Paskibraka: Sejarah dan Masa Kini 25 Aug 2014 , lainnya

Paskibraka atau singkatan dari Pasukan Pengibar selalu menjadi pusat perhatian pada upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus. Setiap tahunnya, para pelajar SMA/SMK bersaing ketat mengikuti kegiatan seleksi yang dilaksanakan berjenjang mulai di tingkat kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga nasional. Saat ini sepasang pemuda (putra-putri) dari 34 provinsi di akan bertugas mengibarkan Sang Merah Putih di Istana Merdeka pada puncak peringatan 17 Agustus 2014.

Sejarah Paskibraka tidak terlepas dari bendera pusaka Sang Merah Putih yang kali pertama dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Saat terjadi agresi militer Belanda pertama, ibukota Republik Indonesia pindah ke . Peringatan pertama proklamasi kemerdekaan RI diselenggarakan di Yogyakarta, tepatnya saat ini di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Mayor (L) Husein Mutahar, salah satu ajudan Presiden Soekarno – disapa sebagai Kak Mut, diberikan tugas untuk melaksanakan peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu beliau memiliki pemikiran bahwa sebaiknya pengibaran bendera dilakukan oleh pemuda (putra-putri) dari seluruh Indonesia. Pengibaran bendera saat itu dilakukan oleh lima pemuda (putra-putri) yang tinggal di sekitar Yogyakarta yang merupakan perwakilan daerah. Angka lima dipakai sebagai salah satu pemaknaan dari .

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer kedua. Hal itu mengakibatkan diasingkannya Presiden Soekarno ke Pulau Bangka. Sebelum diasingkan, Bung Karno memberikan mandat istimewa kepada Kak Mut. Bung Karno berkata, “Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu (secara) pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini (bendera) tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya Engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andai kata Engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.” Saat itu Kak Mut terdiam.

Dalam usahanya melaksanakan tugas menyelamatkan Sang Saka Merah Putih, Kak Mut melepaskan benang penyambungnya sehingga terbentuklah dua kain, yaitu kain berwarna merah dan kain berwarna putih. Kain berwarna merah dipakaikan melingkari perut dan diikat kuat, sedangkan kain berwarna putih diletakan pada dasar tas. Pasukan musuh pun tak menyadari hal tersebut dan selamatlah Sang Saka Merah Putih.

Sang Saka Merah Putih dikembalikan kepada Bung Karno melalui perantara Bapak Soedjono sekitar bulan Juni 1949. Saat itu Presiden memerintahkan Kak Mut untuk menyerahkan bendera pusaka kepada Pak Soedjono yang saat itu bertugas sebagai delegasi perundingan RI dan dapat menemui Bung Karno di pengasingan. Setelah Kak Mut mengetahui jadwal keberangkatan Pak Soedjono ke Pulau Bangka, Kak Mut segera menyambungkan kembali Sang Saka Merah Putih tepat di tiap lubang jahitan awalnya. Namun sayangnya, meski dilakukan dengan sangat hati-hati, terdapat kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Akhirnya Sang Saka Merah Putih pun diserahkan ke Pak Soedjono dan tuntaslah tugas yang diamanatkan Bung Karno kepada Kak Mut. Bung Karno kembali ke Ibukota Yogyakarta pada 6 Juli 1949 tentunya bersama bendera pusaka Sang Saka Merah Putih. Peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1949 pun dilaksanakan di Istana Gedung Agung Yogyakarta. Pada saat itulah terakhir kali Sang Saka Merah Putih berkibar pada peringatan Kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta karena akhir Desember 1949, Sang Dwi Warna bersama Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke . Sejak tanggal 17 Agustus 1950, Sang Saka Merah Putih dikibarkan di tiang Istana Merdeka setiap tanggal 17 Agustus hingga akhirnya diduplikatkan.

Pada tahun 1967, Presiden Soeharto memerintahkan Kak Mut untuk menangani kembali terkait pengibaran bendera. Dengan ide dasar dan pelaksanaan upacara tahun 1946, Kak Mut mengembangkan formasi pengibaran menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 17 (pengiring/pemandu), kelompok 8 (inti), dan kelompok 45 (pengawal). Hal itu merupakan gambaran dari hari kemerdekaan Indonesia, yaitu 17-8-45. Pada waktu itu, dengan situasi dan kondisi yang ada, beliau melibatkan putra-putri daerah yang ada di Jakarta dan menjadi anggota organisasi kepanduan (saat ini disebut Pramuka) untuk melaksanakan tugas pengibaran Bendera Pusaka.

Pada tanggal 17 Agustus 1968, petugas pengibar Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan provinsi. Akan tetapi, belum seluruh provinsi mengirimkan utusan, sehingga masih harus ditambah oleh mantan anggota pasukan tahun 1967. Pasukan inilah yang merupakan perwujudan pertama ide Paskibraka dan yang terakhir kali mengibarkan Bendera Pusaka.

Pada tahun 1969, Bendera Pusaka diduplikatkan. Hal ini dengan alasan kondisi Bendera Pusaka yang sudah terlalu tua sehingga tidak mungkin lagi untuk dikibarkan. Tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta, berlangsung upacara penyerahan Duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan Reproduksi Naskah Proklamasi oleh Presiden Soeharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar di seluruh Ibukota Provinsi/Daerah Tingkat I dapat dikibarkan Duplikat Bendera Pusaka dan diadakan pembacaan naskah Proklamasi bersamaan dengan upacara peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus di Istana Merdeka Jakarta. Selanjutnya, Duplikat Bendera Pusaka dan Reprodusi Naskah Proklamasi juga diserahkan kepada Daerah Tingkat II/ Kabupaten-Kotamadya dan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Saat itu nama pasukan yang bertugas sebagai pasukan pengibar bendera pusaka belumlah dikenal sebagai Paskibraka. Barulah pada tahun 1973, Kak Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk anggota pengibar bendera pusaka dengan sebutan Paskibraka. “Pas” berasal dari Pasukan, “kib” dari kata dasar pengibar, yaitu kibar, “ra” berasal dari bendera, dan “ka” dari pusaka.

Bukan sekali duplikasi bendera pusaka dilakukan. Sejak pertama dilakukan pada 1969, duplikat bendera pusaka juga dibuat pada tahun 1985. “Pada dasarnya, semua bendera Merah Putih yang berkibar pada tanggal 17 Agustus adalah pusaka (baca: duplikat pusaka)”, itu adalah pesan yang disampaikan Kak Dharminto (salah satu pembina Paskibraka Nasional) kepada penulis sekitar tahun 2007-an. Disampaikan dengan maksud bahwa semua warga negara khususnya pemuda harus mampu menjadi pengawal Sang Merah Putih, mengawal cita-cita dan semangat kemerdekaan, melanjutkan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan, dan harus menghormati Sang Merah Putih sebagai salah satu simbol kedaulatan, jati diri, dan pemersatu bangsa.

Saat ini setiap tahunnya dilaksanakan kegiatan Seleksi Paskibraka yang berjenjang mulai tingkat kecamatan hingga provinsi, khususnya di Jakarta. Meski minat pelajar tidak seperti dulu namun Paskibraka tetap merupakan salah satu model generasi muda saat ini. Setiap tahunnya di Jakarta Barat terpilih dua puluh lima pelajar yang tergabung sebagai Paskibraka di tingkat Kota Jakarta Barat. Di kota/kabupaten lain atau provinsi mungkin bisa berbeda jumlahnya sesuai dengan kebutuhan/kondisi wilayah masing-masing. Begitu pula formasi Paskibraka yang dipakai pada pelaksanaan tugas pengibaran/penurunan bendera meskipun pada dasarnya mengacu kepada formasi 3 kelompok 17-8-45. Angka 17-8-45 yang merepresentasikan suatu kelompok tidak berkaitan langsung dengan jumlah anggota kelompoknya. Misal pada kelompok 17 tidaklah harus berjumlah 17 orang, begitu pula kelompok 8 yang biasanya berjumlah 12 orang dan kelompok 45. Di tingkat nasional, kelompok 45 yang bertugas di Istana Merdeka adalah anggota Paspampres. Pada awal direncanakan, kelompok 45 terdiri atas mahasiswa/taruna AKABRI (sekarang Akmil-Akpol) tetapi karena libur perkuliahan dan kendala transportasi, akhirnya diputuskanlah kelompok 45 diambil dari Paspampres.

Pada upacara setiap tanggal 17 Agustus yang biasanya dilakukan oleh Paskibraka dengan mengibarkan duplikat bendera pusaka, tidak semua pemerintah kota/kabupaten dan provinsi yang melaksanakan penurunan bendera. Setiap tahun, Paskibraka di Jakarta Barat tidak hanya disiapkan untuk upacara pengibaran (penaikan) bendera, melainkan tugas penurunan bendera walau hanya dihadiri oleh kalangan internal anggota Purna Paskibraka Indonesia Jakarta Barat.

Para anggota Paskibraka Tingkat Nasional yang terpilih pasti akan kembali ke daerah asalnya dan membawa pesan sebagai duta pemuda teladan serta membagikan ilmu yang didapat kepada pemuda-pemuda lain di daerahnya. Begitu pula dengan Paskibraka Tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten. Usai pelatihan dan pelaksanaan tugasnya, mereka kembali ke daerah asalnya. Menjadi seorang Paskibraka Tingkat Nasional tentu menjadi suatu prestasi dan penghargaan tersendiri. Namun di luar itu, seorang Paskibraka Tingkat Nasional belum tentu lebih baik dari teman-temannya di tingkat provinsi, maupun kota/kabupaten. Bahkan belum tentu lebih baik dari pelajar lain yang bukan anggota Paskibraka. Menjadi Paskibraka bukanlah hanya soal melaksanakan tugas pengibaran bendera dan baris-berbaris, melainkan juga bagaimana mengisi kemerdekaan dengan berpartisipasi aktif membangun bangsa.

Mario Martin

Wakil Ketua I

PPI Jakarta Barat

~~*) Sejarah Paskibraka

Sumber Buku Penyelenggaraan Paskibraka etc