Gender Dan Ideologi Maskulinitas Pada Periode Pasca MOU Helsinki Aceh
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Gender dan Ideologi Maskulinitas pada periode Pasca MOU Helsinki Aceh Sait Abdullah STIA LAN Bandung E-mail: [email protected] Abstrak Proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai akibat dari perjanjian damai (MOU) Helsinki telah memicu munculnya elit politik lokal baru khususnya dari kalangan mantan komandan GAM. Sejumlah peneliti telah mengaitkan kemunculan elit baru ini dengan konflik antar elite lokal akan alokasi sumber daya ekonomi. Namun apa yang menjadi gap penelitian ini khususnya aspek yang tidak dikaji dalam penelitian-penelitian mereka sebelumnya adalah tentang dimensi gender kritis terhadap dominasi mantan komandan GAM yang terwakili oleh lembaga, KPA (Komisi Peralihan Aceh). Argumen dari makalah ini adalah dalam situasi damai pasca konflik, mantan komandan GAM perlu merumuskan kembali status elit mereka, melalui re-konstitusi maskulinitas hegemonik dan ideologi militeristik. Maskulinitas hegemonik adalah sebuah ideologi kelelakian yang melegitimasi kekuasaan dan status mantan komandan atas laki-laki lain (dan perempuan) dalam masyarakat Aceh. Maskulinitas hegemonik ini ditopang oleh ideologi militeristik yang dipertahankan yang pada akhirnya memperkuat status sosial para mantan komandan GAM atas elit sipil GAM serta para mantan kombatan lainnya.Kata Kunci: Agency theory, government governance, besaran institusi, kinerja, Indonesia Government Index (IGI), dan Indeks Pembangunan Manusia. Kata kunci: Gender, Maskulinitas, elite, dan kekuasaan Gender and Ideology of Masculinity in the Post-MOU Helsinki Aceh period Abstract The process of demobilisation and reintegration of ex-combatants of the Free Aceh Movement (GAM) as a result of the Helsinki Peace Agreement (MOU) has triggered the emergence of a new local political elite, especially from among former GAM commanders. A number of researchers have linked the emergence of this new elite with conflicts among local elites over the allocation of economic resources. However, the gaps in this research, particularly the aspects which is not examined in their previous studies, is the critical gender dimension to the dominance of former GAM commanders represented by the agency, KPA (Aceh Transition Commission). The argument of this paper is that in a post-conflict situation, former GAM commanders need to reformulate their elite status, through the re-constitution of hegemonic masculinity and militaristic ideology. Hegemonic masculinity is an ideology of maleness that legitimates the power and status of former commanders over other men (and women) in Acehnese society. The hegemonic masculinity is underpinned by militaristic ideology which ultimately strengthens the social status of former GAM commanders over the GAM civilian lite and other former combatants. Keywords : Gender, Masculinity, elite, and power 1 A. PENDAHULUAN Proses perundingan damai Helsinki Secara teoritis, konsep maskulinitas pada tahun 2005 yang diikuti oleh paket hegemonik pada dasarnya berasal dari perlucutan senjata, proses demobilisasi dan gagasan Antonio Gramsci tentang hegemoni reintegrasi mantan kombatan telah dalam analisis kelasnya (class analysis) mentransformasi Gerakan Aceh Merdeka (Connell 1987, 1995, Carrigan, Connell dan (GAM) dari gerakan pemberontakan Lee 1987, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan bersenjata ke arah organisasi politik. Howson 2006). Konsep hegemoni Gramcian Khususnya proses demobilisasi GAM telah ini telah digunakan secara luas oleh sejumlah menghasilkan dua lembaga GAM baru yang sarjana yang beraliran gender kritis untuk kuat secara politis yaitu, Majelis Nasional menjelaskan nuansa yang lebih luas dari dan KPA, dua organisasi GAM memiliki dinamika sosial dan politik dari hubungan karakteristik yang berbeda. Majelis terdiri kekuasaan struktur gender. Hegemoni dari kelompok para elit politik intelektual sebagaimana dipahami oleh para sarjana di sipil (Blok GAM Swedia) dan KPA, yang atas adalah paket strategis dan taktik untuk terdiri dari kelompok komandan militer dominasi dan kontrol yang sah dilakukan GAM. Dalam konteks dinamika sosial dan oleh kelompok tertentu yang kuat atas orang politik intra-elit GAM saat ini, para mantan lain dalam waktu dan keadaan tertentu komandan tidak bisa lagi hanya (Carrigan, Connell dan Lee 1987, Connell mengandalkan status kepemimpinan an sich 1995, Donaldson 1993, Hearn 2004 dan sebagai pemimpin atau komandan GAM. Howson 2006). Mereka harus merumuskan kembali dan Dibingkai dalam relasi kekuasaan menegosiasikan ulang status elit mereka. gender, Connell telah mengembangkan Dalam hal ini, mantan komandan GAM konsep maskulinitas hegemonik ini (1987, harus berjuang untuk mendefinisikan 1995). Bagi Connell, maskulinitas hegemonik kembali maskulinitas mereka melalui bukanlah jenis karakter yang tetap (traits) ideologi militer yang dipertahankan yang atau peran-peran gender yang dimainkan nantinya akan memberi mereka status yang (performance) oleh sekelompok aktor, tetapi lebih tinggi dan terhormat atas elit sipil GAM lebih merupakan konfigurasi yang cair dari lainnya dan mantan pejuang atau kombatan relasi kuasa gender khususnya terkait GAM. dengan bagaimana suatu kelompok dominan Makalah ini menjelaskan tentang menempati posisi maskulinitas mereka di kemunculan elit baru di tingkat lokal atas kelompok lain. Maskulinitas hegemonik khususnya di Aceh pasca MOU Helsinki. menurutnya, selalu berkaitan dengan upaya Kemunculan elit baru ini dibentuk melalui pengesahan posisi dominan laki-laki dalam usaha bagaimana para mantan komandan tatanan gender patriarki, yaitu, sebuah sistem GAM merekonstruksi maskulinitas yang pada gilirannya menghasilkan hierarki hegemonik dan ideologi militeristik dalam gender dan ketidaksetaraan yang mengatur institusi GAM yang baru yaitu Komisi hubungan antara laki-laki dan laki-laki Peralihan Aceh (KPA). Maskulinitas dengan perempuan (Connell 1995). hegemonik adalah sebuah ideologi gender Lebih lanjut, Donaldson (1993) secara tentang kelelakian yang melegitimasi khusus telah mempertajam konsep kekuasaan dan status mantan kombatan maskulinitas hegemonik dari Connell (1987, dalam masyarakat Aceh. Faktor maskulinitas 1995). Menurut Donaldson (1993), meskipun hegemonik ini sangatlah penting untuk dikaji tidak semua laki-laki sesuai dengan bentuk mengingat implikasi yang begitu luas dalam kejantanan yang ideal dalam kehidupan hubungan kekuasaan khususnya dalam hal sehari-hari mereka, maskulinitas hegemonik rekonstruksi hirarki sosial dan adalah cita-cita kejayaan kelelakian di mana ketidaksetaraan gender diantara mantan elit kekuasaan berada dalam stabilisasi 'struktur GAM dan mantan pasukan kombatan GAM dominasi' dan penindasan dalam tatanan dalam masa kembalinya mereka ke dalam era gender secara keseluruhan'. Apa yang pasca konflik Aceh. membuat maskulinitas begitu hegemonik terutama disebabkan oleh prinsip-prinsip, 2 nilai-nilai dan kepercayaan pada pria dan untuk mencapai kekuasaan kekuasaan di maskulinitas sebagai pengatur tatanan pasca konflik Aceh. gender yang harus dipertahankan dan ditaati Sebelum mengeksplorasi prinsip oleh mayoritas orang (Carrigan, Connell dan dualisme dalam militerisme dan Lee 1987, Donaldson 1993, dan Howson maskulinitas, penting untuk dicatat bahwa 2006). mantan kombatan GAM bukanlah mereka Maskulinitas hegemonik adalah apa yang memegang status militer negara resmi yang dikatakan Carrigan, Connell dan Lee dari pemerintah Indonesia. Mereka adalah (1987, 94) sebagai 'korporasi besar'. Bagi yang mantan pejuang GAM yang dikenal sebagai dominan untuk menggunakan kekuasaan TNA, (Tentara Negara Aceh atau Tentara mereka atas kelompok yang didominasi, Negara Aceh). Sebagai hasil dari proses mereka harus menginvestasikan sejumlah demiliterisasi, mereka diintegrasikan kembali besar upaya termasuk manuver strategis dan ke dalam lembaga GAM yang baru, KPA, manipulasi dalam membangun kekuasaan Komisi Peralihan Aceh. Namun, apa yang gender mereka melalui institusi, peraturan, penting dalam penelitian ini bukanlah media, politik, pendidikan yang kemunculan organisasi KPA yang meniru mengartikulasikan nilai dan keyakinan institusi militer GAM yang lama, namun tertentu yang mengekspresikan minat bagaimana aspek maskulinitas dan ideologi mereka dengan mengorbankan yang lain militeristik yang tercermin dalam (Howson 2006). “Hegemoni selalu mengacu kepercayaan, nilai, dan praktik dalam KPA pada situasi historis, serangkaian keadaan di memicu munculnya para elite politik baru mana kekuasaan dimenangkan dan dalam situasi pascakonflik. Metode yang dipegang” (Carrigan, Connell dan Lee 1987, digunakan dalam penelitian ini bersifat 94). Maskulinitas hegemonik dalam kualitatif yang melibatkan studi litelature, pengertian ini adalah tentang ‘bagaimana wawancara dan penggunaan data sekunder kelompok-kelompok laki-laki tertentu baik seperti data penelitian terdahulu memiliki posisi kekuasaan dan kekayaan dan maupun annual report pemerintah Aceh, dan bagaimana mereka melegitimasi dan organisasi-organisasisi kemasyarakatan mereproduksi hubungan sosial yang beserta insitusi donor baik dalam maupun menghasilkan dominasi mereka '(Carrigan, luar negeri yang berada di Aceh. Connell, dan Lee 1987, 92). Secara ideologis, maskulinitas hegemonik diwujudkan dalam B. PEMBAHASAN ideal budaya dan kekuatan institusional dan Pada era pasca konflik Aceh, institusi dicapai melalui persetujuan dan persuasi militer GAM telah berubah menjadi lembaga (Connell, 2005, Connell dan Messerschmidt, sipil bernama KPA (Komite Peralihan Aceh) Hooper 2001). namun yang sangat menarik adalah mengapa Mengikuti