PEMILIHAN UMUM DI TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)

SKRIPSI

Oleh:

ARI WAHYUTI X 4406016

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

i

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)

Oleh:

ARI WAHYUTI X4406016

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ii

iii

iv ABSTRAK

Ari Wahyuti. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Fusi partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai masalah internal partai. Hal ini disebabkan rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya.

v ABSTRACT

Ari Wahyuti. X4406016. Indonesia General Election In 1977 (Study about fusion of political parties). Skripsi, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, July 2010. The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to voice for the party election in 1977 to political parties that fusion. This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics. Based on the research results can be concluded: (1)Background fusion of parties because existence awareness in circle governments and the public that the renewal of political structure must be done by simplifying parties system because many of the parties system does not quaranted of national stabilities, (2) The development of political parties in 1973 – 1977 was marking by the existence of various problems internal parties. Pasca fusion, PDI and PPP not can unite the elements in that. Until the Conflict always in the their parties. And then structure of Golkar is good working and go on fast, (3) Effect fusion of political parties to voice for the party election in 1977 PPP voice acquirement is be gone up in many kinds of state country, exspecially in Jakarta and PPP defeat Golkar in Daerah Istimewa Aceh. And then Golkar seats acquirement is obtain redusing in election 1977. Golkar obtained 62,11 percent, become 232 or loss 4 seats in comparing election 1971. And defeat PDI in election 1977 appear in decline acquisition seats compared join seats parties that fusion before now.

vi MOTTO

Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak dihari kiamat ia akan menjadi penyesalan. (HR. Al-Bukhari)

vii PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan

kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan dan cita-cataku. 2. Kang Wan’s dan adikku Ria yang telah

memberikan dukungan dan semangat kepadaku.

3. Sahabat-sahabatku 4. Almamater

viii KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulisan skripsi akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati. 7. Teman-teman Sejarah Angkatan 2006, terima kasih atas doa dan dukungannya. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

ix Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Juli 2010

Penulis

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGAJUAN ...... ii HALAMAN PERSETUJUAN ...... iii ABSTRAK ...... iv HALAMAN MOTTO ...... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ...... vii KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 9 C. Tujuan Penelitian ...... 9 D. Manfaat Penelitian ...... 10 BAB II KAJIAN TEORI ...... 11 A. Tinjauan Pustaka ...... 11 1. Partai Politik ...... 11 2. Pemilu ...... 19 3. Demokrasi ...... 22 B. Kerangka Berfikir ...... 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 30 A. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 30 B. Metodologi Penelitian ...... 31 C. Sumber Data ...... 31 D. Teknik Pengumpulan Data ...... 33 E. Teknik Analisis Data ...... 33 F. Prosedur Penelitian ...... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 39 A. Latar Belakang Fusi Partai Politik ...... 39 1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik ...... 39

xi 2. Pemilihan Umum 1971 ...... 42 3. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik ...... 52 B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977 ...... 63 C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan Suara Pemilu 1977 Bagi Partai Yang Berfusi ...... 68 1. Kampanye Pemilu 1977 ...... 68 2. Hasil Pemilu 1977 ...... 74 BAB V PENUTUP ...... 87 A. Kesimpulan ...... 87 B. Implikasi ...... 88 C. Saran ...... 89 DAFTAR PUSTAKA ...... 90 LAMPIRAN ...... 94

xii DAFTAR TABEL

Tabel 1: Hasil pemilihan umum 1971 ...... 46 Tabel 2: Perbandingan jumlah suara pada pemilu1971 ...... 49 Tabel 3 : Hasil pemilu 1977 ...... 80 Tabel 4 : Pergeseran jumlah suara pada pemilu 1971-1977 ...... 83

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hasil Fusi PPP ...... 97 Lampiran 2 : Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat ...... 98 Lampiran 3 : Munas PNI ...... 99 Lampiran 4 : Kampanye Golkar ...... 100 Lampiran 5 : Kampanye PDI ...... 101 Lampiran 6 : Kampanye PPP ...... 102 Lampiran 7 : Pidato Kampanye PPP ...... 103 Lampiran 8 : Pidato Kampanye PDI ...... 104 Lampiran 9 : Pelaksanaan Pemilu 1977 ...... 105 Lampiran 10 : Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977 ...... 106 Lampiran 11 : Hasil Pemilu 1977 ...... 107 Lampiran 12 : Jurnal ...... 108 Lampiran 13 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ...... 109 Lampiran 14 : Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan Skripsi ...... 110

xiv 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno, Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi (demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil, 1974: 25). Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo, demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut : Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8). Perkembangan kehidupan politik, Indonesia pernah mengalami berbagai praktek demokrasi sebagai akibat berubahnya sistem pemerintahan dalam pemakaian Undang-Undang Dasar. Untuk itu dikenal berbagai macam praktek demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan yang sedang berlaku, misalnya demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin (Miriam Budiardjo, 1982: 69). Dalam suatu negara demokrasi yang pemerintahannya 2

berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61). Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No. XIII/MPRS/1968 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-Undang pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C. S. T. Kansil, 1974: 86). Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan

1 3

terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16). Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71). Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan umum pertama ini dilaksanakan diseluruh tanah air (kecuali Irian Barat) memperebutkan 257 kursi DPR. Dalam pemilihan umum ini muncul berbagai tuntutan dan harapan dari rakyat agar pemilu dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, baik berupa kemelut politik yang berkepanjangan, kemerosotan ekonomi, maupun ancaman terhadap keamanan. Rakyat berharap pemilu itu dapat menciptakan suatu pemerintahan yang sah dan stabil sehingga dapat melaksanakan pembangunan nasional dalam segala bidang. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik yang meraih kemenangan besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Syamsuddin Haris dkk, 1998: 32). Hasil pemilu menunjukkan bahwa PNI memperoleh suara sebesar (8.434.653), Masyumi (7.903.886), NU 4

(6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara jumlah kursi yang diperoleh PNI sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert Feith, 1957: 58). Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436). Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 224). Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya, seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada 5

presiden Soekarno yang membuat mereka mengikuti dan mendukung apa yang dikatakan oleh Soekarno (Maswadi Rauf, 2001: 124). Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42) Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98). Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127) Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk 6

mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan perwakilan-perwakilan rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan di Indonesia. (Ali Moertopo, 1974: 65). Banyak kemungkinan yang dapat berpengaruh dalam kehidupan surutnya kepartaian di Indonesia. Faktor dari sifat- sifat hubungan dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit dan Ideologi partai. Akan tetapi, pengaruh yang lebih tampak yang melatar belakangi kelemahan partai diantaranya jumlah partai yang terlalu banyak sehinggga diperlukan pengurangan jumlah partai politik (Arbi Sanit, 1995: 43). Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu, golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud, 2000: 90) Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik, yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak 7

dari sikap tersebut adalah kebebasan terhadap partai politik. Suasana politik lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilihan umum yang dilangsungkan pada tanggal 3 juli 1971 (Maswadi Rauf, 2001: 127- 128). Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517). Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67). Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Mas‟oed dan Mac Andrews, Colin, 2006: 263). Hasil pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti oleh Parmusi, Nadhlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dari pemilihan. Hal ini tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga dalam memenangkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah. Dengan kemenangan Golkar maka sangat mungkin melapangkan jalan untuk menyederhanakan kehidupan partai secara melembaga (Arifin Rahman, 1998: 99). 8

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum 1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat, efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam Budiardjo, 2008: 446 ). Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik) dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun 1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9). Tema ini menarik untuk diteliti sebab pemilihan umum 1977 penting dalam sejarah pertumbuhan politik Indonesia karena untuk pertama kalinya diselenggarakan dengan struktur partai politik yang disederhanakan (Sinar Harapan , 1977 ) 9

Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)”.

B. Perumusan Masalah Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain: 1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik? 2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977? 3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi ?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun 1973-1977. 3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

10

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977). b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam penulisan sejarah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

11

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Partai Politik a. Pengertian Partai Politik Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat “Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan-kebijakan partai”. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91), “partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara”. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik pada umumnya. Inu Kencana. S (2003: 104), “Partai politik adalah sekelompok orang- orang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat) negara”. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil- wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Sukarna (1990: 45), berpendapat “Partai politik adalah sekumpulan orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha

11 12

untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orang- orangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup d‟etat”. Menurut Haryanto (1982: 88) “Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan- jabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatan- jabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui cara- cara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum, maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan kekuasaan. b. Fungsi Partai Politik Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi adalah sebagai berikut: 1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung, maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak 13

yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang menampung arus informasi, baik informasi yang berasal dari pihak penguasa kepada masyarakat maupun yang berasal dari masyarakat kepada pihak penguasa. Oleh karena partai politik menyalurkan informasi dari masyarakat kepada pihak penguasa, maka berarti partai politik mempunyai tugas untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat, serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua pendapat dan asprasi masyarakat itu dapat tersalurkan. Sebaliknya partai politik juga menyalurkan informasi yang datang dari pihak penguasa kepada masyarakat. Rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa. 2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinan- keyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya. Partai politik disamping menanamkan ideologi partai kepada para pendukungnya, harus pula mengajarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan politik yang berlaku di masyarakatnya atau di negaranya. Partai politik juga harus mendidik masyarakatnya agar supaya mempunyai kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi sebagai warga negara dan lebih mementingkan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongannya. Dalam rangka proses sosialisasi politik, maka cara yang biasanya dipergunakan oleh partai politik adalah dengan cara memberikan kursus- kursus, ceramah-ceramah, maupun penataran-penataran tentang politik.

14

3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menjadi anggota partai. Partai politik berusaha untuk menarik minat warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga negara dalam bidang politik. Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi calon- calon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin. Rekrutmen politik juga dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin. 4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi, maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah. 5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada 15

memang sering muncul. Perbedaan pendapat dan persaingan tersebut sering sekali mengakibatkan terjadinya konflik-konflik atau pertentangan- pertentangan diantara mereka. Apabila tejadi konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan antara para warga negara atau golongan- golongan dapat diselesaikan melalui partai politik. c. Klasifikasi Partai Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Sistem Partai-Tunggal Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis) sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu unsur. Namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan para sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benar- benar merupakan satu-satunya partai dalam negara, ataupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara : Afrika, China, dan kuba. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya. 16

Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis. 2) Sistem Dwi-Partai Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai biasanya diartikan adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Beberapa negara yang mempunyai ciri-ciri system dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini, partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal opposition) terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering dinamakan pemilih terapung (floating vote). 17

Sistem dwi-partai pernah disebut “a convenient system for contented people” dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969. 3) Sistem Multi-Partai Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai- 18

partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam partai hilang. Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru. melalui sistem pemilihan Perwakilan Berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 19

1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut. Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya. Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh kontestan. Selanjutnya pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum 1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar).

2. Pemilu a. Pengertian Pemilu Ali Moertopo (1974: 61), berpendapat “ Pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945”. Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota- anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara. 20

Arifin Rahman (1998: 194), “Pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat”. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), “Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya”. Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal “pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi dizaman modern”. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), “Pemilihan umum adalah tindakan melakukan pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu”. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang diletakkan pada kekuasaan rakyat. b. Fungsi Pemilu Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa fungsi, antara lain: 1) Sebagai sarana legitimasi politik Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya. 2) Sebagai perwakilan politik Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam rangka mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu dalam kaitan ini merupakan 21

mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan maupun lembaga legislatif. 3) Sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi di pihak lain. Pemerintah ingin memperoleh kesepakatan dan dukungan bagi kelangsungan otoritasnya dan kepatuhan terhadapnya, sedang pihak-pihak kepentingan partai dan warga negara meninginkan semakin kuatnya kontrol mereka serta pertanggungjawaban pihak pemerintah akan kiprah yang dilakukannya. Pemilihan umum tahun 1977 merupakan pemilihan umum kedua sejak Orde Baru. Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan berdasarkan UU No. 4 tahun 1975 Jo. UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pemilihan umum tahun 1977 maupun sesudahnya didasarkan pada asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, yang sering disebut asas LUBER. Yang dimaksud pemilihan umum yang bersifat: 1. Langsung ialah rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan. 2. Umum ialah pada dasarnya semua warga negara Indonesia yang mempunyai persyaratan minimal usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum, dan yang telah berusia 21 berhak dipilih. 3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara berhak memilih dan menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan ataupun paksaan dari siapapun atau dengan apapun juga. 4. Rahasia ialah para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun yang 22

dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya kepada kotak suara dengan tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan (C.S.T. Kansil, 1974: 86).

3. Demokrasi a. Pengertian Demokrasi Menurut alfian (1985: 59) “Demokrasi adalah suatu sistem politik dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran yang wajar”. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa “demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu”. Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa “demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsesus”. Demokrasi dengan demikian, memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri. Setiap negara demokrasi pasti terdapat partai politik lebih dari satu, hal ini merupakan persyaratan yang paling menonjol. Mengingat rakyat mempunyai beberapa alternatif maka rakyat akan sukar untuk menyalurkan aspirasi-aspirasinya yang paling cocok pada dirinya. Dengan demikian adanya wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan suatu conditio since qua non (kondisi yang mau tidak mau harus ada). Tanpa adanya partai politik yang lebih dari satu, maka demokrasi tidak dapat ditegakkan. Maka 23

untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23) Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. b. Demokrasi di Indonesia Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: 1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Sementara (UUDS) sebagai landasan konstitusionalnya. Periode pemerintahan dalam masa ini disebut sebagai pemerintahan Parlementer. Pada masa Demokrasi Parlementer lembaga Perwakilan Rakyat atau Parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Disamping itu, kehidupan kepartaian memperoleh peluang yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem banyak partai (multy party system). (A.Gaffar karim, 1999: 12). Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui partai-partai politik ini ternyata menimbulkan labilitas nasional, sehingga dalam masa berlakunya UUDS 1950 telah terjadi jatuh bangunnya kabinet sebanyak 7 kali. Karena sering terjadi jatuh bangunnya kabinet telah menimbulkan rasa tidak puas dikalangan politisi Indonesia. Selain itu, sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontan didaerah yang mengancam keutuhan republik Indonesia (Moh. Mahfud, 2000: 43).

24

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan. Kemudian Soekarno mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal sebagai “Konsepsi Presiden” melalui konsepsi tersebut maka Dewan Nasional. Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan yang kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan PSI. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul secara hampir bersamaan. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara. Ketika dilakukan voting, ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak tercapai. Berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, Soekarno kemudian pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali pada UUD 1945. Dengan Dekrit Presiden tersebut, menandai berahirnya masa Demokrasi Parlementer dan memasuki era baru demokrasi yang kemudian oleh Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 24-25). Pada pidato 25

kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul “ Penemuan kembali revolusi kita” Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi Terpimpin sebagai berikut: 1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara. 2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat, bangsa dan negara. Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto. Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dengan adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30). 3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998) Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan Orde Baru hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan dapat melenyapkan rezim Orde Lama. Soeharto kemudian mencoba menerapkan Demokrasi Pancasila. Inti Demokrasi Pancasila adalah seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan 26

kembali azas-azas negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin dan dimana penyalagunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional (Moh. Mahfud, 2000: 36). Sedangkan Amir Machmud (1986: 87) berpendapat bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Ini berarti menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing, menjunjung tinggi nilai-nilai manusia, menjamin persatuan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.

27

B. Kerangka Berfikir

Demokrasi

Pemilu Partai Politik

Sistem Multi Partai

Pemilu 1955

Pemilu 1971

Kebijakan Politik Orde Baru

Fusi Partai Politik (Nasionalis, Spiritual, dan Golongan Karya)

PDI PPP Golkar

Pemilihan Umum 1977

Keterangan: Setelah Indonesia merdeka, gagasan demokrasi tercantum dengan jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pasal-pasal dalam batang tubuhnya. Sila keempat pancasila dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat (2) dalam batang tubuh itu menunjukkan bahwa negara republik Indonesia 28

menganut asas kedaulatan rakyat. Dalam asas ini terkandung unsur pokok bahwa rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan yang bersifat politik atau dengan kata lain negara Indonesia adalah negara demokratis. Dalam pelaksanaan demokrasi ini, menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 negara Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Hal ini terbukti adanya lembaga-lembaga negara yaitu MPR dan DPR serta adanya pemilihan umum dan partai-partai politik. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut. Bentrokan antar partai politik dan pasukan milisi masing-masing yang mempunyai ideologi Islam dan nasionalis membuat konflik politik semakin memanas. Pola konflik antar partai politik yang terjadi selama tahun 1950-1957 adalah kelanjutan dari pola konflik antar partai politik pada masa sebelumnya. Ideologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan faktor penyebab terjadinya konflik yang hebat antara partai-partai politik. Sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955 menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering berubah. Kehidupan politik dengan sistem multi partai ini berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, khususnya dengan dikeluarkannya penetapan presiden (Penpres) No. 7/1960 dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/1960 yang mengatur pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai. Pada tanggal 17 agustus 1960 PSI dan 29

Masyumi dibubarkan. Dalam hal penyederhanaan partai, pada tanggal 14 April 1961 diumumkan bahwa hanya sepuluh partai yang mendapatkan pengakuan, masing-masing adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, partai katolik, Perti, Murba dan Partindo. Pada tanggal 21 September 1965 Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno. Namun memasuki Orde Baru, pada tanggal 7 Februari 1970 Presiden Soeharto menyerukan kepada partai-partai agar dalam menghadapi pemilihan umum, partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan, dan memikirkan pengelompokan diri partai-partai, disamping adanya Golongan karya. Sebelum diselenggarakan pemilu tahun 1971, yakni pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan karya. Penerimaan atas saran presiden ini merupakan keberhasilan baru dari gambaran keinginan jangka panjang Orde Baru tentang akan dilakukannya penyederhanaan sistem kepartaian dengan cara memperkecil jumlah partai, dan MPR yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa pemilu tahun 1977 hanya akan diikuti oleh tiga kontestan . Berdasarkan isi ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum 1997 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar). Dengan adanya fusi partai politik ini, maka akan dilihat pengaruhnya terhadap hasil pemilihan umum 1977.

30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

a. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan, maupun sumber tertulis lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan, koleksi swasta maupun perorangan dan ditempat yang menyimpan dokumen- dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan untuk melaksanaan penelitian ini, antara lain: 1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta 2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 4. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta 5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 6. Perpustakaan Daerah Surakarta 7. Kolese St. Ignatius

2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya proposal skripsi hingga penulisan ini selesai, yaitu pada bulan Januari 2010 sampai bulan Juli 2010.

30 31

b. Metodologi Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methode, yang berarti cara atau jalan, dan theodos yang berarti masalah. Jadi metode dapat diartikan menjadi cara atau jalan untuk menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah-masalah, cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 8). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari peninggalan masa lampau. Dengan kata lain metode sejarah merupakan metode pemecahan masalah dengan menggunakan data dan peninggalan masa lalu untuk memahami keadaan masa sekarang dengan hubungannya dengan peristiwa- peristiwa masa lampau (Louis Gottschalk. 1975: 32) Menurut Hadari Nawawi (1998: 81), “Metode sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan- peninggalan baik untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang maupun untuk memahami dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu”. Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo (1992: 37), “Metode penelitian sejarah adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut”. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini dilakukan kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisa secara kritis mengenai data dan peninggalan-peninggalan masa lampau serta melakukan sintesa dan menyajikan dalam bentuk tulisan sejarah mengenai pemilu di Indonesia tahun 1977 (tentang fusi partai politik ). c. Sumber Data Sumber sejarah seringkali disebut sebagai “ data sejarah”. data berasal dari bahasa latin yaitu “ datum” yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo 1995: 96) . Jadi sumber data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung memberitahukan kepada sejarawan tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsuddin, 1996: 73). Sedangkan 32

menurut (Dudung Abdurrahman, 1999: 30), “Data sejarah berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian sejumlah sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal, sehingga membuka kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal”. Adapun klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan sumber-sumber menurut penyampaiannya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Dan menurut tujuannya sumber- sumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber formal dan informal. Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Sumber tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis sekunder yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa yang dikisahkan. Sumber tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar (Nugroho Notosusanto, 1979: 26). Sedangkan Menurut Louis Gottschalk (1975: 35), “Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritaannya. Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak hadir pada peristiwa itu”. Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip dan dokumen antara lain : Kedaulatan Rakyat, edisi 4 Januari 1973. Kedaulatan Rakyat, edisi 6 Februari 1973. Kompas, edisi 22 Februari 1973. Kompas, edisi 6 Januari 1973. Sinar Harapan, edisi 2 Mei 1977. Suara Merdeka, edisi 8 Januari 1973. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : buku yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik , karangan Miriam Budiardjo. Strategi Politik Nasional karangan Ali Moertopo. Pembangunan Politik Dalam Negara Indonesia karangan Amir Machmud. Sistem Politik Indonesia, karangan 33

Arifin Rahman. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia, karangan Eep Saefulloh Fattah. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, karangan Eep Saefulloh Fattah. The Indonesian Election Of 1955, karangan Herbert Feith. Inti Pengetahuan Pemilihan Umum, karangan C. S. T. Kansil. Partai Politik dan Golkar, karangan C. S. T. Kansil. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), karangan Miriam Budiardjo. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, karangan Moh. Mahfud. Perbandingan Sistem Politik, karangan Mohtar Mas‟oed dan Colin Mac Andrews. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia, karangan Muhammad A.S Hikam. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut, karangan Rusli Karim. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. karangan Syamsuddin Haris dkk . Konsesus Politik, karangan Maswadi Rauf. Sejarah Nasional VI, karangan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. d. Teknik Pengumpulan Data Dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik. Pengumpulan data (heuristik) merupakan bagian penting dalam suatu penelitian. Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar, atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan (Koentjoroningrat, 1983: 3). Dalam penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : (1) Mengumpulkan buku-buku, majalah, surat kabar, yang relevan dengan masalah yang diteliti. (2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. (3) Memfotokopi dan mencatat literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti. e. Teknik Analisis Data Proses analisis data sangat penting dalam menentukan kualitas data penelitian sejarah. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara 34

sistematis baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data sejarah yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat-sifat yang kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Oleh karena itu fakta-fakta yang diperoleh harus dirangkaikan dengan fakta-fakta yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang urut dan memiliki makna (Louis Gottschalk, 1975: 95). Fakta merupakan bahan utama sejarawan dalam menyusun historiografi. Fakta itu hasil pemikiran para sejarawan sehingga fakta yang terkumpul mengandung subyektivitas. Setiap fakta yang terekonstruksikan oleh sejarawan akan menghasilkan konstruksi. Setiap konstruksi mengandung unsur-unsur dari penyusunan konstruksi tersebut, sehigga dalam menganalisis diperlukan konsep seperti penyeleksian, pengidentifikasian (Sartono kartodirdjo, 1992: 92). Dengan demikian tujuan analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh (Dudung Abdurrahman, 1999: 64) Kegiatan menganalisis data sejarah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang otentik atau asli. Analisis sumber data sejarah tertulis dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah tertulis berupa buku-buku literatur dan surat kabar yang berkaitan dengan tema penelitian. Berbagai bentuk sumber data tertulis tersebut dikelompokkan apakah termasuk jenis primer atau sekunder. Kedua jenis data tersebut diidentifiksikan mengenai penulis atau pengarang sumber data tertulis tersebut, tahun dan tempat penulisan atau penerbitan, dan orisinalitas apakah asli ditulis oleh penulis sumber data tersebut atau bukan. (2) Kritik intern yaitu menganalisis isi sumber data sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang kredibel dan reliable. Analisis sumber data tertulis dilakukan dengan cara mengidentifikasi gaya, tata 35

bahasa, dan ide yang digunakan penulis, kecenderungan politik dan pendidikan penulis, siasat disaat penulisan, dan tujuan penulis dalam mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema pemilihan umum di Indonesia tahun 1977 tentang fusi partai politik. Kemudian isi dan pernyataan penulis sumber data yang satu dibandingkan dengan isi dan pernyataan penulis sumber data yang lain. Berdasarkan seleksi data tersebut dihasilkan fakta. (3) Interpretasi fakta dilakukan dengan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain. Fakta-fakta tersebut ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis, dan berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Fakta sejarah yang sudah ditemukan dihubungkan dengan konsep atau teori sebagai alat analisis.

f. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti sebelum menghasilkan sebuah penelitian yang diharapkan. Prosedur penelitian tampak pada skema sebagai berikut:

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi Sumber

Fakta Sejarah

Keterangan:

1. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang berarti memperoleh. Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber tidak tertulis serta sumber yang relevan dengan penelitian ini (Nugroho Notosusanto, 1978: 36). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 99), “Heuristik adalah 36

pengumpulan sumber-sumber sejarah”. Pada tahap ini peneliti berusaha untuk menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti. Dalam tahap ini hal pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan mengadakan studi tentang buku-buku literatur yang tersimpan di perpustakaan.

2. Kritik Sumber Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber (kritik ekstern) dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kritik intern) (Dudung Abdurrahman, 1999: 58). Dengan langkah-langkah: a. Kritik sumber ekstern Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti : bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Uji otentik minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, di mana, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat (Dudung Abdurrahman, 1999: 59). Fungsi kritik ekstern adalah memeriksa sejumlah sumber atas dua butir pertama dan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan integritas sumber itu (Helius Syamsuddin, 1996: 105). Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu pemeriksaan terhadap catatan dan peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan tidak untuk mengetahui sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan menyeleksi sumber data sejarah tertulis berupa buku-buku literatur, surat kabar dan majalah. Uji otentisitas dilakukan dengan melihat jenis kertas, bentuk tulisan, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, serta dimana arsip, buku, majalah, dan surat kabar dibuat. b. Kritik sumber intern Kritik intern adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek dalam arti sumber data sejarah. Kritik intern dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya kebenarannya atau kredibel. Kritik intern 37

digunakan untuk menguji kredibilitas sumber apakah isi, fakta, atau ceritanya dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada langkah kritik intern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan cara apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain, dari tahap ini akan didapat validitas data. Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain (surat kabar, majalah, dan buku-buku). Sumber tersebut sesuai dengan yang ada atau banyak dipengaruhi oleh subjektifitas pengarang, dan apakah sumber tersebut sesuai dengan tema penelitian atau tidak. Misalnya buku “Pemilu-Pemilu Orde Baru” karangan R.William Liddle yang memuat tentang persiapan menjelang pemilihan umum 1977 serta hasil pemilihan umum 1977 dibandingkan dengan majalah yang berjudul “pemilihan umum di Indonesia, saksi pasang naik dan surut partai politik” karangan Daniel Dhakidae yang memuat tentang hasil pemilihan umum 1977.

3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering kali disebut analisis sejarah. Analisis ini berarti menguraikan, secara terminologi, berbeda dengan sistematis yang berarti menyatukan. Namun adanya, analisis dan sintetis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995: 100). Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sistesis sejarah.

38

4. Historiografi Historiografi adalah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah atau hasil penafsiran atas fakta-fakta sejarah itu dilukiskan menjadi suatu kisah yang selaras dan logis. Pada tahap ini dituntut kemahiran dalam menuliskan kisah sejarah dengan bahasa yang baik. Dalam menyusun hasil penelitian sejarah hendakya disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai (Nugroho Notosusanto, 1979: 42). Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan untuk merangkai fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Tahap historiografi ini merupakan langkah terakhir dalam metodologi atau prosedur penelitian historis. Dari data-data yang sudah berhasil dikumpulkan oleh peneliti, maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan bahasa yang ilmiah beserta argumentasi secara sistematis. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “ Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)” sebagai obyek penelitian.

39

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Fusi Partai Politik 1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik Upaya penataan struktur politik yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru diawal kelahirannya menjadi faktor pendorong utama penyederhanaan partai politik. Pengalaman kepartaian di masa Orde Lama yang didominasi oleh banyak partai politik dengan ideologinya yang berbeda-beda telah menimbulkan citra buruk bagi partai politik di Indonesia yaitu sering terjadinya konflik antar partai. Ada tiga penyakit partai-partai politik yang menyebabkan sering timbulkan konflik. Pertama, partai politik terlalu berorientasi pada ideologi. Kedua, mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok dan menggunakan dukungan rakyat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Ketiga, cara pengangkatan pemimpin partai karena melalui pimpinan pusat dan tidak bertanggung jawab kepada pemilih, telah menjadikan pemimpin partai ini suatu olygarkhi yang tidak bertanggung jawab terhadap pemilih mereka (Mochtar Mas‟oed, 1989: 23). Dan karena keadaan yang seperti itulah menyebabkan pembangunan ekonomi cenderung terabaikan, karena tiap-tiap partai hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Atas dasar pernyataan tersebut maka tidak mengherankan apabila arah penataan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah menyederhanakan struktur kepartaian, baik dari segi jumlah, basis massa, pola dukungan, maupun pola aliran ideologi yang dipakai partai. Pemerintah Orde Baru bepikiran bahwa pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan penyebab dari konflik-konflik politik yang terjadi sebelumnya (Ali Moertopo, 1982: 47). Sebelumnya jalan kearah penyederhanaan partai politik sudah dirintis oleh presiden Soekarno. Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi Terpimpin serta UUD 1945 presiden Soekarno membentuk alat-alat kenegaraan seperti MPR dan DPA. Selain itu, dimulailah beberapa usaha untuk menyederhanakan sistem partai melalui Penpres No. 7/1959. Maklumat

39 40

Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diketahui oleh pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Parkindo, Partai Murba, PSII, IPKI, Perti, sedangkan beberapa lain dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960 tinggal sepuluh partai politik saja (Miriam Budiardjo, 1998: 440-441). Penyederhanaan partai politik ini berarti mengerahkan sikap dan pola kerja menuju pada orientasi progam. Tindakan yang pertama adalah merehabilitas partai Murba, dan mengumumkan berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 20 Februari 1968. Secara sepintas pendirian partai baru ini bertentangan dengan gagasan penyederhanaan partai politik. Namun pada dasarnya merupakan pertimbangan perlunya suatu wadah bagi peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tapi selama ini aspirasi-aspirasi politiknya belum tersalur secara efektif. Penyederhaaan partai politik ini dimaksudkan untuk memberikan corak baru pada kehidupan kepartaian di Indonesia, disesuaikan dengan kebutuhan baru yang pada dasarnya merupakan ukuran-ukuran pada hak hidup suatu partai, yakni mengabdi pada pembangunan bangsa dan negara. Tujuan jangka pendek pengelompokan ini adalah untuk mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan (Ali Moertopo, 1974: 73-74 ). Gagasan penyederhanaan partai juga berarti perombakan pola kerja menuju orientasi program (program oriented). Penyederhanaan partai secara ideal adalah penyederhanaan yang dilakukan melalui Undang-undang, tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa jalan kearah itu masih jauh, sehingga disarankan oleh presiden untuk mencari cara menuju arah itu. Pada bulan Februari 1970, presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan pimpinan partai-parai politik mengenai gagasan pengelompokan partai-partai. Disamping asas-asas yang dianut bersama, pancasila dan UUD 1945, dasar pengelompokan itu sebaiknya persamaan tekanan pada aspek-aspek pembangunan, baik material maupun spiritual. Atas dasar ini disarankan pembentukan dua kelompok: (a) 41

kelompok material-spiritual, yang terdiri atas partai-partai yang menekankan pembangunan material tanpa mengabaikan asas spiritual, tediri atas PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan partai Katolik; dan (b) kelompok spiritual–material, yang menekankan pembangunan spiritual tanpa mengabaikan aspek material, terdiri atas NU, Parmusi, PSII dan Perti (Prisma, tahun 1971-1991). Gagasan tersebut diikuti oleh sikap pro dan kontra. Yang pertama kali menyambut ialah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Lukman Harun (Parmusi), gagasan pengelompokan partai dapat memberikan keuntungan bagi partai politik Islam. Dengan pengelompokan tersebut partai Islam akan bersatu dari yang semula terpecah-pecah berdasarkan kepentingan kelompok masing-masing. Sedangkan menurut Subhan Z.E., seorang tokoh NU, pengelompokan partai akan memudahkan proses pengambilan keputusan sehingga alternatif pendapat-pendapat dalam masyarakat dapat diperkecil. Golongan yang menentang pengelompokan partai politik adalah Parkindo dan Partai Katolik. Alasan penolakan mereka karena dikelompokannya kedua partai ini dalam golongan spiritual dan bukan kepada ide pengelompokan itu sendiri. Mereka lebih senang jika dimasukkan ke dalam golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis. Bahkan Partai Katolik menegaskan lebih baik membubarkan diri daripada masuk ke kelompok Spiritual. Akhirnya, pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, , Murba, IPKI , Partai Katolik dan Parkindo. Dan pada tanggal 14 maret 1970 terbentuk Golongan Spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Golongan Nasionalis kemudian diberi nama “Kelompok Demokrasi Pembangunan”, dan kelompok spiritual diberi nama “Kelompok Persatuan” (Arif Zulkifli, 1996: 56-57). Dalam pengelompokan seperti itulah partai-partai ikut tampil dalam pemilihan umum tahun 1971. Pemilihan umum tahun 1971 ini merupakan untuk pertama kalinya diadakan sejak pemerintahan Orde Baru. Karena sejak pemilihan umum yang pertama tahun 1955 sampai awal pemerintahan Orde Baru beberapa kali pelaksanaannya mengalami penundaan, dan baru dapat dilaksanakan tahun 1971 42

setelah melalui persiapan-persiapan dan serangkaian usaha yang harus dapat menjamin Orde Baru dan mempertahankan kekuatan-kekuaan pancasila. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1971 sejumlah 34.696.387 orang untuk kedua kalinya sejak kemerdekaan, enam belas tahun sejak pemilihan umum yang pertama berbondong-bondong menuju kotak suara. Angka tersebut merupakan sebagian besar dari sejumlah 57.537.752 yang berhak memilih. Bilamana dibandingkan dengan pemilihan umum yang pertama maka ini merupakan angka yang sangat besar yang bisa dicapai, karena dalam pemilihan umum pertama tahun 1955 tercatat 87,65 % yang ikut memberikan suaranya. Salah satu alasannya karena keamanan yang tidak terjamin. Pada pemilihan umum 1971 ini, keamanan tidak menjadi alasan untuk mengahalangi orang dalam pemilihan umum nasional kedua (Prisma, No. 9 tahun 1981).

2. Pemilihan Umum 1971 Pemilihan umum tahun 1971 merupakan hasil persiapan yang telah dilaksanakan oleh Orde Baru sejak tahun 1966. Dalam ketetapan No XI/MPRS/1966 telah dinyatakan partimbangan-paerimbangan konstitusional yang mendasarinya, yakni (a) bahwa negara republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam asas Pancasila dan UUD 1945; (b) bahwa untuk pelaksanaan asas kedaulatan rakyat itu diperlukan lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang dibentuk dengan pemilihan umum; (c) bahwa hingga kini lembaga-lembaga tersebut belum terbentuk dengan pemilihan umum; (d) bahwa akibat daripada belum terbentuknya tersebut dengan pemilihan umum, kehidupan demokrasi Indonesia belum berjalan lancar; (e) bahwa dalam rangka kembali pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, perlu segera dibentuk lembaga-lembaga dalam pemilihan umum (Ali Moertopo, 1974: 63). Pada pemilihan umum 1971 para pemimpin partai mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kedudukan sebagai wakil rakyat. Kelompok Mahasiswa dan kekuatan pro Orde Baru baik sipil atau militer memanfaatkan pemilihan umum sebagai alat untuk memulai penyusunan kembali sistem 43

kepartaian secara menyeluruh (Liddle, 1992: 194). Dalam menghadapi pemilihan umum, persiapan-persiapan mulai dilakukan . pada tanggal 23 Mei 1970 presiden dengan surat keputusan No. 43 menetapkan organisasi-organisasi yang ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota-anggota DPR/DPRD. Partai-partai tersebut diantaranya adalah : Partai Murba, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah (Perti), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Parmusi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Golongan Karya (Golkar) (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993 : 427). Disamping melakukan usaha ke dalam, Soeharto juga juga melakukan operasi-operasi keluar yang ditujukan kepada partai-partai politik peserta pemilu 1971. Ali Moertopo sebagai pengemban tugas melalui Operasi Khusus (Opsus) politik mulai memperlemah partai politik serta organisasi dan dipihak lain memperkuat Golkar (Arif Yulianto, 2002: 267). Badan Pengendali Pemilihan Umum (Bapilu) sebagai produk kelompok pembaharu di DPR-Gotong Royong mendapatkan dukungan kerjasama dari Opersi Khusus. Ali Moertopo menghimpun perwira-perwira militer (Soedjono Humardhani, Sapardjo), mantan pimpinan formal mahasiswa (Jusuf Wanandi, Sofian Wanandi, Cosmas Batubara, Rachman Tolleng, David Napitulu), Intelektual (Drs. Moerdopo, Drs. Sumiskum, Daud Jusuf). Kelompok ini menentukan dan mengendalikan Bapilu. Tugas pokok Bapilu adalah : (Andreas Pandiangan, 199: 162) a. Memenangkan Golkar dalam pemilu 1971 b. Berusaha merebut suara yang sebanyak-banyaknya dalam pemilu dan mendapatkan kursi semaksimal mungkin di DPR, DPRD I, DPRD II yang mempunyai akibat mayoritas mutlak Golkar di MPR. c. Memilih, menyusun dan mengajukan calon-calon yang tepat dari Golkar sesuai kepres NO.43/1970 dengan sejauh mungkin mengambil dari Golkar d. Mempergunakan secara optimal dan maksimal tanda gambar “Beringin” sebagai sarana memenangkan Golkar. 44

e. Mengatur dan melaksanakan kampanye di pusat, daerah-daerah pemungutan suara dan sampai ke desa-desa secara efektif an efisien. Menjelang pemilu 1971, Operasi khusus Ali Moertopo mempunyai strategi baru dalam mengintervensi Nahdlatul Ulama (NU). Intervensi dilakukan dengan cara berbeda yaitu lebih menekankan penggalangan kerjasama dimana partai-partai tidak akan menentang peran utama Angkatan Darat. Langkah yang dilakukan Opsus antara lain memberikan Nahdlatul Ulama status dan dana bagi kegiatan-kegiatan keagamaan, Idham Chalid (Ketua Umum NU) akan mendukung Soeharto sebagaimana Soekarno dimasa lalu (Arif Yulianto, 2002: 276). Operasi khusus melalui intervensi juga dilakukan terhadap kelompok nasional lainnya seperti : Parmusi, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang melalui konggres bulan Mei 1970 dan dari hasil konggres tersebut didapatkan pemimpin IPKI yang pro dengan pemerintah (Arif Yulianto, 2002: 268). Pada kampanye 1971, Golkar diambil alih oleh Depatemen Dalam Negeri. Depatemen Pertahanan dan Keamanan, dan sekelompok intelektual Orde Baru yang punya hubungan denagn Ali Moertopo. Tugas berikutnya adalah mengorganisasikan upaya kempanye nasional dengan mengidentifikasi Golkar sebagai kekuatan progresif masyarakat Indonesia, kekuatan pembangunan programatis non-ideologis. Kontak nyata dengan para pemilih dibuat oleh pejabat- pejabat kelurahan dan desa dibawah pengawasan pejabat-pejabat Departemen Dalam Negeri tingkat kecamatan, kotamadya, dan propinsi. Suatu kebijakan “monoloyalitas” pejabat kepada Golkar diperkuat oleh komandan-komandan militer lokal. Sebagian besar ketua Golkar propinsi dan kotamadya, serta kecamatan, adalah perwira-perwira yang masih aktif berdinas (Liddle, 1992: 37) Program kampanye partai Katolik dalam pemilu 1971 dinamakan trilogy perjuangan yaitu : demokrasi, pembaharuan dan pembangunan. Ketiga hal tersebut terinspirasi dari perjuangan kemerdekaan RI (Kompas, 21 April 1971). Dalam kampanyenya, partai Katolik lebih menunjukkan peranan partai politik dalam pembangunan negara, bersifat integratif, memperjuangkan seluruh bangsa tidak berjuang untuk kepentingan golongan sendiri dan terbuka terhadap konsepsi- konsepsi pembaharuan dari pihak manapun. 45

Partai-partai politik penting seperti (NU dan PNI) menyatakan keberatan karena Sekber Golkar tidak bertindak jujur sebelum pemilu, namun partai-partai tampak optimis. PNI masih mengharapkan setidaknya bisa meraih 78 dari 360 kursi yang diperebutkan. Hadisubeno, ketua PNI bahkan meramalkan bahwa presiden akan memasukkan pemimpin-pemimpin PNI dalam kabinet baru. Sementara itu, NU mengharapkan 100 kursi sebagai targetnya, dan Parmusi yang baru saja didirikan berharap memperoleh 50 kursi. Partai-partai lain tidak mempunyai target. Mereka memahami bahwa mereka tidak bisa menyaingi partai- partai politik yang besar dan Sekber Golkar. Kenyataannnya, bebeapa partai kecil tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hasil pemilihan muncul sebagai kejutan besar bagi beberapa pemimpin partai. Sekber Golkar memenangkan 62, 8 % suara (227) kursi sementara NU hanya meraih 18 % (58) kursi dan PNI 6, 93 % suara (20) kursi. (Leo Suryadinata, 1992). Tiga partai meraih kursi kurang dari sepuluh yaitu Parkindo (7) kursi, partai katolik (3) kursi, Perti (2) kursi. Partai IPKI dan Murba tidak meraih kursi. (http://www.suara- karya.com diakses tanggal 15 Februari 2010). Hasil pemilihan umum tahun 1971 secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

46

Tabel 1.

HASIL PEMILIHAN UMUM 3 JULI 1971

No DAERAH PERTI PSII NU PARMUSI GOLKAR PARKINDO MURBA PARTAI PNI IPKI TINGKAT I KATHOLIK 1 D.I. Aceh 127.58 74.787 80.965 182.458 483.085 9630 330 775 3.834 3.090 2 Riau 10.503 69.837 136.483 187.033 1.786.028 111.988 4.208 44.067 166.135 31.272 3 Sumba 53.536 23.114 35.869 273.104 761.165 7.708 3.821 5.002 5.046 6.492 4 Riau 18.575 9.403 48.184 61.963 515.505 4.540 288 2.908 6.747 1.730 5 Sumsel 10.195 91.889 153.440 169.544 685.732 6.648 1.753 14.053 70.274 10.913 6 Jambi 1.611 4.485 22.077 20.004 408.351 682 160 467 3.043 2.040 7 Bengkulu 5.282 3.600 5.607 19.830 154.805 525 77 469 1.084 2.047 8 Lampung 2.040 47.478 137.800 75.704 869.894 5.422 680 10.933 50.628 2.344 9 Jabar 55.315 304.989 1.310.679 809.700 7.525.797 40.670 10.042 28.013 272.551 69.918 10 Jakarta 11.456 56.381 452.803 150.735 912.400 58.130 5.977 56.370 227.535 138.21 11 Jateng 12.937 90.468 2.382.462 468.704 5.174.182 55.447 7.084 52.745 2.003.177 86.053 12 DIY 4.385 30.832 126.315 108.184 736.493 13.190 1.533 35.439 119.431 6.561 13 Jatim 14.757 154.707 4.387.507 339.919 8.843.077 38.047 3.900 30.47 22.748 31.691 14 Kalbar 1.073 7.322 89.355 57.621 532.836 5.716 441 54.275 24.385 30.358 15 Kalteng 98 4.052 39.802 10.415 200.561 3.547 82 403 1.195 1.942 16 Kalsel 944 6.381 210.941 52.122 516.402 1.940 743 508 3450 2.710 17 Kaltim 653 11.320 68040 19.044 150.146 18.146 3.113 9.225 17.600 1.503 18 Sulut - 96.820 38.575 42.053 472.974 52.238 713 16.343 44.846 13.172 19 Sulteng 231 48.188 18.505 13.563 326.379 10.927 83 624 5.156 1.111 20 Sultengg 207 4.383 7.92 7.257 316.047 424 10 1.187 932 3.813 21 Sulsel 8.755 106.730 230.127 126.905 1.970.501 35.084 440 9.181 6.613 20.361 22 Bali 500 1.181 16.725 5.436 569.404 3.272 748 2.106 130.203 20.254 23 NTB 5.370 52.308 150.110 53.357 736.801 2.465 663 961 47.381 5.558 24 NTT 2.650 11.935 14.413 6.961 706.557 154.532 171 210.312 35.554 5.930 25 Maluku 2321 15.414 33.653 75.694 213.402 98.379 2.006 16.367 21.914 1.507

Jumlah 381.31 1.308.237 10.213.650 2.930.760 34.348.673 733.359 48.175 603.740 8.793.266 338.4 Persen (%) 0,70% 2,30 % 18,67% 5,36% 62,80% 1,34% 0,09% 1,10 % 6,94% 0,62% Kursi 2 10 58 24 237 7 - 3 - - Sumber : Kompas, 9 Agustus 1971 Pada pemilu 1971 NU mengumpulkan suara sebesar 10.213.650 berarti 18,6 % dari seluruh suara pemilih sebesar 54.696.887. Sebagian besar suara NU dihasilkan dari daerah pemilihan di Pulau Jawa 84,8% atau 8,66 juta dari total suara yang dihasilkan NU secara nasional. Kecuali Masyumi, partai-partai lain dalam pemilihan umum tahun 1955 umumnya tidak berbeda dengan NU, mayoritas suara mereka berasal dari Pulau Jawa, PNI 72,9% atau 5,96 juta dan 47

PKI 89,8% atau 5,46 juta. Suara Masyumi berimbang antara suara yang dihasilkan Pulau Jawa dengan pulau-pulau luar Jawa. Di Pulau Jawa Masyumi mengumpulkan suara 51,6% atau 4,05 juta dari total suara 7,9 juta. Keadaan ini hampir tidak berubah dalam pemilihan umum 1971 kekuatan PNI di Pulau Jawa menghasilkan suara 82,9% atau 3,14 juta, berarti ada kenaikan sebesar 10% disbanding tahun 1955, sementara Parmusi memperoleh suara 50% atau 1,47 juta tahun 1971 berasal dari pulau Jawa. Dalam pemilihan umum 1971 Golkar menghasilkan suara 62% atau 21,29 juta berasal dari Pulau Jawa. Angka-angka ini memperlihatkan selama dua kali pemilihan umum 1955 dan 1971 perolehan suara NU hampir tidak berubah sebagian terbesar 84,7% (1955) dan 84,8% (1971) berasal dari Pulau Jawa. Jika dibandingkan total suara nasional antara NU dengan Masyumi dalam pemilihan tahun 1955, NU menghasilkan suara sebesar 18,4% atau 6,95 juta sementara Masyumi 20,9% atau 7,9 juta. Ini berarti ada selisih 2,5% suara NU lebih kecil. Akan tetapi setelah suara itu didistribusikan dalam jumlah kursi yang dihasilkan, kursi yang diperoleh NU turun lebih tajam yaitu NU mendapat kursi 45 (17,5% dari total kursi 257), sementara Masyumi mendapat 57 kursi (22,2% dari total kursi 257), selisih berubah menjadi 4,7% NU lebih kecil dibanding kursi Masyumi. Kenaikan jumlah kursi Masyumi dibanding perolehan suara nasional berasal dari suara yang didapat di daerah luar pulau Jawa yang bilangan pembagi pemilihannya (BPP) lebih kecil dibanding BPP pulau Jawa, di daerah mana Masyumi mengantongi suara 48,4% dari total suara nasional yang didapatnya. Presentase suara Masyumi di luar pulau Jawa membawa keuntungan kenaikan jumlah kursi yang didapat. Sebagian besar partai-partai politik kecuali NU tampil sangat buruk dalam pemilu. PNI misalnya, yang mendapatkan 22,3 % suara (54) kursi dalam pemilu 1955 hanya meraih kurang dari 7% suara. Hal ini disebabkan karena pegawai-pegawai negeri yang memberikan suaranya untuk PNI masa lalu, mengalihkan suaranya untuk Golkar pada pemilu 1971. Suara pegawai negeri begitu penting karena jumlah mereka sangat banyak dan sangat berpengaruh dalam menentukan perilaku penduduk pedesaan dalam pemilihan. PNI di masa lalu mampu memperoleh jumlah pemilih yang sangat besar karena 48

diidentifikasikan sebagai partai pegawai negeri. NU bisa mempertahankan presentasenya seperti yang diraih pada 1955, karena sebagai partai ulama yang mendapat dukungan dari komunitas keagamaan dan bukannya dari pegawai negeri (Ali Moertopo, 1973: 411). Perolehan hasil suara Golkar jika dibandingkan dengan sembilan partai lainnya yang digabungkan dalam dua kelompok yaitu Kelompok Persatuan Pembangunan (PSII, NU, Parmusi, Perti) dan Kelompok Demokrasi (Partai Katolik, Parkindo, Murba, PNI, IPKI), dapat dilihat pada table berikut ini :

49

Tabel 2. Perbandingan Jumlah Suara Kelompok Demokrasi Pembangunan, Kelompok Persatuan Pembangunan & Golkar Pada Tahun 1971 No Daerah Kelompok Persatuan KelompokDemokrasi Golkar Tingkat I Pembangunan Pembangunan

1. D.I. aceh 465.791 17.659 483.085 2. Sumut 403.856 357.670 1.786.028 3. Sumbar 385.623 28.069 761.165 4. Riau 138.125 16.213 515.505 5. Sumsel 425.068 103.641 685.732 6. Jambi 48.177 6.392 408.351 7. Bengkulu 34.319 4.202 154.805 8. Lampung 263.022 70.007 869.894 9. Jabar 2.480.683 421.194 7.525.797 10. Jakarta 535.713 486.226 912.400 11. Jateng 2.954.571 2.204.506 5.14.182 12. DIY 269.716 176.154 736.493 13. Jatim 4.896.890 126.856 8.843.077 14. Kalbar 155.371 115.175 532.836 15. Kalteng 54.871 7.169 200.561 16. Kalsel 270.388 9.351 516.402 17. Kaltim 99.057 49.587 150.146 18. Sulut 177.448 127.312 472.974 19. Sulteng 80.487 17.901 326.379 20. Sultengg 19.767 6.366 316.047 21. Sulsel 472.517 71.679 1.970.501 22. Bali 23.842 156.583 569.404 23. NTB 261.145 57.028 736.801 24. NTT 35.959 406.499 706.557 25. Maluku 127.082 140.173 213.402 Sumber : Kompas, 9 Agustus 1971 50

Pada pemilu 1971 partai-partai yang kemudian tergabung dalam PPP memperoleh suara yang cukup besar di Jawa yang meliputi Jawa Barat berhasil meraih 2.480.683 suara, Jawa Tengah meraih 2.954.571 suara dan di Jawa Timur berhasil meraih 4.896.890 suara. Sedangkan di Maluku partai-partai yang kemudian tergabung dalam PDI berhasil meraih 140.173 suara. Begitu pula di propinsi Nusa Tenggara Timur berhasil meraih 406.499 suara dan di Jawa Tengah berhasil meraih 2.204.506 suara. Sementara itu, Golkar berhasil meraih suara yang cukup besar di propinsi Jawa Timur dengan perolehan 8.843.077 suara, di Jawa Barat berhasil memperoleh 7.525.797 suara, di Sulawesi Selatan berhasil meraih 1.970.501 suara dan di Sumatera Utara berhasil meraih 1.786.028 suara. Golkar unggul dibeberapa daerah kecuali di propinsi Sumatera Selatan yang diungguli oleh PDI dengan perolehan 103.641 suara dan di jawa Tengah yang di ungguli oleh PPP dengan perolehan 2.954.571 suara. Golkar unggul disemua daerah. Sedangkan urutan kedua adalah Kelompok Persatuan Pembangunan kecuali di Maluku, NTT dan Bali. Kelompok Demokrasi berhasil memperoleh suara terbesar di kedua daerah tersebut karena penduduknya mayoritas Kristen, sedangkan di Bali lebih pada kuatnya unsur-unsur nasionalisme daripada agamanya. Perti dan partai kecil lainnya yang kalah dalam pemilu, yakin bahwa pemerintah tentunya masih memberi kesempatan bagi partai-partai tersebut dalam pemilu yang akan datang. Bagi Perti, kemenangan Golkar di luar dugaan, dengan perolehan hasil yang besar mendorong Perti melakukan koreksi diri atas kegagalannya dan menentukan langkah-langkah yang sebaik-baiknya untuk menghadapi pemilu 1977, walaupun dalam wadah partai yang baru (Kompas, 6 Juli 1971). Sedangkan Partai Murba merasa kecewa terhadap hasil perolehan suara diberbagai daerah. Jumlah suara yang diperoleh jauh lebih sedikit dibanding anggota yang terdaftar. Meskipun begitu, partai Murba tetap bersikap bijaksana dengan melaksanakan perjuangan aspirasi sosialisme di Indonesia dengan kepemimpinan Soeharto. Tanggapan partai Murba terhadap kemenangan Golkar merupakan kemenangan kekuatan yang berjuang untuk menegakkan Pancasila, UUD 1945, politik luar negeri bebas aktif anti penjajahan serta untuk 51

pelaksanaan pembangunan mewujudkan masyarakat adil dan makmur (Kompas, 17 Juli 1971). Pada pemilihan umum 1971, partai pemerintah, Sekber Golkar, memenangkan 227 kursi. Bersama dengan 100 anggota yang diangkat pemerintah, pemerintah memiliki sekitar 327 suara dari 460 kursi yang tersedia. Karena proporsi suara pemerintah yang besar sekali, Sekber Golkar dapat mengusulkan dan menyetujui sebagian besar rancangan Undang-undang. Dalam rangka mengawasi DPR, tidaklah cukup untuk hanya bersandar pada anggota-anggotanya yang diangkat. Pemerintah harus menempatkan wakil-wakilnya di DPR melalui pemilihan umum berkala. Untuk menjamin kemenangan Sekber Golkar dalam pemilu-pemilu mendatang, pemerintah bermaksud memperbaiki Sekber Golkar untuk membuatnya lebih efektif (Leo Suryadinata, 1992: 48). Kemenangan Sekber Golkar dalam pemilu 1971 merupakan bukti perkiraan-perkiraan yang telah dapat diperhitungkan sebelumnya, satu dan lain hal karena rakyat yang selama ini telah dikecewakan oleh partai-partai politik benar-benar menaruh harapan pada Sekber Golkar (Al Moertopo, 1974: 82). Strategi politik berkenaan dengan pembinaan kehidupan kepartaian melihat bangsa sebagai satu kesatuan politik yang terdiri dari lembaga-lembaga politik yang mebentuk mekanisme politik nasional dan masyarakat pada umumnya yang menjadi penunjang kehidupan kelembagaan tersebut. Pembinaan kehidupan kepartaian, keormasan dan kekaryaan dijadikan sebagai pengarahan bahwa golongan yang satu melihat golongan yang lain sebagai partner berdemokrasi dan partner membangun. Pengelompokan partai-partai merupakan bagian pelaksanaan diktum ini (Ali Moertopo, 1974: 76). Dengan kemenangan Golkar dalam pemilu, presiden Soeharto mengajukan berbagai Rancangan Undang-undang (RUU) partai politik dan Golkar dibahas di DPR. Rancangan Undang-undang (RUU) ini pertama kali diajukan pada tahun 1968 bersama –sama denga RUU pemilu (kemudian disebut RUU partai politik, Oganisasi Massa,dan Golongan Karya) tetapi gagal dibahas karena dilihat oleh partai-partai politik, yang masih mempunyai pengaruh yang kuat, sebagai restrukturisasi sistem politik yang merugikan. Hanya setelah pemilu 1971, dengan kemenangan Golkar yang 52

luar biasa dan menguatnya pengaruh militer di parlemen, restrukturisasi partai- partai politik menjadi kenyataan. Restrukturisasi partai-partai politik dipandang oleh partai-partai politik sebagai cara untuk memperlemah posisi partai-partai politik, karena dengan menghimpun partai-partai yang berbeda dalam suatu wadah, hal itu akan menimbulkan perpecahan didalam partai baru itu. Pemerintah menolak dan anggapan ini dan menyatakan bahwa restrukturisasi dimaksudkan untuk menciptakan partai-partai politik yang lebih efektif dan mengurangi perbedaan (Leo Suryadinata, 1992: 79).

3. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik Fusi partai politik tidak berarti matinya partai politik. Sebaliknya, justru merupakan pertumbuhan baru partai-partai politik kearah yang lebih sehat dan kuat serta menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri, bahwa demokasi yang sedang ditumbuhkan telah ditemukan makna rasa tanggung jawab dan kepentingan bersama dan pembangunan. Keinginan rakyat adalah pembangunan disegala bidang termasuk pembangunan dari pembaharuan kehidupan politik. Dalam rangka pembangunan jumlah partai-partai politik yang banyak, semua partai politik harus berpijak pada ideologi nasional pancasila. Semua partai politik sebagai penegak-penegak demokrasi ingin mencapai tujuan-tujun politiknya dengan cara damai dan demokrasi. Oleh karena itu perbedaan yang memang ada soal titik berat perhatian pada salah satu segi pembangunan dan penentuan cara tepat untuk mencapainya (Kompas, 27 Februari 1973 ). Strategi pemerintahan Orde Baru dalam rangka melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah dengan strategi yang diperkenalkan sebagai trilogi pembangunan. Trilogi pembangunan terdiri dari: (1) Terciptanya stabilitas politik yang mantap, yang memungkinkan kelangsungan jalannya pembagunan nasional; (2) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi; (3) Pemerataan hasil pembangunan untuk memenuhi prinsip keadilan sosial. Intensitas kehidupan politik dan konflik ideologi yang tinggi diera Orde Lama dinilai tidak kondusif bagi jalannya pembangunan bangsa, oleh karena itu diperlukan pembaharuan atau penyederhanaan sistem politik. Hal ini dilakukan 53

dengan penyederhanaan jumlah partai. (http://id.wikipedia.org/wiki/trilogi pembangunan diakses tanggal 19 April 2010). Program fusi partai merupakan wujud konkret kecenderungan pemerintah Orde Baru dalam hal perampingan sistem kepartaian dan pembatasan jumlah partai untuk tujuan mengamankan program stabilisasi. Disamping itu, program fusi ini juga merupakan salah satu langkah sistematis dari penguasa Orde Baru untuk membangun sebuah model menejemen politik yang dianggapnya berdaya dukung bagi upaya stabilisasi dan mengamankan pembangunan ekonomi berorientasikan pembangunan (Eep saefulloh F, 2000: 194). Sedangkan menurut Mahrus Irsyam (1984: 49-50), fusi partai ini memiliki tiga tujuan. Pertama, penggantian lembaga politik lama khususnya partai politik dengan lembaga politik baru atau partai politik baru. Kedua, menghendaki pembatasan yang tegas antara pelembagaan peran di wilayah politik dengan non politik. Ketiga, perubahan nilai dan norma dengan nilai dan norma baru. Pemilihan umum 1971 telah menampilkan kekuatan politik baru dengan kemenangan Golkar. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan tahun 1971 secara tegas menyatakan bahwa dalam pemilihan umum tahun 1977 hanya ada tiga peserta. Pada tahun 1973 semua partai politik menganggap sudah tiba untuk menuju pada peleburan atau fusi partai. Bukan lagi untuk mengelompok tetapi sebagai satu kesatuan wadah kegiatan politik (Manuel Kaiseipo, 1981). Realisasinya adalah sembilan partai yang disederhanakan menjadi dua partai, disamping adanya golongan Karya. Pertama, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berasaskan spirituil sebagai fusi dari partai Islam Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Parti Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti) yang tadinya bergabung dalam kelompok Persatuan Pembangunan. (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 70). Struktur kepemimpinan PPP diusahakan dapat menampung partai pendukung secara proporsional dengan pertimbangan kekuatan dalam pemilu 1971. oleh karena itu, NU paling dominan dalam posisi pengurus PPP. (Affan Gaffar Karim, 1995: 69). Hampir semua jabatan penting dan strategis dalam kepengurusan PPP diduduki oleh orang-orang NU. Dominasi NU yang besar ini 54

merupakan konsekuensi perimbangan kekuatan dari hasil pemilu 1971, yang membuktikan bahwa NU paling banyak menjaring suara disebanding tiga partai Islam lainnya yang ikut berfusi (Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, 1992: 49). Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP sebagai berikut (Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 1973) : Ketua Umum : H.M.S. Mintaredja, SH Wakil Ketua Umum : H. Nurdin Lubis Ketua I : Drs. H.T.M. Gobel; Nur Hasan,; KH. Syarifuddin Zuhri; J. Naro, SH; H. Imam Sofyan. Sekretaris Jendral : Yahya Ubeid, SH Wakil Sekretaris Jendral : Drs. M. Husni Thamrin; Yudo Paripurno, SH; H. Mahmub Djuaidi; Drs. Darussamin AS; H.A. Chalid Mawardi. Anggota : M. Yusuf Hasyim; dr. Sulastomo; Djohan Burhanuddin, SH ; Rusnaizur; H.M. Dahrif Nasution; Ismail hasan; Mutareum, SH; Ishakmoro; Ali Hanafiah; Wahid Hasyim; Drs. Soedardji; Achmad Daenuri; Amir Husein; Zen Badjuber; m. Fachrurrozi; Dra. Syamsiah Nur Adnues; Muh. Hartono BA; Chalidjah Razak; Drs. A. Chalid Ali; Anshor Syams. Majelis Pertimbangan Pusat : Ketua Umum : KH. Manskur Wakil Ketua Umum : Drs. MA. Gani, MA Ketua : Djadil Abdullah; T.M. Saleh; Drs. Syahmanap. Anggota : K.H. Gozali; Ali Tamin, SH; HM. Munasir; Ismil Mokonbombang; 55

Mahmudah mawardi; Syahkawi Mustafa; H.A. Muip Ali. Majelis Syuro : K.H. Bisri Syamsuri; K.H. Dachlan; K.H. Moh Syafei Wirakoesoemah; K.H. Rusli A. Wahid; K.H. Balya Umar; K.H Zaeni Mifbah; K.H. Syuhairi Chatib; K.H. Aiz Halim; K.H. Mustafi Jusuf; K.H. Achmad Sidiq; Dr. Muhibuddin Wali; K.H. Misbah; K.H. Aini Chalik; K. H. Usman Abidin. Golongan Karya (Golkar) yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang aspirasi politiknya belum tersalur lewat partai-partai yang ada (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 71). Hasil pemilu 1955 menempatkan PKI sebagai pemenang keempat. hal ini menyebabkan posisi PKI menjadi semakin dominan. Sejak tahun 1957 PKI meningkatkan ekspansi politiknya yang sangat agresif. Di kalangan masyarakat Masyumi sebagai kekuatan pengimbang terhadap PKI menjadi semakin lemah kedudukannya secara politis. Apalagi setelah Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960. selain itu, gagasan Nasionalis Agama Komunis (Nasakom) yang dicanangkan Soekarno diterapkan secara maksimal oleh PKI. Seluruh kelembagaan politik yang dibentuk didominasi oleh PKI (Ridwan Saidi, 1993: 3). Untuk mengimbangi pengaruh PKI, TNI-AD mendukung munculnya organisasi- organisasi yang akan melaksanakan program-program yang akan melaksanakan program-program yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Dalam periode ini gerakan golongan-golongan fungsional seperti buruh, tani, nelayan, pemuda, wanita dll. Yang semula berasal dari organisasi massa (Ormas) partai politik, menyatakan diri sebagai organisasi fungsional. Organisasi ini kemudian membentuk organisasi fungsional dalam Pengurus Besar Front Nasional (PBFN). Maka lahirlah organisasi fungsional Sentral Organanisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) yang dipelopori oleh perwira- perwira TNI-AD. Pada tahun 1963, atas prakarsa Djuhartono dan Drs. Imam 56

Pratignyo dibentuk Musyawarah Kekaryaan Indonesia (MKI) untuk mempersatukan seluruh oganisasi fungsional dalam satu wadah namun belum pernah terwujud dalam bentuk organisasi. Kemudian pada tahun 1964 atas restu Jendral A.H. Nasution selaku Wakil Ketua PBFN, oleh Djuhartono (Brigjend), Mukito (Kol), Sutjipto, SH.(Brigjend) dan Mashuri, diubah ide pembentukan satu organisasi tunggal MKI menjadi satu forum koordinasi bernama Musyawarah Kerja Kekaryaan Indonesia (MKKI). Tetapi organisasi ini hanya hanya berumur beberapa bulan saja dan mejadi beku kegiatannya.Belajar dari pengalaman ini, maka pada bulan Oktober 1964 diadakan suatu pertemuan untuk menghidupkan usaha koordinasi diantara golongan-golongan fungsional dalam Front Nasional. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh sembilan orang yang kemudian dikenal dengan nama Panitia 9 dengan anggota : Brigjend Djuhartono, Drs. Imam Pratignyo, J.K. Tumakaka, Dominggos Nanloby, Pandu Kartawiguna, Kol. Dr. Anwar Rasyid BA. Mereka menyiapkan penyusunan “ Pernyataan Dasar Karyawan” , yang ditandatangani oleh Panitia 9 dengan organisasi-organisasi karya pendukung yang terdiri dari 35 organisasi golongan karya non-afiliasi pada tanggal 19 Oktober 1964. Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1964, diadakan pertemuan dengan organisasiorganisasi golongan non-afiliasi dengan hasil menyetujui didirikannya Sekber Golkar dan berhasil mengesahkan Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang telah disiapkan oleh Panitia 9 (Andreas Pandiangan, 1996: 29-30). Organisasi-organisasi pendiri Sekber Golkar adalah sebagai berikut : 53 organisasi serikat buruh yang disponsori militer dan organisasi pegawai Negeri, (Soksi, Serikat Sekerja Bank Indonesia dan Serikat Sekerja Dalam Negeri), 10 Organisasi kelompok cendekiawan (ISIE, ISI), 10 organisasi Pelajar & Mahasiswa (Gerakan TP, Pemuda Muhammadiyah, Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia), 4 organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 5 Organisasi Wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi petani dan nelayan dan organisasi lainnya (Leo Suryadinata, 1992: 54). Setelah kemenangan Golkar dalam pemilihan umum 1971, Sekber Golkar melalukan reorganisasi lainnya (para pengurusnya menyebut konsolidasi) dan namanya secara formal disingkat 57

menjadi Golkar berdasarkan keputusan Mandataris Ketua Umum Sekber Golkar Sukowati No. 101/VII/Golkar/1971 tentang struktur organisasi dan Susunan Personalia Dewan Pimpinan Golkar Pusat. Sebuah publikasi Golkar menyatakan bahwa presiden Soeharto telah dimintai saran tentang reorganisasi itu melalui Letjen Darjatmo yang kemudian menyampaikan petunjuk Soeharto kepada Golkar. Hal ini berarti bahwa Soeharto juga ikut terlibat dalam proses itu (Andreas Pandiangan, 1996: 32-33). Pada tanggal 17 Juli 1971, struktur dan komposisi Golkar yang baru terbentuk. Golkar terdiri dari sebuah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang merupakan badan eksekutifnya. Tujuh belas orang, termasuk pejabat militer jajaran atas, para teknokrat, cendekiawan pro pemerintah, dan ketua-ketua Kino, menjadi anggota-anggota Dewan Pembina. Pada saat itu, Dewan Pembina secara teoritis hanya menjadi penasehat, dan pengangkatan ketua-ketua Kino itu mengidikasikan bahwa mereka digeser ke atas. Dewan Pimpinan Pusat terdiri dari Mayjen Sukowati sebagai Ketua Umum, dan Kolonel Amir Murtono sebagai Ketua. Setelah pengaruh ketua-ketua Kino dikurangi, kelompok Soeharto di dalam dan di luar Hankam, terutama kelompok Moertopo, hampir mendominasi DPP karena banyak dari mereka yang muncul dari Bapilu. Di bawah Moertopo, terdapat enam anggota: Kolonel Moedjono, SH (Soksi); Martono (Kosgoro); Kolonel Malikus Suparto(Kokarmendagri); Drs. Sumiskum (Bapilu), Cosmas Batubara (Bapilu); dan david Napitupulu (Bapilu). Sekretaris Jenderal Brigjen Sapardjo (Bapilu), dibantu oleh tiga wakil : Moerdopo (Bapilu); Kolonel Sapardjo (Kokarmendagri), dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie, Bapilu). Disamping jabatan-jabatan diatas, ada lima sekretaris bidang yang ditugaskan diberbagai sektor (Leo Suryadinata, 1992: 50) . Peranan Golkar yang penting setelah pemilihan umum 1971 pada bulan Maret 1972 Golkar menyelenggarakan Rapat kerja (Raker) ke I yang selain menetapkan pogram-program intern organisasi juga telah menggariskan konsepsi dan langkah-langkah dalam menghadapi Sidang Umum MPR 1973 yang merupakan batu ujiannya yang pertama setelah memperoleh legalisasi masyarakat. Garis-garis perjuangan itu adalah : (1) dibidang ideologi, yakni memperkuat 58

kedudukan pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara; (2) dibidang politik, yakni (a). menetapkan kehidupan demokrasi Pancasila; (b) mengembalikan fungsi lembaga-lembaga tinggi negara sesuai dengnaan UUD 1945; (c) mendorong pembaharuan struktur politik dengan menyederhanakan kepartaian dan kekuatan sosial-politik; (d) mengubah pola orientasi ideologi menjadi orientasi program berdasarkan fungsional dan professional; (e) turut menyempurnakan terus aparatur negara untuk mencapai pemerintahan yang kuat dan bersih; (3) dibidang ekonomi, yakni (a) membuang slogan-slogan dan menggantikannya dengan perbaikan ekonomi dan pembangunan yang nyata; (b) membuka pintu bagi modal asing yang bersifat melengkapi guna menumbuhkan kekuatan ekonomi;mendorong (c) mengadakan kerjasama ekonomi dengan semua atas dasar saling menguntungkan; (d) mendorong usaha-usaha swasta, terutama ekonomi lemah, untuk berkembang; (4) di bidang kemasyarakatan, yakni (a) mengahapuskan fanatisme golongan, ideologi, agama dan kesadaran nasional yang chauvinisme serta mengusahakan hidup rukun diantara umat beragama dan penganut kepercayaan terhaap Tuhan Yang Maha Esa; (b) mengarahkan pembaharuan sistem pendidikan yang berorientasi pada pembangunan (c). memanfaatkan sumbangan positif unsur- unsur kebudayaan baik dari daerah maupun dari luar negeri guna memupuk kebudayaan nasional yang sehat; (5) dibidang Hankam, yakni mengukuhkan dwi- fungsi ABRI dalam mengemban tugasnya sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan Golkar adalah untuk menghidupkan dan memumbuhkan kesatuan profesionil melalui pembentukan wadah-wadah profesi atau yang bersifat fungsional yang secara langsung akan menggarap masalah-masalah pembangunan dan dipihak lain Golkar harus menjadi penyalur aspirasi kepentingan-kepentingan golongan profesi dan golongan fungsionil untuk diperjuangkan dalam tataran politik nasional. Jalan pikiran ini dianut sebagai dasar pengaturan kerja. Dengan pembagian kerja dalam berbagai wadah-wadah yang baru, masing-msing dengan tugasnya yang nyata, maka diharapkan partisipasi rakyat akan semakin meluas dan meningkat dalam pembangunan bangsa dan negara (Ali Moertopo, 1974: 83) . Golkar terdiri dari tiga komponen pening yaitu (1) ABRI; (2) Pegawai Negeri; (3) 59

orang-orang sipil yang bukan anggota ABRI maupun pegawai negeri (Leo Suryadinata, 1992: 62). PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Proses penyederhanaan partai politik yang tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan di tingkat pusat berlangsung selama tiga tahun yakni tahun 1970 sampai dengan tahun 1974. Proses fusi partai itu sangat sulit bukan saja memadukan asas dan program tetapi memadukan personalia pemimpinnya, hal itu merupakan salah satu faktor yang menghambat proses fusi. Faktor lain yaitu keengganan, kelambanan dan pertentangan diantara mereka sendiri (Kompas, 8 Januari 1973). Akhirnya karena tekanan dari atas fusi berhasil dilaksanakan dan resmi menjadi PDI pada tanggal 10 Januari 1973. PDI yang mempunyai corak Nasionalis-Materialis merupakan fusi dari lima partai yaitu : PNI (Partai Nasional Indonesia), Partai Katholik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Partai Murba dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Dalam Konferensi Pers yang dihadiri seluruh pimpinan partai, Drs. Beng Mang Reng Say yang memimpin Konferensi Pers itu menyatakan bahwa fusi partai yang dideklarasikan itu merupakan hasil klimaks dari proses penyederhanaan yang telah dijalani oleh kelima partai politik selama tiga tahun. Pada awal deklarasi dicantumkan bahwa pembentukan PDI itu adalah dalam rangka pembaharuan struktur dan kehidupan politik menuju kearah sistem kepartaian yang terbuka untuk semua warga negara tanpa pebedaan suku, keturunan dan agama. Hal ini sesuai dengan pasal-pasal Ketentuan Pokok Kelompok Demokrasi Pembangunan dan sesuai dengan TAP. MPRS No. XXII /MPRS /1966. Deklarasi pembentukan PDI memuat empat diktum pokok (Kompas, 12 Januari 1973) : a. Memfusikan diri dalam satu kelompok wadah kegiatan politik yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. b. Mengubah nama kelompok Demokrasi pembangunan menjadi Partai Demokrasi Pembangunan. c. Membentuk tim untuk menyusun rencana Anggaran Dasar, struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan dalam hubungan dengan pelaksanaan fusi tersebut. 60

d. Penyelesaian hal-hal kerumah tanggaan masing-masing partai dalam rangka fusi akan diatur sebaik-baiknya oleh setiap partai yang bersangkutan sesuai dengan norma organisasasi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mengenai perubahan nama yang tadinya kelompok Demokrasi Pembangunan diganti menjadi Partai Demokrasi Indonesia tidak ada hambatan. Menurut MH. Isnaeni pemilihan nama itu memberikan kualifikasi identitas serta corak dari partai tersebut bukan Demokrasi Liberal atau Demokrasi Sentral melainkan Demokrasi Indonesia (Kompas, 10 januari 973). Menurut Anggaran Dasarnya, PDI adalah partai yang berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia dan berkeadilan sosial yang mencoba membangun citranya sebagai partai rakyat kecil (Prisma, No 12 tahun 1981). Pada tanggal 16 Januari 1973 Disusun pimpinan inti PDI yang terdiri dari 25 anggota Majelis Pimpinan Pusat, 11 Dewan Pimpinan Pusat yang terdiri dari 1 orang ketua umum dan 5 ketua serta 4 Sekjen dikoordinir oleh Sekjen koordnator. Dalam MPP, tiap partai yang berfusi mendapat tempat untuk 5 orang anggota, sehingga seluruh anggota MPP berjumlah 25 orang. Pimpunan MPP dipegang sekaligus oleh Pimpinan Dewan Pimpinan Pusat dan seluruh anggota inti mengirimkan instruksi untuk membentuk wilayah dan cabang PDI didaerah. Dengan adanya peleburan partai otomatis anggota dari kelima partai-partai yang berfusi belum resmi bubar dengan tebentuknya PDI, tetapi tinggal mengatur proses pembubarannya saja (Kompas, 16 Januari 1973). Susunan lengkap Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia sebagai berikut : I. Majelis Pimpinan Pusat terdiri dari 25 orang yaitu : Achmad Sukarmdidjaja, Dr. HMNM. Hasjim Ning, Andi Parenrengi Tanri, Mustafa Soepangat, WA. Valik, Drs. Ben Mang Reng Say, RG. Duriat, Palausuka, FS. Wignyosumarsono, Drs. MB. Somosir, Alexander Wenas, JCT. Simorangkir SH, Sabam Sirait, JHD. Tahamata, Drs. TAM. Simatupang, Sugiarto Murbantoko SH, John B. Andreas, Drs. Zakaria 61

Raib, Djon Pakan, Muhidin Nasution, Mh. Isnaeni, Prof. Sunawar Sukowati SH, Abdul Madjid, Drs. Hardjanto, Drs. Gowi.

II. Dewan Pimpinan Pusat Ketua Umum : Mh. Isnaeni Ketua : Achmad Sukarmadidjaja, Drs. Beng Mang Reng Say, Alexander Wenas, Sugiarto Murbantoko, Prof. Sunawar Sukowati, SH. Sekretaris Jendral Koordinat : Sabam Sirait Sekretaris Jendral : WA. Chalik, FS.Wignyosumarsono, Djon Pakan, Abdul Madjid. Secara umum fusi partai politik membawa sejumlah konsekuensi buruk bagi partai politik. Pertama, posisi partai politik begitu tergatung pada tendensi politik nasional yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya dihadapan tata politik nasional yang ada (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 88). Meskipun bagi kalangan partai politik, restrukturisasi politik dengan cara fusi dianggap melemahkan posisi partai, karena dengan menghimpun partai yang berbda kedalam suatu wadah akan timbul perpecahan didalam partai baru (Liddle, 1992: 36). Namun demikian dorongan fusi justru disambut baik oleh kalangan Islam karena dianggap baik dalam menyatukan barisan. Semangat ini tercermin dari awal pergantian nama Kelompok Persatuan Pembangunan menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Pergantian ini disambut baik oleh umat partai Islam, karena hakekat persatuan meningkatkan khidmat umat Islam sendiri. Apa yang dipersatukan hanya gerak dan langkah partai serta pelayanan keluar dari partai Islam yang ada di Indonesia (Kompas, 4 Januari 1973). Pada tanggal 6 Desember 1974 pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang partai politik dan Golongan Karya kepada DPR. Rancangan Undang-undang ini cukup penting mengingat bahwa peleburan partai- partai politik secara besar-besaran adalah untuk pertama kalinya di dalam sejarah 62

kepartaian di Indonesia, tidak terkecuali bagi partai-partai Islam meskipun aspirasi Islam menjadi jiwa dari setiap partai. Melihat sejarahnya maka partai-partai seperti Masyumi adalah partai yang dianggap pelopor dalam gerakan modern Islam di Indonesia. Sedangkan NU adalah reaksi lain di dalam Islam terhadap gerakan modernis ini. Di dalam sejarahnya misalnya tidak pernah ada masa dimana keduanya mempunyai aspirasi politik yang sama. Sedangkan Masyumi yang kemudian dihidupkan kembali dengan nama Parmusi adalah partai Islam yang tidak popular dimata pemerintah dan dibubarkan oleh Soekarno. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa didalam tubuh partai-partai yang dileburkan jadi satu dengan yang lain sukar untuk dijadikan satu begitu saja (Prisma, No. 9 tahun 1981) Kesulitan serupa terjadi pada peleburan di dalam kelompok Demokrasi Pembangunan. Di sana dicampur baur semua unsur non-Islam, dari yang Nasionalis, Kristen, Marxis dan Sosialis. Dalam hubungan itu sejak semula telah terjadi pertikaian pendapat yang sengit sejauh menyangkut identitas. Pembahasan apakah Islam, Nasionalisme yang bisa dipakai sebagai asas yang disatugariskan dengan Pancasila dan UUD 1945 atau tidak, memakan waktu lebih dari tiga bulan untuk akhirnya disetujui. Partai-partai tersebut berusaha sejauh mungkin agar asas yang menunjuk identitasnya tidak hilang begitu saja. Adanya perombakan ini di pelihara melalui berbagai cara pengendalian. Salah satu diantaranya melalui mekanisme recall, dengan mana pemimpin partai dapat mengenakan tindakan disipliner terhadap para anggotanya dari Parlemen atas kehendak pemerintah (Mochtar Mas‟oed, 1989: 64). Dengan adanya usaha ini pemerintah berharap agar didalam tubuh partai tidak terdapat benih radikalisme yang bisa menobarkan konflik yang pada akhirnya akan mengganggu program pemerintah, stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Usaha pemerintah ini juga diperkuat dengan UU. No. 3 tahun 1975, yang berharap agar partai politik dan Golongan Karya benar-benar menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas politik serta percepatan pembangunan (Amir Mahmud, 1982: 214-215).

63

B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977 Pembaharuan kehidupan politik masa Orde Baru di Indonesia memberikan dampak yang nyata bagi partai-partai politik diantaranya: a. Partai dan Golkar tidak pernah bisa menjadi oganisasi politik yang mandiri. Hal ini tercermin pada pemilihan pemimpin partai politik yang ditentukan dari seberapa besar kemauan dan tanggapan politik pemimpin partai tersebut untuk lebih patuh dan taat pada gagasan pemerintah tanpa harus mengkritisi gagasan dan program-program pemerintah. Apabila pemerintah menghadapi pemimpin partai yang berhaluan keras, kritis, maka ada kecenderungan pemerintah ikut campur dalam urusan internal partai khususnya pada masa-masa pergantian pemimpin baik dalam musyawarah atau dalam muktamar. b. Intervensi negara yang mengatasnamakan pembinaan politik berdampak pada munculnya para politisi yang memiliki cara pandang yang sama dengan pemerintah Orde Lama. c. Pengendalian yang intens melalui pembinaan politik dari kalangan militer, sehingga cara pandang dan pendekatan yang dipakai bersifat militer pula (Arif Yulianto, 2002: 217). Penciptaan jarak antara partai politik dan birokrasi menunjukkan terututupnya kesempatan bagi politisi yang berasal dari partai agar duduk atau menempati posisi dalam birokrasi pemerintahan, khususnya posisi sebagai menteri yang merupakan elit birokrasi. Posisi yang dapat diraih kalangan partai di DPR semakin kecil, sementara jumlah perolehan kursi fraksi pemerintah semakin meningkat. Fusi partai yang terjadi pada tahun 1973 membawa dampak yang cukup besar bagi pertumbuhan partai politik. Penggabungan sembilan partai menjadi dua partai “baru” sebenarnya lebih didorong oleh faktor luar, dimana adanya desakan pemerintah dan perubahan politik nasional. Kenyataan ini memberi dampak pada rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. PPP yang terdiri dari keempat unsur partai Islam (NU, Parmusi, Perti, PSII) menunjukkan bahwa persepsi agama dan pandangan politik tidak selalu sama. Begitu juga dengan PDI yang bercirikan nasionalis mempunyai perbedaan- 64

perbedaan yang tajam sehingga sejak bergabungnya kelima partai (PNI, IPKI, Parkindo, Partai Katholik, Partai Murba) sudah memendam benih-benih konflik (Suzanne Keller dalam Syamsuddin Haris, 1991: 63). Posisi yang kurang menguntungkan dirasakan oleh kalangan partai. Akibatnya, sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “akomodatif” dalam perilaku politiknya. Adapula sebagian yang lain bersikap “ radikal” dalam upaya mempertahankan ideologi. Politisi yang bersikap radikal pada umumnya tersingkir dari panggung politik. Berdasarkan kasus konflik dalam tubuh PDI dan PPP terjadi tarik-menarik dan benturan antara kepemimpinan partai yang cenderung radikal dan akomodatif. Sikap politisi yang akomodatif dapat bertahan lama, tapi tidak berarti mereka mampu mengatasi kecenderungan politik yang berlangsung. Hal ini disebabkan oleh tiga hal diantaranya: a. Politisi partai memang tidak terlibat dalam proses penataan politik. Kehadiran partai secara formal diakui, tetapi tidak menjadi bagian dalam struktur politik. Hal ini dapat dilihat pada pembuatan UU. b. Ketidakpastian arah pembangunan sistem kepartaian. Partai politik dilema oleh aturan UU yang berlaku yang membatasi ruang gerak partai dan satu sisi partai dihimbau dan diminta lebih mandiri dan diminta lebih madiri dan juga berperan aktif dalam pembangunan. Partai formal diakui sejajar dengan Golkar, tetapi tidak mempunyai hak yang sama dengan birokrasi. c. Tingkat kepekaan elit partai yang rendah terhadap arah perubahan poltik yang terjadi. Hal ini bersumber dari berkurangnya kalangan intelektual yang menjadi politisi partai. Adanya restrukturisasi politik membawa berbagai masalah internal partai. Konflik partai politik terjadi karena fusi yang dilakukan belum tuntas dan matang serta adanya perbedaan kepentingan dan ideologis. Pada umumnya konflik internal PPP dan PDI terjadi akibat persoalan ideologis, kelangkaan posisi dan sumber kekusaan dalam kepengurusan partai politik serta alienasi politik. Perbedaan yang terjadi dalam tubuh PDI dan PPP pada hakekatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat fusi. Perbedaan yang ada telah menjadi ciri 65

identitas setiap berkas partai yang tetap ada walaupun dilakukan fusi antara unsur- unsur tersebut. Hal ini akan menimbulkan perbedaan cara pandang dan cara menilai arah penataan politik yang berlangsung maupun hakekat pelaksanaan kekuasaan pemerintah Orde Baru (Syamsuddin Haris, 1991: 96). Pasca fusi keadaan PDI tidak jauh berbeda dengan PPP. Pada awal pembentukan sudah terjadi konflik antar unsur, dimana terjadi pembentukan DPD PDI Jakarta oleh eks. PNI, IPKI, Murba tanpa mengikutsertakan eks Partai Katolik dan eks Parkindo. Dalam DPD PDI juga terjadi konflik pada saat pembentukan Badan Pembina MPR 1973. Isnaeni dan Sunawar (dari eks PNI) sebagai ketua DPP PDI hasil konggres XII di Semarang, tidak mengikutsertakan IPKI dan Murba (Jurnal Ilmu Politik No. 13, 1993: 39 ). Tugas pokok PDI adalah memperjuangkan nasionalisme, demokrasi dan kerakyatan demi tegaknya Pancasila dan UUD 1945 serta pembangunan nasional yang berkeadilan sosial. Dalam pelaksanaanya, tujuan-tujuan yang sering diperjuangkan dengan ambisi kekuasaan yang berlebihan sehingga melunturkan nilai-nilai pengabdian yang diperjuangkan dan diamalkan. Namun demikian, ada pula berbagai perbedaan atau kekacauan orientasi dalam memperjuangkan tujuan PDI sehingga menimbulkan pertentangan yang sering sulit untuk dihindari. Fusi partai ini telah mengaburkan basis legitimasi identitas masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Implikasi politik pasca fusi menimbulkan pola konflik baru yaitu terjadinya perubahan sifat konflik dari antar partai sebelum fusi menjadi konflik antar unsur partai, terutama antar Partai katolik, Parkindo, IPKI, Murba versus PNI. Selain konflik diatas terjadi konflik baru yaitu terjadinya konflik anta elite PNI yang bermula dari keinginan PNI mendominasi kepanitiaan konggres, sebagaimana disepakati pada Munas PNI tanggal 2-3 Februari 1974. Sunawar Sukowati dan Isnaeni dicalonkan sebagai ketua umum DPP dan ketua umum MPP (Kacung Marijan, 1993: 30) Bagi PDI adanya fusi partai juga membawa sejumlah konsekuensi. Konsekuessi pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Konflik intern disebabkan oleh dua hal yaitu : persaingan antar unsur dan antar individu, justru konflik antar individu yang dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Konsekuensi kedua, hilangnya 66

identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda diantara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya (Arif Zulkifli, 1996: 58). Faktor-faktor yang selama ini mengikat partai dengan massa pendukungnya, menjadi terputus. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan partai sukar diharapkan berorientasi kebawah, sebaliknya lebih tergantung ke atas. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan. Saling berebut kursi sambil mendekatkan diri kepada pihak penguasa adalah konsekuansi logis dari rasa tidak perlunya pertanggungjawaban kepada anggota atau massa pendukung, yang memang tidak manfaatnya lagi. Faktor lain yang menjadi pemicu munculnya konflik dihadapkan pada sejumlah persoalan yang vital seperti masalah identitas pribadi partai dan kaderisasi (Elizabeth Sukamto, dkk, 1991: 95). Dengan latar belakang idiologi dan sejarah pembentukannya yang berbeda-beda, PDI sulit untuk menentukan identias yang cocok. Dengan terjadinya fusi partai yang berarti berakhirnya eksistensi dari partai-partai itu, maka hilanglah identitas masing- masing partai. Secara yuridis formal, PDI sebagai hasil peleburan kelima partai telah merumuskan identitas partainya. Sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasarnya yaitu berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia dan berkeadilan sosial. Tetapi ini nampak belum cukup teruji keampuhannya sebagai sumber legitimasi dan identitas partai, melalui mana PDI dapat mengidentifikasikan dirinya terhadap massa pendukungnya (Manuel Kaisepo, 1981). Usaha yang dilakukan PDI untuk lebih memperjelas identitas partainya misalnya dengan mengangkat kembali atribut-atribut yang pernah dipakai oleh PNI sebagai partai yang dominant dalam PDI. Dipakainya simbol banteng, warna merah dan hitam, dan dimunculkan kembali tokoh Soekarno pada saat kampanye pemilu, itu semua adalah usaha PDI untuk memperjelas identitas dan untuk menarik massa pemilihnya (Arif Zulkifli, 1996: 68). Deliar Noer dalam (Arif Yulianto, 2002) tipologi unsur PPP pasca fusi 1973 ada dua diantaranya : (a) Kelompok modernis terdiri dari Partai Muslim Indonesia (Parmusi) dan PSII, (b) Kelompok tradisional yang terdiri dari NU dan Perti. Adanya unsur-unsur tersebut fusi banyak menimbulkan konflik dalam tubuh 67

partai. PPP sering terjadi perbedaan pendapat antara partai kelompok modern dan tradisional. Kelompok modern cenderung lebih pro pemerintah, sedangkan kelompok tradisioanaldianggap radikal. Dalam rangka menunjukkan identitas Islam, PPP menggunakan simbol lambang Ka‟bah sebagai tanda gambar PPP dalam pemilu. Hal ini ditolak oleh pemerintah, campur tangan dalam ideologi partai sering dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri/ pejabat militer. Unsur utamanya adalah persoalan perombakan struktur ideologi, mentalitas dan perilaku partai politik. Pertentangan kepentingan ideologi sering menjadi ancaman bagi para aktivis partai politik (Arif Yulianto, 2002: 68). Di dalam menghadapi pemilu 1977 dalam tubuh PPP sangat kompak, kekompakan itu dapat dilihat dari berhasilnya partai menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tahun 1975. Pada munas ini disepakati bahwa rasio perbandingan jatah kursi masing- masing unsur dalam PPP untuk pemilu 1977 didasarkan pada hasil nyata perolehan kursi dalam pemilu 1971, yakni ketika masing-masing unsur masih menjadi partai yang berdiri sendiri. Konsesus yang selanjutnya dikenal dengan konsesus 1975 ini, juga menghimbau bahwa demi menjaga ukhuwah Islamiyah, maka dalam pemilu 1977 nanti pihak yang sudah besar tidak perlu menuntut tambahan kursi secara mutlak, namun hendaknya rela menyerahkan sekedar satu atau dua kursi bagi pihak yang lebih kecil (Umaidi Radhi, 1984: 103). Menjelang pemilu 1977 dalam tubuh PPP, khususnya dalam tubuh unsur NU kelihatan kompak sekali, sehingga tidak mengherankan apabila banyak warga (Islam) yang menitipkan suara politiknya kepada PPP. Dan tidak mengherankan pula karena kekompakkannya yang pada akhirnya menghasilkan kegigihan PPP dalam menghaapi pemilu 1977. (Syamsuddin Haris, 1991: 60). Kehadiran PDI secara formal disepakati adanya fusi partai politik yaitu pada tanggal 10 Januari 1973 dengan ditandataganinya deklarasi pambentukan PDI. Selama itu pula sejak terbentuknya PDI dalam perjalan politiknya selalu dihadapkan pada berbagai masalah. Selalu ada alasan untuk berbeda pendapat antar kelompok di dalamnya dan mengembangkannya sebagai sarana untuk saling pukul, saling memojokkan dan mengucilkan. Kegagalan PDI untuk membangun budaya organisasi tingkat nasional begitu transparan di mata umum sehingga bagi warga negara yang sudah 68

dewasa pemandangan yang disuguhkan PDI sangat merisaukan. PDI bisa dikategorikan gagal melakukan adaptasi terhadap situasi yang telah berubah. Kegagalan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal ini kemudian ini kemudian dimanifestasikan dalam bentuk konflik-konflik internal dalam tubuh PDI (Riswandha Imawan, 1997: 3). Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik yang sudah mempunyai tradisi dan mekanismenya, tetapi karena merupakan suatu penglompokan yang baru Golkar dapat tumbuh dengan pesat. Dengan menjadi jelasnya kehidupan politik selama proses penyederhanaan partai-partai politik itu semakin jelas peranan dan tempat Golkar. Rakyat di daerah-daerah pedesaan tidak terikat secara ketat pada organisasi- organisasi fungsionil dan profesi yang pendiriannya diprakarsai oleh Golkar tetapi tidak mempunyai ikatan formil dengan Golkar. Hal ini sesuai dengan cita-cita, disatu pihak untuk membuat partai-partai dan oganisasi politik menjadi partai dan organsasi kader dan dipihak lain untuk menumbuhkan kelompok-kelompok profesi dan fungsionil yang akan menjadi tulang punggung pembangunan (Ali Moertopo, 1982).

C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan suara pemilu 1977 Bagi Partai Yang Berfusi 1. Kampanye Pemilu 1977 Persiapan pemilu 1977 dimulai tahun 1975, pemerintah mengajukan ke DPR UU organisasi partai politik dan tata cara penyelenggaraan pemilu. Tujuan utama kedua UU tersebut adalah membatasi kemampuan partai politik untuk bersaing dengan golkar. Pembatasan gerak partai diantaranya mencegah pegawai negeri sipil bergabung dengan partai kecuali Golkar, membatasi pilihan asas ideologi partai pada UUD 1945 dan Pancasila, sehingga kedua partai tidak bisa dibedakan dengan Golkar, khususnya PPP. UU pemilu dirancang dalam rangka mempertahankan kemenangan Golkar pada pemilu 1971 (Liddle, 1992: 40). Tahun 1976, PPP mengeluarkan maklumat politik tentang dasar-dasar pendirian politik dan pembangunan menyangkut asas negara hukum, kedudukan partai 69

politik, penyelenggaraan pemilu, kesejahteraan rakyat, kerjasama internasional, politik Hankam, pola pembangunan dan peranan agama (Saifuddin Zuhri, 1981: 70). Isu tentang simbol partai dan Golkar mulai muncul menjelang pemilu 1977. PDI diharuskan mengubah rancangan aslinya dengan perisai yang mencerminkan salah satu gambar pancasila yang dapat memperkuat identifikasi partai dengan seekor banteng yang menjadi simbol PNI lama. Pertentangan juga terjadi antara PPP dan Amir Machmud sebagai ketua LPU tentang simbol Ka‟bah sebagai symbol PPP. Penolakan simbol PPP oleh Amir Machmud ditujukan untuk mengaburkan pengakuan pemilih akan sifat Islamis PPP. Pertentangan ini akhirnya dimenangkan oleh PPP, pihak LPU menyetujui simbol Ka‟bah tersebut (Liddle, 1992: 41) Kampanye pemilu dilakukan oleh Organisasi Peserta Pemilu berlangsung selama enam puluh hari mulai 24 Februari-24 April 1977 (Sinar Harapan, 23 April 1977). Minggu terakhir sebelum tanggal pemungutan suara 2 Mei direncanakan sebagai “minggu tenang”, saat ketegangan yang timbul selama kampanye mereda dan kesempatan bagi para pemilih untuk mempertimbangkan kembali pilihan mereka (Liddle,1992: 41). Semua partai (PDI, PPP, Golkar) merupakan partner agar kampanye berjalan baik dan terlaksana kompetisi yang sehat. Kontestan pemilu diberi kebebasan penuh untuk menilai pelaksaan program pembangunan. Tidak diberinya kesempatan untuk mempersoalkan pembangunan dengan segala aspeknya, kontestan pemilu cenderung untuk mencari-cari dan mengajukan program yang kurang riil atau isu-isu yang saling menjatuhkan, seperti agama, kafir, Orde Baru (Kompas, 9 April 1977). Selama masa kampanye ketiga kontestan diberi hak yang sama untuk memanfaatkan semua media komunikasi berupa pertemuan-pertemuan, rapat umum, ceramah, diskusi, film, slide, kaset maupun fasilitas RRI dan TVRI yang masing-masing diatur menurut peraturan tersendiri. Melalui media massa tersebut ketiga kontestan dapat menampaikan program masing-masing dan mengajak calon pemilih untuk mencoblos tanda gambar PPP (nomor 1), Golkar (nomor 2) dan PDI (nomor 3) pada tanggal 2 Mei 1977 (Umaidi Radi, 1984: 141). 70

Kampanye PDI dalam pemilu 1977 lebih ditekankan pada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Perjuangan PDI tidak lepas dari cita-cita bangsa Indonesia yang berusaha membebaskan dirinya dari kemiskinan, tekanan dan kebodohan yang menyelimuti hidup bangsa Indonesia (Merdeka, 19 April 1977). PDI tampil dengan membawa tema “Mengamalkan Pancasila Melalui Pembangunan Nasional” yang disebutkan bahwa PDI adalah sarana penegak Demokrasi Pancasila, pemersatu rakyat dan sarana perjuangan rakyat. Program perjuangan berisi tentang program pembangunan nasional seperti pemerataan lapangan kerja, kesempatan usaha, pembangunan pertanian dan pedesaan serta kesempatan usaha bagi rakyat (Rusli Karim, 1983: 54). Keanggotaan PDI terbuka bagi segenap warga negara RI, tanpa membedakan suku, keturunan, kedudukan atau agama. PDI merupakan sarana dan penegak Demokrasi Pancasila sehingga PDI mengemban tugas luhur untuk mempertahankan, mengawali serta mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan UU 1945. Tujuan PDI adalah mewujudkan mayarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tekad PDI adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, keadilan sosial sebagai arah harus ditegakkan dan keadilan sebagai landasan harus diletakkan dan dimantapkan. (Suara Merdeka, 7 Maret 1977). Partai Demokrasi Indonesia yang berwatak serta bercirikan Demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia dan berkedilan sosial mencoba membangun citranya sebagai partai rakyat kecil (Daniel Dhakidae, 1981: 32). Kampanye PDI di Jakarta Utara disemarakkan dengan melakukan pawai keliling becak, ojek sejauh 10 KM. Pawai tersebut dimulai di Lapangan Mini Yos Sudarso sampai Lapangan Bola Kramat Jaya. Dalam orasinya, PDI menyatakan perang terhadap koruptor, PDI menghendaki pejabat yang melakukan korupsi disingkirkan dari pemerintah Indonesia. Selain itu, dalam bidang pendidikan, pabila PDI menang alam pemilu 1977, SPP akan dibebaskan. Slogan “Hidup- hidup PDI” selalu mewarnai setiap kampanye PDI (Sinar Harapan, 5 Maret 1977). Kampanye PPP dalam pemilu 1977 menekankan tentang makna tanda gambar Ka‟bah dalam lambang PPP. Ka‟bah yang dua sisi sampingnya tegak lurus dari atas kebawah menunjukkan bahwa PPP menghendaki sama rata orang- 71

orang yang ada diatas dan bawah, yaitu antara para pemimpin dan orang-orang kecil. Kampanye yang diadakan di Lapangan Stasiun Senen Jakarta, ditekankan pada makna dari pemilu sendiri, pemilu adalah untuk rakyat, bukan rakyat untuk pemilu. Pemilu merupakan kewajiban mutlak untuk penduduk Indonesia belajar berpolitik. Slogan PPP yang sering digunakan untuk menarik simpati umat Islam adalah “Hidup-Hidup Umat Islam, Hidup Orde Baru!” dan “Cobloslah Tanda Gambar Ka‟bahYang Jelas Islam!” (Kedaulatan Rakyat, 20 April 1977). Dalam menghadapi pemilihan umum 1977, PPP sejak awal-awal kampanyenya sudah menangkap isyu agama sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya. Sasaran kampanye PPP adalah memusatkan diri pada para pemilih tradisional yaitu umat Islam yang selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam (organisasi massa Islam) atau organisasi yang bernaung dibawah organisasi pendukung PPP seperti, NU, PSII, Parmusi, dan Perti. Dalam kampanyenya Partai Persatuan Pembangunan selalu mengemukakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam. Dalam rangka menggalang pemilih tradisional inilah Kyai Bisjri Syamsuri, Rois „Aam, Ketua Umum Majelis Syuro Partai dan juga Rois „Aam Syuriah PBNU menjelang pemilu 1977 menyampaikan seruannya : “…wajib hukumnya bagi setiap peserta pemilihan umum 1977 dari kalangan umat Islam pria maupun wanita, terutama warga Partai Persatuan Pembangunan untuk turut menegakkan hukum dari agama Allah dalam kehidupan bangsa kita, dengan jalan menusuk tanda gambar Ka‟bah pada waktunya nanti” (Daniel Dhakidae, 1981: 36).

Pada pemilu 1977, PPP beruntung karena banyaknya tawaran sukarelawan juru kampanye dari orang-orang di luar partai, seperti Nurcholis Majid, Rhoma Irama dan lain-lain. PPP juga mendapat dukungan sukarelawan dari kalangan pemuda dan Mahasiswa untuk menjadi saksi di TPS-TPS pada waktu pelaksanaan pemungutan suara, terutama di kota-kota. Dengan organisasi dan keuangan yang serba terbatas PPP memasuki masa kampanye dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada. Diluar dugaan ternyata hampir seluruh 72

kampanye yang diselenggarakan oleh PPP mendapat sambutan dan bantuan spontan dari massa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: a. PPP dapat meyakinkan para pemilih tradisional kalangan umat Islam. Pimpinan PPP terlihat kompak dalam menangani semua permasalahan yang timbul. Hal ini memberikan harapan dan keyakinan bagi umat Islam baik di dalam maupun di luar partai. b. Berhasilnya para juru kampanye PPP meyakinkan bahwa PPP sebagai pewaris dan penerus sah perjuangan partai-partai Islam yang berfusi (NU, Parmusi, PSII dan Perti). c. Adanya kecenderungan dikalangan Mahasiswa dan pemuda di perkotaan untuk mengharapkan agar PPP sebagai kekuatan alternatif yang dapat mengimbangi dominasi Golkar (Umaidi Radi, 1984: 142). PPP sebagai partai gabungan partai-partai Islam mempunyai keuntungan besar dalam pemilu 1977, diantaranya: a. PPP tampil sebagai partai Islam, kekuatan Islam sebagai agama dan cara hidup mampu menarik rakyat Indonesia yang mayoritas Islam untuk masuk dalam PPP. b. PPP memperoleh sebagian struktur kader NU, satu-satunya partai yang mampu menahan serangan Golkar pada tahun 1971. Jaringan kepemimpinan NU dibangun oleh guru-guru agama yang tidak menduduki jabatan pemerintahan dan karenanya bebas dari kontrol Golkar. c. Fusi partai menghasilkan keberuntungan yang tidak sengaja, karena menjadi lebih mudah menyatukan seluruh umat Islam dibelakang PPP (Liddle, 1992: 66-67). Golongan Karya sadar benar bahwa taruhan PPP dalam Islam bisa menjadi senjata yang ampuh melawannya. Oleh karena itu, seruan tersebut dibalas dengan semacam pembelaan diri misalnya dalam spanduk-spanduk yang bertuliskan : “ Tidak benar bahwa orang yang masuk Golkar adalah kafir” Usaha Golkar tidak lain adalah mementahkan identitas dan proses identifikasi massa 73

Islam PPP. Di pihak lain Golkar berusaha keras untuk mengidentikkan dirinya dengan suatu partai yang terdiri dari manusia-manusia modern yang mengusahakan modernisasi dan pembangunan Indonesia, dan hanya golongan itu yang mengusahakan kedua tujuan tersebut. Melawan ideologis dan agama Golkar tidak punya cara lain dari pada bersandar pada pembangunan dan modernisasi (Daniel Dhakidae, 1981: 37). Golkar dalam kampanye bertekad bulat untuk mempertahankan Pancasila serta mengusahakan dengan segala daya dan upaya agar pengalaman Pancasila menjiwai segala aspek kehidupan manusia dan bangsa Indonesia. Apabila ada usaha merongrong Pancasila, maka Golkar akan tampil paling depan untuk senantiasa mengamankan pancasila (Suara Merdeka, 3 Maret 1977). Di dalam kampanyenya Golkar menyatakan selalu mengamalkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad, dibuktikan oleh Golkar dengan tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakan pembangunan yang merupakan amal sholeh dan karya nyata yang hasilnya mau tidak mau harus diakui manfaatnya bagi masyarakat Indonesia (Suara Karya, 14 Maret 1977). Beberapa slogan Golkar yang dipakai dalam kampanye yang dicantumkan dalam surat kabar atau spanduk: “Pilih Golkar: Golkar adalah tempat dimana semua warga negara dari suku manapun, dari keturunan apapun berkumpul untuk bahu membahu memikirkan dan melaksanakan pembangunan bangsa untuk seluruh Republik Indonesia” (Suara Karya, 3 Maret 1977). Pada akhir kampanye, partai politik mengalami perdebatan sengit tentang isu laporan tanda tangan saksi pada pemungutan suara. Menurut UU Pemilu, formulir harus ditandatangani oleh saksi-saksi partai politik dan Golkar setelah penghitungan suara dan pencatan suara (Liddle, 1992: 45). Pemilu 1977 berahir pada tanggal 24 april 1977, selama satu minggu dari tanggal 2 April 1977 sampai 1 Mei 1977 merupakan minggu tenang, dimana setiap OPP dilarang melakukan kampanye pemilu berupa rapat-rapat, pawai, pesta umum, penempelan poster, plakat, spanduk, tulisan-tulisan di tempat-tempat umum, serta dilarang 74

mengadakan segala macam dan bentuk pertunjukkan yang bersifat umum (Sinar Harapan, 23 April 1977).

2. Hasil Pemilu 1977 Presiden Soeharto menyerukan seluruh warga negara yang berhak memilih dan sudah terdaftar sebagai pemilih turut serta dalam pemilihan umum pada tanggal 2 Mei 1977 dengan memberikan suaranya secara sadar serta bebas tanpa paksaan dari siapapun. Pemilihan umum yang diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977 merupakan yang kedua kalinya selama masa Orde Baru. Hal ini menunjukkan bahwa Orde Baru benar-benar ingin menegakkan sendi-sendi demokrasi, sebagai pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pemilu yang diselenggarakan ini merupakan suatu sarana untuk membawakan perubahan kearah kemajuan bagi kehidupan rakyat dan negara. Disamping itu dengan melaksanakan pemilu rakyat akan dapat menyalurkan aspirasinya melalui wakil-wakilnya dan pemerintah yang dipercayainya dapat memberikan kesejahteraan yang semakin meningkat, adil dan merata bagi seluruh rakyat. Pemilu merupakan pelaksanaan hak asasi kehidupan bangsa dan negara yang demokratis yang menginginkan pemerintahan negara dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Sinar Harapan, 2 Mei 1977) Pemungutan suara dilaporkan tertib dan lancar. Jakarta dan sekitarnya termasuk Tangerang dan Bekasi aman. Diwilayah Jawa dan Nusa Tenggara juga tidak terdapat gangguan. Untuk mengamankan 3.198 TPS di wilayah Jakarta Pusat dipersiapkan sekitar 6.400 Hansip. Mereka bertugas antara lain menjaga keamanan areal TPS. Slogan “Mari Sukseskan Pemilu” selama bulan-bulan sebelum pelaksanaan pemilu menunjukkan bahwa demi kemantapan Demokrasi Pancasila, maka harus dijaga agar pemilu 1977 diselenggarakan dan diselesaikan dengan sebersih-bersihnya. Kecurangan tindakan dan penyelewengan dalam penyelenggaraan pemilu berari mengkorupsikan kepercayaan rakyat (Sinar Harapan, 3 Mei 1977). Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam menghadapi pelaksanaan pemilu ini. Oleh Kopkamtib telah dibentuk Forum Kontak Komunikasi ditingkat pusat sampai daerah yang fungsinya untuk 75

memusyawarahkan segala sesuatu yang menyangkut pelaksaaan pemilu sehingga percikan-percikan massa kampanye dapat diselesaikan dengan semangat kekeluargaan. Dalam segi penegakan hukum pada pemilu 1971 jelas sekali terlihat perhatian yang besar dari pada kontestan untuk memberi bantuan hukum tehadap anggota atau simpatisan mereka yang diajukan ke pengadilan. Pimpinan partai politik pada waktu itu membentuk beberapa team yang dikirim ke beberapa daerah untuk memberi bantuan hukum kepada anggota mereka yang dihadapkan ke meja hijau, akan tetapi pemilu 1977 ini konsistensi penegakan hukum oleh badan peradilan tidak begitu bersemarak. Dalam pemilu 1971 secara khusus diinstruksikan diadakan “Peradilan Kilat” untuk menangani perkara pemilu. Tetapi pada pemilu 1977 sebagai pengganti “Peradilan Kilat” hanya dianjurkan untuk memprioritaskan perkara-perkara yang menyangkut pelaksanaan pemilu (Sinar harapan, 4 Mei 1977). Pelaksanaan pemilu 1977 mengalami kemajuan dibandingkan tahun 1971, yaitu adanya peningkatan kesadaran rakyat dalam berpolitik. Pelaksanaan dibeberapa TPS juga berjalan baik, PDI dalam pemilu mengalami kemajuan tercermin dalam keberanian rakyat menggunakan hak pilihnya (Suara Karya, 3 Mei 1977). Sebanyak 63.495.479 orang menuju kotak suara memberikan suaranya, dari jumlah yang berhak pilih sebanyak 70.110.007 orang, yang juga berasal dari penduduk pada tahun 1977 sejumlah 128.808.106 orang. Partisipasi di dalam pemilihan umum 1977 cukup tinggi, sebanyak 90,55 % yang memilih. Dipihak lain jumlah mereka yang tidak memilih ternyata meningkat. Bilamana pada pemilihan umum 1971 yang tidak memilih adalah 5 % maka pada pemilu 1977 yang tidak memilih meningkat menjadi 9,43 % (Daniel Dhakidae, 1981: 33). Hasil sementara penghitungan suara di DKI Jakarta maupun di daerah- daerah yang disampaikan pada tanggal 2 Mei 1977 belum bisa dipakai sebagai patokan kontesan mana yang unggul. Hasil sementara DKI ditunggu langsung dari komputer pencatat diruang pola Balaikota. Hasil yang diperoleh dari LPU yang berpusat di Jalan Matraman Jakarta telah mempersiapkan tiga pesawat TV untuk bisa langsung dilihat oleh masyarakat. Sekretariat DPP Golkar menyediakan tidak 76

kurang dari tiga puluh buah pesawat atau nomor telepon untuk menerima laporan- laporan langsung hasil pemungutan suara dari kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia. Sabam Sirait, Sekjen DPP PDI menilai ada perkembangan demokrasi dikota-kota besar hal tersebut tercermin pada hasil sementara pemilu 1977. Partai politik berhasil meraih suara yang cukup banyak perkembangan demokrasi dikota- kota besar lebih baik dari pada di pedesaan. Hal tersebut disebabkan berkat adanya bantuan yang diberikan oleh generasi muda serta mahasiswa yang bermukim dikota-kota besar maupun adanya partisipasi surat-surat kabar dalam merangsang perkembangan tersebut. Menanggapi apa yang berhasil dikumpulkan oleh PDI dalam pemilu 1977, walaupun merupakan hasil sementara ada beberapa faktor PDI belum dapat secara baik terjun dalam pemilu 1977 hal ini disebabkan karena sempitnya waktu persiapan yang tidak lebih dari setengah tahun merupakan faktor yang banyak berpengaruh. Disamping itu terlalu banyak masalah intern organisasi yang harus diselesaikan sehingga PDI terpaksa lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengatasi hal tersebut. Belum mampunya PDI mengumpulkan suara lebih banyak dikarenakan adanya tekanan yang terlalu besar yang dialami oleh pemilh didesa- desa (Sinar Harapan, 5 Mei 1977). Menurut pimpinan PPP wilayah Jawa Tengah ada berbagai masalah yang menimbulkan kekalahan PPP di Jawa tengah antara lain adanya pemilih yang tidak didaftar atau walaupun didaftar tidak mendapatkan panggilan untuk ikut mencoblos. Massa PPP adalah masyarakat dari golongan menengah dan bawah. Sedikit sekali diantara mereka yang menjadi pegawai negeri. Oleh karena itu menurut Sekretaris Wilayah Ismail Abdullah massanya tidak banyak yang masuk Golkar. Jumlah suara yang diperoleh Golkar di Jawa Tengah memperoleh kemajuan yang cukup lumayan. Hal ini disebabkan karena kota-kota besar di Jawa tengah menjadi instansi maupun dinas sehingga menjadi pusat potensi Golkar. Walaupun didaerah-aerah lain seperti Cilacap, Brebes, Banyumas, Pemalang, Blora, Kudus, Pati, Boyolali, Klaten, Magelang, membutuhkan perjuangan yang cukup berat. Sedangkan bagi PDI yang potensinya terletak pada eks-massa Partai 77

Nasional Indonesia (PNI). Tahun 1971 massa PNI di Jawa Tengah meliputi jumlah 4.000.000 orang dan sebagian besar terdiri dari pegawai negeri, guru maupun pamong pradja sehingga sebagian besar masuk Golkar. Dari beberapa daerah pemilihan terdapat perubahan-perubahan angka dari yang pernah diumumkan terdahulu. Hal itu disebabkan kesalahan atau kekeliruan dalam penghitungan angka-angka oleh beberapa PPD Tingkat I yang dilaporkan kepada PPI. Sedangkan hasil-hasil yang definitif diumumkan berdasarkan hasil-hasil resmi sesuai yang diterima secara tertulis dari PPD (Sinar Harapan, 5 Mei 1977). Ketua Umum DPP Golkar Amir Murtono menjelaskan sejak semula DPP Golkar telah memperhitungkan 4 daerah yang dianggap rawan. Pada keempat daerah tersebut Golkar berusaha sekuat mungkin yaitu di daerah Aceh, DKI Jakarta, Jatim dan Maluku. Untuk daerah Aceh dinilai bahwa wilayah tersebut masyarakatnya masih fanatik Islam. Oleh karena itu apabila dalam data- data sementara hasil pemilu Golkar mengalami kekalahan dalam arti tidak menyolok namun belum merupakan hasil akhir maka diakui bahwa tanda gambar adalah faktor yang menentukan masyarakat didaerah tersebut masih menganggap ada kaitanya antara pemilu dengan agama (Sinar Harapan, 4 Mei 1977). Periode pasca pemilu merupakan masa kritik yang tajam terhadap pemerintah atas sejumlah isu yang berkaitan dengan pemilihan umum. Ketika hasil perolehan suara sementara mulai diterima, para pemimpin partai segera membuat catatan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan pemilu. Seperti laporan dari Jawa Timur disebutkan bahwa ada sekitar satu juta suara yang dinyatakan hangus (Liddle, 1922: 45). Masalah berkurangnya sekitar satu juta pemilih di Jawa Timur oleh Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mintaredja SH. Menjelaskan bahwa berkurangnya satu juta pemilih di Jawa Timur tidak hanya terdiri dari warga PPP tetapi juga para warga kedua kontestan. DPP-PPP telah mengirimkan team ke Jawa Timur untuk menyelidiki kasus tersebut. Dalam rapat DPP-PPP telah disampaikan beberapa fakta-fakta penyimpangan yang banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu diberbagai daerah. Penyimpangan-penyimpangan ini terutama banyak terjadi di Jawa Timur. 78

Di daerah tersebut lebih dari satu juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, karena tidak menerima surat panggilan memilih (tidak menerima formulir C). Sebagian dari mereka adalah warga Ka‟bah. Banyak pula perhitungan suara tidak dilakukan di TPS tetapi dihitung di Balai Desa, dengan terlebih dahulu mengangkat petinya kesana. Selain itu ada pula pemilih yang melakukan penusukan lebih dari semestinya. Di Bangkalan, Madura, rata-rata 15 sampai dengan 20 anggota PPP ditiap-tiap desa, tidak menerima formulir C. I Pasuruan rata-rata lima orang tiap desa yang tidak menerima formulir C tersebut (Sinar Harapan, 6 Mei 1977). Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyo Sudarmo telah menginstruksikan pengulangan penghitungan suara ditiap-tiap kecamatan. Untuk itu Gubernur juga meminta ketiga kontestan untuk mengirimkan saksi-saksi mereka. Hasil pertemuan dari Muspida dan partai politik atau Golkar telah didapat kata sepakat untuk menentukan kerusakan-kerusakan yang dianggap sah atau tidak sah. Berdasarkan laporan tersebut Tuban memegang rekor dalam jumlah surat suara yang hangus yaitu 31,23 persen pemilih. Didaerah itu tercatat 463.224 sedang surat suara yang sah berjumlah 318.554. Suara yang hilang 144,670 aau 31,23 persen. Diderah-daerah lain yang diatas 20 persen adalah Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan dan Situbondo masing-masing 25,86 persen, 24,5 persen, 24,3 persen, 20,22 persen. Kelima daerah tersebut dikenal dengan daerah yang dimenangkan oleh PPP. Lima daerah lainnya yang dimenangkan oleh PPP dan termasuk dalam surat suara yang hangus adalah Bondowoso 19,86 persen, Kabupaten Probolinggo 18,46 persen, Kabupaten Pasuruan 15,69 persen, Kabupaten Gresik 15,43 persen dan Kodya Pasuruan 15,37 persen. Kabupaten-kabupaten di Jawa Timur yang surat suaranya diatas angka rata-rata 16, 10 persen adalah Kabupaten Mediun 18,75 persen, Lumajang dan Jember masing-masing 17,12 persen, Banyuwangi 17,35 persen, Ponorogo 17,12 persen dan Kabupaten Mojokerto 16,13 persen, prosentase terkecil adalah Kabupaten Bojonegoro yaitu 10,29 persen jumlah tersebut dari 528.315 pemilih, surat suara yag sah 473.944 suara sedangkan yang hangus 54.371 suara. Di Kotamadya sendiri 11 persen surat suara 79

hangus yaitu dari jumlah 928.984 pemilih tidak ada satupun daerah daerah pemilihan tingkat Kabupaten Jawa Timur yang mencapai dibawah 10 persen. Angka-angka ini dibuat berdasarkan surat suara yang masuk dari tiap kabupaten untuk DPR pusat (Sinar Harapan, 8 Mei 1977). Pengumuman perolehan hasil suara disaksikan oleh pimpinan partai politik dan Golkar, pimpinan DPR/MPR, ketua dan anggota Komisi II DPR, beberapa Menteri Kabinet Pembangunan, Pimpinan Lembaga Pemerintahan dan ABRI, para Gubernur seluruh Indonesia serta saksi dari pada ketiga kontestan. Hasil dari perolehan suara diharapkan pihak-pihak kontestan tetap saling pengertian dan menghormati hasil tersebut. Berikut Daftar Pembagian Kursi Hasil kursi Pemilu Anggota DPR Tahun 1977:

80

Tabel 3. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 di Indonesia Jumlah Kursi Yang Diperoleh Tiap Daerah Jumlah Suara Yang Diperoleh Tiap Organisasi No. Organisasi Pemilihan PPP GOLKAR PDI Jumlah PPP GOLKAR PDI 1 D.I.Aceh 641.256 460.992 17.390 1.119.638 6 4 - 2 Sumut 706.289 2.112.550 359.937 3.178.776 4 12 2 3 Sumbar 460.024 942.752 14.825 1.417.601 5 9 - 4 Riau 270.374 504.724 21.922 797.020 2 4 - 5 Sumsel 713.310 833.804 126.437 1.673.551 4 5 1 6 Jambi 93.797 500.091 5.062 598.950 1 5 - 7 Bengkulu 59.676 208.684 4.627 272.987 1 3 - 8 Lampung 525.527 1.055.525 125.755 1.706.807 2 5 1 9 Jabar 3.413.310 7.825.728 620.462 11.959.500 14 33 3 10 Jakarta 1.085.069 980.452 430.905 2.496.426 5 5 2 11 Jateng 3.082.757 5.735.376 2.080.580 10.898.716 15 27 10 12 D.I.Y 304.510 741.611 264.671 1.310.792 1 4 1 13 Jatim 5.230.707 8.538.502 741.276 14.510.485 21 35 3 14 Kalbar 218.474 689.376 93.028 1.000.878 1 5 1 15 Kalteng 106.361 278.916 13.999 399.272 2 4 - 16 Kalsel 417.590 419.095 8.554 845.239 5 5 - 17 Kaltim 162.621 261.520 34.958 459.099 2 3 1 18 Sulut 165.026 682.484 88.937 936.447 1 4 1 19 Sultengah 102.552 421.749 7.481 531.782 1 3 - 20 Sulteng 12.791 393.521 3.161 409.473 4 - 21 Sulsel 391.420 2.379.834 22.484 2.793.738 3 20 - 22 Bali 19.318 1.002.143 152.475 1.173.936 7 1 23 NTB 398.234 624.900 63.842 1.086.976 2 4 - 24 NTT 25.451 1.182.116 101.816 1.309.383 11 1 25 Maluku 115.694 436.910 55.403 608.007 1 3 - 26 Irian Jaya 21.353 436.742 44.770 502.865 8 1 Jumlah 18.743.491 39.650.097 5.504.757 63.998.344 99 232 29 Sumber: Suara Karya, 9 Juni 1977 . 81

Perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 turun. Golkar memperoleh suara 62, 11 %, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971. Golkar mengalami kemrosotan dalam mengumpulkan kursi sedangkan dibeberapa daerah mengalami kenaikan. Di daerah pemilihan di Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya, mengalami pengurangan jumlah kursi. Sedangkan di Sulawesi Selatan dan Maluku Golkar mengalami kenaikan jumlah kursi (Sinar Harapan, 9 Juni 1977). Pada pemilu 1977 suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar. Perbandingan suara PPP dan Golkar di Daerah Aceh adalah 641.256 : 460.992. Perolehan kursi PPP di Daerah Istimewa Aceh menjadi 6 kursi sedangkan Golkar turun menjadi 4 kursi. Kemenangan PPP di Daerah Istimewa Aceh sudah dapat diduga karena penduduknya yang mayoritas beragama Islam banyak memilih PPP. Sedangkan kemenangan PPP di DKI Jakarta mempunyai perbandingan suara 1.085.069 (PPP) : 980.452 (Golkar). PPP menang pada masyarakat pinggiran kota Jakarta yang juga merupakan masyarakat Islam. Sejak pemilu 1955, DKI Jakarta merupakan daerah basis partai-partai Islam yang memperoleh 45 % suara. Kekalahan Golkar di Jakarta dikarenakan tidak maksimalnya penggunaan metode-metode represif dalam kampanye yang bisa dilakukan di daerah. Hal ini karena faktor penduduk kota Jakarta sendiri yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat mempunyai kemampuan dalam menilai dan memilih partai politik (Liddle, 1992: 47). Sedangkan menurut Riswandha Imawan kekalahan Golkar di Jakarta disebabkan kurang jelinya Golkar dalam menangkap aspirasi masyarakat ibukota. Sedangkan di Jawa Timur meskipun masyarakatnya juga Islam tetapi Golkar menyadari bahwa daerah tersebut merupakan yang terbanyak jumlah pemilihnya sehingga penggarapannya diintensifkan dalam arti konsolidasi organisasi dan mekanisme organisasi benar- benar dimantapkan dan ternyata sudah tergarap sampai kebawah, sehingga semua berjalan dengan baik, di Jawa Timur Golkar mengalami kenaikan dari 56 persen menjadi 61 persen dibandingkan dengan dengan pemilu 1971 (Sinar Harapan, 4 Mei 1977 ). 82

Secara nasional PPP berhasil meraih suara meraih PPP berhasil meraih suara 18.743.491 suara dengan perolehan 99 kursi atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam (NU, Perti, PSII, dan Parmusi) pada perolehan pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak daerah yang menjadi basis-basis eks Masyumi, hal ini seiring tampilnya tokoh Masyumi yang mendukung PPP, tetapi kenaikan PPP dibasis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi basis-basis NU, sehingga kenaikan suara PPP secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan. Tetapi kehilangan 12 kursi di Jateng, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional hanya bertambah 5 kursi. Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yaitu hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi dibanding gabungan suara PNI, Parkindo, dan Partai Katolik. (http://www.kpu.go.id.//sejarah/pemilu 1977 diakses tanggal 27 April 2010). PDI memperoleh tambahan kursi didaerah-daerah Jawa Barat, Lampung dan Irian Jaya sedangkan di Jawa Tengah, NTT dan Maluku mengalami pengurangan (Sinar Harapan, 9 Juni 1977 ).

83

Tabel 4. Pergeseran Suara Propinsi-Propinsi, 1971-1977 (Dalam Persen ) Golkar PPP PDI Propinsi 1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan 1971 1977 Perubahan Aceh 49,7 41,2 -8,5 48,9 57,3 +8,4 1,4 1,5 +0,1 Sumatera Utara 70,1 66,4 -3,7 15,8 22,2 +6,4 14,0 11,3 -2,7 Sumatera Barat 63,2 66,5 +3,3 34,5 32,4 -2,1 2,2 1,0 -1,2 Riau 76,7 63,3 -13,4 20,3 33,9 +13,6 2,7 2,7 - Sumatera Selatan 62,6 49,8 -12,8 30,0 42,6 +12,6 7,4 7,5 -0,1 Jambi 88,2 83,5 -4,7 10,4 15,7 +5,3 1,4 0,8 -0,6 Bengkulu 82,7 76,5 -6,2 15,4 21,8 +6,4 1,9 1,7 -0,2 Lampung 71,8 61,8 -10,0 21,6 30,8 +9,2 6,0 7,4 +1,4 Jawa Barat 76,1 66,3 -9,8 20,3 28,5 +8,2 3,1 5,2 +2,1 Jakarta 46,7 39,3 -7,4 34,8 43,5 +8,7 18,5 17,3 -1,2 Jawa Tengah 50,3 52,6 +2,3 28,7 28,3 +0,4 20,9 19,1 -1,8 Yogyakarta 63,4 56,6 -6,8 21,4 23,2 +1,8 15,1 20,2 +5,1 Jawa Tmur 54,9 58,8 +3,9 39,2 36,0 -3,2 5,8 5,1 -0,7 Kalimantan Barat 66,7 68,9 +2,2 18,7 21,8 +3,1 14,6 9,3 -5,3 Kalimantan Tengah 81,4 69,8 -11,6 16,0 26,6 +10,6 5,0 3,5 -1,5 Kalimantan Selatan 64,8 49,6 -15,2 33,9 49,4 +15,5 1,2 1,0 -0,2 Kalimantan Timur 54,8 57,0 +2,2 30,1 35,4 +5,3 15,2 7,6 -7,6 Sulawesi Utara 60,7 72,8 +12,1 22,9 17,6 -5,3 16,4 9,5 -6,9 Sulawesi Tengah 76,8 79,3 -2,5 19,0 19,3 +0,3 4,2 1,4 -2,0 Sulawesi Tenggara 92,4 96,1 +3,7 5,8 3,1 -2,7 1,9 0,8 -1,1 Sulawesi Selatan 78,4 85,2 +6,8 18,8 14,0 -4,8 2,8 0,8 -2,0 Bali 82,8 85,4 +2,6 2,3 1,6 -0,7 14,9 13,0 -1,9 NTB 69,8 57,5 -12,3 24,7 36,6 +11,9 5,4 5,9 +0,5 NTT 61,5 90,3 +28,8 3,4 1,9 -1,5 29,2 7,8 -21,4 Maluku 47,7 71,8 +24,1 25,4 19,0 -6,4 27,7 9,1 -18,6 Sumber : Liddle, 1992 Hasil pemilu 1971 dan 1977 tidak mengalami perubahan yang mencolok. Hasil pemilu 1971 merupakan kemenangan besar Golkar, pada pemilu 1977 Golkar memperoleh presentase suara lebih kecil dibandingkan perolehan 84

suara pada pemilu 1971 ditiga belas dari dua puluh lima propinsi yang melangsungkan pemilihan umum, meliputi tujuh dari delapan propinsi Sumatra, Jabar, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, serta Nusa Tenggara Barat (Liddle, 1992: 47). Disemua tempat kecuali dua propinsi dibawah ini, kerugian Golkar diiringi dengan keuntungan pertambahan suara PPP. Propinsi tersebut ialah Sumatra Utara dimana pertambahan PPP (+6,4%) disertai dengan turunnya Golkar (-3,7%) dan PDI (-2,7%), serta Daerah Istimewa Yogyakarta dimana Golkar kehilangan 6,8% suara, PDI naik 5,1%, dan PPP naik hanya 1,8%. Dari dua belas propinsi persentase suara Golkar meningkat, empat propinsi merupakan penyumbang terbesar antara lain : Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT dan Sulawesi Selatan. Dalam presentase, propinsi-propinsi yang paling besar menaikkan suara Golkar adalah Nusa Tenggara Timur (+28,8%), Maluku (+24,1%), Sulawesi Utara (12,1%), Sulawesi Selatan (+6,8%), dan Jawa Timur (+3,9%). Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur persentase suara Golkar dan PPP meningkat sedangkan PDI menurun (Liddle, 1992: 47-48). Kemenangan kembali Golkar dalam pemilu 1977 antara lain disebabkan oleh sifat masyarakat Indonesia yang patrenalistis atau bapakisme, yaitu terikatnya sifat masyarakat Indonesia pada pemuka agama sehingga kalau pemuka desa menentukan memilih Golkar, maka akan di ikuti masyarakatnya. Golkar dapat memanfaatkan kondisi tersebut dan menolak bahwa kepala desa melakukan tekanan-tekanan terhadap penduduknya. Golkar unggul dalam oganisasi, sebagai gambaran, Golkar mempunyai fasilitas dan peralatan yang dengan cepat mengetahui hasil-hasil pemungutan suara. Banyaknya pemilih Golkar bukanlah karena faktor-faktor program yang dijual pada massa kampanye, sebab cara yang dan isi kampanye para kontestan tidak memenuhi harapan “ penjualan program” yang memang disebabkan oleh kondisi masyarakat yang belum mampu menerima uraian program-program. Dibawah ini diuraikan sebab kemenangan Golkar pada pemilu 1977 : a. Peningkatan kualitas kestabilan nasional dengan ditumbuhkannya kesadaran dalam menjaga keseimbangan. Misal : dalam lalu lintas di 85

jalan semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturannya. b. Kelangsungan dan peningkatan pembangunan ekonomi untuk menjawab tantangan banyak hal seperti kesejahteran, pendidikan dan lapangan kerja. c. Kelangsungan program yang mencerminkan keadilan dalam kemakmuran (Kompas, 4 Mei 1977). Terciptanya hegemoni pada tangan Golkar didukung oleh, pertama, peran sosial politik militer dilegalisasi dengam kekuasaan yang besar untuk menjamin terciptanya stabilitas. Kedua, dilakukan depolitisasi massa dengan alasan agar seluruh rakyat berkonsentrasi dan mengarahkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi. Ketiga, diperkenalkan kebijakan pembatasan peran partai-partai politik non Golkar. Keempat, pemilihan umum dilakukan dengan menajemen yang mendukung bagi terjaminnya kelestarian hegemoni Golkar dan kelangsungan kekuasaan Golkar dalam pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan dipilihnya sistem pemilihan umum yang kondusif bagi upaya tersebut, serta dengan melakukan pengaturan-pengaturan tertentu dalam praktek pelaksanaan pemilu. Kelima, partai-partai politik non Golkar menghadapi persoalan-pesoalan intern mereka berupa konflik antar unsur atau kepentingan, macetnya kaderisasi, kelangkan sumber daya, kelangkaan figur pemimpin yang aspiratif dan akomodatif dan lain-lain (Eep Sefulloh F, 2000: 196). Pemilu 1977 memberikan pengaruh besar dalam perjalan politik di Indonesia. Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang mampu menstabilkan posisinya. PPP muncul menjadi kekuatan nasional yang tetap potensial mendapat tantangan dari propinsi yang masih muda dan sedang berkembang diwilayah tertentu. Keberadaan PDI masa pemilu tidak mendapat dukungan secara menyeluruh di wilayah Indonesia, PDI muncul sebagai partai “Jawa”, karena selain mendapat dukungan di Jawa juga mendapat dukungan di daerah-daerah transmigran, keturuan Jawa misalnya : Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung. 86

Golkar dalam pemilu 1977 dapat menunjukkan secara kuantitas dan proporsional memiliki hak politis atau konstitusional. Sedangkan golongan politik non Golkar tetap mendapat kesempatan untuk meningkatkan kegiatannya dalam pembangunan politik negara sehingga tidak ada alasan lagi untuk menekan golongan non Golkar dalam rangka penghayatan Demokrasi Pancasila (Suara Merdeka, 5 Mei 1977).

87

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan yang dijabarkan dalam pembahasan, maka Penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Upaya penyederhanaan partai politik sudah mulai dipikirkan pemerintah Orde Baru semenjak tahun 1966. Fusi partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. 2. Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai masalah internal partai. Hal ini disebabkan karena rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik tetapi karena merupakan suatu pengelompokkan yang baru Golkar dapat tumbuh dengan pesat. 3. Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya.

87 88

B. IMPLIKASI

1. Teoritis Negara Indonesia sebagai negara yang demokratis menganut sistem multi partai yang terdiri dari banyak partai. Berdasarkan pengalaman selama diberlakukan demokrasi liberal menunjukkan bahwa kehidupan politik yang didominasi partai-partai politik dengan ideologi yang berbeda-beda menghasilkan konflik dan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Atas dasar pengalaman itu maka arah penataan politik yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah menyederhanakan struktur kepartaian. Sebagai kelanjutan dari usaha penyederhaan sistem kepartaian tersebut maka pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk golongan Nasionalis dan pada tanggal 14 Maret 1970 terbentuk golongan Spiritual. Sehingga pada pemilu 1971 hanya di ikuti 10 kontestan dan pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan Pembangunan sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Dengan pelaksanaan fusi tersebut maka dalam pemilu 1977 hanya diikuti tiga kontestan. Pada pelaksanaan pemilu rakyat berpartisipasi aktif sebagai pemilih. Oleh karena itu, hasil pemilu merupakan hasil kesepakatan bersama yang menjadi cermin pilihan rakyat dan hasil tersebut harus diterima partai politik sebagai hasil keputusan bersama.

2. Praktis Implikasi praktis dari hasil penelitian ini terutama dikaji mengenai pengaruh adanya fusi partai politik terhadap perkembangan partai politik di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat dilihat secara positif dan negatif. Secara positif dengan adanya fusi partai mengasilkan keberuntungan bagi PPP karena menjadi lebih mudah menyatukan seluruh umat Islam dibelakang PPP. Sedangkan segi negatif dari adanya fusi partai adalah melemahkan posisi partai, karena dengan menghimpun partai yang berbeda kedalam suatu wadah akan timbul perpecahan didalam partai baru dan membawa berbagai masalah internal partai. 89

Implikasi praktis yang dapat diambil dari penelitian ini, adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan tentang kepartian. Pemerintah harus mampu memberikan pengawasan dan pengarahan terhadap partai politik yang berkembang di Indonesia agar tidak terjadi perpecahan atau konflik intern dalam suatu partai yang dapat mengganggu stabilitas nasional.

C. SARAN Berdasarkan penelitian mengenai Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik), maka dapat disarankan sebagai berikut : a. Bagi Mahasiswa Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dan sebagai calon pemimpin harus bisa bersikap demokratis yaitu dengan bersikap bijak, menghargai perbedaan, dan dapat meredam emosi agar tercipta suatu kerukunan dan menghindarkan dari perpecahan.

b. Bagi Pendidik Sebagai seorang pendidik diharapkan mampu menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai kepada para pelajar. Karena dengan saling menghormati dan menghargai akan dapat mencegah terjadinya suatu konflik. Disamping itu, juga perlu ditanamkan sikap mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

90

DAFTAR PUSTAKA

Affan Gaffar Karim. 1995. Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKIS & Pustaka Pelajar.

. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alfian.1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

.1985. Beberapa Masalah Pembaharuan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali.

Ali Moertopo. 1974. Strategi Politik Nasional. Jakarta: CSIS.

. 1982. Strategi pembangunan Nasional. Jakarta. CSIS.

Amir Machmud. 1987. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Andreas Pandiangan. 1996. Menggugat Kemandirian Golkar. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Arbi Sanit. 1995. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta kekuatan Politik dan pembangunan. Jakarta: PT. RajaGrafindo.

Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Arif Zulkifli. 1996. PDI di Mata Menengah Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Arifin Rahman. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos. 91

Eep Saefulloh Fattah. 1994. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

. 2000. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Jakarta: Rosda.

Elizabeth Sukamto, dkk. 1991. PDI dan Pembangunan Politik. Jakarta: Rasindo.

Feith, Herbert. 1957. The Indonesian Election Of 1955. New York: Cornell University Press.

Gottschalk. Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadari Nawawi. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Haryanto. 1982. Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Inu Kencana. 2003. Sistem Admistrasi Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Kansil C. S. T. 1974. Inti Pengetahuan Pemilihan Umum. Jakarta: Pratya Paramita.

. 1979. Partai Politik dan Golkar. Jakarta : Aksara Baru.

Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen. 1992. NU Pasca Khittah. Yogyakarta: Media Widya Mandala.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya. 92

Leo Suryadinata. 1992. Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Mahrus Irsyam .1984. Ulama dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.

Maswadi Rauf. 2001. Konsesus Politik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Miriam Budiardjo. 1982. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia.

. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Miriam Budiardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik, Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mochtar Mas‟oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

Mohctar Mas‟oed dan Mac Andrews, Colin. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : UGM Press.

Moh. Mahfud. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Muhammad A. S Hikam. 1999. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Nugroho Notosusanto.1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: PT. Idaya Press.

.1979. Norma-Norma Dasar Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.

93

Ridwan Saidi. 1993. Golkar Pasca Pemilu1992. Jakarta: Grasindo. Riswandha Imawan. 1997. Membedah politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusli Karim. M. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press.

R.William Liddle. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

Saifuddin Zuhri. 1981. Kalaidoskop Politik di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Sukarna. 1990. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV. Mandar Maju.

Syamsuddin Haris, dkk. 1988. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI.

. 1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Umaidi Radhi. 1984. Strategi PPP. Jakarta: Integrita Press Indonesia.

Jurnal: Kacung Marijan, Soerjanto P, Ibrahim A., A. Eby Hara, Ikrar NB, Dhurorudin M, Hari W, Alfitra S, Rahadi TW, & Akhmad ZA. 1993.” Dinamika konflik di Partai Demokrasi Indonesia.” Jurnal Politik 13.

R.William Liddle. 1978. February. “Indonesia 1977: The ’s second parliamentary election”. The Journal of Asian Studies. Vol 18. Number 2. halaman 175.

94

Koran: Abdoel Madjid. 1977 Maret 7. “ Pidato Kampanye PDI” Suara Merdeka. 1.

Ali Moertopo. 1977. Maret. 3. “Golkar Sangat Dibutuhkan Untuk Pembangunan Bangsa”. Suara Karya. 1.

. 1973. Januari. 7. “Partai Harus Sudah Berfusi Sebelum Sidang MPR”. Suara Karya. 1.

Amirmachmud. 1977. Juni. 9. “DPR Hasil Pemilu 1977, Golkar 232 Kursi, PPP 99 Kursi, PDI 29 Kursi” Suara Karya. 8.

Antara. 1971. April.21. “Partai Katolik Mengadakan Santiadji Pemilu”. Kompas. 5.

DPP Murba. 1971. Juli 17.Murba Terkedjut Dengan Hasil Pemilu Jang Ditjapainya.” Kompas. 1.

Frans Seda. 1973 . Januari. 12. “PDI Telah Lahir.”.Kompas. 1.

H.K.1971. Agustus. 9. ”Hasil Resmi Pemilihan Umum 3 Djuli 1971” Kompas. 11.

H. M. S. Mintaredja. 1973. Februari 16 . “Presiden terima DPP PPP”. Kedaulatan Rakyat. 2.

Idham Chalid. 1973 . Januari. 4 “ Nama Kelompok Persatuan Pembangunan Akan Dirubah” Kompas. 1.

Ischak Suryodiputro. 1977. April. 23 “ Larangan Selama Minggu Tenang” Sinar Harapan. 1.

KH. Abubakar Atjeh. 1977. Maret. 14 “ Tusuk No 21.” Suara Karya. 1.

MB. Samosir. 1977. Mei. 3 “ Pendidikan Politik Berhasil “. Suara Karya. 1.

95

Mashuri. 1977. Mei. 4 “Paternalistik Salah Satu Faktor Kemenangan Golkar”. Kompas. 3.

M.H. 1977. Mei. 3 “Reaksi Amir Murtono” Sinar Harapan. 6.

Redaktur. 1977. Mei. 2. “Presiden Gunakan Hak Pilih Dengan Tenang Dan Tertib”.Sinar Harapan. 1.

. 1977. Mei 2. Pemilihan Umum 1977. Sinar Harapan. 7.

. 1977. Mei. 3. “Pemungutan Suara Tertib Dan Lancar”.Sinar Harapan. 3.

“Sekjen DPP-PDI Nilai Ada Perkembangan Demokrasi Di Kota-Kota Besar. 1977. 4 Mei. Sinar Harapan. 9.

Ruslan Abdulgani. 1977. April. 9 “Semua Kontestan Pemilu Agar Mawas Diri”. Kompas . 1.

Rusli Halil. 1971. Djuli. 6. “Perti Lakukan Koreksi Diri” Kompas. 8.

Thoha Abdurrahman. 1977. April. 20. “PPP akan perjuangkan ONH Serendah Mungkin”. Kedaulatan Rakyat. 5.

Majalah: Dhakidae, Daniel. (1981, September). “Pemilihan Umum di Indonesia”. Prisma 9.

Manuel Kaiseipo, (1981, Desember). “Dilema PDI: Perjuangan Mencari Identitas”. Prisma 12.

Internet: http://www.suara-karya.com,15 Februari 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/trilogi pembangunan, 19 April 2010. http://www.kpu.go.id.//sejarah/pemilu 1977, 27 April 2010. 96

LAMPIRAN

97

Lampiran 1:

Hasil Fusi PPP

Sumber: Kompas. 5 Januari 1973.

98

Lampiran 2:

Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat

Sumber: Kompas. 16 Januari 1973.

Munas PNI

99

Sumber: Kompas. 25 Januari 1973.

Lampiran 3:

Kampanye Golkar

Sumber: Suara Karya. 3 Maret 1977.

Sumber: Suara Karya. 3 Maret 1977.

100

Lampiran 4:

Pawai Akbar Golkar

Sumber: Kedaulatan Rakyat. 16 Februari 1977.

101

Lampiran 5:

Kampanye PDI

Sumber: Kedaultan Rakyat. 28 Februari 1977.

102

Lampiran 6:

Kampanye PPP

Sumber: Kedaulatan Rakyat. 16 Maret 1977.

103

Lampiran 7: Pidato Kampanye PPP

Sumber: Suara Karya. 26 Februari 1977.

104

Lampiran 8: Pidato Kampanye PDI

Sumber: Suara Karya. 27 Februari 1977.

105

Lampiran 9: Pelaksanaan Pemilu 1977

Sumber: Sinar Harapan. 2 Mei 1977.

Sumber: Sinar Harapan. 3 Mei 1977. 106

Lampiran 10:

Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977

Sumber: Sinar Harapan. 3 Mei 1977.

107

Sumber: Sinar Harapan. 4 Mei 1977.

Lampiran 11: Hasil Pemilu 1977

Sumber: Suara Karya. 9 Juni 1977.