Gender Dan Ideologi Maskulinitas Pada Periode Pasca MOU Helsinki Aceh

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Gender Dan Ideologi Maskulinitas Pada Periode Pasca MOU Helsinki Aceh Gender dan Ideologi Maskulinitas pada periode Pasca MOU Helsinki Aceh Sait Abdullah STIA LAN Bandung E-mail: [email protected] Abstrak Proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai akibat dari perjanjian damai (MOU) Helsinki telah memicu munculnya elit politik lokal baru khususnya dari kalangan mantan komandan GAM. Sejumlah peneliti telah mengaitkan kemunculan elit baru ini dengan konflik antar elite lokal akan alokasi sumber daya ekonomi. Namun apa yang menjadi gap penelitian ini khususnya aspek yang tidak dikaji dalam penelitian-penelitian mereka sebelumnya adalah tentang dimensi gender kritis terhadap dominasi mantan komandan GAM yang terwakili oleh lembaga, KPA (Komisi Peralihan Aceh). Argumen dari makalah ini adalah dalam situasi damai pasca konflik, mantan komandan GAM perlu merumuskan kembali status elit mereka, melalui re-konstitusi maskulinitas hegemonik dan ideologi militeristik. Maskulinitas hegemonik adalah sebuah ideologi kelelakian yang melegitimasi kekuasaan dan status mantan komandan atas laki-laki lain (dan perempuan) dalam masyarakat Aceh. Maskulinitas hegemonik ini ditopang oleh ideologi militeristik yang dipertahankan yang pada akhirnya memperkuat status sosial para mantan komandan GAM atas elit sipil GAM serta para mantan kombatan lainnya.Kata Kunci: Agency theory, government governance, besaran institusi, kinerja, Indonesia Government Index (IGI), dan Indeks Pembangunan Manusia. Kata kunci: Gender, Maskulinitas, elite, dan kekuasaan Gender and Ideology of Masculinity in the Post-MOU Helsinki Aceh period Abstract The process of demobilisation and reintegration of ex-combatants of the Free Aceh Movement (GAM) as a result of the Helsinki Peace Agreement (MOU) has triggered the emergence of a new local political elite, especially from among former GAM commanders. A number of researchers have linked the emergence of this new elite with conflicts among local elites over the allocation of economic resources. However, the gaps in this research, particularly the aspects which is not examined in their previous studies, is the critical gender dimension to the dominance of former GAM commanders represented by the agency, KPA (Aceh Transition Commission). The argument of this paper is that in a post-conflict situation, former GAM commanders need to reformulate their elite status, through the re-constitution of hegemonic masculinity and militaristic ideology. Hegemonic masculinity is an ideology of maleness that legitimates the power and status of former commanders over other men (and women) in Acehnese society. The hegemonic masculinity is underpinned by militaristic ideology which ultimately strengthens the social status of former GAM commanders over the GAM civilian lite and other former combatants. Keywords : Gender, Masculinity, elite, and power 1 A. PENDAHULUAN Proses perundingan damai Helsinki Secara teoritis, konsep maskulinitas pada tahun 2005 yang diikuti oleh paket hegemonik pada dasarnya berasal dari perlucutan senjata, proses demobilisasi dan gagasan Antonio Gramsci tentang hegemoni reintegrasi mantan kombatan telah dalam analisis kelasnya (class analysis) mentransformasi Gerakan Aceh Merdeka (Connell 1987, 1995, Carrigan, Connell dan (GAM) dari gerakan pemberontakan Lee 1987, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan bersenjata ke arah organisasi politik. Howson 2006). Konsep hegemoni Gramcian Khususnya proses demobilisasi GAM telah ini telah digunakan secara luas oleh sejumlah menghasilkan dua lembaga GAM baru yang sarjana yang beraliran gender kritis untuk kuat secara politis yaitu, Majelis Nasional menjelaskan nuansa yang lebih luas dari dan KPA, dua organisasi GAM memiliki dinamika sosial dan politik dari hubungan karakteristik yang berbeda. Majelis terdiri kekuasaan struktur gender. Hegemoni dari kelompok para elit politik intelektual sebagaimana dipahami oleh para sarjana di sipil (Blok GAM Swedia) dan KPA, yang atas adalah paket strategis dan taktik untuk terdiri dari kelompok komandan militer dominasi dan kontrol yang sah dilakukan GAM. Dalam konteks dinamika sosial dan oleh kelompok tertentu yang kuat atas orang politik intra-elit GAM saat ini, para mantan lain dalam waktu dan keadaan tertentu komandan tidak bisa lagi hanya (Carrigan, Connell dan Lee 1987, Connell mengandalkan status kepemimpinan an sich 1995, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan sebagai pemimpin atau komandan GAM. Howson 2006). Mereka harus merumuskan kembali dan Dibingkai dalam relasi kekuasaan menegosiasikan ulang status elit mereka. gender, Connell telah mengembangkan Dalam hal ini, mantan komandan GAM konsep maskulinitas hegemonik ini (1987, harus berjuang untuk mendefinisikan 1995). Bagi Connell, maskulinitas hegemonik kembali maskulinitas mereka melalui bukanlah jenis karakter yang tetap (traits) ideologi militer yang dipertahankan yang atau peran-peran gender yang dimainkan nantinya akan memberi mereka status yang (performance) oleh sekelompok aktor, tetapi lebih tinggi dan terhormat atas elit sipil GAM lebih merupakan konfigurasi yang cair dari lainnya dan mantan pejuang atau kombatan relasi kuasa gender khususnya terkait GAM. dengan bagaimana suatu kelompok dominan Makalah ini menjelaskan tentang menempati posisi maskulinitas mereka di kemunculan elit baru di tingkat lokal atas kelompok lain. Maskulinitas hegemonik khususnya di Aceh pasca MOU Helsinki. menurutnya, selalu berkaitan dengan upaya Kemunculan elit baru ini dibentuk melalui pengesahan posisi dominan laki-laki dalam usaha bagaimana para mantan komandan tatanan gender patriarki, yaitu, sebuah sistem GAM merekonstruksi maskulinitas yang pada gilirannya menghasilkan hierarki hegemonik dan ideologi militeristik dalam gender dan ketidaksetaraan yang mengatur institusi GAM yang baru yaitu Komisi hubungan antara laki-laki dan laki-laki Peralihan Aceh (KPA). Maskulinitas dengan perempuan (Connell 1995). hegemonik adalah sebuah ideologi gender Lebih lanjut, Donaldson (1993) secara tentang kelelakian yang melegitimasi khusus telah mempertajam konsep kekuasaan dan status mantan kombatan maskulinitas hegemonik dari Connell (1987, dalam masyarakat Aceh. Faktor maskulinitas 1995). Menurut Donaldson (1993), meskipun hegemonik ini sangatlah penting untuk dikaji tidak semua laki-laki sesuai dengan bentuk mengingat implikasi yang begitu luas dalam kejantanan yang ideal dalam kehidupan hubungan kekuasaan khususnya dalam hal sehari-hari mereka, maskulinitas hegemonik rekonstruksi hirarki sosial dan adalah cita-cita kejayaan kelelakian di mana ketidaksetaraan gender diantara mantan elit kekuasaan berada dalam stabilisasi 'struktur GAM dan mantan pasukan kombatan GAM dominasi' dan penindasan dalam tatanan dalam masa kembalinya mereka ke dalam era gender secara keseluruhan'. Apa yang pasca konflik Aceh. membuat maskulinitas begitu hegemonik terutama disebabkan oleh prinsip-prinsip, 2 nilai-nilai dan kepercayaan pada pria dan untuk mencapai kekuasaan kekuasaan di maskulinitas sebagai pengatur tatanan pasca konflik Aceh. gender yang harus dipertahankan dan ditaati Sebelum mengeksplorasi prinsip oleh mayoritas orang (Carrigan, Connell dan dualisme dalam militerisme dan Lee 1987, Donaldson 1993, dan Howson maskulinitas, penting untuk dicatat bahwa 2006). mantan kombatan GAM bukanlah mereka Maskulinitas hegemonik adalah apa yang memegang status militer negara resmi yang dikatakan Carrigan, Connell dan Lee dari pemerintah Indonesia. Mereka adalah (1987, 94) sebagai 'korporasi besar'. Bagi yang mantan pejuang GAM yang dikenal sebagai dominan untuk menggunakan kekuasaan TNA, (Tentara Negara Aceh atau Tentara mereka atas kelompok yang didominasi, Negara Aceh). Sebagai hasil dari proses mereka harus menginvestasikan sejumlah demiliterisasi, mereka diintegrasikan kembali besar upaya termasuk manuver strategis dan ke dalam lembaga GAM yang baru, KPA, manipulasi dalam membangun kekuasaan Komisi Peralihan Aceh. Namun, apa yang gender mereka melalui institusi, peraturan, penting dalam penelitian ini bukanlah media, politik, pendidikan yang kemunculan organisasi KPA yang meniru mengartikulasikan nilai dan keyakinan institusi militer GAM yang lama, namun tertentu yang mengekspresikan minat bagaimana aspek maskulinitas dan ideologi mereka dengan mengorbankan yang lain militeristik yang tercermin dalam (Howson 2006). “Hegemoni selalu mengacu kepercayaan, nilai, dan praktik dalam KPA pada situasi historis, serangkaian keadaan di memicu munculnya para elite politik baru mana kekuasaan dimenangkan dan dalam situasi pascakonflik. Metode yang dipegang” (Carrigan, Connell dan Lee 1987, digunakan dalam penelitian ini bersifat 94). Maskulinitas hegemonik dalam kualitatif yang melibatkan studi litelature, pengertian ini adalah tentang ‘bagaimana wawancara dan penggunaan data sekunder kelompok-kelompok laki-laki tertentu baik seperti data penelitian terdahulu memiliki posisi kekuasaan dan kekayaan dan maupun annual report pemerintah Aceh, dan bagaimana mereka melegitimasi dan organisasi-organisasisi kemasyarakatan mereproduksi hubungan sosial yang beserta insitusi donor baik dalam maupun menghasilkan dominasi mereka '(Carrigan, luar negeri yang berada di Aceh. Connell, dan Lee 1987, 92). Secara ideologis, maskulinitas hegemonik diwujudkan dalam B. PEMBAHASAN ideal budaya dan kekuatan institusional dan Pada era pasca konflik Aceh, institusi dicapai melalui persetujuan dan persuasi militer GAM telah berubah menjadi lembaga (Connell, 2005, Connell dan Messerschmidt, sipil bernama KPA (Komite Peralihan Aceh) Hooper 2001). namun yang sangat menarik adalah mengapa Mengikuti
Recommended publications
  • AGENDA REV 5 1.Indd
    DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA AGENDA KERJA DPD RI 2017 DATA PRIBADI Nama __________________________________________________________ No. Anggota ___________________________________________________ Alamat _________________________________________________________ _________________________________________________________________ Telepon/Fax ____________________________________________________ Nomor _________________________________________________________ KTP ____________________________________________________________ Paspor _________________________________________________________ Asuransi _______________________________________________________ Pajak Pendapatan ______________________________________________ SIM ____________________________________________________________ PBB ____________________________________________________________ Lain-lain _______________________________________________________ DATA BISNIS Kantor _________________________________________________________ Alamat _________________________________________________________ _________________________________________________________________ Telepon/Fax ____________________________________________________ Telex ___________________________________________________________ Lain-lain _______________________________________________________ NOMOR TELEPON PENTING Dokter/Dokter Gigi _____________________________________________ Biro Perjalanan _________________________________________________ Taksi ___________________________________________________________ Stasiun K.A
    [Show full text]
  • The Case of Aceh, Indonesia Patrick Barron Erman Rahmant Kharisma Nugroho
    THE CONTESTED CORNERS OF ASIA Subnational Conflict and International Development Assistance The Case of Aceh, Indonesia Patrick Barron Erman Rahmant Kharisma Nugroho The Contested Corners of Asia: Subnational Con!ict and International Development Assistance The Case of Aceh, Indonesia Patrick Barron, Erman Rahman, Kharisma Nugroho Authors : Patrick Barron, Erman Rahman, Kharisma Nugroho Research Team Saifuddin Bantasyam, Nat Colletta, (in alphabetical order): Darnifawan, Chairul Fahmi, Sandra Hamid, Ainul Huda, Julianto, Mahfud, Masrizal, Ben Oppenheim, Thomas Parks, Megan Ryan, Sulaiman Tripa, Hak-Kwong Yip World Bank counterparts ; Adrian Morel, Sonja Litz, Sana Jaffrey, Ingo Wiederhofer Perceptions Survey Partner ; Polling Centre Supporting team : Ann Bishop (editor), Landry Dunand (layout), Noni Huriati, Sylviana Sianipar Special thanks to ; Wasi Abbas, Matt Zurstrassen, Harry Masyrafah Lead Expert : Nat Colletta Project Manager : Thomas Parks Research Specialist and Perception Survey Lead : Ben Oppenheim Research Methodologist : Yip Hak Kwang Specialist in ODA to Con!ict Areas : Anthea Mulakala Advisory Panel (in alphabetical order) : Judith Dunbar, James Fearon, Nils Gilman, Bruce Jones, Anthony LaViña, Neil Levine, Stephan Massing, James Putzel, Rizal Sukma, Tom Wing!eld This study has been co-!nanced by the State and Peacebuilding Fund (SPF) of the World Bank. The !ndings, interpretations, and conclusions expressed in this paper are entirely those of the authors. They do not necessarily represent the views of the World Bank and its af!liated organizations, or those of the Executive Directors of the World Bank or the governments they represent. Additional funding for this study was provided by UK Aid from the UK Government. The views expressed in this report are those of the authors and do not necessarily represent those of The Asia Foundation or the funders.
    [Show full text]
  • Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian
    Serambi Akademica Vol. 9, No. 4, pISSN 2337–8085 Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora Mei 2021 eISSN 2657- 0998 Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian Usman Universitas Abulyatama [email protected] ABSTRAK Artikel ini membahas tentang eksistensi Partai Aceh, sebagai kekuatan politik lokal pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, pasca perdamaian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi Partai Politik Lokal Aceh sebagai kekuatan sosial politik lokal, dan berbagai dinamika baik konflik internal, hingga turunnya kekuatan politik lokal dan suara pemilih setiap pelaksanaan pemilihan umum legislataf dan pemilihan kepala daerah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif meliputi pengumpulan data melalui buku, jurnal, media massa dan dokumen lainnya. Teknik penelitian yang di gunakan adalah teknik penelitian studi literatur. Tahapan yang di lakukan dalam penelitian ini yaitu kritik atau analisis sumber, dan interpretasi (menafsirkan sumber). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan, penulis memperoleh kesimpulan bahwa pasca damai Aceh telah terjadi transisi politik, dari kekuatan perlawanan senjata, ke perjuangan melalui Partai Politik Lokal. Eksistensi partai politik lokal salah satu partai mantan kombatan adalah Partai Aceh (PA). Sejak pemilu dan pilkada selama tiga periode, Partai Aceh (PA) mampu mendapatkan suara mayoritas, namun dalam tiga dekade tersebut terjadi penurunan suara pemilih
    [Show full text]
  • Aceh Interim Report May 2012
    INTERNATIONAL ELECTION OBSERVATION MISSION Aceh Local Elections: Gubernatorial, Mayoral, & Head of Regency Elections 2012 -- Interim Report -- Report Date: May 3, 2012 The Asian Network for Free Elections wishes to congratulate the people of Aceh for their participation in the second local election held since the end of the conflict in the Province. The April 9th 2012 election is another milestone towards strengthening democracy and respect for the rule of law. This statement is an assessment of the pre-election period, Election Day, and the post-election period by ANFREL’s eleven Citizen Observers from countries across Asia as well as the USA and Canada. SUMMARY The April 9th election was the second opportunity Aceh has had to elect its own governor after the 2005 peace agreement that allowed a legitimate government to be set up according to the Principles of the Helsinki Memorandum of Understanding and the Law on the Governing of Aceh (LoGA). The event was widely viewed as a crucial step to strengthen the institution of democracy in the province and a step forward in consolidating democracy amongst different stakeholders through peaceful means. Notwithstanding the violence, fraud and irregularities reported to the electoral supervisory body (Panwaslu), monitoring groups and political parties, it is worth noting that the electoral process can so far be categorized as successful. When viewed in the context of the past conflict, the election has been relatively calm and the electorate proved to be engaged, as evidenced by the over 75% voter turnout. ANFREL deployed 11 mobile monitors from 18 March to 18 April 2012 to cover all of Aceh’s regencies except the islands of Sabang and Simeuleu.
    [Show full text]
  • KINERJA4TAHUN PEMERINTAH ACEH 2013-2016 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
    KINERJA4TAHUN PEMERINTAH ACEH 2013-2016 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kinerja 4 Tahun Pemerintah Aceh 2013-2016 Hairul Basri [et.al] ISBN: 978-602-0824-35-2 Edisi 1, Cet. 1 Tahun 2016 158 hal. 17,2 cm x 24 cm Pengarah : Verifikator Data : Sekretaris Daerah Aceh 1. Kepala Bidang Bidang di lingkup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Penanggungjawab : 2. Kepala Sub Bidang di lingkup Badan Perencanaan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Pembangunan Daerah Aceh Tim Penulis : Unsur Pendukung : 1. Dr.Ir. Hairul Basri, M.Sc. Tim Sekretariat 2. Taufiqurrahman, SP, MM 3. Zaiyadi, SE Desain dan Layout : aSOKA commucations (www.asoka.web.id) Kontributor Data : (isi diluar tanggungjawab desainer/layouter) Seluruh Satuan Kerja Perangkat Aceh Penerbit : Lembaga Naskah Aceh (NASA) JL. Ulee Kareng - Lamreung, Desa Ie Masen, No. 9A Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh 23117 Telp./Fax. : 0651-635016 E-mail: [email protected] (isi diluar tanggungjawab penerbit) Bekerjasama dengan: BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) ACEH Jl. Tgk. H. Mohd. Daud Beureueh No.26 Banda Aceh kode pos 23121 Telp : (0651) 21440 | Fax: (0651) 33654 email : [email protected] www.bappedal.acehprov.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
    [Show full text]
  • The Latent Transformation Process of the Free Aceh Movement Ideology After the Peace Agreement
    PJAEE, 17 (6) (2020 THE LATENT TRANSFORMATION PROCESS OF THE FREE ACEH MOVEMENT IDEOLOGY AFTER THE PEACE AGREEMENT Rusli Yusuf Department of Pancasila and Civic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Universitas Syiah Kuala) Email: [email protected] Maimun Department of Pancasila and Civic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Universitas Syiah Kuala) Email: [email protected] Sanusi Department of Pancasila and Civic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Universitas Syiah Kuala) Email: [email protected] TM. Jamil Department of Economic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Universitas Syiah Kuala) Email: [email protected] Rusli Yusuf, Maimun, Sanusi, TM. Jamil : The Latent Transformation Process of the Free Aceh Movement Ideology After The Peace Agreement -- Palarch’s Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology 17(6), ISSN 1567-214x Keywords: Transformation of Ideology, Latent Process, Free Aceh Movement and Post- peace ABSTRACT Gerakan Aceh Merdeka (GAM), translated as the Free Aceh Movement, was established in 1976 with the aim of separation from the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). After more than 30 years of rebellion against the central government, the two sides reconciled in 2005. One of the most important points agreed upon is that Aceh remains within the framework of the Unitary Republic of Indonesia. However, once the peace agreement was completed, former GAM combatants could still promote their ideology and symbols in latent forms in their families, in formal organizations and in the community at large. This research aims to describe in detail and analyze the latent process of the ideological transformation of the Free Aceh Movement conducted by former GAM combatants through their families, formal institutions or the social environment in general.
    [Show full text]
  • Indonesia: Tensions Over Aceh's Flag
    Update Briefing Asia Briefing N°139 Jakarta /Brussels, 7 May 2013 Indonesia: Tensions Over Aceh’s Flag I. Overview The decision of the Aceh provincial government to adopt the banner of the former rebel Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) as its official provincial flag is testing the limits of autonomy, irritating Jakarta, heightening ethnic and politi- cal tensions, reviving a campaign for the division of Aceh and raising fears of violence as a national election approaches in 2014. On 25 March 2013, the provincial legislature adopted a regulation (qanun) mak- ing the GAM’s old banner the provincial flag. It was immediately signed by Governor Zaini Abdullah. The governor and deputy governor are members of Partai Aceh, the political party set up by former rebel leaders in 2008 that also controls the legislature. The central government, seeing the flag as a separatist symbol and thus in viola- tion of national law, immediately raised objections and asked for changes. Partai Aceh leaders, seeing the flag as a potent tool for mass mobilisation in 2014, have refused, arguing that it cannot be a separatist symbol if GAM explicitly recognised Indonesian sovereignty as part of the Helsinki peace agreement in 2005 that ended a nearly 30-year insurgency. Partai Aceh believes that if it remains firm, Jakarta will eventually concede, as it did in 2012 over an election dispute. Indonesian President Yudhoyono’s government is torn. On the one hand, it does not want a fight with the GAM leaders; the 2005 peace agreement is the most im- portant achievement of a president who, in his final term, is very much concerned about his legacy.
    [Show full text]
  • AKTUAL Edisi 47
    AKTUAL Edisi 47 / 3 - 17 Januari 2016 1 2 AKTUAL Edisi 47 / 3 - 17 Januari 2016 AKTUAL PENDIRI M Danial Nafis KOMISARIS Yudi Latif PEMIMPIN REDAKSI Faizal Rizki Arief SEKRETARIS REDAKSI Tsurayya Zahra REDAKTUR SENIOR Satrio Arismunandar, Hendrajit, Eko Maryadi SIDANG REDAKSI Faizal Rizki Arief, Satrio Arismunandar, Hendrajit, Wahyu Romadhony REDAKTUR Wahyu Romadhony, Nebby Mahbubirrahman, Sukardjito, Ismed Eka Kusuma, Tino Oktaviano (Foto) ASISTEN REDAKTUR Zaenal Arifin, M Vidia Wirawan, Karel Stefanus Ratulangi, Wisnu Yusep, Arbie Marwan STAF REDAKSI Soemitro, Fadlan Syam Butho, Nailin In Saroh, Mochammad Zaky Kusumo, Novrizal Sikumbang, Dadang Sah, Agung Rizki, Warnoto (TV), Junaidi (Foto), Munzir (Foto), Leonina K Lahama, Najamuddin Arfah, Refli Mulyadi, Eko Sumaryanto (Foto Komersial) DESAIN GRAFIS Shofrul Hadi, Nelson Nafis NETWORK Tri Wahyudi (Hd), Rendra SMC Taufik, Iqbal Maulana KONTRIBUTOR LUAR NEGERI Fitra Ismu (Meksiko) REPORTER DAERAH Masriadi Sambo Sengkarut di Pelindo (Aceh), Damai Oktafianus Mendrofa (Medan), Muhammad Dasuki (Semarang), Ahmat Haris B (Surabaya), Muchammad Nasrul Hamzah Pembaca yang budiman, maka KPK bisa menuntutnya. (Malang), A, Bobby Andalan (Denpasar), Andri Akhir tahun ini kondisi Dan hal yang sama, Kepolisian Wawan MS Husen (Palu), Vina Fatma Sari ekonomi politik sangat tidak juga bisa menuntutnya. (Bandung), Labib Zamani (Yogyakarta) menggembirakan. Banyak sekali Yang sangat menarik di kasus DIREKTUR OPERASIONAL Rinrin kegaduhan politik dan ekonomi ini adalah dugaan keterlibatan Sukmariana terjadi. Di bidang hukum pun ada beberapa petinggi negara dan MANAGER KEUANGAN Kasep Natakusumah STAF KEUANGAN Zulkarnain, Vinka H P banyak catatan yang sangat tidak lingkungan Istana. Sengkarut HRD & KESEKRETARIATAN Nuryana menggembirakan. Pelindo tidak lagi soal Rj Lino, SIRKULASI Widhi Maulana, Bayu Aji Beberapa kasus sangat tapi siapa saja yang diuntungkan MARKETING OFFICER Dedy Kusnaedi, Rhiza Adittya sensitif muncul di penghujung oleh RJ Lino.
    [Show full text]
  • Diaspora Politik Mantan Kombatan GAM
    Diaspora Politik Mantan Kombatan GAM . Fajar Kuala Nugraha Abstrak Lebih dari 20 tahun Aceh bergolak, pergolakan yang terjadi antara GAM yang berasal kubu pemberontah yang ingin memerdekakan diri, dengan kubu TNI yang mewakili pemerintah. Konflik yang telah membawa kesengsaraan, dimana dampak terbesar dirasakan oleh masyarakat. Kini setelah konflik itu mereda GAM sebagai kelompok pemberontak mulai mentransformasikan dirinya kedalam partai politik untuk merebut jabatan di daerah. Namun upaya merebut kekuasaan ini membawa dampak perpecahan dalam tubuh GAM itu sendiri. Akhirnya perpecahan ini menjadi penyebab para anggota GAM melakukan diasora politik dan menyebar pada beberapa partai politik, mulai dari partai lokal di Aceh hingga partai nasional. Kata Kunci: GAM, partai politik, dan diaspora Abstract More than 20 years of violent conflict between GAM (Aceh freedom movement) and the government of Indonesia has caused misery and suffering on both parties but particularly to the people living in Aceh. After the conflict finally resolved, GAM has transformed itself into political parties to gain power and authority in the local offices. However, these political efforts has caused dissension among ex-member of GAM. Hence, those who have disagreement choose to join other political parties spread from the local political parties in Aceh to to the national polical parties making a vast political diaspora. Kata Kunci: GAM, political parties, and political diaspora *Korespondensi: Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Brawijaya Jalan Veteran, Malang 65145 Email: 34 Jurnal Transformative, Vol. 1, Nomor 1, Maret 2015 Pengantar Daerah Istimewa, merupakan sebutan yang layak dialamatkan kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Mengapa tidak lebih dari, lebih dari 20 tahun Aceh bergolak dengan permasalahn konflik, konflik yang menyebabkan ratusan nyawa melayang.
    [Show full text]
  • 1 Summary Minutes of Meeting Un-Ngo
    SUMMARY MINUTES OF MEETING UN-NGO-Donor-Red Cross-Government Coordination Meeting Tuesday, 16 June 2015 Chaired by: Rajan Gengaje, Head of OCHA (Full presentations are available on the OCHA Indonesia website) The meeting was opened by Douglas Broderick, UN Resident Coordinator/Humanitarian Coordinator. He briefed on the planned reconfiguration of OCHA’s presence in Indonesia on 1 July 2015 noting that OCHA will remain focused on supporting the Government of Indonesia and humanitarian community on preparedness and response, and also enhancing liaison with ASEAN. The RC/HC further highlighted some of the current challenges that global humanitarian action is facing. The number and scale of global humanitarian crises are exceeding resources available. International humanitarian community needs to be more innovative and find new ways to generate the resources needed to meet growing humanitarian needs. 1. Security Update – UNDSS In Heram, Abepura, Papua, a joint security team was deployed to the residential compound following a mob attack that killed two and critically injured another on 8 June 2015. Ten houses and eight motorcycles were also burnt in the incident. In Aceh, the police clashed with four armed men in East Aceh regency suspected as the members of an armed group led by Din Minimi. 2. Humanitarian Update – UNOCHA BNPB reported that as of 7 June 2015, 695 disaster events occurred between January to April 2015. In May 2015 alone, BNPB reported 28 events with a total of 21 casualties and hundreds of houses damaged. Floods are the most common natural disaster while landslides are the second most frequent natural disaster with the higest number of casualties (19 people).
    [Show full text]
  • World Report Country Chapter Template
    JANUARY 2013 COUNTRY SUMMARY INDONESIA Competitive, credible, and fair local elections in Jakarta and the province of West Kalimantan in 2012 underscored the ongoing transition from decades of authoritarian rule in Indonesia. United Nations record was another hopeful sign of a growing commitment to respecting human rights. However, Indonesia remains beset by serious human rights problems. Violence and discrimination against religious minorities, particularly Ahmadiyah, Bahai, Christians, and Shia deepened. Lack of accountability for abuses by police and military forces continues to affect the lives of residents in Papua and West Papua provinces. Freedom of Expression corruption, environmental destruction, and violence against religious minorities. But a rising climate of religious intolerance and an infrastructure of discriminatory national and In May, the Indonesian government dismissed recommendations during its UPR to release more than 100 political prisoners, the majority in the Moluccas Islands and Papua. These activists are serving sentences of up to 20 years for acts of peaceful protest including staging protest dances or raising separatist flags. In January, the government refused to accept the UN Working Group on A 2011, that Papuan independence activist Filep Karma is a political prisoner. The working group called on Indonesia to immediately and unconditionally release Karma. Indonesian police and government authorities failed to adequately protect artists, writers, and media companies targeted with threats and protests by militant Islamist groups. In May, neither police nor government officials intervened to prevent Islamist groups from 1 disrupting the book tour of Canadian-Muslim writer Irshad Manji in the capital, Jakarta, and Yogyakarta. In June, Jakarta police bowed to pressure from the militant Islamic Defenders Front organization protesting the planned concert of US pop star Lady Gaga and revoked the permit to the concert organizers, prompting its cancellation.
    [Show full text]
  • Understanding Aceh Referendum Discourse in the Context of Asymmetric Decentralisation
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 367 International Conference of Democratisation in Southeast Asia (ICDeSA 2019) Understanding Aceh Referendum Discourse in the Context of Asymmetric Decentralisation Sait Abdullah Deni Fauzi Ramdani STIA LAN Bandung STIA LAN Bandung Bandung, Indonesia Bandung, Indonesia [email protected] [email protected] Abstract— As a result of recent political dynamic, This ideological aspect of political discourse is particularly after the world most complicated simultaneous historically rooted in conflict and embedded in the former national elections, Aceh referendum discourse has been re- Free Aceh Movement or Gerakan Aceh Merdeka ideology echoed by Acehnese local elite. This issue has become an linked to the Aceh independence. Although later the former interesting phenomenon to be investigated. As a result of MOU GAM commander, Muzakir Manaf has re-corrected his Helsinki Peace Agreement in 2005, Aceh has been granted as a special region by the central government by way of an speech to stress that Aceh is part of Indonesia, yet asymmetric decentralisation scheme to run its government. Is it interestingly referendum discourse enmeshed crucial true that the local Acehnese really want the referendum? Or is ideological element of the Acehnese nationalism. it just a political discourse enacted by the local elites for their Along the line of Aceh asymmetric decentralisation, own political interests? This paper examines how ideology scholars have argued that asymmetric decentralisation has operates through discourse. It uses Van Dijk ideological been hijacked by local elite [1]. In this context, elite used discourse analysis. This paper argues that referendum issue re- their predatory power in the form of money politics and enacted is not just an ordinary elite’ speech.
    [Show full text]