9 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Bentuk 2.1.1. Pengertian Bentuk

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

9 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Bentuk 2.1.1. Pengertian Bentuk 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Bentuk 2.1.1. Pengertian Bentuk Pengertian bentuk adalah “rupa, wujud atau wujud yang ditampilkan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia 103). Ruang-raung interior mula-mula terbentuk dari suatu system struktur bangunan, kemudian lebih dipertegas lagi oleh adanya bidang dinding dan langit-langit, jendela dan pintu yang berhubungan dengan ruang-ruang lainya. Masing-masing mempunyai bentuk geometris awal yang kemudian menurunkan dan membentuk suatu objek volume ruang berdasar kesamaannya (Ching 26). Bentuk adalah wujud ragawi dalam suatu karya. Ruangan yang berbentuk bujur sangkar, yang ukuran panjang dan lebarnya sama, tampak bersifat statis dan berkarakter formal. Ukuran yang sama persis dari keempat sisinya menjadikan pusat ruangan sebagai fokusnya. Kesan terpusat ini dapat ditegaskan atau lebih ditonjolkan dengan menutup ruang tersebut dengan struktur berbentuk pyramid atau kubah (dome) (Ching 29). Ruang yang ukuran panjangnya jauh melampaui ukuran lebarnya akan mendorong terjadinya gerak mengikuti arah panjangnya. Bentuk yang paling sederhana adalah bentuk lingkaran, karena memberikan kesan kompak dan terpusat. (Ching 32). Dalam arsitektur dikenal ada 2 (dua) pengertian : A. Shape (Rupa) : Hanya menyatakan wujud luar saja. B. Form (Bentuk) : Selain menyatakan rupa, juga mencerminkan fungsi dan karakteristik dari bahan dan bentuk tersebut. Ada beberapa kategori besar dari rupa bentuk. Rupa bentuk alami menunjukan citra dan bentuk-bentuk alam. Rupa bentuk ini mungkin terlihat abstrak, bisanya melalui proses penyederhanaan dan masih mempertahankan karakteristik utama dari sumber-sumber alaminya. Ada dua jenis rupa bentuk geometris yaitu garis lurus dan garis lengkung. Dalam bentuknya yang paling umum, rupa bentuk dengan garis lengkung adalah lingkaran. Rupa bentuk yang paling jelas adalah lingkaran, segitiga dan bujur 9 Universitas Kristen Petra sangkar. Jika diperluas kedimensi ketiga, rupa-rupa bentuk utama ini melahirkan rupa bentuk bola, silinder, kerucut, pyramid dan kubus. (Ching 102) Teori tentang apakah sebenarnya arsitektur itu meliputi identifikasi variable-variable penting, seperti ruang, struktur atau proses-proses kemasyarakatan yang dengan pengertian demikian bangungan-bangunan seharusnya dilihat atau dinilai (Snyder 38). 2.2. Teori Fungsi 2.2.1. Pengertian Fungsi Fungsi memiliki arti : “Kegunaan suatu hal” (Kamus Besar Bahasa Indonesia 245). Perkataan “guna” menunjuk pada keuntungan, pemanfaatan (use, Bahasa Inggris) yang di peroleh. Guna dalam arti sebenarnya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materil belaka, tetapi lebih dari itu punya daya yang menyebabkan kita bias hidup lebih meningkat (Mangunwijaya 31). Selain itu fungsi juga memiliki arti untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan ide dan perasaan-perasaan yang diinginkan dalam berbagai macam Bahasa (Feldman 4). Fungsi dibagi menjadi tiga, yaitu (Feldman 4) : a. Fungsi Personal Seni Fungsi itu dapat dilihat dari dua sisi, yang pertama dari sisi orang yang menikmati dan sisi lain yang dapat dilihat dari seniman yang membuatnya. Sebagai contoh : Seorang pelukis bernama Hals membuat lukisan yang dianggap oleh masyarakat sebagai simbol kemakmuran, tetapi bagi Hils lukisan tersebut merupakan pengekspresian dirinya sendiri (fungsi personal). Fungsi personal seni tersebut adalah media bagi para seniman untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, tetapi hal ini tidak dapat menjegah hal tersebut untuk menjalankan fungsi lainya. b. Fungsi Sosial Seni Diakatakan sebagai fungsi sosisal, apabila kesenian itu dapat mempengaruhi kelakuan orang secara kolektif, kesenian itu diciptakan untuk kepentingan umum, dan kesenian menggambarkan aspek social / 10 Universitas Kristen Petra keseluruhan keberadaanya bertentangan dengan macam-macam pengalaman individu dan perorangan. Jadi fungsi sosisal dari seni adalah untuk mempengaruhi keadaan orang dalam kelompok dengan mempengaruhi keadaan orang dalam kelompok dengan mempengaruhi cara mereka berfikir dan cara mereka bertindak (Feldman 36). c. Fungsi Fisik Seni Fungsi fisik kesenian itu adalah penciptaan benda-benda yang bersifat sebagai tempat dan alat. Bentukan yang dibuat sesuai dengan keperluan isinya (Feldman 124). 2.3. Teori Ruang Ruang dalam bahasa inggris disebut space berasal dari istilah klasik Ispatium menjadi escape dalam bahasa perancis dan spazio dalam bahasa itali. Beda penggunaan istilah room menggambarkan perluasan makna sedang pada istilah space dengan arti lebih positif dan transcendental. (Suptandar 61) Secara harafiah “ruang” bias diartikan sebagai alam semesta yang di batasi oleh atmosfir dan tanah dimana kita berpijak, sedangkan secara sempit “ruang” berarti suatu kondisi yang dibatasi oleh 4 lembar dinding yang bias di raba dan dirasakan keberadaanya. Ruang adalah unsur penting dalam desain sebagai tempat kehidupan manusia dalam melaksanakan tugas kewajibanya. Ruang bagi manusia adalah segala-galanya sebagai tempat tinggal, sebagai harga diri dan sebagai lambing status social. (Suptandar 62) Ruang adalah substansi materi, seperti batu dan kayu. Walaupun demikian, ruang pada umumnya tidak berbentuk dan terdispersi. Ruang universal tidak mempunyai dedinisi. Pada saat suatu unsur diletakan pada suatu bidang, barulah hubungan visualnya terbentuk, terjadilah hubungan majemuk Antara ruang dan unsur-unsur tersebut maupun Antara unsur yang satu dengan unsur lainya. Ruang uleh karenanya terbentuk dari adanya hubungan-hubungan tersebut dan kita yang merasakan. (Ching 10) Bentuk vertical memiliki keberadaan yang lebih besar dalam area pandang kita dibandingkan bidang-bidang horizontal dan karenanya menjadi lebih 11 Universitas Kristen Petra instrumental dalam mendefinisikan volume ruang yang terpisah serta menyajikan sebuah nuansa kedekatan serta privasi bagi yang berada didalamnya. Elemen vertical bentuk juga memainkan peranan penting didalam konstruksi bentuk serta ruang arsitektural, melalui peranannya sebagai penopang structural bidang lantai dan atap. (Ching 124) 2.4. Studi Literatur 2.4.1. Asal usul penghuni pertama Untuk menetapkan asal usul penghuni pertama di Nusa Tenggara Timur agak sulit. Hal disebabkan daerah Nusatenggara timur yang terdiri dari pulau- pulau dengan penduduk yang beraneka ragam, memiliki latar belakang asal-usul yang berbeda. Berdasarkan cerita rakyat yang masih hidup dikalangan penduduk di Nusa Tenggara Timur, nenek moyang mereka dulu beranggapan dating dari luar yakni melalui jalan laut dengan rakit dari arah barat, timur atau utara, dari laut, udara. Bahkan ada yang menyebutkan agak pasti Malaka Tanabara untuk penduduk Sumba, Sina Mulin Malaka untuk penduduk dawan dan Tetum di P. Timor, Sam Sina Malaka untuk penduduk Flores Timur bahkan ada yang menyatakan muncul dari tanah atau tumbuhan, seperti penduduk Abur di Alor dan beberapa suku di Belu. Namun cerita tersebut sulit sekali ditelusur dengan pasti, misalnya apakah Sina Mulin Malaka adalah Malaka. Adapun secara lebih terperinci nenek moyang dari penduduk di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur adalah sebagai berikut: Bagi penduduk Helong yang sekarang tinggal di Kecamatan Kupang Barat dan Kupang Tengah nenek moyang pertama mereka bernama Lai Bissin yang dating dari sebelah timur (Seram). Orang berbahasa Tetum di Kabupaten Belu Hutum Rai Hat (4 suku pertama) berasal dari Sina Mutin dengan melewati Rai Nabo Rai Henek, P. Kusu, P. KoE, P.Api, Larantuka, Bau BoE dan mendarat di pantai selatan P. Timor di tanjung Emanatum. Penduduk berbahasa Buna-di Belu, 6 suku pertama yakni Ro Ikun, Ro Bulan, Lakudo, Samoro, Sibiri, Oburo Marabo, Tan Ba Tom Way, Lela 12 Universitas Kristen Petra Roto Yapolo dengan menempung rute Siawa, Sina, Mutin, Malaka, Galeleo Gawa, Lebu Rote, Selewer dan mendarat di pantai selatan P. Timor di Kamanasa Kabolila kemudian memasuki bamakuon (A. Klau Mura 1973, hal. 41). Penduduk pulau Sumba mengenal nenek moyang mereka adalah Umbu Walu Mandoku yang berasal dari Malaka Tanobara. Penduduk Kabupaten Sika mengenal nenek moyang yang bernama Moang Ria, Moang Raga dan Moang gumang, yang berasal dari Siam Sina Malaka dan mendarat di Sikka. Di beberapa daerah dikenal juga asal usul nenek moyang mereka dari seberang, tetapi tak disebutkan dari mana. Misalnya di P. Sabu dikenal Keka Ga sebagai nenek moyang orang Sabu yang berasal dari suatu tempat yang jauh dibarat daya India (Y.Y. Detaq, 1973, hal. 9). 2.4.2. Kehidupan Pemerintahan dan Kenegaraan Nusa Tenggara Timur di zaman kuno mempunyai arti penting bagi produsen kayu cendana yang banyak dibutuhkan dalam dunia perdagangan. Daerah Nusa Tenggara Timur banyak dikunjungi oleh pedagang dari luar dalam rangka perdagangan kayu cendana. Oleh karena Itu pertumbuhan negara-negara (kerajaan) kuno erat hubunganya dengan perdagangan. Tempat-tempat yang strategis di pinggir pantai, muara sungai, teluk yang mempunyai kedudukan strategis menjadi pusat perkembangan. Daerah-daerah yang letaknya strategis banyak dikunjungi pedagang dan berkembang sebagai kerajaan-kerajaan kecil. Disamping itu daerah Belu Selatan juga merupakan tempat yang penting. Daerah ini subur dan terdapat muara sungai besar yakni sungai Benain. Di daerah inilah muncul semacam kerajaan tertua. Hampir semua raja di Timor mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Belu Selatan atau mempunyai hubungan dengan Belu Selatan. Adapun kerajaan-kerajaan kecil lainya yang ada di Pulau Timor adalah Sonbai, Miomafo, Biboki, Insana, Amanuban, Manatun, Ambemu, Amfoang, Amabi, Amarasi, Mollo dan Helong. Pada umumnya kerajaan tersebut adalah 13 Universitas Kristen Petra kerajaan-kerajaan kecilyang
Recommended publications
  • Ethonobotany of People Live in Amarasi of Kupang, Mollo And
    Media Konscrvasi Vol. VI, No. I, Agustus 1999 : 27 - 35 ETHNOBOTANY OF PEOPLE LIVE IN AMARASI OF KUPANG, MOLLO AND AMANATUNA OF SOUTH CENTRAL TIMOR, WEST TIMOR, INDONESIA (Etnobotani Penduduk Amarasi di Kabupaten Kupang, Penduduk Mollo dun Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Barat ,Indonesia) Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture - IPB .N. Raya Pajajaran - Bogor, Telp. (0251) 312612 ABSTRAK Studi ethnobotani. khususnya hubungan antara penduduk dengan hutan telah dilakukan di Amarasi, Kabupaten Kupang; Mollo dan Amanatun. Kabupaten Tinior Tengah Selatan. Penduduk desa umulnnya adalah suku Dawan. Rumah-rumah di lokasi menipunyai pekarangan dan berdekatan. Desa- desa ini biasanya dikelilingi oleh kebun, ladang, dan hutan pada batas luarnya. Pemahaman penduduk tentang lingkungan dan konservasinya telah ada dan dilakukan secara baik sejak dahulu. Penduduk memanfaatkan hutan sebagai sumber untuk obat-obatan tradisional, pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kayu bakar, makanan ternak dan kayu bangunan. Mereka niengambil tun~buhanuntuk obat tradisional. daun dan kulit kayu merupakan bagian yang paling banyak digunakan kenludian getah, akar dan kayu. Untuk kayu bakar adalah jenis pohon yang dianggap tidak berguna untuk penggunaan lain, sedangkan jenis pohon untuk kayu bangurlan lebih spesifik dibandingkan untuk penggunaan kayu bakar. Anggota suku Leguminosae dan Meliaceae digunakan secara luas dala~npembangunan rumah, demikian juga gewang (Corypha rrtan) yang daunnya digunakan untuk atap rumah. Makanan ternak yang penting adalah kabesak (Acacia leucophloea),gala-gala (Sesbaniagrandiflora) dan petis (Leucaena leucochephala)" Kata kunci : etnobotani.tumbuhan obat. makanan ternak. kayu bakar, kayu bangunan INTRODUCTION between the people and the forest. The ethnobotanical study is intended to reveal the local condition and knowledge The dependency of people on their natural environ- about understanding of environment and plant resource ment is determined by geographical location where they utilization.
    [Show full text]
  • Trajectories of the Early-Modern Kingdoms in Eastern Indonesia: Comparative Perspectives
    Trajectories of the early-modern kingdoms in eastern Indonesia: Comparative perspectives Hans Hägerdal Introduction The king grew increasingly powerful. His courage indeed resembled that of a lion. He wisely attracted the hearts of the people. The king was a brave man who was sakti and superior in warfare. In fact King Waturenggong was like the god Vishnu, at times having four arms. The arms held the cakra, the club, si Nandaka, and si Pañcajania. How should this be understood? The keris Ki Lobar and Titinggi were like the club and cakra of the king. Ki Tandalanglang and Ki Bangawan Canggu were like Sangka Pañcajania and the keris si Nandaka; all were the weapons of the god Vishnu which were very successful in defeating ferocious enemies. The permanent force of the king was called Dulang Mangap and were 1,600 strong. Like Kalantaka it was led by Kriyan Patih Ularan who was like Kalamretiu. It was dispatched to crush Dalem Juru [king of Blambangan] since Dalem Juru did not agree to pass over his daughter Ni Bas […] All the lands submitted, no-one was the equal to the king in terms of bravery. They were all ruled by him: Nusa Penida, Sasak, Sumbawa, and especially Bali. Blambangan until Puger had also been subjugated, all was lorded by him. Only Pasuruan and Mataram were not yet [subjugated]. These lands were the enemies (Warna 1986: 78, 84). Thus did a Balinese chronicler recall the deeds of a sixteenth-century ruler who supposedly built up a mini-empire that stretched from East Java to Sumbawa.
    [Show full text]
  • 8Th Euroseas Conference Vienna, 11–14 August 2015
    book of abstracts 8th EuroSEAS Conference Vienna, 11–14 August 2015 http://www.euroseas2015.org contents keynotes 3 round tables 4 film programme 5 panels I. Southeast Asian Studies Past and Present 9 II. Early And (Post)Colonial Histories 11 III. (Trans)Regional Politics 27 IV. Democratization, Local Politics and Ethnicity 38 V. Mobilities, Migration and Translocal Networking 51 VI. (New) Media and Modernities 65 VII. Gender, Youth and the Body 76 VIII. Societal Challenges, Inequality and Conflicts 87 IX. Urban, Rural and Border Dynamics 102 X. Religions in Focus 123 XI. Art, Literature and Music 138 XII. Cultural Heritage and Museum Representations 149 XIII. Natural Resources, the Environment and Costumary Governance 167 XIV. Mixed Panels 189 euroseas 2015 . book of abstracts 3 keynotes Alarms of an Old Alarmist Benedict Anderson Have students of SE Asia become too timid? For example, do young researchers avoid studying the power of the Catholic Hierarchy in the Philippines, the military in Indonesia, and in Bangkok monarchy? Do sociologists and anthropologists fail to write studies of the rising ‘middle classes’ out of boredom or disgust? Who is eager to research the very dangerous drug mafias all over the place? How many track the spread of Western European, Russian, and American arms of all types into SE Asia and the consequences thereof? On the other side, is timidity a part of the decay of European and American universities? Bureaucratic intervention to bind students to work on what their state think is central (Terrorism/Islam)?
    [Show full text]
  • 4. Old Track, Old Path
    4 Old track, old path ‘His sacred house and the place where he lived,’ wrote Armando Pinto Correa, an administrator of Portuguese Timor, when he visited Suai and met its ruler, ‘had the name Behali to indicate the origin of his family who were the royal house of Uai Hali [Wehali] in Dutch Timor’ (Correa 1934: 45). Through writing and display, the ruler of Suai remembered, declared and celebrated Wehali1 as his origin. At the beginning of the twentieth century, the Portuguese increased taxes on the Timorese, which triggered violent conflict with local rulers, including those of Suai. The conflict forced many people from Suai to seek asylum across the border in West Timor. At the end of 1911, it was recorded that more than 2,000 East Timorese, including women and children, were granted asylum by the Dutch authorities and directed to settle around the southern coastal plain of West Timor, in the land of Wehali (La Lau 1912; Ormelling 1957: 184; Francillon 1967: 53). On their arrival in Wehali, displaced people from the village of Suai (and Camenaça) took the action of their ruler further by naming their new settlement in West Timor Suai to remember their place of origin. Suai was once a quiet hamlet in the village of Kletek on the southern coast of West Timor. In 1999, hamlet residents hosted their brothers and sisters from the village of Suai Loro in East Timor, and many have stayed. With a growing population, the hamlet has now become a village with its own chief asserting Suai Loro origin; his descendants were displaced in 1911.
    [Show full text]
  • The Making of Middle Indonesia Verhandelingen Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- En Volkenkunde
    The Making of Middle Indonesia Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Edited by Rosemarijn Hoefte KITLV, Leiden Henk Schulte Nordholt KITLV, Leiden Editorial Board Michael Laffan Princeton University Adrian Vickers Sydney University Anna Tsing University of California Santa Cruz VOLUME 293 Power and Place in Southeast Asia Edited by Gerry van Klinken (KITLV) Edward Aspinall (Australian National University) VOLUME 5 The titles published in this series are listed at brill.com/vki The Making of Middle Indonesia Middle Classes in Kupang Town, 1930s–1980s By Gerry van Klinken LEIDEN • BOSTON 2014 This is an open access title distributed under the terms of the Creative Commons Attribution‐ Noncommercial 3.0 Unported (CC‐BY‐NC 3.0) License, which permits any non‐commercial use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author(s) and source are credited. The realization of this publication was made possible by the support of KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies). Cover illustration: PKI provincial Deputy Secretary Samuel Piry in Waingapu, about 1964 (photo courtesy Mr. Ratu Piry, Waingapu). Library of Congress Cataloging-in-Publication Data Klinken, Geert Arend van. The Making of middle Indonesia : middle classes in Kupang town, 1930s-1980s / by Gerry van Klinken. pages cm. -- (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, ISSN 1572-1892; volume 293) Includes bibliographical references and index. ISBN 978-90-04-26508-0 (hardback : acid-free paper) -- ISBN 978-90-04-26542-4 (e-book) 1. Middle class--Indonesia--Kupang (Nusa Tenggara Timur) 2. City and town life--Indonesia--Kupang (Nusa Tenggara Timur) 3.
    [Show full text]
  • Data Alumni Diklat Pim Tk.Iii Badan Pengembangan Sumberdaya
    DATA ALUMNI DIKLAT PIM TK.III BADAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA DAERAH PROVINSI NTT ANGKATAN : 09 TANGGAL MULAI DIKLAT : 14 MARE 2016 TANGGAL SELESAI DIKLAT: 01 JULI 2016 TEMPAT JENIS TLP NIP NAMA TANGGAL LAHIR AGAMA PANGKAT GOL JABATAN INSTANSI NOMOR REGISTRASI LAHIR KELAMIN KANTOR Kabid Data dan Kepangkatan Pemerintah AFRET APRIANUS LOPO, Timor Tengah 00001548/DIKLATPIM TK. 197204091999031009 09 April 1972 Protestan Laki-Laki Pembina IV/a pada Badan Kepegawaian Kabupaten Timor S.SOS Selatan III/53/5300/LAN/2016 Daerah Tengah Selatan Kabag Tata Usaha pada RSUD Pemerintah Kota 00001549/DIKLATPIM TK. 196504071999031002 ANDERIAS WOLI,SH Sumba Barat 07 April 2016 Protestan Laki-Laki Pembina IV/a S.K.Lerik Kupang III/53/5300/LAN/2016 ANIKA T.LENI BELLA, Kabag Keuangan pada Pemerintah Kota 00001550/DIKLATPIM TK. 196811251995032005 Kupang 25 November 1968 Protestan Perempuan Pembina IV/a SE Sekretariat DPRD Kupang III/53/5300/LAN/2016 Kabid Penataan dan Pelayanan DAVIDZON EDISON Pemerintah Kota 00001551/DIKLATPIM TK. 196312081985121005 Kupang 08 Desember 1962 Protestan Laki-Laki Pembina IV/a Perhubungan Pada Dinas PUAS,SH Kupang III/53/5300/LAN/2016 Perhubungan Kabid Pengawasan dan Djarmes Herminus Pemerintah Kota 00001552/DIKLATPIM TK. 197001022001121007 Kupang 05 Juni 1968 Protestan Laki-Laki Pembina IV/a Pengendalian pada Dinas Lango, S.Sos,.MM Kupang III/53/5300/LAN/2016 Pendapatan Daerah Kabid Pelayanan Medis pada Pemerintah Kota 00001553/DIKLATPIM TK. 196806152002121005 dr. M.Ihsan Lamongan 15 Juni 1968 Islam Laki-Laki Pembina IV/a RSUD SK Lerik Kupang III/53/5300/LAN/2016 Pemerintah dr.R.A.KAROLINA Kepala Rumah Sakit Umum 00001554/DIKLATPIM TK.
    [Show full text]
  • Customary Law Toward Matamusan Determination
    CUSTOMARY LAW TOWARD MATAMUSAN DETERMINATION TO CUSTOM SOCIETY AT WEWIKU WEHALI, BELU, NTT Roswita Nelviana Bria (Corresponing Author) Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 813 365 182 51 E-mail: roswita@yahoo.com Sujito Departement of Language and Letters, Kanjuruhan University of Malang Jl. S Supriyadi 48 Malang, East Java, Indonesia Phone: (+62) 817 965 77 89 E-mail: doctor_su@yahoo.co.id Maria G.Sriningsih English Literature Facultyof Languageand Literature Kanjuruhan University of Malang Jl. S. Supriyadi No. 48 Malang 65148, East Java, Indonesia Phone: (+62) 85 933 033 177 E-mail: ABSTRACT Customary law is the law or unwritten rule that grow and thrive in a society that is only obeyed bycostom society in Belu. One of the most important customary law in Belu is the marriage law. Matrilineality system in 94 south Belunese descent is traced through the mother and maternal ancestors.However, in this matrilineal system, there is still a customary law that maintains the father‘s lineage based on customary law by adopting which called matamusanwhich is really ineresting because it is dfferent with matrilineal system in Minangkabau as the most popular matrilineal society. The research design of this thesis is descriptive qualitative research. It is intended to describe about matamusan as customary adoption system, chronological step of matamusan determination, the development of matamusan implementation, factors influencing the development of matamusan determination, and the effectiveness of customarylaw toward matamusandetermination.From the result of this study, it was clear that customary law is still effective in handle the violation of matamusan determination.
    [Show full text]
  • Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Nusa Tenggara Timur
    KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : S. Agung S. Raharjo Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan LHK Kupang Jln. Alfons Nisnoni No. 7B Airnona Kupang Telp. 0380-823357 Fax 0380-831068 Email : agung_sriraharjo@yahoo.co.id A. Pengantar Sumber daya hutan merupakan salah satu modal pembangunan bangsa. Pada era orde baru hutan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber devisa untuk pembangunan. Seperti telah kita ketahui bersama sumber daya hutan yang besar terdapat di Kalimantan, Sumatra dan Papua, maka pada saat itu (orde baru) pemerintah melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan di kawasan tersebut. Hasil eksploitasi hutan tersebut digunakan sebagai modal pembangunan. Berkaca dari praktek eksploitasi hutan sebagai sumber pendapatan negara tersebut, maka bagaimana dengan Nusa Tenggara Timur(NTT)? Hasil hutan apa yang di eksploitasi dan menopang pembangunan di NTT? Ya kita punya Cendana. Selama masa orde baru cendana menjadi penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTT. Bagaimana eksploitasi cendana di NTT? apakah hasilnya digunakan untuk modal pembangunaan di NTT? bagaimana kebijakan pengelolaan cendana di NTT dan implikasinya?. Makalah ini akan memberikan gambaran pengelolaan cendana di NTT, implikasi dan alternatif solusi pengelolaan cendana sesuai dengan kondisi kontemporer. Makalah dibagi menjadi lima bagian yaitu pengantar, yang berisi latar belakang umum makalah ini. Bagian ke dua memberikan gambaran pengelolaan cendana sebelum reformasi, hal ini terutama berkaitan dengan kebijakan atau aturan yang berlaku dan implikasinya. Kemudian pada bagian ketiga akan memberikan gambaran pengelolaan cendana pasca reformasi. Pada bagian ke empat akan memberikan gambaran alternatif kebijakan pengelolaan cendana sesuai dengan kondisi politik konteporer yang berkembang di Indonesia. Sebagai penutup pada bagian ke lima akan disampaikan beberapa rekomendasi dan kebutuhan respon pemerintah terhadap pengelolaan cendana ke depan.
    [Show full text]
  • Sea-Change: Mambai Sensory Practices and Hydrocarbon Exploitation in Timor-Leste
    Sea-Change: Mambai Sensory Practices and Hydrocarbon Exploitation in Timor-Leste by Prash Naidu A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy (Anthropology) in the University of Michigan 2019 Doctoral Committee: Professor Stuart Kirsch, Chair Professor Webb Keane Professor Maria Lemos Professor Erik Mueggler Prashanthan Naidu pnaidu@umich.edu ORCID iD: 0000-0003-3619-3636 © Prashanthan Naidu 2019 Dedication This dissertation is dedicated to the memory of my grandparents, Avva and Thata, and Avo Roza in Timor-Leste. ii Acknowledgements I recall the times Avva, my paternal grandmother, whiffed deeply into a piece of fruit before placing it under my untrained nose. “Here, smell it. You can tell by the smell if it’s ripe,” she said. This memory rematerialized many years later when my Mambai host mother, Roza, beckoned me to smell the fish caught by her husband in the Tasi Mane. “You won’t smell the sea when you smell our fish, you will only smell death,” Roza would often remind me during fieldwork. Not only did Roza nudge me to study the vital role of the senses in people’s perception of environmental change, she also stirred memories of my grandmother’s olfactory teachings. Roza and her family Araujo shared more than food, safety, and shelter with me; they left me with a sense of purpose in documenting and writing about the sea-change experienced by people at the margins of international concern. As an adviser once shared with me, an acknowledgement is the materialization of our lived memories.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/25/2021 08:57:46PM Via Free Access | Lords of the Land, Lords of the Sea
    3 Traditional forms of power tantalizing shreds of evidence It has so far been shown how external forces influenced the course of events on Timor until circa 1640, and how Timor can be situated in a regional and even global context. Before proceeding with an analysis of how Europeans established direct power in the 1640s and 1650s, it will be necessary to take a closer look at the type of society that was found on the island. What were the ‘traditional’ political hierarchies like? How was power executed before the onset of a direct European influence? In spite of all the travel accounts and colonial and mission- ary reports, the seventeenth- and eighteenth-century source material for this region is not rich in ethnographic detail. The aim of the writers was to discuss matters related to the execution of colonial policy and trade, not to provide information about local culture. Occasionally, there are fragments about how the indigenous society functioned, but in order to progress we have to compare these shreds of evidence with later source material. Academically grounded ethnographies only developed in the nineteenth century, but we do possess a certain body of writing from the last 200 years carried out by Western and, later, indigenous observers. Nevertheless, such a comparison must be applied with cau- tion. Society during the last two centuries was not identical to that of the early colonial period, and may have been substantially different in a number of respects. Although Timorese society was low-technology and apparently slow-changing until recently, the changing power rela- tions, the dissemination of firearms, the introduction of new crops, and so on, all had an impact – whether direct or indirect – on the struc- ture of society.
    [Show full text]
  • Pahlawan-Pahlawan Suku Timor
    TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011 PAHLAWAN-PAHLAWAN SUKU TIMOR oleh I.H. DOKO Perpustakaan Nasional Balai Pustaka R e p u b l i k I n d o n e s i a Penerbit dan Percetakan PN BALAI PUSTAKA BPNo. 2847 Hak pengarang dilindungi Undang-undang Cetakan pertama 1981 Gambar kulit: B.L. Bambang Prasodjo. KATAPENGANTAR Bahwa perjuangan menentang kaum penjajah di Timor sudah ada sejak bangsa asing berusaha berkuasa di bagian Tanah Air kita ini, mungkin belum banyak yang mengetahuinya. Bacaan yang memperkenalkan para pahlawan bangsa kita yang ada di wilayah ini dapat dikatakan tidak ada. Kalau pun ada mungkin hanya terbatas di Pulau Timor dan sekitarnya saja. Kami sajikan pada kesempatan ini episode-episode perjuangan para pahlawan kita di Timor dan dilengkapi pula dengan ilustrasi-ilustrasi historis. Kami yakin bacaan ini akan sangat besar artinya bagi para remaja dan masyarakat umumnya di seluruh Tanah Air kita. Taktik serta strategi perjuangan dapat berbeda-beda, tetapi yang jelas sama ialah: Setiap suku bangsa kita sejak dulu menolak segala bentuk penjajahan oleh siapa pun. PN Balai Pustaka PENDAHULUAN Ahli sejarah J. Toynbcc menyatakan bahwa dengan mempelajari jalan sejarah, kita akan lebih memahami keadaan kita sekarang dan masalah kita yang akan datang. Memang tepat sekali ucapan itu, karena tidak ada hari esok tanpa melalui hari ini dan demikian pula tidak ada hari ini tanpa melewati hari kemarin. Di dorong oleh keyakinan inilah, maka buku mengenai "Para Pahlawan Suku Timor" ini disusun sebagai bahan bacaan untuk masyarakat umum, khususnya untuk para siswa dan pemuda bangsa kita di daerah Nusa Tenggara Timur, yang pasti ingin lebih banyak mengetahui tentang kisah kehidupan dan perjuangan tokoh-tokoh di daerahnya, sebagai bagian mutlak dari perjuangan Bangsa Indonesia dalam mencapai Kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa.
    [Show full text]
  • Keberlanjutan Dan Pengetahuan Lokal Pada Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat Oleh GMIT Ebenhaezer, Klasis Kelaisi Timur, Apui - Alor
    Policy Brief #2 | Januari 2016 Policy Brief Keberlanjutan Dan Pengetahuan Lokal Pada Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat Oleh GMIT Ebenhaezer, Klasis Kelaisi Timur, Apui - Alor Latar Belakang NTT dikenal sebagai provinsi dengan musim hujan yang pendek dan potensi cekungan air tanah yang kecil. Walaupun demikian rata-rata curah hujan yang berkisar 1.200 mm/tahun sebenarnya dapat mensuplai 18.257 milyar m³ air per tahun. Potensi air ini semestinya dapat memenuhi kebutuhan air irigasi yang mencapai 9.401 milyar m³ untuk areal irigasi seluas 352.386 Ha dan air non irigasi 0,629 milyar. Defisit air yang mencapai 1,5 milyar m³/ tahun kemudian diterjemahkan oleh pemerintah dengan Renstra upaya pembangunan berbagai Foto: Margareth Heo/Pikul infrastruktur/sarana/prasarana penampung air seperti: bendungan, embung irigasi, embung kecil, sumur bor dan instalasi perpipaan untuk air bersih. RISET MEMBEDAH PRASYARAT Pemerintah telah berupaya memudahkan akses masyarakat terhadap sumber KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN daya air melalui berbagai program, proyek dan kegiatan baik dari pusat maupun SUMBER DAYA AIR BERBASIS daerah dengan dana APBN, APBD maupun pihak ketiga dan bantuan luar negeri. MASYARAKAT/DESA DI NTT Pembangunan ini sering kali terkendala dengan berbagai persoalan bahkan Desa Kecamatan Jenis sumber Mata Air ringkasan konflik oleh: Penfui Timur Kupang Timur Sumur Bor Sumur bor dikuasai oleh perorangan, pemilik tanah Embung yang seharusnya diperuntukan untuk dua Oeniko Amabi Oefeto Embung dusun kemudian dikuasai oleh satu dusun saja
    [Show full text]