West Oost Niet Zinloos
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan © Achmad Sunjayadi, 2010 Pengantar: Dr. Roger Tol 2 Kue Bugis Kanre Jawa: kumpulan catatan Pengantar Roger Tol (Direktur KITLV-Jakarta) ……………………………............................................... 5 Pengantar Penulis ............……………………………………………………............................................ 6 1. Satu Jam Bedanya ………………………………......................................................……………… 7 2. Wisma Rambo .............................................................……………………………………………… 9 3. Ayam Jalan Berkotek ..........................................................…………………………………………… 12 4. Si Petpet ..........................................................................……………………………………………… 14 5. Mikiji, Tawwa! ..................................................................……………………………………………… 17 6. Benteng Penyu ................................................................……………………………………………… 24 7. Makassar Mall .................................................................……………………………………………… 27 8. Tamalanrea Friendship ....................................................……………………………………………… 29 9. Kue Bugis, Kanre Jawa ...................................................……………………………………………… 32 10. Ikan Pinggang .................................................................……………………………………………… 34 11. Tour de Makassar ...............................................................…………………………………………… 37 12. Cinta Raja Kera …………………………………..............................................................…………… 40 13. Balada Bissu ………………………………………..............................................................……… 42 14. Tak Kelar ……………………………………...................................................................………… 44 15. Tator ………………………………..........................................................................……………… 46 16. Cap Tikus ………....................................................................……………………………………… 49 17. Rindu Tempe ….............................................................…………………………………………… 52 18. Misteri Hitam ……................................................................………………………………………… 54 19. Memahami Kembali Siri’ Sebagai Unsur Kekuatan Dalam Strategi Kebudayaan Sulawesi Selatan (Mengenang Profesor Dr. Mattulada) ………………….............…………………………………….58 20. Bukan Perempuan Biasa …………………………………......................................…………..…….70 21. Cerah Bergairah ………………………………………........................................................…………..73 3 22. Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan di Masa Lalu dalam Tradisi Tulis Dunia …..............................76 23. Raskin ………………………………………..........................................................................………….79 24. Peta Kuno , Kolonialisme dan Karaeng Pattingalloang ……………..........................…………………82 25. Payung Luwu di Bumi Sawerigading ………………………….....................................….………….85 26. A2DCDS? ………………………………………...............................................................................….89 27. Romeo Must Die …………………………………..........................................................……………….91 28. Aksi Pagi Ini ……………….................................................................………………………………….93 29. Batas Pantai ………………………………….................................................................……………….96 30. Datang Dijemput, Pulang Diantar ………................................………………………………………… 98 31. Epilog: Kacamata ……………………….........................................................……………………… 100 Tentang Penulis ........................................................................................................................103 4 Kata pengantar Selalu menarik untuk membaca tulisan mengenai budaya dan kehidupan orang melalui kacamata asing. Kan, kadang-kadang pandangan asing itu justru diperlukan untuk memahami dan melihat diri sendiri, karena mata kita agak jereng atau sudah terdapat gejala katarak. Pokoknya penglihatannya mulai kabur sehingga tidak bisa tahu lagi mana yang nyata dan mana yang khayalan. Dalam buku ini pun seorang pengamat asing menyajikan pandangannya tentang masyarakat dan budaya di Sulawesi Selatan, meskipun ia bukan seorang asing bule seperti saya, tetapi seorang asing domestik dari Jawa. Bagi saya hal itu lebih menarik lagi dengan pertanyaan adakah perbedaan persepsi antara kedua jenis orang asing ini terhadap kehidupan di Sulawesi Selatan? Ternyata ada, tapi sebetulnya tidak begitu banyak. Yang mencolok mata justru adalah persamaan persepsi dan pengalaman. Jelaslah bahwa kami berdua merasa tertarik pada dan krasan di tanah Bugis dan Makassar dengan sejarah yang menarik, kesusastraan yang agung, dan kebudayaannya yang unik. Sebenarnya kesamaan itu bisa saja disebabkan kami mempunyai latar belakang yang mirip. Achmad Sunjayadi sebagai orang Jawa mempelajari bahasa Belanda dan saya sebagai orang Belanda pernah studi bahasa Indonesia. Lalu kami berdua berlayar ke Makassar dengan bekal kemahiran bahasa Belanda yang berarti mempunyai akses pada kepustakaan dan kearsipan yang luar biasa kayanya tentang segala aspek Indonesia, termasuk Bugis dan Makassar. Rasanya pada kesempatan ini tepat sekali saya mempromosikan kekayaan koleksi dokumen tentang Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda dan yang terdapat tidak saja di Belanda, tetapi juga di Indonesia di lembaga-lembaga seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Pada hemat saya setiap sejarawan yang ingin membahas sejarah Indonesia secara serius mau tak mau harus memahami bahasa Belanda, paling tidak secara tertulis. Kalau kita membaca tulisan Achmad Sunjayadi dalam buku ini, manfaat pengetahuan seperti itu langsung menjadi kentara. Tulisan-tulisan dalam buku ini sangat bervariasi, baik dari segi topik maupun bahasannya. Ada yang sangat mudah dicerna, nyaris seperti obrolan saja, ada juga yang bersifat serius sekali dan ilmiah. Mungkin ada pembaca yang kurang senang dengan isi dan gaya yang bervariasi ini; bagi saya pribadi hal itu tidak menjadi masalah, bahkan justru menyenangkan. Bukankah kehidupan itu beraneka ragam? Sebagian besar tulisannya merupakan pengalaman pribadi Achmad Sunjayadi sebagai participant observer di masyarakat Sulawesi Selatan dan kehidupan kampus Universitas Hasanuddin. Sambil membaca dengan sendirinya kita diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang dari dahulu kala telah menarik perhatian para pengunjung dan pengamat: konsep siriq, karya sastra La Galigo, para bissu, dan kecerdasan Karaeng Pattingaloang. Namun ada juga topik yang belum begitu terkenal seperti cerita kereta api di Takelar. Tinjauan-tinjauan Achmad Sunjayadi seperti itu bersifat informatif dan didasarkan studi pustaka yang memadai. Kemudian ada beberapa tulisan bersifat istimewa yaitu sejumlah bahasan tentang ‘masalah perut’ yang jelas-jelas merupakan kesenangan penulisnya, sebagaimana nampak pula dari judul buku ini. Sampai mendetil Achmad Sunjayadi bercerita tentang haute cuisine di Sulawesi Selatan: jalangkote, bikangdoang, songkolo begadang, dan (non)pengalamannya dengan minuman keras seperti balloq. Meskipun ia mengakui tetap kangen pada makanan tempe, buku berikutnya hampir pasti merupakan buku masakan Makassar dan Bugis. Dr. Roger Tol Direktur KITLV-Jakarta 5 Pengantar penulis Tabee, Kehidupan merupakan proses belajar kita. Sebagai suatu proses tentu memerlukan waktu dan tidak seketika jadi. Dalam menjalani proses itu kita pasti menemukan, mengenal lingkungan dan orang- orangnya yang kita anggap menyenangkan maupun tidak. Suatu proses untuk memaknai hidup dapat kita temukan di mana saja. Seperti halnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Leiden, Belanda saya menjumpai elong/syair Bugis anonim dari abad ke-19 di tepi kanal dekat perpustakaan KITLV. Elong itu dapat kita nikmati dari seberang kanal di Wittesingel. Sayang, saya tidak dapat membaca aksara Bugis tersebut. Tetapi saya akhirnya dapat menemukan artinya, kurang lebih begini: Aku sudah berkelana kemanapun, namun tak pernah kujumpai kearifan yang lebih banyak daripada di sini. Suatu ungkapan yang membuat saya merenungi makna elong itu dalam-dalam. Ternyata kearifan, kebijaksanaan itu dapat kita temukan bila memang kita mencarinya dan mampu merasakan untuk memaknai kehidupan itu di mana saja. Tahun 1999, tawaran untuk mengajar ke Makassar (waktu itu Ujung Pandang ) saya terima walaupun sempat ada kebimbangan dan perasaan ragu. Jujur saja, saat itu di kepala saya yang muncul hanyalah stereotip buatan bangsa asing. Begitupula pengalaman-pengalaman teman-teman yang nyaris ‘menciutkan’ semangat. Namun, perasaan ingin tahu dan minat berpetualang mengalahkan semua keraguan. Kapan lagi bisa memadukan antara pekerjaan dan hobi. Proses memaknai kehidupan telah saya jalani selama empat tahun (1999-2003). Banyak suka dan duka yang saya temui. Ya, bagi saya masa empat tahun tidak ada yang sia-sia. Baik itu suka maupun duka jadi merupakan proses belajar. Semakin saya mengetahui sesuatu, semakin sadarlah saya terhadap kekurangan saya. Dalam kurun waktu tujuh tahun, dari 2003 hingga 2010 tentu banyak perubahan di kota tempat saya pernah tinggal. Perubahan tersebut tentu disadari, dilihat dan diperhatikan oleh mereka yang tinggal di sana. Saya sendiri telah ‘berjarak’ dengan kota tersebut sehingga banyak hal yang mungkin saat ini telah berubah. Banyak hal pula yang luput dalam penuturan pengalaman saya ini sehingga catatan ini memiliki kekurangan. Sebagai ungkapan terima kasih, dengan penuh cinta saya persembahkan kenang-kenangan berupa catatan proses kehidupan yang