Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan 2019 eISSN 2715-7814 , 08 Oktober 2019

MOTIF DAN MAKNA SIMBOLIS BATIK INCUNG KERINCI: PERSPEKTIF SEJARAH Motifs and Syimbolic Meaning of Incung Batik Kerinci: Historical Perspective

Nandia Pitri¹, Herwandi Herwandi², dan Lindayanti Lindayanti3 ¹Author, Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas 2,3 Corresponding Author, Dosen Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Korespondensi Penulis Email : [email protected]

Kata kunci: motif, makna simbolis, batik incung Keywords: motives, symbolic meaning, incung batik

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif dan makna simbolis batik incung dalam perspektif sejarah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dalam mengumpuldata melalui studi pustaka dan studi wawancara, menyeleksi dan menguji data secara kritis sehingga menghasilkan fakta sejarah yang sesuai di lapangan. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan model interaktif. Hasil penelitian didapatkan bahwa batik incung di Kerinci merupakan salah satu batik ang diawali dengan adanya peraturan pemerintah Kerinci tahun 1995. Keunikan dari batik incung di Kerinci ini adalah dengan menjadikan aksara incung atau aksara Kerinci kuno sebagai motif utamanya yang digabungkan dengan motif flora dan fauna serta kebudayaan yang ada di Kerinci sebagai motif tambahannya. Batik ini memiliki makna pada setiap motifnya. Ada beberapa motif batik yang dikembangkan di Kerinci, 1) motif incung dan masjid agung berisi berbagai macam ornamen kuno Kerinci, yang melambangkan struktur sosial masyarakat Kerinci, 2) motif incung dan pohon bambu berisi tentang pemanfaatan alam sebagai sumber kehidupan masyarakat Kerinci, 3) motif incung dan lalau ka sawoah (turun ke sawah) berisi tentang saling bergotong royong dalam membantu bercocok tanam, 4) motif incung dan pakaian adat Kerinci berisi status sosial seseorang dalam masyarakat, dan 5) motif incung dan karamentang berisi tentang pemberitahuan kepada masyarakat lain jika dilaksanakan upacara sakral oleh masyarakat lainnya di Kerinci serta motif lainnya. Batik ini mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai ikon pariwisata Kerinci, sebab menggambarkan kondisi sosial budaya Kerinci.

ABSTRACT This study aims to determine the motives and symbolic meaning of incung batik in a historical perspective. This research uses historical methods in collecting data through literature studies and interview studies, selecting and testing data to produce appropriate historical facts in the field. Data analysis techniques in this study using an interactive model. The results showed that incung batik in Kerinci was one of the batik that began with the Kerinci government regulation in 1995. The uniqueness of incung batik in Kerinci was to make incung or ancient Kerinci script as its main motif combined with flora and fauna motifs and culture in Kerinci as an additional motive. This batik has a meaning in every motif. There are several batik motifs developed in Kerinci, 1) the incung motif and the grand mosque containing various kinds of ancient Kerinci ornaments, which symbolize the social structure of the Kerinci community, 2) the incung motif and the bamboo tree contain about the use of nature as a source of life for the Kerinci community, 3) the motif incung and lalau ka sawoah (down to the rice fields) contains cooperation in helping to grow crops, 4) incung motives and Kerinci traditional clothing containing one’s social status in society, and 5) incung and karamentang motives containing A5-1

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 notices to other communities if implemented sacred ceremonies by other people in Kerinci and other motifs. This batik has the potential to an icon of Kerinci tourism, because it illustrates the social and cultural conditions of Kerinci.

A5-2

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019

PENDAHULUAN merupakan wilayah yang memiliki kekayaan budaya yang beragam. Salah satunya adalah batik dan termasuk karya tradisional yang turun-temurun, bermutu tinggi dan telah dikenal di seluruh dunia. Batik merupakan salah satu produk industri kreatif yang syarat dengan nilai budaya Indonesia. Batik tidak hanya dipakai oleh bangsawan keraton untuk kegiatan resmi, tetapi juga hampir semua lapisan masyarakat sudah memiliki dan pernah memakai batik dalam kegiatan resmi maupun kegiatan sehari-hari (Aditia, 2014). Kain batik adalah salah satu jenis kain yang berdekorasi khas Indonesia yang mendapatkan pengakuan dari UNESCO mengakui bahwa batik sebagai warisan tak benda bagi Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009, yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 yang menetapkan bahwa tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional (Salma, 2013). Batik Indonesia tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, tetapi juga menjadi daya tarik masyarakat luar negeri. Eksistensi batik Indonesia ini didukung oleh perkembangan batik dengan keunikan motif, pewarnaan, makna simbolis yang terkandung di dalam sehelai kain batik. Selain itu, eksistensi batik ini juga dipengaruhi oleh faktor pengrajin dengan cara meningkatkan kualitas motif batik untuk membuat daya tarik bagi konsumen (Salma, 2013). Batik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh permintaan dan selera konsumen, sehingga perkembangan industri batik di Indonesia selalu memahami perkembangan pasar batik yang berkaitan dengan penampilan, corak, kegunaannya yang disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan pasar dalam dan luar Kerinci terletak di kawasan dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang gugus barat Pulau Sumatera. Kawasan ini memiliki keragaman hayati yang tumbuh pada ketinggian yang berbeda-beda. (Ramli, 2005). Kerinci merupakan salah satu wilayah yang ada di Indonesia yang menjadi wilayah penghasil batik yang cukup dikenal oleh masyarakat luas, baik masyarakat Kerinci sendiri maupun masyarakat luar, seperti Masyarakat Kota Jambi, Solok Selatan, , Solo, dan lain sebagainya. Keunikan dari batik yang diproduksi oleh masyarakat Kerinci ini adalah motif yang digunakan dengan motif aksara Kerinci Kuno yang disebut sebagai aksara incung, sehingga batik di wilayah ini disebut sebagai batik incung. Selain motif aksara incung, industri batik di Kerinci ini juga mengembangkan yang diambil berdasarkan ciri khas kotanya, seperti potensi daerah, kultur alam, budaya dan artefak sejarah. Keunikan dan kekhasan motif batik incung di Kerinci ini menyebabkan batik incung berkembang terus-menerus. Perkembangan batik yang ada di Kerinci termasuk dalam kategori industri kecil. Industri kecil di Indonesia umumnya adalah industri kerajinan rakyat, yang semula tumbuh atas dasar kebutuhan praktis dan sosial kultur (Soeroto, 1983). Industri kecil yang berkembang di Indonesia adalah industri batik yang tumbuh bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera yaitu di Jambi. Perkembangan batik di Jambi sudah dimulai pada tahun 1928 yang ditandai dengan pemakaian batik menjadi busana eksklusif dan simbol aristokrasi Keraton

A5-3

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019

Sumatera termasuk di Jambi yang dipakai dalam upacara adat, upacara keagamaan, dan seremonial istana, sebagaimana yang terlihat pada desain, motif, warna, fungsi, maupun jenis batik yang dihasilkan (Karmela, 2014). Batik di Provinsi Jambi ini berkembang juga di beberapa daerah, seperti Kabupaten Kerinci, Kota Sungaipenuh, Tanjungjabung Barat, Tanjungjabung Timur, Sarolangun, Bangko, Muarabungo, Muara Jambi, Muara Tebo, dan Batanghari. Setiap wilayah ini memiliki ciri khas keunikan desain motif, corak serta warna yang digunakan dari masing-masing daerah tersebut. Industri batik incung di Kerinci ini mulai ada yaitu ada tahun 1995 setelah dilakukannya pelatihan oleh Bupati Kerinci Bambang Sukowinarno. Pada tahun 1995 yang merupakan awal perkembangannya, ada 6 sanggar batik di Kerinci, yaitu sanggar batik Karang Setio, Puti Kincai, Limo Luhah, Puti Masurai, Iluk Rupo, dan Salon Suhak. Keunikan batik incung di Kerinci ini adalah mampu menggunakan aksara incung yang merupakan sebuah kebudayaan dari masyarakat Kerinci itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa batik incung di Kerinci ini mengembangkan kearifan lokal yang ada di daerahnya sendiri (Time, 2013). Berdasarkan keunikan-keunikan motif dan ide gagasan penciptaan motif yang kaya akan makna-makna simbolis, maka penelitian ini berjudul “Motif dan Makna Simbolis Batik Incung: Perspektif Sejarah”. Fokus masalah pada penulisan ini adalah untuk mengetahui lebih jauh bagaimana batik incung dikembangkan di Kerinci. Dalam tulisan ini bermaksud untuk mengidentifikasi ide gagasan dalam penciptaan motif batik incung serta unsur visual yang terdapat dalam setiap motif. Dalam setiap motif batik, terdapat makna simbolis yang terkandung, namun terkadang sebagian besar masyarakat tidak mengetahui makna simbolis yang terkandung dalam motif batik tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metodologi sejarah yang dibagi ke dalam empat tahapan, yakni heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi (Gottschalk, 2007). Mestika Zed mengatakan bahwa metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses yang berwujud historiografi. Dalam hal ini metode sejarah digunakan agar dapat merekonstruksi kembali peristiwa masa lampau, sehingga dapat di uji kebenarannya (Zed, 1999) Tahap pertama, yakni heuristik (pengumpulan sumber). Sumber-sumber yang didapatkan dari hasil studi perpustakaan dan hasil wawancara dengan pelaku sejarah yang dapat dijadikan sebagai informan. Studi pustaka dilakukan ke berbagai perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat, khsusnya Kota Padang. Seperti penelusuran pustaka pusat Universitas Andalas, pustaka pascasarjana Universitas Andalas, pustaka jurusan Magister Universitas Andalas serta pustaka pusat Universitas Negeri Padang, kemudian tak ketinggalan perpustakaan daerah Sumatera Barat. Arsip dan perpustakaan Kerinci,

A5-4

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 selanjutnya sumber penting lainnya dapat ditemukan di kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, dan Dinas Parawisata Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Selain menggunakan Sumber tulisan, sumber lisan yaitu wawancara dilakukan kepada pelaku sejarah yang masih hidup yang terlibat langsung dengan industri batik incung dan budayawan yang ada di Kota Sungaipenuh. Diantaranya, Elita Jaya, Deli Iryani, Erni Yusnita, Depati H. Alimin. Setelah sumber data terkumpul, langkah selanjutnya adalah dengan melakukan kritik sumber melalui kritik ekstern dan kritik intern agar memperoleh kredibilitas dan otentisitas. Fakta sejarah kemudian diinterpretasikan atau penafsiran sesuai dengan pendekatan budaya. Tahap terakhir adalah historiografi yaitu penulisan fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang ada. Proses penulisan dapat disatukan sehingga menjadi satu perpaduan yang sistematis dalam bentuk narasi kronologis (Sjamsudin, 2007). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data model interaktif yang terdapat tiga komponen, yakni: Reduksi data, Penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Satori, D., Komariah, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Batik Incung Jambi merupakan salah satu wilayah penghasil batik khususnya di wilayah Kerinci yang menjadi daerah penghasil batik incung. Batik ini disebut sebagai batik incung karena motif yang digunakan diambil melalui aksara incung yang merupakan aksara kuno Suku Kerinci. Hal inilah yang menjadi pembeda antara batik yang ada di wilayah Kerinci dengan wilayah lainnya yang ada di Indonesia terutama di Pulau Sumatera. Selain itu, batik di Kerinci juga menggunakan motif tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di wilayah ini dengan cara menggabungkan antara motif incung dengan motif tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di Kerinci (Pitri, 2019). Perkembangan batik di Kabupaten Kerinci di dorong oleh pemerintah pada masa itu, yaitu Bambang Sukowinarno merupakan Bupati Kerinci. Pada masa pemerintahannya industri batik banyak berkembang, karena dilihat dari latar belakang bupati Kerinci pada masa itu adalah orang Jawa. Sehingga, dia mempunyai inisiatif untuk mengembangkan industri batik di Kerinci yang pada saat ini masih diproduksi di Kota Sungai Penuh. Pada saat itulah batik mulai bisa tumbuh di masyarakat Kabupaten Kerinci. Perkembangan batik di Kerinci pada saat itu dikarenakan pemerintah sedang menggali nilai budaya daerah dengan membina generasi muda sebagai ujung tombak pembangunan Kerinci pada masa yang akan datang. Batik disosialisasikan melalui pembinaan terhadap generasi muda yang bertempat di Balai Tenaga Kerja (BTK) Kerinci (Adhanita, 2013). Untuk pengembangannya sanggar batik di Kabupaten Kerinci, para pengrajin mendapatkan bantuan dari pemerintah

A5-5

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 yaitu berupa peralatan atau sarana dan prasarana untuk membatik seperti canting, kuali kecil dan kompor untuk memanaskan malam. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati pada tahun 1994 dengan mengikutsertakan para pengrajin batik dalam pelatihan membatik yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 1994. Selain itu, Industri batik Incung dimulai dengan pengrajinnya yang didasarkan keinginan untuk mencoba masuk ke dalam usaha batik yang dilihat memiliki peluang pasar yang cukup terbuka dan prospek kedepannya yang memadai jika melihat dari konsumen yang begitu banyak terutama dari kantor pemerintahan (Ekspres, 1999). Perkembangan industri batik incung di Kabupaten Kerinci juga dibekali dengan pelatihan mandiri yang dilakukan oleh Elita Jaya dan Deli Iryani ke Kota Jambi. Mereka belajar pada Batik Mas ibu Marhamah selama 3 tahun. Setelah merasa sudah mampu untuk membatik sendiri, mereka kembali ke kampung halaman yaitu Kerinci untuk mengembangkan batik Kerinci. Walaupun yang dipelajari oleh pengrajin itu adalah batik Jambi, sesampai di Kerinci Elita Jaya dan Deli Iryani mulai membuat batik khas Kerinci dengan tulisan incung atau aksara kuno Kerinci dan hal inilah yang menjadi pembeda antara batik Kerinci dengan batik lainnya termasuk batik Jambi (Jaya, Elita., 2018). Pengetahuan Elita Jaya dan Deli Iryani ini untuk mengembangkan batik dengan motif incung ini juga didorong karena sudah diperkenalkannya terlebih dahulu aksara incung menjadi motif batik oleh Ida Maryanti (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi) pada tahun 1993. Sehingga, hal ini menambah pengetahuan kedua pengusaha batik ini mampu untuk mengembangkan batik incung pada sanggar batiknya masing-masing (Kompas, 1994). Namun, motif incung mulai dimasukkan ke dalam kain mori yaitu pada tahun 1996. Motif yang digunakan oleh sanggar-sanggar batik yang ada di Kabupaten Kerinci pada masa itu adalah dengan ukiran-ukiran tradisional Kerinci.

B. Motif Batik Incung: Penciptaan Aksara Incung sebagai Motif Batik Ide pokok dan ide pendukung dalam penciptaan motif incung Pengembangan usaha batik dikembangkan dengan memperhatikan potensi daerah dan kearifan lokal setempat dalam mengembangkan motif khas daerah setempat (Dewi, 2015). Hal ini terjadi pada pengembangan industri kreatif batik di Kerinci, bahwa mengembangkan motif khas Kerinci, yaitu dengan menggunakan aksara incung sebagai motif batik di Kerinci. Aksara incung dikenalkan kembali kepada masyarakat melalui media batik, sehingga masyarakat lebih mudah memahami dan mengenal bentuk kearifan lokal yang terdapat di wilayah Kerinci ini. Aksara incung dijadikan sebagai karya seni oleh masyarakat Kerinci dengan menjadikannya sebagai motif batik, yang menjadi ciri khas batik di Kerinci. Karya seni tercipta dipengaruhi oleh bentuk budaya pada masyarakat yang memiliki nilai filosofis. Sementara itu, akar penciptaan aksara incung sebagai motif batik di Kerinci tidak terlepas dari peran pemerintah Provinsi Jambi pada masa itu, yaitu yang digerakkan oleh Departemen Perindustrian Provinsi Jambi (sekarang Dinas Perindustrian dan Perdagangan)

A5-6

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 yang diketuai oleh Djamil Usman. Ida Maryanti yang menjadi utusan dari Disperindag membuat desain batik bagi untuk masyarakat Kerinci tahun 1993 (Kompas, 1994). Departemen Perindustrian Provinsi Jambi (sekarang Dinas Perindustrian dan Perdagangan) yang diketuai oleh Djamil Usman. Pada tahun 1993 dinas ini mengutuskan Ida Maryanti untuk membuat batik dengan motif khusus untuk daerah Kerinci. Ida Maryanti menjelaskan bahwa setiap daerah harus memiliki identitas sendiri dalam mengembangkan motif batik, karena di Kerinci memiliki aksara incung sebagai bentuk keragaman kebudayaan maka ia berinisiatif untuk mengembangkan batik di wilayah Kerinci dengan motif aksara incung. Ida Maryani beranggapan bahwa incung diartikan sebagai bahasa dan seni, yang ketika dituangkan ke dalam kain batik maka akan membuat masyarakat lebihi mudah dalam memahami maknanya (Maryanti, 2019). Pada tahun 1994, Djamil Usman sebagai ketua Departemen Perindustrian Mangundang tim kreatif dari Jakarta untuk memperkenalkan batik incung Kerinci melalui fashion show dengan mendatangkan model dari Jakarta (Kompas, 1994).

Ornamen-ornamen pokok dan pendukung dalam penciptaan desain motif batik incung Motif pokok dalam batik incung adalah aksara incung. Selain itu, ada beberapa motif pendukung seperti masjid agung pondok tinggi, pohon bambu, lalau kasawoah (pergi ke sawah), pakaian adat Kerinci, karamentang (bendera pusaka masyarakat Kerinci). Motif ini berhubungan dengan struktur sosial dan budaya yang ada di Kerinci. Pembuatan motif pada kain batik melambangkan ciri khas tiap daerah yang mengembangkan batik tersebut. Motif batik yang berkembang di Indonesia pada awalnya adalah motif geometris, motif non geometris, motif flora dan fauna, motif manusia (Dewi, 2015). Aksara incung Kerinci menunjukkan bahwa masyarakat Kerinci masa kelampauan sudah memiliki hasil karya yang berbumur ratusan tahun, berharga sebagai benda pusaka, bernilai sejarah dan mengandung nilai-nilai estetis untuk menjadikan aksara incung Kerinci sebagai ide penciptaan karya seni. Konsep dan gagasan yang bersumber dari aksara incung Kerinci merupakan penciptaan yang didasari oleh pengalaman dan pengamatan terhadap fenomena sosial dan budaya lokal Kerinci, seperti: sistem kekerabatan dan adat istiadat masyarakat yang tertuang dalam pepatah (Mubarat, 2015)

A5-7

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019

Gambar 1. Abjad Aksara Incung Kerinci Sumber: Dokumentasi Pribadi Nandia Pitri, 2018

Aksara incung adalah salah satu peninggalan kebudayaan masa lalu yang ada di wilayah Kerinci. Aksara incung digunakan oleh suku Kerinci pada masa lalu untuk menuliskan mantra, hukum adat serta sastra yang dituliskan oleh nenek moyang suku Kerinci pada tanduk kerbau, daun lontar, kulit kayu dan bamboo (Djakfar, 2011). Undang-undang Tanjung Tanah yang dituliskan pada abad ke-18 oleh Uli Kozok dikatakan sebagai naskah Melayu tertua, termasuk aksara incung yang ada di wilayah Kerinci. Dinyatakan oleh Kozok bahwa aksara incung ini digunakan sebelum Islam masuk ke wilayah Kerinci (Kozok, 2006). Lahirnya naskah kuno Aksara incung Kerinci, didasari atas pemikiran pentingnya untuk pendokumentasian berbagai peristiwa kehidupan, kemasyarakatan, sejarah dan tulis-menulis. Naskah-naskah kuno yang terkait dengan penulisan aksara sastra incung Kerinci bernilai klasik, baik dari segi bentuk maupun dari segi media dan teknik penulisan yang digunakan (Mubarat, 2015). Aksara incung Kerinci dibentuk oleh garis-garis lurus, patah terpancung dan melengkung. Kemiringan garis pembentuk huruf itu diperkirakan rata-rata 45˚. Meskipun demikian, dalam Aksara incung Kerinci ini tidak berarti aksara yang ditulis miring, seperti dalam penulisan huruf latin yang ditulis miring bersambung, tetapi kebanyakan naskah- naskah tulisan incung yang disimpan orang Kerinci fungsinya sebagai pusaka yang dikeramatkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Alimin, (2003) bahwa: Naskah kuno Aksara incung Kerinci, pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya

A5-8

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Naskah kuno aksara incung Kerinci sudah dipergunakan oleh orang Kerinci selama berabad-abad sesudah aksara Pallawa dikenal oleh bangsa Melayu Sumatera. Berikut beberapa gambar abjad aksara incung (Kozok, 2006). Alimin, (2003) menyatakan bahwa ada dua pendapat tentang asal usul aksara incung di wilayah Kerinci. Pertama, aksara incung berasal dari India dan Cina, bahwa aksara incung berasal dari wilayah India Selatan yang mendapat pengaruh dari bangsa Tamil. Kedua, hubungan politik dan kebudayaan antara Kerinci, Minangkabau serta Jambi. Kerinci menjadi tempat pertemuan raja-raja pada masa lalu. Wilayah Kerinci terkenal dengan daerah perbatasan yang rawan, sehingga untuk menandatangani perjanjian di tulis dalam aksara incung. Sehingga, inilah yang menjadi penyebab suku Kerinci memiliki aksara sendiri. Keunikan Industri batik Incung di Kota Sungaipenuh adalah industri batik yang mampu memproduksi aksara Incung menjadi motif batik yang membuat Sungaipenuh mempunyai ciri khas tersendiri. Sehingga, memperkenalkan identitas daerah, salah satunya adalah motif Incung, karena motif ini merupakan aksara Kerinci Kuno. Oleh sebab itu, karena sudah diterapkan di dalam motif batik membuat masyarakat mengetahui kembali tentang aksara Incung. Selain itu, dengan adanya batik motif Incung ini juga memperkuat identitas kepribadian bangsa khususnya masyarakat Kota Sungaipenuh dalam memperkenalkan identitas budaya suku Kerinci melalui media batik ini. Aksara incung sebagai motif utama didukung juga oleh beberapa motif pendukung seperti masjid agung, pohon bambu, lalau ka sawoah (pergi ke sawah), Karamentang (bendera pusaka masyarakat Kerinci), dan pakaian adat Kerinci. Selain itu, ada beberapa kotif lainnya seperti siliuk, kaligrafi incung, kulit kayu manis, pakau imbo, pucuk rebung, kluk pakau, jangki terawang, gunung Kerinci, carano, lapik terawang, selampit simpei, tunduk saji, bakul, keris, bunga kopi, patah tumbuh hilang berganti, daun keladi, Bungo gdea, daun sirih dan kalilo lahaik (Pitri, 2019).

C. Makna Simbolis Batik Incung Makna simbolis adalah suatu pemikiran yang memiliki makna berupa penekanan pada simbol. Dalam batik incung, makna simbolik terkandung dalam setiap motif yang diciptakan. Ada beberapa motif batik incung yang dikombinasikan dengan motif flora, fauna, kebudayaan serta benda sejarah yang ada di Kerinci, seperti motif incung dan masjid agung, motif incung dan pohon bambu, motif incung dan lalau ka sawoah (pergi ke sawah), motif incung dan pakaian adat Kerinci, serta motif incung dan karamentang.

Motif incung dan Masjid Agung Masjid ini dibangun pada abad ke-18 tepatnya pada tahun 1874 dan telah berumur sekitar 140 tahun. Masjid ini dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat dusun Pondok Tinggi pada masa itu, mulai dari kegiatan meramu dan mengambil kayu di hutan hingga pendirian masjid yang memakan waktu kurang lebih 56 tahun. Selain berfungsi

A5-9

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan oleh masyarakat untuk mengadakan akad nikah serta pengajian.

Gambar 2. Masjid Agung Pondok Tinggi dipadukan dengan Aksara Incung menjadi Motif Batik Sumber: Photo milik Deli dan diambil oleh Nandia Pitri 16 Juli 2018

Motif ini dijadikan sebagai motif batik pada tahun 1999 oleh sanggar batik Puti Kincai. Ada beberapa makna yang terkandung dalam motif masjid agung Pondok Tinggi ini, pertama, “Bapucouk Satau” yang artinya Beratap satu, bangunan Masjid Agung terdiri dari satu atap, yang berarti selalu tunduk atas syarak atau aturan dari yang “Satu” ALLAH SWT dan satu pemimpin adat adat yaitu Depati Payung pondok tinggi. Kedua, “Barampek Jure” yang berarti Empat sisi, bangunan masjid yang berbentuk segi empat yang keempat sisinya mengandung makna para empat tokoh di pondok tinggi yang terdiri dari empat Rio atau Ninik Mamak, dan Empat Imam pegawai masjid yang mana berkerja sama dengan depati untuk membangun masyarakat dan agama di pondok tinggi. Ketiga, “Betingkat tige”. Atap masjid yang memiliki tiga tingkatan, memiliki makna “Sko nan tige takah” atau Tiga tingkatan Pusaka di Masyarakat pondok tinggi yaitu Sko Taganai, Sko Ninik Mamak , dan Sko Depati. Dan bisa artikan masjid Agung ini dijaga layaknya pusaka bagi masyarakat pondok tinggi (Alimin, 2018). Motif yang berkembang berhubungan dengan kondisi geografis Kabupaten Kerinci. Hal ini terlihat pada motif yang diambil seperti motif kulit kayu manis, pucuk rebung, kluk pakau. Terlihat bahwa motif yang dipakai pada masa ini merupakan tanaman yang ada di daerah Kabupaten Kerinci. Selain itu, motif yang dikembangkan juga berhubungan dengan struktur sosial dan budaya yang ada di Kerinci seperti motif siliuk, kaligrafi Incung, masjid agung Pondok Tinggi. Motif ini dikatakan berkaitan dengan struktur sosial dan budaya karena makna yang terkandung dalam motif batik itu sendiri berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat Kerinci. Seperti motif siliuk berhubungan dengan struktur sosial masyarakat karena pada motif ini mengandung arti bahwa setiap orang tidak boleh melupakan sejarah yang ada di

A5-10

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 daerah Kerinci supaya generasi yang akan datang tetap mengenal sejarah dan budaya yang ada di daerah ini. sehingga, motif yang dikembangkan pada masa ini pada umumnya untuk mengingatkan bahwa di Kerinci (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh) pernah mempunyai sejarah yang tidak bisa untuk dilupakan. Motif kaligrafi Incung ini dikembangkan juga berkaitan dengan struktur sosial dan budaya karena untuk memperkenalkan bahwa aksara Incung merupakan aksara Kerinci kuno yang kurang diketahui oleh generasi muda.

Motif incung dan pohon bambu Bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan masyarakat Kota Sungaipenuh . Baik untuk upacara adat, perkawinan maupun pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada kegiatan upacara adat seperti Kenduri Sko maka masyarakat akan menggunakan bambu untuk membuat lemang, pada acara perkawinan bagi masyarakat Sungai Liuk digunakan pada saat Muloa Cucu Ayae, pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha pada saat satu hari sebelum hari lebaran. Berikut merupakan gambar pohon bambu sebagai motif batik:

Gambar 3. Pohon Bambu sebagai Motif Batik di Kota Sungaipenuh Sumber: Photo milik Sri Ana diambil oleh Nandia Pitri 16 Juli 2018 di Sungaipenuh

Motif ini memiliki makna bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi harus bisa memanfaatkan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti kebutuhan pangan. contohnya tumbuhan bambu ini merupakan tumbuhan yang dijadikan alat memasak ketan sebagai pengganti alat/tempat memasak ketan pada zaman sekarang yang kebanyakan menggunakan bahan-bahan buatan manusia (Alimin, 2018). Motif ini dijadikan sebagai motif batik pada tahun 2015 oleh sanggar batik Sanggar Pandan Mangurai.

Motif incung dan lalau ka sawoah (pergi ke sawah) Motif ini memiliki makna bahwa sebagai masyarakat yang mata pencahariannya adalah bertani maka masyarakat Kerinci sering melakukan Lalau kasawoah atau turun ke sawah untuk bergotong royong atau membantu dalam bercocok tanam walaupun sebagian masyarakatnya tidak bekerja sebagai petani namun mereka pada hal-hal tertentu saling

A5-11

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 bergotong royong untuk membatu masyarakat lain yang bekerja sebagai petani (Alimin, 2018). Motif ini dijadikan sebagai motif batik oleh sanggar batik Incoang pada tahun 2017.

Gambar 4. Motif Lalau Kasawoah Sumber: Photo milik Sri dan diambil oleh Nandia Pitri 16 Juli 2018 di Sungaipenuh.

Motif incung dan pakaian adat Kerinci Pakaian adat bagi masyarakat Kerinci ada 2 yaitu pakaian untuk laki-laki yang biasanya dipakai oleh para depati Ninik mamak/pemangku adat, dan pakaian yang lainnya dipakai oleh para dayang (dalam bahasa Kerinci disebut sebagai Lita dan Kulok). Pakaian ini dipakai ketika ada acara atau upacara tertentu seperti pacar kenduri sko, pengangkatan pemangku adat/Depati Ninik Mamak, dan upacara Muloa Cucu Ayae (upacara adat ketika anak perempuan pertama menikah).

Gambar 45 Pakaian Adat Kerinci dan Aksara Incung menjadi motif batik Sumber: Photo milik Sri dan diambil oleh Nandia Pitri pada 22 November 2018 di Sungaipenuh

Motif ini dikembangkan oleh sanggar batik Pandan Mangurai pada tahun 2017. Pakaian ini umumnya berwarna hitam dengan hiasan kuning emas. Hitam melambangkan rakyat banyak yang berarti kekuatan, jadi depati dan ninik mamak memiliki kekuatan karena rakyatnya. Kuning melambangkan kekuasaan yang berarti berundang berlembaga, jadi

A5-12

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 depati dan ninik mamak melaksanakan kekuasaan berdasarkan undang-undang dan lembaga.

Motif incung dan karamentang (Bendera Pusaka) Karamentang ini dipasang ditempat terbuka pada ketinggian mencapai 30 meter. Pada bagian puncaknya digantungkan tanduk kerbau. Bendera ini merupakan sebuah isyarat tentang adanya kenduri sko dan sekaligus menjadi undangan bagi masyarakat banyak untuk datang menghadiri upacara yang sakral itu. Ini adalah Kediri adat yang paling sakral karena benda-benda pusaka akan diturunkan dari loteng rumah untuk dimandikan.

Gambar 6 : Karamentang dan Aksara Incung menjadi motif batik Sumber: Photo milik Erni dan diambil oleh Nandia Pitri pada 21 Juli 2018 di Sungaipenuh

Motif ini mulai dikembangkan oleh sanggar batik Incung pada tahun 2018 yang memiliki makna bahwa setiap upacara dan kenduri serta acara tertentu yang dilakukan oleh masyarakat Kerinci diberitahukan kepada masyarakat yang lain. Hal ini dikarenakan suku Kerinci memegang prinsip kesatuan dan persatuan yang kuat, saling membantu dan saling bahu membahu seperti pepatah mereka “kerjo kecik bertabur arai, kerjo gedang bertabur urai”. Kebersamaan ini juga ditunjukan oleh pepatah “sahalun suhak, salatuh bdei‟ memiliki makna kebersamaan dan hidup saling tolong menolong (Alimin, 2018).

D. Potensi Batik Incung sebagai Icon Pariwisata Kerinci Ikon pariwisata adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan yang terdapat dalam kegiatan wisata yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah kota. Dengan adanya ikon pariwisata suatu daerah akan memiliki objek yang diunggulkan, karena secara tidak langsung ikon pariwisata memiliki fungsi untuk menambah daya tarik wisata suatu objek. Ciri khas dan spesifikasi setiap unsur tertentu sebagai sebuah karakter dan setiap daerah yang dirasa belum memiliki batik yang berciri khas daerahnya mulai berupaya untuk mencari

A5-13

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019 dan memilah ikon-ikon tertentu untuk mendukung spesifikasi unsur-unsurnya agar mendapatkan sebuahsimbol daerah dalam pembatikan (Sahidah, 2009). Ada beberapa unsur daerah yang dapat diangkat menjadi simbol tertentu, antara lain: 1) Flora dan fauna 2) Nilai sejarah daerah 3) Geografi daerah 4) Nilai budaya/kesenian daerah 5) Simbol-simbol baru yang inovasi. Dari pernyataan di atas bahwa batik incung berpotensi untuk dijadikan ikon pariwisata kerinci, karena batik incung tersebut masuk kedalam unsur-unsur daerah yang layak jika dijadikan sebuah simbol daerah karena batik incung memiliki unsur flora dan fauna serta nilai budaya dan kesenian daerah. Pernyataan ini juga diperkuat dari beberapa aspek yang ada, baik berkaitan dengan hasil wawancara, foto, dan hasil data primer maupun sekunder lainnya yang sudah didapatkan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ornamen incung berpotensi dijadikan sebagai motif batik khas Kerinci karena ornamen tersebut memiliki karakteristik yang melambangkan ciri khas masyarakat Kerinci karena memadukan antara aksara incung dengan kebudayaan yang ada di Kerinci. Batik ini mulai dikembangkan pada tahun 1995 diawali dengan peran Bupati Kerinci untuk mengembangkan batik khas Kerinci dengan melakukan pelatihan di Yogyakarta sehingga masyarakat mampu untuk mengembangkan batik yang melambangkan kebudayaan serta ciri dari masyarakat Kerinci tersebut. Dari hasil penciptaan ornamen incung sebagai motif batik khas Kerinci terdapat beberapa motif lainnya yang dihasilkan seperti Aksara incung sebagai motif utama didukung juga oleh beberapa motif pendukung seperti masjid agung, pohon bambu, lalau ka sawoah (pergi ke sawah), Karamentang (bendera pusaka masyarakat Kerinci), dan pakaian adat Kerinci. Selain itu, ada beberapa kotif lainnya seperti siliuk, kaligrafi incung, kulit kayu manis, pakau imbo, pucuk rebung, kluk pakau, jangki terawang, gunung Kerinci, carano, lapik terawang, selampit simpei, tunduk saji, bakul, keris, bunga kopi, patah tumbuh hilang berganti, daun keladi, Bungo gdea, daun sirih dan kalilo lahaik. Filosofi setiap desain motif incung yang diciptakan berhubungan dengan kebudayaan, kondisi sosial dan beberagaman karakter masyarakat Kerinci. Pertama, yang tergambar dalam motif incung dan masjid agung berisi berbagai macam ornamen kuno Kerinci, yang melambangkan struktur sosial masyarakat Kerinci. Kedua, Motif incung dan pohon bambu berisi tentang pemanfaatan alam sebagai sumber kehidupan masyarakat

A5-14

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019

Kerinci. Ketiga, Motif incung dan lalau ka sawoah (turun ke sawah) berisi tentang saling bergotong royong dalam membantu bercocok tanam. Keempat, Motif incung dan pakaian adat Kerinci berisi status sosial seseorang dalam masyarakat. Kelima, motif incung dan karamentang berisi tentang pemberitahuan kepada masyarakat lain jika dilaksanakan upacara sakral oleh masyarakat lainnya di Kerinci serta motif lainnya. Batik ini mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai ikon pariwisata Kerinci, sebab menggambarkan kondisi sosial budaya Kerinci. Batik ini memiliki keunikan karena menggabungkan antara motif incung dengan motif lainnya pada suatu daerah. Dengan begitu batik incung dirasa berpontensi besar jika di jadikan ikon pariwisata yang nantinya akan menambah daya tarik wilayah Kerinci serta menambah jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kerinci. Keberadaan batik incung ini juga mulai di akui oleh masyarakat. Pemerintah terus berupaya untuk memasarkan dan mengenalkan produk batik incung ini kepada masyarakat luas terbukti pemerintah selalu membawa saat bertugas di luar kota dan menjadikan batik incung ini sebagai souvenir jika ada tamu luar kota yang berkunjung di kedinasan ke Kerinci. Sementara itu, Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pelatihan kepada para pembatik di Kerinci agar selalu berkarya dan berinovasi agar tercipta lebih banyak lagi motif batik incung yang lainnya. Sehingga harapan mengenai keberlangsungan dari keberadaan batik incung ini sangat potensial.

Saran Pengembangan motif incung masih cukup berpotensi untuk terus dikembangkan dengan mengkombinasikan ornamen-ornamen lainnya yang merupakan potensi sumber daya dari daerah Kerinci sehingga menambah khazanah desain motif batik di Provinsi Jambi, khususnya di wilayah Kerinci.

KONTRIBUSI PENULIS Penulis pertama merupakan kontributor utama dalam penulisan jurnal ini.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada dosen pembimbing Bapak Prof. Dr. Herwandi, M.Hum dan Ibu Dr. Lindayanti, M.Hum yang telah membimbing dan memberi masukan untuk tulisan ini. kepada Universitas Andalas, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, Sanggar batik di Kerinci, dan pihak yang telah banyak membantu dalam kegiatan penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA Adhanita, S. (2013). Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan. 9(4), 381–392. Retrieved from https://ejournal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6676

A5-15

Prosiding Seminar Nasional Industri Kerajinan dan Batik 2019 eISSN 2715-7814 Yogyakarta, 08 Oktober 2019

Aditia, D. (2014). Analisis Visual Motif Dan Makna Simbolis Batik Majalengka. Universitas Pendidikan Indonesia. Alimin. (2003). Sastra Incung Kerinci. Sungaipenuh: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci. Alimin. (2018). Wawancara. Sungaipenuh. Dewi, D. (2015). Makna Simbolik Motif dan Warna Batik Arum Dalu, Sekar Jagad Jepara, dan Sido Arum Karya Gallery Nalendra Jepara. Universitas Negeri Yogyakarta. Djakfar, I. (2011). Menguak Tabir Prsejarah di Alam Kerinci. Sungaipenuh: Pemerintah Kabupaten Kerinci. Ekspres, J. (1999). Karang Setio Batik Kerinci yang Tetap Eksis. Juni, p. 7. Gottschalk, L. (2007). Mengerti Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Jaya, Elita., D. I. (2018). Wawancara. Kota Sungaipenuh. Karmela, S. H. (2014). Produk Kerajinan Budaya Melayu Jambi Sebagai Bagian Dari Industri Kreatif Di Indonesia. Kompas. (1994). Memindahkan “Encong” dan Kerinci ke atas Kain Mori. Maret, p. 13. Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor. Maryanti, I. (2019). Wawancara. Jambi. Mubarat, H. (2015). Aksara Incung Kerinci sebagai Sumber Ide Penciptaan Seni Kriya. Jurnal Ekspresi Seni, Volume 17(No. 2). Pitri, N. (2019). Sejarah Industri Batik Incung: Dari Masa Kabupaten Kerinci sampai Masa Kota Sungaipenuh. Universitas Andalas. Ramli, T. dan Y. A. (2005). Biografi Mayjen H. A. Thalib (1918-1973): Perjuangan dari Bumi Sakti Alam Kerinci. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia. Sahidah, B. A. (2009). Eksistensi Batik Pecel ( Sejarah , Makna Simbolis Dan Potensinya Sebagai Ikon Pariwisata Kota Madiun ) Pendahuluan. Jurnal Agastya, 8(2), 221–238. Salma, vasiliki R. dan I. R. (2013). Rupa karsa: eksplorasi kayu limbah dalam seni kajian estetika pada karya edi eskak. Dinamika Kerajinan Dan Batik, 30, 99–108. Satori, D., Komariah, A. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sjamsudin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Soeroto, S. (1983). Sejarah Kerajinan di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Time, K. (2013). Tekhnis Pembatikan Motif Khas Kota Sungai Penuh. Retrieved from https://kerincitime.co.id/perkembangan-dan-tekhnis-pembatikan-motif-khas-kota- sungai-penuh.html Zed, M. (1999). Metodologi Sejarah. Padang: Universitas Negeri Padang.

A5-16