Gender dan Ideologi Maskulinitas pada periode Pasca MOU Helsinki

Sait Abdullah STIA LAN Bandung E-mail: [email protected]

Abstrak Proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai akibat dari perjanjian damai (MOU) Helsinki telah memicu munculnya elit politik lokal baru khususnya dari kalangan mantan komandan GAM. Sejumlah peneliti telah mengaitkan kemunculan elit baru ini dengan konflik antar elite lokal akan alokasi sumber daya ekonomi. Namun apa yang menjadi gap penelitian ini khususnya aspek yang tidak dikaji dalam penelitian-penelitian mereka sebelumnya adalah tentang dimensi gender kritis terhadap dominasi mantan komandan GAM yang terwakili oleh lembaga, KPA (Komisi Peralihan Aceh). Argumen dari makalah ini adalah dalam situasi damai pasca konflik, mantan komandan GAM perlu merumuskan kembali status elit mereka, melalui re-konstitusi maskulinitas hegemonik dan ideologi militeristik. Maskulinitas hegemonik adalah sebuah ideologi kelelakian yang melegitimasi kekuasaan dan status mantan komandan atas laki-laki lain (dan perempuan) dalam masyarakat Aceh. Maskulinitas hegemonik ini ditopang oleh ideologi militeristik yang dipertahankan yang pada akhirnya memperkuat status sosial para mantan komandan GAM atas elit sipil GAM serta para mantan kombatan lainnya.Kata Kunci: Agency theory, government governance, besaran institusi, kinerja, Government Index (IGI), dan Indeks Pembangunan Manusia. Kata kunci: Gender, Maskulinitas, elite, dan kekuasaan

Gender and Ideology of Masculinity in the Post-MOU Helsinki Aceh period

Abstract The process of demobilisation and reintegration of ex-combatants of the (GAM) as a result of the Helsinki Peace Agreement (MOU) has triggered the emergence of a new local political elite, especially from among former GAM commanders. A number of researchers have linked the emergence of this new elite with conflicts among local elites over the allocation of economic resources. However, the gaps in this research, particularly the aspects which is not examined in their previous studies, is the critical gender dimension to the dominance of former GAM commanders represented by the agency, KPA (Aceh Transition Commission). The argument of this paper is that in a post-conflict situation, former GAM commanders need to reformulate their elite status, through the re-constitution of hegemonic masculinity and militaristic ideology. Hegemonic masculinity is an ideology of maleness that legitimates the power and status of former commanders over other men (and women) in Acehnese society. The hegemonic masculinity is underpinned by militaristic ideology which ultimately strengthens the social status of former GAM commanders over the GAM civilian lite and other former combatants.

Keywords : Gender, Masculinity, elite, and power

1

A. PENDAHULUAN Proses perundingan damai Helsinki Secara teoritis, konsep maskulinitas pada tahun 2005 yang diikuti oleh paket hegemonik pada dasarnya berasal dari perlucutan senjata, proses demobilisasi dan gagasan Antonio Gramsci tentang hegemoni reintegrasi mantan kombatan telah dalam analisis kelasnya (class analysis) mentransformasi Gerakan Aceh Merdeka (Connell 1987, 1995, Carrigan, Connell dan (GAM) dari gerakan pemberontakan Lee 1987, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan bersenjata ke arah organisasi politik. Howson 2006). Konsep hegemoni Gramcian Khususnya proses demobilisasi GAM telah ini telah digunakan secara luas oleh sejumlah menghasilkan dua lembaga GAM baru yang sarjana yang beraliran gender kritis untuk kuat secara politis yaitu, Majelis Nasional menjelaskan nuansa yang lebih luas dari dan KPA, dua organisasi GAM memiliki dinamika sosial dan politik dari hubungan karakteristik yang berbeda. Majelis terdiri kekuasaan struktur gender. Hegemoni dari kelompok para elit politik intelektual sebagaimana dipahami oleh para sarjana di sipil (Blok GAM Swedia) dan KPA, yang atas adalah paket strategis dan taktik untuk terdiri dari kelompok komandan militer dominasi dan kontrol yang sah dilakukan GAM. Dalam konteks dinamika sosial dan oleh kelompok tertentu yang kuat atas orang politik intra-elit GAM saat ini, para mantan lain dalam waktu dan keadaan tertentu komandan tidak bisa lagi hanya (Carrigan, Connell dan Lee 1987, Connell mengandalkan status kepemimpinan an sich 1995, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan sebagai pemimpin atau komandan GAM. Howson 2006). Mereka harus merumuskan kembali dan Dibingkai dalam relasi kekuasaan menegosiasikan ulang status elit mereka. gender, Connell telah mengembangkan Dalam hal ini, mantan komandan GAM konsep maskulinitas hegemonik ini (1987, harus berjuang untuk mendefinisikan 1995). Bagi Connell, maskulinitas hegemonik kembali maskulinitas mereka melalui bukanlah jenis karakter yang tetap (traits) ideologi militer yang dipertahankan yang atau peran-peran gender yang dimainkan nantinya akan memberi mereka status yang (performance) oleh sekelompok aktor, tetapi lebih tinggi dan terhormat atas elit sipil GAM lebih merupakan konfigurasi yang cair dari lainnya dan mantan pejuang atau kombatan relasi kuasa gender khususnya terkait GAM. dengan bagaimana suatu kelompok dominan Makalah ini menjelaskan tentang menempati posisi maskulinitas mereka di kemunculan elit baru di tingkat lokal atas kelompok lain. Maskulinitas hegemonik khususnya di Aceh pasca MOU Helsinki. menurutnya, selalu berkaitan dengan upaya Kemunculan elit baru ini dibentuk melalui pengesahan posisi dominan laki-laki dalam usaha bagaimana para mantan komandan tatanan gender patriarki, yaitu, sebuah sistem GAM merekonstruksi maskulinitas yang pada gilirannya menghasilkan hierarki hegemonik dan ideologi militeristik dalam gender dan ketidaksetaraan yang mengatur institusi GAM yang baru yaitu Komisi hubungan antara laki-laki dan laki-laki Peralihan Aceh (KPA). Maskulinitas dengan perempuan (Connell 1995). hegemonik adalah sebuah ideologi gender Lebih lanjut, Donaldson (1993) secara tentang kelelakian yang melegitimasi khusus telah mempertajam konsep kekuasaan dan status mantan kombatan maskulinitas hegemonik dari Connell (1987, dalam masyarakat Aceh. Faktor maskulinitas 1995). Menurut Donaldson (1993), meskipun hegemonik ini sangatlah penting untuk dikaji tidak semua laki-laki sesuai dengan bentuk mengingat implikasi yang begitu luas dalam kejantanan yang ideal dalam kehidupan hubungan kekuasaan khususnya dalam hal sehari-hari mereka, maskulinitas hegemonik rekonstruksi hirarki sosial dan adalah cita-cita kejayaan kelelakian di mana ketidaksetaraan gender diantara mantan elit kekuasaan berada dalam stabilisasi 'struktur GAM dan mantan pasukan kombatan GAM dominasi' dan penindasan dalam tatanan dalam masa kembalinya mereka ke dalam era gender secara keseluruhan'. Apa yang pasca konflik Aceh. membuat maskulinitas begitu hegemonik terutama disebabkan oleh prinsip-prinsip,

2

nilai-nilai dan kepercayaan pada pria dan untuk mencapai kekuasaan kekuasaan di maskulinitas sebagai pengatur tatanan pasca konflik Aceh. gender yang harus dipertahankan dan ditaati Sebelum mengeksplorasi prinsip oleh mayoritas orang (Carrigan, Connell dan dualisme dalam militerisme dan Lee 1987, Donaldson 1993, dan Howson maskulinitas, penting untuk dicatat bahwa 2006). mantan kombatan GAM bukanlah mereka Maskulinitas hegemonik adalah apa yang memegang status militer negara resmi yang dikatakan Carrigan, Connell dan Lee dari pemerintah Indonesia. Mereka adalah (1987, 94) sebagai 'korporasi besar'. Bagi yang mantan pejuang GAM yang dikenal sebagai dominan untuk menggunakan kekuasaan TNA, (Tentara Negara Aceh atau Tentara mereka atas kelompok yang didominasi, Negara Aceh). Sebagai hasil dari proses mereka harus menginvestasikan sejumlah demiliterisasi, mereka diintegrasikan kembali besar upaya termasuk manuver strategis dan ke dalam lembaga GAM yang baru, KPA, manipulasi dalam membangun kekuasaan Komisi Peralihan Aceh. Namun, apa yang gender mereka melalui institusi, peraturan, penting dalam penelitian ini bukanlah media, politik, pendidikan yang kemunculan organisasi KPA yang meniru mengartikulasikan nilai dan keyakinan institusi militer GAM yang lama, namun tertentu yang mengekspresikan minat bagaimana aspek maskulinitas dan ideologi mereka dengan mengorbankan yang lain militeristik yang tercermin dalam (Howson 2006). “Hegemoni selalu mengacu kepercayaan, nilai, dan praktik dalam KPA pada situasi historis, serangkaian keadaan di memicu munculnya para elite politik baru mana kekuasaan dimenangkan dan dalam situasi pascakonflik. Metode yang dipegang” (Carrigan, Connell dan Lee 1987, digunakan dalam penelitian ini bersifat 94). Maskulinitas hegemonik dalam kualitatif yang melibatkan studi litelature, pengertian ini adalah tentang ‘bagaimana wawancara dan penggunaan data sekunder kelompok-kelompok laki-laki tertentu baik seperti data penelitian terdahulu memiliki posisi kekuasaan dan kekayaan dan maupun annual report pemerintah Aceh, dan bagaimana mereka melegitimasi dan organisasi-organisasisi kemasyarakatan mereproduksi hubungan sosial yang beserta insitusi donor baik dalam maupun menghasilkan dominasi mereka '(Carrigan, luar negeri yang berada di Aceh. Connell, dan Lee 1987, 92). Secara ideologis, maskulinitas hegemonik diwujudkan dalam B. PEMBAHASAN ideal budaya dan kekuatan institusional dan Pada era pasca konflik Aceh, institusi dicapai melalui persetujuan dan persuasi militer GAM telah berubah menjadi lembaga (Connell, 2005, Connell dan Messerschmidt, sipil bernama KPA (Komite Peralihan Aceh) Hooper 2001). namun yang sangat menarik adalah mengapa Mengikuti konsep Carrigan, Connell ideologi militeristiknya masih utuh? Dalam dan Lee (1987), Donaldson (1993) konteks ini, sudah barang tentu ada upaya- maskulinitas hegemoni dalam penelitian ini upaya strategis dari sekelompok elite mantan didefinisikan sebagai bagaimana para elit komandan GAM agar kekuatan militer mantan komandan GAM menggunakan selama perang perlu diartikulasikan dan kekuatan dan status mereka dengan direplikasi kembali dalam situasi pasca melegitimasi idealitas maskulinitas militer di konflik. Pentingnya pengaturan politik lembaga militer GAM yang baru didirikan gender ini adalah untuk membenarkan dan (KPA). Dengan demikian dalam dinamika meligitimasi 'siapa yang akan mengisi politik kontemporer, mantan komandan elit kekosongan kekuasaan' sejak pasukan militer GAM telah memainkan kekuatan gender Indonesia meninggalkan kekuasaannya mereka melalui ideologi militer yang selama konflik bersenjata berdarah 30 tahun dipertahankan dengan meningkatkan di tanah rencong. perbedaan antara 'pejuang' dan 'warga sipil' Dengan demikian pertanyaan yang serta memanipulasi gagasan 'pelindung' harus dijawab adalah bagaimana versus 'dilindungi' dalam perjuangan mereka maskulinitas militer sebagai warisan perang harus diorganisir kembali dalam konflik

3

pasca-Aceh yang baru? Ada dua strategi komando yang sudah ada di lembaga GAM untuk menghasilkan dan mempertahankan yang baru (KPA) telah memungkinkan maskulinitas hegemonik dalam pengaturan formalisasi ulang jabatan dan pangkat orang- pasca konflik. Yang pertama adalah orang militer yang menyerupai organisasi menjadikan institusi KPA sebagai replikasi TNA GAM sebelumnya. Hal ini dilakukan struktur sayap militer GAM lama untuk dengan menempatkan para komandan membangun kembali rasasolidaritas militer lapangan atau orang-orang elit GAM militer yang kuat di bawah ‘satu kesatuan komando’ pada pangkat teratas sebagai panglima, (satu komando bersatu di bawah komandan sedangkan massa adalah mereka yang kepala, ). Strategi ini sangat dibawah sebagai mantan pasukan. Tidak ada penting dalam membuat maskulinitas uraian pekerjaan yang jelas ditemukan dalam hegemonik sebagai ‘kita ’( para pejuang keanggotaan KPA di 'siapa yang melakukan GAM). Oleh karena itu, dikotomi harus apa' namun mereka mengklaim bahwa pria diciptakan dengan kuat yang nantinya akan dan wanita (mantan kombatan wanita atau menimbulkan demarkasi status di antara Pasukan Inong Balee) yang memang kelompok-kelompok yang berbeda. Identitas bergabung dengan GAM TNA selama konflik grup harus dihasilkan di dalam kerangka adalah semua anggota KPA. Hirarki dualitas gender politik, yaitu, perbedaan organisasinya dibentuk mulai dari tingkat 'kami' dan 'mereka', 'orang dalam dan' orang provinsi (panglima pusat), kabupaten luar '. Hierarki di antara laki-laki harus (panglima wilayah), kecamatan (panglima dihasilkan di mana yang satu dianggap mukim) dan tingkat desa (panglima sagoe). superior sementara yang lain lebih inferior Dua tingkat atas panglima pusat dan wilayah atau rendah. Dikotomi gender ini (provinsi dan kabupaten) diisi oleh orang- diartikulasikan dalam bentuk politik orang militer GAM berpangkat tinggi dan perbedaan kelompok, 'pejuang' versus 'sipil'. sisanya diduduki oleh berpangkat rendah. Sementara strategi kedua adalah bagaimana Dalam struktur ini, tidak ada wanita mantan maskulinitas hegemonik harus gerilyawan yang mempertahankan status dipertahankan melalui hubungan gender panglima militer sebagai komandan, namun antara yang 'dilindungi dengan pelindung'. mereka (pasukan Inong Balee) hanya dikategorikan sebagai pasukan biasa. ‘Pejuang’ versus ‘warga sipil’ Karena hegemoni maskulinitas Sehubungan dengan strategi adalah tentang bagaimana kekuasaan dan pertama, di sepanjang garis hierarki militer, status elit mantan komandan dipertahankan mantan komandan elit GAM (panglima melalui ideologi militeristik, persatuan tingkat atas, komandan lapangan) berulang diantara mereka dianggap sangat penting kali menggunakan slogan 'urip saree mate dalam mengartikulasikan kembali gagasan sajan' (hidup dan mati bersama), tentang ikatan kelelakian melalui struktur mengekspresikan keterikatan emosional organisasi KPA. Elit militer GAM telah dalam menjaga ikatan sosial dan perasaan berhasil menciptakan KPA sebagai persahabatan dari kesatuan yang sama di 'pangkalan' bagi para mantan komandan bawah kelompok Muzakir Manaf (Ketua untuk mengkonsolidasikan dan memobilisasi KPA dan mantan komandan tertinggi GAM). mantan prajuritnya. Ini adalah tempat di Terlebih lagi dengan menjaga kebersamaan, mana mantan komandan dapat hidup dan mati dalam satu ideologi militer menggunakan kekuatan mereka sebagai memerlukan kesetiaan, rantai komando, dan pejabat tinggi memberi pangkat yang perasaan esprit de-corps yang secara inheren memberlakukan penghargaan dan hukuman tertanam dalam slogan. Ini juga memerlukan pada pangkat yang lebih rendah. Meskipun ideologi maskulin yang menghargai hak tidak semua mantan gerilyawan memiliki istimewa laki-laki dalam tatanan gender dan keyakinan yang sama untuk mendapatkan kualitas menjadi 'maskulin' (kekuatan fisik, akses ke kekuasaan dan kekayaan mantan keberanian, dan kekerasan) sebagai lawan komandan mengingat stratifikasi mantan dari 'feminin' (kualitas lemah secara fisik, gerilyawan ke dalam tiga kategori sosial yang ketakutan, dan pengecut). Rantai hierarki berbeda: istimewa, tidak istimewa, dan sama

4

sekali diabaikan, para mantan gerilyawan tidak, mantan gerilyawan akan menjadi kebanyakan merasa bahwa KPA adalah makhluk paling berbahaya yang akan rumah bagi semua pejuang yang menghancurkan pembangunan perdamaian mengabdikan hidup dan mati mereka untuk di Aceh. Tetapi apa yang sebenarnya yang gerakan GAM. Belum lagi mayoritas mantan dimaksud denga 'masalah keamanan' atau kombatan wanita yang diwawancarai dalam 'jenis ancaman potensial'? Apakah penelitian ini meskipun kontribusi mereka perdamaian diperdagangkan atas nama selama perang diabaikan oleh komandan 'keamanan' dan 'ancaman'? Apabila itu yang mereka, mereka merasa bahwa KPA adalah terjadi maka merek dagang laki-laki militer 'rumah' mereka. terutama kekerasan dapat dimainkan demi status mantan komandan dan kekuasaan 'Pelindung' versus 'dilindungi' dalam pemerintahan pasca-konflik politik Kedua, alasan ‘keamanan’ memang selalu yang baru di Aceh. Dalam wawancara diperjuangkan pada awal proses demobilisasi dengan mantan komandan GAM, mereka GAM. Untuk menghindari pelanggaran mengatakan bahwa fungsi utama komandan keamanan terhadap perjanjian perdamaian, adalah untuk 'menjinakan’ para mantan program reintegrasi ekonomi sangat penting pejuang agar tidak kembali ke kegiatan untuk menjaga lingkungan perdamaian di kriminal. Adapun para komandan yang tahu Aceh (Baron 2009). Dalam hal ini, mantan persis sifat dan kepribadian prajurit mereka, kombatan kembali dalam masyarakat sipil adalah tanggung jawab komandan untuk kemudian harus diamankan secara ekonomi membina pasukan mereka, mengamankan dengan memberikan bantuan uang tunai, dan melindungi mereka dari jatuh ke dalam pekerjaan, tanah untuk diolah dan sarana kekerasan. ekonomi lainnya (MOU Helsinki 2005). Meskipun demikian, selama konflik Semua tuntutan ini telah diakomodasi oleh bersenjata, 68% dari insiden kekerasan dan otoritas pusat (Badan Reintegrasi Aceh, BRA) 79% dari kekerasan yang menyebabkan dan telah disalurkan melalui jaringan KPA. kematian disebabkan oleh eksodus yang Namun beberapa mantan komandan merajalela’(Asia Foundation, 2013). GAM termasuk wakil komandan pusat Sementara setelah MoU, dua pertiganya berulang kali menyatakan bahwa paket disebabkan oleh kejahatan (terkait dengan reintegrasi yang disalurkan kepada pasukan kekecewaan mantan kombatan) dan jauh mereka tidak cukup untuk mendukung lebih umum terkait dengan kekerasan pemilu beban ekonomi mantan gerilyawan termasuk (Asia Foundation 2013). Misalnya, mengenai keluarga mereka. Lebih jauh mereka kasus-kasus kekerasan pemilihan umum, menyatakan bahwa tanah yang dijanjikan pada tahun 2012 ketika orang-orang militer oleh MOU sangat penting untuk mendukung (Muzakir Manaf) dan para pemimpin GAM ekonomi pasukan tetapi itu tidak pernah ada yang diasingkan () bergabung sampai sekarang. Mantan komandan bersama sebagai calon Gubernur-Wakil 'khawatir’ bahwa masalah ini akan memicu Gubernur untuk calon Aceh, ada beberapa kemarahan dan kekecewaan terhadap insiden kekerasan yang melibatkan mantan pejuang pria mereka dan akan pembunuhan, penculikan dan intimidasi menghasilkan kejahatan terkait kekerasan terhadap saingan mereka khususnya yang dilakukan oleh mantan kombatan kelompok Irwandi, persaingan pemilihan GAM. Dalam masalah khusus ini, mantan gubernur mereka yang kuat (Serambi komandan mengklaim memiliki kewajiban Indonesia 2012). Kekerasan juga melibatkan untuk melindungi setiap kemungkinan yang pembunuhan warga sipil yang diidentifikasi akan menodai MOU dengan 'mengamankan' sebagai pekerja migran Jawa di Aceh Utara atau 'menjinakkan' para mantan kombatan dan pada tahun yang sama yang akan menghancurkan perdamaian di (Serambi Indonesia 2012). Hal ini termasuk Aceh. Karenanya 'peringatan keamanan' ini intimidasi dan teror terhadap para pemimpin membutuhkan tanggapan segera baik dari partai politik GAM lainnya. pemerintah pusat atau daerah untuk Pada tahun 2012, kekerasan dalam 'melindungi' MOU Helsinki di Aceh. Jika bentuk teror, intimidasi, pembunuhan,

5

penyiksaan yang diduga dilakukan oleh Pelindung maskulin dalam konteks mantan kombatan GAM kemungkinan ini sebenarnya bukan tentang bagaimana diserap demi kepentingan para mantan mantan komandan memposisikan diri komandan pria elit untuk mempertahankan sebagai penjaga yang aman dari serangan kekuasaan dan status mereka dalam berbahaya atau bersenjata dan ancaman dinamika politik kontemporer untuk kekerasan dari musuh luar, tetapi lebih menjamin perdamaian di Aceh yang sering artikulasikan sebagai sebuah cara terbaik terjadi. meningkat selama Pilkada (pemilihan para mantan komandan GAM memposisikan kepala daerah langsung). Sementara itu, diri sebagai 'bos lokal' (menyerupai mantan insiden kekerasan yang dilakukan oleh panglima perang lokal sewaktu konflik mantan gerilyawan terus dilaporkan oleh bersenjata di mana komandan menikmati media (Serambi Indonesia) untuk menyoroti ekonomi politik yang diperoleh dari perang beberapa kasus kriminal yang melibatkan berdarah). Sementara selama perang, para mantan gerilyawan yang kecewa terhadap komandan dapat menggunakan figur para pemimpin mereka (Badrudin pada 2009, 'kebapakan' mereka dalam hal penyedia Gambit 2011-2014, Kasus (2014- ekonomi atau wali dengan berperan sebagai 2016). raket perlindungan dari ‘bisnis lokal’, seperti Dalam hal ini, mitos ideologis pembalakan liar, atau pembalakan ilegal 'hubungan komandan anak buah atau terhadap pedagang/pengusaha kecil pelindung dengan yang dilindungi’ menjadi setempat. kabur atau tidak jelas. Pelindung sebenarnya Sementara itu bagi prajurit hanyalah refleksi dari kepentingan mantan khususnya mantan kombatan, pencari nafkah komandan dan perjuangan untuk mencapai maskulin yang ideal sangat penting untuk status ideal maskulin sebagai elit GAM. Ini mendukung keluarga mereka. Itulah diartikulasikan dalam cita-cita mantan sebabnya ciri khas kejantanan di kalangan komandan tentang posisi sebagai ‘Bapak’ mantan gerilyawan terwujud dalam upaya bersama dengan status dan kekuasaan mereka mempertahankan dan mencari tertinggi mereka di Aceh pada masa pasca jaringan perlindungan melalui keterlibatan konflik.Maskulinitas mantan komandan dalam bisnis dan kekayaan elit untuk sebagai top elite ditunjukkan dalam cita-cita mendukung kehidupan mereka. Menjadi agung mereka sebagai penyedia ekonomi laki-laki yang sukses, mantan kombatan pasukan bawahan mereka. Mereka menjadi dinyatakan dalam kapasitas mereka untuk 'pelindung' secara ekonomi. Menjadi menjadi kontraktor atau pengusaha yang pelindung mencerminkan posisi ‘Bapak’ sukses. Mantan pejuang pria istimewa sebagai 'Wali' atau 'penyedia ekonomi' di atas lainnya di era pasca konflik sedang bersaing mereka bawahan (mantan kombatan pria dan dan negosiator bisnis yang baik ('negosiator wanita). Tentunya bagi para mantan bisnis yang cakap' adalah mereka yang komandan untuk menyediakan pekerjaan menerapkan intelijen dan pertempuran taktik dan sarana ekonomi lainnya untuk militer strategis sebelumnya). meningkatkan mata pencaharian mantan Bagi mantan kombatan yang tidak prajurit mereka di tengah-tengah kendala puas, atau mantan kombatan yang kurang sosial ekonomi yang dihadapi kehidupan beruntung, status pencari nafkah adalah para mantan pejuang. Menjadi mantan wajib karena kekuatan tawar-menawar komandan GAM adalah hadiah sosial, harga mereka dengan laki-laki lain. Namun, karena diri dan juga status tinggi di pangkat mereka kurangnya kapasitas mereka untuk mencapai serta di komunitas dan keluarga mereka. status sosial yang sama dari pencari nafkah Kekuatan ini harus dilestarikan. Sering kali laki-laki dengan rekan-rekan istimewa selama wawancara, mantan komandan mereka (seperti bisnis rekanan, komandan menyatakan bahwa mereka harus mengambil yang menguntungkan sari sisi pekerjaan), 'tanggung jawab sosial yang diperluas' untuk mereka malah mengungkapkan perasaan melindungi tidak hanya mantan kombatan, negatif seperti rendah diri, kemarahan dan tetapi juga keluarga mereka, mantan janda kepahitan kepada mantan komandan GAM, anak-anak dan anak yatim GAM. mereka. Dalam mengekspresikan

6

maskulinitas mereka, kebanyakan dari dan posisi otoritas strategis lainnya baik di mereka menyatakan bahwa menjadi mantan parlemen, partai politik atau birokrasi pejuang yang sukses adalah mereka yang sebagai tempat untuk mempertahan dan berani, tangguh dalam melakukan ‘bisnis’. melegitimasi maskulinitas hegemonik Sementara itu untuk mantan gerilyawan mereka sebagai pria elit. Hubungan yang benar-benar diabaikan (mereka yang komandan-anak buah atau 'pelindung- status militernya tidak diakui sebagai dilindungi' secara ideologis dirancang dalam pejuang), mereka mengalami kehilangan situasi pascakonflik dan telah menjebak kekuasaan sebagai laki-laki pencari nafkah hubungan ketergantungan yang melayani dan menyatakan tugas mereka untuk kepentingan status dan kekuasaan elit melindungi ketidakamanan ekonomi sebagai 'penyedia ekonomi' atau 'wali'. keluarga sebagian mereka terlibat dalam Ironisnya meskipun sebagian besar mantan kekerasan dan kejahatan yang melibatkan gerilyawan baik pria maupun wanita masih senjata. berpikir bahwa KPA sebagai 'rumah' untuk pejuang dan sebagai 'satu keluarga', mereka C. PENUTUP DAN REKOMENDASI mengakui bahwa semua pengaturan politik Secara umum, dalam masyarakat Aceh ini hanya demi mempertahankan bagaimana kontemporer meskipun status pencari nafkah kelompok mantan komandan itu berdiri maskulin juga dapat dilakukan oleh laki-laki tegak dalam kekuasaan politik lokal. dan perempuan secara umum tanpa harus selalu terlibat dengan GAM, namun kekuatan REFERENSI GAM terutama sejak kembalinya mantan Connell, R.W. 1985. “Theorising Gender”, kombatan GAM ke dalam ekonomi politik Sociology, 19 (2): 260-272. sangat menentukan. Dengan demikian dapat Connell, R.W. 1987. Gender and Power, disimpulkan bahwa paska konflik Aceh, Society, the Person and Sexual bentuk maskulinitas hegemonik dengan Politics. Cambridge: Polity Press in kepentingan kelas telah membuat laki-laki association with Basil Blackwell mantan militer menjadi bentuk kekuatan Connell, R.W. 2005. Masculinities. Second maskulin khusus yang saat ini mencapai Edition. University of California posisi dominannya dan paling dihargai baik Press. Berkeley and Los Angeles, oleh pria maupun wanita pada umumnya. Calofornia. Menjadi pengusaha yang sukses untuk Carrigan, Connell and Lee. 1987. Toward a orang-orang Aceh biasa diartikulasikan New Sociology of Masculinity in dalam cara agar berhasil menghubungkan Harry Brod. The Making of para mantan pejuang GAM. Dominasi ini Masculinities The New Men Studies. muncul karena ekonomi Aceh sangat Allen & Unwin, Inc. Winchester bergantung pada anggaran pemerintah yang USA.Hutchings, Kimberly. 2008. menggunakan uang publik dalam bentuk Cognitive Short Cuts. In Rethinking pengeluaran pemerintah misalnya membeli the Man Question Sex, Gender and peralatan resmi, membangun infrastruktur Violence in International Relations. kantor, dan lain-lain. Hampir semua masalah Zed Books Ltd. London. ini terkait dengan GAM karena mereka Connell R.W. and Messerschmidt 2005. sudah mengendalikan aliran uang publik di Hegemonic Masculinity Rethinking dinas-dinas Pemerintah Aceh. Para mantan the komandan atau panglima secara strategis Concept. Gender & Society, Vol. 19. No.6, menempati posisi sosial seperti ini dan 829-859. Doi: sekaligus mengambil manfaat ekonomi dan 10.1177/0891243205278639. politik pasca konflik. Mengingat hegemoni Enloe Cynthia. 1983. Does Khaki Become maskulinitas dicapai melalui perjuangan You?. Pluto Press Limited. London. (Connell dan Messerschmidt 2005), mantan Enloe Cynthia. 1989. Making Feminist Sense komandan tidak dapat mengerahkan status of International Politics Bananas elit mereka sebagai 'Bapak' kecuali mereka Beaches and Bases. University of memang menduduki kekuasaan politik lokal

7

California Press. Berkeley Los Angeles. Hearn Jeff 2004. From hegemonic masculinity to the hegemony of men. Feminist Theory. Sage Publications. Vol. 5 (1): 49-72. Doi: 10.1177/1464700104040813. Donaldson Mike 1993. What is Hegemonic Masculinity?. Theory and Society 22: 643-657. Memorandum of Understanding (MOU) between The Government of Indonesia and The Free Aceh Movement. 2005. Available at http://www.ucdp.uu.se/downloads /fullpeace/Ind%20050815.pdf. Hooper, Charlotte. 2001. Manly States: Masculinities, International Relations and Gender Politics. New York: Columbia University Press. Howson, Richard. 2006. Challenging Hegemonic Masculinity. Routledge, New York. USA. Serambi Indonesia. 2012. : Saya di Pukul di Wajah dan Kepala. Available at: http://www.tribunnews.com/region al/2012/06/27/irwandi-yusuf-saya- dipukul-di-wajah-dan-kepala. The Asia Foundation 2013. The Contested Corners of Asia. Subnational Conflict and International Development Assistance. The case of Aceh. https://asiafoundation.org/resource s/pdfs/AcehExecutiveSummary.pdf. Accessed 13 May 2014. .

8