagra dengan laki-laki miskin. Karena karat kebangsawanan Sagra lebih tinggi dari suaminya, maka ia lebih berkuasa di rumah. Suami Sagra pun berambisi untuk menyetarakan derajatnya dengan Sagra. Seiring berjalannya waktu, Sagra mulai mencintai suaminya. Namun sayang, suami Sagra tidak pernah benar-benar mencintainya, bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa suaminya memiliki hubungan gelap dengan seorang perempuan sudra dan telah memiliki seorang anak. Karena itu, Sagra selalu menasihati Telaga agar memilih laki-laki yang dapat memberikan cinta dan kasih agar cucunya itu tidak pernah merasakan penderitaan yang ia rasakan. Perempuan ketiga yang berpengaruh dalam peta pembentukan Telaga sebagai seorang manusia yang utuh adalah Luh Kembren, guru tari pribadinya. Kambren digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki seluruh kecntikan perempuan Bali ketika ia masih muda. Kambren adalah penari yang sangat berbakat dan telah tercatat dalam sejarah nasional. Penghargaan yang ia terima pun sangat banyak. Akan tetapi, penghargaan tersebut tidak pernah berbentuk materi sehingga kehidupan Kambren pun sangat jauh dari sejahtera. Kambren telah melihat berbagai kriteria laki-laki dalam hidupnya. Kambren tidak pernah merasa membutuhkan laki-laki dalam hidupnya, ia merasa bahwa laki-laki hanya menginginkan keelokan tubuhnya. Suatu saat, Kambren jatuh cinta dengan seorang seniman asing. Namun sayang, seniman tersebut menyukai sesama laki- 27

laki, anehnya Kambren tidak dapat berhenti mencintainya. Karena itu, ia tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya Ketiga perempuan tersebut adalah perempuan yang memiliki peran penting dalam kehidupan Telaga. Hingga akhirnya Telaga berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya yaitu menikahi Wayan Sasmitha, laki- laki sudra yang ia cintai selama bertahun-tahun. Pernikahan yang dilarang oleh adat tersebut membuat Telaga harus membuang semua atribut kebangsawanannya. Dari pernikahan Telaga-Wayan lahirlah seorang putri cantik yang diberi nama Luh Sari. KebahagIan keluarga kecil Telaga ternyata tidak berjalan lama karena kemudian Wayan meninggal dunia akibat penyakit kelainan jantung yang dideritanya semenjak kecil. Namun, Luh Gumbreg–ibu Wayan–menganggap kematian Wayan sebagai kutukan akibat pernikahan beda kasta yang mereka lakukan. Akibatnya, Telaga selalu mendapat perlakuan sinis dari Gumbreg dan adik perempuan Wayan, Sadri. Gumbrek selalu mendesak Telaga untuk melakukan upacara patiwangi, yaitu upacara resmi pelepasan kasta brahmana ke sudra. Akhirnya, Telaga melakukan upacacara patiwangi. Telaga memberanikan diri kembali ke griya untuk menjalankan upacara tersebut. Orang-orang griya sudah sama sekali tidak menghiraukan Telaga. Usaha Telaga menemui ibunya pun gagal karena ibunya tidak ingin menemui putri yang telah membangkang dan mempermalukan dirinya. Hubungan tali kasih anak–ibu terputus hanya karena perbedaan kasta. Untungnya, kakek Telaga (Ida Bagus Tutur) mau mengerti dan menjalani ritual patiwangi untuk melepas kebangsawanan Telaga. Atas izin dari kakeknya, Telaga menjadi perempuan sudra untuk selamanya.

BAB IV

CITRA PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL TARIAN BUMI

A. Citra Perempuan Bali Apabila terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan Bali masih terbelakang dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier, pekerjaan atau dunia politik, tentu anggapan tersebut sulit untuk dibantah. Fakta dan data di masarakat dengan mudah bisa mendukung nggapan tersebut benar. Namun, apabila terdapat anggapan bahwa perempuan Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial, anggapan tersebut adalah keliru. Bukti-bukti tertulis menunjukkan bahwa perempuan Bali bahkan sudah mulai menunjukkan suaranya sejak zaman kolonial untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya. Hal ini terbukti dari banyaknya publikasi-publikasi dari tahun 1920-an dan 1930-an yang banyak memuat artikel-artikel tulisan kaum perempuan Bali. Lewat tulisan-tulisan tersebut, perempuan Bali menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi kaumnya. Mereka juga mengkritik atau memprotes ketidakadilan gender yang menimpa kaumnya. Selain itu, mereka juga mendorong perempuan Bali lainnya untuk mau belajar meningkatkan kecerdasan diri sehingga tidakdiremehkan dalam kehidupan sosial. Perempuan Bali juga tidak hanya berbicara. Mereka juga terjun ke masyarakat dengan melaksanakan aksi nyata seperti program pemberantasan buta huruf untuk menolong kaumnya agar bisa baca-tulis dan sadar akanarti penting kemajuan zaman. Untuk mencapai cita-cita memajukan kaumnya, perempuan Bali yang berpendidikan tidak hanya mengabdikan diri menjadi guru tetapi juga bersatu padu membentuk organisasi sosial seperti Poetri Bali Sadar. 1. Peran Media Masa sebagai Arena Berbicara Media massa merupakan salah satu arena penting bagi kaum perempuan Bali dalam menyuarakan masalah-masalah dan berbagai keprihatinan yang dihadapi kaumnya. Media massa tersebut antara lain adalah Surya Kanta,

28

29

Djatajoe, Bhakti, dan Damai. Surya Kanta adalah Koran bulanan yang terbit di Singaraja tahun 1925 sampai 1928.1 Koran ini diterbitkan oleh organisasi yang bernama sama yaitu Surya Kanta. Kemunculan majalah ini memiliki arti yang sangat penting, terutama berkaitan dengan isu konflik kasta khususnya di Bali Utara. Surya Kanta adalah organisasi yang anggotanya dikhususkan untuk kaum jaba, urutan terbawah dalam kasta brahmana, ksatria, dan waisya yang dikenal sebagai triwangsa dalah hirarki sistem kasta atau catur wangsa dalam model Bali. Tokoh utama dalam organisasi ini adalah Ketoet Nasa dan Nengah Metra. Mereka menjadikan majalahnya sebagai alat untuk mempromosikan gagasan mereka tentang status dan ekualitas. Artikel-artikel yang terbit di Surya Kanta berpendapat bahwa pada dasarnya semua manusia sama. Status manusia diukur berdasarkan budi atau moralnya, bukan dari keturunannya. Bagi pengikut Surya Kanta gelar dari lembaga pendidikan jauh lebih penting dibandingkan gelar yang diperoleh berdasarkan keturunan. 2. Gerakan “Poetri Bali Sadar” Salah satu organisasi perempuan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektualitas perempuan Bali adalah gerakan “Poetri Bali Sadar. Gerakan ini didirikan pda tanggal 1 Oktober 1936 dan diketua oleh I Goesti Ajoe Rapeg. Tujuan pokok gerakan Poetri Bali Sadar, seperti tercantum dalam anggaran dasarnya yang dimuat dalam majalah Djatajoe ada lima, yaitu sebagai berikut: Pertama, mengusahakan agar kerukunan putri-putri Bali seumumnya bertambah kuat. Kedua, mununjukkan hati tolong menolong kalau ada anggota-anggota yang mendapat kesusahan, seperti sakit, meninggal dunia, dan lain sebagainya. Ketiga, menambah pengetahuan anggota […] dengan mengadakan pembacaan atau menuntut pelajaran-pelajaran pada sesuatu sekolah waktu sore atau pagi. Keempat, menyokong biaya sekolah anak- anak murid perempuan bangsa Bali yang ditimpa kesusahan, misalnya yang keputusan biaya sekolah karena kematian orang tua yang menanggung. Kelima, berusaha memberi pelajaran membaca,

1 I Nyoman Dharma Putra, Wanita Bali Tempor Doeloe: Perspektif Masa Kini (Bali: Pustaka Larasan, 2007) h. 4. 30

menulis, dan berhitungsekadarnya kepada putri-putri bangsa Bali yang tak boleh bersekolah karena sudah lewat umur.2

Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak perempuannya mulai tumbuh, Walaupun demikian, para aktivis yang tergabung dalam gerakan “Poetri Bali Sadar” tetap perlu pergi ke desa-desa untuk meyakinkan para orang tua tentang arti penting pendidikan. Dengan bertambahnya perempuan terdidik, anggota gerakan Poetri Bali Sadar makin bertambah. Dalam kurang dari dua tahun, organisasi ini mampu merangkul 70 anggota. 3. Menolak Poligami Kecaman terhadap poligami datang dari kaum ibu. Hal ini dapat dibaca dalam artikel Njonja Metra dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Kaum Ibu dalam Masyarakat Kita” (Djatajoe, 25 September 1939, hlm. 45-52).3 Njonja Metra adalah perempuan keturunan brahmana yang dibuang ke Lombok karena menikah dengan lelaki berkasta rendah. Tulisan Njonja Metra ini semula merupakan pidato yang disamapaikan dalam pertemuan organisasi Eka Cita di Mataram 30 Juni 1939, yang diikuti oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dalam tulisan tersebut, Njonja Metra menjelaskan hubungan antara fenomena poligami dengan kedudukan kaum ibu dalam masyarakat, menurut Njonja Metra, tugas wanita dalam rumah tangga terlalu berat dan sangat dianaktirikan oleh adat. Mereka harus membanting tulang mengurus rumah tangga dan keluarga, sedangkan laki-laki kerjanya keluyuran saja atau asyik dengan kesenangannya seperti memelihara dan menyabung ayam, menerbangkan merpati, merawat burung kitiran, minum tuak dan sebagainya. 4. Mode Pakaian dan Kesusilaan Peralihan mode pakaian perempauan terjadi secara signifikan di Indonesia termasuk Bali pada tahun 1950-an. Kain kebaya yang merupakan busana tradisional kalah popular dibandingkan dengan rok dan blus dari berbagai jenis dan bentuk. Saat itu, motif batik merupakan salah satu yang paling digemari. Dalam artikelnya yang berjudul “Mengikuti Batik Mode Show dari Jauh” (Damai,

2 Ibid., h. 25. 3 Ibid.,h. 29. 31

17 Desember 1953, hlm. 15-17), Gangga Sila menyoroti dua hal. 4 Pertama, kuatnya unsur kapitalisme dalam mode show tersebut. Buktinya, busana yang dipamerkan adalah busana batik cetak bukan batik tangan dan harganya pun tergolong mahal. Kedua, potongan busana batik yang dipamerkan tergolong “melanggar kesusilaan”karena memamerkan bagian lengan dan dada. Sikap perempuan Indonesia terhadap mode busana baru juga disorot oleh Elok Santiti, dalam tulisannya yang berjudul “Mode dan Wanita Kita”5. Menurut Elok Satiti pemakain baju saat itu tidak sesuai dengan jiwa bangsa. Kemungkinan yang dimaksud dengan pemakaian baju yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa adalah model baju yang memamerkan bagian tubuh, seperti lengan dan bagian dada. 5. Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Dalam atikel berjudul “Nasib Wanita dalam Perkawinan Feodalisme” yang dimuat dalam majalah Bhakti (15 Desember 1953, hlm. 4) dikatakan bahwa perempuan Bali umumnya masih terbelakang.6 Terbelakang dalam hal pendidikan, pergaulan, gelanggang politik danpemerintahan. Hal ini disebabkan karena perempuan Bali sendiri menganggap dan mengecap kaumnya yng mengikuti pergolakan kaum laki-laki sebagai perempuan yang kegila-gilaan. Perempuan Bali masih sangat menjunjung tinggi budaya “ngekor” dan “ngia” pada suami. Alasan yang disampaiakan dalam artikel tersebut adalah karena kurangnya perhatian dan bantuan dari suami dank arena budaya Bali yang masih feudal. Masyarakat feudal membatasi kaum perempuannya. Paternalistic adalah salah satu ciri masyarakat feudal, dimana laki-laki dianggap menduduki posisi lebih tinggi dalam hirarki sosial atau dianggap lebihsuperior dibandingkan perempuan. Dalam masyarakat demikian, kesempatan perempuan berkarier di bidang politik dan pemerintahan kurang sekali. Dunia rumah tangga dan dunia publik dianggap arena perempuan. Dalam artikel tersebut, penulis juga menegaskan bahwa perempuan Bali menghadapi banyak sekali masalah tetapi sangat disayangkan mereka terlalu puas dengan keadaan yang mereka alami.

4 Ibid., 80. 5 Ibid., 82. 6 Ibid., 83. 32

B. Pendekatan Intrinsik Novel Tarian Bumi 1. Tema Tema adalah gagasan yang mendasari terciptanya sebuah karya sastra. Tema terkadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakuan tokoh atau dalam penokohan. Tema dalam novel Tarian Bumi tersirat dari lakuan para tokoh dan perwatakan tokoh-tokoh di dalamnya. Tema yang diangkat dalam Tarian Bumi adalah perempuan dan hubungannya dengan adat dan budaya yang berlaku dalam sistem masyarakat Bali, terutama sistem perkastaan yang sangat sarat dengan feodalisme. Semua tokoh dalam novel Tarian Bumi terikat oleh sistem kasta dan tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut. Berikut kutipan yang menggambarkan betapa perempuan bangsawan diperlakukan dengan lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan lainnya. Nenek, perempuan yang luar biasa keras. Dia adalah seorang putri bangsawan. Sejak kecil nenek selalu bahagia. Apapun yang dimilikinya selalu terpenuhi. Ayah nenek seorang pendeta yang mempunyai banyak sisia, orang-orang yang setia dan hormat pada griya. Otomatis sejak mudanya nenek punya kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan perempuan-perempuan lain di griya. (Tarian Bumi,2007: 14). Dalam novel Tarian Bumi digambarkan bahwa aturan adat dan kasta sangat mengekang anggotanya dan mensubordinasikan kaum perempuan. Seorang perempuan dari kasta brahmana yang ingin menikahi laki-laki sudra harus rela menanggalkan seluruh atribut kebangsawanannya dan hidup menderita bersama suaminya. Sedangkan, apabila laki-laki brahmana menikahi perempuan sudra, laki-laki tersebut akan tetap menjadi seorang brahmana dan perempuan yang dinikahinya akan menjadi perempuan brahmana mengikuti suaminya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Oka Rusmini ingin mengangkat fenomena dalam masyarakat Bali yang sangat erat hubungannya dengan gender. Perempuan-perempuan dalam novel ini adalah perempuan yang berjuang untuk dapat mempertahankan hak-haknya untuk hidup berbahagia di genggaman sistem yang menaunginya. 33

2. Tokoh dan Penokohan a. Ida Ayu Telaga Pidada Tokoh sentral dalam novel Tarian Bumi adalah seorang perempuan dari kasta brahmana yang bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Tokoh tersebut dianggap sebagai tokoh sentral karena jalan cerita dan permasalahan yang terjadi dalam Tarian Bumi berpusat pada tokoh tersebut. Melalui tokoh Telaga ini, diceritakan pula tokoh-tokoh lain. Tokoh sentral adalah tokoh yang memegang peran utama atau pemimpin yang memandu jalannya cerita. Tokoh sentral dapat juga disebut tokoh utama atau protagonis. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dari segi sosiologis, Telaga adalah perempuan yang memiliki kedudukan tertinggi dalam sistem kasta di Bali. Darah bangsawan dalam diri Telaga merupakan darah yang dianggungkan oleh seluruh kasta di Bali, tetapi tidak bagi Telaga. Telaga tidak merasa bahagia dengan segala macam aturan yang harus ia patuhi dalam aturan kebangsawanan yang diagungkan banyak orang. Telaga ingin hidup seperti apa yang ia inginkan. “kau adalah harapan Meme, Tugeg. Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memiliki nama depan Ida Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini. Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghapal beragam sesaji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang kata- kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?” Suara perempuan itu lebih mirip paksaan daripada sebuah nasehat. (Tarian Bumi, 2007: 68)

Pada akhirnya Telaga mengikuti kata hatinya untuk menikahi Wayan Sasmitha dan membuang seluruh atribut kebangsawanannya. Walaupun kehidupan Telaga setelah menikah menjadi sangat menderita, ia tidak pernah menyesal akan pilihan hidup yang telah dijalaninya.

b. Kenanga (Luh Sekar) Kenanga adalah ibu dari Telaga. Ditinjau dari segi fisiologis, ia adalah seorang perempuan cantik yang banyak disukai oleh kaum laki-laki dari kasta sudra hingga kasta brahmana. 34

“Dengarkan aku! Kau cantik Sekar. Sangat cantik! Kau pandai menari. Aku akan memberi tahu bahwa seorang laki-laki brahmana sering menanyakanmu...” (Tarian Bumi, 2007: 23) Dilihat dai segi sosiologis, Sekar adalah seorang perempuan cantik yang menjadi primadona dalam perkumpulan tarinya. Sekar berasal dari kaum sudra, Akan tetapi ia terlalu mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan. Konon, kata orang Luh Sekar memang selalu menampik cinta laki-laki sudra. Ia ingin memperbaiki hidupnya dengan cara menikah dengan laki-laki yang berasal dari kaum bangsawan. “Apapun yang akan terjadi dengan hidupku, aku harus menjadi seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah menikah!” Suara Luh Sekar terdengar penuh keseriusan. (Tarian Bumi, 2007: 22) Dari segi psikologis Sekar adalah seorang perempuan ambisius yang pantang menyerah untuk mendapatkan keinginannya. Ia sangat ingin menjadi keluarga bangsawan agar bisa dihormati. Karena menurutnya, derajat adalah suatu hal yang penting dan akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik serta akan mendatangkan kebahagiaan. ...Luh Sekar bangga diangkat menjadi keluarga besar griya. Dia merasa dengan menjadi keluarga griya derajatnya lebih tinggi dibanding perempuan-perempuan sudra lainnya.(Tarian Bumi, 2007: 21). Selain itu, Sekar adalah seorang perempuan yang mempunyai watak keras kepala dan egois. Apa yang menjadi keinginannya harus dituruti oleh semua orang. Ia ingin orang lain mengikuti apa yang diinginkannya. Luh Sekar bagi Telaga adalah seorang perempuan yang sangat keras kepala. Keinginan-keinginannya adalah harga mati. Tidak ada orang yang bisa membelokkannya..(Tarian Bumi, 2007:110) Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Sekar adalah seorang penari cantik yang menjadi primadona dalam perkumpulan tarinya. Ia adalah seorang perempuan sudra yang menginginkan perubahan dalam hidupnya, ia berjuang keras untuk menjadi seorang bangsawan dengan menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada yang merupakan keturunan bangsawan.

35

c. Ida Ayu Sagra Pidada Ida Ayu Sagra Pidada adalah ibu dari Ida Bagus Ngurah Pidada, ayah Telaga. Jika dilihat dari segi fisiologis, Sagra adalah orang yang cantik dan selalu bersikap lembut. Kata orang-orang griya, dulu nenek adalah perempuan tercantik di desa. Tutur bahasa nenek lembut dan penuh penghargaan terhadap sesama. Dia tidak sombong...(Tarian Bumi, 2007: 18) Dilihat dari segi sosiologis, Sagra adalah seorang yang terlahir dengan darah bangsawan, sejak kecil ia tinggal di griya yaitu rumah untuk para bangsawan yang penuh dengan kemewahan dan tidak pernah kurang suatu apapun. Nenek, Perempuan yang luar biasa keras. Dia adalah seorang putri bangsawan kaya. Sejak kecil nenek selalu bahagia, apapun yang dimintanya selalu terpenuhi. Ayah nenek seorang pendeta yang mempunyai banyak sisia, orang-orang yang setia dan hormat pada griya. Otomatis sejak masa mudanya nenek mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dibanding perempuan-perempuan lain di griya. (Tarian Bumi, 2007: 14) Dari segi psikologis, nenek adalah seorang yang sangat mendukung adat dan selalu mengagungkan darah kebangsawanannya. Dia juga sangat menghormati cinta, baginya cinta adalah sesuatu yang sakral. “...Tuniangmu adalah perempuan paling lugu. Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga sangat mengagungkan nilai-nilai bangsawan. Memang, dari luar dia terlihat sangat sopan pada orang-orang diluar griya. Tetapi tuniangmu sangat tidak bisa menerima bila laki-laki griya menikah dengan perempuan biasa. Tuniangmu sangat kukuh. Kebangsawanan harus tetap dipertahankan sesuai dengan tradisi yang diwariskan orang-orang tua kita. Itu kata-kata yang selalu ia katakan pada sesama perempuan...(Tarian Bumi, 2007: 19) Akan tetapi kenyataan yang terjadi dalam hidupnya sangat berlawanan dengan apa yang ia harapkan dan ia junjung selama ini. Suami Sagra mempunyai simpanan perempuan lain, seorang penari yang sangat cantik dari kasta sudra. Dan anak laki-laki kebanggaannya pun terpikat dan menikahi seorang perempuan sudra, yaitu ibu Telaga. Tidak cukup sampai di sini luka yang harus ditanggung Sagra, ia merasa sangat terhina saat anak laki-lakinya itu mati di tempat pelacuran 36

dengan tubuh telanjang penuh tusukan pisau. Pada akhirnya Sagra menyadari bahwa menjaga darah kebangsawanan itu bukanlah hal yang mudah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sagra adalah seorang perempuan brahmana yang cantik dan sangat menjunjung tinggi nilai adat budayanya, ia juga perempuan yang sangat menghormati cinta, baginya cinta adalah sesuatu yang sakral. Akan tetapi kenyataan hidup menghadapkan Sagra pada banyak peristiwa yang akhirnya membuat ia sadar bahwa untuk menjaga dan mempertahankan kebangsawanan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dengan segala yang terjadi dalam hidupnya, Sagra adalah wanita yang sangat tegar dan bijaksana dalam menghadapi hidup. d. Luh Kambren Luh Kambren adalah guru tari Telaga, ia adalah guru terbaik dan termahal di seluruh desa. Dari segi fisiologis ia adalah seorang perempuan cantik yang bermata tajam dan memiliki senyuman yang dingin. ...Mata itu sangat menantang. Biji matanya mirip pisau yang sangat runcing dan selalu siap melukai orang-orang yang tidak disukai. Senyumannya juga dingin. Seolah perempuan tua yang terlihat cantik itu tidak pernah takut menghadapi apapun. (Tarian Bumi, 2007: 76)

Dari segi sosiologis Kambren berasal dari kasta sudra, ia adalah seorang perempuan Bali yang sangat menjunjung adat. Dia sangat menyukai kesenian tari, sehingga ia menjadi guru tari untuk para mahasiswa-mahasiswa dan juga bagi Telaga. “Tugeg, tugeg harus catat kata-kaya tiang ini. Bagi perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, sembahyang dan menari untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini tetao bertahan...(Tarian Bumi, 2007: 92)

“Hidupku hanya untuk menari! Itulah kata-kaya Kambren. Kata-kata yang selalu di ingat Telaga. (Tarian Bumi, 2007: 94) Dari segi psikologis Kambren adalah seorang perempuan yang kesepian, ia tidak menikah walaupun banyak laki-laki yang tergila-gila padanya. Bahkan menurut cerita, ia pernah menolak lamaran seorang raja untuk dijadikan selir. 37

Orang-orang sering heran, alangkah beraninya perempuan itu menolak keinginan raja. Mereka juga heran Kambren menolak hidup mapan. Kenapa? Bukankah dengan menjadi seorang selir kehidupannya akan terjamin? Memiliki tanah berhektar-hektar, rumah besar, juga anak yang diakui kebangsawanannya oleh orang banyak. Bukankah itu sebuah prestasi untuk perempuan miskin seperti dirinya? (Tarian Bumi,2007:94)

Walau pun Kambren tidak pernah tidak pernah menerima cinta dari laki- laki mana pun bukan berarti Kambren tidak pernah merasakan indahnya jatuh cinta. Kambren pernah mencintai seorang pemuda dari Perancis, akan tetapi pemuda itu mencintai sesama lelaki. Akhirnya cintanya pun kandas. “Anehnya, Tugeg, tiang tetap mencintainya. Sampai hari ini, sampai tiang sudah berumur. Sering tiang bertanya pada Hyang Widhi, sudah gilakah tiang?” (Tarian Bumi, 2007: 102) Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Luh Kambren adalah seorang perempuan sudra yang menjadi guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa, ia tidak menikah. Hidupnya hanyalah untuk menari. Ia pernah mencintai seorang lelaki Perancis, akan tetapi cintanya kandas karena lelaki itu menyukai sesama laki-laki.

3. Latar (Setting) Hudson membedakan latar menjadi latar sosial dan latar fisik.7 Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaa, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Novel Tarian Bumi memenuhi semua ciri-ciri yang terdapat di dalam latar sosial maupun latar fisik. Latar fisiknya adalah Bali, sedangkan latar sosialnya adalah penggambaran mengenai keadaan masyarakat yang sangat lekat dengan sistem feodalisme dan budaya patriarkat. Kelompok-kelompok sosial yang digambarkan di dalam kasta, adat kebiasaan dan cara hidup orang Bali, seperti

7 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h. 44. 38

upacara patiwangi dan beberapa panggilan dalam bahasa Bali seperti meme, aji, bli, dan tugeg. Sistem kasta yang menjadi permasalahan paling penting dalam novel Tarian bumi termasuk dalam latar sosial. Di Bali, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu. Masyarakat Bali terdiri atas beberapa tingkat sosial. Penggolongan masyarakat berdasarkan tingkatan kasta dikenal dengan istilah catur warna, caturjanma atau jatma.8 Golongan kasta di Bali terdiri dari golongan brahmana, kesatria, wesia (wesya), dan sudra. Dalam novel Tarian Bumi, tokoh-tokoh yang muncul juga mempunyai status sosial dalam kasta masing-masing. Akan tetapi, kasta yang muncul dalam novel ini hanyalah kasta brahmana dan sudra. Kasta ksatria dan waisya tidak muncul di dalam karakter tokoh-tokohnya.

4. Alur Cerita (Plot) Alur yang dipakai dalam penulisan novel Tarian Bumi ini adalah bolakbalik/flash back/ balikan, yaitu suatu alur yang menceritakan suatu peristuwa dengan cara menceritakan suatu kejadian yang telah terlewati untuk menjelaskan peristiwa yang berhubungan dengan tahap berikutnya. Alur dalam novel Tarian Bumi tersebut terlihat dari uraian di bawah ini: a. Tahap Awal Pada tahap ini pembaca akan diajak menyaksikan kehidupan Telaga setelah menikah dengan Wayan Sasmitha dan memiliki anak Luh Sari, kemudian tentang ingatan Telaga pada masa lalunya saat masih menjadi penari tercantik di desanya sebelum menikah. Cerita berawal ketika Luh Sari pulang dari sekolahnya dengan wajah bahagia, ia memperlihatkan pada Telaga hadiah-hadiah yang diterimanya karena memenangkan lomba membaca cepat di sekolahnya. Telaga sangat berharap, kelak bocah ini mampu memberinya tempat. Telaga juga berharap anak perempuannya akan menjelma menjadi penari tercantik di desa ini. Penari yang memiliki kecantikan seluruh dewa tari. (Tarian Bumi, 2007: 2-3)

8 Anak Agung Gede Putra Agung, Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara, (Yogyakarta: Yayasan Adikakarya IKAPI dan Ford Foundation), h. 40. 39

Lalu cerita berlanjut ke masa lalu Telaga saat ia masih menjadi seorang perempuan brahmana, penari tercantik di desa yang disukai banyak laki-laki. Telaga memiliki seorang teman bernama Luh Sadri, Luh sadri adalah adik Wayan Sasmitha, dia selalu iri pada Telaga karena Telaga memiliki seluruh kecantikan para perempuan di desa. “ Karena dia seorang putri brahmana, maka para dewa memberinya taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Luar biasa. Lihat! Ketika perempuan itu menari seluruh mata seperti melahap tubuhnya. Alangkah beruntungnya perempuan itu. Sudah bangsawan, kaya, cantik lagi. Dewa-dewa benar-benar pilih kasih!” Seorang perempuan berkata sedikit sinis. Bau iri melukis matanya yang tajam dan sangat tidak bersahabat itu. (Tarian bumi, 2007: 4-5)

b. Tahap Tengah Pada tahap ini akan terlihat flash back masa lalu Telaga bersama orang- orang yang pernah menjadi peta dalam proses pembentukan Telaga sebagai perempuan yang utuh. Pertama adalah Luh Sekar, Ibu dari Telaga. Luh Sekar adalah seorang perempuan miskin dari kasta sudra yang ingin memperjuangkan hidupnya agar lebih baik lagi dengan menikahi laki-laki bangsawan, Ida Bagus Ngurah Pidada, Ayah Telaga. Namun ternyata sulit bagi Luh Sekar untuk menyesuaikan diri dalam keluarga tersebut. Mertuanya keji, suaminya juga suka berjudi, mabuk-mabukan dan bercinta dengan sembarang wanita, bahkan dengan adik tiri Luh Sekar. Bagi Telaga, dialah lelaki idiot yang harus dipanggil dengan nama yang sangat agung, Aji, Ayah. Menjijikan sekali! Lelaki yang tidak bisa bersikap! Lelaki yang hanya bisa membanggakan kelelakiannya. Bagaimana mungkin dia bisa dipercaya? Ketololannyalah yang membuat seorang perempuan kecil bernama Ida Ayu Telaga Pidada menyesal harus memanggil lelaki itu dengan panggilan terhormat.....(Tarian Bumi, 2007:11) Perempuan Kedua adalah Nenek. Nenek adalah seorang perempuan bangsawan kaya yang keras. Sejak kecil nenek selalu hidup bahagia. Kemudian kita akan diajak melihat masa lalu nenek. Konon, Ibu Nenek sangat kaya dan cantik. Karena tidak memiliki anak laki-laki, orang tua nenek menjodohkannya dengan laki-laki miskin. Ida Bagus Tugur nama laki-laki itu. Dia seorang laki-laki 40

yang sangat terpelajar. Ambisinya memperoleh jabatan tinggi dalam pemerintahan. Tidak seorang perempuan pun pernah masuk ke dalam hidupnya. Dengan pertimbangan itulah Nenek dinikahkan dengan Ida Bagus Tugur. Laki-laki itu tetap dingain, sampai akhirnya Raja Denpasar mengangkat laki-laki itu menjadi Lurah.(Tarian Bumi, 2007: 14-15) Selanjutnya cerita akan bergulir pada kehidupan Sekar, Ibu Telaga yang berasal dari kasta sudra. Sekar sangat ingan merubah hidupnya memjadi lebih baik. Cerita berawal dari persahabatan Sekar dan Luh Kenten, yang ternyata diam- diam memendam rasa cinta pada Sekar. Ia mengagumi segala yang ada pada diri sahabatnya tersebut. Ia sadar bahwa itu sudah keluar dari pakem, tapi ia tidak mampu mengatasi perasaan hatinya tersebut, ia ingin menyimpan perasaannya hanya untuk dirinya sendiri. Kemudian cerita berlanjut pada perjuangan Luh Sekar menjadi seorang bangsawan dengan menikahi laki-laki berdarah brahmana. Sayang pernikahannya tidak bahagia. Suaminya tak lebih dari seekor binatang menjijikan yang gemar berjudi, mabuk-mabukan dan bercinta dengan sembarang perempuan, termasuk adik tirinya. Belum lagi mertuanya yang kejam dan selalu memandang Sekar dengan sebelah mata. c. Tahap Akhir Pada tahap inilah Telaga mulai tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik dan ia pun mulai mengenal cinta. Sejak kecil Telaga menyukai seorang laki-laki sudra karena ia tumbuh bersama laki-laki tersebut. Wayan Sasmitha, nama laki-laki itu. Semesta itu bernama Wayan Sasmitha, mahasiswa seni lukis tingkat akhir. Lukisannya banyak, dan dia sering berpameran ke luar negeri. Telaga menyukai laki-laki itu sejak masih kanak-kanak. (Tarian Bumi, 2007: 110) Sebuah keberanian harus ditempuh oleh dua orang yang berbeda kasta ini. Telaga akhirnya memilih jalan hidupnya dengan menjadikan Wayan sebagai suaminya. Telaga pun harus berhadapan dengan Luh Gumbreg, Ibu Wayan yang sangat menentang hubungan mereka tersebut. Karena bagi Luh Gumbreg pernikahan mereka adalah aib dan akan mendatangkan kesialan bagi keluarga mereka. 41

Ternyata perempuan tua itu tidak berani menerimanya sebagai menantu. Seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana. Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagai istri. Perempuan sudra itu percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu dicuri, bisakah dibayangkan akibatnya? (Tarian Bumi, 2007: 137) Sampai pada akhirnya Wayan pun meninggal, dan Luh Gumbreg pun menyalahkan Telaga karena ini adalah wujud kesialan akibat pernikahan anaknya dengan perempuan brahmana. Akan tetapi Telaga tidak pernah mengeluh akan penderitaan yang dihadapinya. Ia bangga menjadi seorang perempuan sudra. Cerita berakhir dengan upacara patiwangi yang harus dijalankan Telaga untuk melepaskan gelar kebangsawanan dan menjadi seorang perempuan sudra seutuhnya agar tehindar dari segala kesialan. Ini semua demi anaknya, Luh Sari, juga demi ketenangan keluarganya. Masih satu upacara yang harus dilakukannya agar benar-benar menjadi perempuan sudra. Patiwangi. Pati berarti mati, wangi berarti keharuman. Kali ini Terlaga harus membunuh nama Ida Ayu yang telah diberikan hidup padanya. Nama itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak pantas. Hanya membawa kesialan bagi orang lain! (Tarian Bumi ,2007: 172)

5. Sudut Pandang (Point of View) Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel Tarian Bumi ini adalah pengarang sebagai orang ketiga (pengamat). Dalam hal ini, pengarang bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. Masih jelas dalam ingatan Sekar senyum ibunya yang tulus. Bahkan, Sekar masih ingat teriakan perempuan itu. (Tarian Bumi, 2007: 47)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa pengarang dapat mengetahui apa yang dipikirkan para tokoh dalam ceritanya. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikisahkan dalam pengarang merupakan bentuk pengamatannya terhadap realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah cerita.

42

6. Amanat Novel Tarian Bumi mengajarkan para pembacanya bahwa untuk mencapai suatu keinginan haruslah di ikuti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Pesan tersebut tampak dalam kutipan berikut: “Aku ingin sembahyang, Kenten. Bicara pada para dewa agar mereka tahu aku sungguh-sungguh ingin menjadi penari joged. Aku ingin mengangkat sekehe joged ini. Aku ingin para dewa berbicara dengan tetua desa ini bahwa aku pantas menjadi penari.” (Tarian Bumi, 2007: 39) Novel ini juga menggambarkan bahwa masih terdapat adat istiadat dalam sebuah masyarakat yang memarginalkan kaum perempuannya. Walaupun, dalam konteks perkastaan di Bali, akar dari adat tersebut adalah agama yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi keberadaannya. Namun demikian, lewat Tarian Bumi kita diajarkan untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Perjuangan sekecil dan sebesar apapun pantas untuk dilakukan. “Perempuan Bali itu, Luh, Perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tau bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki, menyusui hidup itu sendiri.”(Tarian Bumi, 2007: 25) Pengarang lewat novel ini mengajak para perempuan untuk bangkit dan berusaha lebih maju dalam memperjuangkan hidup demi mendapatkan kebahagiaanya, karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk dihormati, dihargai, dan merasakan kebahagiaannya.

C. Deskripsi Data Data penelitian ini merupakan pernyataan kalimat yang mengandung aspek citra perempuan pada novel Tarian Bumi. Adapun tokoh-tokoh perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel ini adalah Ida Ayu Telaga Pidada, Luh Sekar (Jero Kenanga), Ida Ayu Sagra Pidada dan Luh Kembren. Deskripsi data hasil analisis citra perempuan Bali ini disajikan berdasarkan hasil pencarian kalimat yang melukiskan citra diri dan citra sosial masing-masing tokoh. 43

1. Deskripsi Citra Diri Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi a. Citra Diri Ida Ayu Telaga Pidada 1) Citra Fisik Gambaran Kondisi Fisik Sebagai seorang penari, Telaga memiliki pesona yang sangat indah. Kecantikannya, tidak hanya mendatangkan pujian bagi Telaga tetapi juga perasaan iri dari sesama kaum perempuan. Contohnnya, Sadri yang begitu iri terhadap kecantikan dan kelebihan yang dimiliki Telaga, terlebih laki-laki yang dicintainya ternyata begitu memuja kecantikan Telaga. Ya, Sadri memang sering iri pada Telaga, karena perempuan itu memiliki seluruh kecantikan para perempuan di desa. (h. 6)

“Sekarang Tugeg sudah menjadi perempuan yang sangat lengkap. Tugeg cantik, pandai menari, dan seorang putri bangsawan. Tugeg memiliki seluruh keindahan bumi ini.” (h. 91)

Berdasarkan pernyataan di atas, diperoleh informasi tentang kondisi fisik tokoh utama. Ida Ayu Telaga Pidada digambarkan sebagai wanita yang sempurna, menjadi putri bangsawan dan menjadi wanita tercantik didesanya.

2) Citra Psikis Selanjutnya, penjelasan mengenai citra psikis tokoh Ida Ayu Telaga Pidada. Terdapat dua kalimat yang menggambarkan citra psikis Ida Ayu Telaga Pidada sebagai wanita yang berorientasi pada masa depan dan memiliki keteguhan hati sebagai berikut: (a) Berorientasi pada Masa Depan Sebagai seorang sudra yang berhasil menaikan statusnya menjadi seorang brahmana, Sekar menginginkan Telaga untuk tetap menjaga jalur yang selama ini ia bangun. Oleh karena itu, Sekar selalu mengajarkan Telaga untuk menyiapkan kebahagiannya sedini mungkin. Ajaran Sekar pun diterima Telaga dengan baik. Telaga mulai tergelitik untuk memikirkan kebahagiannya di masa yang akan datang. “Kalau Tiang ingin bahagia harus disiapkan dari sekarang?” Telaga menatap mata ibunya. Jero Kenanga mendelik. 44

Perempuan itu teringat masa mudanya, kenakalan-kenakalan dan ambisi-ambisinya. Sekarang penyakit itu menular dan mengalir dalam tubuh anaknya. (Tarian Bumi, h. 69)

Pada kalimat di atas diperoleh informasi bahwa Ida Ayu Telaga Pidada adalah tokoh yang berorientasi ke depan. Hal ini terlihat dari bagaimana ia telah menyerap pelajaran yang diberikan ibunya untuk mempersiapkan kebahagiaannya sedini mungkin. (b) Keras Hati Telaga, memiliki keyakinan bahwa jalan hidup yang ia pilih untuk menjadi perempuan sudra demi cintanya kepada Wayan bukanlah suatu kesalahan. Kebersamaannya dengan Wayan merupakan impian yang ia yakini dapat membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Sifat keras hati inilah yang membuat Telaga tidak pernah berputus asa sebelum apa yang ia impikan tercapai. Dia seperti bertarung dengan dirinya. Bertarung dengan impian- impian yang pernah dia tanam dalam perjalanannya menjadi perempuan yang sesungguhnya. Perempuan yang mencoba mengikuti kejujuran hatinya, bahwa pilihan yang dilakukan dalam hidupnya adalah benar. (h. 3)

Seperti yang digambarkan dalam kalimat di atas, Telaga terus menerus bertarung dengan impian-impiannya. Ia berusaha memegang teguh pendiriannya demi impian yang dipilihnya, walaupun Telaga harus bertarung dengan dirinya, ibunya, bahkan dengan sistem yang dianut oleh lingkungannya.

b. Citra Diri Luh Sekar (Jero Kenanga) 1) Citra Fisik (a) Tampil Feminim Kaum sudra tidak memiliki banyak kebaya dan selendang dengan bahan dan motif yang bagus karena keadaan ekonomi mereka yang tidak memungkinkan untuk membeli busana tersebut. Begitupun dengan hiasan gelungan rambut, kaum sudra tidak menghias rambutnya kecuali ketika bersembahyang ke pura desa. Namun, lain halnya bagi Sekar, sebagai seorang penari, ia harus senantiasa 45

berpenampilan cantik. Perasaan cantik itu ia dapatkan ketika ia mengenakan busana tradisional perempuan Bali. “Kenten, busana yang bagiku sangat cantik. Memakai kain dengan motif tradisional, memakai kebaya, selendang, dan gelungan. Aku menyukai gelung jogged itu. Bunga itu tetap abadi karena terbuat dari kayu….” (h.37)

Dari data di atas diperoleh informasi bahwa Sekar adalah sosok yang senang berpenampilan feminim. Ketika Sekar mengutarakan opininya tentang penampilan wanita yang cantik kepada Kenten, ia berkata bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang memakai kain dengan motif tradisional, memakai kebaya, selendang, dan gelungan. Penampilan ini pun menjadi penampilan kesehariannya saat Luh Sekar berhasil menjadi Jero Kenanga dalam lingkungan kasta brahmana. (b) Gambaran Kondisi Fisik Secara lahiriah, Sekar memiliki modal yang besar sebagai seorang penari. Ia memiliki paras yang cantik dan tubuh yang indah. Modal tersebut menjadikan Sekar sebagai penari yang banyak diidolakan banyak kaum laki-laki, siapa pun yang melihat tubuh indah Sekar menari akan jatuh cinta kepadanya. Dengan daya tarik ini pula Sekar berhasil memikat seorang laki-laki brahmana yang kelak menjadikan ia seorang perempuan bangsawan. “Dengarkan aku! Kau cantik, Sekar. Sangat cantik! Kau pandai menari….” (h. 23)

Sekar sadar tubuhnya indah. Sekalipun kulitnya tak seputih Luh Karni, guru tari joged. (h. 26)

Kenten menatap Sekar tajam. Perempuan ini adalah perempuan yang paling cantik di desa ini, dia tidak hanya memiliki tubuh yang indah…. (h. 38)

“Aku sering berpikir dan bertanya, kenapa kau tetap cantik dan memiliki wajah kekanakan. Wajah yang tidak pernah habis. Kecantikan abadi….” (h. 53)

Dari keempat data diatas, diperoleh informasi bahwa Luh Sekar adalah wanita yang sangat cantik, memiliki tubuh yang indah, dan wajah yang kekanakan 46

sehingga selalu tampak muda. Luh Sekar pun menyadari kondisi fisiknya yang hampir sempurna tersebut. Kesadaran Sekar akan fisiknya membuat ia semakin berambisi untuk menjadi wanita berkasta brahmana. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai citra psikis tokoh Luh Sekar (Jero Kenanga). Ada beberapa citra psikis yang digambarkan pada tokoh Luh Sekar diantaranya adalah berorientasi pada masa depan, ambisius, keras hati, dan cerdik.

2) Citra Psikis (a) Berorientasi ke Depan Perjalanan yang dilewati Sekar untuk menjadi seorang bangsawan bukanlah perjalanan yang mudah. Sekar tidak ingin perjuangannya terhenti dan sia-sia. Oleh karenaitu, ia mendidik anaknya agar dapat menjaga jalur kebangsawanan yang telah ia ciptakan. “Tugeg harus jadi perempuan paling cantik di griya ini. Tugeg adalah harapan Meme. Pada Tugeg, Meme menyerahkan hidup….” (h. 10)

Dari data di atas diperoleh data bahwa tokoh Luh Sekar berorientasi pada masa yang akan datang. Dalam kalimat tersebut tergambar bahwa ia telah mendidik anaknya sedini mungkin agar tumbuh menjadi apa yang ia harapkan. Hal ini juga Sekar lakukan agar anaknya dapat meneruskan keinginannya untuk melestarikan keturunan sebagai kasta brahmana.

(b) Ambisius Kehidupan yang dijalani Sekar sebagai seorang sudra sangat memprihatinkan. Rasa letih menjadi miskin membuat Sekar berambisi untuk meningkatkan derajat hidupnya. Ia melakukan apa pun untuk mencapai keinginannanya tersebut. Menjadi penari di sekehe jogged, menjadi bintang, dan mencuri hati seorang laki-laki bangsawan, bahkan setelah ia mencapai semua impiannya, Sekar masih meneruskan ambisinya tersebut kepada anaknya. “Lalu apa namanya keinginan-keinginanmu itu?Menjadi penari jogged sudah. Menjadi bintang sudah. Apalagi?” 47

“Aku ingin jadi yang tercantik.” (h. 41)

Kenanga seolah dihadapkan pada ambisinya yang lain. Dia berharap kelak seorang Ida Bagus dari keluarga terhormat akan meminang putrinya. (h. 72)

Data di atas adalah tiga di antara delapan data dalam tabel deskripsi citra psikis Luh Sekar yang menunjukkan bahwa Sekar adalah sosok wanita yang ambisius. Keinginan-keinginan Sekar untuk mengangkat derajatnya seakan tidak pernah habis. Ia bertekad untuk memperbaiki kehidupannya. Namun, tekad itu lama kelamaan berubah menjadi ambisi untuk menjadi yang nomor satu.

(c) Keras Hati Dalam tabel analisis citra psikis Luh Sekar terdapat 10 pernyataan yang menggambarkan bahwa Sekar merupakan sosok yang keras hati. Keras hati dalam hal ini adalah sikap dimana seseorang sangat tertutup pada pandangan orang lain karena menganggap bahwa pandangan dirinya benar. Karena selalu merasa dirinya benar, maka ia akan selalu memegang teguh pendapat dan pendiriannya. Sekar memiliki keyakinan dan keinginan yang tidak dapat dipatahkan. Keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menjadi yang terbaik dan keinginan untuk mengubah derajat hidupnya menjadi lebih baik. Ia tidak pernah menyerah terhadap keyakinan dan keinginannya sebelum semua itu tercapai. “Kau takut mengakui kemampuanku, kan? Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di desa ini paham bahwa tubuhku tubuh penari. Mereka tidak buta bahwa aku bisa mengangkat nama desa ini. Kelak, orang-orang akan mengenal desa ini karena aku, Luh Sekar.” (h. 28)

Bicara pada para dewa agar mereka tahu aku sungguh-sungguh ingin menjadi seorang penari jogged. Aku sungguh-sungguh ingin mengangkat sekehe joged ini. (h. 39)

Pada dua contoh data diatas dapat terlihat bahwa sekar sangat percaya diri. Sekar selalu mencari pembenaran-pembenaran untuk mendukung keinginannya dan selalu yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kebenaran. Selain itu, sikap 48

keras hatinya juga tertulis pada data kedua yang menggambarkan bahwa ia selalu memegang sungguh-sungguh tekadnya untuk menjadi seorang penari jogged.

(d) Cerdik Dalam tabel analisis citra psikis tokoh Luh Sekar terdapat 4 pernyataan yang menggambarkan bahwa sosok Luh Sekar adalah seorang wanita yang cerdik. Kecerdikan Sekar muncul saat ia berhadapan dengan kebutuhan material baik uang maupun makanan. Sekar juga tak pernah merasa berdosa telah mengkhianati rekan- rekannya. Biasanya, setiap ada tips dari pengibing rekan-rekannya selalu member tahu pimpinan joged. Lalu uang itu dibagi rata untuk penari, penabuh, dan pemangku…. (h. 24)

Kalau saja perempuan-perempuan di pasar itu tahu, bahwa dia sering berlatih agar wajahnya terlihat seperti wajah perempuan yang sengsara. Latihan kerasnya itu mendatangkan hasil yang luar biasa. (h. 50)

Dari contoh di atas, terlihat bahwa sekar dapat memanfaatkan kondisi seburuk apapun untuk mendapatkan keuntungan. Keputusan Sekar untuk tidak memberitahukan tips yang ia dapatkan kepada pemimpin sekehe jogged adalah langkah cerdik untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Selain itu, bukti lain kecerdikan tokoh Luh Sekar terlihat saat ia memanfaatkan rasa iba masyarakat terhadap kehidupannya yang tragis agar ia mendapatkan bantuan.

c. Citra Diri Ida Ayu Sagra Pidada 1) Citra Fisik (a) Gambaran Kondisi Fisik Ida Ayu Sagra Pidada adalah seorang penari dari keluarga bangsawan. Dalam masyarakat Bali seorang perempuan yang dapat menari dan berasal dari keluarga bangsawan adalah sosok idaman. Sagra merupakan gambaran sosok perempuan yang diidamkan baik oleh laki maupun perempuan lainnya. Kata orang-orang griya, dulu Nenek adalah orang tercantik di desa. (h. 18) 49

Dalam kalimat di atas, tergambar jelas bahwa tokoh Ida Ayu Sagra Pidada memiliki wajah yang sangat cantik sehingga ia menjadi wanita paling cantik di desa. Lengkaplah kesempurnaan lahiriah Sagra sebagai seorang perempuan Bali, ia memiliki kecantikan, pandai menari, dan berasal dari keluarga bangsawan.

(b) Tampil Feminim Tampil feminim dapat diartikan menempelkan segala atribut yang cenderung memiliki nilai keperempuanan pada diri seorang wanita baik secara sifat, sikap, maupun penampilan. Ida Ayu Sagra Pidada adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat mengerti bagaimana bersikap selayaknya seorang bangsawan. Ia selalu bersikap elegan dan menjaga tutur katanya. Tutur bahasa Nenek lembut dan penuh penghargaan pada sesama. (h. 1) Dalam kalimat di atas, digambarkan bahwa tokoh Ida Ayu Sagra Pidada adalah sosok yang feminim. Hal ini dapat dicirikan dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh penghargaan. Penuturan merupakan cerminan pemikiran dan sikap seseorang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tokoh Ida Ayu Sagra Pidada merupakan sosok yang feminim. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai citra psikis tokoh Ida Ayu Sagra Pidada. Dalam novel Tarian Bumi, terdapat 3 kalimat yang menggambarkan citra psikis tokoh Ida Ayu Sagra Pidada. Dua diantara tiga kalimat tersebut menggambarkan bahwa tokoh Ida Ayu Sagra Pidada adalah seorang wanita yang keras hati dan satu kalimat lainnya menggambarkan bahwa ia adalah tokoh yang berorientasi ke masa depan.

2) Citra Psikis (a) Keras Hati Dalam novel Tarian Bumi, Ida Ayu Sagra Pidada adalah tokoh yang memiliki karat kebangsawanan paling tinggi. Kebangsawanan Sagra membuat ia memiliki keyakinan tersendiri mengenai pakem hubungan antar kasta. Sagra tidak 50

dapat menerima apabila ada laki-laki dari kaumnya menikah dengan perempuan biasa. “… Tetapi Tuniangmu sangat tidak bisa menerima apabila ada laki- laki griya menikah dengan perempuan biasa. Tuniangmu sangat kukuh…” (h. 19)

Suara nenek terdengar tegas. Tak ada air mata, tak ada tangisan di depan jasad anak satu-satunya itu. Perempuan itu berdiri tegak, memandang kukuh api upacara ngaben.

Dalam dua kalimat di atas digambarkan bahwa Ida Ayu Sagra Pidada memiliki sifat keras hati. Dalam dialog pada kalimat pertama jelas disebutkan bahwa Ida Ayu Sagra Pidada memiliki pendirian yang kukuh mengenai sistem kasta dalam kehidupannya. Ia bersikukuh bahwa perkawinan antar kasta tidak bisa diterima. Karena sifatnya yang demikian, Ida Ayu Sagra Pidada tidak pernah menganggap Sekar sebagai menantunya. Sifat keras hati Ida Ayu Sagra Pidada juga digambarkan ketika anak lelaki satu-satunya meninggal. Ia tidak menangis dan tetap tegar. Seorang perempuan bangsawan, menurut Sagra tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan umum. Hal ini dapat dibuktikan pada kalimat kedua yang menjelaskan tingkah laku tokoh ketika menghadiri upacara ngaben.

(b) Berorientasi ke Depan Kehidupan pernikahan Sagra tidak berjalan sesempurna kehidupan kebangsawanannya. Sagra menikahi laki-laki yang tidak pernah mencintainya. Suaminya hanya menjadikan Sagra batu loncatan untuk menaikkan derajat kehidupannya. Oleh karena itu, ia tidak ingin cucunya menapaki jalan yang ia pilih. “…Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.”

Ida Ayu Sagra Pidada digambarkan memiliki citra psikis berorientasi ke masa depan. Dalam kalimat di atas, Sagra Pidada memberi nasihat kepada Telaga 51

untuk berhati-hati dalam memilih suami. Hal ini membuktikan bahwa ia telah memikirkan kebahagian cucunya untuk masa yang akan datang.

d. Citra Diri Luh Kambren 1) Citra Fisik Gambaran Kondisi Fisik Mata itu sangat menantang. Biji matanya mirip pisau yang sangat runcing dan selalu siap melukai orang-orang yang tidak disukai. Senyumnya juga dingin. Seolah perempuan tua yang tetap terlihat cantik itu tidak pernah takut menghadapi apa pun. (h. 76)

Kata mereka, seluruh tubuh Kambren adalah kecantikan perempuan Bali. Orang-orang asing itu selalu merasa Bali benar-benar ada dalam peta tubuh kambren. (h. 97)

Pada dua kalimat di atas, sangat jelas digambarkan bahwa Luh Kambren adalah wanita Bali yang sangat cantik dan memiliki tubuh yang luar biasa indah. Kambren digambarkan mewakili seluruh kecantikan gadis Bali, mata yang tajam, tubuh yang indah serta keahlian menari yang luar biasa. Citra fisik Kambren ini digambarkan sebagai daya tarik paling kuat bagi orang-orang di luar Bali, khususnya para turis yang berkunjung ke Bali. Selanjutnya, akan didijelaskan mengenai citra psikis yang melekat pada tokoh Luh Kembren. Terdapat tiga kalimat yang membuktikan citra psikis Luh Kembren sebagai wanita yang keras hati.

2) Citra Psikis Keras Hati Keyakinan Kambren terhadap panggilan jiwanya untuk menari tidak diragukan lagi. Kambren menyerahkan hidupnya untuk menari. Keteguhan hati Kambren dalam memegang prinsip hidup tidak hanya ia tunjukan pada saat ia menari. Kambren juga memegang teguh ajaran moral mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ia sangat membenci tatapan laki-laki yang menatap tubuhnya seperti pemburu menatap buruannya. 52

“Hidupku hanya untuk menari!” Itulah kata-kata Kambren. Kata- kata yang selalu diingat Telaga. (h.94)

Bagi Kambren itu bukanlah persoalan. Menjadi guru tari lebih terhormat dibanding menjadi seorang selir. (h.95)

“Bagi bangsamu mungkin bukan persoalan. Bagiku masih jadi masalah besar. Ini soal prinsip. Prinsip seorang perempuan!” (h.98)

Pada tiga kalimat di atas tergambar jelas bahwa Luh Kambren adalah sosok perempuan yang keras hati. Pada kalimat pertama dijelaskan bahwa Kambren sangat yakin dengan apa yang ia inginkan dalam hidupnya dan ia memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap keinginannya tersebut. Begitu pun pada kalimat kedua, demi menjalani kehidupan yang ia inginkan sebagai penari, kambren rela mengabaikan segalanya, bahkan ia melewatkan kesempatannya untuk menjadi istri seorang raja. Kalimat ketiga juga menggambarkan bahwa Kambren begitu kukuh dan setia terhadap prinsip hidupnya sebagai wanita. Dengan demikian, sangat jelas tergambar bahwa citra psikis yang melekat dalam diri Luh Kambren adalah keras hati.

2. Deskripsi Citra Sosial Tokoh Perempuan dalam Novel Tarian Bumi a. Citra Sosial Ida Ayu Telaga Pidada 1) Citra Perempuan dalam Keluarga Mendapat Tentangan Akibat sistem feodalisme masyarakat Bali, Sekar begitu mengagungkan kebangsawanannya. Doktrin-doktrin kebangsawanan telah ditanamkan sejak dini kepada Telaga. Akibatnya segala tindak tanduk Telaga diatur menurut aturan kebangsawanan, ia merasa tidak dapat bertindak mengikuti hatinya sendiri. Makin hari perempuan itu makin menjerat dan mengikatnya erat- erat. Perempuan itu juga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Apa pun selalu di bawah pengawasannya dan berdasarkan keinginannya. (h. 110)

“Anak Tiang sudah mati. Dia tidak mungkin kembali lagi!” Suara Ibu terdengar sangat tidak bersahabat.

53

Kali ini Telaga harus membunuh nama Ida Ayu yang telah diberikan hidup padanya. Nama itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak pantas. Hanya membawa kesialan bagi orang lain. (h.72)

Pada tiga contoh kalimat di atas tergambar jelas bahwa Ida Ayu Telaga Pidada mendapat tentangan dari keluarganya. Pada kalimat pertama terlihat bahwa Telaga tidak mendapatkan kebebasan berpikir, semua yang dikerjakannya selalu berada di bawah pengawasan ibunya. Kalimat kedua dan ketiga pada contoh di atas menggambarkan pertentangan ketika Telaga melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya ibunya. Sebagai akibat dari pemberontakkannya, Telaga dianggap telah mati oleh ibunya dan bahkan Telaga harus membuang nama Ida Ayu sebagai identitas kebangsawanannya ketika ia menikahi Wayan, seorang laki-laki sudra.

2) Citra Perempuan dalam Masyarakat (a) Perlakuan Stereotip Perlakuan stereotip dapat dikatakan sebagai perlakuan yang diterima berdasarkan anggapan-anggapan negatif yang melekat pada kaum tertentu atau seseorang dari lapisan golongan masyarakat tertentu. Dalam hal ini, anggapan- anggapan yang melekat pada diri Telaga adalah karena ia seorang brahmana dan penari. “Karena dia seorang putri brahmana, maka para dewa memberinya taksu, kekuatan dari dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Luar biasa. Lihat!....” (h. 4)

Kau tahu Sadri, perempuan yang menari itu adalah perempuan yang kelak memiliki perjalanan yang berat. Perempuan itu selalu berhadapan dengan masalah besar. Luka-luka yang tidak akan pernah kering. (h. 5)

Pada kalimat pertama terdapat prasangka bahwa hanya seorang putri brahmana yang direstui oleh dewa sebagai seorang penari. Hal ini membuat pengakuan terhadap kemampuan menari yang dimiliki Telaga terbentuk karena kasta yang menaunginya bukan karena kemampuan Telaga sebagai seorang pribadi. Pada kalimat kedua terdapat prasangka dan anggapan bahwa semua 54

penari memiliki kehidupan yang rumit dan berat. Karena angggapan ini pula perlakuan yang diterima Telaga dari masyarakat di sekitarnya menjadi tidak bersahabat.

(b) Pengakuan Sosial Pengakuan yang diterima Telaga dari masyarakat di lingkungannya bukan hanya karena Telaga berasal dari keluarga bangsawan, tetapi juga karena kepiawaiannya dalam menari. Seluruh masyarakat desa telah mengakui keindahan Telaga saat menari oleg.

Semua orang desa sudah tahu, tak ada yang bisa mengalahkan Ida Ayu Telaga dalam menari oleg. (h. 4)

Pada kalimat di atas digambarkan pengakuan masyarakat di sekitar terhadap kelihaian Telaga dalam menari oleg. Hal ini membuktikan bahwa penari yang benar-benar memiliki keahlian dalam masyarakat Bali akan mendapatkan pengakuan sosial dari lingkungannya walaupun dalam kasus Telaga, pengakuan yang ia terima juga didasari oleh kastanya sebagai seorang brahmana.

(c) Mengikuti Tradisi Citra perempuan yang mengikuti tradisi tersurat saat Telaga pada akhirnya harus manjalankan upacara pattiwangi, upacara pelepasan gelar kebangsawanan yang melekat dalam diri Telaga. Ibu mertuanya percaya bahwa sebelum Telaga menjalankan ritual tersebut, ia akan menjadi sumber malapetaka dalam keluarganya. Sesaji sudah lengkap di depan pemerajaan, pura keluarga. Tidak ada seorang pun keluarga griya yang menyaksikan upacara itu. Telaga tetap sendiri. (h. 171)

Ini bukan aturan. Ini pakem leluhur yang harus dipatuhi kalau Tugeg ingin bahagia. (h. 69)

Kalimat pertama dalam kutipan di atas menggambarkan bahwa Telaga harus menerima dan mengikuti konsekuensi adat yang ia terima akibat menikahi lelaki sudra. Sedangkan kalimat kedua menggambarkan bahwa Telaga pada 55

mengikuti pakem leluhur yang menjadi tradisi oleh Telaga jika ia ingin hidupnya bahagia setelah menikahi kaum sudra. Pakem leluhur ini bukanlah sesuatu yang mutlak harus dilakukan oleh Telaga karena ini merupakan hal yang dilakukan menurut keyakinan adat Bali. Kedua kalimat di atas membuktikan bahwa sekuat apa pun Telaga memberontak, pada akhirnya ia harus mengikuti konsekuensi adat yang diyakini oleh masyarakat Bali. b. Citra Sosial Luh Sekar 1) Citra Perempuan dalam Keluarga Mendapat Tentangan Sekar sebagai perempuan sudra yang diperistri oleh laki-laki brahmana tidak pernah benar-benar dianggap sebagai bangsawan oleh ibu mertuanya. Sagra adalah perempuan yang memiliki karat kebangsawana yang tinggi dan memiliki keyakinan terhadap pakem hubungan antar kasta. Karena itu, ia selalu menentang keberadaan Sekar dalam lingkungan brahmana. Dia harus berhadapan terus menerus dengan mertua perempuannya. Perempuan yang sering marah kalau dia pergi agak lama mengunjungi keluarganya. (h. 60)

Sementara dalam keluarga besar suaminya, Sekar tetap seperti perempuan sudra. Dia harus berbahasa halus dengan orang-orang griya. Tidak boleh minum satu gelas dengan anak kandungnya sendiri. Tidak boleh memberikan sisa makanannya kepada orang- orang griya, termasuk anak yang dilahirkannya. (h. 61)

Dua contoh kalimat di atas merupakan pembuktian atas citra Luh Sekar sebagai perempuan yang mendapat tentangan dalam keluarganya. Kalimat pertama menggambarkan bahwa Sekar selalu dibatasi oleh ibu mertuanya. Begitu pula dengan kalimat kedua, Sekar yang sudah berstatus sebagai kaum bangsawan tetap menerima perlakuan selayaknya kaum sudra. Kedua kalimat tersebut menggambarkan bahwa Sekar selalu mendapat tentangan dalam keluarga barunya yang tetap menganggap ia sebagai perempuan sudra.

56

2) Citra Perempuan dalam Masyarakat (a) Mengikuti Tradisi Ketika Sekar memutuskan untuk menikah dan masuk dalam golongan kasta brahmana, ia harus melepaskan segala hal yang ia miliki saat ia masih menjadi seorang sudra, termasuk keluarganya. Sekar harus bersikap selayaknya kaum bangsawan terhadap kaum sudra dalam keluarganya. Hubungan antara ibu dan anak diputuskan oleh aturan kekastaan yang harus ia patuhi.

Dalam keluarganya sendiri Sekar harus berlaku seperti bangsawan tulen. Akan sial jadinya bila keluarga Sekar memperlakukannya sewenang-wenang. (h. 61)

Kata Nenek, tidak pantas Ibu berlaku seperti itu. Seorang bangsawan harus bisa mengontrol emosi. Harus menunjukkan kewibawaan. (h. 63)

Dalam kalimat di atas digambarkan bahwa Sekar harus mengikuti tradisi kekastaan. Tradisi yang tidak hanya berlaku pada upacara-upacara adat Bali, namun juga tradisi yang mengatur tata cara bersikap seorang perempuan dalam kasta brahmana. Pada kalimat pertama terdapat anggapan bahwa apabila keluarganya memperlakukan Sekar secara tidak sopan maka kesialan akan menimpa mereka karena Sekar kini adalah seorang brahmana. Sedangkan pada kalimat kedua digambarkan bahwa Sekar harus menjaga sikapnya seperti yang biasa dilakukan oleh para kaum bangsawan.

(b) Perlakuan Stereotip Penari sudra memiliki pencitraan yang buruk di mata kaum bangsawan, terutama pada kalangan perempuan. Pencitraan tersebut pun melekat pada diri Sekar yang berprofesi seorang penari Sudra.

Tidak akan pernah ada seorang laki-laki bengsawan yang sudi mengajaknya hidup di tempat yang sangat mewah bagi ukuran kemanusiaan perempuan Bali, kalau laki-laki itu memang bangsawan yang sesungguhnya. (h. 84)

57

Dalam kalimat tersebut digambarkan bahwa Sekar mendapat perlakuan stereotip dari kalangan perempuan brahmana. Seorang bangsawan yang menikahi perempuan dari golongan sudra akan mendapatkan anak yang karat kebangsawanannya tidak sama dengan anak yang lahir dari seorang Ida Ayu (perempuan bangsawan).

(c) Menentang Tradisi Terdapat pertentangan-pertentangan dalam pikiran Sekar dalam mempertanyakan hal-hal yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam masyarakat Bali. Perempuan sudra harus sangat bersyukur diperbolehkan sembahyang di Pura Desa. Namun, bagi Sekar beribadah adalah hak semua penganut keyakinan di Bali, Ia merasa tidak perlu bersyukur terhadap sesuatu yang memang sudah dianggap sebagai haknya. “Hanya karena aku boleh sembahyang ke Pura Desa aku harus bersyukur. Bagaimana pikiranmu Kenten. Jangan bantah dulu kata-kataku…” (h. 26)

“Kenten, kenten, jangan terlalu serius memandang kebenaran. Di dunia ini sudah lama tidak ada bentuk kebenaran yang bisa kita pegang … “ (h.27)

Pada kalimat kedua juga tergambar penentangan Sekar terhadap sistem ketuhanan dalam masyarakatnya. Dalam kepercayaan masyarakat Bali tentu kebenaran mutlak berasal dari para dewa. Namun, kalimat pernyataan kedua mengesankan Sekar tidak yakin akan kebenaran yang telah turun temurun diwarisi masyarakat Bali.

c. Citra Sosial Ida Ayu Sagra Pidada 1) Citra Perempuan dalam Keluarga Mengikuti Tradisi Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ida Ayu Sagra Pidada adalah tokoh yang memiliki karat kebangsawanan paling tinggi. Ia sangat memegang teguh 58

tradisi kekastaan dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, Sagra adalah gambaran perempuan Bali yang patuh akan tradisinya.

Padahal, Nenek telah berusaha menempatkan laki-lakinya sederajat dengan laki-laki lain di griya. (h. 15)

“…. Tuniangmu sangat kukuh. Kebangsawanan harus tetap dipertahankan sesuai dengan tradisi yang diwarisi dari orang-orang tua kita ….” (h. 19)

Kalimat di atas menggambarkan bahwa tokoh Ida Ayu Sagra Pidada adalah perempuan yang mengikuti tradisi yang ada dalam sistem masyarakatnya. Pada kalimat pertama digambarkan bahwa Ida Ayu Sagra Pidada telah menjalankan peran identiknya sebagai perempuan yang melekat dalam tradisi masyarakat Bali yakni memuliakan suaminya, walaupun suaminya bukan berasal dari kaum bangsawan. Sedangakan pada kalimat kedua, tergambar jelas bahwa Ida Ayu Sagra Pidada adalah perempuan yang sangat memegang teguh tradisi kebangsawanannya.

d. Citra Sosial Luk Kambren 1) Citra Perempuan dalam Masyarakat (a) Mengikuti Tradisi Kambren adalah tokoh yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang perempuan konvensional. Konvensional yang dimaksud oleh Kambren adalah bahwa ia tidak memiliki niatan sedikit pun untuk menentang ajaran leluhurnya. Kambren juga memiliki prinsip bahwa terdapat batas-batas yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Saat seorang perempuan asing menawarkan laki-laki yang juga seorang turis, Kambren menolaknya. Menurut Kambren laki-laki tersebut memiliki tatapan mata yang tidak sopan saat melihat seorang perempuan.

“Aku tidak tersinggung. Aku bicara atas dasar pemikiranku sendiri. Aku seorang perempuan konvensional!” (h. 98)

59

“Ambil semua taksu yang Tiang punya. Tugeg harus rajin membawa sesaji ke pura setiap bulan terang dan bulan mati….” (h. 91)

Dalam kalimat pertama di atas, Kambren mengakui secara tegas bahwa dia adalah perempuan yang konvensional. Hal ini membuktikan bahwa kambren merupakan citra perempuan yang memegang teguh tradisi yang ada dalam masyarakatnya, baik sebagai seorang perempuan maupun sebagai kaum sudra. Hal ini diperkuat pada kalimat kedua yang menggambarkan Kambren sedang menyuruh Telaga membawa sesaji ke pura setiap bulan terang dan bulan mati sebagai bentuk tradisi seorang penari yang telah diberikan taksu. (b) Pengakuan Sosial Kambren adalah seorang penari yang sangat berbakat. Kepiawaian Kambren dalam menari sudah tersebar di seluruh desa, bahkan banyak wartawan dan penulis yang berniat mengangkat kehidupannya dalam sebuah buku ataumedia massa.

Kambren seniman tua Bali yang tercatat dalam buku-buku sejarah kesenian, tapi tidak pernah merasakan hasil yang pantas dia dapatkan dari pengabdiannya. (h.105)

Dalam kalimat di atas digambarkan bahwa kemampuan Kambren sebagai seorang penari telah diakui bukan hanya oleh masyarakat di sekitarnya melainkan oleh masyarakat di luar Bali hingga kemampuannya tersebut tercatat dalam buku- buku sejarah kesenian. Akan tetapi, meskipun Kambren mendapatkan pengakuan sosial, ia tetap tidak mendapatkan hasil yang pantas dalam bentuk materi, seperti hasil royalti dari berbagai buku yang telah memuat karya-karya Kambren sebagai seorang penari.

60

D. Analisis dan Interpretasi Citra Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi 1. Citra Diri Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi a. Citra Fisik Seperti yang telah disampaikan pada hasil interpretasi citra fisik perempuan Bali, aspek yang paling dominan dalam novel Tarian Bumi adalah aspek gambaran kondisi fisik. Empat tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Tarian Bumi digambarkan memiliki fisik yang sangat cantik, memiliki tubuh yang indah, mata yang menantang, dan memiliki sensualitas yang sangat tinggi. Gambaran tokoh perempuan Bali yang ditampilkan oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi memang merefleksikan kondisi fisik wanita Bali pada umumnya.

Sekar sadar tubuhnya indah. Sekalipun kulitnya tak seputih Luh Karni, guru tari jogged. (h.26)

Kata mereka, seluruh tubuh Kambren adalah kecantikan perempuan Bali. Orang-orang asing itu selalu merasa Bali benar-benar ada dalam tubuh Kambren. (h. 97)

Dari dua contoh kutipan di atas, tergambar jelas bahwa Sekar dan Kambren memiliki tubuh yang indah. Pesona keelokan fisik perempuan Bali memang telah populer sejak tahun 1920-an, sejak citra Bali sebagai The Islands of Bare Breast mulai merebak. Para turis mulai menaruh perhatiannya pada keindahan tubuh wanita Bali, bahkan warna kulit perempuan Bali yang tidak terlalu putih memiliki sensualitas tinggi di mata kaum lelaki. Seperti yang terkesan dalam tulisan Helen Yates dalam buku Bali: Enchated Island (1993), kulit wanita Bali yang sawo matang dan mengkilap ketika diterpa sinar mentari tropis merupakan daya tarik tersendiri bagi turis yang bosan melihat kulit putih.9 Oka Rusmini melihat bahwa keelokan tubuh wanita Bali ini tidak hanya dapat memberikan keuntungan bagi si empunya tetapi juga dapat menjerumuskan pemiliknya ke dalam kenestapaan. Dalam Tarian Bumi, tokoh Sekar digambarkan

9 I Nyoman Darma Putra, Wanita Bali Tempo Doeloe, (Denpasar, Bali: Pustaka Larasan, 2003), h. 33. 61

memiliki tubuh yang sangat indah dan memiliki kelihaian dalam menari. Sekar menyadari kelebihan yang ia miliki, sehingga dengan sadar ia memanfaatkannya untuk menggapai ambisinya menjadi penari jogged paling terkenal dan bahkan untuk memikat hati laki-laki yang nantinya akan merubah derajat hidupnya. Lain halnya dengan cerita Kambren mengenai temannya, Luh Dampar yang justru bernasib sangat tragis. Luh Dampar digambarkan memiliki tubuh yang sangat indah, namun sayang keindahan tubuhnya justru dimanfaatkan oleh turis asing. Ia termakan oleh mulut manis laki-laki asing yang ingin menjadikan tubuhnya sebagai objek seni lukisnya. Akibatnya, Dampar harus mengakhiri hidupnya dengan gantung diri karena rasa malu yang harus ia tanggung setelah melihat foto- foto, slide, dan videonya dalam keadaan telanjang. Eksploitasi terhadap figur perempuan Bali seperti yang dialami oleh Luh Dampar benar-benar terjadi pada perempuan Bali dan telah mendapatkan kritik keras sejak tahun 1930-an. Perempuan-perempuan Bali yang terdidik mengutuk perlakuan pihak asing yang menjadikan wanita Bali sebagai objek daya tarik pariwisata. Ni Loeh Sami, misalnya, dalam tulisannya yang berjudul “Pintu dan Jendela masih Tertutup” menyampaikan protesnya terhadap usaha-usaha yang merendahkan martabat perempuan Bali. Atas nama perempuan dan kaum ibu di Bali, Ni Loeh Sami menulis sebagai berikut:

“… lihat saja bagaimana orang-orang asing (touristen) memandang kami. Di sana-sini, di dalam, baik pun di luar kota tiada kurang- kurang terdapat potret-potret bangsa kami … telanjang bulat, dipertontonkan di muka ramai. Dengan uang setali, dua tali, bangsa kami dipermaikannya, dianggapnya boneka saja untuk menghibur hatinya.”

Selain aspek gambaran kondisi fisik, terdapat pula pernyataan yang mengandung citra perempuan Bali sebagai sosok yang feminim. Keempat tokoh perempuan dalam Tarian Bumi dicitrakan memiliki penampilan yang feminim. Gambaran feminim yang melekat pada tokoh perempuan Bali adalah perempuan yang mengenakan kain dengan motif tradisional, memakai kebaya, selendang, dan gelungan. Disamping itu, tokoh utama perempuan dalam Tarian Bumi adalah seorang penari, dimana menari merupakan kegiatan yang mencirikan aspek 62

feminim. Ciri kefeminiman pada perempuan Bali juga digambarkan melalui tutur bahasa tokoh yang lembut dan penuh penghargaan terhadap sesama, seperti yang digambarkan Telaga mengenai sifat kesantunan yang dimiliki Ida Ayu Sagra Pidada. Sifat feminim yang melekat pada tokoh perempuan dalam Tarian Bumi tidak hanya terletak pada cara bersikap dan berpenampilan tetapi juga dicirikan oleh hasrat-hasrat tokoh untuk tampil cantik. Arus modernitas dalam hal berpenampilan juga digambarkan dalam Tarian Bumi melalui tokoh Luh Kendran yang setelah merantau ke luar kota menjadi lebih cantik dengan berbagai operasi plastik yang dilakukannya. Penampilan Luh Kendran merupakan gambaran perempuan Bali yang telah mengikuti arus modernitas. Ia tidak lagi menyanggul rambutnya, menggunakkan kebaya serta selendang dan segala hal yang digunakan perempuan Bali konvensional pada umumnya. Kehadiran Luh Kendran menambah keberagaman citra feminim dalam Tarian Bumi. Pergeseran mode pakaian dan cara berpenampilan terjadi secara signifikan termasuk di Bali pada tahun 1950-an. Kain-kebaya yang merupakan busana wanita tradisional kalah populer dibandingkan dengan rok dan blus dari berbagai jenis dan bentuk. Pergeseran mode busana ini umumnya terjadi di kalangan pelajar dan warga kota. Seperti yang dialami oleh Luh Kendran setelah ia menghilang ke luar kota. Tampaknya, pergeseran mode di Bali juga mendapatkan protes yang cukup keras di kalangan perempuan Bali. Dalam artikelnya yang berjudul “Mengikuti Batik Mode Show dari jauh” (Damai, 17 Desember 1953, hlm 5-7), Gangga Sila mengungkapkan keprihatinannya terhadap baju yang berbau kebarat- baratan, ia mengajak mansyarakat pada umumnya dan Bali pada khususnya untuk bertanya “apakah wanita kita ini akan dibawa ke Hollywood dengan pakaian yang separo bulat, ataukah mau dibawa ke Tiongkok dengan Syang Hai-dress-nya?” pertanyaan ini mengesankan bahwa penulisnya tidak setuju dengan model yang condong pada gaya asing atau luar negeri.10

10 Ibid., h. 80. 63

Tampaknya Oka Rusmini juga mengamini pendapat Gangga Sila dengan penolakkan yang dilakukan Luh Sadri ketika ia ingin didandani oleh Luh Kendran dengan gayanya yang modern. Dengan demikian penampilan feminis yang menggambarkan budaya perempuan Bali pada umumnya adalah penampilan anggun mengenakan kebaya, selendang serta sanggul seperti cara berpenampilan yang digambarkan pada empat tokoh utama perempuan dalam novel Tarian Bumi. Hingga detik ini pun penampilan perempuan Bali tradisional masih menggunakan kebaya dan selendang serta sanggul apabila mereka ingin bersembahyang ke pura.

b. Citra Psikis Berdasarkan hasil analisis citra psikis perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi, dapat diketahui bahwa sifat keras hati merupakan aspek yang paling dominan diantara ketiga aspek lainnya. Keras hati dapat diartikan sebagai sifat yang memegang teguh prinsip-prinsip kehidupan, memiliki keyakinan terhadap apa yang diinginkan dan dianggap sebagai kebenaran. Empat tokoh perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi adalah tokoh yang telah mengetahui dengan pasti tujuan-tujuan dalam hidupnya dan mereka memiliki keteguhan hati untuk mempertahankan prinsip hidup yang dianggapnya benar.

Dia seperti bertarung dengan dirinya. Bertarung dengan impian- impian yang pernah ia tanam dalam perjalanannya menjadi perempuan yang sesungguhnya. Perempuan yang mencoba mengikuti kejujuran hatinya, bahwa pilihan yang dilakukan dalam hidupnya adalah benar. (h.3)

Dalam hidupnya, Telaga percaya bahwa kebahagiaan hidupnya adalah saat ia dapat bersama dengan orang yang dapat berbagi cinta dan kasih. Ia memiliki keyainan bahwa harta dan kedudukan tidak dapat membeli kebahagiaan yang ia inginkan. Karena itu, ia tetap menikahi Wayan, laki-laki yang berasal dari kaum sudra. Walaupun sistem dalam masyarakatnya menentang hubungan Wayan dan Telaga yang diyakini dapat membawa kesialan dalam kehidupan, Telaga tetap teguh pada pendiriannya. Telaga menerima konsekuensi yang harus ia tanggung dengan lapang dada, ia sama sekali tidak pernah menyesal telah membuang 64

seluruh atribut kebangsawanannya, memutuskan hubungan dengan semua orang yang dianggapnya keluarga, dan hidup menderita di tengah keluarga barunya dalam kaum sudra. Berbeda dengan Telaga, proses hidup telah membawa Luh Sekar pada keyakinan bahwa kemiskinan tidak akan membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Karena itu, ia menjadi sosok yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsawanan bahkan melebihi bangsawan itu sendiri. Sekar melakukan segala cara yang ia bisa untuk dapat merubah derajat hidupnya. Akibat keteguhan hatinya, Sekar berhasil menikahi laki-laki bangsawan dan menaikkan derajat hidupnya. Hal inilah yang menjadi pangkal perselisihannya dengan Telaga.

Luh Sekar bagi telaga adalah perempuan yang keras kepala. Keinginan-keinginannya adalah harga mati. Tidak ada orang yang bisa membelokkannya.

Hal ini membuktikan bahwa citra psikis seseorang dipengaruhi oleh interaksi sosial yang ia hadapi. Telaga lahir dalam kelurga bangsawan, namun ia tidak menemukan kebahagiaan dalam gambaran keluarga yang diperlihatkan oleh nenek dan ibunya sebagai figur perempuan yang mengajarkan hidup kepada Telaga. Seluruh keluarganya sangat menjunjung tinggi kebangsawanan namun justru mereka tidak merasakan kebahagiaan dalam perkawinan yang didasari oleh materi semata. Kakek Telaga yang berasal dari kaum sudra menikahi neneknya yang berasal dari kaum bangsawan hanya demi menaikkan derajatnya sebagai kaum bangsawan, pada akhirnya sang kakek berselingkuh dengan perempuan sudra yang memang ia cintai. Ibunya menikahi ayah Telaga yang hidung belang dan pemabuk hanya demi status kebangsawanannya. Karena itu, telaga beranggapan bahwa derajat dan materi bukanlah sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan, karena materi tidak dapat membeli cinta kasih. Lain halnya dengan Luh Sekar yang hidup menderita akibat kemiskinan yang menimpanya. Sekar hidup tanpa ayah, sedangkan ibunya hanya seorang penjual kue yang harus menghidupi ketiga anaknya dengan susah payah. Sekar merasa lelah dengan kemiskinan yang menimpanya, ia melihat bahwa kemiskinan adalah hal yang akan membuat hidupnya selalu dalam penderitaan. Karena itu, 65

setelah sekar berhasil mendapatkan kebahagiannya sebagai bangsawan, ia menjadi sangat keras dalam menjaga kebangsawanannya. Dalam titik ini, Oka Rusmini menggambarkan bahwa perempuan Bali memiliki semangat juang yang luar biasa dalam usaha-usaha pencapaian kebahagiaannya. Meski demikian, cengkraman pola pikir masa lalu belum sepenuhnya hilang dari pandangan Oka. Perempuan Bali yang dilukiskan dengan berani menentang sistem kasta, pada akhirnya dilukiskan menghadapi penderitaan hidup yang dalam. Misalnya, setelah Luh Sekar menjadi istri seorang bangsawan, hidupnya bergelimang duka, karena hubungannya dengan leluhurnya harus putus dan ia harus berselisih dengan Telaga. Sementara Ida Ayu Telaga Pidada terpaksa menjadi janda karena laki-laki sudra yang dinikahinya mati mendadak. Hal ini terjadi dengan anggapan bahwa pelanggaran perkawinan antar-kasta akan mendapat kutukan hidup yang penuh dengan kesialan.

2. Citra Sosial Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi a. Citra Perempuan Bali dalam Keluarga Berdasarkan hasil analisis citra perempuan dalam keluarga dalam novel Tarian Bumi, satu-satunya gambaran yang terekam adalah mendapat tentangan. Dalam hal ini, dua tokoh wanita utama yakni Sekar dan Telaga mendapat tentangan dalam keluarganya setelah mereka memiliki pemikiran dan pada akhirnya melakukan perkawinan antar-kasta. Sedangkan, bagi Telaga kebebasannya dalam berpikir secara mandiri sudah dibatasi sejak ia masih kecil akibat kekhawatiran Sekar terhadap darah kebangsawanannya yang tidak dapat diteruskan oleh Telaga.

Makin hari perempuan itu semakin menjerat dan mengikatnya erat- erat. Perempuan itu juga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Apa pun selalu di bawah pengawasannya dan berdasarkan keinginannya. (h.10)

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa sejak kecil Telaga sudah dilarang untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak hatinya. Pertentangan yang dialami Telaga semakin menjadi ketika ia memutuskan untuk 66

menikahi Wayan, laki-laki yang sangat ia cintai dari kaum sudra. Telaga harus memutuskan segala pertaliannya dengan keluarga griya. Saat Telaga telah menjadi istri Wayan dan menjadi seorang sudra pun Telaga tetap mendapatkan tentangan dari keluarga Wayan. Ibu dan adik semata Wayan, Luh Sadri menganggap Telaga sebagai sumber kesialan dalam keluarga mereka dan penderitaan Telaga masih terus berlanjut hingga ia menjanda. Pertentangan yang dialami Telaga juga dirasakan oleh Luh Sekar ketika ia telah berhasil menjadi Jero Kenanga, seorang bangsawan griya. Luh Sekar harus memutuskan segala pertaliannya dengan ibu dan saudara-saudaranya yang berasal dari kaum sudra. Ia juga tidak diizinkan menyentuh, memandikan, dan menyembah mayat ibunya ketika meninggal dunia. Namun, mirisnya Luh Sekar pun tetap dianggap perempuan sudra oleh keluarga barunya yang memiliki karat kebangsawanan lebih tinggi darinya, ia tidak pernah benar-benar diperlakukan seperti perempuan bangsawan, terutama dari ibu mertuanya sendiri. Ia bahkan tidak memiliki hak yang sama dengan anak hasil perkawinannya dengan laki-laki bangsawan pilihannya. Ia tidak diizinkan satu gelas dengan anaknya dan tidak dapat memberikan sisa makanannya kepada anak kandungnya sendiri. Ia harus memperlakukan anaknya seperti kaum sudra memperlakukan bangsawan tulen dari griya.

Hanya suara tangis ibu yang terdengar dari pintu samping. Tangisan seorang perempuan sudra, perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika harus berhadapan dengan perempuan senior. (h. 12)

Baik Luh Sekar dan Telaga, sama-sama mengalami penderitaan akibat sistem feodalisme yang berlaku dalam sistem masyarakat Bali. Walaupun mereka berhasil mencapai apa yang dianggapnya sumber kebahagiaan dalam hidup, kedua tokoh ini pada akhirnya menjadi ambivalen. Di satu sisi ia sudah tidak menjadi bagian dari kaumnya sendiri, di sisi lain mereka tidak diakui oleh keluarga barunya yang berasal dari kasta yang berbeda. Sementara, jika mereka tidak mengikuti apa yang diinginkan hatinya,mereka akan terjebak dalam kepasrahan dan dikalahkan oleh nasib. 67

Sistem perkawinan masyarakat Bali ini ternyata juga mengusik sebagian besar anggotanya, tidak hanya kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki di Bali. Seorang kritikus yang menyebutkan namanya sebagai “Pembantu Bhakti” pernah menuliskan keterusikannya terhadap nasib perempuan dalam perkawinan dan feodalisme masyrakat Bali sebagai berikut:

Jika mendengar perkawinan-perkawinan yang sekarang masih berlaku di Bali, sungguh penulis sebagai seorang laki-laki merasa sedih dan kasihan melihat nasib kaum wanitanya. Umumnya mereka selalu mengalami nasib yang lebih jelek dari saudara- saudaranya yang laki-laki karena mereka menyerah pada nasib mereka sebagai kaum wanita dan takut dikatakan perempuan yang tak beradat jika mencoba menuruti kehendak diri sendiri. Lebih- lebih dalam keluarga yang masih feudal dan buta kemajuan tak peduli orang berkasta atau tidak, dan banyak pula keluarga- keluarga yang tidak berkasta, berpendidikan namun feudal, nasib wanita-wanitanya tidak lebih tidak kurang adalah sebagai babi peliharaanya, menunggu-nunggu tidakkah ada pencuri yang berani dan dapat melarikannya?11

Demikian gambaran perempuan Bali dalam kegamangan mengambil sikap untuk kehidupannya. Sekar dan Telaga adalah contoh dari sekian banyak perempuan Bali yang memiliki kasta dan terjebak didalamnya. Walaupun, pada akhirnya mereka bernasib malang, kedua tokoh tersebut tidak pernah menyesal akan pilihan hidup yang mereka jalani. Hal ini perlu diapresiasi sebagai gambaran perjuangan perempuan Bali untuk mendapatkan haknya dalam pencapaian kebahagian yang mereka yakini.

b. Citra Perempuan Bali dalam Masyarakat Berdasarkan hasil analisis citra perempuan Bali dalam masyarakat, aspek yang paling dominan dilukiskan dalam novel Tarian Bumi adalah mengikuti tradisi. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa Sekar dan Telaga merupakan contoh perempuan Bali yang berusaha keluar dari tekanan yang menahan mereka untuk menemukan kebahagian. Akan tetapi, pada akhirnya kedua wanita ini harus kembali pada sistem yang melekat pada masyarakat dan tradisi yang

11 Ibid., h. 176. 68

menaunginya. Sementara dua tokoh lainnya yakni Ida Ayu Sagra Pidada dan Luh Kembren merupakan perempuan yang mengakui dengan tegas bahwa mereka adalah perempuan konvensional yang harus mentaati norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Namun demikian, baik Sagra maupun Kambren memiliki konsep berpikir secara mendiri yang tidak berani mereka realisasikan, akibatnya kedua tokoh tersebut menanamkan konsep pikirnya tersebut kepada Telaga yang pada akhirnya berani mengikuti kata hatinya dan berani menerima segala konsekuensi adat yang akan menimpanya.

“….Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.”

Perkataan Sagra di atas kepada Telaga mengidentifikasikan ide kebebasan dalam mencari pasangan hidup. Jauh di dalam hatinya, Sagra tahu bahwa pernikahan membutuhkan cinta untuk membuat insan yang terlibat di dalamnya mendapatkan kebahagian sejati, namun sikap Sagra selanjutnya sangat menentang pernikahan antar-kasta yang menurutnya akan mendatangkan kesialan. Di sini terjadi kembali tarik menarik gagasan mengenai kebebasan dan sistem yang harus dipatuhi. Pada akhirnya, baik tokoh Sagra, Kambren, Sekar, dan Telaga harus kalah dengan sistem tersebut. Kalaupun terdapat gambaran mengenai penentangan terhadap sistem tradisi masyarakat Bali, hal ini hanya terjadi pada batas petanyaan-pertanyaan kritis tokoh. Seperti saat sekar mempertanyakan kepercayaan masyarakat Bali terhadap kebenaran yang mutlak bersumber dari para dewa. Sekar mulai mempertanyakan apakah kebenaran yang telah turun temurun diwarisi masyarakat Bali benar-benar kebenaran sejati dan tidak ada sumber kebenaran lain yang dapat ia gunakan untuk dijadikan sumber pembenaran terhadap pemberontakkannya. Pada kenyataannya, kaum perempuan di Bali memang memiliki semangat juang yang tinggi, namun sangat sedikit perempuan Bali yang memiliki keberanian keluar dari sistem feodalisme masyarakatnya. Sejak tahun 1953, sikap 69

perempuan Bali dalam masyarakatnya telah mendapat perhatian khusus para kritikus feminis. “Pembantu Bhakti” dalam majalan Bhakti pernah menuliskan pendapatnya mengenai keterbelakangan perempuan Bali sebagai berikut:

Melihat kenyataan hingga sekarang, wanita Bali pada umumnya masih terbelakang. Terbelakang dalam hal pendidikan, terbelakang dalam pergaulan, terbelakang dalam gelanggang politik dan pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh karena wanita Bali sendiri menganggap dan mencap kaumnya yang ngikuti pergolakan kaum laki-laki sebagai perempuan yang kegila-gilaan. Walaupun sudah ada pergerakan-pergerakan dan persatuan- persatuan kaum wanita, minat dan perhatian mengenai hal ini masih kurang sekali, mungkin oleh karena pelopor-pelopor daripada mereka terutama istri-istri daripada pegawai-pegawai tinggi maupun rendah, juga kaum terpelajar lebih memeluk lutut berdiang di dapur.

Gambaran perempuan Bali di atas menunjukkan betapa kaum perempuan Bali masih belum memiliki kesadaran untuk mengembangkan sayapnya, untuk keluar dari lingkup sistem yang memenjarakan mereka. Gambaran tersebut juga masih relevan hingga saat ini. Sesudah era Orde Baru, di Bali hampir tidak pernah terdengar ada organisasi perempuan, kecuali Dharma Wanita atau organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang dibentuk oleh pemerintah. 12 Organisasi independen seperti Poetri Bali Sadar (1936-1950-an) hampir tidak ada pada zaman Orde Baru. Pada zaman reformasi pun, ketika wacana kesetaraan gender semakin marak dibicarakan, organisasi perempuan independen juga belum lahir di Bali.

E. Implikasi Penelitian terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Karya sastra harus memiliki sifat-sifat indah (dulce) dan berguna (utile). Demikian pula dengan novel sebagai karya sastra bukan hanya harus bisa dinikmati tetapi juga harus memiliki sesuatu yang bersifat mendidik. Karya sastra yang baik dapat membekali dirinya dengan kearifan hidup. Menurut Budi Darma,

12 Ibid., h. 117. 70

kalau perlu karya sastra justru membuka kebobrokan untuk bisa menuju ke arah pembinaan jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya.13 Dalam standar isi Kurikulum Tingkat Satuan Terpadu (KTSP), tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain adalah agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti dan kemampuan bersastra. Selain itu, pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah diharapkan mampu membuat peserta didik mampu menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pengajaran sastra juga dapat membantu pendidikan secara utuh dengan meningkatkan keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya dan mengembangkan cipta dan rasa serta menunjang pembentukan watak siswa. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam. Rahmanto mengemukakan bahwa melalui karya sastra siswa diperkenalkan dengan fakta- fakta kehidupan, mengenai “Manusia itu apa?” dan “Mengapa dia begitu?”14 Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, guru dapat menggunakan novel Tarian Bumi sebagai sumber pembelajaran. Novel Tarian Bumi sangat sarat dengan unsur budaya dalam sistem masyarakat Bali dan bagaimana sistem tersebut membentuk kaum perempuan di Bali. Pembekalan terhadap pemahaman siswa mengenai kesetaraan gender juga dapat disampaikan melalui novel ini. Berikut akan disampaikan alternatif pembelajaran sastra dengan menggunakan novel Tarian Bumi sebagai sumber belajar.

1. Alternatif Pembelajaran Alternatif pembelajaran ini dapat diterapkan untuk siswa kelas XI SMA semester 1 dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sebagai berikut: SK : 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan.

13 J. Prapta Diharja, “Penggalian Nilai Lewat Pembelajaran Novel”, dalam A.M. Slamet Soewandi, dkk. (ed.), Strategi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2000), h. 122. 14 Ibid., h. 125. 71

KD : 7.2 Menganalisis unsur intrinsic dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan. Indikator: 1. Siswa dapat menganalisis unsur instrinsik dalam novel yang dibaca. 2. Siswa dapat menganalisis unsur ekstrinsik dalam novel yang dibaca. 3. Siswa dapat menghubungkan pesan dari novel yang dibaca dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah metode diskusi dengan model Discovery Learning dimana siswa diberikan stimulus untuk mencari permasalahan dan menemukan sesuatu yang baru dalam proses pencarian tersebut. Dalam sistem pembelajaran, semua siswa diajak untuk membaca novel Tarian Bumi secara sendiri-sendiri. Untuk itu, siswa perlu diberi waktu sedikitnya seminggu untuk membaca novel tersebut.

2. Pendahuluan Sebelum guru mengajak siswa membaca novel Tarian Bumi, guru memberikan pemahaman bahwa novel muncul dari pengalaman hidup manusia. Dari novel tersebut siswa dapat menggali dan mengambil beberapa kemungkinan nilai, baik nilai sosial, nilai moral, nilai psikologis maupun nilai religius. Selain itu, siswa juga dapat memperlajari berbagai kebudayaan dan sistem masyarakat yang terdapat dalam novel yang akan dibaca karena karya sastra lahir dari masyarakat yang membentuknya. Dengan mengkaji novel dari luar novel itu sendiri, siswa telah melakukan pendekatan ekstrinsik.

3. Penentuan Sikap Praktis Di sini siswa diingatkan untuk mencatat dengan teliti hal-hal yang perlu untuk diketahui terkait dengan novel Tarian Bumi seperti pengarang, judul buku, tahun terbit dan penerbit. Dengan mengetahui latar belakang novel tersebut, siswa akan memiliki pemahaman yang skematis saat melakukan pembacaan.

72

4. Introduksi Pada tahap ini, siswa diantar untuk membaca novel Tarian Bumi, yang akan dibicarakan minggu mendatang. Guru mengarahkan siswa untuk melihat nilai-nilai sosial, religius, moral, dan bagaimana sistem masyarakat Bali memberntuk kaum perempuannya serta bagaimana pencitraan kaum perempuan di Bali. Siswa juga diminta untuk memperhatikan tema, latar, dan penokohan yang dapat membantu dalam pemaknaan novel Tarian Bumi.

5. Diskusi Siswa diajak masuk dalam kelompok-kelompok diskusi, misalnya setiap kelompok terdiri dari 4-5 anak. Masing-masing kelompok diberi pertanyaan mengenai tema cerita tersebut, nilai-nilai sosial, religius, moral, dan kebudayaan yang bisa digali dari novel Tarian Bumi. Siswa juga diberi pertanyaan mengenai tokoh, penokohan, dan setting dalam novel tersebut. Setelah siswa memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel, siswa diminta untuk menghubungkan hasil pemaknaan novel yang dibaca dengan kehidupan sehari-hari. Kemudian setiap kelompok diminta memberi kesimpulan.

6. Presentasi Setelah siswa berdiskusi, masing-masing kelompok diminta mempresentasikan hasil resume, kesan, dan analisisnya terhadap novel Tarian Bumi. Sementara satu kelompok mempresentasikan hasil analisisnya, kelompok lain diminta untuk menyimak, mengkritisi dan menilai. Selesai mempresentasikan, kelompok lain dianjurkan untuk bertanya kepada kelompok presenter, baik secara informatif maupun kritis. Dengan demikian, diskusi kembali dibuka, kali ini diskusi dilakukan antar kelompok.

7. Pengukuhan Setelah semua kelompok melakukan presentasi, guru menanyakan nilai- nilai apa yang dapat digali dari pembacaan novel Tarian Bumi. Apakah siswa merasa puas dengan pencarian yang mereka lakukan. Kemudian guru dapat 73

memberi beberapa catatan dari hasil diskusi dan presentasi. Guru dapat menggarisbawahi, menambah, melengkapi dan menyimpulakan atau pun membiarkan kesimpulan tetap terbuka. Tidak lupa guru harus memberi apresiasi kepada siswa atas keaktivan dan partisipasi para siswa. Dari alternatif pembelajaran di atas, diharapkan siswa dapat memaknai novel Tarian Bumi secara menyeluruh. Guru dapat mengonfirmasi hasil pemaknaan siswa dan menjelaskan secara bijak mengenai fenomena budaya yang terdapat dalam novel Tarian Bumi. Fenomena yang dipaparkan dalam Tarian Bumi diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bagi siswa laki-laki, mereka dapat lebih menghargai keberadaan perempuan dan mengetahui bahwa peran perempuan tidaklah hanya dalam lingkup domestik. Kesetaraan gender secara bijaksana perlu diaplikasikan dalam ranah keluarga maupun masyarakat karena perempuan memiliki hak yang untuk mengejar mimpi dan cita-citanya. Bagi siswa perempuan, mereka dapat lebih menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan, perempuan diberikan potensi yang sama dengan laki-laki. Munculnya potensi tersebut bergantung pada kebulatan tekad dan semangat dalam masing-masing individu. Oleh karena itu, baik laki-laki dan perempuan harus bersungguh- sungguh dalam menggapai mimpi-mimpinya.

F. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki hasil yang sempurna. Namun demikian, peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan yang mengakibatkan hasil penelitian ini kurang sempurna. Keterbatasan- keterbatasan tersebuat antara lain disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Keterbatasan biaya, hal ini menyebabkan penelitian hanya dilakukan sebatas studi kepustakaan yang juga sangat terbatas. Peneliti tidak dapat melihat secara langsung kehidupan perempuan konvensional di Bali untuk membandingkannya secara nyata. 74

2. Sampel yang diambil dalam penelitsian ini terbatas pada cerita dalam novel Tarian Bumi. 3. Terbatasnya pengetahuan peneliti tentang citra wanita sehingga dimungkinkan analisis terhadap citra perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi ini kurang mendalam. 4. Terbatasnya fokus penelitian dan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian citra perempuan Bali dalam Tarian Bumi karya Oka Rusmini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Citra diri perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi meliputi citra fisik dan citra psikis. Citra fisik perempuan Bali dalam novel Tarian bumi didominasi oleh gambaran fisik tokoh. Gambaran fisik yang melekat pada keempat tokoh perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi adalah berparas cantik, memiliki tubuh yang indah, kulit yang tidak terlalu putih akan tetapi memikat, berambut panjang dan memiliki daya sensualitas yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan kondisi fisik perempuan Bali yang eksotis dan mempesona sesuai dengan kondisi yang ditemukan di dunia nyata. Citra psikis yang mendominasi para tokoh perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi adalah sifat yang keras hati. Sifat tersebut menunjukkan keinginan kuat yang mereka miliki. Citra sosial perempuan Bali dalam novel Tarian Bumi meliputi citra perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Citra perempuan dalam keluarga didominasi oleh gambaran perempuan yang mendapat tentangan. Adapun citra perempuan Bali dalam masyarakat didominasi oleh perempuan yang mengikuti tradisi. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alternatif model analisis dalam pembelajaran apresiasi sastra di SMA. Guru dapat memberikan cakrawala pemikiran mengenai model kebudayaan masyarakat Bali dan proses sebuah sistem masyarakat membentuk perilaku para anggotanya. Kegiatan apresiasi ini dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal dan kepekaan terhadap budaya serta lingkungan sekitar. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang citra perempuan Bali melalui novel Tarian Bumi. Dengan manganalisis unsur-unsur pembangun citra perempuan tersebut, siswa dapat mengambil hikmah dari pengalaman

75

76

hidup para tokoh yang diceritakan. Siswa juga dapat memikili sudut pandang dan cakrawala berpikir yang lebih luas dengan menganalisis keberadaan sistem yang dibangun dalam sebuah masyarakat.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan implikasi yang telah dikemukakan, maka saran yang dapat disampaikan adalahsebagai berikut: (1) Bagi Guru, dalam pemberian materi sastra di kelas, hendaknya memperkenalkan aspek budaya dan citra perempuan sebagai salah satu cara untuk memahami karya sastra, khususnya pada novel Tarian Bumi. Dalam pembelajaran sastra, guru hendaknya meminta siswa untuk membaca novel Tarian Bumi secara menyeluruh, mencari dan menemukan pernyataan yang mengandung aspek pencitraan perempuan dan membandingkannya dengan realitas sosial yang sesungguhnya. (2) Bagi siswa, diharapkan siswa dapat membaca novel Tarian Bumi secara utuh dan berpikiran terbuka agar dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang permasalahan citra perempuan yang diangkat dalam novel tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto.1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1991. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.

Putra, I Nyoman Darma. 2003. Wanita Bali Tempo Doeloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar, Pustaka Larasan.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra: Pegangan Guru Pengajar Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rene, Wellek dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

77 78

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.

Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

Soemarjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Sugihastuti dan Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta: Pustaka Jaya.

Tjahjono. 1998. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah.

Waluyo, Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press.

Zulfahnur, Firdaus, Sayuti Kurnia, dan Yuniar Z. Adji. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Pustaka.

LAMPIRAN

Tabel Analisis Citra Diri Tokoh Ida Ayu Telaga Pidada

NO. Data Kalimat Citra Diri Keterangan Citra Fisik Citra Psikis Kalimat tersebut “Kalau Tiang ingin bahagia harus disiapkan menggambarkan bahwa tokoh dari sekarang?” Telaga menatap mata Berorientasi ke Telaga sudah berpikir untuk 1 depan ibunya. (Tarian Bumi, h. 69) mempersiapkan masa depannya sejak dini. Dia seperti bertarung dengan dirinya. Kalimat tersebut Bertarung dengan impian-impian yang menggambarkan bahwa Telaga pernah dia tanam dalam perjalanannya adalah perempuan yang menjadi perempuan yang sesungguhnya. Keras Hati memegang prinsip hidupnya, 2 Perempuan yang mencoba mengikuti hatinya tidak mudah tergoyah kejujuran hatinya, bahwa pilihan yang oleh segala permasalahan yang dilakukan dalam hidupnya adalah benar. (h. menimpanya. 3) 81

Ya, Sadri memang sering iri pada Telaga, Kalimat tersebut Gambaran Kondisi 3 karena perempuan itu memiliki seluruh Fisik menggambarkan kondisi fisik

kecantikan para perempuan di desa. (h. 6) Telaga yang memiliki wajah 4tercantik di desanya. Kalimat tersebut “Sekarang Tugeg sudah menjadi perempuan menggambarkan bahwa yang sangat lengkap. Tugeg cantik, pandai sebagai perempuan Telaga menari, dan seorang putri bangsawan. Tugeg Gambaran Kondidi 4 fisik sudah sempurna salah satunya memiliki seluruh keindahan bumi ini.” (h. ditandai dengan kondisi fisik 91) yang cantik.

Tabel Analisis Citra Diri Tokoh Luh Sekar (Jero Kenanga)

Citra Diri No. Data Kalimat Keterangan Citra Fisik Citra Psikis 1 “Tugeg harus jadi perempuan paling cantik Kalimat ini menggambarkan di griya ini. Tugeg adalah harapan Meme. tokoh sekar memiliki pemikiran Pada Tugeg, Meme menyerahkan hidup….” jauh ke depan karena dia Berorientasi ke

(h. 10) Depan mempersiapkan anaknya sejak dini untuk menjadi seperti apa 82

yang ia harapkan.

2 “Aku ingin jadi penari, Kenten.” Suatu hari Keinginan yang kuat terhadap dia berkata sungguh-sungguh kepada Luh sesuatu merupakan sifat yang Ambisius Kenten, sahabatnya yang dia percaya. (h. ambisius seperti keinginan 26) Sekar menjadi seorang penari. 3 “Tapi aku tidak pernah mau jadi menyerah. Kalimat tersebut Aku harus jadi penari joged. Aku ingin menggambarkan betapa Sekar Ambisius memakai busana tari itu.” (h. 37) sangat berambisi menjadi seorang penari. 4 “Kenten , busana yang bagiku sangat Kain, kebaya dan gelungan cantik. Memakai kain dengan motif merupakan pakaian ttradisional tradisional, memakai kebaya, selendang , yang lekat dengan citra Tampil Feminim dan gelungan. Aku menyukai gelung jogged feminim. itu. Bunga itu tetap abadi karena terbuat dari kayu….” (h.37) 5 “….Kelak aku akan membuat perhitungan Keinginannya terhadap sesuatu pada semua orang yang merintangi membuat hati sekar menjadi Keras Hati keinginanku. Keinginan yang harusnya keras. Ia tidak terbuka terhadap 83

pantas menjadi milikku!” (h. 37) pendapat orang-orang sekitar.

6 “Lalu apa namanya keinginan-keinginanmu Ambisius Sifat ambisius Sekar sangat

itu?Menjadi penari jogged sudah. Menjadi tergambar jelas dalam kalimat bintang sudah. Apalagi?” tersebut, ia tidak pernah puas “Aku ingin jadi yang tercantik.” (h. 41) dengan apa yang sudah ia capai. 7 Itu cerita yang Telaga dengar dari ibunya, Kalimat tersebut perempuan yang memiliki impian terlalu menggambarkan kekerasan hati tinggi untuk mengangkat hidupnya. Dia Sekar dalam mempertahankan Keras Hati adalah perempuan yang terus berusaha pilihan-pilihannya, apa pun untuk menunjukkan pada dirinya bahwa yang terjadi pilihannya adalah pilihannya selalu benar.(h. 54) yang paling benar. 8 Kenanga seolah dihadapkan pada ambisinya Kalimat ini menggambarkan yang lain. Dia berharap kelak seorang Ida bahwa Sekar tidak puas hanya

Bagus dari keluarga terhormat akan Ambisius menjadi penari, ia juga memiliki meminang putrinya (h. 72) ambisi untuk menjadi istri seorang bangsawan. 9 “Apa pun yang kan terjadi dengan hidupku, Kalimat ini mengambarkan aku harus jadi seorang rabi, seorang istri ambisi Sekar untuk menjadi bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki- Ambisius seorang rabi, hingga ia rela 84

laki itu, aku tak akan pernah menikah!” (h. menanggung apa un resiko yang 22) akan diterimanya.

10 “Aku ingin melebihi pragina-pragina itu. Kalimat tersebut Aku yakin, Kenten, aku bisa Ambisius menggambarkan bahwa Sekar melakukannya.” (h. 28) selalu ingin menjadi yang “ter-“ 11 “Kau takut mengakui kemampuanku, kan? Dalam kalimat tersebut Sekar Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di terlihat sangat percaya diri, desa ini paham bahwa tubuhku tubuh sebagai pembenaran atas

penari. Mereka tidak buta bahwa aku bisa Keras hati keinginan-keinginannya. Sifat mengangkat nama desa ini. Kelak, orang- ini membuktikan kerasnya hati orang akan mengenal desa ini karena aku, Sekar yang selalu menganggap Luh Sekar.” (h. 28) pilihannya adalah tepat. 12 Bicara pada para dewa agar mereka tahu Kesungguhan Sekar dalam aku sungguh-sungguh ingin menjadi kalimat ini menunjukkan bahwa seorang penari jogged. Aku sungguh- sekar memiliki hati yang keras Keras Hati sungguh ingin mengangkat sekehe joged karena ia dengan teguh ini. (h. 39) memperjuangkan ambisinya menjadi penari. 13 Karena hidupku selalu sial, aku ingin Kesungguhannya dalam 85

bertaruh pada diriku sendiri. Aku ingin Keras Hati menjalani dan menghadapi menaklukkan hidupku. Hidup bagiku hidup serta semangatnya yang

adalah pertarungan yang tidak pernah pantang menyerah merupakan selesai. Tidak akan pernah habis selama aku bukti bahwa Sekar memiliki hati masih hidup. Aku harus jadi pemenang. yang teguh, ia harus menjadi Sebelum aku mengalahkan hidup, aku tidak seorang pemenang. ingin mati. (h. 43) 14 Ibu jadi terlalu otoriter. Kebenarannya Sifat keras hati Sekar tersermin adalah kebenaran dari kaca mata dia sendiri. Keras Hati dari sikapnya yang otoriter. (h. 108) 15 Luh Sekar bagi Telaga adalah perempuan Sifat kerras hati Sekar yang sangat keras kepala. Keinginan- diwujudkan dalam pernyataan keinginannya adalah harga mati. Tidak ada Keras Hati bahwa keinginannya adalah orang yang bisa membelokkannya. (h. 110) harga mati dan tidak ada orang yang bisa membelokkannya. 16 “Tugeg harus pegang kata-kata Tiang ini. Dalam kalimat tersebut sifat Harga diri Tugeg. Menjadi bangsawan itu keras hati Sekar tergambar dari sedah kemewahan bagi seorang manusia!” caranya memberikan doktrin Keras Hati Suara Jero Kenanga akan semakin keras kepada anaknya dan jika 86

bila dilawan (h. 132) dilawan maka ia akan semakin keras.

17 Sekar juga tak pernah merasa berdosa telah Keputusan Sekar untuk tidak mengkhianati rekan-rekannya. Biasanya, memberitahukan tips yang setiap ada tips dari pengibing rekan- didapatkannya adalah pemikiran Cerdik rekannya selalu member tahu pimpinan yang cerdik untuk mendapatkan joged. Lalu uang itu dibagi rata untuk penghasilan lebih. penari, penabuh, dan pemangku…. (h. 24) 18 Lelaki itu selalu menyelipkan puluhan ribu Dalam kalimat tersebut Sekar rupiah tanpa sepengetahuan grup jogednya. memiliki pemikiran yang cerdik Karena tidak ada yang tahu, Sekar pun Cerdik dengan membiarkan lelaki itu membiarkan uang itu jadi haknya. (h. 24) memberinya tips tanpa sepengetahuan grup jogednya. 19 Kalau orang lain, dipandangi dengan Ide untuk memanfaatkan rasa perasaan iba seperti itu pasti tersinggung. iba masyarakat agar ia dapat

Luh Sekar tidak! Ia justru memanfaatkan Cerdik mendapatkan bantuan kondisi itu. (h. 48) merupakan bukti kecerdikan yang dimiliki oleh tokoh Sekar 20 Kalau saja perempuan-perempuan di pasar Kecerdikkan Sekar dibuktikan 87

itu tahu, bahwa dia sering berlatih agar Cerdik dengan pernyataan bahwa ia wajahnya terlihat seperti wajah perempuan sering berlatih agar ia

yang sengsara. Latihan kerasnya itu mendapatkan mimik sengsara. mendatangkan hasil yang luar biasa. (h. 50) Dengan demikian orang-orang akan semakin bersimpati dan menolongnya. 21 “Dengarkan aku! Kau cantik, Sekar. Sangat Kalimat tersebut Gambaran Kondisi cantik! Kau pandai menari….” (h. 23) menggambarkan bahwa Sekar Fisik memiliki wajah yang cantik. 22 Sekar sadar tubuhnya indah. Sekalipun Kalmat tersebut kulitnya tak seputih Luh Karni, guru tari menggambarkan kondisi fisik Gambaran Kondisi

joged. (h. 26) Fisik Sekar. Ia memiliki tubuh yang indah. 23 Kenten menatap Sekar tajam. Perempuan Pernyataan Kenten dalam ini adalah perempuan yang paling cantik di kalimat ini menggambarkan Gambaran kondisi desa ini, dia tidak hanya memiliki tubuh bahwa Sekar memiliki wajah fisik yang indah…. (h. 38) yang cantik dan tubuh yang indah. 24 Dia tidak hanya memiliki tubuh yang indah, Kalimat tersebut menyatakan 88

tapi juga punya ambisi seperti dirinya. Ambisius dengan tegas bahwa Sekar Ambisi untuk mengalahkan hidup. (h. 38) adalah seorang perempuan yang

ambisius. 25 “Aku sering berpikir dan bertanya, kenapa Kalimat tersebut kau tetap cantik dan memiliki wajah menggambarkan keadaan fisik Gambaran Kondisi kekanakan. Wajah yang tidak pernah habis. Sekar yang memiliki wajah Fisik Kecantikan abadi….” (h. 53) kekanakan dan membuatnya terlihat awet muda. 26 Perempuan itu terlalu menggungkan nilai- Kalimat tersebut nilai kebangsawanan. Pola pikirnya sulit menggambarkan bahwa diterima otak Telaga. Dia merasa dengan pendapat-pendapat Sekar menjadi keluarga besar griya derajatnya terhadap nilai-nilai Keras Hati lebih tinggi dibanding perempuan- kebangsawanan adalah harga perempuan sudra yang lain mati yang bahkan tidak dapat ditawar oleh anaknya sendiri, Telaga. 27 “….Aku ingin jadi orang nomer satu. Kalimat ini menggambarkan Perempuan yang pantas mengambil keinginan-keinginan Sekar keputusan untuk orang banyak. Ayolah , Ambisius untuk menjadi yang nomor satu 89

kenten.” (h. 40) sebagai wujud dari sifat ambisiusnya.

28 “Sekar, Sekar. Kalau sudah punya Sifat keras hati Sekar keinginan tidak bisa dibelokkan sedikit diwujudkan dalam pernyataan pun.” (h. 40) Keras Hati bahwa kalau ia sudah memiliki keinginan tidak ada seorangpun yang dapat membelokkannya.

Tabel Analisis Citra Diri Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada

Citra Diri No. Data Kalimat Keterangan Citra Fisik Citra Psikis 1 “….Menikahlah kau dengan laki-laki yang Nasihat Sagra kepada Telaga mampu memberimu ketenangan , cinta dan untuk berhati-hati dalam kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memilih suami menggambarkan Berorientasi ke

memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Depan bahwa ia adalah perempuan Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba yang berorientasi ke depan. mengambil resiko.” (h. 16) 2 Kata orang-orang griya, dulu Nenek adalah Kalimat ini menggambarkan

Gambaran kondisi 90

orang tercantik di desa. (h. 18) fisik bahwa Sagra adalah perempuan

yang cantik. 3 Tutur bahasa Nenek lembut dan penuh Tutur bahasa yang lembut dan penghargaan pada sesama. (h. 18) Tampil feminim penuh penghargaan adalah citra feminim pada perempuan. 4 “…Tetapi Tuniangmu sangat tidak bisa Sifat keras hati Sagra dalam menerima apabila ada laki-laki griya kalimat ini digambarkan melalui Keras hati menikah dengan perempuan biasa. pendapatnya tentang pernikahan Tuniangmu sangat kukuh…” (h. 19) sekasta tidak dapat dipatahkan. 5 Suara Nenek terdengar tegas. Tak ada air Ketegaran Sagra yang mata, tak ada tangisan di depan jasad anak tergambar dalam kalimat ini satu-satunya itu. Perempuan itu berdiri menggambarkan bahwa ia Keras hati tegak, memandang kaku api upacara memiliki hati yang keras, ngaben. hatinya tidak tersentuh dengan kematian anaknya.

91

Tabel Analisis Citra Diri Tokoh Luh Kambren

Citra Sosial No. Data Kalimat Keterangan Citra Citra Psikis 1 “Hidupku hanya untuk menari!” Itulah Kalimat tersebut kata-kata Kambren. Kata-kata yang selalu menggambarkan bahwa Keras hati diingat Telaga. (h.94) Kambren memiliki prinsip hidup yang kuat. 2 Bagi Kambren itu bukanlah persoalan. Keteguhan hati Kambren terlihat Menjadi guru tari lebih terhormat dibanding ketika ia mengabaikan segalanya menjadi seorang selir. (h. 95) Keras hati demi menjadi seorang penari, bahkan untuk menjadi istri seorang raja. 3 “Bagi bangsamu mungkin bukan persoalan. Kuatnya Kambren dalam Bagiku masih jadi masalah besar. Ini soal memegang prinsipnya Keras hati prinsip. Prinsip seorang permpuan!” (h. 98) membuktikan bahwa ia memiliki sifat keras hati.

4 Mata itu sangat menantang. Biji matanya Kalimat tersebut 92 Gambaran Kondisi

mirip pisau yang sangat runcing dan selalu Fisik menggambarkan kondisi fisik

siap melukai orang-orang yang tidak Luh Kambren yang memiliki disukai. Senyumnya juga dingin. Seolah mata yang tajam, senyum yang perempuan tua yang tetap terrlihat cantik itu dingin dan wajah yang cantik. tidak pernah takut menghadapi apa pun. (h. 76) 5 Kata mereka, seluruh tubuh Kambren Kalimat tersebut adalah kecantikan perempuan Bali. Orang- menggambarkan bahwa Gambaran Kondisi orang asing itu selalu merrasa Bali benar- Kambren memiliki tubuh yang Fisik benar ada dalam peta tubuh Kambren. (h. sangat indah. 97)

93

Citra Analisis Citra Sosial Tokoh Ida Ayu Telaga Pidada

Citra Sosial No Data Kalimat Keterangan CPdK CPdM Kalimat tersebut menggambarkan Makin hari perempuan itu makin menjerat bahwa Telaga mendapatkan dan mengikatnya erat-erat. Perempuan itu tentangan dari keluarganya. juga tidak membiarkan Telaga berpikir Mendapat 1 Telaga tidak mendapatkan untuk hidupnya sendiri. Apa pun selalu di Tentangan kebebasan berpikir, semua yang bawah pengawasannya dan berdasarkan dikerjakannya selalu berada di keinginannya. (h. 110) bawah pengawasan ibunya. Kalimat larangan Sekar terhadap “Meme pasti melarang tiang ikut.” Suara Telaga membuktikan bahwa Mendapat 2 Telaga terdengar pelan. (h. 119) Tentangan dalam keluarganya Telaga mendapat tentangan. Kalimat tersebut menggambarkan Ibu memang tidak pernah menyukai tawa bahwa Ibu menentang kebiasaan- keras, terlebih tawa seorang perempuan. Mendapat 3 kebiasaam perempuan yang tidak Kata ibu perempuan bangsawan harus Tentangan

mencerminkan seorang 94

memiliki aturan (h. 132) bangsawan, termasuk Telaga.

Pertentanga yang terjadi antara “Anak Tiang sudah mati. Dia tidak mungkin Telaga dengan ibunya Mendapat 4 kembali lagi!” Suara ibu terdengar sangat menyebabkan ia tidak lagi diakui Tentangan tidak bersahabat. sebagai anak, bahkan Telaga dianggap telah mati. Keputusan Telaga untuk menikah dengan lelaki sudra ternyata Perasaannya sakit. Terlebih melihat tatapan Mendapat 5 mendapat tentangan bukan hanya orang-orang griya yang dingin. Tentangan dari ibunya namun dari keluarga griya. Dengan memberi kebebasan tiang Kalimat tersebut menggambarkan bersembahyang dan pamit di pemerajaan bahwa keputusan Telaga untuk 6 griya, tiang akan dijadikan contoh, akan Mendapat menikahi laki-laki sudra menimbulkan masalah, karena akan banyak Tentangan mendapat tentangan dari kasta Ida Ayu yang kawin dengan laki-laki sudra. brahmana. (h.170) Kali ini Telaga harus membunuh nama Ida Dengan mengganti nama dan

Mendapat 95 7 Ayu yang telah diberikan hidup padanya. dicoretnya nama Telaga dalam Tentangan Nama itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak keluarga griya sebagai

pantas. Hanya membawa kesialan bagi orang perempuan bangsawan lain. (h. 172) menggambarkan bahwa ia mendapat tentangan. Prasangka bahwa hanya seorang putri brahmana yang direstui oleh “Karena dia seorang putri brahmana, maka dewa sebagai seorang penari para dewa memberinya taksu, kekuatan dari menggambarkan bahwa Telaga 8 Perlakuan Stereotip dalam yang tidak bisa dilihat mata telanjang. telah mengalami perlakuan Luar biasa. Lihat!...” (h. 4) stereotip padahal tidak hanya perempuan brahmana yang pandai menari. Semua orang desa sudah tahu, tak ada yang Kelihaian Telaga dalam menari 9 bisa mengalahkan Ida Ayu Telaga Pidada Pengakuan Sosial oleg telah diakui oleh seluruh dalam menari oleg. (h. 4) masyarakan desa. Kau tahu Sadri, perempuan yang menari itu Prasangka dan anggapan bahwa adalah perempuan yang kelak memiliki semua penari memiliki kehidupan 10 perjalanan yang berat. Perempuan itu selalu Perlakuan Stereotip yang rumit dan berat merupakan 96

berhadapan dengan masalah besar. Luka- perilaku yang diterima Telaga, luka yang tidak akan pernah kering. (h. 5) walau pun prasangka itu benar

dialami oleh Telaga. Kalimat tersebut menggambarkan Sesaji sudah lengkap di depan pemerajan, bahwa Telaga tetap menerima pura keluarga. Tidak ada seorang pun 11 Mengikuti Tradisi dan mengikuti konsekuensi adat keluarga griya yang menyaksikan upacara yang ia terima akibat menikahi itu. Telaga tetap sendiri.(h. 171) lelaki sudra. Kalimat tersebut merupakan Ini bukan aturan. Ini pakem leluhur yang gambaran bahwa ada beberapa 12 harus dipatuhi kalau Tugeg ingin bahagia. Mengikuti Tradisi pakem leluhur yang menjadi (h. 69) tradisi dan harus dipatuhi oleh Telaga jika ia bahagia. “Sekarang Tugeg bukan anak-anak lagi. Tugeg tidak boleh memakai celana pendek. Kalimat tersebut menggambarkan Kalau Tugeg ingi keluar, pakailah kain dan bahwa ada beberapa kebiasaan 13 Mengikuti Tradisi harus rapi. Jangan ngawur. Jaga wibawa yang harus dilakukan Telaga Meme di depan orang-orang griya….” (h. ketika memasuki masa balighnya. 68) 97

Tabel Analisis Citra Sosial Tokoh Luh Sekar (Jero Kenanga)

Citra Sosial No. Data Kalimat Keterangan CPdK CPdM Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Sekar Sebagai perempuan yunior, Ibu hanya bisa mendapat tentangan sebagai 1 menunduk. Ibu tak pernah melawan nenek. Mendapat Tentangan perempuan yunior yang harus (h. 13) selalu hormat kepada seniornya, dalam hal ini adalah nenek. Sebagai seorang yunior, terlebih Hanya suara tangis ibu yang terdengar dari berasal dari golongan sudra, pintu samping. Tangisan seorang Sekar selalu mendapat perempuan sudra, perempuan yang tidak 2 Mendapat Tentangan perlawanan dari Nenek yang bisa berbuat apa-apa ketika harus tidak pernah benar-benar berhadapan dengan seorang perempuan menerimanya sebagai bagian senior. (h. 12)` dari keluarganya. Dia harus berhadapan terus-menerus dengan Kalimat tersebut

3 mertua perempuannya. Perempuan yang Mendapat Tentangan menggambarkan bahwa Sekar 98

sering marah kalau dia pergi agak lama begitu dibatasi oleh Nenek. Hal

mengunjungi keluarganya. (h. 60) ini membuktikan bahwa Sekar mendapatkan tentangan dalam keluarga barunya. Dalam keluarganya sendiri Sekar harus Kalimat ini menggambarkan berlaku seperti bangsawan tulen. Akan sial tradisi yang harus dipatuhi oleh

4 jadinya bila keluarga Sekar Mengikuti Tradisi Sekar, jika tidak akan ada sanksi memperlakukannya sewenang-wenang. (h. yang dipercaya akan 61) menimpanya berupa kesialan. Setelah menikah dengan Sementara dalam keluarga besar suaminya, suaminya, Sekar seharusnya Sekar tetap seperti perempuan sudra. Dia mendapatkan perlakuan yang harus berbahasa halus dengan orang-orang sama dengan perempuan griya. Tidak boleh minum satu gelas dengan 5 Mendapat Tentangan bangsawan. Namun kalimat ini anak kandungnya sendiri. Tidak boleh menggambarkan bahwa ia memberikan sisa makanannya kepada masih mendapat tentangan dan orang-orang griya, termasuk anak yang dianggap sebagai perempuan dilahirkannya. (h. 61) sudra. 99

Kata Nenek, tidak pantas Ibu berlaku seperti Dalam kalimat tersebut 6 Mengikuti Tradisi itu. Seorang bangsawan harus bisa menggambarkan betapa Sekar

mengontrol emosi. Harus menunjukkan harus menjaga sikapnya seperti kewibawaan. Ketenangan. (h. 63) yang biasa dilakukan para bangsawan. Dalam kalimat tersebut digambarkan bahwa banyak Aturan itu malah makin menjadi-jadi. Luh sekali hal-hal yang tidak boleh Sekar tidak boleh menyentuh mayat ibunya dilakukan oleh Sekar, terlebih 7 Mendapat Tentangan sendiri. Dia juga tidak boleh memandikan terhadap keluarganya sendiri. dan menyembah tubuh kaku itu. (h. 63) Hal ini menggambarkan bahwa Sekar mendapatkan tentangan dari keluarga barunya. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa setelah “Aku bicara yang sesungguhnya. Sekar melahirkan anak pun, dia Bagaimana mungkin seorang penari joged 8 Mendapat Tentangan belum mendapat pengakuan dari yang tubuhnya biasa disentuh laki-laki bisa Nenek, Sekar masih dianggap menasihati cucuku dengan baik.” (h. 73) sebagai penari joged yang terkesan murahan. 100

9 Tidak akan pernah ada seorang laki-laki Perlakuan stereotip Penari sudra dalam memiliki

bangsawan yang sudi mengajaknya hidup di pencitraan yang buruk dimata tempat yang sangat mewah bagi ukuran kaum bangsawan, terutama pada kemanusiaan perempuan Bali—kalau laki- kalangan perempuan, sehingga laki itu memang bangsawan yang pencitraan tersebut pun melekat sesungguhnya. (h. 84) pada diri Sekar. Pikiran sekar dalam “Hanya karena aku boleh sembahyang ke mempertanyakan hal-hal yang Pura Desa aku harus bersyukur. Bagaimana 10 Menentang tradisi sudah menjadi tradisi di Bali pikiranmu Kenten. Jangan bantah dulu kata- menunjukkan bahwa ia telah kataku…” (h. 26) melakukan pertententangan. Dalam kepercayaan masyarakat Bali tentunya kebenaran yang “Kenten, kenten. Jangan terlalu serius mutlak bersumber dari dewa- memandang kebenaran. Di dunia ini sudah dewa, Namun, dalam kalimat 11 Menentang Tradisi lama tidak ada bentuk kebenaran yang bisa ini, Sekar terkesan tidak terlalu kita pegang…” (h. 27) yakin akan kebenaran yang telah turun temurun diwarisi masyarakat Bali. 101

12 Luh Sekar yang sekarang tidak sama dengan Mengikuti Tradisi Semenjak Sekar menikah

anak-anak perempuannya yang lain. Sekar dengan lelaki bangsawan semua tidak boleh makan bersama-sama. Tidak kebiasaannya berubah. Ia harus boleh diberi nasi sisa. Semua berubah. (h. mengikuti tradisi yang 55) dilakukan oleh para perempuan bangsawan. Semenjak Sekar menikah Dia tidak hanya harus kehilangan dengan lelaki bangsawan semua kebiasaan-kebiasaan lama. Dia juga telah kebiasaannya berubah. Ia harus 13 Mengukuti Tradisi kehilangan dunia yang telah membentuk mengikuti tradisi yang kesempurnaan wujud perempuannya. (h. 55) dilakukan oleh para perempuan bangsawan. Dalam kalimat ini, Sekar benar- benar menjadi perempuan yang Bagi perempuan Bali bekerja adalah konvensional, dia mengakui dan 14 membuat sesaji, sembahyang, dan menari Mengikuti Tradisi menjalankan tradisi yang untuk upacara. (h. 92) dilakukan oleh wanita Bali yaitu membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara. 102

15 Ibu memang tidak pernah menyukai tawa Mengikuti Tradisi Berdasarkan pengakuan telaga

keras, terlebih tawa seorang perempuan. dalam kalimat ini, Sekar tidak Kata ibu, perempuan bangsawan harus suka mendengar perempuan memiliki aturan. (h. 132) yang tertawa keras, karena hal tersebut tidak sesuai dengan tradisi seorang perempuan bangsawan.

Tabel Analisis Citra Sosial Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada

Citra Sosial No. Data Kalimat Keterangan CPdK CPdM Kalimat tersebut menggambarkan bahwa Nenek telah menjalankan peran Padahal, Nenek telah berusaha identiknya sebagai perempuan

1 menempatkan laki-lakinya sederajat dengan Mengikuti Tradisi yang melekat dalam tradisi laki-laki lain di griya. (h. 15) masyarakat Bali yakni memuliakan suaminya,

walaupun suaminya bukan 103 berasal dari keluarga yang kaya.

Dari pernyataan Sekar dalam “….Tuniangmu sangat kukuh. kalimat tersebut, dapat dilihat Kebangsawanan harus tetap dipertahankan 2 Mengikuti Tradisi bahwa Nenek adalah orang yang sesuai dengan tradisi yang diwarisi dari sangat memegang teguh tradisi orang-orang tua kita…” (h. 19) kebangsawanannya.

Tabel Analisis Citra Sosial Luh Kambren

Citra Sosial No. Data Kalimat Keterangan CPdK CPdM Dalam kalimat tersebut, Kambren mengakui secara tegas bahwa dia “Aku tidak tersinggung. Aku bicara atas adalah perempuan yang 1 dasar pemikiranku sendiri. Aku seorang Mengikuti Tradisi konvensional. Hal ini menegaskan perempuan konvensional!” (h. 98) bahwa ia pun seorang perempuan yang memegang teguh tradisi. “Ambil semua taksu yang Tiang punya. Kalimat tersebut menggambarkan Tugeg memang pilihan! Ingat, Tugeg harus Kambren sedang menyuruh

2 Mengikuti tradisi 104 rajin membawa sesaji ke pura setiap bulan Telaga membawa sesaji ke pura terang dan bulan mati…” (h. 91) setiap terang bulan dan bulan mati

sebagai bentuk tradisi penari yang diberikan taksu. Kambren seniman tua Bali yang tercatat Kalimat tersebut menggambarkan dalam buku-buku sejarah kesenian, tapi pengakuan masyarakat terhadap 3 Pengakuan sosial tidak pernah merasakan hasil yang pantas bakat dan kemampuan Kambren dia dapatkan dari pengabdiannya. (h. 105) di bidang seni.

105