Desain Isi 16.08.09 Athirah.Indd
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
http://facebook.com/indonesiapustaka 19 Januari 1982. Subuh tersedih dalam hidup saya. Hari ketika Emma pergi dengan damai, meninggalkan kami putra-putrinya dan Bapak. Meski telah lama berlalu, saya masih ingat detik-detik saat Emma ada di pangkuan saya, saat terakhir kalinya Emma menutup mata menuju tidur abadinya. Tawa Emma adalah kebahagiaan saya, dan air matanya merupakan kepiluan hati saya. Maka kepergiannya mem bekaskan kepedihan di hati saya sampai saat ini. Emma merupakan lentera dan semangat hidup yang tak kunjung padam. Beliau mengajarkan arti kesabaran, keteguhan hati, dan kasih sayang. Banyak orang sudah tahu betapa Bapak merupakan pengaruh utama bagi saya, karena beliaulah yang mengajari saya tentang perdagangan, kejujuran, dan kegigihan. Namun, sering kali orang tak tahu peran ibu yang juga sangat besar dalam hidup saya. Emma tak hanya melahirkan saya, tetapi juga membesarkan dan menjadi teladan bagi saya. Novel ini adalah kisah apa adanya, tentang keluarga saya, yang mungkin tak semua berhias dan manis. Ada duka dan kepahitan di dalamnya. Namun, semua itulah yang membentuk saya yang sekarang. Semua itu juga yang mengajarkan saya arti sesungguhnya dari perdamaian dan persatuan. Semoga kiranya dari kisah hidup Emma dan saya, kita semua bisa belajar dan memahami pentingnya kesetiaan, keikhlasan, dan juga tanggung jawab kepada keluarga. Karena dari keluarga-lah kita lahir dan tumbuh, kepada mereka jugalah kita mewariskan segalanya dan menyerahkan hari-hari terakhir dalam hidup kita. Salam hangat, Jusuf Kalla http://facebook.com/indonesiapustaka Pujian untuk Athirah “Athirah, sebuah novel apik berdasarkan kisah nyata, yang membuka mata dan hati kita: Ibu adalah kunci dalam keutuhan sebuah keluarga” —Mira Lesmana “Novel ini seolah menjadi catatan dari sebuah rumah yang dekat sekali dengan saya. Kasih sayang Ibu, masakan itu, kebiasaan, dan berbagai pernik Bugis itu, Sarung Palekat itu .... Dan lanskap kehidupan keluarga dengan berbagai kisah yang kadang abu-abu. Kisah yang memikat ....” —Riri Riza, sutradara fi lm “Kisah tentang ibu selalu menarik dan menyentuh. Di balik sosok orang- orang hebat, ada seorang ibu yang memberi nilai-nilai kehidupan dan prinsip-prinsip yang mewarnai sosok orang tersebut. Karena itu menarik untuk menyimak kisah tentang Athirah, sosok perempuan dan ibu yang memberi warna dalam kehidupan dan keberhasilan Jusuf Kalla. Banyak nilai kehidupan yang sangat berguna untuk dipelajari.” —Andy F. Noya, pembawa acara Kick Andy http://facebook.com/indonesiapustaka “Semakin mengenal dekat Pak Jusuf Kalla, semakin banyak sisi cerita unik kehidupannya yang saya temukan. Meski fi siknya tergolong kecil, hati nya sungguh lapang. Ide-ide kreati fnya selalu muncul dalam merespons persoalan bangsa. Lewat novel ini kita menjadi tahu bahwa di sana ada Bunda Athirah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter Pak Jusuf Kalla. Ini mengingatkan pada peribahasa: ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’.” —Prof. Komaruddin Hidayat, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta “Tanpa mengecilkan peran seorang ayah, lelaki-lelaki Bugis terbiasa memperlakukan ibu mereka sebagai centre of the universe, pusat semesta. Karena ibu adalah madrasah tempat mereka pertama kali menginjakkan kaki. Sebagai orang Bugis, Pak Jusuf Kalla pun demikian. Pak Jusuf Kalla jelas memiliki sifat dan sikap acca, panrita na warani. Acca arti nya cerdas, panrita arti nya teguh iman, dan warani arti nya berani. Keti ga sifat itu besar kemungkinan diwarisinya dari Hajah Athirah. Banyak dari bagian buku ini yang menghangatkan hati . Bagi saya, bisa jadi karena alasan personal. Kami berasal dari kampung halaman yang sama. Di Bukaka, rumah masa kecil Pak Jusuf Kalla hanya berjarak belasan rumah dari rumah saya. Ayah Pak Jusuf Kalla, Haji Kalla, konon pernah bertetangga lods dengan kakek saya di Pasar Bajoe. Saya ti dak sempat bertemu dan belajar banyak pada Pak Jusuf Kalla karena beliau keburu meninggalkan kampung dan menjadi orang besar. Namun, dari buku ini seti daknya saya belajar satu hal penti ng: bagaimana mencintai seorang ibu.” —Fauzan Mukrim, jurnalis dan penulis River’s Note dan Mencari Tepi Langit http://facebook.com/indonesiapustaka http://facebook.com/indonesiapustaka FIKSI Menyajikan kisah-kisah inspiratif, menghibur, dan penuh makna. http://facebook.com/indonesiapustaka Alberthiene Endah http://facebook.com/indonesiapustaka ATHIRAH Karya Alberthiene Endah Copyright©2013 by Noura Books All rights reserved Sampul©Miles Film, 2016 Penggagas: M. Deden Ridwan Penyelaras aksara: Tim redaksi Digitalisasi: Elliza Titin G. Pernah diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit Noura Books pada 2013. Diterbitkan oleh Noura Books PT Mizan Publika (Anggota IKAPI) Jl. Jagakarsa No. 40 rt.007/rw.004 Jagakarsa-Jakarta Selatan Telp.: 021-78880556, Faks.: 021-78880563 E-mail: [email protected] www.nourabooks.co.id ISBN: 978-602-385-145-4 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Phone.: +62-21-7864547 (Hunting) Fax.: +62-21-7864272 email: [email protected] http://facebook.com/indonesiapustaka “Untuk para perempuan yang tengah berjuang memberi kekuatan kepada keluarga ....” —Alberthiene Endah http://facebook.com/indonesiapustaka http://facebook.com/indonesiapustaka Isi Buku Prolog: Bunga dari Bone ~ 1 1| Perempuan dari Rahim Kesabaran ~ 7 2| Engkau Mengalah, Bukan Kalah ~ 39 3| Perlawanan ~ 67 4| “Mencari” Bapak ~ 99 5| Cahaya Datang ~ 132 6| Cinta Datang …. ~ 158 7| Pengejaran ~ 181 8| Ikhlas dan Syukur ~ 203 9| Pertanyaan tentang Cinta ~ 228 10| Pukulan …. ~ 253 11| Mufi dah …. ~ 287 http://facebook.com/indonesiapustaka 12| Langkah Besar ~ 310 13| Hikmah Indah ~ 331 14| Bingkai Kasih ~ 358 Epilog: Cinta yang Tak Pernah Pergi ~ 383 Profi l Penulis ~ 386 http://facebook.com/indonesiapustaka Prolog: Bunga dari Bone Kau tak akan pernah kehilangan ibumu. Energinya akan ada besertamu sepanjang hidup. empat ini selalu mengantarkan rasa hangat. Makam TArab. Aku telah datang ke sini di dalam beragam musim, dan kehangatan itu tak pernah berubah. Mengalir diam-diam, merayapi tubuhku dan semakin menguat keti ka kulihat papan nisan yang menampakkan sederet tulisan arti sti k. Athirah, 1924–19 Januari 1982. Itu nisan ibuku. Perempuan berhati surga. Kau mungkin telah kehilangan ibumu. Dan, kau merasa ia telah benar-benar pergi. Kau tahu ia berada di suatu tempat yang kau yakini sebagai pelabuhan paling abadi. 1 http://facebook.com/indonesiapustaka Alberthiene Endah Kau mendoakannya seti ap waktu, menaburkan kembang dengan jemari yang menyimpan rindu, lalu meninggalkan pemakaman dengan hati kehilangan. Lalu, kau menciptakan jarak, atau lebih tepatnya secara alamiah kau diarahkan untuk membuat jarak. Dan, ibumu ti nggal menjadi kenangan. Atau, kau juga seperti ku. Laki-laki yang selalu merasa tetap bocah keti ka kukenang paras ibuku. Ia, walau telah lama mangkat, tak pernah beranjak dari seluruh tubuhku. Aku melintasi puluhan tahun yang sangat riuh. Sangat hiruk pikuk. Tapi ibuku selalu berhasil menarikku ke ruang yang hening. Tempat aku mendengarkan kembali suaranya. Menemukan surga dari petuahnya yang serupa telaga bening. Ia membuatku memahami hidup yang rumit. Kami bercengkerama. Dan, kudapati perasaanku masih tetap sama kepadanya. Masih sama sakitnya keti ka kuingat lukanya. Masih sama bahagianya keti ka kukenang bunyi tawanya. Ibuku tak pernah pergi. Ia berjalan bersamaku. Ia hilang ti mbul mengikuti pikiranku yang habis tersedot dunia. Tapi seperti yang kukatakan, ia selalu bisa menarikku kembali keti ka dunia terlalu hiruk pikuk untukku. Aku, bocah yang selalu diasuhnya. Masih, hingga kini. Meskipun ia telah ada pada diriku, aku rajin mengunjunginya di Makam Arab, pemakaman tempat jasadnya berbaring di sudut sunyi Kota Makassar. Bayangan pertama yang selalu muncul seti ap kali jemariku mulai membuka botol bening berisi air mawar dan memercikkannya 2 http://facebook.com/indonesiapustaka Bunga dari Bone perlahan adalah dini hari yang pekat dan berlumur duka pada 19 Januari 1982. Aku ingat harum tubuhnya yang telah bercampur aroma rumah sakit. Kubopong ia dari rumah sakit keti ka para dokter mengatakan tak ada lagi harapan yang bisa membangunkannya. Ia bernapas dari selang-selang yang mencengkeram tubuhnya. Wajahnya beku, bukan diam. Ia dilumpuhkan rasa sakit. Kami memutuskan membawanya ke rumah, ke kamarnya yang bernuansa serbaputi h dan memiliki jendela besar menghadap sepetak taman yang sangat mungil. Tempat ia tak akan lagi merasa asing. Aroma seprai sutra dari Sengkang yang ia sukai akan kembali memeluknya. Lalu, ia juga akan menghirup lagi asap masakan yang menjalar-jalar dari dapur. Azan sejuk yang menggema dari masjid yang bersisian dengan rumah akan membuatnya terjaga. Ia akan menemukan kembali kehidupannya, keti ka napas mulai menjauh darinya. Tepat saat azan Subuh bergema, ia lunglai. Wafat. Itu adalah hari keti ka air mataku jatuh tanpa bisa kuhenti kan. Aku menatapnya tak habis-habis. Ratusan orang hilir mudik mempersiapkan pemakamannya. Tapi aku berada di lorong sunyi bersamanya. Usianya 58 tahun saat itu. Aku melihat ribuan kisah di gurat wajahnya yang melembut mengikuti hening tubuhnya. Wajah itu seperti memantulkan cahaya. Melepaskan beribu-ribu pikiran yang sebelumnya berkubang dan menempanya menjadi manusia kuat. Ibuku 3 http://facebook.com/indonesiapustaka Alberthiene Endah memelihara rasa susahnya sebagai alasan untuk terus merasa hidup. Jusuf, kau telah maƟ jika hidupmu tak lagi memberimu alasan untuk bersabar. Sampai mati ibuku