1

Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan

© Achmad Sunjayadi, 2010

Pengantar: Dr. Roger Tol

2

Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan

Pengantar Roger Tol (Direktur KITLV-Jakarta) ……………………………...... 5

Pengantar Penulis ...... ……………………………………………………...... 6

1. Satu Jam Bedanya ………………………………...... ……………… 7

2. Wisma Rambo ...... ……………………………………………… 9

3. Ayam Jalan Berkotek ...... …………………………………………… 12

4. Si Petpet ...... ……………………………………………… 14

5. Mikiji, Tawwa! ...... ……………………………………………… 17

6. Benteng Penyu ...... ……………………………………………… 24

7. Makassar Mall ...... ……………………………………………… 27

8. Tamalanrea Friendship ...... ……………………………………………… 29

9. Kue Bugis, Kanre Jawa ...... ……………………………………………… 32

10. Ikan Pinggang ...... ……………………………………………… 34

11. Tour de Makassar ...... …………………………………………… 37

12. Cinta Raja Kera …………………………………...... …………… 40

13. Balada Bissu ………………………………………...... ……… 42

14. Tak Kelar ……………………………………...... ………… 44

15. Tator ………………………………...... ……………… 46

16. Cap Tikus ………...... ……………………………………… 49

17. Rindu Tempe …...... …………………………………………… 52

18. Misteri Hitam ……...... ………………………………………… 54

19. Memahami Kembali Siri’ Sebagai Unsur Kekuatan Dalam Strategi Kebudayaan Sulawesi Selatan (Mengenang Profesor Dr. Mattulada) …………………...... …………………………………….58

20. Bukan Perempuan Biasa …………………………………...... …………..…….70

21. Cerah Bergairah ………………………………………...... …………..73

3

22. Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan di Masa Lalu dalam Tradisi Tulis Dunia …...... 76

23. Raskin ………………………………………...... ………….79

24. Peta Kuno , Kolonialisme dan Karaeng Pattingalloang ……………...... …………………82

25. Payung Luwu di Bumi Sawerigading …………………………...... ….………….85

26. A2DCDS? ………………………………………...... ….89

27. Romeo Must Die …………………………………...... ……………….91

28. Aksi Pagi Ini ………………...... ………………………………….93

29. Batas Pantai …………………………………...... ……………….96

30. Datang Dijemput, Pulang Diantar ………...... ………………………………………… 98

31. Epilog: Kacamata ………………………...... ……………………… 100

Tentang Penulis ...... 103

4

Kata pengantar

Selalu menarik untuk membaca tulisan mengenai budaya dan kehidupan orang melalui kacamata asing. Kan, kadang-kadang pandangan asing itu justru diperlukan untuk memahami dan melihat diri sendiri, karena mata kita agak jereng atau sudah terdapat gejala katarak. Pokoknya penglihatannya mulai kabur sehingga tidak bisa tahu lagi mana yang nyata dan mana yang khayalan. Dalam buku ini pun seorang pengamat asing menyajikan pandangannya tentang masyarakat dan budaya di Sulawesi Selatan, meskipun ia bukan seorang asing bule seperti saya, tetapi seorang asing domestik dari Jawa. Bagi saya hal itu lebih menarik lagi dengan pertanyaan adakah perbedaan persepsi antara kedua jenis orang asing ini terhadap kehidupan di Sulawesi Selatan? Ternyata , tapi sebetulnya tidak begitu banyak. Yang mencolok mata justru adalah persamaan persepsi dan pengalaman. Jelaslah bahwa kami berdua merasa tertarik pada dan krasan di tanah Bugis dan Makassar dengan sejarah yang menarik, kesusastraan yang agung, dan kebudayaannya yang unik. Sebenarnya kesamaan itu bisa saja disebabkan kami mempunyai latar belakang yang mirip. Achmad Sunjayadi sebagai orang Jawa mempelajari bahasa Belanda dan saya sebagai orang Belanda pernah studi bahasa . Lalu kami berdua berlayar ke Makassar dengan bekal kemahiran bahasa Belanda yang berarti mempunyai akses pada kepustakaan dan kearsipan yang luar biasa kayanya tentang segala aspek Indonesia, termasuk Bugis dan Makassar. Rasanya pada kesempatan ini tepat sekali saya mempromosikan kekayaan koleksi dokumen tentang Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda dan yang terdapat tidak saja di Belanda, tetapi juga di Indonesia di lembaga-lembaga seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Pada hemat saya setiap sejarawan yang ingin membahas sejarah Indonesia secara serius mau tak mau harus memahami bahasa Belanda, paling tidak secara tertulis. Kalau kita membaca tulisan Achmad Sunjayadi dalam buku ini, manfaat pengetahuan seperti itu langsung menjadi kentara. Tulisan-tulisan dalam buku ini sangat bervariasi, baik dari segi topik maupun bahasannya. Ada yang sangat mudah dicerna, nyaris seperti obrolan saja, ada juga yang bersifat serius sekali dan ilmiah. Mungkin ada pembaca yang kurang senang dengan isi dan gaya yang bervariasi ini; bagi saya pribadi hal itu tidak menjadi masalah, bahkan justru menyenangkan. Bukankah kehidupan itu beraneka ragam? Sebagian besar tulisannya merupakan pengalaman pribadi Achmad Sunjayadi sebagai participant observer di masyarakat Sulawesi Selatan dan kehidupan kampus Universitas Hasanuddin. Sambil membaca dengan sendirinya kita diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang dari dahulu kala telah menarik perhatian para pengunjung dan pengamat: konsep siriq, karya sastra La Galigo, para bissu, dan kecerdasan Karaeng Pattingaloang. Namun ada juga topik yang belum begitu terkenal seperti cerita kereta api di Takelar. Tinjauan-tinjauan Achmad Sunjayadi seperti itu bersifat informatif dan didasarkan studi pustaka yang memadai. Kemudian ada beberapa tulisan bersifat istimewa yaitu sejumlah bahasan tentang ‘masalah perut’ yang jelas-jelas merupakan kesenangan penulisnya, sebagaimana nampak pula dari judul buku ini. Sampai mendetil Achmad Sunjayadi bercerita tentang haute cuisine di Sulawesi Selatan: jalangkote, bikangdoang, songkolo begadang, dan (non)pengalamannya dengan minuman keras seperti balloq. Meskipun ia mengakui tetap kangen pada makanan tempe, buku berikutnya hampir pasti merupakan buku masakan Makassar dan Bugis.

Dr. Roger Tol Direktur KITLV-Jakarta

5

Pengantar penulis

Tabee, Kehidupan merupakan proses belajar kita. Sebagai suatu proses tentu memerlukan waktu dan tidak seketika jadi. Dalam menjalani proses itu kita pasti menemukan, mengenal lingkungan dan orang- orangnya yang kita anggap menyenangkan maupun tidak. Suatu proses untuk memaknai hidup dapat kita temukan di mana saja. Seperti halnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Leiden, Belanda saya menjumpai elong/syair Bugis anonim dari abad ke-19 di tepi kanal dekat perpustakaan KITLV. Elong itu dapat kita nikmati dari seberang kanal di Wittesingel. Sayang, saya tidak dapat membaca aksara Bugis tersebut. Tetapi saya akhirnya dapat menemukan artinya, kurang lebih begini: Aku sudah berkelana kemanapun, namun tak pernah kujumpai kearifan yang lebih banyak daripada di sini. Suatu ungkapan yang membuat saya merenungi makna elong itu dalam-dalam. Ternyata kearifan, kebijaksanaan itu dapat kita temukan bila memang kita mencarinya dan mampu merasakan untuk memaknai kehidupan itu di mana saja. Tahun 1999, tawaran untuk mengajar ke Makassar (waktu itu Ujung Pandang ) saya terima walaupun sempat ada kebimbangan dan perasaan ragu. Jujur saja, saat itu di kepala saya yang muncul hanyalah stereotip buatan bangsa asing. Begitupula pengalaman-pengalaman teman-teman yang nyaris ‘menciutkan’ semangat. Namun, perasaan ingin tahu dan minat berpetualang mengalahkan semua keraguan. Kapan lagi bisa memadukan antara pekerjaan dan hobi. Proses memaknai kehidupan telah saya jalani selama empat tahun (1999-2003). Banyak suka dan duka yang saya temui. Ya, bagi saya masa empat tahun tidak ada yang sia-sia. Baik itu suka maupun duka jadi merupakan proses belajar. Semakin saya mengetahui sesuatu, semakin sadarlah saya terhadap kekurangan saya. Dalam kurun waktu tujuh tahun, dari 2003 hingga 2010 tentu banyak perubahan di kota tempat saya pernah tinggal. Perubahan tersebut tentu disadari, dilihat dan diperhatikan oleh mereka yang tinggal di sana. Saya sendiri telah ‘berjarak’ dengan kota tersebut sehingga banyak hal yang mungkin saat ini telah berubah. Banyak hal pula yang luput dalam penuturan pengalaman saya ini sehingga catatan ini memiliki kekurangan. Sebagai ungkapan terima kasih, dengan penuh cinta saya persembahkan kenang-kenangan berupa catatan proses kehidupan yang saya jalani dari suatu episode kehidupan. ini kepada semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung membantu dan mendukung saya selama ini. Dengan harapan dapat menjadi sumbangan kecil dalam mencapai kebijaksanaan, kearifan itu. Walaupun mungkin ungkapan terima kasih ini tidak senilai dengan bantuan dan dukungan yang telah mereka berikan selama ini. Ucapan terima kasih, saya haturkan kepada Nederlandse Taal Unie, Erasmus Taalcentrum Jakarta, Dr. Kees Groeneboer, Ibu Margriet M.Lappia M.S, Mw M.Hukom, Mw Lies Radjawane, Mw Alice, Ibu Sumarwati Poli, Yannie Surawiredja, Ellie, Rektor Unhas (1999-2003), Dekan Fakultas Sastra Unhas dan staf, Ketua Program D3 Pariwisata Unhas dan staf, rekan-rekan Pusat Bahasa Unhas (Bu Etty, Bu Anjar dkk.), Salma, Adil, para mahasiswa D3 Pariwisata konsentrasi Belanda angkatan 97, 98, 99, 2000, 2001, dr. Cahyono, Bung M. Latief, Horst Liebner, Sensei Hasebe, alumni wisma Rambo (Pak Lik Triweda Raharjo, Om ‘brur’ Jon Waromi, Pak Teras Dayut, Joni Agustaf, Stevenson Koloay, Stefly Mudaso, Pak Rustam, Pak Parno), Pengurus wisma Rambo (Pak M.Amin dan keluarga), rekan- rekan di Erasmus Taalcentrum Jakarta, Dr. Roger Tol (KITLV-Jakarta), Ayahanda Soedjadi (almarhum), Endang Aswaty, adik-adik (Yuli & dr. Windu, Yudi & Ari Timi, Dito & Rina), istriku tercinta A. Andinie dan buah hati kami, Danish Fikri Sunjayadi, Naila Nadja Meuthia.

Mariki’di Achmad Sunjayadi

6

1. Satu Jam Bedanya

Bingung. Itulah kesan pertama sewaktu tahu bahwa saya akan ditugaskan di luar kota. Bukan sekedar luar kota, melainkan luar Jawa, tepatnya Ujung Pandang (sekarang Makassar, pen.). Lingkungan yang berbeda, suasana yang berbeda bahkan waktu yang berbeda. Satu jam lebih awal dibanding di Jawa. Padahal masih dalam satu negara. Inilah hebatnya negara kita. Hanya seminggu waktu untuk berpikir. Bersedia atau tidak, itulah pilihannya. Saya yang berasal dari keluarga Jawa tentu tidak dapat segera mengambil keputusan. Saya harus meminta pertimbangan keluarga terlebih dahulu. Dari pihak keluarga beragam reaksi yang muncul. Dari saran- saran yang masuk, nyaris tidak ada yang positif. Rata-rata memberikan kesan yang negatif. Yang inilah, itulah, kalau di sana jangan begini, jangan begitu, awas ini, awas itu. Saya curiga, jangan-jangan mereka sendiri belum pernah ke sana. Jadi usaha ask the audience malahan membuat saya bingung. Mau fifty-fifty, ya memang hanya dua jawabannya. Bersedia atau tidak. Akhirnya kata bersedia yang diambil, diiringi Basmallah. Saat itu saya dipasangkan dengan Nienk (Belanda 93), adik kelas saya untuk bertugas di Ujung Pandang. Sebagai catatan, Nienk ini langsung setuju ketika tawaran ini diberikan padahal ia adalah seorang perempuan. Pasti ada alasannya, pikir saya tetapi saya tak ambil pusing. Seminggu kemudian saya memberikan jawaban. Kami akhirnya berangkat ke medan juang. Hari keberangkatan pun tiba. Saya sempat panik dan nyaris terlambat karena kopor saya dibawa mobil yang lain (ada tiga mobil yang mengantarkan saya). Ketika kopor tiba, saya langsung menuju pesawat untuk boarding. Akibatnya saya lupa berpamitan dengan keluarga yang mengantar di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Ketika saya duduk di kabin pesawat, saya baru teringat kalau belum berpamitan dengan dengan mereka.. Dari sebuah buku yang sempat saya baca di pesawat disebutkan bahwa nama Ujung Pandang diambil dari sejenis tumbuhan berdaun yang panjang. Tumbuhan itu berguna untuk obat dan tali pemintal. Ujung Pandang kemudian dipergunakan sebagai nama benteng yang oleh Cornelis Speelman diubah menjadi Fort Rotterdam. Sekedar untuk mengenang kampung kelahirannya di tanah Belanda sana. Persis seperti J.P. Coen yang ngebet ingin menamai kota di Jawa yang direbutnya dari pasukan Jayakarta dengan Nieuwe Hoorn. Gambar seorang gadis yang tersenyum dalam balutan pakaian khas yang disebut Baju Bodo menarik perhatian saya. Di atas gambar itu tertera judul Gateway to the East. Saya lanjutkan membaca. Ada beberapa kelompok etnik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Kelompok yang terbesar yaitu Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Menarik juga karena saya sebelumnya hanya mengenal Bugis-Makassar.

7

Berikutnya saya melihat gambar deretan perahu phinisi yang terkenal telah mengarungi samudera hingga ke benua Afrika. Saya jadi teringat pada deretan perahu berlayar khas yang berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta yang sarat dengan muatan. Lalu mata saya tertumbuk pada sederet tulisan: ‘restoran terpanjang di Asia’. “Apa maksudnya ini?”, pikir saya. ‘Di sini anda dapat menikmati beragam masakan dan minuman lezat,’ tulis buku itu. Saya mencoba menebak. Itu pasti Pantai Losari yang terkenal itu. ‘jangan lupa menikmati aneka hidangan laut yang lezat, dan pisang epe, hidangan khas dari pisang yang dipanggang dengan saus gula beraroma ’. Halaman demi halaman saya sibak hingga saya menemukan:‘Toraja, dengan kemistikan dan pemandangannya yang indah.’ Saya jadi semakin penasaran. Rupanya banyak hal yang menarik tentang Sulawesi dan sama sekali belum saya ketahui. Itulah, ada pepatah bijak yang mengatakan: ‘semakin kita merasa banyak tahu, maka semakin banyak pula yang tidak kita ketahui’. Seperti minum air laut saja. Laut? Mengingat laut, pandangan kuarahkan ke arah bawah. Rupanya, kita terbang berada di atas laut. Laut membiru dengan kapal-kapalnya, seolah menyambut kedatangan saya di ‘negeri’ baru. Pesawat terbang merendah mendekati daratan yang menghijau. Atap-atap rumah, jalanan dan mobil-mobil tampak begitu kecil. Tak lama kemudian terdengar suara merdu pramugari: “Bapak-bapak dan ibu-ibu, beberapa saat lagi kita akan mendarat di Bandara Hasanuddin. Perbedaan waktu dengan Jakarta satu jam. Terima kasih atas kepercayaan Anda terbang bersama kami. Sampai jumpa.” Beberapa menit lagi, saya akan menginjak tanah baru, lingkungan baru, suasana baru. Akhirnya Garuda, sang burung besi yang mengantarkan saya dari Jakarta mendarat mulus, tanpa goncangan. Saya pandangi teman saya. Sepertinya ia dapat menebak pikiran saya: “Apa yang akan kita alami di sini?” Sambil mengangkat ransel saya berkata lirih: “Selamat datang”. Tanah Sulawesi pun saya injak untuk pertama kali.

8

2. Wisma Rambo

Setelah sejenak berkeliling menikmati malam di kota Anging Mamiri bersama Bu Margriet dan Bu Poli yang menjemput kami di bandara, saya kemudian ‘dititipkan’ di Wisma Hasanuddin di Jalan Sunu. Mungkin karena lelah, setelah membongkar isi kopor saya langsung tertidur. Padahal saat itu masih sore, baru pukul 20.30 WIB tapi di sini sudah pukul 21.30 WITA. Saya sudah tak peduli dengan nyamuk-nyamuk yang tampaknya senang dapat menikmati darah segar dari Jawa. Begitu tubuh menyentuh kasur, mata langsung terpejam. Tiba-tiba saya dikejutkan suara-suara keras orang berdebat dan seperti mau berkelahi. Saya segera bangun, keluar ke ruang tamu. Tak ada perkelahian. Hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Saya kembali ke kamar. Dari luar masih terdengar suara-suara keras itu. Orang- orang yang mengobrol. Nah, rupanya beginilah gaya bicara orang di sini dan saya sebagai tamu harus membiasakan diri. Lucu juga kalau saya mencoba gaya bicara keras seperti itu di Jawa. Bisa copot jantung ibu saya. Seminggu sudah saya menginap di Wisma Hasanuddin hingga akhirnya saya minta untuk dipindahkan dekat kampus. Terus terang, kalau berangkat di pagi hari saya agak repot karena pete- pete, angkutan umum yang menuju kampus rupanya agak sulit didapat. Daripada terlambat, lebih baik pindah saja. Syukurlah, saya mendapat kamar di Wisma Tamalanrea yang berada dalam kampus. Hari Minggu pagi, Nienk dan Ibu Margriet datang menjemput. Sebelumnya saya sudah berkemas. Jadi, begitu mereka datang kami langsung berangkat. Kamar yang saya tempati ini lumayan luas, meskipun kamar mandinya berada di luar. Tidak seperti kamar di Wisma Hasanuddin yang dilengkapi kamar di dalamnya. Yang penting saya bisa menghemat waktu, dan jendelanya bisa dibuka. Setelah makan siang dan mengantar Nienk serta Ibu Margriet pulang saya kembali membongkar ‘peralatan tempur’ saya dari kopor. Ketika saya sedang asyik membongkar terdengar suara: “Orang baru, ya?”. Saya menengok ke arah pintu. Dua orang berada di ambang pintu. Yang satu bertampang seperti orang dari Indonesia Timur dan satu bertampang Jawa. “Ya!” sahut saya singkat sambil memasukkan pakaian dalam lemari. Mereka pun pergi. Sedikit cerita mengenai wisma yang saya tempati ini. Dulu terkenal dengan nama Wisma Rambo. Nama Rambo mengingatkan kita pada Slyvester Stallone yang berperan sebagai John Rambo, veteran perang Vietnam yang pede sekali berperang melawan musuh sendirian. Gilanya, ia sanggup perang sampai Rambo IV. Rambo di sini rupanya singkatan dari ‘Asrama Bone’. Konon, di tahun 80-an,

9 wisma ini ditempati oleh mahasiswa asal Bone, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan. Gedungnya termasuk bangunan pertama di kompleks kampus Unhas Tamalanrea. Menurut cerita Pak Amin, pengelola Wisma Tamalanrea ini, sebelum dikelola dengan baik, kondisi wisma berlantai dua ini kacau balau seperti ‘sarang penyamun’. Jumlah kamarnya lebih banyak dibanding wisma di Jalan Sunu. Kalau tidak salah ada enam belas kamar tidur dan dua belas kamar mandi. Salah seorang penghuni senior wisma ini mengatakan bahwa di lantai atas pernah ditemukan salah seorang penghuni kamar yang meninggal karena sakit. Tak jelas apakah cerita itu benar. Atau cerita tentang seorang suster yang gantung diri di lantai bawah, dekat tangga di depan kamar saya. Letak wisma ini persis di belakang rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo karena itu mungkin saja salah seorang penghuni wisma menjalin hubungan khusus dengan salah seorang suster dari rumah sakit tersebut. Uniknya lagi, Wisma Tamalanrea terletak di dekat Bagian Anak dan Ruang Bersalin. Terkadang kalau kami sedang iseng berjalan-jalan mencari angin, kami mendengar suara calon ibu yang berjuang melahirkan sang anak. Ada yang berteriak-teriak dan menjerit histeris. Lalu terdengar suara tangis bayi. Terkadang terdengar juga suara tangis sang ayah, yang mungkin harus kehilangan salah satu di antara dua orang yang ia cintai. Tampaknya, wisma ini ideal buat saya. Tidak hanya dekat dengan kantor, udaranya pun tidak sepanas di kota karena masih banyak pepohonan. Hal terpenting lainnya adalah saya bisa jogging keliling kampus menjaga kebugaran tubuh. Di malam pertama saya tidur di wisma ‘Rambo’ ini sepertinya saya harus siap tempur bak Rambo karena musuh yang saya hadapi adalah ‘nyamuk’ yang merupakan musuh yang tak kenal kompromi. Lucunya, sebagai musuh mereka justru malah kita obati. Tentunya dengan obat anti nyamuk. Sebenarnya bukan nyamuk yang saya takuti tapi teman-temannya itu. Tetapi syukurlah saya sudah siap sedia dengan peralatan tempur lengkap. Bukan M-16 atau bazooka, melainkan sarung cap gajah bersila alias berselimutkan sarung. Banyak pengalaman unik yang saya alami di wisma ini, misalnya ketika seluruh kompleks kampus listrik padam. Kalau satu atau dua hari listrik padam, itu no problemo. Tetapi ketika itu, listrik padam hampir lima hari maka ya problemo. Kami yang mengandalkan pompa air mesin tentunya kelabakan karena air merupakan sarana vital terutama untuk mandi dan buang air. Memang di samping wisma ada danau tapi apa pantas kita mandi di situ. Kalau meminjam ungkapan : ‘Apa kata dunia?’. Situasi wisma lumayan heboh, apalagi saat itu penghuni wisma sedang full. Awalnya kami berbondong-bondong menenteng ember mengambil air dari sumur di belakang wisma. Tapi lama-lama kami kesal juga karena saat itu musim hujan dan tanah di belakang cukup becek. Akhirnya penghuni wisma yang lain meminta bantuan mobil tangki yang biasa digunakan

10 menyiram tanaman di sekeliling kampus untuk menyuplai air ke kamar mandi. Cukup dua kali antar, bak-bak mandi di wisma penuh. “Biasanya listrik mati kalau ada orang baru”, kata saya pada Stefly yang baru saja datang dari Manado. Kebetulan pada waktu ia datang listrik padam dan kami sedang menikmati makan malam diterangi lilin dan lampu teplok. “Benar begitu, Bang?”, tanyanya tak percaya sambil menelan nasi. Wajahnya tampak lucu. Saya mengangguk. “Buktinya, sekarang mati”, kata saya. Kelihatannya ia masih kaget. “Selamat datang di Wisma Rambo part V”, ujar saya.

11

3. Ayam Jalan Berkotek

Udara panas menyengat. Angin bertiup dari sela-sela jendela kelas. Beberapa mahasiswa terkantuk-kantuk mengerjakan tugas yang saya berikan. Tiba-tiba terdengar teriakan memecah kesunyian siang itu. “Jalaaang kote…jalaaaang kote…jalaaaang kote!” Seorang bocah laki-laki menyembulkan wajahnya dari balik pintu dan segera disambut gelak tawa mahasiswa. Tanpa berdosa bocah itu berkata: “Jalangkote?” Saya tak mengerti apa maksudnya. Seorang mahasiswa segera mengusir bocah itu, “Hei, sedang kuliahji, sana moko!” Bocah itu pun beranjak pergi sambil mengayunkan keranjangnya. “Jalaaangkote…jalaangkote…jalaaaang…!” Teriakan itu yang menimbulkan rasa penasaran saya. Apa sebenarnya yang bocah itu jual. Beberapa hari kemudian dalam perjalanan menuju kantor di kampus, saya kembali berpapasan dengan beberapa bocah. Mereka mengepit keranjang di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang tali plastik yang mengikat beberapa botol plastik bekas air mineral berisi cairan berwarna kemerahan. Mereka berteriak: “Jalangkote…jalaaaangkote…!” Beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di depan perpustakaan memanggil bocah- bocah itu. Bocah-bocah itu mendekat dengan penuh semangat. Salah seorang bocah membuka keranjang plastiknya. Dari dalam keranjang tersembul sejenis kue yang sepertinya saya kenal. “O, ,” gumam saya dalam hati. Saya pun sengaja menghentikan langkah dan mengamati mereka. Para mahasiswa itu asyik memilih jalangkote dari keranjang. Lalu, botol plastik berpindah ketangan para mahasiswa itu. Jalangkote yang telah mereka ambil, mereka potong jadi dua. Cairan kemerahan yang encer dari botol plastik itu dituangkan sedikit demi sedikit di atas jalangkote. Rupanya, cairan kemerahan itu bumbunya. Bagaimana pula dengan rasanya? Separuh rasa penasaran saya telah terpuaskan tapi saya masih penasaran dengan rasa jalangkote itu. Akhirnya rasa penasaran itu terpuaskan juga. Di suatu waktu saya disarankan untuk pergi ke sebuah kios di Jalan Lasinrang. Nama kios itu Kios Lasinrang yang khusus menjual risoles, bikangdoang (), dan jalangkote. Siang itu lumayan ramai. Beberapa pengunjung memesan lumpia dan jalangkote berganti-ganti. Setelah saya amati, jalangkote rupanya sejenis kue yang mirip pastel. Bedanya, kalau kulit pastel itu tebal dan empuk, kulit jalangkote lebih tipis. Adonan Kulit jalangkote tampaknya terbuat dari bahan dasar terigu, telur, mentega, santan, garam dan dibuat agak tipis. Pada umumnya sejak dulu isi

12 jalangkote terdiri dari wortel, kentang yang dipotong berbentuk dadu ukuran kecil, tauge dan soun (). Sayur-sayuran itu ditumis dengan merica, bawang merah, bawang putih. Kalaupun ada yang berbeda isinya, tampaknya hanya ditambahkan telur rebus ¼ hingga ½ bagian atau daging cincang. Jalangkote ini akan nikmat jika dimakan dengan saus yang lebih encer dari saus biasa. Kalau dirasakan, saus itu terbuat dari tumisan cabai, bawang merah, bawang putih yang dicampur larutan garam, gula pasir, cuka dan air. Rasanya menjadi asam-manis dan pedas. Memang cocok bila dinikmati dengan jalangkote yang garing dan gurih. Harganya pun bervariasi. Mulai dari Rp 500 hingga Rp 2000 per buah.tergantung besar-kecil serta isinya. Yang jelas jalangkote menjadi makanan khas Makassar dan kerapkali digunakan sebagai oleh- oleh khas dari kota ini disamping oleh-oleh lainnya. Tidak hanya itu, jalangkote sering dihidangkan sebagai makanan selingan dalam acara resmi, setengah resmi hingga santai. Bahkan, sewaktu saya asyik bengong di pantai menikmati suasana, seorang anak kecil menawari jalangkote dari keranjang yang ditentengnya. Ada beberapa kios di Makassar yang menjual jalangkote yaitu yang terletak di Jalan Lasinrang dan Jalan Rusa. Khusus kios di Jalan Lasinrang tidak hanya menjual jalangkote, mereka juga menjual risoles, bikangdoang (bakwan) dan lumpia. Kios itu selalu dipenuhi pengunjung yang memesan jalangkote dan lumpia untuk dijadikan oleh-oleh khas dari Makassar setelah berwisata keliling Makassar. Soal nama jalangkote dan kapan munculnya di kota Makassar, tidak ada yang mampu menjelaskannya. Ada yang berseloroh, nama jalangkote dikaitkan dengan suara kotek ayam. Orang Bugis dan Makassar menyebut kotek dengan kote’. Sementara itu dilihat dari bentuk sisi jalangkote dipilin sedemikian rupa hingga menyerupai jambul ayam. Biasanya, penganan ini dijajakan oleh anak- anak kecil dengan keranjang sambil berjalan. Maka jadilah jalangkote, ayam berkotek yang berjalan. Sebenarnya, jalangkote bukan makanan khas tradisional Makassar atau Sulawesi Selatan. Saya menduga ini adalah peninggalan jaman kolonial dan diadaptasi dari hidangan pastei dengan bahan dasar sama namun lebih sering berisi daging cincang. Hidangan asal Perancis ini kita kenal dengan nama pastel yang dikembangkan serta diperkenalkan oleh mevrouw-mevrouw Belanda tempo doeloe. Di Menado, kita juga mengenal panada yang mirip pastel dan jalangkote. Dan seperti dalam sejarah kuliner Nusantara lainnya, saya menduga (lagi), makanan jalangkote ini dihasilkan dari eksperimen oleh saudara Tionghoa kita hingga dapat dinikmati dalam bentuknya yang sekarang. Namun, tampaknya perlu penelitian lebih jauh untuk membuktikan tesis ini. Untuk sementara: “Mariki nikmati jalangkote selagi hangat.”

13

4. Si Petpet

Ujung Pandang akhirnya secara resmi diganti menjadi Makassar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.86 tanggal 13 Oktober 1999 yang ditandatangani oleh Presiden RI Prof.Dr. Ing. B.J.Habibie. Sebenarnya nama Makassar pernah digunakan di masa lalu. Jadi, menurut saya istilah yang tepat bukan diganti melainkan ‘kembali-menjadi’. Hari-hari pertama di kota Anging Mamiri, demikian julukan untuk Makassar, saya habiskan untuk orientasi di keliling kota. Sekedar untuk mengenal lingkungan, dan menambah pengetahuan geografis. Bila menyebut Makassar sebagai kota besar menurut saya sebenarnya tidak juga. Tentu saja jika dibandingkan dengan Jakarta, kota yang tidak pernah tidur dan selalu macet. Macet? Pertanyaan ini yang segera saya ajukan. “Di sini tidak semacet Jakarta,” ujar Ibu Margriet, Koordinator Bahasa Belanda, Program D3 Pariwisata dan Ibu Poli, Pudek I Fakultas Sastra Unhas yang menjemput kami di bandara. “Kecuali ada demo, di dekat pasar atau di terminal”, tambah Ibu Poli. Untuk bepergian di Makassar, kita bisa menggunakan sarana transportasi yang sering dijumpai di kota-kota di Indonesia. Dan untuk transportasi dalam kota, di sini digunakan sejenis angkutan umum berwarna biru telur asin yang dikenal dengan nama pete-pete. Unik juga namanya. Ongkosnya pun murah meriah. Jauh-dekat, lima ratus rupiah. Dari satu sudut kota ke sudut kota lainnya. Ada pula pete-pete yang memiliki rute ke kampus tempat saya bekerja. Pete-pete ini disebut pete-pete kampus. Si pet-pet ini masuk ke dalam kampus yang cukup luas. Bahkan kalau kita minta, si pet-pet ini dapat sampai masuk ke fakultas yang dituju. Transportasi lainnya adalah taksi dan bis kota Damri. Kalau kantong lagi tebal, boleh juga pilih taksi. Lumayan menghindari panas menyengat dengan berdingin-dingin sejenak dalam taksi. Tentu, taksi yang ada AC-nya. Lain ceritanya kalau taksi yang Full Aseeh, angin sepoi-sepoi alias buka jendela. Khusus bis kota, tampaknya jumlahnya tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa buah yang saya lihat. Itu pun keadaannya sudah menyedihkan. Sukar dibayangkan berapa lama waktu yang dihabiskan bila saya menggunakan bis itu. Biar ongkosnya murah yaitu hanya tiga ratus rupiah, tetapi saya pikir-pikir dulu bila harus menggunakan bis. Sementara itu, khusus transportasi yang satu ini saya angkat tangan. Menyerah. Entah mengapa kalau diminta untuk naik transportasi ini (biasanya terpaksa), saya akan memejamkan mata. Bukannya menikmati perjalanan tetapi ngeri! Memangnya transportasi apa ? Transportasi itu adalah transportasi roda tiga yang bermodalkan tenaga manusia. Coba anda tebak? Ya, benar itu becak.

14

Melihat ukurannya yang kecil, agak ceper dan sempit, membuat saya agak ragu menaikinya. Apalagi, sewaktu melihat bagaimana si daeng becak beraksi mengemudikannya, menerobos zig-zag di sela-sela kendaraan bermotor. Pernah suatu waktu saya berdua dengan Nienk, my friend in crime, naik becak. Bukan perasaan sensasi yang muncul tapi jantung rasanya mau copot. Becak itu meliuk-liuk di antara Kijang, Kuda, Panther dan si pet-pet. Terkadang ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Saya tidak akan naik becak lagi. Kapok. Het is levensgevaarlijk (membahayakan nyawa). Tapi si Nienk, tetap enjoy. Bahkan sempat bergaya pula dengan kaca mata hitamnya. Persis artis ibukota. “Asyik, euy!,” seru Nienk sambil tertawa. Ada lagi cerita seorang rekan dari Jakarta yang pertama kali datang ke kota ini. Suatu malam ia iseng ingin berplesir naik becak. Tanpa negoisasi harga, langsung saja ia duduk di jok becak. Dari pantai, ia diajak putar-putar kota sampai Jalan S. Saddang. Setelah puas, becak kembali ke hotel yang berada dekat Losari. Daeng becak pun menagih ongkos becak tanpa argo itu dengan nilai nominal yang membuat mata melotot, kaget. Bayangkan saja, daeng becak itu minta 100.000 rupiah. Setelah lama saling ngotot, 75.000 rupiah pun terpaksa melayang untuk around the city at night with becak. “Sial, gara-gara tukang becak itu manggil gue bos, gue harus keluar 75 ribu!” umpatnya ketika menceritakan pengalaman buruknya. “Wah, bisa enggak narik seminggu deh si daeng becak,” sahut saya menahan geli. Kalau kita menengok kebelakang, konon becak di Makassar sudah ada sejak tahun 30-an. Bahkan boleh dikatakan sebagai kota pertama di Indonesia yang menggunakan transportasi ini. Dibanding becak-becak di kota-kota lain di Indonesia, becak di Makassar berukuran lebih kecil. Tidak mengherankan bila seorang anak kecil mampu mengemudikannya. Yang menyebalkan lagi, bila kita ditawari becak lalu kita tidak menjawab dengan gelengan kepala atau isyarat tangan, mereka akan marah dan mengumpat. Saya tidak mengerti, memangnya orang harus naik becak. Bahkan, dari koran lokal yang saya baca, pernah ada daeng becak dan seorang calon penumpang yang berkelahi. Gara-garanya, calon penumpang itu tidak mau naik becaknya. Mungkin ini disebabkan banyaknya becak di Makassar. Mau keluar kota? Jangan khawatir di Terminal Panaikang, tersedia beragam angkutan umum. Ada bis berukuran besar, sedang, full AC maupun Aseeh. Nah, bila anda memiliki jantung yang kuat dan gemar berpetualang tersedia transportasi yang lain. Di sini dikenal dengan nama panter (dari nama merek mobil). Yang sering dipelesetkan menjadi panggilan terakhir. Aneka mobil kendaraan niaga keluaran terbaru, mulai Toyota Kijang kapsul, Isuzu Panther full injection, sampai Mitsubishi Kuda bisa digunakan. Sayang tidak ada Jeep Cherokee, Opel Blazer, Land Cruiser, Pajero atau Nissan Terrano, favorit saya. Kalau ada saya mau mencoba.

15

Soal kenyamanan transportasi panter itu, tidak dijamin. Kelihatannya Full Aseeh sekali. Itu dapat dilihat dari kaca jendela mobil yang dibuka lebar-lebar. Saya pernah melihat para penumpang yang menunggu di terminal, di antaranya ada seorang bule yang sibuk berkipas-kipas karena kepanasan menanti calon penumpang lain. Di antara penumpang mungkin tidak saling kenal tapi bisa saja kenal kalau kita SKSD (sok kenal sok dekat) saling mengakrabkan diri karena sama-sama seperjalanan. Siapa tahu ada yang berjodoh. Saya sebenarnya belum pernah mencoba transportasi ini. Terbersit rasa khawatir melihat bekas dempulan dan sisi mobil yang lecet. Saya yakin pasti bekas menabrak atau ditabrak. Dari situ anda bisa membayangkan kecepatan yang digeber supir. Apalagi seorang teman di Jakarta yang pernah mencobanya sewaktu plesir ke sini mewanti-wanti untuk memperkuat saraf sekuat baja bila ingin mencobanya. Maka terbayanglah aksi Vin Dissel di Fast and Furios. Are u ready? Hieeeha, here we go!! Wuuus, wuus…wuus. Ciiiiiiiiiiit…..braaaak!

16

5. Mikiji, Tawwa!

Beberapa bulan menjelang keberangkatan ke Makassar, saya sempat bercakap-cakap dengan seorang mahasiswa Unhas yang sedang mengikuti kursus di Erasmus Taalcentrum, Jakarta. Saya menanyakan situasi di sana karena jika hanya mengandalkan informasi dari buku tentu banyak biasnya. Bahkan bisa jauh dari kenyataan sebenarnya. “Nantilah Pak, di sana akan mendengar mikiji,” ujarnya seraya tersenyum. “Apa itu sejenis makanan khas sana?” tanya saya penasaran. Ia tak menjawab dan hanya tersenyum. Maka bertambahlah rasa penasaran saya. Beberapa detik, menit, jam, hari serta bulan setelah menginjak bumi Mangkasara ini, percakapan dengan mahasiswa itu teringat kembali. Hampir di setiap kesempatan, telinga saya menangkap bunyi-bunyian yang mengacu pada percakapan saya tempo hari di Jakarta. Sesuatu yang menarik dan kedengaran di telinga saya, mirip alunan musik yang eksotis. Sangat berbeda dengan apa yang saya dengar selama ini. Ya, dalam mempelajari suatu bahasa, mendengar bunyi dan membedakan lagunya merupakan hal yang efektif. Misalnya ketika mempelajari bahasa Mandarin kita harus mampu membedakan bunyi- bunyi yang berbeda. Akhirnya misteri mikiji itupun mulai terkuak. Mikiji yang dimaksud bukanlah makanan yang berhubungan dengan mi, baik mi goreng atau mi kuah (mi rebus). Melainkan semacam partikel yang dalam bahasa Indonesia digunakan di setiap frasa yang mereka ucapkan. Ada juga berupa frasa yang utuh semacam kata afektif yang mengungkapkan seruan (interjeksi) dan tidak memiliki arti khusus. Yang terakhir ini berkaitan dengan emosi si penutur atau pembicara. Dari hasil pendengaran selama berinteraksi dengan para penutur asli tercatat beberapa partikel itu seperti: mi, ma, mo, ki, ka, ko, ji, pi, ces, toh, di, ta, tonji, bede(ng), beng, bela, edede, tawwa, awwah, kodong, cececece, pale. Supaya tidak penasaran, berikut penjelasan partikel dan frasa itu beserta contoh kalimatnya.

Bagian yang terdiri dari satu suku kata : - mi ( sufiks / partikel ajakan; seperti lah ) - ji ( sufiks / partikel penegas ; seperti dong ) - di ? ( sufiks/partikel penegas; formil bila menanyakan sesuatu ) - ki ? ki ! ( dari kata ‘kita’ = Anda ) - ko ! ( kau = kamu )

17

- mo! ( sufiks/partikel mengajak/perintah ) - pi ( sesudah; kata ‘belum’, unsur bilabial ) - nah ( sufiks/partikel penegas ) - ta ( dari ‘kita’ = Anda ) - ka ( sufiks/partikel penegas) - toh ( sufiks/partikel penegas )

Bagian yang terdiri dari dua suku kata dan lebih : − kodong (digunakan untuk menyatakan turut merasa menderita, iba, kasihan) − bedeng (digunakan untuk menceritakan kembali kepada orang lain. Arti : katanya/menurutnya) − bela − awwa ( interjeksi, berupa keluhan/terkejut) − edede (sesuatu yang tidak sesuai dengan hati) − cececece (sesuatu yang mengejutkan) − ya tawwa − tonji − pale

Berikut contoh penggunaannya dalam kalimat yang diambil dari sebuah surat kabar di Makassar:

ki ‘Saya heran dengan pacar saya yang memancing ke hal-hal negatif alias seks. Padahal aku sangat mentabukan itu. Terpaksa ku putuskan ki’ ‘ ‘kadang-kadang kesal ki’ juga kalau mama lagi cerewet...’ ‘Selain jadi melek harga, mace kan bisa mengirit tidak perlu mengasih tip buat yang membantu bawa belanjaan. Biar rasa ki ‘

ka ‘Ndak suka betul ka’ sama cowok ember’ ‘Sibuk sekali ka’ini’

18

‘Waduh! Kalau aku takut memang ka melawan ortu, takut kualat dan durhaka’ ‘Sudah bosan ka dimarahi terus, tiap hari pasti kena’ ‘ Belum pernah ka terima surat cinta’ ‘ Malas ka ....dengar lagu dangdut. Mau ka muntah...’ ‘ Tidak ah..tidak berminat ka punya pacar yang rambutnya gondrong ‘ ‘ Apes sekali ka’ waktu itu’ ko ‘Nanti yang lain balas, ultah kamu sepi kado dan sepi makanan baru tahu rasa ko... ‘ ‘Oalah...kalau sudah besar mau jadi apa ko’ ‘Kenapa ko doyan sama ?’ mi ‘sudah mi, terlanjur. Mereka ini yang tanggung dosanya’ ‘dan yang punya niat bikin film kayak begitu lebih baik batalkan mi saja daripada berurusan sama polisi’ ‘...mereka mau melakukan apa saja itukan hak mereka jangan mi ditanya perbuatan seperti itu pun ada yang lebih gila lagi ‘tapi rokok itu sulit sekali saya hilangkan. Ndak tau mi kalau ada mi istriku dan dia melarang’ ‘Keluargaku juga banyak mi’yang menetap di Makassar seperti nenek, ortu serta sanak saudara lainnya’ ‘cuek mi saja deh. Namanya hubungan dua manusia atau lebih pasti saja ada kesalahpahaman’ ‘wuih kagetku karena saya kira hilang mi berkasku’ ‘Mirip sama aku, sudah dipotong uang jajan tidak dibelikan mi lagi coklat sama mama’ ‘ jangan mi gondrong deh, kalau tidak tahu urus rambut’ ‘ Jangan mi gengsi lah ‘ ‘ Waduh...kayanya tidak ada mi orang yang bakal bilang kalau guru itu tidak penting’ ‘ Nah...kita dengar mi saja kisah roman dua sejoli yang sekelas ini’ ‘Udah ah...tidak usah mi dipikirkan biarkan saja. Yang mau pacaran silahkan yang tidak mau yah diam saja’ ‘ Aduh Malas ah...cinlok-cinlok gitu. Bayangkan mi saja, gimana rasanya tiap hari ketemu di kelas ...kan bosan’

19

‘dulu sih aku takut sekali bela kalau pulang malam, paceku mi terutama suka marah. Ndak baik ki’bede perempuan pulang malam-malam’

ma ‘ortu diam saja, abis sudah duluan ma pamit’

ji ‘Jadi tidak ada ji ruginya, makanya saya mengaji hampir setiap hari walau sebentar ji ‘ ‘...yang kebetulan juga biasanya seluruh keluargaku pada berkumpul ji di sini...’ ‘saya tidak malu ji bersaing dengan sahabat sendiri’ ‘Yah acaranya biasa-biasa saja , ndak terlalu istimewa ji ‘ ‘Ndak masalah ji, toh itu bukan momen yang wajib dilakukan’ ‘Waktu itu aku pikir cuma dimarahi ji saja...’ ‘Hehehe...kayaknya terlalu berlebihan yah, tapi ndak apa-apa ji toh...’ ‘ Biasanya apa yang disampaikan, ndak sesuai dengan kenyataan. Baik ji kalau dia yang membuat suratnya,...’ ‘ Bukan cuma pacar saja. Betul ji toh ? ‘ ‘ Tapi ada ji cara mengatasi cowok pemalu, terutama yang suka malu kalau bersua dengan kaum cewek’ ‘ Sebenarnya memilih pakaian untuk cowok yang berbody kurus ndak terlalu susah ji’ ‘ Yah apalagi kalau kita sudah punya do’i, bisa-bisa malah berantem ji,...’

na ‘ Norak sekali, jelek na deh ‘

Gabungan : ka , ki , mi ,ma, ji, na, bela, kodong, di, ces, tawwa, bede, toh, pi ‘Sering ka’ batuk-batuk. Rusak mi mungkin paru-paruku’ ‘Lama sekali ka’ ndak pulang kampung. Buat aku kangen berat sama masakan ibu’ ‘Aku beda sama ibunya teman-teman. Kalau mamaku diktator sekali ki. Itu menurut perasaanku, makanya saya jarang bersenda gurau dengan mama. Takut ka’salah-salah ngomong dan bikin mama marah. Tapi sebenarnya pengen sekali ka’ ngobrol sama mama seperti teman-temanku yang lain. Tapi aku yakin saja, semua yang mama lakukan itu buat kebaikanku ji juga nantinya’ ‘Belum berani bilang terus terang. Malah nanti na ketawa ji’

20

‘Memilih kadonya pun bingung, banyak sekali yang bagus-bagus bela. Tapi dapat mi juga kado yang tepat buat dia ‘ ‘Yah mau bagaimana lagi, pusing ka deh! Terutama mace ndak bisa mengerti bela’ ‘Kuakui bahwa itu suatu cara ortu mendidik anaknya. Tapi na bikin bingung ka juga, rasa malas itu susah kayak melekat sekali mi didiriku’ ‘ Tidak kampungan ji kodong karyaku’ ‘Kalau aku sih malas bela. Malas ka deh pergi bioskop apalagi kalau mengantri mi, wee.. kapok ka deh...capek bela ‘ ‘ ...para muda metro Makassar punya pacar yang usianya lebih tua, bagaimana di’ gaya pacarannya? Pasti penasaran ki, ces? Oke mi, baca saja komentar na tawwa..’ ‘ Intinya pacaran tuh sama saja, ada suka dan dewasa sekali bela, jadi suka malu ka jadinya’ ‘ Tidak suka ka...liat cowok gondrong. Rasanya ki, kesannya seperti preman ‘ ‘ Bayangkan mi saja, 60% dari 100 orang bilang mau dapat pacar cowok berambut panjang. Asal terawat dan tidak nakal ji bede’ ‘Ndak gondrong ma sekarang ces. sudah kupotong atas permintaan sang kekasih, terpaksa mi...’ ‘ Belum lagi kalau kejadian ini sudah berkali-kali kamu alami. Duh, beratnya kodong. tapi mau mi diapa ‘ ‘ Sudah mi deh bos. Baginya besok pagi mi saja, tunggu di koran’ ‘ Dua-duanya menarik tawwa...Bagus juga, jadi ndak bentrok ki ‘ ‘ Iya nih, aku suka dimarahi sama guru, nakal ka juga di !’ ‘ Pernah ka juga bikin menangis guruku, sampai-sampai aku dipanggil ke ruang kepala sekolah’ ‘ Wuih..stress ki bela’ ‘ Ya, manusia kan tak bisa lepas dari keinginan. Jadi wajar-wajar ji toh’ ‘ baca terus di’...mau ki ujian ? ‘ ‘Mending bolos ka deh, daripada aku dihukum . Makanya jangan heran nilai di raport cuma pas-pasan saja bela’ ‘Padahal tadinya aku mau pulang saja tapi na dapatka guru’ ‘ Sempat ka’ memang cinlok, awal-awalnya ji itu enak. Lama-lama bosan ka karena bayangkan tiap hari ketemu. Tidak enak, mana kalau ada PR pasti dia suruh ka kerjakan PR nya. Kapok deh, tidak mau ka cinlok lagi!’ ‘Sekali , dua kali lama-lama jadi keseringan karena komunitas juga mulai terbentuk. Walhasil akhirnya tumbuh mi benih cinta’

21

‘Ih edede uh seramnya kodong. Mudah-mudahan tidak pernah ma lihat lagi…jelek’ ‘Ya, kalau sudah mi pacarta mo mi diapa, hitung-hitung senasib sepenanggungan’ ‘Ini mo dulu nah, selebihnya di belakang pi’ ‘Buktinya banyak ji tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya dari mulut ke mulut. Belum pi ditambah-tambahi’ ‘Baru-baru dikasih ki pisang ijo. Nyamanna tawwa…’ ‘Kalau siang, edede…melilit ki perut…’ ‘Pengalamanku toh, sukaka lemas di kampus. Soalnya kalau ndak sarapan, itu perut bunyi- bunyi bela’ ‘…ibunya tiap pagi pasti membuatkan sarapan buatnya. Asyik na tawwa’ ‘Ibu kostku bawel sekali…semua mau diatur, urusan pacaran mau juga na atur. Edede…bete ka jadinya. Karena ndak betah diatur-atur terus aku pindah kost saja. Daripada stresku lihat ki ibu kost yang reseh!’ ces ‘sorry ces, bukumu tadi sudah saya pegang, tapi tertinggal di kursi tamu’ ‘Enak sekali ces, kalau dinikmati saat berbuka’ bela ‘Bahaya juga dekat cowok ember bela. Bisa-bisa segala privacy kita ketahuan sama orang lain’ ‘Wuih ceria sekali bela’ ‘ Dia begitu menjiwai lagu yang dibawakannya, terus Ikke tuh cantik sekali bela’ ‘ Lagian cowokku itu mukanya manis dan imut bela , cocok sekali dengan gondrongnya’ ‘ Cowok gondrong !! Aduh suka sekali ka lihat cowok gondrong’ ‘ Dia bilang filmnya top sekali dan bikin nangis bela’ ‘ Mau menghitung, rasanya malas sekali karena banyak sekali bela...’ ‘ Saya bolos karena saya lagi suntuk bela’ ‘ panas sekali bela’ di’ ‘Wah, aneh juga di’ kalau kita lagi naksir cewek’ ‘Enaknya di’ kalau sarapan sudah tersedia’

22

edede ‘ Sama dong dengan aku...tidak suka sekali ka...musik dangdut apalagi lagu India...Ede..de bikin sakit kepala’

bede ‘ Asyik-asyik saja bede’ pacaran sama cewek yang usianya lebih tua darinya’

tawwa ‘Dunia kan tidak selebar daun kelor. Masih banyak cewek yang lebih muda, Betul tawwa? ‘ Tapi memang tawwa, rata-rata responden cewek kita kali ini mengungkapkan keinginannya untuk mendapat pacar yang gondrong’ ‘ Gila..bagus sekali tawwa..’

kita ‘Memang kita mahasiswa apa ?’

tonji ‘Menyerah saja atau buka puasa. Ditahan-tahan dan alhamdullilah bisa tonji’

beng ‘Anu, beng itu surat yang kemarin belum ditandatangani’

Bagaimana? Anda paham dengan maksud kalimat-kalimat tersebut? Tampaknya tidak terlalu sulit. Ini baru sebagian contoh-contoh kalimat yang menggunakan partikel dan interjeksi tersebut yang berhasil saya catat. Menariknya, kalimat tersebut dilagukan dengan intonasi tertentu dan ini berpengaruh pada reaksi pendengar kita. Sebagai contoh, pengalaman yang dituturkan teman saya, Nienk. Ketika itu ia hendak minta bantuan pada salah seorang pembantu di rumah tantenya untuk membeli sesuatu di warung. Awalnya, ia menggunakan intonasi perintah yang biasa ia lakukan di Jawa. Sang pendengar tidak memberikan reaksi dan mungkin bingung. Akhirnya, Nienk menggunakan intonasi penutur yang biasa digunakan di sini. Hasilnya, sang pendengar memberikan reaksi positif dan memenuhi permintaan Nienk. Namun, akibatnya Nienk terkadang menggunakan intonasi itu bila bercakap-cakap dengan saya. Nah, ganti saya yang bingung.

23

6. Benteng Penyu

Kalau batu-batu tua dapat berbicara tentu banyak kisah yang dapat diungkapkan. Tumpukan- tumpukan batu kokoh itu membentuk sebuah bangunan. Tegak berdiri, membisu dalam hitungan abad. Setelah usai fungsi utamanya melindungi dan bertahan dari serangan dan gempuran musuh, tinggallah lapisan humus lumut bak karpet beludru yang menyelimutinya. Ketuaannya menorehkan sejarah. Bukti peninggalan keperkasaan masa lalu. Bangunan tersebut adalah benteng. Kerajaan Gowa merupakan kerajaan yang sangat kuat di Sulawesi pada abad ke-17. Dilihat dari arah laut, Kerajaan Gowa adalah wilayah yang dilengkapi dengan perbentengan. Tercatat ada 13 benteng yang melindungi ibukota dan daerah sekitarnya yaitu benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Baro’ Boso, Mariso, Somba Opu, Garassi, Panakkukang, Barombong, Kalegowa, Ana’ gowa, Galesong, Sanrabone. Posisi benteng yang strategis ini memperlihatkan kehebatan kerajaan Gowa dalam mengatur strategi militernya. Tahun 1667 ketika Gowa berhasil dikalahkan oleh Belanda semua benteng dimusnahkan kecuali Benteng Ujung Pandang. Dua tahun kemudian giliran benteng Somba Opu yang dihancur- leburkan oleh Belanda. Sambil menelusuri batuan yang membisu, kepingan-kepingan sejarah muncul membentuk kesaksian di kepala saya. Benteng Ujung Pandang dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa X Imarigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung yang terkenal dengan nama Tunipalangga Ulaweng. Diberi nama Benteng Jumpandang karena letaknya di Tanjung ujung dimana banyak dijumpai pohon pandan berukuran besar. Kampung ini dikenal juga dengan nama Jourpardan (Juppandang). Wilayah Jourpardan ini dihuni oleh pribumi, bersisian dengan Vlaardingen yang dihuni oleh campuran orang- orang Tionghoa dan penduduk asli beragama Kristen di sebelah timur lautnya. Ada cerita menarik tentang Jourpardan. Menurut cerita, untuk memangkas pohon-pohon pandan berukuran besar yang penuh duri itu, Belanda menembakkan uang logam bergambar Ratu Belanda ke arah tumbuhan pandan itu. Segera saja, anak-anak pribumi memangkas pohon pandan itu, tanpa mempedulikan duri-duri runcingnya untuk mencari uang logam tersebut. Dalam sekejap, perlombaan mencari uang logam itu sekaligus menjadi lomba memangkas pohon pandan. Dalam sekejap pula pohon pandan yang penuh duri itu ludes dan anak-anak itu mendapatkan uang logam bergambar ratu. Benteng yang terletak di tepi pantai Losari kemudian jatuh ketangan Belanda melalui perjanjian Bongaya tahun 1667, usai Perang Makassar yang banyak memakan korban. Lalu oleh Cornelis Speelman dibangun kembali dan dinamai Fort Rotterdam, tempat kelahirannya di Belanda. Pada masa

24 itulah benteng ini menjadi pusat pemerintahan dan perniagaan. Nama Fort Rotterdam tetap dipakai hingga sekarang. Nama lain benteng ini adalah, kotayya karena fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan kota. Benteng yang berbentuk dasar segi empat dan bergaya arsitektur Portugis, berbahan dasar dari tanah liat. Modelnya mirip dengan benteng sejenis di Eropa pada abad ke-16 dan ke -17. Dengan tambahan tonjolan keluar, melekat pada bentuk dasar benteng, bastion. Bila dilihat dari atas, bangunan ini berbentuk seperti penyu. Menurut beberapa sumber, bentuk penyu yang seolah merangkak ke arah laut menggambarkan bentuk kerajaan Gowa sebagai kerajaan pelaut (tinggal di darat , mencari rezeki di laut) dan benteng pelindung ibukota ( kulit/ rumah penyu yang keras ). Hingga benteng tersebut dinamakan Benteng Panyua (penyu). Saya menelusuri dinding benteng dengan ketebalan 2 meter dan tinggi 7 meter ini. Ada lima bastion pada tiap sudut yang menurut tradisi diberi nama sesuai dengan daerah atau pulau di Hindia Timur yaitu bastion Bacan, Bone, Amboina, Butung, Mandarsyah. Di lantai bawah di sebelah barat daya benteng terdapat penjara bawah tanah. Pangeran Diponegoro adalah salah satu penghuninya hingga wafat tahun 1855. Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar pada tahun 1845, setelah sebelumnya ia dibuang ke Manado. Menurut salah seorang petugas, pintu masuk penjara Pangeran Diponegoro sengaja dibuat rendah, maksudnya jika ia masuk ke dalam sel, ia harus membungkuk, menghormat (Belanda). Dari cerita petugas , sebenarnya Pangeran Diponegoro tidak selalu berada dalam sel. Terkadang ia keluar dan mengadakan pengajian dengan para pengikutnya. Mungkin ini perlakuan khusus para penguasa VOC di Makassar terhadap dirinya. Selama dalam benteng Fort Rotterdam, Pangeran Diponegoro mendalami tasawuf dan menulis Al Qur’an dengan tangannya sendiri. Bahkan ketika di Manado ia sempat menyusun memoar dalam bahasa Jawa yang sebenarnya disusun oleh salah seorang pembantunya. Memoar itu diberi judul ‘Babad Diponegoro’. Menurut kabar, Pangeran Diponegorolah yang mula-mula mengajar orang-orang Bugis di Maros mengolah sawah dan empang. Pada kesempatan lain saya mengunjungi sisa-sisa Benteng Somba Opu. Benteng ini berbatasan dengan Kota Makassar dan Sungai Tallo di sebelah utara, dengan Selat Makassar di sebelah barat dan dengan Sungai Jene’berang di sebelah selatan. Letaknya sekarang di desa Bontoala dan masuk dalam wilayah kabupaten Gowa. Untuk memperkuat kekuasaan dan kewibawaannya, Sultan Tumapa’risi Kallonna, Raja Gowa IX yang bertahta mulai tahun 1510 membangun benteng Somba Opu di pesisir Sulawesi Selatan. Benteng Somba Opu dikelilingi tembok batu bata dengan bentuk empat persegi panjang seluas 113.590 meter persegi dengan ketebalan 3,648 meter dan tinggi rata-rata 7 meter.

25

Dari benteng ini, semua perintah dikeluarkan ke seluruh negeri kerajaan. Sebagai pelindung Benteng Somba Opu dibangun Benteng Ujung Pandang di bagian utara dan Benteng Panakukkang di bagian Selatan. Dengan demikian Somba Opu dan sekitarnya menjadi tempat pemukiman yang aman bagi Suku Makassar, dan dalam waktu singkat tempat yang disebut Makassar menjadi ibukota yang termasyhur dari Kerajaan Gowa. Penduduk Gowa pada abad ke-16 hingga ke-17 menurut Ong Hok Ham sudah mencapai 160.000 jiwa. Bandingkan dengan penduduk Napoli dan Paris yang baru 100.000 jiwa pada masa yang sama. Para sejarawan menulis bahwa Benteng Somba Opu adalah lambang kebesaran Kerajaan Gowa. Tidak mengherankan jika benteng ini dilengkapi dengan alat pertahanan yang kokoh seperti meriam dan senjata yang sangat ditakuti oleh Belanda. Tentu saja, Belanda harus memutar otak mencari cara menyerang dan menggempur benteng ini. Konon, Belanda harus mengerahkan kekuatan militernya dari seluruh Nusantara. Menurut catatan, perang tanggal 15 hingga 17 Juni 1669 menewaskan 50 orang dan 68 luka- luka di pihak Belanda. Hasilnya, mereka hanya mampu meruntuhkan bagian depan dinding benteng saja. Baru pada tanggal 19 Juni, Belanda berhasil mengibarkan bendera, bersamaan dengan rusaknya Meriam Anak Makassar berikut 272 pucuk meriam lainnya. Belanda membutuhkan tujuh hari untuk menghancurkan Benteng Somba Opu. Benteng ini memang kokoh, saya sempat melihat sendiri tebalnya dinding pertahanan benteng. H.D. Mangemba menuliskan bahwa Sultan Hasanuddin mempersenjatai dengan lengkap benteng-benteng pertahanan atas nasehat Karaeng Pattingaloang. Tembok pertahanan diperkuat dari tanah menjadi batu. Oleh karena ketika itu belum ada semen, maka kuning telur dijadikan bahan perekat. Walaupun menurut Mangemba yang lebih masuk akal adalah sejenis buah-buahan yang dijadikan bahan perekat. Bahan perekat itu menyatukan batu merah, batu karang satu persatu. Sudut batu-batu itu tidak membundar dan simetris sehingga ada anggapan bahwa situs benteng yang ditemukan sekarang bukanlah inti benteng. Dinding benteng Somba Opu diperkuat dengan empat bastion. Di dalam benteng itulah istana Raja Gowa dengan tiang penyanggah yang tinggi. Sebuah jembatan kayu menuju raja dapat dilalui dengan kuda. Sedangkan tembok di sekelilingnya dibangun miring sehingga sulit ditembus peluru. Nah, ini mungkin rahasianya. Tentu kita bisa menebak, tentunya ini adalah ide sang perdana menteri Karaeng Pattiongaloang. Sambil berdiri di atas reruntuhan dinding benteng yang berbatasan dengan Selat Makassar ingatan saya melayang ke abad-abad silam. Dentuman meriam dan teriakan terngiang ditingkahi deburan ombak. Dalam hati saya bertanya: “sampai kapan reruntuhan ini masih mampu menentang sang masa dan menjadi saksi kisah masa lalu ? “

26

7. Makassar Mall

Saat itu saya baru beberapa minggu di Ujung Pandang. Mendengar nama mall, saya berpikir suatu bangunan megah, berpendingin ruangan dan nyaman. Paling tidak seperti Pondok Indah Mall-lah atau Atrium Senen. Saya menumpang pete-pete yang di depannya terpampang trayek Daya-Makassar Mall. Hebat juga langsung ke tujuan. Bayangan bangunan berpendingin tiba-tiba lenyap ketika tiba di sana. “ Maaf pak, mana mallnya? ” tanya saya pada supir pete-pete. Ia tampak bingung lalu menjawab. “ Ini, pak. Pasar Sentral,” “ Mall nya dimana?” saya masih kebingungan tapi akhirnya saya turun juga. Bangunan di depan saya bukan seperti yang saya bayangkan. Lebih mirip pasar Tanah Abang atau Pasar Senen. Saya mencoba masuk. Mungkin mallnya ada di dalam pikir saya. Saya semakin bingung karena di dalam saya tidak menjumpai bangunan mall. Hanya ada penjual kelontong, makanan, mainan anak- anak, kaset, sepatu dan dipenuhi penjual kaki lima yang agak memaksa sewaktu menawarkan dagangannya. Tapi dimana mallnya? Mungkin konsep mall yang ada di kepala saya berbeda dengan konsep mall di sini tapi itu tidak membuat saya merasa puas. Saya mencoba mencari riwayat Makassar Mall ini. Wilayah ini dahulu merupakan lokasi pekuburan Cina. Banyak cerita unik dan misterius di daerah ini. Pekuburan ini akhirnya digusur dan dipindahkan ke lokasi lain. Tahun 60-an, pekuburan Cina yang dikenal dengan nama jera’ tappampang dipindahkan ke daerah Panaikang. Lalu pada akhir 80-an dipindahkan lagi ke daerah Gowa. Pekuburan jera’ tappampang ini dahulu membentang kurang lebih satu kilo meter di sebelah utara lapangan Karebosi. Cerita-cerita yang beredar di daerah ini adalah munculnya roh yang bergentayangan atau para pemburu harta karun yang menyatroni makam khas Cina menggali harta para warga Cina kaya yang ikut dikubur. Tahun 60-an, di atas lahan bekas pekuburan ini dibangun sebuah pasar yang dikenal dengan nama Pasar Sentral. Awalnya hanya terdiri dari lima unit loods, yang terbagi atas beberapa petak untuk berjualan. Letaknya yang strategis membuat orang tak peduli, pasar itu dibangun diatas puing-puing bekas kuburan Cina. Mereka berebutan mendapatkan lokasi dagang di sana untuk meraih untung. Tahun 1994 akhirnya dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang megah karena melihat Pasar Sentral tidak lagi mampu menjadi pusat perbelanjaan yang sehat. Niatnya tentu ingin membangun sebuah pasar berkonsep modern. Tapi kenyataannya yang terjadi sangat jauh sekali. Konsep modern

27 yang diimpikan tidak saya temukan. Malah kelihatannya semakin semrawut. Saya kembali lagi mempertanyakan nama Makassar Mall itu. Akhirnya daripada pusing memikirkan istilah mall yang sudah telanjur menempel di kepala, saya pulang ke wisma. Sebelumnya saya menyempatkan diri menikmati coto dan di salah satu pojok. Tak lupa saya membeli dua tandan pisang yang harganya lumayan murah di luar ‘mall’. Oleh karena itu bagi Anda yang sudah memiliki konsep mall, jangan terkecoh dengan Makassar Mall.

28

8. Tamalanrea Friendship

Menurut salah seorang anak Pak Amin yang juga mengelola wisma, tamalanrea berarti tanah yang luas. Kompleks Kampus Tamalanrea ini cukup luas juga. Ada satu lapangan bola, satu kolam renang yang konon salah seorang pembangunnya adalah senior saya di UI, serta satu mesjid yang besar. Hampir setiap pagi kecuali pada waktu hujan, saya lari atau berjalan mengelilingi kampus. Kalau beruntung bisa berpapasan dengan kerbau atau sapi. Ternyata lumayan juga suasana kampus di pagi hari. Di luar kompleks kampus, ada beberapa tempat kost untuk mahasiswa. Selain berupa bangunan rumah biasa, ada juga yang berupa bangunan rumah panggung. Harga sewanya cukup murah tetapi kalau saya harus tinggal di sana, saya akan berpikir beberapa kali. Sebelum mengenal lingkungan sekitar, saya mencoba bersosialisasi dengan penghuni wisma Rambo lainnya. Ketika saya masuk menjadi penghuni wisma, saat itu ada peserta kursus keuangan daerah yang berasal dari berbagai daerah, khususnya Indonesia Timur. Tentunya saya akan sulit mengingat mereka satu persatu. Belum lagi, peserta kursus-kursus lainnya. Ada beberapa orang yang cukup dekat dengan saya. Terutama yang tinggal di wisma itu dalam hitungan tahun bukan sekedar bulan. Saya akan membagi ‘persahabatan Tamalanrea’ ini dalam beberapa gelombang. Alasannya, tidak semua sahabat-sahabat saya itu tetap bersama selama empat tahun yang saya tinggal di sana. Hampir semua adalah mahasiswa pasca sarjana. Gelombang pertama adalah Om ‘Brur’ John Waromi yang berasal dari Papua tapi sangat fasih berbahasa Sunda. Bahkan kalau kita tidak melihat tampangnya dan hanya mendengar suaranya, bisa keliru, mengira ia berasal dari Tanah Pasundan. Maklum saja beliau ini besar di Jawa dan menghabiskan masa remajanya di Jakarta dan Bandung. Lalu, ada ‘Paklik’ Triweda Raharjo. Beliau dari Kediri tapi merantau hingga Papua. Nah, pada saat ia melanjutkan sekolah di Unhas ini dia masih menjadi PNS (pegawai negeri sipil) di Papua. Begitu pula dengan Om ‘Brur’ Jon yang juga PNS di Papua. Gelombang berikutnya, masih ada Om ‘Brur’ Jon, ditambah Pak ‘Bos’ Teras Dayut dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Pak ‘Kapten’ Joni (saya lupa nama belakangnya mungkin Agustaf?), Stefly ‘manager logistik’ Modaso dan Stevenson Koloay. Ketiganya asal Manado. Di gelombang terakhir ada beberapa nama tambahan seperti Pak Rustam dan Pak Parno dari Aceh. Aceh? Pasti Anda heran, mengapa mereka dari nun jauh di ujung Barat sana, kuliah di Unhas. Alasan dari mereka pun membuat saya tersenyum: “Kapan lagi melihat negeri sendiri,” kata Pak

29

Rustam ketika saya tanya alasannya kuliah di Unhas. Saya jadi teringat Imagined Community-nya Ben Anderson. Mungkin Pak Rustam ini perlu juga membacanya. Berikutnya, ada Michael dari Manado dan Awing dari Lombok, teman berdiskusi di saat listrik padam. Sahabat-sahabat inilah yang ‘menemani’ saya hingga tugas saya berakhir. Kegiatan yang kami lakukan sebagai orang rantauan juga menarik. Di masa gelombang pertama, biasanya setiap pagi, saya, Paklik Tri dan Om ‘Brur’ John jalan-jalan pagi keliling kampus atau menjelajah hingga ke perumahan dosen di seberang Jalan Perintis Kemerdekaan. Kalau malam hari, usai makan malam kami ngobrol, main gitar, main pingpong atau main kartu (kalau tidak 41 [forty one], ya, cangkulan saja). Terkadang kami juga plesir, jalan-jalan ke Pulau Kayangan atau sekedar belanja ke kota. Di gelombang ini, Nienk ikut bergabung karena ia juga pindah dan tinggal di wisma. Di gelombang kedua, lain lagi kegiatannya. Setiap pagi, tepat pukul 5, Pak ‘Bos’ Teras yang tidur di lantai atas, turun mengetok pintu kamar saya, Stefly, dan Steven yang berada di lantai bawah sambil meneriakkan nama kami. Presis seperti komandan. Bergegas kami keluar. Siap dengan peralatan tempur. Lucu juga kalau melihat tampang Stefly yang masih beraroma bantal lantaran nonton sepakbola sampai pagi di tv. Pernah, suatu waktu, suara khas Pak ‘Bos’ dan gedorannya tidak kedengaran di pagi hari. Kami, sebagai warga ‘bawah’ yang sudah bangun bingung. Kami segera menjemputnya ke atas dan menggedor kamarnya. Rupanya, Pak ‘Bos’ terlambat bangun karena mengerjakan tugas sampai pagi. Biasanya kami jogging keliling kampus. Istilah saya ‘lari dari kenyataan’. Setelah itu senam atau main pingpong. Kami bertemu lagi usai makan malam. Kalau tidak menonton tv di lantai atas, kami pergi ke pintu dua, mencari koran edisi pagi atau majalah yang disewakan dengan harga murah. Pokoknya supaya tidak ketinggalan informasi. Pulang dari sana, kami berkumpul sejenak, berdiskusi soal politik, olahraga, gosip artis atau pejabat. Sesekali membicarakan tesis mereka sambil makan kue. Di gelombang terakhir, pada pagi hari saya masih melakukan rutinitas keliling kampus tetapi sendirian. Baru pada malam hari, saya sesekali ngobrol dengan teman-teman dari Aceh, Lombok atau Menado atau nonton tv di lantai atas. Maklum saja, pekerjaan di gelombang terakhir ini lumayan banyak. Apalagi menjelang tugas berakhir. Di gelombang terakhir ini kami pernah kedatangan mahasiswa/i AKPER (Akademi Keperawatan) dari Kendari. Bagi para warga ‘atas’ tentu saja, kesempatan itu tak disia-siakan. Mereka dengan rela ‘tebar pesona’ pada para mahasiswi. Masing- masing mencoba cari ‘pasangan.’ Ada kejadian lucu di saat gelombang kedua. Saat itu supply makanan kami sehari-hari berasal dari catering. Saya, Stefly dan Steven menggunakan catering yang sama. Mulai dari sarapan hingga makan malam. Di wisma, tepatnya di belakang tinggal Bahtiar, seorang pria tulen tetapi berperilaku feminin dan ia pun lebih senang dipanggil Tiara. Ia selalu mengenakan pakaian tank top dan celana

30 pendek ketat. Tugasnya membantu memasak atau mengantarkan rantang catering. Suatu pagi, usai mandi saya berkemas untuk mengajar. Tiba-tiba terdengar suara yang dihalus-haluskan sambil mengetok-ngetok pintu di luar: “Pih…pih.. ini sarapanta, sayang!” Saya tidak dapat menahan tawa. Pasti itu suara Bahtiar eh Tiara. Saya segera membuka pintu. Kebetulan pada saat yang bersamaan Stefly juga membuka pintu sambil menerima rantang dari Tiara. Saya langsung berkomentar: “Wah, Stef, sudah jadi papih, mamih nih!” Stefly yang tampak masih mengantuk hanya tersenyum. “Iya nih, bukan begitu sayang,” katanya sambil mencolek Tiara. Tiara melengos. Kelihatannya antara senang dan sebal. Setelah Tiara menjauh, Stefly mendekati saya sambil berbisik: “Begitulah, Bang. Niatnya kepingin jadi Naomi Campbel eh malah seperti Sol Campbel.” Saya tertawa terbahak. Naomi Campbel adalah top model top yang bertubuh langsing sedangkan Sol Campbel adalah bek andalan Inggris alias pemain bola. Pengalaman menarik lainnya adalah ketika salah seorang penghuni wisma asal Papua lainnya yaitu Pak Tet membawa oleh-oleh sagu yang disebut dan ikan asap dari Danau Sentani. Kami semua diundang menikmati oleh-oleh itu. Terus terang baru kali itu saya menikmati sagu asli Papua. Agak sulit juga menelannya, perlu waktu untuk menikmati sagu dan ikan dari danau Sentani. “Tambah lagi, Pak. Papedanya!” kata Pak Tet. “Iyo bang, jangan malu-malu,” timpal Stefly sambil mengambil ikan. “Terima kasih pak. Ini saja rasanya tidak habis-habis,” jawab saya sambil berusaha menelan papeda. Semua tertawa ketika melihat saya bersusah payah menikmati hidangan dari wilayah Indonesia paling timur. Ah, ‘persahabatan Tamalanrea’, kenangan indah yang tak akan terlupakan.

31

9. Kue Bugis, Kanre Jawa

Urusan perut, merupakan urusan yang tidak bisa ditawar lagi. Ada orang yang menjadi beringas lantaran urusan perut. Yang jelas, urusan perut erat kaitannya dengan makanan. Di Makassar, bagi yang belum terbiasa dengan kuliner daerah ini dibutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan diri. Meskipun terasa cocok dengan lidah, belum tentu perut mau menerima. Kalau tidak cocok, perut akan berdemonstrasi, berontak. Lantas, bisa celakalah kita. Bagaimanapun, wisata kuliner de Macassart tak akan pernah terlupakan. Ada hal yang menarik berkaitan dengan kuliner Makassar ini. Aneka macam makanan dengan beraneka rasa dan warna dapat kita jumpai dan cicipi. Budayawan nasional, Umar Kayam yang pernah bertugas di Makassar berseloroh bahwa orang Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang rendah hati. Alasannya meskipun pembuat kue- kue adalah orang Makassar, Bugis, Mandar atau Toraja, kue-kue itu tetap disebut Kanre Jawa. Suatu penghormatan bagi orang Jawa. Sebaliknya di Jawa, kita mengenal Kue Bugis. Sejenis kue yang terbuat dari tepung ketan yang berisi gula merah dan kelapa lalu dibungkus daun pisang muda. Suatu hal yang menarik. Tidak hanya makanan kecil seperti jalangkote, aneka macam penganan dari pisang pun dapat kita nikmati, seperti: barongko berupa pisang yang dilumatkan hingga seperti bubur , dicampur adonan telur lalu dibungkus dengan daun pisang. Biasanya disajikan dalam keadaan dingin. Pisang Epe yaitu pisang yang dipanggang tapi sebelumnya dipres hingga gepeng lalu diberi saus gula merah, terkadang diberi aroma durian. Pisang Ijo yaitu pisang yang dibungkus adonan terigu dan daun pandan hingga berwarna hijau lalu diberi saus putih dari kelapa. Selain itu ada pula umba-umba yang di Jawa dikenal dengan nama . Di Makassar ada pula yang menyebutnya onde-onde yaitu kue dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya dan dilumuri parutan kelapa. Biasanya kue ini khusus disajikan pada saat menempati rumah baru atau dalam upacara pembuatan perahu. Penganan lain adalah sengkolo, sejenis ketan dengan bahan ketan putih atau ketan hitam. Seringkali kita jumpai warung yang menjual songkolo begadang. Disebut demikian karena dijual pada malam hingga pagi hari. Biasanya dinikmati hangat-hangat dengan telur asin dan sambal. Lucu juga bila kita menawari turis asing: “Would you like to try an overnight songkolo, Sir?” Lalu gogos sejenis , cucuru bayao, cucuru golla mera sejenis , roko-roko unti (Makassar) atau doko-doko unti (Bugis), kopelangi, es pallu butung, bikangdoang (bakwan), lumpia, bolu peca, bolu cappe, putu menangis/cangkir, katiri’ sala/putri mandi, sanggara Belanda, putri hijau,

32 sero’-sero’, sikaporo’, taripang, tara’jong, baje, . Khusus untuk dangke ini saya masih penasaran karena makanan ini merupakan makanan olahan seperti keju dengan bahan baku susu kerbau. Cukup menarik karena bagi masyarakat Asia Tenggara, pengolahan makanan dari susu merupakan hal yang jarang sekali. Dangke ini dijumpai di daerah Enrekang. Untuk minuman khas disamping ballo (tuak dari nira), ada minuman khas, sarabba yang nikmat diminum malam hari. Minuman ini mirip dengan rasa agak pedas. Tidak lengkap bila kita tidak menikmati hidangan utama dalam wisata kuliner kali ini. Dimulai dengan pallu basa dari daging, pallu kaloa daging dengan kluwek, pallu ce’la, sejenis ikan , pallu mara, dan pallu kaci. Selain itu yang saya rasa sudah cukup terkenal seperti coto Makassar, sop konro, sop saudara. Coto dan konro memang berbahan baku daging tetapi khusus konro terbuat dari daging kerbau atau sapi dan disajikan masih dengan tulangnya. Sedangkan coto terbuat dari daging sapi bahkan ada yang dari daging kuda. Kata orang coto kuda dapat menambah tenaga. Maksudnya biar seperti kuda, begitu? Lalu ada bajabu, ka’du bullo dengan komposisi beras ketan dalam bambu tanpa isi, diberi daun pandan dan dibungkus daun pisang, kapurung (masakan Pallopo) dengan bahan sagu, sayur, ikan, asam patikala, ikan parede yang terbuat dari ikan bandeng yang dimasak dengan asam patikala, barobbo/ baro’bo (bubur), bassang (bubur jagung), ( berbentuk persegi panjang) dan masih banyak lagi. Rasanya perut ini tak sanggup lagi menikmati aneka hidangan dalam wisata kuliner de Macassart.

33

10.Ikan Pinggang

Tiap bangsa memiliki cara tertentu dalam mengolah dan menyiapkan makanan. Keanekaragaman tersebut membuat kita dapat leluasa memilih sesuai selera kita. Orang Rusia, seperti kata M. Sobary dalam kolomnya di Kompas juga gemar makan ikan. Begitupula dengan orang Jepang. Tapi orang Rusia tidak mau disamakan dengan orang Jepang. “ Kami tidak makan ikan mentah”, ujar orang Rusia. Di Belanda, negara di tepi Laut Utara ada cara unik dalam menikmati ikan. Ikan haring (Clupea harengrat) mentah setelah diberi bumbu ala kadarnya langsung dinikmati. Caranya kepala kita agak ditengadahkan lalu ikan kita masukkan ke dalam mulut dan ikan itu sedikit demi sedikit melewati tenggorokan. Rasanya? Bagi yang tidak terbiasa tidak disarankan untuk mencobanya. Biasanya, ikan haring ini disajikan dengan bir. Ikan haring memang banyak terdapat di laut-laut Eropa barat dan utara. Mereka hidup dalam kelompok yang jumlahnya puluhan ribu, menyusuri pantai Inggris, Perancis Utara, Belgia, Belanda, dan Denmark. Bagi nelayan dari negara-negara tersebut menangkap ikan haring merupakan sumber mata pencaharian mereka. Menurut para ahli lebih dari 50 persen ikan di seluruh dunia hidup dalam kelompok hingga ribuan jumlahnya. Diantaranya 10 – 30 km dari pantai. Pada musim-musim tertentu, kawanan ikan tadi bahkan lebih mendekati pantai dan masuk ke dalam teluk-teluk untuk mencari air tenang dan di sana mereka bertelur. Beragam dan melimpahnya hasil ikan di Asia Tenggara pada umumnya dan wilayah Nusantara pada khususnya sejak dulu mengagumkan pengunjung-pengunjung asing. Marcopolo yang melakukan ekspedisi ke Asia menyatakan: “ikan di sini merupakan ikan terbaik di dunia.” Begitupula menurut Laksamana Cheng Ho , dalam ekspedisinya di abad lima belas. Walaupun ia menggerutu tentang langka dan mahalnya beras, daging, serta sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara, ikan disebutkan berharga murah dan melimpah di mana-mana. Dalam laporannya, Ma Huan seorang penjelajah Cina menyatakan di Malaka dan Campa penangkapan ikan merupakan pekerjaan utama kaum pria, jauh di atas pertanian. Dari teknik penangkapan ikan pada masa lalu, John Crawfurd dalam History of the Indian Archipelago, 1820 menyebutkan cara mereka menangkap ikan sebagai ‘seni yang benar-benar telah mereka sempurnakan.’ Indonesia yang sebagian besar wilayahnya meliputi lautan terkenal juga sebagai negara pengkonsumsi ikan. Di perairan sekitar pantai kepulauan Nusantara bagian barat, kawanan ikan

34 kembung (Scomber kanagurta) menyusuri pantai tersebut. Sedangkan di sekitar pantai kepulauan Nusantara bagian timur kita jumpai misalnya ikan cakalang (Katsowanis pelamis). Tidak mengherankan bila mulai dari ujung barat wilayah Indonesia hingga timur, kita mengenal berbagai macam hidangan yang diolah dari ikan. Cara pengolahan dan memasak ikan perairan laut ini biasanya dibakar atau dipanggang. Cara ini sudah ada sejak dulu, sejak orang mulai mencari ikan dan menemukan cara membuat api. Sampai sekarang, cara ini tetap digunakan orang dalam mengolah ikan. Hanya sekarang sudah ditambah dengan bumbu-bumbu untuk menambah selera. Hidangan-hidangan yang berasal ikan laut mendapat nama-nama yang bermacam-macam. Setiap daerah di Indonesia mempunyai nama-nama yang berbeda. Misalnya, colo-colo, hidangan ikan dari Maluku, pallu mara dari Makassar, kepala ikan dari Sumatera dan pesmol dari Jakarta. Di Sulawesi Selatan, hidangan ikan ini menjadi menu sehari-hari. Hampir di setiap sudut, kita akan jumpai rumah makan yang menyajikan hidangan ikan. Hidangan laut atau yang dikenal dengan seafood menjadi menu makanan khas. Luasnya laut, jenis ikan dan komoditas laut yang beraneka ragam di perairan Sulawesi Selatan membuat aneka makanan dari hasil laut dapat diperoleh dengan mudah dan mura. Jadi, tidak salah bila daerah ini oleh penggemar makanan laut disebut sebagai the paradise of seafood. Hidangan laut ini tidak hanya mampu menggoyang lidah para penikmatnya, tapi juga jauh dari kolesterol apabila dimasak dengan tepat. Bagi yang khawatir dengan berat badan tidak perlu khawatir karena mengkonsumsi ikan tidak membuat berat badan melonjak. Malahan hidangan ikan mengandung protein yang cukup tinggi. Pemerintah daerah, dalam hal ini dinas perikanan laut Sulawesi Selatan memproyeksikan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Sulawesi Selatan. Pangkalan tersebut tidak hanya berfungsi secara ekonomis, tapi diharapkan dapat menjadi salah satu obyek wisata potensial. Salah satunya di Paotere, konsep obyek pariwisata ‘ laut’ ini mulai digarap. Tercatat ada empat belas Pangkalan Pendaratan Ikan lainnya yang diharapkan dapat menyusul, seperti PPI Boccia, PPI Paribinga, PPI Tanga-tanga, PPI Selayar, PPI Bulukumba Kajang , PPI Lappa, PPI Wajo, PPI Luwu Palopo, PPI Lonrae Bone, PPI Paju Kukang, PPI.S Binangae, PPI Lakassi, PPI Ujung Lero Pinrang, dan PPI Lamba Majene. Bila proyek ini berjalan lancar tidak mustahil Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) tersebut akan menjadi obyek wisata baru yaitu wisata kuliner. Memang kelihatannya begitu sederhana dan tidak ada artinya karena sehari-hari kita menjumpainya. Tapi bagi para wisatawan baik domestik maupun asing, wisata kuliner merupakan sajian wisata yang menarik. Mereka tidak hanya disuguhi obyek-obyek wisata yang sama.

35

Seperti halnya wisata kuliner di Singapura atau Hongkong yang terkenal dengan masakan Tionghoanya. Cara mengolah masakan yang begitu unik dari para juru masak juga menjadi atraksi tersendiri walaupun hanya di kaki lima. Mungkin di Sulawesi Selatan, hal yang menarik yaitu pada saat ikan-ikan itu dibawa dari laut ke Pangkalan Pendaratan Ikan. Kemudian ikan-ikan yang masih segar itu diolah dan siap disajikan. Faktor yang dapat menjadi kendala yaitu masalah kebersihan tempat obyek wisata kuliner ‘ikan bakar’ ini. Tidak dipungkiri, masyarakat kita masih sangat kurang kesadarannya dalam hal kebersihan. Padahal, faktor kebersihan ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan suatu obyek pariwisata. Tentu kita tidak mengharapkan, setelah para wisatawan menikmati sajian wisata kuliner ini mereka berbondong-bondong ‘berwisata’ ke rumah sakit lantaran sakit. Tidak mengherankan bila para turis mancanegara sangat berhati-hati bila menyangkut makanan. Mereka akan menjadi sangat cerewet dalam hal kebersihan, baik makanan dan tempatnya. Hal tersebut tercantum di setiap buku panduan wisata untuk selalu berhati-hati. Kita tentu mengharapkan kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam upaya mendukung dan mengembangkan obyek wisata kuliner ini dengan turut berperan serta menjaga kebersihan sebaik- baiknya. Masyarakat diminta untuk dapat memelihara kebersihan dengan baik sedangkan pemerintah dapat mengupayakan membuat suatu undang-undang mengenai sanksi-sanksi tegas bila ada masyarakat yang melanggar. Tidak mustahil bila kondisi nyaman ini dapat kita wujudkan, wisata kuliner ikan bakar ini menjadi obyek wisata baru yang akan menarik para wisatawan dan akan menjadi sumber pemasukan masyarakat sekitar. Saya mencatat cumi-cumi, udang, kepiting, ikan sunu, baronang, ikan merah, dan masih banyak lagi untuk disebutkan telah menjadi santapan saya sehari-hari. Salah satu ikan yang juga sering dikonsumsi adalah ikan Bandeng, ikan air tawar dan laut yang di sini dikenal dengan nama ikan bolu. Pun beragam olahan masakan dari bahan ikan ini selalu mewarnai kehidupan saya seperti otak- otak ikan yang tidak kalah lezatnya dan mampu menggoyang lidah. Tak sadar saya sudah menghabiskan sepuluh otak-otak. Bosan? Tidak juga. Rasanya kata puas lebih tepat untuk mengungkapkannya. Hmm… Sewaktu saya menuliskan kabar pada teman-teman seperjuangan di Jawa, saya berkelakar bahwa hampir semua jenis ikan telah saya cicipi. Hanya ikan pinggang (maksudnya ikat pinggang) dan Ikang Fauzi saja yang belum.

36

11. Tour de Makassar

Antrian orang memanjang hingga melewati jembatan di atas kanal. Padahal saat itu sedang musim dingin yang terkadang disertai turunnya salju. Pemandangan di sebuah negara kecil di Eropa setahun lalu itu masih terekam di benak saya. Antrian panjang orang yang menanti dibukanya pintu sebuah museum. Saya ingat beberapa bulan sebelumnya saya sempat mengunjungi museum itu. Kebetulan, selama tiga bulan, museum itu memamerkan kebudayaan Mesir Kuno beserta muminya. Museum itu sendiri sebenarnya berisi peninggalan-peninggalan masa lalu peradaban Eropa. Sewaktu saya berkunjung kesana tampak beberapa bagian sedang direnovasi sehingga tak banyak yang bisa dilihat. Saya tak menduga beberapa bulan kemudian antrian panjang sudah menunggu di pintu. Terus terang, saya belum pernah menyaksikan antrian semacam itu di tanah air. Antrian panjang orang yang ingin mengunjungi sebuah museum. Lalu, saya sengaja mengikuti sebuah tur singkat mengelilingi kota tempat saya belajar. Tak disangka, bangunan-bangunan kuno yang saya lewati setiap hari menuju kampus ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri. Mulai dari rumah tempat kelahiran pelukis terkenal, Rembrandt, bangunan pabrik kain Laken, rumah Snouck Hurgronje seorang orientalis yang terkenal dalam perang Aceh, hingga cerita seram mengenai bangunan bekas penjara yang memiliki sudut hukuman gantung. Ilustrasi di atas merupakan bagian kecil dari ribuan museum dan bangunan kuno yang dimiliki oleh negara tersebut. Dibandingkan dengan Indonesia, dan Sulawesi Selatan khususnya, negeri kita pun sebenarnya tidak kalah. Bahkan dapat dikatakan lebih kaya dan bervariasi. Dilihat dari jenis obyek wisata, museum dikategorikan sebagai wisata sejarah dan budaya. Jujur saja, untuk obyek wisata ini, kita kalah. Para pengunjung museum di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Hal ini yang sering kita dengar dari para pengelola museum. Walaupun sebenarnya biaya yang dikutip tidak terlalu besar. Apakah ini suatu indikasi bangsa kita tidak menghargai sejarah dan budayanya ? Saya sempat memperhatikan tingkah laku orang Indonesia setelah mendengar beberapa cerita teman. Bila orang Indonesia berkesempatan ke luar negeri, mereka enggan mengunjungi museum atau tempat-tempat bersejarah. Tempat favorit mereka yaitu pusat perbelanjaan atau pasar. Kalaupun mereka berkunjung ke museum, yang mereka cari atau lihat bukan benda-benda yang dipamerkan melainkan toko yang menjual suvenir. Penghargaan terhadap bangunan–bangunan kuno pun sangat kurang. Padahal bangunan- bangunan kuno ini dapat dijadikan obyek wisata yang tidak kalah menariknya. Seperti beberapa

37 pelestarian bangunan-bangunan kuno di negeri tetangga, Singapura. Alasan pembangunan dan tidak perlu terlampau sentimentil mengenang masa lampau agaknya harus mulai kita tepis. Di masa lampau, Makassar yang pernah menjadi pusat perniagaan dan salah satu bandar penting di Nusantara memiliki bangunan-bangunan klasik yang indah. Mulai bangunan peninggalan abad ke-17 hingga bangunan-bangunan kolonial. Seperti Emprees Hotel di jalan Kajoalaliddo (sekarang Perguruan Islam Athirah), Grand Hotel di Jalan Ahmad Yani (sekarang kantor BRI ), Gedung Esconto Bank di Jalan Nusantara (sekarang menjadi areal peti kemas), Gedung Bijeenkorf, asrama Belanda di Jalan Usman Gaffar (sekarang menjadi ruko).Bangunan-bangunan tersebut hanya sempat saya nikmati lewat foto-foto masa lalu. Sama nasibnya, dengan bangunan-bangunan kuno di kota-kota besar di Indonesia, bangunan-bangunan itu tidak berdiri lagi. Hanya kenangan yang tertinggal. Sisa bangunan-bangunan kolonial yang masih ada hanyalah Kantor Balaikota (eks kantor gubernur) di Jalan Ahmad Yani, Museum Kota (eks Balaikota) di Jalan Balaikota, Gedung Societeit de Harmonie di jalan Ribura’ne, Gedung Pengadilan Negeri Makassar di jalan Kartini dan rumah jabatan walikota di Pantai Losari . Selain itu bangunan berusia ratusan tahun, Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) dan Benteng Somba Opu dapat lebih dioptimalkan menjadi tujuan wisata yang potensial. Museum La Galigo pun yang berada dalam kompleks benteng Ujung Pandang sebaiknya perlu diperhatikan. Banyak koleksinya yang berkesan tidak terurus dengan baik. Demikian halnya dengan Taman Miniatur Sulawesi dan Museum Karaeng Pattingaloang yang berada dalam kawasan benteng Somba Opu. Banyak bangunan rumah adat dalam kawasan ini yang tak terawat. Begitupula keluhan para pengurus masing-masing rumah adat karena kurangnya perhatian pemerintah menjadi masalah yang sangat serius. Masuknya obyek wisata ini dibawah pengawasan pemerintahan Gowa diharapkan dapat menjadi obyek wisata sejarah dan budaya yang mampu menarik calon wisatawan. Terutama para wisatawan yang tidak sempat mengunjungi tempat-tempat lain di Sulawesi Selatan. Tujuan wisata menarik lainnya yaitu bangunan peninggalan tradisional, seperti Istana Raja Gowa (Balla Lompoa) di Sungguminasa. Bangunan tersebut tidak hanya memiliki arsitektur yang indah tetapi juga memiliki koleksi perhiasan kerajaan dan pusaka yang tersimpan, sewaktu-waktu dapat dipamerkan untuk umum . Hal yang patut menjadi perhatian adalah potensi wisata sejarah yang bernuansa religius. Potensi yang menjanjikan adalah calon wisatawan mancanegara dari kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah serta wisatawan domestik. Makam Syekh Yusuf, ulama besar Sulawesi Selatan serta Masjid Katangka, masjid tertua di Sulawesi Selatan yang dibangun tahun 1605 oleh Sultan Alauddin merupakan obyek wisata sejarah

38 bernuansa religius. Tempat lain yang dapat juga dikunjungi yaitu Masjid Al-Markaz Al-Islami, masjid kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Makassar pada khususnya. Masjid megah berlantai tiga ini mampu menampung 7000 hingga 10.000 jemaah. Pemasangan tiang pancang pertama masjid yang arsitekturnya merupakan pengembangan Masjid Katangka dikerjakan pada 8 Mei 1994. Industri pariwisata merupakan industri jasa. Tanpa adanya wisatawan, baik dari Mancanegara maupun domestik , industri pariwisata tidak akan berjalan. Untuk dapat menarik calon wisatawan tentunya diperlukan promosi. Namun, usaha untuk mempromosikan obyek-obyek wisata tersebut bukan hanya tanggung jawab para pelaku industri pariwisata belaka. Dukungan pemerintah serta masyarakat juga memegang peranan yang penting. Seringkali terjadi, para pelaku jasa industri telah melakukan promosi besar-besaran dan memakan biaya cukup besar. Tapi usaha tersebut menjadi sia-sia karena tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang baik seperti jalan-jalan menuju obyek wisata yang rusak, tak terawatnya obyek wisata, koleksi-koleksi yang hilang, kebersihan yang tidak terjaga. Maka usaha yang telah dilakukan menjadi tidak ada artinya. Bayangan di benak para calon wisatawan mengenai obyek wisata yang akan dikunjungi ternyata tidak sesuai dengan harapan ketika mereka kunjungi. Hal itu membuat mereka enggan datang kembali. Sehingga mereka memberikan penilaian dan referensi yang negatif pada kerabat , teman atau kenalan untuk tidak mengunjungi obyek wisata tersebut. Padahal promosi yang paling efektif adalah promosi dari mulut ke mulut. Kesan baik inilah yang harus mulai kita bangun dan kembangkan. Caranya dengan meningkatkan kualitas pelayanan dan membenahi sarana-sarana pendukung, tanpa meninggalkan kepribadian bangsa dan nilai-nilai luhur tradisi. Hanya daerah-daerah dan obyek-obyek wisata tertentu yang memiliki pelayanan baik akan mampu bersaing dan meraih kesempatan di dunia industri pariwisata.

Tulisan ini pernah dimuat dalam harian Ujung Pandang Ekspress, 6 Desember 2001 dengan judul ‘Wisata Sejarah di Kota Makassar dan Sekitarnya’

39

12.Cinta Raja Kera

Menurut teori evolusi Charles Darwin, manusia diturunkan dari kera setelah melewati ‘missing link’, rantai yang terputus. Teori yang menyebabkan dirinya senasib dengan Galileo, dimusuhi gereja. Silakan saja, jika ada yang mempercayai teori mengenai suatu gagasan terhadap waktu yang fana tersebut. Namun, sejarah peradaban manusia memang tidak terlepas dari salah satu mahluk ciptaan Tuhan ini. Pada masa India kuno kera dianggap hewan suci, seperti pemujaan pada dewa kera, Hanoman. Dalam Epos Ramayana, Hanoman merupakan penolong dan menteri Rama. Ia merupakan simbol kekuatan, kepercayaan dan pengorbanan. Meskipun para petani India menderita karena kera- kera itu menjadi hama, mereka tetap merayakan pesta Hanomandjayanti. Hari kelahiran Hanoman. Begitupula di Cina, kera sangat dihormati. Di Cina Selatan dan Tibet, orang merasa bangga dengan asal-usul keluarganya yang masih ada hubungan dengan kera sebagai nenek moyang. Anda tentu ingat legenda Sun Wo Kong (Sun Go Kong), ‘si kera sakti’ yang mendampingi perjalanan suci sang Budha Hsuan-tsang ke India. Di kebudayaan Meksiko kuno, kera dianggap sebagai dewa tari dan disimbolkan sebagai hari kesebelas (Aztek= Ozomatu, Maya=Ba’tz). Dan barangsiapa yang lahir pada hari itu diharapkan akan menjadi seniman, penari dan penyanyi. Tapi di sini kita tak akan memperdebatkan teori serta bermacam-macam kisah mengenai kera lebih jauh . Ingatan tentang teori dan kisah mengenai kera muncul pada saat saya melintasi sebuah patung kera raksasa ketika memasuki kawasan obyek wisata , Bantimurung. Obyek wisata ini terletak kurang lebih 30 kilometer di luar kota Makassar. Sambutan kera raksasa itulah yang menggelitik. Mengapa diletakkan patung kera raksasa di kawasan wisata yang terkenal dengan air terjun, gua-gua alam serta kupu-kupu indah? Pasti ada legenda atau cerita yang dapat dijadikan alasan. Menurut cerita, obyek wisata Bantimurung menyimpan legenda yang hanya diketahui oleh masyarakat setempat secara turun menurun. Dan legenda tersebut berkaitan dengan patung kera raksasa yang menyambut kedatangan para wisatawan. Konon, Bantimurung yang berada di kawasan cagar alam Karaenta, dahulu menjadi pusat kerajaan kera yang dipimpin Raja Towakala. Raja kera tak berekor ini sebenarnya merupakan penjelmaan manusia yang mendapat kutukan. Ia dikutuk menjadi kera karena telah melakukan kesalahan. Tak dijelaskan apa kesalahannya. Di masa menjalani kutukan, Raja Towakala jatuh cinta pada Bissu Daeng, perempuan cantik putri raja Maros. Raja Towakala lalu nekat meminang putri itu. Ia mungkin tak sadar bahwa ujud

40 dirinya bukan manusia lagi. Tentu saja, sang putri yang lebih mementingkan keindahan fisik menolak mentah-mentah lamaran tersebut. Bissu Daeng menganggap Raja Towakala tidak cocok dan pantas mendampingi dirinya. Raja Towakala tidak kehabisan akal. Cinta ditolak, ia pun bertindak. Tanpa pikir panjang, ia lalu menculik Bissu Daeng pada saat putri raja itu sedang mencuci muka di sumur Jamala, milik sang Raja Kera. Raja Towakala pun berhasil memperistri putri tersebut walau dengan cara paksa. Meskipun Bissu Daeng telah menjadi istrinya, Raja Towakala tetap tak bisa mendapatkan cinta Bissu Daeng. “Biar kau dapat diriku tapi takkan kau dapat cintaku”, demikian prinsip sang putri. Selama ia menjadi istri Raja Towakala, Bissu Daeng menjadi pemurung. Raja Towakala tampaknya sudah kehabisan akal. Segala macam cara telah diupayakan untuk menghibur sang istri. Tapi tetap saja tak ada yang berhasil. Bagaimana akan berhasil, hiburannya tentu bukan grup Sheila On 7 atau Dewa, melainkan tarian-tarian yang dimainkan oleh para kera, rakyatnya. Sang putri jelas bertambah sebal. Suatu ketika, Raja kera meninggalkan kerajaannya untuk suatu urusan. Diam-diam Bissu Daeng mempunyai rencana untuk membalas dendam. Semua kera-kera yang ada di kerajaan dibunuhnya dengan menggunakan perangkap lubang. Ia mungkin sebal dengan kera-kera yang pernah mencoba menghiburnya tetapi tak berhasil. Lalu dihabisilah semua kera itu. Begitu Raja Towakala kembali ke kerajaannya, ia sangat terpukul melihat rakyatnya mati. Tapi ia tidak marah pada Bissu Daeng. Rasa cintanya tetap tak tergoyahkan. Keteguhan cinta sang raja membuat hati Bissu Daeng luluh, akhirnya, ia pun rela mencintai raja kera tak berekor itu. Tanpa syarat. Pada saat bersamaan, kutukan terhadap Raja Towakala juga berakhir. Ia berubah kembali pada ujud semula, menjadi seorang raja yang tampan. Tentu saja Bissu Daeng sangat gembira meskipun sebenarnya ia sudah ikhlas bila ia harus bersuamikan seekor kera. Kedua pasangan itu akhirnya hidup bahagia, walaupun anak-anak mereka semuanya berujud kera. Legenda inilah yang mempertahankan kehadiran kera-kera di sekitar obyek wisata Bantimurung. Kera-kera yang banyak berkeliaran itu diyakini sebagai keturunan Raja Towakala dan Bissu Daeng sehingga masyarakat setempat tidak berani menganggu apalagi membunuhnya. Dari kisah itu pula, air dari sumur Jamala diyakini memiliki nilai magis. Siapa saja yang mencuci muka dengan air Jamala, konon mudah menarik perhatian orang lain. Tidak mengherankan bila banyak anak-anak muda, terutama yang masih lajang datang ke Bantimurung dan selalu menyempatkan diri mencuci muka di air Jamala. Saya pun sewaktu berkesempatan mengunjungi air Jamala itu tidak hanya mencuci muka tapi langsung nyebur, mandi kungkum. Hasilnya, ya saya sempat digila-gilai oleh para wanita alias mereka mengatakan: “Gila…gila…aku tergila-gila padamu!”. Mau mencoba?

41

13. Balada Bissu

Musik kecapi mengalun lirih ditingkahi gendang. Seiring waktu, iramanya semakin cepat dan bunyinya semakin keras. Sementara itu semakin kencang pula para penari waria kebal itu. Mereka menusukkan badannya dengan sebilah badik, keris Sulawesi Selatan. Tak ada darah keluar setetes pun pada saat mereka mencapai titik ekstasinya. Festival dan Seminar Internasional La Galigo dimulai. Para penari yang seperti kerasukan itu adalah para bissu, pendeta agama Bugis kuna pra- Islam. Ketua para bissu adalah seorang yang yang diberi gelar Puang Matowa atau Puang Towa. Seorang figur feminin dengan wajah licin bak kasim di kekaisaran Cina yang bebas masuk keputren. Para bissu sebenarnya lelaki yang keadaan jasmaninya normal. Tradisi lelaki yang berperan sebagai perempuan ini sudah ada sejak lama di Nusantara. Misalnya ahli etnologi terkemuka George Alexander Wilken pada 1912 mengamati tentang tradisi ini di kalangan masyarakat Dayak. Atau dokter Julius Jacob yang mengunjungi Bali pada 1880-an mengamati banyak tarian yang dipentaskan oleh remaja lelaki yang didandani sebagaimana perempuan. Bissu sudah ada di tanah Bugis sejak ratusan tahun lalu. Naskah ‘La Galigo’ pun banyak mengungkap keberadaan bissu. Dalam kebudayaan Bugis, bissu konon sebagai pendamping dan pelengkap kedatangan para tokoh utama dari langit dan bumi. Sebagai penghubung, bissu membantu hubungan Batara Guru dengan We Nyili Timo termasuk para dewa dan roh. Hadiah dan anugerah para dewa yang memberikan kesuburan bumi pada manusia dapat diperoleh melalui perantaraan bissu melalui upacara-upacara keagamaan dengan saat meriah. Para bissu memperoleh norma, konsep kehidupan bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam La Galigo secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat. Pengetahuan warisan bugis kuno itu mereka pertahankan dan terapkan dalam kehidupan sehari- hari dan upacara adat baik sebagai individu maupun masyarakat. Bahasa bissu merupakan bahasa dewa. Bahasa yang digunakan para bissu untuk berkomunikasi dengan dewa dan sesamanya adalah bahasa Torilangi, bahasa suci. Mereka menganggap bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui dewata. Kata-kata dewa ini banyak dimuat dalam naskah La Galigo. Bissu berperan sebagai penasehat raja beserta seluruh keluarganya. Mereka mengabdi dan menjaga Arajang, benda pusaka keramat kerajaan. Mustika-mustika bertuah ini memiliki keistimewaan karena cara menemukan dan bentuknya yang tidak lazim. Benda pusaka ini dirawat dalam tempat khusus di ruang istana dan tempat persembahan. Upacara khusus diadakan untuk benda pusaka yang diberi nama khusus dan diperlakukan lebih dari sekedar lambang.

42

Saat ini sangat jarang kita jumpai upacara-upacara kaum bissu. Banyak faktor yang menyebabkan upacara-upacara kaum bissu mengalami pergeseran. Baik faktor eksternal dan internal komunitas bissu. Faktor eksternal, perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Peranan raja telah tergantikan oleh camat. Selain itu memudarnya peranan-peranan lembaga adat. Sedangkan faktor internal, faktor kepemimpinan dan regenerasi. Dalam masyarakat muncul doktrin, bila mereka melihat bissu atau wandu, maka mereka konon akan tertimpa sial. Tidak akan mendapatkan rezeki selama 40 hari 40 malam. Selain itu, seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan. Karena itu jika melihat bissu maka ia harus diusir jauh-jauh. Dan jika dulu para bissu dihormati, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olok. Pada masa Kahar Muzakkar, kegiatan para bissu dilarang. Sebab mereka dianggap menyembah berhala dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan di laut. Banyak sanro (dukun) dan bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Pun pada tahun 60-an mereka pernah dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Pada masa Orde Baru, mereka dianggap tidak beragama dan menganut ajaran animisme, karena mengeramatkan arajang (bajak yang dikeramatkan). Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Oleh karena itu para bissu mulai bersembunyi dari ancaman maut. Di Segeri, Pangkep, upacara-upacara Mappalili mengalami kemunduran dan upacara-upacara bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Padahal, masyarakat percaya bila tak dilakukan maka akan datang petaka. Misalnya, hasil panen padi menjadi kurang memuaskan. Dewasa ini mulai muncul kesadaran bahwa bissu tetap diperlukan , masyarakat mulai berani menyembunyikan para bissu mereka bisa melakukan upacara Mappalili lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang ada sekarang ini dan yang tersisa tinggal 20 orang. Mereka adalah generasi terakhir yang mewarisi kejayaan tradisi Bugis klasik.

43

14.Tak Kelar

Ada satu hal yang saya rasakan kurang ketika pertama kali menginjakkan kaki di bumi Sulawesi ini yaitu kereta api. Padahal menurut sebuah majalah berbahasa Belanda (saya lupa judulnya), zee en rail (laut dan rel) merupakan satu kesatuan. Laut dan rel itulah memegang peranan penting dalam perdagangan. Kita tahu bahwa pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan besar di Indonesia Timur. Dan untuk menyalurkan barang-barang ke tempat-tempat lain di Sulawesi memerlukan kereta api. Namun sepertinya ini tak berlaku di Sulawesi. Menurut salah seorang rekan, susunan geologis Sulawesi yang sering ‘bergoyang’ tidak memungkinkan dibangunnya rel kereta. Apa benar demikian, tanya saya dalam hati. Namun, kenyataannya di awal abad ke-20, di Sulawesi pernah ada rel kereta. Hal ini diberitahukan oleh mevrouw Hukom, salah seorang pengajar senior konsentrasi bahasa Belanda di Unhas. Saya jadi penasaran. Ternyata hal itu benar. Sewaktu kami mengadakan perjalanan ke Tanjung Bira, saya melihat bekas-bekas rel di daerah Takalar. Oleh karena di daerah itu rel kereta belum sempat diselesaikan, maka daerah itu dinamakan Tak Kelar (tidak selesai), kata mevrouw Hukom bergurau. “Ada-ada saja”, pikir saya. Memang rupanya pada awal abad ke-20 pernah dibangun jalur kereta api dari Makassar yang rencananya sampai Menado. Adalah Firma de Groot, salah satu perusahaan kontraktor yang memenangkan tender membangun pelabuhan di Makassar pada tahun 1912. Sebelum bekerja tentunya telah diadakan uji kelayakan, mulai dari cara kerja, sistem keuangan, serta mempersiapkan peralatan berat. Semua itu menghasilkan semacam buku panduan. Dalam buku panduan itulah ada sebuah judul ‘Waar Ocean en Rail elkaar ontmoeten’ (dimana laut dan rel bertemu). Salah satunya adalah rencana membangun rel Makassar-Menado. Pembangunan rel kereta api di Makassar terganggu setelah meletus Perang Dunia I. Padahal sebuah stasiun kecil ke arah utara, kira-kira ke arah Pare-Pare dan rel kereta api sudah dibangun,. Rel itu kelak akan dipergunakan oleh gerbong-gerbong yang mengangkut barang-barang dari pelabuhan Makassar. Beberapa lokomotif pun akan diangkut secara khusus dengan kapal KPM dari Jawa. Ketika rel yang dibangun itu sampai di desa Takalar tahun 1920-1922, ‘hantu’ malaise mulai menyerang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, D. Fock melihat biaya pembangunan rel kereta di Sulawesi cukup tinggi. Maka rencana meneruskan pembangunan rel kereta sampai Menado terpaksa dipetieskan. Apalagi melihat bahwa penggunaan vrachtauto (truk) untuk mengangkut barang lebih vlug, veilig, goedkoop (cepat, aman, murah).

44

Jalur kereta Makassar-Takalar tampaknya seperti hidup segan mati tak mau. Namun, Takalar- Express dibawah pimpinan seorang insinyur Staatsspoor (SS) tetap setia bertugas dengan jam-jam yang pasti sesuai jadwal. Terkadang terlihat rangkaian gerbong barang dengan gerbong penumpang yang kosong. Tapi itu cerita lain. Kalau Anda diburu waktu lebih baik naik bis saja daripada menunggu kereta yang tidak jelas jadwalnya. Menurut cerita pada tahun 1927, kereta memang berangkat tepat pukul enam, tapi kenyataannya kereta berangkat pukul enam lebih banyak. Kalau ada orang yang mengkritik keterlambatan itu, maka sang insinyur dengan tenang menjawab: “Anda keliru tuan, kami memang berangkat selalu tepat waktu sesuai dengan jam di stasiun. Tapi sayangnya, jam di stasiun selalu terlambat.” katanya sambil menunjuk ke arah jam di stasiun. Lalu sang insinyur menawarkan untuk kongkow dulu di warung sambil menikmati menunggu dimuatnya barang-barang di gerbong dan tanda berangkat. Takalar Express memang kereta pagi yang berangkat ‘tetep poekoel anam pagi menoeroet boekoe-dienst’. Ah, Takalar, tak kelar!

45

15.Tator

Banyak cerita tentang Tana Toraja yang sering disingkat Tator. Rasanya belum sah kalau pergi ke Sulawesi tapi tidak mengunjungi Tana Toraja. Terlalu indah untuk dituliskan tapi perlu untuk diceritakan. Tiga bulan sudah saya bertugas di Makassar dan kesempatan berkunjung ke Tator pun kesampaian. Dari beberapa buku yang saya baca, suku Toraja termasuk suku Proto-Melayu seperti juga orang Batak dan Nias di Sumatra Utara, Dayak di Kalimantan. Nenek moyang orang Toraja yang tinggal di daerah Kamboja meninggalkan Indocina menggunakan perahu sekitar 2000 SM lantaran perang yang terjadi di India, Asia Tenggara. Menurut legenda, perahu-perahu yang ditumpangi nenek moyang orang Toraja mengalami kecelakaan di Laut Utara karena angin ribut. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mereka akhirnya mencapai pulau Sulawesi sambil menarik reruntuhan perahunya ke darat. Mereka menggunakan perahunya sebagai atap rumah. Generasi berikutnya secara turun menurun tak pernah berlayar lagi. Seperti halnya pembuatan kapal Bugis yang tak menggunakan paku atau sekrup, pembangunan rumah Toraja juga demikian. Semua dibuat dari bahan kayu, batang kelapa atau bambu. Rumah-rumah itu selalu menghadap arah utara, arah darimana nenek moyang mereka datang. Setiap rumah adat mempunyai lumbung padi. Apalagi rumah-rumah keluarga kaya. Mereka memiliki beberapa lumbung padi. Perjalanan ke Tator membutuhkan waktu kurang lebih delapan jam yang ditempuh melalui darat. Jarak Makassar-Tana Toraja kurang lebih 300 kilometer. Sebenarnya bisa juga menggunakan pesawat tapi saat itu pesawat tidak beroperasi. Sudahlah, yang penting saya bisa ke Tator. Saya beruntung, perjalanan ke Tator menggunakan bis ber-AC sehingga rasa penat dan lelah tak begitu terasa. Kami berangkat pukul 9 pagi dari Kampus Tamalanrea. Lalu kami menuju utara melewati Maros, Pangkep dan Barru tempat kami istirahat makan siang. Perjalanan lalu dilanjutkan menuju Pare-Pare, Rappang, Enrekang. Sepanjang perjalanan dari Makassar hingga Pare-Pare, saya disuguhi pemandangan laut. Barulah ketika memasuki Enrekang, latar belakang pemandangan laut berubah menjadi pemandangan pegunungan. Pemandangan itu mengingatkan saya pada pemandangan di Puncak. Udaranya pun terasa sejuk. Kami sejenak berhenti di Bambapuang, ditemani segelas teh manis sambil menikmati pemandangan. Menurut Pak Sarifudin, salah seorang dosen yang juga ikut, pegunungan di situ dikenal dengan gunungnya yang eksotis dan dikenal dengan nama Batu Kabobong. Yang konon bentuknya (maaf) mirip dengan alat kelamin wanita. Saya mencari dimana keeksotisannya. Sayang, tidak ketemu.

46

Kami tiba di Tator sekitar jam lima sore dan disambut rinai gerimis. Kami langsung menuju tempat menginap di Rantepao. Masih ada dua hari menikmati keindahan Tator walaupun sebenarnya kurang. Besok pagi acara cukup padat. Saya tertarik pada ukiran-ukiran yang menghiasi dinding rumah-rumah Toraja atau hiasan lainnya. Semua ukiran diwarnai warna hitam, putih, kuning, dan merah. Warna-warna tersebut dikombinasikan dengan baik. Warna itu adalah warna asli yang tahan lama dan diambil dari tanah liat, kecuali warna hitam yang dihasilkan dari getah batang pisang muda. Salah satu motif yang menarik adalah ukiran ayam jantan yang disebut Pa’manuk Lomdong. Ukiran ayam jantan itu memiliki arti lambang hukum adat. Ayam jantan merupakan harta benda yang tinggi nilainya. Jika ayam itu dipelihara dengan baik dan ketika diadu selalu menang, maka pemiliknya akan beruntung. Motif lain adalah bundaran matahari dan bulan yang memiliki makna ketuhanan. Simbol ini terlihat paling banyak karena melambangkan sumber kehidupan. Lain halnya dengan motif kerbau. Kekayaan dan kewibawaan suatu keluarga dicerminkan dari jumlah kerbau yang dimilikinya. Oleh karena itu motif kepala kerbau melambangkan kemakmuran. Sedangkan motif di lumbung padi dihiasi dengan ukiran tanaman sawah. Motif ukiran lainnya adalah swastika yang melambangkan adanya kekuatan magis yang dapat memberikan pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan. Bicara tentang Toraja tentu tak lepas dengan kopi Toraja. Kopi Toraja termasuk hasil ekspor penting di Indonesia. Kopi yang ditanam di Tana Toraja termasuk jenis kopi yang berasal dari Afrika yang dinamakan kopi Liberia dan Robusta. Sayang, saya bukan penikmat kopi jadi soal rasanya tidak bisa saya jelaskan. Konon, menurut penikmat kopi, rasanya keras. Kesan saya tentang Tana Toraja adalah tentang kehidupan kekal. Maksudnya, beberapa tempat yang sempat saya kunjungi tidak jauh dari makam, kuburan dan upacara kematian. Misalnya di Lemo, tebing batu yang berisi tau-tau (patung kayu seukuran manusia) dan berfungsi sebagai makam. Patung tau-tau itu bukan melambangkan orang yang telah meninggal tapi hanya menunjukkan jenis kelamin. Lalu di Londa, berupa makam di sebuah pohon tinggi khusus bagi bayi. Bayi yang meninggal dimasukkan dalam lubang pohon yang dikenal dengan pohon liang. Atau perjalanan memasuki gua yang lagi-lagi berupa makam. Gua yang saya masuki berisi peti-peti mati yang diletakkan berdesakan. Sesekali saya harus merangkak karena ruangan gua yang sempit dan langit-langit yang rendah. Sejenak saya merasa seperti Indiana Jones. “Kesampaian juga jadi Indiana Jones”, gumam saya. Selain peti mati kayu ada pula onggokan tengkorak-tengkorak. Suasana seram memang terasa tapi anehnya bagi saya biasa saja. Di sana terdapat pula dua pasang tengkorak yang diletakkan berdekatan. Menurut cerita salah seorang pemandu, itu tengkorak sepasang sejoli yang tak terpisahkan hingga akhir hayatnya. Sang

47 pria berasal dari golongan berada dan yang perempuan dari golongan budak. Bisa ditebak apa yang mereka lakukan. Mereka dilarang menikah dan akibatnya mereka bunuh diri. Pengalaman menarik lainnya adalah menghadiri upacara pemakaman/kematian. Dari semua upacara yang banyak dilakukan di Tana Toraja, upacara kematianlah yang paling besar dan penting. Meskipun menurut Pak Sarifudin, upacara kali itu tidak terlalu besar. Namun, ketika itu saya melihat rombongan orang yang menarik kerbau untuk dibawa ke tempat upacara. Kerbau itu rupanya untuk diberikan pada keluarga yang sedang ‘berpesta’. Uniknya pemberian itu diumumkan melalui pengeras suara. Berapa jumlah hewan yang diberikan. Khusus kerbau, apabila kerbau itu berkulit belang alis tedong bulo maka semakin bergengsilah sang tuan rumah. Karena harga seekor kerbau belang itu cukup mahal bahkan hingga jutaan rupiah. Di sini, gengsi demi harga diri kembali bermain.

48

16.Cap Tikus

Sebagai orang ‘barat’ yang melawat ke ‘timur’ banyak hal yang dapat saya ketahui. Tidak hanya hal yang baik-baik saja, hal-hal yang agak ‘menyerempet’ setidaknya saya ketahui juga. Namun, untuk yang satu ini saya tak akan pernah mencobanya meskipun dibayar berapa pun. Salah satunya adalah perkenalan saya dengan minuman Cap Tikus. Anda jangan salah sangka dulu, lalu mengira saya juga ikut mencicipinya. Saya punya komitmen untuk urusan ini. Minuman Cap Tikus ini dibawa salah seorang teman penghuni wisma dari Menado. Minuman beralkohol hasil sulingan industri rumah tangga ini rupanya banyak dikonsumsi di Menado. Kandungan alkoholnya pun cukup tinggi. Tak jarang orang yang menemui ajalnya setelah menenggak minuman ini lantaran terlalu tinggi kandungan alkoholnya. Menurut Stefly, teman saya dari Menado yang sesekali meneguk cete (cap tikus) itu, dalam setiap pesta di Menado minuman ini selalu disajikan. Bahkan, menurut Stefly, wajah yang memerah karena cete, minuman ini dinikmati anak muda Menado sambil menikmati kucing bakar. Saya tak langsung percaya dengan omongannya mengenai kucing bakar ini. Kalau mengkonsumsi anjing alias erwe saya percaya karena ada buktinya. Tapi kalau kucing? Apa ada orang yang tega memakannya? Terus terang, kalau sekedar mencicipi minuman beralkohol, wine, whisky dan bir Jerman (saya lupa mereknya) pernah saya coba meski tak sampai ketagihan atau mabuk. Itu pun karena terpaksa dan saya mencicipinya tidak di Indonesia. Saat ini saya tidak pernah dan tidak ingin mencicipi minuman beralkohol. Minuman beralkohol lokal yang sempat saya teguk adalah Bali milik bapak saya. Itu pun saya cicipi sembari sembunyi-sembunyi dari kulkas di rumah ketika saya masih kecil. Di Makassar dikenal pula jenis minuman beralkohol lokal yang disebut ballo. Minuman seperti tuak ini kerapkali dijadikan alasan penyebab keributan yang berujung tewasnya seseorang. Sebenarnya, kalau boleh dirunut ke belakang, minuman beralkohol lokal ini dibuat bukan untuk mabuk hingga hilang kesadaran. Tetapi sekedar untuk menghangatkan tubuh, mengusir hawa dingin persis seperti penuturan salah seorang penghuni Wisma Tamalanrea dari Polmas (Polewali Mamasa) yang menceritakan kebiasaan ayahnya yang rutin menenggak ballo sebelum ke ladang. Penuturannya mengingatkan saya pada pengalaman seorang teman asal Belgia ketika berkunjung ke Eslandia yang berbagi vodka untuk menghangatkan tubuh. Berarti di sini ada perubahan atau penyalahgunaan fungsi dari minuman beralkohol lokal ini. Masalahnya, banyak orang yang mengkonsumsi minuman ini hingga mabuk, memancing keributan dan baku bunuh. Dilihat dari segi hukum pun akan sulit menghukum orang yang mabuk.

49

Bila kita telusuri, Denys Lombard pernah menyebutkan bahwa usaha penyulingan minuman beralkohol yang dikenal dengan nama arak ini dikuasai oleh orang Cina. Pada tahun 1611 di Batavia ditemukan sebuah kampung Pecinan tempat arak-branderijen (pabrik arak) yang menyuling minuman dari beras dan tebu. Teknik penyulingan arak ini, menurut Lombard, berkembang di Cina sejak zaman Dinasti Tang tetapi teknik penyulingannya disebarluaskan sejak zaman Dinasti Yuan. Arak ini dalam bahasa Cina disebut jiu, berwarna jernih dan berkadar alkohol tinggi. Ada tiga macam bahan utama arak yaitu beras yang difermentasi, tetes tebu dan ‘tuak’ yang dibuat dari nira (air kelapa). Pada masa VOC dikenal arak api kepala yaitu arak yang mengandung 60 % alkohol. Arak ini dijual ke kompeni untuk dikirim ke Belanda. Sementara itu minuman keras impor ternyata juga masuk ke negara kita. Hal ini dapat diketahui dari iklan-iklan minuman beralkohol yang dimuat dalam surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden, Soerabaiasch Handelsblad dan De Locomotief pada abad ke-19. Kebanyakan minuman keras jenis anggur, cognag atau whisky yang diimpor dari Paris, Perancis. Ada yang menarik, karena begitu populernya merk Jenever untuk produk minuman beralkohol jenis whisky yang masuk ke sini, masyarakat pribumi (khususnya Jawa) selalu menyebut jenis minuman lainnya dengan sebutan jenewer. Tata cara meminum minuman keras pun masuk dalam kalangan istana bangsawan Jawa. John Pemberton dalam On the Subject of Java (1994) menyebutkan ketika upacara antara Susuhunan Paku Buwana IX dengan permaisuri R.A. Koestijah diadakan toast minuman keras sebanyak tujuh kali sebagai pembuka seluruh rangkaian acara. Menurut Pemberton, toast tersebut merupakan simbol kepatuhan terhadap kekuasaan politik kolonial Belanda. Menariknya, tulis Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939, berbagai jenis minuman keras yang juga tersaji dalam daftar menu pesta tersebut mendapatkan nama khusus yaitu Ratu Mas Drink. Diskusi seputar minuman beralkohol ini semakin ramai ketika salah seorang pegawai universitas yang biasa bertugas membawa mobil tangki air penyiram di kampus Unhas ikut urun suara. Ia menuturkan kegemarannya mengkonsumsi ballo tetapi ia menikmatinya sendirian. Kalaupun mabuk, ia akan segera tidur. Sebisa mungkin tidak menganggu orang lain, tuturnya dengan logat Makassar. Cerita lain mengenai penikmat minuman ballo adalah pengalaman saya dengan salah seorang yang juga bekerja di Kampus Unhas (bukan pegawai). Kami memanggilnya Daeng Sanu. Orangnya berperawakan kurus, kecil, berkulit hitam, dan sebagian giginya ompong. Saya menaksir usianya sekitar 40-an tapi mungkin saja kurang dari itu karena penampilan tidak menjamin usia seseorang. Pekerjaannya membersihkan jalan di depan wisma dan sebagian jalan dalam kampus. Ia juga menyiangi rumput, memotong serta mengatur tanaman di tepi jalan sambil bertelanjang kaki. Dapat dikatakan ia ‘perancang’ landskap Kampus Unhas.

50

Suatu malam, kami penghuni wisma dikejutkan dengan suara keras Daeng Sanu dari arah pintu masuk wisma. Rupanya ia mabuk. Ia mengoceh tak keruan. Dari ucapannya terlontar keluhan dan cacian. Tak ada yang berani mendekat dan hanya berusaha menutup untuk mengunci pintu wisma. Lantaran kamar saya dekat dengan pintu masuk wisma, suaranya masih terdengar. Tampaknya ia baru pulang menyaksikan pertandingan sepak bola di Matoangging dan ia kesal dengan supir pete- pete yang meminta bayaran. “Siapa di Tamalanrea ini yang tak kenal aku?” teriaknya lantang. Lalu ia mengucapkan kata- kata yang tidak saya pahami. Saya tak tahu berapa lama ia berada di depan pintu wisma karena usai mempersiapkan pekerjaan untuk besok, saya tertidur. Sayup-sayup masih terdengar caciannya.

51

17.Rindu Tempe

Sederet tulisan dengan kapur di sebuah pintu kelas kampus mengusik saya. Isinya: “Jawa pulang ko!”. Tulisan itu mengingatkan saya pada tulisan “Dutch Go Home!” pada tahun 40-an usai Proklamasi Kemerdekaan. Saya yang memang dari Jawa merasa menjadi mirip ‘penjajah’ meskipun kedatangan saya ke Sulawesi bukan kehendak saya. Mungkin perasaan ini yang berkecamuk di sebagian dada prajurit muda Belanda ketika terpaksa datang ke bumi Nusantara lantaran terkena wajib militer. Tulisan dengan kapur itu bukannya tanpa alasan. Ketika itu sedang ramai-ramainya upaya menurunkan Habibie dari tampuk kepresidenan. Beberapa mahasiswa mendatangi Tugu Mandala dan mengibarkan bendera Sulawesi Merdeka. Mereka tidak ingin Habibie turun dari kursi presiden. Perasaan saya menjadi semakin tak enak. Mungkin karena saya merasa berasal dari Jawa. Kalau memang saya harus pulang ke Jawa, yah pulanglah saya meskipun baru beberapa bulan saya di sini. Masalah tulisan tersebut rupanya juga menarik perhatian ibu Margriet. Menurut beliau, mana mungkin mereka mengusir orang Jawa karena membuat tempe saja tidak bisa. Maksudnya mungkin pembuat tempe di sini berasal dari Jawa. Ah, tempe! Sudah berapa lama saya tidak menikmatinya? Sejak tinggal di sini belum pernah saya menikmati tempe walaupun sekedar tempe goreng. Saya jadi rindu tempe. Apalagi keripik tempe. Bicara mengenai tempe, sepertinya kita langsung menghubungkan dengan orang Jawa. Alasannya seperti yang diungkapkan sejarawan Ong Hok Ham, masakan tempe hanya dijumpai dalam kuliner Jawa. Sedangkan masakan Padang, Bali, Menado apalagi Makassar tidak mengenal tempe. Dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indië (1922) disebutkan bahwa tempe yang terbuat dari kacang kedelai merupakan hasil fermentasi dan merupakan makanan sehari-hari penduduk. Mungkin sebaiknya kata penduduk, menurut Pak Ong, dapat ditambahkan, menjadi penduduk Jawa. Pada tahun 80-an saya pernah membaca di sebuah majalah wanita ibukota bahwa tempe dapat dijadikan alternatif makanan para vegetarian. Hidangan alternatif yang disajikan itu berupa burger tempe. Dengan demikian kita memiliki variasi hidangan tempe yang lain selain digoreng, dipanggang atau disayur. Pembuatan tempe pun biasanya merupakan industri rumahan dan menggunakan tenaga manusia. Rasanya akan lebih enak jika tempe itu dibuat dengan tenaga manusia lalu dibungkus dengan daun pisang dibanding dengan buatan mesin serta dibungkus plastik seperti sekarang. Tempe memang makanan rakyat yang murah meriah. Hidangan yang tidak pandang pangkat dan usia serta dapat dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin. Presiden Soekarno pun

52 menggemari tempe. Ironisnya, presiden Soekarno pernah mengatakan agar rakyat tidak menjadi generasi tempe. Suatu hal yang merendahkan tempe. Mungkin saja maksudnya tempe yang lembek atau tempe bongkrek yang berasal dari ampasnya tempe. Untungnya, rasa khawatir akan saya dipulangkan ke Jawa tidak menjadi kenyataan. Tulisan di pintu kelas itu hanya ulah tangan iseng dan dapat dihapus dengan mudah. Saya pun masih dapat mengajar di Makassar meskipun saya harus memendam perasaan rindu menikmati tempe.

53

18.Misteri Hitam

Tak ada kematian di sini. Tak ada seorang pun yang sedang berkabung. Namun, kami harus mengenakan pakaian serba hitam di tengah hari yang panas. Suasana magis memenuhi benak seolah melontarkan kami ke masa silam. Masa animisme dan dinamisme. Masa nenek moyang kita. Siang itu tak ada satu pun dalam rombongan kami yang protes ketika diminta berpakaian hitam. Tak ada pilihan lain. Kami sudah telanjur berada di sini. Rasa penasaran diikuti khawatir terus menggoda. Rasa khawatir yang lebur dalam penasaran. Saya pun khawatir jika tidak dapat turut serta dalam kesempatan ini karena tak sempat membawa pakaian hitam. Warna hitam yang melekat di tubuh saya hanya rambut dan sehelai celana jeans hitam yang belel keabuan. Beruntung, di rumah kepala desa, kami dapat meminjam pakaian. Saya mendapat pakaian model safari yang kekecilan. Entah, keringat siapa yang pernah melekat di situ. Yang penting tertutup hitam. Berjalan di atas bebatuan yang ditancapkan begitu saja, tanpa alas kaki, merupakan pengalaman unik bagi kami orang kota yang mengaku modern. Kaki-kaki telanjang bersatu dengan alam. Sedikit berjingkat menghindari panas. Kami pun terus berjalan di antara pepohonan rindang. Kamera yang saya selundupkan dari balik baju mulai bekerja. Sebelumnya, saya sempat diwanti-wanti untuk berhati-hati dengan kamera yang saya bawa. Belakangan, kekhawatiran itu tak terbukti. Kampung yang kami masuki terletak di desa Tanah Toa, kecamatan Kajang, berjarak 56 km dari ibukota kabupaten Bulukumba (153 km dari Makassar), Sulawesi Selatan dengan luas 182 km persegi. Masyarakat Kajang merupakan sub etnik dari etnik Makassar yang berdiam di suatu wilayah khusus. Daerah dengan penduduk yang berjumlah kurang lebih 5000 jiwa itu agak terisolasi dari dunia luar dan modernisasi. Kehidupan mereka yang harmonis dengan alam menyebabkan kita tidak akan menjumpai alat transportasi modern seperti mobil atau sepeda motor di kawasan tersebut karena alat transportasi modern tersebut tidak diizinkan memasuki kawasan Kajang . Alat transportasi yang mereka gunakan adalah kuda yang merupakan salah satu hewan peliharaan mereka disamping sapi, kambing, ayam, dan bebek. Di sebuah sungai kecil, berasal dari mata air yang memancar melalui bebatuan, sekelompok wanita sedang memandikan anak dan mengambil air. Sementar itu seorang anak kecil memandikan kuda. Kami mulai memasuki kampung suku Kajang! Suasana asri menyambut kami. Dari sebuah sumber yang pernah saya baca ternyata masyarakat Kajang masih teguh memegang pesan-pesan leluhur yang disebut Pasanganga Ri Kajang

54 dimana keaslian budaya dan hanya alam yang tetap bertahan dan terjaga. Mereka pun tetap patuh pada peraturan adat serta tetap menjalankan pola kehidupan yang sangat sederhana. Hal tersebut tercermin dari pakaian hitam yang menjadi pakaian sehari-hari mereka. Begitupula dengan bangunan rumah mereka yang seragam menghadap utara berbentuk rumah-rumah kayu panggung seperti lazimnya model rumah-rumah pedesaan di Sulawesi. Letak dapurnya tepat berada di depan di sisi ruang tamu sehingga tamu dapat mengetahui apa yang sedang dimasak tuan rumah. Menurut salah seorang penduduk setempat, itu menandakan masyarakat Kajang yang selalu terbuka bagi tamu. Ada cerita-cerita aneh tentang orang Kajang yang tinggal di perbukitan, di kaki gunung Lompobatang. Konon, beberapa orang Kajang memiliki daya sihir. Berkali-kali orang asing kehilangan gigi setelah ditatap oleh penduduk Kajang. Selain itu, di saat mabuk, orang Kajang mampu memegang besi berapi tanpa luka. Cerita ini saya dengar sebelum berkunjung ke sini dan membuat nyali semakin ciut. Bagaimana mereka mendapatkan daerah kehidupan yang luasnya 182 km persegi ini? Berikut ceritanya. Zaman dahulu kala, ketika raja-raja Gowa masih berkuasa, terjadilah peristiwa yang amat mengerikan yaitu munculnya ribuan ular di istana. Ketika itu, kebetulan Sang Raja sedang bepergian. Pada saat itu putera-puteri raja dan beberapa penjaga sedang berada di istana. Mereka memang diperintahkan untuk tidak meninggalkan istana selama raja bepergian, demi keselamatan mereka. Putera-puteri raja itu sangat ketakutan melihat seluruh lantai dipenuhi ular. Para penjaga itu pun dibuat sibuk. Mereka berusaha memukul dan membunuh ular-ular tersebut dengan pedang. Tapi tiap seekor ular dipotong, malahan hidup menjadi dua ekor ular baru. Akhirnya seluruh istana dikuasai ular. Ketika raja pulang, ia terkejut. Segera dipanggillah empat tukang sihir. Mereka berasal dari kerajaan Gowa, Palopo, Bone, dan Kajang. Ketiga tukang sihir pertama tidak dapat memusnahkan kumpulan ular itu. Tetapi tukang sihir dari Kajang langsung berhasil, setelah menyebarkan bulir-bulir beras berwarna putih, hitam dan merah. Ular-ular itu lari dan tak pernah kelihatan lagi. Sebagai imbalan, tukang sihir yang tertarik akan emas, batu permata dan perhiasan akhirnya setuju dengan hadiah sebuah daerah dari kerajaan yaitu tanah. Sejak saat itu orang Kajang memiliki tanah sendiri. Masyarakat yang menggunakan bahasa Konjo ini memiliki kepala suku yang disebut Ama Toa. Masyarakat Kajang menganggap Ama Toa sebagai orang suci. Siapa saja yang hendak bertemu dengannya harus memakai kemeja dan sarung hitam serta sebaiknya tanpa alas kaki seperti layaknya masyarakat Kajang. Ama Toa merupakan pemimpin adat dan masa kepemimpinannya seumur hidup. Seorang Ama Toa tidaklah dapat dikatakan sebagai pemimpin jika tidak mampu bertindak bijaksana terhadap warganya. Karena itu supaya Ama Toa dapat melaksanakan tugas dengan sebaik- baiknya maka kepadanya dibekali aturan sebagai pegangan yang disebut Pasang. Pasang berisi pesan dari Turiek Akrakna kepada Ama Toa yang tidak dapat diubah, ditambah dan dikurangi. Itu harus

55 dijalankan oleh Ama Toa dengan tujuan agar kehidupan dunia dapat berjalan secara normal. Ama Toa itulah yang menjadi tujuan kami. Ama Toa sangat dihormati dan dipercaya, terutama untuk menjaga Pasangnga Ri Kajang yang merupakan pesan leluhur mereka. Salah satu kepercayaan terpenting adalah menjaga kelestarian hutan. Alasannya, hutan merupakan jiwa dan kehidupan warga Kajang. Menjadi seorang Ama Toa tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan besar. Ia adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa mengalami kemakmuran tetapi ia menjadi orang pertama yang akan merasakan kemiskinan. Jabatan Ama Toa juga merupakan jabatan seumur hidup. Pengangkatannya pun melalui beberapa ritual khusus. Upacaranya disebut Panganro. Ketika para penduduk memilih beberapa calon untuk menjadi Ama Toa, para calon Ama Toa tadi berjalan masuk ke hutan. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan. Konon, hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk ke dalam hutan dan kembali dengan selamat. Penduduk percaya bahwa Ama Toa dipih sendiri oleh Turiak Rakna atau Tuhan oleh karena itu ia diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan. Apabila seorang Ama Toa meninggal, maka pejabat adat baru akan ditunjuk untuk memimpin selama tiga tahun. Setelah itu seorang Ama Toa baru dapat dipilih penduduk. Di dalam sebuah rumah panggung kayu, di antara cahaya remang-remang yang mengintip dari sela-sela papan, kami duduk bersila mengelilingi ruangan. Rumah panggung kayu tersebut milik Ama Toa, orang yang dituakan sekaligus dihormati. Ama Toa sendiri tidak ikut duduk bersama kami. Ia berada di ruangan lain. Hanya para pemuka adat dan beberapa tetua yang duduk bersama kami. Komunikasi dilakukan dengan bahasa Konjo. Salah seorang mahasiswa dari salah satu universitas swasta di Makassar yang sedang kuliah kerja nyata (KKN) bertindak sebagai penerjemah. Bergantian kami diperkenankan mengajukan pertanyaan. Saya ajukan pertanyaan apakah mereka mengenal suku Baduy di Banten. Mereka menjawab kenal dan ternyata mereka pernah berkunjung ke sana. Sesaat terlintas pertanyaan, bagaimana caranya mereka dapat ke sana. Apakah dengan berjalan kaki karena mereka menabukan modernitas. “Terbang!”, jawabnya singkat. Maksudnya menggunakan pesawat. Rupanya teknologi sudah mereka kenal. Pertanyaan yang menyerempet tentang politik dijawab pula. Namun, mereka tidak peduli pada siapa yang akan menjadi presiden atau yang berkuasa sekarang. Jawaban itu kuiyakan dalam hati. Sikap itu tampak jelas ketika saya melihat dalam satu rumah penduduk yang sempat saya masuki. Di dalamnya terpampang foto lama presiden RI pertama, Soekarno. Dialog-dialog itu pun berakhir. Kami lalu memberikan uang sekedarnya yang langsung diletakkan di balik tikar pandan. Saya

56 sempat melirik, ada pecahan-pecahan uang kertas lama dari balik tikar pandan lusuh. Uang tak ada artinya di sini, pikir saya. Tapi entah dikemudian hari. Waktu tak terasa terus bergulir. Kami pun harus pulang. Sebelum pulang, kami diizinkan untuk melihat sang Ama Toa. Konon, tak sembarang orang dapat melihatnya. Sayang, salah seorang dari kami tidak diizinkan melihat. Alasannya karena ia bukan bagian dari kami alias orang asing. Memang saat itu seorang dosen tamu dari Belanda, Alice van Kalsbeek ikut bersama kami. Bila larangan itu dilanggar, maka resiko ditanggung sendiri. Di sini berarti resiko rombongan. Ada terbersit kekecewaan di wajahnya. Tapi siapa yang mau menanggung resiko rombongan. Perasaan berkecamuk muncul lagi pada saat giliran saya tiba. Kulongokkan kepala ke dalam kamar gelap yang bertirai kusam. Di dalamnya kulihat di sebelah kiri pintu sekumpulan orang duduk. Laki-laki dan perempuan. Seseorang lelaki tua berkulit pucat dengan sorot mata berwibawa tersenyum sambil mengangguk. Kulemparkan senyum dan balas mengangguk. Dialah Ama Toa. Entah, kapan lagi kesempatan itu berulang.

57

19. Memahami Kembali Siri’ Sebagai Unsur Kekuatan Dalam Strategi Kebudayaan Sulawesi Selatan (Mengenang Prof. Dr. Mattulada)

Suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan tidak terbatas pada suku Bugis dan Makassar saja. Walau kenyataannya kedua suku ini merupakan suku mayoritas. Pun kita harus memperhitungkan suku-suku lainnya, seperti Mandar, Toraja, serta suku-suku lain yang berada di wilayah Sulawesi Selatan. Begitu pula bila kita berbicara mengenai kebudayaan Sulawesi Selatan. Terasa tidak adil bila tidak menyertakan kebudayaan suku-suku lainnya. Namun dengan tidak bermaksud mengecilkan eksistensi suku-suku lainnya di Sulawesi Selatan, tulisan ini dibatasi hanya membicarakan dua suku mayoritas, Bugis dan Makassar. Upaya mengenal diri suku Bugis dan Makassar sebagian besar masih merupakan pendapat orang asing. Namun kemungkinan besar mereka tidak begitu mengenal suku-suku tersebut dengan baik sehingga pendapat-pendapat itu terkadang tidak terbukti kebenarannya. Mereka pun membentuk stereotip untuk suku tersebut yang kemudian melekat kuat. Ironisnya stereotip tersebut digunakan oleh suku-suku lain sebagai bahan penilaian. Akibatnya, tidak jarang timbul kesalahpahaman di antara mereka. Seringkali kita temukan dalam buku-buku karangan bangsa Barat yang menyatakan bahwa suku Bugis dan Makassar memiliki stereotip lekas naik darah, agresif, dan sukar dikendalikan. Perilaku yang menjadi stereotip ini sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut. Terutama yang berkaitan dengan Siri’ yang belakangan ini mengalami pergeseran nilai dan penyempitan makna. Sehingga Siri’ seolah-olah merupakan pembenaran dari stereotip yang dibuat oleh bangsa asing itu. Dalam artikel ini akan diuraikan latar belakang dibentuknya stereotip oleh bangsa Barat terhadap bangsa Timur, khususnya masyarakat Bugis-Makassar. Selanjutnya saya akan menguraikan konsep Siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar. Lalu akan diuraikan faktor-faktor sebagai penyebab terbentuknya watak masyarakat Bugis-Makassar yang mengakibatkan menempelnya stereotip tersebut dan penyempitan makna Siri’ dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan Sulawesi Selatan sangatlah perlu untuk meninjau ulang stereotip tersebut. Dengan harapan kita mampu untuk mengubah stereotip itu menjadi kekuatan sebagai strategi untuk menghadapi masa depan dengan lebih baik.

58

Stereotip Barat terhadap Timur : stereotip Bugis-Makassar Disadari atau tidak, kita sering tidak menyadari keberadaan diri kita sendiri. Sehingga diperlukan orang lain untuk dapat menilainya. Seorang filsuf eksistensialis, Gabriel Marcel dalam karyanya The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain dalam upaya memahami diri kita. Dengan kata lain kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain. Hampir semua suku di Nusantara memperoleh stereotip dari bangsa asing yang pernah berkunjung. Hal ini dapat kita ketahui dari karya-karya para petualang pada abad enam belas dan tujuh belas. Di antara para ekspansionis yang datang menginjakkan kaki di bumi Nusantara terdapat para rohaniwan, ilmuwan dan serdadu yang membuat catatan-catatan. Kelak, catatan-catatan itu diterbitkan di negaranya dalam bentuk buku catatan atau teks perjalanan. Buku-buku yang berisi petualangan itu ternyata cukup laris dan bahkan dijadikan buku pegangan generasi berikutnya sebelum mereka datang ke Nusantara. Dengan modal ‘pandangan mata’ dari buku-buku itu mereka berangkat ke tempat yang eksotis demikian ulasan Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas, colonial practices in the Netherlands Indies 1900-1942. Tentu saja pandangan mereka menjadi bias dan terkadang tidak lagi jelas. Seperti diuraikan sebelumnya meskipun buku-buku itu diminati, tidak semua hal yang ditulis benar bahkan mungkin terlalu berlebihan. Rana Kabbani yang menganalisa ciri-ciri khusus cerita-cerita Eropa mengenai dunia Timur dalam bukunya Europese mythen over de Orient menemukan bahwa cerita-cerita tersebut menitikberatkan pada sifat bangsa Timur yang berbeda dengan bangsa Eropa. Dalam cerita perjalanan ada dua tema yang sering muncul yaitu Timur dicirikan sebagai sumber kenikmatan tanpa batas dan kekerasan yang berakar kuat (Kabbani 1991:19). Pendapat yang sama juga pernah diungkapkan Edward Said (1979) dalam bukunya Orientalism. Dengan kata lain semua sifat buruk dan negatif dimiliki oleh bangsa Timur. Sedangkan bangsa Barat adalah bangsa yang beradab, berkebudayaan tinggi dan mereka memiliki tugas untuk berusaha membuat bangsa Timur beradab. Ini merupakan cikal bakal kolonialisme yang kelak dijadikan alasan dalam konteks white man’s burden (tugas suci bangsa kulit putih) Sebagai contoh yaitu pendapat John Crawfurd yang menyatakan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan dahulu less civilized dan barbarous (Crawfurd 1820: vol II, 379). Pandangan ini harus dilihat dari titik mana ia menilainya sebab sudut pandang bangsa Barat dengan segala imaji yang telah dibentuk sejak lama tentu memiliki ukuran sendiri. Ukuran civilized (beradab) dan barbarous (barbar) mereka tentu berbeda dengan kita. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah faktor ekonomi. Setelah penemuan benua Amerika oleh Columbus dan penemuan peta jalur navigasi ke Timur, bangsa Eropa saling bersaing

59 untuk menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah di Timur. Pada masa itu rempah-rempah merupakan komoditi yang sangat mahal dan bergengsi Karena bangsa Barat (Eropa) tidak mampu bersaing secara sehat maka mereka berusaha menghancurkan sistem perdagangan bebas lewat kekuatan bersenjata dan kemudian menggantinya dengan sistem monopoli. Bersamaan dengan itu para kolonialis yang sebelumnya adalah juga pedagang menyebut para pedagang dan penduduk pribumi sebagai bangsa pemalas. Stereotipe lain yang muncul seperti dalam uraian Koloniale Jaarboeken tahun 1862 yang mendefinisikan orang Bugis dan Makassar sebagai orang yang gemar membunuh, sukar dikendalikan serta bajak laut yang ditakuti. Istilah bajak laut itu tentu istilah yang dibuat oleh bangsa Eropa karena merasa kepentingannya di bidang ekonomi diganggu.

Konsep Siri’ dalam masyarakat Bugis-Makassar Siri’ enni ri-onroang ri-lino, ( Hanya untuk siri’ kita hidup di dunia Utettong ri ade’E, aku setia kepada ade’ Najagainnami siri’ta karena dijaganya siri’ kita Naia siri’e sunge’ naranreng adapun siri’ jiwa ganjarannya Nyawa na kira-kira nyawa rekaannya )

( Matullada,1995:64,65)

Stereotipe yang dibentuk olah bangsa Barat terhadap masyarakat Bugis dan Makassar yaitu orang yang cepat merasa tersinggung, lekas mempergunakan kekerasan dan membalas dendam dengan pembunuhan (Mattulada 1995:62). Semua praktek-praktek yang erat kaitannya dengan unsur kekerasan tersebut merupakan perwujudan dari Siri’. Tapi Siri’ yang dimaksud menurut hemat saya masih perlu kita perdebatkan. Kata Siri’ sendiri meliputi banyak segi dari segala aspek kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bugis-Makassar. Sementara itu para peneliti terdahulu telah membuat pengertian mengenai Siri’ baik secara harfiah dan leksikal. Mereka meninjau dari sudut pandang masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Seperti Matthes dalam kamusnya menggambarkan Siri’ sebagai schande, beschaamd, schroomvalig, verlegen, schaamte, dan eergevoel (Matthes 1872:583). Bila kita uraikan satu persatu ; schande = aib, beschaamd = amat malu, schroomvalig = malu (rasa), verlegen = malu, schaamte = perasaan malu, eergevoel = (pe) rasa (an) harga diri. Dari penggambaran ini tampak makna Siri’ tidak begitu jelas maknanya dan tampaknya berkisar antara perasaan malu, aib dan harga diri.

60

Orang Bugis-Makassar menghayati Siri’ sebagai panggilan mendalam dalam diri pribadinya untuk mempertahankan nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai dan dimilikinya memiliki arti penting baik bagi diri maupun kelompoknya (Mattulada 1995:62) Berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusastraan, pasêng (kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana) dan amanat dari leluhur dapat pula dijadikan petunjuk tentang Siri’ seperti : 1. Siri’emmi ri onroang ri lino = hanya untuk Siri’ itu sajalah kita hidup di dunia. Dalam ungkapan ini Siri’ bermakna sebagai hal yang memberikan sosial dan martabat kepada seseorang. Hanya kalau ada martabat atau harga diri , hidup ada artinya. 2. Materi siri’na = mati dalam Siri’. Ungkapan ini bermakna mati dalam menegakkan martabat atau harga diri yang dianggap sebagai suatu hal terhormat. 3. Mate siri’ = orang yang sudah hilang harga dirinya, tak lebih dari bangkai hidup. Disamping ungkapan dalam bahasa Bugis, terdapat pula ungkapan dalam bahasa Makassar mengenai Siri’ yaitu lapa nanikana Tau punna niag siriqna yang berarti barulah ia disebut manusia kalau ada siriqna. Dengan demikian manusia adalah Siri’ itu sendiri (Manyambeang 2000:105). Sementara itu Shelly Errington (1977) berpendapat bahwa hubungan seseorang dengan keluarganya dalam masyarakat Bugis-Makassar tidak hanya dihubungkan dengan hubungan genealogis atau biologis saja melainkan juga dihubungkan dengan Siri’. Hubungan dengan genealogis dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan bilateral menghubungkan seseorang dengan hampir seluruh masyarakat tidak terbatas. Sebaliknya hubungan Siri’ lebih terbatas. Maka terbentuklah kelompok-kelompok (rapu-rapu) yang pada dasarnya adalah hubungan darah yang dibatasi oleh perasaan Siri’ yang dikatakan “Mase’di siri’ “. Mereka akan selalu saling menjaga harga diri dan rasa solider satu sama lain atau siassiriki siappassei, sipassiriki sipappacei. Situasi Siri’ muncul bila seseorang merasa kedudukan status sosialnya dalam masyarakat, harga diri atau kehormatannya telah dicemarkan pihak lain secara terbuka. Bila sekali saja seseorang dibuat Siri’ (dipermalukan) maka oleh masyarakat ia dituntut untuk menebus dirinya dengan menyingkirkan penyebab malu yang tidak adil itu. Sehingga ia berarti memulihkan Siri’nya baik di matanya sendiri maupun di mata masyarakat. Hal ini disebabkan lebih baik mati mempertahankan diri (mate’ ri siri’na) daripada hidup tanpa harga diri (mate siri’). Mati mempertahankan siri’ adalah menjalani kematian yang bergula dan bersantan (mate’ rigollai, mate’ risantangngi) dengan kata lain menjalani kematian yang manis (Andaya 1983:147-148) Namun mate siri’ ini sering disalahartikan dan biasanya orang Bugis-Makassar yang merasa mate siri’ akan melakukan jallo’ (amuk). Banyak terjadi dalam masyarakat Bugis-Makassar, baik di

61 dalam maupun di luar wilayah, mereka peristiwa saling membunuh dengan jalan jallo’ berlatar belakang Siri’ (Mattulada 1995:63) Di samping membunuh dengan melakukan jallo’, pemberontakan, pembangkangan merupakan praktek-praktek yang berlatar belakang Siri’. Hal ini menyebabkan seolah-olah orang Bugis-Makassar yang merasa Siri’nya terusik sanggup membunuh atau dibunuh. Mereka melakukan sesuatu yang berakibat fatal hanya karena masalah atau alasan-alasan yang mungkin bagi orang luar dianggap sepele. Kemungkinan perilaku-perilaku yang menurut mereka didasari Siri’ ini pada masa lalu disaksikan oleh bangsa asing lalu mereka mencatatnya sebagai watak yang dimiliki oleh orang Bugis- Makassar. Sebuah kisah dari Buya Hamka almarhum pada saat beliau menjadi guru Muhammadiyah di Makassar pada 1930-an bisa menjelaskan hal tersebut. Seorang guru Muhammadiyah meninggal mendadak. Penyebabnya karena ia difitnah korupsi. Sebagai orang Makassar yang dibesarkan dalam tradisi Siri’ yang ketat, ia seharusnya membunuh si pemfitnah. Namun di sisi lain ia seorang Islam serta seorang guru yang harus digugu dan ditiru. Semestinyalah kalau ia memaafkan orang itu. Kedua sisi kemanusiaan inilah yang berperang dalam dirinya. Akhirnya seperti itulah, ia rubuh dan ‘kalah’. Keluarganya menemukan tubuhnya terbujur kaku sepulang dari sekolah. Ia bunuh diri.

Faktor pembentuk watak dan karakter Bugis-Makassar a. Latar belakang sejarah Apabila kita menelaah ke masa lalu dan mencoba menghubungkan pengalaman sejarah pahit yang telah dilalui oleh suku Bugis-Makassar, kiranya akan menjadi lebih jelas lagi makna dan peranan siri’ yang melatar-belakangi watak dan sikap orang Bugis-Makassar. Sepanjang sejarahnya tiap kerajaan Bugis-Makassar selalu diliputi oleh perang saudara yang tak ada hentinya. Peperangan itu melahirkan persekutuan perdamaian seperti Lamumpatue ri Timurung (penanaman batu di Timurung) yang merupakan ikatan persekutuan antara raja-raja dari kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo pada 1582 (Abidin 1985:8). Persekutuan itu dimaksudkan untuk menghadapi ekspansi kerajaan Gowa. Persekutuan-persekutuan lainnya pun dicatat dalam lontara’- lontara’ yang merupakan kronik sejarah masyarakat Sulawesi Selatan. Lontara’-lontara’ tersebut melukiskan peperangan dan persekutuan perang yang berlangsung terus menerus sejak abad XVI untuk memperebutkan hegemoni di Sulawesi Selatan. Datangnya bangsa asing, khususnya VOC Belanda membuat keadaan semakin kacau. Bahkan kedatangan VOC tersebut tidak dijadikan momentum untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan yang saling berperang untuk memerangi, mengusir kompeni atau menjadikan kompeni Belanda musuh

62 bersama. Justru yang seharusnya dijadikan musuh bersama itu (kompeni Belanda) malah dijadikan sengketa antar kerajaan sebagai alat untuk menaklukan wilayah ini. Politik devide et impera digunakan oleh kompeni dengan mempergunakan salah satu atau beberapa kerajaan sebagai sekutu untuk mengalahkan yang lain. Sebagai contoh Arung Palakka dari kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC untuk mengalahkan kerajaan Gowa. Kasus Arung Palakka ini ada kaitannya dengan perasaan Siri’ dalam dirinya setelah menyaksikan perlakuan penguasa kerajaan Gowa terhadap ayah, kakek dan para pekerjanya. Konon, ayah dan kakeknya terbunuh dengan cara mengerikan di hadapan Sultan Hasanuddin (Andi Muhammad Ali 1989:23) Sekutu kompeni tertua di Sulawesi adalah kerajaan Bone dan setelah perjanjian Bungaya (1667) menjadi kerajaan paling berpengaruh di antara kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan. Kerajaan Bone dimanfaatkan oleh kompeni sebagai pemelihara perimbangan kekuatan di antara kerajaan- kerajaan di Sulawesi Selatan sehingga kompeni dapat mengontrol keadaan. Hal ini sangat penting mengingat situasi dan suhu politik pada saat itu masih tetap panas. Belanda khawatir situasi tersebut sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan peperangan baik melawan Belanda maupun di antara kerajaan-kerajaan tersebut (Matullada 1985:462) Sejak bulan November 1846 sesuai penetapan Raja Belanda, seluruh Sulawesi dinyatakan berada di bawah kedaulatan kerajaan Belanda dan mulai saat itu Gouverneur van Makassar disebut Gouverneur van Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Sulawesi dan daerah-daerah bawahan; Arsip Nasional RI 1973:264). Gubernur Belanda tersebut berkedudukan di Makassar yang ditetapkan sebagai ibukota. Di tiap-tiap kerajaan yang dijadikan sekutu Belanda seperti Bone, Gowa, Luwu dan lainnya ditempatkan sebuah gubernemen yang diisi oleh pejabat-pejabat Belanda. Mereka bertindak sebagai penasehat (raadsman) bagi kerajaan-kerajaan itu. Di kalangan masyarakat penasehat itu dikenal dengan sebutan Tuan Petoro.1 Namun seiring meningkatnya pengaruh Belanda dimana-mana mengakibatkan semakin keras pula rasa tidak puas di kalangan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar. Ketegangan yang seperti api dalam sekam mulai membara. Akhirnya menjelma jadi perlawanan bersenjata. Kerajaan Bone dan Gowa kembali memaklumkan perang pada 1905-1906. Belanda pun tak tinggal diam. Mereka melakukan Zuid-Celebes expeditie pada 1906 yang merupakan pukulan mematikan bagi Bone, Gowa dan Wajo. Sejak saat itu dua buah kerajaan Bugis- Makassar yaitu Bone dan Gowa tidak memiliki raja lagi.

1 lihat novel De Raadsman (1959) karya H.J.Friedericy yang melukiskan kehidupan seorang penasehat di Sulawesi Selatan

63

Dalam perang 1905-1906 inilah kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar mempertaruhkan segalanya. Sehingga kekalahan mereka menjadi penanda secara de facto bahwa Sulawesi Selatan telah dikuasai oleh Belanda. Semua benda-benda kebesaran kerajaan dirampas Belanda dan para bangsawan diasingkan ke luar Sulawesi Selatan. Barulah pada 1930 setelah Gowa dan Bone dijadikan daerah zelfbestuur (pemerintahan sendiri), benda-benda kebesaran kerajaan dikembalikan begitupula hak untuk mengangkat rajanya. Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia memberikan nuansa yang lain lagi. Pada masa itu kita menghadapi masalah kehadiran tentara sekutu dan Belanda serta berbagai usaha untuk menguasai kembali Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah pembentukan negara-negara boneka yaitu Negara Indonesia Timur(1946), Negera Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Negara Jawa Timur (1948) dan Negara Madura (1948). Negara-negara boneka ini dibentuk dalam rangka persiapan membentuk Negara Indonesia Serikat. Sulawesi Selatan pada masa revolusi ini cukup menonjol karena menjadi tempat perlawanan terhadap kembalinya pemerintahan Belanda di luar Republik. Sementara itu untuk menegakkan pemerintah Negara Indonesia Timur, Belanda melancarkan tindakan-tindakan militer dari Desember 1946 hingga Maret 1947. Prakteknya setelah dikeluarkan dag order (perintah harian) oleh Panglima Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Spoor dan di lapangan dilaksanakan oleh Kapten Westerling upaya mengakhiri perlawanan bersenjata di Sulawesi Selatan berhasil. Pada masa ini kebanyakan masyarakat Sulawesi Selatan mengalami perlakuan yang kejam dan mengalami penderitaan. Pada tahun 1950-1965 di Sulawesi Selatan muncul gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI-TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Gerakan ini menurut Barbara Sillars Harvey (1989) bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil , tidak dihargai oleh pemerintah pusat. Mereka menganggap orang-orang di pusat kurang memahami aspirasi daerah sehingga dilakukanlah pemberontakan sebagai wujud dari mate siri’. Keadaan yang tidak pernah tenang akibat peperangan dan berwujud kekacauan berlarut-larut menciptakan keadaan psikologis yang langsung membentuk watak untuk senantiasa siap siaga. Hal tersebut mendorong kepada situasi dan sikap mental yang selalu peka, sensitif serta menanggapi keadaan dengan penuh rasa curiga. Sikap tak mudah percaya pada suatu yang baru atau sesuatu yang datang dari luar lingkungan terkadang menjelma menjadi lebih tajam dari sekedar mencurigai. Terkadang bisa dalam bentuk perlawanan atas apa saja. Sikap jiwa yang peka tersebut pada satu saat bisa menjadi sangat agresif dan pada saat tertentu bisa menjadi sangat apatis. Akibatnya tak peduli dengan apapun yang mendatanginya.

64

Menurut Mattulada keadaan seperti itu sebagai akibat dari desakan ketakutan terus menerus yang dapat mendorong kepada tidak adanya pertimbangan yang lebih matang (Mattulada1995:487). b.Tradisi maritim Faktor latar belakang sejarah ini mungkin menjadi sebagian dari beberapa faktor lain yang mempengaruhi watak atau karakter orang Bugis-Makassar. Karakter keras dari suku Bugis-Makassar menurut Budayawan Profesor Zainal Abidin Farid di samping latar belakang sejarah akibat penjajahan yang cukup lama juga dipengaruhi oleh tradisi maritim. Dengan berbekal perahu phinisi suku Bugis-Makassar telah melayari hampir seluruh lautan , menyinggahi banyak daratan kemudian menyatu dengan penduduk lokal. Hampir setiap pulau di Indonesia, akan kita jumpai masyarakat Bugis-Makassar. Tradisi maritim merupakan tradisi nenek moyang mereka To Luwu yang berarti pelaut. Kehidupan di laut yang keras karena harus bertarung menghadapi kekuatan alam menempa mereka hingga mempengaruhi watak. Konon sejak abad pertama orang Bugis-Makassar telah berlayar hingga Afrika. Namun, anggapan bahwa ‘orang Bugis’ merupakan pelaut yang ulung dibantah oleh Christian Pelras penulis The Bugis (1996). Menurutnya, orang Bugis sebenarnya adalah pedagang. Laut dan kapal hanyalah media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar. c. Tradisi kompetisi Faktor berikutnya, menurut Profesor Zainal Abidin yang dikutip Munanshar (1996) adalah tradisi berkompetisi. Tradisi ini mengingatkan saya pada tradisi bangsa Amerika yang tidak mengenal isitilah nomor dua. Dalam setiap kompetisi mereka selalu berusaha supaya meraih nomor satu sebagai yang terbaik. Bila mereka hanya mampu meraih nomor dua, itu sama dengan kalah. Demikian pula dengan suku Bugis-Makassar .Mereka senantiasa hidup dalam suasana penuh persaingan. Bahkan dengan saudara sendiri. Mereka yang kalah banyak yang pergi merantau. Di perantauan, mereka pantang menjadi anak buah meskipun hanya menjadi pemimpin kecil. Banyak di antara mereka yang memperoleh jabatan strategis bahkan menjadi raja seperti di Johor, Pahang, Selangor, Pontianak dan Kutai (Munanshar 1996)

Penyempitan makna Siri’ di masyarakat Bugis-Makassar saat ini Kita adalah apa yang telah kita lakukan secara berulang-ulang, demikian Aristoles berpendapat. Kelakuan buruk akan menjadi hantu buruk yang menakutkan. Hal inilah yang juga kita

65 hadapi sekarang. Pergeseran nilai-nilai yang terkandung pada budaya Siri’ seperti juga diungkapkan Profesor Mattulada: [siri’] mengalami degenerasi dalam manifestasinya, menjadi sikap-sikap: 1. Cepat tersinggung karena perbuatan pihak lain, 2. Merasa melakukan sesuatu yang berharga bagi kaumnya apabila ia dapat melenyapkan mereka yang telah menyebabkan siri’ nya terganggu.’ (Matullada 1995:489) Oleh karena itu pergeseran nilai Siri’ mengakibatkan stereotip yang dilekatkan oleh bangsa asing pada masyarakat Bugis-Makassar terus menerus ada dan semakin mengukuhkan stereotip tersebut. Kelakuan negatif tersebut berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi dengan alasan sudah menjadi watak dan tak mungkin diubah. Yang cukup memprihatinkan, menurut Profesor Mattulada, watak orang Bugis-Makassar saat ini tidak lagi murni karena Siri’. Sebab Siri’ harus didasarkan pada ‘accapki nawa-nawa na malempu, barani magetteng (pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian)’. Sedangkan sekarang sifat ini sudah luntur baik pada kalangan atas maupun pada kalangan bawah (Munanshar, 1996). Hal senada juga diungkapkan Profesor Zainal Abidin Farid mengenai menurunnya nilai-nilai Siri’ pada masyarakat Bugis-Makassar. Menurutnya di kalangan orang Bugis-Makassar diajarkan bahwa kalah dalam persaingan adalah Siri’. Anak-anak diajar agar tidak menyerah, berani dan tidak boleh kalah dalam berkelahi. Apabila di Madura kita mengenal tradisi carok, di kalangan orang Bugis-Makassar dikenal sitobo’. Hal tersebut merupakan alternatif jika masalah Siri’ tidak dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik. Kedua pihak saling menikam atau duel dengan badik dalam sarung. Saat ini memang duel itu (sitobo’) semakin jarang terdengar. Namun, kasus-kasus pembunuhan semakin banyak bermula dari masalah Siri’. Akan tetapi, Siri’ yang lebih ringan yang dulu bisa diselesaikan dengan cara baik -maksudnya tanpa harus membunuh- sekarang malah tidak. Sebagai ilustrasi saya pernah mendengar percakapan dua mahasiswi mengenai peristiwa ditusuknya salah seorang teman lelaki mereka pada saat ia mengantar teman gadisnya. Alasannya karena ia meludah di depan sekelompok pemuda. Mungkin karena dianggap menghina sekelompok pemuda itu, teman lelaki mereka itu akhirnya harus menemui ajalnya. Tewas diujung badik. Sebaliknya ada Siri’ besar yang cenderung diselesaikan dengan cara ringan. Pelaku kawin lari (silariang) misalnya (banyak disebabkan karena biaya perkawinan yang sangat mahal) akan dikenai hukum adat di-paoppangi tanah (dianggap bukan keluarga atau sudah mati). Keluarganya bisa mencari lalu membunuh pelakunya. Sekarang kasus seperti itu lebih banyak diselesaikan dengan cara damai .

66

Padahal itu termasuk Siri’ lompo (Siri’ besar) dimana bisa saja diselesaikan dengan saling memaafkan walaupun kemungkinan itu sangat kecil.(Munanshar,1996). Penyempitan makna dan bertambah kaburnya aplikasi Siri’ di masyarakat semakin nyata. Akibatnya, Siri’ kadang juga dilupakan dan dikesampingkan dalam soal-soal pelayanan publik saat ini. Hal ini menimbulkan bertambahnya pelaku kejahatan korupsi seperti yang dilakukan para oknum pejabat. Penyebabnya karena Siri’ hanya diidentikkan selalu dengan pertumpahan darah. Padahal, dengan menghindari kelakuan yang oleh masyarakat dipandang buruk - seperti korupsi – itu juga merupakan implementasi Siri’ sebagai perlambang tegaknya sebuah harga diri. 2 Hal serupa juga sempat dikeluhkan oleh Mochtar Pabottingi dalam satu artikelnya ‘Hak-hak Individu dan Sosial di Indonesia’. Menurutnya, kelompok etnis Bugis-Makassar masih banyak tertinggal dalam perlombaan akal budi dan harus belajar dari kelompok etnis Jawa dan Minang. Misalnya dari sistem nilai Jawa diharapkan bisa mendewasakan prinsip Siri’ dengan tidak semata-mata terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan dan hal-hal sepele. Namun menjangkau penuh hal-hal yang lebih penting, lebih mulia dan lebih besar artinya bagi bangsa kita. Dari sistem nilai Jawa, tulis Mochtar juga diharapkan orang Bugis-Makassar dapat belajar lebih banyak tentang relativisme nilai-nilai dan tentang internalisasi serta preservasi (perlindungan) kekuatan di dalam kalbu. Dengan demikian prinsip Siri’ (kehormatan) yang kesediaan berkorbannya luar biasa bisa dibebaskan dari tradisi aksi tanpa konteplasi, dan bisa disalurkan pada hal-hal yang lebih bermanfaat bagi kehidupan bangsa kita. Lalu dari kelompok etnis Minang, orang Bugis-Makassar dapat belajar banyak tentang prinsip musyawarah. Kami terlalu terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, lewat ancang-ancang yang patah berubah, sebab Siri’ seperti suatu pemenuhan seketika (instantaneous gratification), lanjut Mochtar Pabottinggi. Rata-rata orang Bugis-Makassar merasa bahwa hanya merekalah yang memiliki Siri’, orang lain tidak. Tidak mengherankan jika untuk menyelesaikan persoalan orang Bugis-Makassar sangat sering menempuh jalan kekerasan yang seringkali berakhir tragis. Sebaliknya kelompok etnis Jawa dan Minang dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makassar. Mereka mungkin dapat belajar darinya dalam hal penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis- Makassar tidak suka melebih-lebihkan atau memanipulasi kata. Sebagaimana pernah ditulis oleh Profesor Noorduyn, ucapan akkanaka (saya berkata) mempunyai bobot yang sangat matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa peninggalan-peninggalan tertulis mereka memiliki kadar historisitas yang jauh lebih kuat, khususnya dibanding dengan babad-babad dari Tanah Jawa (Pabottingi, 1994)

2 lihat Jusuf, M (eds). Korupsi, Konspirasi dan Budaya Siri (Makassar: Elsim, 2000)

67

Pemahaman kembali Siri’ sebagai unsur kekuatan dalam strategi kebudayaan Sulawesi Selatan Penyempitan makna Siri’ dan semakin menurunnya nilai-nilai Siri’ pada masyarakat Bugis- Makassar seharusnya mendapat perhatian khusus. Hal tersebut tidak hanya dengan berusaha menghapus citra buruk atau streotip masyarakat Bugis-Makassar tetapi juga memikirkan cara untuk mengubah pandangan masyarakat mengenai Siri’ sehingga tidak hanya terkungkung pada nilai-nilai yang sempit. Menurut hemat saya masalahnya terletak pada pendidikan, baik secara formal (institusi pendidikan) maupun informal (keluarga dan lingkungan). Sebenarnya hal ini juga disinggung oleh Profesor Mattulada:

‘Pada hemat kami jalan yang paling jitu untuk meredakan pemunculan watak- watak ekstrim atas nama siri’ itu ialah memecahkan tiap-tiap isolasi di kalangan mereka dan memberikannya pendidikan umum yang lebih intensif’ (Mattulada 1995:490)

Namun peran yang sangat penting ada di pendidikan informal (keluarga dan lingkungan) karena sebelum individu-individu tersebut menuju pendidikan formal tentunya mereka di bawah bimbingan keluarga dan lingkungan untuk memberikan pemahaman mengenai budaya Siri’. Pendidikan yang terpenting adalah pendidikan sedini mungkin. Pada usia itu kita mulai tanamkan nilai-nilai Siri’ sebenarnya karena segala perbuatan yang konsisten dilakukan sejak usia muda akan membentuk suatu karakter. Penelitian empiris dalam psikologi menunjukkan bahwa sifat atau karakter seseorang mulai mengeras pada usia empat puluh tahun. Akan beruntunglah kita bila kita sempat melakukan perubahan atas sifat/karakter yang dianggap kurang menguntungkan dan tidak baik pada usia muda. Sehingga karakter/sifat yang buruk itu tidak sampai mengeras dan diturunkan kembali pada keturunan kita kelak. Dengan adanya pemahaman kembali budaya Siri’ diharapkan pemahaman yang selama ini mengalami penyempitan makna dan semakin kabur dapat berubah. Sehingga Siri’ yang telah lama dipegang teguh oleh orang-orang Bugis-Makassar dan merupakan inti kebudayaan Sulawesi Selatan bisa menjadi inspirasi, motor penggerak setiap langkah orang-orang Bugis-Makassar dalam bertingkah laku dan pergaulan sehari-hari kapan dan di manapun ia berada. Siri’ sebagai inti kebudayaan Sulawesi Selatan juga diharapkan dapat menjadi kekuatan dalam strategi kebudayaan Sulawesi Selatan untuk menghadapi tantangan masa depan. Yang tidak hanya membutuhkan kekuatan otot tapi juga kekuatan otak.

68

Di samping itu, Siri’ dapat dijadikan sebagai jiwa untuk mengadaptasi budaya-budaya asing yang tidak semuanya jelek atau bagus. Ini erat kaitannya dengan masalah moral karena Siri’ merupakan hal yang melekat dengan martabat manusia dan menyangkut nilai-nilai terdalam. Kita boleh saja mengatakan bahwa di masa lalu nenek moyang kita memiliki kebudayaan yang tinggi atau yang sering disebut kebudayaan adiluhung. Tapi bila kebudayaan itu ternyata mengalami penyempitan makna seperti budaya Siri’ ini tentu sudah sepantasnya dikritisi, diperdebatkan. Karena budaya bukanlah sesuatu yang bersifat statis, diam di tempat. Kebudayaan selalu bergerak dinamis tergantung masa dan situasi dimana kebudayaan itu berada. Dengan demikian kita tidak selalu terbuai dan terjebak dengan kejayaan masa lalu. Memang pada awalnya akan terasa berat bagi kita untuk memulai sesuatu apalagi untuk mengubah sesuatu yang telah cukup lama ada. Caranya, kita harus berani memulai dan mau mengubah serta tak takut untuk tetap mengkritisinya. Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan satu pesan di kalangan orang Bugis-Makassar untuk memelihara rasa bangga dan mempertahankan suatu sikap moral yang sangat dimuliakan dengan menghargai Siri’.

ikkêng ugi’ mangkasa’e ri-alai toddo’puli si- posiri’e nênnia si-appêsseie (Bugis)

ikambe bugisi-mangkasaraka niallei toddo’puli sipassirikia siagang sipappacceia (Makassar)

Artinya : Kita orang Bugis-Makassar Telah kita jadikan toddo’puli (pasak tak tergoyah) Saling menghargai siri’ Saling bersetia-kawan (Mattulada, 1995:386)

69

20. Bukan Perempuan Biasa

Bangsa Indonesia tidaklah sebodoh yang pernah dituliskan oleh bangsa Barat dalam catatan- catatan mereka. Ini dapat dibuktikan dari kemampuan baca tulis pada abad ke-17. Meskipun mereka hanya mampu membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri. Seperti catatan Rijklof van Goens, pemimpin /utusan lima perjalanan resmi dari Batavia ke istana Mataram antara tahun 1648-1654. Ia menyimpulkan bahwa mayoritas orang Jawa mampu membaca dan menulis (Van Goens 1648-1654). Bukti berikutnya dalam catatan Zollinger (1847;532) yang menulis tentang Lombok tahun 1840-an: ‘hampir semua orang Bali mampu membaca dan menulis dalam bahasa mereka, termasuk kalangan penduduknya yang paling miskin, begitupula mayoritas kaum perempuannya.’ Lalu di Bali, seperti tulis Jacobs (1883;216): ‘hampir semua orang Bali dewasa mampu membaca dan menulis. Sebagian besar perempuan dari kalangan atas masyarakat Bali juga telah menguasai kepandaian ini’. Bukti-bukti tersebut setidaknya memperlihatkan kemampuan baca tulis yang hampir menyeluruh dan cukup mengejutkan. Apalagi jika dilihat dari sisi masyarakat pra-industri yang tidak memiliki tradisi cetak-mencetak serta sistem pendidikan formal. Namun, kita harus juga menyangsikan bukti-bukti ini mengingat catatan-catatan awal para pengunjung Eropa tersebut mungkin menggeneralisasikan keluarga-keluarga elite (golongan atas) yang jumlahnya sangat kecil dan dianggap mewakili seluruh jumlah penduduk. Begitupula bila ukurannya adalah bahasa Melayu atau Belanda dengan huruf latin seperti yang diungkapkan dari hasil-hasil sensus kolonial. Tentu tolak ukurnya sangat berbeda dan dicatat sebagai daerah yang sangat rendah kemampuan baca tulisnya. Hal ini tampak pada daerah-daerah seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi bagian Selatan dimana kemampuan baca tulis tradisional dilakukan dalam bahasa serta tulisan yang tidak diajarkan di sekolah. Menurut sensus yang diadakan di Hindia Belanda pada tahun 1930, tingkat kemampuan baca- tulis di Indonesia justru tidak ditemukan pada provinsi-provinsi yang sistem pendidikan modernnya paling tersebar luas (seperti Sulawesi Utara dan Ambon ), melainkan di distrik Lampung di Sumatera bagian selatan. Dilihat dari jumlah presentase keseluruhan, tercatat hanya 45 persen pria dewasa dan 34 persen wanita dewasa yang dapat menulis. Bertentangan dengan pola ‘modern’ yang biasa, kelompok usia yang lebih tua mempunyai kemampuan baca-tulis yang lebih tinggi dibanding yang lebih muda. Kelompok ini dapat menulis bukan dalam huruf latin seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah, juga bukan dalam tulisan Arab yang dipelajari untuk membaca Al-Quran, melainkan dalam huruf ka-ga-nga dari Indonesia lama.

70

Sulawesi Selatan dan Sumbawa yang berada di bawah pengaruhnya mempunyai daerah ketiga yang tulisan ka-ga –nga nya serumpun dengan tulisan yang berlaku di Sumatera dan Filipina. Tulisan ini muncul dua atau tiga abad sebelum daerah ini memeluk Islam pada awal abad tujuh belas. Sistem tulisan ini digunakan dalam hal silsilah, sejarah , kesusastraan dan buku-buku sejarah. Anak laki-laki Makassar mempelajari bahasa Arab untuk menilai dan menerangkan Al-Quran serta membaca dan menulis dalam huruf Arab sedangkan anak perempuan tetap tinggal di rumah. Mereka diajari oleh ibu-ibu mereka untuk membaca dan menulis. Inilah ilustrasi pada abad ke-17 di Makassar. Satu setengah abad kemudian, ketika seorang sarjana misionaris bangsa Belanda mengelilingi Sulawesi Selatan dalam usahanya mengumpulkan naskah-naskah Bugis dan Makassar, ternyata kaum perempuanlah yang lebih sanggup menolongnya. ‘Pada umumnya wanita bumiputera, terutama wanita- wanita kepala, jauh lebih ahli dalam kesusastraan Bugis daripada kaum pria…Akhirnya saya tidak lagi menoleh kepada guru ( agama) melainkan hanya kepada pasura, yakni mereka yang mengkhususkan diri membaca sura atau tulisan-tulisan… Kita dapat menemukan orang-orang tersebut hanya pada wanita –wanita kepala, dan wanita –wanita yang sama tuanya , yang telah lama mempunyai hubungan dengan istana.’ ( Matthes 1856: 184-185) Satu nama yang memiliki peranan besar yaitu Colliq Pujie. Ia adalah seorang wanita bangsawan dari kerajaan Tanete yang hidup antara tahun 1812-1876. Tak banyak orang yang mengetahui nama ini, terutama dari kalangan generasi baru. Ia pula yang membantu Dr BF Mathes, seorang sarjana misionaris Belanda. Jauh sebelum kedatangan Mathes, ia sudah jatuh bangun menghimpun dan mengumpulkan lembaran-lembaran daun lontar yang berisikan naskah epos La Galigo. Arung Pancana Toa atau Colliq Pujie tak sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran daun. Ia sekaligus menyelamatkan harta yang ternilai harganya. Di sini kita dapat menilai bahwa hanya yang berkeahlian dan memiliki pemahaman bahasa yang cukup tinggi yang dapat melakukan pekerjaan tersebut. Ada 12 jilid naskah yang berhasil diselamatkannya. Itu pun baru sepertiga dari keseluruhan cerita. Tapi setidak-tidaknya ia sudah merintis jalan menyelamatkan seluruh warisan naskah berharga karena ringkasannya sudah diselesaikan sebelumnya. Menurut catatan sejarah, Colliq Pujie tidak saja menguasai bahasa Bugis dan Makassar serta bahasa Melayu dengan baik, ia juga menguasai banyak bahasa daerah kuno, seperti bahasa Galigo dan kedaton Bone. Tidak mengherankan bila beberapa ahli dari Belanda menjadikannya nara sumber serta menganggapnya guru sekaligus ahli bahasa dan sastra.

71

Enam tahun sebelum ia meninggal, sejumlah ahli dari luar negeri mendatanginya untuk menjadikannya nara sumber. Misalnya A Ligtvoet yang pada saat itu akan melakukan penulisan kamus tentang sejarah Sulawesi Selatan pada tahun 1870. Ia beberapa kali mendatangi Colliq Pujie untuk dijadikan tempat bertanya. Kemampuannya menguasai banyak bahasa saat itu merupakan bukti kecerdasannya menguasai banyak karya sastra dari berbagai pelosok. Pikiran-pikirannya pun sudah begitu maju. Ia bahkan sudah banyak menciptakan huruf-huruf pada masa itu. Apresiasinya terhadap karya sastra mendapat banyak pujian. Ia banyak menghasilkan elong- elong dan pau-pau yang menjadi sumber inspirasi para peneliti asing. Berdasarkan sumber dari Mathes, yang kerap kali menyebutnya sebagai orang yang sangat berjasa atas karya-karyanya, Colliq Pujie meninggalkan banyak karya. Bahkan bisa jadi banyak yang masih belum diangkat ke permukaan. Sebagai perempuan berdarah bangsawan, ia masih menjunjung tinggi simbol-simbol adat kerajaan, yang bisa jadi bertentangan dengan keinginan untuk mendalami karya sastra dan adat. Namun putri Larumpang Megga ini dapat menjalani keduanya meskipun ada perbedaan paham dengan anaknya sendiri, We Tenri Olle, yang ketika itu menjadi Raja Tanete. Ia berani memilih hidup sederhana di luar istana dengan alasan di luar istana ia mungkin lebih leluasa mengembangkan karya-karyanya. Berbagai cobaan pun ia hadapi. Tidak hanya konflik dengan anaknya. Rumahnya pernah terbakar dan mengakibatkan banyak naskah-naskah simpanannya ikut terbakar, Kehidupannya saat banyak orang belajar pada dirinya, sangat jauh dari gemerlap istana. Untuk hidup saja ia diberikan tunjangan sebanyak 20 gulden dan beras dua pikul setiap bulan. Matthes menggambarkan kondisi rumah Colliq Pujie dengan tumpukan karya-karyanya tak lebih dari sebuah kandang babi. Satu keadaan yang mengenaskan bagiseorang perempuan yang memiliki kelebihan luar biasa.

72

21. Cerah Bergairah

Saya agak geli ketika Nienk memperlihatkan selembar foto pada saya. Dalam foto itu, ia bersama-sama teman se-ganknya di Makassar berpose mengenakan pakaian tradisional. “Buat kenang-kenangan!” katanya sambil menyimpan foto itu. Lalu saya teringat pada Mas Guruh Soekarno Putra yang kerapkali menggunakan pakaian- pakaian berwarna-warni itu dalam setiap perhelatan acaranya. Mungkin ada alasan khusus hingga ia selalu mendandani anak buahnya dengan pakaian tradisional ini. Bahkan almarhum Umar Kayam, budayawan nasional ketika bertugas di Makassar begitu terpesona dengan gadis-gadis yang mengenakan baju bodo beraneka warna. Pakaian dengan warna- warna yang begitu cerah bergairah. Hari pertama di sini, saya melihat pakaian yang dikenakan oleh dua orang pengendara sepeda motor. Pengemudinya seorang pria mengenakan pakaian biasa, sedangkan perempuan di belakangnya mengenakan pakaian tradisional. Baju bodo lengkap dengan kainnya. Mulanya saya pikir mereka hendak pergi ke pesta. Dengan cepat Ibu Margriet yang menjemput saya menjelaskan bahwa mereka adalah pengantar surat undangan pernikahan. Untuk prianya, mereka mengenakan jas tutup, songkok dan sarung. Menarik juga. Segera saya teringat laporan Pendeta Francois Valentijn yang menyebutkan pada pesta perkawinan orang Sulawesi Selatan di abad kesembilan belas, pengantin pria tetap bertelanjang dada, sedangkan pengantin wanita dan gadis-gadis pengiringinya memakai baju (jubah) yang begitu tembus pandang sehingga sama sekali tidak menghalangi pandangan mata. Pada masa itu tentu bukan hal yang tabu dan dianggap porno seperti sekarang. Mungkin inilah yang merupakan cikal bakal baju bodo yang kita kenal sekarang. Baju bodo yang dipakai di daerah Bugis ini merupakan baju tertua dibanding baju-baju adat lainnya. Menurut orang Bugis baju bodo berarti baju berlengan pendek. Baju itu berupa sehelai bahan berbentuk segi panjang yang dilipat dua. Kemudian diberi bagian untuk leher dan tangan. Bagian lengannya lebar dan melembung. Sebagai asesoris digunakan perhiasan yang terdiri dari serabut emas dan keping-kepingan emas yang dicetak dalam bentuk anting-anting, kalung-kalung, sepasang pembalut pergelangan emas yang lebarnya kira-kira tiga belas sentimeter yang menutupi sebagian besar dari lengan bawah dan sepasang gelang lengan atas. Baju bodo terbuat dari bahan yang tipis. Biasanya terbuat dari benang serat nanas yang dicelup dalam bahan warna tertentu. Warna dan panjangnya baju bodo menunjukkan status

73 perkawinan atau kedudukan si pemakai. Perempuan yang telah bersuami mengenakan baju yang panjang dan berwarna merah tua, sementara untuk puteri kerajaan mengenakan baju yang pendek atau panjang berwarna merah muda. Gadis-gadis lainnya di dalam lingkungan istana mengenakan baju berwarna hijau muda yang pendek. Baju ini diberi kanji atau sagu tapioka supaya tetap kaku dan tidak disetrika. Menyimpannya dengan cara digantung, tidak dilipat. Salah seorang rekan bercerita pada saya, dahulu di lingkungan istana kerajaan Gowa baju bodo berwarna putih dipakai oleh wanita yang menyusui anak-anak raja dan anak-anak dari para selir raja. Selama ibu susu itu menyusui anak-anak raja, dia harus tetap mengenakan baju bodo putih hingga anak tersebut tidak lagi menyusu. Di masa modern ini, baju bodo yang dikenakan juga mengikuti perkembangan zaman. Baju bodo modern dibuat dari kain organdi yang tipis dan transparan. Untuk mengenakannya dilengkapi dengan kain dalaman seperti kemben. Untuk kelengkapan baju ini dipakai kain tenunan Bugis, terbuat dari sutera asli yang biasanya diberi ragam hias ikat pakan. Motif dari kain ikat maupun tenun songketnya berbentuk ragam hias pohon dan bunga-bungaan. Menurut kesaksian Arthus dalam Verhoeff mengenai penduduk Makassar pada 1609 dikatakan bahwa mereka berpakaian sangat sederhana, hanya untuk menutupi kemaluan mereka, tetapi terselubung semacam kantong yang longgar dan menutupi seluruh badan dari kaki sampai ujung kepala. Yang dimaksud tentunya adalah sarung yang sampai sekarang masih ada. Kain tenun Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi terkenal di Kepulauan Nusantara, mulai menjadi barang ekspor. Antonio de Paiva (dari Portugis), orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan tahun 1542-1543, menyebutnya sejenis kain putih. Namun, di sekitar tahun 1600, tenunan sutera sudah menjadikan daerah itu terkenal. Kebangkitan ini diperkuat oleh berhasilnya Makassar dalam menjadikan dirinya sebagai titik pusat bagi para pedagang rempah-rempah selain Belanda yang ingin berlayar ke Maluku, Sumbawa serta Selayar. Pujian memang harus diberikan orang Makassar dengan semangat pembaruannya yang membuat Makassar terkenal pada abad ketujuh belas. Begitupula terhadap orang Bugis pada abad kedelapan belas karena pakaian mereka mencapai reputasi istimewa. Dengan tenunannya yang halus, kuat serta motif dan warna-warnanya yang cerah, terutama motif kotak-kotak yang disenangi oleh kaum muslim seperti yang diungkapkan Rouffaer pada 1904 dalam Voornaemste industrieën de inlandsche bevolking dan laporan Thomas Forrest tahun 1729. Kain sarung Bugis ini memiliki kekhususan. Ada kain sarung yang benangnya terbuat dari serat pohon anggrek atau sejenis pohon pisang hutan. Sementara itu, untuk motif kain selain dihias dengan motif bunga atau tanaman, ada pula yang memiliki motif dasar berupa kotak-kotak besar saja. Kain sarung yang terbuat dari sutera asli begitu ringan sehingga dapat dilipat sampai kecil dan dapat

74 dimasukkan ke dalam botol. Namun, tidak semua kain sarung dalam pakaian adat di Sulawesi Selatan dibuat dari tenunan sutera asli. Ada juga yang memakai benang sutera dari Thailand atau kain sutera India yang diimpor. Kain-kain itu sendiri memiliki warna merah bougenville, merah muda, biru merak, hijau cerah, hijau muda, kuning muda. Pendek kata memiliki warna cerah yang khas. Menyesal juga ketika saya tidak bisa ikut rombongan tante saya yang berkunjung ke Bone lantaran pesawat saya dari Jakarta mengalami keterlambatan. Apalagi menurut penuturan saudara sepupu saya, mereka sempat bertemu dengan Puang Andi Mapassissi, salah seorang tokoh yang dihormati. Dan menurut Gilbert Hamonic, peneliti dari Perancis, penulis Le langage des dieux (basa dewata), Puang Andi Mapassissi merupakan narasumber yang baik dan mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya mengenai makna filosofis pakaian ini.

75

22. Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan di Masa Lalu dalam Tradisi Tulis Dunia

Sebuah cerita dari 23 abad yang lalu. Di samping tembok Athena, di bawah rindangnya pohon di tepi sungai, Socrates bercerita pada seorang anak muda, Phaedrus. Alkisah, Dewa Thoth dari Mesir mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir beberapa penemuan untuk diberikan pada rakyat Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan. Sang Raja dan Thoth menimbang keuntungan dan kerugian temuan-temuan tersebut , demikian tulis Alberto Manguel dalam A History of Reading ( 1996 ). Pada saat sampai pada penemuan yang berupa tulisan, Thoth berkata: “Ini adalah cabang pengetahuan yang akan meningkatkan daya ingat rakyatmu. Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan.” Sayangnya, Sang Raja tak tertarik. Menurutnya jika rakyat belajar tulisan, itu akan menumbuhkan daya lupa pada jiwa mereka. Mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan bergantung pada apa yang tertulis. Socrates pun enggan mempercayakan buah pikirannya pada kulit sapi yang mati (sarana menulis pada saat itu), bukan pada manusia yang memiliki hati dan perasaan. Memang, Socrates hidup di masa tulisan belum berkembang. Di masa pengetahuan masih disimpan dalam ingatan dan kemampuan itu sangat dihargai. Penyampaian ingatan pun turun-menurun dilakukan secara lisan. Alfabet Latin sendiri yang berjumlah 26 alfabet, sejak ditemukan oleh orang Phoenecia sekitar 1050 SM , memerlukan waktu ribuan tahun sebelum digunakan secara luas di seluruh dunia. Dan dari 10.000 bahasa di dunia, sebagian besar tak memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet Latin, tulis Joel Swerelow dalam artikelnya The Power of Writing (1999). Ia menambahkan, selain merekam dan menyebarluaskan pengetahuan, manusia juga memanfaatkan temuan ini untuk meluapkan emosi. Seperti pendapat Aristoteles, tulisan adalah satu cara untuk mengekspresikan ‘kasih sayang jiwa’. Demikian halnya dengan saluran utama dan budaya lokal kita di Nusantara – seperti yang diuraikan Taufik Abdullah dalam sebuah makalahnya Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution dan Kembali ?- adalah orality atau lisan, bukan kata yang tertulis. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi ditransmisikan secara lisan baik antar generasi maupun antarsektor-sektor (Kompas 4 Mei 2001). Hingga bentuknya dapat bermacam-macam, seperti pantun, syair, seloka, cerita, dan lain-lain. Dalam masyarakat kita, di samping tradisi lisan, tradisi tulisan pun mulai kita kenal sebagai salah unsur budaya. Masuknya pengaruh asing ke Nusantara memberi andil yang cukup besar dalam perkembangan budaya tulis. Walaupun sebelumnya, bangsa kita telah mengenal tradisi ini. Hal ini

76 dibuktikan dengan adanya naskah karya sastra terpanjang di dunia, kitab La Galigo (Kern, 1939 :1). Panjang manuskrip naskah ini lebih dari 300.000 baris. Sementara Epos Mahabarata dan Ramayana hanya 160.000-200.000 baris (Koolhof, La Galigo, 1995 : 1). Karya terbesar di dunia itu, tidak hanya bernilai sastra melainkan juga mengandung nilai sejarah karena berisi silsilah raja-raja Luwu yang merupakan cikal bakal berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Pada masa lalu istana merupakan pusat. Istana-istana merupakan peniru dan pembaharu dalam bidang kesusastraan dan bidang-bidang lainnya. Tercatat, sejumlah raja yang juga penulis catatan, seperti Raja Narai (1656-1688) dan Sultan Agung (1613-1646). Penulis utama lainnya yang sering tampil adalah menteri-menteri dalam bidang perdagangan serta pemimpin agama. Di Makassar, kita mengenal Karaeng Patttingaloang yang menurut catatan Alexandres de Rhodes dalam Rhodes of Vietnam : The Travels and Missions of Father Alexander de Rhodes in China and Other Kingdoms of the Orient (1653 ) telah membaca secara seksama semua kronik mengenai raja-raja di Eropa (dan) selalu memegang buku di tangannya, khususnya yang bersangkut-paut dengan ilmu pasti. Setelah karya sastra terbesar di dunia, La Galigo, pengaruh asing seperti Arab dan Portugis masuk membawa aksara baru. Aksara Latin dan Arab tersebut memperkaya naskah-naskah bahasa setempat yang telah ada lebih dahulu. Dipengaruhi oleh contoh-contoh sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang berhubungan dengan fakta dan merinci pesatnya perkembangan Makassar. Tujuan tarikh tersebut seperti dalam uraian Sejarah Goa : ‘semata-mata agar raja-raja ini tidak dilupakan oleh anak-anaknya, cucu-cucunya, dan keturunannya. Karena ada dua bahaya kebodohan ; kalau-kalau kita merasa diri semuanya raja-raja besar, atau orang lain menganggap kita orang-orang tak berarti’ Tradisi kokoh untuk mencatat masa lampau tampaknya didorong oleh bakat luar biasa dari Karaeng Pattingalloang. Sebagai menteri utama kerajaan Makassar, ia membuat pembaharuan- pembaharuan istimewa dalam urusan pemetaan, catatan istana, dan penerjemahan naskah-naskah kemiliteran ke dalam bahasa Makassar dari bahasa Portugis, Turki, dan Melayu (Reid 1981 : 22-23). Catatan sejarah Makassar (Lontara’-bilang Gowa) menorehkan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal-kapal dan utusan-utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah. Catatan tersebut menggunakan sistem penanggalan ganda hitungan Masehi serta Hijriah. Kebiasaan ini, menurut Cense dalam Old Buginese and Makassarese Diaries (1966) tidak tertandingi oleh negeri lainnya, dalam hal kepadatan dan ketelitiannya. Kelemahan dari sumber-sumber tertulis ini adalah mereka hanya mencatat kejadian-kejadian dan kehidupan-kehidupan orang-orang besar. Catatan-catatan tersebut menitikberatkan pada kejadian

77 perang, perjanjian, pelebaran kekuasaan, masalah dinasti dan segi-segi politik lainnya. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan di Eropa pada masa yang sama. Sebaliknya naskah-naskah mengenai keadaan masyarakat, jalannya roda perekonomian, hal- hal kecil kehidupan sehari-hari, adat kebiasaan dan mentalitas penduduk sulit untuk didapati. Satu- satunya sumber yang dapat menerangkan hal-hal tersebut di atas, mungkin hanya beberapa catatan harian yang di buat di istana-istana raja. Naskah-naskah yng membicarakan peristiwa-peristiwa dan perilaku sehari-hari itu pun masih harus diterbitkan, diterjemahkan dan diteliti lebih dahulu. Demikian tradisi tulis di Makassar masa lalu, walaupun dapat dikatakan tidak sekuat tradisi lisan. Namun setidak-tidaknya memberikan suatu petunjuk bahwa pada masa itu, bangsa kita telah menggunakan nalarnya untuk menghasilkan buah pikir. Tidak semata-mata mengandalkan otot dan tenaga. Ketelitian dan ketekunan para penulis pendahulu tersebut dapat pula kita jadikan bahan perenungan bahwa sebenarnya kita dapat berbuat yang sama dengan mereka serta berpikir lebih kritis. Tidak hanya sekedar mengenangnya lalu membiarkannya menghilang dimakan zaman. Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan salah seorang penulis istana Makassar, Enci’ Amin, yang memotretkan dirinya dengan sangat menarik dalam puisi epos besarnya, Syair Perang Mengkasar (1670:9)

Setelah sudah putus musyawarat Enci’ Amin dipanggil membuat surat Bunyinya baik tiada yang ghalat ; Kalam mukhtasar tiada dibuat

Enci’ Amin itu orang yang bijak Tubuhnya sedang sederhana pandak Memakai minyak dengan kelembak Baunya harum amat semerbak

Enci’ Amin itu jangan disayu Nisab Mengkasar anak Melayu Lemah lembut badannya ayu; Laksana taruk angsoka layu.

78

23. Raskin

Ini tak ada hubungannya dengan seorang pelopor pembaruan puisi Rusia pada abad ke- 19. Seorang sastrawan terkenal berdarah biru yang berani menentang sensor Tsar. Ini memang bukan cerita tentang Alexander Sergeyevich Pushkin. Ini cerita tentang perut; cerita tentang raskin. Beras untuk keluarga miskin. Istilah yang muncul pasca krisis di Indonesia dan berlangsung hingga saat ini. Kalau dulu orang meributkan beras jatah bagi para abdi negara yang konon tidak memuaskan dan tak layak dimakan. Hingga ramai-ramai mereka menukarkannya dengan uang untuk mendapat beras yang lebih layak makan. Kini, orang meributkan mutu beras pembagian yang buruk untuk rakyat berekonomi lemah. Di Asia Tenggara, beras merupakan bahan makanan dan hasil bumi yang paling pokok. Sejak abad lima belas padi sudah menjadi tanaman yang disukai karena bisa tumbuh dengan baik dimana saja. Konon, kemiskinan suatu masyarakat dapat diukur dengan apakah dia makan beras atau tidak. Paradigma ini sudah ada sejak dulu. Orang-orang kaya selalu lebih suka makan nasi. Maka ketergantungan pada jenis-jenis makanan pokok lainnya selalu dipandang rendah. Ini terbukti dari ejekan, yang dilontarkan orang Makassar, seperti yang diungkapkan pujangga kerajaan Enci Amin dari Kerajaan Makassar pada abad ke-17, untuk merendahkan musuh-musuh mereka sebagai ‘menyangkan jagung’ dan ‘menyangkan ubi’. Di Maros, wilayah utara yang menjadi taklukan Makassar pada tahun 1590, sudah mampu menjadi pengekspor beras. Tanah di sana, ‘ dibagi menjadi desa-desa serta petak-petak di antara tanah milik kaum bangsawan Makassar yang masing-masing telah mengembangkan pertaniannya di sini serta mampu menyediakan bahan pangan bagi rakyatnya setiap tahun’, demikian catatan Cornelis Speelman pada 1670 yang pernah bercokol di Makassar. Karaeng Matoaya, Raja Makassar di Tallo, pada 1690-an melihat kemungkinan untuk mengembangkan surplus beras secara teratur yang dapat dijual di Maluku. Hasilnya kemudian digunakan untuk membeli rempah-rempah yang mahal. Dikabarkan pada tahun 1606: ‘di setiap kota dan pasar di seluruh negeri, ia telah mendirikan lumbung-lumbung kukuh penuh beras, yang baru boleh dijual setelah hasil panen baru masuk, agar tidak terjadi kekurangan pangan di saat-saat paceklik. Ia sangat rajin mengimbau perdagangan ke negerinya’. Untuk itulah, seperti yang dilaporkan Van der Hagen pada 1607, ia menempatkan seorang agen di Banda yang setiap tahun dikirimi beras, pakaian dan segala sesuatu yang diperlukan di sana

79 demi memasukkan sebanyak mungkin pala ke Tallo, dan dengan demikian mendekatkan para saudagar kepadanya. Raja yang bijak ini merupakan salah seorang penjual beras utama kepada para pedagang Eropa yang bertolak ke Maluku (West 1617:63). Anak didiknya, Raja Gowa, juga berkecimpung dalam perdagangan beras, dan ‘di sini terdapat raja-raja lain yang saya harap akan menyediakan (beras) kita’ (Throgmorton 1617:226). Dengan kata lain, beberapa di antara bangsawan Makassar menggunakan persawahannya di Maros untuk menghasilkan surplus beras untuk ekspor. Orang Inggris dalam satu bulan membeli sekitar 190 koyang (450 ton) beras (Staverton 1618:19). Maka pada masa-masa puncak, jumlah keseluruhan yang diekspor mencapai lebih dari 1000 ton per tahun, kendati jumlah ini merosot pesat dengan bertambahnya penduduk kota (Daghregister 1625:179, Speelman 1670 III:67). Pun Hikayat Banjar meriwayatkan beberapa bahan pangan pokok yang membuat suatu negeri menjadi makmur: Hanja jang patut ditanam didjadikan sungguh-sungguh itu; padi, djagung, hubi, gumbili, kaladi, pisang…supaja makmur nagri saraba murah. (Hikayat Banjar:374) Dan terbukti negeri kita tak pernah kekurangan sedikit pun : tatapi baras-banih, buah-buahan, sirih-pinang, gula, njiur dihulu tiada kurang itu jang tiada: hasam, bawang hasam, bawang putih, raragi, atjan: tiada itu. (Hikayat Banjar:414) Bisa dikatakan aneh tapi nyata. Dulu, orang dianggap miskin bila sehari-hari tidak mengkonsumsi beras. Sekarang justru tersedia beras khusus untuk masyarakat miskin. Satu pergeseran nilai dalam mengkonsumsi beras. Apakah memang ada keterkaitan antara kemiskinan dengan beras. Sebenarnya, bukan stok beras yang berkurang, melainkan masyarakat yang tidak mampu membeli atau berkurangnya daya beli. Ditambah lagi kesulitan para petani akibat harga pupuk yang terus naik. Sehingga tidak mustahil ada rakyat yang tidak mampu lagi membeli beras untuk sehari-hari. Ketika di beberapa daerah lain di Sulawesi mengalami kegagalan panen, kabupaten Barru justru tetap menuai panen. Daerah Barru masih setia mengikuti jadwal penanaman serta menjalankan tradisi ritual Mappalili yang sudah jarang dilakukan oleh daerah lain. Di kalangan petani muncul anggapan bahwa menanam padi tidak mendatangkan keuntungan (harga beras yang tidak pernah naik) hingga mereka cenderung menanam cokelat. Inilah penyebab kerugian produktivitas pangan yang dialami petani. Seperti lagu-lagu lama, penyaluran beras untuk keluarga miskin tak berjalan lancar karena jatah beras yang disiapkan Dolog, tidak sebanding dengan jumlah keluarga miskin yang ada di Sulsel. Berdasarkan data BKKBN, jumlah keluarga miskin di Sulawesi Selatan mencapai 168.207 kepala keluarga. Sementara Dolog hanya menyiapkan jatah raskin sebanyak 40 ribu ton.

80

Ditambah lagi adanya keluhan dari masyarakat penerima raskin tentang mutu beras yang jelek (berulat). Keluhan ini segera ditanggapi pemerintah dan instansi terkait dengan mengatakan bahwa sistem penyaluran bukan menjadi tanggung jawab mereka. Sehubungan dengan masalah kemiskinan ada sinyalemen bahwa situasi sekarang ini disebabkan oleh para politisi. Merekalah yang membuat bingung masyarakat dengan pernyataan- pernyataan mereka sehingga menyebabkan masyarakat yang menengah menjadi miskin, yang miskin menjadi melarat, yang melarat menjadi nekat. Pada masa pemerintahan kita sebelumnya, pernah diusahakan pemanfaatan bahan pokok lain pengganti beras. Tapi dalam benak masyarakat sudah tertanam anggapan: ’belum kenyang bila belum makan nasi’ yang masih berlaku hingga sekarang. Nasi ini masih saya kunyah dan mudah-mudahan masih sepulen dulu. Dan esok masih bisa makan nasi.

81

24. Peta Kuno , Kolonialisme dan Karaeng Pattingalloang

Apa jadinya jika para kolonialis tidak pernah menginjakkan kaki di daratan Nusantara? Pertanyaan iseng ini tiba-tiba muncul di benak pada saat menyaksikan koleksi peta-peta kuno milik perpustakaan Universiteit Antwerpen, Belgia awal Agustus 2002 lalu. Koleksi peta-peta kuno milik Claudius Ptolemeus, Plantijn, Mercator (abad ke-16) , Blaeu (abad ke-17) , Johan Niehofs serta Philips Vandermoelen (abad ke-19) khusus diperlihatkan pada rombongan kami, para dosen dari Indonesia yang menurut kepala perpustakaan, peta-peta itu merupakan koleksi kebanggaan mereka. Bahkan salah seorang ahli peta kuno yang selama sepuluh tahun lebih meneliti peta-peta kuno untuk meraih gelar doktornya dipanggil untuk menjelaskan pada kami. Apa hubungannya peta dan kolonialisme? Bila kita kaji, kolonialisme ternyata dimulai dari sebuah gulungan gambar penuh simbol dan arah navigasi yang kita kenal sebagai peta. Tanpa peta mustahil para (calon) kolonialis sampai di Nusantara tercinta ini. Sebab sesuai dengan fungsinya menurut Thomas Suarez, penulis Early Mapping of Southeast Asia, peta-peta itulah yang membantu mempercepat masuknya bangsa Eropa ke wilayah Asia. Pada abad ke-15 dan 17 peta kuno memegang peranan penting dalam sejarah penaklukan suatu wilayah. Pada masa itu para petualang Eropa saling bersaing mencari daerah yang menghasilkan rempah-rempah, komoditi bergengsi yang harganya di Eropa sangat mahal. Begitu mahalnya rempah-rempah itu hingga di Belanda muncul istilah peperduur untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat mahal (pepper = lada/rempah, duur = mahal). Negara-negara Eropa, Belanda, Portugis, Spanyol, Italia, dan Jerman berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Para pelaut berpengalaman dan ahli peta (kartografi) dikerahkan. Semua biaya ditanggung oleh negara. Tak mengherankan jika para ahli peta muncul dari negara- negara tersebut yang berusaha memetakan wilayah Nusantara seakurat mungkin (Tempo, 3 September 2000) Bagi negara yang berhasil memetakan suatu wilayah di Asia, peta-peta itu disimpan bak dokumen rahasia dan dijaga dengan ketat supaya tidak jatuh ke tangan para negara saingan. Lalu ingatan melayang pada satu nama, Jan Huygen van Linschoten. Nama itu pernah disebut- sebut oleh dosen mata kuliah Negeri Belanda Sebelum Abad ke-19 saya di Universiteit Leiden sebagai salah seorang pembuat peta yang handal pada abad ke-16. Dalam sebuah misi rahasia Jan Huygen berusaha masuk dan menyamar menjadi sekretaris biarawan di Gowa, India. Tujuannya untuk mendapatkan informasi rahasia mengenai jalur ke Timur. Pada abad ke-16, Gowa merupakan pangkalan kapal-kapal Portugis dan kantor pusat daerah jajahan

82

Portugal. Saat itu hanya Portugal yang mengetahui rute ke Gowa (India) dan daerah timur sekitar Asia (Malaka). Portugal juga menutup semua pelabuhannya bagi Belanda. Jan Huygen dengan taruhan nyawanya akhirnya berhasil mendapatkan informasi tentang arah menuju Asia . Hasil jerih payahnya diterbitkan dalam Itinerario, Voyage ofte Schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indiens. Dengan peta buatan Jan Huygen van Linschoten itu, Cornelis Houtman mengetahui adanya selat yang merupakan jalan pintas menuju pulau Jawa. Selat itu kelak bernama Selat Sunda. Dan pada tahun 1596, orang Belanda pertama menapakkan kakinya di Banten. Ini yang disebut cikal bakal kolonialisme di Nusantara. Bagaimana bila mission imposible van Linschoten itu gagal? Mungkin akan lain ceritanya. Di masa VOC ada pembuat peta yang sangat terkenal, Willem Janszoon Blaeu serta kedua anaknya Johannes Blaeu dan Cornelius Blaeu. Semula, ayah dan anak ini berkecimpung dalam usaha pembuatan globe dan alat-alat pengetahuan seperti teropong bintang. Lalu mereka juga merintis usaha pembuatan peta yang dianggap mempunyai prospek bagus. Pada 1608 Willem Janszoon Blaeu membuat empat buah jilid peta dalam Het Licht der zee Vaert. Lalu pada 1635 Blaeu menerbitkan peta Asia Tenggara berjudul India qua Orientalis Dicturet Insulae Adiacentes. Pemerintah Belanda pun mengangkat keluarga Blaeu sebagai kepala pemetaan VOC. Merekalah yang membuat peta wilayah Nusantara pada 1630-1670. Nama Blaeu kembali mengingatkan pada nama seorang bangsawan di Makassar, Karaeng Pattingalloang. Beliau adalah perdana menteri dan penasehat utama Sultan Muhammad Said (1639- 1653). Bangsawan ini telah belajar bahasa Latin, Spanyol dan Portugis serta memiliki sebuah perpustakaan yang luar biasa, dengan koleksi buku dan atlas Eropa, tulis Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais. . Karaeng Pattingalloang pada 1644 pernah meminta dikirimkan dua bola dunia terbuat dari kayu atau tembaga yang kelilingnya 157 hingga 160 inci, sebuah peta dunia yang besar dengan keterangan dalam bahasa Spanyol, Portugis atau Latin, sebuah atlas yang melukiskan seluruh dunia dengan peta-peta yang keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol atau Portugis, dua buah teropong berkualitas terbaik serta beberapa alat peraga lainnya. Pada tanggal 15 November 1650, bola dunia yang dibuat oleh Blaeu baru tiba di Batavia dan dikirimkan ke Makassar pada 13 Februari tahun berikutnya. Karaeng Pattingalloang terkenal karena ketinggian intelektualitasnya. Pada saat itu ia banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan terbitan Eropa. Minatnya pada ilmu pengetahuan cukup tinggi. Suatu hal yang bahkan jarang ditemukan pada generasi muda kita saat ini. Mengenai nasib globe itu

83 selanjutnya tak ada yang tahu. Pada waktu terjadi perang dengan Belanda, globe itu turut lenyap. Tak jelas nasibnya. Kisah tentang Karaeng Pattingalloang ini saya ceritakan disela-sela penjelasan sang doktor dari Belgia itu yang ternyata menghabiskan waktu sepuluh tahun meneliti peta-peta tua. Sebelum kami meninggalkan ruangan tempat koleksi-koleksi peta kuno dipamerkan, saya sempat bertanya pada sang doktor apakah ia sudah pernah ke Indonesia. Sambil tersenyum ia menggeleng. “Sepuluh tahun menggeluti peta-peta kuno tapi belum pernah menginjakkan kaki di Nusantara”, gumam saya.

84

25. Payung Luwu di Bumi Sawerigading

Jemari Mpu Prapanca menari di atas daun lontar. Ia rangkai dengan tekun bait demi bait, pupuh demi pupuh. Pada pupuh ke 14, bait 4 dan 5 ia torehkan; ‘muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikonang sanusaspupul Ikangsakasanusanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya Sumba (...)’ ( Pigeaud, 1962). Tulisan Jawa Kuna, karya seorang pujangga keraton Majapahit akhirnya menjadi sebuah kitab. Nagarakrtagama. Saat itu kolofon menunjuk 1365. Pupuh ke 14 kakawin ini berisi nama-nama tempat di daerah Sulawesi Selatan. Bantayan (Bantaeng ), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Selaya (Selayar ). Lalu, ada kata ‘Luwuk ‘. Dimanakah tempat yang dimaksud dengan ‘Luwuk’ dalam sumber Jawa Kuna tersebut? Ada dua tempat yang mempunyai nama sama yakni Luwu (Sulawesi Selatan ) dan Luwuk (Sulawesi Tengah). Bila kita melihat lokasi-lokasi sebelumnya yang berada di daerah Sulawesi Selatan maka Luwu yang berada di Sulsel-lah yang dimaksud. Bila menyimak lebih jauh, kaitan dituliskannya nama Luwuk dalam kitab Nagarakrtagama adalah Luwuk sebagai tempat sumber bahan baku logam besi berkualitas baik. Pada masa itu Jawa terkenal dengan kerajinan besi olahan tangan-tangan terampil para mpu. Mereka menghasilkan keris- keris. Bahkan, karena keindahannya keris-keris itu diekspor ke India. Namun, belum ada bukti bahwa bahan baku besinya diperoleh dari Jawa. Hampir dapat dipastikan, Kalimantan dan Sulawesi (Luwu ) sebagai pemasok kebutuhan besi tersebut. Selain itu seorang sejarawan Perancis, Dr Christian Pelras melihat alasan lain, Luwu tertulis dalam Negarakrtagama karena antara Majapahit dan Luwu terjalin hubungan yang khusus dan unik. Hal ini dikaitkan dengan letak Kedatuan Luwu yang di bagian kepala Teluk Bone yang melesak membelah dua semenanjung selatan dan tenggara. Secara politik boleh dikatakan Majapahit memiliki kepentingan terhadap Luwu. Ekspansi politik Majapahit hingga Laut Cina Selatan memerlukan daerah pertahanan guna menahan ekspansi Mongol yang sebelumnya di masa Singasari bertekad menyerang Jawa. Eksistensi Luwu juga diriwayatkan dalam Sure’ I La Galigo. Di dalam karya sastra terpanjang di dunia yang terdiri dari 300.000 baris itu pada tahapan waktu yang disebut ‘Periode Galigo’ (hemelingen period) yang berlangsung pada abad ke-11 hingga abad ke-13 atau mungkin lebih awal lagi, Luwu membuka lembaran sejarahnya.

85

Sure’ I La Galigo menunjukkan Luwu sebagai kerajaan Bugis tertua yang pada suatu masa, paling berpengaruh di antara kerajaan-kerajaan Bugis lainnya di Sulsel. Batas-batas kekuasaan Luwu Sebelum abad ke-16 tidak dapat ditelusuri dengan hanya mengandalkan naskah Sure La Galigo dan naskah lainnya. Menurut teks-teks Lontara, kerajaan ini diperkirakan telah mendominasi beberapa kawasan, terutama wilayah-wilayah di Teluk Bone, Malangke, Malili serta terus ke arah tenggara. Menurut Prof. Mattulada kekuasaan Kedatuan Luwu pada abad ke 15-17, di bagian barat berbatasan dengan Kerajaan Bone, di utara meliputi sebagian wilayah Sulawesi Tengah, di sebelah timur meliputi wilayah jazirah Sulawesi Tenggara. Kitab epik La Galigo tidak hanya bernilai sastra melainkan juga mengandung nilai sejarah karena berisi silsilah raja-raja Luwu yang merupakan cikal bakal berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Teks-teks awal I La Galigo memperkenalkan tokoh sentral, Batara Guru anak Patotoe yang memiliki kemampuan di atas manusia biasa dan kelak memperoleh legitimasi menjadi penguasa di bumi. Ketika turun di Luwu, Batara Guru segera berpuasa dan bertapa. Kemudian ikutlah hamba- hamba, para permaisuri, rakyat, bahkan istananya. Semua diturunkan dari dunia atas. Itulah sebabnya kata ‘Luwu’ menurut masyarakatnya berarti ulo atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘diulurkan’. Maksudnya raja beserta permaisuri, para pemangku adat pemerintahan dan seluruh rakyat, asalnya diulurkan atau diturunkan dari Botting Langi ( Kayangan ). Islam kemudian masuk Luwu. La Pattiware Daeng Parrebbung menerima Islam sebagai agama kerajaan. Sebelum Islam masuk ke kedatuan, konsep pemikiran tentang ketuhanan telah ada. Masyarakat Luwu percaya bahwa Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal, tak berwujud, (de’watangna), tidak makan-minum, tidak berayah-ibu, tak diketahui tempatnya, tetapi mempunyai banyak pembantu. Sinkretisme antara konsep kepercayaan lama dan agama Islam terlihat pada konsep-konsep panteon Bugis; Dewata Seuwae (Dewa yang tunggal), Topalanroe (Khaliq), Patotoe (penentu nasib). Hingga dapat dipahami bila usaha Islamisasi berlangsung dengan cepat. Islam masuk ke wilayah Bugis-Makassar dibawa tiga orang mubaligh dari Minangkabau. Abdul Jawad Khatib Bungsu bergelar Dato’ri Tiro, Abdul Makmur Khatib Tunggal bergelar Dato’ri Bandang, dan Sulaiman Khatib Sulung bergelar Dato’ Patimmang yang datang ke Luwu melalui Teluk Bone. Beliaulah yang mengislamkan Datu Luwu, La Pattiware Daeng Parrebbung sekitar 1603. Kedatuan Luwu memang merupakan target awal Islamisasi di antara komunitas Bugis-Makassar Kebijakan-kebijakan baru muncul seiring keputusan raja Luwu yang kemudian bergelar Sultan Muhammad (Matinroe ri Ware’ ). Kebijakan itu menentukan arah perjalanan sejarah Luwu. Pada periode ini terjadi perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat, antara lain ; penerimaan Islam sebagai agama resmi kerajaan, perpindahan ibukota dari Pattimang ke Ware’ (Palopo), pendirian masjid kubah yang disebut Lokkoe, dan masuknya imam sebagai aparatur pemerintah kerajaan.

86

Tetapi ajaran Sawerigading, tokoh dalam ‘ Galigo’ tidak dapat dihapus. Bahkan, unsur-unsur ajaran Sawerigading berupa lempu (jujur ), tengeng (benar), getteng (tegas dan teguh hati ), dan adele (adil) dianggap sama dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Unsur-unsur ini pula yang menjadi syarat untuk diangkat menjadi pemuka adat. Hal itu pula yang sampai kini masih tampak dan terasa. Bila kita melangkahkan kaki memasuki wilayah Kabupaten Luwu, terpampang tulisan: ‘Selamat Datang di Bumi Sawerigading’. Di kota Palopo terdapat sebuah monumen yang bertuliskan semboyan ‘ toddopuli temmalara’ (kokoh di tempat tidak bergeser) yang berdampingan dengan monumen sebilah badik, bermakna keberanian sejati anak Luwu. Tahun 2002 ini, Luwu memasuki usia ke 734. Suatu perjalanan waktu yang penuh dinamika. Wija To Luwu (masyarakat Luwu ) saat ini tengah berjuang untuk membentuk suatu provinsi ‘ Tana Luwu’ yang secara administratif terpisah dari provinsi induknya, Sulawesi Selatan. Keinginan ini terilhami oleh tekad ikhlas mewujudkan Luwu (Luwu dan Luwu Utara) sebagai Wanua Mappatuo Naewai Alena (negeri mandiri) sehingga kesempatan untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya alam serta manusia menjadi lebih optimal. Tetapi di tengah perjuangan mereka timbul konflik antar kelompok di Padang Sappa, Sabbang dan beberapa wilayah lain yang rawan konflik horizontal. Tentu saja ini akan menjadi masalah yang cukup serius. Apakah konflik antar warga Luwu ini menandakan telah koyaknya Payung Luwu di sana-sini dan masih adakah kekerabatan yang menyejarah dan mengagumkan itu? Padahal jika kita tengok sejarah Luwu, kawasan pesisir Teluk Bone ini telah menjadi tempat pemukiman bagi berbagai kelompok identitas multikultur, baik komunitas lokal maupun pendatang. Saatnyalah buat masyarakat Luwu bekerja keras bukan beradu keras. Pemimpin Luwu harus meresapi konsep Raja Luwu yang diberi gelar pajung. Sebuah payung berwarna merah yang tak dapat dibuat sembarang orang. Payung inilah yang menaungi dan menyelimuti masyarakat Luwu, memberi kedamaian dan ketentraman dimana saja mereka berada. Hingga ada ungkapan yang menggambarkan kebersamaan itu dengan Payunga ri Luwu, orang Luwu itu menyatu seperti berada di bawah payung. Siapa saja akan terayomi, terlindungi sehingga tenang dan tentram setiap jiwa yang berada di bawahnya. Dan bukankah kitab I La Galigo juga telah memberikan sejarah sebagai contoh, yakni periode Lontara, sekitar abad ke-13. Periode tersebut dimulai dengan suatu peristiwa kekacauan dan perang saudara selama kurang lebih tujuh pariama (tujuh generasi atau tujuh puluh tujuh tahun ). Konflik yang berlarut-larut membuat masyarakat sadar akan pentingnya suatu perdamaian.

87

Pelajaran sejarah perlulah diresapi, namun semua memerlukan kerja keras. Dan terngianglah syair Bugis yang populer di tengah-tengah masyarakat Luwu : ‘resopa na teng mangingngi, malomo naletei pammase Dewata’ Secara bebas dapat diartikan ‘hanya melalui kerja keras dan usaha tak kenal lelah yang seringkali mendatangkan rahmat Yang Maha Kuasa’. Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah KITA SAMA KITA, Juli 2002

88

26. A2DCDS?

Sebuah berita lewat e-mail saya terima dari teman di Jakarta. Bulan April nanti Sitor Situmorang, penyair besar Indonesia akan datang ke Makassar dan akan menginap di Hotel Sedona. Kedatangannya untuk berpartisipasi dalam Festival Puisi Internasional Indonesia yang juga dihadiri oleh penyair mancanegara. Entah, karena publikasi yang kurang atau saya yang memang tidak begitu menyimak berita belakangan ini, peristiwa besar ini seolah luput dari perhatian. Saya pun akhirnya menemui Sitor dan istrinya Barbara Brouwer di Hotel Sedona. Sebelumnya, saya menelepon mereka. Sambil menikmati sarapan, Sitor memberikan kumpulan puisinya yang diterjemahkan dalam bahasa Perancis, Paris La Nuit. Kami pun berbincang-bincang. Rupanya, Sitor baru kali pertama datang ke Makassar. Rencananya selama beberapa hari, ia dan istrinya akan pergi ke Tanjung Bira. Saya berjanji akan datang di penampilannya yang kebetulan diadakan di Baruga A.P.Petta Rani, Kampus Unhas. Barbara berpesan untuk membawa mahasiswa saya menyaksikan festival itu. Saya sanggupi pesannya. Sesuai dengan jadwal penampilan para penyair yang akan membawakan karya-karya mereka, Sitor tampil pada hari Jum’at 5 April 2002. Saya pun mengajak mahasiswa saya menyaksikan festival puisi itu. Kebetulan hari Jum’at merupakan hari terakhir sekaligus penutupan perhelatan besar ini. Tampaknya festival puisi ini selalu dipenuhi penonton, terutama kalangan mahasiswa. Suatu hal langka yang bahkan jarang terjadi. Walaupun sebelumnya panitia sempat khawatir. Takut kalau sepi penonton. Tapi ini tidak terbukti. Penonton selalu membludak. Mungkin saja ini terjadi karena meledaknya film ‘Ada Apa Dengan Cinta’ (AADC) yang dipenuhi puisi-puisi. Sehingga tampaknya mereka masih diharu biru dalam suasana film tersebut. Jujur saja, saya sendiri senang dengan film itu bukan karena puisi-puisinya, para pemain utama atau adegan percintaannya melainkan karena ikut di- shootingnya tempat-tempat nongkrong saya bahkan tempat saya ketiduran hingga diusir petugasnya lantaran mau tutup. Ya, tempat itu adalah perpustakaan fakultas dimana saya kuliah dulu. Lalu lokasi berikutnya, daerah Kwitang tempat buku-buku bekas dimana tokoh Rangga nge-date dengan tokoh Cinta. Penampilan Sitor pun cukup memukau. Ia membacakan puisi lamanya, Lagu Gadis Itali yang bergaya pantun. Lelaki gaek yang telah berkelana ke mancanegara ini tampak masih memiliki daya magisnya. Ia juga membacakan karya terbarunya – seperti yang telah saya duga – Angin Laut yang dibuatnya ketika mengunjungi Tanjung Bira, pantai pasir putih di Bulukumba. Pesta pun ditutup dengan

89 duet Rendra dan Ken Zuraeda yang membacakan puisi cinta, meskipun sebenarnya ini tidak masuk daftar. Suasana romantis, penuh damai dan cinta menyudahi festival besar. Pesta usai. Keesokan paginya, saya melenggang ke kantor. Hari ini saya memang tidak ada kelas tetapi sengaja datang untuk menyiapkan pekerjaan untuk hari Senin. Pandangan saya tertumbuk pada kaca nako kantor yang bolong. Pecah. Di atas meja kerja dan kursi saya berserakan pecahan-pecahan kaca dan sebongkah batu besar. Saya punguti satu persatu pecahan kaca itu, sambil menduga-duga apa yang telah terjadi. Tak lama kemudian, Nienk, rekan saya datang dan mulai bercerita. Rupanya, kemarin ada perselisihan antar mahasiswa yang mengakibatkan mereka mengamuk. Fasilitas umum yang tak berdosa menjadi sasaran nafsu amarah purba mereka. Saat itu, Nienk yang kemarin bersama sama menyaksikan Festival Puisi tidak langsung pulang tetapi kembali ke kantor untuk mengetik di ruang komputer sementara saya langsung ke mesjid untuk shalat Jum’at. Ketika sedang asyik bekerja, tiba- tiba ia dikejutkan dengan teriakan dan suara kaca yang dipecahkan. Nienk yang malang terjebak dalam ruang komputer yang sempit. Ia ketakutan dan panik. Saya tak dapat membayangkan suasana yang dialaminya. Sial sekali kamu, Nienk! Di gerbang kampus, spanduk Festival Puisi Internasional belum lagi diturunkan. Spanduk bertuliskan: ‘Cinta, kemanusiaan dan perdamaian’ melambai lesu menjadi sekedar simbol tak bersuara. Terbayang ‘Love, Humanity and Peace’ yang ikut terbang melayang dihancurkan simbol kemarahan yang menghasilkan pecahan-pecahan kaca jendela. Ah, Ada Apa Dengan Cinta Di Sini?

90

27. Romeo Must Die

Siang itu udara cukup panas. Untunglah satu mata kuliah telah saya selesaikan. Masih ada satu mata kuliah sejam lagi. Saya merasa agak suntuk juga karena itu selera humor jadi melayang. Saya menaiki tangga kembali ke kantor. Lumayan sekedar mendinginkan kepala. Sejak Nienk pergi semester lalu karena kontraknya habis, rasa bosan makin menjadi-jadi. Maklum, sebagai partner in crime dan teman diskusi yang baik, saya jadi merasa kehilangan. Kadang-kadang dalam suasana seperti ini, persis suasana deadlock di sidang parlemen, ide gila bisa kita munculkan. Sampai-sampai ia berkomentar: “Dasar lu, Met!” Suasana kantor lumayan sepi. Tidak seramai kantor kelurahan seperti biasanya. Mahasiswa yang biasanya hilir mudik tak nampak. Pak Hakim, ketua jurusan juga belum kembali dari mengajar. Sementara itu Sensei Hasebe, dosen tamu dari Jepang duduk tenang di sudut di balik lemari. Di hadapannya, di kursi tamu duduk seorang mahasiswi. Mungkin salah satu mahasiswinya. Saya buka notebook, ada artikel yang harus saya selesaikan dan deadlinenya besok. Seorang mahasiswa berambut gondrong berkaus hitam masuk ruangan. “Permisi, Pak. Ibu Margriet ada?” tanyanya sopan. “Sepertinya belum datang. Mungkin agak siang,” jawab saya. “Apa hari ini beliau tidak ada kuliah?” tanyanya lagi. “Ada, tapi nanti siang. Kalau ingin menunggu, silakan!” ujar saya Ia pun duduk. Saya kembali sibuk dengan artikel. Suasana kembali sepi. “Mahasiswi pariwisata ya?” tanya si gondrong pada mahasiswi itu. Rupanya ia tak tahan suasana sepi. “Ya,” jawab si mahasiswi dengan suara pelan. “Kok, gak pernah kelihatan ya. Padahal saya sering lewat sini. Jurusan apa?” si gondrong bertanya lagi “Jepang.” “Kalau saya sejarah. Pernah lihat saya enggak?” Waduh, pede sekali cowok ini, pikir saya. “Saya suka ngisi acara di kampus lho. I have a band and I am the vocalist,” cerocosnya. Mahasiswi itu hanya mengangguk. “Yeah, I like to use English althought I am history student,” cerocosnya lagi. Sensei Hasebe berdehem. Kelihatannya ia agak terganggu.

91

“ I like Axl Rose and Guns n’ Roses. Do you know him?” si gondrong terus bicara tidak peduli deheman sensei Hasebe. Sedangkan mahasiswi itu menggeleng. “He is vocalist of Guns n’ Roses. You know? I like their song because I like the expression of their song. So as a vocalist I can express my expression. I like also see MTV.” Tutup mulutmu, batin saya. Saya tidak bisa berpikir. Konsentrasi buyar. “Suka nonton MTV gak? Itu yang ada acara Hang Out. Ya biar saya ndak ngerti karena Inggrisnya aneh tapi tetap saya tonton.” Mahasiswi itu tetap menggeleng. “Lho, memangnya gak punya TV ya? Di kost saya ada TV,” O, God. Saya benar-benar tidak bisa berpikir. Si gondrong terus saja berbicara. “You know, mahasiswi-mahasiswi pariwisata cantik-cantik ya! It’s beautiful” “Here we go”, pikir saya dan saya sudah bisa menebak arah pembicaraan si gondrong. “You are beautiful also. Kamu cantik juga, ya?” Mahasiswi itu hanya menunduk sambil menulis sesuatu. Nah, betul tidak? Si gondrong mulai beraksi. “Wajah kamu manis. Would you like to be my girlfriend?” Saya melirik. Wah, betul-betul nekad pejuang kita ini. Mahasiswi itu semakin menunduk. Entah, tidak tahan atau merasa tersanjung. “Kalau kamu bersedia jadi my girlfriend, mulai saat ini saya akan selalu membela kamu kalau ada cowok yang menganggu. Apa yang kamu mau akan saya turuti. Saya akan bahagiakan kamu. Saya akan selalu berada di sisimu. Saya akan…” Hm…dasar playboy cap botol”, gumam saya sambil mencoba konsentrasi ke layar notebook. “Bagaimana, mau tidak?” Oalah, Bung! Nembak cewek kok begitu. Seperti nembak pakai M-16 saja. Tiba-tiba Sensei Hasebe mengucapkan sesuatu dalam bahasa Jepang. Sepertinya ia tidak suka dan merasa terganggu dengan si gondrong. Ia mengatakan sesuatu kepada si mahasiswi. Si mahasiswi menyahut sambil menggelengkan kepala. “Karo mau obrol jangan di sini. Di sini kantor. Pusing. Terganggu!” kata Sensei Hasebe dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah. Nah , Si gondrong rupanya kena batunya. “ Itu dosenmu ya. Kok mau saja sudah merdeka, kamu masih dijajah.” Kelihatannya si gondrong kesal sekali. Ia menoleh pada saya yang tersenyum menahan geli. Untung ia tidak sempat melihat. “Masih lama pak, Ibu Margriet?” tanyanya mengalihkan masalah.

92

“Kurang tahu ya. Biasanya sih jam segini sudah sampai. Mungkin langsung ke kelas,” jawab saya sambil menahan geli. Akhirnya si gondrong keluar kantor sambil mengumpat perlahan: “Sudah merdeka, kok masih mau dijajah!” Rupanya perjuangan pejuang kita, sang Romeo mendapatkan kekasih gagal total karena Juliet menolak cintanya. Memang Romeo must die kalau ketemu samurai Jepang. Haik sensei!

93

28. Aksi Pagi Ini

Senin pagi. Jalanan mulai sibuk. Orang-orang mulai melakukan rutinitas mereka. Kembali bekerja, pergi ke sekolah dan ke kampus setelah kemarin berlibur. Hari ini saya ada kelas pagi karena itu terpaksa diantar oleh supir ke kampus. Seperti biasa, setiap akhir pekan saya menginap di rumah paman di kota. Sekedar rutinitas kalau-kalau ibu saya menelepon dari Jakarta. Kami melalui jalan tol lalu mengambil arah kota. Menjelang pintu dua, jalan masuk menuju Rumah Sakit Dr. Wahidin, jalan mulai tersendat. Pete-pete menumpuk di pintu masuk dan banyak orang yang berjalan kaki. Saya pun akhirnya turun di pintu masuk karena mobil tampaknya tak bisa masuk. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Cukup mengherankan karena orang-orang itu seolah-olah sedang menunggu sesuatu. Kebanyakan dari mereka, para mahasiswa dan tampaknya akan ujian pertengahan semester. Saya berjalan menuju rumah sakit. Maksudnya ingin memotong jalan lewat pintu belakang wisma. Di depan pintu masuk, kerumunan orang semakin banyak. Rupanya ada beberapa mahasiswa yang menutup pintu masuk dengan bambu dan kayu-kayu. Memang tampaknya ada yang tidak beres. Mahasiswa-mahasiswa yang menutup pintu masuk itu mulai berteriak dan melarang siapa saja yang mencoba memasuki kampus dan rumah sakit. Beberapa mahasiswa yang nekad masuk, dikejar dan dipukuli dengan kayu. Suasana agak tegang. Saya lirik arloji di pergelangan tangan, hampir jam delapan dan saya harus menguji. Saya mencoba memasuki halaman rumah sakit ketika mahasiswa-mahasiswa yang berjaga di barikade lengah karena beberapa temannya sibuk mengejar beberapa mahasiswa yang mencoba masuk ke kampus. Tampaknya salah seorang dari mereka melihat saya dan balik mengejar. Saya mencoba mempercepat langkah dan masuk ke poliklinik. Beberapa pasien tampak terkejut melihat adegan kejar-kejaran itu. “Mudah-mudahan tidak bertambah parah penyakit mereka”, batin saya. Saya tidak tahu ke arah mana saya harus berlari. Saya berlari berbelok ke kanan ke kiri di antara lorong-lorong rumah sakit. Yang saya khawatirkan kalau saja saya terjebak di lorong yang buntu. Bila itu terjadi maka habislah saya. Saya sempat berpikir untuk mencari dr. Syafri, kepala bagian gawat darurat, suami dr. Yuni, dosen FK Unhas yang pernah satu apartemen di Leiden. Saya terus berlari melewati kamar-kamar perawatan. Tampaknya pengejar saya tetap gigih mengejar. Beberapa perawat menjulurkan kepala mereka dari jendela mendengar kegaduhan. Akhirnya saya melewati bagian anak-anak, berarti sudah dekat dengan wisma tempat saya tinggal. Wah, lega rasanya. Tetapi bagaimana caranya keluar dari rumah sakit ini karena setahu saya di

94 belakang rumah sakit ini tidak ada jalan tembus. “Matilah kau!”, umpatku dalam hati sambil mengatur nafas. Satu-satunya jalan saya harus memanjat pagar dekat tempat parkir. Tidak ada jalan lain. Saya menengok ke belakang rupanya pengejar saya kehilangan jejak. Mungkin sewaktu melewati bagian anak-anak tadi, ia tidak membelok ke tempat parkir. Tapi tetap saja saya masih was-was, kalau-kalau dia juga berhasil mencapai tempat parkir. Pagar itu terpaksa saya panjat. Hup, saya berhasil mendarat dengan mulus dan saya langsung berlari menuju ke arah wisma. Alhamdulillah, selamat. Saya bergegas mengganti pakaian dan menuju kampus yang tampak lenggang. Benar-benar tak ada aktivitas sedikit pun. Beberapa mahasiswa saya yang berhasil lolos masuk bertanya: “Tak jadi ujian, Meneer?”. Saya menggeleng. “Kita undur saja,” kata saya sambil menghela nafas. Di wisma, Pak Amin, pengelola wisma mengatakan kalau para mahasiswa yang mengadakan ‘aksi’ itu karena hanya ingin masuk televisi. Memang, kami sempat melihat ‘aksi’ mereka pagi tadi muncul di berita siang itu. Saya tidak mengerti alasan mereka melakukan itu apalagi ketika Pak Amin mengatakan: “Mereka itu demo sambil mabuk!” Saya semakin tidak mengerti.

95

29. Batas Pantai

Di atas pasir putih pantai Tanjung Bira, saya pandangi matahari di balik kaca mata hitam. Beberapa jam lagi ia akan terbenam. Terletak di Selat Makassar, Selat Flores dan Laut Banda serta merupakan tempat pertemuan angin Barat dan Timur, karenanya perairan di sini sangat menjanjikan sebagai tempat snorkeling. Dan itu telah saya buktikan. Namun, kita harus berhati-hati jangan sampai terseret arus. Seperti cerita penduduk sekitar mengenai nasib naas seorang ilmuwan Jepang yang terseret arus ketika menyelam hingga tak diketahui nasibnya. Begitu saya menjejakkan kaki di bibir pantai tanpa ragu saya melepaskan T-shirt dan sepatu. Dengan hanya menggunakan celana pendek saya masuk ke dalam laut yang hangat. Rasanya nikmat sekali. Pasir pantai ini pun halus bak tepung serta berada di dekat perkampungan orang Kajang dan tempat pembuatan perahu phinisi di Tana Beru. Tidak mustahil tempat ini kelak menjadi tempat wisata potensial. Sayang, penginapan-penginapan dibangun terlalu dekat dengan pantai sehingga mengurangi keindahan pemandangan. Apalagi ancaman bahaya abrasi yang dapat merusak lingkungan. Saya masih duduk menatap matahari yang perlahan mulai turun di horison sambil membayangkan Jakarta yang pada saat seperti ini sedang macet-macetnya. “Mengapa matahari di Jakarta besar sekali, ya kak?” seorang mahasiswi bertanya. Saya yang tidak menyadari kehadirannya terkejut sekaligus bingung dengan pertanyaannya. “Maksudnya?”, saya balas bertanya. “Itu, kenapa matahari di Jakarta besar sekali. Jadi panas,” ia menjelaskan. Saya mengira ‘matahari’ yang ia maksud toko serba ada yang memang tersebar di Jakarta dan memang cukup besar. Rupanya matahari yang dimaksud adalah matahari, sumber kehidupan manusia yang terbit di pagi dan terbenam di senja hari. “Entahlah,” jawab saya. Matahari pun terbenam. Indah sekali. Sejak saat itu rasanya pantai, laut, matahari terbenam menjadi bagian dari kehidupan saya. Baik dalam suasana senang maupun sedih. Ada ketenangan yang tak mampu saya ungkapkan. Suatu perasaan menyenangkan tak terkira.

96

Usai membilas badan dan makan malam, kami kembali menaiki bis menuju penginapan di Bulukumba. Di atas bis, saya mencoba menyusun perasaan yang masih tersisa dalam coretan di atas kertas:

Mengeja kehidupan

Satu persatu Bak’ jejak kita Di atas pasir putih pantai

Tampak jelas Lalu sekejap menghilang Terhapus Gulungan ombak

Waktu seolah memburu Membiaskan ragu Kebimbangan adalah kehampaan Mengombang-ambingkan kehidupan

Di sini ada batas Antara hasrat Lewati waktu Yang kian hilang (Bira beach sunset 1999, Sulawesi Selatan)

97

30. Datang Dijemput, Pulang Diantar

Untung, saya bukan jelangkung yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Sewaktu pertama kali datang ke kota ini, saya mendapat kehormatan dijemput dan pada saat harus kembali ke Jakarta, saya diantar. Kali ini oleh rekan saya Eli dan beberapa mahasiswa. Tak ada isak tangis. Hanya lambaian perpisahan. Di atas pesawat saya pandangi daratan Sulawesi dan lautnya yang semakin menjauh. Entah kapan saya bisa melihat dan menginjaknya lagi. Pesawat pun mulai meninggi menembus awan. Banyak hal yang bermunculan di kepala. seolah-olah bagai potongan-potongan film yang diputar membentuk mozaik kenangan. Seperti ungkapan Kahlil Gibran ‘Setiap kenangan adalah suatu pertemuan’. Pun saya teringat pada masa awal saya bertugas. Belum genap dua bulan saya di Makassar, saya dan Nienk diminta untuk menjadi pembicara sebuah workshop peer-teaching yang diselenggarakan Fakultas Sastra. Ada satu pertanyaan seorang professor yang cukup menggelitik. “Bagaimana menurut Anda mahasiswa di sini?” Waduh, pertanyaan yang sulit dijawab, mengingat kami berdua belum lama di sini. Pertanyaan itu akhirnya dijawab dengan jawaban diplomatis. “Maaf, Prof, saat ini kami belum bisa memberikan jawaban karena kami belum begitu lama di sini,” jawab saya. Ya, jawaban diplomatis yang dimaklumi sang professor sambil manggut-manggut. Waktu terus berjalan tanpa terasa. Pertanyaan yang sama akhirnya muncul lagi di saat-saat terakhir masa tugas saya. Kali ini hanya saya sendiri karena Nienk, dua semester lebih dahulu mengakhiri tugasnya. Namun, pertanyaannya bukan dari sang professor melainkan dari para mahasiswa. “Menurut Meneer, kita ini bagaimana, malas atau apa?” Pertanyaan yang saya jawab dengan spontan: “Unik.” Jawaban yang banyak mengandung arti. Unik yang dapat memiliki arti berbeda. Lain daripada yang lain dan memiliki kekhususan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Jelas, setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Apalagi saya termasuk orang yang tidak suka keseragaman. Kesannya seperti dipaksakan. Biarkan semuanya berwarna. Justru itu yang semakin membuat sesuatu menjadi indah karena ‘semua tak sama’. Betul tidak?

98

Bicara mengenai malas tentu semua orang memiliki sifat buruk ini. Walaupun sebenarnya kata ‘malas’ ini dapat diartikan bermacam-macam. Ada yang diartikan belum giat, tidak terlalu rajin, masih ogah-ogahan, atau masih ‘perlu dorongan’. Saya cenderung menyebut malas sebagai penyakit yang sebenarnya dijadikan stereotip oleh bangsa Barat terhadap kita, bangsa Melayu. Satu taktik kuno di masa persaingan perdagangan. Pesawat menembus awan. Pertanyaan-pertanyaan dari professor dan mahasiswa itu masih ada di benak sebagai kenangan yang tak terlupakan.

99

31. Epilog: Kacamata Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah Indonesia yang menjadi tema berbagai kajian seperti sejarah, antropologi, politik, dan bahasa. Tercatat banyak ilmuwan mancanegara dari berbagai disiplin ilmu memilih Sulawesi Selatan sebagai obyek kajian mereka. Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Selatan memiliki daya tarik untuk diteliti. Ketertarikan para ilmuwan pada Sulawesi Selatan telah berlangsung selama berabad-abad. Salah satu penggambaran yang tertua tentang Sulawesi Selatan, khususnya kerajaan Makassar diberikan oleh Nicolas Gervaise. Hasil pengamatannya Description historique du Royaume de Macasar diterbitkan di Prancis tahun 1688 dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1701. Sebenarnya, pada abad sebelumnya yaitu abad ke-16 orang Portugis telah membuat catatan mengenai Sulawesi Selatan ini. Di antara sejumlah catatan orang-orang Portugis itu ada dua orang Portugis yang dianggap paling penting, yaitu Antonio de Paiva dan Manuel Pinto. Memasuki abad ke-17, sumber-sumber catatan tersebut masih ada yang ditulis oleh orang Portugis seperti Diego do Couto dalam Decades. Di samping itu diperoleh juga catatan dari orang- orang Belanda seperti Arthus, Cornelis Matelief, Van Soldt, dan Wybrant van Waerwijk. Pada abad-abad berikutnya terdapat nama-nama seperti François Valentijn dan A.R. Wallace. Demikian pula di tahun dan abad berikutnya para ilmuwan yang meneliti Sulawesi Selatan terus bergulir silih berganti. Tercatat nama R.A. Kern, Benjamin Frederik Matthes, A. Ligtvoet, V.E. Korn, F.W Stapel, H.J. Friedericy, C. Nooteboom, A.A. Cense, J. Noorduyn, Leonard Y Andaya, Heather Sutherland, Anthony Reid, Barbara S. Harvey, Gilbert Hamonic, Ch. Pelras, Horst Liebner, H.Th. Chabot, Roger Tol, Sirtjo Koolhof. Ketika pertama kali menerima tugas di Makassar (dahulu Ujung Pandang) dan sesaat sebelum saya menginjakkan kaki di bumi Sulawesi ini pada tahun 1999 saya berupaya menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang Sulawesi, khususnya Makassar. Caranya dengan membaca buku-buku karya peneliti dan penulis yang disebutkan di atas. Dengan demikian secara tidak langsung saya ‘berguru’ pada mereka. Meskipun sepertinya tidak seimbang karena seharusnya saya juga ‘berguru’ pada para peneliti dan penulis dari dalam negeri. Yang tentu lebih paham dan menguasai dengan baik ‘ilmu’ negeri sendiri. Namun, menurut saya untuk dapat menilai diri sendiri, kita juga memerlukan bantuan orang lain. Kita perlu melihat dari ‘kacamata’ orang lain. Serta harus juga tetap bersikap kritis. Beruntung, saya sempat mengontak Gilbert Hamonic melalui e-mail untuk mengajukan beberapa pertanyaan dan berdiskusi sejenak dengan Horst Liebner di ‘rumah Mandar’ nya di kawasan benteng Somba Opu. Horst Liebner ini ternyata tidak hanya seorang peneliti, ia juga mengajar di

100

Universitas Hasanuddin. Ada sebersit kekaguman, sekaligus rasa malu ketika berdiskusi dengannya. Pria Jerman ini kelihatan begitu bersemangat menerangkan ‘ilmunya’ kepada para mahasiswa saya. Padahal ia adalah seorang pria asing yang berasal dari negeri yang berjarak ribuan kilometer dari sini. Namun ia begitu fasih menjelaskan perihal negeri lain. Terlintas dalam pikiran saya apa yang akan terjadi dengan negeri ini puluhan tahun kemudian setelah diskusi itu. ‘Guru’ lain yang sempat saya temui adalah Roger Tol. Ketika itu, tahun 2002 saya dan dosen- dosen luar Jakarta yang tergabung dalam Comned (Comunicatief Nederlands) Groep berkunjung ke KITLV Leiden dan Roger Tol yang ketua KITLV-Leiden menyambut kami. Saya teringat pada satu tulisannya dalam Excursie in Celebes, sebuah buku untuk mengenang J. Noorduyn. Ia menulis sebuah artikel tentang bertemakan uang dan gadis cantik yang merupakan tema favorit Ang Bang Tjiong, penulis Pantoen Melajoe-Makkassar. Salah satu pantunnya berbunyi begini:

Gilang goemilang Malino kota, kota Malino yang gemilang Ibarat sorga pang mantanganta seperti surga tempat kami Idoeng mantjoen na badji tatta, hidung mancung memiliki bentuksempurna Menarik hari angmeso mata menarik hatiku dan membuat mata pusing

Pantun yang lain:

Tjinta itoe sutji na boeta Cinta itu suci dan buta Orangnja sadja toeling mangràki, Membuat orang ingin saling berdekatan Saling memandang aroeppa mata, Kita saling memandang, mata kita bertemu Mata beradoe si-kaeroki Mata ketemu mata, kita jatuh cinta

Menarik juga tulisan Roger Tol tentang pantun Melayu-Makassar karya Ang Bang Tjiong yang populer di tahun 30-an ini. Seingat saya Roger Tol juga menulis buku Een Haan in Oorlog, tentang syair-syair kepahlawanan Bugis. Namun, saya belum sempat membaca bukunya itu. Sebenarnya, masih ada ‘guru’ lain yang ingin saya hubungi yaitu Heather Sutherland. Sayangnya, hingga kini saya belum memiliki kesempatan menghubungi beliau meskipun alamat e- mailnya sudah saya miliki. Untuk sementara saya ‘berguru’ melalui tulisan-tulisannya. Mudah-mudahan di kesempatan lain saya dapat ‘berguru’ langsung dengan mereka untuk menimba ilmu. ‘Kacamata-kacamata’ itu akan tetap saya bersihkan dengan penuh semangat supaya tak berdebu dan dapat melihat lebih jelas ke negeri sendiri, negeri tercinta. Tak lupa juga saya

101 membersihkan ‘kacamata’ sendiri supaya tak terhalang pandangan sempit yang membutakan. Semoga.

102

Tentang Penulis

Achmad Sunjayadi, lahir di Jakarta, 11 Mei. Menyelesaikan S1 program Studi Belanda, Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1996. Mengikuti kuliah di Dutch Studies, Faculteit der Letteren Universiteit Leiden 2000-2001. Mengikuti training jurnalistik di Indonesia dan Belanda, training pengajar bahasa Belanda di Universiteit Leiden, Universiteit Antwerpen, Katholieke Universiteit Leuven, serta seminarium di Amsterdam. Menyelesaikan S2 Sejarah di Universitas Indonesia (2006) tentang awal turisme modern di Jawa (1908-1942). Ia pernah bekerja sebagai pengajar tidak tetap bahasa Belanda Fakultas Hukum UI (1996-1999), Program D3 Pariwisata Universitas Hasanuddin (1999-2003). Sekarang bekerja sebagai pengajar tetap di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erasmus Taal Centrum Jakarta, peneliti FIB UI serta penerjemah lepas.

103