KAFÂ’AH NASAB AHL AL-BAYT DALAM PERSPEKTIF FIKIH MADZÂHIB AL-ARBA’AH

TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama

Oleh: SHOHIBUL FAROJI NIM : 207610017

Pembimbing: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo,MA Dr. KH. Ahsin Sakho , MA

KONSENTRASI ILMU SYARI’AH STUDI AGAMA ISLAM PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA TAHUN 2015 M / 1436 H PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Shohibul Faroji NIM : 207610017 Tempat Tanggal Lahir : Banyuwangi, 13 Juni 1977

Menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kafâ’ah Nasab Ahl Al-Bayt Dalam Perspektif Fikih Madzâhib Al-Arba’ah” adalah benar-benar karya penulis, kecuali kutipan-kutipan yang telah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Jakarta, 12 Desember 2014 Yang membuat pernyataan Penulis,

Shohibul Faroji NIM : 207610017

i

HALAMAN MOTTO

Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". (QS. Asy-Syûra (42): 23)1

Telah menceritakan kepada kami [Abu An-Nadhir] berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad] yaitu Ibnu Thalhah- dari [Al- A’masy] dari [’Athiyyah Al-’Aufi] dari [Abû Sa’îd Al-Khudri] dari Nabi Shallallâhu ’Alaihi Wasallam, beliau bersabda: "Sungguh hampir saja aku dipanggil dan aku menjawabnya, dan aku telah tinggalkan untuk kalian dua perkara; kitabullah ’Azza Wajalla dan Itrahku, kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan Itrahku dari ahli baitku, dan Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah hingga mereka berkumpul di telaga, maka perhatikanlah aku, kenapa kalian menyelisihi keduanya." (HR. Ahmad)2

1 Al-Qur’an, Surah Asy-Syûra (42): 23

2 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis No.10707 iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penulis mempersembahkan tesis ini buat 1. Rasûlullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, ahl al-bayt-nya, para sahabat-nya, tabi’în, tabi’u at-tâbi’în. 2. Walisongo, yang merupakan itrah dan dzurriyyah Rasûlullah di Nusantara. 3. Kedua orang tua dan mertua yang senantiasa mendoakan penulis dalam menjalani proses belajar. 4. Teruntuk isteri tercinta Selvya Fairus Rasidi yang dengan setia lahir batin mendampingi setiap proses penelitian ini. Serta anak-anakku terkasih Muhammad Asyaddu Hubbal lillah Azmatkhan, ‘Ali Al- Haqqu Mirrabbik Azmatkhan, Hairani Farasyta Azka Azmatkhan, ‘Alwi ‘Abdul Mâlik Azmatkhan dan Muhammad ‘Ali Al-Mahdi Azmatkhan.

v

KATA PENGANTAR

Assalâmu ‘alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhânahu Wa Ta’âla bahwasanya berkat rahmat, hidayah, ‘inayah dan taufiq-Nya maka penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) dalam Ilmu Agama Islam Konsentrasi Ilmu Syariah Program Studi Islam Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta. Dalam proses penulisan penelitian ini banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tulus kepada: 1. Ibu Rektor IIQ Jakarta, Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, sekaligus yang berkenan menjadi pembimbing I dalam penelitian ini dan memberikan banyak kemudahan kepada penulis. 2. Bapak Direktur Pasca Sarjana IIQ Jakarta, bapak Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputera, MA, sekaligus beliau sebagai Tim Perivikasi Tesis, Ketua Sidang Munaqasyah dan Penguji II tesis ini, juga terima kasih untuk Asisten Direktur I bapak Dr. KH. A. Fudhaili, MA, sebagai Tim Verifikasi sekaligus sebagai Ketua Panitia Wisudawan/wati IIQ Jakarta, tahun 2015, beserta Asisten Direktur II bapak Dr. KH. Maulana Hasanuddin, MA 3. Bapak Dr. KH. Ahsin Sakha Muhammad, MA sebagai pembimbing ke-2 yang banyak memberikan masukan konstruktif pada penelitian ini dan dengan telaten serta teliti menuntun penulis memperbaiki hasil penelitian ini. 4. Bapak Prof.Dr. KH. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc. MA. Sebagai Penguji I Tesis ini. 5. Seluruh Staf Pengajar (dosen) dan Staf Administrasi Sekretariat Program Pascasarjana IIQ Jakarta yang telah banyak memberikan bantuan dan fasilitasnya sehingga selesainya penelitian ini. 6. Kedua orang tua, ayahanda Muhammad Misbah Azmatkhan dan ibunda Syarifah Salmah Azmatkhan serta ibunda mertua Syarifah Salmah Alkaf yang senantiasa mendoakan penulis dalam menjalani proses belajar.

vi

7. Spesial penulis ucapkan terimakasih kepada isteri tercinta Selvya Fairus Rasidi yang dengan setia lahir batin mendampingi setiap proses penelitian ini. Serta anak-anakku terkasih Muhammad Asyaddu Hubbal lillah Azmatkhan, ‘Ali Al-Haqqu Mirrabbik Azmatkhan, Hairani Farasyta Azka Azmatkhan, ‘Alwi ‘Abdul Mâlik Azmatkhan dan Muhammad ‘Ali Al-Mahdi Azmatkhan yang senantiasa menjadi obat dalam mengembalikan keletihan dan kejenuhan abuya Faroji, serta dengan tabah merelakan waktu dan kebersamaan yang tersita dalam kehangatan keluarga. 8. Semua sahabat yang tidak mungkin disebut satu persatu di tesis ini, yang banyak membantu penulis dalam penelitian, menjadi koresponden penelitian dari berbagai daerah dan wilayah di 34 Provinsi dari Sabang sampai Merauke, juga para sahabat koresponden di berbagai negara dari beberapa benua, yang turut aktif membantu memberikan informasi tentang ahl al-bayt dan kafâ’ah pernikahannya kepada penulis baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media sosial seperti email, whatsapp, telegram, BBM, telepon, surat menyurat, dan lain-lain.

Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan secara materi dan metode, oleh sebab itu penulis dengan penuh tulus ikhlas dan kerendahan hati mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan di masa mendatang. Semoga hasil penelitian ini dapat membuka wawasan akan urgensi Fikih Islam, khususnya tentang kafâ’ah pernikahan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasûlullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.

Jakarta: 18 Jumadil Ula 1436 H 09 Maret 2015 M

Penulis

vii

ABSTRAKSI

KAFÂ’AH NASAB AHL AL-BAYT DALAM PERSPEKTIF FIKIH MADZÂHIB AL-ARBA’AH

Shohibul Faroji

Pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan suci naluriah dan ruhaniah antara laki-laki dan perempuan. Tujuan pernikahan adalah terciptanya keluarga sakînah mawaddah wa rahmah yang akan membawa mereka mengarungi samudera ridha Ilahi. Untuk mencapai tujuan di atas, empat imâm mujtahid Sunni berbeda pendapat tentang syarat untuk mencapai tujuan pernikahan. Apakah tujuan pernikahan bisa didapatkan dengan kafâ’ah nasab atau tidak. Permasalahan yang muncul dalam tesis ini adalah: apa dan siapa yang bisa disebut Ahl Al-bayt? bagaimana sebenarnya konsep kafâ’ah nasab Ahl Al-Bayt dalam perspektif fiqih mazhâhib al-arba’ah ? dan bagaimana relevansi pemahaman kafâ’ah nasab Ahl Al-Bayt terhadap kondisi sosial modern yang semakin canggih ini ?. Pernyataan para Imâm tentang kafâ’ah nasab berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah kafâ’ah nasab ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, Imâm Mâlik berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai kafâ’ah, Imâm Syafi’i berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt atau kafâ’ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman, dan Imâm Ahmad bin Hanbal –dalam salah satu riwayat darinya– kafâ’ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu’, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ’ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ’ah. Teori sekaligus praktek tentang kafâ’ah nasab ini sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini. Berdasarkan ushûl al-fiqh bahwa dalam pernikahan, al-Hadaf (tujuan utama pernikahan) adalah sakînah mawaddah wa rahmah, sedangkan Kafâ’ah nasab merupakan al- wasîlah (salah satu perantara untuk mencapai tujuan tersebut). Metodologi yang dipergunakan dalam tesis ini adalah dari sisi metode pengumpulan data, penulis menggunakan metode Library Research, observasi, interview, dokumentasi, angket (kuesionare), tes dan korespondensi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan metode analisis isi (content analysis). Dalam studi keabsahan data ini ada 2 metode yang digunakan oleh peneliti, yaitu: metode isnad dan metode trianggulasi. ix

Adapun tahap-tahap dalam pengumpulan data dalam suatu penelitian, yaitu tahap orientasi, tahap ekplorasi dan tahap member chek. Penulis dalam metode penulisan penelitian ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Institut Ilmu Al-Qur’an dan Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana IIQ Jakarta Nomor: K.0058.XVII/PPS/VI/2015, penulis menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1987, Nomor 158 Tahun 1987 - Nomor: 0543 b/U/1987. Analisa penulis dalam tesis ini adalah bahwa berdasarkan hasil penelitian penulis di beberapa tempat hampir merata di seluruh dunia, bahwa kafâ’ah nasab perlu dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu kafâ’ah nasab yang bersifat umum dan kafâ’ah nasab yang bersifat khusus. Kafâ’ah nasab yang bersifat umum adalah kafâ’ah nasab bagi seluruh manusia, sedangkan kafâ’ah nasab yang bersifat khusus, adalah kafâ’ah nasab yang terjadi dalam pernikahan ahl al-bayt Rasûlullah Shallallâhu ’Alaihi Wasallam. Mengenai kafâ’ah nasab khusûsiyyah, empat madzhab fiqih sunni berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah kafâ’ah nasab di ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, maka implikasi hukumnya adalah sunnah; Imâm Mâlik berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai kafâ’ah, maka implikasi hukumnya adalah mubah, Imâm Syafi’i berpendapat bahwa kafâ’ah nasab ahl al-bayt atau kafâ’ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman. Disebut syarat sah karena kafâ’ah ahl al-bayt adalah hak wali, tidak sah pernikahan tanpa adanya wali nikah, disebut syarat fadhoil karena takdir bernasab kepada Rasûlullah merupakan keutamaan atau fadhoil dari Allah, dan itu merupakan hak otoritas Allah; disebut syarat penting karena ia merupakan hak isteri, rumah tangga membutuhkan frekwensi yang sama antara suami isteri, maka kafâ’ah nasab merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan suami isteri, juga merupakan syarat kelaziman (syarat ‘urfi) karena di kalangan komunitas ‘alawiyyîn yang lazim adalah pernikahan seorang syarifah sepantasnya menikah dengan seorang sayyid. Berdasarkan fakta di atas maka implikasinya kafâ’ah nasab ahl al- bayt adalah wajib hal ini diikuti oleh Mufti Besar Betawi As-Sayyid Utsman bin Yahya yang memfatwakan bahwa kafâah nasab bagi ahl al-bayt adalah syarat wajib, dan hukumnya wajib. dan Imâm Ahmad bin Hanbal –dalam salah satu riwayat darinya– kafâ’ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu’, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ’ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ’ah. Dalam konteks ini penulis mengkritisi pendapat empat madzhab sunni di atas, bahwa jika merujuk kepada ayat Al-Qur’an, sebenarnya tidak ada

x ayat yang secara tekstual memerintahkan adanya syarat kafâ’ah nasabiyyah dalam pernikahan ahl al-bayt, selama ini ayat-ayat yang ada memiliki multi tafsir, yang bisa ditafsirkan sesuai keinginan mufassir. Juga dalam hadits, tidak ada perintah secara jelas yang mengharuskan adanya kafâ’ah nasabiyyah antara ahl al-bayt, yang ada adalah tentang keutamaan ahl al-bayt, bukan pernikahan ahl al-bayt. Maka sebenarnya hukum kafâ’ah nasabiyyah ahl al-bayt bagi syarifah lebih mengarah kepada ‘urf ahl al-bayt yang menjadi hukum. Al-‘Âdah al-muhakkamah bahwa adat bisa menjadi hukum, selama adat tersebut tidak bertentangan dan tidak menyalahi Syari’at Islam. Kesimpulannya kafâ’ah nasab ahl al-bayt merupakan tema tersendiri yang perlu dikaji dalam bab pernikahan, bab ini perlu dikaji secara mendalam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang mu’tabarah, hati-hati dan memperhatikan dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat.

Kata Kunci : Kafâ’ah nasab Ahl Al-Bayt, Fiqih Madzâhib Al-Arba’ah

xi

DAFTAR ISI

Halaman Pernyataan Penulis………………………………………………. i Halaman Persetujuan Pembimbing Tesis…………………………………. ii Halaman Pengesahan Tesis………………………………………………… iii Halaman Motto……………………………………………………………… iv Halaman Persembahan……………………………………………………... v Kata Pengantar……………………………………………………………… vi Abstraksi…………………………………………………………………….. vii Daftar Isi…………………………………………………………………….. xii Daftar Tabel…………………………………………………………………. xvii Daftar Gambar………………………………………………………………. xviii Daftar Lampiran…………………………………………………………….. xix Pedoman Transliterasi………………………………………………………. xx BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah………………………………………… 1 B. Identifikasi Masalah…………………………………………….. 10 C. Pembatasan Masalah…………………………………………….. 11 D. Perumusan Masalah……………………………………………... 16 E. Tujuan Penelitian………………………………………………… 17 F. Manfaat Penelitian……………………………………………….. 18 G. Tinjauan Pustaka…………………………………………………. 18 H. Kerangka Teori…………………………………………………… 20 I. Metode Penelitian…………………………………………………. 23 J. Sistematika Penulisan…………………………………………….. 29 BAB II AHL Al-BAYT RASÛLULLAH DAN KAFÂ’AH NASAB……... 32 A. Ahl al-Bayt Dalam Perspektif Ilmu Nasab………………………. 32 1. Pengertian Ahl Al-Bayt Menurut Bahasa dan Istilah………… 32 2. Siapa Saja Ahl Al-Bayt……………………………………….. 34 3. Keutamaan dan Keistimewaan Ahl Al-Bayt…………………. 35 4. Anjuran Syari’at Islam Untuk Mencintai Ahl Al-Bayt………. 39 5. Pengertian Ilmu Nasab Ahl Al-Bayt…………………………. 41 6. Tujuan dan Manfaat Mempelajari Ilmu Nasab Ahl-Bayt……. 44 7. Kedudukan Ilmu Nasab Ahl Al-Bayt dalam Syari’at Islam…. 45 8. Nasab Biologis Berbeda Dengan Nasab Syar’i……………… 47 B. Kafâ’ah Nasab Dalam Islam……………………………………. 52 1. Pengertian Kafâ’ah Nasab Dalam Islam……………………… 52 2. Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Mengisyaratkan Kafâ’ah Nasab… 53 3. Kafâ’ah Menurut Hadits Nabi Muhammad SAW……………. 55 4. Tujuan Kafâ’ah Nasab Ahl Al-Bayt Rasûlullah……………… 71 BAB III STUDI KOMPERATIF TERHADAP KAFÂ’AH NASAB AHL AL-BAYT DALAM PERSPEKTIF FIKIH MADZAHIB Al- 74 ‘ARBÂ’AH………………………………………………………… A. Imâm Abû Hanîfah……………………………………………… 74 1. Biografi Imâm Abû Hanîfah………………………………….. 74 2. Pendapat Imâm Abû Hanîfah tentang Ahl Al-Bayt…………… 80 xii

3. Pendapat Imâm Abû Hanîfah tentang Kafâ’ah Ahl Al-Bayt…. 81 4. Metode Istinbath Imâm Abû Hanîfah………………………… 88 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Abû Hanîfah dalam menetapkan Hukum Islam……………………………………. 88 6. Relevansi pendapat Madzhab Hanâfiyyah terhadap kafâ’ah nasab di era modern…………………………………………… 90 B. Imâm Mâlik……………………………………………………… 91 1. Biografi Imâm Mâlik………………………………………… 91 2. Pendapat Imâm Mâlik tentang Ahl Al-Bayt………………… 97 3. Pendapat Imâm Mâlik tentang Kafâ’ah Ahl Al-Bayt…..……… 98 4. Metode Istinbath Imâm Mâlik………………………………… 98 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Mâlik dalam menetapkan Hukum Islam…………………………………… 99 6. Relevansi pendapat Madzhab Mâlikiyyah terhadap kafâ’ah nasab di era modern…………………………………………… 101 C. Imâm Asy-Syâfi’iy……………………………………………… 101 1. Biografi Imâm Asy-Syâfi’iy………………………………… 101 2. Pendapat Imâm Asy-Syâfi’iy tentang Ahl Al-Bayt…….…… 111 3. Pendapat Imâm Asy-Syâfi’iy tentang Kafâ’ah Ahl Al-Bayt… 112 4. Metode Istinbath Imâm Asy-Syâfi’iy…………………..…… 125 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Asy-Syâfi’iy dalam 126 menetapkan Hukum Islam…………………………………… 6. Relevansi pendapat Madzhab Syâfi’iyyah terhadap kafâ’ah 127 nasab di era modern…………………………………………… D. Imâm Ahmad bin Hanbal…………………………………..…… 128 1. Biografi Imâm Ahmad bin Hanbal……………………..……… 128 2. Pendapat Imâm Ahmad bin Hanbal tentang Ahl Al-Bayt…… 137 3. Pendapat Imâm Ahmad bin Hanbal tentang Kafâ’ah Ahl al- Bayt…………………………………………………………… 137 4. Metode Istinbath Imâm Ahmad bin Hanbal…………………… 139 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan Hukum Islam……………………………… 140 6. Relevansi pendapat Madzhab Hanâbilah terhadap kafâ’ah nasab di era modern…………………………………………… 141 BAB IV PENUTUP…………………………………………………….…… 143 A. Kesimpulan…………………………………………………… 143 B. Saran-saran……………………………………………….…… 147 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...…… 148 LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………..…… 161 Tabel 1 Tempat penelitian 162 Tabel 2 Waktu Penelitian 169 Tabel 3 Daftar Qabilah Keturunan Imam Hasan Sedunia 171 Tabel 4 Daftar Qabilah Keturunan Imam Husain Sedunia 181 Tabel 5 Penerapan Kafâ’ah Nasab Madzhab Hanafi 191 Tabel 6 Penerapan Kafâ’ah Nasab Madzhab Maliki 193 Tabel 7 Penerapan Kafâ’ah Nasab Madzhab Syafi’i 194

xiii

Tabel 8 Penerapan Kafâ’ah Nasab Madzhab Hanbali 196 Gambar 1 Pengertian Ahlulbayt 198 Lampiran 1 Sanad Penulis ke Imâm Abû Hanîfah…………………..……… 200 Lampiran 2 Sanad Penulis Ke Imâm Mâlik bin Anas……………….……… 210 Lampiran 3 Sanad Penulis Ke Imâm Asy-Syafi’i…………………….…….. 221 Lampiran 4 Sanad Penulis Ke Imâm Ahmad bin Hanbal…………...……… 229 Lampiran 5 Angket…………………………………………………….…… 238 Lampiran 6 Dokumentasi……………………………………………...……. 240 Lampiran 7 Korespondensi…………………………………………………. 242 Lampiran 8 Library Research………………………………………………. 246 Lampiran 9 Observasi………………………………………………….…… 248 Lampiran 10 Tes…………………………………………………………….. 249 Lampiran 11 Interview / Wawancara……………………………………….. 250 Lampiran 12 Peta Perkembangan Madzhab………………………………… 254 Biografi Penulis……………………………………………………………… 255

xiv

DAFTAR TABEL

TABEL ISI TABEL HALAMAN

Tabel 1 Tempat Penelitian 162

Tabel 2 Waktu Penelitian 169

Tabel 3 Daftar Qabîlah Keturunan Imâm Al-Hasan bin ’Âli di 171

Seluruh Dunia

Tabel 4 Daftar Qabîlah Keturunan Imâm Al-Husain bin ’Âli di 181

Seluruh Dunia

Tabel 5 Penerapan Kafâ’ah Ahl Al-Bayt di Negara Bermadzhab 191 Hanafi Tabel 6 Penerapan Kafâ’ah Ahl Al-Bayt di Negara Bermadzhab 193 Mâliki Tabel 7 Penerapan Kafâ’ah Ahl Al-Bayt di Negara Bermadzhab 194 Syâfi’i Tabel 8 Penerapan Kafâ’ah Ahl Al-Bayt di Negara Bermazdhab 196 Hanbali

xvii

DAFTAR GAMBAR

NO URUT KETERANGAN HALAMAN Gambar 1 Macam-macam pengertian tentang ahl al-bayt 198

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sanad Penulis ke Imâm Abû Hanîfah 200

Lampiran 2 Sanad Penulis Ke Imâm Mâlik bin Anas 210

Lampiran 3 Sanad Penulis Ke Imâm Asy-Syafi’i 221

Lampiran 4 Sanad Penulis Ke Imâm Ahmad bin Hanbal 229

Lampiran 5 Angket 238

Lampiran 6 Dokumentasi 240

Lampiran 7 Korespondensi 242

Lampiran 8 Library Research 246

Lampiran 9 Observasi 248

Lampiran 10 Tes 249

Lampiran 11 Interview / Wawancara 250

Lampiran 12 Peta Perkembangan Madzhab 254

xix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan pedoman transliterasi Arab- Latin menurut Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Mei 2011, adalah sebagai berikut:

A.Konsonan

Arab Latin Arab Latin a dh b th t zh ts ’ j gh h f kh q d k dz l r m z n s w sy h sh y

B. Vokal Pendek C. Vokal Panjang

a Contoh ditulis qara’a â Contoh ditulis qâma

i Contoh ditulis rahima î Contoh ditulis rahîm

u Contoh ditulis kutub û Contoh ditulis ’ulûm

xx

xx

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pernikahan menurut Imâm Taqi ad-Dîn Abî Bakar bin Muhammad al-Husayni al-Hushoini ad-Dimasyqi asy-Syâfi‘i adalah sebuah ikatan sakral antar insan beda jenis (laki-laki dan perempuan) yang bersifat naluriah, sebuah ikatan suci (mitsâqan galîzha), indah nan damai. Diharapkan dengan tali pernikahan, akan lahir sebuah keluarga bahagia dan sakinah, yang akan menenggelamkan mereka dalam samudera ridha Ilahi yang luas1. Sebelum terjadi pernikahan, Islam telah mengatur rambu-rambu menuju gerbang pernikahan. Di antaranya mengenai kriteria pendamping. Hal ini penting, sebab pendamping adalah sosok yang paling berpengaruh dalam mengarungi bahtera rumah tangga2. Untuk itu dalam Islam, tercantumlah istilah kafâ‟ah (kesetaraan) sebagai cermin bagi seorang dalam melenggang menuju pernikahan, kafâ‟ah sendiri ada lima macam: Pertama, kafâ’ah fî ad- dîn, yakni kafâ‟ah dalam urusan agama. Kedua, kafâ’ah fî al-hirfah, yakni kafâ‟ah dalam urusan pekerjaan. Ketiga, kafâ’ah salâmatan min al-‘aîb, yakni kafâ‟ah dalam urusan terhindar dari aib-aib. Keempat, kafâ’ah fî al-hurriyyah, yakni kafâ‟ah dalam urusan merdeka atau tidaknya seorang dalam perbudakan. Dan kelima, kafâ’ah fî al-nasab, yakni kafâ‟ah dalam urusan nasab atau keturunan3. Kafâ‘ah dalam urusan nasab atau keturunan muncul karena kehidupan manusia di atas dunia ini memang berbeda-beda, di antara mereka ada yang bernasab mulia, dan sebagian yang lain bernasab biasa4. Hal ini memang tertera dalam Al-Qur‘an. Allah Subhânahu Wa Ta‟âla berfirman dalam surah Al-Hujurât [49] ayat 13:

1 Taqi Ad-Din Abî Bakar bin Muhammad Al-Husayniy Al-Hushoyniy Ad- Dimasyqiy Asy-Syâfi‘i, Kifâyatu Al-Akhyâr Fî Halli Ghâyati Al-Ikhtishâri, Juz 1, Dimasyqa: Dâr Al-Khayr, 1994, h.410 2 Bahruddîn Azmatkhan Al-Husaini Asy-Syâfi‘iy, Fiqhun Nikâh „Alâ Madzahibi Al- Arba‟ah, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1919 M / 1337 H, h.9 3 Abdu Ar-Razzâq Azmatkhan Al-Husaini Asy-Syâfi‘iy, Kafâ‟ah fî An-Nikâh, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1864 M / 1281 H, h.11 4 Abd Al-Hayyi Al-Farmâwiy, Muqaddimah fî At-Tafsîr Al-Mawdhû‟i, Kairo: Al- Hadhârah, 1977 1

2

           

           “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât [49] ayat 13)

Dalam kitab-kitab tafsîr Al-Qur‘ân5. Maksud dari ”syu‟ûban” dari ayat di atas adalah golongan nasab mulia, sedangkan arti dari ”qabâil” adalah golongan nasab biasa atau di bawah dari nasab yang

5 Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa kitab tafsir berikut ini: ‗Abd Allah bin ‗Abbas, Tanwîru Al-Miqbâs Min Tafsîri Ibni „Abbâs, Dâr Al-Kutub Al-‗Ilmiyyah, Beirut, 1425 H; ‘Abd Ar-Rahmân bin Nashîr Al-Sa‘diy, Taysîr Al-Karîmi Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâmil Mannân. Beirut: Mu‘assasah Al-Risâlah. 1423 H / 2002 M. ; Abd Ar-Rahmân bin Nashîr As-Sa‘dîy, Taysîr Al-Lathîfil Mannân fî Khulâshah Tafsîril Ahkâm. Beirut: Mu‘assasah Al-Risâlah. 1423 H / 2002 M; Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhîth. Juz I; Abû Ja‘far Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari, Jamî‟ Al-Bayân Fî Ta‟wîl Al-Qur‟ân, Dâr Al-Kutub Al-‗Ilmiyyah, Beirut, 1426 H; Al-Alûsi, Rûh Al-Ma‟âniy, Juz I, Beirut: Dâr Al-Fikr, 1978; Al-Imâm Abi Ja‘far Muhammad ibn Jarîr Ath-Thabari, Tafsîr Al-Thabari, Juz I Beirut: Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M; Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur‟ân, I-IX, Mesir: Dâr Al- Sya‘ab, tt; Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „An Haqâiq At-Tanzîl Wa „Uyûn Al-Aqâwîl fî Wujûh Al-Ta‟wîl (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th. ); Isma‘il bin Katsir, Al-Mishbâh Al-Munîr Fî Tahzhîib Tafsîr Ibni Katsîr, (cet. Ke-2). Riyadh: Dâr Al-Salâm Li An-Nasyr Wat Tawzî‘.(1421 H / 2000 M); Jalâluddîn As-Suyûthiy. Al-Itqân Fī Ulûm Al-Qur‟ân. Libanon: Beirut. Juz 2. 1997 M; Jalâluddin As-Suyûthiy, Kitab Tafsîr Ad-Durr Al-Mansûr fî Tafsîr bi Al-Ma‟tsûr, Jilid 1, tt; Muhammad ‘Ali As-Sâyis, Tafsîr Ayat Al-Ahkâm, juz 1, tt; Muhammad Assad, The Message of the Qur'an, tt; Muhammad Fakhru Ad-Dîn bin Zhiyâ‘u Ad-Dîn ‘Umar Ar-Râzi, Mafâtih Al-Ghayb, Dâr Al-Fikr, Beirut, 1414 H; Muhammad Husain Adz-Dzahabi. At-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah.1961 M; Muhammad Nashîr Al-Dîn Al- Albâni, Al-Jâmi‟ush Shagîr wa ziyâdâtuh. Markaz Nûr Al-Islâm li Abhâs} Al-Qur‘ân wa As-Sunnah. (1420 H / 2000 M); Muhammad bin Shâlih Al-Munajjid, 100 Faidah Min Sûrah Yûsuf. Takhrîj: Abû Yûsuf Hani Fâruq; Muhammad bin Shâlih Ibn ‗Utsaymin, Tafsîr Juz 'Amma. Dâr Al-Kutub Al-‗Ilmiyyah.(1424 H / 2003 M); Muqbil bin Hâdiy Al-Wâdi‘iy, Ash- Shahîh Al-Musnâd min Asbâb An-Nuzûl, (Cet. Ke-2). Shan‘a: Maktabah Shan‘â Al- Asy‘ariyyah. (1425 H / 2004 M); Nashr Ad-Dîn Baydan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ân, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998; Syaikh Tsanâ‘ullah Al-Hindi, Tafsîr Al-Qur‟ân bi Kalâm Al- Rahmân, Dâr As-Salâm Li Al-Nasyr Wat Tawzî‘, Cet.I (1423H / 2002M), Riyadh.

3

pertama tadi6. Dalam hal ini Allah Subhânahu Wa Ta‟âla menjelaskan kemuliaan di sisi manusia memang ada, dan hal ini berjalan dalam lingkup interaksi antar manusia itu sendiri. Karena itu, dengan status yang diemban oleh sebagian golongan ini, Allah Subhânahu Wa Ta‟âla meneruskan ayatnya yang berbunyi ”inna akramakum „inda Allâhi atqâkum”. Dalam konteks ini, Allah Subhânahu Wa Ta‟âla menjelaskan, bahwa walaupun nasab mulia ini memang ada, tapi bukan serta merta menjadi jaminan bahwa dia yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu Wa Ta‟âla, karena yang menentukan kemuliaan di sisi Allah itu hanyalah ketakwaan semata7. Tapi belakangan muncul juga, suatu kelompok yang menyatakan bahwa kemuliaan berdasarkan nasab itu tidak ada, dengan membawa dalil ”Inna akramakum indallâhi atqâkum” (sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang takwa) 8. Sebenarnya pendapat dan dalil yang dibawa kelompok tersebut tidak tepat, karena arti dari ”atqâkum” adalah di sisi Allah. Sedangkan di sisi manusia tetaplah ada seperti yang telah tertera dari firman di atas, yaitu lafaz} ” syu‟ûban wa qobâil” (golongan mulia dan biasa). Karena pada dasarnya Allah SWT sendiri yang menjadikan golongan-golongan seperti itu, sesuai dengan ayatnya ”wa ja‟alnâkum” (dan kami menjadikanmu…). Jadi itu semua termasuk haknya Allah SWT menjadikan sebagian golongan mulia dan sebagian yang lain dijadikan golongan biasa, dan hal itu tidak akan ada yang bisa menentangnya9. Kemudian kalau memang dipaksakan memakai ayat ”atqâkum” kenyataannya memang tidak bisa, karena dalam kaca mata manusia, siapa yang bisa mengetahui dan menilai yang terbaik di sisi Allah kecuali Allah sendiri. Sebagai contoh, ada seorang yang setiap hari di Masjid, lalu ada seorang lagi setiap harinya kerja di pasar, lalu apakah fakta yang ada pada diri kedua orang ini bisa dinilai, bahwa orang yang setiap hari di Masjid seperti di atas adalah orang yang paling takwa, sedangkan orang yang setiap hari kerja di pasar tersebut orang yang

6 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni Asy-Syâfi‘iy, Tafsîr Mawdhû‟îy Fî Ma‟na Al- Syu‟ûb Wa Al-Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah Nabawiyyah, 1804 M, h.13 7 ‗Abd Allah bin ‗Abbas, Tanwîru Al-Miqbas Min Tafsîri Ibni „Abbas, Dâr Al- Kutub Al-‗Ilmiyyah, Beirut, 1425 H 8 Abdu Ar-Razzâq Azmatkhan Al-Husayni Asy-Syâfi‘iy, Kafâ‟ah fî An-Nikâh, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1864 M / 1281 H, h.12 9 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni Asy-Syâfi‘iy, Tafsîr Mawdhû‟iy Fî Ma‟na Al- Syu‟ûb Wa Al- Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1804, h.17

4

kurang takwanya?. karena itu yang menilai kadar takwa dari seseorang hanyalah Allah semata10. Sebuah riwayat hadis\ juga menerangkan, bahwa pada suatu hari Rasûlullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam ditanya oleh salah seorang sahabat

“Ya Rasûlullah! Siapakah orang yang paling mulia?” Beliau Rasûlullah Shallallâhu ‟Alayhi Wasallam menjawab, ”orang yang paling takwa”. Bukan itu maksudku ya Rasul?” tanya lagi sahabat itu. ” Kalau begitu Yûsuf bin Nabi bin Nabi bin Nabi bin Khalilullah” jawab beliau. ” bukan itu maksudku ya Rasul” tanyanya lagi. “Kalau begitu orang yang mengikuti zaman jahiliyah dan dia masuk Islam lalu dia menjadi orang yang berilmu” jawab beliau. 11

Dari hadits di atas, bisa dipahami bahwa kemuliaan berdasarkan nasab memang ada.

10 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni Asy-Syâfi‘iy, Tafsir Mawdhû‟iy Fî Ma‟na Asy- Syu‟ûb Wa Al- Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1804, h.20 11 Imâm al-Bukhari, Shahîh Bukhari, Bab 42 Hadits-hadits yang meriwayatkan para Nabi. Hadits No. 3131. Perawi dan sanadnya adalah Imâm Bukhari dari ‘Ubaid bin Isma‘il dari Abu Usamah dari ‘Ubaidillah dari Sa‘id bin Abi Sa‘id dari Abu Hurairah dari Rasûlullah. Musthafa Azmatkhan Al-Husaini, Tafsîr Maudhû‟iy Fî Ma‟na Asy-Syu‟ûb Wa Al- Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah Nabawiyyah, 1804, h.21 5

Fakta-fakta yang menunjukkan praktek kafâ‘ah nasab di antaranya, Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam pernah menikahkan Zayd bin Harîtsah dengan perempuan yang bernama Zaynab binti Jahsyi. Namun setelah pernikahan itu terjadi, biduk rumah tangga keduanya retak. Pemicunya adalah Zaynab yang berdarah bangsawan menilai dirinya lebih mulia dari Zayd. Akhirnya Allah sendiri menyuruh membatalkan pernikahan mereka, dan memerintah Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam untuk menikahinya. Dalam Al-Qur‘an surah Al-Ahzâb [33] ayat 37 disebutkan bahwa:

         

          

            

         

      

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS.Al-Ahzâb [33] ayat 37)

Firman di atas menjelaskan bahwa Allah Subhânahu Wa Ta‘âla menikahkan Rasûlullah secara langsung tanpa melalui wali dan saksi. Ini adalah kekhususan baginda Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam. Pernikahan ini bertujuan agar Zaynab menikah dengan

6

orang yang bukan hanya setara dengan dirinya tapi bahkan jauh lebih mulia darinya12. Nasab-nasab yang mulia di antaranya adalah keturunan Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam. Bagaimana tidak, akar mereka adalah penghulu para Nabi. Sebagaimana diketahui, Rasûlullah adalah makhluk termulia di langit dan di bumi. Maka keturunan beliau Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam adalah manusia yang memanggul nasab yang termulia pula13. At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab sunan-nya, dengan klasifikasi bahwa Abu ‗Îsa berkata hadits ini “Hasanun Shahihun”, bahwa Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam bersabda:

14‏

“Sesungguhnya Allah memilih dari putra Ibrâhîm, Ismâ‟îl, dan memilih dari putra Ismâ‟îl bani kinânah, dan memilih dari bani kinânah bangsa quraisy, dan memilih dari bangsa quraisy bani Hâsyîm, dan Allah memilihku dari bani Hâsyîm”.

12 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni Asy-Syâfi‘iy, Tafsîr Mawdhû‟iy Fî Ma‟na Asy- Syu‟ûb Wa Al- Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1804, h.22 13 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni Al-Syâfi‘iy, Tafsîr Mawdhû‟iy Fî Ma‟na Asy- Syu‟ûb Wa Al- Qobâil, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1804, h.25 14 Imâm at-Turmudzi, Jâmi‟ at-Tirmidzi, Hadits No.3964

7

‏ ‏15.

“Sesungguhnya Allah memilih Kinânah dari anak keturunan ‟Ismâ‟îl, memilih Quraisy dari Kinânah, memilih Hâsyîm dari Quraisy, dan Allah memilihku dari bani Hâsyîm”.

‏ 16.‏

“Sesungguhnya Allah memilih Kinânah dari anak keturunan ‟Ismâ‟îl, memilih Quraisy dari Kinânah, memilih Hâsyîm dari Quraisy, dan Allah memilihku dari bani Hâsyîm”.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa keturunan Rasûlullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam adalah keturunan yang mulia, oleh karena itu bagi keturunan Rasûlullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam boleh menolak jika hendak dikawinkan dengan seorang keturunan lainnya. Kemudian jika pihak perempuan menyetujui dia dinikahkan dengan seorang yang bukan sayyid (bukan keturunan Rasûlullah), maka menurut Imâm Asy-Syâfi‘iy pernikahannya tetap tidak sah karena tidak kafâ‘ah, karena pernikahannya harus terlebih dahulu melalui restu dari wali-wali dalam satu martabah (seperti lima paman dan lima saudara) bahkan sebagian ulama mengatakan walaupun bukan dalam satu martabah (seluruh golongan dalam satu marga) karena itu, walaupun pihak perempuan menyetujuinya, tapi tanpa

15 Imâm at-Turmudziy, Jâmi‟ at-Tirmidzi, Hadits No.3965 16 Imam Muslim, Shahîh Muslim, Hadits 2276

8

restu seluruh wali-wali di atas, maka hukumnya tetap tidak sah, bahkan sekalipun melalui jalur hakim untuk menikahkannya17. Untuk itu bagi yang diberi anugerah menjadi keturunan Rasu>lullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam, hendaknya menjaga keturunannya agar tidak terputus dengan baginda Nabi Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam, karena beliau akan merasa senang kalau keturunannya senantiasa menyambung tali nasab ini dengan beliau. Terdapat dalam riwayat Sunan Al-Kubro Al-Baihâqi bahwa Rasûlullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam bersabda:

. Semua nasab akan terputus, kecuali nasabku, dan sababku atau periparan denganku.18

Ibnu Hâjar Al-Asqâlani meriwayatkan:

Semua sabab dan nasab akan terputus di Hari Kiamat, kecuali sababku dan nasabku.19

Sesungguhnya semua nasab akan terputus, kecuali nasabku, sababku dan periparan denganku.20

Kemudian, bagi seorang keturunan biasa, hendaknya menerima karunia apa saja yang selama ini Allah berikan, dan juga hendaknya ikut menjaga keturunan baginda Nabi Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam agar terus terjaga dengan baik, bukankah mereka adalah laksana bintang-bintang di malam yang gelap gulita, dan juga laksana bahtera di tengah samudera, yang menjadi tempat yang aman bagi yang dilanda kebingungan, sebagaimana hadits Nabi Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam dalam Riwâyat at-Thabrâny:

17 Mujtaba Azmatkhan Al-Husaini, An-Nikâhu „Inda Madzhâbi Al-Imân Asy-Syâfi‟i, Kudus: Maktabah Madrasah Nabawiyyah, 1799 M / 1214 H, h.27 18 Al-Baihaqiy, Sunan Al-Kubra, tt. hlm.99 19 Ibn Hâjar Al-Asqalani, Talkhîs Al-Khabîr, vol.3, h.143 20 Ahmad, Musnad Imam Ahmad, vol.31, hlm. 208 9

“Sesungguhnya perumpaan ahlu baytku laksana bahtera Nûh, siapa saja yang menaikinya maka dia akan selamat, dan siapa saja yang menjauh darinya maka ia akan tenggelam dan binasa”.21

Jadi, hormatilah nasab mulia, utamanya nasab Rasûlullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam. Dengan begitu, senyum Rasûlullah Shallallâhu ‗Alayhi Wasallam akan terus memendar dari wajahnya, kecerian dari auranya akan terus mengembang jika melihat keturunannya tetap menyambung hubungan dengan beliau, karena tidak ada yang bisa diharapkan kecuali senyumnya yang mengembang, dengan begitu syafaatnya akan mudah diberikan, dan kita siap untuk menyambutnya. Problematika kafâ‘ah ahl al-bayt di era modern ini muncul kembali, dipengaruhi oleh semakin canggihnya teknologi komunikasi informasi, sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antara laki-laki dan perempuan, dan tidak ada lagi sekat antara syarifah/sayyid dengan non syarifah/ non sayyid. Inilah masalah yang penting untuk diambil solusi hukumnya, terutama dari perspektif empat madzhab fiqih sunni. Fakta-fakta penentu yang memberikan harapan pemecahan masalah melalui penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah ditemukannya dalil-dalil hukum atas tema ini, disertai pendapat dan fatwa para imam mujtahid, serta ditemukannya data tentang qabilah- qabilah ahl al-bayt dari seluruh dunia, baik dari jalur keturunan Imam Hasan maupun Imam Husayn. Nilai tambah yang diperoleh dari penelitian penulis ini dari penelitian-penelitian sebelumnya tentang tema yang sama adalah kelengkapan data tentang qabilah ahl al-bayt dan wilayah penelitian yang cukup luas meliputi seluruh negara di dunia. Penelitian ini mengacu pada kitab-kitab mu‘tabarah dari para ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali, disertai sanad penulis yang muttasil terhadap empat imam tersebut.

B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah adalah pengenalan masalah atau inventarisir masalah. Identifikasi masalah adalah salah satu proses penelitan yang boleh dikatakan paling penting di antara proses lain.

21 Sumber hadits di atas adalah At-Thabrâniy dalam Kitab Al-Kabîr, vol.3 no. 2637; Al-Faqihîy dalam Kitab Akhbâri Makkah, Volume 3, No.1904; Abu Ya‘la dalam Kitab Musnad Al-Kabîr; Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsîr Ibn Katsir, Volume 4, h.115; Ibn ‘Âdiy dalam Kitâb Al-Kâmil Fî Ad-Dhu‟âfâ‟, vol.6, h. 411.

10

Masalah penelitian akan menentukan kualitas dari penelitian, bahkan juga menentukan apakah sebuah kegiatan bisa disebut penelitian atau tidak. Masalah penelitian secara umum bisa kita temukan lewat studi literatur atau lewat pengamatan lapangan (observasi, survey, dan sebagainya). Bertitik tolak dari latar belakang di atas dapat diambil sebuah identifikasi masalah yang amat penting peranannya dalam penulisan tesis ini. Identifikasi Masalah mengarahkan pembahasan menjadi lebih fokus pada hal-hal yang pokok atau penting saja. Adapun Identifikasi Masalah pada penelitian ini antara lain: Dari judul tesis “Kafâ‟ah Nasab Ahl al-bayt Dalam Perspektif Fiqih Madzâhib al-„Arba‟ah”. Penulis dapat mengidentikasikannya sebagai berikut: 1. Adanya fenomena pemahaman Kafâ‟ah Nasab Ahl al-bayt yang sangat ketat di kalangan kaum habaib, bahkan ada keolmpok ―tertentu‖ yang mengharamkan pernikahan syarifah Ahlul bayt dengan non habaib, yang semakin marak akhir-akhir ini tanpa dilakukan proses pengkajian lebih dalam, tarjih, dan tafhim terhadap nash-nash qur‘an, hadits dan qoul ulama secara kritis. Hal ini membuat kondisi umat Islam jadi mudah terprovokasi dengan hal-hal baru yang berkenaan dengan sesat menyesatkan, haram mengharamkan, dan timbulnya banyak fitnah. 2. Bahwa pembahasan tentang Kafâ‟ah Nasab Ahl al-bayt sangat diperlukan supaya kita selamat dari pemahaman yang ta‘ashub (fanatis kelompok), atau sebaliknya terhindar dari pemahaman liberal. Kajian ini mengajak kita kepada pemahaman yang benar serta berusaha menyelamatkan orang lain dari salah paham dari hukum yang sebanarnya. Di samping itu kita akan mengetahui cara dan metode menjaga diri kita, keluarga, dan umat Islam supaya terhindar dari pemahaman yang menyimpang dari Syariat Islam yang diajarkan Rasulullah. 3. Adanya pemahaman tentang Islam yang bersifat Fanatis atau liberal dan munculnya berbagai ajaran, pandangan, dan tafsiran kelompok ini terkait Islam sering mengundang kontroversial. Sehingga banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Dan hal ini membutuhkan batasan-batasan yang jelas secara syar‘i, agar bisa dibedakan antara yang haq dan bathil. 4. Al-Qur`ân sebagai kitab yang shâlih likulli zamân wa Al-Makân senantiasa membuka kajian-kajian baru tentang sub-sub tema yang ada didalamnya dan penafsiran pun senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan zaman, agar menghasilkan 11

penafsiran yang sesuai dengan kondisi umat saat ini dengan tidak melupakan penafsiran ulama terdahulu.

C. Pembatasan Masalah

Batasan masalah adalah ruang lingkup masalah atau membatasi ruang lingkup masalah yang terlalu luas / lebar sehingga penelitian lebih bisa fokus untuk dilakukan. Hal ini dilakukan agar pembahasan tidak terlalu luas kepada aspek-aspek yang jauh dari relevan sehingga penelitian bisa lebih fokus untuk dilakukan. Dari sekian banyak masalah tersebut dipilihlah satu atau dua masalah yang akan dipermasalahkan, tentu yang akan diteliti (lazim disebut dengan batasan masalah). Batasan masalah jadinya berati pemilihan satu atau dua masalah dari beberapa masalah yang sudah teridentifikasi. Batasan masalah itu dalam arti lain sebenarnya menegaskan atau memperjelas yang menjadi masalah. Dengan kata lain, merumuskan pengertian dan menegaskannya dengan dukungan data-data hasil penelitian pendahuluan seperti apa ―sosok‖ masalah tersebut. Dapat pula batasan masalah itu dalam arti batasan pengertian masalah, yaitu menegaskan secara operasional (definisi operasional) masalah tersebut yang akan memudahkan untuk melakukan penelitian (pengumpulan data) tentangnya. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembahasan ini penulis batasi pada “Kafâ‟ah Nasab Ahl al-bayt Dalam Perspektif Fiqih Madzâhib Al-Arba‟ah”. Namun sebelumnya perlu penulis batasi maksud dari kata ―kafâ‘ah‖ dalam judul di atas, supaya konsentrasi pembahasan menjadi lebih jelas dan terfokus. Maksud dari kata ―kafâ‘ah‖ dalam judul di atas adalah ―Kafâ‘ah‖ menurut bahasa adalah kufu‘ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Bentuk jama‘ dari kata kufû‘ adalah akfa‘, sebagaimana perkataan Imam ‘Ali bin Abi Thâlib :

Manusia dari pihak ayah adalah sama, bapak mereka Adam dan ibu mereka Hawa„.22

Syair itu lengkapnya sebagai berikut:

22 Musthafa Azmatkhan Al-Husayni, Asy-Sya‟îr Al-Imâm „Âli bin Abî Thâlib, Kudus: Maktabah Madrasah Nabawiyyah, 1769 M / 1183 H, h.27

12

Makna dari syair di atas adalah sesungguhnya asal kejadian manusia dari Adam yang dijadikan dari tanah, dan darinya dijadikan Siti H{awa‘. Perkataan kufu‘ juga terdapat dalam firman Allah Subhânahu Wa Ta‘âla Surah Al-Ikhlash ayat 4, yang berbunyi :

Dan tidak ada satupun yang menyamai-Nya.

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abû Dawud dan al- Hakîm, Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam bersabda :

Kaum muslimîn satu sama lain, darah mereka sepadan23.

23 Imam Ahmad, Musnâd Imâm Ahmâd ,vol.1,h.122; Abû Dawûd, Sunan Abû Dawûd, Hadits no.1248; Al-Bayhaqiy, Al-Kubra,vol.7,hlm 137; An-Nasâ‟I, Sunan An- Nasâ‟i,vol.8. hlm.19; An-Nasâ‘i, Al-Kubra, Hadits no.8629 13

Abu ‘Ubayd berkata : yang dimaksud sepadan dalam hadis} tersebut adalah kesamaan dalam hal pemberlakuan hukum diyat dan qishâs, bukan persamaan kemuliaan berdasarkan keutamaan24. Menurut ulama Hanâfiyah, kafâ‘ah adalah kesepadan yang khusus antara laki-laki dan perempuan. Menurut ulama Mâlikiyyah, kafâ‘ah adalah kesepadan dalam hal agama dan keadaan yaitu selamat dari ‗aib yang mewajibkan perempuan untuk menggunakan hak pilihnya. Menurut ulama Syafi‘iyyah, kafâ‘ah adalah suatu urusan yang mewajibkan untuk menolak adanya aib dan kehinaan, terutama kesepadanan laki terhadap perempuan dalam kesempurnaan keadaan keduanya sehingga selamat dari aib. Menurut ulama Hanâbilah, kafâ‘ah adalah kesamaan dan kesepadan dalam lima perkara, yaitu agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan.‖ Sehingga dapat di jelaskan, bahwa maksud dari ―kafâ‘ah‖ dalam judul di atas adalah “kesamaan dan kesepadan yang khusus antara laki-laki dan perempuan ketika akan menikah dalam lima perkara, yaitu agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan”25. Pembahasan tentang kafâ‘ah ini menjadi suatu hal yang menghangat saat dunia komunikasi dan interaksi mulai semakin canggih. Yang mana hubungan laki-laki dan perempuan, sudah sangat dekat lagi. Terutama melalui kecanggihan teknologi internet seperti: facebook, yahoo massanger, twitter, skype, hangouts, line, whatsapp, instagram, BBM, SMS, email dan lain-lain. Menyebabkan pergaulan dari seorang perempuan yang tadinya ada di dalam kamar atau bilik, akhirnya bisa mengenal laki-laki yang jauh di luar sana. Bahkan sampai pada hubungan yang serius yaitu pernikahan. Hal ini memunculkan masalah yang butuh jawaban syar‘iyyah, seperti bagaimana hukum syar‘i pernikahan antara non sayyid dengan seorang syarifah, atau sebaliknya sayyid dengan non syarifah. Kata ―nasab” Nasab secara etimologi bererti al-qarabah (kerabat), kerabat dinamakan nasab karena antara dua kata tersebut ada hubungan dan keterkaitan. Berasal dari frasa "nisbatuhû ilâ abîhi nasaban" (nasabnya kepada ayahnya), Ibnu al-Sikit berkata, “Nasab itu dari sisi ayah dan juga ibu”. Sementara sebagian ahli bahasa mengatakan, “Nasab itu khusus pada ayah, artinya seseorang dinasabkan kepada ayahnya saja dan tidak dinasabkan kepada ibu kecuali dalam keadaan luar biasa”. Beberapa peneliti kontemporer berusaha memberikan takrifan nasab dengan makna khusus yaitu

24 Bahruddin Azmatkhan Al-Husayni, Fiqhun Nikâh „Alâ Madzahibi Al-Arba‟ah, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1919 M / 1337 H, h.19 25 Bahruddin Azmatkhan Al-Husaini, Fiqhun Nikâh „Alâ Madzhibi Al-Arba‟ah, Kudus: Maktabah Madrasah An-Nabawiyyah, 1919 M / 1337 H, h.22

14

kekerabatan dari jalur ayah kerana manusia hanya dinasabkan kepada ayahnya saja26. Nasab adalah ilmu keturunan dari garis ayah terus ke atas melalui jalur laki-laki yaitu kakeknya, datuknya dan seterusnya dari jalur laki-laki. Ilmu nasab sangat khusus sekali, karena ilmu nasab sangat terkait dengan hukum syariat Islam. Ilmu nasab berbeda dengan ilmu genetika, jika ilmu genetika hanya membicarakan keturunan secara biologis, sedangkan nasab berkaitan dengan keturunan jalur laki-laki secara syar‘i, dalam hal ini agama dan keyakinan menjadi tolak ukurnya di samping faktor biologisnya, sedangkan genetika hanya terkait faktor biologis saja. Adapun Nasab yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah nasab dalam makna khusus yaitu nasab ahl al-bayt Muhammad, yaitu nasab keturunan Rasu>lullah melalui Fa>t}imah selanjutnya melalui Al-Hasan dan Al-Husayn. Kata “ahl al-bayt” dalam judul di atas terdiri dari dua kata, Di dalam kamus bahasa dijelaskan ((بيت dan Bayt (اهل) yaitu Ahlu bahwa yang disebut ahlu bayt secara makna bahasa (etimologi) ialah orang yang tinggal di rumah itu. Seorang laki-laki mempunyai istri dan istrinya itu disebut ahlinya. Setiap laki-laki yang mempunyai istri maka istri dan anak cucunya termasuk ahlu baytnya. Setiap Nabi dan Rasul Allah mempunyai pengikut atau umat. Pengikut dan umat itu disebut ahlinya.27 Berkata Al-Zubaidy, ‗Yang disebut ahl al-bayt ialah isterinya termasuk anak-anaknya. Berkata Ar-Râgib yang diikuti oleh Al-Munâwy, ‗Yang dimaksud ahli dari seorang laki-laki ialah anak keturunan yang ada hubungan nasab dengan dia.28 Begitu juga yang dimaksud dengan kata-kata ahlu bayt Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam. Dalam istilah al-Qur‘an dan hadits kata-kata ahli : seperti yang sering diucapkan ,(آل) itu sering diringkas menjadi Âli Allâhumma Shalli „Alâ Muhammad Wa „Ala Âli Muhammad. Bahkan sering juga disebut : Âlullâhi Wa Rasûlihi (keluarga Allah dan Rasul- Nya).29 Berkata Ibnu Al-Mandzur, Ahl al-bayt Nabi Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam, yaitu istri-istri beliau, anak-anak beliau, menantu beliau, dan juga mertua beliau.30. Menurut Imam Ar-Râghib Al- Asyfahâniy, ‗Ahl al-bayt Nabi ialah semua orang yang ada hubungan keluarga dan hubungan nasab dengan beliau Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam, yaitu berdasarkan firman Allah SWT : „Innamâ Yurîdullah

26 al-Balâdhuri, Ansâb al-ashrâf, edited by Max Schloessinger, revised and annotated by M. J. Kister, h.2 27 Al-Munâwy, Ahlu Bait Fi al-Misri : 15 28 Ar-Râghib Al-Ashfahâni, Mufradât al-Râghib : 29 29 Ibnu Al-Manzhur, Lisân al-Arab (11/28) 30 Ibnu Al-Manzhur, Lisân al-Arab (11/28) 15

Li yudzhiba Ankumur Rijsa Ahlal Bayt…‘31 Sehingga dapat dijelaskan bahwa maksud dari ―Ahl Al-Bayt‖ secara etimologi (makna bahasa) adalah semua yang terhubung nasabnya dengan nabi yaitu istri-istri Nabi Muh}ammad Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam, anak-anak Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam, menantu Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam, mertua Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam dan cucu serta keturunan Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam‖. Pengertian yang pertama ini diikuti oleh Ahlussunnah Wal Jama‘ah. Sedangkan ―Ahl Al-Bayt‖ secara makna istilah hadits (terminologi dari hadits kisa) adalah lima orang yang termasuk hadits kisa‘ yaitu (1) Rasûlullah, (2) Fâthimah Az-Zahra, (3) ‗Ali bin Abî Thâlib, (4) Al-Hasan, dan (5) Al-Husayn. Sedangkan ―Ahl Al-Bayt‖ dalam makna theologi Syi‘ah adalah Rasûlullah, Fâthimah dan 12 imam yang meneruskan kepemimpinan Rasûlullah berdasarkan riwâyat dari Imam ‗Ali bin Abî Thâlib dalam kitab Kanzul ‘Ummal, hadits 39675. Yang menyebutkan bahwa Ahl Al-Bayt itu adalah 14 orang yang dianggap maksum (oleh Syi‘ah) yaitu (1) Rasûlullah, (2) Fathimah Az-Zahra‘, (3) ‗Ali bin Abî Thâlib, (4) Al-Hasan bin ‗Ali, (5) Al-Husain bin ‗Ali, (6) ‗Ali Zaynal ‗Âbidîn bin Al-Husayn, (7) Muhammad Al-Bâqir bin ‗Ali Zayn Al-‗Âbidîn, (8) Ja‘far Ash-Shâdiq bin Muhammad Al-Bâqir, (9) Mûsa Al-Kâzhim bin Ja‘far Ash-Shâdiq, (10) ‗Ali Ar-Rizha bin Mûsa Al-Kâzhim, (11) Muhammad Al-Jawwâd bin ‗Ali Al-Rizha, (12) ‘Ali Al-Hâdi bin Muhammad Al-Jawwâd, (13) Hasan Al-Askari bin ‗Ali Al-Hadi, (14) Muhammad Al-Mahdi bin Hasan Al-Askari. Sedangkan pengertian Ahl Al-Bayt yang diinginkan dalam tesis ini adalah pengertian Ahl Al-Bayt dalam makna sosiologis (makna al-‘urfi) yaitu Ahl Al-Bayt adalah semua itrah (keturunan nasab) Rasûlullah sampai akhir zaman”.32 Kata “perspektif” dalam bahasa Inggris perspective, sedangkan dalam bahasa latin perspektus, artinya cara pandang; tinjauan; cara melihat suatu masalah. Sehingga dapat dijelaskan bahwa maksud dari “perspektif” dalam judul di atas adalah cara pandang; tinjauan; cara melihat suatu masalah. Kata “Fiqih” artinya salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika

31 Al-Râghib Al-Ashfahâni, Mufradât al-Râghib : 29 32 Itrah adalah semua keturunan Nabi Muhammad dari jalur laki-laki atau jalur nasab. Dzurriyyah adalah semua keturunan Nabi Muhammad baik dari jalur laki-laki maupun jalur perempuan. Itrah berfungsi dalam ilmu kafâ‘ah nasab, sedangkan dzurriyyah berfungsi dalam ilmu warits.

16

pendapat yang terjadi di antara para fuqaha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsip-prinsip Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman. Sehingga dapat dijelaskan bahwa maksud dari “Fiqih” dalam judul di atas adalah disiplin ilmu Islam yang menerangkan tentang Hukum Islam dengan menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Kata “Madzâhib al-Arba‟ah” menurut Professor. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, MA adalah madzhab empat yang terdiri dari Al-Imâm Abû Hanîfah, Al-Imâm Mâlik, Al-Imâm Syâfi‘i dan Al- Imâm Ahmad bin Hanbal‖.33 Sehingga dapat dijelaskan bahwa maksud dari “Madzâhib Al-Arba‟ah” adalah mengungkap penjelasan empat Imâm Madzhab yaitu Imâm Abû Hanîfah, Imâm Mâlik, Al- Imâm Syâfi‘i dan Al-Imâm Ahmad bin Hanbal tentang kafâ‘ah nasab ahl al-bayt.

D. Perumusan Masalah Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian, yang umumnya disusun dalam bentuk kalimat tanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi arah kemana sebenarnya penelitian akan dibawa, dan apa saja sebenarnya yang ingin dikaji / dicari tahu oleh si peneliti. Adapun perumusan masalah dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan: 1. Apa dan siapa yang bisa disebut Ahl Al-bayt?. 2. Bagaimana sebenarnya konsep kafâ‘ah nasab Ahl Al-Bayt dalam perspektif fiqih madzâhib al-arba‘ah ? 3. Bagaimana relevansi pemahaman kafâ‘ah nasab Ahl Al-Bayt terhadap kondisi sosial modern yang semakin canggih ini ?

E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk menemukan data-data dan fakta-fakta pernikahan yang memperhatikan kafâ‘ah nasab dan yang tidak memperhatikannya di kalangan semua qabilah ahl al-bayt di seluruh negara di dunia.

33 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Maz\hab, (Jakarta: Logos, 2003), cetakan 3 17

2. Untuk menggambarkan siapa saja yang disebut ahl al-bayt, dan perinciannya secara detail tentang macam-macam qabilah ahl al-bayt di seluruh dunia, 3. Untuk menjelaskan hubungan sebab akibat dari pendapat para imam madzhab tentang kafâ‘ah nasab dan fatwa hukumnya, serta dampaknya di masyarakat, 4. Untuk mengetahui dan memahami berbagai konsep kafâ‘ah nasab menurut empat madzhab, dasar hukumnya, istinbath hukumnya, ushul fikihnya dan qawaidul fiqhiyyahnya, 5. Untuk membandingkan konsep kafâ‘ah nasab menurut empat madzhab, dan penerapan kafâ‘ah nasab di berbagai negara, 6. Untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut, lebih mendalam terhadap dalil-dalil kafâ‘ah nasab, fatwa, riset, marâji‘ baik yang mutabanni, mu‘tabarah dalam literatur dan kitab-kitab empat madzhab. 7. Untuk menggambarkan peta penerapan kafâ‘ah nasab di seluruh negara di dunia menurut madzhab yang berkembang di negara tersebut, 8. Untuk menguraikan, memecahkan, menafsirkan, dan mendalami masalah yang berkembang dalam kafâ‘ah nasab pernikahan, mengurai secara lugas dan jelas apakah ada relevansi pemahaman kafâ‘ah nasab Ahl Al-Bayt terhadap kondisi sosial modern yang semakin canggih ini. Apakah masih relevan, atau mengalami re-interpretasi makna. 9. Untuk meramalkan dan memprediksikan teori dan madzhab yang mana, yang paling relevan di dunia tentang pelaksanaan kafâ‘ah nasab34.

F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat hasil penelitian ini adalah: Pertama, Manfaat hasil penelitian bagi peneliti adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) pada konsentrasi Ilmu Syari‘ah, Program Studi Islam, Program Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur‘an (IIQ) Jakarta serta semakin memperkaya khazanah wawasan peneliti tentang kafâ‘ah nasab ahl al- bayt dalam perspektif fiqih madzâhib al-arba‘ah. Kedua, Manfaat hasil penelitian bagi Civitas Akademika adalah diharapkan dapat menambah informasi dan menumbuhkan

34 Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana IIQ Jakarta Nomor: K.0058.XVII/PPS/VI/2015, h. 2

18

minat segenap civitas akademika untuk mengkaji lebih lanjut masalah kafâ‘ah nasab ahl al-bayt dalam tinjauan Hukum Islam. Ketiga, Manfaat hasil penelitian bagi lembaga-lembaga pencatat nasab keluarga Nabi Muhammad baik yang berskala nasional maupun Internasional, maka penelitian ini sebagai referensi (marâji‘) mengenai kajian tentang kafâ‘ah nasab. Keempat, Manfaat hasil penelitian bagi masyarakat adalah diharapkan dapat menambah wawasan dan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah pada bidang kafâ‘ah nasab dalam pemahaman Fiqih Madzâhib al-Arba‘ah, Kelima, Manfaat hasil penelitian bagi masyarakat adalah diharapkan dapat mengembangkan ilmu, dalam hal ini juga dapat berorientasi pada penelitian terapan (applied research) mengenai pemahaman kafâ‘ah nasab dalam pemahaman Fiqih Madzâhib al- Arba‘ah. Keenam, Manfaat hasil penelitian bagi masyarakat adalah diharapkan dapat membantu memecahkan masalah mengenai pemahaman kafâ‘ah nasab dalam pemahaman Fiqih Madzâhib al- Arba‘ah, atau dalam hal yang secara operasional diarahkan pada penelitian kebijakan (policy reasearch).

G. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berisi paparan riwayat penelitian yang pernah dilakukan, baik terkait dengan tema yang diangkat maupun dengan lokasi / kawasan yang akan diteliti. Paparan itu tidak hanya berisi tentang penemuan-penemuan penting dari peneliian yang sudah dilakukan, tapi juga mengenai pendekatan dan metode yang mereka gunakan. Karenanya, tinjauan pustaka juga berfungsi untuk menunjukkan orisinalitas penelitian, bahwa penelitian ini beda dengan penelitian yang sudah dilakukan, atau bisa juga bersifat melengkapi dan memperbaiki penelitian yang sudah dilakukan.35 Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para fuqaha mengenai hal kafâ‘ah, baik berupa kitab-kitab klasik maupun kitab- kitab modern. Di antara penulis dan kitab yang sudah membahas tentang kafâ‘ah nasab secara umum adalah: 1. Sayyid Sâbiq menjelaskan dalam Fiqhu Al-Sunnah, bahwa kafâ‘ah dalam pernikahan penting untuk dilakukan dalam

35 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IIQ Jakarta, (Jakarta: Penerbit IIQ),h.39-40; dan Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertas) (Jakarta, Penerbit CeQDA, 2007), cet.2.h.20; 19

rangka terwujudnya pernikahan yang sakînah mawaddah wa rahmah36. 2. Abu Zahrah dalam Ahwâlus Syakhsiyyah menjelaskan tentang kriteria kafâ‘ah dan siapa yang berhak menentukan dan menilai kafâ‘ah tersebut.37 3. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu, menguraikan lebih terperinci tentang perbedaan kafâ‘ah di kalangan para fuqaha, mengenai ketentuan syarat nikah. Menurut Wahbah Zuhaili ada tiga perbedaan pendapat dalam menentukan kafâ‘ah dalam pernikahan, apakah kafâ‘ah itu sebagai syarat sah nikah maupun syarat lazim (syarat yang memungkinkan adanya fasakh) atau kafâ‘ah bukan syarat sah dalam pernikahan38. 4. Abû Bakar Ad-Dimyathiy dalam I‟ânatuth Thâlibîn, yaitu kitab syarah dari Fathu Al-Mu‟în, kafâ‘ah itu penting dalam pernikahan dengan tujuan untuk menghindari dari kecacatan dan kemudhâratan dalam pernikahan, itu semua demi terwujudnya rumah tangga yang bahagia. Tetapi kafâ‘ah menurutnya bukan syarat sah dalam pernikahan, melainkan hanya merupakan syarat luzûm. Menurut Abû Bakar Ad- Dimyathiy, kafâ‘ah artinya al-tasawwa wa al-ta‘addul, artinya kesamaan dan kesataraan39.

Tema “Kafâ‟ah Nasab Ahl Al-Bayt Dalam Perspektif Fiqih Madzâhib Al-Arba‟ah” adalah tema yang belum pernah dikaji secara tuntas oleh para ulama fiqih, apakah kafâ‘ah nasab ahl al-bayt itu hukumnya mubah, sunnah, anjuran atau wajib? Sehingga ketidakjelasan hukum ini mendorong peneliti untuk mengangkatnya dalam tesis S2 di Institut Ilmu Al-Qur‘an. Padahal tema kafâ‘ah nasab ahl al-bayt ini merupakan masalah penting yang muncul di kalangan kaum sayyid-syarifah di seluruh dunia.

H. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian. Istilah ―teori‖ di sini menunjuk pada sumber penyusunan

36 As-Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, terj. Muhammad Thâlib, Bandung: PT. Ma‘arif, Cet.1, 1981, VII: 36 37 Abu Zahrah, Ahwâlus Syahsiyyah, Cairo: Dar Al-Fikr, 1957, h.156 38 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâm Wa Adillatuhu, Damaskus: Dâr Al-Fikr, 1988, VII: 229 39 Abû Bakar Ad-Dimyâthiy, I‟ânat Ath-Thâlibîn, Beirut: Dâr Al-Fikr,III: 330

20

kerangka, yang bisa berupa teori yang ada, definisi konsep, atau malah dapat pula dari logika. Orang biasanya ragu menggunakan kata ―teori‖, karena dianggapnya hanya untuk penelitian yang bernalar deduktif. Padahal tidak demikian. Sekali lagi, kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian tetap diperlukan dalam penelitian bernalar induktif. Jika konsep yang dijadikan sumber menyusun kerangka tersebut, maka sub judul ini bisa diganti menjadi “kerangka konseptual”. Jika logika yang digunakan, maka sub judul ini menjadi “kerangka pemikiran”.40 Beberapa teori yang digunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Teori fiqih umum, dalam teori ini kafâ‘ah nasab dibagi menjadi 2 macam, yaitu kafâ‘ah nasab yang bersifat umum dan kafâ‘ah nasab yang bersifat khusus. kafâ‘ah nasab yang bersifat umum adalah kafâ‘ah nasab bagi seluruh manusia, sedangkan kafâ‘ah nasab yang bersifat khusus, adalah kafâ‘ah nasab yang terjadi dalam pernikahan ahl al-bayt Rasûlullah Shallallâhu ‘Alayhi Wasallam41. 2. Teori Imâm Abû Hanîfah dan pendapat madzhabnya, yang berpendapat bahwa kafâ‘ah nasab di ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, maka implikasi hukumnya adalah sekedar anjuran sosial bukan sunnah atau disebut al-hissu42. 3. Teori Imâm Mâlik dan pendapat mazhbnya, yang berpendapat bahwa kafâ‘ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai kafâ‘ah, maka implikasi hukumnya adalah mubah43. 4. Teori Imâm Syafi‘i dan pendapat mazhabnya, yang berpendapat bahwa kafâ‘ah nasab ahl al-bayt atau kafâ‘ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman. Disebut syarat sah karena kafâ‘ah ahl al-bayt adalah hak wali, tidak sah pernikahan tanpa adanya wali nikah, disebut syarat fadhoil karena takdir bernasab kepada Rasûlullah merupakan keutamaan atau fadhoil dari Allah, dan itu merupakan hak otoritas Allah; disebut syarat penting karena ia merupakan hak isteri, rumah

40 J. A. Sonjaya, Menulis Proposal Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Arkeologi UGM) dan lihat Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IIQ Jakarta, (Jakarta: Penerbit IIQ,2007), h.40-41 41 Kitab-kitab fiqih yang terkategori fiqih umum, yaitu: Kitab Fatâwa al-Azhar, Fatâwa Mu‘ashirah, Fatâwa al-Lajnah ad-Dâimah lil buhûtsi al-Ilmiyyah wal Iftâ‘, al-Tasyrî‘ al-Janâ‘iy Fî al-Islâm, Majmû‘ Fatâwa Ibn al-Taymiyyah, Fiqh al-Sunnah, Musykil al-Âtsâr, dan lain-lain. 42 Kitab-kitab fiqih yang terkategori fiqih Hanafi, yaitu: Majma' al-Anhar, al- Ikhtiyâr lita'lîl al-Mukhtâr, al-Jauharah an-Nayyirah, Nûr al-Idhâh, al-Garrat al-Munîfah, al- Bahr al-Râ'iq, al-Mukhtâr, dan lain-lain. 43 Kitab-kitab fiqih yang terkategori fiqih Maliki, yaitu: Bidâyat al-Mujtahid, al- Talqin fil Fiqh al-Mâliki, al-Dzâkhirah fil Mâlikiyyah, al-Kâfi, al-Mudawwanah, dan lain- lain. 21

tangga membutuhkan frekwensi yang sama antara suami isteri, maka kafâ‘ah nasab merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan suami isteri, juga merupakan syarat kelaziman (syarat ‗urfi) karena di kalangan komunitas ‗alawiyyîn yang lazim adalah pernikahan seorang syarifah sepantasnya menikah dengan seorang sayyid. Berdasarkan fakta di atas maka implikasinya kafâ‘ah nasab ahl al-bayt adalah sunnah yang sangat dianjurkan44. 5. Teori Imâm Ahmad bin Hanbal dan madzhabnya – dalam salah satu riwayat darinya – kafâ‘ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu‘, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ‘ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ‘ah 45.

Teori penelitian kwantitatif yang dikembangkan dalam tesis ini adalah untuk memperjelas masalah kafâ‘ah nasab ahl al-bayt di berbagai negara seluruh dunia dari perspektif fiqih empat madzhab sunni, sebagai dasar untuk merumuskan hepotesis, sebagai referensi untuk menyusun instrument penelitian dan menguji hepotesis atau teori. Sedangkan teori penelitian kwalitatif dalam tesis ini akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau konteks sosial, yang berlangsung cukup lama di berbagai negara seluruh dunia, yang diharapkan akan menemukan teori baru tentang kafâ‘ah nasab ahl al- bayt. Paradigma yang digunakan oleh peneliti adalah paradigma fiqih empat madzhab ahlus sunnah wal jama‘ah. Diharapkan paradigma ini menjadi solusi dalam menjawab problematika umat, terutama di bidang kafâ‘ah nasab pernikahan ahl al-bayt. Hipotesa penulis adalah kafâ‘ah nasab ahl al-bayt merupakan tema tersendiri yang perlu dikaji dalam bab pernikahan, bab ini perlu dikaji secara mendalam berdasarkan dalil-dalil syar‘i yang mu‘tabarah, hati-hati dan memperhatikan dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat. Karena jika tidak berhati-hati dalam

44 Kitab-kitab fiqih yang terkategori fiqih Syafi‘i, yaitu: al-Umm, Raudhah al- Thâlibîn wa Umdah al-Muftîn, Mugni al-Muhtâj ilâ Ma‘rifati Ma'âni Alfâzhi al-Minhâj, Minhâju al-Thâlibîn wa Umdat al-Muttaqîn, al-Lubâb fi Fiqh asy-Syâfi'I, Matnu Abi Syujâ‘, Ghâyat al-Bayân, Mukhtasor al-Muzanni, al-Bayân fî Mazhab al-Imam al-Syâfi'I, Nihâyat al- Mathlab, Umdatu al-Sâlik, Syarh al-Mahalli ‗ala al-Minhâj, Ghâyatu Talkhîs al-Murâd, dan lain-lain. 45 Kitab-kitab fiqih yang terkategori fiqih Hanbali, yaitu: al-Kâfi, al-Inshâf, Syarh Muntaha al-Irâdât, Manzhûmat al-Mufradât, al-Mugni, dan lain-lain.

22

pembahasannya akan menimbulkan dampak sosial yang bergejolak. Hipotesa kwantitatif penguji tentang penerapan kafâ‘ah nasab ini berdasarkan data yang penulis ambil di lapangan adalah bahwa kesadaran menerapkan kafâ‘ah ini secara ketat masih teraplikasikan di geografi Asia Tenggara, seperti di Yaman, Indonesia, Malaysia, Brunai dan Singapore. Di luar negara itu sangat kecil prosentasinya dalam mengamalkan kafâ‘ah nasab. Sedangkan hipotesa kwalitatif yang dikembangkan peneliti adalah tanggapan terhadap arah penelitian, yang menurut peneliti bahwa setelah diteliti lebih lanjut, perlu pemahaman lebih mendalam terhadap konsep kafa>‘ah nasab menurut hukum Islam, dan berusaha mensosialisasikannya dalam pendidikan dan pengajaran di kalangan ahl al-bayt, sehingga mengerti betapa pentingnya mengetahui nasab dan menjaga nasab Rasûlullah Shallallâhu „Alayhi Wasallam.

I. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian campuran, yaitu penelitian diskriptitf kwalitatif kwantitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian kwalitatif bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kwalitatif ditujukan untuk memahami fenomena- fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya.46 Penelitian ini menggunakan pendekatan kwalitatif kwantitatif, yaitu berusaha mendapatkan informasi yang selengkap mungkin mengenai kafâ‘ah nasab ahl al-bayt dalam perspektif Fiqih Madzâhib Al-Arba‘ah. Informasi yang digali lewat wawancara mendalam terhadap informan. Teknik kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian ini, karena teknik ini untuk memahami realitas rasional sebagai realitas subyektif khususnya wawancara langsung ke informan.

46 Sukmadinata, Metode Penelitian, (Jakarta: Rosdakarya, 2006), h.94 23

Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu menggali banyak data tentang kafâ‘ah dari beberapa sumber terkait. Jenis penelitian ini adalah campuran yang menggabungkan antara penelitian lapangan dengan penelitian pustaka, juga meneliti bolak balik dari kwalitatif menuju kwantitatif, dan kwantitatif menuju kwalitatif, sehingga ditemukan dialektika riset yang integral, antara thesa-anti thesa-sintesa, dan prosesnya juga integral antara check-recheck-crosscheck. b. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Karena terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul di sekitar lingkungan manusia. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang- orang dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk menjelaskan makna ―kafâ‘ah nasab‖, maka pendekatan penelitian ini berguna untuk menemukan ―fakta‖ atau ―penyebab‖. Penyelidikan fenomenologis bermula dari diam. Keadaan ―diam‖ merupakan upaya menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku manusia. Fenomenologis berusaha bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek nya agar dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subyek tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Singkatnya, peneliti berusaha memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Peneliti menekankan pada hal-hal subyektif, tetapi tidak menolak realitas “di sana” yang ada pada manusia dan yang mampu menahan tindakan terhadapnya. Para peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektif karena menurut pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang lebih bersifat simbolis dari pada konkrit. Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian ini bergerak pada kajian mikro. Paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subyek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian.

24

2. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian Peneliti melakukan riset ini sejak tahun 2010 – 2014 dan melakukan observasi, interview, mengalami dan menyelami sendiri kondisi pernikahan antar keluarga sayyid syarifah di 182 negara di seluruh dunia. (Lihat di tabel 1). b. Waktu Penelitian Aktivitas penelitian ini secara keseluruhan dilaksanakan selama empat tahun, sejak bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Agustus 2014. (Lihat di tabel 2)

3. Subyek Penelitian Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik ―purpose sampling‖ yaitu pengambilan sampel didasarkan pada pilihan penelitian tentang aspek apa dan siapa yang dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan saat ini terus-menerus sepanjang penelitian, sampling bersifat purpossive yaitu tergantung pada tujuan fokus suatu saat.;

4. Obyek Penelitian Obyek penelitian adalah terkait dengan ―Kafâ‘ah Nasab Ahl al- bayt Dalam Perspektif Fiqih Madzâhib Al-Arba‘ah‖.

5. Metode Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara- cara atau teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan lancar. a. Library Research. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), dengan referensi utama buku-buku tentang Nasab Ahl al-bait. Metode library research ini menjadi suatu keniscayaan mengingat dalam hal ini penulis membahas tema yang berkisar pada masalah ―kafâ‘ah nasab syarifah‖. b. Observasi. Agar observasi yang dilakukan oleh peneliti memperoleh hasil yang maksimal, maka perlu dilengkapi format atau blangko pengamatan sebagai instrumen. Dalam pelaksanaan observasi, peneliti bukan hanya sekedar mencatat, tetapi juga harus mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu 25

observasi partisipasi dan non-partisipan47. Dalam penelitian ini teknik observasi digunakan untuk memperkuat data, terutama para paraktisi langsung pernikahan yang menuai kafâ‘ah syarifah ini. Dengan demikian hasil observasi ini sekaligus untuk mengkonfirmasikan data yang telah terkumpul melalui wawancara dengan kenyataan yang sebenarnya. Observasi ini digunakan untuk mengamati secara langsung dan tidak langsung tentang aktivitas pelaksanaan kafâ‘ah nasab atau kafâ‘ah ahl al-bait atau kafâ‘ah syarifah yang berkembang di masyarakat.. c. Wawancara yang dilakukan dengan dua bentuk, yaitu wawancara terstruktur (dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti). Sedang wawancara tak terstruktur (wawancara dilakukan apabila adanya jawaban berkembang diluar pertanyaan-pertanyaan terstruktur namun tidak terlepas dari permaslahan penelitian). Wawancara merupakan proses komunikasi yang sangat menentukan dalam proses penelitian. Dengan wawancara data yang diperoleh akan lebih mendalam, karena mampu menggali pemikiran atau pendapat secara detail48. d. Dokumentasi. Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik berupa buku-buku, tulisan tangan, rekaman ceramah, foto-foto, brosur maupun stiker dan pamflet yang berkaitan dengan ―kafâ‘ah nasab‖. Teknik dokumentasi yaitu ―mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya‖. Dokumen. Data dalam penelitian kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber manusia atau human resources, melalui observasi dan wawancara. Sumber lain yang bukan dari manusia (non-human resources), di antaranya dokumen, syajarah nasab, kitab nasab, foto dan bahan statistik. Dokumen terdiri bisa berupa buku harian, notula rapat, laporan berkala, jadwal kegiatan, peraturan pemerintah, anggaran dasar, rapor siswa, surat-surat resmi dan lain sebagainya. Selain bentuk-bentuk dokumen tersebut diatas, bentuk lainnya adalah foto dan bahan statistik49.

47 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 48 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1999 49 Iqbal Hasan, Pokok-pokok MateriMetodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992

26

e. Angket (Kuesionare). Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk menggali data sesuai dengan permasalahan penelitian50. f. Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang diteliti51. g. Korespondensi, yaitu metode kerjasama dengan para relawan penelitian untuk mengumpulkan data dari seluruh penjuru dunia.

6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis seperti yang disaranakan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis tersebut, jika dikaji definisi Atas lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data sedangkan definisi tersebut dapat pengorganisasian data sedangkan definisi yang kedua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data, dan dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, analisis data, adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data bermaksud atas nama mengorganisasikan data, data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen, laporan, dan lain-lain, dan pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan memberikan suatu kode tertentu dan mengkategorikannya, pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantive. Analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan

50 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi ke-5, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002 51 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, London: SAGE Publications, 1994

27

pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti, dan selain menganalisis data peneliti juga perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan atau menjustifikasikan teori baru yang barangkali ditemukan. Metode pembahasan tesis ini menggunakan metode analisis isi (content analysis). Metode ini menurut Barcus—seperti dikutip Noeng Muhajir—merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. Secara teknis, metode ini mencakup upaya-upaya mengklasifikasikan tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi; menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, menggunakan teknis analisis tertentu untuk membuat prediksi.52 Atau menurut Klaus Krippendorff—dengan mengutip Barelson—analisis isi adalah teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara objektif, sistematis, dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak.53 Dalam pengertian ini, metode analisis isi di sini dimaksudkan sebagai upaya ekplorasi dan klasifikasi atas ―Kafâ‘ah Nasab Ahl al-bait Dalam Perspektif Fiqih Madzâhib Al-Arba‘ah‖ Setelah mengadakan studi isi, penulis melakukan analisa dengan studi dialektika kritis yaitu mengadakan analisa dengan tahapan thesa dan antitesa, dan sintesis.

7. Keabsahan Data Dalam studi keabsahan data ini ada 2 metode yang digunakan oleh peneliti, yaitu: 1. Metode Isnad 2. Metode Trianggulasi Pertama, Metode Isnad adalah metode sanad ilmu yang digunakan untuk mengetahui suatu data ini absah, valid atau tidak. Dalam tesis ini peneliti menggunakan sanad ilmu di bidang nasab dan fiqih madzahib arba‘ah. Kedua, Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik trianggulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, dan teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui sumber yang lainnya. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik

52 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1992), h. 76-78 53 Klaus Krippendorff, Analisis Isi; Pengantar Teori dan Metodologi, terj. Farid Wajdi, (Jakarta : Rajawali Press, 1993), h. 15-16

28

trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Ada empat macam trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung, observasi tidak langsung ini dimaksudkan dalam bentuk pengamatan atas beberapa kelakukan dan kejadian yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut diambil benang merah yang menghubungkan di antara keduannya. Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam memperoleh data primer dan skunder, observasi dan interview digunakan untuk menjaring data primer yang berkaitan fenomena praktik kafâ‘ah nasab syarifah (ahl al-bayt)., sementara studi dokumentasi digunakan untuk menjaring data skunder yang dapat diangkat dari berbagai dokumentasi tentang (pernikahan yang menyalahi kafâ‘ah syarifah). Tahap-tahap dalam pengumpulan data dalam suatu penelitian, yaitu tahap orientasi, tahap ekplorasi dan tahap member chek. Tahap orientasi, dalam tahap ini yang dilakukan peneliti adalah melakukan prasurvey ke lokasi yang akan diteliti, dalam penelitian ini, pra-survey dilakukan di kampung-kampung Arab (daerah yang mana keturunan Rasûlullah banyak bermukim) seluruh dunia,.Kemudian peneliti juga melakukan studi dokumentasi serta kepustakaan untuk melihat dan mencatat data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. Tahap eksplorasi, tahap ini merupakan tahap pengumpulan data di lokasi penelitian, dengan melakukan wawancara dengan unsur-unsur yang terkait, dengan pedoman wawancara yang telah disediakan peneliti, dan melakukan observasi tidak langsung tentang pelaksanaan kafâ‘ah syarifah. Tahap member chek, setelah data diperoleh di lapangan, baik melalui observasi, wawancara ataupun studi dokumentasi, dan responden telah mengisi data kuesioner, serta responden diberi kesempatan untuk menilai data informasi yang telah diberikan kepada peneliti, untuk melengkapi atau merevisi data yang baru, maka data yang ada tersebut diangkat dan dilakukan audit trail yaitu menchek keabsahan data sesuai dengan sumber aslinya.

8. Metode Penulisan Metode penulisan penelitian ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Institut Ilmu Al-Qur‘an, cetakan II, Mei 2011, ISBN 978-602-95825, dan juga pedoman akademik program pascasarjana Tahun 2011-2015 dan Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana IIQ Jakarta, Nomor: 29

K.0058.XVII/PPS/VI/2015 tentang panduan penulisan proposal tesis dan tesis program pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‘an Jakarta. Tanpa ada pengecualian.

J. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini sesuai dengan urutan out line. 1. Bab pertama merupakan pendahuluan yang dimaksudkan untuk memperjelas Latar belakang masalah; identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan pustaka; kerangka teori; metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. Bab kedua mengupas tentang kerangka teori sebagai landasan teori yang digunakan dalam tesis ini, ada dua sub yang akan dijelaskan yaitu: Sub pertama tentang ahl al-bayt dalam perspektif ilmu nasab, yang terdiri dari 8 indikator, yaitu: (1) Pengertian ahl al-bayt menurut bahasa dan istilah, (2) Siapa saja ahl al-bayt, (3) Keutamaan dan keistimewaan ahl al-bayt , (4) Anjuran Syariat Islam untuk mencintai ahl al-bayt, (5) Pengertian ilmu nasab Ahl al-bayt, (6) Tujuan dan manfaat mempelajari ilmu nasab ahl-bayt, (7) Kedudukan ilmu nasab ahl al-bayt dalam Syari‘at Islam, (8) Nasab biologis berbeda dengan nasab syar‘i. Adapun sub kedua tentang Kafâ‘ah Nasab Dalam Islam, terdiri dari 4 indikator, yaitu: (1) Pengertian kafâ‘ah nasab dalam Islam, (2) Ayat-ayat Al-Qur‘an yang mengisyaratkan kafâ‘ah nasab, (3) Kafâ‘ah menurut Hadits Nabi Muhammad saw, (4) Tujuan kafâ‘ah nasab ahl al-bayt Rasulullah. 3. Bab ketiga berisi pembahasan inti tesis ini yaitu membahas tentang 4 inti tesis, yaitu: (1) Pendapat Imam Abû Hanîfah tentang Ahl Al-Bayt, kafâ‘ah Ahl al-bayt, metode Istinbathnya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi Abû Hanîfah dalam menetapkan Hukum Islam. Serta relevansi pendapat Madzhab Hanâfiyyah terhadap kafâ‘ah nasab di era modern. (2) Pendapat Imâm Mâlik tentang Ahl Al-Bayt, kafâ‘ah Ahl al-bayt, metode Istinbat\nya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Mâlik dalam menetapkan Hukum Islam. Serta relevansi pendapat Madzhab Mâlikiyyah terhadap kafâ‘ah nasab di era modern. (3) Pendapat Imâm Al-Syâfi‘i tentang Ahl Al-Bayt, Kafâ‘ah Ahl al-bayt, metode Istinbathnya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi Imâm Asy-Syafi‘i dalam menetapkan Hukum Islam. Serta relevansi pendapat Madzhab Syâfi‘iyyah terhadap kafâ‘ah nasab di era modern. (4) Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal tentang Ahl Al- Bayt, kafâ‘ah Ahl al-bayt, metode Istinbathnya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan Hukum Islam. Serta relevansi pendapat Madzhab Hanâbilah terhadap kafâ‘ah nasab di era modern.

30

4. Dan bab keempat, yang merupakan bab terakhir berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil analisis-eksploratif penulis atas kafâ‘ah nasab ahl al-bayt dalam perspektif fiqih madzâhib al-Arba‘ah. Dan ditutup dengan saran-saran serta daftar pustaka dan lampiran- lampiran.

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan dari tesis ini yang berjudul “Kafâ‟ah Nasab Ahl al-bayt Dalam Perspektif Fiqih Madzâhîb al-„Arba‟ah”. Adalah: 1. Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt menurut Imâm Abû Hanifah dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt hukumnya an-nadb atau sunnah bagi para syarifah (wanita keturunan ahl al-bayt Rasûlullah) untuk menikah dengan para sayyid ahl al-bayt. b. Selama masih ada sayyid yang bisa menikahi, maka seorang syarifah hukumnya makruh menikah dengan laki-laki dari non sayyid. c. Dalam kondisi darurat secara syar‟iyyah, yaitu kondisi peperangan, atau di suatu daerah yang sulit menemukan sayyid (keturunan Rasûlullah), maka seorang syarifah dibolehkan menikah dengan laki-laki non sayyid, dengan syarat laki-laki non sayyid itupun memiliki ketakwaan dan akhlak mulia. Madzhab Imâm Abû Hanîfah memberikan hak bagi wali & pihak wanita untuk memilih pasangan yang sepadan atau setara secara nasab dengannya. Namun hak ini dapat digugurkan dengan persetujuan wali & pihak wanita. d. Sangat tidak benar, jika ada tulisan atau seseorang yang mengatakan bahwa madzhab Hanafi tidak memasukkan kafâ‟ah nasab ke dalam kriteria pembahasan kafâ‟ah. Apalagi mengatakan bahwa madzhab Hanafi hanya memasukkan kafâ‟ah agama saja, padahal semua kitab-kitab dari Imâm Abû Hanîfah dan semua kitab ashâb Al-Hanâfiyyah (ulama‟ bermadzhab Hanafi) dengan tegas memasukkan kafâ‟ah nasab sebagai bagian dari kafâ‟ah pernikahan syar‟i. e. Dalam Madzhab Hanafi, Kafâ‟ah nasab adalah syarat kelaziman pernikahan. 2. Imâm Mâlik mengakui adanya kafâ‟ah dalam agama Islam. Dan tidak menerima adanya kafâ‟ah nasab dalam pernikahan. 3. Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt menurut Imâm Muhammad Asy-Syâfi‟i dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kafâ‟ah itu adalah suatu urusan yang mewajibkan untuk menolak adanya aib dan kehinaan, terutama kesepadanan laki terhadap perempuan dalam kesempurnaan keadaan keduanya sehingga selamat dari aib.

135

136

b. Menurut Imâm Syâfi‟i, masalah kafâ'ah pertama kali diistinbat berdasarkan hadits dari Barîrah. c. Sayid ‟Alwi bin Ahmad as-Saqqaf Mufti Makkah al- Mukarramah, Habîb ‟Abd Allah bin ‟Alwi al-Haddâd, Sayyid Abd Ar-Rahmân bin Muhammad bin Husayn Al-Masyhûr dan Sayyid ‟Utsmân bin ‟Abd Allah bin Yahya (Mufti Betawi), empat tokoh tersebut adalah pengikut madzhab Syafi‟iyyah menjelaskan bahwa kafâ'ah ahl al-bayt adalah hak Allah dan hukumnya wajib dalam pernikahan Syarifah dan Sayyid. 4. Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt menurut Imâm Ahmad bin Hanbal dapat disimpulkan sebagai berikut: Imâm Ahmad bin Hanbal berkata “Kafâah dalam hal nasab adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu, sahlah nikah mereka”. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Imâm Ahmad bin Hanbal berkata, kafâ‟ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ‟ah”.

Penulis berpendapat dan menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitian di beberapa tempat hampir merata di seluruh dunia, persoalan kafâ‟ah nasab ini sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini, dengan kesimpulan hukum sebagai berikut: 1. Berdasarkan ushûl al-fiqh bahwa dalam pernikahan, al-Hadaf (tujuan utama pernikahan) adalah sakînah mawaddah wa rahmah, sedangkan Kafâ‟ah nasab merupakan al-wasîlah (salah satu perantara untuk mencapai tujuan tersebut), 2. Kafâ‟ah nasab menurut penulis perlu dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu Kafâ‟ah nasab yang bersifat umum dan Kafâ‟ah nasab yang bersifat khusus. Kafâ‟ah nasab yang bersifat umum adalah Kafâ‟ah nasab bagi seluruh manusia, sedangkan Kafâ‟ah nasab yang bersifat khusus, adalah Kafâ‟ah nasab yang terjadi dalam pernikahan ahl al- bayt Rasûlullah Shallallâhu ‟Alayhi Wasallam. 3. Karena ada 2 macam Kafâ‟ah nasab, „umûmiyyah dan khusûsiyyah, maka ada 2 hukum fikih yang berkenaan dalam masalah Kafâ‟ah nasab ini. Yaitu: a. mengenai Kafâ‟ah nasab „umûmiyyah. 4 madzhab fiqih sunni berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah Kafâ‟ah dalam hal nasab secara umum merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, maka implikasi hukumnya adalah sekedar anjuran sosial bukan sunnah atau disebut al-hitstsu; Imâm Mâlik berpendapat bahwa Kafâ‟ah dalam hal nasab tidak dikatagorikan sebagai Kafâ‟ah, maka implikasi hukumnya adalah mubah, Imâm Syafi‟i berpendapat bahwa Kafâ‟ah dalam hal nasab secara umum 137

adalah syarat penting dalam pernikahan karena ia merupakan aspek sosial yang sangat penting dan Kafâ‟ah nasab merupakan hak isteri dan kedua orang tua maka implikasi hukumnya adalah anjuran yang disunnahkan (an-nadab atau as-sunnah); dan Imâm Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– Kafâ‟ah nasab secara umum adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu‟, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, Kafâ‟ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya Kafâ‟ah. b. mengenai kafâ‟ah nasab khusûsiyyah, yaitu kafâ‟ah ahl al-bayt atau kafâ‟ah yang terjadi dalam pernikahan seorang syarifah. Maka 4 madzhab fiqih sunni berbeda pendapat yaitu: menurut Imâm Abû Hanîfah kafâ‟ah nasab di ahl al-bayt merupakan syarat kelaziman atau syarat kepantasan, maka implikasi hukumnya adalah sekedar anjuran sosial bukan sunnah atau disebut al- hitstsu; Imâm Mâlik berpendapat bahwa Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt tidak dikatagorikan sebagai Kafâ‟ah, maka implikasi hukumnya adalah mubah, Imâm Syâfi‟i berpendapat bahwa Kafâ‟ah nasab ahl al-bayt atau Kafâ‟ah dalam pernikahan syarifah merupakan syarat sah, syarat fadhoil, syarat penting, dan syarat kelaziman. Disebut syarat sah karena Kafâ‟ah ahl al-bayt adalah hak wali, tidak sah pernikahan tanpa adanya wali nikah, disebut syarat fadhoil karena takdir bernasab kepada Rasûlullah merupakan keutamaan atau fadhoil dari Allah, dan itu merupakan hak otoritas Allah; disebut syarat penting karena ia merupakan hak isteri, rumah tangga membutuhkan frekwensi yang sama antara suami isteri, maka kafâ‟ah nasab merupakan salah satu faktor penting dalam hubungan suami isteri, juga merupakan syarat kelaziman (syarat „urfi) karena di kalangan komunitas „alawiyyîn yang lazim adalah pernikahan seorang syarifah sepantasnya menikah dengan seorang sayyid. Berdasarkan fakta di atas maka implikasinya kafâ‟ah nasab ahl al-bayt adalah sunnah yang sangat dianjurkan bahkan menurut Mufti Besar Betawi Sayyid Utsman bin Yahya adalah wajib. dan Imâm Ahmad bin Hanbal –dalam salah satu riwayat darinya– kafâ‟ah nasab ahl al-bayt adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kufu‟, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafâ‟ah adalah 'hak Allah' dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafâ‟ah. 4. Penulis menegaskan bahwa meskipun zaman berubah, kondisi sosial berubah, maka Syari‟at Islam tetap ditegakkan. Dahulu di zaman Rasûlullah, khulafaur râsyidun kafâ‟ah, para sahabat, para tabi‟în, 138

para tabi‟ut tabi‟în, para salafus shâlih, para walisongo sangat memperhatikan kafâ‟ah nasab ahl al-bayt, maka di zaman kita sekarang ini, dengan arus informasi yang mengglobal, yang mana komunikasi antara laki-laki dan perempuan sudah tak terbendung lagi, sudah mampu menembus dinding-dinding rumah keluarga ahl al-bayt sehingga perkenalan antara syarifah dengan non sayyid sudah tak terbendungkan lagi. Hal ini berimplikasi pada kafâ‟ah nasab dalam pernikahannya, maka hukum syari‟at tetaplah harus ditegakkan dalam rangka memelihara keturunan Rasûlullah. 5. Penulis kurang sependapat dengan pendapat madzhab Maliki yang tidak memasukkan nasab sebagai kafâ‟ah pernikahan di kalangan ahl al-bayt, karena faktanya ada syarat fadhoil yang terkandung dalam hadits-hadits di kutubut tis‟ah, ada syarat wilayah persetujuan seorang wali yang akan menikah, yang mana jika walinya tidak mau menikahkan maka pernikahannya tidak sah, dan ada syarat kelaziman dari keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Sampai sekarang ini komunitas ahl al-bayt hidup dalam masyarakat komunal, tidak individual. Artinya mayoritas „alawiyyîn hidup berkelompok, sehingga terbangun kampung-kampung sayyid, jika ada pernikahan yang tidak sekufu‟ biasanya secara otomatis terjadi isolisasi psikologis, disengaja maupun tidak disengaja. Dalam hal ini penulis sangat sependapat dengan pendapat madzhab Imam Syafi‟I dan Imâm Ahmad bin Hanbal, yang mana kedua maz\hab ini sangat memperhatikan faktor psikologis individu, keluarga dan masyarakat. 6. Praktek kafâ‟ah nasab ahl al-bayt yang terjadi di banyak tempat, daerah, wilayah, negara, benua dan bahkan dunia sekalipun, bukan merupakan bentuk feodalisme kapitalis, atau mengkelas-kelaskan manusia, menjadi kelas-kelas yang berbeda. Menurut penulis ada perbedaan yang signifikan antara feodalisme dengan kafâ‟ah nasab ahl al-bayt. Feodalisme terbentuk dari sebuah ideologi imprealisme, kapitalisme, penjajahan kelas sosial, untuk menjajah manusia lainnya baik dari sisi politik, sosial, ekonomi bahkan ideologi dan agama. Sedangkan kafâ‟ah nasab ahl al-bayt merupakan ijtihad syar‟i untuk menjaga nasab Rasulullah karena dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah akan lahir Imam Mahdi dari keturunan Rasûlullah sebagai Imam akhir zaman yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan, maka wajib hukumnya menjaga nasab keturunan Rasûlullah. Karena bagi Aswaja sosok Imam Mahdi ini adalah mastur, hanya disebutkan kriterianya namun tidak dijelaskan secara jelas siapa sosoknya, berbeda dengan keyakinan madzhab syi‟ah imâmiyyah yang sudah terang-terangan menyebut bahwa Imam Mahdi adalah Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar, maka karena penulis berakidah 139

Ahlussunnah wal Jama‟ah, penulis berpendapat bahwa persoalan kafâ‟ah bukan hanya persoalan fiqih, namun juga persoalan aqidah, yaitu bagian dari Rukun Iman yang ke-6, yaitu Iman kepada Hari Akhir. Mempercayai Hari Akhir, berarti mempercayai tentang tanda- tanda datangnya Hari Akhir, salah satu tandanya adalah datangnya Imam Mahdi. Maka menjaga nasab Rasûlullah merupakan bentuk konkrit dari beriman kepada Rukun Iman yang ke-6.

B. Saran-Saran 1. Hasil penelitian berdasarkan riset di beberapa negara dihasilkan bahwa kafâ‟ah ahl al-bayt (pernikahan antara Syarifah dan Sayyid) memiliki empat macam hukum, yaitu sunnah menurut madzhab Hanafi, mubah menurut madzhab Mâliki, Wajib menurut madzhab Syâfi‟i, dan sunnah wajibah (sunnah yang hamper diwajibkan) menurt madzhab Hanbali. 2. Hasil penelitian di atas di dapat bahwa pengikut madzhab Hanafi, Mâliki, Hanbali di beberapa Negara kurang memperhatikan adanya kafâ‟ah nasab, sedangkan pengikut madzhab Syafi‟i di beberapa Negara sangat ketat mempraktekkan kafâ‟ah nasab ini. 3. Saran penulis kepada pembaca, agar terus menggali dan mendalami lebih dalam lagi tema kafâ‟ah nasab bagi ahl al-bayt dan bagaimana relevansinya di kehidupan modern ini.

DAFTAR PUSTAKA

’Abd Allah bin ‘Abbas. Tanwîru Al-Miqbâs Min Tafsîri Ibni ‘Abbas, Dâr Al- Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1425 H. ‘Abd Al-Madjid, Ahmad. Mata Kuliah Ushul Fiqih, Pasuruan: Penerbit PT.Garoeda Buana Indah, Cetakan IV, Juni 1994 ’Abd Ar-Rahmân, Jalâl ad-Dîn. Ghâyah al-wushûl ilâ Daqâ’iq ‘ilm al-Ushûl, (Mathba’ah al-jabawali, Mesir) 1993, Abû Dawud. Hâdits Sunan Abû Dâwud, Tahqîq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, t.Cet.Beirut: Dâr Al-Kitab Al-Arabi,tt Abû Hânifah, Kitâb Fiqih Hanafi, tt Abû Hâyyân. Al-Bahr Al-Muhîth. Juz I. Abû Sulaimân, Abd. Al-Wahhâb Ibrahim. al-Fikr al-Ushûli, Jeddah : Dâr asy-Syurûq, Cet. I, 1983. Abu Zahrah, Muhammad. Ushûl Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, ______, Ushûl Fiqih, terj. Jakarta, Penerbit Pustaka Firdaus, Cetakan VI, November 2000 ______, Abû Hâmid ad-Dzikra al-Mu’âwiyah at-Tâsi’ah li milâdi (al- Majlis al-Riayah al-Funun wa al-Adab wa al-Ulum al-Ijtima’iyah,t th) ______, Muhâdharât Fî Aqdi Al-Zuwâji Wa Âshâruhu, Beirût-Libnân, Maktabah Dâr Al-Fikr Al-‘Arabiy, A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group,Cet.2,2007 Ad-Darimiy. Sunan Ad-Darimy, Kitab Ad-Diyât, Bab Kam al-diyat min al- wâriq wa adz-dzahab, juz.2. Ad-Dimasyqi, Abdu Ar-Rahmân bin Muhammad. Fiqih Empat Madzhab, tt Ad-Dimyathiy. I’ânat ath-Thâlibîn, juz 3, tt Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. At-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah.1961 M. A Rahman, Asymuni. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1. Jakarta: bulan bintang ‘Ainiy, Badru Ad-Dîn. Al-’Inâyah Fî Syarah Al-Hidâyah, Pakistan, tt Aj-Jazîriy, Abdu Ar-Rahmân. Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba'ah, Juz 1. Istanbul Turkiy, Maktabah Al-Haqîqah (Hakikat Kitabevi), 1425 H/ 2004 M 141

142

______, Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba'ah, Juz 2. Istanbul Turkiy, Maktabah Al-Haqîqah (Hakikat Kitabevi), 1425 H/ 2004 M ______, Al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba'ah, Juz 3. Istanbul Turkiy, Maktabah Al-Haqîqah (Hakikat Kitabevi), 1425 H/ 2004 M Aj-Jurjâniy, ‘Ali bin Muhammad. Syarah Asy-Syirâjiyyah, Al-Azhar Al- Mishra, tt Al-Albâni, Muhammad Nashîr Ad-Dîn. Al-Jâmi’ush Shagîr wa ziyâdâtuh. Markaz Nûr Al-Islâm li Abhâts Al-Qur’ân wa As-Sunnah. (1420 H / 2000 M). Al-Alûsi. Rûh Al-Ma’âniy, Juz I, Beirut: Dâr Al-Fikr, 1978. Al-Amidiy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm 2, Mathba’ah Shabîh, 1347H, Juz 2, ______, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm 3, (Penerbit: Darr an- Nahdah al- Ilmiyah) 1985, juz III, Al-‘Anjiy, Murdhîy bin Masyûkh. Al-Madzhab Al-Hanafi, tt Al-Asnawi, Nihayah al-Wushul, (Penerbit: Alam al-kutub,Beirut) 1982, juz IV,. Al-Bâbirtiy, Akmal Ad-Dîn. An-Nuktu Azh-Zharîfah Fî Tarjîhi Madzhabi Imâm Abî Hanîfah, Saudi Arabia-Ar-Riyâdh: Markaz Al- Buhûts At-Tarbiyyah, 1418 H – 1997 M, cet.1 Al-Baghdâdi, Abû Muhammad Ghiyâts Ad-Dîn, Majma’ Ad-Dhamânât, Qathar: Wizârât Al-Awqâf Wa As-Syu’ûn Al-Islâmiyyah, 1428 H – 2007 M , Cet.1, Al-Baghdâdi, ‘Abdu Ar-Rahmân Syihâbu Ad-Dîn. Irsyâdu As-Sâlik Ilâ Asyrafi Al-Masâlik Fî Fiqhi Imâm Mâlik, Pakistan: Maktabah Al-Misykât Al-Islâmiyyah, tt Al-Bahy, Muhammad. al-Islam wa Tijah al-Mar'ah al-Mu'ashirah,Mesir, Maktabah wahbah, 1978, Al-Bâjiy, Abû Al-Walid Sulaymân bin Khalaf bin Sa’ad bin Ayûb. Al- Muntaqa Syarah Muwaththa’ Mâlik, Juz 1- 9, Beirût – Libnân, Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1420 H – 199 M, cet.1 Al-Bannani, Syarj al-Mahalli ‘alâ al-Jam’I al-Jawâmi’,tt ______, Hasyiah al-bannani ala syarah al- mahalli ala main al-Jmi al jawami, ( al-Haramain, Iskandariyah) Al-Bâri’iy, Utsmân bin ‘Ali bin Mahzân. Tabyîn Al-Haqâiq Syarah Kanzu Ad-Daqâiq Wa Hasyiyah Asy-Syilbiy, Bulaq-Qâhirah (Cairo), Al-Mathba’ah Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1313 H, cet.1 143

Al-Bashriy, Abû Al-Qâsim ‘Ubaydillah bin Al-Husayn bin Al-Hasan bin Al- Jallâb. At-Tafrî’, Beirût – Libnân, Dâr Al-Gharbi Al-Islâmiy, 1408 H - 1984 M, cet.1 Al-Bukhori. Shahih Bukhari, Tahqiq: Muhammad Zhahir bin Nashir An- Nashir, Cet.1. Beirut: Dâr Tauqh An-Najat, thn.1422H. Al-Bukhari, ‘Abdul Aziz. Kasyf al-Asrâr Fî Ushûl al-Bazhawiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, Al-Bûti, Tsawâbit al-Maslahah fin al-Syarî’ah al-Islamiyah, (Penerbit :Al- Mu’assasahar-Risalah, Beirut) 1990, Al-Farmawi, ‘Abd Al-Hay Husayn. Muqaddimah fî at-Tafsîr al-Maudhû’i. Cairo: al-Hadhârah, 1977. Al-Ghazali, Muhammad. Al-Mustashfa Min ‘Ilm Al-‘Ushûl, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, 1356H, Cetakan.1, Al-Hajj, Ibn ‘Amir. al-Taqrîr wa al-Tahbîr,Mesir: al-Mathba’ah al- Amiriyyah,1316 H,jilid II, Al-Hammam, Al-Kamal ibn. at-Tahrir, (Penerbit,tt, Dar-al-Fikr) tth, Al-Hanafiy, ‘Abdu Al-Ghâni Al-Ghanîmîy Ad-Dimasyqiy Al-Miydâniy. Al- Lubâb Fî Syarhi Al-Kitâb, tt Al-Hanafiy,‘Abdu Allah bin Mahmûd bin Mawdûd Al-Mawshuliy. Al- Ikhtiyâr Li Ta’lîl Al-Mukhtâr, Juz 1-5, Libnân Beirût: Dâr Al- Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1426H – 2005 M, Cet.3 Al-Hanafiy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaybâniy. Kitâbu Al-Ashli Al-Ma’rûf Al-Mabsûth, Juz 1, Pakistan, Lahore-Urdubadzâr, Al-Maktabah Al-Madaniyyah, 1401 H - 1981 M, Cet.1 ______, Kitâbu Al-Ashli Al-Ma’rûf Al-Mabsûth, Juz 2, Pakistan, Lahore- Urdubadzâr, Al-Maktabah Al-Madaniyyah, 1401 H - 1981 M, Cet.1 ______, Kitâbu Al-Ashli Al-Ma’rûf Al-Mabsûth, Juz 3, Pakistan, Lahore- Urdubadzâr, Al-Maktabah Al-Madaniyyah, 1401 H - 1981 M, Cet.1 ______, Kitâbu Al-Ashli Al-Ma’rûf Al-Mabsûth, Juz 4, Pakistan, Lahore- Urdubadzâr, Al-Maktabah Al-Madaniyyah, 1401 H - 1981 M, Cet.1 ______, As-Siyaru Ash-Shagîr, Pakistan, Lahore- Urdubadzâr, Al- Maktabah Al-Madaniyyah, 1401 H - 1981 M, Cet.1 ______, Al-Jâmi’ Ash-Shagîr Wa Syarhuhu An-Nâfi’ Al-Kabîr, Juz 1, Beirut: ‘Alam Al-Kitâb, 1406 H - 1986 M, Cet.1 Al-Hanafîy, Abû Hafsh ‘Umar Al-Gharnawiy. Al-Gurratu Al-Munîfah Fî Tahqîqi Ba’di Masâ’il Al-Imâm Abî Hanîfah, Juz 1, Pakistan, Maktabah Abî Hanifah, tt

144

Al-Hanafîy, Abû Muhammad Mahmûd bin Ahmad. Minhatu As-Sulûk Fî Syarhi Tuhfatu Al-Mulûk, Qathar: Wizârât Al-Awqâf Wa Asy- Syu’ûn Al-Islâmiyyah, 1428 H – 2007 M , Cet.1, Al-Hanafîy, Ahmad bin Muhammad bin Ismâ’îl Ath-Thahâwîy. Hâsyiyah ‘Ala Marâqi Al-Falâh Syarah Nûri Al-Idhâh, Mesir, Mathba’ah Al-Kubra Al-Amîriyyah Bi Bûlaq, 1318 H, Cet.2, Al-Hanafîy, Alâ’u Ad-Dîn Abî Bakar bin Mas’ûd Al-Kâsânîy, Badâi’u Ash- Shanâ’i Fî Tartîbi Asy-Syarâ’i, Juz 1, Beirût-Libnân, Dâr Al- Kitâb Al-’Arabi, 1394 H – 1974 M , Cet.2 ______, Badâi’u Ash-Shanâ’i Fî Tartîbi Asy-Syarâ’i, Juz 2, Beirût-Libnân, Dâr Al-Kitâb Al-’Arabi, 1394 H – 1974 M , Cet.2 ______, Badâi’u Ash-Shanâ’i Fî Tartîbi Asy-Syarâ’i, Juz 3, Beirût-Libnân, Dâr Al-Kitâb Al-’Arabi, 1394 H – 1974 M , Cet.2 ______, Badâi’u Ash-Shanâ’i Fî Tartîbi Asy-Syarâ’i, Juz 4, Beirût-Libnân, Dâr Al-Kitâb Al-’Arabi, 1394 H – 1974 M , Cet.2 Al-Hanafîy, ‘Ali bin Sulthân Muhammad Al-Qâri. Syarah Al-Wiqâyah, Pakistan, Maktabah Al-Misykât Al-Islâmiyyah, tt Al-Hanafîy, Fakhru Ad-Dîn Utsmân bin ‘Âli Az-Zîla’iy. Tabyîn Al-Haqâiq Syarah Kanz Ad-Daqâiq, Juz 1-6, Qâhirah (Cairo): Dâr Al- Kutub Al-Islâmiy, 1313 H, Al-Hanafîy, Khâlid bin Muhammad Al-’Arûsiy, Al-Aqdu Al-Farîd Li Bayâni Ar-Râjih Min Al-Khilâfi Fî Jawâzi At-Taqlîd Li Abî Al-Ikhlâsh Hasan Al-Syurunbulâliy Al-Hanafîy, Makkah Al-Mukarramah, Majallah Jâmi’ah Ummul Qura Li ‘Ulûmi Asy-Syarî’ah Wa Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Wa Adabihâ, Dzul Hijjah, 1425 H Al-Hanafîy, Muhammad Amîn bin ‘Umar bin ‘Abdu Al-‘Azîz ‘Abidin Ad- Dimasyqi. Hâsyiyah Raddi Al-Mukhtâr ‘Ala Ad-Durri Al- Mukhtâr Syarah Tanwîri Al-Abshâr Fiqh Abî Hanîfah, Juz 1- 27, Bahâdurabad Karâtîsyî India, 1411 H, Maktabah Al- Syaikh, Cet.3. Al-Hanafîy, Muhammad ‘Âsiq Ilâhi Al-Barâniy. At-Tashîl Azh-Zharârîy Limasâil Al-Qudûriy Fî Fiqhi Al-Imâmi Al-A’zham Abî Hanîfah An-Nu’mân bin Tsâbit Al-Kûfiy, Juz 1, Bahâdurabad Karâtîsyî India, 1411 H, Maktabah Asy-Syaikh, Cet.2. Al-Hanafîy, Muhammad ‘Âsiq Ilâhi Al-Barâniy. At-Tashîl Azh-Zharârîy Limasâil Al-Qudûriy Fî Fiqhi Al-Imâmi Al-A’zham Abî Hanîfah An-Nu’mân bin Tsâbit Al-Kûfiy, Juz 2, Bahâdurabad Karâtîsyî India, 1412 H, Maktabah Al-Syaikh, Cet.1. 145

Al-Hanafîy, Sayyid Sabiq. Fiqhu as-Sunnah, Jilid 7. Al-Hanafîy, Ya’qûb bin Ibrâhîm Al-Anshâriy Abû Yûsuf, Kitâb Al-Atsar, Beirût, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt ______, Ya’qûb bin Ibrâhîm Al-Anshâriy Abû Yûsuf, Kitâb Al-Kharaj, Beirût, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt Al-Hanafîy, Zayn Al-‘Âbidîn Ibrâhîm Ibn Najîm Al-Mishriy, Ghamzu ‘Uyûni Al-Bashâir Syarh Kitâb Al-Isybâh Wa An-Nazhâ’ir, Juz 1, Beirût-Libnân, 1405 H – 1985 M. Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, cet.1. ______, Zayn Al-‘Âbidîn Ibrâhîm Ibn Najîm Al-Mishriy, Ghamzu ‘Uyûni Al-Bashâir Syarh Kitâb Al-Isybâh Wa An-Nazhâ’ir, Juz 2, Beirût-Libnân, 1405 H – 1985 M. Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, cet.1. ______, Zayn Al-‘Âbidîn Ibrâhîm Ibn Najîm Al-Mishriy, Ghamzu ‘Uyûni Al-Bashâir Syarh Kitâb Al-Isybâh Wa An-Nazhâ’ir, Juz 3, Beirût-Libnân, 1405 H – 1985 M. Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, cet.1. ______, Zayn Al-‘Âbidîn Ibrâhîm Ibn Najîm Al-Mishriy. Ghamzu ‘Uyûni Al-Bashâir Syarh Kitâb Al-Isybâh Wa An-Nazhâ’ir, Juz 4, Beirût-Libnân, 1405 H – 1985 M. Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, cet.1. Al-Hanbali, Ahmad. Al-Musnâd Imam Ahmad, tt. Al-Haramayn, al-Burhân Fî Ushûl al-Fiqh,Dâr al-Anshâr,Cairo,1400 H Al-Hawâriy, Abu ‘Ali ‘Umar bin Qadâh. Al-Masâ’il Al-Fiqhiyyah, Pakistan: Al-Maktabah Al-Misykât Al-Islâmiyyah, tt Al-Hindi, Syaikh Tsanâ’ullah. Tafsîr Al-Qur’ân bi Kalâm Ar-Rahmân, Dâr As-Salâm Li An-Nasyr Wat Tawzî’, Cet.I (1423H / 2002M), Riyadh. Al-Kalby, Taqrib al-Ushûl ila “ilm al-Ushûl (Maktabah al-‘ilmiyah, Beirut),tt, Al-Khirrid, Muhammad bin Ali. al-Ghuror, Modern Egyptian Press. Al-Khudhari, Muhammad. Ushûl Fiqh, Kairo-Mesir: Mathba’ah Al- Istiqâmah, Cet.3, 1969 Allahaymîd, Sulaymân. Syarah Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîh Al-Fiqh Fî Ad- Dîn Li ‘Abdi Ar-Rahmân bin Nâshir As-Sa’diy, Saudi Arabia: Majallah Riyâdh Al-Muttaqîn, 1422H – 2001 M, Cet.1

146

Al-Malâ, ‘Abdu Al-Lathîf bin Abdu Ar-Rahmân. Wasîlah Az-Zafar Fî Al- Masâ’il Allatî Yuftî Fîhâ Biqulin Zufurin, Libnân Beirût: Dâr Khadhar, 1422H – 2001 M, Cet.1 Al-Mâliki, ‘Abdu Al-Wahhâb bin ‘Ali bin Nashar Al-Tsa’labi Abû Muhammad. At-Talqîn Fî Fiqhi Al-Mâliki, 2 Juz, Makkah Al- Mukarramah: Maktabah At-Tijâriyyah, 1415 H, Al-Mâliki, Abû Al-Qâsim Muhammad bin Ahmad bin Juzay Al-Kalabiy Al- Garnâthiy. Al-Qawânîn Al-Fiqhiyyah Fî Talkhîsh Madzhabi Al-Mâlikiyyah, Juz 1- 2, Beirût – Libnân, Dâr Al-Gharbi Al- Islâmiy, 1408 H - 1984 M, cet.1 Al-Mâliki, Abû Muhammad ‘Abdillah bin Abdu Al-Hakam bin A’yun bin Al-Layts Al-Qurasyi. Al-Mukhtashâr Al-Kabîr, Mesir: Markaz An-Nujûbiyyah, 1429H – 2008M, Juz 1. Al-Mashry, Ahmad Muhammad. Al-Qawâid al-Kulliyah li al-Fiqh al-Islâmy, Maktabah Al-Kulliyah Al- Azhariyah, cetakan 1993. Al-Mâziriy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Ali bin ‘Umar At-Tamîmiy. Syarh At-Talqîn, Juz 1-8, Beirût-Libnân: Dâr Al-Gharb Al- Islamiy, 1997M, Cet.1 Al-Mirshofi, Muhammad. Khasiyah Bujairimi, Juz 2, Al-Maktab al Islamiyah. Al-Munajjid, Muhammad bin Shâlih. 100 Faidah Min Sûrah Yûsuf. Takhrîj: Abû Yûsuf Hani Fâruq. Al-Munawar, Said Agil Husain. Membangun Metodologi Ushul Fiqih: Telaah Konsep An-Nadab & Al-Karahah Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: Ciputat Press, Cetakan I, Desember 2004 Al-Muslim. Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’,t.Cet. Beirut: Daar Ihya’ At-Turats Al-Arabai, t.t Al-Qardhowy, Yusuf. Madkhal li Dirasât Al-Syari’ah, Maktabah Wahbah. Cairo. Al-Qayruwâniy, Abû Muhammad ‘Abdillah bin Abdirrahmân Abî Zayd. Matn Ar-Risâlah Fî Fiqh Al-Mâliki, Beirût – Libnân, Dâr Al- Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H – 1994 M, cet.1 ______, Abû Muhammad ‘Abdillah bin Abdirrahmân Abî Zayd. An- Nawâdzir wa Az-Ziyâdât, Juz 1- 15, Beirût – Libnân, Dâr Al- Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H – 1994 M, cet.1 Al-Qurthûbi, Abu ’Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin Abû Bakr al- Anshâri. Aj-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, I-IX. Mesir: Dâr al- Kitâb al-‘Arabi, 1967. ______, Al-Asna fî Syarh Asma’illaj al-Husna. Mesir: Dâr al-Kitâb al- ‘Arabi, 1967. 147

______, At-Tidzkâr fî Afdhâl al-Adzkâr. Mesir: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1967. ______, Syar al-Taqashshi. Mesir: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1967. ______, Qam’ al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qanâ’ah. Mesir: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1967. ______, Al-Taqrîb li kitâb at-Tamhîd. Mesir: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1967. ______,Al-I’lam bimâ fî Dîn an-Nashâra min al-Mafâsid wa al-Auham wa Izhhar Mahâsin Dîn al-Islâm. Mesir: Dâr al-Kitâb al- ‘Arabi, 1967. ______, Al-Tadzkirah fî Ahwâl al-Mauta wa umûr al-Âkhirah. Mesir: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1967. Al-Qurthubi, ‘Abdu Al-Mâlik bin Abi Marwân As-Sulamiy Al-Murdasiy Al- Andalusiy.‘Umdat Al-Bayân Fî Ma’rifati Furûdh Al-‘Iyân, Pakistan: Maktabah Al-Misykât Al-Islâmiyyah, tt. Al-Qurthubi, Abû Al-Walîd Ibn Rusyd. Muqaddamât Ibnu Rusyd, Juz 1- 4, Beirût – Libnân, Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H – 1994 M, cet.1 ______, Abû Al-Walîd Ibn Rusyd. Al-Bayân Wa Al-Tahshîl, Juz 1- 20, Beirût – Libnân, Dâr Al-Gharbi Al-Islâmiy, 1408 H - 1988 M, cet.2 Al-Ulwaniy, Isma’il bin Hasan. al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 2004 Al-Utsaimin, Muhammad bin Sholeh. Al-Ushûl Min ‘Ilm Al-Ushûl, Al-Wâdi’îy, Muqbil bin Hâdiy. Ash-Shahîh Al-Musnad min Asbâb An-Nuzûl, (Cet. Ke-2). Shan’a: Maktabah Shan’â Al-Asy’ariyyah. (1425 H / 2004 M). An-Nawawi. Syarah Imam Nawawi, Kitab Musaqâh, bab Riba, juz 11, tt ______, Nihâyah az-Zain, Dar al-Fikr, tt. ______, Syarh Shahîh Muslim, juz 11, tt An-Nawawy, Ali Ahmad. Mausû’ah al-Qawâ’id wa al-Dhawâbith al- Fiqhiyah,tt Ar-Raisuny, Ahmad. Nazhariyyât al-Maqâshid ‘inda Al-Imâm Asy-Syâthiby. International Institute of Islamic Thought, hal. 13 cetakan I tahun 1992. Ar-Râzi, Muhammad Fakhru Ad-Dîn bin Dziyâ’u Ad-Dîn ’Umar. Mafâtih Al-Gayb, Dâr Al-Fikr, Beirut, 1414 H. Ar-Ru’ainiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd Ar- Rahmân Al-Magribi Al-Hithâb. Mawâhib Al-Jalîl Li Syarh Mukhtashar Khalîl, Pakistan: Al-Maktabah Al-Misykât Al- Islâmiyyah, tt

148

As-Sa’dî, Abd Ar-Rahmân bin Nashîr. Taysîr Al-Lathâifil Mannân fî Khulâshah Tafsîril Ahkâm. Beirut: Mu’assasah Ar-Risâlah. 1423 H / 2002 M. ______, Taysîr Karîm ar-Rahmân fî Tafsîri Kalam al-Mannân, 1-8 volume. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah. 1423 H / 2002 M. ______, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, tt ______, Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîh Al-Fiqh Fî Ad-Dîn, Libnân Beirût: Dâr Khadhar, 1422H – 2001 M, Cet.1 As-Sâyis, Muhammad ’Ali.Tafsîr Ayat Al-Ahkâm, juz 1, tt. As-Subki, Jam’al-Jawâmi (al-Haramain: singapura) t th, juz II. As-Suyûthiy, Jalâluddîn. Al-Itqân Fî Ulûm Al-Qur’ân. Libanon: Beirut. Juz 2. 1997 M. ______, Kitab Tafsîr Ad-Durr Al-Manshûr fî Tafsîr bi Al-Ma’tsûr, Jilid 1, tt. ______, Al-Asybâh wa An-Nazhâir fî al-Furû’, Al-Maktabah al- Tujjariyyah, Mathba’ah Mushthafa Muhammad, Ash-Shabban, Muhammad bin Ali. Is'af ar-Râghibîn, Dar al-Fikr. tt. Asy’ari, Hasyim. Âdabu Al-‘Âlim wa Al-Muta’allim, Tebuireng Jombang: Al- Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Ad-Duraru Al-Muntatsirah Fil Masâili At-Tis’a ‘Asyarah, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Al-Maqâshidu Ash-Shughra Li Qâshidi Ummil Qurâ, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, An-Nûr Al-Mubîn, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, At-Tasybîhât Wa Al-Wâjibât, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, At-Tibyân, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al- Islâmiy, tt ______, Awdhahu Al-Bayân, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Dhou’u Al-Mishbâh, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Hâdzihi Ar-Risâlah Jâmi’atul Maqâshid, Tebuireng Jombang: Al- Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Hâdzihi Ar-Risâlah Al-Musammâtu bi Al-Jâsûs Fî Bayâni Hukmi An-Nâqûs, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al- Islâmiy, tt ______, Irsyâdu Al-Mu’minîn, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At- Turats Al-Islâmiy, tt 149

______, Irsyâdu As-Sâriy, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah Al- Masrûriyyah, tt ______, Miftâhu Al-Falâh, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Risâlah Ahlus Sunnah Wal Jamâ’ah, Tebuireng Jombang: Al- Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Risâlah Muhimmah At-Tamyîz Baina Al-Haqq wa Al-Bâthil, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al-Islâmiy, tt ______, Ziyâdah Ta’lîq, Tebuireng Jombang: Al-Maktabah At-Turats Al- Islâmiy, tt Asy-Syâfi’i. ar-Risâlah, Kairo: Maktabah al-Qahirah,1317 H. Asy-Syanqithi, Muhammad bin Ahmad. Fathu al-Ilâh, Dar al-Fikr, tt. ______, Ta’lîq Taqrîb al-Ushul, (Maktabah Ibn Taimiyyah, Kairo) 1414 H, Asy-Syaranbulâliy, Abû Al-Ikhlash Hasan bin ’Ammar. Marâqi Al-Falâh Bi Imdâdi Al-Fattâhi Syarah Nûri Al-Izhâh Wa Najâti Al-Arwâh, tt ______, Nûri Al-Izhâh Wa Najâti Al-Arwâh, tt Asy-Syarbiniy. Kitab al-Iqnâ’, juz 2, tt Asy-Syarkhisyi, Abu Bakar. Ushûl al-Syarkhîsyi, Beirut: Dâr al- Ma’rifah,1971.Asy-Syarkhasi, Syamsu Ad-Dîn. Al- Mabsûth,Juz 1-31, Pakistan, Maktabah Misykât, tt ______, Syarah As-Siyari Al-Kabîr, 1-5 Juz, tt Asy-Syarqâwi, Abdurrahman, terj. H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih,Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah, Cet. Mei 2000 Asy-Syaukâni, Irsyâd al- Fuhûli ilâ Tahqîq al-Haqq min Ilm al-Ushûl, (Penerbit: Ahmad Nabham, Surabaya,tt.1996 ______, Muhammad Ibnu ‘Ali, Irsyâd al-Fuhûl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah,1994 ______, Nayl al-Authâr, (Muthba’ah Sa’id, bin Nibhan) t th, ______, Sail al-Jirâr, juz 3, tt Asy-Syilli, Muhammad bin Abu Bakar. al-Masra' ar-Râwi, Jilid 1, tt. Asy-Syukûr, Ibn Abdi. Muslim Ats-Tsubût Ma’a Minhawâtihi, Mesir: Juz 2, Mathba’ah al-Husainiyyah al-Mishriyyah, h.34 At-Taftazâni, Sa’ad ad-Din Mas’ûd ibn ‘Umar. Syarh at-Talwîh ‘alâ at- Tawâdhih,Makkah al-Mukarramah:Dâr al-Bâz,jilid 1,tt, At-Tasûliy, Abû Al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdi As-Salâm. Al-Bahjah Fî Syarhi At- Tuhfah, Juz 1-2, Beirût Libnân, Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1998M – 1418 H, Cet.1

150

At-Tâwidiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad. Syarah Tuhfatu Al-Ahkâm, Pakistan: Al-Maktabah Al-Misykât Al-Islâmiyyah, tt Ath-Thabari, Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr. Jamî’ Al-Bayân Fî Ta’wîl Al- Qur’ân, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1426 H. ______, Tafsîr Ath-Thabari, Juz I Beirut: Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M. Ath-Thabrâni. Kitab Mu’jam Kabir Lith Thabrani, Volume 19, tt Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘An Haqâiq At-Tanzîl Wa ‘Uyûn Al-Aqâwîl fî Wujûh At-Ta’wîl (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th. ). Az-Zarqa, Ahmad bin Muhammad. Syarah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Damsyiq, Dâr Al-Qalam, 1409 H – 1989 M, Cet.2, Az-Zuhaily, Wahbah. Nazhariyyât adh-Dharûrah asy-Syarî’ah, cetakan IV, Muassasah Al-Risalah,2005 ______, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut, Libnân: Dâr Al-Fikr al-Ma’âshir, 1986 Badrân, Abû ‘Ain. Ushul fiqh al-islami, (Mu’assasah Syabab al-Jami’ah, iskandariyah) t th,1977 Baydan, Nashr Ad-Dîn. Metodologi Penafsiran al-Qur’ân, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998; Coolson, Nool J. A History Of Islamic law, University Press, Edinberg,1944 Haidar, ‘Ali. Durar Al-Hikâm Syarkh Majallatu Al-Ahkâm, 1-16 Juz, Libnân Beirût: Dâr Al-Kutûb Al-Ilmiyyah, tt Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I, Jakarta: Penerbit Logos, Cetakan II, Agustus 1997 Hasan, Husain Hamid. Nazariyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islami, (Dar Nahdah al-Arabiyah, Kairo) 1971, Hasan, M. Ali. Perbandingan Maz\ha>b Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997. Hasbullah, Ali. Ushul at-Tasyri’ al-Islamy, (Dar al-Ma’arif, Mesir), 1971 Ibn Al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Mesir: al-Matba’ah al-Amiriyyah, 1328H, Ibn Badrân, Nuzhah al-Khâthir al-‘âthir Syarh Raudhah al-Nâzhir Wa Jannatul Manâzhir Fi ushûlil Fiqh Li Ibni Qudâmah al-Maqdisiy), al- Mathba’ah al-Salafiyyah, 1342 H. Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa an-Nazhâir,tt Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, Dar al-Fikr. tt. Ibnu Taimiyyah. As-siyasah as-sar’iyyah fî ishlâhi wa al-ra’yah. Saudi Arabia: Dâr Al-kutub Al-arabi,1967. Imdadi, M. Musthofa. Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al- tijariyyah al-kubro, Cet. IX, 1986 151

Isa, Abdul Jalil. Ijtihad al-Rasûl, Dâr al-Bayân,Kuwait,1969 Ismail, Ahmad Satori. Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003 Isma’il bin Katsîr. Al-Mishbâh Al-Munîr Fî Tahdzîb Tafsîr Ibni Katsîr, (cet. Ke-2). Riyadh: Dâr As-Salâm Li An-Nasyr Wat Tawzi’.(1421 H / 2000 M). Jamal, Ahmad Muhammad. Muftarayah 'Ala al-Islam, Beirut, dar al-Fikr, tt Khollaf, Abdul Wahhab. Mashâdir at-Tasyrî’ al-Islâmy fî mâla Nashsha fîhi, Dâr al- Qalam. Damascus. cetakan V 1982. ______, Ash-Shulthah at-Tasyri’iyyah wa at-Tanfîdziyyah wa al- Qadhâiyyah.tt ______, Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Qalam,Cairo,1978. Khomis, Qasim Abdul Aziz. Aqwal ash-Shahabah, Kairo : Maktabah al- Iman, 2002. Mahfûzh, Ahmad Sahal bin Abî Hâsyim Muhammad, Faizhul Hijân ‘Ala Nayli Ar-Rajâ Manzhûmah Safînati An-Najâ, Semarang: Maktabah Aneka Ilmu.1383 H Mannâ’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Drs. Mudzakir AS, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1992, Cetakan 1, ISBN 979-8100-17-4. Mashduqi, Irwan. Historisitas FormasiNalar Fiqih: Sebuah Penghampiran Sosiologis, Makalah Diskusi Bengkel Turats, 2007 Mâzah, Mahmûd Al-Bukhâri bin. Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An- Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 2, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 3, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 4, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 5, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt

152

______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt ______, Al-Muhîth Al-Burhânîy Fî Al-Fiqhi An-Nu’mâniy, Juz 1, Pakistan, Maktabah Al-Misykât, tt Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003. Muhammad Assad, The Message of the Qur'an, tt. Muhammad bin Shâlih Ibn ‘Utsaymin. Tafsîr Juz 'Amma. Dar Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah.(1424 H / 2003 M). Muhibbullah bin Abdul Syakur, Musallam Al-Tsubût, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983, Mushaf Al-Firdaus, Al-Qur’ân Hafalan, Terjemah dan Penjelasan Tematik Ayat, Tangerang: Penerbit Al-Fadhilah, 2014. Nizhâm, Al-Fatâwa Al-Hindiyyah, Juz 1-27, India: Maktabah Dar Al-Fikr, 1411 H – 1991 M. Ramadhan, Athiyyah ‘Adlan Athiyyah. Al-Qawâidul Fiqhiyyah, Iskandariah: Darul Iman, Cetakan I, 2007 ______, Mausû’ah al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Iskandariah: Darul Iman, Cetakan I, 2007 SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999. Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet.1, 2002). Sya’ban, Zakiy ad-din. Ushul al-Fiqh al-Islamiy,(Penerbit: Darr an-Nahdhah, al-Arabiyah) Syal, Ibrahim Ali Ahmad Muhammad. al-Qawâ’id wa al-Dhawâbith al- Fiqhiyah ‘Inda Ibnu Taimiyyah Fî al-Mu’âmalât al-Mâliyah,tt Syaltut, Mahmud. Islam Aqidah wa Syari'ah,Mesir, Dar al-Qalam, Cet III, 1966, Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos, Cetakan I, Februari 1997 Towana, Musa. Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, tanpa tahun. Usman bin Abdullah binYahya. Hadits Keluarga, Jakarta, tt. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Maz\ha>b, Jakarta: Logos, cet.3, tahun 2003 Yusdani. Al-Thufi dan Teorinya tentang Maslahat. 2006. Zâdah, ‘Abdu Ar-Rahmân bin Muhammad bin Sulaymân Al-Kalîbûliy Syaikhi. Majma’ Al-Anhar Fî Syarhi Multaqa Al-Abhâr, Juz 153

1-4, Libnân Beirût: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1419H – 1998 M, Cet.1 Zaid, Mustafa. al-Maslahât fî at-Tasyrî'i al-Islami wa Najmuddin at- Tûfi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi Zakkâg, ‘Abdu Al-Lathîf. Rawdhatu Al-Mustabîn Fî Syarh Kitâbi At-Talqîn, Beiru>t-Libnân: Dâr Ibn Hazm, 1431H-2010M, ISBN 978- 9953-81-430-8, cet. 1